Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
Kajian mengenai politik kelas menengah Indonesia selama ini didomi-nasi oleh dua pendekatan utama, yakni Weberian dan Marxian. Per-spektif Weberian diawali oleh J.S. Furnivall, Clifford Geertz, termasuk juga Robert W. Hefner. Sedangkan, perspektif Marxian dapat ditemu-kan dalam karya-karya Richard Robison, Farchan Bulkin, dan Vedi Hadiz. Namun, di luar itu sebenarnya masih ada akademisi lainnya seperti halnya Ariel Heryanto yang lebih melihat kelas menengah dari pendekatan cultural studies. Secara umum, karya-karya tersebut menampilkan pengalaman pembentukan kelas menengah di Indonesia yang berangkat dari masa dekolonialisasi yang ditandai dengan munculnya kelompok masyarakat baru dalam struktur masyarakat Indonesia. Sebelumnya, kelompok ma-syarakat Indonesia hanya dikenal dalam dua kelompok yakni raja-kawu-la (penguasa-rakyat) yang itu menyimbolkan struktur kekuasaan yang berlandaskan patrimonialisme. Hadirnya kelompok masyarakat baru tersebut kemudian mengisi ruang kosong antara raja dan kawula ter-sebut yang kemudian berperan sebagai penghubung antara keduanya. Karakter " antara " (in between) yang terdapat dalam karakter kelas menengah Indonesia itulah yang menjadi pintu masuk bagi para il-muwan dalam melakukan analisis. Namun demikian, karakter " antara " tersebut juga bisa berarti ambigu mengingat ketidakjelasan posisi politik * Penulis adalah peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI.
Jati, Wasisto Raharjo, 2016. Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia. Jakarta: LP3ES. Dalam sebuah tulisan di Majalah Prisma tahun 1990, Ariel Heryanto menuliskan kepustakaan tentang kelas menengah yang menurutnya dapat dibagi setidaknya ke dalam empat kelompok yakni empirik, kon-septual-teoritik, epistemologis, dan diskursif. Kajian dalam kepustakaan kelas menengah dalam kelompok yang pertama didasarkan pada penga-matan historis maupun kekinian terhadap kelas menengah. Sementara, kepustakaan yang masuk dalam kelompok konseptual-teoretik kajiannya fokus merumuskan pengertian dan makna kata kelas menengah sebagai pengembangan kerangka teoretik tentang konsep kelas menengah itu sendiri. Kepustakaan yang masuk kelompok epistemologis, pokok bahas-annya ada pada tataran filsafat karena yang dikaji adalah hakikat dari konsep kelas menengah. Sementara itu, kelompok kepustakaan yang diskursif adalah kajian yang melihat signifikansi sosial dari kajian kelas menengah ini. Dari keempat kelompok tersebut, kepustakaan tentang kelas menengah, khususnya kepustakaan Indonesia, hingga periode 1990-an didominasi oleh studi empirik (Heryanto 1990). Hingga kini, tulisan-tulisan mengenai kelas menengah nampaknya masih banyak didominasi oleh kajian empirik dibandingkan dengan kajian konseptual-teoritik, epistemologis, maupun diskursif. Beruntung-nya, kajian empirik mengenai kelas menengah tidak membosankan karena ada banyak perspektif yang tersedia. Dalam pembahasan me-ngenai kelas menengah Indonesia, misalnya, para penulis tidak melulu fokus pada aspek historis kemunculan kelas menengah saja, namun juga menggunakan perspektif ekonomi, sosial, politik, budaya, maupun gabungan dari perspektif-perspektif tersebut dalam menyusun studinya. * Penulis adalah Asisten Managing Editor Jurnal Politik.
