Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

TRAUMA KEPALA

Trauma kepala meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. Trauma kepala paling sering terjadi dan merupakan penyakit neurologis yang serius diantara penyakit neurlogis lainnya serta mempunyai proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Lebih dari setengah dari semua pasien dengan trauma kepala berat mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya shock hipovolemik pada pasien trauma kepala biasanya karena adanya cedera bagian tubuh lainnya.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Trauma kepala meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. Trauma kepala paling sering terjadi dan merupakan penyakit neurologis yang serius diantara penyakit neurlogis lainnya serta mempunyai proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Lebih dari setengah dari semua pasien dengan trauma kepala berat mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya shock hipovolemik pada pasien trauma kepala biasanya karena adanya cedera bagian tubuh lainnya. Sekitar 10% pasien dengan penurunan kesadaran yang dikirim ke Instalasi Gawat Darurat akibat kecelakaan lalu lintas selalu menderita cedera servikal, baik cedera pada tulang servikal, jaringan penunjang, maupun cedera pada cervical spine. Trauma servikal sering terjadi pada pasien dengan riwayat kecelakaan kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi, trauma pada wajah dan kepala, terdapat defisit neurologis, nyeri pada leher, dan trauma multiple (Grundy, 2002; Weishaupt N., 2010). Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian (PERDOSSI, 2006). Spinal cord injury( SCI) adalah trauma yang menyebabkan kerusakan pada spinal cord sehingga menyebabkan menurunnya atau menghilangnya fungsi motorik maupun sensoris. Di Amerika sekitar 8000 kasus spinal cord injury (SCI) didiagnosis setiap tahunnya, dan lebih dari 80 % adalah laki – laki berusia sekitar 16 sampai 30 tahun. Trauma ini disebabkan oleh kecelakaan lalulintas 36 %, karena kekerasan 28,9 %, dan jatuh dari ketinggian 21,2 %, jumlah paraplegi lebih banyak dari pada tetraplegi dan sekitar 450.000 penduduk di Amerika hidup dengan SCI (The National Spinal Cord Injury, 2001). Kemungkinan untuk bertahan dan sembuh pada kasus SCI, tergantung pada lokasi serta derajat kerusakan akibat trauma, dan juga kecepatan mendapat perawatan medis setelah trauma.Pada kasus trauma yang berat, kesembuhan tergantung pada luasnya derajat kerusakan, prognosis akan semakin baik bila pasien mampu melakukan gerakan yang disadari atau dapat merasakan sensasi dalam waktu yang singkat. Rumusan Masalah Permasalahan yang kami angkat dalam makalah ini adalah bagaimana asuhan keperawatan pada trauma kepala dan trauma tulang belakang. Tujuan Penulisan Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut : Tujuan umum : Untuk mengetahui gambaran konsep asuhan keperawatan trauma kepala dan trauma tulang belakang. Tujuan khusus : Untuk mengetahui dan memahami tentang trauma kepala dantrauma tulang belakang, proses penyakit dan penatalaksanaan yang diberikan. Untuk mengetahui memahami mengenai asuhan keperawatan trauma kepala dan trauma tulang belakang. Mampu menerapkan proses asuhan keperawatan pada kasus dengan trauma tulang belakang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Konsep Trauma Kepala Pengertian Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan (accelerasi) dan perlambatan (decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Doenges, 1989). Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001) Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan interstisial dalam substansi otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin, 2008) Gambar 1.1 : trauma tulang kepala Klasifikasi Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG): Minor SKG 13 – 15 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma. Sedang SKG 9 – 12 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak. Berat SKG 3 – 8 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial. Etiologi Menurut Tarwoto (2007), penyebab dari Cedera Kepala adalah : Kecelakaan lalu lintas. Terjatuh Pukulan atau trauma tumpul pada kepala. Olah raga Benturan langsung pada kepala. Kecelakaan industri. Patofisiologis Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. Manifestasi Klinis Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih Kebungungan Iritabel Pucat Mual dan muntah Pusing kepala Terdapat hematoma Kecemasan Sukar untuk dibangunkan Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal. Pathway Trauma kepala Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial Komplikasi Komplikasi lain secara traumatic : Infeksi sitemik (pneumonia, ISK, sepsis) Infeksi bedah neurologi (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses otak) Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi sendi) Komplikasi lain: Hemorrhagie Infeksi Edema Herniasi Kegagalan nafas Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT) Rotgen Foto CT Scan MRI Penatalaksanaan Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut: Observasi 24 jam Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu. Berikan terapi intravena bila ada indikasi. Anak diistirahatkan atau tirah baring. Profilaksis diberikan bila ada indikasi. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi. Pemberian obat-obat analgetik. Pembedahan bila ada indikasi. Konsep Trauma Tulang Belakang Pengertian Cedera medula spinalis (CMS) atau spinal cord injury (SCI ) ditandai dengan adanya tetralegia atau paraplegia, parsial atau komplit, dan tingkatan atau level tergantung area terjadinya lesi atau CMS. Tetraplegia atau quadriplegia adalah kehilangan fungsi sensorik dan motorik di segmen servikal medulla spinalis. Sedangkan paraplegia adalah gangguan fungsi sensorik dan motorik di segmen thorakal, lumbal dan sakrum ( Kirshblum & Benevento, 2009). Cedera Medula Spinalis adalah cedera yang mengenai Medula Spinalis baik itu bagian servikalis, torakalis, lumbal maupun sakral akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. (Arif Muttaqin,2008). Tulang belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdiri dari 33 tulang, antara lain: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrale merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000). Gambar 1.2 : trauma tulang belakang. Etiologi Cedera tulang belakang terjadi sebagai akibat : Jatuh dari ketinggian, misal pohon kelapa, kecelakaan ditempat kerja. Kecelakaan lalu lintas Kecelakaan olah raga Cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi tulang belakang. Didaerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung oleh struktur torak. Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan kerusakan sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan. Kelainan sekunder pada sumsum tulang belakang dapat disebabkan oleh hipoksemia dan iskemia. Iskemia disebabkan hipotensi, udem, atau kompresi. Perlu disadari bahwa kerusakan pada sumsum tulang belakang merupakan kerusakan yang permanent karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Manifestasi Klinis Gambaran klinik bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi. Kerusakan melintang manifestasinya : hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan di sertai syok spinal. Syok spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang dari pusat. Ditandai dengan : Kelumpuhan flasid Arefleksi Hilangnya prespirasi Gangguan fungsi rectum dan kandung kemih Priapismus Patofisiologi Cedera medula spinalis kebanyakan terjadi sebagai akibat cedera pada vertebra. Medula spinalis yang mengalami cedera biasanya berhubungan dengan akselerasi, deselerasi, atau kelainan yang diakibatkan oleh berbagai tekanan yang mengenai tulang belakang. Tekanan cedera pada medula spinalis mengalami kompresi, tertarik, atau merobek jaringan. Lokasi cedera umumnya mengenai C1 dan C,, C4, C6, dan Til atau L,. Mekanisme terjadinya cedera medula spinalis dapat dilihat pada Figur 3-3. Fleksi-rotasi, dislokasi, dislokasi fraktur, umurnnya mengenai servikal pada C5 dan C6. Jika mengenai spina torakolumbar, terjadi pada T12—L1. Fraktur lumbal adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang belakang bagian bawah. Bentuk cedera ini mengenai ligamen, fraktur vertebra, kerusakan pernbuluh darah, dan mengakibatkan iskemia pada medula spinalis. Hiperekstensi. Jenis cedera ini umumnya mengenai klien dengan usia dewasa yang memiliki perubahan degeneratif vertebra, usia muda yang mendapat kecelakaan lalu lintas saat mengendarai kendaraan, dan usia muda yang mengalami cedera leher saat menyelam. Jenis cedera ini menyebabkan medula spinalis bertentangan dengan ligamentum flava dan mengakibatkan kontusio kolom dan dislokasi vertebrata. Transeksi lengkap dari medula spinalis dapat mengikuti cedera hiperekstensi. Lesi lengkap dari medula spinalis mengakibatkan kehilangan pergerakan volunter menurun pada daerah lesi dan kehilangan fungsi refleks pada isolasi bagian medula spinalis. Kompresi. Cedera kompresi sering disebabkan karena jatuh atau melompat dari ketinggian, dengan posisi kaki atau bokong (duduk). Tekanan mengakibatkan fraktur vertebra dan menekan medula spinalis. Diskus dan fragmen tulang dapat masuk ke medula spinalis. Lumbal dan toraks vertebra umumnya akan mengalami cedera serta menyebabkan