SENI KERAJINAN BATIK
Seni kerajinan batik hingga kini tetap berkembang di daerah-daerah tertentu di tanah air. Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis identitas budaya nasional yang satu ini mampu bertahan hidup dan bahkan sanggup menjadi kode kultural yang patut diperhitungkan dalam komunitas nasional maupun internasional, meskipun terus menerus ditempa arus globalisasi yang membawa serta liberalisme ekonomi dan persaingan bebas. Modal utama yang memungkinkan pencapaian tersebut adalah daya lahan yang dimiliki seni kerajinan batik itu sendiri yang juga ditopang oleh peningkatan sumber daya manusia pendukungnya untuk terus berpacu dan beradaptasi dengan dinamika perubahan /aman, yang pada intinya berarti peningkatan etos kerja. Sedangkan daya tahan itu sendiri membuktikan bahwa seni kerajinan batik masih terus dibutuhkan.
Menilik sejarahnya, seni kerajinan batik di negeri ini digolongkan dan dibedakan ke dalam dua jenis kelompok pembagian, Yang terutama didasarkan pada sifat ragam hias dan corak warnanya ditinjau dari sudut kelompok besar daerah pembuatan seni kerajinan batik. Pengelompokkan yang dibuat sejak zaman penjajahan Belanda dan nampaknya tetap berlaku hingga sekarang nu menentukan dua kelompok besar yang membedakan seni kerajinan batik yang satu dengan yang lainnva, yakni:
BATIK VORSTENLANDEN
Batik Vorstenlanden adalah seni kerajinan batik yang terdapat di daerah kerajaan yang pada zaman penjajahan Belanda disebut Vorstenlanden, dan menunjuk pada dua daerah keraton-sentris yaitu Solo dan Yogya. Ragam hias pada batik Solo dan Yogya ini bersifat simbolis berlatarkan kebudayaan Hindu-Jawa, dengan warna-warna dominan, yaitu sogan, indigo (biru), hitam dan putih.
BATIK PESISIR
Batik Pesisir adalah semua seni kerajinan batik yang berasal dari luar daerah Solo dan Yogya atau di luar daerah Vorstenlanden . Ragam hias pada Batik Pesisir ini lebih bersifat naturalistis dan banyak menunjukkan pengaruh kuat kebudayaan asing, dengan corak warna yang beraneka ragam.
Berdasarkan sifat ragam hias dan warnanya inilah maka seni kerajinan batik yang bukan berasal dari daerah pesisir seperti Garut, Banyumas, Ponorogo dan sejenisnya dimasukkan ke dalam kelompok Batik Pesisir, oleh karena di daerah-daerah di luar Yogya dan Solo hampir selalu terdapat persamaan dalam corak warna dan ragam hias seni batik mereka. Meskipun demikian tentu saja ada perbedaan nuansa warna yang disesuaikan menurut selera daerah, keadaan alam dan tata nilai masyarakat yang bersangkutan.
Dilihat dari segi ragam hias, corak warna, tata warna serta gayanya, jenis Batik Pesisir yang menonjol dan sampai sekarang masih digemari antara lain batik yang berasal dari daerah Indramayu, Cirebon, Pekalongan, Lasem, Madura dan Tuban. Tulisan ini akan mencoba mengetengahkan berbagai ragam hias dan corak warna seni kerajinan batik yang terdapat di daerah-daerah tersebut yang bisa dianggap mewakili kelompok Batik Pesisir.
BATIK CIREBON
Wilayah Cirebon yang terletak di Pantai Utara Pulau Jawa yang menjadi perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah adalah wilayah karesidenan yang meliputi Kotamadya Cirebon, Kebupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan. Kota Cirebon dahulu merupakan pelabuhan yang ramai disinggahi berbagai kapal baik dari luar negeri maupun kapal-kapal antar pulau Indonesia itu sendiri. Daerah yang pernah menjadi salah satu pusut penyebaran agama Islam pada zaman Wali Songo ini terkenal pula dengan dua buah keraton yang pernah mashur pada zamannya yaitu keraton Kasepuhan dan keraton Kanoman. Pengaruhnya sangat kuat sehingga pada masa itu daerah Cirebon pernah berada dalam suatu lingkup tata kehidupan yang banyak diarahkan oleh hegemoni keraton (keraton-sentris), sebagaimana juga Solo dan Yogya yang kultur keraton sentrisnya lebih kuat dan nampak lebih bertahan hingga sekarang.
