Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
GEOLOGI DAN PENENTUAN KUALITAS BATUGAMPING SEBAGAI BAHAN BANGUNAN, DAERAH KRAJAN DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUKOLILO, KABUPATEN PATI, PROPINSI JAWA TENGAH No Lembar Peta 4/9 Sukolilo (1409-322) PROPOSAL SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan kurikulum sarjana (S-1) pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND YOGYAKARTA Oleh Cornelio Ramelio Pires Fatima 151.10.6140 JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI AKPRIND YOGYAKARTA 2016 PRAKATA Puji syukur penyusun panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penyusun diberikan kemudahan dan kelancaran sehingga dapat menyelesaikan proposal skripsi dengan judul Geologi dan Penentuan Kualitas Batugamping Sebagai Bahan Bangunan, Daerah Krajan dan Sekitarnya, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah. Pada kesempatan ini penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : Ir. Miftahussalam, M.T., selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan masukan dan dukungan serta membimbing penyusun dalam penyusun proposal skripsi ini. Ir. Dwi Indah Purnamawati, M.Si., selaku dosen pembimbing II yang telah membimbing penyusun dalam menyelesaikan proposal skripsi ini. Dr. Sri Mulyaningsih, S.T., M.T selaku Dekan Fakultas Teknologi Mineral Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta. Arie Noor Rakhman., S.T., M.T. selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta, yang telah menyetujui lokasi daerah pemetaan. Kedua Orang Tua penyusun yang setiap saat selalu memberikan dukungan do’a, dorongan semangat, baik moril maupun materil yang sangat berharga kepada penyusun. Penyusun sangat menyadari bahwa hasil proposal skripsi ini masih sangat banyak kekurangannya, baik dari segi isi maupun penyusunannya, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki tulisan ini. Akhir kata, penyusun mengharapkan semoga tulisan ini bermanfaat sehingga dapat membuka wawasan bagi para pembaca dan kemajuan ilmu geologi di Indonesia khususnya. Yogyakarta, 30/08/2016 Penyusun DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PENGESAHAN i LEMBAR PERNYATAAN ii PRAKATA iii DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL viii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Maksud Dan Tujuan 2 I.3. Peneliti Terdahulu 2 BAB II METODE PENELITIAN 4 II.1. Tahap Persiapan 4 II.1.1. Tahap persiapan alat dan bahan 4 II.1.2. Studi pustaka 7 II.1.3. Survei lapangan (recognize) 7 II.1.4. Penyusunan dan pengajuan proposal kepada dosen pembimbing 7 II.1.5. Pengurusan surat ijin 8 II.2. Tahap Penelitian Lapangan 8 II.2.1. Lintasan pengamatan dan perencanaan lokasi 8 II.2.2. Pembuatan stratigrafi terukur 9 II.2.3. Pemetaan detail 9 II.2.4. Penarikan batas satuan batuan 10 II.2.5. Pembuatan sayatan geologi serta penampang geologi 10 II.3. Tahap Analisis Laboratorium dan Studio 10 II.4. Tahap Akhir 11 II.4.1. Penyusunan laporan 11 II.4.2. Pertanggungjawaban atau presentasi 11 BAB III GEOLOGI REGIONAL 12 III.1. Geomorfologi Regional 12 III.2. Stratigrafi Regional 18 III.3. Struktur Geologi Regional 22 BAB IV GEOLOGI & PENENTUAN KUALITAS BATUGAMPING SEBAGAI BAHAN BANGUNAN 27 IV.1. Latar Belakang 27 IV.2. Madsud dan Tujuan 28 IV.3. Batugamping 28 IV.4. Kualitas Batugamping Sebagai Bahan Bangunan 31 IV.4.1. Berart jenis 32 IV.4.2. Porositas 32 IV.4.3. Daya serap air 33 IV.4.4. Ketahanan aus 34 IV.4.5. Kuat tekan 34 RENCANA DAFTAR PUSTAKA 36 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar III.1 Fisiografi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Van Bemmelen, 1949) 12 Gambar III.2 Stratigrafi Zona Rembang (Pringgoprawiro, 1983) 22 Gambar III.3 Pola struktur Pulau Jawa (Sribudiyani dkk., 2003) 26 Gambar III.4 Pola struktur Pulau Jawa (Sribudiyani dkk., 2003) 26 Gambar IV.1 Klasifikasi Batugamping (Dunham (1962) dan Embry dan Klovan (1971) 31 DAFTAR TABEL Halaman Tabel IV.1 Syarat mutu batu alam untuk bahan bangunan (SK SNI-04-1989 F) 32 PENDAHULUAN Berdasarkan kurikulum kelulusan sarjana (S-1) yang ada di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta, sebagai salah satu prasyarat untuk kelulusan tingkat sarjana maka setiap mahasiswa wajib untuk melakukan Skripsi atau pemetaan geologi dengan luas 9 km x 9 km = 81 km2 atau seluas 8.100 Ha. Judul Skripsi yang diambil berdasarkan ilmu yang telah didapatkan saat kuliah pada semester-semester sebelumnya. Latar Belakang Secara regional daerah penelitian merupakan daerah yang sangat menarik, karena daerah penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mempelajari kondisi geologi nyata pada daerah penelitian yang meliputi beberapa aspek geologi yaitu : aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi dan geologi lingkungan serta proses-proses geologi yang masih terus berlangsung hingga pada saat ini. Peneliti terdahulu telah banyak dilakukan dan menghasilkan banyak versi, baik hasilnya hampir sama bahkan ada yang berbeda. Oleh sebab itu sebagai seorang geologis dituntut untuk dapat melaksanakan penelitian di daerah tersebut, sehingga dapat menyelesaikan permasalah geologi di daerah penelitian tersebut, dan untuk melengkapi data hasil penelitian geologi dari para peneliti terdahulu. Dengan mengetahui kondisi geologi daerah penelitian maka kita dapat mengintrepretasikan bahan galian atau sumber daya geologi yang terdapat pada daerah penelitian yang dapat dimanfaatkan untuk kesejateraan masyarakat pada umumnya. Maksud Dan Tujuan Maksud pemetaan geologi adalah untuk memenuhi persyaratan akademik tingkat sarjana ( S-1 ) pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknlogi AKPRIND Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini terbagi menjadi dua bagian yaitu: tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi permukaan yang mencakup aspek geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi yang pada akhirnya dapat digunakan untuk penentuan sejarah geologi dan aspek-aspek geologi lingkungan. Tujuan khususnya adalah