BAB I
PENDAHULUAN
Beberapa masalah pediatri dapat ditangani dengan pembedahan diantaranya trauma, tumor, masalah-masalah gastrointestinal (misalnya perdarahan, anomali traktus gastrointestinal, peritonitis, ikterus obstruktif), distres pernapasan (misalnya yang disebabkan oleh obstruksi jalan napas atas, anomali diafragma), malformasi kongenital (misalnya defek dinding abdomen, malformasi anorektal), dan gangguan endokrin (misalnya hiperparatiroidisme primer, disorder of sex development).1
Beberapa masalah di atas juga merupakan kelainan bawaan / kelainan kongenital, yaitu kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik; contohnya anensefalus, labiopalatoskisis, atresia esofagus, atresia bilier, omfalokel, penyakit Hirschprung, malformasi anorektal, disorder of sex development, tetralogy of Fallot, defek septum ventrikel, dan duktus arteriosus paten.2
Pada refarat ini akan dibahas mengenai 2 dari beberapa masalah pediatri yaitu disorder of sex development (DSD) dan malformasi anorektal (atresia ani).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DISORDERS OF SEX DEVELOPMENT (DSD)
Definisi
Perkembangan normal sistem reproduksi terjadi melalui dua fase yaitu fase determinasi dan fase diferensiasi. Fase determinasi merupakan fase penentuan jenis gonad yang dipengaruhi oleh faktor kromosom dan faktor gonad; sedangkan fase diferensiasi dipengaruhi oleh faktor hormonal. Jika terjadi gangguan pada salah satu dari kedua fase tersebut, maka sistem reproduksi tidak akan berkembang sempurna. Hal ini kini dikenal sebagai disorders of sex development (DSD). Istilah DSD muncul dari pertemuan Lawson Wilkins Paediatric Endocrine Society (LWPES) dan the European Society for Paediatric Endocrinology (ESPE), untuk menggantikan terminologi lama yaitu ‘interseks’ atau ‘hermafrodit’.3,4
Terdapat beberapa terminologi lama yang sudah tidak dipakai lagi, dan digantikan dengan istilah baru, yang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Terminologi yang lama dan yang baru sehubungan dengan kasus DSD3,5
Terminologi lama
Terminologi baru
Interseks
DSD
Male pseudohermaphrodite, undervirilized male, atau undermasculinization of XY male
46,XY DSD
Female pseudohermaphrodite, overvirilized of XX female, atau masculinization of XX female
46,XX DSD
True hermaphrodite
DSD ovotestikuler
XX male atau XX sex reversal
46,XX DSD testikuler
XY sex reversal atau XY female
46,XY disgenesis gonad komplit
DSD merupakan kelainan bawaan dimana terjadi ketidakselarasan kromosom, perkembangan gonad dan anatomi jenis kelamin, sehingga perkembangan sistem reproduksi atipikal atau menyimpang.3-5
Perkembangan sistim reproduksi
Perkembangan genitalia terjadi pada masa gestasi 6-14 minggu. Meskipun jenis kelamin embrio ditentukan secara genetik pada waktu fertilisasi, tetapi gonad tidak memperoleh karakteristik morfologi pria atau wanita sampai usia gestasi 6 minggu. Jadi, sampai dengan masa gestasi 6 minggu, gonad primordial bersifat indiferen atau bipotensial (mampu untuk berkembang ke dua arah yang mungkin yaitu menjadi testis atau menjadi ovarium). Hingga usia 6 minggu masa gestasi, embrio juga memiliki sepasang duktus Mulleri (duktus mesonephros), sepasang duktus Wolffi (duktus paramesonephros) dan bakal genitalia eksterna maupun interna yang indiferen.3
Sekresi hormon androgen mulai terjadi pada masa gestasi 7-8 minggu setelah testis terbentuk. Puncak sekresi testosteron terjadi antara masa gestasi 14-16 minggu. Hormon androgen selanjutnya akan menyempurnakan proses diferensiasi genitalia interna dan eksterna.3
Fase determinasi
Fase ini merupakan langkah awal perkembangan sistim reproduksi. Setiap gangguan pada fase ini sangat potensial untuk menyebabkan DSD disgenesis gonad.3
Kromosom
Laki-laki memiliki kromosom 46,XY sedangkan wanita 46,XX. Kromosom XY atau XX ditentukan saat fertilisasi. Pada usia gestasi dini, gonad yang terbentuk bersifat indiferen atau bipotensial, baik pada embrio XY atau XX. Dalam penelitian Jost dkk, disimpulkan bahwa testislah yang berperan dalam diferensiasi genitalia interna maupun eksterna; dan sejak percobaan ini, upaya untuk mencari faktor penentu testis (testis-determining factor / TDF) berlangsung. Keberadaan faktor penentu testis ini kemudian berhasil dilokalisir oleh Sinclair dkk tahun 1990, yang dikenal sebagai gen SRY (sex-determining region on the Y chromosome), pada lengan pendek kromosom Y (kromosom Yp11.31). Pada ketiadaan gen SRY, maka gonad akan berkembang menjadi ovarium; sebaliknya dengan adanya gen SRY maka gonad bipotensial akan berkembang menjadi testis.3,6
Gen SRY juga mengatur steroidogenesis factor 1 atau SF1 (dalam hal ini upregulation) yang bekerja melalui faktor transkripsi, SOX9, untuk menginduksi diferensiasi dari sel-sel Leydig dan Sertoli. SOX9 juga mempengaruhi gen yang memproduksi MIS untuk regresi duktus Mulleri (akan dijelaskan selanjutnya). Telah diketahui pula pada diferensiasi seksual wanita (yang akan dijelaskan selanjutnya), terdapat gen spesifik yang menginduksi perkembangan ovarium, yaitu DAX1, yang menghambat SOX9 dan berlokasi pada lengan pendek kromosom X dan bekerja dengan mengatur aktivitas SF1 (dalam hal ini downregulation), yang mencegah diferensiasi dari sel Sertoli dan sel Leydig. Diketahui pula bahwa faktor pertumbuhan yang disekresikan yaitu WNT4 berkontribusi dalam diferensiasi ovarium.7,8
Gonad
Cikal bakal dari gonad adalah tonjolan urogenital (urogenital ridge). Tonjolan urogenital ini berkembang dari mesoderm, dan terdiri dari pronephros, mesonephros, dan metanephros, yang akan berkembang menjadi gonad, ginjal dan adrenal. Tonjolan gonad (gonadal / genital ridge) terbentuk pada sisi ventromedial mesonephros pada masa gestasi 10 hari. Gonad primordium ini terdiri dari mesenkim mesonephros, sel epitel serta sel-sel germinal. Sel-sel germinal tidak muncul pada tonjolan gonad sampai usia kehamilan 6 minggu. Sel-sel germinal primordial pertama kali muncul pada tahap awal gestasi, di antara sel endoderm di dinding yolk sac, dekat alantois (Gambar 1a). Sel-sel germinal primordial ini bermigrasi dengan gerakan ameboid sepanjang bagian dorsal mesenterium hindgut dan tiba pada gonad primitif pada awal minggu ke-5 dan menginvasi tonjolan gonad pada minggu ke-6 masa gestasi (Gambar 1b). Jika sel-sel germinal primordial gagal mencapai tonjolan gonad, maka gonad tidak akan berkembang. Karena itu, sel-sel germinal primordial memiliki pengaruh induktif pada perkembangan gonad ke arah ovarium atau testis. Pada stadium ini, gonad bersifat indiferen atau bipotensial.3,8
