AGRIVITA VOLUME 28 No 3
OKTOBER – 2006
ISSN : 0126 - 0537
Subekti Rahayu dkk. : Dapatkah Sistem Agroforestry Kopi ......................................................................................
PENGENDALIAN HAMA Xylosandrus compactus PADA AGROFORESTRI KOPI
MULTISTRATA SECARA HAYATI: Studi kasus dari Kecamatan Sumberjaya, Lampung Barat
(BIOLOGICAL CONTROL OF BLACK TWIG BORER Xylosandrus compactus IN MULTISTRATA
COFFEE AGROFORESTRY: a case study from Sumberjaya District, West Lampung)
Subekti Rahayu1, Anang Setiawan2, Endang A. Husaeni2 dan S. Suyanto1
1
2
World Agroforestry Centre (ICRAF), Jl. Cifor, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor
Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor
ABSTRACT
The black twig borer (Xylosandrus
compactus) is a major pest that significantly
reduces coffee yield, while also surviving on
other plant species. The hole-boring process
causes the branch tips to wilt. Turn yellow and
then eventually die. This study aimed to quantify
the intensity and extent of black twig borer
infestation, to explore the potential natural
enemies of black twig borer that are available in
the field, and to examine other pests in coffee
garden across two different systems; simple
shade coffee with legume as shading (16 plot
samples) and multistrata coffee with fruit tree,
timber tree and legume as shading (16 plot
samples). The study ran out from July to August
2005. The data were analyzed with analysis of
variance (anova) and t-tests.The fraction of
branches infected by black twig borer was
significantly lower in multistrata coffee (18%)
than in simple shade coffee (25%). The
difference in the fraction of trees infected (75
and 55% respectively) was not statistically
significant. In both systems the upper branches
had more infection holes than the middle and
lower ones.
Keywords: Twig coffee borer, Xylosandrus sp,
coffee-based agroforestry multistrata
system
Terakreditasi SK. No.: 55/DIKTI/Kep/2005
ABSTRAK
Penggerek ranting kopi (Xylosandrus
compactus) merupakan hama utama yang
menyerang tanaman kopi dan menyebabkan
penurunan hasil kopi secara nyata. Proses
pembuatan lubang yang dilakukan oleh X.
compactus menyebabkan ujung ranting layu,
menguning dan mati. Penelitian ini bertujuan (a)
mengukur intensitas dan luas serangan X.
compactus, (b) mengetahui musuh alami
potensial yang ada di kebun kopi dan (c)
mengetahui hama-hama lain yang menyerang
tanaman kopi. Penelitian dilakukan pada dua
sistem agroforestri berbasis kopi yaitu
agroforestri naungan sederhana (kopi naungan
sederhana) dimana hanya pohon legum yang
dipakai sebagai penaung pohon kopi dan sistem
agroforestri multistrata (kopi multistrata) dengan
pohon penaung selain pohon legume ada pula
pohon buah-buahan, pohon kayu-kayuan, dan
pohon rempah. Penelitian dilakukan pada bulan
Juli sampai dengan Agustus 2005. Data
dianalisis menggunakan analisis sidik ragam dan
uji t. Intensitas serangan penggerek ranting kopi
pada sistem multistrata lebih rendah yaitu 18%
bila dibandingkan dengan kopi naungan yaitu
25%. Namun, perbedaan jumlah pohon yang
terserang tidak berbeda nyata pada kedua sistem
kebun kopi yaitu 75% pada kopi naungan dan
65% pada kopi multistrata. Pada kedua sistem
kebun kopi lubang gerek lebih banyak
ditemukan pada ranting-ranting yang ada di
bagian atas dari pada di tengah dan di bawah.
Kata kunci: Penggerek ranting kopi, Xylosandrus
compactus,
sistem
agroforestri
multistrata berbasis kopi
Subekti Rahayu dkk. : Dapatkah Sistem Agroforestry Kopi ......................................................................................
PENDAHULUAN
Pada umumnya, alih guna lahan dari
hutan menjadi kebun kopi maupun sistem
pertanian lainnya akan menyebabkan perubahan
kondisi lingkungan di sekitarnya terutama fungsi
hidrologi, kesuburan tanah, cadangan karbon
dan keragaman hayati. Pengelolaan lahan
dengan menanam berbagai jenis pohon sebagai
penaung tanaman kopi (agroforestri berbasis
kopi) telah banyak dilaporkan dapat membantu
mempertahankan fungsi lingkungan. Selain itu,
kondisi pada agroforestri berbasis kopi dengan
pohon penaung yang lebih beragam hingga
menyerupai hutan, mempunyai stabilitas
ekosistem yang lebih tinggi sehingga potensi
terjadinya ledakan hama berkurang (Schroth et
al., 2000).
Akhir-akhir ini telah banyak dilakukan
penelitian jasa lingkungan sistem kopi multistrata
terutama berkenaan dengan konservasi tanah dan
air (Van Noordwijk et al., 2004; Widianto et al.,
2004; Dariah, et al., 2004), sebaran perakaran
dalam kaitannya kehilangan hara (Buana et al.,
2004), ketebalan seresah dalam kaitannya dengan
porositas tanah (Hairiah et al., 2004a), dan sifatsifat fisik tanah lainnya (Suprayogo et al., 2004).
Selain itu, penelitian yang mengarah pada
diversitas biota-tanah yang bermanfaat dalam
siklus hidrologi juga telah dilakukan, dengan fokus
kepada ecosystem engineer seperti cacing penggali
tanah, rayap, dan semut (Dewi et al., 2006; Aini et
al., 2006; Susilo et al., 2006). Demikian pula,
biodiversitas burung (O’Connors et al., 2005) dan
cadangan karbon pada sistem agroforestri juga
telah dilaporkan (Van Noordwijk et al., 2002).
