INOVASI Vol.2/XVI/Agustus 2004
Majalah INOVASI
ISSN: 0917-8376
Volume 2 /XVI/ November 2004
Daftar Isi
Editorial
Selamat Datang Orde Perubahan .............................................................................. 1
Topik Utama
Liputan Rekomendasi Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu ............................ 2
Dari SIN ke ABG: Catatan Kebijakan Iptek Nasional ................................................... 5
Pilkada Langsung dalam Kerangka Reformasi Birokrasi: Beberapa Catatan Kritis....... 10
Perspektif Baru Kinerja Pembangunan Perumahan, Perlukah? .................................. 13
Revitalisasi Ekonomi Kerakyatan Melalui Pemberdayaan Gerakan Koperasi .............. 16
Mencermati Janji 100 Hari Pemerintahan SBY:
Illegal Logging dan Akses Terbuka Kawasan Hutan.................................................. 20
Nasional
Wakil Rakyat dan Masa Depan Politik Perikanan ...................................................... 22
Masa Depan Nelayan Pasca UU Perikanan Baru...................................................... 24
Mencari Akar Masalah Beras : Produksi Beras dalam Negeri, Cukup! ........................ 27
Menanti Pemimpin Sejati......................................................................................... 30
Iptek
“Feed Quality for Food Safety”, Kapankah di Indonesia? ........................................... 33
Zonasi Wilayah Rawan Kekeringan Tanaman Pangan .............................................. 36
i
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.2/XVI/Agustus 2004
Inovasi
Alternatif Strategi Membangun Indonesia Bertumpu Teknologi Informasi.................... 41
Sistem Mitigasi Bencana di Selat Lombok ................................................................ 46
Merangsang Inovasi Daerah.................................................................................... 49
Humaniora
Bahasa (di) Indonesia
—Sebuah Renungan— ........................................................................................... 52
Menikmati Perbedaan Bahasa................................................................................. 55
Mengkaji Kembali Pengajaran Fisika di Sekolah Menengah (SMP dan SMA)
di Indonesia............................................................................................................ 57
Kesehatan
Epilepsi, Bagaimana Jalan Keluarnya?..................................................................... 59
Kontribusi Penting Menyelamatkan Persalinan Sehat dan Buku KIA .......................... 64
Kiat
Tafakkur Menjelang Mudik....................................................................................... 67
Buku
Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan............................................................ 69
Tokoh
Wawancara dengan Agung Budiyono
Fisikawan Muda Berbakat ....................................................................................... 70
Redaksi
Guidelines Penulisan Naskah INOVASI.................................................................... 73
Susunan Redaksi Majalah INOVASI ........................................................................ 75
ii
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
EDITORIAL
Selamat Datang Orde Perubahan
Akhirnya pilihan rakyat jatuh ke Soesilo
Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla
(SBY-JK) dalam pemilihan presiden lalu. Tak
terbayangkan ketika di era Habibie
berkembang wacana pemilihan presiden
dan wapres -nya secara langsung. Maklum,
karena waktu itu kita baru saja keluar dari
krisis
politik
sepanjang
orde
baru.
Perjalanan Orde Baru telah mempengaruhi
pola pikir rakyat Indonesia soal politik.
Sehingga, tidak sedikit dari rakyat dan elit
kita yang bersikap konservatif dan
anti-perubahan. Namun akhirnya sejarah
telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia
telah mampu membuat sejarah baru yang
ternyata masih langka di dunia ini. Yakni,
suksesnya pemilihan presiden secara
langsung.
Makna penting dari pemilihan presiden
secara langsung adalah kuatnya legitimasi.
Namun kuatnya legitimasi tentu tidak
menjamin roda pemerintahan bisa berjalan
secara stabil. Sebut saja, kerjasama dengan
parlemen menjadi salah satu faktor yang
mesti diperhitungkan. Selain itu, ada faktor
lain yang sesungguhnya justru lebih penting
lagi. Yakni, faktor politik pembangunan.
Karena ini taruhannya adalah kepercayaan
rakyat. Meski mendapat legitimasi yang kuat
dari rakyat, tapi kalau tidak mampu
mengarahkan dan mengelola pembangunan
dengan
baik
yang
menyebabkan
terulangnya krisis ekonomi, maka dapat
diduga bahwa rezim ini akan jatuh. Memang
soal ini ada dua pandangan. Pertama,
determinisme ekonomi, yang mengatakan
bahwa jatuhnya rezim adalah karena
kegagalannya mensejahterakan rakyat.
Tumbangnya Soekarno dan Soeharto
adalah contohnya. Kedua, determinisme
politik, yang mengatakan justru politiklah
faktor penentu jatuh bangunnya rezim.
Tumbangnya Habibie dan Gus Dur adalah
contohnya. Habibie meski spektakuler dalam
membuat stabilitas moneter tetap saja gagal
dipercaya kembali. Bayangkan, kurs rupiah
terhadap dolar Amerika sebesar Rp 15
ribu/dolar pada saat krisis ekonomi, mampu
diturunkan menjadi sekitar Rp 6000/dolar.
Wajar bila orang menyebutnya sebagai
sebuah ”miracle”. Kasus Habibie ini yang
dijadikan
bantahan
terhadap
paham
determinisme ekonomi. Kalau begitu, lalu
mana yang benar ?
Yang jelas antara politik dan ekonomi
saling terkait. Namun dengan kekuatan
parlemen yang nyaris seimbang –antara
yang pro dan oposisi pemerintah—maka
kekhawatiran terhadap krisis politik sudah
bisa berkurang. Sebaliknya, bagaimana
dengan ekonomi ? Disinilah taruhan besar
SBY-Kalla
pada
rakyat.
Sanggupkan
SBY-Kalla dengan Kabinet Indonesia
Bersatu (KIB) mampu membuat terobosan
ekonomi
yang
mampu
menciptakan
kesejahteraan rakyat dan keadilan ?
Bagaimana pun istilah ”Perubahan” telah
menjadi trade-marknya. Kalau memang
SBY-Kalla
benar-benar
ingin
mewujudkan ”perubahan” itu maka memang
bidang politik pembangunan lah yang mesti
pertama kali dibenahi. Karena inilah pangkal
tolak kepercayaan rakyat sehingga mereka
memilih pasangan SBY-Kalla. Disinilah
SBY-Kalla harus mampu merubah strategi
pembangunan dari yang broad based
spectrum menjadi yang resources base. Kita
kaya akan sumberdaya alam. Namun,
selama ini alih-alih menjadi sumber
kemakmuran
bangsa
malah
muncul
sejumlah ironi. Impor produk pertanian terus
mengalir. Kekayaan laut terus terkuras oleh
kapal asing. Hutan rusak karena illegal
logging, dan seterusnya. Sehinggga,
akhirnya rakyat hanya gigit jari menyaksikan
itu semua. Akan tetapi juga jangan sampai
pilihan ke arah strategi resources base pun
bermasalah. Masalahnya biasanya terkait
dengan siapa yang akan terlibat dan
diuntungkan dari strategi ini. Kalau pilihan
strateginya bersifat teknokratis, maka
meskipun pemanfaatan sumberdaya alam
menjadi arus utamanya, tetap saja masalah
ketimpangan
akan
terus
muncul.
Kemiskinan akan terus menghantui. Karena,
strategi teknokratik umumnya bertumpu
pada pelaku besar saja. Oleh karena itu,
pekerjaan rumah yang sangat penting bagi
SBY-Kalla dalam 100 hari pertama ini,
adalah
memformulasikan
strategi
pembangunan yang berbasis sumberdaya
alam dan bertumpu pada ekonomi rakyat.
Ekonomi rakyat tidak anti besar. Adalah
tugas pemerintah untuk membuat keduanya
bersinergi. Jadi, kini bola ada di tangan
Anda, SBY-Kalla. Karena itu, manfaatkan
momentum 100 hari ini untuk membuat kita
semua bisa menaruh harapan dan
mengucapkan:
selamat
datang
Orde
Perubahan !
(Arif Satria-Pemimpin Redaksi).
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia
1
TOPIK UTAMA
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
Liputan Rekomendasi Program 100 Hari
Kabinet Indonesia Bersatu
Liputan ini merupakan rangkuman diskusi
yang disarikan dari milist PPI Jepang
(ppi-jepang@yahoogroups.com)
dengan
thema: ”100 Hari Rekomendasi Program
Kabinet Indonesia (KIB)” pimpinan Susilo
Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla
(SBY-JK) sejak dilantik tanggal 20 Oktober
2004. Saat ini pemerintahan SBY-JK sudah
berjalan sekitar 1/4 bagian dari 100 hari
tenggat waktu yang dicanangkan untuk
membuat ”crash program terapi kejut ” pada
berbagai program menteri KIB. Menarik
apabila kita amati rekomendasi program
yang diberikan warga PPI Jepang dengan
gambaran program prioritas 100 hari
pertama pemerintahan SBY-JK yang telah
dipaparkan berbagai media massa. Liputan
ini mencoba melihat lebih jauh apakah
rekomendasi yang diberikan dan program
pemerintah
yang
telah
dijalankan
bersinergi?. Sebagai penutup kami berikan
catatan akhir untuk masukan pada
pemerintah.
1. Diskusi
100
Hari
Rekomendasi
Program Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)
Tanggapan pertama dilontarkan Ronne
Hendrajaya yang bernada skeptis bahwa
patokan 100 hari itu dinilai hanya slogan,
karena
menganggap
SBY
sebagai
“extraordinary people”, di lain pihak SBY
masih “mengendarai” mesin birokrasi yang
lama: sama lambatnya, sama bobroknya,
dan hampir pasti sama kinerjanya.
Ibaratnya:
supirnya
diganti
,namun
kendaraannya tidak berubah.
Terhadap sinyaleman di atas, Muhammad
Arfian melihat hal sebaliknya. 100 hari
pertama pemerintahan SBY pasti ada
dampak positif yang bisa kita lihat, sekalipun
itu masih terlihat tidak terlalu signifikan
mengingat kerumitan permasalahan yang
dihadapi. Sejalan dengan itu, Hasanudin
juga melihatnya senada, dengan memberi
catatan perlu adanya pembenahan pada
birokrasi sebagai syarat minimal terjadinya
perubahan. Parameter melihat perubahan
tidak melulu dari hasil (outcome) semata,
tetapi dilihat juga aspek kemauan dan
strategi yang dilakukan pemerintahan
SBY-JK.
Sejalan
dengan
itu,
Subagyo
menekankan perlunya pembenahan bidang
Hukum secara tuntas, disamping Birokrasi
sebagai titik awal alat negara dalam
menjalankan fungsinya. Hal itu disadari,
terutama karena sumber krisis terbesar
adalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN) yang tidak professional, sehingga
sumber dana untuk menggerakkan ekonomi
menguap, hilang percuma tidak berbekas
untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Subagyo juga mengingatkan perlunya
memperbaiki
mentalitas
jajaran
pemerintahan untuk hidup hemat dan
menjadi
teladan
kesederhaaan
yang
dilakukan sedini mungkin.
Selain itu, Subagyo juga menekankan
pentingnya pembenahan perbankan sebagai
penggerak sektor riil. Perbankan yang kuat
merupakan modal dasar untuk menopang
pertumbuhan usaha sektor riil, ekonomi
mikro dan makro secara bersamaan. Hal itu
harus ditopang dengan pembenahan
pendapatan negara dari sektor Pajak yang
mengutamakan asas keadilan. Beliau
memberi contoh implementasi kebijakan
tersebut di Jepang, dimana pembayar pajak
yang
mempunyai
kekayaan
berlebih
dikenakan pajak tinggi. Demikian juga pajak
harta warisan dibuat cukup besar agar dana
yang dihimpun mempunyai fungsi sosial luas
melalui pembenahan dan pembangunan
fasilitas umum yang memadai.
Pada sisi lain, Arif Satria menyoroti “isu”
bola panas kenaikan BBM (Bahan Bakar
Minyak) dunia yang berdampak pada
kebutuhan lokal
dapat juga menjadi
ancaman kerentanan pemerintahan SBY-JK
apabila tidak disikapi secara bijaksana.
Terhadap isu tersebut, Muhamad Arfian
menyarankan
pemerintah
sebaiknya
membuat kebijakan program yang prorakyat kecil, misalnya dengan membuat
skema khusus untuk rakyat kecil dan
mencabut subsidi untuk pemakai premium
yang pada umunya dikonsumsi orang kaya.
Sebagai responder terakhir, Mochammad
Chaerul menyoroti perlunya isu lingkungan
mendapat perhatian pemerintah. Prioritas
pertama adalah pengusutan secara tuntas
pencemaran Teluk Buyat, tanpa adanya
intervensi dari pihak asing. Pengusutan ini
mencakup juga audit lingkungan yang
dilakukan secara menyeluruh tentang
pengelolaan
limbah
(termasuk
rona
lingkungan sekitarnya) di perusahaan
pertambangan lainnya. Prioritas kedua
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia
2
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
melakukan investigasi mendalam tentang
isu “illegal logging”, terutama di pulau
Kalimantan
dengan
mengedepankan
konsep “community development” sebagai
antisipasi bilamana hal tersebut dilakukan
oleh masyarakat di sekitar hutan. Prioritas
ketiga perlu adanya tindakan secara
berkesinambungan (bukan hanya tindakan
pemadaman api) untuk mencegah terjadinya
kebakaran
hutan.
Prioritas
keempat
pengkajian tentang pemanfaatan kembali
areal bekas galian yg telah selesai masa
konsesinya dan komitmen dari perusahaan
untuk melakukan konservasi lahan. Hal ini
penting untuk mengantisipasi masyarakat
menggunakan lubang bekas galian yang
syarat limbah industri untuk keperluan
sehari-hari mereka.
Secara
umum
rekomendasi
yang
diberikan warga PPI Jepang mencakup 2 hal
sbb.:
1. Pembenahan
internal
pemerintahan
dalam rangka meletakkan dasar/pijakan
yang kuat untuk menjalankan program
utama. Pembenahan tersebut mencakup
aspek birokrasi, hukum, sektor perbankan
dan pengelolaan aset pajak, dan lain-lain.
Penuntasan korupsi menjadi barometer
keberhasilan
sistem
internal
pemerintahan telah berjalan dengan baik.
2. Pembuatan kebijakan yang berorientasi
pada
manajemen krisis berbasis pada
kepentingan rakyat. Isu hangat yang
terjadi secara nasional, seperti kenaikan
BBM yang melonjak tinggi, isu lingkungan
Teluk Buyat, illegal logging dlsb. menjadi
prioritas utama yang perlu mendapat
penanganan segera.
2. Program 100 Hari Pertama Kabinet
Indonesia Bersatu (KIB) Pemerintahan
SBY-JK
Program 100 hari pertama pemerintahan
SBY tidak dituliskan secara terperinci dalam
sebuah dokumen resmi, menyusul belum
tersedianya informasi teknis sekitar program
100 hari KIB dalam rapat kerja komisi DPR
dan pemerintah akibat krisis elite politik yang
masih berlangsung di lembaga Yudikatif
DPR ketika tulisan ini dibuat. Masyarakat
hanya mendapat gambaran umum secara
langsung dari presiden SBY, ketika rapat
pertama KIB digelar sehari setelah acara
pelantikan.
Program
tersebut
lebih
menekankan pada program “Terapi Kejut”
(Shock Therapy) di semua departemen dan
kementerian negara. Walaupun tidak secara
eksplisit dijelaskan, namun nampaknya
pemerintah
telah
sejalan
dengan
rekomendasi diskusi warga PPI Jepang,
yaitu pembenahan birokrasi, aspek hukum,
perbankan dan pajak, dengan menjadikan
penuntasan
kasus
korupsi
sebagai
barometer utama keberhasilan. Hal itu
tampak dari semangatnya aparat hukum dan
kejaksaan merespon program tersebut.
Sinyal positif telah diberikan pemerintah
dalam jajaran ini 3 minggu pemerintahan
berlangsung. Presiden SBY dalam hal ini
telah menunjukkan komitmen positif dengan
mengutamakan kunjungan pada lembaga
yang ditenggarai menjadi pusat in-efisiensi
pemerintahan
itu
sendiri
dalam
menuntaskan
kasus
korupsi,
yaitu
Kejaksaan, Mabes POLRI, Kantor Bea
Cukai dan Pajak.
Crash program dalam penanganan
manajemen krisis juga telah diperlihatkan
pemerintah dengan respon cepat pada
kasus illegal logging, pemulangan Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) illegal dari Malaysia.
3. Catatan Penutup
Secara umum rekomendasi hasil diskusi
warga PPI Jepang relevan dengan program
100 hari pertama pemerintahan SBY. Perlu
diberi catatan, bahwa lingkup pembenahan
birokrasi cukup luas dan saling terkait.
Misalnya saja birokrasi pada institusi
pendidikan
dan
riset
masih
terjadi
tumpang-tindih dalam pembagian otoritas
hak penelitian; distribusi SDM yang belum
merata; fasilitas penelitian; dlsb. Disini perlu
melihat permasalahan birokrasi ini secara
sistemik dengan memasukkan semua aspek
terkait dalam satu sistem tunggal yang
bekerja secara bersama-sama.
Tidak kalah pentingnya dalam membuat
kebijakan manajemen krisis adalah perlunya
pemerintah membuat sistem mitigasi
bencana nasional. Sistem ini tidak hanya
fokus pada bencana alam yang sering
melanda Indonesia, seperti banjir pada saat
memasuki musim penghujan dan kemarau
yang selalu diikuti pekatnya kabut asap dan
kebakaran hutan pada saat musim kering,
disamping longsor, gelombang pasang,
tsunami
dan
gempa
bumi,
dimana
penanganannya selalu menyita perhatian
pemerintah akibat kerugian materi dan jiwa
yang sangat besar. Namun, sistem ini juga
mencakup monitoring terhadap aspek yang
mengancam keamanan, seperti maraknya
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia
3
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
pencurian
ikan
laut,
perompakan
dan kerugian ekonomi akibat lingkungan
yang berubah, seperti yang terjadi pada
usaha budidaya laut gagal panen, karena
terbatasnya akses informasi perubahan
lingkungan laut yang
terjadi.
Apabila
Sistem Mitigasi Bencana Nasional ini
dibenahi dengan baik, maka kerugian materi
dan jiwa dapat dihindari sekecil mungkin,
sehingga kesejahteraan rakyat dapat
diwujudkan.
Perasaan
aman
bagi
masyarakat terhadap datangnya bencana
hendaknya menjadi salah satu prioritas
utama program 100 hari pemerintahan
SBY-JK. Selamat bekerja!
(Fadli Syamsudin-Redaktur INOVASI)
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia
4
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
TOPIK UTAMA
Dari SIN ke ABG: Catatan Kebijakan Iptek Nasional
Sri Harjantoi
Venture Business Laboratory, Akita University, Japan,
Penggiat ISTECS JAPAN
E-mail: harjanto@ipc.akita-u.ac.jp
1. Pengantar
Sangat menarik mencermati konsep awal
pembangunan Iptek yang dicanangkan oleh
Menristek Profesor Kusmayanto Kadiman
pada acara serah terima jabatan beberapa
waktu lalu [5]. Secara singkat dan
sederhana diungkapkan bahwa konsep
pembangunan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) yang direncanakan di
Indonesia adalah ABG kompak. Singkatan
dari Academia, Bussiness dan Government,
yaitu kerjasama yang melibatkan Akademisi
atau universitas, Bisnis atau industri dan
pemerintah. Bentuk kerja sama ini sering
pula disebut sebagai triple helix (istilah yang
meminjam bangun geometri yang terdiri dari
tiga buah jalinan menyerupai susunan rantai
DNA). Jika konsep itu memang akan
konsisten dijadikan konsep kebijakan iptek
nasional maka itu adalah sebuah nilai positif.
Ada nuansa baru yang menonjol dalam
konsep tersebut, yaitu mengemukanya
peran universitas dalam pembangunan iptek.
Di satu sisi, dirasakan adanya upaya untuk
menggeser peran universitas lebih aktif dari
sekedar menjadi ‘menara gading’. Selain itu
meskipun bukan hal yang sama sekali baru,
secara lebih eksplisit, konsep tersebut
berpotensi untuk mendorong kontribusi
nyata iptek pada bidang ekonomi.
Namun demikian, sangat disayangkan
sampai saat ini belum ada penjabaran yang
lebih lengkap mengenai konsep yang
disebutkan itu. Sulit dihindari kesan bahwa
konsep
tersebut
baru
sebatas
ide.
Hubungan antara konsep tersebut dengan
kebijakan terdahulu belum jelas (UU no. 18
tahun
2002).
Meskipun
beberapa
langkah-langkah
pembenahan
telah
dilakukan, seperti optimalisasi institusi
dalam bentuk rencana pembentukan samsat
bioteknologi, masih belum cukup untuk
menunjukkan visi Menristek dalam sebuah
kebijakan iptek nasional yang utuh.
Masyarakat tentu sangat berharap, bekal
yang dimiliki Menristek sebagai mantan
pimpinan salah satu institut ternama di tanah
air dapat membawa kebijakan baru
pembangunan iptek yang terintegrasi
dengan
pembangunan
berkelanjutan.
ekonomi
dan
Tulisan singkat ini bermaksud untuk
mengkaji dan menelaah keterkaitan konsep
yang disebutkan Menristek sebagai konsep
ABG dengan kebijakan iptek sebelumnya,
dengan UU no. 18 tahun 2002 sebagai
rujukan. Mengingat secara substansi UU no.
18 tahun 2002 bisa dikatakan sebagai
sebuah prototipe Sistem Inovasi Nasional
(SIN)
Indonesia.
Karenanya
diulas
keterkaitan SIN dengan konsep ABG.
Beberapa hal yang berhubungan dengan
triple helix juga akan didiskusikan.
Selanjutnya
beberapa
harapan
akan
kebijakan iptek ke depan dikemukakan.
2. SIN
Meminjam
pendefinisian
yang
dikemukakan oleh Freeman [3], National
1
Innovation System atau Sistem Inovasi
Nasional (SIN) merupakan jejaring (network)
institusi maupun interaksi, baik di sektor
publik maupun swasta untuk menginisiasi,
mengimpor, memodifikasi dan mendifusikan
teknologi baru. Selain definisi SIN oleh
Freeman, masih terdapat beberapa definisi
lain dari SIN, salah satunya adalah seperti
yang
dibuat
oleh
Lundvall
[7].
Disebutkannya bahwa SIN adalah sebuah
sistem yang terdiri dari unsur-unsur (pelaku
SIN) dan hubungan interaktif dalam produksi,
difusi dan penggunaan pengetahuan baru
yang juga bermanfaat secara ekonomis.
Dikemukakan oleh Lundvall [8], ide dasar
SIN bisa ditarik kembali jauh ke belakang
pada awal terbentuknya, sebagai salah satu
respon terhadap pendekatan Adam Smith
yang cenderung kosmopolitan. Friedrich List
dengan konsepnya ‘national system of
production’, mengkritik pendekatan Smith,
dimana perdagangan bebas diasumsikan
sebagai sebuah keunggulan/keuntungan
bagi ekonomi nasional baik yang kuat
maupun
lemah.
Sebaliknya
List
1
Pengertian inovasi dalam tulisan ini dibatasi pada
perubahan kemampuan teknik baru yang dicapai dari
sebuah produksi barang, proses, sistem atau organisasi
[10].
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia
5
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
menekankan
perlunya
membangun
infrastruktur dan institusi nasional dalam
upaya meningkatkan akumulasi modal
mental
(mental
capital)
dan
menggunakannya
untuk
mendorong
pembangunan ekonomi daripada sekedar
mempercayai
‘the
invisible
hand’
menyelesaikan permasalahannya.
Baik List yang merupakan ekonom
berpendekatan
insitusionalis
maupun
Lundvall yang evolusionaris berperan dalam
mengembangkan konsep SIN sampai pada
bentuknya sekarang ini. Konsep ini masih
terus
berkembang
dan
mengalami
penyempurnaan. Namun demikian seperti
diungkapkan oleh Lundvall [8], bahwa
secara umum konsep SIN memiliki
beberapa karakteristik, utamanya jika
dibandingkan
dengan
pendekatan
neo-klasik, diantaranya.
(1) Sistem nasional berbeda secara khusus
dengan
produksi,
perdagangan
dan
pengetahuan (knowledge). Pandangan ini
mirip dengan teori perdagangan neo-klasik.
Satu hal yang berbeda adalah terdapat
kopling dinamis antara apa yang negara
kerjakan dengan apa yang orang dan
perusahaan dalam negara tersebut tahu
bagaimana
mengerjakan.
Kopling
ini
memberikan implikasi dinamis, pertama
bahwa struktur produksi dan struktur
pengetahuan akan berubah perlahan, dan
kedua perubahan tersebut harus melibatkan
pembelajaran
sebagaimana
perubahan
suatu industri.
(2) Unsur penting pengetahuan untuk
kinerja ekonomi adalah terlokalisasi dan
tidak mudah berpindah dari satu tempat ke
tempat lain. Hal ini berbeda dengan dunia
fiktif
neo-klasik
dimana
pengetahuan
disamakan dengan informasi dan dimana
masyarakat (society) dipopulasikan secara
sempurna sebagai agen rasional, yang
memiliki akses tidak terbatas terhadap
informasi. Dengan demikian menurut
pendekatan neo-klasik sistem inovasi
menjadi tidak diperlukan. Asumsi dibalik
perspektif sistem inovasi adalah bahwa
pengetahuan (knowledge) berbeda dan
memiliki nilai lebih dibanding informasi,
karena mencakup unsur tacit.
(3) Unsur penting pengetahuan terikat pada
pikiran
dan
tubuh
agen
pembawa
pengetahuan, seperti prosedur dalam
perusahaan dan tidak jarang dalam bentuk
hubungan antara orang dengan organisasi.
(4) Asumsi sentral dari ide sistem inovasi
berfokus pada interaksi (interaction) dan
hubungan
(relationship).
Hubungan
(relationship) bisa dipandang sebagai
pembawa pengetahuan, dan interaksi
(interaction)
adalah
proses
dimana
pengetahuan baru dihasilkan. Asumsi ini
menggambarkan
bahwa
perusahaan,
institusi pengetahuan dan orang tidak
berinovasi sendiri. Hal ini berimplikasi
bahwa sistem, perlu dikarakterisasi secara
simultan melalui unsur-unsurnya dan
hubungan-hubungan diantara unsur-unsur
itu.
Asumsi-asumsi
diatas
menegaskan
kembali bahwa SIN pada dasarnya
merupakan sistem yang terintegrasi antara
agen institusi dan sistem ekonomi yang
secara langsung mendorong pemunculan
dan penggunaan inovasi dalam ekonomi
nasional.
Agar SIN ini bisa berfungsi
terdapat beberapa pelaku-pelaku yang
diperlukan, yang bisa dibedakan dalam
beberapa kategori berikut [9].
Lingkungan Inovasi Nasional
Organisasi sistem
keuangan
Pemerintah
Universitas
Kebijakan
moneter
Sistem peraturan:
Haki dll.
Perush. swasta
(firm)
Sistem Inovasi Nasional
Budaya
Sumber Daya Alam
Org. lain:
Lab. S&T hibrida,
Masy. ilmiah
Faktor pasar
Gambar 1. Peta Sistem Inovasi Nasional.
- Pemerintah, baik pusat maupun daerah.
- Universitas dan institusi yang memasok
pengetahuan dan keterampilan kunci.
- Perusahaan swasta (industri) dan institusi
penelitian yang dibiayainya.
- Intitusi penghubung, seperti dewan riset
dan asosiasi riset yang berfungsi sebagai
pemerintah dengan pelaku riset.
- Organisasi lain, publik maupun swasta
Pemetaan pelaku/unsur SIN dalam
lingkup sempit dapat dilihat pada Gambar 1
[3]
dimana,
interaksi
diantara
pelaku-pelaku
SIN
pada
akhirnya
menentukan
efektivitas
SIN
dalam
peningkatan ekonomi nasional.
Permasalahan
umum
dalam
implementasi SIN antara negara maju dan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia
6
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
berkembang sangat berbeda satu sama lain.
Bagi negera berkembang permasalahan
dalam SIN umumnya terkait dengan
rendahnya implementasi.
Kajian SIN di negara berkembang seperti
Thailand [6] menunjukkan bahwa SIN
negara tersebut belum terkait langsung
dengan pembangunan struktural ekonomi.
Permasalahan lain yang juga muncul dan
teramati adalah rendahnya keterkaitan dan
interaksi antara pelaku-pelaku SIN.
Hal yang tidak jauh berbeda juga ditemui
dalam implementasi SIN di Indonesia [1].
Kajian yang mengambil rujukan pada
beberapa kebijakan iptek nasional seperti
UU no. 18 tahun 2002, menunjukkan bahwa
intensitas
dan
efektivitas
interaksi
unsur-unsur SIN Indonesia masih rendah.
Diindikasikan
adanya
inkohenrensi
kebijakan-kebijakan antara para pelaku SIN
di Indonesia. Sudah barang tentu SIN di
Indonesia masih belum mampu mendorong
pembangunan
ekonomi
apalagi
kekompetitifan bangsa.
3. ABG
Jika pendekatan neo-klasik menekankan
pada
kekuatan
pasar,
maka
SIN
menekankan pada perusahaan sebagai
salah satu infrastruktur pengetahuan yang
mendorong inovasi. Sedangkan model
kebijakan triple heliks secara lebih detil
menjelaskan interaksi antara Academia (A:
Universitas) – Business (B: industri)Government (G: pemerintah) dalam bentuk
mengemukanya
peran
infrastruktur
pengetahuan
masyarakat
(universitas)
dalam mendorong inovasi.
Berkembangnya sistem inovasi dan
pencarian bentuk hubungan unsur-unsur
SIN yang paling optimal, menggambarkan
terjadinya perubahan bentuk konfigurasi
hubungan antara universitas, industri dan
pemerintah. Sejauh ini terdapat 3 jenis
konfigurasi hubungan ABG di dunia [2]
Konfigurasi 1 (Gambar 2) menggambarkan model triple helix dimana peran
negara sangat besar dalam mengarahkan
universitas dan industri serta hubungan
keduanya. Versi peran yang kuat dari
negara dapat di temui di negara-negara
bekas Uni Sovet dan Eropa Timur,
sedangkan versi yang lebih lunak dapat
ditemui di negara-negara Amerika Latin dan
pada beberapa negara Eropa seperti
Norwegia.
Pemerintah
(G)
Universitas
(A)
Industri
(B)
Gambar 2. Model hubungan ABG yang
masih menyertakan peran pemerintah
Model triple helix kedua (Gambar 3) terdiri
dari lingkaran institusi yang terpisah dengan
batas yang tegas membagi ketiganya dan
menggambarkan hubungan yang terpisah
satu sama lain.
Sedangkan
model
terakhir
menindikasikan munculnya sebuah infrastruktur
pengetahuan (knowledge infrastructure)
dalam bentuk irisan lingkaran institusi yang
saling berbagi peran dalam bentuk
organisasi hibrida yang muncul di bagian
antar muka ketiga lingkaran (Gambar 4).
Model triple helix pertama digambarkan
sebagai sebuah model yang gagal oleh
Etzkowitz dan Leydesdorff.
Dengan
rendahnya inisiatif ‘bottom up’, inovasi
cenderung kurang mengalami dorongan
yang memadai. Sebaliknya, triple helix 2,
muncul sebagai sebuah respon terhadap
model pertama yang membawa kebijakan
‘laissez-faire’ (persaingan bebas) yang
mengurangi peran negara.
Seperti yang disebutkan dalam publikasi
di atas, beberapa negara, khususnya negara
maju, saat ini sedang mengarah pada
pembentukan model hubungan yang
digambarkan pada triple helix 3.
Tujuan umum dari upaya itu antara lain
untuk merealisasikan lingkungan inovatif
dalam bentuk terciptanya perusahaan hasil
‘spin off’ universitas, aliansi strategis
perusahaan-perusahaan
(baik
besar
maupun kecil yang beroperasi di daerah
yang berbeda dan dengan level penguasaan
teknologi
yang
berbeda)
dengan
laboratorium pemerintah dan grup penelitian
akademik/universitas. Bentuk hubungan itu
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia
7
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
bukan melalui pengontrolan pemerintah,
melainkan didorong secara alami.
Perubahan status BHMN (badan hukum
milik negara) pada beberapa universitas di
Indonesia sejak tahun 2000, pada dasarnya
merupakan salah satu pertanda terjadinya
perubahan peran universitas. Terlepas dari
pro-kontra kebijakan otonomi universitas ini,
kebijakan ini perlu disambut baik karena
secara internal kebijakan ini bisa mendorong
universitas dikelola secara lebih efisien.
Pada batas-batas tertentu kebijakan ini pun
berpotensi dalam mengarahkan kontribusi
universitas dalam sistem inovasi nasional.
Pada akhirnya dalam batas maksimal
diharapkan
muncul
dorongan
alami
universitas BHMN itu untuk lebih berperan
serta dalam pembangunan ekonomi daerah
maupun nasional.
Demikian
pula
dengan
kontribusi
universitas pada pembangunan ekonomi
daerah maupun nasional pun tidak signifikan.
Setidaknya tergambarkan dengan masih
rendahnya anggaran belanja universitas
pada bidang penelitian dan pengembangan,
sebesar 6% dari total 0.05% (dari PDB)
anggaran
belanja
penelitian
dan
pengembangan (R&D) nasional pada tahun
2000 [1].
Jaringan tri-lateral dan
organisasi hibrida
Universitas
(A)
Industri
(B)
Pemerintah
(G)
Pemerintah
(G)
Gambar 4. Model hubungan ABG triple helix
ketiga
4. Refleksi dan Harapan
Universitas
(A)
Industri
(B)
Gambar 3. Model hubungan ABG yang
berasaskan persaingan bebas (laissez-faire)
Saat ini nampaknya universitas BHMN di
Indonesia masih dalam masa transisi. Pola
hubungan antara universitas dan industri di
Indonesia, merujuk pada ketiga model triple
helix di atas, masih belum jelas. Intensitas
hubungan dengan industri secara kualitatif
pun masih rendah. Kalau pun ditemukan
intensitas hubungan yang tinggi, secara
umum belum mencapai ‘critical mass’ dan itu
pun masih terbatas pada beberapa
universitas besar saja.
Di sisi perusahaan atau industri besar,
keterikatan pada pihak prinsipal nampaknya
masih kuat mewarnai kegiatan R&D,
sehingga turut memberikan andil terhadap
rendahnya hubungan itu. Sedangkan secara
umum, baik pada perusahaan besar
maupun kecil dan menengah, masih belum
tumbuh secara memadai kesadaran umum
peran
positif
pengetahuan
untuk
peningkatan kinerja ekonomi perusahaan.
Dari paparan singkat di atas, terungkap
bahwa masih diperlukan usaha-usaha yang
lebih sistematik untuk menjadikan konsep
ABG sebagai sebuah kebijakan iptek
nasional yang menyeluruh dan implementatif.
Dalam hemat penulis, langkah awal yang
nyata dan penting di bidang Ristek ini adalah
tampilnya
peran
Menristek
dalam
mendorong berfungsinya SIN Indonesia.
Di samping itu, beberapa catatan dibawah
ini menguraikan refleksi dan harapan akan
peran
dan
langkah-langkah
yang
seyogyanya diambil dan dilakukan oleh
Menristek.
(1) Perlu ditumbuhkan suatu kesadaran
sosial secara mikro kepada pelaku SIN
khususnya, maupun secara makro pada
masyarakat umumnya, akan peran penting
dan signifikan pengetahuan (iptek) terhadap
pembangunan ekonomi bangsa. Hanya
dengan kesadaran inilah pembangunan
iptek bisa berjalan dan menjadi lebih
membumi
serta
dirasakan
langsung
manfaatnya oleh masyarakat.
(2) Teramati adanya indikasi secara umum
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia
8
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
perbedaan pendekatan yang digunakan
dalam kebijakan pembangunan iptek (yang
cenderung
institusionalis-evolusionaris)
dengan kebijakan pembangunan ekonomi
(yang dominan neo-klasik). Di sini peran
Menristek dalam menjembatani perbedaan
pendekatan itu menjadi penting, dalam
upaya
meningkatkan
hubungan
dan
interaksi
para
pelaku
SIN
agar
menghasilkan keluaran yang optimal. Ke
depan dirasakan perlu adanya komunikasi
yang lebih intensif baik antara Menristek
dengan
Mendiknas
(Dikti)
maupun
Menristek
dengan
Menperind.
Ide
pembentukan suatu ‘komisi meja bundar’
ketiga
institusi
itu
selayaknya
dipertimbangkan.
(3) Konsep ABG dengan pola yang lebih
spesifik perlu segera diwujudkan dengan
lebih nyata, karena konsep ini berpotensi
menjadi motor berfungsinya SIN. Penulis
berpedapat, model hubungan universitas –
industri sebagaimana yang dilakukan di
beberapa negara Amerika Latin relatif cukup
realistis untuk diadopsi, selain karena
kondisi ekonomi negara-negara tersebut
memiliki kemiripan dengan Indonesia, juga
karena model tersebut mengkombinasikan
ruang inisiatif universitas yang ‘bottom up’
sifatnya dengan kebijakan pendukung dari
pemerintah yang sifatnya ‘top down’ secara
serasi. Dengan demikian, hubungan dengan
industri yang selama ini telah tumbuh di
universitas perlu diberikan iklim yang lebih
kondusif agar bisa berkembang lebih besar.
