BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Campak dalam sejarah anak telah dikenal sebagai pembunuh terbesar, meskipun
adanya vaksin telah dikembangkan lebih dari 30 tahun yang lalu, virus campak ini
menyerang 50 juta orang setiap tahun dan menyebabkan lebih dari 1 juta kematian. Insiden
terbanyak berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas penyakit campak yaitu pada negara
berkembang, meskipun masih mengenai beberapa negara maju seperti Amerika Serikat.
Campak adalah salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi
dan masih masalah kesehatan di Indonesia. Penyakit ini umumnya menyerang anak umur di
bawah lima tahun (Balita) akan tatapi campak bisa menyerang semua umur. Campak telah
banyak diteliti, namun masih banyak terdapat perbedaan pendapat dalam penanganannya.
Imunisasi yang tepat pada waktunya dan penanganan sedini mungkin akan mengurangi
komplikasi penyakit ini.
1.2 Rumusan Masalah
1. apa pengertian campak?
2. bagaimana riwayat alamiah dari penyakit campak?
3. bagaimana etiologi, epidemiologi, patofisiologi dan gejala klinis penyakit campak?
4. Bagaimana pencegahan penyakit campak?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian campak
2. Untuk mengetahui etiologi, epidemiologi dan patofisiologi dari penyakit campak
3. Untuk mengetahui riwayat alamiah dari penyakit campak
4. Untuk mengetahui cara pencegahan penyakit campak
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Campak yang disebut juga dengan measles atau rubeola merupakan suatu penyakit
infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh paramixovirus yang pada umumnya
menyerang anak-anak. Penyakit ini ditularkan dari orang ke orang melalui percikan liur (droplet)
yang terhirup
Campak ialah penyakit infeksi virus akut, menular yang ditandai dengan 3
stadium, yaitu: a. stadium kataral, b. stadium erupsi dan c. stadium konvalesensi. Campak
adalah suatu penyakit akut menular, ditandai oleh tiga stadium:
1. Stadium kataral
Di tandai dengan enantem (bercak koplik) pada mukosa bukal dan faring, demam ringan
sampai sedang, konjungtivitis ringan, koryza, dan batuk.
2. Stadium erupsi
Ditandai dengan ruam makuler yang muncul berturut-turut pada leher dan muka, tubuh,
lengan dan kaki dan disertai oleh demam tinggi.
3. Stadium konvalesensi
Ditandai dengan hilangnya ruam sesuai urutan munculnya ruam, dan terjadi
hiperpigmentasi.
2
2.2 Riwayat Alamiah Penyakit Campak
Riwayat alamiah penyakit campak melalui tahap-tahap sebagai berikut :
a.
Tahap prepatogensis
b.
Tahap Patogenesis
c.
Tahap Akhir/ pasca patogenesis.
1.
Tahap Prepatogensis
Pada tahap ini individu berada dalam keadaan normal/sehat tetapi mereka pada
dasarnya peka terhadap kemungkinan terganggu oleh serangan agen penyakit (stage of
suseptibility). Walaupun demikian pada tahap ini sebenarnya telah terjadi interaksi
antara penjamu dengan bibit penyakit. Tetapi interaksi ini masih terjadi di luar tubuh,
dalam arti bibit penyakit masih ada diluar tubuh pejamu dimana para kuman
mengembangkan potensi infektifitas, siap menyerang peniamu. Pada tahap ini belum
ada tanda-tanda sakit sampai sejauh daya tahan tubuh penjamu masih kuat. Namun
begitu penjamunva ‘lengah’ ataupun memang bibit penyakit menjadi lebih ganas
ditambah dengan kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan pejamu, maka
keadaan segera dapat berubah. Penyakit akan melanjutkan perjalanannya memasuki
fase berikutnya, tahap patogenesis.
2.
Tahap Patogenesis
Tahap ini meliputi 4 sub-tahap yaitu:- Tahap Inkubasi, - Tahap Dini, - Tahap Lanjut,
dan -Tahap Akhir.