Hasil dari berbagai penelitian tersebut dijadikan
sebagai acuan dalam pengelolaan agroforestri
berbasis kopi di daerah Sumberjaya, agar tercipta
suatu
pengelolaan
kebun
kopi
secara
berkelanjutan. Guna memperoleh produksi
pertanian yang berkelanjutan, beberapa faktor
eksternal yang harus diperhatikan adalah
mempertahankan ketersediaan cahaya, air dan hara
yang cukup, dan mencegah serangan hama dan
penyakit.
Petani kopi di Sumberjaya (Lampung
Barat) sering dihadapkan pada masalah serangan
hama penggerek ranting kopi (Xylosandrus
compactus). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Drizd (2003) di Hawai
menunjukkan bahwa kematian ranting akibat
serangan X. compactus dapat menurunkan hasil
panen yang cukup berarti. Lavabre (1958),
mengatakan bahwa pada kopi robusta serangan
X. compactus dapat menurunkan hasil sekitar
20%. Peningkatan diversitas pohon penaung
yang ditanam dalam sistem agroforestri berbasis
kopi, mungkin dapat ditawarkan sebagai upaya
pencegahan serangan X. compactus karena 3
alasan: (1) Mengurangi serangan terhadap tanaman
kopi, dengan jalan memberikan peluang bagi hama
untuk menyerang pohon penaungnya, (2) Dapat
mempertahankan intensitas cahaya dan suhu yang
lebih rendah, sehingga memberikan kondisi yang
optimal bagi tanaman kopi untuk tumbuh sehat, (3)
Memperbanyak jumlah predator bagi X. compactus
pada sistem kopi multistrata. Dengan menggunakan
strategi biologi ini,
diharapkan penggunaan
insektisida kimia dapat ditekan serendah
mungkin.
Penelitian ini merupakan penelitian
pendahuluan yang bertujuan untuk: (a)
mengetahui intensitas serangan dan luas
serangan X. compactus, (b) mengetahui musuh
alami potensial yang ditemukan di lapang, (c)
mengetahui serangga lain yang potensial sebagai
hama tanaman kopi di Sumberjaya.
BAHAN DAN METODE
Pengamatan intensitas dan luas serangan
X. compactus dilakukan pada kebun kopi milik
petani di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten
Lampung Barat; yang berada pada ketinggian
antara 700 – 1700 m di atas permukaan laut
(dpl). Secara geografis daerah tersebut terletak
antara 4o45’ – 5o15’ LS dan 104o15 – 104o BT.
Penelitian dilakukan pada Bulan Juni – Agustus
2005 (setelah musim panen).
Penarikan contoh
Penarikan contoh diawali dengan survei
pada 88 lahan berbasis kopi, dimana 43 petak
berupa sistem penggunaan lahan (SPL) kopi
naungan sederhana dan 45 petak berupa SPL
Subekti Rahayu dkk. : Dapatkah Sistem Agroforestry Kopi ......................................................................................
kopi multistrata. Kriteria yang digunakan untuk
membedakan antara SPL kopi naungan
sederhana dengan SPL kopi multistrata, adalah
berdasarkan jumlah spesies pohon penaung yang
ditanam pada tiap SPL. Sistem kopi naungan
sederhana adalah sistem tumpangsari pohon
kopi ditanam bersama dengan satu atau dua jenis
pohon penaung dari famili Fabaceae seperti
gamal atau kayu hujan (Gliricidia sepium), atau
dadap (Erythrina sp.), sengon (Paraserianthes
falcataria)
atau
lamtoro
(Leucaena
leucocephala). Sedangkan sistem agroforestri
kopi multistrata adalah pohon kopi yang ditanam
bersama dengan empat sampai lima jenis pohon
penaung baik dari famili Leguminosae
(Fabaceae) maupun pohon buah-buahan dan
kayu-kayuan, dengan basal area kurang dari
80% (Hairiah et al., 2004a).
Dari SPL kopi naungan dan SPL kopi
multistrata, masing-masing diambil 16 titik
contoh pengamatan secara acak. Pada tiap titik
pengamatan dibuat satu plot contoh berukuran
40 m x 5 m, yang berisi sekitar 25 – 55 pohon
pada SPL kopi multistrata, dan 29 – 70 pohon
pada SPL kopi naungan.
Kegiatan dilakukan pada setiap petak
adalah: (a) mengukur diameter pohon kopi dan
pohon penaung (b) menghitung jumlah pohon
kopi; (c) mengamati gejala serangan X.
compactus yang berupa lubang kecil pada
ranting; (d) menghitung jumlah pohon kopi yang
diserang oleh X. compactus; (e) menghitung
jumlah ranting pada masing-masing pohon kopi;
(f) menghitung jumlah ranting yang terserang
pada tiap-tiap pohon; (g) mengambil pohon yang
terserang, kemudian diambil 3 ranting yang
berada pada bagian bawah, tengah dan atas
untuk diamati jumlah lubang yang ditemukan
pada masing-masing ranting. Penentuan posisi
bawah, tengah dan atas adalah berdasarkan
tinggi tanaman kopi, dibagi menjadi 3 bagian
yang sama; (h) mengambil contoh ranting yang
terserang dari tiap pohon kopi untuk diamati
lebih lanjut gejala yang terdapat di dalam
lubang, stadia serangga yang ditemukan dalam
lubang; (i) mengamati dan mengambil contoh
serangga lain yang terdapat pada pohon kopi dan
pohon penaung untuk diidentifikasi; (j) mencatat
jenis pohon penaung yang ada di dalam plot; (k)
mengukur iklim mikro yaitu kelembaban dan
suhu udara pada tiap-tiap plot.
