Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Infertility

PENDAHULUAN Infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri yang telah menikah selama minimal satu tahun, melakukan hubungan senggama teratur, tanpa menggunakan kontrasepsi, tapi belum berhasil memperoleh kehamilan. Pada prinsipnya masalah yang terkait dengan infertilitas ini dapat dibagi berdasarkan masalah yang sering dijumpai pada perempuan dan masalah yang sering dijumpai pada lelaki. Pendekatan yang digunakan untuk menilai faktor-faktor yang terkait dengan infertilitas tersebut digunakan pendekatan organik, yang tentunya akan sangat berbeda antara lelaki dan perempuan. Faktor tersebut dapat saja

REFERAT INFERTILITAS Disusun oleh: Aulia Vinia Ardelia (1102011052) Pembimbing: Dr. H. DADAN SUSANDI, Sp.OG Kepaniteraan Klinik Bagian Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut Fakultas Kedokteran Universitas YARSI 2015 BAB 1 PENDAHULUAN Infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri yang telah menikah selama minimal satu tahun, melakukan hubungan senggama teratur, tanpa menggunakan kontrasepsi, tapi belum berhasil memperoleh kehamilan. Pada prinsipnya masalah yang terkait dengan infertilitas ini dapat dibagi berdasarkan masalah yang sering dijumpai pada perempuan dan masalah yang sering dijumpai pada lelaki. Pendekatan yang digunakan untuk menilai faktor-faktor yang terkait dengan infertilitas tersebut digunakan pendekatan organik, yang tentunya akan sangat berbeda antara lelaki dan perempuan. Faktor tersebut dapat saja merupakan kelainan langsung organnya, tetapi dapat pula disebabkan oleh faktor lain yang mempengaruhinya seperti faktor infeksi, faktor hormonal, faktor genetic, dan faktor proses penuaan. Mengingat tulisan ini terutama ditunjukkan untuk materi pembelajaran bagi pengelola kesehatan pada tingkat primer, maka tentu tulisan ini akan lebih banyak memuat materi-materi yang kiranya dapat dimanfaatkan bagi pengelola kesehatan pada level tersebut, termasuk dilengkapi dengan indicator-indikaor yang perlu diketahui untuk terselenggaranya system rujukan yang baik. Mengingat faktor usia merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan, maka bagi perempuan berusia 35 tahun atau lebih tentu tidak perlu harus menunggu selama satu tahun. Minimal 6 bulan sudah cukup bagi pasien dengan masalah infertilitas untuk datang kedokter untuk melakukan pemeriksaan dasar. Delapan puluh empat persen (84%) perempuan akan mengalami kehamilan dalam kurun waktu satu tahun pertama pernikahan bila mereka melakukan hubungan suami istri secara teratur tanpa menggunakan kontrasepsi. Angka kehamilan kumulatif akan meningkat menjadi 92% ketika lama usia pernikahan 2 tahun. Bab II Tinjauan Pustaka 2.1 Definisi Infertilitas adalah tidak terjadinya kehamilan setelah menikah 1 tahun atau lebih dengan catatan pasangan tersebut melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa adanya pemakaian kontrasepsi. Mengingat faktor usia merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan, maka bagi perempuan berusia 35 tahun atau lebih tentu tidak perlu harus menunggu selama 1 tahun. Minimal enam bulan sudah cukup bagi pasien dengan masalah infertilitas untuk datang ke dokter untuk melakukan pemeriksaan dasar. WHO memberi batasan : 1. Infertilitas primer adalah belum pernah hamil pada wanita yang telah berkeluarga meskipun hubungan seksual dilakukan secara teratur tanpa perlindungan kontrasepsi untuk selang waktu paling kurang 12 bulan. 2. Infertilitas sekunder adalah tidak terdapat kehamilan setelah berusaha dalam waktu 1 tahun atau lebih pada seorang wanita yang telah berkeluarga dengan hubungan seksual secara teratur tanpa perlindungan kontrasepsi, tetapi sebelumnya pernah hamil. 2.2. Epidemiologi Prevalensi wanita yang didiagnosis dengan infertilitas, kira-kira 13%, dengan jangkauan 7-28%, tergantung pada usia seorang wanita. Dan prevalensi ini cenderung stabil selama 40 tahun terakhir; etnis atau ras memiliki pengaruh yang kecil pada prevalensi. Namun, insidensi dari infertilitas primer telah meningkat, bersamaan dengan penurunan insidensi infertilitas sekunder, yang kemungkinan besar akibat perubahan sosial seperti penundaan kehamilan. Data yang berasal dari National Survey of Family Growth tahun 1995 mengungkapkan bahwa 7% dari pasangan yang sudah menikah, di mana pasangan wanita adalah usia reproduksi, tidak mendapatkan kehamilan setelah 12 bulan melakukan hubungan seksual tanpa kontrasepsi. Selain itu, 15% dari wanita usia reproduksi dilaporkan telah menerima pelayanan infertilitas dalam hidup mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan pelayanan infertilitas telah meningkat, terutama di negara-negara Barat. Alasan utama hal ini adalah kecenderungan wanita untuk kehadiran seorang anak karena karir pekerjaan. Faktor-faktor lainnya, antara lain adanya peningkatan dan efektivitas berbagai metode assisted reproductive technology (ART), kesadaran masyarakat yang semakin tinggi berkaitan dengan penanganan infertilitas, peningkatan jumlah infertilitas akibat faktor tuba sebagai konsekuensi dari penyakit menular seksual, dan tersedianya alat kontrasepsi yang efektif, dan peningkatan ketersediaan pelayanan aborsi. 