Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
REFERAT LUPUS NEFRITIS Disusun oleh : Helvin Eka Putra (07120120023) Pembimbing : Dr. Maria Rini, Sp.PD KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM UNIVERSITAS PELITA HARAPAN RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK Periode 1 Agustus 2016 – 8 Oktober 2016 DAFTAR ISI PENDAHULUAN 1 LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK 3 2.1 DEFINISI 3 2.2 EPIDEMIOLOGI 3 2.3 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS 4 2.4 MANIFESTASI KLINIS 8 2.5 DIAGNOSIS 9 2.6 TINGKAT AKTIVITAS PENYAKIT DAN KERUSAKAN ORGAN PADA LES 13 2.7 TATALAKSANA 17 2.8 PROGNOSIS 20 LUPUS NEFRITIS 22 3.1 DEFINISI 22 3.2 EPIDEMIOLOGI 22 3.3 ETIOPATOGENESIS 22 3.4 MANIFESTASI KLINIS 24 3.5 DIAGNOSIS 26 3.6 KLASIFIKASI 27 3.7 TATALAKSANA 29 3.8 PROGNOSIS 37 KESIMPULAN 38 DAFTAR PUSTAKA 39 DAFTAR SINGKATAN ACR : American College of Rheumatology ANA : Antinuclear Antibodies Anti-dsDNA : Anti-double stranded DNA aPTT : Activated Partial Thromboplastin Time BAFF : B-Cell Activating Factor ELISA : Enzyme-linked Immunosorbent Assay HLA : Human Leucocyte Antigen HPA : Hipothalamus – Hipofisis – Adrenal IL : Interleukin LES : Lupus Eritematosus Sistemik LN : Lupus Nefritis MHC : Major Histocompability Complex PT : Prothrombin Time SGOT : Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase SGPT : Serum Glutamic Pyruvic Transaminase SLEDAI : Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index TGF : Transforming Growth Factor UV : Ultra Violet BAB I PENDAHULUAN Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang kompleks, ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposit autoantibodi dan kompleks imun sehingga menimbulkan kerusakan jaringan. Etiologi dari LES belum diketahui secara pasti namun diduga akibat adanya interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dimana faktor ini berperan penting dalam predisposisi penyakit LES dan faktor lingkungan. LES merupakan penyakit multisistem kronik yang lebih sering mengenai perempuan. Manifestasi penyakit ini sangat bervariasi dan tidak bisa diprediksi, tidak hanya mempengaruhi fungsi fisik namun juga fungsi psikologi, salah satunya adalah komplikasi dari organ ginjal yang sering dikenal sebagai Lupus Nefritis. Lupus Nefritis (LN) adalah komplikasi ginjal dan salah satu manifestasi paling serius pada penderita LES. Biasanya LN muncul dalam 5 tahun setelah diagnosis LES. Keterlibatan ginjal cukup sering ditemukan, dibuktikan pada biopsi dan otopsi ginjal. Perkiraan prevalensi keterlibatan ginjal secara klinis pada pasien LES berkisar antara 60 % pada studi-studi yang sudah dipublikasikan. Prevalensi sesungguhnya dari lupus nefritis klinis pada pasien LSE kemungkinan sekitar 25%-50%, lebih sering pada anak-anak dan etnis tertentu. LES lebih sering ditemukan pada orang kulit hitam dan ras hispanik, namun LN yang berat lebih sering ditemukan pada orang kulit hitam dan ras Asia dibanding ras lainnya. Meskipun insiden dan prevalensi LES lebih tinggi pada wanita (rasio wanita : pria = 9 : 1), namun pria dengan dengan LES mempunyai insiden yang sama dengan wanita untuk terjadinya LN. Perjalanan klinis LN sangat bervariasi dan hasil pengobatan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kecepatan menegakkan diagnosis, kelainan histopatologi yang didapat dari hasil biopsi ginjal, saat mulai pengobatan, dan jenis regimen yang dipakai. Selama 4 dekade terakhir, perubahan dari manajemen LN telah meningkatkan kemungkinan hidup pasien, saat ini rata-rata 10 year survival rate telah melebih 90%. Morbiditas dari LN terkait dengan penyakit ginjalnya sendiri, selain karena komplikasi pengobatan dan komorbiditas seperti penyakit kardiovaskular dan trombosis. Gagal ginjal progresif dapat berakhir pada anemia, uremia dan gangguan asam-basa serta elektrolit. Komplikasi infeksi yang terkait LES aktif dan pengobatan imunosupresi saat ini merupakan penyebab utama kematian pada LES fase awal yang aktif, dan arteriosklerosis dini adalah penyebab kunci mortalitas pada fase lanjut. Perbedaan presentasi klinis dan histologi serta kendali komplikasi pengobatan yang kompleks dari pasien LES menuntut adanya suatu pendekatan individualisasi terapi yang tepat. Saat ini pun, sedang berlangsung banyak penelitian pada obat-obatan yang mungkin dapat menjadi harapan baru bagi LES seperti mycophenolate dan rituximab. Referat ini akan membahas mengenai seputar penyakit autoimun LES dan juga salah satu dari komplikasi LES yaitu lupus nefritis. BAB II LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK DEFINISI Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi yang tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Peristiwa imunologi yang tepat yang memicu timbulnya manifestasi klinis LES belum diketahui secara pasti. Berbagai sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi seperti TGF-, IL-10, BAFF, IL-6, IFN-, IFN-, IL-17, dan IL-23 memainkan peran patogenik yang penting.1 EPIDEMIOLOGI Angka prevalensi penyakit LES di Amerika Serikat berkisar antara 51/100.000. Insiden penyakit LES telah meningkat sekitar 3x lipat pada 40 tahun terakhir karena meningkatnya kualitas diagnosis. Data prevalensi LES di Indonesia sampai saat ini belum ada, jumlah penderita LES di Indonesia menurut Yayasan Lupus Indonesia (YLI) sampai dengan tahun 2005 diperkirakan mencapai 5000 orang. LES telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. LES lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti orang berkulit hitam dan ras Asia. Di Amerika Serikat, angka penderita LES wanita berkulit hitam 3-4 kali lebih banyak dibandingkan wanita berkulit putih. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. LES dapat ditemukan pada seluruh usia, namun paling banyak ditemukan pada usia 16-55 tahun. 65 % dari angka seluruh penderita pasien memiliki onset di antara usia 15 hingga 55 tahun, 20% terjadi pada usia di bawah 16 tahun, dan 15% terjadi pada usia di atas 55 tahun. Umumnya penyakit LES lebih banyak menyerang wanita dibandingkan laki-laki dengan rasio wanita banding pria adalah 9:1.2 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Etiopatologi dari LES belum diketahui secara pasti namun diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara faktor genetik, hormonal, sistem endokrin dan lingkungan. Interaksi antara jenis kelamin, status hormonal, dan aksi Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis LES. Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun merupakan kontributor yang penting dalam perkembangan penyakit LES. Hilangnya toleransi imun, meningkatnya beban antigenik, T-Cell Helper yang berlebihan gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T-Helper 1 ke T-Helper 2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik. Respons imun yang terpapar faktor eksternal/lingkungan seperti radiasi Ultraviolet (UV) atau infeksi virus dalam periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun.1,3 Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktorial seperti faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik memegang peranan penting pada banyaknya penderita LES dengan risiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen-komponen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen (yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin.3 Studi lain mengenai faktor Genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leukocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompability Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita LES (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2, C4, atau C1q. Kekurangan komplemen tersebut dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.3,4,5 HLA genes   DR2, DR3 (relative risk 2–5)   DR2, DR3, DR7, DQw1, DQw2, DQA1, DQB1, B8 (anti-Ro)   DR3, DR8, DRw12 (anti-La)   DR3, DQw2, DQA1, DQB1, B8 (anti-Ro and anti-La)   DR2, DR3, DR7, DQB1 (anti-DNA)   DR2, DR4, DQw5, DQw8, DQA1, DQB1 (anti-U1 ribonuclear protein)   DR2, DR4, DR7, DQw6, B61 (anti-Sm)   DR4, DR7, DQ6, DQ7, DQw7, DQw8, DQw9 (anticardiolipin or lupus anticoagulant)   Complement genes (C2, C4, C1q) Non-HLA genes   Mannose binding lectin polymorphisms   Tumour necrosis factor α   T cell receptor   Interleukin 6   CR1   Immunoglobulin Gm and Km   FcγRIIA (IgG Fc receptor)   FcγRIIIA (IgG Fc receptor)   PARP (poly-ADP ribose polymerase)   Heat shock protein 70   Humhr 300 Tabel 1. Gen-gen yang terlibat dalam Perkembangan Lupus Eritomatosus Sistemik Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita LES, seperti radiasi UV, tembakau, obat-obatan, dan infeksi virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu, sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita LES, dan memegang peranan dalam fase induksi yang secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki risiko tinggi terkena LES, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita LES. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita LES. Virus rubella, sitomegalovirus dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.1 Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis LES yaitu faktor hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES. Auto antibodi pada LES kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Auto antibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal.4 Gambar 1. Patogenesis dari penyakit Lupus Eritomatosus Sistemik (LES) Faktor keempat adalah gangguan di Aksis Hypothalamo-Pituitary-Adrenal. Aksis HPA adalah komponen utama dari sistem stress. Stress memicu peningkatan konsentrasi glukokortikoid serum yang merupakan komponen sangat penting dalam pencegahan autoreaktif atau respons imun yang tidak terkendali, dimana kedua hali ini akan mengakibatkan self injury dan autoimuntias. Aksis HPA yang tidak normal berpengaruh terhadap kepekaan gangguan autoimun. Penelitian fungsi aksis HPA pada penderita LES masih terbatas dan sering dirancukan oleh pengaruh terapi steroid. Disregulasi aksis HPA mungkin berpengaruh terhadap kepekaan dan progresi penyakit.4,5 Gangguan imunologis utama pada penderita LES adalah produksi autoantibodi. Antibodi antinukelar (ANA) adalah antibodi yang paling banyak ditemukan pada penderita LES (lebih dari 95%). Anti-double stranded DNA (anti ds-DNA) dan anti-Sm antibodi merupakan antibodi yang spesifik untuk LES, sehingga dimasukkan ke dalam kriteria klasifikasi dari LES.1 Secara kesimpulan, patogenesis LES berhubungan dengan ditemukannya disfungsi imun seperti adanya pembentukan autoantibodi, gangguan respons imun, defisiensi dan aktivasi berlebihan dari komplemen-komplemen yang mengakibatkan kerusakan organ, dan terdapat gangguan regulasi imun seperti adanya gangguan fungsi fagositosis sel-sel apoptosis. Pada pasien penderita LES, peran apoptosis dan/atau pembersihan material apoptosis terganggu. Apoptosis menginduksi modified nuklear autoantigen yang akan merangsang sistem imun dan dikenali sebagai antigen non-self yang mampu mencetuskan signal yang berbahaya.5,6 Antigen spesifik Prevalensi (%) Efek klinik utama Anti-dsDNA 70-80 Gangguan ginjal, kulit Nukelosum 60-90 Gangguan ginjal, kulit Ro 30-40 Gangguan kulit, ginjal, gangguan jantung fetus La 15-20 Gangguan jantung fetus Sm 10-30 Gangguan ginjal Reseptor NMDA 33-50 Gangguan otak Fosfolipid 20-30 Trombosis, abortus -Actinin 20 Gangguan ginjal C1q 40-50 Gangguan ginjal Tabel 2. Autoantibodi Patogenik pada LES MANIFESTASI KLINIS Manifestasi Umum Manifestasi klinis LES sangat bervariasi tergantung sistem organ mana yang terlibat misalnya dari kulit, membrana mukosa, senid, ginjal, otak, paru, jantung, gastrointestinal, hematologik dan lain-lainnya. Pada kelainan autoimun yang bersifat sistemik biasanya dijumpai kelainan seperti : cepat lelah, nafsu makan menurun, demam dan menurunnya berat badan.1 Manifestasi Kulit Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), Subacute Cutaneous Lupus Erythemathosus (SCLE), alopecia. Selain itu dapat pula berupa lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo reticularis, telangiektasia, fenomena Raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol berwarna putih perak. Pada kelainan kulit yang bersifat akut akan timbul rash atau ruam setelah terpapar sinar matahari dan ruam akan berkurang sampai menghilang setelah paparan sinar matahari dihindari.1,4,7 Manifestasi Muskuloskeletal Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal. Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia) dan nyeri sendi (atralgia). Seringkali pada penderita LES yang berat yang mengenai sendi tangan dikenal sebagai (Jaccoud artropati) dengan gambaran kliniknya yang mirip dengan artritis reumatoid seperti adanya swan neck-deformity. 1,4,7 Manifestasi Paru Pleuritis merupakan manifestasi LES yang tersering pada paru berkisar antara 41-56%. Keluhannya berupa nyeri dada pada pinggir kostoprenikus, dan seringkali diikuti dengan batuk, sesak napas dan demam serta umumnya akan berkembang menjadi efusi pleura. Manifestasi lainnya seerti pneumonitis, perdarahan paru, emboli paru, dan hipertensi pulmonal. 1,4,7 Manifestasi Kardiovaskular Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat berupa perikarditis, efusi perikardial sampai penebalan perikardial, dan miokarditis. Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub, dan gambaran silhouette sign pada foto thorax. 1,4,7 Manifestasi Gastrointestinal dan Hepar Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak didapatkan adanya kelainan pada esofagus. Dispepsia dan nyeri abdominal juga sering dijumpai. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis dan hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun alkali-fosfatase. 1,4,7 Manifestasi Hemopoietik Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan. Sering ditemukan anemia, trombositopenia, limfopenia, dan leukopenia. 1,4,7 Manifestasi Neuropsikiatrik Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu luas. Diagnosis leboh banyak didasari pada temuan klinis dengan disingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat. Manifestasi neuropsikiatrik LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain, psikosis, depresi, cemas, neuropati perifer hingga kejang. Analisis cairan serebrospinal, EEG, dan CT-scan umumnya tidak menggambarkan adanya kelainan. 