Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Abdul Chalik: Agama dan Politik dalam Tradisi Perayaan Rebo Wekasan (hal. 13-30) BUDA YA MUSLIM P PA TTANI BUDAY ATT ANI (INTEGRASI, KONFLIK DAN DINAMIKANY A) DINAMIKANYA) Ali Sodiqin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Marsda Adisucipto, Daerah Istimewa Yogyakarta, 55281 E-mail: ali_sadikin6@yahoo.com Abstract: The presence of Thai people in Pattani through annexation or conquest, from the Kingdom of Siam to Thailand have changed the sociocultural Muslim community. Thai Buddhist nation perform a lot of cultural assimilation of Malay Muslim Pattani. The assimilation pursued through politics, education, culture, and law. Political stripes do with the ideology developed, namely “nation, king, religion” that subjecting all citizens into one nationalism. Education path is done through standardized education policy, namely the obligation to teach the language and history of Thai and Buddhist teachings. Cultural path had taken through migration north to south and the formation of “peaceful village”. The last path is the law through legal intervention in the form of restrictions on the entry into force of Islamic law and the jurisdiction of Dato ‘Yuthithams, the elimination of Islamic justice as consolidated by the civilian justice and law enforcement Thai civilians in Pattani. This assimilation project met with resistance from Pattani Muslim community, as it is considered as an attempt to deculturate Malay Muslim culture that identifies them. The aim of this resistance is to get autonomy in Pattani province to the desire to become an independent state. Keywords Keywords: Muslim-Malay, Thai-Buddha, assimilation, resistance. Abstrak: Kehadiran bangsa Thai di Pattani melalui aneksasi atau penaklukan, mulai dari Kerajaan Siam hingga berganti menjadi Thailand, mengubah sosio-kultur masyarakat Muslim. Bangsa Thai yang beragama Buddha banyak melakukan asimilasi terhadap kebudayaan Muslim Melayu Pattani. Assimilasi tersebut ditempuh melalui jalur politik, pendidikan, budaya, dan hukum. Jalur politik dilakukan dengan mengembangkan ideologi “nation, king, religion” yang menundukkan semua warga negara ke dalam satu nasionalisme. Jalur pendidikan dilakukan melalui kebijakan standarisasi pendidikan, yaitu kewajiban mengajarkan bahasa dan sejarah Thai serta ajaran Buddha. Jalur budaya ditempuh melalui program migrasi ISSN: 1693 - 6736 | 31 Jurnal Kebudayaan Islam penduduk utara ke selatan dan pembentukan “peaceful village”. Jalur terakhir adalah jalur hukum yang dilakukan melalui intervensi hukum berupa pembatasan berlakunya hukum Islam serta kewenangan Dato’ Yuthithams, penghapusan peradilan Islam karena disatukan dengan peradilan sipil dan pemberlakuan hukum sipil Thai di Pattani. Proyek asimilasi ini mendapatkan perlawanan dari masyarakat Muslim Pattani, karena dianggap sebagai upaya dekulturisasi kultur Melayu Muslim yang menjadi identitas mereka. Tujuan perlawanan ini adalah untuk mendapatkan otonomi di wilayah Pattani hingga keinginan untuk menjadi negara yang merdeka. Kata Kunci Kunci: muslim-melayu, thai-buddha, asimilasi, resistensi. A. PENDAHULUAN Membincangkan Pattani dan masyarakatnya selalu menjadi magnet bagi para peneliti untuk mengungkap dinamika religiusitas yang menyatu dengan etnisitas. Pattani, salah satu dari empat provinsi di perbatasan selatan Thailand, adalah teritori dengan karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan provinsi lain. Penduduknya mayoritas Muslim dengan etnis Melayu, hidup menggantungkan pada hasil agrikultur dan perkebunan karet serta hasil kekayaan laut. Dalam catatan monografi ekonomi pemerintah Thailand, wilayah ini tergolong miskin dengan income percapita hanya 3,251-5700 bath, sementara wilayah lainnya mencapai 11,952 bath (Abdul Mani, 2013: 7, Feigenbbatt, t.t: 54). Secara historis, pergulatan politik, budaya, dan hukum di wilayah ini sangat dinamis. Pada awalnya Pattani adalah Kesultanan Islam yang independen, namun pada awal abad 19 dianeksasi oleh Kerajaan Siam. Ketika Siam bermetamorfosa menjadi Thailand yang monarkhi konstituional (tahun 1932), maka Pattani menjadi provinsi di bawah kekuasaan negara Thailand. Ketika menjadi provinsi inilah terjadi dinamika sosio-kultural dalam kebudayaan masyarakat. Kebudayaan lokal mereka, yang terbentuk melalui akulturasi antara Islam dengan budaya Melayu, berakulturasi dengan kebudayaan baru, yaitu budaya Thai. Antara kedua budaya ini terdapat perbedaan fundamental yang sulit diintegrasikan. Maka muncullah perlawanan di kalangan masyarakat Pattani terhadap setiap upaya integrasi maupun asimilasi yang dilakukan oleh pemerintah Thailand. Kedudukan budaya Pattani yang minoritas menjadikan posisinya selalu tersubordinasi oleh budaya Thai yang mayoritas. Dengan kekuatan politik dan militernya, pemerintah Thailand gencar mengeluarkan kebijakan asimilasi, baik 32 | Vol. 14, No. 1, Januari - Juni 2016 Ali Sodiqin: Budaya Muslim Pattani (Integrasi, Konflik, dan Dinamikanya) (hal. 31-49) melalui jalur pendidikan, politik, budaya, maupun hukum. Dengan mendasarkan diri pada ideologi “nation, king, and religion”, dikembangkanlah nation building yang bertujuan menundukkan semua komponen warga negara ke dalam satu nasionalisme, yaitu Thai (Jeppson, 2008: 9). Ideologi nasionalisme ini ideologi, antara nasionalisme Thailand (Thai-Buddha) dengan nasionalisme Pattani (Melayu-Muslim). Masyarakat Pattani memaknai bahwa setiap upaya integrasi/asimilasi pemerintah merupakan upaya dekulturisasi atas kebudayaan Muslim-Melayu. Mempertahankan dan menjaga identitas bagi masyakarat Pattani adalah sebuah jihad keagamaan. Struktur berpikir inilah yang menarik untuk dikaji guna memetakan apa penyebab konflik, apakah etnisitasi atau religiusitas. Aspek penting dalam kebudayaan Melayu Muslim Pattani adalah hukum Islam. Kedatangan bangsa Thai mengubah peta jurisdiksi hukum Islam di wilayah ini. Pemerintah Thailand melakukan intervensi dalam sistem hukum, dengan memberlakukan hukum sipil Thailand pada masyarakat Pattani dan menggeser kedudukan hukum Islam. Melalui serangkaian perjuangan, pada akhirnya ditetapkanlah Kitab Hukum Keluarga Islam dan Kewarisan Islam yang berlaku khusus di wilayah provinsi selatan, yang meliputi Pattani, Narathiwat, Yala, dan Satun. Intervensi sistem hukum ini juga diikuti dengan pembatasan kewenangan penegak hukumnya, Dato’ Yuthithams , yang hanya memiliki