Masjid Ampel di Amlapura Karangasem: Salah
Satu Bukti Keberadaan Islam di Pulau Dewata
Asep Saefulah
Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Jakarta
asepfm@yahoo.com
Ampel Mosque of Amlapura, Karangasem is one of the ancient mosques in
the Province of Bali. According to local folklore, the mosque was built in the 17th
century AD. The existence of this mosque shows characteristics of an ancient
mosque, which according Pijper often found in Java. Some of the main features
of ancient mosques found in the mosque, i.e. massive foundation and rather high
and square shaped, rectangular schematics even square, thick-walled, and roofed
duplex overlap. It was characterised that Ampel Mosque appeared like the shape
of Sunan Ampel mosque Surabaya, East Java, and it also resembled to the two
other mosques in Banten province, viz. Caringin Mosque and Al-Khusaini
Mosque of Carita, both are in the District of Pandeglang. Ampel Mosque is
currently no longer used as a place of worship but is used as a place of religious
activities such as religious teaching (Majlis Taklim), Preliminary or preschool
education of Al-Qur'an (TPA) and Religious Education (Madrasah Diniyah) .
The existence of the ancient mosque of Ampel in this village is one of the
historical testimony of the development and spread of Islam in Bali amongst the
majority of Hindu population.
Keywords: Ampel, ancient mosque, Karangasem, Bali, harmony
Masjid Ampel Amlapura Karangasem merupakan salah satu masjid kuno di
Provinsi Bali. Menurut cerita rakyat setempat, masjid ini dibangun pada abad ke17 M. Keberadaan masjid ini menunjukkan ciri-ciri masjid kuno, yang menurut
Pijper banyak dijumpai di Pulau Jawa. Beberapa ciri utama masjid kuno
ditemukan pada masjid ini, antara lain, pondasi padat atau massif agak tinggi dan
berbentuk persegi, denahnya berbentuk segi empat bahkan bujur sangkar,
berdinding tebal, dan beratap tumpang bersusun dua. Disebutkan bahwa Masjid
Ampel hampir sama dengan bentuk Masjid Sunan Ampel di Surabaya Jawa
Timur, dan ia dapat disamakan pula dengan dua masjid di Banten, yaitu Masjid
Al-Khusaini Carita dan Masjid Caringin, keduanya di Kabupaten Pandeglang.
Saat ini Masjid Ampel tidak digunakan lagi sebagai tempat ibadah tetapi
digunakan sebagai tempat kegiatan keagamaan seperti pengajian bapak-bapak,
majelis taklim ibu-ibu, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) dan Madrasah
Diniyah (MD). Keberadaan Masjid Kuno Ampel di kampung ini merupakan
salah satu bukti perkembangan dan persebaran Islam di Bali, di tengah-tengah
mayoritas penduduknya yang beragama Hindu. Tampaknya, bukan hanya bukti
kehadiran Islam di Pulau Dewata, tetapi juga menggambarkan harmoni dalam
kehidupan beragama dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), khususnya antara komunitas Muslim dan komunitas Hindu.
Kata kunci: Ampel, Masjid Kuno, Karangasem, Bali, harmoni
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2, 2013: 339 - 370
Pendahuluan
Allah swt. berfirman:
! "# "# $%&#’ ’( )* (+,
=; < -.! / 0"*$/1’( "# ’+2
3*4 5 6 2 &)7 8, 9 : *
“Sesungguhnya orang yang memakmurkan masjid Allah
adalah hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat dan tidak takut
kecuali Allah semata, karena itu semoga mereka termasuk orangorang yang mendapat petunjuk” (Q.S. al-Taubah: 18)
“Mengingat jejak sejarah yang menyuguhkan bukti-bukti adanya
multikulturalisme di Bali,
sangatlah mengejutkan bahwa dalam kurun waktu yang sangat
lama, para akademisi,
termasuk para antropolog mengabaikan keberadaan Islam di Bali,
baik di masa
pra kolonial dan di masa kolonial, termasuk kehidupan masyarakat
Muslim di Bali.
Padahal pemerintah kolonial Belanda memberikan perhatian besar
terhadap komposisi
etnis di Bali dan mencatat seluruh migrasi yang ada, misalnya
imigrasi empat ribu orang Sasak
dari Lombok yang dikirim ke Bali oleh raja Lombok. Kebutaan
terhadap Islam di Bali
berlanjut
bahkan pada saat meningkatnya pertumbuhan
pariwisata di Bali,
imigrasi Muslim meningkat secara gradual.” (Hamdan Basyar,
2010: 14)
Bukti kehadiran Islam di Bali tidak dapat dibantah lagi.
Penelitian terdahulu menemukan berpuluh-puluh karya dan kitab
keagamaan, baik tulisan tangan maupun cetakan, pada bahan kertas
maupun lontar. Salah satunya adalah Al-Qur’an kuno tulisan tangan
yang tersebar di berbagai kabupaten/kota di Bali, antara lain
Singaraja di Buleleng, Kepaon dan Serangan di Denpasar, dan
340
Masjid Ampel di Amlapura Karangasem — Asep Saefullah
Loloan Timur di Jembrana.1 Bukti fisik lain adalah masjid kuno,
yang juga berada di hampir seluruh Bali, seperti Masjid Muhajirin
di Kepaon Denpasar, Masjid Gelgel di Klungkung, Masjid Ampel
di Karangasem, Masjid Jami’ Agung Singaraja di Buleleng, dan
Masjid Syuhada di Kampung Bugis Serangan Denpasar. Sebagai
salah satu bukti telah lamanya perkembangan Islam di Pulau
Dewata ini, dalam laporan ini akan diangkat salah satu masjid kuno
sebagai bukti fisiknya, yaitu Masjid Ampel Amlapura Karangasem
Bali.
Dalam tulisan ini disajikan terlebih dahulu tentang kehidupan
muslim di Karangasem, kemudian mengenai beberapa aspek dari
Masjid Ampel tersebut. Ada tiga aspek yang diangkat dalam
penelitian masjid ini, yaitu sejarahnya, arsitekturnya, dan aktivitas
keagamaan di dalamnya.
Sebelum menguraikan mengenai kehidupan Muslim di
Karangasem, terlebih dahulu dikemukakan secara ringkas sejarah
Islam di Bali.2 Sejarah Islam di Bali setidaknya diawali zaman
kekuasaan Raja Dalem Waturenggong (1480-1550). Peristiwa
tersebut terjadi ketika Dalem Waturenggong berkunjung ke
Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Saat kembali ke Bali, ia disertai
oleh 40 orang pengawal beragama Islam. Ke-40 pengawal tersebut
kemudian diijinkan menetap di Bali, bertugas sebagai abdi kerajaan
Gelgel (Klungkung bagian Selatan). Mereka dianugerahi
pemukiman dan membangun sebuah masjid yang diberi nama
Masjid Gelgel. Itulah masjid pertama di Bali. Islam juga masuk ke
Bali lewat Pulau Serangan pada awal Abad XVII. Pada saat itu para
Ulama dan saudagar Islam serta Laskar Bugis merapat
menggunakan perahu Pinisi. Kedatangan saudagar dan Ulama
1
Asep Saefullah dan M. Adib Misbahul Islam, “Beberapa Aspek
Kodikologi Naskah Keagamaan Islam di Bali: Sebuah Penelusuran Awal”, dalam
Jurnal Lektur Keagamaan, 7(1), 2009, h. 53-90.
2
Mengenai sejarah Islam di Bali, diambil dari Hamdan Basyar, “Identitas
Minoritas di Indonesia: Kasus Muslim Bali di Gianyar dan Tabanan”, Laporan
Akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI, Pusat Penelitian Politik,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, Tahun 2010, h. 6-7, dan “Wisata
Masjid di Bali”, http://www.jalan-jalan-bali.com/2009/09/wisata-masjid-dibali.html, diupload 17 September 2009. Diakses 26 Juni 2012.
341
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2, 2013: 339 - 370
Bugis disambut hangat oleh Raja Puri Pemecutan, Badung, yang
berkuasa saat itu. Pada saat itu, para raja di Bali teribat dalam
konflik internal yang sengaja dikondisikan oleh pemerintah
kolonial Balanda. Ikatan historis antara Kampung Islam Bugis
Pulau Serangan dengan kerajaan Pemecutan Badung tetap kuat
hingga kini.