1,4,7 Manifestasi Ginjal Lupus Nefritis. Akan dijelaskan pada bab berikutnya. DIAGNOSIS Karena banyaknya manifestasi klinik dari penyakit LES yang sangat bervariasi, maka terkadang sulit untuk mendiagnosa penyakit LES. Terdapat salah satu kriteria klasifikasi dari American College of Rheumatology (ACR) tahun 1997 yang sering digunakan untuk mendiagnosis LES. Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria tersebut, diagnosis LES memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengataman klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.7,11 Kriteria Definisi Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai nyeri tekan, bengkak atau efusia Serositis a. Pleuritis. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura. Atau b. Perikarditis. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terdapat bukti efusi perkaridum Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif. Atau b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit). Atau b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit) Gangguan hematologik a. Anemia Hemolitik dengan retikulosis. Atau b. Leukopenia <4.000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih. Atau c. Limfopenia <1.500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih. Atau Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan. Gangguan imunologik a. Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal. Atau b. Anti-Sm : terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm. Atau c. Temuan positif terhadap antibodi antifosolipid yang didasarkan atas : 1) Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau 3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema Antibodi antinuklear positif (ANA) Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat Tabel 2. Kriteria Diagnosis American College of Rheumatology (ACR), 1997 Pemeriksaan penunjang minimal lain yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring : Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, Laju Endap Darah (LED) Urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin. Kimia darah (Ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid) PT, aPTT pada sindrom antifosfolipid Serologi ANA, anti –dsDNA, komplemen (C3, C4) Foto polos thorax Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tes ANA. Tes ANA dikerjakan hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya infkesi kronis (Tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed Connective Tissue Disease (MCTD), reumatoid atritis, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal. Gambar 2. Skema alur diagnosis penyakit Lupus Eritematosus Sistemik Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan penyakit LES seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifisitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis LES dibandingkan dengan titer yang rendah.7,8 TINGKAT AKTIVITAS PENYAKIT DAN KERUSAKAN ORGAN PADA LES Perjalanan penyakit LES yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan pemantauan yang ketat akan aktifitas penyakitnya. Evaluasi penyakit ini berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi. Terdapat beberapa indeks untuk menilai akitifitas penyakit LES antara lain menggunakan ECLAM (European Consensus Lupus Activity Measurement); LAI (Lupus Activity Index); SLAM (Systemic Lupus Activity Measure); BILAG (British Isles Lupus Assessment Group); dan SLEDAI (Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index). Ketiga indeks penilaian terakhir terbukti valid dan memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap aktifitas penyakit. Indeks ECLAM menilai aktifitas penyakit dari bulan sebelumnya dan terdiri dari 15 parameter klinik dan laboratorium. ECLAM ini telah dievaluasi di beberapa penelitian dan terbukti valid dan sensitif untuk mendeteksi perubahan aktifitas penyakit dan memiliki korelasi yang baik dengan indeks penilaian lainnya. Indeks LAI terdiri dari empat nilai untuk mengevaluasi penyakit secara umum, berat-ringannya aktifitas penyakit, hasil laboratorium, serta dapat mengevaluasi pengobatan imunosupresif. Skor nya yaitu dari skala 0-3. Indeks BILAG juga dapat menilai aktifitas penyakit LES. Indeks ini menilai 8 sistem organ dan tidak menggunakan jumlah nilai seperti pada indeks penilaian aktifitas penyakit LES lainnnya. BILAG A menggambarkan satu atau lebih karakteristik LES berat, BILAG B berarti memiliki aktifitas penyakit sedang, kemudian BILAG C memiliki aktifitas penyakit ringan, BILAG D hanya menggambarkan aktifitas penyakit sebelumnya dan bukan karena aktifitas lupus yang aktif, dan BILAG E menunjukkan tidak ada sistem yang terlibat. Terdapat beberapa modifikasi dari SLEDAI yaitu SLEDAI-2K dan MEX- SLEDAI (Mexican SLE Disease Activity Index). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan MEX-SLEDAI untuk mengetahui aktifitas penyakit LES karena menurut penelitian pada tahun 2011 menunjukkan bahwa MEX-SLEDAI memiliki validitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan BILAG dan SLAM. Selain itu, MEX-SLEDAI tidak memerlukan biaya yang mahal dan mudah digunakan. Aktifitas penyakit LES digambarkan sebagai 10 variabel klinik utama yaitu berupa gangguan neurologi, gangguan ginjal, vaskulitis, hemolisis, miositis, artritis, gangguan muskulokutan, serositis, demam dan kelelahan, leukopenia dan limfopenia. Pasien yang memiliki skor < 2 memiliki aktifitas penyakit LES ringan sementara skor 2-5 memiliki aktifitas penyakit LES sedang, dan pasien yang memiliki skor > 5 memiliki aktifitas penyakit LES berat.9 Berikut adalah skor MEX-SLEDAI dan SLICC/ACR Gangguan Neurologi (8) Psikosa: angguan kemampuan melaksanakan aktifitas fungsi normal dikarenakan gangguan persepsi realitas. Termasuk: halusinasi, inkoheren, kehilangan berasosiasi, isi pikiran yang dangkal, berfikir yang tidak logis, bizzare, disorganisasi atau bertingkah laku kataton. Kejang: Onset baru, eksklusi metabolik, infeksi, atau pemakaian obat. Sindrom otak organik: Keadaan berubahnya fungsi mental yang ditandai dengan gangguan orientasi, memori atau fungsi intelektual lainnya dengan onset yang cepat, gambaran klinis yang berfluktuasi. Seperti : a) kesadaran yang berkabut dengan berkurangnya kapasitas untuk memusatkan pikiran dan ketidakmampuan memberikan perhatian terhadap lingkungan, disertai dengan sedikitnya 2 dari b) gangguan persepsi; berbicara melantur; insomnia atau perasaan mengantuk sepanjang hari; meningkat atau menurunnya aktfitas psikomotor. Eksklusi penyebab metabolik, infeksi atau penggunaan obat. Mononeuritis: Defisit sensorik atau motorik yang baru disatu atau lebih saraf kranial atau perifer. Myelitis: Paraplegia dan/atau gangguan mengontrol BAK/BAB dengan onset yang baru. Eksklusi penyebab lainnya Gangguan Ginjal (6) Cast, Heme granular atau sel darah merah. Haematuria: >5 /lpb. Eksklusi penyebab lainnya (batu/infeksi) Proteinuria: Onset baru, >0.5g/l pada random spesimen. Peningkatan kreatinin: > 5 mg/dl. Vaskulitis (4) Ulserasi, gangren, nodul