Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

BIDAYATUL HIKMAH

Hikmah ilahiyah adalah ilmu yang membahas padanya perkara mawjud sebagaimana dianya mawjud. Pembahasan ini adalah perkara penting tentang mawjud sebagaimana mawjud. Tujuannya adalah untuk mendapatkan sebuah inti pengetahuan tentang mawjud. Serta untuk membedakan mana mawjud yang benar-benar nyata dan mana mawjud yang tidak nyata. *

BIDAYAT AL-HIKMAH Sayyid Hussain Thabattaba’i terjemahan Miswari, M.Ud IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa PENDAHULUAN: DEFINISI, OBJEK DAN TUJUAN HIKMAH Hikmah ilahiyah adalah ilmu yang membahas padanya perkara mawjud sebagaimana dianya mawjud. Pembahasan ini adalah perkara penting tentang mawjud sebagaimana mawjud. Tujuannya adalah untuk mendapatkan sebuah inti pengetahuan tentang mawjud. Serta untuk membedakan mana mawjud yang benar-benar nyata dan mana mawjud yang tidak nyata. * Ketika manusia menyadari dirinya, dia menemukan dirinya berelasi dengan realitas. Seseorang menemukan bahwa terdapat realitas di luar dirinya yang menjadi pengetahuan baginya. Seseorang melihat sesuatu, karena sesuatu tersebut nyata. Dan ia menghindari sesuatu, karena sesuatu itu nyata. Ketika bayi berinisiasi untuk menemukan puting susu ibunya, susu yang dicari itu adalah susu yang nyata, bukan susu hayalan. Sama dengan seseorang yang berlari dari kejaran harimau. Ia benar-benar lari menghindar dari seekor hewan liar yang nyata, bukan hayalan. * Kadang, seseorang menggap sesuatu nyata di realitas eksternal, padahal hanya hayalan, misalnya hantu. Kadang sebaliknya, seseorang menganggap sesuatu tidak nyata di realitas eksternal, padahal ianya nyata, misalnya jiwa. Karena itu, niscayalahlah terlebih dahulu mengenal mawjud sebagaimana mawjud, supaya dapat megetahui manakah sesuatu yang memiliki mawjud dengan mana yang tidak memiliki mawjud. Ilmu yang membahas tentang perkara ini disebut hikmah ilahiyah. * Hikmah ilahiyah disebut dengan 'filsafat pertama', juga disebut 'ilmu tertinggi'. Objeknya adalah mawjud sebagaimana mawjud. Tujuan ilmu ini adalah untuk membedakan realitas yang nyata dengan yang tidak nyata. Juga bertujuan untuk mengenal sebab tertinggi bagi wujud, khususnya Sebab Pertama yang mana, padaNyalah segala rangkaian mawjud berakhir. Nama-nama-Nya sangat baik, sifat-sifat-Nya sangat Agung. Dialah Allah Azzawajalla. BAB I TENTANG WUJUD YANG TERDIRI DARI DUABELAS PASAL Pasal Pertama: Tentang Keswabuktian Konsep Wujud Konsep wujud atau wujud pada ranah mental terbukti dengan sendirinya, tidak membutuhkan penjelasan, karena ia lebih jelas daripada penjelasan dan deskripsi tentangnya. Mengatakan “wujud adalah apa yang mendasari realitas” atau mengatakan “wujud dapat menjadi prediakasi setiap hal” adalah penjelasan kata, bukan definisi yang sebenarnya. * Bahwa wujud bukanlah genus dan bukan differensia, tidak pula termasuk ke dalam bagian lima universalia. Semua definisi harus didasarkan kepada tiga model tersebut, sementara semua model tersebut diliputi wujud, sehingga wujud tidak perlu didefinisikan atau dideskripsikan. Pasal Kedua: Konsep Wujud sebagai Univokal Konsep wujud yang dijadikan predikat setiap hal maknanya adalah tunggal atau disebut univokal. * Dalilnya: Ketika wujud dibagi kepada Wajib Wujud dan mumkin wujud, lalu mumkin wujud dibagi kepada substansi dan aksiden, lalu substansi dan aksiden dibagi