Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

PEMODELAN MULTILEVEL PROGRAM BUDAYA KESELAMATAN BATAN

ABSTRAK PEMODELAN MULTILEVEL PROGRAM BUDAYA KESELAMATAN BATAN. Telah dibuat model multilevel program budaya keselamatan yang dapat diterapkan pada seluruh unit kerjadi BATAN. Lima Model Parsial dan satu Model Dinamik digunakan untuk menyusun program Budaya Keselamatan. Model disusun berdasarkan pendekatan individu teknologi dan organisasi (ITO) yang diimplementasikan dalam karaktristik, sistem manajemen, sikap pekerja, safety climate dan manajemen pengetahuan. Kondisi awal budaya keselamatan diperoleh dari pengukuran dari model yang dipilih, hasil pengukuran yang lemah digunakan sebagai kondisi awal budaya keselamatan unit kerjadan dijadikan program untuk kegiatan budaya keselamatan tahun n+1 , sedangkan hasil pengukuran yang kuat dijadikan key performance indicator (KPI) unit kerja. Dengan adanya pemodelan multilevel program budaya keselamatan yang disertai dengan simulasi penyusunan programnya, maka diharapkan akan memudahkan unit kerjamenyusun program budaya keselamatan sesuai Peraturan Kepala BATAN No. 200/KA/X/2012. Kata kunci : Pemodelan Program Budaya Keselamatan, Fostering Budaya Keselamatan ABSTRACT MULTILEVEL MODELING OF BATAN'S SAFETY CULTURE PROGRAM. Has made multilevel model of safety culture program that can be applied to the entire organizations in BATAN. Five models and a Partial Dynamic models used to compile Safety Culture program. The model is based on an individual approach to technology and organization (ITO) which is implemented in the Characteristics, management systems, worker attitudes, safety climate and knowledge management. The initial conditions of safety culture was obtained from measurements of the model selected, the measurement results are used as initial condition of weak safety culture unit used kerjadan safety program for cultural activities tahunn + 1, while the results are robust measurement used as key performance indicator (KPI) unit of work. With the multilevel modeling program safety culture, along with the preparation of program simulation, it is expected that the program will facilitate unit safety culture according kerjamenyusun Head BATAN Regulation No. 200 / KA / X / 2012.

PEMODELAN MULTILEVEL PROGRAM BUDAYA KESELAMATAN BATAN W. Prasuad PSTBM BATAN, Kawasan Nuklir Serpong. Tangerang Selatan BANTEN Email untuk korespondensi: prasuad@batan.go.id ABSTRAK PEMODELAN MULTILEVEL PROGRAM BUDAYA KESELAMATAN BATAN. Telah dibuat model multilevel program budaya keselamatan yang dapat diterapkan pada seluruh unit kerjadi BATAN. Lima Model Parsial dan satu Model Dinamik digunakan untuk menyusun program Budaya Keselamatan. Model disusun berdasarkan pendekatan individu teknologi dan organisasi (ITO) yang diimplementasikan dalam karaktristik, sistem manajemen, sikap pekerja, safety climate dan manajemen pengetahuan. Kondisi awal budaya keselamatan diperoleh dari pengukuran dari model yang dipilih, hasil pengukuran yang lemah digunakan sebagai kondisi awal budaya keselamatan unit kerjadan dijadikan program untuk kegiatan budaya keselamatan tahunn+1, sedangkan hasil pengukuran yang kuat dijadikan key performance indicator (KPI) unit kerja. Dengan adanya pemodelan multilevel program budaya keselamatan yang disertai dengan simulasi penyusunan programnya, maka diharapkan akan memudahkan unit kerjamenyusun program budaya keselamatan sesuai Peraturan Kepala BATAN No. 200/KA/X/2012. Kata kunci : Pemodelan Program Budaya Keselamatan, Fostering Budaya Keselamatan ABSTRACT MULTILEVEL MODELING OF BATAN’S SAFETY CULTURE PROGRAM. Has made multilevel model of safety culture program that can be applied to the entire organizations in BATAN. Five models and a Partial Dynamic models used to compile Safety Culture program. The model is based on an individual approach to technology and organization (ITO) which is implemented in the Characteristics, management systems, worker attitudes, safety climate and knowledge management. The initial conditions of safety culture was obtained from measurements of the model selected, the measurement results are used as initial condition of weak safety culture unit used kerjadan safety program for cultural activities tahunn + 1, while the results are robust measurement used as key performance indicator (KPI) unit of work. With the multilevel modeling program safety culture, along with the preparation of program simulation, it is expected that the program will facilitate unit safety culture according kerjamenyusun Head BATAN Regulation No. 200 / KA / X / 2012. Keywords : Safety Culture Model Programs, Fostering a Safety Culture Seminar Nasional Teknologi & Aplikasi Reaktor Nuklir, PRSG-BATAN, 24 September 2014 1. PENDAHULUAN Sejak Tahun 2008 Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) telah memiliki peraturan dan