Pada saat yang sama kebijakan yang
bersifat ‘top down’ masih diperlukan sebagai
stimulan. Keduanya seyogyanya bersifat
komplementer satu sama lain.
(4) Peningkatan anggaran penelitian dan
pengembangan (R&D) 0,05% dari PDB ke
angka
yang
lebih
signifikan
perlu
diperjuangkan lebih gigih. Peningkatan
anggaran ini akan menjadi insentif para
SDM iptek dalam memberikan kontribusi
riilnya ke masyarakat. Terkait dengan hal itu,
perlu pula dilakukan proporsionalisasi
apresiasi finansial SDM iptek yang
menekuni jalur fungsional agar keluarannya
bisa lebih bersaing dengan jalur struktural.
Challenges and Regional Integration’,
Bangkok, Thailand, 1-2 April 2004.
[2] Etzkowitz, H. and Leydesdorff, L., 2000,
The dynamic of innovation: from
National System and “Mode 2” to a
Triple
Helix
of
university-industry-government relations,
Research Policy 29: 109-123.
[3] Feinson, S., 2003, National Innovation
System Overview and Country Case, in
Knowledge Flows, Innovation, and
Learning in Developing Countries, p.
13-38, Rockefeller Foundation.
[4] Freeman, C., 1987, Technology and
Economic Performance: Lesson from
Japan, Pinter, London.
[5] Humas BPPT, 2004, Serah Terima
Jabatan Menristek dan Ketua BPPT, 25
Oktober
2004,
http://www.bppt.go.id/berita/news2.php?
id=325
[6] Intarakumnerd, P., Chairatna, P. and
Tangchitpiboon, T., 2002, National
innovation system in less succesful
developing countries: the case of
Thailand,
Research
Policy
31:
1445-1457.
[7] Lundvall, B-A (ed.), 1992, National
Innovation System: Towards a Theory of
Innovation nad Interactive Learning,
Pinter, London.
[8] Lundvall, B.-A, 2003, National I
nnovation System: History and Theory,
Proceeding of NSTDA-JICA Seminar on
Innovation System in Asian Economies,
Bangkok.
[9] OECD, 1999, Managing National
Innovation System.
[10] Viotti, E. B., 2002, National Learning
systems:
A
new
approach
on
technological
change
in
late
industrializing economies and evidences
from teh cases of Brazil and South
Korea, Tech. Forecasting and Social
Change, 69: 653-680.Pinter, London
i
Staf Akademik pada Departemen Metalurgi dan
Material, Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Saat ini
sebagai peserta program posdoktoral di Venture
Business Laboratory, Akita University - Japan
5. Daftar Pustaka
[1] Aiman, S., Hakim, L., Simamora, M.,
2004, National Innovation System of
Indonesia: A Journey and Challenges,
The first Asialic International Conference
on ‘ Innovation Systems and Cluster :
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia
9
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
TOPIK UTAMA
Pilkada Langsung dalam Kerangka Reformasi Birokrasi:
Beberapa Catatan Kritis
Tri Widodo W. Utomo
Peneliti LAN dan Mahasiswa Program Doktor di GSID, Nagoya University, Jepang
Dalam sebuah kesempatan kampanye
Capres di Jakarta (7/9/04), SBY pernah
melontarkan janji untuk mengubah mesin
birokrasi yang selama ini lambat dan tidak
efisien. Sayangnya, beliau tidak menjelaskan
lebih jauh tentang strategi membangun
birokrasi yang professional, target yang harus
dicapai selama masa kepemimpinannya,
serta rencana detil (action plan) dari program
reformasi birokrasi tersebut.
Selama masa kampanye Pemilu lalu (baik
Legislatif
maupun
Presiden),
isu
pembenahan administrasi publik nampaknya
terkalahkan oleh isu-isu lain yang lebih aktual
seperti
penegakan
hukum
dan
pemberantasan korupsi, pendidikan dan
pengangguran, serta masalah pemulihan
stabilitas
ekonomi
makro.
Namun
sesungguhnya, urgensi reformasi birokrasi
tidak kalah mendesak dibanding dengan
pembenahan di bidang lainnya.
Beberapa alasan yang mendasari perlunya
dilakukan reformasi birokrasi secara segera,
antara lain adalah tingginya indeks korupsi
versi
Transparency
International
yang
menempatkan Indonesia di posisi ke tujuh
terkorup diantara 102 negara. Sementara
mengenai country risk (indeks tingkat risiko),
dari 185 negara yang di survei, Indonesia
menempati urutan ke-150. Peringkat ini hasil
dari kompilasi pemeringkatan oleh Marvin
Zonish & Associate, Standard & Poors,
Moody
Investor
Services,
Economist
Intelligence Unit, dan World Market Research
Centre.
Dari aspek pembangunan SDM, Human
Development
Report
2003
yang
dipublikasikan oleh UNDP melaporkan bahwa
dari 173 negara di dunia, Indonesia ternyata
berada di posisi 110, di bawah Philipina, Cina,
dan bahkan Vietnam. Selain itu, World
Investment Report (WIR) 2003 membuat
peringkat indeks kinerja Foreign Direct
Investment (FDI) 1999-2000, diantara 140
negara, Indonesia ternyata menempati urutan
ke-138, dua dibawahnya adalah Gabon dan
Suriname. Sedangkan periode 1994-1996,
peringkat Indonesia masih berada di posisi
ke-52.
Gambaran
umum
kondisi
bangsa
Indonesia
tersebut
berakar
dari
permasalahan dan menjadi titik sentral yaitu
antara lain masih sangat lemahnya fungsi
penyelenggara negara baik di fungsi
Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif. Pada
gilirannya, kelemahan penyelenggara negara
tersebut telah menyebabkan tidak mampunya
bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan
suatu kepemerintahan yang baik. Hal
tersebut tentu saja berdampak terhadap
keseluruhan aspek kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat.
Secara langsung maupun tidak langsung,
kondisi diatas diakibatkan pula oleh sistem
administrasi negara dan kualitas SDM
Aparatur yang rendah. Hambatan berupa
jalur birokrasi yang lambat dan berbelit-belit
(red-tape), serta tingginya ‘biaya siluman’
untuk memperlancar proses perijinan dan
proses-proses administratif lainnya, adalah
sedikit contoh dari praktek birokrasi yang
menghambat
pembangunan
nasional.
Dengan kata lain, dalam kinerja makro
pembangunan nasional yang memprihatinkan
tadi, sesungguhnya terdapat kontribusi dari
sektor administrasi publik. Itulah sebabnya,
pembangunan aparatur dan pembenahan
sektor administrasi publik harus dijadikan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
kerangka kerja reformasi nasional secara
menyeluruh.
Sehubungan dengan hal tersebut, Pemilu
2004 dan terpilihnya Presiden baru mestinya
dijadikan sebagai momentum yang tepat
untuk mencanangkan program reformasi
nasional
dalam
rangka
mewujudkan
kepemerintahan yang bersih, baik, dan kuat
(clean, good and strong governance). Dan
bersamaan dengan selesainya Pemilu ini,
DPR telah pula menyetujui revisi UU 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu
butir pokok dalam revisi tadi adalah
pengaturan
tentang
penyelenggaraan
pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Daerah
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
10
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
secara langsung.
Dalam tahap implementasinya, lahirnya
UU baru tentang Pemerintahan Daerah (UU
32/2004) ini ternyata mengundang polemik
serta mendapat reaksi cukup keras dari
berbagai pihak. Dari penolakan yang
disampaikan Dewan Presidium Formas
(Suara Merdeka, 11/10/04) hingga gagasan
untuk mengajukan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi (Kompas, 19/10/04).
Lahirnya UU ini sekaligus menandai babak
baru penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang selama ini masih carut-marut.
Secara sekilas, butir-butir perubahan UU
tadi nampaknya memang telah mencoba
seoptimal mungkin untuk membangun
tatanan pemerintah dan masyarakat daerah
yang lebih demokratis, melalui mekanisme
pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah
secara langsung. Namun jika dicermati lebih
dalam, aturan baru ini mengandung potensi
permasalahan yang cukup kompleks.
Dalam hal pengajuan calon Kepda,
misalnya, UU ini menentukan bahwa hanya
partai politik atau gabungan partai politik yang
memiliki hak untuk itu (pasal 56). Kata-kata
“partai politik atau gabungan partai politik” ini
dapat menimbulkan polemik, mengingat
selama ini usulan calon Kepda datang dari
Fraksi di DPRD (bukan dari partai politik).
Selain itu, dengan pola “satu pintu” ini akan
tertutup peluang bagi calon independen untuk
menjadi Kepala Daerah.
Dilihat dari prinsip efektivitas, mungkin saja
pola satu pintu ini lebih baik. Namun secara
filosofis hal ini tidak akan dapat mewujudkan
cita-cita untuk membabat praktek money
politics di daerah. Sebagaimana dilaporkan
berbagai media, dewasa ini tersebar perilaku
korup dari para anggota dewan serta
perselingkuhan politik antara DPRD dengan
Bupati/Walikota. Kondisi ini terjadi karena
DPRD menurut UU 22/1999 memiliki
kekuasaan yang luar biasa, dari memilih
Kepda
hingga
meminta
pertanggungjawabannya. Dengan model
pemilihan langsung, praktek kotor tersebut
diharapkan
dapat
dihindari.
Inilah
sesungguhnya esensi dasar dari pemilihan
Kepda secara langsung.
Sayangnya, UU baru ini tidak memberi
“hak
inisiatif”
kepada
rakyat
untuk
mengajukan calonnya tanpa melalui partai
politik. Dengan kata lain, rakyat hanya
memiliki “hak pilih” dari calon-calon yang
telah ditentukan oleh partai politik. Akibatnya,
parpol masih tetap menjadi mesin politik
utama menuju kekuasaan. Dan peran
sebagai “mesin kekuasaan” inilah yang akan
menjadi medan magnet terjadinya money
politics. Meskipun demikian, pusaran korupsi
diperkirakan tidak sekuat pada masa 5 tahun
kebelakang. Justru ada kecenderungan
bahwa money politics ini lebih menyebar dan
menjangkau langsung kepada anggota
masyarakat.
Logikanya, money politics akan mengikuti
dimana “suara” berada. Pada saat berlakunya
UU 5/1974, pemerintah pusat memiliki hak
untuk memilih seorang Kepda dari 3 hingga 5
calon yang diajukan DPRD. Oleh karenanya
tidak aneh jika sebagian terbesar kasus
korupsi pada saat itu terjadi di tingkat pusat.
Kemudian pada era UU 22/1999, korupsi
dilakukan secara beramai-ramai oleh DPRD
karena memang DPRD-lah pemegang hak
pilih terhadap seorang Kepda. Kini, ketika
suara (hak pilih) didistribusikan secara
langsung kepada perseorangan, maka
medan korupsi-pun akan bergerak mengikuti
pemilik suara tersebut.
Memang
benar
bahwa
pasal
59
memerintahkan parpol atau gabungan parpol
untuk
membuka
kesempatan
yang
seluas-luasnya bagi calon perseorangan
diluar kader partai. Namun pasal ini
kelihatannya hanya akan menjadi pemanis,
karena hampir mustahil sebuah partai
memiliki goodwill untuk mencalonkan orang
yang bukan kadernya menjadi Kepala
Daerah.
Permasalahan lain yang menonjol dari UU
ini adalah tiadanya hubungan hierarkis dan
koordinatif antara KPU dengan KPU Daerah.
Padahal, KPU kabupaten/kota dibentuk oleh
dan bertanggung jawab kepada KPU propinsi,
sementara KPU propinsi berhubungan secara
struktural dengan KPU. Celakanya, UU tadi
justru
memerintahkan
KPUD
untuk
bertanggungjawab kepada DPRD. Ketentuan
ini
jelas
sekali
tidak
masuk
akal.
Pertanggungjawaban
proses
pemilihan
Kepda secara langsung tidak mungkin
diberikan kepada institusi yang memiliki
wewenang untuk mengajukan calon Kepda.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
11
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
Bayangkan, seandainya DPRD daerah
tertentu memiliki 5 fraksi, dan setiap fraksi
memiliki calon Kepda tersendiri, maka di
daerah tersebut terdapat 5 pasangan calon
Kepda-Wakepda. Dalam kasus seperti ini,
persaingan ketat diantara ke-5 fraksi tersebut
tidak terhindarkan. Kemenangan pasangan
dari fraksi tertentu bukan tidak mungkin
menimbulkan ketidakpuasan dan protes dari
fraksi lainnya. Padahal, seluruh fraksi tadi
sama-sama merupakan alat kelengkapan
pada lembaga yang sama, yakni DPRD.
Bagaimana mungkin mereka dapat menerima
pertanggungjawaban dari KPUD secara
kolektif,
sementara
mereka
memiliki
kepentingan yang parsial?
Disini nampak sekali bahwa klausul “KPUD
bertanggungjawab kepada DPRD” (pasal 57)
membuka potensi terjadinya 2 jenis konflik,
yakni konflik internal dalam DPRD (antar
fraksi), serta konflik antara KPUD dengan
DPRD itu sendiri. Potensi konflik ini semakin
menguat
ketika
UU
Pemda
tidak
menyediakan
aturan
dalam
hal
pertanggungjawaban KPUD ditolak oleh
DPRD.
dari 64 pasal dialokasikan untuk mengatur
masalah pemilihan Kepda secara langsung.
Padahal,
aturan-aturan
teknis
penyelenggaraan
pemilu
langsung
ini
semestinya dilakukan oleh (diserahkan
kepada) KPUD. Dengan kata lain, RUU
Pemda ini secara dini telah membatasi
discretionary of power dari KPUD.
Paparan diatas menyiratkan bahwa
dinamika politik lokal di Indonesia dalam
waktu dekat ini akan cukup panas dan
bergejolak. Ketergesaan dalam bertindak dan
ketidakjelasan aturan dalam UU Pemda,
adalah
kontributor
utama
terhadap
kemungkinan munculnya dinamika tadi. Yang
paling
menyedihkan,
pemerintah
dan
masyarakat daerah nampaknya masih
banyak
dipandang
sebagai
ladang
eksperimen politik bagi elit-elit tertentu.
Disinilah sesungguhnya KPU (pusat) dapat
memainkan perannya selaku koordinator,
fasilitator, pengawas / pengendali, sekaligus
penanggungjawab akhir dari seluruh proses
Pilkada secara langsung. Dengan dikebirinya
peran KPU, maka ancaman terjadinya
deadlock dalam proses Pilkada semakin
nyata membayangi implementasi UU baru ini.
Pemberlakuan UU 22/1999 yang terkesan
terburu-buru
dan
“dipaksakan”
adalah
eksperimen yang pertama. Dampaknya,
persoalan muncul disana sini seperti
pemekaran wilayah yang tidak terkendali,
konflik vertikal dan horisontal antar unit
pemerintahan,
penggelembungan
kelembagaan Pemda, korupsi legislatif, dan
sebagainya. Dan ketika UU ini baru berjalan
efektif 3 tahun lebih, tiba-tiba Revisi UU
22/1999 telah ditetapkan secara terburu-buru
pula. Instrumen Pilkada secara langsung
yang sarat masalah, adalah salah satu bukti
baru betapa eksperimen politik lokal itu
tengah berlangsung secara kasat mata.
Uniknya, peran KPUD sendiri sebenarnya
juga sudah terkebiri oleh UU Pemda ini.
Sebab, meskipun KPUD masih memiliki hak
membuat Keputusan untuk menjalankan
hal-hal strategis dalam pelaksanaan Pilkada,
namun substansi, tahapan, persyaratan dan
hal-hal teknis lainnya telah diatur secara amat
rinci dan limitatif oleh UU ini. Tidak kurang
Pertanyaannya, adakah eksperimen tadi
mampu menghasilkan manfaat optimal bagi
masyarakat lokal, ataukah elit-elit politik lokal
dan nasional yang akan tetap bermahkotakan
penderitaan rakyat? Waktulah yang akan
membuktikan segalanya, apakah kabinet
SBY
–
Kalla
mampu
mewujudkan
janji-janjinya.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
12
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
TOPIK UTAMA
Perspektif Baru Kinerja Pembangunan Perumahan, Perlukah?
Asnawi Manaf
Staff Pengajar Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, Semarang
Kandidat Doktor di Universitas Kassel, Jerman
E-mail: asnawi_manaf@yahoo.de
1. Pentingnya Perspekti f Baru
Pembangunan Perumahan
Kinerja
Setelah diumumkan Kabinet Indonesia
Bersatu di bawah kepemimpinan Susilo
Bambang Yudoyono, seolah ada satu
harapan dan kegembiraan tersendiri dengan
diadakannya
kembali
Menteri
Negara
Perumahan Rakyat sebagai satu posisi
menteri yang saya amati cukup dinantikan,
terutama
oleh
para
pengusaha
atau
pengembang. Menteri Negara Perumahan
Rakyat
yang
sejak
pemerintahan
Abdurrahman Wahid telah dihapus atau tugas
perannya dilebur menjadi satu dengan
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah,
kini diadakan kembali.
Bisakah dia menjadi sebuah harapan
meningkatnya kembali kinerja pembangunan
perumahan, terutama perumahan bagi
masyarakat berpenghasilan rendah?
Mencermati
beberapa
isu
yang
berkembang di media massa, terlihat jelas
bahwa harapan-harapan itu masih sebagian
besar datang dari kalangan pengembang atau
pelaku bisnis perumahan. Pengamat property,
Panangian Simanungkalit juga melihat
harapan ini secara positif (setali tiga uang).
Menurut penulis, cara pandang itu masih
bertumpu dari satu sudut pandang yang
melihat persoalan perumahan masih di
tingkat permukaan atau ukuran kinerja
pembangunan hanya diukur dari jumlah
(kuantifikasi) rumah yang dibangun. Dan
dianggap bahwa kinerja pembangunan
perumahan hanya semata-mata bergantung
pada peran pengusaha atau pengembang
perumahan yang mampu menawarkan harga
rumah yang terjangkau bagi masyarakat
berpenghasilan rendah di pasar-pasar
perumahan formal.
Padahal dapat diamati, bahwa pada
prakteknya justru penyedia perumahan yang
paling dominan adalah swadaya masyarakat
yang menyumbang lebih 80%, bukan berasal
dari pasar perumahan formal. Disamping itu,
tumbuh dan berkembangnya pemukiman atau
hunian informal, yaitu hunian yang dibangun
secara swadaya (kawasan-kawasan kumuh)
di perkotaan sebetulnya juga bukan hanya
disebabkan oleh kurangnya pasokan rumah
secara kuantitatif, tetapi lebih disebabkan
oleh produk rumah yang tidak relevan dengan
kebutuhan
rasional
mereka
yang
berpenghasilan rendah. Bila mereka ingin
memperoleh hunian murah yang disediakan
oleh pasar formal, maka mereka harus tinggal
jauh dari sumber mata pencaharian mereka.
Kelemahan mekanisme pasar (market
failure)
dalam
menjawab
kebutuhan
perumahan ini, sebetulnya sudah terlihat juga
sejak Menteri Perumahan Rakyat (Menpera)
itu ada (Orde Baru) dengan terjadinya banyak
kredit macet di bidang properti.
Secara kuantitatif tidak bisa dipungkiri
bahwa sejak dihapusnya Menpera, kinerja
pasar perumahan menurun secara signifikan.
Pada era Orde Baru bisa dihasilkan rata-rata
100 ribu lebih rumah per tahun, sementara
pada era Reformasi setelah dihapusnya
Menpera menurun sampai 50 ribu unit rumah
per tahun. Akan tetapi merosotnya jumlah
rumah yang diproduksi pada era Reformasi ini
tidak bisa dilepaskan dari tuntutan atas
kontrol pemerintah yang semakin ketat akibat
pengalaman buruk perilaku kotor pengusaha
property pada era tersebut yang ikut
memberikan sumbangan atas terjadinya krisis
moneter di tanah air, yaitu banyak kasus
kredit macet (non-performing loan).
Logika pasar yang bebas tanpa adanya
intervensi pemerintah, terutama dalam
mengelola sumber daya yang krusial, seperti
aset lahan, biaya, dan perijinan, pada
kenyataannya
telah
mempercepat
melambungnya harga lahan dan rumah yang
tidak hanya ditentukan oleh rasionalitas
hukum permintaan dan penawaran, akan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
13
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
tetapi justru oleh tumbuh suburnya semangat
para pengusaha hitam untuk menumpuk
kekayaan
melalui
spekulasi
lahan
perumahan.
Perilaku menyimpang dari model pasar
bebas ini, haruslah menjadi pengalaman kita.
Sebelum krisis moneter, jumlah kredit yang
sudah
terlanjur
disalurkan
perbankan
nasional ke sektor properti mengalami
kemacetan dan akhirnya terpaksa diambil alih
Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN). Ini menunjukkan alokasi dana
tersebut sia-sia belaka, karena telah
disalahgunakan untuk kepentingan para
spekulan yang tidak bertanggung jawab. Hal
ini pada akhirnya merugikan masyarakat.
Mereka yang sesungguhnya membutuhkan
dana tersebut selalu terdiskriminasi.
Bertolak dari kenyataan ini maka perspektif
ukuran keberhasilan kinerja pembangunan
seharusnya mulai digeser dari perspektif
kuantitatif ke kualitatif. Dengan melakukan
perbaikan sistem pendataan permasalahan
perumahan, secara lebih akurat diharapkan
pemerintah juga dapat merubah strategi
pemecahannya. Untuk kabinet yang akan
datang, diharapkan kebijakan perumahan ke
depan harus lebih berani melakukan
reorientasi strategi dari yang sebelumnya
hanya bertumpu pada pelaku bisnis
perumahan dengan orientasi mengambil
keuntungan sebanyak mungkin menjadi focus
pada pelaku pembangunan lain yang lebih
luas dan lebih berorientasi pada kepentingan
pembangunan
perumahan
yang
berkesinambungan.
Strategi pembangunan yang bertumpu
pada
masyakarat
haruslah
menjadi
primadona. Melalui penekanan pada upaya
mengelola potensi swadaya masyarakat yang
selama ini kurang mendapat dukungan,
diharapkan
lebih
mampu
menjawab
permasalahan perumahan secara mendasar.
Hal ini memerlukan terobosan baru dalam
kebijakan
manajemen
pembangunan,
sehingga kelompok sasaran yang mendesak
(urgen) betul-betul dapat terprioritaskan
terlebih dahulu.
Ukuran
urgensi
ini
tercermin
dari
munculnya pemukiman-pemukiman informal
yang dibangun secara swadaya. Kemunculan
pemukiman itu tidak mendapat dukungan
teknis yang memadai, ditambah dengan
kondisi sosial dan ekonomi mereka yang
minim menjadikan sebagian besar kondisi
pemukiman tidak layak huni (kumuh).
Paradigma melihat permasalahan mereka
hendaknya tidak lagi dilihat dari sudut
pandang negatif, namun harus dilihat sebagai
gambaran konkrit upaya swadaya masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan rumahnya
dengan segala pertimbangan yang sangat
matang dari sudut pandang sosial dan
keterjangkauan ekonomi yang mereka miliki
(Turner, 1968, 1976, 1978, 1997).
2. Pembangunan Perumahan Bertumpu
pada Masyarakat sebagai Satu Alternatif
Dalam rangka mengelola potensi swadaya
masyarakat untuk mengantisipasi munculnya
hunian yang kurang manusiawi ini, pada era
Orde Baru sebetulnya telah disosialisasikan
sebuah strategi alternatif Pembangunan
Perumahan yang B ertumpu Pada Kelompok
(P2BPK).
P2BPK ini dikalangan LSM pembangunan
perumahan seperti AKPPI dan ASPEK sudah
cukup dikenal dan bahkan pernah dijalankan
dengan berhasil. Salah satu motivasi P2BPK
adalah upaya mengorganisir potensi swadaya
masyarakat tersebut dalam satu kelompok
atau secara kooperatif dikelola secara baik
untuk membangun rumah secara swadaya
atau swakelola sehingga produk hunian dan
lingkungan yang terjadi bisa lebih tertata dan
bisa mengurangi munculnya lingkungan
kumuh.
Karena dilakukan secara berkelompok atau
kooperatif, maka secara teoritis pola P2BPK
ini memiliki potensi sebagai sarana untuk
menjembatani kelompok masyarakat yang
kurang
mampu
dalam
mengakses
sumber-sumber daya kunci perumahan
(lahan, perijinan, biaya) yang selama ini
kurang berpihak pada si miskin. Hal ini
disebabkan karena lemahnya posisi tawar
(bargaining power) mereka (the ruled class)
terhadap
kelompok
masyarakat
yang
dominan atau penentu kebijakan (the rulling
class) untuk mendapatkan apa yang
seharusnya menjadi haknya (Asnawi, 2003),
terutama akses ke sumber daya kunci di atas,
karena mereka bergerak tidak terorganisir
dalam satu kelompok.
Berdasarkan dari laporan-laporan kegiatan
P2BPK yang dilaksanakan pada masa Orde
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
14
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
Baru memang pada kenyataannya belum
memberikan
gambaran
yang
menggembirakan (Warta Damar, 2001).
Upaya yang dilakukan oleh para LSM untuk
mengorganisir masyarakat dari bawah
(struggle from below) untuk memiliki rumah
sering kandas atau tidak berjalan seperti apa
yang diharapkan. Hal ini salah satunya
disebabkan oleh karena kurang adanya
dukungan (political will) dari pemerintah.
Sehingga P2BPK di masa lalu sulit
diwujudkan dan salah satu alasan paling
mendasar
disebabkan
keberpihakan
pemerintah secara politis masih sangat lemah
untuk mendukung pola ini, sehingga
harapan-harapan P2BPK yang diuraikan di
atas sering kandas di tengah jalan.
Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada
Kelompok (P2BPK).
Sebagai penutup, saya berharap semoga
Kementrian Perumahan ke depan hendaknya
dapat mengembangkan perspektif baru dalam
melihat keberhasilan kinerja pembangunan
perumahan: tidak hanya dari sudut kuantitatif,
tetapi juga yang lebih penting dari segi
kualitatif. Dengan sikap profesional dan
kejujuran yang tinggi, kementrian perumahan
di Kabinet Indonesia Bersatu ini akan mampu
untuk mengelola sumber daya kunci
perumahan terutama lahan secara lebih baik
untuk kesejahteraan masyarakat umum.
[3] Castells, Manuel (1978), City, Class and
Power, London: The Macmillan Press
LTD.
Juga dengan semangat keberpihakan yang
tinggi kepada si miskin (pro poor), Kementrian
Perumahan juga dapat lebih melindungi
mereka sehingga tidak terpinggirkan oleh
kepentingan-kepentingan
sempit.
Dan
lingkungan fisik perumahan sebagai ekspresi
rasional pertarungan antar klas (Castells,
1978) tidak semakin memperjelas segregasi
sosial dan spasial yang semakin mencolok
antara the have (permukiman mewah yang di
jaga satpam siang malam) dan the have not
(permukiman kumuh yang tidak manusiawi)
yang berakibat munculnya kecumburuan
sosial
(collective
conciousness)
yang
membahayakan kekuatan modal sosial
(social capital) dan membangkitkan semangat
gerakan sosial yang mengarah pada tindakan
desktruktif.
Demikian sedikit sumbang saran dari saya
sebagai pengamat dan pelaku pembangunan
perumahan melalui pola swadaya dan
3. Daftar Pustaka
[1] Asnawi,
Manaf
(2003),
Refleksi
Penerapan
Enabling
Strategy
dan
Pembangunan Perumahan Bertumpu
Pada Kelompok (P2BPK). Jurnal Tata
Loka, PWK Undip Semarang, vol 5. no. 2,
pp. 73-79.
[2] Bishwapriya, Sanyal (1998), Beyond the
Theory of Comparative Advantage, in
Shelter and Society: theory, research, and
policy for nonprofit housing / edited by C.
Theodore Koebel.
[4] Dirjend. Perumahan dan Permukiman
Departemen KIMPRASWIL, Penerapan
Pembangunan Perumahan dan Daerah
berbasis pada Prakarsa Komunitas
masyarakat, Bulletin, Warta Damar, E
disi Perdana, Oktober 2000-Maret 2001
[5] Turner, John F.C. (1968), The Squatter
Settlement: An Architecture that Works,
Architectural Design 38 vol. 8 London, pp.
357-360
[6] Turner, John F.C. (1976), Housing By
People: Toward Autonomy in Building
Environments, London: Marions Boyars.
[7] Turner, John F.C. (1978), Housing in
Three Dimensions: Term of Reference for
Housing Question Redefined, World
Development,
no.
9/10
vol.
6,
London:Pergamon, pp. 1135-1145
[8] Turner, John F.C. (1997), Learning in a
Time of Paradigm Change: The role of the
professional, In Burgess, Rod, Carmona
M, Kolstee T (eds.). The Challenge of
Sustainable Cities: Neoliberalism and
Urban Strategies in Developing Countries,
London: zed books ltd. pp. 162-175
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
15
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
TOPIK UTAMA
Revitalisasi Ekonomi Kerakyatan
Melalui Pemberdayaan Gerakan Koperasi
Jangkung Handoyo Mulyo
Dosen Universitas Gadjah Mada,
Mahasiswa Program Doktor pada Department of Economic Development and Policies,
Graduate School of International Cooperation Studies, Kobe University
E-mail: JhandoyoM@yahoo.com
Di antara tugas berat pemerintahan baru
dibawah Presiden SBY adalah bagaimana
membangkitkan kembali dan sekaligus
mengakselerasikan pertumbuhan ekonomi
nasional pasca krisis moneter. Ekonomi
kerakyatan sebagai suatu sistem ekonomi
yang memberikan pemihakan kepada pelaku
ekonomi lemah kiranya pantas mendapatkan
prioritas utama penanganan. Hal ini bukan
saja karena ekonomi kerakyatan memiliki
pijakan konstitusional yang kuat, namun juga
karena ia gayut langsung dengan nadi
kehidupan rakyat kecil yang secara obyektif
perlu lebih diberdayakan agar
mampu
menjadi salah satu ‘engine’ bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat (social welfare) dan
sekaligus
alat
ampuh
untuk
lebih
memeratakan ‘kue pembangunan’ sejalan
dengan program pengentasan kemiskinan
(poverty alleviation).
1. Pengantar
Krisis moneter yang melanda beberapa
negara di kawasan Asia (Korea, Thailand,
Indonesia, Malaysia ) pada tahun 1997
setidaknya menjadi saksi sejarah dan
sekaligus memberikan pelajaran sangat
berharga
bahwa
sesungguhnya
pengembangan ekonomi bangsa yang
berbasis konglomerasi itu rentan terhadap
badai krisis moneter. Sementara itu, pada
saat yang sama kita dapat menyaksikan
bahwa ekonomi kerakyatan (diantara mereka
adalah koperasi), yang sangat berbeda jauh
karakteristiknya
dengan
ekonomi
konglomerasi, mampu menunjukkan daya
tahannya terhadap gempuran badai krisis
moneter yang melanda Indonesia.
Pada sisi lain, era globalisasi dan
perdagangan bebas yang disponsori oleh
kekuatan kapitalis membawa konsekuensi
logis antara lain
semakin ketatnya
persaingan usaha diantara pelaku-pelaku
ekonomi berskala internasional. Banyak
pihak mengkritik, antara lain Baswir (2003),
bahwa
konsep
perdagangan
bebas
cenderung
mengutamakan
kepentingan
kaum kapitalis dan mengabaikan perbedaan
kepentingan ekonomi antara berbagai strata
sosial yang terdapat dalam masyarakat.
Dalam sistem perdagangan bebas tersebut,
perusahaan-perusahaan multi nasional yang
dikelola dengan mengedepankan prinsip
ekonomi yang rasional, misalnya melalui
penerapan prinsip efektifitas, efisiensi dan
produktifitas akan berhadapan dengan,
antara lain, koperasi yang dalam banyak hal
tidak sebanding kekuatannya. Oleh karena itu
agar tetap survive, maka koperasi yang oleh
Anthony Giddens (dalam Rahardjo, 2002)
dipopulerkan sebagai the third way, perlu
diberdayakan dan melakukan antisipasi sejak
dini, apakah dengan membentuk jaringan
kerjasama antar koperasi
dari berbagai
negara, melakukan merger antar koperasi
sejenis, atau melakukan langkah antisipatif
lainnya.
2. Koperasi Sebagai Penjelmaan Ekonomi
Rakyat
Dalam konteks ekonomi kerakyatan atau
demokrasi ekonomi, kegiatan produksi dan
konsumsi dilakukan oleh semua warga
masyarakat dan untuk warga masyarakat,
sedangkan
pengelolaannya
dibawah
pimpinan
dan
pengawasan
anggota
masyarakat sendiri (Mubyarto, 2002). Prinsip
demokrasi ekonomi tersebut hanya dapat
diimplementasikan dalam wadah koperasi
yang berasaskan kekeluargaan.
Secara operasional, jika koperasi menjadi
lebih berdaya, maka kegiatan produksi dan
konsumsi yang jika dikerjakan sendiri-sendiri
tidak akan berhasil, maka melalui koperasi
yang telah mendapatkan mandat dari
anggota-anggotanya
hal tersebut dapat
dilakukan dengan lebih berhasil. Dengan
kata lain,
kepentingan ekonomi rakyat,
terutama
kelompok
masyarakat
yang
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
16
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
berada pada aras ekonomi kelas bawah
(misalnya petani, nelayan, pedagang kaki
lima) akan relatif lebih mudah diperjuangkan
kepentingan ekonominya melalui wadah
koperasi. Inilah sesungguhnya yang menjadi
latar belakang pentingnya pemberdayaan
koperasi.
3. Citra dan Peran Koperasi di Berbagai
Negara
Secara obyektif disadari bahwa disamping
ada koperasi yang sukses dan
mampu
meningkatkan kesejahteraan anggotanya,
terdapat pula koperasi di Indonesia (bahkan
mungkin jauh lebih banyak kuantitasnya)
yang kinerjanya belum seperti yang kita
harapkan. Koperasi pada kategori kedua
inilah yang memberi beban psikis, handycap
dan juga ‘trauma’ bagi sebagian kalangan
akan manfaat berkoperasi.
Oleh karena itu, disini perlu dipaparkan
beberapa contoh untuk lebih meyakinkan kita
semua bahwa sesungguhnya sistem koperasi
mampu untuk
mengelola usaha dengan
baik, menyejahterakan anggotanya dan
sekaligus
berfungsi
sebagai
kekuatan
pengimbang (countervailing power) dalam
sistem ekonomi.
Koperasi di Jerman, misalnya, telah
memberikan
kontribusi
nyata
bagi
perekonomian bangsa, sebagaimana halnya
koperasi-koperasi
di
negara-negara
skandinavia. Koperasi konsumen di beberapa
negara maju, misalnya Singapura, Jepang,
Kanada dan Finlandia mampu
menjadi
pesaing terkuat perusahaan raksasa ritel
asing yang
mencoba masuk ke negara
tersebut (Mutis, 2003). Bahkan di beberapa
negara maju tersebut, mereka berusaha
untuk mengarahkan perusahaannya agar
berbentuk koperasi. Dengan membangun
perusahaan
yang
berbentuk
koperasi
diharapkan
masyarakat
setempat
mempunyai
peluang
besar
untuk
memanfaatkan potensi dan asset ekonomi
yang ada di daerahnya.
Di Indonesia, menurut Ketua Umum
Dekopin, saat ini terdapat sekitar 116.000 unit
koperasi (Kompas, 2004). Ini adalah suatu
jumlah yang sangat besar dan potensial
untuk dikembangkan. Seandainya dari jumlah
tersebut terdapat 20-30% saja yang
kinerjanya bagus, tentu peran koperasi bagi
perekonomian
signifikan.
nasional
akan
sangat
Sementara itu di Amerika Serikat jumlah
anggota koperasi kredit (credit union)
mencapai
sekitar 80 juta orang dengan
rerata simpanannya 3000 dollar (Mutis, 2001).
Di Negara Paman Sam ini koperasi kredit
berperan penting terutama di lingkungan
industri, misalnya dalam
pemantauan
kepemilikan
saham
karyawan
dan
menyalurkan
gaji
karyawan.
Begitu
pentingnya peran koperasi kredit ini sehingga
para buruh di Amerika Serikat dan Kanada
sering memberikan julukan koperasi kredit
sebagai people’s bank , yang dimiliki oleh
anggota dan memberikan layanan kepada
anggotanya pula.
Di Jepang, koperasi
menjadi wadah
perekonomian pedesaan yang berbasis
pertanian. Peran koperasi di pedesaan
Jepang telah menggantikan fungsi bank
sehingga koperasi sering disebut pula
sebagai
‘bank rakyat’ karena koperasi
tersebut beroperasi dengan menerapkan
sistem perbankan (Rahardjo, 2002).
