Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Inovasi Vol 2 XVI November 2004

INOVASI Vol.2/XVI/Agustus 2004 Majalah INOVASI ISSN: 0917-8376 Volume 2 /XVI/ November 2004 Daftar Isi Editorial Selamat Datang Orde Perubahan .............................................................................. 1 Topik Utama Liputan Rekomendasi Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu ............................ 2 Dari SIN ke ABG: Catatan Kebijakan Iptek Nasional ................................................... 5 Pilkada Langsung dalam Kerangka Reformasi Birokrasi: Beberapa Catatan Kritis....... 10 Perspektif Baru Kinerja Pembangunan Perumahan, Perlukah? .................................. 13 Revitalisasi Ekonomi Kerakyatan Melalui Pemberdayaan Gerakan Koperasi .............. 16 Mencermati Janji 100 Hari Pemerintahan SBY: Illegal Logging dan Akses Terbuka Kawasan Hutan.................................................. 20 Nasional Wakil Rakyat dan Masa Depan Politik Perikanan ...................................................... 22 Masa Depan Nelayan Pasca UU Perikanan Baru...................................................... 24 Mencari Akar Masalah Beras : Produksi Beras dalam Negeri, Cukup! ........................ 27 Menanti Pemimpin Sejati......................................................................................... 30 Iptek “Feed Quality for Food Safety”, Kapankah di Indonesia? ........................................... 33 Zonasi Wilayah Rawan Kekeringan Tanaman Pangan .............................................. 36 i Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia INOVASI Vol.2/XVI/Agustus 2004 Inovasi Alternatif Strategi Membangun Indonesia Bertumpu Teknologi Informasi.................... 41 Sistem Mitigasi Bencana di Selat Lombok ................................................................ 46 Merangsang Inovasi Daerah.................................................................................... 49 Humaniora Bahasa (di) Indonesia —Sebuah Renungan— ........................................................................................... 52 Menikmati Perbedaan Bahasa................................................................................. 55 Mengkaji Kembali Pengajaran Fisika di Sekolah Menengah (SMP dan SMA) di Indonesia............................................................................................................ 57 Kesehatan Epilepsi, Bagaimana Jalan Keluarnya?..................................................................... 59 Kontribusi Penting Menyelamatkan Persalinan Sehat dan Buku KIA .......................... 64 Kiat Tafakkur Menjelang Mudik....................................................................................... 67 Buku Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan............................................................ 69 Tokoh Wawancara dengan Agung Budiyono Fisikawan Muda Berbakat ....................................................................................... 70 Redaksi Guidelines Penulisan Naskah INOVASI.................................................................... 73 Susunan Redaksi Majalah INOVASI ........................................................................ 75 ii Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 EDITORIAL Selamat Datang Orde Perubahan Akhirnya pilihan rakyat jatuh ke Soesilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK) dalam pemilihan presiden lalu. Tak terbayangkan ketika di era Habibie berkembang wacana pemilihan presiden dan wapres -nya secara langsung. Maklum, karena waktu itu kita baru saja keluar dari krisis politik sepanjang orde baru. Perjalanan Orde Baru telah mempengaruhi pola pikir rakyat Indonesia soal politik. Sehingga, tidak sedikit dari rakyat dan elit kita yang bersikap konservatif dan anti-perubahan. Namun akhirnya sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia telah mampu membuat sejarah baru yang ternyata masih langka di dunia ini. Yakni, suksesnya pemilihan presiden secara langsung. Makna penting dari pemilihan presiden secara langsung adalah kuatnya legitimasi. Namun kuatnya legitimasi tentu tidak menjamin roda pemerintahan bisa berjalan secara stabil. Sebut saja, kerjasama dengan parlemen menjadi salah satu faktor yang mesti diperhitungkan. Selain itu, ada faktor lain yang sesungguhnya justru lebih penting lagi. Yakni, faktor politik pembangunan. Karena ini taruhannya adalah kepercayaan rakyat. Meski mendapat legitimasi yang kuat dari rakyat, tapi kalau tidak mampu mengarahkan dan mengelola pembangunan dengan baik yang menyebabkan terulangnya krisis ekonomi, maka dapat diduga bahwa rezim ini akan jatuh. Memang soal ini ada dua pandangan. Pertama, determinisme ekonomi, yang mengatakan bahwa jatuhnya rezim adalah karena kegagalannya mensejahterakan rakyat. Tumbangnya Soekarno dan Soeharto adalah contohnya. Kedua, determinisme politik, yang mengatakan justru politiklah faktor penentu jatuh bangunnya rezim. Tumbangnya Habibie dan Gus Dur adalah contohnya. Habibie meski spektakuler dalam membuat stabilitas moneter tetap saja gagal dipercaya kembali. Bayangkan, kurs rupiah terhadap dolar Amerika sebesar Rp 15 ribu/dolar pada saat krisis ekonomi, mampu diturunkan menjadi sekitar Rp 6000/dolar. Wajar bila orang menyebutnya sebagai sebuah ”miracle”. Kasus Habibie ini yang dijadikan bantahan terhadap paham determinisme ekonomi. Kalau begitu, lalu mana yang benar ? Yang jelas antara politik dan ekonomi saling terkait. Namun dengan kekuatan parlemen yang nyaris seimbang –antara yang pro dan oposisi pemerintah—maka kekhawatiran terhadap krisis politik sudah bisa berkurang. Sebaliknya, bagaimana dengan ekonomi ? Disinilah taruhan besar SBY-Kalla pada rakyat. Sanggupkan SBY-Kalla dengan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) mampu membuat terobosan ekonomi yang mampu menciptakan kesejahteraan rakyat dan keadilan ? Bagaimana pun istilah ”Perubahan” telah menjadi trade-marknya. Kalau memang SBY-Kalla benar-benar ingin mewujudkan ”perubahan” itu maka memang bidang politik pembangunan lah yang mesti pertama kali dibenahi. Karena inilah pangkal tolak kepercayaan rakyat sehingga mereka memilih pasangan SBY-Kalla. Disinilah SBY-Kalla harus mampu merubah strategi pembangunan dari yang broad based spectrum menjadi yang resources base. Kita kaya akan sumberdaya alam. Namun, selama ini alih-alih menjadi sumber kemakmuran bangsa malah muncul sejumlah ironi. Impor produk pertanian terus mengalir. Kekayaan laut terus terkuras oleh kapal asing. Hutan rusak karena illegal logging, dan seterusnya. Sehinggga, akhirnya rakyat hanya gigit jari menyaksikan itu semua. Akan tetapi juga jangan sampai pilihan ke arah strategi resources base pun bermasalah. Masalahnya biasanya terkait dengan siapa yang akan terlibat dan diuntungkan dari strategi ini. Kalau pilihan strateginya bersifat teknokratis, maka meskipun pemanfaatan sumberdaya alam menjadi arus utamanya, tetap saja masalah ketimpangan akan terus muncul. Kemiskinan akan terus menghantui. Karena, strategi teknokratik umumnya bertumpu pada pelaku besar saja. Oleh karena itu, pekerjaan rumah yang sangat penting bagi SBY-Kalla dalam 100 hari pertama ini, adalah memformulasikan strategi pembangunan yang berbasis sumberdaya alam dan bertumpu pada ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat tidak anti besar. Adalah tugas pemerintah untuk membuat keduanya bersinergi. Jadi, kini bola ada di tangan Anda, SBY-Kalla. Karena itu, manfaatkan momentum 100 hari ini untuk membuat kita semua bisa menaruh harapan dan mengucapkan: selamat datang Orde Perubahan ! (Arif Satria-Pemimpin Redaksi). Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia 1 TOPIK UTAMA INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 Liputan Rekomendasi Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu Liputan ini merupakan rangkuman diskusi yang disarikan dari milist PPI Jepang (ppi-jepang@yahoogroups.com) dengan thema: ”100 Hari Rekomendasi Program Kabinet Indonesia (KIB)” pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla (SBY-JK) sejak dilantik tanggal 20 Oktober 2004. Saat ini pemerintahan SBY-JK sudah berjalan sekitar 1/4 bagian dari 100 hari tenggat waktu yang dicanangkan untuk membuat ”crash program terapi kejut ” pada berbagai program menteri KIB. Menarik apabila kita amati rekomendasi program yang diberikan warga PPI Jepang dengan gambaran program prioritas 100 hari pertama pemerintahan SBY-JK yang telah dipaparkan berbagai media massa. Liputan ini mencoba melihat lebih jauh apakah rekomendasi yang diberikan dan program pemerintah yang telah dijalankan bersinergi?. Sebagai penutup kami berikan catatan akhir untuk masukan pada pemerintah. 1. Diskusi 100 Hari Rekomendasi Program Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Tanggapan pertama dilontarkan Ronne Hendrajaya yang bernada skeptis bahwa patokan 100 hari itu dinilai hanya slogan, karena menganggap SBY sebagai “extraordinary people”, di lain pihak SBY masih “mengendarai” mesin birokrasi yang lama: sama lambatnya, sama bobroknya, dan hampir pasti sama kinerjanya. Ibaratnya: supirnya diganti ,namun kendaraannya tidak berubah. Terhadap sinyaleman di atas, Muhammad Arfian melihat hal sebaliknya. 100 hari pertama pemerintahan SBY pasti ada dampak positif yang bisa kita lihat, sekalipun itu masih terlihat tidak terlalu signifikan mengingat kerumitan permasalahan yang dihadapi. Sejalan dengan itu, Hasanudin juga melihatnya senada, dengan memberi catatan perlu adanya pembenahan pada birokrasi sebagai syarat minimal terjadinya perubahan. Parameter melihat perubahan tidak melulu dari hasil (outcome) semata, tetapi dilihat juga aspek kemauan dan strategi yang dilakukan pemerintahan SBY-JK. Sejalan dengan itu, Subagyo menekankan perlunya pembenahan bidang Hukum secara tuntas, disamping Birokrasi sebagai titik awal alat negara dalam menjalankan fungsinya. Hal itu disadari, terutama karena sumber krisis terbesar adalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang tidak professional, sehingga sumber dana untuk menggerakkan ekonomi menguap, hilang percuma tidak berbekas untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa. Subagyo juga mengingatkan perlunya memperbaiki mentalitas jajaran pemerintahan untuk hidup hemat dan menjadi teladan kesederhaaan yang dilakukan sedini mungkin. Selain itu, Subagyo juga menekankan pentingnya pembenahan perbankan sebagai penggerak sektor riil. Perbankan yang kuat merupakan modal dasar untuk menopang pertumbuhan usaha sektor riil, ekonomi mikro dan makro secara bersamaan. Hal itu harus ditopang dengan pembenahan pendapatan negara dari sektor Pajak yang mengutamakan asas keadilan. Beliau memberi contoh implementasi kebijakan tersebut di Jepang, dimana pembayar pajak yang mempunyai kekayaan berlebih dikenakan pajak tinggi. Demikian juga pajak harta warisan dibuat cukup besar agar dana yang dihimpun mempunyai fungsi sosial luas melalui pembenahan dan pembangunan fasilitas umum yang memadai. Pada sisi lain, Arif Satria menyoroti “isu” bola panas kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) dunia yang berdampak pada kebutuhan lokal dapat juga menjadi ancaman kerentanan pemerintahan SBY-JK apabila tidak disikapi secara bijaksana. Terhadap isu tersebut, Muhamad Arfian menyarankan pemerintah sebaiknya membuat kebijakan program yang prorakyat kecil, misalnya dengan membuat skema khusus untuk rakyat kecil dan mencabut subsidi untuk pemakai premium yang pada umunya dikonsumsi orang kaya. Sebagai responder terakhir, Mochammad Chaerul menyoroti perlunya isu lingkungan mendapat perhatian pemerintah. Prioritas pertama adalah pengusutan secara tuntas pencemaran Teluk Buyat, tanpa adanya intervensi dari pihak asing. Pengusutan ini mencakup juga audit lingkungan yang dilakukan secara menyeluruh tentang pengelolaan limbah (termasuk rona lingkungan sekitarnya) di perusahaan pertambangan lainnya. Prioritas kedua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia 2 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 melakukan investigasi mendalam tentang isu “illegal logging”, terutama di pulau Kalimantan dengan mengedepankan konsep “community development” sebagai antisipasi bilamana hal tersebut dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan. Prioritas ketiga perlu adanya tindakan secara berkesinambungan (bukan hanya tindakan pemadaman api) untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan. Prioritas keempat pengkajian tentang pemanfaatan kembali areal bekas galian yg telah selesai masa konsesinya dan komitmen dari perusahaan untuk melakukan konservasi lahan. Hal ini penting untuk mengantisipasi masyarakat menggunakan lubang bekas galian yang syarat limbah industri untuk keperluan sehari-hari mereka. Secara umum rekomendasi yang diberikan warga PPI Jepang mencakup 2 hal sbb.: 1. Pembenahan internal pemerintahan dalam rangka meletakkan dasar/pijakan yang kuat untuk menjalankan program utama. Pembenahan tersebut mencakup aspek birokrasi, hukum, sektor perbankan dan pengelolaan aset pajak, dan lain-lain. Penuntasan korupsi menjadi barometer keberhasilan sistem internal pemerintahan telah berjalan dengan baik. 2. Pembuatan kebijakan yang berorientasi pada manajemen krisis berbasis pada kepentingan rakyat. Isu hangat yang terjadi secara nasional, seperti kenaikan BBM yang melonjak tinggi, isu lingkungan Teluk Buyat, illegal logging dlsb. menjadi prioritas utama yang perlu mendapat penanganan segera. 2. Program 100 Hari Pertama Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Pemerintahan SBY-JK Program 100 hari pertama pemerintahan SBY tidak dituliskan secara terperinci dalam sebuah dokumen resmi, menyusul belum tersedianya informasi teknis sekitar program 100 hari KIB dalam rapat kerja komisi DPR dan pemerintah akibat krisis elite politik yang masih berlangsung di lembaga Yudikatif DPR ketika tulisan ini dibuat. Masyarakat hanya mendapat gambaran umum secara langsung dari presiden SBY, ketika rapat pertama KIB digelar sehari setelah acara pelantikan. Program tersebut lebih menekankan pada program “Terapi Kejut” (Shock Therapy) di semua departemen dan kementerian negara. Walaupun tidak secara eksplisit dijelaskan, namun nampaknya pemerintah telah sejalan dengan rekomendasi diskusi warga PPI Jepang, yaitu pembenahan birokrasi, aspek hukum, perbankan dan pajak, dengan menjadikan penuntasan kasus korupsi sebagai barometer utama keberhasilan. Hal itu tampak dari semangatnya aparat hukum dan kejaksaan merespon program tersebut. Sinyal positif telah diberikan pemerintah dalam jajaran ini 3 minggu pemerintahan berlangsung. Presiden SBY dalam hal ini telah menunjukkan komitmen positif dengan mengutamakan kunjungan pada lembaga yang ditenggarai menjadi pusat in-efisiensi pemerintahan itu sendiri dalam menuntaskan kasus korupsi, yaitu Kejaksaan, Mabes POLRI, Kantor Bea Cukai dan Pajak. Crash program dalam penanganan manajemen krisis juga telah diperlihatkan pemerintah dengan respon cepat pada kasus illegal logging, pemulangan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) illegal dari Malaysia. 3. Catatan Penutup Secara umum rekomendasi hasil diskusi warga PPI Jepang relevan dengan program 100 hari pertama pemerintahan SBY. Perlu diberi catatan, bahwa lingkup pembenahan birokrasi cukup luas dan saling terkait. Misalnya saja birokrasi pada institusi pendidikan dan riset masih terjadi tumpang-tindih dalam pembagian otoritas hak penelitian; distribusi SDM yang belum merata; fasilitas penelitian; dlsb. Disini perlu melihat permasalahan birokrasi ini secara sistemik dengan memasukkan semua aspek terkait dalam satu sistem tunggal yang bekerja secara bersama-sama. Tidak kalah pentingnya dalam membuat kebijakan manajemen krisis adalah perlunya pemerintah membuat sistem mitigasi bencana nasional. Sistem ini tidak hanya fokus pada bencana alam yang sering melanda Indonesia, seperti banjir pada saat memasuki musim penghujan dan kemarau yang selalu diikuti pekatnya kabut asap dan kebakaran hutan pada saat musim kering, disamping longsor, gelombang pasang, tsunami dan gempa bumi, dimana penanganannya selalu menyita perhatian pemerintah akibat kerugian materi dan jiwa yang sangat besar. Namun, sistem ini juga mencakup monitoring terhadap aspek yang mengancam keamanan, seperti maraknya Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia 3 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 pencurian ikan laut, perompakan dan kerugian ekonomi akibat lingkungan yang berubah, seperti yang terjadi pada usaha budidaya laut gagal panen, karena terbatasnya akses informasi perubahan lingkungan laut yang terjadi. Apabila Sistem Mitigasi Bencana Nasional ini dibenahi dengan baik, maka kerugian materi dan jiwa dapat dihindari sekecil mungkin, sehingga kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan. Perasaan aman bagi masyarakat terhadap datangnya bencana hendaknya menjadi salah satu prioritas utama program 100 hari pemerintahan SBY-JK. Selamat bekerja! (Fadli Syamsudin-Redaktur INOVASI) Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia 4 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 TOPIK UTAMA Dari SIN ke ABG: Catatan Kebijakan Iptek Nasional Sri Harjantoi Venture Business Laboratory, Akita University, Japan, Penggiat ISTECS JAPAN E-mail: harjanto@ipc.akita-u.ac.jp 1. Pengantar Sangat menarik mencermati konsep awal pembangunan Iptek yang dicanangkan oleh Menristek Profesor Kusmayanto Kadiman pada acara serah terima jabatan beberapa waktu lalu [5]. Secara singkat dan sederhana diungkapkan bahwa konsep pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang direncanakan di Indonesia adalah ABG kompak. Singkatan dari Academia, Bussiness dan Government, yaitu kerjasama yang melibatkan Akademisi atau universitas, Bisnis atau industri dan pemerintah. Bentuk kerja sama ini sering pula disebut sebagai triple helix (istilah yang meminjam bangun geometri yang terdiri dari tiga buah jalinan menyerupai susunan rantai DNA). Jika konsep itu memang akan konsisten dijadikan konsep kebijakan iptek nasional maka itu adalah sebuah nilai positif. Ada nuansa baru yang menonjol dalam konsep tersebut, yaitu mengemukanya peran universitas dalam pembangunan iptek. Di satu sisi, dirasakan adanya upaya untuk menggeser peran universitas lebih aktif dari sekedar menjadi ‘menara gading’. Selain itu meskipun bukan hal yang sama sekali baru, secara lebih eksplisit, konsep tersebut berpotensi untuk mendorong kontribusi nyata iptek pada bidang ekonomi. Namun demikian, sangat disayangkan sampai saat ini belum ada penjabaran yang lebih lengkap mengenai konsep yang disebutkan itu. Sulit dihindari kesan bahwa konsep tersebut baru sebatas ide. Hubungan antara konsep tersebut dengan kebijakan terdahulu belum jelas (UU no. 18 tahun 2002). Meskipun beberapa langkah-langkah pembenahan telah dilakukan, seperti optimalisasi institusi dalam bentuk rencana pembentukan samsat bioteknologi, masih belum cukup untuk menunjukkan visi Menristek dalam sebuah kebijakan iptek nasional yang utuh. Masyarakat tentu sangat berharap, bekal yang dimiliki Menristek sebagai mantan pimpinan salah satu institut ternama di tanah air dapat membawa kebijakan baru pembangunan iptek yang terintegrasi dengan pembangunan berkelanjutan. ekonomi dan Tulisan singkat ini bermaksud untuk mengkaji dan menelaah keterkaitan konsep yang disebutkan Menristek sebagai konsep ABG dengan kebijakan iptek sebelumnya, dengan UU no. 18 tahun 2002 sebagai rujukan. Mengingat secara substansi UU no. 18 tahun 2002 bisa dikatakan sebagai sebuah prototipe Sistem Inovasi Nasional (SIN) Indonesia. Karenanya diulas keterkaitan SIN dengan konsep ABG. Beberapa hal yang berhubungan dengan triple helix juga akan didiskusikan. Selanjutnya beberapa harapan akan kebijakan iptek ke depan dikemukakan. 2. SIN Meminjam pendefinisian yang dikemukakan oleh Freeman [3], National 1 Innovation System atau Sistem Inovasi Nasional (SIN) merupakan jejaring (network) institusi maupun interaksi, baik di sektor publik maupun swasta untuk menginisiasi, mengimpor, memodifikasi dan mendifusikan teknologi baru. Selain definisi SIN oleh Freeman, masih terdapat beberapa definisi lain dari SIN, salah satunya adalah seperti yang dibuat oleh Lundvall [7]. Disebutkannya bahwa SIN adalah sebuah sistem yang terdiri dari unsur-unsur (pelaku SIN) dan hubungan interaktif dalam produksi, difusi dan penggunaan pengetahuan baru yang juga bermanfaat secara ekonomis. Dikemukakan oleh Lundvall [8], ide dasar SIN bisa ditarik kembali jauh ke belakang pada awal terbentuknya, sebagai salah satu respon terhadap pendekatan Adam Smith yang cenderung kosmopolitan. Friedrich List dengan konsepnya ‘national system of production’, mengkritik pendekatan Smith, dimana perdagangan bebas diasumsikan sebagai sebuah keunggulan/keuntungan bagi ekonomi nasional baik yang kuat maupun lemah. Sebaliknya List 1 Pengertian inovasi dalam tulisan ini dibatasi pada perubahan kemampuan teknik baru yang dicapai dari sebuah produksi barang, proses, sistem atau organisasi [10]. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia 5 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 menekankan perlunya membangun infrastruktur dan institusi nasional dalam upaya meningkatkan akumulasi modal mental (mental capital) dan menggunakannya untuk mendorong pembangunan ekonomi daripada sekedar mempercayai ‘the invisible hand’ menyelesaikan permasalahannya. Baik List yang merupakan ekonom berpendekatan insitusionalis maupun Lundvall yang evolusionaris berperan dalam mengembangkan konsep SIN sampai pada bentuknya sekarang ini. Konsep ini masih terus berkembang dan mengalami penyempurnaan. Namun demikian seperti diungkapkan oleh Lundvall [8], bahwa secara umum konsep SIN memiliki beberapa karakteristik, utamanya jika dibandingkan dengan pendekatan neo-klasik, diantaranya. (1) Sistem nasional berbeda secara khusus dengan produksi, perdagangan dan pengetahuan (knowledge). Pandangan ini mirip dengan teori perdagangan neo-klasik. Satu hal yang berbeda adalah terdapat kopling dinamis antara apa yang negara kerjakan dengan apa yang orang dan perusahaan dalam negara tersebut tahu bagaimana mengerjakan. Kopling ini memberikan implikasi dinamis, pertama bahwa struktur produksi dan struktur pengetahuan akan berubah perlahan, dan kedua perubahan tersebut harus melibatkan pembelajaran sebagaimana perubahan suatu industri. (2) Unsur penting pengetahuan untuk kinerja ekonomi adalah terlokalisasi dan tidak mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini berbeda dengan dunia fiktif neo-klasik dimana pengetahuan disamakan dengan informasi dan dimana masyarakat (society) dipopulasikan secara sempurna sebagai agen rasional, yang memiliki akses tidak terbatas terhadap informasi. Dengan demikian menurut pendekatan neo-klasik sistem inovasi menjadi tidak diperlukan. Asumsi dibalik perspektif sistem inovasi adalah bahwa pengetahuan (knowledge) berbeda dan memiliki nilai lebih dibanding informasi, karena mencakup unsur tacit. (3) Unsur penting pengetahuan terikat pada pikiran dan tubuh agen pembawa pengetahuan, seperti prosedur dalam perusahaan dan tidak jarang dalam bentuk hubungan antara orang dengan organisasi. (4) Asumsi sentral dari ide sistem inovasi berfokus pada interaksi (interaction) dan hubungan (relationship). Hubungan (relationship) bisa dipandang sebagai pembawa pengetahuan, dan interaksi (interaction) adalah proses dimana pengetahuan baru dihasilkan. Asumsi ini menggambarkan bahwa perusahaan, institusi pengetahuan dan orang tidak berinovasi sendiri. Hal ini berimplikasi bahwa sistem, perlu dikarakterisasi secara simultan melalui unsur-unsurnya dan hubungan-hubungan diantara unsur-unsur itu. Asumsi-asumsi diatas menegaskan kembali bahwa SIN pada dasarnya merupakan sistem yang terintegrasi antara agen institusi dan sistem ekonomi yang secara langsung mendorong pemunculan dan penggunaan inovasi dalam ekonomi nasional. Agar SIN ini bisa berfungsi terdapat beberapa pelaku-pelaku yang diperlukan, yang bisa dibedakan dalam beberapa kategori berikut [9]. Lingkungan Inovasi Nasional Organisasi sistem keuangan Pemerintah Universitas Kebijakan moneter Sistem peraturan: Haki dll. Perush. swasta (firm) Sistem Inovasi Nasional Budaya Sumber Daya Alam Org. lain: Lab. S&T hibrida, Masy. ilmiah Faktor pasar Gambar 1. Peta Sistem Inovasi Nasional. - Pemerintah, baik pusat maupun daerah. - Universitas dan institusi yang memasok pengetahuan dan keterampilan kunci. - Perusahaan swasta (industri) dan institusi penelitian yang dibiayainya. - Intitusi penghubung, seperti dewan riset dan asosiasi riset yang berfungsi sebagai pemerintah dengan pelaku riset. - Organisasi lain, publik maupun swasta Pemetaan pelaku/unsur SIN dalam lingkup sempit dapat dilihat pada Gambar 1 [3] dimana, interaksi diantara pelaku-pelaku SIN pada akhirnya menentukan efektivitas SIN dalam peningkatan ekonomi nasional. Permasalahan umum dalam implementasi SIN antara negara maju dan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia 6 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 berkembang sangat berbeda satu sama lain. Bagi negera berkembang permasalahan dalam SIN umumnya terkait dengan rendahnya implementasi. Kajian SIN di negara berkembang seperti Thailand [6] menunjukkan bahwa SIN negara tersebut belum terkait langsung dengan pembangunan struktural ekonomi. Permasalahan lain yang juga muncul dan teramati adalah rendahnya keterkaitan dan interaksi antara pelaku-pelaku SIN. Hal yang tidak jauh berbeda juga ditemui dalam implementasi SIN di Indonesia [1]. Kajian yang mengambil rujukan pada beberapa kebijakan iptek nasional seperti UU no. 18 tahun 2002, menunjukkan bahwa intensitas dan efektivitas interaksi unsur-unsur SIN Indonesia masih rendah. Diindikasikan adanya inkohenrensi kebijakan-kebijakan antara para pelaku SIN di Indonesia. Sudah barang tentu SIN di Indonesia masih belum mampu mendorong pembangunan ekonomi apalagi kekompetitifan bangsa. 3. ABG Jika pendekatan neo-klasik menekankan pada kekuatan pasar, maka SIN menekankan pada perusahaan sebagai salah satu infrastruktur pengetahuan yang mendorong inovasi. Sedangkan model kebijakan triple heliks secara lebih detil menjelaskan interaksi antara Academia (A: Universitas) – Business (B: industri)Government (G: pemerintah) dalam bentuk mengemukanya peran infrastruktur pengetahuan masyarakat (universitas) dalam mendorong inovasi. Berkembangnya sistem inovasi dan pencarian bentuk hubungan unsur-unsur SIN yang paling optimal, menggambarkan terjadinya perubahan bentuk konfigurasi hubungan antara universitas, industri dan pemerintah. Sejauh ini terdapat 3 jenis konfigurasi hubungan ABG di dunia [2] Konfigurasi 1 (Gambar 2) menggambarkan model triple helix dimana peran negara sangat besar dalam mengarahkan universitas dan industri serta hubungan keduanya. Versi peran yang kuat dari negara dapat di temui di negara-negara bekas Uni Sovet dan Eropa Timur, sedangkan versi yang lebih lunak dapat ditemui di negara-negara Amerika Latin dan pada beberapa negara Eropa seperti Norwegia. Pemerintah (G) Universitas (A) Industri (B) Gambar 2. Model hubungan ABG yang masih menyertakan peran pemerintah Model triple helix kedua (Gambar 3) terdiri dari lingkaran institusi yang terpisah dengan batas yang tegas membagi ketiganya dan menggambarkan hubungan yang terpisah satu sama lain. Sedangkan model terakhir menindikasikan munculnya sebuah infrastruktur pengetahuan (knowledge infrastructure) dalam bentuk irisan lingkaran institusi yang saling berbagi peran dalam bentuk organisasi hibrida yang muncul di bagian antar muka ketiga lingkaran (Gambar 4). Model triple helix pertama digambarkan sebagai sebuah model yang gagal oleh Etzkowitz dan Leydesdorff. Dengan rendahnya inisiatif ‘bottom up’, inovasi cenderung kurang mengalami dorongan yang memadai. Sebaliknya, triple helix 2, muncul sebagai sebuah respon terhadap model pertama yang membawa kebijakan ‘laissez-faire’ (persaingan bebas) yang mengurangi peran negara. Seperti yang disebutkan dalam publikasi di atas, beberapa negara, khususnya negara maju, saat ini sedang mengarah pada pembentukan model hubungan yang digambarkan pada triple helix 3. Tujuan umum dari upaya itu antara lain untuk merealisasikan lingkungan inovatif dalam bentuk terciptanya perusahaan hasil ‘spin off’ universitas, aliansi strategis perusahaan-perusahaan (baik besar maupun kecil yang beroperasi di daerah yang berbeda dan dengan level penguasaan teknologi yang berbeda) dengan laboratorium pemerintah dan grup penelitian akademik/universitas. Bentuk hubungan itu Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia 7 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 bukan melalui pengontrolan pemerintah, melainkan didorong secara alami. Perubahan status BHMN (badan hukum milik negara) pada beberapa universitas di Indonesia sejak tahun 2000, pada dasarnya merupakan salah satu pertanda terjadinya perubahan peran universitas. Terlepas dari pro-kontra kebijakan otonomi universitas ini, kebijakan ini perlu disambut baik karena secara internal kebijakan ini bisa mendorong universitas dikelola secara lebih efisien. Pada batas-batas tertentu kebijakan ini pun berpotensi dalam mengarahkan kontribusi universitas dalam sistem inovasi nasional. Pada akhirnya dalam batas maksimal diharapkan muncul dorongan alami universitas BHMN itu untuk lebih berperan serta dalam pembangunan ekonomi daerah maupun nasional. Demikian pula dengan kontribusi universitas pada pembangunan ekonomi daerah maupun nasional pun tidak signifikan. Setidaknya tergambarkan dengan masih rendahnya anggaran belanja universitas pada bidang penelitian dan pengembangan, sebesar 6% dari total 0.05% (dari PDB) anggaran belanja penelitian dan pengembangan (R&D) nasional pada tahun 2000 [1]. Jaringan tri-lateral dan organisasi hibrida Universitas (A) Industri (B) Pemerintah (G) Pemerintah (G) Gambar 4. Model hubungan ABG triple helix ketiga 4. Refleksi dan Harapan Universitas (A) Industri (B) Gambar 3. Model hubungan ABG yang berasaskan persaingan bebas (laissez-faire) Saat ini nampaknya universitas BHMN di Indonesia masih dalam masa transisi. Pola hubungan antara universitas dan industri di Indonesia, merujuk pada ketiga model triple helix di atas, masih belum jelas. Intensitas hubungan dengan industri secara kualitatif pun masih rendah. Kalau pun ditemukan intensitas hubungan yang tinggi, secara umum belum mencapai ‘critical mass’ dan itu pun masih terbatas pada beberapa universitas besar saja. Di sisi perusahaan atau industri besar, keterikatan pada pihak prinsipal nampaknya masih kuat mewarnai kegiatan R&D, sehingga turut memberikan andil terhadap rendahnya hubungan itu. Sedangkan secara umum, baik pada perusahaan besar maupun kecil dan menengah, masih belum tumbuh secara memadai kesadaran umum peran positif pengetahuan untuk peningkatan kinerja ekonomi perusahaan. Dari paparan singkat di atas, terungkap bahwa masih diperlukan usaha-usaha yang lebih sistematik untuk menjadikan konsep ABG sebagai sebuah kebijakan iptek nasional yang menyeluruh dan implementatif. Dalam hemat penulis, langkah awal yang nyata dan penting di bidang Ristek ini adalah tampilnya peran Menristek dalam mendorong berfungsinya SIN Indonesia. Di samping itu, beberapa catatan dibawah ini menguraikan refleksi dan harapan akan peran dan langkah-langkah yang seyogyanya diambil dan dilakukan oleh Menristek. (1) Perlu ditumbuhkan suatu kesadaran sosial secara mikro kepada pelaku SIN khususnya, maupun secara makro pada masyarakat umumnya, akan peran penting dan signifikan pengetahuan (iptek) terhadap pembangunan ekonomi bangsa. Hanya dengan kesadaran inilah pembangunan iptek bisa berjalan dan menjadi lebih membumi serta dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat. (2) Teramati adanya indikasi secara umum Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia 8 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 perbedaan pendekatan yang digunakan dalam kebijakan pembangunan iptek (yang cenderung institusionalis-evolusionaris) dengan kebijakan pembangunan ekonomi (yang dominan neo-klasik). Di sini peran Menristek dalam menjembatani perbedaan pendekatan itu menjadi penting, dalam upaya meningkatkan hubungan dan interaksi para pelaku SIN agar menghasilkan keluaran yang optimal. Ke depan dirasakan perlu adanya komunikasi yang lebih intensif baik antara Menristek dengan Mendiknas (Dikti) maupun Menristek dengan Menperind. Ide pembentukan suatu ‘komisi meja bundar’ ketiga institusi itu selayaknya dipertimbangkan. (3) Konsep ABG dengan pola yang lebih spesifik perlu segera diwujudkan dengan lebih nyata, karena konsep ini berpotensi menjadi motor berfungsinya SIN. Penulis berpedapat, model hubungan universitas – industri sebagaimana yang dilakukan di beberapa negara Amerika Latin relatif cukup realistis untuk diadopsi, selain karena kondisi ekonomi negara-negara tersebut memiliki kemiripan dengan Indonesia, juga karena model tersebut mengkombinasikan ruang inisiatif universitas yang ‘bottom up’ sifatnya dengan kebijakan pendukung dari pemerintah yang sifatnya ‘top down’ secara serasi. Dengan demikian, hubungan dengan industri yang selama ini telah tumbuh di universitas perlu diberikan iklim yang lebih kondusif agar bisa berkembang lebih besar. Pada saat yang sama kebijakan yang bersifat ‘top down’ masih diperlukan sebagai stimulan. Keduanya seyogyanya bersifat komplementer satu sama lain. (4) Peningkatan anggaran penelitian dan pengembangan (R&D) 0,05% dari PDB ke angka yang lebih signifikan perlu diperjuangkan lebih gigih. Peningkatan anggaran ini akan menjadi insentif para SDM iptek dalam memberikan kontribusi riilnya ke masyarakat. Terkait dengan hal itu, perlu pula dilakukan proporsionalisasi apresiasi finansial SDM iptek yang menekuni jalur fungsional agar keluarannya bisa lebih bersaing dengan jalur struktural. Challenges and Regional Integration’, Bangkok, Thailand, 1-2 April 2004. [2] Etzkowitz, H. and Leydesdorff, L., 2000, The dynamic of innovation: from National System and “Mode 2” to a Triple Helix of university-industry-government relations, Research Policy 29: 109-123. [3] Feinson, S., 2003, National Innovation System Overview and Country Case, in Knowledge Flows, Innovation, and Learning in Developing Countries, p. 13-38, Rockefeller Foundation. [4] Freeman, C., 1987, Technology and Economic Performance: Lesson from Japan, Pinter, London. [5] Humas BPPT, 2004, Serah Terima Jabatan Menristek dan Ketua BPPT, 25 Oktober 2004, http://www.bppt.go.id/berita/news2.php? id=325 [6] Intarakumnerd, P., Chairatna, P. and Tangchitpiboon, T., 2002, National innovation system in less succesful developing countries: the case of Thailand, Research Policy 31: 1445-1457. [7] Lundvall, B-A (ed.), 1992, National Innovation System: Towards a Theory of Innovation nad Interactive Learning, Pinter, London. [8] Lundvall, B.