lagi ke dalam beragam jenis, terbukti bahwa pembagian-pembagian tersebut tetap berlandaskan pada sesuatu yang tunggal yakni wujud, yang ianya hadir pada setiap bagian. * Dalil lainnya: setelah menisbahkan wujud pada suatu entitas, kita ragu tentang sifat dasarnya. Contoh, setelah meyakini bahwa dunia ini ada yang menciptakan, kita ragu apakah penciptanya itu adalah Wujud Wajib atau wujud mumkin, atau apakah pencipta adalah suatu kuiditas atau bukan. Contoh lain, ketika kita mempercayai bahwa manusia memiliki jiwa, lalu kita ragu apakah jiwa tersebut adalah material atau immaterial, apakah ia substansi atau aksiden. Karena itu, bila wujud bukan univokal, namun adalah equivokal, maka maknanya akan berbeda pada penerapannya atas berbagai subjek. * Dalil lainnya: ketiadaan ('adam) itu kontas dengan wujud. Ketiadaan itu univokal, maka tiada perbedaan dalam ketiadaan. Karena itu, wujud, sebagai lawan bagi ketiadaan, juga unovokal. Bila wujud dengan ketiadaan tidak berbeda, maka akan melanggar hukum nonkontradiksi. * Bila menganggap wujud adalah ekuivokal, maka hubungan antara Wajib dan mumkin atau sebab dan akibat menjadi tidak terlaksana, padahal hubungan-hubungan ini adalah hukum tetap bagi akal. Rinciannya, bila menyatakan “Wajib Wujud itu ada” maka 'ada' tersebut juga berlaku bagi “mumkin wujud itu ada”. Sehingga bila mengakui keduanya nyata, haruslah menerima bahwa wujud itu univokal. Namun bila mengakui wujud adalah equivokal, maka bila 'mumkinul wujud itu ada', haruslah 'Wajibul Wujud itu tidak ada', atau sebaliknya. Namun karena Wajibul Wujud dan mumkinul wujud nyata dan terbukti adanya, maka tentulah konsep wujud itu adalah univokal. Pasal Ketiga: Tentang Konsep Wujud sebagai Tambahan dan Predikat bagi Kuiditas Sesungguhnya wujud adalah tambahan bagi kuiditas pada ranah mental. Antara wujud dengan kuiditas berbeda satu sama lain dalam ranah konsep. Pikiran mengabstraksi sebuah entitas dari realitas eksternal dan menyimpannya. Quiditas berarti adalah satu konsep yang dapat menjadi jawaban atas pertanyaan “apa itu?” Kemudian pikiran menambahkan wujud kepada quiditas. Penambahan ini disebut dengan predikasi. Karena itu, wujud itu berbeda dengan kuiditas dan bukan bagian darinya. * Dalil bahwa wujud bukan bagian dari quiditas adalah, wujud dapat dinegasikan dari quiditas tanpa mengganggu kuiditas itu sendiri, Misalnya proposisi “kursi itu tidak ada” adalah proposisi yang tidak keliru. * Dalil wujud lain bahwa wujud hanyalah predikasi bagi kuiditas dan wujud itu berbeda dengan kuiditas adalah, hakikat suatu kuiditas terbukti dengan sendirinya tanpa perlu dipredikatkan wujud padanya. * Dalil lainnya, kuiditas dapat dipredikatkan pada keberadaan dan ketiadaan. Kalau saja wujud adalah bagian dari kuiditas, maka tentunya kuiditas tidak bisa dipredikatkan pada ketiadaan karena proposisinya akan menjadi: “ada itu tidak ada”, dan proposisi seperti ini mustahil. Pasal Keempat: Pada Realitas Eksternal, Wujud Lebih Mendasar Kita tidak ragu bahwa realitas eksternal itu nyata, bukan ilusi. Realitas eksternal hanya dari satu entitas. Kita membentuk konsep 'wujud' dan 'kuiditas' dari satu realitas. Misalnya, dari kursi yang nyata-nyatanya hanya satu entitas pada realitas eksternal, ketika diabstraksikan ke dalam pikiran, kita membaginya menjadi wujud (keber-ada-annya) dan kuiditas (ke-kursi-annya). * Para filosof berbeda pendapat tentang