Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
fFENOMENOLOGI Kata kunci bagi fenomenologia adalah kembatl kepada benda-benda !tu sendiri. Gerak kembali kepada benda-benda benda dalam kerangka berplkir yang bermaksud menemukan suatu fondasi yang solid dan pasti bagi permenungan fllosofls. Tappa kepastian dan kejelasan tidak akan pernah ada iimu dan pengetahuan. Karena itu, pencaharian dan penyelidikan atas realitas harus bertitik tolak dari data-data yang pasti dan tak teragukan. Ketika orang sudah sampai pada batas kejelasan dan kepastian (apodiktis), maka itu bararti bahHna kemampuan berpikir palar telah mencapai titik demarkasinya. Pemikiranpemikiran dan permenungan-permenungan sebelumnya telah mencapai titik akhimya, oleh karena itu satu-satunya hai yang tidak dapat disangkal adalah hai-hai yang menampakkan diri secara telanjang di depan panca indera kita, fenomen-fenomen yang tampak jelas dan pasti, sehingga tiada ruang bagi kita untuk menyangkai maupun menolaknya. Dengan demikian, fenomenologi berupaya menemukan modalitas benda-benda menghadirkan diri dalam kesadaran subyek pengenal. Bagaimana fenomenologi sampal pada kepastian dan kejelasan benda-benda? Caranya, subyek pengenal harus menelisik lebih mendaiam lagi, mempertanyakan keasiian, kejelasan, kepastian dan kebenaran dari apa yang dicerap dan menghadirkan diri dalam kesadaran, entah berupa argumen filosofis, keyakinan apapun maupun hasil iimu pengetahuan dan teknologi. Subyek pengenal harus menunda setiap keputusan berkaitan dengan segala sesuatu yang belum pasti dan belum jelas hingga ia pada akhirnya menemukan sebuah kenyataan yang mustahil diragukan maupun disangkal keberadaannya. Metode mempertanyakan dan menunda keputusan dina makanepoche. Namun mesti diingat bahwa keberadaan benda yang mustahil diragukan dan disangkal lagi, bukan dalam artian realitas konkrit atau di luar subyek pengenal, melainkan ditemukan dalam kesadaran. Untuk itu, Bang fenomenolog mencoba memilah-mllah dan mengungkapkan cara-cara khas yang dipakai benda-benda untuk menghadirkan diri dalam kesadaran. Nah cara yang khas tersebut tiada lain adalah asepsi, eldos, Wesen. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa fenomenologi adì lah disiplin iimu tentang hakekat, asepsi dari segala sesuatu dan bukan ilmu pengetahuan tentang fakta, benda konkrit. Hai yang diperhatikan dan dicavi oleh Bang fenomenolog adaiah mengapa benda A disebut kursi, benda B dínamakan kayu dan benda C disebu meja. Ketika orang menyebut kursi, kayu dan meja tentu saja sebutan itu dilandaskan pada pengetahuannya manganai makna kayu, meja dan kursi. Maka tahu perbedaan di antera ketiganya, mengerti makna lama artinya dengan mengerti causa formal/s, menangkap forma dari benda-benda tersebut. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa fenomenologi mancavi hakekat dan menelaah Ida ide universa!. Pada titik ini, seorang fenomenolog memiliki peran yang khas dalam menelisik dan memahami realitas ada. Wilayah garapan Bang fenomenolog adalah ruang kesadaran. Kesadaran merupakan kenyataan yang tidak dapat diragukan !agi dan kesadaran itu sendiri merupakan kesadaran tentang sesuatu yang hadir secara khas. Tugasnya adalah mengkaji hakekat yang ditangkap dan dipahami oieh kesadaran dan bukan fakta dan data empiris yang diterima dan dkerap oleh panca rodeva. Pertanyaan penting adalah apakah hakekat dari obyek-obyek teramati dan segala sesuatu yang ada dalam realitas merupakan produk rekayasa atau bentukan kesadaran atau Bang fenomenolog sendiri mengtntuisi kehadíran obyektif hakekat tersebut? Qua alternatif ini selanjutnya membedakan Musseri dari Sdraiar. EDMUND HUSSERL Fenomenologi merupakan sebuah aliran filsafat yang digagas oleh Edmund Husserl (i:> Prossnitz, Moravia 1859, + 1938). Konteks historis fenomenologi dapat ditempatkan dalam peninjauan kembali secara kritis pota berpikir dan cara pemahaman manusia terhadap suatu obyek. Setelah dunia pemikiran dikuasal oleh Hegelianisme dan berikutnya segenap reaksi atasnya, lalu muncul beberapa aliran pemikiran contro-Hegelianisme yang menghiasi panorama peradaban dunia, misalnya, marxisme, eksistensialisme dan positivisme. Secara pribadi, Husserl mempunyai perhatlan terhadap marxisme, neokantianisme, historisisme, eksistensialisme dan terutama memiliki kedekatan metodologis dengan positivisme, meskipun bapak fenomenologia ini mengkritik secara keras muatan doktrinai positivisme dan keyakinan mereka terhadap kepastlan limu pengetahuan, a) Polemik dengan Psikoiogisme Daiam Filsafat Aritmatika, Husserl mempertahankan reduksi konsep bilangan pada proses psikis yang bertallan dengan aktìvitas membilang. Matematika dan togika bagi Husseri mampu sampal pada konsep tertinggi dan paling sederhana yang tak terdefinisi. Yang bisa dikerjakan datam kasus ini hanyalah memperlihatkan fenomen konkret dari mana dan melalui mana diabstraksikan. Pendapat Husserl tentang bilangan dipengaruhi oleh Frege yang beranggapan bahwa suatu diskripsi mengenal proses mental yang mendahului enunsiasi dari suatu keputuszrs numeris meski tepat sekalipun mustahil mengganti determinasi yang benar dari konsep bilangan. Kita tidak dapat mendapatkannya melalui pembuktian dati beberapa teorema maupun: memahami proprietas bilangan. Representasi psikologis bersifat partikular, empiris dan subyektiv, sehingga hanya memberikan keputusan faktual dan bukan keputusan matematis yang berciri universal, ideai dan obyektiv, Bagi Frege, bilangan merupakan kelas dari semua kelas di mana semua elemen saling terkait secara bfuMvox. Akibatnya, Husseri ménolak psikolagisme. Baginya, kaidah logika adalah universal dan niscaìN, sehingga mustahil bergantung pada hukum psikologis, yang walaupun generalisasi yang didapat dati induksi, bukanlah niscaya. "Berbagai fakta " kesadaran merupakan singularitas riil, tertentu secara temporal, muncul dan menghilang. 5ebaliknya, kebenaran adalah abadi atau lebih te&t merupakan satu ide dan bersifat metatemporat". Maka, prinsip non-kontradiksl bukanlah satu hipotesis induktiv, melainkan kebenaran universàl dan niscaya. ltulah logika murni. Setiap ilmu pengetahuan memiliki premis tersendiri dengan mana la menata argumentasi atau pembuktlannya. Hanya saja, untuk menjadi sah, argumentasi demiklan harus dituntun seturut prinsip logika bahwa suatu argumentasi adalah 1 ~_ oatìo sa il po * adalah baw dan deduksi lurus adanya. Prinsip deduksi yang lurus adalah prinsip logika, sehingga logiks murd rnenqaivwteM dari ~ Wrxi dari segala ilmu. Daifam iadrs n~nii, ihejelssan teriepas sama sekali dari perasaan atau keyaklnan pasti seseorang tatkala merumuskan sesuaoi. Ortalah perasaan aRau ibepl3nan tiimbul dari validitas apodiktis atau keabsahan tak tersangkalkan. Misatkan, afirmasi 'A~ adaiah pandei~ aRau O(àiomesxn adalah tw` bukan bergantung pada observasi empiris semata, tetapi mengungkapkan swtu ide i e g «pe~ dm ~. Begitu pula kategori penghubung (konJungsi) dan pemisah (disJungsi) melampaul data obsenosi, seliyp óefioeiruin dalam pemakaiannya pasti membawa pada nirmakna (semut adalah tumbuhan). 1adi, kepastian apo~ w*wupaian prinsip logika dan kaldah dasar matematika murni. b) Intulst Etdetts Dari distingsi mengenai proposisi universal dan niscaya dari proposisi empiris-induktiv terbuka jalan bagi Husserl untuk membedakan intuisi data faktual dari intuisi hakekat. Apa arti Intuisi? Pengetahuan manusia berawal dari pengalaman tentang benda konkret, fakta. Seluruh pengalaman kita disuguhi terus menérus oleh data pengalaman tentang benda atau fakta yang terjadi hlc et nunc. Maka, fakta atau benda konkret bersifat kontlngen dan fakta demikian merupakan sesuatu yang membuat kita asylk dalam dunia dan mengenal dunia secara iimiah. Dalam setiap fakta atau benda faktual terdapat sesuatu yang tidak terlihat. Dalam artian, manakala suatu benda hadir dalam kesadaran, kita mencerap bukan [agi benda itu sendiri, tetapi hakekatnya, eserul (Wesen, species). Semakin beragam benda fisik dihadirkan dalam kesadaran, makin umum pula esensi yang ditangkapnya (esensi umum). Kita menangkap esensi dalam fakta atau yang individuai dan partikular dan kemudian dinyatakan kepada kesadaran mefalui yang universal. Ketika kesadaran menangkap sebuah fakta hlc et nunc, ia menangkap esensi, quldltas, di mana fakta partikular dan kontingen ini merupakan kasus partikular: suara ini merupakan kasus partikular dari esensi alat, kumpulan tanaman Ini merupakan kasus partikular dari esensi umum tanaman ini. Jadi, quiditas atau esensi merupakan modus khas penampakan fenomen. Esensi atau quiditas tidak diperoleh dengan komparasi maupun abstraksi melalui suatu kemiripan. Esensi manusia tidak didapat iewat abstraksi dengan membuang semua kekhususan guna menemukan kesamaan maupun melalui perbandingan atas 5 dan 10 individu. Lima atau sepuluh individu yang dihadirkan kini dan di sini merupakan dimensi atau kasus partikular dari esensi 5 dan 10 individu. Dengan kata lain, untuk membandingkan sejumlah fakta perlulah lebih dulu menangkap quiditosnya yang membuat mereka mirip. Pengetahuan tentang esensi atau qulditas merupakan sebuah Intulsl. intuisi yang beragam memungkinkan kita menangkap tiap fakta dalam singularitasnya. Proses pengetahuan mencerap esensi dinamakan Intulsi etdeds, intutst esensi (eldos). Eidos bukanlah fakta maupun realitas riii. Eidos adalah konsep dan obyek ideai yang memungkinkan pembedaan, pengenalan, penggolongan tiap fakta yang ditangkap kesadaran hic et nunc. c) Ontologi Regtonai dan Ontologi Formai Fenomenologi dimaksud sebagai ilmu tentang haklkat dan bukan data faktual, fenomeno-logla, diskursus seputar fenomen. Tujuannya adalah menggambarkan cara-cara khas dengan mana fenomen dihadìrkan pada kesadaran. Modalitas khas,ìni (misaikan karena apa cahaya adalah cahaya dan bukan yang lain) adalah hakikat. Fenomenologi merupakan pengetahuan tentang pengalaman, tetapi bukan kumpulan data faktual. Obyek fenomenologi adafah hakekat dari semesta data faktual, universalitas yang diintuisi kesadaran ketika fenomen dlhadirkan. Pada fase ini beriangsunglah apa yang disebut reduksl eidetis, yaltu intuisi terhadap hakekat, sehingga dalam deskripsi fenomen yang hadir daiam kesadaran, dapat ditarik dari aspek empiris dan persoalan yang menalikan kita dengan mereka. Hakikat tidak berubah dan dalam tulisan postumi Husseri, hakikat dipero{eh melalui metode tentang varlasJ eldetis. Contoh, untuk satu konsep yang hendak dijelaskan, diambii model tertentu dan dihadirkan variasinya dalam beragam slfat. Sifat