Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Nama : Ignasius Roy Suyanto Tei Seran (02550814) MK : Filsafat Abad XXI Dosen : Dr. Simon Petrus Lili Tjahjadi, Pr. FILSAFAT TRANSENDENTAL ETIS EMMANUEL LEVINAS Pengantar Pemikiran Levinas terkenal diantara para pembaca buku filsafat, maupun para ahli filsafat sebagai pemikiran yang sangat sukar. Hal ini pun saya alami ketika membaca salah satu karya Thedore De Boer yang mengulas tentang Filsafat Transendental Etis Levinas. De Boer sendiri dalam pengantarnya mengungkapkan bahwa pemikiran Levias sangat sukar untuk dipahami. Dalam pengantar bukunya, Boer mengatakan bahwa karya Levinas sukar dimengerti. Theodore De Boer, The Rationality Of Transcendence; Studies In The Philosophy of Emmanuel Levinas, Amsterdam studies in Jewish Thought, Volume 4, J.C. GIEBEN, Amsterdam, 1997, hlm. IX. Saya bersyukur karena dalam keterbatasan saya membaca karya mengenai Levinas, saya dibantu oleh para pemikir yang sudah lebih dahulu membaca karya Levinas, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, bahkan dalam bahasa Indonesia. Orang-orang tersebut yakni: Theodore De Boer sendiri, Prof. Dr. K. Bertens, dengan bukunya yang berjudul Filsafat Barat abad XX, Jilid II, Prancis, Thomas Hidya Tjaya, dengan buku berjudul Enigma Wajah Orang Lain; Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas, Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dengan bukunya yang berjudul 12 Tokoh Etika abad ke-20, Felix Baghi dengan artikel yang berjudul Filsafat Alteritas dan Kemungkinan Etis Metafisik yang Heteronom (Berpikir bersama Levinas), Prof. Dr. Alex Lanur OFM, berupa Pidato yang berjudul Aku Disandera; Aku dan Orang Lain, Menurut Emmanuel Levinas serta John Lechte dengan bukunya Fifty Key Contemporary Thinkers, yang diterjemahkan oleh A. Gunawan Admiranto. Pada kesempatan ini saya akan berfokus mengulas tentang karya besar Levinas yang pertama, yaitu Totalité et Infini (1961). Saya akan berusaha untuk tidak menyinggung soal karya Levinas selanjutnya yang berjudul Autrement qu’être ou de l’esseence (1974), sebagai karya yang lebih radikal dibandingkan dengan tulisan sebelumnya. Ibid., Dengan tulisan ini, saya bermaksud menyelidiki relasi antara Fenomenologi Levinas dan Fenomenologi pada umumnya berdasarkan bacaan De Boer. Selain itu, saya juga akan menyelidiki sejauh mana Levinas menghidupi konsep mesianik dalam tradisi Yahudi. Ibid., Bagi Levinas, pengertian Filsafat tidak sama seperti yang dipahami oleh “Filsafat Barat” sejak Parmaenides sampai dengan Heidegger. Levinas mengatakan bahwa “Filsafat Barat” sebenarnya tidak lebih dari pada sebuah egologi. Disebut egologi karena seluruh diskursus filsafat berpusatkan pada si Aku. Si Aku berfungsi sebagai subjek pemikiran. Selain itu si Aku juga menjadi pusat dan tujun dunia serta sumber segala makna. Dengan demikian egologi melahirkan egosentrisme. Dengan egosentrisme, si Aku mengakibatkan sikap yang lebih mendasar, di mana terjadi objektivikasi, manipulasi, teknologi, perencanaan serta eksploitasi. Sikap tersebut melahirkan suatu pola hidup tertentu yang disebut sebagai egonomi. Artinya, si Aku merupakan nomos (hukum) untuk segala susuatu. Egonomi harus menjadi sesuatu yang efektif dan praktis. Dan untuk menunjukkan segi itu Levinas menggunakan istilah ekonomi. Istilah tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu diatur serta ditata oleh rumah (oikos). Hukum (nomos) rumah menguasai seluruh dunia si Aku. Penjelasan ini diambil dari pidatonya Alex Lanur, Aku Disandera; Aku dan Orang Lain, Menurut Emmanuel Levinas, Pidato yang diucapkan pada sidang terbuka Senat Sekolah TInggi Filsafat Driyarkara, dalam Pengukuhan Jabatan Guru Besar Biasa Ilmu Filsafat, di Jakarta pada tanggal 23 September 2000, hlm. 2. Filsafat bagi Levinas merupakan suatu pergerakan Intersubjektif (Intersubjective movement). Dalam pembacaannya terhadap Blanchot, Levinas mengatakan sebuah buku lebih membutuhkan pembaca dari pada penulisnya. Ia bahkan mengatakan bahwa, membaca, menginterpretasi merupakan suatu epifani dari Akal Budi, di mana dibutuhkan kontribusi dari semua orang yang membaca. Theodore De Boer, Op. Cit., hlm. X. Filsafat Levinas bersifat paradoks. Di satu sisi Levinas menentang segala bentuk filsafat transendental, tetapi di sisi lain ia menggunakan metode filsafat transendental dan fenomenologi untuk menjelaskan konsepnya tentang Yang Lain (the Other). Levinas berhasil mengkombinasikan pemikiran fenomenologi transendentalnya Husserl dan metode dialogikalnya Buber dan Rosenzweig. Selain itu, secara mendasar Levinas berbeda dengan Husserl, tetapi juga mengikuti Husserl dalam menggunakan metode ontologi fenomenologis. Levinas berhasil memasukkan metode ontologi fenomenologis ke dalam metode filsafat dialogis. Alex Lanur, Op. Cit., hlm. 1-2. Lebih lanjut, Levinas mengintegrasikan ontologi fenomenologis ke dalam filsafat dialogis Buber dan Rosenzweig. Dengan metode