Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Perhitungan banjir.pdf

PENANGGULANGAN BANJIR CEKUNGAN BANDUNG BERDASARKAN VOLUME BANJIR TERDUGA (TAHAP PENENTUAN VOLUME BANJIR)

LAPORAN AKHIR PROGRAM INSENTIF PENELITI DAN PEREKAYASA LIPI TAHUN 2010 PENANGGULANGAN BANJIR CEKUNGAN BANDUNG BERDASARKAN VOLUME BANJIR TERDUGA (TAHAP PENENTUAN VOLUME BANJIR) PENELITI PENGUSUL: Dr. lr. RAHMAN DJUWANSAH JENIS INSENTIF: Riset Terapan BIDANG FOKUS: Sumber Daya Alam dan Lingkungan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI LEMBAR PENGESAHAN PUSAT PENELITIAN GEOTEKNOLOGI LIPI 1. Judul Kegiatan/Penelitian PENANGGULANGAN BANJIR CEKUNGAN BANDUNG BERDASARKAN VOLUME BANJIR TERDUGA (TAHAP PENENTUAN VOLUME BANJIR) 2. Bidang Fokus Sumber Daya Alam dan Lingkungan 3. Peneliti Pengusul • Nama Lengkap • Jenis Kelamin Dr. lr. Rahman Djuwansah Laki-laki Surat Perjanjian • Nom or • Tanggal 09/SU/SP/Inst-Ristek/IV/1 0 06 April2010 Biaya Total 2010 Rp 160.000.000,- 4. 5. DISETUJUI : ELITIAN GEOTEKNOLOGI LIPI Dr. lr. Iskandar ulkarnain NIP. 19590414 98503 1 003 PENELITI PENGUSUL, Dr. lr. Rahman Djuwansah NIP. 19580225 198203 1 003 RINGKASAN Untuk dapat menangulangi banjir secara tuntas, maka waktu kejadian dan volume banjir harus dapat diperkirakan dengan baik, termasuk kecenderungan di masa mendatang seiring dengan perubahan iklim. Jumlah curah hujan pada setiap kejadian sangat berpengaruh terhadap terjadinya banjir karena daerah ini merupakan bagian hulu dari suatu DAS. Volume banjir diperkirakan dengan metoda NRCS berdasarkan sebaran curah hujan harian yang menyebabkan terjadinya banjir dengan memperhitungkan faktor hidrologi setempat lainnya yang terdiri dari Peta Tanah, Peta Tutupan Lahan. Data spasial faktor-faktor sumberdaya air ini dikemasdalam suatu basis data yang juga berfungssi sebagai simulator hubungan curah hujan dan air larian. Probabilitas kejadian iklim ekstrim dilakukan melalui studi pengulangan curah hujan untuk perioda 30 tahun melalui penyusunan kurva lntensitas-Durasi-Frekuansi (IDF) hujan. Simulasi respons luah aliran permukaan terhadap curah hujan tertinggi dan rata-rata selama perioda tersebut akan dilakukan pada kondisi tutupan lahan aktual berdasarkan hasil penafsiran data citra satelit ASTER tahun 2008. Teknik penanggulangan banjir serta konservasi air didisain berdasarkan hasil pendugaan volume banjir yang ditetapkan untuk curah hujan tertinggi selama perioda 30 tahun terakhir. Hasil analisis data curah hujan berseri memperlihatkan adanya penurunan jumlah curah hujan tahunan di dataran rendah Cekungan Bandung dalam 30 tahun terakhir. Sedangkan di Lembang yang merupakan lereng utara dataran tinggi cekungan jumlah curah hujan tahunan memperlihatkan kenaikan dalam 30 tahun terakhir. Untuk seluruh Cekungan Bandung, jumlah curah hujan pada tahun-tahun ke depan sementara dianggap tidak akan ada perubahan, meskipun ditenggarai kini tengah berlangsung perubahan iklim global. Analisis lntensitas-Durasi-Frekuensi (IDF) dapat ditentukan besarnya jumlah hujan maksimum untuk perioda ulang sampai dengan 100 tahun. Cara terbaik untuk menghindar dari masalah Banjir di dasar cekungan Bandung adalah dengan cara membuat kolam penampung (retarding basin) untuk mengendalikan banjir. Ruang penampungan air banjir (retarding basin) harus disediakan untuk menampung sebanyak 19 juta meter kubik air, apabila kita ingin terbebas dari banjir lima tahunan, dan sekitar 1,7 kalinya apabila kita ingin terbebas dari banjir 100 tahunan. PRAKATA Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, laporan kegiatan Penelitian yang termasuk dalam Program lnsentif Peneliti dan Perekayasa LIP I Tahun 2010 telah dapat diselesaikan. Melihat kondisi alaminya, banjir yang sering melanda Cekungan Bandung ini di satu sisi merupakan kejadian yang seharusnya bisa diterima. Permasalahan yang timbul dalam beberapa decade ini pada dasamya dikarenakan adanya pemanfaatan laban yang tidak lagi sesuai dengan kemampuannya dalam menegendalikan fluktuasi luah air, terutama untuk di lokasi-lokasi yang sering terlanda, disamping meluasnya area terbangun bagian hulu sehingga fungsi hidrologisnya banyak berkurang. Perbaikan kondisi ini dapat dilakukan dengan penataan kembali laban untuk mengembalikan fungsi hidrolgis daerah tangkapan air di hulu, dan tentunya dengan menyediakan ruang yang cukup untuk menampung limpahan air ketika luah memuncak. Pekerjaan ini bukan pekerjaan sederhana karena melibatkan banyak fihak serta kompleksnya penyebab permasalahan. Salah satu hal yang penting untuk diketahui adalah gambaran kuantitatif ten tang besamya banjir yang biasa terjadi dan kemungkinan lebih buruk yang bisa terjadi, agar upaya pengendalian bisa dilakukan secara terukur. Besar harapan kami agar basil penelitian ini dapat sampai kepada fihak-fihak yang berkepentingan dan menjadi sumbangan dan bahan pemikiran dalam penentuan arab untuk penyelesaian masalah Banjir di Cekungan Bandung. Terimakasih kami ucapkan kepada Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat, PT. Perkebunan Nusantara IV, PT. Indonesia Power dan BMKG yang telah menyediakan datanya untuk kami olah pada penelitian ini, serta semua fihak yang membantu terselenggaranya penelitian ini. Bandung, November 2010 Para peneliti ii DAFTAR lSI Halaman RINGKASAN PRAKATA ii DAFTAR lSI iii DAFTAR TABEL iv DAFTAR GAM BAR v BAB1.PENDAHULUAN 1 .1 . LATAR BELAKANG MASALAH 1.2. PERUMUSAN MASALAH 1 2 BAB 2. TINJAUAN PUST AKA 2.1. DESKRIPSI DAERAH STUDI 2 2.2.PENDUGAAN KECENDERUNGAN (TREND) PERUBAHAN IKLIM 3 2.3.KURVA INTENSITAS DURASI FREKUENSI (IDF) HUJAN 4 6 8 2.4. PENDUGAAN LUAH BANJIR BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT BAB 4. METODOLOGI 4.1. METODA 8 4.2. PENGUMPULAN DAN PENGOLAGAN DATA 9 BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. KECENDERUNGAN PERUBAHAN IKLIM 11 5.2. PERIODA ULANG CURAH HUJAN MAKSIMUM TAHUNAN 5.3. PENDUGAAN VOLUME BANJIR 14 19 5.4. UPAYA PENANGGULANGAN 23 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 24 24 DAFTAR PUSTAKA iii DAFTAR TABEL Halaman 15 Tabel1 Hujan Harian rata-rata Tabel2 lntensitas Hujan Cekungan Bandung 16 Tabel3 Reduced variate, Yrr sebagai fungsi periode ulang 17 Tabel4 lntensitas hujan berdasarkan distribusi Gumbel dengan periode ulang 30 tahun dan durasi 5-720 menit 17 Tabel5 Perbandingan kecocokan rumus-rumus intensitas hujan 18 Tabel6 Neraca Simpanan Air di Daerah Banjir Cekungan Bandung (dalam juta m3 ) tahun 2008. 20 IV DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Distribusi daerah Genangan banjir di Cekungan Bandung berdasarkan ketinggian tempat (OEM) dan citra satelit. 3 Gambar 2 Citra ASTER tahun 2008, dipakai sebagai data dasar bagi penyususnan Peta penggunaan lahan, terdiri dari 4 scene. 10 Gambar 3 Peta tanah Semi Detail untuk daerah Studi. 10 Gambar4 a-c. Kecenderungan parameter hujan selama 30 tahun terakhir: data stasiun cemara, bandung. 12 Gambar 5 a-c. Kecenderungan parameter hujan selama 30 tahun terakhir: data stasiun cemara, Bandung. 13 Gambar 6 Kurva deviasi antara data dan prediksi curah hujan berdasarkan ditribusi Gumbel menggunakan perangkat SMADA 6.43 dan Distrib 2.0 15 Gambar 7 Plating data pengukuran dan prediksi dengan tiga jenis persaman intensitas 19 Gambar 8 Kurva intensitas hujan (IDF Curve) Cekungan Bandung berdasrkan rumus Sherman untuk berbagai periode ulang hujan. 