Sebagai daerah pelabuhan, hubungan Cirebon dengan daerah-daerah lainnya dan para pendatang dari berbagai negeri yang membawa tata-nilai seni budaya dan kepercayaan masing-masing telah memungkinkan Cirebon mengalami suatu pembauran budaya baik akulturasi maupun interkulturasi yang satu sama lain saling mempengaruhi. Hubungan perdagangan yang erat antara Cirebon dengan negeri Cina, Arab, India (Hindu), telah pula menyebabkan kultur Cirebon berpadu dengan kultur-kultur asing tersebut. Perpaduan budaya tersebut pada akhirnya telah membuahkan corak-corak kultural yang beragam pada tata nilai budaya Cirebon. Hal ini tercermin pada penampilan seni budaya Cirebon pada umumnya, Sebagai contoh, di Cirebon terdapat dua kereta kebesaran yang menjadi lambang kebesaran dua keratonnya, yaitu kereta Singa Barong di keraton Kasepuhan dan kereta Peksi Naga Liman di keraton Kanoman. Secara simbolis kedua kereta yang mengimajinasikan binatang khayal ini melambangkan perpaduan kebudayaan Cina, Arab dan Hindu. Wujud dari binatang khayal ini adalah sosok binatang yang berkuku singa, berkepala naga dan bertanduk (dalam budaya Cina disebut Liong), berbadan kuda dan bersayap (dalam masyarakat Islam dikenal dengan nama Buraq) bermoncong belalai seperti gajah (dalam budaya Hindu disebut Ganesha). Jika sebutan Singa Barong diambil dari kata barung yang berarti campuran, perpaduan (kombinasi), maka Peksi Naga Liman diambil dari perpaduan wujudnya; Peksi (burung), Naga (lion), Liman (gajah). Perwujudan binatang khayal ini bagaimanapun banyak dijumpai sebagai salah satu model ragam hias batik Cirebon.
Dalam seni kerajinan Batik Cirebon ini juga banyak dijumpai motif-motif dan ragam hias yang berdasarkan kaligrafi Arab (khat) dan hiasan geometris Timur Tengah. Hal ini tidak mengherankan oleh karena Cirebon dikenal sebagai salah satu penyebaran agama Islam pada zaman Wali Songo terutama melalui tokoh Sunan Gunung Jati. Salah satu bukti penyebaran agama Islam tersebut adalah-perubahan pada ragam hias Singa Putih yang berbentuk harimau putih yang menjadi lambang Kerajaan Pajajaran (Hindu). Adanya pengaruh Islam menyebabkan perubahan pada wajahnya dan sering dinamakan ragam hias Singa Parsi.
Selain itu secara lebih spesifik pengaruh kebudayaan Cina pada Batik Cirebon bisa ditelusuri sejarahnya terutama dari perkawinan Sunan Gunung Jati dengan seorang Putri Cina bernama Ong Tie. Pada perkawinannya banyak dibawa serta benda-benda seni dari negeri asalnya terutama keramik, selain itu perhatiannya sangat besar terhadap seni budaya setempat. Oleh karena itu pengaruh kebudayaan Cina pada ragam hias Batik Cirebon ini nampak lebih menonjol dibandingkan dengan batik-batik pesisir lainnya.
Di samping ragam hias yang berasal dari pengaruh kebudayaan Cina, Arab dan Hindu, terdapat pula ragam hias batik khas Cirebon yang disebut mega atau awan-awanan. Dilihat dari bentuk maupun corak tata-warnanya nampak bergaya selera Cina, karena pada saat itu di daerah Cirebon banyak dijumpai juragan-juragan batik keturunan Cina. Warna-warna yang dominan pada batik keluaran juragan Cina ini pada umumnya merah, biru, hijau dan putih yang sebenarnya merupakan corak warna khas Batik Pesisir.
Ada pula ragam hias batik keraton Cirebon yang lebih bersifat simbolis dan banyak dipengaruhi kebudayaan Hindu-Jawa (seperti juga terlihat pada batik-batik di keraton Solo dan Yogya) yang menampakkan dua jenis ragam hias batik keraton. Jenis yang pertama merupakan ragam hias yang kuat dan besar yang biasa dipakai oleh para punggawa atau abdi dalem, Sedangkan jenis yang kedua merupakan ragam hias yang halus dan kecil yang biasa dipakai oleh para ningrat, seperti ragam hias Semen Rama, Sawat Pengantin, Liris Seno, Patran dan Lunglungan. Dalam batik keraton Cirebon juga dikenal ragam hias Trisula yang berbentuk tombak yang memiliki tiga ujung mata tajam yang merupakan lambang dari ketajaman akal, perasaan dan kekuatan, di samping ragam hias Payung yang pada umumnya di Indonesia diyakini sebagai lambang kebesaran.
