Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
REFERAT BRONKOPNEUMONIA Disusun Oleh: Andhika Rezky Bahrizal 030.12.016 Pembimbing: dr. KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO PERIODE FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JUNI 2017 LEMBAR PENGESAHAN BRONKOPNEUMONIA Diajukan untuk memenuhi syarat kepanitraan klinik Ilmu Kesehatan Anak Periode 16 Mei 2016 – 22 Juli 2016 di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Disusun oleh: Andhika Rezky Bahrizal 030.12.016 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta, …. Juni 2017 Pembimbing dr. Kata Pengantar DAFTAR ISI HALAMAN Halaman Judul i Lembar pengesahan ii Kata pengantar iii Daftar Isi iv Bab I Pendahuluan 1 Bab II Tinjauan Pustaka 2 2.1. Definisi 2 2.2. Epidemiologi. 2 2.3. Etiologi 2 2.4. Faktor risiko 5 2.5. Klasifikasi 7 2.6. Patofisiologi 8 2.7. Manifestasi klinis 9 2.8. Diagnosis 12 2.9. Tatalaksana 16 2.10 Komplikasi 20 2.11 Pencegahan 20 Daftar Pustaka 21 BAB I PENDAHULUAN Bronkopneumonia dan infeksi saluran napas bawah lainnya adalah penyebab utama kematian di seluruh dunia. Karena bronkopneumonia menunjukkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan, diagnosis yang tepat, identifikasi komplikasi yang ada dan tatalaksana yang tepat merupakan hal penting.1 Bronkopneumonia dapat terjadi di semua usia, tetapi lebih sering ditemukan pada anak-anak. Bronkopneumonia merupakan penyebab mortalitas anak di bawah usia 5 tahun. Pada tahun 2013, bronkopneumonia menyebabkan kematian pada 935.000 anak di bawah 5 tahun.2 Kasus bronkopneumonia di negara maju berkisar 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan di negara berkembang berkisar 10-20 kasus/100 anak/tahun.3 Komplikasi yang dapat ditimbulkan bronkopneumonia bukanlah hal yang sepele. Biaanya timbul karena kegagalan terapi, kondisi imunodefisiensi, dan lain-lain. Komplikasi yang dapat timbul misalnya empiema, abses paru, efusi perikardial, pneumonia nekrotikan, hingga atelektasis. Kondisi tersebut tentu semakin meningkatkan mortalitas pada anak-anak.4 Oleh karena itu diperlukan identifikasi kasus secara tepat melalui anamnesis yang lengkap, pemeriksaan fisik yang benar, dan bila perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan radiologis untuk menegakkan secara cepat dan tepat diagnosis dari bronkopneumonia sehingga tidak terjadi keterlambatan dalam penanganan bronkopneumonia. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstisial.3 Sedangkan bronkopneumonia adalah gambaran radiologis yang disebabkan oleh inflamasi peribronkhial supuratif dan konsolidasi satu atau lebih lobules akibat adanya infeksi, terutama bakteri.5 Epidemiologi Pneumonia merupakan penyebab kematian anak berusia di bawah 5 tahun di seluruh dunia. Diperkirakan sekitar 1,2 juta kematian tiap tahun. Insiden pneumonia lebih dari 10 kali lipat lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan negara maju.6 Data statistik dunia memperkirakan 150 juta kasus baru pneumonia terjadi pada anak di bawah 5 tahun, dengan angka rawat rumah sakit sekitar 10-20%.1 Di Amerika Serikat, kisaran tahun 1939-1996, kematian akibat pneumonia menurun sekitar 97%. Pada tahun 1970, kematian karena pneumonia hanya berkisar 9% dan lebih rendah lagi pada tahun 2007, yang hanya berkisar 2%. Penurunan tersebut dikarenakan adanya antibiotik, vaksin, dan meluasnya pembiayaan asuransi kesehatan untuk anak.6 Di Indonesia, berdasarkan survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia.7 Etiologi Walaupun pneumonia terutama disebabkan oleh infeksi mikroorganisme, pneumonia juga dapat disebabkan oleh faktor noninfeksi misalnya aspirasi (makanan atau asam lambung, benda asing, hidrokarbon, dan substansi lipoid), reaksi hipersensitivitas, dan obat-obatan atau radiasi yang dapat memicu pneumonitis.6 Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan.7 Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B dan bakteri Gram negatif seperti E. colli, Pseudomonas