2.3. Faktor Penyebab Infertilitas Secara garis besar penyebab infertilitas dapat dibagi menjadi faktor tuba dan pelvik (35%), faktor lelaki (35%), faktor ovulasi (15%), faktor idiopatik (10%), dan faktor lain (5%). (Tabel 1) Penyebab Infertilitas Persen Faktor tuba dan faktor pelvik (sumbatan atau kerusakan tuba akibat perlekatan atau akibat endometriosis) 35% Faktor lelaki (abnormalitas jumlah, motilitas dan/atau morfologi sperma) 35% Disfungsi ovulasi (ovulasi jarang atau tidak ada ovulasi) 15% Idiopatik 10% Lain-lain (fibroid, polip endometrium/dan kelainan bentuk uterus) 5% Table 1. Faktor-faktor penyebab infertilitas Penelitian yang dilakukan Wang 2003, berdasarkan pengamatan terhadap 518 pasangan suami istri yang berusia antara 20 – 34 tahun dijumpai 50% kehamilan terjadi di dalam dua siklus haid pertama dan 90% kehamilan terjadi di dalam enam siklus haid pertama. Wang menemukan bahwa angka fekunditas per bulan adalah berkisar antara 30-35% Non-Organik Usia Usia, terutama usia istri, sangat menentukan besarnya kesempatan suami istri untuk mendapatkan keturunan. Terdapat hubungan yang terbalik antara bertambahnya usia istri dengan penurunan kemungkinan untuk mengalami kehamilan. Sembilan puluh empat persen (94%) perempuan subur di usia 35 tahun atau 77% perempuan subur di usia 38 tahun akan mengalami kehamilan dalam kurun waktu tiga tahun lama pernikahan. Ketika usia istri mencapai 40 tahun maka kesempatan untuk hamil hanya sebesar 5% perbulan dengan kejadian kegagalan 34-52% perbulan. Akibat masalah ekonomi atau adanya keinginan segolongan perempuan untuk meletakkan kehamilan sebagai prioritas kedua setelah upaya mereka untuk meraih jenjang jabatan yang baik dalam pekerjaannya, merupakan alasan bagi perempuan untuk menunda kehamilannya sampai usia sekitar 30 tahun atau bahkan lebih tua lagi. Hal ini menyebabkan usia rata-rata perempuan masa kini melahirkan bayi pertamanya 3,5 tahun lebih tua dibandingkan dengan usia perempuan yang dilahirkan pada 30 tahun yang lalu. Tentu hal ini kan memberikan pengaaruh yang kuat terhadap penurunan kesempatan bagi perempuan masa kini untuk mengalami kehamilan. Frekuensi senggama Angka kejadian kehamilan mencapai puncaknya ketika pasangan suami istri melakukan hubungan suami istri dengan frekuensi 2-3 kali dalam seminggu. Upaya penyesuaian saat melakukan hubungan suami istri dengan terjadinya ovulasi, justru akan meningkatkan kejaian stress bagi pasangan suami istri tersebut, upaya ini sudah tidak direkomendasikan lagi. Pola hidup Alkohol Pada perempuan tidak terdapat cukup bukti ilmiah yang menyatakan adanya hubungan antara minuman mengandung alcohol dengan peningkatan resiko kejadian infertilitas. Namun, pada lelaki terdapat sebuah laporan yang menyatakan adanya hubungan antara minum alcohol dalam jumlah banyak dengan penurunan kualitas sperma. Merokok Dari beberapa penelitian yang ada, dijumpai fakta bahwa merokok dapat menurunkan fertilitas perempuan. Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk menghentikan kebiasaan merokok jika perempuan memiliki masalah infertilitas. Penurunan fertilitas perempuan juga terjadi pada perempuan perokok pasif. Penurunan fertilitas juga dialami oleh lelaki yang memiliki kebiasaan merokok. Berat Badan Perempuan dengan indeks massa tubuh lebih daripada 29, yang termasuk di dalam kelompok obesitas, terbukti mengalami keterlambatan hamil. Uasaha yang paling baik untuk menurunkan berat badb adalah dengan cara menjalani olahraga teratur serta mengurangu asupan kalori dalam makanan. Organik Masalah Vagina Vagina merupakan hal yang penting di dalam tatalaksana infertilitas. Terjaidnya proses reproduksi manusia sangat terkait dengan kondisi vagina yang sehat dan berfungsi normal. Masalah pada wanita yang memiliki kaitan erat dengan peningkatan kejadian infertilitas adalah sebagai berikut : Dyspareunia : merupakan masalah kesehatan yang ditandai dengan rasa tidak nyaman atau rasa nyeri saat melakukan senggama. Dyspareunia dapat dialami perempuan ataupun lelaki. Pada perempuan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain ialah sebagai berikut, Faktor infeksi, seperti infeksi candida vagina, infeksi klamidia trakomatis vagina, infeksi trikomonas vagina, dan pada saluran berkemih. Faktor organik, seperti vaginismus, nodul endometriosis di vagina, edometriosis pelvik, atau keganasan vagina. Dyspareunia pada lelaki dapat disebabkan oleh beberapa faktor berikut; Faktor infeksi, seperti ureteritis, prostitis, atau sistitis. Beberapa kuman penyebab infeksi antara lain adalah Niseria Gonore. Faktor organic, seperti prepusium yang terlampau sempit, luka parut di penis akibat infeksi sebelumnya dan sebagainya. Vaginismus : merupakan masalah pada perempuan yang ditandai dengan adanya rasa nyeri saat penis akan melakukan penetrasi ke dalam vagina. Hal ini bukan disebabkan oleh kurangnya zat lubrikans atau pelumas vagina, tetapi teruatama disebabkan oleh diameter liang vagina yang terlalu sempit, akibat kontraksi reflex otot pubokoksigeus yang terlalu sensitive, sehingga terjadi kesuliatan penetrasi vagina oleh penis. Penyempitan liang vagina ini dapat disebabkan oleh faktor psikogenik atau disebabkan oleh kelainan anatomik. Faktor anatomi yang terkait dengan vaginismus dapat disebabkan oleh operasi di vagina sebelumnya seperti episiotomy atau karena luka trauma di vagina yang sangat hebat sehingga meninggalkan jaringan parut. Vaginitis : beberapa infeksi kuman seperti klamidia trakomatis, Niseria Gonore, dan bacterial vaginosis seringkali tidak menimbulkan gejala klinik sama sekali. Namun, infeksi klamidia trakomatis memiliki kaitan yang erat dengan infertilitas melalui kerusakan tuba yang dapat ditimbulkannya Masalah Uterus Uterus dapat menjadi penyebab terjadinya infertilitas. Faktor uterus yang memiliki kaitan erat dengan kejadian infertilitas adalah serviks, kavum uteri, dan korpus uteri. Faktor Serviks Servisitis. Memiliki kaitan yang erat dengan terjadinya infertilitas. Servisitis kronis dapat menyebabkan kesulitan bagi sperma untuk melakukan penetrasi ke dalam kavum uteri. Adanya tanda infeksi klamidia trakomatis di