Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Berebut kelas Menengah

Berebut kelas Menengah, Untuk Menekan Gejokan Sosial Dan Melanggengkan Konsumerisme Model Baru (Bagian 1)  Jun 01, 2014  Tim Redaksi  Hot Issues, Suksesi  0 Pada Pilpres 2014, kelas menengah di Indonesia diprediksi akan menjadi arah penentu kemenangan. Jumlahnya yang cukup besar bahkan hampir mencapai 60% dari jumlah total penduduk Indonesia, membuat kelas menengah menjadi arena perebutan paling “krusial” antara pasangan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Bukti krusialnya pertarungan untuk memperebutkan kelas menengah, begitu dominan tampil di public secara kasat mata. Pertarungan isu-isu populis, ide, gagasan dan visi-misi bahkan black campain yang begitu massif dipertontonkan melalui media sosial adalah fakta kongkrit tentang pertarungan di memperebutkan masyarakat kelas menengah. Berbeda dengan kelompok bawah, para pasangan capres dan cawapres cenderung mengunakan serangan darat berbasiskan mobilisasi tokoh agama, tokoh adat, tokoh budaya, serta kyai/ulama yang dianggap masih dominan sebagai vote getter bagi kelas bawah yang notabene masih terikat pada ikatatan primodialisme patron klien. Melihat perang gagasan serta black campain dari masing-masing pasangan, jelas bahwa locus pertarungan yang sebenarnya adalah pada level kelas menengah di Indonesia. Siapa Kelas Menengah? Secara umum ada dua pendekatan untuk mendefinisikan kelas menengah yaitu pendekatan absolut dan relatif. Lester Thurow (1987) dari MIT mendefinsikan kelas menengah di Amerika Serikat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki pendapatan (income) dalam rentang antara 75% dan 125% dari median (titik tengah) pendapatan perkapita. Jadi batas bawah (floor) kelas menengah menurut definisi ini adalah sebesar 75% dari angka median pendapatan perkapita. Sedangkan batas atasnya sebesar 125% dari angka median pendapatan perkapita. Sementara Easterly (2001) dari New York University mendefinisikan kelas menengah dengan membagi penduduk ke dalam lima kelompok pengeluaran konsumsi (consumption expenditure) yang sama (quintiles), dari kelompok masyarakat termiskin hingga terkaya. Kelas menengah menurut Easterly diperoleh dengan mengeluarkan quintiles terbawah (20% kelompok masyarakat termiskin) dan quintiles teratas (20% kelompok masyarakat terkaya). Jadi kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang memiliki pengeluaran perkapita di quintiles kedua, ketiga, dan keempat. Milanovic dan Yitzhaki (2002) menggunakan pendapatan perkapita rata-rata masyarakat Brazil dan Italia sebagai batas bawah (floor) dan atas (ceiling) untuk mendefinisikan kelas menengah. Definisi ini menghasilkan angka rentang pendapatan perkapita perhari kelas menengah sekitar $12-50 (berdasarkan purchasing-power parity, PPP, tahun 2000). Bussolo, et.al. (2007) mendefinisikan kelas menengah dengan menetapkan batas bawah garis kemiskinan (poverty line) di Brazil sebesar $10) dan batas atas garis kemiskinan di Italia sebesar $20. Kriteria lain diberikan oleh Banerjee dan Duflo (2008) yang mendefinisikan kelas menengah dengan dua alternatif angka absolut yaitu rentang pendapatan perkapita perhari $2-4 dan $6-10. Sementara Ravallion (2009) dari Bank Dunia menggunakan batas bawah berupa median garis kemiskinan di 70 negara berkembang sebagai batas bawah, yaitu pendapatan perkapita perhari sebesar $2 (PPP, 2005). Sementara untuk batas atas ia menggunakan angka batas garis kemiskinan di Amerika Serikat sebesar $13. Karena menggunakan batas atas kemiskinan di Amerika Serikat, definisi ini cocok diterapkan untuk negara-negara