•
Tahap Inkubasi
Masa inkubasi dari penyakit campak adalah 10-20 hari. Pada tahap ini individu
masih belum merasakan bahwa dirinya sakit.
3
•
Tahap Dini
Mulai timbulnya gejala dalam waktu 7-14 hari setelah terinfeksi, yaitu berupa:
Panas badan
nyeri tenggorokan
hidung meler ( Coryza )
batuk ( Cough )
Bercak Koplik
nyeri otot
mata merah ( conjuctivitis )
•
Tahap Lanjut
munculnya ruam-ruam kulit yang berwarna merah bata dari mulai kecil-kecil dan
jarang kemudian menjadi banyak dan menyatu seperti pulau-pulau. Ruam
umumnya muncul pertama dari daerah wajah dan tengkuk, dan segera menjalar
menuju dada, punggung, perut serta terakhir kaki-tangan. Pada saat ruam ini
muncul, panas si anak mencapai puncaknya (bisa mencapai 40 derajad Celsius),
ingus semakin banyak, hidung semakin mampat, tenggorok semakin sakit dan
batuk-batuk kering dan juga disertai mata merah.
3.
Tahap Akhir/ pasca patogenesis.
Berakhirnya perjalanan penyakit campak. Dapat berada dalam lima pilihan keadaan,
yaitu:
Sembuh sempurna, yakni bibit penyakit menghilang dan tubuh menjadi
pulih, sehat kembali.
Sembuh dengan cacat, yakni bibit penyakit menghilang, penyakit sudah
tidak ada, tetapi tubuh tidak pulih sepenuhnya, meninggalkan bekas
gangguan yang permanen berupa cacat.
Karier, di mana tubuh penderita pulih kembali, namun penyakit masih
tetap ada dalam tubuh tanpa memperlihatkan gangguan penyakit.
Penyakit tetap berlangsung secara kronik.
4
Berakhir dengan kematian.
2.3 Etiologi, Epidemiologi, Patofisiologi dan Gejala Klinis Penyakit Campak
1. Etiologi
Campak disebabkan oleh virus RNA dari famili paramixoviridae, genus Morbillivirus.
Selama masa prodormal dan selama waktu singkat sesudah ruam tampak, virus
ditemukan dalam sekresi nasofaring, darah dan urin. Virus dapat aktif sekurangkurangnya 34 jam dalam suhu kamar.
Virus campak dapat diisolasi dalam biakan embrio manusia atau jaringan ginjal kera
rhesus. Perubahan sitopatik, tampak dalam 5-10 hari, terdiri dari sel raksasa multinukleus
dengan inklusi intranuklear. Antibodi dalam sirkulasi dapat dideteksi bila ruam muncul.
Penyebaran virus maksimal adalah melalui percikan ludah (droplet) dari mulut selama
masa prodormal (stadium kataral). Penularan terhadap penderita rentan sering terjadi
sebelum diagnosis kasus aslinya. Orang yang terinfeksi menjadi menular pada hari ke 910 sesudah pemajanan, pada beberapa keadaan dapat menularkan hari ke 7. Tindakan
pencegahan dengan melakukan isolasi terutama di rumah sakit atau institusi lain, harus
dipertahankan dari hari ke 7 sesudah pemajanan sampai hari ke 5 sesudah ruam muncul.
2. Epidemiologi
Berdasarkan hasil penyelidikan lapangan KLB campak yang dilakukan Subdit Surveilans
dan Daerah pada tahun 1998-1999, kasus-kasus campak terjadi karena anak belum
mendapat imunisasi cukup tinggi, mencapai sekitar 40–100 persen dan mayoritas adalah
balita (>70 persen).
Frekuensi KLB campak pada tahun 1994-1999 berdasarkan laporan seluruh provinsi seIndonesia ke Subdit Surveilans, berfluktuasi dan cenderung meningkat pada periode
1998–1999: dari 32 kejadian menjadi 56 kejadian. Angka frekuensi itu sangat
dipengaruhi intensitas laporan dari provinsi atau kabupaten/kota. Daerah-daerah dengan
sistern pencatatan dan pelaporan yang cukup intensif dan mempunyai kepedulian cukup
tinggi terhadap pelaporan KLB, mempunyai kontribusi besar terhadap kecenderungan
5
meningkatnya frekuensi KLB campak di Indonesia, seperti Jawa Barat, NTB, Jambi,
Bengkulu dan Yogyakarta.