Sebelum dan selama sel-sel germinal primordial tiba, epitel tonjolan gonad berproliferasi, dan sel-sel epitel memasuki mesenkim yang mendasari. Disini, sel-sel epitel membentuk sejumlah korda yang berbentuk ireguler, yaitu korda seks primitif (primitive sex cords), yang mampu berdiferensiasi antara gonad pria dan wanita (Gambar 2).8
Gambar 1. (a) Embrio usia 3 minggu, menunjukkan sel-sel germinal primordial pada dinding yolk sac dekat dengan alantois; (b) Jalan migrasi sel-sel germinal primordial ke tonjolan genital.8
Jika embrio secara genetik adalah laki-laki, sel-sel germinal primordial membawa kompleks kromosom seks XY. Di bawah pengaruh gen SRY pada kromosom Y, maka primitive sex cords melanjutkan proliferasi dan masuk lebih dalam ke medula untuk membentuk testis atau medullary cords (Gambar 3). Selama perkembangan selanjutnya, sebuah lapisan padat jaringan ikat fibrosa, yaitu tunika albuginea, memisahkan korda testis dari epitel permukaan. Sel-sel epitel permukaan ini kemudian berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel-sel Sertoli. Ini terjadi pada usia gestasi 6 minggu. Sel-sel interstitial Leydig berasal dari mesenkim original dari gonadal ridge, yang mulai berkembang secara singkat setelah diferensiasi dari korda testis. Minggu ke-8 gestasi, sel-sel Leydig mulai memproduksi testosteron dan testis menjadi mampu untuk mempengaruhi diferensiasi seksual dari genital interna dan eksterna.3,8
Pada embrio wanita dengan kompleks kromosom sex XX dan tidak ada kromosom Y, korda seksual primitif berpisah menjadi kelompok-kelompok sel ireguler. Kelompok-kelompok ini memuat kelompok sel germinal primitif, yang menempati bagian medula dari ovarium. Kemudian, mereka hilang dan digantikan oleh stroma vaskuler yang membentuk medula ovarium. Epitel permukaan gonad wanita, tidak seperti gonad pria, melanjutkan diri berproliferasi. Pada minggu ke-7, epitel permukaan berkembang menjadi cortical cords, yang memasuki mesenkim yang mendasari (Gambar 4).8
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa jenis kelamin genetik dari embrio ditentukan pada waktu fertilisasi, tergantung dari apakah sperma membawa kromosom X atau kromosom Y. Pada embrio dengan konfigurasi kromosom seks XX, medullary cords dari gonad menjadi surut, dan generasi kedua dari cortical cords berkembang (Gambar 4). Pada embrio dengan kompleks kromosom seks XY, medullary cords berkembang menjadi korda testis dan cortical cords gagal berkembang (Gambar 3).8
Fase diferensiasi
Fase diferensiasi genital interna dan eksterna bergantung pada faktor hormonal (Gambar 5). Hormon androgen yang disekresikan oleh testis, pada awalnya diatur oleh human chorionic gonadotropin (hCG) yang berasal dari plasenta, yang mencapai kadar puncak pada usia gestasi 8-12 minggu. Pada minggu ke-15 masa gestasi, pengaturan sekresi testosteron ini mulai diambil alih oleh jaras hipotalamus-hipofisis janin dengan gonadotropinnya (dalam hal ini adalah luteinizing hormone / LH), dan dipertahankan pada kadar yang lebih rendah di usia kehamilan lanjut. Sekresi gonadotropin ini akan berkurang hingga menjelang akhir gestasi.3
Gambar 5. Skema peran hormon pada perkembangan normal sistim reproduksi3
Genital interna
Perkembangan genital interna merupakan efek parakrin dari gonad ipsilateral. Parakrin merupakan tipe fungsi hormon dimana hormon disintesis dan dilepaskan dari sel-sel endokrin dan terikat pada reseptornya di sel-sel dekat sel-sel endokrin tersebut dan mempengaruhi fungsinya. Ketika tidak ada jaringan testis, janin (fetus) secara morfologi, mulai dan menyelesaikan perkembangan genital interna dan perkembangan fenotip eksterna sebagai wanita. Ketika ada jaringan testis, ada 2 substansi yang diproduksi yang penting untuk perkembangan genital interna pria dan fenotipe eksterna pria, yaitu testosteron dan Mullerian-inhibiting substance (MIS) atau Mullerian-inhibiting factor (MIF) atau Anti-Mullerian hormone (AMH).3,9
Proses diferensiasi genital interna terjadi sejak minggu ke-6 masa gestasi. Pada janin pria, diferensiasi genital interna berlangsung dengan terbentuknya sel Sertoli yang menghasilkan MIS. MIS menekan perkembangan duktus Mulleri; sedangkan testosteron yang dihasilkan sel-sel Leydig menstimulasi perkembangan duktus Wolffi untuk membentuk genital interna yaitu vas deferens, vesikula seminalis dan epididimis. Apabila tidak ada testis, maka duktus Wolffi akan regresi dan duktus Mulleri akan berkembang menjadi genital interna wanita yaitu tuba Fallopi, uterus dan ⅓ proksimal vagina. Selain itu, duktus Mulleri di bawah pengaruh estrogen membentuk tuba Fallopi, uterus dan ⅓ proksimal vagina.3,8,9 Dapat dilihat pada Gambar 6.
Genital eksterna
Sebelum terjadi diferensiasi genital eksterna, maka baik janin laki-laki maupun perempuan memiliki struktur embrional genital eksterna yang indiferen / bipotensial yaitu sinus urogenitalis, genital tubercle, genital fold, dan genital swelling (Gambar 7). Ada tidaknya testosteron yang dikonversi menjadi 5-DHT (dihidrotestosteron) oleh enzim 5-α reduktase, mempengaruhi berkembangnya struktur embrional tersebut. Perkembangan struktur embrional genital eksterna dapat dilihat pada tabel 2.3,9
Tabel 2. Perkembangan struktur embrional genital eksterna3
Struktur embrional
Pria
Wanita
Sinus urogenitalis
Prostat*
Vagina ⅔ inferior
Genital tubercle
Penis*
Klitoris
Genital fold
Uretra dan phallus*
Labia minor
Genital swelling
Skrotum*
Labia mayor
*dipengaruhi oleh testosteron
Gambar 7. Diferensiasi genital eksterna3
Antara minggu 9-12 masa gestasi, genital eksterna janin pria akan mengalami virilisasi (perkembangan sifat seks sekunder pria) melalui DHT. DHT akan menyebabkan fusi lipatan labioskrotal sehingga terbentuk skrotum. DHT akan menyempurnakan bentuk anatomi genital eksterna antara minggu 12-14 masa gestasi. Apabila lipatan labioskrotal tidak mengalami fusi pada akhir minggu ke-12, maka testosteron akan tetap menyebabkan pertumbuhan phallus tanpa menyempurnakan fusi yang gagal tersebut. Pada trimester ketiga kehamilan, testis akan turun (desensus) ke skrotum.3
Untuk perkembangan penis, terjadi dalam fase intra- dan ekstrauterin, dan dipengaruhi oleh testosteron. Pada fase intrauterin, terjadi fase pembentukan (formative phase) dan fase pertumbuhan (linear growth phase). Fase pembentukan terjadi pada trimester pertama kehamilan (antara 8-14 minggu). Fase pertumbuhan terjadi pada trimester kedua dan ketiga kehamilan dan berlanjut sampai usia pubertas. Pada keadaan normal, panjangnya penis pada akhir trimester pertama adalah 3,5 mm, identik panjangnya dengan klitoris. Gangguan hormonal pada fase pembentukan akan mengakibatkan ukuran penis yang kecil, dengan hipospadia. Dalam keadaan normal, pada fase kedua intrauterin, panjang penis bertambah panjang 10 kali lipat sehingga pada saat lahir panjangnya adalah 35 mm.3
