Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Sastra dan Solidaritas Bangsa

SASTRA DAN SOLIDARITAS BANGSA Penyunting: Stella Rose Que Falantino Eryk Latupapua Diterbitkan oleh Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Daerah Ambon SASTRA DAN SOLIDARITAS BANGSA Penyunting : Stella Rose Que Falantino Eryk Latupapua Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit HISKI AMBON. Cetakan I: Desember 2015 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit HISKI AMBON, Ambon. Penerbit HISKI AMBON Jl. Dr. Tamaela Kampus PGSD Universitas Pattimura Ambon Telp. 08114711180 e-mail: hiskiambon@yahoo.com Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT) SASTRA DAN SOLIDARITAS BANGSA Cetakan I: Ambon: Penerbit HISKI AMBON, 2015 xii + 510 hlm; 170 x 245 mm ISBN: 978-602-1048-82-5 1. Sastra dan Solidaritas Bangsa I. Judul II. Stella Rose Que & Falantino Eryk Latupapua (eds.) ii Kata Pengantar Salam sastra! Dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, kami menerbitkan buku Sastra dan Solidaritas Bangsa yang merupakan kumpulan tulisan yang telah dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Kesusastraan Hiski XXIV sekaligus Musyawarah Nasional Hiski ke-10, Tahun 2015 yang bertempat di Universitas Pattimura Ambon dengan tema “Sastra dan Solidaritas Bangsa”. Menjadi penyelenggara kegiatan ilmiah dengan tema yang sungguh terasa amat luhur ini merupakan suatu kehormatan besar bagi kami. Hal itu disebabkan denyut sastra di sini telah semakin terasa menggetarkan generasi baru kami dalam suatu perarakan nilai dan makna, kembali kepada akar budaya, dan identitas yang Maluku sejati, yang berbalut persaudaraan, persatuan, dan tentu saja solidaritas dalam hidup yang damai dan saling menerima. Penyelenggaraan Konferensi serta terbitnya buku ini merupakan hasil kerja sama panita dengan Pemerintah Provinsi Maluku, Pemerintah Kota Ambon, Universitas Pattimura, dan dukungan Pengurus Pusat Hiski, maupun pihak-pihak lain yang turut memberikan kontribusi baik material maupun moral. Atas kerja bersama yang luar biasa, kami merasa perlu mengucapkan banyak terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Maluku, Rektor Universitas Pattimura, Walikota Ambon, Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kota Ambon, Dekan FKIP Universitas Pattimura, Pengurus Hiski Pusat, dan segenap kerabat, rekan kerja, dan pihak mana pun yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk bersama-sama memikirkan maupun mengerjakan berbagai hal terkait pelaksanaan konferensi ini. Akhir kata, kami menyampaikan permohonan maaf atas segala kekurangan yang mungkin ditemukan. Semoga apa yang kami lakukan bisa memberi arti penting bagi dinamika kesusastraan di Maluku, di Indonesia, maupun di dunia, bagi kelangsungan hidup dalam persatuan, kesatuan, dan perdamaian antarsesama manusia, antarsesama anak bangsa. Ambon, Desember 2015 Penerbit iii Daftar Isi Kata Pengantar ........................................................................................................... iii Daftar Isi .................................................................................................................... iv Sekapur Sirih Rektor Universitas Pattimura ................................................................ ix Sambutan Kepala Kantor Bahasa Provinsi Maluku ...................................................... xi v vi vii Sutrisna Wibawa, Endang Nurhayati, Marwanti, Venny Indria E., Avi Meilawati REVITALISASI DAN REAKTUALISASI MAKANAN TRADISIONAL JAWA DALAM SERAT CENTHINI…………………………………………………………….. 442 Suwardi Endraswara ANTROPOLOGI SASTRA WAYANG PEMBANGKIT SOLIDARITAS SOSIAL SEBUAH PENCERMATAN LAKON WAHYU PADA BERSIH DESA………….. 454 Thera Widyastuti REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM Неделя Как и Любой Другой/ SEMINGGU SEPERTI MINGGU YANG LAINNYA KARYA NATALYA BARANSKAYA…………………………………………………………………….. 463 Trisnowati Tanto LANGUAGE PLAY AS J. K. ROWLING’S STYLE OF WRITING IN HARRY POTTER AND THE PHILOSOPHER’S STONE………………………………………… 472 Wedhowerti ENHANCING STUDENTS’ AWARENESS OF LISTENING TO OTHERS THROUGH TEACHING THEM ON THE FIVE WAYS OF READING LITERATURE……… 478 Wenda M Kakerissa, Eugenie Mainake, Ayu Aprilya S. Abdullah STUDENTS’ PERCEPTIONS OF USING DRAMA IN ENGLISH LANGUAGE TEACHING (A SURVEY ON ACADEMIC YEAR 2014/2015 DRAMA COURSE OF ENGLISH DEPARTMENT AT PATTIMURA UNIVERSITY)…………………… 484 Widyastuti Purbani TEMA-TEMA GELAP DALAM LIMA KARYA SASTRA ANAK BERBAHASA INGGRIS SEBAGAI BENTUK PEMBERDAYAAN ANAK…………………….. 494 Wiyatmi PULAU BURU DAN TAHANAN POLITIK DALAM MEMORI SASTRA INDONESIA: MEMBACA AMBA KARYA LAKSMI PAMUNTJAK DALAM PERSPEKTIF NEW HISTORICISM……………………………………………………… 502 Elisa Dwi Wardani, S.S., M.Hum. IDENTITAS KEJAWAAN DALAM ALBUM JOGJA HIPHOP FOUNDATION... 511 viii Sekapur Sirih Rektor Universitas Pattimura Pertama-tama, marilah kita mensyukuri kebesaran Tuhan yang memberikan kita kekuatan, kesehatan, waktu, dan hikmat, sehingga perhelatan ilmiah internasional yang melahirkan buku Sastra dan Solidaritas Bangsa ini telah berlangsung dengan sukses. Sebagai pimpinan Universitas Pattimura, saya mengucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak dan Ibu sekalian yang sungguh-sungguh merupakan keuntungan besar bagi institusi ini secara khusus, maupun pergerakan dan dinamisasi kesusastraan dan kebudayaan di Provinsi Seribu Pulau ini. Terpilihnya Universitas Pattimura oleh pengurus Hiski Pusat dalam Konferensi Internasional sebelumnya di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan adalah suatu bentuk kepercayaan terhadap Universitas Pattimura dan Pengurus Hiski Komisariat Daerah Ambon yang selama ini telah bersinergi dengan instansi-instansi lain, yakni Pemerintah Provinsi Maluku, Pemerintah Kota Ambon, Kantor Bahasa Provinsi Maluku, dan kelompok-kelompok praktisi kesusastraan di daerah ini, dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan kesusastraan di Maluku. Hingga saat ini, kerja sama baik tersebut telah memberi dampak yang besar, baik dalam ranah akademik, maupun pada ranah praktikal. Pada tahun 2014 yang lalu, kami melaksanakan Seminar Nasional Kebahasaan dan Kesusastraan I. Sebelumnya, beberapa tokoh penting dalam dunia sastra di Indonesia dan di Asia Tenggara, misalnya D. Zawawi Imron, Seno Gumira Ajidarma, Prof. Muhammad Haji Saleh, dll., telah hadir di Universitas Pattimura dan melakukan hal-hal yang konstruktif bagi lembaga ini. Demikian pula partisipasi para dosen dan penelitian kami dalam kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat level lokal, nasional, maupun internasional semakin terasa meningkat pada akhir-akhir ini. Selain itu, partisipasi mahasiswa Universitas Pattimura dalam festival-festival seni sastra nasional, semisal Peksiminas, semakin didorong dan digalakkan untuk mencapai prestasi maksimal. Dalam Pekan Seni Mahasiswa di Lombok dan di Palangkaraya, mahasiswa Universitas Pattimura berhasil meraih juara pertama dalam Lomba Cipta Puisi. Beberapa dosen kami yang sekaligus merupakan penyair Indonesia asal Maluku telah ikut membina lahirnya antologi puisi Biarkan katong Bakalai dan Pemberontakan dari Timur yang monumental sebagai tonggak kebangkitan kesusastraan di Maluku. Inilah bukti nyata peran aktif perguruan tinggi dalam membangun masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Bahasa dan sastra dalam bingkai kebudayaan, menurut hemat saya, merupakan bidang yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan masyarakat. Masyarakat yang berperadaban tinggi, menghargai nilai-nilai luhur, dan mampu secara sinergis membangun dinamika kemanusiaan dalam perdamaian dan kesetaraan, tidak akan terbentuk tanpa bahasa, sastra, dan budaya. Di sinilah kita dapat melihat betapa pentingnya sastra bagi kelangsungan kehidupan di dunia yang kita diami bersama. Oleh sebab itu, Universitas Pattimura telah lama ikut mendorong terlaksanananya berbagai pertemuan dan kegiatan serupa yang terkait dengan kebijakan pengembangan Universitas Pattimura sebagai Center of Excellence di Indonesia Timur yang bertumpu ix pada asas bina mulia kelautan sebagai bagian dan visi dan misi Universitas Pattimura. Sejak dua tahun terakhir, Universitas Pattimura telah melakukan upaya merintis pendirian Fakultas Ilmu Budaya yang akan menjadi pusat aktivitas ilmiah di mana kajian-kajian bahasa dan sastra inheren di dalamnya. Semoga rencana tersebut dapat segera terwujud dan peran aktif Universitas Pattimura dalam pembangunan kebudayaan di Indonesia akan semakin dikenal dan diakui. Saya mengucapkan selamat dan sukses kepada pengurus Hiski Pusat maupun pengurus Hiski Komisariat Ambon atas pelaksanaan Konferensi Internasional Kesusastraan XXIV dan Munas X, serta terbitnya buku Sastra dan Solidaritas Bangsa ini, seraya berharap kerjasama ini akan terus digiatkan dalam kegiatan-kegiatan lain di waktu mendatang. Terima kasih yang setinggi-tingginya saya ucapkan kepada Pemerintah Provinsi Maluku, Pemerintah Kota Ambon, beserta seluruh SKPD atas bantuan dan dukungan yang diberikan selama kegiatan ini berlangsung. Pada akhirnya, saya memohon maaf atas segala kekurangan yang mungkin ditemukan selama penyelenggaraan konferensi. Selamat dan sukses untuk Hiski dan semoga buku ini akan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi pembangunan bangsa dan negara. Ambon, Desember 2015 Prof. Dr. Thomas Pentury, M.Si. Rektor Univeritas Pattimura x Sambutan Kepala Kantor Bahasa Provinsi Maluku Penerbitan makalah peserta seminar yang berada di tangan pembaca ini merupakan bagian dari upaya Kantor Bahasa Provinsi Maluku dalam mengembangkan sastra, khususnya di Maluku. Mengingat bahwa perkembangan sastra di Provinsi Maluku saat ini belum terlalu menggembirakan. Hal ini ditandai oleh beberapa kenyataan, yaitu sedikitnya peran penerbit dan pers dalam pemuatan karya sastra dan penyebarluasannya, kurangnya kesadaran dan tanggung jawab pengayom sastra, baik dari pemerintah maupun nonpemerintah, terhadap pelestarian dan perkembangan sastra, dan kurangnya kepedulian pengayom sastra kepada pemerhati, pelestari, dan penggiat sastra. Oleh karena itu, Kantor Bahasa Provinsi Maluku sebagai salah satu pengayom sastra di provinsi ini berusaha untuk membina dan mengembangkan sastra, salah satunya adalah dengan mendukung kegitan seminar Hiski yang diselenggarakan oleh Universitas Pattimura dan menerbitkan makalah peserta seminar. Hal itu dilakukan dengan harapan ke depan perkembangan sastra akan semakin baik dan tentu menggembirakan, terutama di Maluku. Penerbitan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap bacaan yang bernutu dan juga untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang sastra dan kritik sastra. Makalah yang diterbitkan ini tentu akan berdampak dan akan dirasakan oleh generasi muda Indonesia di masa mendatang. Tentu, karena sastra dan kritik sastra sudah tertanam dan tumbuh di lingkungan kita dan menjadi elemen penting dalam menggerakkan pembangunan. Dalam kesempatan ini, kami atas nama Kantor Bahasa Provinsi Maluku mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada para pemakalah, panitia penyelenggara seminar, dan tim penerbitan yang telah bekerja keras hingga buku ini dapat terwujud dan sampai ke tangan pembaca. Selamat membaca dan menikmati makalah yang sudah ada di tangan pembaca ini. Semoga karya-karya ilmiah yang dibukukan dalam bentuk prosiding ini menjadi inspirasi bagi munculnya berbagai wawasan dan temuan baru yang berguna bagi perkembangan ilmu sastra di masa depan. Ambon, Desember 2015 Toha Machsum, M.Ag. Kepala Kantor Bahasa Provinsi Maluku xi xii KEKERASAN SIMBOLIK DALAM NYALI KARYA PUTU WIJAYA PERSPEKTIF HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR Adi Setijowati (Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga – Indonesia) Kekerasan selalu terjadi berulangkali, menyebabkan banyak korban. Kekerasan terutama berupa kekerasan fisik namun selalu didahului oleh kekerasan psikologis dan simbolik. yang sering tidak disadari. Kekerasan selalu berhubungan dengan kekuasaan.Karya sastra dapat membantu menyumbangkan pemikiran dalam mengungkap kekerasan simbolik yang antara lain berupa cara pikir, bahasa, lalu dimaknai dalam bentuk refleksi filosofis . Tujuan penelitian ini adalah mengungkap narasi dan kekerasan simbolik, dalam Nyali (1983) karya Putu Wijaya, untuk mengungkapkan korban dan pelaku kekerasan simbolik dengan memakai pendekatannaratif, dan perspektif hermeneutika Paul Ricoeur. Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa karya sastra dapat menyodorkan paradigma kehidupan alternatif lewat bahasa. Makna teks tidak lagi tergantung pada pengarangnya. Arena kekuasaan dalam Nyali ditemukan ada empat lapis tentara dengan empat tingkatan yang masing-masing punya tataran hirarki yang berbeda. Peleburan horizon harapan menghasilkan kritik ideologi tentang militer/tentara. Dalam Nyali ditemukanbentuk dekonstruksi kekerasan simbolik pada tentara yaitu perlunya transparansi dan keterbukaan serta ketulusan pada wilayah publik, terutama masalahmasalah kekerasan simbolik pada dunia militer/tentara yang harus diangkat dan dikaji secara terbuka. Dari tokoh-tokoh Nyali, Kolonel Krozy dan Kolonel Tir-Tir terungkap bahwa tentara yang baik menjadi korban atau dikorbankan bahkan tidak menyangka bahwa mereka dikuasai atasannya.Dengan dekonstruksi dapat dimunculkan dalam ungkapan yang khas yaitu Nasionalisme, dengan membuka sebanyak mungkin potensi civil society dan tidak dimonopoli oleh negara. Sedangkan dalam analogi permainan yang menuntut pengambilan jarak yang positif tentang kekerasan simbolik menghasilkan kreativitas dalam Game OnLine. Kata Kunci: kekerasan, kekerasan simbolik, tentara, karya sastra, hermeneutika Pendahuluan Watak Sastra senantiasa menelusuri ruang-ruang dalam kehidupan yang bersifat situasional dan kontekstual maka, sastra akan mengubah situasi-kondisi melalui ruang tafsir yang menjadi ciri watak karya sastra yaitu sejarah dan otokritik. Sastra perlu hadir dalam membuka dialog dengan berbagai ideologi dan arus pemikiran. Dialog–dialog itu akan tampak dalam percaturan-percaturan politik bangsa. Kekuasaan yang meniadakan kebudayaan dan menganggap sastra hanya menjadi pengganggu saja membuat situasi masyarakat terjebak pada kondisi paranoia. Dalam konteks inilah sastra perlu untuk menciptakan ruang dialog. Dialog-dialog yang ada sekarang ini hadir penuh dengan prasangka-prasangka. Sastra sebenarnya membuka ruang dalam meraih martabat, 1 sebuah ruang untuk mengukur diri dalam pencarian kesadaran bahwa sebuah kebenaran tidak hanya tunggal.1 Meraih sebagai manusia bermartabat kadang tergantung pada situasi politik. Kestabilan maupun ketidakstabilan politik banyak terkait dengan kekerasan. Semua kekerasan tidak terjadi dengan sendirinya. Kekerasan adalah tindakan yang mendasarkan diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan. Dalam kekerasan terkandung unsur dominasi terhadap pihak lain dalam beragam bentuk: fisik, verbal, moral, psikologis atau melalui gambar. Kekerasan juga berhubungan dengan penggunaan kekuatan, manipulasi, wacana, fitnah, pemberitaan yang tidak benar, pengkondisian yang merugikan, penghinaan atau kata-kata yang memojokkan2. Logika kekerasan menyebabkan jatuhnya korban dapat melukai tubuh, merugikan psikologis korban, memaksa korban patuh, mengancam integritas pribadi korban. Pembicaraan tentang kekerasan menarik perhatian sepanjang sejarah manusia. Yang membicarakannyapun sudah sangat banyak baik dari ahli filsafat klasik hingga kontemporer. Namun demikian sampai sejauh ini belum ada kesepakatan yang bersifat umum tentang penyebab akar kekerasan yang terjadi di masyarakat. Kekerasan adalah perilaku yang melibatkan kekuatan fisik yang direncanakan untuk merusak, melukai, atau membunuh seseorang atau sekelompok orang (Colombijn, 2002:3)3. Jadi, kekerasan pada umumnya dimengerti sebagai sebuah tindakan yang melukai, merusak, dan menghancurkan lingkungan. Kekerasan ini lebih mengarah ke kekerasan fisik. Kekerasan fisik banyak memakan korban kematian, yang paling banyak adalah korban kekerasan karena perang. Persoalan politik kekerasan dapat saja menjadi tema utama karya sastra karena karya sastra memang tidak pernah lepas dari gambaran nyata lingkungannya. Oleh karena itu, untuk mengetahui keadaan politik suatu era, sastra dapat berbicara. Politik kekerasan yang tergambar dalam sastra biasanya menyangkut pada masalah sosialisasi politik dan kebudayaan politik, ciri-ciri sosialisasi politik dan rangkaian pendapat, sikap, serta keyakinan itu lah yang sesungguhnya menjadi bagian dari kebudayaan politik masyarakat. Salah satu pendapat yang menyokong kebudayaan politik4 masyarakat adalah dari suara karya sastra. Jenis kekerasan yang sulit untuk dicegah adalah kekerasan simbolik. Kekerasan ini disebut sebagai kekerasan simbolik, karena bentuknya sangat halus tidak terlihat korbannya. Kekerasaan simbolik pada dasarnya melibatkan komunikasi dan pengetahuan. Komunikasi dan pengetahuan ini adalah murni simbolik (Bourdieu, 2010: 2). Kekerasan itu dilakukan dengan cara penghinaan, pengakuan atau pada batas 1 Halim HD menulis dalam rubrik esei dalam Kompas, 12 Juli 205, tentang sastra dan martabat, yang menjelaskan peran sastra sekarang ini yang diacuhkan oleh penguasa, dialog sekarang ini tidak tumbuh yang kian gencar adalah prasangka yang membanjiri ruang media sosial dan virus paranoia yang berbiak kemana-mana. 2 Etika komunikasi tulisan Haryatmoko,2007. Hlm 135-136. Yogyakarta: PT Kanisius. 3 Colombijn, Freek and Thomas Lindblat. 2002. Root Violence in Indonesia. Leiden: KITLV. Menunjukkan contoh kekerasan secara langsung. 4 Budaya politik ada 3 macam : budaya politik parokial, budaya politik subjek dan budaya politik partisipan. Budaya politik parokial mengarah pada ciri apatis masyarakat dan pengetahuan politik rendah, masyarakat tidak peduli, dan menarik diri. Sedangkan budaya subjek, masyarakat nya sudah maju akan tetapi partisipasi masih pasif. Budaya politik partsipatif, masyarakat sudah ikut berpartisipasi aktif dalam proses politik. Munculnya demonstrasi menandai partisipasi aktif warganya. Karya sastra dapat menjadi bagian pendidikan budaya politik masyarakat, bagi pembaca yang menyadarinya. 2 tertentu, dengan cara-cara mengungkapkannya yang bersifat simbolik. Dalam relasi sosial antara pihak yang didominasi dan yang mendominasi merupakan peluang untuk mengetahui bahasa atau sesuatu yang diucapkan, sebuah gaya hidup yang berupa cara pikir, cara bicara, dan cara bertindak. Kekerasan simbolik adalah kekerasan dalam bentuknya yang sangat halus, tidak terasa dan tidak terlihat korbannya. Kekerasan yang dikenakan pada pelaku-pelaku sosial tanpa mengundang resistensi atau perlawanan. Sebaliknya malah mengundang persetujuan karena mendapat legitimasi sosial karena bentuknya yang sangat halus. Bahasa, makna, dan sistem simbolis para pemilik kekuasaan secara sadar ditanamkan dalam bentuk individu-individu lewat mekanisme yang tersembunyi (Takwin, 2009: xxi- xxii, Bourdieu, 1994:7). Karya sastraNyali(1983) karya Putu Wijaya yang dipilih dibicarakan dengan pertimbangan: (1) karya tersebut lolos dari daftar buku terlarang5; (2) karya tersebut menggambarkan wacana kekerasan simbolik yang dilakukan oleh penguasa. Karya tersebut melakukan perlawanan terhadap penguasa yang menimbulkan banyak korban yang tidak disadari sebagai korban di masyarakat. Terutama berhubungan dengan isueisue OTB (organisasi tanpa bentuk), jurang kemiskinan dan orang kaya, korban kerusuhan dan teror, yang semuanya diarahkan pada pembelaan orang tertindas. (3) karya tersebut memiliki kaitan dengan kekerasan simbolis yang erat kaitannya dengan sebuah zaman pemerintahan di Indonesia yang pernah dilewati. Nyali yang terbit tahun 1983 (tahun pertama terbit), erat kaitannya dengan konteks pemerintahan orde lama dan orde baru. Dengan demikian karya ini diperkirakan dapat mengungkap ketidaksadaran dalam praktek mekanisme kekerasan simbolis yang terutama dilakukan lapisan elit penguasa dalam masyarakat dari satu masa pemerintahan Indonesia. Siapa yang menjadi penguasa sebenarnya dipertanyakan dalam Nyali. Penguasa yang dimaksud di sini seperti yang ditunjukkan dalam teksnya antara lain penguasa militer, pemerintah, penguasa sipil, penguasa keluarga, penguasa etnis. Karya ini menarik diungkap dengan pemikiran bahwa karya sastra adalah wacana yang menggabungkan bahasa dan tindakan sekaligus seperti seorang narator yang memberitahukan lewat tuturan tertentu. Tindakan saat ini tidak bisa dilepaskan dari masa lalu. Tindakan merupakan endapan dan tiruan dari kisah-kisah yang didengar, dibaca dan sudah dipikirkankan secara mendalam. Pada gilirannya tindakan-tindakan itu menjadi bahan untuk dikisahkan. Sedangkan kisah akan memberikan pemahaman lebih terang terhadap tindakan karena mampu menyingkap aspek-aspek dari tindakan. Salah satu jenis kisah adalah kisah yang dibungkus dengan genre narasi sastra. Paul Ricoeur (1984:54-59) menyatakan tentang mimesis narasi dan membaginya tiga tahap mimesis: pertama, prefigurasi tindakan yaitu narasi yang berupa struktur pengalaman, mengorganisasi ingatan, menata bagian-bagiannya dengan tujuan membangun setiap peristiwa kehidupan. Di sini pencerita mengatakan kepada pendengarnya (baca pembacanya), tentang masalalu dan meringkasnya kembali dengan memberikan tekanan pada bagian-bagian yang penting. Kedua, konfigurasi tindakan, yaitu narasi tentang peristiwa yang membentuk tatanan yang logis bukan kronologis, di sini penataan logis dipakai untuk memberi bentuk penalaran baru terhadap fakta, tidak bisa dilepaskan dari masa lalu, dalam arti bahwa tindakan seseorang didapat dari belajar 5 Katalog Buku Terlarang dan Sejarahnya Dari Tahun 1950-2010, TT, hlm.10, diprakarsai Elsam, Laksmi, Lintas Merah Generasi, di sana tertulis yang melarang adalah kejaksaan RI, contoh yang paling nyata tahun 1980an buku-buku dilarang terbit dengan tuduhan subversib: memuat ajaran komunisme, menodai agama, membuat pornografi, menghina kepala Negara. 3 dari orang lain yang dilihatnya dan ditiru. Tiruan diendapkan, didengar, dibaca, dan sudah diresapkan. Selanjutnya tindakan itu menjadi bahan untuk dikisahkan. Kisah akan memberikan pemahaman yang lebih jernih terhadap tindakan karena menyingkap aspekaspek tindakan. Dalam kisah tentu terjadi seleksi karena hanya tindakan yang relevan atau bermaknalah yang akan dikisahkan. Di sinilah fungsi kelenturan alur yang tidak lagi harus selalu linear. Karya sastra sering terinspirasi oleh realitas sejarah masa lalu maupun sejarah kontemporer dari sebuah peradaban. Sejarah yang diubah menjadi kisah dan akan memungkinkan lahirnya bentuk baru sejarah. Ketika penulis sastra membaurkan dalam kesatuan visi penulis sejarah maka kisah fiktif bisa menyumbang kisah sejarah (Lavigne yang dikutip Haryatmoko (2013)6. Ketiga, refigurasi merupakan tindakan oleh pembaca atau penafsir kisah. Pembaca sastra memberi makna teks karena pemaknaan teks adalah sejarah semua pembacaan. Teks tumbuh bersama pembacanya. Pembaca merefleksikan berdasar sudut pandangnya dan mengubah dirinya atau membantu memahami diri atau orang lain dengan lebih baik. Mimesis tahap ketiga ini merupakan refigurasi tindakan oleh pembaca atau penafsir kisah. Kata Ricoeur pada intinya wilayah pemanfaatan teks bergeser-geser, tidak ada penguasa narasi. Jadi tidak jelas siapa pengarang atau penulis, karena makna adalah selalu hasil “bacaan” seseorang; Ricoeur menggunakan istilah transfigurasi tindakan manusia. Berkat pengaruh teks seseorang akan membaca, menghayati sehingga mampu mengubah diri menjadi lebih baik (Ricoeur, 1984: 54-59)7.Bahasa adalah parole. Wacana lahir karena pertukaran makna. Syarat wacana menurut Ricoeur: 1. ada subjek yang mengatakan; 2 isi pernyataan yang mau dipresentasikan; 3. kepada siapa pernyataan itu disampaikan; 4. Temporalitas Demikianlah dengan pemilihan penulis pada karya Putu Wijaya di atas, diharapkan kekerasan simbolik yang “mungkin pernah berlaku” di dunia keprajuritan/kemiliteran/ketentaraantanpa disadari dapat dijelaskan. Selain itu kekerasan simbolik juga bekerja dalam kerangka untuk mendapatkan persetujuan tanpa paksaan, bahkan dalam berbuat kekerasan. Kekerasan yang terjadi di Indonesia lewat karya sastra sudah banyak yang meneliti misalnya Thahar yang membahas tentang “Kekerasan Cerpen-Cerpen Indonesia dalam Harian Kompas (1992-1999): Suatu tinjauan Struktural Genetik” Macam-macam kekerasan diungkap dalam tulisan itu 8. Dalam tulisan ini tidak dibicarakan hanya pada kekerasan semata kekerasan seperti yang telah dihasilkan peneliti-peneliti sebelumnya, melainkan tentang refleksi filosofis yang muncul atas nama kekerasan simbolik dalam sastra. Dalam hal ini akan terkait dengan kekekerasan fisik, psikis,dan kekerasan simbolik yang merugikan masyarakat. Dengan berusaha membongkar kekerasan simbolik dalam sastra akan menantang refleksi etika politik. Pada tingkat selanjutnya refleksi ini menuntut suatu tanggung jawab politik-moral seorang warganegara untuk berpatisipasi sebagai anggota nation atau bangsa. Tanggung jawab politik-moral ini akan menyadarkan bahwa ternyata sangat penting menumbuhkan budaya politik yang santun yang jauh dari kekerasan simbolik untuk menumbuhkan bangunan kondisi politik yang manusiawi. Tugas filsafat politik adalah menganalisis secara refleksif, menyingkap dan 6 Haryatmoko dalam Pelatihan Analisis Wacana Hermeneutika Paul Ricoeur, tgl 23 Mei 2013 yang diadakan UK2JT FIB Unair. 7 PaulRicoeur dalam bukunya Time and Narrative Vol I ( translated by Kathleen Blamey and David Pellauer). 1984. Chicago and London: The University of Chicago Press. 8 Disertasi Thahar terdapat di Universitas Negeri Jakarta. 4 mendiskusikan secara kritis isi normatif yang ada dalam konteks sosio-budaya. Kemudian merumuskan kembali dalam kerangka prinsip umum dengan metode pembenaran yang mudah dipahami (Haryatmoko, 2003:9). Dengan refleksi dimaksudkan aktivitas budi manusia yang mengeksplorasi keluhuran martabatnya dan keluhuran hidup bersamanya. Refleksi mencoba memahami pencarian kedalaman dan kebenaran. Jadi aktivitas refleksif adalah melukiskan martabat manusia (Armada, 2011:39). Nyali, Sekuen Peristiwa, dan Gambaran Tentara Dari sisi naratifnya Nyali tidak digambarkan secara urut dari 23 bagian. Nyali diceritakan oleh penutur cerita yang dingin seolah pencerita memotret keadaan senyatanya tanpa mau terlibat, namun demikian banyak ditemukan wacana-wacana yang mengandung kritik baik secara langsung atau tidak. Berdasar sekuen peristiwa Nyali dapat dijelaskan bahwa pencerita adalah orang luar di luar tokoh dan peristiwa. Orang luar yang bercerita dan bertindak sebagai pengamat yang mencermati kehidupan tentara dari yang berpangkat rendah sampai tentara yang berpangkat tinggi. Nyali (1983) disajikan dalam 23 bab dan sekuen Nyali tidak diceritakan secara urut/kronologis. Sekuen 1 menceritakan prajurit yang bernama Kropos, cara menjalani sebagai tentara. Sekuen 2 menceritakan Erika istri Kropos (tentara), yang ditinggal bertugas. Sekuen 3 tentang Tokoh Kropos yang bertemu Kolonel Krozy yang dulu memerintahkan membasmi Zabaza. Sekuen 4, Pencerita menceritakan Kropos menembak Kolonel Krozy demi sebuah rencana. Sekuen 5, Pencerita menceritakan Jendral Leonel menyuruh Dr Combla untuk membunuh Kolonel Krozy agar Krozy meninggal sebagai pahlawan. Sekuen 6, pencerita menceritakan Desa Tong-Tong diserang gerombolan Zabaza dan Kropos diinterogasi oleh seseorang (atasan). Sekuen ke 7 Jendral Leonel menghadap Baginda Raja bersama istrinya. Sekuen 8, Baginda Raja berbincang santai dengan Leonel dan menyatakan dirinya bukan Zabaza sekarang. Sekuen 9 menceritakan Kropos yang telah diakui masuk sebagai tentara Zabaza. Sekuen 10, Erika sangat marah ketika lima anaknya dibunuh dan ia mengira Torso suami keduanya yang membunuh. Sekuen 11, Baginda diminta menyingkir dari kerajaan bersama keluarganya. Sekuen 12, Pencerita menceritakan Gerombolan Zabaza melakukan persiapan untuk menyerang. Sekuen 13, Nyonya Kolonel Krozy melayat dan hadir dalam pemakaman Erika dan suaminya (ke-2) Torso. Sekuen 14, Ny Kolonel Krozy bertemu mantan istri jendral Leonel yang menyeberang ke gerombolan Zabaza, dan akhirnya nyonya Krozy dibunuh. Sekuen 15, Kropos mendengar Ny Krozy dibunuh, yang membuat goyah pikirannya. Sekuen 16, Baginda Raja mengadakan jamuan makan, ditengah keprihatinan. Sekuen 17 pencerita menceritakan ibukota yang dalam keadaan kacau seperti kota yang mati. Sekuen 18, Jendral Leonel mengambil alih kekuasaan dan menembak sendiri tangannya. Sekuen 19, menceritakan Kropos dan perasaannya menghadapi republik baru. Sekuen 20, menceritakan mantan istri Leonel dan kegiatan Zabaza yang bertambah kejam. Sekuen 21, menceritakan Kropos tentara rendahan yang tidak punya tujuan hidup. Sekuen 22, menceritakan anak jendral Leonel di bunuh mantan istrinya. Sekuen 23, menceritakan Kropos yang hidup sebagai suami istri yang tak dikenal publik dan diajak berjuang lagi oleh mantan istri jendral Leonel setelah istrinya dibunuh secara kejam. Sekuen peristiwa dalam Nyali sengaja dipecah penceritaannya, untuk mendapatkan gambaran keadaan tentara yang berpangkat Kopral, Kolonel, Jendral, dan Baginda Raja serta akibat yang muncul untuk keluarga mereka. Sekuen yang ditandai 5 nomor 1-23, tidak menggambarkan urutan cerita, namun menggambarkan urutan discoursenya. Sekuen 1,2,3,4, dalam tataran urutan cerita bisa disatukan namun sengaja dipisahkan karena ingin menekankan fokus penceritaan. Sekuen 5 fokus penceritaan pada tokoh Jendral Leonel. Jendral Leonel memerintahkan Dokter Combla sekalian “membunuh” Kolonel Krozy yang sedang sakit di Rumah Sakit, akibat ditembak Kropos. Krozy dianggap tidak berguna lagi oleh Jenderal Leonel. Menurut dokter Combla Kolonel Krozy tidak sakit secara fisik (hanya luka tembak), tetapi sakit secara mental karena Krozy tidak menyangka ditembak oleh Kropos tentara yang dia percaya untuk melaksanakan pengamanan tugas menumpas gerombolan. Sekuen 6, kembali pada Kropos dan gerombolannya yang menyerang desa Tong-Tong, diikuti dengan pengintrograsian Kropos oleh seseorang yang dapat diduga tentara atasannya. Sekuen 7,8,9 bisa disatukan dalam penceritaan tapi sengaja dipisah untuk menggambarkan perbedaan antara tentara berpangkat tinggi, dan tentara rendahan seperti Kropos. Sekuen 10, Erika mantan istri Kropos yang telah menikah lagi dengan Torso kehilangan anakanaknya dari Kropos karena dibunuh. Erika serta Torso saling menusukkan agar mereka matibersama setelah mengalami kejadian yang memilukan. Sekuen 11 tentang baginda Raja. Sekuen 12 tentang Kropos dan gerombolannya. Sekuen 13, sebenarnya bisa disatukan dengan sekuen 10 (13, 10) sebelumnya yaitu bab tentang kematian Erika dan Torso dan penguburannya yang diikuti oleh Ny Krozy. Tapi sengaja diceritakan dalam bagian terpisah. Sekuen 14, Ny Krozy dibunuh istri Leonel. Sebelum dibunuh Nyonya Leonel bercerita tentang Krozy yang menjadi saingan Jendral Leonel oleh karena itu sebenarnya Krozy dibunuh oleh Jendral Leonel. Sekuen 15, Kropos mendengar Ny Krozy dibunuh Ny Leonel. Sekuen 16-23, adalah sekuen peristiwa yang menggambarkan kekejaman gerombolan Zabaza yang dipimpin oleh istri Leonel yang berseberangan dengan jendral Leonel. Pada sekuen 22 tampak Ny Leonel membunuh 3 anak jendral Leonel (setelah istri Leonel mengikuti gerombolan Zabaza). Pencerita di sini sebagai pencerita yang memakai dia-an memakai gaya “melaporkan” kekerasan yang terjadi. Laporan itu terasa “dingin” sengaja menghilangkan faktor emosi, untuk mendapatkan kesan tegas kaku, dingin, dan siap meneropong dengan “kamera”. Sebuah uraian yang khas, cepat, tajam dalam mengurai kekejaman yang senantiasa dialami tokoh tentara dan kehidupannya sebagai tentara berpangkat kecil, kehidupan keluarganya (istri) dan atasannya yang berpangkat kolonel. Kehidupan mereka dikendalikan bahkan dijadikan korban oleh arsitek utama seorang Jendral Leonel. Dengan gaya laporan yang dingin dalam mengantarkan kekejaman dilakukan oleh narator dalam mengikuti tokoh Kropos (tentara yang berpangkat paling rendah), kekejaman tidak lagi dirasakan sebagai kekejaman karena Kropos menghayatinya sebagai bagian tugas yang harus dilaksanakan saja. Tokoh ini tidak menyadari kalau dia desain sebagai “mesin” pembunuh. Akibatnya dia sangat taat pada perintah atasannya, sebenarnya meski dia sebagai tentara yang harus melaksanakan kewajibannya, dalam hati dia hanya taat pada Kolonel Krozy yang ditembaknya karena tugas, tapi tembakan itu diarahkan ke bagian tubuh lain, agar Krozy tidak mati. Akan tetapi ternyata Kolonel Krozy di rumah sakit tetap meninggal, karena dibunuh oleh dokter Combla. Dokter Combla memenerima perintah langsung dari Jendral Leonel, yang dibalik pernyataan biasa ternyata penuh dengan ancaman(kekerasan psikologis). Nyali dalam Tataran Oposisi Subjek-Objek Nyali menggambarkan urutan kepangkatan dalam tentara, urutan kepangkatan dari yang paling rendah dari Kopral, Provost, yang masuk bagian Tamtama, Perwira 6 (Letnan, Letnan Kolonel, Kolonel, Jenderal) dan Panglima Tertinggi). Nyali mengangkat tokoh yang bernama Kropos. Tokoh Nyali tidak bernama sebagaimana manusia biasa: Kropos yang berarti kosong dan mudah rapuh. Tokoh Kropos dihadirkan dengan latihan yang keras untuk menghilangkan kemanusiaannya (Nyali, 1983: 7-8); menyaksikan sepuluh tentara yang baru lulus mati di lubang yang digalinya sendiri dan dibiarkan dalam keadaan lapar dan haus.Nyali, 1983:9); Tokoh Kropos dinyatakan lulus dari latihan kekejaman dan menjadi ketua gerombolan Zabaza yang mestinya mau dibasmi (Nyali, 1983: 21). Nyali punya logika biner berupa oposisi yaitu subjek-objek, pengirim-penerima, pembantu-penghalang (Greimas,1983:207). Untuk memenuhi oposisi biner tersebut harus mememenuhi syarat 3 tes yaitu Tes Kualifikasi, Tes Pokok, dan Tes Pujian. Dalam tulisan ini dibatasi oposisi yang terpenting yang berhubungan dengan kekerasan simbolik yang digambarkan dalam Nyali yaitu tiga tokoh. Pertama, tokoh Jendral Leonel; Kedua, tokoh Kolonel Krozy; Ketiga, tokoh Kopral Kropos. Tokoh Leonel hadir dalam relasi subjek-objek seperti yang tertera dalam gambar skema berikut: Proses Komunikasi Pengirim Kolonel Krozy Penerima Objek Gerombolan Kropos Kontrak Proses Pencari Anti Subjek Kolonel yang mengabdi negara Pembantu Istri Kolonel Subjek Jenderal Leonel Penghalang Keluarga Tentara Syarat tiga tes dalam relasi oposisi biner: Pertama, Tes Kualifikasi: Jendral Leonel mempunyai misi rencana pergantian pemerintah yang kuat dengan membentuk gerombolan Zabaza. Gerombolan Zabaza yang dibentuk itu diharapkan untuk menciptakan pergolakan kecilagar dapat diperangi kapan saja, seolah-olah ada pemberontakan dalam masyarakat.Kedua,Tes Pokok yaitu Subjek menyiapkan petualangan berupa konflik-konflik antara subjek dan objek, Subjek yang ditunjukkan dalam gambar di atas adalah Jendral Leonel. Jendral mempergunakan bawahannya Kolonel untuk mengirim tentara Kopral Kropos memerangi gerombolan kejam Zabaza. Ketiga, Tes Pujian yaitu Jendral berhasil menguasai Negara dengan menggunakan cara menguasai Baginda Raja (atasan). Skema yang kedua adalah adalah skema tentang tokoh Kropos seperti di bawah ini: 7 Proses Komunikasi Pengirim Kolonel Krozy Objek Penerima Gerombolan Zabaza Rencana Jenderal Leonel mengambil alih kekuasaan negara Proses Pencari Anti Subjek Komandan/atasan Kontrak Pembantu Subjek Penghalang Pistol atribut tentara Kropos yang sudah menjadi tentara kejam Mantan Atasan 3 (tiga) tes yang harus dilewati: pertama, tes kualifikasi: Kolonel Krozy mengirimkan anggota tentranya antara lain Kropos untuk menumpas gerombolan Zabaza. Gerombolan ini tak bisa ditumpas habis karena ternyata gerombolan ini sengaja dipelihara oleh seorang jendral. Kedua, tes pokok subjek Kropos telah melewati proses yang sangat rumit zabaza, pada awalnya ditugasi untuk masuk membasmi Zabaza. Ketiga, Kropos berhasil masuk menembus Gerombolan Zabaza bahkan sampai pada level pimpinan gerombolan. Skema lain yang perlu dicermati adalah tentang Kropos, yang berpangkat kopral. Proses Komunikasi Pengirim Objek Penerima Kolonel Krozy Gerombolan Z b Masyarakat Tong Tong Anti Subjek Proses Pencari Torzo Kontrak Pembantu Istri Kolonel Subjek Kropos 8 Penghalang Erika (Istri Kropos) dan Kelima Anaknya Pertama, Tes Kualifikasi: Tokoh Kropos adalah tentara berpangkat kopral (rendah) yang siap dikirim untuk menyerang Gerombolan Zabaza, Tokoh Kropos meninggalkan istri dan lima anaknya. Kedua, Tes Pokok yaitu Kopral Kropos melewati latihan fisik dan psikologis sampai tingkat kehilangan rasa peri kemanusiaanya (menjadi kejam). Ketiga, Tes Pujian yaitu meski Kropos sudah melalui berbagai ujian yang keras dan kejam, dia gagal dalam mewujudkan kebenaran yang dia yakini bahwa ada pengkhianatan pada kedudukan Baginda. Inventarisasi Oposisi dalam Nyali berdasar skema di atas ditemukan: Aktor: tentara baginda raja Vs jendral; suami Vs istri jenderal Vs prajurit; kekerasan Vs kelembutan penguasa Vs rakyat; kejam Vs lembut kejahatan Vs kebaikan pemberontak Vs patuh Fisik kuat Vs rapuh ; hidup Vs mati Muda Vs tua Moral Baik Vs Jahat; pujian Vs hukuman; Baik Vs licik Oposisi kunci dalam Nyali yang utama ditemukan oposisi muda Vs tua (pergantian kekuasaan). Oposisi ini menjadi payung yang meliputi arah dari kepangkatan tentara yang berpangkat tinggi ke tentara yang berpangkat rendah, yang menguasai dan dikuasai, dari isolasi individual tentara kerajaan Kropos ke komunitas Zabaza. Transformasi nilai-nilai dasar dalam Nyali ditemukan antara lain:Pembunuh (kejam, dikorbankan) dan tentara yang baik (regenerasi) juga dikorbankan. Orang yang jahat digambarkan dengan kematian, dan orang yang baik digambarkan dengan kehidupan. Pembunuh otomatis (dari tentara) sangat dan harus menghargai sistem. Ancaman nilai kekejaman mencapai target, menjadi kebaikan dalam pergantian kekuasaan yang sebaiknya berlangsung secara damai. Kekerasan Simbolik dalam Nyali dijumpai dalam penghayatan tugas pembunuhan tanpa rasa bersalah terutama tugas yang disandang Kropos, tentara yang berpangkat rendah (kopral). Sebagai tentara dia hanya menghayati peran kepatuhan tugas tanpa syarat, meski banyak jatuh korban. Kekerasan simbolik dalam Nyali dialami oleh tentara yang berpangkat rendah berupa strategi penguasaan, indoktrinasi, komando, instruksi (periksa Nyali hlm: 7,9,12,15,16,21,25, 35,42,44, dan 45). Adapun mekanisme kekerasan simbolik yang ditemukan dalam Nyali ditemukan melalui bahasa, representasi, dan simbol seperti contoh di bawah ini: “Semakin sibuk anda membuktikan sesuatu, Anda semakin jauh dari cita-cita anda sendiri. Karena hal itu menunjukkan anda tidak yakin. Ia kelihatan tak punya rencana..”( Nyali, hlm.47). “Kropos yang memimpin gerombolan itu tahu betul bagaimana cara membasmi, 9 mengibul, dan menghabiskan tanpa perlawanan. Tong-Tong rontok dan habis tepat ketika cahaya merah mengapur langit (Nyali hlm: 32). “Berbulan-bulan bendera setengah tiang dikibarkan seluruh kerajaan. Duka itu mengerak. Bagai pita panjang, ia melilit, makin hari makin tebal. Sebuah bendera yang ada di depan istana dibiarkan berkibar sampai robek. Angin yang meniup menggelepargelepar seperti hendak menerjang air (Nyali:80). Nyali dalam Perspektif Ricoeur 1. Kritik Ideologi adalah kritik terhadap keyakinan dan ilusi penafsiran penulis yaitu semacam pemurnian terhadap pemahamanNyali. Kisah Nyali berpusat pada Kropos dan Jendral Leonel dan Baginda Raja yang mengungkap wilayah publik kekejaman yang terstruktur. Dari teks ditemukan tokoh Kropos dominan sebagai tokoh utama. Artinya dari analisis narasi dan struktural hanya memberi potensi pada sesuatu yang lebih dominan dan kurang mementingkan tokoh-tokoh yang tersembunyi misalnya Kolonel Krozy, Kolonel Tir-Tir, yang muncul hanya sebagai korban, meskipun mereka mendukung tokoh Kropos. Dua tokoh ini muncul hanya sebentar padahal mewakili tentara yang loyal pada negara dan bangsa (mereka di cenderung berada dipinggiran saja). Hanya dengan analisis narasi dan struktural penulis tidak dapat memperoleh pengetahuan tentang peran tokoh tentara yang tersembunyi. Dengan kritik ideologi penulis sebagai penafsir melakukan dekonstruksi dengan tujuan menunjukkan adanya pemahaman baru pada diri penulis sebagai penafsir’ 2. Dekonstruksi: membongkar pemahaman penulis sebagai penafsir,tentang kepentingan, tujuan dan motivasi penulis menuju pemahaman dan motivasi baru setelah melakukan analisis dan melokalisir permasalahan. Pengetahuan tentang ketentaraan yang berhubungan dengan kekerasan simbolik adalah perlunya transparansi dan keterbukaan serta ketulusan pada wilayah publik, terutama masalah-masalah kekerasan simbolik pada dunia tentara yang harus diangkat dan dikaji secara terbuka. Dari tokoh Kolonel Krozy dan Kolonel Tir-Tir terungkap bahwa tentara yang baik menjadi korban atau dikorbankan dan menjadi tumbal bahkan mereka sendiri tidak menyangka bahwa mereka dibohongi atasannya. Dengan dekonstruksi dapat dimunculkan dalam Nyali adalah ungkapan yang khas Nasionalisme dengan membuka sebanyak mungkin potensi civil society dan tidak dimonopoli oleh negara. 3. Analogi permainan adalah pengambilan jarak yang positif. Permainan merupakan bentuk jarak terhadap kehidupan yang terlalu formal. Dalam permainan seseorang dibebaskan dari ketakutan terhadap norma sosial dan sangsi-sangsinya dari keseriusan hidup formal. Kebebasan merupakan tanah yang subur bagi kreativitas. Kreativitas ini yang penafsir pilih yaitu PointBlank yang dimainkan Game On Line anak- anak seluruh dunia. Mereka bisa mengeser-geser pilihan. Apakah semangat Nasionalisme hanya dipunyai institusi pemerintah? Dalam Game On Line itu terdapat dua karakter yang sama-sama mengusung semangat Nasionalisme yaitu tim CT Force dan Free Rebels. Karakteristik CT Force adalah membasmi terorisme dari pemerintah. Tokoh-tokohnya Leopard, Acid Paul, Keen Eyes, Hide sedangkan Free Rebels juga punya alasan sendiri mengapa memberontak kepada pemerintah,karena mereka sebagai imigran selalu didiskriminasi oleh pemerintah. Tokohnya misalnya Red Buls, Tarantula, D Fox, Viper Red. Dari sini dapat dinyatakan bahwa nasionalisme tidak hanya milik negara akan tetapi yang dicap pemberontak juga mengusung nasionalisme atas nama imigran. 10 Karya sastra dapat mencerna lebih tajam dari sebuah peristiwa kekerasan yang pernah terjadi, dan dapat mengungkap kekerasan simbolik lewat tokoh-tokohnya. Karya sastra dipahami tidak lagi pengarang sebagai sumber makna, akan tetapi penafsir sebagai sumber makna. Namun demikian penafsir tidak sekedar menafsir secara sembarangan, penafsiran yang dituntun melalui teksnya. Hasil pembacaan pada Nyali memberi tawaran dalam mencari tanggung jawab kehidupan, mencari jatidiri dalam menghadapi hidup sebagai individu dan hidup sebagai anggota masyarakat. Memahami kekerasan simbolik yang tidak disadari telah diterima oleh individu dan merevisinya dengan berpikir untuk kemaslahatan masyarakat. Nyali karya Putu Wijaya dapat menjadi salah satu refleksi filosofis politik untuk merenung dan bertindak mewujudkan Nasionalisme dan civil society. Nyali bermanfaat dan memperkaya ilmu politik dengan cara pemahaman diri terutama dalam dunia ketentaraan yang harus selalu memikirkan kepentingan kebangsaan bukan sekedar kepentingan kelompok. Simpulan Dari hasil refleksi filosofis dalam pemahaman penulis, Nyali membuat penulis berpikir bahwa cara pikir militerisme/ketentaraan secara tidak sadar telah dihayati sehari-hari oleh masyarakat, terbukti dari praktik mulai dari kehidupan RT, RW, sampai kelurahan. Tidak hanya itu, adanya praktek Hansip/Satpam di segala bidang, polisi tidur. Selain itu kalau mau menjadi PNS harus dilatih dengan kemiliteran/ketentaraan, membuktikan bahwa latihan tersebut diperkirakan untuk meningkatkan semangat loyalitas. Pendekatan kemiliteran ini masih dirasakan sampai sekarang, yaitu sistem tingkatan, menurut hemat penulis hal ini adalah wujud dari ketidakpercayaan pada orang lain atau menganggap sepele orang lain. Pengabaian sistem nilai yang ada di masyarakat terus berjalan. Semoga hal ini bukan semata kekuasaan demi kekuasaan yang menyebabkan orang yang tak berdaya semakin tidak punya daya. Daftar Rujukan Bourdieu, Pierre.2010. Dominasi Maskulin. Yogyakarta: Jala Sutra. ______________1994. Practical Reason On The Teory of Action. California: Stanford Press University. Colombijn, Freek and Thomas Lindblat. 2002. Root Violence in Indonesia. Leiden: KITLV Haryatmoko.2007. Etika Komunikasi. Yogyakarta: Kanisius. __________2013.”Pelatihan Analisis Wacana Hermeneutika Paul Ricoeur”, tgl 23 Mei 2013 diadakan UK2JT FIB Unair. Greimas, AJ. 1983. Structural Semantic An Attemp at a Method. London: University of Nebrasca. Harker, Richard, Cheelen Mahar dkk. 2009. (Habitux Modal) +Ranah= Praktik Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Jala Sutra. Ricoeur , Paul.1984. Time and Narrative Vol I ( translated by Kathleen Blamey and David Pellauer).Chicago and London: The University of Chicago Press. Ricoeur Paul.2009. Hermeneutika Ilmu Sosial (terj). Yogyakarta: Kreasi Wacana Riyanto, Armada.2011. Berfilsafat Politik. Yogyakarta:Kanisius Wijaya,Putu. 1983. Nyali. Jakarta: PT Balai Pustaka 11 VEHICLE SHIFT OF THE NORTHERN COAST OF CENTRAL JAVANESE LITERATURE IN SONG LYRICS Agus Nuryatin and Muhamad Burhanudin (Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang – Indonesia) Abstract: Vehicle shift of the Northern Coast of Central Javanese literature is as an effort for the readers to accept the effect of literature communication about Coast classic literature material, so that a Coast literature can be appreciated widely. This paper is expected to give contribution in an effort of tangent point search between the Coast literatures as a local literature to be song lyrics as a global culture. The implementation of vehicle shift as a dialogue form between local classic literatures and song lyrics can add insights of local form of globalizing. The material object of this paper is Coast classic literature in the form of poem written using Arabic-Javanese letter (pegon) to be vehicle shifted into song lyrics, so that it is needed in advance a study of Philology that includes manuscripts, texts, and text editing towards the Coast literature. The vehicle shift of literature, especially poetry into song lyrics, is expected to gain positive appreciation. It is because song lyrics have a big enough place in the society. The vehicle shift of Coast literature in song lyrics will simplify the effect of literary communication generation to generation. Introduction Large number of past literary works or classic literatures need creative innovations to bring the literature close to the lover or the society itself. The vehicle shift is as an instrument for opening literature to the other form of art passes by textual limit in the beginning. Nowadays, literature has passed by its textual limit. Literature does not only appear textually in poetry, prose, or drama. Enjoying literary works in present time can be done not only by reading text, but also scrutinizing song lyrics, seeing films and literature performances on stage. The vehicle shift of literature does not only present as a bond of aesthetic communication, but also as a mark that literature has a potential in developing creative industry. The appearance of poetry musical album or poetry songs is as a mark that literature world strives to new industry world. In the past time, economy of literature is determined by a number of copies of the printed book, but now song albums which are based on poetry lyrics also become a benchmark of the economic in literature. This phenomenon also occurs on the development and transformation of the Northern Coast of Central Javanese literature. The development of Javanese literature according to Pigeaud (1967:4-7) can be classified into four parts: (1) Hindu era took place in the 9th – 15th century; (2) Java-Bali era took place in the 16th – 19th century; (3) Coast era took place in the 15th – 19th century. In this era, the activities of literature move to coastal towns which are the trade central and spreading of Islam; (4) Surakarta and Yogyakarta era took place in the 18th – 20th century. In the Coast era, literature writing with Arabic script Pegon based on Malay Arabic letter developed. The activities of Coast literature in Central Java began in the region of Demak, Jepara Kudu, Pati, and Rembang. These towns are the place where Javanese Muslim communities began to be formed. From these towns, the activities of 12 Coast literature spread to Cirebon and Banten in West Java, and Sumenep and Bangkalan in Madula Island. In fact, the influence of Coast literature was not limited in Java Island only. Because of the high mobility of traders and Islam religion spreaders, the activities also spread out of Java, like Palembang, Lampung, Banjarmasin, and Lombok. In the 18th – 19th century, with the shifting of central of Javanese culture to Surakarta and Yogyakarta Palace, the activities of Coast literature writing also developed in the region of Surakarta and Yogyakarta, and also another surrounding places like Banyumas, Kedu, Madiun, and Kediri (Pigeaund 1967:6-7). One of the works of Coast of Central Java that is the widest spread area is Syiir (poem). Source of poem Coast literature is Arabic, Persian, and Malay literature. Indonesia language also began to borrow from Arabic and Persian vocabularies, especially those which are related to the concept of religion. This paper will be concerned on a discussion of poem and its vehicle shift in song lyrics. Poems that developed in Central Java, more or less, reflected the general tendency of Coast literature of Central Java in poetry patterns that have big influence towards spiritual life of the Central Java society. The other reason which supports this paper is because the study of development and transformation of Coast literary works is still very few, whereas the influence of Coast literary works is not little towards the culture of Central Java society. The influence includes in some fields like metaphysics, cosmology, ethic, psychology, and aesthetics. Vehicle Shift The use of text in a song is called lyric. The term of song lyric is found in Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:528), which means as a sung poetry work. William Russo (1988:154), said that words used in a song usually is called as text. In popular music, words used in a song is called lyrics. It is the same as what Semi said, lyric is short poetry that expresses emotion (1988:106). Thus, diction of lyric and poetry is not far different. Damono (2012:76) said that when a poetry is changed into a song, it will have been as an unbreakable part of composition. The word “composition” affiliates form. Form, in its turn, leads to a definition of structure. In this form and structure, all “determination” and decision of art work engineer that is material (sound, voice, tone, rhythm, harmony, etc.) non-material (dynamic, nature, character, color, sense, etc) is accommodated (Hardjana, 2003:73). Vehicle shift of literature into song lyrics is as an effort of artists to shift messages, ideas, and concepts of poetry into music media, so that it will be possible to have a change and development and to be a new art work. Vehicle is also as a tool to carry or move something from a place to another place. That “Something” can be in forms of concept, instruction, feeling, or even just milieu (Damono, 2012:1). The process of vehicle shift of poetry means a shift of method in working a poetry into existed rules of music so that poetry must obey thoroughly to the new vehicle in the form of song lyric rules. Transformation of literature, especially poetry in song, is usually called as change processes. In its processes, it can be through shrinkage, increment (expansion), and change with some variation. The study of vehicle shift demands a willing to think multi-dimensionally because this study operates in at least two different field, or even more. The object of this study is a form of vehicle shift from two different fields. They are poetry and music field. This paper will discuss about the relation of poem vehicle shift and song lyrics, which is poem as Coast Javanese poetry and the text will not be discussed in detail like 13 an analysis of sound, rhyme, and diction. However, it will be limited by an analysis of phrase, theme, and content of the poetry. Song lyric that is changed from Javanese poetry in the form of poem by constructing the melody and harmony is expected to reflect the character or meaning of it, so that the poem can be understood easily by the listener. Poem as Javanese Poetry A literary work cannot be separated from the influence of supporter society, as Janet Wolff (1981:1) said, art is a social product. Art and society is a unity that supports each other and cannot be separated. A literary work reflects the culture of society. It is the same in poem as a Javanese poetry which is as a social product. Poems written in Javanese developed in Muslim student in the society of Java and was as manifestation from Javanese poetry influenced by Arabic-Islam (Muzakka, 2002:39). Poem (singir) or Syiiran leads more to a definition of nazham in Javanese language. Poem suits with nazham that is a sentence arranged on a regular basis and ending with rhyme (Mustofa Bisri in Hamidi, 2005:4). Based on a number of lines in each verse, poem consists of two lines of each verse (matsnawi). It is as reflected in the following Poem entitled Érang-Érang Sekar panjang Suwarga ora bakal kelebonan wong kang tuwa wong kang manggon suwarga umuré setengah tuwa Ngumuré lanang wadon iku kabèh padha-padha kira telung puluh tahun punjul telu tuwin lima Senajan goné mati iku uwis kaki-kaki utawa gone mati iku uwis nini-nini Caloné lanang wadon iku kabèh disanglingi rupa bagus rupa ayu hingga ngasi amanglingi Sakwusé salin rupa banjur ora owah-owah kulitané kuning gadhing alus resik belingah-belingah (Siraj, Juz 3 :10) Poem is always sung in its presentation with certain rhyme. Poem is usually given an introduction of gratitude to Prophet Muhammad SAW. Some of gratitude which are as an introduction of Poem are, 1. 2. 3. 4. 5. 6. Shalatullah salamullahi 'ala Thaha Rasulillah Shalatullah salamullahi 'ala Yasin Habibillah Tawassalna bibismillah Wabilhadi Rasulillah Wakulli mujahidi, mujahidi lillah Biahlil badri ya Allah Allah humma salli wasalim ‘Alaa syayyidina wamaulana muhammadin ‘adadmma bi’ismilla hi shalatan daimatan bi dawami mulkilahi Ilaa hilas tulir firdaus fii ahlaa Walal akhwaa ‘alan naril jahiimi Wa hablidau watarwafir dhunubi wainakahau birundafil ‘adhimi Yaa Rasulullah Salamun ‘alaik Yaa rofi’ ‘asya niwaddaroji Affatayyaji rotal ‘alami Ya uhailaljuudi wal karomi Shalli wasalim daaiman alahmadaa Wal aali wal as-haa biman qodwahadaa Laailaahaillallah almalikul khaqqul mubin Muhammadurrasulullah shadikul waqdil amin. 14 Poem has differences with another Javanese poetry like tembang, macapat, geguritan, and parikan. Tembang macapat is bound with guru lagu rules (final sound benchmark), guru wilangan (a number of syllables of each line) a number of gatra (lines of rhyme), and also has to consider purwakanti guru swara (equation of sound or rhyme), and purwakanti guru sastra (equation of consonants or frame of rhyme), that kind of condition is not found in a poem although the bonds of a number of syllables, rhymes, and lines of each verse bind them. Tembang macapat and poem are also different in terms of language and material. Tembang macapat is influenced by Sanskrit and the color of Hindu-Buddha which still appears in song, while poem tends to be colored by Arabic-Islam. Individual expression of poems do not appear because poems express a story or religion lessons which its expression is more collective. Public’s Response to Poem Poem as a literary work of Islamic school has a function of teaching medium or Islamic religion education medium. It is a function of literary work as Horatius said, Dulce et utile, entertaining and useful (Teeuw, 1983:183). Muzakka in his research about poem, found three main function of poem. They are entertain function, education and teaching function, and spiritual function. Entertain function appears because the presence of poem in literature treasure is always sung whether with certain music accompaniment or not. Education and teaching function appears because singir expresses didactic values, i.e. Islamic values education and complex knowledge of Islam. Spiritual function appears because some of singir is treated only as servitude to God. The most prominent function for the proponents between those function is as education and teaching function medium (Muzakka, 2006:97-98). It suggests that literary works have to be understood with its cultural social context as an aesthetic function that is not separated with its social function (Teeuw, 1984:183). Thus, poem as developing in its community that is Muslim society in Central Java is literary works that function socially as communication vehicle and socialization of Islamic values all at once. Poem is often sung together by Javanese society in its presentation at mosque in waiting prayer time between azan (call to pray) and iqomah. Poem is also used by kiai (title for venerated scholar in Islam) and mubaligh (preacher) in recitation of the Quran and tabligh (religious meeting) by singing it. Poem is loved and acceptable by the society because of the beautiful and simple language, and can be sung with famous tone among the religious society. Vehicle Shift of Poem in Song lyrics Poem as a poetry has a possibility to be vehicle-shifted into song lyrics. This can be possible because poetry is an expression that is musical (Carlyle in Waluyo, 1987:30). The musicality of poetry can be poured into another harmonious form when poetry text is presented with music accompaniment and beautiful and meaningful song lyrics as it should be. Poetry can be strength by melody and rhythm in order to form a song lyric. Song lyrics have form of physical and spiritual structure as poetry. Song lyric is an expression of one from his/her inner mind which can be seen, listened, happened, or even imagined as poetry. However, song lyrics have special features compared with poetry because its ideas molding is strength with melody and rhythm suit with the lyrics of the song. Pasaribu (1986:11) said that elements of music can be stated as the 15 strengthener of song lyrics and medium to give a certain atmosphere towards existing words so that it can be said that song lyrics is bound with its instrument of music. Basically, poem as coastal literature can be vehicle-shifted into song lyrics. The following are some examples of vehicle shifts of coastal literature in song lyrics. Song lyric Tombo Ati as follow. Tombo Ati Tombo ati iku limo perkarane kaping pisan moco Qur'an lan maknane kaping pindo Sholat wengi lakonono kaping telu wong kang sholeh kumpulono kaping papat kudu weteng engkang luwe kaping limo dzikir wengi engkang suwe salah sakwijine sopo biso ngelakoni mugi-mugi Gusti Allah nyembadani Song lyric Obat Hati is a vehicle shift from coastal literature text as follow. Bab Tambané Larané Ati Pada sira nambanana ing larané atiira Larané ati iku sebab goné demen dunya Lamun ora ditambani lawas-lawas dadi mati Nèk wis mati ora gelem jak ‘ibadah maring Gusti Tambané ati lara iku lima perkarané Ingkang dhihin seka lima maca Qur’an karo dirasa Kaping pindho kudu melèk zikir wengi ingkang suwé Kaping telu kudu salat tahajud ingkang suwé Kaping pat seka lima angothongi wetengira Kaping lima kudu sira angumpuli para ‘ulama Lamun sira wus ngelakoni perkara ingkang lelima Gusti Allah paring waras ing larané atiira Mesthi sira anglakoni salah siji saka lima bok menawa Gusti Allah paring suda laranira ( Siraj, Juz 1 :22-23) In the above poem Tambane Larane Ati, it is begun with an advice Pada sira nambanana ing larane atinira, it is explained the cause of this heart disease that Larane ati iku nggone demen donya Larane ati iku nggone demen donya, the impact that will be gained if the heart disease is not cured is Lamun ora ditambani lawas-lawas dadi mati / Nek wis mati ora gelem jak ngibadah maring Gusti, it describes about five rituals of the heart disease medicineand ends with hope and prayers. To gain the musical aspects in song lyric Obat Hati that is presented in description, there are five rituals that must be done in curing heart disease and it ends with hope and prayers. Based on the theme, there is a change of the spiritual structure in Obate Larane Ati, which is in the beginning highlighted in the impacts caused if one gets heart disease Lamun ora ditambani lawas-lawas dadi mai / Nek wis mati ora gelem jak ngibadah maring Gusti, five rituals are media to cure heart disease, whereas the five rituals are main points in the song lyrics Obat Hati. Spiritual structure of poem Bab Tambane Larane Ati that is highlighted in the song lyrics Obat Hati is showed with the mention of five matters of heart disease, i.e. 16 (1) reading the Quran and its meaning; (2) doing night zikir (repeatedly chant part of the confession of faith), (3) praying at night, (4) more fasting, and (5) gathering with pious people. The order of the mention of the outer structure Obat Hati is created differently with poem text Bab Tambane Larane Ati. It is done to reach the musical effect that is rhyme and rhythm. The order of song lyric Obat Hati is; reading the Quran, praying at night, gathering with pious people, more fasting, and doing zikir at night. On the other hand, the order of poem Bab Tambane Larane Ati is reading the Quran by sensing its meaning, doing zikir at night, tahajud praying, fasting, and gathering with mufti (pious people). The differences of formal form between Bab Obate Larane Ati and Obat Hati cause by the need of tone suitability aspect and enough intensity, but the theme is still the same. Poem can also be vehicle-shifted in a song lyric Eling Eling by singing it in some music genres like campursari, dangdut, and qasidah. The song lyric Eling-Eling is as follow. Eling-Eling Eling eling sira menungso ngelinana anggonmu sholat ngaji pupung durung katekanan Malaikat juru pati panggilane kang Maha Kuasa gelem ora kudu digawa disalini sandang putih yen wis budal ora bisa mulih tunggangane kereta jawa roda papat rupa manungsa jujugane omah guwa tanpa bantal tanpa kelasa omahe ra ono lawange turu ijen ra ana kancane ditutupi anjang-anjang diurugi siram kembang tongga-tongga padha nyambat tangise kaya wong nembang yen ngaji arang-arang pertanda imane kurang. The song lyric Eling-Eling is one of vehicle shift forms from coastal literature entitled Syiir Erang-erang Sekar Panjang bab banget Bungah ana donya and bab Eling Pati as follow. Bab Banget Bungah ana Dunya Aja sira banget banget gonmu bungah ana dunya Malaikat juru pati ngelirak-ngelirik maring sira Olé ngelirik Malaikat arep jabut nyawanira goné jabut angenténi dhawuhé Kang Maha Mulya Sakwusé didhawuhi banjur tandang karo kondha aku iki ming sakderma kowé ora kena semaya (Siraj, Juz 1 : 2 ) Iling-iling sira manungsa kabèh iku bakal mati pumpung durung sira iku katekanan maring pati 17 Rasané pecat nyawa luwih bangét laranira katimbang kabesèté sekabéhé kulitira Ora ana penawaré sakliyané taatira aja pisan sira lali maring salat férdhuira Rasané wong ana kubur luwih lara luwih susah nek wis tangi penelangsané luwih banget karo gersah Ngadekira ana kubur ana patang puluh warsi tanpa pangan tanpa ngumbé ora ana kang melasi (Siraj, Juz 1 :5 ) In the process of vehicle shift into Eling-Eling song, spiritual structure of religion lessons of poem Bab Banget Bungah Ana Donya Dan Bab Eling Pati must be maintained. The spiritual structure is in the form of lesson to remember because death must come to every human. The poem and song remind humans to always do the command of God (prayer and read the Quran) because those who live must be dead. It is portrayed that if God has commanded an angel to take a human’s live, he/she must be dead anyway. In Islamic lessons, there is a guidance to take care of the body of dead people (bathe, shroud, pray, and bury). If the body has been bathed and shrouded disalini sandang putih, then it should be prayed and entered to a coffin tunggangane kereta jawa / roda papat rupa manungsa, after that there will be a ceremony pamitan jenazah then it is carried into a grave to be buried jujugane omah guwa / tanpa bantal tanpa kelasa. Bab Banget Bungah Ana Donya portrays a task of angel of death clearly. When there is already a command of God to take one’s life then the angel will do the task immediately, and the human will not be able to bargain. Property of world will not be valued when someone has been passed away. Eling-Eling song is in line with, continues, and highlights the lesson in Syiir Bab Banget Bungah Ana Donya Dan Syiir Bab Eling Pati. The religious lesson of the song is that humans have to prepare provision of good deeds after death. The provision of life after death is in the form of loyalty to do the commands of God, i.e. prayer and read the Quran (ngaji). Human that has been died will be through suffering and agony if he/she do not supply faith and deeds in all his/her life. Summary Vehicle shift is as one of alternative offers to simplify and expanse the society to accept the effect of literary communication, especially the Northern Coast of Central Javanese classic literature. Effort to preserve and increase appreciation of coastal literature must be encouraged because of the minimum of literature observers who gather to research coastal literature. Coast literature especially in the form of poem, develop in the proponent society. The other thing that matters most is coast classic literature written in Arabic-Javanese (pegon) letter has not yet been invented well and still scatters among the society. Therefore, it is needed Philology work to solve the problems. Conservation of coast literature can be done through inventory, description, innovation, or vehicle shift literary works of coast into another form of works suit to the era, so that past literature is still appreciated by the now generation. 18 References Damono, Sapardi Djoko. 2012. Alih Wahana. Jakarta: Editum Hamidi, Jasim. Asyhari Abta. 2005. Syiiran Kiai-Kiai. Yogyakarta: Pustaka Pesantren Hardjana, Suka. 2003. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Muzakka, Muh. 2006. ”Puisi Jawa Sebagai Media Pembelajaran Alternatif di Pesantren: Kajian Fungsi terhadap Puisi Singir” Jurnal Alayasastra. Vol.2. Desember 2006. Pasaribu, Amir. 1982. Analisis Musik Indonesia. Jakarta: Pantja Simpati Pegeaud, T. H. 1967. Literature of Java, Vol. I. Leiden: Martinus Nijohoff. Russo, William. 1988. Composing Music. Chicago: The University of Chicago Press Semi , Atar. 1988. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Waluyo, Herman. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga Wolff, Janet. 1981. The Social Production of Art. New York : St. Martin s Press, Inc 19 PUITIKA POSTMODERNISME DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA Ahmad Supena (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten – Indonesia) Abstrak: Berbagai pola repertoar strategi-strategi pengedepanan sifat ontologis pun ditemukan. Pluralitas ontologis inilah yang disebut dengan sastra puitika postmodernisme. Adapun latar belakang masalah yang didalami menyangkut repertoar strategi pengedepanan sifat ontologis puitika postmodernisme. Data primer penelitian ini adalah novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma yang diterbitkan PT Bentang Pustaka 2006 di Yogyakarta berjumlah 524 halaman. Dalam novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma, terdapat pluralitas ontologisme yang dikelompokkan ke dalam beberapa kategori di antaranya, yaitu (1) dunia-dunia, (2) konstruksi, (3) kata-kata, dan (4) pendasaran. Cerita dalam novel KOK tahun 2006 ternyata meresepsi dari cerita Ramayana. Pengarang dalam konteks pembicara mengenai tokoh-tokoh dalam pencarian pengarang bukan menunjuk pada pengarang novel tersebut, yaitu SGA, yang diakhiri novel tersebut mengidentifikasi dirinya sebagai Togog. Kata Kunci: Repertoar Strategi Pengedepanan, Ontologis, Puitika Postmodernisme, Pluralitas Pengantar Postmodernisme petama kali muncul ke permukaan di dunia Latin tahun 1930an, satu generasi sebelum kemunculannya di Inggris atau Amerika. Adalah seorang teman dari Unamuno dan Ortega, Federico de Onis, yang mengedepankan istilah postmodernismo. Ia memakainya untuk menggambarkan pengaliran kembali konservatif (conservative reflux) dalam modernism itu sendiri: sebuah aliran yang mencari pelarian dari tangan lirik (lyrical challenge) yang berat dalam sebuah perfeksionisme yang detail dan humor ironis yang mati, yang keistimewaan paling orisinil pada pengungkapan kepada perempuan. Dilanjutkan oleh Toynbee yang menerbitkan A Study of History dalam jilid ke-8 terbit tahun 1954 memberi zaman yang baru terbuka dengan adanya perang Prancis-Prussia (Franco-Prussia War) sebagai era post-modern (Post-modern age) (Anderson, 2008:4-5). Karya fiksi Seno Gumira Ajidarma (SGA) telah dijadikan sumber kajian oleh banyak akademisi. Faruk kerap menulis tentang postmodernisme di Indonesia, bagaimana SGA mempertanyakan ide tentang stabilitas tekstual. Menurut Faruk ada sifat sadar diri dalam teks-teks SGA yang merupakan ciri-ciri paling khusus, Faruk memberi contoh “pelajaran Mengarang” untuk menunjukkan di mana SGA menjelajahi perbedaan antara realitas dan representasinya. Cerita SGA menunjukkan bahwa teks bukan sebuah alat netral yang kedudukannya lebih rendah daripada kekuatan yang ada di luar dirinya, apakah itu menjadi tuntutan subjektif dari pengarangnya atau tuntutan objektif yang ada di luar teks subjektivitas sang pengarang. Faruk juga memberikan kesan kekuatan subversif dari pertanyaan SGA terhadap kemampuan teks untuk merepresentasikan realitas. Karya Seno Gumira Ajidarma merupakan penulis yang kuat dalam kecenderungan demikian (postmodernisme), mencoba menerobos batas antara 20 sastra dengan jurnalisme, sastra dengan komik, sastra dengan pengetahuan ilmiah, dan sastra dengan legenda atau mitos. Kajian ini akan mengungkap puitika postmodernisme dalam Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma (Selanjutnya disingkat SGA) dengan menggunakan pembacaan dunia-dunia yang diungkapkan oleh McHale yaitu, duniadunia dan kata-kata yang pada akhirnya membentuk semesta novel Kitab Omong Kosong (Selanjutnya disingkat KOK). Keberhasilan pengungkapan puitika postmodernisme ini akan memberikan andil dalam perkembangan ilmu sastra. Di samping menyingkap hubungan kenyataan fakta dan fiksi, hasil kajian ini juga diharapkan menjadi model pendekatan pemahaman terhadap karya sastra, khususnya karya yang memanfaatkan fakta puitika postmodernisme. Kerangka Teori Poetics merupakan seni mengarang atau komposisi puisi secara umum dan bagian-bagian kecilnya (spesies) yang bervariasi, fungsi dan pengaruh masing-masing bagian itu: bagaimana plot semestinya disusun jika karangan itu akan berupa hasil artistik; berapa banyak elemen komponen lain yang diikutkan dalam prosa ini, dan elemen komponen macam apa dan seluruh pertanyaan lain yang serupa yang berbeda pada cabang penyelidikan yang sama. Hal ini merupakan masalah-masalah yang akan dibahas mulai dengan cara yang benar dan alami, dengan prinsip-prinsip dasar: komposisi epik, penulisan tragedi, dan juga penulisan komedi; kesemuanya ini berada dalam titik kenyataan juga proses-proses imitative (Aristotles Poetics, 2003:25). Selain Jakobson dan Todorov ahli yang membicarakan mengenai puitika yaitu Benjamin Hrushovski. Menurut Hrushovski (Rimmon-Kenan, 1983:2) puitika adalah: Uraian di atas menunjukkan bahwa berkenaan dengan pengertian puitika, uraian yang dikemukakan oleh Hrushovski mampu mencakup pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh ahli-ahli lain. McHale menyebutkan bahwa dominan pada fiksi-fiksi Modern bersifat epistemologis. Artinya, fiksi Modernis menggunakan strategi yang mengemukakan persoalan-persoalan ‘Bagaimana aku menginterpretasi dunia ini? Apakah aku di dalam dunia ini?’. Teks modernis mengedepankan tema-tema epistemologis seperti aksesibilitas pengetahuan dan masalah ke-‘takterpaham’-kan. Dalam fiksi postmodernis, dominan tersebut bergeser menjadi ontologis, yaitu dari masalah-masalah cara mengetahui menjadi cara keberadaan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah ‘Dunia macam apakah ini? Apa yang harus dilakukan di dalamnya? Bagian manakah dari diriku yang terhubung dengannya?’. Pertanyaan lain yang menyertai persoalan ontologis ini misalnya ‘apakah yang dimaksud dengan ‘dunia’ itu? Ada dunia macam apa saja, bagaimana dunia-dunia itu terbentuk, dan di manakah perbedaannya? Bagaimana jika dunia-dunia yang beraneka itu dikonfrontasikan, dan batasan setiap dunia dihancurkan?’ (McHale, 1987:10). Dari strategi-strategi pengedepanan fiksi bersifat epistemologi maupun fiksi bersifat ontologis, McHale mengelompokkan ke dalam empat katogori besar, yaitu (1) dunia-dunia, (2) konstruksi, (3) kata-kata, dan (4) pendasaran. Kategori “dunia-dunia” mengedepankan sifat ontologis yang berwujud berbagai macam zona, berbagai macam pola persinggungan antara dunia fiksi postmodern dengan dunia fiksi ilmiah, persinggungan antara dunia fiksi postmodern dengan dunia fiksi fantastik, dan persinggungan antara dunia fiksi postmodern dengan fakta sejarah. Kategori “konstruksi” mengedepankan sifat ontologis dalam wujud dunia di bawah penghapusan dan dunia kotak cinta. Kategori “kata-kata” mengedepankan sifat ontologis dalam dunia 21 kiasan, dunia digayakan dan dunia wacana. Sedangkan kategori “pendasaran” mengedepankan sifat ontologis dalam dunia di atas kertas dan dunia pengarang. Alur skema analisisnya: Karya Sastra Kitab Omong Kosong Ket: Teori Ontologis Sastra Brian Mchale pembacaan Repertoar Strategi-strategi Pengedepanan Ontologis Puitika Postmodernisme Dunia-dunia Konstruksi KOK Persinggungan dengan sejarah, Zona Interteks KOK Dunia Penghapusan KOK, dunia kotak cina KOK Kata - kata Pendasaran Dunia kiasan KOK, wacana KOK Dunia di atas kertas KOK, dunia pengarang KOK : pembacaan terstruktur. : pembacaan bolak-balik. Pembahasan Dunia-dunia Dalam kategori ini dideskripsikan repertoar strategi pengedepanan sifat ontologis di dalam novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma (SGA) yang berkenaan dengan munculnya ruang-ruang baru atau strategi yang mempersinggungkan ruang yang satu dengan ruang lain yang datang dari semesta yang berbeda. Dalam hal ini meliputi strategi penyisipan, strategi pembangunan zona intertektualitas dan strategi fiksi postmodernis dengan fiksi fantasi. 1. Strategi Penyisipan Kata ‘suluk’ berasal dari bahasa Arab ‘salaka’. Dalam pendalangan disebut ‘suluk pedalangan’. Suluk berfungsi untuk membentuk suasana yang diceritakan jadi termasuk aspek suasana dalam unsur latar (setting) dalam dramaturgi (Satoto, 2012:151). Suluk pedalangan itu dibagi ke dalam lima macam: (1). suluk Jugag, yaitu suluk yang diringkas, (2). Ada-ada, yaitu suluk yang garang, (3). Ada-ada greget-saut, yaitu suluk yang garang atau sereng sekali, (4). Sendho, yaitu suluk yang kendor, tidak tegang, tenang, guyon atau humor, (5). Sendhonan (sesendhonan), yaitu lagu-lagu macapat atau lagu-lagu permainan. Misalnya: Dhandanggula, Pucung, Gambangsuling, Witingklapa, dan sebagainya. 22 Menggambarkan permulaan cerita atau suasana dalam KOK, Nampak permulaan cerita sudah dibangun dengan suluk diringkas dan terekam garang apabila didengarkan nadanya. Angin padang yang meronta, o Membawa bau darah nan amis Rintihan tangis seribu janda Anak sungai tersiram gerimis Malam yang kelam, Malam yang terlalu hitam, o! (Ajidarma, 2006:13). Dari penggambaran dunia suluk di atas tergambar strategi pengedepanan sifat ontologis puitika postmodernisme dalam novel Kitab Omong Kosong karya SGA. 2. Strategi Intertekstual Kadangkala penggunaan sarana retour de personnages tersebut justru menunjang realisme dan yang dominan pun sifat epistemologisnya. Hal ini terlihat misalnya dalam teks-teks ditulis oleh pengarang yang sama atau berbeda. Di dalamnya terdapat tokohtokoh yang sama dan kesamaan tokoh tersebut dari teks yang satu ke teks lainnya bersifat stabil dan tidak disertai dengan pelanggaran batas. Kestabilan tokoh tersebut menunjukkan kereliabelannya dan dengan demikian membuat pembaca dengan mudah untuk mengaksesnya (McHale, 2004:57). Rama yang nama lengkapnya Ramawijaya adalah tokoh sentral dalam kisah Ramayana yang dipuja-puja sebagai Ratu adil. Rama terlahir sebagai putra sulung Prabu Dasarata dari negeri Ayodya dan titisan Batara Wisnu. Sejak kecil Rama telah dilatih keterampilan memanah dan berbagai ilmu kanuragan di bawah asuhan pertapa sakti Begawan Wasista. Pada diri rama memancar sepasang mata seperti bianglala. Dari kedua biji matanya itu bersinar isi hatinya yang penuh kebijaksanaan Batara Wisnu. Gambaran Rama di atas juga tergambar dalam: Rama merebut hati ayahnya dengan segala tindak tanduk kebangsawanannya dan ketaatannya kepada dharma. Muni itu tak pernah puas minum dari lautan kualitas Rama. Ia melukiskan bakat dan daya tarik Rama kadang secara langsung, kadang sebagaimana dilihat dan dikagumi oleh oarng lain; demikianlah dalam berbagai cara ia terus menerus memperlihatkan berbagai kualitas yang membuat Rama menjadi manusia ideal (Rajagopalachari, 2007: 64). Cerita Rama ini menjadi latar belakang yang menggambarkan keagungan, kebaikan, kemartabatan dan kebijaksanaan Rama di mana-mana. Rama digambarkan menjadi manusia yang sangat ideal. Dalam keterampilan keprajuridan, berbudi pekerti luhur, menghormati gurunya dan lemah lembut. Rama merupakan penjelmaan dari Dewa Wisnu yang memancarkan cahaya kesucian, memiliki watak kebenaran, tampan dan berbudi luhur serta sopan santun. Berbeda dengan apa yang terdapat dalam Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma. Rama digambarkan menakutkan, penyebar bencana, pembunuh, penakluk dengan kekejaman. Dalam waktu singkat Sri Rama yang sebelumnya begitu harum, berubah menjadi nama yang sangat menakutkan. Pasukan Ayodya membunuh orang-orang yang sudah menyerah, tetap dibunuh tanpa ampun sehingga pantai itu penuh dengan mayat bergelimpangan (Ajidarma, 2006: 11). Demikian nama Rama berubah menjadi sangat menakutkan. Pasukan Rama membunuh banyak orang yang tidak berdosa, sehingga mayat-mayat bergelimpangan 23 dimana-mana. Bukan hanya orang-orang yang dibunuh tanpa dosa, namun pasukan Rama telah memorak porandakan peradaban dan pusat-pusat kebudayaan dimusnahkan. Segala hujan dan kutukan tidak mereka perdulikan. Dalam teks diatas memang terjadi intertekstualitas tentang cerita Rama, cerita yang pertama menggambarkan segala macam perilaku Rama yang baik, berwibawa, dan berbudi. Sedangkan pada teks cerita yang kedua yang terdapat dalam KOK menggambarkan Rama sosok yang sadis, pembunuh, pembantai dan perusak kebudayaan dan peradaban. Dari kedua teks tersebut masih dikategorikan interteks. Tetapi intertektualitas di atas dapat dikatakan strategi pengedepanan sifat ontologis puitika postmodernisme. Laksmana merupakan putra ketiga Raja Dasarata yang bertahta di kerajaan Kosala, dengan ibukota Ayodya. Kakak sulungnya bernama Rama, kakak keduanya bernama Bharata, dan adiknya sekaligus kembarannya bernama Satrugna. Diantara saudara-saudaranya, Laksmana memiliki hubungan yang sangat dekat terhadap Rama. Mereka bagaikan duet yang tidak terpisahkan. Ketika Rama menikah dengan Sinta, Laksmana juga menikahi adik Dewi Sinta yang bernama Urmila. Bisa dikatakan bahwa Laksmana selalu berada di sisi Rama dan selalu berbakti kepadanya dalam setiap petualangan Rama dalam Ramayana. Laksmana pun dilatih oleh Begawan Wasista dalam kesaktian, dengan tingkah laku mirip kakaknya yaitu Rama. 3. Persinggungan antara Fiksi Postmodernis dengan Fiksi Fantasi Pandangan dunia mungkin yang melihat bahwa antara teks yang satu dengan teks yang lain bisa saling melintas juga menjadi dasar bagi terjadinya persinggungan antara fiksi postmodernis dengan fiksi fantastik. Hal itu bisa terjadi karena, sebagaimana persinggungan antara fiksi postmodernis dengan fiksi ilmiah, yang dominan pada kedua jenis fiksi tersebut adalah sifat ontologisnya. Kebiasaan Salah satu sikap postmodernis, sebagaimana dikemukakan Wilde (McHale, 2004: 75), adalah penerimaan dunia sebagai pengalaman biasa. Peristiwa ajaib yang menyimpang dari hukum alam merupakan sesuatu yang biasa terjadi dalam fiksi fantastik. Motif dalam fiksi fantastik ini diserap oleh pengarang fiksi postmodernis dan kemudian dijadikan motif fiksi postmodernis. Karena fiksi fantastik itu sendiri bersifat ontologis, di dalamnya terjadi konfrontasi ontologis antara dunia normal, sehari-hari dengan dunia paranormal, supernatural. Para Siluman Siluman-siluman rimba yang tidak kelihatan oleh mata manusia biasa memperhatikan Dewi Sinta tanpa bisa mengerti mereka siluman yang melihat Dewi secantik itu disia-siakan oleh Rama suaminya sendiri. Para siluman yang tidak pernah kelihatan oleh mata biasa dan tidak mungkin terdengar oleh telinga awam membicarakan Dewi Sinta. “Coba lihat manusia perempuan itu, bentuknya semakin lama semakin buruk, lama-lama ia bisa seburuk siluman.” “Huss! Bangsa sendiri kok dihina!” “Aku tidak menghina, siluman memang buruk rupakan? Coba lihat, aku bertanduk, hidung seperti belali, kalau bersuara seperti macan batuk.” “Itu karena kamu melihat siluman dengan mata manusia, kalau dengan mata siluman, kita ini cantik-cantik saja kok!” “Lho, aku ini siluman, jadi aku bicara sebagai siluman!” 24 “Iya, tapi siluman yang sudah terpengaruh manusia!” “Tidak mungkin, manusia tidak bisa melihat siluman!” “Kalau begitu, kamu mestinya melihat manusia itu makhluk lain dong! Makhluk aneh yang berbeda dengan kita!” “Hei dengar siluman goblok! Aku memang siluman, tapi aku mengerti manusia!” “Hahahaha! Mengerti manusia? Apa yang kamu mengerti tentang manusia?” Siluman bertanduk yang hidungnya seperti belali gajah itu menunjuk perempuan yang berjalan tersaruk-saruk. “Manusia adalah makhluk yang kejam,”katanya. “Kamu tahu riwayat manusia perempuan itu?” siluman itu mengangguk. “Coba ceritakan.” “Tidak perlu, kau dengar sendiri saja kata-kata perempuan itu.” Para siluman mendekati perempuan itu, yang sambil merangkak-rangkak mengeluh pelan tertahan-tahan (Ajidarma, 2006:18). Tidak lepas-lepasnya memandang, para siluman terus memperhatikan Dewi Sinta yang terus berjalan di dalam hutan terseok-seok hingga masuk kedalam hutan. Sambil menyebut-nyebut nama dewa-dewa dan mengutuk diri sendiri tentang nasib yang diterimanya. Para siluman terus saja memperhatikan Dewi Sinta. Dunia paranormal juga Nampak dalam cerita di atas siluman yang memiliki hati dan mewujud sebagai manusia tampak dan mirip sekali sebagai manusia tanpa kelamin, ini terjadi persinggungan antara dunia kasat mata dengan dunia biasa yang menimbulkan goyangan ontologis dan mengedepankan sifat ontologis puitika postmodernisme. a. Sapi Benggala Sudah sejak awal dikatakan bahwa Sapi Benggala itu adalah titisan dari Dewi Andini yang dapat berbicara dengan Maneka. Maneka berdiri ketika sapi Benggala itu sampai ke tepian dan menyeberangi jalan, langsung menuju ke tempat Maneka. “Sapi, sudahlah, aku mengerti...” Maneka berkata sembari mengelus kepala sapi itu (Ajidarma, 2006: 373). Sudah tidak dapat diragukan lagi, bahwa ketika Maneka berbicara kepada sapi Benggala itu, sapi tersebut memahami pembicaraan. Kemudian diperkuat dengan kejadian yang membuat masyarakat tertawa. Kemudian ketika pembeli sedang begitu ramai-ramainya sapi Benggala itu muncul dan melenguh dan menggerak-gerakkan ekornya sehingga ketika Satya dan Maneka mengangkut guci-guci madu mereka ke dalam gerobak, maka orang-orang itu menjadi marah. “Apa yang kalian lakukan? Kalian menjadi penjual madu namun ketika ada orang membelinya kalian sengaja pergi?”. “Maaf, Bu, sapi kami mengajak pergi.” “Sapi itu mengajak pergi?’ “Iya.” Orang-orang melihat sapi yang manggut-manggut itu. “Sapi itu?” “Iya.” “He, Kawan-kawan, kata para penjual madu ini, sapi itu mengajak mereka pergi!” “Sapi itu?” “Ya, sapi itu!” “Hahahaha!” “Hahahaha!” “Hahahaha!” “Hahahaha!” “Orang gila!” “Hahahaha!” “Hahahaha!” (Ajidarma, 2006: 505). Gambaran di atas dalam teks KOK tentang Sapi Benggala telah terjadi goyangan ontologis di mana Maneka yang dapat berbicara dengan Sapi Benggala dianggap manusia tidak waras. Padahal memang benar kenyataannya Maneka dapat berbicara dengan Sapi Benggala tersebut. Dalam teks ini terjadi strategi pengedepanan sifat ontologis puitika postmodernisme. 4. Kebanalan Suatu novel yang di dalamnya menampilkan seseorang bicara kepada sapi, bukan hal luar biasa. Namanya saja sastra. tetapi ini bukan satu ciri dari semua sastra. fiksi 25 realis berusaha sejauh mungkin untuk meniru “realitas” di dalamnya sehingga di dalam halaman-halamannya mereproduksi kausalitas, logika dan perkembangan karakter dari “dunia nyata”. Tetapi dalam magic realism dari teks postmodernisme, ide fantastic bahwa seorang manusia bisa bercakap-cakap dengan sapi bisa saja disejajarkan dengan kebanalan hidupnya sehari-hari: Kemudian ketika pembeli sedang begitu ramai-ramainya sapi Benggala itu muncul dan melenguh dan menggerak-gerakkan ekornya sehingga ketika Satya dan Maneka mengangkut guci-guci madu mereka ke dalam gerobak, maka orang-orang itu menjadi marah. “Apa yang kalian lakukan? Kalian menjadi penjual madu namun ketika ada orang membelinya kalian sengaja pergi?”. “Maaf, Bu, sapi kami mengajak pergi.” “Sapi itu mengajak pergi?’ “Iya.” Orang-orang melihat sapi yang manggut-manggut itu. “Sapi itu?” “Iya.” “He, Kawan-kawan, kata para penjual madu ini, sapi itu mengajak mereka pergi!” “Sapi itu?” “Ya, sapi itu!” “Hahahaha!” “Hahahaha!” “Hahahaha!” “Hahahaha!” “Orang gila!” “Hahahaha!” “Hahahaha!” (Ajidarma, 2006: 505). Bagi pembaca, yang paling menantang adalah fakta bahwa, seperti dikatakan oleh McHale (2004:76), tokoh-tokoh itu bosan sekali menghadapi pelanggaran hukum alam yang gila-gilaan. Ini satu ketidakacuhan yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh dalam semua menggambarkan dunia kacau-balau. Konstruksi Dalam kategori ini dideskripsikan repertoar strategi pengedepanan sifat ontologis dalam Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma yang berkenaan dengan munculnya persinggungan antardunia-dunia objek yang diproyeksikan di dalam karya fiksi. Hal itu meliputi dunia-dunia kotak cina. Dunia-dunia Kotak Cina Strategi yang bisa digunakan untuk melakukan pengedepanan sifat ontologis pada Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma yang berstruktur rekursif. Strategi yang napak adalah memunculkan putaran-putaran yang aneh dan Tokoh-tokoh yang Mencari Pengarang. a. Memunculkan Putaran-Putaran yang Aneh Yang dimaksudkan dengan putaran-putaran yang aneh adalah suatu jenis penyimpangan hierarki level-level naratif yang terjadi ketika representasi yang ditanamkan tergelincir dari ketenangan pada animasi dan sebagainya (McHale, 2004:119). 1. Lukisan Rajah Kuda Struktur ontologis yang seperti itu tampak dalam novel Kitab Omong Kosong (2006). Novel ini menceritakan bahwa lukisan rajah seekor kuda yang berlari ada pada punggung terbuka pelacur yang tidur tengkurap pada suatu malam menjelma menjadi kuda sungguhan dan melompat lewat jendela, berlari ke luar kota, menuju padang terbuka. Ternyata kuda itu adalah kuda yang menjadi pemandu upacara Persembahan Kuda yang dilakukan oleh pasukan Ayodya. Kuda putih itu dikejar-kejar oleh warga dari lapangan mengajah ke lorong-lorong dan masuk ke kamar Maneka yang sedang tertidur. Terjadilah perbuatan-perbuatan yang tidak menyenangkan buat Maneka sang pemilik rajah kuda, yang dianggap membawa berkah bagi siapa saja yang tidur dengan Maneka baik laki-laki maupun perempuan. Kejadian itu membuat Maneka semakin tersiksa. Maneka dalam keadaan tersiksa meminta kepada juru selamat untuk upaya membebaskan diri dari bencana yang menimpah dirinya. Orang cendikia itu 26 menyarankan hanya Walmiki yang bisa membebaskan bencana yang diderita oleh Maneka. Maneka melakukan perjalanan mencari Walmiki dengan kabur meninggalkan rumah pelacuran dibantu temannya Sarita. Sarita terbunuh dalam pelarian dan Maneka berjumpa dengan Satya. Maneka berkelana mencari Walmiki ditemani Satya. Dalam perjalanan pengembaraan Maneka di culik oleh penjahat gurun. Para penculik melihat pada punggung Maneka terdapat rajah kuda dan cocok dijadikan korban bagi pemujaan. Perbincangan Walmiki dan Maneka berlangsung lama sekali, ia memang ingat telah berkisah tentang persembahan Kuda yang mengakibatkan banjir darah, tetapi ia tidak terlalu ingat bagaimana kuda putih yang diiringi balatentara sejuta pasukan berkuda muncul dari punggung Maneka.... “Jadi, Empu, dikau sama sekali tidak tahu bagaimana aku mempunyai rajah di punggung semenjak masih di dalam kandungan?”...... Walmiki merasa berdosa atas penderitaan Maneka, ia teringat Hanoman yang membebaskan diri dari suratan takdirnya. Perempuan di depannya tidak paham, bahwa ia juga bisa melakukannya (Ajidarma, 2006: 312-313). Pada kesempatannya pun Maneka berhasil berpamitan kepada Walmiki dan minta untuk dibebaskan dari kutukan rajah Persembahan Kuda. Maneka pada akhirnya akan menentukan nasibnya dan menjalankan perintah Hanoman untuk mencari Kitab Omong Kosong dan mencari kehidupan yang ingin dicapainya. Cerita di atas menimbulkan putaran-putaran aneh dan menimbulkan strategi-strategi pengedepanan sifat ontologis puitika postmodernisme. 2. Tokoh-tokoh yang Mencari Pengarang Tetapi menunjuk pada pengarang Ramayana, yaitu Walmiki. Ada beberapa tokoh dalam Ramayana yang ingin melepaskan diri dari kendali Walmiki sebagai pengarang. Tokoh-tokoh tersebut adalah Hanoman, Talamariam, Kapimoda, tokoh tak jelas, dan Dewi Tara. Tokoh penting dalam Ramayana, Hanoman telah mendatangi Walmiki, untuk minta izin menentukan jalannya sendiri. Dialog Maneka dengan Walmiki pun akhirnya menjadikan Maneka terbebas dari cerita Walmiki. Ketika Hanoman mengatakan pada Maneka bahwa dialah yang akan memperbanyak Kitab Omong Kosong, dan bila perlu mengajarkannya, Maneka yang merasa ragu-ragu itu kemudian ditanya oleh Hanoman mengenai keterbebasan dirinya dari cerita Walmiki dan Maneka mengiyakannya. Kata-kata Salah satu lapisan dalam karya sastra adalah bahasa. Lapisan bahasa ini ada secara intersubjektif di dalam pikiran yang mengucapkannya. Dalam kajian ini, lapisan bahasa itu dilabeli dengan dunia kata-kata. Dunia-Dunia Kiasan Dunia kiasan dalam konteks ini adalah menunjuk pada metafora. Metafora adalah gaya bahasa yang mengiaskan suatu hal dengan hal lain. Dengan pengertian serupa itu, ekspresi metaforis, menurut Hrushovski (McHale, 2004:133) secara simultan memiliki dua kerangka acuan: di dalam salah satu kerangka, ekspresi memiliki makna literal; di dalam yang lain ekspresi itu berfungsi secara figuratif. a. Kiasan yang dilebih-lebihkan (hypertrophy) Keragu-raguan adalah satu strategi untuk mengedepankan struktur ontologis metafora, tetapi bukan satu-satunya. Daripada menghentikan ekpresi antara gaya dan dunia, seorang pengarang dapat secara terbuka memamerkan metafirisitasnya, tetapi 27 kemudian juga meluaskan dan mengelaborasi kerangka acuan metaforis hingga mendekati status independen dunia fiksional itu sendiri, suatu atonomi realitas imajinatif (McHale, 2004:137-138). Pemameran metaforisitas ini tampak pada novel KOK karya SGA. Maneka tidak beranjak. Setiap hari ia duduk di sana dan menunggu. Menantap Kuil Cahaya yang setiap hari berubah warna. pada hari pertama Kuil Cahaya itu tampak putih keperakan dan menyilaikan, pada hari kedua Kuil Cahaya itu berwarna biru lembut tapi cahayanya tetap memancar, pada hari ketiga berubah menjadi merah jambu, pada hari ke empat kuning seperti daun menguning, pada hari kelima merah membara, pada hari keenam ungu seperti es lilin, dan pada hari ketujuh bening seperti kaca dengan kilatan cahaya berkeredapan. Siang dan malam Maneka menatap dan menunggu, melihat bagaimana setiap warna itu menyepuh permukaan danau. Bila malam tiba bahkan rembulan di langit tersepuh oleh pergantian warna dari Kuil Cahaya (Ajidarma, 2004: 374). Kuil Cahaya pada hari pertama putih keperakan dan menyilaukan, hari kedua berubah berwarna biru lembut cahaya tetap memancar, hari ketiga berubah menjadi merah jambu, hari empat berubag daun menguning, hari kelima berubah merah jambu, hari keenam berubah ungu es lilin dan hari ketujuh berubah bening kaca ada kilatan cahaya berkeredapan. Setiap berubah menyepuh permukaan danau, bila malam rembulan tersepuh perubahan warna Kuil Cahaya. Perubahan itu telah menggeser fokus yang dikiaskan yaitu Kuil Cahaya ke danau dan rembulan. Mula-mula hanya satu orang yang duduk di belakang Maneka, kemudian dua belas orang, lantas seratus orang. Hari kedua bertambah dengan seribu orang. Hari ketiga menjadi sepuluh ribu orang. Hari keempat bertambah terus menjadi seratus ribu orang. Hari kelima sudah sejuta orang memenuhi punggung bukit yang menghadap ke Kuil Cahaya di tengah danau itu dan tidak bertambah. Mereka menatap, mengamati, menghayati, lantas meleburkan diri (Ajidarma, 2004: 375). Kutipan di atas menunjukkan bahwa yang duduk dibelakang punggung Maneka dikiaskan dengan orang-orang yang semakin banyak dan pengkias itu kemudian dinarasikan sedemikian rupa sehingga terjadi pemameran metaforisitas. Pengkiasan yang seperti itu telah memunculkan goyangan ontologis pengedepanan sifat ontologis puitika postmodernisme. Dunia Wacana Dunia-dunia yang digayakan digambarkan perubahan yang terjadi dalam karya fiksi dari yang semula dominan pada dunia fiksional ke dominan medium linguistiknya, pembicaraan pada ini menggambarkan perubahan pada karya fiksi dari yang semula mengedepankan kesatuan wacana karya fiksi yang mengedepankan pluralitas wacana mengedepankan Karnival. Tergambar dalam Kitab Omong Kosong (2006) cerita polifonik yang cerita dalam cerita. Ini dapat kita lihat dalam: a. Cerita Sutasoma dan Mahakala, yang berceritakan pencerita dan menjadi cerita tersendiri. “Akulah pangeran Sutasoma yang ditangkap oleh Mahakala dan dilarikan dalam gendongan.” Mahakala si pemakan orang telah menangkap seratus orang ksatria, yang siap dibunuhnya sebagai santapan. Waktu dilarikan dalam dendongan aku menangis, tapi bukan karena ketakutan “Kukatakan kepada Mahakala, aku akan kembali sesuai perjanjian, akan kuberikan nyawaku untuk memenuhi janji itu. Kemudian Sutasoma diantarkan kesebuah taman yang dimana dia sudah ditunggu oleh brahmana itu untuk melakukan pembacaan syair-syair, dan brahmana akan diberikan hadiah oleh Sutasoma... (Ajidarma, 2006: 109-125). 28 Cerita dilanjutkan dengan menceritakan perjalanan Mahakala yang mengawali kisah pemakanannya terhadap manusia akibat terkena kutukan Gandarwa. Kemudian dilanjutkan dengan kembali kesebuah taman dikerajaan Hastina tempat kediaman Sutasoma. Cerita Sutasoma dan Mahakala menjadi cerita tersendiri dengan masing-masing tokoh bercerita yang berdiri sendiri. cerita di atas menimbulkan strategi-strategi pengedepanan sifat ontologis puitika postmodernisme. b. Cerita Lubdhaka sang pemburu, yang berceritakan Satya kepada Maneka dan menjadi cerita tersendiri. c. Cerita Resi Gotama dan anak-anaknya, yang berceritakan Satya kepada Maneka dan cerita berdiri sendiri. d. Cerita saudara kembar Kebu Milih (Gagang Aking) dan Kebo Ngraweng (Bubukshah), cerita yang di baca Satya dari salinan jawa. Cerita-cerita di atas juga menjadi cerita tersendiri yang berdiri sendiri. Cerita di atas dapat dikatakan telah mengedepankan strategi pengedepanan sifat ontologis puitika postmodernisme. Pendasaran Barthes (1977) mengatakan pengarang telah mati. Namun, pengertian mati dimaksud bukanlah menunjuk pada entitas pengarangnya. Kematian pengarang di sini, seperti ditafsirkan Foucault (1979), berkenaan dengan pengarang dalam fungsi kepengarangan. Dalam fungsi itu pengarang berada pada posisi dan sudut pandangan tertentu. Ketika pengarang berpindah dari fungsi menyuarakan tokoh yang satu ke fungsi menyuarakan tokoh kedua, maka fungsi pengarang mati dari tokoh yang pertama dan hidup pada tokoh yang kedua. Namun, pengarang juga akan berpindah fungsi dari menyuarakan tokoh kedua ke tokoh yang lainnya lagi, demikian seterusnya. Pada posisi seperti itu, pengarang mati dan hidup lagi, mati dan hidup lagi, demikian seterusnya. Fungsi pengarang di dalam teks mengalami perpindahan dari tokoh yang satu ke tokoh yang lain. Simpulan Setelah dilakukan analisis dengan repertoar strategi-strategi pengedepanan sifat ontologis puitika postmodernisme, dapat disimpulkan bahwa dalam novel KOK karya SGA terdapat bermacam pengedepanan sifat ontologis puitika postmodernisme, yang menimbulkan beragam dunia-dunia pluralitas. Pluralitas itu dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu (1) dunia-dunia, (2) konstruksi, (3) kata-kata, dan (4) pendasaran. Dalam kategori dunia-dunia ditemukan berbagai macam pengedepanan sifat ontologis yang merupakan hasil persinggungan antara fiksi dengan strategi penyisipan, persinggungan antara fiksi dengan strategi intertekstualitas, persinggungan antara fiksi postmodernisme dengan fantasi dan terjadinya dunia yang banalitas. 29 Daftar Rujukan Ajidarma, Seno Gumira. 2006. Kitab Omong Kosong. Jogykarta:Bentang. Anderson, Perry. 2008. Asal-Usul Postmodernitas. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Aristotles. 2003. Aristotles Poetics. Yogyakarta:Putra Langit Publishing. Barthes, Roland. 1977. The Death of Author, Image, Music, Text, English translation by Stephen Heath. New York: Hill and Wang. Faruk. 1996. Cerpen-cerpen pilihan Kompas 1992-1996 dalam Kompas. Jakarta:Kompas. Fuller, Andy. 2011. Sastra dan Politik Membaca Karya-Karya Seno Gumira Ajidarma. Jogyakarta:Insis. Foucault, Michel. 1979. “What Is an Author?”, in Textual Strategies Perspectives in Post-Structuralist Criticism, edited and with an Introduction by Josue V. Hararti. Ithaca, New York: Cornell University Press. Frow, John. 1991. “Intertextuality and Ontology”, Intertextuality Theories and Practices, edited by Micahel Worton and Judith Still, reprinted in paperback. Manchester and New York: Manchester University Press. Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading A Theory of Aesthetic Response. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press. Lyotard, Francois Jean. 1984. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Oxford:Manchester University Press. McHale, Brian. 2004. Postmodernist Fiction. Methuen. Mulyono, Sri. 1976. Wayang dan Karakter Manusia:Seri Harjuna Sasrabahu dan Ramayana. Jakarta: Nawangi. Pujiharto.2010. Perubahan Puitika dalam Fiksi Indonesia dari modernism ke Pascamodernisme. Jogyakarta:Elmatera Publising. Rajagopalachari, C. 2004. Ramayana. Diterjemahkan oleh Nin Bakdi Soemanto. Yogyakarta: Bentang Pustaka. Rimmon-Kenan, Shlomith. 1989. Narrative Fiction Contemporary Poetics. New York:Routledge. Santoso, Puji dan Jayawati, Trisna Maini. 2010. Sastra dan Mitologis Telaah Dunia Wayang dalam Sastra Indonesia. Jogyakarta: Elmatera Publishing. Sarup, Madan. 2008. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan Posmodernisme.Jogyakarta: Jalasutra. Satoto, Soediro. 2012. Analisis Drama&Teater Bagian 1. Yogyakarta: Ombak. Sunardi. 2002. Ramayana. Jakarta: Balai Pustaka. Zoetmulder, P.J. 1983. Kalawang: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta:Djambatan. 30 PRAKTIK DISKURSIF NEGARA TERHADAP ETNIS CINA DALAM TEKS SASTRA MULTIKULTURAL INDONESIA Akhmad Taufiq (FKIP Universitas Negeri Jember – Indonesia) Abstrak: Praktik diskursif negara terhadap etnis Cina dalam perjalanan kekuasaan di Indonesia masih menunjukkan suatu fenomena politik yang penuh ambivalensi. Satu sisi etnis Cina dalam kondisi tertentu diposisikan secara strategis sedemikian rupa; di sisi lain tidak jarang diposisikan demikian berbahaya dalam konteks kapasitasnya sebagai warga negara. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan praktik diskursif negara yang penuh ambivalensi tersebut, yang terefleksikan dalam teks sastra multikultural Indonesia dan implikasinya terhadap kebijakan negara multikultural Indonesia. Melalui pendekatan sosiologi sastra, analisis tulisan ini mencoba mendeskripsikan ambivalensi politik kekuasaan itu dalam dua hal; yakni menyangkut hubungan wacana etnisitas Cina dengan keindonesiaan dan wacana negara hubungannya dengan konstruksi politik berbasis identitas. Terdapat tiga novel yang dianalisis dalam hal ini, yaitu Novel Maut dan Cinta karya Mochtar Lubis, Dimsum Terakhir karya Clara Ng., dan Putri Cina karya Sindhunata. Hasil analisis ini menyatakan bahwa praktik diskursif negara terhadap etnis Cina yang penuh ambivalensi itu tidak efektif dan fungsional dalam konteks negara Indonesia yang multikultural. Praktik politik yang penuh ambivalensi itu banyak mengakibatkan persoalan yang kompleks; baik hubungannya secara vertikal dengan struktur berbasis negara, maupun secara horisontal antarkelompok kultural di Indonesia. Oleh karena itu, praktik diskursif negara yang penuh ambivalensi perlu dihindari sedemikian rupa dan pada saat yang sama perlu dibangun komitmen kebijakan multikultural yang berpijak pada nilai kesetaraan dan solidaritas sebagai kekuatan konsolidasi bangsa. Kata-kata kunci: Praktik diskursif negara, etnis Cina, dan teks sastra multikultural Indonesia Pendahuluan Praktik diskursif negara menjadi bahasan penting untuk dicermati secara akademis. Dalam hubungan itu, negara perlu dianalisis sebagai pihak yang dipandang memiliki jejaring kuasa yang kompleks dalam rangka mengoptimalkan seluruh daya yang dimilikinya. Jejaring kuasa yang bersifat kompleks tersebut menjadi nalar politik yang logis manakala negara dipahami dan diposisikan sebagai elemen struktural yang memiliki kapasitas kewenangan yang tinggi atas realitas warga negara yang bersifat multikultural. Atas dasar jejaring kuasa yang kompleks itu negara memiliki kemampuan mereproduksi secara terus-terus basis kekuasaannya. Negara seolah menjadi otoritas formal-struktural yang paling absah untuk mereproduksi secara terus-menerus basis kekuasaan itu dan pada saat yang sama, tidak jarang sering menafikan elemen lain di luar negara. Dalam kondisi demikian, negara cenderung untuk terjebak dalam suatu posisi untuk bertindak atas kekuasaan yang dimilikinya bersikap sewenang-wenang (despotic state) atas nama term negara itu sendiri. Realitas praksis negara yang demikian itu, menurut Foucault (1977:206-207) merupakan realisasi dari diterapkannya konsep panoptikon dalam suatu negara; di mana 31 negara mengejawantahkan dirinya sebagai sebentuk kekuatan pengintai, yang secara intensif mengawasi seluruh aktivitas warga negaranya. Dengan premis yang lebih sederhana, praktik negara yang demikian itu dapat disebut sebagai negara panoptik. Sebagai bentuk negara panoptik kekuasaan itu dioptimalkan untuk melakukan pengawasan seintensif mungkin dalam rangka melakukan kontrol sebesar-besarnya terhadap seluruh aktivitas fisik maupun nonfisik warga negaranya.9 Praktik diskursif negara dalam konteks tersebut juga dilakukan dalam hubungan kuasa yang demikian. Negara menjadi pihak yang memroduksi secara intensif relasi kuasanya dalam rangka mendapatkan daya yang efektif bagi produksi kekuasaannya. Bersamaan dengan hal itu, sistem regulasi, distribusi, sirkulasi, dan operasi pernyataan yang dihubungkan dengan relasi sirkular yang ada (Foucault, 1980:133). Formasi diskursif demikian itu menjadi suatu konstruksi bagi pola wacana untuk menjelaskan dalam realitasnya yang operasional. Wacana itu mengonstruksi, mendefinisikan, dan memroduksi objek-objek pengetahuan bagi relasi yang dapat diterima oleh nalar kuasa (Barker, 2005:106). Negara dalam konteks tersebut, lagi-lagi menjadi pihak yang paling berdaya dalam realitas produksi wacana kekuasaannya. Hal tersebut berarti bahwa negara tidak hanya sebatas sebagai bentuk kekuasaan (power); akan tetapi, juga hadir sebagai pembangun wacana (discourse building). Dalam kapasitasnya sebagai pembangun wacana, maka negara meregulasi dan mengintervensi sedemikian rupa atas realitas geliat sosiokultural warga negaranya. Dalam kapasitasnya sebagai pembangun wacana itu pula, negara mereproduksi basis kekuasaannya secara terus-menerus dan pada saat yang sama, berusaha semaksimal mungkin membangun legitimasi dan akumulasi kekuasaannya. Dalam konteks sastra, praktik diskursif negara tersebut tampak pula direfleksikan dalam teks sastra multikultural Indonesia.10 Dalam teks sastra multikultural Indonesia, praktik diskursif negara bergerak secara operasional dalam ruang identitas yang dikonstruksi sedemikian rupa. Etnisitas menjadi persoalan yang tidak jarang dikonstruksi dan dimainkan sedemikian rupa untuk kepentingan kekuasaan berbasis negara. Fenomena etnis Cina Indonesia dalam konteks tersebut, menjadi salah satu etnis yang tidak luput dari konstruksi kekuasaan berbasis negara tersebut. Sehubungan dengan hal itu, studi ini berusaha menjelaskan praktik diskursif negara dalam konteks etnis Cina di Indonesia yang direfleksikan teks sastra multikultural Indonesia. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif kualititatif, untuk mendeskripsikan fenomena praktik diskursif negara dalam teks sastra multikultural Indonesia. Terdapat tiga novel yang dianalisis dalam hal ini, yaitu Novel Maut dan Cinta karya Mochtar Lubis, Dimsum Terakhir karya Clara Ng., dan Putri Cina karya Sindhunata. Melalui pendekatan sosiologi sastra, analisis tulisan ini mencoba mendeskripsikan ambivalensi politik kekuasaan itu dalam dua hal; yakni menyangkut 9 Skema panoptikon menjadi perangkat kuasa yang efektif tanpa melibatkan pemaksaan, ketakutan dan semacamnya, tetapi kuasa itu meningkatkan fungsinya selama beroperasi. 10 Sastra multikultural yang dimaksud dalam tulisan ini yaitu teks sastra yang merefleksikan interaksi dua kelompok kultural atau lebih (interaksi multikultural). Interaksi multikultural tersebut ditandai secara intensif isu identitas, yang memungkinkan berimplikasi pada hadirnya wacana ideologi dan praktik diskursif negara. Lebih lanjut, lihat Taufiq (2014:17). 32 hubungan wacana etnisitas Cina dengan keindonesiaan dan hubungannya dengan konstruksi politik berbasis identitas. wacana negara Etnisitas Cina dan Keindonesiaan: Kritik Wacana Kesatuan Persoalan etnisitas Cina dan keindonesiaan bagaimanapun masih menyisakan persoalan, yang menyangkut pola hubungan dan sekaligus integrasi kelompok etnis ini terhadap keindonesiaan. Terdapat persoalan serius pada tataran praksis politik berbasis negara yang perlu dikritisi berkaitan dengan proses pengintegrasian kelompok etnis ini. Dalam beberapa dekade misalnya, proses pengintegrasian tersebut termanifestasi dalam bentuk aktualisasi politik penyeragaman. Sehubungan dengan hal tersebut, aktualisasi politik penyeragaman, baik dalam tataran konsep maupun dalam tataran praksis terus saja bergulir seiring dengan perkembangan bangsa yang telah menegara. Indonesia menjadi suatu bentuk contoh yang riil bagi proses aktualisasi politik penyeragaman. Praktik diskursif negara terhadap hadirnya politik penyeragaman, dengan istilah disebut kesatuan, diderevasi lain lebih lanjut dan operasional menjadi wacana pembauran atau asimilasi. Oleh karena itu, wacana asimilasi ini dipandang sebagai salah satu alternatif yang dimungkinkan di tengah rumit dan kompleksnya proses integrasi masyarakat multikultural Indonesia. Setidaknya, hal itu dapat dicatat terjadi pada masa Orde Lama. Di bawah kekuasaan Soekarno, Orde Lama mendorong terjadinya proses asimilasi tersebut, di mana secara historis proses ini pernah diputus secara politik oleh pihak kolonial sebagai akibat dari hadirnya politik kelas sosial, yang membagi masyarakat kolonial menjadi tiga level. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pemerintah kolonial Belanda membagi menjadi tiga level; yakni, level pertama diduduki oleh masyarakat eropa; kedua, warga timur asing; dan ketiga, warga pribumi. Kebijakan tersebut didasarkan pada Indische Staatsregeling 1927 pasal 163 (Soyomukti, 2012:195) Pembagian kelas masyarakat kolonial Belanda tersebut, menurut Pirous diperparah lagi dengan diterapkannya politik zoning (Santosa, 2012:31). Suatu konstruksi politik kolonial yang dilakukan dengan cara pengelompokan kelompok etnis tertentu, dalam hal ini kelompok etnis Cina, ke dalam zona geografis tertentu. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar pemerintah kolonial dapat dengan mudah melakukan kontrol politik pada kelompok kultural tersebut. Kombinasi dua bentuk politik tersebut secara strategis dapat memorak-porandakan struktur sosial dan memilah secara tajam proses pembauran atau asimilasi yang sudah lama terjadi.11 Lubis dalam novel Maut dan Cinta misalnya memberikan paparan yang cukup lugas atas pentingnya proses asimilasi yang melibatkan kelompok etnis yang ada. Lebih jauh, bahkan Lubis memberikan premis atas pentingnya kehadiran pemerintah Indonesia untuk mendorong terjadinya proses asimilasi tersebut. Asimilasi dibayangkan sebagai proses penyatuan (baca: pengintegrasian) suatu kelompok etnis terhadap apa yang disebut dengan konstruksi keindonesiaan. Pada sisi ini, maka ketika wacana politik asimilasi tersebut digulirkan ulang idealnya didorong dalam rangka terciptanya suatu model integrasi kultural yang alamiah. Posisi negara dalam hal ini, hanya sebagai pihak yang memfasilitasi dan menyediakan ruang kultural bagi tergeraknya proses tersebut. Pada dasarnya, asimilasi 11 Sebagai catatan, Kolonial pada proses berikutnya menerapkan kebijakan yang melarang kelompok etnis Cina di Indonesia memiliki tanah yang dikeluarkan pada 1879 yang disebut dengan Agragrische Wet, yakni Undang-undang agrarian zaman kolonial. Lebih lanjut, Lihat Soyomukti (2012:193). 33 yang didesakkan dan dipaksakan atas nama negara, tidak kalah buruk dampaknya dengan politik kolonial yang memilah secara tajam pada realitas masyarakat multikultural tadi. Apalagi misalnya, wacana asimilasi tersebut disandingkan dengan wacana pengindonesiaan. Wacana asimilasi tidak cukup logis untuk disandingkan dengan wacana pengindonesiaan. Wacana asimilasi hanya menjadi salah satu bagian yang dimungkinkan, bila diperlukan dalam konteks keindonesiaan. Bila tidak diperlukan, wacana asimilasi tersebut pada dasarnya dapat dikesampingkan; meskipun, juga tidak harus ditolak secara mutlak. Hal itu juga paralel dengan bentuk strategi wacana lain yang digulirkan oleh negara. Misalnya, negara menggulirkan wacana pengindonesiaan tersebut dengan cara bentuk adaptasi formal atas identitas nama subjek yang merepresentasikan kelompok etnis tertentu. Pengindonesiaan dengan strategi wacana demikian pada dasarnya hanya berhasil menyentuh aspek permukaan saja. Lebih jauh, tidak mampu menjangkau aspek terdalam, dalam diri subjek hubungannya dengan ikatan kebangsaan yang dibentuk. Lebih dari itu, bahkan konstruksi wacana politik pengindonesiaan dengan model adaptasi formal identitas nama subjek yang merepresentasikan kelompok etnis tertentu tersebut hanya akan berimplikasi pada kecenderungan lahirnya hipokrisi pada kelompok etnis tertentu; atau pada sisi lain, melukai kelompok etnis tersebut karena mereka pada dasarnya sudah merasa menjadi bagian integral dari bangsa multikultural ini. Oleh karena itu, penerapan wacana politik oleh negara dengan hasrat untuk mengindonesiakan kelompok etnis tertentu tersebut, hanya akan melahirkan luka yang kompleks, baik secara sosiokultural maupun politik. Disebut melahirkan luka yang kompleks, karena dengan penerapan wacana politik itu, praktik diskursif negara bergerak secara tidak langsung ‘melainkan’ kelompok etnis tersebut dibanding dengan kelompok etnis yang sudah dianggap eksis. Ada perlakuan yang tidak sama, kalau tidak boleh disebut sebagai bentuk diskriminasi. Dalam konstruksi masyarakat multikultural, praktik diskursif negara yang demikian dipandang menyisakan masalah. Sehubungan dengan hal tersebut, Lubis (1993:389) dan Ng (2006:134) memberikan ilustrasi bagi terjadinya praktik diskursif negara dengan digulirkannya wacana asimilasi dan proses pengindonesiaan dengan cara adaptasi formal identitas nama subjek yang merepresentasikan kelompok etnis tertentu. Praktik diskursif negara seperti itu sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia baik dalam kategori bangsa maupun dalam kategori sebagai negara, masih bersifat eksperimentatif-transisional dalam memosisikan dan meregulasi secara tepat dan ideal warga negaranya. ”Tetapi pemerintah tuan tidak punya politik untuk mengusir orang-orang Cina perantauan? Tanya Kolonel Hua. ”Oh, sama sekali tidak. Kami tahu bahwa dua juta lebih penduduk Cina dan turunan Cina di Indonesia sebagian besar akan tetap hidup turun-temurun di Indonesia. Malahan pemerintah saya menganjurkan asimilasi, agar penduduk Cina mau menyatukan diri dengan sungguh-sungguh menjadi orang Indonesia. Tapi ini sukar..” (Lubis, 1993:389). Banyak yang akhirnya menjadi lebih Indonesia daripada orang Indonesia asli. Tapi, mereka masih tidak dianggap sebagai tuan di negara kelahiran mereka sendiri. Bahkan beberapa puluh tahun lalu, mereka tidak berhak menyandang tiga-nama-Cina. Mereka harus mengubah nama mereka menjadi lebih “Indonesia”. Wie menjadi Widjaja. Han menjadi Handojo atau Handoko atau Hanan. Tan menjadi Tanujaya atau Tanuwijaya. Sue menjadi menjadi Sucipto. Dan lain-lain. Sebagian lagi tidak memedulikan nama keluarga dalam bahasa Indonesia. (Ng, 2006:134) 34 Hal tersebut dapat dibuktikan dengan hadirnya persepsi wacana yang kemudian melahirkan konsep asimilasi sebagai salah satu alternatif bagi konstruksi relasi kewarganegaraan RI. Lubis bahkan, melalui tokoh rekaannya menyodorkan wacana ini sebagai bentuk wacana sebagai praktik diskursif negara. Hal itu meskipun diakui sukar dilakukan. Terdapat dua hal yang dapat dicatat dalam pandangan Lubis tersebut. Pertama, bahwa wacana asimilasi merupakan wacana yang diposisikan sebagai bentuk praktik diskursif negara yang harus dilakukan. Sebagai bentuk praktik diskursif negara, wacana asimilasi dikonstruksi untuk mengintegrasikan dan beroperasi pada wilayah kelompok etnis yang dianggap menjadi masalah bagi bangsa yang telah menegara ini. Kelompok etnis Cina dalam hal ini diposisikan sebagai kelompok etnis, yang secara langsung atau tidak ditempatkan sebagai pembawa masalah tersebut. Oleh karena itu, mengasimilasikan kelompok etnis Cina tersebut merupakan bentuk keharusan struktural bagi praktik diskursif negara untuk bertindak efektif dan operasional. Pada sisi ini, praktik diskursif negara diakui atau tidak juga sudah membawa masalahnya sendiri sejak wacana itu digulirkan. Pemosisian secara tidak setara bagi praktik diskursif demikian pada dasarnya sudah cenderung memojokkan kelompok etnis Cina tersebut. Asimilasi tidak diarahkan untuk seluruh kelompok etnis yang ada di negara multikultural tersebut. Idealnya, bila asimilasi ini pun diterima, hal itu dilakukan untuk semua kategori kelompok etnis yang ada, tanpa diberlakukan pembedaan. Hal itu tidak mampu dilakukan karena ada keterbatasan perspektif yang tidak mampu menjangkau secara menyeluruh realitas kelompok etnis yang ada dan pada saat bersamaan, wacana itu dipersempit pada kelompok etnis tertentu. Kedua, keterbatasan perspektif dan pemersempitan wacana asimilasi tersebut hakikatnya sudah mengontribusi kesukaran bagi praktik asimiliasi itu sendiri. Di balik itu, asimilasi beroperasi dengan cara melainkan, menyangsikan, dan membangun pandangan curiga kepada kelompok etnis tertentu. Kelompok etnis Cina dalam kondisi demikian mendapatkan bentuk pandangan dan sikap yang demikian; sehingga, bagaimanapun asimilasi yang didorong sebagai bentuk praktik diskursif negara sukar dilakukan. Seiring hal itu, seturut dengan asimilasi wacana pengindonesiaan secara intensif dilakukan oleh negara. Proses produksi wacana negara di awal-awal terbangunnya kekuasaan Orde Baru menandai hal ini. Dapat dicatat misalnya, atas proses produksi wacana pengindonesiaan dilakukan oleh negara, di balik itu dilakukan dalam rangka penghapusan identitas kelompok etnis tertentu melalui model penghapuasan identitas nama subjek yang merepresentasi kelompok etnis tertentu tersebut; sebut saja kelompok etnis Cina dalam hal ini. Wacana itu beroperasi atas dasar kesangsian dan kecurigaan, serta prasangka pada kelompok etnis Cina tersebut hubungannya dengan komitmen keindonesiaan dalam diri mereka. Inilah menunjukkan suatu kebijakan yang ambivalensi. Satu sisi dibangun seolah untuk integrasi bangsa; di sisi lain, diikuti dengan kesangsian dan kecurigaaan, serta prasangka. Lebih lanjut, proses produksi wacana pengindonesiaan dengan demikian dilakukan dalam rangka menertibkan komitmen keindonesiaan itu ala penguasa Orde Baru. Terbitnya Keputusan Presidium Kabinet No. 127/Kep/12/1966 tentang peraturan ganti nama bagi WNI yang memakai nama Cina dan ditindaklanjuti dengan Keppres No. 123/1968 tentang memerpanjang masa berlakunya peraturan ganti nama bagi WNI yang memakai nama Cina sebagaimana termaktub dalam Keputusan Presidium Kabinet No. 127/Kep/12/1966 tersebut, merupakan bentuk penyangsian fundamental yang dapat 35 berimplikasi pada masalah psikologis yang kompleks terkait dengan relasi negara dengan kelompok etnis Cina di Indonesia tersebut.12 Penyangsian seperti itu berujung pada hadirnya perasaan secara psikologis, seperti yang dinyatakan Ng (2006:134) sebagai warga negara yang tidak dianggap tuan di negara tempat kelahiran mereka sendiri. Dalam kalimat lain, dapat dinyatakan bahwa proses yang menganggap dan memosisikan kelompok etnis Cina tersebut sebagai warga lain, bukan sebaliknya diposisikan sebagai warga negara yang secara integratif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keindonesiaan ini. Kelompok etnis Cina, dengan diberlakukannya regulasi yang demikian menjadi pihak yang seolah tertuduh atas segala bentuk kecurigaan dan kesangsian atas komitmen keindonesiaan pada diri mereka. Praktik diskursif negara atas hadirnya wacana pengindonesiaan dan diikuti dengan wacana regulatif penggantian nama Cina menjadi nama Indonesia dipandang oleh negara dalam hal ini direpresentasikan oleh pemerintah Orde Baru dapat mengindonesiakan kelompok etnis Cina tersebut. Padahal itu tidak memberikan implikasi siginifikan bagi hadirnya komitmen keindonesiaan; terkecuali, hiprokrisi komitmen kewarganegaraan. Di sisi lain, penyebutan nama Indonesia secara akademis juga menyisakan persoalan pelik. Konsepsi nama Indonesia untuk subjek bagaimanapun sulit dibangun landasan argumentasi akademis yang kuat. Kesulitan tersebut terkait dengan rumusan definisi, kategori, dan identifikasi atas penyebutan term nama Indonesia untuk seorang subjek. Oleh karena itu, dalam perspektif multikultural praktik diskursif negara tentang hadirnya kebijakan penggantian nama Cina menjadi nama Indonesia menjadi persoalan tersendiri secara sosiokultural dan politik. Negara dan Wacana Politik Berbasis Identitas Sehubungan dengan kebijakan penggantian nama Cina menjadi nama Indonesia tersebut, disadari atau tidak negara terlibat secara jauh atas konstruksi wacana identitas. Identitas bagi negara merupakan persoalan tersendiri yang dipandang sensitif dan untuk itu penting untuk ditertibkan. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru di awal-awal kekuasaannya dapat dipahami sebagai upaya penertiban politik atas wacana identitas tersebut. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa wacana identitas merupakan konstruksi wacana yang terpecah dan tidak stabil dalam suatuk konstruksi sosial. Hal itu terutama jika subjek dan identitas merupakan ciptaan wacana dan praktik disiplin; di mana posisi subjek lebih dilihat sebagai produk daripada sebagai produser atas wacana itu (Barker, 2005:235). Dalam posisi demikian, maka subjek menjadi pihak yang dikonstruksi dan tidak mampu menentukan apapun atas realitas politik dan kultural dirinya. Praktik diskursif negara dalam konteks demikian dibangun atas dasar nalar politik kekuasaan untuk memosisikan subjek sebagai produk atas wacana yang dibentuk. Foucault mengritisi praktik diskursif negara selalu dalam kondisi tiga titik penting; yakni konstruksi wacana, disiplin, dan kuasa; di mana subjek selalu dipahami dalam konteks wacana dan produk kuasa tersebut (Barker, 2005:235). Oleh karena itu, 12 Pada tahun 2014 terbit peraturan baru berbentuk Keppres, yakni Keppres No. 12 tahun 2014 yang mengubah istilah Cina menjadi Tionghoa/Tiongkok. Tionghoa dimaksudkan untuk menyebut etnisitasnya; sedangkan, Tiongkok untuk menyebut status negaranya. Penggantian istilah dari penyebutan Cina menjadi Tionghoa/Tiongkok dalam konteks Indonesia dimaksudkan untuk menghindari pandangan negative dan terjadinya diskriminasi. 36 wacana selalu saja menjadi domain yang dimainkan oleh negara dalam rangka mendapat efek kuasa tersebut. Dalam konteks itu, formasi diskursif diatur sedemikian rupa agar wacana itu beroperasi dalam rangka mendapatkan efek kuasa. Sehubungan dengan formasi diskursif, formasi diskursif tersebut dibentuk dengan aturan (rules of formation) yang dikategorikan dalam bentuk elemen objek, pola pernyataan, konsep, dan pilihan tema (Foucault, 1989:21). Negara berusaha secara intensif meregulasi setiap elemen diskursif tersebut agar berkontribusi pada kapasitas kekuasaan yang diinginkan. Wacana politik berbasis identitas dalam konteks demikian juga dikonstruksi dalam kerangka demikian. Negara secara intensif membangun dan memroduksi objek, pernyataan, konsep, dan pilihan tema yang dipandang tepat dalam rangka produksi wacana dan kuasa tersebut. Dalam posisi demikian, wacana politik berbasis identitas dapat termanifestasi dalam dua wajah sekaligus. Pertama, wacana politik tersebut lebih pada upaya untuk merepresentasikan praktik diskursif negara. Kedua, wacana politik tersebut merepresentasi diri sebagai bentuk konsolidasi subjek atas identitas yang dimiliki. Yang pertama, dapat ditandai dengan gencarnya upaya negara dalam memroduksi, meregulasi, mendistribusi, dan mengoperasikan wacana politik tersebut sebagai bentuk proses penertiban politik kekuasaan. Sebuah proses disiplin kekuasaan yang diterapkan oleh negara dalam rangka mengatur, mengontrol, dan mengawasi secara intensif warga negara. Yang kedua, ditandai dengan proses pembentukan identitas dan tindakan subjek dalam rangka mengubah praktik sosial yang didasarkan pada beberapa kesamaan nilai (Barker, 2005:521). Sehubungan dengan hal tersebut, Sindhunata (2007:104-105; 2007:97) menunjukkan bahwa wacana politik berbasis identitas itu lebih didominasi oleh kekuasaan berbasis negara. Negara dalam hal ini sebagai pihak yang memroduksi sekaligus mengontrol wacana itu sekaligus demi mendatangkan efek kuasa tersebut. Mereka memang menjadi luar biasa kaya. Tapi mereka tidak ingat, bahwa dengan demikian mereka ditaruh di titik rawan yang paling gawat. Ya, mereka tidak sadar, bahwa mereka dijadikan sandaran yang enak bagi keluarga dan pengikut Prabu Amurco Sabdo dalam menambah nikmat. (Sindhunata, 2007:104). ... Sayangnya, orang-orang Cina itu tak merasa, penjunjungan ini sebenarnya hanyalah akal licik kompeni belaka. Dengan akalnya itu, Kompeni membuat warga Cina menjadi sasaran iri dan curiga kaum pribumi yang masih miskin. Dan penjunjungan ini sebenarnya berlawanan dengan sejarah orang Cina sendiri. Sebelum Kompeni datang, sudah berabadabad lamanya orang-orang Cina menetap di tanah Jawa. Di sini mereka hidup berdampingan, rukun dan damai dengan penduduk pribumi. (Sindhunata, 2007:105) Orang-orang di Padang Kemulan sendiri sering bertanya heran, mengapa raja mereka berubah menjadi demikian? Tidakkah dulu ia adalah seorang Prabu Murhardo yang suka tersenyum, murah hati, dan teguh janji, mengapa sekarang ia menjadi Amurco Sabdo yang mudah geram, serakah, dan tidak dapat setia pada kata-katanya lagi? Tidakkah dulu ia seorang pemimpin yang lemah lembut, mengapa ia sekarang menjadi penguasa yang keras dan menindas? Tidakkah dulu ia seorang raja yang selalu mau hamemayu hayuning bawono, mengapa sekarang ia membiarkan negerinya dirusak dan diancam dengan kekerasan? (Sindhunata, 2007:97) Wacana politik berbasis identitas tersebut diproduksi secara efektif baik dalam konteks kekuasaan Orde Baru dan kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia saat itu. Sindhunata mencoba memberikan satu bentuk deskripsi wacana politik berbasis 37 identitas tersebut dalam rangka membangun kesadaran bagi kelompok etnis Cina di Indonesia yang sering diposisikan sebagai korban politik tersebut. Bersamaan dengan hal itu, bagi kelompok etnis Cina di Indonesia diharapkan mampu mengonsolidasi kesadaran wacana politik dirinya agar tidak mudah ’dimainkan’ oleh pihak otoritas politik lain, baik berbasis negara maupun nonnegara. Wacana politik yang dilakukan oleh Orde Baru dengan memosisikan segelintir kelompok etnis Cina sebagai elit ekonomi lebih dibaca oleh Sindhunata sebagai proses penempatan politik pada titik yang paling rawan. Posisi seperti itu disengaja dikonstruksi oleh Orde Baru, secara tentatif ditujukan untuk mengamankan kekuasaan politiknya. Di balik hal itu, Orde Baru di bawah kepemimpinan Prabu Amurco Sabdo-suatu satire politik untuk menyebut Presiden Soeharto sebagai prabu atau presiden yang mengkhianati sabdanya sendiri—membangun wacana politik bahwa kelompok etnis Cina itulah yang sebenarnya ’bermasalah’ di negara ini. Dominasi ekonomi kelompok etnis Cina tersebut dijadikan alat oleh Orde Baru untuk memroduksi wacana politik bahwa ada bentuk keserakahan kelompok etnis ini mengalahkan atau mengatasi kelompok etnis lain. Produksi wacana demikian itu, pada gilirannya bergerak menjadi instrument kekuasaan yang ambivalen untuk didistribusikan sedemikian rupa. Dominasi, keserakahan, dan kesenjangan ekonomi tersebut tidak dibaca sebagai bentuk kesalahan manajemen negara dalam mengelola sistem ekonomi yang ada. Sebaliknya, kesalahan sistem pengelolaan ekonomi negara tesebut disimpangkan menjadi sebentuk permainan ekonomi yang dimainkan oleh kelompok etnis Cina. Distribusi wacana inilah yang digulirkan Orde Baru di tengah masyarakat dengan tujuan menghindari resistensi politik secara vertikal dan pada saat bersamaan digiring ke arah resistensi (baca: konflik) horisontal. Praktis dengan dengan demikian, proses produksi dan distribusi wacana tersebut berakibat menghadap-hadapkan kelompok etnis Cina tersebut dengan kelompok etnis lain. Sebagai akibatnya, konflik horisontal antara kelompok etnis Cina dengan kelompok etnis lain terjadi. Wacana kebencian pada kelompok etnis Cina tersebut digulirkan sedemikian rupa. Secara intensif, negara terlibat dalam proses wacana politik yang demikian. Dalam kondisi seperti itu, kekerasan seolah menjadi bagian dari desain kekuasaan; sehingga pada praktiknya sengaja dibiarkan. Anehnya, konflik model demikian itu terjadi dalam skala waktu yang berkepanjangan. Boleh jadi, apa yang dilakukan oleh kekuasaan Orde Baru mencontoh model wacana politik yang dilakukan oleh kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda di Indonesia juga melakukan hal yang sama; di mana proses produksi wacana politik dibangun sedemikian rupa dengan ’memainkan’ wacana politik berbasis identitas. Pemerintah kolonial Belanda memroduksi, meregulasi, mendistribusi, dan mengoperasikan wacana tersebut dalam rangka melakukan eksploitasi politik atas kelompok etnis Cina di satu sisi. Di sisi lain, kelompok etnis ini dihadapkan pada kelompok etnis lain yang dikategorikan sebagai pribumi. Wacana kebijakan pemerintah kolonial Belanda atas terbitnya Indische Staatsregeling pada 1927, yang mencoba memilah secara tajam struktur masyarakat kolonial; di mana kelompok etnis Cina diposisikan di atas kelompok etnis lain yang dikategorikan pribumi, mampu mendorong hadirnya kecemburuan dan kebencian kelompok etnis pribumi terhadap kelompok etnis Cina tersebut. Pemosisian seperti itu merupakan bentuk akal licik pemerintah kolonial yang berusaha menempatkan kelompok etnis Cina ini pada posisi yang paling rawan (Sindhunata, 2007:105). Anehnya, terdapat beberapa kelompok orang yang mencoba merepresentasi kelompok 38 etnis Cina tersebut untuk bersikap pragmatis atas realitas politik yang sangat merugikan bagi kelompok etnis Cina itu sendiri secara keseluruhan.13 Padahal bila ditilik secara historis, sikap politik sebagai kelompok orang yang merepresentasikan kelompok etnis Cina tersebut paradoks dengan realitas kultural yang selama ini terjadi. Secara historis, menurut (Sindhunata, 2007:105) kelompok etnis Cina tersebut sudah lama hidup berdampingan, rukun, dan damai dengan penduduk pribumi. Dengan kalimat lain, sindhunata ingin menyampaikan ada keterlenaan politik, ekonomi, dan kultural dalam hal ini terhadap historisitas kelompok etnis Cina tersebut di Indonesia. Ironisnya, historisitas bagi praktik diskursif wacana politik berbasis etnisitas yang keliru tersebut ditiru oleh Orde Baru, meskipun dilakukan dengan cara membangun modifikasi wacana politik untuk menghaluskan praktik diskursif negara berbasis etnisitas tersebut. Orde Baru tidak lagi membagi secara tegas dalam bentuk struktur sosial masyarakat secara eksplisit; akan tetapi, menampilkannya dalam bentuk yang lebih halus (implisit). Implikasi dari itu sebenarnya tidak kalah buruk dampaknya yang diterima bagi kelompok etnis Cina ini. Simpulan Praktik diskursif negara terhadap etnis Cina dalam teks sastra multikultural Indonesia dapat dideskripsikan dalam dua hal. Pertama, dalam konteks kebijakan negara hubungannya dengan keindonesiaan, etnis Cina terdapat didorong sedemikian rupa untuk melakukan asimilasi dan pengindonesiaan nama subjek (etnis Cina) menjadi Indonesia. Kebijakan yang dikonstruksi sedemikian rupa tersebut tampak pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Kedua, dalam konteks politik berbasis identitas, wacana politik berbasis identitas tersebut diproduksi secara efektif baik dalam konteks kekuasaan Orde Baru dan kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia saat itu. Sebagai akibat politik berbasis identitas tersebut, etnis Cina di Indonesia seringkali menjadi pihak yang ’dimainkan’ oleh pihak otoritas politik lain, baik berbasis negara maupun nonnegara. Dalam kondisi seperti itulah upaya menghadap-hadapkan kelompok etnis Cina dengan etnis lain terjadi. Sebagai implikasinya, konflik berbasis isu etnis sering terjadi. Bertolak dari dua hal tersebut menunjukkan bahwa praktik diskursif negara yang tidak didasari kesadaran multikultural sepenuhnya sebagai bangsa hanya akan berimplikasi pada persoalan kebangsaan yang semakin kompleks. Hal tersebut terjadi karena terdapat ambivalensi kebijakan berbasis negara; satu sisi seolah didorong untuk mengintegrasikan, di sisi lain dibangun diatas landasan kesangsian, kecurigaan, dan prasangka terdapat kelompok etnis Cina ini. Oleh karena itu, sebagai bangsa multikultural praktik diskursif negara Indonesia idealnya dibangun diatas kesadaran kebijakan politik multikultural yang mengedepankan nilai kesetaraan dan solidaritas. 13 Sikap pragmatis tersebut dimaksudkan sebagai bentuk tindakan politik yang semata mengedepankan kepentingan politik sesaat dengan cara mengambil manfaat yang bersifat material dan menafikan manfaat strategis dan esensial bagi politik itu sendiri. 39 Daftar Rujukan Barker, Chris.2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang, terjemahan oleh Tim Kunci Cultural Studies Center, dari judul asli Cultural Studies: Theory and Practice. Sage Publication-London, 2000. Foucault, Michel.1989. The Archaeology of Knowledge.London: Routledge Foucault, Michel.1980. Power/Knowladge.Suffolk: Harvester Press Foucault, Michel.1977. Disciplin and Punish: The Birth of The Prison. Transl. Alan Sheridan. London-Worcester: Billing & Sons. Lubis, Mochtar.1993. Maut dan Cinta. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia Ng, Clara.2006. Dimsum Terakhir. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Santosa, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa di Nusantara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Sindhunata.2007. Putri Cina. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Soyomukti, Nurani. 2012. Soekarno dan Cina: Nasionalisme Tionghoa dalam Revolusi Indonesia, Soekarno dan Poros Jakarta-Peking, sikap Bung Karno terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia. Yogyakarta: Garasi Taufiq, Akhmad. 2014. ”Sastra Multikultural: Membangun Toleransi Menyemai Paradaban Indonesia yang Sejati.” Dalam prosiding seminar nasional Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya diselenggarakan PBSI FKIP Universitas Jember. Yogyakarta: Gress Publishing. 40 EKSISTENSI SASTRA MULTIKULTURAL DALAM PEMBANGUNAN BUDAYA GLOBAL Ali Imron Al-Ma’ruf (FKIP & SPS Universitas Muhammadiyah Surakarta – Indonesia) Abstrak: Penelitian ini bertujuan (1) memaparkan sastra multikultural sebagai refleksi realitas sosial budaya masyarakat dan (2) mendeskripsikan eksistensi karya sastra multikultural dalam pembangunan budaya global. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan mendasarkan pada logika induktif. Data penelitian ini berupa soft data yakni kata, ungkapan, kalimat, dan wacana yang mengandung unsur budaya global. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka. Analisis data dilakukan dengan metode pembacaan model semiotik meliputi pembacaan heuristik dan hermeneutik. Hasil penelitian dan pembahasan: (1) sastra multikultural mengekspresikan gagasan universal sebagai refleksi atas realitas sosial budaya masyarakat kita yang sedang berubah menuju pluralitas; (2) Eksistensi sastra multikultural dalam pembangunan budaya global merupakan sebuah keniscayaan. Implikasi dari hal itu adalah karya sastra multikultural dapat menjadi alternatif dalam mengekspresikan gagasan-gagasan universal dalam kehidupan masyarakat yang saling mempengaruhi. Karya sastra yang berdimensi multikultural dapat menembus batas agama, etnis, bahasa, budaya, dan bangsa. Kata kunci: eksistensi sastra multikultural, gagasan universal, media pembangunan budaya global Pendahuluan Karya sastra mengungkapkan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan sesama dan lingkungannya, juga interaksinya dengan diri sendiri dan Tuhan. Ia merupakan hasil dialog pengarang terhadap kehidupan dan lingkungannya setelah melalui kontemplasi secara intens. Pendeknya, karya sastra merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab kreatif sebagai karya seni yang berunsur estetik dengan menawarkan model-model kehidupan seperti yang diidealkan oleh pengarang. Termasuk di dalamnya sastra multikultural dalam dunia sastra Indonesia dewasa ini merupakan alternatif model kehidupan yang ditawarkan pengarang. Lahirnya banyak karya sastra yang bersifat multikultural terutama pada dua dekade terakhir ini mengundang perhatian para pemerhati sastra. Yang menarik, karya sastra multikulturtal tersebut banyak lahir dari tangan lembut para pengarang perempuan dan masih muda lagi. Mereka menjadikan karya sastra sebagai medium untuk menyuarakan nilai-nilai multikultural yang tampaknya semakin diterima oleh komunitas pembaca di tanah air. Sejalan dengan itu, karya sastra adalah tindak komunikasi atau gejala semiotik, yakni sistem komunikasi tanda. Fenomena sastra merupakan suatu dialektika antara teks dengan pembacanya dan antara teks dengan konteks penciptaannya (Riffaterre, 1978:1). Ia merupakan interpretasi pengarang atas lingkungan sosial dan dunia yang dihadapinya kemudian ditangkap oleh pembaca dengan interpretasi pula berdasarkan horison harapannya. Oleh karena itu, tanpa mengikutsertakan aspek kemasyarakatannya 41 yakni tanpa memandangnya sebagai tindak komunikasi, atau sebagai tanda, sastra tidak dapat dipahami secara ilmiah (Teeuw, 1984:43). Sejalan dengan itu, berkembangnya nilai-nilai multikultural yang kemudian mengkristal dalam multikulturalisme dalam kehidupan masyarakat merupakan sebuah keniscayaan. Keniscayaan itu kemudian melahirkan banyak karya sastra yang berdimensi multikultural. Sebuah genre sastra dengan ideologi yang relatif baru dalam sastra kita. Permasalahannya adalah (1) adakah karya sastra multikultural merupakan refleksi realitas sosial budaya masyarakat kita? dan (2) bagaimana eksistensi karya sastra multikultural dalam pembangunan budaya global? Adapun tujuannya adalah untuk (1) memaparkan sastra multikultural sebagai refleksi realitas sosial budaya masyarakat kita dan (2) mendeskripsikan eksistensi karya sastra multikultural dalam pembangunan budaya global. Prediksi bahwa akan terjadi perubahan besar dalam era globalisasi sebagai dampak kemajuan di bidang teknologi komunikasi yang mengakibatkan terciptanya dunia maya (cyber space) dalam kehidupan masyarakat sejak akhir abad XX telah diungkapkan oleh para futurolog seperti Alvin Toffler (1970), John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990), Harry J. Benda, dan lain-lain. Perkembangan teknologi komunikasi yang menghasilkan produk-produk teknologi informasi seperti televisi (TV) digital, video compact disc (VCD), digital video disc (DVD), laser disc, home theatre, film, ponsel (hand phone), komputer, dan internet, menimbulkan akselerasi perubahan nilai itu. Media elektronik dengan muatan budayanya mampu memberikan sugesti terhadap pemahaman, pandangan, dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai kehidupan, termasuk multikultarisme. Terjadinya perubahan nilai kehidupan itu sedang dan terus berlangsung dalam kehidupan masyarakat seiring dengan era globalisasi sehingga negara satu dengan lainnya tidak ada lagi sekat-sekat kecuali sekat teritorial. Dunia telah menjadi semacam perkampungan global (global village) sehingga komunikasi antarbangsa pun semakin mudah. Arus informasi begitu deras dari negara satu ke negara lain dengan mudah dan tak terbendung, terutama dari negara-negara maju (baca: Barat) menuju ke negaranegara dunia ketiga. Konsekuensi logisnya, transformasi nilai sosial budaya antaretnis dan antarbangsa dalam kehidupan masyarakat tidak terelakkan. Transformasi sosial budaya di Indonesia mengakibatkan terjadinya pergeseran, perubahan, bahkan perjungkirbalikan nilai kehidupan dalam masyarakat. Pola kehidupan masyarakat berubah dan bergerak dari agraris menuju masyarakat industrial dan metropolis, dari tradisional-statis menuju modern-dinamis, dari nilai lokal-daerah menuju nilai global-universal, dari keseragaman menju keberagaman, dari satu nilai menuju serba nilai, dari monokultural menuju multikultural. Inilah wajah masyarakat yang sedang berubah akhir-akhir ini sebagai konsekuensi logis adanya globalisasi dunia. Sebagai ilustrasi, kini dapat disaksikan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang dulu dipandang tabu kini justru dibanggakan banyak orang (misal: mode pakaian yang terbuka, sempit, cupet (Jawa), dan transparan, serta kebebasan bergaul dengan lain jenis atau sesama jenis). Sebaliknya nilai-nilai yang dulu dipandang baik kini cenderung mulai memudar atau menghilang (etika/sopan santun dalam pergaulan, kehormatan, kesucian, keramah-tamahan, sikap gotong-royong, sikap sosial, tolong-menolong). Di pihak lain nilai-nilai tradisi-lokal kedaerahan kini bersaing dengan nilai-nilai global-universal seiring dengan kemajuan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Nilai-nilai tradisi yang statis dan homogen mulai dipandang kuna, ketinggalan zaman karena terlalu banyak ikatan moral (etika). Muncullah kecenderungan baru bahwa 42 komunitas generasi muda mulai berkiblat kepada nilai-nilai global-universal yang dipandang lebih terbuka, bebas, demokratis, dan pluralistis. Dampak lebih lanjut, kini sulit disaksikan adanya budaya yang monokultural atau orisinal. Yang terjadi adalah “perselingkuhan” budaya baik antardaerah, antaretnik, antarras, maupun antarbangsa. Dengan kata lain nilai multikultural tampaknya diakui sebagai sebuah fenomena yang tak terbantahkan. Tradisi masyarakat Jawa yang dulu dikenal ketat pun, kini mulai longgar menerima nilai budaya lain sehingga sudah lazim dipadukan dengan budaya Barat. Sebagai ilustrasi, kini dalam upacara pernikahan dengan adat Jawa, misalnya, sepasang pengantin dan orang tuanya mengenakan busana tradisi Jawa sementara para panitia mengenakan pakaian Jas berdasi ala Barat dan dimeriahkan dengan lagu-lagu popular, qasidah, bahkan musik rock. Demikian pula dalam sebuah keluarga Jawa puritan yang berpandangan statis pun kini mulai terbiasa dengan suasana demokratis dan dinamis. Multikulturalisme kini telah menjadi realitas hidup yang tak terelakkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Fenomena transformasi sosial budaya yang kemudian melahirkan pluralisme budaya tersebut pada dua dekade terakhir tampaknya mulai merambah dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Tidak hanya dalam upacara seremonial, tradisi dalam keluarga, peristiwa kultural, dan pranata sosial, spirit multikultural mulai menjadi orientasi hidup di kalangan masyarakat modern terutama generasi muda. Tidak terkecuali spirit multikulturalisme juga terasa ‘menggeliat’ dan mewarnai dalam banyak karya sastra Indonesia. Agaknya para sastrawan Indonesia yang sensitif dan jeli mencermati perkembangan masyarakat, menangkap realitas multikulturalisme itu lalu merefleksikannya dalam karya sastra. Merebaknya multikulturalisme tidak terlepas dari adanya tiga teori sosial yang menjelaskan hubungan antarindividu dalam masyarakat dengan beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Menurut Ricardo L. Garcia (1982:37-42) teori sosial tersebut adalah: (1) Melting Pot I: Anglo Conformity (individu-individu yang beragam latar belakang seperti agama, etnik, bahasa, dan budaya, disatukan ke dalam satu wadah yang dominan); (2) Melting Pot II: Ethnic Synthesis (individu-individu yang beragam latar belakangnya disatukan ke dalam satu wadah baru, identitas agama, etnik, bahasa, dan budaya asli para anggotanya melebur menjadi identitas yang baru; dan (3) Cultural Pluralism: Mosaic Analogy (individu-individu yang beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk mengekspresikan identitas budayanya secara demokratis dengan tidak meminggirkan identitas budaya kelompok minoritas). Jika individu dalam suatu masyarakat berlatar belakang budaya lokal Jawa, nasional, dan universal misalnya, masing-masing individu berhak menunjukkan identitas budayanya, dan boleh mengembangkannya tanpa saling mengganggu satu dengan yang lain. Teori ketiga itulah yang dipandang paling sesuai dalam pengembangan masyarakat global yang pluralistis. Jadi, multikulturalisme mengakui hak kebebasan individu untuk tetap mengekspresikan identitas budayanya sesuai dengan latar belakang masing-masing termasuk gender. Inilah esensi multikulturalisme dalam masyarakat majemuk/heterogen dan pluralistis. Robinson (dalam Ekstrand, 1997:350), membagi pengembangan multikulturalisme menjadi tiga perspektif, yakni: (1) Perspektif Cultural Assimilation (model yang menunjuk pada proses asimilasi warga masyarakat dari berbagai kebudayaan atau masyarakat subnasional ke dalam suatu core culture atau core society; (2) Perspektif Cultural Pluralism (menekankan pentingnya hak bagi semua kebudayaan dan masyarakat subnasional untuk memelihara dan mempertahankan identitas kultural 43 masing-masing; dan (3) Perspektif Cultural Synthesis (sintesis dari perspektif asimilasionis dan pluralis, menekankan pentingnya proses terjadinya eksletisisme dan sintesis di dalam diri warga masyarakat, dan terjadinya perubahan di dalam berbagai kebudayaan dan masyarakat subnasional. Dari tiga teori itu, perspektif ‘sintesis multilkultural’ memiliki tingkat rasional yang paling mendasar dalam hakikat pengembangan masyarakat multikultural, yang oleh Ekstrand (1997:349) diidentifikasi dalam tiga tujuan yakni tujuan attitudinal, kognitif, dan instruksional. Pada situasi sekarang yang disebut oleh antropolog Appadurai (1991:28) sebagai global ethnoscape, budaya-budaya memang tetap memuat perbedaan tetapi perbedaan tidak lagi bersifat taksonomis, melainkan interaktif membedakan daripada sebagai sebuah esensi. Dengan kata lain, perbedaan (seperti halnya persamaan) dapat dipahami ibarat sebuah titik pada seutas tali yang dapat digeser ke kanan atau ke kiri. Terjadilah perubahan cara pandang dalam antropologi, misalnya, ethnic (etnik) menjadi ethnicity (etnitisitas, kesuku-bangsaan), dari Jawa menjadi ke-Jawa-an, dan seterusnya. Perbedaan budaya dapat dipahami sebagai suatu keniscayaan, bukan sesuatu yang perlu diperuncing karena pada hakikatnya dalam masyarakat pasti terdapat individu-individu yang latar belakangnya beraneka agam. Dengan demikian kita harus dapat menerima perbedaan pandangan dan budaya apa pun latar belakangnya. Jadi, pluralisme terdalam akan sampai pada kesepahaman bahwa perbedaan budaya mengartikulasikan hak-hak orang lain dan inti dari kesatuan dalam perbedaan ini. Multikulturalisme menciptakan struktur dan proses yang memperbolehkan ekspresi berbagai kebudayaan, komunitas, dan individual baik laki-laki maupun perempuan. Berlandaskan pemahaman di atas, dapat dikemukakan bahwa multikulturalisme adalah suatu pandangan dan sikap untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan masyarakat. Sikap seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan menerima dan memahami pluralitas sebagai keniscayaan hidup yang tidak dapat ditolak. Pada gilirannya muncul kesadaran bahwa keanekaragaman dalam realitas dinamik kehidupan adalah sebuah realitas yang tak dapat diingkari. Multikultralisme dengan demikian merupakan sebuah kesejatian dalam kehidupan masyarakat modern. Dewanto (1992:35) dalam konteks ini menyatakan, bahwa kita tidak sedang dan hidup dalam aneka dunia yang terpisah satu dengan lainnya, melainkan dalam berbagai dunia yang saling bersentuhan, saling pengaruh, saling memasuki satu dengan lainnya. Oleh karena itu, dunia kita bukanlah dunia yang plural melainkan dunia yang tetap saja tunggal tetapi bersifat multikultural. Pluralitas merupakan tahap awal dari proses ke arrah itu, salah satu jalan yang memungkinkan kita untuk toleran dan pada gilirannya terbuka untuk memasuki dan dimasuki. Jadi, sastra multikultural dapat diartikan sebagai sastra yang mengandung dimensi-dimensi pluralistik yang menyuarakan spirit multikultural baik dalam genre puisi, fiksi, maupun drama. Gagasan-gagasan dan semangat pluralistik terasa mendasari karya sastra multikultural itu. Dengan demikian kultur lokal, nasional, dan global semuanya dapat berinteraksi secara wajar tanpa harus dipertentangkan, masing-masing memiliki eksistensi dalam kehidupan masyarakat. Metode Penelitian Kajian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan mendasarkan pada logika induktif. Strategi penelitannya adalah studi kasus terpancang (embedded research and case study). Disebut case study karena penelitian ini memfokuskan kajiannya pada salah satu atau sekelompok karya sastra. Adapun disebut 44 embedded research karena sebelum terjun ke lapangan penelitian, peneliti sudah menentukan objek, masalah, dan tujuan penelitian. Objek penelitian ini adalah eksistensi sastra multikultural sebagai media komunikasi antarbangsa. Data penelitian ini berupa soft data yakni kata, ungkapan, kalimat, dan wacana yang mengandung unsur multikulturalisme yang tersebar dalam novel Ladang Perminus dan dalam berbagai karya sastra Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka, simak dan catat. Uji validitas data dilakukan dengan trianggulasi sumber data. Adapun analisis data dilakukan dengan metode contens analysis dan pemaknaannya dengan metode pembacaan model semiotik meliputi pembacaan heuristik dan hermeneutik. Hasil Penelitian dan Pembahasan Sastra Multikultural: Potret Masyarakat Pluralistik Karya sastra milik suatu bangsa dalam konteks kultural memberikan kesadaran tentang perspektif kultural dan sejarah yang terbentang di hadapannya, kesadaran tentang identitas kultural yang melekat padanya, kesadaran tentang pandanganpandangan dunia tertentu, dan nilai-nilai tertentu yang menjadi karakter bangsa itu yang ditawarkan oleh pengarang sesuai dengan orientasi kebudayaannya. Kebudayaan Indonesia yang bersifat bhinneka, merupakan tegangan antara kebudayaan lokal-daerah, nasional-modern, dan global-universal yang masih dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Adanya tekanan pengaruh internal dan eksternal yang cukup kuat, membuat budaya-budaya daerah mengalami berbagai perubahan. Hubungan antara kebudayaan nasional dan budaya daerah berubah terusmenerus, karena kedua pihak selalu berusaha menanggapi setiap tekanan yang dihadapinya, termasuk gempuran budaya asing dalam era globalisasi. Dalam konteks itu, kebudayaan terselenggara secara niscaya dan organik, merespon perubahan senegeri dan sejagad. Tak ada determinan tunggal dalam sejarah kebudayaan mana pun. Tidak ada wakil-wakil resmi kebudayaan Indonesia. Dengan demikian tidak perlu terjadi dikotomi kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah. Bahkan, menurut Dewanto (1992:87), setiap orang atau kelompok masyarakat secara potensial adalah pencipta kebudayaan. Hasil evolusi itu adalah bukti daya hidup kebudayaan kita sekaligus bukti makin tak terhindarnya pengaruh kebudayaan global, sehingga kebudayaan kita cenderung pluralistik. Berkat perpaduan berbagai kebudayaan tersebut, kebudayaan Indonesia selalu dinamis. Segenap kebudayaan itu hidup dan berfungsi dalam konteks situasi internasional yang sedang mengalami perubahan yang serba cepat. Untuk itu, perlu kita kaji bersama, bagaimana caranya memberdayakan kebhinekaan budaya atau multikultural ini sebagai suatu sumber daya potensial untuk pembangunan bangsa (nation building). Demikian pula dalam proses penciptaan karya sastra. Untuk itu, keterpaduan dan kepekatan kultur yang bersifat pluralistik akan dapat dicapai melalui program nasionalisasi budaya-budaya daerah, bukan program homogenisasi terhadap budaya-budaya daerah yang hanya akan menghasilkan suatu kesatuan yang bersifat hambar dan serba artifisial. Dengan demikian slogan Bhinneka Tunggal Ika benar-benar perlu dikembangkan. Adanya ‘perselingkuhan’ musik diatonis dan non-diatonis, misalnya dalam “Gamelan Kyai Kanjeng” yang dikomandani Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) atau dalam musik “Campur Sari” (bukan “Campur Saru”) Manthus dari Yogyakarta dan Didi Petet dari Solo, merupakan ilustrasi yang mudah dipahami. Demikian pula pementasan wayang kulit Ki Warseno Slank dari Solo dan Ki 45 Enthus dari Tegal yang mengawinkan musik gamelan Jawa dengan musik band bahkan nDhang-dhut. Dalam perkembangannya, agaknya pada masa depan tidak ada lagi kebudayaan tradisi yang terbebas dari pengaruh budaya-budaya lain baik antaretnis, antardaerah, maupun antarbangsa. Demikian pula dalam hal karya sastra, kecenderungan menuju pluralitas dan universalitas budaya merupakan keniscayaan yang sulit terhindarkan. Sastra multikultural merupakan jawaban atas kehidupan masyarakat yang sedang berubah menuju pluralistik serta refleksi terhadap realitas sosial budaya yang berkecenderungan global-universal. Pengarang yang peka terhadap masalah-masalah masyarakatnya terpanggil untuk merespons dan menginterpretasikan dalam wujud karya sastra. Sastra merupakan dokumen sosial budaya yang mencerminkan dinamika, dialektika, dan romantika masyarakat pada zamannya. Sastra adalah anak zamannya. Peran Sastra Multikultural dalam Pembangunan Budaya Global Sastra multikultural tidak terlepas dari adanya gagasan mengenai sastra kontekstual (Heryanto, 1985) dan posmodernisme (Dewanto, 1991). Gagasan mengenai sastra kontekstual membangun totalitas baru yang realis dengan menempatkan karya sastra sebagai produk dan proses historis yang nyata untuk memecahkan problemproblem yang nyata pula. Proses historis diartikan sebagai proses perjuangan kepentingan politik sekelompok anggota masyarakat. Jadi, yang menjadi pusat totalisasi dunia sastra adalah kepentingan politik (lihat Faruk H.T. (2001:42). Novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Tour memperlihatkan kecenderungan itu. Adapun yang muncul dalam posmodernisme adalah gagasan mengenai peniadaan pusat totalisasi dunia. Pandangan ini dapat diartikan sebagai peniadaan pusat-pusat budaya sehingga membentuk pluralisme budaya tetapi tidak mengarah pada etnosentrisme (Dewanto, 1992:11). Posmodernisme menawarkan suatu totalisasi yang beraneka ragam dan unik tanpa meniadakan totalisasi-totalisasi lain. Hal ini sesuai dengan teori Cultural Pluralism: Mosaic Analogy dan perspektif Cultural Synthesis yang telah dikemukakan di atas. Dalam pemahaman posmodernisme dengan perspektif inilah pengkajian sastra multikultural ini dilakukan. Sastra multikultural sebagai sistem komunikasi tanda, secara semiotik merupakan bagian dari proses ‘Indonesianisasi’ dari banyak ekspresi budaya termasuk di dalamnya cita-rasa lokal dan nasional. Bahkan, sastra multikultural menyediakan ruang terbuka bagi masuknya unsur-unsur dari mancanegara yang merupakan sebuah keniscayaan yang kemudian berkembang sebagai kebudayaan global yang mondial. Kini dapat disaksikan berbagai kebudayaan tradisi atau lokal yang tidak lagi murni melainkan sudah bervariasi dengan sentuhan unsur-unsur kebudayaan lain setelah mengalami ‘pergumulan’ dengan kebudayaan modern yang notabene kebudayaan mancanegara. Upacara ritual pernikahan dengan adat Jawa misalnya, sudah lazim berkolaborasi dengan kebudayaan universal; acara dibawakan dengan bahasa Jawa, para among tamu mengenakan Jas berdasi (lengkap), dan dimeriahkan dengan musik popular, rock, jazz, bahkan juga nDhangdhut (Melayu). Dengan semakin berkembangnya nasionalisme masyarakat kita, maka berangsurangsur fanatisme kedaerahan menipis dan menuju semangat keindonesiaan bahkan kehidupan universal global antarbangsa. Pada gilirannya hal itu juga mendorong adanya perubahan konsep sastra yang lebih bersifat pluralistik sehingga budaya lokal, nasional, dan budaya global dapat berkembang secara harmonis tanpa harus meminggirkan satu dengan lainnya. Jika dulu karya sastra kita kenthal dengan budaya etnis Indonesia, kini sastra multikultural memasukkan unsur-unsur budaya bangsa lain sehingga terciptalah 46 nuansa universal. Cita rasa ‘universal’ global-mondial semakin terasa dalam beberapa karya sastra mutakhir kita terutama sejak dekade 1990-an. Sebagai ilustrasi, novel Saman (1998) karya Ayu Utami mendobrak manstraim sastra Indonesia yang selama ini dipandang sangat patriarkal dan tabu membahas seksualitas. Bagi Ayu Utami masalah perempuan dan seksualitas –yang dulu dipandang tabu-- merupakan sesuatu yang universal sehingga perlu dibicarakan secara terbuka, gamblang, tidak perlu disembunyikan layaknya sesuatu yang haram. Tubuhku menari. Sebab menari adalah eksplorasi yang tak habis-habis dengan kulit dan tulang-tulangku, yang dengannya aku rasakan perih, ngilu, gigil, juga nyaman. Dan kelak ajal. Tubuhku menari. Ia menuruti bukan nafsu melainkan gairah. Yang sublim. Libidial. Labirin (Utami, 2006:115) Keperawanan adalah persembahan seorang perempuan kepada suami. Dan kau Cuma punya satu saja, seperti hidung. Karena itu, jangan pernah diberikan sebelum menikah, sebab kau akan menjadi barang pecah belah. Tapi, sehari sebelum aku dibuang ke kota asing tempat aku tinggal saat ini, aku segera mengambil keputusan. Akan kuserahkan keperawananku pada raksasa yang kukasihi (Utami, 2006:124-125) Novel Saman mengangkat konflik antara kepentingan ekonomi dan kultural masyarakat lokal dengan kepentingan ekonomi nasional bahkan global, terutama keserakahan kapitalis yang dibayangkan bersifat eksternal. Saman menempatkan persoalan tersebut dalam dan dengan ‘bahasa tubuh’ dan ‘bahasa hasrat’ yang ditindas oleh kekuasaan daya nalar dan tertib rasionalitas (lihat Faruk H.T., 2001:157). Saman menempatkan lokalitas sebagai salah satu bagian saja dari aneka permainan kekuasaan yang tersebar di mana-mana, dalam relasi gender, relasi keagamaan, relasi industrial, relasi pengetahuan (normal-tak normal), dan sebagainya. “Namaku Shakuntala. Ayah dan kakak perempuanku menyebutku sundal. Sebab aku telah tidur dengan beberapa laki-laki dan beberapa perempuan. Meski tidak menarik bayaran. Kakak dan ayahku tidak menghormatiku. Aku tidak menghormati mereka. Sebab bagiku hidup adalah menari dan menari pertama-tama adalah tubuh.” (Utami, 2006:115) Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itulah yang dinamakan perkawinan. Kelak, ketika aku dewasa, aku menganggapnya persundalan yang hipokrit. (Utami, 2006:120-121) Tidak ketinggalan Oka Rusmini melalui novel Tarian Bumi (2000) juga mendendangkan spirit multikultural sebagai media resistensi kultural (perlawanan) terhadap ketatnya adat atau budaya tradisi dalam masyarakat Bali yang masih hidup sampai sekarang. Tarian Bumi merupakan perlawanan terhadap budaya patriarkal dalam arti bagaimana kaum pradana (penari) tetap mampu eksis, berperan, dan survive dalam budaya patriarkal. Luh Sekar, seorang gadis desa –yang merasa dihinakan karena ayahnya dianggap terlibat PKI-- berusaha keras untuk menjadi pragina Joget Bungbung. Dengan menjadi pragina Joget, ia yakin akan dapat meningkatkan statusnya dari perempuan sudra (orang kebanyakan) menjadi terhormat, di samping mengangkat popularitas seka Joget desanya dan mendapatkan penghasilan bagi hidup keluarganya. Dengan sangat menarik Oka Rusmini dalam novel Tarian Bumi (2000) mengungkapkan perjuangan perempuan dalam melawan hegemoni kekuasaan laki-laki. Melalui tokohnya, Luh Sekar, Oka Rusmini mengeksplorasi kompetensi perempuan yang dipinggrikan guna membuktikan eksistensinya yang tidak boleh diabaikan oleh kaum laki-laki. Hal itu dapat disimak dalam kutipan berikut. “… Sejak kapan orang-orang di desa ini melarang gadis cantik sepertiku ikut menari?” “Salahkah kalau sekarang aku ingin jadi penari yang dipuja-puja? Penari yang dapat 47 menghidupkan sekeha joget desa ini! Begitu banyak sekeha joget yang muncul. Kudengar mereka semua memiliki pragina yang luar biasa. Di atas panggung tubuh pragina-pragina itu benar-benar jadi api yang membakar setiap nafas laki-laki. Luar biasa. Aku ingin melebihi pragina-pragina itu. Aku yakin Kenten, aku bisa melakukannya.” (Tarian Bumi, 2000:20-21.) Karya sastrawan angkatan terdahulu, misalnya, Y.B. Mangunwijaya dalam novel Burung-Burung Manyar (1981), Rara Mendut (1983), dan Burung-burung Rantau (1993), memiliki benang merah mengangkat masalah multikultural. Dalam Burungburung Manyar (1981) ditampilkan cara khas orang orang Jawa dalam menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu secara kultural akan membangkitkan kesadaran akan pluralisme bahasa Indonesia. Dengan memanfaatkan cerita wayang yang sudah popular sebagai model cerita, novel tersebut menampilkan cara hidup dan cara pandang kelompok masyarakat serdadu KNIL yang khas, yang berbeda dengan cara hidup dan cara pandang masyarakat Indonesia pada umumnya, misalnya dalam nasionalisme dan revolusi. Dalam Roro Mendut, secara aktual Romo Mangun mempertanyakan kedudukan Roro Mendut masa kini yang mendapat nama baru wanita karier di tengah budaya masyarakat yang masih sangat patriarkal. Adapun Burung-Burung Rantau menampilkan tokoh-tokoh cerita yang dapat hidup di berbagai pusat budaya, seperti Jawa, Belanda, India, Yunani, dan Swis. Mereka hidup dalam kesadaran pluralisme budaya yang sangat dinamis tanpa harus kehilangan jati dirinya. Tidak kalah menariknya dengan Burung-Burung Manyar, Burung-Burung Rantau (BBR) mengungkapkan multikulturalisme dengan sangat indah dalam kehidupan masyarakat modern yang berlatar belakang budaya Jawa. Bagaimana para tokoh menanggapi orang-orang yang memiliki pluralisme pandangan dan sikap budaya namun tetap dapat selaras dalam sebuah harmoni kehidupan keluarga. BBR mengusung persoalan-persoalan multikultural dalam hal ini perkembangan kehidupan masyarakat kita yang menunjukkan kecenderungan ke arah budaya global dengan multikulturalisme sebagai konsekuensinya, yang tidak lagi terikat oleh satu budaya etnis yang kaku dan tabu. Berbagai nilai budaya antarbangsa dan antaretnis saling berbaur dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Masalah itu disajikan dalam BBR sekaligus diungkapkan adanya perbedaan pandangan antargenerasi dan perkawinan budaya tradisi (lama) yang masih berpijak pada bumi Indonesia dengan budaya modern yang berorientasi global. Generasi tua diwakili oleh pasangan Wiranto dan Yuniati, istrinya, sedangkan generasi modern pasca-Indonesia yang berkecenderungan global diwakili anak-anaknya: Anggi (Anggraini), pengusaha yang melanglang buana di banyak negara, Wibowo yang bekerja di Swiss, Candra yang menjadi pilot pesawat dan banyak studi kedirgantaraan di Amerika, dan Neti yang suka hidup bebas bagai burung rantau yang dapat terbang sesuai dengan suara hatinya, serta Edi, si bungsu yang terpengaruh oleh pandangan Karl Marx. Sebagai ilustrasi, mencairnya budaya Timur dan budaya Barat merupakan gagasan multikultural yang diungkapkan dalam BBR. Multikulturalisme berpandangan bahwa tidak ada lagi pusat-pusat kebudayaan yang dianggap dominan baik lokal-daerah, nasional, dan universal-global, maupun Barat dan Timur. Semua kebudayaan itu dalam kehidupan manusia yang heterogen dan pluralistik dapat hidup berdampingan tanpa merendahkan satu dengan lainnya. Bagi multikulturalisme, setiap kebudayaan memiliki eksistensi tersendiri. Oleh karena itu semuanya harus dihargai dan saling menghormati. Pandangan ini dilontarkan oleh pengarang melalui dialog antara Gandhi, Neti, dan Candra berikut. 48 “Inilah patungan kebudayaan Barat yang telah berkembang ke arah lain dari bangsaku yang kelak, selain dunia Cina dan Jepang, disebut Timur.” Gumam Gandhi merenungrenung, seolah-olah mendarasd kitab-kitab silsilah, seperti ada sesuatu yang ia sesalkan. “Padahal nenek moyang orantg-orang dan kebudayaan Hellen di Yunani Antik ini sama akarnya: orang-orantg Indo-Jerman ras Nordik dari Asia Sentral. Sungguh misteri, kami mengikuti garis-garis mitologi yang serba berbahasa lambang, dongeng, imajinasi, dan puisi; sedangkan orang-orang di sini menempuh jalan yang justru melawan dunia mitologi dan bahasa-bahasa perasaan, tegas mengandalkan diri kepada rasio, kemerdekaan berpikir, dan jiwa eksplorator yang tidak puas dengan apa yang didapat. Kami cinta pada segala yang statis, yang jangan berubah. Bagi kami, yang permanen, yang abadi, itulah yang terpuji, yang berbobot, yang keramat. Yang memberi ketentraman hati adalah jiwa bagaikan angin bambu dan gelagah rawa-rawa yang menyesuaikan diri dengan irama serta nafsu-nafsu alam; sedangkan budaya Hellen, benih Barat, senantiasa haus, tidak pernah puas, petualang-petualang dan pemberontak yang senang kalau menghadapi yang bergerak dan menempuh bahaya misterius yang tidak dikenal..... (BBR, 1993: 237). Bagaimanapun kemajuan yang dicapai orang Barat, mereka juga memiliki kelemahan. Mereka sering menjadi rakus, serakah, sehingga sering merusak alam. Oleh karena itu, bagi kita, orang Indonesia, harus dicari jalan tengah yang dapat mencairkan antara Barat dan Timur yang sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan. Kutipan berikut melukiskan hal itu. “Tetapi, yang sayang, akhirnya memperkosa dan merusak alam kediamannya sendiri, akibat serakahnya. Dengan perangai yang selalu haus, tidak pernah puas, tidak pernah seimbanglah jiwa petualangan mereka,” sanggah Gandhi. “Kukira,” sambung Mas Candra, “orang-orang kita harus mencari jalan kencana tengah. Kemudian aku barangkali boleh dipensiun. Tetapi aku pun sudah dihinggapi penyakit Ikarus dan petualang-petualang Barat itu, jujur harus kuakui. Aku tidak bisa lagi tenang dan damai duduk di rumah kalau tidak dapat masuk dalam salah satu burung perang itu dan mengarungi dirgantara. (BBR, 1993:238-239) Selain melalui dialog di atas, perkawinan Bowo (Jawa, Indonesia) dengan Agatha, orang Yunani, merupakan simbolisasi dari kekuatan budaya Barat dan Timur. Budaya Barat yang tidak pernah puas, petualang yang terus bergerak dinamis, dan eksplorator alam yang terkadang menjadi serakah, sedangkan budaya Timur cinta kepada keabadaian, yang permanen, yang sakral, yang mendatangkan ketenteraman. Demikian pula Abidah El Khalieqy dalam puisi “Perempuan yang Ibu” dan “Aku Hadir” (dalam Rampan, 1997:484-485). Kedua sajak ini mencoba melantunkan multikulturalisme terutama dalam ‘menghadirkan” sosok perempuan –yang selama ini sering dimarginalkan-- yang memiliki eksistensi yang tidak boleh diabaikan di tengah budaya masyarakat Indonesia yang patriarkal. Puisi “Aku Hadir” berikut melukiskan hal itu. Aku perempuan yang menyeberangi zaman membara tanganku mengenggam pusaka, suara diam menyaksikan pertempuran memperanakkan tahta raja-raja memecahkan wajah, silsilah kekuasaan Aku perempuan yang merakit titian menabur lahar berapi di bukit sunyi membentangkan impian di lading-ladang mati musik gelisah dari kerak bumi Aku perempuan yang hadir dan mengalir membawa kemudi 49 panji matahari Aku perempuan yang kembali dan berkemas pergi. Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (RDP, 1981-1987; 2003) karya Ahmad Tohari juga memperlihatkan kecenderungan multikulturalisme tersebut. Seperti BurungBurung Manyar karya Mangunwijaya, RDP menunjukkan kecenderungan serupa dengan menempatkan lokalitas Jawa sebagai bagian dari kebhinnekaan Indonesia. Daya pukau novel trilogi RDP terletak pada pengungkapannya mengenai cara hidup dan cara pandang yang khas dari masyarakat pedesaan yang ‘terpencil’ di Jawa Tengah (Banyumas). Cara pandang mereka mengenai hubungan seks bebas dalam dunia ronggeng yang lugu dan polos merupakan local genius yang mampu mencuatkan novel ini di tengah pluralisme global. Melalui tokoh Srintil, RDP merupakan wujud resistensi budaya, juga resistensi kaum perempuan terhadap hegemoni kekuasaan laki-laki. Bagi Srintil, sang ronggeng, menjadi ronggeng merupakan tugas budaya yang mesti ditunaikan sehingga hal itu membuatnya bangga. Dengan menjadi ronggeng, Srintil merupakan duta budaya yang mewakili perempuan dan keperempuanan yang mengampu naluri-naluri kelelakian. Pengampuan ini dalam pandangan orang-orang Dukuh Paruk merupakan keniscayaan agar terjadi keselarasan dan keseimbangan (harmoni) antara perempuan dan laki-laki yang bersama-sama hadir dalam sebuah kehidupan. Oleh karena itu, pada posisi sebagai duta keperempuanan, Srintil tidak melihat laki-laki sebagai pihak yang superior dan menguasainya. Bagi Srintil, lelaki dan kelelakian merupakan imbangan perempuan dan keperempuanan. Artinya, perempuan dan laki-laki tidak dipandang secara dikotomis. Dia tidak merasa lemah ketika berhadapan dengan laki-laki. Dia sadar bahwa laki-laki memang memiliki kekuatan secara fisik, namun dia juga tahu laki-laki memiliki banyak kelemahan terutama yang berupa kebutuhan pengakuan atas “kelelakian” mereka. Pada saat itulah justru perempuan “Srintil” hadir dengan keperkasaannya. Srintil tahu bahwa laki-laki segagah apa pun dapat menjadi sangat ringkih (lemah) dan merengek-rengek ketika dia sedang mabuk kepayang. Oleh karena itu, Srintil tidak menganggap laki-laki lebih kuat daripada perempuan atau sebaliknya. Bahkan, secara pribadi Srintil menganggap bahwa laki-laki adalah makhluk yang lemah. Hal itu terbukti oleh realitas berpuluh-puluh laki-laki hanya dapat melongo dengan pikiran kalang kabut hanya oleh lirikan mata, pacak gulu-nya, atau geyol-nya (goyang pinggul erotis) ketika Srintil sedang menari. Dalam karya-karya sastra di atas tampaklah bahwa lokalitas seperti pandangan Lyotard (1991:29-30) bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan dari globalitas, lingkungan eksternal yang plural, melainkan sesuatu yang dapat memberikan pengayaan dan makna pada lingkungan global yang plural. Saman, Burung-Burung Manyar, Burung-Burung Rantau, Ronggeng Dukuh Paruk, telah menempatkan lokalitas sebagai salah satu dari aneka permainan kekuasaan yang tersebar di berbagai tempat, dalam relasi gender, relasi keagamaan, relasi industrial, relasi pengetahuan, dan sebagainya. Jika dikaji lebih lanjut, masih banyak tentunya karya sastra yang menyuarakan multikulturalisme yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini. Kecenderungan multikultural tampak sekali pada karya-karya para sastrawan dalam dua dekade terakhir ini yang memperlihatkan adanya pluralisme budaya dalam perspektif posmodernisme. Dari segi ekspresi terlihat pada stilistika dan gagasangagasan yang ditawarkan dengan penuh keterbukaan, kebebasan berekspresi, keberanian, dan ‘kejujuran’. Masalah-masalah yang dikemukakan itu misalnya: masalah 50 perselingkuhan, poligami, keadilan gender, budaya etnis, budaya bangsa lain, resistensi terhadap budaya patriarkal, lesbianisme dan homoseksual, bahkan seksualitas diperbincangkan secara terbuka dan penuh antusias, oleh pengarang perempuan lagi. Masalah itu terlihat pada puisi karya Afrizal Malna “Winter Festival” (1995) dan “Lelaki yang Menjadi Seekor Burung” (1996), kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma Saksi Mata (1994), dan kumpulan cerpen Mereka Bilang Aku Monyet (2002) karya Djenar Mahesa Ayu yang kaya nuansa kehidupan modern yang pluralis dan unsur seksualitas yang diungkapkan secara gamblang dengan penuh keterbukaan dan kejujuran. Di sisi lain terdapat pula tema religius dan kemanusiaan yang menyentuh nurani yang membawa pembacanya mengembara di alam spiritual yang transendental. Masalah-masalah tersebut dapat dikaji misalnya pada novel Dadaisme (2004) karya Dewi Sartika dan Geni Jora (2004) –keduanya pemenang sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2004-- karya Abidah El Khalieqy, yang menyoroti masalah ketidakadilan gender. Tidak ketinggalan puisi-puisi Ahmadun Yossi Herfanda Sembahyang Rumputan (1996), “Sajak Mabuk Reformasi” (1998), dan “Resonansi Indonesia” (1999) yang mengangkat pluralisme budaya, etnisitas, dan religiusitas transenden yang dapat dihayati oleh pemeluk agama apa pun. Demikian pula novel Namaku Teweraut (2000) karya Ani Sekarningsih yang sarat dengan masalah budaya etnis, agama, dan kesetaraan gender. Tak ketinggalan Garis Tepi Seorang Lesbian (2003), dan Dejavu (Sayap yang Pecah) (2004) karya Herlinatiens yang mengeksplorasi masalah lesbianisme. Karya-karya sastra tersebut menjadi media mengekspresikan budaya global. Perkembangan teknologi komunikasi yang membawa akibat membanjirnya informasi dari mancanegara ke negara kita tidak serta merta membuat karya sastra dijauhi masyarakat. Bahkan, seiring dengan makin meningkatnya pendidikan dan kualitas sumber daya insani, ada kecenderungan karya sastra semakin banyak dibaca oleh warga masyarakat terutama kelas menengah atas. Betapa pun saratnya permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya sastra haruslah tetap merupakan karya seni yang menarik, bangunan strukturnya koheren, dan mempunyai nilai estetik. Melalui sastra, secara tidak langsung pembaca dapat belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang ditawarkan pengarang. Itulah sebabnya, karya sastra berpeluang untuk dapat membuat pembacanya menjadi lebih arif, terbuka, demokratis, peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan, dapat melakukan bukan hanya simpati, melainkan empati kepada orang lain. Sastra dapat memperkaya khazanah batin pembacanya. Simpulan Lahirnya sastra multikultural tidak terlepas dari perubahan dan perkembangan masyarakat kita yang cenderung menuju pluralistik. Kecenderungan masyarakat yang pluralistik tersebut direspons oleh pengarang kemudian diinterpretasikan dan direfleksikan dalam karya sastra multikultural. Sastra multikultural menyuarakan budaya global-universal atau keberagaman (pluralitas) yang memberikan ruang terbuka bagi kultur apa pun untuk saling berkolaborasi. Sastra multikultural yang merujuk pada posmodernisme makin banyak terlahir dari tangan-tangan sastrawan muda bahkan tangan-tangan lembut sastrawan perempuan yang “wangi”. Sastra multikultural memiliki potensi besar sebagai media pembangunan budaya global-universal. Bahkan, sastra multikultural berpotensi juga sebagai salah satu media dalam pembangunan karakter bangsa (nation and character building) khususnya 51 dalam membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya keterbukaan terhadap keanekaragaman budaya. Kekayaan aneka ragam budaya dalam sastra multikultural menjadikannya sebagai media komunikasi yang dapat menembus batas agama, etnis, golongan, bahasa, budaya dan bangsa sejalan dengan era posmodernisme dalam pluralisme global yang merupakan sebuah keniscayaan. Sebagai catatan, sejalan dengan berkembangnya pluralisme global dalam kehidupan masyarakat, sosialisasi nilai-nilai multikultural melalui pengkajian sastra termasuk dalam dunia pendidikan agaknya menjadi penting. Di sekolah dan perguruan tinggi, sosialisasi multikulturalisme dapat dilakukan melalui proses pembelajaran sastra dan kegiatan ekstrakurikuler seperti sanggar sastra dan teater. Pengajar dapat mengajak siswa untuk mengapresiasi karya sastra dengan membaca, menginterpretasikan, dan mementaskannya, atau menulis sastra. Siswa/mahasiswa dapat memperbincangkan masalah-masalah pluralisme dan keanekaragaman budaya yang terkandung dalam karya sastra. Secara paradoksal sastra multikultural dapat menjadi ‘juru bicara’ yang fasih yang mampu memadukan unsur lokal, nasional, dan global dengan penuh kedamaian, kerukunan, dan kesalingmengertian dalam sebuah simfoni. Daftar Rujukan Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2003. “Signifikansi Ilmu-Ilmu Humaniora dalam Pembangunan Bangsa” dalam Transformasi Budaya (Maryadi dan Abdullah Aly, Ed.). Surakarta: Muhammadiyah University Press. Appadurai, Arjun. 1991. “Global Ethnoscape: Notes and Quenesfor Transnational Anthropology” dalam Recapturing Anthropology Working in the Present. Richard G. Fox (Ed.). Santa Fe, New Mexico: School of American Research Press. Dewanto, Nirwan. 1991. “Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991” dalam Prisma No. 10 Tahun XX, Oktober 1991. _______. 1992. “Seni di Zaman Global”, Festival Mahasiswa Seni se-Indonesia 1992. Yogyakarta: Senat Mahasiswa ISI Yogyakarta. Ekstrand, L.H. “Multicultural Education” dalam Saha, Lawrence J. (Eds.). 2007. International Encyclopedia of the Sociology of Education. New York: Pergamon. Faruk H.T. 2004. Beyond Imagination Sastra Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta: Gama Media. Garcia, Ricardo L. 1982. Teaching in a Pluralistic Society: Consepts, Models, Strategies. New York: Harper & Row Publisher. Heryanto, Ariel. 1988. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali Press. Naisbitt, John and Aburdene, Patricia. 1990. Ten New Directions for the 1990's Megatrends 2000. Megatrends Ltd. Rampan, Korrie Layun. 1997. Wanita Penyair Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. _______. 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo. Riffaterre. 1978. Semiotic of Poetry. Blomington and London: Indiana University Press. Teeuw, A. 2007. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Toffler, Alvin. 1987. Kejutan Masa Depan (Terj. Sri Koesdiyantinah). Jakarta: PT Pantja Simpati. Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 52 DARI MARIA DERMOỦT (1955) KE SYLVIA PESSEIRERON (2012). MENCERMATI ZONA KONTAK (PASCA)KOLONIAL DALAM 4 TEKS SASTRA BERLATAR AMBON DARI RANAH SASTRA HINDIA-BELANDA Christina Suprihatin (Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia) Abstrak: Karya dari ranah Sastra Migran yang menghadirkan permasalahan yang terkait dengan keberadaan kaum migran di Belanda sudah dikenal sejak dua dasawarsa terakhir abad yang lalu. Pada saat ini teks tersebut masih saja menjadi objek penelitian yang menarik. Namun sebenarnya dalam ranah Sastra Belanda telah terlebih dulu ditemukan sekelompok penulis yang memiliki permasalahan yang serupa, dan mereka menuangkan ekspresinya dalam teks yang masuk dalam kategori sastra Hindia-Belanda. Sastra Hindia-Belanda memiliki keunikan karena secara tematik selalu berkaitan dengan Hindia atau Indonesia. Dalam ranah itu juga ditemukan karya yang ditulis oleh para pengarang keturunan Maluku. Dalam tulisan ini beberapa 3 karya perempuan penulis keturunan Ambon akan dikaji untuk mendapatkan gambaran bangun zona kontak dalam ruang kolonial. Karya dari Wies van Groningen (2005), Yvon Muskita (2008), dan Sylvia Pesseireron (2012) ditelaah dengan mencermati fokalisasi para tokoh perempuan saat mereka ‘memotret’ Ambon. Dalam hal ini pendapat Marry L. Pratt (1991) mengenai contact zones menjadi dasar pemikiran untuk menelaah pengamatan ruang. Teori fokalisasi yang digagas Bal (1999) digunakan untuk memahami dan memaknai pencermatan itu. Terkait dengan konteks kesejarahan, karya Maria Dermout (1955), yang berlatar Ambon ditelisik dan selanjutnya ia menjadi model pembanding untuk tiga karya lainnya. Ketika keempat karya itu dibaca dengan kacamata poskolonial, muncul pertanyaan bagaimanakah zona kontak yang direpresentasikan pada masing-masing karya? Apakah gambaran yang dihadirkan mengalami pergeseran yang signifikan, mengingat rentang waktu penciptaan karya. Kata kunci: penulis keturunan Maluku, diaspora, rekonstruksi gambaran Maluku, sastra Hindia-Belanda Latar Belakang Peristiwa yang terjadi pada masa kolonial dan dampaknya masih saja menjadi pusat perhatian di Negeri Belanda, berbagai tulisan dan telaah ilmiah yang terkait dengan masa lalu Belanda sebagai kolonis secara berkala dipublikasikan. Dalam bidang sastra, perhatian itu nyata terlihat pada berbagai karya dari ranah Sastra Hindia-Belanda. Menurut Nieuwenhuys (1978) sastra Hindia-Belanda mewadahi berbagai teks yang secara tematik membatasi diri pada hal-hal yang terkait dengan Hindia-Belanda dari masa VOC hingga masa kini. Dalam ranah sastra Hindia-Belanda juga ditemukan beberapa karya yang ditulis oleh penulis keturunan Maluku. Pada tahun 1985 publik Belanda dikejutkan dengan karya Frans Lopulalan yang berjudul Onder de sneeuw een Indisch graf (Sebuah makam Indo di bawah salju). Dalam kumpulan cerita itu, sosok ayah yang pensiunan anggota KNIL, menjadi ‘model’ bagi para ayah Maluku yang karena pekerjaan mereka harus bermigrasi ke Belanda. Di barak-barak penampungan sosok ayah itu membesarkan anak-anaknya dengan pendidikan Timur yang keras. Pengarang keturunan 53 Maluku di Negeri Belanda yang sekarang masih aktif menulis ini merupakan generasi kedua14 keturunan Maluku. Rekonstruksi gambaran Maluku, diaspora dan dampaknya menjadi isu yang paling menonjol dalam karya para penulis keturunan Maluku. Terkait dengan isu yang pertama, muncul pertanyaan bagaimana Maluku direkonstruksi dalam karya yang ditulis oleh perempuan penulis keturunan Maluku di Negeri Belanda? Pilihan yang dijatuhkan pada perempuan penulis bukan karena pertimbangan gender semata. Seleksi juga dikaitkan dengan konteks kesejarahan. Pada tahun 1955 Maria Dermoût, seorang perempuan penulis terkemuka dalam ranah sastra Hindia-Belanda mempublikasi karya yang berlatar pulau Ambon. De tienduizend dingen (Sepuluh Ribu Benda) diapresiasi dengan baik tidak hanya di Negeri Belanda, karya ini telah diterjemahkan dalam setidaknya tiga belas bahasa, penerbit Pustaka Jaya menerbitkannya dalam bahsa Indonesia dengan judul Taman Kate-Kate (1975). Rekonstruksi Maluku dan Zona Kontak Cerita karya Wies van Groningen (2005) Mijn voormoeders van de Molukken15 (Nenek Moyangku dari Maluku), karya Yvon Muskita (2008) Snijden en stikken. Het verhaal van kleermaker Boeng (Memotong dan menjahit. Kisah Boeng, si tukang jahit), dan roman Sylvia Pessireron (2012) De verzwegen soldaat (serdadu yang membisu) dikaji dengan mencermati gambaran Maluku yang dihadirkan. Dalam tulisan ini rekonstruksi Maluku dalam tiga karya tersebut menjadi oposisi binari dari karya Maria Dermoût. Rekonstruksi gambaran Maluku yang dicermati oleh para tokoh di Negeri Belanda dalam tiga karya perempuan penulis keturunan Maluku dikontraskan dengan gambaran Maluku yang dicermati oleh sosok tokoh yang berada di Hindia. Dalam naratologi, Bal (1978) memilah tiga tingkatan yang ada dalam sebuah teks sastra, yaitu geschiedenis (cerita), verhaal (kisah), dan teks. Teks naratif ditulis oleh seorang pengarang berisi cerita yang dituturkan oleh pencerita, dalam cerita ditemukan kisah yang merupakan lakuan dan ujaran para tokoh. Selain menuturkan lakuan mereka, terkadang para tokoh dalam cerita mengujarkan pengamatan dan penilaian mereka atas suatu objek, tindak ini dikenal sebagai fokalisasi16. Fokalisasi dalam penelitian ini digunakan untuk mencermati gambaran (ruang) Maluku sebagai tempat pertemuan berbagai budaya, sebuah contact zone. Peristilahan 14 Generasi kedua merujuk kepada kelompok penulis keturunan Maluku yang orang tua mereka bermigrasi ke Belanda. Mereka lahir dan dibesarkan di Belanda. Kelompok ini tidak pernah tinggal di Maluku dan mendapatkan pengetahuan mengenai Maluku dari orang tua mereka dan/atau anggota keluarga lainnya. Pengetahuan mengenai Maluku dan wilayah lain di Hindia juga dibangun dari berbagai praksis budaya pada saat mereka berada dalam komunitas Maluku di Negeri Belanda. Kelompok ini merekonstruksi gambaran Maluku berdasarkan pengetahuan yang mereka dapatkan dan menciptakan ‘mite’ mengenai Maluku. Karena diasopra yang dilakukan orang tua mereka bukanlah migrasi individual namun merupakan dampak dari berakhirnya kolonisasi di Hindia, seringkali dalam karya para penulis generasi kedua ini ditemukan berbagai motif yang terkait dengan kesejarahan dan dampak migrasi dari Hindia ke Belanda. Isu-isu yang terkait dengan permasalahan diaspora, seperti identitas, represi, resistensi dan negosiasi yang dilakukan orang Maluku di Negeri Belanda menjadi hal yang mengemuka dalam karya para penulis generasi kedua. Lebih dalam cermati tulisan Bert Paasman(2003) mengenai keberadaan penulis generasi kedua dalam sastra Hindia-Belanda. 15 beberapa fragmen dalam cerita tersebut sudah lebih dulu dipublikasikan dalam Clara Hukom; Verhalen uit Blangkedjerèn (1995) dan Is militair, is militair (2000). 16 Pengertian fokalisasi dikutip dari Bal (1978) dan dikembangkan dalam Bal (1997). 54 ini dipinjam dari pemikiran Pratt (1991). Dalam ruang kolonial selalu ada tempat, dan kesempatan yang mempertemukan penjajah dan yang dijajahnya, Pratt mendefiniskan zona kontak sebagai ‘social spaces where cultures meet, clash, and grapple with each other, often in contexts of highly asymmetrical relations of power, such as colonialism, slavery, or their aftermaths as they are lived out in many parts of the world today’. Meskipun gambaran Maluku/Hindia yang direkonstruksi tidak lagi berada dalam sebuah ruang kolonial yang nyata, pada praktiknya di Negeri Belanda masih ditemukan zona kontak serupa yang di dalamnya terjadi relasi kuasa yang asimetris. Zona kontak yang ditelaah dalam tiga karya perempuan penulis keturunan Maluku meliputi ruang pertemuan pascakolonial yang mempertemukan orang Maluku dengan anngota kelompok Maluku lainnya, dan dengan kelompok budaya lain, misalnya Belanda. Persinggungan budaya sesama orang Maluku di Belanda terjadi dalam berbagai ruang, salah satunya adalah barak-barak penampungan yang menjadi tempat tinggal orang tua para tokoh ketika mereka pertama kali berada di Belanda. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa orang tua mereka bekerja sebagai serdadu KNIL17 (Het Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger). Ambon: Sepuluh Ribu Benda dalam Satu Kesatuan Maria Dermoût (1988-1962) tinggal di Ambon pada tahun 1910-1914 mengikuti suaminya, Isaac Johannes Dermoût, yang bertugas sebagai hakim. De tienduizend dingen dibagi enam bab yang pada awalnya sepertinya tidak saling terhubung: ada bab tentang manusia, binatang dan benda-benda lainnya di pulau Ambon, lingkungan hidup di Ambon dengan berbagai tumbuhan, laut dan beragam kerang, dan tentang mite dan tradisi di Ambon. Enam bab itu ternyata saling terhubung dan memiliki satu kesamaan, yaitu hadirnya ‘kematian’ dalam lima bab pertama. Keterkaitan tokoh utama dalam roman ini, sosok Felicia18 (= Mevrouw Van Kleyntjes) dengan lima kematian itu diungkap dalam bab terakhir. Dalam bab terakhir yang berjudul Allerzielen (para arwah) Felicia bertemu dengan mereka yang telah mati dan ia juga berkesempatan berbicara dengan pihak-pihak yang disangkakan bertanggung jawab atas kematian itu dalam sebuah pertemuan. Dalam bab terakhir harmoni dihadirkan: masa lalu dengan masa kini, dan antara yang sudah meninggal dan yang masih hidup. Syair dari penyair Cina abad 17 KNIL didirikan pada tahun 1830, dan memiliki peranan yang sangat penting dalam berbagai perang yang terjadi di Hindia, misalnya dalam Perang Aceh. Pada saat pembentukannya setengah dari anggota KNIL berasal militer Hindia, misalnya Korps Barisan Madura. Jumlah penduduk lokal yang bergabung dengan KNIL terus meningkat. Setelah Perang Dunia Pertama, tiga perempat dari anggota KNIL merupakan penduduk lokal wilayah koloni, sebagian besar mereka berasal dari Jawa dan Maluku Selatan. Posisi perwira dalam KNIL hanya boleh diduduki oleh orang Belanda. 18 Selama tinggal di Ambon Maria Dermoût bersahabat dengan Johanna Louisa van Aart, perempuan keturunan Belanda yang sudah bergenerasi lamanya tinggal di Ambon. Johanna Louisa van Aart mengelola sebuah hotel di kota Ambon dan memiliki sebuah rumah peristirahatan di Kate-Kate. Persahabatan dengan Van Aart mengantarkan Dermoût mengenal banyak teks mengenai Ambon, di antaranya dua karya dari biolog abad ke-17 Georg Everhard Rumphius (1627-1702), D’Amboinsche Rariteitkamer dan Het Amboinsche Kruidboek. Sosok perempuan inilah yang menginspirasi Dermoût dalam penciptaaan sosok Felicia, tokoh utama dalam buku De tienduizend dingen (Freriks, 2000: 116-119). 55 ke tujuh, Ts’ên Shên19 menginspirasi Maria Dermoût, dan menjadi motto yang diletakkan di bawah judul buku. Ruang dan tempat dalam karya Maria Dermoût menentukan identitas para tokoh. Zona kontak yang dihadirkan Dermoût – baik secara geografis maupun imajiner – memperlihatkan persinggungan berbagai budaya di Ambon, antara Eropa (Belanda, Skotlandia) dengan budaya lokal (berbagai kelompok di Maluku, Jawa). Persinggungan budaya yang terjadi meski diwarnai dengan banyak kekerasan - lima kematian dalam enam cerita bukanlah jumlah yang kecil – juga menawarkan pembelajaran. Dalam berbagai skala, misalnya ketidakharmonisan dalam masyarakat yang memunculkan rasa saling curiga, memperlihatkan betapa rentannya persinggungan budaya tersebut. Dalam kutipan berikut ini diperlihatkan ketidakharmonisan. (…) Watvoor mensen? (…) dit waren de mensen van het eiland niet, dit waren ‘de zwervers van de zee’, Binongko’s, zij hadden wel ergens een eigen eiland, velen van hen woonden op het eiland Boeton; zij bouwden die grote zeewaardige praauwen en zwalkten met kleine troepen over zeeën, gingen hier en daar eens aan land, brandden het oerwoud af, trokken een paar hutten op, legden paar veldjes aan, vingen een visje in de baai, en verdwenen dan weer, alles platgebrand achter zich latende. Zij waren een vreemd schuw soort mensen, zij spraken een eigen taak die niemand verstond, niemand wilde ook met hen te maken hebben20. (De professor, hal. 266-267) Dalam kutipan di atas Raden Mas Soeprapto, seorang bangsawan dari kraton Solo Jawa Tengah yang menjadi asisten profesor dari Skotlandia yang melakukan studi di Ambon - memfokalisasi pandangannya terhadap orang Binongko. Soeprapto, yang digambarkan sebagai keturunan bangsawan Jawa memposisikan dirinya sejajar dengan penduduk lokal pulau Ambon dalam mencermati orang Binongko. Dalam zona kontak itu jelas hadir relasi kuasa, Soeprapto yang orang Jawa menempatkan orang Binongko sebagai yang Liyan. Sebagai asisten sang profesor, ia menjadi pihak inferior, namun ia memiliki kelebihan pengetahuan mengenai wilayah Hindia. Sebaliknya sang profesor sebagai pihak superior juga digambarkan mempunyai kekurangan, ia dengan segala kelebihannya – pengetahuan, posisi, dan eksitensi sebagai orang Eropa – tidak cukup mengenal wilayah Ambon. Ketika pihak superior tidak waspada dan menafikan kelebihan inferior dan menolak pengetahuan yang ditawarkan pihak inferior hal yang fatal dapat terjadi seperti yang digambarkan dalam bab De professor: sang profesor tewas dibunuh orang Binongko. Soeprapto yang digambarkan mengenal wilayah Ambon dan penduduknya, memfokalisasi kelompok masyarakat Binongko. Di dalam fokalisasinya terhadap orang Binongko, lagi-lagi hierarki dan relasi kuasa mengemuka. Mencermati gaya penceritaannya, roman ini berbeda dari karya (pos)kolonial lain dalam ranah sastra Hindia-Belanda, Dermoût adalah sedikit dari perempuan penulis dari 19 Di bawah judul, Maria Dermoût mengutip satu baris dari syair karya Ts'ên Shên: ‘Wanneer de ‘tienduizend dingen’ gezien zijn in hun eenheid, keren wij terug tot in het begin en blijven waar wij altijd geweest zijn.’ (Apabila sepuluh ribu benda dilihat dalam kesatuannya, maka kita akan kembali ke awal mula dan berada di tempat semula). Pemikiran Tao ini menjadi landasan Maria Dermoût. 20 (…) Orang macam apa? (…) mereka bukan penduduk pulau ini, mereka adalah ‘pengembara lautan’, Orang Binongko, mereka memiliki pulau sendiri, sebagian besar tinggal di pulau Buton. Mereka membangun perahu-perahu yang besar dan mengembara di lautan dalam kelompokkelompok kecil. Di sana sini mereka berlabuh, membakari hutan rimba, lalu membangun gubuk dan mengolah tanah itu, menangkap ikan di teluk dan setelah itu lalu menghilang, mereka membiarkan semuanya hangus terbakar demikian saja. Mereka merupakan kelompok manusia pemalu yang aneh, berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti siapa pun. Tidak seorang pun mau berurusan dengan mereka. 56 ranah sastra ini yang memberi kesempatan kepada sosok penduduk lokal dalam bukunya untuk menyuarakan pendapatnya. Dalam bab ke-4, Constance en de matroos, zona kontak mempertemukan orang Eropa sebagai pengkoloni dengan penduduk lokal. Dalam lingkungan rumah dan kebun sebuah keluarga Belanda dua kelompok dipertemukan: orang Belanda yang berada pada tataran sosial tertinggi di Hindia bersentuhan dengan penduduk lokal dari kelas sosial rendah. Fokalisasi yang detil dilakukan pencerita terhadap enam orang Ambon yang bekerja untuk pasangan Belanda. Bab ‘Constance en de matroos’ dituturkan oleh seorang pencerita ekstern dan objek fokalisasinya berpindah-pindah. Pemfokusan objek fokalisasi pada penduduk lokal seolah menyiratkan pentingnya kehadiran mereka dalam cerita. Penduduk lokal yang secara hierarkis berada di posisi inferior bukanlah pihak yang terabaikan. Dalam bab ini esensi cerita justru terletak pada sosok para pekerja lokal tersebut, bukan pihak Belanda. Gaya Dermoût menarasikan cerita dan pilihannya melakukan perpindahan fokalisasi memperkuat fungsi zona kontak seperti yang ditunjukkan oleh Pratt. Sebuah zona kontak tidak saja menjadi sebuah wilayah pertemuan yang sarat dengan ketimpangan kuasa, namun ia juga dapat menjadi ajang pembelajaran bagi pihak yang bertemu. Berbeda pada karya poskolonial lainnya, karya Dermoût ini menempatkan pihak inferior tidak hanya menjadi dekor pada sebuah ruang dan tempat saja, tetapi ia merupakan bagian dari peristiwa, dari sebuah cerita. Nenek Moyangku dari Maluku Dalam buku tipis (55 halaman) Wies van Groningen menuturkan sejarah nenek moyangnya yang berasal dari Maluku. Wies van Groningen adalah nama samaran dari Louise Metal yang lahir pada tahun 1929 di Blangkejeren, Kabupaten Gayo di Aceh Tenggara. Van Groningen berdarah Indo, ibunya dari Maluku dan ayahnya orang Belanda. Meskipun ibunya dari Maluku, ia dibesarkan dalam komunitas Belanda dan mendapat pendidikan Barat. Clara Hukom, ibu dari Wies van Groningen adalah anak dari Louisa Hukom21, sosok yang dikenal baik oleh Maria Dermoût muncul dalam salah satu karyanya. Dalam De afstraffing pembaca mendapat informasi mengenai sosok utama seorang perempuan Ambon yang bersuamikan seorang Belanda dari pencerita. Pencerita tidak melakukan pencermatan yang mendetil terhadap sosok ibu dan juga ruang kolonial. Dalam cerita ini, zona kontak dihadirkan di barak-barak tempat tinggal anggota militer Belanda. Zona kontak itu mempertemukan sosok ibu dengan anggota militer lainnya, baik orang Belanda maupun orang Ambon lainnya. Kedekatan dan solidaritas komunitas orang Ambon ditunjukkan dengan pemilihan kata sapaan, (…) want onder elkaar worden oudere Ambonezen met oom (of tante) aangesproken22. Dalam zona kontak terlihat relasi kuasa: para perwira, kopral, serdadu, militer dan sipil. Kekerasan hadir dalam ruang kolonial, dari makna judul cerita pembaca dapat memperkirakannya. Seorang serdadu menolak menjadi pemanggul barang dalam sebuah patroli di Hindia. Si serdadu tidak sanggup membawa empat puluh kilo barang selama satu bulan berpatroli karena memiliki ketidaksempurnaan bentuk telapak kaki. Tidak ada penolakan yang berterima dalam zona kontak itu, pihak yang tertindas harus 21 Dalam cerita yang berjudul ‘De goede slang’ dari kumpulan cerita De sirenen (1963) Dermoût menceritakan tentang Louisa, seorang penjahit yang bekerja untuk keluarganya. Louisa digambarkan sebagai sosok pendongeng yang mampu memesona para pendengarnya. 22 Karena di antara kami, kami menyapa orang Ambon yang lebih tua dengan sapaan om atau tante. 57 melaksanan apa pun yang menjadi keinginan kaum superior. Untuk menebus kesalahan, hukuman fisik harus dijalani: 50 puluh kali pukulan dengan kayu pada tubuh korban yang diikat pada sebuah tonggak. Kehadiran perempuan yang menjadi saksi pemukulan itu memperkuat patriarki dalam ruang kolonial, seorang perempuan tidak layak hadir dalam ranah publik yang mempertontonkan kuasa laki-laki. Perempuan dibungkam dan dibuat tidak berdaya untuk menyuarakan kemuakan mereka terhadap praktik kekerasan semacam itu. Menarik untuk mencermati bagaimana sosok perempuan Ambon digambarkan dalam cerita: mereka hadir sebagai perempuan yang lantang bersuara, dan cerdik membaca situasi. Dengan kecerdikannya – sosok ibu selama lima tahun ia menetap di barak di Blankejeren – berhasil menghentikan praktik kekerasan fisik untuk menghukum serdadu. Ketika suaminya, seorang laki-laki Belanda, superior dan memiliki kuasa, dan juga perwira Belanda lainnya tidak berhasil mengakhiri tindak kekerasan semacam itu, sosok ibu berdarah Ambon mampu menyelesaikannya. Terlalu banyak yang dipertaruhkan oleh kelompok superior untuk membuat - karier dan mutasi dalam pekerjaan – yang menghalangi mereka membuat terobosan di ruang kolonial. Dalam karya Wies van Groningen, ruang kolonial yang dihadirkan melalui zona kontak di barak militer adalah ruang yang rentan dengan ketimpangan kuasa, sarat dengan tindak kekerasan. Namun sekaligus menjadi ajang pembelajaran betapa sosok inferior yang dianggap lemah mampu bernegosiasi dan menghasilkan perbaikan dalam zona kontak yang ada. Dari Ambon Menuju Tempat yang Terlupakan Yvon Muskita lahir pada tahun 1958 di kamp untuk orang Ambon di Venray. Pada usia sangat muda ia sudah meninggalkan kamp untuk tinggal bersama keluarga Belanda yang mengasuhnya. Debutnya terbit pada tahun 2008, Snijden en stikken, het leven van kleermaker Boeng. Tokoh utamanya adalah Boeng, anak seorang perwira KNIL yang harus meninggalkan Indonesia bersama orang Maluku lainnya. Di Belanda mereka ditempatkan di barak-barak yang berada di Belanda Timur, dan akhirnya mendapat sebuah rumah di wilayah yang sengaja dibangun untuk orang Maluku. Pekerjaan sebagai penjahir menempatkannya ada di tengah masyarakat Maluku migran tersebut, namun pada saat yang bersamaan keberadaannya yang lajang mengisolasinya. Ia menjahit baju untuk anak-anak, baju pengantin , dan baju yang dikenakan orang mati. Di penghujung usianya, kenangan masa lalu membawanya ke masa mudanya di Hindia, dan perpindahannya ke Belanda. Cerita dituturkan oleh seorang pencerita akuan, yang sekaligus menjadi fokalisator utama. Setidaknya ada tiga tataran cerita dalam karya Muskita ini, yang pertama tokoh-aku menuturkan kehidupannya sebagai seorang penjahit. Kedua, berisikan sejarah orang Maluku di Belanda, yang ketiga pencerita menuturkan permasalahan yang dihadapi generasi kedua keturunan Maluku di Belanda yang diwakili oleh sosok Myra. Dalam karya Muskita, zona kontak dalam ruang kolonial didominasi tempattempat yang mempertemukan Boeng dengan anggota masyarakat Maluku lainnya di Belanda. Buku in terdiri dari tiga bagian, masing-masing memperlihatkan zona kontak yang spesifik. Bab 1, de reis (perjalanan) yang berisi kenangan perjalanan dari Belanda, serta kehidupan saat awal berada di Belanda, situasi di barak dan masih besarnya keinginan untuk dapat kembali ke Maluku, negeri leluhur mereka. Bab kedua De wijk (tempat hunian) berisi kesulitan beradaptasi dengan Negeri Belanda, serta negosiasi yang dilakukan untuk dapat menerima kenyataan keberadaan di Belanda. 