serviks sering kali memiliki kaitan erat dengan peningkatan risiko kerusakan tuba melalui reaksi imunologi. Trauma pada serviks. Tindakan operatif tertentu pada serviks seperti koninasi atau upaya abortus profokatus sehingga menyebabkan cacat pada seerviks, dapat menjadi penyebab terjadinya infertilitas. Faktor kavum uteri Faktor yang terkait dengan kavum uteri meliputi kelainan anatomi kavum uteri dan faktor yang terkait dengan endometrium. Kelainan anatomi kavum uteri. Adanya septum pada kavum uteri, tentu akan mengubah struktur anatomi dan struktur vaskularisasi endometrium. Tidak terdapat kaitan yang erat antara septum uteri ini dengan peningkatan kejadian infertilitas. Namun, terdapat kaitan yang erat antara septum uteri dengan peningkatan kejadian kegagalan kehamilan muda berulang. Kondisi uterus bikronis atau uterus arkuatus tidak memiliki kaitan yang erat dengan kejadian infertilitas. Faktor endometriosis. Endometriosis kronis memiliki kaitan yang erat dengan rendahnya ekspresi integrin (avb3) endometrium yang sangat berperan didalam proses implantasi. Faktor ini yang dapat menerangkan tingginya kejadian penyakit radang panggul subklinik pada perempuan dengan infertilitas. Polip endometrium merupakan pertumbuhan abnormal endometrium yang sering kali dikaitkan dengan kejadian infertilitas. Adanya kaitan antara kejadian polip endometrium dengan kejadian endometrium kronis tampaknya meningkatkan kejadian infertilitas. Faktor myometrium Mioma uteri merupakan tumor jinak uterus yang berasal dari peningkatan aktivitas proliferasi sel-sel miometrium. Berdasarkan lokasi mioma uteri terhadap myometrium, serviks dan kavum uteri, maka mioma uteri dapat dibagi menjadi 5 klasifikasi sebagai berikut; - Mioma subserosum. - Mioma intramural - Mioma submukosum - Mioma serviks - Mioma di rongga peritoneum Pengaruh mioma uteri terhadap kejadian infertilitas hanyalah berkisar antara 30 – 50%. Mioma uteri mempengaruhi fertilitas kemungkinan terkait dengan sumbatan pada tuba, sumbatan pada kanalis servikalis atau, mempengaruhi implantasi. Adenomiosis. Adenomiosis uteri merupakan kelainan pada miometriumberupa susupan jaringan stroma dan kelenjar yang yang sangat menyerupai endometrium. Sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti pathogenesis dari adenomiosis uteri ini. Secara teoritis, terjadinya proses metaplasia jaringan bagian dalam dari myometrium (the junctional zona) yang secara ontogeny merupakan sisa dari ductus Muller. Adenomiosis memiliki kaitan yang erat dengan nyeri pelvik, nyeri haid, perdarahan uterus yang abnormal, deformitas bentuk uterus, dan infertilitas. Masalah Tuba Tuba Falopii memiliki peran yang besar didalam proses fertilisasi, karena tuba berperan didalam proses transport sperma, kapasitas sperma proses fertilisasi, dan transpor embrio. Adanya kerusakan/kelainan tuba tentu akan berpengaruh terhadap angka fertilitas. Kelainan tuba yang sering kali dijumpai pada penderita infertilitas adalah sumbatan tuba, baik pada pangkal, pada bagian tengah tuba, maupun pada bagian ujung distal dari tuba. Berdasarkan bentuk dan ukurannya, tuba yang tersumbat dapat tampil dengan bentuk dan ukuran yang normal, tetapi dapat pula tampil dalam bentuk hidrosalping. Sumbatan tuba dapat disebabkan oleh infeksi atau dapat disebabkan oleh endometriosis. Infeksi klamidia trakomatis memiliki kaitan yang erat dengan terjadinya kerusakan tuba. Masalah Ovarium Ovarium memiliki fungsi sebagai penghasil oosit dan penghasil hormone. Maslah utama yang terkait dengan fertilitas adalah terkait dengan fungsi ovulasi. Sindrom ovarium polikistik merupakan masalah gangguan ovulasi utama yang sering kali dijumpai pada kasus infertilitas. Saat ini untuk menegakkan diagnosis sindrom ovarium polikistikjika dijumpai dari tiga gejala dibawah ini; Terdapat siklus haid oligoovulasi atau anovulasi. Terdapat gambaran ovarium polikistik pada pemeriksaan ultrasonografi (USG). Terdapat gambaran hiperandrogenisme baik klinis maupun biokimiawi. Empat puluh sampai tujuh puluh persen kasus sindrom ovarium polikistik ternyata memiliki kaitan erat dengan kejadian resisten insulin. Penderita infertilitas dengan obesitas seringkali menunjukkan gejala sindrom ovarium polikistik. Masalah gangguan ovulasi yang lain adalah yang terkait dengan pertumbuhan kista ovarium non-neoplastik ataupun kista ovarium neoplastic. Kista ovarium yang sering dijumpai pada penderita infertilitas adalah kista endometrium yang sering dikenal dengan istilah kista coklat. Kista endometriosis tidak hanya mengganggu fungsi ovulasi, tetapi juga dapat mempengaruhi fungsi maturasi oosit. Untuk menilai derajat keparahan endometriosis, saat ini menggunakan klasifikasi berdasarkan revisi American Fertility Society (AFS). Pada kista endometriosis dengan AFS derajat sedang atau berat kejadian infertilitas dapat dikaitkan dengan kegagalan ovulasi, kegagalan maturasi oosit, dan kegagalan fungsi tuba akibat deformitas tuba. Tindakan operatif untuk pengangkatan kista ovarium jika tidak dilakukan dengan hati-hati dapat berakibat meningkatnya kejadian kegagalan fungsi ovarium, yang akan semakin memperburuk prognosis fertilitasnya. Masalah Peritoneum Masalah yang sering di kaitkan antara faktor peritoneum dengan infertilitas adanya faktor endometriosis. Endometriosis dijumpai sebesar 25-40% pada perempuan dengan masalah infertilitas dan dijumpai sebesar 2-5% pada populasi umum. Endometriosis dapat tampil dalam bentuk adanya nodul-nodul saja di permukaan peritoneum atau berupa jaringan endometriosis yang berinfiltrasi dalam dibawah lapisan peritoneum. Endometriosis dapat terlihat dengan mudah dalam bentuk yang khas yaitu nodul hitam, nodul hitam kebiruan, nodul coklat, nodul putih, nodul kuning dan nodul merah, yang seringkali dipenuhi pula oleh sebaran pembuluh darah. Bercak endometriosis juga dapat tampil tersembunyi tipis dibawah lapisan peritoneum yang dikenal dengan istilah nodul powder burn, dan ada pula bercak endometriosis yang tertanam dalam di bawah lapisan peritoneum (deep infiltrating endometriosis). Pathogenesis endometriosis dirongga peritoneum seringkali dikaitkan dengan teori regurgitasi implantasi dari Sampson atau dapat pula dikaitkan dengan teori metaplasia. Pertumbuhan endometriosis sangat dipengaruhi pula dengan paparan hormonal seperti estrogen dan progesterone. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti hubungan yang erat antara endometriosis dengan kejadian infertilitas. Diperkirakan disebabkan oleh faktor-faktor imunologis yang kemudian berdampak negated terhadap kerusakan jaringan. 2.4. Diagnosis Anamnesis Anamnesis dapat berupa usia pasangan suami istri, durasi infertilitas, dan penggunaan spermisidal saat koitus. Pada awal pertemuan, penting sekali untuk memperoleh data apakah pasangan suami istri atau salah satunya memiliki kebiasaan merokok atau minum minuman beralkohol. Perlu juga diketahui apakah pasutri atau salah satunya menjalani terapi khusus seperti antihipertensi, kortikosteroid, dan sitostatika. Siklus haid merupakan variabel yang sangat penting. Dapat dikatakan siklus haid normal jika berada dalam kisaran antara 21-35 hari. Sebagian besar perempuan dengan siklus haid yang normal akan menunjukkan siklus haid yang berovulasi. Untuk mendapatkan rerata siklus haid perlu diperoleh informasi haid dalam kurun 3-4 bulan terakhir. Perlu juga diperoleh informasi apakah terdapat keluhan nyeri haid setiap bulannya dan perlu dikaitkan dengan adanya penurunan aktivitas fisik saat haid akibat nyeri atau terdapat penggunaan obat penghilang nyeri saat haid terjadi. Perlu dilakukan anamnesis terkait dengan frekuensi senggama yang dilakukan selama ini. Akibat sulitnya menentukan saat ovulasi secara tepat, maka dianjurkan bagi pasutri untuk melakukan senggama secara teratur dengan frekuensi 2-3 kali per minggu. Upaya untuk mendeteksi adanya ovulasi seperti pengukuran suhu basal badan dan penilaian kadar luteinizing hormone (LH) di dalam urin seringkali sulit untuk dilakukan dan sulit untuk diyakini ketepatannya, sehingga hal ini sebaiknya dihindari saja. Selain itu, perlu juga ditanyakan tentang riwayat penyakit, seperti mumps orchitis, penyakit ginjal, terapi radiasi, penyakit kronik seperti tuberculosis, stress dan kelelahan yang berkepanjangan, atau adanya riwayat demam tinggi yang bersifat akut. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang pada pria Analisis cairan semen Analisis cairan semen meliputi konsentrasi sperma, motilitas, morfologi, dan viabilitas. Berikut parameter analisa cairan semen berdasarkan World Health Organization (WHO) Kriteria Nilai rujukan normal Volume 2 – 5 ml Waktu likuefaksi Dalam 60 menit pH 7,2 – 7,8 Konsentrasi sperma 20 juta per milliliter atau lebih Jumlah sperma total 40 juta per ejakulat atau lebih Lurus cepat (gerakan yang progresif dalam 60 menit setelah ejakulasi) 25 % atau lebih Jumlah antara lurus lambat dan lurus cepat 50 % atau lebih Morfologi normal 30 % atau lebih Vitalitas 75 % atau lebih Lekosit Kurang dari 1 juta per milliliter Table 2. nilai normal analisis sperma berdasarkan kriteria WHO Morfologi sperma harus > 40% untuk dikatakan normal, dikatakan infertilitas berat apabila < 4% dan menjadi indikasi assisted reproduction technology (ART)/intracytoplasmic sperm injection. Aglutinasi sperma merupakan indikasi tidak langsung indikator hadirnya antibodi anti sperma. Tes imunologis dapat dilakukan secara langsung pada sperma atau pada sperma dan darah secara tidak langsung. Antibodi permukaan immunoglobulin A (IgA) atau immunoglobulin G (IgG) dapat muncul. Bisa antibodi spesifik untuk kepala atau ekor sperma. Antibodi IgA sperma terlibat dalam interaksi sperma-sel telur dan penurunan fertilisasi, antibodi IgG sperma menyebabkan gangguan motilitas sperma. Antibodi sperma berkaitan dengan infeksi (contohnya orchitis), trauma testis, dan riwayat vasektomi. Interpretasi analisis cairan semen Spermatogenesis terjadi sekitar 72 hari. Hasil analisis cairan semen abnormal dapat berhubungan dengan alasan yang tidak diketahui (misalnya periode seksual abstinens yang pendek, pengumpulan yang tidak lengkap, stimulus seksual yang jelek), sehingga penting untuk mengulangi analisa cairan semen setidaknya sebulan sebelum diagnosis dibuat.5 Azoospermia menandakan absennya sperma yang diakibatkan oleh absen kongenital atau sumbatan bilateral dari vas deferens atau duktus ejakulatorius, spermatogenesis arrest, Sertoli cell syndrome, atau post vasektomi. Oligozoospermia menandakan konsentrasi < 20 juta sperma/mL dan mungkin berhubungan dengan gangguan ejakulasi seperti ejakulasi retrograde, kondisi genetik, atau gangguan hormonal. Asthenozoospermia menandakan motilitas sperma < 50%. Dapat disebabkan oleh suhu ekstrem dan analisa sperma yang terlambat. Teratospermia menandakan peningkatan jumlah morfologi abnormal sperma pada kepala, leher, atau ekor. Hipospermia menandakan penurunan volume cairan semen < 2 mL per ejakulasi. Hiperspermia menandakan peningkatan volume cairan semen > 8 mL per ejakulasi. Tes fungsi sperma Berfungsi untuk memeriksa fekundabilitas sperma, termasuk: tes reaksi akrosom dengan fluorescent lectins atau antibodi penilaian kepala sperma dengan komputer penilaian motilitas dengan komputer hemizona-binding assay hamster penetration test human sperm-zona penetration assay. Tes endokrin Pada