Pertanda dari terdapatnya hubungan kebudayaan dengan daerah Solo-Yogya dalam Batik Cirebon bisa dilihat dalam ragam hias Sawat, lar, parang. Sedangkan hubungan dengan daerah Garut dan Indramayu dan daerah-daerah tetangga lainnya bisa dilihat dalam ragam bias Lereng Areuy (Garut) dengan ragam hias Liris Patran Kembang (Cirebon), juga dapat dilihat pada ragam hias Kaput Kandas, Lengko-lengko, Obar- abir, yang memiliki kesamaan dengan ciri ragam hias Batik Indramayu.
Letak geografis Cirebon sebagai daerah pesisir juga mengilhami ragam bias yang erat hubungannya dengan alam laut seperti ragam-hias Ikan, Udang, Ganggeng, Rumput Laut atau Kapal Keruk. Di samping itu terdapat pula ragam hias yang mencerminkan wujud alam daerah ini, seperti ragam hias Patran, Wadasan, Mega, Utah-utahan, yang sering dijumpai pada sehelai Batik Cirebon sebagai ragam hias pengisi atau pelengkap. Bahkan ragam hias Patran menjadi sangat khas Cirebon yang meskipun secara arti katanya tidak begitu jelas tetapi pada perwujudannya ragam hias ini menggambarkan tanaman merambat seperti pada ragam hias Patran Kangkung dan Liris Patran Kembang. Sedangkan ragam hias Wadasan (batu karang) merupakan penggambaran dari susunan bukit batu karang yang banyak terdapat di Taman Arum Sunyiaragi yang terletak di pinggir kota Cirebon. Ragam hias ini paling sering dipakai sebagai ragam hias pengisi dalam batik-batik Cirebon yang lebih menyerupai lukisan seperti pada batik Taman Arum Sunyiaragi, Singa Barong dan Gedongan Sunyiaragi.
Ragam hias yang melambangkan si pembawa hujan yang sangat dinanti-nantikan untuk kesuburan dan pemberi kehidupan, tercermin dalam ragam hias Awan-awanan atau Mega dengan gradasi warna dari biru tua sampai biru muda yang kadang-kadang mencapai 9 sampai 11 nuansa warna. Warna biru tua menggambarkan awan gelap mengandung air hujan yang memberi penghidupan, sedangkan perubahan nuansa ke arah warna biru muda menggambarkan semakin cerahnya kehidupan. Gradasi warna ini merupakan pengaruh dari budaya Cina yang juga nampak pada ragam hias lainnya seperti Wadasan dan Utah-utahan.Ciri khas batik Cirebon memang seringkali mengambil bentuk gambaran alam sekitarnya, cerita rakyat dan pencerminan keper-cayaan atau pandangan rakyat setempat, dan pada umumnya di-latari oleh warna kuning gading yang merupakan warna khas Cirebon yang terkenal dengan istilah kuning Cirebon (ecru). Selain batik Taman Arum Sunyiaragi (melambangkan taman yang harum tempat menyatunya jiwa dan alam semesta untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Pencipta) dan Gedongan Sunyiaragi, motif-motif alam dalam ragam bias Batik Cirebon juga terdapat pada ragam bias baiik Ayam Alas Gunung Jati (lambang penyiaran dan penyebaran agama Islam dari bukit Gunung Jati), Pusar Bumi (menggambarkan sebuah lubang di puncak Gunung Jati yang' keramat dan dianggap sebagai pusat bumi). Supit Urang disebut juga Urang Ayu (bergambar lukisan wanita berupa udang mem-bawa tombak trisula dan mengundang banyak penafsiran), Kapal Kandas atau Kapal Labuh (simbol dari ketangguhan dalam menghadapi lika-liku kehidupan dan pencapaian tujuan). Kapal Keruk (lambang semangat penggalian ilmu). Firing Aji dan Firing Selampod (diilhami oleh susunan piring porselin Cina sebagai hiasan dinding astana Gunung Djati dan keraton). Simbar Kendok dan Simbar Menjangan (berupa tanaman merambat yang a lot yang melambangkan kekuatan dan keuletan).
BATIK INDRAMAYU
Daerah yang secara geografis terletak di sebelah utara dan berdampingan dengan wilayah Cirebon di sepanjang jalur pantai utara (pantura) dan bahkan menjadi salah satu wilayah kabupaten yang termasuk ke dalam wilayah karesidenan Cirebon ini sudah barang tentu baik dalam tata kehidupan masyarakat maupun faktor alam yang melingkupinya tidak jauh berbeda dengan daerah Cirebon. Tata nilai masyarakat dan identitas kulturalnya juga lebih banyak memiliki persamaan dengan daerah Cirebon, termasuk bahasa sehari-hari yang dipergunakan yaitu bahasa Jawa Dermayon-Cerbon yang menjadi alat komunikasi dan sarana pergaulan antar masyarakatnya. Kalaupun ada sedikit perbedaan mengenai bahasa sehari-hari mereka itu hanyalah: dalam hal dialek dan aksennya semata-mata dan beberapa istilah yang tidak begitu mendasar. Sebagai sesama daerah bahari, Indramayu dan Cirebon sudah barang tentu sangat terbuka terhadap hubungan dengan dunia luar, sehingga tata-nilai di daerah Indramayu terkesan sangat sensitif terhadap perubahan, dan masyarakatnya nampak sudah terbiasa dengan perubahan-perubahan tersebut.