Contoh lain adalah perdagangan bunga di
Belanda. Mayoritas perdagangan bunga
disana digerakkan oleh
koperasi bunga
yang dimiliki oleh para petani setempat. Juga
Koperasi Sunkis di California (AS) yang
mensuplai bahan dasar untuk pabrik Coca
Cola, sehingga pabrik tersebut tidak perlu
membuat kebun sendiri. Dengan demikian
pabrik Coca Cola cukup membeli sunkis
dari Koperasi Sunkis yang dimiliki oleh para
petani sunkis (Mutis, 2001). Di Indonesia,
banyak juga kita jumpai koperasi yang
berhasil, misalnya GKBI yang bergerak dalam
bidang usaha batik, KOPTI yang bergerak
dalam bidang usaha tahu dan tempe
(Krisnamurthi, 2002), Koperasi Wanita Setia
Bhakti
Wanita
di
Surabaya,
dan
KOSUDGAMA di Yogyakarta untuk jenis
koperasi yang berbasis di perguruan tinggi,
dan masih banyak contoh lagi.
4. Pemberdayaan Koperasi: Menggali Key
Success Factor
Mengkaji kisah sukses dari berbagai
koperasi, terutama koperasi di Indonesia,
kiranya dapat disarikan beberapa faktor kunci
yang urgent dalam pengembangan dan
pemberdayaan koperasi. Diantara faktor
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
17
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
penting tersebut, antara lain:
dengan aktifitas usaha anggotanya.
a. Pemahaman pengurus dan anggota akan
jati diri koperasi (co-operative identity)
yang
antara
lain
dicitrakan
oleh
pengetahuan mereka terhadap ‘tiga
serangkai’ koperasi, yaitu pengertian
koperasi (definition of co-operative),
nilai-nilai
koperasi
(
values
of
co-operative)
dan
prinsip-prinsip
gerakan
koperasi
(principles
of
co-operative) (International Co-operative
Information Centre, 1996). Pemahaman
akan jati diri koperasi merupakan entry
point dan sekaligus juga crucial point
dalam mengimplementasikan jati diri
tersebut pada segala aktifitas koperasi.
Sebagai catatan tambahan, aparatur
pemerintah terutama departemen yang
membidangi masalah koperasi perlu pula
untuk memahami secara utuh dan
mendalam
mengenai
perkoperasian,
sehingga komentar yang dilontarkan oleh
pejabat tidak terkesan kurang memahami
akar persoalan koperasi, seperti kritik
yang pernah dilontarkan oleh berbagai
kalangan, diantaranya oleh Baga (2003).
b. Dalam menjalankan usahanya, pengurus
koperasi harus mampu mengidentifikasi
kebutuhan kolektif anggotanya (collective
need of the member) dan memenuhi
kebutuhan
tersebut.
Proses
untuk
menemukan kebutuhan kolektif anggota
sifatnya kondisional dan lokal spesifik.
Dengan
mempertimbangkan
aspirasi
anggota-anggotanya,
sangat
dimungkinkan kebutuhan kolektif setiap
koperasi berbeda-beda. Misalnya di suatu
kawasan sentra produksi komoditas
pertanian
(buah-buahan)
bisa
saja
didirikan koperasi. Kehadiran lembaga
koperasi yang didirikan oleh dan untuk
anggota akan memperlancar
proses
produksinya,
misalnya
dengan
menyediakan input produksi, memberikan
bimbingan teknis produksi, pembukuan
usaha, pengemasan dan pemasaran
produk.
c. Kesungguhan
kerja
pengurus
dan
karyawan dalam mengelola koperasi.
Disamping kerja keras, figur pengurus
koperasi hendaknya dipilih orang yang
amanah, jujur serta transparan.
d. Kegiatan
(usaha)
koperasi
e. Adanya efektifitas biaya transaksi antara
koperasi dengan anggotanya sehingga
biaya
tersebut
lebih
kecil
jika
dibandingkan biaya transaksi yang
dibebankan oleh lembaga non-koperasi.
5. Penutup
Sebagai sesama anak bangsa, kita
terpanggil untuk secara bersama-sama
memberdayakan koperasi sehingga koperasi
bukan hanya berperan sebagai lembaga yang
menjalankan usaha saja, namun koperasi
bisa menjadi alternatif kegiatan ekonomi yang
mampu menyejahterakan anggota
serta
sekaligus
berfungsi
sebagai
kekuatan
pengimbang dalam sistem perekonomian.
Dengan kata lain, kita mengharapkan tumbuh
berkembangnya koperasi yang memiliki
competitive advantage dan
bargaining
position yang setara dengan pelaku ekonomi
lainnya.
Upaya untuk lebih memberdayakan
koperasi diawali dengan mengembalikan
koperasi sesuai dengan jatidirinya. Selain itu
diperlukan
upaya
serius
untuk
mendiseminasikan dan mensosialisasikan
koperasi dalam format gerakan nasional
berkoperasi
secara
berkesinambungan
kepada
warga masyarakat, baik melalui
media pendidikan, media masa, maupun
media yang lainnya.
Semoga koperasi sebagai salah satu
representasi dari ekonomi kerakyatan yang
bersendikan demokrasi ekonomi dapat
tumbuh, berkembang dan berdaya guna serta
mampu menjadi salah satu pilar penting
perekonomian bangsa.
Daftar Pustaka
[1] Anonim, 2004, Pemerintah Tak Serius
Berdayakan Koperasi, Kompas, 28
Februari 2004.
[2] Baga, L.M, 2003, “Foolishisasi” Koperasi,
Kompas, 12 Juli 2003.
[3] Baswir,
R,
2003.
Koperasi
dan
Perdagangan Bebas. Republika, 23 Juni
2003.
bersinergi
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
18
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
[4] International Co-operative Information
Centre, 1996. What is a co-operative?
(www.wisc.edu/uwcc/icic/def-hist/def/wha
t-is.html)
[5] Krisnamurthi,B,
2002.
Membangun
Koperasi Berbasis Anggota Dalam
Rangka Pengembangan Ekonomi Rakyat,
Jurnal Ekonomi Rakyat, Th.1, No. 4
(www.ekonomirakyat.org)
[6] Mubyarto,
2002.
Membangkitkan
Ekonomi Kerakyatan Melalui Gerakan
Koperasi:Peran Perguruan Tinggi, Jurnal
Ekonomi
Rakyat,
Th.1,
No.
6
(www.ekonomirakyat.org)
[7] Mutis, T, 2001. Satu Nuansa, Demokrasi
Ekonomi dan Ekonomi Kerakyatan,
Kompas, 29 September 2001.
[8] _______, 2003. Koperasi Konsumsi
Harus Bisa Digalakkan Kembali, Kompas,
5 Juli 2003.
[9] Rahardjo,D, 2002. Apa Kabar Koperasi
Indonesia, Kompas, 9 Agustus 2002
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
19
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
TOPIK UTAMA
Mencermati Janji 100 Hari Pemerintahan SBY:
Illegal Logging dan Akses Terbuka Kawasan Hutan
Dodik Ridho Nurrochmat*
Dosen Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan, IPB, dan
Kandidat Doktor di Universitas Göttingen, Jerman
Menteri Negara Komunikasi dan Informasi,
Sofyan
Djalil,
membeberkan
rencana
pemerintah melakukan shock therapy dengan
prioritas mengatasi illegal logging, korupsi,
dan penegakan hukum dalam 100 hari
pertama pemerintahan (KCM 22/10/2004).
Komitmen ini patut dihargai, meskipun
sesungguhnya bukan merupakan suatu hal
yang baru, karena pada tahun 2000,
pemerintahan sebelumnya (juga) telah
menegaskan tekadnya memerangi illegal
logging yang termaktub dalam 12 butir self
commitment pengelolaan hutan secara lestari.
Namun, ada jurang perbedaan yang dalam
antara komitmen normatif dan fakta di
lapangan. Kenyataannya, pengelolaan hutan
Indonesia makin jauh dari komitmen normatif
mewujudkan
hutan
lestari
yang
dicanangkannya sendiri
(Bank Dunia,
2001).
Pemerintahan SBY-Kalla harus dapat
menjawab keraguan masyarakat bahwa
komitmen
memerangi
illegal
logging
benar-benar serius dilaksanakan, bukan lagi
(mengulang) pepesan kosong pemerintahan
sebelumnya. Kekhawatiran masyarakat ini
hadir bukan tanpa sebab, setidaknya kesan
bahwa pengangkatan Menteri Kehutanan
Kabinet Indonesia Bersatu semata-mata
karena perimbangan jatah parpol, harus
dijawab dengan kesungguhan kerja dan bukti
nyata memberangus peredaran kayu ilegal.
inferior, barang yang boleh dikotori, dirusak,
bahkan dijarah.
Dengan logika yang sebangun, illegal
logging bukanlah suatu hal yang aneh karena
hutan (dianggap) sebagai common property
yang boleh diperlakukan sesuka hati.
Bahwa dengan penjarahan kayu yang
menggila
mengakibatkan
hutan
dan
lingkungan terdegradasi hebat bukanlah hal
yang perlu dipikirkan karena hutan dianggap
barang milik umum yang dianggap remeh
eksistensinya.
Ironisnya, kehancuran barang milik umum
bisa terjadi dari niatan yang mulia.
Bayangkan apa yang akan terjadi jika WC
umum (di negera kita) digratiskan dan
dibiarkan bebas akses bagi siapa saja yang
ingin berhajat? Tak perlu menunggu sepekan
untuk melihatnya jorok dan bobrok.
Jangan-jangan,
kehancuran
masal
ekosistem hutan juga diawali dari maksud
yang baik. Illegal logging memang cerita
lama, namun angkanya melonjak tajam sejak
berhembusnya angin reformasi di sektor
kehutanan. Tak diragukan ada tujuan mulia
dibalik
keluarnya
SK
Menhutbun
No.735/Kpts-II/1998 yang diperkuat dengan
PP Nomor 6 tahun 1999 yang membatasi luas
kepemilikan HPH maksimal 100.000 hektar
setiap
propinsi
(kecuali
di
Papua
diperbolehkan hingga 200.000 hektar).
1. Menata (kembali) Common Property
Salah satu sebab tragedi dan krisis
berkepanjangan di negeri kita tak lain karena
mentalitas
bangsa
yang
tak
pernah
menghargai milik umum (common property).
Illegal logging hanyalah sejumput masalah
diantara segudang problematika pengelolaan
common property di negara ini. Lihatlah
(apa saja) yang memakai label umum. Di
mana-mana WC umum, bus -bus umum,
telepon umum dan property berlabel umum
lainnya selalu cepat rusak, jorok, dan tak
terawat. Di benak (sebagian) masyarakat,
label umum selalu mengandung makna
Jelas, maksud peraturan ini dikeluarkan
sangat baik, yakni untuk memberangus
praktik
monopoli
dan
memangkas
konglomerasi bisnis kehutanan. Apalagi,
keluarnya peraturan ini diikuti dengan
kebijakan redistribusi kepemilikan HPH
kepada koperasi dan pengusaha kecil yang
nuansa keberpihakannya terhadap kalangan
bawah sangat kental.
Terlepas dari maksud baiknya memberikan
kesempatan berusaha yang (lebih) merata
kepada
masyarakat
lokal,
kebijakan
redistribusi
HPH
tampaknya
dibuat
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
20
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
terburu-buru, sekedar untuk memenuhi
derasnya tuntutan masyarakat yang selalu
ingin serba instant, sehingga redistribusi
lahan hutan dilakukan tanpa menata terlebih
dahulu batas-batas kepemilikan lahan di
lapangan. Akibatnya, batas konsesi hutan
menjadi semrawut, sistem pengaturan hasil
hutan lestaripun menjadi kacau, sehingga
mendorong hutan menjadi kawasan bebas
akses (open access property) yang boleh
dirambah dan dijarah siapapun juga.
Sementara, koperasi dan pengusaha kecil
yang diharapkan mengambil alih peran
pengelolaan hutan ternyata kedodoran dari
sisi penguasaan teknis, sumber daya
manusia, dan modal, karena mereka belum
dipersiapkan secara matang.
Dapat
dimengerti, apabila jual beli saham dan
kongkalikong antara koperasi dan kontraktor
logging tak terelakkan. Padahal, mayoritas
kontraktor logging itu tak lain adalah jelmaan
pengusaha besar, sang pelaku monopoli
bisnis kehutanan juga.
Oleh karena itu, prioritas pertama yang
perlu
segera
dibenahi
oleh
Menteri
Kehutanan saat ini adalah menata (kembali)
property right atas hutan yang dapat
diverifikasi di lapangan. Membiarkan hutan
menjadi open akses akan mendorong
maraknya praktik illegal logging.
2. Menegakkan Aturan dan Membangun
(kembali) Kontrak Sosial
Penataan (kembali) batas konsesi lahan
hutan harus dilakukan secara simultan
dengan pembenahan regulasi. Namun,
langkah pembenahan regulasi di era otonomi
daerah sekarang ini bukanlah hal yang
mudah.
Dalam tataran implementasi,
sejumlah regulasi sektor kehutanan yang
(dianggap) tidak sesuai dengan aspirasi
daerah, seperti: PP Nomor 34
tahun
2002 tentang Tata Hutan dan SK Menhut,
Nomor
541/2002
yang
menganulir
kewenangan Bupati mengeluarkan ijin
konsesi tebang 100 hektar yang dikenal
dengan nama IPHH (Ijin Pemanfaatan Hasil
Hutan) mendapatkan tantangan hebat di
berbagai daerah. Pertarungan pusat dan
daerah terasa semakin menajam, melihat
kenyataan telah dikeluarkannya berbagai
Peraturan Daerah (Perda) menggantikan
Peraturan Pusat (Perpu) yang tidak sesuai
dengan selera daerah. Peraturan yang
tumpang tindih harus segera ditertibkan untuk
menjamin kepastian hukum dan kenyamanan
iklim berusaha.
Sebuah tugas yang tidak
ringan karena saat ini paling tidak 69% dari
340 Perda yang menyangkut retribusi
disinyalir
tidak
sesuai
atau
bahkan
bertentangan dengan peraturan diatasnya
(Kompas, 6/1/2003).
Seraya membenahi masalah property right
lahan hutan dan mengatur (kembali) berbagai
regulasi yang tumpang tindih, perlu upaya
yang serius untuk merebut hati masyarakat
dengan melibatkan partisipasi aktif mereka
bersama-sama
mengelola
hutan
(co-management)
secara
(lebih)
bertanggungjawab.
Hilangnya
saling
kepercayaan (trust) dan kebekuan hubungan
antara pemerintah dan masyarakat sekitar
hutan perlu segera dicairkan. Setelah itu,
perlu diupayakan (kembali) kontrak sosial
baru yang lebih adil, transparan dan
bertanggungjawab
dalam
menjaga
kelestarian sumberdaya hutan maupun yang
menyangkut alokasi pembagian manfaat hasil
hutan.
Jika pembenahan property right, kepastian
hukum, dan pemenuhan rasa keadilan
masyarakat dalam pengelolaan hutan dapat
diwujudkan, maka dapat dipastikan bahwa
komitmen pemerintah mengatasi illegal
logging bukan sekedar retorika kosong.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
21
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
NASIONAL
Wakil Rakyat dan Masa Depan Politik Perikanan
Arif Satria
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB;
Mahasiswa Program Doktor Kagoshima University
arifsatria@ipb.ac.id
Tanggal 1 Oktober 2004 yang lalu adalah hari
bersejarah. Bukan saja karena hari itu adalah
Hari Kesaktian Pancasila, tetapi juga hari
pelantikan anggota DPR hasil Pemilu Legislatif
2004. Tampilnya wakil rakyat yang baru dilantik
ini mengingatkan sebuah pengalaman kecil di
Jepang. Ketika mengunjungi koperasi nelayan
di Satta Miseki, sebuah kota kecil (chou) di
Jepang, ada fenomena menarik. Di dinding
ruang pertemuan, terpampang sebuah buah
foto besar. Ketika ditanya siapa dia, para
nelayan dengan penuh bangga menjawab
bahwa dialah wakil rakyat yang dipilih nelayan.
Bukan foto walikota, gubernur, atau presiden
yang terpampang, melainkan foto wakil rakyat.
Wakil rakyat begitu pentingnya bagi nelayan.
Mereka lah tumpuan nasib nelayan Jepang.
Sehingga, pemilu bagi nelayan Jepang
bukanlah untuk sekedar larut dalam mobilisasi
massa,
melainkan
momen
untuk
mempertaruhkan masa depannya. Karena itu
pulalah nelayan sungguh-sungguh dalam
memilih. Begitu pula sebaliknya, sang wakil
rakyat sungguh-sungguh memperjuangkan
kepentingan nelayan. Lebih-lebih saat ini
gempuran melalui opini bahwa sebaiknya
subsidi untuk nelayan dikurangi dengan alasan
efisiensi, cukup gencar. Interaksi nelayan dan
wakil rakyat seperti itu terjadi karena sudah ada
kontrak sosial. Trust antara nelayan dan wakil
rakyat telah melekat.
Namun, ikatan ini ternyata lebih dari sekedar
ikatan
instrumental,
yang
serba
memperhitungkan kepentingan kedua belah
pihak. Ta pi, juga ikatan moral yang bersumber
pada konstruksi sosial mereka tentang makna
laut. Ada kesadaran bersama bahwa makna
laut tidaklah sekedar fisik, tapi juga budaya.
Identitas sebagai bangsa bahari terus ingin
dipertahankan. Contoh kecil, adanya kolam
renang
di
setiap
sekolah
sebenarnya
merupakan bentuk kompensasi atas hilangnya
sebagian wilayah pantai akibat reklamasi.
Artinya, tetap ada tuntutan budaya bahwa
kemampuan berenang harus dimiliki setiap
warga. Berenang adalah simbol kultur bahari.
Tidak heran jika anak SD untuk mendapatkan
sertifikat renang harus mampu menyeberang
pulau. Mengagumkan saat menyaksikan
keberanian
mereka
bersanding
dengan
lumba-lumba saat menyeberang pulau. Belum
lagi,
devolusi
pengelolaan
sumberdaya
perikanan kepada nelayan melalui koperasi.
Koperasi nelayan memiliki otoritas yang sangat
besar dalam mengurus perikanan lokal. Sistem
fishery right—yang berasal dari tradisi masa
lalu-- masih terus digunakan karena dianggap
paling cocok dengan kultur masyarakatnya.
Meski, di dunia sistem quota yang berbasis
pasar (market-based) lebih populer. Ini
menggambarkan kuatnya otoritas nelayan di
laut. Dan, politik pun mendukungnya. Jadi,
dukungan politik kepada nelayan merupakan
bagian politik mempertahankan identitas.
Nelayan tidak dilihat sebagai status ekonomi
semata, melainkan status budaya bahwa
nelayan sebagai way of life.
Dukungan politik itu terwujud dengan
ngototnya
Jepang
menciptakan
subsidi
(bantuan kapal, perumahan, beasiswa anak),
sekaligus sebagai daya tarik baru bagi kaum
muda Jepang untuk menjadi nelayan. Ini adalah
respon pemerintah atas makin kecilnya jumlah
nelayan muda. Bayangkan saja, pada tahun
1997, dari jumlah nelayan laki-laki yang
berjumlah 81,6%, nelayan usia muda (15-39
tahun) hanya sebesar 13.3%, nelayan usia
40-59 tahun sebesar 33.8%, dan nelayan tua (di
atas 60 tahun) sebanyak 34%. Jepang khawatir
akan hilangnya identitas bahari, yang salah
satunya ditunjukkan menurunnya eksistensi
nelayan. Dan, ternyata instrumen ekonomi
dalam bentuk politik subsidi belum mampu
mengimbangi derasnya pergeseran budaya
akibat
modernisme.
Modernisme
telah
membuat budaya perkotaan (great culture)
seolah lebih tinggi dari desa (little culture).
Sehingga, kalangan muda Jepang melihat
profesi nelayan identik dengan 3 K (kitanai,
kitsui, kiken) yang artinya kotor, keras, dan
membahayakan (Matsuda, 1998), meski
mereka pun sebenarnya sadar bahwa profesi
nelayan lebih menguntungkan secara ekonomi.
Akibatnya, brain drain-pun terjadi di setiap
wilayah pulau kecil di Jepang. Point pentingnya
adalah bahwa Jepang menyadari bahwa
masalah nelayan itu ada
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
22
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
1. Wakil Rakyat
Bagaimana dengan kita ? Sebenarnya,
secara fisik wilayah kita mirip dengan Jepang,
yakni kepulauan. Secara budaya, meski
sebenarnya relatif mirip, namun karena
interupsi kolonialisasi disertai politik Orde Baru
yang pro-darat, lambat laun budaya bahari
luntur. Simbol-simbol budaya seperti institusi
lokal di sekitar pesisir pudar. Hak-hak atas
sumber-sumber agraria di laut tercerabut.
Nelayan pun menjadi tamu di lautnya sendiri.
Dan,
pada
gilirannya
kemiskinan
tak
terhindarkan lagi. Jadi, pergeseran orientasi
budaya ke daratan telah mempengaruhi proses
politik yang akhirnya meminggirkan sektor
kelautan dan perikanan (KP). Namun,
konstruksi sosial tentang makna laut berubah
ketika Gus Dur menjadi Presiden. Laut
dikembalikan fungsinya secara budaya, ekologi,
dan ekonomi. Dan, DKP (Dep. Kelautan dan
Perikanan) pun dibentuk. Ini titik penting sejarah
politik kelautan kita. Namun demikian, nelayan
tetap dalam posisi the poor of the poorest.
Artinya, keyakinan terhadap laut sebagai masa
depan bangsa belum diiringi dengan totalitas
kebijakan intersektoral yang pro-nelayan.
Sebagai kelompok kepentingan (interest
group), nelayan masih belum diperhitungkan.
Juga, persoalannya adalah meski state
(baca: pemerintah) mulai mengakui eksistensi
sektor KP, masyarakat politik (political society)
belum
sepenuhnya
mendukung.
Kasus
penggusuran nelayan yang tanpa perlawanan
dan advokasi dari kalangan politisi atau wakil
rakyat merupakan buktinya. Ini bukti bahwa baik
ikatan instrumental maupun moral antara
nelayan dengan wakil rakyat belum terjalin.
Pemilu masih berupa mobilisasi massa. Dan,
hanya ikatan primordial yang menjadi dasar
ikatan nelayan dengan partai politik, khususnya
ikatan ideologis (agamis atau nasionalis), yang
ternyata tak berdampak signifikan dalam
memperjuangkan nasib nelayan. Rasionalitas
politik nelayan belum menemukan bentuknya.
Padahal rasionalitas ini merupakan basis bagi
ikatan instrumental. Juga, kesamaan makna
(shared meaning) tentang laut antara nelayan
dan masyarakat politik belum terbangun.
Padahal ini dasar kekuatan ikatan moral.
Visi kebaharian wakil rakyat saat ini memang
sangat minim. Sektor KP masih dimaknai hanya
sebagai sektor ekonomi dalam arti yang sangat
sempit. Yakni, sektor yang harus memberikan
sumbangan PNBP (Pendapatan Negara Bukan
Pajak). Mereka menuntut bahwa PNBP yang
dihasilkan Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP)
harus
sama
dengan
anggaran
pembangunan yang dialokasikan DPR. Saat ini
DKP baru menyetor Rp 300 milyar sebagai
PNBP, sementara APBN sekitar Rp 2 triliun.
Institusi DKP hanya dianggap sebagai mesin
uang yang harus menghasilkan uang untuk
negara. Mereka tak pernah memikirkan efek
pengganda dari pembangunan KP, seperti
meluasnya lapangan kerja, meningkatnya
ekspor, berkembangnya kultur bahari, dan lain
sebagainya. Kondisi wakil rakyat yang seperti
itu sangat mengancam eksistensi sektor KP,
dan pada gilirannya juga mengancam
kelangsungan hidup nelayan.
2. Agenda
Bagaimana pun dukungan politik untuk
kemajuan sector KP serta peningkatan
kesejahteraan nelayan sangatlah mutlak. Kita
belum tahu persis bagaimana komitmen politik
wakil rakyat baru kita terhadap sector KP.
Namun demikian, meski Pemilu Legislatif lalu
tidak disertai dengan kontrak politik antara
nelayan dengan wakil rakyat, ada sejumlah
agenda yang masih bisa dilakukan guna
meningkatkan posisi politik nelayan pasca
bekerjanya
anggota
dewan
ini.
Yakni,
menciptakan ruang komunikasi dengan wakil
rakyat untuk menyamakan persepsi tentang
makna laut yang tidak semata berdimensi
ekonomi, tetapi juga ekologi, sosial budaya dan
politik. Disinilah peran civil society (pers, LSM,
akademisi, kaum profesional) penting dalam
membangun
wacana
(discourse)
dan
kesadaran bersama tentang laut. Sehingga,
tercipta ikatan instrumental dan moral antara
wakil rakyat dengan masyarakat perikanan, dan
diharapkan wakil rakyat berjuang mati-matian
untuk memperjuangkan kepentingan nelayan
dan sektor KP. Tugasnya adalah membuat
kepentingan kesejahteraan nelayan menjadi
kepentingan bangsa. Sehingga, citra nelayan
sebagai the poorest of the poors dapat segera
berakhir. Juga, perlu dorongan dan tekanan
kepada dewan untuk dapat melakukan advokasi
atas berbagai kasus yang menimpa nelayan.
Kasus penggusuran dan penambangan yang
merugikan nelayan merupakan kasus aktual
yang selama ini masih absen dari agenda wakil
rakyat itu. Namun, semoga wakil yang baru
dilantik ini memiliki nyali lebih untuk melakukan
perubahan-perubahan yang pro-nelayan dan
sektor KP.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
23
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
NASIONAL
Masa Depan Nelayan Pasca UU Perikanan Baru
Sudirman Saad
Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Departemen Kelautan dan Perikanan
Seminggu sebelum terpilihnya SBY-Kalla
sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI,
DPR justru membuat sejarah melalui
penetapan UU Perikanan Baru. UU ini lahir
melalui hak inisiatif DPR dan memerlukan
waktu lebih dari setahun untuk konsultasi
publik serta pembahasan dengan Pemerintah
sebelum diputuskan secara bulat pada 13
September 2004. Dari sisi proses produksi
dan substansi UU, jelas mengindikasikan
sebuah prestasi kerja DPR sekaligus
menunjukkan sinergitasnya yang tinggi
dengan
Pemerintah,
dalam
hal
ini
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
***
Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI),
LSM, dan kalangan Perguruan Tinggi.
Pendek kata, proses produksi UU Perikanan
Baru berjalan secara demokratis, yang
ditandai dengan partisipasi dan akhirnya juga
dukungan dari para pemangku kepentingan.
Proses produksi UU Perikanan Baru,
secara formal, berawal ketika sejumlah
anggota DPR mengajukan penggunaan hak
inisiatif,
yang
kemudian
memperoleh
dukungan luas, dan akhirnya disetujui
penggunaan hak inisiatif DPR untuk
menggolkan rencana mengganti UU No. 9
Tahun 1985 tentang Perikanan. Menurut para
penginisiasi, UU Perikanan Lama belum
menampung semua aspek pengelolaan
sumberdaya ikan serta kurang mampu
mengantisipasi perkembangan hukum dan
teknologi mutakhir.
Perikanan
budidaya
mendapatkan
perhatian luas dalam UU Perikanan Baru. Hal
ini sejalan dengan gagasan dan kebijakan Dr.
Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan
Perikanan, yang akan menjadikan perikanan
budidaya sebagai pilar utama sistem produksi
perikanan nasional seraya mengendalikan
perikanan
tangkap
yang
tingkat
produksinya tinggal menyisakan potensi 1,5
juta ton per tahun. Di masa depan sistem
produksi perikanan nasional memang harus
didorong sedemikian rupa sehingga pilar
produksinya bergeser dari perikanan tangkap
ke perikanan budidaya, mengingat negeri kita
memiliki wilayah pesisir yang potensial untuk
lahan budidaya.
Pada sisi lain, DKP sesungguhnya juga
tengah mengambil ancang-ancang untuk
melakukan revisi UU No. 9 Tahun 1985.
Berbagai kajian, bahkan beberapa di
antaranya
memperoleh
dukungan
internasional, telah dilakukan. Segenap hasil
kajian memberi rekomendasi agar dilakukan
revisi UU Perikanan, antara lain, karena
berbagai
perkembangan
kaidah-kaidah
internasionalmisalnya Code of Conduct for
Responsible Fisheries (FAO, 1995)belum
terakomodasi dalam UU tersebut. Laksana
kapal ketemu samudera, begitulah hak
inisiatif DPR bersinergi dengan kebijakan
makro DKP.
Dalam perkembangannya, DPR juga
mengundang
partisipasi
stakeholders
(pemangku kepentingan) perikanan, seperti
Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN),
Sebagai konsekuensi proses produksi
yang demokratis, maka berbagai kepentingan
harus diakomodasi. Karena itu, tidak
mengherankan apabila UU Perikanan Baru
mengandung 17 bab dan 111 pasal.
Beberapa substansi baru perlu dielaborasi
sebelum kita fokus pada masa depan nelayan
pasca UU Perikanan Baru.
Namun demikian, dalam UU Perikanan
Baru prinsip kehati-hatian sangat menonjol,
yang ditandai dengan kontrol yang ketat dari
Pemerintah
terhadap
peredaran
dan
pemeliharaan ikan, terutama yang potensial
membahayakan
sumberdaya
ikan,
lingkungan,
dan
kesehatan
manusia.
Pemerintah juga akan mengatur tata guna
lahan dan air serta pemanfaatan plasma
nutfah dalam rangka pelestarian ekosistem
dan pemuliaan sumberdaya ikan.
Substansi lain yang tergolong baru adalah
pembentukan pengadilan perikanan. Dalam
UU Perikanan Baru diatur pembentukan
pengadilan perikananberada di lingkungan
peradilan
umumyang
berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus tindak
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
24
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
pidana perikanan. Sebagai langkah awal,
paling lambat dua tahun dari sejak berlakunya
UU ini, akan dibentuk lima pengadilan
perikanan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara,
Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.
Tentu saja kita boleh berharap bahwa
melalui pengadilan perikanan, kerugian
negara yang mencapai 2-4 milyar dollar per
tahun akibat praktik ilegal fishing dapat
ditekan secara signifikan. Demikian pula
kapal-kapal sitaan dapat diterima nelayan
dalam keadaan layak, karena proses
peradilannya akan berjalan cepat. Harapan
ini hanya mungkin terwujud manakala aparat
penyidik, penuntut, dan hakim mampu
bekerja secara profesional sebagaimana
diatur dalam UU Perikanan Baru.
Sebagaimana diketahui secara luas,
komunitas nelayan yang berjumlah kira-kira
empat juta rumah tangga, hingga kini masih
tergolong miskin. Indikasinya, pendapatan
per kapita per bulan mereka masih sekitar Rp
300.000 sampai Rp 400.000, tingkat
pendidikan rata-rata sekolah dasar, dan
pemukiman yang kumuh. Akar kemiskinan
nelayan teridentifikasi, antara lain, akses
permodalan yang terbatas dan belum
tumbuhnya
kultur
kewirausahaan
(enterprenuership).
Pertumbuhan
kultur
kewirausahaan berkaitan dengan tingkat
pendidikan,
baik
manajemen
maupun
teknologi.
UU Perikanan Baru membersitkan harapan
bagi
nelayan.
Di
bawah
Bab
X
Pemberdayaan
Nelayan
Kecil
dan
Pembudidaya-Ikan Kecil, Pemerintah dituntut
memberdayakan nelayan dan pembudidaya
ikan melalui penyediaan skim kredit, baik
untuk
modal
usaha
maupun
biaya
operasional, dengan cara yang mudah dan
bunga pinjaman yang rendah. Pemerintah
juga menyediakan dan mengusahakan dana
untuk
memberdayakan
nelayan
dan
pembudidaya ikan, baik yang bersumber dari
dalam negeri maupun sumber luar negeri.
Untuk peningkatan kualitas SDM nelayan
dan
pembudidaya
ikan,
Pemerintah
menyelenggarakan pendidikan, pelatihan,
dan
penyuluhan
guna
meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan di bidang
penangkapan, pembudidayaan, pengolahan,
dan pemasaran ikan. Pemerintah juga akan
mendorong
korporatisasi
nelayan
dan
pembudidaya
ikan
melalui
penumbuhkembangan kelompok usaha dan
koperasi.
Nelayan kecil, menurut UU Perikanan Baru,
diberikan keleluasaan untuk melakukan
penangkapan ikan di seluruh wilayah
pengelolaan perikanan Indonesia. Namun
untuk
kepentingan
statistik
dan
pemberdayaan,
nelayan
kecil
harus
mendaftarkan diri, usaha, dan kegiatannya
kepada instansi perikanan setempat, tanpa
dikenakan biaya. Nelayan kecil juga
dibebaskan dari kewajiban membayar
pungutan perikanan.
UU juga mendorong masyarakat agar ikut
berpartisipasi dalam pemberdayaan nelayan
dan pembudidaya ikan. Demikian pula
pengusaha perikanan harus mendorong
kemitraan usaha yang saling menguntungkan
dengan kelompok nelayan kecil.
Secara normatif, UU Perikanan Baru
sudah
cukup
komprehensif
mengatur
pemberdayaan
masyarakat
dan
membersitkan harapan bagi nelayan. Akan
tetapi diperlukan kerja keras pemerintahan
baru untuk menjelmakannya ke dalam
realitas sehari-hari. Keterbatasan akses
permodalan
akan
dipecahkan
melaui
penyediaan skim kredit mudah dan murah.
Hal ini bukan persoalan mudah, karena
Pemerintah tidak lagi memiliki otoritas
mendikte Bank Indonesia untuk menyediakan
skim kredit program seperti pada masa lalu,
sementara kemampuan finansial Pemerintah
kian terbatas.
Kalaupun Pemerintah berhasil meyakinkan
DPR untuk menyediakan dana APBN sebagai
alokasi skim kredit untuk nelayan kecil,
hendaknya itu dipahami sebagai kebijakan
afirmatif yang bersifat sementara. Pemerintah
perlu mendorong dan memfasilitasi berdirinya
lembaga keuangan mikro (LKM) yang mampu
menjalankan fungsi intermediasi secara
permanen di wilayah pesisir. Fungsi ini
sangat strategis, karena LKM tersebut secara
perlahan akan menggantikan peran rentenir
yang selama ini dirasakan sangat eksploitatif
terhadap nelayan kecil.
Upaya korporatisasi nelayan juga harus
dilaksanakan secara hati-hati agar tidak
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
25
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
mengulang kegagalan masa lalu, ketika
pemerintah
mensponsori
berdirinya
koperasi-koperasi unit desa. Korporatisasi
harus mengutamakan inisiatif masyarakat
dengan mobilisasi dana juga berasal dari
masyarakat.
Langkah yang sedang dijalankan DKP
melalu program Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat
Pesisir (PEMP) yang
memfasilitasi berdirinya LKM Swamitra Mina
(bekejasama dengan Bank Bukopin) dan
Bank
Perkreditan
Rakyat
Pesisir
(bekerjasama
dengan PNM) merupakan
langkah awal yang perlu terus dikembangkan.
Apabila LKM Swamitra Mina dan BPR Pesisir
dapat menjalankan fungsi intermediasi
secara profesional dan berkelanjutan, maka
mobilisasi dana masyarakat dan perbankan
dapat berjalan efektif untuk kemudian
disalurkan kembali kepada masyarakat
pesisir, terutama nelayan. Semoga!
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
26
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
NASIONAL
Mencari Akar Masalah Beras :
Produksi Beras Dalam Negeri, Cukup!
Winarso Drajad Widodo
Dosen Fakultas Pertanian IPB
Awal tahun 2002 yang lalu terjadi
gonjang-ganjing perberasan akibat kenaikan
harga beras di Ibukota. Permasalahan ini
kemudian dicoba diatasi dengan Operasi
Pasar Murah (OPM) oleh Bulog ex beras
impor asal Vietnam . Dalam gonjang-ganjing
itu, Ketua Umum HKTI sering lantang
memberikan opini dan seruan kepada
pemerintah.
Gejolak
perberasan
ini
sementara mereda tertutup oleh berita
bencana banjir yang melanda Jakart a di akhir
Januari 2002.
Meskipun sementara berakhir, ternyata
masalah perberasan nasional masih menjadi
perhatian Komisi III DPR RI. Sesuatu yang
menggembirakan!
Pada hari Senin, 4
Pebruari 2002, Komisi III DPR RI
mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum
(RDPU) dengan HKTI, yang kebetulan
penulis diajak oleh salah seorang ketua HKTI,
Prof. Sri Setyati Harjadi, ikut nonton. Catatan
pandangan mata dalam RDPU itu, penulis
jadikan bahan tulisan yang disampaikan
dalam 2 bagian ini.