pria dengan azoospermia, kadar serum FSH dapat membantu untuk membedakan antara penyebab obstruktif dan non-obstruktif. Kadar yang normal merupakan indikasi untuk azoospermia obstruktif di mana pengambilan sperma melalui tindakan pembedahan perlu dilakukan, sementara kadar yang meningkat menandakan kecurigaan spermatogenesis yang gagal. Pengukuran kadar testosterone dan LH juga membantu ketika terdapat defisiensi androgen akibat kecurigaan adanya tumor testis atau adrenal yang mensekresi steroid. Sumbatan pada duktus Misalnya akibat vasektomi, tidak adanya vas deferens bilateral, atau sumbatan kongenital atau yang didapat (acquired) pada epididimis atau duktus ejakulatorius (penanganan interil). Pemeriksaan penunjang yang lain yang dapat dilakukan pada pria, antara lain: pemeriksaan kromosom dan genetik, pemeriksaan mikrobiologi semen, pemeriksaan radiologi pada traktus genital pria, pemeriksaan fungsi sperma secara in vitro, biopsy testikuler, dan pemeriksaan antibodi antisperma. Pemeriksaan penunjang pada wanita Siklus menstruasi yang normal merupakan patokan yang digunakan untuk menandai terjadinya ovulasi. Untuk mengkonfirmasi adanya ovulasi, biasanya diperoleh dari rata-rata level serum progesterone mid-luteal yang melebihi 30 nmol/l, 7 hari sebelum onset menstruasi (siklus hari ke-21 dari 28 hari). Gangguan ovulasi Gangguan ovulasi jumlahnya sekitar 30-40% dari seluruh kasus infertilitas wanita. Gangguan-gangguan ini umumnya sangat mudah didiagnosis menjadi penyebab infertilitas. Karena ovulasi sangat berperan dalam konsepsi, ovulasi harus dicatat sebagai bagian dari penilaian dasar pasangan infertil. Terjadinya anovulasi dapat disebabkan tidak ada atau sedikitnya produksi gonadotropin releasing hormon (GnRH) oleh hipotalamus ( 40 % kasus), sekresi hormon prolaktin oleh tumor hipopise (20 % kasus), PCOS ( 30 % kasus), kegagalan ovarium dini (10%). WHO membagi kelainan ovulasi ini dalam 4 kelas : Kelas 1 Kegagalan pada hipotalamus hipopise (hipogonadotropin hipogonadism). Karakteristik dari kelas ini adalah gonadotropin yang rendah, prolaktin normal, dan rendahnya estradiol. Kelainan ini terjadi sekitar 10 % dari seluruh kelainan ovulasi. Kelas 2 Gangguan fungsi ovarium (normogonadotropinnormogonadism). Karakteristik dari kelas ini adalah kelainan pada gonadotropin namun estradiol normal. Anovulasi kelas 2 terjadi sekitar 85 % dari seluruh kasus kelainan ovulasi. Manifestasi klinik kelainan kelompok ini adalah oligomenorea atau amenorea yang banyak terjadi pada kasus PCOS. Delapan puluh sampai sembilan puluh persen pasien PCOS akan mengalami oligomenorea dan 30 % akan mengalami amenorea. Kelas 3 Kegagalan ovarium ( hipogonadotropin hipogonadism). Karakteristik kelainan ini adalah kadar gonadotropin yang tinggi dengan kadar estradiol yang rendah. Terjadi sekitar 4-5 % dari seluruh gangguan ovulasi.Kelompok wanita yang mengalami gangguan ovulasi akibat gangguan cadangan ovarium (premature ovarian failure/diminisshed ovarian reserved). Kelas 4 Kelompok wanita yang mengalami gangguan ovulasi akibat disfungsi ovarium, memiliki kadar prolaktin yang tinggi (hiperprolaktinemia). Kelainan Anatomis Selain tes ovulasi, pemeriksaan screening rubella juga dilakukan pada setiap wanita. Kelainan anatomis yang sering ditemukan berhubungan dengan infertilitas adalah abnormalitas tuba fallopii dan peritoneum, faktor serviks, serta faktor uterus. Serviks Tes pasca senggama (Tes Sims-Huhner), terdiri dari pemeriksaan jumlah spermatozoa dan motilitasnya dalam lendir serviks selama periode pre ovulasi. Tes tersebut tidak rutin dilakukan dalam pemeriksaan infertilitas standar karena menunjukkan keterbatasan diagnosis dan nilai prediksi yang buruk. Stenosis serviks dapat didiagnosa dengan pemeriksaan inspekulo. Stenosis serviks komplit dipastikan dengan kegagalan alat memasuki kavum uterus. Uterus HSG (Hysterosalpingogram) Kelainan-kelainan seperti tidak adanya vagina dan uterus, septum vagina, dan adanya fibroid dapat dideteksi dengan pemeriksaan panggul. Hampir seluruh kelainan tersebut membutuhkan pemeriksaan penunjang seperti HSG, USG ginekologi, histerosonogram, dan MRI. Prosedur operasi seperti laparoskopi dan histeroskopi sering digunakan untuk memastikan diagnosis akhir. Histerosalpingogram (HSG) sering digunakan untuk memeriksa kavum endometrium dan memberikan informasi seputar: kanalis endoserviks diameter dan konfigurasi tulang dalam kavum endometrium saluran uterus/tuba (kornu ostium) diameter, lokasi, dan arah tuba falopi status fimbria tumpahan ke kavum endometrium. HSG juga memberikan informasi tidak langsung seputar adhesi pelvis dan uterus, sel telur, atau massa adneksa. HSG sebaiknya dilakukan selama fase awal fase folikuler. Saat itu, endometrium tipis HSG memberikan gambaran kelainan minor yang lebih baik. Serviks dibersihkan dengan povidone-iodine solution (Betadine) untuk menghindari perpindahan bakteri ke kavum endometrium selama prosedur. Spekulum lepas digunakan dan dilepaskan sebelum injeksi medium radiopak. Tenakulum gigi satu digunakan untuk menambahkan traksi uterus dan membenarkan posisi anterofleksi atau retrofleksi. Kanula Jarcho-type metal atau balon kateter HSG digunakan untuk menginjeksikan media radiokontras. Penggunaan media kontras berbahan air lebih baik daripada media berbahan minyak untuk menghindari risiko emboli minyak dan formasi granula. Gambar . Gambaran HSG pada tuba paten (kiri atas), polip endometrium (kanan atas), sumbatan tuba bilateral (kiri bawah), dan uterus bikornu (kanan bawah) (dikutip dari kepustakaan 5) Laparoskopi Akhir-akhir ini laparoskopi dianggap cara terbaik untuk menilai fungsi tuba falopi. Laparoskopi