SASTRA
DAN
SOLIDARITAS BANGSA
Penyunting:
Stella Rose Que
Falantino Eryk Latupapua
Diterbitkan oleh
Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia
Komisariat Daerah Ambon
SASTRA DAN SOLIDARITAS BANGSA
Penyunting : Stella Rose Que
Falantino Eryk Latupapua
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi
buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit HISKI AMBON.
Cetakan I: Desember 2015
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit HISKI AMBON, Ambon.
Penerbit HISKI AMBON
Jl. Dr. Tamaela Kampus PGSD
Universitas Pattimura Ambon
Telp. 08114711180
e-mail: hiskiambon@yahoo.com
Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)
SASTRA DAN SOLIDARITAS BANGSA
Cetakan I: Ambon: Penerbit HISKI AMBON, 2015
xii + 510 hlm; 170 x 245 mm
ISBN: 978-602-1048-82-5
1. Sastra dan Solidaritas Bangsa
I. Judul
II. Stella Rose Que & Falantino Eryk Latupapua (eds.)
ii
Kata Pengantar
Salam sastra!
Dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, kami menerbitkan
buku Sastra dan Solidaritas Bangsa yang merupakan kumpulan tulisan yang telah
dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Kesusastraan Hiski XXIV sekaligus
Musyawarah Nasional Hiski ke-10, Tahun 2015 yang bertempat di Universitas
Pattimura Ambon dengan tema “Sastra dan Solidaritas Bangsa”.
Menjadi penyelenggara kegiatan ilmiah dengan tema yang sungguh terasa amat
luhur ini merupakan suatu kehormatan besar bagi kami. Hal itu disebabkan denyut
sastra di sini telah semakin terasa menggetarkan generasi baru kami dalam suatu
perarakan nilai dan makna, kembali kepada akar budaya, dan identitas yang Maluku
sejati, yang berbalut persaudaraan, persatuan, dan tentu saja solidaritas dalam hidup
yang damai dan saling menerima.
Penyelenggaraan Konferensi serta terbitnya buku ini merupakan hasil kerja sama
panita dengan Pemerintah Provinsi Maluku, Pemerintah Kota Ambon, Universitas
Pattimura, dan dukungan Pengurus Pusat Hiski, maupun pihak-pihak lain yang turut
memberikan kontribusi baik material maupun moral. Atas kerja bersama yang luar
biasa, kami merasa perlu mengucapkan banyak terima kasih kepada Pemerintah
Provinsi Maluku, Rektor Universitas Pattimura, Walikota Ambon, Dinas Pariwisata,
Pemuda dan Olahraga Kota Ambon, Dekan FKIP Universitas Pattimura, Pengurus Hiski
Pusat, dan segenap kerabat, rekan kerja, dan pihak mana pun yang telah meluangkan
waktu dan tenaganya untuk bersama-sama memikirkan maupun mengerjakan berbagai
hal terkait pelaksanaan konferensi ini.
Akhir kata, kami menyampaikan permohonan maaf atas segala kekurangan yang
mungkin ditemukan. Semoga apa yang kami lakukan bisa memberi arti penting bagi
dinamika kesusastraan di Maluku, di Indonesia, maupun di dunia, bagi kelangsungan
hidup dalam persatuan, kesatuan, dan perdamaian antarsesama manusia, antarsesama
anak bangsa.
Ambon, Desember 2015
Penerbit
iii
Daftar Isi
Kata Pengantar ........................................................................................................... iii
Daftar Isi .................................................................................................................... iv
Sekapur Sirih Rektor Universitas Pattimura ................................................................ ix
Sambutan Kepala Kantor Bahasa Provinsi Maluku ...................................................... xi
v
vi
vii
Sutrisna Wibawa, Endang Nurhayati, Marwanti, Venny Indria E., Avi Meilawati
REVITALISASI DAN REAKTUALISASI MAKANAN TRADISIONAL JAWA
DALAM SERAT CENTHINI…………………………………………………………….. 442
Suwardi Endraswara
ANTROPOLOGI SASTRA WAYANG PEMBANGKIT SOLIDARITAS SOSIAL
SEBUAH PENCERMATAN LAKON WAHYU PADA BERSIH DESA………….. 454
Thera Widyastuti
REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM Неделя Как и Любой Другой/
SEMINGGU SEPERTI MINGGU YANG LAINNYA
KARYA NATALYA
BARANSKAYA…………………………………………………………………….. 463
Trisnowati Tanto
LANGUAGE PLAY AS J. K. ROWLING’S STYLE OF WRITING IN HARRY
POTTER AND THE PHILOSOPHER’S STONE………………………………………… 472
Wedhowerti
ENHANCING STUDENTS’ AWARENESS OF LISTENING TO OTHERS THROUGH
TEACHING THEM ON THE FIVE WAYS OF READING LITERATURE……… 478
Wenda M Kakerissa, Eugenie Mainake, Ayu Aprilya S. Abdullah
STUDENTS’ PERCEPTIONS OF USING DRAMA IN ENGLISH LANGUAGE
TEACHING (A SURVEY ON ACADEMIC YEAR 2014/2015 DRAMA COURSE OF
ENGLISH DEPARTMENT AT PATTIMURA UNIVERSITY)…………………… 484
Widyastuti Purbani
TEMA-TEMA GELAP DALAM LIMA KARYA SASTRA ANAK BERBAHASA
INGGRIS SEBAGAI BENTUK PEMBERDAYAAN ANAK…………………….. 494
Wiyatmi
PULAU BURU DAN TAHANAN POLITIK DALAM MEMORI SASTRA
INDONESIA: MEMBACA AMBA KARYA LAKSMI PAMUNTJAK DALAM
PERSPEKTIF NEW HISTORICISM……………………………………………………… 502
Elisa Dwi Wardani, S.S., M.Hum.
IDENTITAS KEJAWAAN DALAM ALBUM JOGJA HIPHOP FOUNDATION... 511
viii
Sekapur Sirih
Rektor Universitas Pattimura
Pertama-tama, marilah kita mensyukuri kebesaran Tuhan yang memberikan kita
kekuatan, kesehatan, waktu, dan hikmat, sehingga perhelatan ilmiah internasional yang
melahirkan buku Sastra dan Solidaritas Bangsa ini telah berlangsung dengan sukses.
Sebagai pimpinan Universitas Pattimura, saya mengucapkan terima kasih atas kehadiran
Bapak dan Ibu sekalian yang sungguh-sungguh merupakan keuntungan besar bagi
institusi ini secara khusus, maupun pergerakan dan dinamisasi kesusastraan dan
kebudayaan di Provinsi Seribu Pulau ini.
Terpilihnya Universitas Pattimura oleh pengurus Hiski Pusat dalam Konferensi
Internasional sebelumnya di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin,
Kalimantan Selatan adalah suatu bentuk kepercayaan terhadap Universitas Pattimura
dan Pengurus Hiski Komisariat Daerah Ambon yang selama ini telah bersinergi dengan
instansi-instansi lain, yakni Pemerintah Provinsi Maluku, Pemerintah Kota Ambon,
Kantor Bahasa Provinsi Maluku, dan kelompok-kelompok praktisi kesusastraan di
daerah ini, dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan kesusastraan di
Maluku. Hingga saat ini, kerja sama baik tersebut telah memberi dampak yang besar,
baik dalam ranah akademik, maupun pada ranah praktikal.
Pada tahun 2014 yang lalu, kami melaksanakan Seminar Nasional Kebahasaan
dan Kesusastraan I. Sebelumnya, beberapa tokoh penting dalam dunia sastra di
Indonesia dan di Asia Tenggara, misalnya D. Zawawi Imron, Seno Gumira Ajidarma,
Prof. Muhammad Haji Saleh, dll., telah hadir di Universitas Pattimura dan melakukan
hal-hal yang konstruktif bagi lembaga ini. Demikian pula partisipasi para dosen dan
penelitian kami dalam kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat level
lokal, nasional, maupun internasional semakin terasa meningkat pada akhir-akhir ini.
Selain itu, partisipasi mahasiswa Universitas Pattimura dalam festival-festival seni
sastra nasional, semisal Peksiminas, semakin didorong dan digalakkan untuk mencapai
prestasi maksimal. Dalam Pekan Seni Mahasiswa di Lombok dan di Palangkaraya,
mahasiswa Universitas Pattimura berhasil meraih juara pertama dalam Lomba Cipta
Puisi. Beberapa dosen kami yang sekaligus merupakan penyair Indonesia asal Maluku
telah ikut membina lahirnya antologi puisi Biarkan katong Bakalai dan Pemberontakan
dari Timur yang monumental sebagai tonggak kebangkitan kesusastraan di Maluku.
Inilah bukti nyata peran aktif perguruan tinggi dalam membangun masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera.
Bahasa dan sastra dalam bingkai kebudayaan, menurut hemat saya, merupakan
bidang yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan masyarakat. Masyarakat
yang berperadaban tinggi, menghargai nilai-nilai luhur, dan mampu secara sinergis
membangun dinamika kemanusiaan dalam perdamaian dan kesetaraan, tidak akan
terbentuk tanpa bahasa, sastra, dan budaya. Di sinilah kita dapat melihat betapa
pentingnya sastra bagi kelangsungan kehidupan di dunia yang kita diami bersama. Oleh
sebab itu, Universitas Pattimura telah lama ikut mendorong terlaksanananya berbagai
pertemuan dan kegiatan serupa yang terkait dengan kebijakan pengembangan
Universitas Pattimura sebagai Center of Excellence di Indonesia Timur yang bertumpu
ix
pada asas bina mulia kelautan sebagai bagian dan visi dan misi Universitas Pattimura.
Sejak dua tahun terakhir, Universitas Pattimura telah melakukan upaya merintis
pendirian Fakultas Ilmu Budaya yang akan menjadi pusat aktivitas ilmiah di mana
kajian-kajian bahasa dan sastra inheren di dalamnya. Semoga rencana tersebut dapat
segera terwujud dan peran aktif Universitas Pattimura dalam pembangunan kebudayaan
di Indonesia akan semakin dikenal dan diakui.
Saya mengucapkan selamat dan sukses kepada pengurus Hiski Pusat maupun
pengurus Hiski Komisariat Ambon atas pelaksanaan Konferensi Internasional
Kesusastraan XXIV dan Munas X, serta terbitnya buku Sastra dan Solidaritas Bangsa
ini, seraya berharap kerjasama ini akan terus digiatkan dalam kegiatan-kegiatan lain di
waktu mendatang. Terima kasih yang setinggi-tingginya saya ucapkan kepada
Pemerintah Provinsi Maluku, Pemerintah Kota Ambon, beserta seluruh SKPD atas
bantuan dan dukungan yang diberikan selama kegiatan ini berlangsung.
Pada akhirnya, saya memohon maaf atas segala kekurangan yang mungkin
ditemukan selama penyelenggaraan konferensi. Selamat dan sukses untuk Hiski dan
semoga buku ini akan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi pembangunan bangsa
dan negara.
Ambon, Desember 2015
Prof. Dr. Thomas Pentury, M.Si.
Rektor Univeritas Pattimura
x
Sambutan Kepala Kantor Bahasa
Provinsi Maluku
Penerbitan makalah peserta seminar yang berada di tangan pembaca ini
merupakan bagian dari upaya Kantor Bahasa Provinsi Maluku dalam mengembangkan
sastra, khususnya di Maluku. Mengingat bahwa perkembangan sastra di Provinsi
Maluku saat ini belum terlalu menggembirakan. Hal ini ditandai oleh beberapa
kenyataan, yaitu sedikitnya peran penerbit dan pers dalam pemuatan karya sastra dan
penyebarluasannya, kurangnya kesadaran dan tanggung jawab pengayom sastra, baik dari
pemerintah maupun nonpemerintah, terhadap pelestarian dan perkembangan sastra, dan
kurangnya kepedulian pengayom sastra kepada pemerhati, pelestari, dan penggiat sastra.
Oleh karena itu, Kantor Bahasa Provinsi Maluku sebagai salah satu pengayom sastra di
provinsi ini berusaha untuk membina dan mengembangkan sastra, salah satunya adalah
dengan mendukung kegitan seminar Hiski yang diselenggarakan oleh Universitas
Pattimura dan menerbitkan makalah peserta seminar. Hal itu dilakukan dengan harapan
ke depan perkembangan sastra akan semakin baik dan tentu menggembirakan, terutama
di Maluku.
Penerbitan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap bacaan
yang bernutu dan juga untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang sastra
dan kritik sastra. Makalah yang diterbitkan ini tentu akan berdampak dan akan dirasakan
oleh generasi muda Indonesia di masa mendatang. Tentu, karena sastra dan kritik sastra
sudah tertanam dan tumbuh di lingkungan kita dan menjadi elemen penting dalam
menggerakkan pembangunan.
Dalam kesempatan ini, kami atas nama Kantor Bahasa Provinsi Maluku
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada para pemakalah, panitia
penyelenggara seminar, dan tim penerbitan yang telah bekerja keras hingga buku ini
dapat terwujud dan sampai ke tangan pembaca. Selamat membaca dan menikmati
makalah yang sudah ada di tangan pembaca ini. Semoga karya-karya ilmiah yang
dibukukan dalam bentuk prosiding ini menjadi inspirasi bagi munculnya berbagai
wawasan dan temuan baru yang berguna bagi perkembangan ilmu sastra di masa depan.
Ambon, Desember 2015
Toha Machsum, M.Ag.
Kepala Kantor Bahasa Provinsi Maluku
xi
xii
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM NYALI KARYA PUTU WIJAYA
PERSPEKTIF HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR
Adi Setijowati
(Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga – Indonesia)
Kekerasan selalu terjadi berulangkali, menyebabkan banyak korban. Kekerasan
terutama berupa kekerasan fisik namun selalu didahului oleh kekerasan psikologis dan
simbolik. yang sering tidak disadari. Kekerasan selalu berhubungan dengan
kekuasaan.Karya sastra dapat membantu menyumbangkan pemikiran dalam
mengungkap kekerasan simbolik yang antara lain berupa cara pikir, bahasa, lalu
dimaknai dalam bentuk refleksi filosofis .
Tujuan penelitian ini adalah mengungkap narasi dan kekerasan simbolik, dalam
Nyali (1983) karya Putu Wijaya, untuk mengungkapkan korban dan pelaku kekerasan
simbolik dengan memakai pendekatannaratif, dan perspektif hermeneutika Paul
Ricoeur.
Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa karya sastra dapat menyodorkan
paradigma kehidupan alternatif lewat bahasa. Makna teks tidak lagi tergantung pada
pengarangnya. Arena kekuasaan dalam Nyali ditemukan ada empat lapis tentara dengan
empat tingkatan yang masing-masing punya tataran hirarki yang berbeda. Peleburan
horizon harapan menghasilkan kritik ideologi tentang militer/tentara. Dalam Nyali
ditemukanbentuk dekonstruksi kekerasan simbolik pada tentara yaitu perlunya
transparansi dan keterbukaan serta ketulusan pada wilayah publik, terutama masalahmasalah kekerasan simbolik pada dunia militer/tentara yang harus diangkat dan dikaji
secara terbuka. Dari tokoh-tokoh Nyali, Kolonel Krozy dan Kolonel Tir-Tir terungkap
bahwa tentara yang baik menjadi korban atau dikorbankan bahkan tidak menyangka
bahwa mereka dikuasai atasannya.Dengan dekonstruksi dapat dimunculkan dalam
ungkapan yang khas yaitu Nasionalisme, dengan membuka sebanyak mungkin potensi
civil society dan tidak dimonopoli oleh negara. Sedangkan dalam analogi permainan
yang menuntut pengambilan jarak yang positif
tentang kekerasan simbolik
menghasilkan kreativitas dalam Game OnLine.
Kata Kunci: kekerasan, kekerasan simbolik, tentara, karya sastra, hermeneutika
Pendahuluan
Watak Sastra senantiasa menelusuri ruang-ruang dalam kehidupan yang bersifat
situasional dan kontekstual maka, sastra akan mengubah situasi-kondisi melalui ruang
tafsir yang menjadi ciri watak karya sastra yaitu sejarah dan otokritik. Sastra perlu hadir
dalam membuka dialog dengan berbagai ideologi dan arus pemikiran. Dialog–dialog itu
akan tampak dalam percaturan-percaturan politik bangsa. Kekuasaan yang meniadakan
kebudayaan dan menganggap sastra hanya menjadi pengganggu saja membuat situasi
masyarakat terjebak pada kondisi paranoia. Dalam konteks inilah sastra perlu untuk
menciptakan ruang dialog. Dialog-dialog yang ada sekarang ini hadir penuh dengan
prasangka-prasangka. Sastra sebenarnya membuka ruang dalam meraih martabat,
1
sebuah ruang untuk mengukur diri dalam pencarian kesadaran bahwa sebuah kebenaran
tidak hanya tunggal.1
Meraih sebagai manusia bermartabat kadang tergantung pada situasi politik.
Kestabilan maupun ketidakstabilan politik banyak terkait dengan kekerasan. Semua
kekerasan tidak terjadi dengan sendirinya. Kekerasan adalah tindakan yang
mendasarkan diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan. Dalam
kekerasan terkandung unsur dominasi terhadap pihak lain dalam beragam bentuk: fisik,
verbal, moral, psikologis atau melalui gambar. Kekerasan juga berhubungan dengan
penggunaan kekuatan, manipulasi, wacana, fitnah, pemberitaan yang tidak benar,
pengkondisian yang merugikan, penghinaan atau kata-kata yang memojokkan2.
Logika kekerasan menyebabkan jatuhnya korban dapat melukai tubuh, merugikan
psikologis korban, memaksa korban patuh, mengancam integritas pribadi korban.
Pembicaraan tentang kekerasan menarik perhatian sepanjang sejarah manusia. Yang
membicarakannyapun sudah sangat banyak baik dari ahli filsafat klasik hingga
kontemporer. Namun demikian sampai sejauh ini belum ada kesepakatan yang bersifat
umum tentang penyebab akar kekerasan yang terjadi di masyarakat.
Kekerasan adalah perilaku yang melibatkan kekuatan fisik yang direncanakan
untuk merusak, melukai, atau membunuh seseorang atau sekelompok orang (Colombijn,
2002:3)3. Jadi, kekerasan pada umumnya dimengerti sebagai sebuah tindakan yang
melukai, merusak, dan menghancurkan lingkungan. Kekerasan ini lebih mengarah ke
kekerasan fisik. Kekerasan fisik banyak memakan korban kematian, yang paling banyak
adalah korban kekerasan karena perang.
Persoalan politik kekerasan dapat saja menjadi tema utama karya sastra karena
karya sastra memang tidak pernah lepas dari gambaran nyata lingkungannya. Oleh
karena itu, untuk mengetahui keadaan politik suatu era, sastra dapat berbicara. Politik
kekerasan yang tergambar dalam sastra biasanya menyangkut pada masalah sosialisasi
politik dan kebudayaan politik, ciri-ciri sosialisasi politik dan rangkaian pendapat, sikap,
serta keyakinan itu lah yang sesungguhnya menjadi bagian dari kebudayaan politik
masyarakat. Salah satu pendapat yang menyokong kebudayaan politik4 masyarakat
adalah dari suara karya sastra.
Jenis kekerasan yang sulit untuk dicegah adalah kekerasan simbolik. Kekerasan
ini disebut sebagai kekerasan simbolik, karena bentuknya sangat halus tidak terlihat
korbannya. Kekerasaan simbolik pada dasarnya melibatkan komunikasi dan
pengetahuan. Komunikasi dan pengetahuan ini adalah murni simbolik (Bourdieu, 2010:
2). Kekerasan itu dilakukan dengan cara penghinaan, pengakuan atau pada batas
1
Halim HD menulis dalam rubrik esei dalam Kompas, 12 Juli 205, tentang sastra dan martabat,
yang menjelaskan peran sastra sekarang ini yang diacuhkan oleh penguasa, dialog sekarang ini
tidak tumbuh yang kian gencar adalah prasangka yang membanjiri ruang media sosial dan virus
paranoia yang berbiak kemana-mana.
2
Etika komunikasi tulisan Haryatmoko,2007. Hlm 135-136. Yogyakarta: PT Kanisius.
3
Colombijn, Freek and Thomas Lindblat. 2002. Root Violence in Indonesia. Leiden: KITLV.
Menunjukkan contoh kekerasan secara langsung.
4
Budaya politik ada 3 macam : budaya politik parokial, budaya politik subjek dan budaya politik
partisipan. Budaya politik parokial mengarah pada ciri apatis masyarakat dan pengetahuan politik
rendah, masyarakat tidak peduli, dan menarik diri. Sedangkan budaya subjek, masyarakat nya
sudah maju akan tetapi partisipasi masih pasif. Budaya politik partsipatif, masyarakat sudah ikut
berpartisipasi aktif dalam proses politik. Munculnya demonstrasi menandai partisipasi aktif
warganya. Karya sastra dapat menjadi bagian pendidikan budaya politik masyarakat, bagi
pembaca yang menyadarinya.
2
tertentu, dengan cara-cara mengungkapkannya yang bersifat simbolik. Dalam relasi
sosial antara pihak yang didominasi dan yang mendominasi merupakan peluang untuk
mengetahui bahasa atau sesuatu yang diucapkan, sebuah gaya hidup yang berupa cara
pikir, cara bicara, dan cara bertindak. Kekerasan simbolik adalah kekerasan dalam
bentuknya yang sangat halus, tidak terasa dan tidak terlihat korbannya. Kekerasan yang
dikenakan pada pelaku-pelaku sosial tanpa mengundang resistensi atau perlawanan.
Sebaliknya malah mengundang persetujuan karena mendapat legitimasi sosial karena
bentuknya yang sangat halus. Bahasa, makna, dan sistem simbolis para pemilik
kekuasaan secara sadar ditanamkan dalam bentuk individu-individu lewat mekanisme
yang tersembunyi (Takwin, 2009: xxi- xxii, Bourdieu, 1994:7).
Karya sastraNyali(1983) karya Putu Wijaya yang dipilih dibicarakan dengan
pertimbangan: (1) karya tersebut lolos dari daftar buku terlarang5; (2) karya tersebut
menggambarkan wacana kekerasan simbolik yang dilakukan oleh penguasa. Karya
tersebut melakukan perlawanan terhadap penguasa yang menimbulkan banyak korban
yang tidak disadari sebagai korban di masyarakat. Terutama berhubungan dengan isueisue OTB (organisasi tanpa bentuk), jurang kemiskinan dan orang kaya, korban
kerusuhan dan teror, yang semuanya diarahkan pada pembelaan orang tertindas. (3)
karya tersebut memiliki kaitan dengan kekerasan simbolis yang erat kaitannya dengan
sebuah zaman pemerintahan di Indonesia yang pernah dilewati. Nyali yang terbit tahun
1983 (tahun pertama terbit), erat kaitannya dengan konteks pemerintahan orde lama dan
orde baru. Dengan demikian karya ini diperkirakan dapat mengungkap ketidaksadaran
dalam praktek mekanisme kekerasan simbolis yang terutama dilakukan lapisan elit
penguasa dalam masyarakat dari satu masa pemerintahan Indonesia. Siapa yang menjadi
penguasa sebenarnya dipertanyakan dalam Nyali.
Penguasa yang dimaksud di sini seperti yang ditunjukkan dalam teksnya antara
lain penguasa militer, pemerintah, penguasa sipil, penguasa keluarga, penguasa etnis.
Karya ini menarik diungkap dengan pemikiran bahwa karya sastra adalah wacana yang
menggabungkan bahasa dan tindakan sekaligus seperti seorang narator yang
memberitahukan lewat tuturan tertentu.
Tindakan saat ini tidak bisa dilepaskan dari masa lalu. Tindakan merupakan endapan
dan tiruan dari kisah-kisah yang didengar, dibaca dan sudah dipikirkankan secara
mendalam. Pada gilirannya tindakan-tindakan itu menjadi bahan untuk dikisahkan.
Sedangkan kisah akan memberikan pemahaman lebih terang terhadap tindakan karena
mampu menyingkap aspek-aspek dari tindakan. Salah satu jenis kisah adalah kisah yang
dibungkus dengan genre narasi sastra.
Paul Ricoeur (1984:54-59) menyatakan tentang mimesis narasi dan membaginya
tiga tahap mimesis: pertama, prefigurasi tindakan yaitu narasi yang berupa struktur
pengalaman, mengorganisasi ingatan, menata bagian-bagiannya dengan tujuan
membangun setiap peristiwa kehidupan. Di sini pencerita mengatakan kepada
pendengarnya (baca pembacanya), tentang masalalu dan meringkasnya kembali dengan
memberikan tekanan pada bagian-bagian yang penting. Kedua, konfigurasi tindakan,
yaitu narasi tentang peristiwa yang membentuk tatanan yang logis bukan kronologis, di
sini penataan logis dipakai untuk memberi bentuk penalaran baru terhadap fakta, tidak
bisa dilepaskan dari masa lalu, dalam arti bahwa tindakan seseorang didapat dari belajar
5
Katalog Buku Terlarang dan Sejarahnya Dari Tahun 1950-2010, TT, hlm.10, diprakarsai
Elsam, Laksmi, Lintas Merah Generasi, di sana tertulis yang melarang adalah kejaksaan RI,
contoh yang paling nyata tahun 1980an buku-buku dilarang terbit dengan tuduhan subversib:
memuat ajaran komunisme, menodai agama, membuat pornografi, menghina kepala Negara.
3
dari orang lain yang dilihatnya dan ditiru. Tiruan diendapkan, didengar, dibaca, dan
sudah diresapkan. Selanjutnya tindakan itu menjadi bahan untuk dikisahkan. Kisah akan
memberikan pemahaman yang lebih jernih terhadap tindakan karena menyingkap aspekaspek tindakan. Dalam kisah tentu terjadi seleksi karena hanya tindakan yang relevan
atau bermaknalah yang akan dikisahkan. Di sinilah fungsi kelenturan alur yang tidak
lagi harus selalu linear. Karya sastra sering terinspirasi oleh realitas sejarah masa lalu
maupun sejarah kontemporer dari sebuah peradaban. Sejarah yang diubah menjadi kisah
dan akan memungkinkan lahirnya bentuk baru sejarah. Ketika penulis sastra
membaurkan dalam kesatuan visi penulis sejarah maka kisah fiktif bisa menyumbang
kisah sejarah (Lavigne yang dikutip Haryatmoko (2013)6. Ketiga, refigurasi merupakan
tindakan oleh pembaca atau penafsir kisah. Pembaca sastra memberi makna teks karena
pemaknaan teks adalah sejarah semua pembacaan. Teks tumbuh bersama pembacanya.