-A, 2003, National I nnovation System: History and Theory, Proceeding of NSTDA-JICA Seminar on Innovation System in Asian Economies, Bangkok. [9] OECD, 1999, Managing National Innovation System. [10] Viotti, E. B., 2002, National Learning systems: A new approach on technological change in late industrializing economies and evidences from teh cases of Brazil and South Korea, Tech. Forecasting and Social Change, 69: 653-680.Pinter, London i Staf Akademik pada Departemen Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Saat ini sebagai peserta program posdoktoral di Venture Business Laboratory, Akita University - Japan 5. Daftar Pustaka [1] Aiman, S., Hakim, L., Simamora, M., 2004, National Innovation System of Indonesia: A Journey and Challenges, The first Asialic International Conference on ‘ Innovation Systems and Cluster : Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka In donesia untuk Dunia 9 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 TOPIK UTAMA Pilkada Langsung dalam Kerangka Reformasi Birokrasi: Beberapa Catatan Kritis Tri Widodo W. Utomo Peneliti LAN dan Mahasiswa Program Doktor di GSID, Nagoya University, Jepang Dalam sebuah kesempatan kampanye Capres di Jakarta (7/9/04), SBY pernah melontarkan janji untuk mengubah mesin birokrasi yang selama ini lambat dan tidak efisien. Sayangnya, beliau tidak menjelaskan lebih jauh tentang strategi membangun birokrasi yang professional, target yang harus dicapai selama masa kepemimpinannya, serta rencana detil (action plan) dari program reformasi birokrasi tersebut. Selama masa kampanye Pemilu lalu (baik Legislatif maupun Presiden), isu pembenahan administrasi publik nampaknya terkalahkan oleh isu-isu lain yang lebih aktual seperti penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, pendidikan dan pengangguran, serta masalah pemulihan stabilitas ekonomi makro. Namun sesungguhnya, urgensi reformasi birokrasi tidak kalah mendesak dibanding dengan pembenahan di bidang lainnya. Beberapa alasan yang mendasari perlunya dilakukan reformasi birokrasi secara segera, antara lain adalah tingginya indeks korupsi versi Transparency International yang menempatkan Indonesia di posisi ke tujuh terkorup diantara 102 negara. Sementara mengenai country risk (indeks tingkat risiko), dari 185 negara yang di survei, Indonesia menempati urutan ke-150. Peringkat ini hasil dari kompilasi pemeringkatan oleh Marvin Zonish & Associate, Standard & Poors, Moody Investor Services, Economist Intelligence Unit, dan World Market Research Centre. Dari aspek pembangunan SDM, Human Development Report 2003 yang dipublikasikan oleh UNDP melaporkan bahwa dari 173 negara di dunia, Indonesia ternyata berada di posisi 110, di bawah Philipina, Cina, dan bahkan Vietnam. Selain itu, World Investment Report (WIR) 2003 membuat peringkat indeks kinerja Foreign Direct Investment (FDI) 1999-2000, diantara 140 negara, Indonesia ternyata menempati urutan ke-138, dua dibawahnya adalah Gabon dan Suriname. Sedangkan periode 1994-1996, peringkat Indonesia masih berada di posisi ke-52. Gambaran umum kondisi bangsa Indonesia tersebut berakar dari permasalahan dan menjadi titik sentral yaitu antara lain masih sangat lemahnya fungsi penyelenggara negara baik di fungsi Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif. Pada gilirannya, kelemahan penyelenggara negara tersebut telah menyebabkan tidak mampunya bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan suatu kepemerintahan yang baik. Hal tersebut tentu saja berdampak terhadap keseluruhan aspek kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Secara langsung maupun tidak langsung, kondisi diatas diakibatkan pula oleh sistem administrasi negara dan kualitas SDM Aparatur yang rendah. Hambatan berupa jalur birokrasi yang lambat dan berbelit-belit (red-tape), serta tingginya ‘biaya siluman’ untuk memperlancar proses perijinan dan proses-proses administratif lainnya, adalah sedikit contoh dari praktek birokrasi yang menghambat pembangunan nasional. Dengan kata lain, dalam kinerja makro pembangunan nasional yang memprihatinkan tadi, sesungguhnya terdapat kontribusi dari sektor administrasi publik. Itulah sebabnya, pembangunan aparatur dan pembenahan sektor administrasi publik harus dijadikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka kerja reformasi nasional secara menyeluruh. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemilu 2004 dan terpilihnya Presiden baru mestinya dijadikan sebagai momentum yang tepat untuk mencanangkan program reformasi nasional dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang bersih, baik, dan kuat (clean, good and strong governance). Dan bersamaan dengan selesainya Pemilu ini, DPR telah pula menyetujui revisi UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu butir pokok dalam revisi tadi adalah pengaturan tentang penyelenggaraan pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Daerah Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 10 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 secara langsung. Dalam tahap implementasinya, lahirnya UU baru tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) ini ternyata mengundang polemik serta mendapat reaksi cukup keras dari berbagai pihak. Dari penolakan yang disampaikan Dewan Presidium Formas (Suara Merdeka, 11/10/04) hingga gagasan untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (Kompas, 19/10/04). Lahirnya UU ini sekaligus menandai babak baru penyelenggaraan pemerintahan daerah yang selama ini masih carut-marut. Secara sekilas, butir-butir perubahan UU tadi nampaknya memang telah mencoba seoptimal mungkin untuk membangun tatanan pemerintah dan masyarakat daerah yang lebih demokratis, melalui mekanisme pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah secara langsung. Namun jika dicermati lebih dalam, aturan baru ini mengandung potensi permasalahan yang cukup kompleks. Dalam hal pengajuan calon Kepda, misalnya, UU ini menentukan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki hak untuk itu (pasal 56). Kata-kata “partai politik atau gabungan partai politik” ini dapat menimbulkan polemik, mengingat selama ini usulan calon Kepda datang dari Fraksi di DPRD (bukan dari partai politik). Selain itu, dengan pola “satu pintu” ini akan tertutup peluang bagi calon independen untuk menjadi Kepala Daerah. Dilihat dari prinsip efektivitas, mungkin saja pola satu pintu ini lebih baik. Namun secara filosofis hal ini tidak akan dapat mewujudkan cita-cita untuk membabat praktek money politics di daerah. Sebagaimana dilaporkan berbagai media, dewasa ini tersebar perilaku korup dari para anggota dewan serta perselingkuhan politik antara DPRD dengan Bupati/Walikota. Kondisi ini terjadi karena DPRD menurut UU 22/1999 memiliki kekuasaan yang luar biasa, dari memilih Kepda hingga meminta pertanggungjawabannya. Dengan model pemilihan langsung, praktek kotor tersebut diharapkan dapat dihindari. Inilah sesungguhnya esensi dasar dari pemilihan Kepda secara langsung. Sayangnya, UU baru ini tidak memberi “hak inisiatif” kepada rakyat untuk mengajukan calonnya tanpa melalui partai politik. Dengan kata lain, rakyat hanya memiliki “hak pilih” dari calon-calon yang telah ditentukan oleh partai politik. Akibatnya, parpol masih tetap menjadi mesin politik utama menuju kekuasaan. Dan peran sebagai “mesin kekuasaan” inilah yang akan menjadi medan magnet terjadinya money politics. Meskipun demikian, pusaran korupsi diperkirakan tidak sekuat pada masa 5 tahun kebelakang. Justru ada kecenderungan bahwa money politics ini lebih menyebar dan menjangkau langsung kepada anggota masyarakat. Logikanya, money politics akan mengikuti dimana “suara” berada. Pada saat berlakunya UU 5/1974, pemerintah pusat memiliki hak untuk memilih seorang Kepda dari 3 hingga 5 calon yang diajukan DPRD. Oleh karenanya tidak aneh jika sebagian terbesar kasus korupsi pada saat itu terjadi di tingkat pusat. Kemudian pada era UU 22/1999, korupsi dilakukan secara beramai-ramai oleh DPRD karena memang DPRD-lah pemegang hak pilih terhadap seorang Kepda. Kini, ketika suara (hak pilih) didistribusikan secara langsung kepada perseorangan, maka medan korupsi-pun akan bergerak mengikuti pemilik suara tersebut. Memang benar bahwa pasal 59 memerintahkan parpol atau gabungan parpol untuk membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi calon perseorangan diluar kader partai. Namun pasal ini kelihatannya hanya akan menjadi pemanis, karena hampir mustahil sebuah partai memiliki goodwill untuk mencalonkan orang yang bukan kadernya menjadi Kepala Daerah. Permasalahan lain yang menonjol dari UU ini adalah tiadanya hubungan hierarkis dan koordinatif antara KPU dengan KPU Daerah. Padahal, KPU kabupaten/kota dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada KPU propinsi, sementara KPU propinsi berhubungan secara struktural dengan KPU. Celakanya, UU tadi justru memerintahkan KPUD untuk bertanggungjawab kepada DPRD. Ketentuan ini jelas sekali tidak masuk akal. Pertanggungjawaban proses pemilihan Kepda secara langsung tidak mungkin diberikan kepada institusi yang memiliki wewenang untuk mengajukan calon Kepda. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 11 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 Bayangkan, seandainya DPRD daerah tertentu memiliki 5 fraksi, dan setiap fraksi memiliki calon Kepda tersendiri, maka di daerah tersebut terdapat 5 pasangan calon Kepda-Wakepda. Dalam kasus seperti ini, persaingan ketat diantara ke-5 fraksi tersebut tidak terhindarkan. Kemenangan pasangan dari fraksi tertentu bukan tidak mungkin menimbulkan ketidakpuasan dan protes dari fraksi lainnya. Padahal, seluruh fraksi tadi sama-sama merupakan alat kelengkapan pada lembaga yang sama, yakni DPRD. Bagaimana mungkin mereka dapat menerima pertanggungjawaban dari KPUD secara kolektif, sementara mereka memiliki kepentingan yang parsial? Disini nampak sekali bahwa klausul “KPUD bertanggungjawab kepada DPRD” (pasal 57) membuka potensi terjadinya 2 jenis konflik, yakni konflik internal dalam DPRD (antar fraksi), serta konflik antara KPUD dengan DPRD itu sendiri. Potensi konflik ini semakin menguat ketika UU Pemda tidak menyediakan aturan dalam hal pertanggungjawaban KPUD ditolak oleh DPRD. dari 64 pasal dialokasikan untuk mengatur masalah pemilihan Kepda secara langsung. Padahal, aturan-aturan teknis penyelenggaraan pemilu langsung ini semestinya dilakukan oleh (diserahkan kepada) KPUD. Dengan kata lain, RUU Pemda ini secara dini telah membatasi discretionary of power dari KPUD. Paparan diatas menyiratkan bahwa dinamika politik lokal di Indonesia dalam waktu dekat ini akan cukup panas dan bergejolak. Ketergesaan dalam bertindak dan ketidakjelasan aturan dalam UU Pemda, adalah kontributor utama terhadap kemungkinan munculnya dinamika tadi. Yang paling menyedihkan, pemerintah dan masyarakat daerah nampaknya masih banyak dipandang sebagai ladang eksperimen politik bagi elit-elit tertentu. Disinilah sesungguhnya KPU (pusat) dapat memainkan perannya selaku koordinator, fasilitator, pengawas / pengendali, sekaligus penanggungjawab akhir dari seluruh proses Pilkada secara langsung. Dengan dikebirinya peran KPU, maka ancaman terjadinya deadlock dalam proses Pilkada semakin nyata membayangi implementasi UU baru ini. Pemberlakuan UU 22/1999 yang terkesan terburu-buru dan “dipaksakan” adalah eksperimen yang pertama. Dampaknya, persoalan muncul disana sini seperti pemekaran wilayah yang tidak terkendali, konflik vertikal dan horisontal antar unit pemerintahan, penggelembungan kelembagaan Pemda, korupsi legislatif, dan sebagainya. Dan ketika UU ini baru berjalan efektif 3 tahun lebih, tiba-tiba Revisi UU 22/1999 telah ditetapkan secara terburu-buru pula. Instrumen Pilkada secara langsung yang sarat masalah, adalah salah satu bukti baru betapa eksperimen politik lokal itu tengah berlangsung secara kasat mata. Uniknya, peran KPUD sendiri sebenarnya juga sudah terkebiri oleh UU Pemda ini. Sebab, meskipun KPUD masih memiliki hak membuat Keputusan untuk menjalankan hal-hal strategis dalam pelaksanaan Pilkada, namun substansi, tahapan, persyaratan dan hal-hal teknis lainnya telah diatur secara amat rinci dan limitatif oleh UU ini. Tidak kurang Pertanyaannya, adakah eksperimen tadi mampu menghasilkan manfaat optimal bagi masyarakat lokal, ataukah elit-elit politik lokal dan nasional yang akan tetap bermahkotakan penderitaan rakyat? Waktulah yang akan membuktikan segalanya, apakah kabinet SBY – Kalla mampu mewujudkan janji-janjinya. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 12 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 TOPIK UTAMA Perspektif Baru Kinerja Pembangunan Perumahan, Perlukah? Asnawi Manaf Staff Pengajar Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, Semarang Kandidat Doktor di Universitas Kassel, Jerman E-mail: asnawi_manaf@yahoo.de 1. Pentingnya Perspekti f Baru Pembangunan Perumahan Kinerja Setelah diumumkan Kabinet Indonesia Bersatu di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono, seolah ada satu harapan dan kegembiraan tersendiri dengan diadakannya kembali Menteri Negara Perumahan Rakyat sebagai satu posisi menteri yang saya amati cukup dinantikan, terutama oleh para pengusaha atau pengembang. Menteri Negara Perumahan Rakyat yang sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid telah dihapus atau tugas perannya dilebur menjadi satu dengan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, kini diadakan kembali. Bisakah dia menjadi sebuah harapan meningkatnya kembali kinerja pembangunan perumahan, terutama perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah? Mencermati beberapa isu yang berkembang di media massa, terlihat jelas bahwa harapan-harapan itu masih sebagian besar datang dari kalangan pengembang atau pelaku bisnis perumahan. Pengamat property, Panangian Simanungkalit juga melihat harapan ini secara positif (setali tiga uang). Menurut penulis, cara pandang itu masih bertumpu dari satu sudut pandang yang melihat persoalan perumahan masih di tingkat permukaan atau ukuran kinerja pembangunan hanya diukur dari jumlah (kuantifikasi) rumah yang dibangun. Dan dianggap bahwa kinerja pembangunan perumahan hanya semata-mata bergantung pada peran pengusaha atau pengembang perumahan yang mampu menawarkan harga rumah yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah di pasar-pasar perumahan formal. Padahal dapat diamati, bahwa pada prakteknya justru penyedia perumahan yang paling dominan adalah swadaya masyarakat yang menyumbang lebih 80%, bukan berasal dari pasar perumahan formal. Disamping itu, tumbuh dan berkembangnya pemukiman atau hunian informal, yaitu hunian yang dibangun secara swadaya (kawasan-kawasan kumuh) di perkotaan sebetulnya juga bukan hanya disebabkan oleh kurangnya pasokan rumah secara kuantitatif, tetapi lebih disebabkan oleh produk rumah yang tidak relevan dengan kebutuhan rasional mereka yang berpenghasilan rendah. Bila mereka ingin memperoleh hunian murah yang disediakan oleh pasar formal, maka mereka harus tinggal jauh dari sumber mata pencaharian mereka. Kelemahan mekanisme pasar (market failure) dalam menjawab kebutuhan perumahan ini, sebetulnya sudah terlihat juga sejak Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) itu ada (Orde Baru) dengan terjadinya banyak kredit macet di bidang properti. Secara kuantitatif tidak bisa dipungkiri bahwa sejak dihapusnya Menpera, kinerja pasar perumahan menurun secara signifikan. Pada era Orde Baru bisa dihasilkan rata-rata 100 ribu lebih rumah per tahun, sementara pada era Reformasi setelah dihapusnya Menpera menurun sampai 50 ribu unit rumah per tahun. Akan tetapi merosotnya jumlah rumah yang diproduksi pada era Reformasi ini tidak bisa dilepaskan dari tuntutan atas kontrol pemerintah yang semakin ketat akibat pengalaman buruk perilaku kotor pengusaha property pada era tersebut yang ikut memberikan sumbangan atas terjadinya krisis moneter di tanah air, yaitu banyak kasus kredit macet (non-performing loan). Logika pasar yang bebas tanpa adanya intervensi pemerintah, terutama dalam mengelola sumber daya yang krusial, seperti aset lahan, biaya, dan perijinan, pada kenyataannya telah mempercepat melambungnya harga lahan dan rumah yang tidak hanya ditentukan oleh rasionalitas hukum permintaan dan penawaran, akan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 13 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 tetapi justru oleh tumbuh suburnya semangat para pengusaha hitam untuk menumpuk kekayaan melalui spekulasi lahan perumahan. Perilaku menyimpang dari model pasar bebas ini, haruslah menjadi pengalaman kita. Sebelum krisis moneter, jumlah kredit yang sudah terlanjur disalurkan perbankan nasional ke sektor properti mengalami kemacetan dan akhirnya terpaksa diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Ini menunjukkan alokasi dana tersebut sia-sia belaka, karena telah disalahgunakan untuk kepentingan para spekulan yang tidak bertanggung jawab. Hal ini pada akhirnya merugikan masyarakat. Mereka yang sesungguhnya membutuhkan dana tersebut selalu terdiskriminasi. Bertolak dari kenyataan ini maka perspektif ukuran keberhasilan kinerja pembangunan seharusnya mulai digeser dari perspektif kuantitatif ke kualitatif. Dengan melakukan perbaikan sistem pendataan permasalahan perumahan, secara lebih akurat diharapkan pemerintah juga dapat merubah strategi pemecahannya. Untuk kabinet yang akan datang, diharapkan kebijakan perumahan ke depan harus lebih berani melakukan reorientasi strategi dari yang sebelumnya hanya bertumpu pada pelaku bisnis perumahan dengan orientasi mengambil keuntungan sebanyak mungkin menjadi focus pada pelaku pembangunan lain yang lebih luas dan lebih berorientasi pada kepentingan pembangunan perumahan yang berkesinambungan. Strategi pembangunan yang bertumpu pada masyakarat haruslah menjadi primadona. Melalui penekanan pada upaya mengelola potensi swadaya masyarakat yang selama ini kurang mendapat dukungan, diharapkan lebih mampu menjawab permasalahan perumahan secara mendasar. Hal ini memerlukan terobosan baru dalam kebijakan manajemen pembangunan, sehingga kelompok sasaran yang mendesak (urgen) betul-betul dapat terprioritaskan terlebih dahulu. Ukuran urgensi ini tercermin dari munculnya pemukiman-pemukiman informal yang dibangun secara swadaya. Kemunculan pemukiman itu tidak mendapat dukungan teknis yang memadai, ditambah dengan kondisi sosial dan ekonomi mereka yang minim menjadikan sebagian besar kondisi pemukiman tidak layak huni (kumuh). Paradigma melihat permasalahan mereka hendaknya tidak lagi dilihat dari sudut pandang negatif, namun harus dilihat sebagai gambaran konkrit upaya swadaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumahnya dengan segala pertimbangan yang sangat matang dari sudut pandang sosial dan keterjangkauan ekonomi yang mereka miliki (Turner, 1968, 1976, 1978, 1997). 2. Pembangunan Perumahan Bertumpu pada Masyarakat sebagai Satu Alternatif Dalam rangka mengelola potensi swadaya masyarakat untuk mengantisipasi munculnya hunian yang kurang manusiawi ini, pada era Orde Baru sebetulnya telah disosialisasikan sebuah strategi alternatif Pembangunan Perumahan yang B ertumpu Pada Kelompok (P2BPK). P2BPK ini dikalangan LSM pembangunan perumahan seperti AKPPI dan ASPEK sudah cukup dikenal dan bahkan pernah dijalankan dengan berhasil. Salah satu motivasi P2BPK adalah upaya mengorganisir potensi swadaya masyarakat tersebut dalam satu kelompok atau secara kooperatif dikelola secara baik untuk membangun rumah secara swadaya atau swakelola sehingga produk hunian dan lingkungan yang terjadi bisa lebih tertata dan bisa mengurangi munculnya lingkungan kumuh. Karena dilakukan secara berkelompok atau kooperatif, maka secara teoritis pola P2BPK ini memiliki potensi sebagai sarana untuk menjembatani kelompok masyarakat yang kurang mampu dalam mengakses sumber-sumber daya kunci perumahan (lahan, perijinan, biaya) yang selama ini kurang berpihak pada si miskin. Hal ini disebabkan karena lemahnya posisi tawar (bargaining power) mereka (the ruled class) terhadap kelompok masyarakat yang dominan atau penentu kebijakan (the rulling class) untuk mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya (Asnawi, 2003), terutama akses ke sumber daya kunci di atas, karena mereka bergerak tidak terorganisir dalam satu kelompok. Berdasarkan dari laporan-laporan kegiatan P2BPK yang dilaksanakan pada masa Orde Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 14 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 Baru memang pada kenyataannya belum memberikan gambaran yang menggembirakan (Warta Damar, 2001). Upaya yang dilakukan oleh para LSM untuk mengorganisir masyarakat dari bawah (struggle from below) untuk memiliki rumah sering kandas atau tidak berjalan seperti apa yang diharapkan. Hal ini salah satunya disebabkan oleh karena kurang adanya dukungan (political will) dari pemerintah. Sehingga P2BPK di masa lalu sulit diwujudkan dan salah satu alasan paling mendasar disebabkan keberpihakan pemerintah secara politis masih sangat lemah untuk mendukung pola ini, sehingga harapan-harapan P2BPK yang diuraikan di atas sering kandas di tengah jalan. Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada Kelompok (P2BPK). Sebagai penutup, saya berharap semoga Kementrian Perumahan ke depan hendaknya dapat mengembangkan perspektif baru dalam melihat keberhasilan kinerja pembangunan perumahan: tidak hanya dari sudut kuantitatif, tetapi juga yang lebih penting dari segi kualitatif. Dengan sikap profesional dan kejujuran yang tinggi, kementrian perumahan di Kabinet Indonesia Bersatu ini akan mampu untuk mengelola sumber daya kunci perumahan terutama lahan secara lebih baik untuk kesejahteraan masyarakat umum. [3] Castells, Manuel (1978), City, Class and Power, London: The Macmillan Press LTD. Juga dengan semangat keberpihakan yang tinggi kepada si miskin (pro poor), Kementrian Perumahan juga dapat lebih melindungi mereka sehingga tidak terpinggirkan oleh kepentingan-kepentingan sempit. Dan lingkungan fisik perumahan sebagai ekspresi rasional pertarungan antar klas (Castells, 1978) tidak semakin memperjelas segregasi sosial dan spasial yang semakin mencolok antara the have (permukiman mewah yang di jaga satpam siang malam) dan the have not (permukiman kumuh yang tidak manusiawi) yang berakibat munculnya kecumburuan sosial (collective conciousness) yang membahayakan kekuatan modal sosial (social capital) dan membangkitkan semangat gerakan sosial yang mengarah pada tindakan desktruktif. Demikian sedikit sumbang saran dari saya sebagai pengamat dan pelaku pembangunan perumahan melalui pola swadaya dan 3. Daftar Pustaka [1] Asnawi, Manaf (2003), Refleksi Penerapan Enabling Strategy dan Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada Kelompok (P2BPK). Jurnal Tata Loka, PWK Undip Semarang, vol 5. no. 2, pp. 73-79. [2] Bishwapriya, Sanyal (1998), Beyond the Theory of Comparative Advantage, in Shelter and Society: theory, research, and policy for nonprofit housing / edited by C. Theodore Koebel. [4] Dirjend. Perumahan dan Permukiman Departemen KIMPRASWIL, Penerapan Pembangunan Perumahan dan Daerah berbasis pada Prakarsa Komunitas masyarakat, Bulletin, Warta Damar, E disi Perdana, Oktober 2000-Maret 2001 [5] Turner, John F.C. (1968), The Squatter Settlement: An Architecture that Works, Architectural Design 38 vol. 8 London, pp. 357-360 [6] Turner, John F.C. (1976), Housing By People: Toward Autonomy in Building Environments, London: Marions Boyars. [7] Turner, John F.C. (1978), Housing in Three Dimensions: Term of Reference for Housing Question Redefined, World Development, no. 9/10 vol. 6, London:Pergamon, pp. 1135-1145 [8] Turner, John F.C. (1997), Learning in a Time of Paradigm Change: The role of the professional, In Burgess, Rod, Carmona M, Kolstee T (eds.). The Challenge of Sustainable Cities: Neoliberalism and Urban Strategies in Developing Countries, London: zed books ltd. pp. 162-175 Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 15 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 TOPIK UTAMA Revitalisasi Ekonomi Kerakyatan Melalui Pemberdayaan Gerakan Koperasi Jangkung Handoyo Mulyo Dosen Universitas Gadjah Mada, Mahasiswa Program Doktor pada Department of Economic Development and Policies, Graduate School of International Cooperation Studies, Kobe University E-mail: JhandoyoM@yahoo.com Di antara tugas berat pemerintahan baru dibawah Presiden SBY adalah bagaimana membangkitkan kembali dan sekaligus mengakselerasikan pertumbuhan ekonomi nasional pasca krisis moneter. Ekonomi kerakyatan sebagai suatu sistem ekonomi yang memberikan pemihakan kepada pelaku ekonomi lemah kiranya pantas mendapatkan prioritas utama penanganan. Hal ini bukan saja karena ekonomi kerakyatan memiliki pijakan konstitusional yang kuat, namun juga karena ia gayut langsung dengan nadi kehidupan rakyat kecil yang secara obyektif perlu lebih diberdayakan agar mampu menjadi salah satu ‘engine’ bagi peningkatan kesejahteraan rakyat (social welfare) dan sekaligus alat ampuh untuk lebih memeratakan ‘kue pembangunan’ sejalan dengan program pengentasan kemiskinan (poverty alleviation). 1. Pengantar Krisis moneter yang melanda beberapa negara di kawasan Asia (Korea, Thailand, Indonesia, Malaysia ) pada tahun 1997 setidaknya menjadi saksi sejarah dan sekaligus memberikan pelajaran sangat berharga bahwa sesungguhnya pengembangan ekonomi bangsa yang berbasis konglomerasi itu rentan terhadap badai krisis moneter. Sementara itu, pada saat yang sama kita dapat menyaksikan bahwa ekonomi kerakyatan (diantara mereka adalah koperasi), yang sangat berbeda jauh karakteristiknya dengan ekonomi konglomerasi, mampu menunjukkan daya tahannya terhadap gempuran badai krisis moneter yang melanda Indonesia. Pada sisi lain, era globalisasi dan perdagangan bebas yang disponsori oleh kekuatan kapitalis membawa konsekuensi logis antara lain semakin ketatnya persaingan usaha diantara pelaku-pelaku ekonomi berskala internasional. Banyak pihak mengkritik, antara lain Baswir (2003), bahwa konsep perdagangan bebas cenderung mengutamakan kepentingan kaum kapitalis dan mengabaikan perbedaan kepentingan ekonomi antara berbagai strata sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dalam sistem perdagangan bebas tersebut, perusahaan-perusahaan multi nasional yang dikelola dengan mengedepankan prinsip ekonomi yang rasional, misalnya melalui penerapan prinsip efektifitas, efisiensi dan produktifitas akan berhadapan dengan, antara lain, koperasi yang dalam banyak hal tidak sebanding kekuatannya. Oleh karena itu agar tetap survive, maka koperasi yang oleh Anthony Giddens (dalam Rahardjo, 2002) dipopulerkan sebagai the third way, perlu diberdayakan dan melakukan antisipasi sejak dini, apakah dengan membentuk jaringan kerjasama antar koperasi dari berbagai negara, melakukan merger antar koperasi sejenis, atau melakukan langkah antisipatif lainnya. 2. Koperasi Sebagai Penjelmaan Ekonomi Rakyat Dalam konteks ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, kegiatan produksi dan konsumsi dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat sendiri (Mubyarto, 2002). Prinsip demokrasi ekonomi tersebut hanya dapat diimplementasikan dalam wadah koperasi yang berasaskan kekeluargaan. Secara operasional, jika koperasi menjadi lebih berdaya, maka kegiatan produksi dan konsumsi yang jika dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, maka melalui koperasi yang telah mendapatkan mandat dari anggota-anggotanya hal tersebut dapat dilakukan dengan lebih berhasil. Dengan kata lain, kepentingan ekonomi rakyat, terutama kelompok masyarakat yang Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 16 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 berada pada aras ekonomi kelas bawah (misalnya petani, nelayan, pedagang kaki lima) akan relatif lebih mudah diperjuangkan kepentingan ekonominya melalui wadah koperasi. Inilah sesungguhnya yang menjadi latar belakang pentingnya pemberdayaan koperasi. 