19 Gambar 9 Hydrograph stasiun Nanjung tahun 2009. (HF = Aliran Tinggi, BF = Aliran Rendah, kotak biru = Hari-hari analisiss banjir) 20 Gambar 10 Neraca Simpanan Air Cekungan Bandung, 13 s/d 20 Maret 2008 21 Gambar 11 Neraca Simpanan Air Cekungan Bandung, 30 November s/d 6 Desember 2008 21 v BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Penurunan kualitas sumberdaya air kini semakin terasa di banyak daerah di tanah air dengan semakin sering dirasakannya kelangkaan air dan bencana yang berkaitan dengan sumberdaya air. Penyebab keadaan tersebut di atas ditenggarai berasal dari dua hal yaitu : perubahan drastis pola tutupan lahan dan perubahan iklim global. Tampaknya, interaksi kedua penyebab di atas pada suatu tempat akan mengakibatkan bencana semakin sering dan semakin berat. Daerah yang sangat rawan terhadap permasalahan dan bencana air adalah daerah berpenduduk padat, terutama di Pulau jawa. Cekungan Bandung merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang paling berkembang dan padat penduduk. Selama tiga dekade terakhir, bagian terendah cekungan ini mengalami banjir tahunan yang semakin parah. Secara alami bagian dasar cekungan ini berbentuk rawa-rawa yang umum dimanfaatkan untuk lahan persawahan dan perikanan. Sejak 30 tahun yang lalu, perluasan area pemukiman dan industri berkembang dengan cepat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi. Penyebab penting lain terjadinya banjir adalah tingginya perubahan tutupan lahan di wilayah hulu yang mengakibatkan besarnya luah sungai setiap adanya hujan. Penyebab penting lainnya adalah adanya penyempitan Saluran Citarum di Curug Jompong, ketika saluran melalui daerah batuan intrusif. Upaya yang telah dilakukan Pemerintah Daerah dalam pencegahan dan penanggulangan banjir telah diakukan dengan penyodetan beberapa ruas saluran sungai, pembuatan tanggul, pelurusan sungai dan lain-lain. Sejauh ini, hasil yang diharapkan hanya memecahkan sebagian masalah dan bersifat sementara. Masalah selalu kembali berulang setelah dua atau tiga tahun proyek penanggulangan banjir selesai, atau berpindah ke tempat lain . Dengan kondisi seperti di atas, maka penyelesaian tuntas masalah banjir di Cekungan Bandung tidak akan bisa ditanggulangi, karena memang daerah ini adalah daerah banjir berkala. Upaya yang bias dilakukan adalah bagaimana agar banjir yang terjadi tidak menimbulkan kerugian, bahkan lebih baik lagi apabila kita bias mengambil manfaat dari banjir tahunan. Untuk keperluan ini maka hal yang perlu diketahui pertama-tama adalah berapa jumlah air yang harus dikendalikan setiap kali terjadi banjir. Setelah besaran ini diketahui maka perencanaan untuk penaggulangannya akan bisa disusun dengan lebih mudah dan terarah. Seiring dengan jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi yang terus meningkat, keadaan di masa mendatang diperkirakan akan lebih memburuk apabila tidak segera diambil langkahlangkah perbaikan. Upaya yang perlu dilakukan untuk meminimalkan kerugian akibat banjir dan kekeringan adalah pengendalian air larian/genangan pada musim hujan yang sekaligus harus merupakan juga upaya untuk menyimpan persediaan air pada musim kemarau. Kedua fungsi pengendalian dan penyimpanan ini secara alami biasa dilakukan oleh tegakan hutan. Tetapi mengingat pada saat ini jumlah luasan hutan semakin menyusut dan kebutuhan masyarakat akan lahan meningkat pula, maka hutan dan tutupan vegetasi lainnya hanya akan memenuhi sebagian dari fungsi ini, sedangkan sebagian lainnya harus dipenuhi oleh upaya struktur (bangunan) buatan, seperti misalnya sumur resapan, kolam penampungan, dsb. Agar fungsi pengendalian dan penyimpanan ini berlangsung dengan baik, maka setiap upaya teknis bagi pengimbuhan dan pengendalian aliran air harus dilaksanakan pada tempat dan dengan ukuran yang cocok, sehingga dapat berfungsi dengan optimal dan di lain fihak tidak bersifat memboroskan lahan. Pertimbangan ini penting karena pada saat ini prosentase lahan terbangun di Cekungan Bandung sudah relatif tinggi. 1.2. PERUMUSAN MASALAH Karena luasnya daerah terbangun, pengaruh jumlah hujan total pada setiap kali curah sangat besar dan bersifat langsung terhadap terjadinya Banjir di Cekungan Bandung. Besarnya banjir tergantung pada intensitas hujan untuk hujan berdurasi pendek atau pada lamanya hujan untuk hujan dengan intensitas rendah. Meski pada saat ini banjir terjadi setiap tahun, tetapi besarnya berbeda dari tahun ke tahun. Agar dampak penyelesaianan masalah banjir dapat dirasakan untuk kurun waktu yang lama, maka diperlukan studi hujan untuk perioda yang cukup panjang. Dengan membuat disain penanggulangan berdasarkan curah hujan tertingi selama perioda tertentu, maka kemungkinan banjir hanya akan terjadi satu kali selama perioda tersebut. Untuk perencanaan penanggulangan banjir biasa dipergunakan data periodik selama 25, 50 dan 100 tahun. Semakin lama peroda yang dipakai maka semakin mahal biaya pembangungan infrastruktur yang diperlukan. Untuk penelitian ini, kami akan melakukan studi penanggulangan banjir untuk perioda ulang 30 tahun. Masalah selanjutnya yang harus dipecahkan untuk dapat menanggulangi banjir, diantaranya : •!• Berapa volume banjir yang dihasilkan oleh curah hujan tertinggi dan rata-rata selama perioda 30 tahun ? •!• Berapa volume air yang dapat diserap oleh prasarana non struktur (hutan dan tutupan vegetasi) dan sumur imbuhan airtanah dalam maupun dangkal dari curah hujan, rata-rata dan tertinggi untuk perioda 30 tahun ? •!• Berapa volume yang harus dikendalikan oleh kolam/saluran penampungan pada banjir yang dihasilkan dari curah hujan tertinggi dan rata-rata untuk perioda 30 tahun? BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DESKRIPSI DAERAH STUD!. Cekungan Bandung merupakan wilayah dengan morfologi berbukit-bukit mengelilingi dataran endapan danau purba yang telah mengering (Dam, 1994). Geologi daerah ini dicirikan oleh berbagai formasi volkanik (silitonga, 1994) pada bagian puncak dan lerengnya, kecuali padabagian dasar cekungan yang terdiri dari endapan danau berbutir halus. Lereng bawah dan tengah cekungan didominasi oleh formasi volkanik tua, sedangkan di bagian puncak umumnya lebih muda. Sebagian besar daerah telah dikembangkan menjadi daerah pertanian, daerah hunian dan industri. Perkebunan umumnya terletak pada lereng bagian atas, sedangkan hutan umumnya terletak di daerah puncak. Dengan bentuk morfologinya yang berbukit bukit menyebabkan curah hujan yang terjadi di cekungan Bandung di dominasi tipe curah hujan orografik (Narulita et al, 2007; Haylock, et al 2001 ). Curah hujan tahunan di cekungan Bandung bervariasi dari tahun 1800 mm di dataran hingga lebih daripada 3,500 mm di daerah pebukitan. Drainase cekungan Bandung dialirkan oleh sungai Citarum ke arah waduk Saguling yang berada di ujung sebelah barat cekungan. Sungai citarum yang berasal dari lereng timur 2 Gn. Malabar merupakan sungai utama di wilayah ini dan merupakan salah satu sungai terbesar di Jawa. Beberapa anak sungai seperti Cikapundung, Ciwidey, Cisangkuy, Cikeruh, Cimahi, Cidurian dan Citarik