Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
M. ZAINAL ABIDIN DOSEN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN IAIN ANTASARI BANJARMASIN TAFSIR FILSAFAT ATAS KEHIDUPAN RISALAH SEPUTAR FILSAFAT DAN ISU-ISU AKTUAL KEISLAMAN i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BAB I FILSAFAT MULLA SADRA DAN KONTEKSTUALISASINYA BAGI KEHIDUPAN MODERN A. Pendahuluan B. Sketsa Biografi dan Karya Intelektual C. Konstruksi Epistemologis dan Ontologis D. Dimensi Spiritual-Intelektual & Kontekstualisasi Pemikiran E. Penutup BAB II FILSAFAT KANT DAN KONTEKSTUALISASINYA BAGI PEMBANGUNAN NILAI-NILAI MORALITAS A. Pendahuluan B. Kant dan Teori Pengetahuan C. Deontologi dan Imperatif Kategoris D. Postulat Rasio Praktis E. Penutup BAB III FILSAFAT MARX: ANALISA HISTORIS ATAS KONFLIK KELAS DALAM SEJARAH MANUSIA A. Pendahuluan B. Potret Diri dan Karya-karya Marx C. Materialisme Dialektik dan Materialisme Historis D. Ekonomi dan Konflik Kelas E. Melampaui Pemikiran Marx F. Penutup ii BAB IV HERMENEUTIKA FENOMENOLOGIS RICOEUR: JALAN TENGAH ANTARA SUBJEKTIVISME DAN OBJEKTIVISME A. Pendahuluan B. Sketsa Biografi Intelektual Ricoeur C. Hermeneutika teks: Interpretasi Atas Simbol dan Teks D. Bahasa Sebagai Basis Fenomenologi Ricoeur E. Penutup BAB V PEMIKIRAN KRISTEN BARAT: ANTARA REFORMASI DAN KONTRA REFORMASI A. Pendahuluan B. Dominasi Gereja dalam Peradaban Barat C. Reformasi dan Kontra Reformasi D. Maturasi Gereja Katolik Roma F. Penutup BAB VI AGAMA DAN MULTIKULTURALISME: APRESIASI ISLAM TERHADAP TRADISI LOKAL A. Pendahuluan B. Sekitar Gagasan Multikulturalisme C. Islam dan Tradisi Lokal D. Menata Relasi Islam dan Tradisi Lokal E. Penutup BAB VII CIVIL SOCIETY DALAM WAJAH KEISLAMAN DAN KEINDONESIAAN A. Pendahuluan B. Mengurai Civil Society C. Civil Society + Islam = Masyarakat Madani D. Masyarakat Madani dalam Konteks Indonesia E. Penutup iii BAB VIII EPISTEMOLOGI ISLAM KONTEKSTUAL: TELAAH ATAS KONDISI IPTEK ISLAM MASA KINI A. Pendahuluan B. Epistemologi Islam dan Cara Berpikir Umat C. Epistemologi Islam Kontekstual D. Penutup BAB IX KEBANGKITAN ISLAM & UPAYA PENCARIAN JATI DIRI A. Pendahuluan B. Fenomena Kebangkitan Islam C. Kebangkitan Islam & Jati Diri D. Catatan Atas Kebangkitan Islam E. Penutup BAB X REVOLUSI IRAN & KEBANGKITAN KEMBALI DUNIA ISLAM A. Pendahuluan B. Kerangka Teoritis C. Fase-fase Menyongsong Revolusi Iran D. Di Balik Revolusi Iran E. Penutup BAB XI RADIKALISME POLITIK: ISLAM DAN TERORISME A. Pendahuluan B. Dinamika Kekerasan dalam Sejarah Islam C. Barat dan Radikalisme Islam D. Islam Radikal dan Solusi terhadapnya E. Penutup iv BAB XII MENGEMBANGKAN TEOLOGI ISLAM HUMANIS A. Pendahuluan B. Sekitar Relijiusitas Umat Islam C. Teologi Humanis sebagai Teologi Alternatif D. Penutup DAFTAR PUSTAKA v KATA PENGANTAR Puji syukur terhaturkan ke haribaan ilahi rabbi bahwa pada akhirnya buku ini dapat dinikmati oleh khalayak pembaca setelah sekian lama hanya tersembunyi dalam bentuk file-file, jauh dari hingar bingar ramainya diskursus keilmuan dan keislaman. Sebuah buku yang hadir di tengah publik pada prinsipnya memiliki misi yang sangat mulia. Ia merupakan pengusung peradaban yang tanpanya sejarah menjadi sunyi, keilmuan dan teknologi menjadi mandeg, serta seni dan budaya menjadi bisu, pada hal pada posisi inilah pusat eksistensi manusia, yang membuatnya diunggulkan daripada segala makhluk yang ada di alam ini dan disujudi oleh para makhluk langit. Berangkat dari semangat untuk ikut berpartisipasi dalam gemerlapnya diskursus keilmuan dan keislaman, maka buku ini ditampilkan ke hadirat pembaca, dengan judul yang cukup wah, yakni tafsir filsafat atas kehidupan: risalah pemikiran filsafat dan keislaman. Buku ini sendiri merupakan kumpulan dari sebagian tulisan yang penulis susun dan presentasikan dalam forum kuliah di S-2 dan S-3 di IAIN Sunan Kalijaga dan forum kajian di Pusat Studi Islam-UII sekitar tahun 2002-2005. Ada beragam tema yang disajikan dalam buku ini, yang masing-masingnya hadir dengan semangat dan nuansanya sendiri-sendiri, pembacalah yang kemudian merekonstruksi pesan yang tersembunyi dalam tulisan-tulisan tersebut. Sebagai tulisan pembuka akan dikemukakan konstruksi filsafat Mulla Sadra, seorang filosof muslim terbesar setelah generasi Ibnu Rusyd dan kontribusinya bagi kehidupan modern. Berikutnya, ditampilkan filsafat Immanuel Kant, seorang filosof Barat yang terkemuka, yang gagasangagasannya mengenai nilai-nilai moralitas, patut untuk diapresiasi. Selanjutnya, akan ditampilkan sosok Karl Marx, yang analisanya tentang konflik kelas tetap menarik dan menjadi perhatian banyak orang. Filsafat Paul Ricoeur menjadi sajian berikutnya, yang mana gagasan hermenutika fenomenologisnya dianggap telah memenuhi kebuntuan yang terjadi antara hermeneutika aliran subjektivisme Gadamer dan kubu objektivisme Dilthey. Bahasan berikutnya mengenai dinamika pemikiran kristen Barat, yang merupakan perdebatan antara kubu reformasi dan kontra reformasi, suatu wacana yang mempengaruhi arah jalan peradaban Barat secara umum, dan dunia Kristen secara khusus. Setelah membincangkan tentang beberapa tokoh filosof dan pemikiran-pemikirannya, pembahasan berlanjut pada isu-isu aktual dunia vi keislaman. Pertama, akan dikemukakan persoalan hubungan agama dengan multikulturalisme, yang dalam hal ini menyoroti apresiasi islam terhadap tradisi lokal. Selanjutnya, ada isu civil society yang dipotret dari perspektif keislaman dan keindonesiaan. Pembahasan berlanjut pada telaah atas epistemologi islam, dengan mengambil potret realitas iptek umat islam masa kini. Persoalan kebangkitan Islam menjadi tema berikutnya yang dibahas dalam dua tulisan, yaitu: kebangkitan islam dan upaya pencarian jati diri serta revolusi iran & kebangkitan kembali dunia islam. Satu isu yang juga hangat dibicarakan, yaitu mengenai terorisme akan dikupas dalam judul radikalisme politik: Islam dan terorisme. Terakhir, tulisan akan ditutup dengan bahasan mengenai gagasan teologi islam humanis. Penulis menyadari bahwa gagasan-gagasan yang dikemukakan dalam tulisan-tulisan pada buku ini, masih jauh dari sempurna dan mungkin akan mengalami perubahan seiring dengan pergeseran sang waktu. Sapaan kritis dari pembaca akan sangat bermakna bagi penerbitan buku yang sejenis di masa yang akan datang. Sebagai akhir dari pengantar ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung sehingga buku ini dapat diterbitkan. Penghargaan yang besar buat teman-teman santri pondok pesantren UII, yang telah menjadi teman seiring dalam menimba ilmu-ilmu keislaman, buat konco-konco mahasiswa S-2 dan S-3 Filsafat Islam, yang menjadi partner diskusi yang kritis pada sebagian dari tulisan pada buku ini, buat cah-cah aktivis PSI-UII yang menjadi rival diskusi yang hangat dan bersemangat dalam pengkajian keislaman. Secara khusus, ucapan terima kasih dihaturkan kepada orang tua penulis, ayahnda Arfiansyah dan mama Hamdanah serta semua semua keluarga besar penulis. Isteri penulis, Yulia Hafizah, yang sangat sabar dalam membimbing buah cinta kita, Nasywa Azkiya yang lagi lucu-lucu dan manisnya. Terakhir, ucapan terima kasih kepada penerbit Pondok Pesantren UII, wa bil khusus Kyai Muhammad Roy yang memfasilitasi penerbitan buku ini. Wassalam Babadan, 03 Agustus 2007 Penulis Ttd M. Zainal Abidin vii viii BAB I FILSAFAT MULLA SADRA DAN KONTEKSTUALISASINYA BAGI KEHIDUPAN MODERN A. Pendahuluan Apabila kita mencermati buku-buku tentang sejarah Islam, ada semacam kesan yang seringkali ditampilkan oleh para pengkaji Islam – baik Muslim maupun non Muslim -, bahwa masa keemasan pemikiran Islam (the golden age of Islamic thought) hanya berlangsung selama tiga abad, mulai dari al Farabi (257-339 H/870-950 M) sampai Ibn Rusyd (520-595 H/1126-1198). Sedangkan abad-abad sesudahnya, sampai terjadinya serbuan Mongol, dunia Islam mengalami kemandegan dan hanya sanggup menghasilkan komentatorkomentator, tanpa cetusan-cetusan kreativitas dan orisinalitas sebuah karya.1 Kematian Ibnu Rusyd, seolah dianggap menjadi simbol lonceng kematian kejayaan pemikiran Islam dan menandai kesunyian hingar bingarnya tradisi besar filsafat Islam. Padahal, sebagaimana diungkap satu pengkaji filsafat Islam terkemuka Henry Corbin2, adalah sangat keliru untuk menyimpulkan bahwa tradisi permenungan di kalangan filosof Muslim ini berakhir dengan kematian Ibnu Rusyd. Nun, di belahan timur Islam, terutama di Iran (Persia), Averroisme (Ibnu Rusyd) memang telah menghilang tanpa jejak, namun kritik al Ghazali atas filsafat tidak pernah dianggap berhasil mengakhiri tradisi yang dikembangkan oleh Avicenna (Ibnu Sina) ini. Hampir senada dengan pernyataan Corbin, satu pengkaji Islam yang lain, Toshihiko Izutzsu, alih-alih mengatakan filsafat Islam berakhir pada abad ke-12 dengan kematian Ibnu Rusyd, bahkan dengan gamblangnya menyebut bahwa sejak kematian Ibnu Rusyd itulah filsafat Islam bermula.3 Di antara sejumlah pemikir yang sangat menonjol dan menempati posisi terkemuka di kalangan Islam Syi’ah, yaitu Sad al Din al Syirazi (979/80-1050 H/1571/72-1640 M), yang lebih populer dan lebih dikenal dengan sebutan Mulla Sadra. Di kalangan pengikut serta murid-muridnya diberi gelar kehormatan sebagai Sadr al Muta’âllihîn, juga disebut Akhund, Mulla, dalam Lihat Toshihiko Izuztsu, 1977, “The fundamental Structure of Sabzawari’s Metaphisics”, dalam Toshihiko Izuztsu dan Mahdi Mohagheh (eds), The Metaphysics of Sabzavari, New York: Caravan Books, hal. 2-3 2 Lihat Henry Corbin, 1993, History of Islamic Phillosophy, London: Kegan Paul international in Association with Islamic Publications for the Institute of Ismaili Studies. 3 Lihat David C. Dakake, “Faith and Perception in Mulla Sadra’s Doctrine of the Sirat: Proofs of Islamicity”, artikel dalam situs www.mullasadra.org. diakses tanggal 10 April 2003 1 1 bahasa Persia.4 Nilai penting Sadra sebagaimana dinyatakan Rahman,5 tidak hanya dalam kenyataan bahwa dia mengkaji seluruh warisan pemikiran Islam dan menggabungkan semua arus pemikiran pentingnya, tetapi pada kenyataan bahwa dia menghasilkan suatu sintesis tulen dari semua arus itu. Sintesis ini dihasilkan tidak semata-mata oleh rekonsiliasi dan kompromi dangkal, tetapi atas dasar suatu prinsip filosofis. Satu hal lain yang menarik dari Mulla Sadra, yaitu apresiasinya yang tinggi terhadap unsur spiritualitas yang dipadukan dengan intelektualisme yang tinggi dalam mazhab filsafat yang dikembangkannya. Kombinasi kedua dimensi ini menurut Sadra merupakan media mutlak dalam mendapatkan pengetahuan yang tertinggi (al Hikmah al Muta’âliyah). B. Sketsa Biografi dan Karya Intelektual Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al Qawami al Syirazi, yang bergelar “Sadr al Din” dan lebih populer dengan sebutan Mulla Sadra atau Sadr al Muta’âlihîn, dan di kalangan murid-murid serta pengikutnya disebut “Akhund”. Mulla Sadra dilahirkan di Syiraz sekitar tahun 979-80 H/1571-72 M dalam sebuah keluarga yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga Qawam. Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya al Qawami al Syirazi, salah seorang yang berilmu dan saleh, dan dikatakan pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi Fars. Secara sosial politik, ia memiliki kekuasaan yang istimewa di kota asalnya.6 Setamat madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah di Syiraz, Sadra muda melanjutkan pelajaran di Isfahan, yang pada waktu itu merupakan pusat pengkajian Islam penting di Iran. Di kota ini ia diasuh guru-guru terbaik pada masa itu. Pendidikan keagamaannya (al ulum al naqliyyah) diperoleh dari Baha’ al Din al ‘Amili (953-1031 H/1546-1622 M), seorang teolog, sufi, ahli hukum, ahli matematika, arsitek, filosof, astronom, dan penyair. Selama periode yang sama, Sadra juga mempelajari ilmu-ilmu intelektual (al ulum al ‘aqliyyah) di bawah bimbingan salah seorang filosof, teolog, mistikus, dan penyair Muslim terkemuka, yaitu Sayyid Muhammad Baqir Astrabadi, atau lebih dikenal Mir Damad (950-1041 H/1543-1631 M).7 4 Lihat Sayyed Hossein Nasr, “Sadr al Din Shirazi (Mulla Sadra)”, dalam M.M. Sharif (ed), 1966, A History of Muslim Philosophy, vol. II, Wiesbaden: O. Harrassowtz, hal. 932 5 Lihat Fazlur Rahman, 1975, The Philosophy of Mulla Sadra, Albany: State University of New York Press. 6 Sayyed Hossein Nasr, op.cit., hal. 932; lihat juga Hossein Ziai, “Mulla Sadra: His Life and Works”, dalam Sayyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, 1996, History of Islamic Philosophy, part I London and New York: Routledge, hal. 635 7 Mulla Sadra memandang Mir Damad sebagai Khatam al Hukama (penutup ahli hikmah) dan Guru Ketiga Filsafat setelah Aristoteles dan al Farabi. Sebutan ini didasarkan atas karya Mir Damad yang masyhur, yakni Qabasat dan al Ufuq al Mubin (Ufuk Terakhir yang Tampak). Lihat 2 Seusai menamatkan pendidikan resminya Mulla Sadra menjauhi masyarakat ramai dan menjalani kehidupan asketik dan pensucian diri di Kahak. Selama periode ini, pengetahuan yang pernah diperolehnya mengalami kristalisasi yang semakin utuh, dan kreativitasnya menemukan tempat penyaluran. Baginya, pelatihan spiritual merupakan persyaratan mutlak untuk memperoleh rahasia-rahasia ketuhanan dan mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang ilmu ketuhanan.8 Setelah sekian lama tenggelam dalam kehidupan asketisme, atas permintaan Syah Abbas II (1642-1772 M), Mulla Sadra kembali pada kehidupan sosial. Dalam periode ini ia aktif mengajar di Syiraz, dan menulis sebagian besar karya-karyanya. Kepribadian dan ilmunya yang sedemikian rupa telah menarik perhatian banyak murid, baik yang datang dari dekat maupun yang jauh, dan kembali menjadikan Syiraz sebagai pusat pengajaran yang penting.9 Selama jangka waktu sampai 30 tahun, yang diisi dengan mengajar dan menulis, Sadra melaksanakan ibadah haji ke Mekkah sebanyak tujuh kali dengan berjalan kaki. Intensitas kesalehannya tidak saja terus meningkat, tetapi menjadi semakin tercerahkan melalui visi spiritual yang dihasilkan oleh praktek-praktek spiritual selama bertahun-tahun. Sekembalinya dari perjalanan ke Mekkah untuk yang ketujuh kalinya, dia menderita sakit di Basrah dan meninggal dunia di sana pada tahun 1054 H/1640 M.10 Seluruh tulisan Mulla Sadra mempunyai nilai yang tinggi, baik secara intelektual maupun kesusasteraan. Seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab yang jelas dan lancar, kecuali Reale Se Asl, yang ditulis dalam bahasa Persia. Karya-karyanya berkisar dari yang bersifat monumental sampai pada risalahrisalah kecil, yang terdiri dari beberapa halaman saja. Karena kepentingannya yang begitu besar, hampir seluruh karyanya yang berjumlah sekitar 50-an telah dicetak dalam edisi-edisi lithograf di Iran sekitar lebih dari seabad yang lalu. Selama beberapa dekade terakhir, sebagian karyanya diterbitkan kembali dan edisi-edisi baru, sebagian yang lainnya masih disunting secara kritis, untuk menjadikan kandungannya lebih mudah dipahami. Beberapa karya utama Mulla Sadra yang bisa dikemukakan di sini, yaitu: (1) Al Hikmah al Muta’âliyah fi al Asfar al ‘Aqliyyah al Arba’ah. Ini merupakan karya terpenting dan terbesar dari Mulla Sadra, induk dari seluruh karyanya yang lain, dan bisa dikatakan sebagai puncak dari seluruh karya filosofis yang pernah ada. Di dalamnya tercakup hampir Abdul Hadi W.M., 2002, “Filsafat Pasca Ibnu Rusyd”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, hal. 229 8 Lihat Sayyed Hossein Nasr, op.cit., hal. 34-35 9 Ibid., hal. 37 10 Ibid., hal. 38 3 (2) (3) (4) (5) seluruh persoalan yang pernah dibahas oleh aliran-aliran pemikiran keislaman yang terdahulu, baik kalam, filsafat, maupun tasawuf. Al Mabda’ wa al Ma’âd. Salah satu di antara karya penting Mulla Sadra yang berkenaan dengan metafisika, kosmologi, dan eskatologi. Al Syawâhid al Rubûbiyyah fi al Manâhij al Sulûkiyyah. Ini merupakan salah satu karya besar yang bisa dianggap sebagai versi ringkas dari al Hikmah al Muta’âliyah, karena mengandung seluruh aspek penting dari doktrin-doktrinnya. Di dalam buku ini dibahas doktrin gnostik dan filosofis, tetapi tanpa merujuk pada pandangan-pandangan para pendahulunya. Mafâtih al Ghaib. Salah satu karya yang memuat doktrin-doktrin ‘irfani tentang metafisika, kosmologi, dan eskatologi, serta banyak berisi rujukan terhadap al Qur’an dan hadis. Karya ini ditulis sebagai pendahuluan terhadap karyanya yang lain di bidang tafsir. Kitâb al Masyâ’ir. Salah satu karya yang paling banyak dikaji oleh para hakim Persia. Mengandung sinopsis dari pandangan ontologisnya, karena terkumpul di dalamnya fondasi filosofisnya yang fundamental, sebagaimana tersebar dalam tulisannya yang lain.11 C. Konstruksi Epistemologis dan Ontologis Mulla Sadra adalah sosok intelektual yang memiliki kemampuan cemerlang untuk membangun mazhab baru filsafat dengan semangat mempertemukan berbagai aliran pemikiran yang berkembang di kalangan muslim, yakni tradisi Aristotelian cum Neoplatonis yang diwakili figur al Farabi (872-950 M) dan Ibn Sina (980-1037), filsafat Iluminasi Suhrawardi (1155-1191 M), pemikiran mistikal dan ‘irfani Ibn ‘Arabi, serta tradisi klasik kalam (teologi dialektis) yang pada saat itu memasuki tahap filosofisnya melalui figur Nashir al Din al Thusi (w. 1273 M).12Hasil sintetis dari berbagai mazhab ini lazim disebut dengan al Hikmah al Muta’âliyah. Al Hikmah al Muta’âliyah sebagai puncak sintetis banyak tradisi keilmuan Islam dibangun Sadra dengan berbekal pada kemampuan metode dialektika dan logika yang jenius. Sadra nampaknya telah berhasil menciptakan suatu harmoni yang indah dan sempurna antara kutub-kutub rasionalisme dan spiritual mistisisme. Melalui pengawinan rasional dengan wahyu, Sadra diyakini mencapai apa yang oleh Nasr disebut sebagai 11 Penjelasan lebih lanjut tentang karya Mulla Sadra ini, lihat Syaifan Nur, 2002, Filsafat Wujud Mulla Sadra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 57-73; lihat juga Hossein Ziai, op.cit., hal. 640-641; lihat juga Abdul Hadi W.M., op.cit., hal. 229-230; 12 Lihat Haidar Bagir, “Suatu Pengantar kepada Filsafat Islam Pasca Ibn Rusyd”, pengantar edisi Indonesia buku karya Murthada Muthahhari, 2002, Pengantar Pemikiran Shadra: Filsafat Hikmah, Bandung: Mizan, hal. 13 4 coicidentia oppositarum (dua kutub yang bertentangan tapi berjalan seiring), mencakup kekuatan logika dan keutamaan terbukanya spiritual.13 Hikmah Muta’âliyah sebagai metode sintetis secara epistemologis didasarkan atas jalinan tiga prinsip penalaran secara bersamaan. Pertama, intuisi atau iluminasi (kasyf, dzauq, isyraq).14 Kedua, penalaran dan pembuktian rasional (‘aql, istidlal).15 Ketiga, agama dan wahyu (syara’, wahy). Melalui kombinasi pengetahuan yang diperoleh dari ketiga sumber inilah tercipta pemikiran sintetis Sadra. Selaras dengan asumsi di atas, dalam teori pengetahuannya, Sadra menetapkan tiga jalan utama mencapai kebenaran atau pengetahuan: jalan wahyu, jalan ta’aqqul (inteleksi) atau al burhân (pembuktian), serta jalan musyâhadah dan mukâsyafah, yaitu jalan penyaksian kalbu dan penyingkapan mata hati, yang dicapai melalui penyucian diri dan penyucian kalbu. Dengan menggunakan istilah lain, Sadra menyebut jalan tersebut sebagai jalan al Qur’an, jalan burhân, dan jalan al ‘irfân (makrifat).16 Wujud dari metode sintetis yang ditawarkan Sadra hanya bisa dilihat secara lebih akurat melalui karya-karyanya. Menurut Nasr, seluruh karya filsafat Sadra penuh dengan muatan-muatan ayat-ayat al Qur’an yang dimaksudkannya sebagai pendukung terhadap analisis logikanya. Sebaliknya, seluruh karya tulis keagamaannya, khususnya tafsir al Qur’an penuh dengan analisis penafsiran gnostik dan logika.17 Al Hikmah Al Muta’âliyah sebagai nama dari pemikiran filosofis Mulla Sadra di samping secara epistemologis menggunakan sintesis kreatif atas berbagai mazhab yang berkembang sebelumnya, secara ontologis juga mengantarkan pada gagasan cemerlang pada filsafat wujud Sadra. Filsafat wujud Sadra ini didasarkan pada beberapa prinsip kunci, yaitu: asâlah al wujûd (principiality of being), wahdah al wujûd (unity of being), dan tasykîk al wujûd (gradation of being). Pemikiran Sadra tentang wujud ini tidak lepas dari diskursus filosofis yang berkembang dan marak saat itu, yaitu sekitar hubungan antara mahiyah 13 Lihat Sayyed Hossein Nasr, 1996, Intelektual Islam, Teologi, Filsafat, dan Gnosis, alih bahasa Suharsono dan Djamaluddin MZ, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 79 14 Metode ini lazim dipergunakan oleh aliran Iluminisme dan Sufisme. Disebut juga metode intuitif atau eksperensial. Peran intuisi ini, pada kenyataannya, tidak hanya ditemukan oleh para pemikir keagamaan, tetapi juga telah dilontarkan oleh Aristoteles jauh-jauh hari sejak abad ke-4 sebelum Masehi. Dia menyatakan mengenai adanya “orang-orang yang bisa mencapai kesimpulan silogistik tanpa harus merumuskan silogisme. Lihat Haidar Bagir, op.cit., hal. 15 15 Model metode ini lazim dipakai oleh kelompok mazhab kalam (teologi dialektik) dan kaum peripatitik. Model metode ini umumbya bersifat deduktif atau silogistik lewat penyusunan premis-premis dari kebenaran umum (primary truth) untuk menghasilkan kesimpulan (silogisme) baru. Lihat Ibid. 16 Lihat Abdul Hadi W.M., op.cit., hal. 230 17 Lihat Sayyed Hossein Nasr, 1966, op.cit., hal. 936 5 (esensi) dan wujûd (eksistensi). Perdebatan ini telah berlangsung antara mazhab-mazhab pemikiran yang ada: peripatetikisme, iluminatisme, dan gnostisme. Mereka memperdebatkan keduanya antara yang prinsipil (asil) yang berkaitan langsung dengan realitas objektif dengan yang hanya aksiden dan yang hanya abstraksi mental, lepas dari realitas eksternal yang konkret (i’tibâri). Dalam diskursus intelektual yang luar biasa itu, kelompok peripatetik berkeyakinan bahwa mahiyah hanyalah aksiden, sementara yang berhubungan dengan realitas eksternal adalah wujûd. Sebaliknya, penganut illuminasi berpandangan bahwa wujûd adalah formulasi abstrak dan aksiden, sedangkan yang prinsip adalah mahiyah. Mulla Sadra sendiri pada awalnya mendukung mazhab illuminasinya Suhrawardi, namun akhirnya berbalik menyerang dan menyatakan posisinya sebagaimana dinyatakan kaum peripatetik.18 Berpijak dari tesis Ibn Sina bahwa wujûd tidak mempunyai differentia atau spesies, dan karenanya tidak bisa didefinisikan. Wujûd berbeda dengan mahiyah hanya secara konseptual. Melalui pernyataan ini, Sadra menarik kesimpulan bahwa objek ciptaan Tuhan bukanlah mahiyah, sebagaimana dikemukakan al Suhrawardi dan al Dawwani, melainkan wujûd yang dinisbahkan pada mahiyah.19 Lebih lanjut Sadra menyatakan bahwa mahiyah pada dirinya sendiri bukanlah merupakan suatu yang positif. Dalam realitas eksternal, mahiyah sama sekali tidak ada, dan yang ada adalah salah satu bentuk dari wujûd. Ketika wujûd ini dihadirkan pada pikiran, pikiranlah yang mengabstraksikannya sebagai mahiyah, sedangkan wujûd terlepas darinya, kecuali dengan menggunakan intuisi.20 Meski kaum peripatetik dan sufi menyatakan bahwa wujûd sebagai prinsipil dari segala sesuatu, tetapi mereka menegaskan adanya perbedaan antara satu wujûd dengan lainnya melalui kuiditasnya. Berbeda dengan itu, bagi Sadra wujûd adalah realitas tunggal dalam seluruh bentuk eksternalnya. Ia adalah realitas asal dari alam semesta. Sementara mahiyah sebagai kuiditas atau aksiden menjadi batas ujung dan bayangan wujûd. Realitas segala sesuatu datang dari wujûdnya, bukan dari mahiyahnya. Objek penciptaan Tuhan bukanlah mahiyah tetapi wujûd, dan Tuhan adalah wujûd absolut. Eksistensialisme Sadra ini memandang hanya ada satu wujûd mutlak/hakiki, Tuhan. Inilah yang kemudian disebut dengan wahdah al wujûd ala Sadra.21 Lihat Mulla Sadra, Kitab al Masyâ’ir, dalam Syaifan Nur, op.cit., hal. 180. Lihat Mulla Sadra al Asfar, 1, hal. 14 dan kitab al Masya’ir, hal. 37 sebagaimana dikutip Majid Fakhry, 2001, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Bandung: Mizan, hal. 136 20 Lihat Mulla Sadra, al Hikmah al Muta’âliyah, opcit., hal. 176-177 21 Ajaran wahdah al wujûd ini bagi Mulla Sadra baru dapat dipahami betul manakala kesadaran kita mencapai skala yang lebih tinggi. Hubungan antara kesatuan wujud dan kebaragamaan maujud ibarat hubungan antara matahari dengan benda-benda yang disinarinya. 18 19 6 Untuk memperkuat argumentasinya, Sadra memunculkan istilah baru yaitu tasykîk al wujûd (gradasi wujûd). Wujûd tidak hanya satu, karena Yang Satu mengambil peranan dalam gradasi atau hierarki wujûd. Wujûd membentang dari wujûd Yang Satu sampai pada wujûd yang berbagai macam di alam zawâhir. Setiap wujûd yang peringkatnya lebih tinggi mengandung semua hakikat yang dikandung wujûd yang di bawahnya. Dengan demikian, makin tinggi peringkat sebuah wujûd makin banyak pula jumlah hakikat yang dikandungnya atau makin sempurna tingkat kewujûdannya.22Maujud senantiasa bergerak atau berpindah dari suatu tingkatan ke tingkatan lainnya, yang biasa disebut dengan gerak subtansial (al harakah al jauhariyah).23 D. Dimensi Spiritual-Intelektual dan Kontekstualisasi Pemikiran Sungguh mustahil di sini untuk menilai baik kandungan filsafat atau kekuatan intelektual Mulla Sadra dalam visinya. Cukuplah untuk mencatat kualitas sintetis karyanya. Mazhab peripatetik dan isyraqi dalam filsafat Islam digabungkan dengan teologi Syi’ah dan eksistensialisme kesatuan dari Ibn ‘Arabi, semua di bawah prinsip utama -yang juga dicetuskan oleh Suhrawardi- bahwa usaha intelektual yang tidak didukung oleh penglihatan langsung, atau penyaksian, tentang realitas-realitas spiritual, adalah sama tidak memadainya dengan menghadapi realitas spiritual tanpa pandangan intelektual yang kuat.24 Dengan demikian, bisa dimengerti bahwa bagi Mulla Sadra dimensi spiritual dan dimensi intelektual adalah dua entitas yang sama-sama penting dalam mendapatkan hikmah yang tertinggi. Apresiasi spiritualisme Sadra yang kuat bisa terlihat jelas pada satu-satunya karya prosa Sadra dalam bahasa Persia, Sih asl. Risalah pendek ini berisi tentang penyucian jiwa dari segala penghalang yang merintangi kemajuan menuju perkembangan spiritual yang lebih sempurna ini juga merupakan kritik keras tentang para ulama dan fuqaha yang wajahnya berpaling kepada dunia ini daripada ke dunia esok, dan yang menyangkal kemungkinan adanya ‘irfan yang didukung Mulla Sadra. Lihat Oliver Leaman, 2001, Pengantar Filsafat Islam Sebuah Pendekatan Tematis, penerjemah Musa Kazhim dan Arif Mulyadi, Bandung: Mizan, hal. 113 22 Lihat Abdul Hadi W.M. op.cit., hal. 231; Gagasan tasykik al wujûd ini bisa menjelaskan mengapa ada keberagaman maujud di alam yang sejatinya hanya kepunyaan satu Maujud Nyata dan Mutlak. Selagi pemahaman kita mengenai realitas terus berkembang, kita lambat laun bakal menghayati kesatuan segala dan sesuatu sekaligus mencerap kesatuan dasar itu yang telah melahirkan keragaman di dunia pengalaman (indriawi) dalam perspektif yang berbeda. Lihat kembali Oliver Leaman, ibid. 23 Lihat Haidar Bagir, op.cit., hal. 21 24 Lihat John Cooper, “Rumi dan Hikmah: Menuju Pembacaan Tafsir Sabziwari Terhadap Masnawi,” dalam Leonard Lewisohn et.al (eds), 2002, Warisan Sufi Persia Klasik dari Permulaan hingga Rumi (700-1300), penerjemah Gafna Raizha Wahyudi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, hal. 490 7 Karya ini sarat dengan kutipan puitis, yang digunakan sebagai bukti (dalil) untuk alasan-alasan yang dikemukakan dalam teks ini, sebuah wahana umum dalam tradisi panjang tulisan mistik-filosofis Persia yang berawal dari karya Ahmad Gazali, Sawanih; melewati karya ‘Ayn al Qudat al Hamazani, Tamhidat; dan karya Jami’, Lawayih sampai ke karya Mulla Sadra sendiri. Dalam satu bab pada buku ini, Sadra juga mengkritik para teolog skolastik (mutakallimîn) yang membelenggu diri dengan dimensi lahir teologi dan menolak pengaruh penting yang bisa disebarkan oleh praktik asketis dan manusia hati (ahl- dil) kepada pemahaman agama. Setelah menyatakan bagaimana pemahaman agama hanya dapat diberikan oleh penggabungan yang lahir dan yang batin, Mulla Sadra selanjutnya mengilustrasikan dengan mengutip satu bagian Matsnawi di mana Rumi menegaskan bahwa pemahaman al Qur’an tanpa panduan ilahi menyebabkan banyak penyimpangan, dan bahwa pemahaman al Qur’an haruslah dipahami melalui bimbingan dari apa yang dirujuk Mulla Sadra sebagai agahi-yi damir wa ma’rifah-i batin (Kesadaran Spiritual dan Pengetahuan Batin).25 Apresiasi yang mendalam pada dimensi spiritual yang mewarnai dimensi intelektualitas, bisa dilihat pada paparan Sadra tentang empat tahapan perjalanan intelektual, yaitu: (1) perjalanan dari makhluk kepada Tuhan (min al khalq ila al haqq): tahap yang meliputi problem-problem umum metafisika, (2) perjalanan dalam Tuhan bersama Tuhan (fi al Haqq ma’a al Haqq): fase yang berkenaan dengan problem metafisika, (3) perjalanan dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan (min al Haqq ila al khalq ma’a al Haqq): berkaitan dengan tindakan-tindakan Tuhan serta berbagai masalah wujud, (4) perjalanan dalam makhluk bersama Tuhan (fi al khalq ma’a al Haqq): berkaitan dengan problem-problem psikologi dan eskatologi.26 Mulla Sadra sebagai seorang filosof, telah berhasil menciptakan suatu harmoni yang sempurna antara kutub-kutub rasionalisme dan persepsi yang bersifat mistik. Melalui penggabungan intelek dengan wahyu, ia mencapai suatu coincidenta oppositorum, yang mencakup kekuatan logika dan kesadaran spiritual. Di mulai dengan logika dan diakhiri dengan ekstasi secara mistik, ia menggelorakan sebuah pola pemikiran di mana logika ditenggelamkan dalam lautan cahaya gnostik. Dalam paparan epistemologisnya, Sadra telah menawarkan sebuah paradigma berpikir yang kiranya bisa menjadi alternatif dari kegersangan sementara epistemologis yang ada, yang secara kaku bertopang pada kekuatan 25 Ibid., hal. 493 Lihat Murthada Muthahari, 1993, “Garis Besar Sumbangan Kaum Muslim Kepada Filsafat”, dalam Al Hikmah, No. 10 Juli-September, hal. 117; lihat juga Majid Fakhry, op.cit., hal. 135 26 8 rasio dan indera. Kedua paradigma ini dengan tegas mengabaikan objek mistis yang supra logis dan non empiris. Tidak dipungkiri, bahwa dua alat ilmu pengetahuan di atas telah memberikan kontribusinya yang sangat berharga bagi kemajuan kehidupan modern di bidang sains dan teknologi. Akan tetapi ia hanya angkat tangan ketika berhadapan dengan objek yang metarasional, metafisis, serta metainderawi. Paradigma intuisi sebagai sebuah alternatif yang beyond rasionalitas dan empirisitas akan menunjukkan signifikansinya ketika diletakkan dalam kawasan humanitarian, dalam arti bahwa kesadaran kemanusiaan bisa ditumbuhkembangkan dari proses penajaman intuisi tersebut. Dalam memperkuat kesadaran kemanusiaan ini, teori wujudnya Mulla Sadra bahwa sebagai realitas tunggal dan gradasi yang ada di dalamnya, akan sangat membantu, terutama ketika adanya suatu kesadaran kesatuan kosmos antara manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan Tuhan. Gradasi dan manfestasi yang beranekaragam tidak menjadi medan yang mengabsahkan perbedaanperbedaan yang ada. Karena jelas, semuanya berasal dan bermula dari Tuhan sebagai wujûd mutlak. Dengan menggunakan perspektif wujûd, akan dimengerti bahwa manusia adalah satu seperti cahaya. Paradigma ini akan tegak ketika dimaknai secara menyeluruh sebagai perjalanan menuju yang Maha Wujûd, dan tidak terjebak pada pola gradasi-gradasi tersebut, dan atau malah tenggelam dalam klaim kebenaran atas wujûd salah satu gradasi tersebut. Atas asumsi ini, truth claim dengan bentuk dan pada kawasan apapun sangatlah tidak relevan. Dalam proses gradasi menuju dan membangun “kualitas ketuhanan” sebagai upaya untuk meningkatkan kewujudan, peniruan terhadap kualitas Tuhan sangatlah penting. Ini selaras dengan perintah Nabi saw. : “Berakhlaklah kamu sekalian dengan akhlak Tuhan” (Takhallaqû bi akhlâkillâh) dan “Sesungguhnya Tuhan menciptakan Adam pada cermin diri-Nya” (innallâha khalaqa Adam ‘ala shûratihi). Dengan demikian, langkah untuk meningkatkan citra kemanusiaan senantiasa sejalin sekelindan dengan upaya peniruan terhadap citra ilahi yang termaktub dalam nama-namanya yang indah. Dalam bahasa lain, bahwa tingkat kemanusiaan seseorang memiliki korelasi yang signifikan dengan tingkat pencitraan ilahi dalam dirinya. Kontekstualiasasi lebih lanjut dari pemikiran Sadra ini juga dapat diperoleh lewat metafor mistis al asfâr al arba’ah. Pertama, perjalanan dari makhluk menuju Khaliq adalah suatu kesadaran manusia akan kemakhlukkan untuk berpindah pada pencitraan kualitas keilahian dalam dirinya. Kedua, perjalanan dari Tuhan bersama Tuhan, yaitu proses berlangsungnya pencitraan kualitas ilahi dalam diri manusia. Ketiga, perjalanan dari Tuhan 9 kepada manusia, yakni penaburan kepada manusia citra-citra ilahi dalam bentuk kesadaran sebagai khalifatullah di bumi. Keempat, perjalanan dari makhluk bersama Tuhan, yaitu bahwa dalam fungsinya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, citra-citra ilahi harus senantiasa menjadi pedoman dan patokan dalam bertindak. E. Penutup Berangkat dari adanya pandangan bahwa dalam tradisi filsafat Islam, mazhab peripatetik adalah mazhab pertama, dan filsafat iluminasi sebagai mazhab kedua, maka filsafat hikmah yang dikembangkan oleh Mulla Sadra ini kiranya bisa diasumsikan sebagai filsafat Islam mazhab ketiga. Klaim semacam ini akan semakin signifikan dengan melihat bahwa secara epistemologis, pemikiran Sadra ini telah berhasil mempertemukan berbagai aliran dan mazhab sebelumnya, dan memperindahnya dengan sentuhan wahyu ilahi. Sadra dalam upayanya untuk meraih pengetahuan tertinggi, menghendaki adanya kombinasi ideal antara aspek spiritualitas dan intelektualitas. Kedua unsur ini harus berjalan berkelindan pada diri seorang Muslim, yang kemudian akan membangun integritas keilmuan. Sederhananya, seorang ilmuan Muslim, di samping memiliki daya manfaat horizontal kepada sesama insan, juga mengapresiasi nilai-nilai transendal, yang merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Filsafat yang dibangun Sadra ini hendaknya bisa dikontekstualisasikan sebagai model pemikiran (mode of thought) dalam memahami problem kemanusiaan modern dewasa ini. Dalam realitas empirik yang plural, pada tingkat wujud, sebenarnya adalah tunggal dan wujûd dunia kemanusiaan adalah relasinya dengan citra ilahi. Celupan ilahi (sibghatu allâh) yang terhujam dalam dirinya akan memberikan kesadaran bahwa manusia adalah hamba-Nya (abdu allâh). Hamba yang telah tercelupi oleh citra ilahi ini bisa dipastikan akan mampu menjadi wakil-Nya (khalifatu allâh) yang sejati dalam menebarkan rahmat bagi semesta kosmos (rahmatan lil’âlamîn). Wallâhu ‘alam bi al shawâb. 10 BAB II FILSAFAT KANT DAN KONTEKSTUALISASINYA BAGI PEMBANGUNAN NILAI-NILAI MORALITAS A. Pendahuluan Kant (1724-1804), demikian panggilan akrab Immanuel Kant, merupakan salah satu tokoh terkemuka dalam pemikiran Filsafat Barat, yang banyak meninggalkan jejak-jejak bagi perkembangan pemikiran dunia filsafat selanjutnya. Dilahirkan di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prusia Timur, Kant menghabiskan masa hidupnya di kota kelahirannya ini. Ketika berumur 16 tahun, Kant memasuki Universitas Konigsberg; yang setelah lulus lalu menjadi guru privat di beberapa keluarga kaya. Tahun 1755, ia kembali ke universitas menjadi dosen di Konigsberg, dan baru lima belas tahun kemudian diangkat menjadi guru besar logika dan metafisika. Pada tahun 1976, ia berhenti memberi kuliah dengan alasan usia tua. Pada 1798 kesehatannya mulai menurun, terakhir pada 1804 meninggal dalam keadaan pikun.1 Karya-karya yang ditulis Kant antara lain, Universal Natural History And Theory On The Heavens (1755) Dreams of A Spirit-Seer (1766); Inaugural Dissertation (1770); The Critique of Pure Reason (1781); Fundamental Principles of the Metaphysic of Morals (1785); Critique of Practical Reason (1788); Crituiqe of Judgement (1790); Metaphysical Foundations of Natural Science (1786); Religion within the Bounds of Reason Alone (1793); Perpetual Peace (1795); Introduction to the Metaphysics of Morals (1797), sering ditranslasi menjadi dua bagian, yaitu: The Metaphysical Principles of Right and Metaphysical Principles of Virtue dan The Metaphysical Elements of Ethics The Science of Right.2 Tulisan-tulisan Kant umumnya susah untuk dipahami, bahkan bisa dikatakan sebagai buku filsafat yang sangat berat untuk ditelaah, sangat bertele-tele, menjengkelkan dan sulit dimengerti. Tapi tidak demikian dengan kuliah-kuliahnya. Tubuhnya memang rada pendek, hingga ketika berbicara dibalik mimbar hanya kepalanya yang lebar dan berwig yang kelihatan di mata para pendengarnya. Tetapi, kepala yang sedang berbicara itu mengeluarkan 1 Lihat Donny Gahral Adian, 2002, Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, hal. 19, juga M. Amin Abdullah, 2002, Antara Al Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Mizan, Bandung, hal. 33. 2 Immanuel Kant (1724-1804) dalam www.knuten.liu.se.htm. Bagi yang suka berselancar di dunia maya, sebagian besar dari karya yang ditulis Kant ini bisa dinikmati dengan gampang, karena sudah disajikan dalam bentuk e-books, dan dapat di download dengan gratis. 11 berbagai gagasan, mengesankan. kebijaksanaan, dan pengetahuan yang brilian dan B. Kant dan Teori Pengetahuan Untuk memahami dan mendalami pemikiran Kant adalah penting untuk menangkap suasana intelektual pemikiran filosofis yang berkembang pada masa Kant hidup. Karyanya mengenai teori pengetahuan di hasilkan pada waktu ada ketegangan antara pendekatan continental, yang menekankan pemikiran rasional, dan aliran Inggris, yang menekankan pengalaman inderawi sebagai dasar pengetahuan.3 Kant menentang kedua posisi ekstrem tersebut, bahwa semua pengetahuan muncul dari pengalaman, dan bahwa ada pengetahuan yang terlepas sama sekali dari pengalaman. Sebaliknya, dia yakin bahwa semua pengetahuan berhubungan dengan pengalaman, tetapi tidak dapat direduksikan kepada apa yang kita alami. Kant kemudian mengambil jalan tengah antara empirisisme dan rasionalisme. Ia menyebutnya idealisme transendental. Kant melukiskan idealisme transendental sebagai keyakinan bahwa kita mempunyai pengetahuan hanya mengenai “penampilan” dan bukan mengenai “benda sebagaimana adanya”.4Penampilan dapat diketahui melalui pengalaman, tetapi bendanya sendiri tidak dapat diketahui sama sekali, sebab tidak ada sesuatu pun yang dapat diketahui pikiran tanpa kita mengalaminya. Kritisisme Kant di atas dapat dianggap sebagai suatu usaha raksasa untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisisme. Rasionalisme mementingkan unsur a priori dalam pengenalan, yang lepas dari pengalaman (seperti misalnya ide-ide bawaan ala Descartes), sedang empirisisme menekankan unsur-unsur aposteriori, yang lekat dengan pengalaman (seperti Locke yang menganggap rasio sebagai lembaran putih – tabularasa - as a white paper ). Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisisme kedua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan antara sintesa unsur-unsur a priori dengan unsur-unsur 3 Menurut Kant, rasionalisme dan empirisisme terlampau ekstrem dalam mengklaim sumber pengetahuan manusia. Kant menyatakan bahwa proses transformasi dari impresi-impresi (sense-data) menjadi pengetahuan lewat suatu proses yang sifatnya mental. Itu berarti proses terjadinya pengetahuan juga melibatkan konstruksi subyek manusia melalui kategori-kategori dibenaknya. Manusia memiliki kategori-kategori apriori yang berfungsi menata kesan-kesan inderawi yang datang dari realita eksternal (aposteriori). Lihat Donny Gahral Adian, op.cit., hal. 19-20. 4 Kant tidak selalu jelas mengenai apa yang dimaksud dengan ini. Kadang-kadang ia menulis seolah-olah penampilan adalah penampilan diri suatu macam kenyataan yang tersembunyi dari kita, di mana-mana ia menulis seolah-olah penampilan merupakan entitas bebas yang kita amati dan temukan. Lihat Linda Smith dan William Raeper, 2000, Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang, Kanisius, Yogyakarta, hal. 196. 12 aposteriori. Unsur a priori memainkan peranan bentuk dan unsur aposteriori memainkan peranan materi. 