Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
strategi kebudayaan
Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda sekarang, semakin galau? (Revolusi Mental Joko Widodo, 2015) Pada Pidato Kenegaraan 17 Agustus 2016, Presiden Joko Widodo merinci tiga persoalan pokok bangsa Indonesia yang belum tuntas selama 71 tahun kemerdekaannya, yaitu kemiskinan, penggangguran, dan ketimpangan sosial. Penegasan ini dapat ditafsirkan sebagai dampak dari kegagalan pemerintah dalam mengelola dan meredistribusi sumberdaya pembangunan. Itulah sebabnya, presiden Joko Widodo hendak melakukan perubahan mendasar terhadap warisan mental pejabat pemerintahan lama. Presiden memprioritaskan tahun 2016 sebagai momen percepatan pembangunan untuk memutus mata rantai penghambat ketiga persoalan pokok tersebut melalui koneksitas infrastruktur, penguatan kapasitas sumberdaya manusia, deregulasi dan debirokratisasi. Setahun sebelumnya, pada HUT Kemerdekaan RI tahun 2015, presiden Joko Widodo menegaskan pentingnya Revolusi Mental sebagai jalan menuju Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian. Konsep revolusi versi Jokowi ini merujuk pada pidato Bung Karno, Presiden RI Pertama tentang Trisakti. Namun, secara khusus revolusi mental adalah komitmen pemerintahan Joko Widodo dalam membangun: (1) sistim politik yang beretika, pemilu yang demokratis, serta birokrasi yang tidak korup dan mengutamakan pelayanan; (2) sistim ekonomi yang produktif dan inovatif dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya pangan dan energi; (3) sistim pendidikan yang menguatkan identitas budaya dan kebangsaan, serta peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui subsidi yang tepat sasaran. Jokowi mengadaptasi prinsip dasar dalam Trisakti sesuai kondisi dan tantangan demokratisasi yang dihadapi republik dewasa ini, yaitu 'mental korupsi politik' yang menyebar ke dalam tata kelola kepemerintahan (governance). Perilaku korup menjadi sistemik, mengakibatkan Negara tersandera oleh mafia korupsi (state-captured). Para ahli di antaranya Susan Rose dan Ackerman (1999) menjelaskan praktik korupsi sebagai bagian yang melekat (inherent) pada proses demokratisasi ekonomi-politik, yaitu ketika para pemimpin yang lemah dalam relasi budaya patronase yang masih kuat, sehingga mereka mudah dipengaruhi dan dikendalikan oleh jejaring kekuatan kapital (private sectors), para bandit/mafia (criminal group), dan orang-orang kaya (whealty business interest). Joko Purnomo (Unibra, 2011) memandang korupsi di Indonesia dari aspek mentalitas, yaitu ketika pejabat publik di Indonesia memposisikan diri berada 'di luar' negara dan pada saat yang sama mereka bekerja 'di dalam' negara. Merujuk pada pandangan Toini Losvseth (2001), Joko Purnomo menjelaskan akar korupsi di Indonesia adalah alienasi politik, yang bersumber dari dua sisi sekaligus, yakni ketidakmampuan individu dalam sebuah sistem untuk bertindak kolektif demi negara, dan; pada pada saat yang sama negara gagal menjamin terciptanya kepercayaan kepada publik secara konstitusional. Lebih jauh, ICW (Ibrahim Z dkk, 2010) menelusuri korupsi politik yang bersumber dari gaya 'politik transaksional', terutama dalam proses pemilu seperti 'politik uang', yang dilakukan politisi sebelum, pada saat dan sesudah menjabat sebagai pejabat publik. Kejadian itu biasanya dalam bentuk 'perdagangan'atau 'transaksi' yang berada di dalam pengaruh kekuasaan atau meracuni kekuasaan politik dengan menawarkan berbagai kebaikan. Dalam kondisi demikian, sistim politik terperangkap atau disandera oleh sistim ekonomi yang eksklusif dan kapitalistik. Sehingga Indonesia dibayangkan akan gagal sebagai suatu Negara yang berdaulat. Dalam satu dekade terakhir, tuntutan agar negara hadir secara moral dan konstitusional kian menguat. Meminjam istilah John Bell (2002) " rolling back to the state " , kehadiran negara diperlukan agar tatakelola pemerintahan dapat menjamin kesejahteraan dan keamanan warga. Sejumlah intelektual, budayawan dan praktisi hukum dalam Imajinasi Kebudayaan (2013) telah menyimpulkan bahwa Indonesia sebagai republik yang demokratis bersifat final, dan merupakan prasyarat bagi terwujudnya