pada jari yang lunak, infark periungual, Splinter Haemorrhages. Hemolisis (3) Hb<12.0 g/dl dan koreksi retikulosit > 3%. Trombositopeni Trombositopeni : < 100.000. Bukan disebabkan oleh obat Miositis (3) Nyeri dan lemahnya otot-otot proksimal, yang dihubungkan dengan peningkatan CPK Artritis (2) Pembengkakan atau efusi lebih dari 2 sendi. Gangguan Muskulokutaneus (2) Ruam malar: Onset baru atau malar eritema yang menonjol. Mucous ulcer: Oral atau nasofaringeal ulserasi dengan onset baru atau berulang Abnormal Alopenia: Kehilangan sebagaian atau seluruh rambut atau mudahnya rambut rontok Serositis (2) Pleuritis: Terdapatnya nyeri pleura atau pleural rub atau efusi Perikarditis: Terdapatnya nyeri perikardial atau terdengarnya rub. Peritonitis: Terdapatnya nyeri abdominal difus dengan rebound tenderness (Eksklusi penyakit intra-abdominal). Demam (1) Demam > 38 ̊ C sesudah eksklusi infeksi. Fatigue Fatigue yang tidak dapat dijelaskan. Leukopenia (1) Sel darah putih < 4000/mm3, bukan akibat obat. Limfopenia Limfosit < 1200.mm3, bukan akibat obat. Tabel 3. Skor Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI) Okular (0-2) Katarak Atrofi n. opticus Neuropsikiatrik (0-6) Gangguan kognitif Bangkitan > 6 bulan Trauma pembuluh darah otak (skor 2 jika > 1) Cranial/periferal neuropati Myelitis transversa Ginjal (0-3) LFG < 50% Proteinuria ≥3,5 gm/24jam atau Gagal ginjal stadium terminal Paru (0-5) Hipertensi pulmonar Fibrosis pulmonar (pemeriksaan fisik dan radiografi) Shrinking lung (pemeriksaan radiografi) Pleural fibrosis (pemeriksaan radiografi) Infark pulmonar (pemeriksaan radiografi) Kardiovaskular (0-6) Angina atau bypass a.coronaria Pernah mengalami infark miokard (skor 2 jika > 1) Kardiomiopati (disfungsi ventrikular) Gangguan katup (diastolik, murmur, atau murmur sistolik >3/6) Perikarditis (6 bulan) atau perikardiektomi Pembuluh darah perifer (0-5) Rasa gatal atau nyeri kram (menetap selama 6 bulan) Kehilangan jaringan Kehilangan anggota tubuh (skor 2 jika >1) Trombosis vena dengan pembengkakan, ulkus, atau statis vena Gastrointestinal (0-6) Infark atau reseksi dibawah duodenum, lien, liver, vesika urinaria (skor 2 jika >1) Insufisiensi mesenterika Peritonitis kronik Striktur esofagus atau pernah menjalani operasi saluran pencernaan atas Muskuloskeletal (0-7) Atrofi atau kelamahan otot Deformitas atau artritis erosive Osteoporosis dengan fraktur atau kolaps vertebra Nekrosis avaskular (skor 2 jika >1) Osteomielitis Kulit (0-3) Jaringan parut, kerontokan rambut yang kronik Jaringan parut yang luas Ulkus di kulit (tidak termasuk trombosis) >6 bulan Premature gonadal failure (0-1) Diabetes (0-1) Keganasan (tidak termasuk displasia) (skor 2 jika >1) Tabel 4. Skor Systemic Lupus International Collaborating Clinics/American College of Rheumatology (SLICC/ACR) TATALAKSANA Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan LES, terutama menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES. Penyakit LES dapat dikategorikan ringan, sedang, dan berat atau mengancam nyawa. Kriteria untuk dikatakan LES ringan adalah : Secara klinis tenang Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. LES dengan manifestasi artritis dan kulit Kriteria untuk dikatakan LES sedang adalah : Nefritis ringan sampai sedang (Lupus nefritis kelas I dan II) Trombositopenia (rombosit 20.000-50.000/mm3) Serositis mayor Kriteria untuk dikatakan LES berat atau mengancam nyawa adalah : Jantung: Endokarditis, vaskulitis arteria koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna Paru-paru: Hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, fibrosis interstitial, shrinking lung Gastrointestinal: Pankreatitis, vaskulitis mesenterika Ginjal: Nefritis proliferatif dan atau membranous Kulit: Vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister) Neurologi: Kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindrom demielinasi Hematologi: Anemia hemolitik, nuetropenia (leukosit <1.000mm3), trombositopenia <20.000mm3, purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri Pada dasarnya pasien LES memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitiasnya. Pasien memerlukan pengetahuan kan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (UV) dengan memakai tabir surya, payung atau topi, melakukan latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan.1 Gambar 3. Algoritme Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik Pengobatan LES Ringan Obat-obatan : Penghilang nyeri seperti Paracetamol 3x500mg NSAID, sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam Klorokuin basa 4mg/kg BB/ hari (250-500mg/hari) dengan catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5-6,5mg/kg BB/hari (200-400mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison <10mg/hari. Gunakan tabir surya. Pengobatan LES sedang dan berat dapati dilihat algoritme penatalaksanaan di atas (Gambar 3) Sistem Efek Samping Skeletal Osteoporosis, osteonekrosis, miopati Gastrointestinal Penyakit ulkus peptikum, panrkreatitis, perlemakan hati Immunologi Predisposisi infeksi, menekan hipersensitivitas tipe lambat Kardiovaskular Retensi cairan, hipertensi, meningkatkan aterosklerosis, aritmia Okular Glaucoma dan katarak Kutaneous Atrofi kulit, striae, ekimosis, penyembuhan luka terganggu, jerawat, buffalo hump, hirsutism Endokrin Penampilan cushingoid, diabetes mellitus, perubahan metabolisme lipid, perubahan nafsu makan dan meningkatnya berat bada, gangguan elektrolit, supresi HPA aksis, supresi hormon gonad Tingkah laku Insomnia, psikosis, instabilitas emosional, efek kognitif Tabel 5. Efek Samping yang Sering Ditemui pada Pemakaian Kortikosteroid PROGNOSIS Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat. Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 5 tahun pada LES kurang dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka kematian yang berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan dalam perawatan medis umum.3,4 Infeksi, penyakit jantung kroner, dan osteoporosis sering menjadi alasan penderita LES datang berobat. Infeksi menyumbang sebesar 20-55% kasus kematian pada penderita LES. Mudah nya terkena infeksi dikarenakan adanya gangguan disfungsi dari imun dan pemakaian obat kortikosteroid dan obat pensupresi imun yang berkepanjangan. Selain itu, pasien dengan LES juga memiliki peningkatan resiko terkena penyakit jantung koroner sebesar 2.3-7.5 kali. Adanya antibodi protrombotik antifosfolipid yang bersirkulasi, antibodi yang mengganggu fungsi HDL, dan dislipidemia yang khas pada LES (rendah HDL, tinggi trigliserida, rendah atau normalnya LDL) meningkatkan faktor resiko terjadinya ateroskleoris yang mengakibatkan penyakit jantung koroner. Osteoporosis juga sering ditemukan pada penderita LES khususnya perempuan, karena adanya menopause dini, defisiensi vitamin D karena perlunya menghindari sinar matahari, dan pemakaian kortikosteroid yang berkepanjangan dapat meningkatkan foaktor resiko terjadinya osteoporosis.5 BAB III LUPUS NEFRITIS 3.1 DEFINISI Lupus Nefritis adalah komplikasi ginjal pada Lupus Eritomatosus Sistemik (LES). Keterlibatan