bermuara pada sungai ini pada bagian dasar cekungan diatas. Muaramuara ini terletak saling berdekatan di atas endapan danau yang tersusun oleh butiran yang sangat halus sehingga memiliki permeabilitas yang sangat rendah . Pola aliran cekungan memperlihatkan aliran yang terpusat ke bagian tengah cekungan . Masing-masing anak sungai memiliki panjang yang bervariasi antara 30 - 40 km (Gam bar 1). Pola ali ran anak-anak sungai tersebut umumnya dendritik atau bercabang-cabang. Gam bar 1. Distribusi daerah Genangan banjir di Cekungan Bandung berdasarkan ketinggian tempat (OEM) dan citra satelit. Sampai saai ini upaya penanganan banjir sudah banyak dilakukan, tetapi umumnya lebih bersifat penanganan darurat untuk penyelamatan korban. Bahkan upaya penanggulangan secara struktur (sipil-teknis) yang telah dilakukanpun (pembuatan banjir kanal, penyodetan dan pelurusan sungai, pembuatan tanggul, dsb.) hanya bermanfaat selama beberapa tahun saja, padahal biaya yang sudah dikeluarkan cukup besar. Tidak berlanjutnya manfaat sarana pengendali banjir yang dibangun ini disebabkab karena beberapa hal penting tidak diperhatikan. Pertama, kerusakan fungsi hidrologis daerah-daerah hulu tidak diperbaiki. Kedua, Umumnya disain sarana pengendali banjir hanya didasarkan pada perioda ulang siklus luah sungai dan curah hujan, sedangkan peningkatan luah air banjir yang akan meningkat dari tahun ke tahun sebagai konsekwensi dari perubahan tutupan lahan tidak diperhitungkan. 2.2. PENDUGAAN KECENDERUNGAN (TREND) PERUBAHAN IKLIM. lklim dan cuaca merupakan fenomena alam yang dinamis dan berubah dari waktu ke waktu , berupa variabilitas yang berulang dalam perioda bulanan, atau musiman atau tahunan. Meski demikian, dalam setiap perioda pengulangannya, sangat jarang terjadi pengulangan yang 3 sama persis, melainkan hanya dalam bentuk jumlah total atau polanya. Untuk jangka panjang, misalnya pada skala waktu geologi, iklim selalu berubah dari masa-ke masa karena adanya perubahan sebaran geografis daratan dan lautan, komposisi atmosfera, atau pengaruh penyinaran matahari. Pada masa ini perubahan yang ditenggarai sedang terjadi, menurut perkiraan IPCC (1996), disebabkan oleh pemanasan global yang diakibatkan oleh emisi gas rumah kaca (Enzier, 2007). Meski demikian, perubahan ini sangat lambat, dengan tingkat perubahan yang jauh lebih kecil daripada fluktuasi jangka pendeknya, misalkan dibandingkan dengan variasi harian di daerah tropis atau variasi musiman di daerah beriklim sedang. Dalam kaitannya dengan banjir, komponen iklim terpenting adalah Curah hujan. Perubahan iklim akan mengakibatkan perubahan pola hujan. Seperti halnya parameter iklim lainnya, curah hujan memiliki variabilitas harian, bulanan bahkan musiman yang relative besar. Untuk jumlah hujan tahunan, umumnya relative tetap meskipun terdapat juga variabilitas dari tahun ke tahun yang ditandai dengan adanya tahun tahun normal, basah dan kering. Disamping itu, variabilitas curah hujan juga memiliki perulangan, misalnya seperti adanya perioda ENSO yang berulang setiap lima sampai sepuluh tahun, perioda 25 tahun, dan perioda 50 tahun, dsb. Parameter-parameter hujan yang erat kaitannya dengan banjir adalah lntensitas hujan, durasi hujan dan jumlah total curah hujan dalam setiap kejadian hujan. Perioda perulangan dan kecenderungan perubahan dapat dilihat dengan menggunakan data berseri yang panjang. Studi iklim suatu daerah biasanya dianggap mewakili apabila menggunakan data berseri selama perioda sekurang-kurangnya 30 tahun. Studi kecenderungan (trend analysis) biasa di lihat dengan secara statistik (Mehta, 200). Metoda statistika yang paling sering digunakan untuk studi kecenderungan adalah Regresi dan Moving Average. Sedangkan perioda perulangan besarnya curah cujan tahunan bisa dianalisis 2.3. KURVA INTENSITAS DURASI DAN FREKUENSI (IOF) HUJAN . Kurva lntensitas Durasi dan Frekuensi (IDF) banjir diperlukan untuk menduga intensitas hujan penyebab banjir di suatu tempat dan seberapa sering pengulangannnya (Black, 1996). Dalam perencanaan infrastruktur pengendalian banjir, perhatian tidak hanya perlu ditujukan pada aliran permukaan (surface runoff) seperti halnya dalam disain drainase, tetapi juga pada limpasan secara total (total runoff). Limpasan merupakan gabungan antara aliran permukaan, aliran-aliran yang tertunda pada cekungan-cekungan, dan aliran bawah permukaan (subsurface flow) . Faktor-faktor yang berpengaruh pada limpasan secara umum dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor meteorologi dan karakteristik DAS. Faktor meteorologi terdiri atas intensitas hujan, durasi hujan, dan distribusi hujan. Sedangkan karakteristik DAS ditentukan oleh luas dan bentuk DAS, topografi dan tata guna lahan yang ada. Salah satu faktor yang berpengaruh pada debit atau volume limpasan adalah intensitas hujan. lntensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu. Makin singkat dan atau makin besar periode ulang hujan, maka intensitas hujan semakin besar dan sebaliknya. Hubungan antara intensitas, lama hujan, dan frekuensi hujan biasanya dinyatakan dengan lengkung lntensitas-Durasi-Frekuensi (IDF=Intensity Duration Frequency curve). Untuk mendapatkan kurva IDF diperlukan data hujan jangka pendek (menitan atau jam-jaman). Namun apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia (hanya tersedia data harian), maka intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus Mononobe yang diyatakan dengan persamaan berikut (Suripin, 2004; Triatmojo, 2009): I= R24 (24)2h 24 t Dimana: 4 I =intensitas hujan (mm/jam) t = lamanya hujan Uam) R24 = curah hujan maksimum harian (selama 24 jam) dalam mm Sesuai dengan tujuan penelitian dimana periode ulang yang digunakan adalah 30 tahun, maka R24 yang digunakan adalah R 24 dengan periode ulang 30 tahun yang dapat dihitung dengan persamaan berikut : Dimana : Yr y Kr = perkiraan data R24 yang diharapkan terjadi dengan periode ulang 30 tahun = nilai rata-rata hitung variat = faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang dan tipe model s = matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang (Normal, Log Normal, Log Pearson Ill, atau Gumbel). standar deviasi nilai variat Apabila data intensitas hujan telah tersedia, maka kurva IDF dapat dibuat dengan salah satu persamaan berikut : Rumus Talbot : a t+b I=-- Dimana: I intensitas hujan (mm/jam) t = lamanya hujan Uam) a dan b konstanta yang tergantung pada lamanya hujan yang terjadi di DAS dan ditentukan dengan persamaan berikut : = = a= [l.tl[l2]-[12. t](l] 2 N[1 ]-[1] [I] b= [l][l.t]-N[I 2 .t) 2 N[1 ] -[1] [I] Rumus Sherman : a 1=- cn Dimana: I = intensitas hujan (mm/jam) t = lamanya hujan Uam) a dan n = konstanta yang ditentukan dengan persamaan berikut : 5 [log I] [Ciogt) 2 ]-[logt.logl] [log t] log a=--=------==------N [ (logt) 2 ]-[logt] [log t] [log I] [log t]-N [logt.logl] N [ (logt) 2 ]-[logt] [logt] ョ]Mセ@ N adalah banyaknya data Rumus lshiguro : a 1=-- Vt+b Dimana: = intensitas hujan (mm/jam) = lamanya hujan Uam) a dan b = konstanta yang ditentukan dengan persamaan berikut : 2 a= [I .v't] [1 ]-[1 2 . v't] [I] . 