Serangan hama penggerek ranting
Intensitas serangan atau berat ringannya
serangan hama dihitung dengan menggunakan
rumus:
Sb (%) =
Dimana:
n
Nb
n
x 100%
Nb
= Jumlah ranting kopi yang
terserang penggerek pada tiaptiap pohon
= Jumlah total ranting kopi pada
tiap-tiap pohon
Intensitas serangan diklasifikasikan sebagai
berikut: Ringan (< 25 %), Sedang (25 % - 50
%), Berat (50 % - 90 %), Puso (> 90 %).
Selain
intensitas
serangan,
juga
dilakukan penghitungan persentase sebaran
serangan dengan rumus:
S (%) =
n
x 100%
N
Dimana:
N = Jumlah pohon kopi yang terserang
penggerek pada tiap-tiap petak
N = Jumlah pohon kopi dalam tiap-tiap
petak
Identifikasi serangga
Untuk mengetahui jenis-jenis serangga
lain yang ditemukan pada tiap-tiap petak dilakukan
identifikasi sampai tingkat famili di laboratorium
Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor, laboratorium World
Agroforestry Centre (ICRAF) dan Museum
Entomology, LIPI, Cibinong.
Subekti Rahayu dkk. : Dapatkah Sistem Agroforestry Kopi ......................................................................................
Karakterisasi pohon penaung
Keragaman jenis pohon penaung pada kedua
sistem yang diuji diukur dengan menghitung jumlah
pohon yang ditanam per petak dan diidentifikasi
jenisnya. Data yang diperoleh dari lapangan, dipakai
untuk menghitung Index keragaman pohon penaung
pada tiap-tiap petak contoh. Indek keragaman
tersebut dihitung berdasarkan rumus yang
dikembangkan oleh Shannon and Wiener
sebagai berikut (Krebs, 1989):
H = ∑ pi ln pi
dimana:
H = Indeks Keragaman;
pi = ni/N; ni = Jumlah individu spesies pohon i
N = Jumlah seluruh individu pohon
Indek keragaman (H) diklasifikasikan sebagai
berikut:
H < 1 = Rendah
H > 1 - 3 = Sedang
H > 3 = Tinggi
Kuantifikasi peranan pohon penaung
dalam mengurangi intensitas serangan X.
compactus dilakukan dengan menghitung nilai
relatif basal area pohon penaung terhadap basal
area semua pohon yang tumbuh dalam petak
yang sama. Kegiatan diawali dengan
pengukuran batang pohon (dbh= diameter
setinggi dada atau setinggi 1.3 m dari
permukaan tanah) yang tumbuh di setiap petak
contoh. Rumus perhitungan nilai relatif basal
area yang digunakan adalah sebagai berikut:
BA a = (ΣD2a)/(ΣD2k+a)*100%
Dimana:
BA a = basal area pohon penaung
D = dbh pohon
a = pohon penaung
k = pohon kopi
Semakin tinggi nilai BAa berarti semakin tinggi
kerapatan populasi pohon penaung.
Analisis data
Untuk mengetahui perbedaan intensitas
serangan dan luas serangan X. compactus pada
sistem kopi naungan sederhana dan kopi
multistrata, dilakukan pengujian dengan uji t.
Sedangkan perbedaan banyaknya lubang gerek
pada berbagai posisi pada tiap-tiap sistem
pengelolaan kebun, diuji dengan nilai beda nyata
terkecil (BNT) dari analisa keragaman dengan
menggunakan perangkat lunak Genstat 8.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Gejala serangan
Serangan X. compactus dicirikan oleh
adanya lubang gerek berdiameter sekitar 1-2 mm
pada permukaan ranting tanaman kopi. Lubang
gerek ini menuju ke bagian dalam ranting hingga
mencapai panjang 20-50 mm. Lubang gerek dibuat
oleh X. compactus betina dewasa sebagai tempat
tinggalnya. Setelah menggerek, serangga betina
meletakkan telur dalam lubang tersebut hingga
menetas dan sampai tumbuh dewasa. Larva yang
berada di dalam lubang gerek tidak memakan
jaringan tanaman tetapi memakan jamur ambrosia
(Fusarium solani) yang tumbuh dan berkembang
dalam lubang gerek. Spora jamur tersebut dibawa
oleh X. compactus betina dewasa sewaktu
menggerek lubang. Aktivitas larva ketika makan
jamur tersebut menyebabkan rusaknya jaringan
tanaman pada lubang, sehingga mengakibatkan
semakin lebar dan panjangnya lubang gerek
(Drizd, 2003).
Hama X. compactus menyelesaikan siklus
hidupnya
yang
mengalami
metamorfosis
sempurna, dari telur, larva, pupa dan serangga
dewasa di dalam lubang gerek. Serangga betina
dewasa yang telah kawin akan keluar dari lubang
gerek untuk mencari inang baru. Akibat adanya
lubang gerek di dalam ranting menyebabkan
terganggunya transportasi nutrisi sehingga ujung
ranting layu, daun menguning, ranting hitam dan
dapat menyebabkan kematian ranting. Apabila
serangan berat terjadi pada sebagian besar ranting,
maka dapat mengakibatkan kematian tanaman.
Menurut Lavabre (1959), serangan X. compactus
pada tanaman muda menyebabkan daun-daunnya
gugur sehingga pertumbuhan dan pembuahannya
Subekti Rahayu dkk. : Dapatkah Sistem Agroforestry Kopi ......................................................................................
terhambat, sedangkan serangan pada tanaman
yang telah tua menyebabkan ranting-rantingnya
mengering sehingga hasil kopi menurun.
2. Intensitas dan luas serangan penggerek
ranting kopi
Intensitas serangan hama menunjukkan
tingkat serangan hama terhadap tanaman kopi.