standar dalam pengelolaan keselamatan dan kualitas yang harus diterapkan pada seluruh unit kerjadi BATAN. Peraturan dan standar tersebut yaitu : 1. Peraturan Kepala BATAN No. 200/KA/X/2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Budaya Keselamatan[1]; 2. SB006 OHSAS 18001:2008 Tahun 2008 tentang Persyaratan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja[2]; 3. Peraturan Kepala BATAN No. 020/KA/I/2012 tentang Penilaian Keselamatan dan Kesehatan Risiko Kerja[3]; 4. SB007 tentang pedoman sistem mutu[4]. Dengan adanya Pedoman dan Standar BATAN (SB) ini, maka pengelolaan keselamatan pada seluruh unit kerjadi BATAN telah memiliki acuan yang sama, sehingga akan memudahkan dalam pelaksanaan, pemantauan maupun evaluasinya. Salah satu cara untuk mengatahui mengevaluasi pelaksanaan kaji diri. adalah dengan melakukan audit dan Dalam implementasi SB masih sering ditemui ketidaksesuaian antara prosedur dengan penerapannya serta temuan yang berulang. Hal ini ditunjukkan dari hasil audit internal maupun oleh surveilen yang dilakukan oleh Komisi Standar BATAN (KSB) maupun pihat auditor eksternal lainnya. Hasil temuan berulang maupun terjadinya insiden ataupun kecelakaan, telah banyak dibuktikan melalui penelitian maupun kajian yang menunjukkan bahwa kondisi ini sangat dominan disebabkan oleh faktor manusia. Untuk itu melalui penerapan budaya keselamatan diharapkan dapat meningkatkan sikap dan prilaku individu, organisasi dan teknologi (ITO) yang diimplementasikan dalam lima karakteristik budaya keselamatan dalam mengatasi faktor individu untuk meningkatkan kinerja keselamatan di unit kerja. Hambatan umum dalam melaksanakan budaya keselamatan adalah sifat abstrak budaya keselamatan yang tidak dapat diukur secara langsung, sifat budaya organisasi yang berbeda satu dengan lainnya, lingkup dan lingkungan kegiatan yang berbeda sehingga program budaya keselamatan tidak bisa distandarkan pelaksanaannya. Kondisi ini disadari oleh para ahli budaya keselamatan tingkat dunia. Untuk itulah perlu dibuat suatu model pendekatan budaya keselamatan, umumnya berkembang dari lingkup ilmu ilmu perilaku keselamatan 2 (Behavioral Base Safety,BBS)[5,6,7], terutama dalam pendekatan organisasi[8,9], iklim keselamatan (safety limate)[10,11] dan manajemen serta psikologi organisasi[12] , dengan kajian khusus mempelajari psikologi manusia dalam bidang keselamatan[13]. Perkembangan tersebut banyak menciptakan berbagai model budaya keselamatan dengan masing-masing indikator budaya keselamatan yang sebagian besar dipergunakan di berbagai sektor di industri maupun jasa pelayanan. Terdapat berbagai model dan indikator Budaya Keselamatan mulai dari yang paling sederhana dan mudah di mengerti oleh kalangan praktisi sampai tingkat multilevel yang rumit dan sulit difahami. Salah satu model yang sering dianggap sederhana dan mudah untuk difahami indikatornya adalah model budaya keselamatan dari seorang ahli psikologi organisasi yang banyak meneliti dan menjadi konsultan dalam mengembangkan perilaku selamat (safety behavior) dan budaya keselamatan (safety culture) Dominic Cooper[14], Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja di sebuah perusahaan yang merupakan bagian dari budaya organisasi bisa dilihat dari 3 indikator yaitu : - Aspek psikologis pekerja terhadap K3 (psychological aspects, what people feel, what is believe); - Aspek perilaku K3 pekerja (behavioral aspects, what people do, what is done); - Aspek situasi atau organisasi dalam kaitan dengan K3 (situational aspects, what organizational has, what is said), seperti pada Gambar1. Gambar1. Bussiness proses model of SC, by Dominic Cooper6 Pada dokumen IAEA No.GS-G-3.5[15] disebutkan bahwa penilaian diri budaya keselamatan harus mencakup seluruh aspek organiasasi. Beberapa alat self- Seminar Nasional Teknologi & Aplikasi Reaktor Nuklir, PRSG-BATAN, 24 September 2014 assessment yang berbeda dapat digunakan untuk menentukan status budaya keselamatan organisasi. Metode pengukuran dan penilaian yang digunakan meliputi wawancara, peer group, kuesioner, observasi dan review dokumen. Pertanyaan yang timbul setelah adanya model penilaian dan pengukuran budaya keselamatan yaitu bagaimana menyusun program budaya keselamatan?, penilaiannya, bagaimana pengukuran dan apa saja yang dilakukan oleh organisasi ?. Pertanyaan ini akan semakin sulit dijawab jika kita membandingkan dengan impmentasi sistem manajemen keselamatan. Pada sistem manajemen keselamatan, program dengan mudah disusun berdasarkan kesesuaian persyaratan dengan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengkajian, umumnya dikenal dengan metode P-D-C-A. Pada penerapan budaya keselamatan yang sangat unik dan beragam, sampai saat ini belum ada model program yang baku, sehingga menyulitkan dalam penerapan budaya keselamatan. Terbitnya Peraturan Kepala BATAN (Perka) dan Standar BATAN (SB) tentang