Pembaca merefleksikan berdasar sudut pandangnya dan mengubah dirinya atau
membantu memahami diri atau orang lain dengan lebih baik. Mimesis tahap ketiga ini
merupakan refigurasi tindakan oleh pembaca atau penafsir kisah. Kata Ricoeur pada
intinya wilayah pemanfaatan teks bergeser-geser, tidak ada penguasa narasi. Jadi tidak
jelas siapa pengarang atau penulis, karena makna adalah selalu hasil “bacaan”
seseorang; Ricoeur menggunakan istilah transfigurasi tindakan manusia. Berkat
pengaruh teks seseorang akan membaca, menghayati sehingga mampu mengubah diri
menjadi lebih baik (Ricoeur, 1984: 54-59)7.Bahasa adalah parole. Wacana lahir karena
pertukaran makna. Syarat wacana menurut Ricoeur: 1. ada subjek yang mengatakan; 2
isi pernyataan yang mau dipresentasikan; 3. kepada siapa pernyataan itu disampaikan; 4.
Temporalitas
Demikianlah dengan pemilihan penulis pada karya Putu Wijaya di atas,
diharapkan
kekerasan simbolik yang “mungkin pernah berlaku” di dunia
keprajuritan/kemiliteran/ketentaraantanpa disadari dapat dijelaskan. Selain itu kekerasan
simbolik juga bekerja dalam kerangka untuk mendapatkan persetujuan tanpa paksaan,
bahkan dalam berbuat kekerasan.
Kekerasan yang terjadi di Indonesia lewat karya sastra sudah banyak yang
meneliti misalnya Thahar yang membahas tentang “Kekerasan Cerpen-Cerpen
Indonesia dalam Harian Kompas (1992-1999): Suatu tinjauan Struktural Genetik”
Macam-macam kekerasan diungkap dalam tulisan itu 8.
Dalam tulisan ini tidak dibicarakan hanya pada kekerasan semata kekerasan
seperti yang telah dihasilkan peneliti-peneliti sebelumnya, melainkan tentang refleksi
filosofis yang muncul atas nama kekerasan simbolik dalam sastra. Dalam hal ini akan
terkait dengan kekekerasan fisik, psikis,dan kekerasan simbolik yang merugikan
masyarakat. Dengan berusaha membongkar kekerasan simbolik dalam sastra akan
menantang refleksi etika politik. Pada tingkat selanjutnya refleksi ini menuntut suatu
tanggung jawab politik-moral seorang warganegara untuk berpatisipasi sebagai anggota
nation atau bangsa. Tanggung jawab politik-moral ini akan menyadarkan bahwa
ternyata sangat penting menumbuhkan budaya politik yang santun yang jauh dari
kekerasan simbolik untuk menumbuhkan bangunan kondisi politik yang manusiawi.
Tugas filsafat politik adalah menganalisis secara refleksif, menyingkap dan
6
Haryatmoko dalam Pelatihan Analisis Wacana Hermeneutika Paul Ricoeur, tgl 23 Mei 2013
yang diadakan UK2JT FIB Unair.
7
PaulRicoeur dalam bukunya Time and Narrative Vol I ( translated by Kathleen Blamey and
David Pellauer). 1984. Chicago and London: The University of Chicago Press.
8
Disertasi Thahar terdapat di Universitas Negeri Jakarta.
4
mendiskusikan secara kritis isi normatif yang ada dalam konteks sosio-budaya.
Kemudian merumuskan kembali dalam kerangka prinsip umum dengan metode
pembenaran yang mudah dipahami (Haryatmoko, 2003:9). Dengan refleksi
dimaksudkan aktivitas budi manusia yang mengeksplorasi keluhuran martabatnya dan
keluhuran hidup bersamanya. Refleksi mencoba memahami pencarian kedalaman dan
kebenaran. Jadi aktivitas refleksif adalah melukiskan martabat manusia (Armada,
2011:39).
Nyali, Sekuen Peristiwa, dan Gambaran Tentara
Dari sisi naratifnya Nyali tidak digambarkan secara urut dari 23 bagian. Nyali
diceritakan oleh penutur cerita yang dingin seolah pencerita memotret keadaan
senyatanya tanpa mau terlibat, namun demikian banyak ditemukan wacana-wacana yang
mengandung kritik baik secara langsung atau tidak.
Berdasar sekuen peristiwa Nyali dapat dijelaskan bahwa pencerita adalah
orang luar di luar tokoh dan peristiwa. Orang luar yang bercerita dan bertindak sebagai
pengamat yang mencermati kehidupan tentara dari yang berpangkat rendah sampai
tentara yang berpangkat tinggi.
Nyali (1983) disajikan dalam 23 bab dan sekuen Nyali tidak diceritakan secara
urut/kronologis. Sekuen 1 menceritakan prajurit yang bernama Kropos, cara menjalani
sebagai tentara. Sekuen 2 menceritakan Erika istri Kropos (tentara), yang ditinggal
bertugas. Sekuen 3 tentang Tokoh Kropos yang bertemu Kolonel Krozy yang dulu
memerintahkan membasmi Zabaza. Sekuen 4, Pencerita menceritakan Kropos
menembak Kolonel Krozy demi sebuah rencana. Sekuen 5, Pencerita menceritakan
Jendral Leonel menyuruh Dr Combla untuk membunuh Kolonel Krozy agar Krozy
meninggal sebagai pahlawan. Sekuen 6, pencerita menceritakan Desa Tong-Tong
diserang gerombolan Zabaza dan Kropos diinterogasi oleh seseorang (atasan). Sekuen
ke 7 Jendral Leonel menghadap Baginda Raja bersama istrinya. Sekuen 8, Baginda Raja
berbincang santai dengan Leonel dan menyatakan dirinya bukan Zabaza sekarang.
Sekuen 9 menceritakan Kropos yang telah diakui masuk sebagai tentara Zabaza. Sekuen
10, Erika sangat marah ketika lima anaknya dibunuh dan ia mengira Torso suami
keduanya yang membunuh. Sekuen 11, Baginda diminta menyingkir dari kerajaan
bersama keluarganya. Sekuen 12, Pencerita menceritakan Gerombolan Zabaza
melakukan persiapan untuk menyerang. Sekuen 13, Nyonya Kolonel Krozy melayat
dan hadir dalam pemakaman Erika dan suaminya (ke-2) Torso. Sekuen 14, Ny Kolonel
Krozy bertemu mantan istri jendral Leonel yang menyeberang ke gerombolan Zabaza,
dan akhirnya nyonya Krozy dibunuh. Sekuen 15, Kropos mendengar Ny Krozy dibunuh,
yang membuat goyah pikirannya. Sekuen 16, Baginda Raja mengadakan jamuan makan,
ditengah keprihatinan. Sekuen 17 pencerita menceritakan ibukota yang dalam keadaan
kacau seperti kota yang mati. Sekuen 18, Jendral Leonel mengambil alih kekuasaan dan
menembak sendiri tangannya. Sekuen 19, menceritakan Kropos dan perasaannya
menghadapi republik baru. Sekuen 20, menceritakan mantan istri Leonel dan kegiatan
Zabaza yang bertambah kejam. Sekuen 21, menceritakan Kropos tentara rendahan yang
tidak punya tujuan hidup. Sekuen 22, menceritakan anak jendral Leonel di bunuh
mantan istrinya. Sekuen 23, menceritakan Kropos yang hidup sebagai suami istri yang
tak dikenal publik dan diajak berjuang lagi oleh mantan istri jendral Leonel setelah
istrinya dibunuh secara kejam.
Sekuen peristiwa dalam
Nyali sengaja dipecah penceritaannya, untuk
mendapatkan gambaran keadaan tentara yang berpangkat Kopral, Kolonel, Jendral, dan
Baginda Raja serta akibat yang muncul untuk keluarga mereka. Sekuen yang ditandai
5
nomor 1-23, tidak menggambarkan urutan cerita, namun menggambarkan urutan
discoursenya. Sekuen 1,2,3,4, dalam tataran urutan cerita bisa disatukan namun sengaja
dipisahkan karena ingin menekankan fokus penceritaan. Sekuen 5 fokus penceritaan
pada tokoh Jendral Leonel. Jendral Leonel memerintahkan Dokter Combla sekalian
“membunuh” Kolonel Krozy yang sedang sakit di Rumah Sakit, akibat ditembak
Kropos. Krozy dianggap tidak berguna lagi oleh Jenderal Leonel. Menurut dokter
Combla Kolonel Krozy tidak sakit secara fisik (hanya luka tembak), tetapi sakit secara
mental karena Krozy tidak menyangka ditembak oleh Kropos tentara yang dia percaya
untuk melaksanakan pengamanan tugas menumpas gerombolan. Sekuen 6, kembali
pada Kropos dan gerombolannya yang menyerang desa Tong-Tong, diikuti dengan
pengintrograsian Kropos oleh seseorang yang dapat diduga tentara atasannya. Sekuen
7,8,9 bisa disatukan dalam penceritaan tapi sengaja dipisah untuk menggambarkan
perbedaan antara tentara berpangkat tinggi, dan tentara rendahan seperti Kropos. Sekuen
10, Erika mantan istri Kropos yang telah menikah lagi dengan Torso kehilangan anakanaknya dari Kropos karena dibunuh. Erika serta Torso saling menusukkan agar
mereka matibersama setelah mengalami kejadian yang memilukan. Sekuen 11 tentang
baginda Raja. Sekuen 12 tentang Kropos dan gerombolannya. Sekuen 13, sebenarnya
bisa disatukan dengan sekuen 10 (13, 10) sebelumnya yaitu bab tentang kematian
Erika dan Torso dan penguburannya yang diikuti oleh Ny Krozy. Tapi sengaja
diceritakan dalam bagian terpisah. Sekuen 14, Ny Krozy dibunuh istri Leonel. Sebelum
dibunuh Nyonya Leonel bercerita tentang Krozy yang menjadi saingan Jendral Leonel
oleh karena itu sebenarnya Krozy dibunuh oleh Jendral Leonel. Sekuen 15, Kropos
mendengar Ny Krozy dibunuh Ny Leonel. Sekuen 16-23, adalah sekuen peristiwa yang
menggambarkan kekejaman gerombolan Zabaza yang dipimpin oleh istri Leonel yang
berseberangan dengan jendral Leonel. Pada sekuen 22 tampak Ny Leonel membunuh 3
anak jendral Leonel (setelah istri Leonel mengikuti gerombolan Zabaza).
Pencerita di sini sebagai pencerita yang memakai dia-an memakai gaya
“melaporkan” kekerasan yang terjadi. Laporan itu terasa “dingin” sengaja
menghilangkan faktor emosi, untuk mendapatkan kesan tegas kaku, dingin, dan siap
meneropong dengan “kamera”. Sebuah uraian yang khas, cepat, tajam dalam mengurai
kekejaman yang senantiasa dialami tokoh tentara dan kehidupannya sebagai tentara
berpangkat kecil, kehidupan keluarganya (istri) dan atasannya yang berpangkat kolonel.
Kehidupan mereka dikendalikan bahkan dijadikan korban oleh arsitek utama seorang
Jendral Leonel.
Dengan gaya laporan yang dingin dalam mengantarkan kekejaman dilakukan
oleh narator dalam mengikuti tokoh Kropos (tentara yang berpangkat paling rendah),
kekejaman tidak lagi dirasakan sebagai kekejaman karena Kropos menghayatinya
sebagai bagian tugas yang harus dilaksanakan saja. Tokoh ini tidak menyadari kalau dia
desain sebagai “mesin” pembunuh. Akibatnya dia sangat taat pada perintah atasannya,
sebenarnya meski dia sebagai tentara yang harus melaksanakan kewajibannya, dalam
hati dia hanya taat pada Kolonel Krozy yang ditembaknya karena tugas, tapi tembakan
itu diarahkan ke bagian tubuh lain, agar Krozy tidak mati. Akan tetapi ternyata Kolonel
Krozy di rumah sakit tetap meninggal, karena dibunuh oleh dokter Combla. Dokter
Combla memenerima perintah langsung dari Jendral Leonel, yang dibalik pernyataan
biasa ternyata penuh dengan ancaman(kekerasan psikologis).
Nyali dalam Tataran Oposisi Subjek-Objek
Nyali menggambarkan urutan kepangkatan dalam tentara, urutan kepangkatan
dari yang paling rendah dari Kopral, Provost, yang masuk bagian Tamtama, Perwira
6
(Letnan, Letnan Kolonel, Kolonel, Jenderal) dan Panglima Tertinggi). Nyali
mengangkat tokoh yang bernama Kropos.
Tokoh Nyali tidak bernama sebagaimana manusia biasa: Kropos yang berarti
kosong dan mudah rapuh. Tokoh Kropos dihadirkan dengan latihan yang keras untuk
menghilangkan kemanusiaannya (Nyali, 1983: 7-8); menyaksikan sepuluh tentara yang
baru lulus mati di lubang yang digalinya sendiri dan dibiarkan dalam keadaan lapar dan
haus.Nyali, 1983:9); Tokoh Kropos dinyatakan lulus dari latihan kekejaman dan
menjadi ketua gerombolan Zabaza yang mestinya mau dibasmi (Nyali, 1983: 21).
Nyali punya logika biner berupa oposisi yaitu subjek-objek, pengirim-penerima,
pembantu-penghalang (Greimas,1983:207). Untuk memenuhi oposisi biner tersebut
harus mememenuhi syarat 3 tes yaitu Tes Kualifikasi, Tes Pokok, dan Tes Pujian.
Dalam tulisan ini dibatasi oposisi yang terpenting yang berhubungan dengan
kekerasan simbolik yang digambarkan dalam Nyali yaitu tiga tokoh. Pertama, tokoh
Jendral Leonel; Kedua, tokoh Kolonel Krozy; Ketiga, tokoh Kopral Kropos.
Tokoh Leonel hadir dalam relasi subjek-objek seperti yang tertera dalam gambar
skema berikut:
Proses Komunikasi
Pengirim
Kolonel Krozy
Penerima
Objek
Gerombolan
Kropos
Kontrak
Proses Pencari
Anti Subjek
Kolonel yang
mengabdi negara
Pembantu
Istri Kolonel
Subjek
Jenderal Leonel
Penghalang
Keluarga Tentara
Syarat tiga tes dalam relasi oposisi biner: Pertama, Tes Kualifikasi: Jendral
Leonel mempunyai misi rencana pergantian pemerintah yang kuat dengan membentuk
gerombolan Zabaza. Gerombolan Zabaza yang dibentuk itu diharapkan untuk
menciptakan pergolakan kecilagar dapat diperangi kapan saja, seolah-olah ada
pemberontakan dalam masyarakat.Kedua,Tes Pokok yaitu Subjek menyiapkan
petualangan berupa konflik-konflik antara subjek dan objek, Subjek yang ditunjukkan
dalam gambar di atas adalah Jendral Leonel. Jendral mempergunakan bawahannya
Kolonel untuk mengirim tentara Kopral Kropos memerangi gerombolan kejam Zabaza.
Ketiga, Tes Pujian yaitu Jendral berhasil menguasai Negara dengan menggunakan cara
menguasai Baginda Raja (atasan).
Skema yang kedua adalah adalah skema tentang tokoh Kropos seperti di bawah
ini:
7
Proses Komunikasi
Pengirim
Kolonel Krozy
Objek
Penerima
Gerombolan Zabaza
Rencana Jenderal Leonel
mengambil alih
kekuasaan negara
Proses Pencari
Anti Subjek
Komandan/atasan
Kontrak
Pembantu
Subjek
Penghalang
Pistol atribut
tentara
Kropos yang sudah
menjadi tentara kejam
Mantan Atasan
3 (tiga) tes yang harus dilewati: pertama, tes kualifikasi: Kolonel Krozy mengirimkan
anggota tentranya antara lain Kropos untuk
menumpas gerombolan Zabaza.
Gerombolan ini tak bisa ditumpas habis karena ternyata gerombolan ini sengaja
dipelihara oleh seorang jendral. Kedua, tes pokok subjek Kropos telah melewati proses
yang sangat rumit zabaza, pada awalnya ditugasi untuk masuk membasmi Zabaza.
Ketiga, Kropos berhasil masuk menembus Gerombolan Zabaza bahkan sampai pada
level pimpinan gerombolan.
Skema lain yang perlu dicermati adalah tentang Kropos, yang berpangkat kopral.
Proses Komunikasi
Pengirim
Objek
Penerima
Kolonel Krozy
Gerombolan
Z b
Masyarakat Tong
Tong
Anti Subjek
Proses Pencari
Torzo
Kontrak
Pembantu
Istri Kolonel
Subjek
Kropos
8
Penghalang
Erika (Istri Kropos) dan
Kelima Anaknya
Pertama, Tes Kualifikasi: Tokoh Kropos adalah tentara berpangkat kopral
(rendah) yang siap dikirim untuk menyerang Gerombolan Zabaza, Tokoh Kropos
meninggalkan istri dan lima anaknya.
Kedua, Tes Pokok yaitu Kopral Kropos melewati latihan fisik dan psikologis sampai
tingkat kehilangan rasa peri kemanusiaanya (menjadi kejam).
Ketiga, Tes Pujian yaitu meski Kropos sudah melalui berbagai ujian yang keras dan
kejam, dia gagal dalam mewujudkan kebenaran yang dia yakini bahwa ada
pengkhianatan pada kedudukan Baginda.
Inventarisasi Oposisi dalam Nyali berdasar skema di atas ditemukan:
Aktor: tentara
baginda raja Vs jendral; suami Vs istri
jenderal Vs prajurit;
kekerasan Vs kelembutan
penguasa Vs rakyat; kejam Vs lembut
kejahatan Vs kebaikan pemberontak Vs patuh
Fisik
kuat Vs rapuh ;
hidup Vs mati
Muda Vs tua
Moral
Baik Vs Jahat; pujian Vs hukuman;
Baik Vs licik
Oposisi kunci dalam Nyali yang utama ditemukan oposisi muda Vs tua
(pergantian kekuasaan). Oposisi ini menjadi payung yang meliputi arah dari
kepangkatan tentara yang berpangkat tinggi ke tentara yang berpangkat rendah, yang
menguasai dan dikuasai, dari isolasi individual tentara kerajaan Kropos ke komunitas
Zabaza.
Transformasi nilai-nilai dasar dalam Nyali ditemukan antara lain:Pembunuh
(kejam, dikorbankan) dan tentara yang baik (regenerasi) juga dikorbankan. Orang yang
jahat digambarkan dengan kematian, dan orang yang baik digambarkan dengan
kehidupan. Pembunuh otomatis (dari tentara) sangat dan harus menghargai sistem.
Ancaman nilai kekejaman mencapai target, menjadi kebaikan dalam pergantian
kekuasaan yang sebaiknya berlangsung secara damai.
Kekerasan Simbolik dalam Nyali dijumpai dalam penghayatan tugas pembunuhan
tanpa rasa bersalah terutama tugas yang disandang Kropos, tentara yang berpangkat
rendah (kopral). Sebagai tentara dia hanya menghayati peran kepatuhan tugas tanpa
syarat, meski banyak jatuh korban. Kekerasan simbolik dalam Nyali dialami oleh tentara
yang berpangkat rendah berupa strategi penguasaan, indoktrinasi, komando, instruksi
(periksa Nyali hlm: 7,9,12,15,16,21,25, 35,42,44, dan 45).
Adapun mekanisme kekerasan simbolik yang ditemukan dalam Nyali ditemukan
melalui bahasa, representasi, dan simbol seperti contoh di bawah ini:
“Semakin sibuk anda membuktikan sesuatu, Anda semakin jauh dari cita-cita anda
sendiri. Karena hal itu menunjukkan anda tidak yakin. Ia kelihatan tak punya rencana..”(
Nyali, hlm.47).
“Kropos yang memimpin gerombolan itu tahu betul bagaimana cara membasmi,
9
mengibul, dan menghabiskan tanpa perlawanan. Tong-Tong rontok dan habis tepat ketika
cahaya merah mengapur langit (Nyali hlm: 32).
“Berbulan-bulan bendera setengah tiang dikibarkan seluruh kerajaan. Duka itu
mengerak. Bagai pita panjang, ia melilit, makin hari makin tebal. Sebuah bendera yang
ada di depan istana dibiarkan berkibar sampai robek. Angin yang meniup menggelepargelepar seperti hendak menerjang air (Nyali:80).
Nyali dalam Perspektif Ricoeur
1. Kritik Ideologi adalah kritik terhadap keyakinan dan ilusi penafsiran penulis yaitu
semacam pemurnian terhadap pemahamanNyali. Kisah Nyali berpusat pada
Kropos dan Jendral Leonel dan Baginda Raja yang mengungkap wilayah publik
kekejaman yang terstruktur. Dari teks ditemukan tokoh Kropos dominan sebagai
tokoh utama. Artinya dari analisis narasi dan struktural hanya memberi potensi
pada sesuatu yang lebih dominan dan kurang mementingkan tokoh-tokoh yang
tersembunyi misalnya Kolonel Krozy, Kolonel Tir-Tir, yang muncul hanya
sebagai korban, meskipun mereka mendukung tokoh Kropos. Dua tokoh ini
muncul hanya sebentar padahal mewakili tentara yang loyal pada negara dan
bangsa (mereka di cenderung berada dipinggiran saja). Hanya dengan analisis
narasi dan struktural penulis tidak dapat memperoleh pengetahuan tentang peran
tokoh tentara yang tersembunyi. Dengan kritik ideologi penulis sebagai penafsir
melakukan dekonstruksi dengan tujuan menunjukkan adanya pemahaman baru
pada diri penulis sebagai penafsir’
2. Dekonstruksi: membongkar pemahaman penulis sebagai penafsir,tentang
kepentingan, tujuan dan motivasi penulis menuju pemahaman dan motivasi baru
setelah melakukan analisis dan melokalisir permasalahan. Pengetahuan tentang
ketentaraan yang berhubungan dengan kekerasan simbolik adalah perlunya
transparansi dan keterbukaan serta ketulusan pada wilayah publik, terutama
masalah-masalah kekerasan simbolik pada dunia tentara yang harus diangkat dan
dikaji secara terbuka. Dari tokoh Kolonel Krozy dan Kolonel Tir-Tir terungkap
bahwa tentara yang baik menjadi korban atau dikorbankan dan menjadi tumbal
bahkan mereka sendiri tidak menyangka bahwa mereka dibohongi atasannya.
Dengan dekonstruksi dapat dimunculkan dalam Nyali adalah ungkapan yang khas
Nasionalisme dengan membuka sebanyak mungkin potensi civil society dan tidak
dimonopoli oleh negara.
3. Analogi permainan adalah pengambilan jarak yang positif. Permainan merupakan
bentuk jarak terhadap kehidupan yang terlalu formal. Dalam permainan seseorang
dibebaskan dari ketakutan terhadap norma sosial dan sangsi-sangsinya dari
keseriusan hidup formal. Kebebasan merupakan tanah yang subur bagi kreativitas.
Kreativitas ini yang penafsir pilih yaitu PointBlank yang dimainkan Game On
Line anak- anak seluruh dunia. Mereka bisa mengeser-geser pilihan. Apakah
semangat Nasionalisme hanya dipunyai institusi pemerintah? Dalam Game On
Line itu terdapat dua karakter yang sama-sama mengusung semangat Nasionalisme
yaitu tim CT Force dan Free Rebels. Karakteristik CT Force adalah membasmi
terorisme dari pemerintah. Tokoh-tokohnya Leopard, Acid Paul, Keen Eyes, Hide
sedangkan Free Rebels juga punya alasan sendiri mengapa memberontak kepada
pemerintah,karena mereka sebagai imigran selalu didiskriminasi oleh pemerintah.
Tokohnya misalnya Red Buls, Tarantula, D Fox, Viper Red. Dari sini dapat
dinyatakan bahwa nasionalisme tidak hanya milik negara akan tetapi yang dicap
pemberontak juga mengusung nasionalisme atas nama imigran.
10
Karya sastra dapat mencerna lebih tajam dari sebuah peristiwa kekerasan yang
pernah terjadi, dan dapat mengungkap kekerasan simbolik lewat tokoh-tokohnya.
Karya sastra dipahami tidak lagi pengarang sebagai sumber makna, akan tetapi penafsir
sebagai sumber makna. Namun demikian penafsir tidak sekedar menafsir secara
sembarangan, penafsiran yang dituntun melalui teksnya.
Hasil pembacaan pada Nyali memberi tawaran dalam mencari tanggung jawab
kehidupan, mencari jatidiri dalam menghadapi hidup sebagai individu dan hidup sebagai
anggota masyarakat. Memahami kekerasan simbolik yang tidak disadari telah diterima
oleh individu dan merevisinya dengan berpikir untuk kemaslahatan masyarakat. Nyali
karya Putu Wijaya dapat menjadi salah satu refleksi filosofis politik untuk merenung
dan bertindak mewujudkan Nasionalisme dan civil society. Nyali bermanfaat dan
memperkaya ilmu politik dengan cara pemahaman diri terutama dalam dunia
ketentaraan yang harus selalu memikirkan kepentingan kebangsaan bukan sekedar
kepentingan kelompok.
Simpulan
Dari hasil refleksi filosofis dalam pemahaman penulis, Nyali membuat penulis
berpikir bahwa cara pikir militerisme/ketentaraan secara tidak sadar telah dihayati
sehari-hari oleh masyarakat, terbukti dari praktik mulai dari kehidupan RT, RW, sampai
kelurahan. Tidak hanya itu, adanya praktek Hansip/Satpam di segala bidang, polisi
tidur. Selain itu kalau mau menjadi PNS harus dilatih dengan kemiliteran/ketentaraan,
membuktikan bahwa latihan tersebut diperkirakan untuk meningkatkan semangat
loyalitas. Pendekatan kemiliteran ini masih dirasakan sampai sekarang, yaitu sistem
tingkatan, menurut hemat penulis hal ini adalah wujud dari ketidakpercayaan pada orang
lain atau menganggap sepele orang lain. Pengabaian sistem nilai yang ada di masyarakat
terus berjalan. Semoga hal ini bukan semata kekuasaan demi kekuasaan yang
menyebabkan orang yang tak berdaya semakin tidak punya daya.