Riwayat lain mengenai masuknya Islam ke Bali terjadi pada
masa Raja Karangasem, Anak Agung Ketut Karangasem ketika
menyerang Pulau Lombok sekitar tahun 1690. Dalam penyerangan
tersebut, Raja Karangasem berhasil menaklukkan kerajaan
Pejanggik dan menguasai sebagian wilayah Kerajaan Mataram atas
jasa Pangeran Dadu Ratu Mas Pakel, putra Raja Mataram. Sebagai
tanda jasa Pangeran Dadu Ratu Mas Pakel beserta pengikutnya
yang beragama Islam diberi tempat terhormat di Karangasem.
Ketika meninggal, jasad Sang Pangeran dimakamkan di di Istana
Taman Ujung. Komunitas inilah yang menjadi cikal-bakal
kampung-kampung Islam di wilayah Karangasem.
Komunitas muslim lainnya di Bali tersebar di Banjar Saren
Jawa, Desa Budakeling, Kabupaten Karangasem, Kepaon, Serangan
(Kota Denpasar), Pegayaman (Buleleng) dan Loloan (Jembrana)
dengan latar belakang dan riwayatnya masing-masing. Menurut
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali Haji Ahmad Hassan
Ali, mereka berasal dari sejumlah daerah di Nusantara antara lain
Jawa, Madura, Lombok dan Bugis.
342
Situs-Situs Islam di Bali
Sumber: Jean Couteau, “Bali et l'islam: Rencontre
historique”, dalam Archipel, 58, 1999: 161.
Masjid Ampel di Amlapura Karangasem — Asep Saefullah
Konteks Islam di Karangasem
1. Kehidupan Muslim di Karangasem
Karangasem merupakan salah satu kabupaten di sebelah timur
Provinsi Bali. Sebagaimana di kabupaten lainnya di bali, seperti
Denpasar, Buleleng, dan Badung, Kabupaten Karangasem juga
mempunyai kisah tentang komunitas Muslimnya.3 Kabupaten
Karangasem memiliki penduduk muslim sekitar 19 ribu Jiwa.
Mereka hidup tersebar di enam sampai delapan kecamatan. Namun,
mereka terutama terkonsentrasi di empat kecamatan, yakni:
Kecamatan Karangasem (11.729 jiwa), kecamatan Bebandem
(4.438 jiwa), kecamatan Sidemen (820 jiwa), dan Kecamatan
Manggis (465 jiwa). Sisanya sekitar 2000 jiwa tersebar, antara lain
di kecamatan Kubu dan Kecamatan Rendang.
Komunitas muslim terbesar pertama berada di kecamatan
Karangasem, yang tersebar di wilayah perkotaan dan pegunungan.
Pertama, Muslim di perkotaan terutaman ada di kelurahan
Karangasem, yang tersebar di 13 dusun/kampung, antara lain:
Kampung Telaga Mas (memiliki kepala dusun muslim), Dusun
Ujung Desa, Dusun Segara Katon, Karang Tohpati, Karang
Langkung, Bangras, Grembeng (atas dan bawah), Karang Ampel,
Jeruk Manis (dikenal dengan Jerman), Karang Tebu, Karang Bedil,
Tiing Tali, Dangin Sema (komunitas Muslim terbesar setelah
Dusun Kecicang Islam). Selain itu ada pula di Desa Tegal
Linggah, yang memiliki dua kampung muslim yakni: Karang
Cengen dan Kampung Nyuling. Berikutnya di Kelurahan Subagan,
terdapat di dua kampung yakni: Kampung Karang Sokong dan
Telaga Mas (bahkan kepala kampungnya muslim). Kedua, muslim
di pegunungan terdapat di sebelah timur yakni di Kelurahan/Desa
Bukit tersebar di enam dusun/kampung, yakni: Bukit Tabuan,
3
Uraian tentang “kehidupan muslim di Karangasem” diolah dari
Dhurorudin Mashad, “Asal Usul Kampung Muslim di Kabupaten Karangasem–
Bali”, dalam http://dhurorudin.wordpress.com/2012/ 04/15/asal-usul-kampungmuslim-di-kabupaten-karangasem-bali-tulisan-7/, diakses 15 April 2012, dengan
penyesuaian redaksi, kecuali disebutkan dari sumber lain. Pernyataan yang
merupakan kutipan langsung diberi catatan kaki meskipun dari sumber yang
sama.
343
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2, 2013: 339 - 370
kampung Anyar, Karang Sasak, Tibulaka Sasak, Tiing
Jangkrik, dan Dangin Kebon. Selain itu, di Desa Tumbu juga
ada, tepatnya di Dusun Ujung Pesisir karena letaknya memang di
ujung laut.
Kantong Muslim terbesar kedua terdapat di Kecamatan
Bebandem, yakni di dusun Kecicang Islam (kampung Islam
terbesar di Karangasem) yang terdapat di Banjar Kangin, Banjar
Lebah Sari, dan Dusun Saren Jawa. Adapun kecamatan dengan
komunitas muslim terbesar ketiga ada di Sidemen, yakni di dusun
Sinduwati yang mencakup kampung Sindu, Buu dan Tegal. Selain
ketiga kecamatan tadi, kecamatan Manggis sebagai tempat
komunitas muslim terbesar keempat, yang terdapat: di Buitan,
Padang Bai, dan Pertamina Manggis. Di Buitan meski muslim
hanya 27 keluarga, namun telah memiliki masjid. Di Padang Bai
ada pula masjid milik pelabuhan, dan kaum muslimnya pun
umumnya para pegawai kapal (yang transit). Begitu pula di
Pertamina Manggis kaum muslimnya adalah para pekerja dan
pemili usaha kecil (warung) di lokasi itu.
Sebelum Karangasem melebarkan kekuasaan ke Lombok,
untuk penjajakan raja menjalin lawatan (perkenalan-persahabatan)
politik dengan beberapa raja. Di kerajaan Pejanggi Lombok
Tengah, raja berkenalan dengan Datuk Pejanggih yang memiliki
anak muda bernama Mas Pakel. Sebagai tanda perasudaraan, raja
Bali mengundang Mas Pakel datang dan tinggal di Bali alias
diangkat menjadi keluarga kerajaan Karangasem.
Mas Pakel adalah seorang pemuda gagah, ganteng, dan sangat
sopan, sehingga para putri raja bahkan istri raja sangat
menyukainya. Akibatnya, keluarga lingkungan kerajaan banyak
yang merasa iri atau sakit hati. Mereka lantas membuat fitnah
bahwa: Mas Pakel merusak pagar ayu, merusak istri raja, merusak
putri-putri raja, yang mestinya dijaga. Gencarnya provokasi
menyebabkan raja termakan oleh cerita ini, sehingga membuat
rekayasa untuk menyingkirkan pemuda Pakel. Pakel ditunjuk
menjadi panglima, dan seolah dikirim untuk melawan musuh.
Namun, di wilayah yang kini ada di kawasan Tohpati Mas Pakel
berusaha untuk dibunuh. Mas Pakel sangat sakti, sehingga tidak
344
Masjid Ampel di Amlapura Karangasem — Asep Saefullah
bisa mati. Meski demikian, Pakel yang sendirian juga tidak bisa
selamat dari pengeroyokan. Konon ia lantas mengambil sikap,
”Saya sekarang tahu bahwa saya direkayasa untuk dibunuh. Kalau
mau membunuh saya bawalah saya ke Pantai Ujung”. Proses
berikutnya ada tiga versi: Pertama, Di pantai Mas Pakel tetap gagal
dibunuh, sehingga akhirnya diusir balik ke Lombok dengan
memakai perahu kecil (perahu pancing). Adapun makam yang ada
di dekat Panjai Ujung, Karangasem itu, bukan makam Ratu Mas
Pakel (yang dikenal dengan sebutan Sunan Mumbul) tetapi makam
Raja Pejanggi yang ditawan Raja Karangasem hingga meninggal.
