ADMINISTRASI PERTANAHAN
TUGAS 4
KETERLIBATAN PEMERINTAH DALAM ADMINISTARSI PERTANAHAN
DI SUSUN OLEH
ABINOWO
DEWI FATMAWATI
SEPTRIYADI NUGRAHA
KELAS/ D IV : A / Tingkat 1
2015
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
YOGYAKARTA
KETERLIBATAN PEMERINTAH DALAM ADMINISTARSI PERTANAHAN
Peranan pemerintah atas tanah sangat penting sekali sehingga dalam hal ini pemerintah harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan benar. Pemerintah melaksanakan untuk kemakmuran rakyat dalam memecahkan berbagai masalah yang berkenaan dengan tanah, bukan saja harus mengindahkan prinsip – prinsip hukum akan tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan sosial, azas ketertiban dan azas kemanusiaan agar masalah pertanahan tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang mengganggu stabilitas masyarakat.
Landasan konstitusional kebijakan pertanahan nasional adalah Undang Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (3), yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) disebutkan bahwa Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, dalam arti sebagai personifikasi seluruh rakyat, memiliki wewenang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tanah. Wewenang tersebut yaitu membuat peraturan, menyelenggarakan dalam arti melaksanakan (execution), menggunakan (use), menyediakan (reservation) dan memelihara (maintenance) atas bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Untuk lebih menefektifkan pelaksanaannya, wewenang yang bersifat publik tersebut diserahkan kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia dengan sebutan Hak Menguasai Negara. Berdasarkan hak menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut, maka kewenangan penguasaan dan pengurusan bidang pertanahan ada pada Negara, di mana di bidang eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh Presiden (pemerintahan) atau didelegasikan kepada menteri.
Sistem hukum agraria di Indonesia telah menempatkan paling tidak kewenangan tiga instansi sebagai pihak yang memiliki kuasa untuk mengatur peruntukan hak atas tanah sekaligus mengatur pemanfaatannya dan pemanfaatan kekayaan alam yang ada padanya, yaitu:
Kementerian Kehutanan
Kementerian Kehutanan yang menguasai sekitar (lebih-kurang) 70% dari seluruh daratan di Indonesia yang dinyatakan sebagai kawasan hutan negara. Bekerja berdasarkan Undang-undang Pokok Kehutanan, maka segala hak yang berhubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan hutan negara berada di dalam kewenangannya. Undang-undang ini juga menentukan bahwa aspek penguasaan tanah hutan dengan sendirinya menyertai setiap hak untuk mengelola hutan dikarenakan (menurut undang-undang ini) seluruh hutan negara berada di bawah penguasaan Kementerian Kehutanan. Selain itu juga ditetapkan bahwa kawasan hutan hanya meliputi dua kategori, yaitu: kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung dan konservasi. Dengan orientasi lebih mengedepankan kepentingan bisnis eksploitasi dan pengelolaan hutan dalam skala besar, maka hutan-hutan produksi dikapling-kapling untuk para pengusaha yang diberikan HPH/HPHTI. Itu artinya, di dalam kawasan hutan negara tidak ada ruang untuk tempat tinggal (pemukiman) dan aktivitas pertanian.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang berwenang atas keberadaan tanah yang jumlahnya sekitar 30% dari seluruh daratan Indonesia. Dalam operasinya BPN bekerja berdasarkan ketetapan di dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam tugasnya, Kementerian ATR/BPN mengatur penggunaan dan pemanfaatan serta penguasaan dan pemilikan Hak Atas Tanah agar tidak terjadi ketimpangan dan konflik sosial dalam penguasaan tanah.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Dalam operasinya Kementerian ESDM berkerja berdasarkan ketetapan di dalam Undang-Undang Pokok Pertambangan. Kementerian ESDM mengatur pemberian hak untuk mengeksplorasi sumber daya agrarian. Berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Minerba, pertambangan di Indonesia diatur dalam wilayah pertambangan, pemerintah pusat menunjuk wilayah pertambangan dalam rencana tata ruang nasional setelah berkonsultasi dengan parlemen dan pemerintah daerah. Wilayah pertambangan dikategorikan dan ditetapkan menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Sebuah Izin Usaha Pertambangan (IUP) hanya dapat diberikan kepada perusahaan pertambangan untuk lokasi yang telah ditunjuk WIUP-nya. Pemegang izin pertambangan tidak memiliki kepemilikan tanah terhadap area yang dialokasikan, dan hanya diperbolehkan untuk mengambil satu jenis mineral di area konsesi mereka dan tidak otomatis untuk mengeksploitasi mineral alinnya di konsesi yang sama.