5 Secara ringkas, teori Kant dapat dijelaskan: (1) objek empiris adalah nyata; (2) kita tidak dapat menangkap objek transendental karena objek itu tidak termasuk dunia yang beruang, berwaktu, dan berkualitas; (3) objekobjek empiris adalah objek mana pun yang ditemukan atau dinyatakan melalui pengalaman.6Lebih jauh, menurut Kant, ada hirarki dalam proses pengetahuan manusia. Tingkat pertama, dan terendah adalah pencerapan indrawi (sinneswahrnemung); lalu berikutnya, tingkat akal budi (verstand); dan tingkat tertinggi dalam proses pengetahuan adalah tingkat budi atau intelek (vernuft).7 Dengan teorinya ini sebenarnya Kant bermaksud menunjukkan bahwa kita tidak dapat mengetahui dunia dalam dirinya sendiri, yaitu dunia yang dimengerti lepas dari cara ia tampak pada kita. Meskipun Kant berpendapat bahwa noumena tidak dapat kita capai, karena akibat-akibat adanya ruang dan waktu, ia tidak menyisihkan kemungkinan bahwa indera kita de facto dapat mempunyai gambaran kenyataan secara tepat. Bagi Kant, fenomena adalah benda sebagaimana kita alami, noumena adalah benda dalam dirinya sendiri, terlepas dari cara mereka dialami.8 Kaitannya dengan pengetahuan, Kant juga mencanangkan apa yang disebutnya filsafat kritis. Dalam hal ini dibahas secara mendalam suatu analisis tentang epistemologi, suatu studi menyangkut dasar yang menjadi tempat berdirinya ilmu pengetahuan. Menurut Kant, kita menetapkan putusanputusan tertentu yang tidak tergantung pada semua pengetahuan. Putusanputusan ini digolongkannya sebagai a priori sintetis. Kata sintetis dimaksudkannya dalam hal ini berarti tidak analitis, dan pengetahuan yang terdapat di dalamnya pun tidak disiratkan dalam konsep yang orisinil. Umpamanya, batu itu keras adalah sebuah pernyataan analitis karena konsep keras itu inheren dalam konsep batu. Sedangkan pernyataan batu itu bercahaya merupakan putusan sintetis.9 5 Menurut Kant, unsur a priori itu sudah terdapat pada taraf indera. Ia berpendapat bahwa dalam pengetahuan inderawi selalu ada dua bentu a priori, yaitu ruang dan waktu. Jadi, ruang tidak merupakan suang kosong, di mana benda-benda diletakkan; ruang tidak merupakan ruang dalam dirinya (ruang an sich). Pendirian tentang pengalaman inderawi ini memiliki implikasi yang penting. Kant berkata: memang ada “das Ding an Sich” (benda dalam dirinya; the thing in itself). Tetapi “das Ding an Sich” selalu tinggal suatu X yang tidak dikenal. Kita hanya mengenal gejalagejala (Erschenungen) yang merupakan sintesa antara hal-hal yang datang dari luar bentuk ruang dan waktu. Juhaya S. Praja, 1997, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Yayasan PIARA, Bandung, hal. 79 6 Lihat kembali Linda Smith dan William Raeper, op.cit., 196 7 Lihat S.P. Lili Tjahjadi, 2001, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, hal. 36 8 Linda Smith dan William Raeper, op.cit. 9 Paul Strathern, 2001, 90 Menit Bersama Kant, Erlangga, Jakarta, hal. 56 13 Kebenaran pernyataan a priori sintetis tentunya tidak bisa disangkal, dan bisa diterima secara universal. Dengan kata, pernyataan sintetis, seringkali memiliki kekuatan dan daya yang sama dengan suatu pernyataan analitik. Dan ini juga bagi Kant harus bisa diterapkan dalam pengalaman, meskipun pernyataan-pernyataan tersebut mendahului pengalaman.10 C. Deontologi dan Imperatif Kategoris Tujuh tahun setelah mengeluarkan gagasan cemerlangnya dalam The Critique of Pure Reason, Kant kemudian menerbitkan karya sejenis yang lebih pendek, yaitu Critique of Practical Reason. Di dalam karya ini, Kant kembali menyoal Tuhan yang sebelumnya tidak bisa didiskusikan, karena tidak tergolong dalam kategori-kategori. Buku ini merupakan bagian etika dari sistem Kant. Di sini Kant tidak lagi mencari dasar-dasar metafisis bagi persepsi, namun mencari dasar-dasar tersebut bagi moralitas. Apa yang Kant cari ialah hukum moral yang fundamental. Kant meyakini kemungkinan adanya sebuah hukum dasar, tetapi dia melakukan hal tersebut dengan menyingkirkan sesuatu yang dianggap oleh sebagian besar sebagai pernyataan manusia. Kant menekankan bahwa yang ia cari adalah landasan moralitas dan bukannya isi moralitas tersebut. Untuk maksud ini, sebagaimana yang ia lakukan dalam The Critique of Pure Reason, maka dalam Critique of Practical Reason berlaku landasan yang sama, yaitu diperlukan serangkaian prinsip a priori semacam kategori-kategori.11 Moralitas sendiri bagi Kant disamping menyangkut sebagai baik dan buruknya manusia sebagai manusia, juga harus mengenai yang baik pada dirinya sendiri, dimana yang baik pada dirinya sendiri adalah kehendak baik yang bukan lahiriah.12Perbuatan secara moral dikatakan baik apabila mewadahi kehendak baik sebagai realitas batin. Kehendak baik menurut Kant baru baik apabila mau memenuhi kewajibannya. Sehingga, kehendak baik adalah kehendak yang mau melakukan apa yang menjadi kewajibannya, murni demi kewajiban itu sendiri. Kant dalam hal ini nampak tidak peduli terhadap materi berupa tujuan atau akibat suatu tindakan moral, melainkan melulu bentuknya- 10 Paul Strathern, 2001, ibid. Ibid. Bagi Kant ada 12 macam kategori yang akan mempersepsikan segala hal dari luar: (1) kesatuan; (2) pluralitas; (3) totalitas. Ketiga hal ini disebut aspek kuantitas, sedang untuk aspek kualitas juga ada tiga kategori: (4) realitas; (5) negasi; (6) pembatasan. Adapun untuk aspek relasi, ada tiga kategori: (7) sunstitusi dan aksidentasi; (8) sebab akibat; (9) komunitas. Pada aspek modalitas, juga ada tiga kategori lagi: (10) kemungkinan-kemustahilan; (11) eksistensi dan non eksistensi; dan (12) keniscayaan-kontigensi. 12 Sebagai misal, bisa saja seseorang nampak melakukan kebaikan seperti memberikan sumbangan bagi korban kerusuhan tau berderma untuk tempat ibadah, tapi hal ini bukan menjamin bahwa itu perbuatan moralis apabila tujuan yang menyertainya, misalnya untuk mendapatkan pujian atau menarik simpati kelompok tertentu. 11 14 apakah tindakan itu wajib atau tidak.13 Prinsip inilah yang kemudian dikenal dengan deontologi.14 Pembedaaan Kant tentang nilai etis suatu perbuatan yang dilakukan demi tujuan dan perbuatan yang dilakukan demi kewajiban membawa kita pada formulasi Kant tentang ide perintah moral. Perintah moral dimaksud yaitu: imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Yang pertama adalah perintah moral yang menyuruh kita melakukan suatu tindakan hanya atas dasar pengandaian bahwa kita mau mencapai tujuan tertentu. Yang kedua, yaitu perintah yang berlaku mutlak tanpa kecuali karena apa yang diperintahkan olehnya merupakan kewajiban pada dirinya sendiri, dan tidak tergantung pada tujuan selanjutnya. Imperatif kategoris yang dikemukakan oleh Kant, ini menjadi sebuah prinsip tunggal, yakni kategori yang tidak bisa dihindari. Inilah landasan apriori bagi semua tindakan moral, yakni premis metafisisnya. Secara ringkas etika Kant dirumuskan bahwa perbuatan baik tidak dinilai berdasarkan wujud lahir, melainkan sikap batin berupa kehendak baik; dimana kehendak itu baru baik apabila murni memenuhi kewajibannya. Lalu apa kewajiban yang harus ditunaikan manusia? Kant dalam hal ini tidak memberikan jawaban material, melainkan formal berupa prinsip penguniversalisasian, yang berbunyi: berbuatlah berdasarkan pertimbanganpertimbangan, patokan-patokan, dan maksim-maksim yang dapat dikehendaki sebagai undang-undang umum.15 Ajaran Kant tentang imperatif kategoris memuat beberapa prinsip tindakan; pertama, prinsip hukum umum; kedua, prinsip yang memuat ajaran manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri; dan prinsip terakhir, yaitu otonomi manusia, yang ia pertentangkan dengan heteronomi.16 Prinsip ini kemudian membawa Kant pada suatu keyakinan bahwa kita seyogianya bertindak sesuai dengan kewajiban-kewajiban kita, bukannya menurut perasaan-perasaan kita; sebuah simpulan yang dalam pandangan umum sangat sulit untuk diterima. Umpamanya Kant menyatakan bahwa nilai moral dari suatu tindakan selayaknya tidak ditentukan menurut akibat-akibat yang ditimbulkannya, namun hanya didasarkan pada sejauh mana tindakan itu selaras dengan kewajiban yang melatarbelakanginya. Sistem etika Kant ini menggiringnya untuk percaya bahwa kita seharusnya sama sekali tidak boleh berbohong, tak peduli apapun akibatnya. 13 Lihat Donny Gahral Adian, op.cit., hal. 22-23 Deontologi atau deontology (bhs Inggris) ini berasal dari Yunani Deon (keharusan, kewajiban). Jadi, secara harfiah istilah ini semacam teori tentang kewajiban. Lihat Lihat Lorens Bagus, 2000, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, hal. 329 15 Perbuatan yang semata-mata didasarkan kewajiban dan bukan tujuan lain ataupuan pelampiasan dorongan hati, bagi Kant merupakan tuntutan otonomi moral manusia, yaitu suatu ketaatan yang dilakukan dengan suatu kesadaran yang penuh. 16 S.P. Lili Tjahjadi, op.cit., hal. 82 14 15 Ia betul-betul sadar konsekuensi dari argumen ini, tapi toh ia tetap ngotot dengan pendapatnya itu. “membohongi seorang pembunuh yang sedang mengejar-ngejar seorang teman yang sedang menumpang di rumah anda adalah kejahatan.”17 D. Postulat Rasio Praktis Rasio Praktis bagi Kant adalah rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan; atau dengan kata lain, rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak yang disebutnya sebagai imperatif kategoris. Kant kemudian bertanya, bagaimana keharusan itu mungkin? Apakah memungkinkan keharusan itu? Prinsip pokok untuk menjawab pertanyaan ini ialah: kalau kita harus, maka kita bisa juga. Seluruh tingkah laku manusia menjadi mustahil, jika kita wajib membuat apa yang tidak bisa kita lakukan. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal itu dibuktikan, hanya dituntut. Itulah sebabnya Kant menyebutnya ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga postulat dimaksud itu ialah: (1) kebebasan kehendak; (2) imortalitas jiwa; dan (3) adanya Allah.18 Kebebasan bagi Kant, merupakan kemampuan untuk diatur oleh budi. Kemampuan ini disebut Kant kebebasan kehendak. Ia mempertentangkannya dengan tindakan-tindakan yang muncul dari emosi, keinginan, atau pilihan. Menyoal tindakan, bagi Kant bisa dirujuk pada dua macam tindakan: tindakan karena kecenderungan dan tindakan karena kewajiban. Tindakan pertama, berdasarkan selera atau pilihan, sedang tindakan kedua adalah apa yang harus dikerjakan apapun kecenderungan saya. Kant dalam hal ini dengan tegas menolak suatu moralitas yang menekankan kecenderungan saja. Menurutnya, moralitas berkaitan erat dengan tugas dan kewajiban seseorang, dan tergantung pada keberadaannya sebagai pelaku bebas yang tidak dipaksa untuk melakukan sesuatu.19 17 Kant sendiri sebenarnya juga tidak begitu konsisten dengan pandangannya ini, pada suatu ketika tatkala Frederick William II yang agak kolot naik tahta, Kant pernah dituntut untuk bersumpah bahwa dirinya tidak akan mengajar atau menulis masalah-masalah relijius lagi, dan ia menyatakan mematuhi perintah tersebut. Namun, setelah sang raja meninggal, Kant kembali menulis dengan semangat menggebu-gebu kembali menulis masalah relijius, dan menganggap dirinya telah bebas untuk tidak lagi memenuhi janjinya. Kant di sini nampak memandang tindakan berbohong adalah sesuatu yang lumrah pada saat situasi tertentu memang mendukungnya. 18 Pada prinsipnya apa yang tidak dapat ditemui atas dasar rasio teoritis, harus diandaikan atas dasar rasio praktis. Kebebasan kehendak, immoralitas jiwa, dan adanya Allah, kita tidak mempunyai pengetahuan praktis. Menerima ketiga postulat ini, menurut Kant disebut glaube atau kepercayaan. Maka kemudian, Kant dengan filsafat bermaksud memperteguh keimanannya, keimananan kristianinya. Lihat Juhaya S. Praja, 1997, op.cit.,, hal. 81-82 19 Linda Smith dan William Raeper, op.cit., hal. 198 16 Imortalitas jiwa dimaksudkan eksistensi tak berkesudahan dari pusat kesadaran yang ditunjuk dari kata aku. Fakta imortalitas jiwa manusia secara eksistensi dilandasi oleh hakikat jiwa yang tungga (karenanya tidak dapat dibagi ke dalam bagian-bagian) dan rohani (karenanya hanya menuju kehidupan kekal). Martabat moral manusia menuntut suatu kehidupan kekal untuk memecahkan ketegangan antara komitmen-komitmen moral dan immoral dengan ganjaran dan hukuman. Dan imortalitas jiwa ini menurut Kant bisa diafirmasi berdasarkan tuntutan akal praktis (alasan moral)20 Adanya Allah bagi Kant sangat berkaitan dengan keinginan manusia untuk hidup yang bermoral. Kant mengemukakan dalam bukunya Critique of Practical Reason bahwa untuk menjalani kehidupan bermoral, manusia membutuhkan seorang pengatur, yang akan membalas perbuatan baik dengan kebahagiaan. Dalam perspektif ini, pengaitan Tuhan dengan sistem etika merupakan sebuah kebetulan saja. Inti agama bukan lagi misteri tentang Tuhan, tetapi manusia itu sendiri. Tuhan telah menjadi sebuah strategi untuk memampukan kita berfungsi secara lebih efisien dan bermoral, bukan lagi sebagai sebab bagi semua wujud.21 Kant percaya bahwa tidak mungkin membuktikan eksistensi Tuhan, karena ia berada di luar jangkauan indera dan, karenanya, tidak dapat diakses pikiran manusia. Alasan rasionalis Kant satu-satunya untuk membuktikan bahwa tanpa Tuhan dan tanpa kemungkinan dunia akhirat, maka akan sulit bagi kita untuk menjelaskan alasan kenapa kita harus bertindak secara moral.22 E. Penutup Di antara kritikan atas Kant yang layak untuk diapresiasi antara lain dari Hegel dan MacIntyre. Menurut Hegel, pemahaman rasio Kant melulu sangat formal dan direduksi tuntutan universalitas. Disamping itu Kant juga tidak memberi isi dari kewajiban moral. Di sini Hegel melihat bahwa isi kewajiban itu sendiri diberikan oleh praktek kelompok masyarakat. Moralitas Kant sangat individual, padahal individu merupakan bagian dari masyarakat tertentu. Kant dalam hal ini tidak melihat manusia dari konteksnya, individu dianggap berkembang sendiri dan tidak melibatkan komunitasnya, sehingga manusia dilepaskan dari sejarahnya. Adapun kritikan dari MacIntyre, bahwa upaya pembenaran rasionalitas yang otonom telah gagal, karena menghilangkan tiga unsur otonomi moral, yaitu: subyek, konteks, dan tujuan. Pada ketiga 20 21 Lihat Lorens Bagus, op.cit.., hal. 329 Sebagaimana dikutip oleh Karen Armstrong, 2001, Sejarah Tuhan, Mizan, Bandung, 22 Sebagaimana dikutip oleh Karen Armstrong, 2000, Berperang Demi Tuhan, Bandung, hal. 409 hal. 115 17 aspek ini, Kant cenderung lemah. Di samping itu, Kant melupakan pengalaman keberagamaan. Barangkali ini, merupakan satu fenomena lumrah, karena pencerahan memang lupa asal usul ilahiyah. Terlepas dari banyaknya orang yang tidak setuju dengan pandangan Kant, tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh Kant terhadap filsafat sangatlah besar. Ia menolak setiap usaha untuk mengklaim suatu bentuk absolutisme pengetahuan yang berusaha bebas dari pengalaman, dan tekanannya pada keunggulan budi telah mempunyai pengaruh hebat terhadap filsafat Barat. Konsep yang ia kemukakan mengenai etika juga tak kalah menariknya. Menurutnya etika itu tidak bersifat rasional ataupun teoritis. Bahkan bagi Kant, itu bukanlah urusan rasio murni. Justru, apabila manusia menggunakan nalarnya dalam berusaha merumuskan etika, ia dengan sendirinya tidak sampai pada etika yang sesungguhnya. Di samping akan berselisih satu sama lain mengenai mana baik dan mana buruk, etika yang bersifat rasional sudah bukan lagi etika, melainkan bisa terjebak ke dalam perhitungan untung rugi. Dengan kata lain, perbuatan etis dapat menghasilkan keuntungan bagi pelakunya, tetapi juga dapat mengakibatkan kerugian baginya. Kant mengatakan sebagaimana dipaparkan sebelumnya, bahwa etika adalah urusan nalar praktis. Artinya, pada dasarnya nilai-nilai moral itu telah tertanam pada diri manusia sebagai sebuah kewajiban (imperatif kategoris). Kecenderungan untuk berbuat baik, misalnya sebenarnya telah ada pada diri manusia. Manusia pada intinya hanya menunaikan kecenderungan diri dalam setiap perbuatannya. Dengan kata lain, perbuatan etis bersifat deontologis dan berada dibalik nalar. Wallahu ‘alam bishawab. 18 BAB III FILSAFAT MARX: ANALISA HISTORIS ATAS KONFLIK KELAS DALAM SEJARAH MANUSIA A. Pendahuluan Dalam deretan nama-nama filosof modern paling berpengaruh, sosok Karl Marx tidak bisa dilewatkan begitu saja. Bagi sebagian orang, ia begitu dipuja laiknya seorang 'nabi' penyelamat,1 tapi bagi sebagian yang lain, ia adalah 'hantu' yang menakutkan, terlebih bagi masyarakat yang pernah mengalami luka sejarah dan trauma politik akibat komunisme, seperti halnya Indonesia. Karl Marx memiliki alur pemikiran karakteristik dan khas yang membedakannya filosof yang lain. Pada diri Marx melekat sejumlah atribut seperti bapak dan guru sosialisme modern, ekonom dan pemikir sosial. Hampir semua pemikiran modern, di bidang ekonomi dan sosiologi sangat terpengaruh oleh pemikiran kefilsafatan Marx. Sedemikian besar pengaruh pemikiran Marx dalam sejarah umat manusia, maka tidak berlebihan bila ia dimasukkan sebagai salah satu filosof, sosiolog, dan ahli ekonomi terkemuka abad ke-19. Tanpa pemikiran Marx, nampaknya abad ke-20 akan terasa ‘hambar’ dan sangat berbeda. Apabila Auguste Comte, Martin Heidegger dan David Hume sukses mengubah cara filosof berpikir, maka Marx bahkan telah mengubah cara manusia bertindak. 2 Berangkat dari pemikiran Marx yang lintas disiplin keilmuan, tulisan ini bermaksud memotret dua persoalan paling penting dari pemikiran Marx, yaitu sekitar materialisme dialektik yang merupakan basis teori yang melandasi pemikiran-pemikiran dia yang lain dan konflik kelas yang menurutnya 1 Tulisan-tulisan Marx bagi orang komunis sama sakralnya dengan Injil bagi umat Kristiani (dan juga mungkin al Qur'an bagi orang Muslim). Komunisme mempunyai satu sistem doktrinal yang tidak bisa ditafsirkan secara serampangan, memiliki upacara, tempat dan tokoh-tokoh sakral sendiri. Dia juga memiliki para misionaris yang hanya dalam waktu hampir 50 tahun telah berhasil mendapatkan berjuta-juta pengikut diseluruh dunia. Ide-idenya mengubah dunia sedemikian rupa, sampai saat ini, empat dari sepuluh manusia di dunia ini hidup di dalam masyarakat yang dilukiskan sebagai Marxis. Lihat Daniel L. Pals, 1996, Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, hal. hal. 125; Lihat juga Linda Smith dan William Raeper, 2000, Ide-ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang, Yogyakarta: Kanisius, hal. 116. Paparan lebih mendalam tentang dimensi relijius Marxisme, lihat Alistair Kee, 1990, Marx and the Failure of Liberation Theology, London: SCM Press, hal. 88-127. 2 Di sinil sangat terkenal relevan ungkapan Marx, "Para Filosof hanya pandai menafsirkan dunia dengan berbagai cara, tapi yang paling penting adalah bagaimana merubah dunia itu," dan kiranya Marx telah melakukan itu. Lihat surat edaran Marx Engels, "Tesis Tentang Feurbach," dalam www.marxist.org. Diakses tanggal 5 Oktober 2004. 19 senantiasa terjadi dalam sejarah manusia. Tetapi sebelumnya, untuk mengenal lebih dekat dengan sosok Marx ini, akan dibicarakan dahulu sekitar potret diri dan karya-karya Marx. B. Potret Diri dan Karya-karya Marx Karl Marx lahir pada tanggal 5 Mei 1818. Ayahnya, Heinrich Marx, seorang pengacara Yahudi yang tinggal di kota kecil Rhineland Trier. Saat itu, ketika Jerman belum menjadi bangsa bersatu, daerah Trier dikuasai oleh Prusia, negara bagian paling kuat saat itu yang diperintah oleh para bangsawan Kristen. Kakek Marx adalah Rabbi Yahudi. Namun karena Prusia sangat anti Yahudi, menjelang kelahiran Marx, ayahnya pindah ke agama Kristen.3 Kepribadian Marx sangat berbeda dengan ayahnya. Marx memang memiliki bakat intelektual, tapi dia keras kepala, kasar, agak liar dan jarang mengedepankan perasaannya. Prestasi belajarnya di sekolah menengah tidak bagus, namun dia mendapatkan pendidikan tambahan dari seorang kerabat keluarganya yang bekerja di kantor pemerintahan Prusia bernama Baron Von Westphalen. Baron inilah yang menumbuhkan minat Marx terhadap sastra klasik. Marx pun akhirnya menikahi putri Baron dan dikarunia enam orang anak. Marx menjadi mahasiswa di Bonn dan kemudian Berlin. Universitas Berlin adalah sebuah pusat pendidikan yang terletak di kota besar, tempat berkumpulnya para ilmuan, kantor-kantor pemerintahan dan intelektualintelektual muda berbakat, yang beberapa di antaranya sangat radikal. Universitas Berlin dan universitas lain di Jerman saat itu didominasi oleh pemikiran seorang filosof Jerman, Georg Wilhelm Friedrich von Hegel (17701831). Marx memperoleh gelar doktornya dalam bidang filsafat pada tahun 1841 dengan disertasi yang membahas pemikiran dua filosof materialis Yunani Kuno, Demokritos dan Epicurus. Selepas kuliah, Marx berharap dapat mengajar di sebuah universitas sebagai profesor. Akan tetapi, persahabatannya dengan orang-orang Hegelian Muda dan ide-idenya yang sangat radikal tidak memungkinkan cita-cita terwujud. Karenanya dia kemudian banting stir ke bidang jurnalistik. Awalnya dia menulis untuk koran-koran lokal, lalu berpindah ke Paris, tempatnya bersentuhan dengan karya-karya pemikir ekonomi dan sosial Perancis. Selama di Paris inilah dia mulai serius mengembangkan teori-teorinya sendiri. Dalam waktu hampir tujuh tahun, dari tahun 1843-1850, mulai dari Paris, Brusel, dan 3 Kajian tentang biografi Marx sudah banyak yang dilakukan, tetapi sebagaimana disinyalir Pals, studi yang paling baik dan akhir adalah yang dilakukan David McLellan, 1973, Karl Marx: His Life and Thought, New York: Harper& Row Publisher. Studi biografi intelektual yang agak klasik dan sesuai dengan latar sosial Eropa ketika Marx masih hidup adalah Isaiah Berlin, 1963, Karl Marx, New York: Time, Inc. 20 kembali lagi ke Jerman, Marx telah menghasilkan beberap esai penting tentang politik dan filsafat. Di antaranya adalan on the Jewish Question (1843), Toward the Critique of Hegel's Philosophy of Right: Introduction (1843), Economic and Philosophyc Manuscript (1844), The Holy Family: or A Critique of All Critiques, dan lain sebagainya.4 Apa yang dihasilkan Marx dalam masa-masa ini sangat berpengaruh dalam kehidupan dan karir selanjutnya. Namun dia tidak menghasilkan semua itu sendirian, karena pada masa-masa yang menentukan ini dia bertemu dengan sahabat kental dan teman seperjuangannya, Friedrich Engels, putera seorang pengusaha Jerman. Kolaborasi antara keduanya nyaris sempurna. Mereka sangat mirip dalam pemikiran, tapi berbeda dalam talenta dan kepribadian. Marx lebih cenderung bersifat sebagai seorang pemikir orisinil, lebih bergaya filosof, bijaksana, terkadang sulit dipahami dan kata-katanya penuh makna. Sebaliknya, Engels adalah seorang interpreter yang komunikatif. Dia mampu mengekspresikan ide-idenya dengan jelas, tepat dan persuasif. Setelah kegagalan revolusi 1848 di seluruh Eropa, Marx dan keluarganya pindah ke London. Dia menghabiskan hampir 30 tahun di sini. Di bawah himpitan kemiskinan dan kekurangan pangan, Marx bekerja tanpa lelah dalam melanjutkan studinya tentang politik dan ekonomi. Das Kapital (1867), adalah karyanya yang paling penting dalam masa-masa ini.5 Ketenaran Marx menyebar dalam tahun 1870-an ketika Das Kapital diterjemahkan dalam bahasa Prancis, Rusia, dan Inggris. Ia menderita bronchitis dan meninggal pda tahun 1883. Volume-volume lain dari Das Kapital diselesaikan oleh Engels, setahun sebelum kematiannya sendiri pada tahun 1894.6 C. Materialisme Dialektik dan Materialisme Historis Materialisme7 dialektik8 merupakan ajaran Marx mengenai hal ihwal alam secara umum. Perkembangan sejarah manusia dan masyarakat pun tunduk 4 Karya-karya Marx ini umumnya sudah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Untuk edisi bahasa Indonesia bisa dilihat pada www.brinkster.com. Pada situs ini pula banyak tulisan kaum Marxis lainnya seperti Lenin, Leon Trotsky, Fidel Castro, Mao Zedong dipublikasikan. 5 Barangkali tidak ada buku yang begitu banyak dibahas, dipuja dan dikecam, tapi sekaligus begitu sedikit dibaca daripada "Das Kapital". Bagi banyak pengagum Marx berlaku apa yang dijawab August Bebel, pendiri partai Marxis pertama, Partai Sosial-Demokrat Jerman kepada seorang sosialis muda yang mengeluh bahwa ia hanya mampu membaca halamanhalaman pertama "Das Kapital": "Tak perlu kamu merasa malu, aku juga tidak pernah membacanya lebih jauh." Lihat Franz Magnis-Suseno, 1999, Filsafat kritis Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, hal. 149. 6 Lihat Daniel L. Pals, 1996, Seven Theories…, hal. 126-129; lihat juga Alburey Castell, 1976, An Introduction to Modern Philosophy, Third Edition, New York: Macmillan Publishing Co, Inc., hal. 293. 7 Materialisme pada dasarnya merupakan bentuk yang paling radikal dari paham naturalisme. Menurut Titus dkk, istilah materialisme dapat didefinisikan: Pertama, yaitu teori yang 21 dan mempunyai watak yang materialistik dialektis.9 Oleh sebab itu, bila teori ini diterapkan pada gejala masyarakat akan timbul apa yang dinamakan materialisme historis. Sebelum memahami materialisme dialektik yang dinisbahkan kepada Marx, perlu dikaji terlebih dahulu ide-ide George Hegel (1770-1831). Hegel, seorang idealis yang tulisannya mempengaruhi Marx berpendapat bahwa alam ini adalah proses menggelarnya pikiran-pikiran. Dari situ timbullah proses proses alam, sejarah manusia, organisme dan kelembagaan masyarakat. Bagi Hegel, yang esensi dari alam adalah jiwa atau pikiran, sedang materi kurang riil. Marx menolak idealisme Hegel. Ia membalikkan filsafat Hegel dan mengatakan bahwa materilah yang pokok.10 Materi, khususnya yang diperlihatkan oleh organisasi ekonomi dari masyarakat serta cara-cara produksi, menentukan kelembagaan politik dan sosial dari masyarakat. Kemudian hal-hal tersebut mempengaruhi pemikiran filsafat, etika dan agama.11 Dalam materialisme dialektik, tindakanlah yang pertama, baru kemudian pikiran pada posisi yang kedua. Aliran ini mengatakan bahwa tak terdapat pengetahuan yang hanya merupakan pemikiran tentang alam, pengetahuan mengatakan bahwa atom materi yang berada sendiri dan bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam dan bahwa akal dan pikiran termasuk dalam mode materi tersebut. Kedua, doktrin bahwa yang mengembalikan segala sesuatu kepada bentuk energi (energism), atau sebagai bentuk positivisme yang memberi tekanan pada sains dan menolak ultimate nature of reality. Lihat Harold H. Titus dkk, 1984, Persoalan-Persoalan Filsafat, alih bahasa Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, hal. 293. 8 Istilah dialektika dapat ditelusuri pada filsafat Herakleitos (500 SM), namun kemudian semakin terlembaga pada filsafat Hegel, yang merumuskan dialektika sebagai teori tentang persatuan hal-hal yang bertentangan. Lihat Andi Muawiyah Ramly, 2000, Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis, Yogyakarta: LKiS, hal. 12. 9 Penyebutan filsafat Marx dengan materialisme dialektis terletak pada asumsi dasar yang mengatakan bahwa benda merupakan suatu kenyataan pokok (fundamental reality) yang selalu terjadi dalam proses perubahan dan pertentangan di dalamnya. Materialisme dialektis selalu bertolak dari materi sebagai satu-satunya kenyataan. Lihat Listiyano Santoso dkk, 2003, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Penerbit Ar Ruzz, hal. 43. 10 Meski menolak idealisme Hegel, akan tetapi Marx dan juga Engels tetap menerima hampir seluruh metodologi filsafatnya. Namun demikian, dialektika Marx berbeda dengan Hegel, bahkan bertentangan. Pertentangannya terletak pada dasar (bukan metodologi) filsafatnya. Filsafat Hegel berdasarkan dan bersifat idealis, sedangkan filsafat Marx berdasarkan materialisme. 11 Yang disebut terakhir ini dalam pemikiran Marx dianggap sebagai suprastruktur yang keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari basis struktur yang ada (baca: kombinsi antara dayadaya dan relasi produksi). Bagi Marx, relasi basis-suprastruktur dapat dilihat sebagai relasi kausalistik (determinasi ekonomi); apa yang terjadi pada suprastruktur merupakan cerminan pasif atas apa yang terjadi di basis. Suprastruktur semata-mata mengekpresikan dan melegitimasi basis struktur. Pandangan Marx ini memperkuat posisi materialismenya dengan mengklaim bahwa realitas objektif (hubungan produksi, cara produksi) menentukan realitas subjektif (kesadaran sosial). Lihat Donny Gahral Adian, 2002, Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, hal. 119. 22 selalu dikaitkan dengan tindakan. Pada zaman dahulu, kata Marx, para filosof telah menjelaskan alam dengan cara yang berbeda-beda. Kewajiban manusia sekarang adalah untuk mengubah dunia, dan ini adalah tugas dan misi yang bersejarah dari kaum komunis. Secara singkat ada empat asas yang bisa dilihat pada materialisme dialektik. Pertama, asas gerak. Gerak (motion) di sini diartikan sebagai perubahan pada umumnya. Gerak adalah salah satu dari tanda adanya benda. Setiap benda, dari yang terkecil hingga yang terbesar, dari setitik atom hingga matahari, semuanya selalu bergerak. Kedua, asas saling berhubungan. Perubahan dan perkembangan gerak disebabkan karena alam semesta ini saling berhubungan satu sama lain. Perubahan dalam satu bagian akan menyebabkan perubahan pada bagian lainnya. Demikian pula hubungan itu terjadi di antara masa lampau dengan masa kini. Ketiga, asas perubahan dari kuantitas kepada kualitatif dan sebaliknya. Menurut Marx, perubahan dari kuantitas dapat mengakibatkan perubahan kualitas. Perubahan kuantitatif selalu berlangsung kontinyu dan berangsurangsur, atau berlangsung secara evolusi. Sedang perubahan dari satu kualitas kepada kualitas lainnya merupakan loncatan yang terjadi sewaktu-waktu saja. Titik perubahan dari satu kualitas kepada kualitas lainnya disebut revolusi. Keempat, asas kontradiksi intern. Perubahan dan perkembangan disebabkan adanya kontradiksi dalam dirinya yang selalu terjadi dalam segala hal. Di sini selalu ada tesis dan lawannya antitesis, yang kemudian melahirkan sintesis. Sintesis ini kemudian menjadi tesis baru yang mendatangkan antitesis baru pula, begitulah selanjutnya dalam setiap hal selalu terdapat pertentangan antara yang lama dengan yang baru, antara yang mati dengan yang lahir, antara yang lenyap dan berkembang dan seterusnya.12 Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, maka satu-satunya yang nyata adalah adanya masyarakat. Landasan material hidup kemasyarakatan ialah: cara berproduksi barang-barang material. Ada dua faktor yang bekerja pada produksi barang-barang itu: (1) kekuatan material yang produktif, yakni material kasar, alat-alat produksi seperti alat-alat kerja dan mesin, kecakapan bekerja, dan pengalaman kerja. (2) nisbah-nisbah produksi, yaitu nisbah-nisbah antara para manusia dalam produksi itu. Produksi secara keseluruhan tidak pernah berhenti. Di situ senantiasa timbul perubahanperubahan yang keluar dari kekuatan-kekuatan yang berproduksi.13 Kondisi inilah yang diamati Marx. 12 Lihat Juhaya S. Praja, 1997, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika: Suatu Pengantar, Bandung: Yayasan PIARA, hal. 107-108. 13 Lihat Harun Hadiwijono, 2001, Sari Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Kanisius, hal. 121 23 Berangkat dari pemahaman tentang materialisme dialektik, Marx kemudian mengandaikan bahwa masyarakat seperti benda-benda lain, selalu dalam proses perubahan. Perubahan ini dimungkinkan terjadi karena ia tidak dapat diam (statis) karena materi sendiri itu bergerak (dinamis). Akan tetapi perubahan atau proses perkembangan itu tidak sederhana, lurus atau linear. Terkadang pada suatu ketika ia bergejolak dan mengalami perubahan yang mendadak. Sejatinya dialektika Marx mengemukakan bahwa perkembangan masyarakat feodalisme ke masyarakat borjuasi atau kapitalisme dan seterusnya ke masyarakat sosialisme merupakan kelanjutan yang tidak dapat dielakkan. Tetapi ini tidak berarti bahwa manusia berdiam diri saja dengan menanti perkembangan itu berjalan sebagaimana maunya. Kelas-kelas itu sendiri adalah kelas-kelas yang berjuang untuk kelasnya, jadi manusia yang dilihat Marx adalah manusia yang berbuat. Bagi Marx masalah pokok bukanlah memahami sejarah atau dunia ini, melainkan bagaimana mengubahnya. "manusia membuat sejarahnya sendiri", katanya.14 D. Ekonomi dan Konflik Kelas Satu asumsi dasar dari pemikiran materialisme dialektik, bahwa semenjak manusia pertama kali muncul dipermukaan bumi ini, mereka bukannya dimotivasi oleh ide-ide besar, namun lebih dikendalikan oleh kebutuhan materi, kebutuhan yang dapat membuat mereka bertahan hidup. Ini adalah fakta pertama yang dipakai oleh kaum materialis dalam melihat sejarah. Bagi Marx faktor materi (baca: ekonomi) adalah faktor yang menentukan dalam perkembangan sejarah manusia. Sejarah digambarkan sebagai catatan pertempuran kelas di mana alat-alat produksi, distribusi dan pertukaran barang dalam struktur ekonomi dari masyarakat menyebabkan perubahan dalam hubungan kelas, dan ini semua sekali lagi mempengaruhi kebiasaan dan tradisi politik, sosial, moral dan agama.15 14 "The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte," dalam Marx and Engels, Selected Works, I, hal. 243-244, sebagaimana dikutip Deliar Noer, 1998, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Bandung: Mizan, hal. 202. 15 Marx cenderung ‘alergi’ dalam melihat agama. Menurutnya agama adalah bentuk ideologi yang paling ekstrem dan paling nyata dari sebuah system kepercayaan yang tujuan utamanya adalah dapat memberikan alasan dan hukum-hukum agar seluruh tatanan dalam masyarakat bisa berjalan sesuai dengan keinginan penguasa. Agama adalah lambang ketertindasan. Agama adalah candu masyarakat. Inti dari kritik Marx terhadap agama, bahwa sesungguhnya manusialah yang menciptakan agama, dan bukan agama (Tuhan) yang menciptakan manusia. Lebih lanjut, lihat Daniel L. Pals, 1996, Seven Theories…, hal. 138-114. Lihat juga Marcel Neusch, 2004, 10 Filsuf pemberontak Tuhan, penerjemah Damanhuri Fattah, Yogyakarta: Panta Rhei Books, hal. 89-129. 24 Terdapat lima tingkatan sistem produksi. Tingkatan pertama, adalah sistem komunisme primitif. Sistem ini adalah tingkatan ekonomi yang pertama dan mempunyai ciri-ciri pemilikan benda-benda secara kolektif, hubungan yang damai antar individu dan tidak adanya teknologi. Tingkatan kedua adalah sistem produksi kuno yang didasarkan atas perbudakan. Cirinya adalah timbulnya hak milik pribadi, yang terjadi ketika pertanian dan pemeliharaan binatang perburuan sebagai sarana hidup. Pertarungan kepentingan timbul ketika kelompok minoritas menguasai sarana hidup. Tingkatan ketiga adalah tingkatan di mana kelompok-kelompok feodal menguasai penduduk. Pembesar-pembesar feodal menguasai kelebihan hasil para penduduk yang hanya dapat hidup secara sangat sederhana. Pada tingkatan keempat, timbullah sistem borjuis atau kapitalis dengan meningkatnya perdagangan, penciptaan dan pembagian pekerjaan; system pabrik menimbulkan industri kapitalis, yang memiliki dan mengontrol alat-alat produksi. Si pekerja hanya memiliki kekuatan badan, dan terpaksa menyewakan dirinya. Sejarah masyarakat mulai pecahnya masyarakat primitif bersama adalah sejarah pertarungan kelas. Kapitalisme industri dengan doktrin kepentingan diri sendirinya, telah membagi masyarakat menjadi dua kelompok yang bertentangan: borjuis atau kelompok yang memiliki dan proletar atau kaum buruh. Oleh karena kelas yang memiliki menguasai lembaga-lembaga kunci dari masyarakat dan tidak mengizinkan perubahan besar dengan jalan damai, maka jalan keluarnya adalah penggulingan kondisi sosial yang ada dengan kekerasan. Marx percaya bahwa dalam seluruh tahap sejarah selalu ada pertentangan antara dua kelas masyarakat yang berkuasa. Dalam masyarakat budak di zaman kuno, pertentangan itu adalah antara warga negara yang bebas dan budak. Dalam masyarakat feodal dari abad pertengahan, pertentangan terjadi antara para tuan tanah feodal dan para hamba pengolah tanah; dikemudian hari, antara bangsawan dan warga negara biasa. Di masa hidup Marx sendiri, pertentangan itu adalah antara masyarakat borjuis atau kapitalis dengan para pekerja atau kaum proletar.16 Setelah revolusi, menurut materialisme dialektik dan filsafat komunis akan terdapat dua tingkat masyarakat. Pertama, tingkat peralihan, yaitu periode kediktatoran dari kaum proletar. Dalam waktu tersebut, orang mengadakan perubahan sosial yang revolusioner, dan kelas-kelas masyarakat 16 Lihat Jostein Gaarder, 2002, Dunia Sophie, Bandung: Mizan, hal. 429. Lihat Juga Doug Lorimer, "Klas-Klas Sosial dan Perjuangan Klas," dalam www.brinkster.com. Diakses pada 5 Oktober 2004. 25 dihilangkan dengan dilenyapkannya hak milik pribadi terhadap sarana produksi, distribusi dan pertukaran. Tingkat kedua setelah revolusi adalah tingkat kelima dan tipe terakhir dari sistem produksi. Itu adalah masyarakat tanpa kelas atau komunisme murni. Pada tingkatan tersebut bentrokan dan eksploitasi akan telah selesai, dan semua orang, pria dan wanita akan terjamin kehidupannya yang layak. Negara tidak lagi menjadi alat kelas dan dialektika tidak berlaku lagi dalam masyarakat tanpa kelas. Akan terdapat kemerdekaan, persamaan, perdamaian dan rezeki yang melimpah. E. Melampaui Pemikiran Marx Ada dua aspek yang hendak digarisbawahi dari pemikiran Marx. Pertama, pandangan dia tentang materialisme dialektik dan kedua pandangan dia tentang konflik kelas dan revolusi yang kemudian melahirkan masyarakat komunis, masyarakat tanpa kelas. Pertama, berkenaan dengan materialisme dialektik. Asumsi yang dikedepankan dari paham ini, bahwa materilah atau dalam konteks kehidupan kemasyarakatan faktor ekonomi, yang menjadi penentu suatu masyarakat, dan bukan ide atau gagasan pemikiran. Pandangan ini, nampak agak bersebarangan dengan banyak fakta yang ada di lapangan. Karena banyak sekali ditemukan kasus yang memperlihatkan bahwa ide-ide yang terdapat dalam dunia seni, sastra, moral, politik dan hukum telah memberikan perubahan penting dalam bidang ekonomi, bukan sebaliknya seperti yang diyakini Marx. Max Weber misalnya, seorang teoritikus sosial berkebangsaan Jerman, yang hidup dua dekade setelah kematian Marx, menyatakan bahwa etika Protestanlah yang menciptakan spirit kapitalisme, dan bukan sebaliknya. Demikian juga penelitian Robert N. Bellah yang membuktikan peranan agama Tokugawa dalam modernisasi Jepang, atau Clifford Geertz tentang peranan kaum Muslim santri di Jawa dalam menumbuhkan etos kerja dan tradisi kewirausahaan. Kesemuanya ini, bisa dianggap penelitian yang telah 'meralat' keabsahan dari pandangan materialisme dialektik. Kedua, berkenaan dengan konflik kelas dan revolusi ala Marx, ada dua kelemahan mendasar yang patut dikemukakan. Kelemahan pertama, adalah masalah sosial dan politik yang sangat fundamental. Untuk melihat ini, perlu melihat kembali asumsi revolusi Marx. Kelas pekerja (proletar) adalah agen utama revolusi. Karena dipicu oleh rasa nekat dan penderitaan yang mereka alami, kelompok sosial ini pada suatu saat akan tumbuh menjadi penghancur kapitalisme. Pemimpin mereka akan menyatu pada kepentingan tunggal, yaitu kepentingan rakyat. Selanjutnya, karena hanya ada satu keinginan kolektif dari rakyat, maka tidak ada ruang untuk berbeda pendapat Walaupun pemilu diadakan, tetapi hanya ada satu partai politik. Walaupun rakyat bisa bekerja, 26 tapi tidak ada kebebasan individual bagi seorang artis, ilmuwan dan kaum intelektual, sebab hanya ada satu tujuan yang jadi pilihan, mengabdi pada kaum proletariat. Walaupun keluarga, orang tua dan lain-lain, tapi anak-anak mereka sepenuhnya milik negara. Kehadiran agama jelas tidak bisa ditolerir, sebab akan menggoyang kekuatan revolusi dan merampas loyalitas masyarakat yang seharusnya diberikan kepada revolusi. Jika semua itu memang yang hendak digambarkan, maka akan sulit tercapai tujuan akhir dari program ini, yaitu masyarakat tanpa kelas dan kehidupan yang harmonis. Karena sangat utopis dan terlalu simplistis dalam melihat kehendak dan cita-cita dari kaum buruh. Pada Perang Dunia I misalnya, kesetiaan para buruh pada kelasnya di negara-negara Eropa ternyata dikalahkan oleh ikatan bahasa, nasionalisme dan kebudayaan. Kelemahan kedua, dan ini agak berbahaya, bahwa revolusi Marx meniscayakan bahwa ada segelintir orang yang akan menjadi keputusankeputusan penting atas nama kepentingan pekerja, yang biasa disebut diktator proletariat. Namun, pada saat yang sama tidak ada mekanisme yang memungkinkan para pekerja mempertanyaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh segelintir orang tadi. Masyarakat kemudian sangat rentan dengan kebrutalan manipulatif, yang atas nama revolusi ternyata mengorbankan diri mereka sendiri. Persoalan lebih lanjut, ternyata diktator proletariat ini dimungkinkan sebagaimana dinyatakan Engels menjalankan teror guna mencapai maksud tertentu. Dengan kata lain, penguasa dalam revolusi boleh berbuat apa saja, dan akan memandang tiap lawan atau yang tidak setuju dengannya sebagai reaksioner ataupun kontra revolusi. Kalau demikian, Marx dan Engels nampaknya tidak mempergunakan ukuran yang sama terhadap golongannya sendiri. Teorinya tentang sejarah, yaitu dialektika yang dikandung oleh materialisme sejarah, tidak dilanjutkannya bila ia sampai kepada masa diktator proletariat yang dapat merupakan tesis, dan sebab itu bisa menimbulkan antitesis, dan selanjutnya tesis barulagi. Ia telah muncul saja dengan gambaran suatu masyarakat yang tidak berkelas, masyarakat yang statis, tidak lagi berkembang sesuai dengan garis historis materialisme itu. Namun melihat perkembangan gerakan komunis yang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini semakin melemah dan seolah kehilangan bentuk, yang ditandai dengan perubahan-perubahan yang signifikan pada negara-negara utama pengusung ideologi ini seperti Uni Soviet (sekarang Rusia) dan RRC, jelas bahwa pandangan-pandangan Marx tentang perjuangan kelas dan revolusi yang melahirkan masyarakat tanpa kelas telah dihancurkan oleh teorinya sendiri, yang mengandaikan segala sesuatu dialam ini berubah. 