3. Citra dan Peran Koperasi di Berbagai Negara Secara obyektif disadari bahwa disamping ada koperasi yang sukses dan mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya, terdapat pula koperasi di Indonesia (bahkan mungkin jauh lebih banyak kuantitasnya) yang kinerjanya belum seperti yang kita harapkan. Koperasi pada kategori kedua inilah yang memberi beban psikis, handycap dan juga ‘trauma’ bagi sebagian kalangan akan manfaat berkoperasi. Oleh karena itu, disini perlu dipaparkan beberapa contoh untuk lebih meyakinkan kita semua bahwa sesungguhnya sistem koperasi mampu untuk mengelola usaha dengan baik, menyejahterakan anggotanya dan sekaligus berfungsi sebagai kekuatan pengimbang (countervailing power) dalam sistem ekonomi. Koperasi di Jerman, misalnya, telah memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian bangsa, sebagaimana halnya koperasi-koperasi di negara-negara skandinavia. Koperasi konsumen di beberapa negara maju, misalnya Singapura, Jepang, Kanada dan Finlandia mampu menjadi pesaing terkuat perusahaan raksasa ritel asing yang mencoba masuk ke negara tersebut (Mutis, 2003). Bahkan di beberapa negara maju tersebut, mereka berusaha untuk mengarahkan perusahaannya agar berbentuk koperasi. Dengan membangun perusahaan yang berbentuk koperasi diharapkan masyarakat setempat mempunyai peluang besar untuk memanfaatkan potensi dan asset ekonomi yang ada di daerahnya. Di Indonesia, menurut Ketua Umum Dekopin, saat ini terdapat sekitar 116.000 unit koperasi (Kompas, 2004). Ini adalah suatu jumlah yang sangat besar dan potensial untuk dikembangkan. Seandainya dari jumlah tersebut terdapat 20-30% saja yang kinerjanya bagus, tentu peran koperasi bagi perekonomian signifikan. nasional akan sangat Sementara itu di Amerika Serikat jumlah anggota koperasi kredit (credit union) mencapai sekitar 80 juta orang dengan rerata simpanannya 3000 dollar (Mutis, 2001). Di Negara Paman Sam ini koperasi kredit berperan penting terutama di lingkungan industri, misalnya dalam pemantauan kepemilikan saham karyawan dan menyalurkan gaji karyawan. Begitu pentingnya peran koperasi kredit ini sehingga para buruh di Amerika Serikat dan Kanada sering memberikan julukan koperasi kredit sebagai people’s bank , yang dimiliki oleh anggota dan memberikan layanan kepada anggotanya pula. Di Jepang, koperasi menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian. Peran koperasi di pedesaan Jepang telah menggantikan fungsi bank sehingga koperasi sering disebut pula sebagai ‘bank rakyat’ karena koperasi tersebut beroperasi dengan menerapkan sistem perbankan (Rahardjo, 2002). Contoh lain adalah perdagangan bunga di Belanda. Mayoritas perdagangan bunga disana digerakkan oleh koperasi bunga yang dimiliki oleh para petani setempat. Juga Koperasi Sunkis di California (AS) yang mensuplai bahan dasar untuk pabrik Coca Cola, sehingga pabrik tersebut tidak perlu membuat kebun sendiri. Dengan demikian pabrik Coca Cola cukup membeli sunkis dari Koperasi Sunkis yang dimiliki oleh para petani sunkis (Mutis, 2001). Di Indonesia, banyak juga kita jumpai koperasi yang berhasil, misalnya GKBI yang bergerak dalam bidang usaha batik, KOPTI yang bergerak dalam bidang usaha tahu dan tempe (Krisnamurthi, 2002), Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita di Surabaya, dan KOSUDGAMA di Yogyakarta untuk jenis koperasi yang berbasis di perguruan tinggi, dan masih banyak contoh lagi. 4. Pemberdayaan Koperasi: Menggali Key Success Factor Mengkaji kisah sukses dari berbagai koperasi, terutama koperasi di Indonesia, kiranya dapat disarikan beberapa faktor kunci yang urgent dalam pengembangan dan pemberdayaan koperasi. Diantara faktor Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 17 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 penting tersebut, antara lain: dengan aktifitas usaha anggotanya. a. Pemahaman pengurus dan anggota akan jati diri koperasi (co-operative identity) yang antara lain dicitrakan oleh pengetahuan mereka terhadap ‘tiga serangkai’ koperasi, yaitu pengertian koperasi (definition of co-operative), nilai-nilai koperasi ( values of co-operative) dan prinsip-prinsip gerakan koperasi (principles of co-operative) (International Co-operative Information Centre, 1996). Pemahaman akan jati diri koperasi merupakan entry point dan sekaligus juga crucial point dalam mengimplementasikan jati diri tersebut pada segala aktifitas koperasi. Sebagai catatan tambahan, aparatur pemerintah terutama departemen yang membidangi masalah koperasi perlu pula untuk memahami secara utuh dan mendalam mengenai perkoperasian, sehingga komentar yang dilontarkan oleh pejabat tidak terkesan kurang memahami akar persoalan koperasi, seperti kritik yang pernah dilontarkan oleh berbagai kalangan, diantaranya oleh Baga (2003). b. Dalam menjalankan usahanya, pengurus koperasi harus mampu mengidentifikasi kebutuhan kolektif anggotanya (collective need of the member) dan memenuhi kebutuhan tersebut. Proses untuk menemukan kebutuhan kolektif anggota sifatnya kondisional dan lokal spesifik. Dengan mempertimbangkan aspirasi anggota-anggotanya, sangat dimungkinkan kebutuhan kolektif setiap koperasi berbeda-beda. Misalnya di suatu kawasan sentra produksi komoditas pertanian (buah-buahan) bisa saja didirikan koperasi. Kehadiran lembaga koperasi yang didirikan oleh dan untuk anggota akan memperlancar proses produksinya, misalnya dengan menyediakan input produksi, memberikan bimbingan teknis produksi, pembukuan usaha, pengemasan dan pemasaran produk. c. Kesungguhan kerja pengurus dan karyawan dalam mengelola koperasi. Disamping kerja keras, figur pengurus koperasi hendaknya dipilih orang yang amanah, jujur serta transparan. d. Kegiatan (usaha) koperasi e. Adanya efektifitas biaya transaksi antara koperasi dengan anggotanya sehingga biaya tersebut lebih kecil jika dibandingkan biaya transaksi yang dibebankan oleh lembaga non-koperasi. 5. Penutup Sebagai sesama anak bangsa, kita terpanggil untuk secara bersama-sama memberdayakan koperasi sehingga koperasi bukan hanya berperan sebagai lembaga yang menjalankan usaha saja, namun koperasi bisa menjadi alternatif kegiatan ekonomi yang mampu menyejahterakan anggota serta sekaligus berfungsi sebagai kekuatan pengimbang dalam sistem perekonomian. Dengan kata lain, kita mengharapkan tumbuh berkembangnya koperasi yang memiliki competitive advantage dan bargaining position yang setara dengan pelaku ekonomi lainnya. Upaya untuk lebih memberdayakan koperasi diawali dengan mengembalikan koperasi sesuai dengan jatidirinya. Selain itu diperlukan upaya serius untuk mendiseminasikan dan mensosialisasikan koperasi dalam format gerakan nasional berkoperasi secara berkesinambungan kepada warga masyarakat, baik melalui media pendidikan, media masa, maupun media yang lainnya. Semoga koperasi sebagai salah satu representasi dari ekonomi kerakyatan yang bersendikan demokrasi ekonomi dapat tumbuh, berkembang dan berdaya guna serta mampu menjadi salah satu pilar penting perekonomian bangsa. Daftar Pustaka [1] Anonim, 2004, Pemerintah Tak Serius Berdayakan Koperasi, Kompas, 28 Februari 2004. [2] Baga, L.M, 2003, “Foolishisasi” Koperasi, Kompas, 12 Juli 2003. [3] Baswir, R, 2003. Koperasi dan Perdagangan Bebas. Republika, 23 Juni 2003. bersinergi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 18 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 [4] International Co-operative Information Centre, 1996. What is a co-operative? (www.wisc.edu/uwcc/icic/def-hist/def/wha t-is.html) [5] Krisnamurthi,B, 2002. Membangun Koperasi Berbasis Anggota Dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Rakyat, Jurnal Ekonomi Rakyat, Th.1, No. 4 (www.ekonomirakyat.org) [6] Mubyarto, 2002. Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan Melalui Gerakan Koperasi:Peran Perguruan Tinggi, Jurnal Ekonomi Rakyat, Th.1, No. 6 (www.ekonomirakyat.org) [7] Mutis, T, 2001. Satu Nuansa, Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Kerakyatan, Kompas, 29 September 2001. [8] _______, 2003. Koperasi Konsumsi Harus Bisa Digalakkan Kembali, Kompas, 5 Juli 2003. [9] Rahardjo,D, 2002. Apa Kabar Koperasi Indonesia, Kompas, 9 Agustus 2002 Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 19 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 TOPIK UTAMA Mencermati Janji 100 Hari Pemerintahan SBY: Illegal Logging dan Akses Terbuka Kawasan Hutan Dodik Ridho Nurrochmat* Dosen Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan, IPB, dan Kandidat Doktor di Universitas Göttingen, Jerman Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, Sofyan Djalil, membeberkan rencana pemerintah melakukan shock therapy dengan prioritas mengatasi illegal logging, korupsi, dan penegakan hukum dalam 100 hari pertama pemerintahan (KCM 22/10/2004). Komitmen ini patut dihargai, meskipun sesungguhnya bukan merupakan suatu hal yang baru, karena pada tahun 2000, pemerintahan sebelumnya (juga) telah menegaskan tekadnya memerangi illegal logging yang termaktub dalam 12 butir self commitment pengelolaan hutan secara lestari. Namun, ada jurang perbedaan yang dalam antara komitmen normatif dan fakta di lapangan. Kenyataannya, pengelolaan hutan Indonesia makin jauh dari komitmen normatif mewujudkan hutan lestari yang dicanangkannya sendiri (Bank Dunia, 2001). Pemerintahan SBY-Kalla harus dapat menjawab keraguan masyarakat bahwa komitmen memerangi illegal logging benar-benar serius dilaksanakan, bukan lagi (mengulang) pepesan kosong pemerintahan sebelumnya. Kekhawatiran masyarakat ini hadir bukan tanpa sebab, setidaknya kesan bahwa pengangkatan Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu semata-mata karena perimbangan jatah parpol, harus dijawab dengan kesungguhan kerja dan bukti nyata memberangus peredaran kayu ilegal. inferior, barang yang boleh dikotori, dirusak, bahkan dijarah. Dengan logika yang sebangun, illegal logging bukanlah suatu hal yang aneh karena hutan (dianggap) sebagai common property yang boleh diperlakukan sesuka hati. Bahwa dengan penjarahan kayu yang menggila mengakibatkan hutan dan lingkungan terdegradasi hebat bukanlah hal yang perlu dipikirkan karena hutan dianggap barang milik umum yang dianggap remeh eksistensinya. Ironisnya, kehancuran barang milik umum bisa terjadi dari niatan yang mulia. Bayangkan apa yang akan terjadi jika WC umum (di negera kita) digratiskan dan dibiarkan bebas akses bagi siapa saja yang ingin berhajat? Tak perlu menunggu sepekan untuk melihatnya jorok dan bobrok. Jangan-jangan, kehancuran masal ekosistem hutan juga diawali dari maksud yang baik. Illegal logging memang cerita lama, namun angkanya melonjak tajam sejak berhembusnya angin reformasi di sektor kehutanan. Tak diragukan ada tujuan mulia dibalik keluarnya SK Menhutbun No.735/Kpts-II/1998 yang diperkuat dengan PP Nomor 6 tahun 1999 yang membatasi luas kepemilikan HPH maksimal 100.000 hektar setiap propinsi (kecuali di Papua diperbolehkan hingga 200.000 hektar). 1. Menata (kembali) Common Property Salah satu sebab tragedi dan krisis berkepanjangan di negeri kita tak lain karena mentalitas bangsa yang tak pernah menghargai milik umum (common property). Illegal logging hanyalah sejumput masalah diantara segudang problematika pengelolaan common property di negara ini. Lihatlah (apa saja) yang memakai label umum. Di mana-mana WC umum, bus -bus umum, telepon umum dan property berlabel umum lainnya selalu cepat rusak, jorok, dan tak terawat. Di benak (sebagian) masyarakat, label umum selalu mengandung makna Jelas, maksud peraturan ini dikeluarkan sangat baik, yakni untuk memberangus praktik monopoli dan memangkas konglomerasi bisnis kehutanan. Apalagi, keluarnya peraturan ini diikuti dengan kebijakan redistribusi kepemilikan HPH kepada koperasi dan pengusaha kecil yang nuansa keberpihakannya terhadap kalangan bawah sangat kental. Terlepas dari maksud baiknya memberikan kesempatan berusaha yang (lebih) merata kepada masyarakat lokal, kebijakan redistribusi HPH tampaknya dibuat Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 20 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 terburu-buru, sekedar untuk memenuhi derasnya tuntutan masyarakat yang selalu ingin serba instant, sehingga redistribusi lahan hutan dilakukan tanpa menata terlebih dahulu batas-batas kepemilikan lahan di lapangan. Akibatnya, batas konsesi hutan menjadi semrawut, sistem pengaturan hasil hutan lestaripun menjadi kacau, sehingga mendorong hutan menjadi kawasan bebas akses (open access property) yang boleh dirambah dan dijarah siapapun juga. Sementara, koperasi dan pengusaha kecil yang diharapkan mengambil alih peran pengelolaan hutan ternyata kedodoran dari sisi penguasaan teknis, sumber daya manusia, dan modal, karena mereka belum dipersiapkan secara matang. Dapat dimengerti, apabila jual beli saham dan kongkalikong antara koperasi dan kontraktor logging tak terelakkan. Padahal, mayoritas kontraktor logging itu tak lain adalah jelmaan pengusaha besar, sang pelaku monopoli bisnis kehutanan juga. Oleh karena itu, prioritas pertama yang perlu segera dibenahi oleh Menteri Kehutanan saat ini adalah menata (kembali) property right atas hutan yang dapat diverifikasi di lapangan. Membiarkan hutan menjadi open akses akan mendorong maraknya praktik illegal logging. 2. Menegakkan Aturan dan Membangun (kembali) Kontrak Sosial Penataan (kembali) batas konsesi lahan hutan harus dilakukan secara simultan dengan pembenahan regulasi. Namun, langkah pembenahan regulasi di era otonomi daerah sekarang ini bukanlah hal yang mudah. Dalam tataran implementasi, sejumlah regulasi sektor kehutanan yang (dianggap) tidak sesuai dengan aspirasi daerah, seperti: PP Nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan SK Menhut, Nomor 541/2002 yang menganulir kewenangan Bupati mengeluarkan ijin konsesi tebang 100 hektar yang dikenal dengan nama IPHH (Ijin Pemanfaatan Hasil Hutan) mendapatkan tantangan hebat di berbagai daerah. Pertarungan pusat dan daerah terasa semakin menajam, melihat kenyataan telah dikeluarkannya berbagai Peraturan Daerah (Perda) menggantikan Peraturan Pusat (Perpu) yang tidak sesuai dengan selera daerah. Peraturan yang tumpang tindih harus segera ditertibkan untuk menjamin kepastian hukum dan kenyamanan iklim berusaha. Sebuah tugas yang tidak ringan karena saat ini paling tidak 69% dari 340 Perda yang menyangkut retribusi disinyalir tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan peraturan diatasnya (Kompas, 6/1/2003). Seraya membenahi masalah property right lahan hutan dan mengatur (kembali) berbagai regulasi yang tumpang tindih, perlu upaya yang serius untuk merebut hati masyarakat dengan melibatkan partisipasi aktif mereka bersama-sama mengelola hutan (co-management) secara (lebih) bertanggungjawab. Hilangnya saling kepercayaan (trust) dan kebekuan hubungan antara pemerintah dan masyarakat sekitar hutan perlu segera dicairkan. Setelah itu, perlu diupayakan (kembali) kontrak sosial baru yang lebih adil, transparan dan bertanggungjawab dalam menjaga kelestarian sumberdaya hutan maupun yang menyangkut alokasi pembagian manfaat hasil hutan. Jika pembenahan property right, kepastian hukum, dan pemenuhan rasa keadilan masyarakat dalam pengelolaan hutan dapat diwujudkan, maka dapat dipastikan bahwa komitmen pemerintah mengatasi illegal logging bukan sekedar retorika kosong. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 21 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 NASIONAL Wakil Rakyat dan Masa Depan Politik Perikanan Arif Satria Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB; Mahasiswa Program Doktor Kagoshima University arifsatria@ipb.ac.id Tanggal 1 Oktober 2004 yang lalu adalah hari bersejarah. Bukan saja karena hari itu adalah Hari Kesaktian Pancasila, tetapi juga hari pelantikan anggota DPR hasil Pemilu Legislatif 2004. Tampilnya wakil rakyat yang baru dilantik ini mengingatkan sebuah pengalaman kecil di Jepang. Ketika mengunjungi koperasi nelayan di Satta Miseki, sebuah kota kecil (chou) di Jepang, ada fenomena menarik. Di dinding ruang pertemuan, terpampang sebuah buah foto besar. Ketika ditanya siapa dia, para nelayan dengan penuh bangga menjawab bahwa dialah wakil rakyat yang dipilih nelayan. Bukan foto walikota, gubernur, atau presiden yang terpampang, melainkan foto wakil rakyat. Wakil rakyat begitu pentingnya bagi nelayan. Mereka lah tumpuan nasib nelayan Jepang. Sehingga, pemilu bagi nelayan Jepang bukanlah untuk sekedar larut dalam mobilisasi massa, melainkan momen untuk mempertaruhkan masa depannya. Karena itu pulalah nelayan sungguh-sungguh dalam memilih. Begitu pula sebaliknya, sang wakil rakyat sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan nelayan. Lebih-lebih saat ini gempuran melalui opini bahwa sebaiknya subsidi untuk nelayan dikurangi dengan alasan efisiensi, cukup gencar. Interaksi nelayan dan wakil rakyat seperti itu terjadi karena sudah ada kontrak sosial. Trust antara nelayan dan wakil rakyat telah melekat. Namun, ikatan ini ternyata lebih dari sekedar ikatan instrumental, yang serba memperhitungkan kepentingan kedua belah pihak. Ta pi, juga ikatan moral yang bersumber pada konstruksi sosial mereka tentang makna laut. Ada kesadaran bersama bahwa makna laut tidaklah sekedar fisik, tapi juga budaya. Identitas sebagai bangsa bahari terus ingin dipertahankan. Contoh kecil, adanya kolam renang di setiap sekolah sebenarnya merupakan bentuk kompensasi atas hilangnya sebagian wilayah pantai akibat reklamasi. Artinya, tetap ada tuntutan budaya bahwa kemampuan berenang harus dimiliki setiap warga. Berenang adalah simbol kultur bahari. Tidak heran jika anak SD untuk mendapatkan sertifikat renang harus mampu menyeberang pulau. Mengagumkan saat menyaksikan keberanian mereka bersanding dengan lumba-lumba saat menyeberang pulau. Belum lagi, devolusi pengelolaan sumberdaya perikanan kepada nelayan melalui koperasi. Koperasi nelayan memiliki otoritas yang sangat besar dalam mengurus perikanan lokal. Sistem fishery right—yang berasal dari tradisi masa lalu-- masih terus digunakan karena dianggap paling cocok dengan kultur masyarakatnya. Meski, di dunia sistem quota yang berbasis pasar (market-based) lebih populer. Ini menggambarkan kuatnya otoritas nelayan di laut. Dan, politik pun mendukungnya. Jadi, dukungan politik kepada nelayan merupakan bagian politik mempertahankan identitas. Nelayan tidak dilihat sebagai status ekonomi semata, melainkan status budaya bahwa nelayan sebagai way of life. Dukungan politik itu terwujud dengan ngototnya Jepang menciptakan subsidi (bantuan kapal, perumahan, beasiswa anak), sekaligus sebagai daya tarik baru bagi kaum muda Jepang untuk menjadi nelayan. Ini adalah respon pemerintah atas makin kecilnya jumlah nelayan muda. Bayangkan saja, pada tahun 1997, dari jumlah nelayan laki-laki yang berjumlah 81,6%, nelayan usia muda (15-39 tahun) hanya sebesar 13.3%, nelayan usia 40-59 tahun sebesar 33.8%, dan nelayan tua (di atas 60 tahun) sebanyak 34%. Jepang khawatir akan hilangnya identitas bahari, yang salah satunya ditunjukkan menurunnya eksistensi nelayan. Dan, ternyata instrumen ekonomi dalam bentuk politik subsidi belum mampu mengimbangi derasnya pergeseran budaya akibat modernisme. Modernisme telah membuat budaya perkotaan (great culture) seolah lebih tinggi dari desa (little culture). Sehingga, kalangan muda Jepang melihat profesi nelayan identik dengan 3 K (kitanai, kitsui, kiken) yang artinya kotor, keras, dan membahayakan (Matsuda, 1998), meski mereka pun sebenarnya sadar bahwa profesi nelayan lebih menguntungkan secara ekonomi. Akibatnya, brain drain-pun terjadi di setiap wilayah pulau kecil di Jepang. Point pentingnya adalah bahwa Jepang menyadari bahwa masalah nelayan itu ada Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 22 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 1. Wakil Rakyat Bagaimana dengan kita ? Sebenarnya, secara fisik wilayah kita mirip dengan Jepang, yakni kepulauan. Secara budaya, meski sebenarnya relatif mirip, namun karena interupsi kolonialisasi disertai politik Orde Baru yang pro-darat, lambat laun budaya bahari luntur. Simbol-simbol budaya seperti institusi lokal di sekitar pesisir pudar. Hak-hak atas sumber-sumber agraria di laut tercerabut. Nelayan pun menjadi tamu di lautnya sendiri. Dan, pada gilirannya kemiskinan tak terhindarkan lagi. Jadi, pergeseran orientasi budaya ke daratan telah mempengaruhi proses politik yang akhirnya meminggirkan sektor kelautan dan perikanan (KP). Namun, konstruksi sosial tentang makna laut berubah ketika Gus Dur menjadi Presiden. Laut dikembalikan fungsinya secara budaya, ekologi, dan ekonomi. Dan, DKP (Dep. Kelautan dan Perikanan) pun dibentuk. Ini titik penting sejarah politik kelautan kita. Namun demikian, nelayan tetap dalam posisi the poor of the poorest. Artinya, keyakinan terhadap laut sebagai masa depan bangsa belum diiringi dengan totalitas kebijakan intersektoral yang pro-nelayan. Sebagai kelompok kepentingan (interest group), nelayan masih belum diperhitungkan. Juga, persoalannya adalah meski state (baca: pemerintah) mulai mengakui eksistensi sektor KP, masyarakat politik (political society) belum sepenuhnya mendukung. Kasus penggusuran nelayan yang tanpa perlawanan dan advokasi dari kalangan politisi atau wakil rakyat merupakan buktinya. Ini bukti bahwa baik ikatan instrumental maupun moral antara nelayan dengan wakil rakyat belum terjalin. Pemilu masih berupa mobilisasi massa. Dan, hanya ikatan primordial yang menjadi dasar ikatan nelayan dengan partai politik, khususnya ikatan ideologis (agamis atau nasionalis), yang ternyata tak berdampak signifikan dalam memperjuangkan nasib nelayan. Rasionalitas politik nelayan belum menemukan bentuknya. Padahal rasionalitas ini merupakan basis bagi ikatan instrumental. Juga, kesamaan makna (shared meaning) tentang laut antara nelayan dan masyarakat politik belum terbangun. Padahal ini dasar kekuatan ikatan moral. Visi kebaharian wakil rakyat saat ini memang sangat minim. Sektor KP masih dimaknai hanya sebagai sektor ekonomi dalam arti yang sangat sempit. Yakni, sektor yang harus memberikan sumbangan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak). Mereka menuntut bahwa PNBP yang dihasilkan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) harus sama dengan anggaran pembangunan yang dialokasikan DPR. Saat ini DKP baru menyetor Rp 300 milyar sebagai PNBP, sementara APBN sekitar Rp 2 triliun. Institusi DKP hanya dianggap sebagai mesin uang yang harus menghasilkan uang untuk negara. Mereka tak pernah memikirkan efek pengganda dari pembangunan KP, seperti meluasnya lapangan kerja, meningkatnya ekspor, berkembangnya kultur bahari, dan lain sebagainya. Kondisi wakil rakyat yang seperti itu sangat mengancam eksistensi sektor KP, dan pada gilirannya juga mengancam kelangsungan hidup nelayan. 2. Agenda Bagaimana pun dukungan politik untuk kemajuan sector KP serta peningkatan kesejahteraan nelayan sangatlah mutlak. Kita belum tahu persis bagaimana komitmen politik wakil rakyat baru kita terhadap sector KP. Namun demikian, meski Pemilu Legislatif lalu tidak disertai dengan kontrak politik antara nelayan dengan wakil rakyat, ada sejumlah agenda yang masih bisa dilakukan guna meningkatkan posisi politik nelayan pasca bekerjanya anggota dewan ini. Yakni, menciptakan ruang komunikasi dengan wakil rakyat untuk menyamakan persepsi tentang makna laut yang tidak semata berdimensi ekonomi, tetapi juga ekologi, sosial budaya dan politik. Disinilah peran civil society (pers, LSM, akademisi, kaum profesional) penting dalam membangun wacana (discourse) dan kesadaran bersama tentang laut. Sehingga, tercipta ikatan instrumental dan moral antara wakil rakyat dengan masyarakat perikanan, dan diharapkan wakil rakyat berjuang mati-matian untuk memperjuangkan kepentingan nelayan dan sektor KP. Tugasnya adalah membuat kepentingan kesejahteraan nelayan menjadi kepentingan bangsa. Sehingga, citra nelayan sebagai the poorest of the poors dapat segera berakhir. Juga, perlu dorongan dan tekanan kepada dewan untuk dapat melakukan advokasi atas berbagai kasus yang menimpa nelayan. Kasus penggusuran dan penambangan yang merugikan nelayan merupakan kasus aktual yang selama ini masih absen dari agenda wakil rakyat itu. Namun, semoga wakil yang baru dilantik ini memiliki nyali lebih untuk melakukan perubahan-perubahan yang pro-nelayan dan sektor KP. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 23 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 NASIONAL Masa Depan Nelayan Pasca UU Perikanan Baru Sudirman Saad Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Departemen Kelautan dan Perikanan Seminggu sebelum terpilihnya SBY-Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, DPR justru membuat sejarah melalui penetapan UU Perikanan Baru. UU ini lahir melalui hak inisiatif DPR dan memerlukan waktu lebih dari setahun untuk konsultasi publik serta pembahasan dengan Pemerintah sebelum diputuskan secara bulat pada 13 September 2004. Dari sisi proses produksi dan substansi UU, jelas mengindikasikan sebuah prestasi kerja DPR sekaligus menunjukkan sinergitasnya yang tinggi dengan Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). *** Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), LSM, dan kalangan Perguruan Tinggi. Pendek kata, proses produksi UU Perikanan Baru berjalan secara demokratis, yang ditandai dengan partisipasi dan akhirnya juga dukungan dari para pemangku kepentingan. Proses produksi UU Perikanan Baru, secara formal, berawal ketika sejumlah anggota DPR mengajukan penggunaan hak inisiatif, yang kemudian memperoleh dukungan luas, dan akhirnya disetujui penggunaan hak inisiatif DPR untuk menggolkan rencana mengganti UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Menurut para penginisiasi, UU Perikanan Lama belum menampung semua aspek pengelolaan sumberdaya ikan serta kurang mampu mengantisipasi perkembangan hukum dan teknologi mutakhir. Perikanan budidaya mendapatkan perhatian luas dalam UU Perikanan Baru. Hal ini sejalan dengan gagasan dan kebijakan Dr. Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan, yang akan menjadikan perikanan budidaya sebagai pilar utama sistem produksi perikanan nasional seraya mengendalikan perikanan tangkap  yang tingkat produksinya tinggal menyisakan potensi 1,5 juta ton per tahun. Di masa depan sistem produksi perikanan nasional memang harus didorong sedemikian rupa sehingga pilar produksinya bergeser dari perikanan tangkap ke perikanan budidaya, mengingat negeri kita memiliki wilayah pesisir yang potensial untuk lahan budidaya. Pada sisi lain, DKP sesungguhnya juga tengah mengambil ancang-ancang untuk melakukan revisi UU No. 9 Tahun 1985. Berbagai kajian, bahkan beberapa di antaranya memperoleh dukungan internasional, telah dilakukan. Segenap hasil kajian memberi rekomendasi agar dilakukan revisi UU Perikanan, antara lain, karena berbagai perkembangan kaidah-kaidah internasionalmisalnya Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995)belum terakomodasi dalam UU tersebut. Laksana kapal ketemu samudera, begitulah hak inisiatif DPR bersinergi dengan kebijakan makro DKP. Dalam perkembangannya, DPR juga mengundang partisipasi stakeholders (pemangku kepentingan) perikanan, seperti Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), Sebagai konsekuensi proses produksi yang demokratis, maka berbagai kepentingan harus diakomodasi. Karena itu, tidak mengherankan apabila UU Perikanan Baru mengandung 17 bab dan 111 pasal. Beberapa substansi baru perlu dielaborasi sebelum kita fokus pada masa depan nelayan pasca UU Perikanan Baru. Namun demikian, dalam UU Perikanan Baru prinsip kehati-hatian sangat menonjol, yang ditandai dengan kontrol yang ketat dari Pemerintah terhadap peredaran dan pemeliharaan ikan, terutama yang potensial membahayakan sumberdaya ikan, lingkungan, dan kesehatan manusia. Pemerintah juga akan mengatur tata guna lahan dan air serta pemanfaatan plasma nutfah dalam rangka pelestarian ekosistem dan pemuliaan sumberdaya ikan. Substansi lain yang tergolong baru adalah pembentukan pengadilan perikanan. Dalam UU Perikanan Baru diatur pembentukan pengadilan perikananberada di lingkungan peradilan umumyang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 24 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 pidana perikanan. Sebagai langkah awal, paling lambat dua tahun dari sejak berlakunya UU ini, akan dibentuk lima pengadilan perikanan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Tentu saja kita boleh berharap bahwa melalui pengadilan perikanan, kerugian negara yang mencapai 2-4 milyar dollar per tahun akibat praktik ilegal fishing dapat ditekan secara signifikan. Demikian pula kapal-kapal sitaan dapat diterima nelayan dalam keadaan layak, karena proses peradilannya akan berjalan cepat. Harapan ini hanya mungkin terwujud manakala aparat penyidik, penuntut, dan hakim mampu bekerja secara profesional sebagaimana diatur dalam UU Perikanan Baru. Sebagaimana diketahui secara luas, komunitas nelayan yang berjumlah kira-kira empat juta rumah tangga, hingga kini masih tergolong miskin. Indikasinya, pendapatan per kapita per bulan mereka masih sekitar Rp 300.000 sampai Rp 400.000, tingkat pendidikan rata-rata sekolah dasar, dan pemukiman yang kumuh. Akar kemiskinan nelayan teridentifikasi, antara lain, akses permodalan yang terbatas dan belum tumbuhnya kultur kewirausahaan (enterprenuership). Pertumbuhan kultur kewirausahaan berkaitan dengan tingkat pendidikan, baik manajemen maupun teknologi. UU Perikanan Baru membersitkan harapan bagi nelayan. Di bawah Bab X Pemberdayaan Nelayan Kecil dan Pembudidaya-Ikan Kecil, Pemerintah dituntut memberdayakan nelayan dan pembudidaya ikan melalui penyediaan skim kredit, baik untuk modal usaha maupun biaya operasional, dengan cara yang mudah dan bunga pinjaman yang rendah. Pemerintah juga menyediakan dan mengusahakan dana untuk memberdayakan nelayan dan pembudidaya ikan, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun sumber luar negeri. Untuk peningkatan kualitas SDM nelayan dan pembudidaya ikan, Pemerintah menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengolahan, dan pemasaran ikan. Pemerintah juga akan mendorong korporatisasi nelayan dan pembudidaya ikan melalui penumbuhkembangan kelompok usaha dan koperasi. Nelayan kecil, menurut UU Perikanan Baru, diberikan keleluasaan untuk melakukan penangkapan ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Namun untuk kepentingan statistik dan pemberdayaan, nelayan kecil harus mendaftarkan diri, usaha, dan kegiatannya kepada instansi perikanan setempat, tanpa dikenakan biaya. Nelayan kecil juga dibebaskan dari kewajiban membayar pungutan perikanan. UU juga mendorong masyarakat agar ikut berpartisipasi dalam pemberdayaan nelayan dan pembudidaya ikan. Demikian pula pengusaha perikanan harus mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan kelompok nelayan kecil. Secara normatif, UU Perikanan Baru sudah cukup komprehensif mengatur pemberdayaan masyarakat dan membersitkan harapan bagi nelayan. Akan tetapi diperlukan kerja keras pemerintahan baru untuk menjelmakannya ke dalam realitas sehari-hari. Keterbatasan akses permodalan akan dipecahkan melaui penyediaan skim kredit mudah dan murah. Hal ini bukan persoalan mudah, karena Pemerintah tidak lagi memiliki otoritas mendikte Bank Indonesia untuk menyediakan skim kredit program seperti pada masa lalu, sementara kemampuan finansial Pemerintah kian terbatas. Kalaupun Pemerintah berhasil meyakinkan DPR untuk menyediakan dana APBN sebagai alokasi skim kredit untuk nelayan kecil, hendaknya itu dipahami sebagai kebijakan afirmatif yang bersifat sementara. Pemerintah perlu mendorong dan memfasilitasi berdirinya lembaga keuangan mikro (LKM) yang mampu menjalankan fungsi intermediasi secara permanen di wilayah pesisir. Fungsi ini sangat strategis, karena LKM tersebut secara perlahan akan menggantikan peran rentenir yang selama ini dirasakan sangat eksploitatif terhadap nelayan kecil. Upaya korporatisasi nelayan juga harus dilaksanakan secara hati-hati agar tidak Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 25 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 mengulang kegagalan masa lalu, ketika pemerintah mensponsori berdirinya koperasi-koperasi unit desa. Korporatisasi harus mengutamakan inisiatif masyarakat dengan mobilisasi dana juga berasal dari masyarakat. Langkah yang sedang dijalankan DKP melalu program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)  yang memfasilitasi berdirinya LKM Swamitra Mina (bekejasama dengan Bank Bukopin) dan Bank Perkreditan Rakyat Pesisir (bekerjasama dengan PNM) merupakan langkah awal yang perlu terus dikembangkan. Apabila LKM Swamitra Mina dan BPR Pesisir dapat menjalankan fungsi intermediasi secara profesional dan berkelanjutan, maka mobilisasi dana masyarakat dan perbankan dapat berjalan efektif untuk kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat pesisir, terutama nelayan. Semoga! Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 26 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 NASIONAL Mencari Akar Masalah Beras : Produksi Beras Dalam Negeri, Cukup! Winarso Drajad Widodo Dosen Fakultas Pertanian IPB Awal tahun 2002 yang lalu terjadi gonjang-ganjing perberasan akibat kenaikan harga beras di Ibukota. Permasalahan ini kemudian dicoba diatasi dengan Operasi Pasar Murah (OPM) oleh Bulog ex beras impor asal Vietnam . Dalam gonjang-ganjing itu, Ketua Umum HKTI sering lantang memberikan opini dan seruan kepada pemerintah. Gejolak perberasan ini sementara mereda tertutup oleh berita bencana banjir yang melanda Jakart a di akhir Januari 2002. Meskipun sementara berakhir, ternyata masalah perberasan nasional masih menjadi perhatian Komisi III DPR RI. Sesuatu yang menggembirakan! Pada hari Senin, 4 Pebruari 2002, Komisi III DPR RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan HKTI, yang kebetulan penulis diajak oleh salah seorang ketua HKTI, Prof. Sri Setyati Harjadi, ikut nonton. Catatan pandangan mata dalam RDPU itu, penulis jadikan bahan tulisan yang disampaikan dalam 2 bagian ini. Ada banyak acuan yang diberikan oleh Komisi III DPR RI dalam RDPU dengan HKTI waktu itu, yang bila diringkaskan akan menjadi ‘permintaan klarifikasi’ DPR atas pendapat HKTI dalam masalah perberasan awal tahun 2002 itu dan tentang kebijakan pangan atau pertanian dalam arti luas untuk masa mendatang. Adalah pantas, DPR meminta pendapat atau masukan dari HKTI yang memang berkompeten dalam bidang pertanian. Tetapi menjadi kurang pada tempatnya bila pada akhirnya – tercermin dari tanggapan sementara anggota komisi – kalangan DPR justru menganjurkan atau meminta HKTI untuk secara aktif melahirkan kebijakan-kebijakan dalam pembangunan pertanian nasional. Karena kebijakan-kebijakan itu sepantasnya dihasilkan oleh Komisi III DPR RI. Apalagi pada kesempatan itu HKTI diundang oleh Komisi III untuk memberikan pokok-pokok pemikiran dan klarifikasi atas pemikiran bahwa luasan lahan efektif untuk tanaman pangan (padi) adalah 10 hektar. Untuk itu HKTI telah memenuhinya bahkan mungkin melebihi harapan. Dalam RPDU itu Ketua Umum HKTI, Ir. Siswono Yudo Husodo, menyampaikan satu makalah dan serangkaian slide-digital yang juga tersedia printout-nya. Pada kesimpulannya, HKTI berpendapat bahwa kenaikan harga beras yang terjadi bulan Januari 2002 itu bukanlah disebabkan oleh kelangkaan beras, melainkan oleh tindakan para pelaku ‘perdagangan’ beras. Benarkah demikian? Baiklah kita tinjau bersama dengan menggunakan data yang tersedia dalam makalah HKTI dan data yang pernah dimuat dalam harian Kompas 28 Januari 2002, dalam artikel ulasan yang berjudul, “Lonjakan Harga Beras Tanpa Diketahui Penyebabnya” (lihat tabel). Produksi beras dalam negeri selama 5 tahun (periode 1997 – 2001) rata-rata adalah 31,48 juta ton. Bila pertumbuhan penduduk setahun 1% - berdasarkan hitungan jumlah penduduk tahun 1990, 180 juta jiwa dan tahun 2000, 210 juta jiwa – maka jumlah penduduk rata-rata selama 5 tahun itu adalah 206,20 juta jiwa. Dengan tingkat konsumsi beras 133 kg/kapita/tahun (data rata-rata dari FAO yang dicatat oleh KU HKTI), maka setiap tahunnya produksi beras nasional akan berlebih 4,05 juta ton per tahun dan bila dijumlahkan selama 5 tahun akan berlebih 20,26 juta ton. Fakta yang sangat mengherankan adalah impor pada tahun 1998 yang mencapai hampir 6 juta ton. Padahal kelebihan produksi tahun sebelumnya (1997) justru paling tinggi, 5.63 juta ton. Berarti pada tahun 1998 itu impor beras Indonesia mencapai 102,4% kelebihan produksi tahun 1997. Memang pada tahun 1998 itulah terjadi perubahan kebijakan perberasan yang fantastis seperti yang dicatat oleh HKTI, yaitu: 1) liberalisasi pasar beras dalam negeri 2) pencabutan State Trading Enterprice (S TE) Bulog, 3) pembebasan bea masuk beras impor, 4) pencabutan subsidi sarana produksi terutama pupuk dan benih dan 5) liberalisasi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 27 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 tataniaga pupuk. Kesemuanya berdampak menekan petani padi, dan memudahkan impor beras. Dampak kepada petani terlihat pada penurunan produksi tahun 1998 sekitar 4,9% dari produksi tahun 1997. Jadi mengapa beras yang sebenarnya surplus dapat menjadi langka, sehingga impor beras seolah-olah menjadi ‘obat’ mujarabnya? Tetap menjadi teka-teki. Hanya saja sangat beralasan jika kelangkaan beras awal tahun 2002 disinyalir sebagai akibat ulah pelaku pemasaran beras. Dengan adanya berita kenaikan harga BBM, kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan berita kenaikan harga beras dunia, maka pihak-pihak yang menguasai beras menahan beras simpanannya untuk tidak dipasarkan, menunggu kenaikan harga beras menjadi kenyataan atau menjadi berita hangat. Kalau itu yang tejadi, berarti perlu penertiban yang menyeluruh dalam tataniaga beras, agar tercipta sistem tataniaga yang dapat menguntungkan petani. Itu bila ditinjau dari produksi beras secara material/fisik. Bila ditinjau dari nilai ekonomi beras – dengan hitung-hitungan kasar – ternyata memberikan gambaran bahwa beras adalah komoditas strategis, tetapi bernasib tragis, terutama bagi petani sebagai produsennya. Harkat beras sebagai komoditas yang strategis, bahkan ‘sakral’ menurut Prof. Sjamsoe’oed Sadjad sangat rendah. Dalam RDPU pihak HKTI menghadirkan seorang Pengurus Cabangnya yang berprofesi sebagai Penangkar Benih padi di Karawang, Pak Surya. Dia mengungkapkan bahwa dengan kebijakan harga dasar gabah (HDG) yang berlaku saat itu, petani padi tetap terpuruk nasibnya. Apalagi panenan tahun sebelumnya (2001) harga Gabah Kering Petani (GKP) hanya mencapai Rp 950/kg. Dengan produktivitas 4.8 ton/ha, petani di Karawang mengalami kerugian sekitar Rp 1.700.000/ha. Karena biaya produksi (dengan sewa tanah) Rp 5.5 juta, sementara biaya panen (bawon) 1/6 hasil, yaitu 800 kg/ha, yang berarti nilai panenan petani hanya Rp 380.000.000/ha. Bila biaya sewa tanah sebesar Rp 1.500.000/ha dikeluarkan, petani tetap merugi Rp 200.000/ha. Tragis, usaha selama 4 bulan ternyata merugi! Itu pun belum memperhitungkan tenaga kerja keluarga dan uang makan/rokok buruh tani. Lantas berapa harga GKP yang menguntungkan petani? Untuk mencapai titik impas harga GKP dengan produksi bersih (dikurangi bawon) 4.0 ton/ha adalah Rp 1375/kg (sewa lahan diperhitungkan). Bila diperhitungkan dengan kebijakan harga yang berlaku waktu itu perbandingan harga beras terhadap GKP 2470/1095 = 2,26, maka harga beras pada titik impas petani adalah Rp 3.101/kg. Bila dianggap petani menanam padi dengan menyewa lahan 1 ha akan ditingkatkan pendapatannya menjadi sedikit diatas UMP DKI tahun 2002, Rp 600.000/bulan dan petani dapat panen 2 kali setahun (sekali panen memerlukan waktu tanam 4 bulan), maka petani harus menghasilkan Rp 7.200.000 dalam 2 kali tanam dari 1 ha lahan sewaannya itu. Berarti harga GKP yang diterima petani harus Rp 1.375 + Rp 900 = Rp 2.275/kg. Harga beras akan menjadi Rp 5.130/kg. Mahalkah beras itu? Bila tingkat konsumsi beras tetap 133 kg/kapita/tahun, maka setiap penduduk Indonesia hanya membelanjakan Rp 1.870/hari untuk membeli beras. Tidak sampai separuh harga sebungkus rokok Sampoerna Hijau, bukan? Tapi – bagi petani padi – asyiknya rame-rame! Berhubung taraf hidup layak adalah Hak Azasi Manusia (HAM), termasuk juga petani padi di dalamnya, maka mengusahakan penghidupan layak bagi petani padi barangkali adalah Kewajiban Azasi Manusia (WAM) kita semua yang menjadi konsumen beras di negeri ini. Negeri Agraris yang menjadi Importir Beras Terbesar di dunia! Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 28 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 Neraca produksi beras dalam negeri tahun 1997 – 2001 Tahun Penduduk (juta jiwa) 1997 1998 1999 2000 2001 Rata-rata 199 203 206 210 213 206,20 Konsumsi Produksi beras beras*) (juta ton) (juta ton) 32,10 26,47 30,54 27,00 31,12 27,40 32,35 27,93 31,28 28,33 31,48 27,42 Kelebihan (juta ton)**) Impor (juta ton) 5,63 3,54 3,72 4,42 2,95 4,05 0,41 5,77 4,18 1,51 1,40 2,65 (Sumber: Makalah HKTI dalam RDPU Komisi III DPR RI dengan HKTI, 4 Pebruari 2002; dan Kompas 28 Januari 2002; diolah) *) Asumsi: konsumsi beras: 133 kg/kapita/tahun **) Kelebihan = Produksi – Konsumsi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 29 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 NASIONAL Menanti Pemimpin Sejati Brian Yuliarto Mahasiswa Doktor Tokyo Univeristy dan Ketua PIP PKS Jepang E-mail: brian@keadilan-jepang.org Bulan Oktober 2004 yang lalu bangsa Indonesia melangsungkan hajatan besar. Sebuah perjalanan panjang proses demokrasi melalui pemilu selama 3 kali berutut turut telah berakhir, dan fase berikutnya dari perjalanan bangsa ini diawali dengan pelantikan anggota perwakilan rakyat baik di daerah maupun pusat, serta pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Hajatan ini pantas untuk dikatakan besar mengingat sekolompok orang yang sudah dan akan dilantik tersebut pada kenyataannya akan membawa label wakil rakyat untuk membuat dan menjalankan kebijakan kebijakan yang menentukan nasib lebih dari 200 juta jiwa penduduk Indonesia. Suka tidak suka, merekalah yang kemudian akan menorehkan tinta sejarah di republik kita. Meskipun torehan itu masih tanda tanya besar apakah akan menjadi tinta emas yang senantiasa dikenang atau tinta hitam yang senantiasa diratapi oleh 200 juta rakyat. Mereka-mereka yang akan berlabelkan elit politik inilah yang juga akan mendapat sebutan sebagai pimpinan bangsa Indonesia, meskipun lagi-lagi masih tanda besar apakah mereka mampu menjadi pemimpin yang sejati, atau justru menjadi pemimpin yang menghianati amanat rakyat. Memang kita sempat dibuat kecewa dengan berbagai adegan-adegan tidak bermutu dari para calon pemimpin tersebut, mulai ijazah palsu, perebutan urutan no caleg, money politics sampai pada berbagai adegan recehan lain untuk level elit politik bangsa. Data yang dikeluarkan Panwaslu bahkan menyebutkan terdapat 274 kasus anggota legilatif terpilih yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari total sekitar 41.000 wakil rakyat yang terpilih, mulai DPD, DPRD 1 dan 2, serta DPR RI, juga ternyata baru 7903 orang yang melaporkan kekayaannya pada KPK sebagai kewajiban menjadi para `elit` politik. Belum lagi beberapa anggota DPR RI yang harus menjadi tersangka kasus korupsi, yang membuat harapan akan pemberantasan korupsi menjadi melayang. Ada lagi kasus ketua DPRD DKI Jakarta yang belum bekerja sudah meminta kenaikan gaji menjadi 200% persen. Demikian pula dengan sang maestronya jabatan elit politik di Indonesia, Presiden RI. Meskipun jabatan presiden sebenarnya setara dengan posisi lembaga tinggi Negara lainnya sejenis DPR, MPR, MA, dan sebagainya, tidak dapat dipungkiri jabatan yang kemudian jatuh ke tangan SBY ini lebih bergengsi dan menarik banyak kalangan mengingat kewenangannya yang strategis dalam wilayah eksekutif. Kemenangan SBY yang dramatis mengingat pasangan ini diusung oleh PD yang nota bene pendatang baru, juga tidak terlepas dari pola pilihan kebanyakan rakyat Indonesia yang lebih cenderung kepada empati ketimbang pilihan kritis. Tengok saja berbagai kampanye dan debat capres dari seluruh Calon Presiden yang lebih mengedepankan retorika dan simpati ketimbang muatan pemikiran dan ide-ide kedepan yang akan diambil jika terpilih sebagai presiden. Tetapi sekali lagi, itulah hukum demokrasi. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Ketika pilihan dari ratusan juta rakyat itu sudah ditentukan, maka itulah keinginan sebagian besar masyarakat yang harus dijalani oleh seluruh rakyat. Mungkin SBY boleh berbangga dengan kemenangannya pada Megawati, tetapi itu semua hanyalah awal dari penilaian rakyat apakah benar SBY pemimpin sejati atau justru sebaliknya. Meskipun seluruh pernik-pernik prosesi pergantian kekuasaan ini kadang membuat miris rakyat kebanyakan, dengan berbagai bentuk pelecehan atas keadulatan rakyat melalui berbagai kecurangan dari para wakil rakyat tersebut, toh sepertinya harapan besar tetap diberikan ke pundak mereka. Harapan akan berakhirnya masa-masa penderitaan yang selalu dibebankan kepada rakyat nampak jelas tercermin dari besarnya keinginan untuk berubah dan tingginya animo mereka untuk berpartisipasi dalam perhelatan pemilu yang baru saja berakhir. Memang sebagian masyarakat sudah mengambil jarak dengan berusaha membuat ketergantungan rakyat terhadap elit politik menjadi berkurang, tetapi agaknya peridoe 5 tahun ke depan ini usaha tersebut masih terlalu cepat untuk diharap keberhasilannya. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 30 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 Selayaknyalah harapan besar tersebut dipahami secara baik oleh seluruh komponen pimpinan bangsa. Rakyat tidak berharap apapun selain keinginan untuk bersama sama menuju kehidupan yang adil dan sejahtera. Seluruh rakyat telah dengan sabar menunaikan tugasnya untuk berpartisipasi dalam perhelatan demokrasi ini dan sekarang saatnya para pemimpin negeri membuktikan bahwa dirinya memang layak terpilih untuk memimpin rakyat. Sikap pemimpin sejati yang diharapkan oleh rakyat antara lain adalah: 1. Berfikir dan Bertindak ilmiah. Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa kita selama ini masih dikuasai tipe tipe pemimpin yang bergerak berdasarkan feeling atau pemikiran sesaatnya. Sebagian mereka bahkan terlahir sebagai pemimpin hanya karena memiliki keturunan bilogis dari kalangan elit bangsa. Tidak heran jika pertarungan gagasan di level elit politik termasuk hal yang tidak mudah kita temui di negeri ini. Para pemimpin kita saat ini, hampir di semua level lebih menyukai pertarunagn retorika, pilihan kata, media dan bahkan pertarungan massa. Lobi politik jauh lebih penting ketimbang mempertajam gagasan yang akan diusung. Selayaknya kondisi ini mulai berani dirubah oleh para elit politik yang saat ini relatif baru (hampir 65% anggota DPR RI adalah pendatang baru). Meskipun budaya ini bukanlah hal yg mudah, tapi mereka yang berani melakukan style politik seperti ini berarti telah menjadi pelopor era baru politik yang lebih beradab. Kondisi ini juga berarti menghargai rakyat yang akan memilihnya dengan tidak sekedar janji dan simpati, tetapi lebih jauh mampu memberikan gambaran kepada masyarakat ke mana arah bangsa ini akan digerakkan. Dengan pola politik seperti ini maka rakyat tidak akan salah pilih hanya karena sosok luar seorang calon pemimpin tetapi memang seluruh pola pikir yang ada pada dirinya akan bisa ditangkap. Cukuplah pembodohan kepada rakyat diakhiri sampai disini, marilah kita nilai bersama-sama siapa diantara elit politik yang ada saat ini yang berani mengambil political style by content, dan tidak sekedar political style by money and lobby. 2. Memiliki sikap empati dan sensitivitas terhadap rakyatnya. Inilah modal dasar yang penting bagi seorang pemimpin sejati. Seorang pemimpin di level manapun mustahil memahami dengan baik rakyat yang dipimpinnya ketika mereka belum merasakan langsung kondisi rakyatnya. Tidak mengherankan bahwa beberapa pemimpin besar dunia namanya tetap dikenang sampai saat ini karena mereka memilih bersikap seperti rakyat kebanyakan sebagai bentuk empati dan sensitif terhadap mereka yang dipimpinnya. Tengok saja model pemimpin zaman era pertama Islam Umar bin Khatab yang saat membuka pintu Yerusalem memilih menaiki keledai kecil dan dengan pakaian ala kadarnya membuat posisinya tampak berada di bawah sang jendral penakluk kota tersebut. Atau tengok juga pemimpin kharismatik India Mahatma Gandhi yang menjadi inspirasi gerakan kemerdekaan di Asia pada era 40-50 an, yang memilih berpakaian hanya selembar kain gandum karena seperti itulah rakyat kebanyakan. Atau juga tengok Bapak Koperasi kita Bung Hatta yang menjadi sangat dikenang selain karena intelektualitasnya juga karena kesederhanaan dan kejujurannya. Semua bentuk empati dan simpatinya itulah yang membuat mereka menjadi jauh lebih paham seperti apa rakyat yang dipimpinnya ketimbang mereka-mereka yang memilih gaya borjuis saat menjadi elit politik. Cukuplah para elit politik bangsa saat ini mengingat betul orasi Gandhi di depan anggota parlemen India saat itu, beliau mengatakan; That what we said here means nothing to masses of our country. Here we make speeches for each other, and those English liberal magazines that may grant us a few lines. But the people of India are untouched. Their politics are confined to bread and salt. Illiterate they may be, but they are not blind. They see no reason to give their loyalty to rich and powerful men who simply to take over the role of the British in the name of freedom. This congress tells the world it represents India. Until we stand in the fields with the millions that toil each day under the hot sun, we will not represent India. Nor will we ever be able to challenge the British as one nation. Empati menurut Gandhi menjadi ukuran apakah seseorang bisa menjadi wakil rakyat atau tidak. 3. Mampu berkomunikasi dengan rakyatnya. Kapasitas ilmiah serta empati dan rasa sensitivitas yang baik akan mereka yang dipimpinnya pada akhirnya akan melahirkan seorang pemimpin yang mampu berkomunikasi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 31 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 dengan baik kepada rakyatnya. Komunikasi yang baik kepada rakyatnya bukanlah sekedar kemampuan retorika yang baik, tetapi juga kemampaun memilih hal yang akan dilempar kepada publik serta timing yang tepat dalam melemparkannya. Kematangan seorang pemimpin akan membuatnya mampu berkomunikasi yang jauh dari sikap emosional. Dan yang terpenting dari semua itu adalah sang pemimpin akhirnya mampu mengambil sebuah kebijakan yang tepat dalam sebuah kondisi yang memang dibutuhkan oleh rakyat yang dipimpinnya. 4. Berani menuangkan gagasannya pada ruang publik. Inilah karakter berikutnya yang akan lahir dari soerang pemimpin ketika dia memiliki ketiga karakter sebelumnya. Meskipun begitu realitas yang kita lihat saat ini sangat jauh dari harapan ini. Perbedaan yang ada dari para elit politik lebih pada masalah yang tidak substansial seputar perebutan kursi atau `rejeki` lainnya yang menyebabkan tidak ada dialektika ilmiah yang argumentatif yang bisa dinikmati oleh rakyat. Lihat saja debat presiden yang baru lewat yang sama sekali tidak menampilkan adu argumentasi dari masing masing ide yang ada. Atau lihat saja wacana yang ada seputar program 100 hari kabinet Indonesai bersatu. Tidak ada satu pun menteri dan pejabat lainnya yang berani melempar ide-ide nya melalui wahana publik. Memang ini bukan suatu keharusan, tapi dari situ kita bisa menilai bahwa elit politik kita memang tidak terbiasa mengajak publik untuk terlibat dalam pengambilan keputusannya. Karakter otoriter dalam berfikir masih sangat dominan yang membuat dirinya sulit bersikap transparan bahkan untuk sebuah pemikirannya. atas bisa dimiliki oleh seorang pemimpin maka namanya akan dikenang melampaui usinya. Meskipun begitu, karakter terakhir inilah yang akan menentukan apakah dirinya akan dikenang denga harum atau sebaliknya. Bagian yang tidak kalah penting dari hal ini adalah kredibilitas moral baru benar-benar akan menjadi karakter pada diri seseorang manakala sifat ini telah teruji. Mereka yang duduk di dewan perwakilan saat ini terlalu dini kalau kita menyebutnya telah memiliki kredibilitas moral yang baik ketika memang selama ini belum pernah menjadi anggota dewan. Demikian pula jajaran menteri dan lainnya. Cukuplah sejarah yang akan menilai siapa saja diantara mereka yang layak menyandang karakter ini. Itulah berbagai harapan yang saat ini sedang dinanti-nantikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pemimpin sejati semodel Gandhi, Bung Hatta, Agus Salim, dan lainnya saat ini sedang ditunggu kehadirannya. Bahkan siapapun yang berkarakter seperti yang disebutkan di atas, bukannya tidak mungkin akan lebih dikenang sebagai pemimpin oleh masyarakat meskipun mereka bukanlah bagian dari elit politik formal. Seseorang yang berkarakter pemimpin bangsa sejati akan mampu menembus sekat-sekat kursi struktual sebagaimana seorang Gandhi yang senantiasa dikenang sebagai pemimpin India meskipun dia bukan presiden India. Ratusan orang baru saja dilantik sebagai anggota dewan perwakilan baik di pusat atau daerah, pemimpim lembaga tinggi negara serta para menteri. Secara formal, merekalah saat ini para pemimpin bangsa ini. Tetapi sejarah yang akan menunjukkan kepada kita siapa diantara mereka yang memang pemimpin sejati. Selamat bekerja, kami menanti kiprah anda, dan jangan khawatir, kami siap untuk tidak memilih anda 5 tahun lagi jika anda menghianati amanat rakyat !! 5. Memiliki kredibilitas moral yang teruji. Inilah kelengkapan akhir dari karakter pemimpin yang membuat seorang pemimpin menjadi sempurna. Ketika seluruh karakter di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 32 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 IPTEK “Feed Quality for Food Safety”, Kapankah di Indonesia? Samadi Staff Pengajar Fakultas Pertanian Prodi Peternakan Universitas Syiah Kuala Darussalam-Banda Aceh PhD Student Georg-August University Goettingen – Germany Email : ssamadi@gwdg.de Masyarakat Uni Eropa telah menetapkan tanggal 1 Januari 2006 (berdasarkan regulasi nomor 1831/2003) merupakan tonggak pemusnahan berbagai macam antibiotik dimana selama beberapa dekade belakang merupakan substans yang kerap digunakan oleh peternak di berbagai belahan dunia. Tidak dapat dipungkiri sejak digunakannya antibiotik sebagai senyawa promotor pertumbuhan dalam pakan ternak, telah terjadinya peningkatan pendapatan peternak berkat kemampuan senyawa tersebut mengkonversikan nutrisi dalam pakan secara efisien dan efektif. Namun akhir-akhir ini penggunaan senyawa antibiotik dalam ransum ternak telah menjadi perdebatan sengit oleh para ilmuan akibat efek buruk yang ditimbulkan tidak hanya bagi ternak tetapi juga bagi konsumen yang mengkonsumsi produk ternak tersebut melalui residu yang ditinggalkan baik pada daging, susu maupun telur. Sebenarnya pelarangan penggunaan antibiotik dalam pakan ternak bukan merupakan hal yang baru bagi sebagian negara Eropa. Jauh hari sebelumnya beberapa negara tertentu telah membatasi penggunaan zat aditif tersebut dalam pakan ternak seperti di Swedia tahun 1986, Denmark tahun 1995, Jerman tahun 1996 dan Swiss tahun 1999. Akan tetapi pelarangan tersebut tidak menyeluruh hanya terbatas pada jenis antibiotik tertentu misalnya avoparcin (Denmark), vancomycin (Jerman), spiramycin, tylosin, virginiamycin dan chinoxalins (Uni Eropa). Hingga kini hanya tersisa empat antibiotik yang masih diizinkan penggunaannya dalam ransum ternak pada masyarakat Eropa yaitu flavophospholipol, avilamycin, monensin-Na dan salinomycin-Na. 1. Antibiotik dan Pengaruhnya Apa yang mendasari pelarangan penggunaan antibiotik dalam pakan ternak? Sejak ilmuan berkebangsaan Rusia Metchnikoff (1908) berhasil mengklasifikasi jenis mikro-organisma yang terdapat dalam saluran pencernaan manusia, makin terkuak lebar peranan penting akan berbagai genera mikroflora bagi kehidupan makhluk hidup. Keseimbangan antara bakteri-bakteri yang menguntungkan dan merugikan dalam saluran pencernaan sepatutnya menjadi perhatian lebih demi terciptanya hidup yang sehat bagi manusia dan produksi yang tinggi bagi ternak. Keseimbangan populasi bakteri dalam saluran pencernaan (eubiosis) hanya dapat diraih apabila komposisi antara bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli dan yang merugikan seperti Clostridia setidaknya 85% berbanding 15%. Dengan komposisi tersebut fungsi “barrier effect“ mikroflora yang menguntungkan dalam tubuh makhluk hidup dengan cara mencegah terbentuknya koloni bakteri phatogen (colonisation resistence) bisa teroptimalkan. Ketidakseimbangan populasi antara bakteri yang menguntungkan dan merugikan (dysbiosis) berakibat turunnya produksi ternak. Salah satu cara memodifikasi keseimbangan bakteri di dalam saluran pencernaan adalah dengan pemberian antibiotik. Antibiotik dipercayakan dapat menekan pertumbuhan bakteri-bakteri phatogen yang berakibat melambungnya populasi bakteri menguntungkan dalam saluran pencernaan. Tingginya mikroflora menguntungkan tersebut dapat merangsang terbentuknya senyawa-senyawa antimikrobial, asam lemak bebas dan zat-zat asam sehingga terciptanya lingkungan kurang nyaman bagi pertumbuhan bakteri phatogen. Namun disayangkan penggunaan antibiotik berakibat buruk bagi ternak dikarenakan resistensi ternak terhadap jenis-jenis mikro-organisme phatogen tertentu. Hal ini telah terjadi pada peternakan unggas di North Carolina (Amerika Serikat) akibat pemberian antibiotik tertentu, ternak resisten terhadap Enrofloxacin yang berfungsi untuk Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 33 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 membasmi bakteri Escherichia coli. Dibagian lain residu dari antibiotik akan terbawa dalam produk-produk ternak seperti daging, telur dan susu dan akan berbahaya bagi konsumen yang mengkonsumsinya. Seperti dilaporkan oleh Rusiana dengan meneliti 80 ekor ayam broiler di Jabotabek menemukan 85% daging ayam broiler dan 37% hati ayam tercemar residu antibiotik tylosin, penicilin, oxytetracycline dan kanamycin (www.poultryindonesia.com). Oleh karena itu berbagai upaya telah dilakukan bertahun-tahun untuk mencari bahan tambahan dalam pakan ternak sebagai pengganti antibiotik yang berbahaya tersebut. antibiotik yaitu mengatur komposisi mikroflora dalam saluran pencernaan. Bakteri asam laktat seperti Lactobacillus bulgaricus, Lactobacilus acidophilus, Bifidobacteria thermophilum dan jenis fungi seperti Saccharomyces cerevisiae adalah contoh-contoh probiotik yang telah diproduksi secara komersial. Lingkungan menyenangkan untuk pertumbuahan bakteri menguntungkan (penurunan pH dengan memproduksi asam laktat) akan tercipta dengan mensuplai probiotik pada ransum ternak. Probiotik juga dapat mengurangi produksi racun dan menurunkan produksi amonium dalam saluran pencernaan. 2. Bahan Aditif Pengganti Antibiotik Prebiotik adalah oligosakarida yang tidak dapat dicerna oleh hewan monogastrik (ayam dan babi). Senyawa ini digunakan sebagai substrat untuk merangsang pertumbuhan bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli. Pemberian 0,1 – 0,5% dalam ransum dapat meningkatkan bakteri yang menguntungkan dan menurunkan populasi bakteri yang merugikan. Konsep pakan ternak berdasarkan kualitas semata (kebutuhan energi dan protein ternak) mulai ditinjau ulang oleh nutritionist akhir-akhir ini. Tuntutan konsumen akan produk ternak yang sehat, aman dan terbebas dari residu berbahaya telah mengajak ilmuan untuk mencari alternatif sumber-sumber pakan baru sekaligus zat aditif yang aman. “Feed quality for food safety“ merupakan slogan yang acap di dengungkan dimana-mana pada masyarakat Eropa termasuk Jerman. Produk pertanian dan peternakan alami tanpa menggunakan secuilpun bahan kimia dalam bahasa Jerman dikenal “okologische produkte” mulai mempunyai pasar tersendiri. Konsumen rela membayar dengan biaya berlipat demi mendapat makanan yang sehat, aman dan terbebas dari residu kimia. Kerja keras ilmuan dalam usaha menemukan zat aditif pengganti antibiotik telah membuahkan hasil yang tidak begitu mengecewakan. Beberapa alternatif zat aditif pengganti antibiotik telah ditawarkan bagi peternak untuk memicu produksi dan reproduksi seperti pro- dan prebiotik, asam-asam organik, minyak esensial (essential oil) dan berbagai jenis enzim. Senyawa-senyawa aditif tersebut terbukti mampu meningkatkan produksi ternak tampa mempunyai efek samping bagi ternak dan konsumen yang mengkonsumsinya. 4. Asam-asam Organik Asam-asam organik sebenarnya diproduksi secara otomatis dalam tubuh ternak melalui proses fermentasi selanjutnya digunakan sebagai sumber energi. Perkembangan biotekhnologi yang begitu pesat mengilhami industri-industri pakan ternak untuk memproduksi asam-asam organik dalam bentuk komersial seperti asam asetat, propionat laktat dan citrat yang dikemas dalam bentuk cair. Penambahan asam-asam organik dalam pakan ternak dapat menigkatkan produktifitas ternak. Peningkatan performance ternak terjadi melalui penciptaan lingkungan yang serasi bagi perkembangan mikroflora menguntungkan. Dengan lingkungan yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri tertentu (melalui penurunan keasaman) dapat mengaktifkan serta merangsang produksi enzim-enzim endegenous dan berakibat meningkatnya absorbsi nutrisi dan konsumsi pakan untuk pertumbuhan, produksi dan reproduksi. 3. Pro- dan Prebiotik 5. Minyak Esensial (Essential oil) Penggunaan pro- dan prebiotik bukan merupakan hal baru dalam dunia peternakan. Fungsi zat aditif ini tidak jauh berbeda dengan Saat ini dikenal lebih kurang 2600 jenis minyak esensial yang dihasilkan melalui Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 34 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 ekstraksi berbagai jenis tanaman. Jamak diketahui bahwa setiap tanaman mempunyai komponen bioaktif yang spesifik. Di dalam tubuh makhluk hidup senyawa bioaktif tersebut mempunyai aktifitas microbial, sebagai antioksidan, bersifat antibotik dan juga meningkatkan kekebalan tubuh. Beberapa contoh minyak esensial yang terdapat pada tanaman misalnya cinnamaldehyde (cinnamon), eugenol (clove), allicin (garlic) dan methol (peppermint). Dari hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa penambahan minyak esensial dalam pakan ternak dapat memperbaiki performance ternak melalui meningkatnya nafsu makan ternak, meningginya produksi enzim-enzim pencernaan serta stimulasi antiseptik dan antioksidan dari minyak atsiri tersebut. Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keaneka ragaman sumber daya alam hayati. Hal ini menjadi suatu tantangan sekaligus harapan bagi ilmuan untuk menggali berbagai potensi yang tersedia untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kemakmuran rakyat. 6. Enzim Enzim merupakan senyawa protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk mempercepat reaksi pemecahan senyawa-senyawa yang komplek menjadi sederhana. Saat ini telah terindentifikasi lebih kurang 3000 enzim. Walaupun dalam tubuh makhluk hidup enzim dapat diproduksi sendiri sesuai dengan kebutuhan, penambahan enzim pada ransum kadang kala masih dibutuhkan. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti antinutrisi faktor pada bahan pakan (lekctins dan trypsin inhibitor), rendahnya efesiensi kecernaan bahan pakan, dan ketidak tersediaan enzim tertentu dalam tubuh ternak. Xylanase dan ß-glucanase adalah contoh-contoh enzym yang digunakan pada ternak monogastrik untuk meningkatkan daya cerna ternak. Rendahnya kemampuan ternak muda untuk mencerna protein pada kacang kedele (glycin dan ß-conglycin) dapat diatasi dengan penambahan enzim protease. Phytase sebagai enzim yang mampu meningkatkan penyerapan posphor mendapat perhatian cukup besar para peneliti saat ini. Bahan-bahan basal pakan yang kaya karbohidrat seperti gandum, barley, jagung dan lainnya, mengikat unsur phosphor dalam bentuk asam phytat (myo-inositol hexaxy dihidrogen phosphat) sehingga tidak mampu dicerna oleh ternak. Dengan mensuplai phytase yang berasal dari Aspergillus atau Trichoderma strains dalam ransum ternak dapat meningkatkan ketersediaan phospor, Ca, Zn dan asam amino bagi ternak. Polusi lingkungan melalui Eutropication juga dapat dicegah dengan penambahan phytase dalam pakan ternak. Penelitian bahan aditif alternatif sebagai pengganti antibiotik terus dilakukan tidak hanya terbatas pada lembaga penelitian, universitas, institut tapi juga merambah ke berbagai industri makanan ternak. Bagi industri pakan masih terbuka peluang bisnis yang cukup besar dengan menciptakan produk-produk zat aditif baru dengan nilai ekonomis tinggi serta mampu bersaing di pasar. Kesadaran para konsumen akan produk ternak yang terbebas dari residu kimia (antibiotik, alfatoksin, dioxin) dan mikrobiologi berbahaya (salmonella, enterobacteriaceae dan BSE-carriers) semakin meningkat di negara-negara maju. Kualitas kontrol bahan pakan terus dilakukan oleh pemerintah secara berkala melalui system HACCP (hazard analyis and critical control points) sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah tersusun secara sistematis dan disepakati bersama. Kapankah Indonesia ada suatu jaminan pasti bagi konsumen untuk mengkonsumsi produk-produk ternak yang terbebas dari residu antibiotik dan sejenisnya? Bukankah makanan adalah salah satu faktor yang bisa meningkatkan angka harapan hidup (life expectation) suatu negara. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 35 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 IPTEK Zonasi Wilayah Rawan Kekeringan Tanaman Pangan Haris Syahbuddin Kandidat doktor bidang meteorologi tropikal pada Graduate School of Science and Technology, Kobe University, JAPAN Email: haris@ahs.scitec.kobe-u.ac.jp 1. Pendahuluan Wilayah Indonesia yg terhampar luas dan membentang dari Sabang sampai Merauke merupakan wilayah iklim maritim yang paling dinamik diseluruh dunia. Sejak tahun 1920 diawali oleh [3], [2], [7], [8], [9] hingga [4] telah melakukan penelitian di wilayah Indonesia, terkait dengan fluktuasi drastik serta karakteristik curah hujan antar musim dan antar tahun. Bahkan Oldeman et al. secara sistematik telah membuat zonasi wilayah curah hujan bulanan berdasarkan tingkat kecukupan air bagi pengolahan dan tanam padi serta palawija lainnya. Klasifikasi wilayah hujan bulanan Oldeman ini didasarkan pada periode bulan basah (bila curah hujan > 200 mm/bulan), bulan lembab (200 mm/bulan > CH > 100 mm/bulan), dan bulan kering (100 mm/bulan < CH). Wilayah hujan bulanan yg dibuat oleh Oldeman belum mempertimbangkan kondisi tanah dan masih menggunakan data-data periode dibawah tahun 1980 an. Padahal secara gradual iklim mengalami perubahan (climat change) dan penyimpangan (climat deviation), seperti yg dikhawatirkan oleh banyak meteorologis dunia sejak tahun 1980. Perubahan dan penyimpangan itu sendiri berskala positif dan negatif, terutama untuk dua unsur iklim yg paling berpengaruh terhadap proses meteorologis dan phisiologis tanaman, khususnya tanaman pangan, yaitu temperatur dan curah hujan. Hasil penelitian di 13 statiun Klimatologi, Litbang Deptan oleh Syahbuddin et al [13] makin menegaskan telah terjadinya perubahan iklim global itu di Indonessia, dimana terdapat tendensi terjadinya peningkatan jumlah curah hujan tahunan di wilayah timur Indonesia, berkisar antara 490 mm/tahun (Sulawesi Selatan) hingga 1400 mm/tahun (Jawa Timur). Diikuti oleh peningkatan o suhu siang dan malam hari antara 0.5-1.1 C dan o 0.6-2.3 C. Sedangkan diwilayah barat Indonesia terjadi sebaliknya, dimana terdapat tendensi penurunan curah hujan tahunan sekitar 135 hingga 860 mm/tahun, dengan peningkatan suhu siang o o dan malam hari antara 0.2-0.4 C dan 0.2-0.7 C. Sejalan dengan data-data di atas, tanda-tanda terjadinya perubahan iklim global tersebut juga terlihat dari makin cepatnya periode El-Nino menerpa Indonesia, yang semula terjadi untuk 5-6 tahun sekali, menjadi 2-3 tahun sekali [6]. Atau dengan perkataan lain, 86% kejadian La-Nina selalu diikuti oleh El-Nino [5]. Para peneliti bidang meteorologi tropikal juga menemukan bahwa, pada tahun 2005 akan terjadi lagi peristiwa El-Nino, yg berbeda dengan karakter El-Nino tahun-tahun sebelumnya, yg hingga kini belum diketahui dengan pasti penyebabnya (Konsultasi pribadi dengan Prof. Dr. Manabu D. Yamanaka). Dampak perubahan prilaku iklim tersebut kian menjadi tantangan bagi sektor pertanian guna mewujudkan program swasembada atau ketahanan pangan, seperti yg pernah di capai pada tahun 1980-1982. Data-data lapang juga menunjukkan kekeringan agronomis tidak hanya terjadi pada lahan-lahan kering dan lahan tadah hujan, tetapi juga sudah melanda lahan sawah, baik lahan sawah irigasi teknis maupun setengah teknis. Pada tahun 2003 baru lalu sekitar 450.000 ha lahan sawah di pulau Jawa mengalami kekeringan, dimana sedikitnya 100.000 ha mengalami puso [11]. Bahkan pada masa tanam 2002/2003 sektor pertanian tanaman pangan telah kehilangan satu musim tanamnya. Teridentifikasinya lahan sawah irigasi yg turut terkena kekeringan sebenarnya sudah sejak tahun 1995, namun lagi -lagi cerita bencana kekeringan hanya dianggap sepenggal nasib (given) yg harus diterima tanpa ada solusi yg konprehensif dan jelas. Oleh karena itu sejak tahun 1995 pula PERHIMPI telah menyusun konsep penanggulangan bencana kekeringan itu dalam tiga kelompok pendekatan yaitu pendekatan strategis, taktis, dan operasional. Salah satu bentuk pendekatan strategis itu bertitik tolak pada identifikasi biofisik (tanah dan iklim) yg berkaitan dengan sifat dan tingkat resiko kekeringan suatu wilayah. Mengapa?. Pendekatan dini atau deteksi dini akan memberikan manfaat yg jauh lebih besar dalam mengurangi kerugian yg diderita petani, yaitu dengan melakukan inventarisasi dan identifikasi daerah berdasarkan status dan tingkat kerawanannnya terhadap kekeringan, yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan zonasi wilayah sesuai dengan tingkat kerawananya terhadap kekeringan dimasing-masing daerah. Di Mexico keuntungan yg dapat diperoleh dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 36 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 menerapkan sistem deteksi dini ENSO (El Nino South Oscilation) dengan tingkat akurasi 70% saja, mendekati 10 juta US dolar per tahun [1]. 2. Identifikasi Tanah dan Iklim Ada dua karakteristik biofisik yang menjadi kunci penetapan wilayah rawan kekeringan yaitu, karakteristik tanah dan iklim. Tanah berfungsi sebagai media penyimpan dan penyalur air bagi kebutuhan tanaman. Sedangkan iklim melalui beberapa variabelnya seperti curah hujan, temperatur, radiasi matahari, kecepatan angin dan kelembaban memiliki fungsi sendiri-sendiri yg terkait dengan ketersediaan dan kehilangan air didalam tanah dan juga dari tanaman. Untuk mendapatkan informasi sifat fisik yang terkait dengan kemampuan tanah menyimpan air, perlu dilakukan penelitian dan survey lapang [14]. Adapun tujuan dilakukannya kegiatan ini adalah untuk menetapkan jenis tanah. Untuk sampai pada tingkat kebutuhan air tanaman, maka perlu dilakukan survei tanah detail sampai pada sifat penciri fisik tanah tersebut, seperti kandungan bahan organik, tekstur, struktur, permeabilitas dan kemampuan tanah memegang air. Karakteristik fisik tanah ini memberi gambaran pada kita berkaitan dengan potensi tanah menyimpan air dan melepaskannya untuk tanaman, terutama pada kedalaman akar efektif berkisar antara 0-30 dan 30-60 cm. Badan Litbang Pertanian melalui Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat telah melakukan survai tanah sampai tingkat detail untuk sebagian besar wilayah Sumatera, Jawa Barat, sebagian Kalimantan dan Sulawesi. Infromasi ini telah tersusun dalam bentuk peta dengan skala 1:25.000 yang didampingin oleh buku legenda dan keterangan simbol. Database sifat fisik tanah pun telah tersedia untuk wilayah tersebut. Kegiatan identifikasi karakteristik tanah ini perlu terus dilakukan untuk seluruh wilayah Indonesia secara teritegrasi dimasing-masing daerah otonomi. Sebab tanah merupakan media yg terbentuk melalui proses alami yg panjang dan simultan dari satu bentang alam. Keuntungan yg diperoleh melalui survei detail tanah, tidak hanya informasi fisik tanah tetapi juga potensi kesuburan tanah dan jenis tanaman yg sebaiknya diusahakan di atas tanah tersebut dapat diperoleh. Untuk melakukan zonasi wilayah rawan kekeringan data iklim memegang peranan yg sangat penting, terutama dalam menetapkan ketersediaan air tanah sepanjang tahun. Oleh karena itu data iklim yg dikumpulkan harus lengkap sepanjang tahun dalam bentuk data harian. Guna memberikan potensi iklim suatu wilayah, dibutuhkan data harian sepanjang 20-30 tahun pengamatan. Pengalaman menunjukkan banyak stasiun iklim yg berada dibawah naungan instansi seperti, PU pengairan, Dinas Pertanian tanaman pangan kabupaten, BMG, Litbang Pertanian, Dirjen Tanaman Pangan dsb, sudah tidak beroperasi dengan baik. Bahkan sudah tidak digunakan sejak lama. Akibatnya kerapatan data yg dibutuhkan menjadi tidak terpenuhi dengan baik. Meskipun zonasi wilayah hujan masih dapat dilakukan dengan jumlah optimum statiun yg dimiliki dengan teknik klasterisasi, , namun akan lebih baik bila densiti stasiun lebih besar. Dengan demikian spasialisasi wilayah hujan dan rawan kekeringan dapat dibatasi dengan lebih akurat dan mendekati nilai potensinya. Oleh karena itu pengoperasian kembali, penambahan dan pemutahiran jejaring stasiun yg pernah ada disetiap kecamatan harus menjadi prioritas utama seluruh jajaran institusi pengelolaan dan pengkaji iklim untuk pertanian. Akan lebih baik lagi bila disetiap propinsi minimal memiliki 2 buah radar cuaca. 3. Zonasi Wilayah Manfaatnya Rawan Kekeringan dan Parameter iklim juga selanjutnya digunakan untuk menetapkan peluang deret hari terjadinya kekeringan agronomis (cekaman air), pendugaan kapasitas air tersedia, pendugaan air yg hilang (water losses) melalui tanah dan tanaman (evapotranspirasi), serta untuk melakukan perhitungan neraca air dan Indeks Kekeringan (Indeks Palmer) suatu wilayah, seperti yg terlihat pada Gambar 1 di bawah ini. Salah satu contoh wilayah rawan kekeringan untuk tingkat propinsi seperti nampak pada Gambar 2. Di Propinsi Jawa Tengah indeks kekeringan terdiri dari indeks sangat basah, basah, sedang dan kering. 59% wilayahnya tergolong pada wilayah yg rawan terhadap kekeringan. Sebagian besar wilayah rawan kekeringan (pola I1, I2, dan I3) tersebut terdapat disepanjang pantai utara dan selatan Jawa Tengah, terutama disebagian besar Kabupaten Blora dan Rembang. Pola A2 hingga H2 tergolong pada wilayah dari sangat basah hingga sedang [12]. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 37 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 Peta Analisis Jenis Tanah Curah Hujan Pendugaan Wilayah Peluang Kapasitas Air Tersedia Curah Hujan Deret Hari Kering Suhu ETP Koefisien Parameter Iklim Curah Hujan Indeks Palmer Korelasi Curah Hujan dan Indeks Palmer Wilayah Rawan Kekeringan Alternatif Pola Tanam Gambar 1. Diagram alir analisis wilayah rawan kekeringan Gambar 2. Wilayah rawan kekeringan Propinsi Jawa Tengah. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 38 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 Adapun manfaat yang dapat diambil dengan ditetapkannya wilayah rawan kekeringan antara lain: (1) Memberi kemudahan pada pemerintah untuk memantau penggunaan lahan dan melakukan pencegahan dini terhadap sistem usaha tani tanaman pangan yang ”dipaksakan” dan berakibat kegagalan panen dan rawan pangan. (2) Konsentrasi penanggulangan dapat lebih diprioritaskan ke daerah -daerah yg secara ekologis rentan terhadap kekeringan. (3) Pengaturan jadwal tanam dan pemberian air yang diterapkan disesuaikan dengan pola ketersediaan air masing-masing wilayah. (4) Pengaturan pola tanam dan jenis komoditas yg diusahakan menjadi lebih spesifik lokasi sesuai dengan fluktuasi ketersediaan air tanah sepanjang tahun. (5) Memanfaatkan keunggulan komparatif daerah-daerah rawan kekeringan bagi usaha pertanian tanaman hortikultura, yg membutuhkan tingkat kelembaban yg rendah seperti cabe, tomat, dan sayuran lainnya. (6) Pada tataran ekonomi, akan terjadi lalu lintas perdagangan antar daerah lebih berkembang, dikarenakan adanya perbedaan komoditas yg diusahakan sesuai dengan potensi sumberdaya iklim dan tanahnya. Oleh karena itu, wilayah rawan kekeringan yg telah disusun harus dilengkapi dengan rekomendasi alternatif pola tanam selama satu tahun untuk tanaman pangan. 4. Program Antisipatif Memperhatikan perubahan iklim akhir akhir ini, dimana di masa yang akan datang diprakirakan akan terjadi peningkatan intensitas kehadiran El-Nino, maka persoalan yang dapat ditimbulkannya berdampak luas baik pada bidang pertanian, usaha konservasi tanah dan air, penanggulangan bencana kekeringan dan sebagainya. Disatu sisi masalah kekeringan mengancam, disisi lain banyak masalah seperti kebanjiran, erosi tanah terutama pada tanah-tanah tanpa vegetasi dan berlereng curam, penurunan intensitas radiasi surya, penurunan kesuburan tanah, sampai pada masalah penyakit tanaman dan manusia terus menghadang. Beberapa langkah antisipasi yang patut dipertimbangkan berdasarkan faktor yang paling bersinggungan dan berinteraksi adalah: Pendekatan lingkungan: (1) Usaha ini harus dipadukan dengan meningkatkan daya dukung DAS (daerah aliran sungai) di hulu guna menerima, menyimpan selama mungkin, dan menyalurkan air hujan ke daerah hilir, (2) Menghutankan kembali lahan-lahan gundul, (3) Memonitor dan mengevaluasi daya tampung Waduk, terutama yang berkaitan dengan proses sedimentasi, dan lain-lain. (4) Peristiwa kekeringan selalu akan diikuti oleh peningkatan curah hujan pada tahun berikutnya, dimana akan diikuti oleh penurunan intensitas radiasi surya, maka usaha pertanian tanaman pangan perlu memperhatikan penggunaan varietas berumur dalam, agar akumulasi bahang optimal sehingga produksi dapat ditingkatkan untuk mengkompensasi kehilangan hasil pada saat musim kering sebelumnya. Pendekatan kemasyarakatan/institusi : (1) Mengaktifkan kembali serta memoderinisasi kemampuan penyuluh pertanian, pengamat iklim, hama dan penyakit tanaman yg terintegrasi dalam wadah BLPP (fungsional mandiri) yang selama ini justru berada di bawah koordinasi kantor kecamatan. Dengan demikian, fungsi pelaporan dan pengawasan terhadap gejala awal bencana kekeringan, banjir, serangan hama dan penyakit dapat dilakukan dengan lebih cepat dan terpadu. (2) Pengembangan sistem database tanah dan iklim termutahirkan disetiap tingkat daerah otonomi (PEMPROP/PEMKOT/PEMKAB), sebagai matarantai sistem database sumberdaya lahan dan iklim tingkat Nasional. Selanjutnya sistem ini akan menjadi pondasi utama sistem peringatan dini terhadap bencana kekeringan dan banjir. (3) Melakukan pemantuan terhadap lahan lahan irigasi atau tadah hujan yg telah direkomendasikan untuk tidak dilakukan penanaman selama El-Nino, guna mengantisipasi kerugian yg lebih besar. (4) Penegakan Undang-Undang Konservasi Lingkungan dan pemberian sangsi seberat-beratnya bagi pelanggaran terhadap RUTR , konservasi lingkungan, dan lain-lain. (5) Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap masalah kekeringan, dengan mensosialisasikan informasi cuaca, bahaya kekeringan/kebakaran dan pasca kekeringan, melalui insatansi terkait dari tingkat Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 39 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 Lurah/Desa/Kampung sampai Propinsi, media massa, sekolah, LSM, dll, 1991. Peta Agroekologi Utama Tanaman Pangan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Bogor. 24 hal. 5. Penutup Sumber daya tanah, iklim dan air merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Maka pengelolaannya pun tidak dapat hanya dilakukan oleh satu institusi/departeman saja. Melainkan harus dilakukan secara terintegrasi dan konprehensif, tidak lagi terkungkung dalam otoritas Departemen masing-masing. Dengan demikian di masa datang tidak lagi dijumpai wilayah wilayah yag mengalami kekurangan air dan kekeringan yg berkepanjangan. 6. Daftar Pustaka [1] Adams, Richard M., Laurie L. Houston, Bruce A. McCarl, Mario Tiscareno L., Jaime Matus G., and Rodney F. Weiher. The Benefits to Mexican Agriculture of on El-Nino-Southern Oscilation (ENSO) Early Warning System. Agricultural and Forest Meteorology 115 (2003). Elsevier Sciences. 183-194 pp. [2] Boerema, J. 1933. Maps of the Mean Annual Monthly Rainfall in Celebes. Verhandelingen, Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium, Batavia, No. 24, IV, 13 maps. [3] Braak, C. 1929. Het Klimaat van Nederlands-Indie. Verhandelingen, Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium, Batavia, No. 8, 545 pages. [4] Hamada Jun Ichi, MD. Yamanaka, Jun Matsumoto, Shoichiro Fukao, Paulus Agus Winarso, and Tien Sribimawati. 2002. Spatial and Temporal Variation of the Rainy Season over Indonesia and their Link to ENSO. JMSJ Vol. 80, No. 2 pp. 285-310. [5] Koesmaryono, Y., Rizaldi Boer, Hidayat Pawitan, Yusmin, dan Irsal Las. 1999. Pendekatan Iptek dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim. Prosiding Diskusi Panel Strategi Antisipatif Menghadapi Gejala Alam La-Nina dan El-Nino untuk Pembangunan Pertanian. Bogor, 1 Desember 1998. PERHIMPI, FMIPA -IPB, Puslittanak, dan ICSEA BIOTROP Bogor. Bogor . Hal 43-58. [6] Las, Irsal., A. Karim Makarim, A. Hidayat, A. Syarifuddin Karama, dan Ibrahim Manwa. [7] Oldeman, J. R. 1975. An agro-climatic map of Java. C. R. J. Agr. Bogor. Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor, No.16/1975. [8] Oldeman, L.R, Irsal Las and Muladi. 1980. An Agroclimatic Maps of Kalimantan, Irian Jaya and Bali, West and East Nusa Tenggara. Skala 1: 2.500.000. Contr. Centr. Res. Inst. Of. Agric. Bogor. [9] Oldeman, L.R. and Darmiyati S. 1979. Agroclimate Map of Sumatera Scale 1 : 1.200.000. Central Research Institute for Agriculture. Bogor. Indonesia. [10] Oldeman, L.R., and Darmiyati S. 1977. Agroclimate Map of Sulawesi, scale 1 : 2.500.000. Central Research Institute for Agriculture, Bogor, Indonesia. [11] Republika 25 Agustus 2003. [12] Syahbuddin, H., Yayan Apriyana, dan Irsal Las. 2002. Karakteristik Curah Hujan, Indeks Palmer dan Wilayah Rawan Kekeringan Tanaman Pangan di Jawa Tengah. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol.21 No.1. Puslitbangtan Bogor. Hal 63-73. [13] Syahbuddin, H., Manabu D. Yamanaka, and Eleonora Runtunuwu. 2004. Impact of Climate Change to Dry Land Water Budget in Indonesia: Observation during 1980-2002 and Simulation for 2010-2039. Graduate School of Science and Technology. Kobe University. Publication in process. [14] Soil Survey Staff. 1998. Keys Taxonomy. USDA. 716 pages. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia to Soil 40 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 INOVASI Alternatif Strategi Membangun Indonesia Bertumpu Teknologi Informasi Onno W. Purbo onno@indo.net.id Kini telah terbentuk pemerintah baru di bawah pimpinan SBY-Kalla. Dalam menjalankan proses pembangunan ini, perlu kejelasan tujuan yang hendak dicapai. Hal ini akan memudahkan penetapan strategi operasional yang hendak ditempuh. Saya mendefinisikan tujuan yang harus dicapai sebagai suatu: “To See Knowledge Based Society in Indonesia”. Secara harafiah dapat diartikan melihat bangsa Indonesia yang mampu berkiprah menggunakan kekuatan daya pikirnya. Sederhana untuk di tulis dan diucapkan tapi sangat kompleks untuk diimplementasikan. Bagi sebagian orang “to see knowledge based society in Indonesia” itu bersifat abstrak. Perlu diterjemahkan dalam bentuk target-target yang lebih tangible dan yang dapat dihitung (accountable). Contoh target sederhana yang dapat diturunkan dari visi tersebut antara lain: (1) keberadaan 200 juta pengguna telepon selular di Indonesia, (2) keberadaan 100 juta pengguna Internet di Indonesia, dan lain sebagainya. Diperlukan jangka waktu (time frame) yang tidak sebentar untuk mengetahui kapan ini akan terjadi. Jika kita mengacu pada kesepakatan World Summit on Information Society (WSIS), visi tersebut sudah harus terjadi pada tahun 2015. Maka kita bangsa Indonesia, hanya memiliki waktu sekitar 10 tahun lagi untuk mencapainya, atau sekitar 2 periode kabinet. Strategi harus dibuat dan disusun untuk melakukan percepatan guna mencapai target eksplisit di atas yang bertumpu pada penggunaan teknologi informasi, seperti yang sudah banyak dilakukan Negara-negara maju, seperti Jepang, Amerika, dan Negara-negara Eropa lainnya. Meskipun demikian harus tetap disadari bahwa telepon, komputer dan internet hanya alat semata, tujuan akhirnya adalah manfaat alat tersebut bagi bangsa Indonesia. Kondisi real kehidupan berbangsa dan bernegara baik dari sisi pemerintah, dunia usaha, atau pengguna (baca: masyarakat luas) yang sudah banyak diketahui umum, yang menjadi tantangan kita semua dalam menuju visi di atas dapat diihat dari beberapa sisi. Pertama, sisi pemerintah yang mencakup permasalahan keamanan & integritas NKRI yang tidak mudah untuk diatasi, dana pinjaman LN yang kian membengkak, ketersediaan dana yang tidak mencukupi untuk membangun seluruh sector, dan ketersediaan dana yang tidak memadai untuk mensubsidi rakyatnya. Kedua, dari sisi pengguna / rakyat biasa, yang mencakup dana perorangan yang belum memadai bahkan kadang terlalu kecil, tingkat pendidikan rata-rata yang masih rendah, dan sebagian besar masyarakat, terutama di pedesaan, lebih menyukai metoda pandang-dengar daripada baca-tulis. Ketiga, dari sisi finansial / pengusaha, seperti belum adanya kepastian hukum, serta maraknya pungutan dan biaya tak terduga. 2. Sirkulasi Informasi h Packaging lis b Pu Dissem ina te Feed Back Surfing Secara umum tampak pada gambar model sederhana siklus informasi. Beberapa komponen penting dalam sebuah siklus informasi/pengetahuan adalah: 1. 2. 1. Kondisi real 3. Pengarang / Peneliti / pemerhati yang menulis dan mendesiminasikan nya. Kompilasi informasi / pengetahuan yang diperoleh dalam bentuk artikel, buku, narasi cerita, video, audio dsb. Disseminasi informasi/pengetahuan baik Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 41 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 4. 5. melalui media cetak maupun media elektronik kepada masyarakat. Umpan balik (feed back), berupa FAX, SMS, telepon, e-mail dsb. Pencarian referensi oleh pengarang / peneliti / pemerhati, melalui internet atau membaca buku di perpustakaan. Seluruh proses yang terjadi dalam siklus tersebut akan menjadi cepat jika media yang digunakan adalah media elektronik seperti televisi dan radio. Tentunya proses tersebut akan menjadi lebih menakjubkan bila kemudian media cyber (internet) yang digunakan.. Strategi yang harus di buat untuk mencapai visi tersebut sebetulnya hanya percepatan proses transformasi komponen-komponen dari siklus infromasi/pengetahuan menjadi media cyber. Selain itu, beriringan dengan strategi sebelumnya, kreativitas para penulis / peneliti muda harus dibangun, dengan harapan kelak kemudian hari akan menjadi motor penggerak siklus informasi/pengetahuan guna menyiapkan dan mewujudkan bangsa Indonesia menuju era globalisasi dan persaingan bebas serta mampu berkompetisi dengan bangsa bangsa lain dalam segala bidang. 3. Strategi Operasional Sirkulasi Informasi masyarakat, maka peluang mendapatkan investor/operator/supply akan lebih mudah dalam memberikan servis terhadap demand yang telah terbentuk tersebut dengan kejelasan Return of Investment (RoI) nya. Secara alamiah sebenarnya, sebagian besar dari strategi ini telah berjalan di Indonesia dan memberi peluang bagi pergerakan bangsa Indonesia menuju “Knowledge Based Society”. Hanya masih dibutuhkan penekanan dan penajaman dalam implementasi strategi yang bersifat multiplikasi dan replikasi agar dapat berdampak secara luas (walaupun hanya swadaya masyarakat). 4. Pemberdayaan Penulis dan Peneliti Muda Bertumpu pada Untuk menyusun strategi operasional yang akan diterapkan terlebih dahulu dibangun asumsi asumsi yang didasarkan pada kondisi real masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Asumsi tersebut adalah bahwa: sebagian besar masyarakat adalah biasa saja, tidak memiliki kekuasaan apapun, tidak mempunyai uang, funding, atau donatur, hanya memiliki pengetahuan, namun memiliki cukup banyak teman di jaringan internet untuk bergerak dan bekerjasama. Oleh karena itu, strategi yang dapat digunakan dan berorientasi membangun / membentuk demand di masyarakat adalah melalui tulisan, buku, ceramah atau workshop. Karena keterbatasan yang ada, maka strategi yang di tempuh sedapat mungkin harus dilandasi oleh swadaya masyarakat dan tidak terlalu bergantung pada pendanaan atau dorongan dari pemerintah. Setelah demand/kemauan/kebutuhan tumbuh di Proses pembedayaan penulis dan peneliti muda sebetulnya dapat dilakukan secara sederhana dalam berbagai tahapan, yaitu: • • • • Bertukar fikiran. Menulis pengetahuan. Membentuk demand. Mendapatkan support manufakturer karena dibentuk. dari vendor / demand yang Inti proses-nya adalah: • Membuat sebuah media / platform dimana semua orang dapat berbincang dan bertukar fikiran (bertukar tacit knowledge) satu sama lain. Salah satu contoh praktis dan tidak memerlukan banyak biaya Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 42 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 adalah dengan membentuk mailing list di internet. • Melakukan analisa comparative dan comprehensive berbagai diskusi dan referensi yang masuk, dan mensintesanya menjadi artikel, buku dll. Pada tahap ini peluang mendapatkan insentif sekitar Rp. 250.000/artikel atau Rp.4-7 juta/buku menjadi terbuka. • Sebagian akan berlanjut menuju berbagai seminar, workshop, dan demo karena sebagian besar masyarakat lebih menyukai dan percaya bila melihat langsung daripada hanya sekedar membaca buku. Untuk berpartisipasi dalam acara-acara ini, biasanya diperlukan biaya masuk berkisar Rp. 15.000 s/d 500.000/orang bergantung pada jenis acaranya. Sedangkan pembicara akan memperoleh masukan antara Rp. 250.000 s/d 2 juta/session. Suatu angka penghasilan yang cukup besar bagi para penulis/peneliti muda. • Semua ini pada akhirnya akan membentuk demand dan kebutuhan akan alat serta infrastruktur teknologi informasi. Pada tahap selanjtnya akan memberi keuntungan bagi vendor dan pembuat alat. Tidak heran jika vendor dan pembuat alat akan dengan senang hati mendukung, memberikan sponsor bagi para penulis/peneliti muda tersebut. Sebagian bahkan rela meminjamkan alatnya untuk diujicobakan. Jejaring 220.000 Sekolah ke Internet Mungkin selama ini kita tidak pernah membayangkan seandainya 220.000 sekolah seluruh Indonesia tersambung ke intenet. Juga kita mungkin tidak pernah memikirkan dampak lanjutannya dimana sekitar 48+ juta siswa anak bangsa Indonesia tersambung ke media maya itu. Andai ini ingin diwujudkan, lantas pertanyaan yang timbul kemudian adalah: Berapa kah biaya yang dibutuhkan?. Secara matematis hitung itu menunjukkan hal yang menakjubkan, dengan rata-rata 300-500 siswa/sekolah maka biaya yang dibutuhkan untuk akses e-mail mengunakan mail server sendiri di sekolah membutuhkan biaya Rp. 2000-5000/siswa/bulan. Tanpa perlu sekolah mengeluarkan dana, tanpa perlu guru mengeluarkan biaya tambahan, besar biaya akumulasi tersebut akan dapat mengembalikan modal investasi peralatan komputer, modem, printer dalam jangka waktu hanya 1-2 tahun saja, termasuk biaya operasional membayar telepon setiap bulan. Bila jejaring tersebut telah terbangun dan berjalan sesuai dengan fungsinya maka konsekuensi logis yang akan terjadi adalah: • Wawasan 48+ juta siswa anak bangsa ini akan terbuka luas terkait kases ke e-mail dan internet, karena mereka dapat berinteraksi dengan siswa lain seluruh Indonesia bahkan seluruh dunia melalui berbagai mailing list. Tidak ada asumsi bahwa harus ada content yang harus disediakan pertama kali untuk e-learning ini. • 48+ juta siswa akan bercerita kepada ayah, ibu, paman, bibi, kakek dan nenek-nya, serta tidak mustahil akan mengimbas 100+ juta bangsa Indonesia generasi orang tua siswa tersebut. • Artinya bukan mustahil ¾ bangsa Indonesia terimbas untuk mengetahui, memakai internet sebagai media komunikasi mereka. Selanjutnya dalam skala yang lebih luas, tersambungnya tiga perempat bangsa Indonesia ke internet mempunyai arti strategis yang amat sangat dahsyat, terutama bila kita bandingkan dengan jumlah penduduk beberapa negara seperti Malaysia dengan jumlah penduduk sekitar 20 juta jiwa, Australia sekitar 23 juta jiwa, Canada sekitar 30 juta jiwa, Singapura jelas jauh lebih kecil lagi, dan ¾ bangsa Indonesia lebih besar dari seluruh penduduk Thailand, seluruh penduduk Vietnam, seluruh penduduk Philipina. Maka bukan sesuatu yang mustahil pula dalam 5-10 tahun mendatang bangsa Indonesia akan mempunyai SDM yang jauh lebih handal dibandingkan dengan negara lain, dengan mengimplementasikan strategi opersional sederhana, yaitu menyambungkan 220.000+ sekolah Indonesia ke internet secara swadaya masyarakat dengan beban biaya Rp. 2000-5000/siswa/ bulan. Meskipun demikian strategi ini tidak menafikan bahwa ia tidak memiliki permasalahan. Masalah utama yang harus di hadapi adalah mengajarkan para guru, mengajarkan para calon administrator sekolah merancang sendiri internet murah di sekolah dan menyebarkannya ke 220.000+ Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 43 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 sekolah. Suatu proses perjuangan yang tidak mudah dan penuh dedikasi. Mengaktifkan Komunikasi Jajaran Pegawai Negeri Sipil e-mail di Menjadi sesuatu yang amat ditunggu bila pemimpin tertinggi negara memutuskan agar semua jajaran pegawai negeri sipil diminta untuk aktif berkomunikasi menggunakan e-mail (yang sifatnya dua arah). Artinya bukan untuk membuat Web (yang sifatnya satu arah) baik ditingkat pemerintah propinsi, pemerintah Kabupaten/Kotamadya atau Kecamatan. Dari sudut pandang teknologi, e-mail jauh lebih sederhana proses penyiapannya dan tidak membutuhkan programmer khusus seperti web yang memerlukan tim khusus untuk menyiapkan konten web. Software mail server-pun relatif mudah dioperasikan dari sistem operasi Linux maupun OS lainnya. Sedangkan dari sisi infrastruktur, sampai dengan hari ini sudah secara kebetulan telah tergelar infrastruktur ex TI KPU yang mengcover 4400 lebih kecamatan seluruh Indonesia. Infrastruktur ini walaupun sebagian besar adalah dial-up telah dibuktikan untuk mendukung komunikasi data hingga level kecamatan dan sudah digunakan untuk komunikasi e-mail hingga level kecamatan. Jaringan yang sudah terbentuk tersebut dapat dimanfaatkan untuk menginisiasi serta mengaktifkan komunikasi di jajaran PNS dengan menggunakan e-mail. Dengan tanpa menghilangkan fungsi komunikasi langsung, pertanyaan yang kemudian timbul adalah: apakah konsekuensi positip jika PNS aktif berkomunikasi menggunakan e-mail? • Effisiensi anggaran sebagai akibat dari pengurangan rapat-rapat, raker, rakor dll. Secara akumulatif akan banyak biaya SPPD yang akan dapat dihemat. • Kecepatan informasi umpan balik dari aparat di kecamatan ke pimpinan tertinggi di Indonesia mengenai kondisi lapangan yang terjadi. • Kecepatan distribusi arahan dari pimpinan pusat ke aparat di daerah. • Interaksi langsung antara aparat dengan rakyat, tanpa perlu melalui berbagai meja birokrasi. Bukan mustahil terjadi pemangkasan berbagai pungutan yang biasa terjadi dalam pengurusan ijin dll. • Pelaporan dan permohonan langsung dapat berjalan lancar dan cepat dari rakyat ke para pimpinan di pusat atau tingkat kabupaten, tentang berbagai hal yang terjadi di lapangan. Terjadi pemangkasan birokrasi yang luar biasa dalam sistem pemerintahan yang biasanya lamban dan birokratis. • Transparansi perilaku oknum aparat yang suka memalak, meminta sogokan, akan di bypass langsung ke pimpinan tertinggi negara. Dan masih banyak lagi berbagai implikasi yang sangat luar biasa karena terjadi pemangkasan birokrasi yang di sebabkan oleh dimungkinkannya komunikasi secara elektronik yang cepat di berbagai tingkat pemerintahan. Mengaktifkan Gerbang Informasi melalui SMS ke Database Server Beberapa konsekuensi diatas akan menjadi lebih menarik lagi jika diparalelkan dengan berbagai server/gateway SMS dari selular ke e-mail/database web yang bisa di akses oleh para pemimpin negara maupun masyarakat secara transparan. Membuat transparan semua kebijakan, maupun proses kebijakan pemerintah ke masyarakat. Software yang dibutuhkan untuk ini di kembangkan oleh sebuah komunitas Internasional dan di lepaskan secara gratis di http://playsms.sourceforge,net. Yang sungguh luar biasa, ternyata pimpinan pengembang software ini ternyata adalah salah seorang anak muda Indonesia yang berbakat bernama Anton Raharja (anton@ngoprek.org). Dengan terbentuknya media komunikasi swadaya masyarakat yang cepat ini sebetulnya proses pembuatan kebijakan di tingkat tertinggi pemerintah maupun DPR menjadi dipermudah. Dan alangkah indahnya jika setiap anggota Dewan juga mampu berkomunikasi menggunakan SMS dan e-mail secara aktif dan mengoptimalkan fungsinya untuk kepentingan orang banyak. Keberadaan pimpinan tertinggi negara dan anggota dewan di dunia maya, akan lebih memberi dampak phesikologis dan manfaat bagi rakyat Indonesia, jika rancangan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 44 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 Undang-Undang, rancangan Peraturan Pemerintah, rancangan Keputusan Menteri, rancangan Keputusan Presiden dibuat secara terbuka kepada rakyat melalui media internet. Hal ini membuka kemungkinan rakyat untuk melakukan koreksi-koreksi substansial sebelum di undangkan, sebelum di tanda tangani. Agar tidak ada lagi sebuah UU, PP, KEPMEN, KEPRES yang sudah ditandatangani kemudian menuai hujatan. yang memungkinkan semua proses pengiriman informasi dan pengetahuan menjadi lebih cepat dan effisien menjangkau massa yang sangat besar. Semua tergantung pada visi, misi dan niat di balik personal yang mengunakan teknologi tersebut. Satu hal yang pasti, yang penulis rasakan yaitu: “nilai seseorang tergantung manfaat seseorang untuk umat”. Semoga para pemimpin bangsa dapat memfokuskan diri-nya, misi-nya agar apa yang dia kerjakan dapat bermanfaat bagi sebanyak mungkin umat. 5. Penutup Pada akhirnya teknologi, baik itu internet, komputer, handphone, hanyalah alat bantu Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 45 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 INOVASI Sistem Mitigasi Bencana di Selat Lombok Fadli Syamsudin Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P3-TISDA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) E-mail: fadli@tisda.org 1. Pendahuluan Musibah tenggelamnya Kapal Motor (KM) Artomoro dalam perjalanannya dari Surabaya menuju Waingapu pada jumat malam tanggal 28 Mei, 2004, semakin menambah daftar panjang bencana serupa di Selat Lombok. Sebelumnya menimpa Kapal Motor Penumpang (KMP) Wimala Dharma pada tanggal 7 September, 2003 yang menelan banyak korban jiwa dan hanya dalam waktu 3 hari berselang musibah yang sama kembali terjadi pada KM Sentosa Bahari. Musibah KMP Wimala Dharma telah ditetapkan pemerintah sebagai bencana nasional mengingat besarnya jumlah korban jiwa yang terjadi pada saat itu. Artikel ini berusaha menjelaskan mengapa Selat Lombok rawan terhadap keselamatan pelayaran dan pamaparan penulis untuk solusi sistem mitigasi bencana dan monitoring lingkungan laut Selat Lombok menggunakan optimasi teknologi Akustik Tomografi Pantai (ATP) dan High Frequency (HF) radar. 