sp,atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza tipe B, dan Staphylococcus aureus. Pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumonia.7 Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, di samping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virus yang terbanyak ditemukan adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV), Rhinovirus, dan Parainfluenza. Bakteri yang terbanyak adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza tipe B, dan Mycoplasma pneumoniae. Kelompok anak berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi bakteri yang lebih banyak dibandingkan anak berusia di bawah 2 tahun.7 Virus lebih sering ditemukan pada anak kurang dari 5 tahun. Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan Rhinovirus merupakan virus penyebab tersering, khususnya usia kuang dari 2 tahun. Infeksi lebih dari 1 jenis virus terjadi pada 20% kasus. Penelitian di Bandung menunjukkan bahwa Streptococcus pneumonia dan Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada apusan tenggorok pasien pneumonia umur 2-59 bulan.3,6 Berikut adalah daftar penyebab pneumonia berdasarkan kelompok usia7: Tabel 1. Daftar penyebab pneumonia berdasarkan kelompok usia.7 Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang Lahir – 20 hari Bakteri Bakteri E.colli Bakteri anaerob Streptococcus group B Streptococcus group D Listeria monocytogenes Haemophilus influenza Streptococcus pneumonia Ureaplasma urealyticum Virus Virus sitomegalo Virus herpes simpleks 3 minggu – 3 bulan Bakteri Bakteri Chlamidia trachomatis Bordetella pertusis Streptococcus pneumonia Haemophilus influenza tipe B Virus Moraxella catharalis Virus adeno Staphylococcus aureus Virus influenza Ureaplasma urealyticum Virus parainfluenza Virus Respiratory syncytial virus Virus sitomegalo 4 bulan – 5 tahun Bakteri Bakteri Chlamidia pneumoniae Haemophilus influenza tipe B Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis Streptococcus pneumonia Neisseria meningitidis Virus Staphylococcus aureus Virus adeno Virus Virus influenza Virus varicella-zoster Virus parainfluenza Virus rino Respiratory Syncytial Virus 5 tahun - remaja Bakteri Bakteri Chlamidia pneumonia Haemophilus influenza Mycoplasma pneumoniae Legionella sp Streptococcus pneumonia Staphylococcus aureus Virus Virus adeno Virus Epstein-barr Virus influenza Virus parainfluenza Virus rino Respiratory Syncytial Virus Virus varicella-zoster Faktor risiko Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan risiko kejadian dan derajat pneumonia. Faktor-faktor tersebut secara garis besar mempengaruhi status imunitas anak tersebut melalui berbagai mekanisme, antara lain3,8,9: Polusi/ pajanan asap rokok Perokok pasif merupakan faktor risiko terjadinya infeksi saluran napas pada anak. Perokok pasif pada anak menyebabkan supresi fungsi fagosit dan aktivitas sel silia, meningkatkan kemungkinan adesi bakteri pada epitel saluran pernapasan dan menyebabkan koloni bakteri. Gizi buruk/malnutrisi Adanya malnutrisi, terutama protein dan energi, sangat erat kaitannya dengan rendahnya imunitas sehingga menjadi rentan terkena infeksi, khususnya infeksi saluran napas bawah seperti pneumonia. Defisiensi vitamin A meningkatkan risiko infeksi dan abnormalitas pada sel epitel dan sel imun. Peran vitamin A dalam tumbuh kembang sel dan jaringan, khususnya pada sel epitel respirasi dan jaringan paru, sangat penting. Pada jaringan paru, sel alveolar tipe II bertanggung jawab terhadap sintesis dan sekresi surfaktan. Defisiensi vitamin D juga memberikan dampak yang buruk karena vitamin D terlibat dalam beberapa proses biologis seperti metabolisme tulang (penyerapan kalsium dalam usus), modulasi respon imun, dan regulasi proliferasi dan diferensiasi sel imun. Status sosioekonomi yang rendah Status sosioekonomi yang rendah juga dikaitkan dengan edukasi maternal yang tidak adekuat. Peran ibu dalam promosi kesehatan dan pencegahan penyakit, membantu identifikasi awal penyakit, dan perawatan sangat penting. Lingkungan