27 F. Penutup Kontribusi Karl Marx secara filosofis adalah pada pendekatan historis yang digunakan terhadap dalil-dalil yang diajukannya. Demikian pula pengakuan akan besarnya pengaruh faktor ekonomi dalam membatasi alternatifalternatif tindakan. Tidak adanya faktor ekonomi seringkali membatasi alternatif tindakan kita untuk beribadah atau beramal misalnya. Di samping itu, jasa Marx yang patut dicatat adalah kritik sosialnya yang merupakan sumbangan moril terhadap tata sosial melalui masyarakat tanpa kelas yang diidamkannya. Walaupun ia melupakan adanya kerjasama sosial, ia masih tetap layak mendapat tempat dalam rangkaian sejarah pemikiran umat manusia. Keberatan yang mendasar atas filsafat Marx adalah pemikirannya yang terlalu monistik dan menentang pendekatan ilmiah atas perubahan, sehingga dengan demikian mengabaikan pluralistik dalam hidup. Pertentangan kelas dalam masyarakat memang dapat diterima keberadaannya. Tetapi kerjasama antar kelas pun telah terbukti keberadaannya serta menjadi suatu keharusan untuk mencapai kesejahteraan hidup. Wallahu ‘alam bishawab. 28 BAB IV HERMENEUTIKA FENOMENOLOGIS RICOEUR: JALAN TENGAH ANTARA SUBJEKTIVISME DAN OBJEKTIVISME A. Pendahuluan Hermeneutika,1 sebagai sebuah aktivitas penafsiran, bukanlah satu hal yang baru lahir. Kehadirannya bisa dikatakan seirama dengan semangat para ‘agamawan’ dalam upaya mereka untuk memahami teks-teks kitab suci. Namun sebagai suatu persoalan filosofis, ia baru terlihat pada masa Friedrich Schleirmacher (1768-1834) dan Wilhelm Dilthey (1839-1911), secara lebih spesifik lagi pada W. Dilthey, yang karena pengaruh positivistik, berusaha menawarkan sebuah metode yang dapat menghasilkan suatu penafsiran yang objektif, sebagai tandingan atas ‘objektivisme dari positivisme’ yang secara sewenang-wenang menggusur peranan subjek dalam membentuk realitas sosial. Dilthey mengajukan sebuah dikotomi antara “Erklaren” dari ilmu-ilmu alam (Naturwissenschaften)2 dan “Verstehen” dari ilmu-ilmu tentang batin manusia (Geisteswissenschaften).3 “Erklaren” adalah sikap positivistik atau naturalistik yang dituntut ilmu-ilmu pengetahuan alam untuk menentukan kadar ilmiah atau validitas ilmiah dari pengetahuan itu. Sikap itu melahirkan metode yang bersifat matematis dan eksperimental-empiristik. Sedang “Verstehen” adalah pemahaman subjektif yang dipakai sebagai metode yang memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subjektif tindakan sosial.4 Istilah hermeneutik berasal dari bahasa Yunani, dari kata kerja “hermeneuen” yang berarti menafsirkan. Sedangkan kata bendanya “hermenia”. Akar kata itu dekat dengan nama salah satu dewa Yunani, yakni dewa Hermes, utusan atau pembawa pesan dari dewa-dewa. Dewa ini mempunyai peranan untuk mengubah apa yang berada di luar pengertian manusia ke bentuk yang bisa dimengerti oleh manusia. Dalam tradisi Islam, Hermes-menurut Sayyed Hossein Nasr- tak lain adalah Nabi Idris, yang dalam filsafat Yunani, dikenal sebagai father of philosopher (Abul Hukama). Lihat J.M. Robinson dan John B. Cobb., 1964, The New Hermeneutics, Harper and Row Publisher, New York, hal. 1. Lihat Juga Sayyed Hossein Nasr, 1989, Knowledge and the Sacred, State University Press, New York, hal. 71. 2 Semua ilmu pengetahuan tentang fisik seperti biologi, kimia, fisika dan ilmu-ilmu lainnya termasuk kelompok bidang ini, demikian juga semua jenis sains yang mempergunakan metode ilmiah induksi. 3 Bidang ini berkaitan dengan senua pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia seperti sejarah, psikologi, filsafat, ilmu-ilmu sosial, seni, agama, kesusasteraan dan ilmu-ilmu lain yang sejenis. 4 Bambang Triatmoko, “Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur”, Driyakarya, No. 2/th. XIV, hal. 29. 1 29 Dalam studi ilmu-ilmu historis-budaya, dunia kehidupan tidak dapat begitu saja didekati lewat metode ilmiah induksi seperti pada ilmu-ilmu alam. Dalam pengetahuan alam, manusia menangkap fenomena yang berbeda dengan dirinya. Sedangkan dalam pengetahuan historis-budaya, manusia memahami dirinya sendiri. Oleh karena itu, seorang ilmuwan sosial, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan. Untuk menjelaskan, ia perlu memahami. Sedang untuk memahami ia harus bisa berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu. Akhirnya, partisipasi itu mengandaikan bahwa ia sudah masuk ke dalam dunia kehidupan itu.5 Model hermeneutika Dilthey ini, adalah kemampuan untuk ‘menerobos’ jarak budaya antara seorang hermeneut dengan ‘dunia lampau’ teks yang ingin dipahaminya, dengan cara mereproduksi kembali kejadian-kejadian yang dihayati oleh penulis teks itu. Pra pengandaian yang mendasari hermeneutik ini adalah kemampuan untuk melakukan ‘transposisi historis’, yakni dapat terlepas konteks historisnya dan masuk dalam situasi historis pengarang. Pra pengandaian inilah yang kemudian dipertanyakan oleh Paul Ricoeur. Bagaimana mungkin manusia sebagai makhluk historis dapat meninggalkan konteks historisnya, guna mengatasi jarak budaya itu? 6 Keinginan Dilthey untuk melawan kecenderungan positivistik, yang mendominankan objek atas subjek, dengan menawarkan “Verstehen” untuk ilmu-ilmu tentang manusia, dan bukan “Erklaren”, sebagai sebuah solusi memang sukses, tapi usaha Dilthey itu sebenarnya hanya memperkuat posisi subjek di dalam skema subjek-objek, sehingga akhirnya Dilthey pun tenggelam dalam psikologisme.7 Untuk menjembatani ‘pertikaian’ antara kubu subjekvisme dan objektivisme ini, fenomenologi bisa dijadikan satu alternatif. Karena fenomenologi mengetengahkan suatu hubungan asli yang mendahului subjekobjek, yakni apa yang oleh Husserl sebut sebagai “lebenswelt” atau pengalaman hidup (life world) yang dihayati sebelum orang mendeskripsikan dunia secara positivistik,8 dan ini akan melibatkan akal budi. Palmer 5 Lihat J. Habermas, 1984, The Theory of Communicative Action, Beacon Press, Boston, hal. 108 6 Lihat Paul Ricoeur, 1974, The Conflick of Interpretations: Essays In Hermeneutics, Northwestern University Press, Evanston, hal. 5 7 Kejatuhan pada psikologisme ini bisa dijelaskan karena “Verstehen” dicari pada daerah psikologi, yakni kemampuan primordial manusia untuk mengatasi dirinya dan masuk ke dalam dunia mental orang lain. Sesuatu yang bagi Ricoeur terlihat absurd. Lihat Bambang Triatmoko, “Hermeneutika … hal. 29-30 8 Lihat Roger Scruton, 1996, A Short History of Modern Philosophy From Descartes to Wittgenstein, Routledge, London dan New York, hal. 254 30 mengatakan bahwa fenomenologilah yang membuka jalan baru untuk mentransendensikan skema subjek-objek.9 Fenomenologi ini pulalah yang menjadi medan di mana Paul Ricoeur mencangkokkan hermeneutika. Ia mau menggunakan metode fenomenologis untuk menyingkapkan permasalahan hermeneutik. Namun, Ricoeur bukanlah orang yang pertama kali mengenalkan metode ini, sebelumnya sudah ada Heidegger yang merupakan murid dari sang begawan fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938), yang kemudian dilanjutkan oleh Gadamer, murid Heidegger dalam fenomenologi Dasein. Tapi menurut Ricoeur, apa yang telah ditempuh oleh Heidegger dan Gadamer hanyalah jalan pendek (short route), dan ini belum cukup. Perlu ada jalan panjang (long route) yang bisa mendamaikan antara “Erklaren” dan “Verstehen”. 10 Hal inilah kemudian yang ditawarkan Ricoeur lewat pandangannya tentang fenomena bahasa. Tulisan ini akan mencoba untuk mengangkat kembali model hermeneutika fenomenologi yang ditawarkan oleh Ricoeur ini. Tapi untuk lebih mengkomprehensifkan pembahasan, akan terlebih dahulu dikenalkan secara ringkas biografi intelektual Ricouer, kemudian pandangan-pandangan dia seputar hermeneutik yang meliputi persoalan simbol, teks dan interpretasi, atau lazim disebut sebagai hermeneutika teks. B. Sketsa Biografi Intelektual Ricoeur Paul Ricoeur lahir di Valence, Prancis Selatan, pada tahun 1913. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dipandang sebagai cendekiawan Protestan yang terkemuka di Prancis. Ia dibesarkan di Rennes sebagai seorang anak yatim piatu. Karirnya dalam dunia filsafat dimulai dengan perkenalannya dengan Dalbiez di Lycee, seorang filsuf yang berhaluan Thomistis yang terkenal, karena dialah salah seorang kristen pertama yang mengadakan suatu studi besar tentang psikoanalisa Freud (1936). Ricoeur secara autodidak mempelajari karya-karya Husserl, Heidegger dan Jaspers, yang kelak banyak mempengaruhi pola pikirnya. Ricoeur juga memiliki kebiasaan setiap tahunnya membaca karya-karya lengkap salah seorang filsuf besar: dari Plato serta Aristoteles sampai dengan Kant, Hegel, dam Nietzshe. Sehingga ia memperoleh pengetahuan mendalam dan luas seluruh tradisi filsafat Barat. Ia juga mendalami serta mengunakan filsafat analitis (Wittgenstein, Austin, Searles, dan lain-lain) dan dengan demikian termasuk sedikit sekali filsuf Prancis yang mengenal tradisi filosofi khas Inggris itu. 9 Richard E. Palmer, 1969, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Northwestern University Press, Evanston, hal. 246 10 Ulasan mengenai dua jalan ini, lihat Joseph Bleicher, 1980, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy, and Critique, Routledge & Kegan Paul, London, Boston, and Henly, hal. 238-244 31 Pengakuan atasnya sebagai bagian dari ‘masyarakat filsafat’ ditandai lewat ‘licence de philosophie’ yang diberikan padanya pada tahun 1933. Pada akhir tahun 1930 ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa S-2 di Universitas Sorbonne, dan pada tahun 1935 memperoleh ‘agregation de philosophie’, yaitu keanggotaan atau izin menjadi suatu organisasi dalam bidang filsafat. Pada tahun 1950 ia memperoleh gelar ‘docteur des lettres’ (Doktor bidang Kesusasteraan) melalui tesisnya yang berjudul Philosophie de la Volonte (Filsafat Kehendak) yang selanjutnya dijabarkan ke dalam dua volume, yaitu: La Volontaire et l’Involontaire (yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki). Dalam volume ini Ricoeur menggunakan metode Fenomenologi untuk membahas dimensi kehendak yang dalam tulisan G. Marcel disebut ‘incarnate existence’. Sedang volume kedua diberi judul Finitude et Culpabilite (Keterbatasan dan Kesalahan) yang pada tahun 1960 diterbitkan dalam dua buah buku dengan masing-masing judul: L’Homme Faillible (Manusia yang mudah jatuh ke dalam dosa) dan La Symbolique du Mal (Simbol dosa/kejahatan). Karya ini merupakan tesis tambahan terjemahan karya Husserl ‘Ideen I ‘ dengan pendahuluan dan komentar yang sudah mulai dikerjakan ketika dalam tahanan di Jerman. Dua karya inilah yang mengangkat Ricoeur sebagai seorang ahli terkemuka di bidang fenomenologi. Dalam bidang akademis, karir yang dijalani Ricoeur dimulai sebagai staf pengajar di Colmar selama satu tahun. Pasca PD II, ia menjadi dosen filsafat di College Cevinol, pusat Protestan internasional untuk pendidikan dan kebudayaan di Chambonsur-Lignun. Pada tahun 1957 Ricoeur diangkat menjadi Profesor Filsafat di Universitas Sorbonne. Namun, pada tahun 1966 ia memilih mengajar di Nanterre, perluasan dari Universitas Sorbonne, dipinggiran kota Paris. Kemudian ia diangkat menjadi dekan di sana pada Maret 1969. Pada tahun 1970, karena ada sesuatu hal, Ricoeur meletakkan jabatannya sebagai dekan, dan pindah ke Universitas Louvain atau Leuven di Belgia. Namun pada tahun 1973, ia kembali ke Nanterre dan sekaligus sebagai profesor luar biasa pada Universitas Chichago. Pada waktu yang bersamaan, ia juga menjadi direktur pada pusat studi fenomenologi dan Hermeneutik (centre d’etudes phenomenologiques et hermeneutiques) di Prancis. Pada masa inilah ia banyak menaruh perhatian pada masalah filsafat bahasa dan hemeneutika.11 11 Lihat K. Bertens, 1985, Filsafat Barat Abad XX jilid II Prancis, Gramedia, Jakarta, hal. 438-442; Lihat juga E. Sumaryono, 1999, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, hal. 103-104; 32 C. Hermeneutika teks: Interpretasi Atas Simbol dan Teks Dalam karya-karyanya, Ricoeur tampaknya memiliki perspektif kefilsafatan yang beralih dari analisis “eidetik” (pengamatan yang sedemikian mendetail), fenomenologis, historis, hermeneutik, hingga pada akhirnya semantik. Namun ada dugaan, bahwa keseluruhan filsafat Ricoeur pada akhirnya terarah pada hermeneutik, terutama interpretasi.12 Interpretasi menurut Ricoeur merupakan suatu hal yang teramat penting, terlebih ketika dihadapkan pada pluralitas makna, oleh karenanya penggalian makna yang ‘mungkin’ ada berlapis-lapis, merupakan persoalan pokok filsafat. Bagi Ricoeur, pada dasarnya filsafat adalah sebuah hermeneutik yang membaca makna yang tersembunyi dalam senuah teks yang seolah sudah jelas dan mengandung makna.13 Penggunaan hermeneutika oleh Ricoeur muncul pertama kali dalam rangka suatu reflektif filosofis tentang kehendak. Lewat hermeneutika, Ricoeur berusaha bukan saja mencari makna tersembunyi dari simbol-simbol, melainkan juga memperluas perspektifnya, belajar dari simbol-simbol, memperkaya pengetahuannya. Bagi Ricoeur, hermeneutika adalah proses penguraian yang bertolak dari isi dan makna yang tampak kepada makna yang tersembunyi. Obyek interpretasi adalah teks dalam pengertian luas, yang mencakup simbol-simbol mimpi, mitos, simbol masyarakat atau literatur. Dalam konteks ini, Ricoeur meminjam analisis psikoanalisisnya Freud. Dengan hermeneutika, Ricoeur ingin membongkar kendala-kendala hermeneutik dalam mitos dan simbol, serta secara reflektif mensistematisasi realitas dibalik bahasa, simbol, dan mitos.14 Persoalan tentang simbol ini menjadi semakin rumit dengan munculnya strukturalisme di Prancis yang menggeser pemikiran fenomenologi dan eksistensialisme. Sikap radikal strukturalisme ini terlihat dengan penolakannya terhadap prioritas subjek yang begitu ditekankan dalam eksistensialisme dan fenomenologi. Menurut paham ini, bahasa merupakan suatu sistem tertutup, di mana semua unsur menunjuk kepada unsur yang lain, oleh karena itu sia-sia belaka untuk mencari makna yang menunjuk ke luar bahasa, yaitu ke dunia sebagaimana yang dikemukakan oleh hermeneutik.15 Menyikapi munculnya strukturalisme dianggap sebagai sebuah tantangan bagi Ricoeur. Di satu pihak, ia berusaha belajar dari dari E. Sumaryono, 1999, Hermeneutik…., hal. 105 Paul Ricoeur, 1974, The Conflict of…, hal. 22 14 Paul Ricoeur, 1984, Hermenetics and the Human Sciences, edited and translatted by John B. Thomson, Cambridge University Press, Cambridge, hal. 34-35 15 Kaelan, 1998, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Paradigma, Yogyakarta, 1998, Filsafat Bahasa…, hal. 231 12 13 33 strukturalisme. Pendekatan struktural dimasukkannya ke dalam pendekatan hermeneutik. Ia mengakui sifat bahasawi (the lingual character) dari simbolsimbol; simbol-simbol itu memang tercantum dalam suatu sistem bahasawi. Di lain pihak ia coba mengkritik strukturalisme sebagai suatu pandangan yang terlalu berat sebelah tentang bahasa. Dalam rangka usahanya ini, ia kemudian banyak menyoroti persoalan teks. Sebuah teks sebagai penghubung bahasa isyarat dan simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup hermeneutik, karena budaya oral (ucapan) dapat dipersempit. Hermeneutik dalam hal ini hanya akan berhubungan dengan kata-kata tertulis sebagai ganti kata-kata yang diucapkan. Ricoeur menegaskan bahwa definisi yang tidak terlalu luas justru memiliki intensitis.16 Suatu teks adalah otonom atau berdiri sendiri; tidak tergantung pada maksud pengarang. Pada situasi historis karya atau buku di mana teks tercantum dan pada pembaca-pembaca pertama. Ketika hermeneutika coba diterapkan pada teks, sifat hermeneutika sendiri berubah. Hermeneutika tidak lagi mencari makna tersembunyi dibalik teks (seperti dilakukan Ricoeur dalam hermeneutika tentang simbol-simbol), tetapi mengarahkan perhatiannya kepada makna obyektif sebuah teks, terlepas dari maksud subyektif pengarang atau orang lain. Menginterpretasikan sebuah teks bukannya mengadakan suatu relasi intersubyektif antara subyektivitas pengarang dan subyektivitas pembaca, melainkan hubungan antara dua diskursus; diskursus teks dan diskursus interpretasi. Interpretasi selesai bila ‘dunia teks’ dan ‘dunia interpretor’ bercampur baur menjadi satu. Dengan mendekati teks secara obyektif - terlepas dari relasi-relasi intersubyektifnya - Ricoeur belajar banyak dari strukturalisme. Tetapi ia tidak mau berhenti di situ. Bila suatu teks sudah dilepaskan dari situasi dialogal - suatu yang menandai diskursus lisan, tetapi kita tidak boleh memperlakukan teks atau diskursus tertulis sebagai diskursus lisan; teks itu otonom -, maka masih mungkin dua sikap yang berbeda. Di satu pihak kita dapat menyingkirkan setiap referensi teks kepada sesuatu yang lain; kita dapat memandang teks sebagai sesuatu yang tertutup dalam dirinya dengan hanya memperhatikan relasi-relasi internnya. Itulah sikap yang diambil 16 Alan Montefiore (ed), 1983, Philosophy in France Today, Cambridge University Press, Cambridge, hal. 193. Bagi Ricoeur pengertian teks sebatas bentuk tulisan masih bisa didiskusikan lagi. Kalau teks adalah rekaman dari sebuah wacana, misalnya transkrip sebuah seminar, bukankah hal itu sesungguhnya masih berupa wacana yang diabadikan dalam format tulisan? Artinya, dalam pengertiannya yang lebih ketat, teks dikatakan teks hanya ketika sebuah gagasan secara sadar dituliskan oleh pengarangnya, bukannya transkrip sebuah wacana. Jika pengertian kedua diambil, maka sebuah teks pidato tidak memenuhi syarat sebagai sebuah teks, karena tujuannya untuk dibacakan di depan pendengar, di mana antara pembicara dan pendengar terjadi kontak langsung. Lihat Mario J. Valdes (ed), 1991, A Ricoeur Reader: reflection and Imagination, University of Toronto Press, hal. 44 34 strukturalisme dan cara memandang ini membuka perspektif-perspektif yang menarik. Namun demikian, masih mungkin suatu sikap lain dan sebenarnya sikap kedua ini diandaikan oleh sikap yang pertama, tetapi rupanya strukturalisme tidak mengakui atau sekurang-kurangnya tidak mementingkan kenyataan itu. Teks juga berbicara tentang sesuatu. Tetapi dengan itu, teks tidak lagi menjadi suatu realitas tertutup, karena di sini tampak referensi kepada suatu dunia, bukan sebagai sesuatu yang dicari di belakang teks, melainkan sebagai sesuatu yang berada di depan teks, kalau boleh dikatakan demikian.17 Tugas utama hermeneutik dalam hal ini adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks, dan mencari daya yang dimiliki kerja teks itu dalam memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan ‘hal’ nya teks itu muncul ke permukaan. Lewat hermeneutika, segala problem dalam filsafat bahasa bisa dijawab, yaitu melalui interpretasi.18 Di sini interpretasi didefinisikan kemudian sebagai usaha akal budi untuk menguak makna tersembunyi dibalik makna yang langsung tampak, atau untuk menyingkapkan tingkat makna yang diandaikan di dalam makna harfiah.19 Dengan mengapresiasi dari strukturalisme ini, Ricoeur berpendapat bahwa teks itu mempunyai tempat di antara penjelasan struktural dan hermeneutik. Penjelasan struktural bersifat objektif, sedang pemahaman hermeneutik memberi kesan subjektif. Sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom untuk melakukan “dekontekstualisasi”, baik dari sudut pandang sosiologis maupun psikologis, dan untuk melakukan “rekontekstualisasi” secara berbeda dalam tindakan membaca. 20 Seorang hermeneut, oleh karenanya dituntut untuk bisa membaca dari dalam teks tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamannya pun tidak lepas dari kerangka kebudayaan dan sejarahnya sendiri.21 Menurut Ricoeur, sekali sebuah wacana dimantapkan dengan tulisan, maka saat itu pula ia mempunyai otonomi tiga rangkap: otonomi terhadap maksud pengarang, otonomi terhadap lingkup kebudayaan asli tempat teks itu ditulis, dan otonomi terhadap pendengar atau publik yang asli.22 Atas dasar otonomi ini, maka yang dimaksudkan dengan dekontekstualisasi adalah bahwa K. Bertens, 1985, Filsafat Barat…, hal. 454-455 E. Sumaryono, 1999, Hermeneutik…, hal. 107-108 19 Lihat Paul Ricoeur, 1974, The Conflict of…, hal. 13 20 Yang dimaksud dengan dekontekstualisasi, yaitu proses pembebasan diri dari konteks, sedang kontekstualisasi, yaitu proses masuk kembali ke dalam konteks. 21 E. Sumaryono, 1999, Hermeneutik…, hal. 108-109 22 Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Baso, 1999, Civil Society Versus Masyarakat Madani, Pustaka Hidayah, Bandung, hal. 46. Lebih jelasnya lagi, lihat juga Paul Ricoeur, 1984, Hermenetics…, hal. 108 17 18 35 materi teks melepaskan diri dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya. Teks kemudian membuka diri terhadap kemungkinan dibaca secara luas, di mana pembacaannya selalu berbeda-beda, inilah yang dimaksud dengan rekontekstualisasi.23 Dari kritiknya atas strukturalisme, bisa kita lihat bahwa Ricoeur berusaha memberikan prioritas lebih kepada semantik daripada semiotik. Tapi sekali lagi, hal ini bukan berarti bahwa Ricoeur menolak sama sekali pendekatan struktural itu. Pendekatan struktural tetap dilihat oleh Ricoeur sebagai kutub objektif di dalam proses interpretasi yang akan mempersiapkan kutub subjektif yang dinamakan “appropriasi” (pemilikan kembali). Appropriasi inilah yang menjadi tujuan utama hermeneutik; appropriasi ini jualah yang menjadi ujung dari konsep tentang rentang hermeneutik (hermeneutical arch) yang membentang dari kutub objektif dan kutub subjektif atau dari sisi metodologis “Erklaren” dan sisi ontologis “Verstehen”. Dan pendekatan struktural dan pemahaman hermeneutik dilihat oleh Ricoeur secara dialektik, sebagai dua hal yang saling melengkapi. Dan itu terjadi di dalam konsep Ricoeur tentang teks dan hermeneutika yang bisa dikatakan sebagai puncak dari perjalanan pemikiran hermeneutik Ricoeur.24 Refleksi hermeneutik Ricoeur ini kemudian dilanjutkan pembahasannya pada persoalan bahasa metafor. Bagi Ricoeur, bahasa metaforis memiliki kekuatan yang bisa mempertemukan antara ikatan emosional dan pemahaman kognitif sehingga seseorang dimungkinkan untuk mampu melihat dan merasakan sesuatu yang berada jauh di belakang teks. Dengan menggarisbawahi pendapat Max Black, Ricoeur menyatakan: A memorable metafor has the power to bring two separate domains into cognitive and emotional relation by using language directly appropriate for the one as a lens for seeing the other25. D. Bahasa Sebagai Basis Fenomenologi Ricoeur Pada pendahuluan tulisan ini telah disinggung, bahwa Ricoeur mencoba untuk mendamaikan ‘persengketaan’ antara aliran subjektivisme dan objektivisme. Solusi yang hendak ia tawarkan adalah lewat jalur fenomenologi, yang sebelumnya telah dirintis oleh Husserl, Heidegger, dan Gadamer. Dalam fenomenologi seorang fenomenolog harus bisa dengan cermat menempatkan di antara dua tanda kurung (einklammern, ausschalten) kenyataan berupa dunia luar. Yang utama adalah fenomenanya, dan fenomena hanya tampil dalam kesadaran. Usaha ini diterapkan dengan menggunakan metode yang khas, yang E. Sumaryono, 1999, Hermeneutik…, hal. 109 Bambang Triatmoko, “Hermeneutik…., hal. 39 25 Paul Ricoeur, 1976, Interpretation Theory: Discourse and Surplus of Meaning, The Texas Christian University, hal. 67 23 24 36 diterapkan dalam reduksi fenomenologi (epoche). Pertama, reduksi “eidetik”, yang memperlihatkan hakikat (eidos) di dalam fenomena, dan yang kedua, reduksi transendental, yang menempatkan dalam tanda kurung setiap hubungan antara fenomena dengan dunia luar.26 Penerapan metode fenomenologis ini dalam dunia hermeneutik dilakukan secara dialektik, yakni dari tataran epistemologi ke tataran ontologi. Dari konsep historical understanding ke konsep historical experience. Pertanyaan yang mau dijawab kemudian tidak hanya bagimanakah interpretasi itu harus dilakukan, tetapi apakah juga interpretasi itu, dan apakah yang terjadi pada saat seseorang memahami teks? Oleh karenanya usaha hermeneutik tidak hanya diarahkan untuk mendapatkan sebuah metode interpretasi yang valid dan objektif, tetapi juga pada hakikat dari interpretasi itu.27 Menurut Ricoeur ada dua jalan untuk mencangkokkan hermeneutika ke dalam fenomenologi. Pertama, jalan pendek, dan yang kedua jalan sulit atau jalan panjang. Jalan pendek yang dimaksudkan adalah ontologi pemahaman seperti yang dikemukakan oleh Heidegger maupun Gadamer dalam Fenomenologi Dasein. Martin Heidegger, dalam pergulatannya dengan permasalahanpermasalahan ontologis, akhirnya mengambil metode fenomonologi dari Edmund Husserl dan melakukan penelaahan fenomenologis atas hidup manusia sehari-hari di dunia. Hasil studinya ini kemudian dibukukan di bawah judul “Sein und Zeit” (1953) yang kemudian sampai sekarang dianggap sebagai karya utamanya. Dia menyebut analisa yang dilakukannya dalam “Sein und Zeit” (Being and Time) sebagai Hermeneutika Dasein. Dalam konsep Heidegger itu hermeneutika tidak dikaitkan pada satu disiplin ilmu atau aturan-aturan tentang penginterpretasian teks, dan tidak juga dikaitkan pada metodologi bagi Geisteswissenschaften, melainkan pada deskripsi fenomenologis dari keberadaan makhluk itu sendiri. Pemahaman dan penafsiran merupakan cara-cara berada paling fundamental dari manusia. Hans-Georg Gadamer, mengikuti jalan yang ditempuh oleh gurunya ini, dan mengembangkan implikasi-implikasi dari sumbangan Heidegger kepada hermeneutika ke dalam suatu kerja sistematis yang disebutnya hermeneutika filosofis. Dengan konsep itu, Gadamer meninggalkan konsep hermeneutika sebagai basis metodologis, terutama bagi Geisteswissenschaften. Di dalam bukunya, “Wahreit und Methode” (Truth and Method), status metode itu sendiri dipertanyakan. Metode bukanlah jalan untuk menuju kebenaran. Sebaliknya kebenaran itu mengelakkan diri dari usaha metodis manusia. 26 Lihat Bernard Delfgauuw, 1988, Filsafat Abad 20, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta, hal. 106 27 Bambang Triatmoko, Hermeneutik…, hal. 32 37 Pemahaman kemudian tidak dilihat sebagai suatu proses subjektif dari manusia berhadapan dengan objek, tetapi merupakan cara berada manusia itu sendiri. Dimensi ontologis dari pemahaman yang diajukan oleh Heidegger maupun Gadamer itu oleh Ricoeur disebut sebagai jalan pendek, karena menghentikan semua diskusi tentang metode. Pemahaman tidak lagi dikaitkan dengan cara mengetahui, tetapi lebih menunjuk pada cara berada. Permasalahan hermenutika dengan demikian menjadi masalah permasalahan tentang analisa dari makhluk hidup ini, Dasein yang berada melalui pemahaman. Analisa tentang Dasein ini tidak menjadi sebuah alternatif yang memaksa kita memilih antara pemahaman ontologi atau epistemologi interpretasi. Akibatnya cara Heidegger yang radikal ini tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: dapatkah kita memberikan sebuah perangkat pada eksegese, pada pengertian yang jelas akan sebuah teks? Bagaimana konflik interpretasi yang saling bertentangan bisa diselesaikan? Bagaimanakah ilmu-ilmu sejarah dapat berdiri sendiri berhadapan dengan ilmu-ilmu alam. Atas dasar argumentasi ini, Ricoeur kemudian menawarkan sebuah jalan sulit atau jalan panjang. Jalan panjang yang ditawarkan oleh Ricoeur ini berangkat dari pemahaman dia tentang bahasa. Bahasa adalah bidang di mana semua pengamatan filosofis saling memotong satu sama lain. Bahasa adalah tempat bertemunya analisis logika, fenomenologi, eksistensialisme, tafsir kitab suci, hermeneutika, bahkan psikoanalisa.28 Bahasa adalah sesuatu yang netral. Ia adalah fenomena yang tidak subjektif dan tidak pula objektif. Dengan demikian, maka lewat bahasa persoalan yang menjadi pertikaian antara kubu subjektif dan objektif bisa dijembatani. Melalui bahasa, jalan panjang ini ditempuh, yaitu sampai pada refleksi di tingkat ontologi secara bertahap melalui gerak dari pemahaman yang naif (tahap semantik), lewat validasi dari model struktural (tahap refleksi), sampai pada tahap pemahaman yang mendalam (tahap eksistensial).29 Langkah semantik adalah pemahaman pada tingkat ilmu bahasa yang murni; pemahaman reflektif adalah pemahaman pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu mendekati tingkat ontologi; sedang langkah pemahaman eksistensial atau ontologis adalah pemahaman pada tingkat being atau keberadaan makna itu sendiri. Ketiga langkah ini, berkaitan erat dengan tiga langkah pemahaman yang dijelaskan oleh Ricoeur, yaitu yang berkaitan langsung dari penghayatan atas simbol-simbol ke gagasan tentang berpikir dari simbol-simbol. Langkah E. Sumaryono, 1999, Hermeneutik…, hal. 108 Lihat Bambang Triatmoko, “Hermeneutik…., hal. 34 28 29 38 pertama, langkah simbolik atau pemahaman dari simbol-simbol. Langkah kedua, adalah pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna. Langkah ketiga, adalah langkah yang benar-benar filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.30 Di dalam tiga tahap pemikiran itu, kita dapat menemukan proyek hermeneutika Ricoeur untuk memecahkan permasalahan-permasalahan dikotomi antara “Erklaren” dan “Verstehen” lewat konsep dialektikanya yang didasarkan pada analisa linguistik yang ilmiah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hermeneutika Ricoeur merangkum dua kecenderungan besar dalam filsafat abad dua puluh ini, yakni filsafat bahasa dan apa yang sekarang muncul sebagai daya tarik untuk memberi dasar (fundamen) bagi ilmu-ilmu sosial. E. Penutup Sebagai catatan akhir dari paper ini, dapat disimpulkan bahwa apa yang dikemukakan oleh Ricoeur dalam hermeneutika teks, lebih khusus lagi pada konsepnya tentang rentang hermeneutik (hermeneutic arch), - yang merupakan ciri khas fenomenologis hermeneutik yang ia miliki -, telah mengantarkan Paul Ricoeur pada prestasi puncaknya, yang sekaligus telah menampakkan kreativitas dan kejeniusan yang istemewa dalam pergulatan pemikirannya. Ia bisa dikatakan cukup berhasil menyandingkan dan sekaligus memanfaatkan secara cerdas dua kutub yang berseberangan. Kutub objektif, yang menggunakan pendekatan struktural, dipakai sebagai cara untuk menempatkan di dalam tanda kurung semua pemahaman yang naif dan dangkal dari pembacaan sebuah teks. Sedangkan dengan konsep appropriasi atau kutub subjektif dari rentang hermeneutik, Ricoeur telah mengembalikan makna teks pada perpaduan dengan subjek pembacanya di wilayah dunia yang dihayati atau lebenswelt yang menjadi titik tolak fenomenologi. Dan jembatan yang ia yakini mampu menghubungkan antara dua kubu yang berseberangan ini, adalah fenomena bahasa. Tidak salah kiranya kalau kemudian ungkapan yang sangat disukai Ricoeur ini bahwa man is language, manusia adalah bahasa. Wallahu ‘alam bishawab. E. Sumaryono, 1999, Hermeneutik…, hal. 111 30 39 BAB IX KEBANGKITAN ISLAM & UPAYA PENCARIAN JATI DIRI A. Pendahuluan Abad ke-15 Hijirayah memiliki makna yang khusus bagi dunia muslim, karena ia dianggap sebagai perlambang dan mempertegas kembali semangat akan kebangkitan dunia Islam. Isu kebangkitan dunia Islam ini, telah memberikan ruang diskusi publik yang sangat semarak, mulai dari perdebatan para intelektual muslim dalam memaknai kebangkitan Islam, sampai sikap dan tindakan apa yang harus diambil dalam upaya merespon terhadap Barat dan pencarian jati diri sebagai muslim. Secara historis, semangat kebangkitan Islam bisa dilacak pada masa yang lebih awal, yaitu sekitar dua ratus tahun yang lalu. Adanya kontak langsung dengan Barat lewat kolonialismenya, telah menyadarkan sebagian kaum muslimin bahwa identitas mereka sebagai muslim telah berada pada titik yang sangat kritis. Sepanjang abad ke-19 agama Kristen (Barat) mendesak dunia Islam hampir dari segala aspek, baik militer, ekonomi, maupun politik. Dunia muslim seolah tidak berdaya dengan adanya serangan ini, dan ‘termangu’ dengan sejumlah pertanyaan: Mengapa umat Islam bisa sedemikian tertinggal dibandingkan dengan umat lainnya (Barat/Kristen)? Apa sebenarnya yang tidak beres dalam Islam? Mengapa nasib kaum Muslimin terbalik begitu dramatis? Kekacauan tatanan politik Islam tradisional, dan upaya perlawanan menangkal campur tangan kolonialis Barat beserta pemerintahannya telah mendatangkan krisis identitas, tapi sebaliknya juga melahirkan gaya politik baru bagi kaum muslimin abad 20 yang modern. Di bawah pengaruh Barat dan pemerintahan kolonial, modernisasi telah terjadi di mana-mana. Secara kasar dapat dikatakan bahwa beberapa negara muslim telah mengikuti jalan-jalan Barat dan sekularisasi begitu mereka menerima pola-pola politik, hukum, dan pendidikan di sana. Di sebagian besar dunia Islam, kecendrungan pemisahan agama dan negara kian dapat dibenahi. Masa kejayaan kekhalifahan dan sultan telah lenyap, hukum Islam sebagian telah berganti dengan aturan-aturan Barat. Secara umum, sebagaimana diungkap John L. Espisito, bahwa meski ada banyak varian penyebab kebangkitan Islam ini, tapi beberapa penyebab dapat 83 diidentifikasi sebagai berikut: (1) adanya krisis identitas yang diakibatkan ketidakberdayaan, kekecewaan, dan kehilangan rasa harga diri, (2) kekecewaan dengan Barat dan kegagalan pemerintah untuk bereaksi secara cukup akan kebutuhan-kebutuhan politik, sosial ekonomi masyarakat, dan (3) tampilnya kembali rasa harga diri dan kesadaran akan kekuatan sendiri akibat sukses militer (Arab-Israel), dan ekonomi (embargo minyak) pada tahun 1973.1 Selain itu keberhasilan Khomeini dalam revolusi Iran, juga semakin menambah ‘greget’ dan ‘gaung’ dari kebangkitan Islam.2 Dalam menghadapi Barat dan upaya mencari potret diri muslim, sikap dan respon Muslim memang tidak seragam. Bagi sementara kaum Muslimin, Eropa atau Barat merupakan salah satu pendorong penting bagi upaya-upaya pembaruan di kalangan kaum Muslimin, yang pada gilirannya muncul dalam bentuk modernisme atau reformisme. Bagi mereka mengangkat kaum Muslimin dari kemunduran dan keterbelakangan dalam segi-segi tertentu, perlu dilakukan adopsi pemikiran dan kelembagaan Barat. Sebaliknya, bagi kelompok yang lain yang antipati terhadap Barat, menganggap bahwa Barat merupakan salah satu faktor terpenting yang menyebabkan keterbelakangan kaum Muslimin. Dalam pandangan mereka, Barat tidak hanya telah menjajah wilayah kaum Muslimin (dâr al Islâm), tetapi juga bahkan merusak dan menghancurkan sistem nilai, budaya sosial, ekonomi, intelektual Islam, serta sekaligus merusak dan melenyapkan lembaga-lembaga Islam, seperti lembaga pendidikan, politik, hukum dan sebagainya. Padahal dalam saat yang sama, Barat itu sendiri, menurut kelompok ini dipenuhi oleh kebobrokan, terutama dari segi nilai dan keimanan. Oleh karenanya, Barat harus dilawan. 3 Tulisan ini bermaksud memotret berbagai respon yang muncul dari para pemikir muslim terhadap fenomena kebangkitan Islam dan upaya pencarian jati diri muslim. Berkenaan dengan upaya pencarian jati diri ini, sangat berkaitan dengan sikap mereka terhadap Barat, sebagai pihak yang ‘dianggap’ lebih maju dari dunia Islam pada umumnya, yang pada gilirannya melahirkan berbagai varian kelompok di dunia Islam. 1 Lihat John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam: Watak, Proses, dan Tantangan, Rajawali Press, Jakarta, 1987, hal. 14 2 Keberhasilan Revolusi Islam Iran ini telah membuktikan, bahwa gerakan yang mendapat inspirasi kuat dari Islam dimungkinkan untuk menggulingkan suatu rezim yang jelas-jelas pro Barat dan sangat kuat. Uraian yang lebih lanjut, lihat R.M. Burrell, Fundamentalisme Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hal. 44-45 3 Lihat Azyumardi Azra, “Kelompok Sempalan di Kalangan Mahasiswa Perguruan Tinggi Umum: Anatomi Sosial Historis”, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, Logos, Jakarta, 1999, hal. 228 84 B. Fenomena Kebangkitan Islam Kebangkitan Islam(Islamic resurgence), merupakan suatu gerakan yang mengacu pada: pandangan dari kaum Muslim sendiri bahwa Islam menjadi penting kembali; Islam dikaitkan dengan masa lalunya yang gemilang hingga masa lalu tersebut mempengaruhi pemikiran kaum Muslim sekarang; Islam dipandang sebagai alternatif, dan karena itu dianggap ancaman bagi pandangan hidup atau ideologi lain yang sudah mapan, khususnya ideologiideologi Barat. 