Kedua, ketika patih yang ditugaskan untuk membunuh
mengayunkan pedang, Mas Pakel tiba-tiba menghilang dari
pandangan dan berlari di atas air. Patih lantas membuat rekayasa
untuk lapor pada raja, dengan membunuh seekor anjing dan hatinya
diserahkan pada raja sebagai bukti bahwa dia telah menjalankan
perintah. Namun, beberapa hari setelah peristiwa itu, tiba-tiba
muncul seberkas sinar tempat Mas Pakel menghilang, dan tanah
yang semula rata berubah menjadi gundukan menyerupai kuburan.
Sejak itulah Mas Pakel dijuluki dengan sebutan Sunan Mumbul.
Ketiga, Pakel akhirnya memang dibunuh, karena dia telah
melepaskan kesaktian. Mayatnya dikubur di Pantai itu. Namun,
ketika hendak dibunuh dia mengeluarkan kutukan: ”siapapun yang
membunuh, semua keturunannya kalau lewat lokasi ini akan sakit
jika tak bisa kencing di sekitar sini”. Perkataan Pakel ini dipercaya
menjadi tuah oleh komunitas Hindu setempat.
Lombok akhirnya dapat ditaklukkan Karangasem (Bali) pada
tahun 1692 M, sebagai tanda penaklukan kedua setelah sebelumnya
pernah ditaklukkan Gelgel era Waturenggong. Banyak hal memberi
bukti terkait dengan penaklukkan ini. ”Kampung-kampung di
Lombok setelah diduduki Karangasem harus ditambah namanya
dengan nama Karang. Makanya kalau ke Lombok nama kampungkampung (kecuali yang baru) pasti pakai nama Karang. Kampung
yang dulu bernama Jangkong menjadi Karang Jangkong. Kampung
Meranggi menjadi Karang Meranggi. Semua memakai kata Karang,
seperti juga Gentel menjadi Karang Gentel.
345
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2, 2013: 339 - 370
Selain itu, setelah penaklukan, orang-orang Lombok yang
dianggap sakti lantas dibawa raja ke Karangasem dengan maksud
agar membantu keraton. “Menurut cerita kakek saya, mereka yang
didatangkan kebanyakan orang-orang bertuah. Orang-orang yang
artinya mempunyai power, tentu sesuai zaman itu. Kalau menurut
saya istilahnya ndak sakti, nabi saja dilempar patah giginya. Kalau
menurut saya mereka itu orang-orang yang saya anggap
mempunyai power dan keberanian, mempunyai pengaruh,
mempunyai kepemimpinan kharismatik begitulah. Orang-orang
seperti itulah yang dibawa kemari”, demikian seperti diceritakan H.
Hasyim, sesepuh Muslim di Karangasem, kepada Dhurorudin
Mashad.4
Mereka inilah cikal bakal komunitas-komunitas Muslim
Karangasem, yang mayoritas berasal dari Lombok. Orang-orang
sakti ini ditempatkan sepasang-sepang (baca: suami istri) dengan:
memakai strategi mengelilingi Puri Kanginan sebagai tempat raja.
Di sebelah selatan ada Banjar Kodok, di sebelah selatannya lagi
kampung Islam Dangin Seme. Di sebelah barat ada desa Hindu,
sebelah baratnya lagi Kampung Islam Bangras. Intinya,
penempatan dilakukan secara selang-seling Islam-Hindu,
mengelilingi puri. Manurut H. Hasyim, juga seperti dikisahkan
Dhurorudin Mashad, ”Itu strategi raja untuk mempersatukan rakyat
Karangasem, sekaligus mengamankan puri”. 5
Menurut Wayan Sunarta, pada masa itu, “banyak orang dari
komunitas Islam di Karangasem yang diangkat menjadi laskar,
bahkan punggawa. Itulah sebabnya kampung atau pusat-pusat
komunitas Islam di Karangasem tersebar secara strategis
membentuk semacam benteng pertahanan untuk keamanan Puri
Karangasem. Pada lapisan pertama, sebagai pertahanan di bagian
selatan, terdapat kampung Ujung Pesisir, Ujung Sumbawa, Ujung
Desa, Segara Katon, Dangin Sema. Dari Pantai Ujung hingga ke
sebelah timur dan utara puri, terdapat kampung Nyuling, Tihing
Jangkrik, Kampung Anyar, Karang Sasak, Tibulaka, Bukit Tabuan,
4
Dhurorudin Mashad, “Asal Usul Kampung Muslim di Kabupaten
Karangasem – Bali”.
5
Ibid.,
346
Masjid Ampel di Amlapura Karangasem — Asep Saefullah
dan Karang Cermen. Di bagian barat ada kampung Bangras,
Karang Langko, Karang Tohpati, Kampung Ampel, Grembeng,
Karang Tebu, Juwuk Manis.”6
Kampung-kampung kuno Islam di Karangasem memiliki
sejarah juga sama. Mereka sengaja ditaruh sepasang-sepasang,
dengan posisi mengelilingi Puri. Posisi mengelilingi puri dibuat dua
lapis. Seperti Dangin Seme termasuk lapisan pertama. Lapisan
kedua seperti Segar Katon, Ujung Pesisi, Kebulak Kesasak, Bukit
Tabuan, dengan formasi juga mengelilingi puri. Lapis kedua
bahkan sampai Saren Jawa dan Kecicang.
Adapun muslim yang ditempatkan di Sindu, spesifik untuk
menghadang kerajaan Klungkung. Sedangkan yang ditempatkan di
Sidemen untuk menghadang dan memata-matai gerak-gerik
kerajaan Klungkung. Dengan kata lain, komunitas muslim Sindu –
yang jaraknya sekitar 30 km dari Dangin Seme–dulunya memang
spesial untuk memata-matai Klungkung.
Kampung Islam lainnya yang saat itu mempunyai posisi sangat
khusus, sehingga nama kampung pun memiliki nama yang
mencerminkan posisi dan fungsi yang sangat khusus tersebut adalah
Kampung Karang Tohpati. Toh artinya mempertaruhkan,
sedangkan pati atinya jiwa. Kaum Muslim sebenarnya bukan
tinggal di Karang Tohpati, tetapi di sekitar Tohpati di wilayah
Bebandem di Saren Jawa. Di situlah ada namanya Tohpati, di
situlah dulunya dia tinggal, untuk menjaga kalau ada musuh. Di
lokasi itu Tohpati mempertaruhkan jiwa. Hal demikian sama juga
dengan orang-orang Subagan yang asalnya dari Sekar Bela. Sekar
artinya kembang, bela maknanya membela. Jadi ia suka membela
raja sampai namanya wangi seperti kembang karena membela.
Dalam konteks ini, Dhurorudin Mashad menyampaikan
kesalahpahaman yang kadang terjadi di kalangan generasi muda
Bali terhadap kaum muslimin sebagaimana ia kutip dari H. Hasyim
sebagai berikut:
6
Wayan Sunarta, “Nyama Selam di Karangasem dan Tradisi Lebaran”,
http://www.journalbali.com/ culture/heritage-heritage-heritage2/nyama-selam-dikarangasem-dan-tradisi-lebaran.html, September 10, 2010. Diakses 25 Juli 2012.
347
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2, 2013: 339 - 370
”Makanya, di sini orang-orang Hindu yang ndak tahu, terutama
anak-anak muda, ngomong macam-macam: Kami penumpang.
Kami pendatang. Saya katakana, kami ke sini bukan cari kerja,
kami datang bukan mengemis, kami datang dibawa dan dibutuhkan
oleh raja. Kami ditempatkan disini, dan (sejarah serta eksistensi)
kami diakui oleh raja sampai detik ini.”7
2.
Masjid Ampel Kampung Ampel Amlapura Karangasem
Bali
Mengenai sejarah dan asal usul Masjid Ampel di Amplapura
Karangasem (selanjutnya disebut “Masjid Ampel Karangasem”)
hampir tidak ada data tertulis maupun keterangan dalam bentuk
inskripsi, prasasti, atau yang lainnya. Satu-satunya informasi
terdapat di situs internet sekitar satu paragraf, dan informasi itupun
ada yang keliru karena menyebut arsitektur Masjid Ampel di
Karangasem mirip dengan “Masjid Ampel, Gresik, Jawa Timur.”