Dari sejumlah KLB yang dilaporkan ke Subdit Surveilans, diperkirakan KLB campak
sesungguhnya terjadi jauh lebih banyak. Artinya, masih banyak KLB campak yang tidak
terlaporkan dari daerah dengan berbagai kendala. Walaupun frekuensi KLB campak yang
dilaporkan itu mengalami peningkatan, tapi jumlah kasusnya cenderung menurun dengan
rata-rata kasus setiap KLB selama 1994–1999, yaitu sekitar 15–55 kasus pada setiap
kejadian. Berarti besarnya jumlah kasus setiap episode KLB campak selama periode itu,
rata-rata tidak lebih dari 15 kasus.
Dari 19 lokasi KLB campak yang diselidiki Subdit Surveilans, daerah dan mahasiswa
FETP (UGM) selama tahun 1999, terlihat attack-rate pada KLB campak dominan pada
kelompok umur balita. Angka proporsi penderita pada KLB campak 1998–1999 juga
menunjukkan proporsi terbesar pada kelompok umur 1–4 tahun dan 5–9 tahun bila
dibandingkan kelompok umur lebih tua (10–14 tahun).
3. Patofisiologi
Lesi campak terdapat di kulit, membran mukosa nasofaring, bronkus, dan saluran cerna
dan pada konjungtiva. Eksudat serosa dan proliferasi sel mononuklear dan beberapa sel
polimorfonuklear terjadi disekitar kapiler. Ada hiperplasi limfonodi, terutama pada
apendiks. Pada kulit, reaksi terutama menonjol sekitar kelenjar sebasea dan folikel
rambut. Bercak koplik pada mukosa bukal pipi berhadapan dengan molar II terdiri dari
eksudat serosa dan proliferasi sel endotel serupa dengan bercak pada lesi kulit.
Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder.
Pada kasus ensefalomielitis yang mematikan, terjadi demielinisasi pada daerah otak dan
medulla spinalis. Pada SSPE (Subacute Sclerosing Panencephalitis) dapat terjadi
degenerasi korteks dan substansia alba.
6
4. Gejala Klinis
Masa inkubasi 10-20 hari dan kemudian timbul gejala-gejala yang dibagi dalam 3
stadium, yaitu:
• Stadium kataral (prodormal).
Stadium ini berlangsung selama 4-5 hari disertai gambaran klinis seperti demam,
malaise, batuk, fotopobia, konjungtivitis, dan coryza. Menjelang akhir dari stadium
kataral dan 24 jam sebelum timbul enantem, terdapat bercak koplik berwarna putih
kelabu sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema. Lokasinya di mukosa
bukal yang berhadapan dengan molar bawah. Gambaran darah tepi leukopeni dan
limfositosis.
• Stadium erupsi
Coryza dan batuk bertambah. Timbul enantem atau titik merah di palatum durum
dan palatum mole. Kadang – kadang terlihat bercak koplik. Terjadi eritem bentuk
makulopapuler disertai naiknya suhu badan. Diantara macula terdapat kulit yang
normal. Mula-mula eritema timbul dibelakang telinga, bagian atas lateral tengkuk
sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat perdarahan
ringan pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Ruam mencapai anggota bawah pada
hari ke 3, dan menghilang sesuai urutan terjadinya.
7
Terdapat pembesaran kelenjar getah bening di sudut mandibula dan di daerah leher
belakang. Sedikit terdapat splenomegali, tidak jarang disertai diare dan muntah.
Variasi yang biasa terjadi adalah Black Measless, yaitu morbili yang disertai
dengan perdarahan di kulit, mulut, hidung, dan traktus digestivus.
