Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
PROSPEK DEMOKRASI DI MYANMAR M. Adian Firnas yanmar adalah sebuah negara yang saat ini masih dikuasai oleh rezim militer yang otoriter. Sudah 40 tahun kelompok militer menguasai kehidupan politik, sosial, dan ekonomi rakyat Myanmar. Sejak Jenderal Ne Win sampai Jenderal Than Shwe rezim militer menjalankan kebijakan yang sama yakni memberangus nilai-nilai demokrasi dan menggantikannya dengan tatanan yang bersifat sentralistik dan otoriter. Setiap gerakan demokrasi yang muncul sudah pasti mendapat perlawanan dari rezim yang berkuasa. Secara sistematis rezim militer mampu melemahkan berbagai gerakan oposisi yang muncul dalam bukunya The Third dari masyarakat sipil. Samuel P. Huntington, Wave: Democratization in the Late Twentienth Century (1991) mencatat tahun 1974 hingga 1990-an sebagai gelombang ketiga demokrasi dunia. Huntington melihat peristiwa kudeta oleh sekelompok perwira muda dalam gerakan Movimento das Forcas Armadas (MFA) di Portugal yang berhasil menggulingkan diktator Marcello Caetano sebagai awal periode gerakan ke arah demokrasi di seluruh dunia yang kemudian dikenal sebagai gelombang ketiga demokratisasi dunia (Huntington, 1991: 4 ). Gerakan menuju demokratisasi di Portugal tahun 1974 tersebut kemudian juga diikuti oleh serangkaian gerakan demokrasi di berbagai belahan dunia. Selama 15 tahun berikutnya, gelombang demokratisasi ini berlingkup global di mana sekitar 30 negara telah bergeser dari otoriterisme menjadi demokrasi dan sekurangnya 20 negara lain telah dipengaruhi oleh gelombang demokratisasi ini. Kasus Korea Selatan, Thailand, Philipina, dan bahkan Indonesia dapat dijadikan contoh bagaimana tumbangnya rezim otoriter di belahan dunia ketiga. Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 2, Januari 2003: 128-141 M. Adian Firnas “Prospek Demokrasi di Myanmar” Rasa optimisme yang cukup kental menyebar pada berbagai kalangan pengamat politik internasional mengenai cerahnya prospek demokratisasi di dunia. Tumbangnya Uni Soviet dan para penguasa totaliter di Eropa Timur pada awal tahun 1990-an meyakinkan para pengamat bahwa gelombang demokratisasi yang melanda seluruh belahan dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat mungkin dibendung. Optimisme terhadap masa depan demokratisasi di dunia ternyata tidak berjalan mulus dan berubah menjadi rasa pesimis ketika ternyata beberapa negara mengalami kegagalan demokrasi, khususnya yang dilakukan oleh kelompok militer. Salah satu dari negara tersebut adalah Myanmar yang dikaji secara mendalam dalam tulisan ini. Sebagai negara yang masih dikuasai rezim militer, bukan berarti tidak ada gerakan demokrasi di negara ini. Seberapa pun derasnya arus demokrasi melanda negara ini, pemerintahan militer yang berkuasa semakin keras pula membendung gerakan itu, contohnya adalah penolakan militer terhadap hasil pemilu tahun 1990 yang menempatkan Aung San Suu Kyi bersama partainya National Leaque for Democratic (NLD) sebagai pemenang. Berkuasanya kembali pemerintahan militer pada tahun 1990 ini bukanlah merupakan hal yang “baru”, karena sesungguhnya ia merupakan kelanjutan dari pemerintahan militer sebelumnya yang telah berkuasa sejak tahun 1962. Intervensi Militer ke dalam Sistem Politik Myanmar Ketika Myanmar merdeka pada tahun 1948 (waktu itu bernama Burma), di bawah pemerintahan sipil U Nu, ia mencoba menjalankan pemerintahan yang demokratis dengan menerapkan sistem parlementer. Sebagaimana halnya negara yang baru merdeka, pemerintahan U Nu juga dihadapkan pada keadaan sosio-politik yang rumit. Dengan strategi pembangunan Pydawtha (negara yang makmur), U Nu berusaha