memberikan gambaran panoramik terhadap anatomi reproduktif panggul dan pembesaran dari permukaan uterus, ovarium, tuba, dan peritoneum. Oleh karenanya, laparoskopi dapat mengidentifikasi penyakit oklusif tuba yang lebih ringan (aglutinasi fimbria, fimosis), adhesi pelvis atau adneksa, serta endometriosis yang dapat mempengaruhi fertilitas yang tidak terdeteksi oleh HSG. USG (Ultrasonography) USG ginekologi menjadi bagian rutin pemeriksaan ginekologi karena dapat memeriksa posisi uterus dalam pelvis dan memberikan informasi seputar ukuran dan kelainan. Sonogram panggul juga membantu deteksi dini fibroid uterus, polip endometrium, kista ovarium, massa adneksa, dan endometrioma. USG dapat membantu diagnosis anovulasi, polikistik ovarium, dan kista korpus luteum yang persisten. Saline infusion sonography (SIS) SIS memberikan pemeriksaan yang sederhana dan tidak mahal untuk menilai kavum uterus dan memeriksa potensi tuba. Pemeriksaan ini tidak menggunakan radiasi seperti pada HSG. SIS dilakukan selama hari ke-6 hingga ke-12 siklus, di mana endometrium tipis sehingga lebih mudah mendeteksi lesi intrauterin. Spekulum lepas dipasang dan serviks dibersihkan dengan Betadine solution. Kateter transservikal dengan balon dipasang. Spekulum dilepas dan larutan salin diinjeksikan selama visualisasi ultrasonografik. Tampilan longitudinal dan transversal dari kavum dapat menilai adanya filling defects. Terakhir, sejumlah ecil busa air diinjeksikan untuk menilai potensi tuba. MRI MRI dilakukan apabila diagnosis tidak dapat ditegakkan melalui pemeriksaan HSG konvensional, USG, dan histeroskopi. MRI berfungsi untuk menggambarkan massa pelvis yang kompleks dan membantu diagnosis kondisi seperti malformasi kongenital yang terkait dengan kriptomenore dan kabsennya serviks. Histeroskopi Histeroskopi merupakan suatu metode visualisasi langsung kavum endometrium. Operasi histeroskopi didesain berdasarkan prinsip resectoscope yang memperbolehkan diagnosis sekaligus penanganan kelainan endometrium seperti uterine sinekia, polip endometrium, mioma submukosa, dan pengangkatan benda asing (misalnya AKDR). Gambar . Histeroskopi dari uterine sinekia (kiri) dan polip endometrium (kanan) Biopsi endometrium Jones memaparkan bahwa disfungsi fase luteal dan hubungannya dengan keguguran berulang. Disfungsi fase luteal didasari atas kurangnya hubungan antara : Perkembangan endometrium, didiagnosa menggunakan biopsi endometrium premenstrual Onset siklus menstruasi yang sedang terjadi. Diagnosisnya berdasarkan kriteria: terdapat perbedaan lebih dari 2 hari antara tanggal endometrium dan awal dari periode menstruasi selanjutnya, temuan yang sama harus diulangi dalam 2 siklus menstruasi yang berurutan. Tuba dan peritoneum Tes yang sering digunakan untuk diagnosis untuk melihat kelainan tuba adalah laparoskopi dan HSG. Laparoskopi tidak termasuk pemeriksaan infertilitas rutin. Laparoskopi digunakan ketika ditemukan kelainan pada USG, HSG, atau kecurigaan gejala. Dibutuhkan anestesi dan biaya operasi sehingga hanya digunakan saat ada indikasi yang jelas. Laparoskopi kontraindikasi pada pasien dengan kemungkinan obstruksi usus (ileus) dan distensi usus, penyakit kardiopulmoner, atau syok karena perdarahan dalam. Karena risiko perforasi usus, uterus dan perlukaan pembuluh pelvis, trauma kandung kemih, dibutuhkan ahli bedah yang terampil dan berpengalaman. Kontraindikasi relatif lainnya termasuk obesitas masif, dan massa abdomen yang besar atau kehamilan lanjut, adhesi panggul lanjut, dan peritonitis. Ovarium Ovulasi Siklus menstruasi normal dapat menandakan terjadinya ovulasi. Konfirmasi terjadinya ovulasi. 2.5. Penatalaksanaan Penanganan Infertilitas Primer Penanganan infertilitas primer pada pria Pada asthenospermia terkait dengan varikokel dilakukan pembedahan atau dengan embolisasi varikokelektomi dari vena spermatika. Hasil awal dari prosedur ini tidak terdeteksi sebelum 3 bulan karena spermatogenesis membutuhkan waktu 72 hari. Jika tidak ada perbaikan terjadi, dilanjutkan baik baik inseminasi intrauterin atau fertilisasi in vitro. Oligospermia adalah penyebab paling sering dari kemandulan pria. Pengobatannya tergantung pada faktor etiologi, namun, dalam banyak kasus, penyebab masih belum diketahui. Inseminasi intrauterin adalah pengobatan pilihan jika didapatkan >2 juta sperma dari pencucian sperma. Pasien yang saluran reproduksi, FSH, LH, dan tingkat testosteron abnormal atau mereka yang memiliki testosteron rendah dalam tidak adanya kelainan hormonal lainnya dapat diobati secara empiris dengan siklus Klomifen sitrat/CC (25 mg per oral selama setidaknya 6-12 bulan). Pemberian suplemen Karnitin L dan asetil antioksidan seperti Vitamin C atau E berguna untuk meningkatkan pematangan dan fungsi sperma. Peningkatan jumlah sperma adalah pertanda baik, dan pengobatan harus dilanjutkan. Pemeriksaan kadar testosteron dianjurkan karena bisa terjadi efek umpan balik negatif pada produksi sperma. Tergantung pada jumlah sperma, pasangan sebaiknya memiliki melakukan senggama saat ovulasi atau melanjutkan dengan inseminasi intrauterine. Pengobatan azoospermia tergantung pada etiologinya. Pada pasien dengan azoospermia obstruktif dan tingkat gonadotropin normal, sperma dapat diperoleh melalui aspirasi epididimis sperma mikro atau biopsi testis. Fertilisasi oosit dilakukan menggunakan IVF/injeksi sperma intrasitoplasmik. Pada pasien dengan azoospermia non obstruktif, ejakulasi retrograd dapat menjadi penyebabnya. Pengobatan terdiri dari pemulihan sperma yang dikumpulkan dari sampel urin segera setelah ejakulasi. Alkalinisasi urin dilakukan sebelum prosedur. Malamnya, pasien harus mengambil 2 sendok makan natrium