Hal ini dimungkinkan terutama sekali karena daerah Indramayu sejak dahulu tidak begitu terpengaruh oleh kultur keraton-sentris seperti halnya Cirebon, Solo dan Yogya. Dengan demikian tata nilai kerakyatan berikut seni budaya rakyatnya cenderung lebih dominan bila dibandingkan dengan wilayah Cirebon yang setidaknya pernah terpengaruh kuat oleh kultur keraton sentris.
Meskipun secara kultural, natural dan tata nilai masyarakatnya daerah Indramayu dan daerah Cirebon hampir tidak bisa dibedakan secara mendasar dalam suatu pembagian besar, dalam hal seni kerajinan batik kedua daerah tersebut tidak begitu saja bisa dipersamakan secara persis. Ada banyak perbedaan mendasar yang salah satunya sangat dimungkinkan bermuasal dari pengaruh kultur keraton-sentris di Cirebon yang justru tidak begitu terasa bagi masyarakat Indramayu yang lebih bersifat egaliter dan dinamis, selain faktor alam, gaya dan selera. Di samping perbedaan tersebut, sebagai daerah yang saling bertetangga dekat, tak bisa dipungkiri adanya persamaan dalam ragam bias seni kerajinan batik di kedua daerah pantura tersebut. Hal ini nampak misalnya dalam ragam bias Obar-abir atau Ngobar-ngabir (kibaran panji), yang di daerah Cirebon dinamakan ragam bias Lengko-lengko.
Pengaruh kebudayaan Cina dan Arab sudah sejak zaman dahulu bersemayam dalam kultur Indramayu, sebagaimana halnya di Cirebon. Dalam hal seni kerajinan batik, pengaruh kebudayaan Cina di daerah Indramayu ini dapat terlihat misalnya dari ragam bias seperti Burung Hong, Banji dan semacamnya. Dahulu orang-orang Cina di daerah ini pernah menjadi komunitas yang sangat besar, seperti halnya Cirebon di antara mereka banyak yang menjadi juragan-juragan Batik Dermayon yang terkenal bermutu tinggi untuk mereka pakai sendiri atau untuk diperdagangkan terutama ke Sumatra dan beberapa daerah lain. Batik dari juragan batik Cina ini biasanya mempunyai berbagai macam ragam hias berupa lambang-lambang simbolis dari kebudayaan Cina, misalnya batik Lok Chan. Umumnya ragam hias yang menjadi lambang simbolis kebudayaan Cina ini terdiri dari satu warna yang bernuansa yaitu warna gelap di atas latar warna yang sama tetapi lebih muda. Meskipun begitu pada kain batik ini masih dapat terlihat juga ciri-ciri khas Batik Dermayon, seperti misalnya dalam kesederhanaan isen-isen (ragam hias pengisi bidang atau ruang), cocohan (titik-titik halus) dan latar polos. Pemakaian batik sebagai kain sarung, kain panjang, celana, tokwi (alas meja sembahyang), pada masyarakat Cina ini sudah terjadi sejak dahulu.
Sementara pengaruh kebudayaan Islam dalam seni kerajinan batik Indramayu ini tercermin dalam ragam hias batik Sawat Riweh yang dipenuhi motif kaligrafi Arab, selain pada ragam hias geometris Timur Tengah. Ragam hias Si Juring, Pintu Raja dan Kembang Kapas, adalah model-model ragam hias yang paling banyak digemari dan terkenal, terutama karena ragam hias ini terlihat perpaduan kebudayaan Islam dan kebudayaan Cina.