geologi dan penentuan kualitas batugamping sebagai bahan bangunan dengan menggunakan analisis kuat tekan Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah. Peneliti Terdahulu Bemmelen (1949), peneliti berkebangsaan Belanda yang pertama kali membuat uraian fisiografi secara lengkap dalam bukunya The Geology of Indonesia. Asikin, (1947), membahas tentang struktur geologi secara regional daerah Jawa Tengah dan sekitarnya, dalam bukunya Evolusi Geologi Jateng dan Sekitarnya Ditinjau dari Segi Tektonik Dunia yang Baru. Bakosurtanal, 1998, Peta Rupa Bumi Digital Indonesia lembar 1409-322 Sukolilo. Ruswanto, H. Rajiyowiryono, & A. Darmawan (2008), membahas tentang Klasifikasi kawasan Karst Sukolilo, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Menyatakan bahwa Perbukitan di bagian selatan Kabupaten Pati yaitu di Kecamatan Sukolilo, terbentuk oleh sebaran batu gamping, memanjang dari Prawata di bagian barat hingga di bagian Timur Sukolilo METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penentuan keadaan geologi daerah penelitian adalah metode geologi lapangan yang diterapkan pada saat pemetaan geologi permukaan, dengan pengamatan langsung di lapangan terhadap kenampakan dan kondisi geologi yang tersingkap di permukaan. Metode pengelompokan batuan dari hasil pemetaan geologi di daerah penelitian dilakukan berdasarkan ciri fisik dan kimia litologi yang dominan di daerah penelitian. Sedangkan untuk pengambilan sampel batuan dilakukan pada singkapan batuan yang segar sehingga mewakili kondisi sebenarnya di lapangan, untuk memperkuat data hasil pemetaan geologi harus didukung dengan studi pustaka terdahulu, analisis megaskopis, serta analisis laboratorium. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam metode penelitian, antara lain: tahap persiapan, tahap penelitian lapangan, tahap analisis laboratorium dan studio, dan tahap akhir. Tahap Persiapan Tahap persiapan merupakan tahap paling awal dalam melakukan penelitian. Tahap ini dapat meliputi: persiapan alat dan bahan, studi pustaka, survei lapangan, penyusunan dan pengajuan proposal kepada dosen pembimbing, dan pengurusan surat ijin penelitian. Tahap persiapan alat dan bahan Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan selama mengadakan penelitian di lapangan, di laboratorium dan di studio adalah: Peta rupa bumi berskala 1 : 25.000 Lembar Sukolilo dan peta geologi regional lembar Kudus berskala 1 : 100.000. Digital elevation mode (DEM) lembar Pulau Jawa, untuk mendapatkan nilai titik ketinggian yang telah dibentuk dalam garis kontur dan diberi kode warna ketinggian, memberikan gambaran awal tentang topografi daerah penelitian. Perangkat lunak komputer, diantarnya: Ardgis 10.1, Global mapper 11, Mapinfo professional 10, Stereonet 8 for Windows. Digunakan untuk membuat tumpang tindih antara peta rupa bumi, DEM, dan peta geologi regional sehingga menghasilkan peta sementara atau peta tentatif daerah penelitian, serta pengolahan data kekar pada lokasi penelitian setelah data kekar diambil nantinya. Kompas geologi tipe Brunton dengan sistem azimuth 00 – 3600, digunakan untuk pengukuran bidang kekar, kemiringan lereng, dan sebagainya. Palu geologi untuk batuan beku dan batuan sedimen, digunakan sebagai alat untuk mengambil sampel atau conto batuan di lokasi penelitian. Global Positioning System (GPS) untuk melakukan penentuan lokasi di lapangan kemudian dimasukan ke dalam peta melalui perangkat lunak komputer. Pita ukur (roll meter) 25 M dan penggaris 40 Cm, dimanfaatkan sebagai alat bantu ukur terhadap lebar dan tebal singkapan yang ada di lapangan. Larutan HCl dengan konsentrasi 0,1 M yang digunakan untuk mengetahui komposisi karbonat pada batuan secara megaskopis di lapangan. Plastik sampel untuk mengisi sampel atau conto batuan yang telah diambil. Kaca pembesar (loupe) dengan perbesaran 10x dan 20x, digunakan untuk membantu pengamatan terhadap kandungan mineral dan atau fosil makro dari conto batuan di lapangan. Kamera untuk membantu merekam data yang sulit digambarkan dengan lukisan tangan atau sketsa saat di lapangan. Peralatan tulis, terdiri dari: pensil, pena, pensil warna, penghapus, penggaris segitiga siku-siku dan samakaki, buku lapangan, papan klip (clipboard), serta kertas HVS berukuran A4 atau F4. Obat-obatan untuk pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) ringan. Jas hujan untuk menghindarkan data lapangan dari air hujan saat cuaca tidak mendukung. Studi pustaka Tahap studi pustaka ini dilakukan dengan tujuan memperoleh gambaran umum tentang daerah penelitian melalui data-data sekunder yang telah dihasilkan oleh peneliti terdahulu yang berhubungan dengan daerah penelitian. Pencarian data sekunder melalui interpretasi dari topografi daerah penelitian, peta geologi, tulisan tentang geologi daerah penelitian dan tujuan khusus baik yang sudah dipublikasikan maupun belum dan/atau tidak dipublikasikan. Penelitian yang akan dilakukan ini tetap memperhatikan data sekunder yang telah didapat tersebut agar tidak memakan waktu yang terlalu lama dalam melakukan kegiatan penelitian. Survei lapangan (recognize) Survei lapangan atau yang dikenal dengan istilah lain survei tinjau ini dilakukan untuk mengenal kondisi lapangan daerah penelitian dan mengetahui keadaan geologi regional daerah penelitian secara umum seperti: geomofologi, litologi, struktur geologi, dan geologi lingkungan. Survei ini dapat memberi informasi tentang lokasi pengamatan tertentu yang harus dilakukan penelitian lebih detail. Penyusunan dan pengajuan proposal kepada dosen pembimbing Penyusunan proposal dilakukan untuk menjelaskan tentang persiapan dan perencanaan yang akan dilaksanakan dalam penelitian terhadap daerah penelitian yang telah dipilih. Hasil analisis topografi, peta geologi daerah penelitian, dan hasil analisis dari data sekunder lainnya merupakan analisis sementara yang diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui gambaran umum tentang keadaan geologi daerah penelitian. Pengurusan surat ijin Dalam melakukan penelitian