manakah yang mendasar antara wujud dengan kuiditas. Masya'iyyah meyakini yang mendasar adalah wujud. Sementara Isyraqiyyah meyakini yang nyata adalah kuiditas. Kedua aliran ini sepakat bahwa hanya satu entitas (antara wujud dengan kuiditas) yang fundamental. Hanya yang mendasarlah yang nyata pada realitas eksternal, sementara yang tidak mendasar hanyalah bentukan pikiran yang menjadi predikat semu bagi yang fundamental. Masya'iyyah benar ketika meyakini wujud adalah yang mendasar. * Dalilnya sebagai berikut: Kuiditas dapat dibagi kepada keberadaan dan ketiadaan. Bila kuiditas yang mendasar, maka realitas eksternal dapat ada dan dapat tidak ada. Karena sejatinya realitas eksternal itu ada, maka tentunyaa wujudlah yang mendasar. Sehingga kuiditas hanyalah limitasi wujud. * Terdapat kalangan yang berpandangan bahwa kuiditas muncul dari kondisi tidak memperoleh hubungan dengan Pencipta. Pandangan ini tidak dapat diterima karena perbedaan antar tiap kuiditas setelah berhubungan dengan Pencipta dapat dikatakan ada dan akan tetap beragam, sebab hakikat kuiditas adalah keberagaman, lalu tentunya ini dapat dikatakan “berhubungan dengan Pencipta”. Lagipula, kuiditas dapat akan tetap demikian sekalipun dipredikatkan kepadanya wujud maupun ketiadaan. * Dalil lainnya, kuiditas adalah sumber dari keberagaman. Antar mahiyah benar-benar berbeda satu-sama lain. Bila yang mendasar bukan wujud, maka tidak akan ada kesatuan yang nyata. Tidak akan ada pula penyatu antar tiap kuiditas. Konsekuensinya, takkan ada predikasi tunggal oleh wujud. Karena itu, yang benar-benar nyata adalah wujud. Sementara kuiditas mengada dengan wujud yang tunggal itu. * Dalil lannya lagi: bila kuiditas yang mendasar, maka seyogiyanya yang beragam pada realitas eksternal haruslah dari satu kuiditas. Pula pada ranah mental harus satu kuiditas yang sama. Namun ternyata pada ranah mental tidak demikian. Maksudnya, yang terjadi pada ranah mental, justru keberagaman. Maka bila wujud bukan yang mendasar, seharusnya tidak akan ada perbedaan antara wujud dengan kuiditas pada ranah mental. Namun karena terjadi perbedaan antara wujud dengan kuiditas dalam ranah konseptual, kalau saja yang mendasar adalah kuiditas, maka rujukan quiditas tertentu tidak akan berguna karena yang dirijuk adalah satu kuiditas. * Dalil lainnya: bila rujukan kuiditas itu sama dalam hubungannya, sebagai yang mendasar dan sebagai yang tidak mendasar, yang lebih kuat dan yang lebih lemah, aktualitas dan potensialitas, takkan ada perbedaan itu di realitas eksternal. Namun di realitas eksternal karakteristiknya yang berbeda-beda itu nyata. Ada yang lebih kuat, disebut sebab. Ada yang lebih lemah, disebut akibat. Ada yang sebagai potensialitas, ada yang sebagai aktualitas. Bila wujud bukan yang mendasar, maka setiap perbedaan tersebut tidak akan ada hubungannya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya: antar entitas eksternal dapat dihubungkan. Sehingga wujudlah yang mendasar. * Kalangan yang mempertanyakan: bila wujud yang mendasar, maka wujud akan membutuhkan wujud yang lain hingga tak berbatas. Jawaban dari pertanyaan ini adalah: wujud tidak membutuhkan wujud yang lain karena wujud mengada dengan sendirinya. * Penentang kemendasaran wujud, Ad-Dawani, mengatakan: kemendasaran wujud hanya berlaku pada Wajib Ta'ala, sementara kemendasaran kuiditas berlaku bagi wujud mumkin. Pandangan