Informasi tersebut tersebar di situs-situs internet. Seharusnya,
“Masjid Ampel” yang di Jawa Timur, jika yang dimaksud adalah
Masjid Sunan Ampel, maka letaknya di Surabaya.8 Catatan lain
dapat ditemukan dalam Panduan Wisata Religi yang diterbitkan
oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Sayangnya, informasi
ini pun tampaknya diambil dari situs internet tersebut. Adapun
bunyi lengkap informasi dari internet tersebut adalah:
“Masjid Ampel didirikan Sunan Mas Prapen (cucu Sunan
Giri). Letaknya sekitar 500 meter dari Puri Karangasem.
Dibangun di atas lahan pemberian Raja Karangasem seluas 4,5
are. Masjid Ampel merupakan masjid tertua di Bali Timur dan
masih mempertahankan keasliannya. Berbentuk layaknya Masjid
Ampel, Gresik (sic.) Jawa Timur terdapat empat pilar sebagai
‘soko guru’ yang meotang atap bersusun dua. Pada sisi-sisi
7
Dhurorudin Mashad, “Asal Usul Kampung Muslim di Kabupaten
Karangasem – Bali”.
8
Lihat antara lain “Masjid Sunan Ampel” Edisi Khusus, dalam
http://arsip.gatra.com/
2005-10-31/majalah/artikel.php?pil=23&id=89781.
Diakses 12 April 2012.
348
Masjid Ampel di Amlapura Karangasem — Asep Saefullah
masjid terdapat tiga pintu masuk terbuat dari kayu asli berusia
ratusan tahun. Dalam masjid terdapat 12 pila-pilar pendukung
pilar utama (soko guru). Masjid Ampel merupakan bukti
penyebaran Islam ke Bali dibawakan penerus Walisongo.”9
Dalam beberapa sumber, baik buku maupun media online di
internet, informasi tentang masjid bersejarah di Bali tidak
menyebutkan Masjid Ampel di Kampung Ampel Amlapura
Karangasem ini. Misalnya, dalam buku Masjid-Masjid Bersejarah
di Indonesia, karya Abdul Baqir Zein (GIP, 1999), dan situs-situs
http://id.wikipedia.org, http://balimuslim.com, http://www.jalanjalan-bali.com, http://masjid2indah.blogspot.com, dan lain-lain tidak
ada informasi tentang Masjid Ampel. Masjid-masjid bersejarah
yang terdapat pada sumber-sumber tersebut antara lain Masjid
Jamik Singraja dan Masjid Kuno Singaraja di Singaraja, Masjid
asy-Syuhada Kampung Bugis dan Masjid Al-Muhajirin Kepaon di
Denpasar, Masjid Baitulrahman, Diponegoro, Masjid Kecicang,
Desa Bungaya, dan Masjid Jami An-Nur, Amlapura, ketiganya
Karangasem, dan Masjid Nurul Huda di Klungkung. Oleh karena
itu, laporan ini lebih bertumpu pada pengamatan penulis
sebagaimana yang dilakukan oleh Pijper ketika menulis tentang
masjid-masjid di Pulau Jawa.10
Masjid Ampel terletak di Jl. Serma Anom Ampel Amlapura
Karangasem Bali. Lokasi ini berada di bagia timur Bali dengan
jarak kurang lebih 78 km dari Denpasar. Adapun letak koordinatnya
adalah 8°26'39" lintang utara dan 115°36'37" lintang timur.
9
Lihat antara lain http://kuadenpasartimur.wordpress.com/category/budaya/,
Diakses 25 Juli 2012, dan M. Shohib, dkk., Panduan Wisata Religi, (Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2011), h. 141.
10
G.F. Pijper, “Mesjid-Mesjid di Pulau Jawa”, dalam G.F. Pijper, Beberapa
Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, Terjemahan Tudjimah da
Yessy Augustdin, (Jakarta: Penerbit UI Press, 1984), h. 14-66.
349
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2, 2013: 339 - 370
Peta Lokasi Masjid Ampel di Kampung Ampel Amlapura
Karangasem Bali
Arsitektur Masjid Ampel Karangasem
Merujuk pada ciri-ciri masjid kuno, khususnya di Jawa,
sebagaimana diuraikan G.F. Pijper, Masjid Ampel menunjukkan
ciri-ciri yang sama. Menurut Pijper arsitektur masjid kuno di
Indonesia memiliki kekhasan tersendiri yang membedakannya dari
bentuk-bentuk masjid di negara lain. Ia menyebutkan tipe masjid
yang berasal dari Pulau Jawa atau disebutnya masjid tipe Jawa.
Adapun beberapa ciri khas masjid tipe Jawa sebagaimana
disebutkan Pjper antara lain adalah sebagai berikut: 1) Denah
masjid berbentuk dasar persegi; 2) Berdiri di atas pondasi padat
yang agak tinggi; 3) Mempunyai atap yang meruncing ke atas,
terdiri dari dua sampai lima tingkat, dan semakin mengecil ke atas;
4) Terdapat bangunan menonjol di sisi barat atau sisi barat laut
untuk mihrab; 5) Di bagian depan, dan kadang-kadang di kedua
sisinya, utara dan selatan masjid terdapat serambi yang terbuka atau
ada juga yang tertutup; 6) Halaman di sekeliling masjid dibatasi
oleh tembok dengan satu atau dua pintu gerbang.11
Selain keenam ciri-ciri tersebut, ciri khas lain dari masjidmasjid di Jawa dibangun di sebelah barat alun-alun.12 Dari keenam
ciri tersebut, hanya tembok keliling dan bagian barat alun-alun saja
yang tidak terdapat pada Masjid Ampel Karangasem. Gapura
masjid ini menurut pengurusnya,13 dulu pernah ada, tetapi sekarang
sudah dipugar karena bagian depan masjid ini dijadikan halaman.
Masjid Ampel Karangasem berdenah bujur sangkar dengan
ukuran 9 m x 9 m. Di bagian depan (timur) dan kiri kanan (utara
selatan) terdapat serambi terbuka. Serambi di bagian timur
memiliki lebar kurang lebih 2,5 m dan panjang 11 m. sedangkan
serambi bagian utara dan selatan agak sempit, yaitu sekitar 1 m dan
panjangnya mengikuti panjang bangunan masjid sekitara 9 m. Di
sekeliling serambi, sampai dengan bagian barat, sejajar dengan
11
G.F. Pijper, “Mesjid-Mesjid di Pulau Jawa”, h. 15.
G.F. Pijper, “Mesjid-Mesjid di Pulau Jawa”, h. 15.
13
Syahruddin, Wawancara, Kampung Ampel Amlapura Karangasem Bali,
25 Mei 2012.
12
350
Masjid Ampel di Amlapura Karangasem — Asep Saefullah
bangunan mihram yang agak menonjol terdapat tiang-tiang
penyangga dengan ukuran sekitar 30 cm x 30 cm dengan tinggi 230
cm. Tiang di bagian depan tengah terdapat dua dan di sisi kiri dan
kanannya terdapat dua tiang yang menyatu dengan gapura.
Sedangkan di bagian kiri dan kanan bangunan masjid masingmasing tiga tiang dengan satu tiang menyatu dengan gapura sisi kiri
dan kanan masjid. Adapun tiang di bagian barat terdapat empat
tiang. Dengan demikian,seluruh tiang di sekeliling bangunan masjid
ini berjumlah 14 tiang (Lihat denah di bawah).
Gambar Denah Masjid Ampel Amlapura Karangasem
(Ukuran Masjid: 9m x 9 m; Gambar: Asep, 2012)
14
B
U
S
T
351
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2, 2013: 339 - 370
Keterangan Gambar:
1.
2.
Mihrab
Mimbar (dengan 5 anak tangga);
dan 2a. Pintu dari mimbar ke mihrab atau
sebaliknya
3. Ruang Utama Masjid
4. Serambi Timur
5. Serambi Selatan
6. Serambi Utara
7. Halaman sekeliling Masjid
8. Halaman Timur Masjid
9. Gang ke Masjid dari Jalan Raya
10. Rumah/Tanah Penduduk
A (1-4)
B (1-12)
C (1-4)
D (1-4)
E1
E2
E3
E (4-5)
F (1-14)
G1
G2
: Tiang Utama/Soko Guru
: Tiang Penyangga
: Pintu Masjid (C1: Pintu utama)
: Lubang angin/udara
(pengganti jendela)
: Tangga dari hal. timur ke hal.