• Stadium konvalesensi
Erupsi berkurang menimbulkan bekas yang berwarna lebih tua atau hiperpigmentasi
(gejala patognomonik) yang lama kelamaan akan hilang sendiri. Selain itu
ditemukan pula kelainan kulit bersisik. Hiperpigmentasi ini merupakan gejala
patognomonik untuk morbilli. Pada penyakit-penyakit lain dengan eritema atau
eksantema ruam kulit menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai
normal kecuali bila ada komplikasi.
8
5. Diagnosis
Diagnosis dibuat dari gambaran klinis, selama stadium prodormal, sel raksasa
multinuklear dapat ditemukan pada apusan mukosa hidung. Virus dapat diisolasi pada
biakan jaringan. Angka leukosit cenderung rendah dengan limfositosis relatif. Pungsi
lumbal pada penderita dengan ensefalitis campak biasanya menunjukkan kenaikan
protein dan sedikit kenaikan limfosit. Kadar glukosa normal. Bercak koplik dan
hiperpigmentasi adalah patognomonis untuk rubeola/campak.
6. Komplikasi
Pada penyakit campak terdapat resistensi umum yang menurun sehingga dapat terjadi
alergi (uji tuberkulin yang semula positif berubah menjadi negatif). Keadaan ini
menyebabkan mudahnya terjadi komplikasi sekunder seperti:
a. Bronkopnemonia
Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh virus campak atau oleh pneumococcus,
streptococcus, staphylococcus. Bronkopneumonia ini dapat menyebabkan
kematian bayi yang masih muda, anak dengan malnutrisi energi protein, penderita
penyakit menahun seperti tuberkulosis, leukemia dan lain-lain. Oleh karena itu
pada keadaan tertentu perlu dilakukan pencegahan.
b. Komplikasi neurologis
Kompilkasi neurologis pada morbili seperti hemiplegi, paraplegi, afasia,
gangguan mental, neuritis optica dan ensefalitis.
c. Encephalitis morbili akut
Encephalitis morbili akut ini timbul pada stadium eksantem, angka kematian
rendah. Angka kejadian ensefalitis setelah infeksi morbili ialah 1:1000 kasus,
sedangkan ensefalitis setelah vaksinasi dengan virus morbili hidup adalah 1,16
tiap 1.000.000 dosis.
9
d. SSPE (Subacute Scleroting panencephalitis)
SSPE yaitu suatu penyakit degenerasi yang jarang dari susunan saraf pusat.
Ditandai oleh gejala yang terjadi secara tiba-tiba seperti kekacauan mental,
disfungsi motorik, kejang, dan koma. Perjalan klinis lambat, biasanya meninggal
dalam 6 bulan sampai 3 tahun setelah timbul gejala spontan. Meskipun demikian,
remisi spontan masih dapat terjadi. Biasanya terjadi pada anak yang menderita
morbili sebelum usia 2 tahun. SSPE timbul setelah 7 tahun terkena morbili,
sedang SSPE setelah vaksinasi morbili terjadi 3 tahun kemudian.
Penyebab SSPE tidak jelas tetapi ada bukti-bukti bahwa virus morbilli memegang
peranan dalam patogenesisnya. Anak menderita penyakit campak sebelum umur 2
tahun, sedangkan SSPE bisa timbul sampai 7 tahun kemudian SSPE yang terjadi
setelah vaksinasi campak didapatkan kira-kira 3 tahun kemudian. Kemungkinan
menderita SSPE setelah vaksinasi morbili adalah 0,5-1,1 tiap 10.000.000,
sedangkan setelah infeksi campak sebesar 5,2-9,7 tiap 10.000.000.
e. Immunosuppresive measles encephalopathy
Didapatkan pada anak dengan morbili yang sedang menderita defisiensi
imunologik karena keganasan atau karena pemakaian obat-obatan imunosupresif.
7. Prognosis
Prognosis baik pada anak dengan keadaan umum yang baik, tetapi prognosis buruk bila
keadaan umum buruk, anak yang sedang menderita penyakit kronis atau bila ada
komplikasi4.