ginjal cukup sering ditemukan, yang dibuktikan pada biopsi dan otopsi ginjal. Sebanyak 60% pasien dewasa akan mengalami komplikasi ginjal yang nyata, walaupun pada awal LES kelainan ginjal hanya didapatkan pada 25-50% kasus.1 3.2 EPIDEMIOLOGI Di Amerika Serikat, hampir 35% pasien dewasa dengan penyakit LES memiliki bukti klinis terjadinya nefritis pada waktu terdiagnosa LES. Diperkirakan 50-60% penderita LES akan terjadi nefritis pada 10 tahun pertama. Prevalensi terjadinya Lupus Nefritis (LN) lebih tinggi secara signifikan pada penderita ras Afrika Amerika dan Hispanik dibanding ras kulit putih. Selain itu, penderita LES pria juga cenderung lebih tinggi untuk terjadi LN dibanding wanita. Kerusakan ginjal lebih mudah terjadi pada ras non-kulit putih. Rata-rata angka kelangsungan hidup pasien penderita LES sekitar 95% pada 5 tahun pertama setelah terdiagnosa dan 92% pada 10 tahun berikutnya setelah terdiagnosa. Adanya LN menurunkan secara signifikan angka kelangsungan hidup menjadi 88% pada 10 tahun setelah terdiagnosa, dengan angka yang jauh lebih rendah pada ras Afrika Amerika.10 3.3 ETIOPATOGENESIS Patogenesis timbulnya LES diawali oleh adanya interaksi antara faktor predisposisi genetik dengan faktor lingkungan, faktor hormon seks, dan faktor sistem neuroendokrin. Interaksi faktor-faktor ini akan mempengaruhi dan mengakibatkan terjadinya respon imun yang menimbulkan peningkatan aktivitas sel-T dan sel-B, sehingga terjadi peningkatan auto-antibodi. Sebagian dari auto-antibodi ini akan membentuk komplek imun bersama nukleosum (DNA-histon), kromatin, C1q, laminin, Ro(SS-A), ubiquitin, dan ribosom; yang kemudian akan membentuk deposit sehingga terjadi kerusakan jaringan.10,11,12 Keterlibatan antibodi anti-DNA pada LN didukung oleh adanya bukti-bukti adanya observasi klinis pada sebagian besar pasien menunjukkan bahwa nefritis aktif berhubungan dengan peningkatan titer anti-DNA dan penurunan total komplemen hemolitik. Selain itu antibodi anti-DNA juga lebih suka mengendap di dalam ginjal, sehingga diduga bahwa kompleks imun DNA-antibodi anti-DNA merupakan mediator inflamasi yang utama. Gambaran klinis kerusakan glomerulus dihubungkan dengan lokasi terbentuknya deposit kompleks imun. Deposit pada mesangium dan subendotel letaknya proksimal terhadap membran basalis gromerulus sehingga mempunyai akses dengan pembuluh darah. Deposit pada daerah ini akan mengaktifkan komplemen yang selanjutnya akan membentuk kemoatraktan C3a dan C5a, yang menyebabkan terjadinya influks sel neutrofil dan mononuklear.13,14 Deposit pada mesangium dan subendotel secara histopatologis memberikan gambaran mesangial, proliferatif fokal, dan proliferatif difus yang secara klinis memberikan gambaran sedimen urin yang aktif (ditemukan eritrosit, leukosit, silinder sel dan granular), proteinuria, dan sering disertai penurunan fungsi ginjal. Sedangkan deposit pada subepitelial juga akan mengaktifkan komplemen, tapi tidak terjadi influks sel-sel inflamasi, karena kemoatraktan dipisahkan oleh membran basalis glomerulus dari sirkulasi. Sehingga jejas hanya terbatas pada sel-sel epitel glomerulus. Secara histopatologi memberikan gambaran nefropati membranosa, dan secara klinis hanya didapatkan proteinuria. 13,14 Tempat terbentuknya kompleks imun dihubungkan dengan karakteristik dari antigen dan antibodi:1,13,14 Kompleks imun yang besar atau antigen yang anionik, yang tidak dapat melewati sawar dinding kapiler glomerulus yang juga bersifat anionik, akan diendapkan dalam mesangium dan subendotel. Banyaknya deposit imun ini akan menentukan apakah pada pasien akan berkembang gejala penyakit yang ringan (deposit imun pada mesangium), atau terdapat gejala yang lebih berat (proliferal fokal atau difus). Hal lain yang menentukan tempat terbentuknya kompleks imun dihubungkan dengan muatan antibodi dan daerah tempat beriatan dengan antigen. Antibodi dapat berikatan dengan antigen pada berbagai tempat di dinding kapiler sehingga menimbulkan manifestasi histologis dan klinis yang berbeda. Gambar 4. Patogenesis dari Lupus Nefritis 3.4 MANIFESTASI KLINIS Seperti telah disebutkan sebelumnya, LN adalah komplikasi ginjal pada LES. Diagnosis LES ditegakkan berdasarkan kriteria ACR pada tahun 1997. Ditemukannya 4 dari 11 kriteria. Malar Rash Discoid Rash Fotosensitivitas Ulserasi mulut Artritis nonerosif Pleuroperikarditis Gangguan ginjal Kelainan susunan saraf pusat seperti psikosis dan kejang Gangguan hematologik seperti anemia hemolitik, leukopenia, limfopeni, dan trombositopeni Petanda imunologik seperti antibodi anti-DNA, anti-Sm, dan antifosfolipid Antibodi anti-nuklear (ANA) positif Manifestasi kelainan ginjal berupa proteinuria yang didapatkan pada seluruh pasien, sindrom nefrotik pada 45-65% pasien, hematuria mikroskopik pada 80% pasien, gangguan tubular pada 60-80% pasien, hipertensi pada 15-50% pasien, penurunan fungsi ginjal pada 40-80% pasien dan penurunan fungsi ginjal yang cepat pada 30% pasien.1,13,14 Gambaran klinis yang ringan dapat berubah menjadi bentuk yang berat dan perjalanan penyakitnya. Beberapa prediktor yang ditemukan pada saat pasien diketahui menderita LN dihubungkan dengan perburukan fungsi ginjal antara lain ras kulit hitam dan Hispanik, hematokrit < 26%, kreatinin serum > 2.4 mg/dl, kadar C3 < 76 mg/dl, dan LN kelas IV. Pada pemeriksaan fisik, umumnya dapat ditemukan tanda-tanda seperti xanthelasma, ruam pada kulit, purpura, serta tanda menurunnya fungsi ginjal seperti edema, clubbing finger dan hipertensi. Auskultasi abnormal dapat terdengar di jantung dan paru yang menandakan overload cairan.13,14 Lupus Nefritis Proteinuria Hematuria Hipertensi Sindrom Nefrotik Gangguan Fungsi Ginjal Kelas I 1 gr/ 24 jam Tidak ada Tidak ada Tidak ada Normal Kelas II 1-3 gr/24 jam Tidak ada Tidak ada Tidak ada Normal Kelas III >3 gr/ 24 jam Ada Ada Ada kreatinin Kelas IV >3 gr/ 24 jam Sering Sering Sering kreatinin Kelas V >3 gr / 24 jam Ya/Tidak Ya/tidak Sering Normal atau kreatinin Kelas VI 1 gr/ 24 jam Ya/Tidak Ya/Tidak Ya/Tidak lambat Tabel 6. Manifestasi Klinis Berdasarkan gambaran Histopatologi 3.5 DIAGNOSIS Adanya hematuria, proteinuria, atau sedimen urin yang patologik pada pemeriksaan urinalisa, menunjukkan terdapatnya nya LN. Diagnosis klinis LN ditegakkan apabila pada pasien LES didapatkan: Proteinuria 500mg/24 jam dengan/atau Hematuria (>8 eritrosit/LPB) dengan/atau Penurunan fungsi ginjal sampai 30%. Proteinuria umumnya diperiksa dengan cara mengukur jumlah protein secara kuantitatif dengan mengumpulkan urin selama 24 jam. Cara lain yang lebih praktis dan sekarang mulai banyak dilakukan ialah dengan mengukur rasio protein dengan kreatinin pada sampel urin sewaktu. Pemeriksaan ini mudah dikerjakan, dan terutama diperiksa untuk menilai perubahan jumlah protein urin setelah dilakukan pengobatan.12,14 Beberapa tes serologik yang biasa diperiksa pada pasien LN adalah: Tes ANA Tes ANA sangat sensitif untuk penyakit LES, dan peningkatan titer antibodi anitnuklear (ANA) menjadi 1:40 atau lebih tinggi adahal yang paling sensitif dari kriteria ACR. Lebih dari 90% pasien dengan LES memiliki peningkatan titer ANA pada titik tertentu, walaupun sejumlah besar pasien mungkin titernya negatif pada fase awal penyakit. Bagaimanapun tes ANA tidak spesifik untuk LES. Penyakit lain yang sering terkait dengan uji ANA positif termasuk sindrom Sjogren (68% dari pasien), skleroderma (40-75% pasien), artritis reumatoid (25-50%), polimiositis dan infeksi HIV. Pada pasien dengan penyakit selain LES, titer ANA umumnya cenderung lebih rendah dan pola imunofluoresensinya berbeda. Titer ANA tidak memunyai korelasi yang baik dengan berat kelainan ginjal pada LES. Tes anti ds DNA (anti double-stranded DNA) Tes anti ds DNA lebih spesifik, tetapi kurang sensitif untuk LES. Tes ini positif pada kira-kira 75% pasien LES aktif yang belum diobati. Dapat diperiksa dengan teknik Radioimmunoassay Farr atau teknik ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay). Anti ds DNA mempunya korelasi yang baik dengan adanya kelainan ginjal. Antibodi anti-ribonuklear (anti-Sm dan anti-nRNP) Antibodi anti-Sm sangat spesifik untuk LES. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa antibodi anti-Sm mempunyai hubungan dengan peningkatan insiden penyakit ginjal dan susunan saraf pusat serta menunjukkan prognosis yang buruk. Antibodi anti-nRNP ditemukan pada 35% pasien LES, juga pada penyakit-penyakit reumatologik terutama jaringan ikat. Kadar komplemen serum menurun pada saat fase aktif LES, terutama pada LN tipe proliferatif. Kadar C3 dan C4 serum sering sudah dibawah normal sebelum gejala lupus bermanifestasi. Normalisasi kadar komplemen dihubungkan dengan perbaikan LN. Defisiensi komplemen lain seperti C1r, C1s, C2, C3a, C5a dan C8 juga didapatkan pada LES. Kadar komplemen total kemungkinan tetap dibawah normal meskipun penyakit dalam keadaan inaktif. Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra indikasi, maka biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, evaluasi aktivitas penyakit, klasifikasi kelainan histopatologik ginjal, dan menentukan prognosis dan terapi yang tepat. Seluruh pasien LN harus menjalani biopsi ginjal bila tidak terdapat kontra indikasi (trombositopenia berat, reaksi penolakan terhadap komponen darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) dan tidak tersedianya dokter ahli dibidang biopsi ginjal. 3.6 KLASIFIKASI Kelainan ginjal yang ditemukan pada pemeriksaan histopatologi mempunyai nilai yang sangat penting. Gambaran histopatologi yang didapatkan mempunyai hubungan dengan gejala klinis yang ditemukan dan juga menentukan pilihan pengobatan yang akan diberikan. Karena itu biopsi ginjal harus dilakukan bila tidak ditemukan kontraindikasi.15 Pada tahun 2003, The International Society of Nephrology/Renal Pathology Society membuat klasifikasi sebagai berikut : Kelas I Nefritis lupus mesangial minimal Glomeruli Normal pada MC, tapi didapatkan deposit imun dengan pemeriksaan IF Kelas II Nefritis lupus mesangial proliferatif Hiperselularitas mesangial dari berbagai tingkat atau didapatkan ekspansi matriks mesangial pada MC, disertai deposit imun mesangial Sedikit deposit subepitel atau subendotel yang terisolasi yang dapat dilihat dengan IF atau ME, tapi tidak terlihat dengan MC Kelas III Nefritis lupus lokal Fokal aktif atau inaktif, GN endo atau ekstra kapiler segmental atau global, meliputi <50% dari seluruh glomeruli, tipikal dengan deposit imun subendotel fokal, dengan atau tanpa perubahan mesangial III (A) Lesi aktif: nefritis lupus proliferatif lokal III (A)/C Lesi aktif dan kronis: nefritis lupus proliferatif fokal dan sklerosis III (C) Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut (scars) glomerular: nefritis lupus fokal sklerosis Kelas IV Nefritis lupus difus Difus aktif atau inaktif, GN endo atau ekstrakapiler segmental atau global, meliputi 50% dari seluruh glomeruli, tipikal dengan deposit imun subendotel difus, dengan atau tanpa perubahan mesangial. Kelas ini dibagi dalam nefritis lupus segmental difus (IV-S) dimana 50% glomeruli mempunya lesi segmental dan nefritis lupus global difus (IV-G) dimana 50% glomeruli mempunyai lesi global. Segmental: bila lesi glomerulus meliputi <50% glomerulus tuft. IV-S (A) Lesi aktif: nefritis lupus proliferatif segmental difus IV-G (A) Lesi aktif: nefritis lupus proliferatif global difus IV-S (A/C) Lesi aktif dan kronis: nefritis lupus proliferatif dan sklerosis segmental difus IV-G (A/C) Lesi aktif dan kronis: nefritis lupus proliferatif dan sklerosis global difus IV-S (C) Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut (scars): nefritis lupus sklerosis segmental difus IV-G (C) Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut (scars): nefritis lupus sklerosis global difus Kelas V Nefritis lupus membranosa Deposit imun subepitel global atau segmental atau sequelae morfologi pada pemeriksan MC, IF, dan ME dengan atau tanpa perubahan mesangial LN kelas V dapat terjadi dengan kombinasi dengan kelas III atau IV LN kelas V dapat menunjukkan sklerosis lanjut Kelas VI Nefritis lupus sklerotik lanjut 90% glomeruli menunjukkan sklerosis global tanpa aktivitas sisa Tabel 7. Klasifikiasi Lupus Nefritis berdasarkan The International Society of Nephrology/Renal Pathology Society 3.7 TATALAKSANA Pada Lupus Nefritis (LN), sebaiknya pengobatan diberikan setelah didapatkan hasil pemeriksaan histopatologi dari biopsi ginjal. Pilihan regimen pengobatan berdasarkan gambaran histolpatologi. Prinsip dasar pengobatan ialah menekan reaksi inflamasi lupus, memperbaiki fungsi ginjal, atau setidaknya mempertahankan fungsi ginjal agar tidak bertambah buruk. Perlu pula diperhatikan efek samping obat yang timbul karena pengobatan LN memerlukan waktu yang relatif lama. Seluruh pasien LN harus menjalanin biopsi ginjal bila tidak terdapat kontra indikasi (trombositopenia berat, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) dan tersedianya dokter ahli dibidang bipso ginjal, oleh karena terapi akan sangat berbeda pada kelas histopatologi yang berbeda. Pengulangan biopsi ginjal diperlukan pad apasien dengan perubahan gambar klinis dimana terapi tambahan agresif diperlukan. Pemantauan aktivitas ginjal melalui pemeriksaan rutin terutama sedimen, kadar kreatinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen, anti-ds DNA, proteinuria dan bersihan kreatinin. Monitor tergantung situasi klinis. Pada penyakit rapidly progressive glomerulonephritis diperlukan pemeriksaan kreatinin serum harian, untuk parameter lain diperlukan waktu 1 sampai 2 minggu untuk berubah.12,13,14 Obati hipertensi seagresif mungkin. Target tekanan darah pada pasien dengan riwayat glomerulonefritis adalah 120/80 mmHg. Beberapat obat antihipertensi banyak digunakan untuk pasien LES, tetapi pemilihan ACE inhibitor lebih diutamakan terutama untuk pasien dengan proteinuria menetap. Diet rendah garam direkomendasikan pada seluruh pasien hipertensi dengan LN aktif. Bila diperlukan loopd diuretik dipakai untuk mengurangi edema dan mengontrol hipertensi bila dengan monitor elektrolit.1 Hiperkolesterolemia harus dikontrol untuk mengurangi risiko prematur aterosklerosis dan mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan lemak juga harus dikurangi bila terdapat hiperlipidemia atau pasien nefrotik. Target terapi menurut Guidelines American Heary Association (AHA) adalah kolesterol serum <180 md/dL, risiko kardiovaskuler pada pasien dengan LES masih meningkat pada kolesterol serum 200mg/dL. Pasien lupus dengan hiperlipidemia yang menetap diobati dengan obat penurun lemak seperti HMG Co-A reductase inhibitors atau statin. Deteksi dini dan terapi agresif terhadap infeksi pada pasien LES juga diperlukan karena infeksi merupakan penyebab 20% kematian pada pasien LES. 1 Pasien lupus yang mendapat kortikosteroid, diperlukan penilaian risiko osteoporosis. Pemberian kalsium, suplemen vitamin D, latihan perlu diberikan. Memonitor toksisitas kortikosteroid, dan agen sitotoksik dengan parameter berikut: tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit, kalium, gula darah, kolesterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot, fungsi gonad, dan densitas massa tulang. Hal ini dimonitor sesuai dengan situasi klinis. 