pengelolaan budaya keselamatan dan sistem manajemen keselamatan merupakan pemicu untuk dapat malakukan fostering (menumbuh kembangkan) budaya keselamatan di unit kerja. Namun kondisi ini baru merupakan climate organisasi, karena apa yang harus dilakukan setelah mengetahui status (level) budaya keselamatan unit kerjabelum ada pola yang diacu, sehingga dapat menjadi tantangan tersendiri untuk mempercepat penerapan budaya keselamatan di organisasi. Pada makalah ini akan diusulkan suatu pemodelan multilevel program budaya keselamatan dasar (safety culture basic programme) bagi unit kerjadengan yang mengacu pada karakteristik budaya keselamatan BATAN, dokumen IAEA serta unsur individu melalui sikap prilaku selamat (BBS). Pemodelan multilevel adalah suatu pendekatan dalam menyusun program yang disesuaikan dengan proses bisnis organisasi, sehingga organisasi dapat menyesuaikan secara parsial program budaya keselamatan yang akan dilaksanakan berdasarkan kondisi awal organisasi (initial condition) yang dapat dilanjutkan dengan penyusunan program dan proses pengembangannya dapat dilakukan secara bertahap melalui alur pengembangan yang disusun pada makalah ini. Dengan adanya pemodelan multilevel program budaya keselamatan yang disertai dengan panduan penyusunan programnya, maka diharapkan 4 akan memudahkan unit kerjamenyusun program budaya keselamatan serta menerapkan Peraturan Kepala BATAN No. 200/KA/X/2012. 2. METODOLOGI Metodologi penyusunan makalah ini dilakukan melalui kajian aspek individu, teknologi dan organisasi (ITO) IAEA[16], sebagai unsur intrisik budaya keselamatan. Selanjutnya dilakukan studi pendekatan model parsial dan manjemuk (multilevel) untuk menyusun program budaya keselamatan organisasi berdasarkan pengalaman penulis dalam melaksanakan sistem manajemen dan praktisi budaya keselamatan di BATAN. Penyusunan program budaya keselamatan dapat tersusun setelah dilakukan penilaian awal terhadap status (kondisi awal) budaya keselamatan organisasi melalui kajidiri, audit, obrservasi dan peer group. Model program disusun berdasarkan tingkat kerumitan dan kesesuaian kondisi organisasi. Pada studi ini dibuat dua jenis model penyusunan program budaya keselamatan, yaitu Model Parsial (MP) dan Model Multilevel (MM). Untuk mendapatkan program yang effektif, maka penyusunan program harus mengikuti pola baku sistem P-D-C-A. Telah dibuat 2 jenis model program budaya keselamatan yang terdiri dari 5 (lima) Model Parsial (MP dan 1 (satu) Model Dinamik (MD), yang dapat langsung diterapkan di organisasi sesuai dengan tingkat kerumitan kekhususan organisasi. 3. TINJAUAN TEORI Proses budaya keselamatan secara konsep masih terpengaruh oleh model implementasi sistem manajemen keselamatan, hal ini ditunjukkannya dengan masih adanya konsep PDCA (plan-do- check-act) yang kuat pada tingkat artefak dalam budaya keselamatan. Sifat budaya keselamatan yang abstrak membutuhkan suatu indikaor sehingga pengukuran dapat diakukan. Mengacu pada lampiran-II Tecdoc1321 IAEA[16] pengukuran budaya keselamatan dilakukan melalui; audit, program (sasaran dan indikator), peer review, observasi dan survei pegawai. Dengan melakukan pengukuran budaya keselamatan maka organisasi akan mengetahui tingkatan implementasinya. Adanya tingkatan pemahaman dan pelaksanaan budaya keselamatan merupakan salah satu upaya membentuk indikator agar dapat dilakukan pengukuran. Pada IAEA-TECDOC-1329[17] budaya keselamatan dibagi menjadi 3 tingkatan dengan karakteristiknya , yaitu Artefak- Seminar Nasional Teknologi & Aplikasi Reaktor Nuklir, PRSG-BATAN, 24 September 2014 artefak, tata nilai dan asumsi mendasar. Dengan berkembangnya konsep budaya budaya keselamatan dalam mengurangi kecelakaan, maka IAEA SCART[18] mengelompokkan menjadi menjadi 5 karakteristik, 37 atribut dan 95 indikator budaya keselamatan dalam upaya menterjemahkan tingkatan budaya keselamatan. Sebagian besar karakteristik dapat ditentukan pada tingkat artefak dan atau tingkat tata nilai dari model tiga tingkatan budaya, dengan hanya sedikit yang berhubungan dengan tingkat asumsi-asumsi mendasar, seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel-1. Pengembangan Karakteristik pada masing masing tingkatan budaya keselamatan s. Pengukuran kinerja keselamatan; t. Alokasi sumberdaya yang tepat; u. Kerjasama lintas bidang/bagian dan kerja tim; v. Penanganan konflik; w. Hubungan antara struktural dengan staff; x. Kesadaran akan proses kerja; y. Kebersihan (housekeeping) Karakteristik tingkat artefak dan / tata nilai (Level-I) a. Komitmen top manajemen terhadap keselamatan; b. Kepemimpinan yang nyata; c. Pendekatan sistematis terhadap keselamatan; d. Kaji diri; e. Peranan bisnis strategis terhadap keselamatan; f. Konflik antara keselamatan dengan proses; g. Hubungan dengan badan pengawas; h. Proaktif dan persepektif jangka panjang ; i. Manajemen perubahan; j. Kualitas