Epidemiologi
DSD merupakan keadaan yang relatif jarang ditemukan. Insidensnya diperkirakan 1:4500 sampai 1:5500, atau bervariasi sesuai dengan etiologi. Penyebab tersering adalah hiperplasia adrenal kongenital (HAK) ditemukan pada 50% bayi baru lahir dengan DSD; mixed gonadal disease (MGD) diperkirakan merupakan penyebab tersering kedua dengan insidens 1:10000. Hal ini sama pula dengan yang terjadi di Amerika Serikat dimana HAK merupakan penyebab tersering genital ambigu pada bayi baru lahir, dan MGD merupakan penyebab kedua dari DSD. Analisis dari skrining bayi di seluruh dunia bahwa dari 6,5 juta bayi baru lahir ditemukan insidens HAK adalah 1:15.000 kelahiran hidup. Dengan teknologi terkini, hanya 50% kasus 46,XY DSD yang dapat diketahui penyebabnya dan hanya 20% kasus DSD secara keseluruhan yang dapat didiagnosis secara molekuler.3-5,9,10
Etiologi
Etiologi DSD sangat luas, dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi etiologi DSD3,5,6,10
Kromosom seks DSD
46,XX DSD
46,XY DSD
45,XO (sindrom Turner dan varian mosaic)
47,XXY (sindrom Klinefelter dan varian)
45,XO/46,XY (MDG, ovotestikuler DSD)
46,XX/46,XY (chimeric, ovotestikuler DSD)
Paparan androgen berlebih yaitu dari janin atau fetoplasenta (misalnya karena defisiensi P450 c21, defisiensi P450 c11, hiperplasia adrenal kongenital / HAK, defisiensi aromatase, mutasi gen reseptor glukokortikoid) dan dari ibu (misalnya karena obat-obat androgenik, tumor virilisasi)
Gangguan perkembangan ovarium (misalnya disgenesis gonad XX, DSD ovotestikuler)
Sebab yang tidak dapat ditentukan (berhubungan dengan defek traktus genitourinarius dan gastrointestinal)
Defek perkembangan testis
Disgenesis gonad komplit (Swyer syndrome)
Disgenesis gonad parsial (mutasi WT1 / Denys Drash syndrome, SOX9, SF1)
DSD ovotestikuler
Sebab lain yang tidak diketahui
Defisiensi hormon testikuler (misalnya karena hipoplasia / aplasia sel-sel Leydig, mutasi reseptor LH, HAK, defisiensi enzim 5-α reduktase, Smith-Lemli-Opitz syndrome)
Defek kerja androgen (misalnya defek reseptor androgen, sindrom insensitivitas androgen komplit dan parsial)
46,XX DSD (bayi atau anak yang mengalami virilisasi)
Sebagian besar kasus kategori ini ditandai dengan adanya gonad berupa ovarium disertai genital interna wanita. Genital eksterna mengalami maskulinisasi karena pengaruh androgen. Sumber androgen intrauterin seperti yang terdapat dalam tabel 3 di atas yaitu dari janin, plasenta dan dari ibu. Pengaruhnya bervariasi, dari klitoromegali ringan sampai dengan fusi sempurna labia dengan bergesernya sinus urogenitalis sebagai lubang uretra ke arah ujung distal dari phallus yang membesar. Gonad pada kelompok ini tidak akan teraba.3
Penyebab tersering adalah HAK. HAK merupakan keadaan yang diturunkan secara autosomal resesif dimana terdapat defek enzim pada salah satu dari proses steroidogenesis adrenal sehingga terjadi akumulasi steroid proksimal. Akumulasi steroid proksimal pada akhirnya dikonversi menjadi androgen yang mengakibatkan terjadinya virilisasi.3
Penyebab lain yang mungkin adalah pajanan terhadap androgen eksogen, misalnya dari konsumsi androgen atau progestin ibu, atau tumor ibu yang menghasilkan androgen (tetapi hal ini jarang). Selain itu, defisiensi enzim aromatase plasenta juga dapat menyebabkan virilisasi pada janin (dan pada ibu), karena enzim aromatase berfungsi untuk mengubah testosteron menjadi estradiol pada unit fetoplasenta, dan defisiensi enzim ini berakibat meningkatnya kadar testosteron pada plasenta dan janin.3
46,XY DSD (bayi atau anak yang mengalami undervirilisation)
Penyebab tersering kategori ini adalah sindrom insensitivitas androgen (SIA), yang merupakan keadaan yang diturunkan secara resesif X-linked karena resistensi perifer (sel target) terhadap kerja androgen akibat mutasi gen reseptor androgen. SIA terbagi menjadi SIA komplit (SIAK) dan SIA parsial (SIAP). Pada SIAK fenotip adalah perempuan sempurna, sedangkan pada SIAP terjadi genital ambigu yang bervariasi. Sebagian besar penderita SIAK akan terdiagnosis pada masa pubertas atau setelahnya karena keluhan amenore. Pada SIA, kadar testosteron normal dengan genital interna tetap laki-laki. Karena diturunkan secara X-linked, maka riwayat keluarga sangat penting.3
Defisiensi enzim 5-α reduktase merupakan penyebab lain kategori ini, yang diturunkan secara autosomal resesif, sehingga mengakibatkan gangguan konversi testosteron menjadi DHT. Defisiensi DHT menyebabkan virilisasi genital eksterna tidak sempurna.3
Bayi atau anak yang termasuk dalam kategori ini memiliki phallus kecil, hipospadia posterior, skrotum bifidum yang terbentuk tidak sempurna dengan atau tanpa kriptorkismus.3
46,XX DSD testikuler dan DSD ovotestikuler
Manifestasi klinis XX male dapat dikategorikan sebagai DSD testikuler dengan fenotip lelaki normal, DSD testikuler dengan genital ambigu dan DSD ovotestikuler. Berdasarkan ada tidaknya unsur SRY maka diklasifikasikan sebagai DSD testikuler Y (+) dan DSD testikuler Y (-). Sebagian besar yang Y (+) memiliki genital eksterna normal dan steril, sedangkan pada Y (-) genital tampak ambigu dan steril. Penelitian aspek molekuler pada kasus-kasus DSD testikuler ini memperlihatkan bahwa pada 80% kasus terjadi akibat translokasi Y-X, dan terjadi kecenderungan menginaktifkan kromosom X yang mengandung Y. Sumber fenotip pria pada DSD testikuler ini diperkirakan berasal dari: 1) translokasi sekuens Y, termasuk gen SRY ke kromosom X atau kromosom autosom; 2) mutasi yang belum diketahui pada gen X-linked atau autosom yang terlibat pada jalur pembentukan testis; 3) mosaicsm kromosom Y yang kriptik.3
Gonad pada bayi atau anak dengan 46,XX DSD testikuler adalah testis. Ciri utama dari tipe ini adalah genital eksterna yang tidak berkembang sempurna disertai testis yang kecil (mikrotestis). Selain itu pada sebagian besar kasus, akan mengalami kegagalan untuk menjalani fase pubertas dengan rambut dada dan aksila yang jarang disertai distribusi rambut pubis seperti perempuan.3