Ada banyak acuan yang diberikan oleh
Komisi III DPR RI dalam RDPU dengan HKTI
waktu itu, yang bila diringkaskan akan
menjadi ‘permintaan klarifikasi’ DPR atas
pendapat HKTI dalam masalah perberasan
awal tahun 2002 itu dan tentang kebijakan
pangan atau pertanian dalam arti luas untuk
masa mendatang. Adalah pantas, DPR
meminta pendapat atau masukan dari HKTI
yang memang berkompeten dalam bidang
pertanian. Tetapi menjadi kurang pada
tempatnya bila pada akhirnya – tercermin dari
tanggapan sementara anggota komisi –
kalangan DPR justru menganjurkan atau
meminta HKTI untuk secara aktif melahirkan
kebijakan-kebijakan dalam pembangunan
pertanian
nasional.
Karena
kebijakan-kebijakan
itu
sepantasnya
dihasilkan oleh Komisi III DPR RI.
Apalagi pada kesempatan itu HKTI
diundang oleh Komisi III untuk memberikan
pokok-pokok pemikiran dan klarifikasi atas
pemikiran bahwa luasan lahan efektif untuk
tanaman pangan (padi) adalah 10 hektar.
Untuk itu HKTI telah memenuhinya bahkan
mungkin melebihi harapan. Dalam RPDU itu
Ketua Umum HKTI, Ir. Siswono Yudo Husodo,
menyampaikan
satu
makalah
dan
serangkaian slide-digital yang juga tersedia
printout-nya. Pada kesimpulannya, HKTI
berpendapat bahwa kenaikan harga beras
yang terjadi bulan Januari 2002 itu bukanlah
disebabkan
oleh
kelangkaan
beras,
melainkan oleh tindakan para pelaku
‘perdagangan’ beras. Benarkah demikian?
Baiklah
kita
tinjau
bersama
dengan
menggunakan data yang tersedia dalam
makalah HKTI dan data yang pernah dimuat
dalam harian Kompas 28 Januari 2002, dalam
artikel ulasan yang berjudul, “Lonjakan Harga
Beras Tanpa Diketahui Penyebabnya” (lihat
tabel).
Produksi beras dalam negeri selama 5
tahun (periode 1997 – 2001) rata-rata adalah
31,48 juta ton. Bila pertumbuhan penduduk
setahun 1% - berdasarkan hitungan jumlah
penduduk tahun 1990, 180 juta jiwa dan tahun
2000, 210 juta jiwa – maka jumlah penduduk
rata-rata selama 5 tahun itu adalah 206,20
juta jiwa. Dengan tingkat konsumsi beras 133
kg/kapita/tahun (data rata-rata dari FAO yang
dicatat oleh KU HKTI), maka setiap tahunnya
produksi beras nasional akan berlebih 4,05
juta ton per tahun dan bila dijumlahkan
selama 5 tahun akan berlebih 20,26 juta ton.
Fakta yang sangat mengherankan adalah
impor pada tahun 1998 yang mencapai
hampir 6 juta ton. Padahal kelebihan produksi
tahun sebelumnya (1997) justru paling tinggi,
5.63 juta ton. Berarti pada tahun 1998 itu
impor beras Indonesia mencapai 102,4%
kelebihan produksi tahun 1997.
Memang pada tahun 1998 itulah terjadi
perubahan kebijakan perberasan yang
fantastis seperti yang dicatat oleh HKTI, yaitu:
1) liberalisasi pasar beras dalam negeri 2)
pencabutan State Trading Enterprice (S TE)
Bulog, 3) pembebasan bea masuk beras
impor, 4) pencabutan subsidi sarana produksi
terutama pupuk dan benih dan 5) liberalisasi
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
27
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
tataniaga pupuk. Kesemuanya berdampak
menekan petani padi, dan memudahkan
impor beras. Dampak kepada petani terlihat
pada penurunan produksi tahun 1998 sekitar
4,9% dari produksi tahun 1997.
Jadi mengapa beras yang sebenarnya
surplus dapat menjadi langka, sehingga impor
beras
seolah-olah
menjadi
‘obat’
mujarabnya? Tetap menjadi teka-teki. Hanya
saja sangat beralasan jika kelangkaan beras
awal tahun 2002 disinyalir sebagai akibat ulah
pelaku pemasaran beras.
Dengan adanya berita kenaikan harga
BBM, kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan
berita kenaikan harga beras dunia, maka
pihak-pihak yang menguasai beras menahan
beras simpanannya untuk tidak dipasarkan,
menunggu kenaikan harga beras menjadi
kenyataan atau menjadi berita hangat. Kalau
itu yang tejadi, berarti perlu penertiban yang
menyeluruh dalam tataniaga beras, agar
tercipta sistem tataniaga yang dapat
menguntungkan petani.
Itu bila ditinjau dari produksi beras secara
material/fisik. Bila ditinjau dari nilai ekonomi
beras – dengan hitung-hitungan kasar –
ternyata memberikan gambaran bahwa beras
adalah komoditas strategis, tetapi bernasib
tragis, terutama bagi petani sebagai
produsennya.
Harkat
beras
sebagai
komoditas yang strategis, bahkan ‘sakral’
menurut Prof. Sjamsoe’oed Sadjad sangat
rendah.
Dalam
RDPU
pihak
HKTI
menghadirkan seorang Pengurus Cabangnya
yang berprofesi sebagai Penangkar Benih
padi di Karawang, Pak Surya. Dia
mengungkapkan bahwa dengan kebijakan
harga dasar gabah (HDG) yang berlaku saat
itu, petani padi tetap terpuruk nasibnya.
Apalagi panenan tahun sebelumnya (2001)
harga Gabah Kering Petani (GKP) hanya
mencapai Rp 950/kg. Dengan produktivitas
4.8 ton/ha, petani di Karawang mengalami
kerugian sekitar Rp 1.700.000/ha. Karena
biaya produksi (dengan sewa tanah) Rp 5.5
juta, sementara biaya
panen
(bawon)
1/6 hasil, yaitu 800 kg/ha, yang berarti nilai
panenan petani hanya Rp 380.000.000/ha.
Bila biaya sewa tanah sebesar Rp
1.500.000/ha dikeluarkan, petani tetap merugi
Rp 200.000/ha. Tragis, usaha selama 4 bulan
ternyata
merugi!
Itu
pun
belum
memperhitungkan tenaga kerja keluarga dan
uang makan/rokok buruh tani.
Lantas
berapa
harga
GKP
yang
menguntungkan petani? Untuk mencapai titik
impas harga GKP dengan produksi bersih
(dikurangi bawon) 4.0 ton/ha adalah Rp
1375/kg (sewa lahan diperhitungkan). Bila
diperhitungkan dengan kebijakan harga yang
berlaku waktu itu perbandingan harga beras
terhadap GKP 2470/1095 = 2,26, maka harga
beras pada titik impas petani adalah Rp
3.101/kg.
Bila dianggap petani menanam padi
dengan menyewa lahan 1 ha akan
ditingkatkan pendapatannya menjadi sedikit
diatas
UMP
DKI
tahun
2002,
Rp
600.000/bulan dan petani dapat panen 2 kali
setahun (sekali panen memerlukan waktu
tanam 4 bulan), maka petani harus
menghasilkan Rp 7.200.000 dalam 2 kali
tanam dari 1 ha lahan sewaannya itu. Berarti
harga GKP yang diterima petani harus Rp
1.375 + Rp 900 = Rp 2.275/kg. Harga beras
akan menjadi Rp 5.130/kg. Mahalkah beras
itu?
Bila tingkat konsumsi beras tetap 133
kg/kapita/tahun, maka setiap penduduk
Indonesia
hanya
membelanjakan
Rp
1.870/hari untuk membeli beras. Tidak
sampai separuh harga sebungkus rokok
Sampoerna Hijau, bukan? Tapi – bagi petani
padi – asyiknya rame-rame!
Berhubung taraf hidup layak adalah Hak
Azasi Manusia (HAM), termasuk juga petani
padi di dalamnya, maka mengusahakan
penghidupan layak bagi petani padi
barangkali adalah Kewajiban Azasi Manusia
(WAM) kita semua yang menjadi konsumen
beras di negeri ini. Negeri Agraris yang
menjadi Importir Beras Terbesar di dunia!
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
28
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
Neraca produksi beras dalam negeri tahun 1997 – 2001
Tahun
Penduduk
(juta jiwa)
1997
1998
1999
2000
2001
Rata-rata
199
203
206
210
213
206,20
Konsumsi
Produksi beras
beras*)
(juta ton)
(juta ton)
32,10
26,47
30,54
27,00
31,12
27,40
32,35
27,93
31,28
28,33
31,48
27,42
Kelebihan
(juta ton)**)
Impor
(juta ton)
5,63
3,54
3,72
4,42
2,95
4,05
0,41
5,77
4,18
1,51
1,40
2,65
(Sumber: Makalah HKTI dalam RDPU Komisi III DPR RI dengan HKTI, 4 Pebruari 2002; dan Kompas 28 Januari 2002;
diolah)
*) Asumsi: konsumsi beras: 133 kg/kapita/tahun
**) Kelebihan = Produksi – Konsumsi
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
29
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
NASIONAL
Menanti Pemimpin Sejati
Brian Yuliarto
Mahasiswa Doktor Tokyo Univeristy dan Ketua PIP PKS Jepang
E-mail: brian@keadilan-jepang.org
Bulan Oktober 2004 yang lalu bangsa
Indonesia melangsungkan hajatan besar.
Sebuah perjalanan panjang proses demokrasi
melalui pemilu selama 3 kali berutut turut telah
berakhir, dan fase berikutnya dari perjalanan
bangsa ini diawali dengan pelantikan anggota
perwakilan rakyat baik di daerah maupun pusat,
serta pelantikan Presiden dan Wakil Presiden.
Hajatan ini pantas untuk dikatakan besar
mengingat sekolompok orang yang sudah dan
akan dilantik tersebut pada kenyataannya akan
membawa label wakil rakyat untuk membuat
dan menjalankan kebijakan kebijakan yang
menentukan nasib lebih dari 200 juta jiwa
penduduk Indonesia. Suka tidak suka,
merekalah yang kemudian akan menorehkan
tinta sejarah di republik kita. Meskipun torehan
itu masih tanda tanya besar apakah akan
menjadi tinta emas yang senantiasa dikenang
atau tinta hitam yang senantiasa diratapi oleh
200 juta rakyat. Mereka-mereka yang akan
berlabelkan elit politik inilah yang juga akan
mendapat sebutan sebagai pimpinan bangsa
Indonesia, meskipun lagi-lagi masih tanda
besar apakah mereka mampu menjadi
pemimpin yang sejati, atau justru menjadi
pemimpin yang menghianati amanat rakyat.
Memang kita sempat dibuat kecewa dengan
berbagai adegan-adegan tidak bermutu dari
para calon pemimpin tersebut, mulai ijazah
palsu, perebutan urutan no caleg, money
politics sampai pada berbagai adegan recehan
lain untuk level elit politik bangsa. Data yang
dikeluarkan Panwaslu bahkan menyebutkan
terdapat 274 kasus anggota legilatif terpilih
yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari total
sekitar 41.000 wakil rakyat yang terpilih, mulai
DPD, DPRD 1 dan 2, serta DPR RI, juga
ternyata baru 7903 orang yang melaporkan
kekayaannya pada KPK sebagai kewajiban
menjadi para `elit` politik. Belum lagi beberapa
anggota DPR RI yang harus menjadi tersangka
kasus korupsi, yang membuat harapan akan
pemberantasan korupsi menjadi melayang. Ada
lagi kasus ketua DPRD DKI Jakarta yang belum
bekerja sudah meminta kenaikan gaji menjadi
200% persen.
Demikian pula dengan sang maestronya
jabatan elit politik di Indonesia, Presiden RI.
Meskipun jabatan presiden sebenarnya setara
dengan posisi lembaga tinggi Negara lainnya
sejenis DPR, MPR, MA, dan sebagainya, tidak
dapat dipungkiri jabatan yang kemudian jatuh
ke tangan SBY ini lebih bergengsi dan menarik
banyak kalangan mengingat kewenangannya
yang strategis dalam wilayah eksekutif.
Kemenangan SBY yang dramatis mengingat
pasangan ini diusung oleh PD yang nota bene
pendatang baru, juga tidak terlepas dari pola
pilihan kebanyakan rakyat Indonesia yang lebih
cenderung kepada empati ketimbang pilihan
kritis. Tengok saja berbagai kampanye dan
debat capres dari seluruh Calon Presiden yang
lebih mengedepankan retorika dan simpati
ketimbang muatan pemikiran dan ide-ide
kedepan yang akan diambil jika terpilih sebagai
presiden. Tetapi sekali lagi, itulah hukum
demokrasi. Suara rakyat adalah suara Tuhan.
Ketika pilihan dari ratusan juta rakyat itu sudah
ditentukan, maka itulah keinginan sebagian
besar masyarakat yang harus dijalani oleh
seluruh rakyat. Mungkin SBY boleh berbangga
dengan kemenangannya pada Megawati, tetapi
itu semua hanyalah awal dari penilaian rakyat
apakah benar SBY pemimpin sejati atau justru
sebaliknya.
Meskipun seluruh pernik-pernik prosesi
pergantian kekuasaan ini kadang membuat
miris rakyat kebanyakan, dengan berbagai
bentuk pelecehan atas keadulatan rakyat
melalui berbagai kecurangan dari para wakil
rakyat tersebut, toh sepertinya harapan besar
tetap diberikan ke pundak mereka. Harapan
akan berakhirnya masa-masa penderitaan yang
selalu dibebankan kepada rakyat nampak jelas
tercermin dari besarnya keinginan untuk
berubah dan tingginya animo mereka untuk
berpartisipasi dalam perhelatan pemilu yang
baru saja berakhir. Memang sebagian
masyarakat sudah mengambil jarak dengan
berusaha membuat ketergantungan rakyat
terhadap elit politik menjadi berkurang, tetapi
agaknya peridoe 5 tahun ke depan ini usaha
tersebut masih terlalu cepat untuk diharap
keberhasilannya.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
30
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
Selayaknyalah harapan besar tersebut
dipahami secara baik oleh seluruh komponen
pimpinan bangsa. Rakyat tidak berharap
apapun selain keinginan untuk bersama sama
menuju kehidupan yang adil dan sejahtera.
Seluruh rakyat telah dengan sabar menunaikan
tugasnya untuk berpartisipasi dalam perhelatan
demokrasi ini dan sekarang saatnya para
pemimpin negeri membuktikan bahwa dirinya
memang layak terpilih untuk memimpin rakyat.
Sikap pemimpin sejati yang diharapkan oleh
rakyat antara lain adalah:
1. Berfikir dan Bertindak ilmiah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa kita
selama ini masih dikuasai tipe tipe pemimpin
yang bergerak berdasarkan feeling atau
pemikiran sesaatnya. Sebagian mereka bahkan
terlahir sebagai pemimpin hanya karena
memiliki keturunan bilogis dari kalangan elit
bangsa. Tidak heran jika pertarungan gagasan
di level elit politik termasuk hal yang tidak
mudah kita temui di negeri ini. Para pemimpin
kita saat ini, hampir di semua level lebih
menyukai pertarunagn retorika, pilihan kata,
media dan bahkan pertarungan massa. Lobi
politik
jauh
lebih
penting
ketimbang
mempertajam gagasan yang akan diusung.
Selayaknya kondisi ini mulai berani dirubah
oleh para elit politik yang saat ini relatif baru
(hampir 65% anggota DPR RI adalah
pendatang baru). Meskipun budaya ini
bukanlah hal yg mudah, tapi mereka yang
berani melakukan style politik seperti ini berarti
telah menjadi pelopor era baru politik yang lebih
beradab. Kondisi ini juga berarti menghargai
rakyat yang akan memilihnya dengan tidak
sekedar janji dan simpati, tetapi lebih jauh
mampu
memberikan
gambaran
kepada
masyarakat ke mana arah bangsa ini akan
digerakkan. Dengan pola politik seperti ini maka
rakyat tidak akan salah pilih hanya karena
sosok luar seorang calon pemimpin tetapi
memang seluruh pola pikir yang ada pada
dirinya akan bisa ditangkap. Cukuplah
pembodohan kepada rakyat diakhiri sampai
disini, marilah kita nilai bersama-sama siapa
diantara elit politik yang ada saat ini yang berani
mengambil political style by content, dan tidak
sekedar political style by money and lobby.
2. Memiliki sikap empati dan sensitivitas
terhadap rakyatnya.
Inilah
modal
dasar
yang
penting
bagi
seorang pemimpin sejati. Seorang pemimpin di
level manapun mustahil memahami dengan
baik rakyat yang dipimpinnya ketika mereka
belum merasakan langsung kondisi rakyatnya.
Tidak
mengherankan
bahwa
beberapa
pemimpin besar dunia namanya tetap dikenang
sampai saat ini karena mereka memilih
bersikap seperti rakyat kebanyakan sebagai
bentuk empati dan sensitif terhadap mereka
yang dipimpinnya.
Tengok saja model pemimpin zaman era
pertama Islam Umar bin Khatab yang saat
membuka pintu Yerusalem memilih menaiki
keledai kecil dan dengan pakaian ala kadarnya
membuat posisinya tampak berada di bawah
sang jendral penakluk kota tersebut. Atau
tengok juga pemimpin kharismatik India
Mahatma Gandhi yang menjadi inspirasi
gerakan kemerdekaan di Asia pada era 40-50
an, yang memilih berpakaian hanya selembar
kain gandum karena seperti itulah rakyat
kebanyakan. Atau juga tengok Bapak Koperasi
kita Bung Hatta yang menjadi sangat dikenang
selain karena intelektualitasnya juga karena
kesederhanaan dan kejujurannya. Semua
bentuk empati dan simpatinya itulah yang
membuat mereka menjadi jauh lebih paham
seperti apa rakyat yang dipimpinnya ketimbang
mereka-mereka yang memilih gaya borjuis saat
menjadi elit politik. Cukuplah para elit politik
bangsa saat ini mengingat betul orasi Gandhi di
depan anggota parlemen India saat itu, beliau
mengatakan; That what we said here means
nothing to masses of our country. Here we
make speeches for each other, and those
English liberal magazines that may grant us a
few lines. But the people of India are untouched.
Their politics are confined to bread and salt.
Illiterate they may be, but they are not blind.
They see no reason to give their loyalty to rich
and powerful men who simply to take over the
role of the British in the name of freedom. This
congress tells the world it represents India. Until
we stand in the fields with the millions that toil
each day under the hot sun, we will not
represent India. Nor will we ever be able to
challenge the British as one nation. Empati
menurut Gandhi menjadi ukuran apakah
seseorang bisa menjadi wakil rakyat atau tidak.
3. Mampu berkomunikasi dengan rakyatnya.
Kapasitas ilmiah serta empati dan rasa
sensitivitas yang baik akan mereka yang
dipimpinnya pada akhirnya akan melahirkan
seorang pemimpin yang mampu berkomunikasi
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
31
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
dengan baik kepada rakyatnya. Komunikasi
yang baik kepada rakyatnya bukanlah sekedar
kemampuan retorika yang baik, tetapi juga
kemampaun memilih hal yang akan dilempar
kepada publik serta timing yang tepat dalam
melemparkannya.
Kematangan
seorang
pemimpin
akan
membuatnya
mampu
berkomunikasi yang jauh dari sikap emosional.
Dan yang terpenting dari semua itu adalah sang
pemimpin akhirnya mampu mengambil sebuah
kebijakan yang tepat dalam sebuah kondisi
yang memang dibutuhkan oleh rakyat yang
dipimpinnya.
4. Berani menuangkan gagasannya pada
ruang publik.
Inilah karakter berikutnya yang akan lahir
dari soerang pemimpin ketika dia memiliki
ketiga karakter sebelumnya. Meskipun begitu
realitas yang kita lihat saat ini sangat jauh dari
harapan ini. Perbedaan yang ada dari para elit
politik lebih pada masalah yang tidak
substansial seputar perebutan kursi atau
`rejeki` lainnya yang menyebabkan tidak ada
dialektika ilmiah yang argumentatif yang bisa
dinikmati oleh rakyat. Lihat saja debat presiden
yang baru lewat yang sama sekali tidak
menampilkan adu argumentasi dari masing
masing ide yang ada. Atau lihat saja wacana
yang ada seputar program 100 hari kabinet
Indonesai bersatu. Tidak ada satu pun menteri
dan pejabat lainnya yang berani melempar
ide-ide nya melalui wahana publik. Memang ini
bukan suatu keharusan, tapi dari situ kita bisa
menilai bahwa elit politik kita memang tidak
terbiasa mengajak publik untuk terlibat dalam
pengambilan keputusannya. Karakter otoriter
dalam berfikir masih sangat dominan yang
membuat dirinya sulit bersikap transparan
bahkan untuk sebuah pemikirannya.
atas bisa dimiliki oleh seorang pemimpin maka
namanya akan dikenang melampaui usinya.
Meskipun begitu, karakter terakhir inilah yang
akan
menentukan apakah dirinya akan
dikenang denga harum atau sebaliknya. Bagian
yang tidak kalah penting dari hal ini adalah
kredibilitas moral baru benar-benar akan
menjadi karakter pada diri seseorang manakala
sifat ini telah teruji. Mereka yang duduk di
dewan perwakilan saat ini terlalu dini kalau kita
menyebutnya telah memiliki kredibilitas moral
yang baik ketika memang selama ini belum
pernah menjadi anggota dewan. Demikian pula
jajaran menteri dan lainnya. Cukuplah sejarah
yang akan menilai siapa saja diantara mereka
yang layak menyandang karakter ini.
Itulah berbagai harapan yang saat ini sedang
dinanti-nantikan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Pemimpin sejati semodel Gandhi, Bung Hatta,
Agus Salim, dan lainnya saat ini sedang
ditunggu kehadirannya. Bahkan siapapun yang
berkarakter seperti yang disebutkan di atas,
bukannya tidak mungkin akan lebih dikenang
sebagai pemimpin oleh masyarakat meskipun
mereka bukanlah bagian dari elit politik formal.
Seseorang yang berkarakter pemimpin bangsa
sejati akan mampu menembus sekat-sekat
kursi struktual sebagaimana seorang Gandhi
yang senantiasa dikenang sebagai pemimpin
India meskipun dia bukan presiden India.
Ratusan orang baru saja dilantik sebagai
anggota dewan perwakilan baik di pusat atau
daerah, pemimpim lembaga tinggi negara serta
para menteri. Secara formal, merekalah saat ini
para pemimpin bangsa ini. Tetapi sejarah yang
akan menunjukkan kepada kita siapa diantara
mereka yang memang pemimpin sejati.
Selamat bekerja, kami menanti kiprah anda,
dan jangan khawatir, kami siap untuk tidak
memilih anda 5 tahun lagi jika anda
menghianati amanat rakyat !!
5. Memiliki kredibilitas moral yang teruji.
Inilah kelengkapan akhir dari karakter
pemimpin yang membuat seorang pemimpin
menjadi sempurna. Ketika seluruh karakter di
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
32
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
IPTEK
“Feed Quality for Food Safety”, Kapankah di Indonesia?
Samadi
Staff Pengajar Fakultas Pertanian Prodi Peternakan Universitas Syiah Kuala
Darussalam-Banda Aceh
PhD Student Georg-August University Goettingen – Germany
Email : ssamadi@gwdg.de
Masyarakat Uni Eropa telah menetapkan
tanggal 1 Januari 2006 (berdasarkan regulasi
nomor 1831/2003) merupakan tonggak
pemusnahan berbagai macam antibiotik
dimana selama beberapa dekade belakang
merupakan substans yang kerap digunakan
oleh peternak di berbagai belahan dunia.
Tidak dapat dipungkiri sejak digunakannya
antibiotik
sebagai
senyawa
promotor
pertumbuhan dalam pakan ternak, telah
terjadinya peningkatan pendapatan peternak
berkat
kemampuan
senyawa
tersebut
mengkonversikan nutrisi dalam pakan secara
efisien dan efektif. Namun akhir-akhir ini
penggunaan senyawa antibiotik dalam
ransum ternak telah menjadi perdebatan
sengit oleh para ilmuan akibat efek buruk
yang ditimbulkan tidak hanya bagi ternak
tetapi
juga
bagi
konsumen
yang
mengkonsumsi produk ternak tersebut
melalui residu yang ditinggalkan baik pada
daging, susu maupun telur.
Sebenarnya
pelarangan
penggunaan
antibiotik dalam pakan ternak bukan
merupakan hal yang baru bagi sebagian
negara Eropa. Jauh hari sebelumnya
beberapa negara tertentu telah membatasi
penggunaan zat aditif tersebut dalam pakan
ternak seperti di Swedia tahun 1986,
Denmark tahun 1995, Jerman tahun 1996
dan Swiss tahun 1999. Akan tetapi
pelarangan tersebut
tidak menyeluruh
hanya terbatas pada jenis antibiotik tertentu
misalnya avoparcin (Denmark), vancomycin
(Jerman), spiramycin, tylosin, virginiamycin
dan chinoxalins (Uni Eropa). Hingga kini
hanya tersisa empat antibiotik yang masih
diizinkan penggunaannya dalam ransum
ternak pada masyarakat Eropa yaitu
flavophospholipol, avilamycin, monensin-Na
dan salinomycin-Na.
1. Antibiotik dan Pengaruhnya
Apa
yang
mendasari
pelarangan
penggunaan antibiotik dalam pakan ternak?
Sejak
ilmuan
berkebangsaan
Rusia
Metchnikoff (1908) berhasil mengklasifikasi
jenis mikro-organisma yang terdapat dalam
saluran pencernaan manusia, makin terkuak
lebar peranan penting akan berbagai genera
mikroflora bagi kehidupan makhluk hidup.
Keseimbangan antara bakteri-bakteri yang
menguntungkan dan merugikan dalam
saluran pencernaan sepatutnya menjadi
perhatian lebih demi terciptanya hidup yang
sehat bagi manusia dan produksi yang tinggi
bagi ternak. Keseimbangan populasi bakteri
dalam saluran pencernaan (eubiosis) hanya
dapat diraih apabila komposisi antara bakteri
yang menguntungkan seperti Bifidobacteria
dan Lactobacilli dan yang merugikan seperti
Clostridia setidaknya 85% berbanding 15%.
Dengan komposisi tersebut fungsi “barrier
effect“ mikroflora yang menguntungkan dalam
tubuh makhluk hidup dengan cara mencegah
terbentuknya
koloni
bakteri
phatogen
(colonisation resistence) bisa teroptimalkan.
Ketidakseimbangan populasi antara bakteri
yang
menguntungkan
dan
merugikan
(dysbiosis) berakibat turunnya produksi
ternak.
Salah
satu
cara
memodifikasi
keseimbangan bakteri di dalam saluran
pencernaan adalah dengan pemberian
antibiotik. Antibiotik dipercayakan dapat
menekan
pertumbuhan
bakteri-bakteri
phatogen yang berakibat melambungnya
populasi bakteri menguntungkan dalam
saluran pencernaan. Tingginya mikroflora
menguntungkan tersebut dapat merangsang
terbentuknya senyawa-senyawa antimikrobial,
asam lemak bebas dan zat-zat asam
sehingga terciptanya lingkungan
kurang
nyaman bagi pertumbuhan bakteri phatogen.
Namun
disayangkan
penggunaan
antibiotik berakibat buruk bagi ternak
dikarenakan resistensi ternak terhadap
jenis-jenis mikro-organisme phatogen tertentu.
Hal ini telah terjadi pada peternakan unggas
di North Carolina (Amerika Serikat) akibat
pemberian antibiotik tertentu, ternak resisten
terhadap Enrofloxacin yang berfungsi untuk
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
33
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
membasmi bakteri Escherichia coli. Dibagian
lain residu dari antibiotik akan terbawa dalam
produk-produk ternak seperti daging, telur
dan susu dan akan berbahaya bagi
konsumen yang mengkonsumsinya. Seperti
dilaporkan oleh Rusiana dengan meneliti 80
ekor ayam broiler di Jabotabek menemukan
85% daging ayam broiler dan 37% hati ayam
tercemar residu antibiotik tylosin, penicilin,
oxytetracycline
dan
kanamycin
(www.poultryindonesia.com). Oleh karena itu
berbagai
upaya
telah
dilakukan
bertahun-tahun
untuk
mencari
bahan
tambahan dalam pakan ternak sebagai
pengganti antibiotik yang berbahaya tersebut.
antibiotik yaitu mengatur komposisi mikroflora
dalam saluran pencernaan. Bakteri asam
laktat seperti
Lactobacillus bulgaricus,
Lactobacilus
acidophilus,
Bifidobacteria
thermophilum dan jenis fungi seperti
Saccharomyces
cerevisiae
adalah
contoh-contoh probiotik yang telah diproduksi
secara
komersial.
Lingkungan
menyenangkan untuk pertumbuahan bakteri
menguntungkan (penurunan pH dengan
memproduksi asam laktat) akan tercipta
dengan mensuplai probiotik pada ransum
ternak. Probiotik juga dapat mengurangi
produksi racun dan menurunkan produksi
amonium dalam saluran pencernaan.
2. Bahan Aditif Pengganti Antibiotik
Prebiotik adalah oligosakarida yang tidak
dapat dicerna oleh hewan monogastrik (ayam
dan babi). Senyawa ini digunakan sebagai
substrat untuk merangsang pertumbuhan
bakteri
yang
menguntungkan
seperti
Bifidobacteria dan Lactobacilli. Pemberian 0,1
– 0,5% dalam ransum dapat meningkatkan
bakteri
yang
menguntungkan
dan
menurunkan
populasi
bakteri
yang
merugikan.
Konsep pakan ternak berdasarkan kualitas
semata (kebutuhan energi dan protein ternak)
mulai
ditinjau
ulang
oleh
nutritionist
akhir-akhir ini. Tuntutan konsumen akan
produk ternak yang
sehat, aman dan
terbebas dari residu
berbahaya telah
mengajak ilmuan untuk mencari alternatif
sumber-sumber pakan baru sekaligus zat
aditif yang aman. “Feed quality for food
safety“ merupakan slogan yang acap di
dengungkan dimana-mana pada masyarakat
Eropa termasuk Jerman. Produk pertanian
dan peternakan alami tanpa menggunakan
secuilpun bahan kimia dalam bahasa Jerman
dikenal “okologische produkte”
mulai
mempunyai pasar tersendiri. Konsumen rela
membayar dengan biaya
berlipat demi
mendapat makanan yang sehat, aman dan
terbebas dari residu kimia.
Kerja
keras
ilmuan
dalam
usaha
menemukan zat aditif pengganti antibiotik
telah membuahkan hasil yang tidak begitu
mengecewakan. Beberapa alternatif zat aditif
pengganti antibiotik telah ditawarkan bagi
peternak untuk memicu produksi dan
reproduksi seperti pro- dan prebiotik,
asam-asam
organik,
minyak
esensial
(essential oil) dan berbagai jenis enzim.
Senyawa-senyawa aditif tersebut terbukti
mampu meningkatkan produksi ternak tampa
mempunyai efek samping bagi ternak dan
konsumen yang mengkonsumsinya.
4. Asam-asam Organik
Asam-asam
organik
sebenarnya
diproduksi secara otomatis dalam tubuh
ternak melalui proses fermentasi selanjutnya
digunakan
sebagai
sumber
energi.
Perkembangan biotekhnologi yang begitu
pesat mengilhami industri-industri pakan
ternak untuk memproduksi asam-asam
organik dalam bentuk komersial seperti asam
asetat, propionat laktat dan citrat yang
dikemas dalam bentuk cair. Penambahan
asam-asam organik dalam pakan ternak
dapat menigkatkan produktifitas ternak.
Peningkatan performance ternak terjadi
melalui penciptaan lingkungan yang serasi
bagi
perkembangan
mikroflora
menguntungkan. Dengan lingkungan yang
menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri
tertentu (melalui penurunan keasaman) dapat
mengaktifkan serta merangsang produksi
enzim-enzim endegenous dan berakibat
meningkatnya
absorbsi
nutrisi
dan
konsumsi
pakan
untuk
pertumbuhan,
produksi dan reproduksi.
3. Pro- dan Prebiotik
5. Minyak Esensial (Essential oil)
Penggunaan pro- dan prebiotik bukan
merupakan hal baru dalam dunia peternakan.
Fungsi zat aditif ini tidak jauh berbeda dengan
Saat ini dikenal lebih kurang 2600 jenis
minyak esensial yang dihasilkan
melalui
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
34
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
ekstraksi berbagai jenis tanaman. Jamak
diketahui bahwa setiap tanaman mempunyai
komponen bioaktif yang spesifik. Di dalam
tubuh makhluk hidup senyawa bioaktif
tersebut mempunyai aktifitas microbial,
sebagai antioksidan, bersifat antibotik dan
juga
meningkatkan
kekebalan
tubuh.
Beberapa contoh minyak esensial yang
terdapat
pada
tanaman
misalnya
cinnamaldehyde (cinnamon), eugenol (clove),
allicin (garlic) dan methol (peppermint).
Dari hasil-hasil penelitian menunjukan
bahwa penambahan minyak esensial dalam
pakan
ternak
dapat
memperbaiki
performance ternak melalui meningkatnya
nafsu makan ternak, meningginya produksi
enzim-enzim pencernaan
serta stimulasi
antiseptik dan antioksidan dari minyak atsiri
tersebut.
Indonesia merupakan negara
yang sangat kaya akan keaneka ragaman
sumber daya alam hayati. Hal ini menjadi
suatu tantangan sekaligus harapan bagi
ilmuan untuk menggali berbagai potensi yang
tersedia untuk kepentingan ilmu pengetahuan
dan kemakmuran rakyat.
6. Enzim
Enzim merupakan senyawa protein yang
berfungsi
sebagai
katalisator
untuk
mempercepat
reaksi
pemecahan
senyawa-senyawa yang komplek menjadi
sederhana. Saat ini telah terindentifikasi lebih
kurang 3000 enzim. Walaupun dalam tubuh
makhluk hidup enzim dapat diproduksi sendiri
sesuai dengan kebutuhan, penambahan
enzim pada ransum kadang kala masih
dibutuhkan. Hal ini disebabkan beberapa
faktor seperti antinutrisi faktor pada bahan
pakan (lekctins dan trypsin inhibitor),
rendahnya efesiensi kecernaan bahan pakan,
dan ketidak tersediaan enzim tertentu dalam
tubuh ternak. Xylanase dan ß-glucanase
adalah contoh-contoh enzym yang digunakan
pada ternak monogastrik untuk meningkatkan
daya cerna ternak. Rendahnya kemampuan
ternak muda untuk mencerna protein pada
kacang kedele (glycin dan ß-conglycin) dapat
diatasi dengan penambahan enzim protease.
Phytase sebagai enzim yang mampu
meningkatkan
penyerapan
posphor
mendapat perhatian cukup besar para peneliti
saat ini. Bahan-bahan basal pakan yang kaya
karbohidrat seperti gandum, barley, jagung
dan lainnya, mengikat unsur phosphor dalam
bentuk asam phytat (myo-inositol hexaxy
dihidrogen phosphat) sehingga tidak mampu
dicerna oleh ternak.
Dengan mensuplai
phytase yang berasal dari Aspergillus atau
Trichoderma strains dalam ransum ternak
dapat meningkatkan ketersediaan phospor,
Ca, Zn dan asam amino bagi ternak. Polusi
lingkungan melalui Eutropication juga dapat
dicegah dengan penambahan phytase dalam
pakan ternak.
Penelitian bahan aditif alternatif sebagai
pengganti antibiotik terus dilakukan tidak
hanya terbatas pada lembaga penelitian,
universitas, institut tapi juga merambah ke
berbagai industri makanan ternak. Bagi
industri pakan masih terbuka peluang bisnis
yang cukup besar dengan menciptakan
produk-produk zat aditif baru dengan nilai
ekonomis tinggi serta mampu bersaing di
pasar.
Kesadaran para konsumen akan produk
ternak yang terbebas dari residu kimia
(antibiotik, alfatoksin, dioxin) dan mikrobiologi
berbahaya (salmonella, enterobacteriaceae
dan BSE-carriers) semakin meningkat di
negara-negara maju. Kualitas kontrol bahan
pakan terus dilakukan oleh pemerintah
secara berkala melalui
system HACCP
(hazard analyis and critical control points)
sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah
tersusun secara sistematis dan disepakati
bersama. Kapankah Indonesia ada suatu
jaminan
pasti bagi konsumen untuk
mengkonsumsi produk-produk ternak yang
terbebas
dari
residu
antibiotik
dan
sejenisnya? Bukankah makanan adalah
salah satu faktor yang bisa meningkatkan
angka harapan hidup (life expectation) suatu
negara.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
35
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
IPTEK
Zonasi Wilayah Rawan Kekeringan Tanaman Pangan
Haris Syahbuddin
Kandidat doktor bidang meteorologi tropikal pada
Graduate School of Science and Technology, Kobe University, JAPAN
Email: haris@ahs.scitec.kobe-u.ac.jp
1. Pendahuluan
Wilayah Indonesia yg terhampar luas dan
membentang dari Sabang sampai Merauke
merupakan wilayah iklim maritim yang paling
dinamik diseluruh dunia. Sejak tahun 1920 diawali
oleh [3], [2], [7], [8], [9] hingga [4] telah melakukan
penelitian di wilayah Indonesia, terkait dengan
fluktuasi drastik serta karakteristik curah hujan
antar musim dan antar tahun. Bahkan Oldeman et
al. secara sistematik telah membuat zonasi
wilayah curah hujan bulanan berdasarkan tingkat
kecukupan air bagi pengolahan dan tanam padi
serta palawija lainnya. Klasifikasi wilayah hujan
bulanan Oldeman ini didasarkan pada periode
bulan basah (bila curah hujan > 200 mm/bulan),
bulan lembab (200 mm/bulan > CH > 100
mm/bulan), dan bulan kering (100 mm/bulan < CH).