keras menyelesaikan berbagai persoalan dalam negerinya. Strategi tersebut pada akhirnya gagal mengatasi berbagai persoalan kompleks yang muncul, baik 129 Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 128-141 yang berkenaan dengan aspek perekonomian, pembelotan, maupun pemberontakan (Steinberg, 1982 : 45). Keterlibatan militer dimulai ketika Jenderal Ne Win ditugaskan untuk mengendalikan ketertiban dan mempersiapkan pemilu 1960. Pemerintahan militer, saat itu, berhasil memulihkan keadaan dalam negeri sampai terselenggaranya pemilu tahun 1960 yang dimenangkan oleh U Nu dan partainya, Union Party. Pihak militer kemudian mengultimatum pemerintah sipil dengan memberikan waktu selama 2 tahun untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Myanmar. Karena pemerintah sipil tidak dapat menata kembali kondisi dalam negeri Myanmar, yang semakin diperparah dengan kegagalan U Nu dalam menata sistem perekonomian dan administrasi Myanmar, maka timbul ketidakpuasan di kalangan pro-militer dan militer. Akhirnya pada tanggal 2 Maret 1962, militer melakukan kudeta di bawah pimpinan Jenderal Ne Win. Keberhasilan kudeta atas PM U Nu pada tahun 1962 itu bisa dikatakan sebagai awal keruntuhan demokrasi di Myanmar. Selama masa pemerintahannya (1962-1988) Ne Win hanya mengakui satu partai politik, yaitu Burmese Socialist Program Party (BSPP) yang dibentuknya sendiri. BSPP atau yang lebih dikenal dengan Partai Lenzin ini bisa dikatakan sebagai partai tunggal yang dilaksanakan untuk mendukung program sosialis dengan mayoritas anggota berasal dari golongan militer. Sejak berdiri tahun 1962 dan disahkan tahun 1964 keanggotaan partai ini didominasi oleh militer. Pada tahun 1972 militer menjadi pilar pokok dari partai (Taylor, 1980 : 40). Keterlibatan militer dalam penggagalan demokrasi kembali dilakukan pada tahun 1990. Ketika itu Jenderal Saw Maung membatalkan hasil pemilu 27 Mei 1990 yang menempatkan National Leaque for Democration (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi sebagai pemenang pemilu. Sampai saat ini, di bawah Jenderal Than Shwe, militer sangat kuat mengendalikan kehidupan politik, sosial, dan ekonomi rakyat Myanmar. Begitu kuatnya peran militer sehingga David I. Steinberg menempatkan 130 M. Adian Firnas “Prospek Demokrasi di Myanmar” Myanmar sebagai “The most monolithically military-controlled in the world” (Neher, 1995:121) Pilihan Kebijakan Menurut Huntington, ketika militer melakukan kudeta terhadap pemerintah sipil maka kemudian pemerintah militer harus memilih antara mempertahankan kekuasaan atau mengembalikannya kepada politisi sipil; dan antara memperluas partisipasi politik kelompok-kelompok masyarakat atau membatasinya (Huntington, 1968: 233-237), dengan demikian, pimpinan rezim militer dihadapkan pada 4 pilihan : ∗ Mempertahankan kekuasaan dan membatasi partisipasi; ∗ Mempertahankan kekuasaan dan memperluas partisipasi; ∗ Mengembalikan kekuasaan dan membatasi partisipasi; dan ∗ Mengembalikan kekuasaan dan memperluas partisipasi. Dalam kasus Myanmar, untuk melihat kebijakan mana yang diambil oleh rezim militer tidaklah susah. Dengan melihat kebijakan yang diterapkan rezim militer pimpinan Jenderal Ne Win (1962-1988) dan rezim militer pimpinan Jenderal Saw Maung pasca 1988 kita dapat melihat dengan jelas bahwa rezim tersebut memilih kebijakan mempertahankan kekuasaan dan membatasi partisipasi. Pada masa Ne Win misalnya, segera setelah ia melakukan kudeta atas pemerintahan sipil pimpinan Perdana Menteri U Nu tahun 1962, ia mendirikan pemerintahan otoriter dan memerintah dengan gaya diktator (Steinberg, 1982: 33-35). Rakyat tidak diperkenankan untuk memilih pimpinannya sendiri, karena keputusan politik harus melalui pimpinan militer di Rangoon. Burmese Socialist Program Party (BSPP), pimpinan jenderal Ne Win, menjadi satu-satunya partai resmi yang berdiri. Oposisi datang dari penjuru perkotaan dan pedalaman, tetapi selalu gagal karena pihak oposisi tidak memiliki pemimpin kharismatik dan lemahnya masyarakat sipil Myanmar. 