Daftar Rujukan
Bourdieu, Pierre.2010. Dominasi Maskulin. Yogyakarta: Jala Sutra.
______________1994. Practical Reason On The Teory of Action. California: Stanford
Press University.
Colombijn, Freek and Thomas Lindblat. 2002. Root Violence in Indonesia. Leiden:
KITLV
Haryatmoko.2007. Etika Komunikasi. Yogyakarta: Kanisius.
__________2013.”Pelatihan Analisis Wacana Hermeneutika Paul Ricoeur”, tgl 23 Mei
2013 diadakan UK2JT FIB Unair.
Greimas, AJ. 1983. Structural Semantic An Attemp at a Method. London: University of
Nebrasca.
Harker, Richard, Cheelen Mahar dkk. 2009. (Habitux Modal) +Ranah= Praktik
Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu.
Yogyakarta: Jala Sutra.
Ricoeur , Paul.1984. Time and Narrative Vol I ( translated by Kathleen Blamey and
David Pellauer).Chicago and London: The University of Chicago Press.
Ricoeur Paul.2009. Hermeneutika Ilmu Sosial (terj). Yogyakarta: Kreasi Wacana
Riyanto, Armada.2011. Berfilsafat Politik. Yogyakarta:Kanisius
Wijaya,Putu. 1983. Nyali. Jakarta: PT Balai Pustaka
11
VEHICLE SHIFT OF THE NORTHERN COAST OF CENTRAL JAVANESE
LITERATURE IN SONG LYRICS
Agus Nuryatin and Muhamad Burhanudin
(Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang – Indonesia)
Abstract: Vehicle shift of the Northern Coast of Central Javanese literature is as an
effort for the readers to accept the effect of literature communication about Coast classic
literature material, so that a Coast literature can be appreciated widely. This paper is
expected to give contribution in an effort of tangent point search between the Coast
literatures as a local literature to be song lyrics as a global culture. The implementation
of vehicle shift as a dialogue form between local classic literatures and song lyrics can
add insights of local form of globalizing.
The material object of this paper is Coast classic literature in the form of poem
written using Arabic-Javanese letter (pegon) to be vehicle shifted into song lyrics, so
that it is needed in advance a study of Philology that includes manuscripts, texts, and
text editing towards the Coast literature. The vehicle shift of literature, especially poetry
into song lyrics, is expected to gain positive appreciation. It is because song lyrics have
a big enough place in the society. The vehicle shift of Coast literature in song lyrics will
simplify the effect of literary communication generation to generation.
Introduction
Large number of past literary works or classic literatures need creative
innovations to bring the literature close to the lover or the society itself. The vehicle
shift is as an instrument for opening literature to the other form of art passes by textual
limit in the beginning. Nowadays, literature has passed by its textual limit. Literature
does not only appear textually in poetry, prose, or drama. Enjoying literary works in
present time can be done not only by reading text, but also scrutinizing song lyrics,
seeing films and literature performances on stage.
The vehicle shift of literature does not only present as a bond of aesthetic
communication, but also as a mark that literature has a potential in developing creative
industry. The appearance of poetry musical album or poetry songs is as a mark that
literature world strives to new industry world. In the past time, economy of literature is
determined by a number of copies of the printed book, but now song albums which are
based on poetry lyrics also become a benchmark of the economic in literature. This
phenomenon also occurs on the development and transformation of the Northern Coast
of Central Javanese literature.
The development of Javanese literature according to Pigeaud (1967:4-7) can be
classified into four parts: (1) Hindu era took place in the 9th – 15th century; (2) Java-Bali
era took place in the 16th – 19th century; (3) Coast era took place in the 15th – 19th
century. In this era, the activities of literature move to coastal towns which are the trade
central and spreading of Islam; (4) Surakarta and Yogyakarta era took place in the 18th –
20th century.
In the Coast era, literature writing with Arabic script Pegon based on Malay
Arabic letter developed. The activities of Coast literature in Central Java began in the
region of Demak, Jepara Kudu, Pati, and Rembang. These towns are the place where
Javanese Muslim communities began to be formed. From these towns, the activities of
12
Coast literature spread to Cirebon and Banten in West Java, and Sumenep and
Bangkalan in Madula Island. In fact, the influence of Coast literature was not limited in
Java Island only. Because of the high mobility of traders and Islam religion spreaders,
the activities also spread out of Java, like Palembang, Lampung, Banjarmasin, and
Lombok. In the 18th – 19th century, with the shifting of central of Javanese culture to
Surakarta and Yogyakarta Palace, the activities of Coast literature writing also
developed in the region of Surakarta and Yogyakarta, and also another surrounding
places like Banyumas, Kedu, Madiun, and Kediri (Pigeaund 1967:6-7).
One of the works of Coast of Central Java that is the widest spread area is Syiir
(poem). Source of poem Coast literature is Arabic, Persian, and Malay literature.
Indonesia language also began to borrow from Arabic and Persian vocabularies,
especially those which are related to the concept of religion.
This paper will be concerned on a discussion of poem and its vehicle shift in
song lyrics. Poems that developed in Central Java, more or less, reflected the general
tendency of Coast literature of Central Java in poetry patterns that have big influence
towards spiritual life of the Central Java society. The other reason which supports this
paper is because the study of development and transformation of Coast literary works is
still very few, whereas the influence of Coast literary works is not little towards the
culture of Central Java society. The influence includes in some fields like metaphysics,
cosmology, ethic, psychology, and aesthetics.
Vehicle Shift
The use of text in a song is called lyric. The term of song lyric is found in Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2005:528), which means as a sung poetry work. William
Russo (1988:154), said that words used in a song usually is called as text. In popular
music, words used in a song is called lyrics. It is the same as what Semi said, lyric is
short poetry that expresses emotion (1988:106). Thus, diction of lyric and poetry is not
far different.
Damono (2012:76) said that when a poetry is changed into a song, it will have
been as an unbreakable part of composition. The word “composition” affiliates form.
Form, in its turn, leads to a definition of structure. In this form and structure, all
“determination” and decision of art work engineer that is material (sound, voice, tone,
rhythm, harmony, etc.) non-material (dynamic, nature, character, color, sense, etc) is
accommodated (Hardjana, 2003:73).
Vehicle shift of literature into song lyrics is as an effort of artists to shift
messages, ideas, and concepts of poetry into music media, so that it will be possible to
have a change and development and to be a new art work. Vehicle is also as a tool to
carry or move something from a place to another place. That “Something” can be in
forms of concept, instruction, feeling, or even just milieu (Damono, 2012:1). The
process of vehicle shift of poetry means a shift of method in working a poetry into
existed rules of music so that poetry must obey thoroughly to the new vehicle in the
form of song lyric rules. Transformation of literature, especially poetry in song, is
usually called as change processes. In its processes, it can be through shrinkage,
increment (expansion), and change with some variation. The study of vehicle shift
demands a willing to think multi-dimensionally because this study operates in at least
two different field, or even more. The object of this study is a form of vehicle shift from
two different fields. They are poetry and music field.
This paper will discuss about the relation of poem vehicle shift and song lyrics,
which is poem as Coast Javanese poetry and the text will not be discussed in detail like
13
an analysis of sound, rhyme, and diction. However, it will be limited by an analysis of
phrase, theme, and content of the poetry. Song lyric that is changed from Javanese
poetry in the form of poem by constructing the melody and harmony is expected to
reflect the character or meaning of it, so that the poem can be understood easily by the
listener.
Poem as Javanese Poetry
A literary work cannot be separated from the influence of supporter society, as
Janet Wolff (1981:1) said, art is a social product. Art and society is a unity that supports
each other and cannot be separated. A literary work reflects the culture of society. It is
the same in poem as a Javanese poetry which is as a social product. Poems written in
Javanese developed in Muslim student in the society of Java and was as manifestation
from Javanese poetry influenced by Arabic-Islam (Muzakka, 2002:39).
Poem (singir) or Syiiran leads more to a definition of nazham in Javanese
language. Poem suits with nazham that is a sentence arranged on a regular basis and
ending with rhyme (Mustofa Bisri in Hamidi, 2005:4). Based on a number of lines in
each verse, poem consists of two lines of each verse (matsnawi). It is as reflected in the
following Poem entitled Érang-Érang Sekar panjang
Suwarga ora bakal kelebonan wong kang tuwa
wong kang manggon suwarga umuré setengah tuwa
Ngumuré lanang wadon iku kabèh padha-padha
kira telung puluh tahun punjul telu tuwin lima
Senajan goné mati iku uwis kaki-kaki
utawa gone mati iku uwis nini-nini
Caloné lanang wadon iku kabèh disanglingi
rupa bagus rupa ayu hingga ngasi amanglingi
Sakwusé salin rupa banjur ora owah-owah
kulitané kuning gadhing alus resik belingah-belingah
(Siraj, Juz 3 :10)
Poem is always sung in its presentation with certain rhyme. Poem is usually
given an introduction of gratitude to Prophet Muhammad SAW. Some of gratitude
which are as an introduction of Poem are,
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Shalatullah salamullahi 'ala Thaha Rasulillah
Shalatullah salamullahi 'ala Yasin Habibillah
Tawassalna bibismillah Wabilhadi Rasulillah
Wakulli mujahidi, mujahidi lillah Biahlil badri ya Allah
Allah humma salli wasalim ‘Alaa syayyidina wamaulana muhammadin
‘adadmma bi’ismilla hi shalatan daimatan bi dawami mulkilahi
Ilaa hilas tulir firdaus fii ahlaa Walal akhwaa ‘alan naril jahiimi
Wa hablidau watarwafir dhunubi wainakahau birundafil ‘adhimi
Yaa Rasulullah Salamun ‘alaik Yaa rofi’ ‘asya niwaddaroji
Affatayyaji rotal ‘alami Ya uhailaljuudi wal karomi
Shalli wasalim daaiman alahmadaa
Wal aali wal as-haa biman qodwahadaa
Laailaahaillallah almalikul khaqqul mubin
Muhammadurrasulullah shadikul waqdil amin.
14
Poem has differences with another Javanese poetry like tembang, macapat,
geguritan, and parikan. Tembang macapat is bound with guru lagu rules (final sound
benchmark), guru wilangan (a number of syllables of each line) a number of gatra
(lines of rhyme), and also has to consider purwakanti guru swara (equation of sound or
rhyme), and purwakanti guru sastra (equation of consonants or frame of rhyme), that
kind of condition is not found in a poem although the bonds of a number of syllables,
rhymes, and lines of each verse bind them. Tembang macapat and poem are also
different in terms of language and material. Tembang macapat is influenced by Sanskrit
and the color of Hindu-Buddha which still appears in song, while poem tends to be
colored by Arabic-Islam. Individual expression of poems do not appear because poems
express a story or religion lessons which its expression is more collective.
Public’s Response to Poem
Poem as a literary work of Islamic school has a function of teaching medium or
Islamic religion education medium. It is a function of literary work as Horatius said,
Dulce et utile, entertaining and useful (Teeuw, 1983:183). Muzakka in his research
about poem, found three main function of poem. They are entertain function, education
and teaching function, and spiritual function.
Entertain function appears because the presence of poem in literature treasure is
always sung whether with certain music accompaniment or not. Education and teaching
function appears because singir expresses didactic values, i.e. Islamic values education
and complex knowledge of Islam. Spiritual function appears because some of singir is
treated only as servitude to God. The most prominent function for the proponents
between those function is as education and teaching function medium (Muzakka,
2006:97-98). It suggests that literary works have to be understood with its cultural social
context as an aesthetic function that is not separated with its social function (Teeuw,
1984:183). Thus, poem as developing in its community that is Muslim society in Central
Java is literary works that function socially as communication vehicle and socialization
of Islamic values all at once.
Poem is often sung together by Javanese society in its presentation at mosque in
waiting prayer time between azan (call to pray) and iqomah. Poem is also used by kiai
(title for venerated scholar in Islam) and mubaligh (preacher) in recitation of the Quran
and tabligh (religious meeting) by singing it. Poem is loved and acceptable by the
society because of the beautiful and simple language, and can be sung with famous tone
among the religious society.
Vehicle Shift of Poem in Song lyrics
Poem as a poetry has a possibility to be vehicle-shifted into song lyrics. This can
be possible because poetry is an expression that is musical (Carlyle in Waluyo,
1987:30). The musicality of poetry can be poured into another harmonious form when
poetry text is presented with music accompaniment and beautiful and meaningful song
lyrics as it should be. Poetry can be strength by melody and rhythm in order to form a
song lyric.
Song lyrics have form of physical and spiritual structure as poetry. Song lyric is
an expression of one from his/her inner mind which can be seen, listened, happened, or
even imagined as poetry. However, song lyrics have special features compared with
poetry because its ideas molding is strength with melody and rhythm suit with the lyrics
of the song. Pasaribu (1986:11) said that elements of music can be stated as the
15
strengthener of song lyrics and medium to give a certain atmosphere towards existing
words so that it can be said that song lyrics is bound with its instrument of music.
Basically, poem as coastal literature can be vehicle-shifted into song lyrics. The
following are some examples of vehicle shifts of coastal literature in song lyrics. Song
lyric Tombo Ati as follow.
Tombo Ati
Tombo ati iku limo perkarane
kaping pisan moco Qur'an lan maknane
kaping pindo Sholat wengi lakonono
kaping telu wong kang sholeh kumpulono
kaping papat kudu weteng engkang luwe
kaping limo dzikir wengi engkang suwe
salah sakwijine sopo biso ngelakoni
mugi-mugi Gusti Allah nyembadani
Song lyric Obat Hati is a vehicle shift from coastal literature text as follow.
Bab Tambané Larané Ati
Pada sira nambanana ing larané atiira
Larané ati iku sebab goné demen dunya
Lamun ora ditambani lawas-lawas dadi mati
Nèk wis mati ora gelem jak ‘ibadah maring Gusti
Tambané ati lara iku lima perkarané
Ingkang dhihin seka lima maca Qur’an karo dirasa
Kaping pindho kudu melèk zikir wengi ingkang suwé
Kaping telu kudu salat tahajud ingkang suwé
Kaping pat seka lima angothongi wetengira
Kaping lima kudu sira angumpuli para ‘ulama
Lamun sira wus ngelakoni perkara ingkang lelima
Gusti Allah paring waras ing larané atiira
Mesthi sira anglakoni salah siji saka lima
bok menawa Gusti Allah paring suda laranira
( Siraj, Juz 1 :22-23)
In the above poem Tambane Larane Ati, it is begun with an advice Pada sira
nambanana ing larane atinira, it is explained the cause of this heart disease that Larane
ati iku nggone demen donya Larane ati iku nggone demen donya, the impact that will be
gained if the heart disease is not cured is Lamun ora ditambani lawas-lawas dadi mati /
Nek wis mati ora gelem jak ngibadah maring Gusti, it describes about five rituals of the
heart disease medicineand ends with hope and prayers. To gain the musical aspects in
song lyric Obat Hati that is presented in description, there are five rituals that must be
done in curing heart disease and it ends with hope and prayers.
Based on the theme, there is a change of the spiritual structure in Obate Larane
Ati, which is in the beginning highlighted in the impacts caused if one gets heart disease
Lamun ora ditambani lawas-lawas dadi mai / Nek wis mati ora gelem jak ngibadah
maring Gusti, five rituals are media to cure heart disease, whereas the five rituals are
main points in the song lyrics Obat Hati.
Spiritual structure of poem Bab Tambane Larane Ati that is highlighted in the
song lyrics Obat Hati is showed with the mention of five matters of heart disease, i.e.
16
(1) reading the Quran and its meaning; (2) doing night zikir (repeatedly chant part of the
confession of faith), (3) praying at night, (4) more fasting, and (5) gathering with pious
people.
The order of the mention of the outer structure Obat Hati is created differently
with poem text Bab Tambane Larane Ati. It is done to reach the musical effect that is
rhyme and rhythm. The order of song lyric Obat Hati is; reading the Quran, praying at
night, gathering with pious people, more fasting, and doing zikir at night. On the other
hand, the order of poem Bab Tambane Larane Ati is reading the Quran by sensing its
meaning, doing zikir at night, tahajud praying, fasting, and gathering with mufti (pious
people). The differences of formal form between Bab Obate Larane Ati and Obat Hati
cause by the need of tone suitability aspect and enough intensity, but the theme is still
the same.
Poem can also be vehicle-shifted in a song lyric Eling Eling by singing it in some
music genres like campursari, dangdut, and qasidah. The song lyric Eling-Eling is as
follow.
Eling-Eling
Eling eling sira menungso
ngelinana anggonmu sholat ngaji
pupung durung katekanan Malaikat juru pati
panggilane kang Maha Kuasa
gelem ora kudu digawa
disalini sandang putih
yen wis budal ora bisa mulih
tunggangane kereta jawa
roda papat rupa manungsa
jujugane omah guwa
tanpa bantal tanpa kelasa
omahe ra ono lawange
turu ijen ra ana kancane
ditutupi anjang-anjang
diurugi siram kembang
tongga-tongga padha nyambat
tangise kaya wong nembang
yen ngaji arang-arang
pertanda imane kurang.
The song lyric Eling-Eling is one of vehicle shift forms from coastal literature entitled
Syiir Erang-erang Sekar Panjang bab banget Bungah ana donya and bab Eling Pati
as follow.
Bab Banget Bungah ana Dunya
Aja sira banget banget gonmu bungah ana dunya
Malaikat juru pati ngelirak-ngelirik maring sira
Olé ngelirik Malaikat arep jabut nyawanira
goné jabut angenténi dhawuhé Kang Maha Mulya
Sakwusé didhawuhi banjur tandang karo kondha
aku iki ming sakderma kowé ora kena semaya
(Siraj, Juz 1 : 2 )
Iling-iling sira manungsa kabèh iku bakal mati
pumpung durung sira iku katekanan maring pati
17
Rasané pecat nyawa luwih bangét laranira
katimbang kabesèté sekabéhé kulitira
Ora ana penawaré sakliyané taatira
aja pisan sira lali maring salat férdhuira
Rasané wong ana kubur luwih lara luwih susah
nek wis tangi penelangsané luwih banget karo gersah
Ngadekira ana kubur ana patang puluh warsi
tanpa pangan tanpa ngumbé ora ana kang melasi
(Siraj, Juz 1 :5 )
In the process of vehicle shift into Eling-Eling song, spiritual structure of religion
lessons of poem Bab Banget Bungah Ana Donya Dan Bab Eling Pati must be
maintained. The spiritual structure is in the form of lesson to remember because death
must come to every human. The poem and song remind humans to always do the
command of God (prayer and read the Quran) because those who live must be dead. It is
portrayed that if God has commanded an angel to take a human’s live, he/she must be
dead anyway. In Islamic lessons, there is a guidance to take care of the body of dead
people (bathe, shroud, pray, and bury). If the body has been bathed and shrouded
disalini sandang putih, then it should be prayed and entered to a coffin tunggangane
kereta jawa / roda papat rupa manungsa, after that there will be a ceremony pamitan
jenazah then it is carried into a grave to be buried jujugane omah guwa / tanpa bantal
tanpa kelasa.
Bab Banget Bungah Ana Donya portrays a task of angel of death clearly. When
there is already a command of God to take one’s life then the angel will do the task
immediately, and the human will not be able to bargain. Property of world will not be
valued when someone has been passed away.
Eling-Eling song is in line with, continues, and highlights the lesson in Syiir Bab
Banget Bungah Ana Donya Dan Syiir Bab Eling Pati. The religious lesson of the song is
that humans have to prepare provision of good deeds after death. The provision of life
after death is in the form of loyalty to do the commands of God, i.e. prayer and read the
Quran (ngaji). Human that has been died will be through suffering and agony if he/she
do not supply faith and deeds in all his/her life.
Summary
Vehicle shift is as one of alternative offers to simplify and expanse the society to
accept the effect of literary communication, especially the Northern Coast of Central
Javanese classic literature. Effort to preserve and increase appreciation of coastal
literature must be encouraged because of the minimum of literature observers who
gather to research coastal literature. Coast literature especially in the form of poem,
develop in the proponent society. The other thing that matters most is coast classic
literature written in Arabic-Javanese (pegon) letter has not yet been invented well and
still scatters among the society. Therefore, it is needed Philology work to solve the
problems. Conservation of coast literature can be done through inventory, description,
innovation, or vehicle shift literary works of coast into another form of works suit to the
era, so that past literature is still appreciated by the now generation.
18
References
Damono, Sapardi Djoko. 2012. Alih Wahana. Jakarta: Editum
Hamidi, Jasim. Asyhari Abta. 2005. Syiiran Kiai-Kiai. Yogyakarta: Pustaka Pesantren
Hardjana, Suka. 2003. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Jakarta:
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Muzakka, Muh. 2006. ”Puisi Jawa Sebagai Media Pembelajaran Alternatif di Pesantren:
Kajian Fungsi terhadap Puisi Singir” Jurnal Alayasastra. Vol.2. Desember
2006.
Pasaribu, Amir. 1982. Analisis Musik Indonesia. Jakarta: Pantja Simpati
Pegeaud, T. H. 1967. Literature of Java, Vol. I. Leiden: Martinus Nijohoff.
Russo, William. 1988. Composing Music. Chicago: The University of Chicago Press
Semi , Atar. 1988. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Waluyo, Herman. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga
Wolff, Janet. 1981. The Social Production of Art. New York : St. Martin s Press, Inc
19
PUITIKA POSTMODERNISME DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG
KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA
Ahmad Supena
(Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten – Indonesia)
Abstrak: Berbagai pola repertoar strategi-strategi pengedepanan sifat ontologis pun
ditemukan. Pluralitas ontologis inilah yang disebut dengan sastra puitika
postmodernisme. Adapun latar belakang masalah yang didalami menyangkut repertoar
strategi pengedepanan sifat ontologis puitika postmodernisme. Data primer penelitian
ini adalah novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma yang diterbitkan
PT Bentang Pustaka 2006 di Yogyakarta berjumlah 524 halaman. Dalam novel Kitab
Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma, terdapat pluralitas ontologisme yang
dikelompokkan ke dalam beberapa kategori di antaranya, yaitu (1) dunia-dunia, (2)
konstruksi, (3) kata-kata, dan (4) pendasaran. Cerita dalam novel KOK tahun 2006
ternyata meresepsi dari cerita Ramayana. Pengarang dalam konteks pembicara
mengenai tokoh-tokoh dalam pencarian pengarang bukan menunjuk pada pengarang
novel tersebut, yaitu SGA, yang diakhiri novel tersebut mengidentifikasi dirinya sebagai
Togog.
Kata Kunci: Repertoar Strategi Pengedepanan, Ontologis, Puitika Postmodernisme,
Pluralitas
Pengantar
Postmodernisme petama kali muncul ke permukaan di dunia Latin tahun 1930an, satu generasi sebelum kemunculannya di Inggris atau Amerika. Adalah seorang
teman dari Unamuno dan Ortega, Federico de Onis, yang mengedepankan istilah
postmodernismo. Ia memakainya untuk menggambarkan pengaliran kembali konservatif
(conservative reflux) dalam modernism itu sendiri: sebuah aliran yang mencari pelarian
dari tangan lirik (lyrical challenge) yang berat dalam sebuah perfeksionisme yang detail
dan humor ironis yang mati, yang keistimewaan paling orisinil pada pengungkapan
kepada perempuan. Dilanjutkan oleh Toynbee yang menerbitkan A Study of History
dalam jilid ke-8 terbit tahun 1954 memberi zaman yang baru terbuka dengan adanya
perang Prancis-Prussia (Franco-Prussia War) sebagai era post-modern (Post-modern
age) (Anderson, 2008:4-5).
Karya fiksi Seno Gumira Ajidarma (SGA) telah dijadikan sumber kajian oleh
banyak akademisi. Faruk kerap menulis tentang postmodernisme di Indonesia,
bagaimana SGA mempertanyakan ide tentang stabilitas tekstual. Menurut Faruk ada
sifat sadar diri dalam teks-teks SGA yang merupakan ciri-ciri paling khusus, Faruk
memberi contoh “pelajaran Mengarang” untuk menunjukkan di mana SGA menjelajahi
perbedaan antara realitas dan representasinya. Cerita SGA menunjukkan bahwa teks
bukan sebuah alat netral yang kedudukannya lebih rendah daripada kekuatan yang ada
di luar dirinya, apakah itu menjadi tuntutan subjektif dari pengarangnya atau tuntutan
objektif yang ada di luar teks subjektivitas sang pengarang. Faruk juga memberikan
kesan kekuatan subversif dari pertanyaan SGA terhadap kemampuan teks untuk
merepresentasikan realitas. Karya Seno Gumira Ajidarma merupakan penulis yang kuat
dalam kecenderungan demikian (postmodernisme), mencoba menerobos batas antara
20
sastra dengan jurnalisme, sastra dengan komik, sastra dengan pengetahuan ilmiah, dan
sastra dengan legenda atau mitos.
Kajian ini akan mengungkap puitika postmodernisme dalam Kitab Omong
Kosong karya Seno Gumira Ajidarma (Selanjutnya disingkat SGA) dengan
menggunakan pembacaan dunia-dunia yang diungkapkan oleh McHale yaitu, duniadunia dan kata-kata yang pada akhirnya membentuk semesta novel Kitab Omong
Kosong (Selanjutnya disingkat KOK). Keberhasilan pengungkapan puitika
postmodernisme ini akan memberikan andil dalam perkembangan ilmu sastra. Di
samping menyingkap hubungan kenyataan fakta dan fiksi, hasil kajian ini juga
diharapkan menjadi model pendekatan pemahaman terhadap karya sastra, khususnya
karya yang memanfaatkan fakta puitika postmodernisme.
Kerangka Teori
Poetics merupakan seni mengarang atau komposisi puisi secara umum dan
bagian-bagian kecilnya (spesies) yang bervariasi, fungsi dan pengaruh masing-masing
bagian itu: bagaimana plot semestinya disusun jika karangan itu akan berupa hasil
artistik; berapa banyak elemen komponen lain yang diikutkan dalam prosa ini, dan
elemen komponen macam apa dan seluruh pertanyaan lain yang serupa yang berbeda
pada cabang penyelidikan yang sama. Hal ini merupakan masalah-masalah yang akan
dibahas mulai dengan cara yang benar dan alami, dengan prinsip-prinsip dasar:
komposisi epik, penulisan tragedi, dan juga penulisan komedi; kesemuanya ini berada
dalam titik kenyataan juga proses-proses imitative (Aristotles Poetics, 2003:25).