demikian menganggap hubungan antara Wujud Wajib dengan wujud mumkin hanya seperti hubungan susu dengan tukang jual susu, atau seperti hubungan kurma dengan tukang jual kurma. Pandangan Ad-Dawani mengasumsikan hubungan Wujud Wajib dengan wujud mumkin sebagai dua entitas wujud yang terpisah (ekuivokal). Pasal Lima: Wujud adalah Tunggal yang Bergradasi Pandangan satu wujud yang bergradasi adalah seperti satu air yang sama yang dipanaskan. Persamaannya adalah pada air dan perbedaannya adalah pada tingkatan panasnya. Atau seperti cahaya. Pesamaannya adalah sebagai cahaya dan perbedaannya adalah pada tingkatan pancarannya. * Seperti cahaya yang pada dirinya adalah satu cahaya yang terang pada dirinya, menjadi penerang bagi yang lain dan bergradasi pada banyak tingkatan dan bayangannya menjadi banyak dan menjadi beragam maka cahaya yang kuat adalah pada cahaya yang bergradasi dan pada cahaya juga cahaya yang lemah. Cahaya yang lemah adalah lemah pada cahaya. Yang mana perbedaannya adalah pada cahaya. Perbedaannya bukanlah pada kuat dan lemah itu sendiri. Antara cahaya yang kuat dan cahaya yang lebih lemah tidak ada rangkap. Sebab lemah dan terang itu adalah sifat saja. Antar sifat tidak ada unsur kesamaan, kesamaannya adalah pada zat. Maka dalam hal ini, kesamaannya adalah pada cahaya dan perbedaannya juga pada cahaya. * Demikian juga pada wujud. Wujud adalah satu kesatuan tunggal dengan beragam tingkatan, baik lebih kuat maupun lebih lemah. Perbedaan tingkatan adalah niscaya pada wujud. Perbedaannya adalah pada wujud dan persamaannya pula pada wujud. Karena itu, pada tiap entitas partikular dalam tingkatan wujud adalah sama, sederhana dan mustahil tidak berhubungan. Hal ini karena kemendasaran wujud tidak memungkinkan terjadinya apapun di luar wujud. Pula pada setiap tingkatan partikularitas adalah wujud itu sendiri, bukan yang lain. * Keberagaman dalam wujud memiliki berbagai model tingkatan. Tingkatan vertikal adalah antara tingkatan terlemah yakni materi primer yang berada pada di ambang ketiadaan, tidak memiliki aktualitas, hingga Wujud Wajib yang tidak memiliki batasan. Sementara model tingkatan horizontal dalam wujud adalah dari keberagaman yang disebabkan oleh keberagaman kuiditas. * Filsafat Masya'iyyah meyakini wujud pada realitas eksternal adalah dasar bagi realitas dan wujudnya berbeda satu sama lain pada tiap-tiap entitas mawjudat (jamak: mawjud). Dalam Masya'iyyah, kesatuan wujud hanya terjadi dalam ranah mental. Dalam ranah mental, wujud hanya menjadi tambahan (predikat) bagi quiditas, bukan bagian dari kuiditas. * Yang benar adalah, wujud itu adalah satu dan bergradasi. Bila wujud bukan realitas tunggal, setiap mawjudat akan benar-benar berbeda secara esensial. Jika demikian, berarti konsep wujud yang tunggal haruslah merupakan abstraksi dari beragam wujud eksternal yang benar-benar berbeda satu sama lain. Dan ini mustahil, karena bila konsep wujud adalah satu yang dapat diterapkan pada beragam quiditas, haruslah rujukan konsep wujud pada realitas eksternal adalah yang mendasari dan menjadi penyatu bagi setiap mawjudat. Satu pada konsep haruslah satu pada realitas rujukannya. Sehingga, pandangan Masya'iyyah yang menganggap satu wujud dalam konsep, rujukan eksternalnya adalah beberapa mawjud menjadi keliru. * Jadi, kalau wujud mental adalah tunggal, namun realitas eksternal rujukannya mejemuk, berarti wujud