kewenangan menangani perkara pernikahan, perceraian, dan kewarisan Islam. Peradilan Islam juga digabungkan dalam peradilan sipil. Intervensi dalam pelembagaan hukum Islam dan bagaimana respon masyarakat Melayu Muslim merupakan yang menarik untuk didiskusikan. Analisis terhadap persoalan-persoalan di atas akan dijelaskan menggunakan konsep etnisitas. Etnisitas dalam pandangan Eriksen (1993: 12) bukanlah properti kelompok, melainkan sebuah aspek dari sebuah hubungan antara orang-orang yang menganggap dirinya berbeda secara kultural dengan kelompok lain. Oleh karena itu etnisitas dapat pula disebut sebagai identitas sosial. Secara simbolik, etnisitas adalah fenomena kekerabatan sebagai kelanjutan antara generasi satu dengan generasi sebelumnya hingga nenek moyangnya. Melalui konsep inilah akan dijelaskan bagaimana pembentukan etnis Muslim Melayu di Pattani dan mengapa mereka harus mempertahankan identitas tersebut dari gempuran pemerintah Thailand. Mengungkap dinamika integrasi hukum Islam dan budaya lokal di masyarakat Pattani memiliki beberapa tujuan. Pertama, untuk menjelaskan bagaimana historisitas terbentuknya etnis Muslim Melayu di wilayah Pattani. Aspek budaya apa saja yang menjadi unsur pembentuknya sehingga mampu bertahan dan ISSN: 1693 - 6736 | 33 Jurnal Kebudayaan Islam mempertahankan diri hingga sekarang. Kedua, memetakan model pelembagaan hukum Islam di masyarakat Muslim Melayu Pattani beserta faktor faktor yang mempengaruhinya. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh Muslim Melayu Pattani dalam menghadapi intervensi hukum yang didukung oleh kekuatan politik pemerintah Thailand. Ketiga, menemukan akar konflik yang terjadi antara masyarakat Pattani dengan pemerintah Thailand. Penemuan ini penting untuk dapat dirumuskan solusi efektif bagi penyelesaian konflik yang terjadi tanpa mengganggu identitas etnis maupun religius kedua belah pihak. B. MUSLIM MELAYU PATTANI: MENELUSURI JEJAK HISTORIS Melayu Muslim merupakan etnis pribumi yang mendiami Pattani, salah satu provinsi di wilayah perbatasan selatan negara Thailand. Identitas ini terbentuk sebagai akibat adanya asimilasi antara Islam di satu sisi dan Melayu di sisi yang lain. Islam dan kebudayaan Melayu menyatu dan tidak terpisahkan (William, 2011: 5). Bagi masyarakat Pattani, menjadi muslim tidaklah cukup, tetapi syarat kesempurnaannya sebagai muslim adalah menjadi Melayu (Yusuf, 2009: 5). Asimilasi inilah yang membentuk identitas sekaligus karakter etnisitas Muslim di wilayah Pattani yang membedakannya dengan komunitas muslim lainnya di wilayah Thailand. Asimilasi religiusitas (ajaran Islam mazhab Syafi’i) dengan etnisitas (tradisi Melayu) membentuk ethno-religius-nationalism (American, 2013: 6). Pada masa berikutnya, budaya bentukan inilah yang menjadi alasan masyarakat Muslim Pattani untuk terus mempertahankan diri dari serbuan budaya luar, termasuk budaya Siam yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah Thailand. Karakter asli dari Muslim Melayu Pattani tidaklah bersifat radikal, dalam arti toleransi terhadap perbedaan adat istiadat maupun tradisi lain. Akan tetapi, karakter tersebut dapat berubah menjadi militan ketika ada ancaman terhadap eksistensi kebudayaannya. Argumentasi inilah yang menjadi landasan munculnya resistensi yang berujung pada terjadinya konflik antara Muslim Melayu dengan pemerintah Thailand (Yusuf, 2009: 43). Keberadaan Muslim Melayu di wilayah Pattani tidak dapat dilepaskan dari sejarah masuknya Islam di kawasan ini. Secara umum, Islam masuk ke wilayah Thailand dari berbagai arah; melalui Burma (Myanmar), Kamboja, China, India, Nusantara, Persia, dan Yaman (Yusuf, 2009: 44). Pattani pada awalnya adalah sebuah Kesultanan dengan wilayah kekuasaannya meliputi: Pattani, Yala, Narathiwat, Songkhla, Kelantan, Trengganu, hingga Petaling. Keberadaan Pattani menjadi penting dalam proses islamisasi, karena menjadi satu satunya kota pelabuhan dan pusat perdagangan Islam di perairan laut Cina Selatan masa itu 34 | Vol. 14, No. 1, Januari - Juni 2016 Ali Sodiqin: Budaya Muslim Pattani (Integrasi, Konflik, dan Dinamikanya) (hal. 31-49) (Abdullah, 2001: 298). Kerajaan ini dianggap sebagai kelanjutan dari Kerajaan Langkasuka yang beragama Hindu-Buddha yang berada di wilayah timur Semenanjung Malaya antara Senggora (Songkhla) dan Kelantan. Ibukota Langkasuka diyakini berada di Yarang, yaitu wilayah Pattani sekarang (Yulianto, 2004: 35). Masuknya Islam ke wilayah Pattani mengubah kultur masyarakat termasuk kultur politiknya. Hal ini terbukti dengan penggunaan istilah untuk nama kerajaan yang didirikan, yaitu Kesultanan Pattani. Majunya perdagangan di wilayah ini berakibat positif terhadap perkembangan Kesultanan Pattani. Secara geografis, Pattani berada di sentral dua jalur lalu lintas perdagangan, yaitu antara Melayu dan negeri Asia Timur di satu sisi, dan antara Selat Malaka dan Laut Sulu di sisi yang lain. Jalur perdagangan ini menghubungkan Arab, India, dan benua Cina. Kemajuan Pattani menjadikannya sebagai satu satunya kerajaan yang memiliki wilayah yang cukup luas di semenanjung laut Cina Selatan (Yulianto, t.t: 4). Keberadaannya menjadi titik kunci bagi proses islamisasi Melayu. Para pedagang islam yang singgah di wilayah ini berinteraksi langsung dengan penduduk Pattani. Dalam catatan Teeuw sebagaimana dikutip Paulus, perkembangan Islam di Pattani jauh lebih dulu daripada di Malaka. Para pedagang yang memiliki kontribusi besar dalam proses islamisasi Melayu adalah pedagang Islam Cina, Arab, dan India (Yulianto, tt.: 5). Kesultanan Pattani muncul sebagai kerajaan yang memiliki kekuatan politik sekaligus ekonomi. Wilayah Johor, Pahang, dan Kelantan diintegrasikan ke dalam kekuasaannya. Zaman keemasan Pattani berlangsung pada masa pemerintahan empat orang ratu, yaitu Ratu Hijau (1584-1616), Ratu Biru (1616-1624), Ratu Ungu (1624-1635) dan Ratu Kuning (1635-1651) (wikimedia). Pada masa pemerintahan mereka, Pattani mencapai kestabilan politik dan ekonomi, sehingga menjadi kerajaan yang makmur dan dihormati oleh negeri negeri seberang, termasuk Kerajaan Ayudhya (asal usul Thailand sekarang). Pada pertengahan abad ke-17 M, Pattani mulai menunjukkan kemunduran. Hal ini dipicu oleh tidak adanya pengganti raja setelah Ratu Kuning wafat. Hal ini mengakibatkan terjadinya konflik internal di kalangan para Datuk yang berebut menduduki jabatan Perdana Menteri. Akhirnya Pattani dapat diselamatkan oleh Raja