58 Dalam bab 2 zona kontak mempertemukan orang Maluku dengan penduduk Belanda, dalam zona kontak ini diperlihatkan persinggungan yang tidak berjalan mulus, penolakan dari kedua belah pihak. Dalam bab yang sama zona kontak yang mempertemukan sesama orang Maluku diperlihatkan permasalah keterpisahan antara orang tua dan anak-anak mereka, antara generasi pertama orang Maluku dan generasi kedua. Bila pada bab 1 generasi pertama mengalami kesulitan beradaptasi, pada bab ke2 dalam berbagai zona kontak diperlihatkan kesulitan generasi kedua untuk berintegrasi dengan masyarakat Belanda, tokoh Myra digamabrkan tinggal dan bekerja di Den Haag. Bab ketiga, De trein (kereta api) menceritakan perjalanan Boeng ke Den Haag untuk bertemu dengan Myra. Permasalahan yang dihadapi generasi kedua memecahbelah kelompok masyarakat Maluku di Belanda dan menyeret sebagian menjadi sangat radikal. Banyak pemuda/I dari generasi kedua putus sekolah, tidak memiliki pekerjaan dan jatuh dalam jerat candu. Beratnya masalah yang dihadapi generasi kedua dianalogikan dengan peristiwa pembajakan kereta yang dibajak oleh kelompok RMS pada tahun 1977, Het gele staal dat al weken roerloos stond in het stille land (rangkaian baja berwarna kuning itu sudah berminggu-minggu lamanya tidak bergerak di tengah wilayah yang sepi itu). Zona kontak dalam karya Muskita memunculkan kekerasan dalam ruang (pasca)kolonial di Negeri Belanda yang diilustrasikan dengan berbagai masalah yang dihadapi oleh generasi kedua yang tidak jarang diungkap dalam bentuk kematian. Tokoh Myra mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri pada akhir bab 3. Mereka yang Membisu Sylvia Pessireron mempublikasikan roman De verzwegen soldaat pada tahun 2012. Latar belakang pendidikannya jurnalistik, ia juga dikenal sebagai penulis skenario untuk film televisi De Punt. Dalam roman De verzwegen soldaat dituturkan cerita kehidupan seorang ayah dan anak perempuannya yang diwarnai dengan kerinduan akan Maluku, perjuangan dan kesetiaan, juga disisipkan kekecewaan karena janji yang tidak terpenuhi. Sang ayah, Marcus Kainama lahir di pulau Seram adalah mantan anggota KNIL yang sampai pada akhir perjalanan karirnya selalu setia kepada Ratu Belanda. Anak perempuan Marcus, Nona Kainama dilahirkan di propinsi Zeeland di bagian Timur Belanda, setia kepada komunitas Maluku. Marcus adalah sosok yang setia, tidak hanya pada Ratu Belanda tetapi juga pada teman, komandan, orang tua dan anggota keluarga lainnya. Ia juga tidak pernah berpaling dari istri dan anak-anaknya. Marcus digambarkan sebagai sosok yang memegang teguh prinsip kesetiaan dalam keadaan dan kondisi apa pun, di masa Hindia masih menjadi bagian dari Belanda, pada masa pendudukan Jepang, dan juga setelah kemerdekaan Indonesia. Keteguhan hatinya tidak tergoyahkan meski ia harus menjalani penyiksaan, pengurungan di penjara, dan menjadi tenaga paksa. Kesetiaan pada Belanda berbalik menjadi kekecewaan dan ia merasa dikhianati, keinginan untuk kembali ke tanah leluhur tidak pernah terlaksana. Kekecewaan menjadikan Marcus pribadi yang tertutup dan mengunci rapat-rapat mulutnya. Ia memilih untuk berdiam diri dan tidak bersuara. De verzwegen vader dituturkan oleh seorang pencerita ekstern maha tahu. Ia memfokalisasikan dengan cermat kesetiaan Marcus Kainama, sekaligus kekecewaan mendalam yang dirasakan sosok yang sama. Ruang kolonial Hindia menghadirkan zona kontak yang mempertemukan sosok Marcus dengan orang Ambon lainnya di Hindia (Maluku dan di pulau Jawa), dengan penduduk Hindia lainnya (Timor dan Jawa), dan dengan orang Eropa di lingkungan pekerjaannya pada awalnya sebagai seorang guru dan nantinya sebagai anggota KNIL. 59 Dalam berbagai zona kontak yang ada persinggungan itu tidak jarang digambarkan tidak berlangsung mulus dan diwarnai dengan kecurigaan, seperti yang terlihat pada kutipan berikut. Hij stond stil en snoof de zilte zeelucht diep op. Tevreden wandelde hij verder. Twee mannen liepen hem tegemoet. Toen hij vlak bij hen was, wenkte een van hen. Nieuwsgerig liep Marcus naar ze toe, tot er vlak voor zijn voeten een fluim in het zand belandde. ‘Jilat pantat Belanda – kontlikker van de Nederlanders. Diep beledigd bleef Marcus staan. Hij knarste met zijn tanden. ‘Wat zei je?’ vroeg hij. Hij balde en ontspande zijn vuisten snel achter elkaar. De man keek hem smallend aan. ‘Jilat …”23. (De verzwegen soldaat, hal. 22) Sesama orang Maluku memandang rendah Marcus dan menganggapnya sebagai penjilat Belanda karena ia bergabung dengan KNIL. Pandangan yang sama juga ditemukan dalam zona kontak yang mempertemukan orang Maluku dengan orang Jawa di Cimahi, tempat Marcus menjalani pelatihan militer, seorang teman Marcus menjadi korban pengeroyokan, (…) ‘Ik ben niet begonnen,’ gromde hij, terwijl hij naar zijn kom reikte maar daar toch maar weer van afzag. ‘Het waren lafbekken: ze kwamen met z’n drieën op me af, scholden me uit voor landveradder en voor ik er erg in had haalden ze rotans tevoorschijn. Hier … moet je zien.’ Hij trokt zijn blouse over zijn hoofd en draaide zijn rug vol vuurride striemen en blauwe plekken naar hen toe24. (De verzwegen soldaat, hal. 31) Dalam zona kontak di Hindia relasi kuasa sangat mengemuka, bukan saja orang Belanda yang digambarkan superior. Orang Ambon pun merasa kelompok mereka berbeda dibanding dengan penduduk Hindia lainnya . Zona kontak di Negeri Belanda mempertemukan orang Maluku dengan anggota kelompok lainnya, dan juga dengan orang Belanda. Lelaki Maluku mantan anggota KNIL digambarkan sebagai kelompok pendiam dan tidak bicara banyak. Mereka saling bertukar pandangan namun mengunci rapat mulut mereka, kekecewaan yang mereka hadapi, kerinduan kembali ke tanah leluhur disimpan rapat dalam lubuk hati. Diam menjadi pilihan ketika menghadapi kekecewaan dan ketidaknyamanan. Hal tersebut terlihat dari fokalisasi Nona saat ia menggambarkan barak tempat tinggalnya. In onze barak was het ‘s winters altijd veel te koud en ‘s zomers te heet. Mijn moeder had een piepklein keukentje en we hielden onszelf schoon door naast de dagelijkse kattenwasjes in de keuken, één keer per week thuis in een teil te gaan en twee keer per week te douchen in het badhuis in het dorp25. (De verzwegen soldaat, hal. 36) 23 Ia berhenti dan menghirup bau asin lautan. Dengan rasa puas ia melanjutkan perjalanan. Ia berpapasan dengan dua laki-laki, ketika jarak mereka semakin dekat, salah satu dari mereka menghindarinya. Penuh rasa ingin tahu Marcus berjalan menghampiri mereka, sampai ia tiba-tiba ia melihat salah satu dari mereka membuang dahak dekat sepatunya. ‘Jilat pantat Belanda’. Merasa sangat terhina, Marcus tetap berdiri. Ia mengertakkan giginya. ‘Apa katamu?’ tanyanya. Ia mengepal-ngepalkan tinjunya. Lelaki menatapnya dengan pandangan merendahkan. ‘Jilat …' 24 ‘Saya (=Bunga, salah satu tokoh) bukan yang memulainya,’ geramnya, sementara ia mencoba meraih mangkok makanannya namun kemudian membatalkannya.’Mereka pengucut: mereka bertiga mengeroyok saya, memaki saya sebagai pengkhianat negara dan sebelum saya benar-benar menyadari mereka telah mengeluarkan tongkat rotan. Lihat …. Kamu harus lihat ini’. Ia menanggalkan bajunya dan memperlihatkan punggungnya yang dipenuhi bilur-bilur merah dan memar-memar biru bekas pukulan. 25 Barak kami sangat dingin di musim dingin dan pada musim panas terlalu pengap. Ibu saya hanya memiliki satu dapur yang kecil sekali, kami membersihkan diri dengan membasuh wajah di dapur, satu kali dalam seminggu berendam di ember besar di rumah, dan dua kali seminggu mandu di pemandian umum di desa. 60 Simpulan Zona kontak dalam karya yang dikaji semuanya mempertemukan orang Maluki dengan kelompok sebudaya dan budaya lain. Persinggungan itu tidak berlangsung mulus dan diwarnai dengan isu kekerasan antara lain karena kesalahpahaman dan kecurigaan. Kekerasan baik verbal maupun fisik tidak jarang berujung pada kematian. Dalam semua karya, ruang kolonial yang digambarkan baik secara geografis maupun imajiner, kental bernuansa patriarkal. Selang waktu publikasi antara karya Dermoût (1955) dan Pessireron (2012) yang berjarak lebih dari setengah abad, tidak memperlihatkan perubahan yang cukup signifikan dalam penggambaran ruang kolonial maupun permasalahan yang muncul dalam berbagai zona kontak. Permasalahan yang terkait dengan diaspora dan dampaknya, seolah tidak terkait dengan waktu dan kemodernan. Bagaimana pun bentuk kerinduan, kekecewaan, penerimaan dan penolakan tidak lekang karena waktu, dan akan menjadi permasalahan yang tidak dapat dilepaskan dari perpindahan manusia. Daftar Rujukan Bal, Mieke. 1978. De Theorie van Vertellen en Verhalen. Inleiding in de narratologie. Muiderberg: Coutinho. -------- 1997. Narratology. Introduction to the theory of narrative. Revised edition. Toronto: University Press. Freriks, Kester. 2000. Geheim Indië. Het leven van Maria Dermoût 1888-1962. Amsterdam: E.M. Querido’s Uitgeverij. Groningen, Wies. 2005. Mij voormoeders van de Molluken.www.boekscout.nl Lopulalan, Frans, 1985. Onde de sneeuw een Indisch graf. Amserdam/Haarlem: Inde knipscheer. Maria Dermoût. 1990. Verzameld werk. Nog pas gisteren. Spel van tifa-gongs. De tienduizend dingen. De juwelen haarkam. De kist. De sirenen. Donker van uiterlijk en andere verhalen. Amsterdam: E.M. Querido’s Uitgeverij. Muskita. Yvon. 2008. Snikken en stikken. Het verhaal van kleermaker Boeng. Haarlem: In de knipscheer. Nieuwenhuys. Rob. 1978. Oost Indische spiegel. Wat Nederlandse schrijvers en dichters over Indonesië hebben geschreven vanaf de eerste jaren de Compagnie tot heden. Amsterdam: E.M. Querido. Cetakan ketiga. Paasman, Bert. 2003. ‘De een draagt een bril en de ander is Indisch. Inleiding op de literatuur van de Tweede generatie Indisch-Nederlandse auteurs’ dalam Indische Letteren. Jaargang 18. Werkgroep Indisch-Nederlandse Letterkunde, Alphen aan den Rijn. Pessireron, Sylvia. 2012. De verzwegen vader. Vianen/Anwerpen: The house book. Pratt, Mary Louise. 1991. ‘The arts of contact zone’ dalam MLA Profession 91. --------- 2002. Imperial Eyes. Travel Writing & Transculture. London & New York: Routledge. Cetakan kedua. 61 PENDIDIKAN MULTIKULTURAL MELALUI SASTRA Dad Murniah (Badan Bahasa Kemendikbud - Indonesia) Abstrak: Pendidikan multikultural merupakan proses penanaman nilai-nilai dan cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan multikultural tidak harus berdiri sendiri, tetapi dapat terintegrasi dalam mata pelajaran dan proses pendidikan yang ada di sekolah, termasuk keteladanan para guru dan orang-orang dewasa di sekolah. Dalam pengajaran sastra di SMA, kita juga dapat menerapkan pendidikan multikultural dengan pembelajaran berbasis budaya. Pembelajaran berbasis budaya merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran. Dalam hal ini kita dapat memanfaatkan budaya sebagai media pembelajaran sastra. Karya-karya sastra ciptaan Ahmad Tohari, Korrie Layun Rampan, Umar Kayam, Linus Suryadi AG, Oka Rusmini, dan sebagainya, bisa menjadi sarana pendidikan multikultural di sekolah. Pembacaan terhadap karya sastra yang mengandung muatan multikultural, baik eksplisit maupun eksplisit, diharapkan dapat membekali para siswa dalam berinteraksi dengan sesama di lingkungan hidupnya. Mereka diharapkan dapat menyesuaikan diri dalam keragaman yang ada, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan bersama. Dengan demikian, mereka mampu menerima perbedaan, dan bukan apriori terhadap perbedaan. Pendahuluan Bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan ini dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu horizontal dan dan vertikal. Dalam perspektif horizontal, kemajemuan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, dan budayanya. Sedangkan dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, dan tingkat sosial budayanya. Fenomena kemajemukan ini bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi memberi dampak positif, yaitu kita memiliki kekayaan khasanah budaya yang beragam, tetapi pada sisi lain juga dapat menimbulkan dampak negatif, karena terkadang justru keragaman ini dapat memicu konflik antarkelompok masyarakat yang dapat menimbulkan instabilitas baik secara keamanan, sosial, politik maupun ekonomi. Karena itu, dalam menghadapi pluralisme budaya tersebut, diperlukan paradigma baru yang lebih toleran dan elegan untuk mencegah dan memecahkan masalah benturanbenturan budaya tersebut, yaitu paradigma pendidikan multikultural. Hal ini penting untuk mengarahkan anak didik dalam menyikapi realitas masyarakat yang beragam, sehingga mereka akan memiliki sikap apresiatif terhadap keragaman perbedaan tersebut. Maraknya kerusuhan dan konflik yang berlatar belakang suku, adat, ras, dan agama menunjukkan bahwa pendidikan kita telah gagal dalam menciptakan kesadaran akan pentingnya multikulturalisme. Tak dapat disangkal lagi bahwa republik ini membutuhkan pendekatan dan instrumen strategik yang dapat dijadikan sebagai sebuah gerakan nasional untuk mewujudkan persatuan, kesatuan, dan keutuhan bangsa agar menjadi bangsa yang berdaulat dan bermartabat. 62 Pendidikan multikultural merupakan suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara holistik memberikan kritik dan menunjukkan kelemahan-kelemahan, kegagalan-kegagalan dan diskriminasi di dunia pendidikan. Pendidikan multikultural sebagai instrumen rekayasa sosial mendorong sekolah supaya dapat berperan dalam menanamkan kesadaran dalam masyarakat multikultur dan mengembangkan sikap tenggang rasa dan toleran utuk mewujudkan kebutuhan serta kemampuan bekerja sama dengan segala perbedaan yang ada. Pendidikan Multikultural Pendidikan multikultural adalah merupakan suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa. Sebagai sebuah gerakan pembaharuan, istilah pendidikan multikultural memang belum begitu memasyarakat. Bahkan penafsiran terhadap definisi maupun pengertian pendidikan multikultural juga masih diperdebatkan di kalangan pakar pendidikan. Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik. Dan multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan. Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama). Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia. Mengacu pada pendapat Andersen dan Cusher, pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Sedangkan Muhaemin El Ma’hady mengatakan bahwa pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografi dan kultural lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia secara keseluruhan (global). Sementara Hilda Hernandez berpendapat bahwa pendidikan multikultural merupakan perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur. Selain itu, ia merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, agama, gender, etnisitas, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Menurut James Banks, pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Pertama, content integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kerealisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menetukan metode pengajaran mereka. Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada 63 kelompok rasial, agama dan kultur dominan atau mainstream. Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan. Pertama, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat, pendidikan dwibudaya. Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia. Sebagai suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa, pendidikan multikultural memiliki beberapa prinsip. Pertama, pendidikan multikultural adalah gerakan politik yang bertujuan menjamin keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat tanpa memandang latar belakang yang ada. Kedua, pendidikan multikultural mengandung dua dimensi, yaitu pembelajaran (kelas) dan kelembagaan (sekolah) di mana antara keduanya tidak bisa dipisahkan, tetapi justru harus ditangani lewat reformasi yang komprehensif. Ketiga, pendidikan multikultural menekankan reformasi pendidikan yang komprehensif dapat dicapai hanya lewat analisis kritis atas sistem kekuasaan dan privileges untuk dapat dilakukan reformasi komprehensif dalam pendidikan. Keempat, berdasarkan analisis kritis ini, maka tujuan pendidikan multikultural adalah menyediakan bagi setiap siswa jaminan memperoleh kesempatan guna mencapai prestasi maksimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Sedangkan kelima, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang baik untuk seluruh siswa, tanpa memandang latar belakangnya. Ide pendidikan multikultural akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi Unesco pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat pesan-pesan berikut ini. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara. Pendidikan multikultural merupakan sesuatu yang sangat penting dan mendesak untuk di implementasikan dalam praksis pendidikan di Indonesia. Karena pendidikan multikultural dapat berfungsi sebagai sarana alternatif pemecahan konflik. Melalui pembelajaran yang berbasis multikultur, siswa diharapkan tidak tercerabut dari akar budayanya, dan rupanya diakui atau tidak pendidikan multikultural sangat relevan di praktikkan di alam demokrasi seperti saat ini. Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam memang merupakan tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan untuk mengolah bagaimana ragam perbedaan tersebut justru dapat dijadikan aset, bukan sumber perpecahan. Di era globalisasi ini pendidikan multikultural memiliki tugas ganda, yaitu selain menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya tersebut, juga harus menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar yang masuk ke negeri ini. Pendidikan multikultural juga dapat dimanfaatkan untuk membina siswa agar tidak tercerabut dari akar budayanya, sebab pertemuan antarbudaya di era globalisasi ini 64 bisa jadi dapat menjadi ancaman serius bagi anak didik kita. Dalam kaitan ini siswa perlu diberi penyadaran akan pengetahuan yang beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global, termasuk aspek kebudayaan. Gelombang demokrasi menuntut pengakuan perbedaan dalam tubuh bangsa Indonesia yang majemuk. Karena itu, untuk membangun rasa persatuan dan kesatuan serta rasa nasionalisme sekaligus menjawab beberapa problematika kemajemukan seperti yang digambarkan di atas dibutuhkan langkah sistematis yang dapat dijadikan sebagai sebuah gerakan nasional. Melalui pendidikan multikultural kita dapat memberi seluruh siswa, tanpa memandang status sosial-ekonomi, gender, orientasi seksual, atau latar belakang etnis, ras maupun budaya, kesempatan yang setara untuk belajar di sekolah. Pendidikan multibudaya juga didasarkan pada kenyataan bahwa siswa tidak belajar dalam kekosongan; budaya mereka memengaruhi mereka untuk belajar dengan cara tertentu. Sastra Multikultural Selain pendidikan multikultural, beberapa tahun terakhir ini juga muncul wacana tentang sastra multikultural. Bagi Indonesia, perbincangan mengenai multikulturalisme itu menjadi penting bukan semata-mata hanya karena Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri atas berbagai kultur yang sangat plural, melainkan juga karena belakangan ini (terutama sejak masa pascareformasi) di Indonesia sering terjadi konflik sosial sebagai akibat dari benturan berbagai budaya masyarakatnya. Menurut Maman Mahayana, multikulturalisme merupakan sebuah filosofi liberal dari pluralisme budaya demokratis. Multikulturalisme didasarkan pada keyakinan bahwa semua kelompok budaya secara sosial dapat diwujudkan, direpresentasikan, dan dapat hidup berdampingan. Pusat perhatian dan titik tekan multikulturalisme adalah pada pemahaman dan kesadaran bahwa individu dan kelompok sosial sejatinya hidup dalam berbagai perbedaan, baik perbedaan ideologi, agama, suku bangsa, maupun budaya. Melalui pemahaman dan kesadaran itu, setiap individu sebagai bagian dari kelompok sosial dan warga suku bangsa akan dapat menempatkan perbedaan budaya dalam kerangka kesetaraan derajat, dan bukan dalam kategori kelompok mayoritas yang mendominasi kelompok minoritas. Sebagai negara yang terdiri atas berbagai kultur (budaya) yang sangat plural, Indonesia secara otomatis sudah memperlihatkan kemultikulturalan itu. Begitu pula sastranya. Sejak awal kemunculannya, sastra Indonesia sudah diwarnai oleh karya-karya yang multikultural. Sekadar contoh, sebut saja Siti Nurbaya (Marah Rusli), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisyahbana, 1930), Gairah untuk Hidup, Gairah untuk Mati (Nasjah Djamin), Upacara (Korrie Layun Rampan), Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi AG), Sri Sumarah dan Bawuk (Umar Kayam), Burung-burung Manyar (YB Mangunwijaya), Chau Bau Khan (karya Remy Silado), Hempasan Gelombang (Taufik Ikram Jamil), Ki Blata Suta Bla Bla (Darmanto Jatman), Tempuling (Rida K Liamsi), Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Bibi Giok (Zarra Zettira), Miss Lu (Naning Pranoto), Tarian Bumi (Oka Rusmini), dan lain-lain. Selain karya-karya yang telah disebutkan di atas, sesungguhnya cukup banyak genre sastra baik puisi, cerpen, novel maupun drama yang mengumandangkan multikulturalisme. Hal itu seiring dengan semakin populernya wacana multikultural dalam kehidupan masyarakat pada akhir abad XX sehingga sering dibicarakan dalam berbagai forum sampai hari ini. Sastra multikultural dapat diartikan sebagai sastra yang mengandung dimensi-dimensi pluralistik yang menyuarakan spirit multikulturalisme. 65 Gagasan dan semangat kebinnekaan (pluralistik) terasa mendasari karya sastra multikultural itu. Sastra sangat penting bagi siswa dalam upaya pengembangan rasa, cipta, dan karsa. Fungsi utama sastra adalah ebagai penghalus budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya, dan penyalur gagasan, imajinasi dan ekspresi secara kreatif dan konstruktif. Sastra akan dapat memperkaya pengalaman batin pembacanya. Sastra memiliki fungsi dan manfaat yang penting bagi kehidupan. Dalam proses pembelajaran, sastra dapat dimanfaatkan oleh guru sebagai alat untuk meningkatkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai kearifan dalam menghadapi kehidupan yang kompleks dan multidimensi. Termasuk di dalamnyarealitas sosial, lingkungan hidup, kedamaian dan perpecahan, kejujuran dan kecurangan, cinta kasih dan kebencian, kesetaraan, gender, ketuhanan, maupun kemanusiaan. Melalui pembelajaran sastra, siswa diharapkan akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang berbudaya, mandiri, sanggup mengaktualisasikan diri dengan potensinya, mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan baik, berwawasan luas, mampu berpikir kritis, berkarakter, halus budi pekertinya, dan peka terhadap lingkungan sosial masyarakat dan bangsanya. Peranan Guru dalam Pendidikan Multikultural Guru merupakan faktor penentu bagi keberhasilan praktik pendidikan dan pembelajaran. Jika kelayakan dan kompetensi guru di Indonesia umumnya masih di bawah standar, khususnya untuk mengelola pembelajaran multikultural, maka keefektifan pelaksanaan pembelajaran multikultural tentu terkendala. Perlu ada upaya sinergis dari berbagai pihak untuk mewujudkan pendidikan berperspektif multikultural. Pihak-pihak yang perlu berpartisipasi dalam upaya itu, khususnya untuk mewujudkan pendidikan berperspektif multikultural, antara lain adalah pengambil kebijakan, penulis buku pelajaran, dan guru. Dalam konteks pendidikan multikultural, guru perlu mencegah agar pemahaman para siswa yang ekslusif tidak berkembang atau dapat dieliminasi. Guru, tentu saja bersama para pemangku kepentingan, dituntut memiliki program aksi dan strategi implementasi dalam upaya membangun pemahaman keberagamaan yang lebih inklusifpluralis, dialogis-persuasif, kontekstual, dan humanis. Dengan perkataan lain, pemahaman lintas budaya perlu dimiliki oleh guru. Dalam konteks pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, guru dituntut memiliki wawasan yang cukup tentang bagaimana seharusnya menghargai keragaman bahasa dan tema multikultural dalam sastra. Wawasan ini penting dimiliki oleh seorang guru agar segala sikap dan tingkah lakunya menunjukkan sikap yang egaliter dan selalu menghargai perbedaan yang ada. Guru juga dituntut untuk senantiasa berupaya meningkatkan pemahaman dan kemampuan komunikasi lintas budaya para siswa. Hal ini perlu secara terus-menerus dilakukan guru. Upaya itu antara lain dengan memilih, menyediakan, dan menggunakan materi ajar yang berwawasan multikultural. Perlu dihindari buku-buku yang bermuatan rasis dan provokatif terhadap munculnya pertentangan yang destruktif, dan sebaliknya perlu dipilih dan digunakan buku-buku pelajaran dan karya-karya sastra yang peka akan nilai-nilai keragaman, nilai-nilai multikultural. Tatkala materi itu belum tersedia, guru dituntut mampu mengembangkan materi ajar yang berperspektif multikultural tersebut, yakni materi ajar yang menyajikan kekayaan budaya dari berbagai etnis. Guru bahasa dan sastra Indonesia dapat menyajikan berbagai khazanah karya sastra yang berasal dari berbagai daerah dan komunitas budaya. 66 Guru perlu mengupayakan terciptanya kondisi masyarakat belajar (learning community). Konsep ini menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh melalui sharing antarteman dan antarkelompok. Untuk itu guru perlu melaksanakan pembelajaran dalam kelompokkelompok belajar. Keanggotaan dalam kelompok itu hendaknya bersifat heterogen. Dengan demikian, melalui kelompok itu dimungkinkan siswa yang kurang bisa belajar dari yang mampu atau siswa yang mampu mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan sebagainya. Kesimpulan Pendidikan multikultural sangat berperan untuk membangun sikap toleransi serta kesadaran siswa untuk memiliki perilaku humanis, pluralis, dan demokratis. Pendidikan multikultural akan mampu meningkatkan kohesivitas, soliditas, dan intimitas di antara siswa yang memiliki keragaman agama, etnik, budaya, pandangan, dan berbagai perbedaan lainnya. Dalam karya sastra para sastrawan Indonesia terdapat muatan-muatan multikultural yang layak untuk dikaji dan direnungkan sesuai dengan perkembangan dan perubahan nilai kehidupan pada era global. Dengan memperkenalkan karya-karya sastra yang memuat multikulturalisme akan memberikan wawasan kepada para siswa sehingga memiliki suatu pandangan dan sikap untuk melihat pluralitas budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan masyarakat. Para siswa ada kesediaan untuk membuka diri dalam menjalani kehidupan bersama dengan menerima dan memahami pluralitas budaya sebagai kenyataan dan saling menghargai satu dengan lainnya tanpa saling merendahkan. Penggunaan materi karya sastra dari berbagai etnik dan budaya juga perlu dilakukan oleh guru. Pemilihan lebih didasarkan pada pengenalan khazanah budaya Indonesia (bahkan dunia) agar para peserta didik memilki pemahaman dan perilaku berwawasan multikultural. Daftar Rujukan Achmad, Nur (ed.). 2001. Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta: PT Gramedia. Ainul Yaqin, M. 2005. Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media. Banks, James A. (ed.). 1989. Multicultural Education: Issues and Perspectives. BostonLondon: Allyn and Bacon Press. Banks, James A. 1993. Teaching strategies for ethnic studies. Boston: Allyn and Bacon Inc. Banks, James A. 2002. An Introduction to Multicultural Education. Boston-London: Allyn and Bacon Press. Banks, James A. 2007. Educating Citizens in Multicultural Society. Second Edition. New York: Teachers College Columbia University. Dawam, Ainurrofiq. 2006. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Inspeal, 2006 Djohar. 2003. Pendidikan Strategik, Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : LESFI. Fay, Brian. 1996. Contemporary Philosophy of Social Sience: A Multicultural Approach. Oxford: Backwell. 67 Freire, Paulo. 1984. Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan, terj. Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia. Hernandez, Hilda. 1989. Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content, New Jersy & Ohio : Prentice Hall. Mahfud, Choirul. 2008. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tilaar, H.A.R. 2002. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Jakarta: Remaja Rosdakarya. Zamroni. 2010a. The Implementation of Multicultural Education. A Reader. Yogyakarta: Graduate Program The State University of Yogyakarta. Zamroni. 2010b. A Conception Frame-work of Multicultural Teachers Education. A Reader. Yogyakarta: Graduate Program The State University of Yogyakarta. Zamroni. 2011. Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama 68 PEMBELAJARAN SASTRA LISAN BUGIS DI SEKOLAH-SEKOLAH SEBAGAI SALAH SATU MEDIA PEMBENTUKAN KARAKTER Dafirah (FIB Universitas Hasanuddin, Makassar - Indonesia) Abstrak: Sastra lisan adalah satu unsur kekayaan Indonesia yang tersebar di setiap wilayah nusantara ini. Sastra lisan merupakan karya monumental masyarakat terdahulu. Sebagai karya masyarakat terdahulu, sastra lisan merupakan gambaran pikiran, ideologi, falsafah masyarakat terdahulu. Oleh karena itu, sastra lisan perlu ditansmisikan atau dipindahkan kepada generasi penerus agar mereka mampu memahami pikiran dan ideologi masyarakat terdahulu. Salah satu cara memindahkan atau mewariskan sastra lisan adalah dengan pembelajaran baik secara formal ataupun informal. Secara informal dilakukan dalam lingkungan keluarga, sedangkan secara formal dilakukan dalam ranah pendidikan formal di antaranya sekolah. Tujuan pembelajaran sastra lisan secara formal salah satunya adalah untuk pembentukan karakter. Karena di dalam sastra lisan banyak ditemui unsur, nilai dan bahkan falasafah masyarakat pemiliknya. Salah satu suku bangsa Indonesia yang kaya denga sastra lisan adalah suku Bugis yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Suku Bugis di dalam bersastra lisan menggunakan bahasa Bugis sebagai medianya. Sastra lisan yang dapat ditemukan dalam suku Bugis berupa Cerita Prosa Rakyat, baik berupa mite, legenda, ataupun dongeng; nyanyian rakyat, pesan, dan ungkapan tradisional. Pendahuluan Indonesia adalah Negara yang dikenal dengan keanekaragamannya. Keanekaragaman dalam bahasa, budaya, dan lain-lain sebagainya. Terdapat ratusan bahkan ribuan budaya dan bahasa yang tersebar di seluruh pelosok tanah air Indonesia memberi corak dan warna tersendiri. Sayang sekali sebagian dari budaya dan bahasa yang menjadi kekayaan kita berada pada ambang kepunahan, bahkan ada di antaranya yang sudah punah. Padahal, di sisi lain budaya dan bahasa yang tersebar itu mengandung berbagai kearifan dan nilai-nilai lokal yang relevan dengan kekinian dapat dijadikan sebagai pembentuk karakter yang berbasis kearifan lokal. Apabila pemaparan tersebut dikaitkan dengan salah satu fungsi bahasa daerah yaitu sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan di daerah. Fungsi tersebut semakin menguatkan posisi bahasa budaya daerah. Oleh karena itu, dalam rangka pembentukan karakter yang berbasis kearifan lokal perlu ada upaya untuk mentransmisi atau mengalihkan nilai dan kearifan lokal tersebut kepada kalangan generasi muda guna pembentukan karakter mereka. Pengalihan tersebut dapat dilakukan secara formal ataupun non-formal. Secara formal pengalihannya dilakukan melalui pendidikan dalam rumah, sedangkan secara formal bisa dilakukan dalam pendidikan formal yaitu sekolah-sekolah. Kondisi yang boleh dikata menggembirakan adalah adanya perhatian dari para pihak terkait tentang pentingnya pembelajaran bahasa, sastra, dan budaya daerah. Namun, yang tergolong masih kurang adalah perhatian terhadap pembelajaran sastra yang berbbasis lokal, mislnya saja pelibatan sastra lisan dalam pembelajaran sastra secara umum di daerah-daerah. Pembelajaran sastra lisan di sekolah-sekolah perlu 69 digarisbawahi dan mendapat perhatian khusus karena di dalam sastra lisanlah terdapat berbagai pesan, nilai bahkan kearifan lokal yang memiliki kekuatan dalam pembentukan karakter. Sehubungan dengan pendidikan karakter, Hidayatullah (2010:13) memaparkan bahwa pendidikan karakter berkait dengan kualitas atau kekuatan mental seseorang yang berbeda dengan orang lain. Di samping itu, pelibatan sastra lisan dalam pembelajaran sekaligus menjadi usaha pelestarian dan sosialiasasi sastra/budaya lisan kepada generasi muda. Agar generasi muda memahami dan mengenal sastra lisan sekaligus kandungan yang ada di dalamnya. Sastra lisan adalah bagian dari tradisi lisan yang secara khusus berbentuk sastra. Sehingga sastra lisan adalah perpaduan dua kata yaitu sastra dan lisan. Sehingga pengertian sastra lisan secara umum adalah bentuk sastra yang disampaikan serta diterima juga secara lisan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa memiliki ragam sastra. Dan menurut Lord (1976:3) sastra lisan adalah sastra yang dipelajari, digubah, dan disebarkan secara lisan. Sastra lisan adalah karya sastra yang disebarkan, diwariskan secara lisan, dari mulut ke mulut (Ratna, 2013: 420). Selanjutnya lebih diperjelas lagi oleh Amir (2013:77-78) sastra lisan adalah seni bahasa yang diwujudkan dalam pertunjukan oleh seniman dan dinikmati secara lisan oleh khalayak, menggunakan bahasa ragam puitika dan estetika masyarakat bahasanya. Dalam konteks ini, penulis lebih setuju pada pandangan terakhir bahwa sastra lisan menggunakan bahasa dengan penonjolan fungsi puitika dan estetika, meskipun tanpa disertai dengan pertunjukan. Untuk mengenali sebuah sastra lisan maka dapat dilihat dari ciri yang dimilikinya. Ciri tersebut adalah: 1) pewarisannya dilakukan secara lisan; 2) bersifat tradisional; 3) terdapat versi atau varian; 4) anonim, penciptanya tidak dikenal; 5) mempunyai bentuk berumus atau bepola; 6) mempunyai kegunaan; 7) pralogis, memiliki logika sendiri; 8) milik kolektif; 9) bersifat polos dan lugu (Danandjaya 1998:3). Sastra lisan sebagai bagian tradisi lisan tentu memiliki kegunaan bagi pemiliknya. Dan kegunaan inilah yang menjadi penopang bagi kebertahanan sebuah tradisi lisan. ketika kegunaan tersebut tidak lagi ada bagi pemiliknya dengan sendirinya sasrta lisan tersebut akan punah dengan sendirinya. Kegunaan atau lazim disebut fungsi yang ditemukan pada sastra lisan adalah : Bascom (1965:3-20) mengemukakan beberapa fungsi folklor (termasuk tradisi lisan) yaitu:” 1) as a form of amusement; 2)it plays in validating culture, in justifying its rituals and institution to those who perform and observe them; 3)it plays in education, as pedagogical device; and 4) maintaining conformity to the accepted pattern of behavior, as means of applying social pressure and exercising social control” 1) sebagai media hiburan;2) sebagai alat pengesahan kebudayaan dan pranata;3)sebagai alat pendidikan terutama pada anak-anak;4) sebagai alat pemaksa dan pengawas pola tingkah laku masyarakat dan sebagai kontrol social ). Selanjutnya Dundes (1965:277) mengemukakan beberapa fungsi folklor sebagai barikut: “1)aiding in the education of the young; 2) promoting a group’s feeling of solidarity;3)providing socially sanctioned way is for individual to act superior to or to censure other individuals;4)serving as a vehicle for social protest;5)offering an enjoyable escape from reality;6)converting dull work into play”(membantu dalam pendidikan anak; 2)meningkatkan perasaan solidaritas sebuah kelompok; 3) memberikan sanksi secara sosial agar mampu berprilaku baik atau member hukuman kepada yang lainnya;4) sebagai media protes sosial; 5) memberikan sebuah pilihan yang cukup menyenangkan dari realitas;6)mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi permainan). 70 Berdasarkan pemapaan di atas, khusus di Sulawesi Selatan ditemukan berbagai sastra lisan yang akan diuraikan satupersatu berikut ini. Pembahasan Berdasarkan pemaparan tersebut, maka sastra lisan yang dapat ditemukan pada masyarakat Bugis adalah: 1. Cerita prosa rakyat, dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu : mite, legenda, dan dongeng; a) Mite adalah cerita prossa rakyat yang benar-benar dianggap terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Tokoh yang ada dalam mite berupa ewa atau setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk tofografi, gejala alam dan sebagainya. Mite juga mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, hubungan kekerabatan mereka, kisah peang mereka, daan lain sebagainya; b) Legenda adalah prosa rakyat yang memiliki ciri yang mirip dengan mite, dianggap benar-benar pernah terjadi tetapi tidak dianggap suci. Tokoh yang ada dalam legenda adalah manusia, yang kadang memiliki sifat yang luar biasa dan seringkali juga dibantu oleh mahluk-mahluk ajaib. Tempat terjadinya adalah dunia seperti yang kita kenal sekarang dan waktu terjadinya belum terlalu lampau; c) dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita. Selain itu, dongeng tidak terikat oleh waktu dan tempat. Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusasteraan lisan, diceritakan terutama untuk hiburan walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran. Bahkan pikiran orang, dongeng sering dianggap sebagai cerita mengenai peri,tetapi kenyataannya banyak dongeng yang tidak bercerita tentang peri melainkan cerita atau plotnya mengenai sesuatu yang wajar. Pada masyarakat Bugis sebuah legenda yang terkenal terutama masyarakat Bone yang berjudul Batu Memmanae ( Batu yang Melahirkan), mengisahkan tentang kehidupan seorang anak perempuan dan ibunya yang pas-pasan. Ibunya mnecari kayu di hutan dan menjualnya di pasarr sementara anaknya selalu menenun bnanguntuk dijadikan sarung lalu dijual. Anak perempuan tersebut memiliki sifat yang kurang baik yaitu sifat malas. Dan suatu waktu ketika sedang menunu dan salah satu alaat tenunnnya jatuh ke bawah rumah, saat ibunya tidak ada di rumah sehingga tidak ada yang bisa disurhnya. Sambil menggerutu, tiba-tiba anjing peliharaannya yang sangat setia dan rajin mampuberbicara dan siap membantu majikannya. Akan tetapi, tiba-tiba saja majikannya (putri) berubah jadi patung secara pelan, dan setiap orang yang melihat dan menegurnya termasuk ibunya akan berubah menajadi batu. Dan legenda itulah yang menjadi awal mula lahirnya sebuah kampung yang disebut Batu memmana. Selain itu, sebuah dongeng yang popular bagi kalangan Bugis yang berjudul Nenek pakande, dongeng menceritakan aksi seorang nenek yang entah berasal dari negeri entah berantah dan hobbi memangsa anak-anak dan bayi saat menjelang petang atau magrib. Dengan berbagai upaya masyarakat berusaha mengenyahkan nenek tersebut dari kampung yang didatanginya dan berhasil. Namun jejak yang ditinggalkannya adalah bahwa, sejak saat itu para orang tua tidak mengizinkan putra-putri mereka keluar rumah saat menjelang magrib. Dan masih banyak lagi sastra lisan yang berbentuk cerita prosa yang ditemukan dalam 71 masyarakat Bugis. Cerita-cerita tersebut tentu memiliki kegunaan dan fungsi bagi masyarakat Bugis. Selain itu, di dlam ceria-cerita tersebut terkandung nilai bahkan falsafah hidup orang Bugis. 2. Nyanyian rakyat adalah salah genre yang terdiri atas kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta mempunyai banyak varian. Berbagai ragam yang dapa ditemukan dalam masyarakat Bugis, mulai nyanyian yang bersifat menghibur sampainyanyian yang berisi nasihat. Sebuah nyanyian rakyat yang berisi nasihat tentang pentingnya pendidika berjudul “ala masseya-seya”, berisi tentang penyesalan seseorang yag sudah tergolong tua telah menyia-nyiakan masa mudanya Ala masseya-seya mua… Tau na ompori sessekale Nasaba ri wettu baiccunna Deq memeng naengka nagguru Riwetuu baiccuta memeng mitu Narekko battuwani massusani Nasaba maraja nawa-nawani Enrenge pole toni kuttue…….. ( hanya sia-sia saja….. Orang yang mengalami penyesalan, Sebab ketika masih muda Memang tidak pernah mau belajar Hanya saat ketika masih muda Sebab ketika sudah tua sudah susah Sebab sudah banyak yang dipikirkan Serta memang sudah malas…..) 3. Ungkapan tradisional, meliputi: peribahasa dan dalam Bahasa Bugis dikenal dengan nama werekkada. Werekkada biasanya tersusun dari satu atau dua kalimat saja. Beriku contoh werekkada : Tekku sappa balanca-e, uparanru’ sengereng, nyawami kusappa. (Saya tidak cinta harta, tidak ingin kecantikan, tetapi yang saya cari adalah budi bahasa nan halus.) Agana ugaukengngi, pakkadang teppadapi, nabuwa macenning. (Hasrat hatiku menggelora untuk memilikinya, tapi kemampuanku sangat terbatas.) Selain itu, di dalam masyarakat Bugis dikenal istilah paseng (pesan)yang berisi tentang petuah oang-oang terdahulu: Uwappasengenngi makkatenning ri limaé akkatenningeng: Mammulanna, ada tongenngé, Maduana, lempuk-é, Matellunna, gettenngé, Maeppakna, sipakataué, Malimanna, mappesonaé ri pawinruk séuwaé, 72 Artinya: Aku memesankan untuk berpegang pada lima pegangan: Pertama, ucapan yang benar, Kedua, kejujuran, Ketiga, keteguhan Keempat, saling menghargai, Kelima, berserah diri kepada pencipta yang tunggal. : Daftar Rujukan Amaluddin, A. 2009. “Nyanyian Rakyat Bugis (Kajian Bentuk, Fungsi dan strategi Pelestariannya” (disertasi). Malang: UM Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Jogyakarta: CV Andi Offset. Danandjaja, J. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti. Endraswara, E. 2005. Tradisi Lisan Jawa. Yogyakarta: Narasi. Geertz, C. 2003. Pengetahuan Lokal. Terjemahan. Merapi: Yogyakarta. Hidayat, K. 2000. Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara. Pustaka Agung: Surabaya. Hutomo, S.S. 1989. “ Perkembangan Cerita Rakyat Sampai saat ini dan Usaha-usaha untuk Menumbuhkannya”. Jurnal Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan 20 (10):1—10. __________. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI. Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Ong, Walter J. 2013. Kelisananan dan Keaksaraan. (Rika Iffati, pentj.). Jogyakarta: Gading Publishing. Thaha, Z. 2000 “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Daerah dalam Era Globalisasi”. Risalah Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Depdiknas. 73 KONFLIK IDENTITAS DALAM NOVEL IKAN TANPA SALAH KARYA ALFRED BIRNEY Dian Swandayani (FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia) Abstrak: Karya sastra sebagai salah satu aspek budaya merupakan salah satu bagian dari situs hegemoni, yaitu merupakan salah satu bagian dari upaya mengukuhkan atau mengkonter hegemoni. Situs-situs hegemoni, seperti media, film, musik, dan berbagai aspek budaya lainnya, termasuk karya sastra, merupakan sarana guna menanamkan pengaruh kepada pihak lain, dalam hal ini yaitu dari pihak kolonial kepada pihak terjajah. Meski penjajahan di Indonesia telah berakhir, proses penyebaran pengaruh itu masih berlangsung hingga kini. Pertarungan dalam memperebutkan pengaruh hegemoni budaya itu kian kompleks dan intens terutama memasuki abad ke-21 yang ditandai dengan revolusi di bidang informasi. Eropa sebagai wakil dari budaya Barat masih memiliki peran yang utama dalam percaturan budaya dunia. Karya sastra kini dipandang sebagai salah satu komponen dalam mengukuhkan blok hegemoni tersebut. Pengarang sebagai salah satu agen hegemoni seringkali bisa menjadi agen tradisional yang menjadi pengusung kelompok hegemonik atau malah sebagai agen organis yang memposisikan dirinya sebagai kelompok yang melakukan counter-hegemony terhadap pihak yang berkuasa. Dalam artikel ini dikemukakan karya sastra yang menampilkan citra Eropa lewat novel Ikan Tanpa Salah yang ditulis oleh seorang sastrawan Belanda, Alfred Birney. Novel terjemahan tersebut berlatar Eropa dalam konteks ke-Indonesia-an sebagai bentuk pengakuan terhadap pluralisme. Kata-kata kunci: karya sastra, hegemoni, Eropa, pluralisme Pendahuluan Pada masa kolonialisasi, sebagian besar akses hanya dimiliki dan dikuasai oleh pihak kolonial, termasuk dalam penguasaan wacana. Timur hanya dibentuk dan dikonstruksi oleh Barat. Inilah yang oleh Said (1994:1—20; 1995:11—31; 2002:v— xxxvi) ditengarainya sebagai hegemoni Barat terhadap wilayah jajahannya. Penguasaan wacana inilah yang seringkali disebut dengan kajian orientalisme. Penjajahan yang disokong oleh kekuatan koersif seperti tentara dan senjatanya, juga dibarengi dengan penguasaan wacana dengan berkembangnya kajian orientalisme. Situs-situs hegemoni seperti lembaga-lembaga keagamaan, institusi sekolah, media massa, film, musik, dan berbagai aspek budaya lainnya, termasuk karya sastra, merupakan sarana guna menanamkan pengaruh kepada pihak lain (dalam konteks ini yaitu dari pihak kolonial kepada pihak terjajah). Peranan Balai Pustaka pada masa penjajahan di Indonesia dengan menerbitkan sejumlah buku, menerbitkan majalah, mendirikan perpustakaan tidak sedikit turut memberikan andil dalam melanggengkan penjajahan di Indonesia (Sumardjo, 1992:31). Meski penjajahan itu telah berakhir, proses penyebaran pengaruh itu masih tetap berlangsung hingga kini. Inilah periode yang seringkali dinyatakan dengan istilah poskolonial (Said, 1994:1—20; Gandhi, 2001:1—31). Pertarungan dalam memperebutkan pengaruh hegemoni budaya itu kian kompleks dan intens terutama memasuki abad ke-21 yang ditandai dengan revolusi bidang informasi yang oleh Toffler (1992:xv—xxi) sebagai The Third Wave. Eropa sebagai salah satu wakil dari Barat, 74 selain Amerika Serikat sebagai kekuatan utama budaya Barat, masih memiliki peran utama dalam percaturan budaya dunia. Apalagi negara-negara di sana kemudian membentuk apa yang dinamakan dengan Uni Eropa, sebuah usaha penggalangan kekuatan (termasuk kekuatan budaya, selain geopolitik, moneter, pertahanan) dalam melakukan negosiasi dengan pihak lain. Karya sastra, sebagai salah satu aspek budaya, kini masih dipandang sebagai salah satu komponen dalam mengukuhkan blok hegemoni tersebut. Secara tidak langsung, Eropa, khususnya Belanda dalam sejarahnya pernah mengalami persinggungan dengan Indonesia sebagai bentuk kolonisasi. Persentuhan sejarah masa lalu ini menimbulkan trauma sejarah yang memandang Eropa sebagai kolonial yang negatif, tetapi secara diam-diam diakui sebagai pihak dominan yang ingin ditiru atau mimikri. Eropa dalam konteks ini adalah sebuah cermin orientasi yang ingin ditiru sekaligus dilawan. Eropa sebagai Negara maju seringkali menjadi trend-setter dalam berbagai elemen budaya bagi kehidupan di Indonesia. Sosok Eropa sebagai pihak yang lebih maju menjadi kebanggaan kalau Indonesia menjadi bagian darinya, khususnya dalam gaya hidupnya. Melihat ‘wajah Eropa’ lewat karya sastra merupakan sebuah strategi budaya dalam menempatkan Eropa tidak selalu sebagai sang dominan dan Indonesia tidak selalu sebagai subordinat. Novel merupakan bentuk sastra yang tepat untuk menggambarkan berbagai peristiwa yang terangkai lewat penggambaran perkembangan perasaan tokoh-tokohnya secara detail. Novel terjemahan karya Alfred Birney yang mengambil latar pada masa pasca-kolonialisme ini adalah novel Ikan Tanpa Salah dengan judul asli Den Onschuld Van Een Vis. Novel dengan ketebalan 277 halaman ini diterjemahkan oleh Widjajanti Dharmowijono mampu menyejajarkan Alfred Birney dengan pengarang transnasional lainnya, seperti Salman Rushdie, yang menggambarkan India dari kediamannya di Inggris, atau Amy Tan, yang melukiskan Cina dengan warna Amerika. Berawal dari tokoh Edouard atau yang kerap dipanggil dengan sebutan Edu, seorang guru Sejarah, ditugasi ibunya untuk mengosongkan rumah milik ayahnya, pelatih ilmu bela diri yang tidak kembali dari perjalanan ke Indonesia, tanah kelahirannya. Ayah Edu ini, seorang Indo Belanda yang memihak Belanda pada waktu perjuangan kemerdekaan Indonesia memperlakukan putra-putrinya seperti para pemuda pejuang Indonesia yang dulu diinterogasinya. Meski tokoh Edu memasuki tempat yang asing baginya, setiap benda di rumah itu membangkitkan kenangan lama yang menyakitkan dalam dirinya. Konflik Identitas Tokoh Edu Kisah tentang Ikan Tanpa Salah berawal dari kedatangan Edu (Eduard), putra kedua dari seorang ayah Indo Belanda Tionghoa yang tidak pernah disebutkan namanya, ke sebuah rumah tua milik ayahnya yang meninggalkan keluarganya ke Indonesia. Atas perintah ibunya, rumah itu harus dikosongkan dari harta benda peninggalan ayahnya untuk kemudian dijual. Ia selalu mendapatkan sikap bermusuhan dengan rumah-rumah tua. Langkahnya terhenti pada sebuah rumah tua yang terus ia pandangi sejak langkahnya terhenti. Di sinilah ia berdiri. Bertahun-tahun kemudian, di jalan asing. Ia tak tahu seberapa lama ia akan berdiri memandangi rumah tua yang berdiri tegak lurus di hadapannya, namun dirinya berhenti di pojok jalan. Ia masih terpaku untuk berdiri namun tidak menunjukkan dirinya untuk bergerak sedikit pun, bahkan tampaknya ia tidak peduli memandangi seorang pria yang tiba-tiba 75 saja muncul dan membiarkan anjing-anjingnya mengencingi batu nisan. Bagaimana cara ia akan memasuki rumah tua itu? Apakah ia menoleh dulu sekelilingnya dan sesudah itu baru memasukkan kunci dalam lubangnya, atau sebaliknya ia mungkin baru melihat sekelilingnya jika ia sudah melewati palang pintu? Atau tenaga dalamnya sudah mencapai keseimbangan yang paling tinggi dan dia sama sekali tidak melihat sekelilingnya. Kunci rumah tua itu ia pisahkan dari kunci-kuci lainnya, kunci yang telah melewati perjalanan yang panjang bahkan gantungannya saja tidak dimiliki oleh kunci itu. Sebuah masa lalu kembali memutar dalam ingatannya. Laki-laki dengan rambut berminyak mengkilap yang kalau pulang hanya mau disambut kebisuan dan tak pernah ikut makan bersama istri-anak atau bahkan makan sebelum istri-anaknya makan. Ia tidak suka orang bicara, bunyi gemeresak, kelakuan apa pun di belakang punggungnya. Dan dia memperoleh kenikmatan aneh menyuruh orang lain mencari kuncinya. Ia tetap memandangi sebuah bangunan tua. Sebuah kunci dalam saku celana kirinya tidak mengenai dia, sekilas ia memegang alisnya yang luka akibat laki-laki tua itu sering melempar kunci mengenai dirinya. Itulah yang membuatnya berat, lebih berat daripada bekas kuncinya sendiri. Mungkin malam ini tidak menggunakannya, besok saja. Mungkin hari ini kuncinya terasa ringan daripada semalaman setelah ia memutuskan untuk tidak memasuki rumah tua itu? Apakah ini yang disebut dengan kekacauan atau keteraturan ayahnya. Yang jelas hanya keasingan yang menyambut dirinya. Orang asing ini membiarkan pintu depan separo terbuka supaya ada hubunngan dengan dunia luar. Memasuki rumah tua itu, memaksakan otaknya untuk mengingat peristiwa-peristiwa yang ia lalui bersama kakaknya, adiknya beserta ibu. Seorang putra asing menemukan sebuah sekuter merah ketika jas linennya tersangkut pada setir sekuter. Sebuah helm terletak di sadel dan gorden-gorden yang terpaksa memutar otaknya ketika ayahnya memaki ia untuk memasangkan gorden yang ia jatuhkan. Dengan cepat-cepat ia meninggalkan rumah tua itu yang semakin menyusut dan jendelajendela yang tak henti-hentinya memandanginya dengan nafas yang beradu cepat. Semua di ruang kaca masih seperti kemarin. Saat ia melihat kursi-kursi mengelilingi meja dengan lampu murahan di atasnya, sekuter, alat dengan barbel, cadaver coklat di tiang gantungan, tungku kecil, dan peti ukiran kayu. Namun ada satu benda yang membuat dirinya kembali kepada masa silam kanak-kanak, saat ia melihat tumbukan gorden di pojok yang dikelilingi paku payung dalam bentuk lingkaran. Dengan gerakan-gerakan orang yang jalan tidur, ia mendekati pintu antara yang berwarna kuning. Pintu itu macet. Tanpa oli dan tapa pasah ia tetap macet. Sebuah pintu yang membuat putra asing itu kembali kepada masa silamnya saat ayahnya memberi perintah untuk menutup pintu itu dengan nada yang kasar. Ia berjinjit hati-hati ke ruang kaca. Berhenti di antara ambang pintu. Dari barang-barang yang ia temui, pegangan pintu yang paling ia benci ketimbang gorden. Pegangan pintu bisa tiba-tiba turun, menandakan kehadiran orang di balik pintu. Pegangan pintu yang bergerak bisa berarti ancaman dan penyelamatan, bisa teman ataupun musuh. Ada kehidupan di ruang duduk, pada tembok yang berbatasan dengan pinggir ruang kaca ada akuarium. Mengingatkan dia tentang ayahnya yang selalu memelihara akuarium dan selama ia pergi, lampunya dipadamkan dan airnya menjadi gelap tanpa kegembiraan. Mungkin ia pada saat ini mencoba menempatkan rumah yang bermusuhan ini, dengan mengambil menara-menara yang dikenalnya sebagai patokannya, itu kalau ia memiliki keberanian. 76 Yang pasti adalah ia memikirkan Joshua, yang tinggal di Amerika dan tidak memberi kabar. Dan adiknya Ella, yang keliling dunia bersama seorang teman perempuan. Dia pun mendapat tugas. Dan terakhir ia masih harus berhadapan dengan satu pintu lagi. Pintu kuning terakhir. Yang mengingatkan dia tentang adanya sebuah kamar dengan jendela yang disemen, kamar dengan batu nisan kosong tanpa graffiti. Ia merasa dirinya tegar hari ini. Ia bahkan memiliki ketenangan cukup untuk melipat tirai yang bergeser ke pojok dan meletakkanya di meja. Ia merasa dirinya tegar hari ini. Ia bahkan memiliki ketenangan cukup untuk melipat tirai yang bergeser ke pojok dan meletakkanya di meja. Ia ingat, ketika umurnya kira-kira sepuluh tahun waktu itu. Pada suatu hari sang ayah sangat keras menghukumnya karena nakal, dan memerintahkannya untuk berjalan kaki ke sekolah dan bukan hanya itu saja, sepedanya dikunci oleh ayahnya dan juga mengempesi bannya. Juga ketika ia dengan susah payah berusaha mengikat tali sepatunya, namun tak berhasil. Berikut kutipannya. Ayah mau jalan-jalan dan memerintahkan seluruh keluarga untuk bersiap-siap. Dia, Edu, Memanggil ibunya untuk mengikatkan tali sepatunya. ‘Biar dia melakukannya sendiri.’ ‘Dia belum bisa’ ‘Kakaknya sudah lama bisa ketika seusia dia, kenapa dia tidak bisa ?’ ‘Nanti anak ini akan belajar sendiri.’ ‘Keluar dari dapur.’ Ragu-ragu ibunya keluar. Ia sendirian dengan laki-laki itu di dapur. ‘Ikat tali sepatumu.’ ‘Saya tidak bisa, Papa.’ ‘Ikat tali sepatumu.’ Anak itu membungkuk ke arah sepatunya, memegang ujung-ujung tali di antara jarijarinya dan membuat simpul sederhana. Sampai di situ dia bisa. Lalu dia terjerat dalam lingkar-lingkar tali. Dari ujung matanya, dia melihat laki-laki itu menuju ke lemari di gang dan kembali dengan kail bambu tipis. ‘Talinya sudah diikat ?’ ‘Belum, Papa.’ ‘Berdiri. Taruh tanganmu di meja.’ ‘Ini pelajaran buat kamu.’ Dia tidak bisa lagi memegang tepi meja, jari-jarinya membengkak dengan rasa yang membara. Dia menundukkan kepalanya tak berdaya. Sang algojo keluar dari dapur. ‘Kalau aku kembali, kamu sudah mengikat tali sepatumu. Mengerti ?’(Birney, 2004 :89) Demikianlah kekejaman sang ayah dalam mendidik anaknya yang kerap diwarnai dengan pukulan benda tumpul, tonjokan tangan kosong dan gertakan serta suara yang meninggi bernada perintah. Sebenarnya kejadian di dapur dalam kutipan di atas, bukanlah hukuman berat, tetapi lebih menyerupai permusuhan panjang yang mengejarnya dari dapur dalam kegelapan remang-remang. Dia teringat akan suatu kejadian ketika ia dipukuli di depan sang pengail bersama anaknya dan juga temannya yang malu berkhianat dengan menunjukkan tempat tinggalnya. Kini, ia sudah melihat, mengamati lebih jelas. Membedakan kini dari dulu, menyimak bentuk karpet di ruang duduk yang berbau apek. Ia melihat lebih jelas lagi. Akuariumnya gelap. Lalu ia teringat ikan-ikan kecil dalam mangkuk sup Cina di meja dapur dan ibunya dipaksa makan oleh ayahnya. Akuarium setengah gelap, seperti biasanya kalau ia masuk ke rumah itu lagi. Dari jauh ia mengamati bayangan-bayangan yang tak jelas di dalamnya. Dan ia mulai teringat ketika ia bersama kakaknya, Joshua pergi sekolah, ibunya menemukan sebuah pisau yang diletakkan di bawah bantal Joshua 77 dan itu adalah rahasianya, suatu hari nanti dia akan menusuk bajingan itu sampai mati kalau dia masih satu kali menyentuh ibunya. Misi yang ditugaskan oleh ibunya berhasil ia lakukan meskipun harus mengingat-ingat kejadian-kejadian yang menimpa dirinya. Hingga suatu ketika ada seorang gadis yang datang menemuinya, membuatnya lupa memandang akuariumnya karena gadis itu ingin membuat bahwa dia (Edu) tidak usah melewati malam sendirian karena perjanjiannya adalah bahwa ia akan tinggal sampai fajar menyongsong. Konteks Eropa dalam Novel Ikan Tanpa Salah Dalam artikel ini, sengaja ditampilkan novel terjemahan mutakhir yang menggambarkan latar Eropa sebagai sebuah representasi terhadap apa yang disebut sebagai Barat. Sebuah pengertian yang tidak hanya bersifat historis-geografis tetapi lebih cenderung maknanya ditentukan secara diskursif. Latar sebagai landas pacu penceritaan dalam karya sastra seringkali bersifat tipikal dalam menggambarkan suatu tempat, waktu kesejarahan, ataupun kondisi masyarakat yang melatarbelakangi tokoh-tokoh cerita dalam novel berinteraksi dengan tokoh lainnya dalam peristiwa cerita. Latar yang bersifat tipikal tidak bisa dipisahkan atau digantikan dengan latar lain. Ia melekat dengan kekhasan. Inilah salah satu kekuatan latar dalam sebuah penceritaan sebuah narasi karya sastra. Cover novel Ikan Tanpa Salah dan foto diri pengarang Alfred Birney Secara garis besar latar Eropa pada novel Ikan Tanpa Salah dan konteks ceritanya dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 1. Tabulasi Latar Eropa pada Novel Ikan Tanpa Salah Karya Alfred Birney Latar Novel Konteks Cerita Tempat Waktu Status Sosial Peristiwa Masa kini, Status sosial Edu atau Eduard akhirnya datang ke terjadi masa setelah sebagai rumah ayahnya yang meninggalkannya ke dalam berakhirnya keluarga Indonesia. Kedatangannya ke rumah itu sebuah penjajahan Indo, separuh mengingatkan segala memori masa kecilnya di keluarga Belanda dan rumah itu dengan berbagai gejolak jiwanya. Ia di separuh teringat kakaknya- Joshua, adiknya-Ella, dan Belanda Indonesia ibunya. Ia juga teringat kembali dengan ayahnya yang dikenang dengan berbagai tindakan tidak menyenangkan selama masa kecilnya di rumah itu. Juga pengalamannya dengan sebuah aquarium yang terdapat di salah 78 satu sisi rumah itu beserta ikan-ikannya, yang menyebabkan hubungannya dengan sang ayah lebih menyerupai permusuhan panjang. Tampaknya novel Ikan Tanpa Salah karya Alfred Birney inilah yang cakupan latarnya paling sempit. Kisahnya pendek saja, tetapi terurai menjadi sebuah novel yang cukup panjang akibat penuturan bolak-balik antara masa kini dan masa lalu, baik masa lalu Edu maupun ayahnya dan seluruh keluarganya. Dilihat dari latar waktunya, kisah dalam novel ini hanya berkutat pada masa kini, masa pasca-kolonialisme. Lokasinya terpusat pada sebuah rumah, pada sebuah keluarga di Belanda. Tokoh-tokohnya berasal dari keluarga biasa, artinya bukan keluarga kerajaan, tokoh rohaniwan, atau seniman seperti pada novel lainnya. Tokoh utamanya bernama Eduard atau Edu yang menghadapi sejumlah permasalahan keluarga Indo sejak ditinggal sang ayah. Latar novel ini terjadi pada kehidupan sosial yang biasa, tidak terkait dengan peristiwa historis yang penting dalam sejarah Eropa. Meski demikian, bukan berarti novel ini tidak menyuguhkan konteks Eropa sebagai bahan yang penting untuk dipelajari oleh pembacanya, terutama bagi pembaca Indonesia. Trauma postcolonial yang dihadapi tokoh-tokoh novel ini dapat menjadi gambaran psikologis atau sosiologis bagi pembaca. Dengan mengikuti alur ceritanya yang berpusat pada pengalaman-pengalaman Edu dengan keluarganya, pembaca Indonesia masih dapat memahami setidaknya mengenal kehidupan tokoh-tokoh tertentu, khususnya tokoh-tokoh Indo di negeri Belanda. Negeri di wilayah Eropa Barat inilah yang memiliki kaitan langsung dengan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di Eropa. Belandalah yang secara historis menjajah Indonesia lebih lama dibandingkan Portugis ataupun Inggris. Kutipan berikut ini menggambarkan pengalaman psikologis tokoh-tokoh novel ini ketika dalam sejarah hidupnya bersinggungan dengan wilayah jajahannya, wilayah yang terkenal dengan sinar mataharinya yang penuh, sebuah pengalaman postcolonial yang khas. Mungkin penuh kontradiksi, khususnya bagi semacam kalangan Indo, yang berada di antara Belanda totok dengan kaum pribumi Indonesia. Di taman dengan bunga matahari seseorang duduk di kursi lipat di depan pintu rumahnya, sambil menjadi merah di bawah sinar matahari. Tanpa topi. Orang Belanda tentunya. Orang asli Belanda. Siesta, tidur siang di jam yang panas di Belanda hanya buat orang-orang dari negara-negara seberang laut dan orang Belanda yang pernah tinggal di negara tropis yang biasa melakukannya. Jadi juga buat ayahnya, yang pension lima tahun yang lalu, bukan karena ia capek atau merindukan hidup yang suci, tapi karena menghormati angka usia pensiun itu. Konon pria itu kondisinya masih prima (Birney, 2004:16). Novel ini meskipun tidak mengangkat peristiwa-peristiwa historis, tokoh-tokoh nyata dalam sejarah Eropa, sebenarnya masih juga memiliki peran bagi pembaca Indonesia. Sudut pandang tokoh-tokohnya dapat memberikan gambaran khususnya tentang pemikiran orang-orang Eropa, dalam konteks cerita ini adalah orang-orang Indo, dalam melihat Indonesia. Gambaran semacam ini bisa menjadi jendela bagi pembaca Indonesia untuk mengetahui Eropa. Bukan dalam konteks geografis, historis, dan sosiologis Eropa, tetapi lebih pada informasi-informasi yang terkait dengan pola pikir orang Eropa. Lewat latar-latar tipikal semacam inilah gambaran atau citra atau konstruksi sebuah wilayah dikonstruksi atau dibangun secara diskursif. Selama bertahun-tahun dalam kajian Orientalisme sebagai penyokong teori terhadap praktik kolonialisme mencitrakan Barat (Eropa) sebagai entitas yang mewakili keunggulan. Sebagai sebuah 79 kesatuan, aspek latar dalam novel tidak bisa dipisahkan dengan aspek-aspek pembangun novel lainnya seperti: penokohan, alur, tema, sudut pandang, amanat, dan aspek pembangun novel lainnya. Meskipun sebagai sebuah kajian dapat saja aspek tertentu dalam novel dapat dikaji lebih mendalam. Apalagi dalam konteks kajian budaya (cultural studies) yang bersifat menentang kemapanan kajian strukturalisme yang kaku, kajian dengan penonjolan aspek-aspek tertentu sangat dimungkinkan. Sebagai bagian dari unsur pembangun karya sastra, latar terbagi atas tiga aspek: latar waktu, latar tempat, dan latar sosial budaya (Nurgiyantoro, 1998:227—237). Ketiga aspek latar ini jika dikaitkan dengan kajian latar pada novel-novel berlatar Eropa akan mengacu kepada sejumlah pengertian Eropa yang dilihat dari kesejarahannya atau perkembangan waktunya secara diakronik, dari lokasi atau batas-batas geografisnya, dan dari kondisi status sosial budaya yang melingkupinya. Sebagai latar yang bersifat tipikal, keberadaan ketiga aspek latar tersebut dalam sebuah novel dapat diperbandingkan dengan latar realitasnya. Setidaknya secara diskursif. Penutup Kajian-kajian Orientalis adalah kajian-kajian terhadap Timur melalui kacamata Barat. Oleh karena itu, artikel ini mencoba melihat Barat lewat karya sastra Barat oleh pihak Timur. Kajian ini akan berbeda, setidaknya tidak selalu tunduk kalau Barat itu lebih dominan daripada Timur. Dengan demikian, Barat dapat dilihat secara lebih sederajat sehingga tidak menimbulkan sebuah kecurigaan tetapi juga bukan sebuah penyanjungan. Ujung dari pemahaman semacam ini diharapkan menimbulkan kesadaran akan kesejajaran dan menghargai perbedaan yang menumbuhkan sikap pluralistik terhadap budaya lain. Inilah karakter yang lebih mengarah pada sikap perdamaian. Permasalahannya, pengarang sebagai salah satu agen hegemoni seringkali bisa menjadi agen tradisional yang menjadi pengusung kelompok hegemonik atau malah sebagai agen organis yang memposisikan dirinya sebagai kelompok yang melakukan counter-hegemony terhadap pihak yang berkuasa. Dalam konteks Eropa sebagai budaya hegemonik dunia, ada sejumlah karya sastra yang menampilkan citra Eropa dengan berbagai alternatif sikapnya yang perlu diteliti secara lebih lanjut. Oleh karena itu, perlu adanya pembacaan kritis terhadap sejumlah karya sastra (novel) mutakhir yang berlatar Eropa dalam konteks ke-Indonesia-an sebagai bentuk pengakuan terhadap pluralism budaya. Daftar Rujukan Birney, Alfred. 2004. De Onschuld van Een Vis, Ikan Tanpa Salah (terjemahan Widjajanti Dharmowijono). Yogyakarta: Galang Press. Gandhi, Leela. 2001. Teori Poskolonial, Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Qalam. Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Said, Edward W. 1994. Orientalisme, terj. Asep Hikmat. Bandung: Penerbit Pustaka. Sumardjo, Jakob. 1992. Lintasan Sastra Indonesia Modern 1. Bandung: Citra Aditya Bakti. Toffler, Alvin. 1992. Pergeseran Kekuasaan: Pengetahuan, Kekayaan, dan Kekerasan di Penghujung Abad ke-21, terj. Hermawan Sulistyo. Jakarta: Pantja Simpati. 80 MEMANFAATKAN KARYA SASTRA SEBAGAI SUMBER SEJARAH Djoko Marihandono (FIB Universitas Indonesia) Pendahuluan Banyak dijumpai orang yang mengaku sebagai seorang sejarawan. Bisa jadi ia adalah seorang pengajar sejarah, penikmat sejarah, pengamat sejarah, penulis sejarah, atau profesi lainnya yang berhubungan dengan sejarah. Namun bagi saya, seorang sejarawan adalah orang yang menulis sejarah. Dengan demikian istilah “sejarawan” memiliki pengertian yang sudah terbatas. Hal ini penting mengingat bahwa menulis sejarah berbeda dengan menulis cerita fiksi atau novel. Untuk menulis sejarah diperlukan metode dan metodologi. Dengan demikian seorang sejarawan harus memiliki kemampuan untuk menggunakan metode dan metodologi sejarah. Sementara untuk menulis cerita fiksi atau novel tidak diperlukan metode atau metodologi. Dengan demikian, apa yang dikatakan oleh kaum pengikut Postmodernisme yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara cerita fiksi dan karya sejarah perlu dipertanyakan kembali. Dalam meneliti sejarah, setelah topik penelitian ditentukan diperlukan beberapa langkah metodologis, antara lain penelusuran sumber, verifikasi sumber (kritik sumber), interpretasi yang berupa analisis dan sintesis, dan historiografi atau penulisan sejarah.26 Dalam hal pemilihan topik yang akan dibahas dalam penelitian sejarah, setidaknya terdapat beberapa hal yang patut dipertimbangkan, yakni batasan geografisnya (where), batasan-batasan periodenya (when), siapa yang melakukan (who), apa yang dilakukan atau dikerjakan oleh siapa (what). Selanjutnya dapat pula dipertimbangkan mengapa atau motivasi dari apa yang dilakukan (Why), dan bagaimana terjadinya (How), atau yang sudah kita kenal dengan rumusan 5 W dan 1 H. Untuk memudahkan pencarian dan penelusuran data, penggunaan rumusan 5 W dan 1 H akan memudahkan bagi peneliti untuk mencari data yang diperlukan. Setelah sumber data diperoleh, baik melalui pencarian maupun penelusuran sumber, diperlukan verifikasi sumber khususnya tentang forensik (Eksternal) dan kontennya (internal). Dalam melakukan verifikasi forensik, perlu diperhatikan originalitas, otentisitas, kredibilitas dan integritas sumber. Sementara itu, untuk verifikasi konten, perlu diperhatikan tentang konten itu sendiri (isi), konteks, dan struktur sumber yang akan digunakan. Selanjutnya, peneliti membuat interpretasi dari sumber yang diperolehnya, dengan melakukan analisis dan membuat sintesis dari sumber data yang ada. Analisis dilakukan untuk mencari makna dari sumber tersebut, sehingga hasil analisis itu bisa disebut sebagai fakta. Makna ini bersifat kognitif, yang ada di dalam pikiran peneliti. Dalam sumber-sumber tersebut terdapat bermacam-macam makna. Makna tersebut harus disinkronkan sehingga terjadi keterkaitan atau hubungan antarmakna. Proses inilah yang disebut sebagai sintesa. Yang dilakukan dalam pembuatan sintesa adalah membuat suatu kerangka narasi yang menghasilkan suatu kisah. Pada saat menghubunghubungkan makna, diperlukan suatu teori. Dari hasil sintesa dapat dilanjutkan ke tahap 26 Lihat Kuntowijoyo, 1999. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang, bab: 6 tentang “Penelitian Sejarah”. 81 berikutnya, yakni membuat rekonstruksi atau menulis karya sejarah (historiografi). Rekonstruksi adalah proses pembuatan laporan akhir yang merupakan pengembangan dari kerangka narasi. Perbedaan antara kerangka narasi dan rekonstruksi adalah diletakkannya dalam konteks pemikiran, yaitu dalam wujud metodologi.27 Berhubung Sejarah selalu menggunakan ilmu bantu dalam membuat anilis historis, maka perlu dipahami metodologi dari pendekatan atau dari teori yang digunakan. Misalnya metodologi strukturasi, struktural, konstruktivistik, naratif, deskriptif, atau pun metodologi lainnya. Apabila penelitian historis menggunakan peran agen (agent) atau sosok tertentu, dapat digunakan metodologi Giddens yang membahas tentang agen. Terjadi dinamisasi agen terhadap struktur agen yang sifatnya ajeg. Dinamisasi agen bisa melalui berbagai macam upaya, antara lain adanya Capability; dan Power. Dinamisasi agent terhadap struktur inilah yang disebut sebagai agensi (agency). Dengan demikian hasil karya historis dikatakan ilmiah karena menggunakan metodologi. Sementara penggunaan teori dalam penelitian sejarah bisa digunakan dan bisa tidak, sementara metodology dalam penelitian sejarah sifatnya wajib. Ada sementara sejarawan yang mengatakan bahwa dalam penelitian sejarah tidak dapat digunakan hipotesis. Hal ini disebabkan: a. Sejarah bertolak dari suatu peristiwa; b. Peristiwa tersebut telah berlalu; c. Yang menghubungkan antara sejarah dan peristiwa adalah data masa lalu. Jadi bila ada hipotesis, penelitian sejarah akan memiliki resiko, yakni subjektivitasnya akan menjadi sangat tinggi. Alsannya adalah teori akan menguji hipotesis dan bukan menguji fakta. Padahal tugas sejarawan adalah mensitesakan fakta. Di samping itu, penggunaan hipotesis akan menyebabkan hal yang dalam sejarah disebut sebagai anakronistik, karena teori dan fakta berasal dari zaman yang berbeda pada saat peristiwa itu terjadi. Sebagai jalan keluar, dalam penelitian sejarah dapat digunakan asumsi, karena teori tidak menguji asumsi. Interpretasi sumber yang dilakukan setelah sumber dikritik, akan mengarah kepada asumsi. Hal ini penting untuk menekan subjektivitas dalam asumsi tersebut. Dengan demikian asumsi dapat diletakkan dalam konteks metodologi sehingga akan meminimalisir unsur subjektivitasnya. Asumsi-asumsi ini akan melengkapi kerangka rekonstruksi. Inilah yang dalam penelitian sejarah disebut sebagai retorika historis. Dalam pengambilan kesimpulan, asumsi ini akan berubah menjadi opini yang nilai subjektivitasnya rendah karena sudah dibingkai dalam metodologi. 28 27 Menurut Helius Sjamsudin, metode adalah jalan, cara, prosedur, yaitu bagaimana mengetahui (How to know). Sementara itu metodologi adalah ilmu tentang metode, atau tahu bagaimana mengetahui (Know how to know). Sementara itu, historiografi adalah penulisan sejarah atau sejarah penulisan sejarah (History of historical writing). Lihat Helius Syamsudin, 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak, hlm. 12-14. 28 Beberapa sejarawan menggunakan istilah hipotesis sebagai “suatu asumsi atau konsesi yang dibuat untuk kepentingan argumentasi”, ada sejarawan lain yang menggunakan istilah hipotesis sebagai “interpretasi dari suatu praksis atau kondisi yang diambil sebagai dasar untuk bertindak” lihat: Helius Sjamsudin. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak, hlm. 38-39. 82 Permasalahan Makalah ini akan membahas tentang pemanfaatan karya fiksi sebagai sumber sejarah. Sumber sejarah secara umum dapat dikelompokkan menjadi beberapa hal , antara lain: a. Sumber kolonial. Dalam sumber kolonial ini biasanya tercatat dengan jelas, kapan suatu peristiwa terjadi, apa yang dilakukan, siapa yang melakukan, mengapa terjadi, dan seterusnya; b. Sumber lokal: sumber lokal ini biasanya berupa hikayat, tombo atau tambo, serat, cerita rakyat, yang mayoritas masih ditulis dengan menggunakan aksara lokal. Dalam sumber lokal tersebut tidak tertera secara pasti kapan peristiwa itu terjadi, siapa yang melaksanakan, apa yang dilakukan. c. Karya sezaman yang merupakan karya-karya di luar arsip yang membahas tentang topi atau tema yang bersangkutan. Namun, secara umum semua aktivitas manusia masa lampau dapat dijadikan sumber sejarah. Semua perilaku verbal, baik berupa tuturan lisan maupun teks tulis dapat dijadikan sumber sejarah. Sementara itu perilaku kinetis yang berupa artefak, lingkungan alam yang termodifikasi juga dapat digunakan sebagai sumber sejarah juga. Bahkan Fernand Braudel, sejarawan Prancis menggunakan lingkungan alam asli sebagai setting penelitian sejarah, seperti dalam bukunya yang berjudul: La Méditernée et Le Monde Méditerraneen à l’ époque de Phillipe II yang terdiri atas 3 jilid. (Selanjutnya lihat Lampiran 1). Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan Sumber lisan dapat juga digunakan sebagai sumber sejarah. Hal ini diperlukan untuk memperluas dimensi topik penelitian. Perlu dipertegas tentang perbedaan antara sejarah lisan dan tradisi lisan. Jan Vansina mendefinisikan tradisi lisan sebagai oral testimony transmitted verbally, from one generation to the next one or more.29 Tradisi lisan dibedakan dengan kesaksian saksi mata yang disampaikan secara lisan. Kesaksian yang disampaikan secara lisan juga tidak dituturkan kepada generasi satu ke generasi lainnya. Dengan demikian pengertian tentang tradisi lisan berbeda dengan kesaksian lisan. Tradisi lisan merupakan kebudayaan dari masyarakat yang belum mengenal tulisan yang disampaikan melalui gethok tular antargenerasi. Tradisi lisan ini merupakan sumber sejarah yang menceritakan masa lampau, yang biasa dijadikan sumber penelitian ilmu Antropologi maupun sejarah. Berbeda dengan tradisi lisan, sejarah lisan dicari dengan kesengajaan.30 Sumber sejarah yang merupakan hasil wawancara hingga kini masih dilakukan. Bahkan Arsip Nasional Republik Indonesia hingga saat ini masih mengumpulkan sumber sejarah yang diperoleh dari wawancara dengan tokoh sejarah. Sejarah lisan memiliki banyak manfaat. Banyak peristiwa yang terjadi pada masa lampau, yang dapat ditulusuri dari dokumen sejarah yang ditinggalkan. Namun, banyak permasalahan yang tidak tertangkap dari dokumen yang tersedia. Namun peristiwa unik yang melekat dalam ingatan seseorang, sekelompok orang atau bahkan masyarakat tidak dapat ditemukan dalam dokumen tulis. Banyak peristiwa yang tidak terekam dalam 29 Lihat tulisan Jan Vasina yang berjudul “Once upon a time: Oral tradition as History in Africa” yang dimuat dalam buku Historical Stdies Today, karya Felik Gilbert dan Stephen R. Graubard (Eds). 1972. New York: W.W. Norton and Company. 30 Lihat Kuntowijoyo, 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya bekerjasama dengn Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, hlm. 20-21. 83 dokumen tertulis. Dalam bagian-bagian berikutnya akan diberikan contoh-contoh sumber lisan yang mencerminkan sikap, perilaku, atau bahkan mentalité dari suatu masyarakat, yang tidak terdapat dalam sumber arsip tertulis. Dalam historiografi Indonesia, terdapat banyak sumber lokal yang dapat dijadikan sebagai sumber sejarah. Sumber lokal itu antara lain: babad, serat kanda, sajarah, carita, wawacan, hikayat, tutur, cerita-cerita manurung, riwayat, tarikh, tambo, kidung yang dalam bahasa sehari-hari oleh masyarakatnya disebut sebagi sejarah.31 Karya Sastra Sebagai Sumber Sejarah Dalam melakukan penelitian sejarah, sudah sangat lazim digunakan sumber arsip yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini penting seperti halnya telah dibahas sebelumnya bahwa hanya sumber-sumber yang memenuhi kriteria kritik sumber dan lulus dalam kritik sumber dapat digunakan sebagai sumber penelitian. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber kolonial, keputusan pemerintah, surat perintah, laporan pemerintah, dapat diklasifikasikan sebagai sumber primer. Dari sumber-sumber tersebut tidak dapat diketahui bagaimana sikap atau perilaku si pelaku atau apa yang dikandung dalam hati kecil si pelaku sejarah. Berikut beberapa contoh pemanfaatan sastra seagai sumber sejarah. Konflik antara Sultan Hamengku Buwono II dan Paku Buwono IV Berdasarkan Perjanjian Giyanti pada 1755, wilayah Monconegoro Wetan yang mencakup daerah Madiun, Pacitan, Ponorogo, dan Tulung Agung merupakan wilayah Kesultanan Yogyakarta. Sementara wilayah itu berbatasan dengan wilayah Kesunanan Surakarta. Berhubung pembagian wilayah tersebut belum memiliki batas yang jelas, dan perbatasan tersebut didasarkan pada hubungan kekerabatan, maka sering terjadi konflik horizontal di kalangan bawah antarpenduduk desa, yang berupa perang desa antara penduduk yang tinggal di wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta. Untuk mencegah peperangan antara Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta, Komisaris VOC, Nicolaas Hartingh, memanggil Sultan dan Sunan untuk berunding membicarakan tentang batas-batas wilayah yang baru dari masing-masing kerajaan di Jawa secara lebih jelas. Dari kesepakatan itu pembaruan batas wilayah itu, Monconegoro Wetan juga dibagi kembali. Wilayah Madiun, Caruban, Magetan dan sebagian Pacitan masuk ke daerah Kesultanan Yogyakarta, sementara tanah di Jogorogo, dan sebagian Pacitan menjadi bagian dari Kesunanan Surakarta. Persoalan antara kedua kesultanan belum juga selesai tatkala terjadi pergantian tahta di kedua kesultanan Jawa itu. Permasalahan menjadi semakin parah tatkala Sultan HB II mengangkat putra mantunya, Raden Ronggo Prawirodirjo menjadi adipati di Monconegoro Wetan. Sunan PB IV menganggap bahwa pengangkatan ini akan menjadi ancaman bagi Kesunanan, karena sebelumnya telah terjadi beberapa insiden. Raden Ronggo beberapa kali menerima laporan dari Bupati Pacitan tentang pelanggaran wilayah oleh bangsawan Kesunanan. Hal ini menimbulkan konflik antara Raden Ronggo dan bangsawan Surakarta. Pada saat Raden Ronggo akan menghadap Sultan Yogyakarta, ia singgah di Delanggu. Pada saat itu kepala desa Delanggu dibunuh oleh anak buah Raden Ronggo. Sifat kebencian Paku Buwono IV terhadap raden Ronggo tidak tercermin dalam arsip kolonial, tetapi tampak jelas dalam Serat Wicara Kras, yang bunyinya sebagai berikut: 31 Lihat Helius Sjamsudin. 2012. Metode Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak, hlm. 9. 84 Ronggo iku nora teler Mang lamun ana bathuk kang kalimis Alisé lancip Dèweèké apeparah Janaka Madiun Dudu Janaka Ngamarta Pratandané tan bisa ngambah mring langit Lan nora bisa ngilang “Ronggo itu tidak punya etika Hanya dahinya yang mengkilap Alis matanya tajam Ia mengaku Janaka Madiun Bukan Janaka Amarta Yang tidak mampu terbang Dan tidak mampu menghilang”32 Dalam teks di atas Raden Ronggo dianggap tidak memiliki etika, walaupun ia adalah putra mantu Sultan. Hal ini merupakan penghinaan baik bagi Sultan Yogyakarta, maupun bagi putra mantunya. Istilah Bathuk kalimis dan Alisé lancip adalah ungkapan bagi seseorang yang memiliki sifat sering jatuh cinta bagaikan seorang hidung belang. Ia diumpamakan sebagai tokoh wayang Janaka yang karakternya berlawanan dengan tokoh Janaka dalam pewayangan, karena Janaka adalah tokoh wayang yang bisa terbang dan mampu menghilang. Sementara, Raden Ronggo adalah seseorang ksatria tetapi tidak memiliki kesaktian. Dari bait ini, sudah dapat diketahui makna dari serat ini. Setidak-tidaknya ada hubungan yang tidak harmonis antarkedua kerajaan di Jawa pada saat itu. 33 Hubungan yang tidak harmonis antara kedua kerajaan di Yogyakarta ini dapat dilihat pada bait-bait yang seolah-olah mempertanyakan kesaktian dari Kesultanan Yogyakarta, tatkala tentara Inggris menyerang kraton Yogyakarta. Berikut baitnya: Yes wus mendem tan angetung becik Mbuwang nista madya lan utama Mung ngetung-etung undake Doyan kibir takabur Yen benera Ngayogya dingin Mangsa nuliya bedah Abot sangganipun Sugih banda sugih putra Myang santana sasat prabu Kurupati Ngastina gegempuran34 “Jika sudah mabuk tidak peduli kebaikan Mengabaikan keburukan dan kebenaran Hanya memperhitungkan keuntungan Suka bertakabur Jika Yogyakarta memang benar Pasti tidak akan hancur Sangat berat resikonya Kaya harta kaya anak Juga kerabat seperti Raja Kurupati Astina hancur lebur” Makna dari naskah ini menunjukkan bahwa pihak Kraton Kesunanan mempersalahkan Kraton Yogyakarta, dan Sultan harus mengakui kesalahannya. Kesultanan Yogyakarta dicap sebagai kraton yang tidak peduli, tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, yang hanya mementingkan harta duniawi. Yogyakarta dianggap suka takabur, dan pantas untuk dihancurkan. Penyerangan ke Kraton Yogyakarta oleh Inggris akan menimbulkan kesengsaraan yang amat besar karena Sultan HB II memiliki anak dan kerabat yang banyak. Mengingat bahwa serat ini berasal dari Kraton Surakarta, dan di antara kedua kerajaan di Yogyakarta saat itu sering terjadi konflik, sudah dapat dipastikan bahwa isi 32 Lihat Serat Wicara Kras, t.t. Pupuh 11, padha 34. Koleksi Perpustakaan Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Naskah ini ditulis menggunakan aksara Jawa. Di Ruang Naskah Perpustakaan Universitas Indonesia, serat ini sudah ditransliterasikan dengan huruf latin dan sudah didigitalisasikan. 33 Lihat Djoko Marihandono dan Harto Juwono. 2008. Sultan Hamenku Buwono II: Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Banjar Adji Production, hlm: 154-156. 34 Lihat Serat Wicara Kras, t.t. pupuh XIV padha 96. 85 serat ini menjatuhkan pihak Kraton Yogyakarta. Sikap, emosi, tuduhan, hujatan dan hal negatif lainnya ditujukan kepada kesultanan Yogyakarta. Penangkapan Sultan Hamengku Buwono II oleh Inggris Setelah penandatangan kapitulasi Tuntang pada 18 September 1811, Pulau Jawa dan sekitarnya dikuasai oleh Inggris. Kesempatan itu digunakan oleh para raja Jawa untuk menyusun kekuatan agar tanah-tanah kerajaan yang disita oleh pemerintah Belanda dikembalikan kepada kedua raja Jawa itu. Sunan HB IV memanggil abdi dalem untuk menyerahkan surat pribadinya kepada Sultan HB II. Isi surat itu adalah ajakan melanjutkan rencana kerjasama mereka menghadapi tekanan Letnan Gubernur Jenderal Raffles sebagai penguasa tertinggi di Jawa dan sekitarnya dan menuntut pengembalian tanah-tanah kerajaan yang diambil oleh pemerintahan sebelumnya. Dalam surat itu, Sunan menyarankan agar Sultan tidak perlu gentar terhadap tekanan Raffles. Selaku penguasa di wilayah kerajaan Jawa, John Crawfurd menerima informasi itu dari Pangeran Notokusumo yang dikenal dekat dengan pemerintahan Inggris. Ia menduga kedua sultan berencana akan memberontak. Pada 15 Juni 1812, Raffles bersama pasukannya tiba di Semarang, kemudian menyusun strategi untuk menyerang Kraton Yogyakarta. Pasukan Inggris sudah bersiap di alun-alun utara Yogyakarta pada 20 Juni 1812, langsung melakukan penyerangan. Pukul 12.00 pada tanggal tersebut kraton Yogyakarta diduduki Inggris. Bagaimana penangkapan sultan terjadi, diceritakan dalam Serat Behah Ngayogyokarto. Berikut syairnya: Apan Mugeng ing Srimanganti Tinimbalan wus samya ngapura Sumanten Jeng Sultan mangku Kang neng Loji wus daut Pan binekta dhateng wadya Gris Myang Supe ingkang jaga Rumeko delanggung Linajengken mring Benggala Putra kalih Pangeran Makudiningrat Pangeran Mertasana 35 “Setibanya di Srimanganti Dipanggil untuk diampuni Begitu Sultan muncul Segera dibawa ke Loji Ditangkap oleh pasukan Inggris Bersama Sepoi yang mengawalnya Dijaga sangat ketat Terus dibawa ke Benggala Putra berdua Pangeran Mangkudiningrat Pangeran Mertasana Dari naskah ini, terdapat beberapa hal yang perlu dijelaskan dan diluruskan. Pertama bahwa yang dimaksudkan sebagai ‘Loji’ di sini adalah benteng Vredeburg yang berada di sebelah utara Kraton Yogyakarta. Tidak ada hubungannya dengan Loji Kecil, yaitu bangunan yang terletak di antara Benteng Vredeburg dan Kraton Yogyakarta. Berdasarkan serat ini, setelah ditangkap Sultan HB II dibawa ke Benggala India. Berdasarkan arsip kolonial, setelah Sultan HB II menyerah, Raffles menghentikan serangannya. Penyerahan diri Sultan dibarengi dengan permintaan agar pasukan Inggris segera keluar dari kraton dan jangan menjarah harta benda yang berada di dalam kraton. Pada 20 Juni 1812, Raffles menurunkan Sultan HB II dari tahtanya dan sebagai penggantinya diangkatlah Sultan HB III. Saat itu Gillespie komandan pasukan Inggris dalam rangka penyerbuan ke kraton Yogyakarta bertemu dengan Sultan HB II di Balai Sri Manganti. Ia menyarankan agar Sultan HB II segera berangkat ke Benteng Vredeburg, dan dirinya menjamin bahwa Raffles akan memafkannya. Setelah 35 Naskah ini diambil dari Babad Bedhah ing Ngayogyakarta, pupuh XXIII, padha 16. Naskah ini disimpan di museum Sonobudoyo Yogyakarta, ditulis dengan menggunakan aksara Jawa. Transliterasi naskah ini berada di ruang naskah Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok, dan sudah digitalisasikan. 86 bertemu dengan Raffles, ia menyampaikan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Sultan HB II, dan ia dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, Sultan seharusnya dihukum mati, akan tetapi karena usianya sudah tua, ia akan dibawa ke Batavia. Untuk itu, ia diizinkan ditemani oleh puteranya Pangeran Mangkudiningrat dan Pangeran Mertosono selama sultan berada di pembuangan. Di Batavia, Raffles meminta pendapat dari para penasehatnya mengenai penahanan Sultan HB II. Menurut penasehatnya, Sultan harus dibuang ke luar Jawa, karena bila dibiarkan di Jawa akan sangat berresiko terhadap pemerintahan di Batavia. Berhubung penahanan seseorang ke luar Jawa bukan wewenangnya, maka Raffles meminta nasehat kepada Gubernur Jenderal Lord Minto di Calcutta. Dalam keputusan Lord Minto, diinstruksikan bahwa Sultan HB II harus dikirim ke pangkalan Inggris di pulau Penang, di wilayah yang belum dikenalnya, sehingga Sultan tidak akan dapat berkomunikasi dengan kerabatnya di Yogyakarta.36 Dengan demikian apa yang tertera dalam Serat Bedhah Ngayogyakarta tersebut adalah bahwa Raffles berkonsultasi dengan Gubernur Jenderal EIC Lord Minto yang saat itu berada di Benggala, dan bukan Sultan HB II yang dibuang ke Ceylon. Jalan Raya Pos Pada masa pemerintahan Daendels, telah dibuat jalan yang membentang antara Anyer dan Panarukan, yang jaraknya hampir 1.000 km, menghubungkan antara bagian barat pulau Jawa dan bagian timur pulau Jawa. Berdasarkan novel Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, disebutkan sebagai berikut: BLORA—REMBANG Jalan raya pos, Jalan Daendels, membentang 1000 kilometer sepanjang Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Sejak dapat dipergunakan pada 1909 telah menjadi infrastruktur penting dan untuk selamanya. Dengan jatuhnya Hindia Belanda pada 1942, disusul masa pendek pendudukan militerisme Jepang sampai 1945, berlanjut dengan Revolusi 1945—1949, orang sudah tak peduli lagi bahkan tidak ingat lagi padanya. Untuk pertama kali kudengar namanya tentu saja dari guruku di sekolah dasar. Instituut Boedi Oetomo, disingkat IBO. Di bawah pimpinan ayahku sendiri sekolah ini sudah banting setir jadi sekolah nasional pada tahun 30-an. Apa pula sekolah nasional itu? Pendeknya secara tidak langsung—karena tidak mungkin secara langsung—diajar membenci penjajahan Barat, Eropa, Belanda. Sebaliknya mengagungkan bangsa sendiri, tidak peduli ilmiah atau tidak, asal memerosotkan wibawa kolonial.37 Kutipan ini menjelaskan tentang Daendels yang telah membangun jalan raya AnyerPanarukan. Berdasarkan arsip kolonial, Herman Willem Daendels tiba di pelabuhan Anyer dari Eropa pada 1 Januari 1808. Ia kemudian menggunakan jalan darat menuju ke Batavia. Di Serang ia dijemput oleh Komandan Militer Serang Pieter Philip Dupuy, yang mengawalnya hingga sampai ke Batavia pada 4 Januari 1808. Setelah bertemu dengan Gubernur Jenderal Albertus Hendricus Wiese, Daendels dilantik sebagai 36 Lihat Djoko Marihandono dan Harto Juwono, 2009. Sultan Hamengku Buwono II: Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Bandar Aji Production, hlm. 159-165. 37 Pramoedya Ananta Toer, 2005. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Jakarta: Lentera Dipantara, hlm. 7-8. 87 Gubernur Jenderal pada 14 Januari 1808, tepatnya dua minggu setelah ia mendarat di pulau Jawa. Dari Anyer hingga Batavia, ia menggunakan jalan darat, yang berarti bahwa jalan itu sudah ada dan sudah dapat dilewati. Dengan demikian, perlu diragukan apakah jalan itu memang dibuat oleh Daendels. Setelah dilantik menjadi Gubernur Jenderal pada 14 Januari 1808, ia memutuskan untuk tinggal di Buitenzorg (Baca: Bogor) dari pada di Batavia. Alasan mengapa ia tinggal di Buitenzorg, karena udara di Buitenzorg masih bersih, dan dirasakan lebih sehat dari pada di Batavia yang banyak dipenuhi uap genangan air yang tidak sehat. Selain itu, pertimbangannya tinggal di Buitenzorg demi alasan keamanan, karena misi yang diembannya adalah: menyelamatkan pulau Jawa dari serbuan Inggris dan menegakkan administrasi modern di Jawa demi keuntungan sebesar-besarnya untuk negara induk. Oleh karena itu, bagi Daendels, tinggal di Buitenzorg lebih aman dibandingkan dengan di Batavia, karena sewaktu-waktu kapal perang Inggris akan merapat di pantai laut Jawa. Dengan kondisi ini, dapat diketahui bahwa jalan darat dari Anyer ke Batavia, kemudian dari Batavia ke Buitenzorg pada saat kehadiran Daendels di Jawa sudah ada. Gagasan untuk membangun jalan raya dimulai pada 5 Mei 1808, ketika ia baru tiba dari perjalanannya dari Buitenzorg ke Semarang melalui jalan darat. Ia ingin menghubungkan jalan-jalan desa yang membingungkan itu menjadi sebuah jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan yang membawa hasil bumi. Jalur ini akan menghubungkan dari Buitenzorg ke Karangsambung Cirebon, sepanjang 150 km. Pembangunan jalan ini dilakukan dengan mengerahkan tenaga kerja sebanyak 1.100 orang bujang yang dikirim dari Jawa38 dibantu oleh masyarakat setempat. Berhubung penduduk yang tinggal di sekitar jalur jalan raya ini sedang melakukan panen, diharapkan kegiatan ini tidak mengganggu aktivitas panen komoditi yang sangat diperlukan oleh pemerintah kolonial.. Berdasarkan beratnya medan, tenaga yang dikerahkan untuk merealisasikan jalan ini disesuaikan dengan medannya, dengan komposisi sebagai berikut: - dari Cisarua ke Cianjur 400 orang - dari Cianjur ke Rajamandala 150 orang - dari Rajamandala ke Bandung 200 orang - dari Bandung ke Parakanmuncang 50 orang - dari Parakanmuncang ke Sumedang 150 orang - dari Sumedang ke Karangsambung 150 orang. Tenaga yang dikerahkan untuk pembuatan jalan ini bukan berasal dari wilayah di sekitar jalan. Oleh karena itu, mereka diberikan upah yang jumlahnya bervariasi disesuaikan dengan kondisi medannya. Untuk pelaksanaan pemberian upah ini pelaksanaannya di bawah tanggung jawab Komisaris Urusan Bumi Putera. Adapun rincian upah mereka adalah sebagai berikut: - dari Cisarua ke Cianjur 10 ringgit perak/orang - dari Cianjur ke Rajamandala 4 ringgit perak per orang - dari Rajamandala ke Bandung 6 ringgit perak/orang - dari Bandung ke Parakanmuncang 1 ringgit perak/orang 38 Istilah Jawa digunakan untuk menyebut wilayah yang berada di bawah Gubernur Pantai Timur Laut Jawa (Oostkust. Untuk mempersingkat panggilan Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolas Engelhard, digunakan panggilan Gubernur Jawa, dan wilayah yang berada di bawah kekuasaannya disebut juga wilayah Jawa. (Lihat Buddingh, SA dalam “Rapport over de Ontlusten te Chirebon in 1806 Ingediend door wijlen N. Engelhard, in lessen Gouverneur van Java’s Oostkust” dalam Indische Archief Ttijdschrift Jilid III 1850, hal 102. 88 - dari Parakanmuncang ke Sumedang 5 ringgit perak/orang dari Sumedang ke Karangsambung 4 ringgit petak/orang. Untuk melaksanakan pembangunan jalan ini Komandan Zeni, Kolonel Von Lutzow bersama dengan dua orang insinyur, diberi tugas untuk membuat rencana di jalur mana jalan akan dibuka, digali atau diratakan. Jalur Cisarua Cianjur ditangani oleh seorang insinyur. Jalur dari Parakanmuncang ke Karangsambung diserahkan kepada insinyur lain. Masing-masing insinyur dibantu oleh seorang bintara yang cakap dari pasukan artileri yang dipilih sendiri oleh kedua insinyur itu. Semua yang teribat dalam pembangunan jalan ini akan diberikan gaji sebesar ¼ ringgit perak setiap hari, sementara kepada kepala dan para perwira zeni akan memperoleh uang harian yang jumlahnya disesuaikan dengan pangkat mereka. Syair Lagu Populer Penelitian sejarah dapat dilakukan dengan memanfaatkan syair lagu populer. Hal ini pernah dbuat dalam disertasi Muhammad Mulyadi yang berjudul Koes Plus: Tonggak dan Karakteristik Ke-Indonesiaan dalam Musik Pop.39 Koes Plus dikenal semua orang karena ia telah mewarnai sejarah musik Indonesia. Kelompok musik awalnya bernama Koes Bersaudara pada tahun 60-an. Kelompok musik ini pernah merasakan masuk penjara karena karya-karyanya yang dianggap tidak merepresentasikan Indonesia, sehingga pemerintah Orde Lama membawanya ke penjara sebagai akibat dari lagu-lagu yang diciptakannya. Kelompok ini kemudian bubar, karena salah satu personalnya menyatakan keluar dari grup musik ini. Selanjutnya, kelompok musik Koes Bersaudara berubah namanya menjadi Koes Plus, setelah masuknya salah satu personil dari luar yang bergabung dengan kelompok musik ini. Dalam disertasi tersebut, analisis dapat dilakukan melalui beberapa langkah: 1. Syair lagu, 2. Irama; 3. Instrumen yang digunakannya. Dalam penelitiannya, disertasi ini hanya membahas nomor 1 dan nomor 2 saja, sementara nomor 3 tidak dibahas karena berada di luar konteks penelitian. Dari segi Syair lagunya, setidaknya Koes Plus menggunakan beberapa bahasa, antara lain: Indonesia, Jawa, dan bahasa Inggris. Iramanya: kelompok ini menggunakan irama pop, rock and roll, beat, dang dut, khasidah, langgam Jawa dan beberapa irama lainnya. Dari segi syairnya, mayoritas tema yang diangkat adalah tentang kekayaan, keindahan tanah air Indonesia. Keroncong Pulau Kelapa Melambai-lambai di pantai Nyiur Pohon kelapa Kampung halaman yang indah Pantai impian dan harapan Keroncong pulau Kelapa Di bawah angin berlalu Ecercah wajah-wajahnya Gadis-gadis yang di situ Terik panas matahari 39 Muhammad Mulyadi. 2014. Koes Plus: Tonggak dan Karakteristik Ke-Indonesia-an dalam Musik Pop. Disertasi FIB UI: tidak diterbitkan. 89 Memancar setiap hari Nyiur melambai berseri Seakan menari-nari40 Nusantara 3 Hutan Belantara Banyak tersebar Nusantara Semua harta yang tak terhingga Milik kita Di sana tempatnya Tanah idaman kita semua Tanah yang kaya bagai permata Nusantara Semua kagum olehnya Tanah di Khatulistiwa Bagi yang telah melihat Hati terpikat Nusantara Di sana tempatnya41 Penelitian sejarah tidak berhenti pada teks (syair) dan irama saja. Setelah diketahui makna dari lagu-lagu itu, peneliti sejarah akan mencoba memasukkannya dalam konteksnya, yaitu kapan, dimana, mengapa syair ini dibuat. Setelah melalui wawancara terhadap para personil kelompok musik ini, menganalisis fungsinya, maksud dan tujuan penciptaannya diketahui bahwa Koes Plus menciptakaan semua lagu-lagunya ini disesuaikan visi dan misi mereka dengan menciptakan stabilitas keamanan di negeri ini. Koes plus memiliki karakteristik, antara lain memuja tanah air, kekayaan alam Indonesia, yang menyadarkan kepada seluruh bangsa Indonesia akan kesadaran geografis Indonesia. Apa yang disampaikan oleh Koes Plus dalam syair lagunya sejalan dengan apa yang menjadi program pemerintah saat itu, yaitu stabilitas keamanan dalam melaksanakan pembangunan. Kesadaran akan keadaan geografis Indonesia diperkenalkan melalui lagu-lagu yang diciptakannya, ditujukan kepada semua lapisan masyarakat, di kota atau pun di daerah, golongan agama manapun dan kelas sosial mana pun. Setelah diteliti lebih lanjut, diketahui bahwa pemerintahan Orde Baru memanfaatkan seniman untuk ikut menyadarkan masyarakat tentang kekayaan negara kita, dan pentingnya rasa nasionalisme bersama, khususnya dalam membangun Indonesia menjadi negara yang kaya dan adil. Kesimpulan Setelah melihat beberapa contoh analisis karya Sastra, dapat disimpulkan bahwa karya sastra dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Walaupun harus diverifikasi dengan mencari makna dari karya sastra, namun karya sastra dapat digunakan untuk melengkapi apa yang yang belum ada dalam arsip-arsip kolonial. Metode sejarah akan membawa penulis sejarah untuk mencari sumber-sumber lokal dengan mencari makna tersebunyi dari karya sastra tersebut. Dengan melihat topik yang akan diteliti, peneliti akan berusah mencari tidak hanya arsip-arsip yang berupa arsip kolonial, tetapi karya sezaman yang berhubungan dengan topik penelitiannya. 40 41 Album Koes Plus. 1974. Pop Keroncong Volume 2. Album Koes plus, 1973. Pop Nusantara Volume 9. 90 Oleh karena itu, karya sezaman sangat diperlukan untuk melengkapi khususnya dalam pemahaman atau pencarian makna dari teks itu sendiri. Sesuai dengan apa yang dilakukan oleh peneliti sejarah dari mazhab Les Annales, bahwa semua aktivitas manusia dapat dijadikan sumber sejarah, baik itu berupa perilaku verbal, yang berupa tuturan maupun teks, perilaku kinetis yang berupa artefak maupun lingkungan alam yang termodifikasi dan lingkungan alam asli. Semua jenis data ini dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Hal ini berbeda dengan penelitian para peneliti dari mazhab Méthodique yang mengandalkan sumber sejarah dari arsip-arsip pemerintah yang saat itu mulai diizinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan penelitian. Daftar Rujukan Sumber data Album Koes Plus. 1974. Pop Keroncong Volume 2. Album Koes plus, 1973. Pop Nusantara Volume 9. Serat Wicara Kras, t.t. Pupuh 11, padha 34. Koleksi Perpustakaan Museum Sonobudoyo Yogyakarta Babad Bedhah ing Ngayogyakarta. Pupuh 23, padha 16. Koleksi Perpustakaan Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Jakarta: Lentera Dipantara, hlm. 7-8. Buku Buddingh, SA dalam “Rapport over de Ontlusten te Chirebon in 1806 Ingediend door wijlen N. Engelhard, in lessen Gouverneur van Java’s Oostkust” dalam Indische Archief Ttijdschrift Jilid III 1850, hal 102. Kuntowijoyo, 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya bekerjasama dengn Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Marihandono, Djoko dan Harto Juwono. 2008. Sultan Hamenku Buwono II: Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Banjar Adji Production, hlm: 154-156. Masinambow, EKM. 2010. “Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Budaya”, dalam Semiotika Budaya T. Christomy dan Untung Yuwono (Eds.). Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Mulyadi, Muhammad 2014. Koes Plus: Tonggak dan Karakteristik Ke-Indonesia-an dalam Musik Pop. Disertasi FIB UI: tidak diterbitkan. Syamsudin, Helius. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak, hlm. 12-14. Vansina, Jan. 1972. yang berjudul “Once upon a time: Oral tradition as History in Africa” yang dimuat dalam buku Historical Stdies Today, karya Felik Gilbert dan Stephen R. Graubard (Eds). 1972. New York: W.W. Norton and Company. 91 KONSTRUKSI TUBUH DALAM ANTOLOGI PUISI DI BAWAH KIBARAN SARUNG KARYA JOKO PINURBO Dwi Rahariyoso (Indonesia) Memahami Joko Pinurbo selama ini dalam sudut pandang puisi Indonesia secara umum memiliki kecenderungan bahwa karakteristik “liar” yang dikonstruksikannya melalui medium tubuh adalah cara pandang yang segar dalam melihat tubuh dengan kerangka kebudayaan masyarakat Indonesia. Tubuh hadir dalam cita rasa yang lain, tidak hadir dalam kondisi yang sempurna. Dalam kerangka yang demikian, maka Joko Pinurbo memiliki kapasitas dan kelebihan untuk diteliti. Membahasakan tubuh (liar) merupakan sebuah medium bagi Joko Pinurbo dalam menghadirkan paradigmanya terhadap kondisi manusia dalam kebudayaan masyarakat Indonesia. Manusia dengan tubuh mereka yang terus-menerus diarahkan kepada dinamika dan problematika peradaban yang semakin mendistorsi tubuh manusia ke dalam krisis, baik itu krisis secara material maupun spiritual. Joko Pinurbo secara intens berkutat dalam kerangka dualitas ruang tersebut sebagai sebuah hasil pandangannya terhadap tubuh, kebudayaan, dan dunianya. Tubuh dalam antologi puisi Di Bawah Kibaran Sarung karya Joko Pinurbo sedikit banyak bisa dikaitkan dengan hadirnya wacana pascakolonial. Pada kenyataannya Joko Pinurbo memang tidak mengalami secara langsung peristiwa kolonial, namun karya-karyanya mengulas dan menguraikan satu ruang yang paling mendasar dalam diri manusia, yaitu tubuh. Sebagai ruang politis, tubuh merupakan esensi yang signifikan bagi manusia. Dalam kerangka pascakolonial, tubuh menjadi saksi bagi sejarah keberlangsungan kolonial dari waktu ke waktu dengan meninggalkan jejaknya melalui pengalaman tubuh. Tubuh dijadikan obyek bagi keberlangsungan kepentingan, sehingga tubuh mengalami berbagai bentuk represi, rekonstruksi, dan resistensi, sebagai sebuah pengalaman parsial individu. Konstruksi-konstruksi kolonial tentang tubuh yang selama ini diakomodasi dalam kehidupan masyarakat pascakolonial dikaitkan dengan bagaimana tubuh dikonstruksikan dalam karya-karya puisi Joko Pinurbo, sehingga dapat diketahui bahwa tubuh tersebut merepresentasikan suatu konstruksi dan diskursus tertentu. Strukturasi tersebut akan dijadikan sebuah lanskap dalam melihat fenomena ketubuhan sebagai ruang pengalaman masyarakat pascakolonial. Tubuh dalam masyarakat pascakolonial bukan entitas yang otonom, melainkan telah ditandai oleh masa lalu kolonial, dengan demikian kehadiran tubuh dalam konteks puisi Joko Pinurbo bisa dikaitkan dengan kemungkinan hadirnya konstruksi kolonial di masa lalu yang kembali muncul tanpa disadari dalam ruang atau teks-teks pascakolonial saat ini. Pascakolonial mempunyai tujuan melihat tubuh dalam kerangka yang ‘bebas’ dari penandaan ataupun konstruksi kolonial di masa lalu. Dalam kerangka kolonial, tubuh diarahkan dan dibentuk untuk tunduk dalam rasionalitas atau nalar kolonial, sehingga tubuh tidak bebas dari konstruksi dan kepentingan. Kenyataan terhadap hal tersebut selama ini telah menimbulkan reaksi bagi era pascakolonial, dimana tubuh sebagai ruang hendak direvisi, sehingga tubuh menerima konstruksi kolonial, sekaligus menerima konstruksi yang lain (di luar narasi kolonial) sebagai suatu bentuk alternatif. 92 Tubuh bisa dipahami sebagai hakikat dengan sifat ontologis yang dibedakan dengan sifat epistemologis yang ada dalam roh. Landasan berpikir pascakolonial yang secara khusus mengerucut pada konstruksi tubuh, yaitu terdapat dalam bukunya Sara Upstone, Spatial Politics in the Postcolonial Novel (2009). Pendekatan pascakolonial menurut Upstone menekankan pada politik ruang, dalam artian pascakolonial dipahami sebagai masa dimana suatu wilayah pernah ditempati dan dikontrol oleh kolonial, dan kolonial telah meninggalkan wilayah tersebut. Upstone menganggap bahwa masih ada ruang-ruang kolonial yang ditinggalkan pada wilayah jajahan meskipun secara fisik kolonial sudah tidak berada lagi dalam ruang terjajah. Ruang-ruang kolonial tersebut dikelompokkan oleh Upstone menjadi beberapa level dari yang paling umum atau besar sampai ke ruang yang paling mendasar atau signifikan, dimana pada setiap ruang terdapat unsur politik yang ingin diungkapkan. Level ruang tersebut mulai dari nation (bangsa atau negara), journey (perjalanan), city (kota), home (rumah), dan body (tubuh). Ruang dalam Pandangan Pascakolonialisme Upstone menawarkan pembacaan atas novel pascakolonial yang menitikberatkan pada konsep-konsep alternatif tentang politik ruang, yang tidak semata-mata menitikberatkan pada politik bangsa, tetapi juga merefleksikan beraneka ruang yang mengonstruksi pengalaman kolonial (Upstone, 2009:1). Upstone menjelaskan bahwa tempat menandakan kontrol kolonial, sementara ruang merujuk pada hal yang lebih luas dan lentur, bentuk-bentuk yang ingin dikaburkan oleh kolonial (Upstone, 2009:3). Ruang adalah wadah dalam artian yang abstrak dimana konsep-konsep yang hegemonik dapat ditanamkan karena sifatnya yang lentur. Strategi politik tersebut lahir dalam upaya melakukan penguasaan terhadap-ruang-ruang yang penting bagi praktik-praktik kolonial serta mampu mempertahankan stabilitasnya bagi keberlangsungan kekuasaan kolonial di masa selanjutnya. Ruang-ruang yang nampak secara natural tersebut digunakan oleh kaum kolonial untuk membedakan diri mereka dengan pribumi. Melalui praktik yang demikian, yaitu dengan memberikan definisi dan batas yang jelas antara colonised dan coloniser di ruang pribumi, kekuasaan kolonial tampak absolut (Upstone, 2009: 4). Berikut ini bagan kondisi ruang kolonialisme dengan ruang poskolonialisme. Space (ruang) Pascakolonial Kolonial Heterogenitas Chaos/ disorder Space (ruang) Homogenitas Postspace Kontrol hegemonik Order dan Border Pandangan ruang pascakolonial menolak konstruksi teritori, memberi pada penawaran bahwa ruang seharusnya direklamasi, suatu pandangan yang pada awalnya mengandung berbagai perbedaan dan melihat ruang di luar pemikiran kolonial, dimana ruang menjadi lokasi, bukan sebagai negasi atas yang telah berlalu sebelumnya, namun negosiasi (Upstone, 2009:13). Pandangan pascakolonial melihat ruang berisi suara-suara heterogen, yang memiliki berbagai pengalaman, yang memberi penekanan pada perbedaan dan subjektivitas (Upstone, 2009:13). Suara-suara heterogen dan berbagai 93 pengalaman tersebut akan menimbulkan chaos. Chaos berfungsi sebagai upaya pembongkaran terhadap pandangan yang dianggap tetap dan menanamkan pola-pola pemahaman serta pengalaman-pengalaman baru sehingga dibutuhkan fluiditas ruang yang tidak didapatkan dalam konsep kolonial maupun tradisi, atau dari konsep Barat dan Timur yang sudah dibatasi tersebut, kondisi ini pada akhirnya memunculkan postspace. Upstone (2009:15) menjelaskan post-space sebagai konsep yang berada di luar batas-batas kolonial maupun di luar batas-batas tradisi, bahkan melampaui atau berada sebelum batas-batas tersebut muncul; keadaan tersebut juga bisa dikatakan sebagai ruang yang hibrid, cair, dan ruang yang bergerak, sehingga tidak memiliki batas-batas lagi. Melalui konsep yang demikian, teks-teks pascakolonial mempertanyakan berbagai kemungkinan lain atas tatanan yang ditanamkan oleh kolonialisme, berbagai kemungkinan lain yang bisa dibaca sebagai sebuah usaha negosiasi atas definisi identitas, budaya, hingga kemungkinan resistensi. Ruang Tubuh dalam Poskolonial Ketika tubuh dianggap sebagai sesuatu yang bisa dikoloni seperti halnya ruang lain, tubuh secara konkret juga menjadi bagian dari ruang-ruang tersebut. Tubuh tidak hanya metaforik tetapi metonimik. Tubuh tidak hanya dianggap sebanding dengan ruang-ruang lain, tetapi juga menjadi bagian dari ruang-ruang tersebut. Sebagai bagian dan kelanjutan, tubuh mungkin melakukan berbagai resistensi, percampuran, saling pengaruh. Kondisi metaforik dan metonimik terhadap tubuh inilah yang ditelusuri Upstone. Dalam konsep Upstone, tubuh yang metaforik adalah tubuh dalam wacana kolonial, yang bisa dibagi-bagi seperti halnya negara atau kota. Tubuh hanyalah perumpamaan. Akan tetapi, terdapat juga tubuh metonimik, yang artinya merupakan bagian berkesinambungan yang tidak lagi memungkinkan adanya keterbagian atau hubungan-hubungan hierarkis. Dalam tubuh yang metonimis inilah kemungkinan chaos dan ambiguitas muncul. Ketidakterbagian dan ambiguitas ini merupakan resistensi itu sendiri. Tubuh dalam wacana kolonial menjadi tubuh yang terkontrol, kaku secara jasmaniah dan ditandai dengan jejak-jejak representasi kekuasaan/koloni yang diklasifikasikan berdasarkan jenis ras/warna kulit dan juga etnis. Membentuk dikotomi antara yang superior, yaitu penjajah, dan di wilayah sebaliknya adalah inferior, yaitu terjajah. Dalam konteks ini tubuh memegang peranan penting dalam teks pascakolonial terutama dalam membentuk persepsi (kesadaran) atas berbagai pengalaman melalui ruang-ruang yang dialami oleh tubuh. Tubuh merupakan wilayah dimana segala pengalaman keruangan dirasakan oleh individu, sehingga dalam konteks ini tubuh memegang peranan sentral (apresiasi) terhadap ruang-ruang yang ada di sekitarnya. “Spaces indicating a particulare experience at their own scale inherently interwoven with experiences at other scales, of which the body is often the end (or beginning) point” (Upstone, 2009:148). Novel Pascakolonial menggambarkan sentralitas tubuh bagi kekuasaan kolonial, menggambaran fakta bahwa tubuh adalah target imperial dan tubuh menyandang peninggalan kolonial, ditandai dan didefinisikan oleh berbagai perangkat kekuatan di luarnya. Secara lebih lanjut wacana tersebut juga digunakan sebagai sebuah wasiat akan terus berlangsungnya upaya kolonial dalam mempertahankan penguasaan terhadap tubuh di dunia pascakolonial (Upstone, 2009:151). Kondisi tersebut merupakan sebuah fenomena bagaimana kolonialisme terus berupaya menjaga superioritas wacana mereka atas tubuh sebagai sebuah perspektif dan cara pandang yang benar selama ini. 94 Dalam antologi puisi Di Bawah Kibaran Sarung karya Joko Pinurbo, penyair merepresentasikan pengalaman tubuh manusia dengan roh melalui berbagai interaksi ruang di sekelilingnya, tidak hanya ekstrinsik melainkan juga intrinsik. Pengalaman tubuh dalam karya-karya Joko Pinurbo bisa dibaca dalam kerangka konsep pascakolonial tubuh Upstone, untuk menemukan relasi simbolik keberadaan tubuh dan keterkaitannya dengan konstruksi tubuh. Apakah tubuh digambarkan melakukan suatu bentuk yang chaos/disorder sehingga bisa melahirkan bentuk baru atau justru sebaliknya, tubuh kembali pada wacana dominan yang sudah ada secara turun-temurun. Mayoritas karya puisi yang hadir dalam antologi Di Bawah Kibaran Sarung, berkutat tentang persoalan tubuh dan roh sebagai suatu konstruksi, dimana Joko Pinurbo dengan rasionalitasnya terkesan bermain-main dengan bahasa dan logika. Bahasa dalam konteks tersebut diasumsikan sebagai suatu ruang yang secara dekonstruktif berusaha mempertemukan bahasa sehari-hari sebagai sebuah dimensi atau medium dalam membahas renungan-renungan filosofis dan teologis tentang tubuh. Konstruksi estetis yang dihadirkan oleh Joko Pinurbo dalam puisi-puisinya mengarah ke Descartes, yang berpijak kepada rasionalitas (modernis), namun yang cukup menarik adalah cara dia bertutur bukan sebagai modernis. Bahasa yang digunakan dalam antologi Di Bawah Kibaran Sarung adalah bahasa yang hancur, bahasa debu (fana) yang mempunyai kecenderungan dekat dengan keseharian tubuh (jasmaniah) sebagai suatu ruang yang dinihilkan atau dihancurkan di dunia. Bahasa keseharian yang muncul dalam karyakaryanya sebagai sesuatu hal yang tidak standar, yang seolah-olah membuat Joko Pinurbo sebagai seorang yang posmodernis, yang pada mulanya adalah chora. Dalam kerangka Upstone (mengutip Plato), seperti yang sudah diuraikan pada bab 1, chora dipahami sebagai sesuatu yang menyediakan keadaan bagi berbagai benda untuk mengada, dengan kata lain chora ada sebelum makna pasti terbentuk (2009:162). Chora bisa dibaca secara lebih umum sebagai tubuh yang tidak memiliki konotasi gender. Chora lebih mengarah kepada sesuatu yang lebih besar dari tubuh. Tubuh choric merupakan ‘tusukan’ dan penolakan bentuk menjadi ‘bukan sebuah tubuh’ (Butler via Upstone, 2009:162-163), yang didefinisikan oleh Plato sebagai konstruksi negatif tanpa angan-angan atau harapan yang tidak mungkin untuk diperoleh kembali secara utuh. Pernyataan tersebut merupakan sebuah tawaran terhadap konstruksi tubuh yang natural, sebuah ambiguitas tanpa definisi yang mengarah kepada chaos. Chora merupakan sebuah alternatif dalam melakukan resitensi kolonial dalam pengertian Upstone, dimana keadaan tubuh tidak semata-mata dilihat sebagai bentuk jasmaniah belaka. Berpijak dari asumsi chora tersebut, maka apa yang dihadirkan oleh Joko Pinurbo melalui konstruksi bahasa di dalam puisi-puisinya mengarahkan kepada suatu kesimpulan bahwa melalui bahasanya yang chaostik, Joko Pinurbo tidak menciptakan suatu ruang chaos sama sekali, sebab ia merupakan seorang modernis. Chaos dalam kerangka estetik Joko Pinurbo dilihat dari kacamata ideal, yaitu ruang rohaniah. Melalui bahasa tersebut proses dekonstruksi sebagai suatu cara melihat ruang tubuh yang hadir dalam konstruksi puisi-puisi Joko Pinurbo bisa dilacak secara detail. Tubuh hadir dalam persepsinya yang terarah secara konstruksional, ke wilayah di luar badan/tubuh, yaitu roh. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penyair tidak bisa lepas dari tubuh dan roh, yang mencerminkan pandangan dualistik ruang yang hadir secara konstruktif terhadap tubuh dan membagi seluruh kenyataan antara tubuh-roh, spiritual-material, manusiadunia, subjek-objek dan lain sebagainya. Kenyataan atas dualistik ruang tersebut mengindikasikan hadirnya semangat modernisme, dimana dalam modernisme pandangan dualistik tersebut menjadi suatu ciri mendasar dalam melihat kenyataan 95 (Sugiharto, 1996:29), yang entah disadari atau tidak telah memengaruhi penyair dan menjadi fokus penyair dalam berkarya. Dualitas ruang yang dihadirkan dalam puisi-puisi Joko Pinurbo bukan sematamata merupakan sebuah keberpihakan, melainkan pemahaman penyair atas kehidupan yang dialaminya sebagai seorang religius (Kristen) yang modernis, dengan berkutat pada persoalan tubuh (jasmaniah/material) dan religiusitas pada wilayah rohaniah (ide/spirit). Hubungan kedua aspek tersebut secara tidak langsung membentuk suatu pemahaman bahwa penyair menafsirkan tubuh secara rasional untuk mengungkapkan kenyataan yang ilahiah di luar tubuh. Barangkali hal tersebut yang memperkuat fungsi estetik puisi-puisi sekaligus sebagai semacam kegelisahan Joko Pinurbo dalam rangka memaparkan bagaimana tubuh yang fana dan profan dipertemukan dengan roh yang kekal dan sakral. Beberapa puisi tersebut, yaitu puisi dengan judul “Celana (2)”, “Pulang Malam”, “Tubuh Pinjaman”, “Pulang Mandi”, “Meditasi”, “Di Sebuah Mandi”, “Doa Sebelum Mandi”, dan “Sakramen”. Ia memantas-mantas celananya di depan cermin Sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya Pantat tepos yang sok perkasa. “Ini asli buatan Amerika,” katanya Kepada si tolol yang berlagak dalam kaca. (bait 2, “Celana (2)”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung) Dalam puisi “Celana (2)”, persoalan tubuh dan celana menjadi sebuah fenomena yang signifikan dalam merenungkan kembali posisi tubuh. Apa yang dilakukan oleh tokoh dalam puisi tersebut adalah sebuah upaya mengonstruksi tubuh ke dalam gagasan, melalui komoditas celana asli buatan Amerika. Ketika tubuh sudah dikonstruksi dalam persoalan ide, maka ide tentang tubuh adalah ide yang mengikuti order atau mengatur tubuh agar tubuh bisa memenuhi keinginan atau diarahkan. Celana merepresentasikan ide/gagasan yang hadir di luar tubuh, sehingga ketika tubuh diarahkan melalui gagasan tertentu yang dipahami sebagai pengetahuan bersama (obyektif) atas realitas, maka tubuh yang hadir lebih dekat kepada suatu konsensus komoditi, yang secara sosial dan kultural berusaha merepresentasikan kenyataan obyektif bagi subjek tersebut. Representasi yang benar atau keserupaan obyektif tentang tubuh inilah barangkali yang berusaha dihadirkan dalam puisi-puisi Joko Pinurbo, terutama dalam praktik kultural yang hadir melalui celana idaman asli buatan Amerika. Keadaan yang ironis justru dihadapi oleh si tokoh ketika ia mendapati bahwa perempuan yang menjadi kekasihnya justru menginginkan dan tertarik yang bernaung di dalam celana, bukan celana yang dikenakan oleh tokoh tersebut. Perempuan tersebut sewot dan memerintahkan untuk membuka dan membuang celana si tokoh yang gagah dan canggih modelnya. Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru yang gagah dan canggih modelnya dan mendapatkan raja kecil yang selama ini disembahnya tunduk tak berdaya. (bait 5, “Celana (2)”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung) Berdasarkan fenomena yang hadir dalam kutipan bait puisi di atas, maka apa yang sebenarnya menjadi persoalan adalah hadirnya persepsi atas realitas tubuh melalui celana gagah dan canggih modelnya asli buatan Amerika. Persepsi atas kenyataan tersebut menandakan bahwa tubuh dalam konstruksi gagasan sosial telah diarahkan kepada sebuah praktik komoditi sosial, dimana tubuh dari tokoh yang berusaha merepresentasikan keserupaan obyektif tubuhnya dengan kenyataan melalui celana asli 96 buatan Amerika. Gagasan tersebut pada akhirnya dibongkar oleh perempuan kekasihnya, bahwa ia tidak tertarik dengan celana gagah dan canggih modelnya, melainkan kepada yang hadir di dalam celana. Kenyataan yang meleset dari asumsi tokoh bahwa celana tidak mampu memberikan kepuasan bagi kekasihnya, sekaligus tidak mampu menggantikan fungsi dari tubuh yang secara alamiah ada di balik celana. Apa yang hadir di balik celana adalah raja kecil yang tunduk tak berdaya, meskipun hal tersebut menjadi sebuah ironi dari keadaan tubuh tokoh, namun perempuan tersebut lebih memilihnya sebagai kenyataan alamiah tubuh. Tubuh yang alamiah menjadi utama dan determinan bagi manusia, sebagai sebuah kenyataan transendental dengan Sang Pencipta. Berdasarkan asumsi tersebut, maka hubungan antara raja kecil dengan celana secara metaforis menghadirkan suatu konstruksi antara ruang tubuh (materi) dengan ruang kultural (ide/gagasan). Ruang tubuh pun dalam konteks ini dibagi menjadi tubuh alamiah (rohaniah) dan tubuh kultural (dunia), yang pada akhirnya mengarahkan solusi kepada tubuh alamiah sebagai kenyataan kodrati manusia dalam membangun hubungan dengan Sang Pencipta (vertikal) dibanding tubuh kultural yang direproduksi sebagai kehendak sosial duniawi (horisontal). Tubuh alamiah yang dimetaforkan sebagai raja kecil yang tunduk tidak berdaya, secara empiris merupakan kenyataan kodrati yang tidak mampu digantikan oleh gagasan duniawi yang cenderung bersifat komoditi. Celana merepresentasikan produk sosial-kultural masyarakat, sehingga di dalam konsepsi ideal yang dihadirkan olehnya terdapat kepentingan-kepentingan obyektif yang seolah memosisikan manusia hanya sebagai obyek dari hasil produksi komoditas ekonomi. Pengetahuan mengonstruksikan tubuh tersebut adalah sebuah bentuk epistemologi yang bertujuan menyamakan persepsi melalui obyektivitas dari celana idaman yang gagah dan canggih modelnya asli buatan Amerika, sehingga sebagai bentuk material yang dibutuhkan oleh tubuh, maka implikasi yang muncul dibuktikan melalui kegagahan dan keunggulan setelah mengenakan celana tersebut. Pada kondisi tersebut, keinginan terhadap tubuh secara jasmaniah dipahami sebagai keinginan material tentang hidup yang tidak ada habisnya untuk memiliki dan mengontrol segala hal yang profit material dan praktis bagi individu-individu. Dualisme ruang yang hadir secara hierarki tersebut menunjukkan bahwa kondisi tubuh dalam puisi “Celana (2)” masih berada dalam tegangan antara manusia-dunia atau jika diarahkan kepada konteks yang lebih luas, yaitu antara yang spiritual-material (roh dan tubuh). Dalam puisi “Pulang Malam”, yang bercerita tentang hubungan antara tubuh dengan ranjang. Ranjang digambarkan sudah terbakar ketika kami tiba larut malam (bait 1). Apa yang muncul dalam konsepsi tersebut adalah ranjang sebagai tempat untuk tidur tubuh tidak lagi bisa menampung tubuh dengan kenyamanannya karena sudah terbakar. Secara material (jasmaniah), tidur menghubungkan tubuh dengan yang di luar tubuh, yaitu ruang rohaniah, sehingga ketika ranjang telah terbakar, seluruh kenyataan material tentang tubuh (duniawi) menjadi lenyap. Hal tersebut merupakan sebuah gambaran tentang hubungan tubuh dan ranjang yang secara metaforis merepresentasikan kematian kecil bagi manusia. Tidur dimaknai sebagai sebuah proses merasakan perpindahan dari yang material kepada yang spiritual. Gambaran ranjang terbakar tersebut merupakan sebuah fenomena bahwa manusia dengan keinginannya untuk tetap ada tidak bisa menolak kenyataan kodrati yang fana dalam sifat tubuhnya. Pada akhirnya tubuh dihancurkan, meskipun demikian, terdapat ambivalensi dari kami yang menginginkan untuk kekal berpelukan dan tidur damai dalam dekapan ranjang.\ Kami sepasang mayat ingin kekal berpelukan dan tidur damai 97 dalam dekapan ranjang (bait 3, “Pulang Malam”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung) Penyair dengan kecerdasannya mempermainkan situasi “kami” yang dihadirkan masih berkeinginan untuk tetap kekal dalam dekapan ranjang meskipun sudah menjadi mayat. Hal tersebut merupakan semacam ironi tentang kondisi “kami” (manusia) dengan tubuhnya, yang terus-menerus tidak bisa melepaskan kenyataan jasmaniah untuk ada dan kekal. Bisa disimpulkan bahwa keinginan “kami” untuk kekal tersebut adalah sebuah upaya menolak kefanaan tubuh yang direproduksi melalui sifat rohaniah di luar tubuh. Tubuh fana dipertemukan dengan roh/spirit yang kekal, sebagai suatu ide/gagasan dalam rangka membebaskan diri dari krisis duniawi yang dihadapinya. Barangkali asumsi tersebut merupakan sebuah negosiasi atas krisis yang ditawarkan oleh penyair dan diharapkan bisa menjadi solusi bagi tubuh dengan dualisme ruangnya. Dalam puisi yang lain, yang berjudul “Tubuh Pinjaman”, kenyataan tentang dualisme antara tubuh dan roh juga muncul sebagai sebuah kenyataan empiris bahwa tubuh manusia adalah tubuh pinjaman yang harus dikembalikan kepada yang punya. Asumsi “pinjaman” tersebut secara metaforis dipersepsikan sebagai pengakuan kepada sang pemilik tubuh, yaitu yang hadir di luar tubuh. Hubungan antara tubuh dengan yang hadir di luar tubuh adalah hubungan hierarkis, dimana tubuh berada dalam posisi inferior karena hanya berfungsi sebatas ruang/medium bagi kehidupannya di dunia. Tubuh sebagai medium pada akhirnya harus dinihilkan atau dikalahkan, ketika sudah saatnya untuk dikembalikan kepada yang di luar tubuh (keluarga, kerabat, atau pemilik). Kepada yang di luar tubuh inilah kenyataan asal tubuh harus diterima sebagai sebuah kebenaran dalam konteks puisi tersebut. Tubuh pinjaman secara eskplisit menunjukkan bahwa tidak seseorang pun yang dapat merasa memiliki tubuhnya, sehingga tubuh sebagai ruang pinjaman tersebut menjadi terbatas, sementara, dan ditinggalkan. Jika asumsi tersebut diuraikan kembali, maka apa yang hadir dalam konstruksi ruang tubuh adalah sebuah metafor terhadap kehidupan di dunia yang fana. Tubuh yang menjadi entitas jasmaniah tidak lebih sebagai suatu ruang tunggu bagi perjalanan manusia, yang tidak boleh membuat dirinya lupa dan terlena, karena suatu saat nanti tubuh harus diserahkan kembali kepada sang pemilik, yaitu melalui peristiwa kematian. Dalam konteks tersebut penyair sudah membangun relasi antara tubuh (material/jasmaniah) dengan sang pemilik tubuh yang meminjaminya (spiritual/rohaniah), yang hadir di luar tubuh. Gambaran tubuh dengan berbagai latar belakangnya, yang didefinisikan sebagai dipinjam dari mayat korban tak dikenal di pinggir jalan (bait 1) dan dipinjam dari bayi yang dibuang di sebuah halte (bait 2), pada akhirnya melahirkan asumsi bahwa tubuh (jasmaniah) manusia merupakan sebuah ruang fana. Tubuh yang mulai akrab dengan saya ini sebenarnya mayat yang saya pinjam dari seorang korban tak dikenal yang tergeletak di pinggir jalan ... Tubuh yang mulai manja dengan saya ini saya pinjam dari seorang bayi yang dibuang di sebuah halte oleh perempuan yang melahirkannya dan tidak jelas siapa ayahnya. 98 ... (bait 1 dan 2, “Tubuh Pinjaman”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung) Sebagai ruang yang fana maka tubuh bersifat terbatas, yaitu bukan menjadi tujuan sebenarnya dari hidup, sehingga tubuh hanyalah menjadi perumpaan bagi hadirnya ruang lain di luar tubuh yang lebih rohaniah dan kekal. Persepsi tersebut secara implisit bisa jadi merupakan konstruksi teologis yang dipahami oleh penyair dalam membangun hubungan transendental dengan Sang Pencipta. Keterbatasan tubuh hanya bisa dipahami atau dilengkapi dengan hadirnya yang rohaniah di luar tubuh. Secara umum bisa disimpulkan bahwa puisi “Tubuh Pinjaman” memaknai tubuh dalam ruang religius sehingga membangun suatu hubungan hierarkis-transenden yang menandai tubuh sebagai sebuah kefanaan dan kesementaraan hidup. Tubuh yang kadang saya banggakan dan sering saya lecehkan ini memang cuma pinjaman yang sewaktu-waktu harus saya kembalikan tanpa merasa rugi dan kehilangan. Pada saatnya saya harus ikhlas menyerahkannya kepada seseorang yang mengaku sebagai keluarga atau kerabatnya atau yang merasa telah melahirkannya tanpa minta balas jasa atas segala jerih payah dan pengorbanan. (bait 3, “Tubuh Pinjaman”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung) Kutipan bait puisi tersebut menunjukkan hadirnya dualisme ruang, yaitu antara ruang yang material/jasmaniah dengan ruang spiritual/rohaniah. Kehadiran tubuh tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan konteks di luar tubuh, yang diasumsikan sebagai ‘pinjaman’. Tokoh saya yang hadir dalam kutipan tersebut, berasumsi bahwa sewaktuwaktu tubuhnya harus ia kembalikan dengan ikhlas tanpa merasa rugi dan kehilangan. Asumsi tokoh saya tersebut merupakan sebuah paradigma terhadap tubuh, segala yang hadir dalam tubuh yang dihuninya hanyalah sebuah kesementaraan sehingga tubuh tidak mutlak dimiliki melainkan hanya digunakan untuk sementara waktu sebelum dikembalikan. Meminjam tubuh adalah meminjam hidup, sehingga segala hal yang berkaitan dengan ‘pinjaman’ tersebut sekaligus juga berkaitan dengan mengembalikan tubuh, yang diartikan sebagai menerima kematian. Barangkali dengan asumsi tersebut, tubuh dipahami bukan hanya melalui suatu praktik sosial-kultural yang secara jasmaniah dan dangkal, melainkan juga secara rohaniah dan kontemplatif sebagai sebuah ruang untuk bertemu dengan kehadiran Sang Pencipta. Dalam hal ini Joko Pinurbo menggunakan metafor tubuh pinjaman sebagai konsepsi estetiknya untuk menghadirkan konstruksi tubuh dan roh. Secara lebih lanjut dualisme ruang yang hadir dalam konstruksi puisi di atas merujuk kepada gagasan modernisme yang membagi kenyataan menjadi subjek-objek, material-spiritual, manusia-dunia dan lain sebagainya. Dalam puisi yang berjudul “Pulang Mandi”, Joko Pinurbo membahas tubuh dalam kerangka sosial-kultural melalui peristiwa mandi. Mandi menjadi suatu metafor dalam mengubah dan merekonstruksi tubuh untuk diganti dengan tubuh yang baru. Pengalaman tersebut digambarkan dengan baik melalui peristiwa merantau tokoh ke Jakarta, sehingga ketika ia pulang ke rumah, tubuhnya hampir tidak dikenali kalau tidak ditunjukkan sepasang tato di pantatnya. Tubuh tokoh tersebut digambarkan penuh jahitan, hampir rombengan (bait 1) akibat lama merantau. Secara sosiologis apa yang digambarkan dalam konteks tersebut adalah sebuah penandaan terhadap konstruksi tubuh, tanpa merantau tubuh tidak akan mandi, dan tidak akan pernah bisa diganti 99 dengan tubuh yang baru. Dalam puisi “Pulang Mandi”, secara eksplisit Joko Pinurbo mengulas persoalan tubuh dalam konstruksi sosiologis, namun tidak menutup kemungkinan bahwa persoalan tersebut erat kaitannya dengan konstruksi tubuh dan roh. Mandi menjadi suatu hal yang unik dan menarik bahkan membutuhkan sebuah keberanian tersendiri dalam perspektif Joko Pinurbo, sehingga melalui mandi digambarkan seseorang akan menemukan tubuhnya sendiri. “Berbahagialah orang yang berani mandi,” aku bersabda, “sebab ia akan menemukan tubuhnya sendiri.” (bait 2, “Pulang Mandi”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung) Dalam kutipan di atas, mandi yang secara umum bisa dipahami sebagai membersihkan diri dan tidak semua orang digambarkan bisa dan berani mandi. Asumsi tersebut mengarahkan pada suatu kenyataan sosiologis, bahwa ketika mandi dan melihat tubuh sendiri yang terbuka (telanjang), maka ia akan menemukan tubuh yang sebenarnya. Hal tersebut menjadi menarik dikarenakan ada hubungan sosiologis yang hadir terhadap konstruksi tubuh, yaitu antara tubuh yang terbuka dengan tubuh yang tertutup. Tubuh yang terbuka adalah tubuh yang mencoba mendekatkan diri dengan kenyataan asali, yang alamiah, tanpa termediasi oleh konstruksi apapun, sedangkan tubuh yang tertutup adalah tubuh yang dimediasi dengan hadirnya konstruksi-konstruksi tertentu (ide/gagasan) yang pada akhirnya mengarahkan tubuh kepada satu konstruksi tertentu. Tubuh yang ditemukan sebagai tubuh sendiri ketika mandi tentu saja dibedakan dengan tubuh yang dilihat ketika tidak mandi, yaitu melalui konstruksi pakaian yang menutupinya. Melihat tubuh sendiri yang telanjang adalah menemukan wujud sebenarnya dari tubuh sendiri tanpa termediasi. Berdasarkan asumsi tersebut, maka penyair ingin menegaskan bahwa tubuh sebenarnya adalah konstruksi yang asali, alamiah, dan bukan konstruksi sosiologis maupun kultural. Konstruksi alamiah tersebut pada akhirnya menjadi lebih dekat dengan Sang Pencipta, yang ditafsirkan sebagai sebuah fenomena “menemukan tubuhnya sendiri”, tanpa termediasi. Berangkat dari asumsi yang diuraikan di atas, maka kehadiran tubuh tidak semata-mata dilepaskan dari konstruksi yang hadir di luar tubuh, baik itu sosiologis maupun spiritual. Konstruksi tubuh secara umum di dalam puisi “Pulang Mandi” masih berkutat pada persoalan dualisme ruang, intern-ekstern, antara manusia-dunia, dan juga material-spiritual. Lama ia tak mandi. Tapi sekali mandi ia langsung mencopot tubuhnya yang usang dan menggantinya dengan yang baru, yang mutakhir modelnya, dan tentu saja, tahan lama. “Tidak tertarik ke Jakarta?” ia membujukku sambil memamerkan tubuhnya yang trendi. Ah, ya mungkin perlu juga aku minggat ke Jakarta agar suatu saat dapat pulang mandi dengan bahagia. (bait 5 dan 6, “Pulang Mandi”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung) Gambaran yang muncul dalam peristiwa mandi adalah suatu kenyataan sosiologis atas tubuh, yaitu mengganti tubuh dengan tubuh yang baru. Secara sosiologis hal tersebut mengarahkan tubuh kepada suatu gagasan, bahwa tubuh tidak berbeda layaknya pakaian, yang harus mengikuti mode, gaya, dan trend. Praktik mengarahkan tubuh yang dilakukan oleh tokoh dalam kutipan puisi di atas merupakan suatu bentuk transformasi dari perubahan paradigma terhadap tubuh. tubuh difungsikan sebagai ruang material belaka, dengan mengedepankan konstruksi jasmaniah yang baru, mutakhir modelnya, dan tahan lama. Apa yang hadir atas penandaan tubuh dalam situasi tersebut 100 adalah kenyataan pergeseran paradigma dari yang epistemologis, menuju kepada yang ontologis. Tubuh dipahami secara permukaan, lahiriah, dan dangkal, tidak lagi menjadi suatu cara pandang dalam melihat kehadiran yang rohaniah, kontemplatif, dan sakral. Barangkali hal inilah yang menjadi fokus kegelisahan penyair dalam melihat konstruksi tubuh di masyarakat modern, khususnya masyarakat pascakolonial yang semakin dinamis, plural, dan terbuka dengan beragam gejolak hasratnya. Dalam konteks tersebut, kehadiran tubuh sebagai suatu ruang direnungkan kembali secara diskursif oleh penyair dikaitkan dengan konstruksi ruang di luar tubuh, dengan harapan tubuh tidak sekedar menjadi ruang yang dangkal dan material, melainkan kembali kepada hakekatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, yang rohaniah. Apabila asumsi tersebut benar adanya, maka kecenderungan Joko Pinurbo sebagai seorang Kristen yang modernis, bisa ditemukan dan tersirat dalam pola-pola puisinya. Puisi “Doa Sebelum Mandi” merupakan representasi dari kenyataan bahwa tubuh dalam sudut pandang Joko Pinurbo tidak semata-mata ruang jasmaniah yang dimaknai secara personal dan plural,melainkan sebagai sebuah esensi yang tidak bisa dilepaskan dengan kehadiran Sang Pencipta. Tuhan, saya takut mandi. Saya takut dilucuti. Saya takut pada tubuh saya sendiri. Kalau saya buka tubuh saya nanti, mayat yang saya sembunyikan akan bangun dan berkeliaran. (bait 1 dan 2, “Doa Sebelum Mandi”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung) Kutipan dua bait di atas menunjukkan bahwa tubuh bukanlah sekedar konstruksi jasmaniah, melainkan menjadi suatu ruang yang menghubungkan diri dengan pengalaman masa lalu sebagai suatu kondisi yang tak bisa diselesaikan oleh tubuh sendiri. Tokoh menjadi ketakutan untuk mandi, dikarenakan ia takut pada tubuhnya sendiri. Rasa takut yang dibayangkan adalah dikarenakan melihat kenyataan dari riwayat tubuhnya. Apa yang hadir dalam tubuh tokoh tidak semata-mata merupakan suatu kebetulan, melainkan sebuah cara pandang untuk melihat tubuh dalam suatu konstruksi rohaniah, yaitu tubuh sebagai sumber dosa. Asumsi tersebut tentu saja dilihat dari segala sikap tokoh dalam melihat dirinya secara kontemplatif, bahwa ia takut mandi, takut dilucuti, dan takut dengan tubuhnya sendiri. Segala hal yang dialami oleh tokoh tersebut merupakan bentuk-bentuk konstruksi tentang hadirnya ruang di luar tubuh (rohaniah), yang melampaui keadaan tubuh tersebut, sehingga tubuh dengan segala inferioritasnya digambarkan sebagai kepasrahan, keterbatasan, dan juga ketakutan diri manusia dalam mempertanggungjawabkan keadaan tubuhnya. Keadaan tersebut mengarahkan kepada suatu konsep transendensi antara manusia dengan Sang Pencipta (Tuhan). Tubuh dalam konstruksi puisi di atas dipahami sebagai sumber dosa, maka tubuh tidak semata-mata menjadi suatu lokus yang bebas dan menyenangkan secara jasmaniah, melainkan ia harus dibersihkan melalui mandi. Peristiwa mandi tersebut merupakan metafor, bahwa tubuh tidak bisa dilepaskan dari konteks lain, yaitu rohaniah (Tuhan). Tubuh tidak benar-benar bersih tanpa dimandikan oleh Tuhan. Tubuh yang tidak dimandikan oleh Tuhan adalah tubuh yang sengsara, hina, dan tidak terbebas dari dosa, dengan demikian konstruksi tentang tubuh adalah sebuah upaya melegitimasi kehadiran yang rohaniah di luar tubuh untuk membebaskan tubuh dari segala ketakutan dan masa lalu yang menjadi dosa. 101 Tuhan, mandikanlah saya agar saudara kembar saya bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya (bait 4, “Doa Sebelum Mandi”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung) Mandi menjadikan tubuh bisa bertemu dengan Tuhan, sehingga tubuh bisa terbebas dari segala dosa dunia, segala ketakutan, dan juga masa lalu yang secara ironis membatasi tubuh sebagai sebuah entitas fana dalam persepsi rohaniah. Membahas ruang tubuh diasumsikan sebagai mengarahkan tubuh kepada ruang roh, sehingga membicarakan tubuh secara ironis justru tidak pernah bisa keluar dari ruang roh sebagai kerangka estetik penyair. Selanjutnya dalam puisi “Sakramen” dualisme ruang tubuh dan roh muncul secara dekonstruktif. Tubuh yang dipahami sebagai konstruksi ilahiah bagi Yesus/Kristus di dunia, pada akhirnya dihadirkan melalui suatu bentuk selfdekonstruktif oleh penyair (entah disadari atau tidak), keadaan tersebut cukup menarik perhatian dalam melihat konstruksi antara tubuh dan roh dalam keseluruhan antologi puisinya. Tubuh dalam konstruksi puisi “Sakramen” secara religius merupakan gambaran bagi kehadiran Kristus sang Juru Selamat manusia, yang kemudian digambarkan sebagai suatu bentuk ambiguitas konstruksi antara tubuh dengan roh (material-spiritual). Tubuh menjadi metafor dalam rangka menghadirkan suatu pemahaman tentang yang ilahiah, akan tetapi, justru dengan menggunakan medium tubuh sebagai lokus tersebut, Joko Pinurbo kembali terjebak dalam konstruksi roh. Tubuh diarahkan untuk kembali ke luar tubuh. Tubuhmu gua batu tempat jasadnya kaumakamkan dan kauwartakan: “Di tubuhku Tuhan bersemayam” Kau lama tak tahu, tak juga paham pada hari ketiga kuburnya sudah kosong dan tubuhmu telah ia tinggalkan Kau kini sibuk mencari ia di luar badan. (bait 3, 4, dan 5, “Sakramen”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung) Tubuh menjadi suatu medium Ilahiah bagi manusia ketika dipertemukan dengan wilayah roh sebagai lokasi keberadaan Sang Pencipta (Tuhan). Konstruksi yang cukup menarik muncul dalam urutan kronologi tubuh yang hadir dalam puisi di atas, secara umum tubuh terintegrasi dengan roh (Tuhan) yang bersemayam di dalamnya, selanjutnya tubuh tersebut hilang dan meninggalkan tubuhmu, kemudian diakhiri dengan kau yang sibuk mencari ia di luar badan. Urutan tersebut merupakan suatu bentuk kenyataan tentang tubuh yang dihadirkan oleh penyair, jika penyair melihat bahwa Tuhan adalah tubuh yang hadir dan bersemayam, justru pada bait selanjutnya hal tersebut ditentangnya sebagai sebuah paradoks. Kubur yang kosong dan tubuhmu yang ditinggalkan, menjadi bukti bahwa badan bukan tujuan, bukan yang esensial, melainkan hanya medium untuk kemudian pergi ke luar badan. Kenyataan tersebut bisa disimpulkan sebagai asumsi pertama, sedangkan asumsi keduanya, bahwa konstruksi atas tubuh secara kultural merupakan suatu ironi yang dihadirkan oleh penyair, barangkali dengan tujuan meledek, mengejek, atau menertawakan mereka yang mencari ia (Tuhan) di luar badan. Sikap Joko Pinurbo tersebut merupakan sebuah bentuk pengakuan bahwa tubuh bukan semata-mata konstruksi jasmaniah, melainkan juga 102 secara rohaniah membawa spirit dari Tuhan sebagaimana peristiwa Yesus yang hilang dengan seluruh tubuhnya, sehingga tubuh menjadi yang dikalahkan atau dinihilkan. Kesimpulan Secara keseluruhan, pola konstruksi tubuh yang dihadirkan oleh Joko Pinurbo dalam antologi di bawah Kibaran Sarung menunjukkan bahwa tubuh digunakan sebagai medium bagi hadirnya roh. Dalam konteks tersebut terlihat bahwa tubuh secara terusmenerus direduksi sehingga muncul asumsi penggambaran dan pencitraan tubuh secara nyinyir, ironi, hancur, dan sejenisnya. Dengan demikian tubuh tidak benar-benar menjadi tujuan secara utuh, sebagai sebuah konstruksi ruang yang metonimis sebagaimana yang disampaikan oleh Upstone. Tubuh dalam konstruksi Joko Pinurbo hanya menjadi metafor yang mengarah kepada wilayah di luar tubuh (roh) sebagai tujuan yang ideal dan dominan. Membaca keseluruhan pola konstruksi tubuh dalam antologi Di Bawah Kibaran Sarung, kita bisa menyimpulkan bahwa Joko Pinurbo entah disadari atau tidak, telah mengarahkan tubuh kembali kepada roh (kembali kepada wacana dominan yang sudah hadir menandai tubuh melalui spiritualisme dan religiusitas), dimana konstruksi tersebut tidak sepenuhnya menawarkan sebuah kebaruan terhadap cara pandang tubuh yang sudah hadir dalam puisi Indonesia modern pada umumnya. Dalam konstruksi tubuh di antologi Di Bawah Kibaran Sarung karya Joko Pinurbo menunjukkan hadirnya dualitas ruang yang menunjukkan bahwa penyair tidak bisa lepas dari tubuh dan roh. Fenomena yang muncul dalam puisi di atas mencerminkan pandangan dualistik ruang yang hadir secara konstruktif terhadap tubuh dan membagi seluruh kenyataan antara tubuh-roh, spiritual-material, manusia-dunia, subjek-objek dan lain sebagainya. Kenyataan atas dualistik ruang tersebut mengindikasikan hadirnya semangat modernisme, dimana dalam modernisme pandangan dualistik tersebut menjadi suatu ciri mendasar dalam melihat kenyataan (Sugiharto, 1996:29), yang entah disadari atau tidak telah memengaruhi penyair dan menjadi fokus penyair dalam berkarya. Dualistik ruang yang dihadirkan bukan sematamata merupakan sebuah keberpihakan, melainkan pemahaman penyair atas kehidupan yang dialaminya sebagai seorang religius (Kristen) yang modernis, dengan berkutat pada persoalan tubuh (jasmaniah/material) dan religiusitas pada wilayah rohaniah (ide/spirit). Hubungan kedua aspek tersebut secara tidak langsung membentuk suatu pemahaman bahwa penyair menafsirkan tubuh secara rasional untuk mengungkapkan kenyataan yang ilahiah di luar tubuh. Barangkali hal tersebut yang memperkuat fungsi estetik puisi-puisi sekaligus sebagai semacam kegelisahan Joko Pinurbo dalam rangka memaparkan bagaimana tubuh yang fana dan profan dipertemukan dengan roh yang kekal dan sakral. Melalui pembacaan poskolonial, maka tubuh bisa dilihat sebagai suatu konstruksi penandaan yang secara lahiriah tidak pernah alamiah, melainkan melalui proses dialektis dengan ruang-ruang lain di sekitar tubuh termasuk di dalamnya pengalaman dan pengetahuan dari penyairnya. 103 Daftar Rujukan Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra, Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _______ 2007. Belenggu Pasca-Kolonial, Hegemoni & Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sarup, Madan. 2011. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan Posmodernisme (terj. Medhy Aginta Hidayat). Yogyakarta: Jalasutra. Sugiharto, Bambang, I. 1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Upstone, Sara. 2009. Spatial Politics in the Postcolonial Novel. Ashgate Publishing Company. Pinurbo, Joko. 2001. Di Bawah Kibaran Sarung. Magelang: Indonesiatera _________ 2007. Celana, Pacar Kecilku, Di Bawah Kibaran Sarung, Tiga Kumpulan Sajak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 104 MAKNA SIMBOLIS MOTIF BATIK YOGYAKARTA Endang Nurhayati Suharti, Rahmi D Andayani (FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia) Abstrak: Makalah ini bertujuan menguraikan makna simbolis batik Yogyakarta yang dikaitkan dengan upacara tradisional masyarakat Jawa yang masih hidup dalam masyarakat dan tergambar dalam seumlah karya sastra Jawa. Sumber data penelitian adalah dokumentasi upacara tradisional Jawa yang berkaitan dengan daur hidup dan karya-karya sastra Jawa yang mengangkat peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan penggunaan kostum batik. Analisis data menggunakan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan hal-hal sebagai berikut. (1) Batik merupakan salah satu unsur busana pokok dalam busana tradisional Jawa, berbentuk blangkon, jarik, dan selendhang dengan berbagai macam motif dan maknanya. (2) Macam motif batik berupa motif semen, nitik dan lereng dengan berbagai motif pokok dan isen-isen sebagai simbol-simbol yang berisi makna tertentu. Simbol-simbol dalam kehidupan manusia tersebut berujud penggambaran lingkungan alam sekitarnya seperti bentuk parang, geometri, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. (3) Simbol-simbol tersebut tidak sekedar penggambaran lingkungan sekitarnya, tetapi mengandung makna yang berisi ungkapan-ungkapan harapan kehidupan yang diinginkan. Makna tersebut seterusnya diharapkan dapat menyemangati orang untuk bersikap hidup sesuai makna lambang, yang semuanya hanya akan terlaksana atas ijin Yang Maha Kuasa. Kata kunci: motif batik Yogyakarta, makna simbolis motif batik Pendahuluan Berbicara hal batik sudah tidak asing lagi bagi pendengaran kita orang Indonesia khususnya orang Jawa. Batik adalah lukisan atau gambar yang dibuat dengan alat canthing. Orang melukis atau membuat gambar di atas kain mori disebut membatik (Jawa: mbathik), yang menghasilkan bathikan (Hamzuri, 1981). Batik yang dihasilkan di sini adalah yang disebut batik tulis oleh masyarakat Jawa, batik yang proses pembuatannya melalui berbagai tahapan dengan berbagai peralatannya. Dapat dikatakan bahwa batik yang dibicarakan di sini adalah batik klasik, klasik dalam pembuatannya maupun klasik dalam motifnya. Bukan batik yang ada dalam pikiran orang pada umumnya saat ini. Batik klasik berbahan pokok mori dari katun bukan sekedar kain putih berbahan sintetis atau lainnya. Wujud batik yang dihasilkan adalah jarik atau kain panjang, selendhang, blangkon yang merupakan unsur pokok dalam busana Jawa tradisional, dan tentunya dengan berbagai ukurannya masing-masing sesuai peruntukannya. Kenapa bahan mori dari katun karena batik itu pada masa dulu (juga sekarang) yang dihasilkan adalah kain panjang yang disebut jarik atau nyamping untuk perempuan dan bebed untuk pria. Jarik dan bebed dalam pemakaiannya perlu dilipat-lipat atau diwiru pada bagian luarnya dan juga dengan motif-motif batik beraneka ragam. Klasik pada proses pembuatannya, dapat dilihat dari penyiapan mori yang digambar, peralatan membatiknya dari gawangan, anglo, tepas, kemudian canthing, malam untuk menggambar polanya. Setelah penggambaran atau yang umum disebut mbatiknya 105 selesai kemudian masuk ke pewarnaan atau disebut mbabar. Mbabar adalah proses penyelesaian pembatikan menjadi kain dengan berbagai bahanya,misalnya nila, tebu, tajin, soga. Pelaksaan pewarnaan atau mbabar batikan menjadi kain panjang yang siap pakai, tahapannya adalah medel (mbironi), nyoga, nyareni, dan yang terakhir nglorod terus dijemur dengan cara diangin-anginkan tidak dijemur di bawah sinar matahari nanti mengakibatkan pewarnaan menjadi rusak (Hamzuri, 1981). Sedangkan motif yang dihasilkan oleh pembatik-pembatik tersebut juga memiliki kekhususannya masingmasing baik dari kualitas, kerapihan maupun keindahannya. Batik memiliki berbagai motif dan corak tertentu dengan berbagai isen-isen (ornamen yang diisikan dalam pola gambar batik) dan tidak hanya memperlihatkan keindahannya, tetapi juga dalam motif tersebut mengekspresian simbol-simbol yang berisikan harapan atau petunjuk taupun keinginan dari para pemakainya. Kain batik dengan motif yang terwujud dalam simbol tertentu tersebut memuat harapan ataupun keinginan si pemakai yang biasanya dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa tertentu pula. Makalah ini bertujuan menguraikan makna simbolis batik Yogyakarta yang dikaitkan dengan upacara tradisional masyarakat Jawa yang masih hidup dalam masyarakat dan tergambar dalam sejumlah karya sastra Jawa. sumber data penelitian adalah dokumentasi upacara tradisional Jawa yang berkaitan dengan daur hidup dan karya-karya sastra Jawa yang mengangkat peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan penggunaan kostum batik. Batik sebagai Salah Satu Unsur Pokok Busana Tradisional Jawa Busana merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia setelah pangan, busana diartikan sebagai sesuatu yang dikenakan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maka berbicara busana tak akan pernah ada habisnya di sepanjang masa kehidupan manusia. Manusia dengan busana dapat melindungi diri dari panas, dingin, angin, dsb. Dengan busana manusia dapat memperlihatkan kerapihan, kesopanan, keserasian, yang ini semua dapat memperlihatkan keindahan dalam penampilannya. Keserasian berbusana dapat dilihat dari padu padan asesoris, tata rias, tata rias rambut, dan sebagainya, termasuk di dalamnya busana tradisional. Busana tradisional adalah busana yang bercirikan lokal tetentu, misalnya busana Jawa tradisional. Perangkat busana pada masa lalu dibedakan menjadi lima, yakni bagian kepala, bagian dada, bagian pinggang, bagian perut sampai lutut, dan bagian kelima adalah bagian di bawah lutut, pembagiannya didasarkan pada keinginan untuk menonjokan bagian tertentu yang dianggap indah, misalnya bagian pinggang ditonjolkan karena langsingnya (Nurhadi, 2012). Pada dewasa ini busana tradisional Jawa keinginan menonjolkan bagian tertentu dari badan, dapat dibedakan menjadi tiga, yakni bagian (kepala), bagian badan, dan bagian bawah (kaki), disertai asesoris sesuai dengan keperluannya. Ketiga pembagian busana Jawa dibedakan antara pria dan wanita, seperti berikut. per busana jenis kelamin Bagian atas Bagian badan Bagian bawah Pria wanita Blangkon + asesoris Surjan, beskap+ asesoris Bebed, kampuh Lonthong, kamus Selop Sanggul + asesoris Kebaya, semekan + asesoris Jarik/ nyamping, kampuh Streples, setagen Selop 106 Dari ketiga pembagian perangkat busana tadi yang merupakan pokok dalam berbusana adalah bebed – blangkon dan jarik – semekan. Salah satu unsur pokok busana dalam masyarakat Jawa biasa digunakan kain panjang bebed – blangkon dan jarik – semekan adalah batik. Berikut adalah contoh busana Jawa tradisional Jawa yang menggunakan bebed – blangkon dan jarik – semekan batik yang digunakan pada upacara alit atau busana sehari-hari. Batik: bebed – blangkon dan jarik -semekan Foto di atas menunjukkan bahwa penggunaan batik motif kawung sesuai dengan peruntukan batik pada anggota keluarga keraton Yogyakarta pada pembicaraan “Busana Jawa Kuna” (Alit Veldhuisen, 1972 dalam Noerhadi, 2012). Batik motif kawung termasuk motif larangan untuk dipakai orang kebanyakan. Pada upacara pernikahan yang terdapat di luar keraton digunakan kain bebed – blangkon motif sida asih untuk pasangan pengantin. Pada busana pria bagian atas menggunakan surjan warna krem sama warnanya dengan pengantin putri menggunakan kebaya brokat. Sedangkan orang tua pengantin menggunakan bebed – blangkon dan jarik menggunakan motif batik truntum ceplok gurda, seperti gambar di bawah ini. Batik truntum ceplok gurda 107 Gambar berikut pengantin juga menggunakan batik motif sida asih. Batik sida asih (pengantin) Bila busana batik yang ditemukan saat ini dengan yang dituliskan di primbon terdapat sedikit perbedaan. Dalam Primbon disebutkan bahwa batik yang digunakan oleh orang tua dan calon pengantin berbeda bergantung pada upacaranya. Pada waktu acara tarub orang tua menggunakan batik motif cakarayam, pada acara midodareni sampai ijab menggunakan truntum, untuk pengantin menggunakan batik motif nitik dan waktu ijab menggunakan truntum (Soemadidjojo, 1965). Motif Batik Yogyakarta Yogyakarta sudah tidak asing lagi bila disebut sebagai kota batik. Di Yogyakarta terdapat keraton yang digunakan sebagai sumber tentang hal yang berkaitan dengan batik. Perjalanan batik di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari peristiwa perjanjian Giyanti. Perjanjian Giyanti yang terjadi pada tahun 1755 menyebabkan kraton Mataram dibagi dua yakni Surakarta dan Yogyakarta. Semua benda-benda dibagi menjadi dua, hanya busana Mataraman dibawa ke Yogyakarta. Yogyakarta yang akan melestraikan busana Mataram, dan Surakarta mencipta busana sendiri yang berbeda dengan busana Mataran yang dilestarikan di Yogyakarta. Pada akhirnya busana keraton Yogyakarta memiliki ciri tersendiri, begitu pula Surakarta juga memiliki busana dengan ciri yang berbeda, dengan penuangan dalam motif yang khusus pula. Ciri batik Yogyakarta dilihat dari latar-nya (warna dasar) dan warna batikya dapat putih (warna mori), biru kehitaman, dan coklat soga, warna sered (pinggiran kain) apapun latarnya tetap putih warna mori (Kusumo Harimawan, 1426 H). Motif batik secara umum dapat dibedakan menjadi dua: (1) motif geometris Motif geometris dihiasi dengan terdiri dari motif-motif ilmu ukur, yang dimulai dari titik, menjadi garis, lingkaran, dan sebagainya, yang susunannya terlihat secara vertikal, horisontal, dan diagonal. Motif geometris dapat dibedakan menjadi (a) motif lereng atau parang yang polanya berupa lajur-lajur yang berisi isen-isen (ornamen) yang berbeda-beda. Sedangkan (b) motif ceplok, yang motif utamanya berupa bunga, buah, bintang, lingkaran, bujur sangkar dll, yang susunannya juga seperti geometris lereng disusun secara vertikal, horisontal, dan diagonal. (2) Motif non-geometris 108 motrsedangkan motif non-geometris dihiasi terutama terdiri dari : flaura, fauna, bangunan-bangunan dan sayap dalam berbagai bentuk dan benda-benda alam (Prawirohardjo, 2002). Berikut contoh kain panjang dengan motif: (a) Motif geometris lereng Parang barong Udan liris (2) Motif geometris ceplok Nitik ketongkeng 109 Batik motif semen Berbagai motif batik, baik yang geometris maupun yang non-geometris yang berupa motif semen, nitik dan lereng dengan berbagai motif pokok dan isen-isen berupa simbol-simbol yang berisi makna tertentu. Simbol-simbol dalam kehidupan manusia tersebut berujud penggambaran lingkungan alam sekitarnya seperti bentuk parang, geometri, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Berikut akan dibicarakan simbolsimbol bermakna dari ornamen utama dan isen-isen dari motif batik yang terkait dengan upacara tradisional pernikahan yang masih dilaksanakan di daerah Yogyakarta. Makna Simbolis Batik Yogyakarta Batik Yogyakarta yang berisi simbol-simbol tersebut tidak sekedar penggambaran lingkungan sekitarnya, tetapi mengandung makna yang berisi ungkapanungkapan harapan kehidupan yang diinginkan. Makna tersebut seterusnya diharapkan dapat menyemangati orang untuk bersikap hidup sesuai makna lambang, yang semuanya hanya akan terlaksana atas ijin Yang Maha Kuasa. Isen-isen atau ornamen yang di dalam motif batik banyak variannya yang masing-masing memiliki makna sebagai harapan dalam kehidupan pendukungnya. Penggunaan isen-isen ternyata tidak sekedar diisikan di suatu pola batik tetapi dirancangkan pada suatu pola batik disesuaikan dengan peruntukannya. Motif batik memiliki peruntukannya masing-masing, misalnya motif parang rusak, parang barong diperuntukkan bagi raja, sedangkan orang biasa dapat menggunakan motif tambal sewu atau semen. Begitu pula untuk upacara berkaitan dengan upacara pernikahan, seperti telah disebutkan di atas pada umumnya menggunakan nitik, truntum, grompol, dan semen. Berikut akan dibicarakan makna simbolis dari motif batik yang digunakan. Motif batik yang pada upacara pengantin terbatas jumlahnya, karena tidak akan sembarang memilih motif batiknya, misalnya pengantin dijariki atau dibebedi dengan jarik atau bebed motif kapal kandhas. Yang akan dibicarakan makna simbolis batik Yogyakarta terkait pernikahan adalah, motif truntum, motif cakar, grompol, dan semen. Motif truntum pada umumnya digunakan oleh orang tua pengantin pada waktu diadakan pawiwahan atau pada waktu ijab. Motif truntum digunakan pada upacara siraman (Sri Supadmi Murtiadji dan Suwardanidjaja, 1993) dan digunakan oleh orang tua pada upacara midodareni, ijab, dan dipakai oleh pengantin putri pada waktu midodareni. Batik motif truntum tergolong motif geometris ceplok. Kata truntum 110 memiliki arti ‘trubus’, thukul’ (Sudaryanto dan Pranawa, 2001), motif ini mengandung makna dan harapan agar keluarga yang baru dapat thukul ‘tumbuh’ menjadi keluarga yang dapat berkembang dan memekarkan kehidupan sesuai dengan cita-citanya (Hermanto Bratasiswara, 2000), sebagaimana tergambar dalam motif berikut ini. Motif lain yang digunakan dalam upara pernikahan adalah motif grompol, termasuk kelompok geometris ceplok. Grombol dalam bahasa Jawa berarti berkumpul atau bersatu, melambangkan harapan orang tua agar semua hal yang baik akan berkumpul, yaitu rejeki, kebahagiaan, kerukunan hidup, ketentraman untuk kedua keluarga pengantin. Selain itu, juga bermakna harapan supaya pasangan keluarga baru itu dapat berkumpul atau mengingat keluarga besarnya ke mana pun mereka pergi (updated: Feb 4th, 2013). Motif batik lain yang digunakan pada panggih antara lain motif sida asih. Sida asih tergolong motif non-geometris semen. Kata sida berarti jadi dan asih berarti cinta kasih, pengantin menggunakan batik motif ini yang empunya hajad dan tentunya pengantin memiliki harapan agar keluarga baru yang akan dibangun mendapatkan cinta kasih, kasih sayang dan harapannya nantinya dapat membangun keluarga yang selalu dipenuhi rasa kasih sayang sehingga keluarganya tenteram dan damai (updated: Feb 4th 2013). Batik motif sida asih seperti gambar berikut ini. Penutup Batik yang merupakan salah satu unsur pokok dalam busana tradisional Jawa berbentuk blangkon, bebed, jarik, dan semekan pantas untuk diperbicangkan. Pada batik yang dikenakan memiliki motif batik geometris dan non-geometris seperti motif parang, nitik, semen dsb yang berisi isen-isen atau ornamen yang berwujud simbol-simbol dalam kehidupan manusia berujud penggambaran alam sekitarnya. Simbol-simbol tersebut tidak sekedar penggambaran lingkungan sekitarnya, tetapi mengandung makna yang berisi ungkapan-ungkapan harapan kehidupan yang diinginkan. Misalnya motif truntum berisi harapan agar pengantin dapat memanngun keluarga yang selalu tumbuh rejekinya. Makna tersebut seterusnya diharapkan dapat menyemangati orang untuk bersikap hidup sesuai makna lambang, yang semuanya hanya akan terlaksana atas ijin Yang Maha Kuasa. 111 Daftar Rujukan Hermanto Bratasiswara, 2000. Buwarna Adat TataCara Jawa. jakarta: yayasan Suryasumirat.Penerbit Djambadan. Hamzuri. 1981. Batik Klasik. Jakarta: Penerbit Djambadan Prawirohardjo, Oetari Siswomihardjo. 2002. Pola Batik Klasik: Pesan Tersembunyi yang Dilupakan.yogyakarta: Penerbit Aksara. Soemodidjojo, 1993. Kitab Primbon Betaljemur Adammakna. Ngayogyakarta Hadiningrat: Soemodidjojo Mahadewa. Sri Supadmi Murtiadji dan Suwardanidjaja, 1993. Tata Rias Pegantin Gaya Yogyakarta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sudaryanto dan Pranawa (ed). 2001. Kamus Pepak Basa Jawa.yogyakarta: Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa 112 WALI SONGO DAN BANGUNAN KEINDONESIAAN Erlis Nurmujiningsih (Badan Bahasa Kemendikbud – Indonesia) Pengantar Kisah-kisah mengenai Wali Songo di Indonesia muncul dalam berbagai ragam dan bentuk. Wali Songo bahkan sudah muncul dalam bentuk karya modern yakni dalam bentuk novel yang ditulis oleh Damar Shashangka. Selain itu, kisah-kisah mengenai Wali Songo ini beredar dalam berbagai bentuk buku buku kecil untuk panduan berziarah contoh Kisah Perjuangan Walisongo disertai tata cara ziarah kubur dan keajaiban asma’ul husna yang ditulis oleh MB. Rahimsyah AR. Kisah-kisah Wali Songo yang terbit dalam bentuk sederhana tersebut cukup banyak tersedia di makam-makam para wali tersebut. Ada pula yang berbentuk cerita bergambar, komik, dan film. Kisah mengenai Wali Songo ini juga ditulis dalam bentuk buku yang berjudul Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo sebagai Fakta Sejarah yang ditulis oleh Agus Sunyoto. Kisah Wali Songo juga ditulis dalam bentuk babad, serat, dan sejenisnya, di antaranya Babad Majapahit dan Para Wali, Babad Demak, dan Babad Cirebon. Selain itu, kisah Wali Songo juga mendapat perhatian dari penulis asing yakni D.A. Rinkes dalam bukunya Nine Saints of Java. Berbagai bentuk dan jenis kisah-kisah mengenai Wali Songo tersebut tampaknya memberi pertanda bahwa keberadaan Wali Songo di Indonesia merupakan hal yang penting. Wali Songo sebagaimana disebutkan (Salam, 1990:17) merupakan tokoh-tokoh agama Islam pada zaman permulaan Islam datang ke tanah Jawa. Mereka dipandang sebagai tokoh yang alim dan sakti yang berjasa menyebarkan agama Islam di Indonesia. Islam di Indonesia sudah ada sejak lama bahkan pada masa akhir Majapahit sebagai sebuah kerajaan yang secara resmi beragama Siswa Budha sudah mengakui adanya penduduk atau warga kerajaan yang beragama Islam. Dengan bukti adanya makam Troloyo. Namun, kehadiran Wali Songo sebagaimana disampaikan oleh beberapa ahli sejarah merupakan babak baru peradaban di Indonesia. Agama penduduk yang sebelumnya adalah Siwa-Budha digantikan dengan Islam. Perubahan tersebut mempengaruhi pola kehidupan masyarakatnya, termasuk di dalamnya adalah persoalan yang menyangkut tata kehidupan kepemerintahan. Karena berdampingan dengan berkembangnya agama Islam berkembang pula kerajaan-kerajaan Islam. Salah satu kerajaan besar di Indonesia pada masa Siwa-Budha adalah Majapahit. Islam berkembang bersamaan dengan memudarnya kekuasaan Majapahit yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Demak yang menamakan dirinya sebagai kerajaan Islam. Wali Songo merupakan pembatas masa Siwa Budha masa Majapahit dengan masa Islam akan menarik untuk dibahas dalam hubungannya dengan persoalan keindonesiaan. Hal ini berhubungan dengan konsep keindonesiaan yang sudah dimiliki oleh Majapahit. Salah satu konsep keindonesiaan tersebut terdapat dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang diambil dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Karya sastra ini ditulis pada masa kejayaan Majapahit. Wali Songo memiliki andil yang besar dalam hal perubahan agama dan perubahan kekuasaan. Apakah Wali Songo juga memberikan andil pada konsep-konsep keindonesiaan? Mengingat pengaruh Wali Songo yang begitu kuat sampai saat ini. Persoalan inilah yang akan dibahas. 113 Pembahasan akan dilakukan dengan memanfaatkan beberapa karya babad yakni Babad Tanah Jawi, Babad Demak, dan Babad Majapahit dan Wali Songo, serta kisah-kisah yang tertera dalam buku-buku saku mengenai Wali Songo. 2. Abrams melalui Teeuw (2013:169) menyampaikan sebuah model pendekatan utama terhadap karya sastra yang terdiri dari a) pendekatan yang menitikberatkan pada karya itu sendiri, b) pendekatan yang menitikberatkkan pada penulis, c) pendekatan yang menitikberatkkan pada semesta, dan d) pendekatan yang menitikberatkan pada pembaca. Analisis terhadap hubungan antara Wali Songo dan bangunan keindonesiaan akan bertumpu pada pendekatan yang ketiga yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada semesta. Hubungan antara karya sastra dan semesta atau sering juga disebut sebagai kenyataan akan selalu bertumpu pada apa yang disampaikan oleh Plato mengenai mimesis. Bagi Plato seni itu memiliki aspek ganda: dalam perwujudan yang tampak seni adalah benda yang sangat rendah nilainya, bayangan, namun seni memiliki pula hubungan tak langsung dengan sifat hakiki benda-benda (Teeuw, 2013:169). Poin kedua yakni bahwa seni memiliki hubungan tak langsung dengan sifat hakiki benda-benda merupakan poin yang akan menjadi pertimbangan utama pada saat melakukan analisis terhadap sebuah karya sastra karena memang dapat dikatakan bahwa sebuah karya sastra bagaimanapun akan salah apabila didekati sebagai sebuah kenyataan. Sebuah karya sastra merupakan sebuah kreasi. Hal inilah yang disampaikan oleh Aristoteles. Bagi Aristoteles seniman menciptakan dunianya sendiri, dengan propability yang memaksa, dengan ketakrelaannya; apa yang terjadi dalam ciptaan si seniman masuk akal dalam keseluruhan dunia ciptaan itu dan sekaligus, oleh karena dunia itu merupakan kontraksi, perpaduan yang berdasarkan unsure-unsur dunia nyata, mencerahi segi dunia nyata tertentu. Jadi menurut Aristoteles seorang seniman bekerja memberikan makna pada eksistensi manusia (Teeuw, 2013:170). Namun, di sisi yang lain babad sebagai salah satu karya sejarah tradisional Indonesia menurut Teeuw (2013:183) mendekati teks sejarah semacam babad dapat dilakukan sebagai pemberian makna oleh manusia Jawa dan Melayu terhadap sejarah dan keadaan sosialnya. Hal yang serupa juga disampaikan Pegeaud dan Berg melalui Teeuw (2013:184) bahwa babad akan memberikan makna pada hal-hal yang hakiki bagi anggota masyarakat yang bersangkutan. Karya-karya tersebut biasanya ditulis dalam rangka mempertahankan dan memperkuat dinasti yang mapan pada saat itu. Karya-karya tersebut harus dipandang sebagai tegangan antara mimesis dan kreasi dan kreasi adalah esensi teks. Sebagai simpulan dapat disampaikan bahwa hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastra adalah hubungan dialektik atau bertangga; mimesis tidak mungkin tanpa kreasi tetapi kreasi tidak mungkin tanpa mimesis. Takaran dan perkaitan antara kedua-duanya dapat berbeda menurut kebudayaannya, menurut jenis sastra, jaman, kepribadian pengarang dan banyak lagi (Teeuw, 2013:189). Babad Tanah Jawi yang beredar di masyarakat ternyata banyak jenis dan versinya. Salah satu versi yang dapat dikatakan cukup kuat penggambarannya adalah buku Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647 yang ditulis yang diterjemahkan dari buku berjudul Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647 dan disusun oleh W.L. Olthof di Leiden, Belanda, pada tahun 1941. Pada buku Babad Tanah Jawi ini nama nama Wali Songo sudah mulai muncul pada bab yang membicarakan Majapahit. Pada bab ini muncul nama Raden Rahmat 114 yang di kemudian hari dikenal sebagai Sunan Ampel. Nama-nama yang lain adalah Raden Santri dan Raden Burereh. Selain itu, juga disebutkan nama Makdum Brahim Asmara. Munculnya nama-nama Wali Songo pada saat pembicaraan mengenai Majapahit ini merupakan pertanda bahwa memang ada hubungan antara Majapahit dengan Islam. Hal ini sesuai dengan apa yang dipaparkan dalam buku Mengenal Kepurbalaan Majapahit yang ditulis oleh I Made Kusumajaya dkk. Pada buku tersebut disampaikan bahwa di Majapahit sudah ada agama Islam yang dibuktikan dengan adanya makam Troloyo yang sebagian besar nisan memuat tanggal antara rentang waktu 1356—1475 M. Dengan demikian, kita dapat mengartikan bahwa agama Islam telah ada ketika Majapahit berada di puncak kejayaan pada masa Hayam Wuruk. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya bahwa Wali Songo adalah penyebar agama Islam di Jawa dan merekalah yang dapat menjadikan orang Jawa khususnya dan Indonesia secara umum menjadi Islam. Islam di Indonesia sebagaimana sudah diketahui masuk melalui perdagangan. Dalam perdagangan jarak jauh pergerakan manusia terjadi bukan semata-mata dalam kaitan ekonomi, tetapi juga pembentukan politik dan budaya (Chaeduri,1985 dan Dalton, 1975 dalam Jajat, 2012:36). Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa dalam bingkai budaya politik kerajaan inilah, bentuk awal penerjemahan Islam di Nusantara berlangsung (Jajat, 2012:36). Islamisasi, pembentukan kerajaan, dan perkembangan komersial di Nusantara saling berjalin erat satu sama lain menjadi ciri utama dalam proses historis pembentukan politik dan budaya (Abdullah, 1967, Reid melalui Jajat, 2012:35). Peran penting ulama dapat ditelusuri pada pola Islamisasi di Nusantara yang berlangsung bersamaan dengan berkembangnya ekonomi dan pembentukan kerajaan-kerajaan Islam (Jajat, 2012:30). Giri-Gresik menjadi pusat Islamisasi di bagian timur Nusantara, Lombok di Nusa Tenggara, Makassar di Sulsel, dan Hitu di Maluku adalah beberapa wilayah di bawah pengaruh Giri Gresik (de Graaf dan Pigeaud, 1974 dalam Jajat Burhanuddin, 2012:34). Hubungan antara Islam dan Majapahit tersebut memang terlihat dalam Babad Tanah Jawi dengan menikahnya Prabu Brawijaya dengan Putri dari negeri Cempa yang sudah beragama Islam dengan datangnya Makdum Ibrahim Asmara di Cempa. Disebutkan kemudian di Babad Tanah Jawi tersebut bahwa Makdum Ibrahim Asmara menikah dengan putri raja Cempa juga dan melahirkan anak-anak yang kemudian menjadi Wali Songo yakni Raden Rahmat yang sebagaimana sudah disebutkan kemudian menjadi Sunan Ampel. Kisah-kisah mengenai Wali Songo tersebut yang termaktub dalam Babad Tanah Jawi tidak hanya sampai di situ saja, tetapi judul-judul bab yakni “Sunan Giri dan Sunang Bonang”, dan “Sunan Kalijaga”. Satu naskah babad lainnya yang juga memperlihatkan hubungan antara Majapahit dan Wali Songo adalah Babad Majapahit dan Para Wali. Naskah diperoleh dari daerah Jawa Tengah bagian selatan. Disalin dari naskah tulisan tangan milik almarhum Raden Panji Prawirayuda di Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Disalin pertamatama oleh Bapak Sukarda pada tanggal 14 Rabingulakir tahun 1841 Caka. Disalin untuk yang kedua kali oleh Bapak Martahadiwiyana pada tanggal 17 April 1936. Dialihaksarakan ke huruf latin oleh Ki Sastradiwirya pada 16 September 1985. Naskah babad ini terdiri dari 23 pupuh tembang diawali pupuh Dhandanggula dan diakhiri pupuh Pangkur. Naskah lain yang di dalamnya membicarakan hubungan antara Majapahit dan Demak adalah Babad Demak. Pada kolofon babad ini disebutkan bahwa Babad Demak ditulis pada hari Kamis tanggal 8 Zulkaedah, wuku Wugu, windu Adi, tahun Alip 1835 atau tahun 1323 Hijriah atau 5 Januari 1906. Disebutkan pula bahwa penulisan babad ini atas kehendak sultan Yogyakarta yang ketujuh untuk melanjutkan babad pertama yang 115 ditulis sebelumnya (Apakah yang dimaksudkan dengan babad sebelumnya adalah Babad Tanah Jawi?). Yang diperintahkan memimpin penulisan adalah Raden Tumenggung Suryadi yaitu putra Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Raden Tumenggung Suryadi ini juga adalah menantu Raja Yogyakarta yang keenam, sementara itu Pangeran Adipati Mangkubumi adalah adik Raja Yogyakarta yang ketujuh yang juga adalah cucu raja yang kelima. Naskah Babad ini dimulai dari pupuh Dandanggula dan diakhiri juga dengan pupuh Dandanggula. 3. Wali Songo adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia,khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para wali ini lebih banyak disebut dibanding yang lain. Selain itu, yang juga menjadikan Wali Songo berarti bagi pembentukan peradaban baru tersebut adalah yang berhubungan dengan pendidikan dalam bentuk pesantren. Disebutkan dalam buku Sekitar Wali Songo (1960:28) bahwa Sunan Ampel atau Raden Rahmat memulai usahanya menegakkan agama Islam dengan membuka pondok pesantren di Ampeldenta dekat Surabaya. Wali Songo lainnya yang juga mengutamakan pendidikan dalam bentuk pesantren adalah Sunan Giri yang dikenal dengan padepokan Giri yang kemudian pada perkembangannya menjadi sebuah kerajaan. Dengan mengingat hal-hal yang berkaitan dengan kerajaan dan pendidikan di pondok pesantren dapat dikatakan terdapat hubungan yang erat antara keberadaan Wali Songo dengan bangunan keindonesiaan sebagaimana disebutkan dalam judul makalah ini. Bahwa Wali Songo berhimpitan kehadirannya dengan keruntuhan Majapahit namun kemudian muncul Kerajaan Demak dengan Raden Patah sebagai pendirinya dan rajanya yang pertama. Sementara itu, dari sumber Babad Tanah Jawi, Babad Demak, dan Babad Majapahit dan Wali Songo disebutkan bahwa Raden Patah adalah anak raja Majapahit dan Raden Patah adalah yang berhak menduduki tahta Majapahit menjadikan ketiga babad tersebut dapat ditenggarai sebagai sebuah cara untuk melanggengkan kekuasaan Majapahit. Namun, terlepas dari itu semua bahwa kemudian Kerajaan Demak menjadi pusat penyebaran agama Islam dan pendirian kerajaan tersebut didukung sepenuhnya oleh para Wali menjadikan sebuah persoalan tersendiri. Sebagaimana yang tertera dalam Babad Demak bahwa Raden Patah yang pada saat itu adalah muridnya dan sekaligus menantu Sunan Ampel melaksanakan pembabatan hutan di Bintara yang merupakan wilayah Majapahit adalah atas petunjuk Sunan Ampel. Sesampainya di desa Ampelgading, Raden Patah langsung menghadap Sunan Ampel. Siapa sebenarnya Raden Patah itu, Sunan Ampel sudah tidak sangsi lagi. Oleh karena itu, Raden Patah diambilnya sebagai menantu. Atas petunjuk Sunan Ampel ini, Raden Patah bersama-sama dengan istrinya pergi ke hutan Bintara dengan maksud akan membabat hutan itu (Babad Demak, 1981:40). Dari kutipan tersebut dapat diketahui secara pasti bahwa Wali Songo sepenuhnya menjadi pendukung berdirinya kerajaan Demak. Bahkan dari awal ketika kerajaan tersebut masih berbentuk hutan dan harus dibabat, salah seorang wali, yakni Sunan Ampel yang memberi petunjuk (kata ‘petunjuk’ bukan bermakna ‘saran’, kata ‘petunjuk’ dalam kaitan dengan hal ini dapat dikatakan sebagai sesuatu hal yang harus dan wajib dilaksanakan derajatnya berbeda lebih rendah sedikit dibandingkan perintah). Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Raden Patah diberi perintah oleh Sunan Ampel 116 untuk membuka lahan di hutan bintara yang dari hutan tersebut berkembang kemudian menjadi kerajaan Demak. Hal yang serupa juga termaktub dalam Babad Demak dan Babad Majapahit dan Para Wali. Pada naskah babad ini disebutkan bahwa Raden Patah diperintahkan oleh Sunan Ampel untuk membuka hutan Bintara. Apabila di Babad Demak berhenti sampai pada kisah tersebut, pada Babad Majapahit dan Para Wali dikisahkan bahwa Bintara menjadi sebuah wilayah yang ramai sehingga banyak ulama yang berkumpul di tempat itu. Hal itulah yang menjadikan Majapahit khawatir terjadi pemberontakan, namun ketika sang Raja mengetahui bahwa Raden Patah adalah putranya sendiri raja tidak melarang rakyatnya untuk memeluk agama Islam. Menarik untuk menyimak peristiwa “penyerangan” Demak ke Majapahit. Pada Babad Demak disebutkan bukan Adipati Natapraja (Raden Patah) yang mendatangi Majapahit sebagaimana diungkapkan pada Babad Tanah Jawi, tetapi Adipati Pecattanda yang mendatangi Demak atas perintah Prabu Brawijaya. Karena ada kabar akan diserang Majapahit, Raden Patah menyiapkan pasukannya. Pada kisahan dalam Babad Demak ini terlihat benar bagaimana dukungan para wali terhadap Kerajaan Demak. Sunan Giri menjadi pemimpin peperangan dalam menghadapi Adipati Pecattanda. /Untuk menghadapi serangan itu, Sunan Ampel melarang Adipati Natapraja maju perang, tetapi ia memerintahkan Sunan Giri supaya memimpin peperangan./ Dengan kisah-kisah yang hadir dalam tiga babad ini yakni Babad Majapahit, Babad Demak, dan Babad Majapahit dan Para Wali mengenai awal mula berdirinya Kerajaan Demak dapat membuktikan bahwa pada saat perintisan kerajaan Demak Raden Patah tidak bekerja sendiri, tetapi bekerja bersama-sama para wali. Bahwa dukungan para Wali terhadap kerajaan Demak dalam hal ini Raden Patah semakin kuat terlihat diungkapkan dalam Babad Tanah Jawi yakni pada saat apa yang disebut dalam Babad Tanah Jawi sebagai “penyerangan” Demak terhadap Majapahit. Mereka kemudian berunding bersama, umat Islam dikumpulkan lengkap beserta senjata-senjatanya di Bintara. Bupati di Madura, Arya Teja di Cirebon, bupati di Sura Pringga serta pandita di Giri juga sudah berkumpul di Bintara bersama bala pasukannya. Apalagi para wali dan para mukmin juga sudah berkumpul. Semuanya lalu bersama berangkat ke Majapahit. Banyaknya barisan tak terhitung. Kota Majapahit dikepung. Orang Majapahit banyak takluk kepada adipati Bintara, tak ada yang berani menyambut perang. Adipati Bintara, Adipati Terung lalu masuk alun-alun. Adipati Bintara duduk di dampar yang ada di pagelaran di hadapan para prajurit (Babad Tanah Jawi, 2014:39). Dengan memperhatikan kutipan dari Babad Tanah Jawi tersebut dapat dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada peperangan antara Demak dan Majapahit. Bahkan kemudian disampaikan dalam Babad tersebut bahwa ketika Adipati Bintara atau Raden Patah memasuki Majapahit dan sang Raja yang mengetahui bahwa putranya yang akan menggantikannya sudah datang dan Sang Raja kemudian gaib (menghilang atau moksa) disebutkan ada bintang bercahaya yang keluar dari istana Majapahit dan bintang itu jatuh di Bintara, di Demak. Apa yang terjadi sebagaimana disebutkan di dalam kedua babad ini yakni Babad Tanah Jawi dan Babad Demak bahwa tidak terjadi perang dan memang terjadi perpindahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak termasuk di dalamnya adalah “wahyu kerajaan atau cahayanya kerajaan” yang juga pindah ke Demak semakin memperkuat bahwa sebenarnya secara tidak langsung kedua babad ini mendukung pelanggengan kekuasaan dari Majapahit ke Demak. Pelanggengan kekuasaan dari Majapahit ke Demak yang didukung sepenuhnya oleh Wali Songo sebagaimana sudah dipaparkan memberikan bukti bahwa Wali Songo 117 ikut andil dalam meneruskan konsep-konsep keindonesiaan yang sudah ada pada masa Majapahit. Karena dengan pelanggengan kekuasaan tersebut terikut pula konsep-konsep dasar yang dimiliki oleh kerajaan tersebut yang di antaranya adalah persoalan keindonesiaan. Apalagi kemudian ditambahkan dengan salah satu strategi dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo yakni mendekati masyarakat melalui kebudayaannya, semakin menguatkan bahwa konsep-konsep keindonesiaan yang sudah ada pada masa Majapahit ikut serta di dalamnya. Salah satu pendekatan budaya yang sampai sekarang masih dapat dirasakan oleh masyarakat yakni adanya tradisi wayang kulit, seni suara (macapat/tembang), dan seni ukir (1984:51). Tradisi macapat sebelumnya sudah ada dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pada masa itu. Bahkan macapat yang sebelumnya disebut sebagai kakawin merupakan salah satu sarana untuk melaksanakan ibadah sebagaimana sampai sekarang masih dilaksanakan di Bali. Pembacaan serat/naskah dilaksanakan di Pura dan dalam rangka beribadah. Peran para wali dalam pengembangan kerajaan di Indonesia pada masa tersebut juga terlihat pada peran kerajaan Giri Kedaton. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa apabila menobatkan seorang raja memerlukan pengesahan dari Sunan Giri. Ini menunjukkan betapa besar pengaruh Giri Kedaton atas kerajaankerajaan Islam di Jawa maupun luar Jawa. Pemerintahan Giri berlangsung kurang lebih 200 tahun. Sesudah Sunan Giri pertama meninggal dunia beliau digantikan oleh anaknya yang juga bergelar Sunan Giri. Hal ini membuktikan bahwa para wali berperan aktif selain pada perkembangan agama Islam juga pada perkembangan kerajaankerajaan pada masa itu. Keberlanjutan kekuasaan ini juga dapat dimaknai sebagai keberlanjutan konsep-konsep dasar kehidupan kerajaan dan masyarakatnya. keberlanjutan kekuasaan di sini dapat dimaknai sebagai keberlanjutan kepemerintahan. Kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang kemudian mengembangkan system organisasi yang merupakan wujud integrasi Islam ke dalam kehidupan politik bangsa Indonesia. Hal tersebut secara jelas memuncak pada kerajaan Mataram Yogyakarta. Bukan suatu kebetulan dan sesuatu yang tiba-tiba apabila Sri Sultan Hamengkubowono IX sehari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 segera menyatakan memihak dan mengintregrasikan Kerajaan Mataram Yogyakarta ke dalam Negara Republik Indonesia (Daliman, 2012:15). Hanya kemudian hal ini terputus ketika Barat (baca Belanda) menguasai Indonesia. Konsep-konsep yang mengikuti kerajaan-kerajaan itu ditenggelamkan dalam politik pecah belah yang memang dengan sengaja ditanamkan. 4. Kesimpulan Keindonesiaan sampai saat ini tetap merupakan hal yang sangat abstrak. Namun, paling tidak konsep tersebut dapat dipandang dalam hubungannya dengan persoalan kepemerintahan. Di Indonesia sejak masa lampau sudah berdiri kerajaan-kerajaan besar yang sudah memiliki konsep keindonesiaan. Majapahit salah satunya. Kekuasaan Majapahit yang di dalamnya termaktub konsep-konsep keindonesiaan ternyata diteruskan oleh kerajaan Demak. Pelanggengan pemerintahan tersebut yang didukung sepenuhnya oleh Wali Songo juga bermakna pelanggengan terhadap konsep-konsep keindonesiaan. Wali Songo walaupun datang membawa perubahan keagamaan tetapi dengan terus melanggengkan kepemerintahan dari Majapahit ke Demak dan juga dengan konsep-konsep dakwah melalui pendekatan kebudayaan menjadikan Wali Songo tokoh yang dapat dikatakan ikut membangun konsep-konsep keindonesiaan dulu, sekarang, dan pada masa yang akan datang. 118 Daftar Rujukan Burhanuddin, Jajat. 2012. Ulama dan Kekuasaan. Bandung:Mizan. Daliman. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta:Ombak. Fattah, Nur Amin. 1984. Metode Dakwah Walisongo. Pekalongan:Bahagia. Kusumajaya, I Made dkk. Tanpa Tahun. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan. Buku Saku Pariwisata Trowulan. Olthof, W.L. 2014. Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647. Yogyakarta:Narasi. Prawirayuda, R. Panji. 1988. Babad Majapahit dan Para Wali. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Riyadi, Ali dan Suwaji. 1981. Babad Demak. Alih Aksara. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Salam, Solichin. 1960. Sekitar Walisanga. Kudus:Menara Kudus. Teeuw, A. 2013. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:Dunia Pustaka Jaya. 119 INFERIORITAS DAN MIMIKRI: KAJIAN POSKOLONIAL TERHADAP LIRIK LAGU-LAGU POPULER MALUKU PERIODE TAHUN 2000-2010 Falantino Eryk Latupapua (Universitas Pattimura Ambon – Indonesia) Abstract: The purpose of this study is to explain the relationship between the history of colonialism in the Moluccas and the uniqueness of its relationship with in the Netherlands post-colonial issues of inferiority and mimicry that are represented in the lyrics of popular songs. This goal is done through a deconstructive analysis of the relationships built up in the text. The theory used is post-colonial literary theory that emphasizes the effects of colonialism on colonized peoples text production, theory of the inferiority and mimicry as a form of identification in a connection with the lyrics of popular songs as a site of hegemony. The results of the analysis are briefly described as follows. Perspectives in the text awakened by the relationship between male or female Moluccan with each other, with the Netherlands, including the diaspora, and between the diaspora in Netherlands to the Moluccas. Relationships built up in the lyrics of popular songs between the Moluccas and the Netherlands are hierarchical and dominative, contradictory relations, and equal relations. In such relationships there are traces of inferiority and mimicry in the Moluccas as a tension between the real world and the Netherlands as the ideal world for the characters. In general, the presence of these texts to deconstruct romanticism as a common discourse that is built up in it. Although the relationship between the characters, as described in the text, indicate the existence of union between the real world and ideal world respectively, in principle, both worlds apart so that union was ultimately only a dream. In the tension between real and ideal world that's inferiority and mimicry find its form. Mimicry in this case is done not in an effort to make resistance, but rather to identify themselves as Dutch as an ideal, and to hide the inferiority of the figures behind compliance. In the end, both mimicry and inferiority confirms the existence of a residual form of hegemony that is built up due to the Dutch colonial historicity of the affiliative between the two parties supported by the existence of the diaspora. Keywords: lyrics of popular songs, inferiority, mimicry, post-colonial deconstruction. Sastra Indonesia lahir dari suatu masyarakat yang terkolonisasi, yakni suatu masyarakat yang bertumbuh dan berkembang tidak sepenuhnya dalam dialektika internalnya sendiri. Kolonialisasi sebagai sebuah proses yang digerakkan oleh kekuatan yang berasal dari luar secara berangsur-angsur, sejak abad XVII sampai dengan awal abad XX, membentuk formasi sosial tertentu, posisi-posisi, dan komposisi tertentu (Faruk, 2001:8). Formasi sosial, posisi-posisi, dan komposisi dimaksud membentuk tatanan masyarakat yang baru dengan intensitas yang berbeda-beda pada wilayah-wilayah di Indonesia. Sejauh mana perubahan terjadi dalam struktur masyarakat tergantung pada 120 interval interaksi dengan bangsa kolonial dan ketahanan sosial budaya masyarakat itu sendiri. Perubahan-perubahan akibat kolonisasi Eropa tersebut dewasa ini dapat terlihat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk yang direpresentasikan dalam teks-teks yang dihasilkan oleh masyarakat koloni. Salah satunya adalah teks-teks sastra, baik teks-teks berada pada wilayah ”pusat” atau teksteks kanonik, maupun teks-teks sastra periferi, atau sastra populer. Sehubungan dengan itu, Maluku merupakan salah satu wilayah yang hingga saat ini masih memelihara, dipengaruhi oleh, dan berinteraksi dengan warisan-warisan kolonial tersebut hingga membentuk pola relasi-relasi yang problematik dengan kekhususan tersendiri dibanding wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Pengalaman berinteraksi dengan kolonialisme Belanda merupakan pengalaman yang paling lama, paling intensif, sehingga relasi-relasi yang hegemonik tersebut terbangun hingga berpuluh tahun setelah kemerdekaan Indonesia dari segala bentuk kolonialisasi. Deane (1979:21-22), menengarai bahwa ikatan antara orang Ambon dan Negeri Belanda sebagai bekas penjajah tetap kuat. Di sisi lain, ikatan dengan Indonesia disebutnya ‘lemah’ dan penuh dengan ‘ketakpercayaan’ antara satu dan lainnya. Bahkan, beberapa generasi tua di Maluku secara tidak realistis masih memimpikan kemerdekaan Maluku, terpisah dari Indonesia. dan kembalinya masa-masa kolonialisme Belanda. Kedekatan yang istimewa dengan Belanda disebabkan penerimaan terhadap misi agama Kristen, kecenderungan afiliatif ke dalam struktur birokrasi pemerintahan dan militer Belanda, pendidikan kolonial, serta distribusi perkawinan antarras yang saat ini menghasilkan keturunan Mestizo dalam jumlah besar (Pieris, 2004:160-168). Di lain pihak, secara umum orang-orang Indonesia sendiri turut memosisikan diri sebagai sebuah kekuatan kultural yang “membelandakan” orang-orang Maluku, sejak masa penjajahan. Hal inilah yang kemudian menjadi relevan dengan apa yang dimaksud oleh Deane sebagai ‘ikatan yang lemah’ itu. Julukan idiomatis Belanda Hitam atau Londo Ireng yang dikenakan oleh orang-orang pribumi Hindia Belanda lainnya terhadap orangorang Maluku yang berafiliasi ke tubuh birokrasi kolonial melalui proses-proses pendidikan, perkawinan dan misi penginjilan merupakan akibat lain dari disparitas dan ketimpangan perlakuan di masa kolonial Belanda yang menempatkan orang-orang Maluku pada tingkat privilese yang berbeda dari warga pribumi lain (Kadir, 2009:71). Di masa sekarang kedekatan masyarakat Maluku dengan Belanda tetap berlangsung, bahkan semakin menguat melalui ikatan-ikatan kekeluargaan yang akrab antara generasi-generasi baru Maluku dengan generasi-generasi baru kaum diaspora keturunan Maluku di Negeri Belanda. Kaum diaspora Maluku di Belanda merupakan keturunan para bekas tentara KNIL, para birokrat dalam pemerintahan kolonial, serta simpatisan gerakan Republik Maluku Selatan (selanjutnya disingkat menjadi RMS). Pada tahun 1951, mereka mengalami pemindahan ke Negeri Belanda setelah pecahnya pemberontakan gerakan RMS pada tahun 1950. Keberadaan kaum diaspora inilah merupakan salah satu faktor penting lain dalam membangun dan mempertahankan relasi-relasi penuh nostalgia dan keterpesonaan antara orang Maluku dan “Belanda” sebagai penjajah hingga berpuluh tahun sesudah kemerdekaan. Relasi-relasi yang terbentuk selama berlangsung dan setelah berakhirnya masa kolonial tersebut pada akhirnya mengkondisikan dan membentuk mind set orang Maluku mengenai Belanda, yakni mengenai posisi dan relasi antara mereka dan “Belanda”, dan sebaliknya. Selain itu, perilaku-perilaku orang Maluku sebagai hasil identifikasi diri sebagai Belanda itu masih tertanam dan masih bisa dijumpai dalam berbagai pola tertentu, termasuk identifikasi tubuh dan gaya yang menyerupai Belanda 121 (Kadir, 2009: 68-72). Posisi-posisi dan relasi-relasi yang mengesankan adanya kecenderungan nostalgia dan keterpesonaan, serta kecenderungan mengidentifikasi diri sebagai “Belanda” menyebabkan terbentuknya hegemoni residual kolonial Belanda dalam kehidupan masyarakat Maluku khususnya di kalangan masyarakat Kristen hingga saat ini. Situasi demikian dapat memunculkan asumsi bahwa formasi, posisi, dan komposisi-komposisi tersebut terkonstruksi dalam karya-karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang-pengarang asal Maluku, yang dihasilkan pada masa kolonialisme maupun setelah kemerdekaan. Akan tetapi, perkembangan sastra kanonik regional atau sastra “serius” di Maluku dari aspek persebaran sastrawan dan persebaran karyakaryanya tidak cukup signifikan, terutama yang secara langsung merepresentasikan kehidupan suatu masyarakat yang terkolonisasi dalam jangka waktu yang lama, atau menegaskan adanya persoalan-persoalan yang timbul sebagai pengaruh langsung dari suatu proses panjang kolonialisme tersebut. Keberadaan para pengarang atau penyair asal Maluku pun tidak memperlihatkan peran yang signifikan, baik dari segi distribusi jumlah pengarang maupun persebaran karya sastra. Sebaliknya, industri musik pop daerah Maluku menunjukkan pertumbuhan signifikan dari waktu ke waktu. Karya sastra populer berupa lirik lagu-lagu tersebut diproduksi secara independen oleh para pencipta lagu, musisi, dan penyanyi asal Maluku, baik yang bermukim di Maluku, di Jakarta, maupun kota-kota lainnya di Indonesia. Lirik lagu-lagu adalah salah satu genre sastra populer yang lahir dari dan memiliki ciri-ciri puisi populer (Faruk dan Sayuti, 1997). Lirik lagu-lagu populer Maluku secara masif mengartikulasikan kisah cinta muda-mudi Maluku, parodi terhadap tata cara hidup orang Maluku, menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan kekerabatan, kecintaan dan puja-puji terhadap tanah asal, dsb. Berdasarkan realitas empiris itu, dapat disimpulkan bahwa melalui lirik-lirik lagu populer tersebut masyarakat Maluku bersastra atau ”terlibat” di dalam kegiatan cipta sastra dan apresiasi sastra. Perkembangan musik populer Maluku itu kemudian tidak terpisahkan dari struktur masyarakatnya yang amat dipengaruhi oleh budaya kolonial. Musisi-musisi Maluku yang selama ini berkarya dalam ranah musik pop Indonesia didominasi oleh musisi beragama Kristen yang bertumbuh dalam kultur musik gereja atau musik liturgi warisan zaman kolonial yang bernuansa musik klasik Eropa. Nyanyian-nyanyian yang dipergunakan dalam tata ibadah, misalnya, sebagian besar merupakan lagu-lagu terjemahan yang diadaptasi dari liturgi Eropa, khususnya Belanda. Kultur musik gereja sebagai bagian dari sistem ritual Kristen yang mulai dikenal sejak zaman kolonial itulah yang kemudian berperan dalam konstruksi masyarakat Maluku sebagai singing community. Dari seluruh fakta yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan suatu asumsi bahwa lirik lagu-lagu populer Maluku sebagai sebuah bentuk naratif yang lahir dari suatu masyarakat bekas koloni menjadi tidak sepenuhnya bebas dari pengaruh kolonialisme dan, dengan demikian, mengandung persoalan-persoalan poskolonial. Penelusuran awal terhadap lagu-lagu populer Maluku, terutama yang diproduksi sepuluh tahun belakangan ini, menunjukkan adanya pergeseran tematis dari tema-tema umum pada dasawarsa sebelumnya melalui kemunculan teks-teks yang cenderung mengetengahkan persoalan-persoalan poskolonial; perasaan inotentisitas diri, perasaan inferior, dekarakterisasi, atau persoalan keagenan berupa hibriditas dan mimikri yang seakan menegaskan kembali hegemoni modernitas Barat yang superior, yang beroposisi dengan marjinalitas tradisional Timur yang inferior. 122 Dengan demikian, hubungan signifikan antara produksi lagu-lagu populer yang menghasilkan lirik-lirik lagu-lagu populer yang mengandung persoalan-persoalan poskolonial antara masyarakat Maluku pada umumnya sebagai bekas koloni dengan Belanda sebagai penjajah menjadi amat menarik untuk diungkapkan dalam penelitian ini. Untuk itu, analisis dekonstruktif terhadap relasi antara penjajah terjajah yang dihadirkan dalam teks menjadi signifikan pula, dalam rangka menemukan jejak-jejak yang tak terlacak oleh pembacaan struktural yang normatif, termasuk yang secara tidak sengaja digunakan oleh pengarang. Jejak-jejak tersebut diharapkan dapat terlacak melalui pembalikan dan pembongkaran terhadap relasi-relasi dan oposisi-oposisi biner antara Maluku versus Belanda dalam teks-teks tersebut. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat dikemukakan, yaitu: Pertama, bagaimana hubungan sejarah kolonialisme dan terbentuknya formasi tertentu dalam masyarakat yang berkaitan dengan perkembangan produktivitas lagu populer, serta pergeseran tematisnya. Kedua, bagaimana relasi hegemonik antara Maluku dan Belanda yang melahirkan persoalan-persoalan poskolonial berupa inferioritas dan mimikri dalam lirik-lirik lagu populer Maluku. Landasan Teoretis Lirik lagu-lagu populer adalah sebuah puisi populer karena memperlihatkan ciriciri yang sama dengan puisi (Faruk dan Sayuti, 1997). Meskipun lirik lagu merupakan suatu produk kombinasi antara seni musik dan seni sastra, pada dasarnya lirik lagu dapat dipahami secara terpisah dari unsur-unsur musikalnya. Artinya, meskipun lirik lagu merupakan komponen yang inheren dari sebuah lagu sebagai produk musikal tetapi ketika unsur musikalnya ditanggalkan maka lirik lagu menjadi sebuah puisi. Sebuah puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait (Sudjiman, 1984:64). Menurut Watt-Dunton, puisi adalah ekspresi yang kongkret dan yang bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional yang berirama (Situmorang, 1980:9). Semua ciri-ciri puisi dalam dua definisi yang dikemukakan oleh kedua teoretikus tersebut terkandung dalam sebuah lirik lagu. Oleh karena itu, sebagaimana layaknya sebuah puisi, lirik lagu sebagai bentuk puisi musikal dapat bercerita tentang apa saja, termasuk menyajikan keterikatan dan kesukaan akan keterlibatan secara langsung pada kehidupan, bukan pemahaman yang berjarak mengenai kehidupan itu. Sebagaimana karya sastra pada umumnya, sebuah puisi merupakan suatu situs hegemoni. dalamnya terdapat formasi ideologi. Formasi adalah suatu susunan dengan hubungan yang bersifat bertentangan, korelatif, dan subordinatip. Formasi ideologi menurut Herjito (2002:25), tidak hanya membahas bagaimana hubungan antara ideologi-ideologi tadi. Hegemoni ideologi muncul dalam teks-teks, baik yang diproduksi kelompok yang dominan maupun kelompok subaltern. Teks merupakan bagian dari praktik-praktik sosial yang ada di masyarakat. Hal ini disebut sebagai bagian dari hegemoni, sementara di sisi lain ada keseluruhan yaitu struktur masyarakat yang berada di luar teks. Dengan memperhatikan keseluruhan, formasi ideologi yang telah ditemukan di dalam teks kemudian dicek kembali. Dari sudut pandang ini, struktur kualitatif mengacu pada bagaimana hubungan teks dan pengarangnya dengan situasi historisnya. Terkait dengan hubungan teks dan pengarang dengan situasi historis, posisi liriklirik lagu populer Maluku menjadi lebih jelas. Lirik lagu populer Maluku dihasilkan 123 oleh pengarang atau pencipta sebagai bagian dari masyarakat yang mengalami kolonisasi Eropa selama lebih dari tiga abad. Oleh karena itu, lirik lagu-lagu populer merupakan sastra poskolonial yang diasumsikan tidak sepenuhnya bebas dari persoalan-persoalan poskolonial. Dengan demikian, definisi sastra poskolonial yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Christopher O’Reilly, bahwa: One simple answer is that all the above writing has arisen out of experience with result from contact with (British) empire. In this sense, post-kolonial literature is writing wich reflects, in great variety of ways, the effects of kolonialism. This might include the enforced of mass migration of the slave trade, or the impact of kolonialism upon indigeneous societies, to name only two areas focus…. (O’Reilly, 2007:6). Karya sastra yang ditulis baik oleh penjajah maupun terjajah di dalam prosesnya dapat menyerap, mengambil, dan menulis aspek-aspek dari budaya ”lain”, menciptakan genre, gagasan, dan identitas baru. Naskah-naskah sastra kemudian menjadi penting bagi pembentukan wacana-wacana kolonial karena sastra bekerja secara imajinatif dan berpengaruh terhadap orang-orang sebagai individu-individu. Naskah-naskah sastra dapat mencerminkan ideologi-ideologi dominan dan hegemonik, yang menyebabkan masyarakat terjajah berada posisi subordinat dan inferior, atau meminjam istilah Fanon, kompleks inferioritas, yakni terciptanya ”jiwa” bangsa terjajah dalam suatu bentuk inferioritas yang diakibatkan ”kematian” dan ”penguburan” orisinalitas budaya lokal (Fanon dalam Loomba, 2003:31). Kecenderungan munculnya inferioritas subjek dalam lirik lagu-lagu populer Maluku idtemukan bersamaan dengan kecenderungan untuk melakukan mimikri. Menurut Hartanti (2007:20), baik inferioritas maupun mimikri atau peniruan merupakan karakter dari hibriditas kolonial yang muncul beriringan dengan pengakuan dan penerimaan terhadap kebudayaan bangsa penjajah yang diterima sepenuhnya atau mengalami penyesuaian dengan kebudayaan pribumi. Konsep mimikri menurut Bhabha dibentuk dalam suatu ambivalensi. Di satu sisi kaum pribumi ingin membangun identitas persamaan dengan kaum penjajah, di sisi lain mereka juga mempertahankan perbedaannya. Mimikri, yang disebut Bhabha sebagai a sign of double articulation (Bhabha, 2007:122), muncul sebagai representasi dari perbedaan yang sekaligus merupakan proses pengingkaran mimikri bukan sekadar peniruan melainkan mungkin menjadi mockery atau olok-olokan. Dalam konteks kekhususan relasi kolonial dan poskolonial di Maluku dalam hubungan afiliatif dengan penjajah Belanda, kecenderungan mimikri di dalam teks bukanlah cara subjek kolonial untuk melakukan perlawanan atau resistensi terhadap kekuatan kolonial tersebut. Mimikri dalam konteks demikian merupakan suatu cara untuk mengidentifikasi dirinya sebagai ”Belanda”, meskipun pada kenyataannya identifikasi diri itu tetap memiliki kemungkinan menciptakan kehadiran yang virtual dan parsial. Mimikri yang sebenarnya merupakan suatu bentuk kepatuhan untuk menyembunyikan perlawanan pada akhirnya menjadi cara subjek kolonial, yakni semacam kesadaran lokal untuk mengidentifikasi dirinya dalam rangka menyembunyikan perbedaan dengan penjajah. Dengan kata lain, mimikri dalam hal ini merupakan suatu bentuk kepatuhan untuk menyatakan semacam penolakan orang Maluku untuk ’menjadi berbeda’ dari penjajah Belanda. Otoritas kolonial tidaklah terganggu oleh upaya identifikasi tersebut, karena resistensi bukanlah tujuannya. Dalam praktik teoretisnya, poskolonialisme bekerja dalam dua tataran, yaitu (1) berusaha menjelaskan poskolonialitas yang melekat dalam teks-teks tertentu; dan (2) membongkar setiap jejak kekuasaan kaum kolonial (Foulcher dan Day, 2008:2-3). 124 Untuk menerapkan dua hal di atas, salah satu upaya metodologis yang dapat dilakukan adalah melakukan dekonstruksi terhadap teks sastra tersebut, seperti yang akan dipraktikkan dalam penelitian ini. Kajian dekonstruksi hadir sebagai upaya Derrida untuk menolak teori-teori penelitian logosentrisme yang berkeinginan terhadap pusat, mendewakan pusat, yaitu hal-hal yang besar. Menurut Faruk (1994:237), analisis dekonstruksi menawarkan konsep “jejak” (trace) yang bersifat misterius dan tak tertangkap (imperceptible), yang muncul sebagai kekuatan pembentuk suatu tulisan, yang menembus dan memberi energi pada aktivitasnya yang menyeluruh, dan bersifat omnipresen tetapi tetap luput dari jangkauan. Hal ini berarti bahwa makna akan bergerak, harus dilacak secara terusmenerus, dan meloncat-loncat. Selain konsep “jejak” tersebut, penelitian ini menggunakan konsep difference yang mencakup tiga pengertian, yaitu: ’to differ’ (berbeda), ‘differe’ berarti tersebar dan terserak, dan ‘to defer’ atau menunda. (Endraswara, 2003:170). Konsep difference menjadi relevan digunakan untuk membicarakan inferioritas dan mimikri sebagai sebuah konsep identifikasi diri, yakni adanya persamaan namun ditunda kehadirannya oleh perbedaan. Dengan kata lain, kajian dekonstruktif terhadap lirik-lirik lagu populer mencoba melacak jejak dan operasi diferansi yang bekerja diam-diam dalam teks. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang disebut pula sebagai penelitian deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif yaitu suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Biklen, 1982:5 dalam Moleong, 1991:3). Penentuan sampel dari populasi lirik lagu-lagu populer Maluku dalam periode tersebut dilakukan dengan menggunakan teknik purpossive sampling atau sampel bertujuan (Moleong, 2006:224). Selanjutnya, pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan; penelusuran referensi tertulis untuk menunjang analisis data yang dilakukan. Sumbersumber tertulis tersebut antara lain berupa; buku, artikel-artikel ilmiah, laman internet, hasil-hasil penelitian lainnya, cakram padat, dsb. Teknik pengumpulan data secara dokumentatif pun diperlukan untuk mendokumentasikan lirik-lirik lagu yang dipilih sebagai sampel penelitian. Pada akhirnya, teknik observasi dan wawancara dilakukan untuk mengamati perkembangan produksi lagu-lagu populer Maluku termasuk kecenderungan tematis serta distribusinya, serta data-data pendukung yang dapat melengkapi uraian mengenai efek kolonialisme Belanda terhadap masyarakat Maluku maupun kaum diaspora di Belanda. Analisis data menggunakan metode dekonstruksi diterapkan dalam upaya untuk membongkar atau mendekonstruksi relasi-relasi yang dikonstruksi dalam lirik-lirik lagu tersebut.. Hal ini dilakukan bertolak dari asumsi yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa dikotomi oposisi biner antara Barat dan Timur, penjajah dan terjajah, Belanda dan pribumi bersifat menindas, tidak adil, serta tidak manusiawi. Oleh karena itu, upaya pembongkaran terhadap oposisi biner tersebut diperlukan dalam rangka menemukan pola relasi yang lebih adil dan seimbang, termasuk kemungkinan penyangkalan terhadap asumsi dasarnya (Noor, 2002:38). Pembahasan Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap lirik-lirik lagu populer Maluku yang berangka tahun 2000 hingga tahun 2010 ditemukan beberapa relasi yang kompleks 125 dan problematik antara unsur-unsur Timur dan Barat, pribumi dan Eropa, serta penjajah dan terjajah. Relasi-relasi yang hadir dalam teks bersifat bolak-balik pada tiga unsur yang saling berhubungan, yakni (1) orang Maluku, (2) orang Belanda asli, dan (3) keturunan Maluku diaspora di Belanda. Relasi-relasi yang dimaksud adalah; (1) relasi yang bersifat hierarkis atau dominatif, (2) relasi yang bertentangan antarsesama orang Maluku maupun dengan Belanda, serta (3) relasi yang bersifat setara dan saling simpatik. Satu teks dapat mengandung lebih dari satu relasi karena terbelahnya unsur penjajah dan terjajah melalui keberadaan kaum diaspora yang di tengah-tengah kedua unsur lainnya. Sehubungan dengan itu, tema percintaan adalah tema yang paling sering muncul, baik cinta antara perempuan dan laki-laki Maluku dan Belanda, maupun sebaliknya. Dari analisis dekonstruktif terhadap lirik-lirik lagu dapat disimpulkan bahwa dalam ketiga jenis relasi yang terbangun antara unsur-unsur Maluku sebagai terjajah, sebagai Timur, dan Belanda sebagai penjajah, sebagai Barat, dapat disimpulkan bahwa Belanda adalah dunia ideal bagi orang Maluku, seperti yang terbaca dalam teks. Di sisi lain, Maluku adalah dunia ideal bagi Belanda, dalam hal ini merujuk pada kaum diaspora atau Indo, yang memandangnya sebagai dunia ideal atau dunia gagasan penuh harapan yang seakan-akan bisa melebur atau menyatu dengan dunia nyata, namun sebenarnya Temuan-temuan demikian menegaskan adanya jejak-jejak romantisisme dalam relasi-relasi yang terbangun di dalam lirik lagu-lagu tersebut. Romantisisme itu sendiri seperti yang dikemukakan oleh Faruk (2002:39-52) merupakan suatu konsep yang berasal dari Barat. Romantisisme terjadi dalam kesatuan sekaligus ketegangan antara dunia ideal dengan dan dunia nyata. Di satu pihak paham tersebut menolak pemisahan antara kedua dunia tersebut, percaya akan kemungkinan peleburan dunia nyata ke dalam dunia ideal, sehingga selalu berpikir dalam kerangka kesatuan dan yang satu, tetapi di lain pihak, paham itu tidak dapat mengingkari keterpisahan yang nyata antara keduanya, otonomi dunia nyata tempat mereka hidup sehingga harus menerima segala keterpecahan dan fragmentasi, baik secara sadar maupun tidak sadar. Tokoh-tokoh pria dan gadis Maluku dalam beberapa lirik lagu-lagu populer Maluku secara jelas menginginkan suatu dunia yang ideal yang terpisah dengan dunia nyata mereka. Keinginan demikian diwujudkan dengan adanya upaya, lakuan, dan artikulasi yang menginginkan adanya suatu aliansi dengan Belanda sebagai tanah impian, dengan gadis dan pria Belanda sebagai pasangan ideal, bahasa Belanda sebagai bahasa yang superior, indah, dan berbudaya, serta dengan gaya orang Belanda sebagai simbol kemajuan, modernitas, dan keindahan. Di sisi lain, ada pula tokoh-tokoh naratif dalam analisis di atas yang dalam pandangan mereka sebenarnya menghendaki keterpisahan antara dunia nyata dengan dunia ideal tersebut. Keterpisahan yang dimaksud di sini adalah adanya pernyataanpernyataan mengenai ketidakmungkinan bersatunya Maluku dengan Belanda, bahwa keinginan bersatu itu pada akhirnya hanyalah menghasilkan kerusakan atau fragmentasi, dan bahwa keingin bersatu yang demikian hanyalah mimpi semata pada akhirnya. Keterpisahan itu kemudian diwujudkan dalam narasi-narasi melalui upaya penolakan dan pandangan minor terhadap perubahan orientasi dan tindakan tokoh lain yang melakukan upaya aliansi atau afiliasi terhadap nilai-nilai Barat atau Belanda sebagai dunia gagasan atau dunia ideal mereka. Dalam beberapa lirik lagu yang diartikulasikan melalui fokalisasi orang Maluku terhadap orang Belanda atau tanah Belanda, seperti Nyong Balanda, Ik Hou van Jou, Jij Ben So Ver, Kenangan Transit Passo, dan Nona Belanda, baik secara implisit 126 maupun eksplisit, menunjukkan adanya kecenderungan pria dan gadis Maluku memandang dan memposisikan diri sendiri sebagai pihak inferior yang takluk di bawah superioritas Belanda. Superioritas fisik Barat yang dipuja-puja sedemikian itu merupakan salah satu penyebab berakarnya mentalitas rendah diri pribumi dan inferioritas pada zaman kolonial. Yulianto (2007:8-9) mengutip uraian Frantz Fanon bahwa Barat yang putih, indah, merupakan norma-norma tak terlihat, bukan hanya secara fisik. Mentalitas rendah diri di hadapan Barat tersebut telah dijadikan sebagai relevansi simbol yang seakan menghalangi orang-orang – bahkan generasi sekarang – untuk berpikir dialektis sehingga mengamini begitu saja konsep tersebut. Selain itu, pakaian Barat diidentikkan dengan gaya superioritas, sedangkan pakaian etnik, atau tradisional diasosiasikan dengan inferioritas dan ketertundukan pada peraturan kolonial. Pemosisian orang Maluku sebagai inferior juga ditunjukkan dalam lirik lagu Ik Hou van Jou dan Par Sapa Lai. Dalam lirik lagu Ik Hou van Jou terbaca kecenderungan pria Maluku untuk mencintai dengan sepenuh hati gadis Belanda, meskipun untuk itu ia harus terperangkap dalam ilusi tentang pertemuannya dengan si gadis, dan keterasingannya di tengah-tengah dunia nyata yang ia diami. Sementara itu, dalam Par Sapa Lai, kecenderungan perasaan inferior muncul secara bolak-balik antara tokoh gadis Maluku yang menikah dengan pria Belanda lalu meninggalkan pria Maluku yang dicintainya, dengan pria Maluku yang hanya bisa merintih dalam kepasrahan, karena cintanya telah hilang dan tak tahu kepada siapa lagi cintanya itu akan diberikan. Gadis Maluku yang menikahi pria Belanda tersebut seakan tunduk kepada superioritas Belanda dengan cara meninggalkan kekasihnya untuk menikahi pria Belanda, sementara pria Maluku hanya bisa meratapi kehilangan cintanya lalu menyalahkan si gadis atas kebohongan yang dilakukannya. Dalam lirik lagu Ik Hou Van Jou, Jij Ben So Ver, dan Herrinerring in Vassen, fakta digunakannya bahasa Belanda baik sebagian maupun keseluruhan teks menunjukkan adanya upaya untuk mobilisasi diri untuk memasuki dunia superior sebagai sesuatu yang ideal. Penggunaan bahasa Belanda pada masa kolonial, seperti yang dikemukakan Faruk (2007:27), selain menjadi jalan untuk emansipasi, di lain pihak menjadi jurang menuju kejatuhan yang lebih dalam ke arah kehinaan karena sekaligus merupakan pengakuan terhadap superioritas kultural orang Belanda. Dengan demikian, bahasa Belanda dalam teks seakan kembali menghadirkan refleksi betapa bahasa Belanda sebagai simbol superioritas Belanda tersebut tetap menduduki posisiposisi yang hampir tidak berubah di dalam narasi-narasi masyarakat terjajah di saat kini. Inferioritas dalam bentuk lain juga terbaca dalam lirik lagu Kenangan Transit Passo. Si pria Maluku berupaya memperjuangkan pertemuan cintanya melalui pertemuan secara sembunyi-sembunyi, memberontak terhadap otoritas, dan mencoba memasuki wilayah mereka, namun pada akhirnya hanya menemui kegagalan karena pertemuan itu berakhir dengan perpisahan. Si gadis sebagai representasi Belanda, representasi dunia ideal pada akhirnya tetap tak tersentuh oleh si pria Maluku. Ketidakmampuan menerobos batas otoritas yang berwujud pada “keharusan” pulang ke Belanda atau “kendali” orang tua pada akhirnya tetap menempatkan si pria sebagai subjek inferior, dan si gadis, atau orang tuanya sebagai representasi Belanda tetaplah superior, tak tersentuh. Penempatan diri sebagai inferior di hadapan Belanda yang superior boleh dianggap sebagai sebuah bentuk kelestarian atau endapan hierarki kekuasaan dalam berbagai aspek kehidupan sejak masa kolonial yang menempatkan bangsa kolonial sebagai superior dan pribumi sebagai inferior, meski kolonialisme formal telah lama 127 berakhir. Hierarki kekuasaan tersebut antara lain dimanifestasikan dalam aturan-aturan pernikahan antara kaum Eropa dan pribumi. Menurut Kadir (2009:61-62), pernikahan dengan bangsa pribumi yang dianggap subordinat secara kelas atau status sosial karena perbedaan ras dari garis dan aturan secara tidak langsung menyatakan kekhawatiran bangsa kolonial terhadap kemunculan bentuk-bentuk transgresi, pencemaran akan tubuh, irrasionalitas, ketidakrapian, dan kekotoran yang tertular dari entitas inferior. Dalam lirik lagu-lagu populer Maluku yang telah dianalisis, ada dua lirik lagu yang menarasikan relasi-relasi khusus antara kedua unsur yang dibicarakan melalui sudut pandang pria Belanda, lebih tepatnya, keturunan diaspora Maluku di Belanda, terhadap gadis Maluku, yakni Nona Kudamati dan 10 Taong. Gambaran-gambaran yang disajikan dalam kedua lirik lagu tersebut mewakili adanya kerinduan dan ketakberdayaan karena adanya keberjarakan. Keberjarakan itu ditandai dengan substansi umum lirik lagu-lagu lokal yang selalu terkait dengan konsep kombali, atau kembali. Menurutnya, pengharapan untuk kembali adalah kalimat yang menyatakan penungguan dari pihak pasangan yang tengah menjalin kasih, atau kerinduan anak-anak rantau di negeri seberang akan debur ombak, desau angin, dan kehidupan gandong yang indah dan penuh kasih. Maluku digambarkan sebagai suatu dunia ideal untuk berkumpul dan bernostalgia dengan segala bentuk cinta kasih yang melingkupi orang-orang yang ada di sana, baik bagi orang-orang Maluku perantau di Indonesia, maupun keturunan diaspora Maluku di Belanda. Pencarian orang Maluku diaspora pada umumnya akan kemalukuan dalam berbagai aspek, serta kecenderungan untuk selalu “kembali” ke Maluku, mengindikasikan bahwa mereka mengalami disorientasi atau “salah tempat” akibat – meminjam istilah Allen–pemindahan. Dapat dikatakan, pengalaman demikian diakibatkan oleh ketidakmampuan mereka menjiwai konsep nation Belanda serta keterjebakan mereka dalam budaya yang “bukan mereka” (Bhabha, 1994:23) Secara keseluruhan, dari seluruh lirik lagu populer yang dijadikan sampel penelitian ini, terdapat bentuk-bentuk mimikri terhadap unsur-unsur kebudayaan Barat atau Belanda. Bentuk-bentuk mimikri yang muncul dalam teks terdiri atas dua unsur kebudayaan sekaligus dua kode semiotik penting, yakni (1) bahasa, dan (2) pakaian, riasan wajah dan rambut, atau cara memperlakukan tubuh. Mimikri terhadap dua kode penting, yakni busana atau cara berpenampilan dan bahasa menunjukkan adanya suatu upaya untuk memasuki atau menerobos ruang otoritas Belanda sebagai dunia ideal bagi tokoh-tokoh dalam lirik lagu-lagu tersebut. Melalui peniruan terhadap cara berbusana dan penggunaan bahasa orang Belanda,, para tokoh dalam teks melakukan upaya untuk seakan-akan menyatukan diri mereka dengan Belanda sebagai dunia yang ideal, yang identik dengan keindahan, kesempurnaan, kekayaan, dan keberadaban. Mimikri dalam teks juga tidak terlepas dari hubungan dengan penemuan terhadap jejak-jejak inferioritas yang terbaca dalam interaksi antar tokoh di dalam teks. Analisis secara dekonstruktif telah menunjukkan betapa di balik narasi tentang cinta yang penuh kerinduan dan hasrat untuk bertemu, sebagian besar lirik lagu-lagu tersebut merupakan tangisan atau rintihan akibat keterasingan dari dunia nyata, keterpisahan sekaligus keinginan untuk bersatu dengan dunia ideal para tokoh. Tangisan dan rintihan yang demikian secara tidak langsung merupakan pencerminan suatu perasaan inferior yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam narasi. Perasaan inferior atau inferioritas tersebut di dalam teks terkonstruksi oleh sebab mimpi-mimpi yang berkepanjangan, sekaligus penaklukkan diri secara sadar di balik dominasi individu Belanda, melalui kegagalan cinta, kerinduan untuk menikah, 128 keinginan untuk bertemu, perasaan terasing di tengah-tengah dunia nyata, dsb. Upaya mimikri dilakukan dalam rangka menyembunyikan inferioritas yang memiliki kemampuan mendestruksi mimpi-mimpi mereka tentang dunia ideal. Inferioritas tersebut dibungkus dengan identifikasi subjek sedemikian rupa sehingga menjadi “hampir” sama atau serupa dengan Belanda. Mimikri terhadap superioritas berarti menyembunyikan inferioritas, meskipun tanpa disadari inferioritas tersebut menjadi makin menguat dan mengemuka. Sementara itu, kecenderungan untuk self mockery atau mengolok-olok diri sendiri adalah akibat peniruan atau mimikri yang tidak menghasilkan sempurna, yakni menjadi sepenuhnya Belanda. Dalam teks-teks yang dianalisis, upaya melakukan mimikri bukan dalam rangka perlawanan atau resistensi melainkan manifestasi dari mimpi-mimpi subjek kolonial tersebut untuk kembali bersentuhan dan kembali memasuki dunia kolonial; dunia Belanda atau Barat, yang menjadi simbol modernitas, kemajuan, keindahan, dsb. Manifestasi mimpi lewat mimikri tersebut dilakukan untuk menyembunyikan inferioritas, ketidakmampuan untuk menjangkau Belanda sebagai dunia ideal. Dunia ideal yang demikian memiliki keterkaitan dengan hubungan yang dominatif sekaligus hegemonik antara kekuasaan Belanda pada zaman kolonial dan kecenderungan aliansi atau afiliasi warga Maluku, terutama kaum urban Kristen. Mimikri, seperti yang dimaksudkan oleh Bhabha, sebagai a sign of double articulation beroperasi melalui peniruan subjek kolonial terhadap penjajah, akan tetapi peniruan tersebut tidak dilakukan dalam rangka mockery atau olok-olokan, yang pada akhirnya berujung pada resistensi terhadap wacana kolonial. Mimikri yang hadir dalam teks merupakan perwujudan hasrat dan mimpi-mimpi subjek kolonial untuk mengidentifikasi diri dan memasuki dunia Barat yang dianggapnya menjanjikan keindahan, kekayaan, dan prestise, yang jauh berbeda dengan dunia nyata yang ia alami setiap hari. Keinginan untuk menyamakan diri sebagai Belanda itu pada akhirnya ditunda kehadirannya oleh disparitas atau perbedaan yang tampak di antara keduanya. Dengan kata lain, keinginan untuk mengidentifikasi diri sebagai Belanda tidak sepenuhnya, dan tidak akan bisa menghapuskan batas-batas atau jurang yang terletak di antara mereka. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mimikri merupakan manifestasi dari mimpi-mimpi dan hasrat yang besar dari subjek yang masih terkooptasi dalam lingkaran nostalgia kekuasaan Belanda yang hegemonik. Lingkaran nostalgia kekuasaan tersebut bukan semata-mata ditandai dalam hubungan yang hierarkis dan dominatif melainkan juga dalam relasi-relasi yang bertentangan antara sesama pribumi, maupun relasi setara antara Maluku dan Belanda, dengan sesama pribumi. Dalam konteks masyarakat Maluku sebagai bekas koloni Belanda, eksistensi kaum diaspora menjadi benang merah yang menghubungkan konstruksi keterpesonaan kolektif terhadap Belanda atau Barat pada saat ini, sebagai simbol kekayaan, prestise, status sosial, dan superioritas. Jalinan relasi antara masyarakat Maluku dengan kaum diaspora di Belanda tersebut kemudian saling mengkonstruksi dunia ideal secara timbal-balik satu sama lain. Di satu sisi, mereka tidak bisa menghindarkan diri dari persentuhan mutlak dengan dunia nyata mereka; dan di sisi lain, kerinduan mereka akan dunia yang ideal tetap menggebu-gebu meskipun kerinduan dan hasrat demikian pada akhirnya hanya berkutat dalam kemustahilan. Kesimpulan Secara umum, lirik-lirik lagu yang dianalisis tersebut mendekonstruksi konsep romantisisme yang tampak dalam hubungan antartokoh. Romantisisme dimaksud adalah 129 ketegangan antara dunia nyata dan dunia ideal. Belanda dan kebelandaan adalah dunia ideal, sementara Maluku dan kemalukuan adalah dunia nyata. Keduanya bersatu tetapi sekalgus terpisah. Di balik keinginan dan mimpi untuk bersatu dengan Belanda sebagai dunia ideal, sesungguhnya terdapat jurang yang lebar yang semakin memisahkan keduanya. Menjangkau Belanda sebagai dunia ideal sesungguhnya adalah mimpi yang tak akan pernah terwujud. Mimikri yang dilakukan oleh tokoh gadis Maluku sebagai subjek kolonial terwujud melalui (1) mimikri terhadap gaya berpakaian, peniruan penampilan wajah dan rambut, serta pengaturan tubuh, menjadi tiruan bangsa Belanda; dan (2) mimikri terhadap bahasa Belanda, baik secara keseluruhan, maupun berupa campur kode. Mimikri terhadap busana atau cara berpenampilan dan bahasa menunjukkan adanya suatu upaya identifikasi diri sebagai Belanda untuk memasuki atau menerobos ruang otoritas Belanda sebagai dunia ideal bagi tokoh-tokoh dalam lirik lagu-lagu tersebut. Melalui peniruan terhadap cara berbusana dan penggunaan bahasa orang Belanda, para tokoh dalam teks melakukan upaya untuk seakan-akan menyatukan diri mereka dengan Belanda sebagai dunia yang ideal, yang identik dengan keindahan, kesempurnaan, kekayaan, dan keberadaban. Mimikri dalam teks juga tidak terlepas dari hubungan dengan penemuan jejakjejak inferioritas yang terbaca dalam interaksi antar tokoh di dalam teks. Upaya mimikri dilakukan dalam upaya untuk “menyembunyikan” inferioritas yang memiliki kemampuan mendestruksi mimpi-mimpi mereka tentang dunia ideal. Upaya mimikri atau peniruan tersebut secara tidak langsung merupakan sarana untuk menyatakan bahwa subjek bisa menjadi cantik, kaya, putih, penuh gaya, modern, dan beradab seperti Belanda, meskipun pada kenyatannya tidak sempurna. Mimikri yang direpresentasikan oleh tokoh—tokoh dalam narasi tidak dalam rangka melakukan perlawanan atau resistensi, seperti yang diajukan oleh Bhabha, tetapi semata-mata merupakan manifestasi dari mimpi-mimpi subjek tersebut untuk kembali bersentuhan dan kembali memasuki dunia Belanda sebagai dunia ideal melalui identifikasi diri sebagai Belanda. Daftar Rujukan Adi, Ida Rochani. 2010. Fiksi Populer. Yogyakarta: Darkuti Offset. Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan Membaca Lagi Reinterpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995. Magelang: Indonesiatera. Aritonang, Jan S..2006. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Ashcroft, Bill, Griffiths, Garreth, dan Tiffin, Helen. l995. The Postcolonial Studies Reader. London: Routledge. ________. 2003. Menelanjangi Kuasa Bahasa Teori dan Praktik Sastra Poskolonial. Yogyakarta : Qalam. Bhabha, Homi K. 1994. Nation and Narration. London and New York : Routledge. ________. 2007. The Location of Culture. London and New York: Routledge. Deane, Shirley. 1979. Ambon, Island of Spices. London: Cox and Wyman Ltd, Fakenham and Reading. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress. 130 Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik Sampai PostModernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ________ . 2001. Beyond Imagination, Sastra Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta: Gama Media. ________ .2002. Novel-Novel Indonesia Tradisi Balai Pustaka 1920 – 1942. Yogyakarta: Gama Media. ________ . 2007. Belenggu Pasca-Kolonial Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Faruk dan Suminto A. Sayuti. 1997. Sastra Populer. Jakarta: Universitas Terbuka. Foulcher Keith dan Tony Day. 2008. Sastra Indonesia Modern Kritik Poskolonial, Clearing A Space (Edisi Revisi). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hartanti, Risna T. 2007. “Identitas Hibrid dalam Novel Le Passé Simple Karya Driss Chraibi” Tesis pada Jurusan Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Univeritas Indonesia, Jakarta. Herjito.2002. Studen Hijo Karya Mas Marco Kartodikromo Analisis Hegemoni Gramscian. Jurusan Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kadir, Hatib Abdul. 2009. Bergaya di Kota Konflik – Mencari Akar Konflik Ambon Melalui Gaya Hidup Anak Muda. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Leirissa R. Z. 2004. Ambonku: Doeloe, Kini, Esok. Ambon: Pemerintah Kota Ambon. Lo, Jacqueline dan Helen Gilbert. l998. “Poskolonial Theory: Possibilities and Limitations”. Makalah pada An International Research Workshop. Sidney, 23 – 31 Mei l998. Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/ Poskolonialisme (diterjemahkan oleh Hartono Hadikusumo). Yogyakarta: Bentang Budaya. Moleong, Lexy J. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda. Noor, Rusdian. 2002. ”Mimikri dan Resistensi Radikal Pribumi terhadap Kolonialisme Belanda dalam Roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer ”. Tesis Jurusan Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. O’Reilly, Christopher. 2007. Post-Kolonial Literature. London: Cambridge University Press. Pieris, John. 2004. Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Said, Edward W. 2001. Orientalisme (diterjemahkan oleh Asep Hikmat, dkk.). Bandung : Pustaka. Situmorang, B. P. 1980. Puisi dan Metodologi Pengajarannya. Ende: Nusan Indah. Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia. Walia, Shelley. 2003. Edward Said dan Penulisan Sejarah. Yogyakarta: Jendela Yulianto, Vissia Ita. 2007. Pesona ‘Barat’ Analisa Kritis Historis Tentang Kesadaran Warna Kulit. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra. 131 PEMBELAJARAN SASTRA BERBASIS MEDIA FILM YANG BERKONTRIBUSI TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH MENENGAH ATAS Farida Nugrahani (Universitas Veteran Bantara Sukoharjo – Indonesia) Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) model pembelajaran sastra berbasis media film yang praktis dan efektif dalam meningkatkan aktifitas, kreatifitas, dan prestasi belajar siswa; dan (2) kontribusi pembelajaran sastra berbasis media film terhadap pendidikan karakter. Dalam konteks ini, film yang dimaksud adalah film dengan content novel sastra yang terkenal, seperti “Laskar Pelangi”, “Ayat-Ayat Cinta”, “Ronggeng Dukuh Paruk” dan sebagainya. Data dalam penelitian ini adalah semua informasi yang berkaitan dengan (1) model pembelajaran sastra yang efektif, praktis, dan diminati siswa, serta aktifitas, kreativitas dan prestasi siswa dalam pembelajaran sastra, dan (2) kontribusi bahan ajar sastra berbasis media film terhadap pendidikan karakter. Sumber datanya adalah guru sastra dan siswanya,serta dokumen/arsip. Data dikumpulkan melalui studi pustaka, wawancara, observasi, dan mengkaji dokumen. Selanjutnya data dianalisis secara induktif dengan model interaktif dari Miles dan Huberman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pembelajaran sastra berbasis media film merupakan model pembelajaran yang efektif, praktis, dan diminati siswa, karena memberikan peluang bagi siswa untuk meningkatkan aktivitas, mengembangkan kreativitas, dan prestasi belajarnya. (2) Pembelajaran sastra berbasis media fim dapat memberikan kontribusi terhadap pembentukan karakter siswa SMA. Kata kunci: Pembelajaran sastra inovatif; Media film; Pendidikan karakter. Latar Belakang Sampai saat keprihatinan terhadap mutu pembelajaran sastra di sekolah masih menjadi topik pembicaraan dalam berbagai forum ilmiah bahasa dan sastra, baik melalui konggres bahasa, seminar, simposium, workshop, ataupun diklat profesi guru bahasa di seluruh Indonesia (Nugrahani, 2014: 3). Rendahnya mutu pembelajaran sastra pada umumnya disinyalir karena faktor rendahnya kompetensi guru dalam menyusun rancangan, memilih bahan ajar, maupun dalam mengelola pembelajaran yang menarik minat siswa. Sastra merupakan mata pelajaran yang berpotensi besar untuk mengajarkan nilai-nilai luhur pada siswa, namun akibat kemajuan zaman yang beorientasi pada teknologi dan kebendaan, nasib pembelajaran sastra terabaikan. Sebagian masyarakat masih ada yang berpandangan, bahwa kemampuan anak dalam bidang eksakta lebih utama daripada bidang sosial humaniora, sehingga sastra dipandang kurang penting untuk dipelajari. Sebagai pilar utama pembelajaran sastra, diharapkan guru mampu menumbuhkan minat siswanya untuk membaca karya sastra. Masalahnya, menyediakan teks sastra ke dalam kelas tidaklah mudah. Untuk itu, diperlukan kreativitas guru dalam mengembangkan bahan ajar dan medianya agar pembelajaran berjalan efektif dan berhasil optimal. Pada dasarnya, karya sastra merupakan karya seni yang bersifat indah dan menarik. Apabila pembelajaran sastra tidak menarik, sudah barang pasti ada hal yang 132 tidak benar dalam salah satu komponennya. Menurut Satoto (2006:423), dalam kondisi bagaimanapun, sudah seharusnya pembelajaran sastra itu menarik apabila disampaikan oleh guru yang profesional, karena guru merupakan pemegang perana penting dalam proses pembelajaran, serta agen bagi kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan seni bagi sebuah bangsa. Profil guru profesional yang dimaksud tetah ditetapkan dalam UU RI No.14 Tahun 2005 Bab II, Pasal 6, bahwa kedudukan guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sitem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan bagi berkembangnya potensi peserta didik menjadi manusia beriman, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Masalahnya, fakta dilapangan menunjukkan bahwa pada umumnya guru sastra di Indonesia belum profesional dalam menjalankan tugasnya. Sarumpaet (2002:xii), menyatakam bahwa masih banyak guru sastra yang belum mampu memahami karya sastra yang akan diajarkan kepada siswanya. Demikian pula penelitian dari Direktorat Tenaga Kependidikan Depdiknas (dalam Harimansyah, dkk. 2013:1), menemukan bahwa 61,96% guru SD, SMP, SMA, dan SMK tidak menguasai materi yang diajarkan. Sementara itu, melalui berbagai penelitian yang terdahulu diketahui bahwa penyebab utama kegagalan pembelajaran sastra pada umumnya adalah karena gurunya tidak berkompeten, siswanya kurang berminat, dan fasilitas pembelajarannya sangat terbatas. Tugas guru dalam proses pembelajaran meliputi tugas menyusun perencanaan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan melakukan evaluasi. Dalam menyusun perencanaan pembelajaran, tugas guru meluti (1) merumuskan tujuan dan menetapkan kompetensi yang akan dicapai dalam pembelajaran, (2) menyusun bahan ajar/materi yang akan digunakan sebagai sarana mencapai tujuan, (3) menyusun penjabaran dan urutan logis dari bahan/materi yang akan diajarkan sebagai dasar pengembangan media, metode, dan teknik evaluasinya. Berkaitan dengan hal itu telah dilakukan observasi di lapangan. Fakta menunjukkan bahwa rata-rata prestasi belajar bahasa (sastra) Indonesia siswa di sekolah masih rendah, bahkan rata-rata nilai UN bahasa Indonesia lebih rendah dari bahasa Inggris. Sementara itu, dalam proses pembelajaran, guru belum menyajikan bahan yang menarik. Karya sastra belum dihadirkan dalam kelas untuk diapresiasi siswa, sehingga siswa belajar sastra hanya dari sinopsis ceritanya saja. Selain itu, karya sastra yang dibahas bukan merupakan karya terbaru yang isinya (content) sesuai dengan dunia remaja dewasa ini. Para guru belum menyajikan bahan ajar yang sesuai dengan perkembangan mental siswa remaja (adolescent), dan perkembangan teknologi informasi yang akrab dengan kehidupan siswa. Dengan demikian minat siswa untuk belajat sastra menjadi berkurang/rendah, demikian pula kompetensinya dalam bersastra. Melalui penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti tentang ”Bahan Ajar Sastra dan Pengajarannya yang Relevan dengan KBK” (Nugrahani, 2010) dan ”Pembelajaran Sastra yang Apresiatif dalam Perspektif KBK (Studi Evaluasi di SMA Surakarta)” (Nugrahani, 2011), diketahui bahan ajar sastra yang digemari siswa adalah novel yang dikemas dalam berbagai komoditas, seperti film, lagu, drama musikal, sinetron, dan sebagainya. Selain itu, diketahui pula bahwa media berbasis teknologi informasi sangat digemari siswa, karena memberi kesempatan untuk bereksplorasi, berimajinasi, menantang kreativitas, menarik dan mengikuti perkembangan teknologi sesuai perkembangan zaman. Berdasarkan temuan pada penelitian terdahulu dan hasil observasi pendahuluan yang dilakukan di lapangan, maka dipandang penting untuk dideskripsikan model 133 pembelajaran sastra inovatif berbasis media film, yang menarik, serta sesuai kemampuan, kreatifitas, dan perkembangan intelektual siswa. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan karakteristik model pembelajaran sastra berbasis bahan ajar dengan media film yang berkontribusi terhadap pendidikan karakter. Dengan model tersebut diharapkan siswa dapat belajar dengan aktif dan kreatif serta dengan perasaan senang (enjoy). Model inovatif yang dideskripsikan dalam penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi ilmiah baru yang bermakna penting bagi pengajaran sastra, pengambil kebijakan, dan semua pihak yang peduli terhadap pendidikan. Model tersebut diharapkan dapat memberikan inspirasi dalam mengubah orientasi pembelajaran sastra dari pemahaman kognitif menjadi pencapaian kompetensi apresiatif yang menunjang pendidikan karakter. Adapun karakter yang dituju adalah penciri bangsa Timur yang ramah, santun dan suka bergotong royong. Dengan harapan itulah penelitian ini dilakukan, semoga melalui penelitian ini model inovatif pembelajaran sastra yang dideskripsikan mampu mengantarkan siswa mencapai kompetensinya dalam bersastra, dan menjadi siswa yang berkarakter. Kajian Pustaka Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan berjudul ‘‘Penggunaan Film Bisu dengan Teknik Dubbing untuk Meningkatkan Kemampuan Menyampaikan Dialog dalam Drama Siswa Kelas XI IPA di SMA Negeri 2 Jepara’’ oleh I Putu Ari Utama Irawan, I Nyoman Sudiana, I Wayan Wendra, tahun 2014. Penelitian itu menemukan bahwa siswa memberikan respons positif terhadap penggunaan film bisu dengan teknik dubbing. Berdasarkan itu, guru disarankan menggunakan media berupa film bisu dengan teknik dubbing untuk pelajaran yang menuntut keterampilan (http://jurnal.fkip. uns.ac.id/index php/tp /article/ view/3662). Penelian yang lainnya lagi berjudul “Pemanfaatan Media Video Kehidupan Sosial Orang Pinggiran untuk Menstimulisasi Pengembangan Ide Cerita dalam Menulis Cerpen pada Kelas VII E SMPN 18 Malang” oleh Ridwan Saidi, tahun 2015, Penelitian itu menemukan bahwa media video bermanfaat bagi peningkatan kesadaran sosial dan pengembangan ide anak dalam masa perkembangan. Kedua penelitian tersebut memberikan informasi bahwa media berbasis teknologi audiovisual seperti film, video, dan sebagainya, efektif diterapkan dalam pembelajaran. Dengan demikian peneliti berasumsi bahwa media film dengan content sastra dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran sastra yang inovatif. Pembelajaran Sastra di SMA Pembelajaran merupakan proses interaksi komunikasi antara pengajar dan pembelajar sebagai komponen utamanya. Menurut Bruner (dalam Sudjana, 1991:137), dalam pembelajaran, peserta didik melakukan proses belajar, yaitu mengalami, dan menemukan pengetahuan baru melalui transformasi dan pengkajian pengetahuan. Menurut Brown (2001:165), dalam pembelajaran terjadi proses komunikasi interaktif, bagi pertukaran pemikiran dan perasaan, antara dua orang atau lebih yang menghasilkan pengaruh bagi keduanya. Sange (dalam Joyoatmojo, 2003:9), menyampaikan bahwa setiap individu yang ingin memiliki keunggulan pribadi, perlu belajar. Proses itu dilalui dengan merefleksi pengalaman dan mentransformasikan menjadi pengetahuan yang bermanfaat. Dalam belajar, terjadi perubahan menuju lebih baik demi peningkatan kapabilitas dan rasa percaya dirinya. Dalam konteks ini, belajar dipandang sebagai proses sosial, karena 134 kemampuan belajar seseorang ditentukan oleh kualitas dan sikap keterbukaannya dalam kerjasama. Proses pembelajaran itu dapat berlangsung jika terdapat tujuan, pembelajar, pengajar, metode, alat bantú, dan penilaian (Djojosubroto (2005:64). Menurut Bloom (1977:1), tujuan pembelajaran meliputi tiga ranah, yaitu kognitif, psikomotor, dan afektif, dan menurut Gagne (1979:49), ada lima macam, yaitu kemampuan intelektual, memecahkan masalah, keterampilan gerak otot, sikap, dan informasi. Sementara itu, Moody (1971:91), membaginya menjadi empat macam, yaitu informasi, konsep, perspektif, dan apresiasi. Dari ketiga rumusan tersebut, menurut Waluyo (2003:171), yang sering dirujuk dalam pembelajaran sastra adalah rumusan dari Moody. Menurut Moody (1971:91) tujuan pembelajaran sastra adalah untuk: (1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan budaya, (3) mengembangkan daya cipta dan rasa, dan (4) menunjang pembentukan watak terpuji. Sementara itu kurikulum menegaskan bahwa tujuan dari pembelajaran sastra adalah mempersiapkan siswa untuk tumbuh menjadi manusia berbudaya, dan berkarakter, sehingga bermanfaat bagi kehidupannya. Bahan Ajar Sastra Remaja (Adolesen) Berkaitan dengan pembelajaran anak usia remaja, Elkins (1976:4) menyampaikan. bahwa pada usia remaja anak sudah mampu menggeneralisasikan permasalahan, berpikir abstrak, dan memberikan keputusan yang bersangkutan dengan moral. Pada masa itu perkembangan kognitif anaks mencapai tingkat yang sempurna bila ditunjang perkembangan kognitif lain, seperti kematangan, pengalaman fisik, dan interaksi sosial. Sementara itu, Piaget (dalam Sunarto & Hartono, 2002:25), juga menjelaskan bahwa pada usia remaja anak berada pada tingkat perkembangan operasional yang mampu memperkirakan apa saja yang mungkin terjadi. Dengan mengetahui berbagai karakteristik anak pada usia remaja seperti yang telah diuraikan di atas, maka dalam memilih bahan ajar sastra tentu saja perlu berbagai karakteristik tersebut. Berkaitan dengan hal ini, Lazar (2002:52), menyampaikan bahwa dalam memilih bahan ajar sastra untuk remaja, hendaknya guru mempertimbangkan kemampuan siswa dalam memahami teks sastra, dan pengalaman belajar yang menyertai untuk menunjang keterampilannya dalam bersastra. Disampaikan pula oleh Moody (dalam Rohmadi, 2005:8), bahwa guru perlu melihat kesesuaian dan kepantasan bahasa (dalam teks sastra) yang akan diajarkan dengan perkembangan psikologis dan latar belakang sosial budaya siswa. Sementara itu, Sayuti (1994:21) juga menyampaikan, bahwa ragam sastra yang dapat disajikan sebagai bahan ajar anak usia remaja dapat berupa apa saja, namun mengingat masa remaja (adolesen) ditandai dengan kecenderungan perilaku mandiri, idealis, dan moralis, maka tema yang menarik adalah tema kepahlawanan, percintaan, persaudaraan, dan keagamaan. Sejalan dengan pendapat para pakar tentang karakteristis siswa remaja, dan kriteria bahan ajar sastra yang baik, maka dapat disampaikan bahwa bahan ajar sastra yang cocok untuk usia remaja adalah bahan ajar yang memiliki kriteria berikut. (1) Karya sastra yang isinya memiliki kesesuaian dengan perkembangan psikologis anak usia remaja; (2) Karya sastra yang temanya sesuai dengan dunia remaja, misalnya kepahlawanan, percintaan, persaudaraan, dan keagamaan; (3) Karya sastra yang bahasanya dapat dipahami oleh anak usia remaja (tidak terlalu berat dan tidak terlalu sederhana); (4) Karya sastra yang dapat menunjang keterampilan anak dalam bersastra, misalnya keterampilannya dalam mencipta karya sastra, kritikus sastra, ataupun menjadi pekerja seni; (5) Karya sastra yang isinya memiliki kesesuaian dan kedekatan dengan latar belakang sosial budaya siswa. 135 Media Film dalam Pembelajaran Sastra Dalam pembelajaran sastra, film merupakan media audiovisual yang selama ini masih jarang digunakan dalam pembelajaran. Melalui media film, guru dapat menyampaikan pesan dari karya sastra tentang berbagai peristiwa kehidupan berikut nila-nilainya, melalui kegiatan yang menyenangkan dan tanpa tekanan. Dengan demikian diharapkan siswa terkesan, dan tertarik untuk belajar sastra. Bovee (1997:3), menjelaskan bahwa media pembelajaran adalah alat yang berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Pesan mudah ditangkap siswa bila disampaikan melalui bantuan sarana penyampai pesan atau media. Menurut Hubbard (1983:38), media pembelajaran yang baik mampu meningkatkan motivasi siswa untuk belajar, dan membantu siswa berperan aktif selama pembelajaran. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa media pembelajaran yang kini digemari siswa adalah media berbasis komputer. Menurut Lee (1996:49), komputer dapat membantu siswa memperoleh materi otentik, dan termotivasi untuk kreatif belajar dalam suasana menyenangkan. Menurut Mulyasa (2002:73-76), penggunaan teknologi sebagai media pembelajaran dapat mendorong peningkatan kesadaran sistem sosial dan belajar (social awareness & learning awareness). Secara fungsional penggunannya juga membuat lembaga lebih efektif dalam menyelenggarakan pendidikan, dan meningkatkan citranya sebagai lembaga yang tanggap tuntutan zaman. Agar penerapan teknologi multimedia tersebut lebih efektif, rancangan program harus disesuaikan agar (1) mudah navigasinya, (2) sesuai dengan kebutuhan siswa dalam belajar, (3) tampilannya artistik, dan estetik, agar menarik minat siswa, dan (4) bersifat fungsional, sesuai rencana guru dan keinginan siswa serta menunjang pencapaian tujuan sesuai tuntutan kurikulum. Pembelajaran adalah proses komunikasi antara pembelajar (murid) dengan pengajar (guru), dan bahan ajar (materi). Proses komunikasi tersebut tidak dapat berjalan efektif jika tidak ada sarana penyampai pesan atau disebut dengan media pembelajaran. Isi pembelajaran dikemas dalam bahan ajar yang disusun berdasarkan kurikulum yang berlaku, untuk dipelajari siswa dengan bantuan fasilitator, maupun media dan sumber-sumber lain sehingga dapat dikuasai sesuai tujuan yang diharapkan. Peran media dalam pembelajaran dapat mempermudah pembelajar dalam memahami materi dan dalam memperoleh berbagai pengalaman belajar. Melalui media, pesan-pesan yang abstrak dapat lebih dikonkritkan, sehingga mempermudah pembelajar dalam memahaminya. Film sebagai salah satu bentuk media audiovisual memiliki peluang yang besar dalam mempermudah siswa dalam belajar. Pada umumnya film juga sangat diminati siswa. Film yang diproduksi dengan baik dapat menumbuhkan motivasi siswa dalam belajar. Sebagai media pembelajaran, film menarik minat siswa karena film menggambarkan kejadian tertentu secara lebih hidup, dan diperagakan langsung oleh manusia atau makhluk hidup lainnya, yang ditampilkan sesuai alur cerita,meskipun tidak semua film cocok untuk media pelajaran. Berbagai kriteria perlu dipenuhi agar film dapat dikonsumsi oleh siswa, antara lain: (1) memiliki pesan moral yang baik; (2) cerita yang ditampilkan sesuai dengan kematangan psikologis siswa; (3) kosa kata yang digunakan dalam dialog film dapat dipahami siswa; (4) menarik. Hasil Belajar Sastra dan Pendidikan Karakter Secara jelas kurikulum menuntut pembelajaran sastra bersifat apresiatif, agar wawasan dan kepekaan perasaan siswa dapat dikembangkan, sehingga siswa memiliki rasa cinta terhadap sastra, dan sampai pada kesadaran yang lebih baik terhadap diri dan 136 masyarakat sekitarnya. Apresiasi sastra dapat diartikan sebagai kegiatan mengenali, memahami, dan menikmati pengalaman dan bahasa dalam sastra. Menurut Suryaman dan Nuradi (2005:15), kompetensi yang perlu dicapai siswa dalam proses pembelajaran sastra meliputi kompetensi (1) apresiasi, (2) ekspresi, dan (3) kreasi. Kompetensi tersebut diharapkan terwujud dalam kegemaran siswa mengapresiasi karya sastra. Sementara itu, kompetensi yang diperlukan guru sastra di SMA antara lain: (1) mampu mengekspresikan konteks historis sastra, (2) menghubungkan sastra dengan budaya, (3) menganalisis sastra (4) mengapresiasi perspektif multikultural serta isu global sastra remaja, dan (5) mengapresiasi sastra remaja. Selain itu menurut Lazar (2002:55), guru sastra di SMA juga perlu memahami berbagai genre sastra yang berbeda, seperti misteri (horror), fiksi sejarah, ilmiah, dan multikultural. Dalam kurikulum 2006, istilah kompetensi dimaknai dengan perpaduan antara pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang diharapkan dapat direfleksikan oleh siswa dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sehingga siswa mampu menemukan jati dirinya, bersikap, dan berbuat sesuatu yang bermanfaat demi menunjang keberhasilan hidupnya di tengah masyarakat. Kompetensi merupakan tolok ukur dalam menentukan kualitas daya saing lulusan dari setiap lembaga pendidikan untuk berkiprah dalam dunia kerja dan hidup berkualitas di tengah masyarakat dengan karakter yang baik/terpuji. Karakter adalah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. Membentuk karakter tentu tidak semudah memberi nasihat, tetapi memerlukan proses pendidikan, yaitu keseluruhan proses pembentukan kepribadian melalui pemahaman tentang nilai, dilanjutkan dengan penanaman nilai-nilai yang telah dipahami melalui pembiasaan, pengulangan, dan pembudayaan, agar tercermin dalam sikap dan perilaku kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter merupakan proses perkembangan yang melibatkan pengetahuan, perasaan, dan tindakan, secara koheren dan komprehensif. Oleh karena itu perlu melibatkan berbagai komponen, yaitu: (1) masyarakat pemegang konsensus tata krama. (2) pemangku kepentingan,(3) kurikulum terpadu, moral dan etikamenjadi bagian dalam proses pendidikan, (4) model, dan(5) keterlibatan peserta didik,dalamkegiatan positif. Dengan perhatian khusus serta komitmen dari semua komponen niscaya pendidikan karakter terlaksana dengan baik. Melalui pembelajaran sastra, pendidikan karakter dapat dilaksanakan karena keduanya memiliki tujuan yang sama. Metode Penelitian Data dalam penelitian ini adalah informasi yang berkaitan dengan (1) model pembelajaran sastra yang efektif, praktis, dan diminati siswa, serta aktifitas, kreativitas dan prestasi siswa dalam pembelajaran sastra, dan (2) bahan ajar sastra berbasis media film yang berkontribusi terhadap pendidikan karakter. Data dikumpulkan melalui sumber data utama, yaitu proses pembelajaran sastra yang dilaksanakan di SMA kabupaten Sukoharjo, dengan bahan ajar berbasis media film. Adapun film yang dimaksud adalah film dengan content novel sastra yang terkenal, seperti “laskar Pelangi”, “Ayat-Ayat Cinta”, “Ronggeng Dukuh Paruk” dan sebagainya. Sumber data yang lainnya adalah pustaka dan dokumen yang terdiri dari buku kurikulum, tayangan film, buku pegangan guru, buku siswa, dan lembar kjegiatan siswa. Kredibilitas data diperoleh melalui triangulasi sumber, yaitu dengan mencari 137 informasi yang sama dari berbagai sumber yang berbeda. Selain itu juga dilakukan triangulasi teori yaitu dengan mencocokkan kesesuaian data yang ditemukan dilapangan dengan kebenaran dalam teori yang pernah ada sebelumnya (Nugrahani, 2010). Sementara itu reliabilitas data diusahakan dengan memperpanjang keikitsertaan peneliti di lapangan, dan penyimpanan database agar sewaktu-waktu siap untuk diperiksa kembali. Selanjutnya data dianalisis dengan teknik induktif melalui model analisis interaktif dari Miles & Huberman (2004:23), yang melibatkan tiga komponen meliputi reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi. Hasil Penelitian dan Pembahasan Dari hasil observasi, diketahui bahwa pelaksanaan pembelajaran sastra di SMA di Kabupaten Sukoharjo pada umumnya masih dilakukan dengan media tradisional, yaitu papan tulis, buku, dan catatan sinopsis karya sastra. Sementara itu, dari pengkajian terhadap perencanaan pembelajaranya, diketahui bahwa buku ajar yang digunakan di sekolah disajikan dengan konvensional dan tidak melibatkan kemajuan teknologi yang sesungguhnya sangat membantu pencapaian keberhasilan pembelajaran. Keberadaan media internet dalam pembelajaran sastra atau semua media audiolingual yang berbasis komputer seperti film, video, sinetron, dan sebagainya, sesungguhnya sangat mudah membantu siswa dalam belajar dan fleksibel dalam ukuran tempat, waktu, serta biayanya. Namun demikian belum semua sekolah mampu menyelenggarakan pembelajaran dengan memanfaatkan media berbasis TI tersebut, termasuk di dalamnya, komputer, internet, video, dan film. Melalui bahan ajar sastra berbasis media film, guru mendapatkan kemudahan dalam tugasnya untuk menghadirkan karya sastra untuk dinikmati siswa. Sementara itu, para siswa juga dapat belajar dalam suasana yang menyenangkan, dengan mengembangkam aktivitas dan kreativitasnya dalam menikmati karya sastra yang telah dikemas dalam sebuah film. Melalui model pembelajaran sastra berbasis media film, terjadi adanya peningkatan prestasi belajar para siswa. Namun demikian, dipandang perlu adanya modul khusus yang berupa buku ajar sastra berbasis media film yang dapat digunakan sebagai panduan guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran. Setelah modul tersebut disusun, berikutnya perlu dilakukan uji coba sehingga diperoleh modul bahan ajar yang valid, praktis dan efektif untuk pembelajaran sastra yang berbasis media film. Berbagai keuntungan guru dalam memanfaatkan bahan ajar berbasis media film adalah sebagai berikut. (1) Film sangat bagus untuk menjelaskan proses; (2) Film lebih realistis dan mengatasi keterbatasan daya indera; (3) Film merangsang motivasi anak; (4) Film sangat mempengaruhi emosi seseorang; (5) Film dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran kelompok besar maupun kecil. Pentingnya kehadiran modul sebagai pedoman pembelajaran adalah agar guru maupun siswa dapat saling memahami peran dan fungsinya masing-masing dalam proses pembelajaran yang berlangsung. Tanpa buku panduan, barangkali pembelajaran tidak mudah untuk berjalan efektif. Penyusunan modul bahan ajar sastra berbasis media film ini diharapkan dapat meningkatkan aktivitas, kreatifitas, dan prestasi belajar sastra para siswa. Selain itu juga terbentuk karakter siswa sesuai harapan sekolah, dengan cara banyak melihat contoh-contoh konkrit yang diperankan tokoh dalam film-film sastra yang dipelajari. Dengan melihat contoh dalam film, siswa tidak sekedar menerima informasi abstrak yang dibaca dalam buku atau yang didengar melalui nasihat-nasihat dari para guru. 138 Meskipun banyak keuntungan dalam pemanfaatan film, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pembelajaran dapat berlangsung efektif, antara lain: (1) harga atau produksi sebuah film cukup mahal; (2) ketika film diputar gambar bergerak terus, sehingga tidak semua siswa mampu menangkap pesannya dengan cepat; (3) film yang tersedia tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pembelajaran, oleh sebab itu guru harus selektif dalam memilih film; (4) guru perlu mempersiapkan kelas dengan cermat sebelum dan sesudah menyajikan film kepada siswa (sebelumnya perlu memberikan pengantar dan pesan-pesan penting dan sesudahnya perlu berdialog ataupun mengadakan tanya jawab). Simpulan Dari data yang ditemukan dan pembahasannya, dapat disimpulkan bahwa (1) pembelajaran sastra berbasis media film merupakan model pembelajaran yang efektif, praktis, dan diminati siswa, karena memberikan peluang bagi siswa untuk meningkatkan aktivitas, mengembangkan kreativitas, dan prestasi belajarnya. (2) Pembelajaran sastra berbasis media fim dapat memberikan kontribusi terhadap pembentukan karakter siswa, karena tujuan pembelajaran sastra relevan dengan tujuan dalam pendidikan karakter, yaitu siswa mampu menemukan jati dirinya, bersikap, dan berbuat sesuatu yang bermanfaat demi menunjang keberhasilan hidupnya di tengah masyarakat dengan karakter yang baik/terpuji. Daftar Rujukan Bloom, Benyamin S. 1977. Taxonomy of Educational Objectives.Vol.I Cognitive Domain. New York: Longman Brown.H.D. 2001.Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. (2 nded.). New York: Addison Wesley Longman, Inc. Djojosuroto, Kinayati 2005. Puisi Pendekatan dan Pembelajaran, Gestal, Strukrural, Strukturalisme Genetik, Semiotik, Resepsi Sastra, Analisis Wacana. Bandung: Nuansa. Ekins, Deborah. 1976. Teaching Literature. Ohio: Charles Merrill & Publishing Co. Gagne, Robert M.dan Leslie J. Briggs. 1979. Principles of Instructional Design. New York: Holt, Rinehart and Winston. Harimansyah, Ganjar. Marliana, Lina. dan Widodo, Edi Rakhmat. 2014. “Uji Kompetensi Guru Bidang Sastra di SMA Perlu atau Tidak?” Makalah dalam Konferensi Internasional Himpunan Sarjana Kesusasteraan (HISKI) di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Irawan, I Putu Ari Utama, I Nyoman Sudiana, I Wayan Wendra 2014.‘‘Penggunaan Film Bisu dengan Teknik Dubbing untuk Meningkatkan Kemampuan Menyampaikan Dialog dalam Drama Siswa Kelas XI IPA di SMA Negeri 2 Jepara’’ (Diakses 21 April 2015). Joyoatmojo, Soetarno. 2003. Pembelajaran Efektif: Upaya Peningkatan Kualitas Lulusan Menuju Penyediaan Sumber Daya Insani yang Unggul. Pidato Pengukuhan Guru Besar FKIP Universitas Sebelas Maret. Surakarta: INS Press. Lazar, Gillian. 1993. Literature and Language Teaching, Answer Guide Teachers and Trainers.United Kingdom: Cambridge University Press. 139 Miles, M.B. & Huberman, A.M. 1984.Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. Beverly Hills: Sage Publication. Moody, H.L.B. 1971. Theaching of Literature. London: Longman. Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasinya. Bandung: Rosda. Nugrahani, Farida. 2009. “Sastra Adolesen: Konsep Pembelajarannya di Sekolah” Dalam Proseding Panorama Pengkajian Bahasa, Sastra dan Pengajarannya. Surakarta: PPs dan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS Surakarta -------. 2010. ”Bahan Ajar Sastra dan Pengajarannya yang Relevan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004”. Laporan Penelitian LPPM Univet Bantara. -------. 2011. ”Pembelajaran Sastra yang Apresiatif dalam Perspektif KBK (Studi Evaluasi di SMA Surakarta)” Laporan PenelitianLPPM Univet Bantara. -------.2014.“Laskar Pelangi Novel By Andrea Hirata as Acreative Industry and Educative Media (A Review of Sociologi Literature)”, Makalah Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara (SAKAT) di Dewan Bahasa dan Pustak Berakas Negara Brunai Darussalam, 15-19 Sept 2014 Rohmadi, Muhammmad. 2005. “Kaderisasi dan Motivasi Menulis dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah/ Kampus”. Makalah dalam Konferensi Internasional Himpunan Sarjana Kesusasteraan (HISKI), 18-21 Agustus 2005 di Swarna Dwipa Palembang. Saidi, Ridwani. 2015, ‘’Pemanfaatan Media Video Kehidupan Sosial Orang Pinggiran untuk Menstimulisasi Pengembangan Ide Cerita dalam Menulis Cerpen pada Kelas VII E SMPN 18 Malang’’ (http://e- journal.umm .ac.id/index. php/jps/article/view/1964). (Diakses 21 April 2015). Satoto, Sudiro. 2006.”Profil dan Profesionalisme Guru Bahasa dan Sastra Indonesia yang Ideal dalam Perspektif Pergaulan Antarbangsa” dalam Kumpulan Makalah Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia dalam Perspektif Pergaulan Antarbangsa PIBSI XXVIII Tanggal 2-4 Juli 2006. Semarang: IKIP PGRI. Sudjana, Nana. 1991. Teori-teori Belajar Untuk Pengajaran. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sayuti, Suminto A. 2002. “Sastra dalam Perspektif Pembelajaran: Beberapa Catatan”, dalam Riris K. Toha-Sarumpaet (Ed). Sastra Masuk Sekolah. Magelang: Indonesiatera. Sunarto & Hartono, Agung. 2002. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional dan PT Rineka Cipta. Suryaman, Maman dan Nuradi, Felicia. 2005. Pedoman Review Buku Teks Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Perbukuan. Syaefuddin, Ahmad. 2012. ‘’Pengembangan Model Pembelajaran Menulis Argumentasi Siswa SMA Melalui Dukungan ICT’’.(Diakses 21 April 2015). Waluyo, Herman J. 2003. Drama Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita. 140 YANG REKAT DAN YANG RETAK: SASTRA DAN SOLIDARITAS BANGSA Faruk (FIB Universitas Gadjah Mada Yogyakarta – Indonesia) Pengantar Bahwa bahasa Indonesia telah menjadi pengikat persaudaraan bangsa Indonesia, menjadi salah satu kekuatan utama dalam terbangunnya solidaritas bangsa Indonesia dalam melawan penjajah Belanda sudah menjadi pengetahuan umum, kebenaran yang tidak dapat lagi diganggu-gugat. Kesadaran akan kemampuan bahasa Indonesia sebagai pemersatu berbagai suku yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara itulah yang menggerakkan para pemuda di masa kolonial Belanda dahulu untuk menyatakan ikrar yang disebut Sumpah Pemuda: berbangsa satu, bertanah air satu, berbahasa satu, Indonesia. Hal itu pula yang kemudian menggerakkan sejumlah pemuda mendirikan sebuah majalah kebudayaan yang dinamakan Pujangga Baru, sebagai salah satu jalan keluar dari lembaga penerbitan pemerintah Belanda, Balai Pustaka. Dan, para pengelola dan penulis di majalah inilah yang juga menjadi penyambut yang sangat antusias terhadap peristiwa yang kemudian disebut sebagai Polemik Kebudayaan oleh Achdiat Kartadimadja. Namun, “jalan sudah bertahun kita tempuh”, mungkinkah “perahu itu kan merapuh?”.42 Seperti yang salah satunya terungkap dalam puisi Chairil Anwar di atas, segera setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, masyarakat Indonesia harus 42 CINTAKU JAUH DI PULAU Cahiril Anwar Cintaku jauh di pulau, gadis manis, sekarang iseng sendiri, Perahu melancar, bulan memancar, di leher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar, angin membantu, laut terang, tapi terasa aku tidak ‘kan sampai padanya. Di air yang tenang, di angin mendayu,di perasaan penghabisan segala melaju Ajal bertakhta, sambil berkata “Tujukan perahu ke pangkuanku saja.” Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh! Perahu yang bersama ‘kan merapuh! Mengapa Ajal memanggil dulu Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku? !Manisku jauh di pulau, kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri 141 berhadapan dengan berbagai kenyataan baru yang tidak semanis apa yang dibayangkan dan sekaligus menggerakkan para pemuda di zaman penjajahan Belanda yang waktu itu belum lama berlalu. “Di sanalah aku berdiri,” kata salah satu baris lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, masih memperlihatkan bahwa semangat para pemuda di masa kolonial itu masihlah merupakan semangat yang idealistik. Apa yang dinamakan Indonesia raya masih berada di sana, sedangkan aku yang menyanyi masih hidup dalam dominasi dan represi pemerintah kolonial. Dan, begitu sang “aku” benar-benar sudah berada di dunia ideal itu, Indonesia menjadi nyata begitu diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohamad Hatta di bulan Agustus, tahun 1945, berbagai masalah yang tidak terduga sebelumnya bermunculan. Sebenarnya, berbagai masalah itu tidak muncul dengan tiba-tiba. Keterpecahan antara kelompok Humanisme Universal, para pendukung Chairil Anwar, dengan kelompok yang menamakan dirinya Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang berkekecenderungan sosialis/komunis dalam orientasi ideologis mereka sudah berbenih sejak zaman kolonial. Begitu juga munculnya berbagai gerakan separatis yang berbasis keagamaan Islam ataupun kedaerahan. Pertama, pada masa kolonial sudah terjadi polemik antara pihak nasionalis yang diwakili oleh Soekarno dengan pihak komunis yang kemudian mencapai semacam kompromi dalam bentuk gagasan presiden pertama Indonesia itu mengenai “nasionalisme sebagai jembatan emas menuju sosialisme”. Selain itu, terjadi juga polemik antara Soekarno sebagai representasi nasionalisme dengan Agus Salim sebagai pendukung pan-Islamisme. Kesepakatan ideologis dalam polemik ini pun seakan sudah berhasil dicapai dengan konsep salah seorang perintis kebangkitan kebangsaan Indonesia itu mengenai nasionalisme yang dijiwai oleh roh Asia, ketuhanan. Masa berbenihnya persoalan tersebut masih dapat bahkan ditarik ke masa yang lebih awal, ke satu generasi sebelumnya, yaitu generasi Tjokroaminoto, Ki Hadjar Dewantara, dan sebagainya. Karena tidak mau menyisakan bekas kekuasaan Belanda di Indonesia, Jepang “memaksa” tidak hanya berbagai lembaga pemerintahan kolonialnya, melainkan, dengan sendirinya, seluruh bangsa Indonesia menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal ini Jepang telah mendirikan semacam badan pengembangan bahasa Indonesia yang terus berlanjut hingga sekarang, yaitu Badan Bahasa Indonesia. Dengan dukungan berbagai kegiatan yang antara lain berupa serangkaian kongres bahasa Indonesia yang juga terus berlangsung sampai saat ini, bahasa Indonesia semakin berkembang dengan pesat dan juga semakin tersebar secara meluas. Meskipun demikian, bersamaan dengan itu solidaritas kebangsaan Indonesia juga terus-menerus menghadapi berbagai tantangan, baik dalam berbagai bentuk gerakan separatis seperti Aceh dan Papua yang memakan waktu relatif panjang, maupun tantangan yang berupa peristiwa sedahsyat apa yang dikenal sebagai G30S/PKI dengan berbagai efek lanjutannya, yang juga belum terselesaikan hingga sekarang. Lalu, bagaimana kita dapat mengidentifikasi kekuatan bahasa Indonesia sebagai pembangun solidaritas bangsa Indonesia? Tentu kita tidak boleh mengabaikan kenyataan bahwa faktor pembentuk solidaritas bangsa tidak hanya kesatuan bahasa, yaitu bahasa Indonesia, melainkan juga banyak faktor yang lain seperti kesamaan atau kesetaraan ekonomi, politik, sosial, dan bahkan kultural, termasuk di dalamnya pengetahuan, yang membutuhkan pula dukungan teknologi. Tanpa adanya hubungan timbal-balik antara bahasa Indonesia dengan berbagai faktor di atas, solidaritas bangsa Indonesia tentu tidak akan dapat terbangun dengan sempurna atau sepenuhnya. Karena bahasa pada hakikatnya merupakan sesuatu yang simbolik, secara sederhana faktorfaktor yang lain dapat kita sebut sebagai “kenyataan”. Oleh sebab itu, berbicara 142 mengenai hubungan timbal balik antara bahasa dengan faktor-faktor di atas bisa pula dinamakan sebagai hubungan timbal-balik antara bahasa dengan “kenyataan”. Bahasa dan “Kenyataan” Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pada dasarnya adalah semen atau lem yang berfungsi untuk menyambung retakan-retakan dalam kenyataan. Retakan yang pertama adalah retakan geografis yang berupa tersebar dan terpisah-pisahnya pulaupulau di Indonesia. Kesenjangan geografis ini setidaknya menghambat terjadinya interaksi sosial dan komunikasi antara penduduk pulau yang satu dengan pulau yang lain. Meskipun sejak zaman kolonial sudah digunakan sebagai bahasa birokrasi, juga bahasa perdagangan, bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia tersebut masih terlalu tipis untuk merekatkan retakan-retakan tersebut. Interaksi bahasa Melayu/Indonesia dengan bahasa daerah tidak hanya membuat bahasa yang terdahulu itu memberikan pengaruh yang asimilatif, melainkan juga harus melakukan akomodasi dengan bahasa setempat. Kecenderungan demikian membuat bahasa Melayu/Indonesia kemudian membentuk diri menjadi dialek-dialek yang beraneka dan menjadi kekuatan solidaritas masyarakat daerah yang bersangkutan. Sebagai bahasa pasar, bahasa Melayu/Indonesia hanya memoles lapisan permukaan dari retakan-retakan itu, tidak dapat meresap ke wilayah kehidupan yang lebih intim dan personal, membentuk nilainilai dan cara pandang baru, yaitu nilai-nilai dan cara pandang nasional. Hampir bisa dipastikan bahwa bahasa Melayu/Indonesia dalam kondisi yang demikian sekedar menjadi bahasa yang dapat dikatakan seremonial, tekstual, dan imajinatif. Retakan yang kedua adalah retakan sosial. Tidak bisa diingkari bahwa masyarakat, baik dalam skala nasional maupun lokal, tersusun dari beberapa pengelompokan yang tersusun secara hierarkis. Pengelompokan itu dapat berbasis keturunan, pengetahuan, ekonomi, maupun gaya hidup. Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, mereka yang terlibat dalam kesepakatan untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa Indonesia pada dasarnya berasal dari kelompok intelektual yang bisa merupakan pengembangan dari pengelompokan berbasis keturunan atau ekonomi. Karena, pada masa kolonial itu hanya mereka yang berasal dari keturunan bangsawan dan saudagar yang mampu menempuh pendidikan modern, apalagi untuk itu mereka sebagian besar harus merantau ke Jawa. Ketika bahasa Melayu/Indonesia dijadikan sebagai bahasa birokrasi, bahkan bahasa pendidikan, kecenderungan demikian tidak dengan sendirinya lenyap. Bagaimanapun, hanya kelompok intelektual pula yang bisa masuk ke sekolah yang relatif tinggi dan masuk ke lingkungan birokrasi itu. Dalam hal ini pun bahasa Melayu/Indonesia harus melakukan akomodasi pula sehingga berkembang menjadi dialek sosial yang berfungsi sebagai pembeda antara kelompok sosial yang satu dengan yang lain, yang seringkali tersusun secara hierarkis pula. Mereka yang berada di lapisan elit menggunakan bahasa Melayu Tinggi, bahasa Indonesia baku, sedangkan yang lain menggunakan dialek geografis/kewilayahan. Retakan ketiga, yang sebenarnya masih bisa dimasukkan ke dalam retakan sosial, adalah retakan kultural yang menyangkut cara pandang terhadap kehidupan, termasuk sistem kepercayaan atau keagamaan. Di satu pihak terhadap agama-agama asing yang justru kemudian diakui sebagai agama resmi, yang masuk dan menyebarkan dirinya ke komunitas-komunitas lokal dengan menggunakan bahasa Melayu/Indonesia, di lain pihak terhadap agama-agama setempat yang disebut sebagai aliran kepercayaan yang menjadi kesatuan integral dengan masyarakat dan kebudayaan setempat itu, termasuk bahasa-bahasanya. Di antara agama-agama resmi sendiri berkembang semacam dialek 143 bahasa Melayu/Indonesia dengan adanya penggunaan istilah atau terminologi yang khas pada masing-masing agama. Terdapat pula pengaruh bahasa dari bahasa asal agamaagama itu sendiri, yang juga terkait dengan sejarah penyebarannya, misalnya bahasa Arab atau logat Melayu Eropa/Belanda. Memang, Pemerintah, yang diwakili oleh lembaga-lembaga bahasanya, terutama lembaga yang bernama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang kemudian menjadi Badan Bahasa, menyadari adanya kemungkinan variasi bahasa itu. Tidak hanya variasi yang berupa dialek geografis dan sosial, melainkan juga variasi yang di dalam ilmu bahasa disebut sebagai pragmatik. Bahasa Indonesia yang standard disebut sebagai bahasa yang benar, sedangkan yang pragmatik disebut sebagai bahasa Indonesia yang baik. Meskipun demikian, mungkin karena semangat nasionalisme yang begitu besar, mungkin juga karena pengaruh hegemoni strukturalisme dalam ilmu bahasa yang global, lembaga yang mewakili pemerintah tersebut tampaknya tidak menyadari bahwa apa yang disebut sebagai bahasa yang baik, yang gramtikal itu, sesungguhnya adalah konstruksi abstrak dari para pembina dan pengembangnya atau, secara lebih umum, para ahli bahasa struktural itu. Kalaupun ada dasar empiriknya, dasar tersebut mungkin sekali hanya salah satu dialek dari berbagai dialek yang ada, yaitu dialek intelektual. Dialek intelektual inilah yang kemudian dinyatakan sebagai bahasa standard dari bahasa nasional Indonesia. Sastra, Bahasa, dan “Kenyataan” Meskipun hingga sekarang belum ditemukan dan disepakati definisi general mengenainya, sastra setidaknya mempunyai dua ciri yang bisa dikatakan niscaya, yaitu sebagai (re-)konstruksi personal seorang pengarang terhadap bahasa, fakta-fakta, dan gagasan-gagasan. Teori yang menjadikan seni kebahasaan sebagai hal yang fundamental/esensial dari sastra adalah teori Formalis Rusia yang muncul pada awal abad XX. Menurut teori ini, kesastraan suatu karya sastra dicapai melalui tindakan deotomatisasi terhadap bahasa yang sudah mengalami otomatisasi, baik yang berupa bahasa standard maupun bahasa yang disebut sehari-hari. Deotomatisasi itu dilakukan untuk mendapatkan efek penyegaran persepsi pengguna bahasa tidak hanya terhadap kehadiran bahasa itu sendiri, melainkan terhadap lingkungan alamiah dan manusiawinya. Dengan pengertian yang demikian tampak bahwa bagi paham tersebut sastra berusaha membawa pembaca atau audiensnya kepada dunia pengalaman yang langsung, yang bebas dari mediasi bahasa, terhadap lingkungan alamiah dan kultural di atas. Tujuan untuk memperoleh dan sekaligus memberikan dunia pengalaman yang langsung, tanpa mediasi itulah, yang tampaknya membuat sastra pertama-tama menjadi karya kebahasaan dengan fungsi estetik yang dominan.43 Karena dominasi fungsi-fungsi 43 Istilah fungsi estetik ini diambil dari Rene Wellek dan Austin Warren. Namun, terutama Wellek sendiri jelas mengambilnya dari lingkungan akademik asalnya, yaitu lingkungan yang disebut strukturalisme Praha, khususnya teori Roman Jakobson mengenai fungsi puitik. Menurut Jakobson, sebagai alat komunikasi bahasa terdiri dari 6 unsur, yaitu unsur pengirim, unsur penerima, unsur saluran, unsur dunia yang diacu/acuan, unsur kode atau tata bahasa, dan unsur media atau bahan. Keenam unsur untuk menentukan terbentuknya enam fungsi bahasa, yaitu fungsi ekspresif, fungsi konatif, fungsi fatik, fungsi referential, fungsi gramatikal, dan fungsi puitik. Pidato dan iklan, misalnya, merupakan tindakan komunikasi bahasa dengan fungsi konatif yang dominan, sedangkan puisi atau karya sastra merupakan tindakan komunikasi bahasa dengan fungsi puitik yang dominan. Fungsi puitik inilah yang disebut Wellek dengan fungsi estetik. 144 bahasa yang lain, fungsi estetik bahasa ini seringkali tidak disadari, tidak lagi terpersepsi. Kenyataan di luar bahasa seakan diakses secara langsung, tanpa mediasi bahasa. Untuk menyegarkan kembali persepsi mengenai materialitas bahasa itulah sastra memberikan tekanan pada fungsi estetik. Namun, sastra tidak hanya bertujuan untuk membuat pengguna bahasa mengalami medianya, melainkan juga mengalami secara langsung kenyataan di luar media itu. Pada dasarnya, sebagaimana yang antara lain dikemukakan oleh Umberto Eco, bahasa merupakan suatu sistem kodifikasi terhadap kenyataan di luar dirinya. Segala yang ada di dalam bahasa adalah semua yang sudah terkodifikasi. Dengan demikian, realitas luar bahasa yang ditangkap melalui bahasa tidak lagi ditangkap secara langsung, melainkan berdasarkan kodifikasi bahasa itu. kecenderungan inilah yang membuat persepsi pengguna bahasa terhadap kenyataan luar bahasa itu juga menjadi tumpul, hilang dalam persepsi. Yang ditangkap bukanlah kenyataan dunia pengalaman yang langsung, melainkan dunia pengalaman yang sudah dibakukan sosok dan maknanya oleh bahasa. Untuk mengatasi terjadinya penumpulan persepsi atas dunia pengalaman tersebut, sastra kemudian mencoba membebaskan diri dari sistem kodifikasi bahasa yang ada, tidak hanya dengan menekankan materialitas bahasa itu sendiri, melainkan juga dengan merusakkan kode bahasa dan bekerja dengan dan dalam sistem kodifikasi yang lemah atau undercoding dalam istilah dan pengertian yang diberikan oleh Umberto Eco. Sesuai dengan sistem kodifikasinya tersebut, sastra, menurut Eco termasuk dalam tipe tanda yang khas, yaitu yang disebutnya sebagai abduksi.44 Apa yang dinamakan dengan fakta pada dasarnya bukanlah dunia pengalaman langsung itu sendiri, melainkan produk dari satu sitem kodifikasi pula, yaitu misalnya sistem kodifikasi kultural masyarakat tertentu ataupun sistem kodifikasi kultural disiplin ilmu tertentu. Oleh karena itu, fakta di dalam karya sastra diperlakukan juga seperti bahasa, yaitu dideotomatisasi dari konsepsi dominan mengenai peristiwa atau dunia pengalaman langsung yang diacunya. Dengan merusakkan sistem kodifikasi yang menghasilkan fakta itu, sastra mengembalikan fakta menjadi peristiwa yang dialami secara langsung. Mungkin hal inilah yang menyebabkan karya sastra juga disebut sebagai karya imajinatif. Istilah imajinatif ini, dalam konteks kesastraan, mengimplikasikan sekaligus dua makna, yaitu peristiwa di dalam karya sastra dilepaskan dari faktualitasnya dan imaji merupakan cara representasi yang selalu digunakan oleh karya tersebut. Begitu pula halnya dengan gagasan. Sifat ambiguitas makna karya sastra tidak hanya karena makna itu ditarik langsung dari peristiwa, melainkan juga karena sastra berusaha membuat sistem kodifikasi yang merupakan cara pandang atau gagasan itu juga mengalami deotomatisasi. Adapun yang dimaksudkan adalah tindakan komunikasi bahasa dengan pengutamaan unsur media atau materialitas bahasa itu sendiri. Dengan kata lain, dengan mengutamakan fungsi puitik, karya sastra menjadikan bahasa bukan terutama sebagai ekspresi, usaha mempengaruhi, mengacu pada dunia di luar dirinya, sesuatu yang berada di luar materialitas bahasa, melainkan materialitas bahasa itu sendiri sebagai sesuatu yang dapat dialami secara langsung. 44 Di dalam logika dikenal dua cara penarikan kesimpulan, inferensi, atau penentuan makna, yaitu induksi dan deduksi. Yang kedua adalah cara penarikan kesimpulan mengenai sesuatu yang khusus, partikular, atas dasar pengertian yang general, sedangkan yang pertama adalah cara penarikan kesimpulan secara umum atas dasar sejumlah pengalaman akan hal-hal yang khusus atau partikular. Abduksi berada di antara kedua cara tersebut, yaitu penarikan kesimpulan secara umum atas dasar satu pengalaman yang khusus. Artinya, penentuan makna dalam sastra ditarik dari kekhususan dunia pengalaman yang tunggal meloncat ke makna yang general/universal. 145 Sastra, Bahasa, dan Solidaritas Bangsa Meskipun berusaha keluar dari sistem kodifikasi bahasa untuk mendapatkan dunia pengalaman secara langsung, sastra tetaplah seni bahasa dan karenanya tidak bisa keluar dari bahasa jika ia tidak mau kehilangan dirinya sebagai sastra itu sendiri. Dalam hal ini sastra menjadi bersifat paradoksal, yaitu di satu pihak ingin membebaskan bahasa dari makna, dengan memasuki materialitas bahasa itu sendiri secara langsung, fungsi estetiknya, tetapi, di lain pihak, sastra juga tetap tidak bisa keluar dari makna karena, seperti yang antara lain dikatakan oleh Roland Barthes, sastra atau mitos merupakan sistem semiotik tatanan kedua, dibangun di atas dasar bahasa sebagai sistem semiotik tatanan pertamanya.45 Paradoksnya yang lain adalah bahwa di satu pihak sastra ingin membuka akses langsung kepada dunia pengalaman tanpa mediasi, tetapi, di lain pihak, sastra juga tidak bisa membebaskan dirinya dari medianya, yaitu bahasa. Namun, rangkaian paradoks tersebut tidak dengan sendirinya membuat satuansatuan yang bertentangan itu saling menihilkan. Antara materialitas tanda dengan makna, antara bahasa sebagai media dengan dunia pengalaman yang ingin dihadirkan oleh sastra itu terdapat hubungan yang bisa dikatakan dialektik. Dengan dihadapkan pada dunia pengalaman yang langsung, partikular, sistem bahasa terus-menerus ditekan untuk menjadi aktif dalam tindakan kodifikasi hal-hal yang baru yang pada gilirannya akan membuatnya menjadi lebih kaya dan dapat menjangkau wilayah makna yang semakin luas, semakin bervariasi, dan semakin kompleks. Sebaliknya, dengan adanya sistem kodifikasi bahasa, sastra dengan mudah dapat mengidentifikasi wilayah-wilayah asing yang belum terpetakan oleh sistem kodifikasi tersebut. Dengan cara kerja yang seperti itu sastra menjadi pisau pengasah yang dapat membuat suatu sistem bahasa yang general dan abstrak menjadi peka terhadap satuansatuan dunia pengalaman yang khusus, konkret, dan bervariasi. Sastra menjadi semacam radar bagi bahasa untuk mengidentifikasi segala retakan dalam kenyataan seperti yang sudah dikemukakan di atas sehingga bahasa itu segera menyadari keterbatasannya dan terpacu untuk membuat dirinya menjadi perekat tidak hanya bagian-bagian permukaan dari retakan itu, melainkan juga bagian dalamnya. Lebih jauh, tidak hanya bahasa yang terpacu untuk lebih aktif melakukan perekatan, melainkan juga lembaga-lembaga sosial yang lainnya, yang tergolong dalam wilayah kenyataan dan fakta di atas. Kepekaan sastra terhadap berbagai keretakan yang mungkin tidak termonitor oleh sistem kodifikasi bahasa dan sistem dari lembaga-lembaga sosial yang lain dapat mendorong sekaligus usaha-usaha minimalisasi keretakan dalam “kenyataan” tersebut. Berikut dapat kita simak sebuah puisi Chairil Anwar di bawah ini. Senja Di Pelabuhan Kecil Buat Sri Ajati Ini kali tidak ada yang mencari cinta Di antara gudang, rumah tua, pada cerita Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut. 45 Bila di dalam makalah ini bahasa dan sastra dipahami sebagai sebuah sistem semiotik, hal itu berarti bahwa bahasa dan sastra itu merupakan satu mekanisme tertentu yang memungkinkan terjadinya korelasi antara penanda dengan petanda, materialitas bahan dengan maknanya seperti yang dikemukakan oleh Umberto Eco. 146 Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang Menyinggung muram, desir hari lari berenang Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan Menyisir semenanjung, masih pengap harap Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan Dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap. 1946 Salah satu penyimpangan dari tata bahasa Indonesia baku yang dianggap penting dalam puisi tersebut adalah penggunaan frasa “ini kali”. Ada dua hal yang terimplikasikan dari penyimpangan tersebut. Pertama, klausa tersebut menunjukkan bahwa puisi di atas menekankan dirinya pada kekhususan dunia pengalaman yang langsung, yang ada dalam ruang dan waktu tertentu. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, “ini” merupakan kata penunjuk atau indeksikal sehingga kata tersebut tidak memuat pengertian abstrak, melainkan menunjuk kepada ruang dan waktu tertentu yang ada di luar bahasa, yaitu dunia pengalaman langsung di atas. Kedua, frasa tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya tidak gramatikal. Hanya saja, gramatikanya bukan gramatika bahasa Indonesia baku yang general, melainkan bahasa Indonesia dialek yang khas masyarakat bahasa wilayah Indonesia Timur. Dengan kata lain, melalui frasa itu saja puisi di atas sudah memaksa bahasa Indonesia baku untuk secara aktif mengenali dan kemudian mengakomodasi keretakan kebahasaan dan bahkan sosial secara geografis. Di samping tentu saja memaksa sistem kodifikasi bahasa yang abstrak untuk memasuki dunia pengalaman yang konkret dan langsung. Dunia pengalaman yang digambarkannya sendiri merupakan dunia pengalaman yang mengandung sejumlah keretakan, yaitu keretakan dalam hubungan personal yang berupa cinta, keretakan dalam hubungan antara manusia dengan alam, dan keretakan dalam hubungan antara individu dengan masyarakat, serta bahkan keretakan dalam hubungan antara ruang di sana dengan di sini, masa kini dengan masa depan. Hanya saja berbagai keretakan yang lain itu ditarik secara abduktif dari keretakan partikular yang intim, yaitu hubungan cinta yang bersifat personal di atas. Puisi yang berangkat dari kesunyian akibat hubungan personal itu meloncat menjadi gambaran mengenai kesunyian yang lebih umum, ketika manusia terlepas dari hubungan harmonisnya dengan alam, dengan sesama, dan terpenjara dalam masa kini yang tanpa harapan. Cinta merupakan kata kunci dalam puisi tersebut. Karena, segala kesunyian yang meluas di atas bermula dari “tak ada lagi yang mencari cinta”, hilangnya kepercayaan pada cinta yang justru menjadi perekat dalam segala bentuk keretakan yang ada. Dan sastra merupakan wacana yang bisa dikatakan paling sensitif terhadap ada dan tak adanya cinta itu, terus menerus mengingatkan dan mengundang uluran cinta sesama, tidak hanya sesama warga bangsa, melainkan bahkan sesama manusia dan sesama makhluk. Kepekaan pada cinta itulah yang membuat sastra sekaligus sangat sensitif terhadap segala keretakan, saat-saat dan keadaan tanpa cinta. Dan bahasa, sebagai alat komunikasi, harus kembali kepada sangkan parannya, yaitu cinta sebagai perekat segala keretakan. 147 MEMBUKA PARADIGMA “KEBANGSAAN”: KAJIAN TERHADAP OMEROS, KARYA DEREK WALCOTT Gabriel Fajar SA (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta – Indonesia) Abstrak: Omeros adalah karya Derek Walcott, seorang penerima Hadiah Nobel Bidang Kesusastraan tahun 1990, dan di sini terungkap bagaimana masyarakat atau bangsa Karibia mencoba menata diri dalam membangung identitas kebangsaannya. Latar belakang masyarakat Karibia sangat unik, yakni sebagai masyarakat poskolonial yang terdiri atas beragam etnik dan tidak memiliki identitas nenek moyang yang tunggal. Artinya, dari satu sisi mereka harus berjuang memerdekakan diri dari hegemoni bekas penjajahnya dan di sisi lain juga harus berjuang untuk menegosiasi identitas di antara beragam etnik. Dalalm konteks inilah Omeros hadir untuk membuka paradigma tentang identitas kebangsaan yang menitikberatkan pada kepentingan “masa depan” dan yang berupaya untuk tidak terjebak oleh sejarah atau “masa lalu.” Omeros memaparkan kebersatuan dua macam “bahasa.” Dari satu perspektif ini adalah bahasa masyarakat penjajah atau asing dan bahasa masyarakat terjajah atau lokal, dan perspektif lain melihatnya sebagai perpaduan bahasa masa lalu dan bahasa masa kini. Secara menarik Omeros mengungkapkannya sebagai masyarakat dari Dunia Baru atau New Eden. Dunia Baru adalah bahasa dekonstruksi terhadap ideologi penjajah, sedangkan New Eden adalah bahasa manusia baru yang sudah terbebas dari perangkap “ular” musuh utama yang abadi. Kata-kata kunci: Karibia, mitologi, identitas, Dunia Baru, New Eden Pengantar Masyakarat Karibia pada dasarnya lahir sebagai masyarakat poskolonial karena latar belakang sejarah pembetukannya memang baru dimulai sejak masa dekolonisasi, kecuali masyarakat atau bangsa Haiti.46 Hal ini tidak terlepas dari kondisi ketika berbagai bangsa Eropa berlomba-lomba mencari dan menguasai koloni di kawasan Karibia. Bagi mereka ini Karibia adalah “dunia baru,” yakni koloni jajahan di luar Asia dan Afrika, dan sejarah juga mencatat bahwa di masa-masa awal penjajahannya para penjelajah memusnahkan hampir seluruh masyarakat asli di Karibia (Robin Cohen, 2001: 137). Demi kepentingan ekonomi bagi pabrik-pabrik yang dibangun para penjajah tersebut akhirnya mendatangkan tenaga kerja dari luar, terutama dari Afrika. Peristiwa Triangle of Misery 47 (DH Figueredo and Frank Argote-Freyre, 2008: 83) menjadi bukti nyata sejarah bagaimana bangsa-bangsa Eropa menempatkan diri sebagai bagian “superior” dibandingkan dengan daerah-daerah jajahan atau koloni mereka, karena di sini manusia budak menjadi objek perdagangan. Latar belakang sejarah semacam ini 46 Meskipun menjadi bagian dari masyarakat Karibia secara umum, Haiti merupakan bangsa yang merdeka sejak tahun 1804 (DH Figueredo and Frank Argote-Freyre, 2008:91) 47 Triangle of Misery adalah jalur perdagangan manusia/budak dari Afrika ke Eropa dan ke Amerika 148 menjadi acuan bagaimana masyarakat Dunia umumnya memahami realitas yang terjadi dan dialami Karibia, yakni sebagai kawasan yang dihuni oleh “pendatang” sehingga proses pembentukan bangsa-bangsa pada era dekolonisasi memiliki beban ganda. Di satu sisi mereka harus melepaskan diri dari cengkeraman dan hegemoni penjajah, dan di sisi lain mereka harus “membangun” juga identitas tunggal, sebagaimana bangsa-bangsa yang memiliki satu nenek moyang sebagai identitas kulturalnya. Permasalahan identitas tunggal tersebut hadir sebagaimana dinamika sejarah kolonisasi di kawasan Karibia tersebut. Pengangkutan budak-budak dari Afrika ke Karibia lambat laun memiliki konsekuensi terhadap wajah kawasan ini, yakni masyarakat yang didominasi kulit hitam, tetapi pada dekade setelah sistem perbudakan dihapuskan kaum penjajah membawa orang-orang, terutama dari Asia, sebagai tenaga kuli kontrak, dan juga dari tempat-tempat lain, sehingga di Karibia akhirnya berkumpulah berbagai etnis. Artinya, ketika masa dekolonisasi masyarakat di sana pun memiliki beban untuk secara internal bernegoisasi demi membangun identitas yang berbeda dari identitas kolonial atau penjajah. Fenomena ini menjadi menarik dalam konteks studi poskolonial karena paradigma Dunia Tiga, yang menekankan perlawanan ideologis lewat konsepsi oposisi biner, antara Timur dan Barat, sebagaimana Edward W Said yang mengangkat isu tentang kembali ke identitas kultural sebagai senjata melawan penjajah/kolonial, tidak dapat diterapkan bagi perjuangan masyarakat Karibia. Lepas dari posisi geografis yang memang tidak berada di Timur, Karibia memiliki beragam etnik yang masing-masing tidak mungkin menganggap diri sebagai penduduk atau penghuni lokal yang berhak mengangkat identitas kulturalnya sendiri mewakili etnik-etnik yang lain. Fenomena semacam ini merupakan tema penting bagi karya-karya sastra di Karibia, dan tema-tema poskolonial pun menjadi ciri utama kesusastraan Karibia sehingga hal ini justru menjadi identitas utamanya. Donel (2005: 5) mencatat terjadi booming karya-karya sastra seputar era dekolonisasi. Bahkan Derek Walcott, salah seorang penulis Karibia, mampu mengolahnya sedemikian rupa untuk menarik mata Dunia. Setidaknya, ini terbukti lewat keberhasilannya dalam mendapatkan Hadiah Nobel untuk bidang Kesusastraan di tahun 1990. Dalam rentang sekitar 10 tahun kemudian, Karibia kembali mempersembahkan salah satu “raksasa sastra” lewat Hadiah Nobel di tahun 2001 yang diterima oleh VS Naipaul. Dalam konteks yang lebih luas, poskolonialitas Karibia mengusung ideologi “Dunia Baru,” yang di satu sisi merupakan paradigma dekonstruktif terhadap ideologi Barat dan di sisi lain paradigma baru bagi masyarakat poskolonial atau masyarakat bekas terjajah. Sebagaimana disinggung di depan konsepsi “dunia baru” sebenarnya berasal dari Barat yang dipahami oleh para penjelajah awal dalam menemukan dan membangun koloni baru di tempat-tempat lain di luar Asia dan Afrika. Namun demikian, oleh masyarakat Karibia terminolog ini diusung kembali sebagai ideologi poskolonialitasnya sehingga posisi inferioritas Karibia, yang pada awalnya merupakan objek koloni, berubah lambat laun menuju posisi superioritasnya, yang mengambil tempat sebagai subjek pelaku atau pelaksana. Sementara itu lewat perspektif poskolonialitas umumnya, ada perbandingan menyolok dengan poskolonialitas dari Dunia Tiga, yang menekankan identitas kultural nenek moyang sebagai “senjata utama” (Said, 1993: xiii) atau program recovery of the past, kembali ke masa lalu (Hall, 2003: 236), untuk melawan hegemoni kultural dari bekas the colonizer, atau pemerintah kolonial. Di sini Karibia benar-benar hadir sebagai “Dunia Baru” yang berbeda dari Dunia Tiga. Ideologi “Dunia Baru” yang dianut masyarakat Karibia semakin mendapatkan esensinya yang semakin nyata lewat gagasan tentang New Eden yang dikemukakan oleh 149 Derek Walcott. Salah satu karya Walcott yang mengetengahkan ini adalah Omeros, yakni sebuah puisi epik yang tersusun dalam rangkaian, yang oleh Walcott sendiri disebut buku atau book, berupa Book One hingga Book Seven. Teks Omeros menarik untuk dikaji karena di samping sebagai sebuah puisi yang beridentitas epik, Omeros mengadopsi dan mengadaptasi beberapa tokoh yang berasal dari teks klasik Yunani. Para tokoh tersebut kemudian dipadukan dengan tokoh-tokoh lain, yang sama sekali tidak dikenal dalam teks-teks klasik Yunani tersebut. Bahkan, bahasa yang dipergunakan juga dua macam, yakni bahasa Inggris, yang sangat dominan, dan Perancis. Realitas semacam ini menjadi acuan interpretasi yang penting karena di sanalah ada panggung atau arena (istilah Bourdieu) yang mengakomodasi heterogenitas tokoh dan bahasa. Ini semua diangkat teks untuk mengungkapkan poskolonialitas, khususnya bagi masyarakat Karibia. Tentang Omeros Secara umum, puisi epik ini merupakan gambaran kehidupan masyarakat generasi masa kini di seputar kawasan laut Karibia dalam menatap masa depannya setelah di masa lampau generasi lama terjebak dalam persoalan penjajahan. Book One (hal. 3—76), sebagai pembuka puisi, memaparkan realitas kehidupan masyarakat nelayan lewat deskripsi harmonisasi yang mereka miliki dengan alam sekitar, khususnya lautan. Di sinilah pembaca disuguhi kehadiran para tokoh utama yang membangun narasi dari alur cerita teks. Di samping nama-nama yang berasal dari mitologi Yunani, seperti Philoctete (3), Achille (6), Hector (16), dan Helen (24), ada beberapa nama lain yang penting, yakni Seven Seas (11), Omeros (14), Ma Kilman (17), “I” sebagai narator (23), Major Plunkett (24), dan Maud, istri Plunkett (24). Umumnya mereka hidup sebagai masyarakat pantai yang mengandalkan laut sebagai sumber utama kesehariannya, kecuali Ma Kilman yang merupakan tabib wanita dan memiliki warung obat, Major Plunkett dan Maud, yang merupakan bekas tentara asing dan menetap di sana sebagai pengusaha rumah makan dan perkebunan. Terungkap di sana bagaimana kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda mampu membangun relasi berkehidupan mereka di tempat tersebut, yakni di Karibia yang merupakan latar tempat bagi narasi epik Omeros ini. Sementara itu Book Two hingga Book Six memberi tekanan pada berbagai peristiwa yang dialami manusia dengan lautan, khususnya berkaitan dengan masa lampau. Terdapat deskripsi yang lebih lengkap tentang kehidupan yang berkaitan dengan laut Karibia tersebut, termasuk kedatangan orang-orang dari Eropa dengan kapal lautnya yang moderen (Book Two/hal. 77—131), hubungan antara masyarakat kini (di Karibia) dengan masyarakat masa lalu (di Afrika) yang dijembatani oleh eksistensi laut yang menghubungkan mereka (Book Three/hal. 133—168), berbagai peristiwa perang di dunia yang menonjolkan lautan sebagai arena peperangan (Book Four/hal. 169—188), hubungan antara bangsa-bangsa di dunia dengan masyarakat Karibia yang terkoneksi oleh eksistensi lautan (Book Five/hal. 189—219), dan industri yang tumbuh di Karibia sejak masa penjajahan yang mengandalkan lautan sebagai sarana transportasi (Book Six/hal. 221—277). Akhirnya, Book Seven menghadirkan lagi gambaran masyarakat kawasan laut Karibia yang memiliki keyakinan dan semangat dalam bergelut dengan dunianya demi masa depan (Book Seven/hal. 279—325). Omeros: Epik Poskolonialisme Karibia Dalam konteks ke-epik-an Omerosi mengadaptasi mitologi Yunani, yaitu Odyssey dan juga Iliad, karya-karya Homer, yakni kanon klasik yang sangat terkenal dan diagung-agungkan di dunia Barat atau Eropa. Istilah “mengadaptasi” memang lebih 150 tepat diterapkan daripada “mengadopsi” karena pada kenyataannya Omeros tidak mengambil alih begitu saja seluruh aspek maupun elemen dari mitologi tersebut, melainkan hanya memaparkan beberapa nama mirip yang sangat terkenal dari sana, yaitu di antaranya Philoctete, Achille, Hector, dan Helen. Dengan mengungkapkan nama-nama tersebut, teks Omeros jelas mengingatkan para pembacanya terhadap eksistensi mitologi Yunani.48 Dalam pengungkapannya ternyata kemudian dihadirkan berbagai ambivalensi makna, terutama sehubungan dengan penokohan karakter dari nama-nama klasik dan juga eksistensi mitos itu sendiri. Sebagaimana diketahui secara umum, dalam karya-karya mitologi Yunani nama-nama tersebut merujuk pada para tokoh hebat atau pahlawan tangguh, yang sangat berbeda dengan karakter rakyat biasa, tetapi sebaliknya di dalam Omeros nama-nama tersebut justru dikenakan pada para tokoh yang dikategorikan rakyat kebanyakan, yaitu nelayan, dan bahkan yang berada dalam kondisi terpinggirkan karena persoalan keseharian yang banyak berkait dengan masalah perekonomian. Paparan awal puisi Omeros memperlihatkan peranan para tokohnya, Philoctetes, Achilles, Hector, dan Helen, sebagai orang-orang yang bekerja di seputar laut, entah sebagai pemandu wisata, nelayan, maupun juga pegawai restoran di pinggir laut. Kondisi mereka ada dalam ketidakberdayaan sebagai kelompok orang yang harus bekerja keras demi nafkah kesehariannya. Perbandingan karakterisasi semacam itu setidaknya menjadi bukti jelas bahwa memang Omeros tidaklah mengadopsi teks-teks mitologi Yunani, melainkan sekadar mengadaptasi untuk kepentingan di balik makna yang diusungnya, yakni poskolonialitas. Strategi karakterisasi para tokoh mitos mengusung makna penting. Salah satu contoh ialah eksistensi tokoh Philoctete yang mengalami pembelokan karakterisasi. Antara “Philoctetes” dan “Philoctete” (memakai dan tanpa akhiran –s), penyebutan dan pemakaian keduanya hampir tidak mungkin dibedakan, sehingga secara mudah pembaca bisa terjebak ke dalam pemahaman bahwa keduanya memiliki rujukan karakter atau tokoh yang sama. Setidaknya, hal ini merupakan langkah pertama yang dilakukan teks Omeros dalam ambivalensi maknanya. Artinya, pembaca dengan mudah diarahkan seolah-olah keduanya adalah orang yang sama, sehingga ketika mendapati nama “Philoctete” pembaca dengan segera teringat akan sosok “Philoctetes” yang ada dalam ranah mitologi Yunani. Lebih jauh lagi, tentang karakterisasi tokoh ini dalam teks Omeros, tokoh ini dikedepankan sebagai bagian dari masyarakat laut, yang umumnya memiliki mata pencaharian utama sebagai nelayan, meskipun Philoctete sendiri memiliki profesi lain, yakni sebagai pemandu wisata (3), sebagaimana terungkap dalam pembukaan epik Omeros ini. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan fakta yang dimiliki tokoh Philoctetes dalam kanon klasik. Namun demikian, satu hal penting yang diungkapkan oleh teks Omeros ialah tentang luka yang dimiliki tokoh Philoctete. For some extra silver, under a sea-almond, he shows them a scar made by a rusted anchor, rolling one trouser-leg up with the rising moan of a conch. It has puckered like the corolla of a sea-urchin. He does not explain its cure. “It have some things”—he smiles—“worth more than a dollar.” (4) Ada bekas luka, atau a scar, yang di satu sisi merupakan penderitaannya namun di sisi lain justru menjadi sumber tambahan penghasilan, yaitu berupa tip atau uang ekstra, 48 A Companion to Greek Mythology (eds., Ken Dowden and Niall Livingstone, 2011: 6) menegaskan bahwa memori tentang mitologi merupakan salah satu cara untuk melestarikan identitas. 151 yang diberikan oleh turis yang melihat luka tersebut. Artinya, apakah luka tersebut sudah sembuh atau belum masih merupakan misteri bagi mereka yang sekadar hanya menontonnya, karena hanya Philoctete sendiri yang mengetahuinya. Bahwa ia masih merasakan sakit, dengan suara lenguhan yang ditampilkan saat membuka penutup luka, menjadi penanda jika luka tersebut belum sembuh benar. Meskipun demikian, nampaknya luka tersebut tidak sangat mengganggu aktivitas Philoctete dalam kesehariannya, karena terbukti ia masih dapat melakukan kegiatannya sebagai pemandu wisata. Dengan acuan sosok Philoctetes dari mitologi Yunani, jelas ada pergeseran atau ambivalensi makna dalam diri tokoh ini. Ketidakberdayaan Philoctetes akibat luka yang dimiliki semakin membuat ia terpuruk karena benar-benar ditinggalkan dan diasingkan, sehingga hanya kematian saja yang tinggal menunggu waktu bagi hidupnya. Sementara itu, Philoctete, yang juga memiliki penderitaan oleh bekas luka, justru mampu memanfaatkannya demi kepentingan hidupnya, yakni untuk mencari tambahan penghasilan. Ketidakberdayaan total yang dialami Philoctetes tidak dialami oleh Philoctete yang masih mampu melakukan aktivitas hariannya. Hari-hari gelap yang dialami Philoctetes, dalam menunggu kematian, sangat kontras dengan kondisi Philoctete meskipun ia memang sangat terganggu oleh luka tersebut. Philoctetes hanya dapat berpasrah dalam ketidakberdayaan total dan ketiadaan lagi harga diri sebagai anggota pasukan perang, dan Philoctete pun ada dalam ketidakberdayaan karena luka, a scar, yang dimiliki itu diyakini sebagai bentuk warisan kutukan, yang diderita oleh keluarganya. He believed the swelling came from the chained ankles/of his grandfathers (19). Di sini teks Omeros menampilkan Philoctete sebagai pribadi yang tidak berdaya karena ada kutukan yang harus diterima sebagai bagian warisan dalam keluarganya. Ada perspektif masa lalu yang tidak bisa Philoctete kendalikan sehingga membuatnya tidak berdaya melawan, tetapi bagi Philoctetes yang hadir justru ketidakberdayaan dalam perspektif masa depan karena luka tersebut menjadikan masa depannya gelap dan hampir tidak ada lagi, kecuali kematian yang sedang menantinya. Kehadiran atau eksistensi para tokoh klasik dalam teks Omeros bukanlah satusatunya jenis atau model tokoh yang digunakan teks untuk memaparkan cerita narasinya. Ada Ma Kilman, Plunkett, dan juga Maud, yang jelas-jelas bukan berasal dari ranah mitos Yunani. Artinya, di sini pun Omeros secara menarik menciptakan dua macam dunia kehidupan, yakni dunia mitos dari zaman klasik dan dunia masa kini di Karibia yang kemudian bersama-sama berpadu membangun jalinan cerita sebagaimana yang diketengahkannya. Ada dua “bahasa”49 yang dipergunakan secara bersama-sama untuk mengungkapkan makna utamanya. Secara langsung ada perbedaan tentang penerima pesan karena perbedaan kedua bahasa tersebut, tetapi perbedaan ini justru menjadi penonjolan yang nampaknya memang menjadi kekuatan strategi dalam mengaplikasikan mitos Yunani, yang adalah salah satu bentuk bahasa tersebut. Bahkan, penonjolan ini justru ditekankan dan dikonkretkan lewat beberapa contoh untuk menunjukkan bahwa ada perbedaaan menyolok antara pemakai bahasa yang satu, misalnya bahasa Inggris, dengan pemakai bahasa yang lain, misalnya bahasa Perancis. “Touchez-I, encore: N’ai fender chouz-ous-ou, salope!” “Touch it again, and I’ll split you arse, you bitch!” “Moi j’a dire—‘ous pas preter un rien. ‘Ous ni shallope, ‘ous ni seine, ‘ous croire ‘ous ni choeur campeche?” 49 Istilah “bahasa” di sini dimaksudkan sebagai wahana untuk menyampaikan pesan antara pengirim dan penerima pesan. 152 “I told you, borrow nothing of mine. You have a canoe, and a net. Who you think you are? Logwood Heart?” “’Ous croire ‘ous c’est roi Gros Ilet? Voleur bomme!” “You think you’re king of Gros Ilet, you tin-stealer?” (15-16)50 Kutipan ini menceritakan dialog antara Achille dan Hector, yang oleh teks dikemukakan memiliki konflik pribadi, yakni memperebutkan Helen. Namun demikian, konflik ini terus berkembang kepada berbagai hal, termasuk masalah kepemilikan kapal. Hal yang menarik dalam kaitannya dengan perbedaan bahasa ialah bahwa fenomena ini oleh teks diangkat sebagai gambaran terjadinya masalah atau konflik antara dua pihak. Dengan kata lain, hadirnya dua bahasa berbeda sebenarnya hendak menunjukkan hadirnya dua pihak yang sedang berkonflik. Juga, penonjolan konflik lewat dua bahasa justru lewat Achille dan Hector, yang pada dasarnya berasal dari “dunia” yang sama, yakni mitos klasik Yunani. Strategi kesastraan tersebut di atas, yakni adaptasi karakterisasi mitologi dan penerapan dua bahasa, nampaknya memang sederhana tetapi makna yang dikandung menjadi sangat dalam dari perspektif poskolonial. Terlebih, sebagai bagian dari kesusastraan Karibia, yang berideologikan poskolonialitas, Omeros menerobos kanon poskolonialitas Dunia Tiga, yang menempatkan segala hal dari Barat atau Eropa sebagai musuh, sebagaimana dalam ideologi oposisi binernya. Mitos Yunani, yang dalam konteks ini menjadi bahasa, merupakan milik yang diagung-agungkan masyarakat Eropa, dihadirkan dan digunakan secara bersama-sama dengan cerita lokal masyarakat Karibia, yang dalam hal ini juga menjadi bahasa lainnya. Dengan lain perkataan, teks Omeros secara langsung mempertemukan dua masyarakat yang dalam perspektif sejarah kolonialisme memiliki konflik yang telah menciptakan perbedaan status antara masyarakat penjajah yang superior dan masyarakat terjajah yang inferior. Namun demikian, ternyata perspektif ini pun oleh teks sekadar diadaptasi, dan tidak diadopsi mentah-mentah, karena dalam cerita yang diungkapkan kedua masyarakat tersebut tidak berada dalam konflik status peradaban, yang membedakan atasan dan bawahan, atau superior dan inferior, atau penjajah dan terjajah. Omeros juga mengungkap bahwa relasi antara bekas penjajah dan bekas terjajah dapat ditransformasikan ke dalam gagasan tentang New Eden atau Eden yang baru. New Eden menjadi acuan bagaimana dunia, atau bumi Karibia, yang rusak akibat hancurnya relasi antar-manusia, harus dibenahi lagi. Were it not for the war he might have loved the place; …. The fields were prosperous and lied of peace (78—79). Pada masa kolonialisme kawasan Karibia sangat menarik bagi bangsa-bangsa Eropa yang pada kala itu gemar mencari daerah-daerah jajahan untuk dijadikan koloni, terutama untuk kepentingan ekonomi. Demi maksud tersebut banyak hal dilakukan, termasuk menghancurkan relasi kemanusiaan, dan sejarah telah mencatat bahwa hampir sebagian besar penduduk lokal dimusnahkan dan banyak orang dari daerah koloni di Afrika dan Asia dijadikan budak dan pekerja kasar. Ketidakberdayaan masyarakat terkoloni semakin mempertajam hancurnya relasi kemanusiaan. Namun demikian, dalam proses dekolonisasi ketika kesadaran masyarakat terkoloni atau terjajah tumbuh ada kemauan dan harapan dalam diri mereka untuk memperbaiki kondisi kehidupannya. Kesadaran untuk melakukan perubahan terus hadir menjadi semangat mereka untuk memperbaiki 50 Penebalan dalam kutipan tersebut di atas demi kepentingan untuk membedakan antara pemakaian dua bahasa yang berbeda, meskipun di dalam teks Omeros hal ini tidak terjadi demikian. 153 diri. Teks Omeros mengetengahkan bahwa semangat untuk memulai perubahan menjadi kunci pembukanya, karena kejahatan terparah manusia ialah tidak melakukan apa pun (150). Konsepsi Eden baru, yang menghadirkan kembali Eden dalam bentuk yang lain, atau yang ber-transformasi (Ashcroft, 2001: 2), menjadi metafora yang sangat menarik bagi dunia poskolonialitas karena di sini pihak yang pernah menderita, atau the colonized, berubah menjadi pihak subyek, yang mengawali terjadinya perubahan. Bagi Walcott (1992: 300-301), manusia yang menderita harus berani mengubah kondisinya dengan menjadi inisiator, termasuk memperbaiki relasi dengan penyebab penderitaannya. Permusuhan masa lalu, yang menempatkan Adam sebagai obyek, hanya mengakibatkan penderitaan baginya, sehingga perubahan sikap untuk berani menjadi subyek yang memulai perubahan adalah harapan akan hadirnya kebaikan bagi kondisinya. Dalam konteks ini New Eden dilihat sebagai paradigma poskolonialitas. Sebagai generasi baru, yang juga dilengkapi dengan kondisi tercerabut dan diaspora, merupakan alasan kuat bahwa masyarakat Karibia kini bukanlah masyarakat masa lalu, dan mengungkit-ungkit masa lalu untuk menyesali kehancuran hanya mendatangkan sesuatu yang tak bermanfaat bagi kehidupan yang masih segar. For those to whom history is the presence of ruins, there is a green nothing (192). Sejarah memang sudah terjadi dan tidak mungkin lagi diulang atau diputar kembali, tetapi senantiasa meratapi kehidupan masa lalu tanpa melakukan perubahan yang lebih bermanfaat bagi masa depan berarti menyia-nyiakan kehidupan itu sendiri. Penutup Teks puisi epik Omeros, karya Derek Walcott, hadir menyuarakan kegelisahan masyarakat Karibia yang haus akan kebebasan dan kemerdekaannya. Strategi unik dalam mengusung makna di balik paparan-paparan menarik tentang kehidupan yang terkait dengan laut, seperti nelayan dan pemandu wisata, membuka wawasan tentang model identitas kebangsaan. Ketiadaan identitas tunggal, yang merupakan warisan nenek moyang, menjadi pembuka jalan bagi hadirya identitas negosiasi antar-kelompok masyarakat atau etnik, termasuk juga keterbukaan terhadap identitas kultural dari bekas penjajah. Sebagai bekas objek atau sasaran bagi kepentingan bangsa penjajah akan “dunia baru,” Karibia bertransformasi diri lewat dekonstruksi dengan ideologi Dunia Baru. Bahkan, konkretisasi ideologi dikemukakan lewat konsepsi New Eden, yakni mengembalikan lagi Karibia sebagai dunia yang menyenangkan karena perubahanperubahan yang dilakukan, terutama juga dalam merangkul “ular” yang dulunya menjadi musuh dan merusak taman tersebut. Daftar Rujukan Ashcroft, Bill. Post-Colonial Transformation. London & New York: Routledge, 2001. Baugh, Edward. Derek Walcott. Cambridge: Cambridge University Press, 2006. Cohen, Robin. Global Diasporas: An Introduction. Warwick: University of Warwick, Routledge & UCL Press, 1997. Donnel, Alison, dan Sarah Lawson Welsh, ed. The Routledge Reader in Caribbean Literature. London & New York: Routledge, 1996. Donnel, Alison. Twentieth-Century Caribbean Literature. London & New York: Routledge, 2006. Figueredo, DH, dan Frank Argote-Freyre. A Brief History of The Caribbean. New York: Facts on File, Inc, 2008. 154 Fumagalli, Maria Cristina. Agenda: Special Issue on Derek Walcott. Journal. Vol. 39 Nos 1-3. London: Agenda and Editions Charitable Trust, 2002-2003. Harney, Stefano. Nationalism and Identity: Culture and the Imagination in a Caribbean Diaspora. Kingston: University of the West Indies Press, 2006. Hall, Stuart. “Cultural Identity and Diaspora” dalam Theorizing Diaspora. Jana Evans Braziel dan Anita Mannur, ed. Malden: Blackwell Publishing Ltd., 2003. Hamner, Robert D. Epic of the Dispossessed. Columbia: University of Missouri Press, 1997. King, Bruce. Derek Walcott, a Caribbean Life. Oxford: Oxford University Press, 2000. Said, Edward W. Culture & Imperialism. London: Vintage, 1993. Said, Edward W. Orientalism. New York: Vintage Books, 1979. Thieme, John. Derek Walcot. Manchester: Manchester University Press, 1999. Torres-Saillant. An Intellectual History of the Caribbean. New York: Palgrave Macmillan, 2006. Walcott, Derek. “New World,” dalam Collected Poems 1948—1984. Chatham Kent: Farrar, Straus & Giroux Inc., 1992: 300-301. Walcott, Derek. Derek Walcott: Collected Poems (1948-1984). New York: The Noonday Press, Farrar, Straus & Giroux, 1990. Walcott, Derek. What the Twilight Says; Essays. New York: Farrar, Straus & Giroux, 1998. Walcott, Derek. Omeros. New York: Farrar, Straus & Giroux, 1990. Walder, Dennis. Postcolonial Nostalgias. New York: Routledge, 2011. Williamn, Patrick, dan Laura Chrisman, eds. Colonial Discourse and Post-Colonial Theory. New York: Columbia University Press, 1994. 155 SASTRA EKSIL, MATA RANTAI YANG HILANG Gunoto Saparie (Dewan Kesenian Jawa Tengah – Indonesia) Abstrak: Sastra eksil Indonesia adalah karya-karya sastra sastrawan Indonesia yang terdampar di luar negeri dan tidak bisa atau tidak diperbolehkan pulang ke tanah air setelah peristiwa yang dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965 (G30S 1965). Situasi politik yang dimaksud ialah perubahan pemerintahan secara drastis dari pemerintahan sipil (Sukarno) ke pemerintahan di bawah kekuasaan militer (Soeharto). Salah satu ciri khas kehidupan sastrawan eksil adalah kejiwaannya yang mengalami trauma akibat peristiwa politik. Keterpisahan berlarut-larut dengan negeri asal membuat mereka terombang-ambing antara dendam dan nostalgia, antara ilusi, kenangan, dan harapan. Para sastrawan eksil terpencil dari realitas kehidupan rakyatnya. Dengan segenap tenaga dan daya kreatifnya mereka mencoba menampilkan realitas kehidupan eksil sekaligus memberi perlawanan moral-kultural terhadap represi sistem kekuasaan terhadap kebebasan mengutarakan pendapat di tanah air mereka. Namun, sampai hari ini, sejarah sastra Indonesia ternyata mengabaikan karya-karya dan posisi mereka. Ada mata rantai yang hilang dalam sejarah sastra Indonesia. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nasib sastra eksil yang terabaikan dan implikasinya pada pembelajaran sastra di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan disiplin ilmu sastra dan sosiologi. Pendahuluan Sastra eksil Indonesia adalah karya-karya sastra sastrawan Indonesia yang terdampar di luar negeri dan tidak bisa atau tidak diperbolehkan pulang ke tanah air setelah peristiwa yang dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965 (G30S 1965). Situasi politik yang dimaksud ialah perubahan pemerintahan secara drastis dari pemerintahan sipil (Sukarno) ke pemerintahan di bawah kekuasaan militer (Soeharto). Salah satu ciri khas kehidupan sastrawan eksil adalah kejiwaannya yang mengalami trauma akibat peristiwa politik. Keterpisahan berlarut-larut dengan negeri asal membuat mereka terombang-ambing antara dendam dan nostalgia, antara ilusi, kenangan, dan harapan. Para sastrawan eksil terpencil dari realitas kehidupan rakyatnya. Dengan segenap tenaga dan daya kreatifnya mereka mencoba menampilkan realitas kehidupan eksil sekaligus memberi perlawanan moral-kultural terhadap represi sistem kekuasaan terhadap kebebasan mengutarakan pendapat di tanah air mereka. Namun, sampai hari ini, sejarah sastra Indonesia ternyata mengabaikan karya-karya dan posisi mereka. Ada mata rantai yang hilang dalam sejarah sastra Indonesia. Sastra eksil di Indonesia memang bagaikan mata rantai yang hilang dalam sejarah sastra kita. Penerbitan sejumlah karya sastra mereka kurang bergema, bahkan nyaris tidak terdengar. Sebut saja, misalnya Kisah Intel dan Sebuah Warung karya 156 Sobron Aidit, Perang dan Kembang karya Asahan Alham, Di Bawah Langit tak Berbintang dan Menuju Kamar Durhaka karya Utuy Tatang Sontani, antologi Di Negeri Orang: Puisi Penyair Eksil Indonesia, karya 15 penyair, antara lain Asahan Alham, Sobron Aidit, dan kawan-kawan. Pengertian Sastra Eksil Apakah sesungguhnya eksil? Dalam bahasa Inggris istilah “exile”, yang diindonesiakan menjadi “eksil”, memiliki tiga pengertian. Pertama, ia bisa berarti ketakhadiran. Ia merupakan sebuah absensi panjang (biasanya karena terpaksa) dari tempat tinggal ataupun negeri sendiri. Kedua, eksil bisa berarti pembuangan secara resmi (oleh negara) dari negeri sendiri. Sedangkan pengertian ketiga adalah seseorang yang dibuang ataupun hidup di luar tempat tinggal ataupun negerinya sendiri (perantau, ekspatriat). Istilah “exile” itu sendiri ternyata berasal dari bahasa Latin yaitu “exsilium” (pembuangan) dan “exsul” (seseorang yang dibuang). Mengacu pada tiga pengertian tersebut, kita melihat ada faktor dislokasi geografis dari tempat kelahiran ke sebuah tempat asing. Ini merupakan faktor utama penyebab kondisi yang disebut sebagai “eksil” tersebut. Dislokasi geografis itu bisa terjadi disebabkan oleh negara secara resmi ataupun justru karena pilihan pribadi. Pada kasus pertama, mereka adalah para pelarian politik yang terusir atau diusir dari negeri kelahiran sendiri oleh pemerintahan yang sedang berkuasa. Sedangkan pada kasus kedua mereka adalah pada para pengungsi, para transmigran, dan para perantau yang mencari hidup baru di luar tempat kelahiran mereka. Pengertian “eksil” sebagai kondisi pembuangan politik dari negeri kelahiran ke negeri asing oleh sebuah pemerintahan yang sedang berkuasa kalau kita berbicara tentang "sastra eksil". Sastra eksil adalah sastra yang ditulis oleh para sastrawan dalam pembuangan politik di luar negeri kelahiran mereka sendiri. Perbedaan ideologi politik dengan pemerintahan yang sedang berkuasa merupakan alasan utama terjadinya pembuangan politik tersebut. Sastrawan Eksil Indonesia Kita tahu, pada zaman Orde Lama, ketika Presiden Sukarno masih berkuasa, banyak dari pemuda, intelektual, dan seniman dari Indonesia yang dikirim ke luar negeri untuk belajar ataupun menyerap modernisme yang terjadi di Eropa. Mereka diharapkan bisa mempelajari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, sampai kebudayaan negeri lain, untuk diaplikasikan di negeri ini. Projek besar ini untuk mengejar pembangunan fisik dan pengetahuan warga Indonesia, dengan menggunakan duta-duta ilmu pengetahuan dan kebudayaan, di antara sekian duta itu hadir juga para sastrawan potensial. Namun, ketika tragedi 1965 meletus, sebagian besar dari delegasi Indonesia yang belajar di negeri asing tak dapat kembali ke Indonesia karena perkembangan politik dan pergantian rezim. Akibatnya, mereka hidup di negeri asing dengan segala kisah sedih, memori, harga diri, ataupun identitas sebagai manusia. Sebagai manusia Indonesia yang hidup di tanah asing, yang merindukan tanah air, tetapi tak dapat kembali, tentu mengalami guncangan mental yang mendalam. Memori keindonesiaan merupakan bayangan hitam yang selalu mengikuti, jauh sekaligus dekat. Para sastrawan merasa hidup jauh dari lingkaran keluarga, tetapi terasa dekat jika membayangkan. Puisi dan prosa menjadi media alternatif untuk menyalurkan hasrat keindonesiaan para sastrawan eksil. Hasrat untuk pulang terasa menggetarkan, kisah perjuangan di negeri asing dan pergumulan perasaan untuk tetap menjadi 157 Indonesia, atau merasa asing, merupakan pergolakan yang menggumpal dalam karya sastra. Para sastrawan yang punya hubungan dengan institusi seni di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI) yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan hidup dalam pengasingan/pembuangan politik di luar Indonesia selama pemerintahan rezim fasis kapitalis Orde Baru adalah para sastrawan eksil Indonesia. Para sastrawan itu kebanyakan hidup di Eropa Barat, yaitu di negeri Belanda dan Prancis. Mereka dengan terpaksa memilih hidup dalam pembuangan politik itu karena keyakinan mereka bahwa mereka akan segera dijebloskan ke dalam penjara atau Pulau Buru kalau mereka kembali ke Indonesia. Atau bahkan mungkin juga akan dibunuh. Para sastrawan Lekra itu tidak berani kembali ke Indonesia dan memilih hidup eksil di negeri asing, karena tidak ingin mengalami kesulitan, bahkan bisa saja terbunuh, di negeri sendiri. Harus diakui, keberadaan sastra eksil Indonesia di luar negeri selama ini hanya diketahui oleh segelintir pembaca sastra modern Indonesia. Kebetulan segelintir pembaca itu hidup di negeri yang sama atau berdekatan dengan negeri tempat hidup para sastrawan ini. Namun bisa juga para pembaca ini hidup di Indonesia dan memiliki akses ke karya mereka. Eksistensi sastra eksil ini menjadi lebih luas diketahui para pembaca sastra modern Indonesia, terutama di Indonesia sendiri, ketika beberapa tahun lalu terbit sebuah kumpulan puisi berjudul Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil oleh Yayasan Lontar. Kumpulan puisi ini memuat 15 penyair yang oleh Ketua Dewan Redaksi buku Asahan Alham, yang juga merupakan salah seorang penyair yang puisinya ikut dalam buku, diklaim sebagai “sastrawan eksil” Indonesia. Bagi para pembaca sastra modern Indonesia dua nama dari kelimabelas penyair yang muncul karya mereka dalam buku ini adalah nama yang memang sudah tidak asing lagi, yaitu Agam Wispi dan Sobron Aidit. Menurut Hersri Setiawan, sastra eksil Indonesia ialah karya sastra orang-orang eksil Indonesia. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang terpaksa tidak bisa pulang kembali ke Indonesia karena situasi politik pada tahun 1965, khususnya mereka yang bermukim di Eropa Barat, dan lebih khusus lagi yang di Belanda. Situasi politik yang dimaksud adalah perubahan pemerintahan secara drastis dari pemerintahan sipil ke pemerintahan di bawah kekuasaan militer. Keadaan ini terjadi sejak sekitar kuartal pertama tahun 1966, yang diawali dengan apa yang dinamakan ‘Peristiwa G30S’ tahun 1965. Terhambatnya warga Indonesia tidak bisa kembali ke tanah air, dan harus hidup dari satu negeri ke negeri lain, membuat mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menamai orang-orang eksil Indonesia sebagai ‘orang-orang yang terhalang pulang’ atau ‘orang-orang klayaban’. Ini berarti, yang disebut ‘Eksil Indonesia’ dalam konteks ini adalah ‘eksil politik’. Bukan ‘eksil sosial-ekonomi’, seperti yang pernah dialami orang-orang eksil Indonesia (baca: Jawa dan Madura) pada masa kolonial yang harus bekerja sebagai buruh dan tenaga administarsi di perkebunan-perkebunan besar di berbagai negeri, seperti Afrika Selatan, Sri Langka, Suriname, dan Kaledonia Baru. Kebudayaan eksil, tentu saja juga termasuk sastra eksil, lahir sebagai akibat terjadinya dua atau lebih kekuatan ideologi dan kekuatan politik – sekaligus juga kekuatan ideologi-politik – yang tidak terdamaikan, sehingga pihak yang satu harus dilenyapkan atau diusir sejauh-jauhnya oleh pihak yang lain. Atau, dalam bentuk yang ‘lebih lunak’, kebudayaan eksil adalah hasil dari sekelompok makhluk yang kalah dan dipindahkan dengan paksa dari tempat satu ke tempat lain oleh sekelompok makhluk 158 yang lebih kuat. Seperti misalnya, antara lain, sastra Jawa Suriname dan sastra Jawa Afrika Selatan, yang lahir dari kuli-kuli kontrak dari Jawa di kawasan-kawasan tersebut. Kerinduan Sastrawan Eksil Harus diakui, tema home sick, rindu kampung halaman, ingin pulang, dan kangen kepada keluarga di tanah air, sangat dominan dalam karya-karya para sastrawan eksil. Boleh dikatakan mereka telah puluhan tahun mereka mengidap penyakit ini. Namun pulang sebagai terapi bagi kaum eksil Indonesia di Eropa yang kejangkitan home sick, tidaklah mudah dilakukan. Pulang memang merupakan naluri alami yang melekat pada diri umat manusia, tetapi kaum eksil mengalami hambatan untuk melakukannya. Salah satu kodrat manusia adalah keterikatan mereka pada sesuatu yang bisa disebut tempat-tinggal. Keterikatan itu sangat terasa karena manusia memiliki naluri dan rasa cinta yang mendalam kepada tanah air, bangsa dan keluarga. Makin lama seseorang berada di negeri asing, makin terasa kerinduan itu, bahkan sering tak tertahankan dan akhirnya memuncak pada hasrat segera pulang. Tetapi ternyata tidak mudah untuk pulang. Selama puluhan tahun para sastrawan eksil itu terhalang pulang. Tentu ada sejumlah sebab mengapa hal ini bisa terjadi. Namun sebab paling utama adalah dicabutnya kewarganegaraan mereka berdasarkan tuduhan penguasa Orba. Mereka dianggap terindikasi terlibat peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Keindonesiaan menjadi bayangan jauh dan dekat dalam imaji para sastrawan eksil. Beberapa sastrawan eksil, seperti Hersri Setiawan, Sobron Aidit, dan Agam Wispi, serta beberapa nama lain seperti A. Kembara, A Kohar Ibrahim, Alan Hogeland, Asahan Aslam, Chalik Hamid, Kuslan Budiman, Magusig O Bungai, Mawie Ananta Jonie, Nurdiana, Soepriadi Tomodihardjo, Satyadharma, dan Z Afif, menjadi bagian sastrawan eksil yang terus-menerus bergumul dengan kenangan akan tanah air. Memang ada pergolakan politik meletup lewat puisi dan prosa mereka, tetapi kerinduan akan kampung halaman ataupun sang ibunda sering memancar, terutama dalam puisi-puisi mereka. Hersri Setiawan, misalnya, mempertanyakan diri dan mempertaruhkan identitasnya dalam puisi di bawah ini, dalam kenangan yang timbul tenggelam dalam aku-lirik. Ada kebimbangan dan keraguan, problem yang dialami sebagian besar sastrawan, yang hidup di tanah asing, tetapi masih terus berharap agar bisa pulang. SAJAK ULANG TAHUN Jangan tanya siapa aku Karena aku hanya satu pribadi Yang berjanji pada sendiri Tatap benda-benda di langit Mata hari di siang hari Bulan bintang di waktu malam Kenangan akan tanah air dan keluarga terus membayang di kalangan sastrawan eksil. Hasrat pulang semakin tak terbendung, tetapi kepulangan hanya akan menyisakan tragedi dan kisah sunyi. Mereka ingin pulang, tetapi apakah yang bisa dilakukan ketika situasi politik di tanah air tidak memungkinkan? Agam Wispi dengan bagus menuliskan konflik batin sastrawan eksil dalam puisi di bawah ini. 159 ZIARAH Akhirnya orang menziarahi dirinya sendiri Membangkitkan dalam diri apa-apa yang sudah mati Di makammu aku mau menghidupkan kembali Kata terima kasih Meski kau tak mendengarnya, hanya suara kata hati. Asahan Salam teringat pada sosok ibunda yang telah lama ditinggalkan. Asahan dengan jitu menulis puisi yang merefleksikan kerinduan seorang ibu terhadap anaknya yang mengembara di negeri asing. Ibunda selalu menjadi rumah yang sebenarnya, ia tak tergantikan oleh konstruksi fisik ataupun kebahagiaan yang lain. Suara bunda terus membayang untuk meminta anaknya pulang, yang disekap perjalanan, dan terkatungkatung di negeri asing. Penyair ingin pulang, tetapi ia tak bisa. Ia justru tidak diperbolehkan mengunjungi rumahnya sendiri. KELASI PULANG SENJA Pulang anakku, terlalu lama kau bermain Aku yang selalu berjalan Aku manusia pergi yang selalu lupa waktu kembali Dan beginilah hukuman itu datang Suara bundaku tak hilang hilang Kini masih senja Tapi juga sudah sia-sia Bila kembali Hilang sudah wajah bunda Agam Wismi akhirnya menyalurkan hasrat pulangnya yang tak tertahankan itu melalui puisi. PULANG Puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang Puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang Puisi generasi baru bijak bestari menerjang Keras bagai granit cintanya laut menggelombang Di mana kau Pohonku hijau? Dalam puisimu, wahai perantau Dalam cintamu jauh di pulau Kepedihan tak terperi memang nyaris mewarnai sastra eksil Indonesia. Baik Utuy, Sobron, maupun Alham, dan lainnya. Sekalipun berada di pengasingan, ingatan kolektif mereka tidak pernah berhenti untuk berpikir tentang tanah air mereka. Tanah tempat lahirnya kenangan, baik gembira maupun sedih, pengalaman pahit dan manis, serta keterlibatan bersama dalam membentuk sebuah tanah air. Akhirnya tanah air, tak lebih hanya sebagai “komunitas terbayangkan” (memakai istilah Benedict Anderson). Mereka membayangkan diri, seolah-olah berada di Indonesia, padahal fisiknya di negeri asing. Seperti halnya bangsa, demikian Benedict Anderson, tanah air tampaknya juga bagi para eksil merupakan sesuatu yang imajiner karena para anggota terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan sebagian besar anggota lain itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar mereka. Namun, toh di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Soal ini mungkin bisa sedikit terjelaskan kalau ditoleh latar sejarah mereka menjadi eksil. Saat peristiwa tahun 1965 terjadi, mereka sedang berada di luar negeri 160 dengan berbagai tujuan, mulai dari tugas belajar, anggota sekretariat organisasi internasional, sampai menjadi delegasi suatu perayaan. Informasi yang simpang siur, identifikasi diri dengan ide-ide kiri yang sedang ditumpas di Indonesia, membuat mereka harus menunda kepulangan. Penundaan terus berlanjut seturut makin digdayanya penguasa Orde Baru. Pokok penting di sini adalah perkara “penundaan kepulangan”, karena di atas kesadaran inilah semuanya mereka bangun. Sampai akhir tahun 1980-an, kewarganegaraan Indonesia enggan mereka lepaskan. Mereka memilih berstatus pengungsian politik daripada harus berganti kewarganegaraan, dengan keyakinan suatu saat akan pulang. Anjak usia senja jualah kemudian yang berhasil memaksa mereka berganti kewarganegaraan, sebagai syarat mendapat pensiun. Sekarang ketika kesempatan pulang datang, usia pula yang menghambat untuk mulai membiasakan lagi jongkok di toilet dan uang pensiun yang tidak bisa dikirim ke tanah air. Dalam dunia tulis-menulis, latar di atas tentu saja berbicara banyak. Tidak ada dorongan bagi mereka belajar bahasa setempat untuk kebutuhan menulis, karena “toh akan pulang”. Tak mengherankan kalau dalam pengantar singkat buku ini, Asahan Alham memaparkan kesulitan mengumpulkan puisi dengan tema kehidupan di pengasingan. Akhirnya yang terkumpul adalah tema-tema yang menunjukkan bahwa mereka adalah penulis eksil: kampung halaman, kegelisahan melihat situasi politik tanah air, perjalanan tanpa tujuan dan akhir, atau kabar kepada sahabat di tanah air. Mereka berkarya dengan kesadaran sebagai orang yang sedang berada di luar negeri, bukan tinggal. Memori dan kabar dari tanah air lebih dominan sebagai sumber inspirasi katimbang keseharian nyata di negeri orang. Ingatan adalah satu-satunya tempat identitas bisa mereka jangkarkan karena secara legal mereka kini bukan orang Indonesia lagi dan komunitas Indonesia yang “resmi” berada di luar negeri pun menolak mengakui mereka. Sebagai kelompok subaltern, melalui karya-karyanya para eksil berusaha menemukan kembali suara-suaranya yang selama ini dibungkam. Mereka juga berusaha untuk bebas dari pengaruh kekuatan elite yang mengungkungnya. Selain itu, melalui sastra para eksil berusaha merepresentasikan dirinya yang menderita, merana, kesepian, terasing, yang selama ini menyesakkan hati dan pikiran. Semuanya mereka tumpahkan. Meminjam istilah diskursus poskolonialisme, eksil Indonesia lebih mirip sebagai komunitas subaltern, subjek yang dibungkam dan tertekan. Secara lebih umum, mereka yang berada di tingkat “inferior”. Mengacu pada kata-kata Asahan Alham, ”Sastra eksil bukan satu aliran, tapi suatu kekhususan, ia ujud. Kekhususan itu wajar sebagai akibat peristiwa yang menimbulkan banyak ketidakwajaran terutama bagi sastrawan dan seniman eksil yang hidup di luar tanah airnya, dan terpisah dari masyarakat bangsanya, teman-temannya, dan keluarganya”. Penutup Mengapakah sejarah sastra Indonesia modern mengabaikan kehadiran sastra eksil ini? Sebuah pertanyaan yang membuat kita tertegun. Apakah terabaikannya sastra eksil ini hanya semata persoalan literer atau justru karena masalah politik? Dalam pengajaran sastra di sekolah para siswa tentu tidak mengenal para sastrawan eksil dan karyanya, karena tidak diajarkan oleh guru mereka. Sastra eksil hilang dari mata rantai sejarah sastra Indonesia modern. 161 Tentu saja kurangnya pengakuan terhadap sastra eksil ini terasa tidak adil. Suara sastra eksil masih terdengar sayup-sayup, meskipun Orde Baru telah diganti dengan Orde Reformasi. Betapa pun kita tidak mungkin mengingkari kenyataan sejarah. Dalam kaitan ini saya setuju dengan pernyataan Asahan Alham bahwa sastra eksil juga bagian dari kekayaan sastra Indonesia. Memperlakukannya sebagai anak tiri atau bahkan tidak mengakuinya sebagai anak karena cacat tak molek, hanya akan mempermalu diri sendiri. Seiring perjalanan waktu dan dengan kekhasan tersendiri, memang sudah sewajarnya sastra eksil berbicara dalam kancah sastra Indonesia dan tidak lagi sebagai “sastra minor” (a minor literature). Kita memang seharusnya terpanggil untuk merajut kembali benang kemanusiaan dan sejarah sastra yang sempat putus. Daftar Rujukan Alham, Asahan, 2002. Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil. Jakarta: Amanah Lontar (Jakarta) bekerja sama dengan Yayasan Sejarah dan Budaya IndonesiaAmsterdam) Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan membaca lagi (Re interprestasi Fiksi Indonesia 1980-1995). Jakarta: Indonesia Tera. Anderson, Benedict. 2002. Imagined Communities. Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar. Damono, Sapardi Djoko. 2004. Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. Departemen Pendidikan Nasional. Hudson, Wiliam Henry. 1932. An Introduction To The Study Of Literature. London: George G. Harrap & Co. Ltd. Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Gama Media: Yogyakarta. Rokhman, Muh. Arif. 2003. Sastra Interdisipliner, Menyanding Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta: CV Qalam. Sitomorang, Saut. 2001. Cyber Grafitti: Polemik Sastra Cyberpunk Kumpulan Esei. Bandung: Penerbit.Angkasa Situmorang, Saut. 2006. Sastra Eksil, Sastra Rantau http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=195. 162 SASTRA DAN FALSAFAH MELAYU ISLAM BERAJA: MEMPERTEGUH SOLIDARITAS BANGSA Haji Brahim bin Ampuan Haji Tengah (Universiti Brunei Darussalam) Abstrak: Makalah ini akan membincangkan sastra dan falsafah negara Brunei Darussalam iaitu Melayu Islam Beraja (MIB) serta hubungannya dengan solidaritas bangsa. Objektif makalah ini adalah melihat sejauhmana peranan sastera dalam memelihara dan mempertingkatkan kefahaman terhadap Falsafah Negara di Negara Brunei Darussalam, dan seterusnya dengan kefahaman tersebut dalam memperteguh solidaritas bangsa. Untuk itu terdapat sekurang-kurangnya lima perkara yang terdapat dalam karya sastera Brunei yang dapat memberikan kefahaman tersebut iaitu mengungkapkan sejarah Negara bangsa, adat istiadat dan kebudayaan Melayu Brunei, menjelaskan nilai-nilai Melayu Brunei, nilai-nilai Islam, dan sistem pemrintahan Beraja. Dengan kefahaman tersebut, setiap rakyat akan mempunyai cita-cita, tanggungjawab, gagasan, kecintaan (rasa nasionalis) dan latar belakang yang sama terhadap kedaulatan bangsa dan negara Brunei Darussalam. Kesamaan tersebut itulah yang diperkirakan dapat menyumbang kepada memperteguh solidaritas bangsa. Jadi dalam hal ini, sastra secara tidak langsung berfungsi dalam membantu mewujudkan solidratas bangsa tersebut. Pengenalan Ada tiga kata kunci yang perlu dijelaskan dalam membincangkan tajuk makalah ini iaitu “solidaritas”, “sastera”, dan “Melayu Islam Beraja”. “Solidaritas” berasal daripada kata “Solider” yang bererti mempunyai atau memperlihatkan perasaan bersatu atau setia kawan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, hlm. 853). Sementara itu, Kamus Dewan pula menjelaskan bahawa “Solider” itu adalah perasaan bersatu atau bersepakat (1994:1297). Jika dikaitkan dengan kelompok sosial maka “Solidaritas” itu bolehlah diertikan sebagai rasa kebersamaan dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, atau rasa kesetiakawanan dalam mencapai sesuatu tujuan. “Sastera” pula adalah tulisan atau karya kreatif yang mempunyai dua fungsi iaitu memberikan pengajaran dan hiburan yang tentunya melihatkan perasaan dan penghayatan. Fungsinya memberikan hiburan kerana bentuk dan isinya dapat memberikan kepuasan atau ketenangan jiwa kepada seseorang atau sekelompok masyarakat. Sementara fungsinya memberikan pengajaran kerana isinya memberikan sesuatu pengetahuan kepada khalayaknya sama ada dalam bentuk nasihat, panduan, contoh teladan, teguran, pendidikan, perutusan, saranan dan keterangan yang berguna kepada khalayaknya. Karya-karya sastera khususnya karya sastera lama yang bertemakan historiografi lebih banyak berfungsi memberikan pengetahuan dengan merakamkan keadaan masyarakat golongan istana dan peristiwa penting yang dilalui oleh raja dan pembesar-pmbesar negara. Sehubungan dengan itu, makalah ini akan menggunakan beberapa buah karya sastera Brunei khususnya karya sastera tradisional Brunei yang bersesuaian dan berkaitan dengan tajuk perbincangan dalam makalah ini. Sementara itu “Melayu Islam Beraja” (MIB) pula adalah konsep atau falsafah negara sebagaimana titah Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan 163 sempena Pengisytiharan Kemerdekaan Brunei pada 1 Januari 1984, bertempat di Taman Haji Sir Muda Omar ‘Ali Saifuddien, Bandar Seri Begawan, antaranya: Negara Brunei Darussalam adalah dengan izin serta limpah Kurnia Allah Subhanahu Wata’ala, akan untuk selama-lamanya kekal menjadi sebuah Negara Melayu Islam Beraja yang Merdeka, Berdaulat dan Demokratik bersendikan kepada ajaran-ajaran Ugama Islam menurut Ahli Sunnah Waljamaah. Ketiga-tiga komponen dalam konsep MIB iaitu Melayu, Islam, dan Beraja mempunyai kesalinghubungan yang amat rapat dan tidak boleh dipisahkan antara satu sama lain. Melayu dalam konsep MIB membawa maksud bahawa negara kita adalah negara Melayu yang mempunyai rakyat yang berbangsa Melayu, berkebudayaan Melayu, dan memartabatkan bahasa Melayu sebagai bahasa rasmi negara. Melayu juga dapat ditakrifkan sebagai bangsa Melayu yang mengamalkan nilai-nilai tradisi dan memiliki kebudayaan yang dinamik. Islam pula sebagai teras, iaitu cara hidup dan nilai kita dalam pegangan beragama. Islam yang menjadi pegangan di sini adalah menurut ajaran Ahli Sunnah Waljama’ah. Manakala Beraja pula merupakan sistem pemerintahan monarki yang dikekalkan turun temurun dengan Sultan yang adil saksama memerintah negara dan menerajui bangsa Melayu di atas takhta kerajaan. Sistem beraja ini merupakan sistem pemerintahan tradisi yang diwarisi oleh bangsa Melayu yang terkenal taat setia kepada raja. Dalam makalah ini, akan dibincangkan bagaimanakah sastera (baik yang sudah ada atau yang baru hendak ditulis) berperanan dalam memperteguh solidaratas bangsa, atau sejauh manakah peranan sastera dalam memelihara dan mempertingkatkan kefahaman terhadap falsafah Negara di Negara Brunei Darussalam , dan seterusnya dengan kefahaman tersebut dalam memperteguh solidaritas bangsa. Memperteguh solideratas bangsa, yang dalam kontek ini solideratas bangsa Brunei, tentunya dapat dilakukan dengan atau melalui berbagai cara dan salah satu caranya dengan memberikan kefahaman terhadap konsep atau falsafah negara iaitu Melayu Islam Beraja melalui penulisan karya sastera atau membaca karya-karya sastera yang sudah ada terutama karya-karya sastera tradisional Brunei yang bertemakan historiografi. Sekurang-kurangnya ada lima perkara atau hal yang didapati daripada karya sastera yang dirasakan boleh memberikan kefahaman dan mementapkan falsafah MIB, dan seterusnya dapat memperteguh solideratas bangsa tersebut, iaitu sastera dapat mengungkapkan sejarah Negara Bangsa, menungkapkan adat istiadat dan kebudyaaan Melayu Brunei, menjelaskan dan melestari nilai-nilai Melayu, menjelaskan dan melestari nilai-nilai Islam, dan seterusnya menjelaskan dan melestari Sistem Pemerintahan Beraja tersebut. Sastera Mengungkapkan Sejarah Negara Bangsa MIB bukanlah suatu konsep yang baru bagi negara. Konsep ini telah lama wujud dan diamalkan oleh bangsa Melayu Brunei sepertimana yang tercatat dalam manuskripmanuskrip lama Brunei iaitu Syair Awang Semaun (SAS), Hukum Kanun (HK), dan Silsilah Raja-Raja Brunei (SRRB). Berdasarkan catatan sejarah, konsep MIB ini telah diterima dan diamalkan oleh masyarakat Melayu Brunei sejak abad ke-15 masihi. Misalnya Awang Alak Betatar dalam SRRB dan SAS telah memeluk agama Islam setelah berkahwin dengan Puteri Johor. Awang Alak Betatar adalah Sultan Islam yang pertama di Brunei dan nama baginda kemudian ditukar menjadi Sultan Muhammad. Pengislaman Sultan Muhammad ini menjadi titik tolak bermulanya sistem pemerintahan bersultan di Brunei dengan Islam sebagai pegangan hidup; dan ketika itu bangsa Melayu selaku rakyat yang sentiasa mendukung kepimpinan raja perlahan-lahan turut sama 164 memeluk agama Islam. Ketaatan rakyat ini telah memperlihatkan kemuliaan dan kebesaran daulat seorang raja yang dianggap sebagai ketua agama, sekali gus dianggap sebagai wakil Tuhan dalam penyebaran dakwah Islam ke seluruh negeri. Peristiwa pengislaman ini dinyatakan dalam SRRB: Shahdan tersebut pula negeri Johor. Ada pun mula2 pada zaman itu Sultan Bahteri naik kerajaan didalam negeri Johor, maka zamannya itu dipanggilnyalah Awang Khalak Betatar dan Pateh Merbai didalam negeri Berunai ke Johor. Maka apabila sudah sampai dinegeri Johor, Awang Khalak Betatar itu Sultan Muhammad ialah jadi raja yang pertama dalam Berunai, dan Pateh itu digalarnya jadi Pangeran Bendahara Seri Maharaja. Maka sultan dinugerahi oleh Yang Di Pertuan Johor nobat negara dan genta ‘alamat dan negeri lima buah, iaitu negeri Kalaka’ dan negeri Saribas dan negeri Semarahan dan negeri Serawak dan Mukah. (Amin Sweeney, 1968:52) Petikan di atas menjelaskan bahawa SRRB adalah sebuah karya historiografi atau berunsur sejarah yang dapat membuktikan bahawa Raja Brunei yang pertama, iaitu Sultan Muhammad yang telah memeluk agama Islam dan menyebarkan agama tersebut kepada seluruh rakyat baginda. Setelah peristiwa pengislaman itu, bermulalah era baru dalam pemerintahan negara dengan menukar gelaran Raja kepada Sultan dan menjadikan agama Islam sebagai pegangan hidup. Konsep MIB yang menjadi pegangan rakyat ketika itu diteruskan dan diperkukuhkan lagi oleh Sultan-sultan yang berikutnya. Sultan Sharif ‘Ali, sultan Brunei yang ketiga terus memperkembangkan ajaran agama Islam kepada rakyatnya dan mendirikan masjid di Brunei. Maka tiada berapa lamanya, masoklah seorang bangsa ‘Arab yang bernama Sharif ‘Ali Bilfakih kedalam Berunai, yang turun temurun dari negeri Ta’if. Adalah Sharif itu panchir daripada Amirul Mu’minin Hasan, chuchu Rasulu’Llah s.a.w. Maka tiada berapa lamanya Sharif ‘Ali itu didalam negeri Berunai, ia pun berbini anak Sultan Ahmad ini; maka lalu dikahwinkanlah sebagaimana mengikut ‘adat raja2 pada masa itu. Maka Sharif ‘Ali inilah mendirikan agama Islam dan mengeraskan shari‘at nabi kita Muhammad s.a.w. di-dalam Berunai, dan membuatkan masjid. (Amin Sweeney, Silsilah Raja-Raja Brunei, 1968:54) Sejak itulah, sistem pemerintahan Brunei mula dipimpin oleh Sultan-sultan Ahlul Bait (darah keturunan Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wassalam) dan secara tidak langsung memperjelaskan mengenai ketinggian martabat Sultan-sultan Brunei dalam mentadbir negara dan menyebarluaskan ajaran agama Islam. Sultan Hasan, sultan yang ke yang terkenal warak dan adil dalam memerintah. Pada zaman Sultan Hasan inilah, HK telah dilaksanakan sebagai sistem perundangan negara. HK mengandungi 45 fasal yang menyentuh tentang segala peraturan, tegahan dan hukuman yang berkaitan dengan perundangan sivil, jenayah, hukum nikah kahwin, dan adat resam yang perlu diikuti oleh rakyat. Misalnya hukum hudud dalam fasal 7: Adapun pada hukum Allah Ta’ala orang mencuri tiada harus dibunuh melainkan dikudung tangannya juga. (Haji Asri bin Haji Puteh, 2003:6) Hukuman ini berdasarkan hukum syarak bagi kesalahan mencuri sepertimana firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam Surah al-Maidah, ayat 38: Adapun orang lelaki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana. (Al-Quran dan Terjemahannya, 2012:114) Pelbagai hukum telah diperjelaskan dalam HK sebagai panduan dalam menjalani hidup bermasyarakat. Selain itu, HK juga menekankan agar seorang raja yang dilantik itu memelihara dan menjaga amanah dalam melindungi rakyat yang berada di bawah 165 naungannya. Fasal pertama HK ada menyebut tentang sifat-sifat yang perlu ada pada seorang raja, iaitu pengampun, pemurah, dan adil dalam melaksanakan hukuman. Manakala dalam SRRB turut mencatatkan mengenai syarat-syarat yang mesti dipenuhi bagi pelantikan para Wazir dan Cheteria selaku wakil pemimpin di bawah Sultan. Tegasnya, beberapa teks sastera yang telah dinyatakan tadi telah merakamkan antaranya sejarah pengislaman Sultan Pertama Brunei, adat istiadat Diraja, pentadbiran undang-undang, dan juga dari segi kehidupan sosial masyarakat Brunei. Kesemua ini berkait rapat dengan konsep MIB dalam memelihara nilai-nilai murni bangsa Melayu agar mengamalkan hidup berperaturan, kebudayaan dan adat resam yang elok, taat kepada ajaran agama, dan setia kepada raja. Semasa pemerintahan Sultan Haji Omar ‘Ali Saifuddien Sa’adul Khairi Waddien, kewujudan konsep MIB ini telah dicatat secara rasminya dalam Perlembagaan Negeri Brunei 1959. Sehingga kini di bawah pemerintahan Sultan Haji Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah, Sultan dan Yang Di-Pertuan Negara Brunei Darussalam, konsep MIB tetap kukuh/mantap meskipun berhadapan dengan pelbagai cabaran di era kemodenan. Konsep ini pernah dititahkan oleh Kebawah Duli Yang Maha Mulia sempena Sambutan Hari Puja Usia baginda ke-44 tahun di daerah Belait pada 21 Julai 1990. Dari tiga rangkai kata Melayu Islam Beraja, terdapat unsur-unsur atau nilai-nilai yang positif untuk ketahanan Negara, umpamanya dari Melayu itu, ialah bahasanya. Siapapun tak boleh menyangkal, bahawa Bahasa Melayu itu adalah satu-satunya alat perpaduan kita yang paling efektif. Tanpa bahasa ini, kita tentunya tidak akan dikenali sebagai satu bangsa yang berdaulat lagi mempunyai identiti. Demikian juga Islam, ialah ugama yang menjamin seluruh kepentingan rakyat dan penduduk dengan tidak mengira apa jua ugama, suku kaum dan keturunan. Pendeknya ugama Islam adalah jaminan keselamatan dan kesejahteraan untuk semua. Kerana itu tidak siapa perlu takut atau ragu mengenainya. Sementara perkataan Beraja pula adalah menunjukkan kepada kerajaan yang bersultan atau beraja yang sudah wujud dan menjadi warisan zaman semenjak dari beberapa abad lagi. Titah Kebawah Duli Yang Maha Mulia tadi telah memperjelaskan lagi mengenai konsep MIB agar rakyat dapat memahami maksudnya yang sebenar. Selain itu, banyak karya sastera turut memainkan peranan dalam memberigakan konsep MIB antaranya dalam petikan sajak berikut, Sudah enam kurun bangsaku meniti gelombang Kebangkitan rasa dan minda Di bawah latihan Sultan Mahmud Shah Melayu Islam Beraja berkumandang sudah Menyingkap tabir kejahilan umat Sharif Ali galang ganti bangsa gemilang Islam terus menyinari buana rasa masjid terbina Hati gembira hukum kanun Brunei mendaulatkan agama (Helmi Harun, 2006:125) Dengan mengetahui dan memahami sejarah negara bangsa yang dijelaskan di atas, rakyat dan penduduk negara Brunei Darussalam akan mempunyai memori negara bangsa yang sama, yang seterusnya dengan kesamaan pengetahuan dan kefahaman tersebut akan melahirkan pula perasaan cinta kepada Negara yang sama. Hal ini tentunya akan menyumbang kepada usaha memperteguh solideritas bangsa Brunei. 166 Sastera Mengungkapkan Adat Istiadat dan Kebudayaan Melayu Brunei Bangsa Brunei merupakan bangsa yang begitu bangga dengan adatnya, bangsa yang kaya dengan adat resam. Adat di sini bermaksud peraturan atau perundangan dalam sesebuah masyarakat yang tidak bertulis akan tetapi diamalkan dan diterima pakai sehingga menjadi hukum yang mesti dipatuhi. Di negara Brunei, adat dan budaya kebruneian yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam masih lagi diamalkan dan dipertahankan kerana ia juga merupakan salah satu identiti bangsa Melayu Brunei. Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Di-Pertuan Negara Brunei Darussalam bertitah ketika merasmikan Kursus Wazir-Wazir, CheteriaCheteria, Menteri-Menteri termasuk Manteri-Manteri Pedalaman bertempat di Sekolah Menengah Arab Hassanal Bolkiah pada 22 Jun 1968: Laila adat istiadat adalah sebahagian daripada kebudayaan yang biasanya diamalkan dan menjadi kebanggaan oleh sesebuah negara, lebih-lebih lagi negara kita Brunei yang sedia laila subur dengan adat istiadat dan kebudayaannya. Apa-apa yang merupakan kebudayaan itu adalah terkandung ke dalam pengertian adab diperistiadatkan. Brunei dalam soal ini ialah sebuah negara tua, yang cukup indah dalam sejarahnya mempunyai adat istiadatnya yang rapus laila teratur. Adat terbahagi kepada dua, iaitu adat resam dan adat istiadat. Adat resam merupakan suatu peraturan atau kebiasaan yang diamalkan secara turun-temurun daripada satu generasi kepada satu generasi yang lainnya dan dihormati seolah-olah ia adalah peraturan bertulis. Adat ini, tidak mewajibkan seseorang itu untuk mengerjakannya tetapi adalah menjadi suatu keaiban bagi seseorang yang tidak mengerjakannya. Adat resam dalam istilah modennya dikenali sebagai norma. Norma dari sudut adat resam merupakan nilai atau kelakuan yang diterima menjadi kebiasaan atau kelaziman dan cara kehidupan atau kebudayaan masyarakat. Misalnya, berbudi bahasa dan bersopan santun itu adalah norma orang Melayu yang jarang didapati pada masyarakat lain. Sebagai contoh mengenai dengan aktiviti memucang-mucang yang mesti dihadiri oleh masyarakat yang tinggal di sebuah kampung, jika didapati seseorang itu tidak turut serta dalam pekerjaan memucang-mucang, maka perbuatan itu akan menjadi suatu keaiban kepadanya. Adat istiadat pula telah dipusakai sejak turun-temurun dari zaman Sultan terdahulu hinggalah sekarang. Akan tetapi setelah kedatangan agama Islam, adat istiadat ini telah disesuaikan menurut hukum Islam. Contoh yang jelas dapat dilihat daripada pengunaan bahasa Sanskrit dalam Chiri Menggelar Pembesar Diraja Brunei. Adat istiadat ini juga tidak diperundangkan akan tetapi menjadi suatu keaiban dan rasa bersalah kepada orang yang melanggarnya. Adat istiadat ada banyak antaranya ialah adat istiadat Diraja Brunei dan adat istiadat perkahwinan orang Melayu Brunei. Terdapat perbezaan antara kedua-dua adat istiadat yang disebutkan tadi. Adat Istiadat Diraja adalah suatu adat yang tetap dan telah diperistiadatkan. Ia mestilah dikerjakan dan dituruti serta dilaksanakan. Adat istiadat perkahwinan Melayu Brunei juga merupakan adat yang telah diwarisi turun-temurun, akan tetapi adat ini boleh ditinggalkan atau tidak dikerjakan. Walau bagaimanapun, ia akan memberi kesan negatif kepada sesiapa yang tidak mengerjakannya, sebagai contoh orang yang tidak mengerjakannya akan dipandang rendah dan dikatakan tidak tahu adat. Selain daripada adat istiadat perkahwinan, contoh bagi adat istiadat adalah seperti ketika lagu kebangsaan Brunei yang terkenal dengan nama “Allah Peliharakan Sultan” dimainkan, maka semua yang hadir akan berdiri dengan sendirinya. Jika didapati salah seorang daripada yang hadir itu tidak berdiri, dia akan dipandang rendah dan dianggap tidak tahu 167 peraturan. Walhal berdiri untuk menghormati lagu kebangsaan itu hanyalah suatu peraturan yang tidak bertulis. Dalam konteks adat istiadat Diraja Brunei, dapat dilihat melalui pengurniaan gelaran Wazir-wazir yang hanya diberikan kepada pengiran-pengiran yang mempunyai hubungan darah dengan raja-raja, manakala gelaran Cheteria pula hanya diberikan kepada mereka yang berketurunan pengiran-pengiran yang berbangsa (bangsawan). Gelaran Pehin-pehin Menteri dan Manteri Pedalaman pula diberikan kepada rakyat jelata yang terpilih. Perihal pengurniaan gelaran ini tercatat dalam SRRB manuskrip A, iaitu semasa mengurniakan gelaran akan dimulakan dengan adat istiadat tertentu seperti membaca chiri: … dan beberapa biduanda besar2 mengiringkan sireh persalinan itu. Sudah dibachakan chiri, maka dibari memakai pakaian kerajaan selengkapnya, dibari berkulah dan kamar dan tara; maka dudoklah diatas permaidani menyandar pada sheraga ratna kerana timangan2 Duli Yang Di Pertuan juga, maka lalulah naik keatas usongan, … (Amin Sweeney, 1968:23) Pembacaan chiri ini penting sebagai pengesahan bagi gelaran seseorang. Selain itu, dalam SRRB juga mencatatkan empat kelayakan yang perlu ada bagi seseorang yang akan dikurniakan gelaran. Syarat-syarat tersebut ialah: … maka hendaklah pertama orang berbangsa, kedua orang yang bijaksana lagi ber‘akal, ketiga orang yang berani dan lagi perkasa pada barang pekerjaannya, keempat adalah orang itu takut akan rajanya dan hormatnya. Maka jikalau ketiadaan salah suatu sharat yang keempat perkara itu maka tiadalah sempurna dijadikan wazir atau menteri atau hulubalang atau Pegawai. (Amin Sweeney, 1968:21) Selain SRRB, HK (2003) juga mencatatkan tentang pengurniaan gelaran terhadap kaum kerabat Diraja dan bangsawan termasuklah golongan rakyat yang terpilih menjadi pembesar negara seperti pelantikan menjadi Bendahara, Temenggung, Penghulu Bendahari, dan Syahbandar. Hal ini dinyatakan dalam petikan berikut: Adapun pertama-tama yang dijadikan itu Bendahara, dan kedua Temenggung, ketiga Penghulu Bendahari dan Syahbandar supaya terpelihara oleh raja-raja itu akan segala rakyatnya. (Haji Asri bin Haji Puteh, 2003:2) Kerajaan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Di-Pertuan Negara Brunei Darussalam telah mengambil beberapa inisiatif demi untuk mengekalkan adat istiadat sebagai identiti bangsa Melayu. Antara inisiatif tersebut adalah dengan menubuhkan Jabatan yang khusus, iaitu Jabatan Adat Istiadat Negara yang berfungsi menyelaraskan dan mengaktifkan adat istiadat Melayu terutama sekali yang berhubung dengan Majlis Keberangkatan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan ke majlis-majlis rasmi kerajaan. Jika kita perhatikan contohnya semasa Majlis Santap Malam sempena Ulang Tahun Hari Keputeraan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan yang diadakan setiap tahun, adat istiadat dalam majlis ini begitu indah dan tersusun rapi dengan bersandarkan kepada stratifikasi sosial masyarakat Melayu Brunei dengan susunan tempat duduk mengikut taraf, status dan pangkat masing-masing. Perkara inilah yang perlu kita pertahankan dan kita seharusnya berbangga kerana ini merupakan identiti kita sebagai bangsa Melayu yang tidak terdapat pada bangsa-bangsa lain. Maka jelaslah sastera juga turut berperanan melestarikan adat istiadat dan kebudayaan Melayu Brunei melalui beberapa karya yang telah dihasilkan. Karya-karya sastera sejak dahulu lagi telah memasukkan tentang adat istiadat dan kebudayaan Melayu Brunei sebagai rakaman serta panduan bagi masyarakat; dan secara tidak langsung menjadi dokumentasi sejarah untuk pengetahuan generasi yang akan datang. 168 Pengetahuan dan kefahaman dalam perkara ini sedikit sebanyak dapat membrikan sumbangan dalam memperkuat dan melestari konsp MIB serta seterusnya memperteguh solideratas bangsa. Sastera Menjelaskan dan Melestari Nilai-nilai Melayu Brunei Istilah Melayu dalam konsep MIB dapat ditakrifkan sebagai sebuah negara berbangsa Melayu yang mengamalkan unsur-unsur tradisi atau kebudayaan Melayu yang mempunyai nilai-nilai yang luhur. Bangsa Melayu yang dimaksudkan di sini ialah tujuh puak jati seperti yang telah diiktiraf oleh Perlembagaan Negeri Brunei 1959 iaitu Belait, Bisaya, Brunei, Dusun, Kedayan, Murut, dan Tutong. Sebagai bangsa yang telah diiktiraf, bangsa Melayu seharusnya memberikan contoh terbaik kepada bangsa-bangsa lain yang tinggal menetap di Brunei. Namun begitu, takrif Melayu dalam konsep MIB bukanlah bermaksud untuk memelayukan orang yang bukan berbangsa Melayu atau menganaktirikan bangsa-bangsa lain. Mereka hanya dikehendaki untuk mengetahui dan menghormati budaya Melayu dan bagi mereka yang sudah menjadi rakyat Brunei hendaklah menghayati dan menyesuaikan diri dengan budaya tersebut. Contohnya, bangsa Cina yang telah menjadi warganegara Brunei hendaklah mengetahui dan memahami konsep MIB seperti daulat atau taat kepada raja dan belajar menguasai penggunaan bahasa Melayu. Antara nilai-nilai yang menjadi kebanggaan bangsa Melayu sejak dahulu lagi ialah konsep hormat indung bapa (menghormati orang yang lebih tua), awar galat (bersopan santun), bakarih (rajin berusaha), penuntutan (sentiasa menuntut ilmu), cakah (cergas), titih lutanan (cermat, teliti dan tekun), dan lain-lain. Nilai-nilai ini dapat dilihat pada karya-karya sastera Brunei seperti pantun, syair, hikayat dan puisi. Misalnya nasihat Al-Marhum Sultan Haji Omar ‘Ali Saifuddien dalam syair-syair baginda agar kita bakarih, rajin beusaha dan penuntutan dalam menuntut ilmu tanpa mengira tempat sama ada dekat ataupun jauh sebagai bekalan di dunia dan di akhirat nanti: Menuntut ilmu sangat disuruh Jangan memilih dekat dan jauh Hendaklah diuji bersungguh-sungguh Mudahan menjadi pelita suluh … Dunia akhirat tiada rugi Jauh daripada nama yang keji Dengan izin Allahurabbi Menambahkan pangkat darjat yang tinggi (Syair Nasihat, h. 2) Tuntutlah ilmu bersungguh-sungguh Disertai dengan hati yang patuh Ibarat tanaman pastilah tumbuh Dapatlah nikmat buah diluruh (Syair Nasihat, h. 10) Tuntutlah ilmu seberapa jauh Duduki pelajaran laila bersauh Kalau segan duduk berkauh Ilmu pengetahuan di badan jauh (Syair Asli Rajang Hari, h. 25) 169 Selain itu, salah satu unsur terpenting dalam masyarakat ialah ‘budi’ yang dipandang tinggi dan merupakan ciri terunggul bagi bangsa Melayu Brunei. Perihal ‘budi’ ini sering terdapat dalam pantun-pantun Melayu sebagai gambaran bahawa bangsa Melayu itu memang terkenal dengan kesantunan ‘budi’ dan amat menghargai ‘budi’ yang telah diberikan. Misalnya dalam pantun berikut: Tinggi bukit gilang-gemilang Aing di laut tenang-tenangan Budi sedikit manakan hilang Seumur hidup jadi kenangan Daun tarap di atas bukit tempat menjemur buah pahala Budi tuan bukan sedikit Sebanyak rambut atas kepala Bercincin patah balitung Mari dibawa memilih beras Budi si dayang tidak terhitung Kemudian hari kami membalas (Awang bin Ahmad, 1989:2) Perihal ‘budi’ ini turut terdapat dalam Syair-syair karangan Al-Marhum Sultan Haji Omar ‘Ali Saifuddien, misalnya: Di manakan dapat menabur budi Ingatkan budi tiada sudi Di manakan dapat menabur jasa Melupakan jasa setiap masa Melupakan jasa di manakan sudi Tambahan melupakan laila budi Wahai anakku, kakak dan adi Kebahagiaan yang mana kekal abadi (Syair Asli Rajang Hari, h. 8) Cara hidup masyarakat Melayu juga amat berbeza dengan bangsa-bangsa lain meskipun sebelum kedatangan agama Islam ke Brunei. Misalnya melalui cara berpakaian orang Melayu yang tidak terlalu menjolok mata seperti memakai baju cara melayu untuk lelaki dan baju kurung atau baju kebaya untuk perempuan yang biasanya dipakai ke majlis-majlis tertentu seperti majlis perkahwinan. Setelah kedatangan agama Islam, pakaian orang Melayu diperbisaikan lagi dengan menutup aurat, contohnya memakai baju kurung dan bertudung. Manakala jika bangsa Melayu berbuat sesuatu perkara yang kurang elok seperti berpakaian menjolok mata atau berkelakuan tidak senonoh di khalayak ramai, bangsa lain akan mengatakan “Melayu saja”. Ini juga merupakan satu “kenyataan” bahawa bangsa Melayu itu memang terkenal memelihara tatasusila sehinggakan bangsa-bangsa lain juga bersetuju dan mengiktiraf bangsa Melayu itu sebagai bangsa yang memiliki nilai-nilai yang luhur seperti awar galat dan bersopan santun. Selain itu juga, nilai murni yang sering menjadi kebanggaan masyarakat Melayu ialah bermuafakat dan tolong-menolong terutama sekali semasa melakukan persediaan bagi acara suka dan duka. Nilai ini dinyatakan oleh Al-Marhum Sultan Haji Omar ‘Ali Saifuddien dalam syair baginda: 170 Bulat air kerana alungan Bulat manusia kerana muafakat Ke arah kebajikan bertolong-tolongan Benda yang berat ringan diangkat (Syair Asli Rajang Hari, h. 34) Sastera juga ada mengisahkan tentang pentingnya hubungan persaudaraan yang boleh dijadikan pengajaran kepada masyarakat, contohnya dalam Syair Awang Semaun. Awang Semaun ialah putera bungsu daripada 14 orang separdian, beliau merupakan seorang pahlawan yang paling gagah dan berani, namun perkara ini tidak menjadi alasan untuk beliau tidak menghormati kekanda-kekandanya. Awang Semaun tetap memperlihatkan semangat persaudaraan terutama kepada Awang Alak Betatar sebagai kekandanya yang tua. Contohnya, Awang Semaun telah mendahulukan Awang Alak Betatar untuk naik ke atas pokok ketika hendak bertemu dengan ayahanda mereka di kayangan. Ini merupakan gambaran sikap terpuji, iaitu suka beralah kepada yang lebih tua. Pemikiran ini merupakan antara ciri-ciri budaya Melayu yang terkenal dengan nilainilai luhur seperti menghormati orang yang lebih tua. Sememangnya masyarakat Melayu Bruni sejak dahulu lagi sudah terkenal memiliki kesemua nilai tersebut dan mengamalkannya dalam kehidupan seharian mereka. Nilai-nilai luhur yang dijelaskan atau dimuatkan dalam karya-karya sastera tersebut itulah dirasakan sedikit sebanyak dapat memantapkan konsep MIB, dan memperteguh solideratas bangsa Brunei. Sastera Menjelaskan dan Melestari Nilai-nilai Islam Islam adalah agama rasmi negara seperti yang termaktub dalam Perlembagaan Negeri Brunei 1959 dan merupakan salah satu komponen penting dalam konsep MIB. Islam yang dimaksudkan di sini adalah menurut ajaran Ahli Sunnah Waljama’ah. Sebagai satu-satunya agama yang mempraktikkan cara hidup yang lengkap, Islam merangkumi nilai-nilai murni seperti jujur, amanah, benar, ikhlas, dan lain-lain. Nilainilai tersebut kerap digambarkan dalam karya-karya sastera bagi tujuan memperjelaskan lagi kepentingannya kepada pembaca. Misalnya dalam beberapa petikan berikut: Keikhlasan hati sungguh berguna Cahayanya menerangi alam saujana Laila adil timbangan baina Bertimbang rasa yang bijaksana (Syair Asli Rajang Hari, h. 2) Hari Khamis lima haribulan Lima rajangnya lima bilangan Laila bentuk berkeadilan Bertulus jujur tiada walangan (Syair Asli Rajang Hari, h. 7) Walau berlainan bahasa dan cara Tiada berasingan pendapat dan kira Ke arah kebaikan jujur dan mesra Sangat berguna pada negara Berfaedah sungguh kepada negeri Yang jujur dan ikhlas di sanubari Yang bersependapat sama berdiri Membuat kebajikan tiada lari 171 (Syair Asli Rajang Hari, h. 23) Ayuta singgahsana kalam terhembur Si dewa-dewa perbu cara bertutur Mudah-mudahan Allah mendulur Kepada hamba-Nya berhati jujur Berhati jujur berbetul niat Tabah dan sabar selagi berhayat Barang perbuatan hendaklah giat Dapatlah jalan yang manfaat (Syair Nasihat, h. 1) Supaya dapat kita berikhtiar Menurut perintah-Nya janganlah ingkar Menjalankan usaha berserta sabar Tawakal kepada Allahuakbar (Syair Nasihat, h. 3) Sabar itu ada pasangannya Iaitu ikhtiar bersama-samanya Jangan ditinggalkan salah satunya Harus mencapai kebajikannya (Syair Nasihat, h. 23) Contoh lain bagi sikap terpuji dalam Islam adalah seperti amalan bermesyuarah dan berunding sebelum membuat keputusan. Nilai ini tercatat dalam Syair Rakis (Awang bin Ahmad, 1989:21), Pertama jangan memakai tegahan Kedua jangan bersalah-salahan Ketiga muafakat serta sekalian Keempat mesyuarat membicarakan Jelaslah di sini bahawa sastera turut memainkan peranan dalam melestarikan nilai-nilai Islam kepada masyakarat dan seterusnya secara tidak langsung dapat memantapkan konsep MIB dan memperkukuhkan bangsa. Sastera Menjelas dan Melestari Sistem Pemerintahan Beraja Sistem pemerintahan beraja amat sinonim dengan dunia Melayu kerana bangsa Melayu sejak dahulu lagi – meskipun sebelum kedatangan agama Islam – memang terkenal dengan taat setia yang tidak berbelah bahagi kepada raja. Ketaatan ini bukan sahaja disebabkan oleh adat dan budaya bangsa Melayu yang pantang menderhaka kepada raja akan tetapi kerana berpegang teguh kepada ajaran agama Islam yang menyeru umatnya agar sentiasa mentaati perintah Ulul Amri selama mana ia tidak mendekati kepada maksiat. Perihal taat setia kepada raja ini banyak tercatat dalam karya-karya sastera tradisi sebagai gambaran sememangnya nilai tersebut merupakan warisan yang menjadi kebanggaan bangsa Melayu. Kesetiaan rakyat Brunei kepada raja ini dapat dilihat melalui watak Awang Semaun dan saudara-saudaranya dalam SAS. Awang Semaun dan saudara-saudaranya sanggup berkorban demi memastikan keselamatan raja Brunei, iaitu Awang Alak Betatar ketika perairan Brunei diserang oleh lanun. Malahan Awang Semaun juga sanggup mengorbankan nyawanya sendiri daripada membiarkan raja Brunei turun berperang. 172 Berdatang sembah Awangku Bendahara Ampun tuanku mahkota indera Lanun banyak di tanjung pura Masuk ke mari melanggar negara Dijunjung berangkat seribu pati Tuanku jangan menuruti hati Dijunjung tuanku masuklah pasti Biarlah patik dahulu mati Biarlah patik dahulu berlawan Dengan bangsanya harian Tuanku jangan tiada ketahuan Anggur pun patik jadi layuan Anggurlah patik hancur dan luluh Tuanku tidak melepas tempuh Tuanku jangan sangat gelupuh Patik tiada lagi bertangguh (Haji Abdul Hamid Jaludin, 2010:124-125) Semangat kesetiaan ini juga dapat dilihat ketika berlangsungnya upacara adat istiadat Diraja, misalnya: Istiadat berpuspa juga dapat memperlihatkan semangat kesetiaan orang Brunei kepada rajanya khususnya semasa majlis perpuspaan apabila pembesar dan rakyat yang menghadiri upacara tersebut memberikan pengakuan secara rasmi tentang taat setia mereka yang tidak berbelah bagi. Misalnya dalam teks Silsilah Raja-raja Brunei dinyatakan bahawa salah satu acara yang dijalankan semasa berpuspa adalah pernyataan “sembah” yang diucapkan oleh pembesar dengan suara yang nyaring sambil menghunus pedang. Teriakan tersebut kemudian diikuti atau disambut oleh rakyat jelata dengan mengatakan, “Daulat Yang Di-Pertuan”. (Ampuan Dr. Haji Brahim Ampuan Haji Tengah, 2011:36-37) Taat setia rakyat kepada raja masih terserlah sehingga ke hari ini apabila setiap rakyat sentiasa memberikan komitmen dalam acara-acara yang bersifat kenegaraan dan kebangsaan terutama yang dihadiri oleh Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Di-Pertuan seperti Sambutan Hari Keputeraan, Acara Ramah Mesra Bersama Rakyat, Sambutan Maulidur Rasul, dan sebagainya. Komitmen rakyat ini memberi gambaran bahawa nilai taat setia dalam mendukung pemerintahan beraja amat dititikberatkan oleh bangsa Melayu. Tegasnya dalam konsep MIB, Sultan merupakan pemerintah dan ketua negara yang memegang tampuk pentadbiran dan pengurusan kerajaan sekali gus sebagai ketua agama bagi negara. Oleh itu, setiap rakyat perlu taat setia dan mendukung kepimpinan baginda. Kuasa Sultan ini telah dinyatakan dalam Perlembagaan Negeri Brunei 1959 seperti berikut: Kuasa memerintah yang tertinggi bagi Negara Brunei Darussalam adalah terletak di dalam tangan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Di-Pertuan. Kuasa yang diamanahkan kepada Sultan termasuklah memastikan kebajikan, kesejahteraan serta keamanan rakyat dan penduduk sentiasa terjamin. Oleh yang demikian sebagai balasan kepada raja, rakyat telah memperlihatkan taat setia yang tidak berbelah bahagi sejak dahulu lagi. Pengetahuan dan Kefahaman mengenai Sistem Pemerintahan Beraja yang dibicarakan di atas, yang disampaikan melalui karya sastra 173 mampu membawa negara mencapai matlamatnya dan dapat memastikan kebajikan rakyat sentiasa dijaga dan solideratas bangsa terus terpelihara. Penutup Daripada tulisan atau karya sastra yang ada, ternyata sastra telah terbukti atau dapat digunakan dalam memberikan kefahaman dan pengetahuan mengenai konsep dan falsafah negara MIB kepada rakyat dan penduduk Negara Brunei Darussalam. Terdapat lima perkara yang berkaitan dengan MIB yang sudah ada, atau boleh diadakan dalam karya sastra iaitu latar belakang sejarah negara bangsa, adat istiadat dan kebudayaan Melayu, nilai-nilai Melayu, Islam, dan Sistem Pemerintahan Beraja. Dengan mengetahui dan memahami konsep MIB khususnya lima perkara tersbut, setiap rakyat akan mempunyai cita-cita, tanggungjawab, gagasan, kecintaan (rasa nasionalis) dan latar belakang yang sama terhadap kedaulatan bangsa dan negara Brunei Darussalam. Kesamaan tersebut itulah yang menjadi asas dalam mempreteguh solidritas bangsa, atau boleh juga diibaratkan bahawa kesamaan itu sebagai akar yang telah memperkuat pohon solidaritas bangsa. Sehubungan dengan itu juga, sebagai tambahan, setiap rakyat Brunei hendaklah sentiasa berusaha mempertahankan nilai-nilai murni bangsa Melayu seperti yang terdapat dalam karya-karya sastera yang dibincangkan di atas, supaya dapat memantapkan lagi falsafah negara dan seterusnya mampu memberi sumbangan dalam pembangunan bangsa dan negara. Antara peranan orang Brunei dalam mendukung konsep MIB ialah taat setia kepada raja, berpegang teguh dengan ajaran agama Islam menurut Ahli Sunnah Waljama’ah, mewujudkan perasaan setia pada negara, mendukung matlamat dan aspirasi negara, menghormati dan mematuhi Perlembagaan dan Undang-Undang Negara, serta mempertahankan dan memperkukuhkan budaya bangsa Melayu. Peranan tersebut merupakan sebahagian daripada tanggungjawab penulis menghasilkan karya-karya sastra yang komitat bagi memperkuat solidritas bangsa dan menjamin survival negara, iaitu Negara Brunei Darussalam. Daftar Rujukan Abdul Hamid Jaludin, Haji, 2010. Syair Awang Semaun (Koleksi Muzium). Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka. Abdul Latif Haji Ibrahim, Haji, Ph.D., 2004. Melayu Islam Beraja: Penghantar Huraian (Edisi Kedua). Bandar Seri Begawan: Akademi Pengajian Brunei, Universiti Brunei Darussalam. Al-Qur’an dan Terjemanahnnya, 2012. Kuala Lumpur: Pustaka Darul Iman. Amin Sweeney, P.L. ‘Silsilah Raja-Raja Brunei’ dlm. JMBRAS 41(2), December 1968. Ampuan Brahim Ampuan Haji Tengah, Dr. Haji, 2009. Fungsi Sastera. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka. __________, 2010. Kesusasteraan Brunei Tradisional: Pembicaraan Genre dan Tema. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka. __________, 2011. Pembicaraan Sastera dan Budaya. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka. Asri bin Haji Puteh, Haji (pnys.), 2003. Hukum Kanun. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka. 174 Awang bin Ahmad, 1989. Pengantar Sastera Lama Brunei. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka. Gira Ujan, 2008. Pengantar Sejarah Kesusasteraan Klasik Melayu Brunei. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka. Helmi Harun, 2006. Pelayaran Sang Sufi (antologi pusisi). Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka. Kamus Dewan Edisi Ketiga, 1994. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Md. Zain bin Haji Serudin, Pehin Jawatan Luar Pekerma Raja Dato Seri Utama Dr Ustaz Haji, 1998. Melayu Islam Beraja: Suatu Pendekatan. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka. Mohd. Jamil Al-Sufri, Pehin Orang Kaya Amar Diraja Dato Seri Utama (Dr.) Awang Haji, 1982. ‘Adat-istiadat Brunei’ dlm. Ikhtisar Budaya, Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka. __________, 1990. Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan Perkembangan Islam. Bandar Seri Begawan: Jabatan Pusat Sejarah. Mohd. Jamil Al-Sufri, Pehin Jawatan Dalam Seri Maharaja Dato Seri Utama Dr. Haji Awang, 1996. Perlaksanaan Dasar Negara Melayu Islam Beraja. Bandar Seri Begawan: Pusat Sejarah Brunei. __________, 2008. Melayu Islam Beraja: Hakikat dan Hasrat. Bandar Seri Begawan: Pusat Sejarah Brunei. Muda Omar ‘Ali Saifuddien, 1994. Syair Asli Rajang Hari. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka. __________, 2008. Syair Nasihat. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka. 175 MENEGOSIASI KESENJANGAN: PENDEKATAN FUNGSIONALISME DALAM TERJEMAHAN Harris Hermansyah Setiajid (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta – Indonesia) Abstrak: Dewasa ini semakin banyak akademisi penerjemahan menganggap produk terjemahan sebagai entitas otonom yang terpisah dari karya “asli” yang diterjemahkan. Terjemahan layak menempati posisi “karya asli”, bukan lagi turunan kedua. Pandangan ini diperkuat oleh semakin banyaknya karya terjemahan yang melakukan penyesuaian dan adaptasi terhadap budaya sasaran (target culture), untuk mempersempit lebarnya kesenjangan dan menaturalisasi konten-konten yang mungkin dianggap sensitif bagi budaya sasaran. Pendekatan yang “ramah budaya sasaran” ini dipelopori oleh Reiss yang menyebutnya sebagai pendekatan fungsionalisme. Pada awal kemunculannya, pendekatan ini dianggap menyimpang dari teori-teori terjemahan lama yang menekankan kesetiaan pada bahasa sumber. Dalam pendekatan fungsionalisme, keakuratan terjemahan tidak lagi diukur dari tingginya “kesetiaan” pada bahasa sumber, tetapi dari tingkat keberterimaan terjemahan oleh pembaca sasaran. Makalah ini mencoba mengeksplorasi bagaimana pendekatan fungsionalisme bekerja dan diterapkan dalam terjemahan. Pendekatan fungsionalisme dalam makalah ini digambarkan dengan membandingkan teks sumber dan teks sasaran untuk menunjukkan “keakuratan” terjemahan dilihat dari perspektif fungsionalisme. Kata kunci: pendekatan fungsionalisme, bahasa sumber, bahasa sasaran Pengantar Penerjemahan acapkali dianggap sebagai pekerjaan sederhana memindahkan satu bahasa ke bahasa lainnya. Yang sering dilupakan dan tidak terlihat adalah bagaimana proses menerjemahkan itu terjadi di dalam benak seorang penerjemah. Pengambilan keputusan untuk memilih suatu istilah di antara banyak pilihan dilakukan berdasarkan, antara lain, latar belakang penerjemah, tujuan penerjemahan, dan pembaca sasaran. Proses yang rumit ini tidak terjadi di ruang hampa, namun penuh dengan kepentingan sosial, ekonomi, dan politik. Seperti yang dikatakan Hatim dan Munday, “...the focus [of translation] has broadened far beyond the mere replacement of SL [Source Language] linguistic items with their TL [Target Language] equivalents” (2004: 6). Fokus penerjemahan tidak hanya mengalihkan bahasa sumber (Bsu) ke bahasa sasaran (Bsa). Pengaruh berbagai kepentingan ini menjadikan terjemahan tidak lagi sekadar kegiatan kebahasaan yang netral. Namun, hal itu tidak terlihat dalam produk terjemahan, karena pembaca hanya menilai terjemahan dari sisi apakah terjemahan tersebut enak dibaca atau tidak. Pendekatan terjemahan seperti yang ditawarkan Newmark dalam Diagram V-nya berikut ini menunjukkan kontinum terjemahan dari SL-heavy (menekankan BSu) hingga TL-heavy (menekankan pentingnya BSa) (Newmark, 1989: 16): 176 Penekanan BSu Penekanan BSa Word-for-word Adaptation Literal translation Free translation Faithful translation Idiomatic translation Semantic/communicative translation Sementara ada pendekatan terjemahan yang menekankan pada pentingnya pembaca sasaran sebagai fokus utama dalam pengambilan keputusan. Pendekatan tersebut kemudian berkembang dan banyak diterapkan karena bisa mengakomodasi kesenjangan yang terjadi antara teks sumber (TSu) dan teks sasaran (TSa). Pendekatan fungsionalisme dalam terjemahan Dipelopori oleh Katharina Reiss, pendekatan fungsionalisme ini awalnya berangkat dari konsep ekivalensi-nya Nida (1970) yang preskriptif. Reiss menekankan pentingnya situasi komunikatif yang terjadi di budaya TSa (Reiss, 1971: 113-114). Menurutnya, sebuah teks harus bisa memenuhi keinginan pembaca TSa tanpa menimbulkan gejolak yang mengakibatkan tujuan terjemahan tidak tercapai. Walaupun pendekatan yang ditawarkan Reiss ini sudah mencoba terlepas dari pendekatan yang preskriptif seperti pada periode-periode sebelumnya, dalam praktiknya ekivalensi yang bersifat korespondensi satu-satu terkadang masih menjadi fokus utama. Pendekatan fungsionalisme ini kemudian dikembangkan oleh Reiss dan Vermeer dengan memperkenalkan teori mereka yang disebut sebagai skopos theory (skopos berasal dari bahasa Yunani yang artinya ‘tujuan’). Dalam buku mereka yang berjudul Groundwork for a General Theory of Translation, Reiss dan Vermeer menyatakan bahwa “...a translatorial action which is based on an ST, which has to be negotiated and performed and which has a purpose and a result” (Reiss dan Vermeer, 1984: 228). Bahwa tindakan penerjemahan yang didasarkan pada BSu, yang harus dinegosiasikan dan dilaksanakan, harus punya tujuan dan hasil. Teori skopos mementingkan tujuan terjemahan yang secara hipotetis bahkan harus mengatasi segala hambatan yang mungkin terjadi ketika produk dihasilkan untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagai contoh, ketika seorang penerjemah harus menerjemahkan sebuah cerita yang mengisahkan persahabatan seorang anak dengan anjingnya, ia harus memerhatikan pembaca sasaran terjemahannya. Apakah pembaca sasaran bisa menerima gambaran kedekatan anak dan anjing yang sedemikian akrab, atau menganggap hal tersebut sebagai kenajisan, karena bagi sebagian agama anjing dianggap sebagai binatang najis. Penerjemah harus pula mengetahui tujuan terjemahannya. Apakah terjemahan tersebut untuk menggambarkan keakraban antara manusia dan hewan, sehingga jenis binatang bisa diubah agar bisa diterima pembaca sasaran, atau justru terjemahan tersebut dilakukan untuk mengubah pola pikir masyarakat yang menganggap anjing sebagai binatang najis. Mengetahui tujuan penerjemahan akan membantu penerjemah mengambil keputusan di tengah berbagai pilihan yang tersedia. Dalam pendekatan fungsionalisme, keakuratan terjemahan dimaknai bukan lagi sebagai ketepatan atau kesamaan secara tektual, namun lebih pada pemaknaan kontekstual situasi TSa. Artinya, penerjemahan direkayasa sedemikian rupa agar bisa diterima dengan baik oleh pembaca TSa. Sebagai contoh, pada teks yang mengandung pornografi, agar teks terjemahan bisa diterima oleh pembaca teks sasaran, unsur pornografi bisa dihilangkan, seperti contoh berikut ini: 177 No 1/ST/171 Teks Sumber I felt her tongue against my own, conscious of the way her body was responding, and breathed deeply as her fingers began to drift toward the snap on my jeans. When I slid my hands lower, I realized that she was naked beneath the shirt. No 1/TT/245 Teks Sasaran Aku merasakan lidahnya mendesak lidahku, sadar akan reaksi tubuhnya, dan bernapas keras saat jemarinya mulai bergerak ke arah kancing jinsku. Saat tanganku meluncur turun, aku menyadari bahwa dia telanjang di balik kausnya. Keterusterangan dalam terjemahan tersebut di atas akan menimbulkan masalah jika pembaca sasaran tidak menginginkan elemen-elemen pornografi. Pendekatan fungsionalisme bisa menegosiasikan kesenjangan keinginan tersebut dengan mengubah terjemahan menjadi seperti berikut ini Teks Sumber I felt her tongue against my own, conscious of the way her body was responding, and breathed deeply as her fingers began to drift toward the snap on my jeans. When I slid my hands lower, I realized that she was naked beneath the shirt. Teks Sasaran A Aku merasakan sensasi itu dari Savannah. Semua jelas kini bahwa aku menyimpan rasa itu ketika ia mulai mendekat dan aku mulai merasakan kehangatan yang menggetarkan. Teks Sasaran B Tubuh Savannah yang mendekatiku dengan kehangatannya, dan dengus napasnya yang melambungkanku membuatku berani membalasnya dengan menyentuh tubuhnya yang halus. Kedua teks sasaran berusaha ‘menyembunyikan’ kevulgaran yang ada di teks sumber. Dalam derajat yang berbeda, teks sasaran A dianggap lebih ‘sopan’ dibandingkan teks sasaran B. Teks sasaran A dan B diterjemahkan dengan menggunakan pendekatan fungsionalisme, dengan mempertimbangkan pembaca sasaran yang memiliki budaya yang tidak mengizinkan unsur-unsur pornografi ditampilkan secara vulgar. Nord dalam bukunya Translating as a Purposeful Activity menawarkan model yang lebih luwes dalam menerapkan pendekatan fungsionalisme. Ia menggarisbawahi “three aspects of functionalist approaches that are particularly useful” (1997: 59). Tiga aspek pendekatan fungsionalisme tersebut adalah: 1. pentingnya ‘instruksi terjemahan’ (translation brief, menurut istilah Nord); 2. peran analisis teks sumber; 3. hierarki fungsional dalam masalah-masalah terjemahan. Pentingnya instruksi terjemahan Nord menekankan bahwa penerjemah harus membandingkan profil TSu dan TSa terlebih dahulu sebelum mulai menerjemahkan. Instruksi terjemahan harus menginformasikan: (1) tujuan teks, (2) pembaca sumber dan pembaca sasaran, (3) waktu dan tempat teks tersebut dibaca, (4) media yang digunakan, (5) motif (mengapa TSu ditulis dan mengapa harus diterjemahkan). Informasi tersebut diperlukan untuk membantu penerjemah memprioritaskan hal yang harus disampaikan dalam TSa (Nord 1997: 59–62). 178 Pentingnya analisis teks sumber Setelah profil kedua teks dipetakan, TSa selanjutnya dianalisis untuk mencari strategi terjemahan yang tepat. Faktor-faktor yang ditawarkan Nord untuk menganalisis TSa adalah intratekstual, yaitu analisis pragmatic dalam situasi komunikatif yang terjadi (Nord 1997: 62). Pentingnya hierarki fungsional dalam masalah-masalah terjemahan Berikut ini hierarki fungsional yang ditawarkan Nord ketika penerjemahan dilakukan: (1) fungsi terjemahan harus dinyatakan secara jelas, (2) elemen-elemen fungsional yang perlu diadaptasi dalam TSa harus ditentukan, (3) tipe terjemahan menentukan gaya terjemahan, (4) masalah-masalah kebahasaan yang muncul diatasi dalam tataran kebahasaan yang lebih rendah (Nord 1997: 62) Menegosiasikan kesenjangan dengan pendekatan fungsionalisme Berikut ini disajikan bagaimana pendekatan fungsionalisme diterapkan dalam menerjemahkan sebuah teks. Teks diambil dari buku Bruce Feiler tentang Abraham. Three religions recognize Abraham as the Father of heaven religions, namely Judaism, Christianity, and Islam. Abraham is the place where the differences meet. He is also the source of the unending conflict between Jews and Moslem. Abraham is also known for his unconditional obedience to God, when he was tested by God: he had to slaughter his beloved son, Isaac, to prove his loyalty to God. (Feiler, 2005: 56) Instruksi terjemahan adalah sebagai berikut: Instruksi 1 Instruksi 2      Pembaca sasaran beragama Nasrani Teks diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan bisa diterima oleh pembaca Terjemahan bertujuan menunjukkan kepatuhan manusia  Pembaca beragama Nasrani Teks diterjemahkan untuk keperluan kuliah perbandingan agama Terjemahan bertujuan menunjukkan kisah Abraham dalam versi agama Islam Dari dua instruksi tersebut di atas, terlihat bahwa pembaca sasaran beragama Nasrani. Namun, terlihat perbedaan dalam tujuan terjemahan. Hasil terjemahan teks dengan menggunakan Instruksi 1 adalah sebagai berikut: Versi 1 Tiga agama mengakui Abraham sebagai Bapak agama wahyu. Agama-agama tersebut adalah Yahudi, Kristen, dan Islam. Abraham menjadi titik temu dari segala perbedaan yang ada. Namun, beliau juga merupakan pangkal dari segala perseteruan bebuyutan antara agama Yahudi dan Islam. Abraham terkenal akan ketaatannya kepada Allah. Pada suatu ketika Abraham diuji oleh Allah: beliau harus menyembelih Ishak, putra kesayangannya, sebagai korban persembahan, bukti kesetiaan kepada Allah. 179 Bandingkan dengan hasil terjemahan menggunakan Instruksi 2: Versi 2 Tiga agama mengakui Nabi Ibrahim sebagai Bapak agama samawi. Agama-agama tersebut adalah Yahudi, Kristen, dan Islam. Pada Nabi Ibrahimlah segala persamaan di antara perbedaan bermuara. Beliau merupakan pangkal dari segala perseteruan bebuyutan antara agama Yahudi dan Islam. Nabi Ibrahim juga terkenal akan ketaatannya kepada Allah SWT. Pada suatu ketika Nabi Ibrahim diuji oleh Allah SWT: beliau harus menyembelih Ismail, putra kesayangannya, sebagai korban persembahan, bukti kesetiaan beliau kepada Allah SWT. Perbedaan terlihat nyata antara Versi 1 dan Versi 2. Walaupun dengan pembaca yang sama, terjemahan menjadi sangat berbeda karena tujuan terjemahan berbeda pula. Perbedaan-perbedaan tersebut menyangkut konteks dan peristilahan, yang bisa dilihat dalam tabel berikut ini: Versi 1 Versi 2  Abraham  Ibrahim  Agama wahyu  Agama samawi  Allah  Allah SWT  Ishak  Ismail Perbedaan yang terjadi disebabkan karena kisah Ibrahim versi Islam dan Kristen sangat berlawanan, terutama terkait dengan sosok putra yang dikorbankan Ibrahim. Agama Kristen mengakui Ishaklah sosok tersebut, sementara agama Islam menyatakan bahwa Ismail adalah putra yang dikorbankan Ibrahim. Perbedaan yang tajam tersebut bisa menjadi konflik jika penerjemah tidak berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya. Pendekatan fungsionalisme dengan instruksi terjemahan yang mementingkan tujuan dan pembaca sasaran terjemahan mampu menegosiasikan kesenjangan perbedaan tersebut sehingga teks terjemahan bisa diterima pembaca. Jika pendekatan preskriptif yang menekankan pada kesesuaian satu-satu diterapkan, nama ‘Isaac’ akan diterjemahkan menjadi ‘Ishak’, tak peduli siapa pun pembaca sasaran dan tujuan terjemahan. Pendekatan fungsionalisme ini mampu meredam berbagai potensi konflik dan ketidakberterimaan pembaca akibat terlalu penerjemah terlalu terpaku pada pendekatan terjemahan yang preskriptif. Akan tetapi, bisa pula terjadi, pendekatan fungsionalisme ini disalahgunakan untuk memanipulasi terjemahan dengan memasukkan isi-isi tertentu yang kadang tidak terdapat dalam TSu. Hal itu pernah terjadi dalam kasus penerjemahan biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams berjudul Soekarno: Autobiography as Told to Cindy Adams. Dalam terjemahan bahasa Indonesia, terdapat paragraf-paragraf tambahan yang tidak ada dalam TSu. Paragraf-paragraf tersebut ditambahkan untuk kepentingan politik penguasa Orde Baru guna menimbulkan kesan konflik terjadi antara dwitunggal Soekarno-Hatta. 180 Paragraf tambahan, yang diklaim diucapkan Bung Karno, tersebut adalah “Tidak ada yang berteriak ‘Kami menghendaki Bung Hatta!’ Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri saat pembacaan Proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada.” (Adam, 2008). Dalam kasus tersebut, selain melanggar etika terjemahan, penambahan paragraf yang tidak ada dalam TSu juga menyalahi penerapan pendekatan fungsionalisme, walaupun mungkin tujuan penerjemahan yang ditetapkan penguasa Orde Baru adalah untuk memecah belah dwitunggal. Penutup Pendekatan fungsionalisme bisa mengatasi kesenjangan perbedaan yang terjadi antara TSu dan TSa agar teks bisa diterima pembaca sasaran. Pendekatan fungsionalisme yang berorientasi pada pembaca sasaran ini memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan leksikal dan konteks agar tercapai situasi komunikatif yang berterima bagi budaya pembaca sasaran. Meskipun demikian, penambahan isi yang berbeda dengan maksud TSu, tidak diizinkan dalam pendekatan fungsionalisme. Daftar Rujukan Adam, Asvi Warman Adam. “Kasus Biografi Soekarno”. KOMPAS, 12 Juni 2008. Hatim, Basil dan Jeremy Munday. Translation: An Advanced Resource Book. London: Routledge, 2004. Feiler, Bruce. Abraham: A Journey to the Heart of Three Faiths. New York: William Morrow Paperbacks, 2005. Newmark, Peter. Approaches in Translation. Manchester: St. Jerome, 1989. Nord, C. Translating as a Purposeful Activity: Functionalist Approaches Explained. Manchester: St Jerome, 1997. Reiss, K. and H. Vermeer. Groundwork for a General Theory of Translation. Tübingen: Niemeyer, 1984. Reiss, K. Translation Criticism: Potential and Limitations. Diterjemahkan E. Rhodes. Manchester: St Jerome and American Bible Society, 1971. Sparks, Nicholas. Dear John. Translated by Barokah Ruziati. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010. Sparks, Nicholas. Dear John. New York: Warner Bros, 2006. 181 LITERARILY IN LITERARY: NURTURING PEACE BY ADDRESSING CONFLICT TABOO TOPICS THROUGH LITERATURE Helena M. A. Rijoly (Pattimura University Ambon – Indonesia) Ambon is currently enjoying the harmonious and beautiful life once again. The shadow of 1999 conflict is far behind us in the year 2015. Nevertheless, the depth of its power to change the course of life of every single Ambonesse people is eminent. It has changed the course of life of people living during the conflict time. It has shaped the life of Ambon we know and experience now. No doubt it will still affect every Ambonesse newborn for generation to come. Ambon and its people inherited a transformation and affirmation of values because we have been through the hell of conflict time and have gone out to taste the victory of post-conflict period. However, the road to peace doesn’t end there. Our road is long and we will keep passing the baton to our predecessor. Peace building after traumatic sectarian conflict such as Ambon is a continuous peace building process until we instill the habit which turns into the new life of ours. Segregation of Place and Mind Demographically, Ambon has changed compared to the pre-conflict time. The segregation is still apparent with the increase of homogenous religious community pockets. This owes to the IDP (Internally Displaced People) who fled their home which was once located in more heterogeneous area to their perceived safe sanctuary which was among people of their religious groups. Prior to conflict, people of Ambon lived side by side harmoniously. After the conflict, everyday’s life dynamics are back to it was before despite the relocation and segregated community. Schools are open, government offices and public services are running, people interact normally in the market and on the street. The border lines between communities are diminishing. Some even dare to live among the different religious communities again. As we shifted from post-conflict phase towards stabilized society, the talk of peace building, reconciliation and dialogue began to wear off and somewhat avoided by people in general. Based on general observation, there are less Peace Building and Reconciliation workshops, training or dialogue taking place in Ambon. Current workshops and trainings concentrated more on development of various subjects; education, fishery, agriculture, health etc. This is a normal practice because naturally people would want to leave the painful past behind and move forwards in development. In the point of view of peace process especially after the event of sectarian conflict, Peace is a continuous process of never ending dialogue. The entry point to the dialogue for sustainable Peace and Reconciliation however, has and need to change. No longer does it comes in the form of a roundtable discussion, workshop and training on conflict and peace building workshops and dialogue. The entry point of sustainable peace should lies in every day interaction, educational development, sciences, art and literature. Between parents to child, between street vendor and buyer, between ojek 182 driver and passenger, between teacher and student and the list goes on. Peace and reconciliation, conflict prevention and solidarity are and should always be the underlying breath beyond the content and the format of dialogue. There was an event of interreligious encounter in an education setting that shines a light to the need of a continuous treatment to blurred the segregation of mind. A language center located in the center of a Christian community had several new students. They were Moslems. The day that the new student arrived, the teacher was teaching a class of Junior high school level students. They turned and saw 2 girls in Jilbab walking in. One of them said in a hushed voice to the friend next to her, “Dong biking apa disini?” (What are THEY doing here?). The word choice and the tone used indicate that there’s ‘us’ and there’s ‘them’, that they belong to different group and we are surprise that you are here among us. Along the way, one of the girl no longer wore her jilbab. Upon inquiry, she said that her parents advised her not to wear it so not to attract to much attention to her in the middle of Christian area. These indicate the existence of a strong segregation of mind even in these very young students and their parents. They were probably was just a baby or not even born when the conflict of 1999 happened. However, they inherit the story, the pain, the prejudice and the segregation of the ‘you’ and the ‘me’. Lazy Tolerance There is a terminology used by a young spirited Protestant church pastor and Interfaith activist who recently received a Tanenbaum Peacemaker in Action Award, Rev. Jacky Manuputty, which correctly defined the bad habit and time bomb of underlying the peaceful phase in Ambon at the moment. He called it “Lazy Tolerance”. Lazy tolerance or lazy peace can be boiled down to the over-generalization of the matter, the brushing-off-aside matter to make ways for peace for all. The danger of this is that we are falling into conflict habit which is bottling up emotions. Bottled up emotions are like a sealed can of soda waiting to pop when it is shaken hard. The example of this ‘Lazy Tolerance’ can be observed in the jargons of ‘We are at peace now’… ‘No more war. We are at peace with each other’… ‘We are brothers and sisters’… ‘Let bygones be bygones’…. ‘Forgive and Forget”. These jargons are both exhilarating and scary. When it is said through a process of healing, then these jargons are refreshing breath of new life of a relationship. However, when it is prematurely said in the realms of ceremonial and public say, they have the tendency towards bottled up emotion. The last 2 jargons are the most dangerous because it appears to be the most religious and wisest jargon to say and to be believed. However, Forgiveness should not be mistaken with forgetting. Forgiveness does not equal or followed or prerequisite of forgetting. ‘To forgive the victimizer in a conscious act full on intentionality, a clear memory is required’ (Satha-Anand, 1998. p. 73). The healing process which lead to forgiveness and harbored safely of reconciliation and sustainable peace must passed through the phase when we can talk about things that we feel, things that angered us, things that disappoint us etc without being judged. Forgiveness or being at peace means that we can look back, talk about the past, express our feeling without pain and judgmental towards others but in the spirit of togetherness and acceptance (Rijoly, 2014. p. 350) The Heart Hears Art The heart is a complicated matter. Its depth and breadth are unknown to men. It’s un-explorable with man-made devices. It is unexplainable with man created theory and 183 conceptual ideas. Even if there’s an eloquently said theory to explain the heart, it covers a tiny fraction of the gigantic pool of heart. One of the rare tools (if not the only one) to explore, to express, to reach and to touch the heart is art. Art in its many forms; music, poetry, drama, paintings, dance etc. Even in if we want to playful, we may do a play on words and letters, an anagram, of the two words of Heart and Art. HEART HE  Man, The human HEAR  responding to EAR  The device – the senses, metaphorical and concrete ART  The medium, the tools. We can playfully come up with the explanation that “The human senses hear and respond to art in its many forms”. The Heart hears Art. In the occurrence when your senses are numb and hardened due to exposure to extreme trauma, pain, tragedy and provocation. Art helps to penetrate these barriers. This is because the art exclusively address the idea of aesthetic experience: your senses are operating in their peak. You (your heart) are present at the moment and your (brain) resonating with the excitement of the thing you are experiencing. Art is the realm when you are fully alive (Robinson). The medium of art not only allows you to feel but also to express in a safe environment. In the pluralistic and multicultural society especially one like Ambon, who has gone through the hell of sectarian conflict, the art provide a space for continuous peace and reconciliation dialogue. It allows and encourages the victims to let go of the need to position oneself as the victim and the other as the perpetrator/enemy and to embrace the fact that the other are suffering as much as I do and that is how he/she feels and treated. (Rijoly, 2014. p. 338) Nurturing Peace through Literary Appreciation “Once an individual or a community has experienced severe violence, time alone cannot bring healing and the capacity for peaceful relationship” (Boulding, 1998. p. 103). Healing process is crucial to enter the phase of forgiveness and towards a sustainable peace and reconciliation. Healing or “self-cleansing must inevitably lead to turmoil of emotions. Anger, sadness, grief, and shock must be allowed to surface. To face these profound emotions is the beginning of healing” (Muller-Fahrenholz, 1997. P. 88). As we discuss before, art is the tools in the healing. The art form this paper will discuss is the literary appreciation in the form of poetry, prose, drama and its other forms. The title of this paper use the play on similar words: Literary and Literarily. The oxford dictionary defines Literary as pertaining to or of the nature of books and writings especially those classed as literature. Literally is defined as in literal manner or straight forward and as it is without masking or diplomacy. Thus, literary work provide safe haven to peaceful and reconciling dialogue. Poetry, Chant, Mantra, story-telling and drama has recently being the new wave of ‘communication’ in young people. Pioneered by literary enthusiast, society if not groups are sprouting. Some of those are Bengkel Sastra Community (Literary Workshop), Paparisa Community and I believe many more I am not familiar with. In the last 2 years, we have witness the publication of various poetry anthology books, poetry performances by both Muslim and Christian artist as well as reflective and theoretical 184 books sharing stories of conflict and reconciliation written by Ambonesse themselves. We observe the shift of the topic from talking about the experience then about appreciating shared historical and cultural past to appreciating the heroes of Maluku who fought and whose ideas shaped not only Maluku but also Indonesia. Reading and attending some of the earlier joint Christian – Moslem poetry performances by these young people brought hope and healing not only to those performing it but also to those present. All the taboo, hush-hush, no-no words and expression about conflict came flooding out: Shouted and blasted through the speaker, writhing in agony through the expression and contortion of the performer and blatantly expressed by the words choice. Suddenly, talking about the pain of losing my brother or father killed by the ‘enemy’ group is a shared experience which we cried together. Suddenly cursing and shouting my hate is acceptable and embraced because the next stanza is my process of healing. It is welcomed. It is encouraged. They (we) are sharing stories and building the future literarily through literary. This year, we observe shift in the topic. Invitation through social media asked for literary work pertaining to shared identity, shared history, shared common ground. For example, the latest submission intake is for Malam Kapata event of Bengkel Sastra Maluku. The theme “Disini masih ada orang kuat berpuisi” can be translated two ways Here still stand Strong people doing poetry or Here still standing, people who strongly uphold poetry: An ode to Poetic Leihitu Land. This signify an important milestones as it signal the shift from the need to express pain and feeling of conflict to dialoguing shared common ground and shared history. This is an important milestone of healing as Ambon is walking the right way towards healing and not succumbing to ‘Lazy Tolerance and/or Lazy Peace’. Recognizing difference and celebrating similarities and common grounds are important steps. We cannot and should not assume that everyone and every religion are the same. As the jargon “All Religion are the same”. The essence of religion is finding God or divine power to help make sense on this world, to find peace and to find ways to navigate life. However, the road, the doctrines are not the same. Thus instead of finding difference and build barriers because of it, we need to celebrate it and acknowledge it without the need to find which is the right on and which is the truest. Maluku Interfaith Institution, once produced a catchy Slogan T-shirt that perfectly summarized this during the heat of the conflict. It said “Why must Religion divide us?”. Another recent event on social media gave a beautiful example of what happen when the barrier is non-existence and we acknowledge, celebrate and respect each other. A young pastor friend was diagnosed with a serious illness. He posted a message asking for prayer support on social media. Many of his friend responded. Among those responds, there was a comment by a common friend of ours, a devout Moslem woman who says, “Brother, I mentioned your name in my sholat (prayer)”. He replied, “Thank you, sister. Jesus blesses you and your family”. Knowing both of them personally, it is for sure that those words are not intended to sound religious, tolerant or wise. They are genuine words being said intentionally and whole-heartedly. The woman has no problem praying for the friend in her moment with God, the man has no problem saying the word ‘Jesus bless’ to a Moslem knowing that she wouldn’t mind this because she and he are strongly rooted in their faith thus not afraid of each other. As this paper is finalizing, the event of Paris Terror attacked surge to public. It was a heart-breaking. Human has been indoctrinated, poisoned and anesthetized to perform such brutal killing of other human as if they have no worth at all. Not only 185 Paris, Beirut, Iraq and Syria have also seen bloodbath. This is not the world we want our children to grow up in. Far from those cities, Ambon has seen her fair share of bloodbath. It is the responsibility of each and everyone in Ambon to nurture peace and reconciliation amidst the pluralistic and multicultural community. Ambon needs not to forget and neglect the continuous peace and reconciliation dialogue which will strengthen the bond between communities. The bond between communities cannot be created if we do not have a shared values and common ground. This paper does not attempt to say that literary is the answer. However, art especially Literary appreciation is one way among many outlets and entry points we can use. Literary is art. Art is aesthetic which wakes up our senses and made us to live in the moment in awareness and not blindness. In contrary, lazy tolerance and blind extremist indoctrination anaesthetized and shut down your senses, common sense and empathy. It is in the realm of art and literary appreciation that we are safe to dialogue: to give and to accept. Literary works also record history, reconciliation, values and virtues in honesty. Perhaps literary appreciation can help build strong sense of shared identity and shared common ground. Thus instead of inheriting hate, we are inheriting a new value and virtues of life in pluralistic and multicultural community -- References Bouilding, E. 1998. “Culture of Peace and Communities in Faith”. In Herr, R and Zimmerman-Herr, J (Eds.), Transforming Violence: Linking Local and Global Peacemaking. 1998. Scottdale,PA: Herald Press Muller-Fahrenholz. 1997. The Art of Forgiveness. Geneva: WCC Publication. Rijoly, H. “Tidur Dengan Musuh”. In Manuputty, J and Salampessy, Z Et. Al (eds.), Carita Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku. 2014. Ambon : Lembaga Antar Iman Maluku dan PUSAD Paramadina. Satha Anand, C. 1998. “The Politics of Forgiveness”. In Herr, R and Zimmerman-Herr, J (Eds.), Transforming Violence: Linking Local and Global Peacemaking. 1998. Scottdale,PA: Herald Press 186 KRITIK SOSIAL DALAM NOVEL SANG NYAI KARYA BUDI SARDJONO Herning Puspitarini & Sri Wahyuningtyas (Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta – Indonesia) Abstrak: Karya sastra merupakan pencerminan realitas sosial yang di dalamnya berisi kompleksitas kehidupan. Makalah ini menaruh perhatian pada masalah sosial dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Masalah sosial tersebut berkaitan dengan kompleksitas kehidupan dalam lingkup masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa dalam novel tersebut mempunyai kepercayaan terhadap mitos Nyai Roro Kidul dan sangat mematuhi adat kebudayaan Jawa. Untuk mengungkap kritik sosial yang terkandung dalam novel Sang Nyai digunakan pendekatan sosiologi sastra, dengan fokus analisis pada tokoh dan peristiwa. Hal ini disebabkan aktivitas tokoh di dalam peristiwa menghadirkan adanya kritik sosial. Hasil pembahasan ini mengungkapkan bahwa kritik sosial yang terkandung dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono meliputi: kritik sosial terhadap penguasa, kritik sosial terhadap kondisi sosial masyarakat Jawa, kritik sosial terhadap budaya ziarah, kritik sosial terhadap perbedaan ideologi modern dan tradisional, dan kritik sosial terhadap pelanggaran tata krama dalam tradisi Jawa. Kata kunci: kritik sosial, tradisi, ideologi Pendahuluan Masyarakat merupakan elemen penting dalam terciptanya suatu sistem nilai. Melalui sistem nilai tersebut terdapat kompleksitas yang menjadi masalah sosial. Masalah sosial mendasari pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra. Hal ini disebabkan karya sastra merupakan sebuah fakta yang terlahir dari berbagai permasalahan yang terjadi. Menurut Goldmann, penciptaan karya sastra sebagai bentuk pengembangan hubungan manusia dengan dunianya. Penuangan ide dari pengarang merupakan wujud dari keyakinan kelompok, karena hal itu dibentuk oleh norma dan fungsi pragmatik yang berlaku pada ruang, waktu, dan kebudayaan tertentu (Faruk, 2012:90-92). Dengan demikian, hal yang terjadi di masyarakat dapat menjadi obyek kajian karya sastra. Karya sastra merupakan pencerminan keadaan sosial masyarakat pada masa karya tersebut diciptakan. Keberadaan karya sastra sebagai pencermaninan masyarakat dapat berwujud sebagai bentuk kritik terhadap permasalahan sosial yang terjadi. Menurut Saini K.M. (1986:14-15) pengarang karya sastra mempunyai peran sebagai berikut: pengarang menggunakan sastra untuk mendukung sebuah sistem dengan mengkaji nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra sesuai realitas sosial masyarakat; pengarang melakukan perlawanan atau memberikan gambaran yang bertentangan dengan kekuasaan yang ada; dan pengarang mempunyai peran sebagai pendukung sebuah sistem tetapi dengan tujuan untuk melakukan kritik melalui karya sastranya. Berdasarkan hal tersebut, novel Sang Nyai menyampaikan kritik melalui karyanya dengan memberikan gambaran peristiwa yang terjadi di masyarakat. Permasalahan sosial tersebut berasal dari perilaku tokohnya. 