bikarbonat. Kandung kemih harus dikosongkan 1 jam sebelum pengumpulan sperma, dan dosis ke-2 natrium bikarbonat diambil bersama dengan 16 ons cairan. Sampel urin harus dikumpulkan segera setelah ejakulasi. Spesimen urin harus disentrifugasi segera. Sedimen ini disuspensikan dalam larutan buffer, dan pemulihan sperma diproses menggunakan teknik pencucian sperma sebelum dapat digunakan untuk inseminasi intrauterine. Penanganan infertilitas primer pada wanita Ovarium Induksi ovulasi merupakan pengobatan yang tepat pada pasien infertilitas yang memiliki gangguan pada aksis hipotalamus-pituitari-ovarium. Obat-obatan penginduksi ovulasi, antara lain klomifen sitrat, HMG, hCG, FSH rekombinan, dan LH rekombinan. Serviks Radang serviks kronik dapat diobati dengan antibiotik. Penanganan termudah dan yang paling berhasil adalah inseminasi intrauterine/uterine insemination (IUI). Inseminasi buatan dapat dilakukan dengan memasukkan sperma ke dalam serviks (inseminasi serviks) atau di dalam kavum endometrium (IUI). Namun, inseminasi serviks telah ditinggalkan karena tingkat keberhasilan yang rendah. Uterus Sebelum fertilisasi in vitro tersedia, pasien dengan kelainan bawaan berupa tidak adanya uterus dan vagina (Rokitansky-Kuster-Hauser syndrome) tidak memiliki kesempatan untuk memiliki anak biologis. Namun, saat ini kita dapat menggunakan wanita lain untuk mendapatkan kehamilan (gestational carrier). Saat pasien berkeinginan untuk memiliki anak, tindakan selanjutnya dilanjutkan dengan stimulasi ovarium, aspirasi oosit, dan fertilisasi in vitro, tetapi embrio ditransfer ke wanita lain tersebut. Wanita dengan uterus bikornu atau uterus bersepta yang disertai dengan infertilitas, akan ditangani dengan tindakan pembedahan. Wanita dengan sinekia uterus akan ditangani dengan metode histeroskopi, di mana tindakan ini dilaksanakan pada awal fase folikuler. Begitu juga jika infertilitas disebabkan oleh polip endometrial, maka histeroskopi dan kuretase merupakan tindakan yang terbaik. Tuba dan peritoneum Obstruksi tuba yang merupakan faktor infertilitas dapat dikoreksi melalui laparotomi, laparoskopi operatif, dan histeroskopi. Lain halnya dengan endometriosis, penanganannya dapat berupa operatif, medikamentosa (pil KB), atau menunggu sampai kehamilan terjadi. Inseminasi intrauterine Inseminasi intrauterine menjadi salah satu pilihan dalam penanganan infertilitas primer. Ada beberapa indikasi pada inseminasi intrauterine dengan menggunakan cairan semen suami ataupun pasangan (donor), yaitu: Tabel 3. Indikasi Inseminasi Intrauterine Efektif Subfertilitas pria Faktor servikal Kegagalan ejakulasi Infertilitas yang tidak dapat dijelaskan/idiopatik Kemungkinan efektif Infertilitas imunologis Endometriosis Kegagalan ejakulasi adalah indikasi yang klasik, karena pria tidak dapat mengejakulasikan sperma ke dalam vagina. Indikasi yang paling sering pada inseminasi intrauterine adalah faktor infertilitas pria dan infertilitas yang tidak dapat dijelaskan/idiopatik. Indikasi lainnya adalah infertilitas akibat imunologis dan endometriosis. Kondisi-kondisi tertentu, seperti faktor tuba, penyakit-penyakit pelvis, endometriosis, usia wanita yang telah lanjut, dan faktor infertilitas pria yang berat, memiliki kesempatan yang kecil pada keberhasilan inseminasi intrauterine. Indikasi utama untuk inseminasi donor adalah: Infertilitas berat pada pria atau subfertilitas (azoospermia atau oligoastenoteratozoospermia yang berat), untuk pasangan yang tidak dapat atau menolak fertilisasi in vitro dengan berbagai alasan. Penyakit-penyakit genetik, seperti penyakit Huntington, hemofilia, dan inkompabilitas rhesus yang berat. Penggunaan cryopreserved semen pada program inseminasi donor telah diaplikasikan pada berbagai negara, untuk meminimalisasi kemungkinan transmisi dari Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan infeksi lain pada resepien. Beberapa prosedur yang dilakukan pada inseminasi intrauterine, sebagai berikut: Perkembangan folikuler Selama siklus menstruasi wanita, biasanya hanya satu folikel yang matang yang dilepaskan oleh ovarium, dan mengakibatkan suatu ovulasi dengan satu telur. Pertumbuhan folikel dari ovarium pada awal pertengahan siklus menstruasi wanita dipengaruhi oleh hormon. Ketika folikel matang, kelenjar hipofisis melepaskan sejumlah besar hormon LH. Adanya “lonjakan LH” membantu tahapan akhir dari maturasi sel telur dan akan mencetuskan timbulnya ovulasi pada 36-40 jam berikutnya. Inseminasi kemudian dilakukan pada hari saat ovulasi terjadi. Proses ini dipantau dengan menggunakan alat tes melalui darah atau urin wanita atau dengan menggunakan ultrasonografi atau dengan menggunakan metode lainnya. Dalam beberapa kasus, tahap ini biasanya menggunakan obat-obatan untuk menginduksi ovulasi, bisa dengan menggunakan Clomid saja, atau dengan Clomid dan injeksi FSH, atau hanya FSH saja. Persiapan sampel semen Pada hari dilaksanakannya inseminasi, pasangan (pria) wajib menyediakan sampel semen yang masih segar (fresh). Sampel ini kemudian dibawa ke klinik, dikumpulkan atau mungkin sebelumnya telah dibekukan dan akan dicairkan untuk digunakan dalam proses inseminasi. Sampel semen akan diproses di laboratorium sebagai persiapan untuk melakukan inseminasi. Persiapan meliputi pemindahan plasma semen (bagian yang cair pada semen) dan pengeluaran sperma yang mati atau tidak/kurang bergerak. Sperma yang bergerak kemudian dikonsentrasikan dalam volume yang kecil dan dimasukkan melalui kateter. Inseminasi intrauterine Untuk melakukan suatu inseminasi intrauterine, sebuah spekulum dimasukkan ke dalam vagina jadi serviks dapat terlihat. Mukus serviks dibersihkan dengan menggunakan large