Kelantan, yaitu Raja Sakti I. Namun hal ini tidak berlangsung lama. Konflik internal semakin melemahkan kekuatan politik sekaligus ekonomi kesultanan Pattani. Hingga akhirnya, pada tahun 1785, Raja Rama I dari Dinasti Rattanakosin menaklukkan Pattani dan menjadikannya sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Siam (wikimedia). ISSN: 1693 - 6736 | 35 Jurnal Kebudayaan Islam Keberadaan Pattani sebagai pusat islamisasi di Melayu memberikan kontribusi besar pada pembentukan tradisi di wilayah ini. Ritual, mistis, etika, hukum, pranata sosial, politik, dan pendidikan diinterpretasikan berdasarkan pemahaman atas ajaran Islam. Keluarga Muslim Melayu secara umum tunduk pada ajaran Islam, sehingga hukum hukum yang menjadi acuan dalam menyelesaikan persoalan keluarga bersumber dari kitab fikih. Beberapa kitab fikih tersebut adalah Fath} al-Mu’i> n , Mughni> al -Muh} t a> j , Al-Baju> r i> ‘ala> alSyamsu> r i> , Gha> y at al-Maqs} u > d , H} a > l al-Musykila> t dan Syarh} al-‘Arabiyyah (Dorloh, 2009: 131). Perselisihan dalam masalah ini diselesaikan oleh Hakim Datoh yang keputusannya bersifat final dan mengikat (Neelapaijit, 2009: 8). Dalam aspek sosial keagamaan, masyarakat Muslim Pattani dapat dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu abangan dan santri (Sarkar, 2014: 14). Abangan adalah sebutan bagi muslim pribumi yang menekankan pada praktik dan ritual dalam beragama, sedangkan santri adalah sebutan bagi mereka yang memiliki banyak pengetahuan agama secara murni. Pengkategorian ini juga menunjuk pada tingkat penguasaan ilmu agama, sehingga orang abangan disebut juga orang jahil sedangkan santri disebut orang alim. Dalam aspek kepercayaan, masyarakat Muslim Melayu Pattani memeiliki keyakinan sinkretis. Hal ini terutama terjadi pada kelompok Islam tradisional. Keyakinan mereka merupakan perpaduan antara ajaran Islam dengan kepercayaan lokal yang berasal dari masa pra Islam, yaitu tradisi Hindu dan agama lokal Melayu (Sarkar, 2014: 6). Keyakinan sinkretis ini mewujud dalam bentuk sufisme. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem kepercayaan masyarakat Muslim Melayu tradisional adalah perpaduan antara agama Islam, Hindu, dan kepercayaan lokal masyarakat Pattani. Dalam bidang pendidikan, masyarakat Muslim Melayu Pattani mengirimkan anaknya ke pondok atau madrasah. Lembaga pendidikan ini memiliki peran penting dalam penjagaan identitas keislaman sekaligus identitas etnis Melayu. Struktur pendidikan dimulai dari Sekolah Anubhan, Raudha, Tadikayang merupakan tingkat terendah dalam pendidikan Islam. Sekolah ini dilaksanakan di masjid pada sore hari. Pesertanya adalah anak anak yang berusia antara 3-16 tahun. Pada tingkatan ini tidak ada kurikulum yang terstandar, semua tergantung pada lembaga atau masyarakat yang menyelenggarakannya. Bahasa yang digunakan di sekolah ini adalah bahasa Jawi. Lulus dari sekolah ini mereka melanjutkan ke pondok untuk mendapatkan pelajaran agama dan matematika dasar. Di masyarakat Pattani, pondok memiliki peran strategis dalam transmisi pengetahuan agama. Kedudukannya sebagai center of gravity yang berfungsi menjadi benteng pertahanan bagi 36 | Vol. 14, No. 1, Januari - Juni 2016 Ali Sodiqin: Budaya Muslim Pattani (Integrasi, Konflik, dan Dinamikanya) (hal. 31-49) identitas Muslim Melayu dari sisi bahasa, sejarah, dan budaya. Kurikulum di pondok meliputi: membaca (Melayu dan Arab), menulis (Melayu dan Arab), agama, dan menghafal al-Qur’an. Kurikulum pelajaran agama meliputi: tauhid, syari’ah, fikih, us}u>l fikih, akhlak, tarikh, nahu saraf, tasawuf, dan falak (Sarkar, 2014: 7). Pada tingkatan ini bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Arab. Pimpinan pondok pesantren disebut dengan Tok Guru , yang dalam kesehariannya dibantu oleh Taliyat. Para Taliyat ini menjadi pemimpin siswa dan memimpin halaqah dalam pembelajaran agama. Mereka inilah yang diberi kesempatan pertama untuk melanjutkan pendidikan agama ke Mekkah. Dalam hal tulisan, Muslim Melayu Pattani menggunakan huruf Arab Melayu. Mereka menolak penggunaan huruf Thai karena dianggap akan menggeser budaya huruf mereka. Bahasa yang digunakan dikenal dengan istilah bahasa Jawi, yang merupakan rumpun dari bahasa Melayu. Terbentuknya kebudayaan di atas, yang merupakan perpaduan Melayu-Islam berkembang menjadi karakter etnis Melayu Muslim di Pattani khususnya dan di Thailand pada umumnya. Mereka mendapat sebutan oraenayu yang artinya Melayu Muslim atau disebut juga kecek nayu yang berarti orang yang berbahasa Melayu (Yusuf, 2009: 45). Pada saat ini populasi muslim di seluruh Thailand berjumlah kurang lebih 7 juta. Dari jumlah tersebut 44% nya adalah Muslim Melayu yang bertempat tinggal di wilayah Pattani. Sisanya, 56%, adalah multietnis yang tersebar di seluruh negeri (American, 2013: 4). Mereka berasal dari etnis Bengal (Bangladesh), Cham (Kamboja), China (Tiongkok), India, Indonesia, dan Persia. Kedua komunitas Muslim Thailand ini juga memiliki sikap dan pandangan yang berbeda terhadap pemerintah Thailand. Kelompok Muslim Melayu yang monoetnis cenderung bersikap non-kooperatif terhadap negara, sedangkan kelompok yang multietnis bersikap kooperatif dan mengintegrasikan dirinya ke dalam masyarakat Thailand (Yusuf, 2013: 43). Dalam konfigurasi sosial, Islam di Thailand dapat dibedakan dalam tiga kategori; yaitu, pertama, Muslim etnis, yaitu Muslim Melayu yang tinggal di Pattani dan berbahasa Melayu. Kedua, Muslim yang terintegrasi, yaitu Muslim Melayu yang tinggal di Satun, Phuket, dan Songkhla serta menggunakan bahasa Thai. Ketiga, Muslim multietnis, yaitu Muslim non-Melayu yang tinggal di Bangkok dan berbahasa Thai (Yusuf, 2009: 44). C. ANEKSASI SIAM DAN P ENGARUHNYA MASYARAKAT PATTANI TERHADAP B UDAYA Sejak abad ke-18 M, tepatnya tahun 1786 wilayah Pattani sudah masuk dalam kekuasaan Kerajaan Chakri. Penaklukkan wilayah Pattani oleh Kerajaan ISSN: 1693 - 6736 | 37 Jurnal Kebudayaan Islam Siam ini dilanjutkan dengan aneksasi terhadap Kelantan dan Trengganu. Pada tahun 1808 muncul pemberontakan dari tokoh tokoh Melayu Pattani, seperti Sultan Muhammad, Tengku Lamidin, Datuk Pengkalan. Namun pemberontakan ini gagal dan menyebabkan dipecahnya wilayah Pattani ke dalam tujuh sub-distrik, yaitu: Pattani Tuan Sulung, Teluban Nak Dir, Nongchik Tuan Nik, Jalor Tuan Yalor, Rangae Nik Dah, dan Reman Tuan Mansur (Yulianto, t.t: 11). Pendudukan ini semakin kukuh ketika kolonialisme Inggris membuat