DSD ovotestikuler, yang dulu disebut true hermaphrodite, merupakan keadaan ditemukannya jaringan testis dan ovarium nomal, tanpa memandang kariotipenya. Gonad biasanya berupa ovarium-testis atau ovarium-ovotestis. Genotipe tersering adalah 46,XX walaupun dapat pula ditemukan 46,XY atau mosaik. Kariotipe yang paling sering dilaporkan pada DSD ovotestikuler adalah 46XX, 46XY, 46XX/46XY, 45X/46XY. Gonad, genital interna dan eksterna didapatkan asimetri. Sisi mana yang mengalami virilisasi dan sisi mana yang mengalami feminisasi bergantung gonad yang dominan pada sisi ipsilateral. Fenotipenya sangat bervariasi dari perempuan hingga laki-laki normal bergantung pada fungsi sel-sel Leydig, namun sebagian besar kasus memperlihatkan adanya virilisasi.3
DSD kromosom seks
Penyebab tersering kategori ini adalah MGD. Seperti pada keadaan DSD ovotestikuler, pada kategori ini ditemukan pula gambaran asimetris. Pada individu 46,XY testis yang disgenetik walaupun masih dapat mensekresikan testosteron, produksi MIS biasanya rendah atau tidak ada sehingga organ-organ derivat duktus Mulleri seringkali ditemukan. Sebagian besar kasus memiliki fenotip genital interna testis atau ovotestis unilateral disertai streak gonad (gonad pita) kontralateral, struktur duktus Mulleri yang persisten pada sisi homolateral dengan gonad yang disgenetik, dan berbagai tingkat undervirilisation pada genital eksterna. Secara histologis, pada streak gonad terdiri dari stroma ovarium tanpa oosit.3
Disgenesis gonad
Disgenesis gonad dapat bersifat komplit / total dan parsial / mixed. Dikatakan total apabila kedua gonad adalah streak gonad, dikatakan parsial bila ditemukan gonad (testis atau ovotestis) pada satu sisi disertai gonad pita pada sisi kontralateral. Secara klinis, individu dengan disgenesis gonad akan memperlihatkan gejala hipogonadisme.3
DSD disgenesis gonad komplit
Disgenesis gonad total jarang ditemukan pada masa neonatus karena fenotipenya adalah perempuan tanpa genital ambigu. Pada kasus dengan kariotipe 46,XY (sindrom Swyer) terjadi sex reversal sehingga fenotipenya adalah perempuan. Klinis terlihat sebagai perempuan dengan tinggi badan normal, pubertas terlambat, amenore primer, sexual infantilism (tidak ada perkembangan tanda-tanda seks sekunder, hipoplasia uterus) dan streak gonad bilateral.3
Manifestasi klinis
Genital ambigu merupakan salah satu gejala klinis yang memberikan indikasi adanya DSD, walaupun tidak semua DSD akan bermanifestasi klinis genital ambigu, sebagai contoh pada DSD kromosom seks yang disebabkan oleh sindrom Turner (kariotipe 45,XO) dan sindrom Klinefelter (kariotipe 47,XXY) yang memiliki gambaran klinis anak perempuan. Genital ambigu adalah penampilan atau fenotip genital eksterna yang tidak khas sehingga ragu menggolongkan sebagai laki-laki atau perempuan. Manifestasi DSD sebagian besar terjadi pada masa neonatus dan bayi dengan keluhan utama:3
Genital ambigu pada neonatus. Ditemukan pada beberapa klasifikasi DSD seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Testis tidak teraba pada bayi ‘laki-laki’
Penonjolan di daerah inguinal pada bayi ‘perempuan’
Hipospadia berat
Klitoromegali
Gambar 8. Gambaran genital eksterna yang atipikal. Gambaran ini ditemukan pada kasus (a) DSD ovotestikuler; (b)-(e) HAK; (f) Insensitivitas androgen parsial.6
Manifestasi lambat dapat terjadi setelah masa neonatus, baik pada anak maupun remaja dengan keluhan utama:3,5
Virilisasi saat pubertas pada anak ‘perempuan’
Pubertas terlambat pada anak perempuan
Amenore primer
Hernia inguinalis pada anak perempuan
Ginekomastia pada anak laki-laki
Infertilitas pada laki-laki
Diagnosis
Penentuan jenis kelamin pada bayi yang lahir dengan genital ambigu sebaiknya tidak segera dilakukan, hingga pemeriksaan lengkap telah dilakukan. Diagnosis DSD dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.3,4
Anamnesis
Riwayat pranatal: ibu mengkonsumsi obat-obat steroid, diagnosis antenatal adanya androgen producing tumor, dan virilisasi ibu selama kehamilan (defisiensi aromatase).3,4
Riwayat keluarga: riwayat serupa dalam keluarga untuk beberapa kelainan DSD yang diturunkan (misalnya sindrom insensitivitas androgen secara X-linked, defisiensi 5-α reduktase secara autosomal resesif, dan HAK secara autosomal resesif), riwayat kematian perinatal yang tidak jelas (misalnya akibat muntah-muntah, dengan atau tanpa genital ambigu merupakan petunjuk yang mengarah ke HAK), riwayat infertilitas (dapat memberi petunjuk adanya DSD pada SIAK).3,4
Riwayat penyakit: mulai timbulnya, progresivitas, riwayat gagal tumbuh dan pubertas, riwayat penyakit dahulu atau operasi yang pernah dijalani.3
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum: Perlu diteliti keadaan umum penderita seperti gagal tumbuh, retardasi mental, mikrosefal. Penampilan fisik yang dismorfik dengan genital ambigu cukup sering ditemukan seperti pada sindrom Smith-Lemli-Opitz. Sindrom Turner dengan perawakan pendek, low posterior hairline, web neck, dan limfedema merupakan tanda yang khas ditemui. Perlu dicatat bahwa tampilan genital eksterna pada DSD tidak selamanya adalah genital ambigu.3
Genital eksterna
Gonad. Pemeriksaannya merupakan langkah strategis dalam diagnosis DSD. Gonad yang teraba menandakan adanya gen SRY, perkembangan testis dan regresi duktus Mulleri ipsilateral. Tiga keadaan klinis yang mungkin ditemukan yaitu:3
Kedua gonad teraba dan simetris, artinya bayi tersebut kemungkinan besar laki-laki yang tidak mengalami virilisasi adekuat dan struktur duktus Mullerinya regresi. Diagnosis bandingnya: produksi testosteron inadekuat, defek reseptor androgen, defisiensi 5-α reduktase. DSD ovotestikuler merupakan pengecualian dimana ditemukan ovotestis bilateral yang simetris.3
Asimetri gonad dengan hanya teraba 1 gonad, yang menandakan bahwa paling tidak, ada 1 testis; yang satunya mungkin ovarium, ovotestis, atau streak gonad. Bila ditemukan perlu dipikirkan: DSD ovotestikuler atau MGD.3
Tidak teraba gonad. Pada kondisi ini kondisi gonad dan duktus tidak diketahui. Petunjuk tambahan mungkin dapat dilakukan lebih teliti untuk mengetahui apakah cincin inguinal terbuka atau tidak. Bila terbuka, menandakan kemungkinan testis yang tidak turun, sedangkan bila tertutup dapat dihubungkan dengan adanya ovarium atau testis yang sangat displastik dengan produksi testosteron yang sangat minimal. Pemeriksaan rektal dengan menggunakan jari kelingking akan mudah neraba serviks dan mengkonfirmasi adanya uterus. Diagnosis bandingnya: 46XX DSD, 46XY disgenesis gonad, ovotestikuler DSD.3
Phallus. Pada bayi baru lahir, panjang penis normal adalah 3,5 ± 0,7 cm. Panjang phallus < 2,0 cm dianggap sebagai mikropenis, dan pada bayi perempuan bila panjang klitoris > 1 cm dianggap sebagai klitoromegali. Mikropenis merupakan ukuran penis < - 2,5 SD untuk usianya, tanpa disertai kelainan struktural penis lainnya (hipospadia), yang diukur ketika penis telah diregang maksimal tanpa ereksi.3