dokumentasi dan prosedur; k. Kepatuhan terhadap peraturan dan prosedur; l. Staf yang cakap dan mencukupi jumlahnya ; m. Pegawai yang mempunyai sikap ingin tahu; n. Pengetahuan manusia, teknologi dan organisasi; o. Tanggung jawab dan tanggung gugat; p. Motivasi dan kepuasan bekerja; q. Keterlibatan semua pekerja; r. Suasana kerja, beban kerja dan stess; Karakteristik tata nilai (Level-II) a. b. c. d. Prioritas utama terhadap keselamatan; Keselamatan selalu dapat ditingkatkan; Keterbukaan dan komunikasi; Pembelajaran organisasi; Karakteristik asumsi-asumsi mendasar (Level-III) a. Peranan para manajer; b. Pandangan para pegawai; c. Fokus keseimbangan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan waktu; d. Pandangan terhadap kesalahan yang terjadi; e. Sistem berpikir pendekatan sistem (systems approach) Untuk mengetahui kuat lemahnya budaya keselamatan suatu organisasi, maka harus dilakukan penilaian dan pengukuran budaya keselamatan. Mengacu pada konsep manajemen keselamatan, maka penilaian holistik budaya keselamatan harus melingkupi 6 seluruh tingkatan budaya keselamatan, melalui pengukuran kuat lemahnya karakteristik, atribut dan indikator[18]. Pengukuran dan penilaian budaya keselamatan Pemantauan maupun audit manajemen keselamatan dan budaya keselamatan di lingkungan fasilitas radiasi dan zat radioaktif (FRZR) yang dilakukan IAEA, badan pengawas atau dilakukan secara mandiri, umumnya diawali dengan melihat gambaran awal melalui audit, wawancara, observasi lapangan, kaji diri serta tindakan perbaikan yang sudah dilakukan. Fasilitas radiasi dan zat radioaktif yang terlihat tidak dirawat dengan baik secara langsung memberikan indikasi budaya keselamatan yang tidak berkembang dengan baik. Sebaliknya, kesan baik dari kunjungan awal dapat menjadi indikasi positif dalam pelaksanaan budaya keselamatan yang efektif. Dengan memperhatikan faktor ini, maka penilaian tuntas budaya keselamatan harus mengikutsertakan hasil inspeksi awal FRZR dan penilaian diri unit kerja/organisasi. Dalam penilaian dan pengukuran budaya keselamatan dilakukan dengan dengan cara penilaian diri (self assesment) maupun pengukuran oleh pihak eksternal. Hasil penilaian awal budaya keselamatan merupakan tahap awal dalam melakukan proses pengembangan yang effektif dari budaya keselamatan. Dalam Perka BATAN No. 200/KA/X/2012 disebutkan tentang tata cara pengukuran yang dilakukan oleh unit kerja sebagai konfigurasi budaya keselamatan yaitu; pengisian kuesioner, wawancara, kaji diri, observasi, tinjauan dokumentasi dan peer group. Cooper [5] mengusulkan tiga aspek utama pada pengukuran budaya keselamatan yaitu ; psikologis , situasional dan perilaku yang dapat dilakukan penilaian secara kualitatif dan kuantitatif. Aspek situasional budaya keselamatan dapat dilihat dalam struktur organisasi misalnya kebijakan , prosedur kerja dan sistem manajeme yang menghasilkan suatu iklim keselmatan pada sub organisaisi. Komponen perilaku individu dapat diukur melalui langkah-langkah kaji diri, pengukuran dan pengamatan langsung dilapangan. Komponen psikologis merupakan komponen yang ini paling sering diperiksa melalui pengisian kuesioner. Kuesioner iklim keselamatan (safety climate) yang dirancang untuk mengukur orang norma, nilai-nilai , sikap dan persepsi keamanan pada sub organisaisi. Selama bertahun-tahun sejumlah kuesioner telah dikembangkan oleh para ahli untuk mendapatkan faktor utama yang berpengaruh Seminar Nasional Teknologi & Aplikasi Reaktor Nuklir, PRSG-BATAN, 24 September 2014 terhadap safety climate antara lain oleh Hall[19], Mearns et al[20], Lee upaya untuk mengidentifikasi faktor-faktor utama yang [21] dalam dari safety climate (iklim keselamatan) yang berperan penting dalam membentuk budaya organisasi. Meskipun survei tersebut menghasilkan sebuah snapshot dari iklim keselamatan pada individuindividu dalam sub. organisasi. Langkah-langkah safety climate telah banyak diteliti dan cenderung digunakan sebagai ukuran snapsnot dalam mengukur budaya keselamatan sebagai fungsi waktu. prilaku selamat Dengan membandingkan teori mengenai sikap dan yang lebih dulu berkembang serta memperhatikan bahwa > 80% penyebab keselakaan disebabkan oleh faktor manusia, maka konsep budaya keselamatan produk IAEA mamasukkan aspek sikap dan prilaku sebagai faktor utama dalam budaya keselamatan. Safety Series No. 75-INSAG-4 mengidentifikasikan suatu pendekatan mendalam terhadap budaya keselamatan. Dokumen ini merupakan kombinasi dari berbagai karakteristik dan sikap, dari organisasi, teknologi serta individu (ITO) FRZR, yang memungkinkan tumbuhnya budaya untuk mengedepankan isu-isu keselamatan sesuai dengan prioritasnya. Konsep world class safety culture yang diajukan oleh REACH Group[22] juga merujuk pada pentingnya BBS serta sistem manajemen keselamatan dalam menurunkan tingkat kecelakaan pada industri, lihat Gambar 2. Hipotesis ini menguatkan bahwa untuk mencapai budaya keselamatan berkelas dunia harus di dukung oleh sikap dan prilaku selamat sehingga akan menciptakan kinerja keselamatan menjadi budaya keselamatan. Dengan sumber daya manusia (SDM) di BATAN yang mulai mengalami aging dan dengan adanya kebijakan zero growth, maka dikhawatirkan pengetahuan budaya keselamatan dan pengelolaan keselamatan yang sudah ada tidak dapat di manfaatkan dengan baik. Untuk itu pada IAEA-TECDOC-1399[24], perlu diimplementasikan melalui transfer pengetahuan pada generasi berikutnya. Kondisi ini di implementasikan lebih lengkap pada Tecdoc- IAEA 1510 tentang "Knowledge Management for Nuclear Industry Operating Organizations[25]. 