Di samping pengaruh-pengaruh kebudayaan dari luar negeri, seni kerajinan batik Indramayu pun tidak luput dari pengaruh daerah Vorstenlanden (Solo-Yogya). Pengaruh ini tercemin paling tidak dalam ragam hias Sawat atau Lar dan Parang yang di daerah ini dinamakan liris. Meski begitu pengaruh-pengaruh tersebut dalam pembuatannya disesuaikan dengan gaya serta selera setempat seperti terlihat pada ragam bias Rama dan Liris. Sedangkan pengaruh dari hubungan Indramayu dengan daerah Garut terlihat pada ragam hias Merak Ngibing, sementara ragam hias ini di Madura dinamakan Fajar Menyingsing. Sebagaimana halnya dengan daerah seni kerajinan batik lainnya, batik Indramayu pun memiliki ciri kliasnya sendiri yang terutama sekali dipengaruhi oleh faktor alam. Ragam hias dan corak warna batik Indramayu sangat terbatas pada warna biru tua atau hitam, merah tua, coklat kekuning-kuningan atau coklat kemerah-merahan. Menurut keterangan para pembatik setempat, nuansa warna coklat ini tergantung pada perbandingan pemakaian mangkudu dan mahoni untuk pembuatan warna tersebut. Para pembatik di daerah ini tidak mengenal sogan, yang menurut mereka hal ini disebabkan karena tingginya kadar garam dari air setempat. Oleh karenanya ragam hias batik dari daerah ini jarang sekali mempunyai latar yang berwarna. Umumnya batik Indramayu berlatar putih dan warna putihnya tidak bersih disebabkan oleh pelunturan dari warna utama. Akan tetapi pelunturan tersebut menimbulkan kesan seolah-olah batik tersebut mempunyai dua warna, misalnya: warna biru tua dengan latar biru muda, coklat tua dengan latar coklat muda dan seterusnya. Oleh alasan tersebut kain batik Dermayon umumnya mempunyai paling banyak dua warna.
Ragam hias dan corak warna seni kerajinan batik yang dihasilkan di daerah para nelayan ini sangat dipengaruhi oleh flora dan fauna di sekitarnya. Seperti misalnya ragam hias Jarot Asem (buah asem jawa) dan Dara Kipu. Selain itu ada juga yang dipengaruhi alam laut seperti ragam hias Ganggeng, Urang Ayu, Iwak Etong, Sawat Gunting dan sebagainya. Dalam ragam hias ini kita bisa melihat bahwa kultur kerakyatan masyarakat Indramayu yang dinamis dan sensitif terhadap perubahan begitu nampak dan dengan sendirinya memperkenalkan seni kerajinan batik Indramayu sebagai batik rakyat. Selain itu, dalam pemakaian batik Indramayu ini hampir tidak ada ketentuan yang menggambarkan hubungan pemakaian seni batik dengan kedudukan sosial seseorang. Fakta ini juga mempertegas batik Indramayu sebagai batik rakyat yang tidak memilah-milah ragam hias dan corak ini juga mempertegas batik Indramayu sebagai batik rakyat yang tidak memilah-milah ragam hias dan corak warnanya bagi kedudukan si pemakai yang berbeda. Hal itu juga menunjukkan bahwa meskipun Indramayu dikenal sebagai daerah dalam wilayah karesidenan Cirebon yang pernah termashur dengan dua keratonnya, tetapi tata kehidupan masyarakat Indramayu tidak mengesankan pengaruh kultur keraton-sentris.
Meskipun begitu dalam seni kerajinan batik Indramayu memang dikenal beberapa ragam hias yang menurut kepercayaan setempat bermakna khusus. Namun demikian hal itu tidak banyak jumlahnya, seperti misalnya: Kapal Kandas yang kemudian oleh masyarakat Indramayu seringkali disebut Kapal Lajit untuk mengubah makna dengan memberikan harapan akan kelancaran segala sesuatu. Sawat Riweh yang dipenuhi ragam hias kaligrafi Arab dan bermakna ketangguhan dan kegigihan dalam usaha mencapai keberhasilan. Si faring atau Juring-juring (lobang angin) yang bermakna pemberi kesejukan pada orang yang sakit agar lekas sembuh. Bangun Tulak yang berwarna latar biru tua atau hitam dengan warna ragam hias putih dan dipakai dalam upacara ruwatan ini bermakna upaya menolak bala. Pacar Cina menggambarkan panganan yang terbuat dari tepung berbentuk persegi kecil-kecil yang dimasak dengan santan campur gula. Alam laut yang merupakan ragam hias bertemakan kelautan seperti ragam hias iwak Etong atau Ikan Trubus dan ragam hias Sawat dinting (kerang berbentuk gunting). Jenderal Pestu yang menggambarkan gubernur jenderal zaman penjajahan Belanda saat berpesta merayakan penobatan Ratu Wilhelmina; Lambang Golkar yang menandakan kepekaan masyarakat setempat terhadap kondisi zamannya (seperti juga Jenderal Pesta).