2. Oseanografi Selat Lombok Secara Oseanografis, Selat Lombok adalah perairan yang sangat dinamis. Dari utara mengalir Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang membawa massa air hangat dari Samudera Pasifik menuju Hindia sepanjang tahun. Hanya pada masa peralihan musim di bulan April/Mei dan November/Desember arus yang bergerak ke selatan berbalik ke utara karena pengaruh masuknya gelombang Kelvin dari ekuator Samudera Hindia (Sprintall, dkk., 1999). Selat Lombok juga telah diketahui menjadi saluran penting transisi energi gelombang Kelvin dari Samudera Hindia memasuki perairan di kepulauan Indonesia dengan membawa rata-rata energi gelombang Kelvin wave sebesar 55% (Syamsudin et al, 2004) Arlindo melebihi menguat dengan kecepatan 70 cm/s selama bulan Juli-September, dan melemah pada bulan Januari-Maret, sedangkan arus pasang surut (pasut) mencapai kecepatan 350 cm/s di daerah dangkalan (sill) antara P. Nusa Penida dan Lombok (Murray dan Arief ,1986). Dari selatan, Selat Lombok mendapat hantaman langsung energi gelombang dari arah laut lepas Samudera Hindia. Sebagian energi gelombang ini mengalami difraksi ketika mencapai P. Nusa Penida dan masuk perairan selat dalam bentuk alun (swell) yang menjalar kontinu. Selain itu, interaksi antara pasang surut setengah harian (12,42 jam) dengan kedangkalan (sill) antara P. Nusa Penida dan Lombok menyebabkan terbentuknya soliton berupa paket gelombang yang menjalar dalam dua arah: ke utara menuju L. Flores dan mencapai P. Kangean dan ke selatan menuju laut lepas Samudera Hindia. Dengan demikian, paling tidak ada 4 faktor utama: Arlindo, Alun, Pasut, dan Soliton yang saling berinteraksi dan menyebabkan Selat Lombok senantiasa berombak dan memiliki arus kuat serta mengalami perubahan cepat (dalam hitungan jam). Kondisi itu sangat rawan terhadap pelayaran. Dari analisis citra satelit, dapat ditentukan titik rawan berada pada daerah pertemuan semua faktor tersebut di tengah Selat Lombok, terutama daerah kedangkalan di bagian selatan antara P. Nusa Penida dan Lombok. Ancaman bencana masih bertambah dengan aktivitas tektonik di wilayah Paparan Sunda dalam bentuk tsunami akibat gempa bumi yang sering terjadi di wilayah ini. Dengan besarnya potensi bencana, maka instalasi sistem peringatan dini untuk mitigasi bencana dan keselamatan pelayaran di Selat Lombok merupakan hal yang mendesak, dan perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 46 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 3. Institusi Monitoring Pendukung dan Teknologi Pemprov. Bali mempunyai institusi pendukung dengan adanya Pusat Studi Penginderaan Jauh Skala Regional di Universitas Udayana (CReSOS, Center for Remote Sensing and Ocean Sciences) dan Pusat Riset dan Monitoring Laut Asia Tenggara, Southeast Asia Center for Ocean Research and Monitoring (SEACORM) di Perancak, Kabupaten Jembrana yang diprakarsai Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP). Kedua institusi tersebut dapat memberikan analisis citra satelit Oseanografi untuk informasi regional: perkembangan siklon tropis; paket soliton; dan penampakan fisik penting lainnya seperti medan angin di Selat Lombok dan arah gelombang dari Samudera Hindia. Namun informasi regional tersebut belum cukup memadai untuk sebuah sistem peringatan dini yang andal dengan informasi akurat beresolusi tinggi, data fase dan tinggi gelombang, kecepatan arlindo, arus pasut, dan evolusi soliton dengan perioda singkat (dalam hitungan jam) yang terjadi di Selat Lombok. Untuk itu diperlukan dukungan teknologi monitoring yang dapat memetakan kondisi perairan Selat Lombok secara langsung (real time) dan terus-menerus (kontinu) serta mencakup semua proses fisik yang terjadi di semua kolom perairan dari permukaan sampai kedalaman. Sehubungan dengan hal itu, perpaduan antara teknologi High Frequency (HF) radar yang memberikan informasi permukaan dan Akustik Tomografi Pantai (ATP) untuk informasi semua kolom air merupakan alternatif solusi yang dapat digunakan untuk keperluan tersebut. 4. Rekomendasi dan Saran Gambar 1 adalah rekomendasi instalasi HF radar dan stasiun ATP untuk sistem peringatan dini dan monitoring Selat Lombok. Gambar 1. Sistem Peringatan Dini dan Monitoring Lingkungan Laut untuk keselamatan pelayaran di Selat Lombok. Jarak antar stasiun HF radar 70-80 km memberikan informasi medan arus permukaan dan tinggi gelombang signifikan pada wilayah antara (cross-section) beresolusi tinggi di perairan Selat Lombok yang mempunyai intensitas pelayaran kapal penumpang setiap jam untuk rute penyeberangan Padang Bai (Bali) - Lembar (Lombok Barat) ataupun sebaliknya. Di samping itu, penempatan posisi HF-1 radar menghadap Samudera Hindia dan HF-2 radar untuk L. Flores/Selat Makassar akan memberikan informasi kondisi permukaan laut di mulut selatan dan utara Selat Lombok. Penempatan 4 buah stasiun ATP dirancang untuk memberikan informasi penting medan arus dari permukaan sampai kedalaman, arus pasang surut, dan pembentukan soliton di daerah rawan kecelakaan kapal tenggelam di Selat Lombok. Semua pencatatan data lapangan yang direkam HF radar dan 4 buah stasiun akustik ATP akan dikirimkan langsung (real time) dan terus-menerus ke stasiun relay terdekat di sekitar Bali dan Lombok Barat. Dari stasiun relay diteruskan ke Pusat Informasi Terpadu di SEACORM, Perancak ataupun CReSOS, Universitas Udayana, Denpasar. Satelit GPS (Global Positioning System) atau satelit altimeter lainnya diperlukan untuk akurasi teknologi ATP, dan juga sebagai pendukung sistem telemetri pengiriman data lapangan (HF radar dan ATP) ke Pusat Informasi Terpadu (CReSOS dan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 47 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 SEACORM). Pusat Informasi Terpadu mengolah semua data yang diterima untuk mendapatkan gambaran kondisi perairan Selat Lombok saat itu (recent status). Berdasarkan informasi tersebut peringatan dini dapat segera disampaikan pada instansi terkait yang berhubungan dengan keselamatan pelayaran di Selat Lombok. Selanjutnya, asimilasi data HF radar dan ATP pada model numerik dinamika laut yang representatif dapat memberikan ramalan kondisi perairan Selat Lombok selama 1-2 minggu ke depan, sehingga sistem peringatan dini ini dapat dijadikan panduan keselamatan pelayaran di Selat Lombok selama kurun waktu tersebut. Selain itu, aplikasi sistem peringatan dini dan monitoring lingkungan laut dapat digunakan untuk prediksi kondisi cuaca setempat dan parameter lingkungan laut yang bermanfaat untuk budidaya ikan dan mutiara yang tersebar di perairan Selat Lombok. Mengingat pentingnya keselamatan pelayaran dan besarnya nilai ekonomis dari aktivitas industri perikanan, budidaya mutiara, dan sektor pariwisata di Selat Lombok, maka kebutuhan akan sistem peringatan dini hendaknya menjadi prioritas utama. 5. Daftar Pustaka [1] Murray, S.P.and D. Arief, 1988, Throughflow into the Indian Ocean through the Lombok Strait, Januari 1985 – Januari 1986, Nature, 333, 444-447. [2] Sprintall, J., J.C. Chong, F. Syamsudin, W. Morawitz, S. Hautala, N. Bray, and S. Wijffels, 1999, Dynamics of the South Java Current in the Indo-Australian Basin, Geophys. Res. Lett., 26, 2493-2496. [3] Syamsudin F., A. Kaneko, and D.B. Haidvogel, 2004, Numerical and Observational Estimates of Indian Ocean Kelvin wave intrusion into Lombok Strait, Geophys. Res. Lett. (In Press) Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 48 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 INOVASI Merangsang Inovasi Daerah Rizeria Ada Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan seria@indosat.net.id Otonomi daerah seakan memberikan angin baru bagi daerah karena pendelegasian wewenang yang cukup besar dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Pemda). Kini Pemda telah berada di garis depan dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya. Karena itu tuntutan atas kemandirian Pemda makin tinggi. Bagaimana membangun kemandirian agar kesejahteraan daerah bisa terwujud ? Kesejahteraan suatu daerah tidak datang begitu saja. Tidak ada jaminan bahwa daerah yang kaya akan sumberdaya alamnya akan otomatis sejahtera. Namun juga harus dipahami bahwa kekayaan sumberdaya alam merupakan potensi yang mesti dikelola dengan sebaik-baiknya. Namun, sayangnya selama ini kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki daerah belum mampu membuat daerah sejahtera. Ini terjadi karena ada sesuatu yang salah dalam kebijakan pembangunan daerah. Yakni, kebijakan yang dikeluarkan tidak berasal dari bawah (bottom up). Semuanya masih dari atas (top down). Karena itu, era otonomi daerah ini adalah momentum bagi bangkitnya daerah. Dan, bangkitnya daerah ini harus merupakan inisiatif lokal. Pembangkitan Daerah di Jepang awalnya digagas oleh seorang Gubernur Propinsi Oita Mr.Hiramatsu. Beliau sangat terkenal dengan ”Gerakan Satu Desa Satu Komoditas” salah satu dari sekian gerakan pembangkitan daerah yang dinilai unik dan berhasil. Beberapa negara telah mencoba belajar dari pengalaman Jepang untuk membentuk strategi pembangkitan daerah. Di Thailand pendekatan ini kemudian diadopsi pada tingkat kecamatan dalam pendekatan bernama one tambon one commodity. Ini menunjukkan bahwa pengembangan lokalitas melalui potensi lokal merupakan pendekatan pembangunan yang cukup valid. Sebelum membuat visi dan strategi sangatlah penting untuk mengenali lebih dahulu apa yang ada di daerah dan siapa saja yang berperan sebagai pelaku pembangunan. Perencanaan sampai pelaksanaan pembangunan selama ini harus berasal dari fakta( potensi dan sumber daya) yang ada di lapangan. Visi ,misi dan program yang dibuat pemerintah daerah haruslah menjadi pilar utama bagi seluruh kegiatan. Mari kita tinjau bagaimana cara pemerintah daerah membuat perencanaan daerah. Mulai dari GBHD (Garis-garis Besar Haluan Daerah), POLDAS (Pola Dasar), PROPEDA (Program Pembangunan Daerah), RENSTRA (Rencana Strategis), REPETADA (Rencana Pembangunan Tahunan Daerah). Ada beberapa perencanaan yang mirip satu sama lainnya. Hal ini disebabkan karena pada kenyataannya perencanaan tersebut dibuat oleh perguruan tinggi atau konsultan yang sama. Pemerintah hanya menerima dokumen tersebut sebagai acuan untuk perencanaan sampai pelaksanaan pembangunan. Wajar saja kalau banyak program yang telah mengeluarkan banyak biaya namun tidak menyentuh kebutuhan masyarakat, hal ini disebabkan karena program tersebut tidak dibuat berdasarkan kondisi di lapangan tetapi berasal dari pikiran konsultan. Sangatlah diharapkan agar rencana strategi benar-benar bisa menjadi acuan pembangunan, utamanya pada saat penyusunan kegiatan pemerintah daerah. Pada umumnya proyek pembangunan menjadi terbengkalai ketika dukungan dari pemerintah atau donor telah selesai. Mengapa demikian? Ada beberapa fakto penyebabnya, antara lain : (a) belum terlihat visi dan strategi pemerintah yang jelas, (b) belum terlihatnya konsep yang jelas tentang manajemen pembangunan, (c) belum terlihat kesadaran tentang arti penting kemandirian dan keberlanjutan, (d) belum terlihat mobilisasi sumberdaya setempat yang tersedia maupun dari luar secara terpadu, (e) belum terlihat keseriusan memperhitungkan pentingnya sumberdaya pasar (persyaratan dan tuntutan yang diminta oleh konsumen). Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 49 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 1. Visi: Langkah Awal Paling Pokok Apa yang dibutuhkan untuk mendesain masa depan daerah? Jawabannya adalah: ketajaman visi. Visi harus menggugah dan memacu semangat untuk bergerak maju. Visi dan strategi daerah berpijak pada potensi dan sumberdaya yang ada di daerah. Lalu diikuti dengan pemanfaatan sumberdaya dan partisipasi stakeholder. Di sinilah Pemda perlu mengambil langkah–langkah proaktif, merangkul seluruh potensi masyarakatnya untuk menentukan masa depan bersama. Peran leadership sangat penting dalam gerakan pembangunan daerah. Daerah yang berhasil selalu mempunyai pemimpin lokal yang kuat, punya visi dan punya cita-cita membangun. Mari kita mencoba menelaah mengapa rakyat Amerika menjadi negara adikuasa. Napoleon Hill penasehat pribadi presiden Amerika dipanggil untuk membicarakan solusi bagi krisis yang tengah melanda Amerika. Saran pertama yang keluar dari mulut Napoleon agar sang presiden mengeluarkan “Undang –undang Wajib Optimisme” melawan krisis. Bahwa bangsa Amerika adalah bangsa yang besar dan punya aset yang besar melebihi krisis, sehingga tidak ada alasan sedikitpun yang membenarkan untuk menyerah. Undang-undang tersebut harus disosialisasikan melalui media massa, lembaga swasta dan pemerintah agar rakyat Amerika menjadi percaya diri menatap masa depannya. Jangan heran jika keturunan Amerika sampai kini punya percaya diri yang lebih besar dari bangsa lain. Artinya mari kita isi pikiran kita dengan hal positif. Membangun visi daerah dengan penuh optimisme dan motivasi. Mr. Hiramatsu adalah Gubernur propinsi Oita di Jepang merupakan salah satu contoh gubernur yang mewakili sikap daerah yang bersemangat untuk aktif memperbaiki sistem sentralistik Jepang dengan pelaksanaan pembangunan daerah yang berdasarkan inisiatif lokal. Melalui program ”Gerakan Satu Desa Satu Komoditas” Mr.Hiramatsu berusaha menggali, mengelola dan mengembangkan potensi khas yang dimiliki oleh setiap desa secara profesional. Visi dan strategi gerakan ini telah menumbuhkan semangat dan rasa persaingan yang sehat dalam diri masyarakat Propinsi Oita yang sebenarnya tidak memiliki SDA yang andal. Melalui gerakan ini, desa-desa di propinsi Oita mampu menghasilkan komoditas, objek wisata, dan kebudayaan yang bisa bertahan dan mempunyai nilai jual tinggi. Kini pengunjung tak henti-hentinya berkunjung ke desa-desa di Oita. Masyarakat desa merasa bangga atas fenomena ini dan menjadi semakin bersemangat. Keberhasilan ”Gerakan Satu Desa Satu Komoditas” di Oita memperlihatkan kepada kita bahwa rasa ketidakberdayaan dan ketergantungan yang umum dialami oleh masyarakat desa dapat diatasi apabila masyarakat mengetahui potensi khas yang mereka miliki dan ada keinginan untuk mengembangkannya. Peranan pemerintah dalam hal ini hanyalah sebagai pendukung dan pendorong saja agar masyarakat dapat mandiri dan menghargai jerih payahnya sendiri. 2. Membangun partisipatoris kolaborasi secara Melalui kolaborasi, daerah dapat berkonsentrasi dengan semua elemen terkait satu sama lainnya termasuk lembaga riset, masyarakat bisnis, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat dan berbagai institusi yang saling menopang. Daerah dapat membangun daya saing secara efektif melalui peningkatan produktifitas. Produktifitas ini menyangkut bagaimana memanfaatkan setiap sumberdaya secara bijaksana dan penciptaan nilai lebih bagi setiap produk. Keberhasilan Costa Rica sebuah negara di kawasan Amerika Latin bekas jajahan Spanyol berusaha membangun masyarakatnya. Costa Rica yang dulu kita kenal sebagai Banana Republic karena ekonominya cuma mengandalkan pisang, dapat tumbuh menjadi negara maju dengan menjadi eksportir alat-alat kesehatan yang penting didunia. Pemerintahnya melalui sosok president Jose Maria Figurees Olson secara meyakinkan mampu berkolaborasi dengan masyarakat dan pelaku bisnis di negaranya. Mereka berhasil meyakinkan investor sekelas Intel dan Motorola dengan menyediakan kawasan yang terintegrasi dan birokrasi yang bersahabat. Hasilnya Costa Rica kini mendapat julukan baru “ Switzerland of Latin American. Petani anggur di California USA sanggup Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 50 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 bangkit menyaingi dominasi Prancis di pasar dunia , itu tidak lepas dari eksistensi industri pendukungnya. Saat petani menghadapi wabah dahsyat phylloxera yang menyerap akar pohon anggur, Pemda, Asosiasi industri dan lembaga riset/jurusan Enology Universitas California turun bahu membahu membantu petani. Semua berkolaborasi menuju satu tujuan , mencapai kesejahteraan bersama. 3. Merangsang Inovasi Salah satu strategi untuk program pembangunan berkelanjutan adalah ” tampil beda dari yang lainnya”. Untuk bisa menjadi tampil beda perlu inovasi. Inovasi sebagai kunci daya saing sebenarnya sudah sangat klise. Masalahnya bagaimana menciptakan iklim agar inovasi dapat terjadi. Contoh negara-negara yang kaya inovasi seperti Jepang, Swiss dan Finlandia, mereka sangat kompetitif di industrinya masing-masing. Jepang dengan elektroniknya, Swiss dengan jam tangan dan Finlandia dengan telekomunikasinya- lihat saja ponsel Nokia yang kita pakai. Nokia mampu memanjakan masyarakat dengan mempengaruhi emosi masyarakat. Semua pelaku pembangunan seharusnya memiliki peran besar untuk memikirkan kemana strategi pembangunan daerah akan diarahkan. Propinsi Sulawesi Selatan mencanangkan konsep ”Perwilayahan Komoditas” yang intinya produk-produk pertanian dikembangkan sesuai dengan wilayah potensial masing-masing daerah dengan konsep ”Petik, Olah, Jual” yang mendorong petani memasarkan produknya setelah diolah agar memberikan nilai tambah. Namun konsep ini tidak dibarengi dengan pengembangan industri pendukungnya, belum melibatkan dunia bisnis, perguruan tinggi dan lembaga riset lainnya secara komprehensif. Untuk itu eksistensi industri pendukung seperti teknologi pertanian, pupuk, asosiasi petani , lembaga riset dan sebagainya yang terkait dalam satu komunitas harus didukung keberadaan dan kinerjanya. Visi dan strategi yang jelas adalah kunci membangun daya saing suatu daerah agar bisa berkompetisi dengan daerah lainnya. Strategi yang baik bukan hanya mengarahkan kita berbeda tetapi harus mampu memberikan nilai yang tinggi kepada masyarakat. Bila daerah-daerah berubah artinya Indonesia pun berubah. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 51 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 HUMANIORA Bahasa (di) Indonesia i —Sebuah Renungan— Santi Stanislausia Liem Alumnus Kagoshima University The Japan Foundation, Jakarta santist@yahoo.co.jp Kita boleh berbangga karena presiden baru kita adalah salah satu penerima penghargaan sebagai pengguna bahasa Indonesia terbaik. Saya yakin bahwa Bapak Presiden tidak hanya pengguna yang baik secara lisan, tetapi juga secara tulisan. Jika kita perhatikan dengan baik, penggunaan bahasa Indonesia resmi baik lisan maupun tulisan mengalami pengeroposan di mana-mana. Bukan hanya media masa (termasuk iklan), bahkan petunjuk lalu-lintas yang seharusnya mencerminkan bahasa Indonesia yang baik pun ternyata turut andil dalam menggerogoti kemantapan tatabahasa bahasa nasional kita. Pernah suatu ketika, salah satu menteri kita, dengan alasan nasionalisme, melarang semua yang berbahasa asing dalam nama-nama toko, pusat perbelanjaan yang menyebabkan bahasa Indonesia semakin ringkih. Ketika Anda melihat tulisan “Mal Apik Indah”, bagaimana Anda melafalkan bunyi “mal”? Apakah [mol] atau [mal]? Apakah dalam pelajaran bahasa Indonesia kita diajari bahwa [a] dibaca [o]? Mengapa sampai sekarang “sanksi” dan “bank” yang berasal dari bahasa Inggris tidak diubah ejaannya? Kita sering menertawakan bahasa Melayu Malaysia, namun sebagai bahasa, bahasa Malay lebih konsisten dan kokoh dibandingkan bahasa Indonesia yang semakin lama semakin kedengaran “keren” dengan menggunakan sederetan bahasa impor. Quo vadis bahasa Indonesia, sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian lebih kepada pertumbuhan bahasa nasional kita yang tersendat. 1. Tata Bahasa Baku BI dan Penegakan Hukum Bahasa Bahasa, baik lisan maupun tulisan, merupakan salah satu alat untuk menyampaikan buah pikiran. Namun, tampaknya orang Indonesia lebih suka dan lebih ahli dalam memakai cara lisan, daripada dengan tulisan. Bahasa lisan bahasa Indonesia yang baik yang setiap hari kita dengar mungkin terbatas pada berita-berita formal di televisi. Selain itu, kita lebih banyak berbicara dan mendengarkan bahasa/dialek daerah, atau bahkan bahasa asing, mengingat banyaknya orangtua yang menginginkan anaknya multilingual sejak dini untuk menghadapi era globalisasi. Lalu, apa yang terjadi ketika kita diminta untuk menuangkan pikiran ke dalam tulisan? Setidaknya ada dua masalah yang akan kita hadapi. Pertama, perumusan bahasa yang sulit dimengerti. Kedua, aturan penulisan dan pemakaian tanda baca yang tidak baku. Mengapa demikian? Kemungkinan pertama, karena kita tidak terbiasa menulis atau menuangkan buah pikiran dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kedua, karena keterbatasan kosakata dalam bahasa Indonesia. Ketiga, pemerintah sendiri tidak memberikan contoh yang baik dalam penegakan hukum bahasa. Coba Anda perhatikan pengumuman berikut, “Anda memasuki di kawasan three-in-one”, “Jangan membuang sampah disembarang tempat!”, “Mohon masukan formulir yang telah di isi ii didalam kotak ini.” . Di mana letak kesalahan kedua pengumuman di atas? Saya yakin Anda tahu karena telah mendapat pelajaran bahasa Indonesia sejak bangku SD sampai perguruan tinggi. Kemungkinan keempat, mungkin bahasa Indonesia sudah dianggap tidak sepenting bahasa asing, sehingga “Yang penting artinya nyambung!”. Semoga kemungkinan keempat ini hanya sebatas asumsi belaka. 2. Pemertahanan Bahasa Daerah Pada waktu negara Jepang baru berdiri, pemerintahnya dengan gencar memasyarakatkan penggunaan bahasa Jepang standar (bahasa Jepang yang digunakan di ibukota Tokyo), salah satunya dengan melarang penggunaan bahasa daerah. Barangsiapa yang diketahui berbahasa daerah di sekolah akan dikenakan hukuman hougen fuda, yaitu mengenakan kalung papan bertuliskan “Saya telah berbahasa daerah (hougen)”. Hukuman yang memalukan ini membuat orang kapok berbahasa daerah, setidaknya di sekolah. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 52 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 Ketika suatu negara sibuk membangun, hal-hal yang tidak mendatangkan uang umumnya tidak mendapatkan perhatian. Namun, ketika negara tersebut sudah maju, barulah ilmu-ilmu sosial dan humaniora mendapatkan kasih sayang. Sejak beberapa tahun yang lalu, pemerintah Jepang mulai mengkodifikasi tatabahasa menyusun kamus dialek-dialek, suatu kekayaan bangsa ini sedang menuju kepunahan. Biaya untuk mempertahankan eksistensi suatu bahasa, khususnya bahasa minoritas memang tidak sedikit. Sekalipun demikian, tidak sedikit negara di dunia yang pemerintah yang memberi perhatian khusus kepada bahasa minoritas, seperti bahasa Perancis di Kanada, bahasa Retro Roman di Swiss, dan bahasa suku-suku minoritas di RRT. Kita perlu bersyukur karena bahasa-bahasa daerah masih digunakan sampai sekarang, dan tidak ada yang malu dengan logat daerahnya sekalipun sering dijadikan bahan candaan. Selain itu, pemerintah kita mempunyai Pusat Bahasa yang salah satu divisinya bertugas meneliti bahasa-bahasa daerah, selain itu pemerintah juga memasukkan bahasa daerah dalam kurikulum pendidikan sekolah. Namun, alangkah lebih baiknya jika bahasa-bahasa daerah tersebut tidak hanya terbatas pada bahasa yang mempunyai aksara, dan/atau yang mempunyai tatabahasa yang sudah dibukukan. Dan, sayangnya gebrakan Pusat Bahasa dan homepage-nya dengan penampilannya yang sudah keren kurang terdengar, atau kita saja yang tidak mau mencondongkan telinga kepada seruannya? 3. Nasionalisme dan Bahasa Apakah Anda tahu berapa jumlah bahasa nasional di India? Bukan satu, atau tiga seperti di Singapura, melainkan empat belas. Kita semua mengetahui bahwa bahasa nasional kita, bahasa Indonesia, sekaligus berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan. Diangkatnya lingua franca, bahasa Melayu, sebagai `akar` bahasa Indonesia pada tahun 1928 merupakan salah satu cara untuk menggalang kesatuan guna mengusir penjajah pada saat itu. Setelah itu, dengan giat kita berusaha menggiatkan penggunaan bahasa Indonesia, dan mengurangi atau bahkan melarang pengunaan bahasa asing. Lagi-lagi, karena “nasionalisme”. Bahasa Inggris tidak terdaftar sebagai bahasa nasional di India. Namun, menyadari bahwa “bahasa penjajah” itu penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dan pembangunan negara, maka pemerintah India menyelenggarakan pendidikan (dari tahapan tertentu) dalam bahasa Inggris. Hal yang serupa dilakukan juga oleh pemerintah Malaysia dan Filipina. Berbeda namun serupa dengan India, pemerintah Singapura menjadikan bahasa Melayu, bahasa Inggris, dan bahasa Mandarin sebagai bahasa resmi negara. Mengapa demikian? Singapura dikelilingi oleh negara-negara yang berbahasa Melayu, Sigapura merupakan negara persinggahan, Singapura mempunyai hubungan ekonomi dengan Hong Kong dan menyadari geliat ekonomi RRT. Apakah bahasa nasional harus selalu sama dengan bahasa resmi atau bahasa pengantar di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, media, dsb.? Apakah dengan mengangkat salah satu bahasa daerah yang bukan lingua franca menjadi bahasa nasional akan menjadikan rakyat negara itu tidak nasionalis? 4. Penutup Menentukan suatu bahasa menjadi bahasa nasional atau bahasa resmi, kemudian menyebarluaskan penggunaannya bukanlah pekerjaan yang mudah. Hampir sepuluh windu umur bahasa Indonesia, tetapi mengapa kita masih sibuk menata penggunaannya? Ketika tidak mengetahui makna atau ejaan kata yang benar, panduan yang paling tepat dan paling dekat adalah kamus. Dalam hal bahasa Indonesia, kita memiliki Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Apakah semua kosakata yang terdaftar di dalam KBBI telah dianggap resmi dan dapat digunakan sebagai bahasa Indonesia? Misalnya, kata “dahar”, “mangan”, “makan”, ketiganya terdapat di dalam KBBI. Lalu, kata apakah yang akan kita gunakan? Apakah standar yang digunakan untuk memasukkan suatu kata ke dalam KBBI? Lalu bagaimana dengan kehadiran bahasa asing yang semakin memojokkan kosakata bahasa Indonesia yang sudah ada (yang memang berasal dari bahasa-bahasa daerah dan bahasa asing juga)? Jika memang bahasa Indonesia yang ada sekarang ini tidak dapat menjalankan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 53 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 tugasnya dengan baik, sehingga pemerintah sendiri harus menggunakan bahasa asing, seperti busway, three-in-one, say no to drugs, dan masih banyak lagi, mungkin kita perlu mempertimbangkan bahasa lain yang mempunyai tatabahasa yang mantap dan kosakata lebih kaya untuk menggantikan sebagian tugasnya? Entah itu bahasa asing, atau salah satu bahasa daerah karena kita mempunyai banyak bahasa daerah yang mempunyai aturan yang jelas. Atau, mungkin kita perlu menegakkan hukum bahasa dengan mengadakan sanksi (baca: sangsi) berupa denda untuk setiap kesalahan? i Dengan keterbatasan bahasa Indonesia saya, saya berharap dapat menyumbangkan sesuatu kepada bangsa dan negara tercinta. ii 1) “Anda memasuki di kawasan three-in-one”, kesalahan pada frase `memasuki di kawasan`, seharusnya `memasuki kawasan` tanpa kata depan `di`. Persoalan di luar tatacara penulisan adalah penggunaan istilah asing, `three-in-one`, yang bertentangan dengan promosi “nasionalisme”. 2) “Jangan membuang sampah disembarang tempat!”, masalah klasik dalam bahasa Indonesia, yaitu kata depan `di` dan awalan `di`. 3) “Mohon masukan formulir yang telah di isi kedalam kotak ini.”, kesalahan pertama ada pada kata kerja perintah `masukan`, yang berasal dari kata dasar `masuk` + akhiran `kan`, yang seharusnya menjadi `masukkan`. Hal ini sering terjadi pada kata kerja yang berakhiran dengan huruf `k`, seperti `duduk, tunjuk, letak, dll`. Kesalahan kedua dan ketiga, sama dengan permasalahan di atas, yaitu penulisan kata depan dan awalan yang tidak tepat. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 54 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 HUMANIORA Menikmati Perbedaan Bahasa Budiadi Staf Pengajar Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta; karyasiswa di Kobe University budifitri@yahoo.com Banyak hal menarik yang membekas dalam pikiran sejak saya harus membagi kehidupan menjadi dua dunia yang berbeda, Jepang dan Indonesia (dan Jawa). Ketertarikan pada dialog antarbudaya mendorong keinginan untuk membandingkan budaya Jepang dan Indonesia. Yang paling menarik dan dengan biaya yang murah adalah merenung-renungkan persamaan dan keunikan bahasa di antara dua alam itu. Jika kita menguasai persamaan dan keunikan-keunikan itu, maka seolah-olah memegang salah satu kunci sukses berkomunikasi dengan orang lain, termasuk orang Jepang. 