2 N(1 )-[1][1] b= [I] [I. v't]-N [1 2 . v't] 2 ' N(1 )-[1] [I] N adalah banyaknya data Pemilihan persamaan, apakah Talbot, Sherman atau lshiguro ditentukan oleh hasil perhitungan dari ketiga rumus tersebut, dimana rumus terpilih adalah rumus yang memberikan deviasi (selisih) paling kecil dengan data intensitas hasil perhitungan dari data curah hujan yang tersedia . 2.4. PENDUGAAN LUAH BANJIR. Banjir terjadi apabila pada suatu lokasi aliran luah air masuk lebih besar daripada luah aliran keluar, dengan kata lain air yang tersimpan di lokasi tersebut bertambah atau positif. Sebaliknya pada kedaan dimana aliran keluar lebih besar daripada aliran masuk maka terjadi pengeringan atau simpanan air negatif. Pada keadaan Normal, dimana tidak terjadi pengeringan maupun banjir, atau simpanan konstan atau nol, maka luah aliran masuk dan luah ali ran keluar sama besar. Ekspresi matematis banjir bisa dirumuskan dengan persamaan kontinuitas aliran (continuity equation; Chow et al., 1988 ), sebagai berikut: dS/dt = lrt)- OrtJ .... (1) Dimana dS/dt = Simpanan (Storage) pada waktu tertentu 6 =luah masuk pada waktu tersebut, dan l(t) Q(t) = luah keluar pada waktu tersebut Dengan rumus diatas, perhitungan volume banjir adalah perhitungan dS/dt ketika terjadi Banjir. Kenyataanya di lapangan, banjir terjadi apabila terdapat penyumbatan saluran air sehingga luah aliran keluar mengecil, atau terjadi penambahan tiba-tiba sehingga kapasitas saluran tidak lagi dapat menampung jumlah luah aliran. Pendugaan luah air masuk l(t) biasa dilakukan berdasarkan besarnya presipitasi atau fluktuasi luah aliran sungai (Viessman et al., 1989) dimana untuk Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sangat luas atau sangat kecil biasa dilakukan pendugaan berdasarkan Curah Hujan, sedangkan untuk DAS dengan luasan sedang biasa dilakukan berdasarkan luah Aliran Sungai. Fluktuasi luah aliran masuk dan keluar suatu wilayah bisa dipantau (Sampudjo, 1993) antara lain dengan menggunakan perekam tinggi muka air sungai pada titik masuk (inlet) dan titik keluar (outlet). Di daerah hulu sungai, sebagaimana halnya di daerah cekungan Bandung, dimana asal sumber air masuk terdiri dari banyak titik (inlet), maka pengukuran luah di titik masuk sulit dilakukan karena harus dipasang di banyak tempat. Meski demikian, karena pengaruh hujan terhadap kenaikan muka air sungai biasanya demikian langsung, besarnya luah masuk dapat diperkirakan dari besarnya curah hujan (Darmadi et al., 1993) dengan mengunakan rumus hubungan hujan dan air larian (rainfall-runoff relationship). Salah satu metoda pendugaan luah aliran berdasarkan curah hujan, yang digunakan untuk penelitian ini, adalah metoda Curve Number (CN) yang dikembangkan oleh Natural resources Conservation Service Amerika Serikat (US- NRCS). Pada metoda Curve number(Mc Cuen, 1982), total curah yang jatuh pada setiap hujan (P) di atas tanah dengan potensi maksimal tanah untuk menahan (retention) air (S) tertentu dan abstraksi awal (Initial Abstraction: Ia), akan menghasilkan Air larian (Pe), dengan hubungan : Pe =(P - la)2/(P- Ia) + S ...(2) Sebagian air akan meresap kedalam tanah berupa air infiltrasi (F) yang besarnya: F = P- Pe -Ia ...... (3) Menurut hasil pengalaman empiris diperoleh : Ia =0,2 S ... (4) Dan dari hubungan (2) di atas maka nilai Q bisa diperoleh dari input P berdasarkan persamaan: Q = (P- 0,2S) 2/(P + 0,8S) ... (5) 7 Q dan P dapat diketahui dari hasil pengukuran, sedangkan S dan Ia merupakan parameter yang tidak diketahui. Penetapan nilai S dilakukan dengan melalui nilai runoff Curve Number(CN) dengan rumus S = (25400/CN) - 254 untuk S dalam satuan mm .. .(6) CN adalah indeks yang mencerminkan kombinasi faktor-faktor hidrologis tanah yang merupakan fungsi dari tiga faktor: jenis (tekstur) tanah, tutupan lahan dan kelembaban tanah awal. NRCS mengkelaskan tanah menjadi empat kelas (A, B, C dan D), mengkelaskan tutupan lahan menjadi 21 kelas, serta mengkelaskan kelembaban tanah awal (antecedent moisture classes: AMC) menjadi tiga kelas. Nilai CN berada pad a kisaran antara 0 sampai 100. Untuk selanjutnya nilai Q yang diperoleh dianggap sebagai input (l(tl) untuk DAS yang bersangkutan, dan dipakai pad a perhitungan pada rum us (1 ). Sedangkan nilai O(tl diperoleh berdasarkan hasil pengukuran muka air sungai yang telah dikonversikan menjadi luah. Berhubung data yang tersedia adalah data hatian, baik untuk curah hujan maupun luah air sungai, maka pendugaan luah banjir yang dapat diperhitungkan pada penelitian ini adalah luah banjir harian. BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT Tujuan umum penelitian ini adalah : • Penyelesaian masalah banjir di cekungan Bandung secara tuntas dan menyeluruh. Sedangkan tujuan spesifik dari penelitian ini adalah: • Tersedianya konsep strategi penanggulangan Banjir di Cekungan Bandung berdasarkan volume banjir yang harus ditanggulangi Kegunaan: • Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang cara penanggulangan banjir yang terukur berdasarkan data-data faktor hidrologi suatu daerah. • Program penyususunan program penanggulangan banjir dan konservasi air di Cekungan Bandung dapat dilakukan dengan lebih sistematis dan terarah apabila hasil penelitian ini dijadikan landasan sebagai salah satu dasar kebijakan teknis. • Dampak dari hasil upaya penanggulangan Banjir yang didasarkan atas kajian ini akan dirasakan lebih lama, sehingga akan merupakan penghematan anggaran penanggulangan. BAB 4. METODOLOGI 4.1. METODA Pendugaan kecenderungan perubahan pola iklim (terutama curah hujan) dilakukan dengan menggunakan metoda moving average untuk setiap 5 tahun, disertai dengan kurva regresi untuk mendapatkan kecendeungan total selama 30 tahun. Pendugaan perioda ulang 8 intensitas hujan maksimum dilakukan dengan kurva hubungan lntensity-Duratio-Ferquency (IDF), untuk perioda ulang selama 5 tahun, berdasarkan data berseri selama 30 tahun dari stasiun BMKG Cemara-Bandung. Penghitungan volume banjir dilakukan dengan persamaan (1) kontinuitas ali ran (continuity equation; Chow et al., 1988). Dengan rumus (1) diatas, perhitungan volume banjir adalah perhitungan dS/dt ketika terjadi Banjir. Untuk penghitungan di atas, Pendugaan nilai Luah masuk l(t) , diperoleh dari penghitungan yang dilakukan berdasarkan Hubungan Curah Hujan dan Larian (rainfall-runoff relationship) dengan metoda Curve number (Me Cuen, 1982) yang dilakukan secara spasial dengan menggunakan perangkat lunak GIS. Sedangkan luah air keluar Q(t) dari daerah banjir diperoleh dari nilai luah terukur yang terekam pada stasiun pencatat Luah di Nanjung yang merupakan outlet derah banjir Cekungan Bandung. 4.2. PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA Untuk dapat melakukan pendugaan luah aliran berdasarkan curah hujan denganb metoda Curve Number (CN), diperlukan terlebih dahulu kompilasi data spasial faktor-Faktor hidrologi setempat yang terdiri dari tematik-tematik sbb.: • Peta Tata Guna Lahan tahun ybs., diturunkan dari penafsiran citra satelit. • Isohyet Bulanan yang dikembangkan dari data curah hujan yang direkam pada stasiun cuaca. • Peta Permeabilitas Tanah yang diturunkan dari Peta Tanah Untuk keperluan resebut, data faktor hidrologi yang dipergunakan adalah citra satelit ASTER tahun 2008 yang meliputi seluruh cekungan, terdiri dari sebanyak 5 scene, (gam bar 1) Peta Tanah yang diperoleh dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Boger (gambar 2), serta data ketinggian muka air sungai mulai tahun 1980 s/d 2007 yang diperoleh dari Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Provinsi Jawa barat. 