ontologi fenomenologis dan metode dialogis, Levinas menyusun kerangka filsafatnya. Levinas mengatakan bahwa hanya filsafat Yang Lain (the Other), ‘metafisika’, dapat memberi dasar bagi ontologi. Dialog merupakan kerangka bagi relasi intensional bagi dunia atau, dengan istilah Buber, relasi I-Thou adalah kondisi transendental bagi relasi I-It. Theodore De Boer, Op. Cit., hlm. 1. Riwayat Hidup dan karya Emmauel Levinas K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX; Prancis, Jilid II, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hlm. 279-283. Emmanuel Levinas lahir pada tahun 1906 di Kaunas, Lithuania, dalam keluarga keturunan Yahudi. Pada saat itu pemerintahan Lithuania berada di bawah pimpinan Tsar dan merupakan daerah di mana agama Yahudi dan studi mengenai Talmud berakar kuat. Bahasa Rusia merupakan bahasa ibu bagi Levinas. Levinas sendiri mengatakan bahwa ia dibesarkan dalam tradisi Ibrani dan pengarang-pengarang klasik Rusia seperti Tlstoi dan Puschkin. Meskipun demikian, ia menyelesaikan pendidikan menengahnya di Kaunas, kota asalnya. Pada tahun 1923 ia menjadi mahasiswa di Universitas Strasbourg di Prancis. Dan pada 1930 ia memperoleh kewarganegaraan Prancis. Pada tahun 1928/1929, selama dua semester ia belajar pada Husserl di Freiburg-im-Breisgau. Pada waktu itu pun, ia berkenalan dengan Heidegger. Pada 1929, pertama kalinya Levinas menghasilkan sebuah karya, berupa artikel panjang yang mengulas tentang buku Husserl, yang dikenal sebagai Ideen I. Pada tahun yang sama ia menerjemahkan karya Husserl yang berjudul Cartesianische Meditationen (Meditasi-Meditasi Gaya Descartes) ke dalam bahasa Prancis. Pada 1930 ia menyelesaikan studinya di Universitas Sorbonne di Paris, dengan judul disertasi La Théorie de l’intuition dans la phenomenology de Husserl (Teori tentang Intuisi dalam fenomenologi Husserl). Ia memiliki dua orang sahabat yang sangat dekat dengannya dibanding sahabatnya yang lain, yakni Jean Wahl, seorang professor di Sorbonne yang berketurunan Yahudi, dan Maurice Blancot, seorang pengarang sekaligus kritikus sastra. Pada waktu itu ia juga aktif dalam diskusi bersama Gabriel Marcel. Pada waktu menjelang perang dunia II, Levinas dipanggil untuk menjadi salah satu tentara Prancis. Sejak tahun 1940 sampai akhir perang ia tinggal di Jerman sebagai tahanan perang. Tahun 1942, ia ditahan di kamp nr. yang dikhususkan bagi tahanan berketurunan Yahudi. Pengalaman sebagai tahanan perang dan pengalaman seputar Nazisme, khususnya pembantaian massal atas orang berketurunan Yahudi (termasuk semua saudaranya di Lithuania), membuat ia sangat terluka hingga meninggalkan bekas yang sangat mendalam. Ia mengatakan bahwa kutipan ayat suci, Yesaya 53 telah menjadi kenyataan. Sering kali pengalaman pahit itu muncul dalam karangan-karangannya. Buku kecilnya yang berjudul De l’existence á l’existant (Existence and Existents) yang diterbitkan tahun 1947, sebagian besar dituliskannya semasa ia berada di dalam tahanan. Selain karangan yang diterbitkan dalam bentuk buku, ia juga meninggalkan ceramahnya, yang juga penting memuat pemikirannya, dengan judul Le temps et l’autre (Waktu dan Yang lain), dan diterbitkan oleh Jean Wahl. Seusai perang, Levinas menjadi direktur Ecole normale Israélite orientale yang mendidik guru-guru bahasa Prancis bagi sekolah-sekolah Yahudi di kawasan laut tengah. Pada masa itulah ia mendalami pengetahuannya mengenai Talmud-talmud. Karya yang berisi tentang hal ini diterbitkan dengan judul Difficile liberté (Kebebasan Penuh Kesukaran) pada tahun 1963. Sejak 1947 ia mengajar pada “Institut Filsafat” yang didirikan oleh Jean Wahl, serta mengajarkan filsafat pada sebuah pusat pembinaan Yahudi yang dipimpinnya sendiri. Pada 1949 ia mengumpulkan sejumlah artikel dalam buku yang berjudul En découvrant avec Husserl et Heidegger (Menemukan eksistensi bersama Husserl dan Heidegger). Pada 1961 terbit bukunya yang berjudul Totalité et infini (Totalitas dan Tak Berhingga) yang secara umum disambut sebagai karya filosofis yang sangat original, yang mengangkat nama Levinas secara Internasional. Dengan buku ini, ia mendapat gelar “doktor negara”. Pada tahun yang sama, ketika ia berusia 55 tahun, ia diangkat menjadi professor di Poitiers. Tahun 1967 ia dipanggil ke Paris untuk menjadi professor di universitas Paris X di Nanterre. Pada 1973, ia diangkat menjadi professor di Sorbonne, tempat ia menyelesaikan studi sarjana hingga doktoralnya, hingga masa pensiunnya (1976). Pada 1972, Levinas menerbitkan lagi Humanisme de l’autre home (Humanisme manusia lain), kumpulan sejumlah artikel yang ditulis antara tahun 1964 dan 1970. Karyanya yang paling penting sesudah Totalité et infini adalah Autrement qu’etre ou au déla de l’essence, yang diterbitkan tahun 1974. Dapat diterjemahkan sebagai Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi. Buku ini dipersembahkan bagi kenalan-kenalan di antara enam juta orang Yahudi yang dibunuh