yang dihadirkan terus berubah-ubah hingga sampai pada satu titik di mana variasi berhenti. Maka, "proprietas hakiki merupakan tapai batas dar] yang tetap dan yang berubah". Pembedaan fakta (in!) dari hakekat (apa) memungkinkan Husserl menjustifikasi logika dan matematika. Kedua disiplin ilmu ini tidak mengacu pada pengalaman seperti dasar validitas mereka. Proposisi "iuas adatah panjang ka11 lebar" menandai hubungan antarhakikat sehingga tidak memeriukan pengaiaman untuk membuktikannya. Adapun dasar validitas proposisi adatah pengalaman, karena akan berkaitan dengan keluasan yang diukur. Distingsi fakta dan hakekat memheri peiuang kepada Husserl untuk mendalami dan memuncuikan apa yang dinamakan 'ontologi regionai' dan `ontalogi formai'. Regio adalah alam, masyarakat, mora], agama. Ekspiorasi daiam regio demikian ini bermaksud menangkap dan menggambarkan hakekat atau modalitas tipe yang menjadi jalan bagi fenomen morai atau religius tampil dalarn kesadaran. Sementara ontologi formai adalah logika. d) intenstonalitas Kesadaran Fenornenoiogi merupakan disiplin ilmu tentang hakekat atau modalitas tipe dari fenomen untuk menampilkan diri pada kesadaran. Karakter dasar dari penampakan fenomen dalam kesadaran adalah intenslonatitas. Kesadaran merupakan kesadaran tentang sesuatu. Semua aktivitas penginderaan, tngatan maupun p®mikiran senantiasa terarah pada sesuatu. Konsekwensi dari intenslonaiitas kesadaran adalah pembedaan subyek dan obyek bersifat langsung. Subyek adalah pelaku, saya yang mampu menyadarl (menginderai, meniiai, membayangkan, mengingat, memutuskan), sedangkan obyek adalah sesuatu yang menampakkan diri dalam perbuatan: benda yang berwarna wami, gambar, pikiran, ingatan. Selanjutnya, Husserl membedakan penamptlan obyek dan abyek yang tampli. Jika benar sesuatu menampilkan diri, maka benar pula dihtdupi.tampfian dari sesuatu yang menampakkan diri. 2 Dalam semesta ide, Husserl membedakan noesis dan noema. Memiliki kesadaran disebut noesis, sementara sesuatu yang disadari adalah noema. Dari sejumlah noema Husseri telah membedakan secara tegas fakta dan hakikat. Kesadaran adalah intensional. "Intensionalitas merupakan sesuatu yang mencirikan kesadaran secara berisi. Saya tidak melihat sensasi wama, tetapi sesuatu yang berwarni, tidak mendengar sensasi suara tetapi lagu seorang penyanyi". Semua aktivitas manusia selalu terarah pada obyek. Perlu diingat bahwa karakter intensional kesadaran tidak mengakibatkan satu konsepsi rcalistis. Dalarn artian bahwa kesadaran memang terarah pada sesuatu, meski demikian belum tentu sesuatu tersebut sungguh berada di luar kesadaran. Yang patut dlperhitungkan adalah menggambarkan sesuatu yang disodorkan kepada kesadaran, yang memanifestasikan dirl dan dalam batasan manifestasi dirinya dalam kesadaran. Apa yang mengungkapkan diri adalah fenomen. Fenomen tidak berarti penampakan yang dilawankan dengan benda in se. Saya mendengar musik, bukan tampilan dari musik, mencium bau kopi, bukan tampilan kopi, terkenang teman SMA, bukan tampilan kenangan tentang ternan SMA. Dengan demikian, intensionafitas kesadaran bertumpu pada prinsip dasar ini: setiap intuiti yang menghadlrkan secara asali sesuatu mErupakan sumber pengetahuan; segala sesuatu yang dttawarkan kepada kita secara awall dalam Intulsi haruslah dipahami seperti ditawarkan, termasuk dalam batasan penghunjukkannya. Jadi, yang ditawarkan kepada kesadaran adalah obyek dalam totalitasnya sebagal ada. e) Epoche/Reduksi Fenomenologis ' Melalui prinsip dasar fenornenotogi di atas, Husserl bermaksud mendirlkan fenomenologi sebagai ilmu yang mempelajari sesuatu sebagal sesuatu apa adanya. Semboyan fenomenologi adalah zu den Sachen selbst - pada benda Itu serrdiri! Bagalmana kita dapat bertumpu dan mengacu pada benda itu sendiri? Untuk mencapai tujuan tersebut Husserl memperkenaikan prinsip epoche atau reduksl fenomenologis. Epoche mempunyal kemiripan dengan keraguan skeptis maupun metodologis (karena berakar pada énoXrj). Hanya saja, reduksi fenomenologis, epoche Husseriian jangan dipahami sebagai tindakan meragukan. Epoche lebih menunjuk pada aksi menunda keputusan terhadap segala sesuatu yang dikatakan oleh beragam doktrin fiiosofis, pengetahuan dan keyakinan harlan atau perilaku alamiah. Perllaku alamiah merupakan fakta dari beragam persuasi yang berguna dan perlu bagi hidup harian. Persuasi demikian tanpa kejelasan yang memaksa, sehingga ditempatkan dalam tanda kurung, mengabaikannya. Jadi, semua keyakinan dan pemikiran yang dihidupl harus ditunda, diperiksa dan dievaluasi untuk menemukan makna sejatl. Dati segala yang ada, apa yang mampu bertahan dari ujian epoche? Menurut Husserl yang tahan uji adalah kesadaran atau subyektivitas. Yang tampit jelas secara absolut adalah cogito et togitata, kesadaran dan semua muatannya. Kesadaran merupakan sisa fenomenologis yang bertahan dalam serangan epoche. Kesadaran merupakan realitas terjelas dan absolut. Fondasi reafitas adalah realitas yang nulla re lndiget ad existendum. Dunia tendini atas kesadaran, kesadaran yang memberikan pemaknaan dan pemahaman atas eksistensi kebendaan dunia. "Saya, saya saja yang melakukan epoche, saya yang mempertanyakan dunia sebagal fenomen, dunia yang berarti bagiku dalam keberadaannya dan keberadaannya apa adanya dengan umat manusfa yang memahaminya, yang saya amini dengan pasti; jadi saya yang berada di atas setiap ada fisik yang memuat makna bagiku. Saya adalah sudut subyektiv hidup transendental di mana pada tempat pertama dunia bermakna bagiku sebagal dunia murni: dalam kekonkretanku, aku merangkul semua". f) Krisis Dunia Pengetahuan Eropa Krisis yang Husserl maksudkan berkisar pada krisis makna pengetahuan bagt hidup manusia. "Ekskiusivitas, dengan mana pada pertengahan abad ke 19, visi menyeluruh dunia tentang manusia modem memasrahkan diri ditentukan oleh ilmu positiv dan dengan itu membiarkan diri disilaukan oleh kemakmuran yang mengalir dati padanya, berarti penjauhan dati berbagai problem yang menentukan bagi kemanusiaan yang otentik. Ilmu pengetahuan tentang fakta mumi melahirkan manusia fakta belaka". Kritik Husserl tertuju pada dua gagasan yang cukup dominan masa itu, yakni naturalisme dan obyektivisme. Seakan kebenaran iimiah merupakan kebenaran tunggal yang sah dan dunia yang digambarkan oleh pengetahuan positiv adalah realitas sejati. "Dalam kemalangan hidup kita [...] ilmu demikian tidak mengatakan apapun pada kita. Secara prinsipil, la menyingkirkan semua masalah yang amat menyesakkan bagi manusia, di dalam waktu yang terdera in!, kita merasa berada di pusaran nasib; masalah makna dan tàk-bermakna eksistensi manusia dalam kompleksitasnya [...] Apa yang dikatakan limu tersebut tentang nalar dan non-nalar, tentang kita manusia sebagai subyek kebebasan ini? Sudah jelas, ilmu murni tentang fakta tidak mengatakan apapun pada kita menyangkut persoalan demikian: la teriepas dari semua subyek". Krísis ilmu pengetahuan merupakan "kejatuhan intensionaNtas ftiosofis", "keJatuhan dalam naturalisme", reduksi rasionalitas pada rasionalitas iimiah. Yang konkret, Lebenswelt, dunia kehidupan, yang merangkum hidup yang ilmiah maupun harian, terumuskan maupun asali, perasaan, kebutuhan, niat, khayalan dan kenangan kini diganti dengan kategori ilmiah. Drama "era modern dimulai oleh Gaiileo. la memutus dimensi fisik matematis dari d~nia kehidupan dan mernposisikannya sebagai hidup konkret". Fenomenologia bermaksud mengembalikan manusia sebagai makhluk bebas yang melampaul samua batasan yang telah dibuat oleh manu;la dan timu pengetahuan. Manusia adalah subyek, yang "dengan aktivitas fitosofis, kita adalah aparatur kemanusiaan", membuat kemanusiaan dalam situasi memahaml diri secara bebas dan mandiri. 3 MAX SCHELER (1875 -1928) Garis Besar Pemiktran a) Melawan konsepsi etika Kantian yang memposisikannya di antara keharusan dan kesenangan: orang menginginkan suatu obyek atau karena dituntut oleh hukum moral atau obyek demikian menarik. Pada posisi demlklan yang berlangsung adalah menguraikan relasi kebaikan dan hukum moral yang dapat dijadikan universal dan bukan memberikan yustifikasi penilaian moral apapun. Jadi imperativ kategori Kantian "Kamu harus, karena wajib" berciri arbitrar(al; perintah tersebut tidak teryustifikasi. b) Konsep dasar etika adalah nilal. Kant tidak membedakan nilai darf kebaikan. Bafk berarti sesuatu memiliki nilai, sementara nilai merupakan, hakekat Husserlian atau kualitas yang membuat segala yang balk adalah kebaikan. Contoh: sebuah mobil adalah baik, nilai mobil adalah kegunaan; hukum adalah baik, nilai hukum adalah keadilan.ladi, batk adalah semua fakta, sementara nilai merupakan hakekat. c) Disanggah juga identifikasi a priori dan formai Kantian. Scheler mempertahankan universalitas dan apriorisme norma moral, dengan mendefinisikan secara konkret atau secara material tataran nilai. Scheler mempertahankan proposisi universal dan niscaya (a priori) norma etika, tetapi diambil dalam pengertian matertal. Materialltas proposisi mora] etika bukan berkenaan dengan fakta (baik), melainkan hakekat atau ntlal. d) Manusia hidup dalam dunia mora] yang bukan dihasiikan, -tetapi diakul dan ditemukan. Nilai didapat melalui Intulsi emostonal-sentimental yang berciri Innattv-bawaan dan mewujud dalam pribadi (model jenis), bukan obyek aktivitas teoretis. "Ada legitimitas rasa yang absolut dan abadi seperti logika murni; hanya tak tersempitkan pada legitimitas aktivitas intelektual jenis apapun". Apa yang dialami rasa adalah hakekat sebagai nilai, karena "ada satu jenis pengalaman di mana obyek mustahil ditembusi oteh intelek; rasio buta di hadapan obyek demlklan, seperti telinga dan pendengaran di depan warna; pengalaman sejenis memposisikan kita di depan semua obyek sejati dan tatanan abadi yang berada di tengah mereka, yakni dunia nilai dan hirarkinya". e) Nilai material dan Hirarkinya NILAI MATERIAL HIRARKI NILAI Nilai sensorial: gembira-hukuman, senang-derita cena Nilai peradaban: berluna - berbahaya teknisi Nilai vita]: agung-vutgar pahlawan Nilai budaya atau rohani: genial - Estetis : indah - buruk seniman - Etis-yuridis: adii - curang legislator - Spekulativ:benar-keliru bijak . Nilai religius: suci - profan santo f) Pribadi Gagasan mengenai nilai dan hirarki mempunyai dua manfaat bagi Scheler: pertama mempertajam analisa kritis tentang subyektivisme etis dalam dunia modern dan antropologi berjuis; kedua, memberi peluang bagi pembangunan antropologi personal dengan kata kunci subyek sebagai oda spiritual dan persona. Menurut Scheler