Menurut peraturan-peraturan yang berlaku, ada beberapa lembaga yang berhubungan langsung dalam soal administrasi pertanahan di dalam kawasan non kehutanan. Pertama adalah BPN dan Kantor-kantor Pertanahan. Kedua adalah pemerintah daerah, dan ketiga adalah lembaga peradilan.
Badan Pertanahan Nasional
BPN memiliki kewenangan dan fungsi pelayanan pengukuhan hak atas tanah dan penyediaan infrastruktur pelayanan bagi pengukuhan hak tersebut. Pada fungsi yang pertama termasuk di dalamnya adalah penyediaan peta-peta dasar pendaftaran tanah dan informasi pertanahan. Pada fungsi yang kedua meliputi pelayanan dalam permohonan, pendaftaran, pengalihan, perpanjangan/pembaruan, perubahan, dan pembatalan/ pencabutan hak-hak atas tanah.
Untuk memperoleh kepastian hak dan kepastian hukum hak atas tanah serta tertib hukum pertanahan menjaga jangan sampai timbul masalah atau sengketa tanah, Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 telah meletakkan kewajiban kepada Pemerintah untuk Melaksanakan tertib adminittrasi pertanahan perlu dilakukan pendaftaran tanah yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Sebab dengan pendaftaran tanah maka para pihak akan mengetahui status tanah, hak yang ada diatasnya, subyek hak, letak batas-batas dan luasnya.
Kewajiban pendaftaran tanah oleh Pemerintah terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi :
“Untuk menjamin kepastian hukum dan tertib hukum pertanahan oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurutketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Pasal ini merupakan landasan hukum bagi pendaftaran tanah untuk menunjang tertib adminitrasi pertanahan khususnya pendaftaran tanah yang dilakukan oleh Pemerintah.
Sejalan dengan Pasal 19 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dengan kewenangan tersebut BPN diharapkan dapat melaksanakan tertib penggunaan tanah dan tertib lingkungan hidup.
Adapun tujuan dari pendaftaran tanah adalah:
Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang Hak Atas Tanah;
Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dapat dengan mudah memperoleh data yang diperlukan;
Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Kegiatan Pendafataran Tanah, meliputi:
Pengukuran dan Pemetaan (pembuatan peta)
Pembuatan Daftar Tanah
Pembuatan Surat Ukur
Pembuatan Buku Tanah
Pendaftaran Hak
Pembuatan Surat Tanda Bukti Hak
Pendaftaran Peralihan Hak
Pendaftaran Pembebanan Hak dan Roya
Pendaftaran Pemisahan/Penggabungan
Pendaftaran lainnya
Pendaftaran Penghapusan Hak
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah (pemda) memiliki tugas dan kewenangan untuk memberikan rekomendasi dan/atau penguatan atas bukti-bukti penguasaan tanah dalam rangka memperoleh pengukuhan hak atas tanah yang akan diberikan oleh BPN. Unsur penyelenggara Pemerintah Daerah terdiri dari Gubernur, Bupati/Walikota, dan perangkat daerah (Lurah dan Camat).
Dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA disebutkan bahwa pelaksanaan hak menguasai Negara dapat dilimpahkan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat. Dengan demikian maka wewenang pemerintahan di bidang pertanahan dapat dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah. Kedudukan Pemerintah Daerah tersebut bertindak sebagai pelaksana kekuasaan Negara yang tidak bersifat asli karena diberikan (dilimpahi) wewenang untuk itu oleh Pemerintah Pusat. Oleh karena itu Pemerintah Daerah harus bertindak atas dasar taat asas terhadap ketentuan normatif ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia.
UU Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah Pasal 13 dan 14 menegaskan bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota adalah pelayanan pertanahan. Kemudian PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/kota, pada lampirannya menentukan secara rinci kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam mengurus bidang pertanahan meliputi 9 sub bidang yaitu :
1. Bidang ijin lokasi
2. Bidang pengadaan tanah kepentingan umum
3. Bidang Penyelesaian sengketa tanah garapan
4. Bidang penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan
5. Bidang penetapan Subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee
6. Bidang Penetapan tanah ulayat
7. Bidang pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong
8. Bidang ijin membuka tanah
9. Bidang perencanaan penggunaan tanah.
Untuk mendukung akurasi data pertanahan, peran Lurah dan Camat juga sangat diperlukan dengan maksud mencegah kekeliruan dan tumpang-tindihnya informasi mengenai stasus dan pemilikan tanah.Peran Camat berdasarkan Keputusan Gubernur.
Peranan Camat dan Lurah dalam bidang pertanahan, yakni hal – hal yang berkaitan dengan peralihan hak. Perlu dahulu diketahui bahwa peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena “beralih” atau ”dialihkan”. Beralih, misalnya kerena warisan. Adapun dialihkan, misalnya karena jual beli, tukar menukar, hibah, dan pernyataan modal berupa bidang tanah kedalam suatu perusahaan. Syarat utama untuk mendaftarkan peralihan hak alias balik nama ini adalah akta yang dibuat oleh PPAT, sedangkan untuk waris cukup dengan surat keterangan waris yang diperkuat oleh Lurah setempat.
Lembaga Peradilan
Tanah merupakan asset yang sangat berharga. Tanah yang berfungsi sebagai tempat/sarana bagi kehidupan manusia untuk melakukan berbagai kegiatan. Ketersediaan tanah yang terbatas jumlahnya tidak seimbang dengan jumlah penduduk dan kebutuhan manusia yang semakin meningkat. Inilah yang memicu timbulnya sengketa-konflik pertanahan.
Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua dan apabila tidak ada titik temu penyelesaian maka ini dikatakan sebagai sengketa yang terdapat dua pihak yang mempunyai pendirian masing-masing. Sengketa pertanahan yang ada diselesaikan melalui Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Tapi pada prinsipnya bentuk penyelesaian sengketa dengan menggunakan lembaga mediasi adalah merupakan terjemahan dari karakter budaya bangsa Indonesia yang selalu mengedepankan semangat kooperatif. Semangat kooperatif sudah mengakar sehingga nuansa musyawarah selalu dihadirkan dalam setiap upaya menyelesaikan setiap sengketa dalam masyarakat melalui upaya musyawarah untuk mencapai mufakat.
Kesimpulan
Pengaturan masalah pertanahan telah mempunyai landasan konstitusional yang merupakan arah dan kebijakan bagi pengelolaan tanah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 33 (3) UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA). Berdasarkan kewenangan yang bersumber dari UUD 1945 dan UUPA tersebut maka Pemerintah membuat suatu kebijakan pertanahan nasional (national land policy) yang menjadi dasar dalam pengurusan bidang pertanahan di Indonesia.
Dengan demikian maka penyerahan urusan pertanahan yang oleh UUPA merupakan wewenang Pemerintah Pusat, oleh Pemerintah dapat diserahkan sebagian kepada Pemerintah Daerah tetapi hanya sebatas pada pemberian wewenang pelayanan pertanahan.