oleh nasional-sosialisme. Selain itu ia juga menerbitkan buku yang mengulas tentang Blanchot dengan judul Sur Maurice Blanchot (Tentang Maurice Blanchot), pada 1975. Pada 1976 Levinas menerbitkan bukunya yang berjudul Noms Propres (Nama-Nama Diri), yang menyajikan sejumlah karangan kecil tentang filsuf-filsuf, pengarang-pengarang dan penyair-penyair yang dikaguminya. Kemudian pada 1982 terbit buku yang berjudul De Dieu qui vient à l’idée (Tentang Allah yang sampai pada Pikiran), yang berisi kumpulan pelbagai artikel megenai masalah ketuhanan. Dan akhirnya ia menerbitkan buku kecil dengan judul Ethique et infini (Etika dan Tak Berhingga), yang diterbitkan pada 1982, yang berisi sepuluh wawancara dengan Philippe Nemo. Levinas akhirnya menghebuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 25 Desember 1995. Ontologi Filsafat Levinas dibangun berdasarkan konfrontasi antara pemikirannya dengan fenomenologi. Dengan membaca karyanya yang berjudul Totalité et Infini. Essai Sur l’extériorité, fenomenologinya dapat dipahami dan inti pemikirannya dapat ditemukan. K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX; Prancis, Jilid II, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hlm. 288-289. Pada 1930 Levinas menyelesaikan disertasinya yang sejalan dengan konsep ‘intuisi’ fenomonologi Husserl. Theodore De Boer, Op. Cit., hlm. 2. Menurut Levinas, intisari fenomenologi Husserl maupun seluruh fenomenologi eksistensial berbicara tentang intensionalitas. Levinas mengatakan bahwa Husserl membaharui titik tolak yang ditunjukkan Descartes bagi filsafat modern yaitu kesadaran dengan intesionalitasnya. Dengan intensionalitas, Husserl mengatakan bahwa kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Intensionalitas itu bukan merupakan ciri dari kesadaran melainkan realitas yang berdiri sendiri. Levinas tidak setuju dengan pandangan Husserl tentang intensionalitas. Levinas mengatakan bahwa dalam ajaran Husserl tentang intensionalitas, terdapat suatu konsepsi yang terlalu intelektualistis tentang intuisi. Murid-murid Husserl seperti Scheler dan Heidegger juga dan telah berusaha untuk mengatasi intelektualisme itu. Meskipun demikian, Levinas tetap menggunakan intensionalitas dalam menjelaskan konsepnya di bidang non-teoritis, yaitu relasi etis. Husserl menyamakan intensionalitas dengan sikap teoritis, sedangkan Levinas ingin menerapkan intensionalitas tidak hanya pada sikap teoritis tetapi jugag pada sikap non-teoritis. K. Bertens, Op. Cit., hlm. 286. Levinas juga sempat menerjemahkan karya Husserl “Cartesian Meditations”. Karyanya yang mengulas tentang Husserl dan Heidegger, yang diterbitakan pada 1949, di bawah judul En découvrant l’existence avec Husserl et Heidegger, berisi kritiknya terhadap fenomenologi Husserl dan Heidegger. Jika pada Husserl, Levinas mengkritik tentang intensionalitas, maka pada Heidegger, ia mengkritik persoalan mengenai “Ada” yang ia anggap terlalu anonim. Heidegger dalam bukunya “Being and Time” membelokan intensionalitas ke arah suatu ontologi baru: suatu filsafat tentang “Ada”. Dua tahun sebelumnya, ia sudah mengemukakan kritiknya ini dalam buku kecilnya yang berjudul De l’existence à l’existant. Theodore De Boer, Op. Cit., hlm. 2. Dengan ini Levinas memunculkan konsepnya tentang Yang Lain (The Other) berdasarkan pergeseran pandangan Heidegger tentang existents and existence yang lebih menekankan existence (Seinsdenken), kepada “from existence to the existent (de l’existence à l’existant)” dan “from the existent to the Other”. Inilah tahap pertama dalam proses pergeseran dari ontologi ke metafisika, atau dari totalitas ke infinitas. Ibid., Levinas menjelaskan konsep intensionalitas kesadaran Husserl pada bab I dari Disertasinya. Judul bab I dari disertasinya “The Naturalist Theory” and “The Phenomenological Theory of Being”. Ibid., hlm. 3. Pendapat Husserl ini dapat dikatakan benar karena kesadaran merepresentasikan dunia luar. Tanpa kesadaran, dunia tidak bisa dimengerti. Artinya dunia hanya dapat dimengerti mana kala manusia menyadari keberadaan dunia, termasuk keberadaan dirinya. Ibid., Husserl mengikuti pandangan tradisional “Filsafat Barat” yang menekakankan aspek kesadaran. Pandangan tradisional itu bermula sejak Descartes tentang cogito ergo sum. Dengan pandangan demikian, filsafat menjadi sebuah “egologi”. K. Bertens, Op. Cit., hlm. 288. Tendensi demikian sangat dekat dengan idealisme. Ada dilihat sebagai kesadaran yang mengkonstitusikan diri. Yang Lain hanya ada karena dan bagi kesadaran-diri. Penolakan Levinas atas doktrin Husserl tentang kesadaran absolut, terlihat dari pernyataannya bahwa kesadaran dapat menjadi kondisi bagi kehadiran dunia, tetapi kondisi itu dalam dirinya sudah terkondisikan. Theodore De Boer, Op. Cit., hlm. 5. Demikian kesadaran bersifat paradoksal. Keadaan ini dilukiskan Levinas dengan pernyataan: This turning where being is the foundation of the foundation of the act which