edema dan perdarahan. Edema pada medula spinalis mengakibatkan kehilangan fungsi sensasi. Pathway Komplikasi Neurogenik shock Hipoksia Gangguan paru-paru Instabilitas spinal Orthostatic hipotensi Ileus paralitik Infeksi saluran kemih Kontraktur Dekubitus Inkontinensia bladder Konstipasi (Fransisca B.Batticaca: 2008) Pemeriksaan Penunjang Sinar X spinal : untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang belakang (fraktur atau dislokasi) CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi Penatalaksanaan Medis Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada, memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atas cedera lain yang menyertai, mencegah, serta mengobati komplikasi dan kerusakan neural lebih lanjut. Terapi steroid, nomidipin, atau dopamin untuk perbaiki aliran darah koral spiral. Dosis tertinggi metil prednisolon/bolus adalah 30 mg/kgBB diikuti 5,4 mg/kgBB/jam untuk 23 jam berikutnya. BAB III ASUHAN KEPERAWATAN Asuhan Keperawatan Trauma Kepala Pengkajian Identitas Identitas klien : meliputi nama, tanggal lahir, alamat, pendidikan, pekerjaan, umur, suku/bangsa. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian. Riwayat Penyakit Sebelumnya : Apakah pasien pernah menderita, Stroke, Infeksi Otak, DM, Diare/muntah, Tumor Otak, Trauma kepala. Pemeriksaan fisik Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK Sistem saraf : Kesadaran  GCS. Fungsi saraf kranial  trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial. Fungsi sensori-motor  adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang. Sistem pencernaan Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar  tanyakan pola makan? Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik  hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot. Pemeriksaan 6B : Breathing Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas. Blood Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia). Brain Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi : Perubahan status mental, Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia. Blader Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi. Bowel Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi. Bone Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot. Diagnosa Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah: Nyeri berhubungan dengan trauma kepala. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial. Intervensi Keperawatan DX Tujuan Intervensi Rasional 1 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 X 24 jam klien mampu mengontrol nyeri kriteria hasil : 1)    Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol 2)    Mengikuti program pengobatan yang diberikan 1. Atur posisi nyaman dan latih nafas dalam 2. Latih teknik relaksasi dan distraksi 3. Observasi status nyeri (skala, lokasi,dan waktu) 4. Berikan terapi obat analgetik sesuai order dokter 5. Berikan penkes mengenai proses perjalanan nyeri 1. Posisi nyaman dan nafas dalam dapat membantu mengurangi rasa nyeri 2. Teknik relaksasi dan distraksi dapat digunakan untuk mengalihka perhatian terhadap nyeri 3. Mengetahui perkembangan klien dan sebagai bahan evaluasi keefektifan intervensi yang diberikan 4. Analgetik dapat mengurangi atau bahkan mengurangi nyeri 5.Menambah pengetahuan klien 2 Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun Tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Bila akan memiringkan , harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan). Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver. Ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang emosional. Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai program. Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat meningkatkan edema serebral. Monitor intake dan out put. 1.Bedrestbertujuan mengurangi kerja tisik, beban kerja jantung; mengatasi keadaan high output, yang disebabkan oleh tiroksin, anemia, beri-beri, dan lainnya. 2. memberikan rasa nyaman dan mencegah ketegangan. 3. Membantu drainase vena untuk mengurangi konges serebrovaskular. 4. Mencegah resiko ketidakseimbangan cairan 3 Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan tempat tidur bersih, tubuh anak bersih tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu. Bantu dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB,membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan. Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi. Perawatan kateter bila terpasang. Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB. Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan. 1. Memandikan klien merupakan, salah satu cara memperkecil infeksi nosokomial. 