Orifisium uretra. Bila orifisium uretra dan introitus vagina jelas terpisah, menandakan 46,XX. Bila hanya terdapat 1 lubang genital eksterna, selain kemungkinan 46,XY DSD dapat juga merupakan sinus urogenital perempuan yang mengalami virilisasi.3
Rasio anogenital, yang merupakan jarak antara anus dengan posterior fourchette dibagi dengan jarak antara anus dengan dasar phallus / klitoris, Rasio > 0,5 menandakan adanya virilisasi; dan pada laki-laki yang mengalami virilisasi sempurna, rasionya adalah 1.3
Stadium Prader, yang menunjukkan berat ringannya virilisasi, terbagi menjadi 6 stadium yaitu: Prader 0 (genital perempuan normal); Prader 1 (phallus membesar / hipertrofi klitoris saja sedangkan genital eksterna lain normal fenotipe perempuan); Prader 2 (phallus membesar / hipertrofi klitoris dengan lubang uretra dan vagina yang terpisah secara nyata); Prader 3 (phallus membesar / hipertrofi klitoris dengan 1 lubang sinus urogenital); Prader 4 (phallus membesar dengan hipospadia); Prader 5 (genital laki-laki normal).3,4
Gambar 9. Stadium Prader untuk genital ambigu.4
Pemeriksaan penunjang
Analisis kromosom. Merupakan pemeriksaan lini pertama yang perlu dilakukan dengan kariotipe dan flourescence in-situ hybridisation (FISH) dengan probe DNA khusus kromosom X dan Y, dengan atau tanpa pemeriksaan gen SRY. Lamanya hasil pemeriksaan (3 minggu) merupakan hambatan utama dalam percepatan langkah diagnosis. FISH dapat mengatasi hal ini karena hanya membutuhkan 2-3 hari, namun harus dilakukan kariotyping untuk mengetahui secara pasti ada tidaknya kelainan struktural kromosom.3,4
Pencitraan. Dilakukan untuk visualiasi genital interna, dapat merupakan genitogram dan/atau ultrasonografi (USG), serta CT-scan atau MRI bila diperlukan. USG juga dapat membantu memvisualisasi ada tidaknya testis di regio inguinal dan ada tidaknya hiperplasia adrenal.3,4
Pemeriksaan hormonal. Merupakan langkah strategis berikutnya ketika menghadapi pasien dengan DSD. Pemeriksaan awal yang paling sering dianjurkan adalah pemeriksaan kadar testosteron, LH, FSH dan 17-OH progesteron. Kadar LH dan FSH meningkat pada disgenesis gonad atau defek reseptor LH. Pemeriksaan hormonal ini dapat dipandu oleh teraba tidaknya gonad. Pada gonad yang tidak teraba, dimana sangat besar kemungkinan adalah suatu 46,XX DSD, maka hormon yang diperiksa adalah kadar 17-OH progesteron serum setelah usia 48 jam. Bila normal, perlu diperiksa 11-deoksikortisol dan 11-deoksikortikosteron untuk mendeteksi ada tidaknya defisiensi 11-β-hidroksilase yang merupakan kasus HAK tersering kedua. Pada gonad yang teraba, maka kemungkinan besar adalah suatu 46,XY DSD, dan yang perlu diperiksa adalah kadar testosteron dan DHT. Bila rasio testosteron : DHT tinggi, ini mengarah pada defisiensi 5-α reduktase.3,4
Pemeriksaan molekuler genetik, dimana analisis mutasi sangat membantu menegakkan diagnosis DSD akibat HAK maupun DSD lainnya (misal pada duplikasi DAX-1, WNT4).3
Pemeriksaan profil steroid pada urin, dengan menggunakan gas chromatography assay untuk menentukan secara tepat etiologi HAK.3
Diagnosis prenatal
USG dan MRI prenatal dapat pula mendiagnosis DSD, namun hal ini diperumit dengan resolusi USG dan keahlian dari radiografer; juga memiliki keterbatasan dalam diagnosis DSD misalnya pada janin 46,XX yang mengalami virilisasi berat dengan tampilan genital eksterna berupa laki-laki (contoh pada defisiensi enzim 21 hidroksilase) yang sulit dibedakan dengan janin 46,XY normal; juga pada janin 46,XY yang mengalami virilisasi tidak lengkap akan tampak genital eksterna perempuan (misal pada sindrom insensitivitas androgen) dan sulit dibedakan dengan janin 46,XX normal.11
Normalnya, pada usia kehamilan di atas 12 minggu, jenis kelamin janin telah dapat diketahui; usia ini merupakan usia dimana genital eksterna janin telah berkembang sempurna. Abnormalitas yang dapat ditemukan dari USG pada janin dengan kecurigaan virilisasi tidak lengkap yaitu adanya struktur phalus abnormal (tidak ada, pendek, atau bentuk abnormal), skrotum (bifida atau tidak ada) dan testis yang tidak turun pada kehamilan lanjut. Abnormalitas yang dapat ditemukan dari USG pada janin dengan kecurigaan virilisasi berat genital eksterna perempuan yaitu adanya struktur phalus yang membesar dan labia yang abnormal, dengan uterus yang dapat diidentifikasi.11
Selain USG dan MRI, dapat pula dilakukan prosedur invasif untuk penentuan kromosom seks, misalnya dengan chorionic villus sampling, amniosentesis dan kordosentesis; namun prosedur ini membawa risiko terjadinya keguguran atau persalinan prematur (bergantung dari usia kehamilan sewaktu dilakukan prosedur ini).11
Tatalaksana
Tujuan tatalaksana kasus DSD adalah: 1) untuk menjamin semaksimal mungkin fertilitas / reproduksi; 2) untuk menjamin semaksimal mungkin fungsi seksual; 3) untuk menjamin kesesuaian hasil akhir fenotip dan psikososial dengan jenis kelamin yang ditentukan.3
Untuk itu, setiap kasus DSD idealnya dievaluasi / dirujuk ke dokter spesialis endokrin anak dan pendekatan dilakukan secara multidisipliner (yaitu terdiri dari tim ahli di bidang endokrinologi anak, bedah urologi / plastik anak, obstetri ginekologi, radiologi, etik, psikiatri, patologi anatomi dan ahli agama). Tim ahli bekerja sama dengan keluarga mengambil keputusan terbaik untuk tatalaksana pasien. Perubahan jenis kelamin dilakukan oleh pengadilan atas rekomendasi tim medis. Jadi, perawatan optimal untuk bayi / anak dengan DSD membutuhkan tim multidispliner yang berpengalaman yang biasa ditemukan di pusat pelayanan kesehatan tersier.3-5
Penentuan gender
Biasanya, untuk menentukan jenis kelamin seorang anak diperlukan minimal 7 sifat, yaitu 5 sifat organik dan 2 sifat psikologis. Ketujuh sifat itu adalah:12
Susunan kromosom: XX pada perempuan dan XY pada laki-laki.
Jenis gonad: ovarium pada perempuan dan testis pada laki-laki.
Morfologi genitalia eksterna
Morfologi genitalia interna
Hormon seks
Pengasuhan (the sex of rearing): cara anak dibesarkan oleh orangtuanya akan menentukan penampilan dalam kehidupan kelak. Ini merupakan faktor psikologis. Bila seseorang sejak lahir dibesarkan sebagai perempuan maka perilakunya akan seperti perempuan. Inilah yang dilihat oleh masyarakat.
Peranan dan orientasi (gender role and orientation): yang dimaksudkan disini ialah apa yang diperbuat atau dinyatakan oleh seseorang untuk mewujudkan dirinya sebagai seorang perempuan atau seorang lelaki. Yang perlu diperhatikan ialah: kelakuan, pilihan permainan, minat, khayalan, percakapan, impian, kebiasaan erotisme, dan jawaban atas pertanyaan- pertanyaan yang kadang-kadang menentukan.