kesepakatan politik dengan Siam dalam perjanjian Anglo-Siamese pada tahun 1902. Isi perjanjian tersebut adalah pengakuan kedaulatan Siam atas Pattani dan Inggris mendapatkan wilayah Kelantan dan Trengganu (American, 2013: 2). Pasca perjanjian ini wilayah Pattani dibagi menjadi tiga provinsi, yaitu: Narathiwat, Pattani, dan Yala (Yusuf 2009: 46). Masuknya wilayah Pattani ke dalam kekuasaan Siam menyebabkan terjadinya integrasi budaya dalam sendi sendi kehidupan masyarakat Pattani. Kerajaan Siam berusaha mengintegrasikan kebudayaan Pattani ke dalam kebudayaan Siam, sesuatu yang menurut masyarakat Pattani dimaknai sebagai upaya disintegrasi kebudayaan Pattani. Masyarakat Pattani memiliki identitas yang berbeda dengan mayoritas penduduk Siam. Identitas Pattani adalah Melayu-Muslim, sedangkan Siam adalah Thai-Buddhis. Perbedaan yang sangat fundamental ini mengakibatkan munculnya konflik yang berujung pada perlawanan. Integrasi Pattani ke dalam kerajaan Siam menimbulkan perubahan dalam sistem dan struktur sosial masyarakat. Muslim Pattani yang sebelumnya menjadi mayoritas di wilayahnya, kini menjadi minoritas dalam kekuasaan Siam (Feigenbbatt, t.t: 55). Muslim Pattani merasa menjadi warga negara kelas dua dan mengalami intimidasi oleh militer. Orang Thai menyebut mereka dengan “khaek” yang artinya pendatang dan juga disebut “jon bang yak dindan” yang bermakna derogatif sebagai separatis atau bandit, karena mereka tidak diakui oleh etnis Thai dan dianggap sebagai orang luar (Jeppson, 2008: 10). Pada awal abad 20 M, Siam bertransformasi menjadi Thailand dengan mengambil bentuk pemerintahan monarkhi konstitusional. Transformasi ini dikuatkan dengan penetapan ideologi baru yaitu: nation, king/monarchy, religion. Tiga pilar pemerintahan baru Thailand ini merupakan semangat baru untuk menjadikan Thai sebagai bangsa yang besar. Pilar nation menunjukkan kesatuan bangsa, yaitu bangsa Thai. Pilar king/monarchy merujuk pada dinasti Chakry yang menggerakkan modernisasi di Thailand sejak abad 19 M. Pilar religion menunjuk pada agama bangsa Thai yaitu Buddha Theravada (Feigenbbatt, t.t: 53-56). Munculnya ideologi baru ini semakin menjauhkan Muslim Melayu Pattani dari pemerintah pusat. Tiga pilar tersebut mengukuhkan 38 | Vol. 14, No. 1, Januari - Juni 2016 Ali Sodiqin: Budaya Muslim Pattani (Integrasi, Konflik, dan Dinamikanya) (hal. 31-49) kosmologi Buddha sekaligus etnisitas bangsa Thai yang secara fundamental berbeda dengan kosmologi Islam dan etnisitas Melayu (Yusuf, 2009: 48). Integrasi yang dilakukan oleh pemerintah Thailand terhadap seluruh wilayahnya, termasuk Pattani, didasarkan pada ideologi di atas. Inti dari gagasan integrasi ini adalah uniformitas terhadap masyarakat Thailand. Upaya integrasi ini dilakukan melalui beberapa jalur, seperti jalur pendidikan, politik, budaya, dan hukum. Integrasi melalui jalur pendidikan dilakukan dengan asimilasi Melayu ke dalam sistem pendidikan Thailand. Pada tahun 1921 pemerintah menetapkan kebijakan khusus bagi lembaga pendidikan dasar, yaitu mewajibkan pengajaran bahasa Thai dan ajaran agama Buddha. Pemerintah juga mempromosikan buku buku dan materi pelajaran yang membuat siswa mencintai Thailand, hidup dengan budaya Thailand, memberi produk-produk Thailand, dan berbicara dalam bahasa Thailand. Upaya ini merupakan program asimilasi Muslim Melayu ke dalam komunitas Thai (Jeppson, 2008: 16). Pada tahun 1932 Pemerintah Thailand menetapkan sistem pendidikan nasional yang menyatukan semua kelompok agama dan etnis ke dalam satu bangsa di bawah politik baru. Regulasi ini menekankan pada dua aspek yaitu kebebasan dan kesetaraan (Sarkar, 2014: 10). Namun di balik semua itu ada upaya dari pemerintah untuk melakukan transmisi sejarah nasional Siam dan menetapkan bahasa Thai sebagai bahasa nasional. Asimilasi pendidikan yang berbaju modernisasi ini menekankan pada identifikasi tunggal yang didasarkan pada karakter etnisitas (Siam), agama (Buddha), dan linguistik (bahasa Thai). Sistem ini dipandang oleh Muslim Pattani sebagai upaya mensekulerkan pendidikan mereka (Walker, 2005: 89). Muslim Melayu menolak kebijakan ini karena mengakibatkan dekulturisasi Melayu. Penolakan ini dikarenakan dua hal: pertama, kewajiban menggunakan bahasa Thai dalam pengajaran dianggap mengancam keberadaan bahasa Melayu. Bagi orang Melayu Muslim, bahasa Siam adalah bahasa asing karena tidak digunakan dalam kehidupan sehari hari. Penggunaan bahasa yang berbeda antara di sekolah dan di luar sekolah akan mengakibatkan kebingungan anak didik. Kedua, tidak adanya ruang untuk mempelajari Islam dalam bahasa Siam. Hal ini dikarenakan Siam identik dengan Buddha, sehingga penggambaran-penggambaran dalam materi pembelajaran dianggap sebagai upaya memasukkan ajaran Buddha ke dalam pendidikan Islam (Sarkar, 2014: 11). Penolakan Muslim terhadap kebijakan pemerintah mengakibatkan tidak diberikannya dana pendidikan bagi sekolah Muslim. Madrasah atau pondok yang tidak mengikuti kurikulum pemerintah tidak terregister dalam kementerian pendidikan. Akibatnya lulusan sekolah Muslim tidak dapat menjadi pegawai pemerintah atau menjadi tentara, sehingga mereka ISSN: 1693 - 6736 | 39 Jurnal Kebudayaan Islam banyak yang melanjutkan pendidikannya ke timur tengah, India, dan Indonesia (William, 2011: 11). Mereka yang berpendidikan di luar Pattani inilah yang di kemudian hari menggerakkan reformasi Islam di Pattani (Yusuf, 2009: 47) Perlawanan masyarakat Pattani terhadap kebijakan pemerintah merupakan bagian dari upaya menyelamatkan identitas etnisitas sekaligus religiusitas mereka. Masuknya kurikulum Thai ke dalam sistem pendidikan Islam dikhawatirkan akan menjadikan historitas Melayu Muslim terlupakan di masyarakat sendiri. Masuknya sejarah Siam dan dikuranginya materi sejarah Melayu akan membuat ketidakjelas-an eksistensi etnis ini pada masa sekarang dan masa depan (Feigenbbatt, t.t: 57). Mereka takut keunikan sejarah masyarakat Muslim Melayu terlupakan akibat bombardir sejarah etnis Siam yang terdapat dalam kurikulum pemerintah. Resistensi masyarakat Muslim terhadap kebijakan pendidikan ini meningkatkan kontrol pemerintah terhadap lembaga pendidikan Islam. Pemerintah berupaya untuk mengkonversi kurikulum pondok dengan memasukkan materi pelajaran non-agama. Guru-guru agama yang mengajar di pondok juga diintimidasi dan dimata matai sebagai teroris. Di kawasan pedalaman, pemerintah mengirim militer untuk menjaga kestabilan politik dan