Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Cetak biru pelayanan pasien

ABSTRAK Tingginya angka penolakan pasien rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat yang mencapai 300-400 pasien per tahun (1.1) tidak sejalan dengan angka kinerja rumah sakit pada tahun 2013. Penelitian bertujuan menggambarkan cetak biru pelayanan pasien dalam mendapatkan pelayanan rawat inap dan menemukan titik potensi perbaikan dengan pengamatan pada lima unit pelayanan yang terlibat. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik penelitian operasional. Hasil penelitian yaitu diperolehnya desain cetak biru pelayanan pasien untuk pasien rawat jalan atau pasien gawat darurat yang memerlukan rawat inap, dan penolakan pasien dapat dikurangi dengan menetapkan aturan penggunaan instrumen PANSS-EC (Positive and Negative Syndrome Scale-Excited Component) untuk menilai status pasien. Kata kunci: cetak biru pelayanan, penolakan pasien, rumah sakit jiwa. ABSTRACT The in-patient refusal number in West Java Province Psychiatric Hospital which reach 300-400 patient per year (1) , doesn't go along with the hospital achievement number in 2013. This research is aimed to describe a Service-Blueprints for inpatients services and investigate potential points for improvement by observings five service units that are involved. This is a qualitative research with operational research technique. The results are a set of service-blueprints design for outpatients or emergency patients, who need hospitalization, and establishing the use of Positive and Negative Syndrome Scale-Excited Component (PANSS-EC) instrument as a tool for determining the patient status can significantly lower patient refusal.

Cetak Biru Pelayanan Pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat Tahun 2014 Patient Service-Blueprints in West Java Province Psychiatric Hospital 2014 Yuyun Yulianti, SKM Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat Jalan Kolonel Masturi Km 7 Kabupaten Bandung Barat *Email: yuyunyulianti11@gmail. com ABSTRAK Tingginya angka penolakan pasien rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat yang mencapai 300-400 pasien per tahun(1.1) tidak sejalan dengan angka kinerja rumah sakit pada tahun 2013. Penelitian bertujuan menggambarkan cetak biru pelayanan pasien dalam mendapatkan pelayanan rawat inap dan menemukan titik potensi perbaikan dengan pengamatan pada lima unit pelayanan yang terlibat. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik penelitian operasional. Hasil penelitian yaitu diperolehnya desain cetak biru pelayanan pasien untuk pasien rawat jalan atau pasien gawat darurat yang memerlukan rawat inap, dan penolakan pasien dapat dikurangi dengan menetapkan aturan penggunaan instrumen PANSS-EC (Positive and Negative Syndrome Scale-Excited Component ) untuk menilai status pasien. Kata kunci: cetak biru pelayanan, penolakan pasien, rumah sakit jiwa. ABSTRACT The in-patient refusal number in West Java Province Psychiatric Hospital which reach 300-400 patient per year(1), doesn’t go along with the hospital achievement number in 2013. This research is aimed to describe a Service-Blueprints for inpatients services and investigate potential points for improvement by observings five service units that are involved. This is a qualitative research with operational research technique. The results are a set of service-blueprints design for outpatients or emergency patients, who need hospitalization, and establishing the use of Positive and Negative Syndrome Scale-Excited Component (PANSS-EC) instrument as a tool for determining the patient status can significantly lower patient refusal. Keywords: patient refusal, psychiatric hospital, service-blueprints. PENDAHULUAN Kesehatan jiwa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan dan merupakan bagian integral dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 144 Ayat 1(2.1) menyatakan, upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa. Selanjutnya, UndangUndang Kesehatan Jiwa Nomor 18 Tahun 2014 Pasal 4 Ayat 1 menjelaskan bahwa upaya-upaya kesehatan jiwa dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pasal 5 Ayat 1 lalu mengamanatkan agar upaya kesehatan jiwa sebagaimana yang dimaksud dapat dilaksanakan secara terintegrasi, komprehensif, dan juga berkesinambungan sepanjang siklus kehidupan manusia dan Ayat 2 menegaskan bahwa dalam rangka menjamin pelaksanaan upaya-upaya kesehatan jiwa yang terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan, maka upaya tersebut harus dilakukan secara terkoordinasi. Jurnal ARSI/Januari 2015 Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang telah ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis dan juga salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia (Idaiani, dkk., dalam Riset Kesehatan Dasar, 2013) (3.1). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013)(3.2) menunjukkan prevalensi gangguan jiwa berat/psikosis nasional sebesar 1,7%, dan prevalensi di Jawa Barat 1,6%. Angka ini sedikit menurun dibandingkan hasil Riskesdas 2007(4), yang menyatakan prevalensi nasional gangguan jiwa berat adalah sebesar 4,6%, sedangkan di wilyah Jawa Barat adalah sebesar 2,2%. Angka tersebut merupakan gambaran masalah kesehatan jiwa di Jawa Barat. Menurut Torrey (2006) dalam Marliyani (2011) (5), 5-6% penderita gangguan jiwa berat memerlukan perawatan di rumah sakit, utamanya di Rumah Sakit Jiwa. Namun, berdasarkan data WHO pada tahun 2011 87 Jurnal Administrasi Kebijakan Kesehatan Volume I Nomor 2 mengenai Profil Kesehatan Jiwa Indonesia, jumlah tempat tidur di rumah sakit jiwa untuk rawat inap yang tersedia adalah 3,31 per 100.000 penduduk. Adapun perbandingan rasio psikiater dengan jumlah penduduk di Indonesia hanya 0,01 per 100.000 penduduk. Menurut Torrey (2006) dalam Marliyani (2011)(5), 5-6% dari penderita gangguan jiwa berat memerlukan perawatan di rumah sakit, terutama di Rumah Sakit Jiwa. Namun, berdasarkan data-data World Health Organization (WHO) tahun 2011 mengenai Profil Kesehatan Jiwa Indonesia, jumlah tempat tidur di rumah sakit jiwa untuk rawat inap yang tersedia adalah 3,31 per 100.000 penduduk. Sementara itu, perbandingan rasio psikiater dengan jumlah penduduk di Indonesia hanya 0,01 per 100.000 penduduk. Tabel 1. Indikator Pelayanan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2013 Tahun Jumlah Hari 365 365 365 365 365 Jumlah Tempat Tidur 185 235 235 235 235 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata Target Renstra RSJ 2008-2013 Jumlah Hari Perawatan Pasien 46916 52010 61315 58553 58166 55392 BOR (%) 69,48 60,64 71,48 68,26 67,81 67,53 80 LOS (hari) 36,43 30,17 34,92 39,24 33,60 34,87 25 TOI (hari) 16,00 19,59 13,93 18,25 15,95 16,74 6 BTO (kali) 6,96 7,34 7,47 6,35 7,37 7,10 12 Sumber :Laporan Instalasi Rekam Medis RSJ Provinsi Jawa Barat (2013)(6) Berbagai indikator pelayanan rawat inap yang belum memenuhi target tersebut tidak sejalan dengan adanya laporan Instalasi Gawat Darurat (IGD), Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Rekam Medis yang menunjukkan sejak beberapa tahun yang lalu terdapat penolakan pasien indikasi rawat inap yang mencapai 300-400 pasien per tahun (Laporan Tahunan Instalasi Gawat Darurat RSJ Provinsi Jawa Barat, 2013)(1.2). Belum tercapainya target kinerja rumah sakit untuk indikator BOR (Bed Occupancy Rate), LOS (Length of Stay), TOI (Turn Over Interval) dan juga BTO (Bed Turn Over) yang kontradiktif dengan tingginya angka penolakan pasien disebabkan sistem penerimaan pasien rawat inap yang mengharuskan pasien rawat inap untuk dirawat di ruang rawat jiwa intensif terlebih dahulu sebelum dapat dirawat di ruang rawat inap (tenang). Hal ini menyebabkan pasien tidak dapat masuk rawat inap bilamana ruang perawatan jiwa intensif penuh. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat memiliki fasilitas rawat inap intensif yang masih terbatas, sehingga tidak dapat menampung seluruh kebutuhan rawat inap intensif pasien di Jawa Barat. Hal ini peneliti anggap sebagai masalah yang perlu diteliti mengingat Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 32 Ayat (2)(2.2) menyatakan “Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka”. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah agar didapatkannya cetak biru pelayanan pasien yang berlaku di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat saat ini dan didapatkannya pula usulan perbaikan cetak biru pelayanan pasien yang dapat menurunkan angka penolakan pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. yang mengkombinasikan berbagai metode dan alat dari berbagai disiplin ilmu dan juga merupakan suatu hasil dari rancangan sistem dan proses yang bertujuan untuk memberikan layanan yang holistik bagi setiap pengguna layanan (Stickdorn & Schneider, 2011)(7.1). Prinsip utama dalam membuat desain pelayanan menurut Stickdorn & Schneider (2011)(7.2) adalah berfokus pada pengguna (user centred), melibatkan seluruh stakeholder dalam menyusun desain layanan (co-creative), pelayanan divisualisasikan sebagai sebuah rangkaian aktivitas yang saling berhubungan (sequencing), pelayanan yang tidak berwujud harus dapat dibuktikan dengan bukti fisik (evidencing), serta menjadikan seluruh faktor lingkungan pelayanan sebagai bahan pertimbangan (holistik). Stickdorn dan Schneider (2011)(7.3) mengidentifikasikan setidaknya terdapat 25 tools atau perangkat yang dapat digunakan dalam mendesain pelayanan, salah satunya yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah service blueprints. Service blueprints atau cetak biru pelayanan adalah sebuah cara untuk merinci secara detail semua aspek individual dari pelayanan. Cetak biru biasanya melibatkan kegiatan memvisualisasikan skema hubungan dari perspektif pelanggan, pemberi pelayanan, dan pihak lain yang mungkin terlibat. Mendetailkan segala hal dari sudut pandang pelanggan, sampai proses di belakang layar (Stickdorn & Schneider, 2011) (7.4). Service blueprints atau cetak biru digunakan saat kita ingin mengobservasi pelayanan dari semua sisi, dalam rangka menemukan titik dan area pengembangan dan peluang-peluang baru. Service blueprint ini menjelaskan bukti fisik, para pemain yang berbeda, tindakan mereka dan saling ketergantungan selama perjalanan, sehingga memungkinkan untuk menangkap kekurangan dan juga TINJAUAN PUSTAKA tumpang tindih yang tidak perlu. Hal ini memfasilitasi dikembangkannya strategi-strategi dan juga inovasi taktis Service Blueprints (Cetak Biru Pelayanan) Desain pelayanan merupakan pendekatan multidisiplin (Vianna, et al., 2011)(8). Jurnal ARSI/Januari 2015 88 Yuyun Yulianti, Cetak Biru Pelayanan Pasien di RSJP Jawa Barat Tahun 2014 Komponen services blueprints yang dikemukakan oleh semua kegiatan lain dapat dilihat sebagai pendukung Bitner, Ostrom, & Morgan (2007)(9.1) serta Stickdorn proposisi nilai yang ditawarkan (Bitner, Ostrom, & dan Schneider (2011)(7.5) terdiri dari 5 komponen yaitu: Morgan, 2007)(9.2). 1. 2. 3. Bukti fisik (physical evidence), yakni segala hal yang bersifat tangible atau dapat dirabarasakan oleh pelanggan dan dapat mempengaruhi persepsi mereka. Aksi pelanggan (customer actions) yang mencakup semua langkah yang dilakukan pelanggan sebagai bagian dari proses pelayanan. Tindakan pelanggan digambarkan secara kronologis di bagian atas desain cetak biru. Kegiatan karyawan yang terlihat (onstage/visible contact employee actions), yakni segala tindakan karyawan garis depan yang terjadi sebagai kontak langsung dengan pelanggan atau bagian dari pertemuan karyawan pada saat berhadapan muka dengan pelanggan. Kegiatan karyawan yang tidak terlihat (backstage/ invisible contact employee actions), yakni segala sesuatu yang muncul di atas garis visibilitas yang dapat dilihat oleh pelanggan, sedangkan segala sesuatu di bawahnya tidak terlihat. Di bawah garis visibilitas, semua tindakan para karyawan kontak lainnya dijelaskan, baik yang melibatkan interaksi dengan pelanggan (misalnya, panggilan telepon) serta kegiatan lain yang dilakukan karyawan untuk mempersiapkan diri dalam melayani pelanggan atau yang merupakan bagian dari tanggung jawab peran mereka. Setiap proses pendukung (support processes) yang mencakup semua kegiatan yang dilakukan oleh individu dan unit dalam perusahaan yang tidak berhubungan dengan karyawan tetapi perlu terjadi untuk pelayanan yang akan disampaikan. Adapun garis-garis vertikal proses pendukung yang masingmasing menghubungkan dengan daerah lain dalam cetak biru menunjukkan koneksi antar-fungsional dan dukungan yang penting untuk memberikan pelayanan kepada pelanggan. PANSS-EC PANSS (Positive and Negative Syndrome Scale) ialah salah satu instrumen penilaian yang paling penting untuk pasien dengan gangguan jiwa berat/skizofrenia (Obermeier, et al., 2011)(10.1). PANSS pertama kalli dibuat oleh Stanley Kay, lewis Opler, dan Abraham Fizsbein di tahun 1987 yang diambil dari dua instumen terdahulu yaitu Brief Psychiatry Rating Scale (BPRS) dan Psychopathology Rating Scale (PRS). Uji reabilitas inter-rater dan test-restest telah dilakukan Kay dan Opler pada tahun 1987 dengan hasil yang tinggi (Kay, 1987 dalam Ambarwati, 2009)(11.1). PANSS merupakan 30 item penilaian yang masingmasing dibagi dalam sub skala positif, negatif, dan juga psikopatologi secara umum. Adapun skala ini biasanya digunakan oleh dokter yang telah terlatih untuk menilai beratnya masing-masing item dengan memberikan poin sebesar 1-7 pilihan untuk beratnya gejala. PANSS dapat menunjukkan reliabilitas internal yang tinggi, validitas yang disusun dengan baik, dan sensitivitas yang baik untuk perubahan gejala dalam jangka pendek maupun jangka panjang. PANSS merupakan pengukuran yang sensitif dan spesifik dari manipulasi farmakologik pada gejala-gejala positif dan juga negatif dari skizofrenia. Validitas dari masing-masing sub skala dikonfirmasi 5. dengan eksplorasi dari klasifikasi pasien berdasarkan kelas gejala predominan. Salah satu kekuatan PANSS adalah konsistensinya dalam skoring pasien secara individual sejalan dengan waktu dan juga perjalanan penyakit (Escobar, et al., 2007, dan Pridmore, 2008, dalam Khalimah., 2009)(12.1). Untuk dapat digunakan terhadap pasien skizofrenia Indonesia, telah dilakukan uji reliabilitas, validitas, dan uji sensitivitas PANSS oleh A. Kusumawardhani dan juga tim dari Fakultas Kedokteran UI pada tahun 1994 (Kusumawardhani, (11.2) . Kelima wilayah tersebut dipisahkan oleh tiga buah garis 1994., dalam Ambarwati, 2009) yaitu: a. garis interaksi (line of interaction): menunjukkan PANSS-EC (The Positive and Negative Syndrome Scale adanya interaksi langsung antara pelanggan dan -Excited Component) atau PANSS komponen gaduh perusahaan penyedia layanan; gelisah merupakan sub skala yang telah divalidasi dari b. garis batas pandang (line of visibility): garis yang PANSS yang digunakan untuk mengukur gejala-gejala memisahkan antara aktivitas-aktivitas pelayanan agitasi, dan menilai 5 (lima) gejala, yaitu : buruknya yang terlihat dan aktivitas-aktivitas pelayanan yang kontrol terhadap impuls, ketegangan, permusuhan, tidak terlihat oleh konsumen; dan ketidakkooperatifan dan gaduh gelisah. Masing-masing c. garis interaksi internal (line of internal interaction): gejala dinilai oleh dokter pada skala 1-7 (Kay SR, memisahkan “backstage” contact employee action 1986., dalam Khalimah, 2009)(12.2). Dari perspektif dari aktivitas pendukung pelayanan lainnya. klinis, PANSS-EC adalah salah satu skala yang paling sederhana tetapi paling intuitif yang digunakan untuk Yang membuat blueprinting berbeda dari pendekatan menilai pasien gaduh gelisah (Lindenmayer, et al, 2008, (13.1) . flowcharting lainnya adalah bahwa tindakan para dalam Montoya, et al ., 2011) pelanggan penting bagi penciptaan cetak biru, dan dengan mereka biasanya ditata terlebih dahulu agar Skala penilaian PANSS-EC yang dinilai ialah dari 1 4. Jurnal ARSI/Januari 2015 89 Jurnal Administrasi Kebijakan Kesehatan (tidak ada) sampai dengan 7 (sangat parah) dan skor berkisar antara 5-35. Adapun nilai rata-rata ≥ 20 klinis menunjukkan adanya agitasi akut (Baker RW, et al., 2003 dalam Montoya, et al. 2011)(13.2). Apabila ditemukan hasil total skor 25-35 pada pengukuran PANSS gaduh gelisah pasien, maka pasien tersebut dapat dikategorikan dalam indikasi untuk dilakukan perawatan di rumah sakit (Kay SR, 1986., dalam Khalimah 2009)(12.3). Volume I Nomor 2 guna identifikasi kebutuhan perawatan. Adapun PANSSEC digunakan karena konsistensinya dalam skoring pasien secara individual sejalan dengan waktu dan perjalanan penyakit. Kerangka konsep penelitian ini menggunakan komponen service blueprints menurut Stickdorn dan juga Schneider yang ditampilkan melalui gambar berikut ini. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik penelitian operasional. Penelitian operasional adalah penelitian yang bertujuan untuk memberikan solusi bagi masalah-masalah operasional dalam pelaksanaan program atau kegiatan yang hasilnya dipergunakan untuk membantu pemecahan masalah. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat pada bulan Januari-Mei 2014. Pada penelitian ini pasien yang diobservasi adalah pasienpasien yang membutuhkan rawat inap. Dalam rangka menggambarkan proses tersebut, peneliti tidak dapat hanya menggambarkan perjalanan pasien di rawat inap saja melainkan harus menggambarkan perjalanan pasien mulai dari pendaftaran, kemudian rawat jalan dan IGD sebagai pintu masuk dimana keputusan bahwa pasien memerlukan rawat inap ditentukan. Kemudian peneliti menggambarkan perjalanan pasien di Rawat Jiwa Intensif dan Rawat Inap (tenang) sebagaimana alur yang berlaku di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat saat ini untuk dapat menemukan potensi perbaikan dalam mengurangi angka penolakan pasien. Informan dalam penelitian dipilih dengan cara purposive sampling, yaitu penentuan informan dengan pertimbangan tertentu. Informan yang dipilih adalah setiap staf yang terlibat dalam alur pelayanan pasien rawat inap, serta pihak manajemen selaku pemangku kebijakan dalam penetapan kebijakan medis dan penyusunan standar operasional prosedur rumah sakit. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, telaah literatur, dan Consensus Decision Making Group (CDMG). Services Blueprinting yang dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk layanan yang sudah ada sebelumnya. Prosedur Services Blueprinting yang sesuai untuk layanan yang ada sebelumnya adalah dengan menggambarkan dan menganalisa status proses pelayanan, untuk melihat bidang perbaikan dalam urutan layanan, menciptakan representasi visual proses perbaikan dengan menunjukkan aliran dan menyoroti poin potensial untuk tambahan penyesuaian. Mengacu pada tujuan dari penelitian, yakni diperolehnya usulan perbaikan cetak biru pelayanan pasien yang dapat menurunkan angka penolakan pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, maka peneliti pun menggunakan instrumen PANSS-EC untuk dapat melihat, mengukur, dan juga menampilkan status pasien dengan gangguan jiwa Jurnal ARSI/Januari 2015 Gambar 1. Komponen Service Blueprints Sebagai Kerangka Konsep Penelitian Sumber : This is Service Design Thinking, Stickdorn & Schneider, 2011 (7.6) HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan desain cetak biru pelayanan pasien saat ini yang terdiri dari 5 unit pelayanan yaitu pendaftaran, instalasi rawat jalan, instalasi gawat darurat, rawat jiwa intensif, dan rawat inap (tenang). Dengan menganalisis kelima komponen service blueprints, yaitu bukti fisik, aksi pelanggan, aksi karyawan terlihat, aksi karyawan tidak terlihat (back-stage) dan juga proses pendukung, dapat diidentifikiasi titik penolakan pasien terjadi di rawat jalan dan IGD untuk pasien yang memerlukan rawat inap tetapi ruang rawat jiwa intensif penuh. 90 Yuyun Yulianti, Cetak Biru Pelayanan Pasien di RSJP Jawa Barat Tahun 2014 Gambar 2. Alur Proses Pelayanan Pasien di Instalasi Gawat Darurat Saat Ini Masalah utama adalah kriteria pasien indikasi rawat dan kriteria pasien dapat dipindahkan dari ruang RJI ke rawat inap (tenang) belum ditetapkan dengan kebijakan rumah sakit serta belum adanya instrument baku yang digunakan untuk menilai status pasien. Jumlah ruang rawat jiwa intensif yang terbatas saat ini menyebabkan terusterjadinya penolakan pasien yang membutuhkan rawat inap. Jumlah ruang rawat jiwa intensif pada tahun 2014 adalah 18 tempat tidur untuk perawatan wanita dan 31 tempat tidur untuk perawatan laki-laki, sedangkan ruang rawat inap non intensif wanita 36, laki-laki 93, dan juga 25 tempat tidur untuk perawatan NAPZA. Standar Akreditasi Rumah Sakit tahun 2012 dalam Akses ke Pelayanan dan Kontinuitas Pelayanan (APK): penerimaan atau transfer pasien ke dan juga dari unit pelayanan intensif atau pelayanan khusus ditentukan dengan kriteria yang ditetapkan. sendiri, mempunyai kecenderungan melukai diri sendiri bahkan bunuh diri, juga membahayakan orang lain. Pasien menunjukkan tanda-tanda agresivitas tinggi baik secara verbal maupun secara motorik. Kegawatdaruratan psikiatri adalah suatu gangguan akut pada pikiran, perasaan, perilaku, atau hubungan sosial yang membutuhkan suatu intervensi segera (Allen, et al 2002., dalam Modul UPIP, 2008)(14). Dari hasil telaah literatur, peneliti menemukan bahwa PANSS (Positive and Negative Syndrome Scale) EC merupakan salah satu instrument penilaian yang paling penting untuk pasien dengan gangguan jiwa berat atau skizofrenia. (Obermeier, et al., 2011)(10.2). Apabila pengukuran PANSS gaduh gelisah pada pasien memberikan hasil total skor 25-35, maka pada pasien tersebut dapat dikategorikan ke dalam indikasi untuk dilakukannya perawatan di rumah sakit (Kay SR, 1986 dalam Khalimah, 2009)(12.4). Kriteria yang digunakan untuk menentukan pasien yang membutuhkan rawat inap menurut informan adalah Khalimah (2009)(12.5) dalam hasil penelitiannya yang pasien gawat darurat psikiatri yang membahayakan diri berjudul “Perbaikan Gejala Agitasi Akut dengan Terapi Jurnal ARSI/Januari 2015 91 Jurnal Administrasi Kebijakan Kesehatan Volume I Nomor 2 Medikamentosa pada pasien Skizofrenia dalam Tujuh Hari Perawatan” menjelaskan definisi operasional agitasi akut sebagai keadaan yang ditandai oleh aktivitas psikomotor yang tidak terarah dan tidak bertujuan yang berasal dari kesulitan fisik atau mental, berupa kegelisahan motorik, peningkatan respon terhadap stimulus eksternal atau internal, iritabilitas, serta aktivitas motorik dan verbal yang tidak sesuai dan tidak bertujuan, yang dalam penelitiannya diukur dengan PANSS-EC dengan total skor 25-35, dan skor untuk masing-masing gejala adalah (1) pengendalian impuls yang buruk dengan skor 6-7, (2) ketegangan dengan skor 4-7, (3) permusuhan dengan skor 4-7, (4) ringkat kekooperatifan dengan skor 4-7, serta (5) gaduh gelisah dengan skor 6-7. Dari pembahasan tersebut, setelah mempertimbangkan berbagai peraturan yang berlaku, SPM (Standar Pelayanan Minimal), standar Akreditasi 2012, penelitian sebelumnya, dan juga telaah literatur, maka peneliti membuat usulanusulan potensi perbaikan dalam format cetak biru untuk pelayanan para pasien IGD (Instalasi Gawat Darurat) sebagaimana yang ditampilkan melalui gambar 2 di bawah ini. Gambar 3. Cetak Biru Pelayanan Pasien di Instalasi Gawat Darurat yang Diusulkan Penyebab lain terjadinya penolakan pasien di IGD adalah keluhan fisik pada pasien yang memerlukan penanganan dokter spesialis dan juga teknologi penunjang medis yang belum tersedia di RSJ. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan hasil bahwa perbaikan gejala agitasi akut terjadi terus menerus setiap hari dalam tujuh hari pertama perawatan. Perbaikan terbesar terjadi pada hari kedua perawatan, lebih dari 40% responden telah mengalami perbaikan. Sampai hari ketiga Di ruang rawat jiwa intensif, adanya kebijakan Dokter 50% responden mengalami perbaikan, dan meningkat lebih Penanggung Jawab Pasien (DPJP) sangat memungkinkan dari 70% sampai hari keempat perawatan (Khalimah, (12.6) . penilaian status pasien dengan skala PANSS-EC dapat 2009) dilakukan berkala setiap hari oleh DPJP, sehingga ketika terdapat kebutuhan RJI untuk pasien baru, pemindahan BOR rumah sakit di tahun 2012 adalah 68,26 % dan tahun pasien yang sudah mencapai perbaikan gejala agitasi akut 2013 adalah 67,81% mengalami penurunan dari tahun dengan skor PANSS-EC 5-17 dapat dilakukan segera. Hal 2011 dikarenakan 1 (satu) ruang perawatan, yaitu Ruang ini dapat membantu memperlancar alur pasien masuk. Perkutut tidak dapat digunakan pasca gempa yang terjadi Jurnal ARSI/Januari 2015 92 Yuyun Yulianti, Cetak Biru Pelayanan Pasien di RSJP Jawa Barat Tahun 2014 pada 28 Agustus 2012. Perhitungan BOR tetap dilakukan terhadap jumlah tempat tidur yang ditetapkan pimpinan yaitu 235 sedangkan sebenarnya yang tersedia adalah 203 tempat tidur. BOR rumah sakit dengan perhitungan pada jumlah tempat tidur 203 juga masih di bawah target rumah sakit yaitu 78,50 %. seharusnya visite dokter (psikiater) dilakukan setiap hari. Adapun dalam rangka observasi semua unit pelayanan, proses pendukung yang perlu disiapkan adalah melengkapi kesiapan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) yang telah ada saat ini dengan penyusunan Rekam Medis Elektronik, serta persiapan prosedur manual dengan intranet sebagai Visite dokter saat ini di ruang rawat inap (tenang) adalah cadangan. minimal dua kali dalam seminggu. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129/Menkes/SK/ Di samping itu, evaluasi beserta revisi terhadap Standar II/2008 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit (15) telah Prosedur Operational (SPO) juga perlu segera dilakukan menetapkan bahwa visite dokter (psikiater) dilakukan dengan memperhatikan hasil cetak biru pelayanan pasien, setiap hari kerja sesuai dengan ketentuan waktu kepada standar Akreditasi, dan Peraturan Gubernur Jawa Barat setiap pasien yang menjadi tanggung jawabnya, yang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan dilakukan di antara jam 08.00 sampai dengan 14.00. Standar Operasional Prosedur Administrasi Pemerintahan Demikian juga dengan hasil CDMG, disepakati bahwa di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Tabel 2. Matriks Komponen Services Blueprint di RSJP Jawa Barat Komponen Cetak Biru Pelayanan Pendaftaran Instalasi Rawat Jalan Instalasi Gawat Darurat Rawat Jiwa Intensif Rawat Inap (tenang) Bukti fisik Sistem antrian manual Ruang IRJ saat ini ruangan sementara, tidak dilengkapi dengan perlengkapan yang semestinya Penolakan pasien terjadi karena ruang rawat jiwa intensif penuh Jumlah RJI tahun 2014 laki-laki 31 tempat tidur, wanita 18 tempat tidur BOR yang rendah dikarenakan satu ruang perawatan dengan 32 TT dalam kondisi tidak dapat digunakan pasca bencana gempa 2012 Aksi pelanggan Pelanggan tidak mendapatkan nomor antrian Terdapat 3 (tiga) kali proses menunggu yang dapat membuat status pasien tenang berubah menjadi gaduh gelisah Terdapat keluhan fisik pada pasien yang tidak dapat ditangani di RSJ Keluarga pasien perlu mendapat informasi mengenai rencana perawatan Sistem pembayaran bagi pasien umum diakhir perawatan menimbulkan peotensi memberatkan pasien Aksi karyawan yang terlihat Adanya petugas triase masih belum jelas ketentuan dan kebijakannya Belum ada pemerataan jumlah dokter yang berpraktek setiap harinya Tidak terdapat SDM dan sarana prasarana atau alat pemeriksaan penunjang canggih untuk menangani keluhan fisik pada pasien Belum terdapat kebijakan DPJP Visite dokter minimal 2x dalam seminggu Aksi karyawan yang tidak terlihat (backstage) Kuitansi manual dengan tulisan tangan petugas . Belum terdapat keseragaman instrument yang digunakan dalam menilai status pasien dengan indikasi rawat inap . Dokter pemberi layanan: psikiater dan dokter umum Belum terdapat keseragaman instrument yang digunakan dalam menilai status pasien dengan indikasi rawat inap Belum terdapat keseragaman instrument yang digunakan dalam menilai status pasien Pasien belum dapat dipulangkan karena koordinasi bag Keswamas dengan keluarga pasien belum optimal Proses pendukung SIRS belum optimal SIRS belum optimal Diseminasi setiap informasi mengenai SIRS belum optimal SIRS belum optimal Jurnal ARSI/Januari 2015 SIRS belum optimal 93 Jurnal Administrasi Kebijakan Kesehatan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Volume I Nomor 2 2. Penggunaan PANSS-EC di Rawat Jalan dan Instalasi Gawat Darurat membantu menentukan kriteria pasien indikasi rawat inap, yakni pasien dengan skor PANSSEC sebesar > 25. Adapun pada Rawat Jiwa Intensif, penggunaan PANSS-EC oleh para Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) membantu menilai status pasien secara berkala, sehingga dapat melakukan pemindahan pasien ke Rawat Inap sesegera mungkin ketika pasien sudah menunjukkan perbaikan gejala-gejala agitasi akut dengan skor PANSS-EC 5-17. 1. Cetak biru pelayanan pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat terbagi atas lima bagian sesuai unit pelayanan yang diteliti, yaitu pendaftaran, Instalasi Rawat Jalan, Instalasi Gawat Darurat (IGD), Rawat Jiwa Intensif, serta Rawat Inap yang menunjukkan pemetaan atas semua langkah proses yang diterima pelanggan. Dari hasil pemetaan cetak biru pelayanan pasien, ditemukan bahwa penolakan pasien terutama 3. Perlu dilakukan evaluasi dan revisi terkait Standar Prosedur Operasional (SPO) yang ada saat ini dengan terjadi karena ruang Rawat Jiwa Intensif penuh. Jurnal ARSI/Januari 2015 94 Yuyun Yulianti, Cetak Biru Pelayanan Pasien di RSJP Jawa Barat Tahun 2014 hatikan standar Akreditasi 2012. 5. Mengimplementasi cetak biru pelayanan di seluruh unit pelayanan rumah sakit secara terintegrasi; 4. Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) memerlukan tindak lanjut segera karena manfaat perbaikan dengan 6. Perencanaan pembangunan gedung dan juga renovasi menyelesaikan SIRS terutama penyusunan Rekam rumah sakit perlu memperhatikan usulan perbaikan Medis Elektronik dirasakan di beberapa titik kontak dalam cetak biru pelayanan pasien. Sebagai contoh antara pelanggan dan pemberi layanan. SIRS secara gedung rawat jalan satu atap yang saat ini sedang manual dengan pemanfaatan intranet juga tetap perlu dalam tahap pembangunan ditindaklanjuti dengan disusun kebijakan dan prosedurnya sebagai cadangan penyusunan program fungsi yang mempertimbangkan cetak biru pelayanan dalam rangka menciptakan alur prosedur ketika SIRS elektronik mengalami hambatan. pelayanan pasien yang terintegrasi dengan baik; dan 5. Cetak biru pelayanan yang telah dihasilkan tidak dimaksudkan untuk menggantikan Standar Pelayanan 7. Diperlukan adanya penelitian secara lebih lanjut untuk Medis (SPM) maupun clinical pathway yang menjadi menghitung kebutuhan akan jumlah dokter spesialis salah satu syarat Akreditasi 2012, melainkan menjadi kedokteran jiwa (psikiater) dan kebutuhan ruang rawat bahan pelengkap yang diharapkan dapat bermanfaat jiwa intensif untuk memenuhi kebutuhan pelayanan. dalam melakukan evaluasi dan juga revisi kebijakan maupun SPO. DAFTAR RUJUKAN Saran 1. Menindaklanjuti penyusunan cetak biru pelayanan pasien dengan menetapkan kebijakan-kebijakan yang diperlukan, salah satunya adalah kebijakan tentang penggunaan instrumen penilaian status pasien dengan menggunakan PANSS-EC; 2. Menindaklanjuti kesiapan SIRS dengan penyusunan rekam medis elektronik dan prosedur SIRS manual dengan pemanfaatan intranet; 3. Evaluasi dan revisi Standar Pelayanan Operasional (SPO) pelayanan medis di Rumah Sakit Jiwa yang sedang berlangsung saat ini perlu disesuaikan dengan Standar Akreditasi Rumah Sakit 2012 di samping memperhatikan format yang ditetapkan oleh Gubernur Jawa Barat dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Administrasi Pemerintah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat; 4. Hasil dari evaluasi dan revisi SPO harus terdiseminasi dengan baik terhadap seluruh karyawan yang dimiliki dengan program yang berkesinambungan. Diseminasi informasi tidak hanya untuk dokumen SPO saja, melainkan terhadap setiap kebijakan baru yang berlaku bagi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat baik yang telah ditetapkan internal maupun peraturan lain yang berhubungan dengan rumah sakit yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan maupun Pemerintah Provinsi Jawa Barat; Jurnal ARSI/Januari 2015 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. RSJ-Provinsi Jawa Barat. 2013. Laporan Tahunan Gawat Darurat RSJ-Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat. Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta. Marliyani, Elly. 2012. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Rehospitalisasi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. Tesis. Bandung: Universitas Padjadjaran. RSJ-Provinsi Jawa Barat. 2013. Laporan Instalasi Rekam Medis RSJ-Provinsi Jawa Barat. Stickdorn, Marc & Schneider, Jacob. 2011. This is Service Design Thinking: Basic-Tools-Cases. Amsterdam: BIS Publisher. Vienna, Maurico, et al. (2011). Design Thinking. Business Inovation. e-book. Rio de Janeiro: MJV Press. Bitner, Mary Jo., Ostrom, Amy L., & Morgan, Felicia N. 2007. Service Blueprinting: A Practical Tool for Service Innovation. Centre for Service Leadership. United State of America: Arizona State University. Obermeier, Michael., et al. 2011. Is the PANSS used correctly? A Systematic Review. Research Article. Biomed Central. BMC Psychiatry 2011; 11:113 (diunduh pada 2 Mei 2014 pukul 20.02 WIB di www.biomedcentral.com/1471-244X/11/113). Ambarwati, Wahyu Nur. 2009. Keefektifan CBT sebagai Terapi Tambahan Pasien Skizofrenia Kronis di Panti Rehabilitasi Budi Makarti Boyolali.Tesis. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Khalimah, Siti. 2009. Perbaikan Gejala Agitasi Akut dengan Terapi Medikamentosa pada Pasien Skizofrenia dalam Tujuh Hari Pertama Perawatan. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Montoya et. al. 2011. Tim UPIP. 2008. Modul Unit Perawatan Intensif Psikiatri (UPIP).Bogor: RS Marzuki Mahdi. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit. Jakarta. 95