projects being… but, where, immediately, the being of the object is complete in the attitude of consciousness to it and where the anteriority of being is posed again in the future… this is phenomenology itself. En découvrant l’existence, 133ff; Totalité et Infini, 25, 144, dalam Ibid., Pernyataan di atas menjadi pusat ontologi fenomenologi eksistensial. Hal itu paralel dengan tulisannya Merleau-Ponty, yang mengobjektivikasi pengetahuan dengan mengkonstitusikan aktivitas persepsi dan tubuh. Levinas ingin menunjukkan bahwa relasi pertama kita dengan dunia adalah kenikmatan (enjoyment). Ibid., Lanur dalam Pidatonya juga menemukan hal yang sama saat membaca karya Levinas. Ia mencatat: “Bagian kedua Totalité et Infini berbicara tentang Intéorierité et Economie. Di situ Levinas menyatakan bahwa berada di-dunia tidak pertama-tama ditandai oleh faktisitas melainkan oleh kenikmatan (jouissance). Alex lanur, Op. Cit., hlm. 2. De Boer tidak bermaksud untuk mengemukakan secara detil analisis Levinas atas ontologi seperti yang didapati pada bagian kedua dari karya Totalité et Infini, yang berjudul “Interiority and Economy”. De Boer ingin menyimpulkan bahwa ontologi fenomenologi Levinas menolak semua “Filsafat Barat” yang bersifat totalitarian. “Filsafat Barat” terlalu mengutamakan ego dan mereduksi segala sesuatu pada “The Same”. Hal ini menampakan ciri egologi “Filsafat Barat”, di mana kebenaran idealistik, eksterioritas dan totalitas menjadi ciri utamanya. Ibid., Filsafat yang ditandai oleh totalisasi itu oleh Levinas disebut juga “ontologi”. Bagi Levinas, Fenomenologi Husserl dan seluruh fenomenologi eksistensial merupakan upaya mereduksi segala sesuatu pada “the Same”. Eksterioritas bukanlah suatu objek, suatu tema, suatu noema, suatu hasil dari pemaknaan subyek. Levinas dalam Totalité et infini mau mengatakan bahwa perlu ada radikalisasi bukan terutama atas eksterioritas ontology, tetapi atas eksterioritas metafisik. Ibid., hlm. 8. Totalitas didobrak melalui Yang Tak Berhingga (Infini). Yang dimaksudkan dengan Infini adalah suatu realitas yang secara prinsipal tidak mungkin dimasukkan ke dalam lingkup pengetahuan dan kemampuan seseorang. Infini atau Yang Tak Berhingga itu adalah Orang Lain (Autrui, l’Autre). Totalitas yang saya susun secara egoistis, bahkan egosentrisme sifatnya, langsung hancur dalam perjumpaan dengan “Yang Lain”. Dari situ muncul suatu istilah baru yang dikemukakan Levinas, yakni Wajah. Saya berjumpa dengan Yang Tak Berhingga karena penampakkan Wajah (l’épiphanie du visage). Penampakkan Wajah itu merobohkan ego saya. Wajah yang dimaksudkan Levinas bukan dalam pengertian empiris atau fisis melainkan orang lain sebagai Yang Lain, orang lain menurut keberlainannya. Kualitas fisis yang nampak dalam wajah tidak penting baginya, tetapi yang penting baginya adalah Wajah telanjang atau Wajah polos, Wajah begitu saja (le visage nu). Wajah itu menyatakan diri sebagai visage signifiant, Wajah yang menampakkan makna secara langsung, tanpa penengah, tanpa suatu konteks. K. Bertens, Op. Cit., hlm. 289. Metafisika Pada Bab I dalam Totalité et Infini judul yang diberikan Levinas adalah “The Same and The Other”. The Same atau Yang Sama dan The Other atau Yang Lain sebetulnya bukan ciptaan Levinas sendiri melainkan diambil dari teks dialog filsuf Yunani, Plato. Dalam dialog Timaeus, Plato menggambarkan penciptaan sebuah pasangan baru antara Yang Sama dan Yang Lain, dan melihat hakikat Yang Lain sebagai “yang sulit bercampur” dengan Yang Sama. Levinas menggunakan kedua istilah ini untuk menggambarkan relasi etis antara keduanya. Thomas Hidya Tjaya, Enigma Wajah Orang Lain, Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas, Jakarta, Gramedia, 2012, hlm. 49. Levinas meringkaskan bahwa filsafatnya berpusat pada dua istilah kunci ini. Thedore De Boer, Op. Cit., hlm. 8. Yang Lain menunjukkan segala sesuatu yang berada di luar diri kita seperti: pohon, kursi, meja, hewan dan manusia, khususnya kalau Levinas menggunakan istilah l’autre. Tetapi Levinas juga secara khusus menggunakan istilah Autrui untuk menunjuk pada manusia Yang Lain. Ia menunjukkan bahwa Yang Lain (Autrui), tidak dapat dikuasai, diserap, dan diinkorporasikan ke dalam Yang Sama karena memiliki keberlainan mutlak (Absolute Otherness). Thomas Hidya Tjaya, Op. Cit., hlm. 49-50. Menurut Levinas, “Filsafat Barat” sampai sekarang belum memberi tempat bagi adanya sesama. Adanya sesama manusia merupakan fenomena sui generis, suatu fenomena yang sama sekali unik, yang tidak dapat diasalkan dari sesuatu atau kepada sesuatu Yang Lain. Orang lain tidak merupakan suatu totalitas; ia tidak dapat dimasukkan ke dalam suatu keseluruhan. Ia selalu tinggal tersendiri dan selalu mempertahankan otonominya. Dengan Orang Lain, nampak suatu Eksterioritas, suatu transendensi. Untuk menjumpai orang lain, saya harus keluar dari imanensi saya. Ia membuka suatu dimensi tak berhingga bagi saya. Jadi, orang