lapangan, harus ada surat ijin penelitian yang ditujukan kepada Pemerintah Daerah atau pihak yang berwenang guna menghindari atau mencegah dari hal-hal yang tidak diinginkan selama penelitian berlansung di daerah penelitian. Tahap Penelitian Lapangan Tahap penelitian lapangan dibagi menjadi: lintasan pengamatan dan perencanaan lokasi, pembuatan stratigrafi terukur, pemetaan detail, penarikan batas satuan batuan, dan pembuatan sayatan geologi serta penampang geologi. Lintasan pengamatan dan perencanaan lokasi Rencana lokasi dan lintasan pengamatan dilakukan saat survei tinjau sambil mengamati data geologi berupa litologi, struktur geologi, geomorfologi, dan geologi lingkungan. Lokasi pengamatan yang direncanakan harus merupakan singkapan batuan yang segar dan juga sumber batuan (source rock) secara langsung, bukan merupakan jatuhan atau endapan yang berasal dari tempat lain. Lintasan pengamatan yang direncanakan dapat melalui jalan primer maupun jalan sekunder apabila singkapan batuan memenuhi syarat, namun lintasan juga dapat melalui sungai apabila singkapan batuan di tebing jalan tidak memenuhi syarat, misalnya sudah terlalu lapuk karena vegetasi, bukan batuan yang bersifat insitu, dan karena endapan tanah (soil) berukuran butir halus sudah terlalu tebal. Alasan pemilihan sungai sebagai lintasan adalah karena air mengalir melalui zona lemah tubuh batuan sehingga mengikis endapan dan pelapukan sehingga batuan segar selalu tersingkap pada tubuh sungai. Pembuatan stratigrafi terukur Pembuatan stratigrafi terukur bertujuan untuk mengetahui susunan perlapisan batuan, ketebalan masing-masing litologi batuan, urutan pembentukan batuan, batas kontak antar batuan, interpretasi sejarah geologi, penentuan proses sedimentasi, penentuan lingkungan pengendapan, dan membantu memecahkan permasalahan geologi. Jalur untuk pembuatan stratigrafi terukur ditentukan saat survei tinjau, dengan memilih litologi yang segar, dan tidak terlalu berbahaya untuk pengambilan data geologi yang dibutuhkan. Syarat dalam merencanakan stratigrafi terukur, yaitu: Stuktur sedimen dapat terlihat dan terukur dengan jelas. Batas antar litologi batuan dapat terlihat dengan jelas. Satuan batuan secara umum dapat diketahui. Pemetaan detail Pemetaan detail dilakukan dengan mencari data geologi sambil digambarkan posisinya (plotting) pada peta topografi hasil tumpang tindih (overlay) antara DEM dengan peta rupa bumi lembar daerah penelitian (Sukolilo). Setelah data geologi diambil, sampel dari lokasi pengamatan yang ideal juga harus dibawa untuk analisis laboratorium sesuai kebutuhan, dilakukan juga pengambilan sketsa lokasi pengamatan yang bila terlalu sulit dan bingung disketsa dapat menggunakan kamera untuk mengambil foto, serta mengambil data pendukung lainnya yang berhubungan dengan tujuan khusus diadakannya penelitian. Penarikan batas satuan batuan Hasil pemetaan detail yang sudah digambarkan pada peta topografi dianalisis terlebih dahulu meliputi ciri litologi dan bentangalam pada setiap lokasi penelitian atau stasiun, kemudian dihubungkan antar lokasi penelitian dan/atau stasiun berdasarkan kesamaan ciri. Untuk penarikan batas satuan batuan dan geomorfologi dapat berpedoman pada data stratigrafi terukur maupun pemetaan detail sesuai dengan kebutuhan. Pembuatan sayatan geologi serta penampang geologi Pembuatan sayatan geologi serta penampang geologi berguna untuk mengetahui urutan stratigrafi batuan dari tua ke muda, ketebalan batuan, kenampakan litologi secara umum, dan hal lainnya yang berhubungan dengan korelasi antar litologi batuan. Penjelasan yang bersifat mendukung dari sayatan geologi yang diberi simbol huruf diatas peta kemudian dibuat penampangnya pada legenda peta dengan skala tertentu agar mencerminkan ciri khas geologi daerah penelitian. Tahap Analisis Laboratorium dan Studio Pada tahap ini dilakukan analisis petrografi, analisis pelarutan, analisis mikropaleontologi, analisis struktur geologi, dan analisis sifat fisik batuan. Tahap analisis laboratorium dan studio menggunakan data yang diperoleh secara langsung dari daerah penelitian, bukan dari luar daerah penelitian sehingga hasil analisis tentunya sangat mendukung dan dapat dipertanggungjawabkan. Tahap Akhir Tahap akhir ini meliputi penyusunan laporan dan pertanggungjawaban atau presentasi. Penyusunan laporan Penyusunan laporan didasarkan kepada data lapangan secara langsung maupun data lapangan yang telah diolah baik di laboratorium maupun di studio sehingga tidak menyimpang daripada keadaan sebenarnya di lapangan. Laporan yang disusun kemudian disajikan dalam bentuk Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan, Peta Geomorfologi, dan Peta Geologi, yang disertai dengan uraian berisi pembahasan studi khusus yang diambil di daerah penelitian. Pertanggungjawaban atau presentasi Pertanggungjawaban laporan hasil penelitian ini dilakukan di lingkungan kampus meliputi ujian kolokium dan di hadapan sidang atau ujian pendadaran yang akan diuji oleh beberapa Dosen Teknik Geologi IST Akprind. GEOLOGI REGIONAL Geomorfologi Regional Van Bemmelen membagi daerah Jawa Tengah menjadi 7 jalur fisiografis dari Utara-Selatan sebagai berikut Gunung Api Kuarter Dataran Aluvial Pantai Utara Jawa Antiklinorium Rembang-Madura Antiklinorium Bogor-Serayu Utara-Kendeng Pematang dan Dome pada Pusat Depresi Depresi Jawa dan Zona Randublatung Pegunungan Serayu Selatan Gambar III.1 Fisiografi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Van Bemmelen, 1949) Sedangkan Menurut Bemmelen (1949), fisiografi Pulau Jawa dan Madura dibagi menjadi 4, yaitu: Fisiografi Jawa Barat yang meliputi bagian barat Cirebon. Fisiografi Jawa Tengah yang meliputi antara Cirebon dan Semarang. Fisiografi Jawa Timur yang meliputi antara Semarang dan Surabaya. Fisiografi bagian Timur Jawa dan Madura. Dalam hal ini, daerah penelitian terletak diantara Semarang dan Surabaya, sehingga dapat dikategorikan dalam fisiografi Jawa Timur. Fisiografi Jawa Timur secara umum merupakan suatu jalur paralel antara Semarang