2019 •
Politik inklusif menjadi topik utama dalam buku ini. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang telah berkembang pesat sejak 1912 berada pada landasan inklusivitas. Di satu sisi, Muhammadiyah adalah gerakan pemurnian (purifikasi), di sini yang lain terjadi dinamisasi di tubuh organisasi ini tanpa meninggalkan jejak asal. Perpaduan antara pemurnian dan dinamisasi menunjukkan bahwa gerakan inklusivitas menjadi fondasi Muhammadiyah untuk dapat survive sepanjang zaman, saleh li kulli zaman wa al-makaan. Politik inklusif Muhammadiyah tidak hanya dipahami dalam arti sempit politik kekuasaan atau politik kepemiluan, tetapi jauh lebih luas lagi, bahwa politik inklusif yang dilakukan oleh Muhammadiyah juga menyentuh wilayah pemberdayan ekonomi rakyat, filantropi, kebencanaan, lingkungan hidup, konstitusi, dan pedamaian global. Empatpuluhlima artikel yang dikelompokkan dalam lima bab sebagaimana tertuang dalam buku ini ditulis oleh para intelektual Muhammadiyah dari berbagai kalangan yang memiliki perspektif berbeda-beda, tetapi mereka pada dasarnya memiliki kesamaan pandangan: Muhammadiyah telah memberi bukti nyata dalam mengaktualisasikan Islam berkemajuan di berbagai dimensi kehidupan. Inilah narasi pencerahan Islam untuk sebuah cita-cita bernama: INDONESIA BERKEMAJUAN.
Finsensius Yuli Purnama, Effy Paud, Masduki Baseran, Rino F E B R I A N N O Boer, Hasyim Widhiarto, Irwan Irs, Hasmah Zanuddin, Dadi Ahmadi, Sri Sediyaningsih, Heintje Hendriek Daniel Tamburian, Endah Murwani, Yesi Puspita, Nieke Monika, Yuli Widya Madala Surabaya, Djudjur Luciana, Nina Widyawati, Damayanti Wardyaningrum, Wirawan Respati, Eki Baihaki, Rahmat Edi Irawan Rei, Choirul Fajri, Indiwan seto wahjuwibowo, Irwansyah Irwansyah, Dorien Kartikawangi, Suzy Azeharie, Yohanes Krisnawan, Sevly Putri, Melati Putri, inong suraya
Prosiding Seminar Nasional Ilmu Komunikasi yang dilaksanakan di Padang Sumatera Barat mengangkat tema komunikasi Politik @2014
MENGAPA 2014? Tahun 2014 merupakan pusat perhatian kehidupan nasional dewasa ini. Hampir semua media dan kegiatan komunikasi di semua bidang – politik, ekonomi, hukum, kesehatan, pendidikan, kebudayaan, bahkan hiburan – hampir tidak bisa sama sekali melepaskan diri dari keterkaitan (paling tidak pengkait-kaitan) dengan langkah-langkah menghadapi Pemilihan Umum 2014. Peristiwa ini bukan saja dilihat sebagai penentuan orang-orang yang akan menjadi presiden dan legislator untuk lima tahun (2014 - 2019). Namun lebih jauh lagi : apakah akan dapat meletakkan dasar perubahan (transformasi) yang kuat bagi masa depan tanpa segala kekurangan, kegagalan, ketidakadilan, dan kepentingan yang terjadi selama ini. ----- Prosiding Seminar Besar Nasional Komunikasi oleh IKATAN SARJANA KOMUNIKASI INDONESIA
Prisma Diterbitkan atas kerja sama dengan Power, Welfare, and Democracy (PWD), Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol-UGM, Yogyakarta Prisma diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan dimaksudkan sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan ekonomi, perkembangan sosial dan perubahan kultural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan ilmiah populer, ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar. Redaksi mengun-dang para ahli, sarjana, praktisi dan pemuda Indonesia yang berbakat untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif sambil berkomunikasi dengan masyarakat luas. Tulisan dalam Prisma tidak selalu segaris atau mencerminkan pendapat LP3ES. Redaksi dapat menyingkat dan memperbaiki tu-lisan yang dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya. Dilarang mengutip, menerjemahkan, dan memperbanyak, kecuali dengan izin tertulis dari Redaksi. © Hak cipta dilindungi Undang-undang.