Masjid
: Tangga dari hal. Masjid ke
serambi
: Tangga dari serambi ke Ruang
Utama
: Tangga selatan dan utara ke
Ruang utama
: Tiang penyangga luar pada
serambi sekeliling Masjid
: Gapura selatan serambi Masjid
: Gapura utara serambi Masjid
Posisi Masjid Ampel Karangasem berada di atas permukaan
tanah sekitar 220-an cm. Hal ini antara lain dikarenakan struktur
tanah yang menanjak dan ditambah dengan pondasi yang agak
tinggi. Untuk sampai ke lantai ruang utama dalam masjid, kita
harus menaiki tiga anak tangga terlebih dahulu untuk sampai ke
halaman depan (timur) dengan ukuran tangga masing-masing
sekitar 25 cm. Dari halaman depan ke serambi, naik lagi tiga anak
tangga dengan ukuran hampir sama. Kemudian, dari serambi ke
lantai dalam masjid juga harus menaiki tiga anak tangga yang
ukurannya juga relatif sama sekitar 25 cm. Lantai masjid ini telah
352
Masjid Ampel di Amlapura Karangasem — Asep Saefullah
mengalami penggantia dengan keramik ukuran 40 cm x 40 cm.
Semula lantai masjid terbuat dari plesteran semen.14
Dari kiri ke kanan (Foto-foto Dok. Asep,
2012):
1. Tiga anak tangga pertama ke halaman
depan, tiga anak tangga kedua ke serambi,
dan tiga anak tangga ketiga dari serambi
ke lantai dalam masjid (Gambar 01).
2. Tiang serambi depan, dua di tengah dan
dua di kiri kanan yang menyatu dengan
gapura samping (Gambar 01).
3. Tiga tiang di bagian selatan (kiri) masjid,
dan satu tiang di depan yang menyatu
dengan gapura (Gambar 02).
a. Gapura
Gapura merupakan sebuah bangunan pintu berbentuk persegi.
Menurut pengurus masjid,15 dahulu di depan masjid ini ada pintu
gerbang dalam bentuk “paduraksa” atau “kori”, yakni gapura
beratap. Atapnya bertumpu pada dua tiang yang membetuk
setengah lingkaran. Akan tetapi, bagian ini sudah tidak ditemukan
14
Syahruddin, Wawancara, Kampung Ampel Amlapura Karangasem Bali,
25 Mei 2012.
15
Syahruddin, Wawancara, Kampung Ampel Amlapura Karangasem Bali,
25 Mei 2012.
353
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2, 2013: 339 - 370
lagi. Bisa jadi, pada masa lalu, masjid ini memiliki gapura
sebagaimana masjid di Jawa tengah dan Jawa Timur yang
umumnya mempunyai gapura yang besar. Menurut Pijper, ada dua
macam bentu pintu masuk pagar masjid, yaitu pintu gerbang yang
berbentuk “tembok bentar” dan pintu gerbang beratap yang,
menurutnya, dalam bahasa Jawa disebut gapura.16
b. Tembok sekeliling Masjid
Dalam ciri khas masjid kuno di Jawa terdapat tembok yang
mengelilinginya. Di Majid Ampel Karangasem tidak telihat dan
tidak ada informasi mengenai tembok keliling ini. Tembok keliling
biasanya dipasang untuk memisahkan daerah suci dengan daerah
kotor. Tembok yang mengelilingi itu bukan ciri khas muslim, tetapi
merupakan salah satu sisa bangunan candi desa di Bali, yaitu pura
desa. Kerapkali pura desa di Bali terdiri dari tiga halaman, tiap-tiap
halaman dikelilingi oleh tembok. Bahwa pembagian daerah suci ini
menjadi beberapa halaman bertembok, hal ini masih terlihat baik
dalam bangunan makam-makam tua di Jawa yang terletak di dekat
masjid. Contohnya makam Sunan Ampel di Surabaya; Makam yang
sebenamya, terletak di halaman terakhir, yang terdekat dengan
masjid. Bagan makam suci Tembayat atau Bayat di Klaten seperti:
pertama masjid, kemudian beberapa halaman yang satu di belakang
yang lain, lalu bangunan makam. Makam keramat lainnya yang
diletakkan dalam satu halaman bertembok dengan masjidnya adalah
makam Sunan Giri di Gresik. Demikian pula makam Sunan
Pejagung di Tuban Selatan dan makam Ratu Kalinyamat di
Mantingan, Jepara. Makam-makam yang lebih kecil kerapkali
terdiri dari dua halaman: awalnya masjid dikelilingi tembok, dan di
belakangnya, melalui pintu gerbang dekat masjid adalah makam
suci, juga dalam ruangan bertembok, seperti terdapat di Jatinom,
Surakarta.17
16
G.F. Pijper, “Mesjid-Mesjid di Pulau Jawa”, h. 17.
Diolah dari http://www.budpar.go.id yang mengambil sumber dari
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Masjid Kuno Indonesia, (Jakarta:
Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala
17
354
Masjid Ampel di Amlapura Karangasem — Asep Saefullah
c. Atap Tumpang
Atap masjid-masjid kuno di Indonesia umumnya berupa atap
tumpang yang berjumlah dua sampai lima umpak, yang meruncing
ke atas semakin kecil. Sebagian di antaranya terdapat hiasan di
puncaknya. Bentuk atap ini, terdapat pada bangunan Masjid Ampel
Amplapura Karangasem, dan di puncaknya terdapat hiasa
sederhana dalam bentuk kubah kecil seperti momolo atau mustaka.
Bentuk ini, menurut beberapa ahli bukan asli dari bangunan Islam,
dan untuk di Indonesia harus dikembalikan pada meru di Bali,
menara persegi yang meruncing ke atas dan mempunyai atap yang
berjumlah lima sampai sepuluh atau lebih (Bali = tumpang).18
Untuk kasus di Jawa, atap yang tinggi diduga pernah ada tetapi
karena atap seperti itu dibuat dari bahan yang mudah rusak, maka
atap itu mudah rusak dan akhirnya musnah sehingga tidak dikenali
lagi. Bisa jadi atap masjid yang bersusun di Pulau Jawa itu
merupakan sisa meru. Beberapa masjid di Jawa yang beratap
tumpang antara lain Masjid Kuno di Banten, dari zaman Kesultanan
Banten, dan bentuknya yang sekarang ini mungkin berasal dari
zaman abad ke-16 seperti dilaporkan oleh Jacob Van Neck tahun
1599 yang dikutip Pijper. Atap masjid ini terdiri dari lima tingkat,
dan kedua atap yang teratas sama kecilnya sebagaimana disebutkan
oleh Pijper yang mengutip dari laporan Francois Valentijn antara
akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 (1666-1727). Sampai
pertengah abad ke-20, atap masjid-masjid di Banten umumnya
merupakan atap tumbang, sepeti Masjid Trate, dia antara Banten
dan Bojonegara, masjid-masjid di Kramatwatu beratap empat, dan
di Menes beratap tiga atau dua.19
Masjid Ampel Karangasem sangat jelas menunjukkan ciri atap
tumpang tersebut. Atap ini bersusun dua dan di puncaknya terdapat
momolo atau mustaka kecil. Atap yang sekarang ditemukan
berbahan genteng sebagaimana lazimnya bangunan-bangunan saat
ini, akan tetapi bahan aslinya berupa sirap (genteng kayu) atau
Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1999). Diakses 25 Juli 2012
18
G.F. Pijper, “Mesjid-Mesjid di Pulau Jawa”, h. 22-24.
19
G.F. Pijper, “Mesjid-Mesjid di Pulau Jawa”, h. 25.
355
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2, 2013: 339 - 370
rumba-rumbian yang mudah lapuk sehingga sering diganti.
Meskipun sudah tidak asli lagi, tetapi bentuk atapnya tetap
mempertahankan aslinya, yaitu beratap tumpang bersusun dua
sebagaimana dapat dilihat pada foto di bawah.
Bagian atas merupakan atap tumpang bersusun dua
Bagian kiri (barat) bangunan masjid terdapat mihrab
(Foto Dok. Asep, 2012)
d. Pondasi
Masjid Ampel memiliki pondasi yang berbentuk persegi dan
pejal (massive) yang agak tinggi. Ciri khas ini menunjukkan masjid
tipe Jawa. Pondasi yang berbentuk persegi dikenal juga dalam
bangunan Hindu-Jawa dan juga Hindu-Bali, seperti candi.