187 Budi Sardjono menceritakan hubungan tokoh utama dalam novel Sang Nyai yang bernama Sam dengan tokoh-tokoh lain yang berkaitan dengan Nyai Roro Kidul. Keberaniannya untuk terjun ke lapangan mencari informasi tentang sosok Nyai Roro Kidul merupakan bentuk interaksi sosial Sam dengan masyarakat Yogyakarta. Terdapat banyak permasalahan sosial yang ditemukan Sam saat melakukan liputan ke beberapa tempat yang berkaitan dengan sosok misterius sang Ratu penguasa pantai Selatan. Novel yang mengambil setting kota Yogyakarta ini mengungkapkan kehidupan masyarakat Yogyakarta yang sarat dengan budaya dan masih tunduk pada kepemimpinan sang Sultan. Terlihat jelas Budi Sardjono dalam menggambarkan tokohtokohnya ada yang masih mempertahankan adat, namun ada juga yang telah mengalami modernitas. Masalah sosial ini yang akan diangkat dalam pembahasan tentang kritik sosial yang terdapat di dalam novel tersebut. Pembahasan Novel Sang Nyai mengungkapkan banyak masalah sosial sebagai dampak dari misteriusnya tokoh Nyai Roro Kidul. Namun, masalah sosial yang tersaji di depan Sam juga merupakan bentuk kritik terhadap realitas sosial. Masyarakat pada dasarnya mempunyai kepercayaan terhadap suatu mitos tertentu yang menjadi hegemoni dalam kebudayaannya. Begitupula sosok Nyai Roro Kidul yang masih sangat dipercaya mempunyai hubungan istimewa dengan para Sultan keturunan Mataram dan penunggu Merapi oleh rakyat Yogyakarta. Melalui novel ini terungkaplah bahwa sosok sang Nyai tersebut menjelma menjadi seorang gadis cantik misterius yang dijumpai Sam ketika berada di tempat-tempat yang ada kaitannya dengan Nyai Roro Kidul, bernama Kesi. Pengarang memberikan kritik melalui novel Sang Nyai terhadap beberapa aspek sosial dalam novel tersebut. Aspek-aspek tersebut meliputi kritik terhadap penguasa, kritik terhadap kondisi sosial masyarakat, kritik sosial terhadap budaya ziarah, kritik sosial terhadap perbedaan ideologi modern dan tradisional, dan kritik sosial terhadap pelanggaran tata krama dalam tradisi Jawa. Kritik Terhadap Penguasa Kritik terhadap penguasa merujuk terhadap pemerintah. Pemerintah merupakan tokoh masyarakat yang dikenal dan disegani rakyat. Namun, dalam novel ini diungkapkan bahwa pemerintah tidak terlalu memperhatikan kepentingan rakyat. Berdasarkan penuturan Mas Darpo, diungkapkan bahwa para pekerja seks komersial yang ada di sekitar Cepuri Parangkusumo melakukan pelacuran untuk mencukupi kebutuhan hidup. Melalui dialog antartokoh, pemerintah diungkapkan sebagai tokoh yang hanya bisa melarang, namun tidak dapat memberikan jalan keluar, seperti memberikan lapangan pekerjaan yang layak bagi perempuan tuna susila tersebut. Jika pemerintah memberikan bantuan kepada mereka, maka prostitusi tidak akan menjamur di sekitar tempat ziarah. Berikut kutipannya: “Pemerintah cuma melarang. Tapi tidak mencarikan jalan keluar. Orang-orang yang sok suci cuma mengutuk, tetapi mereka tidak mau mengawini. Coba daripada mengutuk, ambil saja mereka sebagai istri, dinikahi secara resmi, diberi nafkah lahir batin, maka perempuan-perempuan itu pasti tidak akan menjual diri lagi. Benar nggak, Mas?” (Sardjono, 2012:15-16) Pemerintah seharusnya turun tangan dalam menangani segala masalah sosial yang terjadi di masyarakat dengan melakukan pemantauan langsung. Sebuah larangan terhadap sesuatu harus diimbangi dengan memberikan solusi. Kurangnya ketegasan pemerintah membuat rakyatnya mengalami kesulitan. Untuk itu, dari kutipan di atas 188 menegaskan bahwa pemerintah seharusnya menyediakan lapangan kerja yang layak bagi para perempuan tuna susila, agar mereka bisa mengembangkan diri dan melakukan kreativitas melalui lapangan pekerjaan yang layak. Hal tersebut justru akan memberikan dampak positif bagi kemajuan bangsa. Pemimpin yang cerdas dalam memecahkan suatu masalah, dan tidak banyak bicara merupakan pemimpin yang akan disegani rakyat. Bahkan peran tokoh Sam yang memilih untuk naik becak daripada naik taksi ketika mengunjungi keraton Solo juga merupakan bentuk sindiran terhadap para pejabat. Ia mengungkapkan gagasan bahwa dengan naik becak selain dalam rangka menikmati pemandangan di kota Solo, Sam juga bermaksud memberikan rezeki untuk penarik becak yang ia tumpangi. “Wuahhh, hebat dong!” pujinya sambil mengangkat kedua ibu jarinya. “Benar, benar. Hal terakhir itu yang sering dilupakan orang. Katanya memperhatikan kawula cilik, orangorang kecil, namun hanya sebatas omongan. Tidak ada realisasi. Bagaimana mungkin orang bilang mencintai kawula cilik tapi ke mana-mana naik sedan mewah? Menginap di hotel bintang lima dan pesan makanan di restoran mahal? Sama juga bohong ya, Mas?” (Sardjono, 2012:222). Hal yang dilakukan Sam bermaksud bahwa sudah seharusnya para pemimpin lebih memperhatikan rakyat kecil. Faktanya sebagian besar pejabat lebih senang berfoya-foya dengan kekayaan yang dimiliki, terkadang mereka melupakan bahwa rakyatnya masih menderita. Pemimpin seperti itu belum melaksanakan tugas kepemimpinannya dengan benar. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat berbaur dengan rakyat, merasakan penderitaan rakyat, dan rela berkorban demi kesejahteraan rakyat. Sebagai contoh pemimpin yang berbaur dengan rakyat yakni Pak Jokowi, presiden RI ke-7, yang melakukan blusukan atau menyusup ke wilayah-wilayah yang tidak pernah dijangkau oleh pemerintah. Sistem ini patut menjadi contoh bagi pemerintah agar dapat melihat secara langsung kondisi sosial rakyat yang dipimpin. Setelah itu, pemerintah dapat memberikan bantuan atau membuat kebijakan untuk lebih mensejahterakan rakyatnya. Kritik Terhadap Kondisi Sosial Masyarakat Selain kritik terhadap penguasa, dalam novel Sang Nyai juga mengungkapkan kondisi sosial masyarakat Indonesia pada umumnya dan penduduk Yogyakarta khususnya. Masalah sosial itu meliputi beberapa hal, pertama adalah tentang korupsi. Korupsi merupakan penyakit masyarakat yang harus dibasmi. Hal itu bisa dilakukan dari masyarakat yang terkecil hingga para pejabat pemerintahan. Untuk membasmi korupsi harus ada kesadaran masing-masing individu. Jika pelaku korupsi tidak segera ditindak pidana, maka hal itu akan menjadi budaya dan sulit untuk dirubah. Akan tetapi, perkembangan zaman membuat budaya korupsi semakin marak di masyarakat. Seperti kutipan berikut: “Kalau tidak ikut edan, nanti tidak kebagian.” “Tapi, yang pada kebagian itu sekarang pada mendekam di sel tahanan. Apa tidak wirang itu? Dulu jadi orang nomor satu di kabupaten, provinsi, kotamadya, kantor, e... sekarang jadi narapidana! Sebuah gelar yang diberi gratis pun tak ada yang mau. Apa Mas Sam mau diberi gelar narapidana?” (Sardjono, 2012: 223) Dapat dilihat dari kutipan di atas bahwa perkembangan zaman membuat korupsi tidak asing di masyarakat, terutama dalam bidang politik. Ketika seseorang tinggal di lingkungan para koruptor, namun dia tidak ikut melakukan korupsi maka dia dianggap tidak solid dalam kelompok tersebut. Hal itulah yang dialami oleh para pejabat tinggi yang melakukan korupsi secara besar-besaran. Sebagian dari mereka pada akhirnya, 189 mendekam di dalam penjara. Kasus yang membelit tidak jauh dari kasus korupsi. Namun, jika sistem dalam mengorganisir suatu pekerjaan dikelola dengan baik secara terbuka dan transparan, maka rakyat bahkan para pejabat segan untuk melakukan korupsi. Mereka akan sadar bahwa perilaku tersebut merugikan banyak pihak. Selain korupsi, masalah sosial di masyarakat dalam novel Sang Nyai juga dapat dilihat dari didirikannya losmen-losmen bertarif murah sebagai tempat lokalisasi di sekitar Merapi dan Cepuri Parangkusumo. Losmen-losmen tersebut dibuka sebagai sarana untuk mendapatkan uang. Namun, mereka tidak tahu bahwa dengan melakukan hal tersebut akan mempengaruhi mental anak-anaknya. Anak-anak dari penduduk yang mendirikan losmen tentu mengalami perkembangan yang buruk. Pada dasarnya, anakanak akan meniru perilaku dari orang dewasa yang ia lihat. Jika dari kecil mereka melihat perbuatan asusila terjadi secara bebas di lingkungan tempat tinggalnya, maka ketika hal itu dibiarkan mental anak-anak yang seharusnya menjadi penerus bangsa akan rusak. Simaklah kutipan berikut: “Masih tanya lagi. Coba bayangkan kalau mereka tiap hari, di depan matanya, melihat sendiri laki perempuan bukan suami istri masuk ke kamar. Malah ada anak-anak yang disuruh mengantar minuman ke kamar. Ada sejumlah remaja yang jualan kondom atau alat kontrasepsi yang lain. Generasi itu kelak mau jadi apa? Apa mereka akan memiliki mental juang untuk menggapai kehidupan yang lebih mulia?” Sugeng mulai emosi. Dia menghentikan motor di depan warung wedang ronde. “Saya sedih melihat kenyataan semacam itu. Tetapi, tidak bisa apa-apa. Karena memang menyangkut sumber nafkah orang lain.” (Sardjono, 2012:171) Sugeng mengungkapkan pernyataan itu, karena melihat realitas sosial yang terjadi di masyarakatnya. Ia menentang dibangunnya tempat asusila, namun tidak dapat melakukan apapun. Ia hanya orang biasa. Keluh kesah Sugeng kepada Sam merupakan wujud kritik yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat. Pertumbuhan anak bangsa dipengaruhi oleh pendidikan yang dia terima. Untuk itu perlu ditanamkan nilai-nilai moral yang baik bagi mereka sejak kecil. Orangtua memegang peranan penting dalam perkembangan pertumbuhan anak. Kritik Terhadap Budaya Ziarah Ziarah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:1136) adalah kunjungan ke tempat-tempat yang dianggap keramat. Tradisi ziarah sering dilakukan oleh sebagian besar masyarakat. Dalam novel Sang Nyai, tradisi ziarah dilakukan dengan mengunjungi tempat keramat yang didatangi oleh Nyai Roro Kidul. Tempat itu berada di tepi pantai selatan Yogyakarta, yakni Cepuri Parangkusumo. Di Parangkusumo terdapat sebuah batu yang diyakini oleh masyarakat sebagai batu tempat pertemuan antara kanjeng Sultan dengan Nyai Roro Kidul, batu ini dikenal dengan nama selo gilang. Jika malam Jum’at Kliwon maka tempat itu ramai dikunjungi oleh para peziarah yang ingin meminta berkah kepada Nyai Roro Kidul lewat doa dari sang juru kunci, Mas Darpo. “Nanti di sini, mereka itu sebenarnya mau apa?” tanyaku kepada Mas Darpo. “Ya, intinya ziarah, tirakat, laku prihatin, memohon kepada Sang Pencipta agar mau mengabulkan permohonan mereka.” “Katanya, agar permohonannya terkabul, mereka harus berhubungan suami istri, tetapi tidak dengan pasangan resminya, harus dengan orang lain. Benar begitu?” Mas Darpo tertawa terkekeh-kekeh. “Dari mana Mas Sam dengar hal itu? Ini Parangkusumo, bukan Gunung Kemukus.” (Sang Nyai, 2011:17). Para peziarah mendatangi Parangkusumo bermaksud meminta berkah kepada Nyai Roro Kidul. Akan tetapi, ziarah tersebut kadang dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk mencari hiburan. Pertanyaan Sam kepada Mas Darpo juga didasarkan dengan 190 adanya kabar yang mengatakan bahwa jika berhubungan dengan pasangan tidak resmi akan membuat permohonan terkabul. Hal ini didukung dengan adanya banyak losmen yang disewakan bagi pasangan-pasangan itu untuk menghabiskan malam bersama. Mas Darpo menampiknya, ia mengatakan bahwa hal tersebut tidak benar. Keberadaan losmen sebagai tempat prostitusi di wilayah Cepuri Parangkusumo merupakan masalah sosial yang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ziarah dalam novel Sang Nyai. Mereka memanfaatkan keadaan untuk mencari uang demi menafkahi hidup. Meskipun demikian, budaya ziarah tidak seharusnya menjadi sarana untuk melakukan perbuatan asusila, karena ziarah merupakan bentuk laku prihatin yang dilakukan untuk memohon kepada Sang Pencipta melalui perantara Nyai Roro Kidul. Kritik Terhadap Perbedaan Ideologi Modern dan Tradisional Permasalahan berikutnya menyangkut pada perbedaan ideologi modern dan tradisional. Ideologi modern dalam novel tersebut digambarkan melalui beberapa tokoh. Akan tetapi, hal itu lebih mengacu pada pembuktian dalam penemuan informasi tentang sosok Nyai Roro Kidul. Ideologi modern yang dianut oleh Ki Aji Sembada yang menentang kuat keberadaan Nyai Roro Kidul merupakan ideologi materialisme. Paham materialisme disebabkan oleh tidak diakuinya prinsip kerohanian yang berperan diantara manusia selain hukum fisik dan biologis. Hanya ada alam kebendaan (Veeger, 1993:12). Ki Aji Sembada menganggap kisah Nyai Roro Kidul hanya bualan dari pujangga keraton sebagai bentuk hegemoni kepada rakyat. Ideologi materialisme menegaskan jika hal-hal yang berbau alam gaib merupakan bentuk yang tidak logis. Wujud Nyai Roro Kidul hanya fiktif yang digunakan untuk membodohi masyarakat Jawa agar tetap tunduk kepada pemerintahan keraton. Kebenaran tentang Nyai Roro Kidul pada akhirnya terbukti dengan penampakannya dalam wujud Kesi. Sam sebagai tokoh berkeyakinan rasional yang juga menentang keberadaan Nyai Roro Kidul, justru mengalami banyak kejadian mistik yang berhubungan dengan sang Ratu Pantai Selatan tersebut. Perhatikan kutipan berikut ini: Karena penasaran, bungkus kado itu kurobek. Di dalamnya terdapat kotak kayu ukir yang halus, motif naga dan kembang melati. Kotak kubuka. Isinya kebaya brokat warna hijau gadung, kain batik motif sido mukti, ulos atau selendang dari Batak, satu bungkus plastik kecil berisi abu. Di bawah barang-barang itu, ada tujuh buang uang logam emas. Ketika kuamati, uang itu persis dengan milik Nyai Maryatun. Bergambar wanita cantik. Dan, wanita itu tiada lain adalah Kesi! Jadi..., benarkah Kesi itu penjelmaan dari sang Nyai?! Kedua tanganku gemetar. Kedua kakiku gemetar (Sardjono, 2011:435). Pada akhirnya Sam percaya bahwa keberadaan Nyai Roro Kidul merupakan sosok yang nyata. Hal itu membuatnya harus mengakui bahwa hal-hal irasional memang ada dan berkembang di masyarakat. Bertentangan dengan ideologi modern, terdapat ideologi tradisional di dalam novel tersebut yakni, banyak orang yang percaya dengan adanya sosok penguasa Laut Selatan tersebut. Kepercayaan mutlak para peziarah dibuktikan dengan kehadiran mereka dalam mengikuti acara labuhan. Labuhan itu merupakan bentuk persembahan kepada Nyai Roro Kidul agar membantu rakyat Yogyakarta dari ancaman letusan gunung Merapi. Barang-barang labuhan inilah yang pada akhirnya diperebutkan oleh para peziarah. Mereka menganggap barang-barang yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul adalah benda yang keramat, sehingga mereka saling memperebutkan tanpa menghiraukan keselamatan diri. 191 Dengan demikian, meskipun terdapat pertentangan antara ideologi modern dengan ideologi tradisional yang mempercayai keberadaan sang Nyai. Namun, terdapat pembuktian bahwa sosok Nyai Roro Kidul yang dipercaya oleh sebagian masyarakat Yogyakarta dalam novel tersebut memang benar adanya. Akan tetapi, jika ada bencana yang ditimbulkan amukan pantai Laut Selatan ketika terjadi labuhan bukan merupakan kehendak Nyai Roro Kidul. Hal itu terjadi karena kesalahan dari masyarakat yang nekat. Kelalaian masyarakat yang ikut dalam labuhan ini merupakan masalah sosial. Jika mereka terjadi bencana karena hal itu tentu saja Nyai Roro Kidul tidak dapat dipersalahkan. Kepercayaan terhadap sesuatu hal harus diikuti dengan pemikiran yang rasional, memperhitungkan kebaikan dan keburukan agar tidak menimbulkan hal yang tidak dikehendaki. Segala bencana merupakan kehendak alam dan Sang Pencipta. Kritik Terhadap Pelanggaran Tata Krama dalam Tradisi Jawa Masyarakat Jawa masih sangat kuat dalam menjalani tradisi. Apabila seseorang tidak mempunyai tata krama, maka perbuatan asusila akan sering dilakukan. Seperti halnya raja, Nyai Roro Kidul dianggap sebagai tokoh yang dihormati sebagai penguasa Laut Selatan. Tata krama terhadap seorang ratu harus ditunjukkan oleh masyarakat penganutnya. Tokoh Pak Nung yang tidak mengetahui bahwa Kesi adalah penjelmaan Nyai Roro Kidul dengans seenaknya memberikan pernyataan bahwa ingin mengajak perempuan itu bercinta. Bahkan jika kehilangan mobil pun dia ikhlas. Hal itu akhirnya menjadi kenyataan. Mobil pak Nung mengalami kebakaran hebat. Sang Nyai memberikan pelajaran tersebut agar pak Nung mengetahui kesalahannya. Orang Jawa masih sangat menghormati tradisi. Tata krama dijunjung tinggi di depan para pemimpin. Setiap orang yang berbicara dengan pemimpin harus bersikap sopan. Hal itu merupakan teladan yang baik, karena pemimpin merupakan simbol dari suatu masyarakat. Ketidaksopanan merupakan bentuk pelanggaran terhadap tata krama, sehingga untuk kesalahan akan mendapatkan hukuman tersendiri. Simpulan Kritik sosial yang terdapat dalam novel Sang Nyai ditunjukkan oleh perilaku tokoh-tokohnya. Seperti hanya kritik terhadap penguasa yang seharusnya lebih memperhatikan kehidupan rakyat kecil. Kritik terhadap kondisi sosial masyarakat yakni dengan adanya kasus korupsi dan prostitusi yang mengancam mental generasi penerus bangsa. Berikutnya adalah kritik terhadap budaya ziarah yang dipercaya menjadi seks terselubung, pada dasarnya keyakinan ziarah itu merupakan bentuk tirakat atau laku prihatin untuk memohon kepada Sang Pencipta dan tidak seharusnya dimanfaatkan untuk hal-hal negatif. Kritik yang keempat adalah kritik terhadap perbedaan ideologi modern dan tradisional, meliputi kepercayaan terhadap suatu hal merupakan bentuk keyakinan kolektif yang tidak seharusnya ditentang, masing-masih mempunyai wilayah tersendiri. Namun, dalam mempercayai sesuatu harus memperhitungkan kebaikan dan keburukan agar tidak merugikan diri sendiri. Kritik terakhir yang terdapat dalam novel tersebut adalah kritik terhadap pelanggaran tata krama dalam budaya Jawa yakni dengan menghormati pemimpin merupakan bentuk tatakrama yang harus dilakukan oleh masyarakatnya. Jika terjadi pelanggaran seperti dengan melakukan ketidaksopanan maka akan mendapatkan sanksi tersendiri. 192 Daftar Rujukan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta: Balai Pustaka. Faruk, H.T. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra dan Strukturalisme Genetik Sampai PostModernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. . 2012. Metode Penelitian Sastra Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Herusatoto, Budiono. 1985. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita. Roland, Barthes. 2004. Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Sardjono, Budi. 2011. Sang Nyai. Yogyakarta: DIVA Press. Saini, K.M. 1986. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Angkasa. Veeger, K.J. 1993. Realitas Sosial Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan IndividuMasyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: PT Gramedia. 193 PENGOBATAN TRADISIONAL JAWA UNTUK PENYAKIT ANAK-ANAK DALAM MANUSKRIP-MANUSKRIP JAWA DI SURAKARTA Hesti Mulyani, Sri Harti Widyastuti, Venny Indria Ekowati (FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia) Abstrak: Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mendeskripsikan pengobatan tradisional Jawa untuk penyakit anak-anak dalam manuskrip-manuskrip Jawa. Deskripsi pengobatan tradisional Jawa meliputi deskripsi penyakit dan pengobatannya. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan filologi modern. Manuskrip Jawa yang digunakan sebagai sumber data penelitian pada tulisan ini adalah: Serat Primbon Jampi Jawi jilid I, Serat Primbon Racikan Jampi Jawi jilid II, dan Serat Primbon Jampi Jawi jilid IV. Manuskrip-manuskrip tersebut adalah koleksi Reksapustaka Mangkunegaran Surakarta. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penyakit anak-anak, teridentifikasi ada 8 penyakit medis dan nonmedis. Penyakit yang tergolong medis ada 7 macam, yaitu: (1) panas dingin, (2) batuk, (3) berak, (4) cacingan, (5) gomen, (6) kencing, dan (7) kembung. Penyakit yang tergolong non-medis ada 1 macam, yaitu cacar. Metode pengobatan yang ditemukan dalam manuskrip-manuskrip Jawa terdiri atas pengobatan yang tergolong medis dan non-medis. Untuk pengobatan medis digunakan daun, buah, biji, akar, rimpang, dicampur dengan air, minyak, cuka, dan arak. Pengobatan non-medis digunakan bahan salaka atau mutiara dan sagu. Pengobatan penyakit, baik medis maupun non-medis dapat dilakukan lebih dari satu tahap. Jika pengobatan tahap ringan tidak menyembuhkan penyakit, maka dilakukan pengobatan lanjutan dengan bahan obat yang berbeda. Untuk metode pemberian obat/jamu, ditemukan 7 cara, yaitu: (1) diminumkan, (2) ditaburkan, (3) di-sembur-kan, (4) di-boreh-kan, (5) di-kecer-kan, (6) di-tapel-kan, dan (7) diusapkan.. Kata Kunci: pengobatan tradisional Jawa, penyakit anak, manuskrip Jawa Pendahuluan Manuskrip dalam khasanah sastra Jawa merupakan salah satu objek penelitian dalam disiplin ilmu filologi. Manuskrip merupakan warisan budaya yang dituliskan oleh nenek moyang dengan menggunakan aksara lokal, yakni aksara Jawa dengan bahanbahan tradisional yang ada pada masa itu. Di dalam manuskrip terdapat kearifan lokal yang menunjukkan pada sistem pengatahuan, ilmu dan ngelmu yang merupakan hasil pemahaman masyarakat pada waktu itu terhadap alam. Ilmu yang bergerak di bidang manuskrip dan kandungannya, yakni teks, yang memuat teori-teori sejarah perkembangan manuskrip serta metode-metode untuk meneliti manuskrip dan teks sudah berkembang sejak abad ke-3 S.M. yang kemudian disebut sebagai filologi (Baroroh-Baried, 1985: 30). 194 Terkait dengan banyaknya manuskrip-manuskrip yang disimpan di dalam tempat penyimpanan manuskrip, seperti perpustakaan dan museum di Yogyakarta banyak yang belum dijamah. Di samping itu, manuskrip Jawa disimpan pula di Kraton Kasunanan Surakarta (Sala), perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran, perpustakaan Gedong Kirtya di Bali, serta disimpan dalam koleksi pribadi. Semua perpustakaan tersebut sudah melakukan reservasi terhadap manuskrip-manuskrip sehingga dimungkinkan keadaan manuskrip sudah menjadi lebih baik dan terjaga keawetannya. Manuskrip-manuskrip tersebut mengandung berbagai sistem pengetahuan, seperti misalnya sistem pengetahuan pengobatan tradisional. Penelitian terhadap manuskrip-manuskrip yang berisi tentang jamu dan pengobatan herbal sudah dilakukan oleh Widyastuti, dkk. (2013 dan 2014). Namun, penelitian yang dilakukan masih terbatas pada manuskrip yang berasal dari Kraton Yogyakarta, Museum Sonobudaya, Balai Bahasa, Kajian Budaya dan Tradisional Yogyakarta. Sementara itu, Surakarta sebagai salah satu pusat budaya di samping Yogyakarta, juga mempunyai skriptoria dan tempat penyimpanan manuskrip yang di dalamnya terdapat koleksi yang sangat banyak. Antara Kraton Surakarta dan Yogyakarta terdapat kesamaan karakteristik kebudayaan yang diwujudkan dalam bentuk ide, perilaku budaya, dan benda-benda yang dihasilkan. Namun demikian, terdapat perbedaan yang cukup mencolok di antara tradisi Yogyakarta dan tradisi Surakarta. Tradisi Yogyakarta lebih terkesan sederhana, lebih tegas, dan apa adanya. Sementara tradisi Surakarta menekankan aspek-aspek estetis yang tinggi dan lebih kompleks. Berdasarkan fenomena tersebut, maka tradisi pengobatan tradisional yang diusulkan dalam penelitian ini mencoba mengangkat tradisi pengobatan tradisional yang tersimpan di wilayah skriptorium yang terdapat pada penyimpanan manuskrip di Surakarta. Dewasa ini, ramuan tradisional masih diyakini membantu kesulitan kesehatan terutama bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan. Hal itu, disebabkan alam pedesaan memungkinkan untuk untuk mendapatkan banyak sekali bahan tanaman yang berkhasiat obat. Namun demikian, begitu besarnya perhatian masyarakat pada pengobatan tradisional maka mereka yang hidup di kota besar juga mulai membudidayakan tanaman obat (Hartati, 2011: 22). Terkait dengan hal tersebut, maka dewasa ini banyak ditulis buku-buku yang terkait dengan tanaman obat tradisional, manfaat, dan ramuan yang dapat dibuat untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu. Namun demikian, sumbersumber rujukan belum dicantumkan pada tulisan-tulisan tersebut. Oleh karena itu, penelitian tentang pengobatan tradisional yang terdapat pada manuskrip-manuskrip Jawa perlu dilakukan. Hal itu, terkait dengan akumulasi sumber data pengobatan tradisional yang memang ditulis oleh nenek moyang pada waktu itu. Sistem pengobatan tradisional yang ditulis di dalam manuskrip itu sudah berusia cukup tua, berasal dari tradisi yang dimungkinkan dari abad ke-17-- abad ke-20. Namun demikian, tidak ada catatan yang resmi sejak kapan tradisi meracik dan meramu jamu bermula. Akan tetapi, tradisi itu diyakini telah berjalan ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Tradisi meracik dan meramu jamu sudah menjadi budaya sejak kerajaan Hindhu Jawa. Relief Candi Borobudur yang dibuat pada tahun772 Masehi, menggambarkan kebiasaan meracik dan meminum jamu untuk menjaga kesehatan.Bukti sejarah lainnya, yaitu penemuan prasasti Madawapura dari peninggalan kerajaan Hindhu Majapahit yang menyebut adanya profesi tukang meracik jamu yang disebut acaraki. Setelah mengenal budaya menulis bukti sejarah mengenai penggunaan jamu semakin kuat dengan ditemukannya usada lontar di Bali yang ditulis dengan bahasa Jawa Kuno (Djojo 195 Seputro, 2012: 1). Tradisi tersebut ditulis dalam manuskrip dan menjadi tradisi turun temurun yang dikerjakan oleh masyarakat Jawa. Sumber data dalam penelitian yang dilakukan ini adalah: (1) Serat Primbon Jampi Jawi Jilid I, (2) Serat Primbon Racikan Jampi Jawi Jilid II, (3) Serat Primbon Jampi Jawi Jilid IV, (4) Serat Memulya Sarira, dan (5) Bab Tetuwuhan ing Tanah Hindiya miwah Dayanipun kanggé Jampi. Dalam sumber data penelitian tersebut ditemukan penyakit pada anak-anak. Pada kesempatan ini, khusus paparan dalam tulisan ini, penyakit pada anak-anak yang ditemukan difokuskan pada manuskrip Serat Primbon Jampi Jawi Jilid I, Serat Primbon Racikan Jampi Jawi Jilid II, dan Serat Primbon Jampi Jawi Jilid IV untuk penyakit anak-anak yang tergolong medis. Selanjutnya, temuan penelitian khusus penyakit pada anak-anak diuraikan sebagai berikut. Penyakit pada Anak-anak Anak-anak terutama yang berusia di bawah lima tahun, rentan terkena penyakit. Hal itu disebabkan karena daya tahan tubuh yang belum sempurna. Pada manuskrip Jawa yang memuat mengenai pengobatan tradisional Jawa, juga ditemukan berbagai macam penyakit yang sering menyerang anak-anak, disertai dengan cara pengobatannya. Penyakit pada anak-anak yang disebutkan dalam manuskrip Jawa adalah penyakit yang tergolong medis dan non-medis, teridentifikasi sebanyak 8 penyakit. Untuk penyakit medis, teridentifikasi sebanyak 7 penyakit, yaitu: (1) panas dingin, (2) batuk, (3) berak, (4) cacingan, (5) gomen, (6) kencing, dan (7) kembung. Untuk penyakit non-medis, teridentifikasi sebanyak 1 penyakit, yaitu: cacar. Penyakit Medis pada Anak-anak Penyakit medis pada anak-anak ada 7 macam seperti tersebut di atas. Berikut ini diuraikan penyakit-penyakit medis pada anak-anak berdasarkan manuskrip-manuskrip Jawa yang dijadikan sumber data penelitian. 1. Panas dingin Penyakit tidak enak badan, yakni badan panas dingin pada anak-anak dari zaman dahulu sampai sekarang cukup mendominasi. Hal itu terjadi terutama ketika musim kemarau dan penghujan. Pada musim kemarau, penyakit tidak enak badan dapat terjadi karena udara yang kering dan kotor karena debu menyebabkan timbulnya penyakit batuk, masuk angin, pilek, dan akhirnya menjadi demam dan flu. Pada musim penghujan, penyakit panas dingin muncul karena udara yang dingin. Dalam manuskrip yang terdapat penyakit tersebut sebagai contoh dimuat di dalam manuskrip Jawa sebagai sumber kajian, yaitu Serat Primbon Racikan Jampi Jawi jilid II nomor jamu 716 sebagai berikut. Angka 716: Borèh jeram sawit kanggé jampi bentèr tis godhong jeram pecel 3 lembar, pentilipun satunggal, oyot tuwin babakanipun panjangipun sami sadariji, sekaripun 7 iji, jinten pethak 3 saga, mesoyi 2 saga, adas sasaga, pulasari 3 saga, cendhana 2 saga, kajeng tai 2 saga, dringo 3 iris, waron 2 saga, rasuk angin 2 saga, sunthi 3 iris, kencur 3 iris, brambang 3 iji, bawang 7 siyung, mrica pethak 7 iji, dipunpipis mawi toya tuli. Terjemahan  Angka 716: Borèh jeruk sawit untuk jamu panas dingin 3 lb daun jeruk pecel, 1 pentilnya, akar dan babakan panjangnya sejari, 7 biji bunganya, 3 saga jinten putih, 2 saga mesoyi, sesaga adas, 3 saga pulasari, 2 saga cendhana, 2 saga 196 kayu tai, 3 iris dringo, 2 saga waron, 2 saga rasuk angin, 3 iris sunthi, 3 iris kencur, 3 biji bawang merah, 7 siyung bawang putih, 7 biji merica putih, ditumbuk dengan air tuli (air yang diambil dengan cara membelakangi tempat airnya). Untuk pengobatan penyakit panas dingin, ada beberapa resep pengobatan yang dapat digunakan. Jika pengobatan dengan resep pertama belum berhasil maka dapat digunakan resep yang lainnya, seperti dalam terjemahan di bawah ini (Serat Primbon Racikan Jampi Jawi jilid II nomor 813). Terjemahan Angka 813: Jamu sakit panas dingin Dringo, benglé @ 3 iris, 3 biji kemukus, 3 biji cengkih, 3 siyung (ulas) bawang, dikunyah lalu di-sembur-kan di bagian leher yang sakit ke bawah sampai di bagian pinggang. Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa cara pengobatan penyakit panas dingin dilakukan dengan cara membuat ramuan jamu untuk di-borèh-kan di badan atau di-sembur-kan di bagian leher ke bawah sampai di bagian pinggang penderita. Untuk ramuan yang di-borèh-kan, digunakan tanaman-tanaman sebagai berikut: (1) jeruk pecel/nipis (akar, babakan, daun, pentil, bunga), (2) jinten putih, (3) mesoyi, (4) adas, (5) pulasari, (6) cendana, (7) kayu tai, (9) dringo, (10) waron, (11) rasuk angin, (12) sunthi, (13) kencur, (14) bawang merah, (15) bawang putih, (16) merica, dan (17) cengkih, (18) pucuk, (19) unem. Kemudian bahan-bahan tersebut dihaluskan ditambah dengan air yang diambil dengan cara membelakanginya (air tuli) lalu di-borèh-kan di badan atau dihaluskan dengan air rendaman bunga lalu di-semburkan di bagian leher ke bawah sampai di bagian pinggang. Adapun contoh kandungan dan khasiat dari ramuan jamu tersebut adalah sebagai berikut. Misalnya, jeruk nipis mengandung limonene, linalool, flavonoid, sunephrine, asam sitrat, kalsium, fosfor, besi, dan vitamin A, B1, C. Khasiat jeruk nipis dapat mengobati sakit amandel, batuk, peluruh dahak, peluruh kencing dan keringat, serta membantu proses pencernaan (Hidayat, 2015: 163). Selain itu, juga mengandung linalin asetat, geranil asetat, dan fellandren yang berkhasiat untuk meredakan sakit nyeri di dada, perut mual, dan muntah (Wind, Ajeng, 2014: 228). Juga, dipercaya mengandung antiseptik, antivirus, restoratif, dan tonikum yang berkhasiat sebagai obat penurun panas, pegal linu, kepala pusing, suara serak/batuk, flu/demam, dan radang hidung (Redaksi Trubus, 2012: 340-341). Berdasarkan uraian yang dimuat di dalam buku Herbal Indonesia Berkhasiat: Bukti Ilmiah dan Cara Racik. (Redaksi Trubus, 2012: 272; 275; 219) tentang ramuan jamu untuk sakit panas dingin adalah sebagai berikut. Cendana berkhasiat dan memberi efek untuk mengobati demam, sakit kepala, dan menghilagkan rasa lelah. Pengobatan menggunakan cengkih dapat memberi rasa hangat. Ramuan kencur, sunthi, merica dapat memberi efek menghangatkan dan mengatur suhu badan. Pulasari (pulawaras) sebagai tanaman obat atau obat herbal memberi efek antibakteri. Secara empiris, pulasari digunakan untuk mengobati demam. Jika digabungkan dengan adas (adas pulawaras) dipercaya manjur untuk mengobati aneka penyakit, seperti batuk, demam, disentri, dan pusing. Semua ramuan jamu dari reep pengobatan di atas pengolahannya dengan dihaluskan ada yang dengan air tawar (air tuli, yakni diambil dengan cara membelakangi airnya) dan ada yang dengan air rendaman bunga. Semua ramuan jumu tersebut merupakan obat luar. Adapun cara pengobatannya dengan cara di-borèh-kan di badan dan variasinya dengan cara di-sembur-kan di bagian leher ke bawah sampai di bagian pinggang. Kedua cara pengobatan itu merupakan model pengobatan serupa, yakni dengan mengoleskan atau melumurkan (memaramkan) ramuan jamu di badan 197 sehingga ramuan merasuk ke dalam tubuh. Adapun model pengobatan di-sembur-kan, yakni semua ramuan jamu dihaluskan dengan cara dikunyah sampai lembut kemudian disemprotkan pada bagian yang sakit, untuk panas dingin disemprotkan di bagian leher ke bawah sampai di bagian pinggang. Ramuan jamu di atas termasuk ramuan jamu dengan tingkat kompleksitas sedang, jika dilihat dari variasi bahan dan cara pengolahannya. Ramuan di atas memang digunakan untuk penyakit panas dingin pada tingkat sedang. Untuk panas dingin yang ringan digunakan ramuan yang lebih sederhana dan dengan pengobatan yang sederhana pula seperti pengobatan angka 716 dan 813. Beberapa jenis tanaman di atas sudah tercatat sebagai tanaman obat. Misalnya, seperti yang telah dituliskan di atas bahwa jeruk nipis berkhasiat sebagai obat batuk, penurun panas, pegal linu, influenza/demam, dsb. (Redaksi Trubus, 2012: 341). Khasiat bawang merah adalah efektif menurunkan suhu badan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Rachmad (2014: 6). 2. Batuk Penyakit batuk adalah penyakit yang diderita oleh anak-anak dari zaman dahulu sampai sekarang cukup mendominasi. Hal itu terjadi terutama ketika musim kemarau dan penghujan. Pada musim kemarau penyakit batuk dapat terjadi karena udara yang kering, kotor karena debu menyebabkan timbulnya penyakit batuk, juga masuk angin, pilek, dan akhirnya menjadi demam dan flu. Pada musim penghujan penyakit tersebut muncul karena udara yang dingin. Dalam manuskrip yang terdapat penyakit tersebut sebagai contoh dimuat di dalam manuskrip Serat Primbon Racikan Jampi Jawi jilid II nomor jamu 530 dan Serat Primbon Jampi Jawi jilid I nomor jamu 177 sebagai berikut. Terjemahan  Angka 530: Jamu sakit batuk Jeruk nipis 2 iris, dilumuri/dibaluri apu sampai rata lalu dipanggang di atas lampu teplok, kemudian diperas langsung dimasukkan ke dalam mulut. Terjemahan  Angka 177: Jamu untuk anak sakit batuk 3 biji brambang dibakar, 5 saga kayu manis cina, 1 jari kayu manis jawa dibakar, semua dihaluskan sampai lembut, bila mau minum tambahkan air jeruk nipis. Dari terjemahan kutipan di atas terdapat resep ramuan jamu yang sederhana untuk mulai mengalami batuk, yakni jeruk nipis dan apu saja. Selain itu, cara pengobatannya pun juga sederhana, yakni dengan cara jeruk nipis 2 iris, dilumuri apu sampai rata lalu dipanggang di atas lampu teplok, kemudian diperas langsung dimasukkan ke dalam mulut atau langsung diminum. Jika batuknya pada tingkat menengah maka ramuan jamunya tidak sederhana lagi, yaitu 3 biji brambang dibakar, 5 saga kayu manis cina, 1 jari kayu manis jawa dibakar, semua dihaluskan sampai lembut, bila mau diminum tambahkan air jeruk nipis. Cara pengolahan ramuan jamu ada 2 macam, yaitu dibakar dan dihaluskan. Adapun cara pengobatannya dengan cara diminum. Semua ramuan jamu di atas sebagai obat/jamu batuk. Misalnya, khasiat jeruk nipis untuk mengobati sakit batuk, dan peluruh dahak (Hidayat, 2015: 163). Bawang merah digunakan karena mengandung flavon glikosida, yakni berkhasiat antiradang, antibakteri dan mencegah penggumpalan darah, juga untuk menurunkan panas (Redaksi Trubus, 2012: 218). Kayu manis dimanfaatkan karena mengandung antiseptik, yakni berkhasiat mengobati demam, influensa, dan batuk (Redaksi Trubus, 2012: 355-356). 3. Buang air besar Penyakit buang air besar pada anak-anak ditemukan penyakit berak darah, yakni penyakit yang sering dijumpai akibat saluran pencernaan yang belum sempurna. 198 Di samping itu, juga karena adanya infeksi bakteri. Penyakit berak darah yang diderita oleh anak-anak menurut manuskrip Jawa yang menjadi sumber kajian, yakni Serat Primbon Racikan Jampi Jawi jilid II diobati dengan cara sebagai berikut. Angka 760: Panunggilanipun jampi mejen tumrap raré ingkang saweg ngumur 1 ½ taun Godhong pintèn satekem, adas 2 jodho, pulasari saros dariji, brambang 2 iji kabakar, kerikan secang 5 saga, cendhana jenggi 4 saga, kapipis mawi toya, lajeng dipunsaring, kaombèkna saben énjing, tapelipun inggih sami kaliyan jampi wau, namung kawènèhana podhi 3 saga, kapipis kang lembut, lajeng katapelna. Terjemahan  Angka 760: Jamu berak darah yang lain untuk anak berumur dua tahun setengah Segenggam daun pintèn, 2 pasang adas, satu ros jari pulasari, 2 biji bawang merah dibakar, 5 saga kerikan secang, 4 saga cendhana jenggi, ditumbuk dengan air, lalu disaring, diminum setiap pagi, tapel-nya sama dengan jamu tersebut, hanya diberi 3 saga podhi, ditumbuk yang lembut, kemudian di-tapel-kan. Dari kutipan di atas terdapat 2 macam resep ramuan jamu, yakni (1) diminum dan (2) untuk di-tapel-kan. Resep ramuan jamu, baik untuk yang diminum maupun yang di-tapel-kan di bagian perut adalah untuk melancarkan peredaran darah dan mempermudah buang air besar. Dengan 2 macam cara pengobatan, yakni sebagai obat dalam langsung diminum dan disertai dengan obat/jamu luar dengan di-tapel-kan dimungkinkan cepat sembuh. 4. Cacingan Penyakit cacingan adalah penyakit yang paling lazim diderita oleh anak-anak. Penyakit itu terjadi dari pada masa lalu dan pada masa sekarang ini pun, cacingan masih mendominasi. Bahkan menurut Hadidjaya (dalam Mardiana dan Djarismawati, 2008: 769) prevalensi cacingan masih tinggi, antara 60-90%. Hal itu sangat bergantung pada sanitasi dan lokasi lingkungan tempat tinggal. Pengobatan untuk cacingan termasuk variatif. Berbagai jenis tumbuhan digunakan. Berikut ini terjemahan berdasarkan kutipan dari Serat Primbon Jampi Jawi jilid I mengenai resep ramuan jamu dan cara pengobatan penyakit cacingan. Terjemahan  Angka 76: Jamu anak kecil susah berak karena cacing cacing, berumur 1 sampai 3 tahun Adas sesaga, pulasari panjang sejari, secang, widara putih, cendana jenggi, @ 5 saga, kayu ules 3 biji dibakar, rasuk angin, ketumbar, @ 5 saga, trawas 2 lb, pala 1 biji dibakar, kencur 3 pucuk, bawang 3 dibakar, kemenyan madu sebiji asam, kulit manggis saruas jari persegi, daun lampes, daun sèmbukan, @ 3 lb, semua racikan jamu dihaluskan diambil airnya, disaring menjadi satu, airnya diminumkan, ampasnya untuk tapel. Angka 77: Untuk tapel Secang, widara putih, cendana jenggi, rasuk angin, @ 5 saga, kayu ules 3 dibakar, jamur impes 4 saga, pucuk daun jarak cina 3 lb, jong rab 5 saga, isi mundhu 3 biji, daun lampes 3 lb, daun sémbukan 3 lb, beras sejumput, kedawung 3 biji dibakar, brambang tua 3 biji, adas 3 pasang, pulasari 2 ruas jari dihaluskan dengan air sampai lembut kemudian ditapel-kan. Angka 78: Jamu diminum Adas sejumput, pulasari saruas jari, brambang 3 biji direbus dengan daun jarak cina yang sudah menguning 7 lb, dicuci dan direbus menggunakan teko dengan se-siwur air. Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa cara pengobatan penyakit cacingan dilakukan dengan cara membuat ramuan untuk diminumkan dan ramuan yang di bagian perut penderita. Untuk ramuan, baik yang diminumkan atau di-tapel-kan, digunakan tanaman-tanaman sebagai berikut: adas, pulasari, secang, cendana, pala, 199 kencur, bawang, brambang, kulit manggis, jamur, dan sebagainya. Kemudian bahanbahan tersebut dipipis sampai halus untuk di-tapel-kan dan diminumkan. Untuk pengobatan penyakit cacingan, tidak hanya dilakukan dengan menggunakan satu ramuan jamu. Jika pengobatan dengan ramuan jamu pertama dan kedua tidak berhasil maka dilanjutkan dengan ramuan jamu selanjutnya. Berdasarkan terjemahan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengobatan cacingan pada masa lampau juga didasarkan pada parah atau tidaknya penyakit. Dengan demikian, terdapat alternatif penyembuhan dengan ramuan jamu yang berbeda jika gejala cacingan masih tampak. Dari berbagai bahan ramuan jamu tersebut terdapat kandungan anthelmitik yang berkhasiat sebagai obat cacing, yakni obat yang digunakan untuk membrantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh (Biworo, 2014: 1). 5. Gomen Penyakit gomen merupakan penyakit yang paling lazim diderita oleh anak-anak. Penyakit itu terjadi dari masa lalu dan sampai masa sekarang ini pun, cacingan masih mendominasi. Penyakit gomen dapat terjadi akibat panas dalam. Pengobatan untuk gomen termasuk variatif, berbagai jenis tumbuhan digunakan. Berikut ini terjemahan berdasarkan kutipan dari Serat Primbon Racikan Jampi Jawi jilid II mengenai resep ramuan jamu dan cara pengobatan penyakit gomen. Terjemahan  Angka 931: Jamu bibir gomen, kendati sampai tenggorokan juga disebut gomen, dalam bhs Belanda: kiel ziekte Segenggam daun saga, minyak kawang sebiji asam, brambang 3 biji, beras 7 biji, kayu manis panjang sejari, dihaluskan sampai halus, diperas airnya dibungkus ditambah santan, setiap akan dijamukan bibirnya diuasapi air seninya sendiri dulu supaya lemas. Terjemahan  Angka 932: Sejenis jamu gom Getah kayu sana, diusapkan di bagian yang sakit. Berdasarkan terjemahan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa cara pengobatan penyakit gomen dilakukan dengan cara membuat ramuan untuk diusapkan di bagian bibir penderita yang gomen. Untuk ramuan sakit gomen digunakan tanamantanaman sebagai berikut: daun saga, brambang, kayumanis, dan getah kayu sana. Campuran bahan brambang dengan minyak untuk diusapkan pada bibir yang gomen dapat menurunkan daya panas (Rachmad, 2014: 6; Redaksi Trubus, 2012: 219). Daun saga mengandung protein, vitamin A, B1, B6, C, kalsium oksalat, dan sebagainya yang berkhasiat sebagai obat gomen (sariawan), radang tenggorokan, dan sebagainya (Redaksi Trubus, 2012: 468-469). 6. Kencing Penyakit kencing merupakan penyakit yang paling lazim diderita oleh anakanak. Penyakit kencing terjadi dari masa lalu dan sampai masa sekarang ini pun masih mendominasi. Penyakit kencing dapat terjadi akibat adanya infeksi bakteri di saluran air seni. Pengobatan untuk sakit kencing termasuk variatif, berbagai jenis tumbuhan digunakan. Berikut ini terjemahan berdasarkan kutipan dari Serat Primbon Jampi Jawi jilid I mengenai resep ramuan jamu dan cara pengobatan penyakit kencing. Terjemahan  Angka 27: Jamu sakit kencing untuk orang tua atau anak Bambu wuluh muda yang masih ada lugut-nya 3 biji dibakar sampai gosong, jong raab 5 saga, adas 1 saga, pulasari panjang sejari, brambang yang sudah tua satu, perasan daun blimbing wuluh ditumbuk segenggam, diambil airnya, lalu semua bahan dipipis samapi halus dan disaring, kemudian diminumkan. 200 Terjemahan  Angka 28: Jamu untuk diminum Daun dan akar seledri. Berdasarkan kutipan di atas terdapat ramuan jamu dan cara pengobatan tradisional, yakni diminumkan. Ramuan jamu tersebut adalah bambu wuluh muda dengan lugut-nya, jong raab, adas, pulasari, brambang yang sudah tua, daun belimbing wuluh, dan daun seledri. Semua bahan ramuan itu memiliki kandungan yang berkhasiat untuk mengobati atau menyembuhkan penyakit kencing. Misalnya, belimbing wuluh berkhasiat untuk menghilangkan sakit (analgesik), memperbanyak pengeluaran racun empedu, peluruh kencing, dan sebagainya (Redaksi Trubus, 2012: 236-237). Begitu pula daun seledri mempunyai kandungan diuretik, yakni berkhasiat untuk meluruhkan air seni (Redaksi Trubus, 2012: 106-107). 7. Kembung Penyakit kembung merupakan penyakit yang paling lazim diderita oleh anakanak. Penyakit kembung terjadi akibat adanya masalah pencernaan, misalnya luka usus, luka lambung, dan kembung, yakni sirkulasi angin yang ada di dalam perut tidak lancar. Berikut ini terjemahan berdasarkan kutipan dari Serat Primbon Jampi Jawi jilid I mengenai resep ramuan jamu dan cara pengobatan penyakit kencing. Terjemahan  Angka 176: Tapel untuk anak sakit kembung berumur 5 sampai 7 bulan 3 ujung bung kélor, 3 jumput bunga abu bagian tengah di dapur, lalu di-pusus kemudian di-tapel-kan di perut, di dada, dan di bagian belakang/punggung. Berdasarkan kutipan di atas terdapat ramuan jamu dan cara pengobatan tradisional, yakni di-tapel-kan. Ramuan jamu tersebut adalah bung kelor, dan bunga abu. Bahan ramuan itu memiliki kandungan yang berkhasiat untuk mengobati atau menyembuhkan penyakit kembung. Bung kelor mengandung antioksidan yang tinggi dan berkhasiat untuk menyembuhkan sakit kembung, dan penyakit yang berhubungan dengan masalah pencernaan yang lainnya, seperti luka usus dan luka lambung (Hidayat, 2015: 197-198). Perpaduan campuran antara bung kelor dengan bunga abu yang mempunyai efek hangat digunakan sebagai obat luar dengan cara di-tapel-kan dimungkinkan untuk mengeluarkan angin sehingga rasa kembung di perut menjadi sembuh. Penyakit non-medis pada anak-anak Penyakit non-medis pada anak-anak ada 1 macam penyakit.. Berikut ini diuraikan penyakit non-medis pada anak-anak berdasarkan manuskrip-manuskrip Jawa yang dijadikan sumber data penelitian, yakni yang ditulis dalam tulisan ini. Cacar Penyakit cacar air atau varicela merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus Varicella Zoster. Penyakit itu merupakan penyakit yang disebutkan di semua manuskrip Jawa yang menjadi sumber kajian. Cacar air memang merupakan penyakit yang hingga kini masih tetap menjadi epidemi di dunia dan di Indonesia. Kendati pun infeksi Varicella Zoster tergolong ke dalam infeksi ringan, namun jika kondisi imun tubuh tidak baik, dapat menjadi berat dan tidak menutup kemungkinan berujung kepada kematian (Kurniawan, 2009: 29). Berikut ini diuraikan resep ramuan jamu dan cara pengobatan tradisional Jawa untuk penyakit cacar yang dimuat dalam manuskrip Jawa sebagai sumber kajian, yaitu Serat Primbon Jampi Jawi jilid IV sebagai berikut. 201 Angka 1721: Toya pangombènipun laré cacaren Selaka utawi mutyara, dipunkum ing wédang bentèr, dipunombèkaken saben sonten, dumugi mecahipun cacar punika. Angka 1721: Jamu minum anak sakit cacar Selaka atau mutyara, direndam dalam air panas, diminumkan setiap sore sampai cacar memecah. Angka 1727: Jampi cacaripun sami mlènyèh Sagu garing kapipis kang lembat, dipunwur-wuraken ing sepré patileman, sarta salong kabubuk dipunwadhahi ing sinjang, kanggé nguwur-wuri cacar kang mlènyèh, sampun nagntos dangu dipunwur-wuri malih supados énggal garing. Terjemahan  Angka 1727: Jamu cacar yang sudah memecah Sagu kering dihaluskan sampai lembut, ditaburkan di atas sprei tempat tidur anak, sebagian bubuk sagu diletakkan di atas sinjang dan ditaburkan pada cacar yang sudah memecah, ulangi sesering mungkin agar cacar cepat kering. Dari kutipan di atas terdapat 2 macam resep non-medis, yaitu (1) bahan jamu/obat tidak berasal dari tanaman obat, yakni salaka (logam putih sebagai bahan pembuat uang logam) atau mutiara dan (2) sagu (dari beberapa pustaka tentang tanaman obat tidak didapatkan). Namun, bahan resep non-medis itu relatif mudah didapatkan atau terdapat di lingkungan masyarakat. Cara pengobatannya juga terdapat 2 macam cara, yakni (1) diminum dan (2) ditaburkankan. Resep pengobatan non-medis, baik untuk yang diminum maupun yang ditaburkankan di bagian cacar adalah untuk mempercepat kesembuhan, yakni agar cacar cepat kering. Berikut contoh tanaman obat yang digunakan untuk pengobatan tradisional Jawa yang terdapat di dalam manuskrip Jawa sebagai sumber data dalam tulisan ini (Widyastuti, 2013 dan 2014). Tanaman Dringo (Dok. Widyastuti) Tanaman Bengle (Qul, 2013) Tanaman Adas (Bunda, 2011) Jeruk Nipis (Dok. Widyastuti) 202 Metode Pengobatan Tradisional Jawa Metode atau cara pengobatan tradisional Jawa yang ditemukan dalam manuskrip Serat Primbon Jampi Jawi jilid II ada 6 cara, yaitu: (1) diminumkan, (2) ditaburkan, (3) di-cekok-kan, (4) di-boreh-kan, (5) di-pilis-kan, dan (6) di-tapel-kan. Metode pengobatan tradisional Jawa tersebut secara berturut-turut adalah sebagai berikut. 1. Diminumkan adalah cara pemberian obat yang paling umum dan paling mudah, kecuali pada penderita dengan kesulitan menelan. Caranya dengan langsung memasukkan ramuan jamu yang berupa cairan ke dalam mulut penderita, dan kemudian ditelan langsung. 2. Ditaburkan adalah cara pemberian obat dari bahan ramuan berupa bubuk kering. Cara pengobatan ini hanya ditemukan pada pengobatan penyakit cacar, terutama cacar yang sudah pecah. Caranya dengan menaburkan pada alas tempat tidur anak dan ditaburkan pada cacar yang sudah pecah. 3. Di-sembur-kan adalah pemberian jamu dengan cara menyemburkan cairan jamu pada bagian yang sakit dan sekitarnya. Cara pemberian ramuan jamu seperti ini dilakukan untuk penyembuhan penyakit panas dingin. Cara itu dilakukan karena biasanya anak kecil menolak untuk meminum ramuan jamu. Penolakan terhadap jamu itu karena rasa jamu adalah pahit. 4. Di-boreh-kan adalah cara pemberian obat yang hampir sama dengan dibedakkan, yaitu dengan cara mengoleskan ramuan ke seluruh tubuh maupun hanya pada bagian tertentu yang sakit. Biasanya istilah di-boreh-kan digunakan jika ramuannya semi cair (basah) seperti lotion. 5. Di-kecer-kan adalah cara pemberian obat dengan memeras jeruk nipis yang sudah dibaluri apu lalu dipanggang dan langsung dimasukkan ke dalam mulut penderita. 6. Di-tapel-kan adalah pemberian obat luar dengan cara mengoleskan ramuan jamu di bagian perut. Biasanya ramuan di-tapel-kan sebanyak dua kali, yakni pagi dan sore hari. Cara itu biasanya dimaksudkan untuk menjaga suhu badan agar hangat sehingga mengusir kembung, masuk angin, dan sakit perut. 7. Diusapkan adalah pemberian obat luar dengan cara mengusapkan ramuan jamu pada bagian yang sakit. Cara pengobatan ini ditemukan untuk menyembuhkan sakit gomen, yakni mengusapan jamu di bibir penderita. Penutup Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manuskrip Jawa, khususnya manuskrip Serat Primbon Racikan Jampi Jawi Jilid II memuat ramuan jamu yang beragam serta cara pengobatan tradisional Jawa yang variatif. Bahkan beberapa jenis tumbuhan yang dipilih cukup sesuai dan efektif digunakan sebagai obat/jamu suatu penyakit. Hal itu terbukti dari beberapa penelitian ilmiah yang mampu membuktikan efektivitas suatu tumbuhan untuk mengobati jenis-jenis penyakit tertentu. Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut dan uji farmakologi terhadap tumbuhtumbuhan serta resep-resep pengobatan tradisional yang termuat dalam manuskripmanuskrip khususnya manuskrip Jawa. 203 Daftar Rujukan Baroroh-Baried, Siti, dkk. 1985. Pengantar Teori filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Biworo, Agung. 2014. Antelmintik. diunduh dari farmasi.fkunissula.ac.id/ index.php?option pada 4 September 2014. Bunda, 2011. Mengenal Adas dan Manfaatnya. diunduh dari http://www.rumahbunda.com/nutrition-health/mengenal-adas-danmanfaatnya/ pada 1 September 2014. Djoyo Seputro, Soedarso. 2012. Jamu Tradisional Nusantara. Surabaya: Penerbit Liris. Hartati, Sri. 2011. Pengobatan dengan Herbal dan Pijat Refleksi. Cara Mudah Hidup Sehat Alami. Surabaya: Bintang Usaha. Hidayat, R. Syamsul dan Rodame M. Napitupulu. 2015. Kitab Tumbuhan Obat. Jakarta: AgriFlo (Penebar Swadaya Grup). Kurniawan, Martin., Dessy, Norberta., dan Tatang, Matheus. 2009. Varicela Zoster pada Anak. Jurnal Medicinus Vol. 3 No. 1 Februari 2009 – Mei 2009, hlm. 23-31. Mardiana dan Djarismawati. 2008. Prevalensi Cacing Usus pada Murid Sekolah Dasar WB Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 7 No. 2, Agustus 2008: 769-774. Qul, Amzil. 2013. Aneka Tanaman Toga | Jenis-Jenis Tanaman Toga | Manfaat dan Kegunaan Tanaman Toga diunduh dari http://anekatanamantoga.blogspot. com/2013/05/tanaman-toga-dlingo.html pada 30 Agustus 2014 Rachmad, dkk. 2014. Penentuan Efektivitas Bawang Merah dan Ekstrak Bawang Merah (Allium Cepa ver. Ascalonicum) dalam Menurunkan Suhu Badan. diunduh dari repository.unhas.ac.id/bitsream/handle/123456789/ 3411/JURNAL%20RACHMAD.pdf?sequence Redaksi Trubus. 2012. Herbal Indonesia Berkhasiat: Bukti Ilmiah dan Cara Racik. Vol. 10. Edisi Revisi. Jakarta: PT Trubus Swadana. Widyastuti, Sri Harti, Hesti Mulyani, dan Venny Indria Ekowati. 2013. Fitotherapy dalam Manuskrip-manuskrip Jawa. Laporan Akhir Penelitian Fundamental Tahun Pertama, UNY. Widyastuti, Sri Harti, Hesti Mulyani, dan Venny Indria Ekowati. 2014. Fitotherapy dalam Manuskrip-manuskrip Jawa. Laporan Pelaksanaan Penelitian Fundamental Tahun Kedua, UNY. Wind, Ajeng. 2014. Kitab Obat Tradisional Cina. Yogyakarta: Media Pressindo. 204 ASPEK KEPATUHAN DALAM KARYA SASTRA INDONESIA MODERN I G.A.A. Mas Triadnyani, I Ketut Sudewa, dan I Ketut Nama (FIB Universitas Udayana – Indonesia) Abstract: Conflict is unavoidable in the interactions between or among individuals. This sometimes may lead to human destruction. Therefore, there should be any attempts to find the solution as the anticipation of it through some approaches. Literature, as the imaginative world, delivers events in which their original ideas often imitate human realities. Those realities pictured by literature can be examined and analyzed as the assessments to widen human insights. There could be an assumption that loyalty is the prominent requirement in contributing to solve human conflicts. It means by the loyalty attitude seems human conflicts can be avoided. Meanwhile, the fact says that Indonesia has so many traditional cultures. This perhaps uplifts a challenging question, whether those cultural differences have brought significant cause to any conflicts of the Indonesian societies. The different geographical positions or places may possibly also cause the problems against values, attitudes, and beliefs of the societies’ individuals. How could those differences be negotiable in the dialogue in order to gain common advantages? And, how do literary writers deliver human conflicts into their works? This research wants to find solutions of human conflicts as those represented in the modern Indonesian literatures. For this, structural approach is applied by focusing on human interactions of the characters. The steps undergone are by doing analysis towards the interactions through the model of schismogenesis. The objects of research are taken from the three novels containing local colors, such as Warisan (by Chairul Harun), Gadis Pantai (by Pramoedya Ananta Toer), and Janda dari Jirah (by Cok Sawitri) Keywords: loyalty, conflict, interactions, schismogenesis Pendahuluan Konflik sejak dulu diketahui sudah menjadi ciri yang melekat dalam diri manusia. Perjuangan antara kepentingan individu dan kepentingan kelompok/sosial sering menimbulkan benturan yang jika tidak segera diatasi membawa pada kehancuran manusia itu sendiri. Di dalam struktur hubungan ketergantungan antarmanusia, hal ini merupakan tantangan tersendiri. Manusia yang satu tentu memerlukan bantuan atau dukungan dari yang lainnya sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Di lain pihak, ia akan menghindari hubungan dengan yang lainnya itu jika dirasakan tidak ada kesesuaian dengan keinginannya sendiri. Di sinilah dituntut kebijaksanaan dari masingmasing pihak yang berkonflik untuk bisa menjaga sikapnya (egonya) sehingga keseimbangan jagat dapat dipertahankan. Ada asumsi bahwa konflik di setiap tempat dan waktu memiliki bentuk yang sama. Konflik dalam diri manusia cenderung selalu sama. Perbedaan kebudayaan yang mencakup sistem nilai, perilaku, dan kepercayaan setempat boleh jadi memberi pengaruh pada bentuk konflik. Masyarakat Bali, misalnya, memiliki cara pandang yang 205 berbeda dengan masyarakat Minang dalam menyikapi suatu persoalan. Tak dapat dipungkiri berbagai persoalan yang muncul menuntut solusi yang positif. Dalam hal ini, kepatuhan menjadi syarat mutlak untuk menghindari konflik (Triadnyani, 2014). Kepatuhan adalah suatu bentuk pengaruh sosial di mana seseorang bersedia melaksanakan perintah dari orang lain yang lebih berkuasa. Dalam hal ini terdapat relasi kuasa, yakni antara yang menguasai dan yang dikuasai. Yang dikuasai tunduk dan patuh kepada perintah yang menguasai. Kepatuhan merupakan elemen dasar di dalam struktur kehidupan sosial (Milgram, 1974). Keberadaannya menjadi penting manakala seseorang terlibat dalam suatu hubungan. Kepatuhan tampaknya dipengaruhi oleh kepribadian seseorang sejak masih kanak-kanak. Dalam pengertian, seberapa jauh mereka mendapatkan pelajaran tentang agama dan moralitas, baik dari sekolah maupun keluarga. Sastra menyajikan sebuah dunia yang dapat didekati sebagaimana kenyataan yang ada. Sastra mengungkapkan perbedaan-perbedaan dan benturan-benturan yang terjadi akibat konflik antarmanusia. Perbedaan sikap hidup dan nilai-nilai, serta kepercayaan dari masyarakat Indonesia memperlihatkan dialektika terus-menerus. Bagaimana memanfaatkan sinergi yang timbul dari dialektika tadi. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat di zaman modern ini. Kajian terhadap topik tentang kepatuhan telah dilakukan beberapa ahli. Stanley Milgram, misalnya, melakukan eksperimen dalam bidang psikologi sosial. Terkait aspek kepatuhan, Milgram (1974) mengatakan bahwa “Obedience is a basic element in the structure of social life.” Dalam kehidupan masyarakat modern diperlukan sebuah sistem yang mengatur individu. Sistem penguasa (orang yang memiliki wewenang) berfungsi menjalankan aturan-aturan agar tidak terjadi perselisihan. Orang-orang tunduk dan patuh kepada perintah penguasa. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari hidup bermasyarakat. Hubungan penguasa dan yang dikuasai mutlak menuntut adanya kepatuhan. Lebih jauh, pemahaman mengenai aspek kepatuhan mengarah pada relasi antara dua orang yang tidak simetris. Kedudukan kedua orang tersebut sejajar, misalnya sesama guru atau sesama pembantu. Apakah mereka juga memiliki kepatuhan yang sama dengan kasus di atas? Melalui penelitian disertasi yang dilakukan Triadnyani (2014) diperoleh kesimpulan sementara bahwa interaksi antarindividu yang memiliki kedudukan sejajar cenderung menimbulkan konflik, misalnya interaksi antara tokoh Rangda dengan tokoh Mpu Baradah di dalam teks Janda dari Jirah memperlihatkan konflik yang semakin menguat. Keduanya sama-sama sakti, keduanya adalah pendeta, dan keduanya juga memiliki murid-murid. Klimaks tercapai dalam bentuk pertarungan yang berakhir dengan kematian salah satunya. Sementara, kepatuhan justru ditunjukkan dalam relasi-relasi yang mengandung unsur hierarkis, seperti relasi antara murid dan guru, orang tua dan anak, serta bawahan dan atasan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. yang didasarkan pada analisis data verbal dengan menekankan deskripsi interpretatif atas gejala atau fenomena peristiwa secara alamiah. Karya sastra menyajikan sebuah dunia yang dapat didekati sebagaimana kenyataan yang ada. Menurut Ricoeur (1981), di dalam menghadapi karya sastra, pembaca tidak memperlakukannya sebagai objek, tetapi sebagai mediasi. Pembaca berkomunikasi dengan tokoh-tokoh sebagaimana layaknya manusia biasa. Dengan memahami tokoh-tokoh tersebut, kita dapat memahami diri melalui empati dengan tokoh-tokoh itu. Tujuan mengkaji teks sastra adalah untuk memperoleh pemahaman. Diasumsikan bahwa teks menyatakan sesuatu, tidak hanya tentang teks itu sendiri, tetapi juga tentang 206 dunia yang lebih luas. Dengan membaca teks diharapkan pembaca sampai pada pemahaman yang lebih luas tentang dunia. Ricoeur (1981) menjelaskan interpretasi sebagai upaya untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung yang terkandung dalam karya sastra. Kata-kata adalah simbol yang menggambarkan makna lain yang sifatnya “tidak langsung dan figuratif serta hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol tersebut”. Ricoeur menyadari bahwa setiap pembaca di dalam benaknya sudah membawa sejumlah anggapan atau prapemahaman tertentu. Pembaca sama sekali tidak dapat menghindarkan diri dari berbagai prasangka. Situasi ini mempengaruhi pembaca dalam memberikan tafsiran atau kritik. Oleh karena itu, kedudukan pembaca, menurut Ricoeur, harus mengambil jarak (distansiasi) dengan objek yang diteliti sehingga diperoleh interpretasi yang objektif. Pengambilan jarak yang dimaksud di sini adalah peneliti perlu melakukan analisis struktural sebelum sampai kepada pemahaman. Penelitian mengenai aspek kepatuhan di dalam karya sastra Indonesia modern belum pernah dilakukan. Penelitian yang dilakukan Triadnyani (2014) hanya terbatas pada perbandingan teks klasik dan teks modern. Di samping itu perbedaan kebudayaan, yang mencakup nilai-nilai, sikap hidup dan kepercayaan belum terakomodir di dalam penelitian terdahulu sehingga dialektika dari perbedaan budaya belum tergali secara maksimal. Padahal perbedaan budaya penting untuk dimaknai dalam kaitan dengan keberadaan konflik di tengah-tengah masyarakat. Untuk pencapaian tujuan dipilih beberapa novel yang mengandung budaya lokal, di antaranya adalah novel Warisan karya Chairul Harun (1979) yang di dalamnya terdapat unsur budaya Minang, Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer (2003) yang menggambarkan kehidupan kaum priyayi di Jawa, dan Janda dari Jirah karya Cok Sawitri (2007) yang didominasi tradisi budaya Bali. Melalui penelitian terhadap karya-karya sastra Indonesia modern diharapkan, pertama, dapat dilahirkan solusi untuk mengatasi berbagai persoalan yang menyangkut konflik. Dengan demikian perdamaian di berbagai daerah di Indonesia yang sering mengalami konflik dapat tercapai. Urgensi penelitian ini bagi masyarakat luas adalah diperolehnya solusi untuk mengatasi konflik di antara sesama manusia yang akhir-akhir ini semakin meluas dan sering terjadi. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan kehancuran manusia itu sendiri. Aspek kepatuhan diasumsikan menjadi syarat mutlak bagi terciptanya perdamaian dan kerukunan antarmanusia, di samping aspek-aspek lainnya. Oleh sebab itu penelitian ini menjadi penting untuk segera diwujudkan. Dalam penelitian struktural, relasi antarunsur pembangun teks sastra mendapat penekanan. Unsur teks secara sendiri tidaklah penting. Unsur teks itu hanya memperoleh arti melalui relasi, baik relasi oposisi maupun relasi asosiasi. Relasi oposisi (binary opposition) merupakan perwujudan cara berpikir manusia yang saling beroposisi satu sama lain, misalnya, panas-dingin, jiwa-raga, raja-rakyat, dan guru-murid. Atas dasar oposisi tersebut, peneliti dapat melakukan analisis terhadap gagasan-gagasan yang terdapat di dalam teks sastra. Pertama-tama kajian ini dilakukan dengan mengambil model interaksi sosial di dalam ilmu komunikasi. Menurut Anderson (1972) kekuasaan merupakan rumusan pola-pola interaksi sosial yang dapat diselidiki. Eksistensi kekuasaan terjadi pada situasi di mana orang patuh (secara sadar maupun tidak sadar), bersedia atau tidak bersedia, serta berkehendak kepada orang lain. Kekuasaan diperlihatkan dalam bentuk hubungan kausal antara perintah (baik perintah nyata atau terselubung) dan pelaksanaannya. Dengan dasar pemikiran di atas, konsep dualitas yang menekankan interaksi antartokoh dapat dipakai untuk mengkaji aspek kepatuhan yang menjadi tema pokok penelitian ini. 207 Model interaksi tokoh mengandung dua relasi, yakni relasi komplementer dan relasi simetris. Hubungan komplementer mengimplikasikan adanya relasi hierarkis, yakni individu atau kelompok yang satu mendominasi individu atau kelompok yang lain, misalnya, dalam hubungan antara guru dan murid atau suami dan istri. Hubungan simetris terjadi di antara individu atau kelompok yang sederajat. Model interaksi tokoh 1 B A Keterangan: 1. A menyuruh B memimpin upacara penobatan putri mahkota 2. B patuh melaksanakan 2 A adalah seorang raja yang memiliki power untuk mengatur B (seorang pendeta istana). B dengan patuh melaksanakan perintah A. Hal ini berarti A mendominasi B. Kedudukan A lebih tinggi daripada B. Apabila B tidak patuh dan tidak bersedia melaksanakan perintah A, maka dapat dipastikan terjadi umpan balik (feedback) dari tokoh A, baik berupa kemarahan atau pun tindakan balasan lainnya. Adapun langkah-langkah yang ditempuh di dalam melaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, peneliti melakukan pembacaan ketiga objek secara cermat, kemudian mencatat unsur-unsur sastra yang terkandung dalam bacaan itu. Setiap unsur dimasukkan ke dalam kartu data sehingga memudahkan analisis. Kartu data disusun secara alfabetis agar mudah dilacak pada setiap unsur. Kedua, unsur tema dilakukan terlebih dahulu sebelum membahas unsur-unsur yang lain. Tema adalah jiwa dari karya sastra itu. Ketiga, peneliti melakukan aanalisis interaksi tokoh terhadap teks Warisan, Gadis Pantai, maupun Janda dari Jirah. Keempat, melakukan pengelompokkan konflik, baik yang berpotensi klimaks maupun yang tidak. Kelima, menarik kesimpulan dan saran. Pembahasan Analisis Interaksi Tokoh dalam Novel Janda dari Jirah 1. Rangda vs rakyat Kabikuan (komplementer) = ibu vs anak  ibu mendominasi, anak patuh 2. Rangda vs penyelundup (komplementer) = pemimpin Jirah vs tentara  Terjadi pelanggaran aturan, pemimpin mendominasi 3. Rangda vs Airlangga (simetris) = sama-sama pemimpin  interaksi tak langsung, melalui Narotama diketahui Rangda lebih dominan 4. Rangda vs Ratna Manggali (komplementer) = ibu vs anak  ibu mendominasi, anak patuh 5. Rangda vs Narotama (komplementer) = pemimpin vs utusan raja  pada interaksi pertama, pemimpin mendominasi, utusan patuh  pada interaksi kedua: pemimpin mendominasi, Narotama bersikap diam 208 6. Rangda vs Mpu Baradah (simetris) = sama-sama pendeta  Pendeta sama keras hatinya 7. Rangda vs Mpu Bahula (komplementer) = mertua vs menantu  interaksi tidak menguat karena menantu patuh 8. Airlangga vs kerabat istana (komplementer) = raja vs kerabat  interaksi pertama, terjadi penyerangan ke ibukota (alur sejarah)  pada interaksi kedua sama-sama keras 9. Airlangga vs Mpu Baradah (simetris) = raja vs pendeta  pada interaksi pertama raja mengalah  pada interaksi kedua, pendeta patuh 10. Airlangga vs Narotama (komplementer) = raja vs pejabat istana  interaksi tidak menguat karena bawahan patuh 11. Narotama vs Patih Utama (simetris) = sama-sama pejabat istana  pada interaksi pertama Narotama mengalah  pada interaksi kedua sama-sama keras 12. Narotama vs Tetua Desa (komplementer) = pejabat istana vs pejabat desa  interaksi tidak menguat karena pejabat desa mengalah 13. Narotama va Mpu Baradah (komplementer) = pejabat istana vs pendeta  interaksi tidak menguat karena Narotama bersikap diam 14. Narotama vs Perwira (komplementer) = pemimpin pasukan vs bawahan  bawahan tidak patuh pada pemimpin: terjadi pelanggaran aturan 15.Narotama vs Kerabat Istana (komplementer) = pejabat vs kerabat  interaksi tidak menguat karena Narotama diam 16. Bahula vs Ratna Manggali (komplementer) = suami vs istri  interaksi tidak menguat karena suami patuh Interaksi Tokoh dalam Novel Gadis Pantai 1. Gadis Pantai vs Emak = anak vs ibu → ibu mendominasi, anak patuh 2. Kepala kampung vs Bujang = pejabat kampung vs pembantu → pejabat kampung mendominasi, pembantu patuh namun kemudian pergi 3. Bapak vs Bujang = majikan vs pembantu → majikan mendominasi, pembantu patuh 4. Emak vs Bujang = majikan vs pembantu → interaksi tidak menguat karena adanya penyimpangan, majikan sedikit lebih patuh pada pembantu 5. Anak kecil vs Bujang = majikan vs pembantu → interaksi tidak menguat karena bawahan patuh 6. Kepala kampung vs Bapak = pejabat vs warga → pejabat kampung mendominasi, warga diam. 7. Gadis Pantai vs Bujang = majikan vs pembantu → majikan mendominasi, pembantu patuh 8. Gadis Pantai vs Bendoro = istri vs suami → pada interaksi pertama, Bendoro mendominasi sedangkan Gadis Pantai patuh → pada interaksi kedua, keduanya sama-sama keras 9. Gadis Pantai vs Bapak = anak vs bapak → bapak mendominasi, anak patuh 10. Gadis Pantai vs Mardinah = majikan vs pembantu → bawahan tidak patuh pada majikan, terjadi pelanggaran aturan 209 11. Bendoro vs Karim = paman vs keponakan → interaksi tidak menguat karena keponakan patuh 12. Gadis Pantai vs Guru Ngaji = murid vs guru → terjadi penyimpangan karena guru patuh pada murid. Interaksi Antartokoh Novel Warisan 1.Rafilus vs Siti Baniar (komplementer) = Keponakan vs Bibi Bibi mendominasi, keponakan menghindar dari interaksi. 2.Rafilus vs Sidi Baaruddin (simetris) = sama-sama saudara misan Sidi Badaruddin melakukan provokasi kepada Rafilus, sedangkan Rafilus berusaha tidak menyebabkan konflik, Sidi Baaruddin mendominasi. 3.Rafilus vs Bagindo Tahar (komplementer) = Anak vs Ayah Ayah mendominasi, Anak patuh. 4.Sidi Badaruddin vs Siti Baniar (komplementer) Anak vs Ibu Anak mendominasi, Ibu mengalah 5.Rafilus vs Sidi Karawai (komplementer) = Rakyat vs Ketua Negeri Sidi Karawai melakukan persuasi, tapi Rafilus menolak. Rafilus mendominasi. 6.Rafilus vs Upik Denok (simetris) = sama-sama lajang Upik Denok menagih hutang pada Rafilus. Rafilus membayar hutang ayahnya dan menyetubuhi Upik Denok. Rafilus mendominasi. 7.Rafilus vs Murni (komplementer) = Anak tiri vs Ibu tiri Ibu Tiri mendominasi, anak mengalah. 8.Rafilus vs Ajo Pekok (simetris) = sama-sama tetangga Dominasi seimbang. 9.Bagindo Tahar vs Datuk Badaro Basa (simetris) = sama-sama petua adat Bagindo Tahar lebih dominan. 10.Rafilus vs Tuanku Salim (komplementer) = Keponakan vs Paman Keponakan Mendominasi, paman menghindar. 11.Bagindo Tahar vs Asnah (komplementer) = Paman vs Keponakan Paman mendominasi, keponakan mengalah. 12.Siti Baniar vs Asnah (komplementer) = Mertua vs Menantu Mertua mendominasi, menantu kalah. 13.Rafilus vs Ungku Gadang (simetris) = sama-sama kemenakan Rafilus lebih dominan. 14.Rafilus vs Rakena (komplementer) = Menantu vs Mertua Mertua mendominasi, menantu mengalah. 15.Rafilus vs Arneti (simetris) = Suami vs Istri Pada interaksi pertama, Rafilus mendominasi, Arneti mengalah. Pada interaksi kedua, Rafilus mendominasi. Pada interaksi ketiga, Rafilus mendominasi, Arneti kalah. 16.Rafilus vs Maimunah (simetris) = sama-sama kekasih Rafilus dan Maimunah tidak mengembangkan konflik. Rafilus lebih dominan. 210 Kesimpulan Hasil analisis interaksi tokoh ketiga novel, yakni Warisan, Gadis Pantai, dan Janda dari Jirah secara eksplisit memperlihatkan beberapa tindakan tokoh yang menimbulkan konflik, tetapi berhasil diatasi. Hal ini disebabkan oleh sikap patuh yang dilakukan beberapa tokoh, misalnya murd-murid Rangda yang patuh pada perintah guru mereka, Bahula yang patuh pada mertua, Narotama yang patuh pada perintah raja/pimpinan, dan Ratna Manggali yang patuh kepada ibunya. Gadis Pantai yang patuh pada Bendoro, Gadis Pantai yang patuh pada emak dan bapaknya. Dapat dikatakan bahwa kepatuhan dapat meredam konflik. Pertentangan juga dapat dihindari berkat sikap mengalah yang ditunjukkan oleh pejabat desa dan Narotama ketika berhadapan dengan pejabat istana lainnya. Sebaliknya, sikap ketidakpatuhan diperlihatkan oleh prajurit kerajaan dan para perwira yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran. Oposisi sesama pejabat istana menghasilkan perangai yang sama-sama keras (bertahan), sesama pendeta juga tidak mau mengalah, sesama pemimpin demikian pula. Hal ini memperlihatkan bahwa interaksi antarindividu yang memiliki kedudukan yang sejajar cenderung semakin memperkuat sikap keras. Sebaliknya, interaksi antarindividu yang memiliki kedudukan komplementer cenderung mengambil sikap mengalah dan patuh. Daftar Rujukan Anderson, Benedict R.O’G. 1972. “The Idea of power in Javanese Culture.” Dalam Holt C.,et al., ed. Culture and Politics in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press, hlm. 1-69. Foster, Mary Le Cron. 1979. “Synthesis dan Antithesis in Balinese Ritual,” dalam A.L.Becker dan Aram A.Yengoyan, ed. The Imagination of Reality: Essays in Southeast Asian Coherence Systems. New Jersey: Ablex Publishing Corporation. Harun, Chairul. 1976. Warisan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Milgram, Stanley. 1974. Obedience to Authority: an Experimental View. New York: Harper and Row. Ricoeur, Paul. 1981. Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation. New York: Cambridge University Press. Sawitri, Cok. 2007. Janda dari Jirah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai. Jakarta: Penerbit Lentera Dipantara. Triadnyani, I Gusti Ayu Agung Mas. 2014. Fenomena Rangda dan Pemaknaannya: Kajian Hermeneutika Ricoeur dalam Teks Calon Arang dan Novel Janda dari Jirah. Disertasi belum diterbitkan. 211 ANTARA SENSOR, SOLIDARITAS DAN KUALITAS: RESEPSI BARAT TERHADAP TETRALOGI-BURU KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER Indira Ismail (FIB Universitas Indonesia) Abstrak: Penelitian ini mengkaji resensi-resensi yang dipublikasikan di koran-koran berbahasa Belanda dan Inggris mengenai Tetralogi Pulau Buru (TPB) (Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak langkah (1985), Rumah Kaca (1988)) karya Pramoedya Ananta Toer yang terbit pada rentang tahun 1980-1998. Kontrol keras terhadap TPB semasa rezim Soeharto yang berujung pada pengasingan penulis dan sensor terhadap TPB tidak mampu menahan laju produksi dan publikasi karya-karya tersebut, sebaliknya magnum opus ini justru membawa PAT menjadi pusat perhatian dunia. Banyak negara memperlihatkan ketertarikan mereka akan karya-karya dan kisah hidupnya. Den Boef (1993: 5) menulis: “Tentu di dalam menilai karya seseorang yang ditindas oleh otoritas di negaranya pembaca barat terutama akan cenderung memperlihatkan solidaritas mereka dan melupakan menilai kualitas karya tersebut.” Saya berhipotesis bahwa resensi-resensi tentang TPB yang terbit di negara-negara barat tentu tidak melulu membahas persoalan solidaritas, faktor-faktor di luar sastra, melainkan juga memuat penilaian mengenai estetika TPB. Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah penilaian estetika seperti apakah yang diberikan oleh kritikus barat terhadap magnum opus ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya menggunakan metode analisa kuantitatif dan kualitatif. Metode kualitatif didasarkan pada model analisa H.T. Boonstra dan Heydebrand/Winko (1996) yang disempurnakan dalam model analisa Andringa (2004). Kata kunci: resepsi, Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi-Buru, estetika, sensor Latar Belakang Siapa yang tak kenal Pramoedya Ananta Toer? Hanya dengan menyebutkan namanya saja maka orang akan serta merta menyebutkan paling tidak satu judul karya penulis fenomenal ini. Pramoedya Ananta Toer (PAT) tak hanya dikenal luas di Indonesia. Di luar negeri pun namanya berkibar. Belanda misalnya, penerbit De Geus hingga kini masih mencetak ulang karya-karya (PAT). Tak hanya di Belanda, negaranegara lainnya baik barat maupun timur berlomba-lomba menerjemahkan buah karya pengarang ini. Bila dibandingkan dengan karya-karya penulis Indonesia lainnya maka barangkali karya-karya PAT lah yang paling banyak diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit di luar negeri, terutama magnum opus miliknya, Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca). Berulangkali PAT menerima penghargaan sastra dari berbagai institusi di luar negeri dan bahkan sejak tahun 1981 PAT dinominasikan sebagai penerima hadiah Nobel untuk bidang sastra. Di Indonesia, Tetralogi Pulau Buru (TPB) menuai kontroversi sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 1980 oleh penerbit Hasta Mitra. Kontrol keras yang diterapkan rezim Soeharto pada TPB didasarkan pada beragam alasan antara lain, karya ini 212 dianggap berseberangan dengan ideologi negara sebab mengandung konsep marxistisleninistis/komunistis. Di samping itu TPB dianggap mengandung ide-ide kontroversial yang dapat membahayakan stabilitas nasional dan agama.51 Represi yang diderita Pramoedya semasa rezim Soeharto ini tak mampu menahan laju produksi TPB, sebaliknya, sang penulis justru mendapat perhatian dunia. Banyak negara memperlihatkan ketertarikan mereka dengan menerjemahkan TPB. Selain itu, kisah hidup Pramoedya terutama represi yang dialaminya juga diperbincangkan di berbagai surat kabar di luar negeri. Kerapnya perbincangan mengenai PAT maupun karya-karyanya di media cetak luar negeri, baik dalam bentuk resensi, esai, interview maupun tulisan ilmiah memunculkan pertanyaan-pertanyaan akan kualitas karya dan prestis yang dinikmatinya sebagai penulis. Den Boef (1993: 5) berpendapat: ‘Bij de waardering van het werk van een schrijver uit een niet-westers land, en zeker als hij (of zij) in een Derde-Wereldland leeft, spelen er bijzondere – en soms oneigenlijke – factoren een rol. Deze factoren zijn veelal van politieke aard. […] dat een auteur onder censuur te lijden heeft, kan het oordeel beïvloeden van degenen die in het Westen zijn werk lezen, […]. Naar mijn mening zou het enige criterium moeten zijn of het werk literair beschouwd de moeite waard is. Vele westerse lezers zullen echter geneigd zijn hun solidariteit met iemand die door de autoriteiten wordt gedwarsboomd in hun waardering de hoofdrol te laten spelen en zich niet uit te spreken over de kwaliteit van het werk.’ (Dalam menilai karya seorang penulis yang berasal dari negara bukan-barat, terlebih lagi bila penulis tersebut berasal dari negara Dunia-Ketiga, maka faktor-faktor istimewa – dan terkadang bukan hal yang sebenarnya – berperan di sini. Kebanyakan dari faktor-faktor tersebut memiliki keterkaitan dengan masalah politik. […] bila seorang penulis didera sensor, maka itu tentu dapat mempengaruhi penilaian pembaca yang membaca karyanya di belahan dunia Barat, […]. Saya berpendapat seharusnya ada kriteria apakah karya tersebut memang bernilai sastra. Banyak pembaca barat tentu akan cenderung memperlihatkan solidaritas mereka dalam memberikan penilaiannya pada seseorang yang dirintangi oleh otoritas dan melupakan membahas mengenai kualitas karya). Lalu apakah benar prestis yang dinikmati Pramoedya terutama dibentuk dari kecakapan menulisnya ataukah semata-mata dipengaruhi oleh solidaritas pembacanya? Dengan kata lain apakah karya-karya Pramoedya berkualitas dari segi estetika? Dimanakah letak penilaian pembacanya? Pembatasan masalah Penelitian ini memperlihatkan hubungan antara konteks politik, kritik sastra dan prestis PAT dengan bertitik tolak pada asumsi bahwa beredarnya TPB yang segera diikuti dengan pelarangan terbitnya di Indonesia oleh rezim Soeharto berperan dominan dalam penilaian kritik sastranya dan dapat saja tidak membahas mengenai faktor-faktor estetika karya. Diduga bahwa penilaian relasional, yakni konteks politik, akan cukup besar diperbincangkan di dalam dokumen-dokumen kritik sastra yang ditemukan. Penelitian ini mencakup periode 1980-2005 dan terbagi ke dalam dua subperiode yakni, periode Orde Baru (1980-1998) dan periode reformasi (1999-2005). Pada periode 51 Keputusan pelarangan peredaran Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa (dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia: no. 052/J.A/05/1981); Keputusan pelarangan peredaran Jejak Langkah (dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia: no. 036/J.A/05/1986); Keputusan pelarangan peredaran Rumah Kaca (dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia: no. 061/J.A/06/1988) 213 Orde Baru penguasa mempertahankan kekuasaannya dengan menerapkan konsep ‘stabilitas nasional’, sebuah konsep yang digunakan untuk menilai dan mengontrol segala fenomena sosial, termasuk produksi sastra. Pada periode Reformasi, konsep ‘stabilitas nasional’ tersebut diinterpretasikan ulang. Dalam konteks ini perkembangan sastra berangsur-angsur terbebas dari garis haluan represif dan otoriter. Dugaan saya bahwa dokumen-dokumen kritik yang berasal dari periode pertama atau periode Orde Baru terutama akan berisikan argumentasi politik, sementara dokumen-dokumen kritik periode kedua atau periode Reformasi akan lebih membahas mengenai estetika TPB. Untuk keperluan studi kasus ini, data yang digunakan meliputi resensi dan esai terkait TPB karya PAT yang terbit pada koran harian dan mingguan antara tahun 19802005 di Belanda, Belgia, Amerika, Kanada dan Australia. Untuk menguji dugaan saya tersebut maka saya menganalisis 15 teks resensi terpilih yang berasal dari kedua periode tersebut. Analisis yang dilakukan untuk penelitian ini meliputi analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif menggunakan teori ‘medan sastra’ dari Bourdieu (1993) yang dikaitkan dengan analisis Sapiro (2003) mengenai proses otonomi aktivitas sastra. Analisis mendalam untuk menguji penilaian dan argumentasi di dalam resensi/esai dilakukan dengan menggunakan sintesis Andringa (2004) yakni gabungan antara model penilaian H.T. Boonstra (1979) dan Heydebrand/Winko (1996). Model ini berbasis pada rekonstruksi faktor intrinsik dan ekstrinsik sastra. Di lain sisi, analisis kuantitatif menitikberatkan pada jumlah resensi/esai yang terbit baik pada periode pertama maupun periode kedua serta latar belakang yang memengaruhinya. Inventarisasi resensi/esai yang digunakan diambil dari koleksi kliping milik Universiteitsbibliotheek Utrecht dari krantenbank/Lexis Nexus, koleksi kliping PAT dari koleksi KITLV, serta koleksi arsip milik penerbit De Geus Breda-Belanda. Tetralogi Pulau Buru: sensor, strategi dan prestis Empat jilid Karya Buru yang terbit pada tahun 80-an memiliki sejarah yang panjang. Awalnya pada tahun enam puluhan PAT berencana menulis sebuah seri novel sejarah mengenai tokoh penting nasionalis Indonesia yang berasal dari periode kebangkitan nasional. Pilihan pun jatuh pada R.M. Tirto Adhi Soerjo, sosok yang menjadi inspirasinya menulis empat jilid novel sejarah tersebut. Setelah melewati perjuangan panjang meneruskan tulisannya di dalam situasi politik yang tidak stabil, bahkan harus berkali-kali mendekam di dalam penjara, akhirnya pada tanggal 25 Agustus 1980 terbit bagian pertama dari tetralogi, Bumi Manusia. Novel ini tersebar di seluruh pulau Jawa dan dalam waktu 12 hari terjual sekitar 5000 eksemplar. Hanya beberapa bulan berselang sejumlah penerbit di Hongkong, Malaysia, Australia dan Belanda mencoba mendapatkan hak terbitnya.52Anak Semua Bangsa kemudian terbit menyusul novel sebelumnya, namun terhitung sejak tanggal 29 Mei 1981 kedua novel ini definitif dilarang peredarannya. Pada pertengahan tahun 1985 terbit jilid ketiga, Jejak Langkah, yang segera diikuti dengan keputusan pelarangan terbit pada tanggal 1 Mei 1986. Jilid keempat, Rumah Kaca, yang terbit pada tahun 1988 juga dilarang peredarannya di Indonesia. Ditariknya keempat Karya Buru tersebut dilatarbelakangi oleh penilaian otoritas terhadap isi novel, antara lain: memuat dialog yang dianggap dapat merongrong-agama; memuat dialog yang bersifat agitatif; memuat komentar yang berisikan pesan dan garis haluan komunis; memuat komentar yang secara implisit dapat 52 https://id.wikipedia.org/wiki/Bumi_Manusia 214 dianggap sebagai kritik terhadap nilai-nilai budaya nasional yang bertujuan melisutkan ideologi-Pancasila; mengandung analisis yang berasal dari teori-teori Marxis; memuat komentar yang mengecilkan nilai-nilai moral nasional; memuat cara pandang yang bisa memunculkan revolusi, agitasi, dan sebagainya.53 Campur tangan kekuasaan politik di bidang sastra di negara-negara otoriter adalah hal yang lumrah terjadi. Oleh sebab itu maka tindakan-tindakan seperti pembuangan/pengurungan penulis yang memiliki visi berbeda dengan otoritas atau sensor terhadap karya-karya mereka, pelucutan institusi yang representatif, pemberangusan media dan lain sebagainya merupakan hal yang “wajar” dilakukan. Solzjenitsyn dan Havel, Ngugi dan Soyinka, Mahfuz, Fugard juga Pramoedya telah membuat senewen otoritas negara masing-masing, untuk itu mereka harus membayarnya dengan sangat mahal. Di Indonesia, pada masa kekuasaan Soeharto, negara berfungsi sebagai instrumen yang mengontrol sistem ideologi. Idelogi, menurut Bourdieu, adalah kekuatan dominan di dalam medan budaya, yang secara maksimal menentukan produksi produk-produk budaya, termasuk sastra: ‘The ideological demand determines the supply of cultural goods. The more these systems succeed in monopolizing legitimate violence both physical (army and police forces, administrative power) and symbolic (justice, education, media, and other means of propaganda and morals), the more severe the control exerted on the cultural production.’(Bourdieu:1993). Selama kekuasaan Soeharto, negara menjalankan sensor dan represi ketat, sebagian didasarkan pada undang-undang yang ditetapkan oleh Belanda pada tahun 1918. Akibatnya, produsen budaya mengembangkan strategi agar bisa lolos dari cengkeraman politik, atau yang diistilahkan Bourdieu (1985) sebagai ‘field effects’.54 Pada kasus TPB, Pramoedya bersama penerbitnya menjalani dua strategi untuk lolos dari otoritas Indonesia. Strategi pertama yakni mempublikasikan TPB secara ilegal dan klandestin di Indonesia. Strategi kedua mempublikasikan TPB di luar negeri. Akan tetapi, sensor yang diberlakukan otoritas Indonesia terhadap TPB tidak sanggup meredam antusiasme pasar, justru sebaliknya. Di dalam Harian Merdeka diberitakan: ‘tampaknya buku Pramoedya ini (Bumi Manusia) sangat populer. Tentu saja ini tidak ada kaitannya dengan isi buku, tetapi mungkin karena orang ingin tahu buku-buku Pramoedya, buku-buku yang sebelumnya dilarang beredar karena ia dipenjara.’ (Harian Merdeka, 23 Oktober 1980). Ketika Jejak Langkah dilarang peredarannya pada 1 Mei 1986 dan delapan belas hari kemudian berita itu disiarkan oleh BBC pada 19 Mei 1986, penjualan buku ini pun meningkat tajam. Oie Hiem Hwie, seorang pedagang buku di Surabaya menulis di dalam suratnya kepada Pramoedya dan Hasyim Rachman: ‘Bersama ini saya beritakan bahwa setelah adanya berita yang disiarkan oleh BBC tgl. 19 Mei 1986 malam jam 20.00 WIB yang pada pokoknya diberitakan bahwa buku ‘Sang Pemula’ dan ‘Jejak Langkah’ telah dilarang oleh Kejaksaan Agung Indonesia, maka paginya buku tersebut menjadi laku keras, terutama pembelinya para dosen dan kalangan intelektual lainnya. Kemudian tanggal 22 Mei 53 De beslissing van de openbare aanklager van de Republiek Indonesië nummer: 061/6/1988 aangaande het verbod op het gedrukte werk/boek en verspreiding van de historische roman getiteld: ‘Het Glazen Huis’ geschreven door Pramoedya Ananta Toer. http://www.antenna.nl/wvi/nl/poez/ovj.html. 54 Mengacu pada penggambaran Bourdieu oleh Sapiro (2002). 215 Harian ‘Jawa Pos’ memuat, dengan adanya berita koran ini banyak orang mencari, maka berita itu dapat dikata sebagai iklan promosi kepada ke-dua buku tersebut.55 Kuantitatif: dari mana datangnya resensi Prestis yang dinikmati Pramoedya sebagai penulis selama rezim Soeharto ini tidak hanya merupakan hasil dari dera sensor dan represi yang diberlakukan padanya namun dapat juga dikatakan berasal dari stimulasi kritik sastra. Kritik sastra adalah sebuah model untuk resepsi/konsumsi sastra dan memiliki kemampuan untuk menstimulasi pembaca untuk antara lain ‘menerima’ sebuah karya tertentu. (Vogel: 2001). Di dalam artikelnya How a literary work becomes a masterpiece: on the threefold selection practiced by literary criticism Van Rees menekankan kekuatan kritik sastra: ‘perusal of a critic’s discourse by the literature-oriented reading public might not only stimulate them to purchase the book, but also lead to their acceptance of the discourse as a basis for their conception of what is to be considered as important in the text and for their judgement as to whether this text is more successful than others, etc.’ (Van Rees: 1983, hal. 397-398). Resensi bukanlah instrumen netral. Eksistensi penulis-penulis dan karya-karya baik lama maupun baru disortir oleh koran harian dan migguan. Namun penataannya tidak pernah terjadi secara netral sebab kritikus memiliki ketertarikan dan maksud masing-masing. (Vogel: 2001). Secara keseluruhan saya menemukan 80 dokumen resepsi baik resensi maupun esai mengenai TPB: 37 dokumen berasal dari koran/majalah yang terbit di Belanda dan Belgia serta 43 dokumen dari koran/majalah yang terbit di Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Kaitan antara publikasi pertama TPB beserta cetak ulangnya dan resensi maupun esai yang muncul di Belanda, Belgia, Amerika, Australia dan Kanada diperlihatkan pada tabel-tabel di bawah ini: Tabel 1 Publikasi pertama dan cetak ulang TPB di Belanda (1980-2005) 19 198 1984 19 1987 1988 1990 1994 1995 81 3 86 BM, RK** RK JL JL, AS BM, B JL, ** *** **  (repr ASB B , RK BM ASB M int) (repr (repr (repr BM, (repr ASB int) int) int) int) (repr int) 55 1996 1999 2005 BM (repr int) ASB, JL, RK (repr int) BM (repr int) Pramoedya Ananta Toer & karyanya, kumpulan berita, ulasan, kritik dan surat-surat kepada serta tentangnya (1986-1987). KITLV  Bumi Manusia ** Anak Semua Bangsa *** Jejak Langkah **** Rumah Kaca 216 Tabel 2 Publikasi pertama dan cetak ulang TPB di Amerika, Australia, Kanada: (1980-2005) 1981 198 198 199 1991 199 1993 199 1996 1997 2 4 0 2 5 Amerika BM BM ASB, JL RK RK (NY (Willia BM BM, (repri Morr m (repri ASB nt) ow) Morro nt) (repri w) nt) Australia BM AS JL RK B Kanada BM BM (reprin t) Tabel 3 Jumlah resensi/esai yang terbit di Belanda dan Belgia pada periode pertama: 1980-1998 ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ 8 8 8 8 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Rec 1 1 2 7 1 5 1 2 1 1 Ess 1 1 1 1 2 1 1 1 1 ays Tot 2 1 2 8 2 6 1 4 1 2 1 1 1 al Tabel 4 Jumlah resensi/esai yang terbit di Belanda dan Belgia pada periode kedua: 1999-2005 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Resensi 1 Esai 3 1 Total 4 1 Tabel 5 Jumlah resensi/esai yang terbit di Amerika, Kanada dan Australia pada periode pertama: 1980-1998 ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ 8 8 8 8 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Rec 1 3 6 1 1 1 3 2 1 2 4 1 Ess 2 1 3 1 1 1 1 ays Tot 1 3 6 3 2 3 1 2 4 2 1 3 4 1 al 217 Tabel 6 Jumlah resensi/esai yang terbit di Amerika, Kanada dan Australia pada periode kedua: 1999-2005 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Resensi 1 Esai 4 1 1 Total 4 1 1 1 Dari kelima negara di atas, Belanda bereaksi sangat cepat terhadap situasi sosial politik di Indonesia. Pelarangan edar yang diberlakukan terhadap Bumi manusia dan Anak semua bangsa pada tahun 1981 di Indonesia disambut oleh Manus Amici, penerbit di negeri kincir angin itu, dengan menerbitkan Aarde der mensen (Bumi Manusia) di tahun yang sama. Pola ini tampak sama pada tahun 1986 dan 1988, yakni dilatarbelakangi oleh pelarangan edar terhadap Jejak langkah dan Rumah kaca. Voetsporen (Jejak langkah) terbit di Belanda pada tahun 1986 dan Het glazen huis (Rumah kaca) diterbitkan pada 1988. Antara tahun 1996-1997 TPB dicetak ulang di Amerika sebanyak lima kali. Ini merupakan sukses besar bagi sebuah buku terjemahan di negara itu.56 Mengenai popularitas tetralogi di Amerika Serikat tersebut dikatakan di dalam Di New York ‘Bumi Manusia’ mengulang sukses di Jakarta: “Rasa ingin tahu pembaca Amerika membaca buku Pramoedya berjalan beriringan dengan keingintahuan mereka terhadap situasi sosial politik di Indonesia. Bila dibandingkan dengan periode pertama, dokumen-dokumen pada periode lebih banyak berbentuk esai daripada resensi. Ini mengejutkan sebab pada tahun 1999 terjadi cetak ulang pada keempat novel ini di Belanda. Dalam wawancara saya dengan Ad van Rijsewijk, kepala pemasaran dan penjualan dari penerbit De Geus-Belanda, didapatkan jawaban bahwa posisi Belanda sebagai negara terbuka bagi beragam penulis dari berbagai belahan dunia mengarah pada munculnya ketertarikan pada tema-tema sastra yang baru dan tentu saja ini berujung pada persaingan terbitnya resensi di media cetak. Sementara itu persaingan antara sastra dan ketertarikan di luar sastra (seperti seni, hobby, olah raga dsb.) dalam memperebutkan tempat dalam media cetak, semakin mempersempit ruang bagi resensi. Kualitatif: estetika versus relasional Dalam dunia sastra berlaku pendapat bahwa penilaian-penilaian mengenai kualitas karya sastra didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tekstual. Kritikus dituntut bisa menentukan kualitas karya sastra dengan cara mengidentifikasi ciri-ciri di dalam karya tersebut. Ini dinilai akan dapat membentuk syarat-syarat yang cukup atau diperlukan untuk menyatakan suatu penilaian kualitas yang lebih spesifik. Meskipun demikian, pendapat semacam ini tetap menimbulkan masalah sebab kritikus tidak memiliki instrumen yang dapat dipercaya dalam menentukan ciri-ciri intrinsik dan kualitas suatu karya. (Janssen: 1993, hal. 268-273). Vogel (2001) mempertegas ini dengan menyatakan bahwa kritikus bisa saja menilai suatu karya dengan didasarkan pada sederet ide-ide yang dimilikinya mengenai apa itu sastra yang ‘baik’ dan berkualitas. Dan bilamana pandangan tentang politik menjadi bagiannya maka pengertian ‘kualitas sastra’ otomatis mendapatkan muatan politik. Saya berasumsi 56 Di New York ‘Bumi Manusia’ mengulang sukses di Jakarta. SiaR, 3 Oktober 1997 218 bahwa resensi-resensi mengenai TPB yang muncul pada periode pertama terutama berisikan pandangan mengenai situasi politik di Indonesia dan tidak menekankan pembahasan mengenai kualitas karya. Sebaliknya, resensi-resensi yang muncul pada periode kedua lebih menitikberatkan pada penilaian kualitas karya. Dari hasil analisis pada periode pertama tampak bahwa kritikus barat lebih menitikberatkan penilaian mereka pada argumen atau penggambaran tentang nilai-nilai ekstrinsik sastra, seperti moral dan ideologi, nilai dokumenter, intensi penulis, serta terutama mengenai sensor yang dialami PAT termasuk sejarah hidupnya dari penjara ke penjara. Argumen-argumen mengenai estetika karya, meliputi komposisi dan gaya penulisan, yang diberikan kritikus kebanyakan cenderung negatif, antara lain, TPB dianggap tidak layak bagi pembaca yang tumbuh dengan tradisi sastra eropa. Van Hee (1984): ‘Bagi kami yang tumbuh dengan tradisi sastra eropa […] dapat saja melihat buku-buku ini sebagai buku-buku yang sederhana dan berisi lelucon hambar. Akan tetapi itu tidaklah adil. Saya percaya bahwa sikap yang benar diperlukan di sini: cerita lebih penting dibandingkan penceritaan.’ Geertz (1996) menegaskan penggambaran karakter tokoh yang terlalu sederhana, ‘hitam’ dan ‘putih’, dalam tetralogi: ‘Nor is it even a moral tale, though the good guys and the bad guys are very clearly marked.’ Crossette (1992) menambahkan: ‘There are few one-dimensional ‘good’ or ‘bad’ characters here.’ Selain itu kritikus juga menekankan bahwa gaya penceritaan PAT lebih sesuai dengan ciri-ciri sastra lisan yakni cerita lebih dikisahkan dan bukan dituliskan: ‘It is, in fact, a narrative, or a series of narratives, that consists almost entirely of talking heads explaining and re-explaining themselves to one another…’ (Geertz: 1996). Di sisi lain, Hasting (1989) menilai intensi PAT dalam merekonstruksi sejarah Indonesia sebagai hal yang mengecewakan: ‘The second of Pramoedya Ananta Toer’s four novels about turn of the century life in the Netherlands East Indies is disappointing. In the first of the four, “This Earth of Mankind”, invention triumphs over didacticism. “Child of All Nations” tends to be rather preachy. This perhaps is to be expected of a man with a mission.’ Sama halnya seperti pada periode pertama, penilaian estetika pada periode kedua terutama negatif: tetralogi tidak lulus secara estetika. Broeder (1999) di dalam resensinya menilai: ‘Dari segi estetika sastra, novel “Bumi Manusia” tidak bisa dikatakan lulus dari berbagai sudut pandang. Novel ini menderita sebab terlalu banyak pesan yang harus disampaikannya. Kisah di dalam novel ini terlampau jelas diceritakan, hal yang terkadang membuat karakter-karakter di dalamnya tidak dapat dipercaya.’ Menurut Broeder dengan cara demikian maka karakter-karakter dalam Bumi Manusia bisa disandingkan dengan figur-figur yang terdapat dalam lukisan-lukisan sosialistis-realistis. Ia menambahkan pula bahwa TPB dikisahkan dengan gaya lisan dan bukan tulisan. Penilaian positif mengenai tetralogi datang antara lain dari Bhatia (1999), TPB dianggap mampu mengangkat gambaran-gambaran post-kolonial dalam romannya dengan tema-tema yang menarik dari sudut pandang yang berbeda: ‘Through his writings, Pramoedya has always portrayed post-colonial Indonesia in stark terms, as a modern historical-political tragedy. No mystical allure of Indonesian cultures such as that Western anthropologists and behaviouralist often naively allude to.’ Secara keseluruhan, perhatian kritikus terhadap TPB pada periode kedua lebih tertuju pada faktor-faktor ekstrinsik karya, terutama terkait dengan kisah hidup Pramoedya dan sensor yang dideritanya. 219 Simpulan Penelitian ini belum sepenuhnya lengkap. Harus saya akui bahwa masih ada sejumlah elemen yang harus dianalisis dalam penelitian lanjutan berikutnya agar tercipta suatu gambaran lengkap dan detil mengenai kesuksesan Pramoedya dalam medan-sastra internasional. Penelitian ini memperlihatkan bahwa prestis yang dinikmati oleh Pramoedya pada tempat pertama bukan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan estetika karya (TPB), namun terutama berkaitan dengan sejumlah faktor-faktor ekstrinsik sastra. Sensor negara juga merupakan tema penting di dalam sejumlah resensi yang dianalisis dan bertanggung jawab pada proses naiknya pamor penulis. Dokumen-dokumen kritik-sastra pada periode pertama (1980-1998) terutama tidak mengandung argumentasi-argumentasi terkait politik. Titik berat berat penilaian tersebar pada beragam elemen ekstrinsik sastra lainnya seperti penilaian terkait moral dan ideologi, tradisi sastra, nilai dokumenter, publik pembaca, dan kehidupan penulis. Kritikus pada periode pertama lebih memberikan perhatian pada komposisi dan gaya penulisan Pramoedya dibandingkan kritikus pada periode kedua (1999-2005). Kriteria (baru) tetralogi yang dibentuk kritikus barat pada periode pertama dapat dirangkum sebagai berikut: 1. Cerita dalam tetralogi lebih penting dari penceritaan. 2. Sastra lisan adalah memesona. 3. Karakter hitam-putih adalah gambaran karakter yang baik. Daftar Rujukan Dokumen resensi/essay: Belcher, Wendy. 4 Juni 1999. The prisoner, Pramoedya Ananta Toer, Indonesia’s leading writer out on tour. L.A. Weekly (California). Bahtia, Manjit. 31 Juli 1999. Blame the intellectuals. Courier Mail (Queensland, Australia). Boef, August Hans den. 21 Maret 1986. De strijd van een Indische Multatuli. De volkskrant. Broeder, Leonoor. 28 Mei 1999. Een soort bruine Nederlander. De Volkskrant. Crossette, Barbara. 19 Januari 1992. Banned in Jakarta. New York Times. Freriks, Kester. 2004. Pramoedya Ananta Toer: Reinassance man. NRC Handelsblad. Geertz, Clifford. 22April 1996. Java Jive. The New Republic. Greenlees, Don. 5 April 1999. Blocked writer finally free to tell his stories. The Australian. Hasting, Peter. 27 Agustus 1984. A great Indonesian novel could be shortened by a lecture. Child of all nations. Sydney Morning Herald. Hanusz, Mark. 2003. Buru Quartet by Pramoedya Ananta Toer. Dari: http://www.asianreviewofbooks.com/arb/article.php?article=217. Hee, Miriam Van. 7 April 1984. Werk van Ananta Toer in vertaling. Kurosawa in Indonesië. De Morgen. Pollmann, Tessel. 10 Mei 1986. In verzet tegen Javaanse etnocentrisme. “Voetsporen” van Pramoedya Ananta Toer. Vrij Nederland. Visser, Hans. 12 Mei 1989. Dissident Ananta Toer, zet kroon op zijn vierluik. Privinciale Zeeuwse Courant. 220 Wirtz, Wim. 19 Juli 2002. Indonesische karikaturen. De Volkskrant. Wit, Hanneke De. 4 Juni 1999. Pramoedya zou toch niet gaan stemmen. Het Parool. Referensi Boef, August Hans den en Kees Snoek. 1993. Een dicht struikgewas van dagelijkse zorgen – leven en werk van Pramoedya Ananta Toer. Dalam Pramoedya Ananta Toer, essay en interview. De Geus. Bourdieu, Pierre. 1993. The field of cultural production, essays on art and literature. Polity Press. Janssen, Susanne. 1993. Kopland en kritiek, het functioneren van de literatuurkritiek, geïllustreerd aan de hand van de consensusvorming over poëzie van Rutger Kopland. Dari: Ton Bevers, Antoon van Braembussche, en Berend Jan Langenberg (red), De kunstwereld, productie, distributie en receptie in de wereld van kunst en cultuur. Hal. 268-303. Nooy, Wouter de. 2002. The dynamics of artistic prestige. Poetics 30: 147-167. Rees, C.J. Van. 1983. How a literary work becomes a masterpiece: on the threefold selection practiced by literary criticism. Poetics 12: 397-417. Sapiro, Gisèle. 2003. The literary field between the state and the market. Poetics 31: 441-464. Teeuw, A. 1993. Pramoedya Ananta Toer, de verbeelding van Indonesië. De Geus. Vogel, Marianne. 2001. Recencies: waar onze literatuur vandaan komt. Amsterdam: Veen. 221 MENGGUGAH SOLIDARITAS MELALUI ROMAN DSCHUNGELKIND (RINDUKU PADA RIMBA PAPUA) KARYA SABINE KUEGLER Isti Haryati (FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia) Abstrak: Upaya menggugah solidaritas bisa dilakukan dengan pembacaan terhadap karya sastra. Pembacaan terhadap roman Dschungelkind (Rinduku pada Rimba Papua) karya Sabine Kuegler menyadarkan kita bahwa ada masih banyak suku bangsa di Indonesia yang masih hidup dalam budaya yang masih jauh dari nilai kemanusiaan, salah satunya suku Fayu di Papua. Interaksi antara keluarga Kuegler dan kepedulian terhadap kehidupan suku Fayu di Papua tersebut secara perlahan mengikis persoalan kemanusiaan tersebut. Gambaran sosiologis dan interaksi sosial antara keluarga Kuegler dan suku Fayu dalam Roman Dschungelkind (Rinduku pada Rimba Papua) ini menggugah solidaritas kita sebagai bangsa Indonesia, karena suku Fayu di Papua adalah bagian dari bangsa Indonesia. Kata Kunci : solidaritas, gambaran sosiologis suku Fayu, interaksi sosial Pendahuluan Realitas sosial dalam masyarakat menjadi salah objek pengamatan yang dilakukan oleh pengarang yang kemudian dituangkan dalam karya-karyanya. Realitas yang terjadi di dalam masyarakat tersebut diolah sedemikian rupa dengan kreativitas yang tinggi sehingga menjadi karya sastra. Gambaran realitas yang diangkat dalam karya sastra bisa menggambarkan bagaimana kondisi riil yang terjadi di dalam masyarakat. Gambaran tersebut sesuai yang dikatakan oleh Ian Watt, yang mempertimbangkan hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Salah satunya, Ian Watt mengatakan bahwa karya sastra sebagai cermin masyarakat, yakni sampai sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat (Damono, 1979 : 3-4). Kondisi yang digambarkan dalam karya sastra tersebut bisa berefek terhadap kita sebagai pembaca ketika kita membaca karya sastra tersebut. Berbagai nilai kemanusian yang diangkat dalam karya sastra bisa menggugah pambaca sehingga karya sastra tidak hanya bersifat menghibur saja tetapi juga bermanfaat. Hal tersebut sesuai yang diungkapkan oleh Horace bahwa fungsi karya sastra itu tidak hanya menghibur (dulce) tetapi juga bermanfaat (et utile) (Wellek dan Waren, 1990 : 25). Salah satu manfaat membaca karya sastra adalah munculnya nilai solidaritas yang bisa muncul dari diri kita ketika kita selesai membaca karya sastra. Solidaritas sendiri berasal dari bahasa Latin solidus yang berarti kuat dan teguh, juga berarti perasaan senasib (KBBI). Menurut Emile Durkheim (dalam Doyle Paul Johnson (1981: 181) solidaritas menunjukkan pada suatu keadaan antar individu dan atau kelompok, yang didasarkan perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama, yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. 222 Salah satu karya sastra yang menceritakan bagaimana rasa solidaritas dikembangkan adalah roman Dschungelkind karya Sabine Kuegler, seorang wanita Jerman yang pernah tinggal dalam rimba Papua bersama suku Fayu. Roman Dschungelkind yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Rinduku Pada Rimba Papua, merupakan roman pertama karya Sabine Kuegler, yang mengungkapkan kisah hidupnya ketika tinggal dalam suatu keadaan sosial masyarakat suku Fayu di Papua khususnya Papua Painai. Rasa kepedulian dan kerinduan Sabine terhadap masyarakat suku Fayu di Papua tersebut mendorongnya menuangkan pengalaman hidupnya dalam roman tersebut. Kepedulian Sabine Kuegler terhadap kehidupan masyarakat di rimba Papua tersebut tergambar dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh keluarga Kuegler ketika melakukan interaksi sosial dengan suku Fayu tersebut. Suku Fayu yang digambarkan masih hidup dalam keterasingan tersebut akhirnya secara berangsurangsur mengalami perubahan dalam pola perilaku sosialnya karena interaksi sosial yang dilakukan bersama-sama dengan keluarga Kuegler tersebut. Gambaran kehidupan sosial suku Fayu dan perubahannya setelah bertemu dengan keluarga Kuegler, yang digambarkan dalam roman Dschungelkind ini adalah satu gambaran nilai solidaritas yang dilakukan oleh keluarga Jerman dalam menghadapi suku Fayu tersebut. Empati yang ditunjukkan oleh keluarga tersebut dalam melakukan berbagai pendekatan positif terhadap suku Fayu tersebut bisa menggugah rasa solidaritas kita sebagai bangsa Indonesia. Suku Fayu adalah merupakan bagian dari bangsa Indonesia yang keberadaannya masih kurang begitu diketahui. Mengembangkan rasa senasib dan sebangsa setalah melakukan pembacaan terhadap roman Dschungelkind ini merupakan hal yang bisa kita lakukan. Pembahasan Roman Dschungelkind menceritakan tentang realitas sosial yang digambarkan dalam karya sastra dalam masyarakat suku Fayu di Papua. Tokoh utama dalam roman Dschungelkind karya Sabine Kuegler adalah Sabine. Dalam roman tersebut dikisahkan pengalaman hidupnya ketika hidup bersama-sama suku Fayu di Papua, ketika ayahnya, Klaus Kuegler, melaksanakan tugas sebagai peneliti bahasa suku-suku di Papua. Potret sosiologis kehidupan masyarakat suku Fayu tersebut digambarkan dengan jelas, berdasarkan pengamatan sang tokoh utama. Selain itu juga digambarkan bagaimana interaksi antara keluarga Sabine Kuegler dengan masyarakat suku tersebut dan hasil interaksi antara mereka. Gambaran Sosiologis Tradisi Suku Fayu di Papua Roman Dschungelkind ini memberikan gambaran kepada pembaca bagaimana kehidupan masyarakat suku Fayu yang hidup di pedalaman Papua. Melalui pengamatan yang dilakukan oleh Sabine, tokoh utama dalam roman ini, gambaran kehidupan masyarakat suku Fayu di Papua ini terpapar dengan jelas. Secara geografis, masyarakat suku Fayu tinggal di pedalaman Papua dengan lingkungan yang dipenuhi rawa-rawa dan pohon palem berduri, sehingga menyebabkan lokasi mereka sulit dijangkau dengan jalan darat. Secara sosiologis masyarakat suku Fayu digambarkan oleh Sabine Kuegler dalam roman Dschungelkind sebagai berikut. a. Suku yang Kanibal dan Brutal Masyarakat suku Fayu yang hidup di tengah-tengah rimba Papua ini memang digambarkan masih jauh dari peradaban. Bahkan beberapa tradisi yang hidup dalam 223 masyarakat tersebut sangat jauh dari nilai kemanusiaan, seperti membunuh, balas dendam, dan tindak kekerasan. Bagi beberapa orang Fayu, tradisi membunuh, balas dendam dan kekerasan adalah merupakan bagian dari kehidupan mereka. Hal tersbut dikatakan oleh Sabine pada kesan pertamanya terhadap suku Fayu tersebut. “Und hier, bei dem erst vor kurzem entdecken Fayu Stamm, der für Kannibalismus und eine unvorstellbare Brutalität stand, einem Stamm, der noch in der Steinzeit lebte....” (dan sekarang, hidup di antara orang-orang Fayu, sebuah suku dari Zaman Batu yang dikenal kanibal dan sangat brutal...) (Kuegler, 2005 : 37). Keberadaan suku Fayu yang terisolir dari masyarakat Papua pada umumnya disebabkan karena suku tersebut terkenal akan kebrutalan dan kekejamannya. Bagi sukusuku lain yang berada di daerah tersebut, suku Fayu memang sengaja dihindari karena mereka takut untuk menjalin komunikasi dengan mereka. Hal inilah yang menyebabkan suku Fayu tersebut semakin terisolir dan tertinggal peradabannya dibanding suku lain. Kegemarannya berperang dengan suku-suku lain suku Dou dan Kiri-kiri, suku-suku yang juga berada di kawasan Painai juga menyebabkan suku tersebut semakin diasingkan dan dihindari (Kuegler, 2005: 66-67). b. Hidup dalam tradisi kekerasan Suku Fayu biasa hidup dalam tradisi yang penuh kekerasan. Oleh karena itu kehidupan mereka juga dekat dengan kematian, yang diakibatkan oleh tindak kekerasan yang terjadi. Dengan mudah pembunuhan akan terjadi, karena alasan balas dendam. Oleh karena itu ketakutan terus menghantui kehidupan orang-orang suku Fayu tersebut. Bahkan kekerasan dan pembunuhan karena saling balas dendam menyebabkan jumlah polulasi mereka menurun tajam. Anak-anaklah yang kemudian menjadi korban karena budaya kekerasan ini. Mereka yang tumbuh dalam budaya kekerasan juga akan terenggut masa kanak-kanaknya karena mereka tidak mengenal rasa aman. Saat menyaksikan orangtua mereka dibunuh, mereka dikuasai rasa takut, apalagi kemudian mereka dibiarkan hidup terlantar. Kalau mereka tidak ditemukan oleh anggota kelompoknya sendiri, mereka akan mati kelaparan dan hidup dalam bahaya di hutan. Demikianlah kondisi orang-orang Fayu yang hidup dan tenggelam dalam rangkaian kekerasan, yang semakin lama semakin brutal dan ekstrem) (Langsam gerieten die Fayu in eine Spirale der Gewalt, einen Teufelkreis, der immer brutaler und extremer wurde) (Kuegler, 2005 : 136). Kekerasan juga terjadi dalam kehidupan antara laki-laki dan wanita. Jika seorang laki-laki ingin menikahi seorang perempuan, dan sang ayah dari si perempuan setuju, maka sang ayah hanya akan menyerahkan putrinya ke laki-laki tersebut untuk dinikahi dan tinggal bersamanya. Jadi tidak perlu ada tindak kekerasan atau penculikan. Akan tetapi, jika ayah dari seorang gadis tidak setuju dengan laki-laki yang berniat menikahi putrinya, maka laki-laki tersebut menunggu dengan sabar sampai waktu yang tepat, ketika sekali saja gadis itu tanpa penjagaan, tanpa peringatan dini lakilaki tersebut akan menarik, dan menyeretnya ke dalam hutan. Dia bersembunyi di sana bersama dengan gadis itu, sampai gadis itu siap untuk tinggal bersamanya). (Kuegler, 2005: 166). Itulah sebabnya mengapa seorang suami dari suku Fayu tidak pernah mennjukkan perhatian dan kasih sayangnya pada istri mereka. Hal itu disebabkan mereka menikah tanpa dasar rasa cinta. “Längst nicht alle Fayu-Männer behandelten ihre Frauen so gut.” (Sejak lama semua laki-laki Fayu tidak memperlakukan istrinya dengan baik) (Kuegler, 2005: 166). Bahkan sering terjadi para suami tega menyakiti dan melukai istri mereka, hanya untuk membuat istrinya tunduk dan patuh kepadanya, “...; normalerweise hätte ein Fayu-Mann in einem solchen Fall mit einem Pfeil auf seine Frau geschossen.” (Kuegler, 2005: 165). (Dalam kasus 224 seperti itu biasanya laki-laki Fayu menembakkan panahnya ke istrinya). Untuk membuat istri mereka patuh dan tunduk, seorang suami biasa menembakkan anak panah kepada istrinya. c. Sering Terjadi Perang antar Kelompok Bahwa suku Fayu terbagi dalam beberapa kelompok, dikatakan oleh Sabine bahwa ketika menceritakan tentang keberadaan suku tersebut, yang belum diketahui sebelumnya oleh ayah Sabine, yakni Klaus Kuegler ketika akan mencari keberadaan suku tersebut. “Zu dieser Zeit wusste Papa noch nicht, dass der Fayu-Stamm aus vier Gruppe bestand, die sich im dauernden Kriegszustand befanden” (Kuegler, 2005: 76). (Pada saat itu papa belum tahu bahwa suku Fayu terbagi menjadi empat kelompok, yang terlibat perang terus-menerus). Ke empat kelompok tersebut adalah kelompok Iyarike, kelompok Tigre, kelompok Tearü, dan kelompok Sefoidi. Salah satu suku yang ditemukan terakhir adalah suku yang diceritakan sebagai suku yang kanibal, yakni Sefoidi. Meskipun mereka berasal dari suku yang sama, yaitu Fayu, mereka selalu terlibat perang antar kelompok secara terus-menerus dan saling membunuh antar satu kelompok dengan kelompok yang lain. Perang dan tindakan saling membunuh tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya pelanggaran wilayah kekuasaan atau memasuki wilayah kekuasaan tanpa izin dan membalaskan dendam karena salah seorang dari suatu kelompok telah membunuh seseorang dari kelompok yang lain. Tradisi tersebut berlangsung secara terus menerus dan tidak diketahui kapan berakhirnya. d. Menganut Paham Animisme, Dinamisme dan Totemisme Dalam hal keagamaan, suku Fayu menganut paham Animisme, Dinamisme, dan Totemisme. Salah satu bentuk kepercayaan Animisme adalah kepercayaan mereka terhadap roh-roh nenek moyang, dan roh-roh jahat yang dapat mencelakai manusia. Orang Fayu percaya adanya roh jahat yang dinamakan Tohre. Menurut kepercayaan mereka, Tohre dapat mencelakakan dan membunuh manusia. Menurut mereka, Tohre adalah roh jahat yang tinggal dan berasal dari hutan. Biasanya Tohre akan keluar pada malam hari dan membunuh orang-orang Fayu yang masih berada di luar gubug mereka. “Er ist der böse Geist; er kommt nachts aus dem Urwald und frisst einen auf” (Kuegler, 2005: 244). (Tohre adalah roh jahat, dia keluar dari hutan pada malam hari untuk memangsa manusia). Selain paham tersebut, mereka juga percaya akan akan adanya kekuatan alam, dalam hal ini batu yang bernama “bisa” dan “beisha” yang dianggap bisa membantu orang-orang suku Fayu dalam menghadapi setiap masalah (Kuegler, 2005: 283). Kepercayaan Totemisme ditunjukkan dengan kepercayaan mereka terhadap hewan-hewan tertentu yang dilarang, salah satunya adalah menganggap bagian perut buaya sebagai bagian yang dikeramatkan sehingga melarang wanita suku Fayu untuk memakan dan melihat perut buaya dan jika dilanggar mereka akan sakit dan bahkan meninggal dunia (Kuegler, 2005: 189). e. Persahabatan dan Persaudaraan antar Anggota Kelompok yang Kuat Salah satu hal positif dari kehidupan suku Fayu yang dirasakan oleh keluarga Kuegler adalah bahwa hubungan antar anggota kelompok suku Fayu sangat erat. Mereka bukan lagi merasa seperti hidup dalam kelompok tetapi lebih seperti keluarga. Persahabatan dan persaudaraan terjalin sampai mati. Setiap orang selalu ada dan selalu siap jika orang lain membutuhkannya. Tidak hanya siap membantu anggota keluarga mereka, akan tetapi juga anggota keluarga lain dalam kelompok yang sama. 225 Bahkan Sabine dan keluarganya yang merupakan orang asing merasakan rasa persaudaraan yang erat di dalam kelompok Fayu. Meine Familie und meine Stammesmitglieder sind für mich da, so wie ich für sie da bin” (Kuegler, 2005: 51). (Keluargaku dan anggota suku Fayu selalu ada untukku, sebagaimana aku selalu ada untuk mereka). Dalam budaya suku Fayu, keterikatan dalam kelompok adalah hal yang sangat penting. Bagi mereka, keluarga dan anggota kelompok merupakan harta yang berharga. Mereka rela mengorbankan nyawa untuk melindungi keluarga dan anggota kelompoknya. Jika ada hal buruk yang terjadi pada anggota keluarga atau anggota kelompoknya, mereka akan membunuh orang itu dengan alasan balas dendam. Dengan demikian, atas nama solidaritas kelompok maka kekerasan karena membalaskan dendam anggota kelompok yang lain, menjadi hal yang biasa dalam masyarakat suku Fayu tersebut. Interaksi Sosial yang Membawa Perubahan Suku Fayu di Papua Kedatangan keluarga Sabine Kuegler membawa beberapa perubahan terhadap kehidupan suku Fayu. Penelitian kebahasaan yang dilakukan oleh Ayah Sabine (Klaus Kuegler) mengharuskannya bergaul lebih dalam dengan masyarakat suku Fayu tersebut. Apalagi dengan aktivitasnya menyusun kamus bahasa Fayu, bergaul dan berinteraksi dengan mereka setiap harinya merupakan hal yang harus dilakukan. Demikian juga dengan istri dan anak-anak mereka yang kemudian juga bergaul lebih akrab dengan masyarakat terutama anak-anak suku Fayu. Sikap dan tindakan yang dilakukan oleh keluarga Kuegler ini secara pelan bisa mengubah perilaku masyarakat suku Fayu yang tadinya kasar dan kurang beradab. Meskipun keluarga Kuegler tidak secara eksplisit mengatakan bahwa tradisi tersebut kurang baik, akhirnya dengan teladan yang diberikan oleh keluarga tersebut, terjadi perubahan positif pada suku Fayu. Hal tersebut tampak pada kutiban berikut ini. “Wir haben den Fayu nie gesagt, was sie tun oder lassen sollten und welches Verhalten uns richtig erschien. Denn unsere Eltern hatten uns beigebracht, dass das beste Zeugnis unser eigenes Leben und unser Verhalten war, und nicht Worte, die aus unserem Mund kamen.” (Kuegler, 2005: 167). (Kami tidak pernah mengatakan kepada orang Fayu, apa yang harus mereka lakukan atau mereka tinggalkan dan perilaku yang mana yang tampak benar. Karena orang tua kami mengajarkan kami, bahwa bukti yang terbaik adalah hidup kita sendiri dan perilaku kita, dan bukan kata-kata, yang keluar dari mulut kita). Tradisi-tradisi yang kurang sesuai dengan nilai kemanusiaan seperti tindak kekerasan yang tadinya menjadi tradisi suku Fayu sedikit demi sedikit mulai berkurang. Bahkan ada beberapa konsep kemanusiaan yang kemudian dikenal oleh masyarakat suku Fayu tersebut karena interaksi yeng terjadi dengan keluarga Kuegler tersebut. Beberapa tradisi yang mengalami perubahan dengan kehadiran keluarga Kuegler adalah sebagai berikut. a. Tradisi Kekerasan mulai berkurang Tindakan kekerasan yang terjadi pada masyarakat suku Fayu, terutama kekerasan antara seorang suami terhadap istrinya pada awalnya mengejutkan keluarga Kuegler yang melihatnya secara langsung. Interaksi yang terjadi antara keluarga Kuegler dan suku Fayu tersebut membuat masyarakat suku Fayu bisa melihat bagaimana keluarga Kuegler saling menyayangi, saling menghormati dan saling 226 bekerjasama dengan baik. Teladan yang diberikan tanpa harus menggurui tersebut membawa dampak positif seperti yang dikatakan oleh Sabine, sebagai berikut. “Heute ist das anders. Langsam, über die Jahre hinweg, haben die Fayu-Männer durch die Begegnung mit meiner Mutter gelernt, ihre Frauen zu achten. Denn sie haben in dieser langen Zeit miterlebt, wie meine Eltern einander respektieren und liebten. Es war für sie etwaskomplett Neues, dass ein mann und eine Frau zusammenarbeiteten und dabei glücklich waren und lachen konnten. So etwas gab es bei ihnen nicht. Bei meinen Eltern konnten sie sehen, wie wichtig die Liebe war und dass ein Streit nicht gleich mit dem Tod oder einem Pfeil enden musste.” (Kuegler, 2005: 167). Sekarang hal tersebut telah berubah. Lambat laun, beberapa tahun berlalu, laki-laki Fayu telah belajar bersikap kepada istri mereka dari pertemuannya dengan ibuku. Karena untuk beberapa waktu yang lama ini mereka menghayati, bagaimana orangtuaku saling menghargai satu sama lain dan saling mencintai. Itu sesuatu hal yang sama sekali baru untuk mereka, bahwa suami dan istri bisa bekerja sana dan bisa bahagia dan tertawa. Sesuatu hal yang tidak ada dari mereka. Dari orangtuaku mereka bisa melihat, bagaimana cinta itu penting dan pertengkaran tidak harus diselesaikan dengan kematian atau anak panah. Lambat laun terjadi perubahan pada orang-orang Fayu, mereka telah belajar bagaimana harus mencintai dan memperlakukan orang yang dicintainya. Teladan yang dilakukan oleh Klaus adalah sebuah permulaan kecil bagi suku Fayu yang memberikan efek besar terhadap suku Fayu. Masyarakat suku Fayu yang dikenal dengan kebencian, kebrutalan, dan tradisi balas dendam berubah menjadi masyarakat suku yang penuh kedamaian. Seperti yang dikemukakan oleh Sabine, bagaimana sekarang suku Fayu hidup dalam damai, dan mereka telah belajar menyelesaikan konflik dengan cara yeng berbeda dari dulu (Kuegler, 2005: 221-222). b. Masyarakat Suku Fayu Belajar tentang Konsep Memaafkan Memaafkan yang tadinya menjadi hal yang asing bagi masyarakat suku Fayu, ditunjukkan oleh keluarga Kuegler ini dengan contoh. Keluarga Kuegler, tertama Klaus Kuegler, tidak pernah menjelaskan tentang bagaimana konsep memaafkan tersebut. Tetapi ketika terjadi peristiwa yang membuat Klaus sangat marah, yakni ketika ada seorang pemuda yang dengan sengaja merusak barang-barang kiriman yang baru saja diterima keluarga Kuegler, Klaus berusaha menangkap pemuda tersebut, tidak memarahinya tetapi merangkul pemuda tersebut, dan menempelkan dahinya ke dahi pemuda tersebut. Klaus berusaha menunjukkan kepada orang Fayu tentang rasa persaudaraan dan konsep memaafkan (Kuegler, 2005: 223-224). c. Perang Antar Kelompok Fayu Semakin Berkurang Suku Fayu yang terdiri atas empat kelompok, mempunyai kebiasaan saling berperang yang dipicu hal-hal yang sebenarnya tidak begitu penting. Kebiasaan berperang dan saling membunuh itu juga dilakukan di depan rumah keluarga Kuegler. Ketika mereka akan kembali berperang dan kakak Sabine yang bernama Sybille menjerit-jerit ketakutan, Klaus mengambil langkah untuk melerai pertikaian mereka dan mengatakan kalau mereka masih akan bertikai, apalagi di depan rumah mereka, keluarga Kuegler akan meninggalkan mereka. Cara yang dilakukan tersebut ternyata mujarab. Mereka yang merasa sangat membutuhkan kehadiran keluarga Kuegler ini kemudian menyatakan berhenti berperang dan memintanya untuk tetap tinggal. Hal tersebut tampak pada kutiban berikut. “Er schaute nur diese wilden Krieger an, die sich gerade noch umbringen wollten, jetzt aber vereint vor ihm standen und ihn baten zu 227 bleiben (Dia menyaksikan prajurit-prajurit liar ini, yang baru saja akan membunuh satu sama lain, akan tetapi sekarang berdiri bersama di depannya dan memintanya untuk tetap tinggal) (Kuegler, 2005: 249). Pada hari itu juga, kelompol Iaryke dan Tigre mewakili kelompok yang lain mengadakan perjanjian damai satu sama lain, dan hal itu berlangsung sampai sekarang (Kuegler, 2005: 249). Sekarang hubungan antar kelompok Tigre, Iyarike, Sefoidi dan Tearü terjalin lebih baik, tidak ada lagi peperangan antar kelompok dan pembunuhan semakin berkurang antar kelompok-kelompok di suku Fayu. Kedatangan keluarga Sabine telah merubah suku Fayu menjadi suku yang penuh kedamaian. “Die Fayu sind ein friedlicher Stamm geworden, kaum wieder zu erkennen im Vergleich zu damals.” (Kuegler, 2005: 343). (Suku Fayu menjadi suku yang lebih damai, hampir tidak dikenali dibandingkan dulu). d. Orang-orang Fayu Mulai Mengenal Pendidikan Posisi suku Fayu yang berada di tengah rimba Papua membuat suku Fayu benarbenar terputus dengan dunia luar. Mereka tidak mengenal kebudayaan dan juga nilai-nilai pendidikan. Kedatangan keluarga Kuegler membawa perubahan bagi suku Fatu tersebut. Orang-orang suku Fayu tidak hanya mendapatkan pelajaran tentang prinsip-prinsip kemanusiaan dari keluarga Kuegler, akan tetapi mereka juga mulai mengenyam pendidikan, mulai dari pelajaran membaca, berhitung dan menulis. Ibu Sabine, Doris membuka sekolah untuk anak-anak muda di suku Fayu. Kemudian dengan telaten, Doris Kuegler ini mengajarkan berhitung dengan alat bantu tangan, kaki sehingga mereka bisa berhitung satu sampai sepuluh dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut tampak dalam kutiban berikut ini. “Sie können ja nur bis drei zählen, und danach gibt es keine Zahlwörter mehr, nur noch eine Hand oder eine Hand und ein Fuβ, und so weiter. So fing ich an, ihnen die Zahlen von eins bis fünf und dann weiter bis zehn auf Indonesisch beizubringen.” (Kuegler, 200: 315). (Mereka hanya bisa menghitung sampai tiga, dan kemudian tidak ada kata-kata untuk angka lagi, hanya ada satu tangan atau satu tangan dan satu kaki, dan selanjutnya. Jadi aku mulai mengajarkan mereka tentang angka-angka dari satu sampai lima dan kemudian sampai sepuluh dalam bahasa Indonesia). Informasi tersebut didapat Sabine dari Doris melalui surat, ketika Sabine sudah berada di Swiss. Selain belajar berhitung, anak-anak muda suku Fayu ini juga belajar mengenal huruf, belajar membaca dan belajar menulis namanya sendiri. Sekembalinya keluarga Kuegler ke Jerman, ada suatu organisasi yang meneruskan perjuangan keluarga Sabine untuk mengembangkan pendidikan warga suku Fayu dan lebih mengembangkan potensi-potensi generasi muda suku Fayu, yang dinyatakan dalam kutipan kalimat berikut ini. “Inzwischen hat die Organisation meiner Eltern, YPPM, den Haupteil der Entwicklungsarbeit übernommen, insbesondere die von meiner Mutter gegründete Schule, wo die jüngere Generation Lesen, Schreiben, Rechnen, und die indonesische Sprache lernt.” (Kuegler, 2005: 343). (Sementara itu, organisasi orang tua saya, yakni YPPM, meneruskan pekerjaan utama tersebut khususnya, sekolah yang didirikan oleh ibu saya, tempat generasi muda belajar membaca, menulis, berhitung, dan belajar bahasa Indonesia). Dengan kehadiran keluarga Kuegler, generasi muda suku Fayu yang pada awalnya hanya mengenal bahasa Fayu sebagai bahasa mereka, kemudian juga bisa berbahasa Indonesia. 228 Roman Dschungelkind dan Solidaritas Keberadaan suku Fayu yang tinggal di pedalaman Papua, kurang diketahui oleh sebagain bangsa Indobesia, meskipun suku tersebut adalah bagian dari warga negara Indonesia. Karena tidak mengenalnya, kepedulian terhadap suku tersebut sebagai bagian dari bangsa Indonesia juga tidak ada. Semangat solidaritas atau dengan kata lain perasaan senasib dan sebangsa belum terjalin karena ketidaktahuan kita tentang adanya eksistensi suku tersebut sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Pembacaan terhadap Roman Dschungelkind yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Rinduku pada Papua, membuat mata kita terbuka bahwa suku Fayu yang berada di rimba Papua tersebut adalah bagian dari bangsa Indonesia. Sabine Kuegler dengan romannya tersebut mengenalkan satu dunia kehidupan yang selama ini tidak kenal. Penjelajahannya yang dalam tentang kehidupan suku tersebut bagai semacam muara informasi bagi kita dan bagi mereka yang mempelajari berbagai suku di Indonesia. Sabine Kuegler memulai tulisannya dengan kegamangannya memulai hidup sebagai orang Eropa di Eropa setelah menghabiskan waktu kanak-kanak dan remajanya di rimba Papua. Ingatannya akan kehidupan di rimba bersama suku Fayu tersebut begitu mencengkeram jiwanya, sehingga meskipun sudah kembali hidup di Eropa, dia tidak bisa melepaskan diri dari kenangan hidup di hutan tersebut. Itulah rumahnya. “Der mächtige Dschungel von Irian Jaya ... Mein Zuhause, das verlorene Tal” (Hutan Rimba Papua, Rumahku, lembah yang hilang) (Kuegler, 2005: 19). Sabine menceritakan bagaimana awal kehidupannya ketika mulai memasuki dunia baru hidup bersama suku Fayu tersebut karena mengikuti ayahnya yang bertugas sebagai seorang Linguist, seorang peneliti bahasa. Hidup bersama suku Fayu, yang digambarkan sebagai suku dari Zaman Batu yang dikenal kanibal dan sangat brutal, telah mengubah diri seorang Sabine. Sejak awal menginjakkan kaki dan bertemu dengan suku tersebut, dia merasa sudah seperti di rumahnya sendiri. Dia merasa memang terlahir untuk menjalani hidup bersama suku tersebut, hidup yang bebas tanpa tekanan. Saat mereka belajar mencintai daripada membenci, memaafkan daripada membunuh, Sabine telah menjadi bagian dari mereka seperti mereka menjadi bagian dari hidup Sabine (Kuegler, 2005: 36-37). Dalam roman ini, Sabine telah menunjukkan perasaan senasib dan sebangsa dengan suku Fayu tersebut, meskipun dia adalah seorang Eropa, seorang warga Jerman bukan bangsa yang sama dengan suku Fayu tersebut. Namun Sabine merasa bagian dari mereka. “Ich war keine Deutsche mehr, war nicht mehr das weiße Mädchen aus Eropa. Ich wurde eine Engeborene, ein Fayu-Mädchen von Stamm der Iyarike” (Saya bukan orang Jerman lagi, bukan lagi gadis kulit putih dari Eropa, saya adalah penduduk asli, gadis suku Fayu dari kelompok Iyarike) (Kuegler, 2015 : 37). Rasa solidaritas tersebut kemudian diwujudkan dalam berbagai macam interaksi yang dilakukan bersama orang-orang suku tersebut, saling menolong dan menghormati. Sabine bisa betul-betul merasa lebur, dan menyesuaikan diri secara total dengan lingkungan hidup di dalam rimba Papua tersebut. Sabine dan keluarga belajar bahasa Fayu dan juga bisa fasih dalam berbahasa Indonesia. Awalnya Sabine tidak bisa mengerti mengapa orang-orang Fayu tidak bisa mengerti jika diajak berbicara dalam bahasa Indonesia, tetapi ayahnya menerangkan bahwa meskipun mereka hidup di Indonesia, mereka mempunyai bahasa yang benar-benar berbeda dengan bahasa Indonesia (Kuegler, 2005: 196). Bersamaan dengan mereka belajar bahasa Fayu, Sabine belajar budaya suku tersebut dan menghormati budaya tersebut.” Und so lernten wir neben der Sprache 229 mehr und mehr auch die Kultur der Fayu kennen. Papa brachten uns Kindern sei, sie zu respektieren und uns ihr anzupassen” (Bersama dengan bahasa, kami juga menyerap budaya Fayu. Papa mengajarkan kami untuk menghormati dan menyesuaikan diri) (Kuegler, 2005: 199-200). Bahasa dan budaya menjadi adalah dua hal yang dipelajari oleh Sabine dan keluarganya ketika berada dalam lingkungan suku Fayu tersebut. Sekalipun budaya yang dihadapi sangat berbeda, akan tetapi mereka berusaha menghormati dan menyesuaikan diri dengan budaya tersebut. Salah satu kepedulian yang ditunjukkan oleh keluarga Kuegler dalam roman Dschungelkind ini adalah kerelaan mereka untuk memberikan pendidikan secara cumacuma dengan cara mengajari mereka belajar membaca dan menulis, serta mengajarkan bahasa Indonesia kepada masyarakat suku Fayu tersebut. Hal tersebut dilakukan terutama oleh Ibu Sabine, Doris Kuegler. Ketelatennya mengajari anak-anak suku Fayu telah menyumbangkan hal yang sangat berharga terhadap warga suku Fayu tersebut, yakni mengenal dunia pendidikan (meski bukan pendidikan formal) dan mengenal dunia luar yang sebelumnya sama sekali tidak mereka kenal. Rasa solidaritas yang ditunjukkan oleh keluarga Kuegler dalam roman Dschungelind tersebut membuat rasa solidaritas kita tergugah. Sebagai warga Eropa yang biasa hidup modern dan tinggal dalam lingkungan yang serba nyaman, mereka dengan suka rela tinggal dan berbaur dengan salah satu suku bangsa di Indonesia yang tinggal di rimba belantara Papua. Meskipun hal itu dilakukan untuk kepentingan pekerjaan sang Ayah (Klaus Kuegler) sebagai seorang peneliti bahasa, akan tetapi kerelaan seluruh anggota keluarga ikut menetap di rimba Papua tersebut dan beradaptasi dengan budaya suku Fayu tersebut patut kita hargai. Membaca roman Dschungelkind ini membuat kita lebih mengenal kehidupan suku tersebut dan membuat kita sebagai pembaca merasa terpacu untuk semakin mengembangkan rasa solidaritas terhadap suku tersebut sebagai sesama bangsa Indonesia. Realita kehidupan suku Fayu yang digambarkan oleh Sabine Kuegler dan bagaimana interaksi yang terjadi di antara mereka, dan juga hasil interaksi di antara mereka, semakin menegaskan pentingnya kita mengenal berbagai suku bangsa yang lain di Indonesia. Dengan demikian, akan semakin berkembang juga rasa toleransi terhadap budaya mereka yang lain dengan budaya kita, sebagaimana keluarga Kuegler bisa menghormati dan menghargai budaya suku Fayu tersebut. Penutup Realita kehidupan masyarakat suku Fayu di Papua, yang tercermin dalam Roman Dschungelkind (Rinduku pada Papua) karya Sabine Kuegler, menunjukkan bahwa masih ada suku bangsa di Indonesia yang hidupnya masih jauh dari nilai kemanusiaan, salah satunya adalah masyarakat suku Fayu di pedalaman Papua. Interaksi sosial yang dilakukan oleh keluarga Kuegler dalam roman tersebut dan berbagai tindak kepedulian yang ditunjukkan oleh keluarga Kuegler terhadap budaya suku Fayu di Papua tersebut secara perlahan mengurangi persoalan kemanusiaan tersebut. Secara perlahan kehidupan masyarakat suku Fayu berkembang ke arah yang lebih baik. Gambaran sosiologis dan kepedulian terhadap suku Fayu yang ditunjukkan oleh keluarga Kuegler dalam Roman Dschungelkind (Rinduku pada Papua) ini menggugah solidaritas kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia, karena karena suku Fayu di Papua adalah bagian dari bangsa Indonesia. 230 Daftar Rujukan Anonim. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. .................2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Depdikbud. Johnson, Doyle Paul. 1981. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT. Gramedia. Diterjemahkan oleh Robert M. Z. Lawang. Kuegler, Sabine. 2005. Dschungelkind. München: Droemer Verlag. Kuegler Sabine. 2006. Jungle Child (Rinduku Pada Rimba Papua) (Diindonesiakan oleh Dian Pertiwi). Surabaya : Erlangga. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (Diindonesiakan oleh Melanie Budianta). Jakarta : Gramedia. 231 THE SUSTAINABILITY OF ORAL LITERATURE SIKSIKIAR AS LOCAL STRENGTH IN FACING AND SUPPORTING GLOBAL CULTURE Jacquelin Pattiasina (Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon – Indonesia) Abstract: Living in the 21st century might be a challenge for our generation because we have to adapt and catch up the development of many aspects in modernization and globalization era. The hardest challenge is actually how we are going global without abandoning or leaving our cultural heritage that adheres to us as our identity. As one of cultural elements, oral literature consist kinds of local wisdom, traditional scholarly and moral values as for cultural values. Thus, oral literature is needed in modern and global era to maintain the identity of young generation and as a filter to reduce negative impacts of global era. Folksong in Kei traditions and customs is known in local term as Siksikiar. The values within Siksikiar are used either by the elders to prepare the young generation or by the youths to maintain themselves from the negativity of global culture. The purposes of this study are to know how the sustainability of Siksikiar is able in modernization and globalization era and how Siksikiar is functioned as local strength in facing and supporting global culture. The study finds that through the modern and global era, the local custom in Kei still exists and applied. Siksikiar as oral literature is performed at wedding ceremony, coronation, guess welcoming and funeral with several purposes adjusted to the events. The functions of Siksikiar as local strength in facing and supporting global culture are; as a source of local history, as a guidance of norms that are applied in kei society, as instrument to educate young generation and as medium in communicating criticisms and suggestions to government. Keywords: Sustainability, Siksikiar, Local Strength, Global Culture Introduction Background of the Study Living in the 21st century might be a challenge for our generation because we have to adapt and catch up the development of many aspects in modernization and globalization era. The hardest challenge is actually how we are going global without abandoning or leaving our cultural heritage that adheres to us as our identity. As Indonesians we often say that we are proud of being part of a country that rich in culture and social customs. We are raised with various local wisdom and knowledge that has bequeathed from our ancestors. As one of cultural elements, oral literature consist kinds of local wisdom, traditional scholarly and moral values as for cultural values (Adriyetti, 2013). Oral literature contains those values that are believed and practiced by the society that created it. Cultural value is the value that mostly affects the oral literature. The cultural pattern from the society is often seen on its oral literature. According to Adriyetti (2013); ”when we talk about building up a nation’s character, we should include oral literature as one of the main source, because the character that are valued in oral literature is appropriate with our social, religion and environment 232 context.” Thus, oral literature is needed in modern and global era to maintain the identity of young generation and as a filter to reduce negative impacts of global era. Folksong according to Jan Harold Brunvand in Danandjaja (1986) is: “a form of folklore consists of words and songs that revolve orally amongst certain community, in traditional form, and varies.” Folksong in Kei traditions and customs is known in local term as Siksikiar. As folksong classification by Danandjaja (1986: 146)), Siksikiar is also varying based on its content. There is Siksikiar that tells epic story, ballad and mourning, history of a community, advising and entertaining. In globalization and modernization era, as a traditional work which sometimes considered old-fashioned by young generation when it put side by side with modern arts such as contemporary music, it is astonishing how Siksikiar is not threatened by extinction because the inheritance process continues in society that until today it is not hard to find and watch local people perform Siksikiar in traditional events. It proves that Siksikiar is capable to exist side by side with global culture. The values within Siksikiar are used either by the elders to prepare the young generation or by the youths to maintain themselves from the negativity of global culture. Statement of the Problem I am interested to know: 1. How is the sustainability of Siksikiar able in modernization and globalization era? 2. How is Siksikiar functioned as local strength in facing and supporting global culture? Purpose of the Study The purposes of this study are: 1. To know how the sustainability of Siksikiar is able in modernization and globalization era. 2. To know how Siksikiar is functioned as local strength in facing and supporting global culture. Scope and Limitation The research focuses substantially on the sustainability of Siksikiar as local strength in facing and supporting global culture. Operationally, it focuses on Ohoi Elaar in Kei Kecil Island and ratschaap meum fitin Kei Besar Island. Research Methods The study uses descriptive qualitative approach because the data of the study is in narrative forms or descriptions. Discussion The Sustainability Of Siksikiar In Modernization And Globalization Era Through the modern and global era, the local custom in Kei still exists and applied. The first thing that proves this statement is how the society keeps using Kei language fluently instead of Ambones’ Malay language that is mostly spoken by people in Moluccas. Most of Kei villages, or to say in Kei language Ohoi, apply their customary law and tradition such as in marriage; help other people by donating or yelim in local term, community self-help or maren, etc. Siksikiar as oral literature is performed at wedding ceremony, coronation, guess welcoming and funeral. 233 Coronation of Ratschaap Leader The coronation of ratschaap leader or rat is sacred in Kei island whereas rites are held. The purpose and function of Siksikiar in the coronation is to advise the leader and to describe history and society custom of the territory that he leads. Siksikiar that is sung in coronation of the leader of Ratschaap Meum Fit is described below; Lanter kaba imloi el Yamtel Damar sun yaibo Damar sun yaibo Sun yeb koko Meumfit Damar sun yaibo Yaibo…. Damar sun yaibo Sun yeb koko Meumfit The boat lentern docked at Ohoi Yamtel Its light brightens Ratschaap Its light brightens Ratschaap To all of the people in Ratschaap Meum Fit Its light brightens Ratschaap Its light brightens Ratschaap To all of the people in Ratschaap Meum Fit The song describes not only the greatness and honor of their leader but also his responsibility to his people that depend on him and put big expectation on his leadership that he will bring prosperity to them. Welcoming Visitor In welcoming certain visitor such as government official or a leader from other ratschaap Siksikiar is often performed. Kind of Siksikiar performed in this event usually the ones that tell about the beauty and identity of the village. For instance, the Siksikiar of ohoi Waurtahait below; Wel wel wel o…….. Wel wel hor hor do tai tai ram ramna Woma Sor Tomat o….. Aim fat fat o suwel bulek o om dat Aim her o ait mam suvat wel o…. Wel fo dat in sun ba o…… Ur mam in wel fo dat in sun ba o…. At wel fo hot der mas it lingan vutun te ri el Som tai woma Sor Tomat o…… To sway To sway and step together In Woma Sor Tomat We, the women, descendants of Suwel Bulek We invite you to dance together Come and we shall dance Come and so everyone dance Dance through the river Mas to mountain Te Ri El Until we go down and step in Woma Sor Tomat 234 Wedding Ceremony In wedding ceremony that consists of several stages Siksikiar is performed in varied kinds according to each stage. For intstance, Siksikiar ngelngel ditsakmas that is performed to remind and introduce (especially if the bride is not come from Kei) one of the most influence figure in Kei. Dit Sakmas. The bride is expected to put her as an example who although not comes from Kei but is able to bring big and better impact in social custom. Another kind of Siksikiar that is performed is the song that contains laud to the bride that is described as a beautiful and smart woman. The purpose of this song is to melt the bride’s heart so she will feel comfortable with her new family and also to show to the neighborhood that this family is lucky to have such a beautiful and humble daughter in law. Funeral Folksong that is performed during a funeral is called maroin. Maroin describes the goodness of the deceased and the sorrow of the people that is left that it brings tears to those who hear it. The Functions Of Siksikiar As Local Strength In Facing And Supporting Global Culture Siksikiar implicitly and explicitly contains messages form ancestors that intended to lead, show and educate the young generation of Kei to have an identity and character that reflects the traditional custom and cultural values of Kei society. As a Source of Local History Siksikiar like ngelngel , dan wawar contains history which plays an important role in several rites and decision making. The purpose of performing this folksong is to clarify some issues that might appear nowadays such as borderline between villages. Performing folksong also intends to arouse its meaning and sacred values within. Some of folktales even have Siksikiar as their evidence to justify the authenticity of the story. Wawar kerbau siuw for instance, tells the story that must be known by the leader of Ohoi or Ratschaap because it contains their responsibility according to the division of tasks. For example, Rat Danar in the tasks division gets “head” of the buffalo which means that Rat Danar is the leader of Ur Siuw alliance. One of wawar which is used as source of local history is describe below; sa, sa yang mutbau tav le warwar a yang yot su n’gulit yok o vur Tahl sir dubro ro n’weat kasil lodar el rta tuvle ni bud rehen bud nif rok yeu lor rivun ngad bar o n’fea wab’wab vuar tel, wab yan war la fo I sa I ru, ma n’nes taflod balda wahadat Ba su n’kuduk reu ahir fit nam ngil vovo Ngabal sa’ndir el masrum nan ranak ko fo ohoivut la fo I ru I run a n’es taflod baldu wahadat …….. This wawar is performed to show the battle between Lor Lim and Ur Siuw in Kei Islands in order to expand their territory. 235 As a Guidance of Norms That Are Applied in Kei Society Siksikiar consists of history and messages from ancestors, not to mention as an evidence to justify the authenticity of a folktale or tom. The other function of Siksikiar is to guide the social and cultural norms that are existed in society. Siksikiar snehat yanur mangohoi for instance, is a guidance of decency norms which organize and set examples for youth interacting with each other. It also guide the bound that tied by marriage between the man and his wife’s extended family. a. Maintains Inherited Norms Ngel-ngel, wawar or snehat lyrics which contain prohibitions and guidelines are a series of rules that must be obeyed because these lyrics are “guardian” of customs and traditions that the society practices. Folksong is a kind of ancestors’ effort in preserve and inherits customary norms with an expectation that the young generation will carry and implement these norms. b. Assist Decision Making in a Case of Social Custom Siksikiar lyrics are loaded with customary norms and historical context. Therefore, it is an effective tool in providing solution for some issues that occurs in society. For instance, when an issue about the right of a clan in society appears, they can use wawar as reference in solving this issue because wawar contains historical events of the clan. If a problem turns into serious issue that might cause a fight then a person will sing a brief yet significant Siksikiar below; Waud lane f ken duan no he ote yau yaau te ohe This means; You are me, I am you, and who are you? Who am I? Basically this brief Siksikiar shows that every person in Kei comes from one mother and that they have to look back on their family tree and find out if they are related, then why do they have to fight like this if it can be solved nicely. Educates Young Generation Folksong is the creation of ancestors that is made to inherit their knowledge to the next generation with several purposes: a. Advises children Every folksong contains messages that are delivered to advise next generation who is responsible to carry the customs and traditions of Kei. These advices are given to control the life of Kei people as a unity. Advices also given to warn the youth to hold on to customary law and religion norms, so they become a well cultured and civilized people. The expectation from the elders also including how Kei youth can contribute in carrying and preserving customs and traditions. b. Build up the character of young generation The local knowledge values that is existed in Siksikiar is instrument that can be used to shape or reconstruct identity and character of young generation of Kei in the middle of modern era loaded with global culture. In order to become a cultured youth of Kei, one must understand and implement the traditions and custom values that has been taught ever since his or her childhood. . c. Educates young generation about society custom Folktale and folksong is often used as instrument to describe tradition and custom to children because it is more entertaining and “catchy” to them. It develops their 236 imagination and knowledge when they are raised with these kinds of cultural elements. According to one of the interviewees, most of the lyrics are not difficult to be memorized for Kei language speaker. Based on this fact it can be said that Siksikiar is effective in preserving and communicating traditional values and customs of Kei. As Medium in Communicating Criticisms and Suggetions to Government Siksikiar like Siksikiar Rat Meum Fit express expectation from people toward their leader that he will be able to act as light that brightens or bring prosperity to them. A leader is also expected to put more attention to common people that are often neglected. Conclusion The sustainability of Siksikiar in modernization and globalization era can be seen as it is performed at wedding ceremony, coronation, guess welcoming and funeral until today. The purpose of performed Siksikiar in these events is to advise, remind, criticize and inform honor and greatness of ancestor or certain local hero. The functions of Siksikiar as local strength in facing and supporting global culture are; as a source of local history, as a guidance of norms that are applied in kei society, as instrument to educate young generation and as medium in communicating criticisms and suggestions to government. The Kei society is open to globalization and develops in modernization without abandoning their cultural heritage which adheres as their identity. it can be seen in how traditions and customs exists in most events held in Kei. Siksikiar as one of cultural heritage contributes a lot in developing a character to adapt with global culture without leaving his or her identity. Sustainability of Siksikiar indicates how society in Kei values their cultural heritage and use it as their local strength in facing and supporting global culture. Bibliography Adriyetti Amir. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: CV. Andi Offset Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Nyoman Kutha Ratna. 2009. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar ............................2011. Antropologi Sastra. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar Ohoitimur, Yohanis. 1983. Beberapa Sikap Hidup Orang Kei: Cara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan. Tesis, Fakultas Ilmu Filsafat. Manado: Sekolah Tinggi Seminari Pineleng Pattikayhatu, John A. dkk. 1998. Sejarah Pemerintahan Adat di Kepulauan Kei. Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku. Rahail, J.P. 1995. Bat Batang Fitroa Fitnangan. Jakarta: Yayasan Sejati Setitit, M. 2004. Mengenal Sastra Kei. Tual: Percetakan Nusantara. Siswantoro. 2011. Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar Suwardi Endraswara. 2006. Metodologi Penelitian Sastra: epistemology, model, teori dan aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama 237 JAKARTA DALAM KOMIK ZALDY: MEMORI KOLEKTIF SEBUAH KOTA URBAN Lilawati Kurnia (FIB Universitas Indonesia) Abstract: Zaldy is seen as one of five well-known comic artists during the 1960ies and the 1980ies era. Collectors of Zaldy’s comics describe his work as the most detailed in presenting images through each panel, both the settings and the characters. Another characteristic, which has been found thorough reading, is that Zaldy’s comics contain various elements of urbanity in Jakarta of the 1960, 70 and 80ies. The urban space, which is captured in different ways in Zaldy’s work, does not only represent the setting, but it also becomes one in the narration and the visual art. The panels can be observed as if watching a movie endowed with sound and images, unifying in the narration. Hence, this research also considers elements such as fashion, popular music and the current lifestyles. Comics were created as an indicator of an attempt of appropriation towards ideological change at that time. Thus, comics have become a genre, which is able to open spaces nowhere else possible such as in literature or film, because they record visually and narratively various processes. These processes are subtler and more complex in culture. Key words: Zaldy comic, representation of young generation, urban city Jakarta, micro history “Comrades from Jakarta, let us build a Jakarta into the greatest city possible. Great not just from a material point of view; great, not just because of its skyscrapers; great not just because it has boulevards and beautiful streets; great not just because it has beautiful monuments; great in every respect, even in the little houses of the workers of Jakarta there must be a sense of greatness… Give Jakarta an extraordinary place in the minds of the Indonesian people, because Jakarta belongs to the people of Jakarta. Jakarta belongs to the whole Indonesian people. More than that, Jakarta is becoming the beacon of the whole of mankind. Yes, the beacon of the New Emerging Forces” (Abeyasekere 1987:168)57 Dalam sejarah kebudayaan Indonesia, era 1970-an adalah era penting merebaknya budaya pop, namun sayangnya era ini masih diabaikan dalam penelitianpenelitian yang telah dilakukan. Padahal, pengaruhnya penting dalam membangun memori kolektif suatu generasi akan jamannya. Dalam konteks tersebut, fenomena komik Indonesia era 1960an hingga akhir 1970an menjadi penting untuk dikaji pada arena tekstual untuk memahami hubungannya dengan konteks sosio-politik jaman itu. Terlebih lagi hal ini terkait dengan mulai berkembangnya kapitalisme pada masa awal Orde Baru, yang dipicu oleh masuknya investasi asing secara besar-besaran ke Indonesia. Pada awal-awal masa Orde Baru inilah impian orang-orang Indonesia akan modernitas terpusat di Jakarta. Kota ini menjadi titik pusat perkembangan kemajuan ekonomi yang menarik minat orang banyak untuk datang dan mengadu nasib di kota ini. 57 Kata-kata di atas adalah kutipan dari Presiden pertama RI, Sukarno dalam salah satu pidatonya. 238 Kesempatan untuk mengaktualisasikan seni populer, yang sebelumnya sangat dibatasi pada masa Orde Lama, memberi kesempatan bagi para komikus untuk mengambil posisi untuk menangkap perubahan jaman melalui goresan-goresan dalam komik. Lebih jauh lagi, untuk menyebarkan komik dan membuat anak-anak muda tertarik pada komik, diterbitkanlah sebuah majalah, yaitu Eres. Majalah Eres, yang terbit sejak September 1969, memberikan sumbangan berarti bagi perkembangan komik Indonesia. Melalui berbagai artikel dalam majalah tersebut, pembaca dapat mengenal komikus, menemukan cara kerja mereka, dan menyimak ulasan tentang masalahmasalah penceritaan bergambar, serta belajar menghargai komik. Melalui majalah ini, penerbit mengajak kaum muda untuk menyukai komik serta turut terlibat dalam pengembangan komik Indonesia. Terdapat dua genre komik dalam majalah ini, yaitu komik silat dan roman remaja. Majalah ini berhenti diterbitkan pada 1971 karena belum memperoleh status lembaga pers resmi untuk penerbitan majalah dari pemerintah. Satu hal yang disayangkan, mengingat bahwa Eres memiliki tiras cukup tinggi, yaitu sekitar 10.000 eksemplar. Beberapa komikus terbaik di Jakarta secara teratur mengasuh majalah tersebut, antara lain, Jan Mintaraga, Ganes TH, Sim, Hans Jaladara, dan juga Zaldy. Penulis merangkap penggambar komik kelima yang tersebut merupakan “jagoan” komik di masa-masa itu. Secara khusus, riset ini akan melihat karya-karya Zaldy58 yang bergerak di genre komik roman. Ada kurang lebih sekitar 60 judul roman remaja karya Zaldy sejak 1965 hingga awal 1980an yang dapat diketahui dan ditemukan terutama oleh para kolektor karena komik-komik di era ini sudah tidak dapat ditemukan di pasaran lagi. Untuk penelitian ini penulis memilih komik-komik yang berasal dari 1969 sampai 1980an, yang seluruhnya berjumlah 30 judul buku tetapi diambil hanya sebagian untuk dijadikan analisis sebanyak 16 judul yang penulis anggap merepresentasikan tema utama yaitu romansa dan kepiawaian seni gambar Zaldy. Komik pernah menjadi bacaan popular di kalangan tua dan muda. Dari jaman ke jaman, perkembangan penulisan komik Indonesia tidak selalu konstan. Ada masa-masa ketika komik, oleh para peneliti komik dikatakan mati suri karena produksi komik oleh penulis Indonesia mengalami penurunan tajam. Namun, itu terjadi bukan saja karena jumlah pembacanya berkurang seiring dengan masuknya komik-komik terjemahan dari Amerika maupun Jepang. Perjalanan komik Indonesia tidak lepas dari politik yang berlaku pada masa-masa yang diarunginya. Pada masa Orde Baru, komik bahkan kerap dibredel dan dianggap sebagai bacaan yang berpotensi merusak akhlak generasi muda. Akan tetapi, komik tetap diproduksi dan bahkan berkembang sesuai dengan kecenderungan utama yang ada. Banyak hal sudah ditulis mengenai komik secara umum, akan tetapi penelitian mengenai komik Indonesia dimulai pertama kali oleh peneliti asing Michel Bonef, yang membuat suatu penjabaran konprehensif mengenai 58 Zaldy Armendaris, seorang komikus yang cukup misterius karena tak ada data yang cukup untuk meneropong hidupnya, ia lahir tahun 1945 menurut Seno Gumira Ajidarma dalam artikelnya di majalah Kalam. Tak pernah melakukan wawancara walaupun banyak fans terutama wanita yang sangat ingin berkenalan dengannya. Ia tak pernah menikah, meninggal di tahun 2000. Data mengenai kehidupan Zaldy juga didapatkan dari sumber resmi pemerintah kota Jakarta, jakarta.go.id yang menyatakan Zaldy lahir pada 21 Januari 1942 dan meninggal di Jakarta pada 19 September 2000. 239 bidang ini, dan kemudian disusul oleh disertasi Seno Gumira Ajidarma tentang Panji Tengkorak, yang memperkaya khasanah penelitian komik Indonesia. Berbagai teori mengenai komik sudah diajukan, antara lain oleh Scott Mc.Cloud, Will Eisner, Neil Cohn, akan tetapi teori-teori ini lebih banyak menekankan pada struktur komik dan cara pembacaan sintaktis. Telaah terhadap substansi komik dan hubungannya dengan kesejarahan atau pun politik kebudayaan pada masanya belum banyak dan belum dilakukan secara memadai. Oleh karena itu, penelitian ini akan menelaah komik karya Zaldy, seorang komikus keturunan etnis Tionghoa yang merupakan salah satu komikus papan atas beserta Jan Mintaraga dan Sim dalam genre komik roman59 Komik Zaldy dipilih karena, selain Zaldy disebut sebagai salah satu dari lima komikus besar pada era 1960an sampai 1980an, di antara kolektor komik Zaldy dianggap paling detil dalam menyajikan gambar dari panel ke panel baik dari segi latarnya maupun tokoh-tokohnya. Selain itu, kekhasan lain ditemui setelah melalui pembacaan yang ketat, yakni komik Zaldy ternyata memuat berbagai elemen urbanitas di Jakarta pada 1970an. Elemen-elemen yang akan diteliti, ruang urban Jakarta dalam proses roman atau percintaan yang terjalin dalam tiap komik. Kemudian akan diteliti elemen visual yang merupakan kesejarahan dan dilakukan atas fesyen dan mode yang terlihat jelas merupakan representasi dari urbanitas Jakarta. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisis bagaimana komik menjadi ruang kesejarahan sebuah kota urban dalam peralihan ideologi dari Orla ke Orba sambil merepresentasikan diri, Jakarta sebagai kota metropolitan. Jelas bahwa komik menawarkan versi sejarah mikro baik mengenai kota Jakarta maupun daerah-daerah di sekitarnya. Penelitian mengenai komik tentu mengundang kontroversi karena selama ini komik dimarjinalkan sebagai bacaan anak-anak atau pun bacaan yang tak bermutu. Pandangan yang peyoratif ini sesungguhnya sudah tidak sesuai dengan kemajuan jaman dan kemajuan dalam ilmu-ilmu humaniora yang membuka sekaligus mendobrak batasan-batasan antara teks yang mainstream atau dianggap utama karena dianggap baik dan patut dibaca, dan kebudayaan popular seperti komik, yang mengalami keterbatasan karena seringkali dipojokkan. Di bidang akademis dapat ditelusuri telaah akademis pertama melalui komik karya Art Spiegelman, yang berjudul Maus, diselesaikan pada 1991, yang sangat berbeda karena bukan ber-genre superhero melainkan lebih pada biografi ayah pengarangnya. Ayah Art Spiegelman adalah saksi hidup yang berhasil lolos dari kamp konsentrasi Nazi dan, melalui cerita-cerita ayahandanya, Art kemudian membuat komik yang bergaya pascamodern yang pada 1986 pertama kali diterbitkan. Maus mendapatkan sambutan yang luar biasa dari media massa dengan ratusan ulasan yang positif, sehingga komik ini menjadi topik pembahasan serius dan bahkan dianggap sebagai graphic novel atau roman grafis pertama, sekaligus menjadi komik pertama yang mendapatkan hadiah Pulitzer. Oleh karena itu, Maus menjadi pemicu pertama masuknya telaah komik ke dunia akademik, dan dengan demikian telaah atas komik pun masuk ke mainstream. Perkembangan ini telah membawa dampak yang luas untuk pembahasan ataupun telaah komik. Pada 1990an, kita mencatat dua orang komikus atau pembuat komik yang berusaha membuat teori komik. Pertama adalah Will Eisner yang memakai istilah sequential art, seni sekuen, atau pun graphic novel, maupun visual narrative. 59 Menurut Seno Gumira Ajidarma ( selanjutnya SGA, Kalam, 2000), istilah ini dipilihnya sebagai genre komik percintaan karena sudah beredar di kalangan masyarakat dan populer dengan istilah ini, sementara itu Arswendo (oleh SGA disebut sebagai komikolog) memilih istilah Cinta Jakarta, dan Marcel Bonnef memberikan nama komik remaja. 240 Terminologi ini telah menjadikan komik terangkat menjadi sebuah karya seni visual maupun naratif yang patut dikaji dan ditelaah dengan saksama untuk menemukan dan membongkar ideologi yang terkandung di dalamnya. Demikian pula apabila kita perhatikan roman grafis atau naratif visual yang kemudian dibuat oleh kedua artis di atas, yang mengambil tema-tema yang lebih jauh jangkauannya daripada sekadar kisah kepahlawanan maupun romansa. Mereka mengeksplorasi sejarah, misalnya stereotipe Yahudi dan sebagainya. Dengan demikian, penelitian akan komik dapat mencakupi wilayah lebih luas dan tidak hanya terpaku pada struktur dan elemen komik ataupun segi kebahasaan komik saja, melainkan juga menelaah apa yang “tidak terkatakan” dalam komik atau ideologi-ideologi yang berkontestasi di dalamnya. Sejak awal, sudah terdeteksi adanya perbincangan mengenai definisi komik itu sendiri. Apakah komik itu harus selalu mengandung unsur humor, mengingat kata comic dalam bahasa Inggris juga berarti humor. Scott McCloud sudah menepis anggapan sempit ini dengan menawarkan definisinya yang mempunyai cakupan luas, yaitu komik adalah seni sekuensial, dalam bukunya yang berbentuk sebuah buku komik berjudul, Understanding Comic: The Invicible Art (1993). Dalam bukunya, McCloud membahas struktur komik secara luas dan menghubungkannya dengan narasi yang terbangun oleh seni visual. Selain itu, ia juga menghubungkan pembaca komik yang dapat berpartisipasi di dalam proses pembacaan karena segi visual komik membuat pembaca langsung dapat bereaksi. Buku McCloud mengambil beberapa dasar dari buku yang juga sering dianggap sebagai buku acuan untuk teori komik, yaitu buku karya Will Eisner berjudul Comic and Sequential Art (1985) yang merupakan hasil dari kegiatan Eisner mengajar di New York dan lebih menekankan unsur yang jauh lebih mendasar mengenai bagaimana komik itu terbentuk dan menjadi sebuah cerita.60 Adalah Eisner yang menggunakan contoh-contoh dari karyanya sendiri dalam mengulas struktur komik. Akan tetapi, McCloud-lah yang memakai komik sebagai alat untuk berteori, sehingga bukunya itu merupakan meta-komik pertama. Ia menggambar dan menggunakan komik untuk menjelaskan teori komik, dan di dalam gambar-gambar itu Mc Cloud tidak hanya berteori tetapi mendekonstruksi juga komik itu sendiri. Dengan menggunakan judul Understanding Comic, McCloud juga menyindir McLuhan dan bukunya Understanding Media, yang condong pada penilaian negatif terhadap komik. Ia memaparkan sejarah komik sambil berusaha mengungkapkan struktur komik dan definisi komik itu sendiri. Selain itu, ia juga berusaha melontarkan suatu gagasan mengenai gramatika atau tatabahasa komik, yaitu dengan mengatakan bahwa, ketika pembaca memperhatikan bagian-bagian komik, maka ia juga akan mengerti keseluruhan cerita komik. Proses ini disebutnya sebagai closure. Penting diketahui bahwa ia juga memberikan masukan, yaitu bahwa pembaca dapat berinteraksi dengan komik melalui dialog yang terjadi antara panel-panel komik, serta menyambungkan visual panelpanel61 dengan narasi yang dibentuk oleh pembaca melalui pengalaman dan pengetahuannya. Oleh seorang peneliti komik, Neil Cohn (2008), hal ini disebut sebagai ruang publik karena pembaca dapat bereaksi langsung terhadap panel-panel visual 60 “For the past 53 years, modern comic book artists have been developing in their craft the interplay of word and image. Eisner, 2000,hlm 8. 61 Panel-panel yang dimaksudkan masih dalam bentuk komik dari Barat dan biasanya terdiri dari dua panel saja, berbeda dari komik ala Jepang, yaitu manga, yang terdiri dari beberapa panelpanel dan menggambarkan dari detik ke detik perubahan ataupun perkembangan cerita, sehingga apabila komik Barat hanya terdiri atas dua panel, maka adegan yang sama bisa mencapai 6-8 panel dalam manga. Membaca manga seperti membaca dengan cara browsing saja. 241 tersebut. McCloud menerbitkan buku keduanya di bidang teori, yaitu Reinventing Comic (2000), yang memasukkan unsur baru ke dalam seni pembuatan komik, yaitu penggunaan komputer dan internet. Di Indonesia, masih belum terlihat adanya buku-buku mengenai komik yang membahas dengan saksama berbagai elemen yang terkandung di dalamnya. Uraian mengenai komik Indonesia yang sampai saat ini merupakan uraian terlengkap dibuat oleh Michel Boneff, meskipun berakhir hanya sampai awal 1970an. Buku yang diterjemahkan ini berasal dari disertasi Boneff yang didasari oleh risetnya di Indonesia selama lima tahun. Tidak heran bahwa ia lebih menekankan pada kesejarahan atau perjalanan komik Indonesia, yang dijelajahinya mulai dari panel-panel di Candi Borobudur dan wayang sampai pada komik berbagai genre pada awal 1970an. Salah satu sumbangan Boneff adalah pembagian genre komik Indonesia menjadi komik silat, wayang dan roman, yang tersebar dalam berbagai karya setelah kemerdekaan. Sehubungan dengan komik roman, Bonneff menyimpulkan bahwa genre tersebut berfungsi sebagai sarana integrasi individu ke dalam sistem sosial yang ada, melalui suatu lembaga pernikahan dan keluarga yang dibangun bersama-sama. Hal ini tentu hampir tidak sesuai dengan kenyataan bahwa di dalam narasi komik roman, integrasi ke dalam sistem sosial tidak berjalan lancar karena dibayang-bayangi oleh dilema masyarakat kota urban yang menjadi latar komik tersebut. Dilema itu misalnya hirarki kelas, gaya hidup urban, perubahan pergaulan antar jenis kelamin, perubahan posisi perempuan dan sebagainya. Sehubungan dengan itu, Seno Gumira Ajidarma (2000) di dalam artikelnya di Jurnal Kalam memberikan perspektif yang lebih cocok untuk penelitian ini. Ia secara khusus mengkaji wacana cinta yang dikonstruksi dalam beberapa karya Zaldy yang dibahasnya. Kajian itu dibentuk atas dasar „dunia cinta dalam komik-komiknya sangat mungkin mencerminkan sesuatu dari masyarakat Indonesia pada awal Orde Baru, ketika segala-galanya berubah dengan tiba-tiba, dan banyak orang tergagap-gagap melakukan orientasi baru“ (Ajidarma 2000, 102). Seno Gumira Ajidarma mengadakan penelitian atas komik silat karya Hans Jaladara, salah seorang komikus yang dianggap satu dari lima besar penulis komik dari 1960an sampai 1980an, yang sekarang masih berkarya dalam seni lukis kanvas. Dengan fokus pada Panji Tengkorak, penelitian Seno menjadi disertasi dan sudah terbit dalam bentuk buku pada 2011. Seno juga menerbitkan sebuah buku yang merupakan kumpulan tulisannya di berbagai majalah Indonesia mengenai kartun Indonesia yang berjudul “Tawa dan Bahaya. Kartun Dalam Politik Humor“. Seno memulai pemaparannya dengan sebuah insiden yang terjadi akibat penerbitan kartun Nabi Muhammad S.A.W di Denmark pada 2005, yang dipicu oleh protes dan diiringi demonstrasi yang berakibat fatal. Kasus hampir serupa ternyata terjadi pula di tanah air ketika kartun berjudul Nasib Si Suar Siar diterbitkan dalam harian Sinar Indonesia Baru edisi Minggu 25 Oktober 2004, di Medan.62 Kartun yang humoris ini menjadi bumerang baik pada pembuatnya, Selwyn Sitanggang, yang sempat ditahan selama satu bulan maupun pada koran tersebut. Seno lantas menyebutkan bahwa dua peristiwa yang mirip walau berbeda efeknya (yang di Denmark justru mendunia karena kemudian media massa di luar Denmark justru memuat kartun tersebut sebagai solidaritas dan pembelaan terhadap kebebasan beropini) membuktikan bahwa humor tidak selalu bersifat netral atau pun tidak berbahaya. Apa yang dapat ditarik dari buku Seno mengenai pembahasan humor dalam politik adalah bahwa seni visual dan narasi bukanlah sesuatu yang sifatnya ringan dan tak serius, melainkan di dalam 62 Seno Gumira Ajidarma. (2012,5) 242 penampilannya yang terlihat sepintas tak serius dan lucu itulah letak pointe atau titik balik kelucuan tersebut. Ketelitian Zaldy dalam menggambar komik-komiknya menyebabkan ia terlihat seakan-akan lebih lamban daripada kawan-kawan penulis komik lainnya. Akan tetapi, ternyata bahwa kelambanan ini memberikan hikmah, terutama kepada penelitian penulis. Detil-detil yang terlihat pada penggambaran fesyen dapat memberikan informasi tentang kurun waktu kesejarahan komik tersebut andai ada yang berminat untuk meneliti mengenai fesyen dikala itu. Sementara itu, latar baik di dalam rumah maupun di luar rumah yang dibuat sedemikian detil pada latar komik untuk memberikan penggambaran akan kota Jakarta (latar yang dipakai pada komik Zaldy secara umum, walaupun ada juga kota-kota lainnya). Dengan demikian, tujuan penulis adalah memaknai dan memberikan interpretasi kepada komik Zaldy, khususnya dalam kaitan dengan ruang urban Jakarta yang terekam di dalamnya, serta bagaimana ruang urban ini menjadi ajang kontestasi ideologi pada masa itu. Selain itu, komik merupakan salah satu saksi sejarah seperti yang ditunjukkan oleh karya-karya Zaldy yang memang mencerminkan situasi dan kondisi di masa itu. Detil-detil fesyen, baik mode baju maupun model rambut serta berbagai macam atribut yang digambarkan dengan baik dan hampir berkualitas fotografi merupakan sumber kesejarahan yang patut mendapatkan perhatian dari para peneliti. Dari Komik Remaja63 Ke Komik Kota Urban Komik adalah bacaan yang dianggap sebagai bacaan remaja. Meskipun demikian, istilah remaja pada masa 1970an tidaklah sama dengan konotasinya pada masa kini. Remaja di kala itu merupakan istilah yang dipakai untuk menghindari pemakaian kata pemuda, yang berkonotasi progresif dan revolusioner, serta merupakan konotasi yang terpatri di benak masyarakat Indonesia dari sejak masa revolusi kemerdekaan sampai era Sukarno. Namun, pada masa Suharto ideologi yang ditanamkan adalah ideologi pembangunan, dan semua hal diarahkan ke pembangunan fisik, yang dianggap sebagai wahana bagi bangsa Indonesia untuk memasuki modernitas abad ke-20. Wacana yang diusung oleh Orde Baru ini adalah pembangunan fisik, dan konstruksi hubungan antara pemimpin politik dengan rakyat bagaikan hubungan antara bapak dan anak di dalam sebuah keluarga yang harmonis dan sejahtera, yang terjamin sandang pangan dan papannya. Konsep hubungan antara bapak dan anak ini sering disebut sebagai patrimonialisme64, konsep ini terutama ditempatkan sebagai oposisi terhadap konsep kebijakan transparansi yang dianggap sebagai salah satu ciri pemerintahan modern ala Barat dan diinginkan oleh masyarakat menengah yang pada waktu itu sedang mengalami pertumbuhan pesat. Pertumbuhan masyarakat menengah dalam kota-kota besar di Indonesia khususnya di Jakarta terlihat mencolok dibarengi dengan pembangunan fisik besarbesaran yang ditonjolkan melalui berbagai kebijakan pemerintah Orba. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau simbol-simbol yang berlaku di kota-kota besar di Indonesia, 63 Istilah ‘komik remaja’ dibuat oleh Bonnef, menurut SGA (Kalam, 2000), mungkin istilah remaja itu bisa mengacu pada para tokoh di dalam komik ataupun pada pembacanya yang ratarata menurut Bonnef berasal dari dunia sekolah menengah. 64 Jones (2013) menjabarkan hal ini melalui tulisan Mark Berger (1997) yang mengacu pada hubungan patron-klien yang terstruktur secara vertikal di Indonesia. Hubungan yang vertikal ini menyebabkan tumbuhnya persaingan yang subur diantara klien untuk mendapatkan hadiah yang diiming-iming oleh penguasa. 243 terutama di Jakarta sebagai ibu kota, adalah simbol kultural yang terkandung di dalam barang-barang konsumsi yang baru dan berasal dari luar negeri. Tidak mengherankan pula kalau segala sesuatu yang berasal dari luar negeri dianggap sebagai lebih baik daripada produk dalam negeri, demikian pula dengan bersekolah di luar negeri. Berlomba-lomba keluarga yang menjadi OKB atau Orang Kaya Baru mengirimkan anak-anak mereka untuk melanjutkan kuliah di negara-negara yang dianggap jauh lebih maju baik di bidang teknik maupun bidang lainnya, terutama negara Eropa seperti Jerman, yang tidak menerapkan uang kuliah pada waktu itu. Hal-hal inilah yang dapat ditemui di dalam komik-komik karya Zaldy yang akan dianalisis dan dibahas selanjutnya. Gambaran ini bukan hanya merekam suasana dan wacana yang berlaku pada masa itu, tetapi dapat juga diinterpretasikan secara ideologis melalui pembacaan yang teliti baik dari segi visual maupun narasinya. Dengan demikian, penulis memosisikan komik Zaldy sebagai oposisi terhadap label yang dilekatkan pada komik, yaitu roman remaja. Komik Zaldy, yang oleh Arswendo Atmowiloto (2007) disebut sebagai “Komik Cinta Jakarta”, ternyata menyimpan kompleksitas lebih daripada itu. Selama ini komik percintaan atau romansa selalu ditelaah dari perpektif percintaan dan romansa yang terjalin di dalamnya, baik dari sudut konstelasi penokohan maupun alur cerita. Konstelasi percintaan juga merupakan topik yang kemudian diteliti melalui perspektif kesejarahan pada masa itu seperti yang ditunjukkan oleh Seno Gumira Ajidarma maupun Hikmat Darmawan, sedangkan Irsyad Ridho bahkan lebih berani lagi mengemukakan unsur melankolia yang memang menjadi unsur utama dalam komik romansa sebagai perspektif memandang kota urban Jakarta pada masa itu. Penulis dalam hal ini, ingin mengangkat lebih jauh perpektif kesejarahan dalam komik Zaldy khususnya, karena selama ini posisi komik selalu termarjinalkan sebagai bacaan remaja, bacaan ringan dan sebagainya. Dengan demikian penulis akan menunjukkan bahwa detil visualisasi Zaldy dapat membuka perspektis kesejarahan di dalamnya. Eksplorasi terhadap tema kesejarahan komik atau bagaimana komik sebagai karya yang memadukan narasi dan visualisasi merupakan sesuatu yang semakin diminati oleh para peneliti komik. Beberapa peneliti komik dari Jerman, a.l Jens Balzer, berusaha menelaah komik melalui pemikiran Walter Benjamin mengenai seni di jaman teknologi reproduksi65. Benjamin mengatakan bahwa seni di jaman ini, atau jaman dimana teknologi dapat mereproduksi seni secara massal, maka seni tidak lagi merupakan sesuatu yang statis dan memerlukan kontemplasi. Seni menjadi sesuatu yang harus dinikmati secara simultan baik melalui penglihatan maupun pendengaran, memerhatikan dan membaca, sehingga ia harus melepaskan dirinya dari obyek tersebut untuk dapat menggunakan persepsinya dalam menangkap semuanya sebagai kesatuan. Komik adalah salah satu karya seni yang memerlukan persepsi tersebut, karena keunikannya sebagai seni yang naratif tetapi juga visual. Pembaca komik menggunakan persepsi visual sekaligus menangkap narasi dalam imaji yang dilihatnya. Selanjutnya untuk menjelaskan hubungan komik dengan kota, Balzer menggunakan karya Benjamin yang lebih dikenal dan sering dikutip, Das Passagen-Werk (1972). Benjamin menjelaskan mengenai sikap penduduk kota modern atau kota urban terhadap segala macam hal yang ada disekelilingnya dan baginya adalah dua hal yang interdependen, subyek dan obyek menyatu menjadi distracted perception. Kemudian sebagai seorang flaneur , ia membiarkan pikirannya meragukan semuanya. Dengan demikian seorang flaneur 65 Benjamin, Walter. (1936). Das Kunstwerk im Zeitalter seiner tehnischen Reproduzierbarkeit. 244 menurut Benjamin adalah seorang yang berjalan-jalan dalam kesemestaan hal yang terjadi disekitarnya di dalam kota urban. „Comics differ from pre-modern pictorial narratives or Bildergeschichten in their modernity, meaning their urbanity. Comics are in a league apart from the contemplative, forzen gaze of landscape paintings in classical central perspective. They demand the distracted gaze of the flaneur in the city. … Their distraction is the mirror image of the endless restlessness confronting the gaze in modern cities. Comics are part of an aesthetics that can consume the image of the “whole” only in its disharmony.” Balzer dalam Meteling:2010 Menurut Balzer, komik berbeda dengan cerita bergambar (Bildergeschichten) yang statis karena komik adalah karya seni modern terutama dilihat dari sudut urban. Komik memerlukan distracted gaze dari seorang flaneur di kota. Karena distraction ini adalah cerminan dari cara pandang terhadap kota yang tak pernah istirahat, komik adalah bagian dari estetika yang dapat menangkap keseluruhan hanya didalam ketidakharmonisan. Balzer menghubungkan seni komik dengan kota dan dalam hal ini komik merupakan karya seni yang dapat menempatkan kota urban bukan saja sebagai lanskap melainkan sebagai elemen kesejarahan yang mencakup segala hal yang telah ada dalam situasi dan kondisi di dalam kota urban. Komik tidak saja dapat menggambarkan melainkan juga menyoal berbagai macam konflik dan masalah di dalam kota urban. Namun, komik sebagai karya seni yang memadukan dua elemen yaitu narasi dan visualisasi memerlukan penganalisaan yang berada di dua ranah yaitu sastra dan seni visual, oleh karena itu dalam hal ini penulis memasukan analisis kesastraan mengenai alur cerita dan topik percintaan, sedangkan visualisasinya dianalisis melalui kajian budaya. Bab berikutnya menjabarkan mengenai unsur romansa dalam komik Zaldy yang sangat kental nuansanya dan merupakan „bumbu“ yang mantap untuk membangun cerita dalam sebuah kota yang mulai berkembang menjadi kota urban. Setelah itu akan dijabarkan mengenai unsur visual yang berkaitan dengan kesejarahan baik dalam komik itu sendiri maupun pada pembacanya. Hal ini erat hubungannya dengan dibangunnya konteks yang ada dalam cerita menjadi sesuatu yang „dirasakan“ pembaca komik Zaldy sebagai latar yang hidup dan bermakna. Karya Zaldy sejak paruh ke-2 tahun 1960an sampai awal tahun 1980an menyoal tentang asmara dan romansa yang telah dibahas di atas, selain itu terlihat dengan kasat mata melalui visualisasi atau gambar-gambar yang dibuat sendiri olehnya hubungan cerita dengan kota Jakarta yang sangat erat bahkan boleh dikatakan hampir keseluruhan ceritanya bermain di dalam kota Jakarta. Oleh karena itu, keberadaan kota Jakarta di dalam karya-karya Zaldy dalam visualisasi kota menentukan jalan cerita atau narasi di dalamnya. Keberadaan kota Jakarta tentu tak lepas dari suatu ruang yang terbentuk oleh kesejarahan kota itu sendiri. Bagaimana komik menjadi ajang kesejarahan itu, hal ini dipaparkan oleh Korte sebagai berikut: “Comics können sich auf zwei verschiedene Weisen auf Geschichte beziehen. Erstens werden Comics stets in einem bestimmten historischen Kontext geschrieben und gezeichnet. Daher spiegeln sie, normalerweise eher implizit als explizit, die Meinungen und Vorstellungen ihrer Schöpfer wider, die von den Umständen ihrer eigenen Zeit geprägt werden. Zweitens entscheiden sich viele Autoren bewusst dafür, nicht ihre Gegenwart, sondern andere Epochen darzustellen.“ (Korte, 2009) Komik seperti yang dikutip di atas, dapat merujuk pada sejarah melalui dua cara, yang pertama adalah komik selalu digambar dan dinarasikan di dalam sebuah konteks sejarah tertentu, karena itu dikatakan bahwa komik mencerminkan baik secara implisit maupun eksplisit pendapat pengarangnya yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi 245 pada jamannya. Alternatif kedua justru pengarang dengan sengaja tidak mengambil jamannya melainkan menaruh narasi di dalam konteks sejarah yang lain. Karya Zaldy condong pada rujukan yang pertama dan terlihat jelas bahwa pengarang menggambarkan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Bukan Cuma Zaldy yang juga memakai situasi dan kondisi sejarah sebagai tema komiknya secara eksplisit. Sebagai pengarang Seno Gumira Ajidarma juga membuat sebuah cerita pendek yang kemudia menjadi komik melalui kerjasama dengan seorang komikus. Cerita ini menyoal peristiwa 1998 terutama isu perkosaan terhadap wanita keturunan Tionghoa, namun Seno tidak langsung membuat gambaran mengenai hal ini melainkan memakai perpindahan waktu ke tahun 2039 untuk kemudian memakai kilas balik bercerita mengenai tragedi ini. Dalam hal ini, narasi komik menjadi tempat sirkulasi pengetahuan akan sejarah dan sekaligus kesejarahan individual. Kemudian hal ini akan menjadi ajang apropriasi dan transmisi konten sejarah yang spesifik66. Dengan demikian, komik baik sengaja maupun tak sengaja sudah merupakan salah satu ajang sejarah yang menjadikannya hampir sama dengan monumen, hanya kalau monumen didirikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, komik di lain pihak, merupakan suatu medan sejarah yang terbentuk ketika seorang komikus merekam kesejarahan yang ada pada situati dan kondisi yang melingkupinya. Pembahasan selanjutnya tentu mengemukakan posisi pembaca komik, apakah pembacanya juga termasuk ke dalam mereka yang sadar akan posisi dan makna komik sebagai medan sejarah atau hanya sebagai hiburan belaka seperti yang ditengarai selama ini. Secara umum apabila karya Zaldy dibaca oleh generasi masa kini maka faktor kedua akan lebih banyak bermain. Halbwachs memberikan penjelasan yang tepat dengan kalimatnya, “a remembrance is in very large measure a reconstruction of the part achieved with data borrowed from the present.” Halbwachs in Storey (2007). Sebagai pengingat karya Zaldy merupakan rekonstruksi masa ketika komik dibuat serta pembaca dengan berpatokan pada komik itu sendiri sebagai data di masa kini mengingat masa tersebut. Untuk mengingat kembali apa yang di masa lalu di masa kini maka industri memori, sebuah istilah yang diperkenalkan oleh John Storey, adalah salah satu produk industri budaya yang memasukkan budaya populer serta media massa sebagai produk representasi dari masa lalu. Produk-produk ini akan membuat pembaca atau penikmatnya kembali berpikir, dan mengenali masa lalu tersebut67. Seringkali orang berspekulasi tentang apa yang termasuk ke dalam memori atau ingatan kolektif yang diberikan oleh representasi masa lalu tersebut, maka “Modern memory is, above all, archival. It relies entirely on the materiality of the trace, the immediacy of the recording, the visibility of the image…The less memory is experienced from the inside the more it exists only through its exterior scaffolding and outward signs … It adds to life…a secondary memory, a prothesis-memory. Nora in Storey (2007). Melalui 66 „Narratives (internal side) meaning the circulation of specific contents of historical knowledge, interests and the development of personal historical consciousness; infrastructures (external side) which facilitate and structure the production, consumption, appropriation and transmission of specific historical content.” (Korte,2009) 67 “ I think we can also add what I will call the ‘memory industries’ that part of culture industries concerned with articulating the past... but we should also include the mass media and popular culture more generally. The memory industries produce representation (“cultural memorials”) with which we are invited to think, feel, and recognize the past.” (Storey, 2007) 246 stimulan dari luar ingatan terhadap masa lalu akan lebih dapat dipersepsi dan menjadi memori kedua yang berfungsi menjadi ingatan kolektif. Perempuan dan Kota Jakarta dalam Komik Zaldy Hampir semua tokoh-tokoh penting dalam komiknya adalah perempuan, dapat dikatakan bahwa tokoh perempuanlah yang menggerakkan cerita dan hanya beberapa komiknya saja yang lebih memberikan peran penting pada tokoh pria. Perempuan juga memegang peranan dalam konstelasi percintaan segitiga yang cukup rumit, cinta segitiga yang melibatkan satu pria dan dua perempuan. Oleh karena itu, peran perempuan perlu ditelisik dan dianalisa lebih mendalam terutama mengaitkannya dengan konteks jaman dan keberadaan Zaldy sebagai salah komikus yang laris di kalangan para pembaca perempuan. Perempuan dalam komik-komik Zaldy bukanlah perempuan yang tak terdidik ataupun tak bekerja, melainkan mereka adalah perempuan yang belajar di universitas (Winda dalam Tiada Bintang di Langit, 1967), menjadi guru (Letty dalam Awan Kelabu, 1971), menjadi sekretaris (Irma dalam Sonata di Malam Sunyi, 1978), menjadi pragawati (Sinthia dalam Sinthia, 1969) menjadi pramuniaga (Fanny dalam Cinta Pertama, tetapi juga menjadi hostess (Anita dalam Interlute, 1980). Perempuan di dalam komik Zaldy bekerja demi kehidupannya dan keluarganya, meskipun lahir sebagai anak orang kaya mereka tetap berusaha membiayai hidupnya sendiri (Gelombang Hidup Remadja, Sinthia, Melati di Musim Semi, Bintang-Bintang di Langit Suram). Peran perempuan di dalam komik Zaldy juga tak bisa lepas dari lingkup ruang sosial yang memang ada di dalam kehidupan di jaman itu, sehingga gambaran perempuan yang menjadi “ibu” diperlihatkan melalui fesyen. Sang ibu diberikan fesyen tradisional seperti memakai kain dan kebaya, bersanggul ala Jawa dan tubuhnya sudah tak lagi langsing. Bagaimana menyikapi perubahan dalam peran dan juga kedudukan perempuan setelah Orde Baru muncul? Di dalam bukunya „State Ibuism“ Julia Suryakusuma memberikan suatu pemaparan mengenai hubungan antara perempuan dan negara dengan menguraikan dua pemikiran yaitu housewifization dan Ibuism yang menggambarkan bagaimana peran perempuan dikonstruksi di dalam masyarakat kapitalisme di satu pihak dan masyarakat feodal di lain pihak. Perbedaan yang mencolok menurut Suryakusuma disatu pihak hausewifization mereduksi perempuan hanya menjadi peran biologisnya saja.68 Menurut Suryakusuma campuran dari kedua ideologi ini telah menjadi ideologi negara pada masa Orba dan telah mendominasi segala penjuru kehidupan bahkan masuk ke dalam ranah pribadi perempuan yaitu dengan menentukan peran dan posisi perempuan di dalam masyarakat. Ibuisme yang dimaksudkan Suryakusuma adalah bagaimana perempuan dikonstruksi menjadi pendamping suami yang efektif, perempuan dikonstruksi menjadi pelengkap bagi suami walaupun terlihat seperti mempunyai peran dalam berbagai kelompok maupun ormas partai yang sangat menonjol tetapi peran perempuan tetap terbatas. Semua yang pernah mengalami dan hidup di dalam era Orba tentu masih mengingat bagaimana Tien Suharto, Ibu Negara waktu itu menjadi suri tauladan bagi perempuan lainnya, beliau selalu tersenyum manis mendampingi Pak Harto kemanapun tanpa pernah memberikan komentar ataupun 68 “There are important differences between ibuism dan housewifization. What clearly differentiates them is that the former lacks of exclusively domestic content and the homebound character of “motherhood” that has prevailed in Western countries since the nineteenth century. Juliakusuma:2011. 247 memberikan pernyataan yang mandiri. Penelitian Suryakusuma lebih lanjut dilakukan di pedesaan dan menunjukkan bagaimana ideologi Orba mengkonstruksi perempuan dengan memberikan label baru tetapi isi yang sama dengan ideologi lama yaitu Patriarki. Apakah gambaran seperti ini juga ditemui pada perempuan dalam komik Zaldy? Keluarga merupakan topik yang utama dalam komik Zaldy, meskipun penggambaran muda-mudi yang bebas dan hedonistis, tetapi gambaran-gambaran ini dipertentangkan dengan adanya suatu keinginan membina keluarga. Akan tetapi bukan keluarga dalam pengertian tradisional, karena dalam beberapa komik terlihat adanya unsur extended family, keluarga bukan hanya yang batih saja melainkan juga termasuk di dalamnya pengasuh, paman dan bibi, bahkan putra atau putri teman yang dibesarkan bersama. Bahkan sering pula ditemui perempuan sebagai single mother, membesarkan anaknya tanpa pernikahan, suatu hal yang tidak mungkin diijinkan dalam ideologi patriarki ala Orba. Komik mempunyai keistimewaan, yaitu memadukan narasi dengan seni visual. Dalam hal ini, ketika membaca komik, maka tidak boleh dilupakan adanya aspek visual itu, yang memungkinkan pembaca untuk juga melihat dan menikmati sebuah ruang.69 Oleh karena itu, di dalam komik karya Zaldy ditemukan ruang-ruang yang bukan saja digambar dengan teliti, melainkan juga ruang yang tidak secara fisik hadir di dalam karyanya kecuali lewat penyebutan tempat tertentu di kota Jakarta (gambar c) dan merupakan bagian dari narasi. Tempat itu, misalnya, Pasar Baru, yang pada masa itu merupakan tempat belanja cukup bergengsi, terutama karena terletak di pusat kota Jakarta. Secara fisik, Pasar Baru hadir pada gambar e, dengan adanya toko bernama “Modern”, yang sekarang sudah tak ada lagi, Dengan merujuk pada nama tersebut, Zaldy menegaskan bagaimana ruang urban Jakarta dibentuk pada tahun-tahun itu sebagai bagian kota modern. Restoran juga diberi label internasional (gambar d) agar mendapatkan kesan kemodernan Jakarta sebagai kota urban. Gambar a di bawah ini jelas-jelas menggambarkan situasi kota Jakarta, yaitu Lapangan Banteng, dengan Tugu Pembebasan Irian Barat, dan di kejauhan terlihat gereja Kathedral, sementara di latar muka adalah stasiun bis. Terlihat pula kendaraan rakyat, yaitu becak. Memperhatikan gambar ini, kita mendapatkan gambaran kota urban Jakarta pada masa itu. Tugu untuk memperingati dibebaskannya Irian Barat dari kekuasaan Belanda, apabila ditarik ke masa sekarang, menjadi sebuah ironi karena kita tahu bahwa banyak kekerasan atas nama negara dilakukan terhadap rakyat Papua. Akan tetapi, bila disandingkan dengan Kathedral, maka terlihat bahwa Zaldy ingin menyampaikan bagiamana orang pada masa itu memandang Jakarta sebagai ibukota yang “…serba sibuk” (stasiun bis) dengan adanya kendaraan dan stasiun bis, dan “…penuh dengan tjorak ragam sendiri” sebagai sisi multikulturalnya Jakarta. Bila disandingkan dengan gambar b, maka ruang urban akan lebih terlihat karena ada penyebutan “Djakarta Fair”, sebuah pasar malam yang dulunya bernama “Pasar Gambir.” Kemudian, oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin, nama itu diubah menjadi “Djakarta Fair”. Dengan nama ini, Ali Sadikin juga menandai Jakarta sebagai kota internasional karena penggunaan istilah bahasa Inggris Fair , pasar malam, disebutnya nama Djakarta tentu memberikan gambaran bagaimana Ali Sadikin membentuk Jakarta 69 Comics contains not only the language form of visual art but also spatial structure that can be seen not only as background but also indicated a cultural variation in the depiction of space. Cross - Cultural Space. 2005 248 pada masa itu menjadi kota yang membuka diri untuk masuknya segala macam pengaruh dari Barat. Selain itu, kebijakan untuk membuka pintu ini terlihat pula dari bergesernya gaya hidup di kota Jakarta sebagai kota urban yang modern. Modernitas diberi makna sebagai gaya hidup Barat yang bebas dan liberal di dalam segala hal, termasuk dalam hubungan pribadi antartokoh dalam komik. Ruang urban yang liberal ini dapat pula ditelusuri pada gambar f, g dan h, yang menggambarkan night club, yang memang keberadaannya dapat dibuktikan pada masa itu. Night club “Blue Ocean” bersituasi di Jalan Hayam Wuruk,70 milik taipan Liem Soe Liong, Wisma Nusantara, sebuah gedung di jalan Thamrin, pada lantai teratasnya memiliki restoran dan klab malam, namun sekarang hanya tinggal restoran dan jazz71. Demikian pula dengan klab malam Miraca Sky Club, yang pada masa itu sangat terkenal dan dibangun atas inisiatif Gubernur Ali Sadikin.72 Dengan demikian, ruang urban Jakarta dimulai dari konstelasi cinta sampai ruang fisik yang sifatnya telah dibentuk oleh struktur modernitas Barat dengan gaya hidup liberal. Gambar a: Lapangan Banteng dan Gambar b : Djakarta Fair dalam “Kabut Pagi” 70 http://www.tempo.co/read/news/2012/06/15/093410735/Om-Liem-dari-Ajojing-Hingga-Jogging http://www.jakarta24.com/listing_bar-4.php 72 http://info-biografi.blogspot.com/2012/09/biografi-ali-sadikin.html 71 249 Gambar c: Pasar Baru dalam “Gerimis Dalam Kemarau” Gambar d:Restauran International dalam “Puing-Puing Kenangan” gambar e: Pasar Baru dalam “Esok nan Jauh” 250 Gambar f: Night Club Blue Ocean “Di Ujung Pelangi, The End of Rainbow” Gambar g: Night Club Wisma Nusantara “Rembulan dan Mawar” Gambar h: Night Club Miraca “Puing-Puing Kenangan” 251 Penelitian menjadi semakin seru karena komik-komik Zaldy makin memperlihatkan kepiawaian Zaldy baik di segi visualisasi dan cerita. Khususnya pembahasan mengenai kota urban di tahun 60an memperlihatkan kegamangan yang terjadi dalam kota karena terjadinya perpindahan yang sangat drastis dari pemerintahan sosialisme ke kapitalisme pro Amerika. Sementara itu, dalam komik Tjinta Maria (1967), terlihat adanya suatu keterbukaan akan permasalahan SARA73 yang pada saat Orba berkuasa dilarang untuk disebutkan, yaitu perbedaan keyakinan. Di kota urban Jakarta, diperlihatkan Zaldy masalah relijiusitas tidak lagi penting karena gaya hidup yang berlaku sama sekali lain. Sementara itu, kehadiran kota dapat dilihat sebagai suatu yang ditunggu dan diangankan, terlihat pada panel yang memperlihatkan sejoli berlainan agama memandang Monas dan Bunderan HI dengan Hotel Indonesianya. Di komik Zaldy, penulis menengarai adanya semacam kehilangan identitas yang termanifestasi dalam nama-nama tokoh yang terdengar sangat Barat seperti Maria, Frans, Carla, Rafael, Sheila dsb. , Seno Gumira Ajidarma pernah memaknainya sebagai salah satu indikasi akan hilangnya identitas ke-Tionghoa-an masyarakat Jakarta di tahun-tahun berkuasanya Orba. Sehubungan dengan itu, penulis juga memerhatikan fesyen yang digambarkan oleh Zaldy secara detil, boleh dikatakan setiap baju terutama tokoh wanita berlainan sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan komik Zaldy juga memperlihatkan kesejarahan fesyen yang ditemukan di kota Jakarta pada masa-masa itu. Lebih-lebih lagi kalau memerhatikan hair do (lihat gambar a,b, dan c) terlihat bahwa Zaldy lebih banyak mendapatkan ide dari film-film Barat. Fesyen tersebut bukanlah berasal dari negara-negara Eropa atau Amerika melainkan didapatkan dari film-film Hongkong yang pada masa itu merupakan satu-satunya hal ketionghoaan yang dapat dinikmati oleh warga keturunan Tionghoa.74 Hasil riset Aimee Dawis memperlihatkan adanya hubungan antara memori kolektif masyarakat Tionghoa khususnya mereka yang lahir setelah 1966, pada masa Orba dengan salah satu produk budaya massa yaitu film, khususnya film-film Kungfu dari Hongkong. 73 seperti yang tercantum pada Undang-Undang No. 11 tahun 1966, kemudian Undang-Undang No. 4 tahun 1967, dan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1982. Undang-Undang tersebut berisi ketentuan penerbitan Pers harus diamankan dari setiap kemungkinan digunakan oleh siapapun untuk hal-hal yang membahayakan keselamatan Negara, ketertiban umum, atau kepentingan nasional, atau merugikan masyarakat, atau merusak pertumbuhan dan perkembangan Pers Nasional yang bebas dan bertanggung bertanggung jawab, misalnya penyiaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, atau tulisan yang merusak moral bangsa, merusak integritas nasional atau menimbulkan pertentangan antar suku, antar agama, antar ras, antar golongan (http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_21_1982.htm) 74 Aimee Dawis, 2009 252 Gambar a gambar b gambar c Film-film ini merajai bioskop pada masa itu walaupun terdapat peraturan yang ketat mengenai pelarangan segala macam bentuk ketionghoaan. Pelarangan ini antara lain ditunjukkan melalui surat edaran ‘Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina’ yang diterbitkan pada tanggal 7 juni 1967. Dalam surat edaran ini dinyatakan bahwa Tionghoa WNA yang beritikad baik akan mendapat jaminan keamanan dan perlindungan atas kehidupan, kepemilikan, dan usahanya. Kemudian pada Desember 1967, Keputusan Presiden menindaklanjuti dengan pernyataan tidak akan membedakan antara Tionghoa WNA dan Tionghoa WNI75, namun pemerintah tetap mengeluarkan kebijakan asimilasi dengan pergantian nama, pelarangan penerbitan dengan bahasa dan aksara Cina, pembatasan kegiatan keagamaan secara publik, tidak diizinkan merayakan Hari Raya tradisional secara publik, dan pelarangan terhadap pembangunan sekolah Tionghoa dan menyarankan anak-anak Tionghoa untuk masuk sekolah umum76. Di satu pihak, pemerintah Orba dengan ketat membatasi ruang gerak dan ruang budaya masyarakat keturunan Tionghoa, tetapi di lain pihak keran impor film-film dari Hongkong terbuka lebar-lebar sehingga boleh dikatakan semua bioskop dikuasai oleh 75 Pada masa Orde Baru, ada 8 Undang-Undang yang melarang segala macam bentuk ke Tionghoaan, yaitu: 1. Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina75 2. Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina 3. Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina75 4. Instruksi Presiden No.15/1967 tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina 5. Instruksi Mendagri No. 455.2-360 tentang Penataan Klenteng 6. Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tetang Badan Koordinasi Masalah Cina 7. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang Pelarangan Impor, Penjualan, dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa dan Aksara Cina 8. Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina 75 76 Avalokitesvari, N. N. (2014, March 15). Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru. Diakses melalui http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnistionghoa-di-indonesia-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru/ 22/10/2015 7:15 253 perusahaan impor film Hongkong tersebut seperti misalnya Suptan Film. PT Suptan Film adalah perusahaan yang menguasai jalur distribusi film di bioskop pada tahun 1985. Perusahaan ini menggantikan PT Citra Jaya yang sebelumnya dikenal sebagai produsen film-film nasional. Sebelumnya, produksi film nasional merosot disertai kegagalan penayangan film pada tahun 1965. Hal ini yang menyebabkan pemerintah berusaha membangkitkan industri film dengan membuka akses film impor melalui keputusan SK nomor 71 tahun 1967 yang menyatakan bahwa untuk setiap film yang diimpor, importir harus menyetor uang yang dikumpulkan sebagai biaya pembuatan film nasional Selanjutnya kebijakan tentang aktivitas impor film mengalami perubahan yaitu mewajibkan importir film memiliki peran ganda yaitu sebagai importir sekaligus produser. Peran tersebut menjadi syarat untuk memasukkan film-film dari luar negeri. PT Suptan menguasai pasar dengan memprioritaskan film-film mereka di bioskopbioskop nasional seiring dengan daya beli yang tinggi77. Masyarakat Tionghoa bernegosiasi lewat film-film Hongkong untuk pembentukan identitasnya sebagai bagian dari Indonesia. Memori kolektif juga dapat dibangkitkan melalui musik bahkan musik ditengarai sebagai salah satu monumen pengingat jaman. Hal ini dapat dilihat pada 3 buah contoh yaitu gambar a, panel ini dari komik Puing Kenangan dan di latarnya terdapat poster dengan judul sebuah lagu „Let It Be Me“78, kemudian gambar b dan c berasal dari komik Tragedi Musim Bunga, gambar b dengan latar paling sedikitnya dua lagu yaitu “Only a Fool Breaks His Own Heart”79 , “Try To Remember”80, sedangkan gambar c 77 Disarikan dari https://id.wikipedia.org/wiki/Distribusi_film_Indonesia#cite_ref-_1-0, Ekky Imanjaya, Eric Sasono, Hikmat Darmawan, Ifan Adriansyah Ismail (2011). Menjegal film Indonesia: pemetaan ekonomi politik industri film Indonesia. Perkumpulan Rumah Film dan Yayasan Tifa. 78 Pada tahun 1955 lagu ini mengudara di Prancis dan populer dengan Je t'appartiens. Kepopuleran lagu ini di seluruh dunia diawali dengan terjemahan ke dalam bahasa Inggris dan dinyanyikan oleh The Everly Brothers. Lagu ini mencapai kesuksesan dengan berbagai versi mulai dari tahun 60-an hingga 2000-an., seperti pada tahun 1970, Bob Dylan meremake lagu ini dengan versinya, bahkan penyanyi Indonesia berkewarganegaraan Prancis, Anggun C Sasami, menyanyikan lagu ini dalam bahasa Prancis pada kompilasi CD BECAUD: Et Maintenant.pada tahun 2011 diakses melalui: https://en.wikipedia.org/wiki/Let_It_Be_Me_(The_Everly_Brothers_song) 24/10/2015 1:06 79 mengisahkan tentang unrequited love yang diciptakan pada tahun 1964 di Brooklyn, New York oleh Norman Bergen dan Shelly Coburn untuk duo British, Chad & Jeremy. Lagu ini terinspirasi dari lagu “I want to hold your hand” The Beatles. Lagu ini menjadi salah satu hit terbesar dan memecahkan rekor lagu easy listening paling banyak diputar dengan berbagai versi seperti yang dinyanyikan oleh Mighty Sparrow, kemudian lagu ini diterjemahkan ke dalam bahasa Finlandia, Belanda, Swedia, Jerman setelah muncul di majalah AS pada tahun 1977. Ada lebih dari 70 versi lagu dan rekaman, bahkan pada tahun 2009 lagu ini menjadi soundtrack film Rooperi (Helsinki) diakses melalui https://en.wikipedia.org/wiki/Only_a_Fool_Breaks_His_Own_Heart 24/10/2015 dan http://www.normanbergen.com/only_a_fool.html 24/10/2015 00:31 80 lagu tahun 60-an ini awalnya dinyanyikan oleh Jerry Orbach dalam original off -Broadway produksi komedi musikal The Fantastics. Lirik lagu yang ditulis oleh Tom Jones ini terkenal dengan sajaknya seperti ‘Remember’ dan September, dan pengulangan urutan –llow seperti pada yellow dan mellow. Lagu ini masuk dalam 100 lagu pop terbaik sebanyak 3 kali pada tahun 1965 dengan berbagai versi seperti yang dinyanyikan oleh The Brothers four. Pada tahun 2015, lagu ini memiliki versi rekaman dari Josh Groban pada album Stages diakses melalui https://en.wikipedia.org/wiki/Try_to_Remember 24/10/2015 00:50 254 tidak memperlihatkan lagu yang sedang hit, melainkan sebuah film yang meledak menjadi box office paling sedikitnya di kota Jakarta yaitu Romeo and Juliet81 beserta gambar kedua bintang film utama dan sutradara yang cukup terkenal di masa itu. Gambar a gambar b gambar c Memori kolektif yang dibangkitkan oleh terteranya judul lagu dan film (Zaldy memang piawai menggambar dengan kemiripan yang luar biasa kedua artis utama film tersebut) membuka selanjutnya memori terhadap masa-masa dibawah Orba dengan ideologinya. Visualisasi atau imajeri menurut Eisner82 yang dibangun di dalam komik-komik Zaldy dengan demikian, merupakan suatu khasanah memori kolektif akan suatu kota urban yang bernama Jakarta. Memori kolektif ini meskipun terihat pada permukaannya sangat mudah dan indah akan tetapi sesungguhnya memperlihatkan adanya kontradiksi yaitu yang indah tersebut ternyata tak selamanya indah karena perubahan ideologi negara di jaman Orba. Karya Zaldy di tahun 60an memperlihatkan kegamangan dalam peralihan ideologi dari Orla ke Orba, selanjutnya karyanya menunjukkan kegamangan lain yaitu gaya hidup hedonistis ala kapitalisme. Visualisasi menjadi kunci dalam pemaknaan atas komik dalam hubungannya dengan kesejarahan dan kota urban khususnya Jakarta. 