Di Sumberjaya, intensitas serangan hama X.
compactus masih tergolong ringan pada sistem
kopi multistrata, dan tergolong sedang pada
sistem kopi naungan sederhana. Hasil
pengamatan menunjukkan adanya perbedaan
intensitas serangan yang nyata (p<0.05) pada
sistem kopi multistrata (18%) dengan sistem
kopi naungan sederhana (25%) (Tabel 1).
Meskipun intensitas serangan X.
compactus masih tergolong ringan hingga
sedang, namun penyebaran hama tersebut di
Sumberjaya telah merata. Hal ini ditunjukkan
dengan ditemukannya hama tersebut pada semua
petak yang diamati.
Dari hasil pengamatan didapatkan
bahwa luas serangan pada sistem kopi
multistrata (65%) lebih rendah dari pada yang
dijumpai pada sistem kopi naungan sederhana
(75%).
Perbedaan intensitas dan persentasi
serangan X. compactus pada kedua sistem
pengelolaan lahan kemungkinan disebabkan antara
lain, karena:
(a) Pohon penaung
Kerapatan populasi
Sistem kopi multistrata memiliki
kerapatan populasi pohon penaung (400 pohon
ha-1) lebih rendah daripada sistem kopi
naungan sederhana
(550 pohon ha-1).
Rendahnya populasi pohon pada sistem kopi
multistrata menyebabkan rendahnya tingkat
penutupan lahan, yang ditunjukkan oleh
rendahnya basal area pohon penaung. Basal
area pada sistem kopi multistrata sekitar 38% ,
sedangkan pada sistem kopi naungan
sederhana sekitar 46%. Peningkatan basal area
pohon penaung pada percobaan ini cenderung
o
diikuti oleh peningkatan intensitas serangan X.
compactus (Gambar 1A)
Rendahnya tingkat naungan pohon
penaung, menyebabkan sinar matahari yang
masuk ke lahan lebih besar, sehingga
kelembaban udara menjadi lebih rendah (Dewi
et al., 2006). Sayangnya pada penelitian ini
tidak ada pengukuran jumlah cahaya yang
masuk ke lahan, sehingga hal tersebut masih
belum dapat dibuktikan. Tanaman kopi
idealnya memerlukan naungan sekitar 23 - 28%
(Pinto et al., 2000), penaungan > 50% akan
menurunkan produktivitas tanaman. Dilain pihak,
bila tingkat penaungan terlalu rendah, maka
cahaya matahari yang masuk semakin tinggi
sehingga fotosintesa tanaman akan meningkat
(SIPPO, 2002). Peningkatan laju fotositesa
akan meningkatkan metabolisme tanaman
kopi dan merangsang pembungaan (Kimani et
al, 2002; Najiyati, 2004). Pembungaan yang
berlebihan menyebabkan kondisi tanaman
menjadi lemah, sehingga tanaman lebih rentan
terhadap serangan X. compactus.
Kopi robusta memerlukan suhu optimal
untuk pertumbuhannya sekitar 21-24oC
(Christantie, 1999). Suhu yang lebih tinggi
dapat merangsang pembentukan tunas dan
pertumbuhan tanaman, tetapi meningkatkan
resiko serangan hama (Jansen, 2005). Pada
sistem kopi multistrata di Sumberjaya, ratarata suhu udara di petak pengamatan adalah
25oC, sedang pada sistem kopi naungan
sederhana yaitu 26oC. Suhu pada sistem kopi
multistrata yang lebih rendah mungkin lebih
cocok bagi tanaman kopi, sehingga
pertumbuhan kopi lebih optimal dan lebih
tahan terhadap serangan hama penggerek
ranting.
Selain suhu, kelembaban udara juga
berpengaruh terhadap intensitas serangan X.
compactus. Kalshoven (1981) mengatakan bahwa
pada
kelembaban
yang
agak
rendah,
kemungkinan terjadi serangan penggerek
ranting lebih kecil.
Subekti Rahayu dkk. : Dapatkah Sistem Agroforestry Kopi ......................................................................................
Tabel 1. Intensitas serangan hama, vegetasi dan iklim mikro pada petak pengamatan yang dipilih
untuk pengukuran
(Table 1. Plant damage intensity, characteristic of vegetation and micro climates conditions in
the selected plots for measurements)
Parameter
Kopi
multistrata
Serangan
o Intensitas serangan (%)
o Jumlah ranting terserang
o Jumlah lubang per ranting
o Luas serangan (%)
Kondisi vegetasi
o Basal area tanaman kopi (%)
o Basal area penaung (%)
o Kerapatan populasi tanaman kopi
(pohon ha-1)
o Kerapatan populasi pohon
penaung (pohon ha-1)
o Indek keragaman jenis pohon
penaung
Kondisi iklim mikro
o Suhu (oC)
o Kelembaban relative (%)
Kopi naungan
sederhana
t hitung
(p<0.05)
18
9
1.7
75.5
25
12
1.9
65.1
1.97*
1.11
1.75
0.74
62.20
37.99
54.10
45.89
0.92
0.92
2134
2353
1.27
400
550
1.30
1.1
0.3
8.67*
25.94
89.94
26.63
92.78
0.93
1.09
* Berbeda nyata pada taraf p<0.05
Dari hasil pengukuran di lapangan,
menunjukkan bahwa kelembaban udara ratarata pada sistem kopi multistrata adalah 90%,
lebih rendah bila dibandingkan dengan sistem
kopi naungan sederhana yaitu 92%. Meskipun
secara statistik nilai kelembaban pada kedua
sistem tersebut tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata, tetapi diduga berpengaruh
terhadap intensitas serangan X. compactus.
Akitson et al. (2005) mengatakan bahwa X.
compactus berkembang biak dengan baik
pada kelembaban tinggi. Selain itu,
kelembaban tinggi memungkinkan pertumbuhan
jamur ambrosia di dalam liang gerek
(Kalshoven, 1981) sehingga menyebabkan
semakin melemahkan tanaman terhadap
serangan hama ini.