mengantisipasi kemungkinan munculnya gerakan separatis (Walker, 2005: 94). Upaya lain yang dilakukan pemerintah dalam rangka asimilasi pendidikan adalah dengan mengurangi jam pelajaran agama di sekolah sekolah pemerintah. Dalam aspek keagamaan pemerintah juga berupaya mendekatkan ajaran Islam kepada ajaran Budha. Banyak kuil Buddha dibangun di wilayah Pattani. Muslim dibatasi dalam kegiatan keagamaannya, seperti adanya larangan mengunjungi masjid kecuali pada hari Jumat (Walker, 2005: 95). Kehadiran sekolah pemerintah di Pattani sebagai bagian dari upaya integrasi mengakibatkan munculnya tipologi Muslim Melayu berdasarkan tingkat pendidikannya. Pertama, Muslim tradisionalis, yaitu mereka yang mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan Islam tradisional (pondok, madrasah) dan tidak mengikuti sekolah pemerintah. Mereka ini lebih fasih berbahasa Jawi dan hanya sedikit menguasai bahasa Thai. Kedua, Muslim modern, yaitu mereka yang mendapatkan pendidikan di sekolah pemerintah dan tidak masuk sekolah agama. Mereka ini fasih berbahasa Thai dan mendukung program asimilasi pemerintah. Kelompok ini kebanyakan sukses dalam bidang ekonomi. Ketiga, Muslim hybrid, yaitu mereka yang mendapatkan pendidikan di dua lembaga pendidikan, baik di pondok atau madrasah dan juga sekolah di lembaga pendidikan pemerintah (Feiegenbbatt, t.t: 55). Sikap pemerintah yang represif terhadap lembaga pendidikan tradisional dan gencarnya membangun sekolah umum mengakibatkan meningkatnya anak 40 | Vol. 14, No. 1, Januari - Juni 2016 Ali Sodiqin: Budaya Muslim Pattani (Integrasi, Konflik, dan Dinamikanya) (hal. 31-49) anak Melayu Muslim yang masuk sekolah pemerintah. Hal ini disebabkan lembaga pendidikan tradisional tidak diakreditasi oleh pemerintah, sehingga lulusannya (diploma/sarjana) tidak diakui ijazahnya. Realitas ini menyebabkan tidak tertampungnya lulusan pondok di kantor-kantor pemerintah. Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 1999 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi anak-anak Muslim Melayu di Pattani, Narathiwat dan Yala, di sekolah pemerintah meningkat hingga 40%. Alasan logis dari para orang tua adalah keinginan agar anaknya dapat melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi serta mendapatkan pekerjaan yang baik (Walker, 2005: 101). Keberadaan pondok semakin terdesak oleh sekolah pemerintah, sehingga banyak yang tidak beroperasi. Pondok yang masih bertahan adalah yang berada di wilayah pedalaman, karena partisipasi masyarakatnya masih banyak. Di samping berkurangnya peserta didik, pondok juga mengalami masalah finansial, yaitu ketiadaan donasi dari pemerintah. Kebanyakan pembiayaan pondok didapatkan dari dana zakat dan wakaf umat Islam. Di samping itu mereka juga mendapatkan bantuan dari komunitas muslim dari luar negeri (Sarkar, 2014: 19). Pemerintah akan memberikan dana kepada pondok jika lembaga tradisional ini terregistrasi dan berbentuk yayasan. Jika memenuhi persyaratan tersebut pemerintah memberikan dana sebesar 5 juta baht per tahun. Upaya integrasi kedua adalah melalui jalur politik, yaitu adanya kebijakan politik ultra nasionalis melalui integrasi administrasi (Paulus, t.t: 12). Semua kantor pemerintah, termasuk di wilayah Pattani, diurus dan ditentukan oleh pusat. Sentralisasi administrasi ini menyebabkan tidak adanya otonomi bagi Muslim Melayu di wilayah mereka sendiri. Akibat dari penyatuan administrasi ini salah satunya adalah banyaknya pegawai pemerintah yang berasal dari non muslim yang tidak faham terhadap kehidupan Muslim Melayu sehingga menghambat proses pelayanan administrasi. Dari sudut pandang Muslim, kehadiran mereka merupakan ancaman terhadap eksistensi nilai, tradisi dan agama mereka (Neelapaijit, 2009: 16). Jalur budaya juga menjadi salah satu saluran integrasi pemerintah Thailand terhadap Muslim Melayu Pattani. Pemberlakuan ideologi trinitas (nation, king/ monarchi, religion) merupakan bentuk pemaksaan sekaligus intervensi budaya oleh mayoritas kepada minoritas. Melalui ideologi ini, pemerintah mewajibkan kelompok minoritas untuk menggunakan bahasa, adat istiadat, dan aturan aturan dari kelompok mayoritas (Yulianto, t.t: 17). Upaya lain dari pemerintah adalah membangun desa damai ( peacefull village ) di wilayah pedalaman Pattani (Neelapaijit, 2009: 16). Keberadaan desa ini merupakan pintu pembuka bagi masuknya etnis Siam yang beragama Buddha ke dalam komunitas muslim. ISSN: 1693 - 6736 | 41 Jurnal Kebudayaan Islam Kebijakan ini juga diikuti oleh adanya migrasi penduduk Thailand utara (yang kebanyakan beragama Budha) ke wilayah selatan. Kondisi ini dianggap Muslim Melayu sebagai ancaman terhadap kebudayaan tradisional mereka. Pemerintah juga menggunakan jalur hukum untuk memuluskan proyek integrasinya. Sejak awal, di wilayah Pattani dan sekitarnya yang menjadi aturan hukum adalah hukum Islam. Semua urusan hukum di kalangan Muslim diselesaikan dengan norma hukum Islam yang bersumber dari kitab fikih Syafi’iyah. Pada Dato’ bertindak sebagai qad} i yang bertugas menyelesaikan persoalan persoalan yang dihadapkan kepada mereka. Pada tahun 1938 Phibul Songhkran, perdana menteri waktu itu, membuat kebijakan yang kontroversial. Dia menghapus berlakunya hukum Islam dan menggantinya dengan hukum sipil. Bukan hanya itu, dia juga menghapus jabatan qad}i (Sarkar, 2014: 11), sehingga semua persoalan hukum yang terjadi pada masyarakat Muslim Pattani diselesaikan dalam peradilan umum. Untuk menangani masalah yang terjadi di kalangan masyarakat muslim pemerintah mengangkat arbitrator yang disebut dengan Dato’ Yuthithams. Dia hanya bertugas jika diminta oleh hakim sipil pemerintah karena adanya kasus tentang hukum keluarga Islam atau hukum kewarisan Islam (Dorloh, 2009: 128). Kebijakan pemerintah ini menuai protes keras dari kelompok Muslim Melayu. Pada tahun 1948 Haji Sulong Abdul Qadir, tokoh terkemuka masyarakat Pattani, mengajukan tujuh tuntutan kepada pemerintah terkait dengan otonomi bagi Muslim Pattani (Abdul Mani, 2013: 5).1 Petisi Haji Sulong ini dapat dipahami karena secara historis pemberlakuan hukum Islam di Pattani sudah diakui oleh Kerajaan Siam sejak dinasti Krung Sri Ayuttaya (1350-1782). Pada masa dinasti ini, hukum Islam yang berlaku bukan hanya hukum keluarga (perdata), tetapi juga hukum pidana (kriminal) (Dorloh, 2009: 147). Namun ketika pemerintah Siam menganeksasi Pattani, terjadilah intervensi terhadap pemberlakuan hukum Islam. Dampak aneksasi ini adalah penyatuan aturan dan kebijakan oleh pemerintahan Thailand, termasuk mengganti hukum Islam dengan hukum sipil Thai. Pada saat yang sama, pemerintah juga membatasi wilayah kewenangan hukum Islam, yakni hanya berlaku dalam bidang hukum keluarga, seperti hukum perkawinan, perceraian, dan kewarisan. 