Selain Jakobson dan Todorov ahli yang membicarakan mengenai puitika yaitu
Benjamin Hrushovski. Menurut Hrushovski (Rimmon-Kenan, 1983:2) puitika adalah:
Uraian di atas menunjukkan bahwa berkenaan dengan pengertian puitika, uraian yang
dikemukakan oleh Hrushovski mampu mencakup pengertian-pengertian yang
dikemukakan oleh ahli-ahli lain.
McHale menyebutkan bahwa dominan pada fiksi-fiksi Modern bersifat
epistemologis. Artinya, fiksi Modernis menggunakan strategi yang mengemukakan
persoalan-persoalan ‘Bagaimana aku menginterpretasi dunia ini? Apakah aku di dalam
dunia ini?’. Teks modernis mengedepankan tema-tema epistemologis seperti
aksesibilitas pengetahuan dan masalah ke-‘takterpaham’-kan.
Dalam fiksi postmodernis, dominan tersebut bergeser menjadi ontologis, yaitu
dari masalah-masalah cara mengetahui menjadi cara keberadaan. Pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan adalah ‘Dunia macam apakah ini? Apa yang harus dilakukan di
dalamnya? Bagian manakah dari diriku yang terhubung dengannya?’. Pertanyaan lain
yang menyertai persoalan ontologis ini misalnya ‘apakah yang dimaksud dengan ‘dunia’
itu? Ada dunia macam apa saja, bagaimana dunia-dunia itu terbentuk, dan di manakah
perbedaannya? Bagaimana jika dunia-dunia yang beraneka itu dikonfrontasikan, dan
batasan setiap dunia dihancurkan?’ (McHale, 1987:10).
Dari strategi-strategi pengedepanan fiksi bersifat epistemologi maupun fiksi
bersifat ontologis, McHale mengelompokkan ke dalam empat katogori besar, yaitu (1)
dunia-dunia, (2) konstruksi, (3) kata-kata, dan (4) pendasaran. Kategori “dunia-dunia”
mengedepankan sifat ontologis yang berwujud berbagai macam zona, berbagai macam
pola persinggungan antara dunia fiksi postmodern dengan dunia fiksi ilmiah,
persinggungan antara dunia fiksi postmodern dengan dunia fiksi fantastik, dan
persinggungan antara dunia fiksi postmodern dengan fakta sejarah. Kategori
“konstruksi” mengedepankan sifat ontologis dalam wujud dunia di bawah penghapusan
dan dunia kotak cinta. Kategori “kata-kata” mengedepankan sifat ontologis dalam dunia
21
kiasan, dunia digayakan dan dunia wacana. Sedangkan kategori “pendasaran”
mengedepankan sifat ontologis dalam dunia di atas kertas dan dunia pengarang.
Alur skema analisisnya:
Karya Sastra
Kitab Omong
Kosong
Ket:
Teori Ontologis Sastra Brian Mchale
pembacaan
Repertoar Strategi-strategi Pengedepanan Ontologis Puitika
Postmodernisme
Dunia-dunia
Konstruksi
KOK
Persinggungan
dengan sejarah,
Zona Interteks
KOK
Dunia
Penghapusan
KOK, dunia
kotak cina
KOK
Kata - kata
Pendasaran
Dunia kiasan
KOK,
wacana
KOK
Dunia di
atas kertas
KOK,
dunia
pengarang
KOK
: pembacaan terstruktur.
: pembacaan bolak-balik.
Pembahasan
Dunia-dunia
Dalam kategori ini dideskripsikan repertoar strategi pengedepanan sifat ontologis
di dalam novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma (SGA) yang
berkenaan dengan munculnya ruang-ruang baru atau strategi yang mempersinggungkan
ruang yang satu dengan ruang lain yang datang dari semesta yang berbeda. Dalam hal
ini meliputi strategi penyisipan, strategi pembangunan zona intertektualitas dan strategi
fiksi postmodernis dengan fiksi fantasi.
1. Strategi Penyisipan
Kata ‘suluk’ berasal dari bahasa Arab ‘salaka’. Dalam pendalangan disebut
‘suluk pedalangan’. Suluk berfungsi untuk membentuk suasana yang diceritakan jadi
termasuk aspek suasana dalam unsur latar (setting) dalam dramaturgi (Satoto,
2012:151). Suluk pedalangan itu dibagi ke dalam lima macam: (1). suluk Jugag, yaitu
suluk yang diringkas, (2). Ada-ada, yaitu suluk yang garang, (3). Ada-ada greget-saut,
yaitu suluk yang garang atau sereng sekali, (4). Sendho, yaitu suluk yang kendor, tidak
tegang, tenang, guyon atau humor, (5). Sendhonan (sesendhonan), yaitu lagu-lagu
macapat atau lagu-lagu permainan. Misalnya: Dhandanggula, Pucung, Gambangsuling,
Witingklapa, dan sebagainya.
22
Menggambarkan permulaan cerita atau suasana dalam KOK, Nampak permulaan
cerita sudah dibangun dengan suluk diringkas dan terekam garang apabila didengarkan
nadanya.
Angin padang yang meronta, o
Membawa bau darah nan amis
Rintihan tangis seribu janda
Anak sungai tersiram gerimis
Malam yang kelam,
Malam yang terlalu hitam, o!
(Ajidarma, 2006:13).
Dari penggambaran dunia suluk di atas tergambar strategi pengedepanan sifat
ontologis puitika postmodernisme dalam novel Kitab Omong Kosong karya SGA.
2. Strategi Intertekstual
Kadangkala penggunaan sarana retour de personnages tersebut justru menunjang
realisme dan yang dominan pun sifat epistemologisnya. Hal ini terlihat misalnya dalam
teks-teks ditulis oleh pengarang yang sama atau berbeda. Di dalamnya terdapat tokohtokoh yang sama dan kesamaan tokoh tersebut dari teks yang satu ke teks lainnya
bersifat stabil dan tidak disertai dengan pelanggaran batas. Kestabilan tokoh tersebut
menunjukkan kereliabelannya dan dengan demikian membuat pembaca dengan mudah
untuk mengaksesnya (McHale, 2004:57).
Rama yang nama lengkapnya Ramawijaya adalah tokoh sentral dalam kisah
Ramayana yang dipuja-puja sebagai Ratu adil. Rama terlahir sebagai putra sulung Prabu
Dasarata dari negeri Ayodya dan titisan Batara Wisnu. Sejak kecil Rama telah dilatih
keterampilan memanah dan berbagai ilmu kanuragan di bawah asuhan pertapa sakti
Begawan Wasista. Pada diri rama memancar sepasang mata seperti bianglala. Dari
kedua biji matanya itu bersinar isi hatinya yang penuh kebijaksanaan Batara Wisnu.
Gambaran Rama di atas juga tergambar dalam:
Rama merebut hati ayahnya dengan segala tindak tanduk
kebangsawanannya dan ketaatannya kepada dharma. Muni itu tak pernah puas
minum dari lautan kualitas Rama. Ia melukiskan bakat dan daya tarik Rama
kadang secara langsung, kadang sebagaimana dilihat dan dikagumi oleh oarng
lain; demikianlah dalam berbagai cara ia terus menerus memperlihatkan
berbagai kualitas yang membuat Rama menjadi manusia ideal
(Rajagopalachari, 2007: 64).
Cerita Rama ini menjadi latar belakang yang menggambarkan keagungan,
kebaikan, kemartabatan dan kebijaksanaan Rama di mana-mana. Rama digambarkan
menjadi manusia yang sangat ideal. Dalam keterampilan keprajuridan, berbudi pekerti
luhur, menghormati gurunya dan lemah lembut. Rama merupakan penjelmaan dari
Dewa Wisnu yang memancarkan cahaya kesucian, memiliki watak kebenaran, tampan
dan berbudi luhur serta sopan santun.
Berbeda dengan apa yang terdapat dalam Kitab Omong Kosong karya Seno
Gumira Ajidarma. Rama digambarkan menakutkan, penyebar bencana, pembunuh,
penakluk dengan kekejaman.
Dalam waktu singkat Sri Rama yang sebelumnya begitu harum, berubah menjadi
nama yang sangat menakutkan. Pasukan Ayodya membunuh orang-orang yang sudah
menyerah, tetap dibunuh tanpa ampun sehingga pantai itu penuh dengan mayat
bergelimpangan (Ajidarma, 2006: 11).
Demikian nama Rama berubah menjadi sangat menakutkan. Pasukan Rama
membunuh banyak orang yang tidak berdosa, sehingga mayat-mayat bergelimpangan
23
dimana-mana. Bukan hanya orang-orang yang dibunuh tanpa dosa, namun pasukan
Rama telah memorak porandakan peradaban dan pusat-pusat kebudayaan dimusnahkan.
Segala hujan dan kutukan tidak mereka perdulikan.
Dalam teks diatas memang terjadi intertekstualitas tentang cerita Rama, cerita
yang pertama menggambarkan segala macam perilaku Rama yang baik, berwibawa, dan
berbudi. Sedangkan pada teks cerita yang kedua yang terdapat dalam KOK
menggambarkan Rama sosok yang sadis, pembunuh, pembantai dan perusak
kebudayaan dan peradaban. Dari kedua teks tersebut masih dikategorikan interteks.
Tetapi intertektualitas di atas dapat dikatakan strategi pengedepanan sifat ontologis
puitika postmodernisme.
Laksmana merupakan putra ketiga Raja Dasarata yang bertahta di kerajaan
Kosala, dengan ibukota Ayodya. Kakak sulungnya bernama Rama, kakak keduanya
bernama Bharata, dan adiknya sekaligus kembarannya bernama Satrugna. Diantara
saudara-saudaranya, Laksmana memiliki hubungan yang sangat dekat terhadap Rama.
Mereka bagaikan duet yang tidak terpisahkan. Ketika Rama menikah dengan Sinta,
Laksmana juga menikahi adik Dewi Sinta yang bernama Urmila. Bisa dikatakan bahwa
Laksmana selalu berada di sisi Rama dan selalu berbakti kepadanya dalam setiap
petualangan Rama dalam Ramayana. Laksmana pun dilatih oleh Begawan Wasista
dalam kesaktian, dengan tingkah laku mirip kakaknya yaitu Rama.
3. Persinggungan antara Fiksi Postmodernis dengan Fiksi Fantasi
Pandangan dunia mungkin yang melihat bahwa antara teks yang satu dengan teks
yang lain bisa saling melintas juga menjadi dasar bagi terjadinya persinggungan antara
fiksi postmodernis dengan fiksi fantastik. Hal itu bisa terjadi karena, sebagaimana
persinggungan antara fiksi postmodernis dengan fiksi ilmiah, yang dominan pada kedua
jenis fiksi tersebut adalah sifat ontologisnya.
Kebiasaan
Salah satu sikap postmodernis, sebagaimana dikemukakan Wilde (McHale, 2004:
75), adalah penerimaan dunia sebagai pengalaman biasa. Peristiwa ajaib yang
menyimpang dari hukum alam merupakan sesuatu yang biasa terjadi dalam fiksi
fantastik. Motif dalam fiksi fantastik ini diserap oleh pengarang fiksi postmodernis dan
kemudian dijadikan motif fiksi postmodernis. Karena fiksi fantastik itu sendiri bersifat
ontologis, di dalamnya terjadi konfrontasi ontologis antara dunia normal, sehari-hari
dengan dunia paranormal, supernatural.
Para Siluman
Siluman-siluman rimba yang tidak kelihatan oleh mata manusia biasa
memperhatikan Dewi Sinta tanpa bisa mengerti mereka siluman yang melihat Dewi
secantik itu disia-siakan oleh Rama suaminya sendiri.
Para siluman yang tidak pernah kelihatan oleh mata biasa dan tidak mungkin terdengar
oleh telinga awam membicarakan Dewi Sinta.
“Coba lihat manusia perempuan itu, bentuknya semakin lama semakin buruk, lama-lama
ia bisa seburuk siluman.”
“Huss! Bangsa sendiri kok dihina!”
“Aku tidak menghina, siluman memang buruk rupakan? Coba lihat, aku bertanduk,
hidung seperti belali, kalau bersuara seperti macan batuk.”
“Itu karena kamu melihat siluman dengan mata manusia, kalau dengan mata siluman,
kita ini cantik-cantik saja kok!”
“Lho, aku ini siluman, jadi aku bicara sebagai siluman!”
24
“Iya, tapi siluman yang sudah terpengaruh manusia!”
“Tidak mungkin, manusia tidak bisa melihat siluman!”
“Kalau begitu, kamu mestinya melihat manusia itu makhluk lain dong! Makhluk aneh
yang berbeda dengan kita!”
“Hei dengar siluman goblok! Aku memang siluman, tapi aku mengerti manusia!”
“Hahahaha! Mengerti manusia? Apa yang kamu mengerti tentang manusia?”
Siluman bertanduk yang hidungnya seperti belali gajah itu menunjuk perempuan yang
berjalan tersaruk-saruk.
“Manusia adalah makhluk yang kejam,”katanya.
“Kamu tahu riwayat manusia perempuan itu?” siluman itu mengangguk.
“Coba ceritakan.”
“Tidak perlu, kau dengar sendiri saja kata-kata perempuan itu.”
Para siluman mendekati perempuan itu, yang sambil merangkak-rangkak mengeluh pelan
tertahan-tahan (Ajidarma, 2006:18).
Tidak lepas-lepasnya memandang, para siluman terus memperhatikan Dewi Sinta
yang terus berjalan di dalam hutan terseok-seok hingga masuk kedalam hutan. Sambil
menyebut-nyebut nama dewa-dewa dan mengutuk diri sendiri tentang nasib yang
diterimanya. Para siluman terus saja memperhatikan Dewi Sinta.
Dunia paranormal juga Nampak dalam cerita di atas siluman yang memiliki hati
dan mewujud sebagai manusia tampak dan mirip sekali sebagai manusia tanpa kelamin,
ini terjadi persinggungan antara dunia kasat mata dengan dunia biasa yang
menimbulkan goyangan ontologis dan mengedepankan sifat ontologis puitika
postmodernisme.
a.
Sapi Benggala
Sudah sejak awal dikatakan bahwa Sapi Benggala itu adalah titisan dari Dewi
Andini yang dapat berbicara dengan Maneka.
Maneka berdiri ketika sapi Benggala itu sampai ke tepian dan menyeberangi jalan,
langsung menuju ke tempat Maneka. “Sapi, sudahlah, aku mengerti...” Maneka berkata
sembari mengelus kepala sapi itu (Ajidarma, 2006: 373).
Sudah tidak dapat diragukan lagi, bahwa ketika Maneka berbicara kepada sapi
Benggala itu, sapi tersebut memahami pembicaraan. Kemudian diperkuat dengan
kejadian yang membuat masyarakat tertawa.
Kemudian ketika pembeli sedang begitu ramai-ramainya sapi Benggala itu muncul
dan melenguh dan menggerak-gerakkan ekornya sehingga ketika Satya dan Maneka
mengangkut guci-guci madu mereka ke dalam gerobak, maka orang-orang itu menjadi
marah. “Apa yang kalian lakukan? Kalian menjadi penjual madu namun ketika ada
orang membelinya kalian sengaja pergi?”. “Maaf, Bu, sapi kami mengajak pergi.” “Sapi
itu mengajak pergi?’ “Iya.” Orang-orang melihat sapi yang manggut-manggut itu. “Sapi
itu?” “Iya.” “He, Kawan-kawan, kata para penjual madu ini, sapi itu mengajak mereka
pergi!” “Sapi itu?” “Ya, sapi itu!” “Hahahaha!” “Hahahaha!” “Hahahaha!”
“Hahahaha!” “Orang gila!” “Hahahaha!” “Hahahaha!” (Ajidarma, 2006: 505).
Gambaran di atas dalam teks KOK tentang Sapi Benggala telah terjadi goyangan
ontologis di mana Maneka yang dapat berbicara dengan Sapi Benggala dianggap
manusia tidak waras. Padahal memang benar kenyataannya Maneka dapat berbicara
dengan Sapi Benggala tersebut. Dalam teks ini terjadi strategi pengedepanan sifat
ontologis puitika postmodernisme.
4. Kebanalan
Suatu novel yang di dalamnya menampilkan seseorang bicara kepada sapi, bukan
hal luar biasa. Namanya saja sastra. tetapi ini bukan satu ciri dari semua sastra. fiksi
25
realis berusaha sejauh mungkin untuk meniru “realitas” di dalamnya sehingga di dalam
halaman-halamannya mereproduksi kausalitas, logika dan perkembangan karakter dari
“dunia nyata”. Tetapi dalam magic realism dari teks postmodernisme, ide fantastic
bahwa seorang manusia bisa bercakap-cakap dengan sapi bisa saja disejajarkan dengan
kebanalan hidupnya sehari-hari:
Kemudian ketika pembeli sedang begitu ramai-ramainya sapi Benggala itu muncul
dan melenguh dan menggerak-gerakkan ekornya sehingga ketika Satya dan Maneka
mengangkut guci-guci madu mereka ke dalam gerobak, maka orang-orang itu menjadi
marah. “Apa yang kalian lakukan? Kalian menjadi penjual madu namun ketika ada
orang membelinya kalian sengaja pergi?”. “Maaf, Bu, sapi kami mengajak pergi.” “Sapi
itu mengajak pergi?’ “Iya.” Orang-orang melihat sapi yang manggut-manggut itu. “Sapi
itu?” “Iya.” “He, Kawan-kawan, kata para penjual madu ini, sapi itu mengajak mereka
pergi!” “Sapi itu?” “Ya, sapi itu!” “Hahahaha!” “Hahahaha!” “Hahahaha!”
“Hahahaha!” “Orang gila!” “Hahahaha!” “Hahahaha!” (Ajidarma, 2006: 505).
Bagi pembaca, yang paling menantang adalah fakta bahwa, seperti dikatakan
oleh McHale (2004:76), tokoh-tokoh itu bosan sekali menghadapi pelanggaran hukum
alam yang gila-gilaan. Ini satu ketidakacuhan yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh dalam
semua menggambarkan dunia kacau-balau.
Konstruksi
Dalam kategori ini dideskripsikan repertoar strategi pengedepanan sifat
ontologis dalam Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma yang berkenaan
dengan munculnya persinggungan antardunia-dunia objek yang diproyeksikan di dalam
karya fiksi. Hal itu meliputi dunia-dunia kotak cina.
Dunia-dunia Kotak Cina
Strategi yang bisa digunakan untuk melakukan pengedepanan sifat ontologis
pada Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma yang berstruktur rekursif.
Strategi yang napak adalah memunculkan putaran-putaran yang aneh dan Tokoh-tokoh
yang Mencari Pengarang.
a. Memunculkan Putaran-Putaran yang Aneh
Yang dimaksudkan dengan putaran-putaran yang aneh adalah suatu jenis
penyimpangan hierarki level-level naratif yang terjadi ketika representasi yang
ditanamkan tergelincir dari ketenangan pada animasi dan sebagainya (McHale,
2004:119).
1. Lukisan Rajah Kuda
Struktur ontologis yang seperti itu tampak dalam novel Kitab Omong Kosong
(2006). Novel ini menceritakan bahwa lukisan rajah seekor kuda yang berlari ada pada
punggung terbuka pelacur yang tidur tengkurap pada suatu malam menjelma menjadi
kuda sungguhan dan melompat lewat jendela, berlari ke luar kota, menuju padang
terbuka.
Ternyata kuda itu adalah kuda yang menjadi pemandu upacara Persembahan
Kuda yang dilakukan oleh pasukan Ayodya. Kuda putih itu dikejar-kejar oleh warga
dari lapangan mengajah ke lorong-lorong dan masuk ke kamar Maneka yang sedang
tertidur. Terjadilah perbuatan-perbuatan yang tidak menyenangkan buat Maneka sang
pemilik rajah kuda, yang dianggap membawa berkah bagi siapa saja yang tidur dengan
Maneka baik laki-laki maupun perempuan. Kejadian itu membuat Maneka semakin
tersiksa. Maneka dalam keadaan tersiksa meminta kepada juru selamat untuk upaya
membebaskan diri dari bencana yang menimpah dirinya. Orang cendikia itu
26
menyarankan hanya Walmiki yang bisa membebaskan bencana yang diderita oleh
Maneka. Maneka melakukan perjalanan mencari Walmiki dengan kabur meninggalkan
rumah pelacuran dibantu temannya Sarita. Sarita terbunuh dalam pelarian dan Maneka
berjumpa dengan Satya. Maneka berkelana mencari Walmiki ditemani Satya. Dalam
perjalanan pengembaraan Maneka di culik oleh penjahat gurun. Para penculik melihat
pada punggung Maneka terdapat rajah kuda dan cocok dijadikan korban bagi pemujaan.
Perbincangan Walmiki dan Maneka berlangsung lama sekali, ia memang ingat telah
berkisah tentang persembahan Kuda yang mengakibatkan banjir darah, tetapi ia tidak
terlalu ingat bagaimana kuda putih yang diiringi balatentara sejuta pasukan berkuda
muncul dari punggung Maneka.... “Jadi, Empu, dikau sama sekali tidak tahu bagaimana
aku mempunyai rajah di punggung semenjak masih di dalam kandungan?”...... Walmiki
merasa berdosa atas penderitaan Maneka, ia teringat Hanoman yang membebaskan diri
dari suratan takdirnya. Perempuan di depannya tidak paham, bahwa ia juga bisa
melakukannya (Ajidarma, 2006: 312-313).
Pada kesempatannya pun Maneka berhasil berpamitan kepada Walmiki dan
minta untuk dibebaskan dari kutukan rajah Persembahan Kuda. Maneka pada akhirnya
akan menentukan nasibnya dan menjalankan perintah Hanoman untuk mencari Kitab
Omong Kosong dan mencari kehidupan yang ingin dicapainya. Cerita di atas
menimbulkan putaran-putaran aneh dan menimbulkan strategi-strategi pengedepanan
sifat ontologis puitika postmodernisme.
2.
Tokoh-tokoh yang Mencari Pengarang
Tetapi menunjuk pada pengarang Ramayana, yaitu Walmiki. Ada beberapa
tokoh dalam Ramayana yang ingin melepaskan diri dari kendali Walmiki sebagai
pengarang. Tokoh-tokoh tersebut adalah Hanoman, Talamariam, Kapimoda, tokoh tak
jelas, dan Dewi Tara. Tokoh penting dalam Ramayana, Hanoman telah mendatangi
Walmiki, untuk minta izin menentukan jalannya sendiri. Dialog Maneka dengan
Walmiki pun akhirnya menjadikan Maneka terbebas dari cerita Walmiki. Ketika
Hanoman mengatakan pada Maneka bahwa dialah yang akan memperbanyak Kitab
Omong Kosong, dan bila perlu mengajarkannya, Maneka yang merasa ragu-ragu itu
kemudian ditanya oleh Hanoman mengenai keterbebasan dirinya dari cerita Walmiki
dan Maneka mengiyakannya.
Kata-kata
Salah satu lapisan dalam karya sastra adalah bahasa. Lapisan bahasa ini ada
secara intersubjektif di dalam pikiran yang mengucapkannya. Dalam kajian ini, lapisan
bahasa itu dilabeli dengan dunia kata-kata.
Dunia-Dunia Kiasan
Dunia kiasan dalam konteks ini adalah menunjuk pada metafora. Metafora
adalah gaya bahasa yang mengiaskan suatu hal dengan hal lain. Dengan pengertian
serupa itu, ekspresi metaforis, menurut Hrushovski (McHale, 2004:133) secara simultan
memiliki dua kerangka acuan: di dalam salah satu kerangka, ekspresi memiliki makna
literal; di dalam yang lain ekspresi itu berfungsi secara figuratif.
a.
Kiasan yang dilebih-lebihkan (hypertrophy)
Keragu-raguan adalah satu strategi untuk mengedepankan struktur ontologis
metafora, tetapi bukan satu-satunya. Daripada menghentikan ekpresi antara gaya dan
dunia, seorang pengarang dapat secara terbuka memamerkan metafirisitasnya, tetapi
27
kemudian juga meluaskan dan mengelaborasi kerangka acuan metaforis hingga
mendekati status independen dunia fiksional itu sendiri, suatu atonomi realitas imajinatif
(McHale, 2004:137-138). Pemameran metaforisitas ini tampak pada novel KOK karya
SGA.
Maneka tidak beranjak. Setiap hari ia duduk di sana dan menunggu. Menantap Kuil
Cahaya yang setiap hari berubah warna. pada hari pertama Kuil Cahaya itu tampak
putih keperakan dan menyilaikan, pada hari kedua Kuil Cahaya itu berwarna biru lembut
tapi cahayanya tetap memancar, pada hari ketiga berubah menjadi merah jambu, pada
hari ke empat kuning seperti daun menguning, pada hari kelima merah membara, pada
hari keenam ungu seperti es lilin, dan pada hari ketujuh bening seperti kaca dengan
kilatan cahaya berkeredapan. Siang dan malam Maneka menatap dan menunggu, melihat
bagaimana setiap warna itu menyepuh permukaan danau. Bila malam tiba bahkan
rembulan di langit tersepuh oleh pergantian warna dari Kuil Cahaya (Ajidarma, 2004:
374).
Kuil Cahaya pada hari pertama putih keperakan dan menyilaukan, hari kedua
berubah berwarna biru lembut cahaya tetap memancar, hari ketiga berubah menjadi
merah jambu, hari empat berubag daun menguning, hari kelima berubah merah jambu,
hari keenam berubah ungu es lilin dan hari ketujuh berubah bening kaca ada kilatan
cahaya berkeredapan. Setiap berubah menyepuh permukaan danau, bila malam
rembulan tersepuh perubahan warna Kuil Cahaya. Perubahan itu telah menggeser fokus
yang dikiaskan yaitu Kuil Cahaya ke danau dan rembulan.
Mula-mula hanya satu orang yang duduk di belakang Maneka, kemudian dua belas
orang, lantas seratus orang. Hari kedua bertambah dengan seribu orang. Hari ketiga
menjadi sepuluh ribu orang. Hari keempat bertambah terus menjadi seratus ribu orang.