Angka kematian kasus di Amerika Serikat telah menurun pada tahun-tahun ini sampai
tingkat rendah pada semua kelompok umur, terutama karena keadaan sosioekonomi
membaik.
Campak bila dimasukkan pada populasi yang sangat rentan, akibatnya bencana. Kejadian
demikian di pulau Faroe pada tahun 1846 mengakibatkan kematian sekitar seperempat,
hampir 2000 dari populasi total tanpa memandang umur.
10
2.4 Pencegahan Penyakit Campak
a. Pencegahan
•
Imunisasi aktif.
Imunisasi campak awal dapat diberikan pada usia 12-15 bulan tetapi mungkin
diberikan lebih awal pada daerah dimana penyakit terjadi (endemik). Imunisasi aktif
dilakukan dengan menggunakan strain Schwarz dan Moraten. Vaksin tersebut
diberikan secara subcutan dan menyebabkan imunitas yang berlangsung lama.
Dianjurkan untuk memberikan vaksin morbili tersebut pada anak berumur 10 – 15
bulan karena sebelum umur 10 bulan diperkirakan anak tidak dapat membentuk
antibodi secara baik karena masih ada antibodi dari ibu. Akan tetapi dianjurkan pula
agar anak yang tinggal di daerah endemis morbili dan terdapat banyak tuberkulosis
diberikan vansinasi pada umur 6 bulan dan revaksinasi pada umur 15 bulan. Di
Indonesia saat ini masih dianjurkan memberikan vaksin morbili pada anak berumur 9
bulan ke atas.
Vaksin morbili tersebut dapat diberikan pada orang yang alergi terhadap telur. Hanya
saja pemberian vaksin sebaiknya ditunda sampai 2 minggu sembuh. Vaksin ini juga
dapat diberikan pada penderita tuberkulosis aktif yang sedang mendapat
tuberkulosita. Akan tetapi vaksin ini tidak boleh diberikan pada wanita hamil, anak
dengan tuberkulosis yang tidak diobati, penderita leukemia dan anak yang sedang
mendapat pengobatan imunosupresif.
•
Imunisasi pasif.
Imunisasi pasif dengan kumpulan serum orang dewasa, kumpulan serum konvalesens,
globulin plasenta atau gamma globulin kumpulan plasma adalah efektif untuk
pencegahan dan pelemahan campak. Campak dapat dicegah dengan menggunakan
imunoglobulin serum dengan dosis 0,25 mL/kg diberikan secara intramuskuler dalam
5 hari sesudah pemajanan tetapi lebih baik sesegera mungkin. Proteksi sempurna
terindikasi untuk bayi, anak dengan penyakit kronis dan untuk kontak dibangsal
rumah sakit anak.
11
•
Isolasi
Penderita rentan menghindari kontak dengan seseorang yang terkena penyakit
campak dalam kurun waktu 20-30 hari, demikian pula bagi penderita campak untuk
diisolasi selama 20-30 hari guna menghindari penularan lingkungan sekitar.
b. Pengobatan
Simtomatik yaitu antipiretika bila suhu tinggi, sedativum, obat batuk dan memperbaiki
keadaan umum. Tindakan lain adalah pengobatan segera terhadap komplikasi
yang
timbul.
Diberikan sedatif, antipiretik untuk demam tinggi, tirah baring dan masukan cairan yang
cukup. Penderita harus dilindungi dari kontak dengan cahaya yang kuat selama masa
fotofobia. Adanya komplikasi seperti ensefalitis, SSPE, bronkopneumonia pada setiap
kasus harus dinilai secara individual.
c. Campak di Indonesia
Program Pencegahan dan pemberantasan Campak di Indonesia pada saat ini berada pada
tahap reduksi dengan pengendalian dan pencegahan KLB. Hasil pemeriksaan sample
darah dan urine penderita campak pada saat KLB menunjukkan Igm positip sekitar 70%
– 100%. Insidens rate semua kelompok umur dari laporan rutin Puskesmas dan Rumah
Sakit selama tahun 1992 – 1998 cenderung menurun, terutama terjadi penurunan yang
tajam pada kelompok umur = 90%) dan merata disetiap desa masih merupakan strategi
ampuh saat ini untuk mencapai reduksi campak di Indonesia pada tahun 2000. CFR
campak dari Rumah Sakit maupun dari hasil penyelidikan KLB selama tahun 1997 –
1999 cenderung meningkat, kemungkinan hal ini terjadi berkaitan dengan dampak kiris
pangan dan gizi, namun masih perlu dikaji secara mendalam dan komprehensive.