BATIK PEKALONGAN
Keistimewaan seni kerajinan batik di daerah bagian barat IV Jawa Tengah yang hampir berdekatan dengan daerah Tegal Cirebon ini adalah bahwa para pengrajin batik di daerah tersebut selalu berupaya menciptakan model ragam hias batik yang mengikuti perubahan zaman. Di samping itu secara terus menerus menyesuaikan gaya dan selera sesuai dengan kondisi daerah pemesannya dalam menciptakan ciri khas. Sewaktu zaman pendudukan Jepang, misalnya, mereka menciptakan batik Jawa Hokokai dengan ragam hias dan tata warna yang mirip ragam hias kimono Jepang. Ciri khas batik Jam Hokokai ini dikenal dengan istilah pagi-sore. Istilah ini diperoleh pada masa itu karena orang harus menghemat; sehingga pada sehelai kain berisikan dua ragam hias yang bersebelahan. Tata warna gelap untuk sore hari dan tata warna terang atau muda dipakai untuk pagi hari. Begitupun pada sekitar tahun 1960-an batik Pekalongan.ini juga memunculkan ragam hias-Trikora sesuai dengan peristiwa nasional pembebasan Irian Barat.
Seni kerajinan batik di daerah Pekalongan (juga di daerah sekitarnya seperti Pemalang Kaliwungu, Batang) bagaimanapun merupakan mata pencaharian pokok bagi masyarakatnya. Salah satu seni kerajinan batik yang terkenal dari Pekalongan ini adalah kain batik Encim yang dominan dengan warna-warna eksotik seperti ungu, ros, hijau muda dan lain-lain.
BATIK LASEM
Berbeda dengan kegiatan seni kerajinan batik di daerah Pekalongan yang merupakan mata pencaharian masyarakatnya. Di daerah Lasem yang juga merupakan daerah kantong seni budaya batik yang cukup terkenal, kegiatan pembatikan lebih banyak merupakan pekerjaan sambilan di samping mata pencaharian pokok bertani. Sejumlah ragam hias dan corak warna Batik Lasem sepintas lalu mengingatkan kita pada seni kerajinan batik daerah lndramayu,,Cirebon, Madura dan bahkan Jambi.
Hal ini dimungkinkan karena pada zaman dahulu memang berlangsung hubungan perdagangan yang ramai antara daerah-daerah tersebut. Hubungan perdagangan susah barang tentu akan menimbulkan saling pengaruh antar kode-kode budaya yang berbeda. Jadi sangatlah tidak mengherankan kalau seni kerajinan batik di antara daerah-daerah tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lain baik dalam ragam hias maupun dalam corak warnanya. Meskipun demikian setiap ragam hias tetap memiliki gaya, selera dan kegunaannya yang mencerminkan kekhasan daerah mereka masing-masing.
Batik Lasem sangat digemari terutama di daerah Sumatera Barat, Palembang, Jambi dan Sulawesi Utara. Oleh karena itu para pembatik di daerah ini selalu mengupayakan penyesuaian selera menurut keperluan masing-masing daerah yang memesannya, yang dalam hal ini juga berlaku dalam Batik Pekalongan. Batik Lasem memang dikenal cermat dalam melakukan penyesuaian dan perubahan untuk memenuhi selera dan gaya yang berbeda.
Kegiatan pembatikan di daerah ini juga seringkali menjadi tempat pencelupan warna untuk batik-batik dari daerah lain. Misalnya batik Gondologiri dari daerah Solo, pencelupan warna merahnya dikerjakan di Lasem. Demikian juga halnya dengan batik Tiga Negeri yang dahulu warna merahnya dicelup di Lasem, warna sogan di Solo, dan warna biru di Pekalongan.
Di bagian kota Lasem juga ada daerah yang disebut Kauman dan Suditan yang menjadi tempat pembuatan batik sogan dengan tata warna merah, biru dan hijau dan merupakan batik rakyat yang berselerakan pribumi dan terkenal dengan sebutan batik Kendoro-kendiri. Sementara itu di daerah Lasem yang lain yaitu daerah Baganan, ada pula ragam hias yang memiliki ciri khas tersendiri yang mereka sebut ragam hias Tutul. Ciri khas lain dari kain Batik Lasem biasanya nampak dalam tumpal atau kepala kain batik yang berbentuk pucuk rebung yang diisi berbagai ragam hias kebudayaan Cina seperti Banji, Kilin; Burung Hong, Kupu-kupu dan sebagainya. Pada batik Lasem ini jarang yang bertumpal buket seperti halnya pada Batik Encim Pekalongan. Seperti juga: di daerah Cirebon dan Indramayu, pengerjaan pembatikan yang halus dan tinggi mutunya di daerah Lasem ditangani pula oleh juragan-juragan batik keturunan Cina yang memperkerjakan pembatik-pembatik terpilih yang bekerja tetap.