manusia mampu bertanya diri tentang apa arti sesuatu dalam dirinya, menangkap hakekat dengan berangkat dari interes vital tentang maknanya masing-masing. la sanggup "melepaskan diri dari kekuasaan, tekanan, ikatan dengan hidup dan segata sesuatu yang dimiliki". Pada tingkatan tersebut, manusia adalah ada spiritual, dia yang teriepas dari dorongan insting dan lingkungan, sehingga terbuka bagi dunia dan menguasai dunia. Sebagai makhiuk spiritual, manusia adalah pribadi, pusat dari tindakan Intensional, manusia nyata, kesatuan organis dari makhluk spiritual yang memeriukan badan sebagai sarana untuk mengejawantahkan sernua nilai. Dari konsepsi manusia yang demiklan, Scheler membuka relasi manuslawi yang berciri tridimensi: dengan sesarra, alam dan Allah. Hubungan tridimensional memperlihatkan hakekat manusia sebagai makhluk yang selaiu terarah pada subyek yang lain dalam artian keterbukaan dan penerimaan dan bukan kekuasaan dan penguasaan. Hubungan dengan yang lain berawal darí level terendah yang dijiwai oleh jalinan perasaan belaka htngga ttngkatan terttngg( yang dtsemangatt oleh cinta. t.evel terendah ditandai oleh massa, kemudian tingkatan berikut: masyarakat yang timbul dari kontrak sosial, terus komunitas vital atau bangsa; lalu komunitas yuridis-kultural (sekolah, negara) dan terakhir komunitas kasih atau gereJa. Dasar otentik bagi hubungan interpersona) adalah simpati. "Fungsi sejati simpati terletak pada penghancuran ilusi solipsisme atau keakuan dan dalam penyataan kita sebagai pembawa nilai yang sepadan dengan realitas kita bagi yang lain sebagai yang lain". Simpati merupakan satu bentuk pemahaman interior terhadap sesama sebagai subyek yang sama sepertiku. Sesama bukanlah altér ego, aku yang lain, soiipsisme, meiainkan pribadi yang otonom dan bebas. Saya bersimpati padanya sejauh dia ambii bagian dalam komunitasku, suku bangsaku, keluargaku, rekanku, kelompokku. Jadi, batas simpati adalah bagian ke-aku-annya. Yang mengatasi• bagian keakuan adalah kasih. Kasih menghargai kemajemukan, memberi ruang dan peiuang bagi kebebasan dan kemandirian. Sesama berbeda dari dlriku dan aku lain daripada sesama. "Kasih `sejati berada dalam pemahaman terukur terhadap individuatitas lain yang berbeda darl cara keberadaanku, memperlakukan sesama dan menempatkan cara beradanya pada posisi yang pantas, wa{au secara bersamaan kutegaskan ke-lain-an dan realitas dirinya dengan penuli'semangat". Kaslh merupakan.jalan yang menuntun Individu untuk bertemu dengan yang lain sebagal yang lain. Berkenaan dengan relasi manusia dengan Allah, Scheler menekankan keabadian manusla. Kejelasan filosofis pertama adalah keberadaan sesuatu, keabsenan ketiadaan. "Barang siapa tidak memandang ke dalam )urang keabsolutan ketfadaan, la tidak akan sadar akan positivitas tegas muatan intuisi bahwa ada sesuatu darlpada ketiadaan". 4 Darl prim€tas ada muncui keJelasan langsung tentang keberadaan yang absolut. Eksistensi yang absolut dinyatakan dalam kedirian, kemahaan dan kesuclan yang mengalir dari kesadaran diri sebagal ciptaan. Kesadaran diri sebagai ciptaan merupakan ungkapan perasaan tentang yang kudus dan tanggapan iman padanya. Ktta mengerd Allah hanya dalam Allah. "Allah kesadaran religius ada dan hidup secara unik dalam aktus religius, bukan dalam pikiran metafisik yang dibangun di atas muatan dan realitas di luar agama. Agama terarah bukan pada pengetahuan ilmlah tentang realitas asali, melainkan kesalamatan manusia melalui persekutuan hidup dengan Allaii, suatu divinisasi". Dia adalah pribadi yang hidup dan menyelamatkan, bukan sekedar konsep dan temuan dalam rumusan logis abstrak. g) Sosiologi Pengetahuan Permenungan yang berpusat pada persona sebagai subyek religius yang terbuka pada kehadiran yang lain merupakan bagian integrai dari rencana Scheler untuk mengembangkan antropologi fliosofJs. Proyek filosofis (ni terhenti oleh kematiannya. Dalam beberapa tulisan yang sudah dibuat untuk proyek antropologi filosofis dapat ditemukan tema yang berkenaan dengan sosiologi pengetahuan. Scheler menggarisbawah€ pengaruh berbagai faktor sosial-religius dalam pembentukan tatanan atau pranata sosial. Scheler amat menekankan realisasi bermacam faktor sosial dan otonomi roh melawan spiritualìsme abstrak dan determinisme naturalistis. Baginya, pengkondisian sosial pengetahuan secara substansial mengedepankan bentuk pengetahuan sebagai cara untuk berkontak dengan realitas fisik, psikis dan spiritual. Dari tiga cara berkontak demikian, maka terdapat kaldah trl-ttngkatan pengetahuan: ij pengetahuan reltgtus: menyangkut keselamatan penuh pribadi lewat hubungan dengan Ada tertinggi. itulah pengetahuan tentang keselamatan; €i) pengetahuan metafisik: menempatkan manusia dalam hubungannya dengan kebenaran dan perangkat niial. Ini adalah pengetahuan "formativ"; iii) pengetahuan teknis: kecakapan yang memungkinkan manusla memanfaatkan alam dan menguasainya. Ketiga bentuk pengetahuan berada dalam relasi yang dinamis dan dialektls, dalam artian ada yang lebih dominan daripada yang lain, tetapi bukan melenyapkannya. Malah, di antara beraneka jenis pengetahuan terdapat hubungan interfungsfonai, misalkan reatisme filosofis dengan masyarakat feodal, nominalisme dan krisis feodalisme, kemenangan kaum berjuis dan rasionalisme mekanistis, kapitai€sme dengan positivisme. Satu aspek penting dalam relasi pengetahuan adalah perhatian Scheler pada hubungan monoteisme Yudais-kristiani dan pengetahuan. Baginya, agama janganlah takut dengan ilmu pengetahuan. Agama dapat beriawanan dengan agama lain dan pengetahuan metaflsik, tetapi mustahil bertentangan dengan pengetahuan. Dalam relasi ilmu pengetahuan dengan agama terjadi bahwa selama aktivitas ilmiah aspek sakralitas terabaikan dan bahkan melenyap. "Semasa penuh dengan kelompok tertentu, daya personal dan kehendak, ilahi dan satanis, alam semesta merupakan tabu bagi pengetahuan. Yang menganggap bintang-bintang sebagai ilah yang tampil, belumiah dewasa untuk astronomi ilmiah". "Monoteisrne Yudais-kristiani dan kemenangannya atas semua agama dan metafisika dari dunia klasik secara meyakinkan merupakan kemungk€nan dasar pertama bagi kebebasan dalam riset tentang semesta secara ilmiah. Menempatkan aiam semesta secara bebas bagi ilmu pengetahuan pada tatanan keluasan yang mungkin saja melampaui segala ukusan hingga hari ini hanya bertangsung di Barat. Allah roh yang berkehendak dan bekerja, Pencipta merupakan santlflkas! ide kerJa dan dominasi atas segala sesuatu yang bukan manusia; Allah berada di luar jangkauan pengenalan orang Yunani dan Romawi, Platon maupun Aristoteles. Pada saat bersamaan Dia melakukan penabaran hati, mortiflkasi, distansiasi dan rasionalisasl alam yang tiada pernah mendapat tempat dalam kebudayaan Asia dan klasik". MARTIN HEIDEGGER (1889-1976) GARIS BESAR PEMIKIRAN 1. Dari Fenomenologi ke Eksistensialisme Pada permulaan Heidegger dipengaruhi oleh pemikiran Husseri. Pengaruh tersebut dapat dimengerti karena Heidegger adalah asisten Husseri di Universitas Freiburg. Heidegger melepaskan diri dari Husaerl ketika menerbitkan Sein und Zeit. Walaupun Heidegger mengakui metodologi yang digunakan tetap setia pada fenomenologi Husserl, fílsafat yang digagasnya ternyata jauh berbeda daripada fenomenologi Husserlian. Heidegger berupaya bagaimana makna oda dapat ditentukan secara pantas. Sebelum bisa mulai menemukan makna ada, iangkah paling mendasar adaiah mengkaji slapa yang bertanya tentang makna ada. Seln und Zelt didrikan oieh kajian tentang apriorisme eksistensial, anotitis ekslstensial tentang subyek yang bertanya tentang makna ada. Heidegger mengubah fokus refieksi filosofis sesudah Seln und Zelt pada persoalan tentang Ada sebagai ada yang menampilkan diri. la sadar bahwa seJàrah ada menyangga dan menentukan semua kondki dan situasi manusia. 2. Daseln dan AnaNtis Eksistensial "Penggagasan tentang persoalan ada berarti memperjelas ada, menempatkan si pencari makna ada dalam keberadaannya". Se,in und Ielt berada daiam kerangka untuk menampilkan ada secara Jelas dan tegas~ menemukan makna ada. Persoalan yang timbui dari pencaharian makna ada adalah dengan oda macam apa mokna ada dapat dlpahomR Maka Heidegger menegaskan bahwa "Jika persoalan ada diposisikan secara Jelas dalam tampilan yang tuntas, maka perlulah ditunjukkan beragam cara masuk dalam ada, pemahaman, kepemilikan konseptual makna ada, penJeiasan mengenal kemungkinan »pilihan tepat atas ada dan indikasi tentang jalan yang tepat untuk memasukf ada demikian. Penetrasi, pemahaman, penjelasan, pilihan, akses merupakan momen dasar dalam mencari dan sekaligus cara berada ada tertentu dan lebih tepat lagi ada Itu yang adalah kita sendiri yang mencari". Itulah makna analitis eksistensial ada 5 Manusia adalah ada yang bertanya tentang makna ada. Dengan demlklan upaya untuk memahami dengan tepat makna ada mesyarakatkan keterangan awal tentang ada yang bertanya tentang makna ada. "Ada inf yang kita sendiri sudah berada demikian, dan di tengah berbagai kemungkinan ada, telah mencari, kita tunjuk dengan sebutan Daseln". Manusla bila dipandang dari cara berada adaiah Da sein, berada di sini. Di sini menunjukkan bahwa manusia senantiasa berada dalam situasi, terjatuh dan terkurung di dalam kondisi tertentu dan berhubungan dengan situasi demiklan. Makna Dasein melampaul fakta subyek yang mempertanyakan makna ada. Dasein adalah subyek yang mustahil direduksikan pada pengertian ada sebagai obyektivltas murni sebagaimana diterima oleh metafisika terdahulu. Daseln bukan sekedar tampllan semata, kehadiran sederhana. Segala sesuatu yang bukan Dasein merupakan obyek (ob Jecta) yang ditempatkan di hadapanku. Daseln, aku bukanlah obyek murni dan sirnpel dalam dunia, malah dia adalah oda yang membuat segala sesuatu berada dan hadlr sebagal odo. Dunia Daseln adalah eksistensi; "kodrat, hakekat Dasein terietak pada eksistensinya". Semua sifat yang melekat pada Dasein berbeda sarna sekali dari sifat yang ada pada ada yang hadir secara simpel dan muml - obyek. Daseln adalah oda yang mungkln, bukan sekedar ada bukan sekedar ada yang rnempunyai syarat untuk menjadi sesuatu. Daseln senantiasa adalah sesuatu yang dapat berada. Potensiaiitas hakiki berada yang melekat pada Dasein melibatkan modalitas yang dicirikan oleh merawat dunia, peduli dengan yang lain. Hakekat eksistensi diberikan oleh kemungkinan, kemampuan ada yang mengatasi bidang iogika maupun kontingensi empiris. Keberadaan manusia adalah kemampuan yang direalisir, diwujudkan. Dafam daya yang mewujud dan diwujudkan terkandung piithan dan dalam piiihan termuat menaklukan dan kehliangan diri. Daseln adalah pengada yang menjadi tujuan keberadaannya dan eksistensi diputuskan oleh setlap pribadi Daseln entah dalam artian sukses maupun gagal. 