Sidang WHO tahun 1988, menetapkan kesepakatan global untuk membasmi polio atau
Eradikasi Polio (Rapo), Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN) dan Reduksi Campak
(RECAM) pada tahun 2000. Beberapa negara seperti Amerika, Australia dan beberapa
negara lainnya telah memasuki tahap eliminasi campak. Pada sidang CDC/PAHO/WHO
12
tahun 1996 menyimpulkan bahwa campak dimungkinkan untuk dieradikasi, karena satusatunya pejamu (host) atau reservoir campak hanya pada manusia dan adanya vaksin
dengan potensi yang cukup tinggi dengan effikasi vanksin 85%. Diperkirakan eradikasi
akan dapat dicapai 10 – 15 tahun setelah eliminasi.
Program imunisasi campak di Indonesia dimulai pada tahun 1982 dan masuk dalam
pengembangan program imunisasi. Pada tahun 1991, Indonesia dinyatakan telah
mencapai UCI secara nasional. Dengan keberhasilan Indonesia mencapai UCI tersebut
memberikan dampak positip terhadap kecenderungan penurunan insidens campak,
khususnya pada Balita dari 20.08/10.000 – 3,4/10.000 selama tahun 1992 – 1997
(ajustment data rutin SST). Walaupun imunisasi campak telah mencapai UCI namun
dibeberapa daerah masih terjadi KLB campak, terutama di daerah dengan cakupan
imunisasi rendah atau daerah kantong.
1) Tahapan pemberantasan Campak Pemberantasan campak meliputi beberapa
tahapan, dengan kriteria pada tiap tahap yang berbeda-beda.
a. Tahap Reduksi.
Tahap reduksi campak dibagi dalam 2 tahap: Tahap pengendalian campak. Pada
tahap ini terjadi penurunan kasus dan kematian, cakupan imunisasi >80%, dan
interval terjadinya KLB berkisar antara 4 – 8 tahun.
Tahap pencegahan KLB. Pada tahun ini cakupan imunisasi dapat dipertahankan
tinggi dan merata, terjadi penurunan tajam kasus dan kematian, dan interval
terjadinya KLB relative lebih panjang.
b. Tahap Eliminasi
Pada tahap eliminasi, cakupan imunisasi sudah sangat tinggi (>95%), dan daerahdaerah dengan cakupan imunisasi rendah sudah sangat kecil jumlahnya. Kasus
campak sudah jarang dan KLB hampir tidak pernah ternadi. Anak-anak yang
dicurigai tidak terlindung (susceptible) harus diselidiki dan mendapat imunisasi
tambahan.
c. Tahap Eradikasi
Cakupan imunisasi tinggi dan merata, dan kasus campak sudah tidak ditemukan.
Transmisi virus sudah dapat diputuskan, dan negara-negara di dunia sudah
13
memasuki tahap eliminasi. Pada TCG Meeting, Dakka, 1999, menetapkan
Indonesia berada pada tahap reduksi dengan pencegahan terjadinya KLB.
2) Tujuan Reduksi Campak
Reduksi campak bertujuan menurunkan angka insidens campak sebesar 90% dan
angka kematian campak sebesar 95% dari angka sebelum program imunisasi
campak dilaksanakan. Di Indonesia, tahap reduksi campak diperkirakan dengan
insiden menjadi 50/10.000 balita, dan kematian 2/10.000 (berdasarkan SKRT
tahun 1982).