Jurnal Ilmu Sosial dan ilmu Politik
Fenomena Relawan Politik dalam Kontestasi Presidensial 20142014 •
This article describes how the presidential contestation in 2014 was characterized by the presence of political volunteers. Here political volunteers is defi ned as a manifestation of strengthening active participation of citizens in promoting substantive democracy. This article argues that the rise of a new social movement has brought a tradition of voluntarism in politics. In addition he voluntarism has transformed the values of patrimonial political and oligarchy onto active popular voluntarism and participatory. The political volunteers who employed offl ine and online medium have clearly increased public participation in Indonesia. This article has also argued the presence of political volunteers has positively contributed to developtment of extra parlementary democracy model. Abstrak Artikel ini menjelaskan tentang bagaimana kontestasi presidensial 2014 yang diwarnai oleh kehadiran relawan politik sebagai manifestasi dari meningkatnya partisipasi aktif warga masyarakat dalam demokrasi substansial. Artikel ini berpendapat bahwa kebangkitan gerakan sosial telah melahirkan tradisi voluntarisme dalam politik. Selain itu voluntarisme juga turut mentrasformasi nilai-nilai politis yang bernuansa patrimonial dan oligarkis menjadi voluntarisme dan partisipatoris. Relawan politik yang bergerak secara offl ine dan online dapat meningkatkan partisipasi publik. Artikel ini juga berpendapat bawah kehadiran relawan politik secara sangat positif berkontribusi terhadap pembangunan model demokrasi ekstra parlementer.
Pengantar Memasuki setahun periode pemerintahan baru 2014-2019, sepertinya kita diingatkan kembali pada konsepsi Revolusi Mental yang menjadi kata kunci (key word) dalam membentuk kerangka visi dan misi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yaitu, Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian. Visi tersebut selanjutnya dipolakan lewat seperangkat misi yaitu Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-royong.2 Secara historis visi tersebut didasarkan pada pemikiran Soekarno lewat konsep Tri Sakti. Konsep ini dikemukakan Soekarno dalam pidato berjudul Tahun Vivere Pericoloso (Taviv) dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI tahun 1964. 3 Inti konsep Tri Sakti adalah pentingnya bangsa Indonesia memperjuangkan dan mewujudkan kedaulatan di bidang politik, kemandirian dalam ekonomi serta kepribadian dalam bidang kebudayaan. Konsepsi ini lahir tidak saja karena dorongan faktor internal, juga tekanan eksternal dimana terdapat dua kekuatan politik internasional yaitu blok Barat yang bersifat kapitalistik dan blok Timur yang cenderung berkarakter komunistik. Dalam konteks itu Soekarno hendak memastikan bahwa bangsa Indonesia mesti teguh pada posisinya sebagai bangsa yang merdeka dan tidak ikut menceburkan diri dalam pusaran arus politik global, baik Timur maupun ke Barat. Terlepas bahwa sejarah dikemudian hari memberikan catatan lain atas kecenderungan realitas politik luar negeri Indonesia, namun secara domestik gagasan Tri Sakti dalam jangkauan sejarah yang panjang sepatutnya dapat direvitalisasi menjadi pondasi yang kuat dalam membangun bangsa di tengah persoalan internal yang lebih membutuhkan perhatian serius. Jika faktor internal