8 Gambar 2. Tahapan peningkatan kinerja keselamatan[22] Pada kecelakaan fukushima, Yanev[26] melakukan sutu kajian, bahwa selain faktor budaya keselamatan, diperkirakan ada faktor lain yang tidak masuk dalam perhitungan, yaitu manajemen pengetahuan. Dengan demikian masalah nuclear knowledge management juga harus dimasukkan dalam agenda pembahasan budaya keselamatan. 4. PEMBAHASAN Penyusunan pemodelan multilevel program budaya keselamatan pada makalah ini mengacu pada pelaksanaan budaya keselamatan tingkat awal (level-I) yaitu kepatuhan kepada peraturan, level-II pada tingkat tata nilai dan tingkat –III pada asumsi dasar. Konsep dasar penyusunan program budaya keselamatan ini mengadopsi pelaksanaan konsep manajemen umum (P-D-C-A) untuk mendapatkan peningkatan budaya keselamatan secara berkelanjutan serta nilai nilai sikap prilaku selamat individu (BBS), organisasi, safety climate serta manajemen pengetahuan (MP), seperti pada Gambar 3. Model Multilevel program budaya keselamatan ini dinamakan dengan “Model BSC-2”, seperti ditampilkan pada Gambar 3. Model ini memfokuskan pada bagaimana mendapatkan suatu kondisi awal budaya keselamatan organisiasi (F) yang diperoleh dari hasil pengukuran, survei/pengamatan, kaji diri dan observasi secara parsial (MP) dan secara dinamik (MD). Dasar penyusunan model program multilevel budaya keselamatan pada studi ini ditunjukkan pada Tabel 1. Seminar Nasional Teknologi & Aplikasi Reaktor Nuklir, PRSG-BATAN, 24 September 2014 Gambar 3. Pemodelan multilevel program budaya keselamatan (MODEL BSC-2). Setiap model pada Tabel 1 dapat dilaksanakan oleh unit kerjadengan memperhatikan kesesuaian dengan kondisi dan tingkat kesulitan proses dan potensi bahaya yang dapat terjadi ( high risk industries). Misalkan untuk unit kerjapendukung yang dominasi proses bisnisnya adalah non-teknis, maka maka dapat mengenggunakan model MP-2. Sedangkan untuk unit kerjadi BATAN seperti PRSG, PTLR dan PSTA dapat mengkombinasikan seluruh model pada Tabel.1. Dengan demikian penerapan pemodelan ini sangat mudah dan dapat disesuaikan dengan kondisi kekhususan, kerumitan (complexity) masing masing unit kerja. Tabel 1. Pemodelan program multilevel budaya Keselamatan, mengacu pada “MODEL BSC-2”. Model Program Dasar pembuatan program (MP) MP-1[A] MP-2[B] MP-3[C] MP-4[D] MP-5[E] MD Karakteristik dan Atribut (perka 200) Sistem Manajemen (Organisasi) Sikap dan prilaku selamat (BBS) Safety climate Nuclear knowledge management (NKM) Model Dinamik 10 Penyusunan program multilevel pada Gambar 3 memiliki pola yang sama dalam pelaksanaannya, yaitu diawali dengan audit, pengisian kuesioner, kaji diri serta alat survei lainnya, selanjutnya dilakukan tindakan koreksi dan diakhiri dengan penyusunan program. Pada makalah ini diusulkan 5 Model Parsial (MP-1 s/d MP-5) dan Model Dinamik (MD) program budaya keselamatan yang berbasis pada Peraturan Kepala BATAN (Perka BATAN) dan Standar BATAN (SB) serta acuan lain yang sudah diadaptasi. Data [F] pada Gambar 3 merupakan kondisi awal budaya keselamatan yang ingin dicapai. Untuk mencapai kondisi [F] ini, maka unit kerjadapat melakukan pengukuran melalui alur [A],[B],[C],[D],[E] atau kombinasinya. Setelah dilakukan pemilihan model yang akan digunakan, hasil pengukuran yang diperoleh, misalnya adanya ketidaksesuaian penerapan sistem manajemen (hasil audit), nilai yang rendah pada hasil kaji diri, hasil pemantauan BBS, hasil kuesioner safety climate dan organisasi, maka harus dilakukan clustering (pengelompokan) dan penyesuaian terhadap karakteristik Model MP-1. Model MP-1 ini merupakan filter dari model lainnya,yang dilakukan dengan cara membuat pemadanan/ penyesuaian hasil pengukuran dengan karakteristik dan atributnya, namun tidak dilakukan scoring, tetapi dilihat pada karaktristik mana yang lemah, sehingga diperoleh kondisi awal [H] budaya keselamatan unit kerja. Pola yang lebih sederhana (snapshot) dalam menindaklanjuti hasil pengukuran adalah dengan memadankan hasil pengukuran dengan Model MP-4. Langkah perbaikan dari kondisi awal inilah yang di usulkan sebagai program budaya keselamatan [G] unit kerja. Implementasi program [G] harus terukur dengan membuat