131 Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 128-141 Ketika Myanmar di bawah pemerintahan militer pimpinan Jenderal Saw Maung mengambil alih kekuasaan pada 18 September 1988 (Sulistiyanto, 1993: 78), watak otoriterisme pendahulunya diwarisi oleh pemerintahan ini. Kudeta tahun 1988 ini dalam kenyataannya tidak dapat diartikan sebagai adanya pergantian kekuasaan di Myanmar. Hal ini sematamata pergantian pemerintahan militer yang “lama” menjadi pemerintahan militer yang “baru”, dari BSPP menjadi The State Law and Order Restoration Council (SLORC). Pada dasarnya kekuasaan pemerintahanan tetap berada di tangan militer. Sebagaimana pendahulunya, pemerintahan militer Jenderal Saw Maung juga memimpin negara dengan otoriter. Banyak bukti menunjukkan hal itu, misalnya penolakan SLORC terhadap hasil pemilu tanggal 27 Mei 1990. Seperti diketahui pada pemilu ini partai NLD berhasil merebut 392 dari 485 kursi di parlemen nasional. Hasil ini sesungguhnya di luar prediksi militer. Sebelumnya SLORC merasa yakin bahwa partai pemerintah, National Unity Party (NUP), akan memenangkan pemilu. Di sinilah sifat otoriter militer muncul. Berbagai protes rakyat dihadapi dengan tindakan represif oleh militer. Di penghujung tahun 1991 SLORC mulai melancarkan kampanye intensif untuk menghancurkan kekuatan oposisi di wilayah perkotaan maupun di kalangan etnis minoritas. Praktis tindakan SLORC ini semakin melemahkan posisi sipil dalam kancah perpolitikan di Myanmar. Sampai saat ini, di bawah pemerintahan Jenderal Than Shwe, meskipun SLORC diganti menjadi The State Peace Development Council (SPDC), pada kenyataannya lembaga ini tetap menjalankan fungsi-fungsi lembaga sebelumnya yaitu mengontrol kehidupan sosial politik rakyat Myanmar. Berdasarkan uraian tadi sampailah pada pertanyaan mengapa rezim militer Myanmar menerapkan kebijakan mempertahankan kekuasaan dan membatasi partisipasi politik sipil? Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis menggunakan kerangka berpikir yang dikemukakan oleh Ulf Sundhaussen tentang penarikan diri militer dari pemerintahan (Prisma No.7, 132 M. Adian Firnas “Prospek Demokrasi di Myanmar” 1995: 60-65). Menurut Sundhaussen, untuk menentukan keputusan mana yang hendak dipakai tidak bisa hanya tergantung pada kecenderungan atau kemauan bebas dari pimpinan. Sundhaussen kemudian mengembangkan dalil Finer bahwa keberhasilan intervensi militer tergantung pada faktor internal dan eksternal yang sesuai, yang mencakup tidak hanya masuknya militer ke dalam politik tetapi juga keluarnya militer dari dalam politik. Maka, memilih di antara pilihan yang ada juga tergantung pada faktor internal dan faktor eksternal militer yang sesuai, mencakup tidak hanya masuknya militer ke dalam politik tetapi juga keluarnya militer dari dalam politik, maka memilih di antara pilihan yang ada juga tergantung pada faktor internal dan faktor eksternal militer. Sundhaussen kemudian membuat alat analisis dengan mengelompokkan variabel-variabel internal dan eksternal ini ke dalam “alasan” dan “prasyarat”. Alasan Militer Menarik Diri Ada tiga daftar perangkat alasan militer menarik diri dari tanggungjawab pemerintahan seperti yang ditawarkan berikut ini. Pertama, faktor eksternal militer, yaitu adanya oposisi terhadap keberlangsungan