tempat tinggal yang padat penghuninya dan adanya saudara serumah yang menderita batuk, kamar tidur yang terlalu padat penghuninya juga meningkatkan risiko infeksi. Berat badan lahir rendah (BBLR) Beberapa studi dilakukan untuk menemukan hubungan antara BBLR dan rentannya terserang infeksi saluran napas bawah. Setelah disimpulkan terdapat 2 mekanisme utama yang menyebabkan hal tersebut yaitu rendahnya imunitas dan defek pada fungsi paru. Selain itu terdapat defisiensi besi, zinc, dan tembaga. Tidak mendapat air susu ibu (ASI) ASI dapat melindungi anak dari risiko infeksi saluran napas bawah berupa proteksi pasif. ASI mengandung elemen spesifik seperti limfosit dan antibodi, yaitu IgA, dan komponen nonspesifik lainnya seperti fagosit, makrofag, laktoferin, lisosim, laktoperoksidase, oligosakarida, faktor bifidus, komplemen C3 dan C4 yang dapat melindungi anak melawan penyakit infeksi, khususnya 2 faktor penyebab kematian, yaitu diare dan infeksi saluran napas akut yang tidak dapat dicegah dengan vaksinasi publik. Studi menunjukkan efek proteksi melawan infeksi saluran napas bawah tidak berubah seiring dengan bertambahnya usia anak. Diperkirakan pemberian ASI secara penuh/ekslusif atau sebagian menghasilkan 50% penurunan mortalitas akibat infeksi saluran napas akut pada anak yang berusia kurang dari 18 bulan. Selain dari faktor di atas, terdapat faktor risiko lainnya yang berkaitan dengan terjadinya pneumonia di antaranya GER (Gastroesophageal reflux) dan aspirasi. Klasifikasi10,11 Berdasarkan klinis dan epidemiologis: Pneumonia komuniti (community – acquired pneumonia) Pneumonia yang didapat di masyarakat dan sering disebabkan oleh kokus Gram positif (Pneumococcus, Staphylococcus), basil Gram negatif (Haemophillus influenzae), dan bakteri atipik. Pneumonia nosokomial (hospital – acquired pneumonia) Pneumonia yang timbul setelah 72 jam dirawat di rumah sakit, yang lebih sering disebabkan oleh bakteri Gram negatif (Staphylococcus aureus) dan jarang oleh pneumokokus atau Mycoplasma pneumoniae. Pneumonia aspirasi pneumonia yang terjadi akibat aspirasi antara lain makanan dan asam lambung Pneumonia pada penderita immunocompramised. Berdasarkan mikoorganisme penyebab Pneumonia bakterial/ tipikal. Pneumonia atipikal: disebabkan Mycoplasma, Legionella, dan Clamydia Pneumonia virus Pneumonia jamur: sering merupakan infeksi sekunder dengan predileksi pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah (immunocompromised) Berdasarkan predileksi infeksi Pneumonia lobaris Bronkopneumonia/pneumonia lobularis. Pneumonia interstisial Patofisiologi Sistem respiratori bagian bawah secara normal terjaga dalam kondisi steril melalui mekanisme pertahanan fisiologis, seperti klirens mukosilier, sekresi Imunoglobulin A (IgA), dan mekanisme batuk. Mekanisme pertahanan imunologis yang membatasi invasi organism pathogen terdiri dari makrofag, sekresi IgA, dan immunoglobulin lainnya. Trauma, anestesia, dan aspirasi meningkatkan risiko infeksi pulmoner.6 Pneumonia ditandai dengan inflamasi pada alveoli dan rongga udara terminal akibat invasi agen infeksius yang masuk ke paru melalui penyebaran hematogen maupun inhalasi. Kaskade inflamasi memicu ekstravasas/leakage plasma dan hilangnya surfaktan sehingga udara menghilang dan terjadi konsolidasi.1 Respon inflamasi yang teraktivasi kemudian sering menyebabkan migrasi leukosit diikuti pelepasan substansi toksik dari granul-granul dan mikrobisidal serta aktivasi kaskade komplemen. Kaskade ini dapat menyebabkan cedera secara langsung pada jaringan host dan mengubah integritas endotel dan epitel, tonus vasomotor, hemostasis intravaskular, dan aktivasi serta migrasi leukosit pada fokus inflamasi. Peran apoptosis dalam pneumonia masih belum diketahui jelas.1 Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi akibat kelainan langsung di parenkim paru. Akibat adanya gangguan ventilasi karena gangguan volume ini tubuh akan berusaha mengkompensasinya dengan cara meningkatkan volume tidal dan frekuensi