Seperti halnya dengan intensitas
serangan, luas serangan penggerek ranting
juga dipengaruhi oleh kerapatan pohon
penaung. Semakin tinggi kerapatan pohon
penaungnya, maka luas serangan penggerek
ranting semakin menurun (Gambar 1B).
Tingginya
kerapatan
pohon
penaung
kemungkinan
menjadi
penghalang
perpindahan X. compactus dari satu pohon ke
pohon lainnya.
o
Keragaman pohon penaung
Keragaman pohon penaung dalam sistem
agroforestri berbasis kopi mempengaruhi tingkat
serangan X. compactus. Semakin tinggi
keragaman pohon penaung, menyebabkan
intensitas serangan hama semakin rendah
(Gambar 1C). Sistem kopi multistrata memiliki
keragaman spesies pohon penaung yang lebih
tinggi yaitu berkisar antara 3-9 jenis, bila
dibandingkan dengan kopi naungan sederhana
yang hanya memiliki 1-3 jenis. Nilai indek
keragaman jenis pohon penaung pada kopi
multistrata berkisar antara 0.7 – 2.2, sedangkan
pada sistem kopi naungan sederhana berkisar
antara 0 – 0.9 (Tabel 1).
Subekti Rahayu dkk. : Dapatkah Sistem Agroforestry Kopi ......................................................................................
A
B
2.1
50
y = -0.223x + 1.9441
2
R = 0.2867
2
y = 5.7332x + 18.802
2
R = 0.0235
40
Log luas serangan
Intensitas serangan (%)
60
30
20
10
1.9
1.8
1.7
1.6
0
0.00
1.5
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
0
Relatif basal area pohon penaung
0.2
0.4
C
0.8
1
D
2
60
y = -1.9151x + 26.913
50
Log luas serangan
Intensitas serangan (%)
0.6
Relatif basal area pohon penaung
2
R = 0.1149
40
30
20
10
1.9
1.8
1.7
y = 0.1992x + 1.7093
2
R = 0.1894
1.6
1.5
0
0
2
4
6
8
10
Jumlah jenis pohon penaung
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Relatif basal area kopi
Gambar 1. Hubungan antara relatif basal area pohon penaung dengan (A) intensitas serangan X.
compactus, (B) luas serangan X. compactus, (C) jumlah jenis pohon penaung dengan
intensitas serangan X. compactus, (D) relatif basal area kopi dengan luas serangan
(Figure 1. Relationship between relative basal area of shade trees and (A) damage intensity of X.
compactus and (B) damage distribution; (C) Relationship between number of shade trees
species and damage intensity of X. compactus, (D) Relationship between relative basal area
coffee and damage distribution
Nilai indeks keragaman spesies maupun
jumlah spesies pada kedua sistem
pengelolaan kebun kopi berbeda sangat
nyata (p<0.01). Hasil pengukuran ini sejalan
dengan yang ditemukan oleh Jansen (2005),
bahwa salah satu faktor penyebab tingginya
serangan hama pada kopi adalah rendahnya
keragaman pohon penaung. Tingginya
keragaman
spesies
pohon
penaung
memungkinkan
penggerek
ranting
mempunyai peluang menyerang pohon
penaungnya. Drizd (2003), menyebutkan
bahwa X. compactus dapat menyerang
lebih dari 100 spesies tanaman antara lain:
alpukat, jeruk, jambu biji, mangga, mahoni,
kakao, kayu manis dan pohon penaung
Subekti Rahayu dkk. : Dapatkah Sistem Agroforestry Kopi ......................................................................................
lainnya. Sayangnya, dalam penelitian ini
tidak dilakukan pengamatan serangan
penggerek ranting pada pohon penaung jenis
buah-buahan dan kayu-kayuan. Pengamatan
X. compactus dilakukan hanya pada pohon
penaung famili Fabaceae yaitu kayu hujan
(Gliricidia sepium), dadap (Eryhtrina sp.)
dan lamtoro (Leucaena leucocephala).
Dari hasil pengamatan di lapangan,
penggerek ranting hanya ditemukan pada
kayu hujan, sedangkan pada tanaman dadap
ditemukan penggerek ranting dari jenis lain
yang belum bisa diidentifikasi, karena
ditemukan masih dalam bentuk larva. Pada
sistem kopi multistrata, sekitar 60% dari
total Gliricidia yang ada telah terserang
penggerek ranting, sedangkan pada sistem
kopi naungan sederhana hanya 30% yang
terserang. Hal ini berarti bahwa keragaman
pohon penaung pada sistem kopi multistrata
dapat berfungsi sebagai inang alternatif,
sehingga dapat melindungi pohon kopi dari
serangan X. compactus.
Kesehatan pohon kopi nampaknya
mempengaruhi serangan X. compactus.
Pertumbuhan pohon kopi pada sistem
multistrata mungkin lebih baik (sehat) dari
pada dalam sistem naungan sederhana (tidak
ada data pengamatan), sehingga serangan
hama lebih rendah (Kalshoven, 1981).
(b)Populasi pohon kopi
Kerapatan
populasi
pohon
kopi
berpengaruh terhadap luas serangan X.
compactus. Hal ini dapat ditunjukkan dari
hasil pengamatan bahwa luas serangan X.
compactus pada sistem kopi multistrata
dengan populasi 2134 pohon ha-1 lebih
rendah bila dibandingkan dengan sistem
kopi naungan sederhana yang memiliki
populasi 2353 pohon ha-1.