Wilayah hujan bulanan yg dibuat oleh Oldeman
belum mempertimbangkan kondisi tanah dan
masih menggunakan data-data periode dibawah
tahun 1980 an. Padahal secara gradual iklim
mengalami perubahan (climat change) dan
penyimpangan (climat deviation), seperti yg
dikhawatirkan oleh banyak meteorologis dunia
sejak tahun 1980. Perubahan dan penyimpangan
itu sendiri berskala positif dan negatif, terutama
untuk dua unsur iklim yg paling berpengaruh
terhadap proses meteorologis dan phisiologis
tanaman, khususnya tanaman pangan, yaitu
temperatur dan curah hujan.
Hasil penelitian di 13 statiun Klimatologi, Litbang
Deptan oleh Syahbuddin et al [13] makin
menegaskan telah terjadinya perubahan iklim
global itu di Indonessia, dimana terdapat tendensi
terjadinya peningkatan jumlah curah hujan
tahunan di wilayah timur Indonesia, berkisar antara
490 mm/tahun (Sulawesi Selatan) hingga 1400
mm/tahun (Jawa Timur). Diikuti oleh peningkatan
o
suhu siang dan malam hari antara 0.5-1.1 C dan
o
0.6-2.3 C. Sedangkan diwilayah barat Indonesia
terjadi sebaliknya, dimana terdapat tendensi
penurunan curah hujan tahunan sekitar 135 hingga
860 mm/tahun, dengan peningkatan suhu siang
o
o
dan malam hari antara 0.2-0.4 C dan 0.2-0.7 C.
Sejalan dengan data-data di atas, tanda-tanda
terjadinya perubahan iklim global tersebut juga
terlihat dari makin cepatnya periode El-Nino
menerpa Indonesia, yang semula terjadi untuk 5-6
tahun sekali, menjadi 2-3 tahun sekali [6]. Atau
dengan perkataan lain, 86% kejadian La-Nina
selalu diikuti oleh El-Nino [5]. Para peneliti bidang
meteorologi tropikal juga menemukan bahwa,
pada tahun 2005 akan terjadi lagi peristiwa El-Nino,
yg berbeda dengan karakter El-Nino tahun-tahun
sebelumnya, yg hingga kini belum diketahui
dengan pasti penyebabnya (Konsultasi pribadi
dengan Prof. Dr. Manabu D. Yamanaka).
Dampak perubahan prilaku iklim tersebut kian
menjadi tantangan bagi sektor pertanian guna
mewujudkan
program
swasembada
atau
ketahanan pangan, seperti yg pernah di capai
pada tahun 1980-1982. Data-data lapang juga
menunjukkan kekeringan agronomis tidak hanya
terjadi pada lahan-lahan kering dan lahan tadah
hujan, tetapi juga sudah melanda lahan sawah,
baik lahan sawah irigasi teknis maupun setengah
teknis. Pada tahun 2003 baru lalu sekitar 450.000
ha lahan sawah di pulau Jawa mengalami
kekeringan, dimana sedikitnya 100.000 ha
mengalami puso [11]. Bahkan pada masa tanam
2002/2003 sektor pertanian tanaman pangan telah
kehilangan
satu
musim
tanamnya.
Teridentifikasinya lahan sawah irigasi yg turut
terkena kekeringan sebenarnya sudah sejak tahun
1995, namun lagi -lagi cerita bencana kekeringan
hanya dianggap sepenggal nasib (given) yg harus
diterima tanpa ada solusi yg konprehensif dan
jelas. Oleh karena itu sejak tahun 1995 pula
PERHIMPI
telah
menyusun
konsep
penanggulangan bencana kekeringan itu dalam
tiga kelompok pendekatan yaitu pendekatan
strategis, taktis, dan operasional. Salah satu
bentuk pendekatan strategis itu bertitik tolak pada
identifikasi biofisik (tanah dan iklim) yg berkaitan
dengan sifat dan tingkat resiko kekeringan suatu
wilayah. Mengapa?. Pendekatan dini atau deteksi
dini akan memberikan manfaat yg jauh lebih besar
dalam mengurangi kerugian yg diderita petani,
yaitu dengan melakukan inventarisasi dan
identifikasi daerah berdasarkan status dan tingkat
kerawanannnya terhadap kekeringan, yang
kemudian dilanjutkan dengan penyusunan zonasi
wilayah sesuai dengan tingkat kerawananya
terhadap kekeringan dimasing-masing daerah. Di
Mexico keuntungan yg dapat diperoleh dengan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
36
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
menerapkan sistem deteksi dini ENSO (El Nino
South Oscilation) dengan tingkat akurasi 70% saja,
mendekati 10 juta US dolar per tahun [1].
2. Identifikasi Tanah dan Iklim
Ada dua karakteristik biofisik yang menjadi
kunci penetapan wilayah rawan kekeringan yaitu,
karakteristik tanah dan iklim. Tanah berfungsi
sebagai media penyimpan dan penyalur air bagi
kebutuhan tanaman. Sedangkan iklim melalui
beberapa variabelnya seperti curah hujan,
temperatur, radiasi matahari, kecepatan angin dan
kelembaban memiliki fungsi sendiri-sendiri yg
terkait dengan ketersediaan dan kehilangan air
didalam tanah dan juga dari tanaman.
Untuk mendapatkan informasi sifat fisik yang
terkait dengan kemampuan tanah menyimpan air,
perlu dilakukan penelitian dan survey lapang [14].
Adapun tujuan dilakukannya kegiatan ini adalah
untuk menetapkan jenis tanah. Untuk sampai pada
tingkat kebutuhan air tanaman, maka perlu
dilakukan survei tanah detail sampai pada sifat
penciri fisik tanah tersebut, seperti kandungan
bahan organik, tekstur, struktur, permeabilitas dan
kemampuan tanah memegang air. Karakteristik
fisik tanah ini memberi gambaran pada kita
berkaitan dengan potensi tanah menyimpan air
dan melepaskannya untuk tanaman, terutama
pada kedalaman akar efektif berkisar antara 0-30
dan 30-60 cm.
Badan Litbang Pertanian melalui Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat telah melakukan
survai tanah sampai tingkat detail untuk sebagian
besar wilayah Sumatera, Jawa Barat, sebagian
Kalimantan dan Sulawesi. Infromasi ini telah
tersusun dalam bentuk peta dengan skala
1:25.000 yang didampingin oleh buku legenda dan
keterangan simbol. Database sifat fisik tanah pun
telah tersedia untuk wilayah tersebut. Kegiatan
identifikasi karakteristik tanah ini perlu terus
dilakukan untuk seluruh wilayah Indonesia secara
teritegrasi dimasing-masing daerah otonomi.
Sebab tanah merupakan media yg terbentuk
melalui proses alami yg panjang dan simultan dari
satu bentang alam. Keuntungan yg diperoleh
melalui survei detail tanah, tidak hanya informasi
fisik tanah tetapi juga potensi kesuburan tanah dan
jenis tanaman yg sebaiknya diusahakan di atas
tanah tersebut dapat diperoleh.
Untuk
melakukan
zonasi
wilayah
rawan
kekeringan data iklim memegang peranan yg
sangat penting, terutama dalam menetapkan
ketersediaan air tanah sepanjang tahun. Oleh
karena itu data iklim yg dikumpulkan harus lengkap
sepanjang tahun dalam bentuk data harian. Guna
memberikan
potensi
iklim
suatu
wilayah,
dibutuhkan data harian sepanjang 20-30 tahun
pengamatan. Pengalaman menunjukkan banyak
stasiun iklim yg berada dibawah naungan instansi
seperti, PU pengairan, Dinas Pertanian tanaman
pangan kabupaten, BMG, Litbang Pertanian, Dirjen
Tanaman Pangan dsb, sudah tidak beroperasi
dengan baik. Bahkan sudah tidak digunakan sejak
lama. Akibatnya kerapatan data yg dibutuhkan
menjadi tidak terpenuhi dengan baik. Meskipun
zonasi wilayah hujan masih dapat dilakukan
dengan jumlah optimum statiun yg dimiliki dengan
teknik klasterisasi, , namun akan lebih baik bila
densiti stasiun lebih besar. Dengan demikian
spasialisasi wilayah hujan dan rawan kekeringan
dapat dibatasi dengan lebih akurat dan mendekati
nilai potensinya. Oleh karena itu pengoperasian
kembali, penambahan dan pemutahiran jejaring
stasiun yg pernah ada disetiap kecamatan harus
menjadi prioritas utama seluruh jajaran institusi
pengelolaan dan pengkaji iklim untuk pertanian.
Akan lebih baik lagi bila disetiap propinsi minimal
memiliki 2 buah radar cuaca.
3. Zonasi Wilayah
Manfaatnya
Rawan
Kekeringan
dan
Parameter iklim juga selanjutnya digunakan
untuk menetapkan peluang deret hari terjadinya
kekeringan agronomis (cekaman air), pendugaan
kapasitas air tersedia, pendugaan air yg hilang
(water losses) melalui tanah dan tanaman
(evapotranspirasi),
serta
untuk
melakukan
perhitungan neraca air dan Indeks Kekeringan
(Indeks Palmer) suatu wilayah, seperti yg terlihat
pada Gambar 1 di bawah ini.
Salah satu contoh wilayah rawan kekeringan
untuk tingkat propinsi seperti nampak pada
Gambar 2. Di Propinsi Jawa Tengah
indeks
kekeringan terdiri dari indeks sangat basah, basah,
sedang dan kering. 59% wilayahnya tergolong
pada wilayah yg rawan terhadap kekeringan.
Sebagian besar wilayah rawan kekeringan (pola
I1, I2, dan I3) tersebut terdapat disepanjang pantai
utara dan selatan Jawa Tengah, terutama
disebagian besar Kabupaten Blora dan Rembang.
Pola A2 hingga H2 tergolong pada wilayah dari
sangat basah hingga sedang [12].
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
37
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
Peta
Analisis
Jenis Tanah
Curah Hujan
Pendugaan
Wilayah
Peluang
Kapasitas Air Tersedia
Curah Hujan
Deret Hari Kering
Suhu
ETP
Koefisien
Parameter Iklim
Curah Hujan
Indeks Palmer
Korelasi Curah Hujan
dan Indeks Palmer
Wilayah Rawan
Kekeringan
Alternatif
Pola Tanam
Gambar 1. Diagram alir analisis wilayah rawan kekeringan
Gambar 2. Wilayah rawan kekeringan Propinsi Jawa Tengah.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
38
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
Adapun manfaat yang dapat diambil dengan
ditetapkannya wilayah rawan kekeringan antara
lain:
(1) Memberi kemudahan pada pemerintah untuk
memantau penggunaan lahan dan melakukan
pencegahan dini terhadap sistem usaha tani
tanaman pangan yang ”dipaksakan” dan
berakibat kegagalan panen dan rawan
pangan.
(2) Konsentrasi penanggulangan dapat lebih
diprioritaskan ke daerah -daerah yg secara
ekologis rentan terhadap kekeringan.
(3) Pengaturan jadwal tanam dan pemberian air
yang diterapkan disesuaikan dengan pola
ketersediaan air masing-masing wilayah.
(4) Pengaturan pola tanam dan jenis komoditas yg
diusahakan menjadi lebih spesifik lokasi
sesuai dengan fluktuasi ketersediaan air tanah
sepanjang tahun.
(5) Memanfaatkan
keunggulan
komparatif
daerah-daerah rawan kekeringan bagi usaha
pertanian
tanaman
hortikultura,
yg
membutuhkan tingkat kelembaban yg rendah
seperti cabe, tomat, dan sayuran lainnya.
(6) Pada tataran ekonomi, akan terjadi lalu lintas
perdagangan antar daerah lebih berkembang,
dikarenakan adanya perbedaan komoditas yg
diusahakan
sesuai
dengan
potensi
sumberdaya iklim dan tanahnya.
Oleh karena itu, wilayah rawan kekeringan yg
telah
disusun
harus
dilengkapi
dengan
rekomendasi alternatif pola tanam selama satu
tahun untuk tanaman pangan.
4. Program Antisipatif
Memperhatikan perubahan iklim akhir akhir ini,
dimana di masa yang akan datang diprakirakan
akan terjadi peningkatan intensitas kehadiran
El-Nino,
maka
persoalan
yang
dapat
ditimbulkannya berdampak luas baik pada bidang
pertanian, usaha konservasi tanah dan air,
penanggulangan
bencana
kekeringan
dan
sebagainya.
Disatu sisi masalah kekeringan
mengancam, disisi lain banyak masalah seperti
kebanjiran, erosi tanah terutama pada tanah-tanah
tanpa vegetasi dan berlereng curam, penurunan
intensitas radiasi surya, penurunan kesuburan
tanah, sampai pada masalah penyakit tanaman
dan manusia terus menghadang. Beberapa
langkah antisipasi yang patut dipertimbangkan
berdasarkan faktor yang paling bersinggungan dan
berinteraksi adalah:
Pendekatan lingkungan:
(1) Usaha
ini
harus
dipadukan
dengan
meningkatkan daya dukung DAS (daerah
aliran sungai) di hulu guna menerima,
menyimpan
selama
mungkin,
dan
menyalurkan air hujan ke daerah hilir,
(2) Menghutankan kembali lahan-lahan gundul,
(3) Memonitor dan mengevaluasi daya tampung
Waduk, terutama yang berkaitan dengan
proses sedimentasi, dan lain-lain.
(4) Peristiwa kekeringan selalu akan diikuti oleh
peningkatan curah hujan pada tahun
berikutnya,
dimana
akan
diikuti
oleh
penurunan intensitas radiasi surya, maka
usaha pertanian tanaman pangan perlu
memperhatikan penggunaan varietas berumur
dalam, agar akumulasi bahang optimal
sehingga produksi dapat ditingkatkan untuk
mengkompensasi kehilangan hasil pada saat
musim kering sebelumnya.
Pendekatan kemasyarakatan/institusi :
(1) Mengaktifkan kembali serta memoderinisasi
kemampuan penyuluh pertanian, pengamat
iklim, hama dan penyakit tanaman yg
terintegrasi dalam wadah BLPP (fungsional
mandiri) yang selama ini justru berada di
bawah koordinasi kantor kecamatan. Dengan
demikian, fungsi pelaporan dan pengawasan
terhadap gejala awal bencana kekeringan,
banjir, serangan hama dan penyakit dapat
dilakukan dengan lebih cepat dan terpadu.
(2) Pengembangan sistem database tanah dan
iklim termutahirkan disetiap tingkat daerah
otonomi
(PEMPROP/PEMKOT/PEMKAB),
sebagai
matarantai
sistem
database
sumberdaya lahan dan iklim tingkat Nasional.
Selanjutnya sistem ini akan menjadi pondasi
utama sistem peringatan dini terhadap
bencana kekeringan dan banjir.
(3) Melakukan pemantuan terhadap lahan lahan
irigasi
atau
tadah
hujan
yg
telah
direkomendasikan untuk tidak dilakukan
penanaman
selama
El-Nino,
guna
mengantisipasi kerugian yg lebih besar.
(4) Penegakan
Undang-Undang
Konservasi
Lingkungan
dan
pemberian
sangsi
seberat-beratnya bagi pelanggaran terhadap
RUTR , konservasi lingkungan, dan lain-lain.
(5) Meningkatkan
kepedulian
masyarakat
terhadap
masalah
kekeringan,
dengan
mensosialisasikan informasi cuaca, bahaya
kekeringan/kebakaran dan pasca kekeringan,
melalui
insatansi
terkait
dari
tingkat
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
39
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
Lurah/Desa/Kampung sampai Propinsi, media
massa, sekolah, LSM, dll,
1991. Peta Agroekologi Utama Tanaman
Pangan Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Badan
Litbang Pertanian. Bogor. 24 hal.
5. Penutup
Sumber daya tanah, iklim dan air merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya. Maka pengelolaannya pun
tidak dapat hanya dilakukan oleh satu
institusi/departeman
saja.
Melainkan
harus
dilakukan secara terintegrasi dan konprehensif,
tidak lagi terkungkung dalam otoritas Departemen
masing-masing. Dengan demikian di masa datang
tidak lagi dijumpai wilayah wilayah yag mengalami
kekurangan
air
dan
kekeringan
yg
berkepanjangan.
6. Daftar Pustaka
[1]
Adams, Richard M., Laurie L. Houston, Bruce
A. McCarl, Mario Tiscareno L., Jaime Matus
G., and Rodney F. Weiher. The Benefits to
Mexican Agriculture of on El-Nino-Southern
Oscilation (ENSO) Early Warning System.
Agricultural and Forest Meteorology 115
(2003). Elsevier Sciences. 183-194 pp.
[2]
Boerema, J. 1933. Maps of the Mean Annual
Monthly Rainfall in Celebes. Verhandelingen,
Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch
Observatorium, Batavia, No. 24, IV, 13 maps.
[3]
Braak,
C.
1929.
Het
Klimaat
van
Nederlands-Indie. Verhandelingen, Koninklijk
Magnetisch
en
Meteorologisch
Observatorium, Batavia, No. 8, 545 pages.
[4]
Hamada Jun Ichi, MD. Yamanaka, Jun
Matsumoto, Shoichiro Fukao, Paulus Agus
Winarso, and Tien Sribimawati. 2002. Spatial
and Temporal Variation of the Rainy Season
over Indonesia and their Link to ENSO. JMSJ
Vol. 80, No. 2 pp. 285-310.
[5]
Koesmaryono, Y., Rizaldi Boer, Hidayat
Pawitan, Yusmin, dan Irsal Las. 1999.
Pendekatan Iptek dalam Mengantisipasi
Penyimpangan Iklim. Prosiding Diskusi Panel
Strategi Antisipatif Menghadapi Gejala Alam
La-Nina dan El-Nino untuk Pembangunan
Pertanian. Bogor, 1 Desember 1998.
PERHIMPI, FMIPA -IPB, Puslittanak, dan
ICSEA BIOTROP Bogor. Bogor . Hal 43-58.
[6]
Las, Irsal., A. Karim Makarim, A. Hidayat, A.
Syarifuddin Karama, dan Ibrahim Manwa.
[7]
Oldeman, J. R. 1975. An agro-climatic
map of Java. C. R. J. Agr. Bogor. Contr.
Centr. Res. Inst. Agric. Bogor, No.16/1975.
[8]
Oldeman, L.R, Irsal Las and Muladi. 1980. An
Agroclimatic Maps of Kalimantan, Irian Jaya
and Bali, West and East Nusa Tenggara.
Skala 1: 2.500.000. Contr. Centr. Res. Inst.
Of. Agric. Bogor.
[9]
Oldeman, L.R. and Darmiyati S. 1979.
Agroclimate Map of Sumatera Scale 1 :
1.200.000. Central Research Institute for
Agriculture. Bogor. Indonesia.
[10] Oldeman, L.R., and Darmiyati S. 1977.
Agroclimate Map of Sulawesi, scale 1 :
2.500.000. Central Research Institute for
Agriculture, Bogor, Indonesia.
[11] Republika 25 Agustus 2003.
[12] Syahbuddin, H., Yayan Apriyana, dan Irsal
Las. 2002. Karakteristik Curah Hujan, Indeks
Palmer dan Wilayah Rawan Kekeringan
Tanaman Pangan di Jawa Tengah. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan Vol.21 No.1.
Puslitbangtan Bogor. Hal 63-73.
[13] Syahbuddin, H., Manabu D. Yamanaka, and
Eleonora Runtunuwu. 2004. Impact of
Climate Change to Dry Land Water Budget in
Indonesia: Observation during 1980-2002
and Simulation for 2010-2039. Graduate
School of Science and Technology. Kobe
University. Publication in process.
[14] Soil Survey Staff. 1998. Keys
Taxonomy. USDA. 716 pages.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
to
Soil
40
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
INOVASI
Alternatif Strategi Membangun Indonesia
Bertumpu Teknologi Informasi
Onno W. Purbo
onno@indo.net.id
Kini telah terbentuk pemerintah baru di
bawah
pimpinan
SBY-Kalla.
Dalam
menjalankan proses pembangunan ini, perlu
kejelasan tujuan yang hendak dicapai. Hal ini
akan memudahkan penetapan strategi
operasional yang hendak ditempuh. Saya
mendefinisikan tujuan yang harus dicapai
sebagai suatu: “To See Knowledge Based
Society in Indonesia”. Secara harafiah dapat
diartikan melihat bangsa Indonesia yang
mampu berkiprah menggunakan kekuatan
daya pikirnya. Sederhana untuk di tulis dan
diucapkan tapi sangat kompleks untuk
diimplementasikan.
Bagi sebagian orang “to see knowledge
based society in Indonesia”
itu bersifat
abstrak. Perlu diterjemahkan dalam bentuk
target-target yang lebih tangible dan yang
dapat dihitung (accountable). Contoh target
sederhana yang dapat diturunkan dari visi
tersebut antara lain: (1) keberadaan 200 juta
pengguna telepon selular di Indonesia, (2)
keberadaan 100 juta pengguna Internet di
Indonesia, dan lain sebagainya.
Diperlukan jangka waktu (time frame) yang
tidak sebentar untuk mengetahui kapan ini
akan terjadi. Jika kita mengacu pada
kesepakatan World Summit on Information
Society (WSIS), visi tersebut sudah harus
terjadi pada tahun 2015. Maka kita bangsa
Indonesia, hanya memiliki waktu sekitar 10
tahun lagi untuk mencapainya, atau sekitar
2 periode kabinet.
Strategi harus dibuat dan disusun untuk
melakukan percepatan guna mencapai target
eksplisit di atas yang bertumpu pada
penggunaan teknologi informasi, seperti yang
sudah banyak dilakukan Negara-negara maju,
seperti Jepang, Amerika, dan Negara-negara
Eropa lainnya. Meskipun demikian harus
tetap disadari bahwa telepon, komputer dan
internet hanya alat semata, tujuan akhirnya
adalah manfaat alat tersebut bagi bangsa
Indonesia.
Kondisi real kehidupan berbangsa dan
bernegara baik dari sisi pemerintah, dunia
usaha, atau pengguna (baca: masyarakat
luas) yang sudah banyak diketahui umum,
yang menjadi tantangan kita semua dalam
menuju visi di atas dapat diihat dari beberapa
sisi.
Pertama,
sisi
pemerintah
yang
mencakup permasalahan keamanan &
integritas NKRI yang tidak mudah untuk
diatasi, dana pinjaman LN yang kian
membengkak, ketersediaan dana yang tidak
mencukupi untuk membangun seluruh sector,
dan ketersediaan dana yang tidak memadai
untuk mensubsidi rakyatnya. Kedua, dari sisi
pengguna / rakyat biasa, yang mencakup
dana perorangan yang belum memadai
bahkan kadang terlalu kecil, tingkat
pendidikan rata-rata yang masih rendah, dan
sebagian besar masyarakat, terutama di
pedesaan,
lebih
menyukai
metoda
pandang-dengar daripada baca-tulis. Ketiga,
dari sisi finansial / pengusaha, seperti belum
adanya kepastian hukum, serta maraknya
pungutan dan biaya tak terduga.
2. Sirkulasi Informasi
h Packaging
lis
b
Pu
Dissem ina
te
Feed Back
Surfing
Secara umum tampak pada gambar model
sederhana siklus informasi.
Beberapa komponen penting dalam
sebuah siklus informasi/pengetahuan adalah:
1.
2.
1. Kondisi real
3.
Pengarang / Peneliti / pemerhati yang
menulis dan mendesiminasikan nya.
Kompilasi informasi / pengetahuan yang
diperoleh dalam bentuk artikel, buku,
narasi cerita, video, audio dsb.
Disseminasi informasi/pengetahuan baik
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
41
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
4.
5.
melalui media cetak maupun media
elektronik kepada masyarakat.
Umpan balik (feed back), berupa FAX,
SMS, telepon, e-mail dsb.
Pencarian referensi oleh pengarang /
peneliti / pemerhati, melalui internet atau
membaca buku di perpustakaan.
Seluruh proses yang terjadi dalam siklus
tersebut akan menjadi cepat jika media yang
digunakan adalah media elektronik seperti
televisi dan radio. Tentunya proses tersebut
akan menjadi lebih menakjubkan bila
kemudian media cyber (internet) yang
digunakan..
Strategi yang harus di buat untuk
mencapai visi tersebut sebetulnya hanya
percepatan
proses
transformasi
komponen-komponen
dari
siklus
infromasi/pengetahuan menjadi media cyber.
Selain itu, beriringan dengan strategi
sebelumnya, kreativitas para penulis / peneliti
muda harus dibangun, dengan harapan kelak
kemudian hari akan menjadi motor penggerak
siklus
informasi/pengetahuan
guna
menyiapkan dan mewujudkan bangsa
Indonesia menuju era globalisasi dan
persaingan bebas serta mampu berkompetisi
dengan bangsa bangsa lain dalam segala
bidang.
3. Strategi Operasional
Sirkulasi Informasi
masyarakat, maka peluang mendapatkan
investor/operator/supply akan lebih mudah
dalam memberikan servis terhadap demand
yang telah terbentuk tersebut dengan
kejelasan Return of Investment (RoI) nya.
Secara alamiah sebenarnya, sebagian
besar dari strategi ini telah berjalan di
Indonesia dan memberi peluang bagi
pergerakan
bangsa Indonesia
menuju
“Knowledge Based Society”. Hanya masih
dibutuhkan penekanan dan penajaman dalam
implementasi
strategi
yang
bersifat
multiplikasi dan replikasi agar dapat
berdampak secara luas (walaupun hanya
swadaya masyarakat).
4. Pemberdayaan Penulis dan Peneliti
Muda
Bertumpu pada
Untuk menyusun strategi operasional yang
akan diterapkan terlebih dahulu dibangun
asumsi asumsi yang didasarkan pada kondisi
real masyarakat baik secara individu maupun
kelompok. Asumsi tersebut adalah bahwa:
sebagian besar masyarakat adalah biasa saja,
tidak memiliki kekuasaan apapun, tidak
mempunyai uang, funding, atau donatur,
hanya memiliki pengetahuan, namun memiliki
cukup banyak teman di jaringan internet
untuk bergerak dan bekerjasama.
Oleh karena itu, strategi yang dapat
digunakan dan berorientasi membangun /
membentuk demand di masyarakat adalah
melalui tulisan, buku, ceramah atau workshop.
Karena keterbatasan yang ada, maka strategi
yang di tempuh sedapat mungkin harus
dilandasi oleh swadaya masyarakat dan tidak
terlalu bergantung pada pendanaan atau
dorongan
dari
pemerintah.
Setelah
demand/kemauan/kebutuhan
tumbuh
di
Proses pembedayaan penulis dan peneliti
muda sebetulnya dapat dilakukan secara
sederhana dalam berbagai tahapan, yaitu:
•
•
•
•
Bertukar fikiran.
Menulis pengetahuan.
Membentuk demand.
Mendapatkan support
manufakturer
karena
dibentuk.
dari vendor /
demand yang
Inti proses-nya adalah:
• Membuat sebuah media / platform dimana
semua orang dapat berbincang dan
bertukar fikiran (bertukar tacit knowledge)
satu sama lain. Salah satu contoh praktis
dan tidak memerlukan banyak biaya
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
42
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
adalah dengan membentuk mailing list di
internet.
• Melakukan analisa comparative dan
comprehensive berbagai diskusi dan
referensi yang masuk, dan mensintesanya
menjadi artikel, buku dll. Pada tahap ini
peluang mendapatkan insentif sekitar Rp.
250.000/artikel atau Rp.4-7 juta/buku
menjadi terbuka.
• Sebagian akan berlanjut menuju berbagai
seminar, workshop, dan demo karena
sebagian
besar
masyarakat
lebih
menyukai dan percaya bila melihat
langsung
daripada
hanya
sekedar
membaca buku. Untuk berpartisipasi
dalam acara-acara ini, biasanya diperlukan
biaya masuk berkisar Rp. 15.000 s/d
500.000/orang bergantung pada jenis
acaranya. Sedangkan pembicara akan
memperoleh masukan antara Rp. 250.000
s/d
2
juta/session.
Suatu
angka
penghasilan yang cukup besar bagi para
penulis/peneliti muda.
• Semua ini pada akhirnya akan membentuk
demand dan kebutuhan akan alat serta
infrastruktur teknologi informasi. Pada
tahap
selanjtnya
akan
memberi
keuntungan bagi vendor dan pembuat alat.
Tidak heran jika vendor dan pembuat alat
akan dengan senang hati mendukung,
memberikan
sponsor
bagi
para
penulis/peneliti muda tersebut. Sebagian
bahkan rela meminjamkan alatnya untuk
diujicobakan.
Jejaring 220.000 Sekolah ke Internet
Mungkin selama ini kita tidak pernah
membayangkan seandainya 220.000 sekolah
seluruh Indonesia tersambung ke intenet.
Juga kita mungkin tidak pernah memikirkan
dampak lanjutannya dimana sekitar 48+ juta
siswa anak bangsa Indonesia tersambung ke
media maya itu. Andai ini ingin diwujudkan,
lantas pertanyaan yang timbul kemudian
adalah: Berapa kah biaya yang dibutuhkan?.
Secara matematis hitung itu menunjukkan hal
yang menakjubkan, dengan rata-rata 300-500
siswa/sekolah maka biaya yang dibutuhkan
untuk akses e-mail mengunakan mail server
sendiri di sekolah membutuhkan biaya Rp.
2000-5000/siswa/bulan. Tanpa perlu sekolah
mengeluarkan dana, tanpa perlu guru
mengeluarkan biaya tambahan, besar biaya
akumulasi
tersebut
akan
dapat
mengembalikan modal investasi peralatan
komputer, modem, printer dalam jangka
waktu hanya 1-2 tahun saja, termasuk biaya
operasional membayar telepon setiap bulan.
Bila jejaring tersebut telah terbangun dan
berjalan sesuai dengan fungsinya maka
konsekuensi logis yang akan terjadi adalah:
• Wawasan 48+ juta siswa anak bangsa ini
akan terbuka luas terkait kases ke e-mail
dan internet, karena mereka dapat
berinteraksi dengan siswa lain seluruh
Indonesia bahkan seluruh dunia melalui
berbagai mailing list. Tidak ada asumsi
bahwa harus ada content yang harus
disediakan pertama kali untuk e-learning
ini.
• 48+ juta siswa akan bercerita kepada ayah,
ibu, paman, bibi, kakek dan nenek-nya,
serta tidak mustahil akan mengimbas 100+
juta bangsa Indonesia generasi orang tua
siswa tersebut.
• Artinya bukan mustahil ¾ bangsa
Indonesia terimbas untuk mengetahui,
memakai
internet
sebagai
media
komunikasi mereka.
Selanjutnya dalam skala yang lebih luas,
tersambungnya tiga perempat bangsa
Indonesia ke internet mempunyai arti
strategis yang amat sangat dahsyat, terutama
bila kita bandingkan dengan jumlah penduduk
beberapa negara seperti Malaysia dengan
jumlah penduduk sekitar 20 juta jiwa,
Australia sekitar 23 juta jiwa, Canada sekitar
30 juta jiwa, Singapura jelas jauh lebih kecil
lagi, dan ¾ bangsa Indonesia lebih besar dari
seluruh
penduduk
Thailand,
seluruh
penduduk Vietnam, seluruh penduduk
Philipina.
Maka bukan sesuatu yang mustahil pula
dalam 5-10 tahun mendatang bangsa
Indonesia akan mempunyai SDM yang jauh
lebih handal dibandingkan dengan negara
lain, dengan mengimplementasikan strategi
opersional sederhana, yaitu menyambungkan
220.000+ sekolah Indonesia ke internet
secara swadaya masyarakat dengan beban
biaya Rp. 2000-5000/siswa/ bulan.
Meskipun demikian strategi ini tidak
menafikan
bahwa
ia
tidak
memiliki
permasalahan. Masalah utama yang harus di
hadapi adalah mengajarkan para guru,
mengajarkan para calon administrator
sekolah merancang sendiri internet murah di
sekolah dan menyebarkannya ke 220.000+
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
43
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
sekolah. Suatu proses perjuangan yang tidak
mudah dan penuh dedikasi.
Mengaktifkan
Komunikasi
Jajaran Pegawai Negeri Sipil
e-mail
di
Menjadi sesuatu yang amat ditunggu bila
pemimpin tertinggi negara memutuskan agar
semua jajaran pegawai negeri sipil diminta
untuk aktif berkomunikasi menggunakan
e-mail (yang sifatnya dua arah). Artinya
bukan untuk membuat Web (yang sifatnya
satu arah) baik ditingkat pemerintah propinsi,
pemerintah
Kabupaten/Kotamadya
atau
Kecamatan.
Dari sudut pandang teknologi, e-mail jauh
lebih sederhana proses penyiapannya dan
tidak membutuhkan programmer khusus
seperti web yang memerlukan tim khusus
untuk menyiapkan konten web. Software mail
server-pun relatif mudah dioperasikan dari
sistem operasi Linux maupun OS lainnya.
Sedangkan dari sisi infrastruktur, sampai
dengan hari ini sudah secara kebetulan telah
tergelar infrastruktur ex TI KPU yang
mengcover 4400 lebih kecamatan seluruh
Indonesia.
Infrastruktur
ini
walaupun
sebagian besar adalah dial-up telah
dibuktikan untuk mendukung komunikasi data
hingga level kecamatan dan sudah digunakan
untuk komunikasi e-mail hingga level
kecamatan. Jaringan yang sudah terbentuk
tersebut
dapat
dimanfaatkan
untuk
menginisiasi serta mengaktifkan komunikasi
di jajaran PNS dengan menggunakan e-mail.
Dengan tanpa menghilangkan fungsi
komunikasi langsung, pertanyaan yang
kemudian timbul adalah: apakah konsekuensi
positip jika PNS aktif berkomunikasi
menggunakan e-mail?
• Effisiensi anggaran sebagai akibat dari
pengurangan rapat-rapat, raker, rakor dll.
Secara akumulatif akan banyak biaya
SPPD yang akan dapat dihemat.
• Kecepatan informasi umpan balik dari
aparat di kecamatan ke pimpinan tertinggi
di Indonesia mengenai kondisi lapangan
yang terjadi.
• Kecepatan distribusi arahan dari pimpinan
pusat ke aparat di daerah.
• Interaksi langsung antara aparat dengan
rakyat, tanpa perlu melalui berbagai meja
birokrasi.
Bukan
mustahil
terjadi
pemangkasan berbagai pungutan yang
biasa terjadi dalam pengurusan ijin dll.
• Pelaporan dan permohonan langsung
dapat berjalan lancar dan cepat dari rakyat
ke para pimpinan di pusat atau tingkat
kabupaten, tentang berbagai hal yang
terjadi di lapangan. Terjadi pemangkasan
birokrasi yang luar biasa dalam sistem
pemerintahan yang biasanya lamban dan
birokratis.
• Transparansi perilaku oknum aparat yang
suka memalak, meminta sogokan, akan di
bypass langsung ke pimpinan tertinggi
negara.
Dan masih banyak lagi berbagai implikasi
yang sangat luar biasa karena terjadi
pemangkasan birokrasi yang di sebabkan
oleh dimungkinkannya komunikasi secara
elektronik yang cepat di berbagai tingkat
pemerintahan.
Mengaktifkan Gerbang Informasi melalui
SMS ke Database Server
Beberapa
konsekuensi
diatas akan
menjadi lebih menarik lagi jika diparalelkan
dengan berbagai server/gateway SMS dari
selular ke e-mail/database web yang bisa di
akses oleh para pemimpin negara maupun
masyarakat secara transparan. Membuat
transparan semua kebijakan, maupun proses
kebijakan
pemerintah
ke
masyarakat.
Software yang dibutuhkan untuk ini di
kembangkan
oleh
sebuah
komunitas
Internasional dan di lepaskan secara gratis di
http://playsms.sourceforge,net.
Yang
sungguh luar biasa, ternyata pimpinan
pengembang software ini ternyata adalah
salah seorang anak muda Indonesia yang
berbakat
bernama
Anton
Raharja
(anton@ngoprek.org).
Dengan terbentuknya media komunikasi
swadaya masyarakat yang cepat ini
sebetulnya proses pembuatan kebijakan di
tingkat tertinggi pemerintah maupun DPR
menjadi dipermudah. Dan alangkah indahnya
jika setiap anggota Dewan juga mampu
berkomunikasi menggunakan SMS dan
e-mail secara aktif dan mengoptimalkan
fungsinya untuk kepentingan orang banyak.