hingga Yogyakarta yang mudah dikenal pada bagian selatan merupakan suatu bentuk penerusan dari jalur Jawa Barat dan Jawa Tengah. Jalur Rembang terdiri dari pegunungan lipatan berbentuk Antiklinorium yang memanjang ke arah Barat – Timur, dari Kota Purwodadi melalui Blora, Jatirogo, Tuban sampai Pulau Madura. Morfologi di daerah tersebut dapat dibagi menjadi 3 satuan, yaitu Satuan Morfologi dataran rendah, perbukitan bergelombang dan Satuan Morfologi perbukitan terjal, dengan punggung perbukitan tersebut umumnya memanjang berarah Barat – Timur, sehingga pola aliran sungai umumnya hampir sejajar (sub-parallel) dan sebagian berpola mencabang (dendritic). Sungai utama yang melewati daerah penyelidikan yaitu S. Lusi, yang mengalir ke arah Baratdaya, melalui Kota Blora dan bermuara di Bengawan Solo. Morfologi Kawasan Kars Sukolilo Pati secara regional merupakan komplek perbukitan kars yang teletak pada struktur perbukitan lipatan. Setelah perlipatan mengalami proses pelarutan, pada bagian puncak perbukitan Kars di permukaan (eksokars) ditemukan morfologi bukit-bukit kerucut, cekungan-cekungan hasil pelarutan, lembah-lembah aliran sungai yang membentuk mulut gua, mata air dan telaga kars ditemukan pada bagian bawah tebing. Morfologi bawah permukaan (endokars) kawasan kars tersebut terbentuk morfologi sistem perguaan dan sungai bawah tanah dengan potensi yang berbeda untuk masing-masing gua. Pada bagian Utara dan Selatan batas akhir batuan kapur/batugamping merupakan dataran. Fenomena Kars Sukolilo (Kendeng Utara) tercermin melalui banyaknya bukit-bukit kapur kerucut, munculnya mata-mata air pada rekahan batuan, gua-gua yang berpotensi arkeologis. Mengalirnya sungai-sungai bawah tanah dengan lorong gua sebagai koridornya. Sering ditemukan lahan yang sangat kering di permukaan saat musim kemarau pada bagian bagian bukit karena sungai-sungai yang mengalir di permukaan sangat jarang. Aliran air masuk kedalam rekahan batuan kapur atau batugamping (limestone) dan melarutkannya, sehingga di bagian bawah kawasan ini banyak ditemukan sumber-sumber mata air yang keluar melalui rekahan-rekahan batuan. Secara fisiografi dan berdasarkan kesamaan morfologi serta tektonik, Bemmelen (1949) membagi Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh jalur fisiografi yang meliputi: Zona Pegunungan Selatan Zona Solo Zona Kendeng Zona Randublatung Zona Antiklinorium Rembang – Madura Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Zona Gunungapi Kuarter Berdasarkan pembagian fisiografi tersebut, maka daerah Tompegunung dan sekitarnya, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Propinsi Jawa Tengah sebagai daerah penelitian termasuk dalam Zona Antiklinorium Rembang – Madura dan Zona Dataran Aluvial Utara Jawa (Gambar 3.1). Zona Pegunungan Selatan Zona Pegunungan Selatan merupakan penerusan dari pembagian fisiografi di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Zona ini terdiri dari batuan vulkanik dan perbukitan batugamping terumbu. Bagian utara dari zona ini dibatasi oleh gunungapi kwarter yang terbentang dari barat ke timur, antara lain: Gunung Merapi, Gunung Lawu, Gunung Wilis, dan Gunung Semeru. Sedangkan di bagian selatan dibatasi oleh Samudera Indonesia. Lebar bagian ini mencapai 25 km di Blitar, Jawa Timur. Zona Solo Zona Solo merupakan penerusan deretan pegunungan berapi berarah barat – timur. Zona ini diperkirakan sebagai sumber batuan piroklastik yang diendapkan di sebelah utaranya. Bagian utara dibatasi oleh Zona Mandala Kendeng, sedang bagian selatan dibatasi oleh Zona Pegunungan Selatan. Zona ini tersusun dari endapan Kwarter dan ditempati oleh gunung api Kwarter. Zona Kendeng Zona Kendeng merupakan kelanjutan dari Pegunungan Serayu yang berkembang di Jawa Tengah. Bagian utara Zona Kendeng dibatasi oleh Depresi Randu Blatung, sedang bagian selatan dibatasi oleh Zona Solo. Zona Kendeng tersusun oleh batuan sedimen laut dalam yang telah mengalami perlipatan dan pensesaran secara intensif membentuk suatu antiklinorium. Perlipatan beserta anjakan yang mengikutinya mempunyai intensitas yang sangat besar di bagian barat, kemudian berangsur melemah ke arah timur. Akibat adanya anjakan tersebut, batas dari satuan batuan yang bersebelahan sering merupakan batas sesar. Ciri khas Zona Kendeng adalah jajaran perbukitan rendah dengan morfologi bergelombang yang ketinggiannya berkisar antara 50 m hingga 200 m. Jajaran perbukitan yang berarah barat – timur ini mencerminkan adanya perlipatan dan sesar naik yang juga berarah barat – timur. Zona Kendeng dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: Kendeng Barat, dimulai dari Gunung Ungaran hingga Purwodadi yang menunjukan pola struktur yang sangat rumit, perlipatan asimetri, dan sesar sungkup ke arah utara. Kendeng Tengah, berada diantara Purwodadi dan Gunung Pandan. Pola struktur masih memperlihatkan intensitas yang kuat, meskipun tidak serumit di Kendeng Barat. Kendeng Timur, berada diantara Gunung Pandan dan daerah Jombang kemudian menunjam di bawah Sungai Brantas, perlipatannya merupakan perlipatan yang lemah. Mandala Kendeng terbentuk mulai dari Salatiga ke timur sampai ke Mojokerto dan menunjam di bawah aluvial Sungai Brantas. Kelanjutan pegunungan ini masih dapat diikuti hingga di bawah Selat Madura, jika dilihat dari bawah permukaan tanah. Zona ini diduga masih aktif sebagai cekungan sedimentasi di Selat Madura. Bagian barat lebarnya mencapai 40 km, kemudian menyempit ke arah timur dan panjangnya kurang lebih 250 km (Genevraye & Samuel, 1972). Depresi Randublatung Depresi Randu Blatung merupakan sinklinorium yang memanjang dari Wonokromo sampai Semarang. Zona ini tersusun oleh perbukitan rendah (ketinggian 50 – 150 m) serta dataran aluvial yang dibangun oleh endapan Bengawan Solo. Pada bagian selatan dipisahkan oleh Mandala Kendeng dari Zona Solo, sedangkan pada bagian utara dibatasi oleh Zona Rembang. Zona Rembang-Madura Zona Rembang merupakan antiklionorium yang berarah barat hingga timur dan terbentang dari daerah Purwodadi sampai