81 Kisah tentang tragedi dalam percintaan ini telah diadaptasi dalam berbagai versi. Karya William Shakespeare ini menjadi salah satu drama paling banyak diadaptasi sepanjang masa. Penampilan teater paling terkenal yang memproduksi Romeo dan Juliet adalah George Cukor yang mendapatkan multi-nominasi Oscar tahun 1936 , pada tahun 1968 Franco Zeffirelli dengan Film Romeo dan Juliet, dan Baz Luhrmann pada tahun 1996 dengan MTV yang terinspirasi Romeo and Juliet. Keabadian kisah percintaan ini terus berlangsung hingga tahun 2013 yang dibuktikan dengan rilisnya film Romeo & Juliet meskipun dianggap kontroversial karena film ini berbeda dari adaptasi film sebelumnya. Film tahun 2013 ini hanya menggunakan beberapa dialog yang ditulis oleh Shakespeare. Para kritikus memberikan komentar negatif mengenai esensi film Rome & Juliet 2013 diakses melalui https://en.wikipedia.org/wiki/Romeo_and_Juliet_on_screen dan http://www.telegraph.co.uk/culture/theatre/william-shakespeare/10278154/Romeo-Romeo-whatsJulian-Fellowes-done-to-you.html 24/10/2015 1:26 82 “…It is here that the expressive the potential of comic artists is in the sharpest focus. After all this is the art of graphic story-telling. The codification becomes, in the hands of the artists, the alphabet with which to make an encompassing statement that weaves the entire tapestry of emotional interaction.” Eisner, 2000, hlm 16. 255 Daftar Rujukan Abdul Gafur (1992). Siti Hartinah Soeharto. Ibu Utama Indonesia. Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada. Abeyasekere, S. 1987. Jakarta: A History. Singapore. Oxford University Press. Ahrens, Jörn and Arno Meteling (Ed.)(2010). Comics and the City: Urban Space in Print, Picture and Sequence. New York: Continuum International Publishing. Ariel Heryanto (ed.)(2008). Popular Culture in Indonesia. Fluid Identities in Post Authoritarian Politics. Oxon: Routledge. Atmowiloto, Arswendo. 1979. “ Koran Medan, Serta Cinta Jakarta”, dalam Komik Itu Baik (2), harian Kompas. Diunduh dari komikindonesia.com. Boneff, Marcel (1998). Komik Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Dawis, Aimme (2009) The Chinese of Indonesia and Their Search For Identity: The Relationship Between Collective Memory and the Media. Cambria Press. Duncan, Randy and Matthew J. Smith (2009). The Power of Comics. Hitsory, Form, and Culture. New york: Continuum International Publishing. Eisner, Will. (2008). Comics and Sequential Art: Principles and Practices from the Legendary Cartoonist. W.W Norton & Co. Harrington, C. Lee and Denise D. Bielby (ed) (2005), Popular Culture. Production and Consumption. Malden: Blackwell Publishing Herlambang, Wijaya. (2013). Kekerasan Budaya Pasca 1965. Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti – Komunisme Melalui Sastra dan Film. Marjin Kiri. Irsyad Ridho (2015), Representasi Ruang Urban Jakarta dan Asmara sebagai Melankoli: Studi Atas Komik Roman Karya Zaldy Armendaris Periode 19651980. Disertasi belum dicetak. Jones, Tod, (2013). Kebudayaan Dan Kekuasaan Di Indonesia. Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 Hingga Era Reformasi. Buku Obor. Julia Suryakusuma (2011). Ibuisme Negara. Konstruksi Sosial Keprempuanan Orde Baru. Jakarta: Komunitas Bambu. Korte, Barbara and Sylvia, Paletschek (ed) (2009). History Goes Pop, Zur Representation von Geschichte in populären Medien und Genres. Bielefeld: Transcript Verlag. Kurnia, Lilawati (2006). “Seni Kulinari, Kekuasaan, dan Multikulturalisme dalam “Master Cooking Boy”/The Real Master Cooking Boy, Karya Etsushi Ogawa.” Wacana Vol. 8, No.2 Oktober 2006, hlm. 202-220 Kurnia, Lilawati (2009).“Urban Lifestyle and Public Space in Comic Series “Benny and Mice”. Paper presented in “Interasia-Cultural Typhoon” Conference, Tokyo, Jepang 3-5 July 2009. Kusno, Abidin. (2000). Behind the Postcolonial: Architecture, Urban Space and Political Culture in Indonesia. London: Routledge. ___________(2009). Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif. Jakarta Pasca Suharto.Yogyakarta: Penerbit Ombak Lindner, Christoph (Ed.)(2006). Urban Space and Cityscapes. Perspectives from modern and contemporary culture. London: Routledge. 256 Mayasari, Linda (2013). Transformasi Teks Drama “Der Gute Mensch Von Sezua An” Karya Bertolt Brecht dalam teks drama “Tiga Dewa dan Kupu-Kupu” Karya Nano Riantiarno. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Mc. Cloud, Scottt. (1994). Understanding Comic: The Invisible Art. William Morrow Paperback. Merillee,Scott. (1980), Jakarta – Potraits of A Capital 1950-1980. Equinox. Meteling, Arno dan Jörn Ahrens. (2010). Comics and the City: Urban Space in Print, Picture and Sequence. Bloomsbury Academics. Mirzoeff, Nicholas. (2001). The Visual Culture Reader. Second Editon. London: Routledge. Seno Gumira Ajidarma. (2001). Jakarta 2039. 40 Tahun Setelah 13-14 Mei 1998. Yogyakarta: Galang Press. --------------- (2011). Panji Tengkorak. Kebudayaan dalam Perbincangan. Jakarta: Gramedia Pustaka --------------- (2000). “Dunia Komik Zaldy”. Jurnal Kalam No. 16, hlm. 98-119 Storey, John. (2007). Inventing Popular Culture. Blackwell Publishing. Wright, Bradford W.( 2001). Comic Book Nation. Baltimore: The John Hopkins University Press. Sumber Daring: Neil Cohn: http://visuallanguagelab.com/papers.html http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/14162 http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message http://iccsg.wordpress.com/2006/12/25/pendekar-pendekar-komik-tionghua/ Miraca Sky club: http://info-biografi.blogspot.com/2012/09/biografi-ali-sadikin.html Blue Ocean: http://www.tempo.co/read/news/2012/06/15/093410735/Om-Liem-dariAjojing-Hingga-Jogging Wisma Nusantara : http://www.jakarta24.com/listing_bar-4.php Carol Schmidt, The 'New Woman' Gender Roles and Urban Modernism in Interwar Berlin and Shanghai http://vc.bridgew.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1731&context=jiws Darmawan, Hikmat (2009).“ Kota yang naif: sketsa Jakarta 1960-1970-an dalam komik roman“ FOKUS 5 Februari 2009 (http://karbonjournal.org/focus/kota-yangnaif-sketsa-jakarta-1960-1970-dalam-komik-roman?page=5) Art Spiegelman: http://www2.iath.virginia.edu/holocaust/spiegelman.html Zaldy diakses melalui http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3597/Zaldy pada 11/10/2015 18:28 Undang-Undang No 21 tahun 1982 dapat diakses melalui situs sebagai berikut: http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_21_1982.htm pada 17/10/2015 8:15 257 “MENOLAK MENJADI NJAI: KISAH PARA NJAI MELAWAN DOMINASI KOLONIAL DALAM KUMPULAN CERITA TEMPO DOELOE Maimunah (FIB Universitas Airlangga Surabaya – Indonesia) Abstrak: Perlawanan terhadap praktik pernyaian merupakan bentuk perlawanan terhadap kolonialisme dalam bentuk yang lain. Istilah nyai merujuk pada ‘perempuan pribumi yang dipelihara oleh para pendatang dari Eropa’. Keberadaan para nyai mendapat reaksi yang berbeda baik di kalangan pribumi maupun orang Eropa sendiri. Elsbeth Locher Scholten (1988: 66) mencatat pasang surut itu bahwa jika pada masa pemerintahan VOC tidak terdapat reaksi yang jelas dari masyarakat, mulai abad ke-19 perubahan terjadi. Mayoritas masyarakat pribumi mencurigai dan tidak menghargai sehingga para nyai sering merasa terkucil. Di kalangan perempuan Eropa, para nyai menjadi ancaman bagi mereka. Mereka memandang bahwa para nyai memiliki kadar kesusilaan yang rendah karena selalu berusaha memperbudak laki-laki Eropa dengan bantuan ilmu-ilmu sihir sehingga merusak jasmani dan mental para pria. Makalah ini akan membahas perlawanan terhadap dominasi kolonial yang dilakukan oleh Njai Paina dalam Tjerita Nji Paina (terbit tahun 1900) karya Herman Kommer, Nji Saipa dalam Tjerita si Tjonat F.D.J Pangemanann (terbit tahun 1900). Melalui teks ini, pembaca dapat mengetahui proses seorang perempuan pribumi menjadi njai dan perlawanan untuk dijadikan sebagai the other sehingga mereka menjadi subyek yang mampu ‘berbicara’ (the speaking subject) yang meruntuhkan kekuasaan kolonial. Kata kunci: Nyai, Menolak, Kolonialisme Latar Belakang Praktik pernyaian pada masa VOC mendapatkan legitimasi sosiologis dari budaya feodal karena perempuan pribumi yang dahulu dipergundik kaum bangsawan kemudian menjadi gundik pejabat kolonial (Christanty, 1994: 25). Namun sebenarnya, praktik pergundikan juga mempunyai tujuan politis untuk melenyapkan golongan ‘inlander’ itu sendiri karena anak-anak hasil hubungan pergundikan itu lebih sering ditetapkan sebagai orang Eropa. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen secara tegas menyatakan bahwa perempuan merupakan prasyarat dalam berdagang: ...”Jika perempuan tersedia, pasar-pasar perdagangan Hindia Belanda akan menjadi milik Anda” (Blussé, 2004: 305). Keberadaan nyai dalam masyarakat kolonial memiliki peran maknawi sebagai cultural mediator antara kebudayaan Barat dan Timur. Terdapat akulturasi budaya yang nampak dari gaya hidup dan tata cara berbusana di kalangan para nyai. Melalui praktik pernyaian ini, para perempuan pribumi dapat memperoleh pengetahuan mengenai bahasa, adat istiadat, serta nilai-nilai Eropa. Dalam kehidupan keseharian, para nyai membedakan dirinya dengan perempuan pribumi kebanyakan dari pakaian yang mereka kenakan. Jika perempuan pribumi mengenakan kebaya berwarna atau indigo, para nyai mengenakan kebaya putih berenda seperti yang biasa dikenakan oleh para perempuan Eropa atau Indo. (Taylor, 1984: 148). Sementara itu, para pria Eropa juga tidak lepas 258 dari pengaruh kebudayaan campuran atau Indis ini. Mereka mengenakan sarung dan baju piyama yang bermotif batik walaupun di kantor pakaian Eropa tetap menjadi pakaian resmi. Budaya mengenakan sarung dan kebaya juga dilakukan oleh wanita Eropa dan Indo sampai menjelang kedatangan Jepang (Soekiman, 200: 29). Praktik pernyaian mengalami pasang surut dan mendapatkan reaksi yang berbeda baik dari kalangan penduduk pribumi maupun kalangan Eropa sendiri. Menjelang awal abad ke-20 ketika nasionalisme mulai tumbuh, menjadi nyai sinonim dengan menjadi ‘kekasih kolonial’. Ia tidak lagi dianggap menjadi bagian dari penduduk pribumi. Bagi kalangan Eropa yang masih berpandangan diskriminatif, keberadaan anak-anak Indo hasil hubungan campuran itu dikhawatirkan akan mengancam kemurnian golongan Eropa. Akibat reaksi negatif masyarakat, baik pribumi maupun Eropa, kehidupan para nyai menjadi terkucil dan terbatas (Scholten, 1997: 66). Perlawanan rakyat Indonesia terhadap kolonialisme berupa praktik pernyaian dan penerapan politik identitas terekam dalam catatan sejarah hingga karya fiksi. Dalam karya fiksi, tema perlawanan merupakan topik yang dibicarakan dalam sastra Melayu Rendah baik oleh penulis pribumi, Cina maupun Indo-Belanda. Para pengarang yang juga berprofesi sebagai jurnalis seringkali menggunakan arsip dan dokumen di pengadilan sehingga “realitas” itu tersaji dengan deskripsi yang rinci (Sumardjo, 2004 : 150). Kritik Sastra Pasca-Kolonial Teori yang dipakai dalam makalah ini adalah kritik sastra pasca-kolonial. Gilbert dan Tompkins (dalam Allen, 2004: 207) menyatakan bahwa kritik sastra pasca-kolonial mengacu pada praktik-praktik yang menggugat “hirarki sosial, struktur kekuasaan dan wacana kolonialisme”. Sebagai suatu strategi pembacaan, kritik sastra pasca-kolonial berusaha memperlihatkan ‘pasca-kolonialitas’ yang menetap dalam teks dengan mencari dampak kolonialisme yang terdapat dalam satu teks tertentu. Penggunaan tanda hubung (-) menurut Bill Aschroft, Griffiths, dan Tiffin (1995: 3) karena pasca-kolonial adalah sebuah sistem yang aktif, hidup serta berkelanjutan dan terjalin dalam interaksi sosial melalui berbagai institusi dalam masyarakat itu sendiri. “We use the term ‘postcolonial’ to represent the continuing process of imperial supressions and exchanges throughout this deverse range of societes, in their institutions and their discursive practices”. Sedangkan istilah pascakolonial (tanpa tanda hubung) lebih menunjukkan pada periodisasi sesudah kolonialisme berakhir. Secara sederhana, kritik sastra pasca-kolonial adalah pendekatan pasca-struktural yang diterapkan pada topik khusus. Bagi kritikus pasca-kolonial, usaha mendekonstruksi, menelanjangi ideologi dan asumsi yang terselubung di balik sebuah wacana dominan masih dirasakan perlu. Beberapa topik yang dikembangkan oleh kajian pasca-kolonial adalah masalah ras, etnisitas, dan identitas budaya. Pembicaraan mengenai topik-topik ini didasari oleh asumsi yang telah digariskan sejak Derrida, yakni bahwa segala bentuk identitas merupakan bangunan atau anggitan sosial, bukan merupakan suatu esensi yang telah ditentukan secara deterministik, secara biologis (Budianta, 2002: 51). Pengertian identitas budaya yang dipakai dalam pembahasan ini adalah bahwa identitas budaya bukanlah sebuah identitas yang esensial, yang stabil, melainkan hanya sebuah positioning (Hall, 1997: 51-54). Sebagai sebuah pengambilan posisi yang bersifat subyektif, identitas bersifat relasional dan tidak tetap. Identitas bergantung pada kebalikannya serta dapat berubah sepanjang waktu. Identitas dipahami secara berbeda di 259 tempat yang berbeda pula. Artinya, kekuasaan bermain dalam menentukan identitas seseorang. Pembahasan Kehidupan Nyai pada Masa Kolonial Perusahaan perkebunan swasta yang berkembang pesat mendatangkan banyak tenaga kerja terutama laki-laki baik yang sebagian besar bujangan maupun yang telah berkeluarga. Perjalanan jauh dan kurangnya fasilitas pendidikan dan kesehatan di Hindia Belanda memaksa para laki-laki Eropa datang tanpa ditemani keluarga. Rendahnya jumlah perempuan Eropa pada masa itu menjadi alasan munculnya pergundikan yang telah dikenal sejak masa VOC. Bahkan sebelum kedatangan Belanda, pedagang Asia dan Portugis telah terbiasa memelihara nyai yaitu perempuan yang dipelihara pejabat kolonial Belanda maupun pejabat swasta-swasta yang kaya (Christanty, 1994: 29). Keberadaan para nyai mendapat reaksi yang berbeda baik di kalangan pribumi maupun orang Eropa sendiri. Elsbeth Locher Scholten (1988: 66) mencatat pasang surut itu bahwa jika pada masa pemerintahan VOC tidak terdapat reaksi yang jelas dari masyarakat, mulai abad ke-19 perubahan terjadi. Mayoritas masyarakat pribumi mencurigai dan tidak menghargai sehingga para nyai sering merasa terkucil. Di kalangan perempuan Eropa, para nyai menjadi ancaman bagi mereka. Mereka memandang bahwa para nyai memiliki kadar kesusilaan yang rendah karena selalu berusaha memperbudak laki-laki Eropa dengan bantuan ilmu-ilmu sihir sehingga merusak jasmani dan mental para pria. Untuk mengantisipasi segala kemungkinan terburuk dari hubungan pergundikan tersebut maka sebagian dari para nyai sejak awal telah mempersiapkan diri melalui berbagai cara demi kesejahteraan dan keselamatan hidupnya di kemudian hari. Mereka melibatkan diri baik secara langsung maupun tidak langsung dalam dunia perdagangan serta bertindak sebagai perantara dalam urusan real estate atau juga memberi pinjaman uang bagi orang-orang Cina setempat. Namun, tidak sedikit jumlah para nyai yang hidupnya terperosok dalam dunia prostitusi karena tidak mampu bertahan hidup setelah diusir oleh tuannya (Blussé, 2005 : 275). Pergundikan mengalami fase penurunan terutama dengan dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 yang semakin mempersingkat jarak serta waktu pelayaran. Situasi ini memperlancar dan menambah jumlah kedatangan perempuan Eropa di kotakota besar seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang. Peningkatan jumlah perempuan Eropa memperkecil jumlah perkawinan dengan perempuan pribumi. Sistem pernyaian model kolonial mulai menghilang terutama sejak dikeluarkannya larangan memelihara gundik terutama di kalangan pegawai pemerintah maupun swasta pada tahun 1914 . Para nyai yang dimiliki oleh para pegawai tersebut harus dinikahi secara sah. Di tingkat bawah, para bujangan Belanda atau Eropa juga diancam akan dihukum apabila memelihara nyai, namun larangan itu baru efektif berlaku sejak tahun 1928. Menolak Menjadi Nyai Tjerita Nji Paina adalah karya dari Herman Kommer yang terbit pertama kali pada tahun 1900. Dari beberapa karya yang dihasilkan hanya dua di antaranya yang dapat terlacak yaitu Tjerita Nji Paina yang terbit di Betawi pada tahun 1900 dan Njonja Kong Hong Nio yang terbit di Betawi pada tahun 1900.. Tjerita Nji Paina menjadi cerita lisan populer tanpa pernah menyebut Kommer sebagai pengarangnya. Sekalipun tidak mencapai kepopuleran seperti Njai Dasima karya G Francis, Tjerita Nji Paina 260 merupakan pemuncak penulisan cerita pada masanya walaupun tidak pernah dimasukkan dalam repertoar panggung. Hal ini disebabkan cerita ini telah melancarkan kecaman tajam terhadap “kaum gula” yang waktu itu menjadi komoditas primadona di Hindia Belanda dalam mendapatkan devisa (Toer, 2003: 38-39). Tjerita si Tjonat (selanjutnya disingkat TST dalam kutipan teks) adalah cerita rekaan yang memiliki latar waktu dan latar sosial kehidupan masyarakat Banten dan Betawi tahun 1830-1855 yang terstruktur secara rasial. Tjerita si Tjonat mengisahkan perlawanan terhadap politik identitas dalam bentuk kekerasan dan huru-hara yang dilakukan seorang kepala pengacau keamanan bernama Tjonat. Pada mulanya, Tjonat melakukan kekerasan di tingkat lokal di desa Penjirepan-Banten dengan membunuh dan mencuri kerbau milik sahabatnya si Bohong dan si Gondit. Tjonat kemudian pindah ke Betawi dan menjadi jongos dari Opmeijer. Ia mulai mengusik wibawa kolonial ketika merampok harta juragannya serta membawa kabur sang gundik bernama Saipa. Kekerasan antargolongan dan agama menjadi motif kekerasan Tjonat berikutnya dengan membunuh orang-orang Cina yaitu bapa Rante dan Tio Ka Beng. Kekerasan kali ini tergolong rawan karena Tjonat berniat menikahi Lie Gouw Nio yang sudah bertunangan dengan Tio Sing Sang. Dalam setiap aksi kekerasannya, Tjonat digambarkan begitu taktis dan cerdik memainkan manuver melawan politik identitas yang berlaku pada waktu itu. Ia selalu mengenakan ‘baju santri’, dipayungi, membawa senjata, tempat sirih, dan obor. Tio Sing Sang kemudian mengenakan baju yang sama untuk menyamar tetapi berbekal surat izin dari Asisten Residen Rangkas Betoeng. Duel heroik laki-laki yang berbeda latar belakang identitas itu berakhir ketika Tjonat ditangkap dalam kepungan orang-orang kampung dan aparat keamanan Belanda. Tio Sing Sang mendapat hadiah pangkat Letnan sementara Tjonat dihukum gantung. Kekerasan antar gender menjadi motif berikutnya dengan melakukan petualangan pribadinya dengan perempuan yang berada pada titik rawan yaitu nyai Saipa dan Lie Gouw Nio. Kedua perempuan ini menjadi incaran Tjonat disamping kecantikannya juga posisi mereka yang merepresentasikan kekuasaan dominan. Saipa merupakan nyai dari Opmeijer, sang majikan sedangkan Lie Gouw Nio adalah perempuan yang berbeda golongan, kelas dan agama. Tjonat nampaknya tidak tertarik pada perempuan biasa yang berada pada posisi yang “aman”. Ambisi Tjonat untuk mendapatkan Lie Gouw Nio bukan lagi bermotifkan alasan ekonomi atau asmara semata tetapi lebih pada keinginan untuk melanggar dan mengacaukan batasan antargolongan yang menjadi dasar dari penerapan politik identitas. Pernyataan Tjonat kepada Basman secara tepat dapat mewakili ambisinya. Basman, sekarang akoe soedah niat tiada maoe merampok lagi, aken tetapi satoe hal jang soedah lama belon djoega bisa kedjadian. Kau taoe Basman, akoe ingin sekali mendapet nona Lie Gouw Nio. Kau denger! Akoe ingin dapet, mati atawa hidoep, ia mesti djatoeh ketangankoe (TsT, 247). Kutipan di atas menunjukkan bahwa Tjonat terlihat mempermainkan sistem dan aturan kolonial yang melarang terjadinya integrasi antar golongan. Hal yang sama dilakukan Tjonat kepada Saipa yang merupakan gundik Opmeijer. Status sosial dan ekonomi sebagai nyai bagi masyarakat Banten yang menjadi latar dalam latar cerita ini lebih tinggi daripada perempuan kampung yang lain. Namun, hubungan tanpa ikatan perkawinan yang resmi seringkali membuat perempuan pribumi merasa tidak ‘nyaman’ dengan status sebagai nyai. Tjonat memanfaatkan dilema psikologis dan sosiologis Saipa dengan menjanjikan kehidupan yang normal sebagai suami-istri sebagaiamana penduduk pribumi yang lain. 261 Apabila kita sampe di kampoengmoe akoe aken beli beberapa ekor kerbo dan bebrapa petak sawah. Sasoedah itoe akoe lanatas kawin padamoe…(TsT, 211). Janji Tjonat berhasil dan Saipa secara aktif ikut terlibat dalam proses pelarian dan perampokan harta Opmeijer. Bagi Saipa, menjadi istri Tjonat berarti melepaskan statusnya sebagai gundik dan sejajar dengan perempuan pribumi yang lain. Dengan demikian, kekerasan yang dilakukan Tjonat berhasil karena kecerdikannya menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk melawan kekuasaan yang mengungkungnya. Sementara itu, praktik penyaian dalam Tjerita Nji Paina bermula ketika Briot terpesona pada kecantikan Paina. Masyarakat Poerwo yang menjadi latar dari kisah ini digambarkan sebagai masyarakat yang terbuka. Hal ini terlihat dari pertemuan pertama Briot dan Paina di sebuah jalan sawah. Longgarnya batasan ruang antargender dimanfaatkan Briot untuk mencari perempuan di sekitar areal pabrik. Pertemuan pertamanya dengan Paina telah menimbulkan birahi. Briot memanfaatkan posisinya dengan memeras Niti ketika uang kas pabrik hilang f 25. Briot mengancam Niti dengan hukuman Krakal (hukuman kerja paksa membuat atau memperbaiki jalanan) atau menukarnya dengan Paina. Kalo kaoe soeka Nji Paina djadji njai koe, nistjaja tiada nanti terdjadi soeatoe apa atas dirimoe dan semoea oeang itoe kau tiada oesah bajar kombali (TNP, 388). Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana praktik pernyaian muncul karena beberapa faktor. Praktik pernyaian tidak hanya terjadi karena tuntutan ekonomi sebagaimana yang sering terjadi tetapi juga karena proses pemaksaan oleh penguasa terhadap penduduk jajahannya dengan dalih menyelamatkan jabatan dan status sebagai “priyayi”. Seorang nyai tidak selalu berasal dari babu tetapi juga berasal dari kalangan menengah atau priyayi seperti Paina. Teks di atas juga menunjukkan bahwa Briot tidak hanya melakukan intimidasi terhadap Niti tetapi juga kepada anggota keluarganya yang lain. Perbuatan ini merupakan korupsi jabatan dengan memanfaatkan sisi seksualitas perempuan di negara koloni. Terlihat bagaimana seksualitas tidak dapat dilepaskan dari kekuasaan. Tubuh Paina diperlakukan sebagai komoditas, sebagai komoditas yang harus ditukar dengan jabatan ayahnya. Kolonialisme sebagaimana dikemukakan Ania Loomba (2003: 197) memperlakukan tubuh-tubuh perempuan pribumi sinonim dengan tanah yang harus ditaklukkan. Penaklukkan tidak hanya sebatas sumber daya alamnya tetapi juga tubuhtubuh perempuan di dalamnya. Tubuh-tubuh perempuan menjadi komoditas yang dipertukarkan. Maskulinitas dan kolonialisasi berpadu di sini yang terefleksikan dari keinginan laki-laki kolonial menaklukkan tubuh perempuan pribumi. Karakter maskulinitas kolonialisasi menurut Elsbeth Locher-Scholten (1992: 265) juga terlihat dari bahasa. Kata Colony- dengan suffix feminin berakhiran y- merefleksikan bahwa negara koloni ibarat seorang perempuan yang harus ditaklukkan seksualitasnya. Maka, seringkali posisi perempuan dalam masyarakat terjajah berada pada ketertindasan ganda. Sebagai seorang perempuan di hadapan laki-laki dan sebagai seorang pribumi di hadapan penjajahnya. Perlawanan Terhadap Praktik Pernyaian Tubuh Perempuan dan Alam Tropis Berbeda dengan kebanyakan cerita tentang nyai yang lemah dan tidak berdaya, tokoh Paina dalam Tjerita Nji Paina adalah sosok perempuan tangguh. Sikap Paina pada pertemuan pertama dengan Briot di tepi jalan menunjukkan bahwa ia adalah perempuan 262 yang dapat ‘menjaga jarak’ pada seorang kulit putih yang juga atasan ayahnya. Keteguhan Paina sebagai perempuan bermartabat terlihat ketika sang ayah menyampaikan keinginan Briot padanya. Apa? djadi njainja tjeleng itoe?” Tiada sekali-kali. Bebrapa orang melamar padakoe, tetapi koe soedah tampik dan sekarang koe hendak didjadiken boedaknja si tjeleng alas itoe (TNP, 389). Jika Niti digambarkan tidak berdaya di hadapan Briot, Paina berani menyebut Briot sebagai “celeng alas”. Celeng adalah babi hutan yang liar. (KBBI, 203). Suatu sikap radikal dari seorang perempuan desa seperti Paina. Walaupun akhirnya menerima tawaran Briot, Paina telah mempersiapkan strategi perlawanan yang taktis. Ia mendatangi dan menciumi anak-anak yang terserang wabah cacar. Tubuh Paina tertular wabah mematikan itu dan empat hari kemudian Briot tewas tertular wabah yang sama. Bagian ini memperlihatkan bagaimana Briot dan Paina memiliki apresiasi yang berbeda tentang tubuh. Tubuh, dengan cara yang berbeda dimaknai berdasarkan kepentingan dan strategi tertentu. Tubuh menjadi arena pertarungan kuasa, menjadi medium di mana kekuasaan saling menegosiasi. Bagi Briot, tubuh dan kecantikan Paina menjadi politics of blame (politik kambing hitam) yang membangkitkan gairah dan birahi seksual laki-laki. Kecantikan dan tubuh Paina menjadi alasan untuk menguasai dan memasukkannya dalam konstruksi kolonial sebagai nyai. Sementara itu, bagi Paina tubuh dan kecantikannya justru menjadi alat untuk melawan kekuasaan Briot. Alam Jawa Timur yang tropis dan sanitasi kesehatan negara jajahan yang buruk menjadi musuh mematikan yang tidak pernah dibayangkan oleh Briot. Sebagai negara yang sedang terjajah, endemi cacar belum mendapatkan obatnya. Kommer melukiskan bagaimana alam tropis yang ‘liar’ tidak dapat diprediksi dan tidak memandang kelas sosial dan status seseorang. Bahoea angin iang membawa penjakit, terlebih keras datengnja dari pada jang soedahsoedah. Angin itoe datengnja dari pegoenoengan, seperti membawa satoe hawa ratjoen jang amat panasnja dan maoe boenoeh sekalian manoesia, iang soedah sakit parah. Beberapa banjak orang di desa di langgar penjakit, iang amat berbahaja itoe (TNP, 390). Jika tubuh Paina mampu bertahan dengan wabah cacar itu, tubuh Briot hanya mampu bertahan hingga empat hari. Teks Tjerita Nji Paina secara simbolis merefleksikan bahwa keberadaan Briot di sebuah negara tropis adalah ‘salah tempat”. Alam tropis bukan tempat yang cocok bagi tubuhnya. Ia dikalahkan alam tropis yang tidak pernah dapat dinikmatinya. Perlawanan yang dilakukan Paina terhadap praktik penyaian menunjukkan perjuangan seorang perempuan pribumi terhadap konstruksi dan hegemoni kolonial yang akan dilekatkan padanya. Ia menolak menjadi nyai karena menjadi nyai sinonim dengan menjadi ‘boedak satoe tjeleng’. Keberhasilan Paina melawan Briot sekaligus merefleksikan penolakannya pada konstruksi whiteness is rightness. Jika Niti terlihat cenderung menerima konstruksi itu, Paina sejak awal dengan tegas menolak hegemoni tersebut. Kesadaran anti-kolonial Paina terlihat dengan keberaniannya menyebut Briot sebagai ‘celeng alas” yang tidak manusiawi Dengan demikian, teks Tjerita Nji Paina menjawab keraguan Gayatri Spivak yang mempertanyakan kemampuan perempuan “subaltern/terjajah” berbicara. Spivak meragukan kemampuan perempuan subaltern karena suara mereka dibungkam baik oleh patriarki maupun kolonialisme (1994: 66). Paina membuktikan bahwa seorang perempuan pribumi memiliki cara tersendiri dalam melawan kekuasaan kolonial. Ia menolak menjadi nyai, menjadi obyek kolonial yang menghilangkan identitas dan 263 subyektifitasnya serta merendahkan martabatnya. Paina mengkonstruksi dirinya sebagai subyek yang berbicara (the speaking subyek) yang melawan konstruksi kolonial yang patriarkhal. Ia rela kehilangan kecantikan demi menyelamatkan jabatan sang ayah dan juga masa depannya sebagai perempuan merdeka Tjerita Nji Paina juga melakukan pembalikan stereotip terhadap orang-orang pribumi. Jika dalam konstruksi wacana kolonial, native (pribumi dan kulit berwarna lainnya) selalu di stereotype kan sebagai savage, nature (liar, tidak berbudaya) sedangkan kulit putih sebagai culture (berbudaya). Teks Tjerita Nji Paina justru menempatkan tokoh-tokoh kulit putih sebagai nature dan tokoh-tokoh native sebagai culture. Tokoh Briot dan administratur perkebunan menjadi tokoh antagonis yang tidak berbudaya dan tidak bermoral. Kesimpulan Tokoh Paina dan Saipa mencoba melakukan pembentukan diri kembali (selfrefashioning) dan penamaan diri (self-naming) untuk menghilangkan konstruksi whiteness is rightness. Tokoh Paina menolak menjadi nyai-menjadi ‘boedak satoe tjeleng’ dengan menjadikan tubuhnya tertular dengan virus cacar sehingga ia harus kehilangan kecantikannya. Persamaan dari posisi tokoh-tokoh utama adalah upaya mereka untuk melewati batas dan aturan kolonial. Tokoh Paina melawan aturan Briot yang ingin menjadikannya sebagai nyai, sementara tokoh Saipa menolak menjadi nyai sekalipun dijanjikan materi yang berlimpah. Memiliki suami muslim sesama orang pribumi dan menjadi istri yang sah secara agama dan sosial lebih menarik bagi Saipa. Kehidupan tokoh-tokoh perempuan memiliki posisi yang berbeda dalam kedua teks. Tokoh Paina dalam Tjerita Nji Paina berhasil menjawab keraguan Gayatri Spivak tentang kemampuan perempuan “subaltern/terjajah” berbicara. Ia menjadi subyek yang mampu ‘berbicara’ (the speaking subject) yang meruntuhkan kekuasaan Briot yang patriarkhis. Sedangkan tokoh Saipa dalam Tjerita si Tjonat menjadi korban dari “transaksi” kekuasaan tokoh-tokoh laki-laki di sekitarnya. Saipa menjadi komoditas yang dipertukarkan ayahnya (Kaenoen) dengan para pedagang sebelum akhirnya mati di tangan mantan suaminya sendiri. Representasi kehidupan para nyai dihadirkan pengarang dengan menarik dalam kedua teks. Melalui kedua teks, pembaca dapat mengetahui proses seorang perempuan pribumi menjadi nyai yang terjadi melalui transaksi perdagangan perempuan seperti Saipa dalam Tjerita si Tjonat dan juga melalui paksaan kepada para ‘priyayi’ untuk mengamankan jabatan dan pekerjaan mereka sebagaimana Paina dalam Tjerita Nji Paina. Reaksi masyarakat yang menjadi latar kedua teks menunjukkan perbedaan terhadap praktik pernyaian. Masyarakat desa Poerwo di Jawa Timur pada akhir abad ke19 yang menjadi latar teks Tjerita melakukan menegosiasi dan bereaksi keras terhadap praktik pergundikan. Hal ini terlihat ketika tokoh Niti Atmodjo yang terlebih dahulu merundingkan dengan keluarga besarnya. Reaksi radikal justru diperlihatkan anak-anak kampung yang menyebut Briot sebagai “celeng alas”. Keberanian anak-anak kampung ini dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, liberalisasi ekonomi memungkinkan frekuensi pergantian investor menjadi semakin tinggi sehingga penduduk pribumi terutama di areal pabrik gula menjadi terbiasa dengan kehadiran orang-orang kulit putih. Kedua, mentalitas masyarakat sekitar pabrik gula sebagai masyarakat transisi (frontier society) yang sedang mengadaptasi nilai-nilai modern memberi mereka peluang untuk berada pada posisi yang lebih egaliter dan terbuka. Longgarnya batasan space antargender antara Briot dan Paina yang bertemu secara leluasa di jalanan pematang 264 sawah menunjukkan hal ini. Demikian pula, status sebagai nyai juga dinegosiasi oleh tokoh Saipa dalam Tjerita si Tjonat. Saipa lebih tertarik pada janji Tjonat untuk menikahi dan hidup ‘normal’ sebagaimana perempuan pribumi yang lain daripada hidup dalam kelimpahan materi dan cinta Opmeijer. Status legal perkawinan, agama dan kedekatan sosial menjadi motif seorang perempuan pribumi untuk menolak menjadi nyai. Latar belakang pengarang yang memiliki identitas ras berbeda juga menarik untuk dianalisa. Kommer sebagai indo-Belanda justru memperlihatkan keberpihakannya kepada perlawanan menentang kostruksi kolonial. Sedangkan Pangemanann sebagai pribumi justru ambivalen dalam menyikapi kolonialisme. Pendidikan yang ditempuhnya di sekolah Belanda mungkin menjadi salah satu sebab ideologis dari ambivalensi tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bagaimana kolonialisme sebagai sebuah ideologi adalah sistem yang aktif, hidup serta berkelanjutan dan terjalin dalam interaksi sosial melalui berbagai institusi dalam masyarakat itu sendiri. Karya sastra dalam hal ini menjadi bagian dari penyebaran sebuah ideologi melalui fungsi mimetiknya. Tahun terbit kedua teks yang berbeda tidak secara signifikan mempengaruhi ideologi teks. Tjerita Nji Paina dan Tjerita si Tjonat yang terbit pada tahun yang sama tahun 1900 memiliki persepektif yang agak berbeda dalam menyikapinya. Perlawanan terhadap penguasa memang seringkali dibayangi oleh sikap yang ambivalen dan kontradiktif. Kedua teks merepresentasikan tahapan perjuangan dengan segala bentuk grandeur et miseur (keagungan dan penderitaan) manusia Indonesia sebagai masyarakat terjajah. Dalam kaitannya dengan sejarah perjuangan Indonesia merebut kemerdekaan, kedua teks secara simbolis merepresentasikan bahwa kemerdekaan itu bukan hanya hasil kerja keras dan pengorbanan para elit politik dan militer saja. Kedua teks –dengan kadar yang berbeda- memperlihatkan bahwa proses dekolonialisasi juga merupakan hasil jerih payah dan perjuangan orang-orang marjinal seperti para bandit, perempuan yang selama ini sering terabaikan dalam historiografi sejarah Indonesia. Representasi perlawanan para the other ini tidak hanya ikut menentukan jalannya perjuangan melawan konstruksi kolonial tetapi sekaligus merefleksikan watak dan tahapan perjuangan itu sendiri. Daftar Rujukan Ashcrof, Bill, Gareth Tiffins. The Empire Writes Back: Theory and Practice in PostColonial Literature. London: Routledge, 1989. Bhaba, Homi K. The Location of Culture. London: Routledge, 1994. Blusse, Leonard. Persekutuan Aneh : Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC. Jogjakarta: LKIS. 2004. Budianta, Melani. “Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial” dalam Teori dan Kritik Sastra. Bahan Pelatihan. PPG Bahasa. Lembaga Penelitian UI, 2000 hal 57-66. Christanty, Linda. Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda. Dalam Jurnal Prisma No 10/XXIII, Oktober 1994 hal 22-30. Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984. _________________. Sejarah Pergerakan Nasioanal : Jilid 2. Jakarta: Gramedia, 1999. 265 Kommer, H.”Tjerita Nji Paina: Satoe Anak Gadis Jang Amat Satia. Satoe Tjerita Amat Indahnja, Jang Belon Sebrapa lama Soedah Terdjadi di Djawa Wetan” dalam Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia. Jakarta: Lentera Dipantara, 2003 Loomba, Ania. Kolonialisme/Poskolonialisme. Jogjakarta: LKIS.2003. Pangemanann, F.D.J. “Tjerita Si Tjonat : Satoe Kepala Penjamoen di Djaman Dahoeloe Kala” dalam Tempo Doeloe : Antologi Sastra Pra-Indonesia. Jakarta: Lentera Dipantara, 2003. Scholten, Elsbeth Locher. “The Nyai in Colonial Deli” dalam Sita Van Bammelen (ed) Women and Mediation in Indonesia. Leiden: KITLV Press, 1992 hal 266277. Soekiman, Djoko. Kebudayaan Indis: dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII-Medio Abad XX). Jogjakarta: Bentang. 2000. Spivak, Gayatri Chakravorty. “Can The Subaltern Speak?” dalam Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader. Patrick William and Laura Chrisman (eds) New York: Columbia University Press, 1994, hal 66-111. Sumardjo, Jakob. Kesusatraan Melayu Rendah Masa Awal. Jogjakarta: Galang, 2004. Taylor, Jean Gelman. The Social World of Batavia: European and Eurasian in Dutch Asia. Madison: Wisconsin University Press, 1983. _________________. “Women as Mediator in VOC Batavia” dalam Sita Van Bammelen et al (ed) Women and Mediation in Indonesia. Leiden: KITLV Press, 1992 hal 249-261. Toer, Pramoedya Ananta. “Pengantar” dalam Tempo Doeloe : Antologi Sastra PraIndonesia. Jakarta: Lentera Dipantara, 2003. ________________. Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra, 1985. Wahyudi, Ibnu. The Nyai in Njai Dasima, Nyai Ratna, and Njai Alimah: A Reflection of Indonesian Women’s Lives as Concubines in Indonesia’s Colonial Period. Unpublished Thesis. Monash University. 1995. 266 SASTRA, DAYA KRITIS, DAN MORAL BANGSA: MENDAYAGUNAKAN SASTRA SEBAGAI SENI DAN PELAJARAN Manneke Budiman ( FIB Universitas Indonesia) Pengantar Tak lama setelah terbitnya novel Saman karya Ayu Utami, sambutan gempita yang diberikan publik atas keberanian novel tersebut dalam menyuarakan kritik sosial terhadap Orde Baru berubah haluan menjadi kecurigaan terhadap orisinalitas novel tersebut. Suara-suara miring yang meragukan kemampuan penulisnya atau mempertanyakan siapa sesungguhnya penulis ‘asli’ di balik layar pun berseliweran dengan liar. Namun, yang tak kalah seriusnya adalah gugatan atas cara penulis mendeskripsikan seksualitas para tokoh novelnya. Karya yang pada awalnya dihujani puja dan puji itu dengan cepat dibanjiri kritik moral yang keras dan tajam. Apalagi ketika bermunculan beberapa perempuan penulis lain, seperti Dinar Rahayu (Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch), Herlinatiens (Garis Tepi Seorang Lesbian), dan Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet!), yang juga menulis dengan keberanian yang kurang lebih sama. Kritik yang mereka terima makin menjadi-jadi. Para laki-laki kritikus sastra tak kurang heboh. Sebuah istilah yang bermakna merendahkan dikenakan kepada para perempuan penulis “sastra selangkangan” atau “fiksi kelamin” ini (meminjam julukan yang diberikan oleh penyair Taufiq Ismail), yaitu sastrawangi. Istilah yang pertama kali digelontorkan oleh Bre Redana ini lebih merujuk pada paras, kemolekan tubuh, dandanan, serta gaya hidup dan ruang pribadi para penulis itu daripada substansi karya-karya mereka. Sebagian kritikus yang paling tajam kecamannya justru adalah sesama perempuan penulis, seperti Medy Loekito dan Helvy Tiana Rosa, yang menyebut karya-karya sejawat mereka sebagai “vulgar” dan justru merendahkan martabat perempuan. Begitu derasnya arus kritik itu sampai-sampai semenjak saat itu kita tidak lagi menjumpai karya-karya Herlinatiens ataupun Dinar Rahayu yang lainnya. Penulis yang tak gentar dengan serangan publik dan tetap konsisten menulis tentang tubuh dan seksualitas perempuan adalah Djenar Maesa Ayu, yang lalu juga menerbitkan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) dan Nayla. Ayu Utami juga tetap produktif, meski sepertinya kadar seksualitas dalam karya-karyanya yang muncul kemudian tidak se-‘vulgar’ Saman. Penghakiman moral oleh khalayak terhadap penulis dan karyanya ini bukan yang pertama kali terjadi dalam sejarah kritik sastra. Gustave Flaubert, penulis novel Prancis terkenal, Madame Bovary, dituding menyebarkan kemesuman oleh jaksa negara pada 1856, dan bahkan sampai diajukan ke pengadilan pada tahun berikutnya, karena tokoh novelnya ia lukiskan sebagai seorang perempuan haus kemewahan dan kemesraan yang lari meninggalkan suaminya demi memenuhi impiannya di kota besar. Padahal, sama sekali tidak ada ketelanjangan, eksplorasi bagian-bagian vital tubuh, ataupun adegan percintaan yang eksplisit dalam novel tersebut. Seiring waktu, Flaubert diakui dunia sebagai novelis realis terdepan yang mengilhami para penulis realis lainnya di Eropa. Penulis lain yang menjadi korban penghakiman moral oleh khalayaknya adalah novelis Inggris D.H. Lawrence. Novelnya berjudul Lady Chatterley’s Lover yang sangat seksual dan terbit pada 1928 dinyatakan sebagai bacaan terlarang di Amerika Serikat 267 hingga 1959, sementara di Inggris sendiri larangan baru dicabut setahun kemudian, yaitu pada 1960. Novel ini bercerita tentang seorang perempuan bangsawan Inggris yang berselingkuh dengan tukang kebunnya yang berasal dari kelas pekerja. Penerbitan novel itu pada 1928 pun harus dilakukan di Italia karena penerbit-penerbit Inggris menolak untuk menerbitkannya atas dasar pertimbangan moral. Sebelumnya, novelnya yang lain, The Rainbow, yang terbit pada 1915, juga diberangus karena dinilai terlalu seksual. Kini, Lawrence termasuk dalam jajaran penulis terbesar Inggris yang karyakaryanya dikanonisasikan. Pada 1968, dunia sastra di Indonesia juga digemparkan oleh terbitnya sebuah cerpen dalam majalah Sastra edisi 8 Agustus berjudul “Langit Makin Mendung”, karya penulis bernama samara Ki Panji Kusmin. Kantor majalah Sastra diserbu dan dirusak, sementara beratus-ratus kopi majalah disita dari toko-toko. Sejumlah penulis, seperti Umar Kayam, Taufiq Ismail, dan Trisno Sumardjo melakukan aksi solidaritas dengan majalah Sastra atas pembredelan majalah tersebut. Peristiwa ini sampai menyebabkan redaktur majalah Sastra, H.B. Jassin, dihadapkan ke pengadilan karena melindungi penulis cerpen dengan menolak mengungkapkan identitas aslinya. Apa pasal? Cerpen itu dianggap menghina Islam sebab menampilkan sosok Nabi Muhammad dan Tuhan sebagai tokoh dalam cerita dengan cara yang terlalu harfiah. Melihat tiga kasus ini, rupanya sastra disikapi cukup serius oleh masyarakat dan sama sekali tidak dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting atau sekunder dalam hidup mereka. Selanjutnya, sastra dipandang penting sebab tampaknya ada pemahaman umum bahwa sastra adalah medium untuk menyampaikan hal-hal yang baik, dan ‘yang baik’ ini ternyata tidak selalu harus berasosiasi dengan yang nyata atau yang benar. Tak kalah pentingnya, masyarakat akan segera bereaksi jika melihat bahwa sastra tidak memenuhi harapan mereka untuk memenuhi fungsi sebagai medium kebaikan itu. Dengan demikian, sastra diberi fungsi sebagai pengusung nilai-nilai ideal, dan bagi khalayaknya, fungsi ideal ini lebih utama untuk diemban oleh sastra daripada fungsi sosialnya sebagai pengungkap realitas. Namun demikian, menempatkan sastra di atas pedestal sebagai penjunjung nilainilai ideal ini bukannya tanpa risiko. Filsuf Yunani Klasik seperti Plato menuding bahwa sastra hendak merebut fungsi filsafat sebagai medium pengajaran hal-hal mulia, padahal sastra pada hakikatnya adalah tiruan atau bayangan dari kenyataan belaka, menurut Plato. Filsuf kenamaan ini bahkan menyerukan agar anak-anak muda dilarang membaca sastra, khawatir bahwa mereka akan disesatkan atau dibuat menjadi cengeng oleh sastra sehingga gagal menjadi warganegara yang patriotik. Plato sepertinya menyadari bahwa sastra memiliki potensi mengaburkan batas antara realitas dan imajinasi walaupun di matanya sastra juga tak lebih daripada sekadar imitasi inferior atas realitas. Aristoteles, filsuf Yunani kondang lainnya, melihat sastra secara lebih positif. Ia percaya bahwa sastra mampu membantu orang mengenali dirinya sendiri dan, dengan demikian, membuat mereka mampu menghindari kelemahan-kelemahan diri sendiri. Seorang penonton pementasan drama yang menyaksikan tokoh utama mengalami nasib tragis akibat sifat-sifat buruknya sendiri, seperti peragu, pencemburu, pemberang, dan seterusnya, akan keluar dari teater seusai pertunjukan sebagai penonton yang tercerahkan. Ia tidak ingin mengalami nasib buruk seperti tokoh dalam sandiwara dan, oleh karenanya, bertekad untuk tidak membuat kesalahan yang sama dengan yang dilakukan tokoh. Inilah yang oleh Aristoteles disebut dengan efek katartik. 268 Kerapkali, harapan khalayak agar sastra menjadi kendaraan pengusung nilai-nilai luhur ini berbenturan dengan kehendak penulisnya. Ada kalanya penulis ingin mengungkapkan realitas kehidupan, meskipun pahit dan buruk, kepada pembacanya untuk menggugah kesadaran mereka akan keburukan-keburukan itu. Ada kalanya pula, penulis ingin memperlihatkan bahwa, dalam kenyataannya, orang baik tidak selalu menang dalam kondisi sosial yang tidak adil, dan kebenaran tidak selalu unggul dalam melawan kebatilan yang didukung oleh kekuasaan yang besar. Namun, kadang kala, penulis tidak ingin menyampaikan apa-apa selain kejujuran, dan tidak semua orang sanggup berhadapan dengan kejujuran karena norma-norma dan tatakrama sosial tidak jarang dibuat untuk menyelimuti kejujuran itu demi mencegah terjadinya konflik. Maka, benturan antara penulis atau seniman di satu pihak dengan masyarakat di pihak lain bukanlah suatu kejadian langka. Tulisan ini bertujuan untuk mendalami tegangan-tegangan yang mungkin muncul antara berbagai kelompok yang masingmasing menghendaki sastra menjadi pembawa aspirasi mereka. Sebagian penulis menginginkan sastra menjadi penjaga akal sehat masyarakat dengan menunjukkan berbagai kepincangan dan ketimpangan; sebagian lagi menggunakan karya mereka untuk tidak hanya mengungkapkan realitas sosial yang suram tetapi juga mendorong pembacanya untuk bertindak serta melakukan sesuatu demi mengubah kondisi itu; sebagian yang lain mendambakan karyanya menjadi penuntun bagi pembacanya dalam menjalani hidup mereka secara mulia dan bermartabat. Berbagai aspirasi di pihak penulis ini bisa saja tidak sejalan dengan tuntutan khalayak pembacanya agar sastra menjadi penjaga moral masyarakat sehingga wajib mengangkat nilai-nilai sosial yang luhur. Bagaimana sastra dapat berfungsi secara sosial tanpa menjadikannya sebagai medium semata karena, bagaimanapun juga, sastra adalah produk imajinasi dan proses kreatif seorang individu dengan segala keunikannya, dan bukan kitab suci atau kitab pelajaran moral? Bagaimana penulis dapat tetap menghasilkan karya sastra yang unggul secara estetik tetapi juga menggunakan estetika tersebut untuk menjaga tatanan sosial yang baik dari ancaman pengeroposan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental ini diharapkan dapat memberikan semacam pedoman bagi penulis, guru, dan pembaca dalam menyikapi sastra dengan berbagai fungsinya. Sastra di antara daya kritis dan medium moralitas Kelompok Frankfurt, yang menelurkan banyak teori kritis tentang kebudayaan, yang beberapa tokohnya antara lain adalah Walter Benjamin dan Theodor Adorno, berpendapat bahwa cara manusia menyikapi hidupnya ditentukan oleh bangunan serta harapan kultural yang dimilikinya untuk menyaring atau mengeveluasi kehidupan. Tersirat dalam pandangan ini adalah bahwa bangunan dan harapan kultural yang secara dominan bersifat moralistik dalam suatu masyarakat mengungkapkan bahwa masyarakat tersebut justru sedang mengalami krisis moral, sehingga saringan utama atau penentu baik buruknya aspek-aspek dalam kehidupan adalah moralitas. Persepsi kita atas apa yang indah pun, akibatnya, dipengaruhi oleh pengalaman kehidupan yang dibentuk oleh moralitas itu. Jadi, yang indah adalah yang bermoral, dan moral menjadi tolok ukur utama, jika bukan satu-satunya, bagi estetika. Kelompok Frankfurt yakin bahwa kebudayaan yang berkembang baik adalah yang mampu bersikap kritis terhadap dirinya sendiri dan juga terhadap kelemahankelemahan dunia dengan cara melibatkan diri secara konkret dalam kehidupan. Ketika masyarakat menjadi bersikap tidak rasional, maka seni dan sastra harus menjadi semakin rasional. Walaupun sastra adalah sebentuk karya kreatif, sastra tidak boleh 269 hanya menciptakan objek-objek melainkan perlu bersikap kritis terhadap segala sesuatu. Dengan cara itulah sastra bisa berperan mengoreksi kelemahan-kelemahan masyarakatnya. Lebih lanjut, para pemikir Frankfurt itu juga menyatakan bahwa sastra tidak cukup hanya difungsikan untuk menemukan dan mengukuhkan keindahan yang telah ada melainkan perlu menciptakan momen-momen dan terobosan-terobosan untuk mengatasi kemandulan dan status quo. Herbert Marcuse, salah seorang tokoh dalam kelompok Frankfurt, mengemukakan bahwa sastra berperan membangun fantasi dan membebaskan kehendak serta hasrat yang terepresi. Bagi Marcuse, kesadaran manusia telah terepresi. Moralitas bisa dilihat sebagai salah satu bentuk kekuatan represif itu. Oleh sebab itu, sastra harus bersikap kritis terhadap baik moralitas maupun penjara-penjara kesadaran lainnya. Tentu saja yang menjadi ancaman utama kebudayaan pada saat itu, yakni pada masa menjelang Perang Dunia II dan selama masa berlangsungnya perang, adalah fasisme. Fasisme telah menyebabkan terjadinya estetisasi atas politik, dan keindahan digunakan untuk menyembunyikan serta menjustifikasi kekerasan. Moralitas kaum fasis adalah yang menganggap segala sesuatu yang buruk harus dibasmi atau dimusnahkan karena tidak dapat ditolerir oleh estetika. Kelompok Frankfurt mendapatkan banyak pengaruh dari pemikiran Marx. Dari Marx mereka belajar bahwa dari seni dan sastralah pasang surut suatu kebudayaan dapat diikuti. Sastra tetap dapat menjadi suatu kekuatan yang produktif, walaupun kebudayaan yang memayunginya sedang mengalami erosi. Proses kebangkitan dan kehancuran kebudayaan Yunani Klasik, misalnya, dapat ditelusuri melalui keseniannya. Drama Oedipus Rex karya Sophocles, misalnya, memperlihatkan bagaimana tragedi terjadi karena Oedipus gagal melihat kesalahannya sendiri sehingga, ketika pada akhirnya ia menyadari kesalahan itu, ia membutakan matanya sendiri sebagai hukuman bagi kegagalan untuk melihat. Sesudah ia melepaskan tahtanya, anak-anaknya saling berebut kekuasaan dan saling bunuh. Kerajaannya yang mula-mula jaya mengalami keruntuhan. Inilah contoh ketika sastra memperlihatkan apa yang sedang terjadi dalam suatu kebudayaan. Drama karya Sophocles itu tetap menjadi sebuah mahakarya, walaupun kebudayaan Yunani Klasik yang melahirkannya sedang mengalami kemerosotan. Ini bisa terjadi sebab sastra memiliki daya kritis untuk mendiagnosis penyakit yang sedang diderita suatu masyarakat meski jarang sekali dapat menyembuhkannya sekaligus. Dengan demikian, sangat mungkin sebuah karya sastra menampilkan gambaran realitas yang buruk tentang kemerosotan akhlak, ketidakadilan dan penindasan, praktikpraktik korup melalui alur cerita dan tokoh-tokohnya. Bahkan, boleh jadi tokoh-tokoh bobrok pada akhir cerita justru dilukiskan berhasil meraih tujuan jahat mereka, sementara tokoh-tokoh baik tersingkir, kalah, atau mati. Namun, ini tidak serta merat berarti penulisnya sedang merayakan kemenangan kebatilan atas kebaikan ataupun mengagung-agungkan kebejatan. Di dalam banyak karya realis dan naturalis, ataupun karya-karya yang mengandung kritik sosial, realitas yang buruk rupa disajikan dengan serealistis mungkin, dan bahkan kadang malah didramatisasi sehingga tampak ekstrim. Tujuannya justru menciptakan dampak yang kuat pada khalayaknya untuk membuka mata mereka akan berbagai kondisi dan praktik sosial yang nyata terjadi dalam masyarakat dan perlu diakhiri. Karya-karya yang mengandung unsur seksual atau penggambaran seksualitas perlu ditempatkan di dalam konteks sosial yang melahirkannya agar kandungan seksual dalam cerita itu dapat ditafsirkan secara kontekstual pula dan tidak cepat-cepat dihakimi dari perspektif moral saja. Pendekatan moralistik atas karya tidak keliru, tetapi cara menerapkan pendekatan itu yang perlu disertai kepekaan terhadap konteks atau latar 270 yang lebih luas yang membingkai sebuah karya. Misalnya, mengapa elemen seksual sepertinya diumbar dengan bebas dalam sebuah karya? Sebelum kita sampai pada kesimpulan bahwa penulisnya tidak bermoral atau bahwa karya itu adalah sebuah bacaan murahan yang harus ditarik dari peredaran, kita perlu memahami secara komprehensif unsur-unsur lain yang turut membentuk karya tersebut dan kompleksitas yang dihasilkan oleh perpaduan berbagai unsur itu. Tak kalah penting adalah menempatkan karya dalam konteks ruang dan waktu yang spesifik. Novel-novel Motinggo Busye yang dengan mudah bisa dikategorikan sebagai ‘novel erotis’ tidak pernah mengalami pemberangusan selama periode Orde Baru, padahal rezim ini dikenal sebagai tukang beredel. Penggemarnya pun bisa diasumsikan cukup banyak karena, jika tidak, tak aka nada penerbit yang bersedia menerbitkan novel-novel itu. Maka, dalam membaca novel-novel dengan kaandungan cerita dewasa ini pertanyaan pertama yang perlu diajukan bukanlah berkenaan dengan kadar moral penulisnya, melainkan mengapa jenis novel seperti ini dapat beredar bebas dalam era Orde Baru yang kerap dicap represif itu? Pada titik ini, upaya apresiasi dan pemahaman sastra dapat membawa pembaca masuk ke penggalian lebih dalam yang tidak hanya melibatkan teks tetapi juga konteks atau lingkungan sosial yang melingkupinya. Salah satu kemungkinan pembacaan kontekstual terhadap novel-novel Motinggo adalah bahwa fenomena ini lahir justru sebagai akibat dari atmosfir represif Orde Baru. Kontrol negara yang kuat dan sistematik, serta menuntut kepatuhan total warganegaranya, tidak banyak memberikan ruang gerak bagi ekspresi pendapat yang kritis. Ketidakpuasan masyarakat terhadap negara tidak bisa diungkapkan dengan bebas. Oleh karenanya, negara membutuhkan adanya suatu saluran pelampiasan rasa frustrasi warga yang tidak membahayakan program-program politik dan ekonominya. Kehadiran novel-novel eskapis yang menawarkan pelarian dan kenikmatan banal seperti novelnovel Motinggo secara tidak langsung justru membantu negara. Pada kurun waktu yang kurang lebih sama, kita juga menyaksikan bermunculannya filem-filem bioskop yang memadukan unsur komedi atau horor dengan erotika. Filem-filem ini dari segi artistik tidak diperhitungkan secara serius tetapi mampu menyedot banyak penonton dan senantiasa laku keras. Pada era pasca-Orde Baru, karya-karya sastra dengan kandungan seksual yang ditulis laki-laki berkurang dan, sebagai gantinya, dihasilkan banyak karya oleh perempuan yang melakukan penjelajahan atas seksualitas dan tubuh dengan cara yang bahkan dinilai lebih berani daripada novel-novel Motinggo Busye. Para perempuan pengarang generasi pasca-Orde Baru tidak sungkan untuk menggunakan kosakata kelamin secara tersurat dan tanpa penghalusan makna. Bila Motinggo menggunakan teknik penceritaan yang mengundang pembacanya untuk turut berimajinasi secara bebas, maka karya-karya perempuan penulis yang mengandung unsur seksual pada masa sesudah berakhirnya kekuasaan Orde Baru hampir-hampir tidak menyisakan ruang bagi imajinasi karena seksualitas digambarkan secara grafis dan rinci. Ini adalah sebuah cuplikan dari novel Motinggo berjudul Kutemui Dia, yang terbit pada awal 1970an: Sepasang manusia sedang dalam kenikmatan, yang lelaki sedang memangku yang gadis di atas sebuah kursi, yang membelakangi jendela. Keduanya tak tahu bahwa aku melihat mereka. Keduanya begitu asyik dalam terkaman-terkaman yang saling bertubi-tubi. Tris menyerang pada bagian leher gadis itu, kemudian mendesaknya pada sebuah lipatan kaki yang menggerumul, seakan-akan gadis itu terjepit… 271 Untuk ukuran moralitas 1970-an, semestinya penggambaran seperti ini sudah tergolong ekstrim dan menedekati penggambaran adegan-adegan seksual dalam terbitan-terbitan ‘stensilan’, namun Motinggo sama sekali tidak menggunakan kata-kata tersurat yang merujuk pada alat kelamin. Bandingkan dengan cuplikan dari karya Djenar Maesa Ayu berjudul Nayla, yang melukiskan homoseksualitas: Tapi Juli mempunyai karisma. Banyak tamu perempuan tergila-gila padanya. Yang lakilaki pun tak jarang ingin menaklukkannya. Pasti enak meniduri perawan, pikir mereka. Padahal sebagai sahabatnya, saya tahu Juli sudah tidak perawan. Semenjak remaja ia suka memasukkan benda-benda ke dalam vaginanya sambil membayangkan perempuan yang ia idamkan. Sekarang pun dengan kekasihnya yang seorang model mereka sering bercinta dengan cara saling memasuki vagina satu sama lain dengan jari mereka. Penggambaran secara tersurat sembari menyebutkan alat kelamin tanpa perantaraan metafor ataupun teknik ellipsis ini memang dengan mudah bisa dinilai vulgar, tetapi jika dibaca dalam konteks pembebasan pikiran dari kontrol negara yang terjadi setelah usainya Orde Baru, maka ada banyak hal penting tentang masa itu yang bisa diungkapkan jika kita menahan diri untuk tidak terburu-buru melakukan penghakiman moral atas Djenar. Dalam perspektif zaman, perempuan memang merupakan elemen warga yang paling mendapatkan pengawasan ketat dari negara. Perempuan yang aktif, politis, dan terlibat dalam gerakan sosial bukanlah sosok perempuan yang dikehendaki oleh negara Orde Baru. Citra perempuan seperti ini dibuat menjadi negatif melalui asosiasi dengan Gerwani, organisasi perempuan sayap PKI, yang dicitrakan kejam dan haus seks. Sementara itu, negara sendiri aktif membangun citra perempuan yang berbeda, yakni sebagai istri, ibu rumah tangga, dan ibu bangsa. Perempuan yang terdomestikasi, apolitis dan aseksual, adalah yang dikehendaki oleh Orde Baru sebagai sosok ideal. Negara mempromosikan citra ini melalui organisasi dan gerakan seperti Dharma Wanita dan PKK. Itulah sebabnya dalam banyak karya perempuan penulis masa Orde Baru, seperti Nh. Dini, Marga T., Mira W., Titi said, La Rose, Ike Supomo, dan Marianne Katoppo, kita selalu disuguhi cerita-cerita dengan latar dan situasi domestik: kehidupan perkawinan, roman percintaan, kesepian, dan isu-isu keluarga. Politik jarang menghiasi karya-karya perempuan masa itu, apalagi paparan tentang seksualitas dan tubuh perempuan secara tersurat. Karya-karya bertemakan domestisitas ini pun secara tak langsung turut mendukung pengukuhan citra perempuan sebagai ibu dan istri sebagai bagian dari ideologi gender Orde Baru. Karya-karya ini juga digemari pembaca karena, seperti halnya novel-novel Motinggo Busye, menawarkan eskapisme atau pelarian dari realitas kehidupan nyata yang sangat mengungkung perempuan. Ledakan karya perempuan yang berkutat dengan tubuh dan seksualitas, yang dinilai vulgar oleh sebagian pengamat sastra, jelas tidak sama konteks historisnya dengan karya-karya erotica Motinggo. Keterpukauan perempuan pada tubuhnya sendiri seolah-olah merupakan ekspresi ketakjuban akan kesadaran dan pemahaman baru tentang tubuh mereka sendiri yang selama masa Orde Baru tidak memeproleh ruang untuk tumbuh. Perhatian besar pada seksulaitas itu juga bisa dibaca sebagai ungkapan kebebasan dari kungkungan ideologi gender Orde Baru, yang selama lebih dari tiga dasawarsa mengharamkan asosiasi antara perempuan dengan tubuh dan seksualitasnya sendiri dengan cara mereduksi perempuan dalam fungsi sosial gendernya sebagai sitri dan ibu rumah tangga. Kira-kira sepuluh tahun sesudah era Reformasi berlangsung, jumlah karya-karya perempuan penulis yang mengambil tema-tema seksual pun secara signifikan surut. Para penulis masa kini beralih minat pada berbagai isu sosial yang 272 sensitif, seperti kekerasan antaragama dan etnis, serta peminggiran perempuan oleh adat dan agama. Kelemahan kritik moral adalah kecenderunganya untuk memusatkan perhatian pada apa yang harfiah dan berada pada permukaan teks. Pendekatan moralistik yang baik penting untuk turut memperhitungkan faktor-faktor sosial, historis, dan bahkan politis dalam analisisnya. Perubahan nilai-nilai moral dalam suatu masyarakat pada suatu periode yang terjadi sebagai akibat dari perubahan sosial-politik yang terjadi dalam masyarakat tersebut bisa menjauhkan kritikus dari penghakiman moral yang sempit atas karya maupun penulisnya, dan kajian yang dihasilkannya pun akan bisa menyumbangkan pengetahuan yang berharga tentang perubahan sosiaal yang terjadi dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, kritik moral tidak dilakukan dengan tujuan untuk menghakimi kadar moral karya atau penulis melainkan untuk mengungkapkan perubahan nilai-nilai sosial di dalam suatu masa. Untuk itu, kajian yang dilakukan perlu melibatkan aspek-aspek di luar moral, seperti sejarah, politik, ekonomi, dan lain-lain. Dalam sejarah sastra, pergerakan sastra dari satu aliran ke aliran lain senantiasa mengikuti jiwa zaman, dan dalam pergerakan itu terungkap pula nilai-nilai serta pandangan hidup masyarakaat yang berubah. Era Romantisisme di Eropa berlangsung dari akhir abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19 dan menandai ditinggalkannya nilai-nilai keteraturan, keseimbangan, serta rasionalitas dari era sebelumnya, yaitu era Klasik. Yang menjadi titik berat karya-karya dari periode Romantik adalah individualitas, subjektivitas, irasionalitas, imajinasi, emosi, dan spontanitas. Maka itu, karya-karya Romantik kerap terkesan ‘liar’, sarat dengan luapan emosi, serta memperlihatkan pemujaan terhadap keindahan. Andaikata karya-karya ini dipaksakan untuk dinilai dengan berpatokan pada perangkat norma dari periode sebelumnya, sudah barang tentu karya-karya ini akan dipandang murahan atau bahkan ‘vulgar’. Namun, bila faktor-faktor di luar moralitas diperhitungkan, maka kita akan memperoleh pemahaman lebih mendalam tentang perubahan zaman. Di Indonesia, periode 1950-an dan awal 1960-an dari perspektif politik dianggap sebagai zaman penuh pergolakan karena tidak hanya Indonesia terimbas oleh dampak Perang Dingin di Asia Tenggara tetapi juga menghadapi berbagai gerakan separatis. Stabilitas politik pada saat itu sangat fluktuatif, dengan kabinet yang silih berganti berkali-kali. Kendati demikian, dari segi sastra dan seni Indonesia pada 1950-an dan 1960-an justru mengalami ‘zaman keemasan.’ Karya-karya lahir dari tangan penulis yang berasal dari berbagai afiliasi politik dan latar belakang ideologis dan, walaupun berbeda-beda visi, kesemuanya giat mencari bentuk sastra atau seni Indonesia yang mampu bersaing di kancah global sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Dalam berbagai karya itu, khalayak bisa menemukan benturan nilai-nilai, yang mencerminkan benturan ideologi. Penulis-penulis Lekra, Menifes Kebudayaan, LKN, serta Lesbumi saling bersaing mempromosikan mazhab masing-masing, menghasilkan dinamika dan kekayaan budaya yang tak tertandingi oleh periode manapun dalam sejarah sastra Indonesia. Sayangnya, periode keemasan ini berakhir secara tiba-tiba dengan terjadinya peristiwa 30 September 1965. Apa yang dapat kita gali dari ilustrasi-ilustrasi ini dalam kaitan dengan bagaimana cara menilai sastra? Pertama, posisi kritikus, guru, dan pengamat, sebagai agen yang memiliki rasa tanggung jawab untuk membantu pembaca memahami karya dengan lebih komprehensif serta meningkatkan kemampuan mereka dalam mengapresiasi sastra, haruslah tidak berpihak. Mereka perlu senantiasa mengasah kesadaran kritis, khususnya terhadap bias-bias pribadi mereka sendiri, agar bias-bias itu jangan sampai membuat pembacaan mereka atas karya jadi terkontaminasi. Kritik moral 273 sangat rawan terhadap intervensi bias-bias nilai pribadi ini, sehingga kritik moral perlu senantiasa diperkaya dengan pemahaman terhadap latar belakang historis, sosial dan politik. Kritikus dituntut untuk mampu menjelaskan mengapa nilai-nilai berubah dan dengan cara apa sastra merekam atau merespon perubahan itu. Kedua, ilustrasi-ilustrasi di atas juga menunjukkan bahwa setiap zaman baru memiliki penilaian kritis terhadap zaman sebelumnya. Sastra pun tak terkecuali. Karyakarya sastra yang lahir pada suatu era mengandung evaluasi kritis terhadap persoalanpersoalan zaman sebelumnya, di samping mempromosikan nilai-nilai alternatif sebagai solusi bagi persoalan itu atau alternatif bagi nilai-nilai lama. Karya-karya perempuan yang terpusat pada tubuh dan seksualitas yang marak pada awal masa reformasi merupakan ekspresi kritis penolakan terhadap ideologi gender Orde Baru yang mendomestikasikan perempuan lewat pemujaan atas ibuisme. Apa yang oleh banyak pengamat dinilai vulgar adalah senjata yang dipakai para perempuan penulis pasca-1998 untuk menghantam pemuliaan atas perempuan yang dijadikan kedok bagi ideologi yang meminggirkan perempuan. Maka itu, label-label seperti “sastra selangkangan” atau “sastra syahwat” tidak diperlukan dan tidak membantu kita memahami dengan lebih baik fenomena sastra perempuan pada awal masa reformasi. Para pemikir kelompok Frankfurt, sebagaimana telah disinggung di atas, memiliki visi menjadikan kebudayaan sebagai alat kritis untuk mencegah dominasi fasisme. Seni dan sastra tidak hanya merefleksikan secara pasif apa yang terjadi pada tataran realitas sosial tetapi juga wajib untuk mengkritisi realitas itu dan, bila mungkin, mengajukan visi alternatif untuk mengubahnya. Maka, ada gunanya juga mengalihkan perhatian kita dari aspek moral dalam karya ke potensi kritis yang terkandung dalam karya untuk menyikapi suatu kondisi sosial tertentu. Dengan cara ini, kita tidak hanya mempelajari sastra sebagai teks belaka yang menjadi produk material sebuah kebudayaan tetapi, lebih penting dari itu, menempatkan sastra sebagai salah satu pranata sosial dalam masyarakat yang turut membentuk pola pikir dan perilaku sosialnya. Mengajarkan sastra Kandungan kritis sebuah karya inilah yang patut digali dan diperkenalkan kepada khalayak oleh kritikus, pengamat, dan guru pengajar sastra. Kita baru mulai dapat menangkap dan melihat lebih jelas elemen-elemen kritis dalam karya ini apabila kita mampu menyingkirkan bias-bias dan prasangka-prasangka pribadi yang ada dalam diri kita sendiri dalam menyikapi berbagai isu sosial. Seorang kritikus dan guru dituntut untuk mampu melihat dari atas, dan bukan tenggelam dalam arus cerita, agar mereka bisa memahami dengan lebih jernih dan menyeluruh berbagai sudut pandang, arus pemikiran, dan tegangan yang ada dalam cerita. Kemampuan seorang kritikus atau guru untuk mengenyampingkan nilai-nilai pribadinya pada saat membantu pembaca atau murid memahami isi sebuah karya sastra adalah modal utama dan prasyarat bagi keberhasilan untuk mendayagunakan teks sastra dalam mengasah daya kritis khalayak. Memahami novel-novel Pramoedya Ananta Toer dari perspektif seorang kritikus atau guru membutuhkan kemampuan untuk memisahkan fakta bahwa penulis adalah seorang simpatisan komunis yang aktif di Lekra semasa jayanya dari kajian terhadap karyanya, walaupun pengetahuan tentang latar belakang sosial penulis tetap merupakan pengetahuan penting karena dapat memperkaya atau melengkapi pemahaman kita atas karya-karyanya. Yang perlu dihindari adalah penilaian yang secara a priori dilandaskan pada fakta biografis penulis sebab hasilnya hanya akan mereduksi kekuatan novel-novel Pram menjadi alat propaganda komunis semata. Kita kehilangan peluang untuk menemukan lebih jauh berbagai kekayaan lain yang terkandung di dalam karya-karya 274 itu, termasuk kritik-kritik penulis terhadap feudalism dan otoritarianisme, yang nyatanyata memang menjadi faktor pengganggu dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Sama halnya dengan membaca novl-novel Mangunwijaya, yang kaya dengan aspek historis dan politis dan, karena ditulis semasa Orde Baru berkuasa, karya-karya Romo Mangun bisa dengan mudah dibaca sebagai kritik terhadap kuasa Orde Baru. Dalam hal ini, novel-novel Mangunwijaya menjadi karya penting untuk diperkenalkan dan dibaca oleh pemelajar sastra. Namun, bila guru sedari awal sudah menggunakan prasangka pribadinya, maka ia tidak akan memilih novel-novel Mangunwijaya dalam bacaan wajib di kelasnya karena, misalnya, Mangunwijaya dikenal sebagai tokoh Katolik, sedangkan guru pengajar kebetulan beragama non-Katolik. Kecenderungan seperti ini tidak dapat disangkal belakangan mulai menggejala, khususnya di banyak sekolah negeri di seluruh Indonesia. Padahal, karya-karya Mangun, seperti novel Burung-Burung Manyar, misalnya, sangat tepat untuk digunakan mempromosikan toleransi, patriotisme, dan kemampuan untuk mengkritisi kekuasaan. Sastra tidak dapat dipakai sebagai materi pelajaran di kelas dengan memperlakukannya seolah-olah sebagai kitab pelajaran agama atau moral. Berbeda dengan kita ajaran agama dan moral, sastra seringkali menunjukkan apa yang seharusnya dengan cara mengungkapkan apa yang pada saat ini bobrok dan buruk. Kecerdasan pembaca dalam memahami cerita amat diperlukan agar ia tidak terperangkap dalam pertunjukan hal-hal buruk itu dan mampu melihat lebih jauh pada tujuan yang ada di balik keburukan-keburukan itu. Membangun kecerdasan murid dalam membaca sama artinya dengan membekali mereka dengan kecerdasan yang lebih besar skalanya, yang meliputi kecerdasan sosial dan kepekaan lebih tajam untuk menangkap apa yang tersembunyi di bawah suatu permukaan. Kitab-kitab moral dan agama tidak perlu repot mengambil jalan memutar seperti ini untuk menyampaikan ajaran-ajaran baik, dan modal utama untuk menguasai kitabkitab seperti ini adalah kesediaan untuk mematuhi serta menjalankan apa yang diajarkan. Sastra membiarkan pembacanya untuk menemukan sendiri dengan bekal kecerdasan dan kepekaan yang dimilikinya, meskipun selalu ada risiko pembaca gagal menemukan kebaikan yang tersembunyi itu. Namun, di sinilah peran kritikus dan guru menjadi sentral sebagai jembatan penghunung antara teks dan pembacanya. Dalam hal ini pula, kita bisa memahami mengapa sastra, moralitas, dan agama memiliki domaindomainnya masing-masing, dan kita perlu dapat menghindarkan terjadinya pencampuradukan atau perancuan: kelas pelajaran sastra bukan tempat untuk menyiarkan ajaran agama atau melakukan indoktrinasi moral, walaupun banyak karya sastra memiliki kandungan religius dan moral yang dalam. Jika guru tidak mampu mengendalikan intervensi bias dan prasangka pribadinya sendiri dalam membantu menafsirkan sebuah karya sastra untuk murid-muridnya, ia juga tidak akan mampu mengendalikan tafsiran liar tanpa pijakan kuat pada teks serta konteks sosialnya yang berasal dari murid-muridnya di kelas. Dikhawatirkan bahwa ruang kelas yang semestinya menjadi ajang belajar dan perluasan pengetahuan akan berubah menjadi ruang pengadilan moral atas karya dan penulisnya. Bahaya bias dan prasangka tidak hanya bersumber dari moralitas dan agama, tetapi juga bisa bersumber pada ideologi, gender, etnisitas, maupun strata sosial. Guru sebagai narasumber dituntut oleh kemuliaan profesinya dan tanggung jawabnya sebagai pembentuk karakter generasi muda untuk mampu berpikir dan bertindak di atas tekanan-tekanan tersebut alih-alih malah menjadi agen penyebar kebencian dan pengukuh stereotipe atas semua yang liyan. 275 Dalam konteks ini, ruang kelas dan proses belajar-mengajar yang terjadi di dalamnya layak dipahami sebagai bagian dari proses kebudayaan dan tidak sekadar proses formal penyelenggaraan kurkulum. Guru mengajak murid-muridnya untuk berpartisipasi dalam proses refleksif serta kritis untuk menyumbangkan gagasangagasan kepada proses kebudayaan yang tengah berlangsung. Membincangkan karya sastra bersama-sama tanpa terjebak dalam indoktrinasi ideologis ataupun penghakiman moral adalah proses positif yang dikehendaki terjadi. Pemikiran-pemikiran yang diajukan penulis dalam karyanya dapat diuji secara serius, dijadikan bahan permenungan, dan menjadi sumber pengayaan pengalaman serta pengetahuan tentang kehidupan sosial. Karenanya, guru perlu memiliki wawasan serta pengetahuan tentang sejarah berbagai pemikiran yang muncul dari masa ke masa, tidak hanya di tanah air tetapi juga di dunia, serta bagaimana pemikiran-pemikiran itu saling berinteraksi dan berbenturan satu dengan yang lain. Banyak dari peristiwa tersebut yang direkam oleh sastra, walaupun cara penulis mendeskripsikannya sangat dipengaruhi atau dibentuk oleh posisi pribadi mereka. Guru, di lain pihak, harus mampu menghindari perancuan antara posisi pribadinya sendiri dengan pemosisian teks terhadap suatu isu. Sebagai dosen, saya mengajarkan kritik kebudayaan dari perspektif marxis pada para mahasiswa saya, dan adalah tugas saya untuk memberikan pemahaman yang sebaik-baiknya kepada mereka akan apa itu marxisme. Namun, saya secara etis tidak diperkenankan untuk mempromosikan marxisme ataupun mencaci makinya. Pandangan pribadi saya tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang semestinya saya ajarkan di kelas. Marxisme hanya menawarkan satu dari sekian banyak pengetahuan dan, sebagai pengetahuan, marxisme boleh dipahami sekaligus dikritisi, sebagaimana halnya dengan pengetahuanpengetahuan lainnya. Mengapa? Karena saya mengajarkan marxisme sebagai pengetahuan, bukan sebagai doktrin atau propaganda. Guru tidak perlu menciptakan sumber dayanya sendiri. Yang perlu dilakukan adalah mencari dan menghimpun sebanyak mungkin tulisan dan kajian yang telah pernah dibuat orang lain mengenai karya-karya sastra yang hendak dipakai di kelas sebagai bahan ajar. Kajian-kajian itu sendiri akan menghadirkan berbagai sudut pandang dan analisis, dan murid bisa diminta untuk membaca kajian-kajian itu sesudah mereka selesai membaca teks primernya. Dari situ, pembahasan dan diskusi di kelas bisa dimulai tetapi di dalam suatu kerangka pemahaman yang terlebih dahulu sudah dibentuk oleh pengetahuan-pengetahuan tentang karya dan penulisnya yang disediakan oleh berbagai rujukan tadi. Ini dilakukan tanpa menutup kemungkinan bahwa kelas akan bisa menghasilkan simpulan atau sintesisnya sendiri mengenai karya yang dibahas. Penutup Membaca dan memahami sastra memerlukan sikap yang bijak serta kematangan psikologis yang memadai. Sastra akan sangat berguna sebagai bahan pelajaran untuk memperkaya kepribadian dan wawasan jika didayagunakan dengan tepat. Membaca sastra mampu mendukung terciptanya daya kritis, kepekaan sosial, dan kejernihan berpikir apabila di kelas guru tidak memakai teks sastra sebagai sarana indoktrinasi moral dengan cara yang sempit dan normatif. Melalui sastra, kita mampu mendiagnosis apa yang salah dengan suatu masyarakat dan krisis apa yang sedang menimpa suatu kebudayaan, walaupun penulis karya tersebut tidak secara sadar ataupun langsung berkehendak untuk menunjukkan hal itu. 276 Kritikus sastra juga perlu melakukan reposisi atas peran dan fungsinya. Tugas utama kritikus adalah menggali berbagai potensi yang dimiliki sebuah karya yang barangkali bahkan tak disadari kehadirannya oleh penulisnya sendiri. Lewat kritik yang ajeg namun sehat, penulis dapat menimba banyak pelajaran untuk penyempurnaan kemampuan kreatifnya. Sebagaimana guru bisa membantu muridnya menjadi lebih peka secara sosial, kritikus juga bisa membantu penulis untuk lebih bersedia terlibat secara lebih intens dan dalam dengan berbagai isu sosial yang dihadapi bangsa pada saat ini. Kinerja tak kasat mata antara penulis, guru dan kritikus sastra perlu lebih disadari keberlangsungannya, walapun tidak perlu juga untuk diformalkan,agar sastra betul-betul dapat bersuara di tengah hiruk-pikuk berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, dan kultural di negeri ini. 277 MENGENAL IDENTITAS ORANG MALUKU YANG SEMAKIN MALUKU LEWAT LAGU DAERAH “MALUKU TANAH PUSAKA” Mansye Sekewael (Program Pasca Sarjana Universitas Pattimura Ambon – Indonesia) Abstrak: Penelitian ini adalah Penelitian pustaka dimana penulis berusaha menemukan sejumlah referensi dan mengaitkannya dengan lirik dari lagu “Maluku Tanah Pusaka”. Hasil kajian terhadap lagu ini, ditelaah, dianalisis dan disadur dalam deskripsi singkat untuk memberi penguatan kepada seluruh anak negeri yang mendiami tanah raja-raja ini bahwa, lagu ini layak untuk memprkenalkan jati diri anak Maluku yang semakin Maluku. Pengantar Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 1994:1). Bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pentingnya bahasa hampir mencakup segala bidang kehidupan manusia. Segala sesuatu yang dirasakan, dialami, dihayati dan dipikirkan, oleh seseorang akan diketahui oleh orang lain jika telah dikomunikasikan melalui bahasa (Handayani, 2014). Salah satu contoh proses komunikasi yang melibatkan bahasa yaitu lagu daerah atau nyanyian rakyat. Lagu daerah adalah lagu atau musik yang berasal dari suatu daerah tertentu dan menjadi populer dinyanyikan baik oleh rakyat daerah tersebut maupun rakyat lainnya. Bentuk lagu ini sangat sederhana dan menggunakan bahasa daerah atau bahasa setempat. Lagu daerah banyak yang bertemakan kehidupan seharihari sehingga mudah untuk dipahami dan mudah diterima dalam berbagai kegiatan rakyat. Pada umumnya pencipta lagu daerah ini tidak diketahui lagi alias noname (AlIdrus, 2014:2). Berbicara mengenai musik dan lagu, Maluku sangat dikenal di seantero Indonesia adalah pemilik suara indah dan berkarakter dalam mendendangkan lagu. Lagu sangat melekat dengan jiwa anak Maluku. Antropolog dari Universitas Pattimura, Ambon, Prof Dr Mus Huliselan, mengatakan, kebiasaan menyanyi orang Ambon ada sejak sebelum bangsa-bangsa Eropa, seperti Portugis dan Belanda, menguasai Ambon. ”Orang-orang tua menyampaikan pesan atau mengekspresikan perasaan dengan menyanyi. Nyanyian rakyat atau disebut kapata yang masih ada di beberapa desa menjadi bukti kebiasaan menyanyi itu sudah lama ada,” ujarnya (Huliselan, 2014). Musik yang mengiringi saat itu hanya tifa, suling, dan gong. Ketika bangsabangsa Eropa masuk, budaya bernyanyi dan bermusik masyarakat Ambon berkembang kian pesat. Bangsa-bangsa Eropa mengenalkan alat musik yang lebih beragam.Tak hanya menyampaikan pesan dan ekspresi perasaan, nyanyian berfungsi sebagai alat perekat sosial. Dalam syair lagu yang tercipta, nilai-nilai persaudaraan, kekerabatan atau kecintaan pada Ambon atau bahkan kerinduan pada Ibu (Ina) tertuang dalam lirik-lirik lagu yang dibuat. Untuk membuktikan kesan kuat dalam kandungan lirik lagu daerah Maluku, penulis kemudian memfokuskan penulisan ini untu menelaah lebih tentang hubungan 278 identitas anak Maluku yang semakin Maluku dalam lagu “Maluku Tanah Pusaka” seperti tampak pada lirik dibawah ini: Maluku Tanah Pusaka Oh, Maluku…. Tampa beta putus pusa e Pasir putih alus e, gunung deng tanjong beta seng lupa e Ina Ama lama lawing seng baku dapa e Biar jauh bagini e tapi dekat dihati beta e Dari ujung Halmahera sampe Tenggara Jauh Katong samu basudara Nusa ina Katong samua dari sana Biar jauh bagini e beta seng bisa lupa Maluku tanah pusaka Satu nama satu gandong satu suku Maluku manise Dari bait-bait dalam lagu di atas mengisyaratkan begitu banyak informasi yang bisa dipetik dan dijadikan identitas kita selaku anak Maluku yang semakin Maluku diantara dera arus globalisasi yang sudah mulai mengancam nilai-nilai identitas anak daerah yang baik hidup merantau di negeri orang atau hidup menetap dan berdomisili di negeri raja-raja ini. Agar informasi yang diterima tidak setengah-setengah, ada baiknya dilakukan analisis secara keseluruhan terhadap setiap lirik bait lagu “Maluku Tanah Pusaka” ini. Dengan demikian, kita bisa mengetahui keterkaitan antar bait setiap lirik lagu “Maluku Tanah Pusaka” tersebut dan mendapatkan makna secara keseluruhan. Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk menganalisis lirik lagu “Maluku Tanah Pusaka” ini karena penulis menganggap bahwa lirik lagu tersebut memiliki makna filosofis tersendiri secara tersurat maupun tersirat dalam kandungan isinya. Banyak pesan yang dapat diambil dari lirik lagu tersebut demi menguatkan kecintaan anak negeri seribu pulau ini terhadap Nusa Ina yang telah melahirkan mereka. Kajian Teori Setiap daerah pasti memiliki lagu daerahnya sendiri-sendiri. Lagu daerah adalah lagu yang berasal dari suatu daerah tertentu dan menjadi populer dinyanyikan baik oleh rakyat daerah tersebut maupun rakyat lainnya. Pada umumnya pencipta lagu daerah ini tidak diketahui lagi alias noname. Beberapa ciri khas lagu daerah, antara lain sebagai berikut: a. Menceritakan tentang keadaan lingkungan ataupun budaya masyarakat setempat yang sangat dipengaruhi oleh adat istiadat setempat. b. Bersifat serdehana sehingga untuk mempelajari lagu daerah tidak dibutuhkan pengetahuan musik yang cukup mendalam seperti membaca dan menulis not balok. c. Jarang diketahui pengarangnya. d. Mengandung nilai-nilai kehidupan, unsur-unsur kebersamaan sosial, serta keserasian dengan lingkungan hidup sekitar. e. Sulit dinyanyikan oleh seseorang yang berasal dari daerah lain karena kurangnya penguasaan dialek/bahasa setempat sehingga penghayatannya kurang maksimal. f. Mengandung nilai-nilai kehidupan yang unik dan khas. (https://id.wikipedia.org/wiki/Lagu_daerah). 279 Merujuk pada poin ke-7 (tujuh) untuk ciri-ciri dari lagu daerah diatas, penulis tertantang untuk merambah lebih dalam lagi, menghayati kandungan dari lagu “Maluku Tanah Pusaka”. Lagu ini menyimpan sejuta nilai lokal yang mampu menguatkan identitas kita anak Maluku yang semakin Maluku. Dalam penguraiannya, setiap hal yang dianggap denotatif dan dirasa tidak membutuhkan analisis kuat oleh penulis, penulis sengaja melewatkan bagian tersebut. Sementara bagi kandungan isi lagu yang bersifat konotatif bagi penulis, penulis kemudian berusaha untuk mendeskripsikannya seperti dibawah ini: Sio…. Maluku tanpa beta putus pusa e… Tampa beta putus pusa dapat juga diartikan sebagai tempat kelahiran (negeri/dusun/kampong), sebagai wilayah/tanah yang memberikan makan dan minum, sehingga muncul ungkapan “Tanah Air Beta, Tanah Tumpah Darah”, selain itu juga diartikan sebagai “Tanah Pusaka”, “Tanah Putus Pusa (pusar). Ini mengartikan sebuah pengakuan yang tulus terhadap tempat kelahiran yang mencerminkan identitas atau jati diri selaku anak Maluku. Identitas ini akan terpatri dalam darah dan sanubari kita selaku orang Maluku. Pasir Putih Alus e… Orang Maluku mempresentasikan wilayahnya yang indah nan elok dengan kata “pasir putih alus e”. Hal ini mengindikasikan bahwa Maluku terdiri dari pulau-pulau kecil. Setiap pulau mengukir panorama pantai yang indah, alami dan wajib dikunjungi. Sebagai anak negeri, kita harus memajukan pariwisata kita untuk menarik wisatawan baik lokal, nasional maupun internasional. Pasir putih kaitannya dengan pantai. Pantai berhubungan dengan laut, laut identik dengan nelayan. Jika ditarik benang merah dan dihubungkan dengan kondisi sekarang, diketahui bahwa hampir keseluruhan penduduk Maluku bermata pencaharian Nelayan. Maluku kaya akan hasil laut. Provinsi Maluku ditetapkan oleh Menteri KKP (Fadel Mohammad) sebagai Lumbung Ikan Nasional 2030 sejak digelarnya Sail Banda 2010. Maluku yang merupakan kepulauan bahari terbesar di wilayah Nusantara memang layak dijadikan lumbung ikan nasional karena potensi perikanan yang luar biasa banyaknya disertai laut yang kaya dan masih terjaga dari campur tangan manusia. Daerah dengan potensi ikan di wilayah Maluku yaitu: (1) Kepulauan Banda; (2) Kepulauan Kei; (3) Kepulauan Aru; (4) Maluku Tenggara Barat; (5) Maluku Barat Daya. Gunung deng tanjong Ada dua hal yang bisa di petik dari ungkapan “Gunung deng Tanjong” dalam lirik lagu Maluku Tanah Pusaka. Kedua hal tersebut adalah: a) Mengenal dua ruang “Tanjung dan gunung” Indikasi penggunaan kata “Gunung” dan “Tanjung” dalam pola pikir anak Maluku yakni “Kadara” dan “kalao”. Hampir dalam setiap berbahasa, penggunaan kata “kadara” dan “Kalao” b) Batasan teritori wilayah dalam tiap pikir anak negeri. Setiap kali tuangan rindu anakanak Maluku di perantauan paling sering diungkapkan kata “gunung” dan “Tanjong”. Beta seng lupa e Ungkapan kata “Beta seng lupa e”, mengisyaratkan bahwa selaku anak Maluku, akan selalu mengenang setiap lekuk jalan dan jembatan, laut, gunung, pantai dan semua yang ada di negeri tempat kelahirannya akan selalu terkenang. Terkadang saat berjauhan, ungkapan rindu akan kampong (kampung) itu dituangkan dalam nyanyian rindu dengan lirik yang sama (banding: lirik lagu: Sudah berlayar, Gunung dan Tanjung Terpeleh) 280 Ina Ama Kata “Ina” dan “Ama” mengisyaratkan beberapa pemahaman yang terkandung didalamnya yang antara lain adalah: a) Sebagai sebuah Penghormatan bagi “Ina” (Ibu) dan “Ama” (Ayah) Untuk lebih jelas, uraian tentang penghormatan bagi Ina dan Ama di jelaskan terpisah sebagai berikut: 1. Ina Ungkapan pendewaan terhadap seorang perempuan ini dapat menggetarkan hati nurani setiap anak Maluku yang kebetulan mendengarnya, atau ketika seorang mengatakan ungkapan ini kepada seorang perempuan tersebut akan merasakan sesuatu penghormatan dengan getaran dasyat dan menggelegar di telinga, menembus sampai ke jantung hati. Ina, ungkapan penghormatan bagi seorang ibu yang meng-isyaratkan begitu halusnya, begitu dekatnya, begitu saying dan rasa cinta kepada seorang ibu / perempuan. 2. Ama Kata “Ama” diidentikan dengan ayah/pria. Penghormatan ini diberikan khusus bagi kaum pria yang sudah bisa dilibatkan dalam pengambilan keputusan dalam setiap musyawarah. Tapi bagi masyarakat pulau Ambon dan pulau-pulau lease kata “Ama” ini juga disebut untuk panggilan saying bagi “anak kecil laki-laki”. Bahasa manja seorang ibu dalam mengkelonin bayi/anak laki-lakinya sering kali di lontarkan kata Ama. Misalnya: “balong par tidur lai Ama? Tidor jua tuang” . Ama juga bisa diganti dengan kata Tuang atau Tuan. Identitas ini hanya dijabat oleh kaum pria. b) Puja dan puji bagi leluhur kita E.O. James (1950), seorang ahli di bidang sejarah dan filsafat agama, dalam buku “The Concept of Diety” mengatakan bahwa kesimbangan gender dalam aspek ketuhanan yang pada masa lampau di puja dan dipuji oleh umat manusia, disimbolkan bagaikan langit dan bumi. Langit (Sky-God) merupakan simbol Tuhan yang disembah dan berkuasa. Sedangkan bumi (earth-mother) merupakan simbol Tuhan yang memelihara dan menjaga. Pendapat sama pernah dikemukakan Rumi, yang pernah dikutip Erich Fromm (1956) dalam buku The Art of Loving”. Bahwa dalam pandangan orang-orang bijak, langit adalah laki-laki dan bumi adalah perempuan. Bumi memupuk apa yang telah dijatuhkan oleh langit. Jika bumi kekurangan panas, maka langit mengirimkan panas kepadanya. Jika bumi kehilangan kesegaran dan kelembaban, langit segera memulihkannya. Langit memayung bumi layak seorang suami menafkahi istirninya; dan bumipun sibuk dengan urusan rumah tangga: ia melahirkan dan menyusui segala yang ia lahirkan (Pattipeilohi, 2013). Hal ini juga diyakini masyarakat alifuru yang masih kental keimanannya (Animisme dan Dinamisme). c) Tempat kelahiran Dari ujung Halmahera sampe Tenggara jauh katong samua basudara, Nusa Ina, Katong samua dari sana... Selaku anak negeri, kita harus menanamkan prinsip bahwa Maluku dan Maluku utara adalah satu. Konsep itu harus ada dan tertanam erat dalam diri orang Maluku sehingga secara administratif, pemerintahan boleh terbelah tapi pikirannya hanya satu yakni sebagai Tanah Raja-raja. Maluku saat ini memang tidak dapat dipsahkan dari pengaruh kekuasaan raja ampat Moloku Kie Raha yakni kerajaan atau kesultanan besar 281 dari Maluku Utara yaitu Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, kesultanan Bacan dan Kesultanan Jailolo. Bagaikan air yang mengalir dari dara ka kalo maka semua dipertemukan di Nusa Ina (Pulau Seram) sebagai pulau terbesar dalam struktur kepulauan Maluku. Karena semuanya berasal dari situ (Nusa Ina/Pulau Seram). Satu nama satu gandong satu suku Makna dari kata “satu nama satu gandong satu suku” dapat dijabarkan dalam 3 (tiga) komponen secara singkat, yaitu: a) Satu Gandong (Nusa Ina) Selaku anak Maluku, kita dikandung oleh seorang Ina (ibu/perempuan) dalam rahimnya selaku Rahim kehidupan, yang melahirkan sebuah generasi. Bagaimanapun juga, Ina secara alamiah, perempuan memeiliki peran besar dalam kehidupan: sebagai seorang ibu, yang melahirkan dan mebsearkan calon penerus negeri. b) Satu Suku (Alifuru) Suku Alifuru di nobatkan sebagai manusia pertama yang menghuni pulau Seram dan termasuk wilayah lain di kepulauan Maluku. Konon katanya nama "alifuru" berasal "alif" dari bahasa Arab dan "uru" berarti "orang". Selain "alifuru", juga banyak memiliki sebutan lain, yaitu "alfur", "alfuros", "alfures", "alifuru" atau "horaforas", sedangkan orang Belanda menyebut mereka sebagai "alfuren". Terakhir nama "alifuru" berganti dengan nama "nusa ina", tapi nama ini tidak populer, sehingga nama "alifuru" lah yang tetap dipakai oleh etnis yang berada di pulau Seram ini. c) Satu Nama (Maluku) Pendapat pertama menyatakan kata Maluku berasal dari bahasa Arab yaitu kata Al-Mulk, Al-Mulk berarti sebagai tanah atau pulau atau negeri para raja. Hal ini memang benar karena Maluku sampai sekarang pun terdiri atas negeri-negeri kecil yang lumayan banyak dengan rajanya sendiri-sendiri. Pendapat kedua menyatakan kata Maluku berasal dari bahasa Ternate yaitu kata Moloku atau Moloko, dua kata itu Moloku atau Moloko sama-sama berarti sebagai tanah air. Maluku Manise….. Kata “Manise” dari dulu hanya ditempelkan dalam ungkapan yang dialamatkan pada pulau Ambon menjadi Ambon Manise. Mengapa? Ini ada kaitannya dengan “Pasir putih alus e”. Everhardus Georgius Rumphius tahun 1741 dalam bukunya Het Amboinesche Kruid Book (Herbarium Ambonese) melaporkan bahwa struktur vegetasi tanaman terlengkap di dunia ada di pulau Ambon. Fakta saat itu menyatakan bahwa Ambon dibungkusi dengan vegetasi tanaman yang sangat indah (Pattinama, 2015). Dalam kekagumannya itulah, dia seringkali menuangkan idenya dalam buku yang ditulis mengenai pulau Ambon dan sekitarnya. Berkali-kali dia me-restate pulau Ambon manise yang keindahannya bagaikan surga. Dari sinilah, pelebelan nama Ambon Manise itu muncul. Untuk menggambarkan keseluruhan alam Maluku kata “Manise” kemudian di tempatkan setelah kata Maluku yang mengiktisarkan betapa indah dan bagusnya tanah raja-raja ini. Kesimpulan Orang Maluku sering mengungkapkan pokok pikirannya dalam lirik lagu. Setiap ide selalu menggambarkan keindahan Maluku atau negeri yang menaungi pencipta lagu tersebut. Untuk dapat memahmi setiap kandungan isi lagu, kita harus melakukan telaah lebih rinci. Sebab, karakter yang mengikat dalam lagu tersebut, dipilih dengan sangat jeli oleh pengarang dengan maksud adalah selain mendapatkan keindahan dari nada lagu tersebut, dapat pula memetik makna dari lirik setiap bait dalam lagu itu. 282 Makalah ini merupakan interpretasi penulis dalam memahami isi lagu Maluku Tanah Pusaka. Bagi penulis, setiap anak Maluku baik yang ada di perantauan ataupun yang masih berdiam di negeri seribu pulau ini harus paham benar isi lagu tersebut. Lagu ini sengaja diangkat untuk mengingatkan kita anak negeri agar lebih mengenal jati diri sebagai anak Maluku yang semakin Maluku. Daftar Rujukan Erich Fromm. (1956). The Art of Loving. Harper & Row. ISBN 978-0-06-091594-0. Handayani, Wuri. (2014). Analisis Fungsi Sosial Bahasa dalam Lirik Lagu Rejang di Kabupaten Rejang Lebong. Skripsi. Unpublished. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Bengkulu 2014. James, E,oO. (1950) The Concept of Diety. The Wild Lectures. Keraf, G. (2007). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Utama Pattinama, Max.M.J. (2015). Identitas Maluku dalam Konteks Nasional. Proceeding Seminar Nasional dengan tema: “Identitas Lokal dan Nasional dalam Konteks Modernitas Global”. Ambon, 24-25 Desember 2015. Pattipeilohy, M.M. (2013). Ina Hati Tuang (Sebuah perenungan “Dewi Ibu” Ala Orang Ambon 283 RANAH KOMUNITAS SASTRA SEBAGAI WAHANA PENGEMBANGAN KARYA SASTRA Meske Gaspersz (Guru SMA Negeri 6 Ambon – Indonesia) Abstrak: Dunia sastra kerap disebut sebagai dunia sunyi yang jauh dari hiruk-pikuk massa, sastra akrab dengan kesedihan dan perih tragedi. Sastra seperti sebuah dunia yang menukik ke dalam ceruk paling gelap dari diri manusia. Sastra, sebagaimana juga seni lainnya, mempunyai dunia sendiri, isu sendiri. Seni untuk seni atau sastra untuk sastra. Sastra walau bagaimanapun merupakan dokumentasi sosial, yang pada posisi paling esensi merupakan suara kemanusiaan untuk lebih memanusiakan manusia. Sastra merekam kejadian-kejadian konkret maupun yang mengamuk dalam psikologi manusia. Perjalanan dan perkembangan kehidupan karya sastra sangat diwarnai oleh dinamika perkembangan zaman. Kalau Karl Marx mengatakan bahwa materi begerak sesuai dengan zamannya, peristiwa yang sama juga berlaku bagi dunia sastra. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila terjadi geliat kehidupan sastra di Indonesia, baik sastra Indonesia maupun sastra tradisional yang terdapat di dalam khazanah sastra daerah. Pengembangan karya sastra juga dapat dilakukan dalam lingkungan pendidikan melalui pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, ketika banyak siswa menyenangi dan menyukai pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Namun di sisi lain, tidak dapat pungkiri bahwa dalam pembelajaran sastra di sekolah seringkali terjadi kendala perkembangan karya sastra, disebabkan oleh tidak semua siswa menyukai, dan menyenangi karya sastra tergantung pada minat dan kesukaan siswa pada karya sastra itu sendiri. Dalam ranah komunitas sastra banyak hal yang dapat ditemukan dan kembangkan untuk perkembangan dunia sastra antara lain; lahirnya komunitas sastra, jenis atau kelompok komunitas sastra, ideologi komunitas sastra dan keadaan sosial, tujuan komunitas sastra, peran komunitas sastra, tanggung jawab komunitas sastra, dan komunitas sastra sebagai rumah calon penulis. Kata kunci: Komunitas Sastra dan Pengembangan karya Sastra Pendahuluan Dunia sastra kerap disebut sebagai dunia sunyi yang jauh dari hiruk-pikuk massa, sastra akrab dengan kesedihan dan perih tragedi. Sastra seperti sebuah dunia yang menukik ke dalam ceruk paling gelap dari diri manusia. Sastra, sebagaimana juga seni lainnya, mempunyai dunia sendiri, isu sendiri. Seni untuk seni atau sastra untuk sastra. Sastra walau bagaimanapun merupakan dokumentasi sosial, yang pada posisi paling esensi merupakan suara kemanusiaan untuk lebih memanusiakan manusia. Sehingga sastra mau tak mau memang mesti intim dengan persoalan-persoalan kehidupan manusia baik suka maupun duka. Ketika di tengah suatu masyarakat berkecamuk sebuah musibah, patut pula sastra sebagai milik masyarakat untuk menjeritkan segala duka dan sengsaranya agar dunia tahu dan dapat pula merasa. Sastra 284 mengekalkan sesuatu yang fana. Sastra merekam kejadian-kejadian konkret maupun yang mengamuk dalam psikologi manusia. Seorang sastrawan atau seniman, sekalipun dia bertapa di kamar sunyi atau gua hening ketika mencipta karya besarnya, tetaplah anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial, karena itu bila dalam proses berliku kreativitasnya dia berselingkuh dengan isu atau gosip yang mendominasi di masyarakat, itu menunjukkan bahwa dia berkarya memang bukan untuk dirinya sendiri. Dia mencipta untuk masyarakat sebagai sumbangsih. Perjalanan dan perkembangan kehidupan karya sastra sangat diwarnai oleh dinamika perkembangan zaman. Gerak hidup yang setiap saat terjadi dalam kehidupan masyarakat di negeri tercinta ini tidak bisa tidak pasti berpengaruh terhadap perkembangan sastra Indonesia dan daerah. Kalau Karl Marx mengatakan bahwa materi begerak sesuai dengan zamannya, peristiwa yang sama juga berlaku bagi dunia sastra. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila terjadi geliat kehidupan sastra di Indonesia, baik sastra Indonesia maupun sastra tradisional yang terdapat di dalam khazanah sastra daerah. Perkembangan atau perubahan yang dimaksud mencakup pergeseran nilai yang hidup dalam dunia sastra berkat pemahaman sang pengarang atau sastrawan terhadap kehidupan itu sendiri. Dalam kaitan itu, sang sastrawan diharuskan bagaimana bersikap dan menempatkan diri terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan spiritualitas di tengah-tengah masyarakat yang terus berbenah. Dalam konteks itulah, setiap karya yang dihasilkan oleh sastrawan akan menceminkan banyak hal yang mengitari kehidupannya. http://Sejarah Singkat Perkembangan Sastra Indonesia _ KOMUNITAS PENULIS FIKSI SASTRA INDONESIA.htm Pengembangan karya sastra juga dapat dilakukan dalam lingkungan pendidikan melalui pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, ketika banyak siswa menyenangi dan menyukai pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Namun di sisi lain, tidak dapat pungkiri bahwa dalam pembelajaran sastra di sekolah seringkali terjadi kendala perkembangan karya sastra, disebabkan oleh tidak semua siswa menyukai, dan menyenangi karya sastra karena tergantung pada minat dan kesukaan siswa pada karya sastra itu sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa fenomena sastra dapat dimiliki oleh seseorang bukan saja dalam proses belajar mengajar di sekolah pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, tetapi secara umum untuk dikenal, diminati, disukai, bahkan untuk dikembangkan oleh siapa saja yang menggeluti dunia sastra lebih mendalam lagi melalui ranah komunitas sastra. Lahirnya Komunitas Sastra Kelompok-kelompok yang secara sukarela didirikan oleh penggiat dan pengayom sastra atas inisiatif sendiri, yang ditujukan bukan terutama untuk mencari untung (nirlaba), melainkan untuk tujuan-tujuan lain yang sesuai dengan minat dan perhatian kelompok atau untuk kepentingan umum." (Iwan Gunadi, 2006). Inilah pengertian komunitas sastra versi Iwan Gunadi, seorang pendiri komunitas Sastra Indonesia (KSI), salah satu komunitas sastra terbesar di Indonesia. Tidak jarang ditemukan di kampus-kampus segerombolan mahasiswa yang duduk-duduk santai di taman atau halaman kampus sambil bercakap-cakap ria, sekilas terlihat sedang terjadi diskusi. Mereka merupakan kelompok-kelompok yang tidak sengaja membentuk satu koloni karena memiliki tujuan dan minat yang sama, salah satunya kecintaan dalam dunia sastra dan kepenulisan. 285 Komunitas sastra bukanlah hal baru bagi para penggiat sastra atau yang menggeluti dunia kepenulisan. Komunitas sastra sebenarnya telah muncul sejak masa Pujangga Baru. Sekilas menilik sejarah sastra Indonesia, Pujangga baru memang merupakan nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia. Namun sesungguhnya pemberian nama Poedjangga Baroe ini berasal dari keinginan untuk melakukan gerakan kebudayaan sementara para pelopor dan pelaku di masa ini yang disebut angkatan Pujangga Baru dengan tokoh-tokoh pemuda terpelajar yakni antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armin Pane, Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Pujangga Baru ini pun memiliki tujuan yakni menumbuhkan kesusastraan baru yang sesuai dengan semangat zamannya dan mempersatukan para sastrawan yang sesuai dengan wadahnya, namun meski demikian Pujangga Baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Melalui tujuannya inilah serta para pelopor dan pendiri menunjukkan pada zamannya telah muncul sebuah kelompok atau komunitas sastra yang terbentuk secara tidak sengaja hanya karena memiliki kesamaan minat, visi dan misi dalam dunia kesusastraan. Dinamika komunitas sastra saat ini semakin membaik dan banyak diterima oleh berbagai kalangan. Komunitas ini bukan hanya lagi milik para mahasiswa jurusan sastra Indonesia namun milik semua kalangan tanpa keterbatasan umur. Ada hal unik jika berbicara tentang Komunitas Sastra. Komunitas ini bukan menuntut sebuah kepengurusan yang terstruktur, tidak menuntut pengakuan dari banyak orang, tapi lebih mengacu pada azas kekeluargaan, itulah sebabnya komunitas-komunitas sastra bertahan lama bahkan beberapa komunitas semakin besar namanya. Banyak Komunitas sastra awalnya hanya berangkat dari sebuah kelompok kecil yang dibentuk atas dasar kecintaannya dalam dunia kepenulisan dan sastra. Beberapa komunitas sastra mengawali kiprahnya hanya dengan beranggotakan beberapa orang saja namun kini telah banyak melahirkan para penulis-penulis besar. Inilah awal penggunaan kata "komunitas" untuk kelompok-kelompok yang menggeluti bidang tertentu yakni sekitar awal Agustus 1996, saat puluhan orang, mulai dari sastrawan, pemerhati dan peminat sastra, guru, wartawan, pengamen, hingga buruh pabrik, berkumpul. http://Sejarah Singkat Perkembangan Sastra Indonesia _ KOMUNITAS PENULIS FIKSI SASTRA INDONESIA.htm Komunitas sastra bukan hanya berkiprah tahun 1996, tetapi sampai saat ini komunitas sastra terus aktif dalam mengembangkan kesusastraan Indonesia misalnya dalam provinsi Maluku dan kota Ambon telah banyak komunitas sastra yang bermunculan dari berbagai kalangan masyarakat, berbeda suku dan agama, tingkatan usia, maupun dari profesi yang berbeda. Dengan perkataan lain, adanya komunitas sastra telah menumbuhkan rasa solidaritas diantara umat beragama. A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Jenis-jenis Komunitas Sastra Pada umumnya, jenis komunitas sastra bisa terbagi sebagai berikut: komunitas berbasis kampus komunitas berbasis nonkampus komunitas berbasis koran/majalah komunitas berbasis milis komunitas berbasis penerbit komunitas berbasis gerakan literasi 286 Komunitas yang berbasis kampus terlihat umum di seluruh wilayah Indonesia. Komunitas ini bisa saja tidak terdaftar dalam struktur kelembagaan kampus, namun sangat terikat pada solidaritas mahasiswa yang satu kampus, seperti terlihat dalam komunitas Sanggar SK dan Sanggar Nun di UIN Sunan Kalijaga atau Sarkem di UNY di Yogyakarta. Sedangkan komunitas yang berbasis non-kampus bisa dicontohkan dengan Komunitas Sastra Indonesia, Forum Lingkar Pena ataupun Komunitas Utan Kayu. Sementara itu, salah satu contoh dari komunitas informal adalah sarana kegiatan sastra yang muncul di balik majalah seperti Horison atau Kalam, koran nasional seperti Kompas ataupun koran lokal seperti Kedaulatan Rakyat atau Bali Pos. Komunitas informal eksis dengan redaktur media dan para pemasuk naskahnya sebagai anggota inti, dan dengan para pembaca sebagai audiens. Komunitas informal berbasis media cetak ini muncul berdasarkan nilai estetika serta interaksi mereka yang dibagi di antara para pelaku di atas untuk meningkatkan mutu karya yang dibuat di media tersebut. Di samping itu, komunitas berbasis media elektronik seperti komunitas milis Apresiasi Sastra atau milis Bungamatahari juga termasuk kategori ini, karena isi komunikasi dan keanggotaannya terbuka dan sangat beragam. Keunikan komunitas berbasis media elektronik adalah kebebasan di mana para peserta bisa mengikuti tanpa dibatasi waktu, alamat tinggal dan orientasi dalam estetik sastra dan filosofi yang lain, maka siapa pun bisa berekspresi dengan tulisan apa saja. Namun, hal ini juga mengakibatkan sulitnya mempertahankan integritas mutu, selera estetik maupun ideologi yang lain di dalamnya. Lebih jauh, akhir-akhir ini muncul komunitas berdasarkan penerbit. Sejak industri penerbitan berkembang, para penulis mendapat lebih banyak kesempatan untuk menerbitkan karyanya dalam bentuk buku, tanpa melewati proses pemasukkan naskah ke majalah atau koran. Maka, penulis pemula pun cukup berurusan dengan redaksi penerbit secara langsung dengan mengirimkan naskahnya melalui email, untuk mencoba menerbitkan buku sendiri. Juga, perlengkapan fasilitas warnet serta telpon genggam membuat mereka bisa konsultasi langsung dengan pihak penerbit. Keadaan seperti ini melahirkan komunitas informal di sekitar persahaan penerbitan buku. Di samping itu, komunitas yang beranggotakan para staff pemasaran dan redaksi di penerbit juga mulai aktif. Milis Pasar Buku merupakan komunitas untuk membahas berbagai persoalan di sekitar pemasaran, distribusi dan retail buku. Sedangkan, Komunitas Pekerja Buku Indonesia dan Jogmart adalah ikatan pekerja di penerbit yang membuat berbagai kegiatan berkaitan sastra seperti pasar buku dan seminar. Komunitas seperti ini memberikan kontribusi untuk memberi solusi mengenai persoalan tentang buku dari sisi marketing dan distribusi. Lebih jauh lagi, ada jenis komunitas berbasis gerakan literasi, seperti Rumah Dunia, 1001 buku dan Indonesia Membaca. Komunitas sejenis ini dimotori individu yang punya kepedulian tentang kekurangan akses buku bagi kalangan tertentu. Maka, mereka membangun rumah bacaan di masyarakat lokal, atau mencari donasi buku dari masyarakat untuk menyalurkannya kepada rumah bacaan di berbagai daerah. Komunitas pemasaran penerbit dan komunitas gerakan literasi ini tidak berkaitan dengan sastra secara harafiah, namun makalah ini memasukkan komunitas tersebut dalam pembahasan, untuk memperluas dimensi wacana komunitas sastra. http://komunitassastra.wordpress.com 287 Ideologi komunitas sastra dan keadaan sosial Berlandaskan pada 6 jenis komunitas sastra yang dijelaskan sebelumnya, bagian ini membahas bagaimana ideologi tentang sastra muncul dari keadaan sosial, untuk menggambarkan keanekaragaman ideologi yang berpengaruh ke komunitas sastra. Pertama, sejak penerbitan menjadi industri yang cukup menguntungkan, banyak pribadi dan komunitas merasa penerbitan buku adalah hal yang tidak terlalu sulit. Sebagai dampak, banyak komunitas mulai menerbitkan buku atas biaya sendiri ataupun terkadang terlihat beberapa komunitas sastra yang mampu memutar dana dari hasil penjualan buku penerbitannya sendiri untuk penerbitan buku berikutnya, atau untuk membiayai kegiatan-kegiatan sastra yang lain. Dalam keadaan seperti ini, munculah kepentingan bagi komunitas sastra untuk (1) menerbitkan buku yang laku, dan ini melahirkan ideologi yang memprioritaskan laba di luar mutu dan estetika dalam sastra. Dalam situasi seperti ini, munculah popularitas SMSlit, teenlit dan chiclit yang laku keras di pasar kalangan muda, meskipun buku tersebut belum tentu berbobot. Ini menciptakan ideologi bahwa (2) sastra adalah komoditas untuk hiburan atau untuk mengekspresikan gaya hidup. Kedua ideologi ini mendukung makna buku sebagai benda, dan mempopulerkan kegiatan orang membeli, membawa, membaca, menerbit buku serta menyertai komunitas sastra sebagai gaya hidup. Lagi pula, perhatian terhadap laba dalam penerbitan mendorong orang untuk berpikir tentang bagaimana memperbaiki efisiensi sistem distribusi dan retail yang hingga kini banyak yang bermasalah dalam industri tersebut. Kedua, inovasi teknologi informasi memperluas dan memperbanyak sarana sastra. Sekarang banyak orang bisa mampir di warnet, untuk menerbitkan karya atau berkomunikasi dengan yang lain dalam milis atau blog sastra. Penyebaran SMS juga mempererat intensitas korespondensi antara pelaku sastra yang tinggal di wilayah berjauhan, untuk saling berbagi karya atau komentar melalui SMS. Sebagai akibat, keadaan ini melemahkan kekuasan redaksi atau kritik sastra sebagai “paus sastra” yang hingga kini dianggap mutlak untuk menilai sastra. Keadaan ini mendorong ideologi (3) egalitarianisme dan anti-elitisme dalam sastra. Namun, ideologi ini yang menjunjung kebebasan ekspresi juga melahirkan rasa waspada terhadap kebebasan itu sendiri. Sekarang, sudah tidak ada kekuasaan yang harus kita takuti, entah itu paus sastra atau lembaga sensor negara. Padahal, masyarakat kemudian menciptakan batas kebebasan dengan sendiri, dengan menggunakan ideologi seperti (4) antiliberalisme, antineo-imperialisme atau anti-eksploitasi seksualitas dalam sastra. Ketiga, kemunculan banyak aktivitas untuk memberdayakan masyarakat melalui buku dilatarbelakangi oleh ideologi (5) buku adalah alat untuk mewujudkan keadilan sosial. Ideologi ini menunjukkan bahwa aktivisme sastra bisa menghadapi masalah nyata di masyarakat, di luar pembahasan sastra konvensional tentang keadilan sosial yang abstrak. Demikian, ideologi ini mengaitkan persoalan buku dengan keperdulian masyakat terhadap kalangan yang tidak mampu. Dalam hal ini, ideologi ini telah memperluas makna buku dan komunitas sastra di luar sisi filosofis-estetik. http://komunitassastra.wordpress.com Tujuan Komunitas Sastra Dalam komunitas sastra, interaksi sosial itu dibentuk melalui kepentingan yang dapat bersumber dari tujuan-tujuan yang sama yang hendak dicapai anggota-anggota komunitas yang bersangkutan dalam kehidupan kesusastraan. Lokalitas dan perasaan sekomunitas menjadi daya lekat komunitas itu dalam mencapai tujuan bersama mereka. 288 Tujuan yang hendak dicapai suatu komunitas sastra bergantung pada kesepakatan bersama anggota-anggotanya, baik dirumuskan secara formal (dalam bentuk anggaran dasar, misalnya) maupun kesepakatan yang diputuskan secara informal. Di dalam lingkungan komunitas-komunitas sastra non akademik yang bersifat institusional, misalnya dewan-dewan kesenian atau lembaga-lembaga kebudayaan, tujuan bersama itu dirumuskan dan ditentukan sebelumnya melalui kesepakatan organisasional yang bersifat formal. Sebaliknya komunitas-komunitas sastra nonakademik yang bersifat noninstitusional merumuskan tujuan bersama itu secara informal di antara anggota-anggotanya. Tinggi atau rendahnya peran komunitas sastra dalam menumbuhkan tradisi sastra yang kuat tidak terletak pada bentuk formal atau informalnya melainkan pada intensitas diskursus pemikiran yang berlangsung di dalamnya. Lokalitas dan perasaan sekomunitas menggerakkan aktivitas dan dinamika internal komunitas sastra dalam berbagai-bagai bentuk, seperti pemublikasian buku, buletin, majalah, jurnal kebudayaan, dan kegiatan sastra lainnya. http://komunitassastra.wordpress.com Peran Komunitas Sastra Dalam Perkembangan Karya Sastra Perkembangan sastra di Indonesia mengalami dinamika kemajuan yang signifikan. Perkembangan itu terlihat dari antusias generasi muda dalam menjaga keberlangsungan sastra di Indonesia dengan atau pun tanpa berkomunitas untuk mewujudkan ekspresi dalam penampilan yang konkrit, yang berasal dari inspirasiinspirasi yang mereka tangkap dari kondisi dan sudut pandang yang berbeda. Sehingga sastra di Indonesia pun mempunyai keberagaman bentuk dalam proses kreatifitas dan pemaknaan terhadap sebuah karya. Keberagaman pandangan dan memahami sastra dalam literasi pada umumnya, merupakan upaya dari pelaku sastra mengembangkan budaya masa dalam masyarakat yang lebih baik. Sehingga proses peleburan sastra yang mengalir sejalan dengan perkembangan wacana tidak hanya di dominasi oleh kesenian borjuis yang hanya mengandalkan nilai jualnya saja. Saat ini sastra tidak hanya menjadi wacana tekstual tetapi menjadi wacana kontekstual yang mengakar pada budaya masa. Maka, ini adalah kesempatan para pelaku sastra memberikan pendekatan kepada masyarakat tentang sastra dan kebudayaan murni yang lebih sederhana dan nyata agar mampu diterima oleh masyarakat awam sekalipun. Dapat kita bayangkan ketika sastra dan kebudayaan murni kembali pada masyarakat secara luas yang mampu dinikmati dan mengilhami masyarakat dalam tataran sederhana sampai yang kompleks, maka masyarakat mempunyai dimensi sastra dan budaya yang mampu menjadi benteng dari penjajahan budaya-budaya luar yang terus menggerus dan merubah pola pikir masyarakat, yang tanpa sadar terkondisikan. Sastra bukan lagi milik sastrawan tetapi milik kita, milik masyarakat karena dari situlah lahirnya sastra dan kebudayaan murni. Sastra tak hanya dibicarakan dalam diskusi-diskusi, seminar-seminar formal ataupun ditampilkan dalam pertunjukan-pertunjukan eksklusif tapi telah menjelma menjadi masyarakat itu sendiri. Maka wacana sastra akan terbangun di perkampunganperkampungan, warung-warung kopi sampai masyarakat emperan. Dalam setiap perkembangan sastra ada rantai kerjasama simbiosis mutualisme yang harus terbangun antara Pemerintah, Media-media masa, LSM, komunitas-komunitas seni dan sastra dan masyarakat, disinilah peranan masing-masing untuk saling menjaga dan mendukung dalam melestarikan sastra dan kebudayaan Indonesia, Negara yang kaya akan kebudayaan dan suku sesuai porsi masing-masing. Dengan berbagai sudut pandang tetapi satu tujuan. Pastinya kita sebagai arek Indonesia tidak ingin kecolongan lagi. 289 Sebuah pengakuan kepemilikan kebudayaan harus ada tindakan untuk menjaga dan melestarikan agar tetap terjaga di tempatnya, di pemilik asli. Tetapi kalau tak ada tindakan itu, jangan salahkan bila orang lain mengambil itu menjadi miliknya. Upaya untuk mengenalkan kebudayaan pada generasi penerus harus terus dilakukan, seperti mengembalikan muatan-muatan lokal (sebagian daerah di Indonesia menghapus muatan lokan dari kurikulum) pada kurikulum pendidikan di Indonesia. Komunitas Merah Saga (di Maluku, berdiri 3 tahun lalu) adalah salah satu komunitas yang menangkap dinamika dan gairah sastra di masyarakat, dan ikut serta ambil peranan dalam perkembangan sastra Indonesia dengan memfasilitasi masyarakat untuk mengenal, mencintai dan menikmati sastra secara utuh. Komunitas Merah Saga mempunyai cara sendiri yang menjadikan masyarakat merasa lebih dekat, membicarakan sastra sampai pada performing art hasil dari kreatifitas yang mampu memberi hiburan yang bukan sekedar hiburan bagi masyarakat tapi memberi pengetahuan lebih untuk memahami sastra. Dengan cara interaktif kami melibatkan mereka secara langsung, sehingga mereka selayaknya pelaku seni dan sastra. Interaksi seperti inilah agar mereka juga merasakan geliat dinamika sastra dan budaya seperti yang kami rasakan juga menjadi salah satu titik tolak ukur seberapa peduli masyarakat terhadap keberlangsungan sastra dan budayanya sendiri, dan meluruskan pandangan sebagian masyarakat yang menganggap bahwa sastra itu hanya sebatas muara kata-kata indah dan penggalan teori yang tetap menjadi kata. Tidak hanya itu saja peranan yang kami berikan pada masyarakat, walaupun Merah Saga komunitas yang masih baru, dengan semangat kami juga mengelola berbagai kegiatan yang dilakukan, seperti teater, pantomim, puisi, musikalisasi puisi ataupun monolog. Selain itu, komunitas Merah Saga juga terlibat langsung dalam setiap event nasional, dan kegiatan yang rutinitas dilakukan adalah dengan melaksanakan pentas seni di dalam lingkungan kampus Universitas Pattimura atau bahkan di Lapangan Merdeka Ambon. Sebagaimana lazimnya sebuah organisasi akan terus eksis tergantung pada proses kaderisasi. Beberapa organisasi atau perkumpulan mengadakan pembukaan bagi kaderkader baru setiap semester atau satu kali dalam setahun demi keberlangsungan organisasinya. Begitu pula dengan komunitas Merah Saga, komunitas yang 3 tahun belakangan ini mewarnai dunia teater dan kesusatraan di Maluku dengan pementasan teater, program Merah Saga Road school dan lomba baca puisi tingkat SMP se pulau Ambon akan membuka peluang bagi pemuda Maluku baik itu Mahasiswa maupun pelajar untuk berkarya dalam dunia kesenian dan kesusastraan. Upaya dalam mengembangkan berbagai program komunitas Merah Saga selalu dilakukan dengan pendekatan kekeluargaan, Merah Saga mencoba menarik simpatik bagi setiap orang yang ingin bergabung, membangkitkan dunia teater Maluku yang terkesan tak punya tempat dibandingkan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Kami yakin dengan usaha-usaha yang kami lakukan itu adalah sebuah jalan untuk merealisasikan dan upaya pengembangan dunia satra di daerah Maluku dengan harapan agar kesadaran budaya dalam masyarakat akan terbentuk lebih baik, kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian kebudayaan dan keberlangsungan sastra Indonesia (wawancara dengan salah satu anggota Komunitas Merah Saga atas nama Irene Risakotta). 290 Komunitas Sastra sebagai wujud tanggungjawab Sastra Tanggungjawab sendiri bagi sastrawan mempunyai dua arah, yaitu: tanggungjawab secara profesional dan tanggung jawab moral. Tanggung jawab profesional sastra terkait dengan penentuan standar sastra sekaligus perilaku profesional sastrawan dalam berkarya dengan mengemban paradigma sastra sebagai bagian dari humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan yang menekankan kreativitas, kebaruan, orisinalitas, keunikan, mencari makna dan nilai, bertujuan menumbuhkan kekaguman, bersifat normatif dan deskriptif, pemahaman rasional dan imajinasi, bahasa yang dramatik, emosional, dan purposif. Tanggung jawab moral terkait dengan standar legal dalam berkarya sastra, berperan sebagai pemandu perilaku profesional dan pengendali integritas pribadi pelaku sastra sekaligus karyanya jangan sampai melanggar hukum dan standar moral yang secara umum berlaku dalam masyarakat, dalam lingkup lokal maupun global, sekaligus pemandu ketika terjadi konflik antarstandar moral, atau konflik antara standar moral dengan standar legal. Peran komunitas-komunitas sastra sangat menentukan bagaimana wujud tanggungjawab karya sastra menjadi hidup dalam keberadaannya sebagai diri sastra sendiri, sekaligus sebagai bagian dari masyarakat serta peradaban. Akibatnya, kita sangat mengenal bagaimana corak standar berkarya kreatif antar masing- masing komunitas menjadi sangat berbeda-beda. Upaya peningkatan tanggungjawab kesusastraan memang membutuhkan pendidikan (dalam arti luas) yang menjamin integritas profesional dan moral, juga membutuhkan kontrol publik terhadap kinerja para pelaku sastra dalam berbagai ranah. Komunitas yang tidak ada kontrol dan menyerahkan kendali kepada seseorang tanpa kontrol internal dalam komunitas dan kontrol eksternal dari publik, bakal menjadi pintu masuk komunitas sastra lepas tanggungjawab kedua-duanya: profesional sekaligus moral (Yonathan Rahardjo. 2006. Komunitas Sastra. Jurnal Nasional 16 Desember 2007) Komunitas Sastra sebagai rumah calon penulis Selain komunitas sastra yang telah diakui secara nasional, beberapa komunitas kecil atau komunitas sastra di daerah juga banyak yang telah mencetak para penulis yang berkualitas dan akan menjadi calon penulis besar. Meskipun aktivitas menulis lebih sering dianggap sebagai aktivitas individual ternyata banyak penulis yang menganggap peran komunitas penulis sungguh besar dalam mengembangkan kreativitas dan ketrampilannya menulis. Pergesekan pemikiran dalam komunitas memberikan wawasan bagi para penulis yang terlibat di dalamnya. Kecakapan-kecakapan menulis dapat ditularkan dengan saling belajar pada rekan satu komunitas. Inilah peran dari adanya sebuah komunitas, saling belajar dan saling berbagi. Komunitas sastra inilah yang menjadi rumah para calon penulis dan penulis besar untuk mampu terus berkarya dan saling mengexplore pengalaman masing-masing dalam kepenulisan. Tentunya komunitas sastra sangat berperan penting dalam pembentukan pola pikir, kemampuan dan kualitas karya seseorang tentunya dengan saling berbagi pengalaman dan ilmu. http://Sejarah Singkat Perkembangan Sastra Indonesia _ KOMUNITAS PENULIS FIKSI SASTRA INDONESIA.htm 291 Daftar Rujukan Yonathan Rahardjo. 2006. Komunitas Sastra (Jurnal Nasional 16 Desember 2007) Diposkan oleh Sang Kuli di Sabtu, Desember 22, 2007. http://Sejarah Singkat Perkembangan Sastra Indonesia _ KOMUNITAS PENULIS FIKSI SASTRA INDONESIA.htm http://komunitassastra.wordpress.com http://komunitassastra.wordpress.com 292 PEMBELAJARAN NILAI SOLIDARITAS DALAM KARYA IMAJINATIF Muliadi (Fakultas Sastra Universitas Muslim Indonesia Makassar – Indonesia) Abstrak: Karya imajinatif atau karya kreatif adalah mencakup cerpen, cerber, novel, drama, dan puisi. Dalam kajian ini. penulis hanya mengambil salah satu contoh karya imajinatif, yaitu puisi. Puisi adalah hasil karya imajinatif dari sang Penyair atau Sastrawan, yang merepresentasikan beragam nilai di dalamnya (nilai multikultural), seperti nilai religius, nilai filosofis, nilai estetis, dan nilai etis. Namun, dalam makalah ini yang dikaji hanya nilai etis karena nilai ini erat kaitannya dengan kata solidaritas yang ada pada judul di atas. Puisi sebagai karya imajinatif selalu berusaha menyajikan nilai yang bersifat oposisi biner, yakni yang baik dan yang buruk, yang indah dan yang jelek, yang jujur dan yang bohong, solidaritas positif dan solidaritas negatif atau kesetiaan posistif dan negatif. Sumber data dalam kajian ini adalah puisi karya Husni Djamaluddin yang berjudul “Ambon dulu, Ambon sekarang” . Untuk mengungkap nilai solidaritas dalam puisi-puisi tersebut, penulis menggunakan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur. Pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur yang dimaksud adalah tahap semantik, tahap repklesif, dan tahap eksistensial. Dengan cara demikian, nilai puisi dapat tersingkap dari balik katakata yang digunakan oleh sang penyair. Kata-kata Kunci: Nilai, Solidaritas, Puisi, dan Karya Imajinatif Pengantar Nilai merupakan sinonim dengan kata value dalam bahasa Inggris dan valere dalam bahasa Latin, serta valoir dalam bahasa Prancis Kuno, yang secara umum disebut keberhargaan atau kebaikan (Mulyana, 2004:7). Kalau dalam bahasa daerah Ambon nilai dapat disamakan dengan niolilieta/hiolilieta/siolilieta (kebaikan) dan dalam bahasa Bugis nilai dapat disebut sebagai akessingeng (kebaikan). Nilai jika dipersepsi dalam konteks tertentu dapat menjadi sesuatu yang fenomenal dan khas dalam kehidupan manusia. Maksudnya, fenomenal karena tidak semua orang sepakat untuk mendefinisikan nilai secara seragam dan sangat khas karena belum tentu semua orang memberikan penilaian yang sama terhadap suatu objek yang diamati. Misalnya, dua pemuda yang ditawari sebuah cincin yang terbuat dari batu akik yang indah dan cangkangnya (pengikatnya) terbuat dari perak. Kedua pemuda tersebut belum tentu menilainya sama dengan alasan masing-masing, mungkin pemuda pertama mengatakan bahwa hiasan itu adalah hiasan yang bagus dan karenanya berusaha untuk memilikinya, sedangkan mungkin pemuda kedua mengatakan bahwa hiasan itu kurang bagus karena bentuknya tidak sesuai dengan keinginannya sehingga ia tidak tertarik untuk memilikinya. Contoh yang lain, orang Bugis-Makassar menilai tidak baik atau kurang sopan membuka hadiah dari pemberian seseorang di hadapannya, sementara orang Barat menilai baik atau tetap menganggap sopan jika membuka hadiah dari pemberian seseorang di hadapannya (maksudnya, di hadapan orang pemberi hadiah tersebut) . Nilai merupakan derajat, kualitas, mutu, sifat ketinggian pemikiran, agama, dan kemasyarakatan (Iskandar, 1998:864). Hal ini menunjukkan bahwa nilai adalah sesuatu 293 yang sangat berarti, sangat berharga, dan sangat perlu dalam kehidupan manusia. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Gazalba (1998:33) bahwa nilai adalah sesuatu yang dipandang berharga oleh manusia atau kelompok manusia. Sementara, Ali ibn Abi Thalib (dalam al-Qarni, 2008:178) mengatakan bahwa nilai manusia terdapat dalam perbuatan baik yang dia lakukan. Makanya, ilmu pengetahuan manusia, adab kesopanannya, kedermawanan, ibadah, serta akhlak dan moralitasnya adalah nilai diri yang sebenarnya dan bukan wajah, gayah, dan kedudukannya. Pernyataan ini sesuai pula dengan (QS.Al-Baqarah:221) yang artinya, “Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” Solidaritas berasal dari kata solidarity. Kata ini dipopulerkan oleh seorang sosiolog dari Prancis, yang bernama Emile Durkheim sekitar Abad ke-19. Solidarity dalam bahasa Indonesia adalah berarti kesetiakawanan atau kekompakan. Kesetiakawanan terbagi atas dua, yakni kesetiakawanan positif dan kesetiakawanan negatif. Kesetiakawanan positif akan melahirkan nilai-nilai yang hakiki dan diharapkan oleh semua manusia secara universal, bersifat konstruktif dalam kehidupan manusia. Sementara itu, kesetiakawanan negatif akan melahirkan nilai-nilai semu, hanya diharapkan sekelompok manusia karena hakikinya bersifat destruktif dalam kehidupan manusia. Nilai seperti itulah yang akan diungkap dalam kajian ini dengan pendekatan hermeneutika Recoeur. Puisi sebagai karya imajinatif merupakan rekayasa tanda, yang terlahir dari seorang sastrawan. Hal itu dipahami demikian karena dalam proses pelahiran karya sastra, ide telah mengada mendahului tanda sehingga bentuk dan struktur tanda sebagai eksistensi sekunder tidak dapat dipisahkan dengan pengadanya, yakni sastrawan (Muliadi, 2014:1). Oleh karena itu, adanya sastra (puisi) baik secara lisan maupun secara tertulis bukan atas kehendak dirinya sendiri, melainkan atas kehendak dan harapan sastrawannya. Kehendak dan harapan yang mengada dan menggejala dalam ruang idea atau ruang batin sastrawan terjadi sebagai akibat hubungan resiprokal ruang dan waktu kelampuan dan keakanan. Hal ini dipahami demikian karena ide mengada setelah fungsi sensori penyair menyentuh dan memaknai sinyal keberadaan lain, yakni konteks. Tanpa konteks, ide dalam ruang batin tidak pernah mengada karena konteks selalu mengada mendahului adanya sastrawan atau penyair. Pada peristiwa resiprokal tersebut, ruang dan waktu kelampuan merupakan fenomena alam dan sosial budaya yang dengan sengaja dimaknai dan diletakkan pada ruang pengalaman dan pengetahuan, dalam ranah empiris penyair. Pada sisi lain, ruang dan waktu keakanan adalah kehendak dan harapan yang dengan sengaja dikonstruk dalam ruang ide sastrawan untuk diwujudkan dalam bentuk dan struktur puisi, sebagai objek formal atau objek rekayasa tanda (artificial sign). Karena itu, dalam setiap eksistensi puisi ruang dan waktu kelampauan dapat dikenali sebagai sesuatu atau hal yang tersurat dan tersorot, yakni kata, baris, dan bait, sedangkan keberadaan ruang dan waktu keakanan dapat dikenali sebagai yang tersirat, yakni isi, tema, pesan (intention), dan atau pemikiran yang sengaja diinskripsikan sastrawannya. Puisi yang disajikan sebagai sumber data adalah puisi Husni Djamaluddin. Husni Djamaluddin (HD) adalah pemuisi dari Sulawesi Selatan, yang sudah menasional. Para sastrawan Sulawesi Selatan memberi apresiasi yang sangat istimewa terhadap karya HD karena kedalaman dan ketajaman makna atau nilainya. Taufiq Ismail (dalam Yunus dkk., 2004:247) menyatakan penyair yang dapat menulis puisi yang memiliki kedalaman makna hanyalah penyair yang telah dipingpong intensitas pengalaman fisik dan batin, melintasi antara hayat dan maut. “Terima kasih Husni, kapan saya akan 294 sanggup mengikuti siraath Anda, bergabung dengan kehendak Allah semata?” Adapun, A. Moein MG (dalam Yunus dkk., 2004:1) menggelarinya sebagai “Panglima Puisi” karena kemahiran dan ketekunannya dalam merangkai kata-kata menjadi sebuah puisi serta kesetiannya dalam mencipta puisi sehingga pada akhir hayatnya masih sempat menulis puisi, yakni pada saat ia sedang dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Puisi yang ditulis terkahir sebelum menghembuskan nafas terakhirnya adalah “Ajal, Sebelum Datang” dan “Apa Kata Rakyat tentang HPH Konglomerat”. Di bawah ini dituliskan puisi paling terakhirnya: APA KATA RAKYAT TENTANG HPH KONGLOMERAT Seluruh kawasan hutan ini Kita yang punya Kecuali Pohon-pohonnya 17 Agustus 2004 Pendekatan Data makalah ini berupa kutipan kata, baris, dan bait dari teks puisi. Dengan data seperti itu, maka makalah ini cocok dikaji dengan kajian kualitatif. Kutipan kata, baris, dan bait dari teks puisi tersebut disesuaikan dengan masalah yang akan dibahas dalam makalah. Masalah yang dibahas dalam makalah ini dikaitkan dengan tempat pelaksanaan HISKI kali ini, yakni di Ambon. Setelah membaca kumpulan puisi Husni Djamaluddin yang berjudul, Indonesia, Masihkah Engkau Tanah Airku? penyaji menemukan puisi yang menarik dan menganggap cocok atau pas dengan tempat pelaksanaan HISKI. Puisi yang dimaksud adalah puisi yang berjudul, “Ambon dulu, Ambon sekarang”. Puisi Ambon dulu, Ambon sekarang dianggap menarik dan teristimewa karena ditujukan kepada Mayjen Suaidi Marasabessy, yang pada saat itu beliau sedang menjabat sebagai Panglima Daerah Militer (Pangdam) VII Wirabuana dan pada saat itu pula terjadi kerisis kemanusian yang luar biasa di kota Ambon Manise ini. Puisi tersebutlah yang dikaji dalam makalah ini dengan pendekatan hermeneutika. Adapun, hermeneutika yang dimaksud adalah hermeneutika Ricoeur. Menurut Ricoeur, hermeneutika adalah teori mengenai aturan-aturan penafsiran terhadap teks tertentu atau pun sekumpulan tanda maupun simbol yang dianggap sebagai teks (Suratno, 2005:105). Dengan demikian, hermeneutika berupaya untuk menghilangkan misteri yang terdapat pada simbol atau teks (karya sastra) dengan cara membuka selubung yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol atau teks tersebut. Ricoeur (2006) menyatakan bahwa sebuah teks adalah otonom atau berdiri sendiri dan tidak bergantung pada maksud pengarangnya (pembaca dapat menginterpretasi sendiri). Selanjutnya, hermeneutika Ricoeur membutuhkan satu dugaan dan yang satu memperkirakan yang lainnya. Hal ini disebabkan teks mengandung pluralitas makna yang inhern yang memungkinkan ditafsirkan dengan berbagai macam cara. Hal ini menandakan bahwa interpretasi merupakan proses yang terbuka, tetapi tidak berarti sewenang-wenang dan berubah-ubah. Dalam melakukan penafsiran yang mendalam, penafsir memasuki dunia teks, mengikuti gerak pemahaman ke makna lain (referensial), dari struktur internal ke dunia yang diproyeksikan (Rafiek, 2010:6). Langkah kerja hermeneutika Ricoeur adalah sebagai berikut: (1) langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol, (2) langkah pemberian makna oleh 295 simbol serta penggalian yang cermat atas makna, (3) langkah yang benar-benar filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya. Ketiga langkah tersebut berhubungan erat dengan langkah-langkah pemahaman bahasa, yaitu semantik, refleksif, serta eksistensial atau ontologis (Sumaryono , 1999: 111). Ketiga langkah tersebut dipakai dalam mengungkapkan nilai solidaritas atau kesetiakawanan pada puisipuisi yang dimaksud. Pembahasan Di bawah ini disajikan puisi yang berjudul Ambon dulu, Ambon sekarang. Surat puisi sebelas Maret kepada Mayjen Suaidi Marasabessy Ambon dulu Ambon sekarang I ambon dulu ambon manise pukul tifa menari lenso katong bagoyang badane ambon dulu ambon manise masjid dan gereja dibangun rame-rame Tuhan pun amatlah senang ambon dulu ambon manise kebun pala dan pohon cengkeh berbunga dan berbuah di belakang rumah ambon dulu ambon manise ombak datang dari laut pantai putih pantai natsepa tempat bernyanyi sampai pagi ambon dulu ambon manise ambon dituntun pela gandong satu rumah dua agama satu darah dua kampong II ambon sekarang ambon menangise pukul tifa dengan tombak panah dan bom meledak mengoyak-ngoyak dada dan kalbu orang bersaudara ambon sekarang ambon menangise masjid dan gereja dibakar rame-rame 296 Tuhan pun amatlah sedih ambon sekarang ambon menangise kebun pala dan pohon cengkeh telantar di belakang rumah yang terbakar ambon sekarang ambon menangise pantai putih jadi pantai merah di situ darah sudah tumpah dari sesama ambon yang luka parah ambon sekarang ambon menangise pela gandong tinggal cerita nenek moyang ambon sekarang ukulele yang kehabisan lagu ambon sekarang puisi duka yang kehabisan kata ambon sekarang adalah mama yang kehabisan air mata jangan sampai ambon kehabisan doa jangan sampai ambon kehabisan harapan Makassar, 11 Maret 1999 Puisi yang berjudul “Ambon dulu, Ambon sekarang” di atas terbagi ke dalam dua bagian, yakni bagian I (Ambon dulu) terdiri atas 5 bait dan setiap bait terdiri atas 4 larik (baris), sedangkan bagian II (Ambon sekarang) terdiri atas 7 bait dan setiap bait tidak semua sama jumlah lariknya. Nilai solidaritas atau kesetiakawanan yang diketahui dan ditemukan pada puisi “Ambon dulu, Ambon sekarang” ditempuh melalui satuan informasi. Satuan informasi yang dimaksud adalah subjek dan predikat. Kata dan atau kelompok kata yang tergolong subjek dan predikat, seperti tampak pada tabel berikut ini. Subjek Ambon dulu ambon manise Ambon sekarang menangise ambon Predikat pukul tifa menari lenso, katong bagoyang badane masjid dan gereja dibangun rame-rame, Tuhan pun amatlah senang pantai putih pantai natsepa, tempat bernyanyi sampai pagi Ambon dituntun pela gandong, satu rumah dua agama, satu darah dua kampong pukul tifa dengan tombak, panah dan bom meledak (yang) mengoyak-ngoyak dada dan kalbu orang bersaudara masjid dan gereja dibakar rame-rame, Tuhan pun amatlah sedih 297 kebun pala dan pohon cengkeh telantar (karena) di belakang rumah terbakar pantai putih (men-)jadi pantai merah, di situ darah sudah (ter-)tumpah, dari sesama Ambon yang luka parah pela gandong tinggal cerita nenek moyang ukulele yang kehabisan lagu puisi duka yang kehabisan kata adalah mama yang kehabisan air mata jangan sampai kehabisan doa (dan) harapan Keterangan: Kata yang ditulis dalam kurung dan tanda baca sengaja dimunculkan (interpolasi) untuk melugaskan informasi yang terinskripsi dalam pernyataan tersebut. Puisi di atas secara tersurat telah menunjukkan oposisi biner. Hal tersebut tampak pada judul, yakni pemakaian kata Ambon dulu dan Ambon sekarang. Perbedaan pemakaian kata itu tentunya membawa konsekuensi makna yang berbeda pula karena pemuisi/penyair yang sudah profesional selalu mempertimbangkan aspek pilihan kata yang tepat untuk mengusung makna yang cocok atau yang sesuai dengan harapan yang dikehendakinya, seperti pemuisi Husni Djamaluddin. Ambon yang diikuti dengan kata dulu menunjukkan adanya lawan kata, yakni Ambon yang diikuti dengan kata sekarang. Kata Ambon yang diikuti dengan kata keterangan dulu menunjukkan arti masa yang telah lalu, telah lewat, atau telah lampau, sedangkan kata Ambon yang diikuti dengan kata sekarang menunjukkan arti masa kini, atau masa yang sedang berjalan. Perbedaan kedua kata yang mengikuti kata Ambon tersebut jelas mengusung makna yang berbeda pula, perbedaan itulah yang dijelaskan dengan pendekatan hermeneutika. Pada abstraksi puisi di atas, kata dan atau kelompok kata Ambon dulu ambon manise dikategorikan sebagai subjek. Kata Ambon menunjukkan nama tempat dan dalam lembaran Negara, Ambon merupakan Ibu Kota Provinsi Maluku. Kata dulu menunjukkan arti masa yang telah lalu, telah lewat, atau telah lampau, sedangkan kata manise berasal dari kata manis yang berarti rasa yang seperti rasa gula, enak, elok, ramah, menyenangkan, damai dan sebagainya. Dari pemahaman semantik tersebut, maka dapat direfleksikan bahwa Ambon dulu ambon manise menunjukkan suatu hal yang membahagiakan . Hal yang membahagiakan tentu didambakan oleh setiap individu karena menyangkut soal fitrah kemanusiaan. Fitrah kemanusiaan secara hakiki adalah menginginkan ketentraman, kedamaian, ketenangan dalam kehidupan, baik secara individu, kelompok, atau pun berbangsa dan bernegara. Berkaitan dengan makna semantik dan refleksif tersebut, maka makna eksistensi Ambon dulu ambon manise tergambarkan, seperti pada kata dan atau kelompok kata yang terkategorikan predikat, sebagai berikut: pukul tifa menari lenso, katong bagoyang badane/ masjid dan gereja dibangun rame-rame, Tuhan pun amatlah senang/ pantai putih pantai Natsepa, tempat bernyanyi sampai pagi/ Ambon dituntun Pela Gandong, satu rumah dua agama, satu darah dua kampong. Sungguh indah Ambon dulu ambon manise, orang dapat bermain gendang, menari, dan bergoyang riang serta bergotong royong dalam membangun tempat ibadah (masjid dan gereja) dengan saudara, sahabat, secara bersama-sama meskipun di antara mereka berbeda suku, ras, dan agama, mereka tetap rukun dan damai. Mereka (Ambon dulu) memahami dengan baik dan mengimplementasikan dengan penuh tanggung jawab tentang nilai Pela Gandong. Pela 298 Gandong bagi Ambon dulu merupakan harga mati yang tidak boleh ditawar-tawar lagi, pedoman dalam kehidupan, kearifan lokal yang dijunjung tinggi karena nilai yang diembannya sangat memanusiakan manusia tanpa melihat latar belakang budaya, suku, ras, dan agama, semuanya menyatu dalam hidup yang penuh kedamaian. Itu berarti bahwa mereka telah menerapkan pula makna bhineka tunggal ika, yang menjadi modal perekat bangsa dari Sabang sampai dengan Maraoke. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa Ambon dulu memegang teguh nilai-nilai yang termaktub dalam Pela Gandong. Nilai-nilai yang termaktub dalam Pela Gandong salah satunya adalah solidaritas/kesetiakawanan positif (meminjam istilah Emile Durkheim). Kesetiakawanan positif adalah kesetiaan yang luhur, yang jauh dari siasat dan tipu daya karena ingin mementingkan diri sendiri atau pun kelompok. Dengan kata lain, kesetiakawanan positif adalah kesetiaan yang mengutamakan kepentingan bersama, kedamaian bersama, dan akhirnya kebahagian bersama. Sebernarnya inilah nilai Pela Gandong yang dipahamkan oleh Husni Djamaluddin dalam puisinya, khususnya untuk bagian yang pertama. Pada bagian kedua, kata dan atau kelompok kata yang terkategorikan sebagai subjek adalah Ambon sekarang ambon menangise. Kata sekarang berarti bersinonim dengan masa kini, masa yang sedang berjalan, sedangkan kata menangise berasal dari kata dasar tangis yang mendapat awalan men- dan akhiran e dalam bahasa Ambon. Dalam bahasa Indonesia baku tidak ditemukan atau tidak dikenal akhiran e, yang ditemukan adalah akhiran –an, -kan, dan –i. Kata menangise berasal dari kata dasar tangis. Tangis berarti mengeluarkan air dari mata, mencucurkan air mata dengan mengeluarkan suara tersedu-sedu/menjerit-jerit, jika menangise bersinonim dengan kata menangisi berarti mengeluarkan air dari mata karena untuk, bagi, menyesali, atau bersedih hati sebab suatu hal. Misalnya, musibah yang menimpa dirinya atau keluarganya, baik yang disebabkan secara internal (dari dalam keluarga sendiri) maupun secara eksternal (dari luar keluarga). Berdasarkan pemahaman semantik tersebut, dapat direflesikan bahwa Ambon sekarang ambon menangise mengusun makna yang tidak menyenangkan dan apalagi membahagiakan. Hal itu dapat dicermati mulai jumlah larik dari setiap bait yang tidak simetris, yakni ada bait yang terdiri atas 4 larik, 3 larik, dan juga ada hanya 2 larik, sedangkan pada bagian pertama semua bait memiliki jumlah larik yang sama, yakni 4 larik. Selain itu, pada bagian kedua pilihan kata dan atau kelompok kata yang terkategorikan sebagai predikat, citraannya memang tidak menyenangkan, seperti berikut: 1) pukul tifa dengan tombak, 2) panah dan bom meledak yang mengoyakngoyak dada dan kalbu orang bersaudara, 3) masjid dan gereja dibakar rame-rame, 4) kebun pala dan cengkeh telantar, 5) pantai putih menjadi merah karena di situ darah tersimbah, 6) pela gandong tinggal cerita nenek moyang, 7) ukulele yang kehabisan lagu, 8) puisi duka yang kehabisan kata, 9) mama yang kehabisan air mata, 10) (tetapi) jangan kehabisan doa dan harapan. Citraan yang menyedihkan, mengerikan atau menyeramkan, seperti pukul tifa dengan tombak. Sebenarnya, tifa adalah semacam gendang kecil yang dimainkan dengan jari-jemari secara lembut dan bukan dengan tombak karena tombak adalah benda keras dan runcing serta sangat berbahaya jika mengenai seseorang. Orang yang memiliki tombak biasanya mempunyai sikap dan prilaku yang keras, dia ingin membinasakan lawan-lawannya dengan tombaknya. Pernyataan yang terkategorikan predikat 1) itu dipertegas dengan predikat 2) yakni; panah dan bom meledak yang mengoyak-ngoyak dada dan kalbu orang bersaudara Berdasarkan pemahaman refleksif di atas, dapat dikatakan bahwa eksistensi Ambon sekarang ambon menangise menunjukkan makna hilangnya sisi kemanusiaan 299 dalam diri manusia, yang ada adalah makna kebinatangan dan atau kebuasan (yang kuat memansa atau menghabisi yang lemah), saling membinasakan di antara mereka yang berbeda suku, ras, dan agama. Selama ini, Pela Gandong yang menjadi inti utama bagi perekat di antara mereka yang berbeda suku, ras, dan agama hanya tinggal sebagai cerita nenek moyang karena kehilangan pamornya sebagai perekat keberbedaan. Husni Djamaluddin memahamkan kepada pembaca atau penikmat puisinya pada bagian yang kedua tersebut adalah bentuk solidaritas negatif. Dikatakan solidaritas negatif karena kerjasama yang dilakukan adalah kerjasama yang membinasakan kelompak lain, yang tidak sekeyakinan dengan kelompoknya, seperti masjid dan gereja dibakar rame-rame. Masjid dan gereja adalah benda mati, yang tidak memiliki pretensi apa pun, selain sebagai tempat beribadah bagi pemeluknya juga menjadi sasaran pembinasaan oleh kesetiakawanan negatif. Ukulele kehabisan lagu, puisi kehabisan kata, dan mama kehabisan air mata merupakan ironi dari suatu tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan. Hal ini dapat dibayangkan kalau ukulele (pemusik) tak lagi dapat menciptakan lagu-lagu yang merdu karena trauma dari tragedi kemanusiaan dan juga pemuisi tak mampu lagi merangkai kata-katanya untuk melahirkan bait-bait puisinya, serta yang lebih parah lagi adalah mama. Mama yang disimbolkan sebagai manusia yang lemah lembut dan hanya dapat mengeluarkan air mata ketika ada masalah, tetapi kali ini air mata itu sudah tidak ada, sudah habis ditumpahkan semua sementara kebiadaban masih juga berlangsung. Itulah tragedi kemanusiaan yang diinskripsikan oleh Husni Djamaluddin dalam puisinya yang berjudul Ambon dulu, Ambon sekarang. Namun, diakhir puisinya dia tetap berharap bahwa manusia jangan pernah putus asah walau musibah dahsyat silih berganti. Apalagi, Orang Maluku mengenal istilah arumbae. Arumbae menjadi simbol daerah yang di dalamnya terdapat lima orang sedang mendayung menghadapi tantangan lautan. Secara filosofis, maknanya ialah masyarakat Maluku adalah masyarakat yang dinamis, dan penuh daya juang dalam menghadapi tantangan untuk menyongsong masa depan yang gemilang (https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Maluku, diakses 3 Agustus 2015). Ingat pulah bahwa Tuhan tidak pernah memberi beban kepada hamba-Nya melebihi batas kesanggupan hamba dalam mengahadapinya (Q.S. Al-Baqarah:286). Simpulan Pembelajaran nilai solidaritas positif dalam kehidupan perlu dibina dan dipelihara sepanjang masa karena akan memanusiakan manusia dan bahkan terhadap seluruh isi alam semesta raya ini. Sementara, solidaritas negatif menjadikan kehidupan merana dan kacau balau, nilai kemanusiaan terabaikan, yang diutamakan adalah kepentingan kelompok karena itu harus dipadamkan. Puisi sebagai karya kreatif yang dilahirkan oleh pemuisi setelah berkontempalsi dapat menjadi media pembelajaran nilai-nilai kehidupan manusia, termasuk nilai solidaritas atau kesetiakawanan yang diidealkan manusia secara universal. 300 Daftar Rujukan Amir, Hasyim. 1990. Pendidikan Sastra Lanjut. Malang: IKIP Malang. Djamaluddin, Husni. 2004. Indonesia, Masihkah Engkau Tanah Airku? Jakarta: Pustaka Jaya. Gabriel, Ralph H. 1991. Nilai-nilai Amerika: Kelestarian dan Perubahan. Diterjemahkan Paul Surono Hargosewoyo dan Suntingan Alex H. Rambadeta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Gazalba, Sidi. 1998. Sistematika Filsafat III. Jakarta: Bulan Bintang. Iskandar, Teuku. 1998. Kamus Dewan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Muliadi. 2014. Nilai Multikultural Teks Puisi Husni Djamaluddin dalam Kajian Hermeneutika. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: PPs UM Malang. Rafiek, M. 2010. Teori Sastra: Kajian Teori dan Praktik. Bandung: Refika Aditama. Ricouer, Paul. 2003. Filsafat Wacana. Terj. Masnur Hery. Yogyakarta: IRCiSod. Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing Sumaryono, E. 2005. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 301 DIMENSI PUITIS WACANA TRADISI LISAN DHEKE SA’O ETNIK RONGGA DI MANGGARAI TIMUR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Ni Wayan Sumitri (FPBS IKIP PGRI Bali – Indonesia) Fransiskus Bustan (FKIP Universitas Nusa Cendana Kupang – Indonesia) Abstrak: Makalah ini mengkaji dimensi puitis wacana tradisi lisan dheke sa’o etnik Rongga di Manggarai Timur, Provinsi NTT. Ritual dheke sa’o adalah tradisi ritual keberhasilan etnik Rongga membangun rumah adat yang diiringi dengan sebuah tarian dan nyanyian tradisional. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif-kualitatif yang beraras pada filsafat fenomenologi. Metode dan teknik pengumpulan data adalah pengamatan, wawancara, studi dokumentasi, rekam, dan catat. Data dianalisis secara induktif. Hasil penelitian menunjukkan, satuan kebahasaan yang dipakai dalam wacana tradisi lisan dheke sa’o memiliki karakteristik khas sebagai pemarkah dimensi puitis yang secara formal linguistis tersusun atas baris dan bait yang menunjukkan perpaduan leksikal melalui pengulangan berupa paralelisme fonologis. Dimensi puitis tersebut ditandai dengan pola permainan bunyi berbentuk asonanasi berstruktur simetris dan asimetris, aliterasi berupa permainan bunyi konsonan, dan rima yang terdiri atas rima awal, tengah, dan akhir. Dimensi puitis itu merupakan kekayaan verbal bernilai estetis magis sebagai refleksi hubungan antara manusia dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Wacana tradisi lisan dheke sa’o perlu dipahami, dipertahankan, dan didokumentasikan dalam upaya pelestarian sebagai bentuk khazanah budaya lokal etnik Rongga. Kata kunci: dimensi puitis, wacana, ritual, dheke sa’o, etnik Rongga Pendahuluan Bangsa Indonesia adalah bangsa yang multietnik karena terbentuk dari beragam etnik atau suku bangsa yang tersebar secara meluas dari Sabang sampai Merauke. Sebagian masih berada pada tingkatan hidup sederhana, sedangkan sebagian yang lain sudah berada pada tingkatan hidup lebih maju karena mereka berhasil menyerap nilainilai kebudayaan dari luar untuk menunjang kemajuan kebudayaannya (Hidayah, 1999:284). Setiap etnik tersebut memiliki sosok kebudayaannya masing-masing dengan corak khas sebagai pemarkah kedirian dan fitur pembeda dengan etnik-etnik lain, yang salah satu pantulannya mewujud secara empiris dalam bahasa lokal yang mereka pakai. Salah satu etnik yang mencirikan keberadaan bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk adalah etnik Rongga yang tersebar di beberapa kampung di wilayah Kecamatan Kota Komba Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang tergolong etnik minoritas83 dengan jumlah penduduk sekitar 8.000 jiwa 83 Pemaknaan etnik Rongga sebagai etnik minoritas dalam penelitian ini lebih banyak dilihat dari besaran populasinya (bukan dari perpektif sosial dan kultural dengan sandingannya 302 (Sumitri dan Arka, 2013; Sumitri 2015). Terlepas dari keberadaannya sebagai etnik minoritas, etnik Rongga memiliki sosok kebudayaan sendiri dengan coraknya yang khas jika disanding dalam tolok bandingan dengan etnik-etnik yang lain. Kekhasan sebagai kekhususan pembeda atau ciri pemerlain sosok kebudayaan etnik Rongga tercermin dalam bahasa lokal yang mereka pakai, yang dalam pemakaiannya sehari-hari dikenal dengan sebutan bahasa Rongga. Kebermaknaan bahasa Rongga sebagai cerminan sosok kebudayaan etnik Rongga dapat dilihat dan disimak, antara lain, dalam wacana tradisi lisan dheke sa’o (yang selanjutnya disingkat WTLDS), wacana budaya yang dituturkan dalam konteks ritual dheke sa’o. Secara leksikal, kata (verba) dheke berarti ‘naik/masuk’ dan kata (nomina) sa’o berarti ‘rumah adat’. Sesuai konseptualisasi yang terpatri dalam peta pengetahuan etnik Rongga, ritual dheke sa’o adalah ritual yang berkaitan dengan keberhasilan etnik Rongga membangun rumah adat (sa’o merhe/sa’o lamba) baru. Dalam tautan dengan konteks yang melatari penuturannya, WTLDS didendangkan dengan tujuan: (1) menyampaikan ucapan syukur kepada Tuhan atas keberhasilan mereka dalam membangun rumah adat baru; (2) memohon kepada Tuhan yang disampaikan dengan perantaraan leluhur agar memberikan keselamatan dan kebahagiaan hidup bagi seluruh warga suku, baik ana haki (pihak saudara laki-laki ibu) maupun ana fai (pihak saudara perempuan ayah); (3) mengesahkan atau meresmikan rumah baru itu sebagai rumah adat; dan (4) mempererat tali persaudaraan antarwarga yang tercakup dalam suku beserta ana haki dan ana fai. Beberapa tujuan itu tergurat dalam dan di balik bentuk tekstual satuan kebahasaan atau satuan ujaran yang dipakai dalam WTLDS dalam rajutan formulasi bergaya sastra dengan menampilkan pola katakata berdimensi puitis yang tidak hanya mengandung keindahan bentuk tetapi juga mengundang kenikmatan inderawi ketika disimak. Dengan merujuk pada beberapa fakta lingual dan fakta kultural yang dipaparkan di atas sebagai latar pikir, peneliti tertarik melakukan penelitian ini dengan fokus kajiannya berkenaan dengan dimensi puitis WTLDS sebagai salah satu produk dan praktek budaya tetesan masa lalu atau warisan leluhur etnik Rongga dalam tautan dengan kebermaknaannya sebagai pemarkah kedirian dan fitur pembeda atau ciri pemerlain etnik Rongga sebagai suatu guyub tutur dan guyub budaya. Sesuai karakter masalah yang ditelaah, penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian deskriptif kualitatif yang beraras dengan pada perspektif fenomenologi sebagai landasan filosofis. Data utama yang sumber rujukan pengkajian adalah rekaman video audio visual peristiwa ritual dheke sa’o dan hasil wawancara dengan pelaku ritual tersebut. Data dianalisis dengan menggunakan metode induktif karena bergerak dari data menuju teori atau konsep yang bersifat lokal-ideografis menyangkut dimensi puitis WTLDS etnik Rongga. Konsep Sesuai karakter masalah yang menjadi sasaran pemeriannya, berikut dipaparkan dan dijelaskan konsep tentang wacana dan tradisi lisan yang dipakai sebagai panduan teoritis dan anjungan berpikir dalam mencandra dimensi puitis WBTLDS sebagai masalah pokok dalam penelitian ini. dengan beberapa etnik lain yang tercakup dalam kelompok etnik Manggarai dalam hal ketidaksamaan dalam power atau daya dan kesmepatan dalam group yang dominan (bdk Arka, 2013:75) 303 Wacana Kata atau istilah ‘wacana’ dapat dipahami secara berbeda sehingga tidak heran jika ditemukan beragam definisi atau batasan pengertian wacana. Dalam perspektif linguistik, yang dimaksud dengan wacana adalah rekaman kebahasaan yang utuh tentang suatu peristiwa komunikasi. Menurut Osch 1988:8), wacana merupakan seperangkat makna yang menghubungkan struktur bahasa dengan konteks yang melatarinya, yang dirajut penutur dan pendengar dalam proses memproduksi dan menafsirkan makna. Dilihat dari bentuk dan cara penyampaiannya, wacana dibedakan atas wacana tertulis dan wacana lisan. Semua jenis wacana yang disampaikan secara lisan dan mengikuti adat-istiadat tertentu yang sudah terpola dalam konteks kehidupan suatu masyarakat disebut tradisi lisan (Sedyawati, 1996:5). Dalam perspektif kebudayaan, wacana menunjuk pada seperangkat makna, norma, sikap, dan harapan yang menghubungkan struktur bahasa dengan konteks sosial budaya yang melatarinya. Hubungan struktur bahasa dan konteks sosial budaya tersebut dibingkai oleh para penuturnya sedemikian rupa menjadi suatu wacana sebagai sebuah wadah yang mewahanai proses memproduksi dan menafsirkan makna. Salah satu ancangan dalam pengkajian satuan kebahasaan yang dipakai suatu masyarakat dalam peristiwa tutur tertentu adalah analisis wacana, khususnya teks. Teks adalah sebuah tenunan makna yang membentuk satuan wacana yang utuh dengan memanfaatkan satuan kebahasaan atau satuan ujaran mulai dari satuan bunyi sampai dengan satuan yang lebih besar dari kalimat. Hubungan semantis dan pragmatis antara kalimat dan klausa dengan berbagai unsur bawahannya yang membentuk suatu teks wacana disebut kohesi. Salah satu aspek kohesi yang terdapat dalam suatu teks wacana sastera dan wacana sejenisnya, menurut Cook (1994:29), adalah paralelisme, termasuk paralelisme fonologis atau paralelisme pada tataran fonologis, paralelisme morfologis atau paralelisme pada tataran morfologis, dan paralelisme sintaksis atau paralelisme pada tataran sintaksis. Selain berfungsi sebagai piranti pembentuk keutuhan teks wacana, paralelisme tersebut juga menampilkan dimensi puitis yang tidak hanya mengandung keindahan bentuk dalam stuktur mukaan, tetapi juga mengundang kenikmatan inderawi ketika disimak, di samping pemakaian aliterasi dan rima. Tradisi Lisan Tradisi lisan adalah segala wacana yang diucapkan dan meliputi yang lisan dan yang beraksara atau sebagai sistem wacana yang bukan aksara (Pudentia, 1996). Dalam pandangan Vansina (1985:27-28), yang dimaksud dengan ‘tradisi lisan’ adalah pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini, yang kemungkinan dituturkan atau dinyanyikan dengan atau tanpa diiringi musik. Pada sisi lain, menurut Danandjaja (1986:2), tradisi lisan dapat diartikan sebagai sebagian kebudayaan suatu kolektif macam apa saja, secara tradisional tampil dalam versi berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Bertolak dari batasan pengertian itu, beberapa ciri utama tradisi lisan adalah sebagai berikut: (1) penyebaran dan pewarisan secara lisan; (2) bersifat tradisional; (3) ada dalam versi-versi dan varian berbeda; (4) bersifat anonim; (5) mempunyai bentuk berumus atau berpola; (6) mempunyai kegunaan (fungsi) dalam kehidupan bersama kolektifnya; (7) bersifat pralogis, artinya mempunyai logikanya sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum; (8) menjadi milik bersama suatu masyarakat; dan (9) bersifat polos dan lugu. 304 Dimensi Puitis WTLDS Etnik Rongga Sesuai kenyataan bentuk tekstual yang tampak secara fisik dalam struktur mukaan, dimensi puitis WTLDS tercermin dalam satuan kebahasaan yang tersusun atas baris-baris dan bait-bait guna menunjukkan perpaduan leksikal yang diwahanai melalui pengulangan dan tampil dalam wujud paralelisme, khususnya paralelisme fonologis berupa asonansi, di samping aliterasi dan rima, sebagai pemarkah dimensi puitis WTLDS. Fenomena kebahasaan berdimensi puitis yang dipakai dalam WTLDS merupakan bagian dari kesalehan ritual dekhe sa’o karena komunikasi yang disampaikan itu bersifat transendental dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Asonansi Pola bunyi berasonansi merupakan salah satu ciri paralelisme fonologis yang paling umum dan paling produktif dipakai dalam teks WTLSD berupa pemakaian bunyi vokal yang sama dalam kata-kata berdekatan dan diikuti atau dikelilingi bermacammacam bunyi konsonan (bdk Reaske, 1966:21). Dilihat dari strukturnya, pola bunyi berasonansi yang dipakai dalam teks WTLSD dapat dipilah dan dibedakan atas asonansi berstruktur simetris dan asonansi berstruktur asimetris. Realitas pemakaian pola asonansi berstruktur simetris dan pola asonansi berstruktur asimetris sebagai pemarkah dimensi puitis WTLDS dapat dilihat dan disimak pada beberapa segmen wacana berikut: (01) Embu ndeta mata rangga ma’e ti’i rara kasa leluhur atas tempat tinggi jangan beri panas badan ‘Leluhur di tempat yang tinggi di atas jangan beri badan kami panas’ Embu ndia papa bhoko bhagi kami lombo wombo leluhur sini bagian bawah bagi kami ujung tinggi besar ’ ‘Leluhur bagian bawah di sini berikan kami berkat yang besar’ (02) Jara mosa bhara, raru peko maju kuda jantan putih, semangat kejar rusa’ ‘Kuda jantan putih bersemangat kejar rusa’ Langa kara, mesi wa’i to teki’ pasang kekang baru kaki tusuk turun ‘Pasang kekang baru, kaki angkat turun’ (03) Mbako ghembe kende, wunu ghebhaghe keti tembakau tebing miring daun lebar-lebar petik ‘Memetik tembakau di tebing miring yang daunnya lebar-lebar’ Keti sewunu mbingu toto riwu petik sehelai gila semua orang ‘Petik satu lembar membuat gila semua orang’ (04) Ndili no ndele moe kowa palo rajo bawah dan atas seperti sampan beriringan perahu ‘Bawah dan atas seperti sampan beriringan dengan perahu’ Ndeta no ndele moe bondo wa’u raju atas dan bawah seperti lumbung turun tumbuk ‘Atas dan bawah seperti lumbung diturunkan ditumbuk’ (05) Mbata sosa kau meta wiri penda ombak besar kau cukup batas pandan ‘Ombak yang besar kau cukup pada batas pandan’ Embo lau mai kau lange wiri maghi ombak dari sana kau batas sampai lontar ‘Ombak dari sana batasmu sampai pada pohon lontar’ 305 Seperti tampak pada fragmen (01), terdapat pemakaian pola asonansi berstruktur simetris dan pola asonansi berstruktur asimetris sebagai pemarkah dimensi puitis WTLDS. Pola asonansi berstruktur simetris ditandai dengan beberapa fenomena kebahasaan berikut: (a) fenomena permainan bunyi vokal sepadan a-a dalam kata mata ‘panas’ yang tampil dalam sandingan dengan kata rangga ‘badan’ dan dalam kata rara ‘panas’ yang tampil dalam sandingan dengan kata kasa ‘badan’serta (b) fenomena permainan bunyi vokal sepadan o-o dalam kata bokho ‘bawah’ yang tampil dalam sandingan dengan kata lombo ‘ujung’ dan kata wombo ‘tinggi besar’. Pola asonansi berstruktur asimetris ditandai dengan fenomena permaian bunyi vokal tidak sepadan a-i dalam kata baghi ‘bagi’ yang tampil dalam sandingan dengan kata kami ‘kami’. Demikian pula pada fragmen (02), terdapat pemakaian pola asonansi berstruktur simetris dan pola asonansi berstruktur asimetris sebagai pemarkah dimensi puitis WTLDS. Pola asonansi berstruktur simetris ditandai dengan fenomena permainan bunyi vokal sepadan a-a dalam kata jara ‘kuda’ yang tampil dalam sandingan dengan kata bhara ‘putih’ dan dalam kata langa ‘pasang’ yang tampil dalam sandingan dengan kata kara ‘kekang’. Pola asonansi berstruktur asimetris ditandai dengan fenomena kebahasaan berikut: (a) fenomena permainan bunyi vokal tidak sepadan a-u dalam kata raru ‘semangat’ yang tampil dalam sandingan dengan kata maju ‘rusa’ dan (b) fenomena permainan bunyi vokal tidak sepadan e-i dalam kata mesi ‘baru’ yang tampil dalam sandingan dengan kata teki ‘turun’. Seperti tampak pada fragmen pada fragmen (03), terdapat pemakaian pola asonansi berstruktur simetris dan pola asonansi berstruktur asimetris sebagai pemarkah dimensi puitis WTLDS. Pola asonansi berstruktur simetris ditandai dengan fenomena permainan bunyi vokal sepadan e-e dalam kata ghembe ‘tebing’ yang tampil dalam sandingan dengan kata kende ‘nama tempat’. Pola asonansi berstruktur asimetris ditandai dengan fenomena permainan bunyi vokal tidak sepadan i-u dalam kata mbingu ‘gila’ yang tampil dalam sandingan dengan kata riwu ‘semua orang’. Pada fragmen pada fragmen (04), tidak terdapat pemakaian pola asonansi berstruktur simetris, kecuali pola asonansi berstruktur asimetris dalam tautan dengan fungsinya sebagai pemarkah dimensi puitis WTLDS. Pola asonansi berstruktur asimetris tersebut ditandai dengan fenomena kebahasaan berikut: (a) fenomena permainan bunyi vokal tidak sepadan a-o dalam kata palo ‘beriringan’ yang tampil dalam sandingan dengan kata rajo ‘perahu’ dan (b) fenomena permainan bunyi vokal tidak sepadan a-u dalam kata wa’u ‘turun’ yang tampil dalam sandingan dengan kata raju ‘tumbuk’. Seperti halnya pada fragmen (04), pada fragmen (05) hanya terdapat pola asonansi berstruktur asimetris sebagai pemarkah dimensi puitis WTLDS. Pola asonansi berstruktur asimetris yang dipakai dalam fragmen tersebut ditandai dengan beberapa fenomena kebahasaan berikut: (a) fenomena permainan bunyi vokal tidak sepadan e-a dalam kata meta ‘cukup’ yang tampil dalam sandingan dengan kata penda ‘pohon pandan’; (b) fenomena permainan bunyi tidak sepadan a-u dalam kata lau ‘selatan’ yang tampil dalama sandingan dengan kata kau ‘kamu’; dan (c) fenomena permainan bunyi tidak sepadan a-i dalam kata mai ‘sana’ yang tampil dalam sandingan dengan kata maghi ‘pohon lontar’. Aliterasi Aliterasi berkaitan dengan pengulangan bunyi konsonan atau kelompok konsonan yang muncil pada awal suku kata atau kata secara berurutan (Kridalaksana, 1984:9). Aliterasi merupakan ciri paralelisme pada tataran fonologis yang frekuensi kemunculannya sebagai pemarkah dimensi puitis dalam WTLDS cukup tinggi. Meski 306 demikian, jenis aliterasi yang terdapat dalam WTLDS beragam dengan pola tidak teratur sehingga sulit dikaidahkan secara pasti. Aliterasi hanya berkaitan dengan diksi atau pilihan kata dengan tujuan untuk menimbulkan keindahan bentuk dan kenikmatan bunyi sehingga menimbulkan suasana tertentu bagi pendengar. Realitas pemakaian aliterasi dalam teks WTLDS dapat dilihat dan disimak pada fragmen berikut. (06) Ndala ndau ndeta, ndeta ndala ndoa bintang atas sana sana bintang kembar ‘Bintang di atas sana bintan kembar’ Seke ndia lima, ndia lima seke ndake gelang ini tangan ini tangan gelang tingkat ‘Gelang tangan ini, tangan ini bertingkat Seperti tampak pada fragmen (06), terdapat pemakaian aliterasi berupa gabungan konsonan /nd/ yang muncul pada posisi awal kata ndala ‘bintang’, kata ndau ‘atas’, kata ndeta ‘sana’, kata ndala ‘bintang, dan kata ndoa ‘kembar’. Aliterasi konsonan /k/ dapat dilihat dan disimak dalam kata seke ‘gelang’ dan ndake ‘bertingkat’. Selain aliterasi, terdapat pemakaian pola asonansi berstruktur asimetris yang ditandai dengan fenomena permainan bunyi tidak sepadan i-a dalam kata ndia ‘ini’ yang tampil dalam sandingan dengan kata lima ‘tangan’. Rima Rima adalah pola perulangan bunyi yang sama, yang muncul secara berurutan pada kata, frasa, atau klausa. Bunyi berima sebagai ciri paralelisme fonologis merupakan unsur dasar pembentuk teks. Bunyi berima yang dipakai dan berfungsi sebagai penciri dimensi puitis WTLDS dapat disaksikan dari posisi kemunculannya dalam baris fragmen sehingga dapat dibedakan atas rima awal, rima tengah, dan rima akhir, yang frekuensi pemakaiannya sangat produktif. Pemakaian bunyi berima dalam WTLDS bermuara pada penyingkapan pesan agar lebih terasa padat makna dalam menggugah emosi pendengar dan tercerap dalam benak mereka esensi isi pesan yang disampaikan. Pemakaian rima dalam WTLDS dapat dilihat dan disimak pada fragmen berikut. (07) Mboru mboku Nggonu, lau Nggeno le ngedho lepas destar Nggonu sana Nggeno hanya lihat ‘Destar Nggonu lepas, di sana Nggeno hanya lihat’ Mesu pondi Nggeno, lau larha le nape kasihan ikat Nggeno sana jalan sudah tunggu ‘Nggeno kasihan ikatnya, sudah ditunggu di jalan sana’ Seperti tampak pada data (07), fenomena permainan kata berima muncul pada posisi awal, tengah, dan akhir. Rima awal ditandai dengan pemakaian kata bersajak konsonan mb-mb dalam kata mboru ‘lepas’ yang tampil dalam sandingan dengan kata mboku ‘destar’, kata bersajak konsonan ngg-ngg dalam kata Nggonu ‘nama orang’ dan kata Nggeno ‘nama orang’. Penggunaan rima yang bersajak vokal akhir sangat banyak dipakai dalam teks WTLDS, di samping untuk menciptakan keharmonisan estetis, juga bertalian dengan tipologi bahasa Rongga yang bersifat vokalik atau bersuku terbuka. Simpulan Mengacu pada bahasan yang dipaparkan di atas, penulis kemukakan beberapa simpulan. Pertama, dimensi puitis yang terdapat dalam WTLDS ditandai dengan pemakaian paralelisme fonologis berupa fenomena permainan bunyi dalam wujud asonnasi berstruktur simetris dan asimetris, alietrasi berupa permainan bunyi konsonan, dan rima yang terdiri atas rima awal, rima tengah, dan rima akhir. Kedua, dimensi puitis 307 itu merupakan kekayaan verbal bernilai estetis-magis sebagai refleksi hubungan antara manusia dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam yang sangat menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan hidup etnik Rongga sebagai manusia dan masayarakat dalam menapaki ziarah kehidupannya di dunia menuju kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Ketiga, sebagai sebuah tradisi lisan yang sarat makna, WTLDS perlu dipahami warga etnik Rongga, terutama oleh kelompok generasi muda, serta dipertahankan keberadaan dan didokumentasikan dalam upaya pelestarian sebagai bentuk khazanah budaya lokal etnik Rongga. Daftar Rujukan Arka, I. Wayan, dkk. 2007. Bahasa Rongga: Tatabahasa Acuan Ringkas. Jakarta. Penerbit Universitas Atma Jaya (PUAJ). Arka, I Wayan. 2010. Maintaning Vera in Rongga: Struggle over Culture, Tradition, and Language in Modern Manggarai, Flores, Indonesia dalam Endangered Languages Of Austronesia. Margaret Florey (Editor). Oxford University Press. Arka, I Wayan. 2012. Kamus : Bahasa Rongga-Indonesia dengan Pelacak Kata Bahasa Indonesia-Rongga. Jakarta. Penerbit Universitas Atma Jaya. Cook, G. 1994. Discourse and Literature: The Interplay and Mind. Oxford: Oxford University Press. Fox, J. J. 1986. Bahasa, Sastera dan Sejarah: Kumpulan Karangan mengenai Masyarakat di Pulau Rote. Jakarta: Djambatan. Geertz, Cliford 1992. Tafsir Kebudayaan.Yogyakarta: Kanisius Geertz, Cliford 1993 Kebudayaan dan Agama Yogyakarta: Kanisius Grimes, Barbara. 1997. “Knowing your Place, Representing Relations of Precedence and Origin on The Buru Landscape, J.J Fox (ed), The Poitic Power of Place: Comparative Perspectives on Austronesian Idea of Locality:116-31. Canberra:Departemen of Anthropology, Research School of Pasipfik and Asian Studies, Australian National University. Halliday, M. A. K and Hasan, R. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Diterjemahkan oleh Asrudin Barori Tou dan M. Ramlan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Edisi Kedua. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Moleong. Lexy J. 1990. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Muhadjir, Noeng. 1995. Metodelogi Penelitian Kualitatif: Telaah Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, Realism Metaphisik. Yogyakarta : Rake Sarasin. Ong, W.J. 1982. Orality and Literacy: the Technologizing of the Word. London: Routledge. Ocha, E. 1988. Culture and Language Devolopment: a Language acquistion in a samoan Village. Cambridge: University Press Pudentia, MPPS. 1988. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Reaske, Christhopher Russel. 1996. How to Analyze Poetry. New York: Monarch Press 308 Sedyawati, Edi. 1996. “Kedudukan Tradisi Lisan dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu-ilmu Budaya”. Dalam Warta ATI, Jurnal Pengetahuan dan Komunikasi Peneliti dan Pemerhati Tradisi Lisan. Edisi II/Maret/1996 Jakarta Sumitri, Ni Wayan. 2015 Wacana Tradisi Lisan Vera Etnik Rongga di Manggarai Timur, NTT. Disertasi Program Studi Doktor Linguistik Universitas Udayana Denpasar. Sumitri, Ni Wayan, dan Arka, I Wayan. 2013. Folklor Ritual Dari Etnik Rongga Flores:Jendela Kini untuk Masa Lalu dan Masa Depan. Dalam Folklor dan Folklife dalam Kehidupan Modern (ed) Suwardi Endraswara dkk. hal.727738. Sumitri, Ni Wayan. 2015. Wacana Tradisi Lisan Vera Etnik Rongga di Manggarai Timur, NTT. Disertasi Program Studi Doktor Linguistik Universitas Udayana Denpasar. Vanzina, Jan. 1985 Oral Tradition as History. Wisconsin: The University of Wisconsin Press. 309 PEMBELAJARAN SASTRA MENUMBUHKAN SIKAP SOLIDARITAS SEBUAH KAJIAN TERHADAP SAJAK “SEMENTARA AKU” KARYA ISBEDY STIAWAN Z. S. Ninawati Syahrul (Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemdikbud – Indonesia) Abstrak: Dewasa ini sikap, kecintaan, dan penghargaan generasi muda terhadap sastra Indonesia terkesan menunjukkan grafik menurun. Sekaitan dengan itu, guru sastra hendaklah mendukung cara pandang baru pengajaran sastra: menyenangkan dan menggembirakan, yang mampu menumbuhkan nilai positif dalam batin peserta didik. Nilai kehidupan itu adalah “asupan bergizi” sebagai bekal dalam menghadapi kenyataan hidup yang makin keras. Dari titik inilah pembelajaran sastra berperan sangat penting untuk memahami watak antarindividu, perbedaan antara yang satu dengan yang lain sehingga terlatih sikap hidup toleran dan solidaritas. Pembelajaran sastra adalah salah satu pilihan untuk yang diharapkan mampu mengubah dan memperbarui moralitas dan karakter anak manusia. Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis salah satu karya sastra terbaik sastrawan Lampung, Isbedy Stiawan Z.S., yang berjudul “Sementara Aku”. Sajak ini bercerita mengenai realitas yang menuntut keadilan sosial yang mengandung nada protes dan melukiskan ketidakadilan dalam masyarakat. Pemunculan sajak tersebut juga bertujuan untuk mengetuk pintu hati nurani semua kalangan agar keadilan sosial dapat ditegakkan dan diperjuangkan sehingga dapat menjadi salah satu contoh dan dasar penyelenggaraan pendidikan karakter. Dengan demikian, sajak “Sementara Aku” dapat diperhitungkan sebagai bahan ajar karena nilai didaktisnya memuat nnilai-nilai kehidupan dalam upaya membentuk sikap solidaritas peserta didik. Kata Kunci: apresiasi sastra, solidaritas, toleran, karakter, sikap hidup Pendahuluan Dewasa ini sikap dan kecintaan generasi muda, termasuk pelajar dan mahasiswa, terhadap sastra Indonesia menunjukkan grafik menurun. Kondisi menurunnya penghargaan generasi muda terhadap sastra Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, generasi muda kurang menggali dan memanfaatkan nilai sastra, sedangkan secara eksternal dipengaruhi oleh kecintaannya terhadap budaya asing. Padahal, saat ini banyak pihak mengakui bahwa sastra dapat digunakan oleh generasi muda sebagai alat untuk menguatkan kepekaan terhadap nilai kearifan dalam menghadapi kehidupan yang kompleks. Oleh sebab itu, sastra Indonesia harus diberdayakan untuk mengembangkan perannya sebagai media pembangun karakter bangsa demi pemartabatan bangsa Indonesia dalam pergaulan lintas bangsa di dunia yang semakin mengglobal. Dalam konteks pembangunan karakter bangsa, posisi generasi muda sangat strategis karena mereka yang akan mengemban estafet kepemimpinan bangsa pada masa kini dan masa depan. Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, perlu media bagi generasi muda untuk mengekspresikan kreativitasnya terkait dengan sastra Indonesia. Generasi muda dapat memanfaatkan peran sastra dalam membangun solidaritas demi terwujudnya persatuan dan kesatuan nasional. Salah satu media itu adalah karya sastra genre puisi, 310 sajak “Sementara Aku” karya Isbedy Stiawan, Z.S. Karya sastra ini merupakan wujud nyata dari pelaksanaan pendidikan karakter bangsa melalui sastra dalam rangka menumbuhkan dan memupuk jiwa dan semangat solidaritas. Masalah penetilian ini adalah bagaimana menumbuhkan rasa solidaritas generasi muda dengan menganalisis salah satu karya sastra terbaik sastrawan Lampung yang berorientasi terhadap lahirnya jiwa solidaritas. Landasan Teori Pendekatan ekspresif Jika puisi disikapi dengan pendekatan ekspresif, akan tampak suasana batin atau perasaan sang penyair dalam wujud karya sastra. Suasana kebatinan yang diekspresikan dan dituangkan ke dalam bentuk karya itu mengandung nilai rasa tersendiri. Hal berarti bahwa penyair berhasil mengetuk pintu kemanusiaan khalayak penikmat sastra, yang tidak saja berdiam pada ruang-ruang sepi sang penyair, tetapi juga berpartisipasi aktif dalam dimensi yang lebih luas. Waluyo (1995:143) beruijar bahwa rasa adalah emosi yang disampaikan oleh penyair melalui puisinya. Penyair yang satu dengan yang lainnya tentu berbeda perasaannya sehingga karya ciptaannya berbeda. Rasa adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkan (Aminudin, 1987:150). Tarigan menyatakan rasa atau feeling adalah sikap penyair terhadap permasalahan yang terkandung dalam puisinya. Puisi yang dikaji melalui pendekatan ekspresif akan terlihat ungkapan batin dan perasaan penyair. Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menekankan pada ekspresi perasaan atau temperamen, pikiran, dan diri penulis. Pendekatan ini lebih menitikberatkan pandangan hidup sang penyair. Dalam hal ini, puisi yang diciptakan dapat diperlakukan sebagai gambaran diri pribadi penulis (Wahyudi, 2002: 181). Hakikat Solidaritas Secara sederhana kata solidaritas dapat diartikan kesetiakawanan atau kekompakan antarsesama. Dalam bahasa Arab kata tersebut berpadanan dengan tadhamun (ketetapan dalam hubungan) atau takaful (saling menyempurnakan/melindungi). Pendapat lain mengemukakan bahwa solidaritas adalah kombinasi atau persetujuan dari seluruh elemen atau individu sebagai sebuah kelompok. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008) dijelaskan bahwa solidaritas diambil dari kata solider yang berarti ‘mempunyai atau memperliatkan perasaan bersatu’. Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan kelompok sosial dapat disimpulkan bahwa solidaritas adalah rasa kebersamaan dalam suatu kelompok tertentu yang menyangkut perilaku kesetiakawanan dalam mencapai tujuan dan keinginan yang sama.Wacana solidaritas bersifat kemanusiaan dan mengandung nilai adiluhung (mulia/tinggi). Tidaklah aneh kalau solidaritas ini merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam pergaulan masyuarakat yng beradab atau berbudi pekerti. Memang mudah mengucapkan kata, tetapi kenyataannya dalam kehidupan manusia sangat jauh sekali. Dalam ajaran Islam solidaritas sangat ditekankan karena solidaritas salah satu bagian dari nilai Islam yang mengandung nilai kemanusiaan. Jika dijabarkan secara lebih mendalam, solidaritas ialah sikap empati, sikap ingin merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain meskipun ketika mereka tengah berada di tempat dan lingkugan global yang berbeda. Solidaritas pada akhirnya muncul menjadi jembatan dari hati ke hati antara orang yang ingin mengerti orang lain. 311 Solidaritas tidak didorong atas desakan ingin sama dengan orang, tetapi ingin agar dirinya memiliki sudut pandang terbaik. Metodologi Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode deskriptif kualitatif berdasarkan kajian kepustakaan. Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara cermat mengenai keadaan atau gejala tertentu pada objek kajian. Teknik pengumplan data yang dilakukan berupa studi kepustakaan dan penelisikan sejunlah dokumentasi. Sumber pustaka yang dijadikan rujukan dan objek penelitian berupa buku, majalah, surat kabar, termasuk hasil unduhan dari internet . Sampel dalam penelitian ini diambil secara acak. Kriteria sampel sesuai dengan kriteria puisi tema solidaritas. Sebagai kriteria sampel puisi Isbedy Stiawan, Z.S. ”Sementara Aku” sesuai dengan kriteria pengajaran puisi. Kegiatan analisis dilakukan dengan pendekatan teoritik berdasarkan hasil kajian pustaka. Proses analisis data yang dilakukan mencakup reduksi data dan sajian data. Analisis reduksi data dilakukan dengan menyeleksi, memfokuskan, dan menyederhanakan yang telah telah diperoleh berdasarkan sumber pustaka. Analisis ini dilakukan guna mempertegas, meringkas, memfokuskan dan membuang data yang tidak penting agar simpulan dapat diambil. Setelah reduksi data, pada tahap sajian data akan disusun informasi yang ditemukan, lalu disajikan secara lengkap, baik data yang diperoleh dari studi pustaka maupun dokumentasi, sesuai dengan kategorinya secara sistematis. Selanjutnya, data ini digunakan sebagai rujukan penarikan simpulan penelitan dan beberapa saran yang dianggap perlu. Pembahasan Pentingnya Solidaritas dalam Kehidupan Manusia Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang sangat membutuhkan orang lain di sekitarnya. Multikulturalisme yang ada di Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia mempunyai banyak keragaman dan kekayaan yang sangat membutuhkan solidaritas antarsesama warga demi tercapainya kehidupan yang harmonis. Dengan mengacu pada negara Indonesia yang mempunyai budaya beraneka ragam, agama yang diakui dan suku yang bermacam-macam, perihal bersolidaritas antar warga sudah terpelihara dan terbudaya sejak lama. Sikap bersolidaritas di dalam pergulan hidup setakat, yang mempersatukan dan menyamakan perbedaan di sekeliling kita pun, sudah mulai memudar. Perpecahan dan perselihan antarwarga, antarkampung, bahkan antarpemeluk agama terkesan semakin menggejala yang perlu disikapi dengan bijak. Untuk itu, kita harus berupada demikian rupa untuk menumbuhkembangkannya pertama-tama mulai dari diri sendiri. Solidaritas itu penting karena sangat memengaruhi perubahan sosial budaya. Perubahan sosial yang mencakup sikap setiap orang dan kondisi suatu lingkungan yang didominasi oleh perbedaan tuntutan kehidupan dan perbedaan budaya dapat menjadi pemicu meluturnya nilai solidaritas seiring dengan berjalannya waktu, terutama bagi generasi muda dalam kehidupan sehari-hari ketika berhadapan denhgan perbedaan. Menciptakan keadaan sosial yang teratur dan harmonis merupakan tujuan dari solidaritas. Perbedaan yang ada disekitar kita bukan untuk ditertawakan dan diasingkan, tetapi di situlah peran penting solidaritas untuk menyamakan dan mempersatukan 312 perasaan toleransi. Peran penting solidaritas dapat diukur keberhasilannya jika solidaritas dapat menciptakan kesatuan dan kesamaan perjuangan dalam masyarakat. Munculnya stereotipe, prasangka, primordialisme, ketidaksdiaan membuka diri dan selalu mencaci maki golongan lain adalah contoh buruk yang berpotensi akan terjadi jika semangat hidup warga bangsa tidak dilandasi oleh solidaritas. Mengingat pentingnya solidaritas yang mengatasnamakan perbedaan akan dapat memperkaya relasi, budaya, dan persatuan, solidaritas harus diusahakan dan dipertahankan. Cara untuk membangun solidaritas dari yang paling sederhana adalah menghormati orang yang sedang beribadah, mengucapkan selamat kepada orang yang merayakan hari raya dan tidak memilih-milih teman. Saling menghargai terhadap orang yang tidak sesuku, berbeda kepercayaan dan status, juga sangat ditekankan dalam hal solidaritas. Kesadaran dari dalam diri setiap manusia juga merupakan salah satu faktor yang paling penting untuk menciptakan solidaritas. Stelah memhami betapa pentingnya solidaritas di dalam kehidupan kita, sudah selayaknya kita mengusahakan perlilaku solider itu tetap terpelihara, bahkan dikembanhkan. Faktor yang mendukung adanya solidaritas dari dalam diri hendaknya ditumbuhkembangkan menjadi suatu kebiasaan positif. Solidaritas tidak hanya sebatas teori saja yang memiliki tujuan dan peranan penting dalam kehidupan setiap orang, tetapi juga suatu praktik yang bersifat rendah hati, tulus dari dalam diri dan terusmenerus. Setiap orang yang mencintai perbedaan dan keberagaman akan dapat mengaplikasikannya di dalam pergaulan nhidup sehari-hari. Peran Penyair untuk Membentuk Solidaritas Sosial di dalam Ruang Publik “Kita hidup tidak hanya dengan roti saja” “metafor dan fiksi juga merupakan sumber nutrisi bagi kehidupan”, demikian pendapat Joseph Grange (1996). Menurut Richard Rorty (1989), “..karena kebenaran adalah milik dari kalimat-kalimat, dan karena kalimat bergantung keberadaannya pada kata-kata, dan karena kata-kata adalah buatan manusia, maka begitu pula dengan kebenaran…” Peran para penyair saat ini dapat menggambarkan penderitaan manusia serta mendorong manusia untuk bergerak ke arah kemajuan moral.Inilah peran penyair yang dirumuskan oleh Rorty di dalam membentuk solidaritas sosial. Melalui tutur kata dan tulisan para penyair, mata kita dibuka untuk melihat penderitaan yang dialami orang lain. Dengan demikian, kepekaan dan solidaritas kita diasah dan terdorong untuk melenyapkan semua bentuk penderitaan, minimal menguranginya. Melalui cerita serta karya tulis para penyair, solidaritas yang didasarkan atas imajinasi atas penderitaan bersama dapat tercipta. Ada pendapat yang mngatakan bahwa hanya melalui puisi kita dapat sungguh-sungguh mengenali penderitaan. Apa yang disebut sebagai keresahan tentang kebaikan publik juga tidak muncul di dalam diskusi rasional, tetapi dari halaman-halaman yang ditulis oleh para penyair. Narasi tentang hak-hak asasi manusia tidak lagi didasarkan pada fondasi metafisis tentang manusia, tetapi teriakan dalam hati yang muncul gambaran manusia yang menderita dan terhina. Rorty sendiri, jika ditanya langsung, tampak akan langsung menjawab pertanyaan ini secara positif. Baginya, di dalam masyarakat majemuk kontemporer dewasa ini, kehidupan bersama di antara orang-orang yang berbeda latar belakang hanya dapat terwujud jika setiap orang dapat tergerak oleh deskripsi yang diberikan oleh para penyair tentang identitas masyarakat. Jadi, tugas untuk merekatkan orang-orang yang berbeda di dalam kehidupan bersama berada di tangan filsafat dan teori sosial, tetapi pada kajian etnografis, laporan jurnalistik, dan yang terutama adalah melalui novel. Para penulis fiksi terkenal, seperti Dickens, Olive Schreiner, dan Richard Wright, mampu 313 menggambarkan secara detil bentuk-bentuk penderitaan yang dialami dan mampu diciptakan oleh manusia. Mereka dapat membantu kita untuk mendefinisikan kembali kesiapaan kita. “Oleh karena itulah”, demikian Rorty, “novel, film, dan acara televisi telah secara bertahap tetapi pasti, menggantikan khotbah dan perjanjian sebagai prinsip untuk perubahan moral dan kemajuan. Sastra Membangun Solidaritas Bencana tsunami yang menghancurkan Aceh dan sebagian Sumatra Utara sungguh memilukan. Peristiwa yang telah membunuh 160-an ribu jiwa (puluhan ribu lainnya hilang tidak ketahuan rimbanya) sudah pasti akan membuat siapa pun terenyuh. Tsunami menambah deretan luka tidak terperi masyarakat Aceh. Beberapa pengarang antusias mengambil Aceh sebagai latar cerita, termasuk Isbedy Setiawan Z.S. (“Gelombang Besar di Kota Itu, Jawa Pos, 2001). Sebuah daerah dengan banyak peristiwa jelas menyimpan segudang cerita yang menarik. Kini tsunami menambah luka Aceh semakin parah dan tidak dapat terhapus meskipun telah berganti sekian generasi. Belum ada dalam sejarah mengenai bencana yang pernah melahirkan solidaritas sedemikian tinggi seperti sekarang. Anak-anak kecil membobok celengan, pengamen yang kesulitan finansial pun ikut mengamen ekstra agar hasilnya dapat disisihkan buat korban. Di wilayah seni, seniman dari berbagai jenis melakukan apa pun untuk meringankan derita korban. Ada yang menyelenggarakan pentas amal, konser amal, lelang karya seni, atau “mengamen” di jalan-jalan protokol dan tempat keramaian. Peristiwa tsunami mempersatukan segenap elemen, menyingkirkan prasangka dan membuncahkan semangat dan solidaritas sedemikian besar. Cukupkah semangat menyumbang itu bagi tujuan mengurangi derita korban tsunami? Bagaimana kalau media berhenti memberitakan kesengsaraan para korban yang selamat dan menjadi pengungsi, televisi “bosan” menayangkan video amatir tsunami dan pemerintah sendiri mulai mengalihkan perhatian? Untuk menyikapi persoalan ini, para seniman memiliki tugas khusus. Bukan sekadar terlibat dalam penggalangan dana (ataupun menyisihkan penghasilan), melainkan ikut bertanggung jawab merasakan duka dan kesedihan korban melalui sebentuk karya, yakni melakukan rekaman pengugah hati yang terus menjaga solidaritas tetap tumbuh di hati dan sanubari publik. Pemberitaan media tidak mungkin selamanya bercokol di Aceh. Kesenian dapat (dan dituntut) mengambil alih peran yang telah dilakukan media secara lugas: membangun empati dan solidaritas. Sastra dalam hal ini memiliki fungsi khas. Kelebihan karya sastra mampu menyuguhkan duka secara mendalam, intens dan detil sehingga dapat berfungsi sebagai rekaman peristiwa yang berharga dan dapat mengabadi. Bagi sastrawan, Aceh kini makin “mengandung” banyak cerita menarik sebagai akibat peristiwa tersebut. Tidak aneh jika dalam waktu singkat telah lahir banyak sekali puisi tentang Aceh di hampir semua media, juga beberapa cerpen. Apabila kita mengunduh sriti.com, di sana ada folder khusus karya sastra (cerpen dan puisi) tentang tsunami. Sastrawan seharusnya mampu menggali lebih dalam derita Aceh melalui gaya penceritaan yang lebih panjang (novel). Kekuatan membangkitkan empati dan emosi dapat menjadi roh yang menjiwai novel. Jika situasi tersebut berhasil diciptakan, kita berharap solidaritas untuk Aceh dapat terjaga layaknya bara api yang disiram minyak atau ditiup angin. Barangkali inilah solidaritas sejatinya. Bukan karena momentum sesaat, apalagi terkesan aji mumpung (tidak ada kontinuitasnya), sastrawan bersolidaritas melalui karyanya.. Solidaritas itu mampu melampaui nilai-nilai 314 artistikisme yang biasanya membelit kreasi sastrawan sehingga menabalkan sisi empatik dan emosi pembaca. Dalam caranya sendiri, setiap orang diharapkan menggunakan kemampuannya untuk membantu dan bersolidaritas. Dalam kaitan itu, sastrawan tertantang lebih bekerja keras untuk menghasilkan sebentuk solidaritas yang memiliki kemanfaatan besar. Dalam kerusuhan yang meletus pada 28 Oktober 2012 bersamaan dengan peringatan Sumpah Pemuda korban sebenarnya adalah masyarakat yang tinggal di Desa Balinuraga di Bandar Lampung. Artinya, sebagai penyair, Isbedy, menjadi juru bicara dalam kerusuhan sosial melalui sajak dari rasa perih yang dialami oleh korban. Salah satu sajaknya berjudul ‘’Begitu Mudah’’. Temanya tentang kerusuhan sosial. Sajak itu dibuka dengan bait: kini kau begitu mudah menggali makam/lalu menenggelamkan badan orang/karena itu kau sirami benih kebencian/kausulut kayu kau percikkan api: dendam. Sejarah Perjalanan Sajak Isbedy Stiawan Z.S. Isbedy Stiawan, Z.S. (lahir di Tanjungkarang, Bandar Lampung, 5 Juni 1958) adalah sastrawan Indonesia. H.B. Jassin menjulukinya Paus Sastra Lampung. Sejak lahir hingga kini, Isbedy tinggal dan menetap di Bandar Lampung. Selain menulis karya sastra (cerpen, puisi, esai sastra), kini dia aktif di Dewan Kesenian Lampung (DKL) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung. Isbedy mulai bersentuhan dengan dunia sastra sejak bangku SMP tahun 1975. Karya-karya Kho Ping Hoo adalah bacaan yang saat itu digemarinya. Sebelum terkenal sebagai penulis, ia tekun bertaeter bersama Syaiful Irba Tanpaka dan A.M. Zulqornain dalam Sanggar Ragom Budaya. Ketika di STM, dia mulai menggeluti sastra, yaitu menulis puisi dan cerpen. Dia kerap membacakan sajaknya dari panggung ke panggung. Sejak itu puisi, cerpen, dan esainya mengalir deras dan dimuat di berbagai media lokal dan nasional. Pada umumnya proses kreatif puisi Isbedy lahir setelah ia menemukan kata-kata puitis terlebih dahulu, lalu menolahnya menjadi puisi. Ide kreatifnya bisa muncul kapan saja, saat perjalanan, merenung di waktu malam atau langsung di depan komputer. Dia pernah diundang mengikuti berbagai kegiatan sastra di berbagai kota di Tanah Air, Malaysia, Thailand seperti Pertemuan Sastrawan Nusantara di Johor Bahru dan Kedah (Malaysia), Dialog Utara di Thailand, Utan Kayu Literary Festival, dan Ubud Writers and Readers International Festival. Isbedy mungkin satu-satunya penyair yang sangat produktif. Bahkan, apabila dibandingkan dengan semua penyair Indonesia, mungkin hanya Isbedy yang paling banyak menerbitkan buku kumpulan puisi tunggal. Kadang-kadang tidak sampai lima puluh sajak telah diterbitkan menjadi buku. Tahun 2003 terbit bukunya yang bertajuk Aku Tandai Tahi Lalatmu (Gema Media), yang menurut hemat saya, inilah buku kumpulan puisi Isbedy yang menampilkan puisi-puisi paling kuat. Tahun 2005 ada seratus buah sajaknya yang ditulis dalam rentang tiga dekade 1980-an sampai 2000-an, yang diterbitkan oleh Grasindo dengan judul Kota Cahaya. Dalam buku ini tampak sekali perubahan puisi Isbedy. Puisi yang ditulis era 1980-an menampilkan puisi-puisi religius. Beberapa waktu lalu terbit kembali buku himpunan puisi Isbedy dengan judul Setiap Baris Hujan (BukuPop, Jakarta (2008) dan Anjing Dini Hari (2010). Dalam dua buku terakhir terdapat sajak-sajak protes yang kering. Kalau dalam buku Aku Tandai Tahi Lalatmu muncul sajak-sajak sosial yang tidak verbal, yang menggugah dan memantik, sajak-sajak sosial dalam buku Setiap Baris Hujan mulai abai pada pengucapan yang jernih dan jatuh pada pengucapan yang terang-benderang. Sajak-sajak 315 tahi lalat yang jernih, seperti Aku Tandai: ”aku tandai tahi lalatmu dari dunia kanakkanak yang tak akan pernah terhapus bilangan sampai hapal benar pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal tubuhku sendiri”. Menurut Sutardji Calzoum Bachri: “Isbedy Stiawan, Z.S. bukan muka baru dalam perpuisian. Sejak 1987, karyanya sudah muncul di media massa. Pengalaman belasan tahun dalam pergaulan kreatif menghasilkan sejumlah sajak menarik. Tampak ungkapan segar dalam sajaknya ditampilkan dalam susunan saling bersambung— mendukung membentuk secara halus lembut dan tersamar suatu gagasan pikiran atau perasaan ataupun kesan, dalam suatu kerutuhan yang diharapkan dapat menjadi renungan dalam. Begitu pula obsesinya dalam menandai keperihan hidup yang traumatik ditranformasikan, menjadi suatu upaya untuk mencari dan meraih hikmah segar bagi nilai hidup dan kemanusiaan.” Puisi “Sementara Aku” karya Isbedy Stiawan, Z.S.Puisi yang Membangkitkan Solidaritas Di tengah meningkatnya primordialisme dan konflik antarkelompok, sastra dapat berfungsi, bukan saja untuk mendobrak stereotip, melainkaan juga untuk menekankan tema solidaritas dan empati. Siapa para solider dalam berpuisi di negeri kita? Tentu saja jawabannya banyak sekali. Mereka menulis puisi tentang sahabat, tentang orang kecil, tentang kebutuhan buat tetap saling menjaga asa. Frakny Sahilatua, melalui puisi Emha Ainun Nadjib. Berikut salah satu puisi di dalam puisi “Sementara Aku” karya Isbedy Stiawan, Z.S., puisi yang membangkitkan empati dan solidaritas dapat diuraikan sebagai berikut. Sementara Aku priok rontok, talangsari ditanahkan, aceh bergelora, dan ambon berdarah sementara aku berdiri di mana? timtim, kalimantan, dan jatim dicekam ketakutan. Ada mayat diseret keliling! sementara aku hanya mengalirkan kata-kata o, talangsari kembali berdenyut tapi kau menguburnya lagi jadi cerita yang lain sementara aku hanya tersenyum matahari sudah benar-benar berubah di tanah yang penuh sandiwara! Analisis sajak “Sementara Aku” dapat dideskripsikan sebagai berikut. Rasa Sajak ini mengandung ungkapan batin dan perasaan penyair yang sedang mengalami kesedihan akibat melihat kejadian di daerah-daerah yang mengalami kekacauan dan penindasan hak asasi manusia. Kutipan /priok rontok, talangsari diitanahkan,/,/aceh bergelora, dan ambon berdarah/…(bait pertama) dan pada bait kedua; //timtim, Kalimantan, dan jatim/,/dicekam ketakutan, ada mayat 316 diseret/,/kelililng…/. Rasa kesedihan itu timbul karena melihat kejadian rakyat yang mengalami penderitaan dan ada mayat yang diseret. Nada Sikap penyair kepada pembacanya terungkap dalam sajak ini adalah menyalahkan sehingga pengaruh yang ditimbulkan pada diri pembaca suasana protes terhadap kesewenang-wenangan. Hal itu diakibatkan pembaca juga seolah menyaksikan perstiwa tersebut. Sikap menyalahkan ini termasuk sikap sugesti, yaitu memberikan pendapat, anjuran, atau drongan agar orang dapat memperbaiki kesalahannya. Kutipannya: o, talangsari kembali berdenyut tapi kau menguburnya lagi jadi cerita yang lain sementara aku hanya tersenyum Dalam larik tersebut nada menyalahkan muncul pada larik kedua dan ketiga yang berbunyi //tapi kau menguburnya lagi jadi cerita lain/. Jadi, peristiwa yang terajadi di daerah yang mengalami kekacauan politik tersebut semuanya dikubur atau digantikan menjadi cerita yang tidak sesuai dengan fakta.Nada pada sajak tersebut menyalahkan oknum tertentu sehingga aku lirik menganjurkan agar oknum tersebut memperbaiki kesalahan yang diperbuatnya. Tema Tema dalam sajak tersebut adalah realitas sosial yang menyedihkan. Kesedihan tersebut dinyatakan sikap aku lirik setelah menyaksikan peristiwa yang terjadi pada daerah-daerah yang dilanda konflik dengan keadaan bingung. Aku lirik pun tidak berdaya terhadap situasi yang terjadi. Hal tersebut dinyatakan pada bait pertama larik terakhir: /sementara aku berdiri di mana?/. Kebingungannya tersebut diakibatkan karena peristiwa yang terjadi di daerah Tanjung Priok (Jakarta), Talangsari (Lampung), Ambon, TimTim, Sampit (Kalimantan), dan Madura (Jatim).Di daerahtersebut mengalami konflik politik dan pelanggaran hakasasi manusia (HAM).Peristiwaperistiwa tersebut merupakan kisah nyata, yang sangat mengerikan bagi siapa saja yang menyaksikannya.Kutipannya: timtim, kalimantan, dan jatim dicekam ketakutan. Ada mayat diseret keliling! sementara aku hanya mengalirkan kata-kata Maksud dari kutipan tersebut: Aku lirik hanya dapat menggambarkan peristiwa yang mengerikan tersebut melalui kata-kata yang berbentuk puisi. Pada bait ketiga penyair menceritakan kembali mengenaiTalangsari yang menuntut hak asasi mereka yang tertindas, tetapi orang-orang berwenang dalam menangani kasus tersebut, justru si kau lirik mengganti menjadi cerita yang lain.Di sinilah puncak kemarahan rakyat. Kata kau dapat diartikan sebagai penguasa, aparat hukum, dan orang-orang yang berhak dan berhubungan dengan konflik yang terjadi tersebut. Pada bait keempat atau terakhir, aku lirik menceritakan bahwa /matahari sudah benar-benar berubah/ di tanah yang penuh sandiwara/. Keadaan yang tidak wajar terjadi karena banyaknya korban penindasan dan kekerasan sehingga tidak ada lagi ‘cahaya kehisdupan’ (matahari) di daerah yang mengalami kekacauan tersebut. Jadi, tema sajak tersebut menunjukkan realitas sosial berupa peristiwa menyedihkan di negeri aku lirik, yakni: tindak kekerasan, kekacauan, dan penindasan hak asasi manusia yang 317 terjadi di daerah Tanjung Priok, Talangsari (Lampung Selatan), Aceh, Ambon, Timtim, Sampit (Kalimantan), dan Jatim. Lalu, setelah menyaksikan peristiwa tersebut aku lirik berada dalam keadaan bingung dan tidak berdaya. Hal itu dapat dilihat dari pengulangankalimat /sementara aku/. Kebingungan tersebut dinyatakan dalam teks bahwa aku lirik hanya dapat mengalirkan kata-kata dan tersenyum sedangkan kau yang diartikan sebagai penguasa, atau orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut. Mereka tidak dapat mengambil langkah positif untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM (hak asasi manusia) yang terjadi. Selain itu, mereka hanya diam dan menganggap peristiwa tersebut tidak pernah terjadi. Kutipannya: /o, talangsari kembali berdenyut/,/tapi kau menguburnta lagi/,/ada cerita lain/,/sementara aku hanya tersenyum/. Cuplikan tersebut berarti bahwa rakyat sudah banyak yang menderita karena terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM. Mereka pun menuntut hanya tetapi oknum-oknum tersebut tidak pernah menghiraukan tuntutan. Bahkan para wartawan yang akan mencari berita tentang peristiwa tersebut dialihkan dan direkayasa menjadi peristiwa yang lain. Amanat Dalam sajak tersebut amanat yang terkandung yakni hendaknya manusia mempunyai rasa perduli terhadap nasib sesamanya agar tidak terulang kembali konflik sosial. Kutipannya pada bait kedua: timtim, kalimantan, dan jatim dicekam ketakutan. Ada mayat diseret keliling! sementara aku hanya mengalirkan kata-kata Pada kutipan tersebut dilukiskan mengenai aku lirik yang tidak memiliki rasa perduli setelah menyaksikan konflik yang terjadi di daerah tersebut. Setiap manusia hendaknya memiliki keseimbangan antara hak dan kewajiban.Jika menghadapi suatu persoalan, hendaknya bersikap bijaksana agar tidak mengalami kebingungan dan menyelesaikan masalah yang terjadi. Misalnya, peristiwa yang dialami aku lirik membuatnya tidak berdaya dan merasakan kebingungan setelah menyaksikan peristiwa menyedihkan tersebut. Selain itu, manusia hendaknya harus mempunyai jiwa optimis, patriotis, dan rasa cinta tanah air yang bertujuan menciptakan suasana harmonis dalam negeri. Muatan nilai-nilai yang tersirat dari karya sastra pada umumnya adalah nilai religious, nilai moral, nilai sosial, dan nilai etika, serta nilai estetika. Dalam konteks pembelajaran sastra Indonesia, guru dapat menanamkan nilai tersebut melalui apresiasi karya sastra. Dalam proses pembelajaran guru harus menyampaikan hal tersebut agar siswa dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk.Jadi, sajak “Sementara Aku” dapat dijadikan sebagai bahan ajar di SMA karena telah memenuhi atau sesuai dengan kriteria pemilihan bahan pengajaran puisi. Untuk mendalami lebih jauh kepenyakiran Isbaedy dapat juga kita simak sajaknya yang lain, “Negeri Sepatu”. Sajak itu bercerita mengenai realitas yang menuntut keadilan sosial. Keadilan sosial mengandung nada protes dan melukiskan ketidakadilan dalam masyarakat. Tema tersebut juga bertujuan untuk mengetuk hati nurani pembaca agar keadilan sosial ditegakkan dan diperjuangkan. Maksudnya, daerah-daerah yang sedang mengalami konflik agar dapat diselesaikan sehingga tidak banyak korban karena terjadi pelanggaran hak asasi manusia. 318 Sajak tersebut juga mengandung nilai moral dan susila mengenai ajaran baikburuknya suatu perbuatan. Seperti halnya rasa kesedihan yang dialami aku lirik karena perbuatan kejam yang terjadi di daerah konflik tersebut. Sajak tersebut tidak sukar untuk ditafsirkan karena bahasanya mudah dimengerti dan dipahami. Amanat yang terkandung dalam sajak itu berupa sikap optimis, membangkitkan semangat patriotis, dan rasa cinta tanah air. Sajak itu bersifat nasional dan sesuai dengan dasar kemanusiaan.. Di daalamnya juga tersimpiul sifat jujur, rendah hati, tidak bersifat memaksa orang lain, tetapi mengajak dan meyakinkan. Dikatakan bahwa penyait menyampaikan kejujuran hatinya tentang peristiwa yang sesuai dengan fakta yang terjadi di negerinya. Selain itu, sajak “Negeri Sepatu” tersebut mengandung nilai didaktis (pendidikan). Nilai pendidikan yang berupa ajaran mengenai kepedulian terhadap sesama manusia. Simpulan Sajak “Negeri Sepatu” bercerita tentang realitas yang menuntut keadilan sosial. Keadilan sosial mengandung nada protes dan melukiskan ketidakadilan dalam masyarakat. Tema tersebut juga bertujuan untuk mengetuk hati nurani pembaca agar keadilan sosial ditegakkan dan diperjuangkan. Maksudnya, daerah-daerah yang sedang mengalami konflik agar dapat diselesaikan sehingga tidak banyak korban karena terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Sajak “Negeri Sepatu” juga mengandung nilai moral dan susila mengenai ajaran baik-buruknya suatu perbuatan. Seperti halnya rasa kesedihan yang dialami aku lirik karena perbuatan kejam yang terjadi di daerah konflik tersebut. Sajak Isbaedy tersebut tidak sukar untuk ditafsirkan karena bahasanya mudah dimengerti dan dipahami. Amanat yang terkandung berupa sikap optimis, membangkitkan semangat patriotis, dan rasa cinta tanah air. Cakupannya bersifat nasional dan sesuai dengan dasar kemanusiaan. Sajak “Negeri Sepatu” juga mengandung nilaiatau karalkter jujur, rendah hati, tidak bersifat memaksa orang lain, tetapi mengajak dan meyakinkan. Hal itu terlihat melalui kejujuran penyair dalam menceritakan peristiwa yang sesuai dengan fakta yang terjadi di negerinya. Selain itu, sajak “Negeri Sepatu” jiga mengandung nilai didaktis (pendidikan) berupa ajaran moral dan kepedulian antarsesama yang ditanamkan dalam disri peserta didik. . Daftar Rujukan Aminudin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru. Grange, Joseph. Volume 46, Number 3, July 1996, hal. 351-366. “The Disappearance of the Public Good: Confusius, Dewey, and Rorty”, dalam Philosophy East & West. Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Balai Pustaka. Rorty, Richard. 1989.Contingency, Irony, and Solidarity. Cambridge: Cambridge University Press. Stiawan Z.S, Isbedy. 1995. Manuskrip Sajak-Sajak Negeri Sepatu. Bandar Lampung. Tarigan, H.G. Dasar-Dasar Psikosastra. 1995. Bandung: Amgkasa. Waluyo, Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Bandumh: Angkasa. Wahyudi.2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Sulita. 319 POTRET ANAK SAMAWA DALAM LAWAS TAO ODE Nining Nur Alaini (Indonesia) Abstrak: Kabupaten Sumbawa merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis, Kabupaten Sumbawa terletak di antara 116”42’ – 118”22’ Bujur Timur, 8”8’ – 9”7” Lintang Selatan . Berdasarkan rincian penduduk Kabupaten Sumbawa menurut golongan umur dan jenis kelamin, yang tergambar dalam piramida penduduk hasil sensus 2000, Supas tahun 2007, dan tahun 2008, menunjukkan bahwa struktur penduduk Kabupaten Sumbawa, proporsi penduduk di bawah 15 tahun masih tinggi, yaitu 33,11% pada tahun 2000, 31,56% pada tahun 2005, 33,44% pada tahun 2006, dan 33,43% pada tahun 2007. Anak-anak merupakan salah satu unsur potensial dalam suatu negara. Anak-anak merupakan cikal bakal generasi penerus yang akan menerima tongkat estafet pembangunan bangsa. Untuk menghasilkan anak-anak sebagai generasi penerus yang berkualitas dan potensial, pendidikan dan pembentukan karekter anak secara dini harus dilakukan. Salah satu media yang dapat digunakan untuk mendidik dan membangun karakter anak secara positif adalah sastra. Nusa Tenggara Barat merupakan wilayah yang sangat kaya dengan khazanah sastra daerah, baik berupa tradisi tulis maupun lisan. Salah satu tradisi lisan yang hidup dalam komunitas Samawa adalah Lawas. Lawas, seperti halnya, khazanah budaya daerah yang lain, sangat kaya dengan kearifan lokal yang merupakan media pendidikan dan pembangunan karakter yang positif untuk anakanak. Memudarnya tradisi lisan akan diikuti pula dengan mulai hilangnya local genious yang terkandung dalam tradisi tersebut. Tulisan ini akan mendokumentasikan lawas anak-anak (lawas Tao Ode) dalam masyarakat Samawa, mengungkap nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya, sebagai salah satu media pendidikan dan pembentukan karakter anak, serta mencari tahu hal-hal yang melatarbelakangi munculnya kearifan lokal tersebut dan fungsinya dalam komunitas Samawa. Kata Kunci: Lawas Tao Ode, pendidikan dan pembentukan karakter anak, local genius. Pendahuluan Kabupaten Sumbawa merupakan salah satu kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis, Kabupaten Sumbawa terletak di antara 116”42’ – 118”22’ Bujur Timur, 8”8’ – 9”7” Lintang Selatan. Di bagian Utara, wilayah Kabupaten Sumbawa berbatasan dengan Laut Flores, di bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Dompu, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sumbawa Barat. Secara administratif, Kabupaten Sumbawa terbagi dalam 24 kecamatan, yaitu Tarano, Labangka, Empang, Lunyuk, Plampang, Maronge, Moyo Hilir, Moyo Utara, Moyo Hulu, Batu Lanteh, Sumbawa, Unter iwis, Labuhan Badas, Rhee, Utan, Buer, Alas, Alas Barat, Orong Telu, Lape, Lopok, Ropang, Lenangguar, dan Lantung, dan Ibu kota Kabupaten Sumbawa adalah Sumbawa Besar (Amin, 2008: 1 –2). Penduduk Kabupaten Sumbawa memiliki karakteristik heterogen. Berdasarkan data kependudukan dan catatan sipil Kabupaten Sumbawa, penduduk Kabupaten 320 Sumbawa terdiri dari delapan kelompok etnis besar, yaitu Sumbawa (66%), Sasak (13%), Dompu (0,13), Bima (3%), Jawa (3%), Bali (3%), Sunda (0,2%) , Bugis/Makasar (3,24%), dan etnis lain kurang lebih 5% (Amin, 2008: 54). Keheterogenan yang mewarnai Samawa tersebut, sangat berpengaruh pada khazanah budaya, termasuk di dalamnya sastra, yang tumbuh dan berkembang di wilayah seluas 6,643,98 km2 tersebut. Samawa sangat kaya dengan khazanah sastranya, salah satunya adalah Lawas. Masalah yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah wujud Lawas Tao Ode, Kearifan Lokal yang terkandung dalam Lawas Tao Ode, dan mengapa kearifan lokal tersebut tumbuh dalam komunitas masyarakatnya, serta fungsi kearifan lokal tersebut bagi masyarakat pemiliknya. Konsep dan Teori Sastra Anak Karya sastra, termasuk di dalamnya sastra anak, berbicara tentang hidup dan kehidupan dengan cara dan bahasa yang khas. Dalam bahasa sastra terkandung unsur dan tujuan keindahan. Sastra menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman. Sebuah karya sastra penuh dengan daya pikat yang membuat pembaca ingin tahu dan terikat kepadanya, mempermainkan emosi pembaca sehingga ikut larut ke dalam arus cerita. Sastra juga memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan. Sastra mengandung eksplorasi mengenai kebenaran kemanusiaan. Sastra anak merupakan citraan atau metafora kehidupan yang mengisahkan hal-hal yang berada dalam jangkauan anak, baik yang melibatkan aspek emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman moral, dan diekspresikan dalam bentuk-bentuk kebahasaan yang juga dapat dijangkau dan dipahami oleh pembaca anak-anak. Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja, bahkan yang menurut ukuran dewasa tidak masuk akal. Imajinasi anak dapat menerima cerita yang tak wajar dan tidak masuk akal seperti tokoh binatang yang dapat berbicara. Sastra anak menempatkan sudut pandang anak sebagai pusat penceritaan (Nurgiyantoro, 2005: 5-7). Sastra Lisan dalam Komunitas Samawa Tradisi lisan etnis Samawa disebut-sebut sebagai pilar budaya yang masih ada semenjak berabad-abad lamanya hingga sekarang, karena di dalamnya termuat tata nilai, sikap hidup, serta alam pikiran kelompok masyarakatnya. Sastra yang berkembang dalam masyarakat etnis Samawa adalah sastra lisan yang berupa puisi tradisional, dikenal dengan nama lawas. Lawas ini diwariskan dalam bentuk lisan, dengan menggunakan temung, bentuk penyampaian ini disebut balawas. Lawas merupakan salah satu sastra lisan yang hidup dalam komunitas Samawa di pulau Sumbawa. Hamid Jabar (dalam Amir, 2008) manyatakan bahwa bentuk sastra seperti “Lawas” baru beliau jumpai di dua tempat yaitu di Jepang dan Sumbawa. Jenis sastra yang mirip dengan Lawas di Sumbawa ini, di Jepang, disebut Tanka. Perbedaan Lawas dan Tanka hanya satu, yaitu setiap larik pada Tanka terdiri dari tujuh suku kata, sedangkan pada Lawas terdiri dari delapan suku kata. Kedua-duanya sama-sama memiliki tiga larik pada setiap baitnya. Tanka di Jepang dilestarikan dengan cara mewajibkan setiap siswa usia sekolah dasar menyusun larik-larik menjadi untaian baitbait Tanka sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan ijazah sekolah dasar (Amin, 2008: ix). 321 Lawas pada mulanya berinduk pada bahasa Sumbawa dan tidak diketahui kapan mulai hadir ditengah-tengah masyarakat Samawa. Kehadirannya Lawas dalam kehidupan masyarakat Samawa, pada awalnya berfungsi sebagai alat ekspresi batin manusia yang diliputi oleh rasa haru, sendu, gundah-gulana, yang disebabkan oleh musibah atau marabahaya yang mengancam hidupnya. Dalam hal ini, Lawas berfungsi untuk menghibur, mencurahkan perasaan dalam bentuk kata-kata. Ucapan-ucapan dalam Lawas tampaknya menjadi sebuah kekuatan dalam upacara untuk mengusir unsur-unsur yang menimbulkan rasa marabahaya (Rayes, 2006: 120). Lawas merupakan syair-syair yang ditembangkan sebagai bentuk pengungkapan perasaan hati dalam bentuk cinta, sedih, kritik, nasehat, dan sebagainya(Maswarang, 2006: 120). Sementara itu, Mustakim Biawan (2006: 120) mengatakan, bahwa lawas disampaikan secara lisan, sehingga menjadi begitu akrab dengan masyarakat, karena sudah menjadi bagian dari mereka mengekspresikan isi hatinya, apalagi disampaikan dengan cara melagukan. Lawas merupakan ungkapan perasaan yang halus, mengundang pendengar untuk meneliti dan memikirkan sungguh-sungguh, seperti keluhan rakyat jelata terhadap pembesar negeri yang bersenang ria di tengah-tengah rakyat yang tidak mempunyai papan, sandang, dan pangan, sehingga dinyatakan lewat lawas (Manca, 1984: 34). Lawas secara umum dapat diartikan sebagai puisi tradisonal Samawa yang terdiri dari tiga baris setiap bait, diungkapkan secara lisan dengan menggunakan bahasa-bahasa yang indah, biasanya disampaikan pada saat-saat tertentu, baik secara individu maupun berkelompok (Hidayat, 2012: 1—4). Lawas Tao Ode Dari segi isi, lawas dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu lawas anakanak (tau ode), lawas muda-mudi (taruna dadara), lawas orang tua (tau loka), dan lawas agama. Lawas anak-anak (tao ode) adalah lawas yang isinya tentang dunia anak-anak. Lawas muda mudi adalah lawas yang isinya tentang perkenalan, percintaan, perpisahan antara dua insan yang sedang jatuh cinta. Lawas orang tua adalah lawas yang berisi tentang nasihat atau pesan yang bersifat didaktis yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya atau kepada yang lebih muda. Lawas agama adalah lawas yang isinya tentang ajaran agama (Islam). Lawas tao ode atau Lawas anak-anak adalah lawas yang isinya tentang dunia anak-anak. Lawas anak-anak biasanya disampaikan sebagai bentuk ekspresi rasa kasih saying seorang ibu atau kakak yang sedang mengasuh anak atau adiknya. Lawas jenis ini biasanya disampaikan saat menidurkan anak (Nur Alaini, 2005: 79). Teori Struktural Strukralisme dalam sastra, karya sastra dapat dimasuki dari dunia sastra sendiri kendati unsur-unsur di luar sastra dapat ikut dipertimbangkan. Kenyataan bahwa strukturalisme datang dari berbagai bidang ilmu dapat menjadikan strukturalisme sebuah studi interdisipliner. Sastra, dengan demikian dapat dimasuki dari berbagai pintu, antara lain antropologi, sejarah, sastra, psikologi, dan sebagainya. Sebagai sebuah studi interdisipliner, dengan sendirinya strukturalisme mempergunakan pendekatan enstrinsik. Pada awalnya, strukturalisme menganggap bahwa karya sastra adalah otonom. Namun, dalam perkembangannya, pengertian otonom ini cenderung berkembang. Karena karya sastra adalah sebuah seni, maka otonomi karya sastra tidak bias lepas dari kaitannya dengan karya seni lainnya. Karya sastra bukan hanya sebuah seni, tetapi juga 322 merupakan satu bagian humaniora, sebagaimana linguistik, anthropogi, sejarah, dan lain-lain (Budidarma,2004: 84—85) Metode Data Lawas yang digunakan dalam kajian ini adalah lawas Tao Ode. Objek penelitian dalam kajian ini adalah Lawas Tao Ode. Berkaitan dengan hal itu, data yang digunakan adalah keterangan mengenai struktur teks, ko-teks, dan konteks Lawas Tao Ode. Data Lawas Tao Ode yang digunakan dalam kajian adalah teks lawas dalam bentuk dokumen tertulis yang telah dikumpulkan oleh Usman Amin dalam Kukokat Lawas Siya, Kumpulan Lawas Sumbawa, serta data teks lawas yang diperoleh dari seorang narasumber bernama Johansyah, S. Pd. dari desa Malili, Sumbawa. Selain data Lawas tao Ode yang merupakan data primer, digunakan juga data sekunder yaitu masyarakat penikmat, budaya dan lingkungan yang melingkupi sastra lisan tersebut yang memiliki keterkaitan dengan data penelitian, sebagai ko-teks dan konteks lawas Tao Ode. Data lawas yang digunakan adalah sebagai berikut. Lawas I Ma tunung adi ma tunung Meleng tunung kubeang me Jangan jadi kembo karong Tidurlah adikku, tidurlah Bangun tidur akan kuberi makan nasi Dengan lauk susu kerbau yang sehat Lawas II Basunat Rembang seda tu sarakal Dede tode ya tu sunat Lengan rena ka tu rimpung Berkhitan Rame suara orang berserakal Bagi anak yang sedang dikhitan Telentang dan diikat Rimpung rena nangis bito Dahal sedisi ya tetak Nosoka ya polak dua Diikat sambil menangis keras Padahal sedikit yang akan dipotong Tidak akan dipotong dua kali No mungkin tu polak dua Mutahan gama ngering nan Era ya bawa kanyaman Tidak mungkin dipotong dua kali Semoga kamu bias menahan rasa perih itu Kelak akan berbuah kenikmatan Tutu ya bawa kanyaman Balong gama paliara Jaga dadi kembo karong Sungguh akan berbuah kenikmatan Semoga dirawat dengan baik Sehingga tumbuh menjadi kerbau jantan Mana dadi kembo karong Lamen nosi rungkas pagar Meskipun kelak tumbuh menjadi kerbau jantan Tidak akan berguna jika tidak mampu meruntuhkan pagar Mengolah dengan benar sawah dan membawa pulang padi hasil panen (Usman Amin) Uma balong mole pade Lawas III Sarawi mukemo sendi Long siep munangis bito Muantat aku ko Bangka Semalam senyummu hanya sekilas Pagi harinya tangismu meledak Manakala mengantarku ke pelabuhan Bangkaku lalo balayar Perahuku pergi berlayar 323 Lako Yogya tana Jawi Katokal tu tutit ilmu Lamen kamo dapat ilmu Mana tu ka rowe lutung Jonyong sating leng tau Pergi ke Yogya tanah Jawa Tempatku menuntut ilmu Kalau sudah berilmu Meskipun keturunan kulit hitam Dijinjung tinggi oleh orang Semanmo bito adi e Ta kulalo tutit ilmu Iringku gama ka doa Lepasku ke piker balong Berhentilah berurai air mata, adik Aku pergi untuk menuntu ilmu Iringi langkahku dengan doamu Lepaskan langkahku dengan keluasan hatimu Batari balong batari Mutangar bage ke sira Ka dopo daka basai Kareng tu tangange rasa Tunggulah sampai masanya tiba Manakala asam dan garam Menyatu dalam keutuhan Menikmati keberhasilan yang genggam (Usman Amin) telah kita Lawas IV Sai sate nyaman telas Kaya rajin tu belajar Ma tu dadi tau pintar Siapa saja yang ingin hidup nyaman Rajinlah belajar Agar menjadi orang pintar Nan pang tau pintar No gampang kelo ling tau Tu Buya boat nyaman si Ilmu tu patik no ilang Siong mara kebo jaran Soro ling tau tu susah Jika kita menjadi orang pintar Tidak mudah dibohongi orang Serta mudah mencari pekerjaan Ilmu yang kita miliki tidak akan mudah hilang Tidak seperti kerbau dan kuda Dicuri orang, hilanglah ia Mana me jangka tu pintar Lamin parange tu rusak No so da tuju intan e Sepintar apapun kita Jika perilaku kita tidak baik Ilmu yang kita miliki tidak akan berguna Nan po bau baka lako Piker balong moral balong Anung tu boat no gagal Jadilah orang yang baik Pikiran jernih, hati bersih Pekerjaan yang dilakukan akan bermanfaat Apa untung tub a kedek Lamin licik tu sakolah Ya tu dadi tau gamang Tidak ada gunanya keluyuran tanpa tujuan Jika malas sekolah Kelak akan menderita Lamin kami tu sawai No soda tuju tu sakolah Paling tedu pang sanikan Jika kita terlahir sebagai perempun Tidak ada gunanya menuntut ilmu Pada akhirnya akan berkutat di dapur Na mikir mentan andi e Tulang tempa dunia to Peno tu kelo ling tau Jangan berpikir seperti itu Adik Lihatlah ke dunia luar Orang bodoh akan dibohongi orang Tu kaliru lampa kaka Tu sakolah memang penting Lema na kelo ling tau Saya keliru mungkin kakak Mencari ilmu memang penting Agar tidak mudah dibohongi orang (Johansyah) Metode Analisis Data 324 Data yang telah diperoleh akan dikaji secara struktural untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan wujud Lawas Tao Ode, kearifan lokal yang terkandung dalam Lawas Tao Ode, dan mengapa kearifan lokal tersebut tumbuh dalam komunitas masyarakatnya, serta fungsi kearifan lokal tersebut bagi masyarakat pemiliknya. Pembahasan Struktur Lawas Tao Ode Dilihat dari bentuknya, Lawas dapat dibedakan menjadi Lawas tiga baris, Lawas empat baris, Lawas enam baris, dan Lawas delapan baris. Ada juga Lawas dalam bentuk kisah yang tidak terikat pada jumlah baris yang disebut dengan Tutir. Lawas yang terdiri dari empat baris, enam baris, dan delapan baris cenderung mengarah pada bentuk pantun, yakni adanya sampiran dan isi yang biasanya dipakai dalam basul. Lawas semacam ini disebut dengan lawas panan, lawas yang biasa dipakai bersoal jawab. Lawas dilihat dari bentuk susunannya, ada yang berkait, di mana kata atau kelompok kata pada bagian akhir di bait pertama diulang kembali pada bagian awal baris pertama bait berikutnya. Pengulangan kata tersebut menandai adanya hubungan makna, dan tema antar bait. Lawas seperti ini dinamakan lawas bekael. Mustaqiem (1993: 24) menyatakan bahwa Lawas, termasuk Lawas Tao Ode, pada umumnya terdiri atas satu sampai tiga bait. Tiap-tiap bait terdiri atas tiga atau empat baris, dan tiap baris terdiri dari delapan suku kata. Tetapi, selain struktur Lawas diatas, ditemukan juga Lawas yang memiliki struktur 1) satu bait, tiga baris, tiap baris terdiri atas delapan suku kata, 2)satu bait, empat baris, tiap baris terdiri atas delapan suku kata, 3) dua bait, enam baris, tiap baris terdiri dari delapan suku kata, 4) tiga bait, sembilan baris, tiap baris terdiri atas delapan suku kata. Lawas Tao Ode yang digunakan sebagai objek penelitian ini berbentuk lawas tiga baris dan empat baris. Lawas pertama terdiri dari satu bait, setiap bait terdiri dari tiga baris, dan setiap baris terdiri dari delapan suku kata. Lawas kedua terdiri dari lima bait, setiap bait terdiri dari tiga baris, dan setiap baris terdiri dari delapan suku kata. Lawas kedua ini meupakan lawas berkait, di mana kata atau kelompok kata pada bagian akhir di bait pertama diulang kembali pada bagian awal baris pertama bait berikutnya. Pengulangan kata tersebut menandai adanya hubungan makna, dan tema antar bait. Lawas seperti ini dinamakan lawas bekael. Hal ini dapat dilihat pada lawas kedua, ketiga, dan keempat sebagai berikut. Basunat Rembang seda tu sarakal Dede tode ya tu sunat Lengan rena ka tu rimpung Berkhitan Rame suara orang berserakal Bagi anak yang sedang dikhitan Telentang dan diikat Rimpung rena nangis bito Dahal sedisi ya tetak Nosoka ya polak dua Diikat sambil menangis keras Padahal sedikit yang akan dipotong Tidak akan dipotong dua kali No mungkin tu polak dua Mutahan gama ngering nan Era ya bawa kanyaman Tidak mungkin dipotong dua kali Semoga kamu bias menahan rasa perih itu Kelak akan berbuah kenikmatan Tutu ya bawa kanyaman Sungguh akan berbuah kenikmatan 325 Balong gama paliara Jaga dadi kembo karong Semoga dirawat dengan baik Sehingga tumbuh menjadi kerbau jantan Mana dadi kembo karong Lamen nosi rungkas pagar Meskipun kelak tumbuh menjadi kerbau jantan Tidak akan berguna jika tidak mampu meruntuhkan pagar Mengolah dengan benar sawah dan membawa pulang padi hasil panen Uma balong mole pade Pada lawas di atas terdapat pengulangan kata rimpung pada baris ketiga bait pertama dan baris pertama bait kedua, kata dua pada baris ketiga bait kedua dan baris pertama bait ketiga, kata kanyaman pada baris ketiga bait ketiga dan baris pertama bait keempat, dan kata karong pada baris ketiga bait keempat dan baris pertama bait kelima. Pada lawas ketiga, kata yang diulang adalah bangka, ilmu, balon, sedangkan pada lawas keempat lawas bekael hanya terdapat pada bait pertama dan kedua, yaitu pada kata pintar. Lawas empat baris, terdapat pada lawas ketiga, yaitu pada bait keempat dan kelima, seperti yang terlihat di bawah ini. Semanmo bito adi e Ta kulalo tutit ilmu Iringku gama ka doa Lepasku ke piker balong Berhentilah berurai air mata, adik Aku pergi untuk menuntu ilmu Iringi langkahku dengan doamu Lepaskan langkahku dengan keluasan hatimu Batari balong batari Mutangar bage ke sira Ka dopo daka basai Kareng tu tangange rasa Tunggulah sampai masanya tiba Manakala asam dan garam Menyatu dalam keutuhan Menikmati keberhasilan yang genggam telah kita Potret Anak Samawa dalam Lawas Tao Ode Lawas pertama merupakan lawas yang biasa digunakan untuk menidurkan anakanak. Lawas ini berisi bujukan agar si anak cepat tidur. Jika si anak cepat tidur, dia akan mendapatkan hadiah nasi yang berlaukan susu kerbau yang sehat. Secara umum, makanan difefinisikan sebagai bahan yang digunakan untuk mengenyangkan perut, demi memenuhi kebutuhan tubuh manusia. Akan tetapi, bahan makanan sebenarnya sangat ditentukan oleh kebudayaan kolektif masing-masing. Makanan merupakan fenomena kebudayaan, bukan hanya sekedar produksi organism untuk mempertahankan hidup dengan cara mengkonsumsinya. Jenis-jenis makanan Sumbawa mempunyai arti simbolik, menyangkut arti social, arti agama dan lain-lain. Simbol-simbol tersebut memiliki fungsi tersendiri, antara lain arti social memiliki fungsi kemasyarakatan seperti mempererat persatuan desa, memperkokoh kedudukan golongan tertentu dalam masyarakat, membedakan status golongan berdasarkan perbedaan usia dan martabat. Di samping itu makanan juga memiliki makna sebagai ungkapan ikatan social, solidaritas kelompok, dan mengembalikan ketenangan jiwa (Zulkarnain, 2011: 221—223). Masyarakat Sumbawa memiliki beragam makanan khas, yang salah satunya adalah berasal dari susu kerbau. Kerbau merupakan jenis ternak yang banyak dijumpai di Sumbawa. Selain menghasilkan daging, yang bias diolah menjadi dendeng, kerbau juga menghasilkan susu yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Sumbawa. Jenis 326 olahan makanan dari susu kerbau ini antara lain adalah permen susu, susukaya (mirip tahu mentah) dan palopo (seperti agar-agar). Masyarakat Sumbawa juga memiliki kegemaran menggunakan susu kerbau ini sebagai makanan pelengkap nasi, yaitu dengan cara merebusnya dan menyitamkannya di atas nasi putih. Budaya makanan inilah yang melahirkan lawas tau ode yang berisi nyanyian nina bobok, dengan hadiah nasi dicampur susu kerbau yang sehat. Lawas kedua berkisah tentang anak yang sedang disunat. Berkhitan atau bersunat merupakan sunnah Nabi bagi umat Islam yang berjenis kalamin laki-laki. Mayoritas masyarakat Sumbawa memeluk agama Islam. Berbeda dengan di daerahdaerah lainnya yang mayoritas rakyatnya memeluk Islam setelah rajanya memeluk Islam, di Sumbawa, ternyata rakyatnya telah lebih dahulu memeluk Islam dibandingkan dengan rajanya (Zulkarnain, 2011: 15). Berdasarkan berita Cina zaman dinasti Tang, ketika kerajaan Sriwijaya Berjaya mengembangkan kekuasaannya sekitar abad VII dan VIII, Selat Malaka sudah ramai dilalui oleh pedagang muslim. Mereka adalah pedagang yang menghubungkan timur dan barat, karena mengambil barang-barang yang berupa sutera, wewangian, rempahrempah, beras dan lain-lain kebutuhan orang barat dari timur. Kota-kota yang didatangi oleh para pedagang tersebut selain canton dan Pasai, juga menyinggahi Demak, Banjarmasin, Sukadana, Palembang, Makasar, dan Ternate. Dalam pelayaran yang jauh tersebut, mereka singgah di Pulau Sumbawa untuk menambah perbekalan air minum. Pengislaman masyarakat Sumbawa juga dipengaruhi oleh pengislaman Gowa, Tallo, Luwu, dan Bone. Hubungan kekeluargaan yang terjalin sebelumnya antara keluarga kerajaan di Sulawesi dengan kerajaan-kerajaan di Sumbawa, baik melalui kawin-mawin, politik, pemerintahan, ekonomi dan kebudayaan, mempermudah proses pengislaman (Zulkarnain, 2011: 15—17). Lawas kedua di atas, tercipta karena adanya sunnah Nabii untuk berkhitan bagi laki-laki muslim, dan adanya ritual selakaran/berserakal yang diadakan oleh masyarakat Sumbawa saat upacara khitan. Selakaran merupakan kegiatan membaca kita Al-Barzanji secara bersama-sama. Tradisi Selakaran ini diadakan pada peristiwaperistiwa tertentu, misalnya khitanan, kurisan, naik haji, atau pada peringatanperingatan hari besar keagamaan. Basunat di Sumbawa pada anak laki-laki yang berusia antara tiga sampai sepuluh tahun. Pada anak perempuan di Sumbawa, juga terdapat tradisi berkhitan yang disebut batoba. Khitan dilakukan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan anak. Dalam ritual adat Sumbawa terdapat beberapa tahapan dalam acara basunat yaitu 1) Barodak, 2) basunat, dan 3) barupa. Upacara barodak dilakukan sehari sebelum anak dikhitan. Upacara ini berupa pemberian lulur pada sekujur tubuh anak agar harum, bersih dan segar. Pada saat ritual barodak ini biasanya akan dimeriahkan hiburan oleh ratib rebana ode atau musik gong genang. Anak yang dikhitan di kenakan pakaian berupa kain sarung berwarna putih atau kuning. Kain sarung tersebut dinamakan awi. Pada saat pelaksanaan khitanan dilakukan ritual sarakal. Anak yang dikhitan diberi makan telur ayam yang direbus. Seorang sandro sunat, atau mantri kesehatan atau dokter akan melakukan pemotongan kulit kelamin yang akan disunat. Ritual khitan biasanya akan diakhiri dengan pemberian hadiah kepada anak yang telah disunat oleh sanak saudara dan handai taulan ataupun oleh semua orang yang hadir di tempat itu. Hadiah dapat uang atau barang, sehingga anak menjadi gembira dan melupakan rasa takut dan rasa sakitnya akibat di sunat. Upacara khitanan biasanya juga di semarakkan dengan hiburan permainan rakyat gentao, yaitu semacam permainan pencak silat. 327 Anak yang sudah disunat dianggap sudah memasuki alam kedewasaan, diibaratkan sebagai kerbau jantan yang beranjak dewasa. Harus dididik dengan baik agar menjadi kerbau jantan yang bisa mengolah sawah dengan baik, mencari penghidupan untuk masa depannya. Lawas ketiga dan keempat berisi tentang nasihat tentang pentingnya menuntut ilmu dan menjadi orang yang berilmu dan berakhlak. Mencari ilmu tidak hanya dianjurkan bagi kaum lelaki saja, tetapi juga untuk para wanita. Orang berilmu akan dapat hidup dengan layak dengan bekal ilmunya, serta dihargai orang lain. Tetapi berilmu saja tidak cukup, manakala tidak diimbangi dengan budi pekerti, Mana me jangka tu pintar, Lamin parange tu rusak, No so da tuju intan e. Dalam masyarakat Sumbawa, kedudukan social seseorang, tidaklah tampak dalam sosok material, tetapi lebih kuat terpantul dari cerminan sikap dan tingkah laku. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat Sumbawa selalu menjaga sikap dan tingkah laku. Seseorang yang bertingkah laku dan bersikap kurang baik disebut sebagai tau-ende. Tau ende adalah budak belian. Istilah ini muncul karena pada masa lalu, masyarakat Sumbawa yang mampu biasanya memiliki budak belian untuk membantu mengerjakan sawah dan memelihara ternak. Mereka diperlakukan seperti keluarga sendiri dan mendapat pembagian hasil panen atau ternak yang lebih dari cukup, sehingga membuat para budak belian ini besar kepala. Mereka tidak taat, dan terkesan bodoh. Orang-orang yang tidak berilmu dan tidak berahklak, dalam masyarakat Sumbawa, dijuluki sebagai tau ende (Zulkarnain, 2011: 183). Penutup Lawas anak-anak (lawas Tao Ode) dalam masyarakat Samawa, banyak mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang masih relevan hingga saat ini. Dalam masyarakat Sumbawa, lawas Tao Ode ini berfungsi antara lain sebagai salah satu media pendidikan dan pembentukan karakter anak. Dengan mengkaji lawas Tao Ode ini, kita akan dapat mengungkapkan kearifan lokal Samawa yang tersimpan di dalamnya, dan memanfaatkannya untuk mendidik dan membangun karakter generasi penerus bangsa. Daftar Rujukan Amin, Usman. 2008. Kukokat Lawas Siya, Kumpulan Lawas Sumbawa. Jilid 2. Sumbawa: Kantor Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sumbawa Budidharma. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dinullah Rayes, 2006 dalam Muhammad Saleh. 2007. “Sastra Lisan (Lawas) Etnis Samawa dan Muatan Nilai Keagamaannya”. Jurnal Penelitian Keislaman Vol 4, No. 1, hal 120. Manca, Lalu. 1984. Sumbawa pada Masa Lalu (Suatu Tinjauan Sejarah). Surabaya: Penerbit Rinta. Maswarang, 2006 dalam Muhammad Saleh. 2007. “Sastra Lisan (Lawas) Etnis Samawa dan Muatan Nilai Keagamaannya”. Jurnal Penelitian Keislaman Vol 4, No. 1, hal 120. Mustakim Biawan, 2006 dalam Muhammad Saleh. 2007. “Sastra Lisan (Lawas) Etnis Samawa dan Muatan Nilai Keagamaannya”. Jurnal Penelitian Keislaman Vol 4, No. 1, hal 120. 328 Mustaqiem, 1993. “Kedudukan dan Fungsi Lawas dalam Masyarakat Sumbawa di Kecamatan Plampang”. Skripsi. Universitas Mataram. Nur Alaini, Nining. 2006. Ragam Dan Jenis Karya Sastra yang Hidup pada Penutur Bahasa Sumbawa di Pulau Lombok. NTB: Kantor Bahasa Prov. NTB Pemerintah Kabupaten Sumbawa. 2009. Profil Daerah Kabupaten Sumbawa. Sumbawa Besar: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumbawa. Zulkarnaen, Aris. 2011. Tradisi dan Adat Istiadat Samawa. Yogyakarta: Penerbit Ombak NARASUMBER: 1. Johansyah, S. Pd. 329 LIRIK LAGU TENTANG PERNIKAHAN SITUS BUDAYA YANG TERPINGGIRKAN Nurhadi (FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia) Abstrak: Lirik lagu merupakan situs budaya yang terpinggirkan. Orang-orang seni musik tidak banyak yang mengkajinya. Orang-orang sastra menganggapnya seperti anak tiri yang diabaikan. Lirik lagu sebetulnya tidak berbeda dengan puisi. Bahkan tingkat apresiasinya kini malah lebih masif dibandingkan dengan apresiasi puisi. Dengan berkembangnya internet, lagu-lagu termasuk di dalamnya lirik lagu, banyak diunggah dan diunduh. Kalau dulu orang menikmati musik dan liriknya lewat piringan hitam, kaset, CD, kini internetlah yang menawarkan lagu-lagu dari lintas generasi, lintas negeri, dan lintas genre hingga lintas kualitas. Lagu-lagu itu berkompetisi dan berorkestrasi di dunia maya sebagai situs budaya. Dari sekian tema yang disugguhkan oleh lirik lagu, salah satunya tentang pernikahan, satu bagian dari tema besar tentang asmara. Pernikahan dapat dikaji dari berbagai sisi atau sudut pandang yang berbeda seperti dari sisi mempelai, orang yang ditinggalkan, ataupun sisi lainnya. Lirik lagu pernikahan banyak ragamnya dan hal ini merupakan bagian dari bentuk ekspresi ataupun resepsi akan sebuah lembaga/ institusi. Pernikahan adalah bentuk legitimasi kultur tertentu atas hubungan seks dan seterusnya di tengah maraknya tindak pemerkosaan, incest, ataupun pernikahan sesama jenis sebagai bentuk oposisi biner. Kata-kata kunci: lirik lagu, situs budaya, apresiasi, tema pernikahan Pengantar Lirik lagu merupakan situs budaya yang terpinggirkan. Orang-orang seni musik tidak banyak yang mengkajinya. Orang-orang sastra menganggapnya seperti anak tiri yang diabaikan. Di sejumlah prodi seni musik tidak banyak yang mengkaji lirik lagu sebagai konten atau muatan isi yang memiliki kekuatan wacana sebagai pembentuk atau pembongkar nilai-nilai tertentu. Orang-orang dari prodi sastra seringkali mengabaikan kalau lirik lagu pada dasarnya adalah karya sastra, tidak beda dengan puisi. Hanya karena bagian dari sebuah lagu, lirik lagu seakan bukan lagi wilayah kajian ilmu sastra. Lirik lagu sebetulnya tidak berbeda dengan puisi. Keduanya sama-sama bentuk ekspresi kejiwaan sang penulisnya atau pengarangnya. Kedua secara tertulis hampir memiliki kesamaan bentuk. Hanya secara genre, mereka dibedakan. Yang satu (puisi) karya sastra, sementara lainnya (lirik lagu) “bukan” karya sastra. Bahkan tingkat apresiasinya, kini lirik lagu malah lebih masif dibandingkan dengan apresiasi puisi. Dengan berkembangnya internet, lagu-lagu termasuk di dalamnya lirik lagu, banyak diunggah dan diunduh. Kalau dulu orang menikmati musik dan liriknya lewat piringan hitam, kaset, CD, kini internetlah yang menawarkan lagu-lagu dari lintas generasi, lintas negeri, dan lintas genre hingga lintas kualitas. Dalam konteks inilah lirik lagu (tentu saja bersama dengan lagu itu secara keseluruhan) telah menjadi “konsumsi” harian. Lagu-lagu itu berkompetisi dan berorkestrasi di dunia maya sebagai situs budaya. Ada lagu yang diunggah hanya mendapat puluhan unduhan sementara di pihak lain ada yang mendapat jutaan unduhan atau respon. Bahkan ada lagu “Gangnam Style” yang diunduh hingga mencapai setengah milyar lebih. Temanya sangat beragam. Dari yang menyuarakan kebaikan dan kebermanfaatan hingga sampai pada lagu-lagu yang 330 mengajak hal-hal keburukan termasuk untuk bunuh diri. Dari sekian tema yang disugguhkan oleh lirik lagu, salah satunya tentang pernikahan, satu bagian dari tema besar yakni tentang asmara. Pernikahan sebagai sebuah tema dapat dikaji lagi dari berbagai sisi atau sudut pandang yang berbeda seperti dari sisi mempelai, orang yang ditinggalkan, ataupun sisi lainnya. Ada berbagai sisi atau sudut yang bisa dikaji menjadi sub-sub tema yang lebih rinci, salah satunya tema orang-orang yang tersisih atau terpinggirkan dalam sebuah ritual yang bernama pernikahan, wedding, atau kadang juga bernama perkawinan. Dalam artikel ini akan dibicarakan sebuah topik tentang orang-orang yang “ditinggal” kawin atau menikah dalam lirik-lirik lagu. Ini semacam tema keterpinggiran dari sebuah keterpinggiran lainnya. Lirik Lagu “Orang yang Terpinggirkan” Pernikahan adalah hari bahagia, khususnya bagi kedua mempelai, keluarga kedua belah pihak, serta para tamu undangan umumnya. Kita tidak akan membahas tentang kegembiraan pihak yang berbahagia. Kita kali ini akan membicarakan orang yang mungkin tidak sebahagia kedua mempelai. Orang tersebut seharusnya bahagia karena dialah yang seharusnya menjadi mempelai dalam pernikahan itu. Akan tetapi, ada orang lain yang menggantikannya dan dia datang sebagai pihak yang tidak seutuhnya bahagia. Orang-orang semacam inilah yang bisa dikategorikan sebagai orang-orang yang terpinggirkan dalam hajatan pernikahan. Bisa saja orang yang terpinggirkan itu datang dalam pesta pernikahan. Mungkin dia tidak sedih lagi karena menyaksikan orang yang dicintainya tengah bahagia dengan pasangannya. Hal ini mengingatkan sebuah lagu yang dibawakan oleh penyanyi Amerika, Patti Page pada 1952. Lagu lawas itu berjudul “I Went to Your Wedding”. Iramanya ringan, iringan musiknya simpel, dan kata-katanya sederhana, tetapi totalitas lagu tersebut sangatlah mengena. Lagu ini bisa diunduh dan didengarkan lewat youtube. Luar biasa! Lirik lagu tersebut bunyinya sebagai berikut. //I went to your wedding/ Although I was dreading/ The thought of losing you/ The organ was playing/ My poor heart kept saying/ "My dreams, my dreams are through"// You came down the aisle, wearing a smile/ A vision of loveliness/ I uttered a sigh, and then whispered goodbye/ Goodbye to my happiness// Your mother was crying/ Your father was crying/ And I was crying too/ The teardrops were falling/ Because we were losin' you// Ada air mata yang menetes di sana karena dia telah kehilangan kekasihnya, yang hari itu tengah melangsungkan pernikahan. Tentu saja dengan orang lain. Dari lirik tersebut tidak diketahui bagaimana tokoh aku ini putus dengan kekasihnya hingga akhirnya sang kekasih mendapatkan pasangan yang baru. Dan ketika pesta pernikahan itu dilangsungkan, tokoh aku hadir, menyaksikan kebahagiaan mantan kekasihnya. Ia tidak bisa menahan air mata, ia tetap menangis. Pernahkah Anda berada dalam posisi seperti itu? Dari lirik lagu ini ada sesuatu yang patut diteladani. Ketika mantan kekasihnya menikah, tokoh aku ini tetap datang. Tidak banyak orang memiliki kekuatan seperti ini. Kekuatan untuk memberi ucapan selamat kepada mantan kekasihnya. Ini mirip dengan pemberian ucapan selamat kepada sang rival dalam sebuah kontes pemilihan atau ucapan sehat dan selamat kepada musuh yang tengah dihadapinya. Inilah ucapan orang yang berjiwa besar. Ingatkah Anda akan tindakan Salahudin Al-Ayubi yang mendatangi Richard Raja Inggris? Salahudin datang bersama dengan dokter dan buah-buahan 331 sebagai buah tangan ketika Sang Richard musuhnya dalam Perang Salib di Palestina itu terluka. Jika Anda lacak lagu-lagu Patti Page, rupanya ada lagu lain yang juga populer pada 1950-an dan masih memiliki keterkaitan dengan lagu “I Went to Your Wedding” tersebut. Dalam lagu “Changing Partner” sang tokoh aku nyaris kehilangan kekasih dalam sebuah pesta dansa waltz. Dan di lagu lainnya, “The Tennessee Waltz”, tokoh aku benar-benar kehilangan kekasihnya. Tragisnya lagi, dia kehilangan kekasih garagara temannya yang dia perkenalkan kepada kekasihnya. Di dalam “I Went to Your Wedding”, dia malah menghadiri pesta pernikahan kekasihnya. Apakah lagu-lagu itu sengaja dirancang begitu ataukah hanya faktor kebetulan belaka? Berikut ini isi lirik kedua lagu Patti Page itu. Changing Partner: //We were waltzing together to a dreamy melody/ When they called out "Change partners"/ And you waltzed away from me/ Now my arms feel so empty as I gaze around the floor/ And I'll keep on changing partners/ Till I hold you once more// Though we danced for one moment and too soon we had to part/ In that wonderful moment something happened to my heart/ So I'll keep changing partners till you're in my arms and then/ Oh, my darling I will never change partners again// Though we danced for one moment and too soon we had to part/ In that wonderful moment something happened to my heart/ So I'll keep changing partners till you're in my arms and then/ Oh, my darling I will never change partners again// The Tennessee Waltz: //I was dancin' with my darlin' to the Tennessee Waltz/ When an old friend I happened to see/ I introduced her to my loved one and while they were dancin'/ My friend stole my sweetheart from me// I remember the night and the Tennessee Waltz/ Now I know just how much I have lost/ Yes, I lost my little darlin' the night they were playing/ The beautiful Tennessee Waltz// Yes, I lost my little darlin' the night they were playing/ The beautiful Tennessee/ They were playing the waltz on the night I lost my love// Pada tahun 1970-an di Indonesia juga populer lagu semacam ini. Judulnya “Selendang Merah” dibawakan oleh Anita Tourisia. Temanya tentang seseorang yang ditinggal bertunangan oleh mantan kekasihnya. Si aku (lirik) datang dalam pesta pertunangan itu, sebuah pesta menjelang pernikahan, dengan membawa selendang merah. Sebuah benda kenangan karena selendang merah itulah dulu ia mendapatkannya dari sang kekasih yang kini telah menjadi orang lain. Ia tak kuat, ia tak bisa menahan tangisnya, ia tak bisa menahan air matanya. Ia tak bisa menahan diri hingga acara itu berakhir. Ia pulang dahulu sebelum pesta pertunangan itu selesai. Lirik lagu “Selendang Merah” itu adalah sebagai berikut. //Selendang warna merah/ Kau berikan dulu padaku/ Kini akan kupakai/ Pada hari pertunanganmu// Ingat di saat itu/ Selendang merah pengikat hati/ Sebagai tanda mata/ Sebelum kita berpisah/ Kini kita bertemu/ Kau bukan milikku lagi// Waktu aku melihat/ Engkau tersenyum bahagia/ Ingin ku menggantikan/ Gadis yang duduk di sampingmu// Aku pulang dahulu/ Sebelum selesai pestamu itu/ Selendang merah itu/ Pengusap air mataku/ Akan kusimpan s'lalu/ Sebagai kenangan hidupku// Lewat lagu-lagu ini, para pemiarsa sama-sama menangkap sikap satria dari orang yang terpinggirkan atau tersisihkan, baik dalam lagu Anita Tourisia ini maupun dalam lagu Patti Page sebelumnya. Dalam kedua lagu tersebut, baik dalam “I Went to Your Wedding” maupun “Selendang Merah”, tokoh aku sama-sama mendatangi pesta (pernikahan dan pertunangan) mantan kekasihnya dengan wanita lain. Mereka samasama berani datang ke tempat kekasihnya yang kini berbahagia dengan orang lain. 332 Tampilan lagu “I Went to Your Wedding” Patti Page di Youtube Tampilan lagu “Changing Partner” Patti Page di Youtube Tampilan lagu “Tennessee Waltz” Patti Page di Youtube Tampilan lagu “Selendang Merah” Anita Tourisia di Youtube Lirik Lagu Tema Pernikahan Hal yang senada juga tampak dalam lagu “Don’t Cry Joni” yang dinyanyikan Conway Twitty (bersama Joni Lee) pada tahun 1975. Berbeda dengan lagu Patti Page atau Anita Tourisia yang dari awal dapat diketahui eksistensi tokoh aku yang ditinggal menikah atau bertunangan dengan orang lain, dalam lagu Conway Twitty pemiarsa diajak dalam perjalanan kisah asmara selama lima tahun yang berujung pada keterkejutan. Di akhir lagu “Don’t Cry Joni” ini, tokoh Tammy yang naksir Joni itu akhirnya harus menerima kenyataan kalau Joni tetangga sebelah yang dulu ditaksirnya itu telah menikah dengan sahabatnya yang bernama John. Lirik lagu ini membuat pendengarnya terkejut di ujung lagu. “Jimmy, I married your best friend, John," kata Joni di akhir lagu tersebut. Secara lengkap lirik lagu itu sebagai berikut. //Joni was the girl who lived next door/ I've known her, I guess, ten years or more/ Joni wrote me a note one day/And this is what she had to say// "Jimmy, please say you'll wait for me/ I'll grow up someday, you'll see/ Savin' all my kisses just for you/ Signed with love, forever true"// Slowly I read her note once more/ Then I went over to the house next door/ Her tear drops fell like rain that day/ When I told Joni what I had to say// "Joni, Joni, please don't cry/ You'll forget me by and by/ You're just fifteen, I'm twentytwo/ And Joni I just can't wait for you"// Soon I left our little home town/ Got me a job and tried to settle down/ But these words kept haunting my memory/The words that Joni said to me// "Jimmy, please say you'll wait for me/ I'll grow up someday, you'll see/ Savin' all my kisses just for you/ Signed with love, forever true"// I packed my clothes and I caught a plane/ I had to see Joni, I had to explain/How my heart was filled with her memory/ And ask my Joni if she'd marry me// I ran all the way to the house next door/ But things weren't like they were before/ My tear drops fell like rain that day/ When I heard what Joni had to say// "Jimmy, Jimmy, please don't cry/ You'll forget me by and by/ It's been five years since you've been gone/ Jimmy, I married your best friend, John"// 333 Dalam lagu yang cukup panjang dan dinyanyikan secara duet ini tergambarkan bagaimana Jimmy yang naksir gadis belasan tahun bernama Joni itu akhirnya terpinggirkan. Ketika hendak mengajak Joni menikah, setelah lima tahun berselang, ternyata Jimmy harus menerima kenyataan kalau teman baiknya, John, yang telah menikahi Joni. Tentu saja nama-nama Jimmy, Joni, dan John sengaja dipilih dalam lirik lagu ini agar terkesan enak didengar atau efonis. Hal serupa, yakni ditinggal menikah oleh kekasih, dapat didengar lewat lagu berikutnya, “A Dear John Letter”. Sebuah lagu yang popular pada 1957 oleh Jean Shepard dan Ferlin Husky. Atau oleh penyanyi lain sezamannya. Nyanyiannya sangat sederhana, lirik lagunya simple, hanya saja lagu ini diselingi dengan narasi kisah yang menjadi pelengkap informasi lagu ini. Dan di akhir lagu, mirip seperti pada lagu “Don’t Cry Joni”, diketahui akhirnya John dalam lagu ini juga ditinggal menikah oleh kekasihnya. Sayangnya, yang menggantikan posisinya itu tidak lain adalah, Don, sang saudaranya sendiri. Dear John, Oh, how I hate to write/ Dear John, I must let you know tonight/ That my love for you has died away like grass upon the lawn/ And tonight I wed another, Dear John.// I was overseas in battle when the postman came to me/ And he handed me a letter, I was happy as I could be/ For the fighting was all over and the battle had been won/ Then I opened up the letter and it started, "Dear John."// Dear John, Oh, how I hate to write/ Dear John, I must let you know tonight/ That my love for you has died away like grass upon the lawn/ And tonight I wed another, Dear John.// Will you please send back my picture, my husband wants it now/ When I tell you who I'm wedding, you won't care, dear, anyhow/ Now the ceremony has started and I'll wed your brother Don/ Will you wish us happiness forever, Dear John// Tampilan lagu “Don’t Cry Joni” Conway Twitty bersama Joni Lee di Youtube Tampilan lagu “A Dear John Letter” Jean Shepard bersama Ferlin Husky di Youtube Dalam lagu-lagu di atas, ditinggal menikah dengan orang lain tampaknya bukan sesuatu yang berat ataupun niat jahat untuk tidak setia atau mengkhianati. Meski sebetulnya hal itu juga sebuah pengkhianatan tetapi relasi itu digambarkan relatif normal, ada unsur kewajaran atau unsur kebiasasajaan dalam lagu-lagu tersebut. Para pemiarsa tidak tahu apa yang menyebabkan tokoh aku dalam lagu “I Went to Your Wedding” ataupun dalam “Selendang Merah” ditinggal menikah atau bertunangan oleh sang kekasih. Keduanya tampak wajar dan menerima akan pernikahan ataupun pertunangan itu. Begitu juga dalam lagu “Don’t Cry Joni” dan “A Dear John Letter”. Nuansa isi lirik lagu-lagu di atas sangat berbeda dengan lagu “Tenda Biru” yang dibawakan oleh Desy Ratnasari pada tahun 1980-an akhir atau awal 1990-an dan sederet lagu sejenis yang tampaknya mewakili jiwa-jiwa yang tersakiti. Jiwa-jiwa yang tidak rela ditinggalkan. Lirik-lirik lagu semacam “Tenda Biru” adalah perwakilan dari orang334 orang yang tidak rela ditinggalkan, tidak rela dipinggirkan. Coba, perhatikan lirik lagu “Tenda Biru” yang menjadi simbol tengah berlangsungnya pesta pernikahan tersebut. Berikut ini bunyi lirik lagu Desy Ratnasari tersebut. //Tak sengaja lewat depan rumahmu/ Kumelihat ada tenda biru/ Dihiasi indahnya janur kuning/ Hati bertanya pernikahan siapa// Tak percaya tapi ini terjadi/ Kau bersanding duduk di pelaminan/ Airmata jatuh tak tertahankan/ Kau khianati cinta suci ini// Tanpa undangan, diriku kau lupakan/ Tanpa utusan diriku kau tinggalkan/ Tanpa bicara kau buat ku kecewa/ Tanpa berdosa kau buat ku merana// Ku tak percaya dirimu tega/ Nodai cinta khianati cinta// Tokoh aku mengalami peristiwa ditinggal menikah dengan sebuah ketidaksengajaan, “Tak sengaja lewat depan rumahmu/ Kumelihat ada tenda biru”. Selanjutnya ia merasa dikhianati karena ia merasa laki-laki yang menikah dengan perempuan lain itu sebetulnya masih kekasihnya. Ia merasa belum diputus. Itulah mengapa ia merasa terkhianati. Ia menangis. Sama seperti dalam lirik lagu “I Went to Your Wedding” ataupun “Selendang Merah”, mereka sama-sama menangis. Hanya saja dalam lirik lagu “I Went to Your Wedding” ataupun “Selendang Merah” tokoh aku menyadari kalau mantan kekasihnya tengah bahagia. Akan tetapi, dalam lagu “Tenda Biru” tokoh aku merasa tersakiti, ia menangis karena kecewa. Masih ada lagi peminggiran cinta yang nakal seperti dilakukan oleh Benyamin S. yang terdapat dalam lirik lagu berjudul “Penganten” berikut ini. Mungkin tidak banyak orang Indonesia yang mengenal lagu ini. Dibandingkan dengan lagu “Tenda Biru” Desy Ratnasari, lagu duet Benyamin S dengan Ida Royani ini kalah popular. Akan tetapi, sebagai sebuah situs budaya, lirik lagu ini sengaja diketengahkan dalam perbincangan ini. Kejadian semacam lirik lagu “Penganten” ini tidak bakal ditemui di negara-negara Eropa atau Amerika. Sebelum dibahas lebih lanjut, coba perhatikan lirik lagu gambang kromong berdialek Melayu Betawi berikut ini. //Bang Mamat, ngape duduk bengong aje/ Malu dong, tetamu pada ngliatin/ Duh Mineh, ati abang deg degan/ Rasanye badan abang pade dingin// Bang Mamat, eh kenape tampangnye jadi pucet/ Enggak kenape-nape abang gak bisa bilang/ Entar dikate ape penganten sedih aje/ Sedih bukannya sedih rase dibakar api// Siape yang melototin aye?/ Tetamu kenape merongos aje?/ Duh Mineh, abang minta ampun/ Yang datang sebenarnya bini gue// Nggak mau/ Nggak mau kenape?/ Ogah ogah! Kukirain masih polos/ Emangnya gua buku catetan// …. // Sekarang lu baru ketauan ye/ Eh eh eh/ Dulu lu ngaku perjaka sama gue/ Terusin gak nih jadi penganten?/ Terusin deh ah, tanggung// Tampilan lagu “Tenda Biru” Desi Ratnasari di Youtube Tampilan lagu “Penganten Biru” Benyamin S dan Ida Royani di Youtube Dalam lagu “Penganten” dikisahkan bagaimana sepasang insan yang tengah merasakan bahagia dalam pesta pernikahan itu: Mamat dan Minah tengah menghadapi 335 para tamu yang hadir dalam pesta pernikahan itu. Hanya saja ada seseorang, tepatnya seorang tamu wanita, yang melototi si Minah. Rupanya, tanpa sepengetahuan Minah, Mamat sebetulnya telah beristri. Nah istri atau bini Mamat inilah yang datang dalam pesta pernikahannya dengan Minah. Inilah yang terjadi di dalam lirik lagu yang dibawakan secara kocak tersebut. Dan sebelumnya disebut hal semacam ini tidak akan terjadi di Amerika atau Eropa yang secara kultur hanya menerima konsep pernikahan secara monogami. Di Indonesia, hal seperti yang dialami oleh Mamat dan Minah serta bini tua Mamat mungkin saja terjadi di berbagai tempat, di berbagai kesempatan. Puisi Mbeling tentang Perkawinan Tema tentang pernikahan tentu saja tidak hanya dijumpai dalam lirik lagu, tetapi juga dapat dijumpai dalam sejumlah puisi. Tentu saja beragam nuansa isinya. Mulai dari rayuan, cinta kasih, patah hati, ataupun sekedar berseloroh. Dalam perkembangan perpuisian Indonesia kita mengenal periode Puisi Mbeling yang dipelopori oleh Remy Sylado pada tahun 1970-an. Dalam puisi Remy inilah tema tentang perkawinan pernah diangkat dan sedikit dipermainkan. Perhatikan puisi-puisi Remy berikut ini (Soedjarwo, 2001: 58—60). “Belajar Menghargai Hak Azasi Kawan”: //jika/ laki mahasiswa/ ya perempuan mahasiswi/ jika/ laki saudara/ ya perempuan saudari/ jika/ laki pemuda/ ya perempuan pemudi/ jika/ laki putra/ ya perempuan putri/ jika/ laki kawan/ ya perempuan kawin/ jika/ kawan kawin/ ya jangan ngintip// “Kesetiakawanan Asia Afrika”: //Mei Hwa perawan 16 tahun/ Farouk perjaka 16 tahun/ Mei Hwa masuk kamar jam 24.00/ Farouk masuk kamar jam 24.00/ Mei Hwa buka blouse/ Farouk buka hemd/ Mei Hwa buka rok/ Farouk buka celana/ Mei Hwa buka BH/ Farouk buka singlet/ Mei Hwa buka celana dalam/ Farouk buka celana dalam/ Mei Hwa telanjang bulat/ Farouk telanjang bulat/ Mei Hwa pakai daster/ Farouk pakai kamerjas/ Mei Hwa naik ranjang/ Farouk naik ranjang/ lantas mereka tidurlah/Mei Hwa di Taipeh/ Farouk di Kairo// Sebagai puisi, kedua karya Remy di atas cukuplah terkenal. Memang sebagai puisi mbeling, kedua puisi di atas bermain-main terhadap tema yang serius yakni tentang pernikahan atau perkawinan. Dalam puisi pertama, Remy mempermainkan kata “jika kawan kawin, ya jangan ngintip” yang diawali dengan kata-kata ulang berubah bunyi. Sementara dalam puisi kedua, Remy mengajak pembaca untuk membangun asosiasi tentang adegan yang bakal dilakukan dua sejoli yakni Mei Hwa dan Farouk. Seolah-olah mereka akan melakukan adegan ranjang. Tapi rupanya mereka melakukannya sendiri-sendiri secara terpisah karena apa yang dilakukan oleh Mei Hwa dan Farouk terpisah oleh benua. Yang satu di benua Asia dan satunya lagi di Afrika. Begitulah Remy dengan puisi-puisi mbelingnya. Persoalan pernikahan atau perkawinan diangkatnya dalam logika permainan puisi mbeling. Ngomong-omong, tahukah Anda apa beda antara kata nikah dan kawin dalam bahasa Indonesia? Dalam konteks contoh-contoh di atas adalah kata pernikahan dan perkawinan. Konon, beda keduanya hanya terletak pada sarana atau alat yang digunakan. Kalau nikah itu pakai surat sedangkan kawin itu pakai urat. Wacana Tema Pernikahan Lirik lagu pernikahan banyak ragamnya dan hal ini merupakan bagian dari bentuk ekspresi ataupun resepsi akan sebuah lembaga/institusi. Pernikahan adalah bentuk legitimasi kultur tertentu atas hubungan seks di tengah maraknya hidup bersama 336 tanpa nikah, tindak pemerkosaan, incest, ataupun pernikahan sesama jenis sebagai bentuk oposisi atau lawannya. Menikah merupakan bentuk legitimasi atas hubungan seks lewat institusi negara ataupun agama. Di pihak sebaliknya ada hubungan seks yang berseberangan atau berada di luar koridor itu. Salah satunya adalah hubungan kumpul kebo atau hidup bersama tanpa nikah. Selain itu juga ada pemerkosaan atau tindakan seks dengan kekerasan serta berbagai bentuk variannya. Ada lagi tindak seksualitas terhadap anak di bawah umur yang dikenal dengan istilah pedophilia. Atau tindak seksualitas terhadap anggota keluarga yang sering disebut dengan incest. Pernikahan adalah salah satu bentuk internalisasi terhadap nilai-nilai tertentu, yang berkebalikan dari hal-hal di atas. Pernikahan adalah bentuk institusionalisme. Meski demikian, pernikahan itu sendiri bukanlah bentuk yang tunggal. Ada berbagai varian atau jenis pernikahan yang belum tentu terterima oleh masyarakat. Dalam konteks lagu “Penganten” yang dinyanyikan oleh Benyamin S dan Ida Royani di atas relatif terterima dalam konteks masyarakat muslim yang diperbolehkan menikahi empat wanita. Hal tersebut mungkin juga bisa terjadi pada masyarakat yang menerima pernikahan poligami dan tidak terterima dalam masyarakat yang menganut monogami. Tidak hanya itu, pernikahan sesama jenis (kelamin) yang dilarang dalam sejumlah negara juga oleh sejumlah agama itu kini mulai marak terjadi di berbagai negara. Di negara-negara Eropa dan juga beberapa negara bagian Amerika Serikat, pernikahan sesama jenis mulai dilegalkan atau diperbolehkan. Hal ini juga menjadi pertarungan atas “kekuasaan” situs budaya. Peristiwa resepsi pernikahan sesama lelaki di Bali pada pertengahan September 2015 merupakan salah satu bentuk “pertarungan” itu. Tentu saja pihak berwenang di Indonesia ataupun pihak otoritas agama di Bali menolak pernikahan tersebut. Pernikahan sesama lelaki itu telah berlangsung di Amerika Serikat tempat salah satu mempelai berasal, dan resepsinya berlangsung di Bali tempat mempelai satunya lagi berasal. Sebagai bentuk penghalusan istilah, mereka mengatakan yang terjadi di Bali hanya pestanya sementara “akad nikah”-nya terjadi di Amerika. Apapun bentuk pembenarannya, ritual resepsi pernikahan ala Bali atau Indonesia itu adalah bentuk lain dari atau bagian dari bentuk pernikahan sejenis ini. Di Indonesia, pernikahan sejenis banyak mendapat penolakan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Meski demikian, harus diakui ada sejumlah WNI yang melakukan pernikahan sejenis dengan WNA. Jumlah itu tentu saja sangat sedikit. Persoalan yang mungkin lebih mengemuka dan lebih banyak dijumpai dalam kehidupan nyata adalah pernikahan beda agama. Kini pernikahan beda agama tidak diakui secara resmi oleh negara. Negara hanya mengakui pernikahan yang dilakukan berdasarkan syarat dan ritual agama tertentu. Di luar itu tentu saja ilegal. Akan tetapi, tidak banyak lirik lagu di Indonesia apalagi puisi yang membicarakan hal ini. Mengapa fenomena pernikahan beda agama ini tidak banyak diekspos menjadi lirik lagu atau puisi. Mengapa orang gagal menikah karena beda agama tidak ditemukan dalam lirik lagu atau puisi? Lirik lagu dan juga puisi seringkali mengungkap tentang ditinggal menikah ini sebagai bentuk keterpinggiran itu murni karena cinta, bukan karena beda agama. Penutup Lirik lagu merupakan situs budaya, tempat cerminan kehidupan nyata masyarakatnya. Di dalamnya berbagai peristiwa digambarkan, juga dikonstruksi untuk melegitimasi nilai-nilai tertentu. Dalam lirik lagu seringkali memiliki nilai-nilai 337 kekhasan masyarakat pendukungnya. Lewat lirik lagu, sejumlah ekspresi estetik dituangkan. Mungkin bersifat individual, mungkin juga bersifat komunal. Orang-orang yang ditinggalkan oleh kekasihnya dengan menikahi orang lain adalah salah satu bentuk pengalaman yang banal di tengah sejumlah problema pernikahan yang terus mengalami dinamika sosial. Tidak banyak orang yang mengalami dipinggirkan oleh kekasihnya seperti apa yang dialami tokoh aku dalam lagu-lagu “I Went to Your Wedding”, “Selendang Merah”, “Don’t Cry Joni”, “A Dear John Letter”, ataupun lagu lain yang sejenis. Meski tampak sepele, pengalaman “dipinggirkan” semacam itu rasanya sangat menyakitkan. Pernakah Anda mengalaminya? Daftar Rujukan Page, Patti. 1950. “Changing Partner,” dalam https://www.youtube.com/watch?v =Ek3eCbfqp0, Diakses pada 3 September 2015. Page, Patti. 1952. “I Went to Your Weding,” dalam https://www.youtube.com/watch?v =AR-_JC36vXM, Diakses pada 3 September 2015. Page, Patti. 1953. “Changing Partner,” dalam www.youtube.com/watch?v=oG60xIYFl1Q, Diakses pada 3 September 2015. Ratnasari, Desy. “Tenda Biru,” dalam https://www.youtube.com/watch?v=um8gRab P15U, Diakses pada 10 September 2015. S., Benyamin dan Ida Rayani. “Penganten,” https://www.youtube.com/watch?v= 2nbEqM4dQ8, Diakses pada 10 September 2015. Shepard, Jean dan Ferlin Husky. 1957. “A Dear John Letter,” dalam https://www. youtube.com/watch?v=LMueKWzG0WE, Diakses pada 8 September 2015. Soedjarwo, Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Yudiono KS. 2001. Puisi Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas. Magelang: Indonesiatera. Tourisia, Anita. “Selendang Merah,” dalam https://www.youtube.com/watch?v =YY2wlH7usTE, Diakses pada 8 September 2015. Twitty, Conway dan Joni Lee. 1975. “Don’t Cry Joni,” dalam https://www.youtube.com/ watch?v=ku4iC7hcTuQ, Diakses pada 8 September 2015. 338 TEORI PSIKOANALISIS: KRITIK POSKOLONIAL, FEMINIS, DAN MARXIS Paulus Sarwoto (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta – Indonesia) Kritik sastra bisa dibagi dalam dua aliran besar: kelompok Liberal Humanis dan kelompok yang menggunakan teori kritis. Kelompok pertama bukannya tidak menggunakan teori sama sekali. Mereka menggunakan teori yang semula dirumuskan di Rusia oleh Victor Shklovsky dan kawan-kawan, yaitu Formalisme dan lalu dikembangan di Inggris menjadi Practical Criticism dan di Amerika disebut New Criticism dan menjadi tren hingga tahun 70an. Ketiga pendekatan itu bisa dikatakan sebagai reaksi atas sisa-sisa kecurigaan dunia akademis terhadap ketidakilmiahan studi sastra. Untuk membuktikan bahwa studi sastra juga bisa ilmiah maka ketiga pendekatan itu menyediakan metode analisis “obyektif” yang sangat teknis dan rumit.84 Apabila Formalisme dan turunannya secara tegas hendak memisahkan karya sastra dari ideologi, sejarah, filsafat dan linguistik maka teori kritik sastra sejak Strukturalisme pada akhir 70an ingin mengembalikan kaitan studi sastra dengan linguistik, filsafat, sejarah dan ideologi. Kritik sastra yang dilengkapi dengan apa yang sekarang disebut sebagai teori kritis (critical theory) secara terus terang mengatakan dari awal bahwa pendekatan mereka adalah ideologis dan politis. Kritik sastra Feminis, Marxis dan Poskolonial misalnya, sangat terang benderang dalam keberpihakan ideologis mereka. Bisa dikatakan bahwa kritik sastra dengan teori kritis hendak membalikkan pendulum dari yang semula ingin menceraikan karya sastra dari ‘keduniawiannya’ (Edward Said dalam bukum bukunya The World, the Text and the Critic menyebutnya sebagai the worldliness of the text) menjadi arah sebaliknya: mengaitkan sastra dengan ideologi (Marxisme, Teori Poskolonial, Feminisme), sejarah (New Historicism, Cultural Materialism), filsafat (Dekonstruksi, Pos-strukturalisme), pembaca (Reader’s Response theory), Psikoanalisis (Psychoanalytic Theory) dan linguistik (Strukturalisme). Tulisan ini akan melihatsecara sekilas terutama 3 teori yaitu Marxisme, Poskolonialisme dan Feminisme karena ketiganya memperlihatkan banyak kemiripan metode terutama ketika didekati dengan melihat adanya dua lapis kesadaran di dalam teks sebagaimana teori Psikoanalisis melihat lapis-lapis kesadaran manusia. Tujuannya adalah melihat bagaimana ketiga pendekatan itu dalam membumikan kritik sastra menggunakan metode yang sangat mirip sekaligus berbeda orientasinya. Marxisme Marxisme pada mulanya bukanlah teori sastra melainkan teori sosial yang bertujuan mengubah tatanan ekonomi kapitalis yang tidak adil. Kaitan antara Marxisme dan teori sastra tidak bersifat langsung karena baik Karl Marx maupun Frederich Engels tidak pernah membuat tulisan khusus yang membahas sastra. Salah satu ulasan sambil lalu oleh Marx tentang sastra bahkan menjadi cemoohan, seperti ketika Marx menjelaskan paradoks antara tragedi klasik Yunani yang sedemikian hebat di satu sisi 84 Lihat misalnya Seven Types of Ambiguities (1930) oleh William Empson 339 dan masyarakatnya yang secara sistem ekonomi masih sangat sederhana di sisi lain. Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin masyarakat yang masih sederhana itu bisa menghasilkan karya sastra yang sedemikian kompleks pemikirannya dan masih tetap menarik dibaca oleh pembaca jaman sekarang yang terpisah jauh baik secara jarak waktu maupun letak geografis. Bukankan karya sastra sebagai bagian dari superstructure adalah cerminan langsung dari masyarakatnya yang merupakan bagian dari base? Jawaban Marx adalah sebagai berikut: A man cannot become a child again, or he becomes childish. But does he not find joy in the child’s naiveté, and must he himself not strive to reproduce its truth at a higher stage? Does not the true character of each epoch come alive in the nature of its children? Why should not the historic childhood of humanity, its most beautiful unfolding, as a stage never to return, exercise an eternal charm? There are unruly children and precocious children. Many of the old peoples belong in this category. The Greeks were normal children. The charm of their art for us is not in contradiction to the undeveloped stage of society on which it grew. (It) is its result, rather, and is inextricably bound up, rather, with the fact that the unripe social conditions under which it arose, and could alone rise, can never return.(Eagleton Marxism and Literary Criticism 6) Manusia dewasa tidak bisa menjadi anak-anak lagi karena akan menjadi kekanakkanakan. Akan tetapi bukankah ia senang dengan kenaifan anak-anak dan terdorong untuk menemukannya dalam bentuk-bentuk yang lebih kompleks? Bukankan hakekat tiap periode sejarah tercermin pada anak-anaknya? Bagaimana mungkin sejarah awal manusia sebagai tahap perkembangan yang sangat indah yang tidak mungkin terulang lagi tidak menimbulkan daya tarik abadi? Ada anak-anak sangat nakal dan anak-anak sangat patuh. Banyak suku bangsa jaman dulu masuk dalam salah satu kategori itu. Orang-orang Yunani jaman dulu adalah anak-anak biasa. Daya tarik hasil karya seni mereka bukan pada kontradiksinya dengan keterbelakangan kondisi masyarat Yunani ketika itu. Daya tarik itu terkait dengan kemustahilan untuk kembali ke jaman itu, yaitu jaman ketika kondisi sosial masih sangat sederhana. Analisis Marx yang agak sentimentil ini, yakni bahwa daya tarik karya sastra Yunani kuna disebabkan karena kerinduan manusia untuk kembali ke masa lalu, dianggap oleh para pengkritiknya sebagai ketidak-konsistenan Marx terhadap landasanan materialisme teorinya. Meskipun demikian, penjelasan Marx bahwa paradoks antara base (masyarakat Yunani kuno) dan superstructure (karya sastra yang dihasilkan) bisa dijelaskan sebagai sebab akibat, yaitu bahwa justru karena struktur masyarakatnya masih sederhana maka mereka bisa menghasilkan karya yang tetap menarik bagi manusia modern dan ini meneguhkan tesisnya tentang keterkaitan antara base dan super structure dalam bangunan sastra. Dengan kata lain, sebagaimana disampaikan oleh Terry Eagleton, karya sastra yang memiliki daya tarik dalam rentang waktu yang lama itu hanya mungkin dihasilkan oleh sebuah masyarakat yang belum teracuni olek kerumitan sistem kapitalisme (Eagleton Marxism and Literary Criticism) Metodologi kritik sastra Marxis yang dikembangkan oleh the New Left tidak lagi melihat hubungan base dan superstruktur secara simplistik tetapi tetap melihat bahwa kondisi material adalah penentu akhir sifat sebuah karya sastra – tentu setelah melalui proses kreatif yang rumit yang sering menyamarkan bangunan dasar ini sehingga hampir tidak terlihat lagi. Di sinilah ketajaman kritik Marxis diuji untuk bisa membongkar bangunan dasar realitas material sebuah karya sastra yang tersembunyi di balik proses kreatif penulisnya. Kritik Marxis selalu mencoba mencari bagaimana dan 340 seberapa jauh karya sastra ditentukan oleh (dan menentukan – yaitu dalam pendekatan New Historicism dan Cultural Materialism) realitas materialnya.85 Poskolonialisme Teori Poskolonial sebagai teori yang agak utuh mendapatkan bentuknya dan pengakuan luas dunia akademis pada tahun 1980an setelah terbitnya buku Edward Said berjudul Orientalism (1978). Said membangun tesis bahwa tulisan ilmiah para sarjana Orientalis Barat tentang dunia Timur terkontaminasi oleh dikotomi oposisi biner baik/jahat, berbudaya/barbar, rajin/malas yang meletakkan Barat dalam posisi di atas dan Timur dalam posisi di bawah. Oposisi biner demikian, menurut Said, terbentuk karena ideologi kolonialisme. Said melihat perwujudan ideologi kolonialisme itu dalam berbagai teks, baik sastra maupun non-sastra. Salah satu teks sastra yang disebut Said dalam bukunya Culture and Imperialism adalah novel tulisan Jane Austen berjudul Mansfield Park. Said melihat bahwa melalui pembacaan tradisional novel tersebut sama sekali tidak menyinggung isu kolonialisme. Novel itu lebih berkisah tentang roman. Akan tetapi Said menunjukkan bahwa penggalan kisah ketika Bentram meninggalkan Inggris dan pergi ke Antigua sangat kental nuansa kolonialismenya. Ketika akhirnya Bentram kembali ke Inggris dari Antigua dan membereskan segala kekacauan yang terjadi sejak dia meninggalkan Inggris sebenarnya teks itu sedang menyembunyikan logika kolonialisme. Kunjungan ke Antigua yang hanya disebut sambil lalu di novel itu dibaca Said sebagai dramatisasi tersembunyi eksploitasi Negara jajahan demi kemakmuran Eropa. Dengan demikian novel ini memperlihatkan keterperangkapannya dalam ideologi kolonialisme yang barangkali bahkan novelisnya sendiri tidak sadar. Dalam perkembangannya yang terkini diskusi teori Poskolonial terasa tidak lengkap kalau tidak menyinggung konsep Gayatri Spivak tentang subaltern (Spivak) dan Homi Bhabha tentang hibriditas (Bhabha). Dengan kedua teori itu analisis teks menjadi lebih pos-strukturalis sehingga tidak ada lagi oposisi biner hitam-putih tanpa pembacaan kritis atas landasan pembagiannya yang terbukti sangat rapuh. Salah satu analisis poskolonial terhadap konsep priyayi dalam karya-karya Umar Kayam menunjukkan kerapuhan ini (Sarwoto). Pemisahan Clifford Geertz tentang kelompok masyarakat Jawa menjadi Santri, Priyayi dan Abangan telah dikritik oleh berbagai pihak karena dasar pemisahannya yang rancu.86 Batasa-batas identitas yang esensialis antara Priyayi dan Non-priyayi ini pula yang didekonstruksi dalam karya-karya Kayam, terutama dalam novelnya yang terakhir, Jalan Menikung(1999). Dalam novel itu diperlihakan bahwa identitas kepriyayian yang luhur ini ternyata juga ditemukan dalam figur tokoh Yahudi dan Cina, yang secara tradisional merupakan dua kelompok yang sering diasosiasikan dengan sifat-sifat negatif dalam sterotip masyarakat Indonesia. Feminisme Feminisme sebagai kerangka teori hendak membantu pembacaan teks dari sudut pandang kesetaraan jender. Dengan terus mempertanyakan batasan-batasan antara yang konstruk dan yang bawaan, teori ini membedah bagaimana teks-teks sastra telah 85 Untuk elaborasi contoh-contoh kritik New Historicism dan Cultural Materialism bisa dibaca buku berjudul Political Shakespeare: Essays in Cultural Materialism (1985). 86 Lihat misalnya tulisan Ricklef: Polarizing Javanese Society (2007) dan “The Birth of Abangaan” 341 menjadi alat sosialisasi dan pengkodisian dominasi jender atau sebaliknya menyimpan penolakan terhadap dominasi dan pengkodisian itu. Di antara para teoretikus Feminis sendiri ada berbagai aliran, dari yang tradisional (Anglo-American Feminist) sampai yang radikal (Lesbian Feminism) yang meyakini bahwa integritas Feminisme hanya bisa dicapai melalui Lesbianisme; dari yang cenderung ke arah psikoanalisis (Psychoanalytic Feminism) sampai yang materialis (Marxist Feminism) dan lain sebagainya. Teori Psychoanalytic Feminism misalnya berupaya menjelaskan bagaiman konstruksi jender ternyata berakar dari pengalaman masa lalu terutama pada tahap Oedipal yaitu tahap ketika seorang anak berjuang melepas kecenderungan incest yang dianggap tabu. Sementara Marxist Feminism berasumsi bahwa persoalan ketidaksetaraan jender berakar dari struktur ekonomi yang tidak adil sehingga akar permasalahannya harus dicari dalam struktur ekonominya. Contoh analysis psychoanalytic feminism adalah studi tentang akar penyebab Anastasia Steele Dalam novel Fifty Shades of Grey menderita sado-masochism yang dilakukan oleh mahasiswa bimbingan saya di Prodi Sastra Inggris.87 Dalam analisis itu, dijelaskan bahwa tokoh ini mengalami arrested development pada tahap Oedipal, yakni kegagalan melewati tahap identifikasi dan pemisahan dari obyek seksualnya. Dalam kasus Anastasia, kegagalan ini disebabkan oleh hilangnya figur ayah ketika usia sangat muda. Berbeda dari anak laki-laki, tahap Oedipal pada anak perempuan lebih rumit karena semestinya tidak ada ketakutan terhadap kastrasi/pengebirian. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa obsesi secara seksual terhadap figur ayah ini tetap tumbuh hingga dia dewasa. Masalahnya ketika dia menemukan pasangan hidup ada halangan psikologis untuk melakukan hubungan seksual karena tabu. Defense mechanism yang terjadi lalu adalah menyakiti diri sebagai ungkapan perasaan bersalah sehingga dia bisa menikmati hubungan seksual secara semestinya. Kemiripan metode: Lapis-lapis Kesadaran dan Jebakannya Melihat pemaparan singkat ketiga teori dan kritik tadi, jelas terlihat bahwa ketiganya mencari struktur dalam (bukan struktur luar) sebuah teks untuk menjelaskan logika tersembunyi. Seperti halnya Psikoanalisis, ketiga teori itu mencari lapis ketidaksadaran (the Unconscious) sebuah teks dengan menggunakan perspektif ideologi tertentu. Meskipun kritik mereka biasanya diawali dengan membaca lapis kesadaran (the Conscious) sebuah teks, yaitu pemaknaan tradisional berdasar ‘data keras’ (hard facts) unsur-unsur intriksinya, pada tahap selanjutnya mereka akan lebih menyoroti lapis ketidaksadaran untuk melihat bahwa ada logika tersembunyi yang belum terlihat dari pembacaan lapis pertama. Kalau psikoanalisis meyakini bahwa dengan menemukan dan menerima ketidaksadaran yang selama ini ditekan supaya tidak muncul ke kesadaran (defense mechanism) maka orang yang diterapi akan dibantu untuk menjadi sehat secara psikis, ketiga teori itu juga meyakini bahwa dengan mengesampingkan lapis ketidaksadaran sebuah teks dan hanya melihat makna dari lapis kesadarannya saja maka kritik sastra, tanpa disadari, bisa menjadi alat untuk melanggengkan penyakit sosial berupa penindasan-penindasaran terhadap pihak-pihak yang termarjinalkan. Berbicara tentang keberpihakan pada yang terpinggirkan dan tersingkir, ada bahaya bahwa kritikus akan jatuh pada jebakan pertama, yaitu esensialisme. Esensialisme adalah pandangan yang melihat persoalan secara tegas dalam oposisi biner 87 Monika Sunarto, "Feminine Oedipus Complex in El James' Fifty Shades of Grey," Universitas Sanata Dharma, 2015. 342 hitam/putih, benar/salah, kaya/miskin seakan-akan batas di antara keduanya adalah abadi dan jelas. Feminisme, Marxisme dan Teori Poskolonial tentu telah melihat kecendurang esensialisme ini dan memang pernah terjebak dalam logika esensialis dalam perjalanan sejarahnya. Dengan kecenderungan Pos-strukturalis yang sekarang banyak berpengaruh terhadap ketiganya tentu pandangan esensialis tadi sudah tidak mendapat tempatnya. Ketiga teori itu sekarang melihat batas-batas itu (lakilaki/perempuan, penjajah/terjajah, base/superstructure) sebagai sesuatu yang cair dan selalu ada wilayah abu-abu. Jebakan kedua, tanpa sadar mengapropriasi pandangannya sendiri sebagai pandangan pihak yang ingin disuarakan, sudah dikritik oleh Gayatri Spivak. Intinya adalah bahwa jebakan ini terjadi karena posisi pihak yang tersingkir adalah tanpa daya tawar sama sekali sehingga ketika dia bersuara, sebenarnya yang bersuara adalah kritikusnya. Meskipun Spivak sendiri sekarang melihat konsep itu sudah kedaluwarsa, sudut pandang yang dia tawarkan tetap relevan hingga kini, yaitu untuk selalu menginterogasi sudut pandang kita ketika kita melakukan kritik teks. Tujuannya tentu bukan supaya ketika kita masuk dalam sebuah teks pikiran kita bersih dari ideologi bawaan sebagaimana diyakini oleh kaum Liberal Humanis tetapi lebih bahwa adanya ideologi bawaan itu adalah tak terhindarkan dan kita harus selalu menyadarinya supaya tidak membutakan kita terhadap sudut pandang berbeda. Dalam usahanya menyuarakan pihak-pihak yang tersingkir ini, baik Kritik Feminis, Marxis maupun Poskolonial semula sama-sama membaca ulang teks-teks kanon untuk menginterpretasi ulang dengan melihat struktur yang tersembunyi itu sehingga interpretasi mereka berbeda dari hasil pembacaan tradisional. Pemilihan terhadap teks kanon ini merupakan pilihan strategis karena teks kanon sudah banyak dikenal di dunia akademis. Kritik Marxis dan Poskolonial banyak membongkar lagi karya-karya kanon, seperti drama-dramanya William Shakespeare sementara kritik Feminis mengawalinya dengan mebaca ulang androtexts, teks-teks yang ditulis sastrawan laki-laki. Pembacaan dengan keberpihakan ideologi yang terus terang ini telah memicu reaksi keras dari kelompok Humanisme Liberal yang merasa bahwa kritik sastra telah dinodai oleh subyektifitas ideologis dan menyebut kritikus ideologis sebagai renegade, orang-orang yang gagal paham secara estetis dan lalu mencari jalan pintas dengan kritik ideologi (Bloom). Pertanyaannya tentu saja apakah ada kritik yang tidak ideologis. Klaim kaum Humanisme Liberal tentu mengatakan ada, yaitu kritik sastra yang berfokus pada aspek estetisnya dan ini dijumpai dalam pendekatan Formalis (termasuk di dalamnya New Criticism dan Practical Criticism) dengan metode close readingnya. Akan tetapi bukankah dengan menolak untuk berpihak pada salah satu ideologi adalah sikap ideologis dan sangat mungkin sebenarnya berideologi status quo? Saya lebih sepakat dengan pendapat Terry Eagleton yang mengatakan perbedaan antara kritik ideologi dan non-idologis hanyalah bahwa kritikus non-ideologis tidak mengakui kediologisan kritiknya sementara kritikus ideologis tidak mempermasalahkan ideologi yang mewarnai kritik karena pada dasarnya tidak mungkin membaca teks dengan tanpa membawa beban ideologis tertentu (Eagleton Literary Theory: An Introduction). Pertanyaan lebih pentingnya saya kira adalah seberapa jauh pilihan ideologis yang masuk dalam proses kritik tidak terjebak dalam pandangan ekstrim: esensialisme dan relativisme sia-sia yang hanya akan membawa pada anarki penafsiran (the anarchy of interpretation). Relativisme mutlak ini merupakan jebakan yang ketiga. Sebagai hasil dari pemikiran dekonstruksi, relativisme bisa memberdayakan tetapi juga bisa melumpuhkan 343 sebuah pembacaan. Dekonstruksi bisa menghasilkan pembacaan yang kuat dan memberdayakan ketika tidak terjebak pada relativisme sia-sia yang hanya akan membenarkan logika penindasan. Hal ini terjadi ketika kritikus menjadi seorang super reader. Super reader atau pembaca super yang saya maksud di sini adalah kritikus yang berpretensi menguasai semua pendekatan teoretis itu, mengadopsi sikap pos-strukturalis tulen dan dengan leluasa menggunakan teori yang dia kuasai untuk sekedar melakukan academic exercise. Kritikus pos-strukturalis seperti ini cenderung menolak keberpihakan pada salah satu pihak karena pada dasarnya mereka yakin bahwa kebenaran itu sifatnya relatif. Relativisme seperti ini tentu memiliki dasar akademis yang kuat dengan dekonstruksi sebagai pijakannya. Akan tetapi relativisme seperti ini juga bertolak belakang dari keberpihakan ideologi dalam Feminisme, Marxisme dan Teori Poskolonial. Kritikus sastra yang menggunakan pendekatan ideologi harus menavigasikan tulisannya supaya pandangan pos-strukturalis menjadi kekuatan kritis analisisnya sehingga tidak menjadi kegiatan akademis sia-sia. Dalam kritik Feminis, pengaruh Pos-strukturalisme ini manjadi titik kekuatan untuk merombak asumsi-asumsi ketidak setaraan jender yang dianggap kebenaran umum. Dalam kritik Marxis, Pos-strukturalisme telah memberdayakan analisis struktur ekonomi dan ideologi untuk melihat kompleksitasnya. Sementara dalam kritik Poskolonial, Pos-strukturalisme telah menjadi kekuatan tersendiri untuk membongkar batasan-batasan sempit pengelompokan manusia menurut ras maupun letak geografisnya. Dekonstruksi dengan keberpihakan demikian ini mungkin yang oleh Spivak disebut sebagai strategic essentialism, yaitu menggunakan refleksi kritis terhadap ideologi dengan tetap memiliki keberpihakan kepada yang termarjinalkan. Kesimpulan Metode psikoanalisis yang diterapkan dalam pembacaan ideologi sebuah teks mampu membongkar logika-logika tersembunyi. Logika-logika tersembunyi ini menunjukkan keduniawian sebuah teks yang bahkan kadang penulisnya sendiri tidak menyadari. Perbedaan pendekatan ideologi akan mempengaruhi pemilihan teks dan hasil analisis. Pembacaan ideologis perlu menyadari jebakan-jebakan esensialisme, apropriasi dan relativisme sia-sia untuk bisa menghasilkan kritik yang bermutu. Daftar Rujukan Bhabha, Homi K. The Location of Culture. London: Routledge, 2002. Print. Bloom, Harold. Shakespeare: The Invention of the Human. London: Fourth Estate, 1999. Print. Dollimore, Jonathan, and Alan Sinfield. Political Shakespeare: Essays in Cultural Materialism. Manchester: Manchester University Press, 1985. Print. Eagleton, Terry. Literary Theory: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishing, 2003. Print. ---. Marxism and Literary Criticism. London: Methuen & Co. Ltd, 1976. Print. Kayam, Umar. Jalan Menikung (Para Priyayi 2). Jakarta: Grafiti, 1999. Print. Ricklefs, M. C. Polarising Javanese Society. Singapore: NUS Press, 2007. Print. Ricklefs, M.C. "The Birth of the Abangan." Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 162 1 (2006): 35-55. Print. 344 Said, Edward. The World, the Text and the Critic. Massachusetts: Harvard University Press, 1983. Print. Sarwoto, Paulus. "The Javanese in Transition: A Postcolonial Study of the Priyayi Class in the Works of Indonesian Author, Umar Kayam." Monash University, 2012. Print. Spivak, Gayatri Chakravorty. "Can the Subaltern Speak?" Marxism and the Interpretation of Culture. Eds. Nelson, Cary and Lawrence Grossberg. Urbana: University of Illinois Press, 1988. 271-313. Print. Sunarto, Monika. "Feminine Oedipus Complex in El James' Fifty Shades of Grey." Universitas Sanata Dharma, 2015. Print. 345 NOVEL KATAK HENDAK JADI LEMBU DALAM PANDANGAN INTERKULTURALISME Pipit Mugi Handayani (FPBS Universitas PGRI Semarang – Indonesia) Abstract: In an certain case, interculturalism seems to be overlapped with multiculturalism. Generally, it needn’t have to be happened because they have different assumptions. Multiculturalism is rather a cultural-political movement to think of that cultural identity is in the equal position of respecting others. It has been a point of view in accordance to reach the equality among others, both individually and communally. Whether intrerculturalism is a way of clarifying the inter-culture relation, negotiation, dan matters in the relation with the manner. In interculturalism’s view, a novel is a core of author process in reflecting his sight having faced the culture around him. Hence, author process of learning, positioning, valuing, and narrating a culture in his works is a process of interculturalization. Katak Hendak Djadi Lembu, Nur Sutan Iskandar, is one of representation of Minangkabau in the way of interculturalize his idea. In the content of the novel, there are important things related to the out-culture mixed with the origin culture presented in to characters in the novel. The conclusion of the research is a Western-Eastern’s dialogue in character’s named Abdulhalim. Keywords: intercultur, negotiation, acculturation. Pendahuluan Sastra dan budaya adalah dua hal yang sangat erat kaitannya sebagai cerminan masyarakat. Melalui sastra, masyarakat yang diwakili pengarang mengungkapkan budaya yang dijalankan dan dimilikinya. Pengertian budaya dapat diartikan bermacammacam tergantung dari perspektif orang masing-masing, namun dalam tulisan ini, pengertian budaya yang diambil adalah pengertian budaya yang berhubungan dengan perilaku masyarakat. Tindakan masyarakat yang tergambar dalam sastra tidak semuanya merepresentasikan budaya masyarakat yang diceritakan secara identik. Namun, tetap terdapat jalinan yang erat antara budaya dan masyarakat melalui ide dan pikiran pengarang karya sastra. Dari pendapat di atas tidak tertutup kemungkinan adanya harapan pengarang yang ingin disampaikan melalui karyanya terhadap nilai-nilai yang salah satunya adalah budaya. Budaya yang dibayangkan oleh pengarang secara otomatis mengambil atau sekadar meminjam dari kehidupan masyarakat yang kemudian dituangkan dalam karyanya. Budaya yang muncul biasanya tidak hadir sendiri, tetapi berelasi dengan budaya lain. Relasi antarbudaya tersebut dipertemukan dalam bentuk interkultural dalam interaksi antarbudaya yang berbeda. Budaya masyarakat Barat yang dalam hal ini kolonial Belanda dan budaya Timur yang diwakili kaum pribumi terdapat pada karya sastra dan tergambar jelas pada novel Katak Hendak Djadi Lembu. Keduanya tidak serta merta bercampur akan tetapi masih 346 menyisakan perbedaan-perbedaan yang kemudian berelasi dalam bentuk budaya baru. Hal demikian selanjutnya mengarah pada terjadinya tarik menarik antarbudaya yang ada pada novel tersebut. Interkulturalisme merupakan suatu pemahaman bahwa persepsi diri dan sosial (pemahaman budaya sendiri dan identitas) menentukan cara melihat dan menempatkan kebudayaan lain dalam kebudayaan sendiri. Interkulturalisme bisa terjadi karena adanya proses asimilasi dan akulturasi dapat ditempatkan dalam konteks budaya. Asimilasi adalah suatu kebudayaan bercampur dan menimbulkan kebudayaan baru. Biasanya kebudayaan lama bisa mengulang dan masyarakat memperbaharui budayanya sesuai dengan perkembangan konteks yang menentukan ke arah mana perkembangan itu harus dibawa. Akulturasi adalah suatu proses sosial bertemunya dua kebudayaan atau lebih. Biasanya kebudayaan asli tidak hilang, tetapi seolah mengalami modifikasi. Istilah “antarbudaya” (interculture) pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edwart T. Hall pada 1959 yang menjelaskan tentang keberadaan konsepkonsep unsur kebudayaan, misalnya sistem ekonomi, religi, sistem pengetahuan sebagaimana apa adanya. Dalam memahami interkultural terlebih dahulu perlu memahami lima konsepberikut. Pertama, etnik (ethnic) merupakan sekelompok masyarakat yang mempunyai kesamaan sifat-sifat kebudayaan, misalnya bahasa, adat istiadat, perilaku, perilaku budaya, karakteristik budaya, serta sejarah. Kedua, etnisitas merujuk pada penggolongan etnik berdasarkan afiliasi. Ketiga, etnosentrisme merupakan sikap emosional sekelompok etnik, suku bangsa, agama atau golongan yang merasa etniknya lebih superior daripada etnik lain. Keempat, etnografi adalah salah satu bidang antropologi yang mempelajari secara deskriptif suatu kelompok etnik tertentu. Kelima, etnologi mempelajari perbandingan kebudayaan kontemporer dan masa lalu dari suatu etnik (Liliweri, 2001: 334-335). Interkulturalisme dalam sastra dapat dipahami sebagai suatu pemahaman bahwa persepsi diri dan sosial (pemahaman budaya sendiri dan identitas) menentukan cara melihat dan menempatkan kebudayaan lain dalam kebudayaan sendiri dalam suatu karya sastra. Dalam karya sastra terdapat hal yang paling berpengaruh dan dianggap paling suci atau keramat disebut dengan karya sastra adiluhung. Jenis dan bentuk hubungan (relasi antarbudaya) ditentukan oleh sejarah dan konteks sosial yang berubah dan menentukan arah perkembangan budaya. Memahami interkultur sebuah karya sastra tidak terlepas dari proses asimilasi dan akulturasi. Berdasar pada asumsi bahwa dalam interkulturasi akan terlihat bagaimana proses-proses antarbudaya berlangsung dalam karya sastra. Interkulturalisme berbeda dengan mutikulturalisme. Multikulturalisme bersifat ideologis terkait masyarakat menghargai budaya-budaya yang berbeda dari posisi luar sedangkan interkulturalisme melihat persoalan dari dalam karya sastra sendiri tempat proses kebudayaan tersebut berlangsung. Posisi Pengarang pada Karyanya sebagai Proses Interkultur Memahami interkulturalisme dalam sastra perlu diperhatikan apakah teks karya sastra dapat menjadi ideologi pengarang dalam melihat dan mempersoalkan kebudayaan? Asumsi ini berdasar bahwa dalam karya sastra pengarang meminjam berbagai suara, posisi-posisi dan ideologi dan hal-hal lainnya (konteks cerita). Hal ini pada akhirnya berusaha mengarahkan pembenaran terhadap ideologi pengarang. Sastra juga merupakan ”hasil tawar menawar” yang kompleks, baik dalam konteks politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Sastra juga dapat berpretensi sebagai ”corong” 347 kepentingan pengarang atau kelompok sosial tertentu dan pengarang menjadi bagian penting di dalamnya. Pengarang mengelola berbagai aspek sastra (fakta cerita dan sarana penceritaan) demi tujuan dan kepentingan tertentu. Tidak terelakkan lagi, bahwa budaya ibu seorang pengarang akan sangat mempengaruhi ide serta kreativitas dalam menyampaikan tujuan ceritanya. Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana apabila seorang pengarang dengan latar budaya yang berbeda menceritakan budaya lain yang bukan budayanya? Hal ini terjadi pada Nur Sutan Iskandar yang berbudaya Minang (Sumatra Barat) bercerita tentang budaya Sunda. Dalam prosesnya, pastilah pengarang tersebut menjalani proses belajar dan memasuki budaya yang diceritakan sehingga penyampaian idenya tidak akan mengalami gesekan. Gesekan yang dimaksudkan adalah ketidakberterimaan masyarakat pemilik budaya tersebut, dalam hal ini Sunda. Pembuktian dari bercampurnya budaya milik pengarang–Minang—dengan budaya pinjaman--Sunda—menjadi ide cerita dapat berupa penyebutan identitas bahasa. Seperti terlihat dalam penyebutan sapaan yang disesuaikan dengan budaya Sunda: ”....Silakan, Atjeuk! Mari kita duduk ke dalam!” (St Iskandar, 1970: 32) Sebutan atjeuk yang dapat diartikan ’kakak perempuan’ di atas tidak serta merta penyebutan biasa, tetapi merupakan proses penyesuaian budaya pengarang terhadap budaya cerita. Dengan demikian, posisi pengarang yang berbeda budaya dengan budaya yang ada dalam cerita yang dikarangnya tentulah sudah melalui proses relasi antarbudaya. Katak Hendak Djadi Lembu sebagai jembatan budaya Karya sastra tidak akan pernah kosong budaya. Setiap proses penciptaannya selalu diiringi oleh referensi budaya yang pasti sudah tertampung dalam pikiran pengarang. Demikian halnya dengan Novel Katak Hendak Djadi Lembu yang merupakan salah satu karya sastra yang lahir pada masa dimana kebudayaan sengaja ditanam dan dibentuk oleh pengendali kekuasaan baik politik maupun pemerintahan, yakni Kolonial Belanda. Bahkan tidak menutup kemungkinan menggeser budaya yang selama ini telah ada dalam masyarakat terjajah. Kemungkinan ini dapat disederhanakan menjadi sebuah lahirnya budaya baru. Sehingga terdapat perpaduan antara budaya asli dalam hal ini timur dan budaya pendatang dalam hal ini budaya Barat. Dalam beberapa ide yang disampaikan novel Katak Hendak Djadi Lembu terdapat berbagai persinggungan budaya dari beberapa budaya yang menopang cerita di dalamnya antara lain budaya kota dengan budaya desa, budaya bangsawan pribumi dengan budaya kolonial, budaya pribumi (Sunda/ Jawa) dengan nonpribumi yakni etnis China, serta budaya Islam dengan budaya non Islam. Persinggungan antara budaya Barat yakni kaum kolonial Belanda dengan budaya Timur yakni kaum pribumi dapat dilihat dari aspek pendidikan, pola pikir, gaya hidup, bahasa, seni bahkan pakaian. Hal ini tercermin dari setiap masalah yang muncul pada cerita tergambar dalam kutipan berikut. Pakaiannja selalu rapih dan bersih demikian pula pakaian bini dana anak-anaknja. Kedua anaknja itu berladjar di sekolah jang patut dan mahal bajarannja. Tidak, bukan dua orang tu sadja anaknja, ada seorang lagi. jang sulung bersekolah di Osvia, sekolah menak di Bandung (St Iskandar, 1970: 16). Dalam kutipan di atas terdapat adanya ide atau prinsip bahwa penampilan yang baik dilihat dari cara berpakaian yang biasa ditunjukkan oleh para kaum bangsawan, dalam hal ini bangsa kolonial Belanda. 348 Formasi Budaya dalam Katak Hendak Djadi Lembu Budaya dalam sebuah karya sastra dapat direalisasikan melalui tokoh dengan segala karakter maupun penokohan yang ditampilkan. Tokoh yang merupakan wadah dari ide pengarang menjadi gambaran nyata gagasan terhadap segala hal yang ingin disampaikan pengarang. Novel Katak Hendak Djadi Lembu menampilkan tokoh sebagai bayangan budaya Barat dan budaya Timur sangat terlihat melalui penokohan dan karakter yang ditampilkan. Suria sebagai tokoh utama sangat menonjolkan budaya Barat yang dipaksakan terhadap dirinya melalui segala penggambaran yang ada dalam cerita: (…) Memang ia pantang kerendahan, perkataanja pantang dipatahkan. meskipun ia hanja bepangkat menteri kabupaten, bergadjil ketjil dan ”semah” pula di negeri Sumedang, tetapi hidupnja tak dapat dikatakan berkekurangan. Rumahnja bagus, lebih dari pada sederhana; perabotnja tjukup, - lebih banjak, lebih pantas dari pada perkakas rumah amtenar jang sederadjat dengan dia.... (St Iskandar, 1970: 15) Pakaiannja selalu rapih dan bersih demikian pula pakaian bini dana anak-anaknja. Kedua anaknja itu berladjar di sekolah jang patut dan mahal bajarannja. Tidak, bukan dua orang tu sadja anaknja, ada seorang lagi. jang sulung bersekolah di Osvia, sekolah menak di Bandung. (St Iskandar, 1970: 16) Budaya Barat yang muncul pada tokoh Suria juga tampak melalui pikiran tokoh lain: Zubaidah berdiam diri sedjurus, menarik napas pandjang pula, sedang air mukanja bertambah keruh djuga. “Rupa senang, nampak diluar sentosa, selesai tetapi di dalam kusut sebagai benang dilanda ajam. Bagaimana hidup akan senang, kalau tiada berketjukupan? Dan bagaimana pula hidup akan dapat berketjukupan kalau bajang-bajang tidak sepandjang badan, kalau belandja tiada diukur dengan pendapatan? Gadji Suria ketjil, pintu rezeki kami sanagt sempit. Aku tahu dan Suriapun lebih tahu lagi! Tetapi ia … prijaji, amtenar B.B, mesti hidup lebih baik dari pada orang kebanjakan! Londjaknja, gajanja, djika tidak akan laebih mesti sama dengan amtenar lain-lain! Ia harus mulia di mata orang! (St Iskandar, 1970: 22) Sementara itu, adanya budaya Barat sebagai budaya pendatang tersebut tentu saja tidak serta merta diterima oleh budaya lama atau asli sebagaimana direpresentasikan oleh tokoh Zubaidah berikut. Terbang semangat Zubaidah, ibu jang berhati lemah-lembut itu, demi terpikir olehnja nasib anak-anaknja dalam masa jang akan datang. Kalau ia tiada ingatingat mengemudikan rumah-tangganja, bagaimana ia akan tjakap mendidik mereka itu dengan sepatutnya? (…) Dalam tjemas memikirkan kehendak Allah jang tak dapat ditentukan, kalau-kala u ajahnja jang telah tua itu terdahulu dari padanja, bertambah pedihlah hatinja mengira-ngirakan nasib peruntungannja dan bertambah sempitlah pula alamnya mengenangkan tingkah-laku suaminja. Sudah hampir dua puluh tahun ia djadi istri Suria, selama itu boleh dikatakan belumlah ada lagi ia jang lepas dari pada tanggungan orang tuanja…. (St Iskandar, 1970 : 23-24) Dari perbedaan budaya yang tampak dari kedua tokoh tersebut memiliki ide masingmasing yang sengaja dipertahankan dalam cerita. Persilangan Budaya dan konsep “Menak” dalam Katak Hendak Djadi Lembu Istilah interkulturasi lebih disenangi daripada multikulturalisme dan transkulturalisme (Pavis, 1992: 2). Istilah ini kelihatannya tepat dalam usaha mencapai pertukaran dialektis antarbudaya. Dalam hubungan mendatar antara satu budaya dan 349 budaya lainnya akan terjadi akulturasi yang tidak menghilangkan budaya awal sebelum datangnya budaya baru. Dalam proses dialektik antarbudaya tersebut terjadilah tawarmenawar dalam bentuk negosiasi. Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Berdasarkan KKBI(2008 , 957 ) negosiasi adalah proses tawar menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) yang lain. Dalam kamus Oxford, negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal. Dalam Novel Katak Hendak Djadi Lembu, negosiasi yang dimaksudkan adalah tawar menawar dalam proses membangun relasi antarbudaya bahwa budaya Barat dan budaya Timur bertemu dan melahirkan satu budaya baru yang dalam hal ini diwakili oleh tokoh Abdulhalim. Penyebutan tokoh menak sebagai wujud negosiasi budaya Barat dan budaya Timur menjadi sangat penting karena didalamnya terjadi tarik menarik antarbudaya yang tidak bisa menghilangkan pergesekan antarbudaya yang ada. Sesuai dengan kutipan berikut. Kota Sumedang jang biasanja sederhana dan sedang ramainja, sudah bertambah ramai dan permai lagi. Rumah menak-menak, rumah prijaji dan orang berada kelihatan berseri-seri dan bersemarak. (St Iskandar, 1970: 122) (…) “Betul? Masja Allah, emang lupa. Itu anak-anak den menteri Suria! Tetapi jang besar itu?Aaknja djuga, jang tua sekali. Itu patut mamang tak kenal, sebab ia datang kemari tjuma dalam pakansi sadja.” “Dimana ia bersekolah?” “Di Bandung, di sekolah menak. Sekarang kabarnja, sudah tammat.”(St Iskandar, 1970: 127) Posisi menak sebagai percampuran antara budaya Barat dan budaya Timur merupakan hasil tawar-menawar kedua budaya tersebut. Keberadaan menak yang dianggap mewakili budaya Timur sebagai posisi lebih tinggi dibanding pribumi. Budaya Islam dalam Novel Katak Hendak Djadi Lembu Setiap karya sastra selalu menghadirkan sisi nilai budaya dari masyarakat yang diceritakan dalam karya tersebut. Tak beda halnya dengan Novel Katak Hendak Djadi Lemboe yang didalamnya terdapat nilai budaya Islam yang ditampilkan pada tokohtokohnya. Pada sisi tertentu digambarkan bagaimana agama dalam hal ini Islam digunakan sebagai ide-ide menyampaikan pesan akan budaya Timur. Sebagaimana dinyatakan dalam tokoh Abdulhalim. Nilai Islam yang tergambar dalam KHDL di antaranya adalah ajaran hormat pada orang tua: Pada suatu petang hari, ketika Abdulhalim duduk membatja surat kabar seorang diri diberanda rumahnja, datanglah Zubaidah dengan perlahan-lahan kedekatnja. Abdulhalim meletakkan surat kabarnja dan mengangkatkan kepalanja arah kepada ibunja dengan hormat (St Iskandar, 1970: 177). Budaya Islam sebagai latar budaya Timur memberikan penguatan pada budaya yang dipegang teguh oleh tokoh yang merupakan representasi dari budaya Timur. Dalam hal ini terjadi akulturasi budaya antara budaya Barat yakni Belanda melalui unsur termasuk bahasa, gaya hidup maupun pendidikan dengan budaya Timur. Budaya Timur yang digambarkan melalui perantara budaya Islam tidak serta merta hilang oleh masuknya budaya Barat. 350 Penutup Memahami interkultur sebuah karya sastra tidak terlepas dari proses asimilasi dan akulturasi. Berdasar pada asumsi bahwa dalam interkulturasi akan terlihat bagaimana proses-proses antarbudaya berlangsung dalam karya sastra. Berbeda halnya dengan mutikulturalisme yang bersifat ideologis terkait masyarakat menghargai budayabudaya yang berbeda dari posisi luar, interkulturalisme melihat persoalan dari dalam karya sastra sendiri tempat proses kebudayaan berlangsung. Novel Katak Hendak Djadi Lemboe yang merupakan karya sastra yang lahir pada masa pemerintahan kolonial Belanda secara nyata telah memuat ide persinggungan antara budaya Barat dan budaya Timur, serta budaya Islam dengan non-Islam. Di dalamnya juga terdapat negosiasi antarbudaya yang diwujudkan pada tokoh Abdulhalim sebagai perpaduan budaya Barat dan budaya Timur. Daftar Rujukan Liliweri, Alo. 2001. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pavis, Patrice, 1992. The Theatre of the Crossroads. London/ New York: Routeledge. Sairin, Sjafri. 1997. “Transmisi Nilai Budaya dalam Dinamika Perubahan” dalam Jurnal Humaniora edisi VI, Oktober 1997, hlm. 1—6. Yogyakarta: FIB UGM Yogyakarta Salam, Aprinus. 2010. “Beberapa Catatan tentang Sastra (Indonesia) dalam Perspektif Interkulturalisme” dalam makalah pada kuliah Sastra dan Interkulturalisme. Yogyakarta: Program Studi S-2 Ilmu Sastra Pascasarjana FIB UGM. Sutan Iskandar , Nur. 1970. Katak Hendak Djadi Lembu. Jakarta: PN Balai Pustaka. 351 STIMULUS KARYA SASTRA NUSANTARA DALAM PEMEROLEHAN BAHASA ANAK UNTUK PEMERTAHANAN IDENTITAS LOKAL DALAM ERA MODERN: KAJIAN PSIKOLINGUISTIK Rosida Tiurma Manurung (Universitas Kristen Maranatha Bandung – Indonesia) Abstrak: Stimulus karya sastra Nusantara tentang “asal-usul padi” bertujuan untuk mempertahankan dan memperkukuh identitas lokal dalam era global. Tujuan penulisan kertas kerja ini ialah untuk mengungkapkan peningkatan kemampuan bahasa pada anak dengan stimulus karya sastra Nusantara yang menceritakan “asal-usul padi” sebagai salah satu kekhasan lokal Penulisan kertas kerja ini terfokus kepada digunakannya media pembelajaran dan penelitian tindakan (action research). Penggunaan stimulasi alat bantu berupa media visual cerita anak-anak genre karya sastra Nusantara dapat meningkatkan minat belajar anak dalam pemerolehan bahasa.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan indeks kemampuan berbahasa teregister dengan stimulus media karya sastra Nusantara serta dapat meningkatkan nilai dan karakter khas pada anak, khususnya pada anak usia 6 tahun. Hal itu terlihat dalam perubahan setiap action yang penulis lakukan berdasarkan isi dan tindak tutur anak serta pengukuran indeks kemampuan berbahasa, khususnya ditinjau dari perkembangan sintaksis dan pragmatis. Selain itu, penggunaan media visual cerita akan menumbuhkan motivasi, kreativitas, dan karakter positif pada anak. Pengembangan stimulus media pemerolehan bahasa ini dapat dijadikan model untuk peningkatan kemampuan berbahasa pada anak normal. Kata kunci: pemerolehan bahasa pada anak, stimulasi karya sastra Nusantara, asal-usul padi, identitas dan kekayaan lokal Pendahuluan Perlunya Pemertahanan Identitas Lokal Globalisasi itu berlangsung di semua bidang seperti ideologi politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta sosial budaya. Dampak globalisasi di bidang sosial budaya sudah terasa. Kebudayaan modern dan global sudah merasuk ke dalam jiwa bangsa Indonesia. Nilai-nilai budaya lokal seperti nilai-nilai yang menyangkut etika, estetika, moral, agama, sosial, dan cara pandang diri sudah mulai terkikis, termasuk bahasa lokal. Ancaman kepunahan bahasa-bahasa ibu (bahasa lokal) telah menjadi persoalan internasional. UNESCO meramalkan bahwa dalam jangka waktu seabad lagi, setengah dari sekitar 6.700 bahasa di bumi ini akan punah (Kompas, 14 April 2010). Ramalan itu tentu berlaku juga bagi sejumlah bahasa ibu di pelosok Indonesia yang kebetulan hanya didukung hanya atau oleh tinggal segelintir penutur tua, lebih-lebih karena bahasa ibu tersebut tidak memiliki tradisi tulis yang mantap. Suara-suara miris para akademisi, pecinta, dan pemikir kebahasaan dan kebudayaan pun sering didengungkan. Ratusan bahasa itu masih menjadi bahasa ibu bagi sebagian besar warga bangsa Indonesia. Perlu disadari bahwa bahasa-bahasa lokal (vernacular) atau bahasabahasa daerah di Indonesia yang merupakan bahasa ibu itu, senasib dengan ribuan 352 bahasa kecil lainnya di berbagai belahan bumi, sebagaimana juga bahasa-bahasa turunan Austronesia dan non-Austronesia di kawasan Asia Tenggara-Pasifik. Atas keprihatinan itu pula, Unesco menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Kekhawatiran akan “nasib” bahasa, sastra, dan budaya lokal di banyak wilayah Indonesia tampaknya belum begitu menyentuh dan menyadarkan sebagian besar anak bangsa dari keterlenaan budaya kontemporer; belum juga bangkit untuk menggali dan memberdayakan kembali warisan leluhur itu. Dengan demikian, perlu upaya baik dalam kajian ilmu maupun melalui pengabdian kepada masyarakat berupa penyadaran akan pentingnya pemertahanan bahasa-bahasa lokal. Perlu upaya untuk memperkukuh nilainilai kebhinekaan yang positif sebagai modalitas untuk memperkukuh karakter bangsa. Modalitas kebhinekaan sangat diperlukan untuk mengatasi ancaman, kendala, atau tantangan yang datang dari luar yang dapat mengancam kelangsungan hidup dan eksistensi produk kebhinekaan. Upaya untuk mempertahankan dan memperkukuh jati diri bangsa, salah satunya ialah melalui sastra. Sastra Indonesia banyak mengandung nilai-nilai kebhinekaan. Warna lokal yang bersifat dan mengusung kedaerahan yang tentu saja mencerminkan keiindonesiaan. Sastra Indonesia banyak mencerminkan suasana dan lokasi, falsafah, etnis, kekhasan, keunikan, atmosfer, keindahan, serta keberagaman Nusantara. Karya sastra Nusantara mengungkapkan modalitas kebinekaan yang mengusung kekayaan berbagai etnis dan menonjolkan khazanah kedaerahan yang tentu saja merupakan warna lokal yang termasuk identitas bangsa Indonesia. Perlunya Intervensi dalam Pemerolehan Bahasa pada Anak Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial anak. Oleh karena itu, erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat. Pada saat bayi telah berinteraksi di dalam lingkungan sosialnya, seorang ibu sering memberikan kesempatan kepada bayi untuk ikut dalam komunikasi sosial dengannya. Kala itulah bayi pertama kali mengenal sosialisasi, bahwa dunia ini adalah tempat orang saling berbagi rasa. Pemerolehan bahasa terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa telah memperoleh bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit. Pada umumnya, orang tua (orang dewasa) tidak merasakan bahwa menggunakan bahasa merupakan suatu keterampilan yang luar biasa rumitnya. Pemakaian bahasa yang terasa lumrah karena memang tanpa diajari oleh siapa pun seorang bayi akan tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan bahasanya. Sejak umur satu tahun sampai dengan umur dua tahun seorang bayi mulai mengeluarkan bentuk-bentuk kata bahasa yang telah diidentifikasi sebagai kata. Ujaran satu kata ini tumbuh menjadi ujaran dua kata dan akhirnya menjadi kalimat yang kompleks menjelang umur empat atau lima tahun. Setelah umur lima tahun, seorang anak mendapatkan kosa kata dan kalimat yang lebih baik dan sempurna. Intervensi merupakan langkah yang paling tepat dalam pemerolehan bahasa pada anak, khususnya yang dilakukan oleh orang dewasa, dalam hal ini orang tua. Menurut Chomsky dalam Chaer (2009) setiap anak mampu menggunakan suatu bahasa karena 353 adanya pengetahuan bawaan yang secara genetik telah ada dalam otak manusia. Dalam Hipotesis Umur Kritis, Lenneberg menyatakan bahwa pertumbuhan bahasa seorang anak itu terjadwal secara biologis (lihat Dardjowidjojo, 2000: 301). Proses kita mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1) (anak) terjadi bila kita yang sejak semula tanpa bahasa, tidak mengenal bahasa, dan tidak kompeten berbahasa, kini telah memperoleh satu bahasa pertama. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit. Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik. Pemerolehan bahasa pertama (B1) sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis menyatakan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, penutur harus memperoleh “kategori-kategori kognitif” yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas, kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap penguasaan bahasa. Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesanggupannya untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia . Kemampuan berbahasa anak yang normal sama dengan anak-anak yang cacat. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fisiologi manusia, seperti bagian otak tertentu yang mendasari bahasa dan topografi korteks yang khusus untuk bahasa. Tingkat perkembangan bahasa anak sama bagi semua anak normal; semua anak dapat dikatakan mengikuti pola perkembangan bahasa yang sama, yaitu lebih dahulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi. Kekurangan hanya sedikit saja dapat melambangkan perkembangan bahasa anak. Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Bahasa bersifat universal. Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya kompetensi atau kecerdasan motorik dan kognitif. Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa, termasuk intervensi yang ditempuh. Menurut Dardjowidjojo(2010) yang disebut pemerolehan bahasa ialah proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut. Istilah pemerolehan dipakai untuk padanan istilah Inggris acquisition, yakni proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language). Kajian Teori Intervensi dalam Bentuk Stimulasi Hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Sardiman, (2007;130) menyatakan bahwa respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi354 konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku, Sardiman, dkk. (2001;164). Oleh karena itu, dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut juga merupakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya. Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit (tersembunyi). Untuk menangkap isi dan pesan belajar, maka dalam belajar tersebut individu menggunakan kemampuan pada ranah-ranah Kognitif yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan, penalaran atau pikiran terdiri dari kategori pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Afektif yaitu kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari kategori penerimaan, partisipasi, penilaian sikap, organisasi dan pembentukan pola hidup. Sikomotorik yaitu kemepuan yang mengutamakan keterampilan jasmani terdiri dari persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan dan kreativitas. Menurut Gagne (1970), Belajar merupakan kegiatan yang kompleks, dan hasil belajar berupa kapabilitas, timbulnya kapabilitas disebab oleh stimulasi yang berasal dari lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan oleh pelajar. Belajar terdiri dari tiga komponen penting yakni kondisi eksternal yaitu stimulus dari lingkungan dari acara belajar, kondisi internal yang menggambarkan keadaan internal dan proses kognitif siswa, dan hasil belajar yang menggambarkan informasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap, dan siasat kognitif. Robert M. Gagne mengemukakan delapan tipe belajar yang membentuk suatu hirarki dari paling sederhana sampai paling kompleks yakni : belajar tanda-tanda atau isyarat (Signal Learning) yang menimbulkan perasaan tertentu, mengambil sikap tertentu,yang dapat menimbulkan perasaan sedih atau senang, belajar hubungan stimulus-respons (Stimulus Response-Learning)di mana respon bersifat spesifik, tidak umum dan kabur, belajar menguasai rantai atau rangkaian hal (Chaining Learning) mengandung asosiasi yang kebanyakan berkaitan dengan keterampilan motorik, belajar hubungan verbal atau asosiasi verbal (Verbal Association) bersifat asosiatif tingkat tinggi tetapi fungsi nalarlah yang menentukan, belajar mebedakan atau diskriminasi (Discrimination Learning) yang menghasilkan kemampuan membeda-bedakan berbagai gejala. Konsep Belajar (Concept Learning) yaitu corak belajar yang menentukan ciri-ciri yang khas yang ada dan memberikan sifat tertentu pula pada berbagai objek. belajar aturan atau hukum-hukum (Rule Learning) dengan cara mengumpulkan sejumlah sifat kejadian yang kemudian dalam macammacam aturan, belajar memecahkan masalah (Problem Solving) menggunakan aturanaturan yang ada disertai proses analisis dan penyimpulan. Pemerolehan bahasa pada anak normal 4—5 tahun dengan intervensi dilakukan berdasarkan prinsip pengamatan terhadap suatu stimulus melalui pendengaran dan atau penglihatan anak. Menurut Hernawati (2009), dengan mengembangkan berbagai kemampuan pengamatan yang dimiliki anak, kita memberikan stimulus melalui penglihatan dan atau pendengarannya. Melalui cara ini anak akan menerima cara bicara yang benar, lalu dikontraskan dengan konsep bicaranya yang salah. Apabila cara bicara yang benar tadi semakin diperkuat dengan diulang secara intensif, akan terjadi proses perpindahan dari bicara yang salah menjadi bicara yang benar secara menetap. Metode ini dapat juga digunakan untuk menanamkan pengertian bahasa 355 dengan cara menstimulasi anak melalui berbagai media yang menarik perhatian anak, seperti gambar, foto, dan sebagainya. Dalam menanamkan pemaknaan bahasa pada anak, penting untuk selalu memperbincangkan konsep-konsep yang mengasyikkan anak. Kata-kata dan artinya paling baik dipelajari dalam keadaan sewaktu bermain. Kita memperkatakan apa yang dilihat, diperbuat, dan dipikirkan anak secara simultan. Setiap saat dan setiap waktu merupakan kesempatan bagi anak untuk belajar berbahasa. Kita harus berusaha untuk memahami isyarat gerak yang diperbuat anak, memahami bunyi yang diucapkannya, serta membahasakannya sehingga anak dapat memahmi betul kata-kata yang diucapkan dengan aktivitas yang dilakukan. Karya Sastra Nusantara Istilah Nusantara pertama kali dipakai oleh kerajaan Majapahit untuk menyebut daerah-daerah kekuasaannya. Kata Nusantara sendiri merujuk pada periode khusus ketika Indonesia dikuasai oleh Majapahit, khususnya ketika kerajaan ini berada di bawah kendali patih besarnya, Gajah Mada. Pada tahun 1889-1959 istilah Nusantara yang sempat tenggelam kembali mucul. Orang yang memperkenalkan kata nusantara adalah Ki Hadjar Dewantara. Bahasa tanpa sastra bagaikan jasat tanpa roh. Bahasa tidak memiliki semangat jika tidak ada muatan sastra. Sastralah yang membuat bahasa menjadi hidup. Dalam sastralah terkesan harapan dan cita-cita masyarakatnya. Khazanah karya sastra Nusantara, baik lisan maupun tulisan beragam jumlah dan jenisnya. Menurut A. Teeuw berdasarkan informasi Hans Scharer, seorang ahli sastra Dayak, pada masa sebelum perang luas sastra tradional Nusantara yang bersifat mitos untuk suku Dayak yang ditelitinya dapat diperkirakan mengisi 40.000 halaman cetak seandainya diterbitkan. Jadi, mengisi dua ratus jilid, masing-masing dengan rata-rata dua ratus halaman pula. Itu hanya untuk satu suku atau subsuku. Dapat dibayangkan betapa kayanya sastra tradional Nusantara yang dimiliki satu suku atau subsuku Nusantara. Dapat diperkirakan jumlah kekayaan itu sejumlah apa jika Indonesia memiliki ratusan suku. Kekayaan khas lokal itu akan semakin menggunung apabila ke dalamnya dimasukkan khazanah sastra tertulis tradisional. Penelitian karya sastra Nusantara pertama-tama dilakukan oleh para ahli Barat, khususnya Belanda, sejak kira-kira permulaan abad ke-19. Nama-nama seperti L. Th. Mayer, Palmer van den Brook, F.L. Winter, A.C. Vreede, Ny. Coster Wijsman, C. Snouck Hurgronje, K.H. Hidding, A.A. Fokker, dan A. Teeuw adalah sebagian kecil dari sejumlah besar para peneliti sastra tradional Nusantara kususnya, sastra Nusantara umumnya, yang penelitiannya telah dipublikasikan. Yang perlu diberi catatan dari penelitian-peneltian itu ialah bahwa hampir semua sastra tradional Nusantara yang penting baik puisi maupun prosa telah dijadikan objek kajia. Jenis naratif terkenal seperti Si Kancil, Sang Kura-kura dan Si Kabayan telah dibuat bahan telaah baik secara individual, maupun secara komparatif. Serba nilai yang dikandungnya telah dicoba diungkapkan apakah itu nilai filosofis, religius, didaktis, sosial, etis, moral, maupun estetis. Dalam penelitian ini, digunakan media karya sastra Nusantara yang menceritakan “asal-usul padi” sebagai tanaman yang dijadikan makanan primer bangsa kita. Karya Sastra Nusantara “Asal-usul Padi” Karya sastra Nusantara yang digunakan dalam penelitian ini ialah “Putri Tangguk” dari daerah Jambi yang menceritakan seorang perempuan bernama Putri Tangguk dan suami beserta ketujuh anaknya. Putri Tangguk takabur dan sombong 356 karena menyia-nyiakan padi. Juga digunakan “Legenda Dewi Sri” yang mengisahkan warga Jawa Barat yang mengelu-elukan serta menghormati nama Dewi Sri dan menjulukinya sebagai Dewi Padi karena jasa terbesarnya yang telah menciptakan tanaman padi di seluruh wilayah Purwagaluh, Jawa Barat. Dalam penelitian ini, digunakan pula karya sastra Nusantara yang berjudul “Si Beru Dayang” yang berasal dari Tanah Karo, Sumatera Utara. Si Beru Dayang adalah istilah padi dalam bahasa Karo. Menurut legenda, padi di Tanah Karo merupakan penjelmaan seorang anak lakilaki. Cerita Rakyat Ende Lio “Ine Pare (Asal Mula Padi)” yang mengisahkan percobaan menyantap biji-bijian yang dilakukan pertama kali oleh seorang janda bernama Pare. Usai mencicipi segenggam, dua genggam, tiga, bahkan sampai beberapa genggam, wajah Pare justru berseri-seri. Percobaan makan itu diikuti oleh Wole, juga janda sebatang kara yang memang meminta dan menikmati biji-bijian baru itu. Menyaksikan Pare dan Wole makan dengan penuh gembira, orang-orang sekampung berminat keras untuk turut menikmati makanan baru itu. Jadilah biji-bijian yang baru itu "menjelma" menjadi makanan utama bagi seluruh masyarakat kampung itu. Kemudian, disusul pula dengan amanat agar tanaman itu ditanam melalui ritual atau upacara khusus sebagai penghormatan dan rasa syukur serta harus diwariskan kepada anak cucu. Menurut KBBI (2008), pa·di n bermakna ‘tumbuhan yg menghasilkan beras, termasuk jenis Oryza (ada banyak macam dan namanya); butir dan buah padi’. Intervensi dengan Stimulus Menurut Thorndike dalam Mudzakir, Ahmad dan Sutrisno Joko (1997), belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Eksperimen thorndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalankegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu, teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia pendidikan tersebut, ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor psikologi pendidikan. Menurut KBBI (2008), stimulus ialah dorongan atau rangsangan; menstimulasi srtinya mendorong atau menggiatkan. Sigmund Freud berpendapat bahwa stimulus permainan dengan media ialah suatu pendekatan pendidikan dan merupakan teknikteknik penyembuhan dengan penggunaan media dan dapat dilihat melalui analisis kejiwaan. Stimulus berasal penyembuhan atau pengobatan jasmani. Kaplan tahun 1974 menyatakan bahwa stimulus permainan bisa dilakukan dengan cara menggunakan alat yang tidak berbahaya, misalnya, buku cerita yang dapat digunakan untuk menumbuhkan pola komunikasi antara siswa dengan gurunya. Sejalan dengan karakter khas bangsa, stimulus belajar dapat menggunakan media karya sastra Nusantara . Schramm (1977) dalam Yamin (2009) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk 357 keperluan pembelajaran. Briggs (1977) dalam Yamin (2009) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi atau materi pembelajaran, seperti buku, film, video dan sebagainya. Brown (1973), mengungkapkan bahwa media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektivitas pembelajaran. Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu guru untuk mengajar yang digunakan adalah alat bantu visual. Sekitar pertengahan abad ke–20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan digunakannya alat audio, sehingga lahirlah alat bantu audio-visual. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), khususnya dalam bidang pendidikan, saat ini penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan interaktif, seperti adanya komputer dan internet. Menurut Tarigan (1995), buku cerita baik bergambar maupun tidak adalah segala sesuatu yang diwujudkan secara visual kedalam bentuk dua dimensi sebagai hasil perasaan dan pikiran. Gambar dapat dipergunakan sebagai media dalam penyelenggaraan proses pendidikan sehingga memungkinkan terjadinya proses belajarmengajar. Tarigan (1995:209) mengemukakan bahwa pemilihan gambar haruslah tepat, menarik dan dapat merangsang siswa untuk belajar. Media gambar yang menarik, akan menarik perhatian siswa dan menjadikan siswa memberikan respon awal terhadap proses pembelajaran. Media gambar yang digunakan dalam pembelajaran akan diingat lebih lama oleh siswa karena bentuknya yang konkrit dan tidak bersifat abstrak. Gambar adalah suatu bentuk ekspresi komunikasi universal yang dikenal khalayak luas. Buku cerita bergambar adalah buku bergambar tetapi dalam bentuk cerita, bukan buku informasi. Dengan demikian buku cerita bergambar sesuai dengan ciri-ciri buku cerita, mempunyai unsur-unsur cerita (tokoh, plot, alur). Karya sastra Nusantara disajikan pula dalam bentuk buku cerita bergambar yang dapat dibedakan menjadi dua jenis, (1) buku cerita bergambar dengan kata-kata, (2) buku cerita bergambar tanpa kata-kata. Kedua buku tersebut biasanya untuk anak usia 2—6 tahun. Buku cerita bergambar merupakan sesuatu yang tidak asing dalam kehidupan anak-anak. Di samping itu, buku adalah sebuah media yang baik bagi anakanak untuk belajar membaca. Buku cerita bergambar merupakan kesatuan cerita disertai dengan gambar-gambar yang berfungsi sebagai penghias dan pendukung cerita yang dapat membantu proses pemahaman terhadap isi buku tersebut. Melalui buku cerita bergambar, diharapkan pembaca dapat dengan mudah menerima informasi dan deskripsi cerita yang hendak disampaikan. Untuk anak usia 2—6 tahun, alangkah baiknya jika orang tua mengenalkan buku cerita bergambar yang sesuai dengan usia mereka, untuk membantu perkembangannya. Oleh karena pada saat 2—6 tahun, perkembangan otak anak berkembang secara pesat. Dengan demikian, orang tua harus memotivasi anak untuk selalu belajar dan media pembelajaran membaca permulaan yang efektif adalah melalui buku cerita bergambar. Dari beberapa paparan diatas, dapat diambil esimpulan bahwa media buku cerita bergambar sangat cocok jika diterapkan dalam proses pembelajaran membaca pada anak 2—6 tahun karena media tersebut dapat merangsang siswa dalam pembelajaran membaca khususnya membaca permulaan, media buku cerita bergambar tersebut diwujudkan dalam bentuk visual ke dalam bentuk dua dimensi sebagai hasil pikiran dan perasaan. Manfaat dan fungsi media buku cerita bergambar menurut Mitchell (dalam Nurgiantoro, 2005:159) mengungkapkan fungsi dan pentingnya buku cerita bergambar sebagai berikut: 1) membantu perkembangan emosi anak, 2) membantu anak belajar tentang dunia dan keberadaannya, 3) belajar tentang orang lain, hubungan yang terjadi 358 dan pengembangan perasaan, 4) memperoleh kesenangan, 5) untuk mengapresiasi keindahan, dan 6) untuk menstimulus imajinasi. Stimulus Karya Sastra untuk Pemertahanan Identitas dan Kekayaan Lokal Analisis Semantik Berdasarkan hasil observasi terhadap subjek setelah diberikan stimulus dengan pembacaan buku cerita tentang “asal-usul padi”, diperoleh konsep mengenai konsep asal-usul padi, konsep pertanian, dan konsep nilai lokal yang positif yang terlihat dalam tabel di bawah ini. Tabel I. Stimulus Karya Sastra untuk Pemertahanan Identitas dan Kekayaan Lokal No. 1. Pemerolehan Bahasa pada Anak Dewi Sri 2. Dewi Padi 3. butiran-butiran emas 3. makanan pokok 4. tumbuh-tumbuhan 5. kebaikan alam 6. kesuburan Perkembangan Semantik Dewi Sri disebut sebagai pembawa padi dari surga ke dunia untuk kebutuhan hidup manusia. Dia dipuja dan sebagai dewi padi atau dewi kesuburan. Selain dalam sastra tulis, dewi Sri juga terdapat dalam dongeng atau sastra lisan. Lihat Dewi Sri Butiran padi yang terdapat pada tangkai malai tanaman padi diberikan penilaian harga yang tinggi karena dianalogikan sebagi emas. Makanan pokok adalah makanan yang menjadi gizi dasar. Makanan pokok biasanya tidak menyediakan keseluruhan nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Dengan demikian, biasanya makanan pokok dilengkapi dengan lauk pauk untuk mencukupkan kebutuhan nutrisi seseorang dan mencegah kekurangan gizi. Tumbuhan adalah salah satu dari klasifikasi mahluk hidup yang mempunyai zat hijau daun sehingga dapat memproduksi sendiri makanannya dan tumbuhan muncul di permukaan bumi. Iklim yang bersahabat dengan serbaneka cuaca dan sinar matahari yang melimpah. Indonesia memiliki tanah terbaik di dunia karena tanahnya subur bila sifat-sifat kesuburan (fisik, kimia, dan biologis) sehingga dapat mendukung pertumbuhan serta produksi tanaman; 359 Penanaman Nilai Luhur Subjek memahami tingginya kearifan lokal masyarakat Jawa Subjek memahami tingginya kearifan lokal masyarakat Jawa Subjek mengetahui bahwa bahwa padi sebagai kekayaan Nusantara Subjek merasa bangsa bahwa bangsa kita memiliki makanan pokok yang khas karena hidup di negara agraris Subjek ditanamkan nilai bahwa Indonesia/Nusantara itu tanah air yang subur Subjek ditanamkan nilai bahwa iklim Tropis sebagai kekayaan Subjek ditanamkan nilai bahwa Nusantara memiliki tanah terbaik sedunia. 7. bahan pangan musim tanam 8. tanaman padi 9. persediaan padi 10. berbuah emas 11. buah padi 12. biji padi 13. batang padi 14. padi beras merah 15. padi beras putih 16. menggarap sawah 17. menanam padi dengan catatan faktor-faktor tanaman, iklim, dan pengelolaan tidak menjadi pembatas dan pada kondisi optimal. Kearifan lokal konsep pola tanam ialah adalah suatu cara pengaturan urutan tanam pada sebidang lahan dalam satu tahun atau lebih dimana termasuk di dalamnya terdapat masa pengolahan tanah. Kearifan lokal konsep pertanian tanaman padi ialah suatu jenis tanaman yang bijinya dijadikan makanan pokok karena mengamdung sumber karbohidrat. Kearifan lokal karakter positif “sedia payung sebelum hujan” bermakna hendaknya berjaga-jaga sebelum datang suatu bencana atau bahaya. Lihat butiran emas Buah padi sebagai unsur dominan berbentuk hampir bulat hingga lonjong, ukuran 3 mm hingga 15 mm, tertutup oleh sekam, dengan struktur dominan adalah endospremium yang dimakan orang. Lihat buah padi Batang padi batangnya sangat pendek, struktur serupa batang terbentuk dari rangkaian pelepah daun yang saling menopang Padi varian beras merah tergolong tanaman organik memiliki prospek yang bagus yang dikembangkan dengan cara budidaya berpola organik. Padi beras putih mengandung asam amino yang penting dan dapat meningkatkan pertumbuhan otot. Menggarap sawah berarti menyediakan, mengolah, dan mengerjakan lahan untuk menanam padi yang umumnya masih menggunakan peralatan tradisional. Menanam padi adalah menanam benih padi di lahan yang telah disiapkan. Menanam padi biasanya dikerjakan oleh ibu-ibu setelah sebelumnya mencangkul, meratakan tanah, dan menyiapkan pematang sawah yang dikerjakan oleh bapak-bapak. Dalam sebuah bentang sawah, menanam padi biasanya 360 Subjek ditanamkan nilai bahwa kita memiliki kearifan Lokal tentang Pola Tanam Subjek mengetahui Identitas lokal konsep pertanian Subjek mengetahui Kearifan Lokal “sedia payung sebelum hujan” Subjek memahami Padi sebagai komoditas berharga Subjek mengetahui kearifan lokal konsep padi. Subjek mengetahui kearifan lokal konsep padi. Subjek memahami Karifan lokal konsep padi. Subjek memahami Kekayaan varian padi Nusantara Subjek memahami Kekayaan varian padi Nusantara . Subjek mengetahui Kearifan lokal konsep bersawah. Subjek memahami Kearifan lokal konsep bersawah 18. membajak sawah 19. menyemai benih padi 20. menumbuk beras 21. saling kerja sama 22. bergotong royong dikerjakan bersama-sama oleh beberapa ibu-ibu sehingga pekerjaan lebih cepat selesai. Membajak sawah adalah sebuah proses menggarap tanah menggunakan sebuah alat yang disebut bajak,atau luku dalam bahasa Jawa. Mengolah tanah dengan menggunakan bajak ini bertujuan untuk membalikkan tanah yang sebelumnya ada di lapisan paling atas sudah ditumbuhi rumput dan cenderung keras,dengan proses dibajak atau diluku ini, lapisan tanah di bawahnya naik ke atas dan menjadi lebih empuk sehingga mudah untuk ditanami bibit nantinya. Menyemaikan benih ialah menumbuhkan biji jadi benih untuk di pindah ke tempat penanaman. Contoh penyemaian benih padi yang bila sudah tumbuh di pindah ke sawah. Pada salah satu tahap pemrosesan hasil panen padi, gabah ditumbuk dengan lesung atau digiling sehingga bagian luarnya (kulit gabah) terlepas dari isinya. Bagian isi inilah, yang berwarna putih, kemerahan, ungu, atau bahkan hitam, yang disebut beras. Pengertian kerja sama adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Lihat saling kerja sama Subjek mengetahui kearifan lokal konsep bersawah. Subjek mengetahi kearifan lokal konsep bersawah. Subjek memahai kearifan lokal konsep bertani. Subjek memahami Kearifan lokal budi pekerti Subjek memahami Kearifan lokal budi pekerti Analisis Psikolinguistik 1) Thematic Structure Thematic Structure adalah penilaian tentang keadaan mental pendengar pada saat seseorang berbicara. Untuk dapat melakukan penilaian seperti itu, seseorang harus memiliki kapasitas kognitif tingkat yang cukup tinggi, yaitu berada pada tahap perkembangan operasional formal. Pada tahap ini, seseorang akan dapat berpikir abstrak, menilai dari sudut pandang kebutuhan, perasaan dan pikiran mitra bicaranya. Tahap perkembangan formal operational pada umumnya dicapai ketika seseorang memasuki masa remaja. Analisis: Subjek adalah seorang anak yang masih berusia 6 tahun, artinya belum mencapai tahap perkembangan operasional formal. B baru berada pada tahap perkembangan praoperational. Ciri tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Menurut Piaget, yang dikutip dari Dariyo, dalam diktat Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama, tahapan praoperasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda361 benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Pada tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan dalam berbicara, Bmasih belum dapat menggunakan thematic structure karena pemikirannya masih egosentris. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris, anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. 2) Propositional Content Selama percakapan dengan Subjek, peneliti dapat menangkap jalan pikiran Subjek Ia dapat menyusun kalimat yang mudah dipahami content-nya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kalimat yang diutarakan oleh Subjek memenuhi syarat propositional content. Kalimat yang dipilih pembicara harus merefleksikan jalan pikiran pembicara mengenai objek-objek, kejadian-kejadian, fakta-fakta seperti yang dimaksudkan di dalam tindak ujar. Sebuah kalimat dinilai memiliki proper idea jika pendengar dapat menangkap ide yang terkandung di dalamnya. Simpulan 1) Dengan interventi berupa stimulus karya sastra Nusantara, perbendaharaan kata subjek semakin berkembang, baik kuantitatif maupun kualitatif. Beberapa pengertian abstrak seperti pengertian waktu, ruang, dan kuantum mulai muncul. 2) Sebagai orang dewasa yang memahami dan peduli terhadap pertumbuhan anak dalam berbahasa, sebaiknya kita dapat berkontribusi dalam pengembangan pemerolehan bahasa pada anak yang berperspektif budaya lokal, salah satunya dengan melakukan rangsangan atau stimulus dengan media karya sastra Nusantara. 3) Subjek telah dapat meningkatkan kemampuan bahasa mengenai konsep asal-usul padi, konsep pertanian, dan konsep nilai lokal yang positif. Daftar Rujukan Aldrich, Clark. 2009.Learning Online with Games, Simulations, and Virtual Worlds: Strategies for Online Instruction. Jossey-Bass: San Francisco. Arifuddin.2010. Neuro Psiko Linguistik.J akarta.PT Raja Grafindo Persada. Bloom, BS., Engelhart, M.D., Furst, E.J., Hill, W.H., dan Krathwohl, D.R. 1970. The Taxonomy of Educational Objectives The Classification of Educational Goals, Handbook I: Cognitive Domain. New York: David McKay. Brown, A.L., dan Cooking, R.R. 1973. How People Learn: Brain, Mind, Experience, and School.Washington DC: National Academy Press. Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta. ___________2003. Psikolinguistik:Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. ___________2004.Sosiolinguistik Perkenalan Awal.Jakarta:PT Rhineka Cipta. ___________2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta. Rineka Cipta. Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik. Jakarta: Yayasan obor Indonesia. Dariyo. Tanpa Tahun. Diktat Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama. Hernawati, Tati. 2009. Intervensi Gangguan Bahasa. Diakses dari http://file.upi.edu. Pada tanggal 30 Mei 2014 pikil 14.40 WIB 362 Kaplan, H. & Sadock, B 1997. Sinopsis Psikiatri.Terjemahan oleh Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara. Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama. Mudzakir.1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Pustaka Setia. Sardiman, A.M. 2007. Interaksi Belajar Mengajar. Radja Grafindo Persada. Jakarta Simanjuntak, Mangantar. 1987. Pengantar Psikolinguistik Modern. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Tarigan, Henry Guntur. 1984. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa. Yamin, Martinis.2009. Manajemen Pembelajaran Kelas Strategi Meningkatkan Mutu Pembelajaran. Jakarta: Persada. Mulyasa. 2011. Praktik Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Purwanto. 2011. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Belajar Rahim, Farida. 2007. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara Sadiman, Arief., et al. 1986. Media Pendidikan. Jakarta: Pustekkom Dikbud dan C.V. Rajawali Sareb, Masri. 2008. Menumbuhkan Minat baca Sejak Dini. Jakarta: PT Macanan Jaya Cemerlang Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta 363 SASTRA LAMA, SASTRA RAKYAT, SUMBER IDENTITAS DAN SOLIDARITAS BANGSA Rusli Abdul Ghani & Norhasmanalinda Mustapha (Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia) Abstrak: Valdimir Braginsky, dalam The Heritage of traditional Malay literature: A historical survey of genres, writings and literary views (2004), telah melakarkan suatu tour de force tentang kepelbagaian dan kekayaan sastra Melayu tradisional dengan mengambil kira karya daripada keseluruhan spektrum khazanah yang masih ekstan termasuk kesusastraan Melayu lama (old Malay literature), kesusastraan Islamik awal (early Islamic literature), kesusastraan Melayu klasikal (classical literature) bentuk prosa mahupun puisi, serta kesusastraan Sufi. Namun, segala kekayaan ini, segala kepelbagaian ini, segala himpunan memori leluhur kini terasakan diabaikan dan tidak lagi relevan buat Gen-X, Gen-Y dan anak-anak milenial yang lebih selesa, akrab dan intim dengan apa yang disajikan di laman Web dan dibicarakan di media sosial. Apa yang mengkhuatirkan kita, pengabaian ini lambat-laun akan menghakis identitas bangsa dan merungkai soladariti bersama kerana kita tidak lagi minum dari perigi yang sama, tidak lagi makan sedulang. Biarpun masih serumah, tidur sebantal, namun mimpi sudah masing-masing. Makalah ini meneliti tantangan yang ada dalam membina identitas dan solidaritas bangsa mengikut acuan kita sendiri dengan mengambil kira dampak globalisasi dan langit yang terbuka luas serta menyarankan strategi untuk memanfaatkan, mengolah dan menyegarkan kembali sastra tradisional dan sastra rakyat agar dapat mentakrifkan dan menyerlahkan identitas bangsa kita lantas memperkukuh dan mempererat solidaritas bangsa. Kata Kunci: Sastra Lama, Sastra Rakyat, Identitas, Solidaritas “Narratives flow ... Different names, different tales, different wordings. On paper, in voice, on screen ...” Maier (2015: 55) Pendahuluan Makalah ini meneliti faktor dan juzuk yang berperanan membina identitas dan solidaritas bangsa mengikut acuan kita sendiri dengan mengambil kira dampak globalisasi dan langit yang terbuka luas serta menyarankan strategi untuk memanfaatkan, mengolah dan menyegarkan kembali sastra tradisional dan sastra rakyat agar dapat memaknai jiwa merdeka dan menyerlahkan identitas bangsa kita lantas membina dan memperkukuh solidaritas bangsa. Identitas atau jati diri dilihat sebagai kunci kepada solidaritas bangsa demi memunculkan sebuah negara bangsa yang mengenal akan asal usulnya dan pada masa yang sama tetap yakin dalam menghadapi cabaran global dan sentiasa benar terhadap nilai-nilai yang menakrifkannya sebagai bangsa yang bermaruah dan negara yang berdaulat. 364 Identitas dan solidaritas berkait rapat dengan semangat “kebangsaan” dan berperanan penting dalam sebuah negara merdeka yang diasak rakus oleh faktor pengglobalan yang pelbagai selain faktor dalaman yang setempat dan daerahan seperti yang diperhatikan Eley dan Suny, "Being national is the condition of our times, yet never before has the idea of the nation been under such scrutiny. With the collapse of the bi-polar world of the Cold War, there has also been a parallel rise in the subnational - the claims of local, regional and ethnic minorities - economic globalization, American cultural hegemony, international migration, and diasporization…” (Eley dan Suny 1996) dan meskipun “… politics is the ground upon which nationalism is constructed, culture is the terrain on which it is elaborated and fought over …”. Memang benarlah ‘budaya’ itu medan perjuangan sebenar, tempat terbina dan tertakrifnya identitas dan terbangkitnya solidaritas bangsa. Budaya kita, warisan leluhur turun-temurun, himpunan memori zaman-berzaman itulah yang membentuk, memupuk, dan membugarkan ‘kebangsaan’ kita dan sebahagian daripada warisan kita itu berupa sastra lama dan sastra rakyat. Identitas dan Solidaritas Tatkala kita sibuk dan ghairah dengan pembangunan negara, baik dari segi prasarananya mahupun sarana bagi keselesaan dan kesejahteraan rakyat, perkara yang sering terabai, sama ada kerana dirasakan remeh atau tidak mempunyai nilai ekonomi, ialah aspek pembinaan identitas kebangsaan. Menurut Smith (1991), identitas kebangsaan terbina atas unsur-unsur juzukan yang pelbagai termasuk identitas individu, jantina, ruang wilayah atau daerah, kelas sosial, identitas agama, dan bahasa. Sebuah negara yang berdaulat dan merdeka itu berkongsi wilayah bersejarah, mitos, himpunan memori, budaya rakyat, ekonomi yang saksama, hak dan undang-undang serta kewajipan dan tanggungjawab bersama. Smith (ibid.) juga berhujah bahawa semua negara terbentuk dan terbina atas etika teras yang memberikan negara identitasnya. Dilema yang dihadapi oleh negara bekas jajahan adalah sama ada menggunakan terus model etika mantan penjajah atau melihat kembali teras etika asal yang sedia wujud sebelum dijajah dan menyesuaikan model etika etnik ini mengikut peredaran zaman. Sebuah negara, mengikut definisi, memerlukan satu identitas politik dan budaya tertentu yang akan memastikan dan mensahihkan kewujudan negeri ini. Identitas ini jelas diperlihatkan oleh lambang-lambang negara yang ketara seperti bendera, lagu kebangsaan, sistem mata wang, ibu kota, pasport, dan sempadan rasmi. Akan tetapi, ada juga simbolisme tidak ketara yang berperanan besar dalam membina identitas negara, termasuk, cerita rakyat, nilai budaya setempat, wira popular, seni bina, seni dan kraf, serta adat istiadat. Identitas88 nasional atau kebangsaan itu berkait dengan konsep ‘negara’ dan ‘negara bangsa’ dan boleh terbahagi kepada dua segi yang bertentangan iaitu, primordialisme dan konstruktionisme. Kelompok ‘primordialisme’ menganggap 88 Oxford English Dictionary (OED) menakrifkan ‘identity ’ sebagai, a. The quality or condition of being the same in substance, composition, nature, properties, or in particular qualities under consideration; absolute or essential sameness; oneness. http://www.oed.com/view/Entry/91004?redirectedFrom=identity#eid; diakses pada 20 Oktober 2015. 365 identitas nasional89 itu sebagai sesuatu yang tetap, mantap, dan terperoleh kerana dilahirkan dalam masyarakat kebangsaan itu. Pihak ‘konstruktionisme’ melihat identitas nasional sebagai binaan atau konstruk sosial yang luwes dan boleh berubah-ubah dari individu ke individu. Dengan demikian, ‘identitas’ itu terungkap sebagai jawapan kepada tiga persoalan asas; Siapa “saya”?, Siapa “kami”?, dan Siapa “mereka”. Jawapan yang tidak jelas atau keliru boleh membawa kepada konflik dan krisis identitas90. Identitas “saya” diungkapkan melalui nama khas, iaitu nama yang membezakan seseorang itu daripada orang lain dan ciri-ciri lain seperti rupa paras, keperibadian, perwatakan, sikap yang membina personaliti orang itu. Identitas “kami” dan “mereka” ternyata lebih sukar untuk dikonsepsikan tetapi tentunya berkaitan dengan identitas peribadi. Interaksi seseorang dengan orang lain pula dapat membentuk identitas sosialnya yang dinamai identitas kolektif berdasarkan garis dan lunas tertentu seperti etnik, agama, daerah dan wilayah. Daripada huraian ini, identitas kebangsaan bolehlah disimpulkan sebagai “rasa kebersamaan individu dalam sesebuah ‘negara’ terhadap siapa mereka itu” dan sebarang penelitian terhadap identitas kebangsaan harus melibatkan a. pengkategorian (atau pengecaman/pengenalpastian), b. kedudukan dalam masyarakat dan c. solidaritas91 (kesepunyaan atau kebersamaan kumpulan). Melalui tiga dimensi inilah komponen subjektif, objektif dan emosional menakrifkan identitas sesebuah “negara” dan biasanya ketimbang negara-negara lain (biasanya negara jiran92). Identitas kebangsaan juga dikenal pasti mempuyai dua bentuk: sivil dan etnik. Smith (1993, 1995, 1999) menghuraikan identitas sivil berdasarkan wilayah, hukum dan undang-undang serta budaya sivik dan ideologi yang sepunya. Pemahaman etnik pula melihat “negara” berdasarkan warisan etnik, bahasa dan budaya yang sepunya. Pemahaman kita identitas kebangsaan merupakan gabungan atau adukan daripada kedua-dua sudut pandang ini, yang sivik dan yang etnik. Dengan demikian identitas kebangsaan boleh dilihat dari tiga dimensi, iaitu identitas kebangsaan sebagai pengkategorian atau pengenalpastian (dimensi objektif identitas); identitas kebangsaan sebagai swapemahaman (dimensi subjektif identitas); dan identitas kebangsaan sebagai solidaritas (dimensi emosional identitas). Ketiga-tiga dimensi ini boleh diserlahkan, ditampilkan dan diperkukuh melalui agama, warisan adat resam, naratif sejarawi atau mitos, serta bahasa. Dalam konteks dan kerangka inilah sastra lama dan sastra rakyat wajar dimanfaatkan bagi membina suatu identitas kebangsaan yang setiap warganya boleh secara bersama menghargai, menghormati, dan mengenal pasti unsur-unsur yang boleh kita sama-sama bersolidaritas. 89 national identity n. a sense of a nation as a cohesive whole, as represented by (the maintenance of) distinctive traditions, culture, linguistic or political features, etc. http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/national-identity?q=national+identity; diakses pada 20 Oktober 2015. 90 identity crisis n. (a) a period of difficulty in establishing a distinctive character or goal; (b) Psychol. a period of uncertainty and confusion in which a person's sense of identity becomes insecure, typically due to a change in their expected aims or role in society. http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/identity-crisis?q=identity+crisis; diakses pada 20 Oktober 2015. 91 solidarity noun : a feeling of unity between people who have the same interests, goals, etc. http://www.merriam-webster.com/dictionary/solidarity; diakses pada 21 Oktober 2015. 92 Sebagai contoh, England dengan Perancis; Malaysia dengan Indonesia dan Singapura. 366 Sastra merupakan alat yang penting dalam proses membina sebuah negara dan mewujudkan identitas kebangsaan dan sumber asas dan teras kepada identitas ini ialah legenda, sejarah mitos, cerita rakyat, dan sastra tradisional, baik lisan mahupun tulisan. Saranan dan Strategi Bagi sesuatu kelompok atau kumpulan, nationalisme atau ‘kebangsaan’ mereka banyak mengandalkan sejarah sedia ada dan sejarah inilah yang diolah menjadi suatu rasa kebersamaan berdasarkan identitas sepunya (a sense of common identity) dan himpunan memori (collective memories). Himpunan memori bangsa kita banyak terkandung dalam sastra tradisional dan sastra rakyat, maka sewajarnyalah kita kembali menelaah dan memanfaatkan khazanah ini bagi membina dan membentuk jati diri, citra kebangsaan yang boleh kita sama-sama banggakan. Braginsky (2004), telah melakarkan suatu tour de force tentang kepelbagaian dan kekayaan sastra Melayu tradisional dengan mengambil kira karya daripada keseluruhan spektrum khazanah yang masih ekstan termasuk kesusastraan Melayu lama (old Malay literature), kesusastraan Islamik awal (early Islamic literature), kesusastraan Melayu klasikal (classical literature) bentuk prosa mahupun puisi, serta kesusastraan Sufi. Namun, segala kekayaan ini, segala kepelbagaian ini, segala himpunan memori leluhur kini terasakan diabaikan dan tidak lagi relevan buat Gen-X, Gen-Y dan anak-anak milenial yang lebih selesa, akrab dan intim dengan apa yang disajikan di laman Web dan dibicarakan di media sosial. Hikayat Iskandar Zulkarnain sudah tidak asing lagi bagi orang Melayu kerana nama Raja Iskandar ini biasanya dihubungkan dengan nasab raja-raja Melayu ... “Adapun nama kami dan bangsa kami bukannya daripada bangsa jin dan peri. Bahawa kami ini, bangsa manusia: asal kami daripada anak cucu Raja Iskandar Zulkarnain ...” (Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, 1952) dan Khalid Muhammad Hussain 1971: xiii). Namun yang anehnya, sebahagian kita, apatah lagi anak-anak muda kita, lebih kenal akan Alexander the Great daripada Iskandar Zulkarnain mungkin kerana cerita-cerita Alexander lebih kerap kita temui dalam pelbagai sarana dan media93 manakala Iskandar Zulkarnain hanya akan kita temui tatkala membuka kitabnya. Apakah upaya kita untuk menampilkan watak-watak cerita rakyat dan cerita hikayat ini dengan nilai-nilai murni yang dapat mengukuhkan identitas kebangsaan kita? Ada dua strategi yang boleh kita terapkan. Yang pertama melalui sistem pendidikan dan yang satu lagi melalui media baru dan media massa. Melentur Buluh Pendidikan memainkan peranan utama dalam bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sesebuah negara. Selain itu, pendidikan juga menjadi asas pembinaan negara bangsa dan pengukuhan perpaduan. Melalui pendidikan dan perkongsian pengalaman dan aspirasi identitas nasional dan perpaduan negara dapat dipupuk. Hakikat ini tercatat secara eksplisit dalam Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia 2013 – 2025 (Pendidikan Prasekolah hingga Lepas Menengah). 93 Sebagai contoh, watak “Alexander the Great” diceritakan dalam bentuk filem (1956, 1968), drama TV (1968), dokumentari (2006), filem animasi (2006), filem “Young Alexander the Great” (2010) dan penceritaan semula dalam versi moden (2014). http://www.imdb.com/ 367 Kejayaan Pelan ini nanti akan diukur berdasarkan sejauh mana aspirasi sistem pendidikan Malaysia yang merangkumi aspek akses, kualiti, ekuiti, perpaduan dan kecekapan dapat dicapai dan setakat mana setiap murid yang melalui sistem pendidikan ini mempunyai pengetahuan, kemahiran berfikir, kemahiran memimpin, kemahiran dwibahasa, etika dan kerohanian serta identitas nasional. Dalam buku-buku teks bahasa Melayu dan buku-buku sokongan termuat bahanbahan yang dipetik dan diolah daripada cerita rakyat dan sastra tradisional. Bahan-bahan ini merupakan sebahagian daripada bahan ajar bagi komponen sastra (singkatnya KOMSAS) dalam mata pelajaran bahasa Melayu di sekolah. Bahan cerita ini boleh berupa cerita mitos, umpamanya legenda Wan Deramat dan Puteri Sa’dong di Kelantan, yang menampilkan ciri-ciri kepemimpinan dan kepahlawanan serta fabel seperti “Sang Kancil dengan Buaya” dengan Kancil memperlihatkan ciri kebijaksanaan. Cerita Pak Pandir, Pak Belalang, Si Luncai, Lebai Malang dan Pak Kadok turut juga disajikan sebagai bahan pengajaran dalam bentuk cerita nasihat dan peringatan (Nik Hassan, 2005: 26 – 46). Bahan ajar dan buku sokongan untuk pelajar menghayati sastra tradisional dan sastra rakyat perlu diperbanyak dan dalam bentuk yang diolah atau diceritakan semula agar mudah difahami pelajar. Sebagai contoh, dalam Antologi Harga Remaja Tingkatan 4 (Rahman, Sharif & Talib 2013) dalam Siri Apresiasi KOMSAS, puisi dan prosa tradisional dikumpulkan, dikupas dan disajikan kepada pelajar dalam bentuk yang mudah dan padat supaya dapat dicerna dan dihayati dalam jatah waktu pengajaran dan pembelajaran yang terbatas. Untuk prosa tradisional umpamanya, antologi ini memuatkan kisah “Pelayaran yang penuh misteri” yang diolah daripada Hikayat Awang Sulung Merah Muda, “Merah Silu” yang dipetik daripada Hikayat Raja-Raja Pasai, “Hikayat Indera Nata” (kisah Indera Nata menyelamatkan tujuh orang puteri daripada raksasa) dan “Hikayat Khoja Maimun” atau dikenali juga dengan Hikayat Bayan Budiman (Winstedt 1966). Kesemua kisah ini telah disederhanakan daripada teks asal yang lebih panjang, diolah dan diceritakan semula sesuai dengan tahap pelajar. Nilai-nilai murni yang ditampilkan dalam KOMSAS ini merupakan nilai yang dapat memupuk keperibadian mulia. Nilai ini termasuklah bersyukur, kasih sayang, baik hati, taat setia, tabah, berani, berpegang pada janji (amanah), bertanggungjawab, tolong-menolong, bijak, setia, jujur, berhemah tinggi dan sopan santun. Memang jelas sastra tradisional dan sastra rakyat merupakan khazanah yang sangat kaya dengan cerita pengajaran yang dapat dimanfaatkan untuk pembentukan dan pemupukan identitas nasional. Yang penting, cerita ini perlu diolah untuk sesuai dengan selera dan peringkat umur murid dan pelajar. Bahan ajar yang berkaitan dengan sastra lama dan sastra rakyat ini perlu dipelbagaikan bentuknya dan bahan bacaan perlulah terperingkat mengikut kesesuaian pembaca agar terpupuk minat dan meningkat penghayatan sastra dalam kalangan pelajar. Media Baru Media Massa Kita sangat mengenali King Arthur dan arif tentang kekesateriaan sahabatsahabatnya (Knights of the Round Table) serta kita juga tahu akan Beowulf bukan melalui pembacaan cerita legenda dan puisi epik tetapi melalui filem dan kaca TV. 368 King Arthur dan saterianya telah hampir seratus kali94 difilemkan sama ada dalam bentuk filem wayang, filem TV, siri TV, buku komik, malah ada juga berbentuk permainan video dan komputer. Kita juga mengenal Thor anak kepada Odin daripada mitos Norse bukan kerana kita orang Iceland atau Skandinavia tapi kerana membacanya dalam buku komik dan menonton filemnya. Samalah dengan kita mengenali watak wira hasil daripada khayalan dan daya kreatif DC Comics (Batman, Superman, Batwoman, Catwoman) dan Marvel Comics (Thor, Avengers, Captain America, Spider-Man, Iron Man, Hulk). Medialah yang mempopularkan watak-watak ini dan melalui media yang pelbagai ini jugalah watak-watak daripada sastra lama asing dan daripada cereka Barat berakar umbi dan membudaya dalam kalangan kita. Sudah sampai masanya kita juga memanfaatkan media, yang lama dan yang baru, untuk menceritakan semula kisah-kisah dari sastra lama dan sastra rakyat kita supaya anak-anak kita mengenali watak-watak dan cerita-cerita dalam budaya kita sendiri. Banyak cerita dan watak wira yang boleh dipetik dan dimunculkan dalam media dengan bersumberkan kitab dan hikayat seperti Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah. Cerita Si Tenggang merupakan cerita yang baik sebagai pengajaran dalam dunia globalisasi ini yang cenderung untuk mengalpakan kita dan menjadikan kita malu akan asal usul kita sendiri. Naratif jejaka yang merantau ke laut kemudian menjadi kaya lalu kembali ke kampung halaman... Si ibu berkejar tatkala mendapat khabar pulangnya anak kesayangan. Sayang, ibu dibuat-buatnya tidak kenal... anak disumpah jadi batu... Ini naratif dan imejan yang sagat kuat dan terkesan di alam Melayu sehinggakan ada pelbagai versinya. Ada versi Megat Sijobang (Skeat 1984) seperti yang ditegaskan oleh Maier (2015), “the tale of Megat Sijobang has been wandering around in the Malay world and beyond, ever since and before, carried by the wind....” Watak yang serupa dengan naratif senada turut muncul dalam Nakhoda Tanggang (Abd. Samad Ahmad, 1955), muncul juga dalam “Pulang Si Tenggang” dalam Buku Perjalanan Si Tenggang II (1975), dalam “Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang” Goenawan Mohamad dan puisi Sitor Situmorang “Si Anak Hilang”. Memang sudah cerita-cerita daripada sastra rakyat dan sastra tradisional yang diolah dan disajikan dalam media lain yang luwes dan menarik. Hikayat Merong Mahawangsa umpamanya telah diadaptasikan daripada teks ke filem (Amir Hafizi & Yusry 2011) dengan “menggunakan bentuk adaptasi longgar, mengubah dan mengolah semula sebahagian besar unsur naratif yang terdapat dalam teks asal .... Unsur logik turut mendominasi filem ini berbanding teks asal yang kaya dengan unsur mitos dan legenda ... melalui adaptasi pemeliharaan dan pelestarian warisan budaya dapat disemarakkan dan karya sastra tradisional dapat diangkat kepada media arus perdana.” (Mohamed Nazreen & Md. Salleh Yaapar 2015). ‘Puteri Gunung Ledang’ juga sudah dibukukan, dipentaskan, dan difilemkan, namun usaha yang lebih banyak dalam pelbagai wadah dan wahana mutakhir perlu digiatkan agar khazanah warisan kita yang kaya itu dapat juga kita nikmati dalam bentuk yang moden dan mudah dihayati. 94 http://www.imdb.com/find?ref_=nv_sr_fn&q=King+Arthur&s=all 369 Khazanah inilah yang boleh menjadi benteng dan pendinding kepada rempuhan globalisasi yang mencairkan jati diri kita. Penutup Apa yang perlu kita lakukan adalah mengingat kembali akan peranan naratif dalam budaya kita. Naratif inilah yang perlu kita sampaikan, ceritakan berulang-ulang agar kita tidak lupa akan ‘siapa’ kita sebenarnya dan di mana akar tunjang kita terpacak kukuh kerana naratif inilah identitas kita. Naratif inilah solidaritas kita. Maier (2015: 55) berkata, “... Narratives engage the Malay world, that infinite and ever changing network of words and sentences of people who claim to speak and write Malay and try to evoke reality and truth. Narratives flow. They repeat themselves with a difference. They are repeated. And every performance transform and reaches anew. The wind of language blows their words through time and place into lines of differentiation. Different names, different tales, different wordings. On paper, in voice, on screen”. Naratif turun-temurun, kisah zaman-berzaman perlu terus-menerus diriwayatkan, dikhabarkan, diadaptasikan, dipentaskan, didramakan, didramatarikan, dideklamasikan, diceritakan semula, dengan setiap persembahan itu berbisik dan menyantuni telinga dan mata khalayak melalui pelbagai sarana, saluran dan media, baik yang lama mahupun yang baru, pada layar perak, pada kaca TV, pada Android, Windows, iOS, pada dada akhbar dan majalah, naratif ini hendaklah sentiasa diulang-ulangkan, sentiasa dipersegar, dibugarkan, diberi nafas baru agar kita mengenal siapa kita dan bersolidaritas dengan impian dan aspirasi leluhur kita di bumi bertuah ini. Bibliografi A. Samad Ahmad (ed.), 1986, Sulalatus Salatin: Sejarah Melayu Edisi Pelajar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Abd. Samad Ahmad, 1955. Nakhoda Tanggang. Kuala Lumpur: the Khee Meng Press. Abdul Rahman Haji Ismail, 1998. Sejarah Melayu. The Malay Annals. MS Raffles No. 18. Edisi Rumi Baru/New Romanised Edition. Disusun oleh/compiled by Cheah Boon Keng; dirumikan oleh Abdul Rahman Haji Ismail; hlmn 65 – 313. Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, 1952. Sedjarah Melayu menurut Terbitan Abdullah Ibn Abdulkadir Munsji. Diselenggarakan kembali dan diberi anotasi oleh T.D. Situmorang dan A. Teeuw, dengan bantuan Amal Hamzah. Djakarta: Djambatan Amir Hafizi penulis skrip, Yusry Abdul Halim Pengarah, 2011. filem Hikayat Merong Mahawangsa Kuala Lumpur: KRU Studios. Braginsky, V., 2004. The Heritage of traditional Malay literature: A historical survey of genres, writings and literary views. Singapore: ISEAS. Ding Choo Ming, 2013. “Tradisi Penyalinan Manuskrip Melayu” dlm Esei Penghargaan kepada Profesor Emeritus V.I. Braginsky: Mengharungi Laut Sastra Melayu. Kuala Lumpur: DBP. Ding Choo Ming, 2015. “Memperkasakan Integrasi Nasional melalui Sastra Kebangsaan” dalam Dewan Sastra Jilid 45 Ogos 2015, hlmn 8 – 18. 370 Goenawan Mohamad, 1972. Potret Seorang Penjair Muda Sebagai Si Malin Kundang. Djakarta: Pustaka Jaya. Haron Daud, 2004. Ulit Mayang: Kumpulan Mantera Melayu. Kuala Lumpur: DBP. Harun Mat Piah, 1989. Puisi Melayu Tradisional: Satu Pembicaraan Genre dan Fungsi. Kuala Lumpur: DBP. Jelani Harun & Murtagh, B. (ed.), 2013. Esei Penghargaan kepada Profesor Emeritus V.I. Braginsky: Mengharungi Laut Sastra Melayu. Kuala Lumpur: DBP. Kazancigil, A. dan Dogan, M. 1986. The State in Global Perspective; Comparing Nations: Concepts, Strategies, Substance. Gower:UNESCO. Khalid Muhammad Hussain (ed.), 1971. Hikayat Iskandar Zulkarnain. Kuala Lumpur: DBP. Maier, H.M.J., 2015. “Tried and tested by the words of my ancestors – the travels of a poet” dlm Bridging the Past and the Present: A Festschrift Honouring Muhammad Haji Salleh. Kuala Lumpur: DBP. Malay Concordance Project http://mcp.anu.edu.au/ Mohamed Nazreen Shahul Hamid dan Md. Salleh Yaapar, “Adaptasi Teks Hikayat Merong Mahawangsa kepada Filem: Analisis Perbandingan Unsur Naratif” dalam Melayu: Jurnal Antarabangsa Dunia Melayu Jld. 8: Bil. 2, hlmn 201 – 223, 2015. Mohd. Taib Osman, 1989. Malay Folk Beliefs: An Integration of Disparate Elements. Kuala Lumpur: DBP. Muhammad Haji Salleh, 2006. “Pulang Si Tenggang IV” dalam Maka Bermadahlah Masa, Kumpulan Puisi Pilihan. Kuala Lumpur: DBP. Nik Hassan Basri Nik Ab. Kadir, 2005. Citra Komsas. Tanjung Malim: Penerbit Universiti Pendidikan Sultan Idris. R.O. Winstedt (ed.), 1966. Hikayat Bayan Budiman, Kuala Lumpur: Oxford University Press. Rahman Shaari, Sharif Shaary dan Talib Samat, 2013. Apresiasi KOMSAS: Antologi Harga Remaja Tingkatan 4. Kuala Lumpur: DBP. Skeat, W.W., 1984. Malay Magic. Singapore: OUP. Smith, A.D., 1993. A National Identity. Reno: University of Nevada Press. Smith, A.D., 1995. Nations and Nationalism in a Global Era. Cambridge: Polity. Smith, A.D., 1999. Myths and Memories of the Nation. Oxford: OUP. Tengku Intan Marlina Tengku Mohd Ali, Hashim Awang, Madiamati Mamat@Mustaffa dan Nur Hamizah Hashim, “From Text to Animation: Adaptation of Bawang Putih Bawang Merah” dalam Malay Literature Vol. 7: No. 2, 311 – 332, 2014. Thani, A.M., 1990. Integrasi Sosial dalam Kesusastraan Melayu. Kuala Lumpur: DBP. 371 EKSISTENSI BUDAYA BETANG DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN DAYAK MAANYAN Rusma Noortyani (FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin – Indonesia) Abstrak: Masyarakat Dayak Maanyan di desa Warukin Kalimantan Selatan memiliki adat istiadat yang khas. Salah satu adat Dayak Maanyan di desa Warukin, yakni upacara adat perkawinan yang dinamakan wurung jue. Fungsi upacara adat yang tidak disadari tetapi akibatnya dapat dirasakan, yaitu berupa penguatan solidaritas dan integrasi sosial. Keunikan dan kekhasan adat perkawinan yang terbingkai dalam setiap tahapan, baik ngantane (lamaran), adu pamupuh (pertunangan), maupun piadu (perkawinan) menggunakan plot maju. Pola alur ketiga tahap perkawinan dimulai dari eksposisi, klimaks, sampai dengan resolusi. Pola alur tersebut sebagai kearifan lokal Dayak Maanyan Dallas bingkai budaya betang. Budaya betang saat ini tidak lagi harus tinggal di rumah betang secara fisik, tetapi dipraktikkan dalam kesantunan tata krama sebagai kekuatan budaya lokal. Perilaku hidup belom bahadat yang teraktualisasi dalam wujud belom penyang hinje simpei, yaitu hidup berdampingan, rukun dan damai untuk kesejahteraan bersama. Hal ini bermakna upacara adat perkawinan sebagai perilaku hidup yang menjunjung tinggi kejujuran, kebersamaan, dan toleransi serta taat pada hukum (hukum negara, hukum adat, dan hukum alam). Kata kunci: budaya betang, upacara adat perkawinan Pendahuluan Dayak adalah istilah umum yang pertama kali digunakan oleh antropolog Barat untuk menunjuk penduduk asli Kalimantan yang tidak beragama Islam (King, 1993 dikutip Klinken, 2006:28). Etnik Dayak umumnya tinggal di daerah pedalaman. Berdasarkan informasi Andreas Buje, beliau termasuk dalam 101 tokoh Dayak, di Kalimantan Selatan mereka yang disebut Dayak ini sesungguhnya terdiri dari beragam kelompok, seperti Dayak Meratus, Dayak Maanyan, Dayak Ngaju, Dayak Bakumpai, dan Dayak Deyah. Meskipun kebudayaan mereka memiliki banyak kemiripan, setiap kelompok memiliki bahasa yang berbeda dan umumnya tidak memahami satu sama lain. Etnik Dayak yang terdiri dari beberapa subsuku yang kemudian menjadi suatu identitas parsial dan salah satu diantaranya adalah Etnik Dayak Maanyan. Adat tersebut tercermin dalam kegiatan kepercayaan yang dianut sebagai komponen utama dalam pengaturan sistem kehidupan bermasyarakat. Selain itu, etnik ini juga banyak menyimpan kekayaan karya sastra lisan. Sastra lisan Dayak Maanyan mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakatnya, terutama dalam pelaksanaan upacara adat. Upacara yang dilakukan menunjukkan bahwa masyarakat Dayak masih kuat memegang adat istiadat dan warisan leluhur, baik yang bersumber dari ajaran agama yang diyakini maupun hukum adat. Etnik Dayak juga sangat menghormati leluhurnya. Rasa hormat ini terungkap dalam segala sikap dan perbuatan mereka sehari-hari, seperti pantangan melangkahi penyang atau jimat. Mereka takut tulah atau kualat jika melakukannya. Orang Dayak selalu akan berusaha untuk hidup bahadat yang artinya menjalankan hukum adat dan menaati hukum pali karena apabila 372 tidak hidup beradat, suara hati akan selalu mengingatkan. Tradisi ini merupakan warisan leluhur yang telah terbentuk dan menyatu dalam kehidupan mereka. Etnik Dayak ini mempunyai bahasa dan peradatan sendiri. Etnik ini juga banyak menyimpan kekayaan karya sastra lisan. Sastra lisan Dayak Maanyan mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakatnya, terutama dalam pelaksanaan upacara adat. Tidak jarang sastra lisan ini, berfungsi sebagai alat pengesahan dalam tata laksana upacara adat. Upacara dalam masyarakat Dayak Maanyan tidak hanya memiliki fungsi yang disadari seperti tercermin dari tujuan formal suatu upacara, misalnya upacara perkawinan wurung jue. Ada fungsi upacara yang tidak disadari tetapi akibatnya dapat dirasakan, yaitu berupa penguatan solidaritas dan integrasi sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat Northcott (2005:279-280) upacara dalam setiap agama pada dasarnya difokuskan pada cara-cara untuk memperoleh keselamatan, baik melalui penyembahan, doa maupun meditasi yang memungkinkan manusia dapat membangun keselarasan dengan dunia trans-empiris. Upacara adat perkawinan Dayak Maanyan merupakan upacara yang agung, luhur, sakral, dan unik. Keunikan tersebut ditandai dengan serangkaian kegiatan, yaitu tahap ngantane (lamaran), tahap adu pamupuh (pertunangan), dan tahap piadu (perkawinan). Banyak nilai budaya yang terkandung dalam prosesi aruh adat perkawinan dan nilai-nilai tersebut belum terungkap secara mendalam melalui kegiatan penelitian. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan penelitian lebih khusus dan mendalam sebagai upaya untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap mengenai eksistensi budaya betang dalam upacara adat perkawinan Dayak Maanyan. Metode Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif ini sesuai dengan ciri-ciri yang dikemukakan Bogdan dan Biklen (1998:27:30). Berikut alasan menggunakan penelitian kualitatif. Pertama, aruh adat perkawinan dipandang bersifat alamiah sebab peneliti tidak melakukan rekayasa terhadap pelaksanaan tahap-tahap dalam perkawinan Dayak Maanyan. Kedua, aruh adat perkawinan dipandang sebagai sumber data langsung dan peneliti sebagai human instrument yang secara hermeneutis dapat memahami narasi dalam aruh adat perkawinan Dayak Maanyan. Ketiga, pemaparan dan pembahasan hasil analisis data bersifat deskriptif-eksplanatif. Keempat, penelitian ini lebih mengutamakan proses tanpa mengabaikan hasil. Kelima, analisis data dilakukan secara induktif. Data penelitian ini berupa kutipan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, dan wacana dalam tuturan aktor yang diperoleh dari dialog, mantra, dan nyanyian balian dan data tersebut dikumpulkan sejak 2011 sampai dengan tahun 2014. Sumber data penelitian ini adalah (1) peristiwa aruh adat perkawinan dan (2) informan, yakni Camat Kecamatan Tanta, Ketua RT di Desa Warukin, Kepala Desa Warukin, penghulu adat, mantir adat, usbah, balian, dan masyarakat. Data penelitian ini dikumpulkan melalui (1) observasi terlibat dan (2) wawancara mendalam yang dipandu dengan panduan observasi dan panduan wawancara. Analisis model interaktif dilaksanakan mulai dari tahap pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penyimpulan data, dan verifikasi data (Miles dan Huberman, 1984). 373 Analisis Alur Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Dayak Maanyan Berdasarkan tiga kegiatan penting upacata adat perkawinan masyarakat Dayak Maanyan terbagi menjadi tiga bagian, yakni (1) ngantane (lamaran), (2) adu pamupuh (pertunangan), dan (3) piadu (perkawinan). Setiap tahap memiliki tahapan alur yang sama, yaitu dimulai dari eksposisi sampai dengan resolusi. Alur upacara adat menggunakan alur lurus atau alur maju. Terkait dalam penelitian ini dikemukakan hanya tiga tahapan, yakni eksposisi, klimaks, dan resolusi. Berikut paparan alur aruh adat perkawinan masyarakat Dayak Maanyan. Alur tahap ngantane terdiri atas beberapa peristiwa yang digambarkan secara ringkas dalam tabel berikut ini. Tabel 1 Alur Tahap Ngantane (Lamaran) a) Pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan b) Penyerahan tanda jadi berupa bahalai dan uang Alur c) Pembicaraan tahap selanjutnya yakni adu pamupuh Alur dalam aruh adat perkawinan Dayak Maanyan tahap ngantane, yakni peristiwa yang disajikan secara eksplisit dalam narasi adalah (a) hingga (c), yaitu pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan sampai dengan pembicaraan tahap selanjutnya yakni adu pamupuh. Alur dimulai dengan eksposisi yakni pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan. Berikut data pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan. Kami hawi hingka Kalteng ekat hamen Kami datang dari Kalteng mau lebih mengenal pulaksana`i hang ina mengenal keluarga di sini Puang ekat nyanrengey kisah hingka Tidak hanya mendengar cerita dari Obby leh Obby saja (NAA-ATN/A.1) Selanjutnya klimaks yakni penyerahan tanda jadi berupa bahalai dan uang. Berikut data penyerahan tanda jadi berupa bahalai dan uang. Kami haut menyiapkan bahalai adnri Kami sudah menyiapkan bahalai dan duit sebagai tanda jari ma pulaksana`i uang sebagai tanda jadi kepada keluarga hang ina. di sini. (NAA-ATN/A.2) Resolusi pada tahap ngantane adalah pembicaraan tahap selanjutnya yakni adu pamupuh. Berikut data pembicaraan tahap selanjutnya yakni adu pamupuh. Berhubung taati haut natarime tana jari Berhubung sekarang sudah diterima iti, maka kami hamen mulek lagi tanda jadi ini, maka kami akan kembali mamaner adu pamupuh. lagi untuk membicarakan adu pamupuh. (NAA-ATN/A.3) Dengan adanya eksposisi, klimaks, dan resolusi pada tahap ngantane terlihat bahwa alur yang digunakan adalah alur maju. Pola alur tahap ngantane (lamaran) dapat digambarkan berikut. 374 klimaks resolusi eksposisi Gambar 1 Pola Alur Tahap Ngantane (Lamaran) Pola alur tahap adu pamupuh menggunakan alur maju dimulai dari eksposisi, klimaks, sampai dengan resolusi. Eksposisi pada tahap adu pamupuh (pertunangan) adalah pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki. Klimaks pada tahap adu pamupuh (pertunangan) adalah Usbah kedua mempelai berunding mengisi surat perjanjian pertunangan. Resolusi pada tahap ngantane (lamaran) adalah penyerahan hantaran dan penandatangan surat perjanjian pertunangan. Alur tahap adu pamupuh tersebut dapat digambarkan secara ringkas dalam tabel berikut ini. Tabel 2 Alur Tahap Adu Pamupuh (Pertunangan) d) Pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan e) Usbah kedua mempelai berunding mengisi Alur surat perjanjian pertunangan f) Penyerahan hantaran dan penandatangan surat perjanjian pertunangan Alur dalam aruh adat perkawinan Dayak Maanyan tahap adu pamupuh, yakni peristiwa yang disajikan secara eksplisit dalam narasi adalah (d) hingga (f), yaitu pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan sampai dengan penyerahan hantaran dan penandatangan surat perjanjian pertunangan. Alur dimulai dengan eksposisi yakni pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan. Berikut data pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan. Kami mayati nampulus papaneran Kami ke sini menyambung pembicaraan ngantane yari. ngantane yang dulu. (NAA-ATA/T.4) Selanjutnya klimaks yakni usbah kedua mempelai berunding mengisi surat perjanjian pertunangan. Berikut data usbah kedua mempelai berunding mengisi surat perjanjian pertunangan. Takam hue dulu surat perjanjian Kita isi dulu surat perjanjian tunangan ina sesuai adat. pertunangan ini sesuai adat. (NAA-ATA/T.5) Resolusi pada tahap adu pamupuh adalah penyerahan hantaran dan penandatangan surat perjanjian pertunangan. Berikut data penyerahan hantaran dan penandatangan surat perjanjian pertunangan. Kami sarah bana ina sesuai andri Kami serahkan bana ini sesuai dengan kesepakatan huang surat perjanjian kesepakatan dalam surat perjanjian tunangan. Bahalai, duit, seperangkat pertunangan. Bahalai, uang tunai, pama haut natarime sebagai pemenuhan seperangkat kecantikan, seperangkat hukum adat. pakaian sudah diterima sebagai tanda 375 Saksi silakan teken. Usbah tana tangan. (NAA-ATA/T.6) pemenuhan hukum adat. Saksi silakan tanda tangan. Usbah tanda tangan. Dengan adanya eksposisi, klimaks, dan resolusi pada tahap adu pamupuh terlihat bahwa alur yang digunakan adalah alur maju. Pola alur tahap adu pamupuh (pertunangan) dapat digambarkan di bawah ini. klimaks resolusi eksposisi Gambar 2 Pola Alur Tahap Adu Pamupuh (Pertunangan) Pola alur tahap piadu menggunakan alur maju dimulai dari eksposisi, klimaks, sampai dengan resolusi. Eksposisi pada tahap piadu (perkawinan) adalah upacara natas banyang yakni rombongan keluarga calon mempelai laki-laki mendatangi rumah calon mempelai perempuan. Klimaks pada tahap piadu (perkawinan) adalah upacara pemenuhan hukum adat. Resolusi pada tahap piadu (perkawinan) adalah upacara wurung jue, turus tajak, dan miwit pangantin. Alur tahap piadu tersebut dapat digambarkan secara ringkas dalam tabel berikut ini. Tabel 3 Alur Tahap Piadu (Perkawinan) g) upacara natas banyang h) upacara pemenuhan hukum adat Alur i) upacara wurung jue, turus tajak, dan miwit pangantin Alur dalam aruh adat perkawinan Dayak Maanyan tahap piadu, yakni peristiwa yang disajikan secara eksplisit dalam narasi adalah (g) hingga (i), yaitu upacara natas banyang, yakni rombongan keluarga calon mempelai laki-laki mendatangi rumah calon mempelai perempuan sampai dengan upacara wurung jue, turus tajak, dan miwit pangantin. Alur dimulai dengan eksposisi yaitu upacara natas banyang, yakni rombongan keluarga calon mempelai laki-laki mendatangi rumah calon mempelai perempuan. Berikut data upacara natas banyang, yakni rombongan keluarga calon mempelai laki-laki mendatangi rumah calon mempelai perempuan. Salam sejahtera. Salam sejahtera. Pakai takam katuluh dan selamat Kita baru saja mendengarkan barang, kariwe, ari takam haut karengei huni tetapi kita tidak terlalu mengetahui. bahwa iri naan banda barang kami Artinya yang jelas barang itu datang puang karasa, tapi sa jelas banda dengan tujuan yang baik. Orang mencari barang iri hawi ma’eh, ulun ngantara bekas sawah disini malah sebagai lasik panasian maina malah sebagai pertimbangan pembicaraan sampai pertimbangan pamanderan takam die nanti. hampe awe. (NAA-ATP/R.7) 376 Selanjutnya klimaks yakni upacara pemenuhan hukum adat. Berikut data upacara pemenuhan hukum adat. Ari huni takam nyarengei dayak anak Tadi kita sudah mendengarkan dari panakuan iru samula eyau ni haut nguut pihak laki-laki dan kita sudah meminum puang uweng inun apa, balalu hanye tuak. Kita tadi sudah minum tuak kala eyau. Jari inun sa luan jari huni, nangke, nangke wali usbah, mantir, takam haut nguut tuak nagke, nangke penghulu, pembakal itu maksudnya. Arti wali usbah, mantir, penghulu, pembakal dari minum tuak ini sebagai pembuka iru maksud ni. Arti ni nguut iru takam pembicaraan hukum adat. Sore ini pembukaan paner secara hukum adat. perkawinan Lissa dan Obby. Kariwe ini paadu Lisa andri Obby. (NAA-ATP/R.8) Resolusi pada tahap piadu adalah upacara wurung jue, turus tajak, dan miwit pangantin. Berikut data upacara wurung jue (NAA-ATP/R.9), data turus tajak (NAAATP/R.10), dan data miwit pangantin (NAA-ATP/R.11). Na hang iti adalah wurung jue dan haut Ini adalah Wurung Jue dan kita sudah hampe saat ni takam masuk acara memasuki acara Jue. Apabila dalam hal wurung jue. Na huang na iti kami ini kami mohon bila wadian sudah mohon bila wadian haut nampaleng berpaling dan sudah membawa haut ngeney ma riet mampelai sa upu ri mempelai wanita kesamping mempelai diye kami mengharap ada hampe laki-laki ini saya harap jangan menolak manolak daya ina takam sameh-sameh karena kita bersama-sama melestarikan malihara adat takam dayak manyaan adat Dayak Maanyan. Jadi itu saja yang .jari iru leh na-naharap daya kami dapat saya sampaikan terima kasih. tarime kasih.sa jue sapalsu die naan ba Karena ada pasangan (jue) yang palsu epat bagi kawan wawey ni jari iru leh nanti ada berempat untuk wanitanya. Itu sanalatu daya kami terima kasih. saja yang dapat kami beritahukan terima (NAA-ATP/R.9) kasih. Ina kami sarahkan duit sajumlah Rp Kami serahkan uang sejumlah Rp 4.600.000,- pakae naun ba rueh sabagai 4.600.000,- untuk kalian berdua sebagai modal awal barumah tangga. modal awal berumah tangga. (NAA-ATP/R.10) Silahkan na kuta. Hayo na kuta Silakan dimakan. Ayo dimakan hidangan. hidangannya! (NAA-ATP/R.11) Dengan adanya eksposisi, klimaks, dan resolusi pada tahap adu pamupuh terlihat bahwa alur yang digunakan adalah alur maju. Pola alur tahap adu pamupuh (pertunangan) dapat digambarkan di bawah ini. klimaks resolusi eksposisi Gambar 3 Pola Alur Tahap Piadu (Perkawinan) 377 Pola alur tahap piadu menggunakan alur maju dimulai dari eksposisi, klimaks, sampai dengan resolusi. Dengan demikian, tiga alur tahapan dalam aruh perkawinan dapat digambarkan berikut. klimaks I klimaks II klimaks III resolusi I eksposisi I resolusi II eksposisi II ending eksposisi III Gambar 4 Pola Alur Upacara Adat Perkawinan Dayak Maanyan Eksistensi Budaya Betang dalam Upacara Adat Perkawinan Dayak Maanyan Pola alur tersebut sebagai kearifan lokal Dayak Maanyan Dallas bingkai budaya betang. Budaya betang saat ini tidak lagi harus tinggal di rumah betang secara fisik, tetapi dipraktikkan dalam kesantunan tata krama sebagai kekuatan budaya lokal. Perilaku hidup belom bahadat yang teraktualisasi dalam wujud belom penyang hinje simpei, yaitu hidup berdampingan, rukun dan damai untuk kesejahteraan bersama. Hal ini bermakna upacara adat perkawinan sebagai perilaku hidup yang menjunjung tinggi kejujuran, kebersamaan, dan toleransi serta taat pada hukum (hukum negara, hukum adat, dan hukum alam). Penutup Peristiwa upacara adat perkawinan masyarakat Dayak Maanyan dimulai dari awal cerita/pembukaan sampai dengan penutup cerita. Ada tiga tahapan dalam upacara adat perkawinan masyarakat Dayak Maanyan, meliputi tahap ngantane (lamaran), tahap adu pamupuh (pertunangan), dan tahap piadu (perkawinan). Pelaksanaan tiga tahap prosesi upacara adat perkawinan masyarakat Dayak Maanyan memerlukan waktu kurang lebih 4 bulan. Setiap tahap memiliki tahapan alur yang sama, yaitu dimulai dari eksposisi sampai dengan resolusi. Alur upacara adat menggunakan alur lurus atau alur maju. Rekomendasi 1) Kepada pakar bahasa dan sastra disarankan untuk memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai bahan kearifan lokal karena tatanan nilai dan pedoman hidup yang terdapat dalam aruh dapat dimanfaatkan sebagai bahan pendidikan karakter/kearifan lokal. 2) Kepada budayawan disarankan agar berpartisipasi mempertahankan dan melestarikan kekayaan budaya etnik Dayak Maanyan ini dengan memperhatikan secara lebih konkret berbagai aspek yang terkait dengan peelestarian, perlindungan, dan pewarisan sastra lisan. 378 IDENTITAS TIONGHOA DALAM SASTRA DIASPORA INDONESIA ONLY A GIRL KARYA LIAN GOUW S.E. Peni Adji (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta – Indonesia) Abstrak: Dalam konsteks sastra dunia, penelitian tentang sastra diaspora telah banyak dilakukan. Namun, untuk konteks sastra Indonesia penelitian tentang diaspora belumlah banyak. Sastra diaspora Indonesia merupakan karya yang ditulis oleh orang imigran Indonesia di negeri lain, yang isinya tentang Indonesia atau pergulatan orang Indonesia di negeri yang baru. Salah satu karya diaspora itu adalah novel Only a Girl karya Lian Gouw yang isinya tentang permasalahan orang Indonesia (etnis Tionghoa peranakan) pada tahun 1932-1952 dengan latar Indonesia. Identitas ini bukanlah wujud yang absolut, melainkan dinamis, sebuah “proses menjadi” sebagai hasil konstruksi budaya lama dan sekarang, serta hasil dialektika antar etnis. Identitas Tionghoa tersebut diklasifikasi menjadi identitas sosial dan budaya, politik, ekonomi, serta perempuan. Tiga identitas yang pertama sangat berkaitan dengan kebijakan Belanda terhadap status istimewa warga Tionghoa yang menempatkan kedudukan mereka di bawah Belanda dan di atas pribumi. Identitas Tionghoa ini tidaklah tunggal, identitas ini dibentuk oleh perbedaan generasi dan kelas sosial. Keseluruhan identitas Tionghoa dalam novel Only a Girl bermuara pada sebuah identitas, yaitu migrasi dan penghindaran masalah rasial. Generasi pertama hingga ketiga merupakan hasil migrasi orang Tionghoa ke Indonesia; mereka membentuk budaya baru yang disebut diaspora. Generasi ketiga melakukan migrasi lagi, ke Belanda dan Amerika. Tokoh utama pada generasi ini memilih bermigrasi ke Amerika karena di sana lebih sedikit masalah rasial. Hal ini linear dengan pilihan penulis, Lian Gouw, yang juga bermigrasi ke Amerika pada tahun 1962. Kata kunci: diaspora, sastra diaspora Indonesia, identitas. Pendahuluan Kecenderungan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi telah muncul sejalan dengan perkembangan peradapan manusia. Baik untuk motif mengembangkan kekuasaan, mempertahankan hidup, maupun perbudakan; sudah sejak lama manusia keluar dari lingkungan sosial terdekatnya. Hal inilah yang memunculkan perpindahan manusia dari satu wilayah ke wilayah lain, baik dalam bentuk perorangan/keluarga maupun dalam gelombang yang besar. Perpindahan penduduk inilah yang memunculkan istilah imigran. Cohen (2008) mencatat bahwa imigrasi manusia telah terjadi sejak zaman Yahudi pada masa Babilonia, imigrasi Afrika ke Amerika, dan juga imigrasi orang Tionghoa ke Asia Tenggara dan Eropa. Para imigran yang telah lama tinggal di daerah baru membentuk budaya baru yang disebut diaspora. Begitu juga para imigram Tionghoa yang datang ke Indonesia sejak tahun 1644 (Greift, 1991:3, bandingkan juga dengan Soekisman, 1975:37-38) membentuk budaya dengan identitas tersendiri yang berbeda dengan orang pribumi, Belanda, maupun dengan budaya Tionghoa di negeri Tiongkok. Tentu saja identitas ini 379 bukanlah wujud yang absolut, melainkan sebuah “proses menjadi” (bandingkan dengan Hall, 2003). Identitas diaspora Tionghoa di Indonesia ini jugalah yang tergambar dalam Novel Only a Girl (selanjutnya ditulis OaG) karya Lian Gouw. Identitas diaspora tersebut terkonstruksi melalui nilai, sikap, pilihan hidup, dan orientasi politik dari tokoh tiga generasi Nana dan Ocho (nenek), Caroline, Chip, Ting, Po Han (anak), serta Jenny, Eddie, dan Els (cucu). Kehidupan tokoh-tokoh tersebut diletakkan pengarang dalam konteks zaman di Indonesia yang tengah berubah dengan cepat (1932 – 1953), yaitu masa penjajajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan masa awal Indonesia merdeka. Identitas diaspora Tionghoa tersebut menjadi menarik karena terungkap dalam karya sastra yang ditulis oleh orang Tionghoa WNI yang telah lama bermigrasi di Amerika, yaitu Lian Gouw. Lian Gouw lahir di Jakarta tahun 1942. Pada tahun 1962 ia pindah ke Amerika hingga sekarang. Namun bagi Lian Gouw, Indonesia tetaplah kampung halamannya (Budiman, 2010). Kerinduan akan negeri yang ditinggalkan sebagai kampung halaman ini – merupakan bentuk tipikal kaum diaspora. Dengan demikian, terdapat dua lapis diaspora dalam karya ini, yaitu diaspora Tionghoa yang terdapat dalam novel dan diaspora dalam produksi sastra. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, artikel ini akan menfokuskan pada konstruksi identitas Tionghoa dalam sastra diaspora Indonesia OaG karya Lian Gouw. Tinjauan Pustaka Tulisan yang mengulas novel OaG belumlah banyak. Hal ini disebabkan karena novel ini relatif belum lama terbit, yaitu tahun 2009 dalam versi bahasa Inggris, dan baru tahun 2010 diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia. Selain itu, penulis berasumsi bahwa novel ini belum banyak diteliti karena posisi karya ini, apakah akan dklasifikasikan sebagai karya sastra Amerika, ataukah sastra diaspora Indonesia. Sementara di Indonesia sendiri, kajian sastra diaspora Indonesia belum banyak dilakukan. Peneliti menemukan dua tulisan berupa review buku terhadap novel OaG. Pertama, dilakukan oleh Widjajanti Dharmowijoyo dalam majalah ilmiah Bijdragen tot de Tall, Land, en Volkenkunde Vol.167, No.1 (2011) hlm. 106-108. Kedua, dilakukan oleh Dewi Anggraeni dalam jurnal Wacana, Vol. 13 No. 1 (April 2011) hlm, 212-215. Penelitian terhadap terjemahan novel tersebut telah dilakukan Wijayanti dan N.K. Mirahayuni yang menfokuskan pada “An Analysis of Translation Strategies for Non-Equivalence Used in Lian Gouw’s Novel Only A Girl And its Indonesian Version Only A Girl-Menantang Phoenix” yang dimuat dalam jurnal Parafrase Vol. 14 No.01 Februari 2014 hlm. 31-37. Sementara itu, telah terdapat beberapa tulisan tentang sastra diaspora Indonesia. Amir (2009) dengan judul “Membaca Realitas Sosial di Indonesia melalui Sastra Diaspora” memaknai kumpulan Cerpen Mini Yin Hua. Semula karya itu ditulis dalam bahasa Mandarin oleh pengarang Tionghoa peranakan yang tersebar di Indonesia. Cerpen-cerpen tersebut mengangkat permasalahan masyarakat Indonesia di wilayah negara Indonesia. Kumpulan cerpen ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Wilson Tjandranegara. Gagasan tentang diaspora juga ditulis oleh Holid (2006) berjudul “Diaspora Orang Indonesia di Amerika Serikat”. Tulisan ini dibuat untuk memaknai kumpulan cerita pendek Mantra Maira karya Sofie Dewayani. Cerpen tersebut ditulis dalam bahasa Indonesia dan bercerita tentang perempuan Indonesia yang tinggal di Amerika 380 Serikat dengan berbagai latar belakang dan alasan. Karya tersebut ditulis oleh Sofie yang tinggal di Illinois, Amerika Serikat. Murniati (2014) mengawali kajian ilmiah terhadap sastra diaspora Indonesia dengan judul “Indonesia Migrant Witing: A Trace on Indonesia Diaspora Narratives”. Kajian ini secara khusus membahas antologi cerpen yang ditulis oleh orang Indonesia yang menjadi migran di Singapura berjudul Ketika Pena BMI Menari yang ditulis oleh Ade Capricodinas dkk. Landasan Teori Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah identitas dan diaspora, yang akan dipaparkan berikut ini. Identitas Hall (2003: 223 – 225) menjelaskan dua gagasan penting tentang identitas. Pertama, identitas dipahami sebagai wujud, dihidupi bersama-sama sebagai kebenaran tunggal, menyembunyikan hal-hal lain di luar wujud tunggal tersebut. Dalam hal ini masyarakat mengakui bahwa mereka telah bersama-sama menghidupi identitas tersebut sebagai pengalaman sejarah. Kedua, identitas dipahami sebagai “proses menjadi”. Hal ini meliputi masa depan dan juga masa lalu. Identitas terbentuk setelah melampaui tempat dan waktu, sejarah, maupun transformasi. Dalam artikel ini, penulis memilih gagasan yang kedua dari Hall. Identitas dipahami sebagai entitas yang dinamis sebagai hasil konstruksi dari negosiasi akar budaya lama dan sekarang, serta hasil dari dialektika antar entis, ras, dan bangsa. Konsep identitas dalam penelitian ini diperkuat oleh gagasan Mercer bahwa identitas seringkali menjadi isu krusial ketika sudah berada di ambang krisis, ketika identitas yang diasumsikan pasti dan stabil -- digantikan oleh keraguan dan ketidakpastian (dalam Wedon, 2004: 1). Kondisi ketidakpastian selalu membuat orang berusaha mencari identitas baru. Dan sebenarnya, ketidakpastian ini disebabkan oleh beragamnya unsur pembentuk identitas yang tidak semata berasal dari satu aspek budaya; terutama di era poskolonial dan global ketika orang-orang berbeda ras dan etnik saling berhubungan. Lebih jauh Wedon menegaskan bahwa identitas dibentuk secara sosial, kultural, dan juga institusional (2014:6). Secara sosial, konstruksi identitas dipengaruhi oleh relasi antar-manusia. Secara kultural, konstruksi identitas berkaitan dengan akar dan dinamika budaya. Secara institusional, identitas seringkali dikonstruksi dan diformalisasi oleh institusi tertentu seperti negara yang memberikan atribut (identitas) penciri pada warga negaranya. Diaspora Diaspora secara umum merujuk pada kehidupan masyarakat di tanah asing yang jauh dari tanah asalnya. Secara kultural mereka masih memiliki ikatan dengan identitas leluhur di tanah asalnya. Biasanya diaspora dikaitkan dengan peritiwa penjajahan, penindasan, dan perbudakan sehingga menyebabkan trauma kolektif pada masyarakat. Hal ini menyebabkan mereka rindu untuk pulang ke kampung halaman. Namun, hal itu tidak bisa dilakukan karena harus hidup dalam pembuangan (Cohen, 2008: 2). Judith M. Brown (via Aji, 2014: 50-51) mengungkapkan bahwa fenomena diaspora yang terjadi selama dua abad ini, telah menyebabkan perpindahan penduduk yang kemudian mengubah wajah bumi; di antaranya, perpindahan para budak dari Afrika yang melintasi Atlantik, para pedagang dan pekerja dari Tionghoa, orang Eropa 381 yang berpindah ke Amerika Utara, Afrika Selatan, Australia dan Selandia Baru, dan juga orang-orang India yang menyebar ke segala penjuru dunia dalam jumlah yang cukup banyak. Diaspora Tionghoa di Indonesia dicatat oleh Wang Gungwu via Cohen (2008: 85-86) sebagai berikut. The founder of the Dutch colony in Batavia, Jon Pieterson Coen, enthused: ‘There are no people who can serve us better then the Chinese’. Coen was so excessive in his zeal to aquire Chinese immigrants that he sent expeditionary parties to kidnap some on the mainland while blockading Manila and Macao so that the junks would be diverted to Batavia. However, the Chinese traders had ambivalent attitudes both to colonial powers and to their places of settlement. Sementara itu, Greift (1991:1) dan Soekisman (1975:21) mencatat bahwa migrasi Belanda dan Tionghoa ke Indonesia disebabkan oleh letak geografi yang strategis dan kekayaan alam Indonesia yang melimpah sehingga menjadi tujuan para pedagang luar negeri. Hampir empat ratus tahun yang silam Belanda berangsur-angsur menahklukan kepulauan ini, dan pada saat yang bersamaan suasana di negeri Tiongkok sedang memburuk. Hal ini menyebabkan orang Tionghoa berdatangan ke Indonesia. Kemudian, Belanda (Soekisman, 1975:24-25, 38, Jahya, 1991:xi, Vasanty, 1988: 356-357) mengusai Indonesia secara politik dan membuat peraturan untuk membagi penduduk di daerah jajahannya berdasarkan ras, sebagai berikut; (1) golongan paling atas adalah bangsa kulit putih, mereka mendapat hak dan perlakuan yang paling menguntungkan; (2) golongan kedua adalah bangsa kulit berwarna (keturunan Tionghoa, Arab, India); (3) bangsa pribumi (inderlanders) didudukkan di kelas yang paling bawah. Pembagian masyarakat secara hukum dan politik tersebut sangat dipengaruhi dan mempengaruhi konstruksi identitas Tionghoa di Indonesia. Identitas Tionghoa dalam Novel Only A Girl Karya Lian Gouw Pada bagian ini akan dipaparkan identitas Tionghoa sebagai diaspora di Indonesia yang meliputi identitas sosial dan budaya, politik, ekonomi, dan perempuan. Sebelum masuk pada pembahasan tersebut, akan dipaparkan terlebih dahulu garis besar alur novel OaG. Cerita diawali dengan subjudul “Bandung, Indonesia/Hindia Belanda, 1932”. Dengan sudut pandang diaan, langsung digambarkan bahwa Caroline ingin menyampaikan keinginannya menikah kepada keluarga besarnya yang merupakan keluarga Tionghoa. Keluarganya merupakan keluarga terpandang dan mempunyai posisi yang baik di tengah kolonial Belanda. Ayahnya mendapat perlindungan Walikota Bandung di awal tahun 1900-an saat membantu aksi pemberangusan sebuah sarang utama opium. Ayahnya tertembak mati dalam suatu penggerebekan.Wali Kota Bandung tidak hanya menjamin pendidikan saudara laki-lakinya Chip dan Ting, tetapi juga memastikan tersedianya jabatan bagi kedua kakaknya di jajaran pemerintahan kolonial. Kakak sulung Chip telah memindahkan keluarganya di pemukiman ekslusif, dan memastikan Caroline mendapat kesempatann untuk mengecap pendidikan Belanda. Keluarga menolak rencana Caroline menikah dengan Po Han karena pekerjaan Po Han hanya sebagai penjual mesin ketik yang secara ekonomi tidak menjanjikan. Selain itu, Ocho, nenek Po Han tidak mau melamar secara resmi. Namun, Calorine bersikukuh karena dia telah berusia 31 tahun sehingga bisa menikah tanpa izin orang tua. Bagi Caroline, Po Han mirip pria di dalam buku-buku roman Belanda, dia melamarnya langsung dan bukan mendatangi keluarganya. 382 Ocho, yang merawat Po Han sejak kecil karena orang tuanya telah lama meninggal akibat wabah korela, tidak menyetujui pernikahan cucunya karena Caroline yang dianggapnya sudah bukan orang Tionghoa lagi. Caroline dinilainya telah menjadi Belanda dan menghianati leluhurnya. Caroline dan Po Han menikah di Kantor Cacatan Sipil tanpa persetujuan dan kehadiran orang tua. Setelah menikah, mereka tinggal di rumah nenek Ocho. Di sinilah konflik Caroline dan Ocho semakin meningkat, mulai memasak di dapur (Caroline terbiasa dengan gaya Belanda, Ocho menyukai adat Tionghoa), menata rumah (Caroline menginginkan kerapihan, sementara Ocho selalu berantakan dengan debu rokok bertebaran), berbahasa (Caroline terbiasa berbahasa Belanda, Ocho menggunakan bahasa Melayu). Memasuki tahun 1933 dunia mengalami depresi ekonomi. Po Han dikeluarkan dari pekerjaannya; dia mencari pekerjaan serabutan. Hal ini berdampak pada pengelolaan rumah tangga mereka. Sementara itu, Ocho tidak menginginkan cucu dari Caroline, dia meggunakan dukun pribumi untuk menggugurkan janin dalam kandungan Caroline. Berkat bantuan Nana (ibu Caroline) yang datang tepat waktu, akhirnya Jenny, bayi perempuan itu, dapat lahir dengan selamat. Kemudian, karena dianggap membahayakan Caroline dan Jenny, Po Han memindahkan Ocho ke Rumah Pensiun Waringin. Masalah ekonomi menyebabkan rumah tangga Caroline - Po Han goyah. Caroline dan Jenny pindah ke rumah Nana. Beberapa saat kemudian Caroline menggugat cerai Po Han dan secara hukum Belanda, ia harus membayar sejumlah uang tiap bulan kepada Caroline. Caroline kembali bekerja di kantor pemerintah kolonial Belanda. Sementara itu, Po Han berhasil memenangkan lomba foto nasional yang menyebabkan dia mendapat kesempatan belajar di Belanda. Kondisi dunia bergolak. Jerman mengalahkan Belanda. Sementara Jepang berpihak kepada Jerman. Hal itu berdampak hingga di Indonesia. Jepang menjadikan Hindia Belanda ke dalam Lingkaran Kemakmuran Bersama Asia Timur. Hal ini menyebabkan Chip, anak sulung Nana dan tulang punggung keluarga, ditawan Jepang dan tidak pernah kembali. Kondisi ini berdampak pada keluarga besar Nana. Dengan ditutupnya pemerintahan Belanda dan tidak ada gaji yang masuk, Ting dan Caroline mulai berdagang di pasar gelap. Toko tembakau yang dibuat oleh Ting dan Chip sebagai kedok kegiatan bawah tanah mereka, kini juga menjual pakaian dan makanan. Caroline menerima jahitan. Bersama Eddie dan Ting, dia terlibat aktif dalam gerakan bawah tanah Belanda. Dengan ditutupnya sekolah Belanda, Els mengambil alih tanggung jawab pendidikan Jenny. Dia mengajar Jenny tiap hari agar pelajarannya tidak tertinggal. Els telah menerima ijazah guru tepat sebelum pecah perang, tetapi belum pernah bekerja di sekolah. Keluarganya tidak setuju dia mengajar di sekolah pribumi dan sekarang belum ada sekolah Belanda yang dibuka kembali. (Gouw, 2009:130) Kondisi dunia terus berubah, Amerika mengebom Jepang. Terdapat perubahan yang cepat di Indonesia dan keluarga Nana. Belanda berencana menata ulang pemerintahan kolonial di bagian selatan kota Bandung. Untuk itu mereka perlu mengetahui apakah warga Tionghoa mendukung rencana tersebut. Untuk itu, gerakan bawah tanah Belanda menugaskan Caroline untuk memantau. Ketegangan kecil sering terjadi antara ia dan Jenny. Sementara itu, Eddie (sepupu Jenny) menikah dengan Peggy Rose (janda Belanda) dan Els menikah dengan orang Belanda. Eddie dan Els akhirnya pindah ke negeri Belanda. Kondisi ini semakin membuat Nana bersedih karena kehilangan. 383 Di usianya yang sudah tua, Nana meninggal dunia karena sakit paru-paru. Sebelum meninggal ia telah memberi pesan kepada Ting untuk membongkar meja sembahyang. “Mama bermaksud menghentikan semua upacara itu”. Keengganan Caroline mengikuti tradisi telah menyebabkan kekhawatiran dan kepedihan pada Nana, tetapi dengan caranya sendiri, Nana telah mendukung perjuangannya untuk mandiri. (Gouw, 2009: 366-367) Jenny dibantu oleh guru Bahasa Inggrisnya yang dari Amerika, mendapat kemudahan beasiswa untuk melanjutkan kuliah Kedokteran Hewan di Amerika. Jenny tidak memilih mencapai cita-citanya di negeri Belenda, tetapi di Amerika. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa di Belanda pun, Eddie sepupunya, terus berjuang melawan diskriminasi ras. Identitas Sosial dan Budaya Sama dengan pendapat Greift (1991:1) dan Soekisman (1975:21) teks OaG menggambarkan kedudukan Tionghoa secara legal, sebagai berikut. Pada tahun 1619 Jan Pieter Zoon Coen memberikan status istimewa kepada warga China di koloni, menempatkan kedudukan mereka di bawah orang Belanda tetapi di atas pribumi. (Gouw, 2009:8) Sebelum perang, pemerintah Belanda mengeluarkan surat dispensasi persamaan derajat untuk orang China dengan biaya satu setengah gulden. Surat dispensasi itu memberikan hak kepada pemegangnya sehingga bisa masuk sekolah, kelompok, dan lembaga Belanda. (Gouw, 2009: 230) Tentu saja, kedudukan ini sangat berpengaruh terhadap identitas sosial, budaya, bahkan politik dan ekonomi. Kedudukan yang lebih tinggi di banding pribumi, bagi keluarga Caroline tidak dinikmati karena membeli, namun karena “hadiah’ walikota, orang Belanda yang sangat berpegaruh di Bandung. Hadiah ini juga meliputi kemudahan untuk memperoleh pekerjaan di pemerintahan dan pendidikan di sekolah Belanda. Dengan demikian, secara sosial dan budaya keluarga Caroline berorientasi ke Belanda, bukan ke Tionghoa, apalagi pribumi. Orientasi kepada Belanda ini terlihat melalui hal-hal berikut ini. Pada generasi kedua (anak), nama panggilan tokoh utama menggunakan nama Belanda, yaitu “Caroline” dan pada generasi ketiga (cucu), nama panggilan juga menggunakan nama Belanda, yaitu “Jenny”. Walaupun sebenarnya mereka mempunyai nama Tionghoa, yaitu Ong Kway Lien dan Lee Siu Yin. Keluarga besar Caroline menyekolahkannya di sekolah Belanda, dengan harapan yang disampaikan Ching si kakak sulung, kepala keluarga setelah ayah meninggal, “Kami mengirimmu ke sekolah Belanda agar kamu menjadi asset yang bernilai bagi rumah tangga lelaki terhormat…. Pendidikanmu akan meningkatkan martabatmu (Gouw, 2009: 4-5). Sekolah Belanda juga diterapkan untuk Jenny, anak Caroline. Menurutnya, sekolah Belanda mempunyai standar yang jauh lebih tinggi dibanding sekolah untuk pribumi dan orang Tionghoa. Bahkan Els pun, yang merupakan seorang guru diharuskan mengajar di sekolah Belanda. “Mengapa menyusahkan diri bekerja di sekolah negeri di mana para siswanya merupakan campuran antara pribumi dan masyarakat China kelas bawah?” (Gouw, 2009: 147) Internalisasi penggunaan bahasa dan gaya hidup Belanda juga terlihat dari apa yang dibaca. Digambarkan bahwa menjelang tidur, Eddie (sepupu Jenny) selalu membacakan cerita untuk Jenny. Keluarga itu meniru kebiasaan membaca orang 384 Belanda. Setelah bertahun-tahun, Chip dan Ting telah memenuhi rak-rak buku tinggi di ruang perpustakaan mereka (Gouw, 2009: 89). Caroline menikah secara Belanda di gereja dengan wali William Wachter. Dia menentang ketidaksetujuan keluarganya yang sebenarnya lebih disebabkan oleh alasan ekononi. Po Han, calon suami Caroline, tidak mempunyai pekerjaan yang menjanjikan, dia hanya penjual mesin ketik. Calorine berdasarkan hukum Belanda bisa menikah tanpa izin orang tua karena dia telah berusia 31. Imajinasi daya tarik Caroline terhadap Po Han pun dipengaruhi buku-buku roman Belanda, yaitu dia melamarnya langsung dan bukan mendatangi keluarganya. Setelah menikah, Caroline tinggal di rumah Ocho, nenek Po Han. Di sini tampak, sikap Caroline terhadap bahasa Melayu. “Caroline merasa risau berada di dekat Ocho. Apakah itu karena bahasa Melayu yang Ocho pakai? Di rumah Nana, hanya para pembantu yang biasa menggunakan bahasa Melayu, sementara yang lain menggunakan bahasa Belanda (Gouw, 2009: 14). Selain itu, Caroline juga tidak menguasai bahasa Tionghoa. Berbeda dengan warga Tionghoa pinggiran Bandung yang ia temui, saat akan mengembalikan anak bayi yang ditemukannya. Dari sini terlihat bahwa orientasi penggunaan bahasa pada warga Tionghoa berbeda, untuk kelas atas, kelas yang menikmati status sebagai setara (satu level di bawah) dengan Belanda, mereka menggunakan bahasa Belanda. Sementara Tionghoa kelas bawah, kelas yang tidak mampu membeli surat dispensasi persamaan derajat, menggunakan bahawa Melayu dan Tionghoa. Orientasi sosial dan budaya kepada Belanda ini, ternyata berbeda antar generasi. Nana, ibu Caroline, yang termasuk kelas atas Tionghoa mempunyai ambivalensi sikap. Secara ekonomi dia menikmati status Ching, Ting, dan Caroline yang bekerja dan mendapat gaji dari pemerintahan Belanda. Dia juga bisa menerima gaya hidup, bahasa, dan pendidikan Belanda yang dibawa anak-anak di rumah besarnya. Namun, secara keyakinan beragama dia masih mempertahankan budaya Tionghoa. Begitu juga dia tidak setuju dengan pernikahan Caroline yang meninggalkan budaya Tionghoa. Dia (Nana) menyulut sejumlah dupa dan memberikannya kepada Caroline sambil berkata, “Sini beri hormat kepada ayahmu. Aku yakin hal seperti ini tidak ada dalam pikirannya ketika dia menerima menjadi Belanda. (Gouw, 2009:16) Bahkan Nana bimbang akan keputusan keluarga untuk menjadi setara dengan orang Belanda dan meninggalkan tradisi Tionghoa. Apakah ini hukuman baginya karena mengizinkan pengaruh Belanda memasuki rumah keluarganya? Apakah para dewa akan menghukum Caroline karena berpendapat bahwa wanita akan lebih baik jika tidak bergantung pada keluarga atau pada suaminya. (Gouw, 2009:46) Orang yang segenerasi dengan Nana adalah Ocho. Dia menolak gaya dan identitas Belanda dalam diri dan keluarganya. Dia mempertahankan tradisi Tionghoa dalam keluarganya: ritual agama, mengolah masakan, dan perkawinan. Oleh karena itu, dia sangat menolak calon istri cucunya yang dianggapnya sudah bukan Tionghoa lagi. Dia tidak mau melamarkan Caroline kepada keluarganya, untuk Po Han. Pandangan Ocho terhadap keluarga besar Caroline sangatlah rendah “Dalam usaha mereka meniru orang Belanda, keluarga Caroline menjadi tidak malu. Bagaimana bisa mereka membiarkan Caroline meninggalkan rumah dan menikah tanpa izin? Bahkan gadisgadis di rumah pelacuran pun tidak pergi begitu saja tanpa didahului acara saling mengunjungi antara orang tua yang mewakili pihak laki-laki dan memiliki rumah bordil. Kelakukan Caroline bahkan lebih buruk dibanding pelacur atau pun gundik. (Gouw, 2009:17) 385 Generasi ketiga Eddie dan Els, cucu Nana, menikah dengan orang Belanda dengan tradisi Belanda tanpa restu dan kehadirannya. Bahkan, ketika Indonesia merdeka mereka memilih pindah ke negeri Belanda. Hal ini sungguh menyedihkan hati Nana. Setelah Indonesia merdeka, pembauran antara orang Tionghoa dan pribumi dengan cara kawin campur sangat dianjurkan untuk memperkuat Negara Indonesia baru. Namun, Caroline tidak mendukung anjuran itu. Dia sangat berharap Jenny menikah dengan Ching Lam, anak keluarga Tionghoa terpandang di kota Bandung. Dia membayangkan Nana pun akan senang memiliki satu cucu yang pernikahannya direstui (Gouw, 2009: 327). Setelah Indonesia merdeka dan Belanda tidak lagi berkuasa di Indonesia, Caroline tetap melanjutkan keberlanjutan keluarga Tionghoanya. Setelah Nana meninggal, ia dan Ting, berdagang dan menjahit, ia tetap bertanggung jawab menghidupi Sue dan Emma. “Caroline menarik napas. Pengaruh Barat tidak bisa menghapuskan perasaan yang telah berurat akar akan tanggung jawabnya terhadap keluarga (Gouw, 2009: 367). Identitas Politik Paparan tentang identitas politik dalam artikel ini difokuskan pada orientasi orang Tionghoa terhadap pemerintahan yang resmi di wilayah Hindia Belanda. Generasi kedua Tionghoa, yaitu Ching, Ting, Caroline, bahkan generasi ketiga Eddie; berpihak kepada Belanda. Mereka sangat berharap Belanda tetap memerintah. Mereka tidak menyukai kemerdekaan Indonesia. Hal ini tergambar dari sikap Caroline yang menyebutkan bahwa Sukarno, insinyur pribumi muda, yang sangat nasionalis adalah pembuat onar. Melepaskan Soekarno (dari tawanan) berarti mengizinkannya menyulut lebih banyak kekacauan (Gouw, 2009: 10). Begitu juga tampak dari sikap Ching, “Radio Hilversum mengumumkan bahwa Belanda telah menolak permintaan kaum pribumi yang menuntut kemerdekaan…, sedangkan Soekarno terus mengacau di sini dan orang Jepang akan menyusup masuk.” (Gouw, 2009: 100) Ketika Jepang mengalahkan Belanda di Hindia Belanda, Ching, Ting, dan Caroline terlibat dalam gerakan bawah tanah Belanda. Bahkan digambarkan cukup panjang Ching membantu orang Belanda yang ditawan Jepang. Karena itu, Ching pun ditangkap Jepang dan tidak pernah kembali. Berbeda dengan pilihan politik anak dan cucunya, Nana tidak begitu setuju dengan Belanda. Bagi dia hadiah status sosial Belanda tidak seimbang dengan perngorbanan yang ia berikan. Apalagi setelah perang, Belanda tidak lagi memberikan perlindungan, tetapi justru kemalangan. Setelah perang, rumahnya dipakai untuk tempat tinggal sementara bagi orang Belanda yang ditawan Jepang, Nana sangat enggan. Dia enggan merawat orang asing yang membuat Chip harus mengorbankan nyawanya (Gouw, 2009:144). Bahkan dengan tegas ia menegur Caroline, “Kapan kamu akan melihat bahwa tidak semua orang Belanda merupakan titah suci? (Gouw, 2009:217). Ketika kekuasaan belanda semakin melemah di Indonesia, ia memanjatkan doa kepada leluhur dengan tradisi Tionghoa, sebagai berikut. Nana menyalakan seikat besar dupa di meja sembahyang di ruang makan lalu memberikan setengahnya kepada Eddie. Sambil berdiri di samping Eddie, dia memohon pada para roh agar menjaga cucunya (Gouw, 2009: 105). Nana menutupi kuncup bunga mawar dengan cangkang telur kosong untuk melindunginya dari serangga. Dia berharap seandainya bisa semudah itu melindungi keluarganya dari bahaya. Dia tahu bahwa para leluhur dan para dewa tidak akan mampu melindungi 386 mereka sampai perang usai. Nana selalu menganggap perang adalah urusan laki-laki, tetapi perang ini tidak saja melibatkan Caroline, tetapi juga Jenny. (Gouw, 2009: 123) Nana berjalan menuju meja sembahyang. Dia menyalakan seikat dupa dan mengangkatnya tinggi-tinggi sambil berdoa. “Belanda meminta terlalu banyak,” (Gouw, 2009: 131) Selain itu, Nana juga tidak berorientasi kepada Indonesia. Baginya tidak mungkin pribumi yang merupakan para petani dan pembantu itu bisa menjalankan pemerintahan (Gouw, 2009:144). Dengan demikian, dalam kondisi krisis politik di Indonesia, Nana mengorientasikan dirinya pada Tionghoa. Pada generasi ketiga, yaitu Eddie, Els, dan Jenny, digambarkan bahwa mereka sama sekali tidak berorientasi kepada Indonesia. Eddie menjadi tentara KNIL, Els menjadi guru di sekolah Belanda. Dua orang generasi ketiga ini akhirnya memilih pindah menjadi warga Negara Belanda setelah Indonesia merdeka. Namun, Jenny tidak memilih Belanda, ia memilih sekolah dan melanjutkan hidupnya di Amerika. Ia meninggalkan ibunya, yang secara politik dan budaya berorientasi kepada Belanda, ia meninggalkan kekasihnya Lam yang keluarganya berorientasi kepada Tionghoa. Ia memilih Amerika karena di sana tidak ada permasalahan rasial dibanding Belanda. Identitas Ekonomi Status legal orang Tionghoa yang ada di bawah Belanda dan di atas pribumi, berdampak pada identitas ekonomi orang Tionghoa yang tergambar dalam OaG. Keluarga besar Nana, sangat mapan secara ekonomi karena penghasilan besar diperoleh Cing dan Ting yang bekerja di pemerintah Belanda. Mereka mempunyai empat pembantu pribumi. Status ekonomi yang tinggi ini menyebabkan mereka juga memandang Po Han, calon suami Caroline dengan sudut pandang ekonomi. Pekerjaan menjadi penjual mesin ketik, tidak menjanjikan untuk membina rumah tangga yang nyaman. Bahkan, setelah Caroline bersikeras menikah dengan Po Han, ia berubah menjadi bersikap materialis. Dia bodoh telah termakan impian-impian Po Han. Hidup itu tergantung pada hal-hal penting seperti pekerjaan. Seharusnya mereka membebaskan diri dari kebiasaan kuno untuk hidup nyaman dan terjamin, bukannya untuk bersusah payah berjuang dari hari ke hari, bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok saja (Gouw, 2009: 95) Caroline mulai terbuai dalam impian Po Han, tetapi dengan cepat dia mengembalikan kesadarannya. Dia teringat tumpukan ragihan yang belum dibayar dan rekening bank yang kosong. Po Han telah merayunya untuk menikah dengan cerita mengenai kebahagiaan yang tidak berlandaskan kepastian kondisi finansial. (Gouw, 2009:87) Dan akhirnya, pernikahan Caroline dan Po Han kandas karena permasalahan ekonomi. Suami Ocho, nenek Po Han juga merupakan kelas atas Tionghoa. Kakek Po Han merupakan raja gula, namun karena istrinya tidak melahirkan anak laki-laki, Ocho di usir dari rumah. Namun demikian, meskipun Ocho digambarkan sebagai kelas bawah Tionghoa, ia tetap mempunyai pembantu pribumi. Dengan demikian, dalam teks OaG, identitas ekonomi Tionghoa digambarkan lebih tinggi dibanding pribumi. Bahkan dalam kasus keluarga Nana, mereka setara dengan Belanda. Sementara orang pribumi hanya digambarkan sebagai pembantu rumah tangga, petani, dan dukun. Identitas Perempuan Pada generasi pertama digambarkan bahwa istri (yaitu Ocho) tidak bisa mempunyai anak laki-laki, disingkirkan dalam keluarga. Suami dengan mudah 387 menceraikan, dan menikahi wanita lain yang bisa memberikan anak laki-laki. Pada generasi ini ada juga Nana yang mempunyai anak sulung dan keduanya adalah laki-laki. Ia dianggap perempuan ideal. Salah satu penyebab Ocho tidak setuju cucunya menikah dengan dengan Caroline adalah dugaannya bahwa Caroline tidak bisa masak dan megurus rumah tangga. Dengan demikian, pada masa itu perempuan yang dianggap ideal adalah yang bisa melahirkan anak laki-laki dan bisa mengurus rumah tangga. Pada generasi berikutnya, digambarkan bahwa Po Han bisa menerima kelahiran putrinya, Jenny yang perempuan. Ia sangat bahagia dan tidak peduli dengan jenis kelamin anaknya. Pada generasi ini, Caroline sudah memiliki kebebasan untuk menikah dengan caranya. Ia bisa tidak setuju dengan keluarganya. Ia bekerja di luar rumah sehingga punya kemandirian secara ekonomi. Ketika Po Han tidak lagi memberikan kecukupan ekonomi, dia mengajukan cerai di pengadilan dan menuntut sejumlah uang kepada Po Han utuk menghidupi Jenny. Pada generasi ini ada juga Els yang bekerja sebagi guru, juga Emma yang tetap berlindung dan mengabdikan diri untuk mengurus keluarga besarnya. Pada generasi cucu, Jenny lebih memiliki kebebasan. Ia anak yang pandai di sekolahnya. Penampilannya tomboy dan dalam beberapa hal bisa melakukan pekerjaan lelaki. Karena itu, ia sering berselisih dengan ibunya yang sangat menginginkan dia bersifat feminine. Dia mempunyai kebebasan untuk menentukan cita-cita dan masa depannya. Ia dengan ringan meninggalkan Lam yang keluarganya sangat mapan dan terpandang dari segi ekonomi dan sosial, serta harapan pernikahan yang ideal secara Tionghoa. Ia dengan mudah meraih cita-citanya di Amerika. Penutup Identitas Tionghoa dalam novel OaG diklasifikasi menjadi identitas sosial dan budaya, politik, ekonomi, dan perempuan. Tiga identitas yang pertama sangat berkaitan dengan kebijakan Belanda terhadap status istimewa warga Tionghoa yang menempatkan kedudukan mereka di bawah Belanda dan di atas pribumi. Identitas ini bukanlah wujud yang absolut, melainkan dinamis, sebuah “proses menjadi” sebagai hasil konstruksi budaya lama dan sekarang, serta hasil dialektika antar etnis. Identitas sosial Tionghoa memperlihatkan bahwa tokoh utama pada generasi kedua dan ketiga mempunyai nama panggilan Belanda, meski mereka mempunyai nama Tionghoa. Mereka memiliki keberanian untuk menentukan perkawinan secara Belanda. Mereka menggunakan bahasa Belanda dan merasa aneh dan enggan menggunakan bahasa Melayu. Setelah Indonesia merdeka, mereka kurang setuju dengan perkawinan campur Tionghoa dan pribumi. Mereka lebih memilih pernikahan sesama etnis Tionghoa. Sementara dari generasi pertama, mereka masih mempertahankan tradisi Tionghoa: menyembah leluhur, mengolah masakan, serta mengidelakan perkawinan sesama Tionghoa. Identitas politik Tionghoa memperlihatkan bahwa generasi kedua dan ketiga berorientasi kepada Belanda. Mereka bahkan ikut perjuangan bawah tanah Belanda. Setelah Indonesia merdeka, generasi ketiga meninggalkan Indonesia untuk tinggal di Belanda dan Amerika. Mereka cenderung menghindari permasalahan rasial. Generasi pertama dari kelas atas cenderung ambivalen mensikapi kecenderungan politik. Mereka lebih cenderung bersikap bahwa orang Tionghoa tidak berpihak ke Belanda maupun pribumi. Dia menganggap pilihan politik untuk berorientasi kepada Belanda memakan banyak korban. Sementara generasi pertama dari kelas bawah tidak digambarkan identitas politik mereka. 