lain itu bukan alter ego, sebagaimana sering dikatakan di masa lampau, bukan aku yang lain. Saya tidak dapat mendekati dia dengan bertitik tolak dari “Aku”. Orang lain adalah si Pendatang atau orang Asing (l’Etranger). K. Bertens, Op. Cit., hlm. 289. Jika saya menempatkan orang lain berdasarkan pemikiran saya, maka saya telah mentotalisasi Dia yang sama sekali unik. Saya tidak dapat mentotalisasi orang lain dalam otonominya. Jika saya mentotalisasi orang lain, maka saya telah memaksakan kehendak saya akan dia yang adalah lain sama sekali. Orang Lain atau Yang Lain adalah yang sungguh-sungguh lain dari segala macam konstruksi saya akan keberadaan sesuatu di luar diri saya. “Filsafat Barat Modern” cenderung mentotalisasi sehingga orang lain dianggap hanya sebatas konstruksi pemikiran saya. Levinas menggunakan metode dialogis untuk menjelaskan konsepnya tentang Yang Lain dengan mengangkat pentingnya ‘bahasa’. Dalam filsafat Levinas, bahasa mendapat peran penting. Bahasa menampakkan diri dalam dialog. Dalam dialog itu, saya menyapa sesama. Mengatakan sesuatu selalu berarti menyapa orang lain. Tema dari percakapan selalu dikuasai dan diarahkan oleh orang yang disapa. Dari sebab itu, orang lain tidak dapat menjadi tema. Orang lain tidak dapat ditematisasi layaknya dalam “Filsafat Barat” yang “mentotalisasi” sekaligus “mentematisasi” realitas di luar dirinya, termasuk Orang Lain yang dijumpai. Hakikat bahasa adalah interpelasi atau sapaan. Bahasa merupakan sarana perdamaian sebelum menjadi tanda untuk menyampaikan pikiran. Bahasa berkaitan dengan etika sebelum berkaitan dengan teori. Levinas mengkritik “Filsafat Barat” yang melupakan aspek alteritas (alterity) atau keberlainan yang mengandung suatu kebenaran tersendiri. Theodore De Boer, Op. Cit., hlm. 14-15. Hal ini dapat dikatakan sebagai suatu realitas heteronom di mana penekanannya terletak pada aspek keberlainan. Realitas heteronom secara metafisik adalah realitas transenden, yang melampaui yang sekadar ontologis. Yang heteronom adalah Yang Lain secara absolut (absolument autre). Ibid., hlm. 15. Yang Lain menampakkan diri melalui Wajah. Yang Lain mewajibkan saya untuk bersikap tak acuh padanya. Ia mengimbau saya untuk mempraktekan keadilan dan kebaikan. Wajah menyatakan diri sebagai “janda dan yatim piatu”. Imbauan pokok Yang Lain kepada saya adalah ‘jangan membunuh!’. Kewajiban etis yang timbul dengan penampakan wajah harus bersifat Asimetris bukan simetris. Levinas juga mengkritik Martin Buber yang mengangkat tentang relasi I-Thou atau Aku-Engkau, yang menekankan hubungan kesetaraan atau bersifat resiprokal. K. Bertens, Op. Cit., hlm. 290. Asimetri yang dimaksudkan bersifat metafisis. Relasi Aku-Engkau pada Buber melewati begitu saja ciri etis, tanggung jawab Aku terhadap Yang Lain. Levinas juga menolak pemikiran Buber yang menyatakan bahwa terdapat imanensi dan transendensi dalam relasi intersubjektif. Meski demikian ia sangat mengapresiasi pemikiran Buber dan mengatakan bahwa Filsafatnya tidak jauh dari Filsafat Buber. Pemikiran ini bagi Levinas disebut sebagai ’Metafisika’. Ibid., hlm. 291. Levinas lebih menekankan Metafisika dibanding ontology. Dan Metafisika Levinas ini dapat dikatakan sebagai metafisika etis. Konstruksi Ontologi hingga Metafisika De Boer mengatakan bahwa Levinas menempatkan Yang Lain (The Other) sebagai dasar dari Yang Sama (The Same). Ia memfokuskannya pada tiga bidang ontologis yakni: pengetahuan (knowledge), pekerjaan (labor) dan masyarakat (Society). Theodeore De Boer, Op. Cit., hlm. 15 Pengetahuan Pada bagian pertama, Levinas mengulas persoalan pengetahuan dalam karyanya Totalité et Infini. Lagi-lagi persoalan pengetahuan diangkat karena pengamatan dan penilaiannya akan kondisi “Filsafat Barat” yang terlalu egosentris. Dengan egosentrisme, manusia dapat membenarkan segala jenis manipulasi, teknologi, industri, dan lain sebagainya, demi menggapai pola hidup tertentu, yang dianggap lebih baik. Pola itu disebut egonomi. Egonomi menjadi sangat efektif, sampai pada level praktis, di mana tujuannya adalah menguntungkan diri sendiri. Untuk itu, Levinas menggunakan istilah ‘ekonomi’. Alex Lanur, Op. Cit., hlm. 2. Pengetahuan menjadikan Yang Lain sebagai manifestasi dari dirinya sendiri sebagai suatu bentuk kehadiran. Ada upaya mereduksi yang berada di luar diriku, masuk ke dalam diriku dan aku yang menentukan keberadaannya. Levinas mengatakan bahwa pengetahuan tidak dapat terjadi begitu saja melainkan pengetahuan hanya dapat terjadi mana kala Wajah dari Yang Lain menampakkan dirinya. Keadaan ini sejalan dengan konsep dari Karl Buehler tentang segitiga pengetahuan, di mana tanda linguistik menghubungkan pembicara dan pendengar. Bagi Levinas, penekannya ada pada relasi ketiga. Bila relasi dengan Yang Lain seperti itu, maka akan membebaskan komunikatornya dari kecenderungan untuk mentematisasi satu sama lain. Ibid., hlm. 17. Levinas mengatakan bahwa ketika Aku berbicara