Bangunan candi sendiri dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
pondasi, bangunan utama candi, dan atap.20 Masjid tipe Jawa dan
juga Masjid Ampel ini juga memiliki tiga bagian tersebut. Pondasi
masjid yang padat dapat mudah dikenal bahka terlihat dengan jelas
seperti pada foto di bawah. Masjid ini bahkan bangunan utamanya
sangat tinggi, dari pondasi masih ditinggikan lagi sekitar satu
meter, sehingga ruang utama masjid ini sekitar dua meter dari
permukaan tanah.
20
356
G.F. Pijper, “Mesjid-Mesjid di Pulau Jawa”, h.16-17.
Masjid Ampel di Amlapura Karangasem — Asep Saefullah
Bagian depan (timur) Masjid Ampel Amlapura Karangasem(Foto Dok. Asep,
2012)
e. Serambi Masjid
Masjid-masjid di dunia Islam umumnya tidak memiliki
serambi, dan serambi yang sekarang dibangun pada tiap-tiap
masjid, merupakan tambahan pada bangunan pokok. Ini terbukti,
karena adanya atap tersendiri yang tidak mempunyai hubungan
dengan masjid. Juga yang merupakan jalan masuk ke dalam. Suatu
yang penting ialah bahwa pemerian lama tidak pemah menyebut
adanya serambi. Kemudian hams dicatat bahwa masjid-masjid yang
dibangun oleh bangsa Arab atau yang mendapat pengaruh Arab,
semuanya tanpa serambi. Di kota-kota tempat bangsa Arab
mendirikan masjid sendiri dengan gaya mereka sendiri, tidak
ditemukan serambi. Tetapi alasan yang penting lainnya ialah bahwa
serambi itu sampai sekarang dipakai untuk keperluan lain
dibandingkan dengan bagian dalam masjid tidak ada serambi pada
kebanyakan masjid. Mengingat hal ini semua ada kemungkinan
bahwa serambi itu sekarang menjadi bagian masjid, meskipun
asalnya merupakan tambahan, dan kemudian dibangun pada masjid
asli yang berbentuk persegi.21
21
G.F. Pijper, “Mesjid-Mesjid di Pulau Jawa”, h. 19.
357
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2, 2013: 339 - 370
Mengamati bentuk Masjid Ampel Karangasem, serambi ini
merupakan satu kesatuan dengan bangunan masjid lainnya. Artinya,
bagian serambi ini bukan merupakan tambahan tetapi telah didesain
dari awal dengan adanya serambi. Tiang-tiang atap pada lantai
serambi sengaja dibuat untuk menyangga atap yang menyatu
dengan atap bangian atau ruang utama masjid. Demikian juga
dengan gapura berbentuk paduraksa di sebelah kiri kanan masjid.
Ini menunjukkan bagian serambi bukan merupakan bagian
tambahan dari bangunan masjid tersebut.
Serambi depan sebelah kiri masjid dilihat dari depan (Foto Dok. Asep, 2012)
f. Pintu dan Jendela
Masjid Ampel Karangasem memiliki tiga buah pintu. Satu
pintu di sebelah timur, satu pintu di sebelah utara, dan satu pintu
sebelah selatan. Pintu-pintu tersebut merupakan pintu asli, konon
berbahan kayu ulin. Bentuknya sangat sederhana terdiri atas dua
daun pintu yang masing-masing berukuran kurang lebih 40 cm X
190 m. Jumlah pintu masjid-masjid kuno di Jawa umumnya satu
atau lebih, satu di bagian depan, dan dua di samping, dan
jumlahnya umumnya ganjil, satu, tiga, dan lima, yang menurut
Pijper karena di dalam Islam, orang suka mempergunakan angka
ganjil.22 Barangkali yang dimaksud Pijper adalah bahwa umat Islam
cukup memerhatikan makna hadis yang menyebutkan bahwa
22
358
G.F. Pijper, “Mesjid-Mesjid di Pulau Jawa”, h. 21.
Masjid Ampel di Amlapura Karangasem — Asep Saefullah
“Allah itu ganjil dan Dia menyukai yang ganjil”, yaitu: Innallâha
witrun yuhibbul-witra.23
Masjid ini sebenarnya tidak memiliki jendela tertapi ada
beberapa lubang angin dan lubang cahaya di setiap sisi kiri dan
kanan ketiga pintunya. Lubang-lubang tersebut diberi kaca bermotif
dengan warna hijau dan berlubang yang terpasang pada dinding
sehingga tidak dapat dibuka-ditutup. Bahan kaca tersebut telah
mengalami pergantian tetapi dengan bentuk dan motif yang hamper
sama dengan aslinya seperti terlihat pada gambar/foto. Lubang
angin dan lubang cahaya pada masjid ini berjumlah enam buah; dua
buah di sebelah timur bangunan utama, di sebelah kiri dan kanan
pintu utama, dua buah di dinding selatan, sebelah kiri dan kanan
pintu selatan, dan dua buah di sebelah utara, di sebelah kiri dan
kanan pintu utara. Lubang tersebut berwarna hijau dan berukuran
kurang lebih 60 xm x 90 cm.
Menurut Pijper, jendela masjid merupakan barang baru
setidaknya sampai tahun 1930-an karena masih ada masjid yang
tanpa jendela. Misalnya sebuah masjid di desa Ciperna, dekat
Cirebon, tidak memiliki jendela sehingga sirkulasi udaranya kurang
baik dan tidak ada cahaya yang masuk kecuali dari pintu ketika
dibuka. Akan tetapi, beberapa masjid yang tidak memiliki jendela,
sebagai gantinya, di beberapa masjid di Jakarta sekita tahun 19301950-an misalnya, memiliki lubang angin dan lubang cahaya di
tembok. Lubang cahaya dan lubang angin pada tembok Masjid
Ampel Karangasem ini dapat dipastikan sebagai pengganti jendela
agar terdapat sirkulasi udara dan ruangan masjid tidak gelap.
23
Hadis ini antara lain dari Ali bin Abi Talib dan Ibnu Mas’ud diriwayatkan
di antaranya oleh al-Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Lihat Sunan al-Tirmizi,
Juz 2, h. 255, Sunan Ibnu Majah, juz 4, h. 6, dan Musnad Ahmad, juz 3, h. 171.
Diambil dari Kitab elektronik al-Maktabah al-Syamilah, Edisi Kedua, dan dapat
pula dilihat pada situs http://wwww.waqfeya.net/shamela.
359
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2, 2013: 339 - 370
Jendela/Lubang angin dan cahaya pada
tembok Masjid Ampel Karangasem
(Foto Dok. Asep, 2012)
g. Tiang Dalam Masjid
Di bagian dalam ruang utama Masjid Ampel Karangasem
terdapat empat tiang penyangga atap sebagai soko guru. Setiap
tiang diberi penyangga sebagai pondasi dari batu dengan ketinggian
sekitar 50 cm dengan lebar 40 cm. Adapun tinggi tiangnya sekitar 6
m, dan lebarnya sekitar 25 x 25 cm. Tiang-tiang tersebut berbentu
empat persegi dan berbahan kayu. Selain empat buah tiang sebagai
soko guru dan penyangga atap, di dalam masjid ini juga terdapat 12
tiang di pinggir ruang utama sekeliling masjid. Ukuran tiangnya
lebih kecil, sekitar 15 x 15 cm dan pondasinya juga lebih kecil,
sekitar 20 x 20 cm. Adapun tinggi tiang-tiang penyangga tersebut
sekitar 2 m.
360
Masjid Ampel di Amlapura Karangasem — Asep Saefullah
Tiang-tiang masjid dilihat dari mihrab (Foto Dok. Asep, 2012)
Tiang-tiang masjid dilihat dari pintu depan
(Foto Dok. Asep, 2012)
h. Mihrab dan Mimbar
Mihrab adalah tempat imam memimpin salat dan mimbar
adalah tempat khotib menyampaikan khutbahnya pada pelaksanaan
salat Jum’ah. Mihrab merupakan sebuah rongga atau lubang di
dinding atau tonjolan di tembok bagian barat atau arah kiblat masjid
dan sekaligus sebagai kiblat. Sedangkan mimbar adalah sebuah
bangunan kecil beratap, memiliki anak tangga berjumlah tiga
sampai lima, di atasnya terdapat tempat duduk khotib atau orang
yang menyampaikan khutbah, khususnya pada hari Jum’at.