pada realitas eksternal bukan yang mendasari. Namun yang sebenarnya mendasari adalah wujud yang satu, sehingga wujud pada ranah konsep yang merupakan abstraksi dari realitas wujud menjadi sesuai dengan karakter realitas rujukannya. * Realitas wujud adalah realitas yang bergradasi yang menjelmakan beragam realitas yang tampak berbeda satu sama lain, sebenarnya adalah adalah satu realitas tunggal yang menjadi beragam dengan tingkatan lebih kuat-lebih lemah, dahulu-belakangan, potensialitas-aktualitas, dan sejenisnya, adalah realitas tunggal yang menjadi beragam karena perbedaan esensi. Esensilah yang menjadikan wujud yang tunggal menjadi keberagaman realitas yang menjelma yang sebenarnya adalah wujud tunggal. Inilah yang dinamakan gradasi (tasykik). Pasal Keenam tentang Kekhasan Wujud Kekhasan wujud terbagi ke dalam tiga aspek: (1) Suatu ketunggalan yang mendasari realitas dan tegak pada dirinya. (2) Kekhasan wujud dengan kekhasan yang bertingkat yang tingkatannya pada dirinya. (3) Kekhasan wujud yang dihubungkan dengan kuiditas berbeda secara mendasar dengan kuiditas. Wujud dalam hal ini menjadi aksiden bagi kuiditas. * Aksidentalitas wujud bagi kuiditas bukan seperti mensamarkan aksiden atas substansi, yang mana hubungannya adalah hubungan satu entitas yang lebih mendasar dengan yang tidak mendasar. Namun dalam kasus aksidentalitas wujud bagi kuiditas dalam ranah mental adalah pengenalan kuiditas melalui wujud. Namun pada realitas eksternal yang terjadi sebaliknya, yakni wujud tersembunyi dalam kuiditis-kuiditas. Beginilan pahan aliran kemendasaran wujud atas kuiditas. * Pandangan yang menolak predikasi wujud atas kuiditas mengatakan: menurut prinsip subordinat, sifat dengan esensinya sebagai hubungan yang mirip dengan hubungan antara sebab dan akibat. Sehingga tegaknya wujud bergantung pada tegaknya kuiditas. Sehingga tegaknya kuiditas menghasilkan tegaknya wujud. Implikasinya, sesuatu menjadi utama bagi dirinya dan dapat menjadi berbeda, tegaknya wujud dalam hubungannya dengan kuiditas bergantung kepada tegaknya kuiditas yang lain, demikian seterusnya (tasalsul). Dan cara pandang seperti ini tidak dapat diterima. * Keberatan ini telah memaksa beberapa filosof untuk menerima pengecualian dari aturan dalam kasus tegaknya wujud atas kuiditas. Beberapa di antara mereka merubah keberutamaan kepada kebersamaan. Mereka berkata: yang benar adalah, tegaknya sesuatu dalam hubungannya dengan yang lain adalah bersamaan dengan ketidak-utamaan subjek, menganal subjek dapat dilakukan melalui yang lebih utama. Tegaknya wujud dalam hubungannya dengan dengan kuiditas adalah bersamaan dengan tegaknya kuiditas. Melalui kuiditas wujud tegak pada dirinya. Sehingga tidak ada rangkap pada realitas. * Beberapa filosof menyatakan bahwa wujud tidak memiliki status, baik pada ranah mental maupun ranah eksternal. Wujud hanyalah kata sederhana yang dalam bahasa Indonesia seperti 'adalah'. Kata ini tidak memiliki kejelasan makna kecuali dihubungkan dengan kuiditas. * Beberapa filosof lainnya mengatakan wujud bukan apa-apa kecuali sebuah makna mutlak yang diterapkan kepada makna umum dan makna khusus. Makna umum berarti wujud hanya sebagai kata sambung yang hanya bermakna bila disandingkan bersama kuiditas. Sementara pada makna khusus, wujud menjadi penghubung antar kuiditas. Dalam pengertian bahwa keberadaannya adalah dari luar dirinya. Pada