hari-hari ini lebih mendominasi persoalan bangsa maka tidaklah salah jika focus group discuss kali ini menjadi pemantik untuk mengembangkan sejumlah pertanyaan mendasar, sekaligus menyiapkan action plan guna mencapai tujuan konstitusional negara melalui kepeloporan revolusi mental. Sumber persoalan utama dalam relasi ini menurut tesis sementara terkait pada pembangunan individu bangsa. Apabila kita asumsikan bahwa setiap individu memiliki karakter postitif yang memadai, maka dalam kumpulan yang luas (keluarga) hingga organisasi paling kompleks laiknya negara akan mampu berdaulat secara politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan imaji semacam itu maka tidak saja persoalan internal seperti isu transisi demokratisasi, Hak Asasi Manusia, desentralisasi hingga reformasi birokrasi akan mudah terselesaikan dengan sendirinya. Dampak lebih jauh dari itu persoalan eksternal yang selama ini menyentuh harga diri bangsa seperti mobilitas tenaga kerja ke luar negeri karena dorongan ekonomi, kemampuan melaksanakan hukuman mati bagi siapa saja yang bersalah sebagai refleksi kedaulatan politik bangsa, serta kemampuan menampilkan karakter individu yang cemerlang dari berbagai aspek kehidupan dapat segera menggeser identitas budaya negara lain yang kini justru menjadi trending di negara sendiri. Indikasi yang dapat dilihat adalah kebiasaan generasi muda yang lebih mudah beradaptasi dengan budaya bangsa lain lewat film, fashion dan food. Film dengan mudah mempengaruhi cara berpikir dan spirit generasi muda lewat layar lebar (Theater), layar sedang (Televisi) hingga layar mini (Handphone). Dalam titik tertentu gejala ini mampu memompa kebanggaan bagi negara lain, sekaligus pada saat yang sama mengikis nasionalisme bangsa sendiri. Fashion tampak dari 1 1 Sebuah catatan dalam rangka menyiapkan Praja IPDN sebagai pelopor Revolusi Mental. 2 Kpu.go.id., dokumen Visi, Misi dan Program Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI Periode 2014-2019. 3Roso Daras, Benang Merah Pidato Bung Karno, dalam Rosodaras.wordpress.com
Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih atas undangan panitia Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) pada kongres sebagai momentum strategis guna mengkonkritkan semua gagasan dan spirit pemerintahan dewasa ini. Selanjutnya kami tak lupa mengucapkan selamat hari ulang tahun pada Ikatan Widyaiswara Indonesia, semoga semakin profesional, berkualitas, berilmu, terampil, berwawasan serta mampu memberikan pengetahuan yang terbaik dalam proses belajar-mengajar dimanapun saudara ditugaskan. Pada kesempatan ini, saya dimintakan untuk menyampaikan dua tema penting berkaitan dengan revolusi mental dan kebijakan Aparatur Sipil Negara (ASN). Tentu saja kedua tema tersebut cukup menarik disebabkan yang pertama tampak berupa gagasan, konsep, spirit, visi dan kerangka pembangunan bangsa sehingga bersifat abstrak, sedangkan tema kedua lebih membumi dan konkrit dalam batasan kebijakan Aparatur Sipil Negara (UU Nomor 5/2014 Tentang ASN). Mudah-mudahan dalam waktu singkat ini sejumlah catatan dalam makalah ini dapat memberi sumbangan bagi action plan Ikatan Widyaiswara Indonesia dimasa akan datang. Memasuki tahun kedua periode pemerintahan baru 2014-2019, kita diingatkan kembali pada gagasan Revolusi Mental yang menjadi kata kunci dalam