Meskipun kerapatan populasi pada
sistem kopi multistrata lebih rendah, namun
mempunyai basal area yang lebih tinggi
(62%), bila dibandingkan dengan sistem
kopi naungan sederhana (54%). Hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan kopi
pada sistem multistrata lebih baik bila
dibandingkan dengan sistem kopi naungan
sederhana.
Namun,
pertumbuhan
yang
berlebihan
tersebut
menyebabkan
meningkatnya kerapatan antar tanaman kopi,
sehingga memudahkan perpindahan X.
compactus dari satu pohon ke pohon
lainnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil
pengamatan yang menunjukkan hubungan
antara relatif basal area pohon kopi dengan
luas serangan X. compactus (Gambar 1D).
Tingginya basal area kopi diikuti oleh
meningkatnya luas serangan X. compactus.
Hindayana
et
al.,
2002,
mengemukakan
bahwa
penyebaran
penggerek ranting kopi terjadi melalui
perpindahan hama dari satu pohon ke pohon
lainnya. Semakin rapat jarak antar pohon,
kemungkinan
terjadinya
perpindahan
(penularan) hama ke pohon lainnya semakin
besar. Perpindahan tersebut biasanya
dilakukan oleh serangga betina dewasa yang
sudah kawin dan keluar dari lubang gerek
untuk mencari inang yang baru (Tenbrink
dan Hara, 1994).
(c) Kesuburan tanah
Kalshoven (1981) menyatakan bahwa
pohon kopi yang tumbuh jelek (lemah) lebih
rentan terhadap serangan X. compactus,
misalnya pohon yang tumbuh pada tanah
dengan kesuburan jelek atau tanah-tanah
bernematoda parasit yang menyerang
perakaran.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk menjaga kesehatan tanaman adalah
memberikan
kondisi
optimal
bagi
pertumbuhannya
antara
lain
mempertahankan kesuburan tanah. Pada
tanah yang subur, tanaman tidak
mengalami stress unsur hara maupun air.
Salah satu indikator kesuburan tanah
adalah
ketersediaan
bahan
organik
tanahnya. Bahan organik tanah umumnya
berasal dari bagian tanaman (seresah) yang
gugur dan terlapuk. Pada sistem kopi
multistrata jumlah seresah yang gugur
berkisar 9.2 Mg ha-1 th-1, sedangkan pada
sistem kopi naungan sederhana hanya 6.0 Mg
Subekti Rahayu dkk. : Dapatkah Sistem Agroforestry Kopi ......................................................................................
(d) Predator
Berdasarkan pengamatan di Sumberjaya,
ditemukan
predator
jenis
Hymenoptera
(Eulophidae, Bombidae, Formicidae), Coleoptera
(Staphylinidae) dan Araneidae pada tanaman
selain kopi yaitu gamal, durian, jengkol,
dadap, kayu manis, rambutan dan cengkeh. Hal
ini mengindikasikan bahwa keberadaan pohon
penaung berfungsi juga sebagai tempat hidup
bagi
berbagai
jenis
predator
hama.
Berdasarkan indikasi tersebut, diduga jenisjenis predator pada sistem kopi multistrata lebih
beragam bila dibandingkan dengan sistem kopi
naungan sederhana. Hanya saja, penelitian
mengenai jenis-jenis predator yang memangsa X.
compactus pada masing-masing sistem kebun
kopi belum banyak dilakukan, sehingga belum
dapat diberikan informasi secara pasti.
Berdasarkan hasil dari pengamatan ini,
ditemukan beberapa jenis semut (Formicidae)
yang masuk ke dalam lubang gerek X.
compactus dan memakan larva yang ada di
dalamnya. Selain itu juga ditemukan parasit
dari
famili
Eulophidae
(Tetrastichus
xylebororum) di dalam lubang gerek. Namun
tidak dilakukan pengamatan secara kuantitatif
mengenai jenis spesies dan aktivitas predasi
pada kedua sistem yang diuji.
3. Posisi lubang gerek
Hasil pengamatan di Sumberjaya,
menunjukkan bahwa rata-rata jumlah lubang
gerek per ranting pada sistem kopi multistrata
lebih sedikit (rata-rata 1.7 lubang) bila
dibandingkan dengan sistem kopi naungan
sederhana (1.9 lubang).
Berdasarkan uji beda nyata terkecil,
diketahui ada perbedaan yang nyata (p<0.05)
antara jumlah lubang gerek yang ditemukan
pada ranting bagian atas pohon kopi dalam
sistem kopi multistrata dengan sistem kopi
naungan; tetapi pada ranting bagian tengah dan
bawah pohon kopi tidak dijumpai perbedaan
yang nyata (p>0.05) antara kedua sistem yang
diuji (Gambar 2).
3
Sederhana
Jumlah lubang gerek
ha-1 th-1 (Hairiah et al., 2004b). Dengan
demikian ketersediaan bahan organik tanah
pada sistem kopi multistrata lebih tinggi bila
dibandingkan dengan sistem kopi naungan
sederhana, sehingga tanah lebih gembur,
lembab dan kaya akan hara tersedia bagi
tanaman. Dengan demikian pertumbuhan
tanaman menjadi lebih baik dan tahan
terhadap serangan hama. Jansen (2005),
mengatakan
bahwa
memepertahankan
ketersediaan bahan organik tanah dan
kesuburan tanah merupakan salah satu strategi
untuk menekan serangan hama dan penyakit
terhadap tanaman pokok.
Multistrata
2
1
0
Atas
Tengah
Bawah
Posisi lubang gerek pada pohon
Gambar 2. Jumlah lubang gerek pada ranting
bagian atas, tengah dan bawah pohon
kopi dari sistem kopi multistrata dan
kopi naungan sederhana
Figure 2. Average number of holes in the upper,
middle and lower part of coffee twig
in multistrata and shaded coffee
systems
Wrigley (1988), mengatakan bahwa X.
compactus lebih suka menyerang rantingranting bagian atas, hal ini sejalan dengan hasil
pengamatan yang dilakukan di Sumberjaya.