berkembang. Di Indonesia, identifikasi kelas menengah cenderung mengunakan ukuran yang dikeluarkan oleh Asia Development Bank (ADB). ADB (2010) mendefinisikan kelas menengah dengan rentang pengeluaran perkapita perhari sebasar $2-20. Rentang inilah yang kini banyak dipakai untuk mengukur jumlah keas menengah di Indonesia. Rentang pengeluaran perkapita tersebut dibagi lagi ke dalam tiga kelompok yaitu masyarakat kelas menengah bawah (lower middle class) dengan pengeluaran perkapita perhari sebesar $2-4; kelas menengah tengah (middle-middle class) sebesar $4-10; dan kelas menengah atas (upper-middle class) $10-20 (PPP tahun 2005). Dengan rentang pengeluaran $2-20 maka didapatkan jumlah kelas menengah Indonesia sebanyak 134 juta (2010) atau sekitar 56% dari seluruh penduduk, suatu jumlah yang sudah cukup besar. . Dalam survey McKinsey Global Institute menyebut kelas menengah dengan istilah “consuming class”. Definisinya adalah individu yang memiliki pendapatan sebesar $3600 ke atas. Dengan definisi ini, maka jumlah kelas menengah kita mencapai 45 juta pada tahun 2010 dan akan meroket menjadi 134 juta pada tahun 2030. Kelas menengah sesungguhnya tidak melulu ditentukan secara kuantitatif dengan indikator pendapatan dan pengeluaran semata. Berbagai indikator kualitatif lain bisa digunakan seperti tingkat pendidikan, akses pada layanan kesehatan, pekerjaan, bahkan indikator psikografis seperti tingkat melek investasi, wawasan pengetahuan, atau kesadaran partisipasi politik. Kalau ukuran-ukuran itu juga dimasukkan, maka sudah pasti kriteria kelas menengah menjadi kian beragam. Dalam buku “Satu Dasawarsa Membangun Untuk Kesejahteraan Rakyat” pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mencatat peningkatan jumlah masyarakat kelas menengah dari 37 persen pada 2004 menjadi 56,7 persen dari total penduduk di Indonesia pada 2013. Kelas menengah, menurut buku yang diterbitkan Sekretariat Kabinet itu, merupakan kelompok masyarakat yang membelanjakan uang per harinya dengan kisaran dua dollar AS atau setara dengan Rp22.756 (dengan kurs 1 Dollar AS : Rp11.378) hingga 20 dollar AS. Tumbuhnya kelas menengah di Indonesia juga dapat dilihat dari data statistik jumlah kepemilikan kendaraan bermotor, jumlah penumpang pesawat terbang, jumlah rumah tangga yang memiliki HP atau telepon genggam, dan rumah tangga yang memiliki komputer serta memiliki akses internet. Dari data terakhir, yang dikutip buku tersebut, pada 2004 hingga 2012, jumlah kendaraan bermotor baik roda dua dan roda empat meningkat dari 30,5 juta menjadi 94,4 juta unit. Jumlah penumpang pesawat terbang juga meningkat dari 33,21 juta pada 2004 menjadi 82,43 juta pada 2012. Mengenai kepemilikan ponsel, terjadi peningkatan dari 19,94 persen pada 2005 mencapai 83,52 persen pada 2012. Begitu juga kepemilikan komputer meningkat dari 3,67 persen pada 2005 menjadi 14,86 persen pada 2012. Kemudian, akses internet juga meningkat 2,32 persen pada 2005 menjadi 30,66 persen pada 2012. Peningkatan kesejahteraan masyarakat juga dinilai sejalan dengan membaiknya kondisi keuangan negara yang ditandai dengan peningkatan nilai APBN dari Rp427,2 triliun menjadi Rp1.726 triliun pada APBN-P 2013 atau meningkat 400 persen, dan kembali meningkat menjadi Rp1842,5 triliun pada 2014. Selain itu, cadangan devisa juga dinilai terus meningkat dari 36,3 miliar dolar AS pada 2004 menjadi 97 miliar pada November 2013 atau meningkat 30 persen. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga mengalami penurunan dari sekitar 56,6 persen di 2004 menjadi 23 persen pada 2013. (Gambar ; english.cw.com.tw, www.nationalconcerns.com)