kekuasaannya. Oposisi mungkin berbentuk protes menentang penindasan dan korupsi dan/atau karena rezim tidak mampu menyelesaikan setiap krisis secara efektif sebagaimana janji semula. Kedua, adanya alasan eksternal terhadap negara. Rezim militer yang secara ekonomi, militer, dan logistik tergantung kepada negara lain dapat terancam bila donatur mereka menarik dukungannya. Ketiga, penarikan diri adalah faktor internal militer. Pimpinan rezim akan bersedia menarik diri karena percaya bahwa tatanan demokrasi yang tetap memasukkan prinsip supremasi sipil atas militer pada dasarnya sangat diperlukan. Prasyarat bagi Penarikan Diri Militer Bila rezim militer masih berada dalam posisi pembuat keputusan, mereka juga akan mempertimbangkan prasyarat-prasyarat bagi penyerahan 133 Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 128-141 kekuasaan. Sundhaussen kemudian membuat daftar tiga prasyarat bagi penarikan diri militer. Pertama, yang merupakan prasyarat mutlak, adalah seluruh pengelompokan di dalam tubuh militer yang mampu melakukan aksi politik secara sepihak sepakat menyerahkan kekuasaan. Bila konsensus demikian tidak tercapai, faksi militer tertentu mungkin akan merebut kekuasaan dari pimpinan rezim yang bermaksud melepaskan diri dari politik, atau mungkin melakukan intervensi pemerintahan sipil. Kedua, kembali setelah masa singkat kepentingan-kepentingan yang dianggap pimpinan rezim militer sebagai hal esensial harus terjamin. Dapat dipahami mereka sangat enggan menyerahkan kekuasaan bila hal ini berarti membuka diri mereka terhadap kemarahan lawan politiknya. Karena itu harus dirancang prosedur untuk melindungi secara fisik keselamatan pimpinan rezim militer. Kemudian rezim sipil pengganti harus, setidaknya untuk beberapa waktu, menghindari pemotongan anggaran pertahanan secara drastis bila hal ini dapat menyebabkan memburuknya kondisi pelayanan atau mengurangi jumlah angkatan bersenjata. Kelompok sipil harus memperhitungkan pula apa yang dinilai militer sebagai kepentingan nasional. Rezim militer tidak akan menyerahkan kekuasaan secara sukarela bila mereka yakin landasan ideologi bangsa akan diperkosa oleh pengganti sipil mereka. Ketiga, adalah tersedianya apa yang dipandang pimpinan militer sebagai alternatif politik yang dapat terus bertahan. Rezim militer harus diyakinkan bahwa keberadaan elite-elite tidak hanya menyiapkan jaminan bagi kepentingan pribadi dan kelompok mereka, tetapi juga harus mampu menciptakan pemerintahan yang stabil, agar mereka bersedia menyerahkan kekuasaan. Penentuan Pilihan Kebijakan Pimpinan rezim militer, dalam memutuskan salah satu dari keempat pilihan seperti yang disebutkan Huntington di atas, akan tergantung pada konstelasi alasan dan prasyarat yang ada. Artinya, alasan maupun prasyarat 134 M. Adian Firnas “Prospek Demokrasi di Myanmar” menjadi penting dalam pilihan kebijakan; walaupun tidak semuanya memiliki urutan preferensi yang sederajat. Beberapa variabel barangkali tidak berlaku, sementara variabel lainnya mungkin mendominasi pertimbangan (Sundhaussen, 1995: 63). Sebagai perbandingan, untuk lebih memperjelas konsep yang telah dikemukakan Sundhaussen di atas, kasus tumbangnya berbagai rezim otoriter di Amerika Latin atau Portugal yang disebut-sebut sebagai pemicu gerakan demokratisasi ketiga dapat dijadikan contoh. Persoalan eksternal militer misalnya, seperti oposisi terhadap rezim, dengan menggunakan kasus Venezuela, terbukti mampu mendesak rezim tersebut untuk segera menjalankan demokrasi. Perlawanan dan protes terbuka yang dilakukan oleh Accion Democratica dan partai-partai politik lain terhadap Jenderal Perez Jiminez telah berhasil