nafas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan tanda-tanda inspiratory effort. Akibat penurunan ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi tidak tercapai (V/Q < 4/5) yang disebut ventilation perfusion mismatch. Tubuh berusaha meningkatkannya sehingga terjadi usaha nafas ekstra dan pasien terlihat sesak. Selain itu volume paru secara fungsional berkurang karena proses inflamasi dan akan mengganggu proses difusi. Kondisi tersebut menyebabkan gangguan pertukaran gas yang berakibat terjadinya hipoksia. Pada keadaan yang berat bisa terjadi gagal nafas. Infeksi yang disebabkan oleh virus ditandai dengan akumulasi sel mononuklear pada ruang submukosa dan perivaskular sehingga menyebabkan obstruksi parsial saluran napas. Pasien dengan infeksi ini akan menunjukkan adanya wheezing dan ronki. Penyakit bertambah parah ketika sel alveolar tipe II kehilangan integritas strukturalnya dan produksi surfaktan berkurang, terbentuk membrane hialin, dan edema pulmoner terjadi.1,6 Pada infeksi bakteri, terdapat beberapa perubahan patologis berkaitan dengan perjalanan penyakit pneumonia ini. Stadium pertama dikenal dengan stadium kongesti. Stadium ini terjadi dalam waktu 24 jam infeksi, yang ditandai dengan adanya kongesti vaskular dan edema alveolar. Terdapat beberapa bakteri dan neutrofil. Edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya.1,6 Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, di mana alveoli terisi cairan proteinaseus yang memicu influks eritrosit dan sel polimorfonuklear (PMN) yang diikuti dengan deposisi fibrin. Selain itu dapat ditemukan pula cairan edema dan kuman di alveoli. Stadium ini dikenal dengan hepatisasi merah. Stadium ini berlangsung selama 2-3 hari. Disebut hepatisasi merah karena memiliki kesamaan dengan konsistensi liver, yang ditandai dengan banyaknya eritrosit, neutrofil, sel epitel yang mengalami deskuamasi, dan fibrin.1,7 Selanjutnya deposit fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Selain itu terjadi disintegrasi dari eritrosit. Stadium ini disebut dengan stadium hepatisasi kelabu. Stadium ini berlangsung sekitar 2-3 hari.1,7 Selanjutnya jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium akhir ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.7 Manifestasi klinis Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di RS. Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-kadan tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan diagnostik invasif, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis. Di samping itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut7: Gambaran infeksi umum : demam: suhu bisa mencapai 39 – 40 oC sakit kepala gelisah malaise penurunan nafsu makan keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare kadang – kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner Gambaran gangguan respiratori: batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif sesak nafas retraksi dada takipnea napas cuping hidung penggunaan otat pernafasan tambahan air hunger merintih sianosis Takipneu berdasarkan WHO12: Usia < 2 bulan ≥ 60 x/menit Usia 2-12 bulan≥ 50 x/menit Usia 1-5 tahun ≥ 40 x/menit Usia 6-12 tahun≥ 28 x/menit Bronkopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari, misalnya rinitis dan batuk. Batuk mungkin tidak dijumpai pada anak – anak. Bila terdapat batuk, batuk berawal kering lalu berdahak. Pada pneumonia yang disebabkan oleh virus, biasanya terdapat demam tetapi suhunya lebih rendah bila dibandingkan dengan demam pada pneumonia bakterial. Pada pneumonia bakterial umumnya ditandai dengan demam tinggi, batuk, dan nyeri dada. Pada beberapa anak, mereka cenderung berbaring pada sisi yang terkena untuk meminimalisir nyeri pleuritik dan meningkatkan ventilasi. Takipnea adalah manifestasi klinis yang paling konsisten dari pneumonia. Pada pemeriksaan fisik yang ditemukan juga tergantung dari stadium pneumonia. Pada awal penyakit, menurunnya suara napas dan ronki umumnya terdengar pada