388 Identitas ekonomi Tionghoa digambarkan lebih tinggi dan mapan dibanding pribumi. Kelas bawah Tionghoa pun digambarkan mempunyai pembantu pribumi. Identitas perempuan Tionghoa memperlihatkan bahwa generasi tua mengalami subordinasi karena tidak bisa melahirkan anak laki-laki. Generasi kedua lebih punya kebebasan dalam menentukan perkawinan, pekerjaan, dan anak. Mereka tidak lagi tersubordinasi karena gender. Bahkan generasi ke tiga mempunyai kebesanan untuk menentukan cita-citanya setinggi mungkin, yaitu ke Amerika. Keseluruhan identitas Tionghoa dalam OaG bermuara pada sebuah identitas, yaitu migrasi dan penghindaran masalah rasial. Generasi pertama hingga ketiga Tionghoa yang ada di Indonesia merupakan hasil migrasi orang Tionghoa ke Indonesia; mereka membentuk budaya baru, yaitu budaya diaspora. Generasi ketiga yang ada di Indonesia melakukan migrasi lagi, ke Belanda dan Amerika. Tokoh utama pada generasi ini memilih bermigrasi ke Amerika karena di sana lebih sedikit masalah rasial. Hal ini linear dengan pilihan penulis, Lian Gouw, yang juga bermigrasi ke Amerika pada tahun 1962. Daftar Rujukan Amir, Badaruddin. 2009. “Membaca Realitas Sosial di Indonesia Melalui Sastra Diaspora” dalam https://badaruddinamir.wordpress.com/2009/10/12. Ashcroft, Bill, dkk. 2003. Menelanjangi Kuasa Bahasa: Teori dan Praktik Sastra Poskolonial. Yogyakarta: Qalam. Bandel, Katrin. 2013. Sastra Nasionalisme Pascakolonial. Yogyakarta: Pustaka Hariana. Budianta, Melani, 2006. “Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra” dalam Susastra: Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya. Jakarta: Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia dan Yayasan Obor. Budiman, Arip. 2010. “K-Video: Only a Girl, Menantang Phoenix dan Ziarah Batin Lian Gouw” dalam http//:kabarinews.com/k-video-only-a-girl-menantang phoenix-dan ziarah-batin-lian-gouw/35787. Cohen, Robin. 2008. Global Diasporas: An Introduction. London & New York: Roudledge. Coopel, Charles A. 1994. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Foulcher, Keith dan Tony Day. 2006. Clearing A Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia KITLV Jakarta. Geertz, Clifford, 1973. "Thick Description: Toward an Interpretive Theory of Culture?" in The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York: Basic Books. Greift, Stuart W. 1991. "WNI" Problematik Orang Indonesia Asal Tionghoa. Jakarta: Grafiti. Hall, Stuart. 2003. “Cultural Indentity and Diaspora” dalam In Theorizing Diaspora (ed. Jana Evans dan Anita Mannur). Malden: Blackwell Publishing. Holid, Anwar. 2010.”Diaspora Orang Indonesia” dalam http//:halamanganjil. blogspot.com/2010/06/diaspora-orang-indonesia-di-amerika.html. Murniati, Tri. 2014. “Indonesian Migrant Writing: A Trace on Indonesian Diaspora Narratives”. 389 Makalah dipresentasikan dalam International Conference in Commemoration of the 50th Anniversary of the Departement of Malay-Indonesian Studies, Hankuk Univrsisity of Foreign Studies, Seoul, Korea, 14-16 May 2014. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postruktural. Jakarta: Pustaka Pelajar. Soekisman, W.D. 1975. Masalah Cina di Indonesia. Jakarta: Bangun Indah. Suryadinata, Leo. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Press. -----------------------.1985. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Vasanty, Puspa. 1988. "Kebudayaan Orang Tionghoa" dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (ed. Koentjaraningrat). Jakarta: Djambatan. Weedon, Chris. 2004. Identity and Culture. New York: Open University Press. Widjajanti Dharmowijoyo, 2011. “Only a Girl: Menantang Phoenix” dalam Bijdragen tot de Tall, Land, en Volkenkunde Vol 167, No.1, hlm. 106-108. Wijayanti, Dita dan N.K. Mirahayuni, 2014, “An Analysis Of Translation Strategies For NonEquivalence Used In Lian Gouw’s Novel Only A Girl And Its Indonesian Version Only A Girl- Menantang Phoenix” dalam Parafrase Vol. 14 No.01 Februari 2014, hlm. 31-37. Yu-te (Tom) Kuo. “Peranakan Self as a Diasporic Palimpset: Shirley Geok-lin Lim Torn between Diaspora and Nostalgia” dalam Colloquim on Diaspora and Asian Fiction Dispora in Literature. http//:Zephyr.edu.tw../ diaspora%2002. 390 REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM SASTRA LISAN LAMUT Sainul Hermawan (FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin – Indonesia) Abstrak: Sastra lisan Lamut adalah cerita lisan yang dituturkan dalam tradisi lisan balamut di tengah sebagian masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Dalam sejarahnya cerita ini lebih banyak dituturkan oleh penutur laki-laki. Meskipun demikian, ada sedikit penutur perempuan yang kurang dikenal. Cerita Lamut terdiri atas beragam versi. Makalah ini didasarkan pada enam episode cerita Lamut versi yang M. Jamhar Akbar, penutur cerita lamut atau palamutan dari Banjarmasin. Makalah ini menjelaskan representasi perempuan dalam cerita Lamut sebagai salah satu sumber pengetahuan untuk memahami budaya Banjar. Analisis menunjukkan beragam peran perempuan: sebagai anak, istri, ibu, pembantu, dan dewa. Sebagai anak raja, perempuan dilindungi dan disayangi. Secara fisik digambarkan sebagai sosok yang cantik tetapi secara mental pada umumnya lemah. Sebagai istri, perempuan setia dan mengabdi kepada sang suami. Sebagai ibu, perempuan penuh kasih sayang pada anaknya. Sebagai pembantu, perempuan meringankan masalah majikannya. Sebagai Dewa, perempuan memiliki kekuatan menyembuhkan dan mengatasi masalah serta juga bisa menjadi sumber masalah. Relasi peran putri raja dan amban merepresentasikan ambiguitas kekuatan dan kelemahan. Kata kunci: sastra lisan Lamut, representasi, wacana, rekontekstualisasi, praktik sosial Latar Belakang Sastra lisan lamut atau tradisi lisan balamut di Kalimantan Selatan, khususnya di Kabupaten Banjar dan Kota Banjarmasin, sejauh ini masih diketahui selalu dituturkan oleh palamutan atau penutur cerita lamut laki-laki. Meskipun ada palamutan perempuan, mereka tampak enggan tampil di ranah publik. Mereka melakukannya untuk keperluan pengobatan dalam ranah yang terbatas. Dalam kondisi ini para peneliti tradisi balamut tidak memiliki data tentang bagaimana cerita Lamut versi palamutan perempuan. Penelitian sebelumnya juga belum ada yang mengungkapkan bagaimana perempuan direpresentasikan dalam cerita Lamut. Sastra lisan Lamut berisi cerita tentang kehidupan turun-temurun keluarga negeri atau banua atau kerajaan Palinggam. Palamutan menuturkan cerita Lamut sambil menabuh rebana atau tarbang. Gaya penuturan setiap palamutan berbeda-beda karena faktor geografis dan historis. Bahkan cerita Lamut yang mereka tuturkan beragam. Cerita Lamut dalam makalah ini bersumber dari palamutan M. Jamhar Akbar 391 (selanjutnya disebut Jamhar), dari Banjarmasin.95 Dalam penuturannya, Jamhar mengombinasikan syair, pantun, mantra, prosa, dan dialog dalam komposisi pelisanan ceritanya. Makalah ini menganalisis enam episode cerita Lamut versi Jamhar dari tempat dan waktu pertunjukan yang berbeda, dari 2011 sampai 2012. Fokus analisis pada representasi peran perempuan dalam cerita. Cerita tersebut akan dilihat sebagai sebuah konstruksi rekontekstualisasi praktik sosial, konsep yang digagas oleh Theo van Leeuwen (2008). Dengan kata lain, teks transkrip tuturan lisan cerita Lamut versi Jamhar akan dikaji sebagai wacana. Dalam pandangan Van Leeuwen, wacana tidak hanya dapat diwujudkan secara kebahasaan tetapi juga dengan sarana modus semiotika yang lain. Wacana merupakan kognisi sosial, yakni cara spesifik secara sosial untuk mengetahui praktik sosial. Dengan demikian wacana dapat dipakai sebagai sumber untuk merepresentasikan praktik sosial dalam teks (Van Leeuwen, 2008: 6). Representasi Representasi merupakan istilah yang sangat umum dan digunakan dalam banyak bidang, profesi dan ranah yang berbeda. Istilah ini antara lain digunakan dalam psikologi dan filsafat, film dan kajian sastra, media dan komunikasi, seni dan budaya visual, politik dan pemerintahan, sosiologi dan linguistik. Oleh karena itu, istilah ini memiliki nuansa dan kegunaan yang berbeda-beda. Meskipun demikian, dalam sebagian besar disiplin ilmu tersebut, representasi dikaji sebagai cara memperoleh makna penting yang melekat pada teks. Bagaimana perempuan direpresentasikan dalam sebuah pertunjukan sastra lisan, misalnya, dapat dilihat untuk mengungkapkan sikap penutur terhadap perempuan dan sekaligus cara pandang, pemahaman, dan pengetahuan umum tentang wanita dalam konteks tertentu, konteks di mana sastra lisan itu berada (Webb, 2009: 1). Dengan demikian, representasi juga merupakan wacana, wujud kognisi sosial. Representasi diasumsikan memiliki nilai penting baru dalam teori posmodern tentang identitas, karena representasi melakukan kerja kebudayaan menegosiasi makna kategori sosial seperti ras, gender, atau kelas pada tempat dan waktu tertentu. Dalam konsepsi tradisional, representasi -- gambar atau cerita, atau bahkan bahasa -dikonsepsi sebagai salinan, atau cerminan dari ‘yang asli’ yang ada ‘di dunia.’ Menurut konsep tradisional ini, nilai representasi mimetik terletak pada kemampuannya mengembangkan yang ‘alamiah’. Tapi dalam konsep representasi konstruktivis, hubungan antara representasi dan ‘realitas’ berubah. Teori konstruktif berpendapat bahwa makna tidak berada di luar bahasa atau representasi; melainkan makna diciptakan di dalam proses representasi itu sendiri (Williams and Zenger, 2007: 23). Citra laki-laki atau perempuan, misalnya, bukan cermin sederhana dari seperangkat nilai yang mapan dalam kebudayaan. Apa yang tampak bukan apa yang ada di sana, tetapi apa yang diberikan tradisi sosial dan budaya beserta konteksnya kepada orang yang melihatnya. (Webb, 2009: 2). Tokoh perempuan dalam film dipandang mewakili perempuan di mana saja; kata-kata yang dipakai seseorang dipandang mewakili proses neurologis yang membentuk struktur komunikasi; beberapa orang yang terlibat dalam riset sosial dipandang mewakili seluruh populasi. Ini memang masuk akal; tetapi ada hal-hal yang nyata di dunia, dan ada cara-cara menggambarkan atau memotret hal-hal tersebut. Ada perbedaan antara gagasan tentang sesuatu dan sesuatu itu sendiri-- ada perbedaan antara 95 Salah satu repertoar pertunjukan balamut versi M. Jamhar Akbar dapat dilihat di youtube: https://www.youtube.com/watch?v=LZHMUxVOLQI 392 aktualitas dan imajinasi, atau antara laporan dan cerita (Webb, 2009: 2-3). Mempertimbangkan pemikiran ini, cerita Lamut dapat dipandang sebagai wacana pentiptaan makna relasi antara laki-laki dan perempuan. Representasi praktik sosial dalam wacana terdiri atas unsur-unsur: (1) partisipan, (2) tindakan-tindakan, (3) modus penampilan, (4) kelaikan kondisi partisipan, (5) penyajian gaya, (6) waktu, (7) lokasi, (8) kelaikan kondisi lokasi, (9) sumber daya: sarana dan materi, dan (10) kelaikan kondisi sumber daya. Unsur-unsur ini tidak selalu dan pasti ada semua dalam sebuah wacana. Keberadaan dan ketiadaan serta cara mengadakan unsur tersebut menjadi sumber penting bagi pemaknaan praktik sosial (Van Leeuwen, 2008: 7). Beberapa unsur tersebut dijadikan landasan konseptual untuk mengkaji bagaimana perempuan direpresentasikan, terutama jika dilihat dari aspek inklusi dan eksklusi partisipan, tindakan, modus penampilan, penyajian gaya, waktu, lokasi dan sumber daya. Pembahasan Palamutan dan para pengkaji sebelumnya selalu menamai episode ceritanya dengan tokoh utama laki-laki sebagai penerus ketuturan Banua Palinggam. Penamaan episode cerita Lamut merupakan tanda utama yang menunjukkan bahwa kisah ini memang cerita laki-laki, tentang dunia laki-laki dengan beberapa perempuan yang berada dalam bayang-bayang kekuasaannya. Enam episode cerita Lamut versi Jamhar yang dianalisis, yaitu: (1) Awang Slenong, (2) Kasan Mandi, (3) Bujang Maluala, (4) Bujang Busur, (5) Bujang Jaya, dan (6) Bangbang Teja Aria. Episode Awang Slenong Dalam cerita Lamut versi Jamhar, perempuan pertama yang ada di negeri Palinggam adalah Raden Galuh Siti Mulia, satu-satunya istri Dewa Awang Slenong. Ia hanya diceritakan sepintas saat suaminya akan pergi naik ke Kayangan Tundung Maya, menuntut hak waris kepada para dewa di sana. Keingian Awang Slenong ditolak dan ia dikutuk menjadi pohon yang sangat besar sebelum kemudian menjadi ular, kapal naga balimbur, dan rohnya menjelma menjadi Labay, Anglung, dan Anggasinga. Ketiga orang inilah yang kemudian menjadi rekan Lamut, sebagai panglima di Negeri Palinggam. Lamut adalah manusia jelmaan Sangiang Batara Wedi. Penjelmaannya dimungkinkan oleh bantuan kakak perempuannya, Dewa Pande Rudiah. Pande Rudialah yang memberikan nama Lamut. Episode ini bukan hanya menyeritakan tentang dewa perempuan yang punya kuasa atas dewa laki-laki, tetapi juga bercerita tentang dewa laki-laki, yakni Sangiang Batara Wisnu yang melemparkan cucu perempuannya yang masih berusia sembilan bulan, yakni Dewa Silawati, ke api neraka yang disebut kawah candradimuka. Abunya ditaburkan di Pulau Madu Menyan Madu Dupa. Di Pulau ini keluarga Raden Bungsu dan Indrabayu bernadar, memohon anak kepada dewata. Abu itu tumbuh menjadi pohon delima berbuah tunggal berwarna belang, separuh merah dan separuh putih. Orang Palinggam, memilih belahan yang merah dan orang Mesir memilih yang putih. Tidak lama setelah mereka kembali ke negeri mereka masing-masing, Kasuma Nilam (istri Raden Bungsu) dan Kasuma Sari (istri Indrabayu) hamil. Kasuma Nilam melahirkan Kasan Mandi dan Kasuma Sari melahirkan Junjung Masari. Dengan struktur cerita ini jelas bahwa penerus Palinggam dan Mesir tercipta dari pengorbanan dewa perempuan. Kisah tentang Sangiang Batara Wisnu yang mengorbankan cucunya Dewa Silawati, menjelaskan relasi kuasa antara dunia dewata dan manusia serta laki-laki dan 393 perempuan. Dalam konteks relasi kuasa dewata, reinkarnasi dewa menjadi manusia hanya dimungkinkan dengan menerakakan dewa perempuan. Dewa perempuan tunduk pada kuasa dewa laki-laki. Namun di sisi lain, narasi ini dapat dibaca bahwa keberlangsungan keturunan di negeri, Palinggam dan Mesir terdapat unsur dewa perempuan. Dewa perempuan yang telah dikorbankan dan serbuk abunya tumbuh menjadi pohon delima berbuah tunggal belang dua: merah dan putih. Perempuan dalam narasi ini direpresentasikan sebagai sumber kehidupan dan penyatuan vertikal dan horisontal. Episode ini juga mengisahkan perempuan sebagai istri dan ibu, yakni Kasuma Nilam dan Kasuma Sari. Yang pertama istri Raden Bungsu yang kemudian menjadi Ibu kasan Mandi dan Kasuma Sari sebagai ibu Junjung Masari. Sebagai istri raja mereka hanya lebih banyak berada dalam lingkungan istana. Digambarkan sebagai orang yang patuh pada suami dan menyayangi putranya. Mereka tidak dimadu seperti keturunan raja-raja Palinggam selanjutnya. Episode Kasan Mandi Dalam episode ini, partisipan lebih banyak yang dimunculkan dengan tiga peran yang berbeda: anak, amban, istri, dan selir. Tokoh perempuan paling populer dalam cerita Lamut versi Jamhar adalah Junjung Masari. Ia putri tunggal Raden Indrabayu (Mesir). Sejak kecil ia telah dijodohkn dengan Kasan Mandi, sepupunya sendiri. Namun Kasan Mandi harus bertarung terlebih dahulu dengan Sultan Aliyudin yang juga ingin melamar Junjung Masari. Sebagai anak, Junjung Masari direpresentasikan sebagai anak ‘istana’, kurang bergaul dengan lingkungan sekitar. Ia hanya bergaul dengan para amban atau pembantunya. Dalam memilih jodoh pun ia memiliki kebebasan untuk memilih. Berbeda dari para tokoh laki-laki, putri-putri kerajaan tampak tidak diajarkan keterampilan atau ilmu kesaktian untuk menghadapi hidup. Anak-anak raja diceritakan sebagai perempuan yang manja, tidak mandiri, dan rentan pada guna-guna atau mantra pengasihan. Putri raja adalah perempuan yang sopan dan berbakti kepada orang tua. Sebaliknya, perempuan yang berperan sebagai amban, dayang, atau pembantu, ditampilkan sebagai perempuan yang cerdas dan kreatif. Pola seperti ini berulang pada beberapa episode yang lain. Ketika Junjung Masari menjadi istri Kasan Mandi, karena cinta yang telah ditakdirkan dewata dan upaya guna-guna yang dikenakan padanya, ia menjadi istri yang setia dan pasrah, bahkan ketika Kasan Mandi meminta untuk kawin lagi dengan perempuan yang lain, yakni Rindu Bulan dan Tabur Bintang. Ketidakadilan Kasan Mandi berbagi waktu dengan istri mudanya menjadi sumber malapetaka yang mengakibatkan Junjung Masari disiksa sampai mati oleh mertuanya, Raden Bungsu. Penyiksaan Junjung Masari merupakan titik paling dramatis dalam cerita Lamut versi Jamhar dan cenderung membuat audiensnya lisannya menangis. Di samping menceritakan peran perempuan sebagai pembantu, episode ini juga menampilkan peran perempuan sebagai tujuh bidadari yang memiliki kemampuan menghidupkan kembali Aliyudin, lelaki musuh abadi orang Palinggam, dan Junjung Masari. Episode Bujang Maluala Dalam episode ini, cerita Lamut menampilkan putri Raja Cina bernama Raden Saliau Kaca. Di istananya ia dibantu oleh seorang amban atau dayang Ling Ling. Seperti perempuan dalam episode sebelumnya, Saliau Kaca juga direpresentasikan sebagai 394 perempuan yang diperebutkan, tidak mandiri, dan rentan pada mantra. Saliau Kaca diperebutkan oleh Bujang Maluala dan Mas Gambar Wayang Adipati. Akhirnya Bujang Maluala yang mendapatkannya. Dalam perjalanan mencari Saliau Kaca ketika direbut oleh Gambar Wayang Adipati, Bujang Maluala bertemu dengan Raden Galuh Ambar Sekar, seorang putri yang dibuang oleh kerajaan karena dianggap berbahaya. Mereka kemudian dan ketika hamil, Bujang Maluala meninggalkannya untuk mencari Saliau Kaca. Sepulang dari pengembaraannya Bujang Maluala membawa tiga istri: Saliau Kaca, Ambar Sekar, dan Ambar Biduri. Ambar Biduri dan Rumbayang Sari (istri Mas Gambar Wayang Adipati) adalah dua tokoh perempuan yang direpresentasikan memiliki kemampuan lebih. Ambar Biduri bisa membuat air dan burung berbicara dan mampu menolong Bujang Maluala mengatasi masalahnya. Sementara Rumbayang Sari, dipercaya oleh suaminya untuk menjadi raja ketika Wayang Adipati mengikuti sayembara pencarian Saliau Kaca. Episode Bujang Busur Bujang Busur adalah anak Bujang Maluala dan Saliau Kaca. Dalam petualangnnya, ia dipertemukan dengan Raden Galuh Kain Kasmiran, putri Maharaja Caramin Alam. Kain Kasmiran juga digambarkan secara sterotipikal sebagai perempuan istana yang cantik tetapi lemah. Sebaliknya, dayangnya, Nurlela memiliki kemampuan memanggil tujuh rajawali. Perkawinan Bujang Busur dan Kain Kasmiran ditentang oleh kakak Kain Kasmiran, Raden Kancing Jaya yang berujung pada kematian Bujang Busur yang diracun oleh Kancing Jaya. Mayat Bujang Busur dibuang ke hutan dan dihidupkan kembali oleh adik Bujang Busur. Dalam pengembaraan selanjutnya, meninggalkan Kain Kasmiran dan menemukan perempuan malang di Banua Pituria: Hidaran Bulan. Banua tersebut sedang diserang gagak pemangsa mata. Setelah Bujang Busur berhasil mengalahkan gagak itu, ia dikawinkan dengan Hidaran Bulan. Kedigjayaan Bujang Busur terdengar sampai ke telinga Sinyo Hedler di Belanda. Sinyo itu menatang Bujang Busur. Dalam pertarungan itu Bujang Busur dilemparkan sampai ke dalam kamar Nyonya Parlente, adik Sinyo yang kemudian juga jatuh hati kepada Bujang Busur. Karena cintanya, Nyonya Parlente membuka rahasia kesaktian sang kakak. Akhirnya, Bujang Busur memenangkan pertarungan dan mengawini nyonya itu. Seperti perempuan dalam episode sebelumnya, putri raja ditampilkan sebagai perempuan rebutan tetapi lemah. Episode Bujang Jaya Bujang Jaya lahir dari perkawinan Bujang Busur dan Nyonya Parlente. Ia berkelanan ke Banua Pagar Basi Gandilaya untuk ikut memikat hati Putri Gambar Melayu. Atas bantuan Suria Bidani, ia berhasil menyusup ke kamarnya. Namun saingannya, Mega Saun mengusirnya. Bujang Jaya kalah dan terbang ke kayangan untuk menambah ilmu. Di perjalanan itulah ia menjebak bidadari Dewa Sukarba untuk dikawini. Percintaan mereka membuat kegaduhan di kayangan. Bidadari yang pada episode sebelumnya ditampilkan sebagai penyelesai masalah, dalam episode ini menjadi masalah. Mereka cemburu pada dewa Sukarba. Dalam episode ini poligami digambarkan penuh konflik. Dewa Sukarba menculik anak madunya ketika Bujang Jaya terlalu lama bersama Gambar Melayu. Dalam episode ini, perempuan yang berperan sebagai dewa memiliki kuasa atas dan mampu mengendalikan laki-laki. 395 Episode Bangbang Teja Aria Bangbang Teja Aria adalah anak Bujang Jaya. Ia diceritakan kawin dengan Putri Ambung Kumala di Banua Perak Kencana dan memiliki anak Aria Brahmana Sakti. Jadi episode ini sebenarnya cerita tentang Aria Brahmana Sakti yang ikut memikat hati putri Banua Bandar Salaka, putri Maharaja Dewa Raksa, yakni Raden Galuh Ajang Semaran. Putri raja ini didampingi amban Galuh Sarina. Tidak seperti peran amban dalam episode sebelumnya yang selalu baik, dalam episode inilah amban disogok untuk bungkam merahasiakan hubungan antara Ajang Semaran dan Aria Brahmana Sakti. Namun akhirnya juga diketahui dan mereka berdua dirajam di alun-alun sampai akhirnya Lamut datang menyelesaikan masalah dan mereka dikawinkan. Mereka melahirkan Prama Syahdan yang konon tak memiliki anak dan mengakhiri cerita Lamut. Simpulan Cerita Lamut merepresentasikan perempuan dalam beregam peran: sebagai dewa, istri raja, anak raja, dan pembantu anak raja. Sebagai dewa, perempuan dipandang sebagai awal mula manusia, mampu menghidupkan kembali manusia, dan juga bisa menjadi sumber masalah. Sebagai istri raja perempuan tidak banyak diceritakan. Cerita lamut lebih banyak mengisahkan perempuan yang berperan sebagai putri raja. Kerajaan yang putrinya dikisahkan, yaitu Mesir, Cina, Inggris, dan Belanda. Anak-anak raja direpresentasikan seperti piala yang diperebutkan oleh para laki-laki, perempuan yang cantik tetapi kurang mandiri dan rentan pada kuasa laki-laki. Berbeda dengan perempuan dari kelas sosial amban atau pembantu yang direpresentasikan sebagai perempuan yang kuat, kreatif, melayani, dan secara fisik tidak pernah ditampilkan. Pola ini menampilkan sisi ambiguitas representasi: pengagungan terhadap perempuan kelas atas sekaligus bermakna pengecilan terhadap peran sosialnya. Di samping itu, cerita Lamut versi Jamhar tampak menunjukkan pola geneologis historis terbentuknya orang Banjar yang multikultur: Berasal dari Dayak, kemudian bertemu dengan Melayu, Arab, Cina, dan Belanda. Sejarah Banjar yang dirunut dari Kerajaan Nan Sarunai dan Tanjung Puri mengakui bahwa orang Dayak Ma’anyan termasuk leluhur atau nenek moyang orang Banjar. Dalam budaya Orang Dayak Ma’anyan, laki-laki disimbolkan dengan buno (tombak), dohong (sejenis keris), bungai (burung garuda), antan (burung elang), dan matanandau (matahari). Dalam pandangan totemisme orang Dayak, laki-laki dilambangkan sebagai burung enggang atau mahatara yang bersifat keras, panas, kuat, tangguh, dan tahan uji. Sedangkan perempuan disebut juga lunok (sejenis pohon beringin), tambon (ular naga) dan bulan. Perempuan digolongkan sebagai jata penghuni alam bawah yang memiliki sifat lembut, ramah, pengasih dan suka damai. Perpaduan alam atas dan bawah tidak dipandang sebagai kombinasi hierarkis tetapi simbol keseimbangan alam yang setara. Semangat kesetaraan itu antara lain terwujud dalam perkawinan yang monogami. Orang Dayak yang melakukan poligami dianggap tidak normal. Bahkan perempuan bisa menjadi pemimpin dalam acara keagamaan atau balian (Ideham, 2007: 29). Tokoh utama dalam dua episode awal kisah Lamut versi Jamhar menjalani perkawinan monogami. Awang Slenong, Raden Bungsu, dan Indrabayu hanya memiliki satu istri. Raden Bungsu menurunkan Kasan Mandi (Palinggam) dan Indrabayu (Mesir) menurunkan Junjung Masari. Junjung Masari menjadi istri pertama dan utama Kasan Mandi. Cerita poligami mulai muncul pada kisah tentang Kasan Mandi sampai Aria Brahmana Sakti yang menurunkan Peramah Syahdan yang beristri satu dan tak memiliki keturunan. Kasan Mandi memiliki empat istri: Junjung Masari, Rindu Bulan, Tabur Bintang, dan Raden Galuh Citrawati. Demikian pula putra mahkotanya, Bujang 396 Maluwala, yang juga punya empat istri: Damdam Amas Saliu Kaca (Cina), Ambar Biduri, Kain Kasmiran, dan Ambar Sekar. Tradisi poligami juga dilakukan oleh putra mahkota Bujang Maluwala, Bujang Busur. Bujang Busur kawin dengan Hidaran Bulan (Pituria) dan Sinyo Hedler atau Nyonya Parlente (Belanda). Bujang Jaya, putra Bujang Busur dan Saliau kaca juga berpoligami, yaitu dengan Raden Galuh Gambar Melayu dan Dewi Sukarba. Sampai pada Aria Brahmana Sakti, putra mahkota Bambang Teja Aria dan Putri Ambung Kumala, keturunan raja Palinggam kembali ke monogami. Aria Brahmana Sakti hanya beristri Raden Galuh Ajang Semaran. Representasi perempuan dalam sastra lisan Lamut sebagai produk dari pertunjukan lisan yang dinamis dan kontekstual bukanlah citra perempuan yang pasti dan tetap. Sebagai sebuah proses kreatif, representasi tersebut terbuka bagi perubahan. Representasi tersebut juga tidak sepenuhnya cerminan perempuan dalam kebudayaan Banjar, tetapi antara lain melanggengkan stereotip laki-laki Banjar yang cenderung untuk berpoligami. Hubungan antartokoh perempuan dengan kelas sosial yang berbeda dan antara perempuan sebagai Dewa dengan peran tokoh yang lain tampak membentuk struktur oposisi biner sebagai berikut: manusia/dewa, putri raja/amban, lemah/kuat. Kekuasaan para keluarga kerajaan Palinggam sesungguhnya hanyalah bayang-bayang karena kekuasaannya tidak mampu mengatasi masalah karena semua masalah kehidupan kerajaan diatasi oleh para pembantu baik dari kaumnya sendiri dan manusia jelmaan Dewa. Daftar Rujukan Ideham, M. Suriansyah, dkk (eds). 2007. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Cetakan ke-2. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kalimantan Selatan. van Leeuwen, Theo. 2008. Discourse and Practice; New Tools for Critical Discourse Analysis. New York: Oxford University Press. Hermawan, Sainul (ed). 2014. Transkrip Tradisi Lisan Balamut versi M. Jamhar Akbar. Tidak diterbitkan. Webb, Jen. 2009. Understanding Representation. London: Sage Publications Ltd. Williams, Bronwyn T. and Zenger, Amy A. 2007. Popular Culture and Representations of Literacy. New York: Routledge 397 SUMBANGAN SASTRA PERANAKAN TIONGHOA DALAM KHAZANAH SASTRA INDONESIA MODERN Sastri Sunarti (Peneliti Badan Bahasa – Indonesia) Abstrak: Khazanah Sastra Indonesia modern tidak dapat mengabaikan sumbangan sastra Peranakan Tionghoa yang sudah berjalan jauh sebelum munculnya Balai Pustaka. Khazanah sastra Peranakan Tionghoa merupakan satu fenomena kultural yang sangat menarik untuk diperhatikan dan dikaji karena merupakan salah satu tradisi sastra Indonesia modern yang paling tua. Kehadiran Sastra Peranakan Tionghoa ini dimulai pada akhir abad ke-19 hingga abad ke-20. Pada saat itu karya sastra kelompok ini tidak terlalu diperhatikan keberadaannya dan dianggap karya marjinal. Padahal di dalamnya kita menemukan warna kultural yang kaya berkenaan dengan tradisi dan gaya hidup orang Peranakan Tionghoa di Hindia Belanda pada masa itu. Selain itu, ribuan karya sastra Peranakan Tionghoa yang pernah terbit masih banyak yang belum dibicarakan dan hanya segelintir karya dan pengarang Peranakan Tionghoa yang sudah dikenal oleh publik seperti Njoo Cheng Seng dan Kwee Tek Hoay. Kehadiran sastra Peranakan Tionghoa pada tahun 1939 banyak memunculkan kumpulan cerita pendek yang diterbitkan dalam berbagai majalah. Kegiatan olah sastra seperti itu mampu mengguncangkan masyarakat pecinta sastra sehingga Balai Pustaka pun merasa khawatir tersaingi oleh kegiatan olah sastra tersebut. Kata Kunci: Sastra Peranakan Tionghoa, Fenomena Kultural, dan Tradisi Sastra yang Tua. Sastra Peranakan Tionghoa di Hindia Belanda Sastra Peranakan Tionghoa merupakan fenomena kultural yang sangat menarik untuk diperhatikan dan dikaji dalam khazanah sastra Indonesia modern. Sastra Peranakan Tionghoa merupakan tradisi sastra Melayu-Indonesia modern yang paling tua. Sastra Peranakan Tionghoa telah berkembang sejak akhir abad ke-19 hingga abad ke-20, tepatnya sejak tahun 1870 karya-karya pertama dimuat sebagai cerita bersambung dalam surat kabar dan mulai diterbitkan dalam bentuk buku kecil agar mudah disebarluaskan (Claudine Salmon, 2010:16). Pada saat itu karya sastra tersebut tidak terlalu diperhatikan keberadaannya dan dianggap karya marjinal. Banyak anggapan sebelum ini dikalangan pemerhati sastra bahwa karya sastra Peranakan Tionghoa merupakan karya sastra picisan yang bermutu rendah dan tidak pantas dibicarakan. Namun, Roolvink berpendapat lain dan menyatakan bahwa karya sastra atau novel-novel yang terbit sebelum Balai Pustaka termasuk "roman besar", karena isi ceritanya lebih berbobot. Beberapa sasrjana lain yang juga pernah menyampaikan keberadaan sastra Peranakan Tionghoa ini adalah Nio Joe Lan yang pada tahun 1930-an sudah menyerukan peri pentingnya peranan kesusastraan ini. Dia menyebutnya sebagai Kesastraan Indo-Tiongha (de Indo-Chineesche literatuur) yang berkembang sendiri di luar lembaga resmi pemerintahan. Pramoedya Ananta Toer juga sudah berkali-kali menyebut masa perkembangan kesusastraan Melayu- Tionghoa sebagai masa asimilasi, 398 masa transisi dari kesusastraan lama, kesusastraan baru. C.W. Watson (1971) menyebut karya kaum Peranakan Tionghoa sebagai Pendahulu Kesusastraan Indonesia Modern (antecedents of modern Indonesian Literature). John B. Kwee (1977) dari Universitas Auckland telah menulis disertasi Kesusastraan Melayu Tionghoa (Chinese Malay Literature). Erlis Nur Mujiningsih (2005) juga memuat satu artikel yang berjudul Hubungan Antarras dalam Karya Sastra Indonesia pada Masa Sebelum Perang yang termuat dalam antologi Revolusi, Nasionalisme, dan Banjir Roman terbitan Pusat Bahasa Jakarta. Jika dilihat dari segi jumlah karya pengarang Peranakan Tionghoa juga menunjukan angka yang amat bermakna. Claudine Salmon (1985:86) menyampaikan bahwa hampir 100 tahun (1870-1960), kesusastraan Melayu Tionghoa melibatkan 806 penulis dan menghasilkan 3005 karya. Berdasarkan catatan A. Teeuw selama hampir 50 tahun (1918-1967) kesusastraan modern Indonesia (tidak melibatkan karya terjemahan) melibatkan 175 penulis dan 400 karya. Jumlah karya itu jika dihitung hingga tahun 1979 melibatkan 284 penulis dan 770 karya. Claudine (1985:206) lebih jauh menjelaskan pula bahwa pada tahun 1939 muncul penerbit yang banyak mengangkat kumpulan cerita pendek yang diterbitkan dalam berbagai majalah. Para pengarang yang menulis cerita pendek pada saat itu banyak yang anonim karena pengarang merasa masih terkungkung oleh penjajah dan pemakaian nama samaran ditujukan untuk melindungi dirinya dari pemerintah. Batasan Sastra Peranakan Tionghoa Damono (1999:216) menjelaskan perbedaan antara sastra Peranakan Tionghoa dengan sastra Indonesia terbitan Balai Pustaka hanya terdapat pada dialek bahasa Melayu yang digunakan. Kedua jenis karya sama-sama menggunakan bahasa Melayu. Karya sastra Peranakan Tionghoa menggunakan bahasa Melayu rendah (bahasa Melayu Pasar) sedangkan karya sastra Indonesia terbitan Balai Pustaka menggunakan bahasa Melayu tinggi. Karya sastra Peranakan Tionghoa tumbuh menggunakan bahasa yang dipakai oleh masyarakat luas dan digunakan dalam pergaulan antar bangsa dan suku yang berada di bawah jajahan Hindia Belanda pada masa itu. Sebaliknya, karya sastra Indonesia terbitan Balai Pustaka menggunakan bahasa Melayu tinggi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Nio Joe Lan (1950) memberikan batasan mengenai sastra Peranakan Tionghoa sebagai karya sastra asli hasil ciptaan kaum Peranakan Tionghoa yang menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa yang diseut juga oleh Claudine sebagai bahasa Esperanto marjinal (2010:95) yang memberikan andil yang sangat besar bagi perkembangan bahasa Melayu khususnya di Jawa sebelum tahun 1880. Tokoh Pengembang Sastra Peranakan Tionghoa Lie Kim Hok (1853-1912) disebut sebagai pelopor keusastraan Perankan Tionghoa. Ia banyak menulis syair, mengadaptasi novel barat dan Tionghoa ke dalam bahasa Melayu, menulis buku tata bahasa Melayu yang tujuannya membuat kodifikasi penulisan bahasa Melayu tulis. Sezaman dengan Lie Kim Hok menurut Claudine (2010:65) terdapat kurang lebih sekitar lima belas nama penerjemah karya sastra Peranakan Tionghoa dalam kurun waktu 1883-1886. Para penulis dan penerjemah itu umumnya menerbitkan karyanya sebanyak sebelas orang di Batavia, dua di Surabaya, tiga di Semarang, dan sisanya di Sukabumi. Pada tahun 1859 juga ditemukan terjemahan roman-roman Tionghoa ke dalam bahasa Jawa. Beberapa penerjemah juga berprofesi sebagai pedagang seperti Poe Tjien Hie, Tjiong Hok Long, dan Yap Goan Ho 399 (2010: 66). Mereka juga membangun percetakan di Batavia untuk membantu penyebaran karya-karya yang mereka terjemahkan tersebut. Bisa kita bayangkan kesungguhan tekad mereka dalam mengembangkan kesusatraan Peranakan Tionghoa ini. Penerjemah yang lain berprofesi sebagai wartawan yang menggunakan nama samara Koresponden India XX (di Batavia) dan Sie Hian Ling (penulis roman) dan Boen Sing Hoo (penulis syair) dan keduanya berfungsi sebagai “Letnan Juru bahasa Tionghoa”. Dua pengarang Peranakan Tionghoa yang populer di masa lampau menurut Myra Sidharta adalah Thio Tjin Boen dan Kwee Tek Hoay (2001:xix). Thio Tjin Boen dilahirkan tahun 1885 dan meninggal tahun 1940 di Bandung. Pernah bekerja sebagai wartawan dan editor kepala di surat kabar Perniagaan dan mendirikan surat kabar Asia yang berumur singkat. Ia banyak menerjemahkan novel dan dan menulis karya yang menggambarkan interaksi masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Sunda, Arab, Jawa dan lainnya. Beberapa karyanya yang menggambarkan hubungan antar etnis itu antara lain berjudul Cerita Oey Se, Cerita Nyai Soemirah, dan Dengan Duwa Cent Jadi Kaya. Kwee Tek Hoay merupakan salah satu pengarang Peranakan yang paling representatif. Ia lahir tahun 1886 di Bogor. Mulai mengarang sejak tahun 1905 dan selama 20 tahun lebih telah meneerbitkan sekurang-kurangnya 25 karya sastra (Liang Liji, 2001:xxi). Namanya dikenal di dunia internasioal sebagai redaktur pelbagai media massa seperti Panorama, Moestika Romans, dan Moestika Dharma. Selain sastrawan ia juga dikenal sebagai jurnalis. Ia menulis beragam genre mulai dari drama seperti (“Plesier Hari Minggoe”, “Korbannya Yi Yu Thang”, “Bingkisan Taon Baroe”, dan“Mait Idoep”), roman yang sangat terkenal yaitu (Boenga Roos dari Tjikembang, Drama dari Merapi, dan Drama di Boven Digoel) merupakan tiga karya yang sangat termasyur pada masa sebelum perang dunia ke II. Boenga Roos dari Tjiekembang misalnya telah berkali-kali disandiwarakan, difilmkan. Selain itu ia juga menulis ratusan karya tentang agama masyarakat Tionghoa, Sam Kauw yakni gabungan tiga ajaran Budha, Konfisius, dan Tao. Ia juga menulis teosofi Kristen dan Islam. Salah satu karya politiknya berjudul Atsal Moela Timboel Pergerakan Tionghoa di Indoensia dan dimuat secara bersambung dalam majalah Moestika Romans (1936-1939). Tokoh pengarang Peranakan yang berikutnya adalah Njoo Cheong Seng, lahir di Surabaya (1902) dan meninggal tahun di Jakarta (1962). Ia sering menggunakan nama samara ketika menulis seperti Monsieur d’ Amour, N.C.S atau N.Ch.S. Karya pertamanya berjudul Tjerita Penghidoepan Manoesia diterbitkan di surat kabar Sin Po (1919). Ia ikut mendirikan majalah Penghidoepan pada tahun 1925. Ia menulis cerita detektif yang dimuat bersambung di majalah dan surat kabar yang berjudul Gagak Lodra dan pernah menjadi bahan penelitian mandiri Pusat Bahasa oleh Mujizah tahun (…). Njoo aktif dalam kelompok sandiwaa Miss Riboet Orion apa akhir tahun 1920-an dan menulis beberapa cerita sandiwara seperti Kiamat, tengkorak dan Tueng Balah. Suami dari Fifi Young ini dikemudian hari juga menulis skrip film dan menyuttradarai bebeapa karya layar lebar dengan Fred Young pada tahun 1940-1955. Beberapa judul filmnya adalah “Zoebaida”, “Keris Mataram”, “Air Mata Iboe”, “Djantoeng Hati”, “Pantjawarna”, “Djembatan Merah”, “Mirah Delima”, “Habis Hudjan”, “Kebon Binatang”, dan “Masuk Kampung Keluar Kampung”. (https://www.wikipedia.org. Minggu, 18 November 2015, pukul 5.13). Karya Sastra Peranakan Tionghoa Sebagai Masa Peralihan Syair merupakan satu genre yang ternyata merupakan salah satu karya sastra Melayu tradisional yang banyak ditulis dan diakrabi oleh pengarang Peranakan Tionghoa. Claudine (2010:62) menemukan dalam penelitiannya bahwa syair pertama 400 kali digunakan untuk iklan ditulis di Semarang tahun 1886 oleh seorang yang bernama Ting Sam Sien. Demikian juga istilah hikayat juga digunakan oleh pengarang Peranakan tetapi isi hikayat itu tidak lagi mengisahkan peristiwa masa lampau melainkan peristiwa yang aktual pada saat itu seperti “Hikajat Maharadja Nederland” yang dimuat dalam majalah Cashabat Baik. Melani Budianta menyebutkan konsep kepengarang yang digunakan pada masa itu masih mengacu kepada konsep tukang cerita, sesuatu yang berasal dari tradisi lisan; seorang pengarang tidak harus mencipta tetapi dapat menuliskan kembali cerita-cerita yang pernah dibaca, didengar, atau diketahuinya. Hikayat, dongeng, fable dari tradisi lisan, babad, maupun hikayat yang bersumber dari manuskrip seperti Hikayat Si Miskin dan Hikayat Abdullah menjadi sumber karangan pada masa awal (1890-an-1900an) sastra Peranakan (2005: 12-13). Selain itu kita juga menemukan genre roman terutama roman sejarah adalah bentuk prosa yang digemari oleh pembaca sastra Peranakan. Satu karya roman sejarah yang terkenal pada masa itu berjudul “Roman Tiga Kerajaan” yang berangkat dari episode sejarah Tiongkok. Cerpen, drama, drama, cerita silat, cerita detektif, dan cerita yang berangkat dari laporan jurnalistik adalah genre karya lainnya yang juga dapat ditemukan dalam khazanah sastra Peranakan Tionghoa. Liang Liji (2001:xviii-xix) menjelaskan fenomena kesastraan yang muncul pada masa itu sebagai masa peralihan; dari masyarakat jajahanfeodal yang berdasarkan ekonomi alam menuju masyarakat jajahan yang isatukan oleh tata ekonomi dan administrasi yang sama. Sesuai dengan proses peralihan itu maka lahirlah bahasa yang dapat digunakan oleh semua suku bangsa di Hindia Belanda yang kemudian melahirkan sastra yang mencerminkan realitas masyarakat zaman itu. Jika dilihat dari kondisi zaman peralihan itu, keturunan Tionghoa merupakan satu masyarakat yang lebi mampu memenuhi panggilan zaman dalam melakukan kerja cipta sastra, terutama karena kedudukan ekonomi dan taraf pendidikan mereka yang relatif lebiih baik. Tema-Tema dalam Karya Sastra Peranakan Tionghoa Jika dicermati tema-tema yang diangkat oleh para pengarang sastra Peranakan Tionghoa banyak yang dipengaruhi oleh peristiwa dan realitas sejarah. Salah satu contohnya adalah -syair yang ditulis oleh sejumlah penyair Peranakan pada abad ke 19 yang mengritik cara para pedagang kaya Tionghoa di Hindia Belanda ketika mengambil bagian dalam lelang candu. Mereka menulis syair yang menggambarkan ulah para pakter candu dan korban-korbannya dan mereka mengganti nama asli pakter itu dengan tokoh-tokoh terkenal dalam Roman Sam Kok atau nama binatang seperti yang terdapat dalam hikayat Burung Nuri (Claudine: 2010:143). Peristiwa sejarah lainnya yang kemudian mempengaruhi tema karya yang dikarang oleh kaum Peranakan adalah kebijakan politik etis yang dijalankan oleh Belanda pada awal abad dua puluh (tahun 1901). Pada masa politik etis dijalankan, proses ke arah modernisasi berlangsung lebih intensif di Hindia Belanda sehingga melahirkan benturan antara tradisi dan modernitas. Program pendidikan sebagai bagian dari politik etis, mengenalkan konsep-konsep modernisme, seperti demokrasi, rasionalitas, dan emansipasi di Hindia Belanda. Faham modernisme ini kemudian diserap dan muncul dalam karya sastra Peranakan Tionghoa. Sebelum dijalankannya politik etis, seorang anak lazimnya menurut saja ketika dijodohkan oleh orang tuanya. Namun, setelah dijalankannya politik etis yang membawa gagasan modernisme, demokrasi, rasionalitas, dan emansipasi maka gagasan ini juga diadaptasi oleh pengarang Peranakan Tionghoa yang pada saat itu telah mendapat pendidikan barat dari pemerintah Kolonial. Cerpen-cerpen yang ditulis pada periode ini sebagian besar menggambarkan adanya upaya penolakan terhadap 401 perjodohan yang konvensional itu. Dengan kata lain, pola-pola hubungan sosial yang tradisional mulai goyah dengan masuknya modernitas yang dikenalkan melalui program politik etis. Kehidupan kaum perempuan dengan segala permasalah dan eksistensinya terutama dalam pemilihan pasangan hidup sangat banyak kita temukan sebagai tema cerita dalam cerpen Peranakan Tionghoa. Mulai dari kasusu kesulitan mendapatkan jodoh, kasih tak sampai karena tak mendapat restu dari orang tua, beserta lika-likunya digambarkan dalam cerpen Peranakan Tionghoa. Beberapa cerpen berikut merupakan karya cerpen yang menggambarkan tema perempuan 1)"Akalnja Orang Moeda" karya Im Jang Tjoe, 2)."Nasibnja Seoerang Janda Moeda", karya Anonim, majalah Tjaja Timoer, September 1928., 3). Cerpen "Raden Patah Poetrinja Poetri Tionghoa", karya Anonim, majalah Boolen Poernama., 4). Cerpen "Habis Manis Sepah Dibuang", karya Swan Pen, majalah Tjaja Timoer, Juli 1928., 5). Cerpen "Maleman Tahun Baroe", karya Lahjeg, majalah Sin Po, Februari 1927., 6). Cerpen “Nasehat Boet Nona Moeda”, karya Tan Oen Djang, majalah Warna Warta, Januari 1920., 7). Cerpen "Baiknya ...", karya Thung Dji Lim, majalah Sin Po, Februari 1927., 8). Cerpen "Nasip...", karya L.W. Cean, majalah Sin Po, Februari 1927. ,9). Cerpen "Keras Hati ....", karya lauw Ek Tjiang, Sin Po, Maret 1927., 10). Cerpen "Boengah Trate di Rawa Peloeng", karya Im Jang Tjoe, majalah Boelan Poernama., 11). Cerpen "Amper Telat", karya Tan Khoen Sik, majalah Koemajuan, Juni 1929., 12). Cerpen "Bertentangan", karya L.T. Kwonk, majalah Koemajuan, Septembar 1927., 13).Cerpen "Boeroeng Dedasi di Moesim Dingin", karya Tan Hong Boen, majalah Sin Po, Februari 1927., 14). Cerpen "Pikiran Melajang diwaktoe Oedjan", karya Gong Tit, majalah Warna Warta, Januari 1926., 15). Cerpen "Tjee Boen Kiang", karya Anonim, majalah Sin Po, Juli 1924. Dunia sastra Peranakan Tionghoa juga menggambarkan nilai-nilai yang dianut dalam lingkungan kaum Peranakan. Nilai-nilai itu sarat dengan ajaran moral dan aturan, khususnya yang ditujukan kepada perempuan. Salah satu ajaran atau nilai yang disampaikan itu adalah nilai agar menaati ajaran kunfusius seperti keharusan bagi para gadis untuk mematuhi orang tua dan suami. Cerpen " Kasukarannya Gadis Hartawan", karya Lahjeg yang dimuat dalam majalah Sin Po, Desember 1926 ini menggambarkan ketaatan seorang anak perempuan terhadap usulan orangtuanya. Namun, ia merasa khawatir jika calon suami yang diusulkan oleh orang tuanya hanya menginginkan hartanya saja. Dengan persetujuan orangtuanya si gadis bersiasat untuk menguji ketulusan hati calon suaminya. Bagaimana enko poenja pendapetan prihal Tjeng Tian?" "Baek, Ia ada tjakep, pinter, dan vioolnja ada soeroep boeat timpalin kaoe poenja piano." "Djangan omong memaen, ko; saja maoe tanja apa-apa jang serious." "'Nko seneng sekali." "Saja haroes toeroet papa mama poenja kainginan boeat menikah, tapi saja selaloe sangsi apa orang-orang jang melamar sabenarnja tjintain saja poenja diri. Saja sedikit tjoeriga kaloe ia orang ada lebih toedjoein kita poenja harta." ("Kasukarannja Gadis Hartawan") Untuk menghindari hal itu, tokoh Hoel Lan membuat strategi sebelum menentukan jodohnya dan bersama keluarganya ia berpura-pura jatuh miskin. Dugaan Hoel Lan terhadap laki-laki yang akan dijodohkan oleh kedua orang tuanya akhirnya terbukti bahwa ia hanya menginginkan harta si gadis. Ketika mengetahui bahwa keluarga gadis itu jatuh miskin laki-laki yang akan dijodohkan itu akhirnya kabur meninggalkannya. Justru laki-laki pilihan hatinya akhirnya tetap setia mencintai dirinya apa adanya. Cerita ini menggambarkan taktik yang cerdik yang dilakukan oleh tokoh utama perempuan ketika menolak usulan jodoh yang disampaikan kepadanya. 402 Pada cerpen yang lain kita juga menemukan kecerdikan tokoh perempuan dalam cerpen Peranakan Tionghoa. Tema perempuan terutama dalam lingkungan keluarga ternyata menjadi salah satu isu yang banyak diangkat oleh pengarang pada masa itu. Secara umum kaum perempuan digambarkan mengalami ketidakadilan gender bukan hanya karena warisan kultural yang dibawa dari negeri asalnya yang didominasi oleh budaya patriarki; melainkan juga oleh bias gender yang berasal dari budaya setempat yang dominan, seperti Jawa dan Sunda. Kaum wanita dalam karya sastra sering ditampilkan sebagai manusia kelas dua. Sebagai contoh dapat kita temukan dalam cerpen “Nona Kulit Kucing” yang dimuat dalam majalah Penghiboer, 30 Mei 1914. Nona Kulit Kucing digambarkan sebagai perempuan yang mengalami diskriminasi dalam keluarganya terutama oleh ayahnya. Ketika kecil ia dibuang oleh ayahnya yang tidak menginginkan anak perempuan. Namun, berkat kecerdikan Ibunya yang diam-diam membelanya, ia dapat bertahan hidup dan bahkan kemudian berhasil diterima kembali oleh ayahnya yang telah membuangnya. Dalam cerpen ini pengarang menyampaikan pesan secara tersirat dan tersurat. Secara tersirat dengan memenangkan tokoh utama perempuan ia ingin menunjukan bahwa antara anak laki-laki dan perempuan sama berharganya. Untuk meninggikan posisi perempuan dalam cerita ini, Nona Kulit Kucing digambarkan tokoh perermpuan yang cerdik, banyak akal, mandiri, gigih, dan tidak mudah putus asa. Meski sudah dibuang oleh ayahnya ia berhasil bertahan hidup dan menyamar dengan kostum kulit kucing dari hadapannya ayahnya. Untuk membiayai hidupnya, ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah rumah orang kaya. Berkat kepribadiaannya yang memikat, ia akhirnya berhasil menjadi menantu di rumah keluarga kaya tersebut meski awalnya juga ditolak. Namun, cerita ini berakhir dengan happy ending, seperti dongeng Cinderella atau Snow White di Eropa yang menggambarkan kisah seorang anak perempuan (princess) yang awalnya menderita dan dibuang dari rumah tetapi kemudian berakhir dengan kebahagiaan dan menikah dengan pangeran pujaannya. Cerpen Nona Kulit Kucing juga memuat kritik terhadap dominasi patriarki yakni pandangan yang lebih menghargai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Pengarang juga mengritik perbedaan kelas dan penghargaan yang berlebihan terhadap materi di kalangan sosial masyarakat Peranakan Tionghoa. Sebagaimana yang terbaca pada alinea penutup cerpen ini: “Begitulah adanya pengaruh uang.” Tema cerita yang masih menyoroti peran perempuan dalam keluarga dengan berbagai problema yang menarik juga digambarkan dalam cerita pendek "Hauw Sien Poe (Mantoe Perempoean jang Berbakti)" (Hoa Pit I (2), 8 Januari 1927) karya . Lian Hwa. Dalam cerita pendek ini diutarakan perilaku terpuji menantu perempuan yang mengurusi ibu mertuanya dengan sungguh-sungguh. Pengabdian menantu perempuan kepada ibu mertuanya itu digambarkan hingga menyusui ibu mertua itu yang sudah tidak bisa makan nasi karena giginya sudah habis. Ibu mertuanya ini akhirnya mati dalam keadaan yang sangat bahagia dan sebelum mati mendoakan agar anak dan menantu teladan itu dapat hidup bahagia dan sejahtera serta dapat menjadi orang yang dimuliakan. Tema yang juga sering muncul dalam karya sastra Peranakan Tionghoa adalah penggabungan antara kisah nyata (fakta) dengan fiksi. Salah satu contonhnya adalah cerpen “Satoe Doesa Memang Soesa Ditjoetji” ditulis oleh Tan Djhong Sioe dan dimuat dalam majalah Djawa Tengah XvII/6, Juni 1926.). Cerita ini membaurkan antara unsur fiksi dan fakta. Gagasan awal cerpen ini berangkat dari fakta yang pernah terjadi pada masa itu. Waktu dan tempat peristiwa yang digambarkan dalam cerpen mengacu pada waktu dan tempat yang sesuai dengan sebuah peristiwa yang pernah terjadi di dunia 403 realitas di luar karya. Selain menyebutkan setting waktu dan tempat, masih diperkuat lagi dengan sebuah pernyataan dari pengarang bahwa cerita ini sungguh-sungguh terjadi seperti kutipan berikut. “Pembaca yang terhormat! Dengan ini kita menceritakan suatu kejadian yang sebenarnya dan belum seberapa lama, adalah penghidupannya satu Haji Mursidik yang berdiam di desa Kahoman Pedan. Dengan ia punya istri yang selalu berjalan serong, cerita mana ada sebagai berikut:” “Pembaca jangan menjadi heran maka Mbok Ronggo Wiriosantoso sampai tersambar petir begitu rupa, adalah kena sumpahnya Pak Haji Mursidik yang senantiasa berlaku sabar dan menerima. Maka jadi orang perempuan janganlah suka berlaku serong pada suaminya yang sangat mencinta padanya karena orang yang begitu baik serta mulia sebagai Pak Haji Mursidik jangan ada bandingannya. Heran orang baik hatinya oleh istrinya dapat balasan yang begitu kejam dan hina, apakah perbuatan yang demikian rupa tidak baik Allah balas hokum padanya? Nah, lihatlah pada dirinya Mbok Ronggo Wiriosantoso, yang sudah berbuat jinah pada budaknya dan sangat tidak hargakan sang suami punya kecintaan, hingga Allah hokum padanya dengan keliwat dari kejam, itulah upahnya orang perempuan yang berlaku serong! Pernyataan yang disampaikan oleh pengarang di awal cerpennya itu dapat dilihat sebagai komposisi skematik lisan dalam teks tersebut; sebuah bentuk lain dari pprolog dalam cerita lama yang selalu dibuka dengan alkisah, syahdan, arkian seperti yang sering kita temukan dalam sastra tradisional Indonesia. Unsur skeamtik lisan dalam karya sastra Peranakan Tionghoa ini memperlihatkan masih terdapatnya kesinambungan gaya sastra tradisional dengan sastra modern (cetak). Satu lagi penanda masih adanya gaya sastra tradisional dalam karya Peranakan ini adalah masih dipertahannkannya nilai pedantic dalam seiap cerita yang disampaikan. sebagaimana yang tertera dalam kutipan cerita ini: Tulisan ini pembaca, sampai di sini kita berhentikan saja, karena orang yang tersangkut dalam ini cerita masih berada di dunia, jadi kita tidak perlu buat beber lebih jauh. Cuma saja kita harap mudah-mudahan ini cerita bisa menjadi nasihat yang baik bagi semua perempuan-perempuan di ini waktu, supaya orang perempuan tidak akan melakukan jalan jinah dan pandang ringan pada suaminya yang ada mencinta dirinya. Perhatikanlah!” Karya merupakan suatu medium untuk menyampaikan nasihat, tunjuk ajar, dan nilai yang disampaikan secara eksplisit seperti contooh teks di atas. Penggunaan karya sastra seperti ini amat banyak kita jumpai dalam karya sastra tradisional seperti kaba ‘cerita’ di Minangkabau yang juga menjadi medium untuk menyampaikan nasihat terutama bagi seorang perempuan. Kesinambungan dengan tradisi itu terlihat dari teknik bercerita yang masih mempertahankan topoi dalam narasi, seperti kejahatan pasti akan mendapat pembalasan, kebaikan melawan kejahatan, unsur nasihat masih mengemuka dalam cerpen Peranakan Tionghoa ini. Tema percintaan, perampokan, hingga cerita detektif seperti serial cerita bersambung “Gagak Lodra” karya Njoo Tjeong Seng (mujizah, 1992) dimuat di beberapa majalah seperti Majalah Pedoman, Roman Pergaulan, dan Lukisan Pujangga. Salah satu cerita di dalam majalah Penghibur bahkan memuat itu adalah cerita orang yang sangat sayang kepada binatang. Tema perselingkuhan juga muncul dalam karya Peranakan seperti, cerita pendek "Nasehat Boeat Nona Moeda" (Warna Warta, I (20), 1920) yang dikarang oleh Tan Saen Djiang. Cerita ini mengisahkan tentang tokoh suami bernama Siang Pek yang gemar bermain perempuan dan meninggalkan istrinya Lian Nio tinggal sendiri di rumah. Namun, suatu hari Siang Pek akhirnya sadar, pada kesalahannya dan kembali ke pangkuan istrinya Lian Nio yang selalu setia menunggu suaminya kembali. Tema 404 perselingkuhan seperti ini pertama kali muncul dalam majalah Warna Sari di Surabaya yang berbentuk buku dan memuat sebuah cerita pendek yang berjudul "Si Marinem" karya H.F.R. Kommer, pada tahun 1912. Tidak jauh dari tema perselingkuhan ini, juga banyak cerpen yang menggambarkan penyakit sosial yang dihadapi oleh masyarakat Tionghoa pada masa itu yakni ancaman penyakit sifilis, kehadiran rumah candu, dan perempuan simpanan merupakan isu yang banyak menarik perhatian pengarang Peranakan Tionghoa pada masa itu. Salah satu contoh cerita dengan tema penyakit sosial (sifilis dan pelacuran) dapat kita temukan dalam drama” Mait Idup” karya Kwee Tek Hoay. Pengarang Peranakan Tionghoa tidak hanya membicarakan persoalan di sekitar lingkungan komunitas dan masyarakat Tionghoa saja. Banyak karya yang ditulis oleh pengarang Peranakan memperlihatkan simpati dan empati mereka terhadap pribumi. Berikut ini adalah daftar novel yang berlatar Masyarakat pribumi Indonesia yangpernah ditulis dan dikumpulkan Claudine (2010:398): Harta Jang Terpendam Atawa Kedjahatannja Njai Marsina, Batavia: Sin Po (1920), Njai Marsina Atawa Moestika Mawar, karya Numa, Batavia: Probitas (1923), Pertjintaan Dalem Halimoen, Satoe Gadis Elok Jang Diboeat Reboetan, karya Numa, Batavia: Probitas (1923), Soepardi dan Soendari (Berpisa Pada Waktoe Hidoep Berkoempeol Pada Waktoe Mati), karya Im Jang Tjoe, Penghidoepan, (1925). Drama Dari Krakatau, karya Kwee Tek Hoay, Batavia: Hoa Siang In Kiok (1929), Boeat Apa Doenia? Karya Njoo Cheong Seng, Tjerita Roman (1929), Siti Kartini, karya Suma Tjoe Sing, Tjerita Roman (1930), Darah dan Air Mata dari Boven Digoel, karya Oen Bo Tik, Boelan Poernama (1931), Antara Idoep dan Mati Atawa Boeroen dari Boven Digoel, karya Wiranta, Boelan Poernama (1931), Gelombang dari Laoetan Kidoel, karya Liem Khing Hoo, Tjerita Roman (1932) dan lain-lain. Media Massa Yang Memuat Karya Sastra Peranakan Tionghoa Majalah Penghidupan, Penghibur, dan Bok Tok merupakan tiga majalah yang banyak memuat cerita pendek karya Peranakan Tionghoa dan mempunyai pembaca yang banyak pula. Genre cerpen banyak yang dimuat di dalam media massa cetak surat kabar dan majalah dan mulai terlihat sejak tahun 1912. Pada tahun 1914 cerpen-cerpen Peranakan juga terbit di beberapa majalah seperti Kehidupan, majalah Warna Warta, Tjaja Timoer, Tahun I. Tahun 1921 dan tahun 1922 tidak ada cerita pendek yang diterbitkan karena majalah yang mendukung penerbitannya tidak ada. Baru pada tahun 1923 tercatat beberapa cerita pendek seperti "Cinta?—Mati..." dari majalah Sin Po,cerita pendek "Jiwa Manis Halus Tipunya" dalam majalah Bintang Hindia, cerita pendek "Mati Diuntal Kucing" dalam majalah Han Sing. Tahun 1923 itu merupakan zaman awal Sin Po yang menurunkan berbagai cerita pendek dengan bahasa Peranakan Tionghoa dengan tokoh orang-orang Peranakan Tionghoa. Cerita pendek tradisi Sin Po ini setiap tahun mendominasi cerita pendek di dalam majalah-majalah. Tradisi itu terus berjalan hingga tahun 1924-1929. Jumlah cerita pendek yang dimuatnya di dalam majalah itu makin banyak saja sehingga hal itu dapat menyaingi penulisan karya sastra pada Balai Pustaka. Pada tahun 1930-an karya cerita pendek dari pengarang Peranakan Tionghoa memperlihatkan produksi sastra yang sangat mengesankan dari segi jumlah. Cerita pendek tersebut banyak dimuat dalam majalah dan surat kabar yang tidak sempat atau belum sempat dikumpulkan dalam suatu kumpulan cerita pendek. Bahkan, ada majalah yang hanya memuat khusus beberapa cerita pendek, seperti majalah Boelan Poernama dan majalah Roman Pergaoelan. Selain dari dua majalah itu, cerita pendek itu termuat 405 dalam majalah umum yang bukan khusus majalah sastra. Majalah yang banyak berjasa memuat cerita pendek tersebut adalah majalah Asia Baroe, Keng Po, Moestika Romans, Sin Po, Timoer Baroe, Tjaja Timoer, Tjerita Roman, dan Tjerdas. Cerita pendek yang muncul dalam dasawarsa tahun 1930-an itu. Kebangkitan kelompok Sin Po merupakan pemicu pula lahirnya cerita pendek dalam bahasa Melayu Tionghoa. Sin Po memunculkan pengarang muda yang cukup produktif, seperti Nirmaja, Si Lip Lap, Elsje, Po Goat, Didi, dan Edas. Belum begitu jelas apakah itu nama asli atau alias. Akan tetapi, yang lebih menarik sebagian besar pengarang cerita pendek majalah Sin Po itu memberi nama alias dengan huruf tertentu yang berupa singkatan saja, sehingga kita hanya mengenal nama pengarang S.B.L., K.K., S.S., X.X,. J., W., Z., L., G., dan sebagainya. Kebangkitan Sin Po memberikan inspirasi bagi majalah sejenis untuk hidup, seperti Keng Po, yang juga banyak memuat cerita pendek Peranakan Tionghoa. Satu trend atau kecenderungan penulis Peranakan Tionghoa di majalah Keng Po adalah menggunakan nama samaran, seperti Cyrus, Sontolojo, Ixcy, Kampret, dan Djin. Di samping itu, lahir pula majalah Boelan Poernama yang melahirkan penulis muda, seperti Im Yang Tjoe. Nama Im Yang Tjoe kemudian berselang-seling dengan nama Kihadjar Darmapralojo, (Erlis Nur Mujiningsih, 2004). Penutup Kekayaan khazanah sastra yang dihasilkan oleh para pengarang Peranakan Tionghoa tidak dapat dipungkiri lagi sebagaimana yang tertera pada jumlah yang telah disampaikan oleh Claudine Salmon dalam penelitiannya yakni sebanyak 3005 karya. Kekayaan karya itu mencakup berbagai genre sastra seperti syair, hikayat, sastra terjemahan (dari Tiongkok dan Barat), novel, roman (cerpen), cerita bersambung, dan esei politik, keagaman, ekonomi, dan lain-lainnya. Ditinjau dari sisi tema juga memperlihatkan kekayaan tema yang memuat tema perempuan, kriminal, penyakit sosial, dan juga semangat nasionalisme dan pribumi. Patut dicatat bahwa kehadiran karya sastra Peranakan Tionghoa ini memperlihatkan kesinambungan antara tradisi bercerita (lisan) dengan dunia penerbitan dan percetakan. Ciri-ciri kelisanan dalam tulisan masih terlihat dalam beberapa karya seperti penggunaan komposisi skematik lisan dalam cerita, konsep kepengarangan yang masih belum memperhatikan keorisinalitasan, dan topoi-topoi dalam narasi yang disampaikan. Kekayaan sastra Peranakan Tionghoa itu ternyata didukung oleh munculnya penerbit di kalangan pengusaha Tionghoa yang mendirikan berbagai penerbitan yang dikelola dan dibiayai oleh komunintas Peranakan Tionghoa. Di sinilah bahasa Melayu mendapatkan tempat untuk bertumbuh dan berkembang di kalangan pengguna non Melayu seperti yang terjadi di Jawa. Penyebaran karya sastra Peranakan Tionghoa hingga ke luar pulau Jawa seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku memperlihatkan semangat penyebarluasan dan perjuangan bahasa dan sastra Melayu yang kemudian menjadi cikal bakal bagi perkembangan sastra Indonesia di era mesin cetak mulai dikenal luas di wilayah Hindia Belanda. Sebuah upaya diplomasi budaya yang tak dapat dipandang rendah karena dampak penggunaan bahasa Melayu dalam karya sastra ini juga kemudian terlihat pada penggunaan bahasa Melayu dalam bahasa surat menyurat resmi seperti kartu pos, surat dagang, dan telegram yang hidup sezaman dengan perkembangan sastra di kalangan kaum Peranakan Tinghoa ini. 406 Daftar Rujukan Budianta, Melani. 2005. "Kolase Multikultural Sang Tukang Cerita Cerpen Indonesia 1870-an--1910-an" (hlm.1--31) dalam Nona Koelit Koetjing: Antologi Cerita Pendek Indonesia Periode Awal (1870-an--1910-an). Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan -Nasional. ------------------- Nona Koelit Koetjing: Antologi Cerita Pendek Indonesia Periode Awal (1870-1910-an). Jakarta Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Bondsorgaan. 1929. Persatoean Kaoem Prampoean Tionghoa Indonesia. Tahun II, No.16. Damono, Sapardi Djoko. dkk. 2005. Nona Koelit Koetjing: Antologi Cerita Pendek Indonesia Periode Awal (1870-an--1910-an). Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Gondomono. 2002. Pelangi Cina Indonesia. Jakarta: PT Intisari Mediatama. Hakim, Zaenal. 1999. ”Nasionalisme Indonesia Tahun 1930-an dalam Drama Drama Kwee Tek Hoay”.Jakarta: Pusat Bahasa. Liji, Liang. 2001. Kata Pengantar dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indoensia Jilid 3. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Nur Mujiningsih, Erlis. 2005. Hubungan Antarras dalam Karya Sastra Indonesia pada Masa Sebelum Perang dalam Revolusi, Nasionalisme, dan Banjir Roman. Jakarta: Pusat Bahasa. Mujizah. 1992. ”Njoo Cheong Seng dan Gagak Lodra’’. Laporan Mandiri.Jakarta: Pusat Bahasa, Nio Joe Lan. 1958. Sastra Indonesia Tionghoa. Jakarta. Gunung Agung. Salmon, Claudine. 1985. Sastra Peranakan Tionghoa dalam Bahasa Melayu. Jakarta: Balai Pustaka. --------------------- 2010. Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. (terjemahan).Jakarta: KPG, EFEO, Pusat Bahasa, dan Yayasan Nabil. Sidharta, Myra. (penyunting). 1989. "100 tahun Kwee Tek Hoay". Jakarta:Pustaka Sinar Harapan. -------------------- (pengantar).2001. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Kepustakan Popluer Gramedia. Sulistiati dkk.2010. Perempuan dan Perkawinan dalam Cerita Pendek Peranakan Tionghoa Periode Awal. Jakarta: Pusat Bahasa. Suryadinata, Leo. 2002. Negara dab Etnik Tionghoa, Kasus Indonesia. LP3ES. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Suatu Pengantar. Jakarta: Pustaka Jaya. 407 Lampiran Foto 408 409 410 MENGUAK SASTRA JAWA LAMA SEBAGAI SUMBER KEARIFAN LOKAL MELALUI KAJIAN MANUSKRIP-MANUSKRIP BUSANA TRADISIONAL JAWA Sri Harti Widyastuti, Anik Ghufron, Siti Mulyani, dan Sukarno (Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia) Abstrak: Dalam karya sastra Jawa lama berbentuk manuskrip, deskripsi tentang busana tradisional Jawa disampaikan dalam bentuk cerita maupun tuturan antar tokoh. Busana tradisional merupakan identitas bangsa. Sementara itu, rujukan tentang bentuk, ragam, jenis, atribut, dan fungsi busana tradisional Jawa belum jelas karena sulit didapat. Manuskrip yang berisi tentang busana tradisional dilakukan. Tujuan penulisan makalah ini adalah memaparkan langkah kajian sastra lama manuskrip berupa inventarisasi, deskripsi, transliterasi, terjemahan, dan pemaknaan teks busana tradisional Jawa. Untuk memaparkan tujuan tersebut dilakukan dengan pendekatan filologi modern dan sastra. Berdasarkan inventarisasi manuskrip, maka didapatkan lima buah manuskrip yang berisi tentang busana tradisional Jawa. Pada deskripsi manuskrip tampak bahwa sebagian manuskrip justru tampak kurang disentuh. Teks merupakan produk Kraton Kasunanan Surakarta yaitu zaman PB IV tahun 1788-1820. Berdasarkan transliterasi standar dan terjemahan isi maka dapat dideskripsikan bentuk, ragam, jenis, atribut, dan fungsi busana tradisional Jawa beserta pemakainya. Busana tradisional Jawa yang diangkat dari teks dalam manuskrip merupakan sumber data yang menunjukkan kearifan tradisional. Makna teks tersebut merupakan harta kultural yang dapat menunjukkan ciri budaya. Adanya ciri tradisi merupakan bukti eksistensi bangsa yang akan memperkuat identitas nasional. Kata Kunci: sastra Jawa lama, filologi modern, manuskrip, dan busana tradisional Pendahuluan Sastra Jawa mempunyai pengertian yang lebih khusus dibanding dengan sastra nasional. Hal ini terutama terjadi pada sastra Jawa klasik. Dalam sastra Indonesia maupun pengertian sastra secara umum, pengertian sastra merujuk pada fiksi. Hal itu seperti yang disebutkan oleh Nurgiyantoro (1998: 2) bahwa prosa dalam kesastraan disebut fiksi (fiction). Namun, pada sastra Jawa klasik pengertian sastra menunjuk pada fakta-fakta. Hal ini disebabkan karena dalam karya sastra Jawa berisi rekaman budaya pandangan hidup, pengetahuan tradisional, dan sejarah tradisional masyarakat. Hal itu, seperti dikatakan oleh Teeuw (1983: 3) bahwa teks sastra merupakan pandangan dunia yang koheren dan bulat. Dalam pandangannya masyarakat Jawa memasukkan ide pengetahuan tradisional, ajaran, dan sejarah dalam karya yang kemudian disebut karya sastra. Sastra Jawa mempunyai sejarah yang sangat panjang dari zaman Jawa Kuna, Jawa Tengahan, Jawa Islam, sampai Jawa Modern (Pustakawara,tt). Pengertian sastra Jawa lama menunjuk pada sastra Jawa Klasik, yaitu sastra Jawa masa setelah sastra Jawa Islam sampai Jawa Modern, dalam sejarah sastra Jawa sering disebut sebagai sastra Jawa Baru. Adapun yang termasuk pada zaman sastra Jawa Baru adalah karyakarya yang dihasilkan pada kurun waktu abad ke18-19. Pada masa ini karya-karya sastra 411 yang dihasilkan berjenis piwulang, suluk, babad, cerita wayang, dan roman Klasik. Di samping itu dihasilkan pula teks-teks yang berisi tentang kearifan lokal, undang-undang dan peraturan pemerintahan, dan buku-buku pelajaran bersastra. Dalam karya-karya tersebut terkandung budaya-budaya tradisi. Budaya tradisi melambangkan ciri khas masyarakat penghasilnya. Di samping itu, tercermin pula filosofi, cita-cita dan pandangan hidup masyarakatnya. Rekam jejak budaya tradisi terdapat dalam naskah atau manuskrip-manuskrip. Manuskrip adalah warisan budaya nenek moyang yang berupa tulisan tangan yang ditulis dengan aksara lokal. Bahan untuk menulis juga berupa bahan-bahan lokal seperti kulit kayu, lontar, daluwang maupun kertas (Karsono: 2008: 17). Manuskripmanuskrip Jawa berisi tentang berbagai bidang, misalnya sejarah, silsilah, hukum dan peraturan, wayang, sastra wayang, sastra, piwulang dan suluk, agama Islam, primbon dan pawukon, bahasa, musik, tari-tarian, dan adat-istiadat (Behrend, 1990 : V). Manuskrip merupakan salah satu objek filologi di samping teks. Manuskrip dan teks mempunyai pengertian yang agak berbeda dalam istilah filologi. Pengertian manuskrip mencakup alat tulis, sampul, aksara, beserta sistem ejaannya, tinta, rubrikasi, iluminasi, hiasan-hiasan yang ada pada lembar-lembar alas tulis. Baik alas tulis aksara, tinta, rubrikasi, iluminasi, maupun hiasan menjadi bagian dari manuskrip karena keberadaannya merupakan bagian dari wujud naskah (Karsono, 2008: 5). Adapun teks atau wacana merupakan kandungan naskah yang dinyatakan dengan bahasa atau tanda lain sesuai dengan jenis wacananya (Karsono, 2008: 6). Dalam penelitian sastra Jawa Lama memerlukan bantuan filologi atau bahkan masuk dalam ranah penelitian filologi. Hal itu disebabkan karena karya sastra tersebut dituliskan dalam bentuk manuskrip. Selama ini penelitian-penelitian filologi yang mengait naskah dengan teks lebih banyak mengarah pada pengungkapan isi yang lebih banyak pada teks ajaran atau piwulang. Penelitian manuskrip yang berisi tentang pengetahuan-pengetahuan busana, kecantikan, dan makanan, belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, perlu upaya menguak lebih jauh kandungan karya sastra Jawa lama yang berisi kearifan lokal praktis seperti busana tradisional. Makalah ini merupakan cuplikan sebagian dari hasil penelitian dengan judul Busana Tradisional dalam Manuskrip-Manuskrip Jawa (Harti Widyastuti, 2015). Sebagai penelitian filologi, penelitian terhadap karya-karya sastra Jawa Klasik ini mempunyai langkah-langkah penelitian yang khas, yaitu inventarisasi manuskrip, deskripsi manuskrip, perbandingan manuskrip (apabila manuskrip jamak), transliterasi manuskrip, suntingan manuskrip, dan terjemahan manuskrip (Karsono, 2008: 81). Inventasrisasi manuskrip adalah studi awal yang dilakukan dengan mengidentifikasi dan menginventarisasi teks-teks sekorpus (Karsono, 2008: 81). Deskripsi manuskrip dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang wujud dan bentuk naskah (Karsono, 2008: 83). Dari data-data yang terkumpul pada deskripsi manuskrip diharapkan akan dapat diketahui usia naskah. Transliterasi manuskrip adalah alih aksara dari aksara sumber ke aksara sasaran dengan metode yang telah ditentukan (Karsono, 2008: 98). Metode transliterasi manuskrip adalah metode diplomatik dan metode standar. Metode diplomatik adalah mengalih aksarakan tulisan dari tulisan sumber ke tulisan sasaran tanpa mengubah huruf, ejaan, maupun kata (Karsono, 2008: 99). Transliterasi standar adalah mengubah aksara dari aksara sumber ke aksara sasaran dengan mengadakan perbaikan bacaan (Karsono, 2008: 98). Perbaikan bacaan, yaitu perbaikan menurut ejaan yang disempurnakan atau konteksnya. Suntingan manuskrip adalah rekonstruksi naskah dari peneliti dimana peneliti berusaha untuk membuat rekonstruksi yang benar dan yang sesuai dengan yang diinginkan pada tujuan penelitian. 412 Adapun aliran filologi yang digunakan untuk menguak sastra lama ini adalah filologi modern yang bertujuan untuk mengungkap isi teks yang ada di dalam manuskrip. Kearifan Tradisional Jawa Kearifan lokal adalah sistem pengetahuan tradisional yang ditularkan secara turun-temurun. Dalam khasanah tradisi, busana Jawa dibagi menjadi dua corak, yaitu corak Yogyakarta dan corak Surakarta. Kedua corak ini mempunyai ciri yang berbeda. Ciri-ciri ini berasal dari tradisi pakem Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta. Condronegoro (1995: 3) menyebutkan bahwa busana tradisi terutama yang dipakai pada upacara-upacara kerajaan merupakan suatu simbol, identitas yang terkait dengan hak dan kewajiban pemakainya. Busana tradisi mempunyai pengertian busana yang dipakai oleh masyarakat pada kurun waktu tertentu sesuai dengan budaya yang berkembang pada saat itu yang mengandung pandangan dan fungsi-fungsi tertentu yang digunakan secara terus menerus dari generasi ke generasi berikutnya. Busana tradisi dalam tulisan ini menunjuk pada busana yang dikenakan oleh raja, patih, beserta para menterinya, prajurit, dan para abdi dalem, serta rakyatnya. Dalam istilah busana tradisi terdapat istilah busana kebesaran. Busana ini untuk memperlihatkan wibawa serta keunggulan pemakainya. Apalagi apabila busana ini dilengkapi dengan perhiasan mewah dan mahal (Condronegoro, 1995: 3). Busana tradisi mempunyai paduan berupa perlengkapan busana seperti misalnya keris, kaos kaki, untaian bunga, dan sebagainya. Demikian pula dalam berbusana tradisional masyarakat Jawa memakai kain (Jawa) batik yang sesuai. Batik memiliki makna dalam menandai peristiwa penting dalam kehidupan, karena kain batik telah terjalin erat ke dalam lingkaran budaya hidup masyarakat (Kusnanto, 2013: 88). Di samping itu sebagai busana, kain batik digunakan sebagai jarit, sarung, kemben (penutup dada) sebagai busana tambahan batik digunakan sebagai selendang pundak, selendang gendong, serta ikat kepala atau udeng (Kusnanto, 2013: 89). Dalam busana tradisional perbedaan-perbedaan kecil pada busana tradisi seperti lebar ornamen pada baju, atau lebar garis pada dodot, menunjukkan derajat yang berbeda bagi pemakainya (Condronegoro, 1995: 3). Dalam pemakaian busana tradisi memerlukan teknik-teknik tertentu untuk pemakaiannya misalnya, untuk memakai kain panjang dengan draperi, untuk memakai kain berwiru membutuhkan teknik-teknik khusus (Ernawati, 1994: 20). Pengungkapan isi teks pada manuskrip-manuskrip yang berisi tentang busana tradisional berdasarkan tuturan yang ada dalam teks. Di samping itu, pengungkapan makna sangat bermanfaat bagi masyarakat umum maupun perias pengantin dan para pengembang busana tradisi. Hal itu disebabkan karena selama ini pathokan bentuk, wujud, dan pemakaian busana tradisi baik untuk kepentingan sehari-hari di Kraton berdasarkan keterangan para ahli dalam kraton. Rujukan yang berupa sumber tertulis masih belum banyak digunakan. Oleh karena itu, data tentang seluk beluk busana tradisi beserta bentuk, wujud, jenis, cara pemakaian, aturan-aturan pemakaian, sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Manuskrip-Manuskrip Busana Tradisi Jawa Dewasa ini manuskrip-manuskrip berisi busana tradisional Jawa tidak banyak dibandingkan dengan isi berupa piwulang, suluk, babad, dan cerita wayang, serta pengetahuan tentang jamu, maka manuskrip berisi busana tradisi masih sedikit. Pada inventarisasi manuskrip yang dilakukan berdasakan katalog Induk Naskahnaskah Nusantara Jilid 1 (Behrend, 1990), Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 2 (Lindsay, 1994), dan katalog manuskrip Jawa di Perpustakaan besar Surakarta 413 dan di Yogyakarta (Girarded, 1983) maka didapatkan 8 manuskrip yang memuat mengenai busana tradisi Jawa. Manuskrip-manuskrip tersebut terdapat pada kumpulan manuskrip yang berisi tentang peraturan dan tata krama, serta manuskrip yang ditulis secara khusus untuk pedoman cara memakai busana tradisi. Adapun manuskripmanuskrip tersebut adalah a) Pangangge Wadana Kliwon terdapat pada Kempalan Serat-Serat Pranata Ing Surakarta, b) Serat Palidrawa terdapat pada Serat AnggerAngger Tatakrama, c) Serat Tatakrama Kedaton, d) Platen Album dengan kode PBE 38, e) Tata cara Penganggen Abdidalem Keraton, f) Bab Dodotan, g) Catatan Kahartakan, h) Serat Tatakrama. Setelah dilakukan studi lapangan terhadap kesembilan manuskrip tersebut, maka terdapat empat buah manuskrip yaitu Kempalan Serat-Serat Pranata Ing Surakarta, Serat Palidrawa, Catatan Kahartakan, dan Serat Tatakrama yang berisi tentang busana tradisi Jawa tidak disajikan secara khusus hanya secara sepintas terdapat dalam satu kalimat dalam satu teks. Adapun Kelima manuskrip yang berisi tentang busana tradisi Jawa itu adalah Serat Angger-Angger Tatakrama, Serat Tatakrama Kedaton, Platen Album, Tata cara Penganggem Abdidalem Keraton, dan Bab Dodotan. Berdasarkan deskripsi manuskrip maka kelima naskah-naskah yang berisi busana tradisional tersebut masih dalam keadaan yang baik tidak terdapat kerusakan naskah dan tulisan dapat dibaca dengan jelas, diperkirakan naskah-naskah disalin pada jaman PB IV (1788-1820) dan PB V (1820 – 1823). Berdasarkan kajian tekstual pada Serat Angger-Angger Tatakrama teks ditulis dalam bentuk prosa. Teks busana tradisi diuntai dalam bentuk cerita, sedangkan Serat Tatakrama Kedaton ditulis dalam bentuk prosa teks busana tradisi ditulis dalam bentuk aturan-aturan yang tidak melalui untaian cerita. Platen Album juga ditulis dalam bentuk prosa, deskripsi teks ditulis dalam wujud busana dan aksesorisnya. Tata cara Penganggem Abdidalem Keraton berbentuk prosa deskripsi teks ditulis dalam pengetahuan tentang busana tradisi ditulis dalam bentuk cerita. Bab Dodotan berbentuk teks pengetahuan busana tradisi disampaikan dalam bentuk deskripsi secara jelas. Setelah dilakukan inventarisasi naskah ditemukan 5 naskah yang mengandung busana tradisional Jawa: Serat Angger-Angger Tatakrama Serat ini menceritakan tentang tatacara dan peraturan yang disebut juga Serat Paramasesa artinya menunjukkan tentang wewenang patih dan rakyat dalam menghadap raja. Patih mempunyai kewenangan untuk mengangkat pembantu yang berjumlah 4 orang yang disebut abdi jungkas walakas yang pangkatnya sama dengan lurah. Sejak zaman Kartasura abdi ini tinggal 2 orang. Teks selanjutnya diberi judul Serat Undhang-Undhang Awisan Dalem berisi perintah Kanjeng Susuhunan Pakubuwana kepada rakyatnya agar mematuhi aturan. Adapun aturan tersebut diantaranya adalah aturan pemakaian keris. Serat Tatakrama Kedhaton Serat Tatakrama Kedhaton tidak terdapat pembukaan teks. Dalam teks menceritakan aturan para abdi dalem yang sudah mendapat pangkat kawiryan. yang disebut Tata Para, artinya para abdi dalem yang sudah mempunyai pangkat. Teks berisi tentang penggunaan busana basahan, aturan dalam menggunakan kampuh, dan letak keris. Platen Album Platen Album menceritakan tentang a) tatacara memakai keris, serta wujud warangka wangkingan. Penggunaan sarung keris mempunyai tatanannya baik untuk 414 para golongan pangkat, prajurit, wanita, sampai para abdi dalem. Wujud warangka ada 4, yaitu warangka baranggah, warangka gayaman, warangka tanggalan, dan warangka bincihan. Warangka keris branggah digunakan bila menggunakan keprabon kampuhan. Warangka keris tanggalan dan warangka bincihan sering disebut palawijan, sehingga digunakan untuk pemaknaan sehari-hari. Para bendara pangeran apabila menggunakan busana keprajuriran menggunakan 2 keris, yaitu dengan jenis sarung keris branggah dan sarung gayaman. Abdi dalem bupati nayaka menggunakan busana keprajuritan sama dengan para bendara yang menggunakan 2 keris dengan jenis sarung keris yang sama. Perbedaannya sarung keris branggah tidak ada taburan batu intannya, bisa hanya dengan dibordir renda, selain itu, apabila yang menggunakan prajurit. Serat Tatacara Pengagem Abdi Dalem Kraton Pada Serat Tatacara Pengagem abdi dalem kraton tidak terdapat pembukaan teks dalam pembukaan, teks ditulis Serat Adat Tatacara Seperangkat Pakaiannya Abdi Dalem Panedhumantri di Kraton Dalem Surakarta yang sedang tidak melaksanakan pekerjaan wajibnya, seperti: apabila berada di rumah, bertamu, ataupun saat sedang hajatan atau melayat. Selanjutnya ditulis tentang busana dan aksesoris abdi dalem. Para panewu mantra, lurah bekel di dalam rumah pula tentang memakai jarik, batik sedangkan pasangannya, ada yang menggunakan sarung sanggan thete, sarung salekat menurut seleranya. Serat Bab Dodotan Serat Bab Dodotan, pada awal teks, dituliskan bahwa pada Hari Jumat tanggal 2 bulan Rabiulawal tahun Dal 1855, penulis yaitu Raden Tumenggung Purawadipura Bupati muda di Surakarta, menjelaskan aturan orang memakai dodot. Dodot rong lirang adalah dodot yang panjangnya dihitung dengan tujuh sapu tangan, sebanyak-banyaknya sembilan sapu tangan mori lebarnya, dijadikan lolo. Selanjutnya dijadikan satu arah seret, namanya dikampuh. Ujung yang satu sisi dibalenggi dan yang satu sisinya dipalidi. Busana Tradisional Jawa dalam Manuskrip-Manuskrip Jawa Berdasarkan kajian teks yang dilakukan terhadap manuskrip-manuskrip yang berisi busana tradisional Jawa, maka dapat dideskripsikan jenis-jenis busana untuk Kanjeng Gusti Adipati Anom, busana untuk para bendara pangeran, busana untuk abdi dalem bupati nayaka, busana untuk abdi dalem bupati kapten, busana untuk penewu mantra, busana untuk panji prajuritan, busana jajar ketanggung dan nyutra, busana untuk wadana agung kumendan, busana untuk kapten yaitu abdi dalem bupati anom, busana untuk prajurit wirabraja, busana untuk abdi dalem prajurit daeng, busana untuk abdi dalem prajurit prawiratama pangkat panji, busana untuk abdi dalem prajurit prawiratama pangkat sersan medhak, busana untuk abdi dalem prajurit prawiratama menabuh tambur, peniup terompet dan suling, busana untuk abdi dalem prajurit jagakarya, busana untuk abdi dalem prajurit pangkat panji, busana untuk abdi dalem prajurit pangkat sersan dan bawahannya, busana untuk abdi dalem prajurit pangkat sersan dan bawahannya pangkat jajar, busana untuk abdi dalem pangkat sersan, busana untuk abdi dalem sersan tumedhak abdi dalem prajurit nyutra pangkat panji, busana untuk abdi dalem pangkat sersan penabuh tambur dan jajarannya, busana untuk abdi dalem prajurit nyutra pangkat panji, busana untuk abdi dalem prajurit ketanggung pangkat panji, busana untuk abdi dalem prajurit pangkat sersan sampai jajar, busana untuk abdi dalem prajurit penabuh 415 tambur, peniup terompa, benda, tukang ketipung, tukang kecer, busana untuk penombak, busana untuk abdidalem prajurit mantra lebet, busana abdi dalem prajurit langenastra, busana prajurit pangkat wedana sampai lurah, busana untuk prajurit pangkat brigadir sampai bawahannya, busana untuk abdi dalem prajurit wiji sumaatmaja, dan busana untuk abdi dalem prajurit kawedanan. Dalam makalah ini akan dideskripsikan busana untuk kanjeng gusti adipati anom, busana untuk para bendara pangeran, busana untuk abdi dalem bupati nayaka, abdi dalem bupati kapten, abdi dalem bupati anom, abdi dalem prajurit wirabraja, prajurit daeng, wedana ageng kumendan. Di bawah ini dipaparkan tabel untuk jenis busana, deskripsi busana, perangkat busana, cara memakai, dan acaranya. Tabel 1. Busana untuk Kanjeng Gusti Adipati Anom No 1. Jenis Busana Prajuritan Deskripsi Busana Pakaian kerajaan saat ada acara di kerajaan Perangkat Busana Cara Memakai Mahkota berci hitam, seperti songkok, sikep hitam, kamus, nyampingan sapit urang, lancingan panji-panji, bludru hitam, sepatu hitam, wangkingan (duwung) 2 biji yang warangka branggah, anggar satu bentuk warangka gajaman pakaian Dalem kamus jatuh di luar baju, nyampingan sapit urang, wangkingan (duwung) 2 biji yang diselipkan satu bentuk warangka branggah, yang dipakai anggar satu bentuk warangka gajaman dan terkadang letak sarungan yang hanya bagian, yang disebut nganggar tadi menggantung jatuh dibagian tangan kiri, yang diselipkan jatuh dibagian tangan kanan. Dalam Acara Kirab Dalem Tabel 2. Busana untuk Para Bendara Pangeran No 1. Jenis Busana Prajuritan Deskripsi Busana Pakaian kerajaan saat ada acara di kerajaan Perangkat Busana Cara Memakai Wangkingan 2 biji baranggah dan gayaman, anggar dibuat dari dasar laken dan bludru hitam, diberi bathokan kuning, suwasa (logam campuran emas dengan tembaga), ditaburi batu intan. destaran bathik dasar hitam dan putih, songkok laken hitam berbordir, baju sikepan balenggen, memakai kamus berbordir, sabuk cinde dengan menggunakan wangkingan 2 biji, yang satu sarungan (warangka) branggah, penggunaanya diselipkan di bagian kanan tetapi agak miring, yang satu sarungan berwujud gayaman, ronjok bagian tempat sarungan, memasangnya pengguna dianggar yaitu jatuh kedepan menggantung dan miring kekiri, wujud dari anggar tadi, dibuat dari dasar laken dan 416 Dalam Acara Kirab Dalem No Jenis Busana Deskripsi Busana Perangkat Busana Cara Memakai bara, nyampingan sapit urang, memakai kaos kaki, sepatu, bludru hitam, diberi bathokan kuning, suwasa (logam campuran emas dengan tembaga), ditaburi batu intan. Memakai kamus berbordir, penggunaannya di luar baju, sabuk cinde dengan bara. Dalam Acara Tabel 3. Busana untuk Abdi dalem Bupati Nayaka No 1. Jenis Busana Prajuritan Deskripsi Busana Pakaian kerajaan saat ada acara di kerajaan Perangkat Busana Sama dengan Para Bendara Pangeran yang membedakannya adalah duwung yang sudah dianggar tadi, kecuali dasar gayaman hanya tidak ada taburan batu intannya, bisa juga hanya diboldir dengan renda, dengan wujud anggarannya tadi dengan dasar sarungan baranggah. Cara Memakai Duwung yang sudah dianggar tadi, kecuali dasar gayaman hanya tidak ada taburan batu intannya, bisa juga hanya diboldir dengan renda, dengan wujud anggarannya tadi. Dan dengan dasar sarungan baranggah, juga diselipkan tetapi dibelakang bagian kanan agak miring. Dalam Acara Kirab Dalem Tabel 4. Busana untuk Abdi dalem Bupati Kaptin No 1. Jenis Busana Prajuritan Deskripsi Busana Pakaian kerajaan saat ada acara di kerajaan Perangkat Busana Cara Memakai Hanya menggunakan satu duwung yaitu warangka baranggah. Bebedan (menggunakan kain panjang untuk lakilaki), dengan tudung songkok (tudung kepala yang bagian belakangnya terbuka) dasar laken hitam palisir renda, baju singkepan balenggen dasar laken hitam, kamus bludiran, penggunaannya di luar baju, celana panji-panji dasar laken hitam, Karena menggunakan kuda (kapal), dalam penggunaan duwung hanya satu, berwujud sarungan (warangka) baranggah, posisi penggunaan diselipkan dibelakang dengan diputar, lirunya duwung anggaran yaitu menggunakan sabet (pedang) slarakan. 417 Dalam Acara Menuju menggunak an prajuritan gladi bersih. No Jenis Busana Deskripsi Busana Perangkat Busana Cara Memakai Dalam Acara menggunakan kaos kaki, sepatu warna dasar hitam, naik kuda, mandhe sabet (pedang) Tabel 5. Busana untuk Kaptin yaitu abdi-dalem Bupati-anom No 1. Jenis Busana Keprabon Deskripsi Busana Pakaian kerajaan saat ada acara di kerajaan Jenis Busana Prajuritan Deskripsi Busana Pakaian kerajaan saat ada acara di kerajaan Perangkat Busana Cara Memakai Memakai kuluk putih, sikepan balenggen, kampuhan memakai moga, celana pendek, memakai duwung warangka Branggah, dan juga membawa teken, dasar kayu. Memakai duwung warangka Branggah, memakainya di belakang terselip bagian kiri, agak mepet. Dalam Acara Garebeg Tabel 6. Busana untuk Prajurit Wirabraja No 1. Perangkat Busana Cara Memakai Memakai udeng wulung, topi merah dengan laken berenda, pakaian singkepan sangkelat merah pinalisir renda, dengan kotang putih, sabuk cinde, memakai bara, celana sangkelat merah panji-panji, kaos kaki putih, sepatu hitam, memakai duwung dua yaitu baranggah dan gayaman. Panjinya membawa sabet (pedang), slarakan, jika yang membawa bendera duwungnya hanya satu yaitu warangka branggah. Jika yang membawa senjata (pistol), dan yang membawa woas (tombak), juga menggantungkan duwung semua. Jika pangkat jajar udengnya berwarna putih (abu-abu), topi Duwungnya dua, yang branggah diselipkan di belakang bagian kanan, yang gayaman dicote di depan bagian kanan, juga memakai rangkaian bunga melati, Panjinya membawa sabet (pedang), slarakan, jika yang membawa bendera duwungnya hanya satu yaitu warangka branggah, dipakai dengan digantungkan jatuh kebelakang bagian kanan. Jika yang membawa senjata (pistol), dan yang membawa woas (tombak), juga menggantungkan duwung semua, kemudian tombaknya juga ......, diberi rangkaian bunga. 418 Dalam Acara Garebeg No Jenis Busana Deskripsi Busana Perangkat Busana Cara Memakai Dalam Acara dan pakaiannya. pemakaiannya Jajar, sayaknya berwarna putih diwiru semua. Tabel 7. Busana untuk Abdidalem prajurit Daeng No 1. Jenis Busana Prajuritan Deskripsi Busana Pakaian kerajaan saat ada acara di kerajaan Perangkat Busana Cara Memakai memakai topi jangkangan dasar laken hitam, dengan renda, bulu-bulu dasar putih, jatuh di samping kanan, udeng wulung, pakaian sikepan laken putih pinalisir direnda, kotang putih, memakai sabuk bara dasar cinde, celana panjang dasar laken putih, memakai setrip merah, sepatu hitam, Panji memakai 2 duwung yaitu baranggah dan gayaman. Memakai sabet (pedang) slarakan, sajak putih, sarempang rangkaian bungan melati, memakai kaos tangan dasar putih. Yang membawa bendera, duwung hanya satu. Yang membawa senjata serta waos juga sama, hanya topinya dasar dasar cucal (lulang) kehitaman, pakaiannya bagian tangan dengan pinalisir laken merah. Dua duwung, yang branggah diselipkan jatuh kebawah belakang, yang gayaman dicote di depan bagian kanan. Yang membawa bendera, duwung hanya satu diselipkan di belakang bagian kanan dasar rangka branggah. Yang membawa bende ketipung, kecer, ..................................., pemakaian gayaman dianggar, jatuh kekanan, yang branggah diselipkan di belakang bagian kanan, udeng kayu. Dalam Acara Garebeg Tabel 8. Busana untuk Wadana-ageng Kumendan No 1. Jenis Busana Keprabon Deskripsi Busana Pakaian kerajaan saat ada acara di kerajaan Perangkat Busana Keprabon cara Belanda, dasar hitam yaitu yang disebut mentering ageng, hanya tidak memakai duwung, hanya memakai sabet (pedang) slarakan, 419 Cara Memakai Dalam Acara Menuju datang sowan, seperti jika menuju ke hari Garebeg. No Jenis Busana Deskripsi Busana Perangkat Busana Cara Memakai Dalam Acara dalam memasang sabet di bagian kiri. Manuskrip yang berisi busana tradisional Jawa tersebut ditulis pada masa PB IV dan V. Pada komposisi perangkat busana tampak adanya perangkat yang berbeda pada busana yang dipakai oleh putra mahkota dan putra-putra raja yang berasal dari selir. Seperti diketahui bahwa putra sulung laki-laki Susuhunan dengan permaisuri setelah dewasa bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram (Margana, 2010: 4) atau sering disebut Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom. Sementara itu, gelar putra sulung laki-laki raja dari selir setelah dewasa bergelar bendara Kanjeng Pangeran Hangabehi (Margana, 2010: 4). Perangkat busana untuk putra mahkota menggunakan mahkota berci hitam, sementara untuk putra selir menggunakan songkok laken hitam berbordir. Busana putra mahkota adalah sikepan hitam sementara untuk bandara memakaidestaran batik dasar hitam atau putih dengan busana sikepan balenggen. Sedangkan busana untuk para abdi dalem bupati nayaka hampir sama dengan busana dan perangkat para bendara pangeran, yaitu pemakaian keris. Pada bupati nayaka keris tidak bertabur batu intan hanya dibordir dengan renda. Dari varian busana dan perangkatnya busana untuk Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom dan para bendara pangeran tidak begitu tampak berbeda. Hal itu menandakan pandangan masyarakat keraton yang sangat menghormati generasi penerus keturunan raja. Sementara perbedaan dengan busana abdi dalem bupati nayaka hanya dari hiasan intan yang terdapat pada kerisnya saja. Sementara, busana untuk wedana ageng kumendan tampak adanya pengaruh kompeni yang sangat kuat. Disebutkan dalam manuskrip bahwa busana keprabon seperti Belanda yang disebut mentering ageng. Mentering merupakan seragam khusus untuk pesiar (http://setyaningsihmoerwengdyah.blogspot.co.id/2012/08/seni-tata-busana.html.) Busana tersebut dilengkapi dengan pedang. Busana untuk kelompok abdi dalem yang bupati nayaka, abdi dalem bupati kapten, dan busana abdi dalem bupati anom yang disebut kaptin tidak begitu tampak perbedaan secara mencolok hanya variasi busana dan perangkatnya yang berbeda. Dalam teks Platen Album Jilid II disebutkan bahwa yang disebut busana prajuritan adalah busana yang dipakai untuk menjemput kedatangan gubernur dan upacara kirab. Sementara Condronegara (1995: 30) menyebutkan bahwa busana kebesaran yang digunakan untuk upacara ageng yaitu kegiatan berupa sunatan, perkawinan, garebeg, tingalan dalem tahunan, jumenengan dalem, agustusan, serta sedan (pemakaman jenazah). Busana raja disebut sebagai busana keprabon. Busana keprabon diperuntukkan bagi para putra Sultan atau putra dalem. Namun dalam teks ini busana keprabon juga diperuntukkan bagi busana untuk kapten dan busana untuk wadana ageng kumendan. Hal itu dimungkinkan karena jabatan tersebut mengait kuat dengan kompeni. Seperti diketahui bahwa Belanda telah mempengaruhi seluruh kekuatan kerajaan di Jawa termasuk zaman Kasunanan Surakarta. Karena pengaruh yang sangat kuat tersebut, maka raja atau abdi yang diperintah mengembangkan busana tradisional menyesuaikan dengan budaya kompeni. Demikian pula jabatan tersebut diberi corak busana tersendiri yang masuk pada golongan busana keprabon. Busana keprabon menggunakan busana dodotan atau kampuhan. Menurut Condronegara (1995: 30) busana dodotan merupakan rangkaian busana yang terdiri dari 420 kuluk dengan hiasan mundri atau nyamat, kampuh konca satunggal, celana cinde gubeg, maga, renda bewarna kuning, pethat jeruk sak ajar, rante, karset, kamus, timang atau kreteg, dan keris branggah. Deskripsi secara jelas dalam teks terkait dengan corak yang digunakan tidak terlihat sementara hal itu bisa menjadi penunjuk strata sosial. Demikian pula, lebar ornamen yang menjadi bagian kelengkapan busana bisa menunjukkan keturunan permaisuri atau selir. Lebar sulaman benang emas menunjukkan jati diri pemakainya. Adapun busana prajurit dalam teks tersebut mempunyai corak yang berbeda dengan busana keprabon. Busana prajurit mengesankan kekuatan dan bersifat seragam. Kesan yang tampak dari busana keprajuritan ini adalah keperkasaan, kedisiplinan, dan kesigapan. Kesimpulan Sastra Jawa lama mengandung kearifan lokal. Salah satu kearifan lokal tampak pada busana tradisional. Manuskrip-manuskrip Jawa yang mengandung busana tradisional Jawa tidak banyak ditemukan. Terdapat 5 manuskrip yang berisi busana tradisional Jawa. Manuskrip-manuskrip Jawa yang berisi busana tradisional Jawa adalah produk karya sastra zaman Pakubuwana ke IV. Oleh karena itu, busana tradisional Jawa yang dituliskan dalam manuskrip-manuskrip tersebut bisa dijadikan acuan bagi corak busana tradisional Jawa pada masa kini. Untuk menguak sastra Jawa lama berupa manuskrip-manuskrip Jawa diperlukan pendekatan filologi dengan terlebih dahulu melakukan inventarisasi, deskripsi, transliterasi, dan terjemahan. Busana tradisional Jawa yang dituliskan dalam manuskrip tersebut meliputi busana keprabon dan busana keprajuritan. Busana keprabon untuk putra mahkota dan putra raja dengan selir tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Dari kajian terhadap busana tradisional yang terdapat pada manuskrip-manuskip Jawa tampak adanya kenyataan sejarah berupa hubungan yang sangat dekat antara kompeni dengan kraton. Pengaruh tersebut misalnya tampak pada dimunculkannya busana tradisional untuk kapten dan wadana kumendan. Kearifan masyarakat Jawa terkait dengan kedudukan kraton dan raja tampak dengan dirancangnya busana yang mempunyai motif-motif dan perlengkapan yang mempunyai makna sesuai dengan jabatan yang melekat pada orang yang memakai busana tersebut. Daftar Rujukan Behrend, T.E., Katalog Judul Naskah-naskah Nusantara Jilid I dan V, Museum Sanabudaya Yogyakarta, Jakarta: Djambatan, 1990. Burhan, Nurgiyantoro. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Condronegoro, Mari S. 1995. Busana Adat Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Ernawati dan Edi S. 1995. Buku Pintar Perempuan. Jakarta: Bina Mulya. Girarded, Nikolaus dan Susanto,. Descriptive Catalogue Of The Javanese Manuscripts and Printed books in the main Libraries of Surakarta and Yogyakarta, Weisbadan: Franz Steiner Verslag GMBH, 1983. Harti Widyastuti, Sri. 2015. Busana Tradisional dalam Manuskrip-Manuskrip Jawa. LPPM Universitas Negeri Yogyakarta. 421 Karsono H Saputra. 2008. Pengantar Filologi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Kray. SM. Anglingkusomo. 2012. Seni Tata Busana. (http://setyaningsihmoerwengdyah.blogspot.co.id/2012/08/seni-tatabusana.html.) Kusnanto, Adi. 2013. Batik Filosofi, Motif, dan Kegunaan. Yogyakarta: C.V Andi Offset. Lindsay, Jennifer, R. M. Soetanto, dan Alan Feinstein. 1994. Katalog Naskah-naskah Nusantara: Kraton Yogyakarta Jilid 2. Jakarta: Djambatan. Margana, S. 2010. Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pustakawara, tt, 2008. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 422 TOKO BUKU, PAMERAN BUKU, DAN PERPUSTAKAAN DALAM SIRKULASI SASTRA DI SUMATERA BARAT Sudarmoko Abstrak: Dalam kajian sastra Indonesia, penelitian mengenai peran dan fungsi toko buku dan perpustakaan dalam penyebaran gagasan dan pengaruh antar budaya masih sedikit dilakukan. Toko buku yang ada di Sumatera Barat, dari segi kepemilikannya, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu jaringan toko buku nasional Gramedia yang dimiliki oleh pihak luar dan sejumlah toko buku lokal yang dimiliki oleh para pengusaha dari Sumatera Barat sendiri, seperti Sari Anggrek. Kedua jenis toko buku ini memiliki perbedaan dalam fokus kegiatannya dan karena itu memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Demikian juga dengan pameran buku biasanya dilakukan oleh asosiasi, penerbit, atau distributor buku yang ada di Sumatera Barat, dan dalam banyak kesempatan didukung oleh pemerintah daerah. Sementara perpustakaan terdiri dari perpustakaan daerah, lembaga pendidikan, komunitas, dan koleksi pribadi yang terbuka untuk umum. Di perpustakaan ini juga dapat dilihat kegiatan penyebaran gagasan dan karya sastra, yang ikut memengaruhi perkembangan kesusasteraan di Sumatera Barat. Makalah ini mencoba untuk meninjau peran toko buku, pameran buku, dan perpustakaan di Sumatera Barat, dalam kaitannya dengan perkembangan pengaruh, dialog, dan persentuhan antara wacana daerah atau negara lain yang dibawa oleh karya sastra dan buku-buku lain terhadap perkembangan kesusasteraan dan kebudayaan di Sumatera Barat, dan sebaliknya. Pendahuluan Distribusi dan sirkulasi karya sastra memiliki arti dan peran penting dalam usaha meneliti kesusastraan, terutama dalam kajian sosiologi sastra. Bila kita melacak kembali praktik distribusi dan sirkulasi sastra ini, Balai Pustaka menjadi salah satu contoh utama. Sebagaimana ditulis Teeuw (1972: 8), “Sesungguhnya salah satu fungsi utama Balai Pustaka, semasa periode sebelum perang, adalah produksi dan distribusi kekayaan sastra tradisional di antara orang-orang Hindia Belanda.” Fungsi Balai Pustaka ini dijalankan melalui praktik monopoli dan hegemoni, berkat kekuasaan pemerintahan yang dipegangnya, terhadap pembersihan jalur taman bacaan, perpustakaan sekolah, di hilir upaya ini, dan pada seleksi naskah dan penerbitan di hulunya. Demikian juga dengan pendirian Balai Pustaka sendiri oleh pihak penjajah Belanda, merupakan satu cara untuk mengontrol dan menyensor bahan bacaan yang beredar luas di masyarakat pada masa itu (Balfas, 196?: 2). Bagaimanapun juga, distribusi dan sirkulasi buku melalui jalur profit dan non profit, seperti toko buku, pameran buku, dan perpustakaan mempunyai hubungan yang erat dengan pembaca, karena dari jalur inilah pembaca mendapatkan buku-buku yang dibeli, dipinjam, atau dibaca di tempat. Ditambah lagi, pembaca juga ditentukan oleh tingkat pendidikan, keberaksaraan, dan ekonomi untuk mendapatkan dan mengakses buku. Kondisi pembaca dan pembeli buku di Indonesia, dalam pandangan Garcia (2006: 184) memang menyedihkan. Garcia menulis, “Menyedihkan, bahwa orang Indonesia tidak membaca buku-buku berbahasa Indonesia. Budaya membaca masih rendah. Perpustakaan hanya sedikit, buku-bukunya berdebu dan 423 berjamur. Jumlah 98 persen tingkat keberaksaraan anak-anak muda Indonesia tidak mengatakan seluruh cerita yang ada. Keseluruhan tingkat keberaksaraan malah lebih rendah, 84 persen. Dan setengah dari jumlah penduduk keluar dari sekolah antara umur 15 dan 19 tahun (BPS 2002: 103). Empatpuluh lima persen dari judul buku yang diterbitkan pada tahun 2004 datang dari hanya satu konglomerat penerbitan, Gramedia. 55 persen yang lain merupakan terjemahan (Suwarni 2004: Y09 2005). Meskipun demikian, budaya baca sedang meningkat, disebabkan sebagian besarnya karena penerbitan Indonesia lebih bebas dibanding ketika di bawah rezim Orde Baru Suharto.” Persaingan antara toko buku juga menjadi satu keniscayaan. Apa yang terjadi di Sumatera Barat, dapat diperbandingkan dengan kasus yang diungkap oleh Jen Li (2010: 247-262) tentang persaingan toko buku independen dan toko buku berjaringan dan penjualan online di Sydney, Australia. Toko buku independen memiliki karakteristik yang lebih mengakomodir karya-karya yang terbit di daerah dimana toko itu berada, dan juga melibatkan diri dalam kehidupan sastra di tempat tersebut. Di Sumatera Barat, toko buku independen dapat dilihat dari keberadaan Sari Anggrek, dan toko buku berjejaring melalui keberadaan Gramedia. Jika diteliti lebih jauh, keberadaan toko buku sebenarnya dapat menunjukkan secara keseluruhan proses penerbitan dan percetakan, bagaimana buku dihasilkan, jumlah oplah dan pembaca, pendidikan, dan tidak melulu sebagai usaha bermodal yang keuntungannya dapat menutup modal dalam waktu yang lama (McElligot, 2013:135). Toko Buku di Sumatera Barat: Pengaruh, Kepemilikan, dan Kebanggaan Toko buku menjadi salah satu media distribusi karya sastra yang diterbitkan. Sebagai sebuah media, terdapat beberapa kepentingan atau pihak yang terlibat di dalam system yang dibangun di toko buku. Di antaranya adalah penerbit, distributor, karya sastra sebagai produk industri, manajemen toko buku, pembaca atau pembeli, dan penulis. Keberadaan karya sastra di toko buku dapat dikatakan berada di tempat yang penting. Setelah sebuah karya sastra ditulis, dicetak dan diterbitkan, karya sastra tersebut akan menghampiri pembaca. Salah satu media perjalanan karya sastra itu adalah toko buku. Karya sastra yang sudah diterbitkan menjadi buku, akan dibeli oleh pembaca. Dalam lingkup yang lebih luas, keberadaan toko buku dan sistem yang ada di dalamnya memiliki peran dan fungsi, pertarungan ekonomis dan sosial, penyebaran gagasan, dan peristiwa sastra, terutama di tempat toko buku itu berada. Di Sumatera Barat, terdapat dua buah toko buku besar yang dapat dikatakan memiliki pasar bagus dan bertahan cukup lama, yaitu Gramedia dan Sari Anggrek. Gramedia merupakan jaringan toko buku besar di Indonesia, yang dimiliki oleh kelompok usaha Kompas-Gramedia. Toko buku Gramedia di Padang terletak di Jalan Damar no 63. Jalan Damar merupakan salah satu jalur utama di Kota Padang. Bahkan sebelumnya tidak jauh dari Jalan Damar ini terletak terminal bus antar kota/ antar provinsi, yang menjadikan letak Gramedia berada pada posisi yang strategis bagi pengunjung. Sementara toko buku Sari Anggrek terletak di Jalan Permindo 61-63. Lokasi ini juga cukup strategis, di sudut jalan kompleks pertokoan, yang menjadi jalur utama angkutan kota menuju Pasar Raya Padang. Buku-buku yang dijual di kedua toko buku ini memiliki perbedaan. Toko buku Sari Anggrek yang didirikan oleh Azhar Muhammad (biasa dipanggil Pak Haji) pada tahun 1955 ini berisi buku-buku agama, karya sastra klasik, buku-buku pelajaran, dan buku-buku terbitan penerbit di Sumatera Barat. Gramedia, di sisi lain, menyediakan 424 buku-buku yang diterbitkan terutama sekali oleh kelompok penerbitan KompasGramedia dan penerbit-penerbit lain yang disalurkan melalui distributor besar. Sari Anggrek menjadi sebuah toko buku kebanggaan bagi masyarakat Padang dan Sumatera Barat. Toko buku ini telah berpartisipasi dalam berbagai kegiatan perbukuan, baik di tingkat provinsi Sumatera barat maupun di tingkat nasional. Toko buku ini pada awalnya memiliki cabang yang juga berada di jalan Permindo dan di Bukittinggi. Karena dimiliki oleh pengusaha lokal dan menjadi bagian dari masyarakat Sumatera Barat, toko buku ini memberi perhatian yang besar pada dunia perbukuan dan kepenulisan di Sumatera Barat. Selain menampung buku-buku karya penulis dan penerbit Sumatera Barat, Sari Anggrek juga memberikan dukungan pada aktivitas yang berkaitan dengan kepenulisan, penerbitan, dan perbukuan. Sari Anggrek turut menjadi sponsor kegiatan-kegiatan akademik dan kepenulisan, seperti workshop kepenulisan, peluncuran buku, aktivitas sastra dan kesenian, yang diadakan baik oleh mahasiswa di berbagai perguruan tinggi, lembaga kesenian, dan komunitas sastra. Bagi dunia penerbitan, Sari Anggrek memiliki unit usaha penerbitan bernama Anggrek Media.96 Anggrek Media merupakan salah satu anggota aktif dan pertama dari IKAPI cabang Sumatera Barat. Dalam perjalanan toko buku dan dunia perbukuan, Sari Anggrek telah ikut serta dalam mendukung, mensponsori, dan terlibat aktif dalam penyelenggaraan pameran buku di tingkat nasional dan lokal. Misalnya saja, dalam pameran buku nasional IKAPI 1981, Sari Anggrek menjadi salah satu sponsor kegiatan ini. Demikian juga dengan pameran-pameran buku yang diadakan di Padang, Sari Anggrek terlibat langsung dalam mensponsori dan mendukung kegiatannya. Gramedia mendirikan cabang usaha bisnis toko buku di Padang pada tahun 1980. Toko buku yang terdiri dari tiga lantai ini menjual buku, di lantai dua dan tiga, dan peralatan kantor, olah raga, mainan anak-anak, barang elektronik, serta olah raga, di lantai satu. Konsep penyediaan barang non buku di toko di samping untuk menarik jumlah pengunjung juga untuk menambah pemasukan yang lebih besar daripada hanya menjual buku. Buku-buku yang disediakan terdiri dari beragam jenis, mulai dari komik, novel remaja, buku-buku bacaan dan referensi akademik, kamus, disain, karya sastra, filsafat, hingga film-film dalam bentuk cd dan dvd. Buku-buku yang dijual di Gramedia terutama sekali adalah terbitan penerbit yang tergabung dalam kelompok Kompas Gramedia (Grasindo, Buku Kompas, Elex Media Komputindo, Gramedia Pustaka Utama), dan dari penerbit lain yang disalurkan melalui distributor yang terdaftar pada jaringan Gramedia. Berbagai penerbit, terutama di pulau Jawa, memiliki jaringan distribusi ini. Dengan demikian, buku-buku yang tersedia di toko buku Gramedia lebih banyak yang diproduksi oleh penerbit luar Sumatera Barat, dibandingkan dengan penerbit dari Sumatera Barat. Sari Anggrek sebagai toko buku yang dimiliki oleh pengusaha lokal tidak tergantung pada jalur distribusi buku seperti Gramedia. Buku-buku yang dijual di toko buku ini juga berbeda dalam hal jenis bacaan dan penerbit dibanding Gramedia. Dalam beberapa kali kunjungan ke toko buku ini, saya menemukan buku-buku yang sudah cukup lama berada di rak buku, dalam jumlah beberapa eksemplar, dan bahkan tertutup 96 Penebit ini telah menerbitkan sejumlah buku seperti Tangan Tuhan di Detik-detik Terakhir (Suheimi, 2005), Kamus Umum Bahasa Minangkabau-Indonesia (Abdul Kadir Usman, 2002), Dr. H.K. Suheimi, Sp.O.G.K. FER. MBA: Menjawab Seputar Seks dan Kesehatan (Suheimi dan Suharizal (eds.), 2003), Nurhama: Lima Puluh Petuah Hidup (Suheimi, Miko Kamal, dan Suharizal, 2002), Fatamorgana Kehidupan (Suheimi, Miko Kamal, dan Suharizal, 2002). 425 oleh buku yang lebih baru. Selain buku-buku terbitan luar Sumatera Barat yang diedarkan oleh distributor, toko buku ini mengakomodir buku-buku yang diterbitkan oleh sejumlah penerbit di Sumatera Barat, dan penerbit luar yang dititipkan oleh penulisnya. Jika merujuk pada data sejarah perkembangan toko buku, pada masa-masa awal kemerdekaan, di Sumatera Barat terdapat sejumlah toko buku. Menurut catatan panitia Pekan Buku Indonesia yang diadakan oleh Gunung Agung (1954), terdapat 72 toko buku di seluruh Sumatera Barat, yang meliputi Air Bangis (1), Batu Sangkar (4), Bukittinggi (14), Padang (22), Padang Panjang (9), Painan (1), Payakumbuh (14), Pariaman (1), Sawahlunto (3), Sicincin (1), Solok (1), dan Sungai Dareh (1). Jumlah toko buku ini memang termasuk banyak dan memiliki sebaran yang lebih merata dibandingkan dengan kondisi saat ini. Dilihat dari jumlah tersebut, sirkulasi dan distribusi bahan-bahan bacaan dapat mencapai daerah yang luas, dengan pangsa pasar yang lebih beragam. Toko buku di daerah-daerah ini menjadi salah satu sarana utama dalam menyebarkan dan membentuk gagasan-gagasan yang disampaikan melalui buku. Kebutuhan akan bahan bacaan, terutama yang bertema agama dan budaya bagi masyarakat yang tinggal di daerah yang jauh dari kota sangat tinggi. Pameran Buku Pameran buku menjadi salah satu media yang dapat mendekatkan buku, penerbit, penulis, dan pembaca. Selain memamerkan dan menjual buku-buku dengan harga lebih murah, sebagai ajang promosi buku dan penerbit, pameran buku juga biasanya diisi dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan dunia perbukuan, penulisan, dan keberaksaraan. Sebagai contoh, dalam pameran buku Padang Book Fair yang diadakan oleh IKAPI pada tahun 2012 pada 3-11 November 2012 di halaman RRI Padang, diadakan acara pemilihan Uda dan Uni buku Sumbar 2012, lomba mading, lomba baca puisi, mewarnai, menggambar, penulisan karya sastra, dan bedah buku.97 Demikian juga dengan pameran buku 2005 yang diadakan 23-25 Juli 2005, berisi dengan acara pameran dan lomba. Di antara kegiatan yang diadakan adalah pameran lembaga pendidikan, loma menulis cerpen, lomba menulis artikel, lomba menggambar dan mewarnai, lomba pantun, dan temu penulis.98 Penyelenggara utama pameran buku di Sumatera Barat adalah IKAPI, yang didukung oleh toko buku, perusahaan daerah, media massa, dan perusahaan-perusahaan. Dua tempat yang selalu menjadi pilihan pelaksanaan pameran buku adalah Gedung Bagindo Aziz Chan dan di gedung dan halaman RRI Padang di Jalan Sudirman, Padang. Kedua tempat ini memiliki ruang yang cukup luas dan representatif, serta berada di jalan protokol yang dapat dengan mudah dijangkau oleh masyarakat dari berbagai daerah. Pameran buku selalu diikuti oleh para penerbit dari berbagai daerah di Indonesia, baik penerbit buku-buku umum maupun pelajaran sekolah. Pameran buku yang pernah diselenggarakan di Padang memiliki fokus yang berbeda-beda, yang sebagian besar disebabkan oleh jenis dan jumlah penerbit yang memiliki ketertarikan dalam tema tertentu, seperti buku-buku bertema agama, pelajaran sekolah, buku panduan teknologi tepat guna, atau sastra dan sosial. 97 Untuk informasi mengenai Padang Book Fair 2012 lihat https://padangbookfair.wordpress.com/ (diakses 7-9-2015). 98 Informasi mengenai pameran buku 2005 lihat http://padangbookfair2005.blogspot.nl/ (diakses 7-9-2015). 426 Perpustakaan di Sumatera Barat Perpustakaan sudah menjadi program yang lama dalam pemerintahan, baik di masa penjajahan maupun setelah kemerdekaan. Perpustakaan atau Taman Pustaka yang ada di Sumatera Tengah, termasuk Sumatera Barat, menurut catatan hingga Maret 1952 sebanyak 208 buah. Taman Pustaka ini ditujukan kepada masyarakat umum sebagai tempat bacaan kaum dewasa yang sudah lepas dari masa sekolah. Pembagiannya adalah untuk kategori Pengantar sebanyak 104 buah dengan koleksi 6373 buah buku, kategori Rendah (A) sebanyak 89 tempat dengan 11485 koleksi buku, kategori Menengah (B) 14 buah dengan 14775 buah koleksi buku, dan kategori Tinggi (C) sebanyak 1 buah dengan 5459 koleksi buku (Republik Indonesia Sumatera Tengah, 1954: 829). Saat ini, di Sumatera Barat terdapat dua perpustakaan milik pemerintah yang cukup representatif, yaitu perpustakaan provinsi yang terletak di Jalan Diponegoro 4 Padang yang hingga tahun 2013 tercatat memiliki 191.391 buah koleksi buku, naskah, dan rekaman, dan Perpustakaan nasional Bung Hatta yang berada di Bukit Gulai Bancah Bukittinggi, dengan koleksi 110.000 eksemplar buku pada tahun 2011.99 Selain itu, sejak 2008, setiap pemerintah kabupaten/kota harus memiliki perpustakaan dan badan arsip. Pengadaan buku-buku perpustakaan daerah didanai oleh APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), termasuk kegiatan atau program kegiatan dan pengelola perpustakaan. Namun demikian, kondisi perpustakaan pemerintah di kabupaten/kota ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap bahan bacaan, dan kegiatan-kegiatan yang diadakan masih terbatas. Di berbagai perpustakaan inilah masyarakat luas dapat meminjam dan membaca buku-buku yang diperlukan. Berbagai kategori bacaan yang disediakan oleh perpustakaan daerah provinsi, termasuk biografi, matematika, agama, manajemen, geografi, iptek, ensiklopedia, ekonomi, biologi, fisika, kimia, pengetahuan umum, politik, perikanan dan pertanian, peternakan, kedokteran, dan hiburan anak dan remaja yang memasukkan karya sastra sebagai bagian terakhir ini. Pada pengadaan tahun 2012, dua kategori yang berisi karya sastra di dalamnya adalah Minangkabausiana (100 judul buku) dan hiburan anak dan remaja yang mencakup karya sastra sebanyak 325 buah judul buku. Kategori ini menambah paling banyak judul buku yang dibeli dan disediakan di perpustakaan daerah Sumatera Barat. Beberapa lembaga atau kantor pemerintah juga memiliki perpustakaan yang dapat dikunjungi oleh masyarakat umum. Lembaga atau kantor ini umumnya yang memiliki ruang lingkup kerja dalam bidang penelitian dan pengembangan ilmu, seperti Balai Bahasa, Balai Pelestarian Nilai Budaya, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah. Perpustakaan yang tersedia umumnya memanfaatkan salah satu ruangan kantor. Buku-buku yang tersedia lebih spesifik, disesuaikan dengan focus lembaga atau kantor yang bersangkutan. Perpustakaan di sekolah dan kampus atau perguruan tinggi merupakan bagian yang menyatu dengan lembaga pendidikan. Setiap sekolah memiliki perpustakaan yang berisi buku-buku pelajaran yang menunjang aktivitas belajar mengajar dan buku-buku bacaan yang menjadi pengayaan bagi peserta didik. Buku-buku yang tersedia di perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi disediakan dengan tujuan untuk pendidikan, dan karena itu koleksi perpustakaan ini ditentukan oleh pengelolanya berdasarkan tujuan tersebut. Buku-buku disediakan berdasarkan anggaran yang tersedia di sekolah atau dinas pendidikan setempat. Biaya 99 http://uptperpusbunghatta.pnri.go.id/content/kiprah-pustaka-bung-hatta-bukittinggi diakses pada 7-9-2015. 427 pengadaan buku-buku ini berasal dari pemerintah melalui Dinas Pendidikan yang disalurkan ke sekolah dan bagi perguruan tinggi melalui APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), atau anggaran perguruan tinggi. Pada beberapa kasus, terdapat bantuan dari pihak asing atau swasta, seperti pendirian American Corner atau Warung Perancis yang berasal dari kedutaan asing di Indonesia. Pengguna atau pengunjung perpustakaan ini tentu saja para pelajar atau mahasiswa masing-masing lembaga pendidikan. Biasanya, masing-masing sekolah menyediakan layanan bagi murid-murid sekolahnya. Sementara di tingkat universitas, mahasiswa yang berasal dari perguruan tinggi yang berbeda dapat saling memanfaatkan koleksi universitas lain. Demikian juga dengan pengajar atau peneliti luar perguruan tinggi dimungkinkan untuk menggunakannya. Jenis perpustakaan atau koleksi yang ada di Sumatera Barat dan juga di berbagai tempat lain adalah perpustakaan pribadi, komunitas, dan taman bacaan. Terdapat perpustakaan pribadi yang dapat diakses oleh umum, dan terutama oleh anggota atau mereka yang tertarik pada kegiatan sastra. Misalnya saja perpustakaan Wisran Hadi, Yusriwal, Zaiyardam. Koleksi perpustakaan pribadi ini dapat diakses secara terbuka. Mereka yang membangun perpustakaan pribadi ini menggunakan uang pribadi yang disisihkan untuk membeli buku, dan kebanyakan berlatar belakang profesi sebagai dosen atau seniman. Keberadaan perpustakaan pribadi ini juga mirip dengan perpustakaan komunitas atau taman bacaan. Inisiatif untuk mendirikan perpustakaan komunitas atau taman bacaan kebanyakan dimulai dari perpustakaan pribadi. Pada perpustakaan komunitas, sebagian besar koleksinya berasal dari koleksi pribadi, seperti perpustakaan Komunitas Seni Intro. Hanya saja, dengan menjadikan perpustakaan komunitas, pengelolanya dapat memanfaatkan partisipasi publik untuk menambah koleksi, seperti gerakan sumbangan buku atau aktivitas kedermawanan lainnya. Belakangan ini, melalui program hibah komunitas seni budaya Balai Pelestarian Nilai Budaya, muncul komunitas-komunitas yang mulai membangun perpustakaan, walaupun masih dalam skala kecil. Komuitas seni yang mendapat bantuan dan kemudian berinisiatif membangun perpustakaan ini banyak tersebar di berbagai daerah di Sumatera Barat. Toko Buku, Pameran Buku, Perpustakaan, dan Sirkulasi Karya Sastra Toko buku menjadi wadah masuk dan tersebarnya wacana yang ada dalam karya sastra, termasuk juga buku-buku jenis lain, dari berbagai penerbit di Indonesia. Gramedia lebih memerankan diri sebagai medium yang menyalurkan buku-buku dari luar Sumatera Barat, karena distributor dan mekanisme penyaluran bukunya memiliki cara yang sudah ditetapkan oleh Gramedia. Sementara Sari Anggrek, selain menerima buku-buku dari luar, lebih akomodatif dalam menyalurkan buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit lokal, dengan sistem titip dan konsinyasi. Pembeli dari kedua toko buku ini, berdasarkan pengamatan, juga memiliki perbedaan dalam hal ketertarikan dan minat bacaannya. Bagi kalangan pendidikan dasar dan menengah, pilihan pertama adalah mendatangi Gramedia, karena tersedia bukubuku pendidikan, komik, teenlit, chicklit, dan majalah-majalah. Sari Anggrek dipilih sebagai tempat tujuan utama oleh kalangan pendidikan tinggi yang berbasis Islam dan pembeli yang mencari buku-buku terbitan lokal yang berisi referensi Agama Islam, adat dan budaya Minangkabau, serta buku-buku sastra klasik. Kedua toko buku ini memang dapat dikatakan mewakili dua arus pertukaran wacana dan gagasan dalam buku, yaitu dari luar yang diperankan oleh Gramedia dan dari dalam oleh Sari Anggrek. 428 Pameran buku di Sumatera Barat, terutama di Kota Padang, memiliki peran tersendiri dalam proses persentuhan wacana yang terdapat dalam dunia perbukuan. Kedatangan penerbit dan distributor buku secara langsung disertai dengan masuknya buku-buku yang dianggap laris dan dicari banyak orang. Demikian juga dengan penerbit-penerbit yang tidak terakomodir oleh toko buku, karena tidak masuk dalam jaringan distribusi besar, dapat memanfaatkan pameran buku untuk menemui pembaca. Tidak masuknya buku-buku dari berbagai penerbit ke toko buku ini juga disebabkan karena persaingan antar penerbit, monopoli distribusi, hingga keterbatasan tempat di toko buku. Kegiatan lain yang diadakan dalam pameran buku, seperti lomba penulisan dan temu penulis, menambah arti penting kegiatan ini dalam membangun dunia kepenulisan dan penerbitan. Karya sastra yang disediakan di toko buku, pameran buku, dan perpustakaan, dipilih dan dipajang melalui sejumlah tahapan. Distributor dan toko buku memilih bukubuku karya sastra yang dinilai memiliki potensi pasar, berdasarkan kualitas karya, nama pengarang, penerbit, dan peluang pasar. Sementara di perpustakaan, karya sastra yang dipilih didasarkan pada ketersediaan buku, dan anggaran yang ada. Pembaca atau pembeli di Sumatera Barat dinilai masih terbatas. Buku-buku yang tersedia di toko buku akan menunggu waktu hingga beberapa bulan untuk terjual, dan jika tidak terjual akan disimpan di gudang, tertutup oleh buku baru, atau dikembalikan ke penerbit. Sejumlah kasus karya sastra best seller pernah terjadi, seperti Saman (Ayu Utami), Lasykar Pelangi (Andrea Hirata) atau Negeri 5 Menara (Ahmad Fuadi). Kebijakan toko buku untuk menyediakan sekitar sepuluh hingga duapuluh eksemplar untuk masing-masing buku juga mengesankan potensi pembeli atau pembaca karya sastra. Secara langsung atau tidak langsung, medium seperti toko buku, pameran buku, dan perpustakaan ini telah menentukan apakah sebuah karya sastra, misalnya, akan masuk atau tidak ke sebuah wilayah. Karena itu, sebuah buku yang diterbitkan tidak serta merta akan dapat ditemukan atau dibaca oleh pembaca. Apalagi bagi pembaca yang tidak dekat dengan jalur distribusi, toko buku, atau informasi mengenai penerbitan buku-buku baru. Diperlukan waktu tunggu yang cukup lama hingga pembaca yang tinggal di daerah-daerah yang jauh dari kota atau jalur distribusi dapat memperoleh dan membaca buku-buku baru atau penting. Akibat sistem dan manajemen toko buku atau pameran buku, sejumlah karya sastra yang ditulis oleh para penulis Sumatera Barat, dan diterbitkan oleh para penerbit di luar Sumatera Barat, tidak mudah ditemui di toko buku. Jikapun ada, tidak jarang jumlah yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan para calon pembeli. Dengan demikian, perlakuan terhadap karya sastra yang ditulis oleh para penulis Sumatera Barat sendiri, sebagai produk usaha dan bisnis dalam jalur perdagangan buku, tidak dapat didistribusikan di tempat terdekat para penulisnya. Langkah yang biasanya dilakukan oleh para penulis adalah dengan membeli atau memesan langsung kepada penerbit, dengan dikurangi rabat bagi penulis dari penerbit, dan didistribusikan secara langsung oleh penulisnya. Pada masa kini, jalur distribusi buku tidak ditumpukan pada toko buku. Para penulis lebih tertarik untuk menjual sendiri bukunya. Demikian juga dengan tokotoko buku indie atau alternatif, menawarkan buku kepada pembeli dengan cara pemesanan langsung dan dikirim melalui jasa kurir. Kesimpulan Toko buku, pameran buku, dan perpustakaan merupakan medium dan tempat karya sastra dan buku genre lain diletakkan. Di toko dan pameran buku, buku dialihtangankan sebagai barang dagangan, dari penerbit atau distributor ke pembaca. 429 Sebagai medium, toko dan pameran buku menghadirkan buku untuk dipilih dan dibeli serta dibaca oleh pembaca. Dalam proses ini, banyak buku yang ditentukan apakah akan masuk ke Sumatera Barat atau tidak oleh distributor dan toko buku yang ada. Karya sastra yang masuk melalui toko buku, pameran buku, dan perpustakaan di Sumatera Barat telah ikut memberikan pengaruh dalam hal ketersediaan bahan bacaan yang dapat membantu penulis untuk menciptakan dan mengembangkan karyanya. Keterbatasan atas ketersediaan buku, pada satu sisi menghambat arus pertukaran gagasan, namun di sisi yang lain telah mendorong lahirnya inisiatif demi ketersediaanya, seperti perpustakaan pribadi dan komunitas yang dapat diakses oleh publik. Menurunnya jumlah toko buku konvensional, yaitu dengan meletakkan buku di toko buku, kini digantikan oleh penjualan dan distribusi langsung, antara pembeli dengan penulis dan/atau penerbit, dengan memanfaatkan jasa teknologi media dan variasi jenis kurir yang tersedia. Peredaran dan penempatan buku, karya sastra, telah dan akan memengaruhi keberlangsungan saling keterpengaruhan, terjalinnya diskusi melalui distribusi wacana yang dibawa oleh buku, serta peningkatan pencapaian dan apresiasi penulis dan pembaca. Toko buku, pameran buku, dan perpustakaan di Sumatera Barat dapat mengesankan bagaimana kehidupan sastra telah, sedang, dan akan terjadi. Daftar Rujukan Teeuw, A, 1972. “The impact of Balai Pustaka on modern Indonesian literature”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, Vol. 35(1), pp. 111127. Balfas, 196?. “Establishment and development of Balai Pustaka”, unpublished paper. Garcia, Michael Nieto, 2006. “Indonesian publishing, New Freedoms, old worries, and unfinished democratic reform”, Social Analysis, Vol. 50(1), 2006, pp. 184191. Li, Jen, 2010. “Choosing the right battles: how independent bookshops in Sydney, Australia compete with chains and online retailers”, Australian Geographer, Vol. 41(2), pp. 247-262. Kementerian Penerangan, 1954. Republik Indonesia Propinsi Sumatera Tengah, Djawatan Penerangan Sumatera Tengah. McElligot, Jason. 2013. “The book trade, licencing, and cencorchip”, in The Oxford handbook of literature and the English revolusion (laura Lunger Knoppers, ed.), pp. 135-153. 430 EKSISTENSI SASTRA LISAN BHANTI-BHANTI SEBAGAI RUANG NEGOSIASI LOKAL DALAM KEBUDAYAAN GLOBAL Sumiman Udu (FKIP Univeritas Halu Oleo Kendari – Indonesia) Abstrak: Keberadaan sastra lisan selama ini telah menjadi indentitas masyarakat lokal dalam menghadapi kebudayaan global di seluruh dunia. Sebagai ekspresi budaya lokal, sastra lisan bhanti-bhanti tetap menyuarakan identitas lokal masyarakat Wakatobi yang terus-menerus menyesuaikan diri dan membangun dialog dengan kebudayaan global yang terus menyerbu hingga ke ruang-ruang ketaksadaran kolektif masyarakat. Penelitian ini menggunakan paradigma etnografi. Data penelitian ini akan difokuskan pada pandangan masyarakat Wakatobi tentang indentitas lokal mereka dalam menghadapi kebudayaan global yang ada dalam sastra lisan bhanti-bhanti. Dengan demikian, data akan dianalisis untuk melihat eksistensi masyarakat Wakatobi yang digambarkan dalam sastra lisan bhanti-bhanti sebagai ekspersi budaya lokal dalam berinteraksi dengan budaya global. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa melalui sastra lisan bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi mampu membangun identitas lokal mereka. Tetapi di sisi yang lain, sebagai ekpresi budaya lokal, sastra lisan bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi tetap terbuka, terutama dalam menghadapi berbagai perkembangan budaya global. Oleh karena itu, keberadaan sastra lisan bhanti-bhanti merupakan identitas lokal dan sekaligus menjadi ruang negosiasi kultural masyarakat Wakatobi dalam menghadapi perkembangan dan perubahan budaya global dewasa ini. Kata kunci: eksistensi, sastra lisan, bhanti-bhanti, ruang, negosiasi lokal, kebudayaan Global Pengantar Keberadaan sastra lisan selama ini telah menjadi indentitas masyarakat lokal dalam menghadapi kebudayaan global di seluruh dunia. Nilai-Nilai budaya yang ada dalam kabhanti dapat memperkuat jati diri masyarakatnya dan dapat menjadi penanda identitas masyarakatnya sendiri (Udu, 2009: 257). Asrif (2014: 133) mengatakan bahwa sastra lisan merupakan salah satu alat untuk mendokumensikan identitas masyarakat pendukungnya. Mursal Esten (1999: 105) mengatakan bahwa sastra lisan dapat menjadi sumber bagi suatu penciptaan budaya baru di dalam masyarakat modern. Moradewun Adejunmobi (2011: 3) mengatakan bahwa tradisi lisan menjadi sumber inspirasi bagi penciptaan musik dan film yang diproduksi di Afrika dan India. Namun di sisi yang lain, kehadiran sastra lisan dan industri kreatif semakin memberikan ciri khas kedaerahan dalam berbagai perkembangan dan kemajuan budaya global. Berangkat dari pemikiran di atas, maka sastra lisan diharapkan dapat menyumbangkan kontribusi dalam perkembangan industri kreatif di tengah acaman globalisasi sebagaimana dikatakan oleh Mursydah (2012: 377) bahwa globalisasi nyaris menyapu semua jenis tatanan tradisional dan mengarahkan manusia kepada hegemonitas budaya yang menentang keberadaan nilai identitas kelompok dan sekaligus mengancam eksistensi budaya lokal. 431 Sebagai ekspresi budaya lokal, sastra lisan bhanti-bhanti tetap menyuarakan identitas lokal masyarakat Wakatobi yang terus-menerus menyesuaikan diri dan membangun dialog dengan kebudayaan global yang terus menyerbu hingga ke ruangruang ketaksadaran kolektif masyarakat. Melalui sastra lisan bhanti-bhanti, masyarakat Wakatobi selalu menanamkan nilai-nilai bagi masyarakat pendukungnya dan sekaligus menawarkan cara pandang baru kepada dunia global tentang kearifan lokal yang ada dalam sastra lisan, termasuk dalam pengelolaan lingkungan (Udu, 2013: 192). Di sisi yang lain, sastra lisan bhanti-bhanti merupakan ruang negosiasi kultural dalam menghadapi kebudayaan global dewasa ini. Oleh karena itu, sastra lisan bhanti-bhanti merespon berbagai perkembangan dunia saat ini sebagai bagian dari perubahan global. Ciri khas globalisasi yang memanfaatkan kemajuan ditiga pilar pembangunan global, yaitu (1) kemajuan teknologi informasi, (2) transportasi dan (3) kemajuan pariwisata, menyebabkan dunia ini seolah telah kehilangan batas-batas negara dan kebudayaannya. Perkembangan teknologi informasi, telah mengubah batas-batas kebudayaan dan negara, kebudayaan telah mengarah kepada pembentukan satu jenis kebudayaan. Entitas kebudayaan di belahan dunia yang lain akan dapat dengan mudah dipelajari dan ditiru oleh masyarakat di belahan dunia lainnya. Pergeseran media besar dan hadirnya media sosial, dapat berpeluang untuk tampilnya sastra-sastra lokal di dalam berbagai blog dan group yang datang dan pergi dengan cepat, tetapi tetap sebagai sebuah informasi yang merupakan bagian dari negosiasi kebudayaan-kebudayaan kecil tersebut dalam menampilkan eksistensinya dalam percaturan budaya global100. Oleh karena itu, penelitian mengenai eksistensi sastra lisan bhanti-bhanti sebagai ruang negosiasi lokal dalam kebudayaan global, merupakan salah satu usaha untuk memahami bagaimana keberadaan berbagai budaya lokal yang dimiliki oleh berbagai kebudayaan di dunia di era global. Bagaimana kebudayaan-kebudayaan kecil bertahan di tengah serbuan kebudayaan global. Untuk maksud tersebut, maka penelitian ini menggunakan paradigma etnografi. Data penelitian ini akan difokuskan pada pandangan masyarakat Wakatobi tentang indentitas lokal mereka dalam menghadapi kebudayaan global yang ada dalam sastra lisan bhanti-bhanti. Dengan demikian, data akan dianalisis untuk melihat eksistensi masyarakat Wakatobi yang digambarkan dalam sastra lisan bhanti-bhanti sebagai ekspersi budaya lokal dalam berinteraksi dengan budaya global. Sastra Lisan bhanti-bhanti Sebagai Identitas Kultural Sastra lisan bhanti-bhanti dapat dikatakan sebagai nyanyian masyarakat yang menyentuh sampai di hati, berisi nasihat dan yang mengandung berbagai mutiara kebijaksanaan (La Niampe, 1998: 5; Udu, 2010: 21;). Sehingga sastra lisan bhantibhanti merupakan salah satu identitas dari masyarakat Wakatobi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat Wakatobi yang mulai mengidentifikasi diri mereka sebagai pemilik dari sastra lisan bhanti-bhanti. Hal ini disebabkan karena sejak kecil, anak-anak Wakatobi sejak kecil sudah ditidurkan dengan sastra lisan bhanti-bhanti Wakatobi. Wa Yai mengatakan bahwa saya selalu menidurkan anak-anakku dengan sastra lisan bhantibhanti. La Ode Nsaha (1978: 235) mengatakan bahwa kaбanti berarti puisi yang berisi mutiara-mutiara kebijaksanaan atau pernyataan rasa dalam bentuk yang amat digemari dan mengena sehingga di dasar hati bahkan dalam situasi pembicaraan umum pun dalam suasana dari hati ke hati. 100 Kalau menggunakan kata kunci kabhanti di google maka hasilnya adalah 1.290 yang ditemukan di dalam mesin pencarian kata itu. Ini menunjukan bahwa betapa kayanya kata tersebut dalam memasuki kebudayaan global tersebut. 432 Sementara La Ode Kamaluddin mengatakan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti merupakan tradisi yang menjadi ciri khas dari masyarakat Wakatobi. Ia bahkan mengatakan bahwa ketika berada di Maluku di pulau Seram, dan melantunkan sastra lisan bhanti-bhanti, maka secara tidak langsung mengundang orang-orang Wakatobi untuk mendengarkan nyanyian tersebut101. Ini merupakan bahwa dalam sastra lisan bhanti-bhanti terdapat identitas kedaerahan yang hidup dalam setiap hati dan pikiran orang Wakatobi. Sehubungan dengan itu, Daru Winarti (2013: 602) mengatakan bahwa nyanyian pengantar tidur berhubungan dengan kepribadian yang dimiliki oleh seorang individu dalam hubungannya dengan lingkungannya. Oleh karena itu, sastra lisan bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi mampu membangun identitas lokal mereka. Tetapi di sisi yang lain, sebagai ekpresi budaya lokal, sastra lisan bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi tetap terbuka, terutama dalam menghadapi berbagai perkembangan budaya global. Bahkan pada beberapa kasus, seorang anak muda yang merantau dan bekerja di kota Kinabalu Sabah Malaysia, menghabiskan masa remajanya hampir 14 tahun di kota itu, dan ratusan surat telah dikirim oleh orang tuanya, tetapi ia tetap juga tidak mau pulang, terakhir ia dikirimi sebuah kaset yang berisi rekaman nyanyian bhanti-bhanti yang dilantunkan ibunya. Setelah mendengarkan sastra lisan bhanti-bhanti tersebut, maka anak muda itu menangis dan pulanglah ia ke Wakatobi102. Dengan demikian, sastra lisan bhanti-bhanti dapat dikategorikan sebagai identitas lokal bagi masyarakat pendukungnya, karena semua orang Wakatobi akan mengidentifikasi diri mereka sebagai pemilik sastra lisan bhanti-bhanti. Siapapun orang Wakatobi akan mengatakan bahwa bhanti-bhanti adalah karya leluhur mereka, karena sejak dini mereka sudah ditidurkan dengan bhanti-bhanti sebagai pengantar tidur. Setelah mereka dewasa, mereka juga mengungkapkan cinta mereka melalui teks-teks bhanti-bhanti hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Wa Ode Bulalu bahwa “Ara te pobhawa’a dhi molengo, te pobhanti’a tunggala morondo103” (kalau masa-masa pacaran di masa muda dulu, selalu diisi dengan acara berbalas pantun atau bhanti setiap malam). Hal yang sama juga dikemukakan oleh La Rumadi bahwa “Teposerei’a dhi molengo sabaranamo te pobhanti’a” (pacaran di masa lalu sebenarnya adalah berbalas pantun). Kondisi inilah kemudian, kalau dikatakan bahwa sastra lisan kabhanti sebagai salah satu identitas lokal dari masyarakat Wakatobi. Sastra Lisan Bhanti-bhanti sebagai Ruang Negosiasi Kultural Sebagai identitas lokal, sastra lisan bhanti-bhanti memegang peranan penting dalam masyarakat pendukungnya. Ia bukan saja tampil sebagai hiburan semata-mata, tetapi memiliki peran sebagai ruang negosiasi kultural dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di dalam masyarakat Wakatobi (Udu, 2015: 220). Bahkan dalam perannya sebagai ruang negosiasi kultural tersebut, sastra lisan bhanti-bhanti dapat menjadi kontrol yang sangat kuat terhadap pemerintahan. Seorang yang tidak senang dengan kebijakan sara104 atau pemerintah, dengan mudah memberikan koreksi. Teks yang 101 Wawancara tanggal 12 Agustus 2013 Cerita tentang kisah ini dikisahkan oleh La Alira, salah satu generasi Wakatobi yang berangkat ke Malaysia dan pulang setelah dikirimi dengan kaset bhanti-bhanti oleh ibunya (wawancara tanggal 5 Februari 2010). 103 Wawancara tanggal 13 Juli 2013. 104 Sara dalam masyarakat Wakatobi Buton adalah lembaga atau sebuah tatanan sosial budaya yang adalam masyarakat. orang juga sering mengidentikannya dengan pemerintah. 102 433 paling banyak digunakan untuk memprotes atas ketidakadilan penguasa (sara) adalah /timbangi la bhonto timbangi/ “timbang-timbanglah la bhonto105 timbang-timbanglah” /te togo nolingka-lingkamo/ “Kampung sudah mulai miring”. Teks tersebut, di zaman kesultanan Buton, seseorang tidak perlu melakukan demosntrasi untuk memprotes penguasa, tetapi kucup setiap lewat di halaman rumah penguasa akan selalu melantunkan teks tersebut. Ketika terjadi perkelahian antarkampung mengenai perbatasan, maka orang Wanci dan orang Mandati akan menggunakan teks sastra lisan bhanti-bhanti sebagai memori kolektif mereka untuk menyelesaikan masalah mereka. /Te wansemo te mandatimo/ “baik orang Wanci maupun orang Mandati” /dhi endapo na ngkaselapa/ “di air endapo perbatasannya”(Udu, 2015: 226). Ini menunjukan bahwa dalam perannya sebagai ruang negosiasi kultural dalam masyarakat Wakatobi, sastra lisan bhanti-bhanti memegang peranan yang signifikan, karena orang Wakatobi menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai alat komunikasi mereka yang santun dan dapat diterima oleh lawan komunikasi. H. La Morunga mengatakan bahwa, sejak dulu masyarakat Wakatobi khususnya Wanci dan Mandati memiliki ingatan kolektif tentang batas wilayah itu dalam bentuk lagu106. Orang Wakatobi akan menganggap bahwa sindiran yang diberikan melalui sastra lisan bhanti-bhanti masih cenderung akan diterima sebagai seni, jika dibandingkan dengan mengemukakan protesnya melalui bahasa sehari-hari. Bahasa dalam sastra lisan bhanti-bhanti, sejak dulu sudah sering dijadikan sebagai bahasa komunikasi muda-mudi di dalam masyarakat Wakatobi sampai era 1960-an. Wa Ode Bulalu mengatakan bahwa dulu, para saudara (lelaki) yang datang pada setiap tradisi hekomba’a107 akan datang dengan membawa beberapa ole-ole, namun hati mereka dapat ketahui melalui teks-teks sastra lisan bhanti-bhanti yang mereka lantunkan setiap malam. “Ara dhi molengo, te hesulu mai Ana omai kene nobhawa te malingu giu, maka amo te pobhanti sarondo’e na rondo” (kalau di zaman dulu, saudara (lelaki) datang dengan membawa ole-ole untuk sahabat (perempuan), baru mereka berbalas bhanti-bhanti semalam suntuk)108. Di samping itu, seorang ibu dapat mengkomunikasikan impiannya kepada anakanaknya, dan seorang anak dapat mengkomunikasikan impian dan harapannya kepada ibunya melalui teks-teks sastra lisan bhanti-bhanti. Seorang ibu di Wakatobi yang memiliki impian kehidupan yang layak di luar Wakatobi ketika mendapatkan kesusahan hidup di Wakatobi, akan menyampaikan impian itu kepada anaknya dengan teks bhantibhanti /wa ina bhara nusambira/ “ibu jangan kau bersedih” /ane ke Buru ngkene Ambo/ “masih ada Buru dan Ambon”. Impian ini dikomunikasikan dengan menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti sehingga menjadi kekuatan sekaligus memori kolektif yang menjelaskan tentang kebiasaan orang Wakatobi berlayar ke Maluku antara lain pulau Buru dan Ambon. Bagi orang Wakatobi, Ambon bukanlah hal baru dalam kebudayaan mereka, tetapi malah sebuah negeri yang mengisi imajinasi anak-anak Wakatobi sejak mereka masih dalam buaian. 105 Bhonto merupakan salah satu pangkat dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton. Wawancara pada tanggal 23 Agustus 2015 107 Tradisi hekomba’a merupakan tradisi menikmati bulan purnama dengan membuat api unggun yang lakukan oleh sekelompok gadis-gadis, lalu pada malam hari, sahabat mereka yang laki-laki datang. Gadis-gadis itu mengerjakaan sesuatu, sementara laki-laki akan datang dan menyanyi, sehingga mereka berpantun atau pobhanti hingga menjelang pagi. 108 Wawancara tanggal 13 Juli 2013 106 434 Pada persoalan jodoh, seorang anak Wakatobi akan dengan leluasa mengungkapkan impiannya untuk mendapatkan jodoh dari orang yang dipilihnya sendiri. Ia mengungkapkannya dengan /wa ina tamogagaimo/ “ibu kita akan berbeda pendapat” /kunumangkamo te matasu/ “saya akan mengikuti mataku”, /ara dhoimo te wa ina/ “kalau tinggal ibu” /tohojane te ntagambiri/ “nanti kita hibur dengan gambir”. Dua teks bhanti-bhanti di atas, menunjukan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti merupakan ruang negosisasi kultural yang efektif dalam berbagai komunikasi di dalam masyarakat Wakatobi. Sementara di sisi yang lain, seorang ibu akan memberikan penekanan pada pentingnya peran orang tua dalam memilih jodoh dengan teks sastra lisan bhanti-bhanti /te buri paka ntedhiguru/ “jodoh itu tidak perlu diajari” /nolaha-laha ngkaramano/ “dia akan datang mencari jalannya sendiri” (Udu, 2010: 103). Teks di atas merupakan bentuk negosiasi orang tua109 Wakatobi pada anak-anaknya tentang jodoh, karena bagi mereka jodoh adalah monopoli orang tua. Bagi orang Wakatobi, tersinggung secara langsung terhadap teks sastra lisan bhanti-bhanti akan dianggap sebagai orang yang tidak beradab. Hal ini sebagaimana dilihat pada teks sastra lisan bhanti-bhanti /te mia sumeki te bhanti/ “orang yang tersinggung dengan sindiran (bhanti)” /te atumo na mia dha’o/ “sudah itulah orang jahat”. Namun, sebagai sastra lisan yang memiliki pementasan yang dinamis, tidak selamanya sastra lisan bhanti-bhanti dapat dipentaskan dengan damai. Tidak jarang juga terjadi perselisahan ketika terjadi pobhanti110 hal ini sebagaimana informasi yang tersimpan dalam teks sastra lisan bhanti-bhanti /tepo’o bula dhi bhaobhe/ “Mangga albino di Bhaobhe” /nomota’a dhi lende-lende/ “masak karena di remas-remas”. Teks tersebut merupakan teks yang sangat keras, yang pernah dilantunkan oleh sekelompok pelantun yang berasal dari kampung Bhira yang ditujukan kepada gadis-gadis Bhaobhe111 yang rata-rata memiliki kulit yang lebih putih. Dalam sindiran tersebut, dimaknai bahwa buah dada gadis-gadis Bhaobhe masak atau membesar karena sering diremas-remas. Pemaknaan ini membuat mereka tersinggung, dan langsung menjawab dengan teks bhanti-bhanti /te loka mepanda di bhira/ “pisang pendek di bhira” /nobungku’e te mpepu’uno/ “dibungkukkan oleh jantungnya”, objek yang dikeplorasi adalah buah dada, dimana disindir bahwa gadis gadis pendek yang ada di Bhira dibungkukkan oleh buah dada yang besar-besar. Pementasan ini akhirnya berakhir dengan dicabutnya keris, karena pihak keluarga laki-laki dari gadis-gadis teerbut sudah mulai tersinggung. Setelah kejadian itu, maka para tetua datang dan menyampaikan bahwa siapapun yang tersinggung dengan bhanti-bhanti sudah itulah orang jahat, dan mereka semua akhirnya menerima bahwa itu hanyalah sindiran yang multi tafsir, dan kata po’o bula dan loka mepanda, jangan diterjemahkan dengan gadis, dan demikian masak diremas-remas jangan diterjemahkan ke buah dada yang diremas-remas. 109 Dalam masyarakat bangsawan, jodoh anak-anaknya adalah pilihan orang tua, dan berbeda dengan anak-anak dari kalangan maradhika atau merdeka, jodoh diberikan kepada anak-anak mereka (Udu, 2010: 117). 110 Pobhanti merupakan pementasan bhanti-bhanti yang dilakukan secara berbalasan. Dalam masyarakat Wakatobi tradisi ini biasanya dilakukan antarkelompok, baik antarkampung, maupun antarlaki-laki dan perempuan. 111 Bhaobhe merupakan nama sebuah kampung yang berada di dalam wilayah kadhia wance, yang saat ini ketika dimekarkan berada di daerah administrasi desa Po’okambua kecamatan WangiWangi kabupatan Wakatobi. 435 Oleh karena itu, keberadaan sastra lisan bhanti-bhanti merupakan identitas lokal dan sekaligus menjadi ruang negosiasi kultural masyarakat Wakatobi dalam menghadapi perkembangan dan perubahan budaya global dewasa ini. Di tengah perkembangan kebudayaan global, terutama dalam industri musik dan film yang ada, perkembangan gendre musik yang ada, justru sastra lisan bhanti-bhanti kembali diproduksi dalam berbagai jenis variasi dan kreasi yang baru. Para musisi lokal, berlomba memanfaatkan formula bhanti-bhanti sebagai basis kreatifitas mereka. Beberapa musisi lokal seperti La Ode Kamaluddin, Rusiadin112, La Ode Adili113, La Mbongo, dan Marfina banyak menggunakan formula bhanti-bhanti sebagai basis kultural dalam karya-karya terbaru mereka. Ini menunjukan bahwa sastra lisan bhantibhanti sebenarnya adalah karya sastra lokal yang hidup dan berkembang dalam kesadaran masyarakat pendukungnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti adalah sastra yang hidup. Artefak kebudayaan yang terus hidup dan berevolusi. Bhanti-bhanti sebagai Ruang Negosisasi dalam Menghadapi Budaya Global Memasuki era modern, sastra lisan bhanti-bhanti tetap menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Perkembangan yang melanda masyarakat dunia dibidang teknologi informasi, transportasi dan pariwisata tidak membuat sastra lisan bhantibhanti mati, tetapi justru ia menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Perkembangan teknologi informasi telah menjadikan persebaran sastra lisan bhantibhanti tidak bisa terbendung, mulai menjadi nada dering hand phone, musik di winamp, hingga VCD dan DVD, juga masuk ke you tobe sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat dunia khususnya masyarakat Wakatobi yang berada di berbagai belahan dunia114. Perkembangan musik organ tunggal yang melanda Wakatobi lima tahun terakhir, telah mengubah sastra lisan bhanti-bhanti sebagai salah satu karya sastra yang mempengaruhi perkembangan lagu-lagu daerah. Hal ini sebagaimana dinyanyikan oleh La Ode Kamaluddin dan Rusiadin. Dengan menggunakan organ tunggal yang lebih kompleks mereka telah menggubah lagu dangdut yang dikembangkan dari formula sastra lisan bhanti-bhanti. Perkembangan sekaligus perubahan budaya badendang dan balumpa ke joget dangdut, telah memberikan ruang baru ekonomi kreatif yang dikembangkan melalui sastra lisan bhanti-bhanti. Menghadapi perkembangan kebudayaan global, sastra lisan bhanti-bhanti justru hadir dalam dimensinya yang lebih modern. Melalui film The Mirror Never Lies yang digarap Garin Nugroho, juga memanfaatkan musik bhanti-bhanti sebagai musik latar. Melalui film itu, sastra lisan bhanti-bhanti diperkenalkan ke dunia internasional. Dengan menonton film itu, paling tidak masyarakat dunia akan paham bahwa ada sastra 112 Dalam karyanya yang berjudul, Wa Jandi Topomelaimo Rusiadin, mengekespresikan cintanya yang terpisah oleh jarak, kerinduan itu diekspresikan melalui teks bhanti-bhanti Wakatobi. 113 Dalam beberapa karya terbarunya,La Ode Adili menggunakan sastra lisan kabhanti dalam mendukung kampanye salah satu calon di Wakatobi. perlawanannya pada kebijkan pemerintah, diekspresikan melalui sastra lisan kabhanti. 114 Diasfora masyarakat Wakatobi berlangsung sejak berabad-abad silam, kemampuan mereka mengarungi lautan dengan perahu karoro mereka membuat orang Wakatobi menjelajahi hampir semua kawasan oceania yang meliputi kepulauan solomon di pasifik sampai dengan madagaskar di samudra hindia. 436 lisan yang tumbuh di Wakatobi yang menarik untuk dipelajari, karena itu merupakan media penyimpanan rasa, pikiran dan tindakan masyarakat pendukungnya. Salah satu model negosiasi budaya lokal diera global adalah model sambutan masyarakat Wakatobi kepada para turis dengan menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti. Setiap turis yang datang di Wakatobi, akan disambut dengan berbagai peristiwa budaya, seperti tradisi kabuenga atau ayunan yang di dalamnya adalah menyajikan pementasan sastra lisan bhanti-bhanti. Berbagai peristiwa budaya yang melibatkan sastra lisan bhanti-bhanti harus dilihat sebagai upaya negosiasi kultural dari kebudayaankebudayaan lokal dalam melawan budaya global. Perlawanannya diarahkan kepada upaya penyampaian kepada para turis dan tamu bahwa kami masih mempunyai entitas kebudayaan yang mampu memuat atau merefleksikan berbagai perasaan, pikiran dan tingkah laku kami, tentang jodoh, lingkungan, sosial, dan lain sebagainya. Bahkan dalam peringatan 17 Agustus tahun 2015 kemarin, para peserta sail turut melakukan joget Wakatobi yang menggunakan irama dangdut bhanti-bhanti sebagai musik pengiringnya115. Ini menunjukan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti sebagai kebudayaan lokal, dapat dimanfaatkan untuk mengkomunikasikan kebudayaan kita kepada dunia internasional. Bahkan saat ini, sastra lisan bhanti-bhanti dan lariangi telah ditetapkan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia sebagai warisan budaya tak benda yang dimiliki oleh Indonesia. Saat ini juga, sedang disusun naskah akademik lariangi untuk diusulkan menjadi salah nominasi Indonesia ke Unesco di tahun-tahun yang akan datang, sehingga lariangi bukan hanya warisan budaya tak benda untuk Indonesia, tetapi warisan budaya tak benda yang dipersembahkan ke dunia internasional. Jika lariangi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Unesco, maka secara tidak langsung memperkenalkan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai warisan budaya tak benda ke dunia internasional. Hal ini dapat dilihat bahwa performasi lariangi116 yang disebut mangu-mangu, menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai nyanyiannya untuk menyindir ngiwi117 yang ada. Dalam proses itu, seorang turis yang terlibat dalam performasi dapat saja mendapatkan sindiran atau bhanti atas tindakan dan sikapnya. Selanjutnya, dalam kehadirannya sebagai budaya lokal, sastra lisan bhanti-bhanti yang dilantunkan dalam tarian pajogi hadir berdampingan dengan dance dan joget dalam salah satu acara. Melihat adanya akulturasi budaya di atas, La Ode Iwi Kepala Desa Waginopo mengatakan bahwa, “lemamamo nana, toguru’emo na ananto mai te budaya Barat” (Sudah Bagusmi ini, anak-anak kita sudah kita ajari dengan budaya barat)118. Walau dengan nada sinis, La Ode Iwi melihat bahwa perkembangan kebudayaan Wakatobi akan mengarah kepada perbauran dengan budaya modern yang dipopulerkan oleh Korea saat ini. Tetapi di satu sisi, seorang tokoh pendidikan Wakatobi (La Ode Kuhairi) yang juga hadir pada kegiatan yang sama mengatakan bahwa “Ini merupakan kenyataan dari kebudayaan kita, dimana tari Pajogi hadir 115 Wawancara dengan Wa Suri yang merupakan salah satu peserta joget Wakatobi pada peringatan 17 Agustus 2015 silam di Wakatobi. Ia mengatakan bahwa para turis juga ikut menikmati joget Wakatobi bersama masyarakat (Wawancara tanggal 19 September 2015. 116 Lariangi merupakan salah satu tarian tradisional masyarakat Wakatobi yang saat ini sudah ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional Muh. Nuh sebagai warisan budaya tak benda Indonesia. 117 Ngiwi merupakan gerakan putaran yang biasanya dilakukan oleh laki-laki 118 Diskusi pada tanggal 25 September 2012 437 bersamaan dengan dance yang merupakan identitas global”. Ia melanjutkan bahwa “Ini adalah konsekuensi bahwa Wakatobi berada dalam pusaran perkembangan budaya global, dan kita masih tetap berbangga, karena nilai-nilai kultural kita masih tetap dihadirkan oleh masyarakat”119. Di dunia maya, yang merupakan implikasi dari perkembangan global, sastra lisan bhanti-bhanti memiliki tempatnya tersendiri, khususnya bagi generasi muda Wakatobi. Mereka selalu membuat status dengan menggunakan bhanti-bhanti sebagai ruang komunikasi mereka. Mereka juga menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai salah satu identitas lokal yang mereka banggakan. Bahkan ketika mereka mengungkapkan kerinduan mereka terhadap kampung anak-anak Wakatobi yang ada di Malaysia berkomunikasi dengan menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti di media-media sosial seperti facebook120. Dengan demikian, pembangunan ekonomi kreatif di Wakatobi hendaknya memanfaatkan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai bagian dari pengembangan film dan lagu yang ada pada seniman-seniman lokal Wakatobi. Beberapa maju selalu memanfaatkan cerita lokal mereka, dan kemudian mereka ekspor sebagai kekuatan budaya mereka di era global. Beberapa film korea, turki, China dan India selalu memanfaatkan kisah-kisah yang yang dalam sastra lisan mereka sebagai kekuatan dalam penciptaan karya-karya baru. Sehubungan itu, Mursal Esten (1995: 105) mengatakan bahwa tradisi lisan merupakan ruang isnpirasi bagi penciptaan karya-karya baru dalam bidang seni. Sebagai contoh, kebanyakan film-film drama Turki seperti Shehrazat mengangkat kisah 1001 malam yang tentunya memiliki berbagai kreatifitas, tetapi apa yang dilakukan oleh kreator film Shehrazat merupakan langkah nyata untuk memanfaatkan memori kolektif masyarakat Islam dunia tentang cerita 1001 malam yang sangat terkenal itu. Oleh karena itu, sebagai sastra lisan bhanti-bhanti merupakan salah satu ruang negosiasi budaya lokal khususnya kebudayaan masyarakat Wakatobi dalam pergaulan global. Upaya-upaya ke arah itu, hendaknya dapat diwujudkan dalam berbagai diplomasi kebudayaan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten Wakatobi dan Indonesia, dalam mempromosikan kebudayaan dan pariwisata Wakatobi dan Indonesia secara umum ke dunia internasional. Upaya untuk menatapkan lariangi sebagai warisan budaya tak benda dunia yang akan diusulkan ke UNESCO merupakan bentuk perjuangan diplomasi budaya lokal untuk ditampilkan dalam konteks global. Di masa yang akan datang, diharapkan diplomasi melalui kebudayaan, dapat mendorong pembangunan Indonesia secara umum. Sastra sebagai ruang-ruang kebudayaan kita, hendaknya dapat menghadirkan karya-karya kreatif yang tidak hanya mengeksplorasi isu-isu dari kehidupan modern yang telah banyak dipengaruhi oleh globalisasi, tetapi kita harus belajar dari beberapa negara maju di bidang kebuyadaan dalam memanfaatkan potensi budaya lokal mereka dalam berkarya. Keseriusan Korea Selatan dalam memanfaatkan berbagai potensi lokal mereka dalam industri perfilman membuktikan bahwa berbagai kisah yang ada dalam drama mereka adalah perpaduan cerita lisan mereka yang kemudian diolah kembali menjadi cerita yang difilmkan dan kemudian mereka ekspor ke seluruh dunia. Dalam melihat berbagai potensi yang dimiliki oleh sastra lisan bhanti-bhanti tentunya dapat dikembangkan sebagai inspirasi dalam pembuatan film atau penulisan buku mengenai kearifan lokal masyarakat 119 Diskusi pada tanggal 25 September 2015. Salah satu group anak-anak Wakatobi yang menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti dalam komunikasi mereka dalah group Sejuta Bhanti-bhanti Wakatobi. 120 438 Wakatobi, terutama dalam memelihara lingkungan hidup mereka. Penetapan Wakatobi sebagai salah satu cagar biosfer bumi, merupakan bentuk negesosiasi kebudayaan lokal dalam kebudayaan global. Maka untuk mempelajari nilai-nilai budaya yang selama ini memelihara dan mewariskan keindahan alam berupa karang di Wakatobi tidak lain dan tidak bukan tersimpan di dalam sastra lisan bhanti-bhanti. Hal ini sebagaimana dilihat dalam teks berikut. Jagane nggala nte kambano Ako te menangka taliku Jagalah walaupun hanya bunganya Karena itu milik generasi yang akan datang Na bha’a nu dhosa numia Tumadhe ngkedhe sagauno Besarnya dosa seseorang Yang berlaku sekehendak hatinya Namia mala nsagauno Menoso dhi nganga randano Orang yang berlaku sekehandaknya Akan menyesal di dalam hatinya Te pasi tenganga randanto Si nai wa menangka taliku Karang itu adalah rasa atau hati kita Itu adalah kepunyaan generasi mendatang Hu’uke te nganga randa’u Ako tei mele akono Berikanlah hatimu Agar generasi mendatang menikmatinya Teks sastra lisan bhanti-bhanti di atas menunjukan bahwa sastra lisan bhantibhanti memberikan pelajaran bagi masyarakat Wakatobi dan dunia bahwa karang (pasi) merupakan warisan yang harus diberikan kepada generasi berikutnya. Dia bukan milik kita, tetapi hanyalah titipan yang harus dijaga. Bagi mereka yang merusak karang atau lingkungan, maka meraka akan menyesal. Model-model konservasi lokal ini akan menjadikan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai salah satu sastra lisan yang mengandung konsep-konsep konservasi lingkungan yang dapat ditawarkan kepada dunia global. Bahwa ternyata warisan keindahan bawah laut Wakatobi merupakan karya leluhur yang diabadikan dalam sastra lisan bhanti-bhanti. Isu konservasi lingkungan yang selama ini diteriakkan oleh Barat ternyata hidup dalam kebudayaan Wakatobi, hidup dalam sastra lisan bhanti-bhanti sebagai ruang pembangunan kesadaran masyarakat Wakatobi Buton sejak lama. Dengan demikian, sebagai sastra lisan, bhanti-bhanti merupakan salah satu media yang memperkenalkan berbagai kesadaran kolektif masyarakat Wakatobi ke berbagai belahan dunia lainnya. Dengan mempelajari sastra lisan bhanti-bhanti berarti berusaha untuk memahami bagaimana orang Wakatobi merasa, berpikir dan bertingkah laku. Pola-pola konservasi alam yang merupakan salah satu sumbangan Wakatobi untuk dunia, harus dapat tetapi diabadikan dan dipublikasikan ke dunia global, karena berbagai nilai-nilai dan ideologi yang berhubungan dengan sastra lisan bhanti-bhanti. Bahkan di era digital, sastra lisan bhanti-bhanti digunakan sebagai salah satu ungkapan muda-muda di media sosial. Mereka saling berbalasan mengungkapkan bhanti-bhanti dalam mengkomunikasikan berbagai tanggapan mereka tentang kondisi mereka saat ini. Masuknya sastra lisan bhanti-bhanti di media sosial, menunjukan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti bukan hanya beredar dalam masyarakat Wakatobi, dan Buton pada umumnya tetapi sudah hadir sebagai salah satu sastra alternatif dalam perkembangan sastra global dewasa ini. 439 Penutup Berdasarkan pembahasan yang telah disebutkan di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi penekanan dalam makalah ini, yaitu : (1) sastra lisan bhanti-bhanti merupakan salah satu sastra yang penyampaiannya dinyanyikan, (2) sastra lisan bhantibhanti merupakan salah satu identitas masyarakat Wakatobi, karena mereka mengidentifikasi diri sebagai pemilik sastra lisan bhanti-bhanti. Memasuki era digital dan era pariwisata global, sastra lisan bhanti-bhanti menjadi salah satu kesenian tradisional yang disukai oleh wisatawan. Melihat sifat sastra lisan bhanti-bhanti yang terbuka, terutama dalam pementasannya, maka sastra lisan bhanti-bhanti menjadi salah satu kekuatan lokal dalam pembangunan kebudayaan global. Karena para wisatawan juga sangat menikmati beberapa tarian dan tradisi yang melibatkan sastra lisan atau nyanyian rakyat bhanti-bhanti sebagai bagian dari pementasannya. Oleh karena itu, kehadiran sastra lisan bhanti-bhanti merupakan salah satu ruang negosiasi kebudayaan-kebudayaan kecil dalam pembangunan kebudayaan global yang kian menyatu. Sastra lisan masyarakat Yugoslavia121, Afrika122 kini telah menjadi sastra dunia setelah diteliti oleh para ahli. Demikian juga dengan ada berbagai kajian mengenai bhanti-bhanti yang saat ini menyebar di berbagai media internet, semakin menguatkan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti adalah bagian yang tak terpisahkan dengan kebudaayaan global dewasa ini. Daftar Rujukan Adejunmobi, Moradewun. 2011. “Revenge of the Spoken Word?: Writing, Performance, and New Media in Urban West Africa” (Oral Tradition), Vol. 26. No. 1 (2011), pp: 3-26. Asrif, 2014. “Identifikasi, Pemetaan dan Perlindungan Sastra Lisan di Sulawesi Tenggara” dalam Jurnal Kandai volume 10 Nomor 1 Mei 2014 Hal. 127-137. Asrif. 2015. Tradisi Lisan Kabhanti :Teks, Konteks dan Fungsi. Jakarta: Disertasi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Esten, M.. 1999.Desentralisasi Kebudayaan. Bandung: Angkasa. La Niampe, 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana. La Ode Nsaha, Tamburaka dan Asis. 1978/1979. Aneka Budaya Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek Penggalian Nilai-Nalai Budaya Sulawesi Tenggara. La Ode Taalami. 2008. Mengenal Kebudayaan Wakatobi. Jakarta: Granada. 121 Penelitian Albert Bates Lord mengenai nyanyian rakyat masyarakat Yugoslavia tahun 1981 saat ini sudah menjadi bagian penting dalam pembangunan kebudayaan khususnya dalam kajiankajian tradisi lisan. Disertasi yang mengkaji tentang sastra lisan kabhanti atau bhanti-bhanti sudah banyak dilakukan, antara lain Ali Rusdin (2015), Asrif (2015) merupakan suatu kekuatan dalam melihat keberadaan sastra lisan bhanti-bhanti dalam pembangunan kebudayaan global di masa yang akan datang. 122 Penelitian Jan Vansinna (2014) mengenai pemanfaatan tradisi lisan dalam penulisan sejarah masyarakat Afrika telah memberikan sumbangan luar biasa dalam membentuk peradaban global, khsususnya dalam pembangunan paradigma penelitian sejarah. 440 Lord, A. B. 1981. The Singer of Tales. Cambridge, Massachusetts, London, England: Harvard University Press. Mursydah, Dian. 2012. “Disfungsi Tradisi Lisan Melayu Jambi sebagai Media Komunikasi Da’wah” dalam Tadjid Volume XI. Nomor 2 tahun 2012 hal. 368-381. Udu, S. 2010. Perempuan dalam Kabhanti: Tinjauan Sosiofeminis. Yogyakarta: Penerbit Diandra Udu, Sumiman. 2009. “Konsep Seks Masyarakat Buton” dalam Naskah Buton Naskah Dunia: Prosiding Simposium Internasional IX Pernaskahan Nusantara di Kota Bau-bau (Ed. Yusran Darmawan). Bau-Bau: Penerbit Respect. Udu, Sumiman. 2013. “Tradisi Lisan Sebagai Media Konservasi Lingkungan dalam Masyarakat Wakatobi” dalam Folklore and Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Udu, Sumiman. 2015. “Tradisi Lisan Bhanti-Bhanti: Media Komunikasi Kutural Dalam Masyarakat Wakatobi” dalam Jurnal Humaniora Volume 27 No. 1 Februari 2015 Halaman 217-228. Winarti, Daru. 2013. “Nilai-nilai Budaya dalam Tembang Dolanan sebagai Sarana Pembentuk Karakter Anak Bangsa” dalam Folklore and Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 441 REVITALISASI DAN REAKTUALISASI MAKANAN TRADISIONAL JAWA DALAM SERAT CENTHINI Sutrisna Wibawa Endang Nurhayati Marwanti, Venny Indria E. Avi Meilawati (FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia) Abstrak: Penelitian “Revitalisasi dan Reaktualisasi Makanan Tradisional Jawa dalam Serat Centhini” dilaksanakan selama dua tahun. Tujuan penelitian pada tahun pertama adalah: (1) Mendeskripsikan macam-macam makanan tradisional yang terdapat dalam Serat Centhini. , (2) Mendeskripsikan resep, cara pengolahan, dan cara penyajian makanan tradisional yang terdapat dalam Serat Centhini, dan (3) Menganalisis nilainilai simbolik makanan tradisional Jawa yang tedapat dalam Serat Centhini. Sedangkan tujuan penelitian pada tahun kedua adalah: (1) Meneliti kandungan bahan dan gizi yang terdapat dalam makanan tradisional Jawa yang terinventarisasi dalam Serat Centhini, (2) Menyusun ensiklopedi makanan tradisional Jawa berdasarkan Serat Centhini yang dilengkapi dengan resep, cara pengolahan, cara penyajian, nilai simbolik, kandungan bahan, dan nilai gizi makanan tradisional Jawa melalui uji laboratorium, dan (3) Penerapan teknologi dalam pengemasan, penyajian, dan promosi makanan tradisional dalam Serat Centhini agar lebih menarik dan bernilai ekonomis sebagai penunjang wisata kuliner di Yogyakarta. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian deskriptif dengan mendeskripsikan jenis-jenis makanan dalam Serat Centhini. Kemudian dilakukan penentuan kandungan gizi makanan dengan penelusuran pustaka, jika sudah ada penelitian maupun data yang terkait dengan jenis makanan yang diuji. Peneliti juga akan melakukan pengujian kandungan gizi dengan software nutrisurvey. Sampel penelitian ditentukan 10% dari jumlah populasi jenis makanan tradisional Jawa. Penerapan teknologi dan revitalisasi dilakukan dengan cara memasak ulang jenis-jenis makanan tradisional yang dinilai menarik dan sudah langka. Hasil penelitian Makanan tradisional dalam Serat Centhini mempunyai jenis yang variatif. Makanan tradisional disebut lebih kurang 1031 kali dalam Centhini. Kategorisasi makanan tradisional kemudian dipilah menjadi tujuh, yaitu: (1) makanan pokok, (2) lauk-pauk, (3) sayursayuran, (4) buah-buahan, (5) minuman tradisional, (6) makanan kecil, dan (7) bumbu dapur. Jumlah makanan tradisional yang ditemukan dalam Centhini yaitu 444 buah. Hasil uji gizi menunjukkan bahwa makanan tradisional mengandung gizi tinggi terutama kalori. Revitalisasi dilakukan dengan cara dengan memasak dan mengemas ulang 44 jenis makanan tradisional yang dinilai unik dan langka. Pendahuluan Serat Centhini merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa termuat dalam Serat Centhini. Karya ini ditulis atas prakarsa Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom 442 Hamngkunagara III dari Kerajaan Surakarta, putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, yang kemudian bertahta pada tahun 1820-1823 M dengan gelar Sunan Pakubuwana V. Serat Centhini, yang pada awalnya bernama Suluk Tambangraras ditulis dalam bentuk tembang Macapat, mulai ditulis pada tahun 1814 dan selesai pada tahun 1823. Buku ini terdiri dari 12 (duabelas) jilid dengan seluruhnya berjumlah kurang lebih 3500 halaman. Marsono (2005:v), dalam kata pengantar terjemahan/saduran jilid V menyebutkan bahwa kandungan isi Serat Centhini sangat beragam: sejarah, pendidikan, geografi, arsitektur, pengetahuan alam, falsafah, agama, tasawuf, mistik, ramalan, sulapan, ilmu magi (ilmu kekebalan, ilmu sirep, dan ilmu penjahat), perlambang, adat istiadat, tata cara (tata cara perkawinan, tata cara pindah rumah, tata cara berganti nama, tata cara meruwat, tata cara menerima tamu, dan tata cara selamatan dalam daur hidup), etika, pengetahuan sifat manusia, pengetahuan dunia fauna, pengetahuan dunia flora/ botani, obat-obatan tradisional, makanan tradisional, seni (seni tari, seni suara, seni karawitan, seni wayang, seni pedalangan, dan seni topeng), dan bahkan sampai pada hal-hal sanggama yang dianggap porno pun diuraikan dalam naskah ini. Karena kandungan isinya yang demikian, Serat Centhini sering disebut dengan “Ensiklopedi Kebudayaan Jawa”, yaitu tentang segala yang terdapat di bumi Pulau Jawa, dan bukan yang terdapat di benua lain. Tentang pandangan bahwa Serat Centhini merupakan ensiklopedi kebudayaan Jawa kiranya tidak berlebihan. Salah satu hal yang menarik dalam Centhini adalah muatan mengenai makanan tradisional Jawa. Berbagai jenis makanan tradisional Jawa mulai dari makanan pokok, sayur, lauk, buah-buahan, minuman, sampai dengan bumbu yang digunakan pada masa Centhini ditulis, disebutkan secara natural dan mengalir. Makanan tradisional tersebut menyertai setiap alur cerita yang disajikan dalam Centhini. Bagaimana para tokoh dalam Centhini menghadiri jamuan makan dan apa saja yang disajikan disebutkan secara lengkap. Membahas mengenai makanan tradisional suatu bangsa merupakan hal yang cukup penting. mengingat jenis makanan, cara pengolahan, maupun penyajian makanan merupakan gambaran dari tingkat kebudayaan masyarakat pemangkunya. Selain itu, di dalam Centhini, makanan bukan saja untuk disantap, tetapi juga sarat dengan muatan simbol dan pengharapan. Oleh karena itu, tim peneliti melalui penelitian unggulan perguruan tinggi tertarik untuk melakukan penelitian mengenai makanan tradisional dalam Serat Centhini yang pada tahun pertama bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) macam-macam makanan tradisional yang terdapat dalam Serat Centhini., (2) resep, cara pengolahan, dan cara penyajian makanan tradisional yang terdapat dalam Serat Centhini, dan (3) Menganalisis nilai-nilai simbolik makanan tradisional Jawa yang tedapat dalam Serat Centhini. Sedangkan tujuan penelitian pada tahun kedua adalah: (1) Meneliti kandungan bahan dan gizi yang terdapat dalam makanan tradisional Jawa yang terinventarisasi dalam Serat Centhini, (2) Menyusun ensiklopedi makanan tradisional Jawa berdasarkan Serat Centhini yang dilengkapi dengan resep, cara pengolahan, cara penyajian, nilai simbolik, kandungan bahan, dan nilai gizi makanan tradisional Jawa, dan (3) Penerapan teknologi dalam pengemasan, penyajian, dan promosi makanan tradisional dalam Serat Centhini agar lebih menarik dan bernilai ekonomis sebagai penunjang wisata kuliner di Yogyakarta. Makanan Tradisional Pengertian makanan menurut Sekanto (melalui Rosyidi: 2006) adalah produk pangan yang siap hidang atau yang langsung dapat dimakan. Makanan biasanya 443 dihasilkan dari bahan pangan setelah terlebih dahulu diolah atau dimasak. Sedangkan yang termasuk makanan tradisional adalah makanan (termasuk jajanan) dan minuman serta bahan-bahan campuran (ingredient) yang secara trdisional telah digunakan dan berkembang di daerah atau masyarakat Indonesia. Dirunut dari definisinya, makanan tradisional adalah makanan dan minuman, termasuk makanan jajanan serta bahan campuran yang digunakan secara tradisional dan telah lama berkembang secara spesifik di daerah atau masyarakat Indonesia. Biasanya makanan tradisional diolah dari resep yang sudah dikenal masyarakat setempat dengan bahan-bahan yang diperoleh dari sumber lokal yang memiliki citarasa yang relatif sesuai dengan selera masyarakat setempat (http://www.deptan.go.id). Kriteria makanan tradisional pada masyarakat suku bangsa adalah sebagai berikut. 1. Diolah menurut resep makanan atau komposisi bumbu yang telah dikenal dan diterapkan secara turun temurun dalam sistem keluarga atau masyarakat. 2. Bahan baku tersedia setempat, baik merupakan hasil usaha tani sendiri maupun tersedia dalam sistem pasar setempat. 3. Cara pengolahannya spesifik menurut cara-cara yang telah dikembangkan oleh masyarakat setempat Di dalam makanan tradisional juga terkandung makna sosiokultural, teknik pembuatan, penggunaan, komposisi, dan akibat dari konsumsi makanan tersebut oleh masyarakat. Dengan demikian, makanan tradisional secara tidak langsung dapat mewakili budaya dan kebutuhan pangan masyarakat setempat. Budaya yang tampak pada produk makanan tradisional bukan hanya pada tingkat wujud fisik makanan, tetapi juga meliputi ide/gagasan dan perilaku masyarakat pendukungnya, pola hidup, mata pencaharian, yang tercermin pada peralatan, proses pengolahan dan pemasaran hingga cara konsumsi makanan tadisional. (Kuhnlein and Receveur 1996: 417). Serat Centhini Serat Centhini merupakan gubahan bersama di bawah pimpinan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III, putra mahkota Sunan Pakubuwana IV, yang kemudian menggantikannya menjadi Sunan Pakubuwana V, dengan para pujangga kraton Raden Ngabehi Ranggasusastra, Raden Ngabehi Yasadipura II, Raden Ngabehi Sastradipura, serta para anggota Kanjeng Pangulu Tapsiranom, Pangeran Jungut Mandurareja, Kyai Kasan Besari, dan Kyai Muhammad Minhad. Wirodono (2011:11) melihat kehebatan Serat Centhini dari apa yang diobsesikan Pakubuwana V yang dapat memberikan rujukan atau referensi pada masyarakat Jawa (pada waktu itu), yang tentu saja dengan situasi dan kondisi teknologi serta pengetahuannya, telah berjasa besar dalam menyebarkan berbagai pengetahuan dan kebudayaan manusia kepada masyarakat ramai. Sementara itu, dalam pandangan Kamajaya (1978: 4), isi kandungan Serat Centhini yang amat banyak dan bermacam-macam tentang kebudayaan dan kejiwaan banyak yang dapat menjadi sumber, sumbangan, dan bahan dalam pembentukan kepribadian dan kebudayaan nasional Indonesia. Kandungan Gizi Makanan Tradisional Makanan tradisional diketahui mempunyai keunggulan tersendiri berdasarkan kemurnian bahan dan kelokalannya. Menurut penelitian, penyakit musiman dapat disembuhkan tanpa obat kimia, tetapi hanya terapi dengan makanan tradisional yang terdapat di daerah tersebut. Berikut beberapa bahan dasar makanan tradisional yang mempunyai kandungan gizi dan bermanfaat dalam mencegah dan mengobati penyakit. 444 Contohnya tanaman pare (Momordica charabtia) mempunyai beberapa manfaat. Dapat merangsang nafsu makan, menyembuhkan penyakit kuning, memperlancar pencernaa dan sebagai obat malaria. Selain buah pare, ternyata daun pare juga mempunyai manfaat yang tidak kalah dengan buahnya. Manfaat tersebut antara lain dapat menyembuhkan mencret pada bayi, membersihkan darah bagi wanita yang baru melahirkan, menurunkan panas, mengeluarkan cacing kremi. Sedangkan buah pare dalam 100 gram mengandung Kalori 29,00 kal, Protein 1,10 gr, Lemak 0,30 gr, Karbohidrat 6,60 gr, Kalsium 45,00 mg, Fosfor 64,00 mg, Zat besi 1,40 mg, Vitamin A 180,00 SI, Vitamin B 0,08 mg, Vitamin C 52,00 mg, Air 91,20 gr (http://akhmadrahmadi2103.blogspot.co.id/2012/10/manfaat-pare-oyong-gambas-tomattimun.html). Senada dengan pendapat di atas, Wickenberg, dkk (2010) melalui penelitiannya mengenai temulawak menyatakan bahwa: “The present study shows that the ingestion of C. longa increased postprandial serum insulin levels, but did not affect plasma glucose levels or GI in healthy subjects. The results indicate that C. longa may have an effect on insulin secretion”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa temulawak menambah level serum insulin tetapi tidak mempengaruh pada glukosa. Hal tersebut dapat menunjukan bahwa temulawak mempunyai pengaruh pada pembuangan insulin. Selain makanan, minuman tradisional juga mempunyai banyak manfaat. Misalnya, minum teh diketahui dapat (1) memperkuat gigi & mencegah karies pada gigi, (2) mengurangi resiko keracunan makanan, (3) memperkuat daya tahan tubuh, (4) menyegarkan tubuh, (5) mencegah tekanan darah tinggi, (6) Mengoptimalkan Metabolisme Gula Mangan (Mn), yang terkandung dalam teh bisa membantu penguraian gula menjadi energi. Dengan demikian teh bisa membantu menjaga kadar gula dalam darah. (7) Mencegah Pertumbuhan Kanker. Kemampuan Catechin ( salah satu unsur dalam Polyphenols ) dapat menghambat terjadinya mutasi pada sel -sel tubuh dan menetralisir radikal bebas. (8) Mencegah penyakit jantung. Zat flavonoid dan mangan yang terkandung dalam teh dapat mencegah serangan radikal bebas yang bisa menyebabkan serangan jantung. (9) Memperlambat penuaan. Teh mengandung senyawa polifenol dan antioksidan yang berfungsi memperlambat penuaan dini. (10) Mencegah perdarahan. Kandungan vitamin K yang cukup tinggi pada teh berfungsi dalam pembekuan darah sehingga dapat mencegah pendarahan. Jika terjatuh, luka bisa dibersihkan dengan air teh yang pekat dan hangat. (11) Melangsingkan badan.Kandungan serat pada teh menyebabkan sistem pencernaan dalam tubuh berlangsung secara tidak berlarut-larut. Akibatnya, karbohidrat yang berhasil diserap tubuh menjadi lebih sedikit yang akhirnya membantu upaya mengurangi bobot tubuh. (12) Menurut peneliti di Hongkong, teh hijau ternyata juga berguna untuk mencegah osteoporosis dan penyakit tulang lainnya (Santoso, 2011). Jenis Makanan Tradisional dalam Serat Centhini Hasil penelitian mengenai jenis makanan tradisional dilakukan dengan cara pembacaan berulang, kemudian data dijaring dengan menggunakan instrumen penelitian yang telah disusun. Berikut ini contoh data mengenai jenis makanan tradisional. 445 Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan oleh tim peneliti, ditemukan sebanyak 444 jenis makanan tradisional dalam Serat Centhini dengan rincian sebagai berikut. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Makanan kecil Jumlah Setiap Jenis 128 Sayur-sayuran 110 Lauk pauk 77 Buah-buahan 44 Makanan pokok 50 Minuman tradisional 19 Bumbu dapur 16 Jumlah Total 444 Jenis Makanan Tradisional 446 Kemudian makanan tradisional dideskripsikan sesuai dengan kategorinya. Contoh untuk makanan pokok yang ditemukan dalam Serat Centhini berjumlah 50 jenis yaitu beragam jenis nasi, roti, kentang, ketela, ubi, talas, gembili, keladi, meniran, sagu, kupat, gadhung, walur, puli, dan aneka jenis nasi tim. Makanan pokok muncul sebanyak 114 kali dengan prosentase 11%. Sebagian besar makanan pokok yang muncul dalam Serat Centhini berupa nasi. Ada 50 jenis makanan pokok yang tercantum di dalam Serat Centhini, yaitu (1) nasi, (2) nasi wangi, (3) nasi ikan, (4) nasi sumbul, (5) nasi goreng, (6) nasi tumpeng, (7) nasi bucu, (8) nasi pulen, (9) nasi susu, (10) nasi liwet, (11) nasi kendhuri, (12) nasi uduk, (13) nasi kepyar, (14), nasi kebuli, (15) nasi golong, (16) nasi punar, (17) nasi biru kendhit, (18) nasi merah, (19) nasi hitam, (20) nasi wuloh, (21) nasi rames, (22) sekul lemeng, (23) sega lulut, (24) nasi basahan, (25) roti, (26) kentang, (27) ketela, (28) ubi, (29) talas, (30) gembili, (31) keladi, (32) sagu, (33) ketupat, (34) gadhung, (35) walur, (36) puli, (37) tim sarang burung otot, (38) tim burung dara, (39) tim bandeng, (40) tim bebek, (41) tim meri, (42) tim gurameh, (43) tim ikan tambra, (44) tim bulus, (45) tim gibas, (46) tim landak mopol, (47) panggang tumpeng, (48) liwet sadat, (49) sidhat mencir, dan (50) padi gaga. Nasi merupakan makanan pokok utama masyarakat Jawa, sehingga olahan nasi mempunyai beberapa varian, bahkan jenis beras juga beragam. Jenis beras pada Serat Centhini digolongkan menjadi lima, yaitu (1) beras putih, (2) beras merah (3) beras hitam, (4) beras ketan dan (5) beras gogo. Masyarakat Jawa biasa menggunakan beras putih sebagai makanan pokok sehari-hari. Jenis varian beras putih akan menentukan rasa, keharuman, pulen atau kerasnya nasi, dan jumlah air yang digunakan untuk menanak nasi. Warna nasi yang telah masak (tanak) berbeda-beda tergantung dari jenis beras yang digunakan. Pada umumnya, warna nasi adalah putih bila beras yang digunakan berwarna putih. Beras merah atau beras hitam akan menghasilkan warna nasi yang serupa dengan warna berasnya. Kandungan amilosa yang rendah pada pati beras akan menghasilkan nasi yang cenderung lebih transparan dan lengket. Ketan, yang patinya hanya mengandung sedikit amilosa dan hampir semuanya berupa amilopektin, memiliki sifat semacam itu. Beras jepang (japonica) untuk sushi mengandung kadar amilosa sekitar 12-15% sehingga nasinya lebih lengket daripada nasi yang dikonsumsi di asia tropika, yang kadar amilosanya sekitar 20%. Pada umumnya, beras dengan kadar amilosa lebih dari 24% akan menghasilkan nasi yang 'pera' (tidak lekat, keras, dan mudah terpisah-pisah).Cara memasak nasi dapat dikategorisasikan menjadi 3 cara, yaitu (1) ditanak, (2) dikukus, (3) dibakar, (4) digoreng. Nasi untuk konsumsi harian hanya ditanak tanpa ditambah bumbu dan dimakan beserta sayur dan lauknya. Selain sebagai makanan pokok, nasi juga digunakan sebagai sesaji dalam upacara adat. Sebagai sesaji, nasi dibentuk sedemikian rupa sesuai dengan simbolisasinya. Pada upacara adat, bentuk dan bahan pelengkap nasi mempunyai makna simbolis yang berkaitan dengan makna upacara adat. Bentuk dari nasi adalah (1) bulat, (2) kerucut, (3) bulat panjang. Jenis makanan tradisional yang lain adalah sayur. Masyarakat Jawa tidak begitu membedakan lauk dan sayur dengan rinci. Kadang terdapat jenis sayuran yang diolah menjadi lauk, misalnya tahu, tempe, dan ada pula sumber makanan hewani yang diolah menjadi jenis sayuran, misalnya pecel ayam. Ada beraneka jenis lauk dan sayuran yang diolah menjadi berbagai jenis makanan dalam centhini. Keberadaaan sayuran dalam centhini tidak hanya sebagai sayur saja tetapi juga sebagai sumber pengobatan. Terdapat 110 jenis sayuran yang terdapat dalam serat centhini, yaitu: (1) besengek ayam, (2) besengek tempe, (3) besengek wader, (4) besengek tawon, (5) besengek terinil, (6) besengek turlek, (7) besengek burcet, (8) sayur padhamara, (9) sayur menir, (10) pecel 447 ayam, (11) opor bebek, (12) opor, (13) dendeng, (14) petis, (15) kare, (16) brongkos, (17) sayur becek, (18) kacang, (19) kecipir, (20) kecemeh, (21) kemangi, (22) gude, (23) gunda gondang, (24) banci, (25) kalepoh, (26) kemangi, (27) kembang beku, (28) ebrut, (29) acar, (30) bothok jambal, (31) sayur kluwih, (32) babad galeng, (33) babad tala, (34) babad jarit, (35) iso, (36) glepah, (37) kluban, (38) gurung widungan, (39) saren, (40) bluthok penthul pusoh, (41) koyar lidah, (42) gitik, (43) dhokowan, (44) sayur asem, (45) bobor loncom, (46) muncang, (47) gulai, (48) windu bubus munggul, (49) belkothok, (50) lontho, (51) kikil, (52) ece, (53) pete, (54) bekothok, (55) balenyik, (56) bekakak kambing, (57) bekakak bebek, (58) bekakak ayam, (59) bekakak angsa, (60) bekakak domba, (61) bekakak gimbal, (62) bekakak kancil, (63) bekakak kijang, (64) bekakak daging kerbau muda, (65) bekakak daging kuda, (66) bekakak daging menjangan, (67) jeroan, (68) ebi, (69) gecok, (70) bothok bethik sanggring, (71) bothok bethik kendho, (72) bothok bethik gadhon, (73) etum jamur wuku, (74) druju watu kuping, (75) lurjuk, (76) combrang, (77) srunen, (78) keciput, (79) luntas, (80) kapas, (81) rempelas pakis, (82) katu, (83) kerokot, (84) careme, (85) kepel, (86) gayam, (87) selat, (88) kobis, (89) kucai, (90) sawi, (91) wortel, (92) daun lobak, (93) jagung, (94) jewawut, (95) tetel onggok, (96) jipang, (97) lalaban, (98) urat, (99) tulang muda, (100) rempelas pakis, (101) sayur lodeh, (102) urap-urapan, (103) duduh pitik, (104) lemengan sidhat, (105) lemengan kutuk, (106) lodhoh ayam, (107) lembaran jagoan pingul, (108) tomba brem masak santen, (109) pakis sayur, dan (110) kara. Berdasarkan data, cara pengolahan sayur ada yang (1) tanpa diolah, (2) direbus, (3) dikukus, (4) dibakar, dan (5) ditumis. Sayur yang dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu adalah lalapan. Sayuran yang termasuk lalapan adalah timun, wortel, kubis, kemangi, selada, kacang panjang. Biasanya lalapan dikonsumsi dengan lauk dan sambal. Cara perebusan sayur ada yang hanya direbus dengan bumbu ada yang ditambahkan dengan santan. Wujud sayur yang direbus ada dua macam, yaitu sayur berkuah dan sayur tanpa kuah. Perunutan Resep Masakan Tradisional Masakan tradisional yang terdapat dalam Serat Centhini tidak mencantumkan secara rinci, resep-resep makanan tradisional. Perunutan resep makanan tradisional dilakukan melalui pustaka lain yang sejaman maupun tidak sejaman dengan Serat Centhini. Selain itu, perunutan juga dilakukan oleh anggota peneliti yang merupakan ahli tata boga. Contoh hasil perunutan resep masakan tradisional yang dilakukan adalah sayur padhamara123 http://benpintermasak.com/wp-content/uploads/2011/03/Sayur-Lodeh-Kangkung.jpg http://tembi.net/selft/0000/jawa/sesaji_tarub_21.htm 448 Nilai Simbolis Masakan Tradisional Banyak jenis makanan dalam serat Centhini yang mengandung nilai simbolis. Diantaranya makanan sesaji yang berupa: nasi golong, nasi punar, nasi tumpeng,tumpeng gundhul, tumpeng robyong, ingkung sega rasulan, urapan/gudhangan, sambel gereh pethek/sambel gepeng, jenang abang, jenang baro-baro, jenang putih, dan jenang sungsum. Nilai-nilai simbolisme yang terkandung dalam makanan-makanan tersebut biasanya tersimbolisasi dengan pendekatan jarwa dhosok atau othak-athik tetapi sesuai dan cocok dengan makna yang dimaksud. Pendekatan ini merupakan pendekatan kultur masyarakat Jawa yang masih digunakan sampai saat ini. Adapun contoh uraian perunutan nilai simbolis makanan tradisional seperti berikut ini. 1. Nasi punar adalah nasi yang terbuat dari beras ketan yang diberi warna kuning dari air kunyit. Nasi ini biasanya disajikan pada acara dulangan pengantin. Pengantin pria dan wanita saling menyuapi, acara ini melambangkan kasih sayang, tanggungjawab, dan kewajiban dari mempelai wanita dan pria yang diharapkan tetap melekat dan tidak pernah terlepas dari diri masing-masing, ibaratnya rekatnya nasi punar. Istilah lain dalam budaya Jawa renggang gula kumepyur pulut yang berarti lekat/rekat rukun tidak terpisahkan. Warna kuning pada nasi punar melambangkan harapan untuk mempelai agar kehidupan keluarganya kelak bersinar cerah, tanpa suasana buram. 2. Nasi biru kendhit adalah nasi putih yang diberi warna biru yang berasal dari blawu berbentuk kerucut yang terdapat di tengah, lalu disekelilingnya terdapat aneka lauk pauk yang mengelilingi nasi biru ini seperti kol yang diiris persegi kecil dan direbus, telur ayam kampung rebus, sambal pencok, rempeyek, dan gereh pethek. Nasi beserta lauk pauk ditata di atas tambir yang dialasi samir dari daun pisang dengan susunan kenongan nasi di tengah dan lauk pauk sudhi diletakkan dipinggirnya. Nasi biru kendhit biasa disediakan untuk sesaji ritual-ritual tertentu yang banyak dilakukan oleh masyarakat jawa sebagai wujud kepercayaan terhadap laut selatan. Nasi biru kendhit ini biasanya juga disebut dengan dhahar kapuranto yang dimaksudkan untuk meminta maaf atas segala kesalahan yang telah dilakukan. 449 3. Ingkung adalah lauk yang terbuat dari ayam jago yang dimasak rebus. Ayam diikat menyerupai posisi tubuh orang sedang sujud. Lauk ini biasanya sebagai pelengkap nasi wuduk atau nasi gurih. Sajian ini dinamakan nasi rasul. Ingkung memiliki nilai simbolisme manusia harus tunduk dan selalu bersikap tawaduk kepada Allah dan rasul-Nya. Dalam Islam wujud ketakwaan manusia terhadap Allah yang tidak boleh ditinggalkan adalah menjalankan ibadah sholat atau biasa disebut sujud. Sujud adalah posisi yang mengingatkan manusia betapa sangat hina dan rendahnya manusaia di hadapan Allah Yang Maha Agung. Manusia tidak bernilai jika lalai terhadap Allah. Dari arti kata ingkung berarti terikat pada ingkang Maha Langkung. Dengan sajian ini, diharapkan manusia dalam keadaan nikmatpun tidak boleh lupa terhadap Tuhannya. Makna lain ingkung adalah ditlikung atau dibanda dalam bahasa Indonesia berarti dibelenggu. Maksudnya bahwa kehidupan manusia tidak ada yang bebas sebebasbebasnya. Hidup diatur oleh norma dan syariat agama. Manusia yang patuh kepada norma dan agama niscaya hidupnya akan damai. 4. Nasi tumpeng terbuat dari nasi putih yang dibentuk kerucut. Nasi ini melambangkan proses perjalanan hidup manusia dari dunia ramai menuju kekeabadian atau lazim disebut sangkan paraning dumadi, dari manusia diciptakan Allah, sampai kembali lagi ke haribaan Allah. Tumpeng biasa dilengkapi laukpauk seperti gudhangan, tempe goreng, sambel gepeng, peyek, sambel goreng dan ingkung. Kandungan Gizi Makanan Tradisional Jawa dalam Serat Centhini Penelitian terhadap kandungan gizi makanan tradisional Jawa dalam Serat Centhini dilakukan melalui penelusuran pustaka dan uji kandungan gizi. Kandungan gizi dihitung berdasarkan besaran bahan yang digunakan dalam suatu resep masakan. Berikut ini contoh hasil perunutan kandungan gizi makanan tradisional dalam Serat Centhini. Nama Masakan: Lemengan Kuthuk (5 Porsi) 450 Penyusunan Ensiklopedi Makanan Tradisional Jawa berdasarkan Serat Centhini Penyusunan ensiklopedi makanan tradisional dalam Serat Centhini merupakan lanjutan dari program tahun pertama. Ensiklopedi ini sudah mulai di edit dan lay out agar dapat dicetak menjadi sebuah buku. Setiap jenis makanan dalam Serat Centhini akan dilengkapi dengan: (1) nama makanan, (2) gambar makanan, (3) resep, (4) cara pembuatan, dan (5) kandungan gizi, dan (6) petikan bait dalam Serat Centhini yang menyebutkan mengenai makanan tradisional tersebut, dilengkapi dengan terjemahan teks. Penghitungan kandungan gizi dilakukan bersamaan dengan penghitungan kandungan gizi, oleh karena pada lay out di bawah ini, belum disisipkan kandungan gizi dalam jenis makanannya. Berikut ini contoh format ensiklopedi makanan tradisional yang sudah di-lay out. Penerapan teknologi dalam pengemasan, penyajian, dan promosi makanan tradisional dalam Serat Centhini agar lebih menarik dan bernilai ekonomis sebagai penunjang wisata kuliner di Yogyakarta Penerapan teknologi dalam pengemasan dan penyajian makanan tradisional dalam Serat Centhini dimulai dengan pemilihan jenis makanan dan minuman tradisional yang akan diujicoba dan dikreasikan agar lebih menarik dan bernilai ekonomis. Jenis makanan dan minuman yang dipilih adalah yang unik, langka, mempunyai ciri khas, dan belum dikenal secara luas (tidak terdapat dalam berbagai buku resep masakan umum). Selain itu, dilakukan pula penambahan kandungan gizi dalam suatu makanan. Jenis masakah yang dikreasikan kembali yaitu: (1) makanan kecil atau kudapan sebanyak 13 macam (Pipis Tuban, Pipis Kopyor, Gemblong, Sagon, Rangin, Roro Mendut, Jadah Kilang, Sumping, Rondo keli, Limpang-limpung, Kerak, Keling,dan 451 Utri, (2) sayuran dan sambal sebanyak 7 macam (Sayur Becek, Sayur Banci, Sayur Menir, Sayur bobor kelor, Sayur pakis, Blekethok, dan Pecel klenthang, (3) lauk pauk 8 jenis (Besengek, Trinil, Lodhoh Ayam, Opor Bebek, Besengek Wader, Tim Grameh, Tim Meri, dan Bekakak Kalkun, (4) makanan pokok sebanyak 4 jenis (Sekul Kenduri, Sekul Punar, Sekul susu, dan Sekul Ireng, (5) minuman tradisional sebanyak 2 jenis (Es cao dan rujak cerobo), (6) kreasi buah-buahan sebanyak 4 jenis (rangkaian buah pala gumantung, pala kesimpar, pala kependhem, dan nanas sebagai wadah), dan (6) jenang sebanyak 2 jenis (jenang pathi dan jenang grendul). Berikut ini merupakan dokumentasi makanan tradisional yang telah dimasak ulang oleh tim peneliti. Bekakak Kalkun Sayur Banci Pala Kependhem Sekul Ireng Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Makanan dan minuman tradisional Jawa cukup beragam. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi kuliner tradisional, tidak hanya dari Serat Centhini tetapi dari manuskrip-manuskrip Jawa yang lain secara luas. 2. Kandungan gizi dalam makanan dan minuman tradisional Jawa cukup tinggi dan beragam. 3. Masakan dan minuman yang termuat dalam Serat Centhini menggunakan bahanbahan dan cara memasak yang sederhana, sehingga cukup praktis dan mudah dimasak. 4. Masakan dan minuman yang terdapat dalam Serat Centhini banyak yang sudah langka dan tidak dikenal masyarakat. Oleh karena itu, revitalisasi makanan dan minuman tradisional dengan cara mengkreasikan ulang makanan menjadi hal yang 452 cukup penting. Selain itu, hal ini dapat dipandang sebagai peluang dalam bisnis kuliner dan pariwisata khususnya di DIY. Daftar Rujukan Kamajaya, Karkana, 1978, Serat Centhini dituturkan dalam Bahasa Indonesia Jilid IA, Yogyakarta: UP Indonesia. Kuhnlein, Harriet V. dan Receveur, Oliver. 1996. Dietary Change and Traditional Food System of Indigenous People. Jurnal Annual Reviews. Vol. 16 tahun 1996, hal. 417-442. diunduh dari http://www.researchgate.net/publication/ 14365338_Dietary_Change_and_Traditional_Food_Systems_of_Indigenous_ Peoples pada 14 April 2013. Marsono (penyunting). 2005-2008. Centhini Tambangraras-Amongraga V-XII. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Rahmadi, Akhmad. 2012. Manfaat Pare,Tomat, Timun, Terong, Oyong (Gambas) diunduh dari http://akhmadrahmadi2103.blogspot.co.id/2012/10/manfaatpare-oyong-gambas-tomat-timun.html pada 15 April 2013. Rosyidi, Djalal. 2006. Macam-macam Makanan Tradisional yang Terbuat dari Hasil Ternak yang Beredar di Kota Malang. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. Vol. 1, No. 1 Agustus 2006, hal. 24-34. diunduh dari http://jitek.ub.ac.id/ index.php/jitek/article/download/100/99 pada 13 April 2013. Santoso, Urip. Dampak Positif dan Negatif Minum Teh. diunduh dari http://uripsantoso.wordpress.com/2011/09/12/dampak-positif-dan-negatifminum-teh/. Wickenberg et al. Nutrition Journal 2010, 9:43.diunduh dari http://www.nutritionj.com/content/9/1/43 pada 15 April 2013. Wirodono, Sunardian, 2011, Centhini Sebuah Novel Panjang, Yogyakarta: Diva Press. 453 ANTROPOLOGI SASTRA WAYANG PEMBANGKIT SOLIDARITAS SOSIAL SEBUAH PENCERMATAN LAKON WAHYU PADA BERSIH DESA Suwardi Endraswara (FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia) Abstrak: Antropologi sastra adalah cabang ilmu sastra posmodernisme, mencermati sastra dari seluk beluk kemanusiaan. Dari sisi antropologi sastra, manusia tergolong sebagai makhluk homo homini socius. Artinya, manusia sebagai kawan sosial bagi manusia lainnya, selain sebagai makhluk individu yang memiliki jati diri. Eksistensi manusia demikian, sering mendapat penekanan dalam pertunjukkan wayang kulit dengan lakon wahyu yang digunakan dalam konteks upacara bersih desa. Lakon wahyu selain memiliki (1) kaitan spiritual juga memuat (2) kaitan sosial. Kaitan spiritual, yaitu sebagai sarana upacara untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada Tuhan, sedangkan kaitan sosial yaitu sebagai sarana untuk memperkokoh jaringan sosial, kesetiakawanan sosial, solidaritas sosial, yang pada gilirannya akan memperkokoh rasa persaudaraan sesama warga masyarakat. Pertunjukan wayang kulit merupakan salah satu bentuk pertunjukan teater boneka, untuk itu dalam membahas pertunjukan wayang kulit dalam upacara bersih désa payungnya adalah dramaturgi pedalangan. Penelitian ini tidak hanya mengamati pertunjukan wayang kulit dari sisi teks, akan tetapi juga mengamati dan menganalisis dari sisi konteks, khususnya antropologis. Dengan demikian penelitian yang dilakukan merupakan perpaduan antara penelitian tekstual dan kontekstual. Dari sisi antropologi sastra, lakon wahyu dalam upacara bersih desa perlu pencermatan beberapa hal, yaitu (1) lakon wahyu apa saja yang dijadikan idola cultural oleh masyarakat, (2) sejauh mana estetika sastra yang terkandung dalam lakon wahyu tersebut, (3) wawasan budaya seperti apa yang termuat dalam simbol-simbol lakon wahyu. Lakon wahyu memberikan tuntunan, tontonan, dan tatanan soslidaritas social dalam masyarakat. Karena dalam lakon tersebut, berisikan nilai-nilai yang memperkaya pengalaman social budaya yang tidak lepas dari nilai kemanusiaan, tolerensi, Ketuhanan, keadilan, tapa brata, keagungan dan sebagainya. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa lakon wahyu dapat memberikan harapan tuah baik bagi solidaritas social masyarakat, agar dikaruniai keselamatan, kebahagiaan, kemuliaan, dan ketentraman. Gayutan sosial lakon wahyu pada acara bersih desa memupuk rasa persatuan, persaudaraan, kebersamaan, dan solidaritas diantara para warga. Dengan adanya rasa persatuan dan kebersamaan akan tercipta suasana yang aman dan tentram. Kata kunci: antropologi sastra, lakon wahyu, bersih desa, dan solidaritas sosial : Antropologi Sastra: homo homini socius dan Lupus Antropologi sastra adalah cabang ilmu sastra posmodernisme, mencermati sastra dari seluk beluk kemanusiaan. Manusia itu sering gila sendiri. Sering ingin membebaskan diri. Dari sisi antropologi sastra, manusia tergolong sebagai makhluk homo homini socius. Artinya, manusia sebagai kawan sosial bagi manusia lainnya, 454 selain sebagai makhluk individu yang memiliki jati diri. Manusia juga sering disebut homo homini lupus, yang berbahaya bagi sesamanya. Dalam wayang, baik manusia sebagai socius dan lupus sering muncul bertubi-tubi. Wayang adalah potret diri manusia. Lewat wayang, baik manusia sebagai socius dan lupus selalu Nampak. Dari sisi antropologi wayang (sastra), manusia sering mempertontonkan dirinya lewat pertunjukan wayang. Dirinya yang kalem, tenang, sabar, diwujudkan dalam lakon wayang wahyu. Hal ini menandai hadirnya kepekaan manusia pada kekuatan adikodrati. Dalam ritual bersih desa, wayang wahyu selalu hadir. Harapannya agar desa itu menerima wahyu keindahan. Sayangnya, di balik mengejar wahyu itu, ada sifat lupus manusia yang muncul. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin hidup sendiri dalam memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan orang lain, karena memang manusia diciptakan Tuhan untuk saling berinteraksi, bermasyarakat atau bersilaturahmi dengan sesama serta dapat saling tolong menolong dalam memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan untuk bermasyarakat atau berkumpul dengan sesama merupakan kebutuhan dasar atau naluri manusia itu sendiri yang dinamakan Gregariousness. Maka dengan demikian manusia merupakan makhluk sosial Homo Socius. Socius berasal dari bahasa Latin yang berarti teman, kawan atau masyarakat, sedangkan Homo yang berarti sejenis. Sehingga Homo Socius dapat diartikan sebagai makhluk yang selalu ingin berinteraksi dengan sesama atau bergaul. Adapun ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk yang mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama sesamanya dinamakan ilmu sosiologi. Adam Smith seorang filsuf berlatar belakang ekonomi mengutarakan bahwa manusia adalah makhluk Homo homini socius yang berarti manusia menjadi kawan bagi manusia lainnya. Inti dari pikiran ini adalah bahwa manusia akan butuh orang lain dalam hidupnya untuk berinteraksi. Dalam sebuah teori yang sangat sederhana, teori ini dapat dengan sederhana dibuktikan dengan kebutuhan manusia akan akurasi dan dipandang baik oleh orang. Dalam konteks ingin dipandang baik oleh orang lain, akan menjadi sorotan dalam homo homini socius dan kemudian, kebutuhan ini akan dijelaskan lebih lanjut dengan konsep self esteem atau yang diterjemahkan menjadi harga diri. Kebutuhan akan harga diri pertama kali dijelaskan dalam hierarchy of needs, oleh Abraham Maslow (Schultz, D. 1976). Maslow membagi atas dua bagian untuk kebutuhan akan harga diri ini, yaitu kebutuhan yang tergolong rendah dan tergolong tinggi. Yang tergolong rendah mencakup kebutuhan dihormati oleh orang lain, kebutuhan akan status, popularitas, kemenangan, dikenal, diperhatikan, reputasi, apresiasi, martabat, dan bahkan dominansi. sementara yang tergolong tinggi mencakup kebutuhan akan penghormatan terhadap diri sendiri oleh diri sendiri (self respect) seperti perasaan yakin, kepemilikan akan kompetensi, perolehan hasil, penguasaan akan suatu hal, kemandirian, dan kebebasan. Bentuk-bentuk ke dua disebut sebagai kebutuhan yang dikategorikan tinggi oleh Maslow karena ketika sudah memiliki self respect tersebut, maka seorang individu akan sulit terlepaskan itu semua. Semua penjelasan-penjelasan tersebutlah, yang kemudian akan membuat seseorang membutuhkan orang lain, sebab untuk memperoleh harga diri tadi, maka manusia butuh orang lain untuk memberikannya. Konteks ini sering hadir dalam sastra wayang dan pertunjukan wayang kulit. Lakon-lakon wahyu, selalu terkait oleh dorongan manusia sebagai socius dan lupus. Lewat ritual bersih desa, pertunjukan wayang sebagai socius muncul dibarengi sebagai lupus. 