Banyaknya lubang gerek pada ranting bagian
atas diduga dipengaruhi oleh:
(a) Fase pertumbuhan pohon kopi
Pada sistem kopi naungan sederhana,
pohon penaung Gliricidia umumnya
menggugurkan daun pada musim kemarau
sehingga cahaya matahari yang masuk ke
tanaman kopi lebih banyak, sehingga
Subekti Rahayu dkk. : Dapatkah Sistem Agroforestry Kopi ......................................................................................
meningkatkan aktivitas fotositesis dan
pertumbuhan ranting. Ranting-ranting kopi
muda umumnya tumbuh pada bagian atas
tanaman dan mempunyai struktur yang
lunak sehingga menarik bagi X. compactus
(Najiyati, 2004). Dari pengamatan ini,
didapatkan bahwa lubang gerek aktif yang
masih ditempati X. compactus banyak
ditemukan pada bagian atas, sedangkan di
bagian bawah hanya tinggal bekas gerekan.
(b) Tingkat kemudahan ditemukan
X. compactus lebih sering
menyerang tanaman secara vertikal dari
pada secara horisontal Dridz (2003). X.
compactus betina dewasa setelah kawin
akan keluar dari lubang gerek untuk mencari
inang yang baru. Karena lubang gerek lama
yang ditinggalkan umumnya berada pada
bagian atas tanaman, maka penggerek
tersebut lebih mudah menemukan inang
baru yang ada di bagian atas pula.
•
•
•
4. Hama lain pada tanaman kopi
Hama lain yang ditemukan pada pohon
kopi
selain
hama
penggerek
ranting
Xylosandrus, antara lain adalah penggerek biji
(Hypothenemus hampei), kutu hijau (Coccus
viridis), kutu putih (Ferrisia virgata), penggerek
batang (Zeuzera coffeae), kutu bungkuk
(Homoptera: Membracidae) dan kutu daun
(Aphis sp.). Kutu putih dan penggerek batang
ditemukan hanya pada beberapa plot yang
diamati, sedangkan kutu hijau ditemukan pada
hampir semua (94%) plot yang diamati pada
kopi naungan dan 88% pada kopi multistrata.
Untuk hama penggerek biji tidak dapat diberikan
informasi secara lengkap karena pengamatan
dilakukan setelah panen.
KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan serangan penggerek
ranting kopi X. compactus disimpulkan bahwa:
• Intensitas serangan X. compactus pada
sistem kopi multistrata 18% dan pada
sistem kopi naungan sederhana 25%.
•
Luas serangan X. compactus sudah
merata yaitu 65% pada sistem kopi
multistrata dan 75% pada sistem kopi
naungan sederhana.
Intensitas dan luas serangan X.
compactus oleh kerapatan populasi dan
keragaman jenis pohon penaung,
kerapatan populasi kopi, kesuburan
tanah dan keberadaan predator. Semakin
tinggi kerapatan pohon penaung
intensitas serangan X. compactus
semakin tinggi, tetapi luas serangannya
semakin rendah.
Musuh alami yang ditemukan pada
tanaman penaung di kedua sistem
pengelolaan
lahan
kopi
adalah
Hymenoptera (Eulophidae, Bombidae,
Formicidae); Coleoptera (Staphylinidae),
Araneidae
dan
Tetrastichus
xylebororum
Hama potensial yang ditemukan pada
kedus sistem pengelolaan lahan kopi
adalah penggerek biji (Hypothenemus
hampei), kutu hijau (Coccus viridis),
kutu putih (Ferrisia virgata), penggerek
batang (Zeuzera coffeae), kutu bungkuk
(Homoptera: Membracidae) dan kutu
daun (Aphis sp.).
Lebih beragamnya jenis pohon penaung
dapat mengurangi serangan hama
penggerek ranting kopi. Gliricidia yang
umumnya dipakai sebagai penaung
pohon kopi, cukup efektif sebagai
pelindung kopi dari serangan penggerek
ranting.
SARAN
Guna
memperbaiki
startegi
pencegahan
serangan hama penggerek ranting kopi X.
compactus, maka penelitian ke arah pemahaman
faktor-faktor pembatas perkembangan hama
sangat diperlukan. Pengukuran pada penelitian
ini masih dilakukan pada musim kemarau saja
dengan kelembaban udara yang relatif rendah,
sehingga hasil yang diperoleh masih belum bisa
menggambarkan kisaran kondisi lingkungan
dalam satu musim tanam. Untuk itu pengukuran
di musim penghujan masih perlu dilakukan
Subekti Rahayu dkk. : Dapatkah Sistem Agroforestry Kopi ......................................................................................
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan
kepada Project BASIS yang telah memberikan
bantuan dana sehingga penelitian ini dapat
berjalan, kepada Dr. F.X Susilo, Dr. Meine van
Noordwijk, Prof. Dr. Kurniatun Hairiah atas
saran dan komentar yang sangat bermanfaat
dalam tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan Van Noordwijk, M. 2004.
Alternative to Slash and Burn (ASB),
phase 3: Facilitating the development of
agroforestry systems. In: Agus, F. and
Van Noorrdwijk, M (eds). Alternative to
Slash and Burn (ASB), phase 3: Facilitating
the development of agroforestry systems.
Phase 3 Sythesis and Summary Report,
p: 1-7
Aini, F.K., Susilo, F.X., Yanuwiyadi, B. and
Hairiah, K. 2006. Meningkatnya potensi
sebaran hama rayap Odontotermes spp.
setelah alih guna hutan menjadi
agroforestri berbasis kopi: Efek
perubahan iklim mikro dan ketersediaan
makanan terhadap kerapatan populasi.