1 Pasien dianjurkan untuk menghindari obat NSAID, karena dapat mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan hipertensi serta meningkatkan risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi dikombinasi dengan kortikosteroid dan obat imunosupresi lainnya). Bila sangat diperlukan, maka diberikan dengan dosis rendah dan dalam waktu singkat, dengan pemantauan yang ketat. Kehamilan pada pasien LN aktif harus ditunda mengingat risiko morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin, termasuk kejadian gagal ginjal juga meningkat. 1,10,14 Pengobatan Umum pada LN : Restriksi protein 0.6-0.8 gram/kgBB/ hari bila sudah terdapat gangguan ginjal Pemberian ACE inhibitor dan ARB untuk mengurangi proteinuria Mengontrol faktor-faktor risiko dan efek samping obat : Dislipidemia, dianjurkan pemberian statin Hipertensi, dengan ACE inhibitor atau ARB sebagai pilihan utama dengan target TD < 130/80 mmHg Sindrom antifosfoipid, diberikan golongan aspirin Pemberian vitamin D Kontrol gula darah, dengan mempertahankan HbA1C <7% Lupus Nefritis Kelas I Tidak memerlukan pengobatan spesifik. Pengobatan lebih ditujukan pada gejala-gejala ekstrarenal. Lupus Nefritis Kelas II Jika tidak disertai oleh proteinuria yang bermakna (>1gram/24 jam) dan sedimen tidak aktif, maka tidak diperlukan pengobatan yang spesifik. Jika disertai dengan proteinuria yang >1gram/24 jam, titer anti ds-DNA yang tinggi dan hematuria, diberikan prednison 0.5-1 mg/kg BB/ hari selama 6-12 minggu. Kemudian dosis diturunkan perlahan-lahan (5-10mg) tiap 1-3 minggu dan dilakukan penyesuai dosis untuk menekan aktivitas lupus. Nefritis Lupus Kelas III dan IV Terapi Induksi Tujuan terapi induksi adalah untuk mencapai keadaan remisi aktivitas lupus yang ditandai oleh resolusi gejala-gejala ekstra renal, manifestasi serologik menjadi lebih baik, serta resolusi dari hematuria, kristal seluler, dan konsentrasi kreatinin serum berkurang atau paling tidak menetap. Obat-obat yang dipakai untuk terapi induksi adalah: Pulse glukokortikoid Pada pasien dengan lupus yang sangat aktif (Acute Kidney Injury, rapidly progressive glomerulonephritis, dan kelainan ekstra renal yang berat), diberikan pulse metilprednisolone sebanyak 0.5-1gr IV/hari untuk menginduksi efek anti-inflamasi yang cepat. Setelah 3 hari pemberian, dilanjutkan dengan prednison dengan dosis 0.5-1 mg/hari. Prednison diberikan bersama obat-obat imunosupresan yang lain. Siklofosfamid Siklofosfamid diberikan dengan dosis 750mg/m2 tiap bulan selama 6 bulan. Diberikan bersama prednison dengan dosis 0.5mg/kg/hari, yang kemudia diturunkan perlahan-lahan sampai dosis 0.25 mg/kg/hari terutama untuk mengontrol gejala ektra renal. Mikofenolat mofetil Sejak kurang lebih 10 tahun terakhir, mikofenolat mofetil dipakai untuk terapi induksi N kelas III dan IV, terutama untuk menghindari efek samping siklofosfamid (hipoplasia gonad, dan sistitis hemoragik). Untuk terapi induksi dosis mikofenolat mofetil yang dianjurkan 1gr 2x sehari diberikan sampai 6 bulan. Rituximab Rituximab adalah suatu anti CD-20 yang bekerja pada limfosit B. Digunakan untuk menginduksi remisi pada pasien LN yang berat, yang tidak memberikan respons dengan pemberian siklofosfamid atau MMF. Meskipun hasil beberapa penelitian tidak menunjukkan perbedaan bermakna, tetapi masih dimungkinkan pemberian rituximab pada pasien yang resisten, mencegah flare, dan mengurangi jumlah atau dosis immunosupresan lain. Tacrolimus + MMF atau Azatioprin + steroid Dipakai pada pasien LN proliferatif (kelas IV) yang superimposed dengan nefritis lupus membranosa (kelas V). Remisi yang terjadi pada pemakaian obat ini lebih tinggi dari pada hanya memakai siklofosfamid+steroid. Selain itu, efek samping yang terjadi juga lebih sedikit pada pasien yang mendapat tacrolimus + MMF atau azatioprin + steroid. Obat lain Beberapa obat lain yang juga dipakai untuk induksi adalah : Imunoglobulin IV Siklosporin Leflunomid Antibodi monoklonal Inhibitor komplemen Pemakaian oabt-obatan ini masih terbatas dan hasil pengobatan belum jelas Terapi pemeliharaan (maintenance therapy) Tujuan terapi pemeliharaan adalah untuk mencegah relaps dan menekan aktivitas penyakit, mencegah progresifitas ke arah penyakit ginjal kronis dan mencegah efek samping pengobatan yang lama. Kortikosteroid tetap merupakan komponen utama dalam terapi pemeliharaan LN, dan tidak ada studi klinis yang tidak memakai/menggunakan steroid dalam terapi pemeliharaan. Dosis kortikosteroid dipertahankan seminimal mungkin, yang dengan dosis tersebut aktivitas lupus tetap terkontrol Siklofosfamid, diberikan dengan dosis 0.75gram IV setiap 3 bulan sampai 2 tahun. Saat ini pemakaian siklofosfamid >3-6 bulan sebaiknya dihindari karena efek siklofosfamid seperti alopesia, sistitis hemoragika, kanker kandung kencing, kerusakan gonad dan menopause yang lebih awal. Mikofenolat mofetil, dosis diberikan sebanyak 1-2 gram sehari sekurang-kurangnya 2 tahun Azatioprin, diberikan dengan dosis 2mg/kg BB/hari sekurang-kurangnya 2 tahun. Penggunaan azatioprin selama kehamilan lebih aman dibandingkan dengan penggunaan imunosupresan lainnya Siklosporin, diberikan dengan dosis 2-2.5mg/kg BB/hari, selama 2 tahun Rituximab, sebagai terapi aditif pada penggunaan dengan MMF atau siklofosfamid IV Abatacept, suatu modulator selektif sel T Belimumab, suatu antibodi monoklonal yang mengikat stimulator limfosit B soluble ACTH, merupakan pilihan terpai yang potensial terutama pada nefritis lupus kelas V Gambar 5. Algoritme Tatalaksana Lupus Nefritis kelas III/IV Lupus Nefritis kelas V Bila pada hasil biopsi ginjal didapatkan tipe campuran LN kelas V dengan kelas III atau kelas IV, maka terapi diberikan sesuai untuk terapi LN kelas III dan IV Pada LN kelas V diberikan prednison dengan dosis 1 mg/kg BB/hari selama 6-12 minggu. Prednison kemudian diturunkan menjadi 10-15 mg/hari selama 1-2 tahun. Beberapa penelitian mengkombinasikan prednison dengan siklosporin, klorambusil, azatioprin, atau mikofenolat mofetil. Gambar 6. Algoritme Tatalaksana Lupus Nefritis kelas V Lupus Nefritis kelas