3. Ada dalam dunia dan Ada dengan yang lain Kemampuan Dasefni untuk mengaktualisir diri, menjadi ada yang terwujud mengandung arti merencanakan, merancang. Dalam artian kerriampuan merancang dan merencanakan cara untuk mewujud menandakan bahwa Dasein memiliki kemampuan melampaul realitas konkrit. Daseln bersifat transenden dan transendensi merupakan Jiwa dasarnya. Sementara segala sesuatu yang lain merupakan sarana bagi perwujudan diri manusla. Jadt ciri dasar Daseln adalah berada dalam dunia, In der-Weh sein. Manusia benda dalam dunia. Mengingat ciri dasar manusia sebagai pengada, subyek yang dapat mewujudkan diri dan merencanakan hidupnya, maka keberadaan Dasein dalam dunia berarti menjadikan dunia sebagal obyek darl proyek tindakan manusia dan semua kegtatan yang mungkin. Transendensi melembagakan proyek tentang dunia dan tindakan demikian merupakan aktus kebebasan atau kebebasan itu sendiri. Makna transendensi Daseln sebagai pengolah dunia dalam rangka mewujudkan diri merupakan titik pembeda Heidegger dari Husseri. Dunia bukan lagi menjadi obyek yang hadir secara murnl dan sederhana sebagai bahan kontempiasi seperti digagas Husseri, melainkan satu kumputan sarana bagi manusla, perkakas dan barang untuk bekerja dan dikerJakan. Meskipun "proyek menjadi dan melampaui" berak.ar pada aksi kebebasan dan kebebasan Itu sendiri, manusia tetap tinggal sebagal subyek yang bergantung dari dunia. Manusia dibatasi oleh proyeknya yang secara kodrati bergantung pada keperiuan dan dibatasi oleh dunla sebagai sarana kerjanya. Karena Itu, berada dalam dunia berarti merawat dunia, peduli, menaruh perhatian dengan segala sesuatu yang berguna untuk mereaiisir proyek. Dunia adalah kumpulan dari segala sesuatu yang bermanfaat dan dapat dimanfaatkan. Dunia menjadi ada, bermakna sebagal ada berkat keberadaannya sebagai ada yang dapat digunakan. Keberadaan darl segala sesuatu sama dengan keberadaan sesuatu sejauh dimanfaatkan oleh manusia. Dengan mengubah dunia, manusia mengubah dirinya. Bila hakekat keberadaan benda terietak pada kegunaan, dunia sebagai obyek kontemplasi merupakan salah satu dimesi dari kegunaan: memuaskan kesenangan estetis. Dunia bisa dilihat secara ilmlah atau obyektiv ketika tahu apa yang harus dilakukan terhadapnya. Secara epistemologis, Heidegger menolak gagasan pengetahuan yag menempatkan buah pengetahuan dalam subyek penahu. Teori epistemologi demikian lahir dari pemahaman yang keliru, seakan mengetahui merupakan kualitas intemal subyek dan cara asali manusia menjàdi relasi dengan dunia. Dalam kenyataan, subyek membuka diri bagi dunia dan pengetahuan bukanlah cara awali manusia mempertalikan diri dengan dunia. "Problem apakah dunia ada dan keberadaannya bisa dibuktikan, seperti persoalan yang ditempatkan oleh rnanusia seperti berada dalam dunla (dan slapa yang dapat melakukannya?) adalah nirmakna". lika in dsr-Welt•sNn merupakan oksiston:ial, benda deng+sn ysng iain M/tseln adalah ekaistenaiai pula. Prsmia "tiada subyek tanpa dunia" sejajar dengan "tldak ada aku yang terisoiir tanpa yang lain". Heidegger mengikuti alur Husserl yang menentang aiterlsme atau sollpsisme. Yang lain bukanlah aku yang lain; dia adalah lain, berbeda dariku. la berpartisipasi pada dunia sepertiku juga. Sepadan dengan berada dalam dunia berarti merawat dan menaruh perhatian terhadap dunia, demikian pula berada bersama yang lain sama dengan merawot yang lain. Peduli dengan sesama tertuju pada dua arah: pertama upaya mengurangi yang iain dari kepedulianriya dan kedua membantunya mendapatkan kebebasan untuk menanggung kepedullannya. Dalam pengertian pertama terdapat sebuah "kebersarnaan", yakni satu bentuk hidup bersama yang tidak otentlk. Sementara dalam pèngertian kedua terdapat kebersamaan yang tulen. 4. Ada otentlk dan tak otentlk Daseln, manusia berada dalam dunia dan keberadaannya selalu dalam cakrawala menjadl, merancang sesuatu, mengolah alam untuk mempertahankan diri. Keberadaan Dasein menjadi tidak otentlk manakala mengarahkan seluruh perhatian dan tindakan kepedulian pada benda, materi, semesta raya. la memakai dan mernanfaatkan benda dalam relasi dengan sesama dan bahkarr menilai sesama dengan ukuran kebendaan. Benda menjadi tujuan, sehingga mereduksi manusi pada tingkatan benda. Pembendaan manusia berdampak pada bahasa. Bahasa kehilangan makna hakiki sebagai alat untuk mengatakan kebenaran dan berfungsi sekedar sebagai gurauan, omongan tentang eksistensi tanpa nama. Dalam perbincangan, Individu hanya bisa berkata bahwa `sesuatu berada secara demlkian, karena dikatakan begitu'. Karena dikatakan begitu ber-arti berada pada tataran informasi tanpa fondasi: gosip. Dalam dunia gosip demikian, yang justru berkembang adalah keingintahuan, curiosity. Diskursus diwarnai oleh lautan gosip dan pemberitaan yang terarah pada pemuasan kebutuhan ingin tahu dan selesal. Investigasi lebih lanjut terhenti pada layar, berita dan fakta.Gosip dan kuriositas melahirkan sa/ah paham dan konflik tak berkesudahan. Konflik dan salah paham merupakan konsekwensi dari kedangkalan berpikir dan berbicara yang bersumber dari apa yang dikatakan dan yang dikerjakan seseorang. Cognosco, ergo loquorque facio sudah tidak berlaku lagi. Manusia jatuh ke dalam urusan duniawi. Keberadaan otentlk adalah cara berada yang memaknai keberadaan benda. Manusia tidak hanya menjadi pemakai buta tanpa mengerti makna dan manfaat bagi dirinya. Keberadaan otentlk selalu dlawali oleh pertanyaan apa arti dunia bagiku. Keakuan dalam gagasan Heidegger mengacu pada kesadaran diri terdalam, yakni eksistensl dapat-mengada yang memberi ruang bagi manusia untuk merancang atau melampaul faktualitas diri. Kemampuan melampaui faktitas menandakan bahwa segala sesuatu bergantung padaku. Bergantung padaku menandai kemampuanku untuk membuat pilihan dan keputusan. Saya bisa melakukan apa saja yang kukehendaki atau malah tidak melakukan apapun. Pada titik inilah manusia memutuskan untuk dan terjerembab dalam eksistensi tak otentik. 5. Ada untuk mati Kemampuan memilih dan memutuskan berhenti ketika manusia berhadapan dengan maut. Di depan kematian mustahil ada plllhan dan keputusan. Maut merupakan realitas yang harus dihadapi, kemungkinan abadi yang selalu menanti, momen yang meniadakan semua pilihan dan kemungkinan. "Maut, sebagal kemungkinan, tidak memberikan peluang merealisir apapun bagi manusia". Maut adalah kemungkinan yang memustahiikan semua rencana dan hidup manusia. Kematian merupakan kemungkinan kemustahilan Itu sendiri. Pada titik ini, kesadaran individu meminta perhatian pada makna maut. Eksistensi sejati Dasein adalah ada untuk mati. "Maut merupakan kemungkinan berada yang Daseln mesti plkui sendirl. (...J Dalam kemungkinan ini tertera bagi Daseln keberadaannya secara murni dan slmpel dalarn dunia. Maut merùpakan kemungkinan menjadi bukan Daseln lagi. (...] Dengan diharuskan demikian, semua reiasi dengan Daseln yang lain terburai. Kemungkinan absolut ini demlklan ekstrem. Sejauh sebagai dapat-berada, Dosein mustahii melangkahi kemungkinan maut. Maut merupakan kemungkinan murni dan simpel kemustahilan Dasein. Dengan demikian, kematian disibak sebagai kemungklnan terasli, tanpa syarat dan tak teratas!". Maut adalah kemungkinan terakhir bagi eksistensi manusia. "Tiada seorang juga sanggup memikul kematian yang lain. (...] Tiap Dosein harus menanggung kematiannya. Sejauh maut ada, la selalu secara kodrati menjadi kematianku". 6. Keberanian di hadapan Kegalauan Kesadaran mengenai keberadaan manusia untuk mati memberikan makna ada bagi segala makhluk melalui pengalaman tentang kemustahifan. Dengan maut manusia mustahil membuat rencana dan melakukan kemungkinan lain. Pengalaman tentang kemustahilan menghaslikan rasa galau dalam diri manusia. "Berada untuk mati" tegas Heidegger "secara hakiki merupakan kegalauan. [...J Situasi perasaan yang selalu terkuak di hadapan ancaman tetap dan radikai, ancaman yang lahir dari ke-ada-an Dosein yang terisolir dan riii adalah kegalauan. Di dalamnya, Daseln mendapatl ketladaan kemungkinan bagi eksistensinya". Berada secara otentik, bersikap ksatria berarti berani menatap kemungkinan kemustahilan diri berada. Seorang ksatria mesti tangguh di hadapan kegalauan ekslstensial di depan maut, rendah hati menerima keterbatasan diri. individu yang hidup dai2m ketidakotentikan selalu takut dengan maut dan kegalauan. "Eksistensi anonim dan banal bersikap pengecut terhadap kegalauan di hadapan maut". Sikap takut "merupakan kegalauan yang terJerumus pada tingkatan dunia, tidak otentik dan tertutup pada diri sendiri sebagai kegalauan". Seorang yang hidup dalam ketidakotentikan mustahlt merasa aman; la selalu cemas dan takut pada sesuatu, walau tiada hai yang harus ditakuti. "Dalam kegalauan di hadapan maut, Daseln ditempatkan di hadapan diri sendiri seakan diserahkan pada kemungkinan diri yang tak teratasi. Eksistensi banai diperhatikan Cuna memballk kegalauan ini dàiam ketakutan di hadapan kejadian yang akan tiba. Kegalauan, dibanaikan menjadi ketakutan, dihadirkan sebagaf kelemahan yang Dasein dengan rasa percaya diri tidak boleh kenali. Apa yang pantas menurut kaidah tersembunyi eksistensi yang dibanalkan adalah ketenangan acuh tak acuh di hadapan fakta yang meninggai". Kemustahilan hadir dengan segenap kekuatan yang membatalkan semua kemungkinan ada. w 7. Waktu Dalam keberadíjan yang sarat dengan rencana, maka hai yang mendasar adalah masa depan, ke-nanti-an. "Merancang diri ke nanti dalam cara pandang tentang diri sendiri, merancang diri yang berdasar pada kekinlan merupakan sifat hakiki eksistensialitas. Makna pertamanya lalah kekinianN. Kelampauan merupakan gerak kembali pada situasi yang telah terjadi dan menerimanya sebagalmana ada yang purna. Kekinian falah ke-ada-an bersama dengan semua dan kenantian merupakan ke-ada-an yang menJelang. Itulah tiga momen berada.di luar, ekstasf. "Kekinian, keiampauan dan kenantian menylngkap karakter 'ke-untuk', 'di belakang menuju' 7 Pàan besua dengan'. Fenomen kini, dulu dan nanti mengungkapkan waktu sebagal íKatanóv. Temporalitas secara asali merupakan "berada di luar, dalam diri dan untuk diri". Kita menamakan fenomen terurai sebagal menjadi, telah terJadi dan kehadiran ekstasi temporalitas". Ketiga momen waktu tidaklah tetap secara absolut. Momen waktu berubah seturut waktu otentik atau waktu tak otentik. Waktu otentlk sejaJar dengan berada otentik dan waktu tak otentlk sepadan dengan keberadaan yang mengutamakan harta benda, prestasi. Bagl momen otentik masa depan merupakan aktivitas, bertatap muka dengan kegalauan dan maut, persiapan diri yang kelúar dari skema urusan duniawi. Adapun masa lalu merupakan momen refieksi guna menemukan makna dari beragam peristiwa dan norma yang merekam jejak cara hidup generasi terdahulu. Kekinlan merupakan kesempatan bagi individu untuk keluar dari ketidakaslian, dari dominasi dunia dan memutuskan nasib sendiri. Konsekwensi yang dapat dttarik dari gagasan Heidegger berkaltan dengan waktu adalah: a) waktu yang digunakan dalam pemikiran publik dan Ilmu pengetahuan adalah momen tak otentik karena mencemplungkan individu pada dunia; b) eksistensi otentik merupakan eksistenst galau yang melihat segala proyek dan maksud manusia sebagai nirmakna. Kesadaran mengenai kenirmanaan segala sesuatu dan kegalauan yang muncul di hadapan maut, membuat individu bisa menerima diri dan kekinlan guna mengantisipasi maut menjelang; c) Rupa-rupa sejarah mengandalkan keseJarahan Dasein. "Bukan sekedar pengetahuan rupa sejarah adalah sejarah sejauh menarnpilan proses menyejarah Dasein, melainkan keterbukaan rupa keseJarahan sejarah, [..] yang In se berakar dalam historisitas Daseln dan hak itu selaras dengan struktur ontologisnya. Adalah pada keterjalinan ini persoalan tentang asal muasal eksistensial historigafi bertitik tolak dari historisitas Dasein mengacu". 