membawa negara itu menuju proses redemokratisasi kembali pada tahun 1958 (Karl, 1993: 300). Rezim militer yang secara ekonomis, militer, dan logistik tergantung kepada negara lain dapat terancam bila donatur mereka menarik dukungannya. Kebijakan hak-hak asasi manusia (HAM) yang dilontarkan pemerintah Amerika Serikat tentu mempunyai dampak terhadap rezim pemerintahan otoriter di Amerika Latin (Sundhaussen, 1995: 61). Kasus Brasil, Cile, dan Argentina dapat juga dijadikan contoh untuk melihat persoalan internal yang menyangkut jaminan terhadap kepentingan militer. Menurut Stepan (1996: 87) setidaknya ada dua kepentingan kelembagaan utama yang ingin pemerintahan militer lindungi jika mereka mengundurkan diri dari kekuasaan langsung. Dalam setiap pidato, para pemimpin militer mengingatkan pembalasan (revanchismo) untuk menghadapi terhadap mereka. setiap bentuk Dengan jelas mereka memperkirakan bahwa seorang presiden sipil akan waspada terhadap revanchismo, dan akan menjaga keutuhan sistem keamanan negara. Kepentingan utama lain yang ingin mereka pertahankan, dan mereka yakini akan tetap terpenuhi di bawah pemerintahan sipil, adalah dilanjutkannya pembangunan industri persenjataan dan jaminan terhadap anggaran belanja 135 Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 128-141 militer. Stepan juga mencatat bahwa selama rezim otoriter berkuasa di Uruguay, Cile, dan Argentina terjadi peningkatan belanja militer yang signifikan (lihat tabel 1). Tabel 1. Tabel belanja militer sebagai persentase GNP di tiga rezim otoriter: Argentina, Cile, dan Uruguay, 1972-1982 (Stepan, 1996: 105). TAHUN 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 ARGENTINA 1,4 1,7 1,9 0,8 3,2 3,2 3,0 3,2 3,6 3,9 3,5 CILE 2,3 3,7 4,9 4,8 4,0 4,8 4,2 3,6 3,6 3,7 4,3 URUGUAY 2,4 2,4 2,4 2,7 2,4 2,7 2,3 2,9 2,9 4,0 4,1 Bila melihat peningkatan nilai belanja militer dalam tabel di atas, nampaknya sangat masuk akal ketika militer di negara tersebut menuntut jaminan tetap dipertahankannya kepentingan tersebut pada saat kekuasaan beralih ke tangan sipil. Kondisi serius juga muncul ketika oposisi radikal terhadap penguasa militer berkembang di dalam kedinasan mereka sendiri. Kepemimpinan rezim dapat diganti – dengan paksa bila perlu – menjadi junta baru yang cenderung mengembalikan kekuasaan kepada sipil. Kasus Portugal memperlihatkan bahwa aksi politik yang dilakukan oleh sekelompok perwira muda dalam Movimento das Forcas Armadas pada tahun 1974 telah menghancurkan rezim otoriter Marcello Caetano (Huntington, 1991: 4). Berikutnya setelah memerintah selama satu tahun pemerintahan militer kemudian menyerahkan kekuasaan kepada sipil. Terakhir, agar proses peralihan kekuasaan dapat berjalan lancar, rezim militer harus diyakinkan bahwa rezim sipil pengganti harus mampu menciptakan pemerintahan yang stabil dan mengatasi persoalan-persoalan 136 M. Adian Firnas “Prospek Demokrasi di Myanmar” mendesak yang dialami negeri itu. Kegagalan demokrasi di Bolivia pada tahun 1980 dapat dijadikan contoh untuk menjelaskan persoalan ini. Pada akhir tahun 1979 Bolivia menyelenggarakan pemilu yang relatif jujur. Siles dan Paz berhasil merebut suara terbanyak dengan masing-masing memperolah 528.700 dan 527.000 suara, sementara Jenderal Banzer hanya memperoleh 218.000 suara (Whitehead, 1993: 70). Menurut konstitusi Bolivia, bila tidak ada calon yang meraih lebih dari 50% suara maka persoalan pemilihan presiden harus diserahkan ke kongres. Setelah dibicarakan selama sembilan hari di kongres ternyata pada akhirnya membawa kegagalan pada konsolidasi demokrasi. Baik Siles maupun Paz justru harus mendukung calon presiden lain yang dipilih