daerah paru yang terkena. Ketika sudah terbentuk konsolidasi atau komplikasi dari pneumonia seperti efusi pleura atau empiema, redup pada perkusi dapat ditemukan dan suara napas juga melemah. Distensi abdomen dapat menonjol karena dilatasi lambung dari udara yang tertelan. Nyeri abdomen juga umum pada pneumonia lobus bawah. Hepar dapat terasa membesar disebabkan karena penurunan diafragma akibat hiperinflasi paru. Pada inspeksi didapatkan adanya peningkatan usaha napas ditandai dengan retraksi interkostal, subkostal, dan suprasternal, napas cuping hidung, dan penggunaan otot tambahan lainnya. Infeksi yang berat dapat disertai dengan sianosis dan letargi, khususnya pada bayi. Pada palpasi dapat ditemukan tanda klinis seperti vokal fremitus yang meningkat pada daerah terkena. Pada perkusi didapatkan suara pekak atau redup pada daerah yang terkena, Pada auskultasi mungkin didapatkan suara napas melemah, ronki, dan wheezing. Pada bayi juga ditemukan adanya infeksi saluran napas atas terlebih dahulu dan menurunnya nafsu makan, disusul dengan demam yang tiba-tiba, gelisah, dan distres pernapasan. Bayi akan tampak sakit, distres pernapasan bermanifestasi sebagai dengkur, napas cuping hidung, retraksi interkostal, subkostal, dan suprasternal, napas cuping hidung, dan penggunaan otot tambahan lainnya, takipnea, takikardi, dan sianosis. Pemeriksaan fisik yang ditemukan biasanya tidak khas, terutama pada bayi yang masih kecil. Beberapa bayi dengan pneumonia bakterial juga terdapat gangguan gastrointestinal misalnya muntah, anoreksia, diare, dan distensi abdomen akibat ileus paralitik.6,7 Diagnosis Anamnesis6,13 Bergantung pada berat ringannya infeksi. Secara umum dapat ditemukan: Gejala infeksi umum: demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal (mual, muntah, diare). Gangguan respiratorik: batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, sianosis. Pemeriksaan fisik Penilaian keadaan umum anak, frekuensi napas, dan nadi harus dilakukan pada saat awal pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain yang dapat menyebabkan anak gelisah atau rewel. Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran dan kemampuan makan/minum. Gejala distres pernapasan seperti takipnea, retraksi subkostal, batuk, krepitasi, dan penurunan suara napas. Takipnea adalah tanda klinis yang paling signifikan. Untuk diukur secara akurat, frekuensi pernapasan harus dihitung 1 menit penuh ketika anak sedang diam. Pada anak yang demam, tidak adanya takipnea dapat menyingkirkan pneumonia. (97,4%). Tetapi adanya takipnea pada anak demam memiliki nilai prediktif positif yang rendah (20,1%) karena demam sendiri dapat meningkatkan frekuensi napas 10x/menit/oC. Pada anak dengan takipnea yang disertai dengan retraksi, dengkur, napas cuping hidung, dan krepitasi mensugestikan pneumonia. Tabel 2. Batas takipnea menurut WHO untuk diagnosis pneumonia yang disertai batuk.8,12 Usia Frekuensi napas normal Batas takipnea 2-12 bulan 25-40 x/menit ≥50x/menit 1-5 tahun 20-30x/menit ≥40x/menit Dapat ditemukan pekak perkusi, ronki. Demam dan sianosis. Anak di bawah 5 tahun mungkin tidak menunjukkan gejala pneumonia yang klasik. Pada anak yang demam dan sakit akut, terdapat gejala nyeri yang diproyeksikan ke abdomen. Pada bayi muda terdapat gejala pernapasan tak teratur dan hipopnea. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan foto dada tidak direkomendasikan secara rutin pada anak dengan infeksi saluran napas bawah akut ringan tanpa komplikasi. Pemeriksaan foto dada direkomendasikan pada penderita pneumonia yang di rawat inap atau bila tanda klinis yang ditemukan membingungkan. Pemeriksaan foto dada follow up hanya dilakukan bila didapatkan adanya kolaps lobus, kecurigaan terjadi komplikasi, pneumonia berat, gejala yang menetap atau memburuk, atau tidak respon antibiotik. Pemeriksaan foto dada tidak dapat mengidentifikasi agen penyebab. Secara umum, gambaran foto thoraks pada pneumonia dapat berupa: Infiltrat interstisial: peningkatan corakan