8. Metafisika dan Pelupaan Ada Upaya untuk menemukan makna ada atau analisa mengenai struktur eksistensi membuka kekeliruan yang selama ini dianggap sebagai kebenaran filosofis. Kekeliruan tersebut terletak pada anggapan bahwa analitis eksistensial mesti berawal dari realitas ada (konkrit). Analisa atas struktur ada memperlihatkan bahwa makna ada mustahil ditemukan pada pada ada, bahkan pada manusia, Dcuein yang mempertanyakan makna ada sekalipun. Analitis eksistensial Justru menunjukkan bahwa yang ditemukan bukanlah makna ada melainkan kemustahilan ada. Kekeliruan yang berlangsung sejak Jaman Yunani klasik hingga sebelum Heidegger selalu berkeyakinan bahwa pencaharian makna ada harus berawai dari ada konkret (entis). Jadi, metafisika rnemahami ada sebagal obyektivitas, kehadiran mumi ada konkrit. Dengan demikian, metafisika klasik-modern pra-Heidegger tiada lain adalah fisika, ilmu yang telah terserap oleh benda. Identifikasi ada dengan obyektivitas berakibat bahwa ada sejati dilupakan. Tokoh yang memulai peralihan metafisika ke fisika, yang melupakan ada sejati adalah Platon. Para fitosop pra-Platon memahami kebenaran sebagai penyataan, penyingkapan ada, disvelatio, úXri9eta (altheia), yang berasal dari a= tidak dan hav8ócvw (lanthano) = selubung. Platon menolak kebenaran sebagai crArlBEta, penyingkapan ada. Leblh parah lagi, la membalik urutan logis relasi ada dengan kebenaran, dengan menempatkan kebenaran sebagal dasar dan ada sebagal bangunan yang dibuat pikiran. Kebenaran terletak dalam piKiran, muatan atau isi yang ditangkap pikiran dan bukan ada yang membuka diri pada pikiran. Sebagai akibat, ada dibatasi dan d;hubungkan dengan pikiran semata: verbum mentls, bahasa. 9. Bahasa Pultis: Bahasa Ada Bahasa dengan segenap struktur dan kaidahnya merupakan ciri khas manusia. Hanya saja dalam tataran filosofis, bahasa yang digunakan mengungkapkan ada konkret, bukan ada sejati. Ada tidak dapat dikomunikasikan oleh ada konkret, termasuk manusia sebagai ada yang lstimewa. Mamusta mustahii menemukan makna ada. Ada menyingkap diri sendiri. Manusia hanyalah gembala ada, bukan tuan ada. Martabat manusia "terletak pada aanggilan, undangan ada untuk menjaga kebenarannya". Ada adalah misteri, bukan karya cipta manusia. Kapan ada menyingkapkan dir dan lewat sarana bahasa macam apa? Ada membuka diri dalam bahasa puitis. "Bahasa adalah rumah ada. Di kediaman ini menetap manusia. Pemikir dan penyalr adalah penjaga rumah ini". Bahasa pulsi membertkan nama dan menyingkap ada. Da:am bahasa penyair, yang berbicara adalah bahasa dan ada sendirf. Kata dan bahasa bersifat suci. Lalu sikap apa yang harus diambil manusia? la harus membuka mata dan memasang telinga untuk mendengar sabda da. la mesti memasrahkan diri pada ada; membuat diri bebas bagi kebenaran. Pada saat ada membuka diri dan manusia memasrahkan diri, di situ kebenaran dan kebebasan menjadi identik. Jadi baik kebenaran maupun kebebasan merupakan anugera ada. 10. Teknik dan Dunia Barat Penyamaan metafisika dengan fisika selama puluhan abad membawa akibat yang besar sekali bagi peradaban Barat. Penguasaan atas benda menghasiikan peradaban yang bertumpu pada teknik, sehingga menghasilkan dominasi teknologl. Teknologi merupakan konsekwensi logis dart dominasi flsika dan pelupaan ada oleh manusia. Melupakan ada, mendominasi ada konkret secara otomatis menguasai manusia, Dcueln, ada istimewa. Keyakinan pada teknik sedemikian berakar dan kaku sehingga menutup mata bahkan ketika perangkat teknis tersebut mengancam dan mernbinasakan hidup. 8 EKSISTENSIAUSME Latar belakang pemikiran eksistensialisme adalah beragam pola pikir yang menylratkan optimisme tentang Nalar sebagai jaminan bagi sejarah pengetahuan dan kesejahteraan hidup manusia. Optimisme tentang nalar diperllhatkan dalam positivisme, idealisme dan marxisme. Positivisme bertumpu pada kemampuan absolut naiar dalam memahami realitas empiris seturut icalkulasi, eksperimen dan bangunan teoretis yang sarat dengan fakta dan data yang valid dan tahan ujL Idealisme membangun sistem berpikir yang berpusat pada ide, universalitas dan yang umum sebagal kebenaran dan hakekat dari berbagal fenomen. Marxisme menyandarkan diri pada daya nalar sebagal motor utama bagi perubahan nasib umat manusia. Eksistensialisme membangun argumentasi yang bertolak belakang dengan optimisme nalar yang menjamin roda sejarah peradaban, ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Argumentasi eksistensialisme dan fllsafat eksistensial berpusat pada manusia sebagai Individu, makhluk, pribadi yang terbatas, tercampak di dalam dunia dengan beragam kesulitan dan persoalan. Sentralitas filsafat eksistensial adalah manusia nyata dan tunggal. Eksistensi merupakan cara berada utama manusia nyata. Eksistensi bertallan langsung dengan dunia atau Tuhan sebagal realitas yang mengatasi slngularitas Individu. Aspek transendensi ada diterima sebagai realitas yang nyata bagi eksistensi. Dalam kaitan dengan ada yang mentransenden, maka cara berada dasariah eksistensi adalah kemungklnan, peluang menjadi ada, gerak keluar darl diriku sebagal ada yang terbatas, ex-sistere. • Gerak keluar dari kedirian berarti proses menjadi yang mernuat risiko, soal, kegalauan, kecemasan, kekelaman, keberanian dan ketangguhan lewat keputusan menatap masa depan. Ex sistere berarti menantang waktu, mengísl ruang, mewujudkan suatu proyek. Apa proyek masa depan yang ingin diwujudkan? Tujuan apa yang hendak dirath dari gerak keluar dari kedirian? • Berkenaan dengan tujuan gerak keluar, terdapat beragam pendapat dan keragaman ini menjadi tanda pembeda dari aliran dalam eksistensialisme. Ada yang mengarahkan gerak pikiran pada Allah, ada pula yang berhenti pada kemanusiaan dan kebebasannya, terdapat pula orientasi pada dunta. Dari sudut sejarah pemikiran, eksistensialisme merupakan turunan dari refleksi polemis yang berkembang di antara para pemikir. Hegelianisme telah meiahirkan perdebatan yang sangat panjang dan melahlrkan krists yang amat signiflkan dalam sejarah Ide. Krisis tersebut bisa dftemukan dalam serangkaian kritik yang ditujukan pada Hegelianisme berupa materialisme- humanis Feuerbachian, rnateriaiisme historis Marxian, pesimisme Schopenhauerian, humanisme Nietzscheian, humanisme religius Klerkegaardian serta das ding an slch Husserlian. Kekhasan eksistensialisme terietak pada media ekspresi yang semakin beragam, meliputi literatur (buku, novel, roman) maupun seni teater. Gerak kembafi pada teater menampilkan wajah refleksi yang tidak lagi berkutat pada dunia ide; ide kini diturunkan dalam dunia tampilan, gerak gerik, mimik dan bahasa hadan indivídu. Teater menjadi medium pengetahuan konkret tentang hidup manusia dan semesta relasinya dengan sesama dan tingkungan sekitar. Teater laiah mikrokosmos. KARL JASPER (1883-1969) GARIS BESAR PEMIKIRAN 1. Keterbatasan Ilmu pengetahuan dan sikap ilmiah. "Sikap ilmiah merupakan kesiapsediaan iimuan menerima setiap kritlk terhadap pendapatnya. Bagi Ilmuan kritik merupakan syarat penting dan hakiki. Dia hendaklah tidak pemah merasa puas dikritik hingga mencapai kejelasan, t3ahkan kritik yang 'serampangan' bermanfaat bagi seorang ilmuan sejati. Dia yang alergi dengan kritik tidak menginginkan 'pengetahuan' dalam arti kata yang benar". Keterbatasan ilmu pengetahuan ilmiah ialah sebagai berikut: a) "pengetahuan ilmiah tentang segala sesuatu bukanlah pengetahuan tentang ada; terarah pada obyek tertentu, tetapi buta tentang apa arti ada; b) pengetahuan iimiah tidak mampu memberikan tuntunan bagi hidup; tidak bertumpu pada nilai yang kokoh; sebagai Ilmu, pengetahuan limlah tidak dapat menuntun hidup; untuk kejelasan dan keputusannya, pengetahuan iimfah menyodorkan dasar yang lain bagi hidup kita; c) ilmu tidak bisa memberikan jawaban apapun pada pertanyaan tentang makna sejati dirinya; fakta bahwa ilmu didasarkan pada dorongan yang bahkan tidak dapat dibuktikan secara llmiah sebagal benar dan harus ada". Pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan obyektiv, berciri dan berlaku umum. Namun, obyektivitas demlklan berkisar pada dunia benda dan selalu berada dalam alur orientasi di dunia. "Disebut orientasi karena terus tak-tuntas, proses tanpa hingga dan di sebut orientasi dalam dunia karena diposisikan sebagal pengetahuan seputar ada tertentu dan leblh tepat lagi pengetahuan tentang sesuatu yang ada dalam dunia. Tiada ada yang dikenal adalah ada". Meski berlaku umum, pengetahuan iimiah bukanlah solusi bagi semua problem. Justru chi oby"ktiv menjadi tembok yang membatasi pengetahuan ilmiah dari persoalan hakikl manusla dan semesta; la berada di luar ada dan persaalan manusla. 2. Ada melampaul pengetahuan ilmiah. Riset ilmiah tentu akan menghasilkan pengetahuan yang makin banyak dan cakrawalanya pun melu.as. Hanya saja ruang gerak pada dunia fisik membuat alur pengetahuan ilmiah selalu berada pada horison tak-tuntas, inkonklusiv. Makna ada, pemahaman tentang totalitas terpahami tuntas menjadi wilayah misterius bagi pengetahuan iimiah; yang absolut berada di luarjangkauannya. Jika berm»ksud memahami ada sebagai ada wajiblah mengubah haluan, mengingat dalam proses riset obyektiv kita sadar terus tentang tampllan totalitas, yang tidak pernah dibuktlkan sebagai ada penuh dan otentlk, sehingga harus dl cari pada tataran yang melampaui realitas fisik dan konkret, data dan fakta empiris. 