kongres. Kegagalan konsolidasi demokrasi ini oleh militer kemudian dilihat sebagai proses yang berbahaya bagi institusionalisasi negeri itu. Dua bulan kemudian angkatan bersenjata dengan singkat dan berdarah merebut kekuasaan dan membubarkan kongres. Bila melihat perkembangan di Myanmar, berdasarkan uraian di atas, tampaknya belum terdapat alasan dan prasyarat yang dapat menyebabkan militer harus mengevaluasi kembali perannya. Adanya oposisi dari rakyat misalnya, meskipun setelah kudeta tahun 1988 bangkit kelompok oposisi yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, Tin Oo, bekas tokoh mahasiswa seperti Moe Thee Zun, Min Ko Naingn, dan lain-lain (Sulistiyanto, 1993: 80), tetapi secara signifikan kekuatan oposisi ini tidak mampu melemahkan militer. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, yaitu semakin melemahnya kekuataan oposisi. Hal ini disebabkan karena pemerintahan militer selalu menerapkan kebijakan yang represif terhadap upaya oposisi terhadap pemerintahan militer. Dengan strategi “memecah-belah” kelompok oposisi dan meningkatkan operasi militer anti pemberontakan, SLORC mampu melemahkan gerakan oposisi terhadap pemerintah. Demikian pula alasan eksternal terhadap negara. Rezim militer Myanmar tidak mempunyai ketergantungan secara ekonomi, militer, dan logistik terhadap negara lain. Seperti diketahui segera setelah SLORC 137 Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 128-141 menolak peralihan kekuasaan kepada NLD pada tahun 1990, tekanan dunia internasional terhadap Myanmar semakin meningkat. Misalnya saja Masyarakat Eropa dan kongres Amerika Serikat segera membuat sanksisanksi ekonomi dan militer terhadap Myanmar. Namun karena tidak adanya ketergantungan ekonomi, militer, dan logistik terhadap negara-negara tersebut maka tekanan-tekanan dunia internasional tidak mampu melemahkan posisi rezim militer yang berkuasa (Sulistiyanto, 1993: 82). Yang terakhir adalah persoalan internal, yaitu kerelaan militer untuk menyerahkan kekuasaan kepada sipil. Keadaan ini tampaknya akan sangat sulit terjadi di Myanmar, sebab sejak awal ketika militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil pada tahun 1962, militer Myanmar telah menganggap dirinya sebagai kelanjutan dari tiga dinasti terdahulu yang telah berhasil menyatukan Myanmar. Dinasti-dinasti besar tersebut adalah Anurawtha, Bayyinaung, dan Alungpaya (Cheong, 1988: 297-298). Pemikiran seperti inilah yang pada akhirnya dijadikan justifikasi bagi militer untuk tetap mempertahankan kekuasaannya. Demikian juga mengenai prasyarat bagi penarikan diri militer. Tampaknya belum ada prasyarat yang memungkinkan militer Myanmar menyerahkan kekuasaan kepada sipil. Pemerintahan militer era SLORC ini dikenal sangat solid, sehingga pemerintahan ini dijuluki juga dengan pemerintahan junta militer. Yang tidak kalah penting adalah sulitnya menemukan elite-elite sipil yang secara potensial berfungsi sebagai alternatif politik penguasa militer. Oposisi yang terjadi di Myanmar, seperti menawarkan program dan derajat stabilitas yang layak, merupakan signifikasi krusial bagi prospek pensipilan kembali pemerintahan (Sundhaussen, 1995: 65). Inilah yang sampai saat ini masih dilakukan oleh militer Myanmar. Dalam perspektif yang lain, di belahan dunia ketiga terlihat “bebas dari kelaparan” memperoleh prioritas lebih tinggi daripada hak-hak sipil. Oleh karena itu pemerintah yang kuat, termasuk rezim militer seringkali dianggap sebagai penyelesaian yang tepat dari kesulitan ekonomi. 