3) Strategi Reduksi Campak
Reduksi campak mempunyai strategi yaitu:
Imunisasi Rutin 2 kali, pada bayi 9-11 bulan dan anak Sekolah Dasar
Kelas I (belum dilaksanakan secara nasional) dan Imunisasi Tambahan
atau Suplemen.
Surveilans Campak.
Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Manajemen Kasus
Pemeriksaan Laboratorium
4) Masalah pokok Surveilans dalam reduksi campak di Indonesia.
Surveilans dalam reduksi campak di Indonesia masih belum sebaik surveilans
eradikasi polio. Kendala utama yang dihadapi adalah, kelengkapan data/laporan
rutin Rumah Sakit dan Puskesmas yang masih rendah, beberapa KLB campak
yang tidak terlaporkan, pemantauan dini (SKD – KLB) campak pada desa-desa
berpotensi KLB pada umumnya belum dilakukan dengan baik terutama di
Puskesmas, belum semua unit pelayanan kesehatan baik Pemerintah maupun
Swasta ikut berkontribusi melaporkan bila menemukan campak. Dukungan dana
yang belum memadai, terutama untuk melaksanakan aktif surveilans ke Rumah
Sakit dan pengembangan surveilans campak pada umumnya. Surveilans campak
sangat penting untuk menilai perkembangan pemberantasan campak dan untuk
menentukan strategi pemberantasannya di setiap daerah.
14
5) Angka Insidens
Insidens campak di Indonesia selama tahun 1992 – 1998 dari data rutin Rumah
sakit dan Puskesmas untuk semua kelompok umur cenderung menurut dengan
keleng – kapan laporan rata-rata Puskesmas kurang lebih 60% dan Rumah sakit
40%. Penurunan Insidens paling tajam terjadi pada kelompok umur Kejadian Luar
Biasa (KLB).
Dampak keberhasilan cakupan imunisasi campak nasional yang tinggi dapat
menekan insidens rate yang cukup tajam selama 5 tahun terakhir, namun di
beberapa desa tertentu masih sering terjadi KLB campak. Asumsi terjadinya KLB
campak di beberapa desa tersebut, disebabkan karena cakupan imunisasi yang
rendah (90%) atau kemungkinan masih rendahnya vaksin effikasi di desa tersebut.
Rendahnya vaksin effikasi ini dapat disebabkan beberapa hal, antara lain kurang
baiknya pengelolaar: rantai dingin vaksi yang dibawa kelapangan, penyimpanan
vaksin di Puskesmas cara pemberian imunisasi yang, kurang baik dan sebagainya.
Dari beberapa hasil penyelidikan lapangan KLB campak dilakukan oleh Subdit
Surveilans dan Daerah selama tahun 1998 – 1999, terlihat kasus-kasus campak
yang belum mendapat imunisasi masih cukup tinggi, yaitu kurang lebih 40% –
100% (Grafik: 9). Dari sejumlah kasus-kasus yang belum mendapat imunisasi
tersebut, pada umumnya (>70%) adalah Balita. Frekuensi KLB campak
berdasarkan laporan yang dikirim dari seluruh propinsi Indonesia ke Subdit
Surveilans melalui laporan (W 1) selam tahun 1994 – 1999 terlihat ber fluktuasi,
dan cenderung meningkat dari tahun 1998 – 1999 yaitu dari 32 kejadian menjadi
56 kejadian (grafik: 2). Angka frekuensi tersebut sangat dipengaruhi oleh
intensitas laporan W1 dari Propinsi atau Kabupaten/Kota. Daerah-daerah dengan
sistern pencatatan dan pelaporan Wl yang cukup intensive dan mempunyai
kepedulian yang cukup tinggi terhadap pelaporan Wl KLB, mempunyai kontribusi
yang besar terhadap kecenderungan meningkatnya frekuensi KLB campak di
Indonesia (Jawa Barat, NTB, Jambi Bengkulu, Yogyakarta). Dari sejumlah KLB
yang dilaporkan ke Subdit Surveilans, diperkirakan KLB campak yang
sesungguhnya terjadi jauh lebih baik. Dengan pengertian lain, masih cukup
15
banyak KLB campak yang tidak terlaporkan oleh Daerah dengan berbagai
kendala. Walaupun frekuensi KLB campak yang dilaporkan mengalami
peningkatan, namun jumlah kasusnya cenderung menurun dengan rata-rata kasus
setiap KLB selam tahun 1994 – 1999 sekitar 15 – 55 kasus pada setiap kejadian.