Untuk pasien DSD, penentuan jenis kelamin sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah evaluasi diagnostik secara menyeluruh. Beberapa faktor yang mempengaruhi penentuan gender meliputi kariotipe, diagnosis, fenotip genital, pilihan operasi, kebutuhan terapi substitusi seumur hidup, potensi fertilitas dan fungsi seksual, risiko keganasan, pandangan keluarga, dan nilai-nilai budaya masyarakat setempat.3
Untuk pasien 46,XX yang mengalami virilisasi dengan HAK, tumbuh sebagai perempuan. Kira-kira 60% pasien dengan defisiensi enzim 5-α reduktase yang mana adalah perempuan sewaktu bayi dan mengalami virilisasi saat pubertas, hidup sebagai laki-laki. Untuk pasien DSD ovotestikuler, harus mempertimbangkan potensi fertilitas berdasarkan derajat diferensiasi gonad dan perkembangan genital. Untuk pasien dengan MDG, faktor yang harus dipertimbangkan adalah paparan androgen prenatal, fungsi testis, struktur phalus dan lokasi gonad.10
Tatalaksana medis
Terapi sulih hormon, tujuannya bukan hanya untuk memulai dan menjaga perkembangan tanda seks sekunder, tetapi juga untuk perkembangan psikososial. Pasien DSD yang perlu terapi hormon adalah mereka dengan hipogonad atau kegagalan gonad primer. Pada perempuan digunakan estrogen, etinil estradiol; dan pada laki-laki digunakan testosteron, untuk menginduksi pubertas.3,4,10
Untuk HAK, diberikan hidrokortison 15-20 mg/m2/hari dalam dosis terbagi 2-3 kali/hari; atau fludrokortison 25-50 µg/hari.4
Tatalaksana bedah
Tujuannya antara lain untuk diagnosis (laparoskopi / laparotomi eksplorasi untuk melihat struktur genital interna), juga untuk konstruksi genital sesuai jenis kelamin (misalnya koreksi atau pengangkatan testis bila ukuran phallus kecil, untuk mengecilkan ukuran klitoris pada bayi yang akan dibesarkan sebagai perempuan), mencegah obstruksi urin dan infeksi, serta memberikan fungsi seksual dan reproduksi dewasa yang baik. Namun waktu dan indikasi pembedahan pada kasus DSD ditentukan oleh tim ahli multidisipliner, karena sangat tergantung pada tiap kasus yang dihadapi.3,4,10
Tatalaksana psikososial
Melibatkan psikolog / psikiater, dan hal ini sangat penting sebagai bagian dari evaluasi klinis rutin dan manajemen. Hal ini ditunjukan untuk skrining dan menolong keluarga yang berisiko mengalami maladaptasi dengan kondisi medis pasien dengan DSD.10
Prognosis
Prognosis bervariasi dari baik sampai buruk; dipengaruhi oleh kemampuan dan komitmen orang tua untuk mendukung anak dengan DSD, kepribadian pasien dan kemampuan untuk menerima kondisi mereka, kualitas pengobatan dan pembedahan, serta dukungan orang-orang sekitar. Faktor-faktor ini dapat ditingkatkan dengan teknik pembedahan terbaru dan lebih banyak dukungan psikologis yang terlatih. Prinsip dasarnya adalah fakta dalam kasus kompleks seperti ini, semua faktor tidak dapat menjadi ideal, terutama yang berhubungan dengan potensi fertilitas dan tanggung jawab seksual, sedangkan dengan dukungan keluarga dan orang-orang yang disayangi maka kualitas hidup dapat memuaskan dan produktif.13
ATRESIA ANI / ANUS IMPERFORATA
Definisi
Atresia ani, disebut pula anus imperforata merupakan keadaan tidak adanya pembukaan dimana anus seharusnya berada. Anus imperforata merupakan bagian dari malformasi anorektal, yang merupakan defek berspektrum luas mengenai defek perkembangan bagian terbawah traktus intestinal dan urogenital. Defek bervariasi dari yang sangat kecil dan mudah ditangani dengan prognosis fungsional yang baik, sampai defek yang kompleks, sulit ditangani, biasanya berhubungan dengan anomali lainnya, dan memiliki prognosis fungsional yang buruk.14,15
Epidemiologi
Malformasi anorektal merupakan anomali kongenital yang terjadi pada kira-kira 1 dari 5000 kelahiran hidup. Tidak ada laporan mengenai predileksi ras dan jenis kelamin. Kebanyakan anak dengan malformasi anorektal teridentifikasi selama pemeriksaan fisik rutin bayi baru lahir. Malformasi yang hampir tidak terlihat (subtle malformation) misalkan pada anak dengan fistula perineal, dapat terlihat normal, sampai beberapa bulan atau beberapa tahun anak tersebut datang dengan keluhan konstipasi atau infeksi saluran kemih.14,15
Patofisiologi
Normalnya, akibat perlipatan sefalokaudal dan lateral dari embrio, maka bagian dari endoderm-lined kavitas yolk sac bergabung ke embrio untuk membentuk primitive gut. Perkembangan dari primitive gut dan derivatnya yaitu: pharygeal gut yang penting untuk perkembangan kepala dan leher; foregut yang akan berkembang menjadi esofagus, gaster, duodenum, hepar dan kantung empedu, pankreas; midgut dimulai dari kaudal hepar dan meluas ke perhubungan 2/3 kanan dan 1/3 kiri kolon transversum; hindgut membentuk 1/3 distal kolon transversum, kolon descendens, kolon sigmoid, rektum, dan bagian superior dari kanalis analis. Endoderm dari hindgut juga membentuk lapisan dalam dari vesika urinaria dan uretra.8
Untuk malformasi anorektal, embriogenesisnya masih belum jelas. Gangguan pada perkembangan struktur anorektal pada berbagai tingkatan menyebabkan terjadinya beragam anomali, mulai dari stenosis anus, ruptur membran anal inkomplit, atau agenesis anus, sampai kegagalan proctodeum untuk invaginasi. Pada atresia ani, defek terjadi karena kurangnya rekanalisasi bagian bawah kanalis analis.14
Etiologi
Etiologi malformasi anorektal masih belum jelas dan tampaknya multifaktorial. Namun dipercaya bahwa faktor genetik yang berperan. Pada awal tahun 1950-an, diketahui bahwa ada peningkatan risiko saudara kandung pasien dengan malformasi anorektal untuk lahir pula dengan malformasi, yaitu 1:100, dibandingkan dengan 1:5000 pada populasi umum. Selain itu, secara khusus, mutasi pada gen spesifik yang mengkode faktor transkripsi telah dilaporkan pada pasien yang memiliki sindrom yang diturunkan secara autosomal dominan. Juga telah ditemukan bahwa tidak hanya terjadi peningkatan insidens malformasi anorektal pada pasien trisomi 21 (sindrom Down), tetapi 95% pasien dengan trisomi 21 dan malformasi anorektal memiliki anus imperforata tanpa fistula, dibandingkan dengan 5% dari seluruh pasien malformasi anorektal. Berdasarkan bukti ini, terlihat bahwa mutasi beragam gen yang berbeda dapat menyebabkan malformasi anorektal, atau dapat dikatakan bahwa etiologi dari malformasi anorektal bersifat multigenik.15
Klasifikasi
Klasifikasi malformasi anorektal non-syndromic dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Klasifikasi malformasi anorektal non-syndromic15
Pria
Fistula recto-perineal
Fistula recto-uretra-bulbar
Fistula recto-uretra-prostat
Anus imperforata tanpa fistula
Defek yang kompleks dan tidak lazim
Wanita
Fistula recto-perineal
Fistula recto-vestibuler
Kloaka dengan channel pendek (< 3 cm)
Kloaka dengan channel panjang (> 3 cm)
Anus imperforata tanpa fistula
Defek kompleks dan tidak lazim
Ekstrofi kloaka, menutup ekstra kloaka
Kloaka posterior
Atresia rektum
Berhubungan dengan massa presakrum
Anus imperforata dapat dibagi pula menjadi lesi letak rendah (low lesion) dimana rektum telah turun melalui kompleks sfingter (sekelompok masa serat otot yang mengelilingi anorektal dan merupakan kombinasi dari muskulus puborektalis, levator ani, sfingter interna dan eksterna); dan lesi letak tinggi (high lesion) dimana rektum belum turun melalui kompleks sfingter.6 Dapat dilihat pada gambar 9.