BATIK MADURA
Daerah Madura yang merupakan sebuah pulau yang terletak di ujung timur Jawa Timur, juga menyimpan kekhasan tersendiri dalam hal seni kerajinan batik, selain dikenal dengan karapan sapinya. Bahkan menurut kepercayaan masyarakat setempat, kegiatan seni kerajinan batik di pulau ini telah ada sejak lebih kurang 210 tahun yang lalu yang dahulunya diprakarsai oleh seorang pedagang yang berasal dari daerah pesisir Pekalongan yang kemudian menikah dan menetap di Madura. Seni kerajinan batik Madura yang tersebar di beberapa kabupaten seperti Sumenep, Bangkalan, Pamekasan dan Sampang, pada mulanya merupakan kegiatan para isteri nelayan yang ditinggal pergi berlayar oleh suaminva sampai berbulan-bulan lamanya (seperti juga yang banyak dilakukan di Indramayu). Bagi para isteri nelavan membatik tidak hanya sebagai pengisi waktu, melainkan juga untuk menambah biaya" hidup sehari-hari selama ditinggal suami. Suasana kerinduan, kesepian, dan penantian dari para isteri nelayan itu telah mengilhami mereka dalam menciptakan motif-motif gambar yang sesuai dengan suasana psikologisnya. Ragam hias gambar-gambar burung, misalnya, adalah penggambaran dari sang suami yang tengah pergi jauh baik sebagai nelayan maupun perantau yang pergi ke banyak tempat dan daerah yang jauh. Pada ragam hias Tase Malaya (Laut Malaya) yang dilukiskan dengan garis berombak-ombak, merupakan ekspresi isteri para nelayan yang tengah membayangkan sang suami yang sedang berlayar ke Malaya.
Selain itu terdapat pula ragam-ragam hias yang menggambarkan latar belakang masyarakat Madura yang gemar mencari ikan di laut. Selain ragam-ragam hias kekayaan alam laut yang melukiskan binatang dan tumbuhan laut, terdapat juga ragam hias berupa sisik ikan dan benda-benda lain yang berasal dari dunia bahari. Dari 96 ragam bias-seni kerajinan batik Madura, ragam hias Tase Malaya merupakan yang paling khas karena bernuansa latar kehidupan masyarakat Madura pada umumnya, selain ragam hias Sekor Jagat, Sapu Jagat, Sesek Bei, Purik Ramo, Ji Panji, Adzan Sakera, Daun Nimba, Ceremei, Banglan, Seret, dan lain-lain.
Dari sejumlah tempat penghasil batik di Madura, Batik Tanjung Bumi dari Bangkalan adalah batik yang paling terkenal karena dianggap paling berhasil mempertahankan ragam-ragam hias tradisional. Sedangkan batik Sumenep, Pamekasan dan Sampang, selalu memproduksi batik dengan ragam hias yang sedang laku di pasaran (market-oriented). Batik-batik dari daerah-daerah tersebut juga berasal dari Batik Tanjung Bumi Bangkalan. Batik Sampang dan Pamekasan khususnya memiliki tata warna dominan yang dapat dikatakan hampir menyerupai tata warna Solo-Yogya yaitu cenderung kecoklat-coklatan warna sogan, biru tua atau hitam dan putih.
Seni kerajinan batik Madura juga memiliki ciri khas yang sangat memegang peranan dalam menentukan mutunya. Ciri khas tersebut berupa ragam hias Guri (oret-oretan) yang dipakai sebagai latar atau tanahan selain Isen-iseri (ragam hias pengisi suatu bidang atau ruang) yang juga terdapat di daerah-daerah lain. Dalam batik Madura ragam hias Guri kadangkala dipakai juga sebagai Isen-isen, seperti pada kain batik Sekar Jagat, Sibasi dan Topa Saseba. Mutu sehelai batik bisa tergantung kepada jumlah jenis dan halus tidaknya pengerjaan Guri tersebut. Jumlah ragam hias Guri sangat banyak dan merupakan lukisan benda-benda yang akrab dengan kehidupan sehari-hari masyarakatnya, seperti ragam hias Trasi dan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Jika kain batik tersebut mempunyai beberapa jenis Guri, maka pemberian nama ragam hias pada sehelai batik Madura yang mempunyai tanaman Guri, didasarkan pada nama Guri yang paling menonjol. Namun ada juga pengecualian, bahwa meskipun mempunyai Guri, ada juga pemberian nama ragam hias batik yang tidak berdasarkan pada nama Guri, seperti misalnya Sekar Jagat, Tase Malaya, fajar Menyingsing, dan Semarang jauh. Pemberian nama ragam hias ini semata-mata berdasarkan khayalan si pembatik.