Keberadaan pimpinan tertinggi negara dan
anggota dewan di dunia maya, akan lebih
memberi dampak phesikologis dan manfaat
bagi rakyat Indonesia, jika rancangan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
44
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
Undang-Undang,
rancangan
Peraturan
Pemerintah, rancangan Keputusan Menteri,
rancangan Keputusan Presiden dibuat secara
terbuka kepada rakyat melalui media
internet.
Hal
ini
membuka
kemungkinan rakyat untuk melakukan
koreksi-koreksi substansial sebelum di
undangkan, sebelum di tanda tangani. Agar
tidak ada lagi sebuah UU, PP, KEPMEN,
KEPRES
yang
sudah
ditandatangani
kemudian menuai hujatan.
yang
memungkinkan
semua
proses
pengiriman informasi dan pengetahuan
menjadi lebih cepat dan effisien menjangkau
massa yang sangat besar. Semua tergantung
pada visi, misi dan niat di balik personal yang
mengunakan teknologi tersebut. Satu hal
yang pasti, yang penulis rasakan yaitu: “nilai
seseorang tergantung manfaat seseorang
untuk umat”. Semoga para pemimpin bangsa
dapat memfokuskan diri-nya, misi-nya agar
apa yang dia kerjakan dapat bermanfaat bagi
sebanyak mungkin umat.
5. Penutup
Pada akhirnya teknologi, baik itu internet,
komputer, handphone, hanyalah alat bantu
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
45
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
INOVASI
Sistem Mitigasi Bencana di Selat Lombok
Fadli Syamsudin
Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P3-TISDA), Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
E-mail: fadli@tisda.org
1. Pendahuluan
Musibah tenggelamnya Kapal Motor (KM)
Artomoro dalam perjalanannya dari Surabaya
menuju Waingapu pada jumat malam tanggal
28 Mei, 2004, semakin menambah daftar
panjang bencana serupa di Selat Lombok.
Sebelumnya
menimpa
Kapal
Motor
Penumpang (KMP) Wimala Dharma pada
tanggal 7 September, 2003 yang menelan
banyak korban jiwa dan hanya dalam waktu 3
hari berselang musibah yang sama kembali
terjadi pada KM Sentosa Bahari. Musibah
KMP Wimala Dharma telah ditetapkan
pemerintah sebagai bencana nasional
mengingat besarnya jumlah korban jiwa yang
terjadi pada saat itu.
Artikel ini berusaha menjelaskan mengapa
Selat Lombok rawan terhadap keselamatan
pelayaran dan pamaparan penulis untuk
solusi
sistem
mitigasi
bencana
dan
monitoring lingkungan laut Selat Lombok
menggunakan optimasi teknologi Akustik
Tomografi Pantai (ATP) dan High Frequency
(HF) radar.
2. Oseanografi Selat Lombok
Secara Oseanografis, Selat Lombok
adalah perairan yang sangat dinamis. Dari
utara mengalir Arus Lintas Indonesia (Arlindo)
yang membawa massa air hangat dari
Samudera Pasifik menuju Hindia sepanjang
tahun. Hanya pada masa peralihan musim di
bulan April/Mei dan November/Desember
arus yang bergerak ke selatan berbalik ke
utara karena pengaruh masuknya gelombang
Kelvin dari ekuator Samudera Hindia
(Sprintall, dkk., 1999). Selat Lombok juga
telah diketahui menjadi saluran penting
transisi energi gelombang Kelvin dari
Samudera Hindia memasuki perairan di
kepulauan Indonesia dengan membawa
rata-rata energi gelombang Kelvin wave
sebesar 55% (Syamsudin et al, 2004)
Arlindo
melebihi
menguat dengan kecepatan
70
cm/s
selama
bulan
Juli-September, dan melemah pada bulan
Januari-Maret, sedangkan arus pasang surut
(pasut) mencapai kecepatan 350 cm/s di
daerah dangkalan (sill) antara P. Nusa Penida
dan Lombok (Murray dan Arief ,1986).
Dari selatan, Selat Lombok mendapat
hantaman langsung energi gelombang dari
arah laut lepas Samudera Hindia. Sebagian
energi gelombang ini mengalami difraksi
ketika mencapai P. Nusa Penida dan masuk
perairan selat dalam bentuk alun (swell) yang
menjalar kontinu.
Selain itu, interaksi antara pasang surut
setengah harian (12,42 jam) dengan
kedangkalan (sill) antara P. Nusa Penida dan
Lombok menyebabkan terbentuknya soliton
berupa paket gelombang yang menjalar
dalam dua arah: ke utara menuju L. Flores
dan mencapai P. Kangean dan ke selatan
menuju laut lepas Samudera Hindia.
Dengan demikian, paling tidak ada 4 faktor
utama: Arlindo, Alun, Pasut, dan Soliton yang
saling berinteraksi dan menyebabkan Selat
Lombok senantiasa berombak dan memiliki
arus kuat serta mengalami perubahan cepat
(dalam hitungan jam). Kondisi itu sangat
rawan terhadap pelayaran.
Dari analisis citra satelit, dapat ditentukan
titik rawan berada pada daerah pertemuan
semua faktor tersebut di tengah Selat
Lombok, terutama daerah kedangkalan di
bagian selatan antara P. Nusa Penida dan
Lombok.
Ancaman bencana masih bertambah
dengan aktivitas tektonik di wilayah Paparan
Sunda dalam bentuk tsunami akibat gempa
bumi yang sering terjadi di wilayah ini.
Dengan besarnya potensi bencana, maka
instalasi sistem peringatan dini untuk mitigasi
bencana dan keselamatan pelayaran di Selat
Lombok merupakan hal yang mendesak, dan
perlu mendapat perhatian serius dari
pemerintah.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
46
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
3. Institusi
Monitoring
Pendukung
dan
Teknologi
Pemprov.
Bali
mempunyai
institusi
pendukung dengan adanya Pusat Studi
Penginderaan Jauh Skala Regional di
Universitas Udayana (CReSOS, Center for
Remote Sensing and Ocean Sciences) dan
Pusat Riset dan Monitoring Laut Asia
Tenggara, Southeast Asia Center for Ocean
Research and Monitoring (SEACORM) di
Perancak, Kabupaten Jembrana yang
diprakarsai Badan Riset Kelautan dan
Perikanan (BRKP).
Kedua institusi tersebut dapat memberikan
analisis citra satelit Oseanografi untuk
informasi regional: perkembangan siklon
tropis; paket soliton; dan penampakan fisik
penting lainnya seperti medan angin di Selat
Lombok dan arah gelombang dari Samudera
Hindia.
Namun informasi regional tersebut belum
cukup memadai untuk sebuah sistem
peringatan dini yang andal dengan informasi
akurat beresolusi tinggi, data fase dan tinggi
gelombang, kecepatan arlindo, arus pasut,
dan evolusi soliton dengan perioda singkat
(dalam hitungan jam) yang terjadi di Selat
Lombok.
Untuk itu diperlukan dukungan teknologi
monitoring yang dapat memetakan kondisi
perairan Selat Lombok secara langsung (real
time) dan terus-menerus (kontinu) serta
mencakup semua proses fisik yang terjadi di
semua kolom perairan dari permukaan
sampai kedalaman. Sehubungan dengan hal
itu, perpaduan antara teknologi High
Frequency (HF) radar yang memberikan
informasi permukaan dan Akustik Tomografi
Pantai (ATP) untuk informasi semua kolom air
merupakan alternatif solusi yang dapat
digunakan untuk keperluan tersebut.
4. Rekomendasi dan Saran
Gambar 1 adalah rekomendasi instalasi
HF radar dan stasiun ATP untuk sistem
peringatan dini dan monitoring Selat Lombok.
Gambar 1. Sistem Peringatan Dini dan
Monitoring Lingkungan Laut untuk
keselamatan pelayaran di Selat Lombok.
Jarak antar stasiun HF radar 70-80 km
memberikan
informasi
medan
arus
permukaan dan tinggi gelombang signifikan
pada
wilayah
antara
(cross-section)
beresolusi tinggi di perairan Selat Lombok
yang mempunyai intensitas pelayaran kapal
penumpang
setiap
jam
untuk
rute
penyeberangan Padang Bai (Bali) - Lembar
(Lombok Barat) ataupun sebaliknya.
Di samping itu, penempatan posisi HF-1
radar menghadap Samudera Hindia dan HF-2
radar untuk L. Flores/Selat Makassar akan
memberikan informasi kondisi permukaan
laut di mulut selatan dan utara Selat Lombok.
Penempatan 4 buah stasiun ATP
dirancang untuk memberikan informasi
penting medan arus dari permukaan sampai
kedalaman, arus pasang surut, dan
pembentukan soliton di daerah rawan
kecelakaan kapal tenggelam di Selat
Lombok.
Semua pencatatan data lapangan yang
direkam HF radar dan 4 buah stasiun akustik
ATP akan dikirimkan langsung (real time) dan
terus-menerus ke stasiun relay terdekat di
sekitar Bali dan Lombok Barat. Dari stasiun
relay diteruskan ke Pusat Informasi Terpadu
di SEACORM, Perancak ataupun CReSOS,
Universitas Udayana, Denpasar.
Satelit GPS (Global Positioning System)
atau satelit altimeter lainnya diperlukan untuk
akurasi teknologi ATP, dan juga sebagai
pendukung sistem telemetri pengiriman data
lapangan (HF radar dan ATP) ke Pusat
Informasi
Terpadu
(CReSOS
dan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
47
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
SEACORM).
Pusat Informasi Terpadu mengolah semua
data yang diterima untuk mendapatkan
gambaran kondisi perairan Selat Lombok
saat itu (recent status). Berdasarkan
informasi tersebut peringatan dini dapat
segera disampaikan pada instansi terkait
yang berhubungan dengan keselamatan
pelayaran di Selat Lombok.
Selanjutnya, asimilasi data HF radar dan
ATP pada model numerik dinamika laut
yang
representatif
dapat
memberikan
ramalan kondisi perairan Selat Lombok
selama 1-2 minggu ke depan, sehingga
sistem peringatan dini ini dapat dijadikan
panduan keselamatan pelayaran di Selat
Lombok selama kurun waktu tersebut.
Selain itu, aplikasi sistem peringatan dini
dan monitoring lingkungan laut dapat
digunakan untuk prediksi kondisi cuaca
setempat dan parameter lingkungan laut yang
bermanfaat untuk budidaya ikan dan mutiara
yang tersebar di perairan Selat Lombok.
Mengingat
pentingnya
keselamatan
pelayaran dan besarnya nilai
ekonomis
dari aktivitas industri perikanan, budidaya
mutiara, dan sektor pariwisata di Selat
Lombok, maka kebutuhan akan sistem
peringatan dini hendaknya menjadi prioritas
utama.
5. Daftar Pustaka
[1] Murray,
S.P.and
D.
Arief,
1988,
Throughflow into the Indian Ocean
through the Lombok Strait, Januari 1985
– Januari 1986, Nature, 333, 444-447.
[2] Sprintall, J., J.C. Chong, F. Syamsudin,
W. Morawitz, S. Hautala, N. Bray, and S.
Wijffels, 1999, Dynamics of the South
Java Current in the Indo-Australian Basin,
Geophys. Res. Lett., 26, 2493-2496.
[3] Syamsudin F., A. Kaneko, and D.B.
Haidvogel,
2004,
Numerical
and
Observational Estimates of Indian Ocean
Kelvin wave intrusion into Lombok Strait,
Geophys. Res. Lett. (In Press)
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
48
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
INOVASI
Merangsang Inovasi Daerah
Rizeria Ada
Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan
seria@indosat.net.id
Otonomi daerah seakan memberikan angin
baru bagi daerah karena pendelegasian
wewenang yang cukup besar dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah (Pemda).
Kini Pemda telah berada di garis depan
dalam melaksanakan pembangunan di
daerahnya. Karena itu tuntutan atas
kemandirian Pemda makin tinggi. Bagaimana
membangun kemandirian agar kesejahteraan
daerah bisa terwujud ?
Kesejahteraan suatu daerah tidak datang
begitu saja. Tidak ada jaminan bahwa daerah
yang kaya akan sumberdaya alamnya akan
otomatis sejahtera. Namun juga harus
dipahami bahwa kekayaan sumberdaya alam
merupakan potensi yang mesti dikelola
dengan sebaik-baiknya. Namun, sayangnya
selama ini kekayaan sumberdaya alam yang
dimiliki daerah belum mampu membuat
daerah sejahtera. Ini terjadi karena ada
sesuatu yang salah dalam kebijakan
pembangunan daerah. Yakni, kebijakan yang
dikeluarkan tidak berasal dari bawah (bottom
up). Semuanya masih dari atas (top down).
Karena itu, era otonomi daerah ini adalah
momentum bagi bangkitnya daerah. Dan,
bangkitnya daerah ini harus merupakan
inisiatif lokal.
Pembangkitan Daerah
di Jepang
awalnya digagas oleh seorang Gubernur
Propinsi Oita Mr.Hiramatsu. Beliau sangat
terkenal dengan ”Gerakan Satu Desa Satu
Komoditas” salah satu dari sekian gerakan
pembangkitan daerah yang dinilai unik dan
berhasil. Beberapa negara telah mencoba
belajar dari pengalaman Jepang untuk
membentuk strategi pembangkitan daerah. Di
Thailand pendekatan ini kemudian diadopsi
pada tingkat kecamatan dalam pendekatan
bernama one tambon one commodity. Ini
menunjukkan bahwa pengembangan lokalitas
melalui potensi lokal merupakan pendekatan
pembangunan yang cukup valid. Sebelum
membuat visi dan strategi sangatlah penting
untuk mengenali lebih dahulu apa yang ada di
daerah dan siapa saja yang berperan sebagai
pelaku pembangunan. Perencanaan sampai
pelaksanaan pembangunan selama ini harus
berasal dari fakta( potensi dan sumber daya)
yang ada di lapangan. Visi ,misi dan program
yang dibuat pemerintah daerah haruslah
menjadi pilar utama bagi seluruh kegiatan.
Mari kita tinjau bagaimana cara pemerintah
daerah membuat perencanaan daerah. Mulai
dari GBHD (Garis-garis Besar Haluan
Daerah), POLDAS (Pola Dasar), PROPEDA
(Program Pembangunan Daerah), RENSTRA
(Rencana Strategis), REPETADA (Rencana
Pembangunan
Tahunan
Daerah).
Ada
beberapa perencanaan yang mirip satu sama
lainnya. Hal ini disebabkan karena pada
kenyataannya perencanaan tersebut dibuat
oleh perguruan tinggi atau konsultan yang
sama. Pemerintah hanya menerima dokumen
tersebut sebagai acuan untuk perencanaan
sampai pelaksanaan pembangunan. Wajar
saja kalau banyak program yang telah
mengeluarkan banyak biaya namun tidak
menyentuh kebutuhan masyarakat, hal ini
disebabkan karena program tersebut tidak
dibuat berdasarkan kondisi di lapangan tetapi
berasal dari pikiran konsultan.
Sangatlah diharapkan agar rencana
strategi benar-benar bisa menjadi acuan
pembangunan,
utamanya
pada
saat
penyusunan kegiatan pemerintah daerah.
Pada umumnya proyek pembangunan
menjadi terbengkalai ketika dukungan dari
pemerintah atau donor telah selesai.
Mengapa demikian? Ada beberapa fakto
penyebabnya, antara lain : (a) belum terlihat
visi dan strategi pemerintah yang jelas, (b)
belum terlihatnya konsep yang jelas tentang
manajemen pembangunan, (c) belum terlihat
kesadaran tentang arti penting kemandirian
dan keberlanjutan, (d) belum terlihat
mobilisasi sumberdaya setempat
yang
tersedia maupun dari luar secara terpadu, (e)
belum terlihat keseriusan memperhitungkan
pentingnya sumberdaya pasar (persyaratan
dan tuntutan yang diminta oleh konsumen).
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
49
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
1. Visi: Langkah Awal Paling Pokok
Apa yang dibutuhkan untuk mendesain
masa depan daerah? Jawabannya adalah:
ketajaman visi. Visi harus menggugah dan
memacu semangat untuk bergerak maju. Visi
dan strategi daerah berpijak pada potensi dan
sumberdaya yang ada di daerah. Lalu diikuti
dengan pemanfaatan sumberdaya dan
partisipasi stakeholder. Di sinilah Pemda perlu
mengambil
langkah–langkah
proaktif,
merangkul seluruh potensi masyarakatnya
untuk menentukan masa depan bersama.
Peran leadership sangat penting dalam
gerakan pembangunan daerah.
Daerah
yang berhasil selalu mempunyai pemimpin
lokal yang kuat, punya visi dan punya cita-cita
membangun.
Mari kita mencoba menelaah mengapa
rakyat Amerika menjadi negara adikuasa.
Napoleon Hill penasehat pribadi presiden
Amerika dipanggil untuk membicarakan solusi
bagi krisis yang tengah melanda Amerika.
Saran pertama yang keluar dari mulut
Napoleon agar sang presiden mengeluarkan
“Undang
–undang
Wajib
Optimisme”
melawan krisis.
Bahwa bangsa Amerika
adalah bangsa yang besar dan punya aset
yang besar melebihi krisis, sehingga tidak ada
alasan sedikitpun yang membenarkan untuk
menyerah. Undang-undang tersebut harus
disosialisasikan melalui media massa,
lembaga swasta dan pemerintah agar rakyat
Amerika menjadi
percaya diri menatap
masa depannya. Jangan heran jika keturunan
Amerika sampai kini punya percaya diri yang
lebih besar dari bangsa lain. Artinya mari kita
isi
pikiran
kita
dengan
hal
positif.
Membangun visi daerah dengan penuh
optimisme dan motivasi.
Mr. Hiramatsu adalah Gubernur propinsi
Oita di Jepang merupakan salah satu contoh
gubernur yang mewakili sikap daerah yang
bersemangat untuk aktif memperbaiki sistem
sentralistik Jepang dengan pelaksanaan
pembangunan daerah yang berdasarkan
inisiatif lokal. Melalui program ”Gerakan Satu
Desa
Satu
Komoditas”
Mr.Hiramatsu
berusaha
menggali,
mengelola
dan
mengembangkan potensi khas yang dimiliki
oleh setiap desa secara profesional. Visi dan
strategi gerakan ini telah menumbuhkan
semangat dan rasa persaingan yang sehat
dalam diri masyarakat Propinsi Oita yang
sebenarnya tidak memiliki SDA yang andal.
Melalui gerakan ini, desa-desa di propinsi
Oita mampu menghasilkan komoditas, objek
wisata, dan kebudayaan yang bisa bertahan
dan mempunyai nilai jual tinggi. Kini
pengunjung tak henti-hentinya berkunjung ke
desa-desa di Oita. Masyarakat desa merasa
bangga atas fenomena ini dan menjadi
semakin bersemangat.
Keberhasilan ”Gerakan Satu Desa Satu
Komoditas” di Oita memperlihatkan kepada
kita bahwa rasa ketidakberdayaan dan
ketergantungan yang umum dialami oleh
masyarakat desa dapat diatasi apabila
masyarakat mengetahui potensi khas yang
mereka miliki dan ada keinginan untuk
mengembangkannya. Peranan pemerintah
dalam hal ini hanyalah sebagai pendukung
dan pendorong saja agar masyarakat dapat
mandiri dan menghargai jerih payahnya
sendiri.
2. Membangun
partisipatoris
kolaborasi
secara
Melalui
kolaborasi,
daerah
dapat
berkonsentrasi dengan semua elemen terkait
satu sama lainnya termasuk lembaga riset,
masyarakat bisnis, perguruan tinggi, lembaga
swadaya masyarakat dan berbagai institusi
yang saling menopang.
Daerah dapat
membangun daya saing secara efektif melalui
peningkatan produktifitas. Produktifitas ini
menyangkut
bagaimana
memanfaatkan
setiap sumberdaya secara bijaksana dan
penciptaan nilai lebih bagi setiap produk.
Keberhasilan Costa Rica sebuah negara di
kawasan Amerika Latin bekas jajahan
Spanyol
berusaha
membangun
masyarakatnya. Costa Rica yang dulu kita
kenal sebagai Banana Republic karena
ekonominya cuma mengandalkan pisang,
dapat tumbuh menjadi negara maju dengan
menjadi eksportir alat-alat kesehatan yang
penting didunia. Pemerintahnya melalui sosok
president Jose Maria Figurees Olson secara
meyakinkan mampu berkolaborasi dengan
masyarakat dan pelaku bisnis di negaranya.
Mereka berhasil meyakinkan investor sekelas
Intel
dan Motorola dengan menyediakan
kawasan yang terintegrasi dan birokrasi yang
bersahabat. Hasilnya Costa Rica kini
mendapat julukan baru “ Switzerland of Latin
American.
Petani anggur di California USA sanggup
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
50
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
bangkit menyaingi dominasi Prancis di pasar
dunia , itu tidak lepas dari eksistensi industri
pendukungnya.
Saat petani menghadapi
wabah dahsyat phylloxera yang menyerap
akar pohon anggur, Pemda, Asosiasi industri
dan
lembaga
riset/jurusan
Enology
Universitas California turun bahu membahu
membantu petani.
Semua berkolaborasi
menuju satu tujuan , mencapai kesejahteraan
bersama.
3. Merangsang Inovasi
Salah satu strategi untuk program
pembangunan berkelanjutan adalah ” tampil
beda dari yang lainnya”. Untuk bisa menjadi
tampil beda perlu inovasi. Inovasi sebagai
kunci daya saing sebenarnya sudah sangat
klise. Masalahnya bagaimana menciptakan
iklim agar inovasi dapat terjadi.
Contoh
negara-negara yang kaya inovasi seperti
Jepang, Swiss dan Finlandia, mereka sangat
kompetitif di industrinya masing-masing.
Jepang dengan elektroniknya, Swiss dengan
jam
tangan
dan
Finlandia
dengan
telekomunikasinya- lihat saja ponsel Nokia
yang kita pakai. Nokia mampu memanjakan
masyarakat dengan mempengaruhi emosi
masyarakat.
Semua pelaku pembangunan seharusnya
memiliki peran besar untuk memikirkan
kemana strategi
pembangunan
daerah
akan diarahkan. Propinsi Sulawesi Selatan
mencanangkan
konsep
”Perwilayahan
Komoditas” yang intinya produk-produk
pertanian dikembangkan sesuai dengan
wilayah potensial masing-masing daerah
dengan konsep ”Petik, Olah, Jual” yang
mendorong petani memasarkan produknya
setelah diolah agar memberikan nilai tambah.
Namun konsep ini tidak dibarengi dengan
pengembangan
industri
pendukungnya,
belum melibatkan dunia bisnis, perguruan
tinggi dan lembaga riset lainnya secara
komprehensif.
Untuk itu eksistensi industri pendukung
seperti teknologi pertanian, pupuk, asosiasi
petani , lembaga riset dan sebagainya yang
terkait dalam satu komunitas harus didukung
keberadaan dan kinerjanya. Visi dan strategi
yang jelas adalah kunci membangun daya
saing suatu daerah agar bisa berkompetisi
dengan daerah lainnya. Strategi yang baik
bukan hanya mengarahkan kita berbeda
tetapi harus mampu memberikan nilai yang
tinggi
kepada
masyarakat.
Bila
daerah-daerah berubah artinya Indonesia pun
berubah.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
51
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
HUMANIORA
Bahasa (di) Indonesia i
—Sebuah Renungan—
Santi Stanislausia Liem
Alumnus Kagoshima University
The Japan Foundation, Jakarta
santist@yahoo.co.jp
Kita boleh berbangga karena presiden
baru kita adalah salah satu penerima
penghargaan sebagai pengguna bahasa
Indonesia terbaik. Saya yakin bahwa Bapak
Presiden tidak hanya pengguna yang baik
secara lisan, tetapi juga secara tulisan. Jika
kita perhatikan dengan baik, penggunaan
bahasa Indonesia resmi baik lisan maupun
tulisan
mengalami
pengeroposan
di
mana-mana. Bukan hanya media masa
(termasuk iklan), bahkan petunjuk lalu-lintas
yang seharusnya mencerminkan bahasa
Indonesia yang baik pun ternyata turut andil
dalam
menggerogoti
kemantapan
tatabahasa bahasa nasional kita.
Pernah suatu ketika, salah satu menteri
kita, dengan alasan nasionalisme, melarang
semua yang berbahasa asing dalam
nama-nama toko, pusat perbelanjaan yang
menyebabkan bahasa Indonesia semakin
ringkih. Ketika Anda melihat tulisan “Mal Apik
Indah”, bagaimana Anda melafalkan bunyi
“mal”? Apakah [mol] atau [mal]? Apakah
dalam pelajaran bahasa Indonesia kita diajari
bahwa [a] dibaca [o]? Mengapa sampai
sekarang “sanksi” dan “bank” yang berasal
dari bahasa Inggris tidak diubah ejaannya?
Kita sering menertawakan bahasa Melayu
Malaysia, namun sebagai bahasa, bahasa
Malay
lebih
konsisten
dan
kokoh
dibandingkan bahasa Indonesia yang
semakin lama semakin kedengaran “keren”
dengan menggunakan sederetan bahasa
impor. Quo vadis bahasa Indonesia, sudah
saatnya pemerintah memberikan perhatian
lebih kepada pertumbuhan bahasa nasional
kita yang tersendat.
1. Tata Bahasa Baku BI dan Penegakan
Hukum Bahasa
Bahasa, baik lisan maupun tulisan,
merupakan
salah
satu
alat
untuk
menyampaikan buah pikiran. Namun,
tampaknya orang Indonesia lebih suka dan
lebih ahli dalam memakai cara lisan,
daripada dengan tulisan. Bahasa lisan
bahasa Indonesia yang baik yang setiap hari
kita dengar mungkin terbatas pada
berita-berita formal di televisi. Selain itu, kita
lebih banyak berbicara dan mendengarkan
bahasa/dialek daerah, atau bahkan bahasa
asing, mengingat banyaknya orangtua yang
menginginkan anaknya multilingual sejak dini
untuk menghadapi era globalisasi.
Lalu, apa yang terjadi ketika kita diminta
untuk menuangkan pikiran ke dalam tulisan?
Setidaknya ada dua masalah yang akan kita
hadapi. Pertama, perumusan bahasa yang
sulit dimengerti. Kedua, aturan penulisan dan
pemakaian tanda baca yang tidak baku.
Mengapa
demikian?
Kemungkinan
pertama, karena kita tidak terbiasa menulis
atau menuangkan buah pikiran dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Kedua,
karena keterbatasan kosakata dalam bahasa
Indonesia. Ketiga, pemerintah sendiri tidak
memberikan contoh yang baik dalam
penegakan hukum bahasa. Coba Anda
perhatikan pengumuman berikut, “Anda
memasuki di kawasan three-in-one”, “Jangan
membuang sampah disembarang tempat!”,
“Mohon masukan formulir yang telah di isi
ii
didalam kotak ini.” . Di mana letak kesalahan
kedua pengumuman di atas? Saya yakin
Anda tahu karena telah mendapat pelajaran
bahasa Indonesia sejak bangku SD sampai
perguruan tinggi.
Kemungkinan keempat, mungkin bahasa
Indonesia sudah dianggap tidak sepenting
bahasa asing, sehingga “Yang penting
artinya nyambung!”. Semoga kemungkinan
keempat ini hanya sebatas asumsi belaka.
2. Pemertahanan Bahasa Daerah
Pada waktu negara Jepang baru berdiri,
pemerintahnya
dengan
gencar
memasyarakatkan
penggunaan
bahasa
Jepang standar (bahasa Jepang yang
digunakan di ibukota Tokyo), salah satunya
dengan melarang penggunaan bahasa
daerah.
Barangsiapa
yang
diketahui
berbahasa daerah di sekolah akan
dikenakan hukuman hougen fuda, yaitu
mengenakan kalung papan bertuliskan “Saya
telah berbahasa daerah (hougen)”. Hukuman
yang memalukan ini membuat orang kapok
berbahasa daerah, setidaknya di sekolah.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
52
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
Ketika suatu negara sibuk membangun,
hal-hal yang tidak mendatangkan uang
umumnya tidak mendapatkan perhatian.
Namun, ketika negara tersebut sudah maju,
barulah ilmu-ilmu sosial dan humaniora
mendapatkan kasih sayang. Sejak beberapa
tahun yang lalu, pemerintah Jepang mulai
mengkodifikasi tatabahasa menyusun kamus
dialek-dialek, suatu kekayaan bangsa ini
sedang menuju kepunahan.
Biaya untuk mempertahankan eksistensi
suatu bahasa, khususnya bahasa minoritas
memang tidak sedikit. Sekalipun demikian,
tidak sedikit negara di dunia yang
pemerintah yang memberi perhatian khusus
kepada bahasa minoritas, seperti bahasa
Perancis di Kanada, bahasa Retro Roman di
Swiss, dan bahasa suku-suku minoritas di
RRT.
Kita
perlu
bersyukur
karena
bahasa-bahasa daerah masih digunakan
sampai sekarang, dan tidak ada yang malu
dengan logat daerahnya sekalipun sering
dijadikan bahan candaan. Selain itu,
pemerintah kita mempunyai Pusat Bahasa
yang salah satu divisinya bertugas meneliti
bahasa-bahasa
daerah,
selain
itu
pemerintah juga memasukkan bahasa
daerah dalam kurikulum pendidikan sekolah.
Namun, alangkah lebih baiknya jika
bahasa-bahasa daerah tersebut tidak hanya
terbatas pada bahasa yang mempunyai
aksara,
dan/atau
yang
mempunyai
tatabahasa yang sudah dibukukan. Dan,
sayangnya gebrakan Pusat Bahasa dan
homepage-nya dengan penampilannya yang
sudah keren kurang terdengar, atau kita saja
yang tidak mau mencondongkan telinga
kepada seruannya?
3. Nasionalisme dan Bahasa
Apakah Anda tahu berapa jumlah bahasa
nasional di India? Bukan satu, atau tiga
seperti di Singapura, melainkan empat belas.
Kita semua mengetahui bahwa bahasa
nasional kita, bahasa Indonesia, sekaligus
berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan.
Diangkatnya lingua franca, bahasa Melayu,
sebagai `akar` bahasa Indonesia pada tahun
1928 merupakan salah satu cara untuk
menggalang kesatuan guna mengusir
penjajah pada saat itu. Setelah itu, dengan
giat kita berusaha menggiatkan penggunaan
bahasa Indonesia, dan mengurangi atau
bahkan melarang pengunaan bahasa asing.
Lagi-lagi, karena “nasionalisme”.
Bahasa Inggris tidak terdaftar sebagai
bahasa nasional di India. Namun, menyadari
bahwa “bahasa penjajah” itu penting bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, dan
pembangunan negara, maka pemerintah
India menyelenggarakan pendidikan (dari
tahapan tertentu) dalam bahasa Inggris. Hal
yang serupa dilakukan juga oleh pemerintah
Malaysia dan Filipina.
Berbeda namun serupa dengan India,
pemerintah Singapura menjadikan bahasa
Melayu, bahasa Inggris, dan bahasa
Mandarin sebagai bahasa resmi negara.
Mengapa demikian? Singapura dikelilingi
oleh negara-negara yang berbahasa Melayu,
Sigapura merupakan negara persinggahan,
Singapura mempunyai hubungan ekonomi
dengan Hong Kong dan menyadari geliat
ekonomi RRT.
Apakah bahasa nasional harus selalu
sama dengan bahasa resmi atau bahasa
pengantar di bidang pendidikan, ilmu
pengetahuan, media, dsb.? Apakah dengan
mengangkat salah satu bahasa daerah yang
bukan lingua franca menjadi bahasa nasional
akan menjadikan rakyat negara itu tidak
nasionalis?
4. Penutup
Menentukan suatu bahasa menjadi
bahasa nasional atau bahasa resmi,
kemudian menyebarluaskan penggunaannya
bukanlah pekerjaan yang mudah. Hampir
sepuluh windu umur bahasa Indonesia,
tetapi mengapa kita masih sibuk menata
penggunaannya? Ketika tidak mengetahui
makna atau ejaan kata yang benar, panduan
yang paling tepat dan paling dekat adalah
kamus. Dalam hal bahasa Indonesia, kita
memiliki Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Apakah semua kosakata yang terdaftar di
dalam KBBI telah dianggap resmi dan dapat
digunakan sebagai bahasa Indonesia?
Misalnya, kata “dahar”, “mangan”, “makan”,
ketiganya terdapat di dalam KBBI. Lalu, kata
apakah yang akan kita gunakan? Apakah
standar yang digunakan untuk memasukkan
suatu kata ke dalam KBBI? Lalu bagaimana
dengan kehadiran bahasa asing yang
semakin memojokkan kosakata bahasa
Indonesia yang sudah ada (yang memang
berasal dari bahasa-bahasa daerah dan
bahasa asing juga)?
Jika memang bahasa Indonesia yang ada
sekarang ini tidak dapat menjalankan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk
Dunia
53
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
tugasnya dengan baik, sehingga pemerintah
sendiri harus menggunakan bahasa asing,
seperti busway, three-in-one, say no to drugs,
dan masih banyak lagi, mungkin kita perlu
mempertimbangkan bahasa lain yang
mempunyai tatabahasa yang mantap dan
kosakata lebih kaya untuk menggantikan
sebagian tugasnya? Entah itu bahasa asing,
atau salah satu bahasa daerah karena kita
mempunyai banyak bahasa daerah yang
mempunyai aturan yang jelas.
Atau, mungkin kita perlu menegakkan
hukum bahasa dengan mengadakan sanksi
(baca: sangsi) berupa denda untuk setiap
kesalahan?
i
Dengan keterbatasan bahasa Indonesia saya, saya berharap dapat menyumbangkan sesuatu kepada
bangsa dan negara tercinta.
ii 1) “Anda memasuki di kawasan three-in-one”, kesalahan pada frase `memasuki di kawasan`,
seharusnya `memasuki kawasan` tanpa kata depan `di`. Persoalan di luar tatacara penulisan adalah
penggunaan istilah asing, `three-in-one`, yang bertentangan dengan promosi “nasionalisme”.
2) “Jangan membuang sampah disembarang tempat!”, masalah klasik dalam bahasa Indonesia, yaitu
kata depan `di` dan awalan `di`.
3) “Mohon masukan formulir yang telah di isi kedalam kotak ini.”, kesalahan pertama ada pada kata
kerja perintah `masukan`, yang berasal dari kata dasar `masuk` + akhiran `kan`, yang seharusnya
menjadi `masukkan`. Hal ini sering terjadi pada kata kerja yang berakhiran dengan huruf `k`, seperti
`duduk, tunjuk, letak, dll`. Kesalahan kedua dan ketiga, sama dengan permasalahan di atas, yaitu
penulisan kata depan dan awalan yang tidak tepat.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk
Dunia
54
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
HUMANIORA
Menikmati Perbedaan Bahasa
Budiadi
Staf Pengajar Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta; karyasiswa di Kobe University
budifitri@yahoo.com
Banyak hal menarik yang membekas
dalam pikiran sejak saya harus membagi
kehidupan menjadi dua dunia yang berbeda,
Jepang
dan
Indonesia
(dan
Jawa).
Ketertarikan
pada
dialog
antarbudaya
mendorong keinginan untuk membandingkan
budaya Jepang dan Indonesia. Yang paling
menarik dan dengan biaya yang murah
adalah merenung-renungkan persamaan dan
keunikan bahasa di antara dua alam itu. Jika
kita
menguasai
persamaan
dan
keunikan-keunikan itu, maka seolah-olah
memegang salah satu kunci sukses
berkomunikasi dengan orang lain, termasuk
orang Jepang.
1. Plesetan dan shiritori
Beberapa hari lalu, saya menemani
Kemuning, anak saya, melihat acara film
kartun animasi (anime) di stasiun televisi
swasta di Kobe. Di film itu muncul kalimat
menarik, Furansu wa ame ga furan`su.
Oranda dewa pengin ga oran-da. Kalimat ini
adalah salah satu bentuk plesetan (dajare)
gaya Jepang yang mutakhir, karena pada
dasarnya bahasa Jepang sangat rentan untuk
dipleset-plesetkan. “Bahasa Jepang kaya
istilah, tetapi miskin bunyi”, begitu kata ibu
guru Noriko Ishida saat kursus bahasa di
Jogja dulu. Banyak sekali istilah Jepang yang
bunyinya sama, tetapi artinya sangat berbeda.
Sehingga orang Jepang sendiri sulit
memahami kata-kata atau kalimat, jika tidak
melihat
atau
memahami
konteks
pembicaraan.
Akan
lebih
mudah
memahaminya jika setiap kata-kata yang
meragukan itu ditulis dalam bentuk huruf kanji.
Jadi, artinya huruf-huruf kanji sebenarnya
bisa jadi sumber masalah, karena banyak
huruf yang bunyinya sama tetapi tulisan (atau
gambar) dan artinya berbeda.