sasaran yang ingin dicapai serta memperhatikan umpan balik dan nilai nilai budaya keselamatan yang dimiliki unit kerja, seperti yang ilustrasikan pada Gambar 4. Hal ini sangat penting dilakukan pada saat organisasi telah melampaui tingkatan awal (Level-I) budaya keselamatan agar dapat mempertahankan dan melakukan peningkatan berkelanjutan [H]. Model program budaya keselamatan ini dibuat lebih dari satu dengan tujuan agar organisasi dapat menyesuaikan dengan lingkup kegiatan masing-masing dan persiapan untuk pengembangan bisnis organisasi. Untuk memudahkan pelaksanaan program budaya keselamatan ini, maka model dapat digunakan secara parsial, yaitu Seminar Nasional Teknologi & Aplikasi Reaktor Nuklir, PRSG-BATAN, 24 September 2014 dengan membagi dalam 5 (lima) model parsial (MP) dan 1 (satu) model dinamik (MD). Model yang diusulkan yaitu MP-1, MP-2, MP-3, MP-4, MP-5 dan MD, seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Gambar 4. Alur sederhana peningkatan berkelanjutan program budaya keselamatan (MODEL BSC-3). Organisasi yang besar seperti reaktor riset, produksi radioisotope, dan pengelolaan limbah radioaktif disaranakan menggunakan model dinamik (MD) dengan mengdapat menggunakan model MP-3 atau kombinasi secara parsial. Untuk organisasi non FRZR dapat melilih model yang sederhana pada Model MP-2. Untuk memudahkan pelaksanaan Model “BSC-2” ini, dapat dilakukan secara parsial dan dinamik, model parsial terdiri dari 5 (lima) tingkatan model. Model Parsial yang diusulkan yaitu Model MP-1, Model MP-2 dan Model MP-3, Model MP-4 serta Model MP-5, serta 1 (satu) model dinamik yaitu Model MD. Model Dinamik (MD) adalah model parsial yang digunakan secara kombinasi ataupun secara gabungan, seperti pada Gambar 3. Model program budaya keselamatan ini dibuat lebih dari satu model, dengan tujuan agar organisasi dapat menyesuaikan dengan lingkup kegiatan masing masing organisasi. Organisasi yang besar seperti reaktor riset, produksi radioisotop serta fasilitas seperti fasilitas irradiator (FI) dan reaktor daya eksperimantal (RDE) dapat menggunakan ModelMD dengan memberikan prioritas pada menerapkan MP-5. Untuk memudahkan dalam pemodelan ini, maka dipandang perlu untuk menguraikan cloced loop setiap model. 12 Model MP-1 Model ini menggunakan siklus tertutup (closed loop) A-F-G-H-A pada Gambar 3. Program pada Model MP-1 memanfaatkan hasil kaji diri melalui kuesioner [3], bagi unit kerjayang sudah siap, dapat meningkatkan kualitas pengukuran dengan menggunakan tools pemantauan yang lebih lengkap. Hasil kuesioner akan menunjukkan status awal budaya keselamatan. Penyusunan program disesuaikan dengan scoring (nilai) seperti yang terdapat pada Lampiran Perka BATAN No.200/KA/XI/2012. Karakteristik dan indikator budaya keselamatan yang lemah dijadikan sebagai bagian program yang harus dilaksanakan pada tahun berikutnya (tahun n+1 ), sebagai tindakan perbaikan berkelanjutan. Karakteristik dan indikator yang masih lemah dijadikan sasaran program biudaya keselamatan unit kerja. Yang harus diperhatikan adalah harus ditemukan akar permasalahan yang terjadi pada setiap indikator, sehingga tidak terjadi pengulangan kesalahan pada tahun n+1 . Model MP-2 Model ini menggunakan siklus tertutup (closed loop) B-A-F-G-H-B pada Gambar 3. Program pada Model MP-2 ini memanfaatkan hasil audit internal maupun eksternal sistem manajemen yang digunakan organisasi. Tiap unit kerjamungkin berbeda dalam penerapan sistem manajemennya, misalkan ada yang menarapkan SB006, KAN, KNAPPP atau SMKL. Hasil temuan audit ini selanjutnya dipadankan dengan karakteristik dan atribut budaya keselamatan, dengan menggunakan Model BSC-1, seperti pada kajian terdahulu[23]. Hasil temuan dilakukan analisis terhadap padanan pada karakteristik dan atribut budaya keselamatan. Karakteristik dan atribut yang lemah dijadikan bahan utama pada kajiulang manajemen (KUM), selanjutnya dijadikan sebagai program tahun berikutnya. Untuk semua model, program yang dibuat harus diuraikan dalam bentuk sasaran dan target waktu pencapaian (terukur). Model MP-3 Model ini menggunakan siklus tertutup (closed loop) C-A-F-G-H-C pada Gambar 3. Program Model MP-3 ini memanfaatkan metode BBS dalam Seminar Nasional Teknologi & Aplikasi Reaktor Nuklir, PRSG-BATAN, 24 September 2014 mendapatkan data. Untuk pengukurannya dapat digunakan kuesioner, observasi lapangan serta Safety Talk. Untuk tahap awal pengukuran BBS sebaiknya di buat kuesioner dulu, kemudian dilakukan validasi kuesioner melalui pengisia n oleh responden (sebaiknya pada kelompok kecil). Kuesioner yang sudah divalidasi dapat diuji kepada sub organisasi yang ada. Hasil kuesioner yang baik dari safety didata dan dijadikan sarana untuk mempromosikan kepada sub organisasi (kelompok) lain serta dijadikan KPI organisasi. Model MP-4 Model ini menggunakan siklus tertutup (closed loop) D-A-F-G-H-D pada Gambar 