dirinya, wujud bukan apa-apa. * Cara demikian untuk menyelesaikan persoalan tersebut adalah keliru. Cara yang tepat adalah, membuktikan sesuatu dengan dengan hubungannya pada sesuatu yang lain atau dengan proposisi rangkap (haliyah murakkabah), misal: bagaimana bunga itu, bukan membuktikan sesuatu itu sendiri (halitah basithah), misal: adakah bungan itu? Pasal Ketujuh Tentang Hukum Negatif Wujud Sesungguhnya wujud adalah dasar bagi realitas. Tidak ada apapun selain wujud yang menjadi hakikat realitas. * Hakikat realitas adalah tunggal yakni wujud. Hakikat realitas tidak rangkap. Segala keberagaman sejatinya adalah satu realitas tunggal. * Wujud bukan substansi dan bukan aksiden. Substansi adalah sesuatu yang bila eksis, namun ianya tidak memiliki lokus. Sementara aksiden adalah sesuatu yang mengada hanya melalui substansi. Wujud bukan substansi dan aksiden dan justru kedua hal tersebut bersandar kepada wujud. * Wujud bukan bagian dari apapun karena setiap bagian pasti bersyarat pada bagian yang lain, hingga seterusnya. Sementara wujud tegak dengan dirinya sendiri. * Pernyataan bahwa wujud mumkin merupakan rangkap dari dua entitas yakni wujud dan kuiditas yang mengesankan seolah wujud adalah bagian dari sesuatu, sebenarnya hanya merupakan konstruksi pikiran. Padahal sebenarnya pada realitas eksternal hanya didasari satu entitas yakni wujud. * Unsur-unsur selain wujud tidak memiliki realitas yang nyata. Seperti konsep: genus dan differansia; bagian eksternal: materi dan bentuk, serta kuantitatif: seperti panjang, lebar, luas dan volume. Wujud tidak menjadi bagian dari segala entitas tersebut karena semua entitas tersebut sebenarnya tidak memiliki eksistensi. * Segala perangkat yang telah disebutkan itu tidak memiliki aktualitas karena bukan bagian dari wujud. Genus bukan bagian dari wujud karena bila genus adalah wujud, maka aktualitas genus melalui spesies yang menjadi differensia tentunya juga adalah wujud. Sebenarnya differensia tidak mengandung hakikat dari genus. Genus bukan bagian dari wujud dan wujud bukan apa-apa selain dirinya. * Pada sumber realitas eksternal, seperti bentuk dan materi, seperti genus dan differensia, keduanya bukanlah predikasi satu dari yang lain. Kenyataan bahwa wujud bukan bagian dari genus dan differensia juga adalah berlaku pula pada ketidakhadiran wujud pada materi dan bentuk. * Demikian pula pada sumber kuantitatif, yang mengisi materi dan bentuk, bukanlah bagian dari wujud. Sehingga wujud bukan bagian dari jasad karena jasad adalah susunan materi dan bentuk. * Sebagaimana telah diuraikan, maka terbuktilah bahwa wujud itu tidak memiliki spesies. Spesies hanya mengada dari munculnya individualisasi, sementara wujud aktual pada dirinya sendiri. Pasal Kedelapan tentang Makna Realitas Eksternal Dari penjelasan sebelumnya, jelaslah wujud terbukti dengan sendirinya. Wujud adalah aktualitas realitas. Sementara kuiditas merupakan jawaban dari pertanyaan “apa itu?”