4 Bagi masyarakat Barat fenomena kebangkitan Islam merupakan sesuatu yang sulit untuk dimengerti. Dalam masyarakat ilmiah-industri, iman dan amalan agama akan menurun. Seseorang dapat memberikan topangan intelektual terhadap pandangan ini: Doktrin agama bertentangan dengan pandangan ilmiah yang memberi banyak kelebihan, dan menjadi dasar teknologi dan ekonomi modern.5 Sekularisasi kemudian menjadi suatu keputusan yang tidak bisa digugat. Tapi, khusus untuk Islam ada pengecualian. Pada akhir abad pertengahan, tiga empat peradaban besar dunia telah tersekularisasi. Doktrin Kristen yang disunting oleh para teolognya sendiri, dan keyakinan harfiah yang mendalam tidak tampak dalam kehadirannya. Di Cina, paham sekuler telah diterapkan secara resmi dan agama nenek moyang tidak lagi diacuhkan. Di India, negara dan kalangan elit bersikap netral terhadap apa yang menjadi agama rakyat, sekalipun kepercayaan astrologi tetap dipraktekkan di mana-mana. tapi untuk Islam, situasinya sungguh berbeda. Mengganggap sekularisasi telah melanda Islam tidaklah berlebihan, tapi anggapan itu salah belaka. Saat ini Islam tetap kuat seperti seabad yang lampau.6 Islam memang tidak memberikan tempat bagi sekularisasi karena agama wahyu ini memang tidak mengenal dikotomi secara tegas antara kehidupan dunia dan kehidupan akherat, antara yang profan dan yang sakral, antara yang immanen dan yang transenden. Universalitas dan sentralitas Islam bagi kaum Muslimin dalam kehidupan mereka merupakan ajaran terpenting yang tidak dapat ditawar lagi. Dalam dunia Islam, agama tetap merupakan sumber petunjuk moral, inspirasi spritual dan penghibur jiwa pada skala di mana orang-orang Barat belum mengalami, dan mungkin tidak mampu membayangkan.7 Islam memiliki Lebih lanjut, lihat Chandra Muzaffar,”Kebangkitan Islam: Suatu Pandangan Global dengan Ilustrasi dari Asia Tenggara”, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, editor Saiful Muzani LP3ES, Jakarta, 1993, hal. 58 5 Lihat Ernest Gellner, Menolak Postmodernisme: Antara Fundamentalisme Rasionalis dan Fundamentalisme Religius, Mizan, Bandung, 1994, hal. 16 6 Lihat Ernest Gellner, Menolak...., hal. 17 7 Lihat R.M. Burrell, Fundamentalisme..., hal. 10 4 85 ajaran yang komprehensif, yang meliputi aspek kehidupan, mulai persoalan yang menyangkut pedoman pelaksanaan ketatanegaraan sampai persoalan yang agak remeh-remeh seperti tata cara bersuci dan berhubungan badan. Satu karakter menonjol dari kecendrungan yang dominan dari kebangkitan Islam adalah keyakinan kuat bahwa masyarakat harus diorganisir atas dasar al Qur’an dan as Sunnah. Ini berarti nilai-nilai, prinsip-prinsip, aturan-aturan dan regulasi yang terkandung dalam al Qur’an dan Sunnah harus ditegakkan dalam kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, hukum, dan pemerintahan. Yang mendasari keyakinan ini adalah pengakuan eksplisit bahwa al Qur’an dan Sunnah membentuk pandangan hidup yang menyeluruh yang kesucian dan kemurniannya tidak boleh dinodai dengan penafsiran baru yang terpengaruh oleh perubahan ruang, waktu, dan lingkungan. Ide-ide dan institusi-institusi baru dapat diterima sepanjang prinsip tertinggi tidak dikompromikan dengan cara bagaimanapun juga. C. Kebangkitan Islam & Jati Diri Ada kecenderungan di Barat khususnya, untuk memandang kebangkitan Islam sebagai kembali pada iman, iman pada Tuhan dan hari Akhir. Ia disamakan misalnya dengan cara bagaimana orang ateis atau agnostik kadangkadang menemukan Tuhan kembali melalui Kristus. Tapi apa yang terjadi dalam dunia Islam sangatlah berbeda. Kaum muslim tidak pernah benar-benar kehilangan kepercayaan (iman) pada Tuhan. Bahkan elit yang terbaratkan yang mungkin lalai dalam kewajiban-kewajibannya sebagai mulim, tetap mempertahankan keimanan mereka pada Tuhan. Kebangkitan Islam diawali dengan suatu gerakan yang dikenal sebagai revivalisme awal pada abad ke-19. Gerakan ini lebih memfokuskan perhatiannya pada persoalan-persoalan keagamaan intern umat Islam. Praktek-praktek keagamaan yang banyak berlaku dalam masyarakat tradisional yang dianggap tidak memiliki dasarnya dipandang suatu bid’ah. Dalam konteks Indonesia, Muhammadiyah dengan gerakan anti TBC (takhayul, bid’ah, dan khurafat)-nya, kiranya bisa diletakkan dalam kelompok ini. Gerakan ini menekankan perlunya ijtihad, dan berusaha mengembalikan paham dan praktek keagamaan pada posisi yang moderat. Interaksi dunia Islam dengan Barat modern lewat kolonialisme membuka mata kaum Muslim untuk memperluas gerakan kebangkitan mereka tidak hanya dengan membenahi persoalan-persoalan keagamaan yang bersifat intern, melainkan dengan gerakan politik untuk merebut kemerdekaan dari kolonialisme Barat. Dan bersamaan dengan itu, kaum Muslim yang belajar di Barat menangkap bahwa yang menjadi elan vital kemajuan Barat adalah 86 pandangan dunianya yang menekankan sentralnya peran akal atau rasio, kebebasan dan otonomi manusia. Kelompok ini yang kemudian dikenal sebagai modernisme Islam meyakini bahwa pemikiran liberal dan pendidikan modern (Barat) sebagai suatu keniscayaan dari keislaman. Tradisi pemikiran liberal dan rasional dalam Islam seperti teologi Mu’tazilah dan filsafat kembali mendapat tempat dan menjadi relevan bagi umat yang ingin menciptakan masyarakat modern. Tokoh Muhammad Abduh, banyak memiliki pengaruh yang kuat dalam kelompok ini.8 Masih berkaitan dengan Barat, dengan terinspirasi atas gerakan Marxisme atau neo-Marxisme yang kritis terhadap modernisasi atau pembangunan kapitalis, telah menumbuhkan gerakan-gerakan radikal yang menyatakan dirinya sebagai Islam Kiri atau transformisme. Pembangunan oleh gerakan ini dipandang sebagai ekspansi kapitalisme dunia, dan pelaksanaan kapitalisme di dunia ketiga atau masyarakat Muslim ternyata menimbulkan persoalan yang kompleks, karena itu apa yang dikumandangkan oleh kelompok ini adalah transformasi global, menciptakan tata dunia baru yang non kapitalis. Tokoh-tokoh semacam Hasan Hanafi, Ashgar Ali Engineer, Ali Shariati, Chandra Muzaffar, Dawam Rahardjo, Mansour Faqih, pada beberapa aspek bisa dikategorikan pada kelompok ini. Kritik terhadap kecenderungan menguatnya dominasi peradaban Barat modern yang materialistik ini juga telah memunculkan kelompok yang disebut neo tradisionalisme yang dimotori diantaranya oleh Sayyed Hossein Nasr. Manusia modern menurut kelompok ini sudah menjadi aspek materi dan sejarah hingga semakin jauh dari asal atau tradisinya, yakni kemenyatuan dengan Tuhan, Realitas asali, universaal, dan abadi (perenial). Tawaran dari kelompok ini bahwa apa yang diperlukan manusia modern agar tidak mengalami kehancuran adalah menanamkan pada dirinya pengalaman-pengalaman transendental, metafisika, atau hikmah seperti yang dipraktekkan dalam taraket atau tasawuf. Tokoh-tokoh terdepan lainnya yang bisa dimasukkan dalam kelompok ini yaitu, F. Schoan. Hamid Algar, Roger Garaudy, Martin Lings, dan Naquib al Attas. 8 Muhammad Abduh (1849-1905) bisa dikatakan sebagai orang Mesir pertama yang menunjukkan keterbelakangan masyarakat Mesir dan fakta bahwa masyarakat Mesir telah kehilangan kapasitas untuk memperbaharui dirinya. Problem sosial dan politik Mesir, katanya, terjadi karena warisannya sendiri, yang telah membuat Mesir tak mampu menanggapi tantangan Zaman. Menurutnya, kelemahan umat Islam disebabkan oleh perpecahan internal umat, yakni umat Islam terpecah belah menjadi bangsa-bangsa yang kecil yang beragama sekte dan keyakinannya, yang saling bertikai demi kesetiaannya pada pemimpin. Juga disebabkan oleh kebodohan dan salah memahami iman, tertutupnya pintu ijtihad, dan kekeliruan kebijakan pemimpin. Lihat Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh Perintis Pembaruan Islam”, dalam Ali Rahmena (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Mizan, Bandung, 1996, hal. 42. Lihat juga William M.ontgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, khususnya pada bahasan para pembaru dan aktivitas konservatif, hal. 105-110 87 Bersamaan itu muncul lagi suatu gerakan yang dikenal sebagai neo revivalisme yang dimotori oleh antara lain Hasan al Banna di Mesir, Maududi di Pakistan, dan Khomeini di Iran. Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap para modernisme klasik yang menurut hemat mereka telah terbaratkan (westernized). Yang ditekankan oleh kelompok ini, bahwa Islam merupakan ideologi yang dari situ seluruh tatanan kehidupan diturunkan secara utuh. Islam adalah khas, beda dengan ideologi-ideologi lainnya. Dan ia dipandang sebagai alternatif bagi seluruh umat manusia. Kelompok ini umumnya berpandangan bahwa umat Islam dalam mencapai kemajuannya tidak perlu meminjam sistem apapun dari Barat. Umat Islam harus membangun sendiri peradabannya berdasarkan ortodoksi Islam sendiri, sebab al Qur’an telah mencakup petunjuk yang dibutuhkan dalam membangun peradaban itu. Sebagai reaksi atas gerakan neo revivalis ini memunculkan gerekan neo modernisme Islam yang dimotori oleh Fazlurrahman. Kaum neo modernisme ini memberikan sumbangan mendasar yang belum terumuskan kaum modernisme klasik. Kelemahan modernisme klasik, menurut Rahman terletak pada tidak adanya sistem dalam gerakan yang dapat menyatukan secara organik antara wahyu (al Qur’an), tradisi, dan realitas kontemporer umat. Dalam menangkap pesan moral al Qur’an yang merupakan pesan etika sosial al Qur’an dapat dilakukan dengan menelaah konteks sosio historis dari ayat-ayat al Qur’an tersebut. Apa yang dikemukakan di atas, hanyalah sebagian aspek kecenderungan pemaknaan kebangkitan Islam yang muncul dipermukaan. Ada aspek-aspek lain lagi yang bisa dikemukakan, yang bisa dianggap sebagai bagian dari fenomena kebangkitan Islam ini. yaitu (1) kelompok-kelompok terorganisir dan berpolitik, misalnya ikhwanul muslim di Mesir dan Jamaat Islam di Pakistan, (2) kelompok-kelompok terorganisir, tetapi tidak berpolitik, seperti jamaah tabligh dan kelompok salafi, (3) kelompok bebas yang tidak berafiliasi pada suatu organisasi, dan (4) kelompok-kelompok yang tidak terorganisasi dan tidak berpolitik. Kelompok terakhir ini direpresentasikan oleh umat Islam yang sedang dalam proses pertumbuhan keimanan. Lapisan ini berkembang secara cepat dan mengarahkan dirinya secara esensial. Mereka tidak mempunyai sistem apa pun, baik dalam pemahaman ataupun eksperimen keberagamaan. Mereka meletakkan seluruh aspek kehidupan di bawah pedoman. Mereka inilah sebagaimana diungkapkan oleh Fahmi Huwaidi9 sebagai fondasi real bagi kebangkitan Islam. 9 Penjelasan mengenai kelompok ini bisa dilihat pada Fahmi Huwaidi, “Kebangkitan Islam dan Persamaan Hak Antarwarga Negara”, dalam Kebangkitan Islam dalam Perbincangan para Pakar, GIP, Jakarta, 1990, hal. 160-161. 88 D. Dibalik Kebangkitan Islam Tidak dapat disangkal sebagaimana nampak pada paparan terdahulu, bahwa banyak varian kelompok yang menganggap dirinya berdiri di belakang kebangkitan Islam. Mereka memiliki pandangan yang cukup bervarian terhadap nasib umat Islam dan respon atas superioritas Barat. Namun demikian, sebagaimana diungkap Azyumardi Azra, 10 setidaknya ada tiga bentuk pendekatan yang secara implisit bisa ditemukan di dalam respon para pemikir Muslim terhadap dominasi Barat. Pertama, sikap apologetik dengan mengemukakan kelebihan-kelebihan Islam yang tidak hanya untuk menjawab hegemoni Eropa, tetapi sekaligus tantangan intelektual Eropa yang mempersoalkan aspek-aspek tertentu ajaran Islam seperti Ijtihads, poligami, perbudakan, dan lain-lain. Mereka yang berada dalam posisi ini cenderung normatif dan idealistik dengan mengabaikan realitas sosial. Selain itu juga mencerminkan sikap reaksioner. Kelompok ini melihat elemen-elemen Islam dalam kebudayaan Arab sebagai elemen yang harus ditonjolkan. Mereka berusaha kembali kepada sumber-sumber Islam autentik. Kedua, adalah sikap identifikatif, yakni dengan mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi guna merumuskan respon dan sekaligus identitas Islam di masa modern. Kebudayaan Arab bagi kelompok ini dinilai masih sesuai di era modern dengan cara interpretasi yang cerdas dan berbagai modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan modern. Ketiga, adalah sikap afirmatif, yaitu dengan menegaskan kembali kepercayaan kepada Islam dan sekalgus menguatkan kembali eksistensi masyarakat muslim itu sendiri. Dalam perspektif ini, kebudayaan Arab mesti diubah dan dirumuskan kembali secara tepat. Pandangan keagamaan tentang kehidupan dan dunia perlu diganti dengan pandangan sekuler yang didasarkan pada prinsip-prinsip rasionalisme, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Ketiga jenis pendekatan di atas pada banyak kasus seringkali sulit dipisahkan, dan nampak saling tumpang tindih. Pergulatan yang intens antara masing-masing kelompok ini, merupakan suatu dinamika tersendiri yang menyemarakkan kebangkitan Islam. Bukankah pada masa jayanya dulu, peradaban Islam juga diwarnai oleh dinamika intelektual dan mekanisme konflik yang sangat tinggi? Dari pergulatan dan konflik inilah, diharapkan kedewasaan muncul, dan semangat untuk melakukan koreksi diri akan terus 10 Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Postmodernisme, Paramadina, Jakarta, 1996, hal. iv-vi. 89 terjadi. Masing-masing akan berlomba untuk memberikan kontribusinya bagi kemajuan dan kejayaan Islam. Kebangkitan Islam, meski sangat berkaitan dengan reaksi ‘marah’ terhadap imperialisme Barat, tapi semata mengecilkan proses kebangkitan tersebut sebatas reaksi ‘marah’ semata, adalah menyesatkan. Memang ada reaksi terhadap imperialisme, tapi yang diungkapkan rakyat jelas bukan kemarahan politik yang diungkapkan dengan gamblang. Sebab yang jauh lebih mendalam adalah ketidakpuasan terhadap cita-cita dan nilai-nilai, lembaga dan sistem pemerintahan yang diimpor dari Barat, yang telah dipaksakan atas mereka. Yaitu ketidakpuasan terhadap pimpinan yang mereka hubungkan dengan contoh pembangunan gaya Barat yang diterapkan pada masyarakat muslim. Gerakan kebangkitan Islam adalah kecaman terhadap status qua (kemandegan) muslim. Gerakan ini juga sebagaimana diungkap Khursid Ahmad,11 merupakan pengungkapan kembali iman di dada. Dan dimensi ini banyak diabaikan dalam tulisan Barat. mereka sering beranggapan bahwa hal ini sekedar pengaturan kembali masalah politik dan sosial. Tatanan sosial pastilah penting, tetapi titik mulanya adalah kebangkitan kembali dan penguatan iman, sekaligus membangun kembali moral dan watak sang individu. Di dalamnya ada pula kebangkitan spritualitas dan idealisme, yang membangkitkan pengertian baru tentang arah komitmen untuk membangun kembali dunia mereka, apapun yang harus dikorbankan. Meski sampai saat ini, pemikiran kebangkitan Islam belum begitu membuahkan hasil yang signifikan bagi kemajuan umat Islam secara makro, namun setidaknya telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi perjuangan kemerdekaan dalam lingkup nasional masing-masing negara Islam. Meski saat ini citra kembali kepada Islam sering diidentikkan dengan fundamentalisme yang senang dengan budaya teror, tapi ghirah untuk itu tidaklah pudar. Secara perlahan umat Islam menapaki kembali sejarah mereka, dan terus berupaya mengejar ketertinggalannya dari Barat. Ketertinggalan umat Islam dibandingkan Barat memang cukup jauh, tapi dengan semangat yang kuat, dan pengalaman-pengalaman yang terus bertambah, bukan mustahil ketertinggalan itu bisa dikejar. Malah, belajar dari kekurangan-kekurangan Barat, umat Islam bisa kembali membangun sebuah peradaban yang lebih anggun dan gemilang, sebuah peradaban yang tidak lagi maslahat bagi umat Islam semata, tetapi juga bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘âlamin) 11 Lihat Khurshid Ahmad, “Sifat Kebangkitan Islam” dalam John L. Esposito (ed), Dinamika Kebangunan Islam: Watak, Proses, dan Tantangan, Rajawali Press, Jakarta, 1987, hal. 285 90 E. Penutup Sebagai catatan penutup dari tulisan ini, dapat dikemukakan bahwa Barat dengan segala fenomenanya, sedikit banyak memang cukup membantu penyadaran akan jati diri kaum Muslim yang sebenarnya. Masing-masing kelompok Islam yang telah dijelaskan di atas adalah bagian dari kerja bersama umat Islam dalam suatu semangat kebangkitan dan pencarian jati diri yang sesungguhnya. Mereka mempercayai bahwa Islam memiliki jawaban atas problematika yang melanda dunia saat ini. Umat Islam bisa belajar kepada Barat atas kemajuan yang mereka raih, sebagaimana dulu Barat juga belajar kepada dunia Islam. Banyak khazanah Barat, kalau ditelaah secara mendalam, telah diberikan pembenarannya dalam ajaran-ajaran Islam yang murni. Jadi ibaratnya, lewat Barat umat Islam menggali khazanah kekayaannya yang banyak lenyap dan terlupakan. Bagi dunia Islam, Barat bisa menjadi ‘rekan yang baik’ dalam dialog peradaban, dalam upaya mewujudkan misi suci Islam, yaitu sebagai rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh makhluk Tuhan) . Wallahu ‘alam bishawab 91 BAB V PEMIKIRAN KRISTEN BARAT: ANTARA REFORMASI DAN KONTRA REFORMASI A. Pendahuluan Peradaban Barat yang hingga detik ini masih menjadi mercusuar peradaban dunia, tidaklah muncul dan membesar seketika, tapi ia memiliki akar sejarah yang cukup panjang, yang bisa dilacak dari masa kejayaannya yang pertama di zaman Yunani kuno, yang kemudian tenggelam dalam masa kegelapannya, untuk seterusnya mulai bangkit kembali semenjak renaisans. Sehingga munculnya renaisans di Barat bisa dianggap sebagai tonggak dari lahirnya peradaban Barat mutakhir. Meskipun tidak ada catatan pasti dan definitif mengenai kapan zaman renaisans lahir, umumnya era modern dianggap dimulai pada abad ke-17 ketika kebudayaan Barat berkembang menjadi negara-negara Industri maju. Secara kronologis zaman renaisans ini muncul dan berkembang di Italia melalui gerakan seni dan pemikiran sosial politik yang kemudian menyebar ke seluruh negara Eropa.1 Hadirnya renaisans yang menghantarkan kejayaan peradaban Barat juga bukanlah sesuatu yang ada begitu saja. Di sana banyak dinamika yang terjadi yang melatari munculnya semangat kebangkitan ini. Satu aspek yang tidak bisa diabaikan dalam mengkaji munculnya renaisans ini adalah dinamika pemikiran dalam dunia Kristen Barat, terutama yang berkenaan dengan adanya tuntutan reformasi dalam tubuh Gereja di Barat.2 Tulisan ini bermaksud menelaah dinamika pemikiran yang berkembang dalam dunia Kristen Barat pada masa munculnya tuntutan reformasi pada Gereja. Untuk memberikan pemahaman yang mendalam dan seksama terhadap pembahasan, pertama akan diulas terlebih dahulu kondisi Gereja pada masa pertengahan, yang kemudian melahirkan reformasi dan kontra reformasi, 1 Lihat Crane Brinton et, Jhon B. Christoper, Robert L. Wolf, A History of Civilization, Prentice Hall, New Jersey, 1962, hal. 437-451 2 Berbicara tentang Gereja dalam dunia Kristen, tentunya bukan yang di maksud dalam persepsi umum sebagai gedung dalam bentuk fisik semata. Gereja biasanya dipahami sebagai sebuah persekutuan yang diberi spesifikasi dan konotasi yang khusus, yaitu sebagai sebuah persekutuan orang-orang yang percaya, yang dipanggil dan dipilih untuk menjadi berkat bagi semua orang (Kejadian 12: 2-3). Persekutuan ini merupakan panggilan dari Allah (Rom. 9: 24. Gereja juga disamakan dengan pengabaran Injil (Ep. 4: 15), bahkan Paulus sendiri menamakan Gereja itu dengan tubuh Kristus. Lihat J. Verkuyl, Bangsa, Gereja, Negara, BPK, Jakarta, 1967, hal. 221. 40 untuk selanjutnya mematangkan gerakan Katolik Roma sebagai penerus tradisi Gereja awal. B. Dominasi Gereja dalam Peradaban Barat Geraja di Barat merupakan satu variabel yang tidak bisa diabaikan ketika mengkaji peradaban Barat. Terlebih pada masa pertengahan (5901500), dominasi Gereja di Barat sangatlah kuat. Pada masa itu berkembang asumsi umum bahwa Paus mempunyai kekuasaan tertinggi atas seluruh dunia, termasuk dunia kafir.3 Dominasi yang berlebihan dari Gereja ini, pada akhirnya menimbulkan banyak ketidakpuasan pada sebagian ‘intelektual’ Kristen.4 Pada awal abad ke-16, ‘kekecewaan’ terhadap Gereja sudah sangat terakumulasi. Tata Gereja yang resmi benar-benar membutuhkan pembongkaran yang menyeluruh dan birokrasi kegerajaan telah menjadi sangat tidak efesien dan korup. Moral para rohaniawan sering tampak lemah dan menjadi sumber skandal bagi jemaat mereka. Para rohaniawan seringkali tidak berada di tengah jemaatnya. Sebagian besar jabatan kegerejaan yang tinggi diperoleh melalui cara-cara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Umumnya didasarkan atas hubungan kekeluargaan, status politik atau status kekeluargaan dari para kandidat dan bukan atas kualitas kerohanian mereka. Desakan akan perubahan ini juga berkait dengan kerohanian Gereja. Terdapat kebutuhan yang sangat mendesak untuk menangkap kembali vitalitas dan kesegaran iman Kristen.5 3 Kepausan atau keuskupan Roma dapat menjadi pusat Geraja Barat, karena uskup ini dianggap sebagai pengganti Rasul Petrus, yang ditunjuk oleh Kristus sebagai yang pertama di antara para Rasul (lihat Mat. 16:18-19; Yoh. 21:15-17). Terlebih ia adalah uskup ibukota kekaisaran dan pemimpin Gereja yang memelihara kubur-kubur kedua rasul utama kekristenan, Petrus dan Paulus. Lihat Chr. De Jonge & Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja?, Gunung Mulia, Jakarta, 1997, hal. 24; Lihat juga David J. Bosh, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, Gunung Mulia, Jakarta, 1999, hal. 354-355 4 Sebuah novel yang baru-baru ini dirilis dan kemudian difilmkan, The Da Vinci Code banyak memberikan ilustrasi menarik bagaimana perlawanan kaum intelektual dan seniman seperti Sir Isaac Newton, Batticelli, Victor Hugo dan Da Vinci yang bergabung dalam kelompok Biarawan Sion secara diam-diam melawan dominasi Geraja Katolok Roma, dan menuduh mereka menyembunyikan banyak fakta dan kebenaran yang seharusnya ditampilkan. Lihat Dan Brown, The Da Vinci Code, Penerjemah Isma B. Koesamawardi, Serambi, Jakarta, 2006. 5 Perilaku yang menympang dari para ‘oknum’ pejabat Gereja ini telah membuat Gereja mulai kehilangan pengaruhnya di dunia ilmu pengetahuan dan segala bidang kehidupan masyarakat. Institusi Gereja berkembang tidak sehat. Gereja hanya dijadikan komoditi politik, ekonomi untuk menguasai dan mengeruk keuntungan material sebanyak-banyaknya. Gereja menjadi sarang korupsi dan kolusi, sehingga fungsi rohaniawan Gereja yang sebenarnya menjadi ‘pelayan’ masyarakat, malah menjadi ‘tuan besar’ yang angkuh, jauh dari masyarakat. Mereka cenderung otoriter, menindas petani-petani, dan mensuburkan praktek feodal, koropsi dan kolusi. Lihat A. G. Dickens, “Intellectual and Social Forces in The German Reformation” dalam Reformation Studies, London, 1982, hal. 491-503. Lihat juga Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1999, hal. 2-3 41 Pada gilirannya tuntutan reformasi ini kemudian mengkristal pada aspek ajaran, teologi dan paham-paham keagamaan Kristen. Bagi pengamat-pengamat yang kritis seperti Martin Luther dari Wittenberg dan Yohanes Calvin dari Jenewa, dan Zwingli dari Swiss, Gereja abad ke-16 telah kehilangan visi mengenai warisan intelektualnya. Sudah waktunya untuk memperoleh kembali paham-paham dari zaman keemasan Gereja. Para reformer itu mengumandangkan jeritan dari kaum humanis, yaitu kembali ke sumbersumber (adfontes), kembali ke zaman keemasan Gereja supaya mendapatkan kembali kesegaran, kemurnian dan vitalitasnya ditengah-tengah suatu zaman yang mandek dan korup.6 Tuntutan reformasi tampaknya tak bisa dibendung lagi, bahkan sudah mengarah pada hal-hal yang menjadi fundamental dari ajaran teologis Kristen. Menjawab tuntutan kaum reformer ini, pihak Gereja pun melakukan kontra reformasi sebagai respon terhadap persoalan yang menjadi perdebatan, baik berupa pembenahan terhadap praktek menyimpang dari ‘oknum’ pejabat Geraja maupun pengadaan berbagai konsili sebagai upaya menuju pematangan (maturasi) dalam ajaran teologis Katolik. C. Reformasi dan Kontra Reformasi Apa yang disebut zaman reformasi dan kontra reformasi meliputi jangka waktu yang mulai pada abad ke-15 dan berlangsung sampai abad ke-20. Pada awal abad ke-16 para reformer mulai unjuk gigi menentang dominasi Gereja. Tokoh-tokoh semacam Luther di Jerman, Kalvin di Prancis, dan Zwingli di Swiss tampil dalam suatu kekristenan yang bergejolak di bidang geografi, sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, tehnik, gerejani, dan teologi. Keberhasilan para reformer itu tidak hanya ditentukan oleh bobot kepribadiannya, tetapi juga oleh serba bergejolak di zamannya.7 Tuntuan reformasi menjelang dan sepanjang abad ke-15 memang sudah menjadi sesuatu yang dirasa perlu. Reformasi ini menyangkut pembentukan kembali secara menyeluruh di segala bidang relijius-kegerejaan. Selama abad ke-15 telah diselenggarakan serangkaian konsili yang semua mencantumkan dalam acaranya pembaruan Gereja dalam kepala (Paus dsb) dan anggotaanggotanya. Konsili Konstans (1414-1418), konsili Basel-Ferara-Florence-Roma 6 Seperti tercatat dalam sejarah Gereja bahwa Reformasi Gereja bisa ditelusuri pada empat kelompok reformator, yaitu (1) Reformasi Luther yang terjadi di Jerman dan menjadi basis utama, tokoh sentralnya adalah Martin Luther; (2) Gereja Reformed atau Calvins, tokoh utamanya Yohanes Calvin dan Zwingli; (3) Kelompok Anabaptisme, lahir sebagai gugatan terhadap sikap inkonsistensi Zwingli; dan (4) Reformasi Katolik, yang kadang disebut juga anti reformasi (kontra reformasi), karena lahir sebagai respon dari adanya gugatan pada tiga kelompok pertama. C. Groenen OFM, Teologi Sakramen Baptisan Krisma: Sejarah & Sistemik, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hal. 121 Lihat Alister E. McGrath, Sejarah….. hal. 5 dan 7 7 Lihat C. Groenen OFM, Teologi…..hal. 117 & 121. 42 (1431-1450), dan konsili Lateran (1512-1517). Tapi dalam hal pembaruan konsili-konsili ini tidak menghasilkan banyak dan kurang memuaskan keinginan umum akan pembaruan real dan menyeluruh. Pengarahan praktis konsili-konsili itu terbentur terutama pada sikap dan kelakuan para pemuka agama, khususnya para pejabat tinggi Gereja yang berhimpun dalam konsili-konsili itu. Dua reformer yang memiliki dampak luas, dan akan disinggung secara ringkas di sini yaitu Martin Luther dan Johanes Kalvin.8 Sedangkan kontra reformasi yang akan menjadi rujukan yaitu konsili Trente, yang meski pada awalnya ditujukan untuk menentang kaum reformer yang dianggap bid’ah, tapi kemudian malah menjadi wahana reformasi ke dalam lembaga katolik Roma itu sendiri. 1. Martin Luther (1483-1546) Luther pada awalnya tidak bermaksud menciptakan Gereja baru. Ia hanya menginginkan suatu pembaruan Gereja Roma Katolik. Ia mengharapkan suatu pembersihan pemerintahan yang cukup korup, pembersihan ibadat, liturgi, yang merosot dan membeku, pembersihan dalam sakramentalisme yang mendekati magia, pembersihan dalam teologi skolastik yang disusupi ockamisme dan menjadi abstrak spekulatif dan merepotkan diri dengan masalah-masalah sampingan yang tidak relevan sama sekali, dan pembersihan devosi rakyat yang menjadi liar.9 Bagi Luther manusia tidak memperoleh keselamatan dengan membuat perbuatan-perbuatan baik atau dengan rajin menerima sakramen perjamuan kudus dari tangan Gereja, tetapi dengan menyerahkan diri dalam iman kepada Allah yang menyelamatkan manusia hanya dengan kasih karunia saja (sola gratia), hanya karena kristus.10 Dengan pemikirannya yang seperti ini, Luther bisa dikatakan sebagai manusia renaisans dalam bidang agama karena penekanannya pada hubungan pribadi individu dengan Tuhan tanpa perantaraan Gereja. Apa yang dikemukakan Luther ini kemudian menjadi polemik yang saling 'ngotot' antara dia dan pendukungnya dengan Katolik Roma. Ketika kemudian dialog diadakan, waktunya sudah terlambat. Dalam perkembangan pemikirannya, Luther mengikutsertakan juga pengalaman relijius pribadinya 8 Ulrich Zwingli (1531) dalam hal ini tidak dibahas secara khusus, karena meski termasuk reformer Gereja, namun namanya tidaklah setenar Luther dan Calvin, dan ajarannya tidak berakar kuat di masyarakat. Hal ini karena setelah Zwingli meninggal dalam pertempuran tahun 1531, ajarannya tentang reformasi Gereja, melebur dengan ajaran Calvin. Lihat C. Groenen OFM, Teologi…. hal. 123 9 Lihat C. Groenen OFM, Teologi…. hal. 124 10 Lihat Chr. De Jonge & Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana…., hal. 30 43 beserta visi teologisnya, dari sini berkembanglah Gereja terpisah yang oleh Gereja Roma Katolik dinilai haeresis atau bid’ah.11 2. Johanes Calvin (1509-1564) Pemikiran Calvin sejak awal memang menghendaki suatu Gereja baru, berbeda dengan Gereja Roma Katolik. Bagi Calvin Gereja adalah alat utama yang diberikan Allah kepada orang-orang yang percaya untuk mewujudkan persekutuan dengan Kristus. Gereja yang benar adalah Gereja di mana Firman diberitakan secara benar dan sakramen-sakramen dilayankan sesuai dengan Firman Tuhan. Gereja adalah persekutuan orang-orang percaya, yang dikumpulkan Allah sendiri, oleh sebab itu maka salah bila menolak Gereja dan memisahkan diri darinya. Tapi menurutnya lagi, Gereja yang benar itu tidak kelihatan, ia adalah tubuh Kristus. Yang dapat dilihat adalah Gereja di dunia ini, yang mencoba hidup dari Firman Allah dan yang bertumbuh dalam kesucian.12 Pada garis besarnya ia sehaluan dengan pemikiran Luther, dan hanya beberapa segi khusus yang ditonjolkannya seperti perjamuan Tuhan, dan gagasan predestinasi yang mutlak baik sehubungan dengan keselamatan maupun dengan kebinasaan manusia. Perihal pembaptisan, bagi Calvin bobot dan nilai baptisan orang dewasa sama dengan nilai dan bobot sunat dalam perjanjian lama. Sakramen tidak memberikan apa-apa, tetapi mirip dengan bentara. Ia memberitahu dan menyatakan kepada orang apa yang (belum pasti juga) diberikan oleh kemurahan hati Tuhan Allah. Bagi manusia (beriman) menjadi semacam jaminan untuk meneguhkan apa yang diberikan Allah itu. Sedang bagi kanak-kanak yang tidak dapat beriman, tidak perlu sama sekali.13 Secara garis besar pemikiran-pemikiran Lutheren, Calvinis, dan kaum reformer lainnya seperti Zwinglian, maupun Anabtis, yang kemudian membentuk kelompok Protestan, bisa dijelaskan sebagai berikut: 1. Pembenaran oleh iman (Justification by Faith) menjadi titik pusat teologi. Pasal ini mengungkapkan keyakinan bahwa ada jarak yang luar biasa antara Allah dan ciptaan-Nya. Namun Allah dalam kedaulatan dan oleh kasih karunia-Nya mengambil inisiatif untuk mengampuni, membenarkan dan menyelamatkan umat manusia. 2. Kebenaran harus dilihat dari perspektif kejatuhan ke dalam dosa, sebagai ciptaan yang tersesat, tidak mampu melakukan apa pun tentang kondisi mereka. Manusia harus disadarkan akan kondisi mereka yang tersesat agar mereka dibawa pada pertobatan dan dilepaskan dari beban 11 Paparan yang lebih detil mengenai visi teologis Luther ini bisa dilihat pada C. Groenen OFM, Teologi…. hal. 123-130. 12 Lihat Chr. De Jonge & Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana…., hal. 32 13 Lihat C. Groenen OFM, Teologi…. hal. 130-131. 44 dosa mereka yang berat. Berbeda dengan katolisisme yang cenderung pada dosa jamak individu, Protestan lebih menekankan dosa tunggal dan keberdosaan manusia yang hakiki. 3. Penekanan pada dimensi subyektif keselamatan. Bagi Luther misalnya Allah tidak boleh dianggap sebagai Allah dalam diri-Nya, Allah adalah bagi saya, bagi kita, Allah yang demi Kristus telah membenarkan kita oleh kasih karunia. Pertanyaan keselamatan oleh karenanya kemudian menjadi pertanyaan individu. Dalam ribuan cara yang berbeda, orangorang percaya akan menekankan pengalaman pribadi dan subyektif dalam kelahiran baru oleh Roh Kudus, maupun tanggung jawab individu dibandingkan dengan tanggung jawab pada kelompok. 4. Penegasan peranan dan tanggung jawab pribadi individu ini menyebabkan penemuan kembali ajaran tentang imamat 'am orang percaya. Orang percaya berada dalam hubungan langsung dengan Allah, suatu hubungan yang hadir secara terpisah dari Gereja. 5. Kitab suci menjadi sentralitas dalam Gereja. Sakramen secara drastis dikurangi, khususnya dalam tradisi Calvinis dijadikan lebih rendah dari pemberitaan. Dibanyak Gereja Protestan, pusat liturgi diatur kembali, altar (meja perjamuan) harus menyingkir ke mimbar, yang menempati panggung utama.14 Keberhasilan Luther dan Calvin mengejutkan dan akhirnya membangunkan pimpinan Gereja Roma Katolik, maka munculah suatu upaya untuk membendung dan mengalahkan reformasi Luther dan Calvin yang kemudian dikenal dengan istilah kontra reformasi. Kontra reformasi merupakan istilah yang sering dipakai untuk merujuk pada revitalisasi dari katolisisme Roma dalam periode setelah pembukaan Konsili Trente (1545). Gereja Katolik Roma dalam upayanya membatasi pengaruh reformasi Protestan, antara lain melakukan pembaruan atas dirinya sendiri untuk menyingkirkan alasan-alasan kritikan dari kaum Protestan. Keprihatinan-keprihatinan terhadap reformasi Protestan di Eropa bagian utara disalurkan ke dalam pembaruan Gereja Katolik Roma, khususnya di Spanyol dan Italia. Konsili Trente, bentuk yang paling menonjol dari reformasi Katolik atas sejumlah masalah yang membingungkan dan mengenalkan lebih banyak lagi pembaruan yang diperlukan dalam hubungan dengan kelakuan dari kaum rohaniawan, disiplin Gerejawi, pendidikan keagamaan dan kegiatan pekabaran injil. Sebagai hasil dari reformasi Katolik itu, banyak penyelewengan yang semula menyebabkan pembaruan-baik tuntutan yang datang dari kaum Lihat David J. Bosh, Transformasi…., hal. 374-376 14 45 humanis atau Protestan-disingkirkan. Namun, pada tahap ini, reformasi Protestan telah mencapai satu titik perkembangan di mana penyingkiran penyelewengan dan praktik yang salah semata-mata tidak lagi cukup untuk memulihkan keadaan: tuntutan untuk pembaruan ajaran, ideologi keagamaan dan Gereja sekarang dipandang sebagai suatu aspek yang esensial dari pertentangan antara Protestan dan Katolik Roma. Pada dasarnya, Konsili Trente merupakan upaya untuk menambah dan meluhurkan iman dan agama Kristen, menumpas para bid’ah, menciptakan damai dan persatuan dalam Gereja, memperbaharui rohaniawan dan umat Kristen, mengikis dan menumpas musuh-musuh Kristen. Konsili Trente ini merupakan salah satu gerakan reformasi terpenting sepanjang sejarah menuju Maturasi Gereja. Hampir semua konsep Lutheranisme di tolak, kecuali konsep pembenaran dengan iman (Justification by Faith), dengan syarat harus didukung oleh perilaku baik. Beberapa putusan yang dihasilkan dalam Konsili tersebut, bahwa: 1. pembenaran-mengulang ajaran tradisional-harus dengan pembaptisan, baik secara nyata maupun keinginan (in voto), dan tanpa baptisan yang berperan sebagai sarana penyebab (causa intrumentalis) tidak ada pembenaran. Berbeda dengan Luther yang memahami pembenaran sebagai proses menjadi yang berarti orang berdosa secara berangsur disesuaikan dengan keserupaan Yesus Kristus melalui proses pembaruan internal, Konsili Trente melihat pembenaran sebagai sesuatu peristiwa dinyatakan menjadi benar melalui karya Kristus dan proses dijadikan benar melalui karya internal Roh Kudus.15 2. Mengenai kebenaran, Trente menyatakan bahwa alasan yang langsung dari pembenaran adalah kebenaran oleh Allah dengan kemurahan-Nya ditanamkan ke dalam kita. Kebenaran-Nyalah yang membuat kita benar.16 3. Mengenai keselamatan, Trente berpegang bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui dengan pasti tentang iman yang tidak dapat keliru, apakah mereka memperoleh anugerah Allah.17 4. Kitab suci tidak dapat dilihat sebagai satu-satunya sumber penyataan; tradisi merupakan suatu pelengkap yang vital, yang hal ini ditolak oleh orang-orang Protestan. Dan kewenangan Gerejalah untuk menafsirkan kitab suci, serta tidak ada orang Katolik Roma yang diizinkan untuk menerbitkan karya tulisa apapun yang berkenaan dengan penafsiran kitab suci, kecuali setelah ada pemeriksaan dan persetujuan oleh atasanatasannya. Lihat Alister E. McGrath, Sejarah…, hal. 147-149 Lihat Alister E. McGrath, Sejarah…, hal. 148 17 Lihat Alister E. McGrath, Sejarah…, hal. 153 15 16 46 5. Mengenai sakramen, konsili ini memutuskan bahwa sakramen merupakan anugerah yang harus diterima melalui iman. Terkutuklah mereka yang mengatakan bahwa sakramen itu hukum baru yang tidak diperintahkan Tuhan, tidak mengandung anugerah dan berkata bahwa iman saja di dalam janji ilahi cukup untuk memperoleh berkah. Konsili Trente ini sedikit banyak membela manusia (bebas, tidak korup seluruhnya, kendati tetap ada dosa asal) terhadap pesimisme (ala Augustinus) yang dianut oleh kalangan reformasi. Pendekatan positif terhadap manusia ini didukung oleh humanisme. Kemudian di kalangan Katolik berkembang suatu teologi optimis dan huminis.18 D. Maturasi Gereja Katolik Roma Setelah berada dalam masa reformasi dan kontra reformasi yang cukup lama, konsili Vatikan II bisa dikatakan telah mengakhiri era ini. Ada beberapa putusan pokok yang cukup apresiatif terhadap penganut ‘keyakinan’ yang tidak sama dengan Katolik Roma. Ini terutama sangat terasa dalam empat dokumen yang dihasilkan, yaitu: (1) Deklarasi tentang kebebasan agama (Dignitas Humane); (2) Deklarasi tentang sikap Gereja terhadap agama-agama lain (Nostra Aetate); (3) Dekrit tentang ekumene (Unitatis Redintegratio), dan Konstitusi pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini (Gaudium et Spes).19 Dalam dokumen-dokumen di atas, ada suatu perubahan haluan yang mendasar. Perubahan itu menyangkut juga beberapa masalah yang selama ini menjadi pertikaian antara masing-masing kubu yang bertentangan. Kesadaran mulai muncul bahwa teologi tradisional yang apologetis dan polemis, hanya menemui jalan buntu, dan sama sekali tidak relevan dengan dunia modern yang yang antroposentris, positivis, historis, rasionalis, evolusionis, dan pluralis. Apresiasi terhadap keyakinan pihak lain mulai diakomodir, melalui Konsili Vatikan II, Gereja Katolik, sangat mementingkan kesatuan antara semua orang Kristen. Didalam Lumen Gentium 15 dinyatakan “Roh membangkitkan pada semua murid Kristus keinginan dan kegiatan, supaya dipersatukan dalam satu kawanan dengan satu Gembala”. Terhadap agama lain di dalam Nostra Aetate 2 dinyatakan: “Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang C. Groenen OFM, Teologi…., hal 139 Lihat C. Groenen OFM, Teologi…., hal. 157-158 18 19 47 diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang juga memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.”20 Secara khusus terhadap Islam, di dalam Nostra Aetate 3 dijelaskan hubungan Gereja Katolik terhadap Islam: “Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satusatunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan, mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham–iman Islam dengan suka rela mengacu kepadanya–telah menyerahkan diri kepada Allah. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormatiNya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati Maria BundaNya yang tetap perawan, dan pada saat-saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya. Selain itu mereka mendambakan Hari Pengadilan, bila Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit, maka mereka juga menjunjung tinggi kehidupan susila, dan berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberi sedekah dan berpuasa. Memang benar, di sepanjang zaman cukup sering telah timbul pertikaian dan permusuhan antara umat Kristen dan Muslimin. Konsili suci mendorong mereka semua supaya melupakan yang sudah-sudah dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan.”21 Setelah melalui masa-masa krisis berupa pertentangan dengan kaum bid’ah, maka Katolik Roma mulai menapaki masa-masa pematangan ajarannya yang khas dan dibedakan dengan Protestan. Secara sederhana bisa dijelaskan bahwa perbedaan mendasar yang bisa dilihat dari Katolik Roma apabila dibandingkan dengan ‘keimanan’ Protestan, berkisar pada keharusan selibat (membujang) bagi para rohaniawannya, kepemimpinan relijius pada Paus, perayaan tujuh sakramen yang dilengkapi dengan spritualitas yang memandang dunia sendiri sebagai peristiwa sakramen, dan menjadi bagian dari kesatuan terbesar dalam dunia, semua aspek inilah yang kemudian menjadi ciri khas yang membedakan dengan keimanan Protestan.22 20 Lihat www.katolik.net Lihat www.katolik.net 22 Uraian mengenai hal ini, lihat Chester Gillis, Roman Catholicism in America, Columbia University Press, New York, 1999, hal. 2 21 48 Katolik Roma sangat menekankan pada pendekatan yang komunal atas keimanan. Ini berarti bahwa katolik dengan sendirinya merujuk pada kehidupan institusi atau organisasi sebagai sebuah sarana untuk menjaga kesatuan dan meninggal atas sebuah keimanan yang umum.23 Gereja Katolik Roma memiliki dua misi pokok, yaitu kuasa mengajar Gereja, dan Gereja sebagai sakramen. Paham kuasa mengajar Gereja membuahkan infalibilitas, yaitu Paus tidak akan pernah sesat sebagai pengganti Santo Petrus yang bertugas menyelamatkan manusia. Adapun paham Gereja sebagai sakramen melahirkan tujuh sakramen untuk orang lahir, menjadi dewasa, kawin atau mengabdikan diri sebagai suatu tujuan ordo-ordo suci, pengakuan dosa, dan yang terakhir sakramen kematian.24 Ada 6 aturan mendasar di mana umat Roma Katolik diharapkan untuk mematuhinya, yaitu: (1) menghadiri pelayanan misa pada hari Minggu dan harihari suci; (2) pengakuan dosa pada pendeta setidaknya sekali dalam setahun; (3) menerima kerukunan waktu paskah. Ini melibatkan makan sepotong kecil roti dan minum sedikit anggur yang sudah diberkahi oleh pendeta dan diyakini sesudah itu ditrasmisikan kepada daging dan darah Yesus; (4) patuh pada hari puasa dan pemantangan tertentu; (5) memberi derma atau sumbangan; (6) kawin dalam lingkungan keluarga yang tepat. Pendeta tidak dibolehkan untuk kawin dan harus melakukan selibat.25 Secara keseluruhan ajaran Katolik apabila dibandingkan dengan Protestan adalah sebagai berikut: (1). Katolik, tekanannya ada pada Sakramen, sedang Protestan pada sabda/pewartaan; (2). Bagi Katolik, Agama kontemplasi (melihat), sedang Protestan pada Agama iman (mendengarkan); (3). Katolik, Kultis, mementingkan kurban (Ekaristi), sedang Protestan Profetis, mementingkan sabda (kotbah); (4). Katolik, Fokus pada perasaan, kesenian dan kehangatan, sedang Protestan fokus pada pengetahuan, ilmu dan ketegasan; (5). Bagi Katolik, Gereja secara hakiki (dari Kristus) bersifat hierarkis, bagi Protestan pelayanan gerejawi adalah tradisi manusia; dan (6). Bagi Katolik, Kitab Suci dipahami dibawah pimpinan Hierarki, dan bagi Protestan Setiap orang mengartikan Kitab Suci sendiri. Nampaknya pemikiran yang sangat dinamis dalam tubuh Kristen yang kemudian melahirkan Kristen Protestan, dan mematangkan Gereja Katolik Roma akhirnya menjadi sesuatu yang khas Barat, dan mewarnai perkembangan peradaban yang mereka usung. Tuntutan reformasi dari pada reformer 23 Bryan T. Froehle & Mary L. Gauter, Cahtolicism USA: Portrait of the Catholic Church in the United States, Orbits Books, Mary Knoll New York, 2000, hal. 37 24 Lihat Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, Rineka Cipta, Jakarta, 1991 25 Lihat Moinuddin Ahmed, Religion of All Mankind, Kitab Bhavan, New delhi, 1994, hal. 130 49 seperti Luther dan Calvin secara perlahan membangun kesadaran Baru dalam dunia Barat. Demikian pula kontra reformasi yang dilakukan oleh Katolik Roma turut mewarnai dinamika peradaban ini. Perseteruan yang sangat keras dari kedua kubu inilah yang kemudian membangun budaya Barat yang sangat dinamis. E. Penutup Paparan yang telah dikemukakan di atas memberikan wawasan bahwa dinamika pemikiran Barat dengan reformasi dan kontra reformasinya telah mewarnai dan memberikan karakteristik yang khas dalam peradaban Barat, di mana masing-masing pihak telah memberikan kontribusinya yang sangat luar biasa dalam melahirkan peradaban Barat yang gemilang. Reformasi dan kontra reformasi menjadi suatu yang efektif dalam memberikan warna baru dalam kehidupan beragama di Barat yang secara tidak langsung membiasakan Barat untuk berpikir dialektis, dan menjadikan konflik sebagai sarana untuk berkembang. Kondisi ini juga menarasikan bahwa suatu peradaban seringkali tercipta sebagai akibat dari adanya konflik yang sangat kuat yang tak bisa didamaikan. Wallahu ‘alam bishawab. 