dengan seseorang tentang sesuatu, relasi yang pertama kali terjadi berupa suatu permohonan kepada Yang Lain. Orang lain tidak dapat ditematisasi oleh Aku. Kehadiran Yang Lain di hadapanku mengajarkanku atau menyandera aku untuk tidak mentematisasi Yang Lain. Ibid., Pekerjaan Dalam konteks kritikan terhadap Heidegger tentang autentisitas, Levinas memberi perhatian pada aspek sosio-ekonomi. Ibid., Levinas menyatakan bahwa berada di dunia tidak petama-tama ditandai oleh faktisitas melainkan oleh “kenikmatan” (Jouissance). Yang dimaksudkan dengan kenikmatan itu adalah kenyataan bahwa aku hidup dari (vivere de…) barang-barang material serta memelihara diriku dengan menggunakannya. Barang-barang tersebut adalah udara, air, makanan dan sebagainya. Dalam “kenikmatan” itu cinta akan hidup, kebahagiaan dan hidup efektif berpusatkan diri sendiri. Keadaan tersebut merupakan egoisme hidup yang biasa dan wajar. Dimensi itu membuat setiap individu menjadi sesuatu yang independen dan berdiri sendiri. Dimensi tersebut serentak pula memisahkan individu yang satu dari individu yang lain. Alex Lanur, Op. Cit., hlm. 3 Seperti yang kita ketahui, lebih mudah berbicara dibanding bertindak. Pengetahuan lebih mudah dibagikan ketimbang membagikan uang. Bisa dikatakan, dalam proses ekonomi dan dalam dunia kerja, tidak pernah, Yang Lain, memainkan peran sebagai yang mengkonstitusikan. Apakah kerja bukan merupakan suatu manifestasi dari keegoisan kita, untuk mengamankan diri kita dengan senantiasa merasakan kenikmatan dan pada saat itu pula Yang Lain tidak hadir? Ibid., hlm. 20. Jelaslah bahwa tahapan pertama dari keberadaan kita di dunia, pertama-tama ditandai oleh kenikmatan. Hal itu menjadikan individu hanya peduli pada dirinya sendiri. Ia terpisah dengan individu Yang Lain. Karena itu eksistensi manusia di dunia ini tidak pertama-tama ditandai oleh “keadaan terlempar” (geworfen sein). Eksistensi itu, sebaliknya ditandai oleh adanya rumah dengan perempuan sebagai tokoh utamanya. Rumah membuat diriku merasa betah dan krasan. Rumah atau tempat tinggal itu menjadi suatu wilayah pribadi bagiku. Dan sebagai wilayah pribadi, rumah itu diandaikan oleh pelbagai kemungkinan untuk menggunakan dunia sebagai jaringan hubungan-hubungan yang ditandai dan ditentukan oleh manfaat. Suatu rumah mendahului suatu dunia yang ditandai dan ditentukan oleh manfaat. Rumah atau tempat tinggal merupakan pusat keadaan sebagai manusia. Bandingkan penjelasan De Boer dan Alex Lanur dalam pembahasan mengenai pengetahuan. Keduanya seolah sepaham dengan apa yang dikemukakan oleh Levinas mengenai Pengetahuan sebagai salah satu dimensi yang menentukan Filsafat Transendental Etisnya Levinas. Alex. Lanur, Loc. Cit., hlm. 3. Oleh karena itu eksistensi manusia di dunia ini tidak pertama-tama ditandai oleh “keadaan terlempar” (geworfen sein). Eksistensi itu sebaliknya, ditandai oleh adanya rumah (la maison) atau tempat tinggal (la demeure). Rumah atau tempat tinggal merupakan pusat keadaan manusia sebagai manusia. Alex Lanur, Op. Cit., hlm. 3. Jelas bahwa, dalam filsafat etis transendental kondisi dari struktur berpikir tentang, yang di katakana sebagai ekonomi, bisa direkonstruksikan dengan jalan fenomena. Theodore De Boer, Op. Cit., hlm. 21 Filsafat Transendental Etis tidak berarti perintah, terang, kebenaran dan keadilan yang dapat diatur dibelakang kita dengan “kesadaran umum” (Consciousness in General) atau ada yang jelas (Clearing of being). Ibid., Masyarakat Dalam pengetahuan (Knowledge), Yang Lain merupakan manifestasi dari dirinya sendiri sebagai yang bisa ditotalisasi. Dalam Pekerjaan (Labor) Orang Lain (The Other) bersifat normatif. Pemahaman tentang masyarakat (Society) didasarkan pada dua hal tersebut. Levinas mengangkat perihal masyarakat untuk menjelaskan aspek sosialitas manusia. Ibid., Lanur menulis bahwa: Ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, keadilan, politik, dan sebagainya pasti menjadi mustahil bila semua fakta serta pengada tidak dipandang dan diuraikan sebagai faktor-faktor yang saling berkaitan dalam bermacam-macam jaringan, perencanaan dan organisasi. Dunia yang adil tidak dapat tidak membutuhkan lembaga-lembaga. Dan dengan bantuan lembaga-lembaga tersebut, manusia juga diperlakukan sebagai salah satu unsur dari keseluruhan (totalité) yang lebih besar. Artinya, manusia dapat dan nyatanya dihitung, dipakai dan dipandang sebagai bagian yang berhubungan dengan bagian-bagian Yang Lain. Bagian tersebut tidak dapat hidup hanya dari dirinya sendiri dan hanya untuk dirinya saja. Suatu masyarakat yang tidak dihubungkan satu sama lain oleh suatu peraturan, hukum atau perudangan bersama pasti akan hilang tanpa bekas dan menghadapi ajalnya. Alex lanur, Op. Cit., hlm. 5. Levinas menyadari bahwa manusia, dengan konsep Yang Lain akan saling bertabrakan satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena Aku akan senantiasa bertemu dengan Wajah Yang Lain. Dalam pertemuan