9 "Ada mustahil dikurung dan bagi kita cakrawala bersifat nirbatas. Ada menarik kita dalam segala sisi menuju ~1 1 rsla seialu menarik diri dan menjauh. Ada ialah semua-perangkul. Semua-perangkui merupakan sesuatu yang saii~ terus dimaklumkan kepada kita, dan dtwartakan bagi kita bukan dalam artlan mendatangi klta, melainkan sebagai so~ dari setiap hai». 1adi, "kebenaran merupakan sesuatu yang lebih daripada kepastian ilmiah". Manusia bisa dipelajari dari beragam sudut pandang oleh berbagal disiplin ilmu, sebagai obyek.dunia. Nartan, demikian selalu menyisakan dan menempatkan ekslstensi di luar wliayah kajiannya. Eksistensi dalam realitas riil, ~ dan khusus mustahil diredukslkan pada sekedar obyek murni dan benda yang terpetakan oleh teori dan penjelasan. 3. Nlrobyektlvabllltas Eksistenst "Ada satu pikiran yang tiada bersangkut paut dengan validitas umum dan memaksa pada ke-absen-an, tetapi manu menyibak muatan yang bermanfaat sebagai penyangga dan norma bagi hidup. Pikiran demikian (rasio) masuk dm membuat jatan dengan menyinari dan bukan mengenal [...). Pada kasus demlklan pikiran tidak menyodorkan padaliau aneka pengetahuan yang asing, melainkan memperjeias apa yang kuinginkan, kumaksudkan dan kuimani dengan sungguh. Pada situasi demiklan pikiran membuat dan menentukan baglku dasar yang cerah tentang kesadaranku". Eksistensi adalah eksistensiku, mustahii diobyektivikasi dan disamakan dengan ada empiris dan inderawi. "Eksistensi merupakan persoalan personal. Aku, adalah eksistensi sejauh tidak menjadi obyek. Di dalamnya saya tahu mandiri tanpa sanggup mengintuisi apakah aku. Aku menghidupi kemungkinannya; hanya dalam merealisirnya aku adalah aku". Aku bukan sekedar tulang dan daging, makhluk yang berjalan klan kemari karena guratan takdir, tunduk pada fataiitas tanpa kesadaran. Aku adalah subyek yang dapat berada secara lain. Berada secara lain berarti bahwa "aku millkku adalah identlk dengan ruang realitas tempat aku berada". Di sini subyek, aku membuat keputusan dan pilihan dengan mengakui dan menerima eksistensiku sebagai aku yang berada dalam dunia. "Aku berada dalam situasi historis jika kusamakan dengan satu realitas dan dengan tugasnya yang begitu besar [...]. Aku hanya dapat ambil-bagian pada satu bangsa, memiliki orangtua ini dan bukan yang lain, bisa mencintal satu wanita saja". Aku adalah aku sebagaimana diriku di sini dan kini. itulah kebebasanku. Nirobyektivabilitas eksistensi dan historisitasnya merupakan due hasil yang menuntun pada Iluminasi eksistensi. Pada titik demikian "eksistensi dan rasio bukanlah due kekuatan yang saling bergulat, melainkan bahwa masing-masing berkat satu sama lain dan dalam aktus saling memasuki memberikan realitas dan kejelasan". 4. Ketenggelaman Eksistenst dan Pijar Transendensi 'Tujuan yang dicapai dengan perubahan kondisi sosiai menjadi tak tertanggungkan dan berantakan. Semua peluang yang terpikirkan kini terhlsap tuntas. Beragam kekayaan hidup spiritual menguap. Sebesar apapun, semua telah melenyap. Pada tahap terakhir tersisa hanya ketengge/aman". Semua menghiiang, melenyap dan menguap, mulai dati semua hai, institusi hingga "segala sesuatu yang telah dihasiikan dan dicapai pikiran". 'Segala situasi seperti keadaan seiaiu berada daiam situasi, dapat hidup tanpa pergulatan dan penderitaan, keharusan mengemban rasa bersalah yang tak tersembuhkan, aku harus mati, membentuk apa yang kusebut situasl-batas. Situaslbatas tidak mengalami perubahan substansial, tetapi perubahan fenomenis; dibandingkan dengan keberadaan kita situasi-batas mempunyai sifat tuntas. Mereka tìdak kelihatan; dalam keberadaan kita tidak dimuncuikan apapun yang melampaul situasi-batas demikian. Mereka bagaikan tembok yang kita hadapi dan kita roboh. Dari pihak kita, situasi-batas mustahil diubah, tetapi hanya bisa diperjelas". Kesadaran mengenai keterbatasan, ketenggelaman dan kefanaan segala sesuatu, eksistensi diri, instltusi dan sejarah peradaban menyiratkan pijar transendensi. Tentu kehadiran yang transenden mustahii dikenal, karena bukan entitas flsikinderawi; keberadaannya ditandaì sebagal YANG LAIN oleh dunia. Realitas merupakan bahasa isyarat transendensi. "Aku sejatl, yang sungguh mau menJadi diri sendiri, mustahil berdiri tegak. Ketika aku gagai dalam keinginan cukup bagi diriku, bisa díkatakan bahwa aku siap bagi sesuatu yang lain, di hadapannya, yaltu Transendenst". Transendensi menyatakan diri datam situasi-batas. Batas mengungkapkan sesuatu yang melampaul eksistensi, eksistensi yang berada dalam due kutub yang berbeda. Keberadaan yang antagonistls demikian mesti diteNma sambil berupaya mengenai dan memaharninya. Pada titik ini, transendensi hanya dirasakan dan dititik, karena mengatasi segala kaidah ilmu pengetahuan. "Aku bukanlah diriku sendiri tanpa transendensi. Pada siapa ditanyakan apa arti transendensi, mustahil diperoleh jawaban daiam lstilah pengetahuan.lawaban datang dari luar secara tidak iangsung dalam ukuran di mana seseorang memperjelas struktur dunla, yang mustahii pula ditutup datam dirinya dan struktur manusia yang mustahli mewujudkan dlri secara sempurna, saat disibak kemustahilan sistemasi dunia secara berkala dan tuntas serta fatalitas kekaraman universal. Tanpa transendensi tiada eksistensi. Persoalan terakhir adalah mengetahui bila dari iembah keketaman sebuah ada dapat bersinar-Y 5. Eksistensí dan Komunikasi Transendensi mengungkapkan diri dalam bahasa lsyarat situasi-batas, sehingga hendaklah dibaca dalam kelntiman eksistensi diri. Pada tataran ini, kebenaran filosofis bersifat tunggal dan eksistensial, bukan anonim dan obyektiv. "Allah adalah senantiasa Allahku dan Dia tak kumiliki bersama dengan yang tainp. Transendensi adalsh unik: aku adalah eksistensiku. Persoalan yang muncul adalah bagaimana menyampaikan kebenaran filosofis kepada yang lain bila berada di kedalaman jiwaku, dia pilih dan dia terima? Jika kebenaran adalah unlk dan berads dalam satiap batin, maka kebenann adalah Jamak, majemuk, plural. 10 "Eksistensi menjadi ungkapan diri sendiri dan dengan demikian riil, bila bersama dengan eksistensi yang lain, lewat dan bersamanya, sampai pada dirinya". Kebenaran yang hadir pada semua menandakan bahwa masing-masing berada daiam perziarahan guna menemukan Kebenaran sejati, Transendensi yang mengatasi semua kebenaran tunggal eksistensi. Dengan mengakui kemajemukan kebenaran yang bersemayam dalam setiap eksistensi, Jaspers menghindari dogmatisme dan fanatisme yang mendakukan kebenaran maupun relativisme dan skeptisisme yang meyakini banyak kebenaran sebanyak eksistensi. Filosof yang awas "tidak jatuh ke dalam kekeliruan tentang kebenaran menyeluruh dan tuntas". la selalu membuka diri tentang peluang untuk menjembatani aneka kebenaran yang dimiliki oleh setiap eksistensi. Sistem totaliter "mendasarkan rencana yang menyeluruh di atas dasar pengetahuan yang menyeluruh pula. Namun mustahil bagi siapapun, entah melalui pengetahuan maupun aksi memahami totalitas dunia, dia yang berupaya melakukannya harus menaklukkan dunia dengan kekuatan, tetapi dia akan lakukan sebagai seorang pembunuh yang menguasai mayat dan bukan sebagai insan yang mencoba masuk dalam relasl dengan sesama manusia guna mendirikan dunia bersama". Penyakit utama kaum diktator dan dogmatis baik, Nazi maupun komunisme adalah bahwa "mereka menegaskan sesuatu yang mengatasi pengetahuan iimiah seakan dia anggap sebagai pengetahuan yang leblh iimiah lagi". Melawan dogmatisme dan kediktatoran, "tujuan filsafat adalah memperkokoh resistensi batin melawan propaganda mutakhir barisan parta[, seperti melindungi individu dari mangsa iman yang absurd maupun plhak yang mencapai titik tertinggi dalam 'pengakuan' yang terjadi dalam beragam proses yang rnenggelikan". Karena itu, "dalam oposisi terhadap pengetahuan totalitarian, filsafat harus membuat terjaga kemampuan berpikir mandiri dan kemandirian individu yang hendak dicekik oleh kekuasaan totaliter". Filsafat adalah lentera peradaban, penerang di kala kegèlapan menyergap, daya vital ketika ada daya perusak yang meracuni badan sosfal-individual, sang juruselamat manakala tangan kekuasaan dengan pedang teracung membabat kemanusiaan. Fiisafat tidak boleh berdiam diri di menara gading kieaUsme; dia harus turun ke bumi bergulat dengan tadir manusia datam ruang dan kekinian. JEAN-PAUL SARTRE (1905-1980) L Krit(k atas Fenomenologi Sartre sependapat dengan Husserl mengenai pengertian intensionalitas bahwa pikiran selalu mengacu pada ada, tahu tentang sesuatu. Krittk Sartre atas Husserl diawali dengan analisa kritis seputar AKU, IMAGINASI DAN EMOSI. Mengenai gagasan Husserl tentang subyek transendental, Sartre menyanggah secara demikian: "Aku bukanlah penghuni kesadaran, bukan dalam kesadaran, melainkan berada di luar kesadaran, dalam dunia: la adalah ada dalam dunia seperti aku yang lain". lebih ianjut dikatakan bahwa "sebuah meja bukan berada dalam kesadaran, apaiagl representasinya. Sebuah meja berada dalam ruang, dekat dengan jendela dan seterusnya (...]. Langkah pertama yang ditakukan fiisafat adalah mencabut segala sesuatu darl kesadaran dan menata ulang relasinya dengan dunia, yaltu bahwa kesadaran merupakan kesadaran posisional dunia". 2. Drama Ekststensial Ada adalah keterlaluan. Eksistensi adalah keterlaluan; eksistensi bukanlah niscaya. Dunia adalah keterlaluan; tidak harus ada. Semua gratis, tanpa bayar, cuma-cuma, nirharga, tanpa aiasan, tanpa dasar, sia-sia. Semesta tidak memiliki alasan berada sama sekali, sehingga mustahil dan keterlaluan. Yang hakiki adalah kontingensi. Kegratisan dan kesia-siaan eksistensiku dan ada telah melahirkan rasa muak. 