bronkovaskular, hiperaerasi. Infiltrat alveolar: konsolidasi paru dengan air bronchogram, disebut sebagai pneumonia lobaris bila mengenai 1 lobus paru. Bronkopneumonia: bercak infiltrate difus merata pada kedua paru (dapat meluas hingga daerah perifer paru) disertai dengan peningkatan corakan peribronkhial. Penebalan peribronkhial, infiltrat interstisial merata, hiperinflasi cenderung terlihat pada infeksi virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen/lobar, bronkopneumonia, dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Gambar 1. Gambaran radiologis pneumonia pneumokokal pada anak laki-laki usia 14 tahun dengan batuk dan demam. .(A) foto PA (B) foto lateral, menunjukkan konsolidasi pada lobus kanan bawah, secara kuat menunjukkan pneumonia bakterial.6 Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit perlu dilakukan untuk membantu menentukan pemberian antibiotik. Pada pneumonia viral nilai leukosit dapat normal/ sedikit meningkat tetapi tidak lebih dari 20.000/mm3 dengan dominasi limfosit, sedangkan pada pneumonia bakterial, nilai leukosit meningkat (leukositosis), berkisar antara 15.000 – 40.000/mm3, didominasi oleh PMN. Pada infeksi Chlamydia kadang ditemukan eusinofilia. Pemeriksaan kultur dan pewarnaan Gram sputum dengan kualitas yang baik direkomendasikan dalam tatalaksana anak dengan pneumonia berat. Kultur darah tidak direkomendasikan secara rutin pada pasien rawat jalan, tetapi direkomendasikan pada pasien rawat inap dengan kondisi berat dan pada setiap anak yang dicurigai menderita pneumonia bakterial. Pada anak kurang dari 18 bulan, dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi antigen virus dengan atau tanpa kultur virus juka fasilitas tersedia. Jika ada efusi pleura, dilakukan pungsi cairan pleura dan dilakukan pemeriksaan mikroskopis, kultur, serta deteksi antigen bakteri (jika fasilitas tersedia) untuk penegakan diagnosis dan menetukan mulainya pemberian antibiotik. Pemeriksaan C-reactive protein (CRP), LED, dan pemeriksaan fase akut lainnya tidak dapat membedakan infeksi viral dan bakterial dan tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin. Pemeriksaan uji tuberkulin selalu dipertimbangkan pada anak dengan riwayat kontak dengan penderita TB dewasa. Pemeriksaan lain Pada setiap anak yang dirawat inap karena pneumonia, seharusnya dilakukan pemeriksaan pulse oxymetry. Pada pneumonia atipikal yang disebabkan oleh C.pneumoniae atau M.pneumoniae sulit dibedakan dari pneumonia pneumokokal dari hasil laboratorium dan radiologis. Pada daerah dengan fasilitas yang tidak memadai, WHO merekomendasikan penggunaan peningkata frekuensi napas dan retraksi subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang. Namun demikian, kriteria ini memiliki sensitivitas yang buruk untuk anak malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala malaria. Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO3: Bayi kurang dari 2 bulan Pneumonia berat: napas cepat atau retraksi berat Pneumonia sangat berat: tidak mau menetek/minum, kejang, letargi, demam atau hipotermia, bradipnea atau pernapasan ireguler. Anak umur 2 bulan- 5 tahun Pneumonia ringan: napas cepat Pneumonia berat: retraksi Pneumonia sangat berat: tidak dapat minum/ makan, kejang, letargi, malnutrisi. Tatalaksana7,12 Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat – ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau bila ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana pada pnuemonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam – basa dan elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. Karena identifikasi dini mikroorganisme tidak umum dilakukan, maka pemilihan antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris yang didasarkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor epidemiologis. Rawat Jalan Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral, misalnya amoksisilin 25 mg/kgBB atau kotrimoksazol 4 mg/kgBB TMP dan 20 mg/kgBB sulfametoksazol dua kali sehari selama 3 hari. Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru, dapat digunakan sebagai terapi alternatif beta – laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S. pneumoniae dan bakteri atipik. Setalah itu, anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk membawa kembali anaknya setelah 2 hari atau lebih kalau keadaan anak memburuk atau tidak dapat minum atau menyusui. Bila pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai selesai 3 hari. Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti ke antibiotik lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali 2 hari lagi. Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai pedoman pneumonia berat. Rawat Inap Pasien yang memenuhi kriteria dibawah ini harus dirawat inap3,13: Bayi: Saturasi oksigen ≤ 92%, sianosis Frekuensi napas > 60x/menit Distres pernapasan, apnea intermiten atau grunting Tidak mau minum/menetek Keluarga tidak bisa merawat di rumah. Anak: Saturasi oksigen ≤ 92%, sianosis Frekuensi napas > 50x/menit Distres pernapasan grunting Terdapat tanda dehidrasi Keluarga tidak bisa merawat di rumah. Terapi Antibiotik Pemilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan golongan beta – laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta – laktam dan kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Antibiotik diteruskan selama 7 – 10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi. Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis, antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi betalaktam / klavulanat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari. WHO menganjurkan pemberian ampisilin/amoksisilin 25 – 50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam yang dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral 15 mg/kgBB/kali tiga kali sehari untuk 5 hari berikutnya. Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik beta – laktam dengan/tanpa klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberikan beta – laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru intravena, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah stabil, antibiotik diganti dengan antibiotik oral dan berobat jalan selama 10 hari. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat maka ditambahkan kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 8 jam. Bila pasien datang dengan keadaan klinis yang berat segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampisilin – kloramfenikol atau ampisilin – gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson 80 – 100 mg/kgBB IV atau IM sekali sehari. Bila tidak membaik dalan 48 jam, maka bila mungkin foto toraks. Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin 7,5 mg/kgBB IM sekali sehari dan klokasilin 50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam atau klindamisin 15 mg/kgBB/hari hingga 3 kali pemberian. Bila keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin atau diklokasilin secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu atau klindamisin oral selama 2 minggu. Tabel 3. Pilihan antibiotik intravena untuk pneumonia.3 Terapi Oksigen Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat. Bila tersedia pulse oksimeter, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen ( berikan pada anak dengan saturaso < 90%, anak yang tidak stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna. Terapi Penunjang Bila anak disetai demam yang tampaknya menyebabkan distres, beri antipiretik seperti parasetamol. Bila ditemukaan adanya wheezing, beri bronkodilator kerja cepat. Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak, hilangkan dengan alat penghisap secara perlahan. Pastikan anak mendapatkan kebutuhan cairan runatan yang sesuai, tetapi hati – hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi. Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral. Jika anak tidak dapat minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan rumatan dalam jumlah sedikit tapi sering. Jika asupan cairan oral mencukupi, jangan menggunakan pipa nasogastrik untuk meningkatkan asupan, karena akan meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Jika oksigen diberikan bersamaan dengan cairan nasogastrik, pasang keduanya pada lubang hidung yang sama. Pasien dapat dipulankan bila memenuhi kriteria pulang berikut ini3,13: Gejala dan tanda pneumonia menghilang. Asupan oral adekuat. Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (per oral). Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol. Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah. Komplikasi Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta, pnemothoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri. Kecurigaan ke arah empiema apabila terdapat demam persisten, ditemukan tanda klinis dan gambaran foto dada yang mendukung (bila masif terdapat tanda pendorongan organ intratorakal, pekak pada perkusi, gambaran foto dada menunjukkan adanya cairan pada satu atau kedua sisi dada). Efusi pleura, abses paru dapat juga terjadi.3,4 Pencegahan Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain: vaksinasi Pneumokokus, vaksinasi H. influenza, vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah, dimana vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit. Efektivitas vaksin pneumokok adalah sebesar 70% dan untuk H. influenzae sebesar 95%. Infeksi H. influenzae dapat dicegah dengan rifampicin bagi kontak di rumah tangga atau tempat penitipan anak.12 Prognosis Secara umum, pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi menunjukkan respon terapi yang baik dengan menunjukkan perbaikan klinis dalam waktu 48-96 jam sejak dimulainya terapi antibiotik. Kemungkinan yang perlu dipertimbangkan bila pasien tidak menunjukkan perbaikan klinis dengan terapi antibiotik di antaranya komplikasi misalnya empiema, resistensi bakteri, penyebab nonbacterial seperti virus atau jamur dan aspirasi benda asing atau makanan, obstruksi bronchial dari lesi endobronkhial, benda asing, atau plak mukus, atau komorbiditas seperti imunodefisiensi, diskinesia silier, fibrosis kistik, atau malformasi kongenital. Mortalitas oleh pneumonia pada negara maju cukup jarang dan biasanya tidak diikuti dengan sekuel jangka panjang. Angka mortalitas akan meningkat pada pasien dengan defisit imunologis.1,6-7 DAFTAR PUSTAKA Bennett NJ. Pediatric Pneumonia. Accessed on [2017 May 28]. Available at http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview#a5 Zec LS, Selmanovic K, Andrijic NL, Kadic A, Zecevic L, Zunic L. Evaluation of Drug Treatment of Bronchopneumonia at the Pediatric Clinic in Sarajevo. Med Arch. 2016 Jun;70(3):177-181. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009.p.250-4 Pabary R, Balfour-Lynn IM. Complicated pneumonia in children. Breathe. March 2013;9(3):211-22 Paks M. Bronchopneumonia. Accessed on [2017 May 28]. Available at https://radiopaedia.org/articles/bronchopneumonia Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor NF, Behrman RE. Nelson Textbook of Pediatrics. 20th ed. Philadelphia; 2016.p.2088-94 Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. 1st ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2013.p.350-64 Stuckey-Shrock K, Hayes BL, George CM. Community-aqcuired Pneumonia in Children. Am Fam Physician. 2012 Oct 1;86(7):661-7 Ramezani M, Aemmi SZ, Moghadam ZE. Factor Affecting the Rate of Pediatric Pneumonia in Developing Countries: a Review and Literature Study. Int J Pediatr. 2015 Dec;3(24):1173-81 Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, Subroto H, Sembiring H, Rai IBN, et al. Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2002. Danusantoso H. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit Hipokrates; 2000.p.74 – 92 World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit: Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota. Jakarta: World Health Organization;2009.p.83 – 113 Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media Aesculapius;2014.p.174-6 4 9