itu Aku berhadapan dengan Aku Yang Lain. Jika demikian, apakah dalam suatu komunias sosial atau dalam masyarakat tertentu, kebebasanku tidak pernah akan teraktualisasikan secara baik karena aku selalu dibatasi dengan kehadiran Yang Lain di hadapanku? Bagaimana mungkin kehadiranku akan aku rasakan sebagai sesuatu yang tidak mengganggu Yang Lain, atau sebaliknya kehadiran Yang Lain tidak akan mengganggu kehadiranku? Menjawab hal ini, Levinas lewat De Boer mengatakan bahwa perlu diangkat konsep mengenai Keadilan dan Cinta. Batas diri seseorang dalam mengupayakan kebebasannya ketika berhadapan dengan orang lain dalam suatu komunitas terdapat pada cinta dan keadilan. Theodore De Boer, Loc. Cit., Dengan cinta dan keadilan, orang akan mendapati dirinya dalam kebebasan sejati. Oleh karena itu, keadilan dan cinta harus dilembagakan sehingga terbentuklah aturan yang mengatur kehidupan bersama. Masyarakat yang tidak memiliki aturan dan norma yang menjadi tujuan dan cita-cita bersama, tidak akan bertahan dan kemudian akan menemui ajalnya. Levinas juga mengangkat persoalan seputar kehidupan politik, di mana dengan politik kehidupan bersama dapat diatur sedemikian sehingga cita-cita bersama yakni, kebaikan bersama (bonum commune) dapat terwujud. Ibid., hlm. 24. Bagi Levinas, teori dan praktek merupakan dua modal dasar relasi metafisis. Masyarakat sebagai representasi dari relasi metafisis antara aku dan Yang Lain hendaknya mengupayakan keadilan sosial, sehingga kebebasan individu yang satu tidak mencaplok kebebasan individu yang lain. Keadilan sosial hendaknya menjadi cita-cita bersama dan diusahakan oleh setiap individu dalam masyarakat. Metode Transendental Levinas Pada bagian ini, persoalan utama seperti yang sudah dikatakan pada bagian pengantar, yakni: petama, apa ciri dari Filsafat Transendental Levinas? Kedua, bagaimana Filsafatnya dibedakan dari filsafat dialogis? Akan di jawab. Menjawab pertanyaan pertama, Levinas mengikuti jejak gurunya, Husserl, tetapi ia meradikalkan intensionalitas sebagai langkah pertama dalam upaya mencapai kesadaran. Yang Lain dalam Levinas berbeda secara radikal, bahkan bertentangan dengan Being dalam Heidegger II. Being Heideggerian dianggap sebagai suatu yang terlalu bersifat Netral (anonim). Ada pada Heidegger mengesampingkan aspek Etis, yang bagi Levinas sangat penting dalam menjelaskan konsep filsafatnya. Ada dalam Husserl, Heidegger dan tradisi “Filsafat Barat” yang menekankan totalisasi ditentang oleh Levinas. “Ada” yang dipahami “Filsafat Barat” sama dengan kesadaran yang mengkonstitusikan dirinya sendiri. Yang Lain hanya ada karena dan bagi kesadaran diri. Bagi Levinas, filsafat yang demikian disebut ontologi. Ibid., hlm. 29. Totalitas ini didobrak oleh Levinas dengan konsepnya tentang Yang Tak Berhingga (Infini). Yang Tak Berhingga dimasukkan ke dalam lingkup pengetahuan atau kesadaran. Analisis mengenai intensionalitas tidak dimulai dari pengalaman atau kesadaran diri, seperti yang dikemukakan oleh Husserl dan Heidegger. Lebih dari itu, hal itu merupakan suatu gerak pencarian secara tak langsung dari intuisi kepada kondisi etis, sehingga tidak bisa ditematisasi oleh kesadaran diri sendiri. Ibid., Menjelaskan kondisi etis tersebut, ia tidak menggunakan istilah reduction tetapi menggunakan istilah deduction dari Kant. Kemungkinan dari pengalaman dan kenyataan sains mempertegas validitas kategori Kantian. Hal ini sama dengan egoisme manusia, dengan kenyataan pengetahuan kritis dan diri dan komunitas (situasi di mana totalitas ditangguhkan), mengindikasikan corak utama bagi epifani atau penampakan wajah dari Yang Lain. Ibid.,. Sederhananya, penampakan wajah Orang Lain, percakapan dan pembicaraan, adalah dasar dari Filsafat transendental etis Levinas. Yang Tak Berhingga itu adalah Orang Lain (Autrui, l’Autre). Jawaban atas pertanyaan kedua, tentang keterkaitan filsafat Levinas dengan Filsafat Dialogisnya Buber, diringkas menjadi tiga hal yakni, petama, Levinas mengkritik Spiritualisme dalam Buber. Bagi Levinas, dalam relasi, aspek yang perlu dan pertama-tama diangkat adalah yang berkaitan dengan sosio-ekonomi. Kita harus bisa melihat Orang Lain lewat pengamatan sederhana, semisal mereka yang lapar dan mereka yang membutuhkan pertolongan kita untuk melanjutkan hidup mereka saat ini. Kedua, Levinas meenyalahkan metode dialogis yang terlalu menekankan aspek formalisme. Relasi I-Thou Buber telah meniadakan dimensi etis dari suatu relasi. Menurut Levinas, relasi dengan Yang Lain merupakan relasi Asimetris. Yang Lain, sebagai yang menderita, memanggil Aku untuk bertanggung jawab dan menaruh perhatian baginya. Ketiga, pemikiran Levinas juga berpindah dalam suatu arah yang berbeda dalam relasi dengan masalah tentang alienasi dan realisasi diri. Ibid., hlm. 30. Bagi Levinas, menjadi diri sendiri ditegaskan dengan keberadaan Yang Lain. Untuk melawan egoisme, Levinas mengemukakan konsep tentang sikap altruistik. Relasi