Gambar 9. Anus imperforata pada laki-laki (a). Lesi letak rendah; (b) Lesi letak tinggi.6
Manifestasi klinis
Kebanyakan bayi dengan anus imperforata dirujuk karena tidak memiliki pembukaan anus yang dapat diidentifikasi pada pemeriksaan bayi baru lahir, atau karena gagal mengeluarkan mekonium. Dapat pula ditemukan anomali lain seperti anomali genitourinaria, anomali vertebra, anomali gastrointestinal, defek jantung dan sindrom Down (yang biasa ditemukan pada bayi laki-laki dengan anus imperforata tanpa fistula). Berbagai anomali yang berhubungan dapat dilihat pada tabel 5.1,6
Tabel 5. Berbagai anomali yang berhubungan dengan malformasi anorektal6
Genitourinaria
Vertebra
Kardiovaskular
Gastrointestinal
Refluks vesikoureter
Agenesis renal
Displasia renal
Duplikasi ureter
Kriptorkidismus
Hipospadia
Uterus bikonuat
Septum vagina
Massa presakral:
Meningokel
Lipoma
Teratoma
Tetralogy of Fallot
Defek septum ventrikel
Transposisi arteri besar
Fistula trakeoesofageal
Atresia duodenal
Malrotasi
Penyakit Hirschsprung
Pada bayi laki-laki dengan lesi letak rendah, biasanya ada noda mekonium pada perineum sepanjang medium raphe. Bayi perempuan dengan lesi letak rendah memiliki berbagai tanda, dari anus yang hanya terletak anterior dari perineum sampai ke fourchette fistula yang membuka pada mukosa lembab dari introitus, distal terhadap hymen. Lesi letak tinggi pada bayi laki-laki tidak memiliki pembukaan kutaneus atau fistula yang tampak, tetapi biasanya memiliki fistula ke traktus urinarius, baik ke uretra maupun ke vesika urinaria. Meskipun jarang terjadi fistula rektovaginalis, pada bayi perempuan, lesi letak tinggi biasanya berupa anomali kloaka (Gambar 11), yang mana rektum, vagina dan uretra sama-sama membuka pada satu saluran dengan panjang yang bervariasi.6
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat keluarga dengan sindrom atau malformasi juga penting. Riwayat USG prenatal biasanya normal, namun USG prenatal dapat pula mendiagnosis anus imperforata. Dalam suatu penelitian di Norwegia, dari 69 kasus anus imperforata pada tahun 1987 - 2004, hanya 11 kasus yang murni anus imperforata terdiagnosis, yaitu dengan adanya dilatasi rektum atau bagian bawah dari anus, juga melalui temuan berupa massa abdominopelvik atau klasifikasi intraluminal dan dilatasi usus. Usia kehamilan sewaktu terdiagnosis rata-rata 18 + 4 minggu.14,16
Pemeriksaan fisik
Selama pemeriksaan fisik, harus difokuskan pada daerah abdomen, genital, rektum dan vertebra bagian bawah. Bayi baru lahir dengan anus imperforata biasanya dapat diidentifikasi pada pemeriksaan fisik pertama kali. Evaluasi lanjutan dilakukan bila tidak ditemukan orifisium anal pada posisi yang tepat. Posisi anus normal pada perineum kira-kira rasionya 0,5 antara koksigeus dan skrotum atau introitus vagina. Malformasi pada bayi baru lahir yang terlewati biasanya akan ditemukan dalam 24 jam ketika bayi tersebut mengalami distensi abdomen dan gagal mengeluarkan mekonium.6,14
Lesi letak rendah pada bayi laki-laki dapat ditemukan fistula rektoperineal (kutaneus) dapat berjalan anterior sepanjang median raphe melewati skrotum dan kadang turun melalui penis. Traktus ini biasanya tipis, dengan rektum normal hanya beberapa milimeter tingginya dari kulit. Anomali ekstraintestinal dapat terlihat pada < 10% pasien dengan fistula rektoperineal. Pada bayi perempuan, lesi letak rendah memasuki vestibulum atau fourchette (mukosa lembab di luar hymen tetap masih di dalam introitus vagina). Bila ada fistula rektoperineal, maka ketika pemeriksaan perineum didapatkan pembukaan kecil, mekonium, atau mukus.6,14
Pada anus imperforata letak tinggi, perineum pada bayi laki-laki terlihat datar. Dapat pula terlihat mekonium yang melewati penis / uretra (fistula rektouretra, merupakan yang paling sering pada bayi laki-laki), dimana bila fistula letak tinggi akan memasuki uretra pars prostatika atau bahkan vesika urinaria. Pada fistula rektoprostat, skrotum bisa bifida dan lengkung anus berada dekat skrotum. Pada kasus seperti ini dimana tidak ditemukan adanya pembukaan (lubang) pada perineum, bayi harus diobservasi selama 24 jam. Pada bayi perempuan dengan anus imperforata letak tinggi, terdapat fistula rektovaginal, namun jarang, kebanyakan fistula ke vestibulum di luar orifisium hymen. Labia harus dipisahkan untuk mencari fistula vestibuler. Bila tidak ada fistula yang terlihat dan bayi hanya memiliki 1 pembukaan di antara labia, maka bayi dikatakan memiliki kloaka persisten. Kloaka persisten didefinisikan sebagai defek dimana rektum, vagina dan uretra semuanya bertemu dan bersatu membentuk satu saluran. Lesi letak tinggi juga dapat terjadi pada atresia rektum, yang merupakan defek yang jarang, terjadi hanya pada 1% anomali anorektal. Fitur unik dari atresia rektum bahwa defek ini mengenai pasien dengan kanalis analis dan anus yang normal. Defek ini biasanya ditemukan ketika hendak memeriksa temperatur rektal. Obstruksi ada pada sekitar 2 cm di atas kulit.6
Pemeriksaan penunjang
Urinalisis
Jika pasien memiliki fistula perineal atau rektourinarius, mekonium mungkin tidak terlihat dalam urin sebelum 16-24 jam setelah kelahiran. Hal ini dikarenakan otot sfingter volunter yang mengelilingi bagian distal dari usus pada kasus fistula perineal atau rektourinarius harus ‘diatasi’ dengan tekanan intrausus yang tinggi sebelum mekonium terlihat dalam urin. Adanya mekonium dalam urin merupakan indikasi untuk dilakukannya kolostomi protektif.6
Radiologi
Pada kelahiran, usus belum distensi, sehingga evaluasi radiologi tidak dapat dipercaya pada 16-24 jam pertama kehidupan. Kadang, beberapa tanda klinis yang telah dijelaskan sebelumnya tidak muncul setelah 24 jam observasi, maka evaluasi radiologi terindikasikan.6
Pemeriksaan radiologi pasien dengan anus imperforata antara lain: 1) cross table lateral film dengan pasien dalam posisi pronasi diambil dalam 16-24 jam kehidupan, penting untuk menentukan posisi kantung rektum (Gambar 12); 2) USG abdomen, untuk mengevaluasi adanya anomali urologi dan pada kasus anomali kloaka, vagina yang distensi (hidrokolpos) dapat diidentifikasi; 3) foto polos vertebra dapat menunjukkan anomali spinal seperti spina bifida dan anomali sakrum seperti hemivertebra sakrum; 4) kolostografi distal setelah kolostomi untuk menunjukkan hubungan rekto-urinarius dan untuk menentukan tinggi rektum yang sebenarnya.6,15
Tatalaksana
Pasien dengan anus imperforata tidak boleh diberi makan (atau minum) dan harus menerima hidrasi intravena. Jika dicurigai adanya fistula ke traktus urinarius, maka dapat diberikan antibiotik berspektrum luas, meskipun antibiotik untuk bakteri anaerob belum diperlukan dalam 48 jam pertama kehidupan.14