. Realitas eksternal membutuhkan wujud supaya mengaktual. Sementara pada ranah mental, konsep kuiditas independen dari konsep wujud. Para ranah mental, wujud dan kuiditas terbagikan, sementara para realitas eksternal, yang nyata hanya satu realitas yakni wujud. Sementara kuiditas pada realitas eksternal hanyalah limitasi dari wujud yang tunggal dan menyeluruh. Konsep-konsep yang tidak mendasar (i'tibariyat) hasil bentukan pikiran seperti keberadaan, kesatuan, kausalitas, dan semacamnya, tidak memiliki aktualitas. Konsep-konsep tersebuh hanyalah bentukan pikiran dari hasil pengamatannya pada realitas eksternal. Konsep-konsep ini dapat diterapkan pada realitas eksternal sekalipun bukan bagian dari realitas eskternal. Misalnya menerapkan konsep sebab kepada api dan menerapkan konsep akibat kepada asap. Konsep-konsep inilah yang diistilahkan dengan nafs al-amar. Akurasi penerapan konsep-konsep ini pada realitas ekstenal perlu diperhatikan (al-tsubût dzihnî wa al-kharijî). * Beberapa filosof mengatakan bahwa realitas eksternal adalah aktualisasi konsep-kosep tersebut di atas. Hal ini tidak dapat diterima karena konsep-konsep tersebut tidak dapat ditemukan akurasi pada ranahnya sendiri kecuali dikaitkan dengan realitas eksternal. Pasal Kesembilan tentang Kesesuatuan dan Wujud Kesesuatuan itu sama dengan ketiadaan yang tidak memiliki kenyataan. Adapun subsisten (thubut) adalah wujud yang memiliki keberadaan. * Kaum Mu'tazilah meyakini subsisten sebagai sesuatu yang lebih umum daripada wujud. Mereka meyakini bahwa ketiadaan yang mungkin (al-ma'dûm al-mumkîn) adalah bagian dari subsisten. Sehingga, menurut mereka, ketiadaan yang mungkin lebih khusus daripada ketiadaan mutlak karena yang terakhir ini saja yang benar-benar tidak subsisten. * Sebagian kaum Mu'tazilah menyatakan, di antara wujud dan ketiadaan terdapat sesuatu yang disebut al-hall yang menjadi atribut mental seperti 'ayah' atau 'kekuatan'. Pernyataan ini dengan sendirinya tertolak ketika mengakui bahwa ranah mental sebenarnya tidak memiliki realitas nyata. Pasal Kesepuluh tentang Ketiadaan Perbedaan dan Kausalitas pada Ketiadaan Dalam realitas yang nyata, perbedaan hanya terjadi pada hal yang mengandung wujud. Karena ketiadaan adalah kontadiksi dari wujud, maka dalam ketiadaan tidak ada perbedaan. Ketiadaan mutlak dengan ketiadaan itu berbeda dalam ranah konseptual. Namun ketiadaan mutlak itu tidak ada pembagiannya. * Tidak ada pula kausalitas dalam ketiadaan. Misalnya, “tidak ada api maka tidak ada asap”. ‘Api’ dan ‘asap’ adalah sama-sama ketiadaan sehingga kedua kata tersebut sama-sama tidak memiliki realitas sehingga kausalitasnyapun tidak ada. Hal ini mirip dengan proposisi afirmatif untuk yang negatif. Pasal Kesebelas tentang Ketiadaan Tidak Memiliki Predikasi Ketiadaan itu hanyalah kekosongan yang tidak memiliki entitas, karena suatu entitas hanya dapat mengada ketika ia bersandang pada suatu keberadaan. * Predikasi haruslah bagian daripada yang dipredikatkan, baik ia predikasi intensional (al-haml al-awwalî al-dzatî) yang perbedaannya hanya datang dari cara kerja pikiran menyusun proposisi dari konsep (i'tibar). Misal, ”'manusia adalah orang”; sementara predikasi ekstensional (al-haml al-sha'i al-sina'i) adalah dualitas yang diambil dari realitas eksternal yang tunggal dan dikasifikasi oleh pikiran (mafhum), misal, “manusia adalah hewan yang tertawa”. Sementara ketiadaan mutlak dalam predikasi intensional benar-benar tidak memiliki predikasi. Sememtara predikasi eksistensional tidak dapat disebut ketiadaan mutlak, ia hanya konsep ketiadaan yang tidak dapat diberikan predikat. Sehingga, tidak ada perbedaan antar dua jenis ketiadaan tersebut. * Dari penjelasan tersebut, maka terhapuslah ambiguitas dari proposisi-proposisi yang paradoks. Misal, “partikular dapat membuktikan universal”, atau, “sekutu