4.2.1. Pembuatan Peta Tata Guna Lahan Peta tutupan lahan di Cekungan Bandung pada tahun 2004 dibuat dengan cara menafsirkan Citra Satelit ASTER. Untuk seluruh cekungan Bandung, diperlukan data satellite. Pengolahan citra ASTER 2004, meliputi Koreksi Radiometri dan Koreksi Geometri, yang harus dilakukan untuk masing-masing scene. Kelima scene tersebut kemudian digabung dan di crop sebatas daerah Cekungan Bandung Yang akan dipelajari. Pemetaan tutupan Lahan Pada citra hasil penggabungan dan cropping dilakukan secara Asisted Automatic Classification. Metoda ini pada dasarnya adalah metoda automatis, tetapi dibantu dengan daerah atau lokasi training yang betul-betul diketahui karakternya serta posisinya mudah ditentukan pada Citra. 9 Gambar 2. Citra ASTER tahun 2008, dipakai sebagai data dasar bagi penyususnan Peta penggunaan lahan , terdiri dari 4 scene. Gambar 3. Peta tanah Semi Detail untuk daerah Studi. 4.2.2. Pengumpulan data Curah Hujan dan Penyusunan lsohyet. 10 Pengumpulan data curah hujan dilakukan dengan pengambilan data iklim dari stasiunstasiun milik BMG dan Indonesia Power. Untuk keseluruhan daerah studi, Data iklim terdapat pada 13 stasiun yang tersebar di dalam kawasan Cekungan Bandung. Data yang digunakan untuk studi ini adalah data hujan harian untuk tanggal-tanggal yang meliputi tiga hari sebelum dan setelah kejadian banjir. Pengolahan data yang pertama-tama kemudian dilakukan adalah koreksi data yang dilakukan dengan metoda kurva masa. Setelah itu dilakukan penurunan persamaan korelasi antara curah hujan dan lereng, untuk setiap hari yang dipelajari. Karena adanya variabilitas dalam distrubusi hujan di Cekungan Bandung, penurunan persamaan dilakukan untuk dua lereng yang terpisah: Lereng Utara dan Lereng Selatan Cekungan. Pada dasarnya proses pembuatan lsohyet untuk Cekungan Bandung dilakukan dengan membuat dua isohyets yang berbeda antara lereng utara dan selatan, sedangkan hasil akhirnya merupakan gabungan dari kedua isohyets tersebut. 4.2.3 Penyesuaian spasial dan temporal Metoda CN didisain untuk menduga perbandingan air hujan dan air larian pada setiap kali hujan di atas tanah tertentu. Untuk mendapatkan luaran spasial perhitungan dilakukan untuk setiap satu satuan lahan dengan karakteristik tanah, geologi dan tutupan lahan yang seragam. Satuan lahan perhitungan ini dideliniasi secara otomatis oleh program GIS dengan tumpang tindih dan intersect peta-peta isohyet sebagai data awal input presipitas (P), tutupan lahan sebagai data awal masukan nilai CN dan peta permeabilitas tanah sebagai data awal masukan nilai kelembaban tanah awal (Antecedent Moisture Condition =AMC). 4.2.4. Penghitungan luah aliran keluar Sungai Citarum Luah aliran keluar dariDaerah banjir di Cekungan Bandung ditetapkan berdasarkan Data Hydrograph harian yang tercatat di Stasiun Pengukur aliran utama Sungai Citarum di stasiun Nanjung. Data ini bisa diperoleh melalui izin dari PSDA Propinsi Jawa Barat. BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. KECENDERUNGAN PERUBAHAN IKLIM Sampai saat ini, telah dilakukan pengumpulan data iklim untuk seluruh daerah penelitian. Secara spasial, telah terkumpul catatan 13 stasiun curah hujan daerah penelitian yang diperoleh dari BMKG dan PT. Indonesia Power. Dari stasiun hujan yang berhasil dihimpun datanya, terdapat dua stasiun yang memliki seri data yang cukup panjang, yaitu stasiun Cemara di Kota Bandung dan stasiun Lembang. Analisis kecenderungan hanya dapat dilakukan terhadap data yang diperoleh dari kedua stasiun di atas. Banjir hanya terjadi apabila curah hujan yang turun cukup besar, biasanya pada saatsaat curah hujan maksimum dalam setiap tahunnya. Untuk mengetahui kecenderunngan perkembangan banjir di masa mendatang, analisis dilakukan terhadap curah hujan tahunan total, intensitas harian dan intensitas maksimum harian. Hasil analisis disajikan pada gambar 4 untuk stasiun Bandung dan gambar 5 untuk stasiun Lembang. 11 a: CH Tahunan Stasiun Bandung 3500 .------------------------- 3000 2500 - CHTahunan 2000 - 5 per. Mov. Avg. (CH Tahunan) 1500 -t----------------tll..____;_c.;.'---1000 500 Linear (CH Tahunan) +------------------------ 0 -t-----.------.-----.-----. 1970 1980 1990 2000 2010 b: CH harian max Stasiun Bandung 200 .-------------------------- 0 30 ch@ - 5 per. Mov. Avg. (CH harian max) harian max Linear (CH harian max) KMNセ@ 1970 セ 1980 1990 2000 2010 2020 c: intensitas harian max/bulan Stasiun Bandung - intensitas harian max per bulan - 5 per. Mov. Avg. (intensitas harian max per bulan) 15 10 1970 1980 1990 2000 2010 2020 Linear (intensitas harian max per bulan) Gambar 4 a-c. Kecenderungan parameter hujan selama 30 tahun terakhir: data stasiun cemara, bandung. 12 a: CH Tahunan Stasiun lembang セ cht。ィオョ@ - s per. Mov. Avg. (CH Tahunan) Linear (CH Tahunan) KMセ@ 0 1970 1980 1990 2000 2010 2020 CH Harian max/bin Stasiun lembang セM 120 セ ch@ - s per. Mov. Avg. (CH Harian max/bin) +-----------------------+------------------------ 40 20 0 Harian max/bin Linear (CH Harian max/bin) KMセ@ 1970 1980 1990 2000 2010 2020 lntensitas harian Maks Stasiun lembang 30 .---------------------------セ :: i }JaJIJ:j - 5 0 KMNセ@ 1970 1980 1990 2000 2010 harian Maks +---------------------------+---------------------------- 10 ャョエ・ウゥ。@ s per. Mov. Avg. (lntensitas harian Maks) Linear (lntensitas harian Maks) 2020 Gambar 5 a-c. Kecenderungan parameter hujan selama 30 tahun terakhir: data stasiun cemara, bandung. 13 Hasil analisis data yang diperoleh dari Stasiun Cemara yang mewakili bagian rendah cekungan Bandung memperlihatkan bahwa dalam 30 tahun terakhir ini curah hujan cenderung menurun. Demikian pula halnya dengan curah hujan harian dan lntensitas bulanan maksimum setiap tahunnya. Sedangkan data dari stasiun Lembang, yang letaknya di dataran tinggi Bagian utara Cekungan Bandung, memperlihatkan kecenderungan sebaliknya. Ketiga parameter hujan yang dianalisis berdasarkan data dari stasiun Lembang memperlihatkan kenaikan dalam 3 tahun terakhir. Dengan fakta kecenderungan yang diperoleh dari kedua stasiun di atas, yang ternyata berlawanan, sulit untuk menentukan kecenderungan umum untuk seluruh Cekungan Bandung. Tetapi untuk penyebabnya, kita bisa berhipotesis. Diperkirakan perluasan lahan terbangun di dataran rendah Cekungan Bandung telah menyebabkan efek Heat Island, yang menyebab ketinggian awan bertambah sehingga tertiup ke tempat lain, dan jatuh di tempat yang lebih tinggi. Hipotesis ini masih harus diperkuat lagi dengan analisis bagian selatan cekungan yang sayangnya tidak ada datanya. Sementara kecenderungan umum untuk seluruh Cekungan, untuk sementara, bisa kita anggap tetap. 