Wajah ke Wajah (face-to-face) berarti keduanya saling bergantung dan sekaligus independen. Ibid., hlm. 31. Secara sederhana, dalam praktek keseharian hidup, hal ini dapat dikatan sebagai sebuah konsep Hospitalitas. Ibid., Konsep Hospitalitas digunakan oleh Levinas untuk menjelaskan situasi orang yang berada di padang pasir, dan membutuhkan air dan makanan untuk bertahan hidup, dan ia bertemu dengan orang asing yang rela memberikan makanan dan minuman yang ia miliki, bahkan makanan yang ada dalam mulutnya. Konsep ini diangkat untuk menjelaskan peran Allah dalam dalam menolong manusia. Sebagai seorang Yahudi, Allah yang ia maksudkan adalah Allah yang membebaskan bangsa Mesir dari perbudakan di Mesir selama berabad-abad lamanya. Dengan konsep ini ia ingin menggeser rasionalitas pada sensibilitas. Dengan demikian secara etis aku bertanggungjawab terhadap orang lain. Aku adalah jejak dari Allah yang hadir dalam jejak (trace). Thomas Hidya Tjahya, Enigma Wajah Orang Lain, Menggali Pemikiran Emanuel Levinas, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2012, hlm. 161. Tanggapan Kritis Pada bagian ini saya akan memberikan tanggapan Kritis dalam bentuk refleksi kritis atas Filsafat Transendental Etis Levinas. Pertama, Filsafat Levinas sangat sukar untuk dipahami. Mengikuti pernyataan De Boer dan para pemikir lainnya. Saya beranggapan bahwa apa yang dikemukakan Levinas lewat metodologi fenomenologisnya, sangat sukar untuk dipahami, terlebih bagi mereka yang awam dengan dunia filsafat. Mungkin di sinilah konsepya tentang Yang Lain menjadi nyata. Bahwa memang aku tidak dapat hidup sendiri. Kehadiran orang lain menegaskan eksistensiku sebagai aku. Aku ditolong oleh orang lain untuk bisa memahami hal-hal yang sukar untuk dipahami (Ilmu pengetahuan). Demikian pula kehadiranku menegaskan eksistensi orang lain. Kedua, Filsafat Transendental Etis Levinas sangat relevan dengan dunia kehidupan sehari-hariku, di mana aku selalu bertemu dan berhadapan dengan orang lain. Aku selalu menampakan diri bagi Yang Lain dan sebaliknya Yang Lain senantiasa menampakan dirinya padaku dalam perjumpaan. Sebagai evaluasi, Levinas tidak menjelaskan secara komprehensif dan mendasar tentang perjumpaan. Sejauh pembacaan saya, perjumpaan yang dimaksudkan Levinas baru sebatas pertemuan fisik yang terjadi antara dua orang atau lebih. Levinas belum atau tidak menjelaskan tentang perjumpaan yang terjadi dalam kesadaran atau dalam rasio yang melekat dalam diri setiap orang. Ketiga, tentang mentotalisasi Yang Lain (The Other) ke dalam Yang Sama (The Same). Menurut penjelasan Levinas mengenai perihal filsafat yang mentotalisasi, hemat saya bersifat kontradiktif. Bagaimana mungkin saya tidak mentotalisasi Yang Lain jika saya selalu menggunakan kesadaran dalam setiap perjumpaan dengan Yang Lain. Saya tidak bisa berjumpa dengan Yang Lain selain dalam kesadaran saya. Mungkin Levinas berhasil menjelaskannya dalam karyanya yang lain, namun saya tetap ragu, karena dengan keadaan selalu tersandera, identitasku sebagai pribadi menjadi kabur bahkan hilang. Kalau aku tidak mentotalisasi atau mentematisasi Yang Lain, maka aku yang akan ditotalisasi dan ditematisasi oleh Yang Lain. Aku memiliki keunikan tersendiri dengan segala bentuk keinginan dan kebutuhan. Bagaimana mungkin aku dapat bereksistensi jika aku selalu bertanggunjawab terhadap Yang Lain? Aku harus setidaknya menentukan orang lain dalam lapisan epistemisku, sehingga aku tetap memiliki identidas. Keempat, meski mengkritik Buber dengan mengatakan bahwa relasi I-Thou yang dikemukakan Buber terlalu menekankan aspek formalitas dan terlalu mengedepankan aspek spiritualisme, Levinas pun sebenarnya terlalu banyak menggunakan istilah yang berkaitan dengan Realitas-Tak-Berhingga. Mengikuti John Lechte, Filsafat Levinas cenderung ke Teologi. A. Gunawan Admirandto, 50 Filsuf Kontemporer; dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, diterjemahkan dari John Lechte, Fifty Key Contemporary Thinkers, Kanisius, Yogyakarta, 2001, hlm. 189. Levinas masih terbelenggu oleh konsep-konsep yang didapatinya dalam tradisi Yudaisme, di mana Realitas Tak Berhingga selalu menjadi jawaban terakhir atas persoalan yang dihadapi oleh manusia. Daftar Kepustakaan: Buku Bertens, Kees, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2006. De Boer, Theodore, The Rationality Of Transcendence; Studies In The Philosophy Of Emmanuel Levinas, Amsterdam, J. C. Gieben, 1997. Gunawan, A. Admirandto, 50 Filsuf Kontemporer; dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, diterjemahkan dari John Lechte, Fifty Key Contemporary Thinkers, Yogyakarta, Kanisius, 2001. Tjaya, Thomas Hidya, Enigma Wajah Orang Lain; Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas, Jakarta, Gramedia, 2012. Teks Pidato: Lanur, Alex, Aku Disandera; Aku dan Orang Lain, Menurut Emmanuel Levinas, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat, STF Driyarkara, 2000. 12