Q tip dan kateter dimasukkan melalui serviks masuk ke dalam uterus. Sperma yang telah dikonsentrasikan kemudian dimasukkan ke dalam uterus. Setelah itu, wanita tersebut akan berbaring di meja pemeriksaan selama lima sampai sepuluh menit sebelum meninggalkan ruangan. Setelah inseminasi dilakukan, kegiatan yang normal kembali dapat dilakukan. Hasil akhir Angka keberhasilan (lahirnya seorang bayi) dari sebuah teknik inseminasi intrauterine tergantung dari berbagai macam faktor. Beberapa faktor tersebut, antara lain: usia wanita tersebut, jenis obat penyubur yang digunakan (jika ada); diagnosis, berapa banyak pengobatan yang telah dilakukan, dan kualitas dari sampel semen. Banyak faktor yang dapat menyebabkan tindakan ini menjadi gagal atau tidak berhasil. Beberapa faktor ada yang diketahui dan ada yang tidak diketahui. Beberapa faktor yang diketahui dapat menjadi penyebab tidak berhasilnya tindakan inseminasi intrauterine, antara lain: Tidak terjadi perkembangan folikel Pasangan (suami) tidak dapat memproduksi sampel semen yang segar (fresh) Pemasangan kateter ke dalam uterus atau serviks sulit atau tidak mungkin secara teknis Meskipun inseminasi berhasil dilakukan, kehamilan tidak terjadi Jika kehamilan terjadi, kehamilan mungkin tidak akan berjalan dengan normal atau akan mengalami miscarriage. Fertilisasi in vitro Secara harafiah, in vitro berarti di luar tubuh, dan fertilisasi berarti bertemunya sperma dan ovum. Fertilisasi in vitro adalah fertilisasi yang terjadi di luar tubuh, yakni pada lingkungan buatan. Prosedur ini telah sukses digunakan pertama kali pada manusia yang infertil yaitu pada tahun 1977 di Bourne Hall di Cambridge, Inggris. Kini, telah banyak bayi yang dilahirkan dengan menggunakan teknik fertilisasi in vitro. Selama bertahun-tahun, prosedur kehamilan dengan teknik fertilisasi in vitro telah lebih sederhana, lebih aman, dan lebih tinggi angka keberhasilannya. Secara normal, sel telur dan sel sperma bertemu di dalam “tubuh” seorang wanita. Jika sel telur menempel pada dinding rahim dan terus-menerus berkembang, seorang bayi akan lahir sekitar 9 bulan kemudian. Proses ini disebut proses yang alamiah atau tanpa bantuan. Fertilisasi in vitro adalah salah satu bentuk dari assisted reproductive technology (ART). Ini berarti sebuah teknik khusus dilakukan untuk membuat seorang wanita menjadi hamil. Fertilisasi in vitro dilakukan untuk membantu seorang wanita menjadi hamil. Cara ini banyak digunakan untuk menangani berbagai kasus infertilitas, antara lain: Pada usia wanita yang sudah lanjut (advanced maternal age) Tuba fallopi yang tertutup atau rusak, yang dapat disebabkan oleh pelvic inflammatory disease atau pembedahan yang berhubungan dengan reproduksi Endometriosis Faktor infertilitas pada pria, termasuk menurunnya jumlah dan kualitas sperma Infertilitas yang tidak dapat dijelaskan Inseminasi intrauterine yang tidak berhasil Kerugian dari tindakan fertilisasi in vitro adalah biaya yang mahal, sekitar $12.000-$17.000 (atau sekitar Rp 120.000.000,- - Rp 170.000.000,-). Stres dan depresi juga menjadi masalah yang umum pada pasangan suami-istri yang berhadapan dengan masalah infertilitas. Obat-obatan “penyubur” yang diinjeksi pada wanita tersebut juga dapat menyebabkan ketidaknyamanan, seperti nyeri perut, perubahan mood, sakit kepala, dan beberapa efek samping lainnya. Selain itu ada beberapa komplikasi, meskipun sangat jarang, yang berhubungan dengan tindakan fertilisasi in vitro, antara lain: Ovarian hyperstimulation syndrome Ini adalah komplikasi yang paling tidak diinginkan, yakni membesar dan nyeri pada ovarium akibat stimulasi dari hMG. Gejala klinis dapat berupa nyeri perut, bengkak, berat badan bertambah dengan cepat (biasanya 5 kg dalam 3-5 hari), berkurangnya jumlah urin walaupun mengonsumsi cairan dalam jumlah yang banyak, mual, muntah, dan kesulitan bernapas. Pada kasus yang ringan, dapat ditangani dengan istirahat total, dan pada kasus yang berat, drainase cairan dibutuhkan. Prosedur “pengeluaran” sel telur Ada beberapa risiko kecil yang dapat terjadi pada tahap ini, antara lain: reaksi pada obat-obatan anestesi, perdarahan, infeksi, dan perlukaan pada organ dalam selama prosedur dijalankan. Cacat lahir Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan risiko cacat lahir pada bayi yang lahir dari proses fertilisasi in vitro. Sekitar 1 dari 20 individu pada populasi umum akan mengalami cacat lahir (biasanya minor). Kehamilan ganda dan kehamilan ektopik Sekitar 25% dari kehamilan yang berasal dari prosedur fertilisasi in vitro adalah gemelli. Lima sampai tujuh persen dari seluruh kehamilan dapat berupa triplet atau lebih. kehamilan ganda dapat meningkatkan risiko persalinan prematur dan BBLR. Kehamilan ektopik terjadi pada sekitar 5% dari kehamilan dengan prosedur fertilisasi in vitro. Misscarriage Risiko ini terjadi pada sekitar 25% dari kehamilan dengan prosedur fertilisasi in vitro Daftar Pustaka Speroff L, Fritz MA. The male infertility evaluation. In: Speroff L, Fritz MA, editors. Clinical gynecologic endocrinology and infertility seventh edition. United States: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. Bhattacharya S. Infertility. In: Edmonds DK, editor. Dewhurst’s textbook of obstetrics and gynaecology seventh edition. United Kingdom: Blackwell Publishing; 2007. p. 440-58. Hestiantoro A. Infertilitas. Dalam: Anwar M, Baziad A, Prabowo RP, editor. Ilmu kandungan edisi ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011. hlm. 425-35. Winkjosastro H, Saifudin B A, Rachimhadhi T. Infertilitas. Dalam. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina PustakaSarwonaPrawirohardjo,Yogyakarta 2011: 424-35