5.2. PERIODA ULANG CURAH HUJAN MAKSIMUM TAHUNAN Hasil rekapitulasi curah Data tersebut diperoleh dengan maksimum pada 13 pos hujan dalam pemilihan hujan harian berikut: n p .. max 2 i L i=l hujan harian maksimum rata-rata ditampilkan pada Tabel 1. cara aritmatika (rata-rata hitung) berdasarkan nilai hujan harian dengan tanggal dan bulan hari hujan yang sama. Keputusan maksimum pada bulan ke-j dirumuskan dengan persamaan N Dimana : Pii = nilai hujan maksimum pada stasiun ke-i dan bulan ke j; N adalah jumlah stasiun. Selanjutnya dari seri data hujan harian maksimum dari bulan Januari - Desember dipilh nilai maksimum yang mewakili tahun ke-k. ュセクャpェォ@ 1 Dimana Pik adalah hujan harian maksimum pada bulan ke j dan tahun ke k. Nilai inilah yang kemudian disebut sebagai nilai hujan maksimum harian rata-rata seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 yang akan digunakan dalam perhitungan selanjutnya (perhitungan intensitas). Adapun 13 pos hujan {N=13) yang dimaksud adalah: • Pos hujan Cicalengka • • Pos hujan Paseh • • Pos hujan Chincona • • Pos hujan Ciparay • • Pos hujan Ujungberung • • Pos hujan Bandung • • Pos hujan Cililin Pos Pos Pos Pos Pos Pos hujan hujan hujan hujan hujan hujan Montaya Sukawana Saguling Lembang Cemara Bengkok 14 Tabel I. Hujan harian rata-rata I o. Ta!Jun t 2 3 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 セ@ 5 6 8 9 tO tt t2 13 u 15 t6 17 t8 t9 20 2t Jan 22 67 29 u 13 30 37 0 36 23 20 u 36 27 27 32 0 0 200( _セ@ 2005 2006 15 21 24 2007 2008 22 Feb 2t ..,..,. 2<; Q セ@ 22 22 J3 20 17 25 24 3t 16 22 t6 0 Bulan Apr 27 21 t5 セ R@ 27 u 22 22 20 0 0 43 13 33 20 17 0 0 t9 12 16 t6 0 19 0 29 26 21 26 25 21 0 0 32 35 30 22 35 28 0 20 27 17 19 0 2 0 t1 33 28 1 Uav 2t 19 22 t8 9 25 25 t9 20 t3 39 t9 35 20 37 4 0 0 21 14 14 9 Auq Jul 4 2 tB 10 2 8 2 0 tt tO 4 Jun t5 9 tt t4 2 20 t2 3 13 6 t 20 t2 セ@ 9 20 t7 6 tt tO t t tt t 9 tt 21 13 9 22 6 23 12 0 0 t5 t7 12 3 12 14 6 7 22 20 13 B 1 22 4 5 42 2 5 Sep Oct t2 32 t3 t6 to t2 9 2 t3 5 8 23 tt tt 13 6 25 t3 3 26 4 23 3t tO 2t 20 18 15 6 5 1 10 12 12 4 18 5 セ@ 20 5 12 31 45 llov t9 u 2t tt 39 2t t9 tO 25 28 2t 38 3t 28 3t 23 10 tO 18 19 29 30 Oec 24 t4 t9 26 30 t2 .if -::!'! 2.. I;' 29 ..!.2 3? J: 20 8 t6 20 25 26 t9 tO t6 36 28 45 T 33 セᄋ@ .:.-: u セ@ 32 •J ]; 31 33 33 30: 2a 3' Jt: セ@ 15 ., .:.; Sumber: Hasil perhitungan, 2010 Sebelum menghitung intensitas hujan, maka ditentukan terlebih dahulu pola distribusinya untuk mendapatkan nilai faktor frekuensi (K), yang merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang dan tipe model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang (Normal, Log Normal, Log Pearson Ill, atau Gumbel). Proses penentuan distribusi terpilih tersebut dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SMADA 6.0 dengan fungsi utilitas DISTRIB 2.0. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa selisih nilai hujan maksimum harian pengukuran dan prediksi sebesar -1.78E-14, 5.91, 7.24, dan -1.4E-14 masing-masing untuk distribusi Normal, Log Normal, Log Pearson Ill, dan Gumbel. Gambar 1 menunjukkan plot distribusi Gumbel antara data dengan hasil prediksi. Dengan demikian nilai K ditentukan berdasarkan analisis peluang dengan pola distribusi Gumbel. Gumbel Extrennl Type I --........... Aboul sa.M.DA 1 .48 lor 'Mnclows Mセ ..,.,._byOr. RO E . . セィ@ 'Nntllen..,.Or. R 0 セ@ v。ャオ・ セ@ . Hvdro!ogy: Water Quantity i!!d QualiiY Control 2nd Edj!jon J...,_, .... ...,. G 1- 1 ... Hvdro!oqy: Wa1er Quantity and Qua)jly Control 2nd Edition ...... _,......... , -- ] ... :.. セ@ セ@ ,_00. 0 Weibull Probability Gambar 6. Kurva deviasi antara data dan prediksi curah hujan berdasarkan ditribusi Gumbel menggunakan perangkat SMADA 6.43 dan Distrib 2.0 Langkah selanjutnya adalah menentukan intensitas hujan berdasarkan data curah hujan harian maksimum menggunakan persamaan Mononobe yang diyatakan dengan persamaan berikut : 15 Dimana: I =intensitas hujan (mm/jam) t = lamanya hujan Uam) R24 curah hujan maksimum harian (selama 24 jam) dalam mm Hasil perhitungan ditampilan pada Tabel 2. = Tabel 2. Intensitas hujan Cekungan Bandung Sesuai dengan tujuan penelitian dimana periode ulang yang digunakan adalah 30 tahun, maka R24 yang digunakan adalah R24 dengan periode ulang 30 tahun yang dapat dihitung dengan persamaan berikut : X= X+ K.S Dimana: X = perkiraan data R24 yang diharapkan terjadi dengan periode ulang 30 tahun X = nilai rata-rata hitung variat K = faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang dan tipe model matematik distribusi peluang Gumbel. = standar deviasi nilai variat s Sementara sesuai dengan distribusi yang memenuhi goodness of fit, maka nilai K dihitung dengan persamaan Gumbel sebagai berikut : セ@ セ@ Yrr [ Tr-1] = -ln -ln T;- Dimana: K = faktor probabilitas Yn = reduced mean yang tergantung pada jumlah sampel (data N) -7 lihat tabel. 16 Sn = reduced standard deviation yang juga tergantung pada jumlah sampel -7 lihat tabel. = = = Untuk N 22 (dari tabel diperoleh) : Yn 0.5268 dan Sn 1.0754. Sedangkan Yrr dengan periode ulang 30 tahun diperoleh dari interpolasi table TR-YTr (Tabel 3, Sumber : Suripin, 2004) sebesar 3.34. Tabel 3. Reduced variate, Yrr sebagai f ungs1. peno . de uIang Tr Yrr 2 0.3668 1.5004 5 2.2510 10 20 25 50 100 Dengan interpolasi untuk T, = 30 diketahui: Yrr = 3.34 2.9709 3.1993 3.9028 4.6012 = = = Dengan memasukkan nilai Yrr 3.34, Yn 0.5268 dan Sn 1.0754 maka diperoleh nilai K sebesar 2.62. Selanjutnya dihitung nilai intensitas hujan berdasarkan durasinya pada periode ulang 30 tahun. Hasilnya ditunjukkan pada Tabel 4. Untuk dapat menggambarkan intensitas dalam kurva IDF dan periode waktu tertentu, maka perlu menentukan tetapan-tetapan dalam persamaan intensitas, menggunakan rumus Talbot, Sherman, dan lshiguro. Persamaan yang digunakan (terpilih) adalah persamaan yang memberikan deviasi terkecil dengan nilai intensitas pengukuran. Tabel 4. lntensitas hujan berdasarkan distribusi Gumbel dengan periode ulang 30 tahun dan durasi 5-720 menit S= Durasi (menit) X=l Xrata2 deviasi 5 17.19 112.92 67.96 10 10.83 71.13 42.81 15 32.67 8.26 54.29 30 5.20 34.20 20.58 45 15.71 3.97 26.10 60 12.97 3.28 21.54 120 8.17 2.07 13.57 180 1.58 6.23 10.36 360 3.93 0.99 6.52 720 2.47 0.63 4.11 Sumber : Has1l perh1tungan, 2010 Dari hasil perhitungan, diperoleh rumusan persamaan intensitas dari ketiga persaman intensitas adalah sebagai berikut : 17 Talbot a 2057,68 = -- = --t+b t+17,46 セi@ セi]M@ Sherman lshiguro セi]@ a tn 330,18 t 067 • a 129,56 = -=--Vt+b Vt-1,25 Dari ketiga persamaan tersebut diatas, deviasi terkecil diberikan dengan menggunakan persamaan Sherman {Tabel 5). Gambar 2 menunjukkan kurva IDF hasil plating data pengukuran dan prediksi dengan tiga jenis kurva intensitas pada periode ulang 30 tahun. Sedangkan Gambar 3 menunjukkan kurva IDF menggunakan persamaan Sherman dengan berbagai periode ulang . Tabel 5. Perbandingan kecocokan rumus-rumus intensitas hujan 6. 79 Jumlah Rata2 0.68 Sumber. Hasil perhitungan, 2010 Jumlah Rata2 0.00 0.00 Jumlah Rata2 2.48 0.25 18 140 Tr= 30Tahun EIU 120 ' 100 E E 80 c IU 3' 60 セ ::1: ... ....Ec Cit 40 IU t。ャ「ッエ@ - - - Sherman __.,_ lshiguro Ui 20 Gl 0 5 10 15 30 45 60 120 180 360 720 Durasi Hujan (menit) Gambar 7. Ploting data pengukuran dan prediksi dengan tiga jenis persaman intensitas Kurva lntensitas Berdasrkan rumus Sherman (IDF} 140 X e IU .:::::: 100 E E c r - - - - - - - - - ---I -+-Tr=2th ....,.._ Tr = 10 th 120 KMセ セ セM Q@ - Tr =30th - Tr=Sth Tr = 20 th • Tr =50th X Tr = 100 th 80 IU ·:; ::1: ... 