Tuhan itu ada”, atau “Konstruksi mental pasti nyata dalam realitas eksternal”. Sebab, yang terjadi adalah justru universallah yang diterapkan kepada partikular, sekutu Tuhan adalah hal yang mustahil dan konstruksi mental belum tentu nyata dalam realitas. Pasal Keduabelas tentang Kepastian Ketiadaan pada Non-eksistensi Para filosof meyakini keniscayaan ketiadaan pada non-eksistensi. Keyakinan ini diikuti teolog. Namun sebagian besar kaum teolog meyakini pernyataan ini relatif. * Ibn Sina menyatakan bahwa apa yang telah menjadi ketiadaan tidak akan kembali adalah suatu yang niscaya. Dalam pikiran, suatu kekosongan tidak akan dapat kembali. * Terdapat beberapa argumen dari mereka yang menolak keniscayaan ketiadaan yang tidak akan kembali. * Pertama, mereka menyatakan bahwa bila sesuatu telah mengada lalu menjadi tiada pada suatu waktu, maka ia akan dapat mengada kembali dengan sendirinya pada waktu yang lain. Pernyataan ini keliru karena ketiadaan itu mustahil dapat mengada dengan sendirinya. Bila demikian, maka akan ada dua momen yang dipisahkan oleh ketiadaan. * Pernyataan kedua, apabila sesuatu yang telah tiada dapat kembali menjadi ada, maka haruslah kesesuatuan itu memiliki sesuatu yang lain bersamanya dalam keberadaan dan ketiadaan, dan ini mustahil. Penjelasannya, harusnya segala sesuatu yang identik bagi masing-masingnya dalam segi kemungkinan dan ketidakmungkinan. Takkan ada perbedaan dalam hal yang rangkap dalam satu masa dengan masa yang lain karena mereka identik sejak awalnya. Karena itu, kebersamaan keberadaan haruslah tidak memiliki perbedaan. Keidentikan mutlak tidak dapat disebut sebagai hal yang rangkap. * Pernyataan lainnya adalah, kembalinya sesuatu dari ketiadaan menuju keberadaan pastinya meniscayakan kembalinya rangkapan dari sesuatu yang kembali tersebut. Dan ini mustahil karena menyalahi prinsip identitas dan nonkontradiksi. Bila demikian, maka prinsip kesesuatuan akan berubah karena perpindahannya dari status keberadaan menuju ketiadaan, atau seterusnya akan meniscayakan perubahan seluruh perangkat identitaasnya termasuk waktu, sehingga hal ini menjadi mustahil. * Pernyataan lainnya, apabila sesuatu yang ada menjadi tiada lalu mengada kembali, maka takkan ada batas dari kondisi ini, sehingga sama saja ia dengan status awalnya. Karena itu, sesuatu yang dianggap sebagai rangkaian sebenarnya adalah kehadiran wujud yang menyeluruh. * Mereka yang meyakini keberadaan muncul dari ketiadaan, berarti kemustahilan tersebut juga diyakini berlaku pada kuiditas dan segala perangkatnya. Maka, segala sesuatu yang tidak ada pada awalnya tidak akan dapat menjadi ada pada masa yang lain. Ketiadaan mustahil mengandung keberadaan. Sehingga, mustahil ia dapat menimbulkan keberadaan. Ini melanggar hukum akal sehat. * Landasan utama mereka yang meyakini sesuatu bisa mengada kembali setelah ketiadaannya berpegangan kepada keyakinan teologis tentang mengadanya kembali manusia di akhirat setelah kematiannya. * Dalam pandangan filsafat, kematian bukanlah berhenti dari keberadaan, melainkan adalah meningkatnya kehidupan dalam proses penyempurnaan. SALAM, Kitab Ini terdiri 12 bab. Saya baru selesaikan Bab I. Itu juga butuh waktu setahun. Kalau Allah berkenan, tahun muka bab dua selesai. Semoga dalam 12 tahun, semuanya tuntas. Mohon doa agar ada keajaiban sehingga tahun muka kelas semua. Langsa, 28 Nov. duaribuenambelas