2. Membersihkan mulut dan gigi klien, perawat dapatmenemukan berbagai kelainan seperti adanya gigi palsu, karies gigi, krusta, gusi berdarah, bau aseton sebagai ciri khas penderita DM, serta adanya tumor. 3. Kolonisasi bakteri pada kulit segera dimulai setelah lahir, walaupun mikroorganisme tersebut tidak patogen 4 1. Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cairan atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab 2. Integritas kulit baik 3. Nilai elektrolit dalam batas normal. Kaji intake dan out put. Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine. Berikan cairan intra vena sesuai program. Kaji intake dan out put. 1. Kebiasaan makan klien akan memengaruhi keadaan nutrisinya. 2. Makanan yang telah disediakan disesuaikan dengan kebutuhan klien. 3. Pemberian makanan pada klien disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi dan diagnosis penyakit. 5 Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas Jalan nafas bersih Pernafasan dalam batas normal. KajiAirway, Breathing, Circulasi. Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra. Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan lendir. Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas. Pemberian oksigen sesuai program. 1. Hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi/atelektasis atau pneumonia (komplikasi yang sering terjadi). 2. Menggambarkan akan terjadinya gagal napas yang memerlukan evaluasi dan intervensi medis dengan segera. 3.Berikan oksigen dengan cara yang tepat seperti dengan kanul oksigen, masker,intubasi Evaluasi Setelah mendapatkan intervensi keperawatan, maka pasien dengan trauma tulang belakang diharapkan sebagai berikut : Rasa nyeri berkurang Pasien mampu beraktifitas kembali secara bertahap. Tidak ada dekubitus Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cairan atau dehidrasi Jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas Asuhan Keperawatan Trauma Tulang Belakang Pengkajian Identitas klien : meliputi nama, tanggal lahir, alamat, pendidikan, pekerjaan, umur, suku/bangsa. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian. Riwayat Penyakit Sebelumnya Apakah pasien pernah menderita :Stroke, Infeksi Otak, DM, Diare/muntah, Tumor Otak, Trauma kepala. Pemeriksaan Fisik Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK Sistem saraf : Kesadaran  GCS. Fungsi saraf kranial  trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial. Fungsi sensori-motor  adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang. Sistem pencernaan Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar  tanyakan pola makan? Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan. Retensi urine, konstipasi, inkontinensia. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik  hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan  disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis. Psikososial  data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga. Pola Aktivitas Aktivitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, hipotensi, bradikardia, ekstremitas dingin atau pucat Eliminasi : inkontinensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltic usus hilang Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut, cemas, gelisah dan menarik diri Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltic usus hilang Pola kebersihan diri : sangat tergantung dalam melakukan ADL Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid, hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil, ptosis Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat di atas daerah trauma, dan mengalami deformitas pada darah trauma Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis Keamanan : suhu yang naik turun. Diagnosis Keperawatan Nyeri akut b/d cedera psikis, alat traksi Resiko Tinggi pola napas tidak efektif b/d kerusakan persarafan dari diagfragma, kehilangan komplit atau campuran dari fungsi otot interkostal. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskuler ditandai dengan ketidakmampuan untuk bergerak sesuai keinginan, paralisis,atropi. Resiko tinggi trauma b/d kelemahan temporer/ketidakstabilan kolumna spinalis. Ketidakefektifanperfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan peningkatan intracranial. Rencana Keperawatan DX INTERVENSI Tujuan Tindakan Rasional 1 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 X 24 jam klien mampu mengontrol nyeri kriteria hasil : 1)    Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol 2)    Mengikuti program pengobatan yang diberikan 3)    Menunjukan penggunaan teknik relaksasi 1.Atur posisi nyaman dan latih nafas dalam 2. Latih teknik relaksasi dan distraksi 3. Observasi status nyeri (skala, lokasi,dan waktu) 4. Berikan terapi obat analgetik sesuai order dokter 5. Berikan penkes mengenai proses perjalanan nyeri 1. Posisi nyaman dan nafas dalam dapat membantu mengurangi rasa nyeri 2. Teknik relaksasi dan distraksi dapat digunakan untuk mengalihka perhatian terhadap nyeri 3. Mengetahui perkembangan klien dan sebagai bahan evaluasi keefektifan intervensi yang diberikan 4. Analgetik dapat mengurangi atau bahkan mengurangi nyeri 5. Menambah pengetahuan klien 2 Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas Jalan nafas bersih Pernafasan dalam batas normal. Kaji Airway, Breathing, Circulasi. Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra. Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan lendir. Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas. Pemberian oksigen sesuai program. 1. Hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi/atelektasis atau pneumonia (komplikasi yang sering terjadi). 2. Menggambarkan akan terjadinya gagal napas yang memerlukan evaluasi dan intervensi medis dengan segera. 3.Berikan oksigen dengan cara yang tepat seperti dengan kanul oksigen, masker,intubasi 4.Metode yang akan dipilih tergantung dari lokasi trauma, keadaan insufisiensi pernapasan, dan banyaknya fungsi otot pernapasan yang sembuh setelah fase syok spinal. 3 Mempertahankan kesejajaran yang tepat dari spinal tanpa cedera medulla spinalis lanjut Pertahankan tirah baring dan alat-alat imobilisasi seperti traksi, halo brace, kolar leher, bantal pasir dll. Tinggikan bagian atas dari kerangka traksi atau tempat tidur jika diperlukan. Ganti posisi, gunakan alat Bantu untuk miring dan menahanseperti alat pemutar, selimut terrgulung, bantal dsb. Siapkan pasien untuk tindakan operasi, seperti laminektomi spinal atau fusi spinal jika diperlukan. Menjaga kestabilan dari kolumna vertebra dan membantu proses penyembuhan. Membuat keseimbangan untuk mempertahankan posisi pasien dan tarikan traksi. Mempertahankan posisis kolumna spinalis yang tepat sehingga dapat mengurangi resiko trauma. Operasi mungkin dibutuhkan pada kompresi spinal atau adanya pemindahan fragmen – framen tulang yang fraktur 4 Selamaperawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi sampai cedera diatasi dengan pembedahan. Kriteria hasil : tidak ada kontrakstur, kekuatanototmeningkat. 1. Kaji secara teratur fungsi motorik. 2. Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan. 3. Lakukan log rolling. : 4. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki. 5. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling. 6. Inspeksi kulit setiap hari. 7. Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam. Berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan spastisitas. Gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan integritas kulit. Mengetahui adanya hipotensi ortostatik Mencegah footdrop Membantu rom secara pasif 5 Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien tidak terjadi gangguan integrits kulit selama perawatan Kriteria hasil : Tidak ada dekubitus Kulit kering Inspeksi seluruh lapisan kulit Lakukan perubahan posisi sesuai indikasi Bersihkan dan keringkan kulit Jaga alas tidur agar tetap kering Berikan terapi kinetic sesuai kebutuhan Mengetahui adanya tanda-tanda infeksi dan perbaikan luka Mencegah terjadinya dekubitus Membantu agar kuit tetap kering Mengurangi terjadinya dekubitus pada kulit Evaluasi Setelah mendapatkan intervensi keperawatan, maka pasien dengan trauma tulang belakang diharapkan sebagai berikut : Rasa nyeri berkurang Pasien mampu beraktifitas kembali secara bertahap. Intake dan output seimbang dan nafas normal PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal, meliputi spinal collumna maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang, jaringan lunak, dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga, dan sebagainya yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis menyarankan beberapa hal diantaranya : Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada klien dengan trauma kepala dan trauma tulang belakang Mahasiswa dapat mengaplikasikan teori yang ada dalam paraktik keperawatan pada pasien dengan trauma kepala dan trauma tulang belakang. Mahasiswa diharapkan dapat melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan trauma kepala dan trauma tulang belakang dengan baik DAFTAR PUSTAKA Batticaca, F. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika Brunner & Suddarth, 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 vol 3. Jakarta : EGC Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. alih bahasa : I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Edisi : 3. Jakarta : EGC. PAGE \* MERGEFORMAT 13