1 Ketujuh petisi tersebut adalah: (1) penunjukan seorang pribumi yang memiliki kewenangan penuh untuk memerintah wilayah Pattani (2) 80% dari pegawai sipil yang bekerja di empat provinsi adalah Muslim (3) Bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa resmi negara di samping bahasa Thai (4) Pengajaran di sekolah dasar harus menggunakan bahasa Melayu (5) Hukum Islam harus diakui dan diimplementasikan di Peradilan Agama, terpisah dari Peradilan Sipil (6) Pajak dan pemasukan di empat provinsi harus digunakan untuk pembangunan daerah sendiri (7) Mendirikan biro urusan Muslim yang memiliki kewenangan penuh. 42 | Vol. 14, No. 1, Januari - Juni 2016 Ali Sodiqin: Budaya Muslim Pattani (Integrasi, Konflik, dan Dinamikanya) (hal. 31-49) D. PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA Perkembangan hukum Islam di Pattani tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran Islam dan juga penaklukkan kerajaan Siam atas wilayah ini. Secara historis Islam masuk ke Pattani sekitar tahun 1500-an. Kedudukan Islam secara politik semakin menguat yang dibuktikan dengan kehadiran Kesultanan Pattani yang bercorak Islam. Sejak awal kesultanan ini sudah memiliki hubungan baik dengan Kerajaan Ayuttaya di Thailand. Namun dinamika politik di wilayah ini, apalagi setelah terjadinya penyerangan Kerajaan Burma atas Ayuttaya pada tahun 1563, mengakibatkan terjadinya perubahan relasi dua kekuasaan, dari harmoni menjadi konflik. Jon Jeppson (2008: 15) mencatat bahwa antara tahun 1563 hingga tahun 1902 terjadi tujuh kali peperangan antara Pattani dan Thailand. Hubungan konfliktual ini diakhiri dengan aneksasi Thailand atas Pattani pada tahun 1810. Ketika kesultanan Pattani masih berkuasa, maka hukum Islam berlaku, tidak hanya dalam bidang hukum perdata (keluarga) tetapi juga di bidang pidana (kriminal). Dalam struktur pemerintahan Sultan menempati posisi yang tertinggi. Administrasi kesultanan berada di bawah kendali kantor Korm-karnmuang yang dipimpin oleh seorang deputi gubernur yang sekaligus berkedudukan sebagai wakil sultan. Para pegawainya disebut dengan julukan Tawan Kromakarn. Jabatan di bawahnya adalah Datok yang bertugas menjadi kepala distrik ( mae kong atau tok kwaeng ). Kedudukan Datok juga sebagai hakim, baik perdata maupun pidana. Dalam menangani urusan yang berhubungan dengan hukum Islam Datok dibantu oleh Tok Kali dan wakilnya yang disebut Tok Kiri. Jabatan di bawah mae kong adalah penghulu yang berkedudukan sebagai asisten mae kong. Penghulu pada masa sekarang adalah jabatan setingkat kepala desa. Pegawai pemerintah lain yang ada dalam kesultanan Pattani adalah Kwaeng (Pemungut Pajak), Jaa/Tok Jo (Pengawal Maekong), dan Naidan (Pegawai Bea Cukai) (Chonlaworn, 2014: 532). Setelah menjadi bagian dari kekuasaan Thailand (Siam), wilayah Pattani dibagi ke dalam tujuh provinsi di bawah pengawasan Provinsi Songkhla,2 yang merupakan kepanjangan tangan Kerajaan Siam di Bangkok. Hukum yang berlaku di tujuh provinsi ini adalah hukum Islam. Namun pada awal abad 19 M, kerajaan Siam mulai memasukkan hukum Siam dan memberlakukannya di wilayah ini. Masuknya hukum Siam ke wilayah muslim Melayu menjadikan adanya dualisme hukum, seperti di Provinsi Pattani, Raman, Rangae, sedangkan di provinsi Nongchik berlaku hukum Siam saja (Chonlaworn 2014: 533-534). Masuknya 2 Ketujuh provinsi tersebut adalah Patani Tuan Sulung, Teluban Nak Dir, Nongchik Tuan Nik, Jalor Tuan Yalor, Rangae Nik Dah, dan Reman Tuan Mansur. ISSN: 1693 - 6736 | 43 Jurnal Kebudayaan Islam hukum Siam tidak banyak berpengaruh terhadap keberadaan hukum Islam. Hal ini disebabkan masyarakat Melayu Muslim lebih memilih penyelesaian perkara secara tradisonal. Beberapa model litigasi tradisonal masyarakat Pattani adalah: melalui sumpah, mediasi oleh tetua adat, dan jurisdiksi formal oleh pemimpin lokal. Persoalan yang timbul di masyarakat lebih banyak diselesaikan secara mediasi atau negosiasi. Jika persoalan tersebut belum dapat diselesaikan, maka solusinya dilimpahkan kepada penghulu atau maekong (Chonlaworn, 2014: 534). Pada masa ini juga sudah dibentuk lembaga peradilan dengan hirarki yang jelas. Peradilan tertinggi dinamakan Saan Boriwane yang berkedudukan di Pattani. Di tiap-tiap provinsi didirikan Saan Muang (Peradilan provinsi), dan di bawahnya lagi ada Saan Amphoe (Peradilan Distrik). Pada awalnya, hakim di Peradilan Provinsi berjumlah enam orang, namun ketika hukum Siam masuk maka jumlahnya dikurangi menjadi tiga orang, dan salah satunya adalah hakim dari Siam. Hukum Islam tetap diberlakukan, namun keputusannya harus diratifikasi oleh Komisioner Wilayah agar dapat memiliki kekuatan hukum (Chonlaworn, 2014: 537). Kehadiran sistem hukum Siam juga mengubah kewenangan para kali sekaligus pembatasan berlakunya hukum Islam. Hukum Siam diberlakukan untuk semua persoalan, baik pidana maupun perdata, namun hukum Islam dibatasi hanya berlaku untuk hukum keluarga, yang meliputi masalah marital (nikah, talak, perzinaan) dan kewarisan yang terjadi di kalangan umat Islam atau perkara yang melibatkan muslim di salah satu pihak. Pembatasan ini juga berimplikasi pada kewenangan kali yang hanya berwenang menyelesaikan masalah keperdataan Islam (Chonlaworn 2014: 538). Reformasi hukum lain yang diberlakukan oleh Kerajaan Siam adalah mengubah pola penyelesaian perkara oleh Tok Kali. Sebelumnya, Tok Kali bertindak sebagai hakim tunggal yang memutuskan perkara sendirian. Jika para pihak tidak puas mereka dapat mengajukan banding ke Komisioner Siam atau kepada raja. Kebijakan Siam mengubah pola ini dan menjadikan kedudukan Tok Kali seperti juri dalam persidangan. Setiap perkara yang masuk akan ditangani oleh lebih dari satu Tok Kali, dan pihak yang berperkara boleh menentukan Tok Kali mana yang mereka pilih. Jika keputusan Tok Kali sama keputusannya, maka putusan itu bersifat final dan tidak ada banding (Chonlaworn, 2014: 539). Tindakan pemerintah Thailand selanjutnya adalah menghilangkan karakteristik keislaman di wilayah Pattani dengan menghapus jabatan sultan dan digantikan oleh seorang komisioner (Chonlaworn, 2014: 528-529). Kedaulatan Thailand atas