Penanganan lebih awal untuk bayi baru lahir dengan malformasi anorektal sangat penting, dan ada 2 pertanyaan yang harus dijawab dalam 24-48 jam pertama kehidupan. Yang pertama, adakah anomali yang berhubungan yang mengancam nyawa dan harus diatasi segera? Yang kedua, apakah bayi harus menjalani prosedur primer tanpa kolostomi protektif, ataukah kolostomi protektif dan perbaikan definitif nantinya? Untuk bayi yang lahir dengan kloaka, dokter bedah harus menentukan apakan ada dilatasi vagina dan apakah harus didrainase, juga menentukan apakah pengalihan berkemih dibutuhkan. Manuver ini ditujukan untuk mencegah sepsis atau asidosis metabolik. Keputusan untuk melakukan anoplasti pada periode neonatus atau untuk menunda perbaikan dan untuk melakukan kolostomi didasarkan pada pemeriksaan fisik bayi, tampilan perineum dan berbagai perubahan yang terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan.15
Distensi abdomen tidak muncul dalam beberapa jam pertama kehidupan dan distensi ini dibutuhkan untuk mendorong mekonium keluar lewat fistula rektoperineal atau fistula rektouretra. Hal ini dikarenakan bagian paling distal dari rektum pada bayi-bayi ini dikelilingi oleh struktur otot volunter yang mirip terowongan, yang menjaga bagian rektum tersebut kolaps dan kosong. Tekanan intraabdomen harus cukup tinggi untuk ‘mengatasi’ tonus otot yang mengelilingi rektum. Karena itu, keputusan untuk melakukan kolostomi ataukah anoplasti harus menunggu 16-24 jam ini, ketika dokter bedah mengawasi bukti klinis mengenai anomali anorektal yang ada pada bayi.15
Pada inspeksi bokong, bila ditemukan perineum atau dasar yang rata, merupakan bukti kurangnya lipatan garis tengah gluteal, dan tidak adanya lekukan anal mengindikasikan bahwa pasien memiliki sangat sedikit otot pada perineum. Penemuan ini berhubungan dengan malformasi letak tinggi dan karenanya harus dilakukan kolostomi. Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan malformasi letak rendah antara lain adanya mekonium pada perineum, adanya tonjolan kulit pada lekukan anal yang merupakan tempat lewatnya feses, dan membran anus.15
Untuk bayi laki-laki dengan fistula rektoperineal tidak membutuhkan kolostomi. Bayi-bayi tersebut dapat menjalani anoplasti posterior sagital sedangkan bayi dengan fistula rektourinarius harus menjalani pemisahan feses dengan kolostomi. Untuk bayi perempuan dengan fistula rektovestibuler, dilakukan kolostomi. Kadang fistula pada bayi perempuan cukup besar untuk dekompresi traktus gastrointestinal, dan dapat didilatasi untuk memfasilitasi drainase feses sampai usia bayi lebih tua dan dapat dilakukan perbaikan definitif. Perbaikan definitif meliputi pendekatan posterior sagital. Hal yang paling sulit dari operasi ini adalah pemisahan rektum dan vagina yang membagi dinding yang sama. Bayi perempuan dengan fistula rektoperineal dilakukan anoplasti neonatus.15
Untuk bayi perempuan dengan kloaka, jika salurannya < 3 cm, dapat dilakukan pendekatan posterior sagital. Jika salurannya > 3 cm, makan biasanya dibutuhkan laparotomi, dimana kadang vagina dan traktus urinarius harus dipisahkan dan uretra harus direkonstruksi.15
Outcome dan Prognosis
Hal yang perlu diperhatikan setelah operasi adalah konstipasi dan kontinensia. Konstipasi merupakan hal yang harus dicegah setelah operasi, terutama pada pasien perempuan dengan fistula rektoperineal atau rektovestibular dan untuk pasien laki-laki dengan fistula rektoperineal dan anus imperforata tanpa fistula. Untuk mencapai kontinensia, dapat dilakukan dengan pergerakan usus.15
Semua pasien dengan malformasi anorektal tanpa komorbiditas yang mengancam nyawa memiliki prognosis baik.14
BAB III
KESIMPULAN
DSD dan atresia ani merupakan kelainan bawaan yang dapat ditemukan pada 1 dari 5000 dan 1 dari 4500 – 5500 kelahiran hidup.
Etiologi DSD beragam, dan dapat diklasifikasikan menjadi DSD kromosom seks, 46,XX DSD dan 46,XY DSD; sedangkan untuk atresia ani diduga multifaktorial.
DSD dan atresia ani dapat didiagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, serta dapat didiagnosis sebelum kelahiran (prenatal).
Tatalaksana DSD membutuhkan tim multidispliner, sedangkan kasus atresia ani bergantung pada jenis anomalinya dan terapi suportif berupa hidrasi dan nutrisi intravena dan antibiotik spektrum luas.
Daftar Pustaka
Arensman RM, Bambini DA, Almons PS. Pediatric surgery. Texas: Landes Bioscience; 2000.
Ikatan dokter anak Indonesia UKK Perinatologi. Buku ajar neonatologi. Jakarta: IDAI; 2010.
Batubara JRL, Tridjaja B, Pulungan AB, editor. Buku ajar endokrinologi. Jakarta: IDAI; 2010.
Ikatan dokter anak Indonesia. Pedoman pelayanan medis IDAI edisi II. Jakarta: IDAI; 2011.
Lee PA, Houk CP, Ahmed F, Hughes IA. Consensus statement on management of intersex disorders. Pediatrics 2006;118;e488 DOI: 10.1542/peds.2006-0738.
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics, 18th ed. Washington DC: Saunders Elsivier; 2007.
Paranton H. Embriologi sistem alat-alat urogenital. Dalam: Buku Ilmu Kandungan, edisi ke-3. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011. hal.39-43.
Sadler TW. Langman’s medical embryology, 10th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
Hutcheson J, Cendron M. Ambigous genitalia and intersexuality. [internet]. 2012 Jan 11 [cited 2014 July 02];[7 screens]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1015520-overview#showall
Nabhan ZM, Lee PA. Disorder of sex development. Curr Opin Obstet Gynecol 19:440–445. © 2007 Lippincott Williams & Wilkins.
Chitayat D, Glanc P. Diagnostic approach in prenatally detected genital abnormalities. Ultrasound Obstet Gynecol 2010; 35: 637–646.
Siregar CD. Pendekatan diagnostik interseksualitas pada anak. Cermin Dunia Kedokteran No. 126, 2000. hal.32.
Lee PA, Houk CP. Long-term outcome and adjusment among patients with DSD born with testicular differentiation and masculinized external genitalia [abstract]. Pediatr Endocrinol Rev 2012 Nov;10(1):140-51.
Rosen NG, Cuffari C. [internet]. Pediatric imperforate anus. 2012 Nov 13 [cited 2014 June 29];[5 screens]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/929904-overview
Levitt MA, Pena A. Anorectal malformations. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007, 2:33 doi:10.1186/1750-1172-2-33.
Brantberg A, Blaas HGK, Haugen SE, Isaksen CV, Eiknes SH. Imperforate anus: a relatively common anomaly rarely diagnosed prenatally. Ultrasound Obstet Gynecol 2006; 28: 904–910.
PAGE \* MERGEFORMAT 45