Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

PPH badan 2016

Daftar Isi Bab 1. Bab 2. Bab 3. Bab 4. Bab 5. Bab 6. Bab 7. Bab 8. Bab 9. Bab 10. Bab 11. Bab 12. Bab 13. Bab 14. Bab 15. Bab 16. Bab 17. Bagan Konsep Pajak Penghasilan Badan................................................................. Subjek Pajak Penghasilan Badan............................................................................. Objek PPh Badan.................................................................................................... Biaya Yang Boleh Dikurangkan (Deductable Expenses).......................................... Biaya Yang Tidak Boleh Dikurangkan (Nondeductable Expenses).......................... Penilaian Harta Perusahaan.................................................................................... Rekonsiliasi Fiskal................................................................................................... Kompensasi Kerugian............................................................................................. Tarif PPh Badan....................................................................................................... Kredit Pajak WP Badan........................................................................................... PPh Atas Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu....................................... Bentuk Usaha Tetap................................................................................................ Revaluasi Aktiva Tetap............................................................................................ Fasilitas Dibidang PPh............................................................................................. SPT Tahunan PPh Badan......................................................................................... Capita Selecta......................................................................................................... Lampiran - lampiran................................................................................................ 2 3 9 28 49 55 61 66 68 71 83 88 97 101 105 107 120 Halaman 1 Bab 1. Bagan Konsep Pajak Penghasilan Badan Figure 1. Bagan Konsep PPh Badan Modul Pajak Penghasilan Badan pada dasarnya adalah kelanjutan dari PPh Orang Pribadi. Pembaca modul ini diharapkan telah mempelajari modul PPh Orang Pribadi untuk mempermudah pemahaman. Seperti telah dijelaskan dalam materi Pajak Penghasilan Orang Pribadi. Sebagai Pajak Subjektif maka dalam sistimatika UU Pajak Penghasilan yang pertama kali dibahas adalah Subjek Pajak Penghasilan (Pasal 2 UU PPh). Perbedaan mendasar untuk Subjek Pajak Badan adalah mekanisme Penghitungan Penghasilan Kena Pajak harus menggunakan mekanisme umum dan atau wajib menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak Badan tidak diperkenankan menggunakan mekanisme norma penghitungan kecuali untuk perusahaan pelayaran/ penerbangan yang dapat menggunakan norma penghitungan khusus yang akan dijelaskan kemudian. Sama seperti Subjek Pajak Orang Pribadi untuk menghitung PPh yang Kurang/Lebih dibayar pada akhir tahun. PPh terutang dikurangkan terlebih dahulu dengan PPh tidak final yang dipotong/dipungut pihak lain sebagai efek dari sistem witholding tax dan PPh yang dibayar sendiri sebagai angsuran sebagaimana diatur dalam pasal 25 UU Pajak Penghasilan. Hasil perhitungan secara self assesment ini harus dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan. Untuk penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final, harus dibukukan secara terpisah dengan penghasilan yang tidak dikenakan PPh Final. PPh Final dilaporkan secara terpisah dalam lampiran tersendiri dalam SPT Tahunan PPh Badan. Termasuk PPh yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013, yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2013 yang akan dijelaskan dalam bab tersendiri. Halaman 2 Bab 2. Subjek Pajak Penghasilan Badan Pajak Penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU Pajak Penghasilan dijelaskan bahwa yang menjadi subjek pajak dalam Pajak Penghasilan adalah : a. Orang Pribadi (Perseorangan) b. Warisan yang belum terbagi, sebagai satu kesatuan c. Badan d. Bentuk Usaha Tetap (BUT). 2.1. Pengertian Subjek Pajak Badan Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, Firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Jadi Subjek Pajak Badan bukan hanya sebuah perusahaan. BUMN dan BUMD merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama. Pengertian Badan bukan hanya yang menerbitkan/ mengeluarkan saham, tetapi juga yang tidak menerbitkan saham, termasuk kegiatan yang dikelola lebih dari satu orang, demikian juga organisasiorganisasi yang nirlaba semisal partai politik, perkumpulan sosial kemasyarakatan (LSM). Subjek Pajak Badan dibedakan menjadi : Subjek Pajak Dalam Negeri Badan yang didirikan di Indonesia Subjek Pajak Badan Menjalankan Bentuk Usaha Tetap (BUT) Subjek Pajak Luar Negeri Badan yang tidak didirikan di Indonesia Tidak menjalankan Bentuk Usaha Tetap (BUT) Figure 2. Jenis Subjek Pajak Badan Halaman 3 Perbedaan antara Subjek Pajak Dalam Negeri dan Luar Negeri adalah sebagai berikut : No Uraian 1 Ruang lingkup Penghasilan 2 3 Kewajiban memiliki NPWP Kewajiban menyampaikan SPT Subjek Pajak(WP) DN Meliputi penghasilan seluruh dunia Wajib memiliki NPWP Terdapat kewajiban menyampaikan baik SPT Masa maupun SPT Tahunan 4 Penghasilan yg dikenakan Pajak Penghasilan Kena Pajak bagi WP 5 Tarif a. Dikenakan Tarif Pasal 17 yaitu : Tarif tunggal 25% b. Dikenakan Tarif PPh Final (Psl 4 ayat 2) 6 Pembayaran Pajak Tahun Merupakan angsuran dari PPh yang Berjalan terutang pada akhir tahun, kecuali yang Final 7 Keberatan dan Banding Mempunyai Hak dimaksud 8 Pembukuan Diwajibkan menyelenggarakan Figure 3. Perbedaan Subjek Pajak Dalam dan Luar Negeri Subjek Pajak LN Hanya Penghasilan dari Indonesia Tidak Wajib memiliki NPWP Tidak ada kewajiban SPT Penghasilan Bruto Dikenakan Tarif Khusus Pasal 26 atau seseuai dengan Tarif menurut P3B (Tax-Treaty) Merupakan pembayaran yang Final kecuali yang berubah status. Tidak mempunyai hak dimaksud Tidak terdapat kewajiban tsb 2.2. Bentuk Usaha Tetap (BUT) Dalam pengertian subjek pajak luar negeri, muncul istilah Bentuk Usaha Tetap (BUT). Apakah itu BUT? BUT ditentukan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri sekalipun tatacara pengenaannya serta ketentuan administrasi perpajakannya sama dengan wajib pajak badan dalam negeri dengan modifikasi dalam penentuan laba serta penambahan tarif PPh Pasal 26 ayat (4). Pasal 2 ayat (5) UU PPh : Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: a. tempat kedudukan manajemen; b. cabang perusahaan; c. kantor perwakilan; d. gedung kantor; e. pabrik; f. bengkel; g. gudang; h. ruang untuk promosi dan penjualan; i. pertambangan dan penggalian sumber alam; j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; k. perikanan, peternakan, pertanian, Perkebunan atau kehutanan; l. proyek konstruksi, Instalasi, atau proyek perakitan; m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain. sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan p. computer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet. Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha place of bussiness yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan Halaman 4 kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha, atau melakukan kegiatan di Indonesia, menggunakan, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat tinggal diluar Indonesia, dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung resiko di Indonesia melalui pegawai atau perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung resiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan resiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal atau berada atau bertempat kedudukan di Indonesia. 2.3. Tempat Kedudukan Badan Berkenaan dengan pengenaan pajaknya, maka perlu ditetapkan tempat kedudukan badan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (6) UU Pajak Penghasilan hal tersebut ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya. Penentuan tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh badan tersebut termasuk Kantor Pelayanan Pajak mana yang menerbitkan NPWP-nya. Pada dasarnya tempat kedudukan badan, ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Tempat kedudukan badan menurut keadaan yang sebenarnya yaitu :1 a. Tempat kantor pimpinan perusahaan dan pusat administrasi dan keuangan berada sebagaimana tercantum dala Akte Notaris Pendirian Perusahaan yang bersangkutan. b. Tempat kantor pimpinan perusahaan berada dalam hal tempat kantor pimpinan perusahaan terpisah dari tempat pusat administrasi dan keuangan perusahaan. c. Tempat kedudukan badan menurut keadaan sebenarnya yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. dalam hal keadaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (b) berada dibeberapa tempat. d. Dalam hal tempat kedudukan badan berada dalam dua atau lebih wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak, tetapi dalam satu wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Penentuan tempat tinggal dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak. e. Dalam hal tempat kedudukan badan berada dalam dua atau lebih wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak. penentuan tempat tinggal dilaksanakan oleh Direktur Pajak Penghasilan atas nama Direktur Jenderal Pajak. 2.4. Kewajiban Pajak Subjektif Pajak penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting. 1 Kepdirjen Pajak No. Kep 701/PJ.2001 tentang Penentuan Tempat Tinggal Orang Pribadi dan Tempat Kedudukan Badan Halaman 5 Saat mulai dan saat berakhirnya kewajiban pajak subjektif bagi subjek pajak badan adalah sebagai berikut: Kewajiban Pajak Subjektif Subjek Pajak Dalam Negeri/Luar Negeri Saat Dimulai Saat Berakhir WP Badan Dalam Negeri Didirikan atau bertempat kedudukan Dibubarkan atau tidak lagi di Indonesia bertempat kedudukan di Indonesia SPLN BUT Pada Saat badan tersebut Pada saat tidak lagi menjalankan menjalankan usaha atau melakukan usaha atau melaukan kegiatan kegiatan melalui BUT melalui BUT SPLN Non BUT Pada saat Badan tersebut menerima Pada saat tidak lagi menerima atau atau memperoleh penghasilan dari memperoleh Penghasilan dari Indonesia Indonesia Figure 4. Kewajiban Pajak Subjektif Contoh 1 : PT X didirikan di Gianyar, tanggal 2 Januari 2012 berdasarkan Akta Notaris Made Imas Fatimah, SH. Maka kewajiban pajak subjektif PT X mulai ada sejak 2 Januari 2012. Apabila karena sesuatu hal, PT X kemudian dibubarkan melalui keputusan para pemegang saham dan akta pembubaran telah disahkan dimuka Notaris pada tanggal 2 Januari 2013, maka kewajiban pajak subjektif PT X berakhir pada tanggal 2 Januari 2013. Contoh 2 : Misalnya Singaparna Ltd Singapura mempunyai kantor cabang di Indonesia berarti Singaparna Ltd merupakan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tetapi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia. Kewajiban Pajak Subjektif Singaparna dimulai pada saat menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia. Kalau Singaparna Ltd tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, maka Kewajiban Pajak Subjektif berakhir. 2.5. Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan Badan Dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh, tidak termasuk pengertian "Subjek Pajak Badan" adalah unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria : 1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; 2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan 4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan Contoh dari yang tidak temasuk subjek pajak berdasarkan pasal ini misalnya : Kementerian Keuangan dan Kementerian Perhubungan. Selain itu dalam Pasal 3 ayat (1) UU PPh dinyatakan bahwa yang tidak termasuk subjek pajak badan adalah : 1. Kantor perwakilan negara asing 2. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat: Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota. Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (Pasal 3 ayat (2) UU PPh). Sesuai dengan kelaziman yang berlaku secara Internasional, bahwa badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabatnya, serta orang yang diperbantukan, serta tinggal bersama mereka dengan syarat bukan Halaman 6 WNI tidak melakukan kegiatan lain serta negara asing tersebut memberikan perlakuan yang sama (azas timbal balik) dikecualikan sebagai subjek pajak. Organisasi Internasional adalah organisasi/badan/lembaga/asosiasi/perhimpunan/forum antar pemerintah atau non-pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama. Organisasi Internasional yang dikecualikan sebagai subjek pajak dapat dilihat pada lampiran 1 buku ini. Apabila ada organisasi internasional, tetapi tidak termasuk dalam daftar dimaksud maka organisasi internasional tersebut menjadi subjek pajak. Organisasi-organisasi internasional yang telah ditetapkan sebagai bukan Subjek Pajak Penghasilan, dapat ditinjau kembali apabila tidak memenuhi syarat-syarat diatas. 2 2.6. Hubungan Istimewa Antar Subjek Pajak Hubungan istimewa di antara subjek pajak selalu menjadi isu yang hangat antara wajib pajak dan petugas pajak. Petugas Pajak beranggapan bahwa kalau terdapat hubungan istimewa antar subjek pajak, maka kemungkinan besar terdapat transaksi yang tidak wajar yang akan memperkecil kewajiban pajak subjek pajak tersebut. Pasal 18 ayat (4) mengatur bahwa hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat : a. Hubungan Modal Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung. Contoh : PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C. PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D antara PT B PT C dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa. b. Hubungan Penguasaan Hubungan istimewa karena penguasaan timbul jika wajib pajak menguasasi wajib pajak lainnya, atau dua atau lebih wajib pajak berada dibawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung. Hubungan istimewa antara wajib pajak dapat terjadi juga karena penguasaan melalui manajemen atau teknologi, kendati pun tidak terdapat hubungan kepemilikan. Hubungan Istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut. c. Hubungan Keluarga Hubungan istimewa dapat timbul diantara orang pribadi pemegang saham perusahaan yang memiliki hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau kesamping satu derajat. 2 Keputusan Menkeu Nomor : KMK No.574/KMK.04/2000 jo PMK 215/PMK.03/2008 jo PMK 166/PMK.011/2012 Jo Nomor : 156/PMK.010/2015 tanggal 12 Agustus 2015 Tentang Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Termasuk Sebagai Subjek Pajak Penghasilan Halaman 7 Hubungan Sedarah : Ayah, Ibu, dan Anak. (Garis keturunan lurus satu derajat). Saudara Kandung atau Saudara Tiri (garis keturunan ke samping satu derajat). Hubungan Semenda : Mertua dan Anak Tiri (Garis Keturunan Lurus Satu Derajat). Ipar (Garis Keturunan ke samping satu derajat). Beberapa pasal dalam UU PPh yang ada kaitannya dengan hubungan istimewa antar subjek pajak yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut : •Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham (orang pribadi atau badan) atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai Pasal 9 ayat (1) imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan tidak boleh menjadi biaya Pasal 10 ayat (1) Pasal 18 ayat (3) •Keuntungan atas jual beli aktiva tetap diantara subjek pajak yang memiliki hubungan istimewa dihitung dengan cara mengurangkan harga pasar wajar aktiva tersebut dengan nilai bukunya. Harga Pasar disini adalah nilai yang seharusnya diterima dalam transaksi normal (arm-length transaction). Ketentuan ini bertujuan untuk menghindari jual beli secara tidak wajar. •Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besamya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa •Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pilhak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antara· pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa Halaman 8 Bab 3. Objek PPh Badan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia dengan nama dan dalam bentuk apapun. Jadi Objek Pajak PPh adalah Penghasilan. Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal) kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum. Ditinjau dari dari jenis subjeknya pada dasarnya jenis penghasilan untuk wajib pajak badan dapat digolongkan menjadi tiga yaitu penghasilan yang diterima Subjek Pajak Badan Dalam Negeri, Subjek Pajak Badan Luar Negeri melalui BUT dan Subjek Pajak Luar Negeri non BUT seperti terlihat pada tabel. Subjek Pajak Jenis Penghasilan Dasar Hukum Subjek Pajak Badan Objek Pajak Badan dalam negeri adalah semua Pasal 4 UU PPh Dalam Negeri penghasilan yang diterima atau diperoleh Badan tersebut dengan prinsip WWI (World Wide Income), yang diterima baik dari dalam maupun luar negeri Subjek Pajak Badan - penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha Pasal 5 UU PPh Luar Negeri (BUT) tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai. - penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia. - penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud. Subjek Pajak Badan Penghasilan WP Badan Luar Negeri bukan BUT Pasal 26 UU PPh Luar Negeri (Non BUT) adalah penghasilan-penghasilan yang diterima atau diperoleh badan luar negeri yang bukan berasal dari usaha/kegiatan di Indonesia tetapi berupa penghasilan modal (passive income). Contohnya : adalah penghasilan deviden, bunga, royalti, sewa, hadiah, maupun capital gain. Figure 5. Jenis penghasilan Ditinjau dari sifat pengenaan pajaknya, penghasilan yang merupakan Objek PPh Badan dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu : - Penghasilan yang merupakan Objek PPh yang tidak bersifat Final (Pasal 4 ayat 1 UU PPh) - Penghasilan yang merupakan Objek PPh yang bersifat Final (Pasal 4 ayat 2 UU PPh) - Penghasilan yang bukan merupakan Objek PPh (Pasal 4 ayat 3 UU PPh) Halaman 9 3.1. Penghasilan yang merupakan Objek PPh yang tidak bersifat Final Penghasilan yang tidak bersifat final diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pajak Penghasilan. Penghasilan Tidak Final artinya penghasilan ini harus digabungkan kemudian dihitung pajak penghasilannya pada akhir tahun. Kalau atas penghasilan tersebut pada tahun berjalan ada mekanisme pemotongan/pemungutan PPh (tidak final), maka PPh tersebut dapat menjadi kredit pajak. Penghasilan yang tergolong objek PPh tidak bersifat final yang diterima oleh Subjek Pajak Badan diantaranya: a. Hadiah dari undian, atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala. Tidak termasuk dalam pengertian hadiah dan penghargaan yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli atau konsurnen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.3 b. Laba usaha Laba Usaha merupakan penghasilan dari usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Badan. Laba Usaha adalah Penghasilan yang diperoleh dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan tersebut. Laba usaha diperoleh sesuai dengan pembukuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Badan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Perhitungan Laba Usaha : Peredaran Usaha Harga Pokok Penjualan Laba Bruto Biaya Usaha Laba Usaha XXX (XXX) XXX (XXX) XXX dilakukan penyesuaian fiskal untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak (penjelasan Bab 7.) c. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : 1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal 2) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, dan atau anggota yang diperoleh peseroan, persekutuan, dan badan lainnya 3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun 4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan, dan4 5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan. Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal 3 Kep-395/PJ/2001 tentang Pengenaan PPh atas Hadiah dan Penghargaan 4 PMK Nomor 245/PMK.03/2008 tentang Badan dan Orang Pribadi yang menjalankan Usaha Mikro dan Kecil Yang menerima Harta Hibah, Bantuan, Atau Sumbangan Yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan Halaman 10 penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dan pemegang sahamnya, maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar. Contoh : PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 55.000.000 (lima puluh lima juta rupiah), maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S, dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 5.000.000 (lima juta rupiah) merupakan penghasilan. d. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan objek pajak. Sebagai contoh : Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan. Sebab dikembalikan misalnya permohonan pengurangan PBB yang diajukan wajib pajak dikabulkan sebagian atau seluruhnya. e. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan dan jaminan pengembalian utang Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi. f. Deviden Pembagian Laba kepada pemegang saham suatu perusahaan dikenal dengan istilah Deviden. Deviden dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi merupakan Objek PPh. Termasuk dalam pengertian deviden adalah : 1. pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun. 2. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah penyetoran. 3. pemberian saham bonus, yang dilakukan tanpa penyetoran, termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham. 4. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran. 5. jumlah yang melebihi setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan ybs. 6. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetor, jika dalam tahun-tahun yang lalu diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu. adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah. 7. pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut. 8. bagian laba sehubungan dengan kepemilikan obligasi. 9. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis. 10. pembagian sisa hasil usaha koperasi. 11. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. Halaman 11 Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran deviden secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila hal ini, maka selisih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku wajar dipasaran dianggap sebagai deviden. Bagian bunga yang dianggap sebagai deviden tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan. Contoh : Tidak semua deviden merupakan objek pajak. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf d Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas, sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN dan BUMD bukan merupakan Objek Pajak. Selain itu, Objek pajak berupa dividen tidak termasuk pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari : 5 a. kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal atau membeli saham di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan b. kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan. h. Royalti Royalti adalah jumlah yang dibayarkan untuk penggunaan properti, seperti hak paten, hak cipta, atau sumber alam, misalnya: pencipta mendapat bayaran royalti ketika ciptaannya diproduksi dan dijual, penulis dapat memperoleh royalti ketika buku hasil karya tulisannya dijual, pemilik tanah menyewakan tanahnya ke perusahaan minyak atau perusahaan penambangan akan memperoleh royalti atas dasar jumlah minyak yang dihasilkan dan tanah tersebut. Pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan : 1. hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan. 2. hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industry, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industry komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya. 3. Informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi 5 Peraturan Pemerintah No.94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan PPh dalam Tahun Berjalan Halaman 12 melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama. i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang. Sewa harta tak gerak berupa sewa kantor, rumah, atau gedung diatur tersendiri dalam Pasal 4 ayat (2) sebagai penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final. j. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun demikian, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), kredit untuk perumahan sangat sederhana serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai Objek Pajak. Yang dibebaskan dari PPh adalah utang debitur kecil, yaitu utang usaha yang jumlahnya tidak lebih dari 350 juta, termasuk :6 Kukesra (Kredit Usaha Keuarga Prasejahtera) KUT (Kredit Usaha Tani) KPRSS (Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana) KUK (Kredit Usaha Kecil) Kredit lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan BI dalam rangka mengembangkan usaha kecil dan koperasi (yang merupakan jumlah kumulatif dari satu atau beberapa bank kreditur). Kredit yang diberikan oleh lebih dari satu bank kepada satu debitur yang jumlah seluruhnya tidak melebihi Rp 350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) dapat dihitung sebagai Utang Debitur Kecil dari masing-masing bank, sepanjang memenuhi kriteria Utang Debitur Kecil. Dalam hal pemberian Utang Debitur Kecil dilakukan oleh lebih dari satu bank kepada satu debitur yang mengakibatkan jumlah plafon kreditnya melampaui batas maksimum, maka keuntungan karena pembebasan utang yang dikecualikan sebagai Objek Pajak adalah jumlah sisa kredit yang diperoleh pada bank pertama ditambah dengan jumlah sisa kredit yang diperoleh pada bank-bank berikutnya sampai mencapai jumlah plafon kredit keseluruhan sebesar Rp 350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). Apabila masih terdapat sisa kredit pada bank tersebut dan atau bank-bank lain setelah dikurangi dengan jumlah plafon kredit keseluruhan sebesar Rp 350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah), maka keuntungan karena pembebasan utang atas sisa kredit tersebut merupakan Objek Pajak. Pengecualian sebagai Objek Pajak sebagaimana dimaksud diatas hanya dapat dinikmati yang bersangkutan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun pajak. Pembebasan utang terhadap Wajib Pajak Badan yang melakukan restrukturisasi perusahaan dengan melaksanakan program Pemerintah mengikuti ketentuan yang ditetapkan BPPN dapat memilih pengakuan penghasilan :7 - sekaligus dalam tahun diperolehnya pembebasan utang. - dialokasikan dalam jangka waktu 5 tahun dalam jumlah yang sama besar (20% per tahun). - Wajib Pajak memberitahukan ke KPP dengan formulir yang sudah disediakan, selambat-lambatnya pada saat SPT Tahunan PPh disampaikan ke KPP, tidak memberitahukan berarti diakui sekaligus. 6 7 Peraturan Pemerintah Nomor 130 Tahun 2000 tentang pengecualian sebagai Objek Pajak Atas Keuntungan Karena Pembebasan Utang Debitur Kecil KEP- 237/PJ./2001 tanggal 28 Maret 2001 jo KEP-563/Pj./2001 tanggal 8 Agustus 2001 tentang Saat Pengakuan Penghasilan Berupa Keuntungan Karena Pembebasan Utang Yang Diperoleh Debitur Tertentu Dari Perjanjian Restrukturisasi Utang USaha Halaman 13 - Sedangkan pengakuan penghapusan piutang dapat diakui oleh kreditur secara sekaligus pada tahun penghapusan piutang. k. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Terdapat berbagai jenis kurs valuta asing yang sering digunakan. Kurs-kurs valuta asing meliputi : 1. Kurs Menteri Keuangan Kurs Menteri Keuangan adalah kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, Mulai 1 Oktober 1997 kurs Menteri Keuangan ditetapkan tiap minggu. Kurs Menteri Keuangan digunakan untuk : a. Perhitungan pelunasan Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, PPN-Import, PPh pasal 22 sesuai dengan tanggal PIB. b. Perhitungan PPN dan PPnBM sesuai tanggal Faktur Pajak, apabila pembayaran Harga Jual atau Nilai penggantian dilakukan dengan mata uang c. Perhitungan PPh pasal 21 atau PPh pasal 26 apabila penghasilan diterima dalam mata uang asing. d. Perhitungan Pajak Ekspor. e. Perhitungan Pajak-Pajak Final yang dibayarkan dalam valuta asing. Contoh : Pada tanggal 30 Juni 2014 PT X (PKP) menjual barang secara kredit kepada PT Y (PKP) seharga $10.000 belum termasuk PPN. Faktur Pajak dibuat tanggal 31 Juli 2014 dan dilunasi tanggal 13 Agustus 2014. Kurs Menteri Keuangan periode 25 Juni s.d. 30 Juni 2014 Rp 10.000. Periode 29 Juli s.d. 4 Agustus Rp 10.100 dan Periode 11 Agustus s.d. 16 Agustus 2014 Rp 10.200. Kurs manakah yang digunakan untuk menghitung PPN terutang? Jawab: Faktur Pajak dibuat pada tanggal 31 Juli 2014. Saat itu kurs Menteri Keuangan adalah Rp 10.100 maka PPN dihitung sebesar 10% x $10.000 x 10.100 = Rp 10.100.000. 2. Kurs Realisasi Kurs realisasi yaitu kurs yang sebenarnya terjadi pada waktu perusahaan merupiahkan valas atau pada waktu perusahaan membeli valas. 3. Kurs Bank Indonesia (kurs BI) Kurs BI digunakan untuk mencatat hutang piutang serta transaksi dalam valuta asing. Kurs BI terdiri dan kurs beli Bank dan kurs jual Bank. Kurs BI yang digunakan sebagai dasar pembukuan yaitu kurs tengahnya yang merupakan rata-rata antara kurs jual dan kurs beli Bl. Perbedaan selisih kurs BI yang terjadi pada saat membukukan hutang piutang valas dengan kurs Bl pada saat realisasi membukukan laba atau rugi selisih kurs. Contoh 1 : Sama seperti contoh diatas, pada tanggal 10 Juni 2014 PT X (PKP) menjual barang secara kredit kepada PT Y (PKP) seharga $10.000 belum termasuk PPN. Penjualan tersebut dilunasi tanggal 13 Agustus 2014. Kurs Tengah BI 30 Juni 2014 Rp 10.200 dan kurs realisasi tanggal 13 Agustus 2014 Rp 10.300. Pertanyaannya, berapakah laba rugi selisih kurs? Kurs manakah yang digunakan dan bagaimana jurnalnya ? Jawab : Penjualan PT X= $10.000 X Rp 10.200 (kurs BI 30 Juni) Jumlah yang dibayar PT Y Keuntungan Selisih kurs = $10.000 x (Rp. 10.300 – Rp.10.200) Rp 102.000.000 Rp 103.000.000 Rp 1.000.000 Halaman 14 PSAK mensyaratkan pos-pos moneter yaitu unit mata uang yang dimiliki serta aset dan liabilitis yang akan diterima atau dibayarkan dalam jumlah unit mata uang yang tetap dan dapat ditentukan seperti hutang piutang dalam valuta asing pada akhir tahun harus dijabarkan menggunakan kurs penutup.8 Pajak memberikan pilihan bagi wajib pajak baik untuk menyesuaikan nilai hutang piutang valas pada akhir tahun (berdasarkan kurs Bl) maupun tidak, asalkan dilaksanakan secara taat asas/ konsisten. Apabila WP tidak menyesuaikan nilai hutang piutang valas sesuai kurs pada akhir tahun berarti WP menggunakan sistem kurs tetap. Contoh 2: Pada tanggal 15 November 2012 PT. Wede mendapat pinjaman USD 1.000.000.- dalam jangka waktu 2 tahun atau jatuh tempo 14 November 2014 kurs tengah BI 15-11-2012 Rp 12.000 31-12-2012 Rp 11.000 31-12-2013 Rp 13.000 14-11-2014 Rp 12.000 Jawab : a. Pembukuan berdasarkan Kurs Tetap Pembebanan selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya pembayaran utang valas. tiaptiap akhir tahun (31 Desember) tidak mengakui adanya selisih kurs. 15-11-2012 Pembukuan utang valas Rp 12.000.000.000 14-11-2014 Pembayaran Rp 12.000.000.000 Tidak ada Laba(Rugi ) selisih kurs b. Pembukuan berdasarkan Kurs Tengah Bl Pada tiap-tiap akhir tahun dapat mengakui laba (rugi) selisih kurs 15-11 -2012 Pembukuan utang valas Rp 31-12-2012 Utang valas menjadi Rp Laba Selisih Kurs Rp 31-12-2012 Utang valas Rp 31-12-2013 Utang valas menjadi Rp Rugi selisih kurs Rp 31-12-2013 Utang Valas Rp 14-11-2014 Utang Valas (Pelunasan) Rp 14-11-2014 Laba selisih Kurs Rp 12.000.000.000 11.000.000.000 1.000.000.000 11.000.000.000 13.000.000.000 2.000.000.000 13.000.000.000 12.000.000.000 1.000.000.000 Perhatikan bahwa sebenarnya pembukuan berdasarkan kurs tetap maupun kurs tengah BI pada akhirnya menghasilan jumlah laba atau rugi selisih kurs yang sama. Laba dan rugi selisih kurs yang terjadi akibat menggunakan kurs tengah Bl pada contoh diatas bila dijumlahkan adalah nihil. Hasil nihil tersebut sama dengan hasil bila menggunakan kurs tetap. Tetapi mengingat PSAK mengharuskan penyesuaian kurs valas pada akhir tahun maka disarankan WP menggunakan sistem kurs tengah BI agar pembukuan komersial dan pembukuan fiskal tidak jauh berbeda. Rugi Selisih Kurs merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (Biaya Fiskal). l. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UU PPh merupakan penghasilan. Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan mengenai penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dan penghasilan karena perkembangan harga. Adanya perkembangan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di bidang moneter dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan yang dapat mengakibatkan timbulnya 8 PSAK 10 tentang Pengaruh Perubahan Kurs Valuta Asing paragraf 24. Halaman 15 beban pajak yang kurang wajar. Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) atau indeksasi biaya dan penghasilan. 9 Penilaian kembali aktiva tetap ini akan dibahas lebih mendetail pada bab tersendiri. m. Premi asuransi Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi. Premi Asuransi yang diterima oleh Perusahaan Asuransi maupun Reasuransi merupakan penghasilan bagi perusahaan tersebut. Atas pembayaran Asuransi dan Premi Reasuransi ke Luar Negeri kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 20% bersifat Final dari perkiraan penghasilan netto. 10 n. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas Iuran yang dibayar oleh anggota perkumpulan yang dihitung berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari anggota tersebut, misalkan iuran yang besarnya menurut jumlah (volume) ekspor, atau satuan produksi, atau omzet penjualan barang, dan inilah yang menjadi objek pajak pada perkumpulan. o. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak Tambahan kekayaan neto pada hakikatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenai pajak dan yang bukan Objek pajak serta yang belum dikenai pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenai pajak dan yang bukan objek pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan. p. Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun demikian, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini. Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, jasa keuangan syariah dan kegiatan usaha berbasis syariah lainnya. Salah satu instrument syariah yang telah banyak diterbitkan adalah sukuk yang kini telah menjadi salah satu alternatif pembiayaan yang penting. Kegiatan tersebut, dalam Usaha Berbasis Syariah dilakukan melalui beberapa pendekatan antara lain: 1. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; 2. transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna; 3. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik; dan 4. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh; Ketentuan mengenai penghasilan, biaya, dan pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha berbasis Syariah berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam UU Pajak Penghasilan. 11 q. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan Imbalan bunga diberikan kepada WP dalam hal terdapat: 12 1. keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 9 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2002 10 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tentang Pemotongan PPh 26 atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi Yang Dibayar Kepada Perusahaan Di Luar Negeri 11 PP Nomor 25 Tahun 2009 Tentang PPh Kegiatan Usaha Berbasis Syariah 12 PP 74 TAHUN 2011 tanggal 29 Desember 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, berlaku 1 Januari 2012. Halaman 16 ayat (3) UU KUP; 2. keterlambatan penerbitan SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (3) UU KUP; 3. Kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (4) UU KUP; 4. kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (1) UU KUP; 5. kelebihan pembayaran pajak karena SK Pembetulan, SK Pengurangan Ketetapan Pajak atau SK Pembatalan Ketetapan Pajak atas surat ketetapan pajak atau STP mengabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (1a) UU KUP; atau 6. kelebihan pembayaran sanksi administrasi berupa denda Pasal 14 ayat (4) dan/atau bunga Pasal 19 ayat (1) karena SK Pengurangan Sanksi Administrasi atau SK Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (2) UU KUP. Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas keterlambatan Pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian kelebihan. r. Surplus Bank Indonesia Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia. Karakteristik Bank Indonesia terkait surplus Bank Indonesia antara lain selisih kurs, penyisihan aktiva, dan penyusutan aktiva tetap. Alasan pengenaan PPh atas Surplus Bank Indonesia adalah menyelaraskan dengan ketentuan UU BI yang menyatakan bahwa sepanjang tidak ada UU yang mengatur bahwa Surplus BI dikenai PPh maka Surplus BI tidak dikenai PPh. Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang PPh dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia. Laporan keuangan audit merupakan hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. 