2. Program Model MP-4 ini memanfaatkan safety climate untuk mengukur budaya keselamatan pada tingkat kelompok dalam organisasi dan pada waktu tertentu, sehingga bersifat snapshot. Model ini umumnya menggunakan kuesioner untuk memperoleh hasil pengukuran yang berupa persepsi pegawai terhadap aspek keselamatan, kepatuhan dan manajemen pada kelompok yang kecil. Untuk tahap awal pengukuran safety climate dapat menggunakan model kuesioner dari eksternal. Untuk pengembangan organisasi, maka disarankan kuesioner dibuat oleh organisasi atau dilakukan adaptasi yang sesuai dengan iklim kelompok yang akan diukur. Model MP-5 Model ini menggunakan siklus tertutup (closed loop) E-A-F-G-H-E pada Gambar 2. Program pada Model MP-5 ini menggunakan manajamenen pengetahuan nuklir (Nuclear Knowledge Management, NKM) dalam pendekatan implementasi budaya keselamatan organisasi. Peleksanaan NKM selalu beririsan pada semua Model (MP-1 s/d MP-4), hal ini disebabkan NMK berkaitan dengan pengetahuan yang harus dimiliki oleh SDM. Model MD Model Dinamik merupakan model ideal program budaya keselamatan organisasi, karena model MD sangat terbuka terhadap pembelajaran organisasi dan kesesuaian dengan proses bisnis unit kerja. Hasil pengukuran setiap Model MP(1-5) digunakan sebagai bahan kaji ulang manajemen dan penyelesaiannya disesuaikan 14 dengan karakteristik dan atribut budaya keselamatan. Hasil pengukuran yang lemah harus dicari akar masalahnya, selanjutnya digunakan sebagai bahan untuk program peningkatan berkekanjutan pada tahunn+1 . Tabel 2. Simulasi penyusunan program budaya keselamatan Unsur penyusun program MODEL MP-1 MODEL MP-2 MODEL MP-3 e. Seluruh pegawai ditempat kerja telah membuat HIRADC pada HIRADC pada pekerjaan kelompok. f. Malakukan aksi kebersihan bersama ditempat kerja sekurang kurangnya 1 kali dalam sebulan Program yang dilaksanakan a. Peningkatan sosialisasi Perka 200, sekurang kurangnya 2 kali dalam setahun dan dilakukan melalui tiap bidang; b. Melakukan kaji diri budaya keselamatan sekurang kurangnya sekali dalam setahun; c. Pelatihan safety leadership bagi kepala kelompok, kepala subbidang dan subbagian; d. Meningkatkan komunikasi antar bidang, bagian sekurang kurangnya 1 kali dalam 3 bulan. e. Memasukkan topik keselamatan pada setiap rapat koordinasi manajemen. a. Memadankan hasil temuan audit sistem manajemen dengan Karakteristik budaya keselamatan; b. Melakukan kaji ulang terhadap temuan point (a), termasuk tindakan perbaikannya, dan mencari akar permasalahan pada setiap temuan/ ketidaksesuaian; c. Hasil pada point (b) dimasukkan pada an sprogram prioritas tahun ke n+1 satuan kerja; d. Penysunan kegiatan dengan mencantumkan target waktu pencapaian sasaran. MODEL MP-4 a. Adanya komunikasi tentang keselamatan anatara pegawai dengan kepala kelompok, kepala subbagian/bidang. b. Pegawai berani meyapaikan ketidak sesuaian yang dapat menyebabkan insiden. b. Seluruh pegawai telah memahmi manfaat penggunaan APD, Prosedur kerja dan pengisian dokumen HIRADC. MODEL MP-5 a. Sering dilakukan komunikasi informal terkait keselamatan b. Adanya data tentang catatan keelakaan dan cara penanganannya. MODEL MD a. Melakukan kombinasi (MP-1 s/d MP-5); b. Memasukkan faktor intrisik budaya keselamatan dalam membuat program misalnya teladan atasan dalam keselamatan . c. Terbentuknya Community of Practice d. Membuat Portal Budaya Keselamatan. a. Seluruh pegawai wajib melakukan pemeriksaan kesehatan tahunan; b. Seluruh Pegawai selalu menggunakan APD yang sesuai lingkupnya; c. Pegawai mudah menggunakan prosedur kerja d. Adanya catatan nirmiss di tempat kerja. Untuk memudahkan penyusunan program budaya keselamatan unit kerjamenggunakan pemodelan multilevel budaya keselamatann ini, maka akan disampaikan suatu simulasi penyusunan program budaya keselamatan berdasarkan Seminar Nasional Teknologi & Aplikasi Reaktor Nuklir, PRSG-BATAN, 24 September 2014 Model BSC-2, yang ditampilkan pada Tabel 2. Dengan model simulasi ini sisusun berdasarkan program yang digunakan. Selanjutnya simulasi ini digunakan hanya sebagai panduan saja, sedangkan implementasinya dapat disesuaikan dengan hasil pengukuran budaya keselamatan dan model yang digunakan. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Program budaya keselamatan disusun berdasarkan hasil pengukuran yang masih lemah pada model yang digunakan. Hasil pengukuran yang lemah ini selanjutnya digunakan sebagai dasar penyusunan program budaya keselamatan unit kerja. Sedangkan hasil pengukuran budaya keselamatan yang kuat dipetakan terhadap atribut dan karakteristik budaya keselamatan dan harus dipertahankan agar dapat menjadi KPI unit kerja. Program yang sudah disusun ini selanjutnya diimplementasikan sebagai kegiatan tahunan dengan membuat sasaran dan kegiatan yang akan dilakukan. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam penyusunan program budaya keselamatan adalah: - Selalu mengupayakan program yang akan dibuat selalu diharmonisasikan dengan Table 1, hal ini sebagai indikator status, tingkat budaya keselamatan organisasi (snapshot); - Faktor leadership dan komunikasi harus selalu dimasukkan dalam penyusunan program dalam rangka sosialisasi, internalisasi dan enkulturisasi dalam organisasi. SARAN - Dalam pengukuran tingkat budaya keselamatan, disarankan disesuaikan kembali pada tingkatan level I,II dan III, yang berisikan atribut, hal ini dapat dimanfaatkan setelah dilakukannya kaji diri, selain nilai yang diperoleh, keenderungan pada level berapa juga dpat ditentukan. - Untuk keberhasilan penggunaan model ini, maka disarankan pengukuran yang lemah pada setiap model harus di data dan dijadikan sebagai program prioritas yang harus dilaksanakan dalam tahun n+1 . 16 DAFTAR PUSTAKA 1. Peraturan Kepala BATAN Nomor 200/KA/X/2012,(2012), Pedoman Pelaksanaan Budaya Keselamatan, Jakarta. 2. BATAN (2012), Standar Batan Nomor SB006 OHSAS 18001:2008, Persyaratan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Jakarta. 3. Peraturan Kepala BATAN No. 020/KA/I/2012,(2012), Penilaian Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Jakarta. 4. BATAN (20005), Standar Batan No.77-0001-80: 2005, Sistem Manajemen Mutu – Persyaratan, Jakarta. 5. Cooper, M.D., & Phillips, R.A,(2004). Exploratory analysis of the safety climate and safety–behavior relationship, Journal of Safety Research, 35, 497-512. 6. Mc.Sween, T. E. (2003). Values-based safety process: Improving your safety culture with behavior based safety. Hoboken, NJ: Wiley and Sons. 7. Choudhry, R.M., Fang, D. & Mohamed, S. (2007). Developing a model of construction safety culture. Journal of Management in Engineering, 23(4), 207-212. 8. Schoorman, F.D., Mayer, R.C., Davis, J.H., (2007). An integrative model of organizational trust: Past, present, and future. Academy of Management Review 32, 344–354. 9. Lisa M. Kath, Vicki J. Magley, Matthew Marmet.,(2010), The role of organizational trust in safety climate’s influence on organizational outcomes. Accident Analysis and Prevention 42: 1488–1497. 10. Mearns, K., Whitaker, S.M. & Flin, R., (2003).Safety climate, safety management practice and safety performance in offshore environments. Safety Science,41(8), 641-680. 11. Holzner, C. M.,(2010). Effect of management awareness of safety climate concept on organizational safety climate. (Master’s Thesis). Retrieved from Dissertations and Theses database. (UMI No. 08302010-004553). 12. Dianne Parker, Matthew Lawrie, Patrick Hudson. (2005), A framework for understanding the development of organisational safety culture, Safety Science, Elsevier 2005. 13. Cox, S. J., & Cox, T. R.(1991). The structure of employee attitude to safety: A european example. Work and Stress, 5, 93–106. Seminar Nasional Teknologi & Aplikasi Reaktor Nuklir, PRSG-BATAN, 24 September 2014 14. Cooper, MD(2000). Towards a model of safety culture. Safety Science. vol.36. pp111-136. 15. IAEA(2009), The Management System for Nuclear Installations , IAEA Safety Standards Series No. GS-G-3.5 , IAEA, Vienna. 16. IAEA-TECDOC 1321,(2002), Safety culture in nuclear installations: Guidance For Use In The Enhancecement Of Safety Culture, Vienna. 17. IAEA-TECDOC 1329,(2002), Safety culture in nuclear installations: Guidance For Use In The Enhancecement Of Safety Culture, Vienna. 18. IAEA(2008), IAEA Services Series No. 16, SCART Guidelines Reference report for IAEA Safety Culture Assessment Review Team (SCART),SCART Guidelines, Vienna. 19. Michael Edward Hall,(2006), Measuring the safety climate of stell mini-mill workers using an instrument validity by structural equation modeling, Doctoral Disertation Graduate School, University of Tennesse-Knoxville. 20. Mearns, K., Flin, R., Gordon, R., & Fleming, M., (1998). Measuring safety climate on offshore installations. Work & Stress, 12, 238-254. 21. Lee, T.,(1998). Assessment of safety culture at a nuclear reprocessing plant. Work & Stress, 12,217-237. 22. The Reach Group, lme J., (1984), Soybean oil refining. Available from: www.asa-europe.org/pdf/1.pdf, diakses Mei 2014. 23. W. Prasuad.,(2014), Strategi Dalam Implementasi dan Pengembangan Budaya Keselamatan, telah dipresentasikan pada Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir 2014, Pusat Sains dan Teknologi Akselerator - BATAN Yogyakarta, 10-11 Juni 2014. 24. IAEA(2004), "The nuclear power industry’s ageing workforce: Transfer of knowledge to the next generation", IAEA-TECDOC-1399, IAEA, 25. IAEA TECDOC-1510(2006), "Knowledge Management for Nuclear Industry Operating Organizations", IAEA,Vienna. 26. Y. Yanev(2005), Nuclear Knowledge Management, Role of the IAEA , MANAGING UCLEAR KNOWLEDGE, Proceeding Nuclear Knowledge management, Vienna 2006. 18 Seminar Nasional Teknologi & Aplikasi Reaktor Nuklir, PRSG-BATAN, 24 September 2014 20