60 Cit IU Ui c ... .E 40 Gl 20 5 10 15 45 30 60 120 180 360 720 Durasi (menit) Gambar 8. Kurva intensitas hujan (IDF Curve) Cekungan Bandung berdasarkan rumus Sherman untuk berbagai periode ulang hujan. 5.3. PENDUGAAN VOLUME BANJIR Luah air harian yang dicatat di Stasiun pencatat tinggi muka air Sungai citarl.!m Nanjung dapat dilihat pada gambar 9. oi 19 Nanjung 2008 600 -" '0 "'E 500 400 300 200 100 0 so 0 100 150 200 250 350 300 - hari ke HF - Gambar 9. Hydrograph stasiun Nanjung tahun 2009. (HF = Aliran Tinggi, BF = Aliran Rendah, kotak biru = Hari-hari analisiss banjir) Tabel 6. Neraca Simpanan Air di Daerah Banjir Cekungan Bandung (dalam juta m 3 ) tahun 2008. Tanggal Maret It Qt dS/dt Tanggal It Qt dS/dt 13 22.732 23.811 -1.079 November 30 4.100 6.851 -2.751 14 12.629 14.420 -1.790 Desember 1 28.779 9.849 18.929 15 21.444 6.7018 18.178 22.351 -8.009 7.561 2 16 13.435 29.913 3 35.498 18.757 -11.476 16.740 17 4.3662 20.079 -15.713 4 39.605 -17.483 18 15.286 22.610 -7.324 5 22.122 35.584 32.806 2.777 19 17.558 18.524 -0.965 6 26.795 25.185 1.610 20 40.280 31.026 9.2546 20 BF so 40 30 セ@ .c '"'E セ@ 20 • ttSynth 10 • Ot dS/dt 0 13 14 1S 16 17 18 19 20 -10 -20 Gambar 10. Neraca Simpanan Air Cekungan Bandung, 13 s/d 20 Maret 2008 so 40 30 ... Ql j:: Ill xc( 20 • tt Synth 10 • Ot 0 -10 dS/dt 30 1 2 3 4 s 6 Desember 2008 -20 -30 Gambar 11. Neraca Simpanan Air Cekungan Bandung, 30 November s/d 6 Desember 2008 Operasi langkah demi langkah perhitungan dengan metoda kontinuitas aliran dengan menggunakan hasil perhitungan CN-NRCS sebagai I(T) dan Total Aliran sebagai Q(t) memperlihatkan (table 6) bahwa sampai dengan tanggal 15 maret 2008, simpanan air di daerah Cekungan Bandung masih deficit, meskipun curah hujan menghasilkan air limpasan yang jumlahnya melebihi 20 juta m3 pada tanggal13 dan 15 . Tampaknya perioda ini adalah perioda penjenuhan tanah. banjir pada tanggal 16 Maret 2008, terjadi akibat surplus simpanan (dS/dt) yang terakumulasi sampai dengan 15 Maret 2004. Dengan terjadinya banjir pada tanggal 17 Maret berarti ada tenggang waktu satu hari semenjak surplus air larian 21 yang berasal dari ekses air hujan mulai tekumpul di bagian hulu DAS sampai kemudian menggenangi daerah banjir. Ketika terjadi genangan banjir pada tanggal 17 Maret, perhitungan aliran air di Daerah Banjir sedang memperlihatkan hasil defisit yang besamya menyamai besar luah banjir itu sendiri. Keadaan tersebut di lapangan ditandai susutnya banjir, dan mengering pada keesokan harinya. Surplus simpanan air tetjadi lagi pada tanggal 20 Maret sebagai hasil akumulasi hujan pada tanggal 17 s/d 19 Maret 2008. Pada kasus banjir awal Desember, Banjir tetjadi mulai tanggal2 Desember 2008 menerus sampai seminggu. s/d tanggal 31 November 2008, neraca simpanan air di daerah banjir masih defisit (Gambar 6). Curah Hujan yang tinggi turun 1 Desember, sehari sebelum tetjadinya banjir,. Ketika tetjadi banjir pada 2 Desember, curah hujan turun hanya sedikit sedangkan luah air keluar tinggi yang menyebabkan neraca simpanan deficit, artinya air dikeluarkan dari daerah banjir pada hari itu. Banjir belum surut pada tanggal 3 Desember 2008, tetapi curah hujan turun sangat tinggi dan menerus pada hari-hari hari berikutnya. Pada 4 Desember, tetjadi lagi banjir dan luah yang keluar di stasiun Nanjung meningkat sangat tinggi, neraca simpanan daerah banjir deficit lagi pada hari itu. Pada hari-hari berikutnya curah hujan tetap tinggi, meski aliran air ke luar tetap tinggi pula, neraca simpanan air masih surplus, sehingga banjir tidak surut bahkan sedikit meluas. Yang dicatat pada kasus ini adalah bahwa curah hujan terbesar pada tahun 2008 jatuh pada tanggal 5 Desember, tetapi efek banjir yang dihasilkannya tidak sebesar hujan tanggal 3 Desember, kerena luah air yang keluar pada hari itu sudah tinggi pula. Tenggang waktu (lag time) satu hari antara curah hujan tinggi dan tetjadinya banjir tampaknya merupakan hal yang umum tetjadi dan menarik untuk dicermati. Apabila kita perhitungkan jarak dari daerah paling hulu suatu anak sungai sampai mencapai muaranya di sungai induk Citarum (umumnya kurang dari 60 km), dan dengan memperhitungkan kecepatan rata-rata air, maka tampaknya waktu 1 hari terlalu panjang untuk aliran air di saluran. Waktu 1 hari akan menjadi cukup apabila sumber banjir adalah air limpasan (overland flow) yang jatuh di permukaan tanah dan kemudian mengalir di permukaan menuju tempat yang lebih rendah, membentuk alur (rill) aliran dan kemudian mengumpul pada cekungan-cekungan dan lembah-lembah untuk kemudian mencapai anak sungai dan mengalir menuju sungai. Dengan route aliran seperti itu, ditambah dengan adanya hambatan dari tumbuhan-tumbuhan serta penghalang lainnya di permukaan tanah, maka waktu satu hari merupakan waktu yang bisa diterima untuk sampainya ekses air hujan di hulu ke daerah banjir. Banjir terbesar yang terjadi pada tahun 2008 disebabkan oleh curah hujan yangjatuh pada tanggal 3 Desember 2008 yang menghasilkan luah limpasan sebesar 35.498 juta m3 pada hari ketika luah keluar terekam di stasiun Nanjung sebesar 18.757 juta m3yang menyebabkan surplus simpanan sebesar 16.740 juta m3 . Tetapi surplus terbesar yang tetjadi adalah sebesar 18.929 juta m3 pada tanggal 1 Desember sebagai akibat curah hujan yang yang menghasilkan limpasan sebanyak 28.779 pada hari ketika luah keluar di Nanjung sebesar 9.849. Agar tebebas dari masalah Banjir sebesar yang tetjadi pada tahun 2008, maka diperlukan sarana pengendali Banjir untuk kapasitas 19 juta m3/ hari. Apabila genangan pada tanggal4 Desember tersebut tetjadi tepat selama 24 jam dan volume genangan terdistribusi merata selama waktu genangan, maka volume banjir yang terdapat pada hari itu itu rata-rata sama dengan volume total harian, yaitu sebesar 19 jt m3 atau setara dengan genangan seluas 1900 ha dengan kedalaman rata-rata 1m. Tetapi apabila genangan hanya berlangsung selama12 jam, maka volume genangan rata-rata adalah 2 kali total volume genangan harian atau areal yang sama dengan kedalaman genangan 2 meter. Menurut kurva IDF (gambar 8), curah hujan tertinggi 2008 (tabel 2) yang jatuh pada bulan Desember, dengan curah rata-rata untuk 13 Stasiun yang dipelajari sebesar 44,63 mm. merupakan ketinggian curah hujan yang perioda ulangnya lima tahun. Apabila kita bisa mengendalikan banjir sebesar yang terjadi pada tahun 2008, maka teoritis secara statistik Cekungan Bandung hanya akan menghadapi masalah banjir sekali dalam lima tahun. Apabila kita menginginkan tidak menghadapi masalah banjir sekurang-kurangnya dalam 50 tahun maka volume air banjir yang harus dikendalikan kira-kira 1.5 kali jumlah tersebut, karena besarnya curah hujan dengan period a ulang 50 tahun besarnya kira-kira 1,5 kali curah hujan dengan perioda ulang 5 tahun. Sedangkan apabila kitaingin terbebas dari masalah banjir serlama 100 22 tahun, maka saran a pengendalian air banjir harus dapat menampung kira-kira 1. 75 kali volume Banjir 2008. 