Pulau Madura. Lebar dari Pegunungan Rembang kurang lebih mencapai 50 km dengan puncak tertinggi ditempati oleh Gunung Gading yang ketinggiannya kurang lebih 500 m (Bemmelen, 1949). Di bagian selatan dipisahkan oleh Depresi Randu Blatung dari Mandala Kendeng, sedangkan di bagian utara dibatasi oleh Laut Jawa. Dataran Aluvial Utara Jawa (Depresi Semarang-Rembang) Merupakan dataran yang berada di antara Semarang dan Rembang. Zona ini dibatasi oleh Zona Rembang, di bagian utara dan timur oleh Laut Jawa, dan bagian barat oleh Gunung Muria. Akibat dari proses sedimentasi hasil rombakan Pegunungan Rembang dan Gunung Muria yang dibawa oleh sungai bermuara pada selat tersebut menyebabkan selat tersebut menjadi dangkal dan muncul ke permukaan. Gunungapi Kwarter Merupakan jajaran gunungapi kwarter yang terdapat di tengah Pulau Jawa. Gunungapi yang dimaksud antara lain: Gunung Merapi, Gunung Lawu, Gunung Sumbing, Gunung Ungaran, Gunung Slamet, Gunung Bromo, dan sebagainya. Stratigrafi Regional Zona Rembang termasuk dalam cekungan Jawa Timur utara. Secara historis penggunaan nama-nama satuan stratigrafis pada zona ini semula hanya digunakan secara terbatas, tak terpublikasikan, pada dilingkungan perusahaan minyak Belanda BPM (Batafsche Petroleum Maatschapij), yaitu pendahulu perusahaan Shell, yang dulu memegang konsesi daerah Cepu. Nama-nama formasi secara resmi baru mulai digunakan oleh Van Bemmelen (1949) dan Stratigraphic Lexicon of Indonesia oleh Marks (1957). Harsono (1983) melakukan perubahan dari nama-nama tidak resmi seperti globigerina marl atau Orbitoiden-Kalk dengan memberikan nama yang baru, menetapkan lokasi tipe, sesuai dengan Sandi Stratigrafi Indonesia. Penentuan umur secara teliti dari setiap formasi dengan menggunakan pertolongan fosil foraminifera plangtonik telah dilakukan oleh Harsono (1983). Zona Rembang dimulai dari ujung barat perbukitan di selatan Demak, memanjang ke arah timur dan timur laut memasuki wilayah Jawa Timur, memanjang melewati Pulau Madura, terus ke arah timur hingga ke Pulau Kangean. Arah memanjang perbukitan tersebut mengikuti sumbu-sumbu lipatan, yang pada umumnya berarah barat-timur. Di beberapa tempat sumbu-sumbu ini mengikuti pola en echelon yang menandakan adanya sesar geser lateral kiri (left lateral wrenching faulting). Zona Rembang terbentang sejajar dengan zona Kendeng dan dipisahkan oleh depresi Randublatung, suatu dataran tinggi terdiri dari antiklinorium yang berarah barat-timur sebagai hasil gejala tektonik Tersier Akhir membentuk perbukitan dengan elevasi yang tidak begitu tinggi, rata-rata kurang dari 500 m. Beberapa antiklin tersebut merupakan pegunungan antiklin yang muda dan belum mengalami erosi lanjut dan nampak sebagai punggungan bukit. Zona Rembang merupakan zona patahan antara paparan karbonat di utara (Laut Jawa) dengan cekungan yang lebih dalam di selatan (cekungan Kendeng). Litologi penyusunnya campuran antara karbonat laut dangkal dengan klastika, serta lempung dan napal laut dalam. Stratigrafi Zona Rembang tersusun atas Formasi Ngimbang, Kujung, Prupuh, Tuban, Tawun, Ngrayong, Bulu, Wonocolo, Ledok, Mundu, Selorejo, dan Lidah. Stratigrafi daerah pemetaan kawasan kars Kendeng Utara menurut Pringgoprawiro (1983) masuk ke dalam, Formasi Ngrayong dan Formasi Bulu. Formasi penyusun kawasan kars Kendeng Utara ini terbentuk pada masa Meosen Tengah - Meosen Atas, terbentuk 25 juta tahun yang lalu berdasarkan skala waktu geologi. Formasi ngrayong Pada bagian bawah Formasi Bulu ini terendapkan Formasi Ngrayong yang disusun oleh perselang-selingan batupasir kuarsa, batugamping pasiran dan batulempung. Pada batugamping pasiran disusun oleh alga dan cangkang binatang laut. Lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong di daerah dangkal dekat pantai yang makin ke atas lingkungannya menjadi littoral, lagoon, hingga sublittoral pinggir. Sebagian teori juga menyebutkan bahwa formasi ngrayong terbentuk pada lingkungan darat. Harsono (1983), mendeskripsi Ngrayong sebagai anggota Formasi Tawun, terdiri dari orbitoid limestone dan shale dalam bagian bawah dan batupasir dengan intercalation batugamping dan lignit dibagian atas. Umur dari unit ini Miosen Tengah, pada area N9-N12. Lingkungan pengendapan dari anggota ini fluvial atau submarine dalam singkapan disebelah utara (Jatirogo,Tawun) dan menjadi lingkungan laut pada bagian selatan. Didekat Ngampel sekuen pasir endapan laut yang mendangkal keatas. Anggota ini merupakan reservoar utama dari lapangan minyak Cepu, tetapi terlihat adanya shale yang hadir dibagian selatan dan timur dari lapangan ini. Ketebalan dari unit ini bervarian (lebih dari 300m). Formasi bulu Di bawah formasi Wonocolo terendapkan Formasi Bulu yang tersusun oleh litologi batu gamping masif yang mengandung koral, alga dan perlapisan batugamping yang juga mengandung foram laut berupa koral, orbitoid dan alga, sesekali diselangselingi oleh batupasir kuarsa bersifat karbonatan dan sisipan batulempung. Penyebarannya luas mulai dari Ngrejeg - Klumpit - Rengel hingga Purwodadi, dan menghilang di daerah Pati tertutup endapan alluvial. Pada peta geologi lembar Rembang (1 : 100.000), formasi ini melampar luas terutama di wilayah antiklonorium Rembang Utara. Satuan ini menebal ke arah barat, mencapai ketebalan hingga 360 m di sungai Larangan. Dibagian timur di sungai Besek dekat desa Bulu ketebalannya hanya 80 meter. Kondisi litologi dan kandungan fosilnya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan pada laut dangkal, terbuka pada Kala Miosen Tengah – Awal Miosen Akhir (N 13 – N 15). Gambar III.2 Stratigrafi Zona Rembang (Pringgoprawiro, 1983) Struktur Geologi Regional Tatanan tektonik dan struktur geologi di daerah Jawa tidak terlepas dari teori tektonik lempeng. Kepulauan Indonesia merupakan titik pertemuan antara tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Samudera Pasifik yang bergerak relatif ke arah barat laut,dan Lempeng Indo-Australia yang relatif bergerak ke arah utara (Hamilton, 1979). Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Jawa menjadi dua elemen struktur, yaitu Geosinklin Jawa Utara dan Geantiklin Jawa Selatan. Kedua elemen tersebut memanjang berarah barat-timur. Geosinklin Jawa Utara dikenal dengan nama Cekungan Jawa Timur Utara. Cekungan Jawa Timur Utara terdiri dari dua buah pegunungan yang berjalan sejajar dengan arah barat-timur dan dipisahkan oleh suatu depresi diantarannya. Berdasarkan fisiotektoniknya, van Bemmelen (1949) membagi Cekungan Jawa Timur Utara menjadi tiga jalur. Ketiga jalur tersebut berturut-turut dari selatan ke utara adalah Jalur Kendeng, Jalur Randublatung, dan Jalur Rembang. Jalur Kendeng Jalur ini dikenal sebagai Antiklinorium Kendeng. Jalur ini terisi oleh endapan Tersier yang terlipat kuat dan disertai sesar-sesar sungkup dengan kemiringan ke selatan. Panjang zona ini adalah 250 km, sedangkan lebar maksimumnya adalah 40 km (Pringgoprawiro, 1983). Jalur Randublatung Jalur ini merupakan suatu depresi fisiografi maupun tektonikyang terbentang di antara Jalur Kendeng dan Jalur Rembang. Jalur ini sebagian ditempati oleh Lembah Bengawan Solo. Pringgoprawiro (1983) berpendapat bahwa zona ini merupakan suatu depresi yang terbentuk pada kala Pleistosen dan ditempati oleh sedimen klastik halus dari Formasi Lidah yang berumur Kuarter serta kadang-kadang ditemukan napal dari Formasi Mundu. Vischer (1952 dalam Pringgoprawiro, 1983) menamakan zona ini sebagai Blok Lembah Solo. Jalur Rembang Jalur ini sejajar dengan jalur Kendeng dan dipisahkan oleh Randublatung. Jalur Rembang merupakan suatu dataran tinggi terdiri dari antiklinorium barat-timur sebagai hasil dari gejala tektonik Tersier akhir dan dapat diikuti hingga Pulau Madura dan Kangean. Di daerah Rembang, jalur ini dapat dibagi menjadi Antiklinorium Rembang Utara dan Antiklinorium Cepu yang ada di selatannya. Kedua antiklinorium ini dipisahkan oleh suatu depresi Blora-Kendeng. Vischer (1952 dalam Pringgoprawiro, 1983) memasukkan Antiklinorium Cepu ke dalam Jalur Randublatung (Blok Lembah Solo) dan menganggapnya sebagai suatu blok yang terangkat di dalam depresi tersebut seperti halnya dengan Antiklinorium Ngimbang. Batas Zona Rembang dengan Zona Randublatung kurang jelas dan tidak teratur kecuali di bagian timur yang dibatasi oleh patahan Kujung dan depresi Kening-Blora (Pringgoprawiro, 1983). Struktur-struktur tersebut di atas diakibatkan oleh pengangkatan yang terjadi pada kala Intra Miosen dan pada kala Plio-Pleistosen (van Bemmelen, 1949). Pulunggono dan Martodjojo (1994) menyatakan bahwa pola struktur dominan yang berkembang di Pulau Jawa adalah (Gambar III.3): Pola Meratus, berarah timurlaut-baratdaya (NE-SW) terbentuk pada 80 sampai 53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir-Eosen Awal).Pola ini ditunjukkan oleh Tinggian Karimunjawa di kawasan Laut Jawa yang diperkirakan menerus ke arah baratdaya ke daerahantara Luk Ulo (Jawa Tengah) sampai Sesar Cimandiri (Jawa Barat). Pola Sunda, berarah utara-selatan (N-S) terbentuk 53 sampai 32 juta tahun yang lalu (Eosen Awal-Oligosen Awal). Pola kelurusan struktur ini adalah yang paling dominan di daerah Jawa Barat. Pola Sunda ini merupakan sesar-sesar yang dalam dan menerus sampai Sumatra. Pola ini merupakan pola yang berumur lebih muda sehingga keberadaannya mengaktifkan kembali Pola Meratus Pola Jawa, berarah timur-barat(E-W) terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu sampai sekarang (Oligosen Akhir-Resen). Pola ini adalah pola termuda yang mengaktifkan kembali seluruh pola yang telah ada sebelumnya. Secara regional, pola struktur yang berkembang di daerah penelitian adalah Pola Meratus dan Pola Jawa yang terlihat dari kelurusan yang relatif berarah timur laut-barat daya dan berarah barat-timur. Hal ini juga didukung oleh penelitian Sribudiyani dkk. (2003). Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sribudiyani dkk. (2003), pola struktur permukaan yang berkembang pada daerah penelitian adalah pola struktur yang mempunyai kelurusan berarah timur laut-barat daya dan barat-timur (Gambar III.3). Gambar III.3 Pola struktur Pulau Jawa (Sribudiyani dkk., 2003) Gambar III.4 Pola struktur Pulau Jawa (Sribudiyani dkk., 2003) GEOLOGI & PENENTUAN KUALITAS BATUGAMPING SEBAGAI BAHAN BANGUNAN Latar Belakang Batuan Karbonat merupakan ciri khas dari daerah Kedungwinong yang mana keberadaannya dapat menunjang pembelajaran geologi dalam studi proses-proses yang terbentuk saat ini dan merupakan salah satu media dalam menunjang pembelajaran studi petrologi batuan karbonat. Batuan karbonat adalah batuan sedimen yang terdiri dari garam karbonat. Dalam prakteknya adalah gamping (limestone) dan dolomit (Koesoemadinata, 1987). Batuan karbonat penting dipelajari karena mempunyai keistimewaan dalam cara pembentukannya, yaitu bebas dari detritus daratan, tetapi yang lebih penting adalah turut sertanya bio-organisme yang banyak membentuk kerangka organik (frame builder). Selain itu batuan karbonat banyak mengandung fosil-fosil penunjuk umur suatu batuan. Batuan karbonat merupakan batuan yang dapat berfungsi sebagai reservoir hidrokarbon yang melingkupi lebih dari sepertiga cadangan hidrokarbon dunia. Selain itu, batuan karbonat dapat juga digunakan sebagai bahan untuk material konstruksi. Pada Tugas Akhir ini akan diteliti mengenai geologi dan penentuan kualitas batugamping sebagai bahan bangunan, daerah Kedungwinong dan sekitarnya, Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah. Batugamping Formasi Bulu tersusun oleh litologi batugamping masif yang mengandung koral, alga dan perlapisan batugamping yang juga mengandung foram laut berupa koral, orbitoid dan alga, sesekali diselangselingi oleh batupasir kuarsa bersifat karbonatan dan sisipan batulempung. Penyebarannya luas mulai dari Ngrejeg-Klumpit-Rengel hingga Purwodadi, dan menghilang di daerah Pati tertutup endapan alluvial. Kondisi litologi dan kandungan fosilnya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan pada laut dangkal, terbuka pada Kala Miosen Tengah- Awal Miosen Akhir (N 13 – N 15). Madsud dan Tujuan Maksud dari penelitian tugas akhir ini adalah untuk memenuhi syarat kelulusan pendidikan tingkat sarjana strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi Akprind Yogyakarta. Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah mengetahui tatanan geologi daerah penelitian dengan bantuan foto udara, peta topografi, dan pengambilan data secara langsung di daerah penelitian. Studi khusus yang menjadi sasaran penelitian di daerah ini yaitu untuk mempelajari penyebaran fasies pada batuan karbonat serta mengetahui lingkungan pengendapannya. Batugamping Batugamping adalah batuan yang fraksi karbonatnya lebih besar dari fraksi non karbonat (fraksi karbonat > 90%). Fraksi karbonat tersusun oleh (unsur logam dan CO3) seperti aragonit, kalsit, dolomit, magnesit, ankerit dan siderit. Sedangkan fraksi non karbonat (impurites) antara lain kuarsa, feldspar, mineral lempung, gypsum, anhidrit, rijang (chert), glaukonit dan lain-lain. Batuan karbonat secara umum ada dua (2) jenis yaitu batugamping dan dolomit (dolomitstone). Batuan karbonat disebut batugamping apabila komposisi utamanya kalsit (>90%) dan disebut dolomit apabila tersusun (>90%) (Boggs, 1987). Sedangkan jenis karbonat yang lain yaitu terumbu (reef), kapur (chalk) dan limestone.Secara umum batuan karbonat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu: Deskriptif : mengelompokan batuan karbonat berdasarkan pada sifat batuan yang dapat diamati dan ditentukan secara langsung seperti sifat fisik, kimia, biologi, mineralogi, tekstur dan struktur. Genetik: pengelompokan batuan didasarkan atas asal usul atau genesa pembentukan batuan. Berikut ini merupakan definisi dari penamaan batuan karbonatan berdasarkan tekstur: Bindstone, fasies ini memiliki karakteristik butiran yang terdiri dari kerangka ataupun pecahan yang telah mengalami pengikatan oleh kerak-kerak lapisan gamping (encrusting) yang dikeluarkan oleh ganggang merah dan lainnya. Bafflestone; fasies ini memiliki karakteristik butiran terdiri dari kerangka organik seperti koral yang sedang dalam posisi tumbuh berdiri (growth position) dan diselimuti oleh lumpur karbonat yang mengisi rongga-rongga pada koral, koral tersebut berperan sebagai (baffle) yang menjebak lumpur karbonat. Framestone; fasies ini memiliki karakteristik hampir seluruhnya terdiri dari kerangka organik seperti koral, alga dan lainnya. Sedangkan komposisi matriknya kurang dari 10%, antara kerangka tersebut biasanya terisi oleh (sparry calcite). Rudstone; fasies ini merupakan batugamping klastik yang memiliki ukuran butir paling kasat dimana merupakan rombakan dari batugamping kerangka yang mengalami transportasi dan terakumulasi di tempat tertentu. Fasies ini tidak dimasukan pada fasies batugamping terumbu tetapi berasosiasi dengan terumbu. Floatstone; fasies ini memiliki karakteristik butiran terdiri dari fragmen kerangka organik tidak lebih dari sepuluh persen (10%) yang tertanam dalam matriks karbonat. Grainstone; fasies ini merupakan batugamping klastik yang penyusun utamanya merupakan butiran yang ukurannya lebih besar 2mm, keterdapatan matriks di fasies ini tidak ada. Packstone; fasies ini memiliki karakteristik mulai melimpahnya lumpur karbonatan (>15%) tetapi fasies ini masih tetap didominasi oleh butiran. Wackestone; fasies ini memiliki karakteristik terdiri dari ukuran butir yang sangat halus (lumpur atau kalsilutit) tetapi masih memiliki asosiasi dengan fragmen klastik yang lebih besar tetapi tidak dominan. Mudstone; fasies ini memiliki karakteristik dari ukuran butiran yang halus, keterdapatan fragmen tidak lebih dari sepuluh persen (<10%). Gambar IV.1 Klasifikasi Batugamping (Dunham (1962) dan Embry dan Klovan (1971) Kualitas Batugamping Sebagai Bahan Bangunan Penentuan kualitas batuan sebagai bahan bangunan didasarkan pada sifat keteknikannya. Sifat keteknikan batuan diketahui dengan cara menentukan uji sifat fisik (berat jenis, porositas, daya sera air, void ration, dan keausan) dan sifat mekanika batuan (kuat tekan, kuat tarik,modulus elastisitas dan poisson’s ratio). (Rai, 1993). Pada penelitian ini untuk mengetahui karakteristik batugamping sebagai bahan bangunan, sifat keteknikan batuan yang diuji meliputi berat jenis, daya serap air, ketahanan aus dan kuat tekan batuan. Pengujian yang akan dilakukan akan terlebihnya menberikan hubungan dengan beberapa faktor yang ada. Faktor pengontrol sifat keteknikan batuan diantaranya jenis mineral, sifat fisik mineral, ukuran butir, bentuk butir, densitas dari kemas butiran, asal dan kekuatan antara butiran, serta distribusi butiran dengan berlapis acak dan berorientasi. (Krynine dan Judd, 1957). Sifat keteknikan batuan itu sendiri akan dipengaruhi oleh faktor intrinsik batuannya yaitu porositas, ukuran butir, bentuk butir, mineralogi dan kandungan air (Attwel dan Farmer, 1976). Syarat batuan sebagai bahan bangunan berdasrkan sifat keteknikannya ditunjukkan pada Tabel IV.1. Tabel IV.1 Syarat mutu batu alam untuk bahan bangunan (SK SNI-04-1989 F) Sifat -sifat Batu Alam Untuk Pondasi bangunan Tonggak dan Batu tepi jalan Penutup Lantai atau Trotoar Batu Hias atau batu Tempel Berat Sedang Ringan Kuat tekan rata-rata minimum (Kg/cm3) 1500 1000 800 500 600 200 Ketahanan Hancur Rudellof Indeks, minimum Bagian tembus 2 mm, maksimum (%) - - - - - - - - - - - - Ketahanan Los Angeles, bagian tembus 1,7 mm, maksimum (%) 27 40 50 - - - Ketahanan aus gesekan dengan Bauhinger maksimum (mm/menit). - - - - 0,16 - Penyerapan air maksimum (%) 5 5 8 5 5 5* 12** Kekekalan bentuk, dengan Na2SO4. Bagian Hancur, Maksimum (%) Retak/Pecah/cacat 12 12 12 12 12 12 Tidak retak dan tidak cacat. * Untuk tepat yang terlindungi dari air ** Untuk tempat yang tidak terlindung/konstruksi luas (Terbuka) Berart jenis Berat jenis batuan adalah perbandingan berat suatu batuan dengan berat air murni pada volume yang sama pada suhu tertentu. Berat jenis batuan tergantung oleh jenis batuan, susunan mineral batuan, struktur butiran dan porositas batuan (Ryandi dan Amalia, 2005). Berat