Hari kelima sudah sejuta orang memenuhi punggung bukit yang menghadap ke Kuil
Cahaya di tengah danau itu dan tidak bertambah. Mereka menatap, mengamati,
menghayati, lantas meleburkan diri (Ajidarma, 2004: 375).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa yang duduk dibelakang punggung Maneka
dikiaskan dengan orang-orang yang semakin banyak dan pengkias itu kemudian
dinarasikan sedemikian rupa sehingga terjadi pemameran metaforisitas. Pengkiasan
yang seperti itu telah memunculkan goyangan ontologis pengedepanan sifat ontologis
puitika postmodernisme.
Dunia Wacana
Dunia-dunia yang digayakan digambarkan perubahan yang terjadi dalam karya
fiksi dari yang semula dominan pada dunia fiksional ke dominan medium linguistiknya,
pembicaraan pada ini menggambarkan perubahan pada karya fiksi dari yang semula
mengedepankan kesatuan wacana karya fiksi yang mengedepankan pluralitas wacana
mengedepankan Karnival.
Tergambar dalam Kitab Omong Kosong (2006) cerita polifonik yang cerita
dalam cerita. Ini dapat kita lihat dalam:
a. Cerita Sutasoma dan Mahakala, yang berceritakan pencerita dan menjadi cerita
tersendiri.
“Akulah pangeran Sutasoma yang ditangkap oleh Mahakala dan dilarikan dalam
gendongan.” Mahakala si pemakan orang telah menangkap seratus orang ksatria, yang
siap dibunuhnya sebagai santapan. Waktu dilarikan dalam dendongan aku menangis,
tapi bukan karena ketakutan “Kukatakan kepada Mahakala, aku akan kembali sesuai
perjanjian, akan kuberikan nyawaku untuk memenuhi janji itu. Kemudian Sutasoma
diantarkan kesebuah taman yang dimana dia sudah ditunggu oleh brahmana itu untuk
melakukan pembacaan syair-syair, dan brahmana akan diberikan hadiah oleh
Sutasoma... (Ajidarma, 2006: 109-125).
28
Cerita dilanjutkan dengan menceritakan perjalanan Mahakala yang mengawali
kisah pemakanannya terhadap manusia akibat terkena kutukan Gandarwa. Kemudian
dilanjutkan dengan kembali kesebuah taman dikerajaan Hastina tempat kediaman
Sutasoma.
Cerita Sutasoma dan Mahakala menjadi cerita tersendiri dengan masing-masing
tokoh bercerita yang berdiri sendiri. cerita di atas menimbulkan strategi-strategi
pengedepanan sifat ontologis puitika postmodernisme.
b. Cerita Lubdhaka sang pemburu, yang berceritakan Satya kepada Maneka dan
menjadi cerita tersendiri.
c. Cerita Resi Gotama dan anak-anaknya, yang berceritakan Satya kepada
Maneka dan cerita berdiri sendiri.
d. Cerita saudara kembar Kebu Milih (Gagang Aking) dan Kebo Ngraweng
(Bubukshah), cerita yang di baca Satya dari salinan jawa.
Cerita-cerita di atas juga menjadi cerita tersendiri yang berdiri sendiri. Cerita di
atas dapat dikatakan telah mengedepankan strategi pengedepanan sifat ontologis puitika
postmodernisme.
Pendasaran
Barthes (1977) mengatakan pengarang telah mati. Namun, pengertian mati
dimaksud bukanlah menunjuk pada entitas pengarangnya. Kematian pengarang di sini,
seperti ditafsirkan Foucault (1979), berkenaan dengan pengarang dalam fungsi
kepengarangan. Dalam fungsi itu pengarang berada pada posisi dan sudut pandangan
tertentu. Ketika pengarang berpindah dari fungsi menyuarakan tokoh yang satu ke
fungsi menyuarakan tokoh kedua, maka fungsi pengarang mati dari tokoh yang pertama
dan hidup pada tokoh yang kedua. Namun, pengarang juga akan berpindah fungsi dari
menyuarakan tokoh kedua ke tokoh yang lainnya lagi, demikian seterusnya. Pada posisi
seperti itu, pengarang mati dan hidup lagi, mati dan hidup lagi, demikian seterusnya.
Fungsi pengarang di dalam teks mengalami perpindahan dari tokoh yang satu ke tokoh
yang lain.
Simpulan
Setelah dilakukan analisis dengan repertoar strategi-strategi pengedepanan sifat
ontologis puitika postmodernisme, dapat disimpulkan bahwa dalam novel KOK karya
SGA terdapat bermacam pengedepanan sifat ontologis puitika postmodernisme, yang
menimbulkan beragam dunia-dunia pluralitas.
Pluralitas itu dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu (1) dunia-dunia, (2)
konstruksi, (3) kata-kata, dan (4) pendasaran. Dalam kategori dunia-dunia ditemukan
berbagai macam pengedepanan sifat ontologis yang merupakan hasil persinggungan
antara fiksi dengan strategi penyisipan, persinggungan antara fiksi dengan strategi
intertekstualitas, persinggungan antara fiksi postmodernisme dengan fantasi dan
terjadinya dunia yang banalitas.
29
Daftar Rujukan
Ajidarma, Seno Gumira. 2006. Kitab Omong Kosong. Jogykarta:Bentang.
Anderson, Perry. 2008. Asal-Usul Postmodernitas. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Aristotles. 2003. Aristotles Poetics. Yogyakarta:Putra Langit Publishing.
Barthes, Roland. 1977. The Death of Author, Image, Music, Text, English translation by
Stephen Heath. New York: Hill and Wang.
Faruk. 1996. Cerpen-cerpen pilihan Kompas 1992-1996 dalam Kompas.
Jakarta:Kompas.
Fuller, Andy. 2011. Sastra dan Politik Membaca Karya-Karya Seno Gumira Ajidarma.
Jogyakarta:Insis.
Foucault, Michel. 1979. “What Is an Author?”, in Textual Strategies Perspectives in
Post-Structuralist Criticism, edited and with an Introduction by Josue V.
Hararti. Ithaca, New York: Cornell University Press.
Frow, John. 1991. “Intertextuality and Ontology”, Intertextuality Theories and
Practices, edited by Micahel Worton and Judith Still, reprinted in paperback.
Manchester and New York: Manchester University Press.
Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading A Theory of Aesthetic Response. Baltimore
and London: The Johns Hopkins University Press.
Lyotard, Francois Jean. 1984. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge.
Oxford:Manchester University Press.
McHale, Brian. 2004. Postmodernist Fiction. Methuen.
Mulyono, Sri. 1976. Wayang dan Karakter Manusia:Seri Harjuna Sasrabahu dan
Ramayana. Jakarta: Nawangi.
Pujiharto.2010. Perubahan Puitika dalam Fiksi Indonesia dari modernism ke
Pascamodernisme. Jogyakarta:Elmatera Publising.
Rajagopalachari, C. 2004. Ramayana. Diterjemahkan oleh Nin Bakdi Soemanto.
Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Rimmon-Kenan, Shlomith. 1989. Narrative Fiction Contemporary Poetics. New
York:Routledge.
Santoso, Puji dan Jayawati, Trisna Maini. 2010. Sastra dan Mitologis Telaah Dunia
Wayang dalam Sastra Indonesia. Jogyakarta: Elmatera Publishing.
Sarup, Madan. 2008. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan
Posmodernisme.Jogyakarta: Jalasutra.
Satoto, Soediro. 2012. Analisis Drama&Teater Bagian 1. Yogyakarta: Ombak.
Sunardi. 2002. Ramayana. Jakarta: Balai Pustaka.
Zoetmulder, P.J. 1983. Kalawang: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang.
Jakarta:Djambatan.
30
PRAKTIK DISKURSIF NEGARA TERHADAP ETNIS CINA
DALAM TEKS SASTRA MULTIKULTURAL INDONESIA
Akhmad Taufiq
(FKIP Universitas Negeri Jember – Indonesia)
Abstrak: Praktik diskursif negara terhadap etnis Cina dalam perjalanan kekuasaan di
Indonesia masih menunjukkan suatu fenomena politik yang penuh ambivalensi. Satu sisi
etnis Cina dalam kondisi tertentu diposisikan secara strategis sedemikian rupa; di sisi
lain tidak jarang diposisikan demikian berbahaya dalam konteks kapasitasnya sebagai
warga negara. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan praktik diskursif negara
yang penuh ambivalensi tersebut, yang terefleksikan dalam teks sastra multikultural
Indonesia dan implikasinya terhadap kebijakan negara multikultural Indonesia. Melalui
pendekatan sosiologi sastra, analisis tulisan ini mencoba mendeskripsikan ambivalensi
politik kekuasaan itu dalam dua hal; yakni menyangkut hubungan wacana etnisitas Cina
dengan keindonesiaan dan wacana negara hubungannya dengan konstruksi politik
berbasis identitas. Terdapat tiga novel yang dianalisis dalam hal ini, yaitu Novel Maut
dan Cinta karya Mochtar Lubis, Dimsum Terakhir karya Clara Ng., dan Putri Cina
karya Sindhunata. Hasil analisis ini menyatakan bahwa praktik diskursif negara
terhadap etnis Cina yang penuh ambivalensi itu tidak efektif dan fungsional dalam
konteks negara Indonesia yang multikultural. Praktik politik yang penuh ambivalensi itu
banyak mengakibatkan persoalan yang kompleks; baik hubungannya secara vertikal
dengan struktur berbasis negara, maupun secara horisontal antarkelompok kultural di
Indonesia. Oleh karena itu, praktik diskursif negara yang penuh ambivalensi perlu
dihindari sedemikian rupa dan pada saat yang sama perlu dibangun komitmen kebijakan
multikultural yang berpijak pada nilai kesetaraan dan solidaritas sebagai kekuatan
konsolidasi bangsa.
Kata-kata kunci: Praktik diskursif negara, etnis Cina, dan teks sastra multikultural
Indonesia
Pendahuluan
Praktik diskursif negara menjadi bahasan penting untuk dicermati secara
akademis. Dalam hubungan itu, negara perlu dianalisis sebagai pihak yang dipandang
memiliki jejaring kuasa yang kompleks dalam rangka mengoptimalkan seluruh daya
yang dimilikinya. Jejaring kuasa yang bersifat kompleks tersebut menjadi nalar politik
yang logis manakala negara dipahami dan diposisikan sebagai elemen struktural yang
memiliki kapasitas kewenangan yang tinggi atas realitas warga negara yang bersifat
multikultural.
Atas dasar jejaring kuasa yang kompleks itu negara memiliki kemampuan
mereproduksi secara terus-terus basis kekuasaannya. Negara seolah menjadi otoritas
formal-struktural yang paling absah untuk mereproduksi secara terus-menerus basis
kekuasaan itu dan pada saat yang sama, tidak jarang sering menafikan elemen lain di
luar negara. Dalam kondisi demikian, negara cenderung untuk terjebak dalam suatu
posisi untuk bertindak atas kekuasaan yang dimilikinya bersikap sewenang-wenang
(despotic state) atas nama term negara itu sendiri.
Realitas praksis negara yang demikian itu, menurut Foucault (1977:206-207)
merupakan realisasi dari diterapkannya konsep panoptikon dalam suatu negara; di mana
31
negara mengejawantahkan dirinya sebagai sebentuk kekuatan pengintai, yang secara
intensif mengawasi seluruh aktivitas warga negaranya. Dengan premis yang lebih
sederhana, praktik negara yang demikian itu dapat disebut sebagai negara panoptik.
Sebagai bentuk negara panoptik kekuasaan itu dioptimalkan untuk melakukan
pengawasan seintensif mungkin dalam rangka melakukan kontrol sebesar-besarnya
terhadap seluruh aktivitas fisik maupun nonfisik warga negaranya.9
Praktik diskursif negara dalam konteks tersebut juga dilakukan dalam
hubungan kuasa yang demikian. Negara menjadi pihak yang memroduksi secara intensif
relasi kuasanya dalam rangka mendapatkan daya yang efektif bagi produksi
kekuasaannya. Bersamaan dengan hal itu, sistem regulasi, distribusi, sirkulasi, dan
operasi pernyataan yang dihubungkan dengan relasi sirkular yang ada (Foucault,
1980:133).
Formasi diskursif demikian itu menjadi suatu konstruksi bagi pola wacana untuk
menjelaskan dalam realitasnya yang operasional. Wacana itu mengonstruksi,
mendefinisikan, dan memroduksi objek-objek pengetahuan bagi relasi yang dapat
diterima oleh nalar kuasa (Barker, 2005:106). Negara dalam konteks tersebut, lagi-lagi
menjadi pihak yang paling berdaya dalam realitas produksi wacana kekuasaannya.
Hal tersebut berarti bahwa negara tidak hanya sebatas sebagai bentuk kekuasaan
(power); akan tetapi, juga hadir sebagai pembangun wacana (discourse building). Dalam
kapasitasnya sebagai pembangun wacana, maka negara meregulasi dan mengintervensi
sedemikian rupa atas realitas geliat sosiokultural warga negaranya. Dalam kapasitasnya
sebagai pembangun wacana itu pula, negara mereproduksi basis kekuasaannya secara
terus-menerus dan pada saat yang sama, berusaha semaksimal mungkin membangun
legitimasi dan akumulasi kekuasaannya.
Dalam konteks
sastra, praktik diskursif negara tersebut tampak pula
direfleksikan dalam teks sastra multikultural Indonesia.10 Dalam teks sastra
multikultural Indonesia, praktik diskursif negara bergerak secara operasional dalam
ruang identitas yang dikonstruksi sedemikian rupa. Etnisitas menjadi persoalan yang
tidak jarang dikonstruksi dan dimainkan sedemikian rupa untuk kepentingan kekuasaan
berbasis negara. Fenomena etnis Cina Indonesia dalam konteks tersebut, menjadi salah
satu etnis yang tidak luput dari konstruksi kekuasaan berbasis negara tersebut.
Sehubungan dengan hal itu, studi ini berusaha menjelaskan praktik diskursif negara
dalam konteks etnis Cina di Indonesia yang direfleksikan teks sastra multikultural
Indonesia.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif kualititatif, untuk
mendeskripsikan fenomena praktik diskursif negara dalam teks sastra multikultural
Indonesia. Terdapat tiga novel yang dianalisis dalam hal ini, yaitu Novel Maut dan
Cinta karya Mochtar Lubis, Dimsum Terakhir karya Clara Ng., dan Putri Cina karya
Sindhunata. Melalui pendekatan sosiologi sastra, analisis tulisan ini mencoba
mendeskripsikan ambivalensi politik kekuasaan itu dalam dua hal; yakni menyangkut
9
Skema panoptikon menjadi perangkat kuasa yang efektif tanpa melibatkan pemaksaan,
ketakutan dan semacamnya, tetapi kuasa itu meningkatkan fungsinya selama beroperasi.
10
Sastra multikultural yang dimaksud dalam tulisan ini yaitu teks sastra yang merefleksikan
interaksi dua kelompok kultural atau lebih (interaksi multikultural). Interaksi multikultural
tersebut ditandai secara intensif isu identitas, yang memungkinkan berimplikasi pada hadirnya
wacana ideologi dan praktik diskursif negara. Lebih lanjut, lihat Taufiq (2014:17).
32
hubungan wacana etnisitas Cina dengan keindonesiaan dan
hubungannya dengan konstruksi politik berbasis identitas.
wacana negara
Etnisitas Cina dan Keindonesiaan: Kritik Wacana Kesatuan
Persoalan etnisitas Cina dan keindonesiaan bagaimanapun masih menyisakan
persoalan, yang menyangkut pola hubungan dan sekaligus integrasi kelompok etnis ini
terhadap keindonesiaan. Terdapat persoalan serius pada tataran praksis politik berbasis
negara yang perlu dikritisi berkaitan dengan proses pengintegrasian kelompok etnis ini.
Dalam beberapa dekade misalnya, proses pengintegrasian tersebut termanifestasi dalam
bentuk aktualisasi politik penyeragaman.
Sehubungan dengan hal tersebut, aktualisasi politik penyeragaman, baik dalam
tataran konsep maupun dalam tataran praksis terus saja bergulir seiring dengan
perkembangan bangsa yang telah menegara. Indonesia menjadi suatu bentuk contoh
yang riil bagi proses aktualisasi politik penyeragaman. Praktik diskursif negara terhadap
hadirnya politik penyeragaman, dengan istilah disebut kesatuan, diderevasi lain lebih
lanjut dan operasional menjadi wacana pembauran atau asimilasi. Oleh karena itu,
wacana asimilasi ini dipandang sebagai salah satu alternatif yang dimungkinkan di
tengah rumit dan kompleksnya proses integrasi masyarakat multikultural Indonesia.
Setidaknya, hal itu dapat dicatat terjadi pada masa Orde Lama. Di bawah
kekuasaan Soekarno, Orde Lama mendorong terjadinya proses asimilasi tersebut, di
mana secara historis proses ini pernah diputus secara politik oleh pihak kolonial sebagai
akibat dari hadirnya politik kelas sosial, yang membagi masyarakat kolonial menjadi
tiga level. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pemerintah kolonial Belanda
membagi menjadi tiga level; yakni, level pertama diduduki oleh masyarakat eropa;
kedua, warga timur asing; dan ketiga, warga pribumi. Kebijakan tersebut didasarkan
pada Indische Staatsregeling 1927 pasal 163 (Soyomukti, 2012:195)
Pembagian kelas masyarakat kolonial Belanda tersebut, menurut Pirous
diperparah lagi dengan diterapkannya politik zoning (Santosa, 2012:31). Suatu
konstruksi politik kolonial yang dilakukan dengan cara pengelompokan kelompok etnis
tertentu, dalam hal ini kelompok etnis Cina, ke dalam zona geografis tertentu. Hal itu
dilakukan dengan tujuan agar pemerintah kolonial dapat dengan mudah melakukan
kontrol politik pada kelompok kultural tersebut. Kombinasi dua bentuk politik tersebut
secara strategis dapat memorak-porandakan struktur sosial dan memilah secara tajam
proses pembauran atau asimilasi yang sudah lama terjadi.11
Lubis dalam novel Maut dan Cinta misalnya memberikan paparan yang cukup
lugas atas pentingnya proses asimilasi yang melibatkan kelompok etnis yang ada. Lebih
jauh, bahkan Lubis memberikan premis atas pentingnya kehadiran pemerintah Indonesia
untuk mendorong terjadinya proses asimilasi tersebut. Asimilasi dibayangkan sebagai
proses penyatuan (baca: pengintegrasian) suatu kelompok etnis terhadap apa yang
disebut dengan konstruksi keindonesiaan.
Pada sisi ini, maka ketika wacana politik asimilasi tersebut digulirkan ulang
idealnya didorong dalam rangka terciptanya suatu model integrasi kultural yang
alamiah. Posisi negara dalam hal ini, hanya sebagai pihak yang memfasilitasi dan
menyediakan ruang kultural bagi tergeraknya proses tersebut. Pada dasarnya, asimilasi
11
Sebagai catatan, Kolonial pada proses berikutnya menerapkan kebijakan yang melarang
kelompok etnis Cina di Indonesia memiliki tanah yang dikeluarkan pada 1879 yang disebut
dengan Agragrische Wet, yakni Undang-undang agrarian zaman kolonial. Lebih lanjut, Lihat
Soyomukti (2012:193).
33
yang didesakkan dan dipaksakan atas nama negara, tidak kalah buruk dampaknya
dengan politik kolonial yang memilah secara tajam pada realitas masyarakat
multikultural tadi.
Apalagi misalnya, wacana asimilasi tersebut disandingkan dengan wacana
pengindonesiaan. Wacana asimilasi tidak cukup logis untuk disandingkan dengan
wacana pengindonesiaan. Wacana asimilasi hanya menjadi salah satu bagian yang
dimungkinkan, bila diperlukan dalam konteks keindonesiaan. Bila tidak diperlukan,
wacana asimilasi tersebut pada dasarnya dapat dikesampingkan; meskipun, juga tidak
harus ditolak secara mutlak.
Hal itu juga paralel dengan bentuk strategi wacana lain yang digulirkan oleh
negara. Misalnya, negara menggulirkan wacana pengindonesiaan tersebut dengan cara
bentuk adaptasi formal atas identitas nama subjek yang merepresentasikan kelompok
etnis tertentu. Pengindonesiaan dengan strategi wacana demikian pada dasarnya hanya
berhasil menyentuh aspek permukaan saja. Lebih jauh, tidak mampu menjangkau aspek
terdalam, dalam diri subjek hubungannya dengan ikatan kebangsaan yang dibentuk.
Lebih dari itu, bahkan konstruksi wacana politik pengindonesiaan dengan model
adaptasi formal identitas nama subjek yang merepresentasikan kelompok etnis tertentu
tersebut hanya akan berimplikasi pada kecenderungan lahirnya hipokrisi pada kelompok
etnis tertentu; atau pada sisi lain, melukai kelompok etnis tersebut karena mereka pada
dasarnya sudah merasa menjadi bagian integral dari bangsa multikultural ini. Oleh
karena itu, penerapan wacana politik oleh negara dengan hasrat untuk
mengindonesiakan kelompok etnis tertentu tersebut, hanya akan melahirkan luka yang
kompleks, baik secara sosiokultural maupun politik.
Disebut melahirkan luka yang kompleks, karena dengan penerapan wacana
politik itu, praktik diskursif negara bergerak secara tidak langsung ‘melainkan’
kelompok etnis tersebut dibanding dengan kelompok etnis yang sudah dianggap eksis.
Ada perlakuan yang tidak sama, kalau tidak boleh disebut sebagai bentuk diskriminasi.
Dalam konstruksi masyarakat multikultural, praktik diskursif negara yang demikian
dipandang menyisakan masalah.
Sehubungan dengan hal tersebut, Lubis (1993:389) dan Ng (2006:134)
memberikan ilustrasi bagi terjadinya praktik diskursif negara dengan digulirkannya
wacana asimilasi dan proses pengindonesiaan dengan cara adaptasi formal identitas
nama subjek yang merepresentasikan kelompok etnis tertentu. Praktik diskursif negara
seperti itu sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia baik dalam kategori bangsa
maupun dalam kategori sebagai negara, masih bersifat eksperimentatif-transisional
dalam memosisikan dan meregulasi secara tepat dan ideal warga negaranya.
”Tetapi pemerintah tuan tidak punya politik untuk mengusir orang-orang Cina
perantauan? Tanya Kolonel Hua.
”Oh, sama sekali tidak. Kami tahu bahwa dua juta lebih penduduk Cina dan turunan Cina
di Indonesia sebagian besar akan tetap hidup turun-temurun di Indonesia. Malahan
pemerintah saya menganjurkan asimilasi, agar penduduk Cina mau menyatukan diri
dengan sungguh-sungguh menjadi orang Indonesia. Tapi ini sukar..” (Lubis, 1993:389).
Banyak yang akhirnya menjadi lebih Indonesia daripada orang Indonesia asli. Tapi,
mereka masih tidak dianggap sebagai tuan di negara kelahiran mereka sendiri. Bahkan
beberapa puluh tahun lalu, mereka tidak berhak menyandang tiga-nama-Cina. Mereka
harus mengubah nama mereka menjadi lebih “Indonesia”.
Wie menjadi Widjaja. Han menjadi Handojo atau Handoko atau Hanan. Tan menjadi
Tanujaya atau Tanuwijaya. Sue menjadi menjadi Sucipto. Dan lain-lain. Sebagian lagi
tidak memedulikan nama keluarga dalam bahasa Indonesia. (Ng, 2006:134)
34
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan hadirnya persepsi wacana yang kemudian
melahirkan konsep asimilasi sebagai salah satu alternatif bagi konstruksi relasi
kewarganegaraan RI. Lubis bahkan, melalui tokoh rekaannya menyodorkan wacana ini
sebagai bentuk wacana sebagai praktik diskursif negara. Hal itu meskipun diakui sukar
dilakukan.
Terdapat dua hal yang dapat dicatat dalam pandangan Lubis tersebut. Pertama,
bahwa wacana asimilasi merupakan wacana yang diposisikan sebagai bentuk praktik
diskursif negara yang harus dilakukan. Sebagai bentuk praktik diskursif negara, wacana
asimilasi dikonstruksi untuk mengintegrasikan dan beroperasi pada wilayah kelompok
etnis yang dianggap menjadi masalah bagi bangsa yang telah menegara ini.
Kelompok etnis Cina dalam hal ini diposisikan sebagai kelompok etnis, yang
secara langsung atau tidak ditempatkan sebagai pembawa masalah tersebut. Oleh karena
itu, mengasimilasikan kelompok etnis Cina tersebut merupakan bentuk keharusan
struktural bagi praktik diskursif negara untuk bertindak efektif dan operasional. Pada
sisi ini, praktik diskursif negara diakui atau tidak juga sudah membawa masalahnya
sendiri sejak wacana itu digulirkan.
Pemosisian secara tidak setara bagi praktik diskursif demikian pada dasarnya
sudah cenderung memojokkan kelompok etnis Cina tersebut. Asimilasi tidak diarahkan
untuk seluruh kelompok etnis yang ada di negara multikultural tersebut. Idealnya, bila
asimilasi ini pun diterima, hal itu dilakukan untuk semua kategori kelompok etnis yang
ada, tanpa diberlakukan pembedaan. Hal itu tidak mampu dilakukan karena ada
keterbatasan perspektif yang tidak mampu menjangkau secara menyeluruh realitas
kelompok etnis yang ada dan pada saat bersamaan, wacana itu dipersempit pada
kelompok etnis tertentu.
Kedua, keterbatasan perspektif dan pemersempitan wacana asimilasi tersebut
hakikatnya sudah mengontribusi kesukaran bagi praktik asimiliasi itu sendiri. Di balik
itu, asimilasi beroperasi dengan cara melainkan, menyangsikan, dan membangun
pandangan curiga kepada kelompok etnis tertentu. Kelompok etnis Cina dalam kondisi
demikian mendapatkan bentuk pandangan dan sikap yang demikian; sehingga,
bagaimanapun asimilasi yang didorong sebagai bentuk praktik diskursif negara sukar
dilakukan.
Seiring hal itu, seturut dengan asimilasi wacana pengindonesiaan secara intensif
dilakukan oleh negara. Proses produksi wacana negara di awal-awal terbangunnya
kekuasaan Orde Baru menandai hal ini. Dapat dicatat misalnya, atas proses produksi
wacana pengindonesiaan dilakukan oleh negara, di balik itu dilakukan dalam rangka
penghapusan identitas kelompok etnis tertentu melalui model penghapuasan identitas
nama subjek yang merepresentasi kelompok etnis tertentu tersebut; sebut saja kelompok
etnis Cina dalam hal ini. Wacana itu beroperasi atas dasar kesangsian dan kecurigaan,
serta prasangka pada kelompok etnis Cina tersebut hubungannya dengan komitmen
keindonesiaan dalam diri mereka. Inilah menunjukkan suatu kebijakan yang
ambivalensi. Satu sisi dibangun seolah untuk integrasi bangsa; di sisi lain, diikuti
dengan kesangsian dan kecurigaaan, serta prasangka.