13 3.2. Jenis-jenis Penghasilan Yang Pengenaan Pajaknya Bersifat Final PPh yang bersifat final artinya PPh yang dipotong atau dibayar sendiri dari suatu penghasilan yang pada akhir tahun tidak akan diperhitungkan sebagai pembayaran pajak dimuka (kredit pajak), karena PPh yang dipotong tersebut tidak lagi diperhitungkan sebagai kredit pajak, maka pada akhir tahun penghasilan yang dipotong PPh Final juga tidak lagi dihitung ulang PPh-nya dalam SPT Tahunan PPh Badan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU PPh, dikemukakan bahwa Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final : a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang Negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; b. penghasilan berupa hadiah undian; c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan; dan e. penghasilan tertentu lainnya; yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 100/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Surplus Bank Indonesia Halaman 17 Atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain:  perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat;  kesederhanaan dalam pemungutan pajak;  berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak;  pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan  memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Secara terperinci, jenis-jenis penghasilan (objek) pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat Final dapat dilihat ditabel dibawah ini : No Jenis Penghasilan 1 Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham  Untuk semua transaksi penjualan saham  Untuk penjualan saham pendiri 2 Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan 3 Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan 4 5 6 7 Pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usaha Penghasilan yang diterima/ diperoleh WP Perusahaan Pelayaran dalam negeri Tarif 0 . 1 % x jumlah bruto nilai Penjualan 0.1% x jumlah bruto Nilai transaksi penjualan + PPh Tambahan: 0.5% x Nilai Jual Saham pada saat Penawaran Umum Perdana 10% x jumlah bruto nilai Persewaan tanah dan atau bangunan Dasar Hukum PP 41 Tun 1994 stdd PP 14 Tahun 1997 282/KMK.04/1997 SE-06/PJ.04/1997 PP 29 Tahun 1996 jo PP 5 Tahun 2002 394/KMK.04/1996 sttd 120/KMK.03/2001 20% x jumlah bruto PP 131 Tahun 2000 5% x jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan 1% x jumlah bruto nilai Pengalihan PP 48 Tahun 1994 stdd PP 71 Tahun 2008 0.1% x jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal PP 4 Tahun 1995 1.2% x Peredaran Bruto 416/KMK.04/1996 2.64% x Peredaran Bruto 417/KMK.04/1996 8 Penghasilan yang diterima/ diperoleh WP P e r u s a h aa n P e l ay a r an d a n /a t au Penerbangan luar negeri 9 Pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak. Gas, dan pelumas kepada penyalur/agen Bahan bakar minyak SPBU Pertamina: 0.25% x Penjualan tidak termasuk PPN SPBU bukan Pertamina dan Non SPBU: 0.3% x Penjualan (penjualan tidak termasuk PPN) 154/PMK.03/2010 jo 175/PMK.011/2013 Halaman 18 Bahan bakar gas Pelumas 10 11 12 13 0.3% x Penjualan (penjualan tidak termasuk PPN) Bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek Bunga obligasi dengan kupon 20% x jumlah bruto bunga (interest bearing bond) Sesuai dengan masa kepemilikan (holding period) obligasi Diskonto obligasi dengan kupon 20% x selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obl ig asi, tidak termasuk bunga berjalan (accrued interest) Diskonto obligasi tanpa bunga 20% x selisih lebih harga (zero coupon bond) jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi Selisih Lebih Revaluasi Aktiva Tetap 10% x selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula Diskonto Surat Perbendaharaan Negara : 20% x diskonto SPN  Bagi WP Dalam Negeri & BUT 20% x diskonto SPN  WP penduduk/berkedudukan diluar negeri Bunga Obligasi a) Bunga dari Obligasi dengan kupon  Bagi WP Dalam Negeri & BUT  Bagi WP Luar Negeri selain BUT b) Diskonto dari Obligasi dengan kupon :  Bagi WP Dalam Negeri & BUT  Bagi WP Luar Negeri selain BUT c) Diskonto dari Obligasi tanpa bunga :  Bagi WP Dalam Negeri & BUT  Bagi WP Luar Negeri selain BUT 15% x jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan obligasi 20% x jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi atau sesuai tarif P3B 154/PMK.03/2010 jo 175/PMK.011/2013 PP 6 Tahun 2002 121/KMK.04/2002 PP 6 Tahun 2002 121/KMK.04/2002 79/PMK.03/2008 PP 27 Tahun 2008 PP 16 Tahun 2009 PP 16 Tahun 2009 15% x selisih lebihharga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan 20% x selisih lebihharga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi. tidak termasuk bunga berjalan PP 16 Tahun 2009 15% x selisihlebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi 0% x selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi Halaman 19 14 15 16 17 18 d) Bunga dan/atau diskonto dari Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh WP Reksadana yang terdaftar pada Bapepam LK  Tahun 2009 — 2010  Tahun 2011 — 2013  Tahun 2014 dan dst  Tahun 2014 sd 2020  2021 dst Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia yang diterima WP LN selain BUT di Indonesia Premi Asuransi yang dibayarkan kepada Perusahaan Asuransi LN Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi BUT di Indonesia (Kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia) Penghasilan yang diterima/diperoleh WP LN atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia berupa : - Deviden - Bunga - Royalti, Sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta - Hadiah dan penghargaan Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (tidak melebihi 4,8 Milyar dalam 1 tahun pajak) PP 16 Tahun 2009 0% 5% 15% 5% 10% 20% X Perkiraan Ph Bruto atau sesuai Tax Treaty PP 100 Tahun 2013 Pasal 26 UU PPh 20% X Perkiraan Ph Bruto atau sesuai Tax Treaty 20% X Perkiraan Ph Bruto atau sesuai Tax Treaty Pasal 26 UU PPh 20% X Perkiraan Ph Bruto atau sesuai Tax Treaty Pasal 26 UU PPh 1 % X Peredaran Bruto PP 46 Tahun 2013 Pasal 26 UU PPh Figure 6. Jenis Penghasilan yang dikenakan Final Karena kekhasan karakteristik pengenaan PPh final seperti diatas maka WP yang memiliki penghasilan final harus memisahkan pencatatan penghasilan-penghasilan yang dikenakan PPh Final dari penghasilanpenghasilan yang dikenakan PPh biasa (non final). Konsekuensi lain dari pengenaan PPh Final atas suatu penghasilan adalah harus dipisahkan juga biaya-biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan yang dikenakan PPh Final. Biaya-biaya tersebut tidak boleh dimasukkan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PPh Terutang pada akhir tahun di SPT Tahunan PPh Badan. Dengan prinsip tidak adanya penghitungan ulang PPh atas penghasilan yang dikenakan PPh Final maka bagi WP yang seluruh penghasilannya dikenakan PPh Final, pada akhir tahun pajak teruta g NIHIL . 3.3. Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak Telah ditegaskan sebelumnya bahwa tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak merupakan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa semua penghasilan adalah objek pajak kecuali ditetapkan sebaliknya. Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak menurut UU PPh Pasal 4 ayat (3) adalah sebagai berikut : a. Bantuan atau Sumbangan dan Harta Hibahan Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf a Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima Halaman 20 oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak termasuk sebagai Objek Pajak. Bantuan/Sumbangan adalah pemberian dalam bentuk uang atau barang kepada orang pribadi atau badan. Bantuan/Sumbangan tidak menjadi objek pajak sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.14 Zakat sebagaimana dimaksud diatas adalah zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan penerima zakatyYang berhak Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia sebagaimana dimaksud diatas adalah sumbangan keagamaan yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan penerima sumbangan yang berhak. Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak, apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan, atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan :15 - Badan keagamaan adalah badan keagamaan yang kegiatannya semata-mata mengurus tempattempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan, yang tidak mencari keuntungan; - Badan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf c adalah badan pendidikan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan pendidikan yang tidak mencari keuntungan; - Badan sosial termasuk yayasan dan koperasi adalah badan sosial yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan : a. pemeliharaan kesehatan; b. pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo); c. pemeliharaan anak yatim-piatu, anak atau orang terlantar, dan anak atau orang cacat; d. santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya; e. pemberian beasiswa; f. pelestarian lingkungan hidup; dan/atau g. kegiatan sosial lainnya. yang tidak mencari keuntungan. Contoh : Hubungan usaha antara pihak yang memberi dengan pihak yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A maka sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan objek pajak. b. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf c Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal maka berdasarkan ketentuan ini harta yang diterima tersebut bukan 14 15 Peraturan Pemerintah Nomor 18 TAHUN 2009 Tentang Bantuan atau Sumbangan termasuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dikecualikan dari objek Pajak penghasilan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 245/PMK.03/2008 tentang Badan-badan dan Orang Pribadi yang menjalankan Usaha Mikro dan Kecil Yang menerima Harta Hibah, Bantuan, atau Sumbangan Yang tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan Halaman 21 merupakan Objek Pajak. Ketentuan ini mempertegas prinsip akuntansi bahwa modal bukan merupakan penghasilan. c. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf d Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan dari wajib pajak atau Pemerintah bukan Objek Pajak, kecuali diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final, atau wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek pajak. Contoh : Seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh natura berupa beras dan kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Natura dan Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak. d. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas, sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN dan BUMD Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf f Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas, sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN dan BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : 1) deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan ; dan 2) bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD, yang menerima deviden, kepemilikan saham pada badan yang memberikan deviden paling rendah 25% (dua puluh lima persen), dari jumlah modal yang disetor. Kedua syarat ini berlaku sejak berlakunya UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 yaitu sejak tanggal 1 Januari 2009. Sebelum tahun 2009 ada syarat tambahan yaitu "harus mempunyai usaha aktif di luar penyertaan tersebut". Ya g di aksud de ga bada usaha ilik egara da bada usaha ilik daerah a tara lai adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah, dan bank pembangunan daerah. Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badanbadan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, maka penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan objek pajak. Halaman 22 Contoh :  Pemegang Saham PT Widya Dewata Tahun 2013 adalah : ◦ PT Sueztika, sebesar 20% ◦ PT Nuryana, sebesar 50% ◦ Saudara Sakha, Orang Pribadi sebesar 30%  Pada tahun 2014, PT Widya Dewata membagi dividen kas sebesar Rp 1 Milyar dari laba setelah PPh tahun 2013. Perlakuan PPh atas penerimaan kas dividen tersebut adalah: ◦ Bagi PT Sueztika merupakan obyek PPh dan dipotong PPh Pasal 23 karena kepemilikan kurang dari 25% ◦ Bagi PT Nuryana bukan merupakan obyek PPh karena kepemilikan lebih dari 25% ◦ Bagi Saudara Sakha merupakan obyek PPh karena penerima dividen adalah Orang Pribadi bukan Badan dan dipotong PPh Pasal 4(2) sebesar 10% sesuai pasal 17 ayat (2c) UU PPh. e. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf g Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak. Iuran Pensiun ini bukan objek pajak karena akan dikenakan pada saat dicairkan, sehingga tidak timbul pengenaan pajak berganda (double taxation). f. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf h Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan pemupukan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu, penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan adalah Penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dari penanaman modal berupa :16 1. Bunga, diskonto, dan imbalan dari deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah serta Sertifikat Bank Indonesia. 2. Bunga, diskonto, dan imbalan dari obligasi, obligasi syariah (sukuk), Surat Berharga Syariah Negara, dan Surat Perbendaharaan Negara, yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya pada bursa efek di Indonesia; atau 3. dividen dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat pada bursa efek di Indonesia. 16 Permenkeu Nomor 234/PMK.03/2009 Tentang Bidang Penanaman Modal Tertentu Yang Memberikan Penghasilan Kepada Dana Pensiun Yang Dikecualikan sebagai Objek Pajak Penghasilan Halaman 23 g. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf k Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yg didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dikecualikan sebagai objek PPh, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut : 1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektorsektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ; dan 2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor non migas, maka usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.17 Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, maka penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek. Perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha perusahaan modal ventura sebagaimana diatas adalah perusahaan yang penjualan bersihnya setahun tidak melebihi Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah). Penyertaan modal perusahan modal ventura pada setiap perusahaan pasangan usaha dilakukan selama perusahaan pasangan usaha tersebut belum menjual saham di bursa efek dan untuk jangka waktu tidak melebihi 10 (sepuluh) tahun. Apabila perusahaan pasangan usaha menjual sahamnya di bursa efek, perusahaan modal ventura harus menjual sahamnya pada perusahaan pasangan usaha selambat-lambatnya 36 (tiga puluh enam) bulan sejak perusahaan pasangan usaha tersebut diizinkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal menjual sahamnya di bursa efek. Penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha setelah lewat jangka waktu sebagaimana diatas, merupakan Obyek Pajak Penghasilan kecuali apabila bagian laba tersebut memenuhi ketentuan Pasal 4 angka (3) huruf f Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Perusahaan modal ventura wajib membukukan secara terpisah penghasilan yang merupakan Obyek Pajak penghasilan, dan penghasilan yang bukan merupakan Obyek Pajak Penghasilan. h. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh yayasan atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf m Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dikecualikan sebagai Objek PPh. Sisa lebih adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari lembaga nirlaba. Biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha 17 Kepmenkeu Nomor 250/KMK.04/1995 tentang Perusahaan Kecil dan Menengah Pasangan Usaha dari perusahaan Modal Ventura dan Perlakuan Perpajakan Atas Penyertaan Modal Perusahaan Modal Ventura Halaman 24 atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri. 18 Sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud diatas meliputi : 1. Pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana pendidikan, penelitian dan pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana tersebut; 2. Pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium dan perpustakaan; 3. Pembelian/pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau karyawan, dan sarana prasarana olahraga, sepanjang berada di lingkungan/lokasi lembaga pendidikan formal. Apabila setelah jangka waktu 4 (empat) tahun terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya, setelah jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Apabila dalam jangka waktu tersebut terdapat sisa lebih yang digunakan selain untuk pengadaan sarana dan prasarana, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Badan atau lembaga nirlaba wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi yang membidanginya. Pemberitahuan tersebut disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih tersebut atau paling lama sebelum pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dimulai, dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud diatas dilakukan sebagai berikut : 1. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba setiap tahun yang akan digunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dialihkan ke akun dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan; 2. Pembukuan atas penggunaan dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan pada tahun berjalan dilakukan dengan mendebet akun aktiva dan akun dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan serta mengkredit akun kas atau utang dan akun modal badan atau lembaga nirlaba; 3. Atas pengeluaran untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang berasal dari sisa tidak boleh dilakukan penyusutan; 4. Apabila pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dibiayai dengan dana pinjaman, biaya bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan tersebut; 5. Biaya bunga atas dana pinjaman yang terutang atau dibayarkan setelah selesainya proses pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dapat dibebankan sebagai biaya badan atau lembaga nirlaba; 6. Dalam hal dana pinjaman diterima atau diperoleh sebelum diperolehnya sisa lebih dan dipergunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana, biaya bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan. Badan atau lembaga nirlaba yang menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan wajib membuat : 18 PerDirjen Pajak Nomor PER-44/PJ./2009 Tentang Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih Yang Diterima Atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba Yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan Yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan. Halaman 25 - Pernyataan bahwa: 1. sisa lebih akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut dan 2. sisa lebih tidak digunakan pada tahun diperolehnya tersebut akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut. yang merupakan lampiran dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak diperolehnya sisa lebih; - Pencatatan tersendiri atas sisa lebih yang diterima dan yang digunakan setiap tahun; - Laporan mengenai penyediaan dan penggunaan sisa lebih dan menyampaikannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dalam lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. i. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf n Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah. Ketentuan lebih lanjut diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial meliputi :19 1. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); 2. Perusahaan Perseroan (Persero) Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); 3. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); 4. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES); dan/atau 5. Badan hukum lainnya yang dibentuk untuk menyelenggarakan Program Jaminan Sosial. Wajib Pajak atau masyarakat yang tidak mampu adalah Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan sesuai dengan kriteria dan data yang ditetapkan oleh Biro Pusat Statistik. Wajib Pajak atau masyarakat yang sedang mengalami bencana alam adalah Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang sedang tertimpa bencana yang diakibatkan peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor. Sedangkan Wajib Pajak atau masyarakat yang tertimpa musibah sebagaimana dimaksud pada adalah Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang tertimpa kecelakaan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan membahayakan atau mengancam keselamatan jiwa. Jenis-jenis penghasilan yang bukan merupakan objek pajak diatas apakah semuanya sama sekali tidak dikenakan?. Jawabannya adalah "tidak". Hal ini disebabkan karena beberapa penghasilan tersebut ternyata dikenakan pajak pada pihak dan saat yang berbeda. Alasan pertama adalah karena terdapat konsep dari pengenaan pajak atas penghasilan yaitu : 19 Pihak Penerima Taxable Income Pihak Pemberi Deductable Expenses Non Taxable Income Non Deductable Expenses Permenkeu Nomor 247/PMK.03/2008 tentang Bantuan atau Santunan Yang Dibayarkan Oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kepada Wajib Pajak Tertentu Yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan Halaman 26 Jadi ada beberapa penghasilan dimana penghasilan tersebut bukan objek bagi penerima, akan tetapi bagi pemberi penghasilan tidak dapat membiayakan pengeluaran tersebut sehingga penghasilan tersebut sebenarnya dikenakan pajak pada pohak pemberi. Contoh penghasilan ini adalah : kriteria/alasan yang dapat dikelompokkan sebagai berikut : Bantuan/Sumbangan, harta hibahan, Penggantian/Imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima/diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak/Pemerintah. Alasan kedua adalah karena terjadi perbedaan saat pengenaan pajak atas penghasilan tersebut. Contoh : iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai. Pajak atas pembayaran pensiun dialihkan saat pengenaannya, yaitu pada saat menerima pensiun sedangkan pada saat membayar iuran pensiun dibebaskan dari pengenaan pajak (bagi dana pensiun yang menerima bukan penghasilan dan bagi peserta yang iuran pensiunnya dibayar perusahaan bukan penghasilan). Halaman 27 Bab 4. Biaya Yang Boleh Dikurangkan (Deductable Expenses) PPh yang terutang terhadap subjek pajak Badan dikenakan atas Penghasilan Neto yang nanti akan disebut sebagai Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi dengan kompensasi kerugian tahun sebelumnya kalau ada. Untuk menghitung penghasilan neto, Wajib Pajak Badan tidak diperkenankan menggunakan norma penghitungan seperti halnya Orang Pribadi. Oleh karena itu, Wajib Pajak Badan wajib melakukan pembukuan. Penghitungan PPh terutang diatur dalam Pasal 16 UU PPh. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam satu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan dengan biaya yang berkaitan dengan mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Pengurangan tersebut akan menghasilkan penghasilan neto. Rumus untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak seperti diuraikan pada bagan konsep diawal pembahasan buku ini adalah : Rumus : Penghasilan Bruto Pengurang Ph Bruto Penghasilan Netto Kompensasi Rugi Pengh. Kena Pajak xxx (xxx ) xxx (xxx) xxx Penghasilan Bruto telah kita bahas dalam bab 3. Pada Bab 4 ini akan dibahas mengenai biaya yang dapat dikurangan dari penghasilan bruto dan dalam Bab 5 akan dibahas mengenai Biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam pasal Pasal 6 ayat (1) UU Pajak Penghasilan dan beberapa aturan khusus yang mempertegas pasal 6 ayat (1) tersebut. Biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam pasl 9 UU PPh. 4.1. Biaya Fiskal (Pasal 6 ayat 1 UU PPh) Dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh diatur bahwa, besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M), diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha Dasar Hukum : Pasal 6 ayat (1) huruf a Yang termasuk biaya ini antara lain : a. biaya pembelian bahan; b. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; c. bunga, sewa, dan royalti; d. biaya perjalanan; e. biaya pengolahan limbah; f. premi asuransi; g. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; h. biaya administrasi; dan i. pajak kecuali Pajak Penghasilan. Halaman 28 Biaya-biaya yang dimaksud diatas adalah lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Dengan demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak, tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Contoh: Dana Pensiun Cipta yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari : penghasilan yang bukan merupakan objek pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf h Rp 100.000.000 penghasilan bruto lainnya sebesar Rp 300.000.000 Jumlah penghasilan bruto Rp 400.000.000 Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000. biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp 200.000.000 = Rp150.000.000. Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, namun bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan. Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Namun demikian, pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batasbatas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian, apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya. Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Besarnya biaya promosi dan penjualan yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Biaya Promosi adalah bagian dari biaya penjualan yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam rangka memperkenalkan dan/atau menganjurkan pemakaian suatu produk baik langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan. Halaman 29 Besarnya biaya promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto merupakan akumulasi dari jumlah : 20 a. biaya periklanan di media elektronik, media cetak, dan/atau media lainnya; b. biaya pameran produk; c. biaya pengenalan produk baru; dan/atau d. biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk. Tidak termasuk Biaya Promosi adalah : a. pemberian imbalan berupa uang dan/atau fasilitas, dengan nama dan dalam bentuk apapun, kepada pihak lain yang tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan kegiatan promosi. b. Biaya Promosi untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak dan yang telah dikenai pajak bersifat final. Dalam hal promosi dilakukan dalam bentuk pemberian sampel produk, besarnya biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar harga pokok sampel produk yang diberikan, sepanjang belum dibebankan dalam perhitungan harga pokok penjualan. Biaya promosi yang dikeluarkan kepada pihak lain dan merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan wajib dilakukan pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Wajib Pajak wajib membuat daftar nominatif atas pengeluaran Biaya Promosi yang dikeluarkan kepada pihak lain. Daftar nominatif paling sedikit harus memuat data penerima berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, tanggal, bentuk dan jenis biaya, besarnya biaya, nomor bukti pemotongan dan besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong. Daftar nominatif tersebut dilaporkan sebagai lampiran saat Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan. Dalam hal ketentuan tersebut tidak dipenuhi, Biaya Promosi tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Form Daftar Nominatif Biaya Promosi Nama Wajib Pajak NPWP Alamat Tahun Pajak : : : : Data Penerima No Nama Pemotongan PPh NPWP Alamat Tanggal Bentuk dan Jumlah Keterangan Jenis Biaya (Rp) Jumlah PPh Nomor Bukti Potong ........................... .................... Nama Wajib Pajak Figure 7. Daftar Nominatif Biaya Promosi 2. Penyusutan dan Amortisasi Dasar Hukum : Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 11 UU PPh Penyusutan adalah pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A. Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan 20 Peraturan Menteri KeuanganNomor 02/PMK.03/2010 Penghasilan Bruto tentang Biaya Promosi Yang Dapat Dikurangkan dari Halaman 30 dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik atau perusahaan batu bata. Metode penyusutan secara akuntansi banyak metodenya, akan tetapi yang dibolehkan secara pajak adalah : a. dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight-line method); atau b. dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau declining balance method). Tarif Penyusutan Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sesuai pasal 11 ayat (6) UU PPh sebagai berikut : Kelompok Harta Berwujud Masa Manfaat Tarif Penyusutan. Garis Lurus Saldo Menurun I. Bukan Bangunan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 3 4 tahun 8 tahun 16 tahun 20 tahun 25 % 12.5% 6.25% 5% 50 % 25 % 12.5 % 10 % II. Bangunan Permanen Tidak Permanen. 20 tahun 10 tahun 5% 10 % ----- Figure 8. Daftar Tarif Penyusutan Jenis-jenis harta termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan untuk keperluan penyusutan diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan. Jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan pada Kelompok 1, Kelompok 2, Kelompok 3, dan Kelompok 4 adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, dan Lampiran IV Peraturan Menteri ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini 21 Jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan yang tidak tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II,Lampiran III, dan Lampiran IV, untuk kepentingan penyusutan digunakan masa manfaat dalam Kelompok 3. Wajib Pajak dapat memperoleh penetapan masa manfaat atas jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan sesuai dengan masa manfaat yang sesungguhnya dengan mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan menunjukkan masa manfaat yang sesungguhnya jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan. Dalam hal permohonan sebagaimana ditolak, Wajib Pajak menggunakan masa manfaat jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan sesuai ketentuan sebelumnya. Jenis Harta per kelompok selengkapnya dapat dilihat secara lengkap pada lampiran buku ini. Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun. Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa 21 Keputusan Menteri Kaunagan No. 520/KMK.04/2000, tgl 14 Desember 2000 dan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 138/KMK.03/2002 Tgl 8 April 2002 jo PMK-96/PMK.03/2009 tantang Jenis-jenis harta yang termasuk Jenis-jenis harta yang termasuk dalam kelompok harta Halaman 31 manfaat harus disusutkan sekaligus, sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan. Contoh Metode garis lurus : Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000 dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp 5.000.000 (Rp 100.000.000 : 20). Contoh Metode Saldo Menurun : Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2010 dengan harga perolehan sebesar Rp 150.000.000. Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut : Tahun Harga Perolehan 2010 2011 2012 2013 Tarif 50% 50% 50% Sekaligus Penyusutan 75.000.000 37.500.000 18.750.000 18.750.000 Nilai Sisa Buku 150.000.000 75.000.000 37.500.000 18.750.000 0 Saat Dimulainya Penyusutan Pasal 11 ayat (3) : Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut. Pasal 11 ayat (4) : Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan. Yang dimaksud dengan mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan. Contoh 1 : Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp 100.000.000,00. Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2013 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2014. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2014. Contoh 2 : PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2013. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2014. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2014. Dasar Penyusutan Setelah Revaluasi Dasar Hukum : Pasal 11 ayat (5), Pasal 19 UU PPh Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan mengenai penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dan penghasilan karena perkembangan harga (Pasal 19 UU PPh). Halaman 32 Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan; atau seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. 22 Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut. Penyusutan Usaha Tertentu Ketentuan mengenai penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Bidang usaha tertentu meliputi :23 No Bidang Usaha 1 Kehutanan 2 Perkebunan Tanaman Keras 3 Peternakan Jenis Aktiva Yang Dapat Disusutkan Kelompok Harta Aktiva Tetap dan Komoditas Pokok Kelompok 4 meliputi Tanaman Kehutanan Aktiva Tetap dan Komoditas utama Kelompok 4 bidang usaha perkebunan tanaman keras, termasuk tanaman rempah dan penyegar Aktiva Tetap dan bidang usaha Kelompok 2 peternakan, meliputi ternak, termasuk ternak pejantan. Figure 9. Penyusutan bidang usaha tertentu Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud sebagaimana dimaksud diatas dimulai pada bulan produksi komersial. Bulan produksi komersial adalah bulan dimana penjualan mulai dilakukan. Amortisasi Dasar Hukum : Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 11A UU PPh Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagianbagian yang menurun selama masa manfaat yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas. Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk perpanjangan hak-hak atas tanah (seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai) dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi dengan metode : a. dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat; atau b. dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku. Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus. 22 23 Permenkeu Nomor : 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan Permenkeu Nomor 249/PMK.03/2008 jo Permenkeu Nomor 126/PMK.011/2012 tentang Penyusutan Atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Berwujud Yang Dimiliki dan Digunakan Dalam Bidang Usaha Tertentu Halaman 33 Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut: Kelompok harta Tak berwujud. Masa manfaat Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok 4 tahun 8 tahun 16 tahun 20 tahun 1 2 3 4 Tarif Amortisasi Garis lurus 25% 12.5% 6.25% 5% Saldo menurun 50% 25% 12.5% 10% Figure 10. Tarif Amortisasi Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi. Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun. Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Bidang usaha tertentu sebagaimana dimaksud meliputi : 24 1. bidang usaha kehutanan, yaitu bidang usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 (satu) tahun. 2. bidang usaha perkebunan tanaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 (satu) tahun. 3. bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan dimana ternak dapat berproduksi berkali-kali dan baru dapat dijual setelah dipelihara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya untuk bidang usaha tertentu dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan produksi komersial. Bulan produksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bulan dimana penjualan mulai dilakukan. Metode Satuan Produksi Dasar Hukum: Pasal 11A ayat (4) dan ayat (5) UU PPh Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dibidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi. Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi. Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan. 24 Permenkeu Nomor 248/PMK.03/2008 tentang Amortisasi Atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Tak Berwujud dan Pengeluaran Lainnya Untuk Bidang Usaha Tertentu Halaman 34 Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain dimaksud diatas, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun. Contoh: Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu sebesar Rp 500.000.000 diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi yang tersedia, maka walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp100.000.000. Amortisasi Biaya Pra Operasi Dasar Hukum: Pasal 11A ayat (3) dan ayat (6) UU PPh Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran. Pengalihan Harta Tak Berwujud Dasar Hukum: Pasal 11A ayat (7) dan ayat (8) UU PPh Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana dimaksud diatas, maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut. Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sumbangan/hibah/warisan sebagaimana dimaksud asal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. Contoh : PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel. PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut: Harga perolehan Rp 500.000.000 Amortisasi yang telah dilakukan Rp 250.000.000 100.000.000/200.000.000 barel (50%) Nilai buku harta Rp 250.000.000 Harga jual harta Rp 300.000.000 Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp 250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp 300.000.000 dibukukan sebagai penghasilan. Halaman 35 3. Iuran kepada dana pensiun Dasar Hukum: Pasal 6 ayat (1) huruf c UU PPh Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya. 4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta Dasar Hukum: Pasal 6 ayat (1) huruf d UU PPh Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. 5. Kerugian selisih kurs mata uang asing Dasar Hukum: Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Lihat kembali penjelasan bab terdahulu, bahwa keuntungan selisih kurs mata uang asing adalah penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan. Jadi kerugian ini adalah kebalikan dari peristiwa keuntungan tersebut. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan :25 a. Kurs tetap, pembebanan selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi perkiraan mata uang asing tersebut. b. Kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun.Kerugian yang terjadi karena selisih kurs, dapat diakui sebagai pengurang penghasilan sepanjang Wajib Pajak tersebut mempunyai sistem pembukuan yang diselenggarakan secara taat asas, sesuai dengan bukti dan keadaan yang sebenarnya, dan dalam rangka kegiatan usahanya atau berkaitan dengan usahanya. Contoh : Pada tanggal 30 April 2014 PT.A mendepositokan uangnya $10.000 dengan kurs jual BI Rp 12.457 atau dikeluarkan uang Rp 124.570.000 dalam jangka waktu 6 bulan. Jatuh tempo 31 Oktober 2014. pada saat pencairan kurs beli bank misalnya Rp. 12.000 perhitungan keuntungan selisih kurs : Rupiah yang dikeluarkan ( $10.000 x Rp. 12.457) = Rp 124.570.000 Rupiah diterima ( $10.000 x Rp. 12.000) = Rp 120.000.000 Kerugian selisih kurs ($10.000 x 457) = Rp. 4.570.000 25 SE Dirjen Pajak Nomor SE - 03/PJ.31/1997 tentang Perlakuan PPh terhadap Selisih Kurs Halaman 36 6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan Dasar Hukum: Pasal 6 ayat (1) huruf f UU PPh Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau system baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan. Yang dimaksud dengan biaya penelitian dan pengembangan adalah biaya yang nyata-nyata dikeluarkan untuk pengembangan produksi (product development), serta biaya untuk meningkatkan efisiensi perusahaan termasuk teknologi untuk pengembangan proses (process technology).26 Pembebanan penelitian dan pengembangan dapat dibedakan dalam 3 (tiga) kategori : a. Biaya yang dikeluarkan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan harus disusutkan/diamortisasi, pembebanan biaya tersebut harus dilakukan dengan disusutkan/diamortisasi sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b jo. Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan. b. Biaya yang dikeluarkan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan merupakan biaya usaha sehari-hari, dibebankan sebagai biaya dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan. c. Biaya di luar biaya sebagaimana dimaksud butir a dan butir b antara lain biaya konsultan, perlakuan perpajakannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku. 7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan Dasar Hukum: Pasal 6 ayat (1) huruf g UU PPh Beasiswa yang dapat dibiayakan diperluas meliputi pemberian beasiswa bukan kepada pegawai seperti pelajar dan mahasiswa, tetapi tetap memperhatikan kewajarannya. Alasannya adalah untuk mendorong peran serta masyarakat untuk mendukung program pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan. Biaya Beasiswa tidak dapat dikurangkan apabila yang diberikan beasiswa mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi atau pengurus. Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah (tuition fee), biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk pembelian buku. dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar. 27 Atas penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal dan/atau pendididikan nonformal yang dilaksanakan di dalam negeri dan/atau di luar negeri dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan. 8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih Dasar Hukum : Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dikurangkan dengan syarat: a. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; b. wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan c. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang Negara, atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah 26 27 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 769/KMK.04/1990 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Biaya Penelitian dan Pengembangan (Research and Development) Yang Dilakukan Oleh Perusahaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 246/PMK.08/2008 Jo Nomor : 154/PMK.03/2009 tentang Beasiswa Yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan. Halaman 37 dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; d. syarat tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan bidang usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upayaupaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak.28 Penerbitan umum atau khusus adalah penerbitan yang meliputi: a. Penerbitan umum adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan surat kabar/majalah atau media massa cetak yang lazim lainnya yang berskala nasional; atau b. Penerbitan khusus adalah pemuatan pengumuman pada: 1. penerbitan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA)/Perhimpunan Bank2. Bank Umum Nasional (PERBANAS); 3. penerbitan/pengumuman khusus Bank Indonesia; dan/atau 4. penerbitan yang dikeluarkan oleh asosiasi yang telah terdaftar sebagai Wajib 5. Pajak dan pihak kreditur menjadi anggotanya. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil adalah piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian : a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS; b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit. untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija, dan hortikultura; c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilihan rumah sangat sederhana (RSS); d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil; e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha kecil lainnya selain KUK; dan/atau f. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud diatas adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi Rp 5.000.000 (lima juta rupiah). Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal harus mencantumkan identitas debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud huruf c dilakukan dengan cara melampirkan : a. fotokopi bukti penyerahan perkara penagihannya ke Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau b. fotokopi perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang usaha yang telah dilegalisir oleh notaris; atau c. fotokopi bukti publikasi dalam penerbitan umum atau penerbitan khusus; atau d. surat yang berisi pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan yang disetujui oleh kreditur tentang penghapusan piutang untuk jumlah utang tertentu,yang disetujui oleh kreditur. 28 Permenkeu Nomor : 105/PMK.03/2009 jo Permenkeu Nomor : 57/PMK.03/2010 jo Permenku Nomor : 207/PMK.010/2015 tentang Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Halaman 38 Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan bukti/dokumen sebagaimana dimaksud diatas harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, yang di dalam daftar tersebut mencantumkan identitas debitur, salah satunya berupa Nomor Pokok Wajib Pajak. Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/121/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang Penyampaian Nomor Pokok Wajib Pajak dan Laporan Keuangan dalam Permohonan Kredit sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor : 28/83/KEP/DIR tanggal 12 Oktober 1995 mengatur hal-hal antara lain : a. pada setiap pengajuan permohonan kredit, bank wajib meminta kepada pemohon kredit untuk menyampaikan fotokopi kartu NPWP pemohon kredit; dan b. kewajiban dimaksud pada huruf a berlaku bagi: 1. permohonan satu atau beberapa jenis kredit dengan plafon keseluruhan di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing; atau 2. permohonan penambahan kredit sehingga plafon keseluruhan mencapai jumlah di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing. Untuk menjaga keselarasan peraturan, keharusan mencantumkan identitas debitur berupa Nomor Pokok Wajib Pajak dalam daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak diterapkan terhadap piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang berasal dari plafon utang di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), baik yang berasal dari satu utang maupun gunggungan dari beberapa utang yang diterima dari satu kreditur.29 9. Sumbangan Dasar Hukum : Pasal 6 ayat (1) huruf i s.d. m UU PPh Sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak terdiri atas :30 a. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana; b. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan; c. Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan; d. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan untuk membina. mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga. e. Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba. Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud diatas dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat : a. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya; b. pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan; c. didukung oleh bukti yang sah; dan 29 30 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 75/PJ/2015 tentang Penegasan Perlakuan Perpajakan Atas Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak dapat Ditagih Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Peraturan Pemerintah Nomor : 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, Dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Halaman 39 d. lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan. Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya. Sumbangan dan/atau biaya diatas tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pihak pemberi apabila sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan. Sumbangan dapat diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang. Biaya pembangunan infrastruktur sosial diberikan hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana. 4.2. Biaya selain yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh Selain Biaya yang dapat dikurangkan yang diatur dalam pasal 6 ayat (1) UU PPh diatas, terdapat beberapa biaya yang dapat dikurangkan yang diatur khusus agar dapat dibebankan sebagai biaya secara fiskal. Biayabiaya tersebut dibahas secara mendetail dibawah ini. 1. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan Berdasarkan pasal 9 ayat (1) huruf c pembentukan atau pemupukan dana cadangan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto kecuali: a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang, b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), c. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan, d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan f. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk pengolahan limbah industri. Yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan syariah ditetapkan sebagai berikut : 31 Bank Umum Konvensional Bank Umum Syariah Jenis Piutang Besar Jenis Piutang Cadangan Piutang dengan kualitas yang 1% tang piutang dengan kualitas yang digolongkan lancar, tidak digolongkan lancar, tidak termasuk termasuk Sertifikat Bank Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan Indonesia dan Surat Utang Negara surat berharga yang diterbitkan Pemerintah berdasarkan prinsip syariah Piutang dengan kualitas yang digolongkan dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan Piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan 31 Besar Cadangan 1% 5% piutang dengan kualitas yang digolongkan dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan 5% 15% piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan; 15% Peraturan Menkeu Nomor : 81/PMK.03/2009 jo Permenkeu Nomor : 219/PMK.011/2012 tentang Pembentukan Atau Pemupukan Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya Halaman 40 Piutang dengan kualitas yang 50% piutang dengan kualitas yang 50% digolongkan diragukan setelah digolongkan diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan dikurangi dengan nilai agunan Piutang dengan kualitas yang 100% piutang dengan kualitas yang 100% digolongkan macet setelah digolongkan macet setelah dikurangi dikurangi dengan nilai agunan dengan nilai agunan.  Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana diatas paling tinggi adalah : 100% dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan 75% dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.  Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.  Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian. Figure 11. Cadangan Piutang Tak Tertagih Bank Umum Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank perkreditan rakyat (BPR) ditetapkan sebagai berikut : Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Konvensional Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah Jenis Piutang Besar Jenis Piutang Besar Cadangan Cadangan piutang dengan kualitas lancar 0,5% piutang dengan kualitas lancar tidak 0,5% tidak termasuk Sertifikat Bank termasuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia Indonesia piutang dengan kualitas kurang 10% piutang dengan kualitas kurang 10% lancar setelah dikurangi lancar setelah dikurangi dengan nilai dengan nilai agunan; agunan piutang dengan kualitas 50% piutang dengan kualitas diragukan 50% diragukan setelah dikurangi setelah dikurangi dengan nilai dengan nilai agunan; agunan dari piutang dengan kualitas 100% piutang dengan kualitas macet 100% macet setelah dikurangi dengan setelah dikurangi dengan nilai nilai agunan agunan  Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana diatas paling tinggi adalah : 100% dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan 75% dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.  Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.  Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian. Figure 12. Cadangan Piutang Tak Tertagih BPR Besarnya cadangan piutang tak tertagih selain bank ditetapkan sebagai berikut : Jenis Perusahaan Besar Dasar perhitungan cadangan Cadangan Koperasi Simpan Pinjam 0,5% piutang dari piutang dengan kualitas lancar 10% kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan; 50% piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan 100% dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai agunan PT Permodalan Nasional 2,5% piutang yang digolongkan dalam perhatian khusus Madani (Persero) setelah dikurangi nilai agunan 5% piutang yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan; 50% piutang yang digolongkan diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan Halaman 41 100% Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia 1% 5% 15% 50% 100% Perusahaan pembiayaan infrastruktur 1% 5% 15% 50% 100% Perusahaan Pengelola Aset 15% 50% 100% Perusahaan sewa guna usaha dengan hak opsi Perusahaan pembiayaan konsumen Perusahaan anjak piutang Perusahaan Asuransi Kerugian 2,5% 5% rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang 5% 40% rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang jumlah premi tanggungan sendiri yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak yang bersangkutan. 100% jumlah klaim yang sudah disepakati tetapi belum dibayar dan klaim yang sudah dilaporkan dan sedang dalam proses tetapi tidak termasuk klaim yang belum dilaporkan sesuai dengan penghitungan aktuaria yang telah mendapat pengesahan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. dari surplus yang diperoleh Lembaga Penjamin Simpanan dari kegiatan operasional selama 1 (satu) tahun yang diakumulasikan sesuai peraturan perundang-undangan mengenai Lembaga Penjamin Simpanan Cadangan biaya reklamasi untuk perusahaan yang melakukan usaha pertambangan dihitung sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan energi dan sumber daya mineral Cadangan biaya penanaman kembali untuk perusahaan yang melakukan usaha kehutanan dihitung sesuai dengan peraturan perundangundangan di bidang kehutanan. Besarnya cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah dihitung sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Perusahaan Asuransi Jiwa Lembaga Penjamin Simpanan Usaha Pertambangan Kehutanan Industri untuk pengolahan limbah industri piutang yang digolongkan macet setelah dikurangi dengan nilai agunan piutang dengan kualitas lancar piutang dengan kualitas dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan; piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi nilai agunan; 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi nilai agunan. piutang dengan kualitas lancar piutang dengan kualitas yang digolongkan dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan; piutang dengan kualitas yang digolongkan diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan piutang dengan kualitas yang digolongkan macet setelah dikurangi dengan nilai agunan. piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan; piutang dengan kualitas yang digolongkan diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan iutang dengan kualitas yang digolongkan macet setelah dikurangi dengan nilai agunan rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang 80% Figure 13. Cadangan Piutang Tak selain Bank Umum dan BPR Halaman 42 2. Penggantian atau Imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf e Istilah natura dan kenikmatan telah kita kenal pada saat membahas tentang Penghasilan Yang Bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan yaitu pasal 4 ayat (3) huruf d yang menyatakan bahwa Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan dari wajib pajak atau Pemerintah bukan Objek Pajak, kecuali diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final, atau wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh. Sesuai dengan prinsip non taxable - non deductable maka bagi pemberi peghasilan seharusnya tidak dapat mengurangkan natura dan kenikmatan sebagai biaya. Akan tetapi, berdasarkan pasal 9 ayat (1) huruf (e) terdapat pengecualian dimana atas penggantian atau imbalan berupa natura dan kenikmatan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dan tidak memnjadi pengasilan bagi yang menerimanya, tetapi terbatas pada biaya berupa : a. Biaya Makan dan Minum untuk sebagian/seluruh pegawai Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan/atau minuman bagi Pegawai meliputi : pemberian makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja, atau pemberian kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan pemberian meliputi Pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi, dan dinas luar lainnya.32 Nilai kupon makanan dan/atau minuman dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja sesuai dengan nilai kupon yang wajar. Nilai kupon dapat dianggap wajar apabila nilai kupon tersebut tidak melebihi pengeluaran penyediaan makanan dan/atau minuman per Pegawai yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja.33 Ketentuan "penyediaan makanan dan minuman bagi para pegawai perusahaan di tempat kerja" tidak mutlak harus seluruh pegawai perusahaan termasuk dewan direksi dan dewan komisaris. Apabila terdapat sejumlah pegawai yang tidak dapat memanfaatkan atau tidak memperoleh tasilitts in-natura tersebut di tempat kerja karena sifat pekerjaannya tidak memungkinkan (seperti para pegawai bagian pemasaran. bagian transportasi. dan dinas luar lainnya). Hal tersebut tidak membatalkan pemenuhan persyaratan sesuai prinsip tersebut di atas.34 b. Natura dan Kenikmatan didaerah terpencil Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut. Penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud adalah sarana dan fasilitas di lokasi kerja untuk : - tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya; - pelayanan kesehatan; - pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya; - peribadatan; - pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya; - olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda, dan terbang layang, 32 33 34 PMK-83/PMK.03/2009 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau Imbalan Dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu Dan Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER - 51/PJ/2009 Tata Cara Pemberian dan Penetapan Besaran Kupon Makanan dan/atau minuman Bagi Pegawai, Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Daerah Tertentu, Dan Batasan Mengenai Sarana dan Fasilitas di Lokasi Kerja Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 14/PJ.31/2003 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Oleh Pemberi Kerja Bagi Seluruh Pegawai di Tempat Kerja Halaman 43 sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia sehingga pemberi kerja harus menyediakannya sendiri. Daerah tertentu sebagaimana dimaksud adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral.35 Penetapan daerah tertentu diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, yang berlaku sejak tahun pajak diterbitkannya keputusan dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali. Jangka waktu perpanjangan adalah 5 (lima) tahun. Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di daerah tertentu dapat mengajukan permohonan penetapan daerah tertentu kepada Kepala Kantor Wilayah DJP yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Permohonan harus dilampiri dengan : 36 a. fotokopi surat persetujuan penanaman modal berserta rinciannya yang diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau instansi lain yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk wajib Pajak penanaman modal, atau rencana investasi untuk Wajib Pajak lainnya; b. fotokopi peta lokasi; c. fotokopi laporan keuangan tahun buku terakhir sebelum tahun permohonan; dan d. pernyataan mengenai keadaan prasarana ekonomi dan sarana transportasi umum Berdasarkan permohonan Wajib Pajak dan pemeriksaan, Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan keputusan, paling lama 3 (tiga) bulan setelah permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap. Keputusan dapat diterbitkan paling lama 6 (enam) bulan setelah permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap dalam hal diperlukan pemeriksaan. Apabila jangka waktu terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan keputusan persetujuan. c. Natura berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya. Pemberian natura dan kenikmatan sebagaimana dimaksud meliputi pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput Pegawai, serta penginapan untuk awak kapal, dan yang sejenisnya. Pengertian keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan keamanan atau Keselamatan pekerja yang diwajibkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau pemerintah daerah setempat.37 3. Zakat dan Sumbangan Keagamaan Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf g 35 36 37 PMK-83/PMK.03/2009 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau Imbalan Dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu Dan Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER - 51/PJ/2009 Tata Cara Pemberian dan Penetapan Besaran Kupon Makanan dan/atau Minuman Bagi Pegawai, Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Daerah Tertentu, Dan Batasan Mengenai Sarana dan Fasilitas di Lokasi Kerja Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER - 51/PJ/2009 Tata Cara Pemberian dan Penetapan Besaran Kupon Makanan dan/atau Minuman Bagi Pegawai, Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Daerah Tertentu, Dan Batasan Mengenai Sarana dan Fasilitas di Lokasi Kerja Halaman 44 Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf g, harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (3) tidak dapat menjadi pengurang penghasilan brtuo kecuali zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:38  zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau  sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/ atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. Zakat atau sumbangan keagamaan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto oleh pemberi zakat atau sumbangan keagamaan harus didukung oleh bukti-bukti yang sah. Apabila pengeluaran untuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat atau lembaga keagamaan yang disahkan oleh Pemerintah pengeluaran tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. 39 4. Pembayaran Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD) Pengeluaran untuk Pajak Daerah dan Retibusi Daerah dapat dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak sepanjang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 40 a. Memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000; b. Berkaitan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan. menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan tidak bersifat final dan atau tidak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto/Norma Penghitungan Khusus; c. Tidak termasuk pengeluaran untuk sanksi berupa bunga, denda, dan atau kenaikan. 5. Kenikmatan dan Fasilitas Yang Diberikan Untuk Pegawai Yang Dapat Dibiayakan hanya sebesar 50% Perlakuan PPh atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan diatur hal-hal sebagai berikut : 41 38 39 40 41 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 254/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 02/PJ.42/2002 tentang Perlakuan PPh Atas Pengeluaran Untuk Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kep Dirjen Pajak Nomor KEP - 220/PJ./2002 tentang Perlakuan PPh Atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan Halaman 45 Dapat Dibebankan hanya sebesar 50% : •Biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dari jumlah biaya perolehan atau pembelian melalui penyusutan aktiva tetap kelompok I •Biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannyadari jumlah biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan dalam tahun pajak yang bersangkutan. •Biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dari jumlah biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II • Biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan sedan atau sejenisnya yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya dari jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin dalam tahun pajak yang bersangkutan Dapat Dibebankan Seluruhnya : •Biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II • Biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai dalam tahun pajak yang bersangkutan. Figure 14. Biaya yang dapat dibebankan 50% Atas biaya-biaya yang dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan diatas, tidak merupakan penghasilan bagi para pegawai perusahaan yang bersangkutan. 6. Pembelian Software Umum dan Khusus Program aplikasi umum adalah program yang dapat dipergunakan oleh pengguna (users) umum untuk memproses berbagai pekerjaan dengan komputer. Program aplikasi khusus adalah program yang dirancang khusus untuk keperluan otomatisasi sistem administrasi, pekerjaan atau kegiatan usaha tertentu, seperti dibidang perbankan, pasar modal, perhotelan, rumah sakit atau penerbangan. Perlakuan PPh atas biaya perolehan dan upgrade Softtware diatur hal-hal sebagai berikut : 42 Software Umum •Biaya perolehan dan upgrade software umum merupakan revenue expenditure dan diakui pada saat pengeluaran; •Bila software umum dibeli bersama dengan hardware maka biaya perolehannya dikapitalisasi bersama nilai hardware dan masuk aktiva berwujud kelompok 1. Software Khusus •Biaya perolehan software khusus dikapitalisasi sebagai intangible asset kelompok 1 dan diamortisasi selama 4 tahun; •Bila software khusus diupgrade maka pengeluarannya ditambahkan pada Nilai Sisa Buku Fiskal software yang bersangkutan dan diamortisasi dengan masa manfaat baru/penuh mulai bulan yang bersangkutan. 42 Kepdirjen Pajak Nomor : KEP-316/PJ./2002 tentang Perlakuan PPh atas biaya perolehan dan upgrade Softtware Halaman 46 7. Pembayaran PBB dan BPHTB Perlakuan PPh untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) adalah : 43 a. BPHTB adalah pajak yang dibayar dalam rangka dan merupakan bagian dari biaya pengeluaran untuk memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan; b. PBB adalah pajak yang dibayar sehubungan dengan pemilikan hak atau perolehan manfaat atas tanah dan atau pemilikan, penguasaan, atau perolehan manfaat atas bangunan, yang merupakan biaya/pengeluaran rutin setiap tahun; c. BPHTB atas hak atas tanah yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dapat dikurangkan sebagai biaya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak melalui amortisasi hak atas tanah sepanjang hak atas tanah tersebut dapat diamortisasi sesuai ketentuan Pasal 11A Undang-undang Pajak Penghasilan; d. BPHTB atas hak atas bangunan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan sebagai biaya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak melalui penyusutan bangunan tersebut sesuai ketentuan Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan; e. PBB atas tanah dan bangunan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dapat dikurangkan sekaligus sebagai biaya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak; f. Penegasan diatas, berlaku atas penghasilan yang tidak berkaitan dengan penerimaan/perolehan penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan atau dikenakan berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto/Norma Penghitungan Khusus. 8. Pinjaman Tanpa Bunga dari Pemegang Saham Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas diperkenankan menjadi pengurang penghasilan bruto apabila: a. pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain; b. modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya; c. pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan d. perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya. Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang sahamnya tidak memenuhi ketentuan diatas, pinjaman tersebut terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar. 44 9. Pajak Masukan (Pajak Pertambahan Nilai ) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan tersebut: a. benar-benar telah dibayar; dan b. berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Pajak Masukan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sehubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang 43 SE-01/PJ.42/2002 tentang Perlakuan PPh Atas Pengeluaran Untuk BPHTB dan PBB sebagai Biaya/Pengurang Penghasilan Bruto 44 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan Halaman 47 Pajak Penghasilan, harus dikapitalisasi dengan pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi. 45 10.Entertainment Biaya "entertainment", representasi, jamuan dan sejenisnya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan pada dasarnya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Wajib Pajak harus dapat membuktikan bahwa biaya-biaya tersebut telah benar-benar dikeluarkan (formal) dan benar ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan perusahaan (materiil).46 Oleh karena itu, Wajib Pajak yang mengurangkan biaya-biaya tersebut dari penghasilan brutonya agar melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan daftar nominatif yang berisi : a. Nomor urut. b. Tanggal entertainment dan sejenisnya yang telah diberikan. c. - Nama tempat entertainment dan sejenisnya yang telah diberikan - Alamat entertainment dan sejenisnya yang telah diberikan - Jenis entertainment dan sejenisnya yang telah diberikan - Jumlah (Rp) entertainment dan sejenisnya yang telah diberikan. d. Relasi usaha yang diberikan entertainment dan sejenisnya sesuai dengan nomor urut tersebut di atas berisi : - Nama - Posisi - Nama perusahaan - Jenis usaha. Format Daftar Nominatif adalah sebagai Berikut : DAFTAR NOMINATIF BIAYA ENTERTAINMENT DAN SEJENISNYA TAHUN PAJAK : Nomor Pemberian entertaiment dan sejenisnya Tanggal Tempat Alamat Jenis Jumlah (Rp) Relasi usaha yang diberikan Keterangan entertainment dan sejenisnya Nama Posisi Nama Jenis Perusahaan Usaha Figure 15. Daftar Nominatif Biaya Entertainment 45 46 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan SE - 27/PJ.22/1986 tantang Biaya "E tertai e t Dan Sejenisnya (Seri PPh Umum 18) Halaman 48 Bab 5. Biaya Yang Tidak Boleh Dikurangkan (NonDeductable Expenses) Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, atau memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran. 5.1. Yang Tidak Dapat Dikurangkan sesuai Pasal 9 ayat (1) UU PPh Dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh, untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan : a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf a Pembagian laba ini seperti deviden termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya dan pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini. b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf b Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya. c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf c Pembentukan atau Pemupukan dana cadangan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto kecuali : 1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang; 2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS); 3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan; 4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan ; 5. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan 6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk pengolahan limbah industri. Halaman 49 Yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Dana cadangan yang boleh dikurangkan ini telah dibahas dalam bab sebelumnya.47 d. Premi asuransi Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf d Premi Asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali yang dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan. Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak. Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak. e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf e Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai, serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan didaerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 48 Ketentuan biaya natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan telah dibahas dalam bab sebelumnya. f. Jumlah yang melebihi kewajaran Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf f Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham, karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Contoh : Seorang tenaga ahli yang adalah pemegang saham dari suatu badan, memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp 2.000.000 (dua juta rupiah), maka jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp 3.000.000 (tiga juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai deviden. 47 Peraturan Menkeu Nomor : 81/PMK.03/2009 jo Permenkeu Nomor : 219/PMK.011/2012 tentang Pembentukan Atau Pemupukan Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya 48 PMK-83/PMK.03/2009 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau Imbalan Dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu Dan Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja Halaman 50 g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf g Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m, serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana dijelaskan dalam Bab 3 tentang Penghasilan Yang Bukan Objek Pajak, berdasarkan prinsip Nontaxable - Non Deductable, maka atas hibah, bantuan, sumbangan, dan warisan yang bukan objek pajak bagi penerimanya sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (3) huruf a dan b, tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberinya. h. Pajak Penghasilan Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf h Pajak Penghasilan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, sedangkan Pajak yang lain seperti PBB, BPHTB, Bea Materai dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. i. Biaya Biaya yang dibebankan atau yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf i Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu, biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. j. Gaji yg dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf j Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikian, gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut. k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan dibidang perpajakan Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf k Sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan serta sanksi pidana yang berkenaan dengan pelaksanaan undang-undang di bidang perpajakan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Halaman 51 5.2. Biaya Yang Tidak Boleh Dikurangkan Lainnya Selain diatur dalam Pasal 9 ayat (1) diatas, terdapat beberapa biaya lainnya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto yang diatur tersendiri antara lain : 1. Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah : 49 a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang : - bukan merupakan objek pajak; - pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau - dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan. b. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan. Apabila terdapat biaya yang digunakan secara bersama-sama baik untuk mendapatkan penghasilan yang merupakan obyek pajak, penghasilan yang dikenakan PPh Final maupun penghasilan yang bukan merupakan obyek Pajak (Joint Cost), maka besarnya biaya yang dapat dikurangkan dihitung berdasarkan proporsi jumlah pendapatan yang merupakan obyek pajak dengan jumlah pendapatan yang dikenakan PPh Final dan penghasilan yang bukan obyek pajak. 2. Bunga Pinjaman dan Deposito Bunga deposito, tabungan, serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh baik oleh Wajib Pajak badan maupun oleh Wajib Pajak orang pribadi dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) UU PPh jo Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000. Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha tetap (BUT), biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Dapat terjadi bahwa dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan lainnya langsung atau tidak langsung berasal dari pinjaman atau dana yang berasal dari pihak ketiga yang dibebani biaya bunga. Apabila hal tersebut terjadi Wajib Pajak dapat memperkecil Penghasilan Kena Pajak secara tidak wajar, karena bunga yang terutang atau dibayar atas pinjaman tersebut dikurangkan sebagai biaya, sedangkan bunga yang diterima atau diperoleh yang berasal dari penempatan dana dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan lainnya tidak ditambahkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak karena telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 15%. Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut : 50 a. Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya sama dengan atau lebih kecil dari jumlah ratarata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya, maka biaya bunga yang dibayar atau terutang atas pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya. b. Apabila jumlah rata-rata pinjaman Iebih besar dari jumlah rata-rata dari yang ditempatkan dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya, maka biaya bunga atas pinjaman yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah bunga yang dibayar atau terutang atas rata-rata pinjaman yang melebihi rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan Iainnya (selisih ratarata pinjaman dengan rata-rata deposito). 49 50 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-46/PJ.4/1995 Tentang Perlakuan Biaya Bunga Yang Dibayar atau Terutang Dalam Hal Wajib Pajak Menerima atau Memperoleh Penghasilan Berupa Bunga Deposito atau Tabungan Lainnya Halaman 52 Walaupun begitu tidak semua biaya bunga yang telah dibebankan oleh perusahaan pasti dikoreksi secara fiskal. Ada beberapa pengecualian sehingga biaya bunga pinjaman dapat dibebankan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak : a. dana pinjaman tersebut disimpan atau ditempatkan dalam bentuk rekening giro yang atas jasanya dikenakan PPh yang bersifat final; b. ada keharusan bagi Wajib Pajak untuk menempatkan dana dalam jumlah tertentu pada suatu bank dalam bentuk deposito berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku sepanjang jumlah deposito dan tabungan tersebut semata-mata untuk memenuhi keharusan tersebut misalnya cadangan biaya reklamasi yang harus ditempatkan dalam bentuk deposito atau tabungan di Bank Pemerintah; c. dapat dibuktikan bahwa penempatan deposito atau tabungan tersebut dananya berasal dari tambahan modal dan sisalaba tersebut kena pajak. Seringkali perusahaan juga memperoleh pinjaman dalam bentuk valuta Asing. Dengan berjalannya waktu pastilah akan timbul rugi/laba selisih kurs atau jumlah pinjaman yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Apakah kerugian yang ditimbulkan akibat pembebanan bunga pinjaman dalam bentuk valas dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak, dijelaskan dalam SE-46/PJ.4/1995 tersebut hanya mengatur mengenai pembebanan biaya bunga pinjaman, sehingga dalam hal Wajib pajak menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga deposito atau tabungan lainnya, kerugian akibat selisih kurs bukanlah unsur yang perlu dikoreksi. Contoh Kasus : Pada tahun 2011 PT X mendapatkan pinjaman dari Bank Mandiri dengan batas maksimum sebesar Rp 200.000.000 dan tingkat bunga pinjaman adalah 20%. Dari jumlah tersebut telah diambil pada bulan Februari sebesar Rp 125.000.000 pada bulan Juni diambil lagi sebesar Rp 25.000.000 dan sisanya (Rp 50.000.000) diambil pada bulan·Agustus 2011. Disamping itu PT X mempunyai dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito dengan perincian sebagai berikut : bulan Februari s.d. Maret sebesar Rp 25.000.000 bulan April s.d. Agustus sebesar Rp 46.000.000 bulan September s.d. Desember sebesar Rp 50.000.000 Dengan demikian berapa bunga pinjaman yang dapat dibebankan sebagai biaya? Pertama, cari rata-rata pinjaman dan rata-rata deposito yang dimiliki PT X. Rata-Rata Pinjaman : Pinjaman Jangka Waktu Jumlah Bulan Januari 0 1 bulan 0 Bulan Februari s.d Mei 125.000.000 4 bulan 500.000.000 Bulan Juni s.d Juli 150.000.000 2 bulan 300.000.000 Bulan Agustus s.d Desember 200.000.000 5 bulan 1.000.000.000 JUMLAH 1.800.000.000 Sehingga rata-rata pinjaman per bulan Rp l.800.000.000 :12 = Rp 150.000.000 Rata-Rata deposito : Deposito Bulan Januari Bulan Februari s.d Maret Bulan April s.d Agustus Bulan September s.d Desember JUMLAH 25.000.000 46.000.000 50.000.000 Jangka Waktu 1 bulan 2 bulan 5 bulan 4 bulan Jumlah 0 50.000.000 230.000.000 200.000.000 480.000.000 Sehingga rata-rata deposito per bulan Rp 480.000.000 : 12 = Rp 40.000.000 Bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya = 20% x (150.000.000-40.000.000) = Rp 22.000.000 Halaman 53 3. Biaya Pinjaman terkait Debt To Equity Ratio (Perbandingan Hutang dan Modal) Pada tahun 2015 telah ditetapkan besarnya perbandingan antara utang dan modal untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham. Utang adalah saldo rata-rata utang pada satu tahun pajak atau bagian tahun pajak, yang dihitung berdasarkan: a. rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan; atau b. rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan. Saldo utang meliputi saldo utang jangka panjang maupun saldo utang jangka pendek termasuk saldo utang dagang yang dibebani bunga. Modal adalah saldo rata-rata modal pada satu tahun pajak atau bagian tahun pajak, yang dihitung berdasarkan: a. rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan; atau b. rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan. Besarnya perbandingan antara utang dan modal ditetapkan paling tinggi sebesar empat dibanding satu (4:1). 51 Dikecualikan dari ketentuan perbandingan antara utang dan modal adalah : a. Wajib Pajak bank; b. Wajib Pajak lembaga pembiayaan; c. Wajib Pajak asuransi dan reasuransi; d. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, dan dalam kontrak atau perjanjian dimaksud mengatur atau mencantumkan ketentuan mengenai batasan perbandingan antara utang dan modal; dan e. Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri; dan f. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur. Dalam hal besarnya perbandingan antara utang dan modal Wajib Pajak melebihi besarnya perbandingan dimaksud, biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak adalah sebesar biaya pinjaman sesuai dengan perbandingan utang dan modal sebagaimana dimaksud dalam penjelasan diatas. Biaya pinjaman sebagaimana dimaksud adalah biaya yang ditanggung Wajib Pajak sehubungan dengan peminjaman dana yang meliputi: a. bunga pinjaman; b. diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman; c. biaya tambahan yang terjadi yang terkait dengan perolehan pinjaman (arrangement of borrowings); d. beban keuangan dalam sewa pembiayaan; e. biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang; dan f. selisih kurs yang berasal dari pinjaman dalam mata uang asing sepanjang selisih kurs tersebut sebagai penyesuaian terhadap biaya bunga dan biaya sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e. 51 Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 169/PMK.010/2015 tanggal 9 September 2015 Tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan Halaman 54 Bab 6. Penilaian Harta Perusahaan Dasar Hukum : Pasal 10 UU Pajak Penghasilan Setelah mempelajari tentang penghasilan dan biaya fiskal, untuk dapat menghitung Pajak Penghasilan masalah penilaian harta perusahaan penting juga dibahas, karena akan mempengaruhi harga pokok penjualan yang pada akhirnya menentukan besarnya laba usaha yang merupakan objek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b atau mempengaruhi besarnya keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta yang merupakan objek pajak sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1) huruf d. 6.1. Transaksi Jual Beli Harta Dasar hukum : Pasal 10 ayat (1) Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima. Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan. Dalam jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), maka bagi pihak pembeli nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika jual beli tersebut tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Oleh karena itu, dalam ketentuan ini diatur bahwa nilai perolehan atau nilai penjualan harta bagi pihak-pihak yang bersangkutan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya diterima. Contoh : Memiliki Hubungan Tidak Memiliki Hubungan Istimewa Istimewa Nilai Buku Rp 12.000.000 Rp 12.000.000 Harga Jual Rp 12.000.000 Rp 20.000.000 Dari data pada tabel dapat dilihat bahwa harga jual dari transaksi yang dilakukan oleh pihak yang memiliki hubungan istimewa lebih kecil dibandingkan dengan penjualan antara pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Oleh karena itu, menurut pajak harga jual harta tersebut harus jumlah yang seharusnya diterima yaitu sebesar Rp. 20.000.000,-. Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan yang dikenakan pajak. PT A memperoleh keuntungan sebesar Rp 10.000.000 (Rp20.000.000 - Rp10.000.000) dan PT B memperoleh keuntungan sebesar Rp 8.000.000 (Rp20.000.000- Rp12.000.000). Halaman 55 6.2. Transaksi Tukar Menukar Dasar hukum : Pasal 10 ayat (2) Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar. Contoh : PT A (Harta X) Nilai sisa buku Harga pasar Rp 10.000.000 Rp 20.000.000 PT B (Harta Y) Rp 12.000.000 Rp 20.000.000 Antara PT A dan PT B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak terdapat realisasi pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan, namun karena harga pasar harta yang dipertukarkan adalah Rp 20.000.000 maka jumlah sebesar Rp 20.000.000 merupakan nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan atau nilai penjualan yang seharusnya diterima. Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan yang dikenakan pajak. PT A memperoleh keuntungan sebesar Rp 10.000.000 (Rp20.000.000 - Rp10.000.000) dan PT B memperoleh keuntungan sebesar Rp 8.000.000 (Rp20.000.000- Rp12.000.000). 6.3. Pengalihan Harta dalam rangka likuidasi/merger Dasar hukum : Pasal 10 ayat (3) Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. Pada prinsipnya apabila terjadi pengalihan harta, penilaian harta yang dialihkan dilakukan berdasarkan harga pasar. Pengalihan harta tersebut dapat dilakukan dalam rangka pengembangan usaha berupa penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan dan pengambilalihan usaha. Selain itu, pengalihan tersebut dapat dilakukan pula dalam rangka likuidasi usaha atau sebab lainnya. Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku (pooling of interest). Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku adalah : 52 a. Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering); atau b. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering). Prosedur Restrukturisasi Menggunakan Nilai Buku Untuk dapat melakukan restrukturisasi menggunakan nilai buku, WP harus memenuhi serangkaian prosedur dibawah ini. Mengingat kegagalan memenuhi prosedur ini akan mengakibatkan pengalihan harta harus dinilai dengan Harga Pasar dan keuntungan yang diperoleh dikenakan PPh. a. Mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP yang membawahi KPP tempat pemohon terdaftar selambat-lambatnya 6 bulan sesudah proses penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha dilakukan. 52 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang Pengggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha Halaman 56 - Dalam hal penggabungan atau peleburan usaha, permohonan diajukan oleh Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta. Dalam hal pemekaran usaha permohonan diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta. b. Melunasi seluruh utang pajak dan tiap badan usaha yang terkait, termasuk cabang perwakilan yang terdaftar di KPP-KPP lokasi. c. Laporan Keuangan Wajib Pajak, khususnya untuk tahun pajak dilakukannya pengalihan harta, harus diaudit oleh Akuntan Publik. d. Apabila permohonan Wajib Pajak sudah lengkap, Kakanwil DJP menerbitkan surat keputusan persetujuan atau penolakan selambat-lambatnya 1 bulan sejak diterimanya permohonan secara lengkap. Jika batas waktu 1 bulan te!ah lewat maka permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan kepadanya diterbitkan surat keputusan persetujuan. Setelah permohonan penggabungan atau pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku disetujui. maka berlaku ketentuan-ketentuan dibawah ini : - Penyusutan dan amortisasi atas harta yang dialihkan untuk tahun buku dimana pengalihan harta tadi dilakukan secara prorata (penghitungan bulanan) berdasarkan masa manfaat yang tersisa sebagaimana yang tercantum dalam pembukuan Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta. - Apabila penggabungan, peleburan, pemekaran usaha dilakukan dalam tahun berjalan : a. PPh pasal 25 Wajib Pajak yang baru, tidak boleh lebih kecil dan jumlah PPh pasal 25 dan pihakpihak yang mengalihkan. b. Pembayaran, pemungutan, dan pemotongan PPh yang telah dilakukan sebelumnya dapat dipindahbukukan menjadi pembayaran, pemungutan/pemotongan PPh Wajib Pajak yang menerima pengalihan. - Dalam hal penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha dilakukan dalam tahun berjalan, maka : a. kewajiban formal penyampaian SPT masa/tahunan PPh bagi Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha, berakhir sampai dengan Masa Pajak/Bagian Tahun Pajak dilakukannya penggabungan atau peleburan usaha. b. Kewajiban formal penyampaian SPT Masa/Tahunan PPh bagi Wajib Pajak Yang menerima pengalihan harta dalam rangka peIeburan dan pemekaran usaha, dimulai sejak Wajib Pajak terdaftar di KPP setelah pendirian badan usaha baru. Contoh: PT A dan PT B melakukan peleburan dan membentuk badan baru yaitu PT C. Nilai sisa buku dan harga pasar harta dari kedua badan tersebut adalah sebagai berikut: Nilai sisa buku Harga pasar PT A Rp 200.000.000 Rp 300.000.000 PT B Rp 300.000.000 Rp 450.000.000 Pada dasarnya penilaian harta yang diserahkan oleh PT A dan PT B dalam rangka peleburan menjadi PT C adalah harga pasar dari harta. Dengan demikian PT A mendapat keuntungan sebesar Rp 100.000.000 (Rp300.000.000 - Rp200.000.000) dan PT B mendapat keuntungan sebesar Rp 150.000.000 (Rp450.000.000 - Rp300.000). Sedangkan PT C membukukan semua harta tersebut dengan jumlah Rp750.000.000 (Rp 300.000.000 + Rp 450.000.000). Namun dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan di bidang social, ekonomi, investasi, moneter dan kebijakan lainnya. Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain selain harga pasar yaitu atas dasar nilai sisa buku (pooling of interest). Dalam hal demikian PT C membukukan penerimaan harta dari PT A dan PT B tersebut sebesar Rp 500.000.000 (Rp 200.000.000 + Rp 300.000.000). Halaman 57 6.4. Pengalihan Harta dengan Alasan Hibah, Sumbangan, dan Warisan Dasar hukum : Pasal 10 ayat (4) Apabila terjadi pengalihan harta , yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b (hibah, sumbangan atau warisan), maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Yang tidak memenuhi syarat ini, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut. Apabila Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak diketahui, maka nilai perolehan atas harta ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Penetapan Dasar Nilai Bagi yang Menerima Pengalihan Harta yang diperoleh dari Bantuan, Sumbangan, Hibahan, dan Warisan yang memenuhi syarat bukan sebagai objek pajak dari WP tidak menyelenggarakan pembukuan ditetapkan sebagai berikut : 53 - Apabila nilai atau perolehan harta bagi yang mengalihkan harta tersebut diketahui maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan tersebut adalah sama dengan nilai atau harga perolehan harta tersebut bagi yang mengalihkan. - Apabila tidak diketahui namun tahun perolehannya diketahui maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan harta tersebut adalah : a. apabila tanah dan/atau bangunan tersebut diperoleh yang mengalihkan dalam tahun 1986 atau sebelumnya, sama dengan besarnya NJOP, yang tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak 1986 atau; b. apabila diperoleh sesudah tahun 1986 sama besarnya dengan NJOP yang tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak diperolehnya harta tersebut bagi yang mengalihkan, atau; c. jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan surat keterangan dari Kepala KPPBB. - Apabila nilai atau harga perolehan dan tahun perolehan bagi yg mengalihkan harta berupa tanah dan/atau bangunan tidak diketahui maka nilai perolehan bagi yang menerima harta tersebut adalah sama besarnya dengan NJOP yang tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak yang paling awal yang tertulis atas nama yang mengalihkan harta tersebut atau jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan surat keterangan dari kepala KPPBB. - Untuk harta selain tanah dan/atau bangunan apabila nilai atau harga perolehan tidak diketahui maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan harta tersebut adalah sama besarnya dengan 60% dari harga wajar harta tersebut pada saat terjadinya pengalihan. Contoh : PT A berniat menghibahkan 2 buah gedung masing-masing kepada PT B dan kepada sebuah Badan Sosial yang ditetapkan Menteri Keuangan. Atas penyerahan gedung ke badan sosial, PT A mencatat hibah tersebut sebesar nilai sisa buku fiskal (NSBF) dan tidak mengakui laba/rugi. Tetapi atas hibah gedung kepada PT B, PT A harus mencatat hibah tersebut sebesar harga pasar dan harus mengakui laba/rugi. 6.5. Pengalihan harta untuk Setoran Modal Dasar hukum : Pasal 10 ayat (5) Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c (harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal), maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut. 53 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-11/PJ./1995 tentang Penetapan Dasar Penilaian Bagi Yang Menerima Pengalihan Harta Yang Diperoleh dari Bantuan, Sumbangan, Hibahan dan Warisan Yang Memenuhi Syarat Sebagai Bukan Objek Pajak Penghasilan Dari Wajib Pajak Yang Tidak Menyelenggarakan Pembukuan Halaman 58 Contoh: Wajib Pajak X menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai bukunya adalah Rp 25.000.000,00 kepada PT Y sebagai pengganti penyertaan sahamnya dengan nilai nominal Rp 20.000.000,00. Harga pasar mesin-mesin bubut tersebut adalah Rp 40.000.000,00. Dalam hal ini PT Y akan mencatat mesin bubut tersebut sebagai aktiva dengan nilai Rp 40.000.000,00 dan sebesar nilai tersebut bukan merupakan penghasilan bagi PT Y. Selisih antara nilai nominal saham dengan nilai pasar harta, yaitu sebesar Rp 20.000.000,00 (Rp 40.000.000,00 - Rp 20.000.000,00) dibukukan sebagai agio. Bagi Wajib Pajak X selisih sebesar Rp 15.000.000,00 (Rp 40.000.000,00 - Rp 25.000.000,00) merupakan Objek Pajak. 6.6. Persediaan Barang Dagangan Dasar hukum : Pasal 10 ayat (6) Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata (Average) atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama (FIFO). Pada umumnya terdapat 3 (tiga) golongan persediaan barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu. Ketentuan pada ayat ini mengatur bahwa penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan. Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama (first in first out atau disingkat FIFO). Metode yang lain seperti LIFO (Last In First Out) tidak diperkenankan. Sesuai dengan kelaziman, cara penilaian tersebut juga diberlakukan tehadap sekuritas. Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan cara yang sama. Contoh : 1. Persediaan 100 satuan 2. Pembelian 100 satuan 3. Pembelian 100 satuan 4. Penjualan/dipakai 100 satuan 5. Penjualan/dipakai 100 satuan Penggunaan harga pokok penjualan dan Misalnya sebagai berikut : No 1. 2. 3. 4. 5. @ Rp 9.00 @ Rp 12.00 @ Rp 11.25 nilai persediaan dengan menggunakan cara rata–rata. Didapat ---100 st @ Rp 12.00= Rp 1.200 100 st @ Rp 11.25=Rp 1.125 --------- Dipakai ---------100 st @ Rp 10.75 = Rp 1.075 100 st @ Rp 10.75 = Rp 1.075 Sisa/persediaan, 100 st@ Rp 9.00 = Rp 900 200 st@ Rp10.50 = Rp 2.100 300st@ Rp10.75 = Rp 3.225 200 st@ Rp 10.75= Rp 2.150 100 st@ Rp10.75= Rp 1.075 Penghitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan menggunakan cara FIFO. Misalnya sebagai berikut : No. Didapat 1. 2. --100 st@ Rp 12.00 = Rp1.200 3. 100 st@ Rp 11.25 = Rp1.125 4. ---- 5. ---- Dipakai Sisa /Persediaan --------- 100 st @ Rp 9 =Rp 900.100 st @ Rp 9 = Rp 900.100 st @ Rp12 =Rp1.200. ----100 st @ Rp 9 =Rp 900.100 st @ Rp12 =Rp1.200.100 st @ Rp11.25 =Rp1.125.100 st @ Rp 9.00 = Rp 900.- 100 st @ Rp 12 =Rp 1.200.100 st @Rp12.00 = Rp 100 st @ Rp11.25 =Rp1.125.1.200.100 st @ Rp11.25 =Rp1.125.Halaman 59 6.7. Penilaian Persediaan bagi Wajib Pajak Pedagang Valuta Asing Yang dimaksud dengan Pedagang Valuta Asing (PVA) adalah bank bukan bank devisa atau perusahaan yang telah mendapat izin untuk melakukan jual beli Uang Kertas Asing (UKA) dan pembelian Traveller's Cheque (TC). Penetapan kurs jual beli UKA diserahkan kepada PVA sesuai dengan perkembangan pasar. Pedagang Valuta Asing diwajibkan menyampaikan Laporan Bulanan. Laporan Tahunan dan Laporan Khusus kepada Bank Indonesia. 54 Untuk kepentingan perpajakan perlu ditegaskan bahwa penilaian persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok valuta asing sebagai barang dagangan bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha perdagangan valuta asing adalah berdasarkan harga perolehan valuta asing tersebut yang dihitung secara rata-rata (average) atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama (FIFO) dan harus dilakukan secara taat azas. 55 54 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor : 31/171/KEP/DIR tanggal 17 Desember 1998 tentang Pedagang Valuta Asing 55 Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 52/PJ.42/1999 tentang Penilaian Persediaan Bagi Wajib Pajak Pedagang Valuta Asing Halaman 60 Bab 7. Rekonsiliasi Fiskal Seperti telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, untuk menghitung Pajak Penghasilan Terutang untuk Wajib Pajak Badan kita harus mengetahui jumlah Penghasilan Neto Fiskal dalam satu tahun pajak dimana penghasilan neto fiiskal ini setelah dikurangi kompensasi kerugian tahun sebelumnya akan disebut sebagai Penghasilan Kena Pajak. PPh terutang dihitung dengan mengalikan Penghasilan Kena Pajak dengan Tarif Pajak. Penghasilan Neto diperoleh dari Laporan Keuangan yang dihasilkan dari proses pembukuan yang dihasilkan wajib pajak berdasarkan standar akuntansi yang berlaku yang disebut laporan keuangan komersial. Pajak tidak mengatur secara khusus mengenai cara atau alur dalam menyusun laporan keuangan. Oleh karena itu, wajib pajak dapat mengikuti alur penyusunan laporan keuangan yang terdapat dalam akuntansi komersial. Secara umum, laporan keuangan dimulai dari pencatatan dokumen-dokumen dasar yang terjadi dalam sebuah transaksi ke dalam buku harian. Kemudian, jurnal harian tersebut dimasukkan (posting) ke dalam buku besar. Pada akhir periode, dari buku besar disusun neraca saldo sebelum penyesuaian. Dengan penyesuaian terhadap keadaan yang sebenarnya terjadi pada akhir tahun dan catatan penutup (closing entries) disusunlah neraca saldo setelah penyesuaian. Dari neraca saldo setelah penyesuaian tersebut diperoleh sebuah laporan keuangan komersial. Karena terdapat beberapa perbedaan antara komersial dan pajak maka untuk kepentingan pajak, laporan keuangan komersial disesuaikan dengan ketentuan pajak yang lebih dikenal dengan sebutan rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi Fiskal adalah mekanisme penyesuaian pelaporan penghasilan WP secara komersial menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akhirnya dihasilkan laba/rugi fiskal. Penyebab terjadinya penyesuaian fiskal adalah perbedaan pengakuan secara komersial dan secara fiskal (pajak). Perbedaan tersebut adalah : 1. Beda Tetap Perbedaan atas penghasilan biaya yang secara fiskal/pajak tidak dapat diakui tetapi di komersial dapat diakui Contoh : Sumbangan, Hibah, Dividen, PPh dan lain-lain 2. Beda Waktu Perbedaan pengakuan atas penghasilan/biaya karena selisih waktu pengakuannya saja artinya sama-sama tetap diakui tetapi dalam waktu yang berbeda Contoh : Penyusutan secara komersial dibebankan selama 5 tahun tetapi menurut pajak hanya 4 tahun Pokok-pokok yang direkonsiliasi tidak terbatas pada penghasilan saja tetapi juga biaya pada suatu periode tertentu. Akibat diadakannya rekonsiliasi inilah memunculkan koreksi atau penyesuaian fiskal baik positif maupun negatif. Skema Rekonsiliasi Fiskal Figure 16 Skema Rekonsiliasi Fiskal Halaman 61 7.1. Penyesuaian Fiskal Positif Penyesuaian fiskal positif adalah penyesuaian terhadap penghasilan netto komersial (diluar unsur penghasilan yang dikenai PPh final dan yang tidak termasuk Objek Pajak) dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan beserta peraturan pelaksanaannya yang bersifat menambah penghasilan dan/atau mengurangi biaya-biaya komersial. Penyesuaian fiskal positif timbul karena adanya : a. Adanya biaya, pengeluaran, dan kerugian yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto berdasarkan ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan. Biaya yang tidak dapat dikurangkan ini telah dibahas dalam bab 5. b. Adanya perbedaan saat pengakuan biaya dan penghasilan atau karena penghitungan biaya menurut metode fiskal lebih rendah dari penghitungan menurut metode akuntansi komersial. c. Adanya penghasilan yang merupakan objek pajak yang tidak termasuk dalam penghasilan komersial. Penyesuaian fiskal positif yang mengakibatkan bertambahnya laba bersih kena pajak atau penghasilan kena pajak dalam SPT Tahunan PPh Badan dikelompokkan menjadi seperti dalam tabel berikut. No Penyesuaian Fiskal Keterangan A Biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham, sekutu, atau anggota. B Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan Pengeluaran perusahaan untuk pembelian/perbaikan rumah atau kendaraan pribadi, biaya premi asuransi pribadi/keluarga, dan pengeluaran lainnya untuk kepentingan pemegang saham, sekutu, atau anggota Pembentukan atau pemupukan dana cadangan secara fiskal tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, kecuali untuk usaha tertentu seperti bank dan asuransi C Penggantian atau Imbalan Pekerjaan atau Jasa dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan D Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham/pihak yang mempunyai hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan E Natura dan Kenikmatan tidak dapat dibebankan sebagai biaya kecuali pemberian natura berupa penyediaan makanan/minuman ditempat kerja bagi seluruh pegawai, natura dan kenikmatan di daerah terpencil, serta pemberian natura atau kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya Pembayaran gaji, honorarium, dan imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan kepada pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (4) UU PPh dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sepanjang jumlahnya tidak melebihi kewajaran pajak pemberi bantuan atau sumbangan dan harta hibahan tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan. Kecuali atas biaya sumbangan kecuali : Sumbangan penanggulangan bencana nasional, sumbangan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia, sumbangan pembangunan infrastruktur sosial, sumbangan fasilitas pendidikan, sumbangan pembinaan olahraga Dasar Hukum Pasal 9 ayat (1) huruf b Pasal 9 ayat (1) huruf c PMK Nomor 81/PMK.03/2009 Jo PMK219/PMK.011/2012 Pasal 9 ayat (1) huruf e PMK Nomor 83/PMK.03/2009 Pasal 9 ayat (1) huruf f Pasal 6 ayat (1) huruf i-m Pasal 9 ayat (1) huruf g PP Nomor 18 TAHUN 2009 PMK245/PMK.03/2008 Halaman 62 F Pajak Penghasilan G Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau CV yang modalnya tidak terbagi atas saham H Sanksi Administrasi I Selisih Penyusutan Komersial diatas penyusutan fiskal J Selisih amortisasi Komersial diatas penyusutan fiskal Biaya yang ditangguhkan pengakuannya K L Penyesuaian Fiskal Positif Lainnya Pajak Penghasilan WP Badan serta kredit pajaknya bukan merupakan biaya perusahaan, tetapi sebagai kredit pajak. Sedangkan pajak selain pajak penghasilan seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Materai dapat dibiayakan (tidak dikoreksi fiskal) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi bukan merupakan penghasilan. Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip taxability and deductibility bagi perseroan tersebut pembayaran gaji kepada para anggotanya tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan dibidang perpajakan bukan merupakan biaya perusahaan sehingga harus dikoreksi fiskal Apabila terjadi selisih penghitungan penyusutan yang mengakibatkan penyusutan menurut pajak lebih kecil dari penyusutan komersial Apabila terjadi selisih penghitungan amortisasi yang mengakibatkan amortisasi menurut pajak lebih kecil dari amortisasi komersial Pada dasarnya saat pengakuan biaya dan penghasilan dilakukan secara taat asas berdasarkan prinsip akuntansi tentang pengaitan biaya dengan penghasilan (matching of costs againts revenues). Namun dalam halhal tertentu karena kebijakan Pemerintah Direktur Jenderal Pajak dapat mengatur saat pengakuan penghasilan dan biaya yang berbeda. Seperti misalnya biaya bunga yang belum dibayar (bunga kredit macet) Penyesuaian ini adalah penyesuaian yang tidak dapat dikelompokkan kedalam penyesuaian diatas yang meliputi, contoh: - Pembagian laba dalam bentuk apapun, deviden, dan lain-lain Biaya Telepon selular hanya dapat dibebankan 50% - Biaya kendaraan (penyusutan dan pemeliharan) sedan dan sejenisnya untuk perusahaan hanya dapat dibebankan 50% - Biaya untuk mendapatkan penghasilan yang bukan objek pajak - WP mengeluarkan biaya-biaya yang dikeluarkan bersama-sama untuk mendapatkan pendapatan yang telah dikenakan PPh Final atau pendapatan yang bukan objek pajak serta pendapatan yang dikenakan PPh Non Final (Joint Cost) harus harus dihitung secara proporsional Pasal 9 ayat (1) huruf h Pasal 4 ayat (3) huruf i Pasal 9 ayat (1) huruf j Pasal 9 ayat (1) huruf k Pasal 11 Pasal 11A Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 Pasal 9 ayat (1) UU PPh Kep-220/PJ/2002 Figure 17. Daftar Penyesuaian Fiskal Positif Halaman 63 7.2. Penyesuaian Fiskal Negatif Penyesuaian fiskal negatif adalah penyesuaian terhadap penghasilan netto komersial (di luar unsur penghasilan yang dikenai PPh final dan yang tidak termasuk Objek Pajak) dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan beserta peraturan pelaksanaannya yang bersifat mengurangi penghasilan dan/atau menambah biaya-biaya komersial. Dalam form SPT Tahunan PPh Badan, penyesuaian fiskal negatif dikelompokkan menjadi seperti dalam tabel dibawah ini. No Penyesuaian Fiskal A Selisih penyusutan komersial dibawah penyusutan fiskal B Selisih Amortisasi komersial dibawah amortisasi fiskal C Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya Keterangan Apabila penyusutan menurut pajak lebih besar dari komersial maka selisihnya adalah koreksi negatif yang mengakibatkan laba menurut pajak menjadi lebih kecil Apabila amortisasi menurut pajak lebih besar dari komersial maka selisihnya adalah koreksi fiskal negatif yang mengakibatkan laba menurut pajak menjadi lebih kecil Dalam hal-hal tertentu karena kebijakan Pemerintah Direktur Jenderal Pajak dapat mengatur saat pengakuan penghasilan dan biaya yang berbeda. Misalnya : - Saat pengakuan penghasilan bank berupa bunga kredit non performing loan dalam rangka menunjang percepatan proses restrukturisasi perbankan sesuai dengan kebijakan Pemerintah. Penghasilan bank berupa bunga kredit non-performing loan diakui pada saat penghasilan bunga tersebut diterima oleh bank (cash basis). Dalam hal bank membukukan penerimaan bunga kredit non-performing sebagai pengurang pokok kredit saat pengakuan penghasilan ditunda hingga saat diterimanya penghasilan bunga setelah pelunasan pokok kredit. - saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi Wajib Pajak karena adanya perubahan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. Dasar Hukum Pasal 11 Pasal 11A Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 Kep-184/PJ/2002 SE-08/PJ.42/2002 Figure 18. Daftar Penyesuaian Fiskal Negatif 7.3. Penyesuaian Fiskal atas Penghasilan Final dan Bukan Objek Pajak Pada bab 3 telah dijelaskan mengenai Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan Yang Bukan Objek Pajak. Atas kedua penghasilan ini akan direkonsiliasi karena harus dikeluarkan dari penghitungan PPh terutang akhir tahun. Koreksi ini sebenarnya merupakan penyesuaian fiskal negatif, namun dalam memudahkan pengisian SPT Tahunan maka koreksi khusus penghasilan final dan bukan objek pajak dilakukan dalam kolom tersendiri. a. WP Memiliki Penghasilan yang dikenakan PPh Final Apabila Wajib Pajak memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final maka penghasilan tersebut harus direkonsiliasi (dikeluarkan dari perhitungan PPh terutang pada akhir tahun) karena atas penghasilan tersebut telah dikenakan PPh Final sehingga kewajiban pembayaran pajaknya sudah selesai. Selanjutnya PPh Final yang sudah dibayar/dipotong atas penghasilan tersebut tidak boleh lagi menjadi kredit pajak. Halaman 64 Contoh : Perusahaan mendapatkan bunga dan jasa giro dari bank. Penghasilan tersebut harus dikeluarkan dari perhitungan PPh Terutang pada akhir tahun (direkonsiliasi) karena sudah dipotong PPh Final oleh bank. b. WP memiliki penghasilan yang bukan merupakan objek pajak Apabila Wajib Pajak memiliki penghasilan yang bukan merupakan objek pajak maka penghasilan tersebut harus juga direkonsiliasi karena wajib pajak tidak perlu membayar PPh atas penghasilan tersebut. Contoh : PT Senior memperoleh dividen dari PT Junior yang merupakan anak perusahaan sebesar 100juta. Penyertaan PT Senior pada PT Junior sebesar 45%. Penerimaan dividen tersebut tidak perlu diperhitungkan sebagai penghasilan dalam menghitung PPh tentang perusahaan tersebut pada akhir tahun karena bukan merupakan objek pajak. Contoh format Rekonsiliasi fiskal sebagai terikut: Akun Peredaran Usaha (Tidak Final) Biaya Usaha (Deductable) Biaya Piknik (Natura dan Kenikmatan Non- Deductable) Laba Usaha Penghasilan Bunga/Jasa Giro (Final) Laba Neto Fiskal Komersial (Rp) 1.000.000.000 700.000.000 50.000.000 Rekonsiliasi Fiskal Positif Negatif Fiskal (Rp) 1.000.000.000 700.000.000 0 50.000.000 250.000.000 25.000.000 50.000.000 275.000.000 50.000.000 25.000.000 300.000.000 0 25.000.000 300.000.000 Rekonsiliasi fiskal ini akan diposting ke dalam SPT Tahunan Form 1771 - I Figure 19. Contoh Rekonsiliasi Fiskal Halaman 65 Bab 8. Kompensasi Kerugian Dasar Hukum : Pasal 6 ayat (2) UU Pajak Penghasilan Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada pasal 6 ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturutturut sampai dengan 5 (lima) tahun. Dalam bab sebelumnya kita telah mempelajari tentang rekonsiliasi laporan keuangan secara komersial menjadi laporan keuangan secara fiskal, sehingga kita akan memperoleh Penghasilan neto secara fiskal. Apabila didapatkan hasil kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. Kompensasi kerugian hanya diperbolehkan diisi oleh wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan. Contoh : PT Anindya dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000. Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut : 2010 : laba fiskal Rp200.000.000 2011 : rugi fiskal (Rp300.000.000) 2012 : laba fiskal Rp N I H I L 2013 : laba fiskal Rp100.000.000 2014 : laba fiskal Rp800.000.000 Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut : Tahun Laba/(Rugi) Sisa Kompensasi 2009 (1.200.000.000) Dikompensasi 2010 200.000.000 (1.000.000.000) 2011 (300.000.000) (1.000.000.000) 2012 0 (1.000.000.000) 2013 100.000.000 (900.000.000) 2014 800.000.000 (100.000.000) Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp 100.000.000 yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000 hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016. Berdasarkan sistem self assessment yang dianut dalam Undang-undang Perpajakan khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan, penetapan pajak pada tingkat pertama dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri melalui penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT). Penerbitan ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak hanya dilakukan apabila terdapat fakta tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (3), Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (1) UU KUP. Dengan demikian, apabila Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan formal maupun ketentuan material Undang-undang Perpajakan, maka Direktur Jenderal Pajak tidak perlu menerbitkan ketetapan pajak. Demikian pula apabila Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan ketetapan pajak, maka Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak merupakan ketetapan pajak berdasarkan Undang-undang Perpajakan. Halaman 66 Dalam kaitannya dengan pelaksanaan ketentuan kompensasi kerugian fiskal dalam penghitungan Pajak Penghasilan sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU PPh, yang dimaksud dengan kerugian fiskal adalah kerugian fiskal berdasarkan ketetapan pajak yang telah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak maupun kerugian fiskal berdasarkan SPT Tahunan Wajib Pajak (self assessment) dalam hal tidak ada atau belum diterbitkan ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. Dilakukannya pemeriksaan pajak terhadap SPT Tahunan yang menyatakan Rugi Tidak Lebih Bayar maupun Rugi Lebih Bayar tidak meniadakan hak kompensasi kerugian fiskal Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU PPh jo. ketentuan Pasal 12 UU KUP tersebut di atas. Namun apabila kemudian ternyata berdasarkan ketetapan pajak hasil pemeriksaan menunjukkan jumlah kerugian fiskal yang berbeda dari SPT Tahunan atau menjadi tidak rugi, maka kompensasi kerugian fiskal menurut SPT Tahunan tersebut harus segera dibetulkan sesuai dengan ketentuan dan prosedur sebagaimana diatur dalam UU KUP. Kerugian fiskal dari penghasilan yang bersumber di luar negeri hanya dapat dikompensasikan dengan penghasilan dari sumber yang sama di luar negeri. Kerugian fiskal dari penghasilan yang dikenakan PPh final atau penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak, tidak dapat dikompensasikan dengan penghasilan lainnya yang dikenakan pa jak berdasarkan ketentuan umum. Halaman 67 Bab 9. Tarif PPh Badan PPh Terutang dihitung dengan mengalikan Tarif dengan Penghasilan Kena Pajak yang telah dihitung sebelumnya. Tarif Pajak Penghasilan Badan mengalami perubahan pada tahun 2009 seiri ng dengan berlakunya UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 pada tanggal 1 Januari 2009. Sebelum 1 Januari 2009 (Berdasarkan PPh No.17 Tahun 2000) Wajib Pajak Badan dikenakan pajak penghasilan dengan tarif sesuai pasal 17 UU dengan lapisan sebagai berikut : Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Sampai dengan Rp 50.000.000.00 10% Diatas Rp 50.000.000 sd. Rp 100.000.000 15% Diatas Rp 100.000.000 30% Setelah 1 Januari 2009 (Berdasarkan PPh No.36 Tahun 2008) 1. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah: Tahun Pajak Tahun Pajak 2009 Sejak Tahun 2010 Tarif Pajak 28% 25% Alasan Perubahan tarif ini adalah bahwa tarif tunggal selaras dengan prinsip netralitas dalam pengenaan pajak atas badan dan tarif diturunkan secara bertahap untuk meningkatkan daya saing dengan negara lain dalam menarik investasi luar negeri. 2. Tarif Pasal 17 ayat (2b) Undang-undang PPh dengan Peraturan Pemerintah Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka dapat diberikan penurunan tarif Pajak Penghasilan sebesar 5% lebih rendah apabila : a. Paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan masuk dalam penitipan kolektif di lembaga penyimpanan dan penyelesaian; b. Saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus dimiliki oleh paling sedikit 300 Pihak; c. masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh; d. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak. 56 Alasan Penurunan tarif ini adalah untuk meningkatkan peranan pasar modal sebagai sumber pembiayaan dunia usaha dan mendorong peningkatan jumlah perseroan terbuka dan kepemilikan publik pada perseroan terbuka. Wajib Pajak yang ingin mendapatkan penurunan tarif harus melampirkan surat keterangan dari Biro Administrasi Efek pada Surat Pemberitahuan Tahunan PPh WP Badan dengan melampirkan formulir X.H.1-6 sebagaimana diatur dalam Peraturan Bapepam dan LK Nomor X.H.1 untuk setiap tahun pajak terkait. Surat keterangan dibuat untuk setiap tahun pajak dengan mencantumkan nama Wajib Pajak, 56 Peraturan Pemerintah NOMOR 81 TAHUN 2007 jo Peraturan Pemerintah Nomor 77 TAHUN 2013 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri Yang Berbentuk Perseroan Terbuka Halaman 68 Nomor Pokok Wajib Pajak, Tahun Pajak serta menyatakan bahwa dalam waktu paling singkat 6 (enam) bulan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun pajak : 57 a. Saham Wajib Pajak dimiliki oleh publik paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari keseluruhan saham yang disetor; dan b. saham Wajib Pajak yang dimiliki oleh publik dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) pihak dan masing-masing pihak hanya memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang disetor. Dasar perhitungan besarnya angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) UndangUndang untuk satu tahun pajak berikutnya setelah Wajib Pajak mendapatkan fasilitas berupa penurunan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah adalah Surat Pemberitahuan Tahunan PPh WP Badan tahun pajak yang mendapatkan faslitas. 3. Pengurangan Tarif sesuai Pasal 31E Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 31 E ayat (1) : Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Pasal 31 E ayat (2) : Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut. Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi : Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final, Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final, dan Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak. Fasilitas Pasal 31E ayat (1) tersebut bukan merupakan pilihan. Sepanjang akumulasi peredaran bruto tidak melebihi Rp50.000.000.000, tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri wajib mengikuti ketentuan fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan. 58 57 58 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Dan Pengawasan Pemberian Penurunan Tarif Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Yang Berbentuk Perseroan Terbuka Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 66/PJ/2010 tentang Penegasan Atas Pelaksanaan Pasal 31E ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 Halaman 69 Contoh Penghitungan : a. Contoh 1 : Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000 dengan Penghasilan Kena Pajak (PhKP) sebesar Rp 500.000.000. Penghitungan pajak yang terutang: Seluruh PhKP yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4.800.000.000. Pajak Penghasilan yang terutang : (50% x 28%) x Rp 500.000.000 = Rp70.000.000 b. Contoh 2 : Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 30.000.000.000 dengan PhKP sebesar Rp 3.000.000.000. Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:  Jumlah PhKP dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas: (Rp 4.800.000.000 : Rp 30.000.000.000) x Rp 3.000.000.000 = Rp 480.000.000.  Jumlah PhKP dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas: Rp3.000.000.000 - Rp480.000.000 = Rp2.520.000.000 Pajak Penghasilan yang terutang: (50% x 28%) x Rp480.000.000 28% x Rp2.520.000.000 Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang = Rp 67.200.000 = Rp 705.600.000 (+) = Rp 772.800.000 Halaman 70 Bab 10.Kredit Pajak WP Badan 10.1. Kredit Pajak Untuk menghitung PPh terutang pada akhir tahun hasil perhitungan PPh Terutang diatas harus dikurangi dengan kredit pajak. Pada prinsipnya sama dengan PPh Orang Pribadi, bahwa Kredit Pajak ada yang berupa pemotongan/pemungutan pihak lain dan yang dibayar sendiri. Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri. Agar pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan mendekati jumlah pajak yang akan terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, maka pelaksanaannya dilakukan melalui : Pemotongan/Pemungutan pajak oleh pihak lain seperti : 1. Pemotongan PPh Pasal 21 dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak dari pekerjaan. jasa atau kegiatan; 2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas penghasilan dari usaha; 3. Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan dari modal. jasa dan kegiatan tertentu. 4. dan Pembayaran angsuran PPh Pasal 25 oleh Wajib Pajak sendiri. Pelunasan pajak tersebut merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. Semua Kredit Pajak yang dijelaskan dalam PPh Orang Pribadi berlaku untuk Wajib Pajak Badan, kecuali PPh Pasal 21 yang khusus terutang untuk Subjek Pajak Orang Pribadi. PPh Pasal 22 Pasal 22 ayat (1) UU PPh menjelaskan Menteri Keuangan dapat menetapkan : bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, dan Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana diatas diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.59 Objek 59 Tarif Sifat Impor Barang - Importir - API - Importir - non API 2.5% 7.5% Tidak Final Pembayaran atas pembelian barang Bendaharawan Pemerintah 1.5% Tidak Final Peraturan Menteri Keuangan Nomor-154/PMK.03/2010 jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013 tentang Pemungutan Pajak Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain Halaman 71 Penjualan barang produksi - Industri Semen - Industri Kertas - Industri Baja - Industri Otomotif - Industri Farmasi 0.25% 0.10% 0.30% 0.45% 0.30% Penjualan barang produksi oleh Pertamina dan Badan Usaha lain yang bergerak dalam bidang BBM dan Gas Premium Solar Premix/Super TT Minyak Tanah Gas LPG Pelumas Pembelian bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul 60 Penjualan Barang yang tergolong sangat mewah : a. pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000, b. kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000, c. rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih dari 500m2 d. apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan/atau luas bangunan lebih dari 400m2 e. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, spart utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000,00 dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Tidak Final Khusus penyerahan kepada penyalur/ agen bersifat final Pertamina-Swasta 0.25% - 0.3% 0.25% - 0.3% 0.25% - 0.3% 0.3% - 0 0.3% - 0 0.3% - 0 0.25% Tidak Final 5% Tidak Final Figure 20. Kredit Pajak PPh Pasal 22 Besarnya tarif pemungutan sebagaimana dimaksud diatas diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak. Pemotong Pajak wajib untuk menerbitkan bukti potong PPh Pasal 22 yang akan menjadi dasar untuk melakukan pengkreditan oleh yang wajib potong. PPh 22 yang bersifat final tidak dapat dikreditkan dalam menghitung PPh yang masih kurang (lebih) dibayar. PPh Pasal 23 Pasal 23 ayat (1) UU PPh menjelaskan Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, Subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan : 60 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut PPh Dari Pembeli Atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah Halaman 72 Objek Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f royalti hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Tarif Sifat 15% Tidak final 15% Tidak final 15% Tidak final 15% Tidak final 2% Tidak final 2% Tidak final Figure 21. Kredit Pajak PPh Pasal 23 Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud tabel diatas tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud diatas. Pemotong Pajak wajib untuk menerbitkan bukti potong PPh Pasal 23 yang akan menjadi dasar untuk melakukan pengkreditan oleh yang wajib potong. PPh Pasal 24 (Kredit Pajak Luar Negeri) Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri ketentuan ini mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri. Pasal 24 ayat (1) UU Pajak Penghasilan : Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima/diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan dalam tahun pajak yang sama. Tata cara pengkreditan pajak yang dipotong Luar Negeri, adalah sebagai berikut : 61 1. Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan dengan cara : a. untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut; b. untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut; c. untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan deviden tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan. 2. Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. 3. Jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling tinggi sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah tertentu. 4. Jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sama dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri. 5. Apabila Penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan kredit pajak dilakukan untuk masing-masing negara. 61 Keputusan Menkeu Nomor : 164/KMK.03/2002 Tentang Kredit Pajak Luar Negeri Halaman 73 6. Dalam hal jumlah Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi jumlah kredit pajak yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi. 7. Untuk melaksanakan pengkreditan pajak luar negeri, Wajib Pajak wajib menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri: a. Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri; b. Foto Kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; dan c. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri. 8. Penyampaian permohonan kredit pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam angka 7 dilakukan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Pasal 24 ayat (5) UU Pajak Penghasilan : Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang Pajak Penghasilan. Misalnya dalam tahun 2013, Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak atas penghasilan luar negeri tahun pajak 2012 sebesar Rp 5.000.000 yang semula telah termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang untuk tahun pajak 2012, maka jumlah sebesar Rp 5.000.000 tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun pajak 2013. Contoh : PT A di Denpasar dalam tahun pajak 2014 menerima dan memperoleh penghasilan neto dari sumber luar negeri sebagai berikut : 1. Di negara Singapura memperoleh penghasilan (laba) Rp 1.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar 40% (Rp400.000.000) 2. Di negara Malaysia memperoleh penghasilan (laba) Rp 3.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar 25% (Rp. 750.000.000) 3. Di negara Australia menderita kerugian Rp 2.500.000.000 4. Penghasilan usaha dalam negeri Rp 4.000.000.000 Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut : Laba di negara Singapura Rp 1.000.000.000 Laba di negara Malaysia Rp 3.000.000.000 Rugi di negara Australia Rp 0 Jumlah penghasilan Luar Negeri Rp 4.000.000.000 Penghasilan Dalam Negeri Jumlah Penghasilan Neto PPh Terutang (25%) Rp 4.000.000.000 Rp 8.000.000.000 Rp 2.000.000.000 Batas Maksimum Kredit Pajak Luar Negeri : - Untuk Negara Singapura 1.000.000.000 X 2.000.000.000 = Rp 250.000.000 8.000.000.000 Pajak yang terutang di Negara Singapura adalah Rp 400.000.000, namun maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah hanya sebesar Rp. 250.000.000. - Untuk Negara Malaysia 3.000.000.000 Rp 750.000.000 X 2.000.000.000 = 8.000.000.000 Pajak yang terutang di Negara Malaysia adalah Rp. 750.000.000, namun maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah juga sebesar Rp 750.000.000.Jumlah Kredit Pajak Luar Negeri yang diperkenankan adalah sebesar : Rp 250.000.000 + Rp 750.000.000 = Rp. 1.000.000.000. Halaman 74 PPh Pasal 25 Sistem perpajakan kita menganut prinsip convenience to pay yang berarti bahwa wajib pajak diharapkan membayar pada saat yang paling menguntungkan dirinya. Salah satu contohnya adalah membayar angsuran pajak tiap bulan. Dengan adanya pembayaran angsuran pajak maka wajib pajak lebih ringan bebannya dalam membayar beban pajak yang terutang pada akhir tahun dan sebaliknya bagi pemerintah akan ada cash inflow untuk pembiayaan negara. Pasal 25 ayat (1) UU Pajak Penghasilan : Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, dikurangi dengan:  Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan  Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Dalam menentukan besarnya PPh Pasal 25 setiap bulan, pajak mengasumsikan kondisi usaha wajib pajak di tahun depan minimal sama dengan kondisi usaha tahun sekarang. Dengan asumsi tersebut pajak menganggap besarnya PPh yang harus dibayar sendiri ditahun depan besarnya juga sama dengan jumlah yang dibayar sendiri di tahun sekarang. Cara umum menghitung PPh Pasal 25 PPh yang harus dibayar sendiri dalam tahun n-1 12 Contoh Kasus : PPh terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh 2012 Dikurangi: a) PPh Pasal 21 b) PPh Pasal 22 c) PPh Pasal 23 d) PPh Pasal 24 (KPLN) Jumlah Kredit Pajak Selisih Rp 50.000.000 Rp 15.000.000 Rp 10.000.000 Rp 2.500.000 Rp 7.500.000 (+) Rp 35.000.000 (-) Rp 15.000.000 Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2013 adalah sebesar Rp 1.250.000 (Rp 15.000.000 dibagi 12). Apabila Pajak Penghasilan tersebut berkenaan dengan penghasilan yang diterima/diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6 bulan dalam tahun 2011, besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2012 adalah sebesar Rp 2.500.000 (Rp 15.000.000 dibagi 6). Halaman 75 Variasi penghitungan PPh Pasal 25 A. Angsuran Sebelum SPT Tahunan Disampaikan Pasal 25 ayat (2) UU Pajak Penghasilan : Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu. Contoh: Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada contoh diatas disampaikan oleh Wajib Pajak Badan pada bulan April 2013 maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak tersebut untuk bulan Januari - Maret 2013 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2012, misalnya sebesar Rp1.000.000,00. B. Wajib Pajak menerima ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu Pasal 25 ayat (3) UU Pajak Penghasilan : Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut, dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak. Contoh : Berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2012 yang disampaikan WP dalam bulan April 2013. Perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000. Dalam bulan Juni 2013 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2012 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp 2.000.000. Besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli 2013 adalah sebesar Rp 2.000.000 Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan SPT Tahunan. C. Penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu Pasal 25 ayat (6) UU Pajak Penghasilan : Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu. Hal-hal tertentu adalah : 62 1) Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian; 2) Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur; 3) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan; 4) Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; 5) Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; 6) Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak. 62 Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP - 537/PJ./2000 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Dalam Tahun Pajak Berjalan Dalam Hal-hal Tertentu Halaman 76 Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam hal Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung dengan dasar penghitungan jumlah penghasilan neto menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu setelah dikurangi dengan kompensasi kerugian dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan atau dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai ketentuan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Pajak Penghasilan dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu atau dasar penghitungan lainnya seperti tersebut dalam ayat (2) menyatakan rugi (lebih bayar atau nihil), besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah nihil. 1. Apabila jumlah sisa kerugian habis dikompensasikan dengan penghasilan netto Tahun Pajak yang bersangkutan atau Tahun Pajak yang bersangkutan merupakan tahun pajak terakhir untuk dapat melakukan kompensasi kerugian, maka angsuran bulanan Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya dihitung atas dasar penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan. a. Kerugian habis dikompensasikan dengan Penghasilan Neto : Contoh : Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2013 : Penghasilan netto Rp 100.000.000 Kompensasi atas kerugian tahun 2012 Rp 20.000.000 Penghasilan netto setelah kompensasi Rp 80.000.000 b. Sisa Kerugian tidak bisa dikompensasikan untuk tahun berikutnya : Contoh : Penghasilan Netto Rp 100.000.000 Sisa kerugian 2009 Rp 150.000.000 dikompensasi Rp 100.000.000 Penghasilan Neto setelah kompensasi NIHIL 2. Apabila jumlah sisa kerugian tidak habis dikompensasi dengan penghasilan netto Tahun Pajak yang bersangkutan dan Tahun Pajak yang bersangkutan tidak merupakan Tahun Pajak terakhir untuk dapat melakukan kompensasi, sehingga masih terdapat sisa kerugian yang dapat dikompensasikan dengan penghasilan netto Tahun Pajak berikutnya, maka angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak yang bersangkutan dikurangi dengan sisa kerugian yang masih dapat dikompensasikan dengan penghasilan netto Tahun Pajak berikutnya. 3. Apabila penghasilan netto Tahun Pajak yang bersangkutan lebih kecil dari sisa kerugian yang masih dapat dikompensasi dengan penghasilan netto Tahun Pajak berikutnya, maka angsuran bulanan Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya adalah NIHIL. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur Berdasarkan asumsi kondisi usaha wajib pajak di tahun depan sama dengan kondisi usaha tahun sekarang, maka dalam menghitung PPh Pasal 25 tahun berikutnya bila wajib pajak menerima penghasilan yang tidak teratur dalam tahun sekarang penghasilan yang tidak teratur tersebut tidak ikut diperhitungkan dalam menghitung PPh Pasal 25 tahun berikutnya. Alasannya adalah penghasilan tersebut dianggap tidak akan terjadi lagi di tahun mendatang. Contoh penghasilan tidak teratur : keuntungan selisih kurs mata uang asing, keuntungan dari pengalihan harta, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil. Halaman 77 Contoh : Apabila terdapat penghasilan tidak teratur dalam Tahun Pajak yang bersangkutan. misalnya penghasilan dari sewa mobil. maka angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya dihitung berdasarkan penghasilan netto seluruhnya dikurangi dengan penghasilan tidak teratur tersebut. Menurut SPT Tahunan Tahun 2013 : Penghasilan Netto seluruhnya Rp 516. 800.000 Jumlah PPh Pasal 22. 23 dan 24 Rp 51.250.000 Jumlah PPh Pasal 23 (atas sewa mobil sebesar Rp 60.000.000) Rp 1.200.000 Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2014 : Penghasilan Netto seluruhnya Rp. 516.800.000 Penghasilan Netto tidak teratur Rp. 60.000.000 Penghasilan Kena Pajak Rp. 456.800.000 PPh Terutang : 25% X Rp. 456.800.00 Jumlah PPh Pasal 21. 22. dan 24 Tahun Pajak 2010 (tidak termasuk PPh Pasal 23 atas sewa mobil) PPh Yang Harus Dibayar Sendiri Angsuran bulanan PPh Ps.25 Tahun Pajak 2011: 1/12 x Rp 63.700.000 Rp 114.200.000 Rp 50.050.000 Rp 63.700.000 Rp 5.308.333 SPT Tahunan PPh disampaikan lewat batas waktu Apabila SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalau disampaikan wajib pajak setelah lewat batas waktu yang ditentukan, maka besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan bulan sebelum disampaikannya SPT Tahunan tersebut adalah sama dengan besarnya Pajak penghasilan bulan terakhir tahun pajak yang lalu dan bersifat sementara. Setelah wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan tersebut dan berlaku surut mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan. Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 setelah SPT disampaikan lebih besar dari Pajak Penghasilan Pasal 25 yang disetor sebelumnya atas kekurangan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 terutang bunga sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (2a) Undang-undang KUP, untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran. Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 lebih kecil dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelumnya, atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan-bulan berikut setelah penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. Contoh : Wajib Pajak Badan baru menyampaikan SPT Tahunan Tahun 2013 pada tanggal 31 Juli 2014. Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan Januari sd Juni 2014, masih mengikuti jumlah angsuran tahun pajak 2013 sebesar Rp. 2.000.000,-. Berdasarkan SPT Tahunan tersebut Angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Rp. 2.500.000,-. Maka : Mulai Batas Waktu Penyampaian SPT Tahunan, yaitu bulan April 2014, PPh Pasal 25 seharusnya sudah menjadi sejumlah Rp 2.500.000,-. Oleh karena itu, Wajib Pajak tersebut harus menyetorkan kekurangan PPh Pasal 25 dari bulan April s.d. Juni sebesar masing-masing Rp. 500.000,- dan atas kekurangan penyetoran ini dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sesuai pasal 9 ayat (2a) UU KUP. Halaman 78 Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Wajib Pajak Badan dapat mengajukan pernohonan perpanjangan penyampaian SPT dengan menggunakan formulir 1771-Y. Dalam kondisi ini besarnya PPh Pasal 25 adalah sama dengan besarnya PPh Pasal 25 yang dihitung berdasarkan SPT Tahunan sementara yang disampaikan Wajib Pajak pada saat mengajukan permohonan ijin perpanjangan. Besarnya PPh Pasal 25 mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh sampai dengan bulan disampaikannya SPT Tahunan yang bersangkutan adalah sama besarnya dengan PPh Pasal 25 menurut perhitungan sementara yang disampaikan WP pada saat penyampaian SPT Tahunan Sementara. Setelah WP menyampaikan SPT Tahunan, besarnya angsuran dihitung sebagai berikut : a. Berdasarkan perhitungan menurut SPT yang disampaikan dikurangi dengan PPh Pemotongan Pemungutan dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam tahun pajak yang bersangkutan. b. Dalam hal WP berhak atas kompensasi kerugian atau penghasilan tidak teratur, PPh 25 dihitung menurut contoh di atas. Apabila perhitungan menurut SPT Tahunan tersebut menghasilkan angsuran PPh Pasal 25 yang lebih besar, maka kekurangannya disetor lagi dengan ditambah bunga 2% sebulan terhitung mulai dari bulan batas terakhir penyampaian SPT Tahunan sampai bulan disampaikannya SPT Tahunan tersebut. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan angsuran menjadi lebih besar Wajib Pajak dapat membetulkan SPTahunan dengan cara menyampaikan SPT Tahunan yang dituliskan kata Pe betula pada hala a depas “PT. Dalam hal WP membetulkan sendiri SPT Tahunan, besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Pembetulan tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan. Apabila Wajib Pajak melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh-nya maka berlaku ketentuan sebagai berikut : a. PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Pembetulan dan berlaku surut mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan tersebut. b. Apabila terjadi kekurangan setor, kekurangan angsuran mulai batas waktu penyampaian SPT harus disetor dan terutang bunga 2% per bulan dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran (akan ditagih dengan SPT). c. Apabila terjadi kelebihan setor, kelebihan angsuran mulai batas waktu penyampaian SPT tersebut dapat diperhitungkan sebagai angsuran bulan berikutnya dengan cara pemindahbukuan. Terjadi perubahan usaha atau kegiatan wajib pajak Apabila sesudah 3 bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak, wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh Pasal 25. WP dapat mengajukan pengurangan PPh Pasal 25 secara tertulis kepada kepala KPP. Permohonan tersebut harus disertai dengan penghitungan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa. Sebaliknya bila dalam tahun pajak berjalan WP mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% dari tahun sebelumnya, besarnya PPh Pasal 25 harus dihitung kembali. Halaman 79 D. Wajib Pajak Baru dan Bandan yang Harus membuat Laporan Berkala Pasal 25 ayat (7) UU Pajak Penghasilan : Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi :  Wajib Pajak baru;  bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala; dan Wajib Pajak Baru Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan dibagi 12 (dua belas).63 Penghasilan netto yang dimaksud di atas adalah penghasilan neto setiap bulannya yang dihitung berdasarkan pembukuannya. Contoh : PT A berdiri 5 April 2012 dan dalam bulan April 2012 memperoleh penghasilan bersih sebesar Rp10.000.000. Perhitungan PPh Pasal 25 bulan April 2012 PT A adalah : Neto Sebulan Neto Setahun PPh Terutang PPh Pasal 25 Bulan April : 12 X Rp 10Juta 25% X Rp. 120Juta Rp. 10.000.000 Rp. 120.000.000 Rp. 30.000.000 Rp 30Juta/12 Rp. 2.500.000 Wajib Pajak Bank/Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi PPh Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun yang lalu, dibagi 12. Dalam hal wajib pajak Bank dan SGU dengan hak opsi tersebut merupakan wajib pajak baru, maka besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk triwulan pertama adalah jumlah PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas perkiraan laba / rugi fiskal triwulan pertama yang disetahunkan dibagi 12. Contoh : PT Bank B menyampaikan laporan triwulan I Tahun 2012. dengan data laba fiskal triwulan I Rp.100.000.000. data tahun 2011 tidak ada PPh yang dibayar/terutang di luar negeri (PPh24). Sehingga penghitungan PPh Pasakl 25 untuk bulan April s.d. Juni 2012 adalah : Laba Triwulan 1 Neto Setahun PPh Terutang PPh Pasal 25 April sd Juni 4 X Rp 100Juta 25% X Rp. 400Juta Rp.100juta/12 Rp. 100.000.000 Rp. 400.000.000 Rp. 100.000.000 Rp 8.333.333 PPh Pasal 25 Bulan Juli dst : sesuai dengan laporan triwulan berikutnya 63 Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 255/PMK.03/2008 jo Nomor 208/PMK.03/2009 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran PPh dalam Tahun Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi, BUMN, BUMD. Wajib Pajak Masuk Bursa dan Wajib Pajak lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Berkala Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Tertentu Halaman 80 Wajib Pajak BUMN dan BUMD Besarnya angsuran PPh pasal 25 adalah sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba/rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dikurangi pemotongan dan pemungutan PPh 22, 23 serta 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun pajak yang lalu dibagi 12. Dalam hal RKAP belum disahkan, maka angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelumnya bulan pengesahan adalah sama dengan angsuran PPh pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya. Contoh : PT E (Persero) telah mengesahkan RKAP untuk tahun 2013 pada tanggal 20 Februari 2013 dengan data : - Laba Komersial 2013 diperkirakan sebesar Rp 9.000.000.000 setelah dilakukan koreksi fiskal diperoleh laba fiskal Rp 10.000.000.000. - PPh yang dipotong/dipungut tahun 2012 berupa PPh Pasal 22 sebesar Rp 50.000.000. PPh Pasal 23 sebesar Rp 50.000.000 dan PPh Pasal 24 sebesar Rp 100.000.000 sehingga total sebesar Rp 200.000.000. - PPh Pasal 25 bulan Desember 2012 sebesar Rp 30.000.000. Penghitungan PPh Pasal 25 adalah : - Untuk bulan Januari sama dengan angsuran Desember 2012 sebesar : Rp. 30.000.000 - Mulai bulan Februari 2012 sd Desember 2012 : Laba Fiskal Rp 10.000.000.000 PPh Terutang Rp 2.500.000.000 PPh Pasal 25 (PPh Terutang-Kredit)/12 Rp 191.666.667 10.2. Perhitungan Pajak Akhir Tahun Perhitungan akhir tahun untuk Wajib Pajak Badan sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) Undangundang Pajak Penghasilan mengatur bahwa bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan, berupa : - Pemungutan PPh Pasal 22 atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain; Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan berupa deviden, bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa; PPh Pasal 24 (KPLN) yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan; Pembayaran angsuran PPh Pasal 25 yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri; Pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) Undangundang Pajak Penghasilan. Pasal 28 ayat (2) : Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perUndang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang. Halaman 81 Contoh : Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan. baik yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ataupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan. PPh yang terutang Rp 80.000.000 Kredit Pajak : Pemungutan PPh Pasal 22 Pemotongan PPh Pasal 23 PPh Pasal 24 (KPLN) Angsuran PPh Pasal 25 Jumlah PPh yang dapat dikreditkan PPh yang masih harus dibayar Rp 10.000.000 Rp 5.000.000 Rp 15.000.000 Rp 10.000.000 (+) Rp 45.000.000 (-) Rp 35.000.000 Pajak Yang Lebih Bayar (Pasal 28 A) Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan. Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak. Halaman 82 Bab 11.PPh atas Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu (PP 46 Tahun 2013) Mulai Masa bulan Juli 2013 berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Subjek Pajak Subjek Pajak yang dikenakan ketentuan PPh bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini adalah Wajib Pajak Badan (tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap) dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar. Pengecualian Subjek Pajak sebagaimana dimaksud diatas adalah : a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Penentuan saat beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan adalah saat Wajib Pajak melakukan kegiatan operasi secara komersial untuk pertama kali bagi Wajib Pajak yang bergerak di sektor: 1) jasa, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan jasa dan/atau saat d iterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan; dan/atau 2) dagang dan industri, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan. 64 Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial. Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial melewati Tahun Pajak s aat beroperasi secara komersial, ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya setelah Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial. Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud diatas untuk Tahun Pajak selanjutnya, ditentukan berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya. Contoh 1 : Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Juli 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Juli 2013 sampai dengan 30 Juni 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014. Contoh 2 : Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersiai pada tanggal 2 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 2 Januari 2013 sampai dengan 1 Januari 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014. 64 Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 32/PJ/2014 tentang Penegasan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang PPh dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Halaman 83 Objek Pajak Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Pengenaan Pajak Penghasilan ini didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan. Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada tahun pajak terakhir tidak meliputi jangka waktu 12 bulan, maka dasar pengenaan PPh adalah jumlah peredaran bruto tahun pajak terakhir yang disetahunkan. Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha cabang. Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp 4,8 Miliar ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari setiap bulan, tidak termasuk peredaran bruto dari :  penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;  usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan  penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak. Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang -Undang Pajak Penghasilan. Tarif Pajak Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun dikenai PPh final dengan tarif sebesar 1% (satu persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari setiap tempat usaha. Pajak Penghasilan bersifat final. Contoh perhitungan : 1. CV Widya memiliki usaha penjualan gerabah dan memiliki peredaran bruto : • Januari s.d Desember 2013 sebesar Rp 4.000.000.000 • Januari s.d Oktober 2014 sebesar Rp 5.000.000.000 2. PT Dewata memenuhi kriteria WP yang dikenai PPh yang bersifat final sesuai PP ini. Pada bulan Agustus 2013 memperoleh penghasilan dari usaha penjualan sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final yang terutang untuk bulan Agustus 2013 dihitung sebagai berikut: PPh final = 1% x Rp 50.000.000 = Rp 500.000 Halaman 84 Kompensasi Kerugian Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut :  kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;  Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a;  kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya. Pemotongan/Pemungutan PPh oleh Pihak Lain Karena dikenakan PPh Final, maka akan berimbas kepada mekanisme Pemotongan/Pemungutan Pajak terhadap WP yang dikenakan PPh berdasarkan PP ini. Kalau dilakukan Pemotongan/Pemungutan oleh pihak lain, PPh ini tentu tidak dapat dikrefitkan oleh WP bersangkutan. Oleh karena itu, telah dikeluarkan Peraturan Dirjen Pajak tentang Tata Cara Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh bagi WP yang dikenai PPh Berdasarkan PP 46 Tahun 2013. Dalam peraturan ini WP harus mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final kepada Direktur Jenderal Pajak. Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Keterangan Bebas (SKB). 65 Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud diatas diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan dengan syarat : a. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk Wajib Pajak yang telah terdaftar pada Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukannya Surat Keterangan Bebas b. menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya Surat Keterangan Bebas, untuk Wajib Pajak yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat diajukannya Surat Keterangan Bebas; c. menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen pendukung sejenis lainnya. d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP. Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan. Permohonan legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan dengan syarat: a. menunjukkan Surat Keterangan Bebas. b. menyerahkan bukti penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto tertntu untuk 65 Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER - 32/PJ/2013 tentang Tata Cara Pembebasan Dari Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh Bagi Wajib Pajak Yang Dikenai PPh Berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 tentang PPh atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Usaha Tertentu Halaman 85 setiap transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong dan/atau pemungut berupa Surat Setoran Pajak lembar ke-3 yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, kecuali untuk transaksi yang dikenai pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas : impor, pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, pembelian hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif dan industry farmasi, pembelian kendaraan bermotor di dalam negeri. c. mengisi identitas Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut Pajak Penghasilan dan nilai transaksi pada kolom yang tercantum dalam Surat Keterangan Bebas. d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP. Contoh : Penyetoran dan pelaporan Setoran bulanan merupakan PPh Pasal 4 ayat (2), bukan PPh Pasal 25. Kode Akun Pajak adalah 411128 dan Kode Jenis Setoran 420. Jika penghasilan semata-mata dikenai PPh final, tidak wajib PPh Pasal 25. Jika ada penghasilan lain selain yang dikenai PPh Pasal 4 ayat (2) sesuai ketentuan PP ini, maka atas penghasilan tersebut dikenai PPh sesuai dengan ketentuan umum. Jika ada angsuran PPh Pasal 25 atau PPh yang dipotong/dipungut pihak lain boleh dikreditkan terhadap PPh terutang tahun pajak ybs, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. Penyetoran paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan dianggap telah menyampaika n Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan, sesuai dengan tanggal validasi NTPN yang tercantum pada Surat Setoran Pajak. Penyetoran PPh sesuai PP 46 ini semakin mudah dengan dikeluarkannya Peraturan Dirjen Pajak tentang penyetoran PPh Atas Penghasilan dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto tertentu melalu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) Bank Persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Penyetoran Pajak Penghasilan melalui ATM dilakukan dengan memasukkan NPWP, Masa Pajak dan jumlah nominal Pajak Penghasilan yang akan dibayar. Atas penyetoran tersebut, Wajib Pajak menerima Bukti Penerimaan Negara (BPN) dalam bentuk cetakan struk ATM. 66 Dalam hal terdapat kendala pada mesin ATM sehingga BPN tidak dapat tercetak atau tercetak namun tidak dapat dibaca, Wajib Pajak dapat meminta cetak ulang BPN di kantor cabang Bank Persepsi terdekat. BPN termasuk cetakan ulang dan salinannya, merupakan sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. 66 Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-37/PJ/2013 tanggal 30 Oktober 2013 tentang Tata Cara penyetoran PPh Atas Penghasilan dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto tertentu melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM) Halaman 86 Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Dalam SPT Tahunan dilaporkan pada kelompok penghasilan yang dikenai pajak final dan/atau bersifat final. Formulir SPT Tahunan 1771 untuk Wajib Pajak badan masih mengakomodasi. Diisi manual Penghasilan Usaha WP yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Figure 22. Form 1771 lampiran IV Halaman 87 Bab 12.Bentuk Usaha Tetap (BUT) Seiring dengan perkembangan globalisasi dan teknologi informasi, batas antar negara seakan sudah tidak ada lagi. Perusahaan multinasional sudah sangat berkembang. Pengusaha berlomba-lomba untuk melakukan ekspansi ke luar negeri, baik mendirikan perusahaan baru di sana atau cukup berbentuk cabang, pabrik, gudang dan lainnya. Karena lebih mudah, perusahaan luar negeri cenderung untuk mendirikan Permanent Establishment (BUT) di Indonesia. Begitu juga dengan perusahaan Indonesia yang melakukan ekspansi ke Luar Negeri. Karena alasan diatas, maka perlakuan perpajakan BUT menjadi sangat penting. Seperti telah dibahas pada Bab tentang Subjek Pajak, BUT dikategorikan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri, yang perlakuan perpajakannya dipersamakan sebagai Subjek Pajak Badan Dalam Negeri. Akan tetapi, perlakuan perpajakannya juga sangat tergantung pada tax treaty antara Indonesia dengan negara asal BUT. 12.1. Definisi BUT BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa : Fasilitas Fisik •Tempat kedudukan manajemen •Cabang Perusahaan •Kantor Perwakilan •Gedung Kantor •Pabrik •Bengkel •Gudang •Ruang untuk promosi dan penjualan •Pertambangan dan penggalian sumber alam •Komputer, agen elektronik atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan usaha melalui internet. Aktivitas •Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan •Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12(dua belas) bulan Keagenan •Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas Asuransi •Agen atau pegawai perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia Figure 23. Kelompok BUT Contoh : Misalnya X Corp Ltd mempunyai kantor cabang di Indonesia berarti X Corp merupakan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tetapi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia. X Corp dikenakan PPh di Indonesia melalui BUT tersebut. Halaman 88 X Corp Singapura Indonesia BUT X Corp sales product PT ABC income sales product income PT PQR BUT X Corp dikenakan PPh Badan di Indonesia Figure 24. Contoh BUT BUT dapat juga berupa bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Orang asing dapat menjalankan atau melakukan kegiatan di Indonesia dengan Bentuk Usaha Tetap yang dapat berupa : a. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; b. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; c. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia. Contoh : Misalnya Mr A berdomisili di Singapura tetapi membuka jasa konsultan di Indonesia berupa kantor cabang maka, Mr A dapat diartikan sebagai BUT Orang Pribadi yang menjalankan usaha di Indonesia tetapi tidak bertempat tinggal di Indonesia. Pengertian BUT mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat kedudukan di lndonesia. Tapi jika orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker, atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas (bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri) maka tidak dapat dianggap mempunyai BUT di Indonesia. Khusus untuk perusahaan asuransi asing, BUT atas asuransi asing sudah dianggap ada apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Contoh: Perusahaan asuransi Z Ltd tidak memiliki cabang di Indonesia tapi menerima pembayaran premi asuransi kapal tanker milik perusahaan lndonesia. Premi tersebut diperoleh dari sebuah agen asuransi di Indonesia. Walaupun perusahaan asuransi serta obyek asuransi (kapal tanker) berada di luar Indonesia tetapi karena pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia maka Z Ltd dianggap memiliki BUT di Indonesia. Halaman 89 12.2. Time Test BUT Dari penjelasan tentang definisi BUT diatas kelihatan bahwa UU PPh Indonesia sangat mudah mengenakan pajak terhadap perusahaan asing di Indonesia. Contohnya definisi BUT yang menyatakan bahwa proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan dianggap sebagai BUT tanpa memandang batas waktu. Jadi walaupun proyek tersebut hanya berlangsung 1 hari maka kontraktor proyek tersebut sudah dianggap BUT dan harus melaksanakan semua kewajiban pajak sebagaimana halnya suatu WP Badan Dalam Negeri. Padahal kontraktor asing tersebut juga sudah dipajaki di negaranya masing-masing. Akibatnya timbul pengenaan pajak berganda. Agar tidak terjadi pengenaan pajak berganda, terutama untuk WP Luar Negeri yang jangka waktu usahanya berlangsung sebentar maka digunakan metode batas waktu (time test) untuk rnenentukan apakah suatu WP LN berhak dipajaki di Indonesia atau hanya membayar pajak di negaranya masingmasing. Contohnya pemberian jasa dalam bentuk apapun (selain jasa konstruksi) oleh perusahaan asing. tidak akan dikenakan pajak di Indonesia sepanjang dilakukan kurang dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Jangka waktu 60 hari disini adalah time test untuk rnenentukan apakah suatu usaha jasa WP LN selain jasa konstruksi bias dianggap BUT atau belum. Bagi jasa konstruksi asing UU PPh Indonesia tidak rnemberikan time test. Time test seperti diatas tidak berlaku untuk semua Wajib Pajak Luar Negeri. Sepanjang suatu negara belum mengadakan perjanjian Penghindaram Pajak Berganda (Tax Treaty) dengan Indonesia, time test diatas berlaku. Sedangkan bagi negara yang sudah rnemiliki Tax Treaty dengan Indonesia time testnya diatur dalamTax Treaty masing-masing. Contoh: Tax Treaty antara Indonesia dengan Thailand menyatakan bahwa Time Test untuk penentuan BUT jasa konstruksi rnaupun jasa lainnya adalah 183 hari. Jadi jika WP LN dari Thailand memberikan jasa di Indonesia kurang dari 183 hari, maka tidak dikenakan pajak di Indonesia. Demikian pula sebaliknya. 12.3. Objek Pajak BUT Objek Pajak untuk Bentuk Usaha Tetap diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pajak Penghasilan. Yang menjadi Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah : 1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai (Attribution rule) Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian semua penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia. 2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia (force of attraction rule) Berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan pemberian jasa yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap. Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, misalnya terjadi apabila sebuah bank di luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada perusahaan di Indonesia. Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual produk yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada pembeli di Indonesia. Halaman 90 Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien di Indonesia. 3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (effectively - connected rule) Penghasilan dalam pasal 26 seperti : dividen, bunga, royalty, sewa, hadiah, maupun capital gain (passive income). Ketentuan yang mengharuskan ditambahkannya penghasilan Kantor Pusat BUT dari usaha sejenis serta penghasilan passive income diterapkan untuk menghindari penghindaran pajak oleh Kantor Pusat BUT. Seringkali terjadi Kantor Pusat BUT bertransaksi langsung dengan customer di Indonesia tanpa melalui BUT-nya di Indonesia agar penghasilan BUT tetap kecil. Contoh : X Inc menutup perjanjian lisensi dengan PT Y untuk mempergunakan merk dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT Y. Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc juga memberikan jasa manajemen kepada PT Y melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam rangka pemasaran produk PT Y yang mempergunakan merek dagang tersebut. Dalam hal demikian, penggunaan merek dagang oleh PT Y mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia dan oleh karena itu penghasilan X Inc yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap. 12.4. Biaya-biaya BUT Pasal 5 ayat (3) UU PPh huruf a : Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Pada prinsipnya biaya yang dapat dikurangkan adalah biaya yang dapat pula dikurangkan pada badan yang menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri sebagaimana Pasal 6 ayat (1) UU PPh. Selain itu sebagai konsekuensi dari ketentuan ditambahkannya penghasilan Kantor Pusat BUT dari usaha sejenis di Indonesia ke dalam penghasilan BUT, maka dalam menentukan besarnya laba suatu BUT biaya administrasi Kantor Pusat yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT dapat menjadi pengurang laba BUT. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh suatu bentuk usaha tetap di Indonesia adalah biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat yang berkaitan dan dalam rangka untuk menunjang usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap yang bersangkutan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Besarnya biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto di Indonesia setinggi-tingginya adalah sebanding dengan besarnya peredaran usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia terhadap seluruh peredaran usaha atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia.67 Bentuk usaha tetap di Indonesia yang mengurangkan biaya administrasi kantor pusat, wajib menyampaikan laporan keuangan konsolidasi atau kombinasi dari kantor pusat yang meliputi seluruh usaha dan/atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia untuk tahun pajak yang bersangkutan sebagai lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Laporan Keuangan konsolidasi atau kombinasi harus sudah diaudit oleh akuntan publik dan mengungkapkan rincian peredaran usaha atau kegiatan perusahaan serta jenis dan besarnya biaya administrasi yang dibebankan kepada masing-masing bentuk usaha tetap di negara tempat perusahaan yang bersangkutan melakukan usaha atau kegiatan. 67 Keputusan Dirjen Pajak Nomor : KEP - 62/PJ./1995 tentang Jenis dan Besarnya Biaya Administrasi Kantor Pusat Yang Diperbolehkan Untuk Dibebankan Sebagai Biaya Suatu Bentuk Usaha Tetap Halaman 91 Pasal 5 ayat (3) UU PPh huruf b : Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah : 1. royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya; 2. imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya; 3. bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan. Perlakuan perpajakan BUT dipersamakan dengan mekanisme perpajakan Wajib Pajak Dalam Negeri sehingga biaya yang tidak dapat dkurangkan juga mengacu pada pasal 9 UU PPh beserta ketentuan lainnya. Pada dasarnya BUT merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga pembayaran oleh BUT kepada kantor pusatnya, seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat merupakan perputaran dana dalan satu perusahaan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini pembayaran BUT kepada kantor pusatnya berupa royalty, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan BUT. Pasal 5 ayat (3) UU PPh huruf c : Pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan." Namun apabila kantor pusat dan BUT-nya bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaran berupa bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya. Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut, pembayaran-pembayaran yang sejenis yang diterima oleh BUT dari kantor pusatnya tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang diterima oleh BUT dari kantor pusatnya yang berkenaan dengan usaha perbankan. 12.5. Laba Setelah Pajak BUT (Branch Profit Tax) Pasal 26 ayat (4) UU PPh : Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pengecualian pengenaan Branch Profit Tax kalau penghasilan BUT ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk : a. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri; b. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham; c. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau d. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 68 Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan; b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana huruf a, selain persyaratan diatas, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 68 Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 257/PMK.03/2008 jo PMK Nomor : 14/PMK.03/2011tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap Halaman 92 a. perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial. Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf b, selain persyaratan diatas, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal. Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk : pembelian aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam huruf c atau investasi berupa aktiva tidak berwujud sebagaimana dimaksud huruf d, selain persyaratan diatas, Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan. Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilan adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal, dikurangi dengan jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final. Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan Indonesia, besarnya tarif untuk menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana ditentukan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak yang berlaku. Contoh : Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap di Indonesia dalam tahun 2009 sebesar Rp 17.500.000.000. Pajak Penghasilan: 28% x Rp17.500.000.000 = Penghasilan Kena Pajak setelah pajak Rp 4.900.000.000 Rp 12.600.000.000 Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang 20% X Rp12.600.000.000 = Rp2.520.000.000 Namun apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp 12.600.000.000 tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak. 12.6. Hubungan Istimewa BUT Pada Bab sebelumnya telah disinggung masalah hubungan istimewa. Hubungan istimewa menurut pajak terjadi jika Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain. Hubungan istimewa dapat juga teriadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak terdapat hubungan kepemilikan. Dari definisi diatas maka hubungan antar BUT dengan Kantor Pusatnya adalah hubungan istimewa karena suatu BUT 100% dilniliki oleh Kantor Pusatnya. Transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa sangat mungkin tidak mencerminkan harga pasar yang wajar (transfer pricing). Oleh karena itu, dalam Tax Treaty biasanya disebutkan bahwa dalam penentuan laba suatu BUT dianggap sebagai perusahaan lain yang terpisah dari Kantor Pusatnya dan melakukan transaksi yang sepenuhnya bebas dan berdiri sendiri. Untuk menghindari transaksi-transaksi yang tidak mencerminkan harga pasar wajar maka telah diatur beberapa ketentuan sebagai berikut : Halaman 93 A. Pengakuan Deviden Dengan semakin berkembangnya globalisasi ekonomi, dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modal di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, maka terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang sudah go publik di Luar Negeri, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya deviden. Penentuan saat perolehan dividen ini diatur khusus karena bisa saja WP melaporkan bahwa ia tidak pemah memperoleh dividen dari penanaman modalnya di Luar Negeri dan fiskus akan kesulitan mengecek hal tersebut mengingat perusahuan di Luar Negeri belum go publik. Ketentuan besarnya penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, sebagai berikut : paling rendah 50 % (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor ; atau secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor. Contoh: PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40 % dan 20% pada X Ltd yang berkedudukan di negara Q saham X Ltd tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2004 X Ltd memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp 100.000.000. Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya. B. Kewenangan Menentukan Besarnya Penghasilan Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method) atau metode lainnya. (Pasal 18 ayat 3 UU PPh) Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding. Metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihakpihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar. Metode biaya-plus (cost plus method/CPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. Metode pembagian laba (profit split method/PSM) adalah metode Penentuan Harga Transfer berbasis laba transaksional (transactional profit method) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap biaya terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak- pihak yang Halaman 94 mempunyai Hubungan Istimewa dengan persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa lainnya. 69 Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dan utang yang lazim terjadi di antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya. Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai dividen yang dikenai pajak. Dalam pasal 18 ayat 3a s.d. 3c dibahas juga beberapa teknik untuk mencegah penghindaran pajak yang dapat dirinci sebagai berikut : Special Purpose Company Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (Special Purpose Company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan tersebut. Figure 25. Special Purpose Company Perusahaan di Tax Haven Country Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau Special Purpose Company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Haven Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia. 69 Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER - 43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa Halaman 95 Figure 26. Conduit Company Penghasilan dari Perusahaan Luar Negeri Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut. Figure 27. Penghasilan Keluarga dari Luar Negeri C. Perjanjian Antar Negara Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir (Pasal 18 ayat 3a). Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak rnengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktek penyalahgunaan transfer pricing perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak dapat mencakup beberapa hal antara lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalty, dan lain-lain tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak. Fiskus tidak perlu melakukan koreksi harga jual dan keuntungan produk yang di jual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral yaitu kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya. Halaman 96 Bab 13.Revaluasi Aktiva Tetap Pasal 19 ayat (1) UU Pajak Penghasilan : Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan mengenai penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dan penghasilan karena perkembangan harga. Wajib Pajak memiliki alasan lain dalam melakukan revaluasi yaitu : 1. Meningkatkan nilai perusahaan (mark-up) sehingga memudahkan perusahaan dalam proses pencarian dana baik melalui pinjaman bank maupun penjualan saham (go publik); 2. Meningkatkan biaya penyusutan aktiva tetap dimasa datang sehingga deductible expense dimasa datang semakin besar dan beban pajak semakin kecil; 3. Meningkatkan keakuratan perhitungan penghasilan maupun biaya sehingga mencerminkan kemampuan perusahaan yang sebenarnya dalam menghasilkan laba; 4. Agar neraca perusahaan menunjukkan posisi kekayaan perusahaan yang sebenarnya. 13.1. Subjek dan Objek Revaluasi Wajib Pajak yang berhak melakukan revaluasi (subyek revaluasi) adalah WP Badan dalam negeri kecuali yang menggunakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat. Contohnya : PT, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan. Perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan, atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun dan bentuk usaha lainnya. 70 WP orang pribadi dalam negeri, walaupun menggunakan pembukuan, tidak berhak melakukan revaluasi karena tidak terjadi pemisahan antara harta pribadi dan harta perusahaan. BUT serta WP Luar Negeri juga tidak termasuk WP yang dapat melakukan revaluasi karena relatif tidak terkena dampak depresiasi rupiah. WP Badan dalam negeri dijinkan melakukan revaluasi, jika telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum dilakukan revaluasi. Contohnya : melaporkan SPT Masa PPh dan PPN dan membayar semua tunggakan pajak (STP dan SKPKB maupun SPPT PBB). Aktiva Tetap yang dapat direvaluasi adalah semua aktiva tetap berwujud (tanah, kelompok bangunan dan non bangunan) yang tidak dimaksudkan untuk dijual yang dipakai untuk menagih, mendapatkan dan memelihara penghasilan yang merupakan obyek PPh. Aktiva lancar ( piutang, persediaan) maupun aktiva tidak berwujud (goodwill, patent) tidak dapat direvaluasi. Demikian juga dengan aktiva leasing Finance Lease. Lessor maupun lesse boleh melakukan revaluasi sesudah periode leasing berakhir saat lessee menggunakan hak opsi atau saat lessor mengamhil kembali aktiva leasing. Revaluasi dapat dilakukan untuk seluruh aktiva ataupun hanya untuk aktiva-aktiva tertentu yang dianggap menguntungkan jika direvaluasi. Dengan demikian manfaat revaluasi menjadi lebih besar serta biaya jasa penilai (appraisal) menjadi berkurang. 13.2. Cara Melakukan Revaluasi Untuk mendapatkan persetujuan atas revaluasi, Wajib Pajak harus menyampaikan pemberitahuan revaluasi ke KPP tempat WP terdaftar (dengan formulir khusus) dengan melampirkan : a. Laporan Penilaian Aktiva Tetap dari Penilai (Appraisal) yang diakui pemerintah b. Laporan Keuangan untuk tahun baku terakhir sebelum revaluasi c. Penghitungan selisih lebih revaluasi dan besarnya PPh terutang yang dirinci dalam Daftar Penilaian kembali Aktiva Tetap dengan formulir khusus d. SSP atas pembayaran PPh terutang dibayar setelah revaluasi disetujui e. Fotocopy izin usaha appraisal yang dilegalisir penerbit. 70 Peraturan Menkeu Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan Halaman 97 Dalam jangka waktu 1 bulan setelah tanggal Pelaporan Wajib Pajak diterima lengkap, Kakanwil DJP yang membawahi KPP domisili WP yang bersangkutan wajib menerbitkan pengesahan atau penolakan perhitungan revaluasi. Oleh karenanya, hal-hal yang perlu dilakukan wajib pajak adalah: a. Meminta appraisal yang diakui pemerintah untuk menilai kembali aktiva-aktiva tetap yang ingin direvaluasi dalam bentuk Laporan Penilaian b. Meminta Akuntan Publik untuk mengaudit laporan keuangan wajib pajak. terutama neraca sebelum dan sesudah revaluasi dan laporan audit tersebut dihitung juga selisih penilaian kembali c. Menginventarisir semua hutang pajak yang belum dibayar, bila perlu mengkonfirmasikan hal tersebut ke KPP d. Membayar semua hutang pajak serta PPh Final atas revaluasi. Wajib Pajak harus cermat dalam menjalankan Iangkah-langkah diatas karena WP harus mengeluarkan uang untuk membayar PPh. Perhitungan PPh Final Revaluasi Pasal 19 ayat (2) UU Pajak Penghasilan : Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). Selisih lebih revaluasi dihitung dengan mengurangkan nilai pasar aktiva (hasil penilaian) dengan Nilai Sisa Buku Fiskal aktiva tersebut. PPh yang harus dibayar adalah 10% x selisih lebih Revaluasi dan bersifat final. Apabila ada kompensasi kerugian fiskal tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan, maka selisih revaluasi tidak boleh dikompensasikan dengan urutan sebagaimana urutan kompensasi sesuai pasal 6 ayat (2) UU PPh. 71 Perlakuan Aktiva Tetap Setelah Revaluasi Aktiva tetap setelah direvaluasi akan memiliki nilai buku sesuai dengan harga pasar. Harga pasar tersebut merupakan dasar penyusutan yang baru dan mulai berlaku pada tahun pajak dilakukannya revaluasi. Penyusutan atas aktiva tetap yang telah direvaluasi dimulai pada bulan dilakukannya revaluasi. Masa manfaat aktiva menjadi kembali mulai nol tahun atau seolah-olah belum pernah disusutkan. Tambahan masa manfaat menurut penilai akan menentukan kelompok dan tarif penyusutan yang baru. Aktiva yang telah direvaluasi tersebut tidak boleh dialihkan sebelum berakhirnya masa manfaat yang baru (nilai sisa buku fiskal menjadi nihil), kecuali dalam hal (Pasal 8 ayat (2) UU PPh jo. PMK-79/PMK.03/2008) : a. pengalihan aktiva tetap perusahaan yang bersifat force majeur berdasarkan keputusan atau kebijakan pemerintah atau keputusan pengadilan b. pengalihan aktiva tetap perusahaan dalam rangka memenuhi persyaratan penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha untuk tujuan perpajakan c. penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami kerusakan berat yang tidak darat diperbaiki lagi. Apabila terjadi pengalihan (diluar yang dikecualikan), maka akan dikenakan sanksi tambahan 20% tanpa dikompensasikan dengan sisa kerugian fiskal tahun sebelumnya dan terutang pada saat pengalihan dilakukan. Aturan ini diterapkan mengingat aktiva yang sudah direvaluasi sangat berpotensial menyebabkan kerugian jika dijual (karena nilai bukuya sudah disamakan dengan harga pasar). Kerugian karena pengalihan aktiva tetap adalah deductible expense yang akan mengurangi PPh terutang pihak penjual. 71 Peraturan Menkeu Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan Halaman 98 Contoh Kasus : Pada tanggal 1 Januari tahun 2013 PT X melakukan penilaian kembali beberapa aktiva perusahaannya. Posisi aktiva perusahaan pada tanggal tersebut adalah sebagai berikut : Aktiva Tetap Nilai Buku Fiskal Nllai Pasar Selisih Lebih Tanah 2.000 Juta 2.500 Juta 500 Juta Bangunan 250 Juta 450 Juta 250 Juta Mesin 1.000 Juta 8.000 Juta 7.000 Juta 3.200 Juta 10.950 Juta 7.750 Juta Untuk tahun 2013 PT memperoleh laba sebesar Rp. 200 juta. Tahun-tahun sebelumnya PT X mencatatkan kerugian sebagal berikut: 2008 rugi 3.000 juta 2009 rugi 250 juta 2010 rugi 200 juta 2011 rugi 2.000 juta 2002 rugi 100 juta Pertanyaan: . Berapakah PPh Final atas revaluasi aktiva tetap yang harus dibayar? Jawaban: PT X tidak boleh mengkompensasikan laba tahun 2011 sebesar 200 juta dengan rugi-rugi tahun sebelumnya. PPh Revaluasi aktiva tetap 10% x 7.750 juta = Rp 775 juta (Final) Dalam kondisi tertentu (kondisi tidak memungkinkan membayar)wajib pajak dapat mengajukan angsuran paling lama 12 bulan. 13.3. Perlakuan Khusus Revaluasi Untuk Tahun 2015 dan 2016 Dalam rangka tahun pembinaan pada tahun 2015 telah ditebitkan Peraturan Menteri Keuangan Tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016. Perlakuan khusus yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini adalah terkait dengan pengenaan tarif yang lebih kecil dari seharusnya (10%) sesuai penjelasan diatas. Perlakuan khusus tarif tersebut adalah sebagai berikut : 72 a. 3% (tiga persen), untuk permohonan yang diajukan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini sampai dengan tanggal 31 Desember 2015; b. 4% (empat persen), untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 30 Juni 2016; atau c. 6% (enam persen), untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Juli 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2016, PPh Final dikenakan atas selisih lebih nilai aktiva tetap hasil penilaian kembali atau hasil perkiraan penilaian kembali oleh Wajib Pajak, di atas nilai sisa buku fiskal semula. Nilai aktiva tetap hasil perkiraan penilaian kembali oleh Wajib Pajak harus dilakukan penilaian kembali dan ditetapkan oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah, paling lambat tanggal: a. 31 Desember 2016, untuk permohonan yang diajukan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini sampai dengan tanggal 31 Desember 2015; b. 30 Juni 2017, untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 30 Juni 2016; atau c. 31 Desember 2017, untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Juli 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2016. 72 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tanggal 15 Oktober 2015, Tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016 Halaman 99 Dalam hal hasil penilaian kembali aktiva tetap yang ditetapkan oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah lebih besar daripada nilai perkiraan nilai pasar atau nilai wajar yang diajukan dalam permohonan, atas selisih tersebut dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar: a. 3% (tiga persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian kembali aktiva tetap oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah, dan melunasi Pajak Penghasilan dimaksud dalam jangka waktu sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2015; b. 4% (empat persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian kembali aktiva tetap oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah, dan melunasi Pajak Penghasilan dimaksud dalam jangka waktu sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 30 Juni 2016; c. 6% (enam persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian kembali aktiva tetap oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah, dan melunasi Pajak Penghasilan dimaksud dalam jangka waktu sejak tanggal 1 Juli 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; atau d. 10% (sepuluh persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian kembali aktiva tetap oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah, dan melunasi Pajak Penghasilan dimaksud pada tahun 2017. Bertentangan dengan PMK-79/PMK.03/2008 Wajib Pajak yang dapat melakukan revaluasi meliputi Wajib Pajak badan dalam negeri, Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pembukuan, termasuk : a. Wajib Pajak yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat; dan b. Wajib Pajak yang pada saat penetapan penilaian kembali nilai aktiva tetap oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) atau ayat (4) belum melewati jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap terakhir berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008. Dalam hal Wajib Pajak melakukan pengalihan aktiva tetap berupa: 73 a. aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan kelompok 2 (dua), yang telah memperoleh keputusan persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun; b. aktiva tetap kelompok 3 (tiga) dan kelompok 4 (empat), yang telah memperoleh keputusan persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun; atau c. tanah dan/atau bangunan yang telah memperoleh keputusan persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 1 (satu) tahun, sejak dilakukannya penilaian kembali, atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap diatas nilai sisa buku fiskal semula, dikenakan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar tarif tertinggi Pajak Penghasilan yang berlaku pada saat penilaian kembali aktiva tetap dikurangi pajak yang telah dibayarkan berdasarkan Peraturan Menteri ini. 73 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.03/2015 Tentang Perubahan Atas PMK Nomor : 191/PMK.010/2015 Tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan 2016. Halaman 100 Bab 14.Fasilitas Dibidang PPh Tujuan diberikannya fasilitas dibidang pajak adalah untuk mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah ¬ daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional. Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk menampung kemungkinan perjanjian dengan negara-negara lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang lainnya. 14.1. Fasilitas Pasal 31A Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 31A Undang-undang Pajak Penghasilan dan PP Nomor 1 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 62 Tahun 2008 menyatakan bahwa kepada Wajib Pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi yang melakukan penanaman modal pada : a. Bidang-bidang usaha tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I PP Nomor 1 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 62 Tahun 2008; b. Bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran ll PP Nomor 1 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 62 Tahun 2008 dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berupa : 74 1) Pengurangan penghasilan netto sebesar 30% dari jumlah Penanaman Modal, dibebankan selama 6 tahun masing-masing sebesar 5% per tahun. - Fasilitas pengurangan penghasilan netto diberikan selama 6 tahun terhitung sejak tahun dimulainya produksi komersial, yaitu setiap tahunnya sebesar 5% dari jumlah investasi berupa perolehan aktiva tetap berwujud termasuk tanah untuk kegiatan utama usaha. - Fasilitas ini sifatnya mengurangi penghasilan netto (dalam hal mendapat keuntungan usaha) atau menambah kerugian fiskal (dalam hal mendapat kerugian usaha). Contoh : PT ABC melakukan penanaman modal sebesar Rp 100.000.000.000 berupa pembelian aktiva tetap berupa tanah, bangunan dan mesin. Terhadap PT ABC dapat diberikan fasilitas pengurangan penghasilan netto (investment allowance) sebesar 5% x Rp100.000.000.000 = Rp5.000.000.000 setiap tahunnya, selama 6 tahun yang dimulai sejak tahun pemberian fasilitas. 2) Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat. Kelompok Aktiva Tetap Berwujud I. Bukan Bangunan  Kelompok 1  Kelompok 2  Kelompok 3  Kelompok 4 Masa Manfaat Menjadi Tarif Penyusutan dan Amortisasi Berdasarkan Metode Garis Lurus Saldo Menurun 2 Tahun 4 Tahun 8 Tahun 10 Tahun 50% 25% 12.5% 10% 100% 50% 25% 20% 10 Tahun 5 Tahun 10% 20% II. Bangunan  Permanen  Tidak 74 Permanen Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau Di daerah-daerah Tertentu. Halaman 101 3) Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun tetapi tidak lebih dari 10 tahun, dengan ketentuan sebagai berikut: - Tambahan 1 tahun, apabila penanaman modal baru pada bidang usaha sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I PP Nomor 1 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 62 Tahun 2008 dilakukan di kawasan industri dan kawasan berikat. - Tambahan 1 tahun, apabila memperkerjakan sekurang-kurangnya 500 orang tenaga kerja Indonesia selama 5 tahun berturut-turut; - Tambahan 1 tahun, apabila penanaman modal baru memerlukan investasi/pengeluaran untuk insfrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000; - Tambahan 1 tahun, apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalann negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% dari investasi dalam jangka waktu 5 tahun; - Tambahan 1 tahun, apabila menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% sejak tahun ke-4. 4) Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar 10%, atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku. Wajib Pajak yang mendapat fasilitas tersebut di atas, sebelum lewat jangka waktu 6 tahun sejak tanggal pemberian fasilitas tidak boleh : - Menggunakan aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas untuk tujuan selain yang diberikan fasilitas; - Mengalihkan sebagian atau seluruh aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas kecuali aktiva tetap yang dialihkan tersebut diganti dengan aktiva tetap baru. 14.2. Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (Tax Holiday) Kepada Wajib Pajak badan yang melakukan penanaman modal baru yang merupakan Industri Pionir dapat diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Penanaman Modal dan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan. 75 Industri Pionir adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, dan memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. Wajib Pajak yang dapat diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan adalah Wajib Pajak badan yang memenuhi kriteria: a. merupakan Wajib Pajak baru; b. merupakan Industri Pionir; c. mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang, paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); d. memenuhi ketentuan besaran perbandingan antara utang dan modal sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penentuan besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan; e. menyampaikan surat pernyataan kesanggupan untuk menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total rencana penanaman modal sebagaimana dimaksud pada huruf c, dan dana tersebut tidak ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal; dan f. harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya ditetapkan sejak atau setelah tanggal 15 Agustus 2011. 75 Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 159/PMK.010/2015 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan Halaman 102 Pengurangan Pajak Penghasilan badan diberikan paling banyak 100% (seratus persen) dan paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang. Pengurangan Pajak Penghasilan badan ini dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 15 (lima belas) Tahun Pajak dan paling singkat 5 (lima) Tahun Pajak, terhitung sejak Tahun Pajak dimulainya produksi secara komersial. Besarnya pengurangan Pajak Penghasilan badan diberikan dengan persentase yang sama setiap tahun selama jangka waktu tersebut. Dengan mempertimbangkan kepentingan mempertahankan daya saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat emberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan dengan jangka waktu melebihi jangka waktu tersebut menjadi paling lama 20 (dua puluh) tahun. Untuk memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan, Wajib Pajak menyampaikan permohonan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Permohonan tersebut harus dilampiri dengan: a. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak; b. fotokopi ijin prinsip penanaman modal baru, yang dilengkapi dengan rinciannya; c. asli surat pernyataan kesanggupan untuk menempatkan dana di perbankan di Indonesia; dan b. surat keterangan fiskal. 14.3. Penurunan Tarif Perusahaan Terbuka Pasal 17 ayat (2b) UU PPh mengatur bahwa Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka dapat memperoleh Penurunan tarif Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) lebih rendah dari tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri.76 Penurunan tarif Pajak Penghasilan diberikan kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka setelah memenuhi persyaratan: a. Paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan masuk dalam penitipan kolektif di lembaga penyimpanan dan penyelesaian; b. Saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus dimiliki oleh paling sedikit 300 Pihak; c. masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh; d. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak. 14.4. Pengurangan Besarnya PPh Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran PPh Pasal 29 Tahun 2 013 Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan diatur fasilitas dibidang PPh yaitu sebagai berikut :77 1. Wajib Pajak badan industri tertentu dapat diberikan pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak September 2013 sampai dengan Masa Pajak Desember 2013; dan/atau penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 untuk Tahun Pajak 2013 Wajib Pajak badan industri tertentu adalah Wajib Pajak badan yang melakukan kegiatan usaha pada bidang: 76 PP Nomor 77 Tahun 2013 tentang Penurunan Tarif Pajak penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Yang Berbentuk Perseroan Terbuka 77 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.011/2013 tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu Halaman 103 a. industri tekstil; b. industri pakaian jadi; c. industri alas kaki; d. industri furnitur; dan/atau e. industri mainan anak-anak, 2. Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 dan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 dapat diberikan kepada Wajib Pajak berdasarkan rekomendasi dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. Besarnya Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat diberikan paling tinggi sebesar : a. 25% (dua puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013, bagi Wajib Pajak badan industri tertentu yang tidak berorientasi ekspor; atau b. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013, bagi Wajib Pajak badan industri tertentu yang berorientasi ekspor 3. Penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 diberikan paling lama 3 (tiga) bulan dari saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. 4. Fasilitas ini dilakukan dengan menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Halaman 104 Bab 15.SPT Tahunan PPh Badan Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (Pasal 1 UU KUP) Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Badan pada prinsipnya ada dua yaitu SPT Masa dan SPT Tahunan. Dimana SPT Masa (PPh25) hanyalah berbentuk SSP yang dipersamakan sebagai SPT. Mengenai SPT Masa Pasal 25, kini Wajib Pajak (WP) tidak perlu lagi repot untuk melaporkan SPT Pasal 25-nya. Wajib Pajak yang telah melakukan pembayaran PPh Pasal 25 dan SSP nya telah mendapat validasi dengan NTPN, maka Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP. Tetapi, bagi WP dengan jumlah angsuran PPh Pasal 25 Nihil atau angsuran PPh Pasal 25 dalam bentuk satuan mata uang selain rupiah atau yang melakukan pembayaran tidak secara on-line dan tidak mendapat validasi dengan NTPN, tetap harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 78 SPT Tahunan PPh Wajib Pajak badan adalah Formulir 1771. Bentuk dan isi serta tata cara pengisiannya formulir ini sering mengalami perubahan. Perubahan terakhir diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak untuk tahun pajak 2014. 79 BENTUK DAN ISI SPT TAHUNAN PPh WP BADAN Pasal 3 ayat (6) UU KUP : Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan, dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri 80 Keuangan. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak (Formulir 1771) dan SPT Tahunan PPh bagi Wajib Pajak Badan yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam Bahasa Inggris dan Mata Uang Dollar ($) Amerika Serikat (Formulir 1771/$) terdiri dari Induk SPT dan Lampiran-lampiran yang merupakan satu kesatuan yang terpisah. No Kode Formulir Nama Formulir 1. 2. 3. 1771 1771 1771-I 1771-II 1771 $ 1771/$ 1771-I/$ 1771-II/$ 4. 5. 1771 III 1771-IV 1771-III/$ 1771-IV/$ 6. 1771-V 1771-V/$ 7. 1771-VI 1771-VI/$ SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan Perhitungan Penghasilan Netto Fiskal Perincian harga Pokok Produksi,Biaya Usaha Lainnya dan Biaya Dari Luar Negeri Kredit Pajak dalam Negeri PPh Final dan Penghasilan yang Tidak Termasuk Obyek Pajak Daftar Pemegang Saham/Pemilik Modal dan Deviden Yang Dibagikan dan Daftar Susunan Pengurus dan Komisaris Daftar Penyertaan Modal Modal pada Perusahaan Afiliasi, Daftar Pinjaman dari/Kepada Pemegang Saham Dan atau Perusahaan Afiliasi Keterangan Induk SPT Lampiran I Lampiran II Lampiran III Lampiran IV Lampiran V Lampiran VI Figure 28. Formulir SPT Tahunan PPh Badan 78 79 80 Peraturan Dirjen Pajak PER-22/PJ/2008 tentang Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25 Wajib Pajak (WP) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER - 19/PJ/2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan beserta Petunjuk Pengisiannya. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan Halaman 105 Selain formulir pokok yaitu 1771 Induk s.d. 1771-VI, terdapat pula formulir lampiran khusus yang wajib diisi oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut : NO 1 2 3 4 Kode Formulir Lampiran Khusus 1A 2A 3A 3B 5 6 7 8 9 4A 5A 6A 7A 8A (1-8) Nama Formulir Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal Perhitungan Kompensasi Kerugian Fiskal Pernyataan Transaksi Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa Pernyataan Transaksi Dengan Pihak Yang Merupakan Penduduk Negara Tax Heaven Country Daftar Fasilitas Penenaman Modal Asing Daftar Cabang Utama Perusahaan Perhitungan PPh Pasal 26 ayat (4) Kredit Pajak Luar Negeri Transkrif Kutipan Elemen-elemen Laporan Keuangan Figure 29. Formulir lampiran khusus SPT Tahunan PPh Badan Contoh formulir dan cara pengisiannya terlampir sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari buku ini. KELENGKAPAN SPT TAHUNAN PPh Badan a. Sesuai dengan Pasal 3 Ayat (6) UU KUP, SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan (Formulir 1771) yang disampaikan kepada KPP/Kapenpa dinyatakan dengan lengkap apabila telah dilampiri dengan : 1. Seluruh lampiran yang telah dibakukan (yaitu Formulir 1771-I s.d 1771-VI) harus diisi walaupun nihil 2. Neraca dan Laporan Rugi Laba tahun pajak yang bersangkutan 3. Perhitungan angsuran PPh Pasal 25 tahun pajak berikutnya untuk Wajib Pajak tertentu 4. SSP lembar ke-3 tahun pajak yang bersangkutan apabila SPT menunjukkan kurang bayar 5. Surat Kuasa Khusus dalam hal SPT ditanda tangani oleh bukan Pengurus atau bukan Direksi 6. Daftar Perhitungan Penyusutan/Amortisasi 7. Perhitungan Objek PPh Pasal 26 ayat (4) bagi Wajib Pajak BUT yang penghasilannya telah dikenakan PPh yang bersifat Final 8. Lampiran lainnya yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak b. Wajib Pajak dapat menyampaikan lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah : untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak dan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila:  Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani  Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud diatas  Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis; atau  Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak. Halaman 106 Bab 16.Capita Selecta 16.1. Sewa Guna Usaha (Leasing) Sewa-guna-usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Kegiatan sewa-guna-usaha dapat dilakukan secara : a. sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease); b. sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease). Pada dasarnya kegiatan SGU dengan hak opsi (Finance Lease) adalah kegiatan jasa pembiayaan berupa penyediaan kredit bagi pengguna leasing (lessee). Penghasilan bagi perusahaan leasing (lessor) adalah bunga yang diterima bersama dengan angsuran pelunasan hutang leasing oleh pengguna leasing (lessee). Sedangkan kegiatan SGU tanpa hak opsi (Operating lease) pada dasarnya adalah jasa penyewaan barang. Penghasilan bagi perusahaan penyewa adalah pendapatan sewa. Perbedaan jenis kegiatan ini menimbulkan perbedaan perlakuan perpajakan yang sangat mendasar. SEWA GUNA USAHA TANPA HAK OPSI (OPERATING LEASE) Suatu Sewa Guna Usaha digolongkan sebagai Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) apabila memenuhi semua kriteria berikut : a. Jumlah pembayaran Sewa Guna Usaha selama masa Sewa Guna Usaha pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang di-Sewa Guna Usaha-kan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh iessor; b. Perjanjian Sewa Guna Usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee. Jadi Operating Lease adalah transaksi sewa menyewa biasa. Karena hanya transaksi sewa menyewa biasa, maka kepemilikan barang masih berada di tangan pihak yang menyewakan (lessor) sehingga yang berhak menyusutkan barang adalah Lessor. Perlakuan perpajakan bagi yang menyewakan (Lessor) a. b. c. Seluruh pembayaran sewa yang a. diterima/diperoleh oleh lessor, merupakan objek PPh pasal 23 Lessor berhak menyusutkan barang modal b. yang di-SGU-kan karena kepemilikan barang ada ditangan lessor c. Lessor memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa sewa yang diberikan. Perlakuan perpajakan bagi penyewa (lessee) Jumlah biaya sewa yang dibayar/terutang pada tahun tersebut boleh menjadi pengurang penghasilan (Deductible Expense) Lessee tidak boleh menyusutkan barang modal karena barang masih milik lessor Lessee memotong PPh Pasal 23 setiap kali membayar sewa kepada lessor dengan tarif 2% jika barang modal yang disewakan selain tanah dan bangunan, serta 10% jika barang modalnya berupa tanah dan bangunan. Contoh Kasus : Lessor PT XYZ meng-SGU-kan mesin golongan II dengan harga pokok Rp 200.000.000.- kepada PT. ABC (lessee). Jangka waktu leasing 4 bulan dan nilai sisa barang setelah periode leasing adalah nihil. Dalam kontrak SGU tidak tercantum klausula pilihan bagi lesse untuk membeli mesin tersebut dengan harga murah pada akhir perode SGU. Pembayaran per bulan Rp 8.000.000.-. Perlakuan Pajaknya sebagai berikut: Jumlah seluruh pembayaran yang akan diterima lessor PT XYZ sebesar Rp 8.000.000 X 24 bulan = Rp. 192.000.000.-. Jumlah tersebut lebih kecil dari harga pokok mesin sebesar Rp.200.000.000.-. Selain itu tidak ada klausula pilihan tagi penyewa untuk memiliki mesin tersebut pada akhir periode leasing. Oleh karena itu, SGU ini tergolong SGU tanpa hak opsi (Operating Lease) atau sewa menyewa biasa . Halaman 107 SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI (FINANCE LEASE) Menurut ketentuan pajak kegiatan SGU akan digolongkan sebagai SGU dengan hak opsi (Finance Lease) apabila memenuhi kriteria berikut : a. Jumlah pembayaran SGU selama masa SGU pertama ditambah dengan nilai sisa Barang modal, harus menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor; b. Masa Sewa Guna Usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 tahun untuk barang modal Golongan I, 3 tahun untuk barang modal golongan II dan III, dan 7 tahun untuk Golongan Bangunan; c. Dalam hal Lessor dan Lessee membuat perjanjian Sewa Guna Usaha dengan opsi (Finance Lease) namun masanya tidak memenuhi ketentuan tersebut di atas, maka perlakuan Pajak Pertambahan Nilai yang diberikan terhadap perjanjian tersebut sama dengan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai terhadap perjanjian Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease); d. Perjanjian Sewa Guna Usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee. Ketiga syarat diatas harus dipenuhi seluruhnya agar suatu SGU dapat digolongkan sebagai SGU dengan hak opsi (Capital Lease). Ketiga syarat diatas menunjukkan bahwa ketentuan Pajak menggolongkan suatu SGU sebagai Finance Lease jika lessor sebenarnya berniat menjual barang. Hal itu ditunjukkan dengan jumlah seluruh angsuran yang diterima pada periode leasing pertama lebih besar dari harga pokok barang plus laba dan harus adanya opsi pada akhir periode leasing. Selain itu terdapat batas minimal jangka waktu leasing yang lamanya tergantung golongan barang. Persyaratan jangka waktu minimal ini semakin menguatkan karakter Finance Lease bahwa Finance Lease lebih bertujuan kepada pengalihan kepemilikan barang. Pada dasamya kegiatan SGU dengan hak opsi (Finance Lease) adalah kegiatan jasa pembiayaan (berupa penyediakan kredit bagi penggguna leasing (lesse) oleh lessor maka penghasilan bagi perusahaan leasing (lessor) adalah bunga yang diterima pada saat angsuran pelunasan hutang leasing. Karena pada dasarnya Finance Lease adalah transaksi pembiayaan maka pajak menganggap bahwa sebelum selesainya periode leasing, barang bukan milik lessee maupun lessor sehingga baik lesse maupun lessor sama-sama tidak boleh menyusutkan barang. Perlakuan perpajakan bagi yang menyewakan (Lessor) 1. 2. 3. Penghasilan lessor yang menjadi objek PPh 1. adalah seluruh pembayaran SGU - angsuran pokok (bunga + administration fee). Dalam hal SGU Sindikasi yaitu SGU yang dibiayai oleh bebarapa perusahaan leasing, imbalan jasa bagi masing-masing anggota dihitung secara proporsional sesuai perjanjian antar anggota 2. yang bersangkutan. Penghasilan tersebur tidak dipotong PPh 23 oleh lessee. Pengenaan pajaknya dilakukan dengan penghitungan 3. akhir tahun dalam SPT Tahunan Lessor tidak boleh menyusutkan barang modal yang di SGU- kan. Pajak menganut aliran bahwa tidak ada yang memiliki barang leasing sampai berakhirn periode leasing dan diketahui dengan pasti siapa pemilik barang tersebut. Bila Lesee menggunakan hak opsinya, maka barang tersebut menjadi milik lessee sedangkan bila tidak maka barang tersebut menjadi milik lessor. Akibatnya selama periode ieasing barang modal tersebut tidak boleh disusutkan baik oleh lessor maupun oleh lesse. Lessor dapat membentuk Cadangan Piutang Ragu-Ragu sebesar 2.5% dari rata-rata saldo awal dan akhir piutang SGU. Karena Financial Lease adalah transaksi pembiayaan maka Perlakuan perpajakan bagi penyewa (lessee) Lesse tidak boleh menyusutkan harga modal yang diterima Dengan alasan yang sama seperti alasan mengapa lessor tidak boleh menyusutkan barang leasing. lessee-pun tidak boleh menyusutkan barang leasing. Seluruh pembayaran leasing (angsuran plus bunga dan biaya adminislrasi) boleh menjadi pengurang (Deductible Expense). Lesse tidak boleh memootong PPh 23 atas pembayaran angsuran leasing kepada lessor. Halaman 108 4. 5. 6. pajak memperbolehkan lessor untuk membuat cadangan piutang ragu-ragu dan besamya 2.5% dari rata-rata saldo awal dan akhir piutang SGU. Pandangan tersehut dilakukan dengan mendebet biaya penyisihan piutang serta mengkredit akun Akumulasi Cadangan Penghapusan Piutang. Biaya Penyisihan Piutang tersebut dapat mengurangi penghasilan (Deductible Expenses). Kerugian piutang SGU yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada akun akumulasi Cadangan Penghapusan Piutang tahun yang bersangkutan. Apabila besarnya kerugian piutang yang nyata-nyata tidak tertagih lebih besar dari penyisihan yang dibuat maka selisihnya dapat menjadi biaya (Deductible Expense). Sebaliknya jika besarnya kerugian piutang yang nyata-nyata tidak tertagih lebih kecil dari penyisihan yang dibuat maka selisihnya harus diakui sebagai penghasilan. Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 bagi lessor dihitung berdasarkan laporan triwulan yang disetahunkan. Perusahaan leasing sebagaimana usaha pembiayaan lainnya (Bank, Asuransi, dll) diwajibkan membuat laporan keuangan triwulanan yang harus disampaikan ke lembaga pemerintah terkait (BI dan Depkeu). Besarnya PPh 25 harus dihitung ulang setiap 3 bulan berdasarkan laba rugi triwulan bersangkutan yang disetahunkan. Jasa pembiayaan SGU dengan hak opsi tidak terutang PPN, tetapi penyerahan barang dari lessor ke lesse terutang PPN. Contoh Kasus: Lessor PT. XYZ meng-SGU-kan mesin golongan II (masa manfaat 8 tahun.) dengan harga pokok Rp.200.000.000.kepada PT. ABC (lessee). Jangka waktu leasing 36 bulan dan nilai sisa barang setelah periode leasing adalah nihil. Dalam kontrak SGU tercantum klausula pilihan bagi lesse untuk membeli mesin tersebut dengan harga murah pada akhir periode SGU. Pembayaran per bulan Rp. 8.000.000 terdiri dari pelunasan pokok hutang leasing sebesar Rp. 5.553.555.- dan bunga Rp. 2.444.44.Perlakuan Pajaknya sebagai berikut: Jumlah seluruh pembayaran yang akan diterima lessor PT XYZ sebesar Rp 8.000.000.- X 36 bulan = Rp.288.000.000.-. Jumlah tersebut dapat menutupi harga pokok mesin sebesar Rp 200.000.000.00. dan nilai sisa barang setelah periode leasing. Selain itu terdapat klausula pilihan bagi penyewa untuk memilih mesin tersebut. Jangka waktu leasing adalah 3 tahun (36 bulan) sedangkan barang termasuk golongan II. Hal ini memenuhi syarat Finlmce Lease karena untuk barang golongan II jangka waktu leasing minimal 3 tahun. Oleh karena ke-3 syarat terpenuhi maka SGU ini tergolong SGU dengan hak opsi (Finance Lease). Halaman 109 Lessor PT XYZ Mencatat Piutang Leasing sebesar = Rp 288.000.000 Menerima pendapatan bunga/bulan = Rp 2.444.445 Menerima pelunasan pokok/bulan = Rp 5.555.555 Jumlah yang diterima = Rp 8.000.000 Tidak menyusutkan mesin Mendebet Biaya Penyisihan Piutang leasing 2.5% Dari saldo piutang leasing. (Deductible Expense) Lessee PT. ABC Membayar Biaya Leasing Rp.8 jt Tidak menyusutkan mesin Tidak memungut PPh Pasal 23 Dasar Hukum : - Keputusan Menteri Keuangan NOMOR 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (LEASING) 16.2. Pajak Penghasilan Yayasan/Lembaga Nirlaba Lainnya Pada prinsipnya perlakuan PPh atas Yayasan sama dengan wajib pajak badan lainnya. Perbedaannya ada pada istilah sisa lebih . Sisa Lebih adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek PPh selain penghasilan yang dikenakan PPh sendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari badan/lembaga nirlaba (Pasal 1 ayat 2 PMK 80/PMK.03/2009 dan Pasal 1 angka 1 Per44/PJ/2009). Biaya operasional sehari-hari adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek PPh selain penghasilan yang dikenakan PPh tersendiri. Badan atau lembaga nirlaba adalah badan atau lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya. Sisa Lebih yang dikecualikan dari objek PPh, Jika selisih lebih yang diperoleh badan lembaga nirlaba yang bergerak dibidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan atau prasarana kegiatan pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun, dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih yang meliputi : pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana tersebut seperti : - pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium,dan perpustakaan; - pembelian atau pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas, guru, dosen atau karyawan, dan sarana prasarana olahraga, sepanjang berada dilingkungan atau lokasi lembaga pendidikan formal. Badan atau lembaga nirlaba wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi yang membidanginya. Pemberitahuan tersebut disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih tersebut atau paling lama sebelum pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dimulai. dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut. Pelaksanaan dari ketentuan sebagaimana dimaksud diatas dilakukan sebagai berikut : a. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba setiap tahun yang akan digunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dialihkan ke akun dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan; Halaman 110 b. pembukuan atas penggunaan dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan pada tahun berjalan dilakukan dengan mendebet akun aktiva dan akun dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan serta mengkredit akun kas atau utang dan akun modal badan atau lembaga nirlaba. Atas pengeluaran untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang berasal dari sisa lebih tidak boleh dilakukan penyusutan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Apabila pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dibiayai dengan dana pinjaman, biaya bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan. Biaya bunga atas dana pinjaman yang terutang atau dibayarkan setelah selesainya proses pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dapat dibebankan sebagai biaya badan atau lembaga nirlaba. Dalam hal dana pinjaman diterima atau diperoleh sebelum diperolehnya sisa lebih dan dipergunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana, biaya bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan. Badan atau lembaga nirlaba yang menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegaiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan wajib membuat : a. pernyataan bahwa : 1. sisa lebih akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut. dan, 2. sisa lebih tidak digunakan pada tahun diperolehnya tersebut akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut yang merupakan lampiran dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak diperolehnya sisa lebih; b. pencatatan tersendiri atas sisa lebih yang diterima dan yang digunakan setiap tahun; dan c. laporan mengenai penyediaan dan penggunaan sisa lebih dan menyampaikannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dalam lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud diatas badan atau lembaga nirlaba tidak menggunakan atau terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dimaksud, maka sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenakan Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya setelah lewat jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut. Apabila dalam jangka waktu terdapat sisa lebih yang digunakan selain untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan sejak tahun pajak diperoleh sisa lebih tersebut. Apabila Badan atau lembaga nirlaba menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan namun tidak menyampaikan pemberitahuan rencana fisik sederhana dan rencana biaya dan tidak membuat pernyataan, pencatatan dan laporan, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan sejak tahun pajak diperoleh sisa lebih tersebut. Pengenaan Pajak Penghasilan atas sisa lebih ini, ditambah dengan sanksi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Halaman 111 Dasar Hukum : - 16.3. Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER - 44/PJ./2009 tentang Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih Yang Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba Yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan dan/atau Penelitian dan Pengembangan Yang Dikecualikan Dari Objek Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan Perusahaan Berbasis Syariah Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Perusahaan Syariah yang selanjutnya disebut perusahaan adalah lembaga keuangan diluar bank yang melakukan kegiatan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Ketentuan mengenai penghasilan, biaya dan pemotongan/pemungutan pajak dari kegiatan usaha perbankan syariah dan perusahaan syariah berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam UU PPh, artinya bahwa berlaku sama sesuai dengan ketentuan dalam UU PPh. Pengenaan PPh atas Perbankan Syariah a. Penghasilan berupa bonus, bagi hasil, dan margin keuntungan yang diperoleh dari kegiatan atau transaksi nasabah penerima fasilitas dikenakan PPh seperti perbankan umum lainnya, yaitu diakui sebagai penghasilan namun tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 b. Penerimaan penghasilan lainnya diakui sebagai penghasilan sesuai dengan ketentuan mengenai Pajak Penghasilan c. Pembayaran bagi hasil kepada nasabah dikenakan ketentuan seperti bunga pada perbankan umum d. Dalam hal terjadi transaksi pengalihan harta dari pihak ketiga yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi prinsip syariah dalam rangka kegiatan pembiayan oleh perusahaan dianggap pengalihan langsung dari pihak ketiga kepada nasabah perusahaan sehingga tidak termasuk dalam pengertian pengalihan harta sebagaimana dalam UU PPh. Pengenaan PPh atas Perusahaan Pembiayaan Syariah a. Usaha pembiayaan syariah meliputi : sewa guna usaha berdasarkan ijarah atau ijarah muntahiyah bittamlik, anjak piutang berdasarkan akad wakalah bil ujrah, pembiayaan konsumen berdasarkan murabahah, salam, atau istishna, usaha kredit usaha, dan kegiatan pembiayaan lainnya. b. Atas kegiatan berupa sewa guna usaha berdasarkan ijarah perlakuan perpajakannya sama dengan sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating lease). c. Atas kegiatan berupa sewa guna usaha berdasarkan ijarah Muntahiyah Bittamlik perlakuan perpajakannya sama dengan sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease). d. Atas usaha anjak piutang berdasarkan akad wakalah bil ujrah dan usaha pembiayaan konsumen berdasarkan murabahah, salam, atau istishma berupa imbalan, margin keuntungan atau laba dikenai pajak seperti ketentuan tentang bunga. e. Atas usaha kredit usaha, dan kegiatan pembiayaan lainnya berlaku ketentuan umum pajak penghasilan. f. Dalam hal terjadi transaksi pengalihan harta dari pihak ketiga yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi prinsip syariah dalam rangka kegiatan pembiayaan oleh perusahaan dianggap pengalihan harta langsung dari pihak ketiga kepada nasabah perusahaan sehingga tidak termasuk dalam pengertian pengalihan harta sebagaiman dimaksud dalam UU PPh. Halaman 112 Dasar Hukum : - PP No.25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah - PMK-136/PMK.03/2011 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan untuk kegiatan usaha Perbankan Syariah - PMK-137/PMK.03/2011 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan untuk Kegiatan Usaha Pembiayaan Syariah - PMK-251/PMK.03/2008 tentang penghasilan atas jasa keuangan yang dilakukan oleh badan usaha yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23. 16.4. Pajak Penghasilan Perusahaan Reksadana Reksadana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat. Pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manager investasi. Manager Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola portofolio efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Portofolio Efek adalah kumpulan efek yang dimiliki oleh orang peroarangan, perusahaan, usaha bersama asosiasi atau kelompok yang terorganisasi. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. Bentuk Reksadana di Indonesia ada 2 yaitu : - Reksadana berbentuk perseroan tertutup maupun terbuka, sampai saat ini ada 2 reksadana perseroan yaitu PT BDNI (Reksadana tertutup) dan PT Reksadana Perdana, Tbk. - Reksadana berbentuk kontrak investasi kolektif (KIK) merupakan kontrak antara manager investasi dan bank custodian yang pemegang unit penyertaan (investor) dimana manager investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif untuk diinvestasikan pada berbagai efek yang diperdagangkan di pasar modal dan pasar uang. Beberapa penghasilan yang diterima reksadana antara lain deviden, bunga obligasi, bunga deposito/tabungan, capital gain dan penghasilan di bursa efek. Perlakuan perpajakan atas penghasilan tersebut diperlakukan sama dengan wajib pajak lainnya kecuali untuk penghasilan bunga obligasi. Perlakuan untuk penghasilan bunga obligasi yang diperdagangkan di bursa efek yang diterima reksadana adalah: No 1 2 3 4 Tahun s.d. Tahun 2008 2009 - 2010 2011 - 2013 2014 - …. Tarif Pajak Tidak Terutang 0% 5% - Final 15% - Final Dasar hukum PP Nomor 6 Tahun 2002 PP Nomor 16 Tahun 2009 PP Nomor 16 Tahun 2009 PP Nomor 16 Tahun 2009 Dengan keluarnya PP Nomor 100 Tahun 2013 sebagai Perubahan PP Nomor 16 Tahun 2009, maka bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak reksadana yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan diatur kembali menjadi sebesar: 1) 5% (lima persen) untuk tahun 2014 sampai dengan tahun 2020; dan 2) 10% (sepuluh persen) untuk tahun 2021 dan seterusnya." Halaman 113 Penghasilan yang dibayarkan oleh Reksadana : - Reksadana berbentuk perseroan Berdasarkan UU Pasar Modal, pemegang penyertaan pada reksadana disebut pemegang saham, sehingga perlakuan PPh atas penghasilan yang diperoleh pemegang saham ini adalah sesuai dengan ketentuan perpajakan atas dividen. - Reksadana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Bagian laba yang diterima atau diperoleh oleh pemegang unit penyertaan kontrak kolektif termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya tidak terutang pajak, termasuk jika pemegang unit penyertaan yang merupakan subjek pajak luar negeri (PP 94/2010). Dasar Hukum : - UU Nomor 8 Tahun 1995, tentang pasar modal - PP Nomor 16 Tahun 2009, Tentang PPh Atas Penghasilan berupa bunga obligasi - SE-18/PJ.42/1996, tentang PPh atas Usaha Reksadana - PP Nomor 100 Tahun 2013, Tentang PPh Atas Penghasilan berupa bunga obligasi 16.5. Perlakuan PPh atas Joint Operation Beberapa ketentuan mengenai JO adalah : Joint Operation (JO) adalah merupakan kerjasama operasi dua badan atau lebih yang sifatnya sementara hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan. Dengan demikian JO bukan merupakan Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b UU PPh, dan oleh karenanya pengenaan PPh atas penghasilan dari proyek tersebut dikenakan pada masingmasing badan anggota JO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterimanya. Pemberian NPWP terhadap JO adalah semata-mata untuk pemenuhan kewajiban pajak lainnya yang ada pada JO yaitu sebagai Wajib Pajak pemotong/pemungut PPh Pasal 21. PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 serta PPN. Dalam rangka menentukan dan memperhitungkan besarnya PPh yang terutang untuk badanbadan tersebut, pembukuan terpisah dari masing-masing badan yang bergabung dalam JO dapat dilakukan. Ketentuan ini mencakupdan berlaku bagi penghasilan yang diterima dari proyek bantuan luar negeri. Perlakuan perpajakan bagi JO (S-323/PJ.42/1989) : 1. Penghasilan yang diterima suatu JO sebenarnya adalah penghasilan para anggota yang besarnya adalah sebesar bagian masing-masing yang ditentukan sesuai perjanjian. 2. Jika atas penghasilan berupa bunga, sewa, dan lain-lain yang diterima atau diperoleh JO dari WP Badan dalam negeri dan perseorangan yang ditunjuk, dipotong PPh Pasal 23 maka bukti potong PPh Pasal 23 tersebut harus dipecah untuk masing-masing anggota JO agar dapat dikreditkan. 3. Besarnya PPh Pasal 23 untuk masing-masing JO sesuai dengan perjanjian joint agreement yang telah disepakati bersama. 4. Joint Agreement tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan dan membayar PPh Pasal 25 dan Pasal 29. Kewajiban yang ada hanya sebagai pemotong/pemungut PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPN. Jika telah dilakukan pemotongan PPh pasal 23 atau PPh Final atas nama joint operation maka harus dilakukan pemecahan bukti potong yang prosedurnya (SE-44/PJ/1994) adalah : 1. JO mengajukan permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Ps.23 kepada KPP dimana JO terdaftar/berkedudukan, dilampiri foto copy dokumen pendirian JO. 2. KPP tersebut minta konfirmasi kepada KPP dimana pemotong PPh Pasal 23 terdaftar, mengenai pemotongan terhadap JO. 3. Apabila benar telah dilakukan pemotongan terhadap JO maka KPP tersebut menerbitkan SKKPP PPh Pasal 23 Yang Seharusnya Tidak Terutang. 4. Atas dasar SKKPP tersebut dilakukan pemindahbukuan dari PPh Pasal 23 ke PLB. 5. Dilakukan pemindahbukuan dari PLB ke PPh Ps 25 atas nama para anggotanya dengan jumlah pajak Halaman 114 6. 7. 8. 9. sebesar bagian masing-masing dengan tahun pajaknya sesuai dengan yang tercantum pada Bukti Pemotongan PPh Ps.25 dilakukan karena bukti Pbk itu diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam SPT PPh Badan para anggotanya, bukan dalam SPT PPh Ps. 23; Pada bukti pemindahbukuan (di bawah Nomor dan Tanggal SKKPP) supaya diketik : (Dalam rangka pemecahan Bukti Pemotongan PPh Ps. 23 atas nama joint operation); Atas SKKPP tersebut tidak boleh diterbitkan SPMKP, juga tidak boleh dipindahbukukan untuk membayar kewajiban pajak JO Apabila anggota JO adalah Wajib Pajak Luar Negeri maka pemecahan bukti pemotongan PPh Ps. 23 (yang berupa bukti Pbk. Ps. 25) tidak boleh diperhitungkan dengan kewajiban PPh Ps. 26 dari JO karena Wajib Pajak Luar Negeri tersebut dianggap mempunyai BUT di Indonesia; Lembar ke-1 Bukti Pbk tersebut disampaikan untuk para anggota sedang lembar lainnya untuk ditatausahakan sesuai ketentuan dalam Pedoman Induk TUPRP. Dasar Hukum : - 16.6. SE-44/PJ./1994 tentang pemecahan bukti pemotongan PPh Pasal 23 S-323/pj.42/1989 terkait masalah perpajakan bagi JO S-251/PJ.313/1998 tentang pemecahan bukti pemotongan PPh Final yang diterbitkan untuk suatu JO S-823/PJ.312/2002 tanggal 24 Oktober 2002 Perlakuan PPh atas Built Operate and Transfer (BOT) Bangun Guna Serah adalah : Bentuk perjanjian kerja sama antara pemegang hak atas tanah dengan investor. Pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian Setelah masa perjanjian berakhir, investor mengalihkan kepemilikan atas bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah. Bangunan yang didirikan investor dapat berupa gedung perkantoan, apartemen, pusat pembelanjaan, rumah, toko, hotel, dan/atau bangunan lainnya. Investor adalah pihak yang diberikan hak untuk membanguan bangunan dan menggunakan atau mengusahakan bangunan tersebut selama masa perjanjian BOT. Pemegang hak atas tanah adalah pihak yang memberikan hak untuk mendirikan bangunan. menggunakan dan mengusahakan bangunan selama masa perjanjian BOT. Perlakuan PPh bagi Investor dalam BOT :  Biaya mendirikan bangunan diatas tanah yang dikeluarkan oleh investor merupakan nilai perolehan investor untuk mendapatkan hak menggunakan atau hak mengusahakan bangunan tersebut, dan jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut oleh investor diamortisasi dalam jumlah yang sama besar setiap tahun selama masa perjanjian bangun guna serah.  Amortisasi dimulai pada tahun bangunan tersebut mulai digunakan atau diusahakan oleh investor  Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih pendek dari masa yang telah ditentukan dalam perjanjian maka sisa biaya pembangunan yang belum diamortisasi, diamortisasi sekaligus oleh investor pada tahun berakhirnya masa bangun guna serah yang lebih pendek tersebut.  Apabila dalam pelaksanaan bangun guna serah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan penggantian atau imbalan kepada investor, maka penggantian atau imbalan tersebut adalah penghasilan bagi investor dalam tahun diterimanya hak penggantian atau imbalan tersebut.  Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih panjang dari masa yang telah ditentukan dalam perjanjian karena adanya penambahan bangunan, maka biaya penambahan bangunan tersebut ditambahkan terhadap sisa biaya yang belum diamortisasi dan diamortisasi oleh investor hingga berakhirnya masa bangun guna serah yang lebih panjang tersebut. Perlakuan PPh bagi Pemegang Hak atas Tanah dalam BOT :  Penghasilan yang diperoleh pemegang hak atas tanah sehubungan dengan perjanjian BOT adalah:  Pembayaran berkala yang dilakukan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah selama masa BOT  Bagian dari uang sewa bangunan  Bagian dari keuntungan dari pengusahaan bangunan dengan nama dan dalam bentuk apapun Halaman 115    yang telah diberikan oleh investor Penghasilan lainnya sehubungan dengan perjanjian BOT yang diterima atau diperoleh pemegang hak atas tanah. Apabila bangunan yang didirikan investor tidak seluruhnya menjadi hak investor, tetapi sebagian diserahkan kepada pemegang hak atas tanah dalam tahun pajak yang bersangkutan maka atas penyerahan tersebut terutang PPh sebesar 5% dari jumlah bruto nilai tertinggi antara nilai pasar dengan NJOP bagian bangunan yang diserahkan, dan harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah penyerahan. Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah setelah masa perjanjian BOT berakhir, merupakan penghasilan bagi pemegang hak atas tanah. dan terutang PPh sebesar 5% Final dari jumlah bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan NJOP bangunan yang telah diserahkan, dan harus dilunasi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa BOT berakhir. Dasar Hukum : - 16.7. KMK 248/KMK.04/1995 tentang perlakuan pajak penghasilan terhadap pihak-pihak yang melakukan kerja sama dalambentuk perjanjian bangun guna serah SE Nomor 38/PJ.4/1995 tanggal 14 Juli 1995 tentang perlakuan pajak penghasilan atas penghasilan sehubungan dengan perjanjian bangun guna serah. Perlakuan PPh atas Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri Yang menjadi Subjek PPh pelayaran dalam negeri adalah orang yang bertempat tinggal di Indonesia atau badan yang didirikan di Indonesia yang melakukan usaha pelayaran dengan kapal yang didaftarkan baik di Indonesia maupun di luar negeri atau dengan kapal pihak lain. Penghasilan yang menjadi Objek pengenaan PPh meliputi penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengangkutan orang dan/atau barang. termasuk penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan dari : - pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia; - pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia; - pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia; dan - Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia. Pengenaan PPh atas pelayaran dalam negeri adalah : - Norma Penghitungan penghasilan Neto = 4% X Peredaran Bruto - PPh terutang sama dengan 30% X Norma Penghitungan Penghasilan Neto - PPh Terutang = 30% X 4% X Peredaran Bruto = 1,2% X Peredaran Bruto. - Pajak terutang bersifat FINAL - Peredaran Bruto adalah semua imbalan atau nilai penggantian berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh WP Perusahaan pelayaran dalam negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke Pelabuhan Luar Negeri dan/atau sebaliknya. Pelunasan PPh yang terutang dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan Pemotong pajak, maka pihak yang membayar atau terutang hasil tersebut wajib : - memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan atau nilai pengganti; - memberikan Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final) kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan; - menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan. dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP); - Melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambatlambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan Halaman 116 dilampiri dengan Lembar ke-3 SSP dan Lembar ke-2 Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final). b. Dalam hal penghasilan diperoleh selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri wajib : - menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan. dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP)Final; - melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dilampiri dengan lembar ke-3 SSP Final. c. Dalam hal Wajib Pajak membayar pajak di Luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya di luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang termasuk penyewaan kapal (PPh Pasal 24), pajak yang dibayar di luar negeri tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh yang terutang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ini, untuk masing-masing negara setinggitingginya 1.2% (satu koma dua persen) dari penghasilan yang diterima atau diperolehnya diluar negeri tersebut. d. Dalam hal Wajib Pajak juga menerima atau memperoleh penghasilan lainnya selain penghasilan di atas. maka atas penghasilan lainnya dikenakan PPh berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku. Dasar Hukum : - KMK-416/KMK.04/1996 tentang norma penghitungan khusus penghasialn neto bagi WP perusahaan Pelayaran Dalam Negeri - SE-29/PJ.4/1996 tentang PPh terhadap WP perusahaan pelayaran Dalam Negeri 16.8. Perlakuan PPh atas Perusahaan Pelayaran /Penerbangan Luar Negeri Yang menjadi subjek pajak adalah wajib pajakyang bertempat kedudukan di luar negeri yang melakukan usaha pelayaran atau penerbangan melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Dengan kata lain bahwa jika tidak mempunyai BUT di Indonesia maka tidak kena PPh Pasal 15, tetapi memperhatikan ketentuan Pasal 26. Yang menjadi objek PPh adalah semua nilai pengganti atau imbalan berupa uang atau nilai uang dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke Pelabuhan di luar negeri. Dengan demikian tidak termasuk penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri tersebut dari pengangkutan orang dan/atau barang dari pelabuhan di luar negeri ke pelabuhan di Indonesia. Pengenaan PPh atas pelayaran/penerbangan luar negeri adalah : - Norma Penghitungan penghasilan Neto = 6% X Peredaran Bruto - PPh Terutang = 2,64% X Peredaran Bruto. - Pajak terutang bersifat FINAL Tata Cara Pengenaan PPh Pelayaran/Penerbangan Luar Negeri : a. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian charter. maka pihak yang membayar atau pihak yang mencharter wajib : - memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan/nilai pengganti; - Memberikan Bukti pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri (final) kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan. - menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan. dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). - melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambatlambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan dilampiri dengan Lembar ke-3 SSP dan lembar ke-2 Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri (final). Halaman 117 b. Dalam hal penghasilan diperoleh selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar Negeri Wajib : - menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) Final; - melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan dilampiri dengan lembar ke-3 SSP Final. c. Dalam hal Wajib Pajak juga menerima atau memperoleh penghasilan lainnya selain penghasilan sebagaimana diatas, maka atas penghasilan lainnya tersebut dikenakan PPh berdasarkan ketentuan yang berlaku. Dasar Hukum : - KMK 417/KMK.04/1996 tentang norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri. SE-32/PJ.4/1996 tentang norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi WP yang bergerak dibidang usaha pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri. - 16.9. Perlakuan PPh atas Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri Jenis Penghasilan perusahaan penerbangan dalam negeri dapat berasal dari : a. Pengangkutan orang/barang dengan system angkutan umum artinya tidak dengan system carter atau sewa b. Pengangkutan orang, barang dengan system carter atau sewa. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan penerbangan dalam negeri dikenakan tariff umum pajak penghasilan. PPh atas charter Pesawat kepada Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri : - Penghasilan berdasarkan perjanjian charte meliputi semua bentuk charter. termasuk sewa ruangan pesawat udara baik untuk orang dan/atau barang (space charter) wajib dipotong oleh pemotong pajak (yang mencharter) yang merupakan objek PPh Pasal 15. - Tarif pemotongan PPh atas charter ini sebesar 1.8% dari peredaran bruto, tidak final dan merupakan kredit pajak bagi perusahaan penerbangan dalam negeri. - Penyetoran dilakukan oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. - Pelaporan dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya oleh Pemotong Pajak. Dasar Hukum : - KMK Nomor 475/KMK.04/1996 tentang norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi WP Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri SE-35/PJ.4/1996 tentang norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi WP Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri 16.10. Perlakuan PPh atas Kantor Perwakilan Dagang Asing Perwakilan dagang asing di Indonesia pada dasarnya ada 2 macam, yaitu perwakilan dagang asing yang melakukan usaha dan/atau pekerjaan bebas dan perwakilan dagang asing yang tidak melakukan usaha dan/atau pekerjaan bebas. Kantor Perwakilan dagang asing yang melakukan usaha dan/atau pekerjaan bebas di Indonesia adalah BUT yang dikenakan pajak penghasilan sesuai dengan UU Pajak Penghasilan. Kantor Perwakilan Dagang Asing Halaman 118 yang bukan BUT adalah kantor perwakilan dari perusahaan yang berkedudukan di Negara yang mempunyai perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty) dengan Indonesia yang berdasarkan treaty tersebut tidak dianggap sebagai BUT. Yang menjadi subjek pajak kantor perwakilan dagang asing adalah wajib pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang, selanjutnya disingkat PKD di Indonesia yang berasal dari Negara yang belum mempunyai persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) dengan Indonesia. Yang menjadi objek pajak kantor perwakilan dagang asing adalah nilai ekspor bruto yaitu semua nilai penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia. Pengenaan PPh atas kantor perwakilan dagang asing adalah : - PPh Terutang = 0.44% X Nilai Ekspor Bruto - Termasuk PPh Pasal 15 dan bersifat Final - Penyetoran Pajak dilakukan sendiri oleh kantor perwakilan dagang selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan. - Pelaporan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan. Jika kantor perwakilan dagang berasal dari Negara mitra P3B maka besarnya tarif pajak yang terutang disesuaikan dengan tarif BPT (Branch profit Tax) dari suatu bentuk usaha tetap tersebut sebagaimana dimaksud dalam P3B tersebut. Dasar Hukum : - KMK 634/KMK.04/1994 tentang norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi WP LN yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia. Kep-667/PJ./2001 tentang norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi WP LN yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia SE-02/PJ.03/2008 tentang penegasan atas penerapan norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi WP LN yang mempunyai kantor perwakilan dagang (representative office/liaison office) di Indonesia Halaman 119 Bab 17. Lampiran-lampiran Lampiran 1 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 156/PMK.010/2015 TENTANG : PELAKSANAAN PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS ORGANISASI INTERNASIONAL DAN/ATAU PEJABAT PERWAKILAN ORGANISASI INTERNASIONAL YANG DIDASARKAN PADA KETENTUAN DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL ORGANISASI INTERNASIONAL YANG TIDAK TERMASUK SEBAGAI SUBJEK PAJAK PENGHASILAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) IMF (International Monetary Fund) UNDP (United Nations Development Programme), meliputi: a. IAEA (International Atomic Energy Agency) b. ICAO (International Civil Aviation Organization) c. ITU (International Telecommunication Union) d. UNIDO (United Nations Industrial Development Organizations) e. UPU (Universal Postal Union) f. WMO (World Meteorological Organization) g. UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) h. UNEP (United Nations Environment Programme) i. UNCHS (United Nations Centre for Human Settlement) j. ESCAP (Economic and Social Commission for Asia and The Pacific) k. UNFPA (United Nations Funds for Population Activities) l. WFP (World Food Programme) m. IMO (International Maritime Organization) n. WIPO (World Intellectual Property Organization) o. IFAD (International Fund for Agricultural Development) p. WTO (World Trade Organization) q. WTO (World Tourism Organization) FAO (Food and Agricultural Organization) ILO (International Labour Organization) UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) UNIC (United Nations Information Centre) UNICEF (United Nations Children's Fund) UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) WHO (World Health Organization) World Bank Asean Secretariat SEAMEO (South East Asian Minister of Education Organization) ACE (The ASEAN Centre for Energy) NORAD (The Norwegian Agency for International Development) Plan International Inc PCI (Project Concern International) IDRC (The International Development Research Centre) NLRA (The Netherlands Leprosy Relief Association) The Commission of The European Communities OISCA INT. (The Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement International) World Relief Cooperation APCU (The Asean Heads of Population Coordination Unit) SIL (The Summer Institute of Linguistics, Inc.) IPC (The International Pepper Community) APCC (Asian Pacific Coconut Community) INTELSAT (International Telecommunication Satellite Organization) Halaman 120 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. People Hope of Japan (PHJ) dan Project Hope CIP (The International Potato Centre) ICRC (The International Committee of Red Cross) Terre Des Hommes Netherlands Wetlands International HKI (Helen Keller International, Inc.) Taipei Economic and Trade Office Vredeseilanden Country Office (VECO) Belgia KAS (Konrad Adenauer Stiftung) Program for Appropriate Technology in Health, USA-PATH Save the Children-US dan Save the Children-UK CIFOR (The Center for International Forestry Research) Kyoto University-Jepang ICRAF (the International Centre for Research in Agroforestry) Swisscontact-Swiss Foundation for Technical Cooperation Winrock International Stichting Tropenbos The Moslem World League (Rabithah) NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development Organization) HSF (Hans Seidel Foundation) DAAD (Deutscher Achademischer Austauschdienst) WCS (The Wildlife Conservation Society) BORDA (The Bremen Overseas Research and Development Association) ASEAN Foundation SOCSEA (Sub Regional Office of CIRDAP in Southeast Asia) IMC (International Medical Corps) KNCV (Koninklijke Nederlands Centrale Vereniging tot Bestrijding der Tuberculosis) Asia Foundation The British Council CARE (Cooperative for American Relief Everywhere Incorporation) CCF (Christian Children's Fund) CWS (Church World Service) The Ford Foundation FES (Friedrich Ebert Stiftung) FNS (Friedrich Neumann Stiftung) IRRI (International Rice Research Institute) Leprosy Mission OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief) WE (World Education, Incorporated, USA) KOICA (Korea International Cooperation Agency) ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia) JETRO (Japan External Trade Organization) IFRC (International Federation of Red Cross and Red Cresent Societies) MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO UMUM u.b. KEPALA BAGIAN T.U. KEMENTERIAN BAMBANG P. S. BRODJONEGORO ttd. GIARTO NIP 195904201984021001 Halaman 121 Lampiran 2 Daftar Biaya Fiskal Beban Usaha Deductible Non Deductible Ket Dasar Hukum Biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan. menagih dan memelihara penghasilan   V Prinsip realisasi Pasal 28 UU KUP V Konservatis / penyisihan Pasal 28 UU KUP Biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan. menagih dan memelihara penghasilan yang bukan obyek PPh atau pengenaan PPhnya final 1. Gaji/upah V PPh Ps Pasal 6 huruf a UU PPh 21 2. Tunjangan PPh pasal 21 V PPh ps PMK 252/PJ/2008 21 3. PPh dibayar perusahaan (ditanggung perusahaan) 4. Premi asuransi jiwa pegawai dibayar perusahaan V V 5. Premi asuransi jiwa untuk pemilik / pemegang saham dan keluarganya PPh ps Pasal 9 huruf d UU PPh PMK 21 252/PJ/2008 V 6. Iuran Jamsostek a. Jaminan (JKK) kecelakaan Pasal 9 huruf h UU PPh Pasal 9 huruf j UU PPh PP No 14 tahun 1993 Kerja V PPh Ps Pasal 9 huruf d UU PPh 21 b. Jaminan kematian (JKM) V PPh Ps PP No 14 tahun 1993 stdtd 21 PP Nomor 1 Tahun 2009 c. Jaminan pelayanan Kesehatan V PPh Ps PP No 14 tahun 1993 stdtd 21 PP Nomor 1 Tahun 2009 d. Iuran Jaminan Hari tua (JHT) (JAMSOSTEK)  Dibayar perusahaan  Dibayar pegawai (bagi pegawai untuk menghitung PPh 21) PP No 14 tahun 1993 stdtd PP Nomor 1 Tahun 2009 V Pasal 6 huruf a UU PPh V PMK 252/PJ/2008 7. Iuran pensiun ke dana pensiun yang disahkan Menteri Keuangan  Dibayar perusahaan  Dibayar pegawai (bagi pegawai untuk menghitung PPh 21) PMK 252/PJ/2008 V PMK 252/PJ/2008 V PMK 252/PJ/2008 8. Iuran pensiun ke dana pensiun yang belum disahkan Menkeu 9. Tunjangan Hari Raya 10. Uang lembur 11. Pengobatan V Pasal 6 huruf c UU PPh V PPh Ps Pasal 6 huruf a UU PPh 21 V PPh Ps Pasal 6 huruf a UU PPh 21 Pasal 6 huruf a UU PPh Halaman 122 a. Cuma-cuma (langsung ke rumah sakit. dianggap sebagai kenikmatan) V Pasal 6 huruf e UU PPh b. Penggantian pengobatan (tunjangan dengan reimburst) V PPh Ps KEP 252/PJ/2000 21 c. Tunjangan pengobatan V PPh Ps KEP 252/PJ/2000 21 12. Pemberian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan. misalnya kendaraan. beras dsb 13. Pemberian makan kepada crew kapal/pesawat dalam perjalanan V V 14. Pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan Pasal 9 huruf e UU PPh KMK 466/KMK.04/2000 KMK 466/KMK.04/2000 a. Pengeluaran untuk penyediaan makanan/ minuman bagi seluruh pegawai. termasuk dewan direksi dan dewan komisaris di tempat kerja V KMK 466/KMK.04/2000 b. Penggantian dalam bentuk natura & kenikmatan di daerah tertentu : V KMK 466/KMK.04/2000 V KMK 466/KMK.04/2000 V KMK 466/KMK.04/2000 V KMK 466/KMK.04/2000 V KMK 466/KMK.04/2000 V KMK 466/KMK.04/2000  Tempat tinggal/perumahan pegawai sepanjang fasilitas tersebut tidak tersedia  Pelayanan kesehatan sepanjang fasilitas tersebut tidak tersedia  Pendidikan pegawai & keluarganya sepanjang fasilitas tersebut tidak tersedia  Pengangkutan bagi pegawai dan keluarganya sepanjang fasilitas tersebut tidak tersedia  Olah raga bagi pegawai dan keluarganya sepanjang fasilitas tersebut tidak tersedia. Sarana olah raga tidak termasuk golf. boating. pacuan kuda c. Dalam rangka & berkaitan dengan pelaksanaan kerja :  Beban antar karyawan jemput  Penyediaan makan / minum untuk awak kapal / pesawat KEP-220/PJ./2002 V KEP-220/PJ./2002 V KMK 466/KMK.04/2000 Halaman 123 d. Untuk keamanan / keselamatan kerja yang diwajibkan. misalnya : pakaian dan peralatan bagi pegawai pemadam kebakaran. proyek. pakaian seragam pabrik. hansip / satpam V KEP 312/PJ/2001 e. Berkenaan dengan situasi lingkungan. misal :  Pakaian seragam pegawai hotel / penyiar TV  Makan tambahan bagi operator komputer / pengetik  Makan / minum cumacuma bagi pegawai restoran 15. Pembebanan yang masa manfaatnya lebih dari satu tahun. dengan cara penyusutan sesuai Pasal 11 UU No 17 Tahun 2000 KEP 312/PJ/2001 V KEP 312/PJ/2001 V KEP 312/PJ/2001 V KEP 312/PJ/2001 V Pasal 6 ayat 1 UU PPh 16. Cuti pegawai : a. diberikan uang cuti V PPh Ps (penjelasan pasal 6 ayat(1) 21 huruf a UU PPh) b. tunjangan cuti V PPh Ps KEP 545/PJ/2000 21 c. dibayar perusahaan V Pasal 9 huruf e UU PPh 17. Perjalanan dinas pegawai : a. didukung bukti-bukti yang sah / dipertanggung jawabkan b. lumpsum (tidak bukti-bukti) c. lumpsum pegawai V didukung dianggap honor d. honor / uang saku V Pasal 9 huruf e UU PPh V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat(1) 21 huruf a UU PPh) V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat(1) 21 huruf a UU PPh) e. Biaya picnic / rekreasi 18. Bonus atas prestasi Kerja yang dibebankan pada tahun berjalan penjelasan pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh) V V 19. Pembagian bonus. tantiem. gratifikasi. jasa produksi. yang dibebankan ke laba ditahan (Retained Earning) Pasal 9 huruf e UU PPh PPh Ps PMK 21 252/PMK.03/2008 V PPh Ps Pasal 9 ayat (1) 23 SE-11/PJ.42/1992 (kepada pemega ng saham) 20. Biaya seminar. penataran. kursus (pendidikan) di dalam negeri V Pasal 6 ayat 1 UU PPh 21. Honor / uang saku pegawai yang mengikuti seminar dsb V PPh Ps Pasal 6 ayat 1 UU PPh 21 22. Bea siswa : Nomor PPh Ps Pasal 6 Ayat (1 ) huruf g. Halaman 124 a. Ada ikatan kerja dengan perusahaan b. Tidak ada ikatan kerja dengan perusahaan (sumbangan ) V 23. Sumbangan ke karyawan dalam bentuk uang V V 24. Kendaraan perusahaan yang dibawa pulang & dikuasai pegawai: a. Penyusutan b. Biaya reparasi / pemeliharaan c. Bahan bakar / oli dsb  biaya penyusutan rumah  biaya eksploitasi rumah 26. Mess untuk transit. pendidikan (sementara): a. biaya penyusutan b. biaya eksploitasi Pasal 9 ayat(1) huruf b UU PPh. Lihat Kembali KEP220/PJ/2002 dan SE 09/PJ.42/2002 di mana pemeliharaan mobil sedan dapat di-bebankan 50% pasal 9 ayat(1) huruf b UU PPh) jo penjelasan pasal 6 ayat(1) huruf a UU PPh)  Penyusutan rumah  tunjangan perumahan PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat(1) 21 huruf a UU PPh V V V 25. Perumahan perusahaan & asrama : a. Pegawai yang menempati tidak diberi tunjangan perumahan :  Biaya eksploitasi rumah b. pegawai yang menempati diberi tunjangan perumahan minimal sebesar biaya penyusutan & biaya eksploitasi : 21 V V PPh Ps 21 V V V Pasal 2 ayat (2) 466/KMK.04/2000 KMK V V 27. Sewa rumah pegawai yang tidak diberi tunjangan sewa minimal sebesar sewa rumah tersebut V PPh Ps pasal 9 ayat (1) huruf e UU 4 ayat PPh (2) 28. Diberikan uang sewa rumah (tunjangan) V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat(1) 21 huruf a UU PPh 29. Upah pesangon V PPh Ps PMK 252/ PMK /2008 21 30. Upah borongan pekerja ke orang pribadi V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat(1) 21 huruf a UU PPh 31. Imbalan ke pegawai yang merupakan pemegang saham (25% ke atas) V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat (1) 21 huruf a UU PPh V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat(1) 21 huruf a UU PPh a. Gaji yang wajar b. imbalan di atas kewajaran V c. Deviden terselubung : Premi asuransi jiwa PPh Ps pasal 9 ayat (1) huruf f UU 23 PPh PPh Ps pasal 9 ayat (1) huruf f UU 23 PPh V pasal 9 ayat(1) huruf f UU Halaman 125 PPh  biaya listrik. telpon rumah pribadi V pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh mobil V pasal 9 ayat( 1) huruf f UU PPh V pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh V pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh V pasal 9 ayat(1) huruf f UU PPh V pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh  biaya pemeliharaan pribadi  PBB rumah pribadi  Pengeluaran perusahaan untuk keperluan langsung karyawan/pemegang saham  Pembagian laba secara langsung/tidak langsung 32. Gaji yang dibayarkan ke anggota / sekutu Persekutuan. CV. Firma 33. Beban bunga : a. biaya bunga untuk memperoleh Ph yang merupakan obyek pajak V pasal 6 UU PPh b. bunga atas pinjaman yang digunakan untuk membeli saham yang sudah beredar atau untuk melakukan akuisisi saham milik pemegang saham (penyerahan dalam negeri). bagi PTDN. BUMN/D. koperasi. yayasan:  PP 138/2000 V Dibebankan pada tahun ybs  PP 138/2000 Dikapitalisasi pada harga perolehan investasi saham V PP 138/2000 c. Biaya bunga atas pinjaman untuk melakukan penyertaan pada perusahaan yang baru didirikan atau mengambil right issue V PP 138/2000 d. Biaya bunga selama masa konstruksi. tidak boleh dibebankan pada th ybs. tetapi menambah harga perolehan aktiva tetap V SE-20/PJ.42/1994 217/PJ.42/1994 jo SE- PP 138/2000 46/PJ.4/1995 jo SE- e. Biaya bunga jika ada penghasilan bunga deposito/tabungan yang sudah dikenakan PPh final. tak semua biaya bunga dapat dibebankan f. Biaya bunga atas pinjaman untuk keperluan pribadi V G. Pembayaran bunga :   Ke bank-bank Indonesia Ke bukan bank pasal 9 ayat (1) huruf b UU PPh Pasal 23 UU PPh di V penjelasan pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh) V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat (1) Halaman 126 23 huruf a UU PPh)  Ke WP LN non tax treaty V  PPh Ps Pasal 26 UU PPh 26 Ke WP LN tax treaty V PPh Ps Surat Keterangan Tarif PPh 26 Ps 26 Ke pemegang saham/hubungan istimewa - Wajar V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat (1) 23 huruf a UU PPh)  - tidak (selisihnya) wajar V PPh Ps pasal 9 ayat (1) huruf f UU 23 PPh 34. beban sewa selain tanah dan / atau bangunan Pasal 6 UU PPh a. ke WP DN orang pribadi V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat (1) 23 huruf a UU PPh) b. ke WP DN Badan / BUT V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat (1) 23 huruf a UU PPh) 35. Sewa tanah bangunan dan / atau Pasal 9 ayat (1) Pasal 4 PP 138/2000 a. ke WP DN orang pribadi V b. ke WP DN Badan / BUT V 36. Biaya royalty Pasal 6 UU PPh a. ke WP DN PPh Ps 23 b. Ke WP LN non tax treaty V PPh Ps 26 c. Ke WP LN tax treaty V PPh Ps 26 37. Jasa manajemen WP DN. pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung melaksanakan manajemen V PPh Ps Pasal 6 UU PPh 23 38. Jasa teknik WP DN. pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman di bidang : industri. perdagangan. ilmu pengetahuan meliputi : V PPh Ps Pasal 6 UU PPh 23 a. penelitian tanah b. pembuatan bangunan design c. pengawasan pelaksanaan bangunan d. informasi teknik . gambar. petunjuk produksi. perhitungan dsb e. latihan teknik f. informasi manajemen bidang g. jasa rekrutmen pegawai 39. Jasa konstruksi : Deductible dilakukan oleh pengusaha konstruksi besar (omzet di atas 1 milyar) Halaman 127 a. jasa konstruksi pelaksanaan V PPh Ps PP Nomor 51 Tahun 2008 4 (2) / dan PMK-244/PMK/2008 PPh Pasal 23 b. jasa konstruksi pengawasan V PPh Ps PP Nomor 51 Tahun 2008 4 (2) c. jasa konstruksi perencanaan V PPh Ps PP Nomor 51 Tahun 2008 4 (2) 40. Jasa konsultan hukum dan pajak V PPh Ps PMK-244/PMK/2008 23 A. Negara non tax treaty V PPh Ps 21 b. negara tax treaty V SKT Ps 26 41. Pembayaran jasa ke LN. seluruh pekerjaan dilakukan di LN 42. Beban Litbang (R&D) yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi / sistem baru bagi pengembangan perusahaan : Pasal 6 ayat (1) huruf f UU PPh a. penyusutan aktiva tetap V b. bahan yang digunakan V c. gaji / honor pegawai V PPh Ps 21 d. honor konsultan PPh Ps 23 e.biaya konsultan yang memborong litbang yang jumlahnya cukup material : Amortisasi biaya litbang -----dilakukan di Indonesia V V V -----dilakukan di LN V 43. Sanksi perpajakan : denda. bunga. kenaikan. V 44. PBB untuk tanah / bangunan pabrik / kantor V 45. PBB untuk tanah / bangunan yang tak digunakan untuk usaha / milik pribadi Pasal 9 ayat (1) huruf k UU PPh Pasal 6 UU PPh V 46. Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan : Pasal 9 ayat(1) UU PPh Pasal 4 PP 138/2000 a. Untuk perolehan BKP / JKP sesuai Ps 6 V b. Masa manfaat lebih dari satu tahun dengan penyusutan V c. Untuk perolehan BKP / JKP PPh Ps Pasal 4 26 PP 138/2000 V Halaman 128 sesuai Ps 9 d. Faktur pajak Standart yang tidak lengkap. tidak benar atau cacat sepanjang dapat dibuktikan telah dibayar V Pasal 3 PP 138/2000 47. Biaya entertainment: a. Tidak dibuat nominatif daftar V SE-27/PJ.22/1986 48. Keperluan pegawai dibayar perusahaan V Penjelasan pasal 4 ayat (3) huruf g jo Pasal 9 ayat (1) huruf a UU PPh 49. Keperluan pegawai yang merupakan pemilik / pemegang saham dibayar perusahaan merupakan dividen terselubung V PPh Ps Penjelasan pasal 4 ayat (3) 23 huruf g jo Pasal 9 ayat(1) huruf a UU PPh b. Dibuat daftar nominatif :nomor urut. jenis. nama tempat. alamat dan jumlah entertainment diberikan. relasi : nama. posisi. nama dan jenis perusahaan V 50. Biaya promosi: a. didukung bukti yang sah V b. tidak didukung bukti V 51. Kerugian piutang bagi perusahaan bukan bank / sewa guna usaha dengan hak opsi a. Penyisihan V b. Metode langsung. tidak dibuat daftar nominatif V c. metode langsung dibuat daftar nominatif (dilampirkan): nama. alamat. tanggal pinjaman diberikan. jumlah piutang dan keterangan Pasal 9 ayat(1) hrf c UU PPh V 52. Rugi selisih kurs : Pasal 6 ayat(1) huruf e UU PPh a. Kurs tengah BI akhir tahun V b. pada waktu pembayaran V 53. SGU tanpa hak pembayaran SGU opsi. V 54. SGU dengan hak opsi : a. Penyusutan aktiva SGU b. bunga SGU c. Jumlah pembayaran SGU PPh Ps 23 V KMK 1169/KMK.01/91 10/PJ.47/1994 Jo V KMK 1169/KMK.01/91 10/PJ.47/1994 Jo KMK 1169/KMK.01/91 10/PJ.47/1994 Jo V 55. Kerugian pengalihan harta : a. digunakan untuk usaha b. tidak digunakan untuk usaha Pasal 4 PP 138 / 2000 V V Halaman 129 56. Beban alat tulis kantor V Pasal 6 UU PPh 57. Beban listrik. telpon. Fax V 58. Beban perangko / materai V 59. Beban starco / handphone V Dapat dibebankan 50% KEP Nomor 220/PJ./2002 60. Beban pemeliharaan dan perbaikan mobil antar jemput karyawan V KEP Nomor 220/PJ./2002 61. Macam-macam biaya : a. tidak diperinci b. diperinci 62. Biaya bea siswa dalam rangka GN-OTA yang dikeluarkan perusahaan. dengan bukti setoran / transfer ke BRI a/n Lembaga GN-OTA V V V SE-33/PJ.421/1996. termasuk dalam kategori beasiswa Pasal 6 ayat (1) huruf g. Halaman 130 Lampiran 3 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 96/PMK.03/2009 JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 1 Nomor 1 2 3 4 5 6 7 Jenis Usaha Semua jenis usaha Jenis Harta a. Mebel dan peralatan dari kayu atau rotan termasuk meja, bangku, kursi, lemari dan sejenisnya yang bukan bagian dari bangunan,. Mesin kantor seperti mesin tik, mesin hitung, duplicator, mesin fotokopi, mesin akunting/pembukuan, komputer, printer, scanner dan sejenisnya. b. Perlengkapan lainnya seperti amplifier, tape/cassette, video recorder, televisi dan sejenisnya. c. Sepeda motor, sepeda dan becak. d. Alat perlengkapan khusus (tools) bagi industri/jasa yang bersangkutan. e. Dies, jigs, dan mould. f. Alat-alat komunikasi seperti pesawat telepon, faksimile, telepon seluler dan sejenisnya. Pertanian,perkebunan, Alat yang digerakkan bukan dengan mesin seperti cangkul, kehutanan. peternakan, perikanan, garu dan lain-lain. Industri makanan dan Mesin ringan yang dapat dipindah-pindahkan seperti, huller, minuman pemecah kulit, penyosoh, pengering, pallet, dan sejenisnya. Transportasi dan Mobil taksi, bus dan truk yang digunakan sebagai angkutan umum. Pergudangan Industri semi konduktor Falsh memory tester, writer machine, biporar test system, elimination (PE8-1), pose checker. Jasa Persewaan Anchor, Anchor Chains, Polyester Rope, Steel Buoys, Steel Wire Peralatan Tambat Air Ropes, Mooring Accessoris. Dalam Jasa telekomunikasi Base Station Controller selular JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 2 Nomor Jenis Usaha 1 Semua jenis usaha 2 Pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan Industri makanan dan minuman 3 Jenis Harta a. Mebel dan peralatan dari logam termasuk meja, bangku, kursi, lemari dan sejenisnya yang bukan merupakan bagian dari bangunan, Alat pengatur udara seperti AC, kipas angin dan sejenisnya. b. Mobil, bus, truk, speed boat dan sejenisnya. c. Container dan sejenisnya. a. Mesin pertanian/perkebunan seperti traktor dan mesin bajak, penggaruk, penanaman, penebar benih dan sejenisnya. b. Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau memproduksi bahan atau barang pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan. a. Mesin yang mengolah produk asal binatang, unggas dan perikanan, misalnya pabrik susu, pengalengan ikan. b. Mesin yang mengolah produk nabati, misalnya mesin minyak kelapa, margarin, penggilingan kopi, kembang gula, mesin pengolah biji-bijian seperti penggilingan beras, gandum, tapioca. c. Mesin yang menghasilkan/memproduksi minuman dan bahan-bahan minuman segala jenis. d. Mesin yang menghasilkan/memproduksi bahan-bahan makanan dan Halaman 131 4 Industri mesin 5 Perkayuan, kehutanan 6 Konstruksi 7 Transportasi Pergudangan 8 Telekomunikasi 9 Industri konduktor 10 Jasa Persewaan Peralatan Tambat Air Dalam Jasa 11 dan semi Telekomunikasi Seluler makanan segala jenis. Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin ringan (misalnya mesin jahit, pompa air). a. Mesin dan peralatan penebangan kayu. b. Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau memproduksi bahan atau barang kehutanan. Peralatan yang dipergunakan seperti truk berat, dump truck, crane buldozer dan sejenisnya. a. Truk kerja untuk pengangkutan dan bongkar muat, truk peron, truck ngangkang, dan sejenisnya; b. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang tertentu (misalnya gandum, batu - batuan, biji tambang dan sebagainya) termasuk kapal pendingin, kapal tangki, kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat sampai dengan 100 DWT; c. Kapal yang dibuat khusus untuk menghela atau mendorong kapalkapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan sejenisnya yang mempunyai berat sampai dengan 100 DWT; d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai berat sampai dengan 250 DWT; e. Kapal balon, a. Perangkat pesawat telepon; b. Pesawat telegraf termasuk pesawat pengiriman dan penerimaan radio telegraf dan radio telepon, Auto frame loader, automatic logic handler, baking oven, ball shear tester, bipolar test handler (automatic), cleaning machine, coating machine, curing oven, cutting press, dambar cut machine, dicer, die bonder, die shear test, dynamic burn-in system oven, dynamic test handler, eliminator (PGE-01), full automatic handler, full automatic mark, hand maker, individual mark, inserter remover machine, laser marker (FUM A-01), logic test system, marker (mark), memory test system, molding, mounter, MPS automatic, MPS manual, O/S tester manual, pass oven, pose checker, re-form machine, SMD stocker, taping machine, tiebar cut press, trimming/forming machine, wire bonder, wire pull tester, Spoolling Machines, Metocean Data Collector Mobile Switching Center, Home Location Register, Visitor Location Register, Authentication Centre, Equipment Identity Register, Intelligent Network Service Control Point, intelligent Network Service Managemen Point, Radio Base Station, Transceiver Unit, Terminal SDH/Mini Link, Antena JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 3 Nomor Jenis Usaha Jenis Harta 1 Mesin-mesin yang dipakai dalam bidang pertambangan, termasuk mesinmesin yang mengolah produk pelican. 2 Pertambangan selain minyak dan gas Permintalan, pertenunan dan pencelupan 3 Perkayuan a. Mesin yang mengolah/menghasilkan produk-produk tekstil (misalnya kain katun, sutra, serat-serat buatan, wol dan bulu hewan lainnya, lena rami, permadani, kain-kain bulu, tule), b. Mesin untuk yang preparation, bleaching, dyeing, printing, finishing, texturing, packaging dan sejenisnya. a. Mesin yang mengolah/menghasilkan produk-produk kayu, barangbarang dari jerami, rumput dan bahan anyaman lainnya, b. Mesin dan peralatan penggergajian kayu. Halaman 132 4 Industri kimia 5 Industri mesin 6 Transportasi dan Pergudangan 7 Telekomunikasi a. Mesin peralatan yang mengolah/menghasilkan produk industri kimia dan industri yang ada hubungannya dengan industri kimia (misalnya bahan kimia anorganis, persenyawaan organis dan anorganis dan logam mulia, elemen radio aktif, isotop, bahan kimia organis, produk farmasi, pupuk, obat celup, obat pewarna, cat, pernis, minyak eteris dan resinoida-resinonida wangi-wangian, obat kecantikan dan obat rias, sabun, detergent dan bahan organis pembersih lainnya, zat albumina, perekat, bahan peledak, produk pirotehnik, korek api, alloy piroforis, barang fotografi dan sinematografi, b. Mesin yang mengolah/menghasilkan produk industri lainnya (misalnya damar tiruan, bahan plastik, ester dan eter dari selulosa, karet sintetis, karet tiruan, kulit samak, jangat dan kulit mentah). Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin menengah dan berat (misalnya mesin mobil, mesin kapal). a. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang-barang tertentu (misalnya gandum, batu-batuan, biji tambang dan sejenisnya) termasuk kapal pendingin dan kapal tangki, kapal penangkapan ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas 100 DWT sampai dengan 1,000 DWT. b. Kapal dibuat khusus untuk mengela atau mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas 100 DWT sampai dengan 1,000 DWT, c. Dok terapung. d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai berat di atas 250 DWT. e. Pesawat terbang dan helikopter-helikopter segala jenis. Perangkat radio navigasi, radar dan kendali jarak jauh. JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 4 Nomor Jenis Usaha Jenis Harta 1 Konstruksi Mesin berat untuk konstruksi 2 Transportasi a. b. dan Pergudangan c. d. e. f. g. Lokomotif uap dan tender atas rel. Lokomotif listrik atas rel, dijalankan dengan batere atau dengan tenaga listrik dari sumber luar. Lokomotif atas rel lainnya. Kereta, gerbong penumpang dan barang, termasuk kontainer khusus dibuat dan diperlengkapi untuk ditarik dengan satu alat atau beberapa alat pengangkutan. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang-barang tertentu (misalnya gandum, batu-batuan, biji tambang dan sejenisnya) termasuk kapal pendingin dan kapal tangki, kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas 1,000 DWT. Kapal dibuat khusus untuk menghela atau mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran-keran terapung dan sebagainya, yang mempunyai berat di atas 1,000 DWT. Dok-dok terapung. Halaman 133