membentuk kerangka visi dan misi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yaitu, Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian. Visi tersebut selanjutnya dipolakan lewat seperangkat misi yaitu Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-royong.2 Secara historis visi tersebut didasarkan pada pemikiran Soekarno lewat konsep Tri Sakti. Konsep ini dikemukakan Soekarno dalam pidato berjudul Tahun Vivere Pericoloso (Taviv) dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI tahun 1964. 3 Inti konsep Tri Sakti adalah pentingnya bangsa Indonesia memperjuangkan dan mewujudkan kedaulatan di bidang politik, kemandirian dalam ekonomi serta kepribadian dalam bidang kebudayaan. Konsepsi ini lahir tidak saja karena dorongan faktor internal, juga tekanan eksternal dimana terdapat dua kekuatan politik internasional yaitu blok Barat yang bersifat kapitalistik dan blok Timur yang cenderung berkarakter komunistik. Dalam konteks itu Soekarno hendak memastikan bahwa bangsa Indonesia mesti teguh pada posisinya sebagai bangsa yang merdeka dan tidak ikut menceburkan diri dalam pusaran arus politik global, baik Timur maupun ke Barat. Terlepas bahwa sejarah dikemudian hari memberikan catatan lain atas kecenderungan realitas politik luar negeri Indonesia, namun secara domestik gagasan Tri Sakti dalam jangkauan sejarah yang panjang sepatutnya dapat direvitalisasi menjadi pondasi yang kuat dalam membangun bangsa di tengah persoalan internal yang lebih membutuhkan perhatian serius. Jika faktor internal hari-hari ini lebih mendominasi persoalan bangsa maka tidaklah salah jika focus kongres kali ini menjadi pemantik untuk mengembangkan sejumlah pertanyaan mendasar, sekaligus menyiapkan action plan guna mencapai tujuan konstitusional negara melalui kepeloporan revolusi mental. Sumber persoalan utama dalam relasi ini menurut tesis sementara terkait pada pembangunan individu bangsa. Apabila kita asumsikan bahwa setiap individu memiliki karakter postitif yang memadai, maka dalam kumpulan yang luas (keluarga) hingga organisasi paling kompleks sebagaimana negara akan mampu berdaulat secara politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan imaji semacam itu maka tidak 1
Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3Kni)) Provinsi Kalimantan Selatan dan Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
PENDIDIKAN PANCASILA2018 •
Lampiran 1 Perpres RPJMN 2020-2024
NARASI RPJMN TAHUN 2020-20242020 •
Tata Kelola Penanganan Covid-19 di Indonesia
Lima Dimensi Jurnalisme Krisis Covid-19 (Bab 17)2020 •
UMSurabaya publishing
MeMbaca MuhaMMadiyah Refleleksi kRitis anak Muda lintas isu2015 •
Kebinekaan Kita: Refleksi Kritis Anak-anak Muda Tentang Isu-isu Aktual di Indonesia
Sekularisasi Telah Mati? Kasus Pilkada DKI Jakarta Tahun 20172019 •
SEMANGAT DAN JIWA ENTERPRENEURSHIP PANCASILAMEMBANGUN NASIONALISME BANGSA
Universitas Pancasila Fakultas Ekonomi dan Bisnis Festival Entrepreneurship Pancasila 13-15 Agustus 20182018 •
Institut Pemerintahan Dalam Negeri
Rekonstruksi Birokrasi Pemerintahan Daerah2014 •
Journal of Education Minister Of Education Republic of Indonesia
Fahmi Irhamsyah Bunga Rampai Pendidikan Karakter 2015 Project Research DIKBUD RI TA 201520200111 101888 ptusvg2015 •
Disinformasi Digital, Populisme dan Solusi Jurnalisme
DEMOKRASI DAMAI ERA DIGITAL2019 •