Lebih lanjut, proses produksi wacana pengindonesiaan dengan demikian
dilakukan dalam rangka menertibkan komitmen keindonesiaan itu ala penguasa Orde
Baru. Terbitnya Keputusan Presidium Kabinet No. 127/Kep/12/1966 tentang peraturan
ganti nama bagi WNI yang memakai nama Cina dan ditindaklanjuti dengan Keppres
No. 123/1968 tentang memerpanjang masa berlakunya peraturan ganti nama bagi WNI
yang memakai nama Cina sebagaimana termaktub dalam Keputusan Presidium Kabinet
No. 127/Kep/12/1966 tersebut, merupakan bentuk penyangsian fundamental yang dapat
35
berimplikasi pada masalah psikologis yang kompleks terkait dengan relasi negara
dengan kelompok etnis Cina di Indonesia tersebut.12
Penyangsian seperti itu berujung pada hadirnya perasaan secara psikologis,
seperti yang dinyatakan Ng (2006:134) sebagai warga negara yang tidak dianggap tuan
di negara tempat kelahiran mereka sendiri. Dalam kalimat lain, dapat dinyatakan bahwa
proses yang menganggap dan memosisikan kelompok etnis Cina tersebut sebagai warga
lain, bukan sebaliknya diposisikan sebagai warga negara yang secara integratif menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari keindonesiaan ini. Kelompok etnis Cina, dengan
diberlakukannya regulasi yang demikian menjadi pihak yang seolah tertuduh atas segala
bentuk kecurigaan dan kesangsian atas komitmen keindonesiaan pada diri mereka.
Praktik diskursif negara atas hadirnya wacana pengindonesiaan dan diikuti
dengan wacana regulatif penggantian nama Cina menjadi nama Indonesia dipandang
oleh negara dalam hal ini direpresentasikan oleh pemerintah Orde Baru dapat
mengindonesiakan kelompok etnis Cina tersebut. Padahal itu tidak memberikan
implikasi siginifikan bagi hadirnya komitmen keindonesiaan; terkecuali, hiprokrisi
komitmen kewarganegaraan.
Di sisi lain, penyebutan nama Indonesia secara akademis juga menyisakan
persoalan pelik. Konsepsi nama Indonesia untuk subjek bagaimanapun sulit dibangun
landasan argumentasi akademis yang kuat. Kesulitan tersebut terkait dengan rumusan
definisi, kategori, dan identifikasi atas penyebutan term nama Indonesia untuk seorang
subjek. Oleh karena itu, dalam perspektif multikultural praktik diskursif negara tentang
hadirnya kebijakan penggantian nama Cina menjadi nama Indonesia menjadi persoalan
tersendiri secara sosiokultural dan politik.
Negara dan Wacana Politik Berbasis Identitas
Sehubungan dengan kebijakan penggantian nama Cina menjadi nama Indonesia
tersebut, disadari atau tidak negara terlibat secara jauh atas konstruksi wacana identitas.
Identitas bagi negara merupakan persoalan tersendiri yang dipandang sensitif dan untuk
itu penting untuk ditertibkan. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh pemerintah Orde
Baru di awal-awal kekuasaannya dapat dipahami sebagai upaya penertiban politik atas
wacana identitas tersebut.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa wacana identitas merupakan
konstruksi wacana yang terpecah dan tidak stabil dalam suatuk konstruksi sosial. Hal itu
terutama jika subjek dan identitas merupakan ciptaan wacana dan praktik disiplin; di
mana posisi subjek lebih dilihat sebagai produk daripada sebagai produser atas wacana
itu (Barker, 2005:235). Dalam posisi demikian, maka subjek menjadi pihak yang
dikonstruksi dan tidak mampu menentukan apapun atas realitas politik dan kultural
dirinya.
Praktik diskursif negara dalam konteks demikian dibangun atas dasar nalar
politik kekuasaan untuk memosisikan subjek sebagai produk atas wacana yang
dibentuk. Foucault mengritisi praktik diskursif negara selalu dalam kondisi tiga titik
penting; yakni konstruksi wacana, disiplin, dan kuasa; di mana subjek selalu dipahami
dalam konteks wacana dan produk kuasa tersebut (Barker, 2005:235). Oleh karena itu,
12
Pada tahun 2014 terbit peraturan baru berbentuk Keppres, yakni Keppres No. 12 tahun 2014
yang mengubah istilah Cina menjadi Tionghoa/Tiongkok. Tionghoa dimaksudkan untuk
menyebut etnisitasnya; sedangkan, Tiongkok untuk menyebut status negaranya. Penggantian
istilah dari penyebutan Cina menjadi Tionghoa/Tiongkok dalam konteks Indonesia dimaksudkan
untuk menghindari pandangan negative dan terjadinya diskriminasi.
36
wacana selalu saja menjadi domain yang dimainkan oleh negara dalam rangka mendapat
efek kuasa tersebut.
Dalam konteks itu, formasi diskursif diatur sedemikian rupa agar wacana itu
beroperasi dalam rangka mendapatkan efek kuasa. Sehubungan dengan formasi
diskursif, formasi diskursif tersebut dibentuk dengan aturan (rules of formation) yang
dikategorikan dalam bentuk elemen objek, pola pernyataan, konsep, dan pilihan tema
(Foucault, 1989:21). Negara berusaha secara intensif meregulasi setiap elemen diskursif
tersebut agar berkontribusi pada kapasitas kekuasaan yang diinginkan.
Wacana politik berbasis identitas dalam konteks demikian juga dikonstruksi
dalam kerangka demikian. Negara secara intensif membangun dan memroduksi objek,
pernyataan, konsep, dan pilihan tema yang dipandang tepat dalam rangka produksi
wacana dan kuasa tersebut. Dalam posisi demikian, wacana politik berbasis identitas
dapat termanifestasi dalam dua wajah sekaligus. Pertama, wacana politik tersebut lebih
pada upaya untuk merepresentasikan praktik diskursif negara. Kedua, wacana politik
tersebut merepresentasi diri sebagai bentuk konsolidasi subjek atas identitas yang
dimiliki.
Yang pertama, dapat ditandai dengan gencarnya upaya negara dalam
memroduksi, meregulasi, mendistribusi, dan mengoperasikan wacana politik tersebut
sebagai bentuk proses penertiban politik kekuasaan. Sebuah proses disiplin kekuasaan
yang diterapkan oleh negara dalam rangka mengatur, mengontrol, dan mengawasi
secara intensif warga negara. Yang kedua, ditandai dengan proses pembentukan
identitas dan tindakan subjek dalam rangka mengubah praktik sosial yang didasarkan
pada beberapa kesamaan nilai (Barker, 2005:521).
Sehubungan dengan hal tersebut, Sindhunata (2007:104-105; 2007:97)
menunjukkan bahwa wacana politik berbasis identitas itu lebih didominasi oleh
kekuasaan berbasis negara. Negara dalam hal ini sebagai pihak yang memroduksi
sekaligus mengontrol wacana itu sekaligus demi mendatangkan efek kuasa tersebut.
Mereka memang menjadi luar biasa kaya. Tapi mereka tidak ingat, bahwa dengan
demikian mereka ditaruh di titik rawan yang paling gawat. Ya, mereka tidak sadar, bahwa
mereka dijadikan sandaran yang enak bagi keluarga dan pengikut Prabu Amurco Sabdo
dalam menambah nikmat. (Sindhunata, 2007:104).
...
Sayangnya, orang-orang Cina itu tak merasa, penjunjungan ini sebenarnya hanyalah akal
licik kompeni belaka. Dengan akalnya itu, Kompeni membuat warga Cina menjadi
sasaran iri dan curiga kaum pribumi yang masih miskin. Dan penjunjungan ini sebenarnya
berlawanan dengan sejarah orang Cina sendiri. Sebelum Kompeni datang, sudah berabadabad lamanya orang-orang Cina menetap di tanah Jawa. Di sini mereka hidup
berdampingan, rukun dan damai dengan penduduk pribumi. (Sindhunata, 2007:105)
Orang-orang di Padang Kemulan sendiri sering bertanya heran, mengapa raja mereka
berubah menjadi demikian? Tidakkah dulu ia adalah seorang Prabu Murhardo yang suka
tersenyum, murah hati, dan teguh janji, mengapa sekarang ia menjadi Amurco Sabdo
yang mudah geram, serakah, dan tidak dapat setia pada kata-katanya lagi? Tidakkah dulu
ia seorang pemimpin yang lemah lembut, mengapa ia sekarang menjadi penguasa yang
keras dan menindas? Tidakkah dulu ia seorang raja yang selalu mau hamemayu hayuning
bawono, mengapa sekarang ia membiarkan negerinya dirusak dan diancam dengan
kekerasan? (Sindhunata, 2007:97)
Wacana politik berbasis identitas tersebut diproduksi secara efektif baik dalam
konteks kekuasaan Orde Baru dan kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia saat itu.
Sindhunata mencoba memberikan satu bentuk deskripsi wacana politik berbasis
37
identitas tersebut dalam rangka membangun kesadaran bagi kelompok etnis Cina di
Indonesia yang sering diposisikan sebagai korban politik tersebut. Bersamaan dengan
hal itu, bagi kelompok etnis Cina di Indonesia diharapkan mampu mengonsolidasi
kesadaran wacana politik dirinya agar tidak mudah ’dimainkan’ oleh pihak otoritas
politik lain, baik berbasis negara maupun nonnegara.
Wacana politik yang dilakukan oleh Orde Baru dengan memosisikan segelintir
kelompok etnis Cina sebagai elit ekonomi lebih dibaca oleh Sindhunata sebagai proses
penempatan politik pada titik yang paling rawan. Posisi seperti itu disengaja
dikonstruksi oleh Orde Baru, secara tentatif ditujukan untuk mengamankan kekuasaan
politiknya. Di balik hal itu, Orde Baru di bawah kepemimpinan Prabu Amurco Sabdo-suatu satire politik untuk menyebut Presiden Soeharto sebagai prabu atau presiden yang
mengkhianati sabdanya sendiri—membangun wacana politik bahwa kelompok etnis
Cina itulah yang sebenarnya ’bermasalah’ di negara ini. Dominasi ekonomi kelompok
etnis Cina tersebut dijadikan alat oleh Orde Baru untuk memroduksi wacana politik
bahwa ada bentuk keserakahan kelompok etnis ini mengalahkan atau mengatasi
kelompok etnis lain.
Produksi wacana demikian itu, pada gilirannya bergerak menjadi instrument
kekuasaan yang ambivalen untuk didistribusikan sedemikian rupa. Dominasi,
keserakahan, dan kesenjangan ekonomi tersebut tidak dibaca sebagai bentuk kesalahan
manajemen negara dalam mengelola sistem ekonomi yang ada. Sebaliknya, kesalahan
sistem pengelolaan ekonomi negara tesebut disimpangkan menjadi sebentuk permainan
ekonomi yang dimainkan oleh kelompok etnis Cina. Distribusi wacana inilah yang
digulirkan Orde Baru di tengah masyarakat dengan tujuan menghindari resistensi politik
secara vertikal dan pada saat bersamaan digiring ke arah resistensi (baca: konflik)
horisontal.
Praktis dengan dengan demikian, proses produksi dan distribusi wacana tersebut
berakibat menghadap-hadapkan kelompok etnis Cina tersebut dengan kelompok etnis
lain. Sebagai akibatnya, konflik horisontal antara kelompok etnis Cina dengan
kelompok etnis lain terjadi. Wacana kebencian pada kelompok etnis Cina tersebut
digulirkan sedemikian rupa. Secara intensif, negara terlibat dalam proses wacana politik
yang demikian. Dalam kondisi seperti itu, kekerasan seolah menjadi bagian dari desain
kekuasaan; sehingga pada praktiknya sengaja dibiarkan.
Anehnya, konflik model demikian itu terjadi dalam skala waktu yang
berkepanjangan. Boleh jadi, apa yang dilakukan oleh kekuasaan Orde Baru mencontoh
model wacana politik yang dilakukan oleh kolonial Belanda. Pemerintah kolonial
Belanda di Indonesia juga melakukan hal yang sama; di mana proses produksi wacana
politik dibangun sedemikian rupa dengan ’memainkan’ wacana politik berbasis
identitas. Pemerintah kolonial Belanda memroduksi, meregulasi, mendistribusi, dan
mengoperasikan wacana tersebut dalam rangka melakukan eksploitasi politik atas
kelompok etnis Cina di satu sisi. Di sisi lain, kelompok etnis ini dihadapkan pada
kelompok etnis lain yang dikategorikan sebagai pribumi.
Wacana kebijakan pemerintah kolonial Belanda atas terbitnya Indische
Staatsregeling pada 1927, yang mencoba memilah secara tajam struktur masyarakat
kolonial; di mana kelompok etnis Cina diposisikan di atas kelompok etnis lain yang
dikategorikan pribumi, mampu mendorong hadirnya kecemburuan dan kebencian
kelompok etnis pribumi terhadap kelompok etnis Cina tersebut. Pemosisian seperti itu
merupakan bentuk akal licik pemerintah kolonial yang berusaha menempatkan
kelompok etnis Cina ini pada posisi yang paling rawan (Sindhunata, 2007:105).
Anehnya, terdapat beberapa kelompok orang yang mencoba merepresentasi kelompok
38
etnis Cina tersebut untuk bersikap pragmatis atas realitas politik yang sangat merugikan
bagi kelompok etnis Cina itu sendiri secara keseluruhan.13
Padahal bila ditilik secara historis, sikap politik sebagai kelompok orang yang
merepresentasikan kelompok etnis Cina tersebut paradoks dengan realitas kultural yang
selama ini terjadi. Secara historis, menurut (Sindhunata, 2007:105) kelompok etnis Cina
tersebut sudah lama hidup berdampingan, rukun, dan damai dengan penduduk pribumi.
Dengan kalimat lain, sindhunata ingin menyampaikan ada keterlenaan politik, ekonomi,
dan kultural dalam hal ini terhadap historisitas kelompok etnis Cina tersebut di
Indonesia.
Ironisnya, historisitas bagi praktik diskursif wacana politik berbasis etnisitas
yang keliru tersebut ditiru oleh Orde Baru, meskipun dilakukan dengan cara
membangun modifikasi wacana politik untuk menghaluskan praktik diskursif negara
berbasis etnisitas tersebut. Orde Baru tidak lagi membagi secara tegas dalam bentuk
struktur sosial masyarakat secara eksplisit; akan tetapi, menampilkannya dalam bentuk
yang lebih halus (implisit). Implikasi dari itu sebenarnya tidak kalah buruk dampaknya
yang diterima bagi kelompok etnis Cina ini.
Simpulan
Praktik diskursif negara terhadap etnis Cina dalam teks sastra multikultural
Indonesia dapat dideskripsikan dalam dua hal. Pertama, dalam konteks kebijakan negara
hubungannya dengan keindonesiaan, etnis Cina terdapat didorong sedemikian rupa
untuk melakukan asimilasi dan pengindonesiaan nama subjek (etnis Cina) menjadi
Indonesia. Kebijakan yang dikonstruksi sedemikian rupa tersebut tampak pada masa
Orde Lama dan Orde Baru.
Kedua, dalam konteks politik berbasis identitas, wacana politik berbasis identitas
tersebut diproduksi secara efektif baik dalam konteks kekuasaan Orde Baru dan
kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia saat itu. Sebagai akibat politik berbasis
identitas tersebut, etnis Cina di Indonesia seringkali menjadi pihak yang ’dimainkan’
oleh pihak otoritas politik lain, baik berbasis negara maupun nonnegara. Dalam kondisi
seperti itulah upaya menghadap-hadapkan kelompok etnis Cina dengan etnis lain
terjadi. Sebagai implikasinya, konflik berbasis isu etnis sering terjadi.
Bertolak dari dua hal tersebut menunjukkan bahwa praktik diskursif negara yang
tidak didasari kesadaran multikultural sepenuhnya sebagai bangsa hanya akan
berimplikasi pada persoalan kebangsaan yang semakin kompleks. Hal tersebut terjadi
karena terdapat ambivalensi kebijakan berbasis negara; satu sisi seolah didorong untuk
mengintegrasikan, di sisi lain dibangun diatas landasan kesangsian, kecurigaan, dan
prasangka terdapat kelompok etnis Cina ini. Oleh karena itu, sebagai bangsa
multikultural praktik diskursif negara Indonesia idealnya dibangun diatas kesadaran
kebijakan politik multikultural yang mengedepankan nilai kesetaraan dan solidaritas.
13
Sikap pragmatis tersebut dimaksudkan sebagai bentuk tindakan politik yang semata
mengedepankan kepentingan politik sesaat dengan cara mengambil manfaat yang bersifat material
dan menafikan manfaat strategis dan esensial bagi politik itu sendiri.
39
Daftar Rujukan
Barker, Chris.2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang,
terjemahan oleh Tim Kunci Cultural Studies Center, dari judul asli Cultural
Studies: Theory and Practice. Sage Publication-London, 2000.
Foucault, Michel.1989. The Archaeology of Knowledge.London: Routledge
Foucault, Michel.1980. Power/Knowladge.Suffolk: Harvester Press
Foucault, Michel.1977. Disciplin and Punish: The Birth of The Prison. Transl. Alan
Sheridan. London-Worcester: Billing & Sons.
Lubis, Mochtar.1993. Maut dan Cinta. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
Ng, Clara.2006. Dimsum Terakhir. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Santosa, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa di Nusantara. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas
Sindhunata.2007. Putri Cina. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Soyomukti, Nurani. 2012. Soekarno dan Cina: Nasionalisme Tionghoa dalam Revolusi
Indonesia, Soekarno dan Poros Jakarta-Peking, sikap Bung Karno terhadap
Etnis Tionghoa di Indonesia. Yogyakarta: Garasi
Taufiq, Akhmad. 2014. ”Sastra Multikultural: Membangun Toleransi Menyemai
Paradaban Indonesia yang Sejati.” Dalam prosiding seminar nasional Bahasa,
Sastra, dan Pembelajarannya diselenggarakan PBSI FKIP Universitas
Jember. Yogyakarta: Gress Publishing.
40
EKSISTENSI SASTRA MULTIKULTURAL
DALAM PEMBANGUNAN BUDAYA GLOBAL
Ali Imron Al-Ma’ruf
(FKIP & SPS Universitas Muhammadiyah Surakarta – Indonesia)
Abstrak: Penelitian ini bertujuan (1) memaparkan sastra multikultural sebagai refleksi
realitas sosial budaya masyarakat dan (2) mendeskripsikan eksistensi karya sastra
multikultural dalam pembangunan budaya global. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif deskriptif dengan mendasarkan pada logika induktif. Data penelitian
ini berupa soft data yakni kata, ungkapan, kalimat, dan wacana yang mengandung unsur
budaya global. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka. Analisis data
dilakukan dengan metode pembacaan model semiotik meliputi pembacaan heuristik dan
hermeneutik. Hasil penelitian dan pembahasan: (1) sastra multikultural
mengekspresikan gagasan universal sebagai refleksi atas realitas sosial budaya
masyarakat kita yang sedang berubah menuju pluralitas; (2) Eksistensi sastra
multikultural dalam pembangunan budaya global merupakan sebuah keniscayaan.
Implikasi dari hal itu adalah karya sastra multikultural dapat menjadi alternatif dalam
mengekspresikan gagasan-gagasan universal dalam kehidupan masyarakat yang saling
mempengaruhi. Karya sastra yang berdimensi multikultural dapat menembus batas
agama, etnis, bahasa, budaya, dan bangsa.
Kata kunci: eksistensi sastra multikultural, gagasan universal, media pembangunan
budaya global
Pendahuluan
Karya sastra mengungkapkan berbagai masalah kehidupan manusia dalam
interaksinya dengan sesama dan lingkungannya, juga interaksinya dengan diri sendiri
dan Tuhan. Ia merupakan hasil dialog pengarang terhadap kehidupan dan
lingkungannya setelah melalui kontemplasi secara intens. Pendeknya, karya sastra
merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab kreatif
sebagai karya seni yang berunsur estetik dengan menawarkan model-model kehidupan
seperti yang diidealkan oleh pengarang. Termasuk di dalamnya sastra multikultural
dalam dunia sastra Indonesia dewasa ini merupakan alternatif model kehidupan yang
ditawarkan pengarang.
Lahirnya banyak karya sastra yang bersifat multikultural terutama pada dua
dekade terakhir ini mengundang perhatian para pemerhati sastra. Yang menarik, karya
sastra multikulturtal tersebut banyak lahir dari tangan lembut para pengarang perempuan
dan masih muda lagi. Mereka menjadikan karya sastra sebagai medium untuk
menyuarakan nilai-nilai multikultural yang tampaknya semakin diterima oleh komunitas
pembaca di tanah air.
Sejalan dengan itu, karya sastra adalah tindak komunikasi atau gejala semiotik,
yakni sistem komunikasi tanda. Fenomena sastra merupakan suatu dialektika antara teks
dengan pembacanya dan antara teks dengan konteks penciptaannya (Riffaterre, 1978:1).
Ia merupakan interpretasi pengarang atas lingkungan sosial dan dunia yang dihadapinya
kemudian ditangkap oleh pembaca dengan interpretasi pula berdasarkan horison
harapannya. Oleh karena itu, tanpa mengikutsertakan aspek kemasyarakatannya
41
yakni tanpa memandangnya sebagai tindak komunikasi, atau sebagai tanda, sastra
tidak dapat dipahami secara ilmiah (Teeuw, 1984:43).
Sejalan dengan itu, berkembangnya nilai-nilai multikultural yang kemudian
mengkristal dalam multikulturalisme dalam kehidupan masyarakat merupakan sebuah
keniscayaan. Keniscayaan itu kemudian melahirkan banyak karya sastra yang
berdimensi multikultural. Sebuah genre sastra dengan ideologi yang relatif baru dalam
sastra kita.
Permasalahannya adalah (1) adakah karya sastra multikultural merupakan
refleksi realitas sosial budaya masyarakat kita? dan (2) bagaimana eksistensi karya
sastra multikultural dalam pembangunan budaya global? Adapun tujuannya adalah
untuk (1) memaparkan sastra multikultural sebagai refleksi realitas sosial budaya
masyarakat kita dan (2) mendeskripsikan eksistensi karya sastra multikultural dalam
pembangunan budaya global.
Prediksi bahwa akan terjadi perubahan besar dalam era globalisasi sebagai
dampak kemajuan di bidang teknologi komunikasi yang mengakibatkan terciptanya
dunia maya (cyber space) dalam kehidupan masyarakat sejak akhir abad XX telah
diungkapkan oleh para futurolog seperti Alvin Toffler (1970), John Naisbitt dan Patricia
Aburdene (1990), Harry J. Benda, dan lain-lain. Perkembangan teknologi komunikasi
yang menghasilkan produk-produk teknologi informasi seperti televisi (TV) digital,
video compact disc (VCD), digital video disc (DVD), laser disc, home theatre, film,
ponsel (hand phone), komputer, dan internet, menimbulkan akselerasi perubahan nilai
itu. Media elektronik dengan muatan budayanya mampu memberikan sugesti terhadap
pemahaman, pandangan, dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai kehidupan, termasuk
multikultarisme.
Terjadinya perubahan nilai kehidupan itu sedang dan terus berlangsung dalam
kehidupan masyarakat seiring dengan era globalisasi sehingga negara satu dengan
lainnya tidak ada lagi sekat-sekat kecuali sekat teritorial. Dunia telah menjadi semacam
perkampungan global (global village) sehingga komunikasi antarbangsa pun semakin
mudah. Arus informasi begitu deras dari negara satu ke negara lain dengan mudah dan
tak terbendung, terutama dari negara-negara maju (baca: Barat) menuju ke negaranegara dunia ketiga. Konsekuensi logisnya, transformasi nilai sosial budaya antaretnis
dan antarbangsa dalam kehidupan masyarakat tidak terelakkan.
Transformasi sosial budaya di Indonesia mengakibatkan terjadinya pergeseran,
perubahan, bahkan perjungkirbalikan nilai kehidupan dalam masyarakat. Pola
kehidupan masyarakat berubah dan bergerak dari agraris menuju masyarakat industrial
dan metropolis, dari tradisional-statis menuju modern-dinamis, dari nilai lokal-daerah
menuju nilai global-universal, dari keseragaman menju keberagaman, dari satu nilai
menuju serba nilai, dari monokultural menuju multikultural. Inilah wajah masyarakat
yang sedang berubah akhir-akhir ini sebagai konsekuensi logis adanya globalisasi dunia.
Sebagai ilustrasi, kini dapat disaksikan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang
dulu dipandang tabu kini justru dibanggakan banyak orang (misal: mode pakaian yang
terbuka, sempit, cupet (Jawa), dan transparan, serta kebebasan bergaul dengan lain jenis
atau sesama jenis). Sebaliknya nilai-nilai yang dulu dipandang baik kini cenderung
mulai memudar atau menghilang (etika/sopan santun dalam pergaulan, kehormatan,
kesucian, keramah-tamahan, sikap gotong-royong, sikap sosial, tolong-menolong).
Di pihak lain nilai-nilai tradisi-lokal kedaerahan kini bersaing dengan nilai-nilai
global-universal seiring dengan kemajuan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Nilai-nilai tradisi yang statis dan homogen mulai dipandang kuna, ketinggalan zaman
karena terlalu banyak ikatan moral (etika). Muncullah kecenderungan baru bahwa
42
komunitas generasi muda mulai berkiblat kepada nilai-nilai global-universal yang
dipandang lebih terbuka, bebas, demokratis, dan pluralistis.