Mimbah biasanya berada di sebelah kanan mihrab sekitar satu
meter di belakang (sebelah timur) mihrab, dan kadang-kadang
361
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2, 2013: 339 - 370
sejajar dengan mihrab kalau mihrabnya berukuran lebar.24
Sebagaimana masjid pada umumnya, di dalam Masjid Ampel
Karangasem terdapat mihrab dan mimbar. Mihrab dan mimbar
berada pada bagian depan (barat) ruang utama masjid. Mihrab
terletak di tengah bagian barat ruang utama dengan ukuran kurang
lebih 1 x 1,5 m.
Mimbar pada Masjid Ampel Karangasem tidak seperti mimbar
pada umumnya masjid-masjid lain. Umumnya letak mimbar tidak
sejajar dengan mihrab tetapi berada di sebelah timur atau agak di
belakang mihrab sebelah utara. Pada beberapa masjid kuno lainnya
bahkan terdapat maksurah, yakni tempat salat sultan. Mimbar pada
masjid ini terletak sejajar dengan mimbar dan berbahan beton.
Mimbar ini memiliki lima anak tangga dan tempat duduk khatib di
atasnya berbentuk empat persegi panjang berukuran lebar kurang
lebih 40 cm, lebar 1,2 m. Pada bagian depan mimbar terdapat tiang
yang memisahkannya dari mihrab. Antara mihrab dan mimbar yang
berdampingan tersebut terdapat pintu dengan ukuran kurang lebih
tinggi 200 cm dan lebar 90 cm.
24
Mihrab dalam bahasa Jawa disebut pangimaman, dalam bahasa Sunda
disebut paimaman, artinya tempat imam), sedangkan rongga yang lain berisi
mimbar dalam bahasa Jawa disebut pangimbaran, dalam bahasa Sunda disebut
paimbaran, artinya tempat mimbar. G.F. Pijper, “Mesjid-Mesjid di Pulau Jawa”,
h. 27-28. Posisi mimbar yang sejarah dengan tempat imam memimpih salat
dalam mihrab antara lain dapat dilihat di Masjid Al-Muhajirin Kepaon Denpasar
dan Masjid Nurul Huda Klungkung. Sedangkan mimbar yang terletak di
belakang mihrab antara lain terdapat di Majid Asy-Syuhada Kampung Bugis
Denpasar, Masjid Jamik Agung Singaraja dan Masjid Kuno Singaraja.
362
Masjid Ampel di Amlapura Karangasem — Asep Saefullah
Mirhab sebenah kiri dan Mimbar sebelah kanan (Foto Dok. Asep, 2012)
Pintu antara mimbar dan mihrab
(Foto Dok. Asep, 2012)
Kegiatan dan Amal Ibadah di Masjid Ampel Karangasem
Masjid Ampel Karangasem sudah tidak difungsikan lagi
sebagai tempat salat, baik salat lima waktu maupun salat lainnya,
seperti salat Jum’at atau salat Idul Fitri dan Idul Adha. Masjid ini
pernah digunakan sebagai tempat pengajian, baik pengajian bapak363
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2, 2013: 339 - 370
bapak maupun ibu-ibu, Majelis Taklim Al-Maratusholihah, yang
diselenggarakan setiap satu bulan sekali, tetapi pengajian ini pun
kini tidak diadakan lagi di Masjid ini tetapi diadakan secara
bergiliran dari rumah ke rumah warga. Sekarang, masjid ini
digunakan sebagai tempat pembelajaran Madrasah Diniyah dan
Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Madrasah Diniyah di masjid
ini telah terdapat di Kementerian Agama dengan nomor registrasi
35,724412510704005, dan namanya MD Darussalam yang
beralamat di Jl. Serma Anom Ampel Amlapura Karangasem Bali.
MD Darussalam pernah mendapatkan penghargaan sebagai
Madrasah Diniyah Teladan pada tahun 2009 dari Kantor
Departemen (skr. Kementerian) Agama Kabupaten Karangasem.25
Kegiatan dan ibadah yang dilakukan di dalam masjid
merupakan bagian dari upaya memakmurkan masjid yang
dilakukan oleh orang-orang yang beriman, sebagaimana firman
Allah pada Surah al-Taubah ayat 18 yang dikutip pada awal tulisan
ini, yaitu:
! "# "# $%&#’ ’( )* (+,
=; < -.! / 0"*$/1’( "# ’+2
3*4 5 6 2 &)7 8, 9 : *
“Sesungguhnya orang yang memakmurkan masjid Allah
adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,
mendirikan sholat, mengeluarkan zakat dan tidak takut kecuali
Allah semata, karena itu semoga mereka termasuk orang-orang
yang mendapat petunjuk” (Q.S. al-Taubah: 18)
Penyelenggaraan kegiatan selain ibadah di dalam masjid
sejalan dengan pandangan banyak kalangan mengenai fungsi
25
Piagam Lomba Madrasah Diniyah Teladan, 22 Juni 2009, diketahui dan
ditandatangani oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Karangasem,
Drs. Ida Bagus Wayan Oka Diksa, dan ditandatangi juga oleh Kasi Kependais
dan Pemb. Masjid, Drs. Supriyanto, M.Pd.
364
Masjid Ampel di Amlapura Karangasem — Asep Saefullah
masjid, khususnya fungsi masjid pada zaman Rasululah saw.
Adapun beberapa fungsi masjid tersebut adalah sebagai berikut:26
1.Tempat Ibadah. Pendirian masjid umumnya dimaksudkan sebagai
tempat beribadah seperti salat, membaca Al-Qur’an, berzikir dan
i’tikaf.
2. Tempat Bersidang dan Musyawarah. Persoalan ummat bisa
dibicarakan di masjid sejak dari perjanjian, perdamaian dan
peperangan, atau dalam rangka menyusun suatu program atau
kegiatan yang akan dilaksanakan oleh masyarakan, khususnya
masyarakat sekitar masjid.
3. Tempat Menuntut Ilmu. Nabi Muhammad Saw membentuk
karakter para sahabat, seperti Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali
di dalam masjid. Di sini diajarkan berbagai ilmu agama sebagai
bekal kehidupan di dunia menuju akherat.
4. Pengaturan Zakat, Sedekah dan Amal Saleh. Sejak dari
penampungan zakat, sedekah dan amal sosial lainnya sampai
pada pendataan orang yang berhak menerimanya, dan
dilanjutkan dengan penyebarannya.
5. Tempat Latihan Ilmu Perang. Pada masa Rasulullah saw., para
prajurit juga menggunakan masjid sebagai tempat menyusun dan
membicarakan taktik dan strategi perjuangan, sebagai tempat
latihan bahkan gudang tempat menyimpan alat-alat persenjataan
agar mudah diambil ketika diperlukan.
Dari beberapa fungsi masjid tersebut, dapat dikatakan bahwa
pada dasarnya kegiatan-kegiatan keagamaan dapat dimulai dari
masjid, dan bahkan salah satu cara memakmurkan masjid adalah
dengan menggunakan masjid tidak hanya untuk salat. Dalam
konteks ini, Masjid Ampel Karangasem telah difungsikan lebih dari
sekadar tempat salat, bahkan saat ini masjid kuno Ampel hanya
digunakan untuk kegiatan keagamaan selain salat. Kegiatan yang
pernah diadakan adalah peringatan hari-hari besar keagamaan
seperi acara Maulid Nabi Muhammad saw, seperti yang
26
Mukhlis
Denros,
“Masjid
dan
Fungsinya”
dalam
http://mukhlisdenros.blogspot.com/2012/04/ masjid-dan-fungsinya.html. 9 April
2012. pernah dimuat dalam Majalah Serial Khutbah Jum’at Jakarta Nomor 173/
Nopember 1995. Diakses 1 September 2012.