Pattani menjadi semakin kuat setelah ditandatanganinya Perjanjian Anglo-Siamese. Meskipun Pattani tetap diberikan hak untuk memberlakukan hukum keluarga Islam, namun intervensi Siam terus dilakukan. Pada 44 | Vol. 14, No. 1, Januari - Juni 2016 Ali Sodiqin: Budaya Muslim Pattani (Integrasi, Konflik, dan Dinamikanya) (hal. 31-49) tahun 1929 pemerintah Thailand membuat proyek untuk menyatukan hukum perkawinan dan kewarisan Islam dengan hukum Thailand. Penyatuan ini dilakukan juga terhadap lembaga peradilan, dengan memasukkan peradilan Islam menjadi bagian dari peradilan sipil. Upaya intervensi ini mencapai puncaknya pada tahun 1944, di mana hukum Thailand menggantikan hukum Islam. Akibatnya, banyak Muslim Melayu yang menyeberang ke wilayah Malaysia untuk menyelesaikan perkaranya di Pengadilan Agama Malaysia (Jeppson, 2008: 19). Pitsuwan (1985: 136-145) mencatat bahwa antara tahun 1943 hingga 1947 tidak ada kasus yang diajukan ke pengadilan Thailand. Meskipun upaya penyatuan hukum dilakukan, namun pemerintah Thailand masih memberi ruang berlakunya hukum Islam, yaitu dalam bidang hukum keluarga dan kewarisan. Pada tahun 1941, hukum keluarga dan kewarisan Islam menjadi esksepsional dari buku V Kitab Hukum Sipil dan Dagang Thailand (Dorloh 2009: 126). Kitab hukum ini menjadi referensi bagi Dato’ Yuthithams dan juga hakim sipil Thailand di peradilan provinsi Pattani, Narathiwat, Yala, dan Satun dalam menyelesaikan perkara di kalangan muslim. Kitab hukum ini merupakan hukum tertulis pertama yang disusun, karena sebelumnya para Dato’ Yuthithams mendasarkan putusan-putusannya pada kitab fikih klasik. Muatan hukum dalam Kitab Hukum Islam ini mencakup aturan tentang perkawinan, perceraian dan kewarisan. Sumber pengambilan hukumnya berasal dari Kitab Fat al-Mu’i>n, Mughni> al-Muh}ta>j, al-Baju>ri> ‘ala> al-Syamsuri>, Gha>yat al-Maqs} u > d , H} a > l al-Muskilat, dan Syarh} al -‘Arabiyyah. Selain itu juga digunakan kitab yang ditulis dalam bahasa jawi, seperti Mir’atut al-Tula>b Fi >Syarh al -ma’rifat karya Abd Rauf, Kasyfu Lit}ha>m ‘an As-ilah al Anam karya Syaikh Zainuddin Muhammad al-Fattani, Furu’ al-Masa>’il wa Us}u>l al -Masa>’il, ‘Iddah al -Ba>b karya Syaikh Dawud al-Fattani, dan Fatawa al-Qad}a>’i fi> Ih}ka>m al -Nika>h}. Dari referensi kitab yang dijadikan sumber menunjukkan pengaruh mazhab Syafi’iyah dalam kitab hukum tersebut. Secara umum kandungan hukum di dalamnya dibagi dua bagian, yaitu bagian hukum perkawinan Islam dan bagian hukum kewarisan Islam. Kitab Hukum Islam ini diresmikan pada tahun 1946, berdasarkan Surat Edaran Pemberlakuan Hukum Islam di Pattani, Narathiwat, Yala dan Satul B.E 2489 (1946). Surat ketetapan ini merupakan pengakuan eksistensi hukum Islam sekaligus pembatasan berlakunya hukum Islam, baik dari segi materi hukum maupun wilayah hukum. Dalam hal hukum beracara yang digunakan tetap hukum Thailand. Pada tahun 1997 para tokoh agama bersama dengan para politikus muslim berusaha melakukan modifikasi hukum Islam guna mengadaptasikannya dengan konteks kekinian. Keinginan kalangan Muslim ini ISSN: 1693 - 6736 | 45 Jurnal Kebudayaan Islam disetujui oleh parlemen Thailand dan dikeluarkanlah Ketetapan Raja tentang Administrasi Organisasi Islam (Intajallie, 2012: 116). E. RESISTENSI MASYARAKAT PATTANI: MENOLAK POLITIK UNIFORMITAS Sejak Pattani masuk dalam kedaulatan Siam hingga menjadi Thailand terjadi konflik vertikal yang berkelanjutan. Hal ini dipicu oleh upaya Thailand untuk melakukan asimilasi dan integrasi nasional yang berdampak pada pemberlakuan norma mayoritas ke semua wilayah. Akar konflik diantara dua kekuatan ini adalah persoalan identitas dan sosiokultural yang berbeda, antara masyarakat Muslim Melayu dengan bangsa Thai yang diwakili oleh pemerintah Thailand (William, 2011: 5). Nasionalisasi yang dilaksanakan oleh Thailand tidak lain adalah Siamisasi seluruh penduduk Thailand. Proyek nation building yang digagas oleh Phibul Songkharn bertujuan untuk memobilisasi seluruh warga negara dibawah bendera nasional Thai dengan tidak memberi ruang toleransi terhadap minoritas. Proyek ini disimbolkan dengan “Thai People Truly Thai” (Jeppson, 2008: 18). Semua penduduk Thailand, baik pribumi maupun pendatang harus menyatu dalam satu bangsa dengan cara berperilaku dan berbahasa yang sama, yaitu budaya dan bahasa Thai. Masyarakat Pattani mencurigai bahwa kebijakan tersebut adalah upaya dekulturisasi Melayu Muslim. Masyarakat Pattani yang secara etnis adalah Melayu dan dari segi agama adalah Muslim memiliki kultur yang berbeda bahkan berlainan dengan bangsa Thai yang beragama Buddha. Persoalan etnisitas (Melayu-Thai) yang berkombinasi dengan masalah agama (Muslim-Buddha) membuat konflik yang terjadi adalah perpaduan antara interes politik dan sentimen keagamaan (Abdul Mani, 2013: 2, Yusuf, 2009: 52). Muslim Melayu yang merasa minoritas berusaha menjaga dan melindungi identitas mereka dari hegemoni Thai Buddha. Sebab lain yang merupakan akar munculnya konflik adalah ketidakadilan dan marginalisasi yang dirasakan oleh penduduk Pattani. Pembangunan ekonomi di wilayah selatan tidak segencar jika dibandingkan dengan wilayah utara. Di sisi lain pemerintah Thailand, atas nama integrasi, juga mendukung upaya migrasi penduduk utara ke wilayah selatan (Yulianto, t.t: 16). Kehadiran penduduk utara yang merupakan etnis Thai yang beragama Buddha ke wilayah selatan yang beretnis Melayu dan beragama Islam menyebabkan terancamnya identitas Melayu Muslim. Oleh karena itu, masyarakat Pattani melakukan upaya untuk melawan ancaman tersebut. Dalam catatan sejarah, resistensi masyarakat Melayu Muslim terhadap pemerintah Thailand sudah dilakukan sejak masa Kerajaan Siam. Pada tahun 46 | Vol. 14, No. 1, Januari - Juni 2016 Ali Sodiqin: Budaya Muslim Pattani (Integrasi, Konflik, dan Dinamikanya) (hal. 31-49) 1947, Haji Sulong Abdul Qadir, tokoh terkemuka masyarakat Pattani memperjuangkan upaya mendapatkan otonomi bagi wilayah Pattani. Dia meminta PBB untuk menjamin upaya pemisahan Pattani dari Thailand. Masyarakat Pattani juga sudah menandatangani petisi untuk menggabungkan diri dengan federasi Malaysia. Kolega Haji Sulong, yaitu Tengku Muhyiddin bahkan sudah menemui Sukarno dan Abdul Ghani, tokoh kemerdekaan Indonesia, menawarkan Pattani menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia (Walker, 2005: 83). Otonomi Pattani yang diperjuangkan oleh masyarakat Pattani merupakan upaya mempertahankan