138 M. Adian Firnas “Prospek Demokrasi di Myanmar” Keberhasilan militer mengatasi persoalan ekonomi yang terjadi di Myanmar pada tahun 1988, meskipun pada tahap yang minimal, dijadikan legitimasi bagi militer untuk tetap mempertahankan kekuasaannya. Reformasi ekonomi yang dijalankan oleh militer pada tahun 1989 telah membawa perubahan dan peningkatan yang signifikan terhadap devisa negara. Hingga Juni 1989, SLORC menerima peningkatan cadangan devisa yang berlipat ganda yaitu sekitar US $ 150 juta, dibanding US $ 28 juta sebelum Maret 1989 dan sekitar US $ 10 juta pada saat terjadinya kudeta militer pada bulan September 1988. Hal ini meningkatkan juga keikutsertaan perusahaanperusahaan yang bergerak di bidang ekspor dan impor, yakni mencapai sekitar 1.200 perusahaan yang tercatat hingga Januari 1990. Sampai tahun 1995 tercatat jumlah nilai investasi asing berturut-turut sebagai berikut: Inggris US $ 643 juta, Singapura US $ 604 juta, Perancis US $ 455 juta, Thailand US $ 444 juta, Amerika Serikat US$ 241 juta, Malaysia US $ 227 juta, dan Jepang US $ 106 juta (FEER, 15/08/96). Demikianlah, untuk memahami pemerintahan militer Myanmar tidak semua variabel yang ditawarkan oleh Sundhaussen dapat diterapkan. Dengan melihat perbandingan Amerika Latin dan Portugal, rezim otoriter Myanmar mempunyai keunikan sendiri yang justru membuat rezim itu semakin kokoh, yaitu kemampuannya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa tergantung dari negara lain. Ide sosialisme, seperti bebas dari kelaparan, yang setidaknya berhasil dicapai oleh rezim tersebut dijadikan justifikasi bagi kelangsungan rezimnya. Kesimpulan Dengan memperhatikan uraian di atas nampaknya proses perkembangan negara Myanmar menuju sebuah negara yang demokratis relatif berjalan stagnan setelah negara tersebut dikuasai oleh rezim militer. Tanda-tanda kehidupan demokrasi di negara ini semakin tenggelam dengan adanya keinginan yang kuat dari pihak militer untuk tetap mempertahankan dan memperkuat kekuasaannya di negara tersebut. 139 Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 128-141 Nampaknya dibutuhkan peranan besar dari komunitas internasional untuk memberikan spirit terhadap setiap gerakan demokrasi yang terjadi. Tekanan secara simultan harus terus dilakukan terhadap rezim yang berkuasa untuk mengembangkan nilai-nilai demokrasi dan meninggalkan watak otoriterisme yang terbukti semakin tidak populer dalam era globalisasi ini. 140 M. Adian Firnas “Prospek Demokrasi di Myanmar” Daftar Pustaka Cheong, Young Mun. 1988. Soldier and Stability in Southeast Asia. Singapura: ISEAS. Finer, S.E. 1962. The Man on Horseback. London: Pall Mall. Huntington, Samuel P. 1968. Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Press. Huntington, Samuel P. 1991. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Oklahoma: University of Oklahoma Press. Janowitz, Morris. 1992. The Military in the Political Development. New York: Paragon House. Maung Mya. 1992. Totalitarian in Burma: Prospect for Economic Development. New York: Paragon House. Neher, Clarck D. 1995. Democracy and Development in Southeast Asia. Colorado: Westview Press. Steinberg, I. David. 1982. Burma: a Socialist Nation of Southeast Asia. Colorado: Westview Press. Stepan, Alfred. 1997. Militer dan Demokratisasi. Jakarta: Pustaka Grafiti. Sulistiyanto, Priyambudi. 1993. Revolusi yang Tertunda. Prisma No. 6. Jakarta. Sundhaussen, Ulf. 1995. Indonesia's New Order: A Model for Myanmar? Asian Survey, Vol. XXXV, No.8, August 1995. Taylor, Robert H. 1980. Burma, dalam Harold Crouch “Military Civilian Relation in Southeast Asia”. Singapore: Koon Wah Printing. Whitehead, Laurence. 1993. Demokrasi Bolivia yang Gagal 1977-1980, dalam Gilermo O’Donnel “Transisi menuju Demokrasi: Kasus Amerika Latin”. Jakarta: LP3ES. 141