'Beberapa saat lalu, saya [Antoine Roquentin - tokoh rekaan) berada di taman kota. Akar berangan melingkar di tanah, tepat berada di bawah kursiku. Saya tak ingat lagí kalau itu akar. Semua kata menguap, dan bersama dengan itu menguap pula makna segala sesuatu, cara guna mereka, guratan-coretan yang telah orang tinggalkan [...]; akar, pagar (kawat], kursi, alur rumput, semua hilang; keragaman segala sesuatu dan ketunggalan mereka tidak lain adalah tampilan, pemis-cat. Cat itu telah mencair, tersisa noda yang buruk dan berair tak teratur, telanjang, ketelanjangan yang menakutkan dan buruk rupa. Kami hanyalah seonggok ada yang asing, malu dengan diri sendiri, tiada alasan sakecil apapun untuk di sana, yang satu maupun yang lain, setiap yang ada, bingung gelisah, merasa keterlaluan dalam relasi dengan yang lain. %rlalu: hanya itu relasi yang bisa saya jalin dengan pepohonan, pagar dan kerikil". "Momen ini begitu luarbiasa. Saya di sana, terdiam dan kedinginan, tenggelam dalam ekstasl yang mengerikan. Namun dalam lubuk ekstasi itu timbui sesuatu yang baru dan saya menyadari rasa muak, sekarang saya mIliki". Darl rasa muak, Sartre menemukan realitas hakiki bahwa "yang hakiki lalah kontlngenst. Per deflnlsi, saya katakan bahwa eksistensi bukanlah keniscayaan. Berada berarti berada di sana belaka; yang ada tampil, saling bertemu: kontingensi bukanlah rupa yang palsu, tampilan yang dapat dibuang; la adalah absolut, dan karena Itu kegratisan sempuma. Semua gratis, taman ini, kota ini, saya sendiri. Ketika kalian sadar akan semua 'ini, perut kalian berontak dan semua muncrat... itulah kemuakan". Kemuakan -,merupakan cara berada, pota interaksi, roh relasi dan jiwa ekspedisi manusia qalam semesta raya. Perziarahan semua yang ada disertai senantiasa oleh rasa muak, kemuakan yang mengalir dari kesia-slaan, kegratisan ada. Sarte menegaskan kembali apa yang diujar oleh Pengkhotbah: segala sesuatu adalah kesfa-slaan. 3. Ontologi - Gagasan ontologi Sartrean berciri dualistis. Ada (riil) terbedakan dalam kesadaran dan obyek kesadaran, ada In-se (I'étre en-soi) dan ada per-se (étre pour-sol), ada dan tiada. Pemisahan demlklan berakar dari pengalaman kemuakan yang mengungkapkan kesia-slaan dan kegratisan segala sesuatu. Ternyàta, subyek berkesadaran berbeda dari obyek yang disadarí; li kesadaran senantiasa adalah kesadaran tentang sesuatu. Daiam praksis, kesadaran atau subyek dapat berubah rupa ma~ dan tenggelam dalarn semesta benda. Sartre memahami ontologi sebagai deskripsi fenomen ada yang menyatakan diri tanpa medium apapun. OM~ mempunyai sifat deskriptiv, konstatativ. Chi deskriptiv ontologi mengalir dari konsep ada sebagai tampflan. Ada adalah segaia sesuatu yang tercerap oleh indra dalam realitas; ada sejauh tampil. "Ada fenomen seluas apapun. harus tunduk pada persyaratan fenomenis - fenomen berada sejauh disingkapkan - dan karena itu melampaul dan membentuk pengetahuan tentang fenomen". Sementara metafisika dipahami secara khusus sebagal "kajian tentang berbagai proses individuai yang menjadi asal muasal dunia ini sebagal totalitas konkret dan tunggal. Dalam artian In], metafisika berada dalam ontoiogi seperti sejarah dalam sasiafogi". Ontologi Sartrean memiliki karakter formai. Ada adalah fenomen. Tampilan tidak menyembunyikan esensi, maiah menyatakannya. Tampilan adalah hakekat, sehingga ontologi berc(ri fenomenologis. Ontologi merupakan subyektivitas intensionai. Ontologi mengolah semua data yang diperofeh dari pengaiaman eksistensial. Ada tiada lain adalah situasi yang dihidupi oleh manusia. Titik tolak ontoiagi Sartrean adalah manusia dan pengalamannya daiam semesta realitas. Karena Itu, ontologi Sartrean ialah gnoseoiogi, karena membentuk doktrin pengetahuan dan ada, berada di antara fenomenologi dan ontologi. Ada mempunyai beragam makna: a) copula (adatah) dari satu keputusan, b) segala benda, c) manusia, d) kesadaran, e) reduksi, f) sesuatu yang abstrak, g) alam raya. Sartre mereduksir makna ada riii pada dua aspek belaka: ada in-se dan ada per-se. Ada in-se dan ada per-se bukan berada dalam relasi pertentangan. In-se dan per-se merupakan bagian Integrai ada, cara berada ada secara riii. Ada in-se dan ada per-se sejajar dengan ada dan ketiadaan. Ada da{am arti yang penuh dan pasitiv adalah ada in-se, mengingat ada per-se adalah ketiadaan ada. Ada in-se adalah ada fenomen dan bersifat tak tercipta, ada sebagal ada yang bukan pasivitas maupun aktivìtas. Ada ìn-se adalah ada, bukan berasal darl apapun entah yang rnenjadi maupun yang niscaya. "Ada in-se adalah nir-kreasi, tanpa alasan berada, tìada relasi dengan ada yang lain; ada in-se adalah keteriaiuan bagi keabadian". Ada in-se adalah kontingen, sia-sia, terlalu. Ada ìn-se adalah ada secara demikian. lika ada in-se bukan berasal dari ADA yang niscaya, ALLAH, apa alasan memadal yang dapat diajukan? Tentang persoalan demikian Sartre menjawab, "lika ada berada di hadapan Allah berarti ada adaiah penyangga dirinya sendiri dan tanpa metestarikan jejak terkeci{ sebagai ciptaan tfahi". Ada in-se secara ontoiogis mendahuiui ada kesadaran. Kesadaran menyembuf dari ada seperti sesuatu yang melingkupinya. Titik tolak anterioritas ada adalah fenomen tanpa mediasi. Fenomen merupakan obyek terindera dan terimajinasi dan obyek demikian ditata dalam ruang kesadaran secara berantai. Kesatuan sintetis fenomen adalah hakekat obyek yang tampii. Hakekat merupakan alasan ada yang tampak dan fenomen, ada yang tampak, menyingkap hakekat dan ada. Ada fenomen merrbuka diri secara langsung pada kesadaran, karena kita mernífiki Intulsi yang bertaftan. Ada merupakan syarat bagf setiap penyingkapan, ada untuk tersingkap. Dengan demikian, ada fenomen berciri ontologir, ada adalah subyek dan di luar subyek. Ada adalah dasar subyek, terdapat di manapun, melawanku, di sekitarku dan bo/ak-batlk dari ada ke ada yang iain. Ada in-se bukan pasivìtas, karena tidak bergantung pada Allah. Ketergantungan pada Allah berarti Allah terus berkarya, meiestarikan karya cipta dan seialu berada di hadapan seluruh ciptaanNya. Kontinuitas karya dan kehadiran senantiasa menandakan bahwa Individu adalah pasivitas murni. Ada in-se bukan aktivitas, karena mensyaratkan sarana dan tujuan yang mendahuluinya datam berada. Jika ada sarana dan tujuan yang teiah ada iebih dahuiu daripada ada in-se, maka anterioritas demlkian menandakan bahwa ada in-se berkaitan dengan keniscayaan. Sementara keniscayaan selaiu bertalian dengan yang ideai. Ada in-se bukan pula kemungkinan maupun kemustahilan, mengingat kemustahíian memiliki struktur per se. Bukan pula kemungkinan, karena menuntut sesuatu yang mengawali, menyediakan hai ihwai yang harus direalisir dan sasaran yang hendak di raih.lika demikian, ada in-se adalah ada begitu saja, kontingensi, bahkan keterlaiuan bagi keflahian. Ada per-se adalah kesadaran, manusla. Kesadaran berada dalam ada in-se, daiam dunia. Hanya sala, keberadaan daiam dunia jangan dipahami sebagai bertaiian dengan ada in•se. Keaadaran, okaistonai, manusla borboda dari dunia dan bebas secara absoiut. Kesadaran bukaniah obyek. Secara hakiki kesadaran adalah tabularasa. Kesadaran merupakan subyek dan secara esensial adalah opsional; dengan merealisir diri, kesadaran menstransenden. Ada transenden iaiah ada yang berada di depanku, di hadapanmu dan yang lain ada{ah transenden di depanku. Kesadaran tidak memuat apapun, tanpa Isi, ketiadaan, constientta nulla est. Semua yang berada daiam pikiran merupakan kotutruksi manusia, proyek yang direalisir. Kesadaran merupakan kemungkinan dan karena Itu adaiah kebebasan. "Kebebasan bukanlah ada. Kebebasan adaiah keberadaan manusia, yaknt ke-bukan-an berada. Aku terhukum untuk seialu berada mengatasi semua penggerak dan motiv perbuatanku: saya terkungkung untuk bebas. Dalam artian tiada batasan apapun bagi kebebasanku seiain kebebasan demikian; atau lebìh pas, kìta terpaksa untuk bebas senantiasa". Kebebasan -adaiéh takdir, guratan nasib yang meiekat dalam eksistensi, jiwa yang menghidupi i+Fesadaran, daya yang menggerakkan badan. Kebebasan adalah kutukan eksistensi yang mustahil dihindari. Manusia adaiah kebebasan. Ada per-se yang terkutuk untuk bebas berupaya membangun keberadaannya. Hidupnya merupakan sebuah proyek berada. Gerak„mengada manusia melahirkan ketiadaan. "Ada yang memunculkan tJado dalam dunia merupakan ada yany dalam keberadaannya mempersoatkan kttladaan keberadaannya. Ada yanQ membuat tlada tlmbul dalam dunia hendak/ah ketiodaannya sendlri". Dengan manusia, "ketiadaan menyusup ke da/am dunla dan mewarnal seqala sesuatu". 12 r Mengapa demikian? Karena "reatítas manusla per-se dengan mengada sebagal annulasi ada In-se terbentuk secara bersomaan dl bawah semua dimensi annulasi yang mungkin". Tiada bukanlah statis, melainkan dinamis dan kedinamisan demikian terungkap dalam aksi nullifikasi ada. Ketiadaan bersemayam dalam ada dan sejenls penyakit ada. Jadi, ketiadaan adalah posterior dibandingkan dengan ada. Posterioritas ketiadaan menunjukkan bahwa ketiadaan merupakan konsekuensi, akibat; bukan menientifikasi, melainkan dinientifikasi, tidak mengannulasi, tetapi diannulasi. Fakta bahwa ketladaan merupakan "korban" dalam semesta ada menunjukkan bahwa ketiadaan memiiiki asal usul dalam ada in-se. Dalam artian bahwa ada In-se ditatakelola seturut prinsip identitas. Ada adalah ada dalam kepenuhan dan kesempurnaannya. Ketiadaan merupakan negasi prinslp identitas. Negasi prinsip identitas membuka peluang bagi ada untuk hadir bagi dirinya sendiri atau menjadi kesadaran, ada perse. Presensi a se berarti membuat jarak dari diri sendiri, tindakan untuk menjadi causa sul, fondasi bagí diri sendiri. Upaya ada per-se menjadikan diri sebagai causa sul merupakan tindakan dekompresf ada dan dekompresi ini membuka ruang dan celah dalam imperium ada. Dengan menjadi kesadaran, hadir a se, ketiadaan masuk ke dalam ada. Bagaimana ada celah bagi ketiadaan untuk masuk dalam ada, jika ada merupakan fondasi ketiadaan dan secara kronologis adalah anterlor? Sartre membuktlkan eksistensi ketiadaan dengan menunjuk pada keputusan negativ, Interogast, keraguan, epoche, buruk hati. Semua fakta ini menunjukkan bahwa penyebab ketiadaan berada dalam keterbatasan obyektiv subyek dan kemampuannya. 