365
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2, 2013: 339 - 370
dilaksanakan pada Ahad, 27 Februari 2011. Kegiatan ini diisi
dengan berbagai macam perlombaan, seperti lomba-lomba
kaligrafi, cerdas cermat, pidato, hifzil Qur’an 30 juz, dan tilawah.
Selain itu, ada juga pertandingan olah raga, yaitu futsal dan catur.27
Sedangkan untuk kegiatan salat telah dibangun masjid baru dengan
nama Masjid Darussalam Ampel di seberang Jalan Serma Anom
Ampel Amlapura Karangasem Bali, yang dibangun sekitar tahun
1980-an.
Masjid Darussalam Ampel Amlapura
Karangasem, pengganti Masjid Ampel
(Foto Dok. Asep, 2012)
Penutup
Masjid Ampel Amlapura Karangasem Bali merupakan salah
satu masjid kuno yang menurut kisah yang beredar di masyarakat
dibangun pada abad ke-17 M. Pada tahun 1690, Raja Karangasem,
Anak Agung Ketut Karangasem menyerang Pulau Lombok. atas
jasa Pangeran Dadu Ratu Mas Pakel, putra Raja Mataram, Raja
Karangasem berhasil menaklukkan kerajaan Pejanggik dan
menguasai sebagian wilayah Kerajaan Mataram. Pangeran Dadu
Ratu Mas Pakel beserta pengikutnya yang beragama Islam diberi
tempat terhormat di Karangasem sebagai tanda jasa. Ketika
meninggal, jasad Sang Pangeran dimakamkan di Istana Taman
27
Edaran atau Pamflet pengumuman pada Etalase/papan Pengumuman
Masjid Ampel Karangasem, tertanda Ketuanya Rahmat Kurniawan, Februari
2011.
366
Masjid Ampel di Amlapura Karangasem — Asep Saefullah
Ujung. Komunitas inilah yang menjadi cikal-bakal kampungkampung Islam di wilayah Karangasem.28
Apapun kisahnya, keberadaan masjid ini menunjukkan ciri-ciri
masjid kuno, yang menurut Pijper banyak dijumpai di Pulau Jawa.
Setidaknya, jika Masjid Ampel di Kampung Ampel Amlapura
Karangasem ini dibangun setelah abad ke-17, ia dapat dikatakan
dibangun pada abad ke-18. Beberapa ciri utama masjid kuno
ditemukan pada masjid ini, antara lain, pondasi padat atau massif
agak tinggi dan berbentuk persegi, denahnya berbentuk segi empat
bahkan bujur sangkar, dengan ukuran 9 m x 9 m, berdinding tebal,
dan beratap tumpang bersusun dua. Disebutkan bahwa Masjid
Ampel di Karangasem Bali ini hampir sama dengan bentuk Masjid
Sunan Ampel di Surabaya Jawa Timur, dan ia dapat disamakan
pula dengan dua masjid di Banten, yaitu Masjid Al-Khusaini Carita
dan Masjid Caringin, keduanya di Kabupaten Pandeglang. Kedua
masjid ini yang dibangun memiliki denah empat persegi,
berpondasi padat dan agak tinggi, beratap tumpang, dan berdinding
tebal. Di Bali sendiri, masjid ini sama dengan masjid Asy-Syuhada
Kampung Bugis Denpasar Bali yang konon dibangun pada abad ke17 M oleh pelaut-pelaut Bugis yang melarikan diri dari Makassar
yang menolak penjajahan Belanda di daerah asalnya.29
Masjid, selain sebagai pusat ibadah, juga merupakan tempat
kegiatan muslim. Keberadaan masjid di suatu tempat menunjukkan
adanya komunitas muslim di tempat tersebut, dan karena itu pula
terdapat aktibitas keagamaan, baik ibadah maupun muamalah.
Ibadah salat lima waktu misalnya, atau salat Jum’at, dan kegiatan
keagamaan seperti pengajian bapak-bapak, majelis taklim ibu-ibu,
Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) dan Madrasah Diniyah (MD).
Inilah kenyataan yang ada di Kampung Ampel Amlapura
Karangasem Bali; Keberadaan Masjid Kuno Ampel di kampung ini
28
“Sejarah Kerajaan Karangasem”, dalam http://sejarah-puripemecutan.blogspot.com/2011/02/ sejarah-kerajaan-karangasem.html. Diakses
25 Juli 2012.
29
Masudin/Idh (Kontr.), “Masjid dan Al-Qur'an Kuno dari Bali” dalam
http://www.indosiar.com/
ragam/masjid-dan-al-quran-kuno-daribali_21320.html. Diakses 25 Juli 2012.
367
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2, 2013: 339 - 370
merupakan salah satu bukti perkembangan dan persebaran Islam di
Bali, di tengah-tengah mayoritas penduduknya yang beragama
Hindu. Tampaknya, bukan hanya bukti kehadiran Islam di Pulau
Dewata, tetapi juga menggambarkan harmoni dalam kehidupan
beragama dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), khususnya antara komunitas Muslim dan komunitas
Hindu. Wallâhu a‘lam bi al-sawâb
368
Masjid Ampel di Amlapura Karangasem — Asep Saefullah
Daftar Pustaka
Basyar, Hamdan, “Identitas Minoritas di Indonesia: Kasus Muslim
Bali di Gianyar dan Tabanan”, Laporan Akhir Program Insentif
Peneliti dan Perekayasa LIPI, Pusat Penelitian Politik,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, Tahun 2010.
Denros,
Mukhlis,
“Masjid
dan
Fungsinya”
dalam
http://mukhlisdenros.blogspot.com/2012/04/
masjid-danfungsinya.html. 9 April 2012. pernah dimuat dalam Majalah
Serial Khutbah Jum’at Jakarta Nomor 173/ Nopember 1995.
Diakses 1 September 2012.
http://kuadenpasartimur.wordpress.com/category/budaya/, Diakses
25 Juli 2012.
http://www.budpar.go.id. Diakses 25 Juli 2012
Mashad, Dhurorudin, “Asal Usul Kampung Muslim di Kabupaten
Karangasem
–
Bali”,
dalam
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/04/15/asal-usul-kampungmuslim-di-kabupaten-karangasem- bali-tulisan-7/, Diakses 15
April 2012
“Masjid
Sunan
Ampel”
Edisi
Khusus,
dalam
http://arsip.gatra.com/2005-10-31/majalah/artikel.
php?pil=23&id=89781. Diakses 12 April 2012.
Masudin/Idh (Kontr.), “Masjid dan Al-Qur'an Kuno dari Bali”
dalam http://www.indosiar.com/ ragam/masjid-dan-al-qurankuno-dari-bali_21320.html. Diakses 25 Juli 2012.
al-Maktabah al-Syamilah, Edisi Kedua, Kitab Elektronik,
khususnya Sunan al-Tirmizi, Juz 2, Sunan Ibnu Majah, juz 4
dan Musnad Ahmad, juz 3.
Pijper, G.F., “Mesjid-Mesjid di Pulau Jawa”, dalam G.F. Pijper,
Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950,
Terjemahan Tudjimah da Yessy Augustdin, (Jakarta: Penerbit
UI Press, 1984), h. 14-66.
Saefullah, Asep dan M. Adib Misbahul Islam, “Beberapa Aspek
Kodikologi Naskah Keagamaan Islam di Bali: Sebuah
Penelusuran Awal”, dalam Jurnal Lektur Keagamaan, 7(1),
2009, h. 53-90.
369
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2, 2013: 339 - 370
“Sejarah Kerajaan Karangasem”, dalam http://sejarah-puripemecutan.blogspot.com/2011/02/
sejarah-kerajaankarangasem.html. Diakses 25 Juli 2012.
Shohib, M., dkk., Panduan Wisata Religi, .Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2011.
Sunarta, Wayan, “Nyama Selam di Karangasem dan Tradisi
Lebaran”, http://www.journalbali.com/ culture/heritageheritage-heritage2/nyama-selam-di-karangasem-dan-tradisilebaran.html, September 10, 2010. Diakses 25 Juli 2012.
Syahruddin, Wawancara, Kampung Ampel Amlapura Karangasem
Bali, 25 Mei 2012.
“Wisata
Masjid
di
Bali”,
http://www.jalan-jalanbali.com/2009/09/wisata-masjid-di-bali.html, diupload 17
September 2009. Diakses 26 Juni 2012.
370