Sebagaimana halnya dengan batik pesisir daerah-daerah lainnya, ragam-ragam hias Batik Madura juga tidak luput dari pengaruh Batik Vorstenlanden (Solo-Yogya). Seperti ragam hias Sawat atau Lar yang antara lain pada batik Madura diberi nama Sabet Rantay (sabet=sawat), Sabet Kraton atau Pisang Ball. Ragam hias batik Madura juga memiliki banyak persamaan dengan seni kerajinan batik di daerah-daerah pesisir yang lain seperti Indramayu, Cirebon, Pekalongan, Lasem dan bahkan Jambi, sebagai akibat dari suatu hubungan perdagangan yang membawa serta interaksi kebudayaan. Sebagai contoh misalnya ragam hias Fajar Menyingsing pada hakekatnya sama dengan ragam hias Merak Ngibing dari Indramayu dan Garut yang telah disesuaikan dengan gaya dan selera khas Madura. Dalam hal tata warna Batik Madura juga merupakan persamaan dengan Batik Lasem terutama untuk warna-warna bangan, kalengan, bang-biru (di Madura disebut kamongan), meski perpaduan warna-warna di daerah Madura lebih kuat dan berani.
Lingkungan alam Madura yang keras bagaimanapun berpengaruh kuat dalam watak orang Madura yang berani dan tegas. Pengaruh watak masyarakat Madura ini dengan sendirinya tercermin dalam tata warna batik yang mencolok dan berani dengan ragam-ragam hias yang besar, kuat dan tegas. Tidak mengherankan kalau warna-warna utama seni kerajinan batik Madura didominasi oleh warna merah, merah atau jingga, biru tua, hijau tua, hitam dan putih. Dari segi pengerjaannya, umumnya batik Madura tidak sehalus batik Jawa.
BATIK TUBAN
Tuban merupakan salah satu kota kabupaten di pantai utara Jawa Timur, yang mayoritas penduduknya nelayan dan petani. Selain berpotensi besar sebagai salah satu daerah pemasok ikan asin dan terasi, Tuban juga berpotensi sebagai daerah kunjungan wisata. Selain pantainya, potensi wisata yang dimiliki Tuban adalah Mesjid Agung Tuban yang di dalamnya terdapat makam Sunan Giri, salah seorang dari Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Di daerah ini terdapat juga mitologi Ronggolawe, seorang panglima perang yang gagah berani dan menjadi kebanggaan masyarakat Tuban pada masanya, di samping terdapat sebuah Kelenteng yang konon merupakan satu-satunya Kelenteng di Asia yang menghadap ke laut.
Selain tempat-tempat tersebut, Tuban juga tidak bisa dipungkiri sebagai salah satu tempat potensial bagi kegiatan seni kerajinan batik. Dalam bidang ini Tuban terkenal sebagai penghasil Batik Tulis Tenun Gedongan yang terutama terdapat di desa Margorejo lebih kurang 28 km ke arah Barat Daya kota Tuban. Masyarakat desa ini menganggap kegiatan membatik merupakan kegiatan sambilan di samping bertani sebagai lahan penghidupan utamanya. Selain desa Margorejo di kecamatan Kerek, desa-desa penghasil Batik Tulis Tenun Gedongan di kecamatan yang sama adalah desa Gaji, desa Kedungrejo, dan desa Karanglo. Menurut masyarakat setempat, penamaan gedog itu sendiri berasal dari bunyi suara yang keluar dari alat pemintal.
Ragam-ragam bias yang terdapat dalam Batik Tulis Tenun Gedogan ini adalah motif-motif yang sangat khas pesisir, seperti ragam hias Bunga Laut dengan berbagai variasinya yang selalu muncul dalam setiap kain batik tersebut. Ragam hias Bunga Laut ini sudah barang tentu .merupakan penggambaran dari letak geografis dan keadaan alam Tuban itu sendiri. Masyarakat Tuban yang akrab dengan dunia bahari tentu akan sangat mengenal dan menggemari beragam bentuk flora dan fauna laut yang mengilhami imaji masyarakat pembatik Tuban untuk melukiskannya lewat Batik Tutis Tenun Gedogan. Ragam-ragam hias yang menjadi ciri khas batik tulis ini adalah ragam hias Guntingan, Kapsaan, Campur Sari, Kembang Waluh, Ganggeng, dan Danjiori. Selain ragam hias yang khas tersebut, seringkali para pembatik harus memenuhi pesanan dengan ragam-ragam hias yang telah ditentukan oleh si pemesannya, seperti yang terdapat dalam seragam Dharma Wanita Tuban, misalnya, yang ragam hiasnya telah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan organisasi tersebut.
Ciri khas lain yang terdapat dalam Batik Tulis Tenun Gedogan adalah bahan kainnya yang agak kasar dan tata warnanya yang cenderung kumuh. Bintikan-bintikan kapas dari proses pemintalan yang bersifat tradisional telah memunculkan tekstur yang khas pada batik ini, di samping seluruh proses pembuatannya sangat mengandalkan cara-cara traditional.