AGRIVITA 28(3): hal….
Dariah, A., Agus, F., Arsyad, S., Sudarsono dan
Maswar. 2004. Erosi dan aliran permukaan pada lahan pertanian berbasis
tanaman kopi di Sumberjaya, Lampung
Barat. Agrivita, 26: 52-59
Dewi, W.S., Suprayogo, D., Yanuwiyadi, B.
And Hairiah, K. 2005. Dapatkah agroforestri mempertahankan biodiversitas
cacing tanah? Agrivita (forthcoming)
Drizd, Lara. 2003) The Black Twig Borer: A
Study of The Damage Done to
Unprotected Hawaiian Coffee. http: //
www.ncf.edu/mccord/The%20Black%2
0Twig%20Borer.pdf. 19 September
2005
Hairiah, K., Suprayogo, D., Widianto, Berlian,
Suhara, E., Mardiastuning, A., Widodo,
R.H., Prayogo, C dan Rahayu, S. 2004a.
Alih guna lahan menjadi hutan menjadi
lahan agroforestri berbasis kopi: ketebalan
seresah, populasi cacing tanah dan
makroporositas tanah. Agrivita, 26: 6880
Hairiah, K., Widianto, Suprayogo, D., Widodo,
R.H., Purnomosidhi, P, Rahayu, S. dan
Van Noordwijk, M. 2004b. Ketebalan
Seresah sebagai Indikator Daerah Aliran
Sungan
(DAS)
Sehat,
World
Agroforestry Centre, 41pp.
Hindayana, D., Judawi, D., Priharyanto, D.,
Luther, G.C., Purnayara, G.N.R., Mangan,
J., Untung, K., Sianturi, M., Mundy, R.
dan Riyanto. 2002. Musuh Alami, Hama
dan Penyakit Tanaman Kopi. Proyek
Pengendalian Hama Terpadu. Direktorat
Perlindungan Perkebunan, Direktorat Bina
Produksi
Perkebunan,
Departemen
Pertanian. Jakarta. 52pp.
Hanum, I.F. dan van der Maesen, L.J.G. 1997.
Prosea 11: Auxiliary plants. Prosea,
Bogor, 389pp.
Jansen, A. 2005. Plant Protection in Coffee:
Recommendation for the Common Code
for the Coffee Community-Initiative,
Common Code for the Coffee
Community, 65pp.
Kimani, M, Little, T and Vos, J.G.M. 2002.
Introduction to Coffee Management
through Discovery Learning. CABI
Bioscience. Africa Regional Centre,
Nairobi, Kenya. 35p.
Krebs, C.J. 1989. Ecological methodology.
University of British Columbia, Harper
Collins Publishers, 654p
Lavabre, E.M. 1959. Le scolyte des branchettes
du cafeier robusta, Xyloborus morstatti
Hage. The Cafe, Caco 3 : 21-33
Najiyati, S.D. 2004. Kopi Budidaya dan
Penanganan PascaPanen. Penebar
Swadaya. Bogor.
O’Connor T., Rahayu S. And van Noordwijk M.
2005. Birds in a coffee agroforestry
lanscape in Lampung. World Agroforestry Centre, 27p.
Pinto, LS, Perfecto, I, Hernandez, JC and Nieto,
JC. 2000. Shade effect on coffee
production at the northern Tzeltal zone
of the state of Chiapas, Mexico.
Subekti Rahayu dkk. : Dapatkah Sistem Agroforestry Kopi ......................................................................................
Agriculture, Ecosystems and Environment 80: 61-69
SIPPO (Swiss Import Promotion Programme).
2002. Part B: Production guidelines for
organic coffee, cocoa and tea. www.
sippo.ch/files/publications/biocacao_b.pdf, p: 51-64.
Schroth, G., Krauss, U, Gasparotto, L., Duarte,
J.A. 2000. Pest and diseases in agroforestry systems of the humid tropics.
Agroforestry systems 50: 199-241.
Suprayogo, D., Widianto, Purnomosidhi, P.
Widodo, R.H., Rusiana, F., Aizi, Z.Z.,
Khasanah, N. dan Kusuma, Z. 2004.
Degradasi sifat fisik tanah akibat alih
guna lahan hutan menjadi sistem kopi
monokultur: kajian perubahan makroporositas tanah. Agrivita, 26: 60-67
Susilo, F.X. 2005. Dampak alih guna lahan
hutan menjadi agroforeskti berbasis kopi
terhadap biodiversitas semut. Agrivita
(the same journal).
Tenbrink, V.L. dan Hara, A.R. 1994.
Xylosandrus
compactus
(Eichoff).
www.extento.hawaii.edu 12 Juli 2005.
Van Noordwijk, M., Rahayu, S., Hairiah, K.,
Wulan, Y.C., Farida, A. And Verbist, B.
2002. Carbon stock assessment for a
forest-to-coffee conversion landscape in
Sumberjaya (Lampung, Indonesia):
from allometric equations to land use
change analysis. Science in China, 45:
75-86.
Van Noordwijk, M., Agus, F., Suprayogo, D.,
Hairiah, K., Pasya, G. And Farida. 2004.
Peranan agroforestri dalam mempertahankan fungsi hidrolodis daerah aliran
sungai (DAS). Agrivita, 26: 1-8
Widianto, Suprayogo, D., Noveras, H., Widodo,
R.H., Purnomosidhi, P dan Van Noordwijk, M. 2004. Alih guna lahan hutan
menjadi lahan pertanian: Apakah fungsi
hidrologis hutan dapat digantikan sistem
kopi monokultur? Agrivita, 26: 47-51
Wrigley, G. 1988. Coffee. Tropical Agriculture
Series.
Longman
Scientific
and
Technical. Longman Singapore Publishers (Pte) Ltd. 639p.