Dampak lebih lanjut, kini sulit disaksikan adanya budaya yang monokultural atau
orisinal. Yang terjadi adalah “perselingkuhan” budaya baik antardaerah, antaretnik,
antarras, maupun antarbangsa. Dengan kata lain nilai multikultural tampaknya diakui
sebagai sebuah fenomena yang tak terbantahkan. Tradisi masyarakat Jawa yang dulu
dikenal ketat pun, kini mulai longgar menerima nilai budaya lain sehingga sudah lazim
dipadukan dengan budaya Barat. Sebagai ilustrasi, kini dalam upacara pernikahan
dengan adat Jawa, misalnya, sepasang pengantin dan orang tuanya mengenakan busana
tradisi Jawa sementara para panitia mengenakan pakaian Jas berdasi ala Barat dan
dimeriahkan dengan lagu-lagu popular, qasidah, bahkan musik rock. Demikian pula
dalam sebuah keluarga Jawa puritan yang berpandangan statis pun kini mulai terbiasa
dengan suasana demokratis dan dinamis. Multikulturalisme kini telah menjadi realitas
hidup yang tak terelakkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Fenomena transformasi sosial budaya yang kemudian melahirkan pluralisme
budaya tersebut pada dua dekade terakhir tampaknya mulai merambah dalam berbagai
aspek kehidupan bangsa. Tidak hanya dalam upacara seremonial, tradisi dalam
keluarga, peristiwa kultural, dan pranata sosial, spirit multikultural mulai menjadi
orientasi hidup di kalangan masyarakat modern terutama generasi muda. Tidak
terkecuali spirit multikulturalisme juga terasa ‘menggeliat’ dan mewarnai dalam banyak
karya sastra Indonesia. Agaknya para sastrawan Indonesia yang sensitif dan jeli
mencermati perkembangan masyarakat, menangkap realitas multikulturalisme itu lalu
merefleksikannya dalam karya sastra.
Merebaknya multikulturalisme tidak terlepas dari adanya tiga teori sosial yang
menjelaskan hubungan antarindividu dalam masyarakat dengan beragam latar belakang
agama, etnik, bahasa, dan budaya. Menurut Ricardo L. Garcia (1982:37-42) teori sosial
tersebut adalah: (1) Melting Pot I: Anglo Conformity (individu-individu yang beragam
latar belakang seperti agama, etnik, bahasa, dan budaya, disatukan ke dalam satu wadah
yang dominan); (2) Melting Pot II: Ethnic Synthesis (individu-individu yang beragam
latar belakangnya disatukan ke dalam satu wadah baru, identitas agama, etnik, bahasa,
dan budaya asli para anggotanya melebur menjadi identitas yang baru; dan (3) Cultural
Pluralism: Mosaic Analogy (individu-individu yang beragam latar belakang agama,
etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk mengekspresikan identitas budayanya
secara demokratis dengan tidak meminggirkan identitas budaya kelompok minoritas).
Jika individu dalam suatu masyarakat berlatar belakang budaya lokal Jawa, nasional,
dan universal misalnya, masing-masing individu berhak menunjukkan identitas
budayanya, dan boleh mengembangkannya tanpa saling mengganggu satu dengan yang
lain.
Teori ketiga itulah yang dipandang paling sesuai dalam pengembangan
masyarakat global yang pluralistis. Jadi, multikulturalisme mengakui hak kebebasan
individu untuk tetap mengekspresikan identitas budayanya sesuai dengan latar belakang
masing-masing termasuk gender. Inilah esensi multikulturalisme dalam masyarakat
majemuk/heterogen dan pluralistis.
Robinson
(dalam
Ekstrand,
1997:350),
membagi
pengembangan
multikulturalisme menjadi tiga perspektif, yakni: (1) Perspektif Cultural Assimilation
(model yang menunjuk pada proses asimilasi warga masyarakat dari berbagai
kebudayaan atau masyarakat subnasional ke dalam suatu core culture atau core society;
(2) Perspektif Cultural Pluralism (menekankan pentingnya hak bagi semua kebudayaan
dan masyarakat subnasional untuk memelihara dan mempertahankan identitas kultural
43
masing-masing; dan (3) Perspektif Cultural Synthesis (sintesis dari perspektif
asimilasionis dan pluralis, menekankan pentingnya proses terjadinya eksletisisme dan
sintesis di dalam diri warga masyarakat, dan terjadinya perubahan di dalam berbagai
kebudayaan dan masyarakat subnasional. Dari tiga teori itu, perspektif ‘sintesis
multilkultural’ memiliki tingkat rasional yang paling mendasar dalam hakikat
pengembangan masyarakat multikultural, yang oleh Ekstrand (1997:349) diidentifikasi
dalam tiga tujuan yakni tujuan attitudinal, kognitif, dan instruksional.
Pada situasi sekarang yang disebut oleh antropolog Appadurai (1991:28) sebagai
global ethnoscape, budaya-budaya memang tetap memuat perbedaan tetapi perbedaan
tidak lagi bersifat taksonomis, melainkan interaktif membedakan daripada sebagai
sebuah esensi. Dengan kata lain, perbedaan (seperti halnya persamaan) dapat dipahami
ibarat sebuah titik pada seutas tali yang dapat digeser ke kanan atau ke kiri. Terjadilah
perubahan cara pandang dalam antropologi, misalnya, ethnic (etnik) menjadi ethnicity
(etnitisitas, kesuku-bangsaan), dari Jawa menjadi ke-Jawa-an, dan seterusnya.
Perbedaan budaya dapat dipahami sebagai suatu keniscayaan, bukan sesuatu
yang perlu diperuncing karena pada hakikatnya dalam masyarakat pasti terdapat
individu-individu yang latar belakangnya beraneka agam. Dengan demikian kita harus
dapat menerima perbedaan pandangan dan budaya apa pun latar belakangnya. Jadi,
pluralisme terdalam akan sampai pada kesepahaman bahwa perbedaan budaya
mengartikulasikan hak-hak orang lain dan inti dari kesatuan dalam perbedaan ini.
Multikulturalisme menciptakan struktur dan proses yang memperbolehkan ekspresi
berbagai kebudayaan, komunitas, dan individual baik laki-laki maupun perempuan.
Berlandaskan pemahaman di atas, dapat dikemukakan bahwa multikulturalisme
adalah suatu pandangan dan sikap untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai
realitas fundamental dalam kehidupan masyarakat. Sikap seseorang membuka diri untuk
menjalani kehidupan bersama dengan menerima dan memahami pluralitas sebagai
keniscayaan hidup yang tidak dapat ditolak. Pada gilirannya muncul kesadaran bahwa
keanekaragaman dalam realitas dinamik kehidupan adalah sebuah realitas yang tak
dapat diingkari. Multikultralisme dengan demikian merupakan sebuah kesejatian dalam
kehidupan masyarakat modern.
Dewanto (1992:35) dalam konteks ini menyatakan, bahwa kita tidak sedang dan
hidup dalam aneka dunia yang terpisah satu dengan lainnya, melainkan dalam berbagai
dunia yang saling bersentuhan, saling pengaruh, saling memasuki satu dengan lainnya.
Oleh karena itu, dunia kita bukanlah dunia yang plural melainkan dunia yang tetap saja
tunggal tetapi bersifat multikultural. Pluralitas merupakan tahap awal dari proses ke
arrah itu, salah satu jalan yang memungkinkan kita untuk toleran dan pada gilirannya
terbuka untuk memasuki dan dimasuki.
Jadi, sastra multikultural dapat diartikan sebagai sastra yang mengandung
dimensi-dimensi pluralistik yang menyuarakan spirit multikultural baik dalam genre
puisi, fiksi, maupun drama. Gagasan-gagasan dan semangat pluralistik terasa mendasari
karya sastra multikultural itu. Dengan demikian kultur lokal, nasional, dan global
semuanya dapat berinteraksi secara wajar tanpa harus dipertentangkan, masing-masing
memiliki eksistensi dalam kehidupan masyarakat.
Metode Penelitian
Kajian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan
mendasarkan pada logika induktif. Strategi penelitannya adalah studi kasus terpancang
(embedded research and case study). Disebut case study karena penelitian ini
memfokuskan kajiannya pada salah satu atau sekelompok karya sastra. Adapun disebut
44
embedded research karena sebelum terjun ke lapangan penelitian, peneliti sudah
menentukan objek, masalah, dan tujuan penelitian. Objek penelitian ini adalah eksistensi
sastra multikultural sebagai media komunikasi antarbangsa. Data penelitian ini berupa
soft data yakni kata, ungkapan, kalimat, dan wacana yang mengandung unsur
multikulturalisme yang tersebar dalam novel Ladang Perminus dan dalam berbagai
karya sastra Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka, simak dan
catat. Uji validitas data dilakukan dengan trianggulasi sumber data. Adapun analisis data
dilakukan dengan metode contens analysis dan pemaknaannya dengan metode
pembacaan model semiotik meliputi pembacaan heuristik dan hermeneutik.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Sastra Multikultural: Potret Masyarakat Pluralistik
Karya sastra milik suatu bangsa dalam konteks kultural memberikan kesadaran
tentang perspektif kultural dan sejarah yang terbentang di hadapannya, kesadaran
tentang identitas kultural yang melekat padanya, kesadaran tentang pandanganpandangan dunia tertentu, dan nilai-nilai tertentu yang menjadi karakter bangsa itu yang
ditawarkan oleh pengarang sesuai dengan orientasi kebudayaannya.
Kebudayaan Indonesia yang bersifat bhinneka, merupakan tegangan antara
kebudayaan lokal-daerah, nasional-modern, dan global-universal yang masih dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan. Adanya tekanan pengaruh internal dan
eksternal yang cukup kuat, membuat budaya-budaya daerah mengalami berbagai
perubahan. Hubungan antara kebudayaan nasional dan budaya daerah berubah terusmenerus, karena kedua pihak selalu berusaha menanggapi setiap tekanan yang
dihadapinya, termasuk gempuran budaya asing dalam era globalisasi.
Dalam konteks itu, kebudayaan terselenggara secara niscaya dan organik,
merespon perubahan senegeri dan sejagad. Tak ada determinan tunggal dalam sejarah
kebudayaan mana pun. Tidak ada wakil-wakil resmi kebudayaan Indonesia. Dengan
demikian tidak perlu terjadi dikotomi kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah.
Bahkan, menurut Dewanto (1992:87), setiap orang atau kelompok masyarakat secara
potensial adalah pencipta kebudayaan. Hasil evolusi itu adalah bukti daya hidup
kebudayaan kita sekaligus bukti makin tak terhindarnya pengaruh kebudayaan global,
sehingga kebudayaan kita cenderung pluralistik.
Berkat perpaduan berbagai kebudayaan tersebut, kebudayaan Indonesia selalu
dinamis. Segenap kebudayaan itu hidup dan berfungsi dalam konteks situasi
internasional yang sedang mengalami perubahan yang serba cepat. Untuk itu, perlu kita
kaji bersama, bagaimana caranya memberdayakan kebhinekaan budaya atau
multikultural ini sebagai suatu sumber daya potensial untuk pembangunan bangsa
(nation building). Demikian pula dalam proses penciptaan karya sastra.
Untuk itu, keterpaduan dan kepekatan kultur yang bersifat pluralistik akan
dapat dicapai melalui program nasionalisasi budaya-budaya daerah, bukan program
homogenisasi terhadap budaya-budaya daerah yang hanya akan menghasilkan suatu
kesatuan yang bersifat hambar dan serba artifisial. Dengan demikian slogan Bhinneka
Tunggal Ika benar-benar perlu dikembangkan. Adanya ‘perselingkuhan’ musik diatonis
dan non-diatonis, misalnya dalam “Gamelan Kyai Kanjeng” yang dikomandani Emha
Ainun Nadjib (Cak Nun) atau dalam musik “Campur Sari” (bukan “Campur Saru”)
Manthus dari Yogyakarta dan Didi Petet dari Solo, merupakan ilustrasi yang mudah
dipahami. Demikian pula pementasan wayang kulit Ki Warseno Slank dari Solo dan Ki
45
Enthus dari Tegal yang mengawinkan musik gamelan Jawa dengan musik band bahkan
nDhang-dhut.
Dalam perkembangannya, agaknya pada masa depan tidak ada lagi kebudayaan
tradisi yang terbebas dari pengaruh budaya-budaya lain baik antaretnis, antardaerah,
maupun antarbangsa. Demikian pula dalam hal karya sastra, kecenderungan menuju
pluralitas dan universalitas budaya merupakan keniscayaan yang sulit terhindarkan.
Sastra multikultural merupakan jawaban atas kehidupan masyarakat yang sedang
berubah menuju pluralistik serta refleksi terhadap realitas sosial budaya yang
berkecenderungan global-universal. Pengarang yang peka terhadap masalah-masalah
masyarakatnya terpanggil untuk merespons dan menginterpretasikan dalam wujud karya
sastra. Sastra merupakan dokumen sosial budaya yang mencerminkan dinamika,
dialektika, dan romantika masyarakat pada zamannya. Sastra adalah anak zamannya.
Peran Sastra Multikultural dalam Pembangunan Budaya Global
Sastra multikultural tidak terlepas dari adanya gagasan mengenai sastra
kontekstual (Heryanto, 1985) dan posmodernisme (Dewanto, 1991). Gagasan mengenai
sastra kontekstual membangun totalitas baru yang realis dengan menempatkan karya
sastra sebagai produk dan proses historis yang nyata untuk memecahkan problemproblem yang nyata pula. Proses historis diartikan sebagai proses perjuangan
kepentingan politik sekelompok anggota masyarakat. Jadi, yang menjadi pusat totalisasi
dunia sastra adalah kepentingan politik (lihat Faruk H.T. (2001:42). Novel Bumi
Manusia karya Pramudya Ananta Tour memperlihatkan kecenderungan itu.
Adapun yang muncul dalam posmodernisme adalah gagasan mengenai peniadaan
pusat totalisasi dunia. Pandangan ini dapat diartikan sebagai peniadaan pusat-pusat
budaya sehingga membentuk pluralisme budaya tetapi tidak mengarah pada
etnosentrisme (Dewanto, 1992:11). Posmodernisme menawarkan suatu totalisasi yang
beraneka ragam dan unik tanpa meniadakan totalisasi-totalisasi lain. Hal ini sesuai
dengan teori Cultural Pluralism: Mosaic Analogy dan perspektif Cultural Synthesis
yang telah dikemukakan di atas. Dalam pemahaman posmodernisme dengan perspektif
inilah pengkajian sastra multikultural ini dilakukan.
Sastra multikultural sebagai sistem komunikasi tanda, secara semiotik
merupakan bagian dari proses ‘Indonesianisasi’ dari banyak ekspresi budaya termasuk
di dalamnya cita-rasa lokal dan nasional. Bahkan, sastra multikultural menyediakan
ruang terbuka bagi masuknya unsur-unsur dari mancanegara yang merupakan sebuah
keniscayaan yang kemudian berkembang sebagai kebudayaan global yang mondial. Kini
dapat disaksikan berbagai kebudayaan tradisi atau lokal yang tidak lagi murni
melainkan sudah bervariasi dengan sentuhan unsur-unsur kebudayaan lain setelah
mengalami ‘pergumulan’ dengan kebudayaan modern yang notabene kebudayaan
mancanegara. Upacara ritual pernikahan dengan adat Jawa misalnya, sudah lazim
berkolaborasi dengan kebudayaan universal; acara dibawakan dengan bahasa Jawa, para
among tamu mengenakan Jas berdasi (lengkap), dan dimeriahkan dengan musik
popular, rock, jazz, bahkan juga nDhangdhut (Melayu).
Dengan semakin berkembangnya nasionalisme masyarakat kita, maka berangsurangsur fanatisme kedaerahan menipis dan menuju semangat keindonesiaan bahkan
kehidupan universal global antarbangsa. Pada gilirannya hal itu juga mendorong adanya
perubahan konsep sastra yang lebih bersifat pluralistik sehingga budaya lokal, nasional,
dan budaya global dapat berkembang secara harmonis tanpa harus meminggirkan satu
dengan lainnya. Jika dulu karya sastra kita kenthal dengan budaya etnis Indonesia, kini
sastra multikultural memasukkan unsur-unsur budaya bangsa lain sehingga terciptalah
46
nuansa universal. Cita rasa ‘universal’ global-mondial semakin terasa dalam beberapa
karya sastra mutakhir kita terutama sejak dekade 1990-an.
Sebagai ilustrasi, novel Saman (1998) karya Ayu Utami mendobrak manstraim
sastra Indonesia yang selama ini dipandang sangat patriarkal dan tabu membahas
seksualitas. Bagi Ayu Utami masalah perempuan dan seksualitas –yang dulu dipandang
tabu-- merupakan sesuatu yang universal sehingga perlu dibicarakan secara terbuka,
gamblang, tidak perlu disembunyikan layaknya sesuatu yang haram.
Tubuhku menari. Sebab menari adalah eksplorasi yang tak habis-habis dengan kulit dan
tulang-tulangku, yang dengannya aku rasakan perih, ngilu, gigil, juga nyaman. Dan kelak
ajal. Tubuhku menari. Ia menuruti bukan nafsu melainkan gairah. Yang sublim. Libidial.
Labirin (Utami, 2006:115)
Keperawanan adalah persembahan seorang perempuan kepada suami. Dan kau Cuma
punya satu saja, seperti hidung. Karena itu, jangan pernah diberikan sebelum menikah,
sebab kau akan menjadi barang pecah belah. Tapi, sehari sebelum aku dibuang ke kota
asing tempat aku tinggal saat ini, aku segera mengambil keputusan. Akan kuserahkan
keperawananku pada raksasa yang kukasihi (Utami, 2006:124-125)
Novel Saman mengangkat konflik antara kepentingan ekonomi dan kultural
masyarakat lokal dengan kepentingan ekonomi nasional bahkan global, terutama
keserakahan kapitalis yang dibayangkan bersifat eksternal. Saman menempatkan
persoalan tersebut dalam dan dengan ‘bahasa tubuh’ dan ‘bahasa hasrat’ yang ditindas
oleh kekuasaan daya nalar dan tertib rasionalitas (lihat Faruk H.T., 2001:157). Saman
menempatkan lokalitas sebagai salah satu bagian saja dari aneka permainan kekuasaan
yang tersebar di mana-mana, dalam relasi gender, relasi keagamaan, relasi industrial,
relasi pengetahuan (normal-tak normal), dan sebagainya.
“Namaku Shakuntala. Ayah dan kakak perempuanku menyebutku sundal. Sebab aku telah
tidur dengan beberapa laki-laki dan beberapa perempuan. Meski tidak menarik bayaran.
Kakak dan ayahku tidak menghormatiku. Aku tidak menghormati mereka. Sebab bagiku
hidup adalah menari dan menari pertama-tama adalah tubuh.” (Utami, 2006:115)
Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan
menghidupinya dengan hartanya. Itulah yang dinamakan perkawinan. Kelak, ketika aku
dewasa, aku menganggapnya persundalan yang hipokrit. (Utami, 2006:120-121)
Tidak ketinggalan Oka Rusmini melalui novel Tarian Bumi (2000) juga
mendendangkan spirit multikultural sebagai media resistensi kultural (perlawanan)
terhadap ketatnya adat atau budaya tradisi dalam masyarakat Bali yang masih hidup
sampai sekarang. Tarian Bumi merupakan perlawanan terhadap budaya patriarkal dalam
arti bagaimana kaum pradana (penari) tetap mampu eksis, berperan, dan survive dalam
budaya patriarkal. Luh Sekar, seorang gadis desa –yang merasa dihinakan karena
ayahnya dianggap terlibat PKI-- berusaha keras untuk menjadi pragina Joget
Bungbung. Dengan menjadi pragina Joget, ia yakin akan dapat meningkatkan statusnya
dari perempuan sudra (orang kebanyakan) menjadi terhormat, di samping mengangkat
popularitas seka Joget desanya dan mendapatkan penghasilan bagi hidup keluarganya.
Dengan sangat menarik Oka Rusmini dalam novel Tarian Bumi (2000)
mengungkapkan perjuangan perempuan dalam melawan hegemoni kekuasaan laki-laki.
Melalui tokohnya, Luh Sekar, Oka Rusmini mengeksplorasi kompetensi perempuan
yang dipinggrikan guna membuktikan eksistensinya yang tidak boleh diabaikan oleh
kaum laki-laki. Hal itu dapat disimak dalam kutipan berikut.
“… Sejak kapan orang-orang di desa ini melarang gadis cantik sepertiku ikut menari?”
“Salahkah kalau sekarang aku ingin jadi penari yang dipuja-puja? Penari yang dapat
47
menghidupkan sekeha joget desa ini! Begitu banyak sekeha joget yang muncul. Kudengar
mereka semua memiliki pragina yang luar biasa. Di atas panggung tubuh pragina-pragina
itu benar-benar jadi api yang membakar setiap nafas laki-laki. Luar biasa. Aku ingin
melebihi pragina-pragina itu. Aku yakin Kenten, aku bisa melakukannya.” (Tarian Bumi,
2000:20-21.)
Karya sastrawan angkatan terdahulu, misalnya, Y.B. Mangunwijaya dalam novel
Burung-Burung Manyar (1981), Rara Mendut (1983), dan Burung-burung Rantau
(1993), memiliki benang merah mengangkat masalah multikultural. Dalam Burungburung Manyar (1981) ditampilkan cara khas orang orang Jawa dalam menggunakan
bahasa Indonesia. Hal itu secara kultural akan membangkitkan kesadaran akan
pluralisme bahasa Indonesia. Dengan memanfaatkan cerita wayang yang sudah popular
sebagai model cerita, novel tersebut menampilkan cara hidup dan cara pandang
kelompok masyarakat serdadu KNIL yang khas, yang berbeda dengan cara hidup dan
cara pandang masyarakat Indonesia pada umumnya, misalnya dalam nasionalisme dan
revolusi. Dalam Roro Mendut, secara aktual Romo Mangun mempertanyakan
kedudukan Roro Mendut masa kini yang mendapat nama baru wanita karier di tengah
budaya masyarakat yang masih sangat patriarkal.
Adapun Burung-Burung Rantau menampilkan tokoh-tokoh cerita yang dapat
hidup di berbagai pusat budaya, seperti Jawa, Belanda, India, Yunani, dan Swis. Mereka
hidup dalam kesadaran pluralisme budaya yang sangat dinamis tanpa harus kehilangan
jati dirinya. Tidak kalah menariknya dengan Burung-Burung Manyar, Burung-Burung
Rantau (BBR) mengungkapkan multikulturalisme dengan sangat indah dalam kehidupan
masyarakat modern yang berlatar belakang budaya Jawa. Bagaimana para tokoh
menanggapi orang-orang yang memiliki pluralisme pandangan dan sikap budaya namun
tetap dapat selaras dalam sebuah harmoni kehidupan keluarga.
BBR mengusung persoalan-persoalan multikultural dalam hal ini perkembangan
kehidupan masyarakat kita yang menunjukkan kecenderungan ke arah budaya global
dengan multikulturalisme sebagai konsekuensinya, yang tidak lagi terikat oleh satu
budaya etnis yang kaku dan tabu. Berbagai nilai budaya antarbangsa dan antaretnis
saling berbaur dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Masalah itu disajikan
dalam BBR sekaligus diungkapkan adanya perbedaan pandangan antargenerasi dan
perkawinan budaya tradisi (lama) yang masih berpijak pada bumi Indonesia dengan
budaya modern yang berorientasi global. Generasi tua diwakili oleh pasangan Wiranto
dan Yuniati, istrinya,
sedangkan generasi modern pasca-Indonesia yang
berkecenderungan global diwakili anak-anaknya: Anggi (Anggraini), pengusaha yang
melanglang buana di banyak negara, Wibowo yang bekerja di Swiss, Candra yang
menjadi pilot pesawat dan banyak studi kedirgantaraan di Amerika, dan Neti yang suka
hidup bebas bagai burung rantau yang dapat terbang sesuai dengan suara hatinya, serta
Edi, si bungsu yang terpengaruh oleh pandangan Karl Marx.
Sebagai ilustrasi, mencairnya budaya Timur dan budaya Barat merupakan
gagasan multikultural yang diungkapkan dalam BBR. Multikulturalisme berpandangan
bahwa tidak ada lagi pusat-pusat kebudayaan yang dianggap dominan baik lokal-daerah,
nasional, dan universal-global, maupun Barat dan Timur. Semua kebudayaan itu dalam
kehidupan manusia yang heterogen dan pluralistik dapat hidup berdampingan tanpa
merendahkan satu dengan lainnya. Bagi multikulturalisme, setiap kebudayaan memiliki
eksistensi tersendiri. Oleh karena itu semuanya harus dihargai dan saling menghormati.
Pandangan ini dilontarkan oleh pengarang melalui dialog antara Gandhi, Neti, dan
Candra berikut.
48
“Inilah patungan kebudayaan Barat yang telah berkembang ke arah lain dari bangsaku
yang kelak, selain dunia Cina dan Jepang, disebut Timur.” Gumam Gandhi merenungrenung, seolah-olah mendarasd kitab-kitab silsilah, seperti ada sesuatu yang ia sesalkan.
“Padahal nenek moyang orantg-orang dan kebudayaan Hellen di Yunani Antik ini
sama akarnya: orang-orantg Indo-Jerman ras Nordik dari Asia Sentral. Sungguh misteri,
kami mengikuti garis-garis mitologi yang serba berbahasa lambang, dongeng, imajinasi,
dan puisi; sedangkan orang-orang di sini menempuh jalan yang justru melawan dunia
mitologi dan bahasa-bahasa perasaan, tegas mengandalkan diri kepada rasio,
kemerdekaan berpikir, dan jiwa eksplorator yang tidak puas dengan apa yang didapat.
Kami cinta pada segala yang statis, yang jangan berubah. Bagi kami, yang permanen,
yang abadi, itulah yang terpuji, yang berbobot, yang keramat. Yang memberi ketentraman
hati adalah jiwa bagaikan angin bambu dan gelagah rawa-rawa yang menyesuaikan diri
dengan irama serta nafsu-nafsu alam; sedangkan budaya Hellen, benih Barat, senantiasa
haus, tidak pernah puas, petualang-petualang dan pemberontak yang senang kalau
menghadapi yang bergerak dan menempuh bahaya misterius yang tidak dikenal..... (BBR,
1993: 237).
Bagaimanapun kemajuan yang dicapai orang Barat, mereka juga memiliki
kelemahan. Mereka sering menjadi rakus, serakah, sehingga sering merusak alam. Oleh
karena itu, bagi kita, orang Indonesia, harus dicari jalan tengah yang dapat mencairkan
antara Barat dan Timur yang sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan. Kutipan
berikut melukiskan hal itu.