4. Humanisme Gagasan Sarte tentang manusia bernuansa negativ dan pesimistis, sekaligus mendua. Di satu sisl, la memahami manusia sebagai seonggok daging yang berkesadaran; makhluk tanpa awal mula dan asal usul apapun selain rahim ibu. la menegaskan dengan lantang bahwa "tidak ada kodrat manusia, sebab tiada Allah yang menclptakannya". Dalam kenyataan, "tiada kodrat manusia di atas mana aku dapat berpíjak". Di sisi lain, la menyatakan bahwa "esensi merupakan segala sesuatu yang realitas manusia pungut sendiri sebagal sesuatu yang terdahulu". Siapakah manusia menurut Sartre? Manusta adalah apa yang dilakukan, bukan apa yang ada. la adalah pembuat mukjizat bagi kekinlan hidupnya. Dalam diri setiap manusia sudah terselip benih masa depan. Hldupnya adalah satu proyek, pilihan, keputusan dan kehendak untuk menjadi, bukan takdir ilahi. Dasar keberadaan yang memproyeksl adalah status manusia sebagai makhiuk bebas dan duniawi. Saya melakukan apa yang kulnginkan seturut tujuanku. Maka, ptilhan dan keputusan menciptakan hakekat manusia seturut maksudnya. Untuk manusia, eksistensi mendahulut esensi. "Allah tidak ada, di hadapan kita tidak ditemukan nilai dan tatanan yang bisa mensahkan perilaku kita. Dengan demikian, baik di muka maupun di belakang, daiam dominasi niiai yang berpijar, tidak klta temukan justifikasi atau maaf. Kita berada tanpa maaf. Apa yang kuungkap dengan kata-kata tersebut adalah manusia terhukum untuk bebas. Terhukum karena bukan swacipta dan meski bebas, la harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dliakukan, karena telah tercampak ke dalam dunia". Manusia adalah tuan atas keberadaan, aktivitas dan takdir sendiri, sebab tiada Tuhan. "la (eksistensial) berpiklr bahwa manusia adalah penanggungjawab atas hasratnya. Eksistensialis bahkan tidak pemah berpikir bahwa manusla dapat menemukan bantuan berupa isyarat sebagal orientasi di atas bumi; la malah berpikir bahwa manusfa mengukir sendlri isyarat seturut kehendaknya. Jadi, la berpikir bahwa manusia tanpa bantuan dan sokongan yang lain, dihukum sepanjang waktu untuk menjadi manusia". Manusia menciptakan manusia. Ciri dasar manusia yang sekaligus membedakannya dari yang lain adalah i) eksistensi mendahului esensi, li) tanpa kodrat, ili) bebas mengatur dan mengarahkan diri. Manusia tanpa kodrat berarti bahwa hakekat manusia merupakan hasil karya manusia. Eksistensi mendahului menunjukkan bahwa hakekat merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dan diciptakan. Persoalan yang muncul adalah di mana martabat manusia yang leblh tinggi daripada semua ada yang laln harus didasarkan? Menurut Sartre, walaupun tidak memiliki hakekat sejak awal, rnanusia mempunyai satu kondisi, yakni teknik memilih dan mengerjakan. Teknik membuat pilihan dan keputusan selafu cenderung membawa manusia pada ada in-se - per-se atau menjadi Allah. Pada permulaan adalah aksi: mencipta diri dan mencipta, bekerja dan berkarya. Semua berada oleh dan untuk manusia: "samua nNai oda hanya untuk manusia". "Tanpa spesles manusia, tiada kebenaran, dan premis ini bersifat pasti: hanya tinggai sebagal tunas irrasional don kontingen pilihan individuai, tanpa satu hukum jua dapat menguasainya. Jika oda sesuatu sebagai kebenaran terbuka peluang untuk memadukan pilihan individu, dan spesies manusia sanggup melakukannya". Adapun nilai proyek manusla semuanya setali. "Semua aktfvites manusia adalah setara [...J dan semua terarah pada jalan buntu. Secara hakiki semua senilai dengan mabuk dalam kesendirian atau memerintah penduduk. Jika salah satu dari sekian aktivitas adalah lebih tinggi dari yang lain, superioritas demikian lebih disebabkan oleh kesadaran yang mempunyai tujuan ideai tersendiri daripada tujuan riilnya; dan dalam kasus ini ketenangan si pqnabuk solitario adalah lebih ttnggf daripada agitasi fana seorang pemimpin bangsa". Secara singkat humanisme Sartrean bisa dirumuskan demikian. Manusia adalah makhiuk yang tercampak ke dalam dunia. Sama seperti segala sesuatu datam dunia adaiah kemubaziran dan sernua nilai sPtara, tanpa makna dan dasar, demikian pula eksistensi dan aksi manusia adalah nirmakna. Hidup merupakan pertualangan yang sia-sia belaka, karena selalu terarah ke luar diri: menjadi'Ailah. Jadi, manusia adalah hasrat yang nirguna. ` Humanisme pesimistis Sartre diperiuas dati wilayah Individuai ke ranah sosia]. Berikut adalah daftar proposisi yang menggambarkan pesimisme Sartre tentang yang lain dan maknanya bagi eksistensiku. PrInsIp relasi tnterpersonal diringkas Sartre dengan vldecrr ergo es, sum ergo es - saya tertatap, jadi kamu adalah kamu, saya adalah saya, maka kamu adalah kamu. 13 r "lika secara umum oda Yang lain, perlu/ah bahwa saya adalah dia yang bukan Yang lain, dan dalam negasi yang ku/akukan atas diriku, saya mengadakan dlrJ dan Yang lain muncul sebagal Yang lain". "Konfllk adalah makna osali dati oda bagi yang lain (étre pour autrui)". "Saya berada dalam bahaya. Bahaya JnJ bukanlah akslden, melalnkan struktur permanen keberodaannku bagi yang lain", "Hakekat relasl antar-kesadaran bukanlah MJtseJn, topi konfllk", "neraka ada/ah mereka yang lain" (PJrltu Tertutup § 26). "Masfng-masJng kita adalah penjagal yang lain". "Manusia atau ada per-se merupakan ada bagl yang lain. Yang lain bukan dislmpu/kan secara analog dori aku sendirJ. Yang tain menyatakan diri sebagai yang lain dalam serangkaian pengaloman di mano io menginvasi wilayah subyektlvltasku don mengubahku dori subyek menjadJ obyek dunianya. Dengan demikian, yang lain tampil sebagaJ dia yang menatapku daripada yang kupandang, dia yang menghadJrkanku, tanpa ragu, dia menempatkanku dl bawah tJndasan tatapannyd'. "Hanya di hadapan yang lain saya merasa bersalah. Rasa bersalah terutama di bawah tatapannya, kala saya merasakan keterasingan dan ketelanJanganku sebagal degradasi yang harus kutanggung; merupakan arti populer: `mereka menyadari dir] te/anjang' dori Kitab SucJ. SelaJn itu merasa bersalah karena saat setlap kalJ saya menatap yang lain, dengan menegaskan diri, saya menjadikannya obyek don instrumen, don saya membuatnya berada pada titJk allenasi yang horus ditanggungnya. Dengan demikian, dosa osai adalah kelahiranku di dunia di mana yang lain sudah odo, dan apapun jenJs re/asJ terkiniku dengan yang lain, tiada lain adalah varlasi dori tema asali rasa bersalahku. Sartre mengungkapkan relasi konfliktual dengan sesama dalam karya terkenal Pintu Tertutup dengan tiga orang pelaku: Ines, Gargon dan Estelle (simbol dari relasi konfliktual antara Simmon de Beauvoire, Sartre dan Olga). Ketiga tokoh ini sudah terhukum dan merasa malu di hadapan satu sama lain. Rasa malu bukanlah perasaan personal, melainkan kesadaranku yang masih belum Jan tidak lebih. Rasa malu merupakan kesadaran diri sebagai obyek, tergantung dan terkristalisasi bagi yang lain, kejatuhan asali ke dalam dunia, rasa perlu terhadap yang lain bagi pertumbuhan dan perkembangan diriku. Dalam relasi dengan yang lain, kita saling memperlakukan sesama sebagai obyek. Relasi berciri konfliktual. Cinta menginginkan yang lain menjadi obyek: saya mau kamu menclntaiku dengan sungguh dan saya mengerahkan segenap daya untuk merealisir proyekku menjadi subyek dengan menjadi subyektivitas murni di hadapan obyektivitas absolut sesama. Jadi cinta adalah ilusi dan tipuan. Garson dan Estelle saling mencintai. Kehadiran Ines malah membuat cinta menjadi derita. Ines adalah gambaran rasa malu. Rasa malu merupakan perasaan awali. Mengapa Ines merasa malu? Karena dia adalah wanita dan jahat pula. Yang lain berupaya agar dia menjadi titik tolak juga dari sudut estetika. Estella berupaya merayu Gargon, yakni merampas kebebasannya. Dalam rayuan tiada kebebasan; yang terungkap hanyalah menempatkan diriku di bawah tatapannya, menjadi obyek yang menggoda. Gar5on menyimbolkan ketakutan dan sikap acuh tak acuh. Takut berarti saya tampil sebagai ancaman. Acuh tak acuh hendak mengisolirku, dengan melupakan kedua wanita dan membuat mereka melupakanku pula. Gargon tidak mau membuat mereka menjadi obyek pikirannya atau dia menjadi obyek pikiran mereka. Estelie membenci Ines dan menyangkal keberadaannya. Dengan menindas Ines Gargon dan Estelle dapat saling mencintai. Mencintai berarti menindas seseorang, memperlakukan dia sebagai obyek. Hidup menjadi neraka dan neraka adaiah kehadiran yang lain. 5. Kriiik atas Nalar Dialektis Manusia adalah sebuah proyek yang mesti direalisir dalam dunia. Dogma eksistensialis Sartrean tersebut menyir•atkan bahwa manusia mesti mempertimbangkan dan memperhitungkan situasi dan kondisi yang mengitari dan menyelimutinya. Keterlemparan ke dalam dunia berarti hidup dalam tarik menarik dengan berbagal faktor dan unsur yang berada di luar kemauan dan kemampuan manusia.ladi eksistensi manusia ditentukan oleh kondisi material. Relasi tarik menarik dengan kondisi material mendekatkan Sartre dengan Marx yang telah menggarisbawahi dominasi produksi material atas perkembangan hidup bersama, politik dan budaya. Eksistensi manusia sebagai proyek bersua dengan materialisme historis Marxis. Mengamini materialisme historis serta merta membawa Sartre menolak materialisme dlalektis. Materialisme bukanlah "materlalisme dialektis, jika dimaksudkan sebagai ilusi metafisik guna menemukan dialektika alam. Dfalektika demikian dapat saja ada, tetapi pertu diketahui bahwa kita tidak mempunyai buktl seculi pun. Maka materialisme dialektis disempitkan pada diskursus yang membosankan dan sarat prasangka tentang Ilmu fisika-k(mia dan biologi sarta bermanfaat hanya untuk menyamarkan, paling kurang di Perancis, mekanisme analitis yang amat tipis". Materialisme dialektis Engeislan ditolak mentah karena menundukkan manusia pada fatalitas hukum operasional mesin dialektis. Lebih lanjut Sartre mengatakan bahwa "doktrin dialektis merupakan pengetahuan mumi dan kaku, mustahil melakukan swa-koreksi, sebab kini teiah menjadi dogma". Di hadapan dogma hanya ada kepasrahan dan keyakinan buta; tiada diskursus maupun pengalaman yang berbeda. Dogma hanya mensyaratkan partisipasi pasiv pada ritus dan perayaan yang diadakan oleh pihak yang berwenang. Karena itu, "semesta konsep yang terbuka Marxlsme kini tertutup; bukan lagi kunci, skema penafsiran; mereka telah mernberlakukannya sebagal pengetahuan yang absolut dan abadi", sehingga " pencaharian yang menyeluruh telah menyisakan tempat bagi skolastikat totalitas». Adagium permenungan "carilah totaiitas melalui bagian-bagian" diganti dengan praktek teroris lenyapkan partikularitas". Praktek teroris yang mengganyang partikuiaritas berakar dari kaum Marxis yang sudah tidak mengerti apapun jua. Marxisme telah disulap menjadi dogma: "semua konsepnya adalah Diktat; tujuannya bukan lagi memp;eroleh pemehaman, melainkan memantapkan diri a priori sebagai pengetahuan absolut", dan karena itu "manusia pun diiebur ke dalam bak mandi berisi asam sulfur". Penyimpangan yang dibuat oleh kaum Marxis pro materialisme dialektis berakibat fatal. Fajar kebebasan kini dipadamkan dàn layar pertunjukan kemanusiaan sebagal tuan atas hidup dan piiihannya ditutup kembali. Karena Itu, eksistensialisme mempunyal tugas mulia dan para penganutnya dipanggil untuk menjaga pintu kemanusiaan agar tetap steril dari ulah para berandal yang bermaksud mengenakan kemball rantai perbudakan. Kierkegaard adalah teladan ulung bagi para eksistensiaiis karena dengan lantang meruntuhkan menara gading idealisrne Hegellan. 14