Pada tahun 2014, pertumbuhan di Sektor Properti seakan melambat, hal ini ditengarai oleh berbagai hal, mulai dari belum pulihnya kondisi krisis ekonomi global sejak tahun 2008, yang diikuti dengan melemahnya kondisi ekonomi nasional yang mencapai 5,1% (lebih rendah dari target APBN yaitu 5,5%), tingginya suku bunga BI 7,75%, dan kondisi politik nasional yang kurang stabil menjelang Pemilu. Sayangnya, hal tersebut tidak segera bangkit dan berubah di tahun 2015. Pada tahun 2015, kondisi ekonomi semakin melemah yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah hingga mencapai Rp 14.006 (Sept 2015) atau terrendah sejak krisis ekonomi tahun 1998, nilai ekspor nasional yang menurun 17,66% dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya (Desember), suku bungai BI mencapai 7,5%, dan pertumbuhan PDRB yang menurun menjadi 4,8%. Hal di atas tentu memberikan implikasi yang signifikan dalam pertumbuhan ekonomi nasional, tidak terkecuali pada pertumbuhan sector property. Pada sector property dampak yang dirasakan diantaranya turunnya nilai hunian apartemen, pusat perbelanjaan, hotel dan kantor. Namun, di tengah berbagai tantangan tersebut. Sektor apartemen merupakan salah satu yang bertahan geliatnya, hal ini terungkap dengan penjualan yang mencapai 71% pada Oktober 2015, yang didominasi pada penjualan apartemen kelas menengah, dengan harga pada kisaran 250 juta – 1 M. Saat ini Indonesia mengalami masa emas kependudukan, yaitu komposisi penduduk yang didominasi usia produktif (15-64 tahun). Dengan komposisi ini, umumnya masyarakat memiliki pekerjaan dan berpenghasilan, atau yang dikenal sebagai kelas menengah. Menurut World Bank, kelas menengah adalah kelompok usia produktif yang memiliki pengeluaran 2-20$/hari. Kelas ini adalah kelompok potensial, baik dari segi ekonomi, social, budaya, dan umumnya merupakan agen peubah dalam politik demokrasi. Selain itu, kelompok ini memiliki peran penting dalam mencetak generasi penerus yang akan menjawab masa setelah berakhirnya era keemasan kependudukan. Dengan demikian aktualisasinya harus didorong oleh Pemerintah, baik dalam bentuk penyediaan hunian, sarana prasarana, maupun keterbukaan dan sarana berdemokrasi. Seperti telah disebutkan di atas bahwa, komposisi penduduk usia produktif saat ini mendominasi, dan komposisi umur ini merupakan para pekerja yang umumnya akan membeli rumah pertama kali. Pilihan tempat tinggal yang ada umumnya adalah rumah tapak dan apartemen. Namun, kriteria tempat bermukim para pekerja usia muda ini umumnya mendambakan hunian di dalam kota, memiliki akses yang baik, lingkungan yang nyaman, dan ketersediaan sarana dan prasarana kota. Lokasi yang demikian di perkotaan umumnya dibanderol dengan harga di atas 1M. Dengan kriteria tersebut, maka sebagai alternative dengan harga yang lebih terjangkau maka keberadaan rumah vertical atau apartemen menjadi salah satu jawaban. Hal ini didukung dengan ragam fasilitas apartemen yang umumnya menyediakan taman, kolam renang, fasilitas ibadah, pusat belanja, dan keamanan 24 jam. Hal ini menyebabkan apartemen kelas menengah menjadi pilihan keluarga muda, dan tumbuh subur di Ibukota. Berdasarkan hasil identifikasi PPGT UI terkait sebaran apartemen di Jakarta, secara umum dalam 7 tahun terakhir di Jakarta tumbuh tidak kurang dari 45 unit apartemen kelas menengah, sebaran lokasi apartemen kelas menengah tersebut diantaranya di kawasan Daan Mogot, Kembangan, Puri Indah, Pasar Minggu, Jagakarsa, Cilandak, Cawang/MT Haryono, Sentra Primer Timur, Kelapa Gading, dan Pluit. Telah dipublikasikan oleh Majalah Property&Bank, Maret 2016
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, 2015
Journal of Structural Geology, 2016
Romantizm: Felsefe, Sanat, Siyaset, 2021
International journal of literature studies, 2022
STUDIUM: Revista de Filosofia, 2005
2008
Anesthesiology, 2011
Handicap & Recht, 2016
Social Science & Medicine, 2022
Natura neotropicalis, 2016
International Journal of Electronics and Electical Engineering, 2012
Journal of Food Process Engineering, 2015