Kalimat yang muncul di televisi itu adalah
salah satu bentuk plesetan yang mudah
dipahami. Artinya hanya berupa permainan
kata-kata. Kalimat yang benar adalah
Furansu wa ame ga furanai desu. Oranda
dewa pengin ga oranai desu artinya : Di
Perancis hujan tidak turun, di Belanda tidak
ada pinguin. Bentuk plesetan dan permainan
kata-kata yang lawas misalnya Niwa niwa
niwatori ga niwa imasu. Kalimat ini mudah
dimengerti jika ditulis dengan huruf-huruf kanji.
Sepertinya hanya pengulangan kata niwa
tetapi masing-masing memiliki arti dan fungsi
yang berbeda. Niwa yang pertama artinya
halaman, niwa yang kedua artinya di (kata
depan penunjuk tempat), yang ketiga
niwa+tori artinya ayam, dan niwa yang
terakhir adalah dua ekor. Kata ga adalah
partikel, dan imasu menyatakan keberadaan.
Jadi lengkapnya berarti : Di halaman ada dua
ekor ayam. Plesetan gaya Jepang ini rupanya
terus berkembang dan selalu menarik untuk
diikuti bagi penikmat bahasa, seperti juga
dalam bahasa lain misalnya plesetan dalam
bahasa Jawa.
Lain lagi dengan istilah shiritori. Shiritori
adalah permainan kata-kata yang sambung
menyambung, dengan mengambil suku kata
sebelumnya untuk menemukan kata yang lain.
Shiri artinya pantat atau ekor, dan tori artinya
mengambil Yang paling populer di kalangan
anak-anak misalnya kobuta tanuki kitsune
neko, adalah deretan nama-nama binatang
untuk mengenalkan anak-anak kepada alam.
Shiritori menjadi semacam permainan antara
beberapa orang, jika ada waktu luang di
sela-sela minum teh. Di sinilah saya teringat
pada “shiritori “dalam bahasa Jawa yang
sering saya ucapkan waktu sekolah di
kampung. Esuk -esuk tuku lenga nyangking
botol, konco (maksudnya kanca), kanca
lawas tak jak dolan menyang kali, pelem,
pelem mentah kecute ngungkuli jeruk, tuma,
tuma kathok klelar-kleler nduwur rambut,
jempol… (Maaf, sulit untuk menjelaskan
maknanya dalam bahasa Indonesia). Bagi
yang
kurang
memahaminya,
cukup
perhatikan bahwa satu suku kata pada setiap
akhir anak kalimat merupakan awal dari anak
kalimat berikutnya. Persis seperti shiritori, kan.
Terlepas dari nuansa seronok dalam
permainan ini, nampaknya bahasa apapun
membutuhkan kreativitas untuk berkembang.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
55
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
2. Istri saya memakai chinchin
Pada kali yang lain, saya terlibat dalam
pertemuan persahabatan dengan beberapa
kenalan baru, orang Jepang. Untuk memecah
suasana beku, saya mengatakan pada
mereka “Indonesia wa meishi ga NAS(H)I,
sakana wa IKAN!” Mereka kaget, masak di
Indonesia tidak ada nasi dan makan ikan
tidak boleh. Mereka tahu bahwa sebagian
besar orang Indonesia makan nasi. Mereka
juga sedikit tahu bahwa orang tertentu tidak
boleh makan daging binatang tertentu, yakni
babi untuk orang Islam dan daging sapi buat
orang Hindu. Tapi, kata-kata itu menjadi
kejutan baru buat mereka. Anda yang tahu
bahasa Jepang, tentu segera menangkap
maksud kalimat itu. Arti harfiah kalimat di atas
adalah “Di Indonesia tidak ada nasi, dan
makan ikan tidak boleh. ” Padahal maksud
saya, “Di Indonesia meishi (makanan utama)
adalah nasi, dan sakana disebut ikan.”
Catatan, ikan dalam slang bahasa Jepang
adalah singkatan dari ikanai, artinya tidak
boleh. Setelah saya jelaskan maknanya,
barulah suasana cair dan pembicaraan lancar.
Anda pengin mengadopsi cara ini? Silakan.
Yang kedua ini, maaf agak porno. Sewaktu
tinggal di Kyoto, seorang teman yang sering
ke Indonesia bertanya, “Apa artinya chinchin
dalam bahasa Indonesia?” Dengan lugu saya
jawab, “Yubiwa (cincin).” Padahal, chinchin
dalam bahasa Jepang berarti, maaf, alat
kelamin (lelaki). Maka, kalau tidak berhati-hati
berbicara bahasa Indonesia di Jepang, atau
mencampur kedua bahasa itu dengan
ceroboh, bisa membuat kemaluan, eh
maksudnya bisa membuat malu. Coba Anda
artikan (misalnya Anda menjadi orang
Jepang), “Istri saya memakai chinchin milik
saya.”………
Bahasa Jepang juga menarik perhatian
karena,
seperti
bahasa
kita,
juga
mengakomodir kata ulang. Contohnya adalah
chouchou untuk kupu-kupu. Sebagian orang
cukup menyebutnya dengan chou saja,
dan kita juga ada yang menyebut kupu saja
(terutama orang Jawa). Untuk bintang atau
cahaya yang kelap-kelip, orang menyebutnya
kira-kira. Untuk permukaan benda yang kasar,
kresek-kresek, orang Jepang mengatakan
kasa-kasa. Langkah-langkah gajah yang
berjalan berat, gedebag-gedebug, mereka
menyebutnya dozun-dozun. (Lihat tulisan
Santi
Stanislausia
L,
INOVASI
Vol.
1/XVI/Agustus 2004, hal. 45-47). Dan masih
banyak perbandingan menarik yang lain.
3. Carilah persamaan dan keunikan, bukan
perbedaan dan keaneha n
Mencari persamaan dan keunikan, itulah
kata-kata yang harus dipegang untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Sebaliknya,
jika setiap berkomunikasi dengan orang lain
diawali dengan perasaan beda kelas, beda
bangsa, beda agama, beda suku dan
lain-lainnya, maka pasti pembicaraan akan
mandeg alias buntu. Jadi apa persamaan
Anda dengan Pak Suzuki? Sama-sama naik
Honda, kan?
Bahasa dengan dengan variasi tutur kata,
umumnya hanya dikuasai oleh kelompok
dengan latar belakang tertentu yang sejenis
saja,
meskipun
`orang
luar`
bisa
mendalaminya dengan belajar. Akan tetapi,
dari kasus kecil tentang perbandingan bahasa
Jepang dan Indonesia (dan Jawa) di atas,
bisa dipahami bahwa terdapat persamaan
dalam perkembangan cara bertutur menurut
tujuan dan kepentingannya masing-masing,
yang merupakan wujud dari cara menyiasati
komunikasi yang jenuh dengan cara bertutur
`tradisional`.
Persamaan
dan
keunikan-keunikan seperti itu sebenarnya
sangat banyak dijumpai, jika penutur
mendalami ruh masing-masing bahasa, dan
tentu sangat menarik sebagai sebuah ide
untuk memecahkan kebekuan komunikasi
antarbudaya.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
56
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
HUMANIORA
Mengkaji Kembali Pengajaran Fisika di Sekolah Menengah
(SMP dan SMA) di Indonesia
Khairul Basar
Staf Pengajar Departemen Fisika Intitut Teknologi Bandung
Mahasiswa Program Doktor di Graduate School of Science and Engineering – Ibaraki University
E-mail: khbasar@yahoo.com
Jika ditanyakan kepada siswa sekolah
menengah di Indonesia tentang pelajaran
apa yang dianggap paling sulit, umumnya
sebagian besar menjawab fisika.
Jika
pertanyaannya
kemudian
diteruskan
mengapa fisika menjadi pelajaran yang
dianggap paling sulit dipahami barangkali
jawabannya adalah karena dalam pelajaran
fisika sangat banyak hal abstrak yang harus
dipahami, banyak rumus yang harus dihapal
dan lain-lain. Umumnya siswa masih lebih
mudah memahami matematika daripada
fisika.
Padahal bukankah matematika
mempelajari hal yang juga tidak kalah
abstraknya?
Apakah pelajaran fisika memang selalu
membahas hal yang abstrak dan apakah
memang
pelajaran
fisika
selalu
mengutamakan penggunaan rumus-rumus?
Hal inilah yang akan dibahas dalam tulisan
ini.
1. Fisika: ilmu
sekitar kita
tentang
lingkungan
Inilah yang seharusnya kita segarkan
kembali dalam benak kita, bahwa ilmu fisika
sebenarnya adalah ilmu yang mencoba
menjelaskan tentang keadaan-keadaan
yang kita temui sehari-hari.
Misalnya
gerak benda, bagaimana kita bisa melihat
benda, sifat suatu benda dan lain-lain.
Jadi justru seharusnya Fisika membahas
hal-hal yang sangat konkrit dan nyata
keberadaannya.
Kesan yang timbul di sebagian besar
anggapan siswa tidak bisa dipungkiri akibat
telah bergesernya cara pengajaran fisika ke
arah yang lebih bersifat abstrak. Hal ini
disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor
pengajar, fasilitas, kreatifitas serta sasaran
yang ditetapkan dalam pengajaran fisika itu
sendiri.
digunakan,
kemudian
memberikan
rumus -rumusnya lalu memberikan contoh
soal.
Akibatnya ilmu fisika terreduksi
menjadi bacaan dan siswa hanya dapat
membayangkan. Jika fenomena fisis yang
sedang dibahas telah pernah dialami oleh
siswa
mungkin
siswa
akan
dapat
merekonstruksinya
kembali
menjadi
pemahaman yang lebih baik.
Tapi
bagaimana jika tidak?
Inilah yang
menyebabkan
materi
yang
ingin
disampaikan tidak mengenai sasaran.
Fasilitas juga sering dijadikan penyebab
bergesernya paradigma pengajaran fisika.
Harus kita sadari bahwa memang umumnya
sarana
eksperimen
fisika
(baca:
laboratorium)
hanya
dijumpai
di
sekolah-sekolah
yang
mempunyai
anggaran cukup besar atau paling tidak
memadai.
Ini artinya sebagian besar
sekolah di kota-kota dan bahkan hampir
seluruh sekolah daerah yang jauh dari kota
besar akan kesulitan melengkapi kegiatan
belajar mengajarnya dengan eksperimen
yang mendukung penjelasan teori yang
disampaikan di kelas. Jika tidak dilengkapi
dengan pengamatan, pengajaran fisika
tidak beranjak dari hal yang sifatnya hanya
dibayangkan saja.
Sasaran ujian masuk perguruan tinggi
yang menyajikan soal-soal fisika yang
cukup sulit juga mengkondisikan pengajar
untuk memberikan banyak soal latihan
kepada siswa selama proses belajar.
Tampaknya pemberian soal latihan bukan
lagi sebagai sarana untuk melengkapi
pemahaman tapi lebih ke arah memperoleh
jawaban secepat mungkin.
Ketiga hal tersebut saling mempengaruhi
proses pengajaran fisika di sekolah
menengah dan pada akhirnya menjadikan
fisika sebagai mata pelajaran yang
“menakutkan”.
Pengajar fisika di sekolah lebih sering
membahas teori dari buku pegangan yang
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
57
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
2. Kembali ke esensi fisika: pengamatan
Para ilmuwan jaman dulu, yang saling
menyumbangkan
kontribusinya
untuk
fondasi ilmu pengetahuan saat ini, selalu
memulai dari pengamatan.
Ya, dari
mengamati sesuatu kemudian mencoba
menduga-duga, lalu menguji dugaannya
dan kemudian mengambil kesimpulan.
Sebuah metoda yang kita kenal dengan
metoda
ilmiah.
Dapatkah
kita
mengembalikan pengajaran fisika ke arah
yang sebenarnya yaitu berawal dari
mengamati
lingkungan
sekitar
kita?
Jawabannya: dapat.
Kita bisa memulai dengan mengamati
sekeliling kita, juga dengan memberikan
peragaan sederhana yang nantinya dapat
mendukung atau menjelaskan paparan teori
yang telah ada di buku. Peragaan atau
percobaan jangan dulu digunakan untuk
membuktikan teori yang telah ada di buku,
karena teori di buku telah banyak
memasukkan
anggapan-anggapan
idealisasi. Peragaan dan percobaan lebih
ditujukan untuk menumbuhkan sense siswa
dalam menangkap fenomena fisis yang
terjadi di sekitarnya. Artinya alat peraga
tidaklah harus mahal dan seharusnya dapat
dijumpai di manapun juga. Untuk dapat
merancang dan melakukan hal seperti ini
memang
dibutuhkan
kreatifitas
dan
prosesnya terkadang memakan waktu yang
cukup lama.
matematik suatu fenomena fisik adalah
seperti halnya menceritakan sesuatu
dengan bahasa yang lain.
Jadi rumus
matematik
hanyalah
bahasa
untuk
mengkomunikasikan ide kepada orang lain.
Fisika
bukanlah
matematik,
namun
memang para ilmuwan fisika menggunakan
symbol-simbol matematika sebagai bahasa
yang universal untuk mengkomunikasikan
ide dan menjelaskan suatu fenomena fisis.
4. Penutup
Dengan melihat kedua hal tersebut
kiranya perlu dilakukan suatu rekonstruksi
kembali mengenai pengajaran fisika di
sekolah menengah (SMP dan SMA) di
Indonesia.
Jika kedua hal tersebut di atas telah
dapat didudukkan pada posisi yang
sebenarnya penulis merasa yakin bahwa
sedikit demi sedikit pelajaran fisika akan
menjadi pelajaran yang ditunggu-tunggu
dan digemari oleh siswa. Fisika bukan lagi
menjadi momok karena sulit dan nilainya
yang rendah.
Lalu kita bisa berharap
semakin banyak siswa yang tertarik
mempelajari fisika khususnya dan ilmu
pengetahuan lain umumnya. Dan mungkin
mimpi kita agar kelak ilmuwan dari
Indonesia dapat berperan di tingkat
internasional dapat menjadi kenyataan.
3. Rumus: hanyalah bahasa
Rumus, yang telah menjadi bahasa yang
menakutkan, sebenarnya bukanlah esensi
ilmu fisika itu sendiri.
Rumusan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
58
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
KESEHATAN
EPILEPSI, BAGAIMANA JALAN KELUARNYA?
Muhamad Thohar Arifin, MD
Dosen Anatomi dan Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang
Sedang menempuh pendidikan Doktoral dan fellow di Bagian Bedah Saraf Universitas
Hiroshima.
Penyakit ayan atau epilepsi sudah sering
kita dengar, kita tahu gejalanya, tapi ada
informasi yang perlu kita kaji lebih
lanjut..Tulisan
berikut
akan
mencoba
menelaah epilepsi dari mekanisme, tanda dan
gejala, persepsi yang salah tentang epilepsi
dan pengobatannya.
Andaikata otak kita anggap sebagai pusat
komputer
yang
secara
elektronik
mengendalikan seluruh aktivitas badan kita,
serangan kejang pada epilepsi adalah wujud
lepasnya muatan listrik secara bersamaan
dan tidak terprogram dari sekumpulan sel-sel
otak atau dari seluruh otak. Akibat lepasnya
muatan listrik secara tidak terkontrol ini
adalah kejang-kejang yang bisa dimulai dari
lengan atau tungkai kemudian menyebar ke
seluruh tubuh.
Bila kejang juga mengenai otot -otot
pengunyah di sekitar mulut, kelenjar liur pun
seperti diperah sehingga isinya keluar berupa
buih/busa di mulut, yang kadang-kadang
disertai darah akibat lidah yang tergigit.
Anggapan bahwa epilepsi atau ayan dapat
ditularkan melalui buih atau busa di mulut
tersebut jauh dari kebenaran.
Setelah seluruh sel otak melepaskan
muatan listriknya, untuk sesaat sel-sel
tersebut akan kehabisan energi dan
mengalami kelelahan, yang wujudnya adalah
penderita yang tak sadar, lelah, atau loyo
untuk sementara. Secara medis, keadaan itu
disebut paralise todd.
Seseorang baru boleh dinyatakan sebagai
pengidap
epilepsi
dengan
segala
konsekuensinya bila telah dibuktikan bahwa
pada tubuh atau otak orang itu tidak ada
penyebab
kejang
lain
yang
bisa
dihilangkan/disembuhkan, misalnya tumor
atau malformasi dari pembuluh darah, atau
sisa darah di permukaan otak yang
mengiritasi otak.
Bentuk serangan epilepsi tidak selalu
berupa gejala kejang-kejang. Pada anak-anak
misalnya, lebih banyak berupa terdiam atau
bengong sesaat, kemudian sadar lagi. Mulut
yang tiba-tiba komat-kamit di luar kehendak,
atau tangan/kaki yang bergerak-gerak sendiri
pada pasien yang tetap sadar, atau
seseorang yang tiba-tiba terjatuh dan tak
sadar sesaat, juga merupakan bentuk
serangan epilepsi.
Ada kejang yang hanya melibatkan satu
daerah saja di otak dan ada kejang yang
melibatkan seluruh otak. Kejang parsial
melibatkan sebagian kecil daerah di otak,
yang bisa menyebar ke seluruh otak.
Sedangkan kejang general melibatkan
seluruh otak sejak di mulai aktifnya otak.
Beberapa penderita merasakan adanya
peringatan sebelum datangnya kejang (perut
mual, sesuatu yang menjalar dari dalam
tubuh, perasaan tidak enak dan lain-lain),
peringatan itu di sebut dengan “aura”.
Mengapa ada sekelompok sel-sel otak
yang secara spontan, di luar kehendak,
tiba-tiba melepaskan muatan listriknya?
Keadaan ini disebabkan ada perubahan baik
anatomis
(struktur/bentuk)
maupun
biokimiawi pada sel-sel itu atau pada
lingkungan di sekitarnya. Perubahan terjadi
akibat trauma fisik/benturan/memar pada otak,
berkurangnya aliran darah/zat asam akibat
penyempitan
pembuluh
darah,
pendesakan/rangsangan oleh tumor, dan
yang terpenting (dan baru akhir-akhir ini
diketahui) adalah proses sklerosis, yaitu
jaringan otak yang mengalami "pengerasan''
akibat dari digantikannya sel-sel saraf/neuron
oleh sel-sel penyokong/sel-sel glia/jaringan
parut.
Penderita dengan epilepsi takut bahwa
sepanjang hidupnya akan menderita epilepsi.
Mereka takut untuk mengemudi, takut untuk
berenang, dan yang paling memalukan
adalah mendapat serangan kejang di depan
umum. Juga telah menjadi keyakinan bahwa
kemungkinan mati mendadak pada penderita
epilepsi cukup tinggi. Obat untuk mengontrol
epilepsi memiliki efek penenang
dan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
59
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
memiliki efek lain berupa melambatnya
proses berfikir. Dan ibu hamil dengan terapi
epilepsi
memiliki
kemungkinan
untuk
terjadinya kecatatan pada janinnya cukup
tinggi.
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah
membuat penderita terbebas dari serangan,
khususnya serangan kejang, sedini/seawal
mungkin. Penderita dengan epilepsi pilihan
terapi pertamanya adalah dengan obat anti
epilepsi (OAE), dan beberapa penderita dapat
terkontrol kejangnya dengan obat. Namun,
ada beberapa penderita yang tidak terkontrol
dengan obat. Sebagian orang beranggapan
bahwa epilepsi tidak harus menjadi penyakit
sepanjang hidup. Ya, ternyata ada terapi
untuk epilepsi selain dengan obat, yaitu
dengan bedah epilepsi.
Faktanya bahwa bedah epilepsi satu
satunya pilihan untuk terapi epilepsi. Yang
orang masih belum sadari, bahwa bedah
epilepsi bisa mengobati epilepsi. Dan
faktanya (meski di negara seperti Amerika)
masih sangat sedikit penderita yang dikirim ke
dokter bedah saraf dengan keahlian bedah
epilepsi. Dari data yang saya peroleh dari
kolega di Amerika, kira kira ada 100.000
penderita yang bisa di terapi dengan
pembedahan, tapi kenyataanya hanya 1.500
pembedahan yang dilakukan pertahunnya.
Kenapa? Karena kurangnya pengetahuan
tentang bedah epilepsi dan seberapa
efektifnya bedah epilepsi, dan takut terhadap
risiko pembedahan.
1. Mitos dan fakta tentang bedah epilepsi
Mitos pertama, bedah epilepsi tidak bisa
mengontrol Epilepsi
Faktanya bahwa efektif tidaknya bedah
epilepsi tergantung dari penyebab epilepsi
dan seleksi yang ketat terhadap calon yang
akan menjalani pembedahan. Dari penelitian
yang di publikasikan di New England Journal
of Medicine meyakinkan bahwa pembedahan
pada epilepsi yang pusatnya di lobus
temporalis lebih efektif daripada terapi terus
menerus dengan obat. Demikian pula dari
hasil operasi yang telah kami lakukan di
Rumah Sakit Dokter Karyadi Semarang.
Dengan seleksi yang sangat hati hati dan
dengan pemeriksaan yang teliti, 70-80%
penderita dengan epilepsi yang pusatnya di
lobus temporalis akan bebas kejang setelah
operasi. Jika ternyata penyebab terjadinya
kejang adalah pertumbuhan lapisan otak
yang tidak pada tempatnya atau pembuluh
darah yang abnormal, kemungkinan bebas
kejangnya sampai 95%.
Epilepsi karena
proses perkembangan otak yang tidak normal,
biasanya didapatkan pada anak anak, dan
40-60% dapat disembuhkan bedasarkan
temuan daerah yang tidak normal dengan
MRI. Meskipun tidak bebas kejang secara
menyeluruh
setelah
operasi,
tapi
pembedahan tetap lebih baik dilakukan
karena bisa mengurangi kejang ataupun
mengurangi ketergantungan pada obat yang
telalu banyak dan mahal.
Kenapa bisa muncul mitos seperti di atas?
Bedah epilepsi adalah sub spesialis di bedah
saraf, dan tidak semua ahli bedah saraf
dididik untuk mengerjakan operasi ini.
Namun faktanya bahwa ada juga ahli bedah
saraf dengan keahlian bedah epilepsi ini. Dan
dalam
memutuskan
untuk
melakukan
pembedahan atau tidak, harus berdasarkan
pemeriksaan yang kompleks, dan melibatkan
banyak ahli lain untuk menginterprestasikan
hasil pemeriksaan. Pemeriksaan pada bedah
epilepsi
membutuhkan
pemeriksaan
Video-EEG monitoring, Wada test, MRI dan
neuropsycological test dan Single Photon
Emission CT.
Di Indonesia hanya Video-EEG monitoring
yang belum tersedia. Video-EEG monitoring
ini pada prinsipnya adalah merekam kinerja
otak dalam waktu yang lama dan terus
menerus dan dalam waktu yang sama di
rekam dengan video apa yang terjadi pada
pendeita. Tes ini untuk memastikan dari
daerah mana kejang mulai terjangkitkan.
Memang
dengan
pemeriksaan
EEG
konvensional selama 30 menit, bisa juga di
deteksi dari daerah mana asal kejang. Namun
dari penelitian yang kami lakukan terhadap
hasil EEG pada penderita dengan epilepsi
lobus temporalis, ditemukan bahwa EEG
konvensional tidak cukup sensitif karena
hasilnya berbeda dengan lokasi yang tidak
normal pada hasil pemeriksaan dengan MRI.
Meskipun Video-EEG ini penting dan
belum tersedia di Indonesa, namun pada
penderita yang sudah di konfirmasi dengan
MRI dan di dapatkan daerah abnormal pada
lobus temporalis, maka pembedahan tetap di
anjurkan.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
60
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
Pemeriksaan yang lainnya sudah bisa di
lakuan di Indonesia. Untuk interprestasi data
hasil pemeriksaan itu di butuhkan tim epilepsi
yang
sudah
biasa
dengan
kasus
pembedahan, dan dilakukan di Epilepsi
center (yang segera akan kami dirikan di
Semarang).
Mitos kedua, bedah epilepsi terlalu riskan
Faktanya, bedah epilepsi adalah salah satu
pembedahan yang aman daripada metoda
bedah otak lainnya. Benar bahwa, semua
bedah otak mempunyai risiko dan tidak boleh
dikerjakan jika tidak di ketahui semua
resikonya. Seperti pembedahan yang lainnya,
kemungkinan
untuk
terjadinya
infeksi,
perdarahan, memang ada, tetapi cukup kecil
kemungkinannya, kira-kira kurang dari 1%.
Biasanya komplikasi itu bisa diatasi tanpa
menyebabkan gangguan yang berarti. Dan
kemungkinan untuk terjadi kelumpuhan pada
tangan dan kaki cukup kecil. Dan semua itu
tergantung dari temuan saat pemeriksaan
dan pembedahan. Jika ternyata pusat
kejangnya di dekat pusat bicara, ada
kemungkinan gangguan bicara setelah
operasi. Namun demikian, dokter ahli bedah
epilepsi
dapat
melakukan
tes
untuk
menghindari kemungkinan tersebut dan atas
persetujuan penderita terhadap risiko yang
akan terjadi, pembedahan pada daerah dekat
pusat bicara pun bisa dengan aman dilakukan.
Disamping itu ada teknik operasi lain untuk
menghindari terjadinya gangguan pada pusat
bicara tersebut dengan tindakan mapping
daerah bicara dan prosedur selektif.
Kenapa
bisa
muncul
Mitos
tersebut? Keahlian dan ketrampilan dokter
bedah saraf telah berkembang sangat pesat
dalam 50 tahun terakhir. Dokter bedah saraf
sekarang melakukan pembedahan dengan
mikroskop untuk melihat detail anatomi lebih
akurat. Dan penggunaan alat-alat untuk
operasi yang disebut dengan bedah mikro
juga telah mengurangi trauma pada otak
normal yang tidak ikut diambil saat operasi.
Mitos ketiga, menunggu ada obat baru
untuk terapi epilepsi.
Jika penderita epilepsi sudah dua tahun
mendapatkan terapi yang berbeda dan masih
terjadi kejang, itu menunjukan bahwa obat
tidak bekerja baik pada penderita tersebut. Ini
termasuk epilepsi yang tidak responsif
terhadap obat, seperti epilepsi lobus
temporalis atau epilepsi yang berhubungan
dengan gangguan pertumbuhan anak. Dan
faktanya, bila telah dilakukan pengecekan
kadar obat dalam darah ternyata telah
mencapai ambang maksimum toleransi tubuh
terhadap obat, maka biasanya penderita
tersebut tidak mempan terhadap obat
baru. Kita berharap terhadap kemajuan dalam
terapi obat ini, namun faktanya bahwa
obat-obat yang ada saat ini masih sama
dengan obat obat yang digunakan sejak 50
tahun yang lalu.
Alasan kenapa muncul mitos seperti itu,
anggapan bahwa pada umumnya kemajuan
teknologi akan memberi kontribusi terhadap
terapi epilepsi. Benar anggapan tersebut, tapi
terapi yang tidak memfokuskan pada
eliminasi sumber penyakit, efektifitasnya akan
jauh
berbeda
dengan
terapi
yang
menghilangkan sumber penyakit. Banyak
kasus epilepsi yang disebabkan karena
abnormalitas area yang memprovokasi
kejang. Sedangkan terapi obat pada epilepsi
tidak memfokuskan pada daerah yang
abnormal tersebut, melainkan menurunkan
ambang fungsi neurologis di semua daerah di
otak. Prinsipnya sama dengan kemoterapi
pada terapi kanker, dimana efek obatnya
menyerang
seluruh
tubuh
meskipun
tujuannya hanya untuk mengeliminasi kanker.
Di sisi lain bedah epilepsi bertujuan untuk
mengeliminasi daerah abnormal tersebut.
Sehingga menjadi keyakinan bahwa operasi
ini merupakan salah satu terapi epilepsi yang
efektif adalah pembedahan
Mitos ke empat, ada sebagian penderita
epilepsi yang epilepsinya akan hilang
setelah dewasa
Ada sebagian epilepsi yang tidak akan
hilang dengan pengobatan dan tetap saja
dalam kondisi yang sama meski telah di
evaluasi selama dua tahun, sehingga bisa
dikatakan ini gagal terapi obat. Namun ada
ahli yang beranggapan bahwa dengan kejang
sekali setahun itu pun masih dikatakan gagal
terapi obat.
Memang ada tipe epilepsi yang akan hilang
setelah periode tertentu. Jika penderita sudah
pernah dilakukan MRI dan ternyata tidak
ditemukan adanya abnormalitas di otaknya
maka kemungkinan hilangnya epilepsi lebih
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
61
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
besar dibandingkan dengan yang mengalami
abnormalitas di otaknya.
Demikian pula pada penderita dengan tipe
epilepsi kejang umum kemungkinan epilepsi
hilang lebih besar dibandingkan dengan yang
kejangnya tipe parsial. Epilepsi tipe parsial
artinya bahwa dokter Anda bisa mendiagnosa
lokasi dari sumber kejang tersebut di salah
satu bagian otak. Dan itu bukan berita buruk
bagi penderita epilepsi tipe parsial, karena
epilepsi ini mempunya respon yang baik
terhadap pembedahan. Dari penelitian yang
telah dilakukan, bahwa hanya 8% penderita
epilepsi lobus temporal (salah satu tipe
epilepsi parsial) yang bebas obat setelah
beberapa tahun diterapi dengan obat
dibandingkan dengan 64% penderita lain
dengan diagnosa yang sama tetapi menjalani
pembedahan.
Alasan kenapa timbul mitos tersebut,
adanya pikiran yang kurang benar bahwa
semua epilepsi akan hilang, karena ada
kasus penderita epilepsi yang bebas epilepsi
meski tanpa terapi yang memadai. Dokter
Anda yang ahli epilepsi akan mengetahui,
mana epilepsi yang akan terus berkembang
dan memburuk serta epilepsi yang stabil
tanpa
proses
perkembangan.
Untuk
membedakannya dibutuhkan pemeriksaan
video-EEG monitoring, baik EEG di kulit
kepala atau EEG yang di pasang di
permukaan otak.
Mitos ke lima, menunggu sampai beberapa
tahun sebelum pembedahan, toh epilepsi
tidak terlalu berbahaya bagi jiwa. Sambil
berharap-harap bisa sembuh dengan cara
pengobatan
Faktanya
bahwa
semakin
cepat
pembedahan dilakukan maka hasil akan
semakin baik. Dan ada hubungan yang erat
antara efek negatif terhadap otak dan epilepsi
yang kronik. Kejang akan menyebabkan
sinyal elektrik yang tidak normal akan
melintasi otak dan berefek terhadap sel saraf,
sambungan antar sel dan zat-zat kimia otak.
Prinsipnya semakin cepat dilakukan tindakan
hasil akan semakin baik, kondisi ini dicapai
jika pembedahan dilakukan pada anak anak.
Sedang pada dewasa bukannya tidak bisa
menyembuhkan
epilepsi,
tapi
setelah
menderita epilepsi selama 20-30 tahun ada
gangguan-gangguan
yang
tidak
bisa
membaik. Epilepsinya sendiri dengan di
hilangkannya focus abnormal-nya diharapkan
akan berhenti. Gangguan fungsi luhur/kognisi
mungkin tidak bisa membaik setelah operasi
dilakukan pada epilepsi orang dewasa. Hal
lain yang perlu dipertimbangkan untuk segera
mendapatkan pembedahan bahwa terapi obat
untuk
epilepsi
cenderung
mengurangi
kemampuan untuk berpikir dan bekerja
secara efektif.
Kenapa gangguan kognisi ini tidak menjadi
perhatian? Seperti diketahui bahwa epilepsi
adalah penyakit yang menahun, sehingga
penurunan kualitas hidup dan fungsi kognitif
yang turun pelan-pelan tidak menjadi
perhatian orang di sekelilingnnya.
Epilepsi biasanya muncul pada usia
sekolah, sehingga obat yang mempunyai efek
penenang akan mengganggu performa di
sekolah dan penyesuaian diri untuk taraf
umurnya. Oleh karena itu, jika ditemui kasus
epilepsi
yang
responsif
terhadap
pembedahan, semakin cepat dilakukan terapi
semakin besar hasil yang didapat.
Begitupun yang perlu juga dipahami,
operasi ini tidak serta merta menggantikan
OAE, sebab pada pasien-pasien refrakter
(tidak berespon baik terhadap terapi) yang
menjalani operasi, tetap memerlukan paling
tidak satu jenis OAE untuk waktu yang cukup
lama. Dan masih ada sebagian kecil
penderita epilepsi yang sampai saat ini ilmu
kedokteran belum dapat menemukan jalan
keluar yang bisa mengatasinya.
Rumah Sakit di Indonesia sudah banyak
yang memiliki alat MRI cukup baik dengan
kemampuan deteksi kelainan otak setara
dengan alat MRI yang ada di Singapura dan
Australia. Di Semarang, kerja sama yang baik
antara para dokter spesialis saraf, spesialis
bedah saraf, spesialis radiologi, dan berbagai
rumah sakit, dan dengan bantuan penuh para
pakar epilepsi Jepang, khususnya dari
Universitas Hiroshima, hingga saat ini telah
berhasil melakukan tindakan operasi pada 60
penyandang epilepsi yang bandel/sulit diobati
dengan hasil baik.
Mengingat jumlah penyandang epilepsi
yang cukup banyak, dan sebagian belum
terkelola secara baik, diperlukan kerja sama
berlanjut antara para dokter umum di
daerah/pedesaan yang berhadapan langsung
dengan para penyandang epilepsi dan/atau
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
62
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
keluarganya dengan rumah sakit yang
mengembangkan Pusat Layanan Epilepsi
guna
memberikan
pelayanan
paripurna/komprehensif
bagi
para
penyandang epilepsi, mulai dari diagnosis
(apakah benar suatu epilepsi, jenis epilepsi,
hal-hal yang memicu kekambuhan, adakah
faktor-faktor penyebab yang bisa dihilangkan
dan sebagainya) pengelolaan dengan OAE
(termasuk penilaian kadar OAE dalam darah,
dan
evaluasi
neuropsikologi
terhadap
perkembangan
kepribadian
penyandang
epilepsi), dan tindakan operatif bila diperlukan
untuk mengatasi epilepsi yang intraktabel
atau bandel.
Mengingat
mahalnya
biaya
untuk
pengadaan berbagai sarana tersebut di atas,
pusat pelayanan seperti ini tidak harus
terkonsentrasi pada satu tempat atau satu
rumah sakit, tetapi bisa berupa kerjasama
yang saling menopang dari beberapa rumah
sakit di satu wilayah. Selain itu, perlu sekali
upaya pendidikan bagi masyarakat agar
memahami epilepsi secara benar, dan tidak
boleh lagi ada pandangan atau perlakuan
yang salah terhadap penyandang epilepsi.
Yang
terpenting,
pencegahan
epilepsi ini harus dimulai secara dini, mulai
dari perawatan ibu hamil muda, proses
persalinan yang lancar dan aman, hingga
memelihara kesehatan anak, terutama balita
dari berbagai kelemahan/kerentanan yang
bisa memudahkan terjadinya infeksi dan/atau
cedera para otak. Peran serta masyarakat ini
antara lain bisa dimulai melalui pembentukan
perhimpunan orang tua penyandang epilepsi
di berbagai daerah, yang di Yogyakarta sudah
ada aktivitasnya.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
63
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
KESEHATAN
Kontribusi Penting Menyelamatkan Persalinan Sehat
dan Buku KIA
Elsi Dwi Hapsari
Afiliasi: Departement of Maternity Nursing, Faculty of Health Sciences,
Kobe University School of Medicine
E-mail: hapsari_erushi@yahoo.com
1. Pendahuluan
Sampai saat ini, kematian ibu masih
merupakan salah satu masalah prioritas di
bidang kesehatan ibu dan anak di Indonesia.
Setiap satu jam dua orang ibu di Indonesia
meninggal saat melahirkan karena berbagai
penyebab.
Jika seorang ibu meninggal,
maka anak-anak yang ditinggalkannya
mempunyai kemungkinan tiga hingga sepuluh
kali lebih besar untuk meninggal dalam waktu
2 tahun bila dibandingkan dengan mereka
yang masih mempunyai kedua orang tua.
Hal ini tentu hanya salah satu akibat yang
sangat memprihatinkan.
Pengalaman
secara global menunjukkan bahwa kematian
ibu dapat dicegah dan berbagai penelitian
dan strategi untuk mengurangi kematian ibu
telah dihasilkan.
Strategi Menyelamatkan Persalinan Sehat
(MPS) telah dimulai pada 2000 dengan
bantuan negara donor sedangkan buku KIA
telah diperkenalkan sejak tahun 1994 dengan
bantuan Badan Kerjasama Internasional
Jepang (JICA). Tulisan ini mencoba untuk
mengulas secara singkat kontribusi penting
MPS dan buku KIA bagi tim kesehatan sendiri
dan pemerintah, di samping bagi masyarakat
yang merupakan tujuan utama upaya ini.