455 Homo homini lupus adalah ungkapan Latin yang berarti “manusia adalah serigala bagi manusia sesama.” “Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya” atau juga disebut “Homo homini Lupus ” istilah ini pertama kali di kemukakan oleh plautus pada tahun 945,yang artinya sudah lebih dari 1500 tahun dan kita masih belum tersadar juga. di jaman sekarang ini sangat sulit Menjadikan Manusia seperti seorang manusia pada umumnya,sepertinya istilah ini masih tetap berlaku sampai sekarang. Ungkapan “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lain) dipopulerkan oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf dari Inggris, untuk menggambarkan situasi masyarakat yang diwarnai oleh persaingan dan peperangan. Siapa pun bisa menjadi musuh. Manusia yang satu bisa “memakan” dan mengorbankan manusia lain demi tujuan yang ingin dicapai. “Bellum omnium contra omnes” (perang semua melawan semua). Kebenaran pendapat Hobbes itu masih dapat kita jumpai dalam situasi kita saat ini. Kita merasakan bahwa situasi persaingan itu semakin menguat. Apalagi di era globalisasi yang ditopang oleh sistem pasar bebas. “Kalau mau tetap eksis, harus berani bersaing dengan yang lain” itulah jargon yang seringkali dimunculkan. Di antara negara-negara, persaingan itu sangat kentara. Perusahaanperusahaan trans-nasional bertebaran di mana-mana. Yang punya modal kuat bisa bertahan dan bahkan makin mendulang keuntungan. Sementara yang modalnya kecil kandas di tengah jalan. Situasi persaingan itu tidak hanya terjadi antar institusi. Persaingan antar individu pun terjadi. Tidak bisa dipungkiri Hidup di dalam suatu negara sangat di butuhkan sosialisasi karena kita tidak dapat Hidup dengan sendirinya tanpa ada manusia lain.Apalagi seperti keadaan sekarang ini kita Hidup di jaman yang serba susah. Demi mempertahankan hidup itu sendiri kita rela melakukan apa saja Mulai dari yang halal sampai yang Haram, tentunya semua itu kita lakukan untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.Untuk mewujudkan itu semua memang tidak mudah dimana kita harus menghadapi berbagai konflik yang akan memicu lahirnya sikap saling mangsa Dan disinilah Peran Hati nurani & ego sangat dibutuhkan. gambaran manusia di jaman sekarang ini sangatlah mengerikan dari segi sikap dan perbuatan terkadang lebih keji dari pada hewan yang paling buas sekalipun,saling sikut,saling berebut saling tikam bahkan saling memangsa layaknya serigala yang buas siap menerkam mangsanya demi sebuah kepuasan (ambisi). sebagai contoh yang terjadi di dalam kehidupan kita seperti tindakan kekerasan,mulai dari perkelahian ,pembunuhan,pemerkosaan,serta aksi teror pemboman yang sedang trend di negara kita dan perang dunia yang memungkinkan akan terjadi lagi. Apakah itu disebut manusia ? Tidak. Kenapa tidak? Karena itu semua manusia yang melakukanya dan dilakukan terhadap manusia juga? entahlah..’ Pengakuan sebagai umat beragamapun yang telah patuh terhadap ajaranya kerap kali sebagai alasan tindakan kekerasan bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang. Banyak pelaku kekerasan seperti tersebut menyatakan ini masalah iman, masalah Tuhan atau masalah kebenaran (kebenaran yang ditafsirkan manusia itu sendiri). Homo homini lupus. Artinya, manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Mungkin ucapan itu berlebihan. Mungkin juga ada benarnya. Bukankah kadang-kadang kita berperilaku seperti serigala terhadap orang lain: mengancam, menakut-nakuti, membentak, menjebak, memperdaya, mendengki dan merebut. Kalau dipikir, sebenarnya mengerikan jika kita bersifat seperti serigala. Licin dan licik, kejam dan keji, buas dan beringas. Mengintai, menerkam dan mencakar. Kita menggigit dan memakan orang lain. Eksistensi manusia demikian, sering mendapat penekanan dalam pertunjukkan wayang kulit dengan lakon wahyu yang digunakan dalam konteks upacara bersih desa. Lakon wahyu selain memiliki (1) kaitan spiritual 456 juga memuat (2) kaitan sosial. Kaitan spiritual, yaitu sebagai sarana upacara untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada Tuhan, sedangkan kaitan sosial yaitu sebagai sarana untuk memperkokoh jaringan sosial, kesetiakawanan sosial, solidaritas sosial, yang pada gilirannya akan memperkokoh rasa persaudaraan sesama warga masyarakat. Lakon Wahyu dalam Bersih Desa Antropologi wayang, menandai hadirnya sifat manusia yang ingin mendapatkan hidup tenteram. Mereka beridealisme dalam kisah wayang wahyu. Lakon wahyu dijadikan pancaran hidup yang super. Di balik itu, upaya manusia menemukan wahyu juga sering berbau lupus. Akibatnya dalam pertunjukan wayang semakin ramai, karena ada pertentangan antara socius dan lupus. Melalui ritual bersih desa, manusia berusaha memadu keinginan yang bersih tentang wahyu itu. Termasuk di dalamnya wahyu keprabon. Lampahan Wahyon (cerita wahyu) contohnya: Wahyu Pancadarma; Wahyu Tri Marga Jaya; Wahyu Widayat Pitu, Wahyu Triwibawa, Wahyu Gada Inten, Wahyu Cakraningrat, Wahyu Senapati, Wahyu Kalimasada, dan sebagainya. Pertunjukan wayang kulit merupakan salah satu bentuk pertunjukan teater boneka, untuk itu dalam membahas pertunjukan wayang kulit dalam upacara bersih désa payungnya adalah dramaturgi pedalangan. Penelitian ini tidak hanya mengamati pertunjukan wayang kulit dari sisi teks, akan tetapi juga mengamati dan menganalisis dari sisi konteks, khususnya antropologis. Dengan demikian penelitian yang dilakukan merupakan perpaduan antara penelitian tekstual dan kontekstual. Dari sisi antropologi sastra, lakon wahyu dalam upacara bersih desa perlu pencermatan beberapa hal, yaitu (1) lakon wahyu apa saja yang dijadikan idola cultural oleh masyarakat, (2) sejauh mana estetika sastra yang terkandung dalam lakon wahyu tersebut, (3) wawasan budaya seperti apa yang termuat dalam simbol-simbol lakon wahyu. Lakon wahyu memang cukup banyak. Hakikat lakon ini merupakan wujud dari keinginan manusia. Wahyu itu sacral dan pujaan manusia. Oleh karena banyaknya lakon wahyu, hanya saya batasi lakon Wahyu Purbasejati dan Wahyu Makutharama saja. Alasanya, dua lakon ini termasuk popular dalam ritualbersih desa di Jawa. Lakon Purbasejati menceritakan prosesi pemberian wahyu atau anugerah dewa kepada para raja, pendeta dan ksatria, karena telah berjasa pada dewa. Selanjutnya dipaparkan bahwa Wahyu Purbasejati berwujud sukma dari Ramawijaya dan Laksmanawidagda. Wahyu Purba menjelma kepada Kresna, Wahyu Sejati menjelma kepada Arjuna serta Wahyu Wahdat menjelma kepada Baladewa. Pelajaran yang dapat diambil dari lakon Wahyu Purba Sejati adalah perlunya kerja keras dan kerja ikhlas serta dilakukan secara istiqamah untuk meraih anugerah dari Yang Maha Kuasa. Lakon Wahyu Purbasejati melukiskan Raja Baladewa datang di Dwarawati menjumpai Kresna. Baladewa bercerita, bahwa dirinya menerima sasmita dari dewa. Dalam tidur bermimpi dilihatnya sinar memancar dikerumuni handaru. Kresna diminta menjelaskan makna sasmita itu. Kresna tidak mau menerangkan sasmita, hanya dikatakan bahwa wahyu Purbasejati akan turun. Baladewa diajak mencari wahyu itu. Baladewa dan Kresna bersemedi di candi Gandamadana. Raja di negara Tawanggantungan bergelar Prabu Dasakumara (sukma Dasamuka) menyuruh Megayitna (sukma Indrajid) mencari Sembadra di Dwarawati. Megayitna membawa prajurit jin pergi ke Dwarawati. Arjuna menghadap Resi Abiyasa di Wukir Retawu. Arjuna disuruh ke Gandamadana, sebab wahyu Purbasejati akan turun. Arjuna berangkat bersama punakawan. Ditengah perjalanan diganggu Jin, tetapi 457 dapat dihalau. Raja Puntadewa minta kepada Bima agar mencari Arjuna, sebab sudah lama meninggalkan Amarta. Hyang Guru dihadap oleh Hyang Narada, Ramawijaya dan Lesmana (yang telah berbadan halus). Lesmana dan Ramawijaya disuruh turun ke dunia. Hyang Narada dan Hyang Basuki mengawalnya. Bima berjumpa Anoman menanyakan tempat penjelmaan Wisnu. Bima berkata, Ramawijaya telah menjelma pada Kresna. Anoman minta agar Bima mau menghantar ke Dwarawati. Bima mau menghantarnya tetapi Anoman diajak mencari Arjuna dahulu. Juru Kunci candi Gandamadana bernama Jembawan dan Trijata. Mereka berdua menunggu Baladewa dan Kresna yang sedang bertapa. Wahyu berkitar di atas candi, kemudian masuk ke tubuh Baladewa dan Kresna. Narada membangunkan Baladewa dan Kresna memberi tahu bahwa wahyu telah turun pada mereka. Narada menerangkan, bahwa Wahyu Purba jatuh pada Kresna, wahyu wahdat jatuh pada Baladewa, sedang wahyu sejati jatuh pada Arjuna. Baladewa bertanya, apa sebab yang yang bertapa dua orang, Arjuna juga memperoleh wahyu. Narada menerangkan, Arjuna telah lebih dahulu bertapa memperoleh wahyu. Arjuna datang dan menghormat Narada. Bima dan Anoman datang bertemu Jembawan. Mereka saling bercerita sejak berpisah sesudah perang Alengka. Anoman ingin mengabdi di Dwarawati. Kresna menerimanya. Mereka pulang ke Dwarawati. Raja Dwarawati menerima laporan , bahwa Sembadra hilang dicuri penjahat. Arjuna segera pergi mengejar pencuri. Penjahat terseut tidak lain Megayitna yang melarikan Sembadra. Arjuna mengejar dan merebutnya. Setelah Sembadra dapat direbut, Anoman masuk ke kancing ke kancing sanggul tempat sembadra. Megayitna bisa lolos dan pulang ke Tawanggantungan. Megayitna tidak tahu bahwa Sembadra telah diganti Anoman. Maka setiba di istana berkata kepada raja bahwa Sembadra telah berhasil dibawanya. Setelah dikeluarkan dari anggul bukan Sembadra yang dipersembahkan kepada Prabu Dasakumara, melainkan Anoman. Raja dasakumara marah terjadilah perang. Dasakumara dapat ditangkap, lalu dimasukkan penjara besi di Gunung Ngungrungan. Raja Kresna dan keluarga Pandawa datang, perang melawan Megayitna. Megayitna dan prajuritnya kalah. Anoman disuruh bertapa di Kendalisada. Raja Kresna dan Pandawa bersyukuran di Dwarawati. Wahyu Makutharama juga tidak kalah seru. Wahyu ini terdapat konteks HinduJawa, yang mengisahkan. Prabu Suyudana (Doryudana) mengutus Adipati Karna, Patih Sengkuni dan para Kurawa pergi ke Gunung Kutharungu atau Pertapaan Swelagiri. Ia mendapat wangsit dalam mimpinya bahwa barang siapa yang bisa memiliki Makuta Sri Batararama, maka ia akan menjadi sakti, dan akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa. Adipati Karna kemudian pergi menjalankan tugasnya ke Kutharungu. Disana ia bertemu dengan Anoman yang memang ditugaskan oleh Panembahan Kesawasidi untuk menjaga keamanan selama ia bersemedi. Karna kemudian mengungkapkan maksud kedatangannya kepada Anoman, namun Anoman menolaknya. Terjadilah kesalahpahaman antara keduanya sehingga pertarungan antara keduanya tidak bisa dihindarkan. Karna yang merasa terdesak, langsung melepaskan senjata saktinya, panah KuntaWijayandanu. Anoman yang mengetahui bahwa senjata itu bukanlah pusaka biasa, ia lalu terbang setinggi-tingginya dan menukik menangkap panah yang telah dilepaskan oleh Karna. Karna yang kehilangan pusaka andalannya kemudian kembali pulang ke Awangga, ia tidak kembali ke Hastina karena malu tidak bisa menjalankan tugas dengan baik. Sementara di pihak Pandawa, Arjuna juga mencari Makutharama yang ditemani oleh para Punakawan. Dalam perjalanannya ke Kutarungu, ia dihadang oleh raksasaraksasa yang menganggunya. Namun akhirnya, Arjuna bisa mengalahkan mereka. 458 Beruntunglah Arjuna, sesampainya di Swelagiri, Panembahan Kesawasidi sudah selesai bersemedi dan baru saja memberikan nasihat kepada Anoman yang dianggapnya sedikit lancang dalam menjalankan tugasnya. Anoman kemudian diperintahkan untuk ke Kendhalisada untuk bertapa dan memohon ampun atas kesalahannya. Arjuna kemudian bertemu dengan Kesawasidi, dan menjelaskan maksud kedatangannya. Begawan Kesawasidi memberikan penjelasan bahwa sebenarnya Makutharama itu bukanlah sebuah barang/benda, melainkan pengetahuan budi pekerti raja yang sempurna atau ajaran Astabrata. Begawan Kesawasidi kemudian menyampaikan ajaran Astabrata kepada Arjuna. Setelah selesai menyampaikan ajaran Rama, panembahan Kesawasidi memberikan pusaka Kuntawijayandanu kepada Arjuna agar diserahkan kembali kepada Karna sang pemilik. Arjuna kemudian mohon undur diri. Setelah selesai memberikan wejangan Astabrata kepada Arjuna, tanpa sepengetahuan Arjuna, Kesawasidi kemudian berubah menjadi wujud aslinya yaitu Prabu Kresna dari Dwarati dan mengikuti Arjuna kembali ke Amarta. Sementara di Amarta, semuanya gelisah karena Arjuna yang sedang mencari wahyu Makutharama tidak kunjung pulang dan Prabu Kresna juga lama tidak berkunjung ke Amarta. Yudhistira kemudian memerintahkan Bima untuk mencari Prabu Kresna danGatotkaca untuk mencari Arjuna. Begitu pula dengan Dewi Subadra dan Dewi Srikandi, mereka mengkhawatirkan suaminya, Arjuna, yang tidak kunjung pulang. Kemudian mereka memohon petunjuk dewa. Datanglah Batara Narada yang mengubah wujud mereka menjadi seorang ksatriya. Dewi Subadra diberi nama Shintawaka dan Dewi Srikandi bernama Madusubrata.Keduanya kemudian diperintahkan untuk menuju ke pertapaan Kutarungu. Sepanjang perjalanannya, Shintawaka dan Madusubrata selalu meneriakkan tantangannya kepada Raden Arjuna. Suara mereka bahkan sampai terdengar Gatutkaca yang sedang berada di angkasa dalam perjalanannya mencari Arjuna. Gatutkaca tidak terima dengan tantangan Shintawaka dan Madusubrata, terjadilah perkelahian diantara mereka. Dalam pertempuran itu, Gatotkaca kalah, dan diangkat oleh mereka dan diajak bersama-sama mencari Arjuna. Sementara Adipati Karna yang sedih karena kehilangan senjata pusakanya akhirnya bertemu dengan Arjuna yang ingin mengembalikan Kuntawijayandanu kepadanya. Keduanya pun saling melepas rindu karena lama tidak bertemu. Karna juga menanyakan kenapa senjatanya bisa berada di tangan Arjuna. Arjuna berterus terang bahwa senjata itu diperolehnya dari Panembahan Kesawasidi saat ia bermaksud mencari wahyu Makutarama. Mendengar cerita Raden Arjuna, Adipati Karna memaksa ingin tahu tentang wahyu Makutharama, tetapi Arjuna menolaknya. Terjadilah pertempuran diantara keduanya, namun Karna kalah dan melarikan diri. Dalam pelariannya menghindari Arjuna, Karna bertemu dengan Shintawaka dan Madusubrata. Karna kemudian memberitahukan bahwa Arjuna berada di belakang mengejarnya. Raden Arjuna yang sedang mengejar Adipati Karna kemudian dihalanghalangi oleh Shintawaka dan Madusubrata hingga terjadilah pertempuran diantara mereka. Namun, Arjuna kalah dan menghindari Shintawaka dan Madusubrata. Raden Arjuna kemudian bertemu dengan Bimasena yang sedang mencari keberadaan Prabu Kresna. Arjuna meneritakan bahwa ia dikalahkan oleh dua satriya yang tidak dikenal, dan ia meminta bantuan kakaknya itu untuk menghadapi Shintawaka dan Madusubrata. Shintawaka dan Madusubrata yang dibantu Gathotkaca juga berhasil mengalahkan Bima, karena Gathotkaca tahu kelemahan ayahnya itu. Saat Arjuna dan Bima mundur menghindari pertempuran dengan Shintawaka dan Madusubrata, mereka bertemu dengan Prabu Kresna. Keduanya lalu menceritakan 459 bahwa mereka baru saja dikalahkan oleh Shintawaka dan Madusubrata. Prabu Kresna tahu siapa jati diri kedua satriya itu sebenarnya. Ia kemudian meminta Arjuna untuk menghadapi mereka kembali dengan menggunakan ilmu Asmaratantra yang berupa syair/tembang asmara yang bisa meluluhkan hati Shintawaka dan Madusubrata. Berubahlah wujud dua satriya itu, Shintawaka berubah ke wujud aslinya yaitu Dewi Subadra dan Madusubrata kembali menjadi Dewi Srikandi. Cerita Wahyu Makutharama dimuat dalam lakon Wahyu Makutharama atau Arjuna Jelur. Isi ringkas cerita Wahyu Makutharama sebagai berikut: Duryodana raja Ngastina duduk di atas singgasana, dihadap oleh Baladewa raja Mandura, Basukarna, Pendeta Drona, Patih Sakuni dan beberapa pegawai kerajaan Ngastina. Mereka membicarakan wahyu yang akan turun ke dunia. Raja Duryodana ingin memperoleh wahyu itu, lalu minta agar Adipati Karna bersedia mewakili untuk mencarikannya. Adipati Karna bersedia, lalu pergi bersama Patih Sakuni dan beberapa warga Korawa meninggalkan istana. Prajurit Korawa ikut mengawal perjalanan mereka. Kresna menjadi pertapa bernama Bagawan Kesawasidi, bertempat di pertapaan Kutharunggu. Sang Bagawan dihadap oeh Anoman, Resi Maenaka, Yaksendra dan Gajah Setubanda. Adipati Karna dan Patih Sakuni datang menghadap sang Bagawan, minta Wahyu Makutharama yang sekarang ada pada Bagawan Kesawasidi. Bagawan Kesawasidi mengaku bahwa wahyu tidak ada pada dirinya. Adipati Karna tidak percaya, maka terjadilah perselisihan. Adipati Karna menyerang, tetapi dilawan oleh Yaksendra dan Yajagwreka. Bagawan Kesawasidi tidak senang melihat pertengkaran itu, maka Resi Anoman diminta melerainya. Adipati Karna melepas panah Wijayandanu, tapi panah ditangkap oleh Resi Anoman. Panah diserahkan kepada Bagawan Kesawasidi. Adipati Karna putus asa, tidak melanjutkan perkelahian. Bagawan Kesawasidi menyalahkan sikap Anoman. Resi Anoman merasa salah, lalu minta petunjuk. Resi Anoman disuruh bertapa di Kendhalisada. Resi Anoman kemudian kembali ke Kendhalisada. Arjuna dan panakawan menjelma menjadi seorang begawan, dan sekarang ingin bersatu dengan Hyang Suksma Kawekas. Selama bersamadi ia mendapat petunjuk agar menemui Bagawan Kesawasidi. Bagawan Wibisana menghadap Bagawan Kesawasidi di Kutharunggu. Ia minta penjelasan cara mempersatukan diri dengan Hyang Suksma Kawekas. Bagawan Kesawasidi keberatan untuk menjelaskannya, lalu terjadi perkelahian. Bagawan Kesawasidi dipanah Wibisana dengan panah pemberian Ramawijaya. Seketika Bagawan Kesawasidi berubah menjadi raksasa besar dan dahsyat. Bagawan Wibisana menghormat dan minta ampun. Bagawan Kesawasidi kembali ke wujud semula, lalu bersamadi. Bagawan Wibisana ikut bersamadi. Setelah selesai, Bagawan Kesawasidi minta agar Bagawan Wibisana membuka jalan untuk air suci. Bagawan Wibisana mendapat air suci, lalu akan kembali ke sorga. Di tengah perjalanan ia melihat penderitaan suksma Kumbakarna. Suksma Kumbakarna mengganggu suksma Wibisana. Maka suksma Kumbakarna disuruh mencari Wrekodara di Marcapada. Wrekodara mencari saudara-saudaranya. Di tengah jalan ia digoda oleh suksma Kumbakarna. Wrekodara marah, mengamuki Kumbakarna yang kadang-kadang tampak, kadang-kadang hilang. Akhirnya suksma Kumbakarna masuk ke betis Wrekodara sebelah kiri. Kemudian Wrekodara pun melanjutkan perjalanan. Arjuna menghadap Bagawan Kesawasidi di Kutharunggu. Bagawan Kesawasidi tahu bahwa Arjunalah yang pantas ditempati Wahyu Makutharama. Bagawan Kesawasidi memberi nasihat dan menyampaikan ajaran Rama kepada Wibisana yang disebut Hasthabrata. Setelah selesai 460 memberi wejangan dan ajaran, Bagawan Kesawasidi menyerahkan senjata Kunta kepada Arjuna. Arjuna menerima Kunta, menghormat, lalu pergi mendapatkan Karna. Arjuna menemui Karna, menyerahkan senjata Kunta. Karna menerima senjata, kemudian berkata ingin memiliki Wahyu Makutharama. Arjuna mejelaskan makna wahyu itu, dan berkata bahwa dirinya yang memilikinya. Karna ingin merebut wahyu tersebut, maka terjadilah perkelahian di antara mereka. Karna merasa tidak mampu lalu mengundurkan diri. Arjuna kembali ke pertapaan Kutharunggu. Wrekodara telah datang menghadap Bagawan Kesawasidi. Tiba-tiba datang dua kesatria bernama Bambang Sintawaka dan Bambang Kandhihawa. Mereka ingin menaklukkan Bagawan Kesawasidi dan Arjuna. Akhirnya terjadi perang tanding. Bagawan Kesawasidi melawan Bambang Sintawaka, Arjuna melawan Bambang Kandhihawa. Bagawan Kesawasidi berubah menjadi Kresna, Bambang Sintawaka menjadi Sembadra, dan Bambang Kandihawa menjadi Srikandi. Mereka senang dapat bertemu dan bersatu kembali, kemudian kembali ke negara, berkumpul di Ngamarta. Antropologi Sastra dan Wayang Antropologi sastra sebenarnya tepat untuk memahami wayang. Antropologi sastra itu membedah manusia dari sisi budayanya. Padahal wayang wahu di atas jelas perwujudan keinginan manusia, baik sebagai socius dan lupus. Keduanya terpadu membentuk budaya yang kreatif dalam lakon wahyu. Atas dasar hal itu, kedekatan sastra dengan antropologi memang tidak dapat diragukan lagi. Maksudnya, hubungan keduanya amat dekat dan saling isi-mengisi, sebab antara sastra dan antropologi samasama sebagai upaya memahami manusia. Memahami tindakan manusia lewat jalur sastra, menurut gagasan Todorov (Anwar, 2010:269) akan menelusuri fakta-fakta realisme fantastik. Wayang jelas fakta fantastic yang penuh tafsir, Wayang wahyu di atas boleh dikaitkan dengan kepemimpinan, spiritualistic, religi, dan sebagainya. Sastra memang dunia yang memangku gejala-gejala psikologis sebagai gabungan dengan fenomena sosial. Kedua fenomena ini, sering menjadi sentuhan antropologi pula. Antropolog banyak memahami kehidupan manusia secara psikologi dan sosial, hingga muncul antropologi sosial dan antropologi psikologis. Begitu pula dalam sastra, sudah berkembang psikologi sastra dan sosiologi sastra. Pengembangan jalur keilmuan sastra yang disebut antropologi sastra, tentu dapat menjembatani keraguan, aspek-aspek fantastik yang mungkin muncul dalam kehidupan manusia (Endraswara, 2013). Dengan demikian memahami wayang wahyu akan lebih lengkap, apabila memanfaatkan antropologi sastra, dipadu dengan aspek social dan spiritual. Pertunjukan wayang wahyu, selain bermakna social, jelas penuh aspek spiritualitas. Pertunjukan wayang kulit purwa di Jawa, dari dulu sampai sekarang masih banyak digemari oleh masyarakat. Pertunjukan wayang kulit purwa, oleh masyarakat dianggap memiliki nilai-nilai yang selalu relevan dengan kehidupan manusia. Nilai-nilai dan ajaran kehidupan tersebut dapat tersampaikan kepada para penonton, terutama bila disajikan oleh dhalang sepuh. Dalam Lakon Wahyu Makutharama yang menceritakan mengenai ajaran-ajaran kepemimpinan yang terungkap dalam ajaran ‘hastha brata’ pantas dipahami melalui antropologi sastra. Antropologi dan sastra, sudah menarik perhatian Benson (1993), yang berusaha menulis buku Anthropology and Literature. Dia berusaha menelusuri dan menyandingkan antropologi dan sastra. Lewat pengantar buku tersebut, dia menyatakan bahwa karyanya merupakan inkarnasi dari edisi khusus Journal of the Steward Anthropological Sosiety. Melihat judul jurnal ini, berarti ada keterkaitan pula antara sastra, antropologi, dan sosial. Kaitan sastra dan antropologi menumbuhkan antropologi 461 sastra. Adapun kaitan antara sastra dengan keadaan sosial, telah banyak dibahas dalam sosiologi sastra. Lewat pengantar singkat, Benson (1993) menjelaskan dengan mengucapkan terima kasih kepada Peter Heinric yang mau mengedit jurnal dengan dia selama empat tahun dan Thomas Riley kepala departemen Antropologi. Untuk membantu dalam mempertahankan jurnal dan untuk maksud volume editor jelas bertanggung jawab. Biarpun jurnal itu belum langsung menyentuh antropologi sastra, namun sudah cukup membuka mata terhadap perkembangan antropologi. Bahkan Benson juga merasa berhutang budi kepada para kontributor jurnal yang dibuat oleh Edward Bruner yang mengajak merenungkan perspektif interpretasi dan integrasi dalam bidang antropologi sastra. Antropologi sastra sebagai ilmu baru untuk memahami kehidupan manusia, memang memiliki perspektif khusus. Interpretasi merupakan pisau analisis yang tajam untuk memahami kehidupan sosiokultural dan estetikanya. Pendek kata, antropologi sastra adalah ilmu yang menekankan pada pemahaman karya sastra dalam kaitannya dengan unsur-unsur sosiokultural budaya. Melalui wawasan antropologi sastra tersebut, dapat terungkap aspek-aspek yang terkandung di dalam Lakon Wahyu Makutharama dan Wahyu Purbasejati, selanjutnya meliputi aspek estetika, aspek moral dan spiritual, aspek dramatik, aspek pendidikan dan aspek hiburan. Aspek-aspek estetika pertunjukan wayang kulit yang dapat diamati, seperti misalnya penggunaan peralatan pendukung pergelaran wayang, dan aspek moral spiritual berkaitan dengan etika sopan santun, yang di dalam pertunjukan wayang kulit terdapat pada unsur seni suara (vokal) dan seni tari. Secara keseluruhan esensi lakon Wahyu Makutharama dapat ditangkap maknanya, bahwa seseorang yang akan memegang kekuasaan atau menjadi pemimpin hendaknya membekali diri dengan moral spiritual yang kuat, budi pekerti yang luhur, dan loyalitas yang tinggi sesuai dengan sifat-sifat dari kedelapan benda alam dalam hastha brata tersebut. Kata kunci :wahyu, sanggit, estetika pedalangan, moral spiritual. Lakon wahyu memberikan tuntunan, tontonan, dan tatanan soslidaritas social dalam masyarakat. Karena dalam lakon tersebut, berisikan nilai-nilai yang memperkaya pengalaman social budaya yang tidak lepas dari nilai kemanusiaan, tolerensi, Ketuhanan, keadilan, tapa brata, keagungan dan sebagainya. Dengan demikian, memahami lakon wahyu dalam konteks bersih desa perlu digali lebih jauh dari sisi antropologi sastra. Manusia selalu didorong oleh keinginan social, sekaligus aspek lupus mengelilingi hidupnya. Wayang menjadi peta kehidupan manusia untuk mewujudkan keinginan dahsyat itu. Daftar Rujukan Anwar, Ahyar. 2010. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Ombak. Benson, Paul. 1993. Anthropology and Literature. Chicago: University of Illinois Press. Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Antropologi Sastra. Yogyakarta: Ombak. 462 REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM Неделя Как и Любой Другой/ SEMINGGU SEPERTI MINGGU YANG LAINNYA KARYA NATALYA BARANSKAYA Thera Widyastuti (FIB Universitas Indonesia) Abstrak: Representasi berkaitan erat dengan identitas dimana eksistensi atau keberadaan seseorang dimaknai oleh lingkungannya. Orang yang memiliki identitas tertentu tersebut menjadi representasi dari kelompok masyarakat tertentu. Eksistensi seseorang atau sekelompok orang berarti masyarakat telah mengkontruksikan identitas tertentu pada orang atau sekelompok tertentu pula. Identitas feminin dan maskulin dikontsruksi sedemikian rupa sehingga terkesan alamiah. Novelet Неделя Как и Любой Другой/Seminggu Seperti Minggu yang Lainnya menampilkan tokoh Olga Voronkova sebagai perempuan Rusia yang menjalani rutinitas kehidupannya. Kehidupan sehari-hari Olga Voronkova menjadi gambaran bagaimana kehidupan perempuan Rusia pada umumnya. Posisi perempuan di dalam masyarakat terbentuk sedemikian rupa karena stereoptipe yang melekat pada perempuan dan bagaimana masyarakat menilai perempuan. Pendekatan intrinsik dan ekstrinsik digunakan untuk menganalisis novelet ini melalui tokoh dan penokohan, serta latar yang ditampilkan pengarang. Sedangkan kritik sastra feminis digunakan untuk menganalisis bagaimana peran dan kedudukan perempuan di dalam masyarakat. Analisis yang dilakukan terhadap novelet ini sekiranya penting dilakukan untuk menambah wawasan pengetahuan kesusasteraan di Indonesia mengenai karya sastra Rusia. Kata kunci: representasi, eksistensi, Olga Voronkova, masyarakat Pendahuluan Perempuan di Rusia memiliki peran dominan di ruang domestik. Oleh karena itu, perempuan Rusia tidak dapat mengekspresikan dirinya karena masyarakat dan budaya yang berada di sekitarnya tidak dapat mendukung kondisi yang lebih baik. Namun proses perubahan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan terjadi pada saat kondisi politik di Rusia berubah dengan tumbangnya Tsar Nikolas II pada tahun 1917 dan muncul pemerintahan komunis dipimpin oleh partai Bolshevik. Perempuan Rusia mulai bekerja di luar rumah, meskipun kedudukan yang diperoleh belum sejajar dengan laki-laki. Di Rusia, pembagian ranah publik dan privat masih terlihat jelas. Dari segi kuantitas, jumlah perempuan yang bekerja sekarang sudah banyak, tetapi dari segi kualitas, penghasilan yang mereka dapatkan tidak seimbang dengan kerja keras mereka. Pemerintah Rusia modern telah memberikan kesempatan pada kaum perempuan untuk bekerja di ranah publik namun jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia tidak memadai 463 dan sangat terbatas. Kesulitan ekonomi karena tingginya biaya hidup di Rusia membuat penderitaan kaum perempuan di sana menjadi lebih berat124. Budaya Patriarki Rusia menganut budaya patriarki atau patriarkat dimana laki-laki memiliki posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan karena laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan. Patriarkat berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu pater (ayah), dan archein (memerintah). Jadi, patriarki berarti kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki. Patriarki adalah sebuah struktur sosial dan sebuah ideologi atau sistem kepercayaan bahwa laki-laki memiliki superioritas. Setiap sistem sosial atau periode sejarah memunculkan variasinya sendiri mengenai bagaimana patriarki bekerja dan bagaimana praktek-praktek sosial dan kebudayaan itu berbeda. Walaupun demikian, prinsip umumnya tetap sama, yaitu bahwa laki-laki mengendalikan sebagian besar sumber-sumber penghasilan dan institusiinstitusi sosial, ekonomi, dan politik.125 Masyarakat memandang laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan yang lemah dan tidak berdaya (inferior) baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki dianggap sebagai awal pembentukan budaya patriarki. Masyarakat memandang perbedaan biologis antara keduanya merupakan status yang tidak setara. Budaya patriarki secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara perempuan dan laki-laki di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender126. Gender dan Sex Gender dikenal sebagai suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan perempuan dan laki-laki dilihat dari segi sosial budaya. Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap perempuan dan laki-laki. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Fakih,1996: 8-9). Pengertian gender dibedakan dengan pengertian sex (jenis kelamin). Pengertian sex merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, dengan (alat) tanda-tanda tertentu pula. Alat-alat tersebut selalu melekat pada manusia selamanya, tidak dapat dipertukarkan, bersifat permanen, dan dapat dikenali semenjak manusia lahir. Sedangkan gender melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan, dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Perempuan berada di ranah domestik, dan laki-laki berada di ranah publik. Perempuan juga membutuhkan aktualisasi diri dalam masyarakat tempat ia tinggal, bukan sebagai individu yang menjalankan fungsinya dalam lingkup rumah tangga saja. Akan tetapi, lebih dari itu perempuan memerlukan sarana dalam pergaulan sosial tetapi memperhitungkan adanya perbedaan (seperti agama, ras, etnis) namun tidak 124 Thera Widyastuti. Sastra dan Perempuan Rusia. (Bogor: Artour Publishing, 2015),h.3 Kamla Bhasin. Memahami Gender. (Yogyakarta: Teplok Press, 2001).h.27 126 Cornell, R.W. Gender: Polity Short Introduction. (Sidney: Polity Press, 2002), h.16. 125 464 dapat dilaksanakan karena sudah terlebih dahulu dilakukan oleh pihak laki-laki (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007: 84). Masyarakat membuat berbagai aturan yang melemahkan kedudukan kaum perempuan. Perempuan tidak dapat mengubah struktur masyarakat yang dibuat oleh laki-laki, oleh karena itu perempuan tidak dapat mengeluarkan potensinya dan kemahirannya, dan pada akhirnya perempuan termarginalkan. Menurut Fakih (2008:14), proses marginalisasi berarti proses pemiskinan. Hal ini disebabkan tidak ada kesempatan bagi pihak yang dimarginalkan untuk mengembangkan dirinya. Kondisi ini dialami perempuan pada saat proses marginalisasi terjadi pada jenis kelamin. Oleh karena itu, perempuan dirugikan karena ketidakadilan gender ini. Murniati (2004: xxi) juga menjelaskan, proses marginalisasi tidak hanya terjadi di luar perempuan saja, namun marginalisasi dalam diri pribadi pun turut melanda perempuan. Hal tersebut dikarenakan adanya ketidakpercayaan diri perempuan yang membuatnya kemudian menyingkir dari persaingan. Selain itu, juga karena paksaan dari masyarakat patriarki yang telah menanamkan sifat lemah dan lembut membuat diri perempuan sendiri seperti membentengi diri dari semua aturan tersebut. Perempuan Rusia Barbara Clements yang dikutip oleh Melanie Illich dalam Women and The Gender Question (2001:145) berpendapat bahwa proses perubahan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan pada masyarakat Rusia sudah mengalami perubahan menjadi lebih setara pada abad ke 19. Hubungan setara ini terlihat dari peran perempuan di masyarakat yang bekerja untuk ranah publik. Peran perempuan di masyarakat pada era komunis semata untukmemenuhi kewajiban sebagai warga negara127. Kaum perempuan Sovyet mengabungkan pekerjaan dengan kewajiban di rumah karena mereka mempunyai beban yang lebih berat dan menyiksa dibandingkan kaum perempuan di negara-negara modern lainnya. Hal ini terjadi karena perempuan di Sovyet tidak mempunyai pilihan lain, mereka harus bekerja. Bagi sebagian besar perempuan di Sovyet, alasan mereka bekerja demi kebutuhan ekonomi, kebutuhan pribadi, dan prestise.128Salah seorang filsuf Rusia, Nikolay Chernisevsky berpendapat bahwa dominasi laki-laki yang besar atas perempuan merupakan penyebab dari segala bentuk subordinasi, penindasan, dan eksploitasi perempuan dalam masyarakat.129 Kepengarangan Rusia Perkembangan kesusasteraan Rusia sangat pesat, dan mengalami zaman keemasan (Золотой Век) pada abad ke 19, dimana para pengarang laki-laki mendominasi kesusasteraan Rusia. Namun pada awal abad ke 20, pengarang-pengarang perempuan mulai bermunculan dengan karya-karya mereka yang mengangkat tema mengenai seputar kehidupan perempuan dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi kaum perempuan Rusia. 127 Olga Voronina ‘The Mythology of Women’s Emancipation in the USSR as the Foundation for a Policy of Discrimination’ dalam Women in Russia: A New Era in Russian Feminism, Anastasia Posadskaya (ed). Moskow: Verso, 1994),h.37. 128 Ludwig Liegle.The Family’s Role in Soviet Education. (New York: Springer Publishing Company,1970).h.38 129 Shirin Rai, Hilary Pilkington, & Annie Phizacklea (ed). Women in the Face of Change: The Soviet Union, Eastern Europe, and China. (London: Routledge, 1992),h.189 465 Aleksandra Mikhailovna Kollontai adalah salah satu pelopor pengarang perempuan di Rusia yang memberikan perhatian pada masalah kesejahteraan perempuan. Kedudukannya di Kementrian Kesejahteraan Sosial membantu perempuan Rusia untuk memperoleh fasilitas sosial. Di samping itu, Lyudmila Stefanovna Petrushevskaya, Natalia Vladimirovna Baranskaya, Lyudmila Egenevna Ulitskaya, dan Tatyana Nikitichna Tolstaya juga hadir dalam jajaran pengarang perempuan di Rusia yang menghadirkan perempuan Rusia dan lingkungan sosial di sekitarnya. Selanjutnya, dalam penulisan ini akan dibahas mengenai representasi perempuan dalam novelet Неделя Как и Любой Другой/Seminggu Seperti Minggu yang Lainnya dengan menggunakan pendekatan intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrisik meliputi antara lain tokoh dan penokohan, serta latar, dan pendekatan ekstrinsik menggunakan kritik sastra feminis. Pembahasan Novelet Неделя Как и Любой Другой/Seminggu Seperti Minggu yang Lainnya Tokoh utama dalam novelet130 ini adalah Olga Nikolaevna, seorang perempuan berusia duapuluh enam tahun yang bekerja sebagai peneliti di sebuah laboratorium. Tokoh Olga di dalam novelet ini digambarkan sebagai perempuan yang sibuk dengan peran gandanya sehingga tidak sempat memperhatikan penampilan dirinya, layaknya seorang perempuan yang menyukai keindahan dan kerapihan. Я бегу, но у дверей в лабораторию вспоминаю, что я непричесана, поворачиваю и бегу по длинным узким коридорам старого здания, бывшей гостиницы, в туалет. Я причесываюсь, положив шпильки на умывальник пол зеркалом, и ненавижу себя. Ненавижу свои спутанные вьющиеся волосы, заспанные глаза, свое мальчишеское лицо с большим ртом и носом, как у Буратино. Почему я с таким вот лицом не родилась мужчиной? Кое-как причесавшись, одергиваю свитер и вышагиваю обратно по коридорам — надо успокоиться. (Natalya Baranskaya, 1969, h.2) Saya berlari, tetapi di dekat pintu laboratorium teringat, bahwa saya tidak menyisir rambut, dan berlari sepanjang koridor panjang yang sempit di gedung tua, sebuah hotel bekas, ke toilet. Saya menyisir rambut, menaruh kancing di wastafel di bawah cermin, dan tidak melihat diri sendiri. Saya membenci rambut keriting saya yang kusut, mata saya yang sayu dan wajah kekanak-kanakan saya dengan mata dan hidung yang besar, seperti Pinokio. Wajah saya terlihat seperti wajah laki-laki. Olga tidak menyukai penampilan dirinya yang tidak rapih dan tidak cantik seperti kebanyakan perempuan Rusia. Ia mendapat julukan 'Pinokio' oleh teman-teman di laboratorium. Rasa tidak percaya diri muncul dalam diri Olga karena kekurangannya dalam merawat diri. Hal ini tidak akan terjadi apabila ia tidak harus bekerja keras siang dan malam untuk memenuhi perannya sebagai perempuan pekerja dan ibu rumah tangga. Oleh karena itu, Simon Beauvoir berpendapat bahwa setiap perempuan harus membentuk cara bereksistensinya sendiri yang mungkin berbeda dengan perempuan lainnya. Olga harus menunjukan eksistensinya meskipun ia tidak berpenampilan rapih 130 Novelet adalah bentuk kecil dari novel. Istilah novelet berasal dari bahasa Italia novella yang berarti dongeng atau sebuah berita. Novelet memiliki cerita yang lebih panjang dari cerita pendek, tetapi lebih pendek dari novel, terdiri dari 17.500-40.000 kata. Novelet mempengaruhi perkembangan cerita pendek dan novel di Eropa. Novelet merupakan genre sastra yang umum di beberapa bahasa di Eropa. (Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (2007:9) 466 dan cantik selayaknya perempuan kebanyakan, rasa rendah diri harus dihilangkan agar tidak menghambat kemajuannya menuju diri yang autentik. Menurut Horney dalam Tong (2008:202) bahwa kebudayaan patriarki memaksa perempuan untuk menjadi feminin (pasif, masokistik, narsistik) dan kemudian mencoba meyakinkan perempuan bahwa mereka menyukai menjadi feminin. Pimpinan laboratoirum memandang Olga cakap dalam bekerja, dan ia pantas mendapatkan promosi untuk kenaikan jabatan di kantornya. Meskipun ia baru mulai bekerja enam bulan lalu. Учитывая ваш интерес к работе и... м-м-м... ваши способности, мы перевели вас на вакантное место младшего научного сотрудника, включили в группу, работающую над интересной проблемой (h.2) Memperhitungkan minat anda dalam pekerjaan ini dan …hmmm… bakat anda, kami mempromosikan anda ke posisi yang kosong sebagi asisten peneliti junior, kami memasukan anda ke kelompok kerja pada masalah yang menarik. Olga Nikolaevna sudah menikah dengan Dima selama lima tahun dan memiliki dua orang anak yang masih kecil, Kotka dan Gulka. Ia adalah perempuan Rusia yang memiliki peran ganda; baik sebagai perempuan pekerja dan juga ibu rumah tangga. Kesibukannya sebagai ibu dan juga pekerja membuatnya sering terlambat datang ke tempat pekerjaan. Я молчу. Я люблю свою работу. Я дорожу тем, что самостоятельна. Я работаю охотно. Мне не кажется, что я работаю неаккуратно. Но я часто опаздываю, особенно в понедельник. А это напоминание о вакантном месте... Его хотела получить Лидия Чистякова. По стажу у нее преимущество, а выбор пал на меня — специальность ближе. И, конечно, помог мой английский — лаборатория здорово им пользуется.(h.2) Saya terdiam. Saya menyukai pekerjaan saya. Saya menghargai kemandirian saya. Saya bekerja suka rela. Kelihatannya saya tidak pernah tepat waktu. Tetapi saya sering terlambat, khususnya hari Senin. Dan itu mengingatkan tentang posisi yang kosong; Lidiya Chistakova menginginkannya. Lidiya Chistakova mempunyai prioritas, sementara mereka memilih saya – lebih cocok dengan spesialisasi saya. Dan, tentu saja, bahasa Inggris saya menolong - laboratorium mengganggap saya dan bahasa Inggris saya berguna. Olga menyadari resiko dari seringnya ia datang terlambat ke tempat pekerjaan yang dapat menggoyahkan posisinya. Pimpinan dan teman-teman kerjanya sudah mengetahui kelemahan Olga yang sering terlambat. Beberapa hari ini Olga sudah hampir menyelesaikan penelitiannya, dan sayang sekali jika ia harus merelakan kedudukannya ditempati orang lain karena seringnya ia datang terlambat. Olga merasa bahwa ia memiliki kemampuan untuk berkembang dan maju. Engels dalam Tong (2008:153) berpendapat bahwa perempuan proletar mengalami lebih sedikit opresi dibandingkan perempuan borjuis. Hal ini sebabkan perempuan proletar kebanyakan bekerja di luar rumah yang memungkinkan adanya bentuk kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Kedudukan perempuan di beberapa jenis pekerjaan sudah dapat meraih posisi yang cukup tinggi. Namun, perbandingan jumlah dengan laki-laki tentu saja tidak seimbang, mengingat bahwa Rusia belum memberikan kesempatan luas bagi perempuan. Lapidus (1978:179) mengemukakan mengenai kesempatan berkarir bagi perempuan Rusia. 467 When candidates are advanced for posts of leadership, men are majority, although there are no adequate grounds for this. Consequently, the proportion of women in lower level administrative and managerial roles has been relatively large for a long period of time. Lingkungan bekerja di Rusia memiliki sarana dan prasarana yang kurang memadai. Oleh sebab itu di beberapa tempat, para pekerja tidak dapat melakukan tugasnya dengan maksimal karena salah satunya tidak tercukupinya ruangan. Olga bekerja di tempat yang kurang terakomodir fasilitasnya, sejumlah pegawai harus bergantian menggunakan sarana yang ada. Теперь к себе, в лабораторию полимеров. В нашей «тихой» комнате, где мы отрабатываем результаты, ведем расчеты, девять человек, а столов помещается только семь. Но ведь всегда кто-то на опытах, в библиотеке, в командировке. Сегодня один из столов мой. И он простаивает уже сорок минут (h.3) Sekarang saya menuju laboratorium polimer. Di kamar «tenang» kami, dimana kami menyelesaikan hasil-hasil dan mengerjakan perhitungan, ada sembilan orang, sedangkan meja yang dapat dipakai bekerja tujuh. Tetapi selalu ada seseorang yang membawa hasil test ke tempat lain, ke perpustakaan, ke perjalanan bisnis. Hari ini salahsatu dari mejameja menjadi milik saya. Dan meja itu sudah kosong selama empatpuluh menit. Apabila salah satu pekerja sedang berdinas luar atau bertugas di departemen lain, maka meja kosong yang ditinggalkannya dapat digunakan untuk pekerja lainnya. Tentu saja kenyamanan bekerja menjadi berkurang karena mereka terkadang harus berpindah tempat, dari satu meja ke meja lainnya. Sementara itu di laboratorium beredar kuesioner untuk para perempuan pekerja. Seluruh pekerja perempuan membicarakan mengenainya. Di dalam kuesioner itu terdapat pertanyaan-pertanyaan seputar kondisi kehidupan kaum perempuan. Salah satu diantaranya menanyakan bagaimana kaum perempuan menghabiskan waktu luang mereka. Teman-teman Olga sesama pekerja mengeluh bahwa pertanyaan itu hanya omong kosong, karena mereka mengetahui begitu sulitnya untuk beristirahat meskipun sejenak. Эх, досуг, досуг... Слово какое-то неуклюжее «досуг»... «Женщины, боритесь за культурный досуг!» Чушь какая-то... До-суг. Я лично увлекаюсь спортом — бегом. Туда бегом — сюда бегом. В каждую руку по сумке и... вверх — вниз: троллейбус — автобус, в метро — из метро. Магазинов у нас нет, живем больше года, а они еще недостроены (h.4). Oh, rekreasi, rekreasi ... Kata yang sangat tidak biasa "rekreasi" ... "Perempuanperempuan berjuang untuk rekreasi kebudayaan!" semacam omong kosong... Saya pribadi menyukai olahraga - berlari. Ke sana berlari – ke sini berlari. Dalam setiap tangan yang dimasukan ke tas tangan ...ke atas-ke bawah: bus troli - bus, ke kereta bawah tanah – dari kereta bawah tanah. Toko-toko yang kita miliki, sudah lebih dari satu tahun, dan mereka masih belum selesai. Sebagai perempuan yang berkerja dan juga harus mengurusi rumahtangga, waktu untuk beristirahat menjadi sesuatu yang istimewa, karena sulitnya untuk beristirahat. Pekerjaan sangat menumpuk dan tiada habisnya. Sang suami tidak banyak membantu pekerjaan rumah tangga. Peran dan tanggung jawab isteri menjadi dominan, sementara suami sekedar membantu. Я тащу Котьку в кровать сама (обычно это делает Дима) и вижу, как он сидит на диване, раскрыв какой-то технический журнал и действительно читает. Проходя, я бросаю: — Между прочим, я тоже с высшим образованием и такой же специалист, как и ты... — С чем тебя можно поздравить,— отвечает Дима. 468 Мне это кажется ужасно ядовитым, обидным. Я тру Гульку губкой, и вдруг слезы начинают капать в ванну.(h.34-35) Saya mengangkat Kotka ke tempat tidurnya (biasanya itu dilakukan Dima) dan saya melihat, bagaimana Dima duduk di sofa, membuka majalah teknik dan benar-benar membaca. Sambil berjalan, saya melempar: Kebetulan saya juga memiliki gelar sarjana, dan spesialis, seperti kamu… Kalau begitu saya harus mengucapkan selamat, - jawab Dima. Kelihatan jahat, dan menyakitkan pada diri saya. Saya menggosok Gulka dengan sponge, dan tiba-tiba mata air mulai turun ke bak mandi. Perbedaan peran gender (gender role) antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat patriarki yang dipisahkan antar ruang privat dan publik menyebabkan perempuan tertindas. Menurut Bryson dalam Feminist Political Theory, bahwa ranah privat lebih rendah tingkatannya dari ranah publik131. Oleh karena itu terjadi ketimpangan gender (gender inequality). Menurut Margaret Benston, jika seorang perempuan dibebaskan dari tugas domestiknya yang berat, termasuk pengasuhan anak, masuknya perempuan ke pasar tenaga kerja akan merupakan langkah menjauh dari, dan bukan menuju, pembebasan: Setiap waktu, pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab perempuan, ketika mereka bekerja di luar rumah, dengan cara apapun mereka harus mengatur untuk dapat mengerjakan dengan baik pekerjaan di luar rumah tangga. Perempuan yang sudah menikah dan mempunyai anak, yang bekerja di luar rumah, pada dasarnya melakukan dua pekerjaan; partisipasi mereka di pasar tenaga kerja hanya dimungkinkan jika mereka terus memenuhi kewajiban utama mereka di rumah. Hal ini terlihat jelas di negara seperti Rusia dan negara-negara Eropa Timur dimana kesempatan yang lebih luas bagi perempuan belum membawa perluasan yang sama bagi kebebasan perempuan. Akses setara terhadap pekerjaan di luar rumah, walaupun merupakan satu dari prasyarat bagi pembebasan perempuan, tidak akan dengan sendirinya memadai untuk memberikan kesetaraan bagi perempuan, selama pekerjaan di rumah masih merupakan masalah produksi pribadi, dan semata-mata merupakan kewajiban perempuan, maka perempuan tetap memikul beban ganda132. Perempuan yang memiliki beban ganda tidak dapat memilih karena kedua bebannya memiliki konsekuensi yang berat. Sementara itu, perkawinan monogami yang dijalani perempuan hanya memperbolehkan memiliki satu pasangan. Kondisi ini memunculkan penindasan terhadap perempuan yang tiada hentinya. Ketertindasan perempuan berkaitan dengan ras, kelas, pendidikan, kesempatan kerja, dan sebagainya. Berapapun banyaknya kesetaraan pendidikan, hukum, dan politik yang dapat dicapai oleh seorang perempuan, dan berapa pun jumlah perempuan yang memasuki industri publik, tidak ada perubahan fundamental bagi perempuan, selama budaya patriarki masih dianut oleh masyarakat Rusia. Глупый вопрос, заключаем мы. Разве можно подсчитать время на домашние дела, даже если ходить всю неделю с секундомером в руках?.. Люся Маркорян предлагает указать общее время, что остается от рабочего дня и дороги, а потом перечислить, что на это время приходится. Мы удивлены — оказывается, для дома у нас есть от сорока восьми до пятидесяти трех часов в неделю. Почему же их не хватает? Почему столько несделанного тянется за нами из недели в неделю? Кто знает?(h.32) 131 Gadis Arivia. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan),h.100. 132 Rosemarie Putnam Tong. 2008. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction (edisi Indonesia). (Yogyakarta: Penerbit Jalasutra),h. 157-158. 469 Pertanyaan konyol, kami menyimpulkan. Apakah mungkin untuk menghitung waktu pada pekerjaan rumah tangga, bahkan ketika berjalan sepanjang minggu dengan stopwatch di tangan Anda? .. Lucy Markoryan menawarkan menunjukkan total waktu yang tersisa dari hari kerja dan jalan-jalan, dan kemudian mendaftar yang diperlukan saat ini. Kami terkejut - bergantian, untuk rumah kita memiliki 48-53 jam per minggu. Mengapa mereka hilang? Mengapa begitu banyak dibatalkan dari kita rentang dari minggu ke minggu? Siapa tahu? Sebelum revolusi Bolshevik, perempuan Rusia sudah terlibat dalam kegiatan perekonomian. Mereka bekerja di bidang pertanian, membantu suami bekerja di ladang. Perempuan Rusia bekerja di ranah domestik dan publik karena perekonomian negara yang sulit sehingga penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Setelah kemenangan partai Komunis, pemerintahan Sovyet menekankan pada pertumbuhan di bidang industri, jumlah pekerja perempuan meningkat namun tidak menduduki posisi tinggi. Untuk berbagai alasan, tidak kurang dari pembagian kerja berdasarkan gender yang sudah sangat melekat di masyarakat, kapitalisme mengidentifikasi laki-laki sebagai material tenaga primer, sedangkan perempuan sebagai material tenaga sekunder. Oleh karena itu, perempuan diperlukan di rumah dengan cara yang sama laki-laki tidak dibutuhkan, atau paling tidak seperti diyakini patriarki bahwa laki-laki lebih bebas untuk bekerja di luar rumah dibandingkan perempua133. Apabila perempuan diberi upah sesuai dengan nilai pekerjaannya, maka ia akan dapat memenuhi kebutuhan keluarganya dan hidup dengan layak. Penutup Kehadiran para pengarang perempuan memberi warna berbeda dalam dunia kesusasteraan Rusia. Tema-tema yang dihadirkan di dalam karya-karya mereka menyadarkan kita bahwa perempuan Rusia memiliki permasalahan yang sedikit banyak tidak berbeda dengan perempuan di belahan dunia manapun. Novelet Неделя Как и Любой Другой/Seminggu Seperti Minggu yang Lainnya menampilkan Olga sebagai tokoh utama yang mengalami konflik akibat peran ganda yang dijalaninya. Berbagai kesulitan yang dihadapi Olga dalam menjalani kehidupan sehari-hari karena faktor ekonomi, dan juga budaya patriarki yang dianut masyarakat Rusia. Natalya Baranskaya sebagai pengarang menampilkan tokoh Olga sebagai representasi perempuan yang memiliki permasalahan yang sama seperti perempuan di negara-negara lain. Penindasan masih dirasakan kaum perempuan, namun belum dapat dihilangkan. Perempuan belum dapat mencapai kesetaraan dalam kedudukannya di masyarakat karena budaya patriarki masih menjadi panutan di Rusia. Daftar Rujukan Buku Arivia, Gadis. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003. 133 Ibid, h.180 470 ----------------. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia, 2006. Ashwin, Sarah. Gender, States, and Society in Sovyet and Post -Sovyet Russia. London: Routledge, 2000. Bhasin, Kamla. Memahami Gender. Yogyakarta: Teplok Press, 2001. Cornell, R.W. Gender: Polity Short Introduction. Sidney: Polity Press, 2002. Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Lapidus, Gail Warshofsky. Women in Soviet Society. Berkeley: University of California, 1978. Liegle, Ludwig. The Family’s Role in Soviet Education. New York: Springer Publishing Company,1970. Malsheva, Marina. Women in the Face of Change: The Soviet Union, Eastern, and China. London: London and New York publishers,1992. Marsh, Rosalind (ed). Gender and Russian Literature. Cambridge: Cambridge University Press,1996. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2002. Pilkington, Hilary (ed). Gender, Generation and Identity in Contemporary Russia. London: Routledge, 1996. Posadskaya, Anastasia (ed). Women in Russia: a New Era in Russian Feminism. New York: Vesco Pubslihing, 1994. Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, 2008. Widyastuti, Thera. Sastra dan Perempuan Rusia. Bogor: Artour Publishing, 2015. Internet Natalya Baranskaya, Неделя Как и Любой Другой/ http://www.belousenko.com/books/baranskaya/baranskaya_nedelya.htm 471 LANGUAGE PLAY AS J. K. ROWLING’S STYLE OF WRITING IN HARRY POTTER AND THE PHILOSOPHER’S STONE Trisnowati Tanto (Universitas Kristen Maranatha Bandung –Indonesia) Abstract: Language play in fiction can be used as a means to attract readers’ attention and as such, language play is a means of foregrounding – linguistic forms that stand out from the other words in a text. The readers can notice and feel that the parts containing language play stand out more, which makes them more special compared with the other parts. In the Harry Potter novels, J. K. Rowling makes frequent use of language play so that it can be said that this is Rowling’s style of writing. The research focuses on the various linguistic forms of language play found in the first Harry Potter novel, Harry Potter and the Philosopher’s Stone. This research investigates the different types of language play that occur in this novel. Furthermore, the research will also discuss the literal and contextual meaning of language play as well as its functions. There are some findings resulted from the research. The language play shown in this particular novel is basically a form of deviation. The language play is entertaining as it builds the reader’s imagination as well as supporting the characterization and plot. Keywords: language play, fiction, foregrounding, deviation, literary elements Introduction In communication people can play with language or respond to language play. Crystal (1998: 1) said that playing with language can result in enjoyment. The activity of playing with language is basically done in two ways: by exploiting the language and by manipulating the language. Exploiting the language means using a certain language feature in an uncommon way, while manipulating the language means bending and breaking the rules of the language. We can find language play in any text, for instance in daily conversation, advertisement and campaign slogans, newspaper headlines, comics, and literary works such as novels, short stories and poems. I believe people who use language play signify a high level of their language competence. In playing with abbreviation, for example, we have to be able to know first the relationship between the words and the pronunciation. In using the abbreviation (2) “4 u”, it must be known that in English the pronunciation of the words 4 (four) and for is the same, [f :]; and so is the pronunciation of “u” and “you”, [u:], which is called homonymy – two words having the same pronunciation but different spelling and meaning. Thus, what is meant by “4 u” is “for you”. As a matter of fact, language play is all around us. Language play can make a message more beautiful and attractive. If the message is a campaign or advertisement slogan, it is expected that the receiver will be attracted to approve of the philosophy of the slogan or buy the product being offered. If the message is a newspaper headline, more and more readers will be interested in reading the article. Thus, it can be said that the language play in the texts found in our social life has the aesthetic as well as 472 persuasive functions. Besides, language play can also be found in literary works, for instance in poems or novels. A fictional text is a text that does not refer to the real world but to the imaginary world. (Zaimar & Harahap, 2009: 23, 26). A fictional text is of course not the same as the factual one as a fictional text is more subjective and individualistic, and does not have any direct relation to the social needs and convention. The creativity that uses language as its medium obliges an author to use interesting and unusual language; in other words, an author has to “escape from banality” (Leech, 1991: 23). In this case, an author has to exploit the language in an attractive way, by using out-of-the-ordinary language so much so that the readers are able to detect something “not right”, which is also called foregrounding (Wales, 1994: 181–182). In this paper I am interested in analysing the language play used in the Harry Potter novel to find out how language play, as a form of foregrounding, can become an extraordinary element in a fictional text. In addition, I would also like to relate the language play forms to their functions. To limit the analysis, I would only like to analyse the language play forms in the first Harry Potter novel, Harry Potter and the Philosopher’s Stone, written by Joanne Kathleen Rowling, or better known as J. K. Rowling. Rowling is a well known author of one of the best-selling book series in the world, Harry Potter. The series consists of seven fantasy books about the world of wizardry. Rowling uses a lot of interesting forms of language play to create the names of the characters, the places, and the spells. These interesting forms of language play make the novel more interesting, more fun, and more enjoyable to read. Besides, the language play can also support the literary elements of the novel, in this case the characterization, plot, and readers’ imagination. I am of the opinion that we should appreciate authors who are creative and capable of creating language play forms as well as making the readers understand the meaning and function of the language play through the context of the story. In his book Language Play, Crystal states ”We play with language when we manipulate it as a source of enjoyment, either for ourselves or for the benefit of others... We are, in effect, bending and breaking the rules of the language.” (Crystal, 1998: 1) Thus, language play is a form of language manipulation. The manipulation here is in its literal meaning: the linguistic units such as words, phrases, sentences, parts of words, sounds and letters are used not in accordance with the rules of the language (Crystal, 1998: 1). Discussion In the first Harry Potter novel, Harry Potter and the Philosopher’s Stone, there are some characters’ names, places, and spells which are actually language play forms. When analysed, these forms support the characterization of the characters and the description of the setting of place as well as supporting the plot of the story. Besides, since the story revolves around wizardry, the imagination of the readers also plays an important role in understanding and enjoying the story and the language play forms also support this. Language Play Supporting the Characterization of the Characters There are eleven characters’ names in the novel which contain language play processes. When these language play processes are analysed, it can be clearly seen that this has a close relation to the characterization of the characters. 473 The first name, (1) Albus in Albus Dumbledore, has the literal meaning of “wisdom or white” (Webster’s New International Dictionary, 1949: 60). The word white has the associative meaning of being honourable or generous. In the novel, Albus Dumbledore is the headmaster of Hogwarts who is portrayed as a wise, honourable, and generous person, which is why he is respected and liked a lot by his colleagues and students. Data (2) Argus Filch refers to the name of a caretaker in Hogwarts. He always punishes students even for small mistakes. Argus Filch is described as a watchful guardian in the novel. This is in line with the literal meaning of the word argus, which is one very vigilant; a watchful guardian” (Webster’s New International Dictionary, 1949: 147). The name (3) Draco Malfoy also contains a language play process. Draco is a clipped word of draconic, which means “a fierce, violent, or very strict person” (Webster’s New International Dictionary, 1949: 780). Malfoy has a similar sound to malevolence, meaning “quality or state of being malevolent; evil disposition toward another; ill will” (Webster’s New International Dictionary, 1949: 1489). From these processes, it can be seen clearly that this is in line with the description of the character in the novel. Draco Malfoy is one of Harry Potter’s schoolmates. He does not like Harry Potter because Harry rejects his invitation to befriend with him. Draco Malfoy is also described as an ill-willed boy who likes treating people evilly. The first name of Harry Potter’s cousin, (4) Dudley, is also a language play form. The first syllable, dud, means “someone or something that is very disappointing“ (Macmillan English Dictionary, 2002: 430). In the novel, Dudley is said to be a spoilt boy who cannot do anything useful or nice. He really likes causing his parents a lot of trouble and urging them to do whatever he wants. The next character’s name is (5) Griphook, who is a goblin working in Wizard’s Bank, Gringotts. The word griphook is a blending of the words gripe and hook. The literal meaning of gripe is “to seize and hold” (Webster’s New International Dictionary, 1949: 1104), while hook means “to secure” (Webster’s New International Dictionary, 1949: 1197). The meaning of each root word bears the information about the general characteristics of the goblins since they are portrayed as clever creatures that are really good at keeping Gringotts securely. The surname of Harry Potter’s best friend, (6) Hermione Granger, is a language play form, too. It is a homophone of the word grandeur, which means “the quality of being great and impressive in appearance (Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2000: 560). In the novel Hermione Granger is described as a student whose intelligence is extraordinarily high. The name Granger suits her a lot for she has an impressive quality. Data (7) Mrs Noris refers to Argus Filch’s cat which always whisks off for Filch if there is a student breaking the rules. The student had better take no risk breaking the rules in front of Mrs Noris; or else they will end up with Filch’s detention. This description suits the name when it is analysed further in terms of language play, as the name Noris mimes the phrase no risk. The next name having the language play process is (8) Professor Severus Snape. The first name, Severus, mimes the word severe, which means “unfriendly” (Longman Dictionary of Contemporary English, 2001: 1306). The surname, Snape, is a minimal pair with the word snap, which means “become angry or upset” (Macmillan English Dictionary, 2001: 1353). In the novel Professor Severus Snape is a teacher in Hogwarts who teaches Potion. He is unfriendly, especially towards the students from the House of 474 Gryffindor. He also easily becomes angry or upset, and he also likes snapping to his students. Data (9) Rubeus Hagrid is the name of Hogwarts gamekeeper. He is gigantic and looks wild, but actually he is a kind and soft-hearted person. His first name, Rubeus, is a homophone of the word rubious, which means “having the quality of a ruby” (Webster’s New International Dictionary, 1949: 2180). The surname, Hagrid, mimes the word haggard, meaning “wild-looking; untamed or untrained” (Webster’s New International Dictionary, 1949: 1124). Thus, although Rubeus Hagrid looks wild and uneducated, he has the heart quality of a ruby. Data (10) Sirius Black is a wizard who lends Hagrid a motorcycle to save Harry’s life in the night his parents are blown out. Actually, Sirius is earnest and sincere, and he really concerns himself with his best friends’ lives. He is also portrayed a mysterious person as the way he talks gives the impression that he is hiding something. All these characteristics are in line with the information gathered in the analysis of the language play process. The first name, Sirius, has the same pronunciation as the word serious, which means “earnest or sincere” (Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, 1984: 777). The surname, Black, can be associated with the quality of being moody, sad, and mysterious. Harry Potter’s uncle, (11) Vernon Dursley, is described to be a person who hates Harry and considers him a strain. This description is suitable when related to the language play process. The first name, Vernon, mimes the word venom, which means “very strong anger or hate” (Macmillan English Dictionary, 2001: 1592). Language Play Supporting the Plot There are 3 names in this novel which support the plot element. The name (12) Harry Potter, contains a language play form. The first name, Harry, has the literal meaning of “be bothered or be troubled” (Oxford English Genie CD-ROM 2000). This gives the effect of foreshadowing about what Harry Potter will experience in the story. The readers will anticipate the many problems that Harry Potter will undergo. The surname, Potter, also has the language play process. It is synonymous with the word trifle or mess up, which means “to be the cause of someone’s physical, emotional, or mental problems” (Macmillan English Dictionary, 2001: 894). In the novel, Harry Potter is the one who causes Lord Voldemort’s fall and loss of his body. In other words, Harry Potter is someone who will always be troubled, but he will also cause trouble, too, in this case to the Dark Lord, Voldemort. (13) Professor Quirrel’s name mimes the phrase squirrel away, meaning “to put something in a secret place” (Macmillan English Dictionary, 2001: 1388). Quirrel’s being nervous easily is actually an important clue that he is actually hiding something, which is a kind of foreshadowing that there must be something wrong about him. In the novel, the readers are finally allowed to know the fact that Quirrel hides the spirit of Voldemort under his turban. Another name is (14) Scabbers, who at first is introduced as Ron Weasley’s rat, but then it is finally found out that he is an animagus and is also a traitor. The name Scabbers mimes the phrase scab us. As a noun, the word scab means “rat” (Rodget’s International Thesaurus, 1977: 620), and a rat is associated with a traitor (Rodget’s International Thesaurus, 1977: 1161). When knowing the language play process, the readers are given a sort of foreshadowing that Scabbers is someone who will be scabby enough to scab his own friends. 475 Language Play Supporting the Readers’ Imagination Readers’ imagination is highly required since this novel tells about something that does not really exist in real life. The language play processes of some names and spells also support this. Data (15) Herbology refers to the study of plants that is taught in Hogwarts, in which the students learn how to take care of all the strange plants and fungi and what they are used for. The word Herbology does not exist in English, but from the process of suffixation, it can be found out that the word comes from herb + the suffix –ology. The next data (16) Diagon Alley is a homophone of the word diagonally, which means “a straight line that joins two opposite sides of something at an angle” (Oxford English Genie CD-ROM 2000). In the novel, Diagon Alley is a kind of market for wizards. Its entrance is in the backyard of a pub called Leaky Cauldron. The meaning of its homophonic word leads the readers to imagine that one enters Diagon Alley by tapping the right bricks diagonally. In the novel it is also told about a special mirror which can show the desires of the person standing in front of it. At the top of this mirror, there is a text saying (17) erased stra ehru oyt ube cafru oyt on wohsi. When the readers know that this writing is actually an anagram, they can get the clue about what this mirror is special for. They will read it backwards into I show not your face but your hearts’ desires, which matches the function of the mirror. In Hogwarts, there is a wizard sport called (18) Quidditch with four balls in total and seven players on each side. This sport is played by ditching the balls quickly. One of the balls should be ditched to each other quickly by the three chasers before scoring a goal. The description of the sport matches the language play process. The word Quidditch is a blending of the words quick and ditch. The word ditch means “to get rid of something” (Oxford English Genie CD-ROM 2000). The spell (19) petrificus totalus is used to make one totally petrified. Thus, it is clear that the spell petrificus totalus comes from the mimetic words petrified and totally. Another spell (20) wingardium leviosa, is also a language play form. The word wingardium is associated with the word wing, which makes us think of the idea of flying, while the word leviosa is associated with the word levitation. When the readers can figure out the language play processes involved in the spell, they can understand that this spell is used to levitate things. Conclusion Based on the analysis of language play above, it is clear that J. K. Rowling is very special in creating the names of the characters, places, and other things as well as the spells in this novel about wizardry. It is not only the she has successfully invented wonderful names, but she has also effectively described the literary elements through the names. This effort is very effective since this makes the novel more interesting and enjoyable to read. Besides, readers are also made to be aware of all the hints and clues to figure out what kind of people the characters are. This effort is also efficient as this will save the many words used to describe the characteristics of the characters. These uncommon invented words have also successfully created a distance between the magic world in the novel and the real world. The readers are made to be aware of and able to differentiate the two worlds. This affects the readers to believe that there really is such a magic world as Harry Potter‘s world. 476 References Crystal, D. 1998. Language Play. London: Penguin Group. Leech, G. 1991. A Linguistic Guide to English Poetry. Essex: Longman Group Ltd. Rowling, J. K. 1997. Harry Potter and the Philosopher’s Stone. London: Bloomsbury. Wales, K. 1994. A Dictionary of Stylistics. Essex: Longman Group Ltd. Zaimar, O. K. S. & A. B. Harahap. 2009. Telaah Wacana. Jakarta: The Intercultural Institute. 477 ENHANCING STUDENTS’ AWARENESS OF LISTENING TO OTHERS THROUGH TEACHING THEM ON THE FIVE WAYS OF READING LITERATURE WEDHOWERTI (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta – Indonesia) Abstract: Reading is a bridge to cross to arrive at the field of practice of understanding literature. Reading as the initial process must be addressed carefully. Reading literature is not as easy as reading other types of texts with “everyday language”. There are five ways of reading literature namely reading for realism, reading as experience, reading for structure, reading suspiciously, and reading for culture. The five ways of reading see literature as telling about human condition or human nature, as the form of experience the students have while reading, as something carefully structured, as hiding things, and as something playing an important role in culture. Teaching the five ways of reading means realizing the know-how in the level of students. Through different ways of reading, the search for meaning including the awareness of listening to others as the objective of reading can be achieved. Keywords: ways of reading, reading, reading literature, and search for meaning Introduction Why teaching, studying, and caring for literature after all? This question needs thorough answers. We shall begin answering the question by remembering an interesting statement given by Freeman (as cited in Barry, 1995: 14) as follows We are told that the study of literature cultivates the taste, educates the sympathies and enlarges the mind. These are all excellent things, only we cannot examine tastes and sympathies. Examiners must have technical and positive information to examine. Freeman mentions about the technical and positive information to examine. This shows us that there should be awareness about teaching and studying literature. It also reveals that the teaching and studying of literature is essential in nature. Literature is able to give its readers deep impact. Readers are significantly enriched by great books they read. Reading literature brings readers into a broader life. The significance of literature is also stated by Hudson saying that Literature is a vital record of what human beings have seen in life, what they have experienced of it, what they have thought and felt about those aspects of it which have the most immediate and enduring interest for all of us. It is thus fundamentally and expression of life through the medium of language (1958: 10). Considering the two previous statements, we then can conclude how important it is to care for literature. Where and how it starts? We shall start it by combining the know-what (the theory, what we know about literature) and know-how or the field of practice. According to Pope, we shall engage in activities of theorizing practice and practicing theory as continuing process where theory informs practice (2002: 76). In addition, he suggests that the continuing and reciprocal practice makes teachers, students, and practitioners 478 reflective, creative, and critical (2002: 76). Practice in the classroom is manifested on how students or readers perceive and understand works of literature through some means e.g. approaches, methods, strategies, and techniques. The initial step of manifestation in the student’s level is reading. There are matters to note down, however. As an initial step, reading must be carefully addressed. Reading literature is different from reading texts written with “everyday language”. How could it be? Robert Frost (as cited in Barnet et al, 2005: 1) mentions that literature is a performance in words. People have to think deeper in order to understand the performance. They might watch it again and again in order to understand what messages it is to give. Seeing the analogy, now it’s obvious that it is not easy then to understand literature. Understanding literature entails a long process. There is an “intimacy” between readers, in this case, students and literature. Reading, according to Montgomery et al, consists not just of passive assimilation but of active engagement in inference and problem-solving (2007: 8). Moreover, Bartholomae and Petrosky describe the activity of reading as follows Reading is not simply a matter of hanging back and waiting for a piece, or its author, to tell us what the writing has to say. In fact, one of the difficult things about reading is that the pages before you will begin to speak only when the authors are silent and you begin to speak in their place, sometimes for them, doing their work, continuing their projects, and sometimes for yourself, following your own agenda (1987: 1). Students, as mentioned by Montgomery et al, ascribe meanings to text on the basis of interaction between textual meaning (language structures) and contextual meaning (various kinds of background, social knowledge, belief, and attitude students bring to the text) (2007: 8). The background mentioned before truly reflects who the students are. In addition, Montgomery et al state that factors such as the place and period in which students are reading, their gender, ethnicity, age, and social class will encourage them towards certain interpretation of the text (2007: 8). There is strong relationship between the text and the students where students are not there in vacuum. They are to respond to the text. In responding to the text, they are bringing with them the factors mentioned before. In reading where there is engagement between students and text, there are two more important matters to note down namely the relations to the rest of the world and the author of the text. Pope (2002: 77) draws a working model to show the relation among the four mentioned before (students, text, author, and relations to the rest of the world) as follows. RELATIONS TO THE REST OF THE WORLD (Everything else the text refers or relates to) P R O C E S S PROCESS TEXT AUTHOR (producer) PROCESS STUDENTS (receiver) 479 Text is produced by the author. In producing a text, there is a process. This process is represented by the double-headed arrow. It is understood as something that is exchangeable. It means that it is not something fixed. In the future, it may be reproduced. The text is then responded by the students. They respond it by actively searching for meaning out of it. The process of searching for meaning will result in a new text. In other words, the text produced by the author will be reproduced by the students. Text, in a way or another, has relations to the world. It represents or refers to people, places, events, ideas, beliefs, in the worlds behind or beyond it (Pope, 2002: 77). This is worth noting down. In addition, the working model proposed by Pope is also a summary of the two previously mentioned matters. First, the intimacy or engagement between the text and students, and second, the searching for meaning by the students based on the interaction between textual meaning (language structures) and contextual meaning (various kinds of background, social knowledge, belief, and attitude students bring to the text). Ways Of Reading Reading involving an active engagement has been mentioned in the Introduction. There are ways of reading. Montgomery et al point out that ways of reading are kinds of comprehension where comprehension consists of an active engagement (2007: 8). In the Introduction, again, there has been mentioned about the searching for meaning. Now, a question might come across waiting for an answer. How do students search for meaning of out a text? The answer is provided by Montgomery et al by stating that Looking for meaning or meanings of a text involves exploring many different sorts of question – or alternatively blocking off those different sorts of question in order to settle on a possibly more comfortable but significantly reduced, single interpretation (2007: 9). In interpreting the text, each reader has different process and track. There are factors influencing interpretation. The background of each student (age, gender, ethnicity, religion, social class, place of origin, local tradition, and family belief) enriches the process and result of interpretation. Montgomery et al believe that it does not make interpretation relative or pointless, but rather results in debates which later play an important role in social discussion of beliefs and values, especially for texts that engage with fundamental human concerns (2007: 9). The purpose and interest in reading a certain text determine how students read it. Students have different and hidden agenda in reading. Reading literature, however, is not an easy task to do. Wedhowerti says that students probably need more time to read the same literary work again and again because it demands a lot from its readers (2015: 40). Therefore, different ways of reading with different sets of question are assigned to address the different situation. Five Ways Of Reading And Process Of Listening To Others Not only do students bring with them different and hidden agenda, but also their own values, beliefs, attitudes, and purposes. Every student is unique in a way that the same text might mean different for him or her. According to Montgomery et al, texts are suggestive and they connect with individual experiences, memories, and personal associations for words (2007: 11). Readerships are different. In the classroom, we, as lecturers, invite the students to give a response or responses to the text. They are encouraged to dig out the text in order to search for and understand meaning. As stated in the previous section, students 480 approach and engage with the text actively. The forms of response to give to the text are listening to the voice of the author and understanding the purpose of literature. We explain to the students about the nature of reading. Reading is an activity of listening to the author saying something to the readers as proposed by Bartholomae and Petrosky as follows Reading is not simply a matter of hanging back and waiting for a piece, or its author, to tell us what the writing has to say. In fact, one of the difficult things about reading is that the pages before you will begin to speak only when the authors are silent and you begin to speak in their place, sometimes for them, doing their work, continuing their projects, and sometimes for yourself, following your own agenda (1987: 1). When reading, students are listening to the author saying something (some things) to them. Then, they are in the position to speak back, to say something of their own in turn. In other words, as they read, they hear the author’s voice. We also introduce them to the purpose of literature. Barry suggests that the purpose of literature is essentially the enhancement of life and the propagation of humane values (1995: 19). The introduction to the nature of reading and purpose of literature is closely related to the five ways of reading. The five ways of reading as proposed by Campbell (retrieved on July 22nd 2015 from http://writing.colostate.edu/ guides/) truly reflect the reading activity as listening to the author as suggested by Bartholomae and Petrosky and the purpose of literature as suggested by Barry. The five ways of reading see literature as telling about human condition or human nature, as the form of experience the students have while reading, as something carefully structured, as hiding things, and as something playing an important role in culture. Each way of reading is equipped with guided questions to ask. Each of them is discussed in turn. 1. Reading for Realism Here the students focus on the plot, character, setting, point of view, and theme. They believe what the writer/author tells them about human condition or human nature. Some guided questions might be asked as follows. a. What is happening here? Why? How do we know about it? b. What motivates the characters? c. What is the reading about? Is it about feeling, family, loneliness, loss, or gain? 2. Reading as Experience Literature is seen as the form of the experience the students have while reading. The experience might change as they are reading. The guided questions to ask are as follows. a. What does this piece of literature do? b. How does this text manipulate you? c. Does your experience parallel the characters’? d. Do you feel that you learn at the same time as the characters do? e. How does the experience of different kinds of readers differ? 3. Reading for Structure As Campbell suggests, literary works are carefully structured objects whose formal details are significant; which details matter and how varies from type to type (http://writing.colostate.edu/guides/). Students focus on language, imagery, the unity of the text, and the structural skeleton of the text. The guided questions are: a. What are the image patterns? 481 b. What other special uses of language are here, and what do they contribute to the effect and meaning of the piece? c. Is there paradox? Ambiguity? d. Are there any myths? Myths about what? Are they about gender, heroes, family relations, cultures, class values, history or nature? 4. Reading Suspiciously Literature is able to reveal much more than what is shown on the surface. There are “hidden” things. Students read for gaps and textual selfcontradictions. The questions to ask are: a. Are there any apparent or hidden contradictions in the text? b. Is the text self-critical? c. What are the ideologies of the text? 5. Reading for Culture Literature plays an important role in culture. It talks about cultural issues. It takes part in the negotiation between cultures and individuals. Students focus on how a text represents things. The guided questions are as follows. a. How are notions like "femininity", "masculinity", "whiteness", "blackness", "civilization", and/or "nature" represented? b. What are the historical and cultural circumstances of these representations? c. How does the text participate in the cultural construction of categories or meanings? d. Does the text talk about major economic systems like capitalism or monopoly? The five ways of reading mentioned above place literature as reflecting the human nature and matters related to it. Those are very rich since they encompass more domains in life. Barry claims that literature speaks to what is constant in human nature (1995: 17). This statement is also supported by Pope suggesting that text has relations to the world, or it represents or refers to people, places, events, ideas, beliefs, in the worlds behind or beyond it as stated in the previous section. When the students are listening to what is said by the author, they are also at the same time listening to the voice of others. They are listening to what is going with other people out there by answering the guided questions. They are also searching for meaning by answering the questions. The guided questions are given and placed in detailed arrangement that students can experience the sense of listening in more aspects, angles, and domains of human lives. The students then produce new text (s). The responses produced by them (in the form of answers to the guided questions) are the reproduction of the text they have read. The process of reading, listening to the author, responding to the text, and reproducing the text does not stop here. It does not stop within a single text. This is conducted many times. We encourage students to experience more that their awareness of listening to others grows bigger. Conclusion Teaching and studying literature enable students to cultivate the taste, educates the sympathies, and enlarges their mind (Freeman, cited in Barry). Students feel the deep impact and are enriched by the text. They are enriched by the text in the field of practice (know-how). In the field of practice (in the classroom), students are given time, means, and encouragement to actively engage with the text and then give responses or to search for meaning out of it. By bringing with them their own values, beliefs, attitudes, and purposes, students give responses to the text. They give responses or search for meaning by answering the guided questions. While reading, they are listening 482 to the author saying about the nature of human lives, the lives of others, the voices of others. Reasonable time is given since literature is different from any other texts with everyday language. Five ways of reading are approaches to conduct and the guided questions are the techniques to apply in the classroom. The five ways of reading and the guided questions are very rich that they encompass more aspect and domains in human lives. Those are taught in order to enhance the students’ awareness of listening to others. The process of reading, responding, and reproducing the “new text” is continual. It does not stop in a certain text only. References Barnet, Sylvan., Burto, William., and Cain, William. 2005. Literature for Composition: Reading and Writing Arguments about Essays, Stories, Poems, and Plays. Boston: Longman Barry, Peter. 1995. Beginning Theory. Manchester: Manchester University Press Bartholomae, David and Anthony Petrosky. 1987. Ways of Reading: An Anthology for Writers. New York: St. Martin’s Press Hudson, William Henry. 1958. An Introduction to the Study of Literature. London: George G. Harrap & Co. Ltd. Montgomery, Martin., Durant, Alan., Fabb, Nigel., Furniss, Tom., and Mills, Sara. 2007. Ways of Reading: Advanced Reading Skills for Students of English Literature. New York: Routledge. Pope, Rob. 2002. The English Studies Book. New York: Routledge. Wedhowerti, Scolastica. 2015. Balancing the Know-What And Know-How in English Literature to Become Critical Readers. English Language Studies Indonesia: For Truth and Meaning, 36-45 http://writing.colostate.edu/guides/ 483 STUDENTS’ PERCEPTIONS OF USING DRAMA IN ENGLISH LANGUAGE TEACHING (A SURVEY ON ACADEMIC YEAR 2014/2015 DRAMA COURSE OF ENGLISH DEPARTMENT AT PATTIMURA UNIVERSITY) Wenda M Kakerissa Eugenie Mainake Ayu Aprilya S. Abdullah (Pattimura University Ambon – Indonesia) Abstract: Fostering creativity, confidence and motivation through Drama in language teaching has long been believed by the educational practitioners. They argue that drama can engage students actively with the learning process and it offers chances to use English effectively. Then, this survey aims at investigating students’ perceptions towards using drama in English Language Teaching (ELT) at English Department of Pattimura University. The result shows that majority of participants agreed to use drama as a tool in English language teaching because it engaged students with activities and provided more chances to the English usage. Therefore, it can be concluded that drama plays vital role to students’ English language improvement because they participated actively and colaboratively through drama performances, also they are trained to be productive and critical during the course. This study put forward some practical suggestions for the use of drama in ELT to overcome students’speaking skill and fulfill students’ needs in learning English. Keywords: Perception, Drama, English Language Teaching (ELT). Introduction Nowadays, an English as a Foreign Language (EFL) teachers need to work hard in finding ways to make students motivate to learn English. Students tend to get bored of conventional teaching. There are many options of strategy, method, and technique to teach English. Drama, a part of literature can be anenjoyable and comfortableEnglish learning method.At present, literature becomes a favorite resource to English educators. Many language researchers think that literature provides an authentic, meaningful, creative basis for English as Second Language (ESL) / English as Foreign Language (EFL) development (Malmir & Sarem, 2012). Literature is universal, interesting, various, non-trivial, and also Literature can be used in different context when teaching EFL. Poetry, Novel, Short Story, and Drama are the most favorite literature types that have been used by English Language teachers. Therefore, drama is potentially perfect for language teaching since it covers all language skills. The term “drama” is not a new term inEnglish Language Teaching (ELT). It has been over a century since drama was introduced but only in the last three decades it has come to the surface (Chukueggu, 2012). Drama is believed to be “a wide range of oral activities that have an element of creativity present” (Hubbard et all, 1986 cited in Chukueggu, 2012). Drama deals with communication among people in social context. It requires many forms of communications. From that perspective, Drama could be 484 included in Communicative Language Teaching (CLT). CLT is known as a good way in approaching students in order to make them able to produce language. The use of CLT in ELT has been proved to increase the successfulness of English teaching and learning. Drama can be used to increase students’ language skills, especially in speaking. In addition, it is also can engage students with the experience of communicating in various contexts and foster their creativity, confidence and increase their motivation in learning English. Thus, this research aims to find out students’ perception of using Drama in English Language Teaching; specifically, the students of English Education Study Program at Pattimura University. Literary Review CLT& Communicative Activities in EFL Communicative Language Teaching (CLT) is known as communication in real context. The use of CLT aims to give students opportunity to experience real conversation based on its purposes. Ohno (n.d) states that learning a language is not only about how we speak, read, write, and listen but it is also about how we can use sentences to communicate. Active participants are the result of using CLT in classrooms. Self-learning, group interaction in authentic situations, meaningful learning and peer teaching are proved to be promoted by teachers when they use CLT. It is assumed that EFL learning has been well-facilitated if the learners have engaged with interaction and meaningful interaction.Richard & Rodgers (2001) assert thatCLT puts a great attention on the meaning and authentic communication also fluency and all language skills which are essential in learning foreign language (Cited in Malmir & Sarem, 2012). CLT involved and integrated all language skills. Larsen-Freeman (2000) says that CLT draws upon functional model of language and emphasizes on the development of “communicative competence” as the goal for language learning. It means that the negotiation of meaning is more important than the forms of the language target. CLT focuses on the beliefs and theories that set Communicative Competence as the goal of learning a language. Communicative Competence here is not only about grammatical knowledge of a language but also about when, where, and to whom a sentence is being used in speech community. Hymes (1972) cited in Malmir & Sarem (2012) defines Communicative Language Teaching as “what a speaker needs to know in order to be communicatively competent in a speech community”. That is why being able to communicate in target language is the main purpose of the use of CLT.It does not mean that the students can always speak fluently and accurately; the CLT researchers agreed that learning a language is a gradual process that involves the creative use and many trials (Malmir & Sarem, 2012). Errors and mistakes happen all the time in learning language. Communicative activities are those which involve doing something by using language. These activities should have three features in common: information gap, choice, and feedback (Larson-Freeman, 2000). An information gap activity occurs whena person knows things while the others do not; the speaker has chance to choose what and how will she or he says; feedback is important because it aims to let one speaker evaluate another speaker’s work. Games, role plays and problem-solving tasks are the examples of well-known communicative activities. Richards (2006) states that communicative activities are not focusing on conversation but may and can involve listening, reading, speaking, writing or an integration of these skills. The use of 485 communicative activities can help student to achieve the Communicative Competence which is to communicate with other person in the classroom and in the long term, society. Drama used in a classroom can be said as a good communicative activity since it can foster communication between/among students with meaningful way yet also foster their creativity, raise their confidence, and increase their motivation (Malmir & Sarem, 2012). Drama & Dramatic Activities According to Holden (1981) cited in Davies (1990) drama can be defined as “let’s pretend; it asks learners project himself imaginatively into another situation, outside the classroom, or into the skin and persona of another person” (p.1), where it focuses on “doing” rather than the presentation (p.8). Technically, Drama requires students to act as someone else that they portrayed and it has interaction with other people that must include the communication of meaning. Drama becomes a basic way to practice communicating since it relates tomany aspects of life and also empowers students’ creativity and fantasy. By using drama, teacher can help students to develop the language skills, particularly speaking skill. Drama is an effective way to teach speaking because it supplies students with the opportunity of making longer interaction with other students and provide useful yet interesting situation where make classroom is enjoyable. Not only speaking, drama is also proven to facilitate other language skills. According to Clipson-Boyles (1998: 8-9), drama is processing with listening, speaking, writing, and reading; although by using drama it is mostly assists listening and speaking, drama activities can improve the situation of reading and writing too (Cited in Yun, 2007). Dramatic activities includes activities that make students use real-life language and it includes mime, role play, simulation and improvisation (Chukueggu, 2012). Davies (1990) states that mime emphasizes the paralinguistic features of communication and it also can build students’ confidence by asking them to do things in front of other people. Hayes (1984: 28) points out that Mime helps students empower their imagination and observation, simply said as “a source of great enjoyment” when the students tend to be very excited about this aspect of drama (Cited in Davis, 1990). Role play is used by teachers all the time in English language teaching, for speaking skill in particular. Even so, Hu (2011) argues that it is always challenging to use role play because there are many varieties of role play and teacher should carefully choose to adjust with students’ need. Dougill (1987, cited in Yun, 2007) defines improvisation as a spontaneous response to a description of an unexpected situation. He further emphasizes that the ability to improvise something is vital for language use. He also points out that simulation as structured set of circumstances that reflect real-life situation. Simulation is different from role play since is requires students to bring their own personality, experience and opinions on thetask.Both teacher and students have to feel secure about the knowledge and to expect that they will enjoy and benefit from drama activities; that kind of atmosphere must be created in drama classroom (Davies, 1990). Using drama is very effective to create motivate and innovate atmosphere in EFL classroom. The Use of Drama in Teaching EFL Even though Drama has been used for language teaching since Middle Ages, it is just few decades ago that Drama has frequently been used by English language teachers. The reason why it happened because there was a greater emphasis on meaningful 486 communicative activities instead of mechanical drills (Hall, 2003 cited in Malmir&Sarem, 2012). Drama can be used in teaching EFL for many reasons. Language supposes to be used in meaningful situations. The main concept of Drama emphasizes in real or imagined situations in and out of the classroom. Drama is fun and entertaining also motivate. Malmir&Sarem (2012) argue that Drama provides varied opportunities for different speaker to interact each other and since it involves imagination and feeling, Drama also provides a rich experience for language learning. Imagination plays vital role for student; it can be a dream and inspiration for them. Since Drama needs creativity, imagination is required in order to produce a good drama Drama focuses on language development, personal awareness, group cooperation, sensory awareness, and imaginative growth. As an educational tool, the use of drama can foster the social, intellectual, and the linguistic development of the child (Vygotsky, 1987 cited in Chukueggu, 2012). In relation to the use of Drama in EFL, Vygotsky(1987) proposes that play which is a form of activity is important in a child’s cognitive development and that through the process of internalization, social activities become mental activities. It indicates that the learning environment should provide students to play active roles. It can happen when the teacher and the students collaborate with one another to create meaningful learning. Language experts believed that social rules of language are more important than linguistic interaction in the target language. Language learning is supposed to make students ready to interact and communicate in society. Many communicative activities in classroom provide exercise that focuses on the linguistic forms instead of giving them the real-life situation where they can explore their language better (Malmir & Sarem, 2012). On the other hand, Drama activities that have cultural and social situation can be more useful for students’ communicative competence. In addition, Drama focuses mainly on learner-centered activities. There are many opportunities for students to work independently and in group. Students can collaborate each other in the process of learning. Students are encouraged to express their ideas and be responsible for it until the end. Malmir & Sarem (2012) argue that Drama mostly done in group work and it proves to increase students’ responsibility, problem solving, management, and directing proficiencies. Using Drama in teaching EFL fosters creativity, confidence and increase motivation of the students. Drama helps students to work best with their creativity and requires them to use their imagination that leads to creative works (Hu, 2011). Davies (1990) state that the greatest advantage of using Drama in teaching EFL is the confident that will be gained by the students. Those students who used to be shy will definitely have more gut to speak. Lastly, motivation which can be said as the critical point in learning a foreign language might not be a problem since Drama motivate the students by let them integrate the learning with their own life. Methodology The method used in conducting this research is Survey research. Survey is the process which data are being collected from a sample of individuals through their responses of questions (Check and Schutt, 2012). In addition, Guyette (1983) defines survey as the way data are being collected in such consistent way. Moreover, Survey is also useful for documenting the condition of the existing community, their opinions, and population’s characteristics. Check and Schutt (2012) also point out that the reason why survey is one of the most popular research designs is because of the efficiency in which many variables can be measured without the risk of increasing the time or the cost of the research itself. 487 This study was conducted in the English Education Study Program at Faculty of Teacher Training and Education of Pattimura University. The population of this research is the students of English Education Study Program in Pattimura University. Sample is a group of participant in a study which is selected by researcher from population in that program (Creswell, 2012). Population is still a large group who has characteristics that distinguish them from other group while the sample is a part of the population that is being studied by the researcher (Creswell, 2012). The samples were selected randomly from the population of English Education Study Program as much as 26 students in drama class of 2015. The sample is the students which had enrolled drama course in their 6th semester. The instrument used to collect the data were questionnaire and interview. The questionnaire consists of the questions that related to the purpose of the research. According to Creswell (2012), questionnaire is a form that the participant of the research is required to complete and to return to the researcher. Type of question in the questionnaire is open-ended question consisting of 25 items and was distributed to 26 students who enrolled fordrama class in academic year 2014/2015. The questionnaires were directly collected after being completed. Afterward, the questionnaires were analyzed using Sudjana’s formula (1989), as follows: 100% Where: F N 100% = Answer Frequency = Amount of respondents = Constant number In addition, the researchers selected 8 students from the sample for the interview. Then, the researchers used Descriptive Statistics to discuss further about the result. Creswell (2012) suggested to use Descriptive Statistics to analyze the data. It allows researcher to analyze the data descriptively based on the findings. As for final step, the researcher wrote the report of the research’s result. Findings Drama is a teaching technique requiring students to perform certain genre of stories under specific theme. It is always challenging and interesting to act out as another person in drama and use English effectively considering the script should be memorized. In English Department of Pattimura University, drama is a conditional subject to students at sixth semester to enroll for. Following are the result of the questionnaire and interview consist of the discussions underlying students’ opinions of integrating drama to ELT activities. Questionnaire Result It is divided into three major points, namely Factors of Learning Drama, Drama provides chance to speak English. a. Factors of Learning Drama Item 1 to 9 of the questionnaire asked the students whether drama is appealing for them to learn English effectively. The table below describes students’ responses. 488 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Statement Strongly Disagree 1 Disagree 2 Neutral 3 Drama course motivated me to learn (0%) (0%) (4%) English Drama course is (4%) (0%) (0%) interesting I enjoy learning to speak more English (0%) (0%) (11%) through drama I am more confident in speaking in English (0%) (0%) (27%) than before Drama course provided interesting (0%) (8%) (11%) topics to learn about Drama course involved variety of (0%) (4%) (27%) activities to do Drama course had independent project to (0%) (7%) (23%) run Drama course had (4%) (0%) (0%) students to work in group Drama course had (11%) (5%) (19%) students to be collaborative with lecturer Table 1. factors of learning drama Agree 4 Strongly Agree 5 (65%) (31%) (31%) (65%) (62%) (27%) (54%) (19%) (58%) (23%) (42%) (27%) (35%) (35%) (15%) (81%) (50%) (15%) It is clearly depicted that Drama highly motivated students to learn English as the table, at item 1 shows 65% agreed and 31% strongly agreed. Drama encouraged them to perform by using English. In addition, 65% of the participants showed that they strongly agreed if drama course is interesting. They enjoyed drama course and English learning as 62% denoted agree. Majority of participants (54%) feeling confident speak English in drama and 58% of them revealed that drama has interesting topics to learn about through variety of activities as 42% and 27% showed their positive responses. Most students, as seen at item 7 to nine, positively responded that drama helped them to interact and colaborate with each other during the course untill their performances. These results implied that drama plays important role for students participate actively in learning process and the lessons were appealing and not boring to them. b. Drama : a Chance to Speak English Item 10 to 17 attemps to find out students’ English improvement in Drama Course. The following table discusses students’ responses. 489 10 11 12 13 14 15 16 17 Drama course enabled students in oder to speak (5%) (11%) (23%) (46%) English easier to classmate than to lecturer I like working with (4%) (4%) (15%) (58%) classmates I have more chance to speak English in drama (0%) (0%) (20%) (42%) course By doing drama, I can explore my English (0%) (0%) (8%) (46%) speaking skill By doing independent project, I can express imaginative ideas in (0%) (8%) (19%) (58%) creating a drama during the course By doing drama, I can perform my English in (0%) (0%) (0%) (31%) front of audience By doing drama with classmates, I gain more (5%) (0%) (11%) (42%) self-confidence to speak English I used English more in drama course compared (0%) (11%) (54%) (27%) to other English subjects Table 2. drama provides chance to speak English (15%) (19%) (38%) (46%) (15%) (69%) (42%) (8%) In the table above, 46% of participants agreed that they spoke English easier with classmates, while 23% stand for neutral position considering classroom participation and drama performance offered different amount of time to speak English. However, most of them (58%) agreed and (19%) strongly agreed to build up cooperation with classmates since they were assigned group project. It is obviously denoted that majority of participants agreed, even strongly agreed that drama gave more chances to use English, drama lets them explore their English speaking ability, drama allowed them to express ideas and perform in front of audience. Most of them stated that, in drama, they gained more confidence when acting out certain characters. Despite the efficient chances to speak English in drama course, other subjects also give opportunities for students to use English as shown (54%) go for neutral. Speaking subjects, for example, students practice their oral communication in target language, too. Therefore, drama cannot be said outweighting other courses in English Department. c. Drama: Be Productive and Critical Item 18 to 25 find out students’ ability, progress to produce best result toward their academic achievement of the course and how they evaluate their activities. 490 18 19 20 21 22 23 24 25 Drama course helped me produce something (0%) (4%) (15%) (35%) interesting Drama course helped me to be creative in writing (0%) (7%) (23%) (35%) the script Drama course empowered (4%) (4%) (11%) (46%) my creativity I can improvise during (0%) (0%) (8%) (54%) drama performance My classmate helped me when I couldn’t express (0%) (4%) (15%) (42%) my self My classmate helped me when I couldn’t express (0%) (4%) (15%) (50%) my self Through cooperating with others, I can plan, (4%) (0%) (11%) (50%) organize and present drama better Drama provided chance to evaluate other (5%) (4%) (11%) (42%) performances Table 3. Students’ productivity and critical thinking (46%) (35%) (35%) (38%) (38%) (31%) (35%) (38%) The table above, it can be clearly seen that the participants were productive during drama course as 35% and 46% show their positive response toward item no 18. Reffering to that, majority of participants said that they were creative in drama, from writing the script untill the performance (filming and live performance). More students responded positively that group work helped them to express themselves, to plan, organize, and present drama. 42% and 38% of participants stated that they could evaluate others’ group performance through critiques, feedback and suggestion for better result they got at the end of drama course. Interview Result In line with the analysis of questionnaires, the researchers interviewed 8 from 26 students to clarify their responses in questionnaire. Following is the analysis of the interview with the selected respondents. The interview with eight (8) respondents selected from the whole sample indicates valuable consideration and essential feedback to drama course as an element of literature integrated into language teaching class. Respondents revealed their impression enrolling and joining drama course at English Education Study Program which is a changing point of their attitude towards the course. “I am a type of person who does not like to work in group and is hardly able to speak in front of many people. Drama course, however, encouraged me to cast away my worries and had me to stand out in class. So, that’s why I like drama especially English drama” Respondent H “Drama course, for me, ... an exciting course where I myself can explore my ability in speaking English and acting out as other people. It is challenging yet interesting! I gained 491 knowledge about western English culture and I am more confident when performance (gigling) compared to other subjects!” Respondent E “Drama course...I learned the stories in Europe and in America (the U.S). Very Interesting! However, the lecturer should pay attention to all students equally! And group project was so much fun, we created our own drama script” Respondent G Those aforementioned statements implied that students were encouraged through the activities and the teaching materials because they put huge interest in mastering those topics given. As respondent A also added that; “...We learned the theory of drama, it starts from definitions, sample stories or piece of drama of the U.S and Europe by classroom discussion, and... the most exciting is that we learned also the genres of drama such as tragedy, comedy and tragic-comedy! I was involved in one of them! It’s fun!...” Additionally,all respondents pointed out some critical comments to drama activities in terms of enhancing their language skills, creativity, critical thinking and building up their self-esteem, confindence and also raising their awareness of the learning content. “British, American... also cultures and literature of other western countries are very interesting and appealing but why don’t we use our own culture and stories for live performance?... I think it’s gonna be ‘awesome’ then..!”Respondent B “We were so confident in our performance, our English becomes better and more fluent... but I think we, as students, should be more creative in writing script and maybe back to local content as our stories to be played... I wonder what if we played or acted out English drama based on our culture such as Batu Badaon or something else, it would be good” Respondent C “I got to play a comedy drama... well, it sounds fun but actually not, the lecturer once said that it is not easy to make audience laugh. It’s true!The topic, I think, should be familiar with us in Ambon eventhough it is in English but the audience understand...that’s helpful” Respondent D Based on the analysis of questionnaire and interview, drama has become a good teaching technique that majority of students believed that it can empower students’ creativity and self-confidence. Being not afraid to perform an act, students will surely beable to improve their English speaking skill. They become more fluent and more often to use English effectively. Apart from that, students concern about the topic they used to perform. Students said that audience are judges who watch and will understand their plays, so having unfamiliar topic would create varied bias to them. “Performing English drama from the U.S and Europe, indeed, broaden our knowledge of culture, social issues at certain era and so on... but to make it clear and understandable for audience, I honestly prefer our folklore to be played in drama class. It is good to know our culture heritage..” Respondent F Therefore, they proposed practical suggestion for English teachers that is to negotiate local content (folklores) to their English drama performance to enable audience as well as “actors and actress” to easily deliver the meanings or moral values through drama performance. Conclusion Based on the findings, students perceived that drama use in English language teaching is worthwhile because there are some factors that encourage them to learn drama and practice English skill, speaking in particular. In addition, the topics given were appealing to students and projects are challenging yet interesting. Moreover, this course allowed students to use target language, in this case, English efficiently. They 492 also revealed that gaining more confidence what they progressed through drama course. Surprisingly, live performance; a requirement of fulfilling this subject, they could come up with creativity and productivity that lead them to have outstanding achievement at the end of drama course. They were allowed to complete each other through evaluating one group and another. However, drama course for English language teaching should concern students’ needs to negotiate their local culture. Inspite of interesting topics were taught, mostly students were not close, even familiar with. So, they should do in-depth search in order to understand what are the materials about. It is then suggested to adding Amboneses culture into drama performance, hence English is used but students will be creatively develop the stories (themes) and acts. To English teachers, drama brings fun and enjoyable atmosphere into classroom so students can interact to one another and to teacher, too. To sum up, providing simple themes for students drama performance in English Teaching is neccesary for encouraging their creativity, motivation and confidence. References Check, J., & Schutt, R. K. (2012). Research Methods in Education. Boston: SAGE Publications, Inc. Chukueggu, C. O. (2012). The Use of Drama and Dramatic Activities in English Language Teaching. The Crab: Journal of Theatre and Media Arts, 151-159. Creswell, J. W. (2012). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. Boston: Pearson Education, Inc. Davies, P. (1990). The Use of Drama in English Language Teaching. TESL Canada Journal. Vol 8, No 1, 87-99. Guyette, S. (1983). Community Base Research - A Handbook For Native Americans. Los Angeles: University of California. Hu, Y. (2011). Using Drama for ESL Teaching. University of Wisconsin-Platteville , 122. Larson-Freeman, D. (2000). Techniques and Principle in Language Teaching (2nd Ed.). Oxford: Oxford University Press. Malmir, A., & Sarem, S. N. (2012). Using Drama in Teaching English as a Foreign Language within the Framework of Communicative Language Teaching. Islamic Azad University, 1-16. Ohno, A. (n.d.). Communicative Competence and Communicative Language Teaching. 25-31. Richards, J. C. (2006). Communicative Language Teaching Today. New York: Cambridge University Press. Yun, H. C. (2007). Students’ and Teachers’ perceptions of using drama in the language classroom: Implications for Teachers. Hong Kong: University of Hong Kong. 493 TEMA-TEMA GELAP DALAM LIMA KARYA SASTRA ANAK BERBAHASA INGGRIS SEBAGAI BENTUK PEMBERDAYAAN ANAK Widyastuti Purbani (FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia) Abstract: This paper aims at revealing kinds of dark themes presented in five children’s English novels written by American, British and Canadian writers, the ways the child characters strive and struggle in facing poverty, separation, loneliness, abuse in their lives and how, inspite of the dark sides of life and experiences, these texts maintain to develop pleasure as promised by Perry Nodelman. This paper is written based on a qualitative study on five texs entitledThe Graveyard Book by Neil Gailman (British), Deenie by Judy Blume (USA), Illustrated Mum by Jaqueline Wilson (British), Willow and Twig by Jean Little (Canada), Speak by Laurine Halse Anderson (USA). It is revealed that the five novels under study do not silence dark themes. All the main child characters in the novels experience bitterness such as neglect, denial, poverty, abuse, rape, illness or even bitter than that one of the characters must look after the mentally ill mother. They are portrayed struggling and striving hard to get out from the darkness, entirely by themselves, without the significant help of adults. Gradually they can conquer the problems and find out by themselves the lessons. Pleasure of the texts is developed when the child characters gradually see that their efforts and struggles meet hope and solutions, therefore pride and reliefs. Making the chid characters face problems and struggle for solutions is empowering children in the texts and as readers. Key words: children’s literature, dark themes, pleasure Pendahuluan Sastra anak sering dinyatakan sebagai sastra yang menghibur, menyenangkan dan menggembirakan hati anak-anak. Hal itu pula yang disebut oleh Perry Nodelman (1995) dalam bukunya The Pleasure in Children’s Literature. Maurice Saxby (1989) pun menyatakan bahwa joy atau kesenangan merupakan faktor penting dalam sastra anak. Huruf J pada kata Joy oleh Saxby bahkan ditulis dengan huruf kapital untuk menegaskan pentingnyakegembiraan ini. Namun demikian, benarkah kata pleasure dan joy bermakna senang dan gembira, setara dengan rasa yang timbul ketika anak-anak mendapatkan permen, mainan baru atau es krim yang mereka sukai? Jika ya, alangkah dangkalnya makna karya sastra.Padahal karya sastra diibaratkan sebagai sayap yang dapat membawa anak-anak terbang jauh di angkasa raya, oase pembelajaran arti kehidupan.Sastra anak adalah medium efektif untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan.Seiber dan Drolet (1993) menyatakan bahwa sastra anak menyediakan kesempatan yang sangat baik untuk pembelajaran dan pemberdayaan. Seperti kita ketahui kehidupan tidak mungkin hanya dimaknai sebagai kegembiraan, keberhasilan, 494 kenikmatan, keceriaan; ia tidak bisa lepas dari hal yang sebaliknya yakni kesedihan, kesakitan, perpisahan, dan bahkan kematian. Lalu bagaimana arti kesenangan, kegembiraan atau Joy yang dimaksud oleh Nodelman maupun Saxby?Kesenangan dalam pengertian Nodelman dan Saxby bermakna jauh lebih dalam daripada rasa yang muncul ketika kita mendapatkan makanan, mainan atau baju yang kita sukai. Bagaimana pun karya sastra, termasuk sastra anak adalah cerita perjalanan atau journey, maka kesenangan dalam sastra anak dapat dipahami sebagai rasa senang atau bahagia yang muncul sebagai akibat dari penemuan, kemengertian, keberhasilan yang dirasakan setelah anak-anak mengalami perjalanan panjang, setelah mengalami betapa getirnya perjuangan, kesakitan, duka, bahkan kematian. Banyak orang tua maupun guru yang masih berpendapat bahwa karena usia mereka yang muda, anak-anak harus dijauhkan dari hal-hal yang menyedihkan seperti perceraian, kesakitan dan kematian. Itulah sebabnya sastra anak yang dianggap baik menurut pandangan ini adalah sastra anak yang menggambarkan keceriaan, kebahagiaan dan kegembiraan anak-anak.Dalam pandangan ini tema-tema gelap seperti kesakitan, kepedihan dan kematian adalah tabu dan tidak layak disampaikan dalam cerita anakanak. Tapi jika tujuan sastra anak benar-benar ingin membuat anak-anak memahami arti kehidupan, tentunya kaum pendidik yang benar-benar ingin melihat anak-anak berkembang, akan lebih memilih untuk bersikap jujur pada anak-anak. Mereka tidak akan menutup-nutupi apa yang terjadi dalam kehidupan, dan kehidupan yang dimaksud di sini adalah kehidupan yang tidak lepas dari sisi gelap. Jean Karl (1971) menyatakan bahwa jika dalam sastra anak, segalanya terlalu mudah, itu adalah nonsense atau tidak masuk akal.Apalagi dunia sudah berubah begitu drastis.Anak-anak sekarang memiliki minat baca yang jauh lebih bervariasi.Anak-anak sekarang juga memiliki kebutuhan yang semakin kompleks, sesuai dengan kompleksitas kehidupan yang mereka hadapi sehari-hari. Pada jaman yang disebut Ulrich Beck sebagai jaman penuh resiko ini, anakanak memang harus disiapkan untuk menghadapi resiko dan ketidaktentuan yang mungkin terjadi. Menurut Karl sastra anak yang baik bukanlah buku yang sarat dengan eufimisme, atau bersifat sentimental ‘not sissy stuff, not spineless nothing’ (1971:2) melainkan yang mampu menjawab tantangan variasi dan kompleksitas anak-anak seperti tersebut di atas. Sastra anak hendaknya bersifat jujur terhadap kehidupan. Kekhawatiran yang sering dirasakan oleh pendidik bahwa anak-anak akan mengalami trauma tidaklah beralasan, karena anak-anak bukanlah makhluk yang inosen. Luken (1999) menegaskan bahwa anak-anak dan orang dewasa tidak berbeda dalam jenis dan kebutuhan, tetapi dalam derajat. Jika orang dewasa perlu tahu sisi pedih kehidupan, demikian pula anakanak.Pengetahuan ini penting dalam rangka menyiapkan diri memasuki kehidupan nyata kemudian hari. Tema-tema gelap seperti kematian tidak perlu ditutup-tutupi dari anak-anak karena karena jika kita menutupinya dari mereka maka anak-anak akan berpikir bahwa kepedihan, perpisahan atau kematian adalah persoalan yang sungguh sangat berat. Garanzini dalam Seibert dan Drolet (1993) menyatakan bahwa “Attempts to shield children from the reality of death reinforces in them the perception that death is either not real, too frightening to examine or worst of all, that the ending of life is not worth noting with respect and reverence. These unintended lessons are unhealthy….” Ia khawatir bahwa jika cerita kematian ditutupi dari anak-anak akibatnya justeru akan membuat anak-anak terlampau takut, dan karena terlampau takutnya, mereka tidak akan 495 menghargai kehidupan. Dengan memberi gambaran yang lebih realistis tentang kematian atau kepedihan melalui cerita, anak-anak dipersiapkan untuk mampu menerima kenyataan hidup secara lebih alamiah. Novel-novel berjudul The Graveyard Book karya Neil Gailman (Inggris), Deenie karya Judy Blume (USA), Illustrated Mum karya Jaqueline Wilson, Willow and Twig karya Jean Little (Kanada), Speak karya Laurine Halse Anderson (USA) merupakan sastra anak yang ditulis dalam bahasa Inggris, kelimanya sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia.Karena dianggap sebagai karya yang baik bagi anak-anak dan remaja, sebagian besar karya ini sudah diangkat ke dalam bentuk film. Artikel ini hendak memaparkan tema gelap apa saja yang terkandung dalam 5 karya sastra anak berbahasa Inggris, Bagaimana tema-tema gelap tersebut dipresentasikan dalam 5 karya sastra anak berbahasa Inggris dan bagaimana 5 sastra anak tersebut tetap membangun kesenangan (pleasure) sekalipun memuat tema-tema gelap. Artikel ini ditulis menggunakan beberapa perspektif teoretis di bawah ini: Anak-anak Bukanlah Miniatur orang Dewasa Pandangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandangan bahwa anakanak bukanlah makhluk yang inferior. Beberapa pakar telah menyatakan hal ini di antaranya adalah Lukens (1999: 9) yang secara tegas menyatakan bahwa Children are not little adults.They are different from adults in experience , but not in species, in degree but not in kind.Anggapan bahwa anak-anak jauh berbeda dengan orang dewasa adalah anggapan yang keliru, karena pada dasarnya yang membedakan anak-anak dari orang dewasa hanyalah jumlah dan derajat pengalaman mereka. Tentu saja orang dewasa, karena telah lebih lama hidup memiliki jumlah dan kadar pengalaman yang berbeda dengan anak-anak muda, tetapi anak-anak dan orang dewasa masuk kategori species yang sama, dan dengan demikian jenis yang sama pula. Akibat dari kesamaan ini, watak dan kebutuhan anak-anak dengan orang dewasa pun tidak berbeda. Hal yang kurang lebih sama dinyatakan oleh Jean Karl (1971) sebagai berikut: Anak-anak adalah manusia seperti halnya orang dewasa. Mereka tidak bisa dianggap kecil dan sepele hanya karena mereka memiliki pengalaman yang sedikit.Itulah sebabnya kebutuhan anak-anak dan orang dewasa tidak jauh berbeda dari jenis, walau mungkin berbeda dalam hal derajat atau level.Karena anak-anak bukanlah makhluk kecil yang pantas dikasihani, maka sastra anak melihat anak-anak dengan respek dan apresiasi seperti tatkala memandang kaum dewasa. Sastra Anak dan Pengembangan Anak-anak Sastra anak memiliki tujuan untuk mengembangkan anak, dan membuat mereka memahami kehidupan dalam perjalanan mereka menuju alam kedewasaan.Sastra anak menurut Karl (1971) memiliki tugas tidak sekadar memberi informasi yang bersifat keras (hard information), melainkan juga soft information. Sastra anak tidak dimaksudkan pula untuk mendikte atau memaksa anak-anak mengikuti kemamuan orang dewasa, melainkan untuk menunjukkan bagaimana seluk beluk sesuatu, ‘to show how things are, how they come to be and feel and grow in an atmosphere open to examination’. Itulah sebabnya sastra anak harus menawarkan dimensi kehidupan dan memberi anak-anak kesempatan untuk melakukan penemuan-penemuan. 496 Anak-anak Berbeda dari Waktu ke Waktu Penelitian ini menggunakan cara pandang seperti yang dikemukakan Jean Karl (1971) bahwa masa kecil (childhood) bukanlah masa yang inosen, bukan pula masa yang mudah dan serba menyenangkan, melainkan masa yang penuh dengan teka-teki yang sulit (difficult inquiry). Masa kecil adalah masa anak-anak melakukan penemuanpenemuan termasuk di antaranya adalah tidak terjawabnya pertanyaan sulit tersebut (hard quest) dan tidak tercapainya keinginan-keinginan (unfulfilled inquiry). JIka kita membicarakan anak dalam sastra anak, kita tidak mengacu pada satu kelompok anak-anak semata, melainkan seluruh anak-anak dalam keberagaman mereka. Dan anak-anak selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Anak-anak dalam sastra anak bukan hanya anak-anak yang hidup dalam pikiran kaum dewasa, seperti ketika mereka kecil dahulu, tapi termasuk anak-anak generasi sekarang. Anak-anak masa kini menurut Karl (1971) adalah anak-anak yang tidak mudah dikibuli. “Today’s children are very wise about many things. They are not easily fooled. They are not easily led. And they are ignorant of many things that children of an earlier generation know well.” Konsep Kematian dan Kepedihan bagi Anak-anak Ivan Southall (1975) mengingatkan kita bahwa anak-anak hidup di dunia nyata. Mereka tidak hidup di altar suci atau dalam gelas kaca. Mereka hidup bersama manusia yang lain, mereka mengotori tangan mereka, mereka bergumul dengan perasaan kuat dan perasaan lemah, dengan cinta dan mungkin kebencian. Dengan demikian sastra anak juga perlu memuat tema-temayang relevan dengan kehidupan nyata. Michael Morpugo (2012) menyatakan bahwa penulis sastra anak tidak boleh takut untuk menulis tema-tema mengenai rasa sakit, penderitaan, kematian demikian pula tema kebahagiaan dan kegembiraan.Bagaimanapun penulis sastra anak harus memiliki keberanian dan kejujuran dalam menceritakan kehidupan pada anakanak.Dalam kehdupan sehari-hari anak-anak mengalami sisi gelap kehidupan seperti rasa sakit, kepedihan, perpisahan dan kematian, sehingga mereka berhak mendapatkan penjelasan mengenai hal-hal tersebut.Sejalan dengan Morpugo,Mia L. Mercurio (2006) menyatakan bahwa dalam sastra anak modern, penulis tidak perlu segan-segan untuk menagnai tema-tema yang lebih berat dari sebelumnya. Sastra anak masa kini membicarakan isu-isu yang pada masa lampau dianggap tough atau sulit seperti penuaan, kesakitan, kematian dan penderitaan. Sastra anak membantu anak-anak untuk lebih memahami konsep kematian, dan dalam menghadapi kesedihan terutama pada kesempatan pertama. Selain yang sudah disebutkan tadi, tema perceraian atau perpisahan juga merupakan tema yang kian penting diperkenalkan lewat sastra anak (Bates: 2007). Sebagian anak-anak di dunia mengalami rasa sedih akibat perceraian dan ditinggal oleh orang-orang yang mereka cintai. Sastra anak memiliki kemampuan untuk menjelaskan hal yang sulit tersebut secara lebih halus. Hal ini disampaikan oleh Bernstein dalam Seibert dan Drolet (1993) sebagai berikut, “children’s literature commonly is used in preschool to address concepts which are not possible to experience directly, or not desireable to express directly. One area where direct experience is not always possible is death education. This, children’s literature is recommended as an appropriate tool for addressing concepts of death education.” Tapi ketidakpedulian mereka terjadi bukan semata karena kesalahan mereka. Mereka adalah produk dari waktu mereka. Oleh sebab itu, buku bagi anak-anak harus menyapa mereka dan hal-hal yang mereka ketahui serta hal-hal yang tidak mereka ketahui. 497 Hasil Pemeriksaan Bentuk-bentuk Kepedihan yang Dialami Anak-anak Setelah melakukan pencermatan dan pemeriksaan terhadap kelima karya tersebut di atas, terungkap bahwa ditemukan bahwa tokoh-tokoh anak dalam karya-karya yang diperiksa mengalami keterasingan, ketercampakan dan kesendirian. Mereka ditinggal oleh orang tua atau orang-orang yang mereka cintai, atau berada dalam ketidakharmonisan dengan keluarga mereka. The thought that Gram might have only said those things to keep Angel from taking her away cheered Willow up for a few seconds. Yet, if that were the truth, why had her grandmother never tried to make contact with them? Because of her grandmother’s parting words, Twig and Willow had ended up being treated like a couple of parcels dumped in a locker at the bus station and forgotten. She had turned them into nobody’s children (Wand T p. 10) Dalam teks di atas tokoh Twig dan Willow digambarkan mendapat perlakuakn yang menyakitkan dengan dicampakkan dan diperlakukan seperti benda yang tidak berharga. Mereka dilupakan dan tidak dianggap ada di dunia ini. “…I exhale and my mouth disappears in a fog. I feel like my skin has been burned off. I stumble from thornbush to thornbush—my mother and father who hate each other, Rachel who hates me, a school that gags on me like I'm a hairball.” (Speak p. 125)“…I have no friends. I have nothing. I say nothing. I am nothing. I wonder how long it takes to ride a bus to Arizona.” (Speak p. 116) Dalam Speak, tokoh anak dalam teks tersebut mengalami ketercampakan dan oleh karenaya kesendirian, dan kesepian. Ia mengalami kekosongan karena tidak ada seorang pun yang menghargainya, atau mempedulikannya. Beberapa tokoh mengalami keterbatasan materi (kemiskinan), terlunta di jalan atau kuburan. So Star went out and I stayed in with Marigold and ate raw cake and unrisen cake and burnt cake until I felt sick. (IM p. 41). Hidup dalam kemiskinan dan tekanan batin karena orang tua yang sakit jiwa, Star salah satu tokoh anak dalam Illustrated Mum ini terpaksa makan hanya apa yang ada, sekadar untuk membuatnya bertahan hidup termasuk roti bantat atau gosong yang telah dibuang di tempat sampah, hingga membuatnya sakit. Beberapa tokoh mengalami keterbatasan kemampuan (cacat tubuh, penyakit yang kronis atau gangguan jiwa). “Well now Dr. Moravia was right. Deniee has adolescent idiophatic scoliosis.”“If the curve isn’t corrected it will result in a spinal deformity,” Dr. Griffith said. (Deenie p 3-5). Dalam teks ini Deenie, si tokoh utama mengalami cacat tubuh yang tidak bias dibetulkan sehingga sangat mempengaruhi hidupnya. Cacat ini juga membuyarkan cita-cita serta harapan orang tuanya untuk menjadi model. Beberapa anak mengalami kekerasan baik fisik seperti perkosaan, pemukulan maupun non fisik seperti tekanan mental, dan sebagai akibatnya mereka mengalami depresi. My mother wants me to be a model with my face on all the magazine covers. Ma says i’ll make a lot of money and maybe get discovered for the movies too. A teenage model has to make it by the time she’s seventeen if she’s ever going to make it big. So the next four years wil be very important to me. The thing that really scares me is i’m not sure i want to be a model. (Deenie p. 1) Deenie dalam teks di atas mengalami tekanan batin karena ada semacam pemaksaan dari orang tuanya untuk menjad model, hal yang ia sendiri merasa kurang yakin, dan 498 kurang percaya diri. Pemaksaan menghantuinya sehingga membuatnya depresi dan takut. I argued with her and she got really angry and started yelling, screaming like she’d never stop, her eyes little green slits, her mouth a great red cavern, spittle running down her chin.( IM p 106) Selain kekerasan yang bersifat mental, anak-anak dalam teks itu juga mengalami kekerasan fisik baik langsung maupun tidak alngsung. Sekalipun tidak berupa pemukulan atau hal-hal yang melukai tubuh mereka, tokoh anak dalam teks Illustrated Mumdi atas mengalami ketakutan akibat kekerasan akibat kemarahan, teriakan dan jeritan yang dahsyat dan bertubi-tubi dari ibunya sendiri yang menderita gangguan kejiwaan. Kekerasan yang dilakukan oleh orang yang semestinya melimahkan kasih sayang padanya semacam ini bisalebih traumatik daripada kekerasan fisik secara langsung berupa pemukulan. Cara Anak-anak Tersebut Menghadapi Kegelapan Anak-anak tersebut merasa takut, cemas, kecewa namun kemudian mereka berusaha dan berjuang keras keluar dari kegelapan/kepahitan yang dialami. Pada umumnya mereka sendirian atau bersama anak-anak lain dalam menghadapi masalah. Campur tangan orang tua atau orang dewasa tidak banyak, sehingga mereka mengupayakan sendiri jalan keluar dari kegelapan. But i found out i couldn’t do it myself because i couldn’t bend over to see what i was trying to do. Maybe if i’d been really experienced in wearing that stuff it would have been easier but this was only my secnd time. i dropped the pad by mistake and then had to figure out how to get it off the floor. Finally i did a knee bend, like Mrs. Rapoport taught us in modern dance and i picked up the pad and started all over again. (Deenie p. 19) Tokoh Deenie dalam teks di atas berjuang hampir sendirian untuk keluar dari kesulitan yang ia hadapi. Ia menyadari bahwa hal itu tidak mudah, tapi ia mengupayakannya sekuat tenaga karena ia ia tahu hanya dengan cara itu ia dapat terbebas dari kesengsaraan. Ia juga tahu bahwa ia tidak dapat serta merta keluar dari kesulitan tersebut. Iatidak boleh menyerah. Ia harus bangun dan memulai berusaha lagi. Bod said, “I want to see life. I want to hold it in my hands. I want to leave a footprint on the sand of a desert island. I want to play football with people. I want,” he said, and then he paused and he thought. “I want everything.” (TGB p. 286) Dalam teks di atas, tokoh anak yang digambarkan menghadapi kesulitan dan kepedihan hidup memiliki semangat juang yang tinggi untuk bangun dari keterpurukan, kaena ia ingin memiliki dan menikmati hidup yang lebih baik dan lebih menyenangkan. Ia digambarkan memiliki optimisme yang luar biasa, yang menjadi modalnya untuk mengalahkan kesulitan dalam hidupnya. I ran to get clothes for her but it was going to be too much of a struggle to get her arms and legs in and out of things so I ended up manoeuvring her trembly arms into her dressing gown and trying it tight round her painted body. (IM: 162) Dalam penggalan di atas terlihat tokoh utama berupaya keras untuk membantu mengurus ibunya yang sakit. Tubuhnya yang kecil secara gesit dan tangkas, mengupayakan sekuat tenaga ‘manouvering her trembly arms’ agar ibunya yang sakit merasa lebih nyaman. Dan ia mengerjakan hal seperti ini hampir setiap hari, terlepas dari umpatan-umpatan yang diterimanya, semata untuk keluar dari lingkaran kegetiran dalam hidup keluarganya. Keadaan ibunya menuntutnya untuk bertanggung jawab mengurus dan merawat ibunya agar rasa sakitnya berkurang. Bagaimana Kesenangan Dibangun? 499 Kesenangan dibangun dengan menghadapkan anak-anak (tokoh) dalam kesulitan serta kepahitan hidup yang serius. Pada umunya penulis tidak lekas-lekas melepaskan mereka dari kesulitan/kepahitan itu seperti apa yang biasanya terjadi dalam dongeng peri, melainkan mempertahankan (lingering) para tokoh tersebut berda dalam kesulitan dalam waktu yang cukup lama, hingga terjadi pembelajaran yang cukup intens. Namun kemudian secara perlahan para tokoh tersebut digambarkan berupaya, jatuh bangun, berjuang hingga kemudian mereka lepas dari kesulitan/kepahitan tersebut atas upaya mereka sendiri. Para tokoh digambarkan mengupayakan jalan keluar sedikit atau tanpa bantuan orang dewasa. Orang dewasa dalam karya-karya tersebut di atas Kesenangan terbangun karena ada rasa puas dan bangga akan upaya yang ditunjukkan oleh anakanak tersebut. There was a smile dancing on his lips, although it was a wary smile, for the world is a bigger place than a little graveyard on a hill; and there would be dangers in it and mysteries, new friends to make, old friends to rediscover, mistakes to be made and many paths to be walked before he would, finally, return to the graveyard or ride with the Lady on the broad back of her great grey stallion. But between now and then, there was Life; and Bod walked into it with his eyes and his heart wide open. (TGB: 289) Penggal teks di atas adalah salah satu contoh bagaimana anak-anak dalam teks yang diteliti mengalami kebahagiaan karena menyaksikan dan merasakan upaya yang telah mereka lakukan membuahkan hasil. Senyum yang mengembang dan menari di bibirnya, sekalipun ia sadar mungkin hanya bersifat sementara, menunjukkan kelegaan dan kebahagiaan tersebut. Hatinya pun ikut mengembang untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik. Namun di sisi lain, ada kesadaran yang lebih matang akan adanya sisi lain dalam kehidupan, misteri dan bahaya yang tidak akan mungkin terhindari dalam kehidupan ini. Inilah nilai yang sangat penting dalam kehidupan yang telah berhasil ia temukan sendiri, tanpa banyak bantuan atau petunjuk dari orang dewasa, yang secara implisit juga menunjukkan terjadinya perkembangan anak-anak menuju kematangan. Dolphin dalam Illustrated Mum menikmati kebahagiaan setelah upaya kerasnya merawat ibunya Marigold yang sakit jiwa menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Dia berubah dari seorang gadis yang pada mulanya marah dan tidak dapat menerima kenyataan bahwa ibu yang diharapkan bisa merawatnya dan saudaranya justeru membutuhkan perawatan istimewa dari anak-anaknya menjadi pribadi yang dapat memahami kebutuhan ibunya. Ada senyum bangga yang mengembang ketika kedua gadis kecil tersebut melihat ibunya mengalami kemajuan dalam kesehatan mentalnya, dan bahkan mampu mengucapkan permintaan maaf karena telah merepotkan mereka. Simpulan Kelima karya yang diteliti tidak merasa tabu dan kemudian mensunyikan (silencing) tema-tema gelap. Semua tokoh utama dalam karya-karya tersebut mengalami kepahitan hidup yang sangat serius yang barangkali dianggap terlalu pahit bagi anakanak. Mereka dibiarkan menghadapi kesulitan/kepahitan tersebut sendirian tanpa banyak pertolongan bahkan dari orang tua atau orang dewasa di dekatnya. Mereka digambarkan melakukan upaya yang cukup keras untuk keluar dari persoalan hidup dan kepedihan yang mereka hadapi, kemudian secara perlahan (tidak buru-buru) mereka digambarkan menemukan sendiri cara untuk keluar dari kesulitan. Kesenangan tetap terbangun dalam teks yang memuat tema-tema gelap tersebut melalui terbangunnya kembali rasa kelegaan, percaya diri dan kebanggaan setelah keluar dari kegelapan. Dengan cara tersebut anak-anak daam teks digambarkan memiliki daya upaya dan 500 kemandirian. Hal ini merupakan pemberdayaan anak yang penting dalam tahapan perkembangan anak-anak, sekalipun “hanya”melalui karya sastra. DaftarRujukan Bates, Laura Raidonis. 2007. “Sweet Sorrow: the Universal Theme of Separation in Folklore and Children’s Literature”. In The lion and the Unicorn by the John Hopkins University Press 2007 28-64 Karl, Jean. 1971. From Childhood to Childhood. New York: The John Day Company Lukens, Rebecca. 1999. A Critical Handbook of Children’s Literature. New York: Longman Nodelman, Perry. 1995. The Pleasures of Children’s Literature. New York: Longman Mercurio, Mia Lyn dan McNamee, Abigail. 2006. “Healing Words, Healing Hearts: Using Children’s Literature to Cope with the Loss of a Pet”. Journal of Childhood Education, Spring 2006. Morpogo, Michael. 2012. “On Dark Themes in Children’s Literature”. Dalam http://alumni.kcl.ac.uk/michaelmorpugo. Poling, Devereaux.2008. “Death Sentences: A Content Analysis of Children’s Death Literature” in The Journal of Genetic Psychology 169 (2) Saxby, Maurice. 1991. Give Them Wings: The Experience of Children’s Literature. Melbourne: Macmillan Company Seibert, Dinah dan Drolet, Judy. 1993. “Death Themes in Literature for Children Ages 3-8. Journal of School Health Vol 63 No 2 501 PULAU BURU DAN TAHANAN POLITIK DALAM MEMORI SASTRA INDONESIA: MEMBACA AMBA KARYA LAKSMI PAMUNTJAK DALAM PERSPEKTIF NEW HISTORICISM Wiyatmi (FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia) Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan memahami lokus Pulau Buru sebagai salah satu tempat tapol pada era orde Baru dan setelahnya yang digambarkan kembali dalam karya sastra Indonesia, khususnya novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dengan menggunakan perspektif new historisism. Melalui kajian tersebut diharapkan dapat dipahami keberadaan Pulau Buru, terutama dalam konteks Orde Baru yang memiliki makna tersendiri bagi sejumlah orang, khususnya pihak keluarga tahanan politik dan para pejuang HAM yang mendambakan keadilan. Sebagai salah satu karya sastra yang menceritakan kembali kehidupan para tapol di Pulau Buru, tampaknya Amba dapat dianggap sebagai salah satu karya sastra Indonesia yang mencoba membuka kembali memori kolektif bangsa Indonesia terhadap misteri yang ada di seputar peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan diasingkannya para tapol dari Jawa ke Pulau Buru. Novel Amba dalam hal ini dipahami dalam kesejajarannya dengan sejumlah literatur yang mengungkapkan peristiwa yang berkaitan dengan Gerakan 30 September 1965 dan kehidupan para tapol di Pulau Buru pada era Orde Baru. Kata kunci: Pulau Buru, tapol, Amba, Partai Komunis Indonesia, memori kolektif. Pendahuluan Pulau Buru merupakan salah satu pulau yang secara georgafis terletak di Kepulauan Maluku dengan luas wilayah 8.473,2 km2, panjang garis pantai 427,2 km. Berdasarkan Undang-undang Nomor 46 Tahun 1999, yang diperbarui dengan Undangundang Nomor 6 Tahun 2000, Kabupaten Buru dibentuk. Seiring dengan perkembangan waktu, pada tahun 2012, Kabupaten Buru dibagi menjadi 10 Kecamatan, yaitu Kec. Namlea, Kec. Airbuaya, Kec. Waeapo, Kec. Waplau, Kec. Batubual, Kec. Lolong Guba, Kec. Waelata, Kec. Fena Leisela, Kec. Teluk Kaiely, dan Kec. Lilialy (http://burukab.go.id/web3/). Meskipun terletak jauh di wilayah tenggara Pulau Jawa, yang karena ibu kota negara tertetak di Pulau Jawa (Jakarta), Pulau Buru merupakan salah pulau yang terkenal. Hal ini karena pada era Orde Baru, Pulau Buru dijadikan sebagai pulau pengasingan bagi para tahanan politik, khususnya orang-orang yang dianggap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia dan terlibat Gerakan 30 September 1965. Beberapa tempat di Pulau Buru menjadi latar cerita dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak karena novel tersebut menggambarkan kehidupan para tahanan politik era Orde Baru. Nama-nama tempat tersebut antara lain Namlea, Airbuaya, dan Waeapo. Selain itu dalam Amba juga ditemukan sejumlah lokasi yang berkaitan dengan kehidupan para tapol. Novel Amba menceritakan pencarian tokoh Amba ke Pulau Buru untuk menemukan jejak (keberadaan) kekasihnya, Bhisma sebagai tahanan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Perjalanan tersebut ditemani oleh salah seorang 502 ekstapol (Zulkifar), sahabat Bhisma yang telah kembali ke Jakarta. Di Pulau Buru Amba mengunjungi sejumlah tempat ekstapol menjalani pengasingan selama bertahun-tahun. Selain itu, di pulau tersebut Amba bertemu dengan sahabat Bhisma yang bernama Manalisa, yang darinyalah dia mendapatkan kisah Bhisma selama di Pulau Buru, selain mendapatkan surat-surat untuknya yang tak pernah dikirimkan dan hanya disimpan dalam tabung bambu. Kisah hidup Bisma akhirnya terkuat dalam surat-surat tersebut, yang isinya pada hakikatnya merupakan catatan harian. Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan memahami lokus Pulau Buru sebagai salah satu tempat tapol pada era orde Baru dan setelahnya yang digambarkan kembali dalam karya sastra Indonesia, khususnya novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dengan menggunakan perspektif newhistorism. Melalui kajian tersebut diharapkan dapat dipahami keberadaan Pulau Buru, terutama dalam konteks Orde Baru yang memiliki makna tersendiri bagi sejumlah orang, khususnya pihak keluarga tahanan politik dan para pejuang HAM yang mendambakan keadilan. New historicism sebagai Salah Satu Perspektif dalam Membaca Sastra New historicism adalah salah satu pendekatan dalam ilmu sastra yang muncul dalam dua dekade terakhir abad ke-20. New historicism pertama kali digunakan oleh Stephen Greenblatt tahun 1982 untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian Renaissance, yakni dengan menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkunginya (Budianta, 2006:2). Karya sastra, dalam perspektif new historicism tidak dapat dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi dan politik karena ikut mengambil bagian di dalamnya (Budianta, 2006:3). Dalam The Greenblatt Reader, yang merupakan antologi karya-karya Greenblatt dengan editor dan pengantar dari Michael Payre (2005:3) dinyatakan bahwa new histotism memiliki sejumlah karakteristik yaitu (1) new historicism berpikir bahwa kebudayaan adalah sebuah sistem semiotik, sebagai sebuah jaringan tanda-tanda, (2) menentang hegemoni disiplin tertentu, dan mencoba menemukan pemahaman secara interdisipliner untuk menemukan pengetahuan baru, (3) mereka terus menenus menyadari bahwa sejarah adalah apa yang terjadi di masa lalu (suatu rangkaian peristiwa), dan sejumlah peristiwa (cerita); kebenaran sejarah muncul dari refleksi kritis terhadap banyaknya kisah yang diceritakan, (4) sejarah, dengan demikian, awalnya adalah semacam sebuah wacana, yang tidak menolak peristiwa-peristiwa yang terjadi secara nyata, (5) prosedur khas new historicism adalah mulai dengan memprhatikan peristiwa atau anekdot, yang memiliki efek untuk membangkitkan skeptisisme terhadap grand naransi sejarah atau deskrpsi peristiwa-peristiwa penting pada masa tertentu, seperii Renaisanse, (6) new historisism selalu menaruh curiga terhadap adanya kesatuan (unified), penggambaran yang monolitik dari budaya atau periode sejarah, (7) karena tidak mungkin melampaui momen sejarahnya sendiri, semua sejarah tergantung pada saat kehadirannya ketika momen yang ada dibangun, (8) new historicism secara tidak langsung mengritik aliran formalis, seperti new criticism, yang memperlakukan sastra sebagai ikon ahistoris, dengan melakukan pengkajian ulang terhadap hubungan antara sastra dengan sejarah, (9) karya sastra bukanlah objek tidak memiliki hubungan dengan penulis dan pembaca, karya sastra harus dipahami sebagai objek yang berhubungan dengan konstrtuksi tekstualnya, (10) sejarah bukan hanya sebagai latar belakang karya sastra, tetapi sejarah dan sastra dalam pandangan new historicism merupakan hal yang saling berkaitan satu dengan lainnya, tidak dapat secara tersepisah. Dalam pelaksanaannya new historicism melakukan pembacaan paralel terhadap teks sastra dan nonsastra yang berasal dari periode sejarah yang sama (Barry, 2010:201). 503 Dalam hal ini peristiwa sejarah yang tergambar dalam teks sastra harus dibaca sejarah paralel dengan peristiwa sejarah yang dicatat dalam teks-teks sejarah. Kedua teks tersebut diberikan porsi yang sama dan secara konstan saling menginformasikan dan mempertanyakan satu sama lain (Barry, 2010:201). Dalam praktik kajiannya, new historicism menempatkan teks sastra dalam kerangka teks nonsastra. Dokumen-dokumen sejarah tidak disubordinasikan sebagai konteks, melainkan dianalisis sebagai teks tersendiri dan disebut sebagai ko-teks, bukan konteks. Teks dan ko-teks yang digunakan akan dilihat sebagai ekspresi momen sejarah yang sama dan ditafsirkan sesuai itu (Barry, 2010:2002). Hal ini berbeda dengan kajian sosiologi sastra yang cenderung menempatkan dokumen sejarah sebagai konteks yang melatarbelakangi karya sastra. Sesuai dengan cara kerja new historicism, maka data-data dalam penelitian ini diinterpretasikan dengan langkah sebagai berikut. (1) Memahami femomena sejarah dalam teks sastra dan teks sejarah. (2) Memfokuskan perhatian baik pada teks sastra dan teks sejarah pada isu kekuasaan nagara dan cara melestarikannya, pada struktur patriarki dan pemeliharaannya, dan pada proses kolonialisasi dengan “mind-set” yang mengikutinya. (3) Menggunakan cara berfikir postrukturalisis, dengan memahami setiap segi realitas tertuang dalam teks (dalam konsep Derrida) dan struktur sosial yang ditentukan oleh “praktik diskursif” yang dominan (dalam konsep Foucault) (Barry, 2010:209). Pulai Buru dan Tapol dalam Novel Amba dalam Perspektif New historisism Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak, yang terbit pertama kali September 2012 merupakan salah satu novel Indonesia yang mengajak pembaca untuk mengenang kembali salah satu kisah yang dialami oleh para tahanan politik pada era Orde Baru. Saat ini novel tersebut telah diterjemahkan dalam Bahasa Jerman (The Question of Red) . Dalam novel ini digambarkan kapan pertama kali mereka datang untuk menjalani pengasingannya, bagaimana mereka menjalani hari-hari pertama dan selanjutnya, sampai akhirnya mereka diperbolehkan kembali ke tengah-tengah keluarganya. Kisah ini harus dipahami dalam hubungannya dengan salah satu peristiwa dalam perjalanan sejarah Indonesia, peristiwa pasca Gerakan 30 September yang menyebabkan 12.000 orang dari Pulau Jawa harus terpisah dari keluarganya untuk menjalani hukuman di Pulau Buru. Mereka terdiri dari tapol Partai Komunis golongan B, yaitu orang-orang yang dianggap secara tidak langsung terlibat dalam Gerakan 30 September 1965, dan dianggap sebagai kader (Alkatiri, 2006:7). Oleh karena itu, dalam sejarah politik Indonesia Pulau Buru memiliki makna khusus karena berkaitan dengan pengasingan para tapol. Pramudya Ananta Toer (1995:2) menceritakan bahwa gelombang pertama tapol berangkat ke Pulau Buru pada 17 Agustus 1969. Sastrawan Pramudya termasuk yag diberangkatkan ke Buru dalam gelombang pertama, yang berjumlah 500 orang. Di samping dikenal sebagai tempat tapol, Pulau Buru juga dikenal sebagai Tefaat. Tefaat adalah singkatan dari Tempat Pemanfaatan (Alkatiri, 2006:3).. Sejumlah nama tempat di Pulau Buru menjadi latar peristiwa dalam novel ini, antara lain Namle, Waeapo, Kepala Air, Air Buaya, Savanajaya, dan Tefaat. Latar belakang dipilihnya Pulau Buru sebagai tempat tapol menurut sejarawan Alkatiri (2006:6) adalah riga hal, yaitu (1) Pulau Buru teletak jauh dari suhu politik ibu kota yang sangat peka, (2) untuk meringankan beban keuangan pemerintah demi suksesnya program Pelita, (3) meneruskan pembangunan pemerintah sejak tahun 1945 yang mengusahakan bendungan irigasi dan pertanian. Di Pulau Buru para tapol akan bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka sendiri, tanpa tergantung kepada anggaran 504 keuangan negara. Selain itu, menurut Hersri Setiawan (2004:508), salah satu eks tapol yang pernah tinggal di Pulau Buru, pulau tersebut pada awalnya dirancang untuk menjadi kuburan para komunis. Akan tetapi, karena para tapol tersebut ternyata memiliki semangat hidup yang cukup tinggi, maka mereka mampu bertahan hidup setelah mengolah hutan belantara yang ganas menjadi alam yang subur, dengan sawah, ladang, dan perkebunan yang berhasil dengan baik. Dalam Amba diceritakan bahwa Bhisma tergolong sebagai tapol golongan B yang tidak berkaitan secara langsung dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta.Bahkan, dia ditangkap di Yogyakarta pada 19 Oktober 1965 setelah menghadiri diskusi di Universitas Res Publika (Pamuntjak, 2012:289). Dalam novel ini, melalui cerita Zulfikar kepada Samuel diungkapkan bahwa meskipun diasingkan di Pulau Buru, Bhisma bukanlah anggota PKI, juga bukan anggota Lekra, tetapi dia dekat dengan CGMI di Yogya, kenal dengan pelukir Lekra, jadi dokter poliklinik yang diurus oleh Gerwani di Tanjung Priok, jadi dokter di rumah sakit kecil di kediri, lulusan Jerman Timur, maka dia diciduk (Pamuntjak, 2012:329). Dalam novel tersebut diceritakan beberapa hari sebelum terjadi penangkapan para mahasiswa dan aktivis dalam acara diskusi di Universitas Res Publika, Bhisma dan Amba mengunjungi para seniman di Sanggar Bumi Tarung, Yogyakarta yang sebagian besar anggotanya seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (Zulkifli, dkk, ed., 2014:74). Sejumlah nama seniman Bumi Tarung yang disebut dala Amba antara lain adalah Amrus, Djoko Pekik, dan Batara Lubis (Pamuntjak, 2012:236237; Zulkifli, 2014:72-75). Selain menyebutkan sejumlah nama (eks) tapol yang pernah dipenjara di Pulau Buru, sejumlah nama tapol tokoh dalam novel Amba (mungkin) fiktif, seperti Bhisma, Zulfikar, dan Zakir. Dalam perspektif new historicism hadirnya tokoh-tokoh fiktif yang merepresentasikan rakyat biasa yang memungkinkan pembaca untuk melihat kehidupan para tapol di Pulau Buru dari perspektif yang berbeda dengan ketika hal tersebut dipandang dari tokoh-tokoh Lekra terkenal seperti Pramudya Ananta Toer dan Hersri Setiawan. Dengan adanya tokoh-tokoh fiktif seperti Bhisma yang diasingkan ke Buru dengan alasan yang subjektif dalam hubungannya dengan tokoh Salwa, membuka pandangan pembaca bahwa para narapidana atau tapol sering kali harus menjalani hukuman karena “kejahatan” tersebut dijudge oleh kekuasaan, yaitu lembaga hukum dan keadilan tidak terlepas dari tangan-tangan kekuasaan. Dalam Amba Universitas Res Publika ada di Yogyakarta. Namun, dalam realitas di Yogyakarta tidak pernah ada nama universitas tersebut. Berdasarkan penelusuran pustaka, ditemukan informasi bahwa Universitas Res Publika ada di Jakarta dan menjadi cikal bakal Universitas Trisakti. Dalam uraian mengenai sejarah singkat Universitas Trisakti dijelaskan bahwa pada tahun 1965 Universitas Res Publika dihancurkan oleh massa karena dianggap terlibat dalam pergerakan Partai Komunis Indonesia pada bulan September 1965. Dari puing-puing universitas tersebut, selanjutnya didirikan universitas baru yang oleh Presiden Soekarno dberi nama Universitas Trisakti, dan diresmikan tanggal 29 November 1965 (www.trisakti.ac.id). Perbedaan tempat Universitas Res Publika dalam kenyataan dengan yang ada dalam novel bisa disengaja, bisa juga tidak disengaja. Namun, yang lebih esensial adalah keberadaan universitas tersebut di masa lalu dalam hubungannya dengan aktivitas mahasiswa yang dianggap berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia dan menyebabkan ditangkapnya sejumlah orang, termasuk tokoh Bhisma. 505 Kedatangan para tapol pertama kali di Pulau Buru diceritakan melalui kenangan Samuel yang tinggal di Pulau Buru bersama keluarga pamannya, yang bekerja sebagai Kepala Perwakilan Pertamina di Pulau Buru. Ia lebih senang sendiri, merekam, dan mencatat di dalam hati: jarang ada tokoh dan peristiwa yang luput dari perhatiannya. Begitu juga ketika pemerintah setempat memberitahu mereka untuk pertama kalinya pada akhir 60-an, bahwa sejumlah orang asing tak hanya puluhan bahkan ribuan, akan tiba dan menghuni pulau ini. Mereka bukan sembarang orang asing, lanjut pemerintah setempat lagi, mereka dari jenis yang berbeda, yang tak akan mendiami pesisir melainkan menerobos jauh di pedalaman, tak akan mencuri sagu seperti maling-maling kecil melainkan menerabas hutan untuk menggarap jalan aspal. Jumlah mereka akan mencapai 12.000, sementara kita hanya 7.000.... Orangorang itu adalah orang-orang buangan, orang-orang komunis. Kita campakkan. Mereka berbahaya. Petang itu saat Gelombang Pertama orang-orang buangan itu tiba di Pulau Buru, lelah, terperangah, dan bisu dalam seragam warna khaki yang kumal, Samuel menonton dari kejauhan... (Pamuntjak, 2012:26-27) Label yang diberikan oleh pemerintah bahwa para tapol itu adalah orang-orang buangan, anggota komunis yang berbahaya, dan harus dicampakkan menunjukkan adanya dominasi kekuasaan yang menggeneralisasi semua tapol. Padahal di antara mereka boleh jadi ada orang-orang tak bersalah dan bukan anggota komunis seperti Bhisma dan kawan-kawannya. Bahkan mereka ternyata dimanfaatkan oleh pemerintah untuk membuka jalan, membuat sawah, menanam tumbuhan untuk dimakan dan diperjualbelikan (Pamuntjak, 2012:59). Sumbangan tenaga dan keahlian Bhisma terhadap para tapol dan penduduk setempat bahkan sangat besar. Sebagai dokter dia telah bekerja mengobati dan menyembuhkan orang-orang sakit. Bhisma diasingkan ke Pulau Buru sebagai bagian dari rombongan Gelombang Ketiga, yang datang pada akhir tahun 1971 dengan KM Towuti. Oleh karena itu, Manalisa (sahabat Bhisma) menyebutnya sebagai Laki-laki dari Gelombang Ketiga (Pamuntjak, 2012:58). Bhisma bercerita kepada sahabatnya itu bahwa dia dan temantemannya dibuang ke Buru tanpa paham kesalahannya, sehingga mereka tiak mau menyebut Buru sebagai Inrehab (tempat rehabilitasi), mereka lebih suka menyebut tempatnya ditahan sebagai Tefaat (tempat pemanfaatkan). Kisah ini disampaikan oleh Manalisa kepada Amba, karena dialah satu-satunya sahabat Bhisma yang mengetahui seluruh kehidupan Bhisma di Pulau Buru. Bahkan Bhisma telah menitipkan dua puluh dua tabung bambu yang menyimpan surat yang ditulisnya untuk Amba kepada Manalisa. Seluruh tabung tersebut akhirnya diserahkan kepada Amba. Di dalamnya dikisahkan kehidupan Bhisma setelah kehilangan Amba pada peristiwa penyerbuan di Universitas Res Publika, sampai akhirnya menjalani hari-harinya dalam pembuangannya di Pulau Buru. Dalam salah saru surat Bhisma untuk Amba bertanggal 16 Desember 1973, Bhisma mencoba menuliskan persepsi orang luar tentang Pulau Buru dan kenyataan yang mereka hayati. Amba, Apa yang terlintas di benak orang ketika mendengar kata “Buru”? Aku rasanya tahu. Penjaga bersenjata. Orang-orang buas. Mesin pembunuh dengan kepala kosong dan hati batu. Tapi tidak selalu begitu. Banyak kawan di sini percaya bahwa kami telah memasuki masa yang lebih baik, meskipun beberapa wartawan yang berkunjung kemari meaganggap kami tidak berpikiran seperti itu. Mereka berpikir kami tak sanggup, atau menolak untuk melihat perubahan yang membawa kebaikan, meskipun sedikit. Mereka mentatat. Mereka 506 pikir kami terbebani oleh beban dari apa yang telah terjadi sebelumnya hingga kami tidak dapat melihat “cahaya”, sekalipun cahaya itu memancar di harapan kami. Tapi aku tidak berpikir begitu.... (Pamuntjak, 2012:415) Dari surat tersebut tampak bahwa meskipun harus menjalani pengasingan tanpa paham apa kesalahannya Bhisma termasuk orang yang tangguh dalam menjalani kehidupannya. Bahkan dia menjalani kehidupannya sebagai seorang dokter dengan memberikan pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan, baik sesama tapol, penduduk asli Buru, maupun para transmigran. Bahkan ketika para tapol sudah dipulangkan ke Jawa, dia tetap memilih tinggal di Pulau Buru sebagai seorang dokter, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dia pernah pindah ke daerah trasmigran, menawarkan jasanya ke desa-desa yang membutuhkan bantuan medis, menyembuhkan siapa saja, seperti Yesus, siang dan malam, sehingga dikenal sebagai seorang resi (Pamuntjak, 2012:32). Dalam suratnya kepada Amba, Bhisma juga menceritakan bahwa di Pulau Buru dia juga bergaul dengan sastrawan Pramudya Ananta Toer, bahkan Bhisma mengatakan bangga sekali kalau bisa berbicara dengan Pram (Pamuntjak, 2012:417) Saat itu Pram sedang menulis novel monumentalnya Bumi Manusia. Pertemuan Bhisma dengan Pramudya mereprentasikan bahwa dirinya berada dalam satu lokasi dan pengasingan yang sama dengan tokoh historis tersebut. Dalam surat yang ditulis Bhisma untuk Amba bertahun 1977, tanpa tanggal, pembaca mendapatkan jawaban setelah mencoba menginterpretasi dialog dan pertemuan Bhisma dengan Salwa, tunangan Amba, tentang alasan Bhisma ditahan di Pulau Buru, terutama dari bagian surat berikut. -1977 Amba Kekasih, Telah begitu banyak rasanya aku menulis padamu, berbagi apa yang ada di dalam hatiku. Tapi tetap saja hatiku resah. Mungkin karena ada dua hal penting yang belum kauketahui, dan inilah saatnya kutuliskan. Suatu hari, ketika aku sedang meringkuk di selku di Salemba bersama mereka yang samasama tak tahu kesalahannya, Salwa menemuiku. Kelak aku tahu dari Kepala Sipir Penjara, bahkan ia punya sejumlah kenalan yang cukup berkuasa di Kejaksaan Agung.... (Pamuntjak, 2012:456) Interpretasi dari surat tersebut adalah Bhisma yang bukan merupakan anggota PKI atau pun Sanggar Bumi Tarung, maupun Lekra (dan hanya berteman dengan orangorang tersebut) ikut dipenjara di Nusakambangan dan Pulau Buru bersama dengan orang-orang PKI dan Lekra karena campur tangan Salwa yang mempunyai sejumlah kenalan yang berkuasa di Kejaksaan Agung, lembaga yang menentukan dan mengkasifikasikan apakah seorang tapol masuk Golongan A, B, dan seterusnya. Dari sini pulalah, pembaca dapat menginterpretasi hubungan cinta antara Bhisma, Amba, dan Salwa yang memiliki hubungan intertekstual dengan kisah dalam Mahabharata. Takdir yang mengikat ketiga tokoh tersebutlah menyebabkan cinta di antara mereka berakhir menjadi tragedi. Di akhir cerita novel ini pembaca juga diajak untuk memahami bahwa meskipun Salwa gagal mendapatkan Amba, dan Amba terpisah dari Bhisma yang diasingkan di Pulau Buru, sepanjang hidupnya Salwa diduga tetap mengikuti keberadaan dan kehidupan Amba dan Bhisma, melalui kenalannya di Kejaksaan Agung. Oleh karena itu, Amba kemudian menduga pengirim email tak dikenal yang memberitahu berita kematian Bhisma kepada Amba adalah Salwa, yang kemudian mendorong Amba mencari jejak Bhisma ke Pulau Buru (Pamuntjak, 2012:480). 507 Dalam perspektif new historicism juga juga dapat dipertanyakan tentang keterlibatan Partai Komunis Indonesia dalam Gerakan 30 September 1965. Siapa sebenarnya yang terlibat dalam gerakan tersebut? Menurut Luhulima (2007:1), yang mencoba melihat peristiwa G30S dari perspektif yang berbeda dengan versi resmi pemerintah Orde Baru, ada tujuh versi tentang siapa dalang di balik peristiwa G30S tersebut, yaitu (1) Partai Komunis Indonesia (PKI), (2) sebuah klik di dalam Angkatan Darat sendiri, (3) Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat (CIA/Pemerintah Amerika Serikat), (4) Rencana Inggris yang bertemu dengan rencana CIA, (5) Presiden Sorkarno, (6) Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto, (7) tidak ada dalang tunggal karena semua pihak yang terkait dalam peristiwa itu hanya beraksi sesuai dengan prekembangan yang terjadi dari waktu ke waktu. Gambaran mengenai apa sebenarnya yang terjadi menjelang peristiwa G30S dan bagaimana posisi PKI, Cakrabirawa, dan AURI dalam persitiwa tersebut mulai terbuka setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan kekuasaan Soeharto. Karena Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), bahkan pangkalan udara Halim Perdana Kusuma dianggap sebagai markas G30S), maka pada tanggal 13 Oktober 1998 sejumlah purnawirawan AURI di bawah pimpinan Laksda Udara (Purn) Sri Mulyono Herlambang mengadakan jumpa pers guna mengungkapkan niat mereka untuk meluruskan sejarah (Luhulima, 2007:33), yang disusul dengan penerbitan buku Menyingkap Kabut Halim 1965 (Katoppo, dkk., 1999). Pada intinya buku tersebut berisi penjelasan bahwa AURI secara institusi tidak terlibat dalam Gerakan G30S, meskipun tidak mengingkari adanya anggota AURI yang terlibat (Luhulima, 2007:35). Dari buku Menyingkap Kabut Halim 1965 itu diketahui bahwa Desa Lubang Buaya yang dijadikan markas pusat G30S itu terletak di luar wilayah Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim Perdanakusuma. Desa tersebut berjarak sekitar satu limometer dari Lubang Buaya dropping zone, tempat latihan terjun payung yang terletak di dalam wilayah Halim Perdanakusuma. Oleh karena itu, penyebutan bahwa Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma merupakan markas pusat G30S adalah keliru (Luhulima, 2007:34). Kalau ada sejumlah kemungkinan yang berkaitan dengan Gerakan 30 September 1965 tersebut, maka terbitnya novel Amba yang dapat dipahami sebagai bagian dari mengungkapkan kembali memori yang mungkin terlupakan oleh sebagian orang terhadap nasib sekelompok manusia yang harus menjalami takdir sejarah sebagai tahanan politik berpuluh-puluh tahun di Pulau Buru. Sebagian dari mereka bahkan tidak paham kesalahan apa yang telah dilakukannya. Dalam endorsmen yang ditulis oleh Amarzan Loebis (2013), salah satu bekas tapol di Pulau Buru, yang sekarang menjadi editor senior majalah Tempo, dikatakan bahwa novel ini membaurkan yang khayali dan yang nyata dengan cara yang sangat indah dan cerdas, dan Amba juga merupakan bagian dari “perjuangan melawan lupa” akan luka sejarah bangsa ini yang tak kunjung pulih (sampul belakang novel Amba). Simpulan Kehidupan para tapol di Pulau Buru pada era Orde Baru dapat dibaca kembali dalam novel Amba yang ditulis oleh Laksmi Pamuntjak. Dalam novel tersebut digambarkan sejumlah lokasi di Pulau Buru yang berkaitan dengan para tapol, seperti Namle, Waeapo, Kepala Air, Air Buaya, Savanajaya, dan Tefaat, Selain tokoh fiktif, seperti Bhisma, Manalisa, Amba, Samuel, dan Salwa, juga disebutkan sejumlah tokoh historis yang terkenal sebagai seniman Lekra, antara lain Pramudya Ananta Toer, Amrus, Djoko Pekik, dan Batara Lubis. Tokoh-tokoh fiktif dalam novel tersebut memungkinkan pembaca untuk memahami pengasingan para tapol di Pulau Buru 508 dengan penggunakan perspektif yang berbeda dengan pandangan umum selama ini. Dari tokoh-tokoh tersebut bahkan dapat dipahami bahwa tidak semua tapol yang diasingkan di Pulau Buru adalah anggota Partai Komunis atau Lekra, namun harus menjalani takdir sejarah, seperti halnya tokoh Bhisma yang harus menjalani “hukuman” karena merebut Amba dari tangan Salwa. Kisah dalam novel ini menyadarkan pembaca untuk tidak memahami persoalan sebagai sebuah generalisasi. Sebagai salah satu karya sastra yang menceritakan kembali khidupan para tapol di Pulau Buru, tampaknya Amba dapat dianggap sebagai salah satu karya sastra Indonesia yang memcoba kembali memori kolektif bangsa Indonesia terhadap misteri yang ada di seputar peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan diasingkannya para tahanan politik dari Jawa ke Pulau Buru. Daftar Rujukan Alkatiri, Zeffry. 2006. ”Tujuh Buku tentang Pulau Buru.” Makalah disajikan dalam Konferensi Sejarah Nasional VIII di Jakarta, 13-16 November 2006. Barry, Peter. 2010. Begening Theory, an Introductioan to Literary and Cultural Theory. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Harviyah Widyawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra. Budianta, Melani. 2006. “Budaya, Sejarah, dan Pasar, New historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra,” dalam Susastra, Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya. Jakarta: Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia. Gayatri, Mentari Dwi. 2015. “Indonesia Pamerkan Ratusan Buku Terjemahan di Fankfurt. m.antara.com/berita, diunduh melalui google. com 29 Agustus 2015. Greenblatt, Stephen. (Edited by Michael Payne). 2005. The Greenblatt Rader. London: Willwy-Blackwell Publication Ltd. http://burukab.go.id/web3. Diunduh melalui google.com, 17 September 2014. Pamuntjak, Laksmi. 2012. Amba. Jakarta” Gramedia. Setiawan, Hersri. 2004.Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesia Tera. Luhulima, James. 2007. Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965. Melihat Peristiwa G30S dengan Perspektif Lain. Jakarta: Kompas. Zulkifli, Arif, dkk. Editor. 2-14. Lekra dan Geger 1965. Jakarta: Seri Buku Tempo, Jakarta: Kepustakaan Populer Granedia. Toer, Pramudya Ananta. 2004. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Lentera. www.trusakti.ac.id. “Sejarah Singkat Universitas Trisakti Jakarta.” Diunduh melalui google.com 29 Agustus 2015. 509 REFERENCES Barnet, Sylvan., Burto, William., and Cain, William. 2005. Literature for Composition: Reading and Writing Arguments about Essays, Stories, Poems, and Plays. Boston: Longman Barry, Peter. 1995. Beginning Theory. Manchester: Manchester University Press Bartholomae, David and Anthony Petrosky. 1987. Ways of Reading: An Anthology for Writers. New York: St. Martin’s Press Hudson, William Henry. 1958. An Introduction to the Study of Literature. London: George G. Harrap & Co. Ltd. Montgomery, Martin., Durant, Alan., Fabb, Nigel., Furniss, Tom., and Mills, Sara. 2007. Ways of Reading: Advanced Reading Skills for Students of English Literature. New York: Routledge. Pope, Rob. 2002. The English Studies Book. New York: Routledge. Wedhowerti, Scolastica. 2015. Balancing the Know-What And Know-How in English Literature to Become Critical Readers. English Language Studies Indonesia: For Truth and Meaning, 36-45 http://writing.colostate.edu/guides/ 510 IDENTITAS KEJAWAAN DALAM ALBUM JOGJA HIPHOP FOUNDATION Elisa Dwi Wardani, S.S., M.Hum. Universitas Sanata Dharma elisa@usd.ac.id. Abstrak Di tengah keprihatinan akan semakin terpinggirnya bahasa Jawa, bahkan di kota Yogyakarta, lahirlah sebuah grup musik bernama Jogja Hip Hop Foundation (JHF) yang sampai saat ini telah menghasilkan 4 album musik bergenre rap dengan lirik bahasa Jawa dan Indonesia. Paper ini akan membahas mengenai komitmen JHF terhadap budaya Jawa dan bagaimana mereka mengusung tema-tema kepedulian sosial, kritik sosial melalui kecintaan mereka kepada puisi-puisi berbahasa Jawa dan Indonesia yang disampaikan melalui musik rap. Keluwesan musik hiphop dan keterbukaan bahasa Jawa terhadap unsur asing tersebut menjadi sebuah kekuatan tersendiri dari JHF yang telah membuktikan dirinya bisa diterima oleh masyarakat luas. Paper ini berusaha untuk melihat bagaimana keterpinggiran mampu menjadi sebuah kekuatan sebagai suatu reaksi terhadap globalisasi dan wacana dominan. Untuk itu akan dibahas mengenai politik identitas JHF, latarbelakang sosial politik dan desakan globalisasi yang mendorong kelahiran dan kepopuleran JHF. Kata kunci : bahasa Jawa, hip hop, identitas, globalisasi Pendahuluan Keunikan Yogyakarta yang terutama adalah status politis Daerah Istimewa Yogyakarta yang walaupun sempat beberapa kali mengalami tantangan, tetap bertahan hingga sekarang. Keistimewaan Yogyakarta ini tidak lepas dari proses masuknya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana yang dikenal dalam ungkapan “Yogya ada sebelum RI ada” (Baskoro, 2011). Sebagai bentuk dukungan terhadap kemerdekaan nasional, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pangeran Paku Alam VIII masing-masing 511 membuat pernyataan bahwa Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dan kadipaten Pakualaman menggabungkan diri dengan NKRI. Penggabungan ini ditanggapi dengan pemberian Piagam Kedudukan tertanggal 19 Agustus 1945 kepada kedua pemimpin tersebut oleh pemerintah pusat Republik Indonesia. Pernyataan-pernyataan di atas dipertegas dengan apa yang disebut Amanat 5 September 1945 yang menjadi landasan bagi penegasan posisi Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa yang otonom dengan kedudukan setingkat propinsi (Baskoro, 2011: 63). Bersamaan dengan perubahan status kerajaan Yogyakarta tersebut, semakin mantaplah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar resmi pemerintahan dan bahasa formal di Yogyakarta. Walaupun bahasa Melayu telah digunakan semenjak masa jaman penjajahan Belanda oleh pemerintahan Sultan ketika berhubungan dengan pihak luar, perubahan status di atas memperkokoh posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi yang menghubungkan berbagai pihak terutama dengan pemerintah pusat Republik Indonesia. Sementara itu, bahasa Jawa tetap digunakan, namun hanya dalam hubungan informal antara orang-orang Jawa, atau di dalam keraton, terutama sebagai bentuk rasa hormat orang Jawa terhadap rajanya (Soemardjan, 2009: 155). Akibatnya, posisi bahasa Jawa menjadi terpinggirkan karena dihentikannya penggunaan bahasa Jawa dalam komunikasi resmi. Sesuatu yang tidak terhindarkan, yang berakibat pada merosotnya penggunaan bahasa Jawa di kalangan orang Jawa sendiri pada masa sekarang. Sebuah riset yang didukung oleh pemerintah daerah Yogyakarta menunjukkan bahwa sekarang hanya 50% pelajar di Yogyakarta yang mampu berbicara Jawa Krama Inggil, atau bahasa Jawa halus, yang menimbulkan kekhawatiran terhadap kelestarian budaya Jawa di masa datang (The Jakarta Post, 3 September 2015). Sebagai kota pelajar yang dihuni oleh pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia dan bahkan dari manca negara, kota Yogyakarta menjadi tempat bertemunya berbagai pemikiran, budaya dan bahasa. Akibatnya, bahasa Jawa mendapat tantangan dari bukan saja bahasa Indonesia tetapi juga bahasa Inggris (Widiastuti, 2009). Menjamurnya lembaga kursus bahasa Inggris yang sejalan dengan merosotnya kemampuan berbicara bahasa Jawa sebagian masyarakat Yogya menunjukkan betapa posisi bahasa Jawa semakin tersisih. Namun di tengah lajunya pembangunan yang mengubah wajah kota Yogyakarta lahirlah sebuah kelompok musik Jogja Hiphop Foundation (JHF) yang 512 didirikan oleh Marzuki Mohammad pada tahun 2003 (Muchtadi, 2012). Menarik kiranya untuk melihat bagaimana grup musik ini bergulat dengan identitas kejawaan mereka sebagai bagian dari Yogyakarta yang dianggap sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa di Indonesia. JHF merupakan sebuah grup musik yang aktif dalam mengawal tidak hanya kebudayaan Jawa, tetapi juga perkembangan sosial dan politik terutama yang berkenaan langsung dengan Yogyakarta, antara lain ketika muncul hiruk pikuk wacana penghapusan status istimewa Yogyakarta. Pemahaman akan makna keistimewaan kota Yogyakarta yang dituangkan dengan lugas oleh grup musik Jogja Hiphop Foundation (selanjutnya disebut JHF) dalam lirik lagu “Jogja Istimewa” yang antara lain mengatakan bahwa Jogja istimewa bukan hanya negrinya tetapi juga “orangnya” menunjuk kepada kerendahan hati Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII yang memilih untuk menyerahkan kedaulatan kepada pemerintah RI dan bahkan berkali-kali membuktikan kesetiaan dan dukungan mereka dalam perlawanan Indonesia terhadap kekuatan asing. Lagu “Jogja Istimewa” juga sekaligus menunjukkan kecintaan dan kebanggaan mereka terhadap kota Yogyakarta. JHF juga banyak mengungkap falsafah Jawa mengenai kehidupan keseharian, kesenian, politik, dan sebagainya. JHF menangkap perubahan-perubahan yang terjadi di Yogyakarta yang semakin terbuka terhadap dunia luar dan bergulat dengan identitas kejawaan mereka dalam menyikapi segala perubahan tersebut. Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa proses kreatif JHF harus dipahami dalam hubungannya dengan struktur sosial, keberlanjutan sejarah, dan globalisasi. Dengan demikian pembicaraan mengenai identitas kejawaan JHF dalam konteks keterpinggiran bahasa dan budaya Jawa tidak bisa terlepas dari perbincangan mengenai bagaimana kekuasaan dan wacana dominan mendapatkan resistensi dan juga negosiasi selama terjadinya proses terpinggirkannya bahasa dan budaya Jawa. Bahasa Jawa: Terpinggirkan Dan Meminggirkan Widiastuti melihat adanya beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya perubahan pada cara pandang orang Jawa dalam hal menyikapi identitas sebagai orang Jawa yang terlihat dari semakin lunturnya akar budaya Jawa (2009). Salah satu penyebab terjadinya perubahan cara pandang tersebut di atas adalah terjadinya perubahan relasi sosial di 513 Yogyakarta yang didorong oleh menjamurnya supermarket yang memiliki jaringan internasional seperti Carrefour, Indogrosir, Makro, Giant, dan sebagainya yang telah mengubah pola konsumsi dan kehidupan sosial anak-anak muda secara signifikan (2009). Pola kehidupan moderen menempatkan tradisi Jawa yang penuh mistis ke area pinggiran karena dipandang tidak rasional. Tradisi dan ritual yang terpelihara hingga kini oleh sebagian masyarakat Jawa dianggap hanya tepat untuk konsumsi para wisatawan atau peneliti sehingga telah kehilangan esensinya. Di lain pihak, internet dan media massa membuat generasi muda Jawa semakin terbuka dan dekat dengan dunia luar. Bagi masyarakat Yogya, Sultan adalah sosok yang sakti dan mendapat dukungan dari kekuatan-kekuatan magis segenap pusaka kerajaan Yogyakarta sehingga Sultan bukan hanya seorang pemimpin, tetapi seorang manusia yang setiap sabdanya “hukum sehingga tiap keinginannya adalah perintah bagi rakyatnya.” (Soemardjan, 2009: 21). Sehingga kedudukan Sultan secara kultural tidak hanya kokoh tetapi juga “mempunyai tempat di puncak struktur masyarakat.” (Soemardjan, 2009: 21) Dengan kata lain, Sultan sebagai pusat dari keraton adalah juga pusat dari kebudayaan Jawa yang sekaligus menjadi kekuatan yang “menjaga peradaban Jawa klasik” yang melahirkan “system nilai, system filsafat, dan juga karya-karya seni yang luhur.” (Baskoro, 2011:181). Namun demikian, Widiastuti mengutip Niels Mulder yang mengatakan bahwa Keraton sudah tidak lagi menjadi pusat dari kehidupan sosial dan politik orang Jogja yang mengakibatkan semakin terpinggirkannya budaya Jawa (2009) Sebagai contoh, Widiastuti mengamati perkembangan tradisi Sekaten yang rutin diselenggarakan oleh Keraton telah melenceng jauh dari tujuannya semula (2009). Pada awalnya ritual Sekaten ditujukan untuk menyebarkan agama Islam dengan cara mengharuskan setiap penonton yang ingin melihat pertunjukan di Sekaten untuk menyatakan Syahadat (Widiastuti, 2009) Pada puncak Sekaten, yaitu Grebeg, Sultan akan membagikan gunungan yang terdiri dari beras, ketan, sayur dan buah yang kemudian diperebutkan oleh para pengunjung Sekaten karena mereka percaya bahwa jika mereka berhasil membawa pulang sebagian hasil panen pada gunungan tersebut maka mereka akan mendapat tolak bala dan rejeki yang lancar. Walaupun tradisi tersebut sudah berlangsung selama ratusan tahun, banyak perubahan telah terjadi, antara lain dengan dijualnya tiket masuk Sekaten dari tahun 2003-2013, dan berubahnya fungsi Sekaten menjadi semacam pasar malam dan tempat hiburan publik, sebagaimana dikritisi oleh 51 perupa yang menggelar pameran “Komedi Putar” di Jogja Gallery (Heru Prasetyo, Seni, edisi no. 514 0261Minggu IV, Maret 2008). Dalam rangka ulangtahunnya yang kesepuluh, JHF juga merilis lagu “Jogja ora didol” yang artinya Yogya tidak dijual, sebagai keprihatinan atas semrawutnya tata kota Yogya pada masa sekarang oleh karena pertumbuhan hotel dan mall yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan yang terutama terlihat dari menipisnya persediaan air tanah, masalah banjir di beberapa titik rawan di Yogya, dan amblesnya beberapa ruas jalan di Yogya yang kesemuanya berlawanan dengan semangat Hamemayu Hayuning Bhawono, yang berarti berusaha untuk terus menjaga bahkan meningkatkan keindahan bumi dengan menjaga lingkungan dan ekosistem yang ada (http://www.hiphopdiningrat.com /2014/06/jogja-ora-didol/). Sementara itu dalam hal merosotnya peran bahasa Jawa, Soemardjan melihat bahwa menguatnya keinginan akan terwujudnya masyarakat yang egaliter menyebabkan semakin kokohnya posisi bahasa nasional Indonesia karena bahasa Indonesia tidak mengenal adanya stratifikasi dalam masyarakat sebagaimana yang ada dalam bahasa Jawa (2009). Perubahan penggunaan bahasa Indonesia yang menggantikan bahasa Jawa yang semula dipakai dalam pertemuan dan konferensi dengan Sultan sempat mengakibatkan ketegangan di kalangan para priyayi karena mereka merasa terganggu dengan “perasaan tertekan untuk menghormatinya melalui bahasa.” (Soemardjan, 2009: 155) Namun demikian, bahasa Indonesia tetap digunakan dalam pertemuan resmi karena masyarakat Yogya tunduk terhadap ketetapan pemerintah Indonesia untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kenegaraan, walaupun dalam situasi yang informal bahasa Jawa tetap digunakan. Elisabeth Nandiak, seorang peneliti hiphop dari Perancis yang pernah meneliti Serat Centhini berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh JHF “persis seperti yang dilakukan orang-orang Bronx” dalam hal perjuangan mereka untuk melawan marginalisasi budaya dan bahasa Jawa (Seno Joko Suyono & Dwidjo Maksum, Tempo, 12 Desember 2010). Jika pejuang hiphop di Bronx melawan marginalisasi warga kulit hitam di Amerika, maka JHF melawan marginalisasi bahasa dan budaya Jawa di Yogyakarta. Selain itu, semakin menurunnya minat untuk menguasai dan menggunakan bahasa Jawa itu sendiri juga mengakibatkan semakin tercerabutnya generasi muda Jawa dari akar budayanya. 515 Goenawan Mohamad menyikapi peminggiran bahasa Jawa dengan sedikit berbeda (2014). Dalam pandangannya, setiap bahasa, termasuk bahasa Jawa, memiliki potensi untuk meminggirkan bahasa yang lain, yang dianggap tidak baik dan benar, misalnya bahasa Jawa para priyayi di Yogyakarta dan Surakarta yang meminggirkan bahasa Jawa yang digunakan masyarakat Jawa di pesisir utara Jawa. Bahasa yang diakui sebagai bahasa yang baik dan benar sejatinya adalah bahasa yang “dikonsolidasikan” melalui kesepakatan bersama (Mohamad, 2014). Sebagai contoh adalah bahasa Indonesia sendiri yang berkembang dari bahasa Melayu Riau. Iskandar mencatat peranan Belanda dan Balai Pustaka dalam memantapkan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional (2000). Hasil penyelidikan terhadap bahasa Melayu oleh Ch. Van Ophuijsen menghasilkan ketetapan mengenai ejaan dan tatabahasa bahasa Melayu Riau yang diakui Belanda sebagai bahasa Melayu standar. Bahasa Melayu tersebut kemudian adalah bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah dari Sabang sampai Merauke. Balai Pustaka kemudian mengokohkan ketetapan Belanda tersebut dengan cara menjaga setiap karangan yang diterbitkannya dalam berbagai majalah agar bisa dipertanggungjawabkan kepada Sidang Pengarang dalam hal kesesuaian bahasanya menurut pedoman bahasa Melayu Riau pada ketentuan tahun1901 tersebut. Yang juga menarik untuk dicermati adalah pendapat Henk Maier mengenai asal usul bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu kacukan atau campuran (2004). Maier menyebut bahasa Indonesia sebagai sebuah proyek nasionalisme yang memunculkan suatu bentuk bahasa Melayu yang baru, sebagai hasil dari konsensus dan berdasarkan pada warisan penelitian Van Ophuijsen. Bahasa Melayu Riau tersebut kini telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang memiliki standar tersendiri yang ditetapkan dan dikawal oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Dengan demikian secara tidak langsung bahasa Indonesia juga telah memposisikan bahasa Melayu, cikal bakal bahasa Indonesia sendiri, sebagai yang tidak baku, tidak standard dan tidak baik, sedangkan bahasa Melayu kacukan atau campuran yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia, sesungguhnya dalam beberapa studi sebelumnya dikategorikan sebagai bahasa Melayu pasar, atau campuran, atau rendahan (Maier, 2004: 9-11). Dengan demikian bahasa Melayu campuran yang semula terpinggirkan berhasil „dikonsolidasikan‟ menjadi bahasa yang baik, sehingga pada saat yang sama menepikan varian bahasa Melayu yang lain sebagai yang kurang baik atau tidak baku, dan 516 di kemudian hari bahkan berkembang menjadi bahasa lain yang semakin tidak menyerupai bahasa asalnya, seperti terllihat dari kutipan berikut And what about the people in Riau and Johore, the cradle of Malayness,…the area where the best and most correct Malay was used? They stood by and watched yet another variety of „their‟ language became the carrier of yet another set of ideas and values. (Maier, 2004: 22) Kekuasaan Dan Resistensi Bahasa, menurut Goenawan Mohamad, tidak semata-mata bersifat imperialis, namun juga mampu berperan sebagai pembebas (2014). Dalam pemikiran Michel Foucault sebagaimana yang dijabarkan oleh Sara Mills, kekuasaan bukanlah sesuatu yang „dimiliki‟ oleh seseorang tetapi adalah sebuah strategi, yang cara kerjanya seperti mata rantai, atau jaringan, yang menempatkan setiap individu justru sebagai pihak yang aktif menggunakan kekuasaan, dan bukan sebagai obyek kekuasaan (2003:35). Foucault melihat bahwa relasi kekuasaan bukan merupakan relasi antara si penindas dan yang ditindas, dan bahwa hubungan antara keduanya tidak bisa disederhanakan secara demikian. Mills mengutip Foucault yang mengatakan bahwa “where there is power there is resistance”, yang implikasinya adalah bahwa dalam sebuah hubungan kekuasaan, harus terdapat resistensi atau perlawanan agar tercipta hubungan kekuasaan tersebut (2003:40). Tanpa resistensi, hubungan kekuasaan tidak dapat terbentuk. Dengan demikian, kekuasaan bagi Foucault bukanlah sebuah struktur yang terpusat serta bersifat menindas, tetapi sesuatu yang bisa menghasilkan, memberdayakan, dan bahkan membebaskan. Foucault was interested in how power was dispersed into everyday structures of regulation and control that influenced cultural practices rather than cultural meanings. Third, this version of power was not therefore a centralized, repressive structure operating on behalf of a clear set of interests, but also contained the possibilities (muted, admittedly) of being productive, enabling, even liberatory. (Turner, 2003:26) 517 Dengan kata lain, dalam memahami bagaimana kekuasaan itu bekerja di tengah kita, Foucault lebih menekankan kepada keterkaitan antara berbagai faktor yang menyebabkan strategi kekuasaan berhasil diterapkan, dan menolak untuk menyederhanakannya menjadi hanya sebatas hubungan sebab akibat (Mills, 2003: 51). Foucault juga mengasumsikan bahwa setiap individu memiliki kuasa untuk menolak atau melawan institusi atau negara, dan meyakini bahwa kekuasaan sebenarnya terdapat di mana-mana, tersebar di dalam masyarakat dan bisa didapati dalam setiap interaksi, sehingga bisa dipahami mengapa kekuasaan adalah sesuatu yang tidak stabil, yang bisa dilawan setiap saat, dan harus selalu diperbarui apabila ingin terus bertahan. Hal ini menjelaskan bahwa peminggiran terhadap budaya dan bahasa Jawa tidak bisa secara sederhana dianggap sebagai peminggiran yang dilakukan oleh bahasa Indonesia yang mengusung kepentingan nasionalisme terhadap bahasa dan budaya Jawa. Sebagaimana dijelaskan di atas, berbagai perubahan yang terjadi secara cepat di Yogyakarta menjadi sebab mengapa para pemimpin di Yogyakarta memilih untuk mengambil keputusan yang berimplikasi kepada mulai ditepikannya penggunaan bahasa Jawa di Yogyakarta sendiri. Keinginan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih egaliter, antara lain menjadi salah satu sebab yang mendorong penggunaan bahasa Indonesia. Selain itu, semangat nasionalisme yang membara pada masanya menjadi faktor lain yang mendorong terwujudnya cita-cita nasionalisme dan kemerdekaan, dengan turut mendukung penggunaan bahasa pemersatu, yaitu bahasa Indonesia. Faktor yang lain adalah arus pemikiran moderen yang mengedepankan rasionalisme - sesuatu yang tidak terelakkan mengingat kota Yogyakarta adalah kota pelajar tempat bertemunya berbagai macam pemikiran – yang pada gilirannya menjauhkan generasi muda dari tradisi dan budaya Jawa yang dianggap banyak mengandung unsur mistis. Memudarnya pengaruh keraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa juga turut andil dalam melebarkan jarak generasi muda Jawa dari akar budayanya. Namun ditengah-tengah mundurnya pengaruh kebudayaan dan bahasa Jawa dalam kehidupan masyarakat kota Yogyakarta, JHF muncul sebagai sebuah pilihan yang dihasilkan dari perenungan akan karakter atau identitas mereka, sebagaimana dikatakan oleh Marzuki Mohamad bahwa 518 Karakter dan identitas sebuah bangsa mungkin akan dicibir sebagai nilai-nilai usang di era global ini, tapi orang masih bertanya dari mana seseorang berasal. Sebuah pertanyaan sederhana yang juga akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan lain, menyangkut kebudayaan dan tradisi yang mencerminkan karakter dan identitas. Nilai-nilai dan kearifan lokal mungkin akan dianggap kuno, tapi setiap manusia lahir dan dibesarkan dengan dibentuk oleh tradisi dan kebudayaan sekitarnya. (Rolling Stones Indonesia, 2012, p. 33) Keinginan untuk kembali ke akar budaya Jawa sebagai bagian dari aktualisasi identitas JHF adalah contoh bagaimana kekuasaan itu bersifat produktif, atau mampu menghasilkan sesuatu, baik sikap atau peristiwa. Keterpinggiran mampu menjadi kekuatan tersendiri yang muncul sebagai reaksi terhadap wacana dominan. Tekanan globalisasi memunculkan dialektika antara kebudayaan yang dominan dan reaksi dari masyarakat lokal yang memunculkan gerakan „going local‟ atau kembali kepada akar budaya sebagai upaya untuk mencari identitas nasional atau lokal masing-masing, sebagaimana dijelaskan sebagai sebuah paradox oleh Stuart Hall yang mengatakan bahwa keterpinggiran bisa menjadi kekuatan, karena keterpinggiran, walaupun lemah, tetaplah memiliki apa yang disebut sebagai “space of power”, kekuatan pinggiran dan kekuatan lokal yang bisa menjadi ancaman bagi wacana dominan (Hall, 1997). Sheryl Dodds (2010) mengutip Ramsay yang melihat bahwa di dunia musik, memori kultural memiliki peran yang sangat besar dalam membangun makna, dan bahwa musik bisa dipakai sebagai jalan untuk kembali kepada kenangan masa lalu. Memori kultural juga menjadi pijakan yang membantu untuk membayangkan kembali atau menciptakan identitas alternatif. Memori kultural JHF sangat jelas tercermin dari kecintaan mereka terhadap kota Yogyakarta yang timbul dari kerinduan akan kejayaan kerajaan Jawa pada masa lalu. Ditengah-tengah kekecewaan yang begitu besar terhadap negara Indonesia, seperti yang terungkap melalui lagu-lagu mereka antara lain “Ono Cecak Nguntal Boyo” yang merupakan pembelaan terhadap KPK, “Song of Sabdhatama” dan “Jogja Istimewa” yang merupakan perlawanan terhadap upaya penghapusan keistimewaan Yogyakarta, serta segala masalah kesulitan ekonomi, juga ditambah dengan minimnya prestasi internasional Indonesia, menjadi sangat bisa dipahami jika Yogyakarta beserta dengan keraton dan segala falsafah Jawa yang dihidupinya 519 menjadi bagaikan sebuah oasis, yang mewakili gambaran ideal yang dirindukan masyarakat pada umumnya, seperti terlihat dari sepenggal lirik lagu “Song of Sabdhatama” yang mengatakan bahwa “Yo Ngayogyakarto Hadiningrat negriku, negeri gemah ripah kang merdika” dan dari lagu “Jogja Istimewa” yang melantunkan kata-kata “Ngayogyakarta, negeri paling penak rasane kaya swarga, ora peduli donya dadi neraka, ning kene tansah edi peni lan mardika” yang kurang lebih artinya adalah bahwa Yogyakarta adalah negeri yang nyaman, makmur dan merdeka sekalipun seandainya dunia berubah menjadi neraka. Mengingat kekuasaan adalah masalah strategi, maka perpaduan antara budaya popular (hiphop) dengan pemikiran-pemikiran, kesusasteraan dan falsafah Jawa yang disodorkan JHF dalam lagulagunya bisa dianggap sebagai strategi yang berhasil dalam rangka mengokohkan identitas budaya dan bahasa Jawa. Keberhasilan JHF dalam menyita perhatian nasional dan internasional menunjukkan bahwa keterpinggiran tetap menyimpan kekuatan. Kesimpulan Perlawanan JHF terhadap dominasi bahasa Indonesia menunjukkan bahwa kekuasaan tidak dapat terwujud tanpa adanya resistensi, dan bahwa kekuasaan adalah masalah strategi dan bukan masalah siapa yang memiliki. Proses diterimanya bahasa Indonesia sebagai bahasa formal di Yogyakarta tidak bisa semata-mata dimaknai sebagai peminggiran bahasa lokal, namun harus dilihat sebagai sebuah bentuk negosiasi dan kesepakatan yang sangat kontekstual pada masanya. Negosiasi tersebut juga mengalami tantangan berupa keengganan sebagian masyarakat Yogyakarta pada waktu itu untuk menerima keputusan Sultan tersebut. Sementara itu, dalam relasi kuasa antara pemerintah dan rakyat, JHF menunjukkan bahwa posisi pinggir tidak berarti tanpa kekuatan sama sekali, yang dibuktikan dengan resistensi dan sikap JHF dalam mengkritisi segala fenomena sosial budaya di Yogyakarta dan juga Indonesia pada umumnya. 520 Daftar Rujukan Baskoro, Haryadi dan Sudomo Sunaryo. 2011. Wasiat HB IX: Yogyakarta kota republlik. Yogyakarta: Galang Press. Dodds, Sherril, “Re-inventing the past at Sunday Serenade: The Residual Cultures of a British Caribbean Dance Hall”, Anthropological Notebooks. Vol XVI/3, 2010, pp. 23 – 38 Hall, Stuart, 1997. “The Local and the Global: Globalization and Ethnicity”, in Anthony D. King (ed.), Culture, Globalization and the World-System. Contemporary Conditions for the Representation of Identity, Minneapolis: the Universitity of Minnesota Iskandar, Nur Sutan. 2000. “Peranan Balai Pustaka dalam perkembangan Bahasa Indonesia” dalam E. Ulrich Kratz (ed.) Sumber terpilih sejarah sastra Indonesia abad XX, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Press.Mohammad, Maier, Henk. 2004. We are playing relatives. A survey of Malay writing. Leiden: KITLV Press Mills, Sara. 2003. Michel Foucault. London: Routledge. Mohamad, Marzuki, “Menjadi Indonesia di Amerika”, Rolling Stones Indonesia, 2012, p. 33 Mohamad, Goenawan. “Setelah menara Babel” Tempo, 16 Maret 2014. Muchtadi, Mirdina. 2012. “Jogja Hiphop Foundation: when a global cultural phenomenon meets Javanese culture”, Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future” Prasetyo, Heru. “Komedi putar. Melawan kapitalisasi” Seni, edisi no. 0261 Minggu IV, Maret 2008 Soemardjan, Selo. 2009. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu. Suyono, Seno Joko & Dwidjo Maksum. “Perlawanan rap Centhini” Tempo, 12 Desember 2010 Turner, Graeme. 2003. British Cultural Studies. London: Routledge Widiastuti, Ambar. 2009. “Being Javanese in a Changing Javanese City” in Rahil Ismail, Brian 521 J. Shaw, and Ooi Giok Ling (eds.) Southeast Asian Culture and Heritage in a Globalising World. Surrey: Ashgate Publishing Limited. Jogja Hip Hop Foundation, 2007, Jogja Istimewa, Compact Disc www.hiphopdiningrat.com. Jogja Hiphop Foundation‟s official site. “Refined Javanese fading among Yogya youth”The Jakarta Post, 3 September 2015 522