jenis akan mempengaruhi daya tekana atau kuat tekan batuan. Menurunnya nilai berat jenis batuan dalam keadaan kering maka nilai kuat tekan batuannya pun turun (Novria, 2012; Verhoef, 1994; Krynine dan judd, 1957). Porositas Porositas adalah besaran yang menunjukan proporsi volume total yang di tempati oleh pori-pori (Johnson & Degraff, 1988). Untuk menentukan Porositas dalam pengujian ini dipergunakan rumusan yang dikemukakan oleh Goodman (1989) bahwa nialai porositas dapat pula di peroleh dari hubungan antara berat satuan kering dan berat jenis yaitu: γdray = Gγw (1-n). Daya serap air Daya serap air adalah kemampuan batuan dalam menyerap air sampai dalam keadaan jenuh. Daya serap air batuan merupakan jumlah air yang terdapat dalam batuan dihitung dari keadaan kering oven sampai dengan keadaaan jenih dan dinyatakan dalam % (Ryandi dan Amalia, 2005). Daya serap air akan mempengaruhi pelapukan dan kekuatan batuan. Semakin tingginya nilai daya serap air pada batuan, juga akan semakin mempercepat terjadinya proses pelapukan. Air yang masuk dan terserap ke dalam batuan akan menyebabkan batuan menjadi lebih lembab, kemudian lama kelamaan akan melapuk dan menyebabkan kekuatan batuan akan menjadi berkuran (Krynine dan Judd, 1957). Daya serap air dipengaruhi oleh porositas dan mineralogi batuan. Semakin banyak persentase lapukan/lubang pada batuan akan mengakibatkan semakin tinggi daya serap air, dan semakin banyak persentase gelas vulkanik pada batuan akan mengakibatkan semaking tinggi daya serap air Keterangan: Bj = Berat benda uji pada kedalaman permukaan jenuh (gram) Bk = Berat benda uji kering pada keadaan sesudah dimasukan dalam oven (gram) Ds = Daya serap air (%) Ketahanan aus Keausan batuan merupakan besaran yang menunjukan ketahan material terhadap gerusan (abrasi) yang mengenainya. Ketahanan aus batuan dipengaruhi oleh tingkat pelapukan batuan, apabila suatu batuan memiliki tingkat pelapukan yang lanjut maka nilai keausan gesekannya akan semakin bertambah yang menunjukan bahwa ketahan batuan tersebut apabila digores semakin kecil. Ketahanan aus akan mempengaruhi kekuatan batuan, semakin besar nilai ketahanan aus mengakibatkan nilai kuat tekan batuan semakin kecil. Selain itu jenis, void ratio dan serapan air. Semakin rendah berat jenis, dan semakin tinggi nilai void ratio dan serapan air maka nilai keausan batuan akan semakin tingggi dan ketahanan batuan terhadap goresan akan semakin rendah (Laili, 2014; Verhoef, 1994; Krynine dan judd, 1957). Rumusan ketahanan aus yaitu: D = 1,26G + 0,0246 Keterangan: D = Keausan (mm/menit) G = Beda berat sampel sebelum dan sesudah digerus dibagi dengan lama penggerusan (gram/menit) Kuat tekan Kekuatan batuan adalah parameter yang paling penting dalam pemilihan bahan baku batuan. Kekuatan batuan adalah kemampuan batuan untuk menahan beban dari luar. Di dalam mengetahui kekuatan batuan maka salah satunya dengan melakukan uji kuat tekan (Ryandi dan Amalia, 2005). Kuat tekan adalah besarnya beban sumbu maksimum per satuan luas yang dapat dicapai oleh benda uji hingga terjadi keruntuhan dan dinyatakan dalam satuan Mpa (SNI 03-2825-1992). Nilai kuat tekan suatu batuan diperlukan untuk mengetahui kekuatan maksimum dari batuan tersebut untuk menahan tekanan atau beban hingga mengalami keruntuhan sehingga nilai teresebut dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya kekuatan beban yang akan ditempatkan diatas sbuah pondasi batuan tampa mengakibatkan pondasi tersebut rusak (Krynine dan Judd, 1957). Kuat tekan batuan dipengaruhi oleh tekstur dan mineralogi batuan, berat jenis, daya serap air, ketahan aus. Tekstur batuan akan mempengaruhi kuat tekan batuan. Menurut Verhoef (1989) distribusi ukuran kristal mempunyai pengaruh terhadap kerapatan. Distribusi ukuran kristal yang baik/teratur akan memiliki kerapatan antara kristal yang lebih tinggi sehingga meningkatkan nilai kuat tekan batuan bila dibandingkan dengan distribusi ukuran kristal yang acak. Rumus kuat tekan yaitu: σc = F/A Keterangan: σc = Kuat tekan F = Gaya saat batuan pecah (satuan tekanan) A = Luas penampang bagian yang ditekan oleh gaya terserbut (satuan luas) RENCANA DAFTAR PUSTAKA Arifin, M., dan Suprianta., S., 1997, Bahan Galian Industri, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral, Bandung. Bemmelen, R.W. 1949, van., The Geology of Indonesia, vol IA, 2nd ed, The Haque Martinus Nijhoff, Netherlands. Bakosurtanal, 1998, Peta Rupa Bumi Digital Indonesia lembar 1409-322 Sukolilo. Dunham, R.Y.,1962, Classification of Carbonate Rocks According to  Depositional Textures, a Symposium, AAPG Bulletin, vol. 52. Embry, A.F. and Klovan, J.E.,1971. A Late Devonian Reef Tract on North-Eastern Banks Island,Norwest Territory. Bulletin of Canadian Pertoleum Geology 19,pp.730-781. Fenton, L. C and Mildred. A. F., 1940, The Rock Book, Ilustrated With Color Plates, Photographs And Line Drawings, Garden City, New York. Genevraye P.D., dan Samuel, L., 1972. Geology of The Kendeng Zone (Central & East Java). Proceedingd Indonesian Petroleum Association First Annual Convention. Grabau, R. J., 1912, Classification of Carbonate Rocks According to Depositional Texture, AAPG, Memoir 1. Kerr, P.F.,1977., Optical Mineralogy, 4th ed., United States of America : Mc Graw-Hill, Inc. Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Jakarta : IAGI Nockolds, S. R., Knocx. R.W., dan Chinner,G. A., 1976, Petrology For Students, Cam-bringe University Press, Cambringe London – New York – Melbourne. Riyadi, M. dan Amalia., 2005., Teknologi Bahan I, Jakarta : Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Jakarta.Pettijohn, F.J., 1975, Sedimentary rock 3rd  ed., New York : Harper & Row Publishing. Ryanto, A., 1994, Bahan Galian Industri Batu Pualam (Marmer), Direktorat Jenderal Pertambangan Umum Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral, Bandung. SNI 2925-2008, Cara Uji Kuat Tekan Batu Uniaxial, BSN Sukandarrumidi., 1999, Bahan Galian Industri, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 1 42 1 34