50 BAB VI AGAMA DAN MULTIKULTURALISME: APRESIASI ISLAM TERHADAP TRADISI LOKAL A. Pendahuluan Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, perbincangan mengenai relasi antara agama dan multikulturalisme merupakan satu tema menarik yang senantiasa tak ada habis-habisnya untuk didiskusikan. Ada dilema tersendiri bagi agama untuk menerima kenyataan pluralitas budaya yang diposisikan setara tanpa diskriminasi antara satu dengan lainnya, sebagaimana dikehendaki dalam multikulturalisme. Sebagai alternatif atas penolakan terhadap adanya diskriminasi, multikulturalisme jelas memberikan nilai positif terhadap keragaman kultural. Ia memberikan apresiasi konstruktif terhadap segala bentuk tradisi budaya, termasuk agama. Hanya, persoalannya, jika berbagai kultur yang beragam bisa memperkaya kehidupan sosial, apakah agama juga menganggap keragaman tradisi kultural memperkaya pemahaman keagamaan? Sampai batas tertentu, respon agama terhadap kecenderungan multikulturalisme memang masih ambigu. Karena sedari dulu, agama memang sudah memiliki 'masalah' dengan keanekaragaman kultural. Dalam seluruh agama-agama besar dunia, sebagaimana disinyalir Amin Abdullah, ketegangan struktural selalu saja ada antara kepentingan untuk menjaga dan mempertahankan kesatuan agama (the unity of religion) dan keanekaragaman kultural (the cultural diversity), antar berbagai wilayah yang berbeda yang dijadikan tempat penyebaran agama.1 Ketegangan tersebut terjadi dalam menangkap dan memelihara pesan inti agama, termasuk praktik keagamaan. Maka, gagasan-gagasan seperti ortodoksi dan ortopraksi selalu diusung dalam merespon pertautan antara agama dan tradisi lokal suatu masyarakat. Menurut Seyyed Hossein Nasr, gagasan ortodoksi adalah kepemilikan terhadap kebenaran agama (religious truth). Sedangkan ortopraksi, merupakan cara yang benar dari praktik dan pencapaian kebenaran dimaksud. Dalam konteks totalitas tradisi dan spektrum Islam, gagasan ortodoksi dan ortopraksi tersebut dapat dipahami 1 Lihat Amin Abdullah, pengantar pada Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan (ed), 2001, Agama dan Pluralitas Budaya, Surakarta: PSB-PS UMS, hal.xv 51 sebagai kondisi keberadaan di jalan yang benar (straight path).2 Kegagalan menangkap dan melindungi pesan inti agama serta praktik keagamaan yang dianggap 'benar' tersebut dapat memunculkan penilaian bahwa sebuah praktik keagamaan tidak absah. Problem lainnya, agama juga sering dipahami sebagai wilayah sakral, metafisik, abadi, samawi, dan mutlak. Bahkan, pada saat agama terlibat dalam urusan 'duniawi' sekalipun, hal ini tetap diproyeksikan sebagai penunaian urusan 'ukhrawi'. Berbagai agama, tentu saja, berbeda-beda dalam perkara cara dan berbagai aspek, namun agama-agama tersebut hampir seluruhnya memiliki sifat-sifat demikian. Karena sakral dan mutlak, maka sulit bagi agama-agama tersebut untuk mentoleransi atau hidup berdampingan dengan tradisi kultural yang dianggap bersifat duniawi dan relativistik. Oleh karena itu, perjumpaan agama dan budaya lebih banyak memunculkan persoalan daripada manfaat. Dalam Islam misalnya, ada istilah bid'ah yang akan menghadang mereka yang mencoba melakukan kompromi dan apresiasi terhadap budaya lokal, yang bukan budaya 'asli' Islam (arab). Pada level mainstream nilai-nilai multikulturalisme memang masih dianggap ekstra religius yang ditolak oleh para teolog muslim, sehingga sulit mengeksplorasi tema tersebut. Namun, belakangan ini, muncul prakarsa yang dilakukan sejumlah pemikir muslim kontemporer, seperti Mohammed Arkoun, Abed al Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, dan lain-lain yang mencoba melakukan rekonsiliasi antara tradisi dan agama. B. Sekitar Gagasan Multikulturalisme Ide multikulturalisme sebenarnya merupakan isu baru dibandingkan konsep pluralitas (plurality) maupun keragaman (diversity). Menuru Bikhu Parekh, baru sekitar tahun 1970-an gerakan multikultural muncul, pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya.3 Dikarenakan isu baru, pembahasan tentangnya pun masih sedikit. Terlebih yang melihat kompatibilitas antara agama dengan gagasan multikulturalisme ini. Umumnya, gagasan tentang multikulturalisme lebih dikaitkan dengan isu pendidikan. Beberapa tulisan yang mengkaji tema ini 2 Seyyed Hossein Nasr, 2002, The Heart of Islam, sebagaimana dikutip oleh Akhmad Muzakki, dalam http://www.mediaindo.co.id., diakses pada 20 September 2004 3 Lihat Mun'im A Sirry, "Agama, Demokrasi, dan Multikulturalisme," dalam Kompas 1 Mei 2003; pada http://www.kompas.com , diakses pada 20 Oktober 2004; Lihat juga Zubaedi, "Telaah Konsep Multikulturalisme dan Implimentasinya Dalam Dunia Pendidikan," dalam Hermenia Jurnal kajian Islam Interdisipliner Vol 3, Nomor 1, Januari-Juni 2004, hal. 3 52 misalnya Sonia Nieto (2000), Affirming Diversity: The Sociopolitical contex of Multicultural Education;4 J.A. Banks and C.A.M. Banks (eds) (1997), Multicultural Education: Issues and Perspectives;5 Francisco Hidalgo (2003), Multicultural Education Lanscape for Reform in Twenty First Century.6 Adapun tulisan yang sedikit mengkaitkan antara agama dan multikulturalisme, Lester R. Kurtz (1995), Gods in the Global Village: The World's Religion in Sociological Perspectives, khususnya pada bab keenam.7 Untuk penulis lokal, yang termasuk konsern dengan isu multikulturalisme ada Parsudi Suparlan yang menulis tentang "Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural." Tulisan ini seperti juga tulisan dia yang lain sekitar multikulturalisme hanya sedikit menyinggung masalah agama.8 Memang ada yang mengkaitkan agama dan multikulturalisme seperti Mun'im A Sirry (2003) dalam "Agama, Demokrasi dan Multikulturalisme," tetapi konteks dia lebih pada demokrasi. Selain itu ada Amin Abdullah yang menulis tentang Reorientasi Pendidikan Agama Islam pada Era Multikultural dan Multireligius.9 Sebagai upaya melihat kompatibilitas Islam dengan keanekaragaman tradisi lokal dengan perspektif multikulturalisme, jelas membutuhkan pendekatan yang tidak semata teologis, tetapi juga sejarah. M. Arkoun menyebut pendekatan ini sebagai taqlidiyyah-taifiyyah dan pendekatan tarikhiyyah ilmiyyah. Pendekatan taqlidiyyah-taifiyyah lebih bersifat eksklusif dan lebih menekankan finalitas dan pemutlakan suatu ajaran agama. Sedangkan pendekatan tarikhiyyah-'ilmiyyah lebih bersifat aposteriori, empiris, dan open ended, dialogis dan toleran tanpa meninggalkan normativitas ajaran agama yang dipeluknya sendiri.10 Dalam upaya membangun hubungan sinergi antara multikulturalisme dan agama, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan: Pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif. Penafsiran ulang itu harus dilakukan 4 Lihat Sonia Nieto, 2000, Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of multicultural Education, New York: Longman, Inc. 5 Lihat J.A. Banks and C.A.M. Banks (eds), 1997, Multicultural Education: Issues and Perspectives, Boston: Allyn and Bacon 6 Lihat Francisco Hidalgo, 2003, Multicultural Education Lanscape for Reform in Twenty First Century, New Mexico: New Mexico State University. 7 Lihat Lester R. Kurtz, 1995, Gods in the Global Village: The World's Religion in Sociological Perspectives, London: Pine Forge Press. 8 Lihat Parsudi Suparlan, "Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural, dalam http://www.scripps.ohiou.edu; lihat juga Idem, "Indonesia Baru Dalam Perspektif Multikulturalisme," dalam harian Media Indonesia, 10 Desember 2001. 9 Lihat Amin Abdullah, "Reorientasi Pendidikan Agama Pada Era Multikultural dan Multireligius," Makalah disampaikan pada Seminar Sehari tentang Rethinking Islam UII, 30 September 2003. 10 Lihat M. Amin Abdullah, 2000, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer, Bandung: Mizan, hal. 116 53 sedemikian rupa, sehingga agama bisa lebih bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal. Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat ini, umat beragama memasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka harus mampu beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama, seperti kultur Barat modern. Ide-ide dan teori-teori sekular tidak mungkin bisa dihindari. Dan ini merupakan tugas paling menantang yang dihadapi kaum muslim pada zaman modern ini. Pembahasan agama dan multikulturalisme jelas menempati posisi yang signifikan bagi kehidupan bangsa Indonesia yang sangat plural, baik dari sisi agamanya, maupun keanekaragaman budayanya. Kesadaran multikulturalisme yang berbasiskan agama, jelas akan sangat menguntungkan bagi upaya mewujudkan Indonesia yang damai, dan jauh dari hingar bingar konflik yang hanya menyengsarakan rakyat kecil. Gagasan multikulturalisme, meski memiliki banyak kesamaan dengan konsep yang lebih dahulu lahir, yakni pluralitas dan keragaman, namun memiliki perbedaan titik tekan. Konsep pluralitas mengandaikan adanya 'halhal yang lebih dari satu' (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Adapun multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik, sehingga dibutuhkan kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Lahirnya multikulturalisme sering dikaitkan dengan upaya untuk merajut kembali hubungan antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh konfliktual. Ada sbuah kesadaran massif yang muncul bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik. Secara sederhana, multikulturalisme dapat dipahami sebagai suatu konsep keanekaragaman budaya dan kompleksitas kehidupan di dalamnya. Multikulturalisme mengajak masyarakat dalam arus perubahan sosial, sistem tata nilai kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian bukan konflik atau kekerasan meskipun terdapat perbedaaan sistem sosial di dalamnya. Banyak pandangan tentang multikulturalisme ini. Ada yang menyatakan bahwa multikulturalisme sebagai ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan individual maupun secara kebudayaan.11 11 Lihat David Jary dan Julia Jary, 1991, "Multiculturalism", Dictionary of Sociology, New York: New Harper, hal. 319. 54 Lainnya seperti Taylor berpendapat bahwa multikulturalisme merupakan gagasan mengatur keberagamaan itu sendiri (politics of recognition). Lebih jauh lagi, gagasan ini menyangkut pengaturan relasi antara kelompok mayoritas dan minoritas, keberadaan kelompok imigran, masyarakat adat, dan lain-lain.12 Adapun Suparlan, menjelaskan multikulturalisme sebagai sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Menurutnya, konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa (ethnic) atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan 13 keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Terlepas dari adanya berbagai pandangan terhadap multikulturalisme, namun ada kesamaan bahwa multikulturalisme mengakui adanya politik universalisme yang menekankan harga diri semua manusia, serta hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia. Tidak ada warga kelas satu (the first class) dan warga kelas dua (the second class). Lebih lanjut dari pandangan multikulturalisme yang sangat apresiatif terhadap perbedaan, lalu bagaimana Islam sebagai sebuah agama universal dalam memandang tradisi lokal. Apakah ia cukup kompatibel dan seirama dengan pemikiran multikulturalisme? C. Islam dan Tradisi Lokal Islam sebagai agama universal dan kosmopolit, apabila dirunut secara historis, senantiasa terbuka terhadap pemikiran dan tradisi di luarnya, bahkan tak jarang memberikan apresiasi yang sangat bagus, dengan mengadopsinya menjadi bagian yang sah dari Islam itu sendiri. Secara lebih riil, refleksi dan manifestasi kosmopolitanisme Islam ini bisa dilacak pada etalase sejarah kebudayaan Islam sejak jaman Rasulullah, baik dalam format non material seperti konsep-konsep pemikiran, maupun yang material seperti seni arsitektur bangunan dan sebagainya. Pada masa awal Islam misalnya, Rasulullah SAW berkhotbah hanya dinaungi sebuah pelepah kurma. Kemudian tatkala kuantitas kaum muslimin mulai bertambah banyak, dipanggillah seorang tukang kayu Romawi. Ia membuatkan untuk Nabi sebuah mimbar dengan tiga tingkatan yang dipergunakan untuk khotbah Jum'at dan munasabah-munasabah lainnya. 12 Lihat Yana Syafrie YH, "Multikulturalisme dan Agenda Kemanusiaan", dalam http://www.waspada.co.id., diakses pada 15 Oktober 2004 13 Parsudi Suparlan, "Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural", dalam http://www.scripps.ohiou.edu, diakses pada 15 Oktober 2004 55 Kemudian dalam perang Ahzab, rasul menerima saran Salman Al Farisy untuk membuat parit (Khandaq) di sekitar Madinah. Metode ini adalah salah satu metode pertahanan ala Persi. Para sahabat juga meniru adminsitrasi dan keuangan dari Persi, Romawi dan lainnya. Mereka tidak berkeberatanm dengan hal itu selama menciptakan kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan nash.14 Pengaruh filsafat dan budaya Yunani (hellenisme) pada umumnya dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam sudah bukan merupakan hal baru lagi. Nampak sekali terlihat dalam metode ushul fiqh yang sering dipergunakan oleh para ulama kita, banyak menggunakan pemikiran logika Aristotelian.15 Terlebih dunia filsafat yang tidak akan pernah bisa dicabut dari akar peradaban Yunani. Bahkan bisa dianggap, bahwa kejayaan yang pernah diraih Islam (the golden age of Islam), merupakan hasil dari kecerdikan para cendekiawan muslim dalam mengadopsi dan 'menjinakkan' pemikiran Yunani, yang kemudian secara jenius menerapkannya dalam bentuknya yang khas di dunia Islam.16 Yang lebih mencengangkan lagi, meski harus diakui bahwa unsur Arab memiliki keistimewaan di dalam Islam, 17 akan tetapi sebagaimana dinyatakan Ibnu Khaldun, bahwa mayoritas ulama dan cendekiawan dalam agama Islam adalam 'ajam (non Arab), baik dalam ilmu-ilmu syari'at maupun ilmu-ilmu akal. Kalaupun di antara mereka orang Arab secara nasab, tetapi mereka 'ajam dalam bahasa, lingkungan pendidikan dan gurunya.18 14 Lihat Yusuf al Qardhawi, 1993, Madkhal Li Al Dirasah al Islamiyyah, Beirut: Dar al-Fikr, hal. 253; Lihat juga Badri Yatim, Dari Mekah ke Madinah, dalam Taufik Abdullah, 2002, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Hoeve, hal. 29-30. 15 Untuk pembahasan yang berkaitan dengan pengaruh logika Aristoteles pada ushul fiqh, lihat Muhammad Roy, 2004, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqh, Yogyakarta: Safiria Insania Press. 16 Lebih lanjut, lihat Majid Fakhry, 2001, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Bandung: Mizan; lihat juga C.A. Qadir, 2002, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor. 17 Menurut Imarah, adanya hubungan yang erat antara Islam sebagai agama dengan unsur Arab dikarenakan: (1) Islam diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah, seorang Arab. Juga Mu'jizat terbesar agama ini, al Qur'an, didatangkan dengan bahasa Arab yang jelas (al mubin), yang ketinggian sastranya dapat mengungguli para sastrawan terkemuka Arab sepanjang sejarah. Sebagaimana memahami dan menguasai al Qur'an sangat sulit dengan bahasa apapun selain Arab. Implikasinya, Islam menuntut pemeluknya jika ingin menyelami dan mendalami makna kandungan al Qur'an, maka hendaknya 'mengarabkan' diri; (2) dalam menyiarkan dakwah Islam yang universal, bangsa Raba berada di garda depan, dengan pimpinan kearaban Nabi dan al Qur'an. Kebangkitan realita Arab dari segi sebab turunnya wahyu dengan peran sebagai buku catatan interpretatif terhadap al Qur'an dan lokasi dimulainya dakwah di jazirah Arab sebagai 'peleton pertama terdepan' dibarisan tentara dakwahnya; (3) Jika agama-agama terdahulu mempunyai karakteristik yang sesuai dengan konsep lokal, kondisional dan temporal, pada saat Islam berkarakteristikkan universal dan mondial, maka posisi mereka sebagai 'garis terdepan' agama Islam adalah menembus batas wilayah mereka. Lihat Muhammad Imarah, 1996, Al Islam wa al 'Urubah, Kahirah: Al Haihal Al Mashriyyah Al 'Ammah Lil Kitab, hal. 11-12 18 Ibnu Khaldun, 1989, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Beirut: Dar al-Fikr, hal. 543. 56 Islam sebagai agama yang universal yang melintasi ruang dan zaman, kadangkala bertemu dengan tradisi lokal yang berbeda-beda. Ketika Islam bertemu dengan tradisi lokal, wajah Islam berbeda dari tempat satu dengan lainnya. Menyikapi masalah ini ada dua hal yang penting disadari. Pertama, Islam itu sendiri sebenarnya lahir sebagai produk lokal yang kemudian diuniversalisasikan dan ditransendensi, sehingga kemudian menjadi Islam universal. Dalam konteks Arab, yang dimaksud dengan Islam sebagai produk lokal adalah Islam yang lahir di Arab, tepatnya daerah Hijaz, dalam situasi Arab dan pada waktu itu ditujukan sebagai jawaban terhadap persoalanpersoalan yang berkembang di sana. Islam Arab tersebut terus berkembang ketika bertemu dengan budaya dan peradaban Persia dan Yunani, sehingga kemudian Islam mengalami proses dinamisasi kebudayaan dan peradaban. Kedua, walaupun kita yakin bahwa Islam itu wahyu Tuhan yang universal, yang gaib, namun akhirnya ia dipersepsi oleh si pemeluk sesuai dengan pengalaman, problem, kapasitas intelektual, sistem budaya, dan segala keragaman masing-masing pemeluk di dalam komunitasnya. Dengan demikian, memang justru kedua dimensi ini perlu disadari yang di satu sisi Islam sebagai universal, sebagai kritik terhadap budaya lokal, dan kemudian budaya lokal sebagai bentuk kearifan masing-masing pemeluk di dalam memahami dan menerapkan Islam itu.19 Berkaitan dengan itu, Syah Waliyullâh al-Dihlawi, pemikir Islam India mengemukakan adanya Islam universal dan Islam lokal. Ajaran tentang Tauhid (pengesaan Tuhan) adalah universal yang harus menembus batas-batas geografis dan kultural yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sementara itu ekspresi kebudayaan dalam bentuk tradisi, cara berpakaian, arsitektur, sastra dan lain-lain memiliki muatan lokal yang tidak selalu sama.20 D. Menata Relasi Islam dan Tradisi Lokal Berangkat dari sini, jelas bahwa keberadaan tradisi lokal sangatlah memperkaya khazanah keislaman. Masing-masing tradisi lokal itu berada pada posisi yang absah untuk diakui keberadaannya sebagai bagian dari Islam, yang posisinya setara, sederajat. Karena itu, gagasan semisal pribumisasi Islam dalam konteks Indonesia sebagaimana diungkapkan Gus Dur menjadi sesuatu yang patut diapresiasi.21 19 Lihat wawancara Ulil dengan Abdul Munir Mulkhan dalam www.islamlib.com, diakses pada 23 Oktober 2004. 20 Lihat Abdul Djamil, 2000, "Islam Lokal," dalam http://www.suaramerdeka.com. 21 Bagi Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal Gus Dur, Pribumisasi Islam bermakna Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Arabisasi atau proses 57 Persoalannya kemudian, adalah ketika Islam yang telah berkelindan dengan budaya lokal setempat (Arab, Persia), dianggap menjadi sesuatu yang sifatnya universal, dan hendak diterapkan secara general di seluruh kawasan Islam. Maka, muncullah kemudian istilah Islam resmi dengan sebutan high tradition yang berhadapan dengan Islam rendah atau Islam popular sebagai low tradition.22 Konflik pun muncul, tatkala Islam resmi bermaksud menjalankan misi pemurnian (purifikasi) yang sarat dengan nuansa pemaksaan terhadap Islam popular, yang dianggap menyimpang dari yang seharusnya. Sebenarnya konflik ini bisa diatasi, apabila Islam resmi yang diasumsikan sebagai Islam popular bisa mengakomodasi tradisi lokal, yang hal ini telah dipraktekkan dengan baik sepanjang sejarah Islam. Untuk itu, perlu ada kesepahaman bahwa antara Islam resmi dan Islam popular tidak perlu harus dipertentangkan satu sama lain. Keduanya merupakan bagian dari Islam yang akan memperkaya khazanah kebudayaan Islam. Sebagai solusi, tawaran wacana poskolonial bisa menjadi alternatif yang bagus. Dalam wacana poskolonial, ada beberapa kritikan yang bisa diadaptasi. Pertama, paradigma pusat dan pinggir atau resmi dan tak resmi menurut perspektif poskolonial adalah wacana kolonial, yang menjadikan relasi kuasa sebagai paradigma interaksi dan dialektika. Dalam perspektif poskolonial, yang pusat haruslah menyadari bahwa dia dapat menjadi pusat karena ada yang pinggir. Karenanya yang pinggir, bukan untuk disingkirkan bahkan dihanguskan. Kedua, poskolonial akan melihat konteks kekuasaan ketika suatu paham keagamaan itu lahir. Boleh jadi jargon seperti kembali pada al Qur'an dan as Sunnah lahir tidak saja memiliki konteks teologis, tetapi sekaligus konteks hubungan kekuasaan yang terjadi pada saat itu. Ketiga, sebagai pembawa wacana tanding, poskolonial akan senantiasa melihat peluang dan celah relativisme atas semua yang telah dikanonkan. mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Pribumisasi bukan upaya untuk menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justeru agar budaya itu tidak hilang. Karena itu, inti pribumisasi adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dengan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan. Lihat Abdurrahman Wahid, 2001, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, hal. 111. 22 Klasifikasi ini merujuk pada Ernest Gellner. Menurut Gellner, tradisi tinggi adalah Islam resmi atau Islam yang dianggap lebih dekat kepada kitab suci dan umumnya tumbuh di perkotaan. Tradisi tinggi, meskipun tidak dapat dilaksanakan dalam waktu tertentu, tetap dan terus akan diperjuangkan untuk dilaksanakan, suatu saat nanti. Maka, ketika budaya-budaya lokal –yang merupakan perwujudanm tradisi rendah-terancam oleh kemerosotan, kaum muslim dengan gampang melompat kea rah tradisi tinggi dalam rangka mengatasi krisis yang tengah mereka hadapi. Lihat M. Imaduddin dkk, "Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia," dalam Tashwirul Afkar Edisi No. 14 Tahun 2003, hal. 12 58 Lebih jauh dari itu, dekanonisasi menjadi jalan strategis yang ditempuh untuk membuka selebar-selebarnya peluang nalar kritik dalam membangun tradisi pemikiran dan mencegah tertutupnya kembali pintu ijtihad.23 Melihat pola hubungan antara agama universal dan tradisi lokal, setidaknya ada hal yang bisa dikemukakan. Pertama, agama universal (semisal Islam dan Kristen) memang sangggup memberikan lompatan kesadaran yang semula terpasung pada wilayah lokal menuju kesadaran universal, 24 namun tidak dapat memberikan petunjuk menghadapi persoalan-persoalan lokal. Kesejarahan agama universal yang terkait dengan kelokalannya masing-masing membuat agama universal pada beberapa sisi tetap menjadi milik wilayah asalnya masing-masing. Wilayah asal agama universal bukanlah wilayah prototipe bagi seluruh wilayah penyebarannya.25 Penguniversalan segala unsur agama dengan demikian tidak dapat diberlakukan, kecuali jika wilayah asal agama merupakan wilayah prototipe semisal dunia idea Plato yang memuat segala hal ihwal kehidupan di wilayah mana pun. Kedua, tradisi lokal tidak pernah sepenuhnya bisa dilenyapkan. Ada bagian-bagian dari tradisi lokal (ikon atau konsep) yang terus bertahan dipelihara dan tidak tergantikan oleh ajaran universal. Dengan cara ini dapat dikemukakan bahwa ajaran universal diapropriasi untuk mengisi ruang konsepsi yang pada tradisi lokal masih bersifat terbatas, sedangkan caracara hidup di ruang lokal tetap menggunakan tradisi lama. E. Penutup Watak Islam sebagaimana dinyatakan dalam al Qur’an adalah agama yang sempurna (QS. 5: 3). Kesempurnaan ini harus dilihat pada prinsip-prinsip dasar yang terdapat pada Islam yang sangat lentur dan kemampuannya untuk terbuka dengan peradaban lain di luar Islam. Sejarah Islam telah memperlihatkan suatu dinamika internal dan eksternal dalam memberikan warna terhadap peradaban manusia. 23 Lihat Paryanto "Islam, Akomodasi Budaya dan Poskolonial", dalam Zakiyyudin Baidhawy dan Mutohharun Jinan, 2002, Agama dan Pluralitas… hal. 65-66 24 Menurut Bob Heffner dalam "Antropologi Konversi", perpindahan agama merupakan salahs atu jalan bagi suatu bangsa untuk menjadi suatu peradaban besar. Sebagai contoh kata Heffner, seseorang yang mula-mula adalah anggota dari suku terasing di pedalaman, kemudian dia memeluk agama Kristen atau Islam, maka orang itu seperti meloncat dari suatu lingkaran kebudayaan yang sempit dan masuk ke dalam 'gerbong' peradaban besar yang pengaruhnya melintas batas nasionalitas. Lihat Ulil Abshar-Abdalla, 'Menimbang Islam Pribumi," dalam Tashwirul Afkar Edisi No. 14 Tahun 2003, hal. 129 25 Tanah Arab, Palestina atau Syria misalnya yang merupakan kawasan yang banyak melahirkan para Nabi dan lokasi awal munculnya agama Ibrahim, adalah wilayah bergurun yang gejala alamnya tidak dapat dijadikan standar universal bagi gejala alam wilayah tropis seperti Indonesia atau lainnya. 59 Munculnya Islam sebagai satu peradaban, bukanlah peristiwa yang bersifat kebetulan, tapi merupakan suatu rangkaian proses yang dilakukan secara sistematis dalam menghadapkan doktrin Islam dengan suatu setting sejarah. Dalam proses demikian, jelas sekali peran umat Islam dalam melakukan perambahan intelektual, yang kemudian melahirkan pemikiran Islam dalam upaya memberikan respon terhdap berbagai permasalahan atau menjadikan Islam sebagai kekuatan sejarah. Islam adalah agama yang terbuka terhadap pemikiran di luarnya. Dari sejarah bisa diketahui bahwa begitu keluar dari Jazirah Arabia dan mendapati kekayaan peradaban dan budaya yang lebih tinggi, tanpa banyak membuang waktu, mengadaptasi dan menjadikannya seperti milik sendiri. Keterbukaan terhadap peradaban lain dan rasa percaya diri yang kuat terhadap kemampuan menalar tanpa taqlid buta, merupakan kunci penting dalam melahirkan produk pemikiran. Sikap semacam inilah yang dianut oleh para pemuka mazhab terdahulu. Misalnya, Imam Abu Hanifah menyatakan, "Mereka (para ulama terdahulu) adalah manusia biasa, dan kita pun manusia. Kita mesti berterima kasih atas (karya dan pemikiran) mereka, tetapi kita tidak akan mengikuti pendapat mereka. Ajaran normatif dan sejarah Islam yang sangat terbuka dan mengapresiasi tradisi lokal kiranya bisa menjadi modal bagi umat Islam dalam memasuki era multikulturalisme. Setiap manusia, apa dan bagaimanapun tradisinya, menempati posisi yang sejajar yang patut dihargai dan diakui keberadaannya. Oleh karenanya, bagi Islam, multikulturalisme malah menjadi celah dalam upaya mewujudkan visi Islam sebagai rahmatan lil a'lamin. Wallahu ‘alam bishawab. 60 BAB VII CIVIL SOCIETY DALAM WAJAH KEISLAMAN DAN KEINDONESIAAN A. Pendahuluan Salah satu tema yang cukup menonjol dalam diskursus sosial politik di Indonesia menjelang kelahiran Orde Reformasi adalah maraknya perbincangan mengenai penguatan civil society sebagai pendekatan yang dianggap paling layak dalam membangun demokrasi di Indonesia.1 Perdebatan ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa rezim Orde Baru dianggap telah gagal untuk menyelenggarakan perubahan-perubahan yang menjamin terjadinya partisipasi lebih besar dari masyarakat dalam kancah dunia politik. Ini tampak jelas terutama dalam wilayah hubungan kekuasaan antara negara dan masyarakat yang tidak berimbang selama kurang lebih 32 tahun Orde Baru berkuasa. Negara selalu berada dalam posisi utama dan dominan, sedang masyarakat selalu berada di bawah kendali dan tidak mampu memunculkan kekuatan tandingan. Berangkat dari ketidakseimbangan hubungan kekuasaan inilah, gagasan untuk mengembangkan kehidupan demokrasi melalui civil society menjadi topik hangat dalam wacana sosial politik di Indonesia. Pemakaian istilah civil society—yang oleh Nurcholish Madjid dkk. Diterjemahkan menjadi masyarakat madani—mulai populer di Indonesia sekitar tahun 1990-an.2 Populernya istilah ini tidak terlepas dari peranan Nurcholish Madjid, Dato Anwar Ibrahim, Muhammad A.S. Hikam dan para cendekiawan lainnya. Kemudian pemasyarakatan istilah ini juga didukung oleh Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) yang menyelenggarakan seminar nasional di Kupang (24-26 Januari 1995) dengan tema civil society (yang diterjemahkan sebagai masyarakat kewargaan).3 Namun yang lebih penting, bahwa semakin populernya gagasan civil society di kalangan masyarakat Indonesia karena muncul bersamaan dengan Muhammad A.S. Hikam, “Wacana Intelektual tentang Civil Society di Indonesia, dalam Jurnal Pemikiran Paramadina, Volume I, No. 2, 1999, hal. 15-24. 2 Adi Suryadi Culla, 1999, Masyarakat Madani,Pemikiran,Teori dan Relevansinya dengan Cita-Cita Reformasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 3. 3 Maswadi Rauf, 1999, “Masyarakat Madani, (Civil Society) Akar Demokrasi di Indonesia”, dalam suntingan TIM MAULA, Jika Rakyat Beerkuasa Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal, Bandung: Pustaka Hidayah, hal. 297. 1 61 perkembangan politik Indonesia, terutama adanya gerakan reformasi yang berawal dari ketidakpuasan sebagian warga masyarakat atas tingkah laku politik Orde Baru yang dianggap makin jauh dari nilai-nilai demokrasi. Civil society dianggap mengandung nilai-nilai ideal yang ingin diwujudkan dalam sistem politik di Indonesia. Sehingga tidak mengherankan bila penggunaan istilah civil society dapat dianggap sebagai bagian dari upaya mengkritik Orde Baru. Nilai-nilai yang dimaksud antara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating), keswadayaan (self supporting), mandiri terhadap negara dan keterikatan dengan norma-norma dan nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.4 Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam tentu akan memberikan pengaruh yang sangat besar dalam proses demokratisasi dan perwujudan civil society yang diidamkan itu. Oleh karenanya, tulisan ini bermaksud mengelaborasi titik temu antara civil society, keislaman, dan keindonesiaan, sehingga umat Islam tidak ragu dalam memberikan kontribusinya untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis, karena mendapat legitimasi yang kuat dari ajaran agamanya. B. Mengurai Civil Society Secara kebahasaan ada banyak istilah atau ungkapan yang diberikan kepada civil society. Ada yang konsisten dengan istilah civil society (A.S. Hikam, 1996; Abdurrahman Wahid, 1996; Ahmad Baso, 1999), namun ada juga yang mengartikan sebagai masyarakat sipil (Mansour Faqih, 1996); masyarakat warga (Lembaga Etika Atmajaya, 1997); masyarakat kewargaan (Ryaas Rasyid, Franz Magnis-Suseno);5 dan yang paling populer masyarakat madani (Nurcholish Madjid, 1999). Beragamnya istilah ini dalam bahasa Indonesia dapat dimaklumi, karena secara historis, ide civil society adalah produk sejarah masyarakat Barat. Menurut Ernest Gellner, gagasan civil society bukanlah sebuah wacana baru. Gagasan ini dapat dirujuk ke masa lampau peradaban Barat (Eropa dan Amerika), antara lain ketika konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh pemikir terkenal Skotlandia, Adam Ferguson (1723-1816) dalam karya klasiknya an Essay on History of Civil Society (1767), hingga konsep civil society dikembangkan lebih lanjut oleh kalangan pemikir seperti John Locke, Franz Magnis Suseno, 2000, “Strategi Pembentukan Masyarakat Madani”, dalam Membongkar Mitos Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. x – xvi. 5 Burhanuddin, "Masyarakat Madani: Lonceng Kematian atau Kebangkitan", dalam Burhanuddin (ed), 2003, Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, Jakarta: INCIS, hal. v. 4 62 Rousseau, Hegel, Marx, dan Tocqueville, serta upaya menghidupkannya kembali di Eropa Timur dan Barat di zaman kontemporer.6 Perkembangan konsep ini dalam konteks negara modern dapat dilihat pada identifikasi negara modern sebagai political society, yang dimulai dari Thomas Hobbes (1588-1679). Hobbes memahami political society sebagai ide normatif mengenai kebebasan dan persamaan warga negara sebagai kesatuan politik. Namun dalam pandangannya, bukan masyarakat yang menciptakan negara, tetapi melalui kontrak sosial kehadiran masyarakat disatukan di bawah kekuasaan negara. Sehingga penguasa memiliki kekuasaan tak terbatas. Penguasa dapat mempergunakan segala cara untuk menjamin ketenteraman yang dikehendaki walau dengan kekerasan.7 Pemikiran serupa dilanjutkan oleh John Locke, hanya saja ia mulai membedakan antara pemerintah (government) dan masyarakat (society), meskipun kedua unsur tersebut masih dianggap sebagai wujud politik negara yang lahir dari kontrak sosial. Menurutnya tujuan dasar dibentuknya kekuasaan politik adalah untuk melindungi dan menjaga kebebasan sipil. Demi melindungi kebebasan sipil, cara apapun boleh dilakukan negara, walaupun cara kekerasan.8 Selanjutnya, pemikir-pemikir pencerahan Scotlandia seperti Ferguson, Hume dan Adam Smith mengidentikkan konsep masyarakat dengan masyarakat beradab (civilized society), namun tidak lagi berasosiasi sebagai body politik (political society) melainkan organisasi material (economic society).9 Di Jerman, melalui Kant, Fichte, dan Hegel, konsep ini mulai mendapatkan pemaknaan yang lebih jelas sebagai suatu kesatuan yang terpisah dari negara. Kant memandang civil society sebagai tujuan umat manusia yang hidup berdasarkan hukum, dan menolak menyatukannya sebagai bagian dari kekuasaan lembaga absolut. Fichte juga melihat keterpisahan hubungan antara negara dan masyarakat di satu pihak, dan hubungan antara individu berdasarkan universalitas di pihak lain. Sedangkan Hegel secara tegas memandang bahwa konsep civil society dan negara tidak hanya sebagai dua entitas yang berbeda, tetapi juga sebagai sintesa atau negasi dua entitas Culla, 1999, Masyarakat Madani…, hal. 30 Deliar Noer, 1983, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES, hal. 105 8 Pemikiran yang dekat dengan pemikiran tersebut adalah pemikiran Montesquie yang memandang pemerintah dan masyarakat sebagai dua entitas yang berbeda, dengan mengacu pada adanya dua bentuk hukum, yaitu (a) civil law yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah. (b) political/public law yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat. Pada titik ini, melalui Locke dan Montesquie, konsep masyarakat madani menjadi diskursus pemikiran politik modern, namun masih cenderung diidentikkan dengan negara (state) an sich. 9 Culla, 1999, Masyarakat Madani…, hal. 49; Asrori S. Karni, 1999, Civil Society dan Ummah, Sintesa Diskursif Rumah Demokrasi, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, hal. 23. 6 7 63 berlawanan. Hegel berupaya memadukan kedua entitas yang berbeda tersebut dalam sebuah formulasi pemikiran politik baru (sintesa), di mana civil society diintegrasikan ke dalam negara sebagai domain yang harus menyesuaikan perilakunya dengan kepentingan negara. Hegel memandang bahwa civil society tidak bisa dibiarkan tanpa kontrol. Menurutnya, civil society memerlukan pembatasan dan penyatuan dengan negara melalui kontrol dan supervisi hukum, administratif dan politik, karena ia menganggap civil society mengandung konflik dalam dirinya. Dengan kata lain, inti pandangan Hegel adalah menempatkan civil society sebagai elemen politik di bawah supremasi negara.10 Dari pemikiran Hegel ini, konsep civil society mencapai perkembangan yang sangat penting dan menjadi inspirasi bagi pemikiran-pemikiran yang muncul sesudahnya. Jean L. Cohen dan Andrew Arato mengemukakan bahwa melalui Hegel berbagai pemikiran yang pernah lahir sebelumnya, memperoleh sintesa baru. Pertama, eksistensi civil society dan masyarakat politik secara jelas sudah dirumuskan sebagai entitas yang berbeda, kendatipun ia menempatkan masyarakat pada posisi inferior. Kedua, sejarah menurutnya mencakup pula keluarga sebagai salah satu entitas yang disebutkan sebagai tahap awal sejarah, lalu civil society sebagai tahap kedua, dan negara sebagai momentum sejarah yang terakhir. Ketiga, bagi Hegel civil society merupakan entitas yang merujuk pada masyarakat ekonomi (economic society), sementara negara dipandang sebagai masyarakat politik (political society). Pandangan model Hegel yang tergolong pesimis terhadap civil society, belakangan mendapat dukungan kuat, di antaranya Karl Marx (1818-1883). Dalam perspektif Marx, negara juga dianggap sebagai entitas yang terpisah dari civil society dan menyamakan civil society dengan masyarakat borjuis (buergerliche gesselschaft). Namun berbeda dengan Hegel yang berangkat dari paradigma idealistik, dalam perspektif Marxian, posisi civil society dipandang terletak pada basis material atau ekonomi, ataupun yang disebut the realm of needs and necessity dari hubungan produksi kapitalis. Menurutnya, keberadaan masyarakat borjuis tersebut merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan, karena itu ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas.11 10 Hegel mengungkapkan mengenai pentingnya intervensi negara ke dalam masyarakat madani berdasarkan dua alasan, pertama, jika terjadi situasi ketidakadilan dan ketidaksederajatan dalam masyarakat sehingga perlu diatasi oleh negara yang mempunyai otoritas mengatur masyarakat. Kedua, jika terjadi sesuatu yang mengancam kepentingan universal masyarakat sehingga tindakan perlindungan atas kepentingan tersebut diperlukan. Oleh karena itulah, Hegel memandang bahwa negara adalah kebutuhan (necessary). Bahkan menurut Hegel negara adalah gerak langkah Tuhan (the movement of God in the world). 11 Ernest Gellner, 1990, Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan, Bandung: Mizan, hal. 59; Karni, 1999, Civil Society…, hal. 27. 64 Kemudian konsep civil society mengalami perkembangan yang cukup signifikan melalui Gramsci. Berbeda dengan Marx dan Hegel, Gramsci melihat civil society tidak dalam domain ekonomi namun dalam domain politik dan kultural. Hal ini dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan konsep kunci Gramsci yang lain, yakni tentang hegemoni, dimana civil society dipandang sebagai arena hegemoni negara untuk mendominasi dan mempengaruhi kesadaran masyarakat. Oleh karena itu menurutnya, tujuan utama penguatan civil society adalah sebagai instrumen untuk melakukan counter terhadap hegemoni negara dengan menciptakan hegemoni tandingan.12 Konsep lain tentang civil society, yang cukup populer, yaitu yang dikemukakan Tocqueville. Melalui studi sosiologis atas Amerika, Tocqueville berpendapat bahwa perkembangan civil society menguat karena didukung oleh organisasi keagamaan yang sangat plural di Amerika.13Pendekatan Tocqueville ini lebih menekankan pada penguatan organisasi-organisasi dan asosiasi independen dalam masyarakat untuk membangun jiwa demokrasi. Di Indonesia, konsep civil society umumnya dijelaskan dengan karakteristik-karakteristik tertentu. Muhammad A.S. Hikam misalnya memaknai civil society sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating), dan keswadayaan (self supporting), kemandirian yang tinggi jika berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma hukum yang diikuti oleh warganya.14 M. Dawam Rahardjo menyebutkan empat ciri civil society, yakni: pertama, diakui dan dilindunginya hak-hak individu dan kemerdekaan berserikat yang mandiri di negara. Kedua, adanya ruang publik yang memberi kebebasan bagi siapa saja untuk mengartikulasikan isu-isu politik. Ketiga, terdapatnya gerakan kemasyarakatan yang secara bersama-sama menganut norma-norma dan nilai-nilai budaya tertentu sebagai dasar, baik dalam mengambil identitas maupun dalam membentuk kebersamaan. Keempat, terdapatnya kelompok inti di antara kelompok pertengahan yang mengakar dalam masyarakat yang menggerakkan masyarakat dan melakukan modernisasi sosial ekonomi.15 Mansour Faqih memahami civil society sebagai masyarakat yang mampu menjadi alat pengawasan terhadap negara. Masyarakat adalah pengawas Hikam, 1999, “Wacana….hal. 19; Roger Simon, Gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan INSIST, 1999, hal. 28. 