VI Pengobatan lebih ditujukan pada manifestasi ekstra renal. Untuk memperlambat penurunan fungsi ginjal dilakukan terapi suportif seperti restriksi protein, pengobatan hipertensi, pengikat fosfor, dan vitamin D. Perjalanan penyakit LN bervariasi antar pasien LES, bahkan pada mereka yang memiliki tipe histologis yang sama. Agen imunosupresif dapat menginduksi remisi pada sebagian besar pasien dengan LN proliferatif, tetapi sebagian proporsi dari mereka berkisar antata 27-66% pada berbagai studi akan mengalami flare. Flare merupakan masalah karena bahaya kerusakan kumulatif yang dapat menurunkan fungsi ginjal dan juga toksisitas akibat imunosupresi tambahan. Terapi rumatan dengan azathioprine, mikofenolat mofetil atau pulse siklofosfamid biasanya direkomendasikan. Flare renal dapat dikategorikan sebagai nefritik atau nefrotik dan bisa ringan atau berat. Mayoritas pasien yang mengalami flare dapat pulih fungsi ginjalnya, bila didiagnosis dan diobati segera. Mocca dkk mendefinisikan renal flare sebagai peningkatan 30% dari kreatinin serum atau peningkatan 2,0 gram/hari dari proteinuria setelah terapi induksi. Pasien dengan indeks aktivitas teinggi dan adanya karyorrhexis lebih sering mengalami rekurensi penyakit.16 Ioannidis dkk mendefinisikan penyakit rekuren sebagai sedimen urin aktif (8-10 RBC/lpb) atau lebih dari 500 mg proteinuria/24 jam . Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi ginjal. Medikamentosa berupa kortikosteroid dan agen imunosupresif . Dialisis dapat dilakukan untuk mengontrol gejala gagal ginjal. Transplantasi ginjal juga direkomendasikan (pasien dengan lupus yang aktif tidak boleh dilakukan transplantasi ginjal). Dosis kumulatif rata-rata dan dosis per sesi IV, dan masa paparan terhadap Siklofosfamid IV dan Metilprednisolon dalam pengobatan Nefritis Lupus dan Sindrom Nefrotik ternyata identik dalam penelitian observasional selama 7 tahun. Selama pengobatan NL harus menilai keberhasilan terapi, beberapa kriteria keberhasilan terapi : Renal remission, complete renal remission, disease remission, renal relaps. 1,10,14,16 Kriteria renal remission : Berkurangnya proteinuria 50% dan proteinuria < 3gr/24 jam Hilangnya hematuria (RBC 5) Hilangnya piuria (WBC 5) Hilangnya celluler cast (<1) Stabil (fluktuasi dalam 10% dibanding nilai awal) GFR jika serum kreatinin awal <2mg/dL atau peningkatan 30% jika serum kreatinin awal 2mg/dL. Kriteria renal relaps : Peningkatan proteinuria 50% dan proteinuria >1gr/24 jam Hematuria (RBC >5) Piuria (WBC >5) Celluler cast 1 Penurunan GFR 30% pada dua pengukuran Complete renal remission : Proteinruia 24 jam 500mg RBC 5 WBC 5 Cellueler cast < 1 GFR 80mL/menit/1.73. Semua kriteria tersebut paling sedikit pada dua kali pengukuran selama satu bulan pengobatan. 3.8 PROGNOSIS Pada Lupus Nefritis kelas I dan II hampir tidak terjadi penurunan fungsi ginjal yang bermakna sehingga secara nefrologis kelompok ini memiliki prognosis yang baik. LN kelas III dan IV hampir seluruhnya akan menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Pada LN kelas III yang keterlibatan glomerulus <50% akan memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang keterlibatan glomerulusnya >50%, dimana prognosis kelompok ini menyerupai prognosis LN kelas IV yaitu buruk. LN kelas V memiliki prognosis yang cukup baik sama dengan nefropati membranosa primer, sebaian kecil akan menimbulkan sindrom nefrotik yang berat.10,16 BAB IV KESIMPULAN Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang kompleks, ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposit autoantibodi dan kompleks imun sehingga menimbulkan kerusakan jaringan. Etiologi dari LES belum diketahui secara pasti namun diduga akibat adanya interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dimana faktor ini berperan penting dalam predisposisi penyakit LES dan faktor lingkungan. LES merupakan penyakit multisistem kronik yang lebih sering mengenai perempuan. Manifestasi penyakit ini sangat bervariasi dan tidak bisa diprediksi, tidak hanya mempengaruhi fungsi fisik namun juga fungsi psikologi, salah satunya adalah komplikasi dari organ ginjal yang sering dikenal sebagai Lupus Nefritis. Lupus Nefritis (LN) adalah komplikasi ginjal dan salah satu manifestasi paling serius pada penderita LES. Biasanya LN muncul dalam 5 tahun setelah diagnosis LES. Keterlibatan ginjal cukup sering ditemukan, dibuktikan pada biopsi dan otopsi ginjal. Perkiraan prevalensi keterlibatan ginjal secara klinis pada pasien LES berkisar antara 60 % pada studi-studi yang sudah dipublikasikan. Kelainan histopatologi yang didapatkan dari biopsi ginjal menentukan pilihan pengobatan. Dalam pengobatan LN, perlu dilakukan pemeriksaan klinis dan laboratorik secara berkala untuk melihat keberhasilan pengobatan. Pada penatalaksanaan penting diperhatikan efek samping obat-obatan yan gdipakai dalam pengobatan LN karena jangka waktu pengobatan relatif lama. DAFTAR PUSTAKA Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata KW, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th Ed. Interna Publishing: Jakarta, 2014. Rus V, Maury EE, Hochberg MC. Epidemiology of Systemic Lupus Erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois’ Lupus Erythematosus. 7th ed. Philadelphia, PA: Lippincot Williams & Wilkins. 2007:1112-30. Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Clin Pathol. 2003. 56:481-90. Bertsias G, Cervera R, Boumpas DT. Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis and Clinical Features. EULAR. 2012. 476-505. Rahman A, Isenberg DA. Systemic lupus erythematosus. N Eng J Med.2008. 358:929-39 Ardoin SP, Pisetsky DS. Development in the scientific understanding of lupus. Arthritis Research & Therapy. 2008. 10:218 Schur PH. General symptomatology and diagnosis of systemic lupus erythematosus in adults. Letter. 2005.60:125. Brent LH, Hamed FA. Lupus Nephritis. In: James K, Blom, eds. Lupus Erythematosus. 12th ed. Washington, PA: Lippincot Williams and Wilkins; 2008: 849-67. Diaz JR, Isenberg D, Goldman RR. Measures of Adult Systemic Lupus Erythematosus. Arthritis Care Res. 2011. 63:1-11 Bevra HH, McMahon MA, Wilkinson A, Wallace WD, Daikh DI, et al. American College of Rheumatology Guidelines for Screening, Treatment, and Management of Lupus Nephritis. Arthritis Care & Research. 2012. 64:977-808. Hochberg MC. Updating the American College of Rheumatology revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum. 1997. 40:1725. Saxena R, Mahajan T, Mohan C. Lupus nephritis: current update. Arthritis Research & Therapy. 2011. 13:240. Lech M, Anders HJ. The Pathogenesis of Lupus Nephritis. J Am Soc Nephrol. 2013. 24:1357-66. Schwartz N, Goilav B, Putterman C. The pathogenesis, diagnosis and treatment of lupus nephritis. Curr Opin Rheumatol. 2015. 26:502-9. Weening JJ, D’Agati VD, Schwartz MW, Seshan SV, Alpers CE, et. al. The Classification of Glomerulonephritis in Systemic Lupus Eryhematosus Revisited. JASN. 2004. 15:241-250 Appel, Gerald B, et al. Mycophenolate mofetil versus cyclophosphamide for induction treatment of lupus nephritis. JASN. 2009. 20:1103-12. ii 23