identitas. Kesadaran akan posisinya sebagai minoritas yang memiliki karakteristik sosial budaya berbeda dengan mayoritas, menyadarkan mereka untuk melindungi diri. Perjuangan Haji Sulong terus membara dalam diri masyarakat Pattani, sehingga api perlawanan di wilayah ini tidak pernah padam. Pada tahun 1959 Tengku Abdul Jalil mendirikan Barisan Nasional Pembebasan Pattani. Kelompok perlawanan lainnya adalah Barisan Revolusi Nasional (BRN) yang berdiri tahun 1980 dan bertujuan mendirikan Republik Islam Pattani. Di samping itu berdiri PULO (Pattani Union Liberation Front). Dari beberapa organisasi perlawanan tersebut semua terkendali di bawah MPR MP (Council of the Muslim People of Pattani) yang menjadi organisasi payungnya (Yulianto, t.t: 15). Perlawanan tersebut memaksa pemerintah Thailand untuk mengubah kebijakannya terhadap masyarakat Pattani. Pada tahun 1997 pemerintah membuat kebijakan yang mendukung muslim, seperti: memperbolehkan muslimah menggunakan jilbab pada foto paspor dan di kantor pemerintah, memberikan jam khusus bagi pria untuk menunaikan salat Jumat, mengizinkan perayaan ritual keagamaan, dan memberikan libur pada hari raya (Walker, 2005: 105). Di samping itu pemerintah juga memfasilitasi ibadah haji, menerbitkan sertifikat halal, mengakui keberadaan Syaikh Islam (Chularajmontri) serta memberdayakan Komite Islam Pusat dan Mejelis Islam Provinsi (Yusuf, 2009: 54). Dalam bidang politik, peran muslim dalam parlemen Thailand juga meningkat, terutama dari sisi kuantitasnya. Namun kebijakan ini sedikit berubah ketika Thaksin Sinawatra menduduki jabatan Perdana Menteri. Pada tahun 2001 dia menghapus otonomi provinsi-provinsi di Thailand selatan, termasuk di dalamnya Pattani (Walker, 2005: 106). F. SIMPULAN Integrasi politik, budaya, dan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah Thailand terhadap provinsi-provinsi di wilayah selatan mendapatkan perlawanan dari masyarakat lokal. Perlawanan ini merupakan upaya melindungi etnoISSN: 1693 - 6736 | 47 Jurnal Kebudayaan Islam religius yang mereka miliki dari hegemoni bangsa Thai. Identitas yang sudah melekat dalam diri Muslim Melayu Pattani mampu menggerakkan komunitas ini untuk melawan setiap kebijakan pemerintah yang mengancam eksistensinya. Perlawanan ini menyebabkan konflik yang berkepanjangan dari abad ke-19 hingga sekarang. Pemerintah Thailand semestinya menyadari adanya diferensiasi antara masyarakat Pattani dengan masyarakat di wilayah lain. Kebijakan asimilasi atau integrasi hanya akan menimbulkan konflik baru yang merugikan kedua belah pihak. Persoalan pokoknya bukanlah masalah keagamaan, tetapi masalah etnisitas yaitu mempertahankan identitas Melayu-Muslim dari ancaman Thai-Buddha. Menghargai dua identitas yang berbeda maka sikap toleransi adalah kunci pokok menyelesaikan konflik. Pemerintah Thailand harus berbesar hati memberikan otonomi seluas luasnya kepada wilayah ini dan juga mendukungnya dengan pembangunan khususnya di bidang ekonomi. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Auni bin Haji. 2001. Islam dan Perdagangan dalam Sejarah Alam Melayu. Malaysia: Darulfikir SDN BHO. Abdul Mani, Lutfee. 2013. “Conflict Resolution: A Case Study of The Separatist Movement in The Southern Border Provinces of Thailand, Qudus International Journal of Islamic Studies, vol.1, Number 1, January-June 2013. American Foreign Policy Council. 2013. “Thailand”, World Almanac of Islamism. Chonlaworn, Piyada. 2014. “Contesting Law and Order: Legal and Judicial Reform in Southern Thailand in the Late Nineteenth to Early Twentieth Century”, Southeast Asia Studies, vol. 3 No. 3, December 2014. Dorloh, Sulaiman. 2009. “The Code of Muslim Family Law and Law of Inheritance (1941) as Applicable in the Provincial Courts of Southern Four Border Provinces of Thailand: Issues and Prospects”, Journal of Fiqh, No. 6 (2009). Eriksen, Thomas H. 1993. Ethnicity abd Nationalism: Anthropological Perpectives. Finland: Pluto Press. Feigenblatt, Otto von. “The Muslim Malay Community in Southern Thailand: A Small People Facing Existensial Uncertainty”, Nova Southeastern University, paper unpublished. Intajalle, Feirul Maliq and etc. 2012. “Islamic Inheritance Law among Muslim Minority Countries in Southeast Asia”, Middle East Journal of Scientific Research 12 (1), 2012. 48 | Vol. 14, No. 1, Januari - Juni 2016 Ali Sodiqin: Budaya Muslim Pattani (Integrasi, Konflik, dan Dinamikanya) (hal. 31-49) Jeppsson, Jon. 2008. Annexation and Assimilation: An Ethnic Approach to The Roots of Conflict in Thailand’s Deep South. Lund: University Department of Political Science. Herriman, Michael. 2005. “Language, Etnicity, Culture and Conflicts in Southern Thailand”, NUCB JLCC, 7, 1 (2005). Neelapaijit, Angkhana. 2009. “Roles and Challenges for Muslim Women in The Restive Southern Border Provinces of Thailand”, paper at the” Conference on Religious Activism & Women’s Development in Southeast Asia: Highlighting Impediments, Exploring Opportunities, 20th & 21st November 2009. Pitsuwan, Surin. 1985. Islam and Malay Nationalism; A Case Study of The Malay Muslims of Southern Thailand. Bangkok: Thai Kadi Research Institute, Tommasat University. Sarkar, Diptendu. 2014. “Religious Minority, Education and Separatism in South Thailand”, paper presented at “the 12th International Conference on Thai Studies” University of Sydney, April, 22-24, 2014. Walker, Dennis. 2005. “Conflict Between The Thai and Islamic Cultures in Southern Thailand (Patani) 1948-2005, Islamiyyat Universiti Kebangsaan Malaysia, 27 (1), 2005. Williams, Timothy. 2011. “Beyond Development and Counter-Insurgency; Searching for A Political Solution to The Malay Secessionist Conflict in Southern Thailand”, Scholar Report, London School of Economics and Political Science Asia Research Centre (ARC)-Thailand Government Scholarship. Yulianto, Paulus Rudolf. 2004. “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perpective”, dalam Multiculturalism, Separatism and National Building in Thailand. Indonesia: Pusat Penelitian Sumber Daya Nasional, 2004. . “Integrasi Muslim Patani: Reidentitas Sosial atas Dominasi Nasional Thailand”, dalam www.digilib.uin-suka.ac.id Yusuf, Imtiyaz. 2009. “Ethnoreligious and Political Dimensions of The Southern Thailand Conflict”, dalam Amit Pandya and Ellen Laipson (eds), Islam and Politics, Renewal and Resistance in Muslim World. Washington DC: The Henry L. Stimson Center. ISSN: 1693 - 6736 | 49