13 Lihat Jamhari, "Komunalisme atau Civil Society", dalam Burhanuddin (ed), 2003, Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, Jakarta: INCIS, hal. 25. 14 Hikam, 1996, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES, hal. x-xvi. 15 Dawam Rahardjo, 1999, “Masyarakat Madani di Indonesia Sebuah Penjajakan Awal”, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1, No. 2, hal. 27-28. 12 65 tertinggi terhadap tingkah laku negara atau penguasa politik atau pemerintah. Pengawasan oleh masyarakat bersifat terbuka bagi setiap orang yang mau dan mampu memberikan saran dan kritik pada pemerintah.16Dengan demikian, karakteristik penting civil society adalah: masyarakat yang mandiri, bebas, sukarela, taat pada peraturan yang berlaku, dan berfungsi sebagai alat pengawasan terhadap negara. Masyarakat mandiri adalah masyarakat yang tidak didikte oleh negara untuk berbuat sesuai dengan keinginan penguasa politik belaka.17 Bebas dan merdeka mengandung pengertian bahwa masyarakat harus dapat menikmati berbagai jenis kebebasan, seperti kebebasan berbicara, berkumpul, membentuk organisasi, atau bergabung dalam berbagai organisasi pilihan mereka sendiri. Hak warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam organisasi politik harus dijamin. Dengan partisipasi, mereka dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan yang bisa jadi mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari. Keterikatan pada peraturan-peraturan yang berlaku merupakan unsur penting dalam civil society karena keteraturan dan penegakan hukum adalah dasar dari civil society itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah harus optimal dalam membuat regulasi tentang aktivitas-aktivitas politik yang dilakukan oleh civil society dalam hubungannya dengan negara agar selalu berada dalam batas-batas yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. C. Civil Society + Islam = Masyarakat Madani Sedemikian penting civil society dalam membangun suatu kehidupan demokratis, banyak kemudian usaha dilakukan bagaimana 'menaturalisasi' konsep ini agar relevan dengan konteks keislaman dan keindonesiaan. Hal ini menjadi penting, karena di satu sisi demokrasi bagi bangsa Indonesia, sudah menjadi pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di sisi lain, civil society adalah konsep made in Barat, yang tentu sarat dengan aroma kebaratan, yang pada banyak hal, tidak sama dengan kultur masyarakat Indonesia. Sehingga, penelusuran konsep sejenis dalam akar budaya Indonesia yang religius menjadi penting. Maka didapatlah istilah masyarakat madani, karena civil society juga dapat dimaknai sebagai civilized society atau masyarakat berbudaya (beradab). 16 Mansour Fakih, 1996, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 9. 17 Anwar Ibrahim, 1996, “Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani”, dalam Aswab Mahasin, Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, hal. 18-24, Abdul Wahab El Affendi, 1994, Masyarakat Tak Bernegara, Yogyakarta: LKiS, hal. 95. 66 Istilah “madani” merupakan terjemahan mujtama’ madani. Secara etimologis mengandung dua pengertian, yaitu: masyarakat kota (Madinah) dan masyarakat yang beradab. Karena itu masyarakat madani berasosiasi “masyarakat beradab”. Sehingga pengertian masyarakat madani secara sederhana dapat disebutkan yaitu masyarakat mandiri yang beradab (civilized) yang menyadari akan hak dan kewajibannya serta peranannya, karena masyarakat yang dengan tipologi seperti inilah yang dibangun Nabi di Madinah.18 Madinah merupakan kota tujuan hijrah Nabi Muhammad SAW yang dulunya bernama Yatsrib. Penggantian nama Yatsrib menjadi Madinah oleh Nabi Muhammad pada hakikatnya merupakan sebuah pernyataan sikap, niat atau proklamasi bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin hendak mendirikan dan membangun masyarakat yang beradab. Membangun masyarakat berperadaban itulah yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun di Madinah. Beliau membangun masyarakat adil, terbuka, dan demokratis dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-Nya. Namun masyarakat madani yang dibangun Nabi itu, oleh Robert N. Bellah, seorang sosiolog agama yang terkemuka, disebutnya sebagai masyarakat yang terlalu modern untuk zaman dan tempatnya saat itu, sehingga model masyarakat madani —setelah Nabi wafat—tidak dapat bertahan lama. Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi.19 Di kota Madinah, Nabi menghadapi realitas yang bernama pluralisme. Di Madinah terdapat beragam agama, yaitu: Islam, Yahudi, Kristen, Sabi’in dan Majusi. Di samping itu juga terdapat beragam suku yang sebelum Nabi datang ke Madinah selalu bertentangan, yaitu Bani Nadir, Qoynuqa’, dan Quraydzah. Di sisi lain, di kalangan Islam sendiri juga terdapat dua golongan yaitu golongan Anshar dan Muhajirin. Dalam menghadapi dampak negatif yang muncul akibat pluralisme ini, Nabi dipercaya oleh masyarakat Madinah untuk mengelola pluralisme itu agar tidak terjadi lagi gejolak perebutan pengaruh dan kekuasaan antar kelompok seperti yang pernah terjadi. Oleh karenanya, di tengah kemajemukan itulah, kemudian Nabi mengeluarkan konstitusi yang kemudian disebut Piagam Madinah (The Constitution of Medina), setelah berupaya mempersaudarakan antara para muslim pendatang dan muslim Madinah. 18 Nurcholish Madjid, 1999, “Menuju Masyarakat Madani”, dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Qur'an, No. 2/VII/1996, hal. 51-55. 19 Ibid., hal. 52. 67 Dalam Piagam Madinah yang berjumlah 47 pasal itu, 20 juga terkandung nilai-nilai yang memungkinkan berkembangnya demokrasi secara kondusif. Misalnya Piagam Madinah menempatkan hak-hak individu seperti kebebasan memeluk agama (freedom of religion and belief), persatuan dan kesatuan, persaudaraan antar agama, perdamaian dan kedamaian, toleransi, politik damai dan proteksi, keadilan, non-diskriminasi serta diakuinya hak dan kewajiban warga negara secara demokratis. Dengan konstitusi ini jelas kelihatan bahwa Nabi tidak membedakan kelas sosial karena agama. Perbedaan agama bukan menjadi penghalang dalam menciptakan suasana damai dalam masyarakat plural. Dalam membangun Negara Madinah, paling tidak Nabi berpegang pada dua prinsip yang tertuang dalam Piagam Madinah, yaitu: pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan (equal and justice). Kedua, prinsip inklusivisme (keterbukaan). Prinsip kesederajatan dan keadilan ini mencakup semua aspek, baik politik (dengan mengakomodasikan seluruh kepentingan masyarakat), ekonomi (dengan menerapkan prinsip egalitarianisme) maupun hukum (dengan memandang semua manusia sama di depan hukum). Kesemuanya ini, jelas pararel dengan karakteristik yang diusung oleh civil society. Lebih dari itu, pada masyarakat madani ada unsur transendensi yang dalam konsep civil society adalah sesuatu yang ditolak. D. Masyarakat Madani dalam Konteks Indonesia Wacana publik tentang reformasi dan pengembangan budaya politik di Indonesia, umumnya bermuara pada gagasan tentang pembentukan masyarakat madani Indonesia. Perbincangan mengenai masyarakat madani senantiasa terkait erat dengan ide besar tentang bagaimana mewujudkan masyarakat Indonesia Baru. Masyarakat Indonesia Baru yang dimaksudkan adalah masyarakat Indonesia yang bermartabat, kukuh bersatu dalam demokrasi, keadilan ekonomi, tegaknya hukum, tegaknya etika, moralitas dan nilai-nilai agama. Masyarakat Indonesia Baru bercirikan: pertama, masyarakat Indonesia Baru adalah masyarakat yang berlandaskan sistem politik dan ekonomi yang demokratis. Kedua, masyarakat Indonesia Baru adalah masyarakat yang menjunjung tinggi hak sipil dari individu maupun kelompok dalam masyarakat.21 Dalam mewujudkan masyarakat madani Indonesia tentu saja tidak bisa secara serta merta menjiplak langsung model civil society yang berkembang di 20 Ahmad Sukardja, 1995, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, hal. 45-57. 21 Dawam Rahardjo, ”Demokrasi, Agama, dan Masyarakat Madani”, dalam Jurnal UNISIA, No. 39/XXII/III/1999, hal. 21 68 dunia Barat. Hal ini mengingat adanya perbedaan latar belakang kultural, sosial politik dan ekonomi yang berbeda antara Barat dan Indonesia. Masyarakat Barat, sering dianggap sebagai sekuler, yang menempatkan agama dan dunia sebagai dua entitas yang tidak boleh disatukan, sedangkan masyarakat Indonesia, kerap dinamai sebagai masyarakat religius yang berbasis pada sosial keagamaan yang cukup kuat. 22 Dalam perjalanan historis Indonesia, sebenarnya gagasan tentang masyarakat madani telah ada. Namun akibat kegagalan praktek demokrasi pada tahun 1950-an, dan diiringi perubahan politik ke model otoritarianisme negara sejak demokrasi terpimpin, dan dilanjutkan oleh Orde Baru, peluang bagi berkembangnya masyarakat madani menjadi surut. Hal ini di antaranya disebabkan rezim Orde Baru sangat dominan terhadap masyarakat dan mempunyai penetrasi sangat luas dalam hampir semua dimensi kehidupan masyarakat serta depolitisasi dalam keadaan masif. Barulah ketika rezim Orde Baru runtuh, konsep masyarakat madani menemukan momentum yang tepat untuk menyeruak ke permukaan untuk kemudian diupayakan terwujud dalam realitas kehidupan nyata. Selama 32 tahun, dinamika perpolitikan di Indonesia mengalami stagnasi akibat hegemoni kekuasaan negara yang didukung oleh ABRI atas masyarakat. Rezim Orde baru dinilai telah gagal menyelenggarakan perubahan-perubahan yang dapat menjamin terjadinya partisipasi yang lebih besar dari masyarakat dalam kancah dunia politik. Negara sangat kuat mengkooptasi aspirasi politik masyarakat, sehingga rakyat tidak terlibat dalam pengambilan kebijakan. Kebijakan yang ditelorkan cenderung top down. Padahal esensi dari masyarakat madani adalah tersedianya wacana publik dan sekaligus sebuah ruang publik yang bebas, sementara warga (citizen) memiliki akses sepenuhnya terhadap semua kegiatan publik. Dua hal ini berkaitan karena individu atau kelompok (seperti ormas, kelompok kepentingan, partai politik, dan parlemen) dalam wacana publik hanya mungkin bebas mengemukakan pendapat dan mengembangkan kreativitasnya di ruang publik yang bebas.23 Pada masa Orde Baru, negara muncul sebagai kekuatan utama yang dominan dalam pergolakan sosial, ekonomi dan politik. Negara melakukan penetrasi yang dalam terhadap semua sektor kehidupan masyarakat dengan 22 Perbedaan latar belakang yang demikian harus menjadi pertimbangan dalam upaya mewujudkan masyarakat madani di Indonesia. Hal ini juga diakui oleh para pakar bahwa perbedaan latar belakang sejarah, kondisi sosial ekonomi, sosial politik, dan kultural yang tidak sama, memungkinkan berkembangnya strategi model masyarakat madani yang berbeda di berbagai tempat dan masyarakat dunia. Culla, 1999, Masyarakat Madani…, hal.211. 23 Hikam, “Demokrasi Melalui Civil Society, Sebuah tatapan Reflektif Indonesia”, dalam Prisma, No. 6 tahun 1993. 69 metode hubungan patron-client, institusionalisasi sosial politik, korporatisme negara, dan hegemoni ideologi serta melakukan depolitisasi dalam skala masif dalam batang tubuh masyarakat. Dengan begitu, peranan negara, yang dicerminkan oleh peranan pemerintah yang dominan di antara cabang-cabang kekuasaan lain itu dinilai semakin kuat secara politis. Hal ini dicerminkan dari semakin nampaknya gejala otoritarianisme dan totalitarianisme, baik yang nampak pada kekuasaan presiden maupun semakin meluasnya penetrasi negara ke dalam semua jaringan masyarakat. Demikian pula peranan ideologi Pancasila dalam cara berpikir masyarakat serta peranan politik militer dan Golkar sebagai partai hegemonis.24 Pers yang merupakan salah satu wacana publik dan sekaligus sebuah ruang publik yang bebas dikooptasi, sehingga pemerintah berupaya mengendalikan pers dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) berdasar Peraturan Menteri Penerangan No. 01/PER/MENPEN/1984. Pada kenyataannya SIUPP menjadi sarana pemerintah untuk mengendalikan komunikasi politik, kebebasan pers, dan bahkan menjadi wahana pembredelan pers.25 Selain itu dalam masa Orde Baru juga terdapat banyak kasus pelarangan buku-buku, terutama buku-buku yang berisi ide-ide politik yang bertentangan dengan ide politik Orde Baru, atau mengkritik kekuasaan dan lain-lain. Ruang publik bebas yang lain seperti kampus dibelenggu dengan diberlakukannya NKK/BKK. Gedung-gedung pertunjukan dikendalikan dengan diharuskannya izin sebelum mengadakan pertunjukan baik kesenian ataupun pertunjukan lain. Bahkan personel-personal yang duduk di gedung MPR juga dikooptasi dengan ancaman recall (pemberhentian antar waktu), jika bersikap kontra terhadap kebijakan penguasa. Namun, paparan di atas bukan berarti bahwa pada masa Orde Baru sama sekali tidak ada lembaga yang bisa dikategorikan sebagai instrumen masyarakat madani. Pada masa Orde Baru sekurang-kurangnya ada dua macam lembaga yang dapat dimasukkan dalam kategori instrumen masyarakat madani yaitu: Pertama, model yang benar-benar merupakan lembaga voluntir yang bersifat nirlaba dan swadaya. Model ini adalah di antaranya, organisasi keagamaan, paguyuban (community group), perkumpulan, kelompok ketrampilan 24 Dalam hal ini, Abdul Aziz Thaba menyebutkan bahwa sistem kepartaian di Indonesia sejak Orde Baru adalah hegemonic party system dengan Golkar sebagai partai politik yang dominan. Sedangkan partai lainnya yang ada saat itu seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hanyalah berfungsi artificial. Abdul Aziz Thaba, 1996, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, hal. 210. 25 Mahfud MD, Moh., 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media, hal. 367. Sekadar catatan tambahan, selama Orde Baru sebanyak 46 dari 163 surat kabar pernah dibredel. (Kompas, Rabu, 28 Juni 2000:100). 70 (guild), organisasi menolong diri sendiri (self helping organization) dan organisasi warga masyarakat atau semacam rukun kampung (civil organization). Kedua, lembaga baru yang dikenal LSM. Dalam kategori ini adalah Perkumpulan Keluarga Berencana, Bina swadaya, Lembaga Bantuan Hukum dan lain-lain. Organisasi dan lembaga ini juga dilahirkan dari proses pembangunan Orde Baru, walaupun mereka ini berperan sebagai kekuatan pengimbang (countervailing power) di samping sebagai mitra (partner atau counterpart) pemerintah dan lembaga perantara (intermediary institution) antara pemerintah dan masyarakat. Dalam kenyataannya, organisasi masyarakat ini lebih banyak berkedudukan sebagai obyek daripada subyek. Bahkan dalam prosesnya, mereka sering termarjinalkan karena kekurangan dana.26 Di samping itu, Orde Baru juga telah melahirkan kelas menengah baru yang juga sangat potensial dalam membangun masyarakat madani, walau eksistensi mereka dalam struktur masyarakat yang dikontruksi Orde Baru berada dalam posisi yang kurang berdaya. Kelas menengah itu terdiri dari para profesional, aktivis LSM, intelektual, dan para bisnismen yang tidak secara total berada dalam dominasi negara. Mereka dapat melakukan proses pemberdayaan melalui upaya penguatan otonomi mereka sendiri dan solidaritas di kalangan sejawat dan anggota, kendatipun bargaining position mereka di hadapan negara juga masih lemah. Ringkasnya, pada masa Orde Baru, kemandirian masyarakat terkooptasi oleh kekuatan hegemonik negara yang didukung oleh ABRI. Negara mengendalikan secara sistematis terhadap aspirasi masyarakat, sehingga dengan laluasa negara dapat mendiktekan keinginannya pada masyarakat yang memang secara sengaja dilemahkan posisi tawarnya terhadap negara melalui strategi korporatisasi, kooptasi, hegemoni dan depolitisasi yang dilancarkan dengan sistmatis dan efektif. Kontrol masyarakat terhadap perilaku negara melemah, namun sebaliknya, kontrol negara terhadap masyarakat menjadi sangat kuat. Hal ini terjadi karena negara berhasil dalam melakukan pengelompokan politik, ekonomi, dan sosial dalam bentuk orsospol (PPP, PDI dan Golkar) dan ormas (PWI, HKTI, SPSI, KADIN, KNPI, MUI, dan lain-lain) yang diatur sedemikian rupa sehingga menyebabkan mereka sulit untuk lepas dari kontrol dan pengawasan negara.27 Dengan alasan stabilitas, negara Orde Baru tidak seganDawam Rahardjo, Rahardjo, Dawam, 1999, “Lembaga Swadaya Masyarakat, dalam suntingan TIM MAULA, Jika Rakyat Berkuasa Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal,” Bandung: Pustaka Hidayah, hal. 282-283. 27 Hadiwinata, Bob S., 1999, “Masyarakat Sipil Indonesia: Sejarah, Kelangsungan dan Transformasinya ”, dalam Wacana, Edisi 1, Vol. 1., hal. 17. 26 71 segan bertindak represif atas gejala-gejala dalam masyarakat yang dianggap dapat mengganggu stabilitas politik nasional. Dalam kondisi yang demikian, masyarakat madani tidak bisa berkembang secara baik. Pemerintah yang represif, menghalangi pertumbuhan masyarakat madani, karena rakyat memang tidak diberikan kebebasan untuk berbicara dan berkumpul. Akibatnya masyarakat cenderung untuk nrimo, atau kalau toh bertahan, mereka lebih mengutamakan keselamatan pribadi; bukan keselamatan bersama. Dalam kondisi masyarakat madani seperti inilah gerakan reformasi muncul dan di dorong oleh krisis ekonomi yang menghancurkan salah satu basis legitimasi Orde Baru yang paling penting. Mahasiswa sebagai kekuatan politik moral berhasil mendorong terbukanya pintu pertama bagi reformasi, yaitu turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Kemudian selanjutnya terjadilah kontestasi antara kekuatan reformasi dan kekuatan status quo yang juga merupakan ajang penentuan akan eksistensi masyarakat madani pada masa depan. Dalam rangka reformasi total, pemberdayaan masyarakat madani merupakan keniscayaan apabila tujuan jangka panjangnya adalah terwujudnya sistem politik demokratis yang benar-benar partisipatoris. Semenjak jatuhnya Soeharto, dalam masyarakat muncul fenomena euphoria, kebebasan untuk berbuat apa saja sesuai dengan keinginan masingmasing. Fenomena ini mungkin merupakan luapan perasaan warga masyarakat yang selama ini tertekan oleh rezim Orde Baru. Hilangnya negara represif itu dianggap sebagai kesempatan untuk mewujudkan masyarakat madani dengan menikmati kebebasan dan mewujudkan kemandirian masyarakat tanpa batas. Namun terlepas dari gejala itu, era reformasi yang terbuka setelah runtuhnya Orde Baru memberikan lahan yang kondusif bagi berkembangnya masyarakat madani di Indonesia. Menguatnya peranan masyarakat telah ditunjukkan oleh berbagai gejala seperti dipenuhinya berbagai tuntutan masyarakat oleh pemerintah, meskipun masih banyak juga yang belum terpenuhi. ABRI yang selama pemerintahan Orde Baru menjadi pendukung utama rezim yang berkuasa, kini telah dimulai di reformasi. Lembaga-lembaga dalam tubuh ABRI yang selama ini menjadi pengekang kebebasan masyarakat sipil seperti Dewan Pemulihan Keamanan dan Sistem Hukum (DPKSH), Bakortanas dan Bakorstanasda, serta lembaga Litsus telah dihapuskan. Harus diakui, masih sulit untuk bisa mengubah ABRI menjadi tentara profesional berwibawa yang mampu mempertahankan negara dari ancaman luar maupun dalam. Tapi paling tidak, telah banyak berkurang dari perilaku-perilakunya yang dulu begitu merugikan rakyat dalam segala aspek, terutama politik, 72 seperti kasus Tanjung Priok, kasus Talangsari di Lampung, kasus Bantaqiyah di Aceh, kasus Tri Sakti dan lain sebagainya. Di sisi lain, kebebasan pers juga mulai menemukan bentuknya, sehingga memungkinkan transaksi wacana politik yang semakin egaliter. Negara tidak lagi memonopoli sumber-sumber dan penyebaran informasi, sehingga tafsir terhadap realitas sosial, budaya, politik maupun wacana yang berkembang di masyarakat berkecenderungan sangat pluralistik. Masyarakat akan menikmati transparansi informasi yang bukan saja bertambah intensif, tetapi juga meningkat kualitasnya. Hal ini semakin terbuka oleh pertumbuhan kuantitatif pers yang sangat pesat dan semakin transparannya sumber-sumber informasi, sehingga investigasi pers terhadap sebuah peristiwa akan semakin dalam dan terpercaya. Kondisi pers yang sehat dan berkualitas merupakan institusi demokrasi keempat, setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Oleh karenanya, perkembangan pers Indonesia era reformasi ini cukup memberikan harapan akan berperannya pers dalam mewujudkan masyarakat madani yang merupakan lahan kondusif bagi tumbuhnya demokrasi. Di bagian lain, di era reformasi lembaga-lembaga voluntir yang bersifat nirlaba dan swadaya sudah berkembang semakin pesat. Selain model lembaga yang sudah mapan sebelumnya seperti organisasi keagamaan, paguyuban (community group), perkumpulan, kelompok ketrampilan (guild), organisasi menolong diri sendiri (self helping organization) dan organisasi warga masyarakat atau semacam rukun kampung (civil organization). Menjamur pula lembaga baru yang dikenal LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). LSM dapat tumbuh dan berkembang bukan karena bantuan dari pemerintah atau swasta besar, melainkan karena dukungan dari luar negeri. Dengan dukungan finansial dari luar negeri, melalui Ngo internasional, baik dari Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Jepang, Belanda, Australia maupun negara donor yang lain, maka LSM-LSM tersebut dapat bersikap lebih independen dan kritis. Dengan adanya fenomena di atas layaklah kalau kita optimis bahwa masyarakat madani yang berlandaskan ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam Alqur'an yang merujuk pada konsepsi Negara Madinah masa Nabi, akan terbangun di Negara Indonesia melalui jalan reformasi yang sedang digalakkan ini. Fenomena sosial politik Indonesia era reformasi memiliki beberapa kesamaan dengan kondisi Negara Madinah zaman Nabi Muhammad, terutama dalam hal kemajemukan (pluralitas) dalam segi agama, suku (Indonesia lebih majemuk), dan pengelompokan sosial. Kendatipun kemajemukan itu sangat potensial bagi timbulnya konflik, apalagi pluralitas yang mengandung aspek dominatif, seperti yang terjadi di 73 Indonesia. Pluralitas yang mengandung aspek dominatif itu bahkan sangat rentan terhadap disintegrasi.28 Namun sesungguhnya kemajemukan masyarakat kita khususnya, sudah merupakan dekrit Allah dan design-Nya untuk umat manusia. (QS Al-Hud: 118-119). Jadi tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik, sama dan sebangun dalam segala segi. Oleh sebab itu sikap penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang majemuk.29 Sementara konflik di Indonesia era reformasi dalam batas-batas tertentu masih terus berlangsung, walau di lain sisi telah muncul berbagai peraturan (perundang-undangan) yang berupaya mengelola pluralitas dan meredam konflik. Namun konflik-konflik masih juga terus bermunculan. Hal ini tidak lain disebabkan oleh masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia, sehingga orang cenderung tidak takut untuk melanggar hukum. Padahal supremasi hukum merupakan ciri terpenting dari masyarakat madani.30 Dalam hal ini bisa dikatakan, bahwa tantangan utama bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat madani saat ini adalah pada penegakan supremasi hukum. Dengan tegaknya supremasi hukum yang didukung penghormatan terhadap hak asasi manusia, maka akan menyegerakan terwujudnya masyarakat madani di Indonesia yang justice oriented. Di sisi lain, kebebasan beragama di Indonesia dilindungi undang-undang dan tidak dibenarkan memaksakan suatu agama atau kepercayaan pada orang lain. Umat Islam, walaupun mayoritas secara kuantitas, dapat hidup berdampingan dengan umat beragama lain. Bahkan lebih dari itu, bisa dikatakan bahwa umat Islam yang mayoritas mengayomi umat beragama lain yang minoritas, sebagaimana yang terjadi di Negara Madinah. Ini merupakan bagian dari implementasi visi Islam yang rahmatan li al‘alamin, sehingga yang terjadi kemudian adalah persaudaraan antar umat beragama, sikap saling menghormati dan toleransi (tasamuh) serta terhindarnya diskriminasi. Hal serupa juga terjadi di Negara Madinah masa Nabi, kendatipun kemudian orang Yahudi mengkhianati isi Piagam Madinah, namun kemudian mereka diberikan sanksi tegas oleh umat Islam. Oleh karena Pudjo Suharso, 1999, “Pluralisme Bangsa Menuju Indonesia Baru”, dalam Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 144. 29 Adanya konflik akibat pluralitas ini sebenarnya juga terjadi di Negara Madinah. Namun konflik itu dapat diredam oleh Nabi Muhammad dengan jalan terlebih dahulu “mempersaudarakan” antar elemen umat Islam (Muhajirin dan Anshar). Kemudian diikuti dengan dimunculkannya Piagam Madinah (The Constitution of Medina) yang sarat dengan aturan-aturan hidup bersama dalam kehidupan bernegara yang mengacu pada platform pluralitas dalam masyarakat Madinah. 28 30 Akh. Minhaji, “Supremasi Hukum dalam Masyarakat Madani (Perspektif Sejarah Hukum Islam), dalam Jurnal UNISIA, No. 41/XXII/IV/2000, hal. 252 74 itu, dalam rangka menghindari pengkhianatan suatu golongan tertentu di Indonesia terhadap konstitusi yang berlaku, supremasi hukum haruslah benarbenar ditegakkan. Banyak memang pekerjaan rumah bangsa ini yang harus diselesaikan, dan kesemuanya ini dalam bingkai kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang terus menjadi, berproses, dan penguatan masyarakat madani adalah suatu keniscyaan dalam membangun bangsa yang maju dan demokrasi, dengan tetap berpegang pada akar kultural bangsa. E. Penutup Melalui pembangunan masyarakat madani ini, diharapkan lahir kebebasan (freedom) dan kesetaraan (equality) antar manusia sebagai warga yang berkeberdayaan berhadapan dengan kekuasaan negara. Hal ini sekaligus menandaskan bahwa urgensi pokok masalah pemberdayaan masyarakat madani merupakan prasyarat terbangunnya kehidupan bernegara yang demokratis. Walaupun harus diakui bahwa untuk sementara ini ada beberapa karakter yang kurang kondusif bagi perkembangan masyarakat madani dan demokrasi serta bertentangan dengan ajaran Alqur’an, masih tertanam cukup kuat dalam masyarakat kita. Sifat mau menang sendiri dan tidak mau mengalah, kurangnya toleransi, kecenderungan memaksakan kehendak, dan kecenderungan menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan, masih sering ditemui dalam pergaulan sosial. Oleh karenanya bila proses tumbuhnya masyarakat madani dan demokrasi berjalan lambat, itu lebih disebabkan oleh adanya keengganan masyarakat untuk meninggalkan karakter negatif tersebut. Padahal, perangkat konstitusional yang mendukung perwujudannya kini telah banyak tersedia. Dengan kata lain, demokrasi dan masyarakat madani (civil society) bersifat saling melengkapi. Demokrasi hanya mungkin tumbuh dalam masyarakat yang civilized, sebaliknya civil society hanya mungkin berkembang dalam iklim yang demokratis. Dengan demikian, masyarakat yang civilized merupakan kondisi yang dibutuhkan bagi pertumbuhan demokrasi, sedangkan bagi civil society, demokrasi adalah kondisi yang diperlukan. Wallahu ‘alam bishawab. 75 BAB VIII EPISTEMOLOGI ISLAM KONTEKSTUAL: TELAAH ATAS KONDISI IPTEK ISLAM MASA KINI A. Pendahuluan Dewasa ini Dunia Islam praktis merupakan kawasan bumi yang paling terkebelakang di antara penganut agama-agama besar. Negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan selandia Baru yang Protestan; oleh Eropa selatan dan Amerika selatan yang Katolik Romawi; oleh Eropa Timur yang Katolik Ortodoks; oleh Israel yang Yahudi; oleh India yang Hindu; oleh Cina (giant dragon), Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura (little dragon) yang Budhist-Konfusianis; oleh Jepang yang Budhis Taois; dan oleh Thailand yang Budhist. Praktis tidak satu pun agama besar di muka bumi ini yang lebih rendah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)-nya daripada Islam. Dengan perkataan lain, di antara semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam adalah yang paling rendah dan lemah dalam hal sains dan teknologi.1 Ketertinggalan umat Islam dalam hal Iptek ini, menjadi persoalan yang sangat krusial bagi kita semua (umat Islam), karena seolah membenarkan sinyalemen sementara orientalis Barat bahwa Islam adalah agama yang anti ilmu pengetahuan, agama teroris dan merupakan saingan dan sekaligus musuh utama peradaban modern Barat.2 Pandangan minor dari sementara orientalis Barat ini, tidak mungkin dijawab dengan menyodorkan sejumlah argumen apologetik dari sumbersumber normatif Islam, bahwa Islam adalah agama yang sangat mendukung ilmu pengetahuan, yang mewajibkan pemeluknya untuk menuntut ilmu dari buaian sampai ke liang lahat, karena realita yang ada di lapangan menunjukkan 1 Lihat Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Paramadina, Jakarta, 1997, hal. 21-22 2 Satu thesis yang cukup populer beberapa tahun terakhir yang menghadapkan Islam visà-vis peradaban Barat adalah apa yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington, bahwa setelah Komunisme runtuh maka musuh Barat selanjutnya adalah Islam. Lihat Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and The Remarking of World order, Penguin Books Ltd., London, 1996, hal. 254-265. Adanya benturan ini semakin mendapatkan pembenaran dengan dengan adanya serangan kamikaze 11 September 2001 yang meratakan dua gedung World Trade Center (WTC), yang disinyalir kuat dilakukan oleh kelompok Islam garis keras, Al Qaida yang dipimpin oleh Usama bin Laden, meski kemudian sampai saat ini sinyalemen itu belum bisa dibuktikan secara jelas. 76 bahwa negara-negara muslim umumnya berada dalam kawasan negera terkebelakang yang sangat tergantung pada negara Barat. Setiap muslim pasti meyakini bahwa al Qur’an sebagai sumber referensi utama umat Islam sangat mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, namun kemudian mengapa justeru umat Islam malah terpuruk dalam keterbelakangannya, inilah pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap individu muslim. Asumsi yang terkuat yang bisa dikemukakan di sini, bahwa kemungkinan besar telah terjadi kekeliruan dalam cara berpikir (system of thought) umat Islam? Umat Islam belum mampu menangkap kembali ajaran agamanya yang otentik dan dinamis sebagaimana pernah dilakukan oleh sarjana-sarjana muslim pada sekitar abad ke-8-13 M, yang telah mengantarkan Islam pada puncak keemasannya dengan penguasaan yang penuh atas filsafat dan Iptek. Sehingga apabila umat Islam ingin meraih kembali kejayaannya, maka harus ada perubahan pada cara berpikir mereka dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Perubahan pada cara berpikir ini menuntut adanya perumusan kembali pada epistemologi Islam yang ideal, yang relevan dengan tuntutan zaman, tanpa ada pertentangan dengan semangat ajaran Islam yang mulia. Mengapa harus pada epistemologi? Karena epistemologi sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan, ia adalah cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang merupakan kunci untuk mengejar ketertinggalan umat Islam saat ini. B. Epistemologi Islam dan Cara Berpikir Umat Ilmu pengetahuan yang merupakan kunci dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak bisa datang begitu saja tanpa ada suatu proses sebelumnya. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ini dalam kajian filsafat dikenal sebagai epistemologis. Bidang epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistemologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan.3 Secara garis besar, ada dua aliran pokok dalam epistemologis. Pertama, adalah idealisme atau lebih populer dengan sebutan rasionalism, yaitu suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran “akal”, “idea”, “category”, “form”, sebagai sumber ilmu pengetahuan. Di sini peran pancaindera dinomorduakan. Sedang aliran yang kedua adalah realisme atau empiricism 3 Lihat R. Harre, The Philosophies of Science: An Introductory Survey, Oxford University press, london, 1978, hal. 5 77 yang lebih menekankan peran “indera” (sentuhan, penglihatan, penciuman, pencicipan, pendengaran) sebagai sumber sekaligus sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Di sini peran akal dinomorduakan.4 Tidak jauh berbeda dengan aliran epistemologis yang berkembang di barat, secara umum epistemologi Islam menurut Muhammad Abid al-Jabiri, memiliki tiga kecenderungan yang kuat, yaitu bayani, irfani, dan burhani.5 Pertama, epistemologi bayani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu (teks) atau penalaran dari teks. Ilmu-ilmu keislaman seperti Hadis, Fiqh, Ushu al-Fiqh, dan lainnya, menggunakan epistemologi ini. Epistemologi bayani merupakan suatu cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dalam arti langsung menganggap teks sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan penalaran yang berpijak pada teks ini. Dengan kata lain sumber pengetahuan menurut epistemologi ini adalah teks, atau penalaran yang berpijak pada teks.6 Kedua, epistemologi irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak (irodah). Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu kasyf. Metode ini sangat unique karena tidak bisa dirasionalkan dan diperdebatkan. Epistemologi ini benar-benar sulit dipahami, karena sifatnya yang tidak bisa diverifikasi dan didemonstrasikan. Epistemologi ini lebih mengandalkan pada rasa individual, daripada penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak penalaran. Penganut epistemologi ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora dan tamsil, bukan dengan mekanisme bahasa yang definite.7 Ketiga, epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk (tahsin dan tahbih). Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah. Ibnu kholdun menyebut epistemologi ini dengan ulum al-aqliyyah 4 Sebagian pemikir memasukkan aliran ketiga yaitu intuisi. Aliran ini menekankan peran intuisi di atas indera dan rasio. Lihat M. Amin abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 244 5 Disini al Jabiri sebenarnya menggunakan term epistemologi arab, tapi penulis berasumsi bahwa arab identik dengan Islam. Lihat Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyat Aqli al-Arabi: Dirosat Ta’liliyyat Naqdiyyat Linadhmi al-ma’rafah fi al-Saqofah al-Arrobiyyat, Markas al-Wahdah alArobiah, Beirut, 1990, hal. 556 6 Lihat Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyat Aql…., hal. 556 7 Lihat Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyat Aql…., hal. 252 78 (knowledge by intellect). Tokoh pendiri epistemologi ini adalah Aristoteles.8 Karena epistemologi ini lebih berpijak pada tradisi berpikir Yunani, maka ciri utamanya adalah penggunaan akal secara maksimal. Ketiga kecenderungan epistemologis Islam di atas, secara teologis mendapatkan justifikasi dari al Qur’an. Dalam al Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk hal ini. Akan tetapi meski demikian tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkap tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi (hati atau perasaan) terdalam. Namun, jika dalam perkembangannya, kajian epistemologis dalam literatur Barat dapat membuka perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multi-dimensional, kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam beringsut lebih tajam ke wilayah bayani dan irfani dengan mengabaikan penggunaan rasio (burhan) secara maksimal, sebagaimana pernah dipraktekkan pada masa the golden age of science in Islam antara tahun 650 M sampai 1100 M. Hal inilah kemudian yang diperkirakan menjadi faktor utama yang mengakibatkan keterpurukan umat Islam dalam hal Iptek. Berangkat dari Hellenisme Yunani yang spekulatif-kontemplatif, para sarjana muslim pada masa kejayaannya leluasa menyerap, kemudian memodifikasi menjadi tradisi Filsafat sains yang berangkat dari postulatpostulat al Qur’an dengan mengetengahkan tradisi berpikir empirikaleksperimental. Usaha tersebut dilakukan dengan mendayagunakan perangkatperangkat intelektual sebagai jalan mencari jawab tentang hakekat realitas, baik yang nyata (fisis) maupun yang gaib (metafisis). Dari revolusi filsafat di tangan kaum muslimin itu, lahirlah konsep ilmu atau sains yang tegak di atas postulat-postulat Qur’ani.9 Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan Islam, ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antara abad IX dan XII. Semangat mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam dengan jatuhnya kekaisaran Romawi dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. “Jika orang Yunani adalah bapak metode ilmiah,” simpul H.G. Wells, “maka orang Muslim adalah bapak angkatnya.” Dalam perjalanan sejaran lewat orang Muslimlah, dan bukan lewat Lihat Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyat Aql…., hal. 383-384 Lebih lanjut, lihat Syamsul Arifin dkk, Spritualisasi Islam dan Peradaban Masa depan, SIPRESS, Yogyakarta, 1996, hal. 108 8 9 79 kebudayaan Latin, dunia modern sekarang ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya.10 Hanya saja, setelah memasuki abad XII M, pergumulan pemikiran kaum muslimin sedikit mulai meninggalkan tradisi pelacakan dalam filsafat, khususnya Filsafat Sains, dan lebih mengembangkan kesadaran mistis dan asketisme, lari dari dunia materi atau kesadaran kosmis menuju pada dunia sufisme. Pentakwilan secara rasional terhadap nash-nash Qur’an menjadi haram. Pintu ijtihad ditutup rapat-rapat. Kegiatan berfilsafat mulai dihujat, dan para filosof mulai dicap kafir. Islam kemudian direduksi sebatas persoalan-persoalan ritual semata, atau sekedar ajaran-ajaran moral yang melangit. Pada fase inilah umat Islam menuju pintu gerbang awal kemunduran dan redupnya mercusuar peradabannya.11 C. Epistemologi Islam Kontekstual Pada prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan epistemologis yang ada (bayani, irfani atau kasyf dan burhani), dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio (burhani) secara optimal. Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan rasio (akal), tapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Segenap aktivitas didominasi oleh otoritas teks (wahyu) sebagai sumber utama kebenaran, sedang porsi untuk akal. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini, telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epsitemologi bayani selalu menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks. Metode kasyf dalam kritik epistemologi, bukanlah suatu pola yang berada di atas akal, seperti yang diklaim irfaniyyun. Bahkan ia tidak lebih dari sekedar pemikiran yang paling rendah dan bentuk pemahaman yang tidak terkendali. Irfaniyyun masuk ke alam mistis yang telah ada dalam pemikiran agama-agama Persi kuno, yang dikembangkan pemikir-pemikir Hermeticism. 10 H.G. Wells dalam Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hal. 115 11 Syamsul Arifin dkk, Spritualisasi Islam..., hal. 111 80 Apa yang mereka alami “mungkin benar”, atau barangkali “kebenaran karena kebetulan”, akan tetapi tidak akan dapat menyelesaikan masalah. Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia.12 Dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat Islam dewasa ini, maka menurut penulis, seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan epistemologi yang bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati sebagai manifestasi dari epistemologi irfani. Penggunaan akal yang maksimal bukan berarti pengabaian terhadap teks (nash). Teks tetap dipakai sebagai pedoman universal dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat Harun Nasution, yang menempatkan manusia dan akalnya sebagai penentu dalam perkembangan kehidupan setelah adanya patokan-patokan nash. Tetapi patokan ini, terutama yang diberikan al Qur’an masih bersifat global. Hal ini bertujuan agar memberikan kekuasaan bagi manusia menyesuaikan dengan realitas keadaan dan zaman yang terus berubah.13 Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat. Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipandu dengan hati yang jernih, akan menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi (terasing) dari lingkungannnya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern saat ini, karena Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka menuhankan Iptek atas segalanya, sedang potensi rasa (jiwa) mereka abaikan, sehingga mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka. Keseimbangan antara pikiran (fikr) dan rasa (dzikr) ini menjadi penting karena secanggih apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu. Keduanya adalah pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah. Keduanya adalah perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada dua pilar ini 12 Lihat Anom S. Putra dkk, “Revolusi Nalar Islami: Menangguhkan Teks, mencuri Subyek”, dalam Gerbang: Jurnal Pemikiran Agama dan Demokrasi, Edisi 02, Th. II 1999, hal. 26 13 Lihat Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, UI Press, Jakarta, 1980, hal. 29 81 disebut al Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu mengintegrasikan kekuatan fikr dan dikir, juga mampu pula mengembangkan kearifan yang menurut al Qur’an dinilai sebagai khairan katsiran (QS al Baqarah: 269). Perpaduan antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam membangun peraban Islam dan dunia yang cemerlang. Dalam ungkapan Iqbal bahwa fikr dan dzikir atau ‘aqal dan ‘isyq harus diintegrasikan secara mantap bila mau membangun peradaban modern yang segar.14 D. Penutup Epistemologi sebagai sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Rumusan-rumusan epistemologi para Filosof Muslim klasik harus disikapi dengan kritis dan tidak boleh diterima sebagai sesuatu yang taken for granted, karena terlanjur berlabel Islam. Setiap perkembangan baru dalam dunia epistemologis mesti disikapi secara arif dengan prinsip al muhafadhatu ‘ala al qadiimi al shalih wal akhzu bil jadidi al ashlah atau menerima secara terbuka setiap perkembangan terbaru yang baik, tanpa menafikan peninggalan-peninggalan lama yang masih relevan. Perhatian yang mendalam terhadap epistemologi yang kontekstual terhadap tuntutan zaman, akan mengantarkan kita (umat Islam) pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang benar, logis, rasionalis dan ilmiah, yang pada gilirannya akan membawa pada penemuan-penemuan baru yang berguna bagi kemashalatan manusia. Dan harapan besar akan kebangkitan kembali dunia Islam yang telah dicanangkan beberapa dasawarsa yang silam bukan lagi sesuatu yang utopis dan mustahil untuk diraih. Wallahu ‘alam bishawab. 14 Iqbal sebagaimana dikutip A. Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1994, hal. 27 82 BAB X REVOLUSI IRAN & KEBANGKITAN KEMBALI DUNIA ISLAM A. Pendahuluan Revolusi Islam di Iran tahun 1979, oleh sementara orang seringkali dipararelkan dengan Revolusi Perancis 1789 dan Revolusi Bolshevik 1917 di Rusia.1 Pembandingan antara Revolusi Iran dengan kedua revolusi tersebut, karena adanya kemiripan-kemiripan dari akar penyebabnya, dan pengaruhpengaruh yang ditimbulkannya terhadap kawasan-kawasan lain disekitarnya.2 Bagi dunia Islam, Revolusi Iran terjadi pada saat yang tepat, ketika kebangkitan Islam sedang gencar-gencarnya dikumandangkan. Terlebih dunia Islam baru saja memasuki abad XV Hijriyah, dan booming minyak sedang melanda kawasan Timur Tengah, yang merupakan sentral dunia Islam. Satu pelajaran berharga yang bisa dipetik negara-negara Islam dari Revolusi Iran, bahwa gerakan yang mendapat inspirasi kuat dari Islam dimungkinkan untuk menggulingkan suatu monarki yang jelas-jelas pro Barat dan sangat kuat. Revolusi Iran, meski seringkali dinisbahkan dengan peristiwa yang terjadi di tahun 1978 dan 1979-an, namun akar dari revolusi tersebut jelas tidak cukup disandarkan pada peristiwa-peristiwa sekitar tahun 1978 dan 1979-an saja. Sebelum itu banyak peristiwa lain di tahun 1940-an sampai akhir 1950-an, awal 1960-an, awal 1970-an, dan kemudian akhir 1970-an, yang bisa menjelaskan akar penyebab dari munculnya peristiwa sangat dramatis, yaitu revolusi pertama dalam sejarah modern yang dilakukan atas nama Islam. Tulisan ini merupakan upaya pembacaan kembali pemikiran Shahrough Akhavi terhadap hal-hal yang melatari kelahiran Revolusi Iran.3 Untuk Lihat misalnya paparan Richard W. Cottom, ”The Iranian Revolution” dalam Juan R.I. Cole dan Nikki R. Keddie (ed), Shi’ism and Social Protest, Yale University Press, New Haven and London, 1986, hal. 55-56. 2 Sebagai contoh misalnya perbandingan antara Revolusi Perancis dan Revolusi Iran. Revolusi Perancis memiliki hubungan yang kuat dengan perubahan yang terjadi di Eropa Barat, sedangkan Revolusi Iran dipandang banyak memberikan inspirasi bagi negara dunia ketiga (khususnya negara-negara Islam). Kedua revolusi ini sama-sama lahir sebagai reaksi terhadap monarki yang kejam, menentang bangunan sosial yang timpang, dan menegakkan kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Kedua revolusi ini juga didukung massa rakyat yang sudah lam ditindas oleh tekanan sosial dan ekonomis, serta berhadapan dengan aliansi kekuatan negaranegara tetangganya. Perbedaan yang ada dalam revolusi ini, hanyalah pada ideologi dan semangat yang menyertainya. Uraian lebih lanjut lihat Jalaluddin Rahmat, “ Ideologi Syi’ah Melacak Latar Belakang Revolusi Islam Iran”, dalam Islam Alternatif, Mizan, Bandung, 1999, hal. 242-243. 3 Shahrough Akhavi adalah pengarang Religion and Politics in Contemporary Iran: ClergyState Relations in Pahlevi Period dan banyak artikel tentang Iran. Ia memiliki pengalaman 1 92 mendeskripsikan berbagai hal yang relavan dengan pembahasan, akan dilakukan telaah terhadap literatur-literatur yang relevan, untuk kemudian dikaji secara kritis. Pendekatan yang akan dipergunakan, yaitu dengan memaparkan secara lengkap dan jelas data-data yang dibutuhkan, untuk kemudian dilakukan interpretasi dan analisis, agar konklusi yang dihasilkan nantinya bisa akurat dan objektif. Adapun sistematika penulisan, setelah pengantar, yaitu kerangka teoritis, paparan materi, analisis, dan kemudian diakhiri dengan kesimpulan. B. Kerangka Teoritis Pemikiran Shahrough Akhavi yang berkenaan dengan Revolusi Iran, yang coba ditelaah dalam tulisan ini, yaitu Shi’i Social Thought and Praxis in Recent Iran History (Pemikiran Sosial Syi’ah dan Praksisnya dalam Sejarah Iran Kontemporer).4 Dari judul tulisannya ini, nampak bahwa Akhavi dalam mendekati persoalan sekitar Revolusi Iran, lebih memfokuskan pada pemikiran sosial Syi’ah dengan menggunakan pendekatan historis sosiologis. Asumsi yang nampaknya hendak dikembangkan oleh Akhavi, bahwa sejarah Iran kontemporer, termasuk di dalamnya peristiwa dramatis revolusi 1979, sangat berkaitan dengan pemikiran sosial Syi’ah. Dalam hal ini, ulama dan cendekiawan Iran, dengan cerdik telah memanfaatkan doktrin-doktrin yang dianut oleh pengikut Syi’ah, dan menjadikannya sebagai sumber inspirasi revolusi yang telah menggulingkan Syah Iran. Pendekatan historis sosiologis ini terlihat dilakukan ketika Akhavi mengkaji tokoh-tokoh - baik ulama maupun cendekiawan, sendirian ataupun kolektif - yang terlibat langsung atau tidak langsung dan mempengaruhi lahirnya Revolusi Iran. Meminjam pandangan sosiolog Max Weber, Akhavi menyatakan bahwa aksi sosial sebagai suatu peristiwa terkait dengan makna yang disumbangkan individu-individu terhadap peristiwa itu. Bagi Weber aksi sosial semacam itu muncul dari kepentingan-kepentingan ideal dan material para pelaku sebagaimana mereka rasakan. Revolusi Iran menurut Akhavi dapat dilihat dari sudut ini. Kaum ulama dan pendukung-pendukung mereka sendiri tidak mengadakan revolusi. Tapi, ucapan dan perbuatan (praxis) para ulama dan pendukung-pendukung awam mereka sangat menentukan keberhasilannya.5 akademik di Timur Dekat dan Eropa, dan Profesor tetap pada Departemen Pemerintahan dan Hubungan Internasional di University of South Carolina. 4 Tulisan Shahrough Akhavi ini termuat dalam Cyriac K. Pullapilly (ed), Islam in the Contemporary World, Cross Roads Book, Notre Dame, 1980. 5 Shahrough Akhavi,” Shi’i Social Thought and Praxis Recent Iran History” dalam Cyriac K. Pullapilly (ed), Islam in the Contemporary World, Cross Roads Book, Notre Dame, 1980, hal. 189. 93 C. Fase-fase Menyongsong Revolusi Iran Mencandra Revolusi Iran akhir tahun 70-an, menurut Akhavi harus dimulai dari fase-fase sebelumnya yang menjadi akar munculnya revolusi ini. Ada beberapa fase yang disinyalir oleh Akhavi berperan dalam menumbuhkan semangat untuk revolusi, yaitu fase 1945-1958 sebagai asal dan perkembangan kebangkitan Syi’ah. Kemudian fase 1959-1963 sebagai masa penindasan terhadap oposisi ulama. Dan fase berikutnya berupa masa perlawanan kembali ulama dan cendekiawan sampai lahirnya revolusi tahun 1979. Pertama, asal dan perkembangan kebangkitan Syi’ah. Fase kebangkitan ulama di Iran, setelah PD II dipimpin oleh Ayatullah Sayyid Muhammad Husayn Burujirdi, pemimpin ulama Qumm (1946-1961).6 Burujirdi mendapat keistemewaan di kalangan koleganya dan masyarakat Islam umumnya, yaitu lewat gelar sebagai marja’-yi muthlaq-i taqlid.7 Pada masa jabatannya, negara mengakui kepentingan ulama terhadap moralitas umum; ibadah; propaganda anti golongan kiri; dialog dengan pemimpin Sunni; dan usaha keras untuk menetapkan fiqh sebagai landasan pendidikan Islam. Kebangkitan Syi’ah dalam hal ini sangat terkait dengan kesediaan pemerintah untuk memberikan kelonggaran kepada ulama dalam masalahmasalah: (1) alkoholisme, perjudian, dan kehidupan santai; (2) penekanan yang lebih besar terhadap khotbah-khotbah dan ceramah agama dalam siaran radio dan televisi umum; (3) tekanan terhadap pers untuk menghapus artikel-artikel anti Syi’ah; (4) hak-hak wanita; (5) kewaspadaan selama pelaksanaan hari-hari berkabung Syi’ah, puasa, dan peringatan-peringatan lainnya; dan (6) konsultasi yang lebih intensif antara pemimpin pemerintah dan para ulama. Kedua, fase penindasan negara terhadap oposisi ulama. Antara tahun 1959-1963 masalah-masalah berat antara pemerintah dengan ulama mulai timbul. Ulama merasa bahwa Syah dan pemerintahannya diam-diam mengingkari perjanjian mereka untuk tetap menjalin hubungan dan konsultasi erat dengan ulama sehubungan dengan berbagai masalah kebijaksanaan umum. Kematian Ayatullah Burujirdi pada bulan Maret 1961 cukup membingungkan 6 Qumm adalah pusat lembaga keagamaan di Iran, dan Burujirdi dalam masa kepemimpinannya berusaha memajukan pusat lembaga keagamaan ini sebagaimana al Azhar di Mesir dalam dunia Islam Sunni. lihat Shahrough Akhavi,” ” Shi’i Social…. hal. 174. 7 Gelar ini bisa diartikan sebagai satu-satunya sumber paling otoritatif (tertinggi) di kalangan pemimpin Syi’ah, yang dalam hal ini pengikut Syi’ah diharuskan untuk mengikuti secara imani seorang mujtahid yang memahami masalah-masalah yang berkenaan dengan ajaran dan praktek keagamaan. 94 para ulama, namun sekelompok ulama modernis dan kaum awam di bawah pimpinan Ayatullah Syeikh Murtadha Mutahhari (w. 1979) mendukung peran kaum ulama yang lebih besar dalam masalah-masalah sosial. Kegiatan kelompok ini berusaha untuk mengadakan perubahan pertama yang sungguh-sungguh berarti dalam abad ke-20 di kalangan ulama Iran. Kelompok ulama menentang pemerintah karena undang-undang land reformnya yang mengabaikan kesucian harta milik pribadi sebagaimana termaktub dalam al Qur’an; dan dikhawatirkan bahwa ketentuan itu akan digunakan untuk melawan kaum ulama agar mereka menyingkirkan anggotanya. Pemberian hak suara kepada wanita dikutuk kaum ulama, yang melihat bahwa dengan pemberian hak suara itu akan terjadi perubahan kedudukan kaum wanita Iran, kekacauan kehidupan keluarga tradisional, dan penyuapan wanita lewat perluasan hak pilih mereka yang tidak berarti. Para ulama juga menyerang badan pemberatasan buta huruf sebagai suatu alat yang dibuat untuk menggantikan kelompok penda’wah di desa, dan dengan demikian menyingkirkan sekaligus teladan-teladan kesalehan Islam yang ada di desadesa Iran. Di samping gerakan protes umum pada permulaan tahun 1960-an, perhatian kelompok Mutahhari juga dipusatkan pada pembaharuan pemikiran dan organisasi Syi’ah. Penindasan pemerintah terhadap gerakan reformasi ini terjadi secara simultan disertai reaksi menentang partisipasi ulama dalam demonstrasidemonstrasi tahun 1962-1963. Ditetapkan untuk tidak memberikan suatu peranan sosial politik kepada ulama, karena jika dibutuhkan, mereka mampu untuk mengerahkan massa dalam mendukung pandangan-pandangannya sendiri. Rezim Syah dalam menggagalkan perlawanan politik, juga melumpuhkan usahausaha pembaharuan di bidang agama. Ketiga, masa perlawanan kembali ulama dan cendekiawan sampai lahirnya revolusi 1979. Kebangkitan Syi’ah pada masa ini, mempunyai akar pada tiga gerakan. Pertama, Masyarakat Keagamaan Bulanan; kedua, Husayniyah Irsyad; dan ketiga, Ayatullah Khomeini dan para pengikutnya di kalangan ulama. Dua tokoh menonjol dalam gerakan-gerakan tersebut di atas, yaitu Ali Syari’ati dan Ayatullah Khomeini.8 Secara umum dapat dikatakan pemikiran dan tindakan Syari’ati baik dalam Masyarakat Keagamaan Bulanan, dan lebih khusus lagi pada Husayniyah 8 Kedua tokoh ini meski perannya tidak diragukan lagi dalam melahirkan revolusi Iran, nampaknya tidak ada hubungan antara keduanya. Antara tahun 1963-1978 Khomeini berada dalam pengasingan di “Atabat (tempat suci Syi’ah) di Irak, sedangkan Syari’ati sekembalinya dari Prancis 1964 terus berjuang di Iran. Tapi, jauhnya jarak bukan menjadi masalah. Kedua individu ini maju dengan otonomi mereka masing-masing, meskipun demikian, jalan yang ditempuh adalah sama. 95 Irsyad mempunyai pengaruh lebih besar di kalangan intelektual awam9; sementara pengaruh Khomeini lebih menentukan di kalangan kader profesional dari lembaga-lembaga keagamaan. Khomeini dalam hal ini sangat kritis terhadap Rezim Syah. Kritik penting yang dilontarkannya adalah menentang otokrasi Syah, korupsi, kepincangan sosial dan ketidakadilan, dominasi asing, pemberian suara bagi wanita dan undang-undang perlindungan keluarga, dan kebijaksanaan pemilikan tanah oleh pemerintah. Ia kemudian mempersoalkan ketidakcocokan antara Islam dengan monarki. Dan sampai tahun 1978 ia mulai menganjurkan penggulingan sistem monarki sampai berakhirnya dinasti yang berkuasa. Sebagai kesimpulan dari Akhavi bahwa revolusi Iran 1978-1979, bukanlah gejala yang khusus menyangkut agama (paham Syi’ah). Namun kiranya, tidak ada yang mempersoalkan bahwa usaha-usaha kelompok ulama selama hampir tiga dekade (1950-1980) untuk menyegarkan kembali lembaga keagamaan mempunyai kaitan dengan revolusi dan hasilnya. 10 D. Di Balik Revolusi Iran Menganggap ulama Syi’ah sebagai motor penggerak dari kemunculan revolusi Iran 1979, memang tidak berlebihan, hal ini berkaitan dengan posisi khusus kekuasaan yang dimiliki ulama Syi’ah, yang tidak terdapat pada ulama Sunni. Teori kekuasaan ulama dalam Syi’ah berbeda dengan teori kekuasaan ulama dalam Sunni. Dalam Sunni, kekuasaan ulama berdasarkan penunjukkannya atas suatu jabatan tertentu oleh pemerintah, yang biasa disebut dengan mufti. Ini sangat berbeda dengan Syi’ah yang mendasarkan kekuasaannya pada konsep bahwa mereka adalah pembantu-pembantu Imam yang raib (naib al imam al ‘amm). 11 Oleh karena itu, walaupun mereka ditunjuk 9 Syari’ati dan koleganya menyampaikan sejumlah kuliah tentang tema-tema Islam. Ia mengangkat isu lama dengan pandangan baru. Diskusi prinsip teoritis keimanan yang sudah ada dalam pusat diskursus keagamaan, sekarang dihadirkan dengan perspektif aksi dan organisasi sosial, sebagai lawan kesalehan etis rutin. Dalam hal ini Syari’ati banyak mengangkat isu-isu dalam paham Syi’ah yang dimaknai ulang untuk menentang penguasa yang dipandang lalim. Lihat Sharough Akhavi, “Shariati’s Social Thought”, dalam Nikki R. Keddie (ed), Religion and Politics in Iran, Yale University Press, New Haven and London, 1983, hal. 127. 10 Shahrough Akhavi,” ” Shi’i Social…. hal. 171-189. 11 Dalam mazhab Syi’ah, persoalan imamah merupakan hal pokok yang menjadi dasar pemikiran politik mereka. Menurut mereka setalah Nabi Muhammad wafat, beliau telah menunjuk Ali sebagai penggantinya, yang kemudian diteruskan oleh 11 Imam lainnya dari kalangan Quraish. Adanya dua belas Imam ini, merupakan pandangan resmi mazhab Syi’ah Asyriyah (Imamiyah) yang mempelopori Revolusi di Iran. Setalah Ali, menurut mereka yang berhak menjadi khalifah yaitu: Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Ali bin Husein, Muhammad bin Ali, Ja’far bin Muhammad, Musa bin Ja’far, Ali bin Musa, Muhammad bin Ali, Ali bin Muhammad, Hasan bin Ali, dan al Mahdi al Muntazhar. Imam kedua belas ini, menurut kaum Syi’ah lahir pada 255 H (869 M), dan sampai sekarang masih hidup, tapi berada di alam ghaib. Pada satu saat, Imam Mahdi akan kembali lagi untuk menegakkan keadilan dan menghancurkan kezaliman di muka bumi. Selagi Imam masih raib, maka kepemimpinan kemudian menjadi tugas para ulama sebagai naib al amm. 96 oleh pemerintah untuk menduduki suatu jabatan seperti hakim, kekuasaan mereka untuk membuat keputusan tetap berdasar pada konsep naib al amm.12 Selain itu, banyak konsep dalam aliran Syi’ah berpendapat bahwa, seluruh kekuasaan politik yang tidak resmi di saat Imam yang raib tidak hadir, telah menyebabkan timbulnya asumsi bahwa perjuangan revolusi melawan penguasa merupakan hal turun temurun dalam ajaran Syi’ah. Dan dalam hal ini, ulama Syi’ah selalu memainkan peran oposisi, guna mewakili keinginan masyarakat melawan kekuasaan mutlak pemerintah. Tanpa bermaksud mengurangi peran yang telah dimainkan ulama Syi’ah dalam revolusi Iran, sebenarnya apa yang dilakukan oleh para ulama tersebut, hanyalah refleksi dari ketidakpuasan rakyat Iran terhadap rezim Syah, yang kemudian secara jitu berhasil dimanfaatkan secara baik oleh ulama Iran, dengan memanfaatkan simbol-simbol populer Syi’ah.13 Berdasarkan paparan sejarah, Islam Syi’ah sebenarnya tidak memiliki teori politik yang tetap, dan bisa dikatakan bahwa para ulama Syi’ah konsisten memegang prinsip menentang pemerintahan sekuler. Sejumlah faktor telah lama ada dalam paham Syi’ah yang dapat direkayasa untuk mendukung atau menentang pemerintah sipil yang berkuasa. Berdasarkan banyak analisis pakar, akar penyebab lahirnya revolusi Iran, sebenarnya adalah karena kecepatan tinggi yang ditempuh Syah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan pembaruan setelah peningkatan besarbesaran penghasilan dari sektor minyak.14 Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Syah ini, bagi sebagian kelompok tertentu sangat menguntungkan, tapi bagi sebagian kelompok yang lain, sangatlah menyakitkan.15Selain itu, dinasti M. Moment, “Penguasa dan Kaum Oposisi dalam Aliran Syi’ah Asyriyah (Imamiyah)”, dalam RM Burrell (ed), Fundamentalisme Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hal 110. 13 Satu simbol sejarah yang diabadikan dalam kelompok Syi’ah adalah perlawanan Husain terhadap Yazid di Karbala. Tindakan Husain merupakan contoh prinsip perlawanan tak kenal menyerah terhadap penguasa yang menyimpang dari konsep ideologi Islam. Pertentangan antara Husain dengan Yazid merupakan pertentangan klasik antara kebaikan dengan keburukan. Husain mewakili kebajikan yang dapat ditemukan dalam Islam. Sebaliknya Yazid merupakan despotisme, dinasti, dan kekuasaan sementara. Peristiwa tersebut memungkinkan golongan Syi’ah menjadi sekte terbesar setelah Sunni dengan kekhususannya tersendiri. Lihat Akbar S. Ahmad, Discovering Islam Making Sense of Muslim History and Society, Londan and New York, Routledge, 1988, hal. 57. Ketika Revolusi berlangsung, di antara slogan yang sering dikumandangkan: “Dalam hidup Syi’ah, tiap hari merupakan Asyura; setiap tempat jadi Karbala” , lihat juga Jalaluddin Rahmat, “ Ideologi Syi’ah…, hal 246. 14 Sebagai catatan, bahwa pada tahun 1974, hanya dalam semalam penghasilan minyak Iran, meningkat empat kali lipat, dari dibawah $ 5 milyar mendekati $ 20 milyar milyar pertahun. Syah meyakini bahwa uang ini pada akhirnya akan memungkinnya mengantarkan negaranya pada janji lamanya, yaitu “peradaban terbesar” dan dalam satu dekade, membalikkan Iran menjadi satu dari lima negara industrial pemimpin dunia. Ia berspekulasi pada program pengeluaran yang memboroskan. Lihat Shaul Bakhash, The Reign of Ayatollahs Iran and Islamic Revolution, Basic Books, inc., New York, 1984, hal. 12. 15 Kebijakan yang telah mengakibatkan ketidakpuasan bagi banyak rakyat Iran, diantaranya penciptaan suatu kelas masyarakat berpendidikan Barat, kemudian Revolusi Putih 12 97 Pahlevi sendiri yang dibangun tahun 1925 sebenarnya tidak memiliki akar yang dalam di negeri Iran.16 Hal yang kiranya belum disinggung oleh Akhavi, bahwa berbeda dengan kebanyakan revolusi yang terjadi di era modern, Revolusi Iran 1978-79 memiliki empat karakteristik yang unik. Tiga diantaranya berkaitan dengan dinamika internal pergolakan. Pertama, bahwa Revolusi Iran berbasiskan masyarakat kota, yang dipengaruhi oleh sebuah koalisi kelompok sosial dan politik yang berpusat pada kota-kota utama. Kedua, pengambilan kekuasaan atas Syah Pahlevi di Iran, lebih menggunakan instrumen politik, gerakan demonstrasi, dan tekanan umum politik daripada melibatkan militer. Hanya beberapa jam sebelum Khomeini mengambil kekuasaan, kaum revolusioner baru melakukan aksi militer. Ketiga, yang paling jelas, yaitu peran menyolok dari keyakinan relijius, Islam, sebagai ideologi revolusi. Sedangkan keempat, bahwa dalam revolusi Iran hampir tidak ada keterlibatan pihak luar (faktor Internasional) yang bermain dan menyebabkan munculnya revolusi ini.17 E. Penutup Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, yang sekaligus menjadi kesimpulan, bahwa revolusi Iran, yang gemanya sangat luar biasa bagi negaranegara Islam lainnya, merupakan peristiwa yang sangat kompleks. Kebijakan yang tidak adil dari Syah Iran dalam rangka pembaruan di Iran, telah menjadi bumerang yang melahirkan perlawanan dari rakyat Iran, yang dimotori oleh para ulamanya. Para ulama Iran, dengan menggunakan simbol-simbol Syi’ah, telah berhasil membangunkan semangat revolusi rakyat Iran untuk melawan rezim Syah, yang dianggap menyimpang dari ideologi Islam. Keberhasilan revolusi Iran ini sekurangnya telah menjadi satu pelajaran sejarah yang berpengaruh bagi kebangkitan Islam di wilayah-wilayah lainnya, bahwa dengan ideologi Islam, tidak ada kata tidak mungkin untuk melakukan revolusi melawan kekuatan anti Islam, sekuat apapun ia. Wallahu ‘alam bishawab. tahun 1963, dan kemudian pembentukan Partai Kebangkitan Tunggal yang berupaya melemahkan lembaga keagamaan. Lihat William Montgomery Watt, Fundementalisme Islam dan Modernitas, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997. Khususnya bab Pengalaman Iran, hal. 274275. 16 Lihat Shaul Bakhash, The Reign of …..,hal. 10 17 Uraian yang lebih detil tentang hal ini, lihat Fred Halliday, “Iranian Foreign Policy Since 1979: Internationalism and Nationalism in the Islamic Revolution”, dalam Juan R.I. Cole dan Nikki R. Keddie (ed), Shi’ism…., hal. 88-89. Sedangkan kronologis yang lengkap dan terperinci dari Revolusi Iran, lihat www.iranian.com. 98 99 BAB XI RADIKALISME POLITIK: ISLAM DAN TERORISME A. Pendahuluan Berbagai peristiwa global dan lokal Indonesia yang terjadi akhir-akhir ini telah mencuatkan satu istilah yang kemudian sangat terkenal, yaitu terorisme. Ditandai oleh serangan terhadap gedung WTC di Amerika Serikat, pada 11 September 2001, kemudian tuduhan terhadap Osama bin Laden yang dianggap sebagai ‘biang kerok’ terorisme global, dan ‘pelenyapan’ terhadap gerakan Taliban di Afghanistan, terakhir peristiwa yang terjadi pada 12 Oktober 2002 Malam di Legian, Bali, dan menewaskan sedikitnya 180 orang serta 200 orang lainnya terluka, semakin menambah bobot popularitas istilah terorisme tersebut. Apapun alasannya, terorisme memang tidak dapat dibenarkan dan diterima akal sehat. Hanya masalahnya, terorisme itu sendiri kini kian buram ujudnya, bahkan definisi tentang terorisme itu pun dipandang sebelah mata dan secara ‘serampangan’ ditafsirkan sesuai kepentingan pihak tertentu. Fenomena umum ini jelas terlihat pada sikap AS dalam upayanya membasmi terorisme internasional. Bagi AS, terorisme adalah 'mereka yang berseberangan dengan kepentingan vitalnya'. Baik bertentangan ideologis, juga politis. Sebagai contoh Irak, Iran, dan Korut, yang dituding AS sebagai poros kejahatan dan sponsor terorisme. Konteks Indonesia, tuduhan lebih ideologis, berkaitan dengan militansi Islam. Itu sebabnya tak heran bila kemudian kampanye AS banyak melahirkan paradoks yang sangat merugikan negara dan pihak tak bersalah. Menarik untuk mencermati relevansi wacana terorisme dan Islam. Fenomena umum sejak akhir dekade 90-an, aksi terorisme tak langsung memunculkan siapa yang bertanggungjawab/pelaku. Sebelumnya, begitu terjadi aksi terorisme, tak berapa lama kelompok tertentu mengaku sebagai pihak yang bertanggungjawab. Kini isu dan aksi terorisme selalu dikaitkan dengan kelompok Islam garis keras. Pengkaitan ini semakin mendapat legitimasi kuat dengan adanya tesis yang menjadi wacana dunia tentang benturan peradaban antara Barat dan Islam oleh Huntington.1 1 Dalam bukunya Clash of Civilizations, Huntington meramalkan kemungkinan terjadinya benturan peradaban antara Barat dan Islam yang bersekutu dengan peradaban Konghucu. Meski buku ini mengundang banyak kritik, namun fakta terakhir di lapangan seolah membenarkan sinyalemen pakar politik internasional langganan Senat AS dan Pentagon tersebut. Paparan 99 Tulisan ini bermaksud melakukan telaah ke dalam internal dunia Islam, menelusuri jejak-jejak kekerasan yang ada dalam sejarah Islam, untuk kemudian memberikan suatu analisa dan solusi demi perdamaian global. B. Dinamika Kekerasan dalam Sejarah Islam Semua agama mengajarkan kepada para pemeluknya untuk hidup dalam kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan baik di dalam dunia maupun di akhirat. Bahkan agama muncul, baik secara teologis maupun sosiologis adalah guna menyantuni dan menyelamatkan anak manusia; menunjukkan jalan-jalan kedamaian dan keselamatan; menghilangkan ketidakpastian dan mendatangkan ketentraman; mengajarkan kasih sayang di antara sesama manusia, makhluk lain dan lingkungan hidupnya; menyucikan diri dari perbuatan-perbuatan buruk, tercela, atau merusak dan sebagainya.2 Berangkat dari asumsi ini, sementara pihak kemudian berpandangan bahwa sebenarnya tidak ada urusan antara agama dengan kekerasan. Konflik agama dalam kasus-kasus kekerasan di manapun tidak lebih hanya sebagai faktor yang menambah bobotnya saja. Kalau ditamsilkan, hanya sebagai bumbu penyedap yang hanya mempergawat situasi konflik yang sudah terjadi karena faktor-faktor lain. Secara tidak sadar orang kemudian sering menyamakan keinginan dengan realitas. Hal ini terlihat dari pernyataan para pemuka agama yang bersifat apologetis menghadapi kasus-kasus kekerasan yang melibatkan agama. Biasanya mereka mengatakan bahwa agama mengajarkan perdamaian dan hidup baik. Kekerasan dan pembunuhan adalah masalah oknum-oknum yang menyalahgunakan agama untuk kepentingan sendiri atau kelompok. Sering orang menuduh aspek politik dan ideologi yang telah mengotori agama. Agama diletakkan di tempat tersendiri yang suci seakan-akan merupakan entitas yang di luar manusia.3 Memang sulit dijelaskan bahwa kekerasan itu dipicu secara independen oleh agama. Apalagi Islam sendiri, secara doktrinal, sangat menjunjung tinggi perdamaiaan. Bagaimana banyak kata-kata salam dalam kitab suci Al Quran. Bahkan, kata Islam itu berasal dari sin, lam, mim, yang bisa berbentuk salamah, salam, silmu, sulam dan sebagainya. Yang kesemuanya berkaitan dengan kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan. Bahkan, sholat dalam lengkap tentang benturan peradaban ini, lihat Samuel P. Huntington, 1998, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, London: Touchstone. 2 Lihat Azyumardi Azra, 1996, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Paramadina: Jakarta, hal. 182 3 Lihat Haryatmoko, “Apa yang Tersisa dari Agama?” dalam BASIS Nomor 05-06 Tahun Ke-51, Mei-Juni 2002. 100 Islam juga diakhiri dengan salam yang berarti seruan perdamaian. Rasanya surga dalam Islam juga sering disebut kampung atau rumah perdamaian. Setiap muslim selalu dianjurkan untuk menyebarkan salam, menebarkan kedamaian, keselamatan kesemua pihak. Dengan demikian, Islam itu dalam nama dan maknanya, berarti perdamaian. Namun, apa yang dikemukakan di atas adalah Islam dalam tataran normatif, dan bukan Islam historis. Islam yang dikenal dalam sejarah juga kental dengan konflik, penindasan, dan kekerasan. Sebagai muslim, kita tidak perlu merasa malu untuk mengakui ini semua. Karena fenomena ini bukan hanya ‘melulu’ milik Islam saja, tapi hampir semua agama pun juga mengalami kasus yang kurang lebih sama. Secara historis, kekerasan yang terjadi dalam Islam lekat dengan persoalan politik. Ini terkait dengan tema besar yang menjadi fokus pemikiran dan perhatian sejak Rasulullah wafat hingga masa sesudahnya, yaitu apa yang oleh ahli kalam diistilahkan sebagai al Imamah dan al Khalifah. Masalah ini muncul merupakan politik murni sekaligus menjadi masalah pertentangan umat Islam awal dalam sejarah Islam. Mengomentari persoalan tersebut, al Jabiri mengutip sejarawan al Syahrastani dalam bukunya al Milal wa al Nihal menyatakan, bahwa perselisihan yang paling serius di kalangan umat Islam adalah masalah Imamah. Menurutnya, pedang tidak pernah dihunus sepanjang zaman dalam sejarah Islam atas nama agama melebihi hal-hal yang berkaitan dengan masalah Imamah.4 Persoalan bermula dari konflik politik yang terjadi sejak Khalifah Utsman ibn Affan yang dinilai lemah, sehingga mudah dipengaruhi kepentingan-kepentingan kekeluargaan (nepotism). Konflik ini berbuntut dengan terbunuhnya Utsman, dan dilantiknya Ali ibn Abi Thalib oleh sebagian umat Islam menjadi khalifah keempat. Namun Ali segera mendapat tantangan dari sebagian sahabat lainnya yang juga berambisi untuk memegang tumpuk kekuasaan, terutama Thalhah, Zubeir, dan Mu’awiyah. Dua nama pertama berhasil dikalahkan Ali dalam peperangan yang melibatkan ‘Aisyah, janda Nabi. Sedangkan melawan Mu’awiyah berakhir dengan perdamaian melalui arbitrase. Proses-proses politik semacam ini kemudian memunculkan kaum Khawarij, yang kemudian dikenal sebagai golongan radikal baik dari pandangan politik maupun teologis. Pada tingkat yang amat ekstrem dan radikal, sebagian kaum Khawarij sampai pada pendapat, bahwa orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka adalah musyrik, dan kalangan Khawarij sendiri 4 Al Jabiri, 1996, al Din wa al Daulah wa Tathbig al Syari’ah, Beirut: Markaz Dirasah al Wihdah al Arabiyyah, hal. 23. 101 tidak mau berhijrah ke dalam lingkungan mereka juga termasuk musyrik, dan karena itu wajib di bunuh. Hanya daerah mereka sendiri yang termasuk dar al Islam, sedangkan kawasan muslim lain adalah dar al kufr (dar al harb) yang harus diperangi dan dihancurkan. Dalam prakteknya, jika aliran ekstrem dan radikal semacam ini bertemu dengan orang-orang Islam lain yang bukan termasuk golongannya, tak ampun lagi mereka bunuh.5 Pandangan teologis yang berjalin berkelindan dengan perilaku politik radikal dari kaum Khawarij ini menimbulkan reaksi dari kalangan Islam lain. Maka muncullah aliran Murji’ah, Syi’ah, Mu’tazilah, Maturidiyah, Asy’ariyah, dan lain-lain. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian mewarnai banyak konflik dan kekerasan yang terjadi dalam sejarah Islam pasca Khulafaurrasyidin, baik pada masa Daulah Umayyah maupun Daulah Abbasiyyah. Berbagai perselisihan dengan bermacam implikasinya tersebut bisa dipahami sebagai wujud dari beragam sikap dan pertarungan politik yang diputuskan berdasarkan pertimbangan kekerabatan dan kemaslahatan. Dalam konteks ini agama tidak menjadi perselisihan. Dengan kata lain, agama tidak dijadikan rujukan dalam perselisihan itu karena perselisihan itu merupakan perselisihan politik dalam pengertian umum. Perselisihan itu terjadi karena atas nama agama, dan bukan karena menentang agama.6 C. Barat dan Radikalisme Islam Pada perkembangan selanjutnya, konflik politik dan teologis ini semakin kompleks. Apalagi ketika tingkat perpecahan (disintegrasi) politik di kalangan umat Islam semakin memburuk, yang kemudian secara perlahan mengantarkan umat Islam ke arah disintegrasi sosial dan politik, serta menjerumuskan kepada kemunduran dan keterbelakangan. Dalam situasi kemunduran itulah, Barat yang telah mengalami pencerahan dan kemajuan dalam banyak aspek hadir di wilayah umat Islam. Kemajuan yang diraih Barat seolah tak terkejar dan dengan ‘garang’ menyerang jantung dan pusat kesadaran umat Islam. Sebagian umat Islam mulai kehilangan jati dirinya dan terseret oleh arus besar peradaban Barat. Upaya untuk memunculkan identitas Islam pun mulai didengungkan kembali dan senandung kejayaan Islam (the golden age of Islam) masa lampau terus dikumandangkan. Pencarian jati diri Islam ini kemudian melahirkan kembali firqah-firqah Islam, yang dengan pandangan dan keyakinannya masing berupaya menyelaraskan langkah menyongsong ‘kebangkitan Islam’. 5 6 Lihat Azyumardi Azra, op.cit., hal. 184-185 Lihat Al Jabiri, op.cit 102 Hegemoni dan dominasi kekuatan global Barat ini serta kekerasan struktural yang dimunculkannya di banyak kawasan muslim, telah mendorong terjadinya radikalisasi di dalam gerakan-gerakan Islam semacam al Ikhwan al Muslimin di Mesir, HAMAS di Palestina, Thaliban di Afghanistan, FIS di Aljazair, Khomeini di Iran dan sebagainya. Di Indonesia ada Front Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizb alTahrir dan sebagainya. Persamaan yang bisa dilacak dari kelompok-kelompok ini adalah semangat mereka untuk kembali kepada Islam (back to Islam) dan penentangan terhadap dominasi Barat. Kelompok-kelompok semacam inilah yang kemudian dijuluki Barat sebagai Islam radikal. Karena semangat mereka yang tak kenal kompromi dengan Barat, atau kalau perlu Barat diangap musuh lama yang harus terus diwaspadai. Pemikir-pemikir muslim semacam Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Muhammad Asad, dan Maryam Jameela, dengan tegas memaparkan paradoksal antara Islam dan Barat. Dalam bukunya Islam versus the West, Maryam Jameela memaparkan bahwa antara Islam dan Barat terdapat perbedaan fundemental. Sehingga menurutnya, “The imitation of Western ways of life based on their materialistic, pragmatic, and secular philosophies can only lead to the abandonment of Islam.”7 Penggunaan istilah Islam radikal sendiri mengandung konotasi beragam, dan tidak jarang konotasi itu di kalangan kaum Muslim sendiri bersifat pejoratif. 8 Sebagian kalangan Muslim cenderung menolak kategorisasi semacam ini dengan alasan bahwa Islam itu 'satu', tidak bisa dibagi-bagi dengan memberi kata sifat tertentu. Namun, jelas bahwa secara sosiologis, fenomena pemahaman – atau bahkan ideologi – yang sering dikategorisasi sebagai 'Islam radikal' sulit diabaikan begitu saja. Dengan kata lain, memang terdapat kelompok-kelompok Muslim yang memiliki pemahaman, pandangan dunia (worldview) dan ideologi seperti itu, dan kelompok-kelompok lainnya.9 Contoh konkret betapa dinamika kekerasan struktural pada tingkat global sangat mempengaruhi situasi sosial politik di kawasan-kawasan Islam, adalah kasus Palestina. Didukung oleh superpower Barat, penciptaan negara 7 Lihat Maryam Jameela, “Islam versus the West” sebagaimana dikutip oleh Adian Husaini, 1999, Amerika-Amien Rais Dalam Kancah Konflik Peradaban, Bogor: Global Cita Press, hal. 6 8 Istilah 'radikal' menurut pengertian kamus secara sederhana mengacu kepada keadaan atau orang dan gerakan tertentu yang menginginkan perubahan sosial dan politik secara cepat dan menyeluruh yang bukan tidak sering dilakukan dengan menggunakan cara-cara tanpa kompromi dan bahkan kekerasan -- bukan dengan cara-cara damai. Antonim 'radikal' adalah 'reaksioner', yang mengacu kepada keadaan, orang-orang atau gerakan tertentu yang tidak menginginkan perubahan, yang ingin mempertahankan status-quo. Lihat Azyumardi Azra, “Memahami Radikalisme Islam” dalam Republika, 11 Oktober 2002. 9 Ibid 103 Zionis Israel di kawasan Palestina dan Arab yang secara sistematis berusaha melenyapkan hak-hak sah bangsa Palestina, menimbulkan dinamika politik dan kekerasan yang tak kunjung berakhir. Sikap Barat yang cenderung tidak adil terhadap umat Islam inilah yang kemudian menggelorakan semangat gerakangerakan radikal Islam yang tak jarang menggunakan kekerasan, teror, dan sejenisnya. Selama struktur global yang tidak adil itu terus bertahan, agak sulit diharapkan lenyapnya gerakan-gerakan radikal yang membawa-bawa semangat dan nafas agama. Bahkan gerakan-gerakan radikal yang merupakan realitas dalam masyarakat manapun – dan dapat membawa-bawa nama agama manapun – akan terus menjadi sesuatu kekuatan di masa datang, selama struktur yang ada tetap merangsang terkristalisasinya gerakan-gerakan semacam itu. D. Islam Radikal dan Solusi terhadapnya Islam radikal bagaimanapun juga tidak memiliki masa depan buat perdamaian dunia, karena asumsi mereka yang menganggap dunia ini sebagai ‘medan perang’. Harus diakui bahwa radikalisme Islam merupakan fenomena yang telah ada semenjak awal-awal kehadiran Islam dan terus eksis hingga kini. Oleh karena itu, upaya menghapus gerakan radikal Islam ini adalah sesuatu yang mustahil, namun setidaknya gerakan ini sebagaimana diungkap Hassan Hanafi bisa dieliminir dengan beberapa hal sebagai berikut: Pertama, kekerasan dalam Islam kontemporer merupakan bentuk ekspresi perlawanan Islam terhadap rezim politik yang sedang berkuasa, sedangkan kebebasan berekspresi merupakan hak semua ideologi. Memberikan kebebasan untuk mengekspresikan Islam sebagai ideologi secara terbuka dan merdeka melalui media massa dapat membuat perlawanan kelompok-kelompok Islam tersalurkan. Kedua, Islam tidak hanya sekedar doktrin, namun juga merupakan pranata hukum, tidak hanya sistem keyakinan namun juga gaya hidup, maka wajar bila muncul partai-partai Islam sebagai wadah afiliasi bagi ideologi Islam. Akan lebih baik bagi dunia Islam jika memiliki partai-partai atau organisasi Islam yang legal dan terbuka daripada harus bergelut dalam kelompok-kelompok ilegal dan rahasia. Monopoli kekuasaan dalam sistem partai tunggal merupakan masalah terbesar yang menyebabkan terjadinya kekerasan. Ketiga, tekanan dari rezim politik merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam Islam kontemporer, oleh karenanya demokratisasi kehidupan berpolitik dalam dunia Islam sangatlah penting diwujudkan guna menghindari kekerasan. Jika kekerasan yang dilakukan 104 pemerintah berhenti, dengan sendirinya kekersan tandingan dari kelompokkelompok Islam pun akan punah. Keempat, dengan mengungkapkan kegagalan-kegagalan ideologi sekuler rezim yang berkuasa, fundemantalisme Islam memunculkan diri sebagai alternatif ideologi satu-satunya bagi dunia Islam. Jika penguasa dapat memperlihatkan prestasinya dalam bidang sosial politik, maka hal itu akan dapat meyakinkan masyarakat bahwa ideologi penguasa layak dijadikan pilihan. Kelima, karena Islam merupakan muara utama dalam kultur masyarakat, maka segala bentuk westernisasi dianggap sebagai bentuk pengaruh asing di dalam dunia Islam. Reislamisasi kehidupan sehari-hari akan dapat menghambat rekruitmen angkatan-angkatan baru dalam kelompok fundamentalisme Islam. Keenam, karena monopoli kekusaan politik melalui sistem partai tunggal juga menjadi salah satu faktor penggerak kekerasan dalam Islam kontemporer, pembagian kekuasaan politik dengan partai-partai Islam bisa dapat mengeliminir sebagian penyebab timbulnya kekerasan. Adapun jika pembagian kekuasaan secara psikologis tidak dapat diterima dan diwujudkan, aktifitas-aktifitas kelompok Islam diharapkan bisa diarahkan ke dalam pekerjaan sosial. Ketujuh, kelompok Islam tidak boleh dianggap sebagai penentang hukum, dipinggirkan dan dianggap sempalan dalam struktur masyarakat, karena akan menyebabkan kekerasan akan terus berlangsung. Untuk itu, reintegrasi mereka selayaknya sebagai kelompok besar dalam masyarakat akan memperkuat rasa kepemilikan terhadap negara di antara generasi muda.10 Faktor-faktor di atas harus ditambah lagi dengan adanya niat baik dan ketulusan dari kekuatan global Barat untuk mengurangi radikalisme Islam dengan cara penerapan struktur global yang lebih adil. Standar ganda sebagaimana yang selama ini diterapkan Barat selama ini terhadap dunia Islam, dan penganakemasan Israel hanya akan semakin menyuburkan gerakan kekerasan dalam Islam. Perang melawan terorisme tidak mungkin akan bisa selesai apabila dilakukan dengan perang dan kekerasan, ini membutuhkan perombakan total dalam masyarakat dunia, di mana keadilan harus ditegakkan, tanpa pandang bulu. Fenomena kekerasan dikaji dalam konteks sosio-politis dan historis, maka mudah dipahami bahwa hal itu hanyalah efek dari sumber kekerasan itu sendiri, baik sumber yang berhubungan langsung atau tidak langsung. 