Diharapankan tulisan ini dapat memberikan
setitik sumbang pikir baik bagi tim perawatan
kesehatan maupun bagai pemerintah dalam
penentuan kebijakan di bidang kesehatan
dalam pemerintahan yang baru ini.
2. Strategi
Sehat
Menyelamatkan
Persalinan
Strategi Menyelamatkan Persalinan Sehat
(Making Pregnancy Safer) adalah sebuah
inisiatif
yang
dicanangkan
Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2000.
Ini merupakan komitmen untuk mengurangi
beban global akibat kematian, kesakitan, dan
kecacatan yang tidak perlu terjadi, yang
berhubungan dengan komplikasi kehamilan,
persalinan, dan selama nifas.
MPS
mengharapkan agar ibu hamil, melahirkan
dan dalam masa setelah persalinan (post
natal) mempunyai akses terhadap tenaga
kesehatan yang terlatih, yaitu profesi
kesehatan yang terakreditasi - seperti bidan,
dokter, atau perawat – yang telah menempuh
pendidikan dan dilatih untuk menguasai
ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan
dalam mengelola kehamilan normal (tanpa
komplikasi), persalinan dan periode segera
setelah
melahirkan
dan
dalam
pengidentifikasian, pengelolaan dan rujukan
atas komplikasi yang diderita oleh ibu dan
anak.
Pernyataan bersama antara WHO, ICM,
dan FIGO (2004) menegaskan pentingnya
peran tenaga kesehatan yang terlatih tersebut,
yaitu bahwa tenaga kesehatan yang terlatih
merupakan
pusat
keberlangsungan
perawatan.
Pada tingkat perawatan
kesehatan primer, mereka akan bekerja
dengan penyedia perawatan kesehatan yang
lain, seperti dukun bayi dan pekerja sosial.
Mereka juga harus mempunyai hubungan
kerja yang kuat dengan pemberi perawatan
kesehatan di tingkat sekunder dan tersier
dalam
sistem
perawatan
kesehatan.
Strategi MPS meliputi tiga pesan kunci, yakni
setiap persalinan harus ditolong tenaga medis,
setiap komplikasi persalinan harus ditangani
tenaga dekuat (dokter ahli) dan setiap wanita
usia subur harus mempunyai akses
pencegahan kehamilan dan penanganan
komplikasi
keguguran.
Pada
pelaksanaannya, strategi ini terbentur pada
keterbatasan jumlah tenaga yang berkualitas
dan berbagai kendala lainnya.
Menyadari pentingnya peran ini, maka
tenaga kesehatan di Indonesia perlu untuk
segera mengaplikasikan langkah-langkah
yang
mendukung
terwujudnya
tenaga
kesehatan yang berkualitas. Hal-hal dasar
yang harus dilakukan adalah kemauan dan
kemampuan untuk memberikan perawatan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
64
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
yang terbaik bagi pasien. Maraknya kasus
dugaan
malpraktek
belakangan
ini,
khususnya di bidang perawatan ibu dan anak,
menjadi peringatan dan sekaligus sebagai
dorongan untuk lebih memperbaiki kualitas
pelayanan.
Melaksanakan tugas dengan
berpegang pada janji profesi dan tekad untuk
selalu meningkatkan kualitas diri perlu untuk
selalu dipelihara.
Kerja sama yang
melibatkan segenap tim pelayanan kesehatan
perlu dieratkan dengan kejelasan dalam
wewenang dan fungsinya.
Pemahaman
terhadap keanekaragaman suku dan budaya
di Indonesia juga harus dikuasai agar dapat
memberikan pelayanan yang lintas budaya.
Pemerintah
harus
mendukung
upaya-upaya tersebut secara nyata dengan
antara
lain
terus
melibatkan
organisasi-organisasi
profesi
dalam
penentuan kebijakan di bidang kesehatan,
memfasilitasi pelatihan dan penelitian yang
dibutuhkan untuk peningkatan pelayanan di
bidang perawatan ibu dan anak, dan
mempertimbangkan masukan saran dari
setiap organisasi profesi yang ada.
3. Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
Apabila
Strategi
Menyelamatkan
Persalinan Sehat saat ini lebih berfokus pada
upaya ketersediaan tenaga kesehatan yang
dapat dikatakan berkualitas, maka buku
Kesehatan Ibu dan Anak lebih ke arah
membantu masyarakat dalam meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman tentang
kesehatan ibu dan anak,
sehingga
diharapkan dapat meningkatkan partisipasi
mereka dalam mengontrol kesehatan ibu,
selain sebagai buku catatan kesehatan ibu
dan anak, alat monitor kesehatan oleh tenaga
kesehatan dan alat komunikasi antara tenaga
kesehatan dengan pasien. Buku ini selalu
disimpan dan dibawa oleh ibu kemanapun ia
memeriksakan
kesehatannya
ataupun
kesehatan anaknya.
Di Jepang, buku KIA yang digunakan sejak
tahun 1948 mampu menurunkan secara
signifikan Angka Kematian Bayi (AKB) dan
Angka Kematian Ibu(AKI). Buku ini dapat
diperoleh secara gratis melalui kantor
pemerintah di kota atau desa tempat ibu
hamil tinggal setelah dia menginformasikan
kehamilannya melalui surat keterangan dari
dokter. Selama pemeriksaan antenatal, ibu
hamil diharapkan selalu membawa buku KIA
tersebut.
Perawat atau bidan akan
mendokumentasikan hasil pemeriksaan fisik
ibu yang antara lain meliputi tekanan darah,
berat badan, pemeriksaan air kemih (urine),
tinggi fundus uteri,
dan lingkar perut
(abdomen). Setelah pemeriksaan lanjutan
dan penjelasan dari dokter kebidanan,
perawat atau bidan akan mendiskusikan
beberapa topik penting yang berkaitan
dengan
kehamilan
dengan
ibu
dan
pasangannya. Informasi ini diberikan secara
individual dan didukung dengan leaflet-leaflet
yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit.
Program kelas prenatal dan latihan-latihan
selama hamil (maternity exercise) ditawarkan
pada ibu hamil untuk diikuti.
Di Indonesia, meskipun buku KIA belum
diterapkan di seluruh propinsi namun
sambutan yang diterima sangat positif.
Menurut Direktur Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat Prof Dr dr Azrul Azwar MPH,
sampai dengan Agustus, 2003, buku ini telah
digunakan di 140 kabupaten/kota di 24
provinsi, meskipun belum pada semua
fasilitas kesehatan. Sementara itu, lebih dari
50.000 kader kesehatan dan 10.000 bidan
telah dilatih mengenai buku KIA. Tak kurang
dari lima juta buku KIA dicetak dan dibagikan.
Sampai saat ini pelatihan terhadap tenaga
kesehatan
tentang
buku
KIA
yang
diselenggarakan oleh JICA masih terus
berlangsung.
Beberapa hal yang perlu menjadi agenda
selanjutnya baik bagi pemerintah maupun tim
kesehatan meliputi pelaksanaan di lingkup
pelayanan dan di lingkup pendidikan. Di
lingkup pelayanan, perluasan jangkauan
pelatihan pada segenap tim kesehatan yang
terkait dengan kesehatan ibu dan anak
diperlukan agar masing-masing profesi
kesehatan mengetahui pentingnya peranan
masing-masing dan turut berperan aktif.
Ketersediaan buku KIA di setiap fasilitas
kesehatan seperti puskesmas atau rumah
sakit dengan kemudahan dalam akses untuk
memperolehnya sangat diperlukan.
Di
lingkup pendidikan, sosialisasi tentang buku
KIA perlu dilakukan sejak para calon pemberi
pelayanan kesehatan menuntut ilmu, agar
selama proses pendidikan mereka sudah
memperoleh gambaran tentang tugas yang
harus mereka lakukan dan dengan anggota
tim kesehatan mana saja mereka akan
bekerja sama.
Diharapkan setelah lulus
mereka sudah memahami dan dapat ikut
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
65
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
serta dalam proses ini sesuai dengan
wewenang dan fungsinya masing-masing.
4. Kesimpulan
Tidak ada intervensi tunggal yang mampu
menyelesaikan masalah kematian ibu. Oleh
karena itu, upaya untuk mengatasi hal ini baik
melalui penggunaan Buku KIA maupun
Strategi Menyelamatkan Persalinan Sehat,
meskipun dalam pelaksanaannya masih
menemui beberapa kendala, perlu untuk
didukung. Kesehatan ibu adalah hal yang
vital bagi keberlangsungan hidup manusia
dan hal ini menjadi tanggung jawab kita
bersama
untuk
memelihara
dan
meningkatkannya.
5. Daftar Pustaka
[1] A joint statement by WHO, ICM, and
FIGO.
Making Pregnancy Safer: the
critical role of the skilled attendant
(05.11.04).
Website
URL
http://www.who.int/reproductive -health/pu
blications/2004/skilled_attendant.pdf
[2] Buku KIA untuk Turunkan Kematian Ibu
dan Bayi (05.11.04).
Website URL
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0
308/08/iptek/481686.htm
[3] Dua Ibu Melahirkan Meninggal Setiap
Jam di Indonesia (05.11.04) Website URL
http://situs.kesrepro.info/kia/mei/2004/kia
05.htm
[4] Hapsari, E. D. MCH System in Japan:
From the View Point of Indonesian
Student.
Dipresentasikan
dalam
Simposium “Maternal and Child Health in
Indonesia”, Kobe, 11 September 2004.
[5] Keselamatan Ibu: Keberhasilan dan
Tantangan.
Website
URL
http://www.path.org/files/Indonesian_16-s
pecial.pdf
[6] Mother’s & Children’s Health & Welfare
Association, 2003, Maternal and Child
Health Statistics of Japan.
Tokyo,
Toshihide Ei.
[7] Turunkan
AKI
melalui
pelayanan
kebidanan
(05.11.04).
URL
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0
010/13/iptek/turu10.htm
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
66
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
KIAT
Tafakkur Menjelang Mudik
Dr. Hasanudin
Dosen Universitas Tanjungpura Pontianak, Alumni Tohoku University
E-mail: hasan@msre.kumamoto-u.ac.jp
1. Pengalaman hidup di Tokyo
Ketika pertama kali menginjakkan kaki ke
Tokyo, 7 tahun lalu, ada hal yang membuat
saya terkesima. Tokyo memang megah dan
modern.
Kehidupan
kota
ini
jelas
menun-jukkan dukungan teknologi tinggi di
belakangnya. Juga citra kesejahteraan yang
begitu terasa. Tapi bukan itu yang membuat
saya terkesima. Tampilan fisik Tokyo
secara sekilas sebenarnya tak beda dengan
Jakarta.
Saya
terkesima
ketika
hendak
menye-berang sebuah jalan kecil. Dari
suatu arah datang mobil dengan kecepatan
sedang menuju tempat yang hendak saya
sebrangi. Mengikuti kebiasaan di Indonesia,
saya mendadak menghentikan langkah,
karena berpikir bahwa mobil itu akan terus
berjalan. Ternyata tidak. Pengemudinya
menghentikan laju mobil, dan memberi
isyarat pada saya untuk menyebrang jalan.
Saat itu saya lantas teringat pada diskusi
saya dengan seorang profesor sosiologi di
Indonesia dulu. Kata profesor itu, budaya
materi sangat mudah ditransfer, tapi sangat
sulit melakukan hal yang sama pada
budaya non-materi. Kita bisa dengan
mudah meng-impor mobil-mobil, termasuk
mobil mewah dari negara maju. Tapi etika
berkendaraan
yang
dianut
oleh
negara-negara maju tidak secara otomatis
terimpor bersama mobil tersebut.
Kejadian itu membuat saya berpikir,
bahwa tugas kita sebagai pelajar yang
dikirim oleh negara ke negeri ini sangat
berat. Kalau dituntut mentransfer teknologi,
walau tidak bisa dibilang ringan, saya masih
punya keyakinan bahwa kita bisa. Ini sudah
dibuktikan oleh banyak pelajar kita yang
belajar di luar negeri. Tapi kalau dituntut
untuk mentransfer budaya seperti etika
mengemudi tadi, saya ragu, apakah kita
mampu.
Menarik untuk diperhatikan bahwa kita
mengenal bangsa Jepang sebagai bangsa
yang sangat tinggi disiplinnya. Tapi sedikit
yang memahami proses ke arah itu.
Sebagian besar kita menganggap disiplin
tinggi itu sebagai sesuatu yang sudah sejak
dulu ada dan akan selalu ada. Inilah
kesalahan berpikir kita yang mendasar. Kita
selalu melihat hasil, tidak pernah melihat
proses. Karenanya kita tidak pernah belajar
dari proses itu.
Saya kebetulan belajar menyetir di
Jepang. Di situ saya tahu bahwa disiplin lalu
lintas di Jepang tidak hadir secara otomatis
sebagai
warisan
budaya,
melainkan
dibentuk melalui proses pendidikan yang
terstruktur. Untuk bisa memperoleh SIM
seseorang harus melalui dua tahap latihan
mengemudi dengan total waktu 35 jam,
ditambah 40 jam pendidikan teori di kelas.
Di akhir pendidikan kita masih harus pula
diuji dengan standar yang sangat ketat.
Bandingkan ini dengan sekolah mengemudi
yang ada di tanah air.
2. Saatnya mudik
Setelah 7 tahun lebih tinggal di sini,
menyelesaikan studi di jenjang master dan
doktor, lalu dilanjutkan dengan program
post-doctoral, kini saatnya bagi saya untuk
pulang ke tanah air. Saat ini setidaknya ada
tiga agenda penting yang sedang saya
pikirkan. Pertama, agenda personal, yaitu
bagaimana membuat periuk nasi tetap
berasap. Bagi sebagian orang ini terkesan
mengada-ada, namun bagi saya ini adalah
kenyataan. Gaji yang kita terima sebagai
PNS umumnya tidak cukup untuk sekedar
menopang kebutuhan sehari-hari yang
bukan kebutuhan mewah. Karenanya kita
akan dituntut untuk berpikir bagaimana
menutup kekurangan itu.
Sambil berjuang untuk mengatasi
persoalan pribadi tadi, kita akan dihadapkan
pula dengan masalah di tempat kerja.
Sebagai dosen, kaki saya harus berpijak
pada dua wilayah, yaitu pendidikan dan
penelitian. Dua wilayah ini, sebagaimana
wilayah lainnya juga, sedang berada dalam
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
67
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
situasi coreng moreng, penuh masalah.
Bagi yang peduli, ini akan menghabiskan
banyak tenaga dan pikiran untuk mencari
penyelesaiannya.
Di luar semua itu, kita masih pula dituntut
untuk
terjun
ke
tengah
masyarakat.
Dunia pendidikan (tinggi) kita sedang
menghadapi banyak tantangan seperti
turunnya dukungan dana dari pemerintah
yang mengharuskan perguruan tinggi
berjuang keras menggali sumber dana
sendiri. Kita juga berhadapan dengan
semrawutnya pembagian jalur pendidikan
akademik dan profesional sehingga terjadi
tumpang tindih di sana sini. Juga soal
pengangguran sarjana yang sangat erat
kaitannya
dengan
mutu
lembaga
pendidikan tinggi.
Masyarakat kita, seperti kata para ahli,
sedang mengalami krisis multidimensi.
Sebagai orang yang telah diberi berkah
berupa kesempatan menempuh pendidikan
pada jenjang yang paling tinggi, kita tentu
juga punya tanggung jawab moral untuk
terlibat dalam proses penyembuhan krisis
itu, terutama pada sisi krisis moral.
Setidaknya kita punya tanggung jawab
untuk tidak membuat kekacauan yang lebih
besar sebagaimana telah dilakukan oleh
orang-orang pintar pendahulu kita.
3. Apakah yang sebaiknya “dibawa”
pulang?
Ada banyak pelajaran moral yang telah
kita petik dari orang Jepang selama kita
berinteraksi dengan mereka. Sebagian
tentu bisa kita bawa pulang, sementara
sebagian yang lain mungkin perlu kita
tinggalkan, karena belum tentu cocok
dengan kondisi di tanah air. Idealnya, kita
bisa “mencemari” masyarakat kita dengan
pelajaran-pelajaran tadi, sebelum kita
sendiri
tercemar
oleh
krisis
multidimensional tadi.
Pada bidang penelitian kita akan
berhadapan dengan masalah minimnya
fasilitas, dana, serta perhatian pemerintah.
Pada saat yang sama kita juga harus
bertarung dengan diri kita sendiri,
mengeluarkan kemampuan sendiri setelah
sekian lama berada di bawah sapihan
sensei.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
68
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
BUKU
EKONOMI SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
Arif Satria
Kagoshima University
berkembangnya kompleksitas pembangunan
ekonomi, semakin disadari bahwa ternyata
pembangunan
tersebut
tidak
cukup
mengandalkan
pendekatan
ekonomi
konvensional semata. Kegagalan-kegagalan
pembangunan ekonomi di negara berkembang
dan berbagai degradasi sumberdaya alam dan
lingkungan tidak bisa semata-mata didekati dari
kebijakan ekonomi fiscal dan moneter. Inilah
kemudian yang memicu perkembangan bidang
ekonomi sumberdaya alam yang belakangan ini
semakin kompleks dan bervariasi meski tumpuan
dasarnya sendiri telah dicanangkan sejak tahun
1800-an oleh L.C. Gray, H.Hoteling, dan lain-lain.
Judul Buku : Ekonomi Sumberdaya
dan Lingkungan
Penulis
: Akhmad Fauzi, PhD
Penerbit
: Gramedia
Tahun
: 2004
Halaman
: xix + 251
Alam
Bagaimana
sebenarnya
mengelola
sumberdaya
alam
yang
memberikan
kesejahteraan
yang
maksimum
bagi
masyarakat ? Mengapa eksternalitas menjadi
masalah yang pervasive, serta bagaimana
menanganinya ? Bagaimana pula menilai jasa
yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan
lingkungan yang tidak terpasarkan ? Apa
sebenarnya
yang
dimaksud
dengan
pembangunan berkelanjutan ? Bagaimana
mengukurnya ? Itulah sejumlah pertanyaan yang
sering muncul dalam pembangunan ekonomi
berbasis sumberdaya alam dan lingkungan. Dan,
buku berjudul Ekonomi Sumberdaya alam dan
Lingkungan karya Akhmad Fauzi, PhD ini
berusaha
untuk
menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Penulis ini buku
ini adalah Ketua Laboratorium Ekonomi
Sumberdaya Perikanan di Dapartemen Sosial
Ekonomi Perikanan Fakultas Perikanan dan
Kelautan IPB.
Dijelaskan oleh Akhmad Fauzi bahwa ekonomi
sumberdaya alam dan lingkungan memang ilmu
yang masih relatif baru dibanding dengan
teori-teori ekonomi lainnya yang sudah mapan.
Namun
demikian
dengan
semakin
Buku ini terdiri dari sepuluh bab, diawali
dengan konsep-konsep dasar baik soal
pengertian ekonomi sumberdaya alam, konsep
barang public, konsep eksternalitas, konsep hak
kepemilikan, serta fondasi ekonomi sumberdaya
alam. Dilanjutkan dengan model ekonomi
sumberdaya tidak terbarukan (non-renewable)
dan terbarukan (renewable). Disini Akhmad Fauzi
membagi analisis teori ekonomi sumberdaya
alam terbarukan ke dalam tiga jenis sumberdaya,
yakni sumberdaya perikanan, kehutanan, dan air.
Setelah memaparkan teori ekonomi pencemaran
dan valuasi non-pasar, buku ini ditutup dengan
bab penting tentang ekonomi pembangunan
berkelanjutan yang memuat prinsip-prinsip,
indikator,
dan
masa
depan
peradigma
keberlanjutan.
Buku ini dirancang untuk memberikan
pemahaman yang utuh mengenai ekonomi
sumberdaya
alam
dan
lingkungan,
dan
dilengkapi dengan pendekatan grafik dan
matematis serta penjelasan terperinci untuk
membantu pembaca memahaminya. Buku ini
disertai pula contoh-contoh perhitungan ekonomi
sumberdaya
alam
dengan program
computer
excel
dan
MAPLE
sehingga
memudahkan pembaca untuk memahami secara
riil aspek-aspek teori yang dipaparkan. Buku ini
penting bagi para dosen, mahasiswa, peneliti,
maupun pengambil kebijakan dalam pengelolaan
sumberdaya alam.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
69
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
TOKOH
Wawancara dengan Agung Budiyono
Fisikawan Muda Berbakat
teknik elektro dan akhirnya kembali ke Fisika
lagi, khususnya chaos-quantum chaos, pada
saat program Master dan Doktor serta saat ini.
Mungkin sudah suratan kembali ke asal, ke
“cinta pertama”, hahaha….
Agung Budiyono, sebuah nama yang tidak
asing bagi masyarakat Indonesia di Jepang
yang dikenal melalui puisi-puisi dan
komentar-komentarnya pada mailing list
PPI-Jepang. Dibalik puisi-puisi indahnya itu,
ternyata beliau merupakan fisikawan muda
yang menonjol, menyelesaikan Ph D pada
usia yang relatif muda (27 tahun), aktif
berpartisipasi pada konferensi-konferensi
ilmiah dan menulis banyak artikel di
Journal-Journal ilmiah. Di tengah kesibukan
beliau yang padat, Inovasi akhirnya
berkesempatan mewawancari beliau untuk
kolom Tokoh edisi kali ini. Berikut petikan
wawancara singkat dengan beliau.
Selamat siang Mas Agung, terima kasih
banyak atas kesediaannya menerima
Inovasi. Terakhir ini kegiatannya sibuk
sekali ya Mas?
Seharusnya saya sibuk (apologi untuk sering
main;-)). Kalau sehari-hari, walaupun tidak
ada jam khusus, biasanya ke kampus setiap
hari Senin-Jumat, rutinitas biasa.
Menurut
pandangan
umum,
Fisika
merupakan mata pelajaran yang ditakuti
pelajar, mengapa Anda justru memilih
bidang Fisika ?
Pada saat SMP, saya memang menyukai
Fisika. Tetapi ketika memasuki SMA minat
saya lebih ke pelajaran Matematika. Ketika
kuliah jenjang Sarjana, saya justru memilih
Fisika mungkin merupakan hal yang dihindari
oleh kebanyakan orang, tapi bagi saya (dan
juga banyak fisikawan lain) Fisika sebenarnya
merupakan sebuah tempat pelarian yang
menyenangkan dan lumayan sehat. Bagi
saya membaca suatu teori fisika ato
menjelaskan penomena fisis sama dengan
halnya membaca sebuah novel atau menulis
karya sastra, dimana kita bisa merasakan
alur cerita yang logis lengkap pembukaan
sampai dengan klimaksnya. Satu hal penting,
Fisika itu indah (mungkin ini gara-gara apriori
kita bahwa alam/objek fisis itu indah), kita
berusaha
menjelaskan
fenomena
dan
menuangkannya dalam formulasi yang
seindah-indahnya. Dengan kata lain, bagi
saya fisika dan seni itu berhubungan. Bahkan
banyak fisikawan juga seniman, minimal
amatiran.
Karena itu Anda gemar menulis puisi ya.
Apakah
ada
pengaruhnya
terhadap
penelitian ?
Saya mulai menulis puisi sejak SMA, biasa
pengaruh cinta monyet. Awalnya menulis
puisi cinta untuk teman sekelas. Selain puisi
rayuan yang tidak manjur itu, waktu SMA
saya juga pernah menulis puisi tentang
lingkungan yang di muat di sebuah antologi
terbitan majalah Trubus. Itu satu-satunya
puisi yang pernah saya publis di media umum
(tidak termasuk milist).
Pada saat S1, saya berhenti menulis puisi,
karena saya pikir puisi membuat orang
cengeng. Tapi, kembali menulis puisi sejak
program Master. Sekarang menurun lagi.
Mungkin sudah nasib orang cengeng.
Ternyata, di dunia yang serba ”dingin” ini,
kecengengan yang ditawarkan puisi lumayan
berguna seperti halnya fisika. Kita bisa
berpura-pura bahwa ada dunia ideal di sana.
Anda lulus PhD dalam usia yang sangat
muda serta menghasilkan banyak tulisan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
70
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
yang dimuat
kiatnya ?
di
Jurnal-jurnal.
Apa
Sebenarnya kalau dikatakan usia yang
sangat muda, tidak juga ya. Mungkin karena
sejak S1 saya di Jepang, sehingga kalau
dibandingin teman-teman yang S1 di
Indonesia saya relatif lebih muda.
Untuk menulis paper, memang perlu
ketekunan dan latihan. Untuk menjadi peneliti
saya kira kita harus suka dan tahan
merenung dan bermimpi. Pengalaman saya,
yang paling berat dalam penelitian itu adalah
saat mengformulasikan masalah. Terkadang
dibutuhkan waktu sampai berbulan-bulan
untuk itu. Di sini dibutuhkan ketahanan
mental seorang peneliti, ketahanan untuk
bergelisah, berbulan-bulan, yang terkadang
menyiksa. Karena saat-saat itu, terkadang
kita merasa seperti tidak melakukan apa-apa.
Tetapi setelah masalahnya kita formulasikan,
selanjutnya adalah masalah teknis yang rutin,
yang kebanyakan sudah ada contohnya. Di
sisi ini juga, bisa kita lihat kesamaan antara
seorang peneliti dan seniman.
Target
yang
penelitian?
ingin
dicapai
dalam
Seperti semua peneliti, impian saya adalah
menghasilkan sesuatu hal/teori baru yang
significan. Mengenai target, untuk saat ini
saya lebih terfokus menulis paper sebanyak
mungkin.
Saya
harapkan
dari
penelitian-penelitian kecil yang saya lakukan
saat ini, ada minimal satu yang kelak
bermanfaat.
Setelah sekian lama di Jepang, ada
rencana untuk kembali ke Indonesia?
Setelah siap, saya berencana untuk kembali
ke tanah air. Mungkin seperti kita ketahui
semua, anggaran biaya penelitian yang
diberikan pemerintah, khususnya ilmu dasar,
sangat kecil. Jadi supaya tidak menjadi
beban pemerintah, saat ini saya berusaha
menjalin hubungan seluas mungkin dengan
kolega-kolega di negara maju, sehingga jika
kembali ke Indonesia saya bisa melakukan
penelitian dengan kerja sama melalui jaringan
internasional.
Memang menyedihkan jika melihat perhatian
pemerintah yang sangat kecil terhadap
penelitian ilmu dasar. Padahal untuk jangka
panjang, penelitian ilmu dasar penting sekali.
Yah, mungkin karena negara kita masih
merupakan
negara berkembang
yang
disibukkan dengan masalah-masalah jangka
pendek yang mendesak. Akhirnya, disisi
akademis juga lebih terfokus pada hal-hal
terapan, yang hasilnya bisa dirasakan dalam
jangka pendek.
Selain sibuk dengan penelitiannya, Anda
juga tergabung dengan KMNU Nihon. Bisa
diceritakan
sedikit
kegiatan
organisasinya ?
Benar. Sejak KMNU Nihon terbentuk, saya
masuk ke bagian “Pokja Pendidikan dan
Kebudayaan”. Sebenarnya pengen keluar,
karena dilarang macam-macam oleh gus-gus
itu. Kegiatan kami, selama ini mengadakan
kajian-kajian ilmiah dengan scholar-scholar
disini,
termasuk
orang-orang
Jepang.
Diharapkan selain terjadi sharing/transfer
pengetahuan, juga menambah jaringan
silaturahmi.
Ada pesan untuk pelajar atau peneliti
pembaca Inovasi?
Bagaimana ya, mungkin rekan-rekan juga
tahu dan mengalami sendiri suka dan duka
belajar di Jepang yang akan jadi panjang dan
terlalu personal kalo saya ceritakan. Satu hal
sederhana yang mungkin ada di benak dan
jadi modal selama ini bagi saya adalah
tatapan wajah (foto) Ibu saya tersayang, yang
seolah-olah mengatakan “Kalaupun gagal,
pulang saja ke rumah”. Mungkin inilah yang
membuat saya untuk betah bertahan sampai
giri-giri. Saya tidak berani menyarankan hal
yang sama pada teman-teman yang senasib
di sini.
Begitulah petikan singkat wawancara
dengan Mas Agung Budiyono yang selalu
tampil dengan gayanya yang sederhana dan
low profile. Semoga peneliti-peneliti muda
yang berprestasi seperti Mas Agung, bisa
tetap konsisten dan kelak menjadi ujung
tombak Bangsa Indonesia dalam mencapai
kemajuan di dunia ilmiah.(Siti Jahroh)
Biodata
Nama Lengkap:
Agung Budiyono/single
Pendidikan:
S1: Kyoto University (Mar ’96-Mar’99, tidak
selesai),
S2:
Kyoto
University
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
71
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
(Apr ’99-Mar ’01), S3: Osaka City University
(Apr ’01- Sep’03)
Afiliasi saat ini:
Department of Basic Science, Graduate
School of Arts and Sciences, the University of
Tokyo.
JSPS post doctoral fellow at the laboratory of
nonlinear molecular science.
http://mns2.c.u-tokyo.ac.jp/~agungby/index-e.
htm
Afiliasi di Indonesia:
Belum ada
Research saat ini:
Main interest: Semiclassical physics of
systems with chaotic classical limit (quantum
chaology)
More specifically: on the relation between the
dynamic of an open chaotic quantum system
with its macroscopic transport phenomena.
Others:
The
general
problem
of
quantum—classical
correspondence
in
quantum mechanics, quantum information
theory etc.
Organisasi yang diikuti saat ini:
KMNU Nihon, Pokja Pendidikan
Kebudayaan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
dan
72
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
REDAKSI
Guidelines Penulisan Naskah untuk Majalah INOVASI (font: Arial 12 points,
bold)
Nama penulis-1 (font: Arial 10.5 points, bold)
Afiliasi penulis-1 (font: Arial 10 points)
E-mail: email@address.com (font: Arial 10 points, italic)
Nama penulis-2 (font: Arial 10.5 points, bold)
Afiliasi penulis-2 (font: Arial 10 points)
E-mail: email@address.com (font: Arial 10 points, italic)
1. INOVASI (font: Arial 10 points, bold)
Majalah INOVASI (ISSN: 0917-8376)
diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Indonesia
di
Jepang
(http://www.ppi-jepang.org/)
sebagai majalah ilmiah semi-populer berkala
dan bersifat on-line untuk menyajikan
tulisan-tulisan berbagai topik, seperti IPTEK,
sosial-politik, ekonomi, pendidikan, dan topik
humaniora
lainnya.
Majalah
INOVASI
berfungsi
sebagai
media
untuk
mengartikulasikan ide, pikiran, maupun hasil
penelitian
dalam
rangka
memperkaya
wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan.
b. Judul harus menggambarkan isi pokok
secara ringkas dan jelas serta tidak
melebihi 10 kata.
c. Struktur naskah terdiri atas Pendahuluan,
Uraian Isi (metode dan pembahasan),
kesimpulan dan daftar pustaka. Judul bab
tidak harus seperti struktur naskah tersebut,
missal: I. Pendahuluan, II. Uraian… Akan
tetapi dapat disesuaikan, misal: Perspektif
pertanian 5 tahun masa reformasi
(mewakili pendahuluan)… dst.
d. Pendahuluan berisi latar belakang/masalah,
hipotesis, pendekatan dan tujuan yang
hendak dicapai.
Berisi tentang ide-ide atau gagasan baru
yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
luas. Ditulis dalam bahasa Indonesia dan
tidak lebih dari 6000 karakter atau maksimal 4
halaman.
e. Uraian isi terdiri dari judul bab yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan
informasi yang tersedia. Apabila naskah ini
menyampaikan hasil penelitian yang khas,
judul bab dalam uraian isi dapat terdiri dari
Bahan dan Metode serta Hasil dan
Pembahasan.
f. Sangat disarankan jika dalam uraian
isi/pembahasan bersifat kuantitatif. Misal: A
lebih besar 10% dari B, bukan A lebih besar
dari B.
g. Kesimpulan memuat secara singkat hasil
yang telah diuraikan sebelumnya. Dapat
dibuat dengan menggunakan penomoran
atau dalam satu paragraph.
2.2. Artikel Non-populer
3. Format penulisan artikel
Naskah
asli
yang
belum
pernah
dipublikasikan dan tidak akan dipublikasikan
di media lainnya.
Ukuran kertas: A4; Margin atas: 3 cm;
margin kiri, kanan dan bawah: 2.5 cm; tulisan:
2 kolom; spasi: tunggal; jenis huruf: Arial;
ukuran: 10 points.
2. Kategori artikel
Majalah INOVASI menerima naskah baik
yang bersifat ilmiah populer maupun ilmiah
non-populer dengan kategori sebagai berikut:
2.1. Artikel Populer
a. Maksimal 9000 karakter atau tidak lebih
dari 6 halaman dan ditulis dalam bahasa
Indonesia/Inggris.
Judul, nama penulis, afilisasi penulis dan
alamat email ditulis dalam 1 kolom (center).
Judul ditulis dengan font Arial, 12 points, bold.
Nama penulis ditulis dengan font Arial, 10.5
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
73
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
points, bold. Afiliasi penulis ditulis dengan font
Arial, 10 points. Alamat email ditulis dengan
font Arial, 10 points, italic.
4. Penulisan gambar/ilustrasi
Gambar/Ilustrasi diberi nomor dan judul
singkat. Sumber kutipan dicantumkan dengan
jelas (jika gambar/ilustrasi merupakan hasil
kutipan).
Judul
diletakkan
di
bawah
gambar/ilustrasi dan ditulis dengan font Arial 9
points, center.
GAMBAR
Gb.1. Judul gambar/ilustrasi
7. Daftar Pustaka
Daftar pustaka setiap sumber harus
dirujuk dan disusun berdasarkan abjad nama
pengarang dan tahun terbit. Sebagai contoh:
[1] Nasution, A.H., A.K. Makarim, dan I. Las,
2004, Paradigma Pertanian Nasional, IAJ
vol. XI, No. 5, 345-355.
[2] Rasmusson, E.M., and J.M. Wallace,
1983, Meteorological aspects of the El
Nino/Southern Oscillation, Science, 222,
1195-1203.
[3] Yu, L., dan M. Reinecker, 1998, Evidence
of an extratropical atmospheric influence
during the onset of the 1997-98 El Nino,
Geophys. Res. Lett., 25(18), 3537-3540.
5. Penulisan tabel
Judul table diletakkan di atas table dan
ditulis dengan font Arial 9 points, center.
Tabel.1. Judul table
Frekuensi
(kHz)
76.8
104.6
205.1
Standard Deviasi (cm/s)
N=10
N=12
6.723
4.751
3.375
2.112
2.418
1.869
6. Pengiriman naskah
Naskah dapat dikirim melalui pos dalam
bentuk soft-copy (floppy disk atau CD) ke
alamat redaksi sebagai berikut:
Redaksi INOVASI online
C/p Candra Dermawan
5-301 Nishi Guchi, 1-96
Takashi-cho, Toyohashi-shi
Aichi-ken 440-0845
Azakitahara,
Atau dapat dikirim secara elektronik dalam
bentuk attachment file MS Word ke alamat
redaksi INOVASI online sebagai berikut:
redaksi@io.ppi-jepang.org
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
74
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
REDAKSI
Susunan Redaksi Majalah INOVASI
Penanggung Jawab
Pemimpin Redaksi
Candra Dermawan
Arif Satria
Ketua Umum PPI Jepang
Presiden Power Media Communication
Mahasiswa Program Doktor Department of
Electronic Information Engineering,
Multimedia Communication Laboratory,
Toyohashi University of Technology
Dosen Departemen Sosial Ekonomi Perikanan
FPIK IPB
Mahasiswa Program Doktor Bidang Marine
Policy Kagoshima University
Redaktur
Hery Mochtady
Haris Syahbuddin
Pegawai PT Pindad (Persero)
Mahasiswa Graduate School of Natural
Science and Technology, Kanazawa University
Peneliti pada Balai Penelitian Agroklimat dan
Hidrologi
Mahasiswa Program Doktor pada Kobe
University
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
75
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
Tonang Dwi Ardyanto
Fadli Syamsudin
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta
Mahasiswa Program Doktor Pathology
Department, Tottori University School of
Medicine
Peneliti pada Pusat Pengkajian dan
Penerapan Teknologi Inventarisasi
Sumberdaya Alam (P3-TISDA), BPPT.
Mahasiswa pada Graduate School of
Engineering, Hiroshima University
Iskhaq Iskandar
Sidik Permana
Dosen Jurusan Fisika, Fakultas MIPA,
Universitas Sriwijaya, Palembang.
Mahasiswa Program Doktor Dept. of Earth and
Planetary Science, Graduate School of
Science, The University of Tokyo
Mahasiswa Program Master pada Tokyo
Institute of Technology
Andhi Marjono
Mahasiswa Master di University of
Electro-Communications, Tokyo
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
76
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
Tim Produksi
Tristanto Prabowo
Mahasiswa Program Master pada Gunma University
Siti Jahroh
Hastari Eka Anandhita
Mahasiswi pada Department of International
Bio-Business Studies, Graduate School of
Agriculture, Tokyo University of Agriculture
Mahasiswi pada Tokyo Institute of Technology
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
77