1. Plesetan dan shiritori Beberapa hari lalu, saya menemani Kemuning, anak saya, melihat acara film kartun animasi (anime) di stasiun televisi swasta di Kobe. Di film itu muncul kalimat menarik, Furansu wa ame ga furan`su. Oranda dewa pengin ga oran-da. Kalimat ini adalah salah satu bentuk plesetan (dajare) gaya Jepang yang mutakhir, karena pada dasarnya bahasa Jepang sangat rentan untuk dipleset-plesetkan. “Bahasa Jepang kaya istilah, tetapi miskin bunyi”, begitu kata ibu guru Noriko Ishida saat kursus bahasa di Jogja dulu. Banyak sekali istilah Jepang yang bunyinya sama, tetapi artinya sangat berbeda. Sehingga orang Jepang sendiri sulit memahami kata-kata atau kalimat, jika tidak melihat atau memahami konteks pembicaraan. Akan lebih mudah memahaminya jika setiap kata-kata yang meragukan itu ditulis dalam bentuk huruf kanji. Jadi, artinya huruf-huruf kanji sebenarnya bisa jadi sumber masalah, karena banyak huruf yang bunyinya sama tetapi tulisan (atau gambar) dan artinya berbeda. Kalimat yang muncul di televisi itu adalah salah satu bentuk plesetan yang mudah dipahami. Artinya hanya berupa permainan kata-kata. Kalimat yang benar adalah Furansu wa ame ga furanai desu. Oranda dewa pengin ga oranai desu artinya : Di Perancis hujan tidak turun, di Belanda tidak ada pinguin. Bentuk plesetan dan permainan kata-kata yang lawas misalnya Niwa niwa niwatori ga niwa imasu. Kalimat ini mudah dimengerti jika ditulis dengan huruf-huruf kanji. Sepertinya hanya pengulangan kata niwa tetapi masing-masing memiliki arti dan fungsi yang berbeda. Niwa yang pertama artinya halaman, niwa yang kedua artinya di (kata depan penunjuk tempat), yang ketiga niwa+tori artinya ayam, dan niwa yang terakhir adalah dua ekor. Kata ga adalah partikel, dan imasu menyatakan keberadaan. Jadi lengkapnya berarti : Di halaman ada dua ekor ayam. Plesetan gaya Jepang ini rupanya terus berkembang dan selalu menarik untuk diikuti bagi penikmat bahasa, seperti juga dalam bahasa lain misalnya plesetan dalam bahasa Jawa. Lain lagi dengan istilah shiritori. Shiritori adalah permainan kata-kata yang sambung menyambung, dengan mengambil suku kata sebelumnya untuk menemukan kata yang lain. Shiri artinya pantat atau ekor, dan tori artinya mengambil Yang paling populer di kalangan anak-anak misalnya kobuta tanuki kitsune neko, adalah deretan nama-nama binatang untuk mengenalkan anak-anak kepada alam. Shiritori menjadi semacam permainan antara beberapa orang, jika ada waktu luang di sela-sela minum teh. Di sinilah saya teringat pada “shiritori “dalam bahasa Jawa yang sering saya ucapkan waktu sekolah di kampung. Esuk -esuk tuku lenga nyangking botol, konco (maksudnya kanca), kanca lawas tak jak dolan menyang kali, pelem, pelem mentah kecute ngungkuli jeruk, tuma, tuma kathok klelar-kleler nduwur rambut, jempol… (Maaf, sulit untuk menjelaskan maknanya dalam bahasa Indonesia). Bagi yang kurang memahaminya, cukup perhatikan bahwa satu suku kata pada setiap akhir anak kalimat merupakan awal dari anak kalimat berikutnya. Persis seperti shiritori, kan. Terlepas dari nuansa seronok dalam permainan ini, nampaknya bahasa apapun membutuhkan kreativitas untuk berkembang. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 55 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 2. Istri saya memakai chinchin Pada kali yang lain, saya terlibat dalam pertemuan persahabatan dengan beberapa kenalan baru, orang Jepang. Untuk memecah suasana beku, saya mengatakan pada mereka “Indonesia wa meishi ga NAS(H)I, sakana wa IKAN!” Mereka kaget, masak di Indonesia tidak ada nasi dan makan ikan tidak boleh. Mereka tahu bahwa sebagian besar orang Indonesia makan nasi. Mereka juga sedikit tahu bahwa orang tertentu tidak boleh makan daging binatang tertentu, yakni babi untuk orang Islam dan daging sapi buat orang Hindu. Tapi, kata-kata itu menjadi kejutan baru buat mereka. Anda yang tahu bahasa Jepang, tentu segera menangkap maksud kalimat itu. Arti harfiah kalimat di atas adalah “Di Indonesia tidak ada nasi, dan makan ikan tidak boleh. ” Padahal maksud saya, “Di Indonesia meishi (makanan utama) adalah nasi, dan sakana disebut ikan.” Catatan, ikan dalam slang bahasa Jepang adalah singkatan dari ikanai, artinya tidak boleh. Setelah saya jelaskan maknanya, barulah suasana cair dan pembicaraan lancar. Anda pengin mengadopsi cara ini? Silakan. Yang kedua ini, maaf agak porno. Sewaktu tinggal di Kyoto, seorang teman yang sering ke Indonesia bertanya, “Apa artinya chinchin dalam bahasa Indonesia?” Dengan lugu saya jawab, “Yubiwa (cincin).” Padahal, chinchin dalam bahasa Jepang berarti, maaf, alat kelamin (lelaki). Maka, kalau tidak berhati-hati berbicara bahasa Indonesia di Jepang, atau mencampur kedua bahasa itu dengan ceroboh, bisa membuat kemaluan, eh maksudnya bisa membuat malu. Coba Anda artikan (misalnya Anda menjadi orang Jepang), “Istri saya memakai chinchin milik saya.”……… Bahasa Jepang juga menarik perhatian karena, seperti bahasa kita, juga mengakomodir kata ulang. Contohnya adalah chouchou untuk kupu-kupu. Sebagian orang cukup menyebutnya dengan chou saja, dan kita juga ada yang menyebut kupu saja (terutama orang Jawa). Untuk bintang atau cahaya yang kelap-kelip, orang menyebutnya kira-kira. Untuk permukaan benda yang kasar, kresek-kresek, orang Jepang mengatakan kasa-kasa. Langkah-langkah gajah yang berjalan berat, gedebag-gedebug, mereka menyebutnya dozun-dozun. (Lihat tulisan Santi Stanislausia L, INOVASI Vol. 1/XVI/Agustus 2004, hal. 45-47). Dan masih banyak perbandingan menarik yang lain. 3. Carilah persamaan dan keunikan, bukan perbedaan dan keaneha n Mencari persamaan dan keunikan, itulah kata-kata yang harus dipegang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sebaliknya, jika setiap berkomunikasi dengan orang lain diawali dengan perasaan beda kelas, beda bangsa, beda agama, beda suku dan lain-lainnya, maka pasti pembicaraan akan mandeg alias buntu. Jadi apa persamaan Anda dengan Pak Suzuki? Sama-sama naik Honda, kan? Bahasa dengan dengan variasi tutur kata, umumnya hanya dikuasai oleh kelompok dengan latar belakang tertentu yang sejenis saja, meskipun `orang luar` bisa mendalaminya dengan belajar. Akan tetapi, dari kasus kecil tentang perbandingan bahasa Jepang dan Indonesia (dan Jawa) di atas, bisa dipahami bahwa terdapat persamaan dalam perkembangan cara bertutur menurut tujuan dan kepentingannya masing-masing, yang merupakan wujud dari cara menyiasati komunikasi yang jenuh dengan cara bertutur `tradisional`. Persamaan dan keunikan-keunikan seperti itu sebenarnya sangat banyak dijumpai, jika penutur mendalami ruh masing-masing bahasa, dan tentu sangat menarik sebagai sebuah ide untuk memecahkan kebekuan komunikasi antarbudaya. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 56 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 HUMANIORA Mengkaji Kembali Pengajaran Fisika di Sekolah Menengah (SMP dan SMA) di Indonesia Khairul Basar Staf Pengajar Departemen Fisika Intitut Teknologi Bandung Mahasiswa Program Doktor di Graduate School of Science and Engineering – Ibaraki University E-mail: khbasar@yahoo.com Jika ditanyakan kepada siswa sekolah menengah di Indonesia tentang pelajaran apa yang dianggap paling sulit, umumnya sebagian besar menjawab fisika. Jika pertanyaannya kemudian diteruskan mengapa fisika menjadi pelajaran yang dianggap paling sulit dipahami barangkali jawabannya adalah karena dalam pelajaran fisika sangat banyak hal abstrak yang harus dipahami, banyak rumus yang harus dihapal dan lain-lain. Umumnya siswa masih lebih mudah memahami matematika daripada fisika. Padahal bukankah matematika mempelajari hal yang juga tidak kalah abstraknya? Apakah pelajaran fisika memang selalu membahas hal yang abstrak dan apakah memang pelajaran fisika selalu mengutamakan penggunaan rumus-rumus? Hal inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini. 1. Fisika: ilmu sekitar kita tentang lingkungan Inilah yang seharusnya kita segarkan kembali dalam benak kita, bahwa ilmu fisika sebenarnya adalah ilmu yang mencoba menjelaskan tentang keadaan-keadaan yang kita temui sehari-hari. Misalnya gerak benda, bagaimana kita bisa melihat benda, sifat suatu benda dan lain-lain. Jadi justru seharusnya Fisika membahas hal-hal yang sangat konkrit dan nyata keberadaannya. Kesan yang timbul di sebagian besar anggapan siswa tidak bisa dipungkiri akibat telah bergesernya cara pengajaran fisika ke arah yang lebih bersifat abstrak. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor pengajar, fasilitas, kreatifitas serta sasaran yang ditetapkan dalam pengajaran fisika itu sendiri. digunakan, kemudian memberikan rumus -rumusnya lalu memberikan contoh soal. Akibatnya ilmu fisika terreduksi menjadi bacaan dan siswa hanya dapat membayangkan. Jika fenomena fisis yang sedang dibahas telah pernah dialami oleh siswa mungkin siswa akan dapat merekonstruksinya kembali menjadi pemahaman yang lebih baik. Tapi bagaimana jika tidak? Inilah yang menyebabkan materi yang ingin disampaikan tidak mengenai sasaran. Fasilitas juga sering dijadikan penyebab bergesernya paradigma pengajaran fisika. Harus kita sadari bahwa memang umumnya sarana eksperimen fisika (baca: laboratorium) hanya dijumpai di sekolah-sekolah yang mempunyai anggaran cukup besar atau paling tidak memadai. Ini artinya sebagian besar sekolah di kota-kota dan bahkan hampir seluruh sekolah daerah yang jauh dari kota besar akan kesulitan melengkapi kegiatan belajar mengajarnya dengan eksperimen yang mendukung penjelasan teori yang disampaikan di kelas. Jika tidak dilengkapi dengan pengamatan, pengajaran fisika tidak beranjak dari hal yang sifatnya hanya dibayangkan saja. Sasaran ujian masuk perguruan tinggi yang menyajikan soal-soal fisika yang cukup sulit juga mengkondisikan pengajar untuk memberikan banyak soal latihan kepada siswa selama proses belajar. Tampaknya pemberian soal latihan bukan lagi sebagai sarana untuk melengkapi pemahaman tapi lebih ke arah memperoleh jawaban secepat mungkin. Ketiga hal tersebut saling mempengaruhi proses pengajaran fisika di sekolah menengah dan pada akhirnya menjadikan fisika sebagai mata pelajaran yang “menakutkan”. Pengajar fisika di sekolah lebih sering membahas teori dari buku pegangan yang Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 57 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 2. Kembali ke esensi fisika: pengamatan Para ilmuwan jaman dulu, yang saling menyumbangkan kontribusinya untuk fondasi ilmu pengetahuan saat ini, selalu memulai dari pengamatan. Ya, dari mengamati sesuatu kemudian mencoba menduga-duga, lalu menguji dugaannya dan kemudian mengambil kesimpulan. Sebuah metoda yang kita kenal dengan metoda ilmiah. Dapatkah kita mengembalikan pengajaran fisika ke arah yang sebenarnya yaitu berawal dari mengamati lingkungan sekitar kita? Jawabannya: dapat. Kita bisa memulai dengan mengamati sekeliling kita, juga dengan memberikan peragaan sederhana yang nantinya dapat mendukung atau menjelaskan paparan teori yang telah ada di buku. Peragaan atau percobaan jangan dulu digunakan untuk membuktikan teori yang telah ada di buku, karena teori di buku telah banyak memasukkan anggapan-anggapan idealisasi. Peragaan dan percobaan lebih ditujukan untuk menumbuhkan sense siswa dalam menangkap fenomena fisis yang terjadi di sekitarnya. Artinya alat peraga tidaklah harus mahal dan seharusnya dapat dijumpai di manapun juga. Untuk dapat merancang dan melakukan hal seperti ini memang dibutuhkan kreatifitas dan prosesnya terkadang memakan waktu yang cukup lama. matematik suatu fenomena fisik adalah seperti halnya menceritakan sesuatu dengan bahasa yang lain. Jadi rumus matematik hanyalah bahasa untuk mengkomunikasikan ide kepada orang lain. Fisika bukanlah matematik, namun memang para ilmuwan fisika menggunakan symbol-simbol matematika sebagai bahasa yang universal untuk mengkomunikasikan ide dan menjelaskan suatu fenomena fisis. 4. Penutup Dengan melihat kedua hal tersebut kiranya perlu dilakukan suatu rekonstruksi kembali mengenai pengajaran fisika di sekolah menengah (SMP dan SMA) di Indonesia. Jika kedua hal tersebut di atas telah dapat didudukkan pada posisi yang sebenarnya penulis merasa yakin bahwa sedikit demi sedikit pelajaran fisika akan menjadi pelajaran yang ditunggu-tunggu dan digemari oleh siswa. Fisika bukan lagi menjadi momok karena sulit dan nilainya yang rendah. Lalu kita bisa berharap semakin banyak siswa yang tertarik mempelajari fisika khususnya dan ilmu pengetahuan lain umumnya. Dan mungkin mimpi kita agar kelak ilmuwan dari Indonesia dapat berperan di tingkat internasional dapat menjadi kenyataan. 3. Rumus: hanyalah bahasa Rumus, yang telah menjadi bahasa yang menakutkan, sebenarnya bukanlah esensi ilmu fisika itu sendiri. Rumusan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 58 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 KESEHATAN EPILEPSI, BAGAIMANA JALAN KELUARNYA? Muhamad Thohar Arifin, MD Dosen Anatomi dan Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang Sedang menempuh pendidikan Doktoral dan fellow di Bagian Bedah Saraf Universitas Hiroshima. Penyakit ayan atau epilepsi sudah sering kita dengar, kita tahu gejalanya, tapi ada informasi yang perlu kita kaji lebih lanjut..Tulisan berikut akan mencoba menelaah epilepsi dari mekanisme, tanda dan gejala, persepsi yang salah tentang epilepsi dan pengobatannya. Andaikata otak kita anggap sebagai pusat komputer yang secara elektronik mengendalikan seluruh aktivitas badan kita, serangan kejang pada epilepsi adalah wujud lepasnya muatan listrik secara bersamaan dan tidak terprogram dari sekumpulan sel-sel otak atau dari seluruh otak. Akibat lepasnya muatan listrik secara tidak terkontrol ini adalah kejang-kejang yang bisa dimulai dari lengan atau tungkai kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Bila kejang juga mengenai otot -otot pengunyah di sekitar mulut, kelenjar liur pun seperti diperah sehingga isinya keluar berupa buih/busa di mulut, yang kadang-kadang disertai darah akibat lidah yang tergigit. Anggapan bahwa epilepsi atau ayan dapat ditularkan melalui buih atau busa di mulut tersebut jauh dari kebenaran. Setelah seluruh sel otak melepaskan muatan listriknya, untuk sesaat sel-sel tersebut akan kehabisan energi dan mengalami kelelahan, yang wujudnya adalah penderita yang tak sadar, lelah, atau loyo untuk sementara. Secara medis, keadaan itu disebut paralise todd. Seseorang baru boleh dinyatakan sebagai pengidap epilepsi dengan segala konsekuensinya bila telah dibuktikan bahwa pada tubuh atau otak orang itu tidak ada penyebab kejang lain yang bisa dihilangkan/disembuhkan, misalnya tumor atau malformasi dari pembuluh darah, atau sisa darah di permukaan otak yang mengiritasi otak. Bentuk serangan epilepsi tidak selalu berupa gejala kejang-kejang. Pada anak-anak misalnya, lebih banyak berupa terdiam atau bengong sesaat, kemudian sadar lagi. Mulut yang tiba-tiba komat-kamit di luar kehendak, atau tangan/kaki yang bergerak-gerak sendiri pada pasien yang tetap sadar, atau seseorang yang tiba-tiba terjatuh dan tak sadar sesaat, juga merupakan bentuk serangan epilepsi. Ada kejang yang hanya melibatkan satu daerah saja di otak dan ada kejang yang melibatkan seluruh otak. Kejang parsial melibatkan sebagian kecil daerah di otak, yang bisa menyebar ke seluruh otak. Sedangkan kejang general melibatkan seluruh otak sejak di mulai aktifnya otak. Beberapa penderita merasakan adanya peringatan sebelum datangnya kejang (perut mual, sesuatu yang menjalar dari dalam tubuh, perasaan tidak enak dan lain-lain), peringatan itu di sebut dengan “aura”. Mengapa ada sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan listriknya? Keadaan ini disebabkan ada perubahan baik anatomis (struktur/bentuk) maupun biokimiawi pada sel-sel itu atau pada lingkungan di sekitarnya. Perubahan terjadi akibat trauma fisik/benturan/memar pada otak, berkurangnya aliran darah/zat asam akibat penyempitan pembuluh darah, pendesakan/rangsangan oleh tumor, dan yang terpenting (dan baru akhir-akhir ini diketahui) adalah proses sklerosis, yaitu jaringan otak yang mengalami "pengerasan'' akibat dari digantikannya sel-sel saraf/neuron oleh sel-sel penyokong/sel-sel glia/jaringan parut. Penderita dengan epilepsi takut bahwa sepanjang hidupnya akan menderita epilepsi. Mereka takut untuk mengemudi, takut untuk berenang, dan yang paling memalukan adalah mendapat serangan kejang di depan umum. Juga telah menjadi keyakinan bahwa kemungkinan mati mendadak pada penderita epilepsi cukup tinggi. Obat untuk mengontrol epilepsi memiliki efek penenang dan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 59 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 memiliki efek lain berupa melambatnya proses berfikir. Dan ibu hamil dengan terapi epilepsi memiliki kemungkinan untuk terjadinya kecatatan pada janinnya cukup tinggi. Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita terbebas dari serangan, khususnya serangan kejang, sedini/seawal mungkin. Penderita dengan epilepsi pilihan terapi pertamanya adalah dengan obat anti epilepsi (OAE), dan beberapa penderita dapat terkontrol kejangnya dengan obat. Namun, ada beberapa penderita yang tidak terkontrol dengan obat. Sebagian orang beranggapan bahwa epilepsi tidak harus menjadi penyakit sepanjang hidup. Ya, ternyata ada terapi untuk epilepsi selain dengan obat, yaitu dengan bedah epilepsi. Faktanya bahwa bedah epilepsi satu satunya pilihan untuk terapi epilepsi. Yang orang masih belum sadari, bahwa bedah epilepsi bisa mengobati epilepsi. Dan faktanya (meski di negara seperti Amerika) masih sangat sedikit penderita yang dikirim ke dokter bedah saraf dengan keahlian bedah epilepsi. Dari data yang saya peroleh dari kolega di Amerika, kira kira ada 100.000 penderita yang bisa di terapi dengan pembedahan, tapi kenyataanya hanya 1.500 pembedahan yang dilakukan pertahunnya. Kenapa? Karena kurangnya pengetahuan tentang bedah epilepsi dan seberapa efektifnya bedah epilepsi, dan takut terhadap risiko pembedahan. 1. Mitos dan fakta tentang bedah epilepsi Mitos pertama, bedah epilepsi tidak bisa mengontrol Epilepsi Faktanya bahwa efektif tidaknya bedah epilepsi tergantung dari penyebab epilepsi dan seleksi yang ketat terhadap calon yang akan menjalani pembedahan. Dari penelitian yang di publikasikan di New England Journal of Medicine meyakinkan bahwa pembedahan pada epilepsi yang pusatnya di lobus temporalis lebih efektif daripada terapi terus menerus dengan obat. Demikian pula dari hasil operasi yang telah kami lakukan di Rumah Sakit Dokter Karyadi Semarang. Dengan seleksi yang sangat hati hati dan dengan pemeriksaan yang teliti, 70-80% penderita dengan epilepsi yang pusatnya di lobus temporalis akan bebas kejang setelah operasi. Jika ternyata penyebab terjadinya kejang adalah pertumbuhan lapisan otak yang tidak pada tempatnya atau pembuluh darah yang abnormal, kemungkinan bebas kejangnya sampai 95%. Epilepsi karena proses perkembangan otak yang tidak normal, biasanya didapatkan pada anak anak, dan 40-60% dapat disembuhkan bedasarkan temuan daerah yang tidak normal dengan MRI. Meskipun tidak bebas kejang secara menyeluruh setelah operasi, tapi pembedahan tetap lebih baik dilakukan karena bisa mengurangi kejang ataupun mengurangi ketergantungan pada obat yang telalu banyak dan mahal. Kenapa bisa muncul mitos seperti di atas? Bedah epilepsi adalah sub spesialis di bedah saraf, dan tidak semua ahli bedah saraf dididik untuk mengerjakan operasi ini. Namun faktanya bahwa ada juga ahli bedah saraf dengan keahlian bedah epilepsi ini. Dan dalam memutuskan untuk melakukan pembedahan atau tidak, harus berdasarkan pemeriksaan yang kompleks, dan melibatkan banyak ahli lain untuk menginterprestasikan hasil pemeriksaan. Pemeriksaan pada bedah epilepsi membutuhkan pemeriksaan Video-EEG monitoring, Wada test, MRI dan neuropsycological test dan Single Photon Emission CT. Di Indonesia hanya Video-EEG monitoring yang belum tersedia. Video-EEG monitoring ini pada prinsipnya adalah merekam kinerja otak dalam waktu yang lama dan terus menerus dan dalam waktu yang sama di rekam dengan video apa yang terjadi pada pendeita. Tes ini untuk memastikan dari daerah mana kejang mulai terjangkitkan. Memang dengan pemeriksaan EEG konvensional selama 30 menit, bisa juga di deteksi dari daerah mana asal kejang. Namun dari penelitian yang kami lakukan terhadap hasil EEG pada penderita dengan epilepsi lobus temporalis, ditemukan bahwa EEG konvensional tidak cukup sensitif karena hasilnya berbeda dengan lokasi yang tidak normal pada hasil pemeriksaan dengan MRI. Meskipun Video-EEG ini penting dan belum tersedia di Indonesa, namun pada penderita yang sudah di konfirmasi dengan MRI dan di dapatkan daerah abnormal pada lobus temporalis, maka pembedahan tetap di anjurkan. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 60 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 Pemeriksaan yang lainnya sudah bisa di lakuan di Indonesia. Untuk interprestasi data hasil pemeriksaan itu di butuhkan tim epilepsi yang sudah biasa dengan kasus pembedahan, dan dilakukan di Epilepsi center (yang segera akan kami dirikan di Semarang). Mitos kedua, bedah epilepsi terlalu riskan Faktanya, bedah epilepsi adalah salah satu pembedahan yang aman daripada metoda bedah otak lainnya. Benar bahwa, semua bedah otak mempunyai risiko dan tidak boleh dikerjakan jika tidak di ketahui semua resikonya. Seperti pembedahan yang lainnya, kemungkinan untuk terjadinya infeksi, perdarahan, memang ada, tetapi cukup kecil kemungkinannya, kira-kira kurang dari 1%. Biasanya komplikasi itu bisa diatasi tanpa menyebabkan gangguan yang berarti. Dan kemungkinan untuk terjadi kelumpuhan pada tangan dan kaki cukup kecil. Dan semua itu tergantung dari temuan saat pemeriksaan dan pembedahan. Jika ternyata pusat kejangnya di dekat pusat bicara, ada kemungkinan gangguan bicara setelah operasi. Namun demikian, dokter ahli bedah epilepsi dapat melakukan tes untuk menghindari kemungkinan tersebut dan atas persetujuan penderita terhadap risiko yang akan terjadi, pembedahan pada daerah dekat pusat bicara pun bisa dengan aman dilakukan. Disamping itu ada teknik operasi lain untuk menghindari terjadinya gangguan pada pusat bicara tersebut dengan tindakan mapping daerah bicara dan prosedur selektif. Kenapa bisa muncul Mitos tersebut? Keahlian dan ketrampilan dokter bedah saraf telah berkembang sangat pesat dalam 50 tahun terakhir. Dokter bedah saraf sekarang melakukan pembedahan dengan mikroskop untuk melihat detail anatomi lebih akurat. Dan penggunaan alat-alat untuk operasi yang disebut dengan bedah mikro juga telah mengurangi trauma pada otak normal yang tidak ikut diambil saat operasi. Mitos ketiga, menunggu ada obat baru untuk terapi epilepsi. Jika penderita epilepsi sudah dua tahun mendapatkan terapi yang berbeda dan masih terjadi kejang, itu menunjukan bahwa obat tidak bekerja baik pada penderita tersebut. Ini termasuk epilepsi yang tidak responsif terhadap obat, seperti epilepsi lobus temporalis atau epilepsi yang berhubungan dengan gangguan pertumbuhan anak. Dan faktanya, bila telah dilakukan pengecekan kadar obat dalam darah ternyata telah mencapai ambang maksimum toleransi tubuh terhadap obat, maka biasanya penderita tersebut tidak mempan terhadap obat baru. Kita berharap terhadap kemajuan dalam terapi obat ini, namun faktanya bahwa obat-obat yang ada saat ini masih sama dengan obat obat yang digunakan sejak 50 tahun yang lalu. Alasan kenapa muncul mitos seperti itu, anggapan bahwa pada umumnya kemajuan teknologi akan memberi kontribusi terhadap terapi epilepsi. Benar anggapan tersebut, tapi terapi yang tidak memfokuskan pada eliminasi sumber penyakit, efektifitasnya akan jauh berbeda dengan terapi yang menghilangkan sumber penyakit. Banyak kasus epilepsi yang disebabkan karena abnormalitas area yang memprovokasi kejang. Sedangkan terapi obat pada epilepsi tidak memfokuskan pada daerah yang abnormal tersebut, melainkan menurunkan ambang fungsi neurologis di semua daerah di otak. Prinsipnya sama dengan kemoterapi pada terapi kanker, dimana efek obatnya menyerang seluruh tubuh meskipun tujuannya hanya untuk mengeliminasi kanker. Di sisi lain bedah epilepsi bertujuan untuk mengeliminasi daerah abnormal tersebut. Sehingga menjadi keyakinan bahwa operasi ini merupakan salah satu terapi epilepsi yang efektif adalah pembedahan Mitos ke empat, ada sebagian penderita epilepsi yang epilepsinya akan hilang setelah dewasa Ada sebagian epilepsi yang tidak akan hilang dengan pengobatan dan tetap saja dalam kondisi yang sama meski telah di evaluasi selama dua tahun, sehingga bisa dikatakan ini gagal terapi obat. Namun ada ahli yang beranggapan bahwa dengan kejang sekali setahun itu pun masih dikatakan gagal terapi obat. Memang ada tipe epilepsi yang akan hilang setelah periode tertentu. Jika penderita sudah pernah dilakukan MRI dan ternyata tidak ditemukan adanya abnormalitas di otaknya maka kemungkinan hilangnya epilepsi lebih Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 61 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 besar dibandingkan dengan yang mengalami abnormalitas di otaknya. Demikian pula pada penderita dengan tipe epilepsi kejang umum kemungkinan epilepsi hilang lebih besar dibandingkan dengan yang kejangnya tipe parsial. Epilepsi tipe parsial artinya bahwa dokter Anda bisa mendiagnosa lokasi dari sumber kejang tersebut di salah satu bagian otak. Dan itu bukan berita buruk bagi penderita epilepsi tipe parsial, karena epilepsi ini mempunya respon yang baik terhadap pembedahan. Dari penelitian yang telah dilakukan, bahwa hanya 8% penderita epilepsi lobus temporal (salah satu tipe epilepsi parsial) yang bebas obat setelah beberapa tahun diterapi dengan obat dibandingkan dengan 64% penderita lain dengan diagnosa yang sama tetapi menjalani pembedahan. Alasan kenapa timbul mitos tersebut, adanya pikiran yang kurang benar bahwa semua epilepsi akan hilang, karena ada kasus penderita epilepsi yang bebas epilepsi meski tanpa terapi yang memadai. Dokter Anda yang ahli epilepsi akan mengetahui, mana epilepsi yang akan terus berkembang dan memburuk serta epilepsi yang stabil tanpa proses perkembangan. Untuk membedakannya dibutuhkan pemeriksaan video-EEG monitoring, baik EEG di kulit kepala atau EEG yang di pasang di permukaan otak. Mitos ke lima, menunggu sampai beberapa tahun sebelum pembedahan, toh epilepsi tidak terlalu berbahaya bagi jiwa. Sambil berharap-harap bisa sembuh dengan cara pengobatan Faktanya bahwa semakin cepat pembedahan dilakukan maka hasil akan semakin baik. Dan ada hubungan yang erat antara efek negatif terhadap otak dan epilepsi yang kronik. Kejang akan menyebabkan sinyal elektrik yang tidak normal akan melintasi otak dan berefek terhadap sel saraf, sambungan antar sel dan zat-zat kimia otak. Prinsipnya semakin cepat dilakukan tindakan hasil akan semakin baik, kondisi ini dicapai jika pembedahan dilakukan pada anak anak. Sedang pada dewasa bukannya tidak bisa menyembuhkan epilepsi, tapi setelah menderita epilepsi selama 20-30 tahun ada gangguan-gangguan yang tidak bisa membaik. Epilepsinya sendiri dengan di hilangkannya focus abnormal-nya diharapkan akan berhenti. Gangguan fungsi luhur/kognisi mungkin tidak bisa membaik setelah operasi dilakukan pada epilepsi orang dewasa. Hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk segera mendapatkan pembedahan bahwa terapi obat untuk epilepsi cenderung mengurangi kemampuan untuk berpikir dan bekerja secara efektif. Kenapa gangguan kognisi ini tidak menjadi perhatian? Seperti diketahui bahwa epilepsi adalah penyakit yang menahun, sehingga penurunan kualitas hidup dan fungsi kognitif yang turun pelan-pelan tidak menjadi perhatian orang di sekelilingnnya. Epilepsi biasanya muncul pada usia sekolah, sehingga obat yang mempunyai efek penenang akan mengganggu performa di sekolah dan penyesuaian diri untuk taraf umurnya. Oleh karena itu, jika ditemui kasus epilepsi yang responsif terhadap pembedahan, semakin cepat dilakukan terapi semakin besar hasil yang didapat. Begitupun yang perlu juga dipahami, operasi ini tidak serta merta menggantikan OAE, sebab pada pasien-pasien refrakter (tidak berespon baik terhadap terapi) yang menjalani operasi, tetap memerlukan paling tidak satu jenis OAE untuk waktu yang cukup lama. Dan masih ada sebagian kecil penderita epilepsi yang sampai saat ini ilmu kedokteran belum dapat menemukan jalan keluar yang bisa mengatasinya. Rumah Sakit di Indonesia sudah banyak yang memiliki alat MRI cukup baik dengan kemampuan deteksi kelainan otak setara dengan alat MRI yang ada di Singapura dan Australia. Di Semarang, kerja sama yang baik antara para dokter spesialis saraf, spesialis bedah saraf, spesialis radiologi, dan berbagai rumah sakit, dan dengan bantuan penuh para pakar epilepsi Jepang, khususnya dari Universitas Hiroshima, hingga saat ini telah berhasil melakukan tindakan operasi pada 60 penyandang epilepsi yang bandel/sulit diobati dengan hasil baik. Mengingat jumlah penyandang epilepsi yang cukup banyak, dan sebagian belum terkelola secara baik, diperlukan kerja sama berlanjut antara para dokter umum di daerah/pedesaan yang berhadapan langsung dengan para penyandang epilepsi dan/atau Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 62 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 keluarganya dengan rumah sakit yang mengembangkan Pusat Layanan Epilepsi guna memberikan pelayanan paripurna/komprehensif bagi para penyandang epilepsi, mulai dari diagnosis (apakah benar suatu epilepsi, jenis epilepsi, hal-hal yang memicu kekambuhan, adakah faktor-faktor penyebab yang bisa dihilangkan dan sebagainya) pengelolaan dengan OAE (termasuk penilaian kadar OAE dalam darah, dan evaluasi neuropsikologi terhadap perkembangan kepribadian penyandang epilepsi), dan tindakan operatif bila diperlukan untuk mengatasi epilepsi yang intraktabel atau bandel. Mengingat mahalnya biaya untuk pengadaan berbagai sarana tersebut di atas, pusat pelayanan seperti ini tidak harus terkonsentrasi pada satu tempat atau satu rumah sakit, tetapi bisa berupa kerjasama yang saling menopang dari beberapa rumah sakit di satu wilayah. Selain itu, perlu sekali upaya pendidikan bagi masyarakat agar memahami epilepsi secara benar, dan tidak boleh lagi ada pandangan atau perlakuan yang salah terhadap penyandang epilepsi. Yang terpenting, pencegahan epilepsi ini harus dimulai secara dini, mulai dari perawatan ibu hamil muda, proses persalinan yang lancar dan aman, hingga memelihara kesehatan anak, terutama balita dari berbagai kelemahan/kerentanan yang bisa memudahkan terjadinya infeksi dan/atau cedera para otak. Peran serta masyarakat ini antara lain bisa dimulai melalui pembentukan perhimpunan orang tua penyandang epilepsi di berbagai daerah, yang di Yogyakarta sudah ada aktivitasnya. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 63 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 KESEHATAN Kontribusi Penting Menyelamatkan Persalinan Sehat dan Buku KIA Elsi Dwi Hapsari Afiliasi: Departement of Maternity Nursing, Faculty of Health Sciences, Kobe University School of Medicine E-mail: hapsari_erushi@yahoo.com 1. Pendahuluan Sampai saat ini, kematian ibu masih merupakan salah satu masalah prioritas di bidang kesehatan ibu dan anak di Indonesia. Setiap satu jam dua orang ibu di Indonesia meninggal saat melahirkan karena berbagai penyebab. Jika seorang ibu meninggal, maka anak-anak yang ditinggalkannya mempunyai kemungkinan tiga hingga sepuluh kali lebih besar untuk meninggal dalam waktu 2 tahun bila dibandingkan dengan mereka yang masih mempunyai kedua orang tua. Hal ini tentu hanya salah satu akibat yang sangat memprihatinkan. Pengalaman secara global menunjukkan bahwa kematian ibu dapat dicegah dan berbagai penelitian dan strategi untuk mengurangi kematian ibu telah dihasilkan. Strategi Menyelamatkan Persalinan Sehat (MPS) telah dimulai pada 2000 dengan bantuan negara donor sedangkan buku KIA telah diperkenalkan sejak tahun 1994 dengan bantuan Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA). Tulisan ini mencoba untuk mengulas secara singkat kontribusi penting MPS dan buku KIA bagi tim kesehatan sendiri dan pemerintah, di samping bagi masyarakat yang merupakan tujuan utama upaya ini. Diharapankan tulisan ini dapat memberikan setitik sumbang pikir baik bagi tim perawatan kesehatan maupun bagai pemerintah dalam penentuan kebijakan di bidang kesehatan dalam pemerintahan yang baru ini. 2. Strategi Sehat Menyelamatkan Persalinan Strategi Menyelamatkan Persalinan Sehat (Making Pregnancy Safer) adalah sebuah inisiatif yang dicanangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2000. Ini merupakan komitmen untuk mengurangi beban global akibat kematian, kesakitan, dan kecacatan yang tidak perlu terjadi, yang berhubungan dengan komplikasi kehamilan, persalinan, dan selama nifas. MPS mengharapkan agar ibu hamil, melahirkan dan dalam masa setelah persalinan (post natal) mempunyai akses terhadap tenaga kesehatan yang terlatih, yaitu profesi kesehatan yang terakreditasi - seperti bidan, dokter, atau perawat – yang telah menempuh pendidikan dan dilatih untuk menguasai ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan dalam mengelola kehamilan normal (tanpa komplikasi), persalinan dan periode segera setelah melahirkan dan dalam pengidentifikasian, pengelolaan dan rujukan atas komplikasi yang diderita oleh ibu dan anak. Pernyataan bersama antara WHO, ICM, dan FIGO (2004) menegaskan pentingnya peran tenaga kesehatan yang terlatih tersebut, yaitu bahwa tenaga kesehatan yang terlatih merupakan pusat keberlangsungan perawatan. Pada tingkat perawatan kesehatan primer, mereka akan bekerja dengan penyedia perawatan kesehatan yang lain, seperti dukun bayi dan pekerja sosial. Mereka juga harus mempunyai hubungan kerja yang kuat dengan pemberi perawatan kesehatan di tingkat sekunder dan tersier dalam sistem perawatan kesehatan. Strategi MPS meliputi tiga pesan kunci, yakni setiap persalinan harus ditolong tenaga medis, setiap komplikasi persalinan harus ditangani tenaga dekuat (dokter ahli) dan setiap wanita usia subur harus mempunyai akses pencegahan kehamilan dan penanganan komplikasi keguguran. Pada pelaksanaannya, strategi ini terbentur pada keterbatasan jumlah tenaga yang berkualitas dan berbagai kendala lainnya. Menyadari pentingnya peran ini, maka tenaga kesehatan di Indonesia perlu untuk segera mengaplikasikan langkah-langkah yang mendukung terwujudnya tenaga kesehatan yang berkualitas. Hal-hal dasar yang harus dilakukan adalah kemauan dan kemampuan untuk memberikan perawatan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 64 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 yang terbaik bagi pasien. Maraknya kasus dugaan malpraktek belakangan ini, khususnya di bidang perawatan ibu dan anak, menjadi peringatan dan sekaligus sebagai dorongan untuk lebih memperbaiki kualitas pelayanan. Melaksanakan tugas dengan berpegang pada janji profesi dan tekad untuk selalu meningkatkan kualitas diri perlu untuk selalu dipelihara. Kerja sama yang melibatkan segenap tim pelayanan kesehatan perlu dieratkan dengan kejelasan dalam wewenang dan fungsinya. Pemahaman terhadap keanekaragaman suku dan budaya di Indonesia juga harus dikuasai agar dapat memberikan pelayanan yang lintas budaya. Pemerintah harus mendukung upaya-upaya tersebut secara nyata dengan antara lain terus melibatkan organisasi-organisasi profesi dalam penentuan kebijakan di bidang kesehatan, memfasilitasi pelatihan dan penelitian yang dibutuhkan untuk peningkatan pelayanan di bidang perawatan ibu dan anak, dan mempertimbangkan masukan saran dari setiap organisasi profesi yang ada. 3. Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Apabila Strategi Menyelamatkan Persalinan Sehat saat ini lebih berfokus pada upaya ketersediaan tenaga kesehatan yang dapat dikatakan berkualitas, maka buku Kesehatan Ibu dan Anak lebih ke arah membantu masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan ibu dan anak, sehingga diharapkan dapat meningkatkan partisipasi mereka dalam mengontrol kesehatan ibu, selain sebagai buku catatan kesehatan ibu dan anak, alat monitor kesehatan oleh tenaga kesehatan dan alat komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien. Buku ini selalu disimpan dan dibawa oleh ibu kemanapun ia memeriksakan kesehatannya ataupun kesehatan anaknya. Di Jepang, buku KIA yang digunakan sejak tahun 1948 mampu menurunkan secara signifikan Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu(AKI). Buku ini dapat diperoleh secara gratis melalui kantor pemerintah di kota atau desa tempat ibu hamil tinggal setelah dia menginformasikan kehamilannya melalui surat keterangan dari dokter. Selama pemeriksaan antenatal, ibu hamil diharapkan selalu membawa buku KIA tersebut. Perawat atau bidan akan mendokumentasikan hasil pemeriksaan fisik ibu yang antara lain meliputi tekanan darah, berat badan, pemeriksaan air kemih (urine), tinggi fundus uteri, dan lingkar perut (abdomen). Setelah pemeriksaan lanjutan dan penjelasan dari dokter kebidanan, perawat atau bidan akan mendiskusikan beberapa topik penting yang berkaitan dengan kehamilan dengan ibu dan pasangannya. Informasi ini diberikan secara individual dan didukung dengan leaflet-leaflet yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit. Program kelas prenatal dan latihan-latihan selama hamil (maternity exercise) ditawarkan pada ibu hamil untuk diikuti. Di Indonesia, meskipun buku KIA belum diterapkan di seluruh propinsi namun sambutan yang diterima sangat positif. Menurut Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Prof Dr dr Azrul Azwar MPH, sampai dengan Agustus, 2003, buku ini telah digunakan di 140 kabupaten/kota di 24 provinsi, meskipun belum pada semua fasilitas kesehatan. Sementara itu, lebih dari 50.000 kader kesehatan dan 10.000 bidan telah dilatih mengenai buku KIA. Tak kurang dari lima juta buku KIA dicetak dan dibagikan. Sampai saat ini pelatihan terhadap tenaga kesehatan tentang buku KIA yang diselenggarakan oleh JICA masih terus berlangsung. Beberapa hal yang perlu menjadi agenda selanjutnya baik bagi pemerintah maupun tim kesehatan meliputi pelaksanaan di lingkup pelayanan dan di lingkup pendidikan. Di lingkup pelayanan, perluasan jangkauan pelatihan pada segenap tim kesehatan yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak diperlukan agar masing-masing profesi kesehatan mengetahui pentingnya peranan masing-masing dan turut berperan aktif. Ketersediaan buku KIA di setiap fasilitas kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit dengan kemudahan dalam akses untuk memperolehnya sangat diperlukan. Di lingkup pendidikan, sosialisasi tentang buku KIA perlu dilakukan sejak para calon pemberi pelayanan kesehatan menuntut ilmu, agar selama proses pendidikan mereka sudah memperoleh gambaran tentang tugas yang harus mereka lakukan dan dengan anggota tim kesehatan mana saja mereka akan bekerja sama. Diharapkan setelah lulus mereka sudah memahami dan dapat ikut Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 65 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 serta dalam proses ini sesuai dengan wewenang dan fungsinya masing-masing. 4. Kesimpulan Tidak ada intervensi tunggal yang mampu menyelesaikan masalah kematian ibu. Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi hal ini baik melalui penggunaan Buku KIA maupun Strategi Menyelamatkan Persalinan Sehat, meskipun dalam pelaksanaannya masih menemui beberapa kendala, perlu untuk didukung. Kesehatan ibu adalah hal yang vital bagi keberlangsungan hidup manusia dan hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memelihara dan meningkatkannya. 5. Daftar Pustaka [1] A joint statement by WHO, ICM, and FIGO. Making Pregnancy Safer: the critical role of the skilled attendant (05.11.04). Website URL http://www.who.int/reproductive -health/pu blications/2004/skilled_attendant.pdf [2] Buku KIA untuk Turunkan Kematian Ibu dan Bayi (05.11.04). Website URL http://www.kompas.com/kompas-cetak/0 308/08/iptek/481686.htm [3] Dua Ibu Melahirkan Meninggal Setiap Jam di Indonesia (05.11.04) Website URL http://situs.kesrepro.info/kia/mei/2004/kia 05.htm [4] Hapsari, E. D. MCH System in Japan: From the View Point of Indonesian Student. Dipresentasikan dalam Simposium “Maternal and Child Health in Indonesia”, Kobe, 11 September 2004. [5] Keselamatan Ibu: Keberhasilan dan Tantangan. Website URL http://www.path.org/files/Indonesian_16-s pecial.pdf [6] Mother’s & Children’s Health & Welfare Association, 2003, Maternal and Child Health Statistics of Japan. Tokyo, Toshihide Ei. [7] Turunkan AKI melalui pelayanan kebidanan (05.11.04). URL http://www.kompas.com/kompas-cetak/0 010/13/iptek/turu10.htm Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 66 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 KIAT Tafakkur Menjelang Mudik Dr. Hasanudin Dosen Universitas Tanjungpura Pontianak, Alumni Tohoku University E-mail: hasan@msre.kumamoto-u.ac.jp 1. Pengalaman hidup di Tokyo Ketika pertama kali menginjakkan kaki ke Tokyo, 7 tahun lalu, ada hal yang membuat saya terkesima. Tokyo memang megah dan modern. Kehidupan kota ini jelas menun-jukkan dukungan teknologi tinggi di belakangnya. Juga citra kesejahteraan yang begitu terasa. Tapi bukan itu yang membuat saya terkesima. Tampilan fisik Tokyo secara sekilas sebenarnya tak beda dengan Jakarta. Saya terkesima ketika hendak menye-berang sebuah jalan kecil. Dari suatu arah datang mobil dengan kecepatan sedang menuju tempat yang hendak saya sebrangi. Mengikuti kebiasaan di Indonesia, saya mendadak menghentikan langkah, karena berpikir bahwa mobil itu akan terus berjalan. Ternyata tidak. Pengemudinya menghentikan laju mobil, dan memberi isyarat pada saya untuk menyebrang jalan. Saat itu saya lantas teringat pada diskusi saya dengan seorang profesor sosiologi di Indonesia dulu. Kata profesor itu, budaya materi sangat mudah ditransfer, tapi sangat sulit melakukan hal yang sama pada budaya non-materi. Kita bisa dengan mudah meng-impor mobil-mobil, termasuk mobil mewah dari negara maju. Tapi etika berkendaraan yang dianut oleh negara-negara maju tidak secara otomatis terimpor bersama mobil tersebut. Kejadian itu membuat saya berpikir, bahwa tugas kita sebagai pelajar yang dikirim oleh negara ke negeri ini sangat berat. Kalau dituntut mentransfer teknologi, walau tidak bisa dibilang ringan, saya masih punya keyakinan bahwa kita bisa. Ini sudah dibuktikan oleh banyak pelajar kita yang belajar di luar negeri. Tapi kalau dituntut untuk mentransfer budaya seperti etika mengemudi tadi, saya ragu, apakah kita mampu. Menarik untuk diperhatikan bahwa kita mengenal bangsa Jepang sebagai bangsa yang sangat tinggi disiplinnya. Tapi sedikit yang memahami proses ke arah itu. Sebagian besar kita menganggap disiplin tinggi itu sebagai sesuatu yang sudah sejak dulu ada dan akan selalu ada. Inilah kesalahan berpikir kita yang mendasar. Kita selalu melihat hasil, tidak pernah melihat proses. Karenanya kita tidak pernah belajar dari proses itu. Saya kebetulan belajar menyetir di Jepang. Di situ saya tahu bahwa disiplin lalu lintas di Jepang tidak hadir secara otomatis sebagai warisan budaya, melainkan dibentuk melalui proses pendidikan yang terstruktur. Untuk bisa memperoleh SIM seseorang harus melalui dua tahap latihan mengemudi dengan total waktu 35 jam, ditambah 40 jam pendidikan teori di kelas. Di akhir pendidikan kita masih harus pula diuji dengan standar yang sangat ketat. Bandingkan ini dengan sekolah mengemudi yang ada di tanah air. 2. Saatnya mudik Setelah 7 tahun lebih tinggal di sini, menyelesaikan studi di jenjang master dan doktor, lalu dilanjutkan dengan program post-doctoral, kini saatnya bagi saya untuk pulang ke tanah air. Saat ini setidaknya ada tiga agenda penting yang sedang saya pikirkan. Pertama, agenda personal, yaitu bagaimana membuat periuk nasi tetap berasap. Bagi sebagian orang ini terkesan mengada-ada, namun bagi saya ini adalah kenyataan. Gaji yang kita terima sebagai PNS umumnya tidak cukup untuk sekedar menopang kebutuhan sehari-hari yang bukan kebutuhan mewah. Karenanya kita akan dituntut untuk berpikir bagaimana menutup kekurangan itu. Sambil berjuang untuk mengatasi persoalan pribadi tadi, kita akan dihadapkan pula dengan masalah di tempat kerja. Sebagai dosen, kaki saya harus berpijak pada dua wilayah, yaitu pendidikan dan penelitian. Dua wilayah ini, sebagaimana wilayah lainnya juga, sedang berada dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 67 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 situasi coreng moreng, penuh masalah. Bagi yang peduli, ini akan menghabiskan banyak tenaga dan pikiran untuk mencari penyelesaiannya. Di luar semua itu, kita masih pula dituntut untuk terjun ke tengah masyarakat. Dunia pendidikan (tinggi) kita sedang menghadapi banyak tantangan seperti turunnya dukungan dana dari pemerintah yang mengharuskan perguruan tinggi berjuang keras menggali sumber dana sendiri. Kita juga berhadapan dengan semrawutnya pembagian jalur pendidikan akademik dan profesional sehingga terjadi tumpang tindih di sana sini. Juga soal pengangguran sarjana yang sangat erat kaitannya dengan mutu lembaga pendidikan tinggi. Masyarakat kita, seperti kata para ahli, sedang mengalami krisis multidimensi. Sebagai orang yang telah diberi berkah berupa kesempatan menempuh pendidikan pada jenjang yang paling tinggi, kita tentu juga punya tanggung jawab moral untuk terlibat dalam proses penyembuhan krisis itu, terutama pada sisi krisis moral. Setidaknya kita punya tanggung jawab untuk tidak membuat kekacauan yang lebih besar sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang pintar pendahulu kita. 3. Apakah yang sebaiknya “dibawa” pulang? Ada banyak pelajaran moral yang telah kita petik dari orang Jepang selama kita berinteraksi dengan mereka. Sebagian tentu bisa kita bawa pulang, sementara sebagian yang lain mungkin perlu kita tinggalkan, karena belum tentu cocok dengan kondisi di tanah air. Idealnya, kita bisa “mencemari” masyarakat kita dengan pelajaran-pelajaran tadi, sebelum kita sendiri tercemar oleh krisis multidimensional tadi. Pada bidang penelitian kita akan berhadapan dengan masalah minimnya fasilitas, dana, serta perhatian pemerintah. Pada saat yang sama kita juga harus bertarung dengan diri kita sendiri, mengeluarkan kemampuan sendiri setelah sekian lama berada di bawah sapihan sensei. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 68 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 BUKU EKONOMI SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN Arif Satria Kagoshima University berkembangnya kompleksitas pembangunan ekonomi, semakin disadari bahwa ternyata pembangunan tersebut tidak cukup mengandalkan pendekatan ekonomi konvensional semata. Kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi di negara berkembang dan berbagai degradasi sumberdaya alam dan lingkungan tidak bisa semata-mata didekati dari kebijakan ekonomi fiscal dan moneter. Inilah kemudian yang memicu perkembangan bidang ekonomi sumberdaya alam yang belakangan ini semakin kompleks dan bervariasi meski tumpuan dasarnya sendiri telah dicanangkan sejak tahun 1800-an oleh L.C. Gray, H.Hoteling, dan lain-lain. Judul Buku : Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Penulis : Akhmad Fauzi, PhD Penerbit : Gramedia Tahun : 2004 Halaman : xix + 251 Alam Bagaimana sebenarnya mengelola sumberdaya alam yang memberikan kesejahteraan yang maksimum bagi masyarakat ? Mengapa eksternalitas menjadi masalah yang pervasive, serta bagaimana menanganinya ? Bagaimana pula menilai jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan yang tidak terpasarkan ? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan ? Bagaimana mengukurnya ? Itulah sejumlah pertanyaan yang sering muncul dalam pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan. Dan, buku berjudul Ekonomi Sumberdaya alam dan Lingkungan karya Akhmad Fauzi, PhD ini berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Penulis ini buku ini adalah Ketua Laboratorium Ekonomi Sumberdaya Perikanan di Dapartemen Sosial Ekonomi Perikanan Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Dijelaskan oleh Akhmad Fauzi bahwa ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan memang ilmu yang masih relatif baru dibanding dengan teori-teori ekonomi lainnya yang sudah mapan. Namun demikian dengan semakin Buku ini terdiri dari sepuluh bab, diawali dengan konsep-konsep dasar baik soal pengertian ekonomi sumberdaya alam, konsep barang public, konsep eksternalitas, konsep hak kepemilikan, serta fondasi ekonomi sumberdaya alam. Dilanjutkan dengan model ekonomi sumberdaya tidak terbarukan (non-renewable) dan terbarukan (renewable). Disini Akhmad Fauzi membagi analisis teori ekonomi sumberdaya alam terbarukan ke dalam tiga jenis sumberdaya, yakni sumberdaya perikanan, kehutanan, dan air. Setelah memaparkan teori ekonomi pencemaran dan valuasi non-pasar, buku ini ditutup dengan bab penting tentang ekonomi pembangunan berkelanjutan yang memuat prinsip-prinsip, indikator, dan masa depan peradigma keberlanjutan. Buku ini dirancang untuk memberikan pemahaman yang utuh mengenai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan, dan dilengkapi dengan pendekatan grafik dan matematis serta penjelasan terperinci untuk membantu pembaca memahaminya. Buku ini disertai pula contoh-contoh perhitungan ekonomi sumberdaya alam dengan program computer excel dan MAPLE sehingga memudahkan pembaca untuk memahami secara riil aspek-aspek teori yang dipaparkan. Buku ini penting bagi para dosen, mahasiswa, peneliti, maupun pengambil kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 69 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 TOKOH Wawancara dengan Agung Budiyono Fisikawan Muda Berbakat teknik elektro dan akhirnya kembali ke Fisika lagi, khususnya chaos-quantum chaos, pada saat program Master dan Doktor serta saat ini. Mungkin sudah suratan kembali ke asal, ke “cinta pertama”, hahaha…. Agung Budiyono, sebuah nama yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia di Jepang yang dikenal melalui puisi-puisi dan komentar-komentarnya pada mailing list PPI-Jepang. Dibalik puisi-puisi indahnya itu, ternyata beliau merupakan fisikawan muda yang menonjol, menyelesaikan Ph D pada usia yang relatif muda (27 tahun), aktif berpartisipasi pada konferensi-konferensi ilmiah dan menulis banyak artikel di Journal-Journal ilmiah. Di tengah kesibukan beliau yang padat, Inovasi akhirnya berkesempatan mewawancari beliau untuk kolom Tokoh edisi kali ini. Berikut petikan wawancara singkat dengan beliau. Selamat siang Mas Agung, terima kasih banyak atas kesediaannya menerima Inovasi. Terakhir ini kegiatannya sibuk sekali ya Mas? Seharusnya saya sibuk (apologi untuk sering main;-)). Kalau sehari-hari, walaupun tidak ada jam khusus, biasanya ke kampus setiap hari Senin-Jumat, rutinitas biasa. Menurut pandangan umum, Fisika merupakan mata pelajaran yang ditakuti pelajar, mengapa Anda justru memilih bidang Fisika ? Pada saat SMP, saya memang menyukai Fisika. Tetapi ketika memasuki SMA minat saya lebih ke pelajaran Matematika. Ketika kuliah jenjang Sarjana, saya justru memilih Fisika mungkin merupakan hal yang dihindari oleh kebanyakan orang, tapi bagi saya (dan juga banyak fisikawan lain) Fisika sebenarnya merupakan sebuah tempat pelarian yang menyenangkan dan lumayan sehat. Bagi saya membaca suatu teori fisika ato menjelaskan penomena fisis sama dengan halnya membaca sebuah novel atau menulis karya sastra, dimana kita bisa merasakan alur cerita yang logis lengkap pembukaan sampai dengan klimaksnya. Satu hal penting, Fisika itu indah (mungkin ini gara-gara apriori kita bahwa alam/objek fisis itu indah), kita berusaha menjelaskan fenomena dan menuangkannya dalam formulasi yang seindah-indahnya. Dengan kata lain, bagi saya fisika dan seni itu berhubungan. Bahkan banyak fisikawan juga seniman, minimal amatiran. Karena itu Anda gemar menulis puisi ya. Apakah ada pengaruhnya terhadap penelitian ? Saya mulai menulis puisi sejak SMA, biasa pengaruh cinta monyet. Awalnya menulis puisi cinta untuk teman sekelas. Selain puisi rayuan yang tidak manjur itu, waktu SMA saya juga pernah menulis puisi tentang lingkungan yang di muat di sebuah antologi terbitan majalah Trubus. Itu satu-satunya puisi yang pernah saya publis di media umum (tidak termasuk milist). Pada saat S1, saya berhenti menulis puisi, karena saya pikir puisi membuat orang cengeng. Tapi, kembali menulis puisi sejak program Master. Sekarang menurun lagi. Mungkin sudah nasib orang cengeng. Ternyata, di dunia yang serba ”dingin” ini, kecengengan yang ditawarkan puisi lumayan berguna seperti halnya fisika. Kita bisa berpura-pura bahwa ada dunia ideal di sana. Anda lulus PhD dalam usia yang sangat muda serta menghasilkan banyak tulisan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 70 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 yang dimuat kiatnya ? di Jurnal-jurnal. Apa Sebenarnya kalau dikatakan usia yang sangat muda, tidak juga ya. Mungkin karena sejak S1 saya di Jepang, sehingga kalau dibandingin teman-teman yang S1 di Indonesia saya relatif lebih muda. Untuk menulis paper, memang perlu ketekunan dan latihan. Untuk menjadi peneliti saya kira kita harus suka dan tahan merenung dan bermimpi. Pengalaman saya, yang paling berat dalam penelitian itu adalah saat mengformulasikan masalah. Terkadang dibutuhkan waktu sampai berbulan-bulan untuk itu. Di sini dibutuhkan ketahanan mental seorang peneliti, ketahanan untuk bergelisah, berbulan-bulan, yang terkadang menyiksa. Karena saat-saat itu, terkadang kita merasa seperti tidak melakukan apa-apa. Tetapi setelah masalahnya kita formulasikan, selanjutnya adalah masalah teknis yang rutin, yang kebanyakan sudah ada contohnya. Di sisi ini juga, bisa kita lihat kesamaan antara seorang peneliti dan seniman. Target yang penelitian? ingin dicapai dalam Seperti semua peneliti, impian saya adalah menghasilkan sesuatu hal/teori baru yang significan. Mengenai target, untuk saat ini saya lebih terfokus menulis paper sebanyak mungkin. Saya harapkan dari penelitian-penelitian kecil yang saya lakukan saat ini, ada minimal satu yang kelak bermanfaat. Setelah sekian lama di Jepang, ada rencana untuk kembali ke Indonesia? Setelah siap, saya berencana untuk kembali ke tanah air. Mungkin seperti kita ketahui semua, anggaran biaya penelitian yang diberikan pemerintah, khususnya ilmu dasar, sangat kecil. Jadi supaya tidak menjadi beban pemerintah, saat ini saya berusaha menjalin hubungan seluas mungkin dengan kolega-kolega di negara maju, sehingga jika kembali ke Indonesia saya bisa melakukan penelitian dengan kerja sama melalui jaringan internasional. Memang menyedihkan jika melihat perhatian pemerintah yang sangat kecil terhadap penelitian ilmu dasar. Padahal untuk jangka panjang, penelitian ilmu dasar penting sekali. Yah, mungkin karena negara kita masih merupakan negara berkembang yang disibukkan dengan masalah-masalah jangka pendek yang mendesak. Akhirnya, disisi akademis juga lebih terfokus pada hal-hal terapan, yang hasilnya bisa dirasakan dalam jangka pendek. Selain sibuk dengan penelitiannya, Anda juga tergabung dengan KMNU Nihon. Bisa diceritakan sedikit kegiatan organisasinya ? Benar. Sejak KMNU Nihon terbentuk, saya masuk ke bagian “Pokja Pendidikan dan Kebudayaan”. Sebenarnya pengen keluar, karena dilarang macam-macam oleh gus-gus itu. Kegiatan kami, selama ini mengadakan kajian-kajian ilmiah dengan scholar-scholar disini, termasuk orang-orang Jepang. Diharapkan selain terjadi sharing/transfer pengetahuan, juga menambah jaringan silaturahmi. Ada pesan untuk pelajar atau peneliti pembaca Inovasi? Bagaimana ya, mungkin rekan-rekan juga tahu dan mengalami sendiri suka dan duka belajar di Jepang yang akan jadi panjang dan terlalu personal kalo saya ceritakan. Satu hal sederhana yang mungkin ada di benak dan jadi modal selama ini bagi saya adalah tatapan wajah (foto) Ibu saya tersayang, yang seolah-olah mengatakan “Kalaupun gagal, pulang saja ke rumah”. Mungkin inilah yang membuat saya untuk betah bertahan sampai giri-giri. Saya tidak berani menyarankan hal yang sama pada teman-teman yang senasib di sini. Begitulah petikan singkat wawancara dengan Mas Agung Budiyono yang selalu tampil dengan gayanya yang sederhana dan low profile. Semoga peneliti-peneliti muda yang berprestasi seperti Mas Agung, bisa tetap konsisten dan kelak menjadi ujung tombak Bangsa Indonesia dalam mencapai kemajuan di dunia ilmiah.(Siti Jahroh) Biodata Nama Lengkap: Agung Budiyono/single Pendidikan: S1: Kyoto University (Mar ’96-Mar’99, tidak selesai), S2: Kyoto University Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 71 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 (Apr ’99-Mar ’01), S3: Osaka City University (Apr ’01- Sep’03) Afiliasi saat ini: Department of Basic Science, Graduate School of Arts and Sciences, the University of Tokyo. JSPS post doctoral fellow at the laboratory of nonlinear molecular science. http://mns2.c.u-tokyo.ac.jp/~agungby/index-e. htm Afiliasi di Indonesia: Belum ada Research saat ini: Main interest: Semiclassical physics of systems with chaotic classical limit (quantum chaology) More specifically: on the relation between the dynamic of an open chaotic quantum system with its macroscopic transport phenomena. Others: The general problem of quantum—classical correspondence in quantum mechanics, quantum information theory etc. Organisasi yang diikuti saat ini: KMNU Nihon, Pokja Pendidikan Kebudayaan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia dan 72 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 REDAKSI Guidelines Penulisan Naskah untuk Majalah INOVASI (font: Arial 12 points, bold) Nama penulis-1 (font: Arial 10.5 points, bold) Afiliasi penulis-1 (font: Arial 10 points) E-mail: email@address.com (font: Arial 10 points, italic) Nama penulis-2 (font: Arial 10.5 points, bold) Afiliasi penulis-2 (font: Arial 10 points) E-mail: email@address.com (font: Arial 10 points, italic) 1. INOVASI (font: Arial 10 points, bold) Majalah INOVASI (ISSN: 0917-8376) diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (http://www.ppi-jepang.org/) sebagai majalah ilmiah semi-populer berkala dan bersifat on-line untuk menyajikan tulisan-tulisan berbagai topik, seperti IPTEK, sosial-politik, ekonomi, pendidikan, dan topik humaniora lainnya. Majalah INOVASI berfungsi sebagai media untuk mengartikulasikan ide, pikiran, maupun hasil penelitian dalam rangka memperkaya wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan. b. Judul harus menggambarkan isi pokok secara ringkas dan jelas serta tidak melebihi 10 kata. c. Struktur naskah terdiri atas Pendahuluan, Uraian Isi (metode dan pembahasan), kesimpulan dan daftar pustaka. Judul bab tidak harus seperti struktur naskah tersebut, missal: I. Pendahuluan, II. Uraian… Akan tetapi dapat disesuaikan, misal: Perspektif pertanian 5 tahun masa reformasi (mewakili pendahuluan)… dst. d. Pendahuluan berisi latar belakang/masalah, hipotesis, pendekatan dan tujuan yang hendak dicapai. Berisi tentang ide-ide atau gagasan baru yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Ditulis dalam bahasa Indonesia dan tidak lebih dari 6000 karakter atau maksimal 4 halaman. e. Uraian isi terdiri dari judul bab yang disesuaikan dengan kebutuhan dan informasi yang tersedia. Apabila naskah ini menyampaikan hasil penelitian yang khas, judul bab dalam uraian isi dapat terdiri dari Bahan dan Metode serta Hasil dan Pembahasan. f. Sangat disarankan jika dalam uraian isi/pembahasan bersifat kuantitatif. Misal: A lebih besar 10% dari B, bukan A lebih besar dari B. g. Kesimpulan memuat secara singkat hasil yang telah diuraikan sebelumnya. Dapat dibuat dengan menggunakan penomoran atau dalam satu paragraph. 2.2. Artikel Non-populer 3. Format penulisan artikel Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan dan tidak akan dipublikasikan di media lainnya. Ukuran kertas: A4; Margin atas: 3 cm; margin kiri, kanan dan bawah: 2.5 cm; tulisan: 2 kolom; spasi: tunggal; jenis huruf: Arial; ukuran: 10 points. 2. Kategori artikel Majalah INOVASI menerima naskah baik yang bersifat ilmiah populer maupun ilmiah non-populer dengan kategori sebagai berikut: 2.1. Artikel Populer a. Maksimal 9000 karakter atau tidak lebih dari 6 halaman dan ditulis dalam bahasa Indonesia/Inggris. Judul, nama penulis, afilisasi penulis dan alamat email ditulis dalam 1 kolom (center). Judul ditulis dengan font Arial, 12 points, bold. Nama penulis ditulis dengan font Arial, 10.5 Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 73 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 points, bold. Afiliasi penulis ditulis dengan font Arial, 10 points. Alamat email ditulis dengan font Arial, 10 points, italic. 4. Penulisan gambar/ilustrasi Gambar/Ilustrasi diberi nomor dan judul singkat. Sumber kutipan dicantumkan dengan jelas (jika gambar/ilustrasi merupakan hasil kutipan). Judul diletakkan di bawah gambar/ilustrasi dan ditulis dengan font Arial 9 points, center. GAMBAR Gb.1. Judul gambar/ilustrasi 7. Daftar Pustaka Daftar pustaka setiap sumber harus dirujuk dan disusun berdasarkan abjad nama pengarang dan tahun terbit. Sebagai contoh: [1] Nasution, A.H., A.K. Makarim, dan I. Las, 2004, Paradigma Pertanian Nasional, IAJ vol. XI, No. 5, 345-355. [2] Rasmusson, E.M., and J.M. Wallace, 1983, Meteorological aspects of the El Nino/Southern Oscillation, Science, 222, 1195-1203. [3] Yu, L., dan M. Reinecker, 1998, Evidence of an extratropical atmospheric influence during the onset of the 1997-98 El Nino, Geophys. Res. Lett., 25(18), 3537-3540. 5. Penulisan tabel Judul table diletakkan di atas table dan ditulis dengan font Arial 9 points, center. Tabel.1. Judul table Frekuensi (kHz) 76.8 104.6 205.1 Standard Deviasi (cm/s) N=10 N=12 6.723 4.751 3.375 2.112 2.418 1.869 6. Pengiriman naskah Naskah dapat dikirim melalui pos dalam bentuk soft-copy (floppy disk atau CD) ke alamat redaksi sebagai berikut: Redaksi INOVASI online C/p Candra Dermawan 5-301 Nishi Guchi, 1-96 Takashi-cho, Toyohashi-shi Aichi-ken 440-0845 Azakitahara, Atau dapat dikirim secara elektronik dalam bentuk attachment file MS Word ke alamat redaksi INOVASI online sebagai berikut: redaksi@io.ppi-jepang.org Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 74 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 REDAKSI Susunan Redaksi Majalah INOVASI Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Candra Dermawan Arif Satria Ketua Umum PPI Jepang Presiden Power Media Communication Mahasiswa Program Doktor Department of Electronic Information Engineering, Multimedia Communication Laboratory, Toyohashi University of Technology Dosen Departemen Sosial Ekonomi Perikanan FPIK IPB Mahasiswa Program Doktor Bidang Marine Policy Kagoshima University Redaktur Hery Mochtady Haris Syahbuddin Pegawai PT Pindad (Persero) Mahasiswa Graduate School of Natural Science and Technology, Kanazawa University Peneliti pada Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Mahasiswa Program Doktor pada Kobe University Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 75 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 Tonang Dwi Ardyanto Fadli Syamsudin Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Mahasiswa Program Doktor Pathology Department, Tottori University School of Medicine Peneliti pada Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P3-TISDA), BPPT. Mahasiswa pada Graduate School of Engineering, Hiroshima University Iskhaq Iskandar Sidik Permana Dosen Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Sriwijaya, Palembang. Mahasiswa Program Doktor Dept. of Earth and Planetary Science, Graduate School of Science, The University of Tokyo Mahasiswa Program Master pada Tokyo Institute of Technology Andhi Marjono Mahasiswa Master di University of Electro-Communications, Tokyo Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 76 INOVASI Vol.2/XVI/November 2004 Tim Produksi Tristanto Prabowo Mahasiswa Program Master pada Gunma University Siti Jahroh Hastari Eka Anandhita Mahasiswi pada Department of International Bio-Business Studies, Graduate School of Agriculture, Tokyo University of Agriculture Mahasiswi pada Tokyo Institute of Technology Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 77