10 Paparan yang lebih detil tentang hal ini, lihat Hassan Hanafi, 2001, Agama, Kekerasan & Islam kontemporer, alih bahasa: Ahmad Najib, Yogyakarta: Jendela, hal. 25-31. 105 Perdamaian dan keamanan dunia tidak dapat diwujudkan lewat pendekatan militer, tetapi dapat diwujudkan melalui keterbukaan untuk mengakui Islam juga mempunyai hak untuk berekspresi secara legal dan merdeka. Demokratisasi harus ditegakkan, tidak menjadi masalah siapa yang akan menjadi korban dalam proses demokratisasi tersebut: apakah elite sekuler, kaum nasionalis atau Islam. Dan pada akhirnya, diharapkan proses tersebut akan dapat mewujudkan perdamaian dan keamanan yang dicita-citakan. E. Penutup Sebagai penutup dari paper ini ada beberapa hal yang bisa digarisbawahi: pertama, bahwa radikalisme Islam bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia Islam. Kehadirannya telah nampak semenjak masa awal-awal perkembangan Islam. Kedua, radikalisme Islam umumnya tidak bisa dilepaskan dari peristiwa-peristiwa politik yang ada. Kekerasanc-kekerasan yang muncul dalam sejarah Islam, lebih kental muatan politisnya, dan inilah yang mendorong konflik dan pertikaian antar kelompok yang memiliki afiliasi kepentingan dan ideologi yang berbeda. Ketiga, radikalisme Islam kontemporer muncul lebih disebabkan adanya kepincangan struktur global dan politik yang tidak adil oleh Barat terhadap kawasan Islam. Oleh karena itu, perubahan sikap politik luar negeri Barat akan sangat berpengaruh terhadap kelompok Islam radikal ini. Keempat, penguasa negeri muslim bisa memainkan peranan yang signifikan untuk mengatasi gerakan radikalisme ini dengan cara yang lebih bijak dan santun, yaitu dengan melibatkan mereka dalam pemerintahan atau kerja sosial dan memberikan ruang berekspresi untuk menyalurkan energi mereka dalam hal-hal yang positif. Tindakan yang tidak adil sangat rentan terhadap pemunculan kelompok radikal ini. Wallahu ‘alam bishawab. 106 BAB XII MENGEMBANGKAN TEOLOGI ISLAM HUMANIS Dahulu orang berkata, “Islam adalah agama terbaik dengan penganut terburuk.” Sesudah Salman Rushdie, banyak yang berkata, “Islam adalah agama terburuk dengan para penganut terburuk pula.”(Shabbir Akhtar) A. Pendahuluan Judul yang hendak diusung dalam tulisan ini memang tampak bombastis dengan tujuan yang tak kalah dahsyat pula, yaitu bagaimana teologi Islam yang selama ini hanya berada nun jauh di sana, mengawang-awang di langit biru, dan hanya berbicara tentang hal-hal yang abstrak, bisa diturunkan pada fungsinya yang sebenarnya, yaitu suatu teologi yang akan menghantarkan Islam menjadi agama yang terbaik dengan pemeluk yang terbaik pula sebagaimana diharapkan al Qur’an, bukan seperti sitiran Shabbir Akhtar sebagaimana termaktub pada prawacana di atas. Lebih lanjut, Akhtar juga mengungkapkan bahwa kita tidak mungkin menemukan bukti yang lebih baik tentang kelumpuhan intelektua para pengikut muhammad sekarang ini selain kegagalan mereka dalam memberikan respons yang memadai terhadap tantangan-tantangan modernitas sekuler. Umat muslim modern, sebagai sekelompok masyarakat, secara memalukan tidak merenungkan tantangan-tantangan modernitas sekuler tersebut, seakan-akan berpikir bahwa Allah telah memikirkan segala-galanya untuk hamba-hamba-Nya. Meskipun Islam tidak kekurangan para apologis (pembela agama) atau teoritikus agama, secara bersama-sama mereka telah gagal memberikan respons yang bernas dan mendasar terhadap modernitas.1 Sebagai seorang Muslim, memang kita layak untuk berduka, alih-alih mampu mewujudkan misi Islam sebagai rahmat bagi seluruh semesta, umat Islam malah dianggap sebagai biang teroris, yang merupakan musuh peradaban modern dunia. Terlepas dari adanya suatu suudzan bahwa ini hanyalah sekedar citra atau streotype yang dimunculkan pihak Barat, harus kita akui bahwa saat ini, mayoritas umat Islam berada dalam kelompok negara-negara terkebelakang, dengan etos kerja yang lemah. Kalau memang ada asumsi 1 Lihat Shabbir Akhtar, Islam Agama Semua Zaman (Faith for All Seasons: Islam and western Modernity), Penerjemah Rusdi Djana, Pustaka Zahra, Jakarta, 2002, hal. 7 107 bahwa etos tersebut terkait dengan kultur tradisi masyarakat, lalu mengapa umat Islam yang terdiri dari multi-kultur dan beragam tradisi secara bersamaan berada pada posisi yang sama, apa memang karena rasa kesetiakawanan yang mendalam ataukah ada something else? Jawaban yang paling gampang tentunya bahwa penyebab itu semua adalah Islam sebagai titik temu dari agama negara-negara yang terkebelakang itu! Akan tetapi kalau kita menolak dengan argumen bahwa dulu Islam pernah jaya, berarti setidaknya ada cara ber (teologi) Islam yang salah dari umat ini. Atas dasar asumsi inilah makalah ini akan diulas lebih lanjut. Ada beberapa persoalan yang hendak diulas dalam tulisan ini. Pertama, menyorot cara berteologi umat Islam dan melihat kaitannya dengan citra negatif yang sering dilabelkan kepada Islam. Kedua, berangkat dari asumsi bahwa ada kesalahan cara berteologi pad aumat Islam, maka kemudian akan coba dicari tawaran teologi alternatif yang bisa memberikan terapi untuk menjadikan Islam sebagai agama sesuai yang dikehendaki pada misi awal kelahirannya. Sedang pada akhir tulisan akan dilakukan catatan reflektif atas persoalan yang ada. B. Sekitar Relijiusitas Umat Islam Menarik untuk melihat bagaimana fenomena keberagamaan umat Islam dewasa ini, terlebih di bulan suci Ramadhan 1423 Hijriyah ini. Islam yang diamati ini tentunya adalah – meminjam bahasa Bernard Lewis - Islam sejarah (historical Islam).2 Dari fakta di lapangan, bisa ditarik konklusi bahwa umat Islam pada bulan suci ini sangat bergairah dalam melaksanakan ritual keagamaan, bahkan seolah kesan muncul bahwa umat Islam berebut pahala, mencari berkah Tuhan lewat bulan suci. Pandangan yang rada apriori, Tuhan pada bulan suci ini coba dirayu dan disogok agar memberikan pahala, yang kelak akan mereka nikmati di sorga, pada bulan ini juga bagi yang merasa 2 Pada suatu kesempatan, Bernard Lewis, menjelaskan tiga persepsi mengenai Islam. Pertama, Islam sebagaimana terwujud dalam al Qur’an dan Hadits, yang mana dalam wujud ini dinyatakan oleh kaum muslimin tidak berubah. Kedua, Islam sebagaimana diinterpretasikan oleh para ulama. Islam dalam interpretasi merupakan hasil kreasi pikir manusia (ulama atau cendekiawan) yang mencoba merespon pesan-pesan suci ilahi dan menghadapkannya dalam realitas sosial yang ada. Hasil interpretasi ini sifatnya jelas tidak absolut, karena selalu terkait dengan dimensi ruang dan waktu. Ketiga, Islam adalah apa yang disebut sebagai Islam sejarah (historical Islam). Islam dalam realitas sejarah ini mengandung jarak dari Islam ideal, yang dirumuskan oleh para ulama dan cendekiawan. Karena itu yang disebut masyarakat muslim atau kebudayaan muslim mungkin mengecewakan, karena dinilai tidak selalu selaras dengan rumusan idealnya. Islam ini mungkin pula telah bercampur dengan unsur-unsur budaya, baik yang sesuai atau bertentangan dengan Islam yang dipersepsikan. Lihat M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Paramadina dan Jurnal Ulumul Qur’an, Jakarta, 1996, hal. 134 108 berdosa, mendapat jalan untuk mengurangi rasa bersalahnya dengan kembali pada “Tuhan” dan bersikap sangat Islami.3 Di masjid-masjid para takmir dengan semangat 45 berusaha memakmurkan rumah Tuhan tersebut dan mengundang para penceramah moralis untuk memberikan mau’idzah hasanah kepada jamaahnya. Kita patut merasa bangga dengan apa yang dilakukan kaum muslimin, dan merasa bersyukur akan ghirah dalam beragama yang dipertontonkan oleh sebagian besar umat Islam, terutama di Indonesia, dan juga belahan negara muslim lainnya.4 Berdasarkan pengamatan Hassan Hanafi atas realitas umat Islam bahwa dunia Islam saat ini menggambarkan kecendrungan-kecendrungan praktek keberagamaan (keislaman) yang hanya menjadi ritus-ritus kosong yang tidak bernilai.5 Fenomena yang sama bisa kita lihat bagaimana umat Islam memposisikan al Qur’an sebagai kitab sucinya selama berabad-abad, dan bagaimana ritual yang semestinya bisa mencerahkan dan mensejahterakan umat, hanya menjadi sebuah rutinitas yang dilihat sebagai transaksi untung rugi antara hamba dengan Tuhan. Al Qur’an adalah sebuah dokumen petunjuk bagi manusia (hudan lin nas). Dengan fungsi ini, al Qur’an sebenarnya punya nilai praktis bagi kepentingan manusia, kini dan nanti. Selama ini, teologi keberagamaan umat Islam yang berkembang semenjak abad-abad klasik dan hingga saat ini masih terus saja sibuk mengurus dan membicarakan Tuhan, jelas tidak mewakili pandangan al Qur’an secara utuh, bila bukan telah mengaburkannya.6 3 Fenomena semacam ini bisa dengan mudah kita lihat pada media massa seperti telivisi. Para selebritis yang biasanya mengubar aurat, mempertontonkan lekuk tubuh yang sering mengundang nafsu, nampak menjadi sosok yang sangat saleh dengan jilbab dan ungkapanungkapan relijius. Media-media massa yang biasanya juga jauh dari norma-norma moralitas agama, menampilkan wajahnya yang lain di bulan suci, menawarkan kepada umat Islam semangat back kepada Islam lewat ceramah-ceramah, kuliah-kuliah pendek, ataupun pengajianpengajian tertentu. 4 Satu pernyataan menarik dari Hassan Hanafi ketika menjelaskan alasan mengapa dia tidak memilih al Mau’idhah Hasanah sebagai nama jurnal dia, tapi Yasar al Islami. al Mau’idhah Hasanah bagi Hassan Hanafi hanya berisi imbauan-imbauan moral yang sering dikumandangkan di mimbar-mimbar Jum’at tetapi tanpa muatan reflektif dan semangat perubahan. Imbauanimbauan seperti itu tidak pernah mengubah keadaan rakyat muslimin, bahkan yang terjadi justru sebaliknya: memiskinkan umat, dan membuai mereka dengan impian-impian kosong. Lihat tulisan Hassan Hanafi pada Kiri Islam, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam antara Modernitas dan Postmodernisme: Telaah Pemikiran Hassan Hanafi, Penerjemah Imam Aziz dan Jadul Maula, LkiS, Yogyakarta, 1993, hal. 87 5 Hassan Hanafi, al Yasar al Islami, Kitabah al Nahdah al Islamiyah, 1981, hal. 20 6 Bagi sementara umat Islam, al Qur’an lebih dianggap sebagai kitab suci yang tidak boleh disentuh kecuali setelah bersuci, diletakkan pada rak yang paling tinggi, yang ayat-ayatnya kemudian dijadikan jimat pengasih, bacaan untuk mengusir jin yang jahat, ornamen dan kaligrafi rumah, yang substansi dan perintah Allah di dalamnya alih-alih bisa diamalkan, dimengertipun masih sangat sedikit. 109 Sekalipun perkataan Allah terdapat lebih dari 2500 kata dalam al Qur’an, disamping ungkapan al Rabb, al Rahman, al Rahim dan sejenisnya, Kitab Suci ini bukanlah wacana tentang Tuhan dan sifat-sifatnya. Eksistensi Tuhan bagi al Qur’an bersifat fungsional: Dia Pencipta, Pemelihara alam dan manusia, dan khususnya Pemberi Petunjuk kepada manusia melalui wahyu-Nya. Juga sekaligus mengadili manusia, baik secara individu maupun kolektif melalui mahkamah keadilan yang penuh kasih sayang. Sikap sebagian umat Islam terhadap al Qur’an yang kurang menempatkan pada fungsinya sebagai traffic light dalam hidup, juga selaras pada pemaknaan ibadah, yang seyogianya menjadi sarana pendekatan pada Allah dan media pendidikan dalam hidup, lebih pada bahwa ibadah itu untuk Allah, dan seolah sangat menghajatkan kepada ibadah yang kita lakukan. Konsekuensi lebih lanjut, ibadah yang seharusnya punya fungsi lain yang berwatak sosial dalam pemberdayaan umat, menjadi hanya sekedar ritus kosong, merayu, membujuk dan menyogok Tuhan yang sifat dan skalanya sangat individual. Selama ini kaum muslim begitu yakin bahwa ketaqwaan dan kesalehan akan dicapai seseorang jika lebih sibuk ngurusi dan membela Tuhan daripada membela kepentingan kemanusiaan yang menderita. Dekat kepada Tuhan seringkali dibuktikan dengan tidak peduli pada nasib manusia yang miskin dan menderita. Kesaksian iman seringkali identik dengan perilaku tidak manusiawi. Kurang begitu disadari betapa Tuhan berkali-kali menyatakan bahwa hanya mereka yang mencintai dan mengasihani sesama manusia, menolong yang miskin dan tak berdaya agar bebas dari segala penderitaanlah yang akan dikasihani, ditolong, dan dekat serta boleh menyatakan diri beriman kepadaNya.7 Dalam hubungan itulah, ibadah kepada Tuhan perlu direformasi bagi kepentingan kemanusiaan. Sebagai contoh sederhana misalnya zakat. Fungsi utama yang hendak diusung oleh ibadah yang satu ini jelas fungsi sosial, yaitu bagaimana bisa menjawab problema kemiskinan yang dialami umat Islam. Di sini zakat tidak boleh semata dianggap sebagai tazkiyatul mal sebagaimana konsep fiqh yang selama ini dipegang oleh mayoritas umat Islam, fungsi pemberdayaannya itulah yang seharusnya dikedepankan. C. Teologi Humanis sebagai Teologi Alternatif Berangkat dari fenomena keberagamaan dan keyakinan teologi yang dianut dan dipraktekkan oleh umat Islam. Jelas umat Islam membutuhkan 7 Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kiri Landasan Gerakan Membela Kaum Mustad’afin, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, hal. 268 110 sebuah teologi baru yang membumi, yang lebih manusiawi, dan bisa menghantarkan Islam bukan saja sebagai agama yang terbaik, tapi juga dengan pemeluk yang terbaik. Model teologi yang harus dianut oleh umat Islam tersebut adalah model teologi yang tidak lagi berkutat pada tataran ritus kosong, atau upaya pembelaan Tuhan an sich, tapi teologi yang bisa mengubah ritus menjadi aksi. Berbagai praktek ritual yang selama ini dpercaya dilakukan bagi maksud pembebasan kemiskinan tidak pernah berhasil hanya karena praktek ritual tersebut lebih ditujukan bagi kepentingan diri sendiri atas nama tuhan. Hal ini mudah tergelincir menjadikan kaum mustad’afin sebagai obyek pencarian pahala yang hanya penting untuk menumpuk pahala dengan tujuan Tuhan selalu berpihak kepada pelaku dengan memberi sejumlah rezeki bagi kepentingan nasibnya di dunia dan nanti di akhirat. Praktek ritual (ibadah sosial) kemudian lebih disibukkan oleh kegiatan ngurusi Tuhan bukan bagi kepentingan kamum mustad’afin itu sendiri. Upaya membangun teologi sosial umat Islam membutuhkan perangkat sosiologi, yang secara internal sasarannya adalah untuk menganalisa perilaku sosial umat dan menawarkan teori sosial alternatif. Untuk itu, praktek ritual memerlukan indikator sosial. Indikator material ibadah yang diterima Tuhan adalah berhasilnya seseorang atau sekelompok orang menegakkan kebenaran dan keadilan. Sedangkan indikator sosial ibadah yang tidak diterima adalah membiarkan ketidakadilan, kemiskinan, dan ketertindasan terjadi disekitar kehidupan manusia. Sementara indikator non-material ibadah adalah hak prerogatif Tuhan untuk memutuskannya. Hassan Hanafi mensitir bahwa pemikiran kalam klasik terlalu teoritis, teosentris, elitis, dan konsepsional yang statis. Hanafi sendiri menginginkan kalam yang bersifat antroposentris, praktis, populis, transformatif, dan dinamis. Untuk mentransformasikan ilmu-ilmu serta pemikiran klasik menjadi ilmu atau pemikiran yang bersifat kemanusiaan, ada beberapa langkah yang ditawarkan oleh Hanafi: Pertama, langkah dekonstruksi. Langkah ini dilakukan dengan menjelaskan aspek isi, metodologi, dan juga penjelasan terhadap konteks sosio-historis yang melatrbelakangi kelahirannya, serta perkembangannya saat ini. Kemudian, memberikan penilaian atas kelebihan dan kekurangannya, juga bagaimana fungsinya di masa sekarang. Kedua, langkah rekonstruksi. Langkah ini dilakukan dengan cara mentransfer teori-teori lama yang masih dapat dipertahankan seperti rasionalisme ke dalam perspektif baru yang didasarkan pada pertimbangan 111 realitas kontemporer. Teori ini selanjutnya dibangun menjadi sebuah ilmu yang berorientasi kepada kemanusiaan. Ketiga, langkah pengintegrasian. Langkah ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan ilmu-ilmu atau pemikiran klasik dan merubahnya menjadi ilmu kemanusiaan baru. Transformasi ilmu-ilmu yang ditawarkan Hanafi yaitu: Ushul Fiqh menjadi Metodologi Penelitian; Fiqh menjadi Ilmu Politik, Ekonomi, dan Hukum; Tasawuf menjadi Psikologi dan etika; Ilmu hadis menjadi Kritik Sejarah; Ilmu Kalam/Teologi (dengan konsepnya seperti Imamah, Naql-Aql, Khalq al Af’al, dan Tauhid) secara berurutanmenjadi Ilmu Politik, Metodologi Penelitian, Psikologi dan Psikologi Sosial, Filsafat (dengan konsep-konsepnya seperti Mantiq, Tabi’iat) secara berurutan menjadi Metodologi Penelitian, fisika, Psikologi Sosial, dan Sosiologi Pengetahuan. Kelihatannya teologi Islam masih bertolak dari rumusan-rumusan yang abstrak. Tema-tema yang dibicarakan lebih menggunakan analisis sejarah dan perbandingan deskriptif terhadap aliran-aliran kalam, dan kurang menyentuh persoalan umat dewasa ini. Para eksponen gerakan pembaruan pemikiran Islam yang pernah muncul dekade lalu tampaknya belum begitu berhasil menjabarkan makna iman itu pada tataran realitas dan aski. Artinya pendekatan mereka dalam memahami teologi masih bersifat normatif dan deduktif. Ini berbeda, misalnya dengan teologi pembebasan yang bertolak dari realitas sosial yang menindas dan mempermiskin rakyat sehingga yang berteologi umumnya mereka yang tertindas, dieksploitasi, dan mengalami marjinalisasi.8 Persoalannya terletak pada metode teologi Islam, apakah memang harus menggunakan pendekatan deduktif atau induktif, seperti pada teologi pembebasan. Tujuan teologi induktif adalah memberikan jawaban atas persoalan hidup manusia sehingga tidak hanya menjadi banguna teorits yang indah, tetapi mandul karena terlepas dari realitas. Jadi, pemiiran Islam yang bertolak dari semangat teologi pembebasn umumnya memiliki teologi transformatif. Persoalan teologi semacam ini-atau kajian Islam yang bersemangat paradigma transformatif-memang jarang tersenutuh dalam kajian teologi.9 D. Penutup Dalam upaya humanisasi teologi langitan, dan kerja reorientasi teologi transendental menuju teologi humanitarian merupakan gawe besar yang 8 Lihat M. Deden Ridwan (ed), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antardisiplin, Nuansa, Bandung, 2001, hal. 13 9 Ibid 112 membutuhkan keterlibatan semua komponen umat Islam. Setidaknya sebagai langkah awal untuk ini, yaitu penyadaran kembali akan fungsi diturunkannya Islam kepada umat manusia. Misi utama Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, Islam datang untuk menyelamatkan umat manusia dari praktek dehumanisasi yang berlangsung terus menerus disepanjang ruang dan zaman. Manusia dalam Islam adalah abdullah dan sekaligus khalifatullah. Posisi ini harus dalam konstelasi yang bersamaan diwujudkan. Abdullah menghendaki orientasi tujuan yang terbaik untuk dipersembahkan kepada Tuhan, sedang misi khalifatullah, bahwa kita adalah wakil Tuhan di muka bumi ini, yang berarti mewujudkan segala harapan dan keinginan Tuhan untuk memakmurkan bumi dan mensejahterakan penduduk bumi. Tuhan sama sekali tidak butuh terhadap apa yang hamba-Nya kerjakan, Dia lewat firman-Nya hanya menghendaki manusia bisa tetap dalam koridor sebagai seorang hamba yang tidak jatuh dalam kegelapan dan kebodohan, dan lewat kalam-Nya ia kemudian memberi manusia petunjuk untuk menuju orientasi hidup yang lebih membahagiakan lagi. Meminjam konsep sufi, bahwa apa yang harus diwujudkan manusia, adalah insan kamil, yaitu bagaimana sifat-sifat Tuhan yang 99 itu bisa diserap dan diaplikasikan dalam hidup manusia. Sorga yang dijanjikan Tuhan, harus bisa kita hadirkan di muka bumi ini, dan tidak perlu lagi menunggu kelak pada hari kiamat. Dan sebagai wakil Tuhan, umat Islam – meminjam konsep Kuntowijoto - harus senantiasa bisa menjadi umat yang terbaik, yang memiliki karakteristik transformasi (al amru bil ma’ruf), liberasi ( al nahyu ‘an al munkar), dan transendensi (al iman bi al allah). Inilah karakteristik khas dari teologi humanitarian, yaitu transformasi nilai-nilai humanis seperti keadilan, toleransi, persamaan, dan persaudaraan. Liberasi dari aspek-aspek yang memunculkan dehumanisasi manusia. Transendensi, bahwa semua yang dilakukan itu berada dalam bingkai yang tulus dan kesinambungan gerak dengan Yang Maha Kuasa. Kita sebagai umat Islam tidak perlu merebut kendali kuasa Tuhan, atau sampai membunuh Tuhan sebagaimana gerakan humanisme Barat. Karena Tuhan berada dalam koridor sangka hamba-Nya. Tuhan menyajikan santapan berupa firman-Nya sebagai petunjuk dalam setiap langkah kita. Tuhan telah memfasilitasi kita dengan ayat-ayat-Nya, baik yang tersurat dalam al Qur’an maupun yang terpampang di alam semesta, dan akal yang menjadi media untuk perenungan akan segala ayat-ayat-Nya, dan semua itu dperuntukkan bagi kita, umat manusia, sekarang terserah kita, mau diapakan. Wallahu ‘alam bishawab. 113 114 DAFTAR PUSTAKA Abdalla, Ulil Abshar-, 'Menimbang Islam Pribumi," dalam Tashwirul Afkar Edisi No. 14 Tahun 2003. Abdul Aziz Thaba, 1996, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press. Abdullah, M. Amin, 1996. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. -------, 2000, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer, Bandung: Mizan. -------, 2002, Antara Al Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan. Abdullah, Taufik, 2002, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Hoeve. Adian, Donny Gahral, 2002, Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra. Affendi, Abdul Wahab El, 1994, Masyarakat Tak Bernegara, Yogyakarta: LKiS. Ahmad, Akbar S., 1988, Discovering Islam Making Sense of Muslim History and Society, Londan and New York: Routledge. Ahmad, Khurshid, 1987, “Sifat Kebangkitan Islam” dalam John L. Esposito (ed), Dinamika Kebangunan Islam: Watak, Proses, dan Tantangan, Jakarta: Rajawali Press. Ahmadi, Abu, 1991, Perbandingan Agama, Jakarta: Rineka Cipta. Ahmed, Moinuddin, 1994, Religion of All Mankind, New Delhi: Kitab Bhavan. 114 Akhavi, Shahrough,” Shi’i Social Thought and Praxis in Recent Iran History”, dalam Cyriac K. Pullapilly (ed), 1980, Islam in the Contemporary World, Cross Roads Book, Notre Dame. -------, 1983, “Shariati’s Social Thought”, dalam Nikki R. Keddie (ed), Religion and Politics in Iran, New Haven and London: Yale University Press. Akhtar, Shabbir, 2002, Islam Agama Semua Zaman (Faith for All Seasons: Islam and western Modernity), Penerjemah Rusdi Djana, Jakarta: Pustaka Zahra. Alburey Castell, 1976, An Introduction to Modern Philosophy, Third Edition, New York: Macmillan Publishing Co, Inc. Alistair Kee, 1990, Marx and the Failure of Liberation Theology, London: SCM Press. Al-Jabiri, Muhammad Abid. 1990. Bunyat Aqli al-Arabi: Dirosat Ta’liliyyat Naqdiyyat Linadhmi al-ma’rafah fi al-Saqofah al-Arrobiyyat. Beirut: Markas al-Wahdah al-Arobiah. Andi Muawiyah Ramly, 2000, Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis, Yogyakarta: LKiS. Arifin, Syamsul dkk.. 1996. Spritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: SIPRESS. Armstrong, Karen, 2001, Sejarah Tuhan, Bandung: Mizan. -------, 2000, Berperang Demi Tuhan, Bandung: Mizan. Azra, Azyumardi, 1999, “Kelompok Sempalan di Kalangan Mahasiswa Perguruan Tinggi Umum: Anatomi Sosial Historis”, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Logos. -------, 1999, Menuju Masyarakat Madani, Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 115 -------, 1996, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Postmodernisme, Jakarta: Paramadina. Bagir, Haidar, 2002, “Suatu Pengantar kepada Filsafat Islam Pasca Ibn Rusyd”, pengantar edisi Indonesia buku karya Murthada Muthahhari, Pengantar Pemikiran Shadra: Filsafat Hikmah, Bandung: Mizan. Bagus, Lorens, 2000, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia. Baidhawy, Zakiyuddin dan Mutohharum Jinan (ed), 2001, Agama dan Pluralitas Budaya, Surakarta: PSB-PS UMS. Bakhash, Shaul, 1984, The Reign of Ayatollahs Iran and Islamic Revolution, New York: Basic Books, inc. Banks, J.A. and C.A.M. Banks (eds), 1997, Multicultural Education: Issues and Perspectives, Boston: Allyn and Bacon Baso, Ahmad, 1999, Civil Society Versus Masyarakat Madani, Bandung: Pustaka Hidayah. Bertens, K., 1985, Filsafat Barat Abad XX jilid II Prancis, Jakarta: Gramedia. Bleicher, Joseph, 1980, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy, and Critique, London, Boston, and Henly: Routledge & Kegan Paul. Bosh, David J., 1999, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, Alih bahasa Stephen Suleeman, Jakarta: Gunung Mulia. Brinton, Crane et, Jhon B. Christoper, Robert L. Wolf, 1962, A History of Civilization, New Jersey: Prentice Hall. Brown, Dan, 2006,The Da Vinci Code, Penerjemah Isma B. Koesamawardi, Jakarta: Serambi. 116 Burhanuddin (ed.), 2003, Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, Jakarta: INCIS Burrell, R.M., 1995, Fundamentalisme Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Corbin, Henry, 1993, History of Islamic Phillosophy, London: Kegan Paul International in Association with Islamic Publications for the Institute of Ismaili Studies. Cottom, Richard W., ”The Iranian Revolution” dalam Juan R.I. Cole dan Nikki R. Keddie (ed), 1986, Shi’ism and Social Protest, New Haven and London: Yale University Press. Culla, Adi Suryadi, 1999, Masyarakat Madani,Pemikiran,Teori dan Relevansinya dengan Cita-Cita Reformasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Daniel L. Pals, 1996, Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press. David McLellan, 1973, Karl Marx: His Life and Thought, New York: Harper& Row Publisher. Delfgauuw, Bernard, 1988, Filsafat Abad 20, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana. Dickens, A. G. 1982, “Intellectual and Social Forces in The German Reformation” dalam Reformation Studies, London. Esposito, John L., 1987, Dinamika Kebangunan Islam: Watak, Proses, dan Tantangan, Jakarta: Rajawali Press. Fakhry, Majid, 2001, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, Bandung: Mizan. Franz Magnis-Suseno, 1999, Filsafat kritis Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius. 117 Froehle, Bryan T. & Gauter, Mary L., 2000, Catholicism USA: Portrait of the Catholic Church in the United States, Mary Knoll New York: Orbits Books. Gellner, Ernest, 1994, Menolak Postmodernisme: Antara Fundamentalisme Rasionalis dan Fundamentalisme Religius, Bandung: Mizan. -------,, 1990, Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan, Bandung: Mizan. Gillis, Chester, 1999, Roman Catholicism in America, New York: Columbia University Press. Habermas, J., 1984, The Theory of Communicative Action, Boston: Beacon Press. Haddad, Yvonne “Muhammad Abduh Perintis Pembaruan Islam”, dalam Ali Rahmena (ed), 1996, Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan. Hadiwinata, Bob S., 1999, “Masyarakat Sipil Indonesia: Sejarah, Kelangsungan dan Transformasinya ”, dalam Wacana, Edisi 1, Vol. 1. Halliday, Fred, “Iranian Foreign Policy Since 1979: Internationalism and Nationalism in the Islamic Revolution”, dalam Juan R.I. Cole dan Nikki R. Keddie (ed), 1986, Shi’ism and Social Protest, New Haven and London: Yale University Press. Hanafi, Hassan, 2001, Agama, Kekerasan & Islam kontemporer, alih bahasa: Ahmad Najib, Yogyakarta: Jendela. -------, 1981: al Yasar al Islami, Kahirah: Kitabah al Nahdah al Islamiyah. Harold H. Titus dkk, 1984, Persoalan-Persoalan Filsafat, alih bahasa Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang. Harre, R. 1978. The Philosophies of Science: An Introductory Survey, london: Oxford University Press. 118 Harun Hadiwijono, 2001, Sari Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Kanisius Haryatmoko, 2002, “Apa yang Tersisa dari Agama?” dalam BASIS Nomor 0506 Tahun Ke-51, Mei-Juni. Hidalgo, Francisco, 2003, Multicultural Education Lanscape for Reform in Twenty First Century, New Mexico: New Mexico State University. Hikam, Muhammad, 1996, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES. -------, 1999, “Wacana Intelektual tentang Civil Society di Indonesia, Jurnal Pemikiran Paramadina, Volume I, No. 2. -------, 1993, “Demokrasi Melalui Civil Society, Sebuah tatapan Reflektif Indonesia”, Prisma, No. 6. Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilization and The Remarking of World order. London: Penguin Books Ltd.. Husaini, Adian, 1999, Amerika-Amien Rais Dalam Kancah Konflik Peradaban, Bogor: Global Cita Press. Huwaidi, Fahmi, 1990, “Kebangkitan Islam dan Persamaan Hak Antarwarga Negara”, dalam Kebangkitan Islam dalam Perbincangan para Pakar, Jakarta: GIP. Ibrahim, Anwar, 1996, “Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani”, dalam Aswab Mahasin, Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal. Imaduddin, M. dkk, "Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia," dalam Tashwirul Afkar Edisi No. 14 Tahun 2003. Isaiah Berlin, 1963, Karl Marx, New York: Time, Inc. 119 Izuztsu, Toshihiko, 1977, “The Fundamental Structure of Sabzawari’s Metaphisics”, dalam Toshihiko Izuztsu dan Mahdi Mohagheh (eds), The Metaphysics of Sabzavari, New York: Caravan Books. Jabiri Muhammed Abed al, 1996, al Din wa al Daulah wa Tathbig al Syari’ah, Beirut: Markaz Dirasah al Wihdah al Arabiyyah. Jary, David dan Julia Jary, 1991, "Multiculturalism", Dictionary of Sociology, New York: New Harper. Jonge, Chr. De & Aritonang, Jan S., 1997, Apa dan Bagaimana Gereja? Pengantar Sejarah Eklesiologi, Jakarta: Gunung Mulia. Jostein Gaarder, 2002, Dunia Sophie, Bandung: Mizan. Juhaya S. Praja, 1997, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika: Suatu Pengantar, Bandung: Yayasan PIARA. Kaelan, 1998, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta: Paradigma. Karni, Asrori S., 1999, Civil Soceity dan Ummah, Sintesa Diskursif Rumah Demokrasi, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu. Khaldun, Ibnu, 1989, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Beirut: Dar al-Fikr. Kurtz, Lester R., 1995, Gods in the Global Village: The World's Religion in Sociological Perspectives, London: Pine Forge Press. Leaman, Oliver, 2001, Pengantar Filsafat Islam Sebuah Pendekatan Tematis, penerjemah Musa Kazim dan Arif Mulyadi, Bandung: Mizan. Leonard Lewisohn et.al (eds), 2002, Warisan Sufi Persia Klasik dari Permulaan hingga Rumi (700-1300), penerjemah Gafna Raizha Wahyudi, Yogyakarta: Pustaka Sufi. 120 Linda Smith dan William Raeper, 2000, Ide-ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang, Yogyakarta: Kanisius. Listiyano Santoso dkk, 2003, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Penerbit Ar Ruzz Maarif, A. Syafii. 1994. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. Madjid, Nurcholish, 1996, “Menuju Masyarakat Madani”, dalam dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Qur'an, No. 2/VII. -------, 1997. Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina. Mahfud MD, Moh., 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media. Marcel Neusch, 2004, 10 Filsuf pemberontak Tuhan, penerjemah Damanhuri Fattah, Yogyakarta: Panta Rhei Books. McGrath, Alister E., 1999, Sejarah Pemikiran Reformasi, Alih bahasa Liem Sien Kie, Jakarta: Gunung Mulia. Minhaji, Akh, 2000, “Supremasi Hukum dalam Masyarakat Madani (Perspektif Sejarah Hukum Islam), dalam Jurnal UNISIA, No. 41/XXII/IV. Moment, M., “Penguasa dan Kaum Oposisi dalam Aliran Syi’ah Asyriyah (Imamiyah)”, dalam RM Burrell (ed), 1995, Fundamentalisme Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Montefiore, Alan (ed), 1983, Philosophy in France Today, Cambridge: Cambridge University Press. Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzhur, 1992, Lisan al Arab, Juz II. Muhammad Imarah, 1996, Al Islam wa al 'Urubah, Kahirah: Al Haihal Al Mashriyyah Al 'Ammah Lil Kitab. 121 Mulkhan, Abdul Munir, 2002, Teologi Kiri Landasan Gerakan Membela Kaum Mustad’afin, Yogyakarta: Kreasi Wacana. Murata, Sachiko, 1998,The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Bandung: Mizan. Muthahari, Murthada, 1993, “Garis Besar Sumbangan Kaum Muslim Kepada Filsafat”, dalam Al Hikmah, No. 10 Juli-September. Muzaffar, Chandra, ”Kebangkitan Islam: Suatu Pandangan Global dengan Ilustrasi dari Asia Tenggara”, dalam Saiful Muzani (ed), 1993, Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES. Nasr, Sayyed Hossein and Oliver Leaman, 1996, History of Islamic Philosophy, Part I London and New York: Routledge. Nasr, Sayyed Hossein, 1989, Knowledge and the Sacred, New York: State University Press. -------, 1996, Intelektual Islam, Teologi, Filsafat, dan Gnosis, penerjemah Suharsono dan Djamaluddin MZ, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nasution, Harun. 1980. Akal dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press. Nieto, Sonia, 2000, Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of multicultural Education, New York: Longman, Inc. Noer, Deliar, 1983, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES. -------, 1998, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Bandung: Mizan. Nur, Syaifan, 2002, Filsafat Wujud Mulla Sadra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. OFM, C. Groenen, 1992, Teologi Sakramen Baptisan Krisma: Sejarah & Sistemik, Yogyakarta: Kanisius. 122 Palmer, Richard E., 1969, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Evanston: Northwestern University Press. Praja, Juhaya S., 1997, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Bandung: Yayasan PIARA. Putra, Anom S. dkk.. 1999. “Revolusi Nalar Islami: Menangguhkan Teks, Mencuri Subyek”. dalam Gerbang: Jurnal Pemikiran Agama dan Demokrasi. Edisi 02 Th. II Qadir, C.A., 2002, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor. Qardhawi, Yusuf al, 1993, Madkhal Li Al Dirasah al Islamiyyah, Beirut: Dar al-Fikr. Rahardjo, Dawam, 1999, ”Demokrasi, Agama, dan Masyarakat Madani”, dalam Jurnal UNISIA, No. 39/XXII/III. -------, 1999, “Lembaga Swadaya Masyarakat, dalam suntingan TIM MAULA, Jika Rakyat Berkuasa Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal,” Bandung: Pustaka Hidayah. -------, 1999, “Masyarakat Madani di Indonesia Sebuah Penjajakan Awal”, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1, No. 2. -------, 1996, Ensiklopedi al Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina dan Jurnal Ulumul Qur’an. Rahman Fazlur, 1975, The Philosophy of Mulla Sadra, Albany: State University of New York Press. -------, 2000, Islam dan Modernitas, Bandung: Pustaka. Rahmat, Jalaluddin, 1999, “Ideologi Syi’ah Melacak Latar Belakang Revolusi Islam Iran”, dalam Islam Alternatif, Bandung: Mizan. 123 Rauf, Maswadi, 1999, “Masyarakat Madani, (Civil Society) Akar Demokrasi di Indonesia”, dalam suntingan TIM MAULA, Jika Rakyat Berkuasa Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal, Bandung: Pustaka Hidayah. Ricoeur, Paul, 1974, The Conflick of Interpretations: Essays Hermeneutics, Evanston: Northwestern University Press. In -------, 1984, Hermeneutics and the Human Sciences, edited and translatted by John B. Thomson, Cambridge: Cambridge University Press. -------, 1976, Interpretation Theory: Discourse and Surplus of Meaning, The Texas Christian University Ridwan, M. Deden (ed), 2001, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antardisiplin, Bandung: Nuansa. Robinson, J.M. dan John B. Cobb., 1964, The New Hermeneutics, New York: Harper and Row Publisher. Roy, Muhammad, 2004, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqh, Yogyakarta: Safiria Insania Press. Schimmel, Annemarie, 1994, Deciphering The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam, State University of New York Press Scruton, Roger, 1996, A Short History of Modern Philosophy From Descartes to Wittgenstein, Routledge, London dan New York. Sharif, M.M. (ed), 1966, A History of Muslim Philosophy, Vol. II, Wiesbaden: O. Harrassowtz. Shimogaki, Kazuo, 1993, Kiri Islam antara Modernitas dan Postmodernisme: Telaah Pemikiran Hassan Hanafi, Penerjemah Imam Aziz dan Jadul Maula, Yogyakarta: LKiS. 124 Simon, Roger, 1999, Gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan INSIST. Smith, Linda dan William Raeper, 2000, Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang, Yogyakarta: Kanisius. Strathern, Paul, 2001, 90 Menit Bersama Kant, Jakarta: Erlangga. Suharso, Pudjo, 1999, “Pluralisme Bangsa Menuju Indonesia Baru”, dalam Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sumaryono, E., 1999, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius. Suriasumantri Jujun S. 1988. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Suseno, Franz Magnis, 2000, “Strategi Pembentukan Masyarakat Madani”, dalam Membongkar Mitos Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tjahjadi S.P. Lili, 2001, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, Jakarta: P.T. BPK Gunung Mulia. Triatmoko, Bambang, “Hermeneutika Driyakarya, No. 2/th. XIV Fenomenologis Paul Ricoeur”, Valdes, Mario J., 1991, A Ricoeur Reader: reflection and Imagination, University of Toronto Press Verkuyl J., 1967, Bangsa, Gereja, Negara, Jakarta: BPK. W.M., Abdul Hadi, 2002, “Filsafat Pasca Ibnu Rusyd”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. 125 Wahid, Abdurrahman, 2001, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara. Watt, W. Montgomery, 1997, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Zubaedi, "Telaah Konsep Multikulturalisme dan Implimentasinya Dalam Dunia Pendidikan," dalam Hermenia Jurnal kajian Islam Interdisipliner Vol 3, Nomor 1, Januari-Juni 2004. 126 BIODATA PENULIS M. Zainal Abidin lahir pada tanggal 7 Oktober 1977 di Ilung sebuah desa di Barabai, Kal-Sel. Pendidikan formal yang pertama-tama dijalaninya, yaitu TK (1983-1984), SDN Ilung 2 (1984-1990) dan SMPN Ilung (19901993). Pengalaman nyantri dimulai ketika memasuki Pon-Pes Darul Istiqamah (1993-1996) di Barabai dan Pondok pesantren UII (1996-2001) di Jogjakarta. Jenjang kuliah dimulai dari S-1 pada FIAI-UII (1996-2000), S-2 Filsafat Islam IAIN Sunan Kalijaga (2001-2003), dan S-3 UIN Sunan Kalijaga dari tahun 2004 sampai sekarang. Selama masa-masa kuliah dan nyantri di Jogkarta juga sempat mengikuti beberapa pelatihan kajian keislaman pada LKiS, PSI-UII, lingkar studi keislaman Salsabila, dan forum diskusi filsafat Islam. Pengalaman kerja dimulai sebagai aktivis pada Pusat Studi IslamUniversitas Islam Indonesia (PSI-UII) (2001-2005). Selanjutnya, pada tahun 2005 pulang kampung dan menjadi dosen Filsafat Islam pada Fakutas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Dunia tulis menulis dimulai ketika menjadi aktivis Pers Mahasiswa di FIAI UII sekitar tahun 1997 sampai selesai studi S-1. Berikutnya, pada masa pengabdian di MSI-UII (2000-2001), bersama Mas Froz menangani Jurnal Millah, yang kemudian ini berlanjut sampai tahun 2005, yang alhamdulillah ketika mengundurkan diri pada tahun itu, Millah telah mendapat penghargaan terakreditasi A. Tulisan-tulisan telah banyak dipublikasikan baik dalam bentuk buku, terjemahan, jurnal, maupun opini di berbagai media massa, baik local maupun nasional. 1