5.4. UPAYA PENANGGULANGAN Banjir di dasar Cekungan Bandung terjadi akibat meluapnya sungai Citarum pada saat luah puncak setelah curah hujan besar turun di Cekungan Bandung. Semenjak dahulu, banjir memang selalu terjadi di sepanjang aliran Citarum. Pada citra satelit tampak bahwa dataran rendah di kiri dan kanan aliran sungai selalu basah, meski pada musim kemarau, karena daerah tersebut memang dataran banjir, dan merupakan bagian terendah dari dasar Danau Bandung Purba yang kini mengering. Pada keadaan normal,masa-masa curah hujan rendah, daerah tersebut tanpak sepert dataran yang terbentuk dari sedimen lempung yang lembek karena kandungan airnya yang relatif tinggi sepanjang tahun. Dataran ini kemudian dimanfaatkan sebagai lahan perikanan atau pesawahan. Sawah atau kolam yang terdapat di daerah ini memberikan hasil yang cukup menguntungkan, kecuali pada saat dilanda banjir. Banjir menjadi masalah yang lebih besar karena daerah dataran tersebut sekarang menjadi kawasan hunian yang padat, bahkan dijadikan lokasi kegiatan ekonomi yang lebih intens dimana diatasnya dibangun sarana dan prasarana. Dengan latar belakang perkembangan pemanfaan lahan di sepanjang aliran Sungai Citarum, maka tidak mengherankan bahwa banjir selalu terjadi dan akan tetap terjadi luapan air sungai ketika curah hujan tinggi jatuh di Cekungan Bandung. Meluasnya lahan terbangun di Cekungan Bandung yang menutup permukaan tanah dengan atap, aspal, tembok atau beton yang kedap air menambah tinginya luah air limpasan stiap kali terjadinya hujan yang kemudian terakumulasi di Sungai citarum . Sedangkan pembukaan tutupan vegetasi di lahan-lahan yang belum terbangun menyebabkan tingginya erosi dan meningkatkan jumlah tanah (lumpur) yang terangkut untuk kemudian diendapkan di sepanjang saluran air dan dasar sungai, sehinga mengurangi kapasitas tampung saluran-saluran dan sungai. Melihat kondisi dan penyebab terjadinya, banjir di dasar cekungan Bandung tidak dapat dicegah tetapi masalah yang ditimbulkannya bisa dihilangkan apabila kita memberi ruang untuk aliran air ketika luah air sungai memuncak, sebelum semuanya dapat mengalir melalui Curug Jompong ke Waduk saguling. Seperti telah diperhitungkan di atas, Ruang penampungan air banjir (retarding basin) harus disediakan untuk menampung sebanyak 19 juta meter kubik air, apabila kita ingin terbebas dari banjir lima tahunan, dan sekitar 1,7 kalinya apabila kita ingin terbebas dari banjir 100 tahunan. Berkaitan dengan adanya perubahan iklim global yang kini ditenggarai sedang terjadi, pengaruhnya terhadap curah hujan di Cekungan Bandung belum bisa dikatakan akan menyebabkan perubahan jumlah . Seperti diuraikan di atas bahwa di dataran rendah cekungan, julah dan intensitas hujan cenderung menurun, sedangkan di dataran tinggi sebelah utara cenderung naik. Meski demikian, untuk amannya sebaiknya kita memperhitungkan keadaan terjelek dengan menambah kapasitas tampung sarana pengendali banjir beberapa persen. Karena seandainya pun terjadi, proses perubahan iklim ini akan berjalan lambat. Sementara itu perbaikan non struktur di daerah-daerah konservasi di dataran tinggi perlu dijaga dan direhabilitasi agar sarana (kolam) pengendali banjir ini berfungsi secara berkelanjutan, terjaga dari siltasi oleh bahan hasil erosi. Berharap lahan-lahan korservasi akan menjadi daerah imbuhan yang baik memerlukan kesabaran untuk menunggu beberapa dekade, karena hutan atau vegetasi akan berfungsi sebagai daerah imbuhan yang optimal apabila pada tanah lantai hutannya telah terbentuk kesarangan yang cukup besar(Buttle, 2000) apabila telah menjadi media untuk kehidupan fauna tanah. 23 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN Metoda CN-NRCS dipakai untuk menduga jumlah air yang masuk ke dalam daerah Tangkapan Air Cekungan Bandung. Hasil pendugaan ini dipakai untuk menduga volume Banjir pada saat puncak-puncak musim hujan tahun 2008 di bulan Maret dan Desember, dengan memanfaatkan data hydrograph hasil rekaman pencatat tinggi muka air otomatis di stasiun Nanjung. Hasil analisis kecenderungan terhadap data curah hujan berseri memperlihatkan adanya penurunan jumlah curah hujan tahunan di dataran rendah Cekungan Bandung dalam 30 tahun terakhir. Sedangkan di Lembang yang merupakan lereng utara dataran tinggi cekungan jumlah curah hujan tahunan memperlihatkan kenaikan dalam 30 tahun terakhir. Dengan hasil analisis di atas maka untuk seluruh Cekungan Bandung, jumlah curah hujan pada tahun-tahun ke depan sementara dianggap tidak akan ada perubahan, meskipun ditenggarai kini tengeh berlangsung perubahan iklim global. Meskipun demikian, variasi tahunan tetap ada dan dengan analisis lntensitas-DurasiFrekuensi (IDF) dapat ditentukan besarnya jumlah hujan maksimum untuk perioda ulang sampai dengan 100 tahun Cara terbaik untuk menghindar dari masalah Banjir di dasar cekungan Bandung adalah dengan cara membuat kolam penampung (retarding basin) untuk mengendalikan banjir. Ruang penampungan air banjir (retarding basin) harus disediakan untuk menampung sebanyak 19 juta meter kubik air, apabila kita ingin terbebas dari banjir lima tahunan, dan sekitar 1,7 kalinya apabila kita ingin terbebas dari banjir 100 tahunan. DAFTAR PUSTAKA --------------, 1993. Penelitian Optimalisasi Penggunaan Lahan Daerah Alian Sungai (DAS). Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Black, P.E., 1996. Watershed Hydrology. Lewis Publisher, Boca Ranton-London Suttle J.M., and.J. Me Donald, 2000. Soil Macroporosity and its Infiltration Characteristic of a Forest Podzols. Hydrological Processe, val. 14. no 4, 831-848 Chow, 1988. Applied Hydrology. Me. Graw Hill. Int. ed., 572p. Dam, M.A.C., 1994. The Late Quartenary Evolution of The Bandung Basin, West Java, Indonesia. Academisch Proefschripft, Vrije Universiteit Amsterdam 251 pp. Darmadi, M.A. Dhalhar, S.Arsyad, K. Abdullah, H. Pawitan and S. Pusposutardjo, 1993. Unit Hydrograph Analyses using empircal and Analytical Approaches based on watershed physical Parameters. Proc. Symp. 25 years hydrological developments in Indonesia. LIPI - Dep. PU. Enzier B., 2007. Scenarios du SRES de l'IPCC- consequences du changement climatic. Lenntech com. France Haylock, M. and J. McBride, 2001. Spatial coherence and predictability of Indonesian wet season rainfall. Journal of Climate, 14, 3882-3887 Me Cuen, 1982. A Guide to Hydrologic Analyses using SCS Methods. Prentice Hall, Inc. Englewoods cliffs, New Jersey. Mehta T., 2000. Trendline coefficient. http://tushar-mehta.com/publish train/data analysis/ 16.htm 24 Narulita 1., 2007. Distribusi Spasial dan Temporal Curah Hujan Rata-rata Tahunan Tipe Orografik Untuk Menduga Angka Koefisien Aliran Di Cekungan Bandung. Sumberdaya Air dan Lingkungan: Degradasi, Potensi, dan Masa Depan. LIPI Press hal : 183-202 Nathan R.J., dan T.A. Me Mahon, 1990. Evaluation of automated techniques for base flow and recession analyses. Water Resources research, vol. 26 . pp. 1465-1473. Sampudjo, 1993. Flood forecasting and Warning System. Proc. Symp. 25 years hydrological developments in Indonesia. LIPI - Dep. PU. Silitonga, 1994. Peta Geologi lembar Bandung, Jawa. Peta Geologi bersistem Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Suripin, 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. ANDI- Yogyakarta Triatmodjo B. 2009. Hidrologi Terapan, BETA Offset- Yogyakarta Viesmann Jr. W, G.L. Lewis and J.W. Knapp, 1999. Introduction to Hydrology. Harper and Low Publ. 780 p. 25 26