Berarti besarnya jumlah kasus setiap episode KLB campak selama periode tahun
tersebut rata-rata tidak lebih dari 15 kasus (grafik: 3 dan 4).
Dari 19 lokasi KLB campak yang diselidiki o1eh Subdit Surveilans dan Daerah
serta mahasiswa FETP (UGM) selama tahun 1999, terlihat Attack Rate pada KLB
campak dominan pada kelompok umur Balita, (Grafik 5 dan 6′). (pie diagram).
Angka proporsi penderita pada KLB campak tahun 1998 – 1999 juga
menunjukkan proporsi terbesar pada kelompok umur 1 – 4 tahun dan S – 9 tahun
dibandingkan pada kelompok umur yang lebih tua (10 – 14 tahun) grafik:7.
Pada kelompok KLB campak telah dilakukan pengambilan spesimen serologis
dan urine untuk memastikan diagnosa lapangan dan mengetahui virus campak.
Hasil pemeriksaan sampel serologis dan urine penderita campak pada 12 lokasi
KLB campak di beberapa Daerah selama tahun 1998 – 1999 yang diperiksa oleh
Puslit. Penyakit Menular Badan Litbangkes RI, menunjukkan IgM positif sekitar
70% – 100%, (tabel: l). Angka tersebut mengindikasikan ketajaman diagnosa
campak dilapangan pada saat KLB berlangsung.
Angka Fatalitas Kasus (AFP atau CFR) campak di Rumah Sakit maupun pada
saat KLB terjadi selama tahun (1997 – 1999) cenderung meningkat, masingmasing dari 0,1% – 1,1% dan 1,7% – 2,4% (grafik 8). Kecenderungan
peningkatan CFR ini perlu pengkajian yang mendalam dan koprehensive.
Jadi, Insidens Rate Campak dari data rutin selama tahun 1992 – 1998 di Indonesia
cenderung menurun untuk semua kelompok umur. Penurunan paling tajam pada
kelompok umur
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Campak ialah penyakit infeksi virus akut, menular, secara epidemiologi penyebab
utama kematian terbesar pada anak. Menurut etiologinya campak disebabkan oleh virus
RNA dari famili paramixoviridae, genus Morbillivirus, yang ditularkan secara droplet.
Gejala klinis campak terdiri dari 3 stadium, yaitu stadium kataral, stadium erupsi dan
stadium konvalesensi. Campak dapat dicegah dengan melakukan imunisasi secara aktif,
pasif dan isolasi penderita. Insidens Rate Campak dari data rutin selama tahun 1992 – 1998
di Indonesia cenderung menurun untuk semua kelompok umur. Penurunan paling tajam
pada kelompok umur
3.2 Saran
Dengan disusunnya makalah ini mengharapkan kepada semua pembaca agar
dapat menelaah dan memahami apa yang telah terulis dalam makalah ini sehingga sedikit
banyak bisa menambah pengetahuan pembaca. Disamping itu kami juga mengharapkan saran
dan kritik dari para pembaca sehinga kami bisa berorientasi lebih baik pada makalah kami
selanjutnya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Maldonado, Y. 2002. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. EGC.
Anonim, 2008. Measles. http://dermnetnz.org/viral/morbilli.html. 18 januari 2010. 20.30
Depkes, R.I. 2004. Campak di Indonesia. http://www.penyakitmenular.info. 18 januari 2010.
20.40
Imunisasi, vaksinasi. 2008. http://www.sidenreng.com 19 januari 2010. 01.00
Ika. 2009. Ilmu Kesehatan Anak. http://www.wordpress.com 19 januari 2010. 02.46
18