Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
KEUTAMAAN DAN AMALAN SUNNAH DI BULAN MUHARRAM Oleh: Hj. Siti Sahlah Na’im Bulan Muharram, sebagai penanda awal dimulainya tahun Hijriyah menjadi salah satu dari 4 (empat) bulan yang dimuliakan Allah SWT selain Bulan Rajab, Dzulqo’dah dan Dzluhijjah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat At-Taubah ayat 36 (tiga puluh enam) yang artinya: “Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah adalah 12 bulan (yang telah ditetapkan) di dalam kitab Allah sejak menciptakan langit dan bumi. Di antara 12 bulan tersebut terdapat 4 bulan yang suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi diri kalian pada bulan-bulan (suci) tersebut.” (QS. At Taubah : 36). Keempat bulan tersebut dinamakan juga bulan Haram, kenapa dinamakan demikian ? Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang jahiliyyah dahulu. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan maksiat lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya, dikarenakan mulianya bulan tersebut.” (Zaadul Maysir, Ibnul Jauziy). Bulan Muharram memiliki beberapa amalan Sunnah yang dapat dijalankan oleh Umat Islam, diantaranya: Memperbanyak Amalan Shalih dan Menjauhi Maksiat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata tentang tafsir firman Allah Ta’ala dalam Surat At Taubah ayat 36: “…maka janganlah kalian menzhalimi diri kalian…”; Allah telah mengkhususkan empat bulan dari kedua belas bulan tersebut. Dan Allah menjadikannya sebagai bulan yang suci, mengagungkan kemulian-kemuliannya, menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan tersebut lebih besar (dari bulan-bulan lainnya) serta memberikan pahala (yang lebih besar) dengan amalan-amalan shalih.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir). Mengingat besarnya pahala yang diberikan oleh Allah melebihi bulan selainnya, hendaknya kita perbanyak amalan-amalan ketaatan kepada Allah pada bulan Muharram ini dengan membaca Al Qur’an, berdzikir,shadaqah, puasa, dan lainnya. Selain memperbanyak amalan ketaatan, tak lupa untuk berusaha menjauhi maksiat kepada Allah dikarenakan dosa pada bulan-bulan haram lebih besar dibanding dengan dosa-dosa selain bulan haram. Qotadah rahimahullah juga mengatakan, “Sesungguhnya kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada kezaliman yang dilakukan di luar bulan-bulan haram tersebut. Meskipun kezaliman pada setiap kondisi adalah perkara yang besar, akan tetapi Allah Ta’ala menjadikan sebagian dari perkara menjadi agung sesuai dengan kehendaknya.” Memperbanyak Puasa Puasa Tanggal 10 Muharram (‘Asyuro) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Sebaik-baik puasa setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu bulan Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim). Para salaf pun sampai-sampai sangat suka untuk melakukan amalan dengan berpuasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri rahimahullah mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Lathaa-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab). Dari Ibn Abbas radiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan : “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa hari Asyura’, dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim). Dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura’, kemudian beliau menjawab:“Puasa Asyura menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim dan Ahmad). Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang Yahudi berpuasa Asyura’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat:  “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang Yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari). Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam Islam, sebelum Ramadhan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan: “Suatu ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka.” (HR. Al Bukhari dan Muslim). Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, puasa Asyura’ menjadi puasa sunnah. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan: “Dulu hari Asyura’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, beliau tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’ boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura’ boleh tidak puasa.” (HR. Al Bukhari dan Muslim). Tingkatan Puasa Asyura Ibnul Qayim menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyura ada tiga tingkatan: Tingkatan paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyura, hari Asyura, dan sehari setelahnya. Tingkatan kedua, puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadits. Tingkatan ketiga, puasa tanggal 10 saja. Puasa Tanggal 9 Muharram (Tasu’a) Sebagian ulama ada yang berpendapat di-makruh-kannya (tidak disukainya) berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, karena menyerupai orang-orang Yahudi. Tapi ada ulama lain yang membolehkannya meskipun pahalanya tidak sesempurna jika digandengkan dengan puasa sehari sebelumnya (tanggal 9 Muharram) (Asy Syarhul Mumti’, Ibnu ‘Utsaimin). Setahun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau berrtekad untuk tidak berpuasa hari ‘Asyuro(tanggal 10 Muharram) saja, tetapi beliau menambahkan puasa pada hari sebelumnya yaitu puasa Tasu’a(tanggal 9 Muharram) dalam rangka menyelisihi puasanya orang Yahudi Ahli Kitab. Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang Yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah diwafatkan.” (HR. Al Bukhari). Sumber: Keutamaan dan Kemuliaan Bulan Muharram, Cholis Akbar. http://www.hidayatullah.com/kajian/tazkiyatun-nafs/read/2013/10/30/7071/keutamaan-dan-kemuliaan-bulan-muharram-3.html#.VFeLcTSUdFY Amalan-Amalan Di Bulan Muharram, Ust. Abu Salman. http://buletin.muslim.or.id/ibadah-2/amalan-amalan-di-bulan-muharram