“Tetapi, yang sayang, akhirnya memperkosa dan merusak alam kediamannya sendiri,
akibat serakahnya. Dengan perangai yang selalu haus, tidak pernah puas, tidak pernah
seimbanglah jiwa petualangan mereka,” sanggah Gandhi.
“Kukira,” sambung Mas Candra, “orang-orang kita harus mencari jalan kencana
tengah. Kemudian aku barangkali boleh dipensiun. Tetapi aku pun sudah dihinggapi
penyakit Ikarus dan petualang-petualang Barat itu, jujur harus kuakui. Aku tidak bisa lagi
tenang dan damai duduk di rumah kalau tidak dapat masuk dalam salah satu burung
perang itu dan mengarungi dirgantara. (BBR, 1993:238-239)
Selain melalui dialog di atas, perkawinan Bowo (Jawa, Indonesia) dengan
Agatha, orang Yunani, merupakan simbolisasi dari kekuatan budaya Barat dan Timur.
Budaya Barat yang tidak pernah puas, petualang yang terus bergerak dinamis, dan
eksplorator alam yang terkadang menjadi serakah, sedangkan budaya Timur cinta
kepada keabadaian, yang permanen, yang sakral, yang mendatangkan ketenteraman.
Demikian pula Abidah El Khalieqy dalam puisi “Perempuan yang Ibu” dan “Aku
Hadir” (dalam Rampan, 1997:484-485). Kedua sajak ini mencoba melantunkan
multikulturalisme terutama dalam ‘menghadirkan” sosok perempuan –yang selama ini
sering dimarginalkan-- yang memiliki eksistensi yang tidak boleh diabaikan di tengah
budaya masyarakat Indonesia yang patriarkal. Puisi “Aku Hadir” berikut melukiskan
hal itu.
Aku perempuan yang menyeberangi zaman
membara tanganku mengenggam pusaka, suara diam
menyaksikan pertempuran memperanakkan tahta
raja-raja memecahkan wajah, silsilah kekuasaan
Aku perempuan yang merakit titian
menabur lahar berapi di bukit sunyi
membentangkan impian di lading-ladang mati
musik gelisah dari kerak bumi
Aku perempuan yang hadir dan mengalir
membawa kemudi
49
panji matahari
Aku perempuan yang kembali
dan berkemas pergi.
Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (RDP, 1981-1987; 2003) karya Ahmad
Tohari juga memperlihatkan kecenderungan multikulturalisme tersebut. Seperti BurungBurung Manyar karya Mangunwijaya, RDP menunjukkan kecenderungan serupa
dengan menempatkan lokalitas Jawa sebagai bagian dari kebhinnekaan Indonesia. Daya
pukau novel trilogi RDP terletak pada pengungkapannya mengenai cara hidup dan cara
pandang yang khas dari masyarakat pedesaan yang ‘terpencil’ di Jawa Tengah
(Banyumas). Cara pandang mereka mengenai hubungan seks bebas dalam dunia
ronggeng yang lugu dan polos merupakan local genius yang mampu mencuatkan novel
ini di tengah pluralisme global.
Melalui tokoh Srintil, RDP merupakan wujud resistensi budaya, juga resistensi
kaum perempuan terhadap hegemoni kekuasaan laki-laki. Bagi Srintil, sang ronggeng,
menjadi ronggeng merupakan tugas budaya yang mesti ditunaikan sehingga hal itu
membuatnya bangga. Dengan menjadi ronggeng, Srintil merupakan duta budaya yang
mewakili perempuan dan keperempuanan yang mengampu naluri-naluri kelelakian.
Pengampuan ini dalam pandangan orang-orang Dukuh Paruk merupakan keniscayaan
agar terjadi keselarasan dan keseimbangan (harmoni) antara perempuan dan laki-laki
yang bersama-sama hadir dalam sebuah kehidupan. Oleh karena itu, pada posisi sebagai
duta keperempuanan, Srintil tidak melihat laki-laki sebagai pihak yang superior dan
menguasainya. Bagi Srintil, lelaki dan kelelakian merupakan imbangan perempuan dan
keperempuanan. Artinya, perempuan dan laki-laki tidak dipandang secara dikotomis.
Dia tidak merasa lemah ketika berhadapan dengan laki-laki. Dia sadar bahwa laki-laki
memang memiliki kekuatan secara fisik, namun dia juga tahu laki-laki memiliki banyak
kelemahan terutama yang berupa kebutuhan pengakuan atas “kelelakian” mereka. Pada
saat itulah justru perempuan “Srintil” hadir dengan keperkasaannya. Srintil tahu bahwa
laki-laki segagah apa pun dapat menjadi sangat ringkih (lemah) dan merengek-rengek
ketika dia sedang mabuk kepayang. Oleh karena itu, Srintil tidak menganggap laki-laki
lebih kuat daripada perempuan atau sebaliknya. Bahkan, secara pribadi Srintil
menganggap bahwa laki-laki adalah makhluk yang lemah. Hal itu terbukti oleh realitas
berpuluh-puluh laki-laki hanya dapat melongo dengan pikiran kalang kabut hanya oleh
lirikan mata, pacak gulu-nya, atau geyol-nya (goyang pinggul erotis) ketika Srintil
sedang menari.
Dalam karya-karya sastra di atas tampaklah bahwa lokalitas seperti pandangan
Lyotard (1991:29-30) bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan dari globalitas,
lingkungan eksternal yang plural, melainkan sesuatu yang dapat memberikan pengayaan
dan makna pada lingkungan global yang plural. Saman, Burung-Burung Manyar,
Burung-Burung Rantau, Ronggeng Dukuh Paruk, telah menempatkan lokalitas sebagai
salah satu dari aneka permainan kekuasaan yang tersebar di berbagai tempat, dalam
relasi gender, relasi keagamaan, relasi industrial, relasi pengetahuan, dan sebagainya.
Jika dikaji lebih lanjut, masih banyak tentunya karya sastra yang menyuarakan
multikulturalisme yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini.
Kecenderungan multikultural tampak sekali pada karya-karya para sastrawan
dalam dua dekade terakhir ini yang memperlihatkan adanya pluralisme budaya dalam
perspektif posmodernisme. Dari segi ekspresi terlihat pada stilistika dan gagasangagasan yang ditawarkan dengan penuh keterbukaan, kebebasan berekspresi,
keberanian, dan ‘kejujuran’. Masalah-masalah yang dikemukakan itu misalnya: masalah
50
perselingkuhan, poligami, keadilan gender, budaya etnis, budaya bangsa lain, resistensi
terhadap budaya patriarkal, lesbianisme dan homoseksual, bahkan seksualitas
diperbincangkan secara terbuka dan penuh antusias, oleh pengarang perempuan lagi.
Masalah itu terlihat pada puisi karya Afrizal Malna “Winter Festival” (1995) dan
“Lelaki yang Menjadi Seekor Burung” (1996), kumpulan cerpen Seno Gumira
Ajidarma Saksi Mata (1994), dan kumpulan cerpen Mereka Bilang Aku Monyet (2002)
karya Djenar Mahesa Ayu yang kaya nuansa kehidupan modern yang pluralis dan unsur
seksualitas yang diungkapkan secara gamblang dengan penuh keterbukaan dan
kejujuran.
Di sisi lain terdapat pula tema religius dan kemanusiaan yang menyentuh nurani
yang membawa pembacanya mengembara di alam spiritual yang transendental.
Masalah-masalah tersebut dapat dikaji misalnya pada novel Dadaisme (2004) karya
Dewi Sartika dan Geni Jora (2004) –keduanya pemenang sayembara penulisan novel
Dewan Kesenian Jakarta tahun 2004-- karya Abidah El Khalieqy, yang menyoroti
masalah ketidakadilan gender. Tidak ketinggalan puisi-puisi Ahmadun Yossi Herfanda
Sembahyang Rumputan (1996), “Sajak Mabuk Reformasi” (1998), dan “Resonansi
Indonesia” (1999) yang mengangkat pluralisme budaya, etnisitas, dan religiusitas
transenden yang dapat dihayati oleh pemeluk agama apa pun.
Demikian pula novel Namaku Teweraut (2000) karya Ani Sekarningsih yang
sarat dengan masalah budaya etnis, agama, dan kesetaraan gender. Tak ketinggalan
Garis Tepi Seorang Lesbian (2003), dan Dejavu (Sayap yang Pecah) (2004) karya
Herlinatiens yang mengeksplorasi masalah lesbianisme. Karya-karya sastra tersebut
menjadi media mengekspresikan budaya global.
Perkembangan teknologi komunikasi yang membawa akibat membanjirnya
informasi dari mancanegara ke negara kita tidak serta merta membuat karya sastra
dijauhi masyarakat. Bahkan, seiring dengan makin meningkatnya pendidikan dan
kualitas sumber daya insani, ada kecenderungan karya sastra semakin banyak dibaca
oleh warga masyarakat terutama kelas menengah atas.
Betapa pun saratnya permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya
sastra haruslah tetap merupakan karya seni yang menarik, bangunan strukturnya
koheren, dan mempunyai nilai estetik. Melalui sastra, secara tidak langsung pembaca
dapat belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang
ditawarkan pengarang. Itulah sebabnya, karya sastra berpeluang untuk dapat membuat
pembacanya menjadi lebih arif, terbuka, demokratis, peka terhadap nilai-nilai
kemanusiaan dan ketuhanan, dapat melakukan bukan hanya simpati, melainkan empati
kepada orang lain. Sastra dapat memperkaya khazanah batin pembacanya.
Simpulan
Lahirnya sastra multikultural tidak terlepas dari perubahan dan perkembangan
masyarakat kita yang cenderung menuju pluralistik. Kecenderungan masyarakat yang
pluralistik tersebut direspons oleh pengarang kemudian diinterpretasikan dan
direfleksikan dalam karya sastra multikultural. Sastra multikultural menyuarakan
budaya global-universal atau keberagaman (pluralitas) yang memberikan ruang terbuka
bagi kultur apa pun untuk saling berkolaborasi.
Sastra multikultural yang merujuk pada posmodernisme makin banyak terlahir
dari tangan-tangan sastrawan muda bahkan tangan-tangan lembut sastrawan perempuan
yang “wangi”. Sastra multikultural memiliki potensi besar sebagai media pembangunan
budaya global-universal. Bahkan, sastra multikultural berpotensi juga sebagai salah satu
media dalam pembangunan karakter bangsa (nation and character building) khususnya
51
dalam membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya keterbukaan terhadap
keanekaragaman budaya.
Kekayaan aneka ragam budaya dalam sastra multikultural menjadikannya
sebagai media komunikasi yang dapat menembus batas agama, etnis, golongan, bahasa,
budaya dan bangsa sejalan dengan era posmodernisme dalam pluralisme global yang
merupakan sebuah keniscayaan.
Sebagai catatan, sejalan dengan berkembangnya pluralisme global dalam
kehidupan masyarakat, sosialisasi nilai-nilai multikultural melalui pengkajian sastra
termasuk dalam dunia pendidikan agaknya menjadi penting. Di sekolah dan perguruan
tinggi, sosialisasi multikulturalisme dapat dilakukan melalui proses pembelajaran sastra
dan kegiatan ekstrakurikuler seperti sanggar sastra dan teater. Pengajar dapat mengajak
siswa untuk mengapresiasi karya sastra dengan membaca, menginterpretasikan, dan
mementaskannya, atau menulis sastra. Siswa/mahasiswa dapat memperbincangkan
masalah-masalah pluralisme dan keanekaragaman budaya yang terkandung dalam karya
sastra. Secara paradoksal sastra multikultural dapat menjadi ‘juru bicara’ yang fasih
yang mampu memadukan unsur lokal, nasional, dan global dengan penuh kedamaian,
kerukunan, dan kesalingmengertian dalam sebuah simfoni.
Daftar Rujukan
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2003. “Signifikansi Ilmu-Ilmu Humaniora dalam Pembangunan
Bangsa” dalam Transformasi Budaya (Maryadi dan Abdullah Aly, Ed.).
Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Appadurai, Arjun. 1991. “Global Ethnoscape: Notes and Quenesfor Transnational
Anthropology” dalam Recapturing Anthropology Working in the Present.
Richard G. Fox (Ed.). Santa Fe, New Mexico: School of American Research
Press.
Dewanto, Nirwan. 1991. “Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991” dalam Prisma No.
10 Tahun XX, Oktober 1991.
_______. 1992. “Seni di Zaman Global”, Festival Mahasiswa Seni se-Indonesia 1992.
Yogyakarta: Senat Mahasiswa ISI Yogyakarta.
Ekstrand, L.H. “Multicultural Education” dalam Saha, Lawrence J. (Eds.). 2007.
International Encyclopedia of the Sociology of Education. New York:
Pergamon.
Faruk H.T. 2004. Beyond Imagination Sastra Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta: Gama
Media.
Garcia, Ricardo L. 1982. Teaching in a Pluralistic Society: Consepts, Models,
Strategies. New York: Harper & Row Publisher.
Heryanto, Ariel. 1988. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali Press.
Naisbitt, John and Aburdene, Patricia. 1990. Ten New Directions for the 1990's
Megatrends 2000. Megatrends Ltd.
Rampan, Korrie Layun. 1997. Wanita Penyair Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
_______. 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Riffaterre. 1978. Semiotic of Poetry. Blomington and London: Indiana University Press.
Teeuw, A. 2007. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Toffler, Alvin. 1987. Kejutan Masa Depan (Terj. Sri Koesdiyantinah). Jakarta: PT
Pantja Simpati.
Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
52
DARI MARIA DERMOỦT (1955) KE SYLVIA PESSEIRERON (2012).
MENCERMATI ZONA KONTAK (PASCA)KOLONIAL DALAM 4 TEKS
SASTRA BERLATAR AMBON DARI RANAH SASTRA HINDIA-BELANDA
Christina Suprihatin
(Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia)
Abstrak: Karya dari ranah Sastra Migran yang menghadirkan permasalahan yang
terkait dengan keberadaan kaum migran di Belanda sudah dikenal sejak dua dasawarsa
terakhir abad yang lalu. Pada saat ini teks tersebut masih saja menjadi objek penelitian
yang menarik. Namun sebenarnya dalam ranah Sastra Belanda telah terlebih dulu
ditemukan sekelompok penulis yang memiliki permasalahan yang serupa, dan mereka
menuangkan ekspresinya dalam teks yang masuk dalam kategori sastra Hindia-Belanda.
Sastra Hindia-Belanda memiliki keunikan karena secara tematik selalu berkaitan dengan
Hindia atau Indonesia. Dalam ranah itu juga ditemukan karya yang ditulis oleh para
pengarang keturunan Maluku.
Dalam tulisan ini beberapa 3 karya perempuan penulis keturunan Ambon akan dikaji
untuk mendapatkan gambaran bangun zona kontak dalam ruang kolonial. Karya dari
Wies van Groningen (2005), Yvon Muskita (2008), dan Sylvia Pesseireron (2012)
ditelaah dengan mencermati fokalisasi para tokoh perempuan saat mereka ‘memotret’
Ambon. Dalam hal ini pendapat Marry L. Pratt (1991) mengenai contact zones menjadi
dasar pemikiran untuk menelaah pengamatan ruang. Teori fokalisasi yang digagas Bal
(1999) digunakan untuk memahami dan memaknai pencermatan itu. Terkait dengan
konteks kesejarahan, karya Maria Dermout (1955), yang berlatar Ambon ditelisik dan
selanjutnya ia menjadi model pembanding untuk tiga karya lainnya. Ketika keempat
karya itu dibaca dengan kacamata poskolonial, muncul pertanyaan bagaimanakah zona
kontak yang direpresentasikan pada masing-masing karya? Apakah gambaran yang
dihadirkan mengalami pergeseran yang signifikan, mengingat rentang waktu penciptaan
karya.
Kata kunci: penulis keturunan Maluku, diaspora, rekonstruksi gambaran Maluku, sastra
Hindia-Belanda
Latar Belakang
Peristiwa yang terjadi pada masa kolonial dan dampaknya masih saja menjadi
pusat perhatian di Negeri Belanda, berbagai tulisan dan telaah ilmiah yang terkait
dengan masa lalu Belanda sebagai kolonis secara berkala dipublikasikan. Dalam bidang
sastra, perhatian itu nyata terlihat pada berbagai karya dari ranah Sastra Hindia-Belanda.
Menurut Nieuwenhuys (1978) sastra Hindia-Belanda mewadahi berbagai teks yang
secara tematik membatasi diri pada hal-hal yang terkait dengan Hindia-Belanda dari
masa VOC hingga masa kini.
Dalam ranah sastra Hindia-Belanda juga ditemukan beberapa karya yang ditulis
oleh penulis keturunan Maluku. Pada tahun 1985 publik Belanda dikejutkan dengan
karya Frans Lopulalan yang berjudul Onder de sneeuw een Indisch graf (Sebuah
makam Indo di bawah salju). Dalam kumpulan cerita itu, sosok ayah yang pensiunan
anggota KNIL, menjadi ‘model’ bagi para ayah Maluku yang karena pekerjaan mereka
harus bermigrasi ke Belanda. Di barak-barak penampungan
sosok ayah itu
membesarkan anak-anaknya dengan pendidikan Timur yang keras. Pengarang keturunan
53
Maluku di Negeri Belanda yang sekarang masih aktif menulis ini merupakan generasi
kedua14 keturunan Maluku. Rekonstruksi gambaran Maluku, diaspora dan dampaknya
menjadi isu yang paling menonjol dalam karya para penulis keturunan Maluku.
Terkait dengan isu yang pertama, muncul pertanyaan bagaimana Maluku direkonstruksi
dalam karya yang ditulis oleh perempuan penulis keturunan Maluku di Negeri Belanda?
Pilihan yang dijatuhkan pada perempuan penulis bukan karena pertimbangan gender
semata. Seleksi juga dikaitkan dengan konteks kesejarahan. Pada tahun 1955 Maria
Dermoût, seorang perempuan penulis terkemuka dalam ranah sastra Hindia-Belanda
mempublikasi karya yang berlatar pulau Ambon. De tienduizend dingen (Sepuluh Ribu
Benda) diapresiasi dengan baik tidak hanya di Negeri Belanda, karya ini telah
diterjemahkan dalam setidaknya tiga belas bahasa, penerbit Pustaka Jaya
menerbitkannya dalam bahsa Indonesia dengan judul Taman Kate-Kate (1975).
Rekonstruksi Maluku dan Zona Kontak
Cerita karya Wies van Groningen (2005) Mijn voormoeders van de Molukken15
(Nenek Moyangku dari Maluku), karya Yvon Muskita (2008) Snijden en stikken. Het
verhaal van kleermaker Boeng (Memotong dan menjahit. Kisah Boeng, si tukang jahit),
dan roman Sylvia Pessireron (2012) De verzwegen soldaat (serdadu yang membisu)
dikaji dengan mencermati gambaran Maluku yang dihadirkan. Dalam tulisan ini
rekonstruksi Maluku dalam tiga karya tersebut menjadi oposisi binari dari karya Maria
Dermoût. Rekonstruksi gambaran Maluku yang dicermati oleh para tokoh di Negeri
Belanda dalam tiga karya perempuan penulis keturunan Maluku dikontraskan dengan
gambaran Maluku yang dicermati oleh sosok tokoh yang berada di Hindia.
Dalam naratologi, Bal (1978) memilah tiga tingkatan yang ada dalam sebuah teks
sastra, yaitu geschiedenis (cerita), verhaal (kisah), dan teks. Teks naratif ditulis oleh
seorang pengarang berisi cerita yang dituturkan oleh pencerita, dalam cerita ditemukan
kisah yang merupakan lakuan dan ujaran para tokoh. Selain menuturkan lakuan mereka,
terkadang para tokoh dalam cerita mengujarkan pengamatan dan penilaian mereka atas
suatu objek, tindak ini dikenal sebagai fokalisasi16.
Fokalisasi dalam penelitian ini digunakan untuk mencermati gambaran (ruang)
Maluku sebagai tempat pertemuan berbagai budaya, sebuah contact zone. Peristilahan
14
Generasi kedua merujuk kepada kelompok penulis keturunan Maluku yang orang tua mereka
bermigrasi ke Belanda. Mereka lahir dan dibesarkan di Belanda. Kelompok ini tidak pernah
tinggal di Maluku dan mendapatkan pengetahuan mengenai Maluku dari orang tua mereka
dan/atau anggota keluarga lainnya. Pengetahuan mengenai Maluku dan wilayah lain di Hindia
juga dibangun dari berbagai praksis budaya pada saat mereka berada dalam komunitas Maluku di
Negeri Belanda. Kelompok ini merekonstruksi gambaran Maluku berdasarkan pengetahuan yang
mereka dapatkan dan menciptakan ‘mite’ mengenai Maluku. Karena diasopra yang dilakukan
orang tua mereka bukanlah migrasi individual namun merupakan dampak dari berakhirnya
kolonisasi di Hindia, seringkali dalam karya para penulis generasi kedua ini ditemukan berbagai
motif yang terkait dengan kesejarahan dan dampak migrasi dari Hindia ke Belanda. Isu-isu yang
terkait dengan permasalahan diaspora, seperti identitas, represi, resistensi dan negosiasi yang
dilakukan orang Maluku di Negeri Belanda menjadi hal yang mengemuka dalam karya para
penulis generasi kedua. Lebih dalam cermati tulisan Bert Paasman(2003) mengenai keberadaan
penulis generasi kedua dalam sastra Hindia-Belanda.
15
beberapa fragmen dalam cerita tersebut sudah lebih dulu dipublikasikan dalam Clara Hukom;
Verhalen uit Blangkedjerèn (1995) dan Is militair, is militair (2000).
16
Pengertian fokalisasi dikutip dari Bal (1978) dan dikembangkan dalam Bal (1997).
54
ini dipinjam dari pemikiran Pratt (1991). Dalam ruang kolonial selalu ada tempat, dan
kesempatan yang mempertemukan penjajah dan yang dijajahnya, Pratt mendefiniskan
zona kontak sebagai ‘social spaces where cultures meet, clash, and grapple with each
other, often in contexts of highly asymmetrical relations of power, such as colonialism,
slavery, or their aftermaths as they are lived out in many parts of the world today’.
Meskipun gambaran Maluku/Hindia yang direkonstruksi tidak lagi berada dalam sebuah
ruang kolonial yang nyata, pada praktiknya di Negeri Belanda masih ditemukan zona
kontak serupa yang di dalamnya terjadi relasi kuasa yang asimetris.
Zona kontak yang ditelaah dalam tiga karya perempuan penulis keturunan
Maluku meliputi ruang pertemuan pascakolonial yang mempertemukan orang Maluku
dengan anngota kelompok Maluku lainnya, dan dengan kelompok budaya lain, misalnya
Belanda. Persinggungan budaya sesama orang Maluku di Belanda terjadi dalam
berbagai ruang, salah satunya adalah barak-barak penampungan yang menjadi tempat
tinggal orang tua para tokoh ketika mereka pertama kali berada di Belanda. Hal ini tidak
lepas dari kenyataan bahwa orang tua mereka bekerja sebagai serdadu KNIL17 (Het
Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger).
Ambon: Sepuluh Ribu Benda dalam Satu Kesatuan
Maria Dermoût (1988-1962) tinggal di Ambon pada tahun 1910-1914 mengikuti
suaminya, Isaac Johannes Dermoût, yang bertugas sebagai hakim. De tienduizend
dingen dibagi enam bab yang pada awalnya sepertinya tidak saling terhubung: ada bab
tentang manusia, binatang dan benda-benda lainnya di pulau Ambon, lingkungan hidup
di Ambon dengan berbagai tumbuhan, laut dan beragam kerang, dan tentang mite dan
tradisi di Ambon. Enam bab itu ternyata saling terhubung dan memiliki satu kesamaan,
yaitu hadirnya ‘kematian’ dalam lima bab pertama. Keterkaitan tokoh utama dalam
roman ini, sosok Felicia18 (= Mevrouw Van Kleyntjes) dengan lima kematian itu
diungkap dalam bab terakhir. Dalam bab terakhir yang berjudul Allerzielen (para arwah)
Felicia bertemu dengan mereka yang telah mati dan ia juga berkesempatan berbicara
dengan pihak-pihak yang disangkakan bertanggung jawab atas kematian itu dalam
sebuah pertemuan. Dalam bab terakhir harmoni dihadirkan: masa lalu dengan masa kini,
dan antara yang sudah meninggal dan yang masih hidup. Syair dari penyair Cina abad
17
KNIL didirikan pada tahun 1830, dan memiliki peranan yang sangat penting dalam berbagai
perang yang terjadi di Hindia, misalnya dalam Perang Aceh. Pada saat pembentukannya setengah
dari anggota KNIL berasal militer Hindia, misalnya Korps Barisan Madura. Jumlah penduduk
lokal yang bergabung dengan KNIL terus meningkat. Setelah Perang Dunia Pertama, tiga
perempat dari anggota KNIL merupakan penduduk lokal wilayah koloni, sebagian besar mereka
berasal dari Jawa dan Maluku Selatan. Posisi perwira dalam KNIL hanya boleh diduduki oleh
orang Belanda.
18
Selama tinggal di Ambon Maria Dermoût bersahabat dengan Johanna Louisa van Aart,
perempuan keturunan Belanda yang sudah bergenerasi lamanya tinggal di Ambon. Johanna
Louisa van Aart mengelola sebuah hotel di kota Ambon dan memiliki sebuah rumah
peristirahatan di Kate-Kate. Persahabatan dengan Van Aart mengantarkan Dermoût mengenal
banyak teks mengenai Ambon, di antaranya dua karya dari biolog abad ke-17 Georg Everhard
Rumphius (1627-1702), D’Amboinsche Rariteitkamer dan Het Amboinsche Kruidboek. Sosok
perempuan inilah yang menginspirasi Dermoût dalam penciptaaan sosok Felicia, tokoh utama
dalam buku De tienduizend dingen (Freriks, 2000: 116-119).
55
ke tujuh, Ts’ên Shên19 menginspirasi Maria Dermoût, dan menjadi motto yang
diletakkan di bawah judul buku.
Ruang dan tempat dalam karya Maria Dermoût menentukan identitas para tokoh.
Zona kontak yang dihadirkan
Dermoût – baik secara geografis maupun imajiner –
memperlihatkan persinggungan berbagai budaya di Ambon, antara Eropa (Belanda,
Skotlandia) dengan budaya lokal (berbagai kelompok di Maluku, Jawa). Persinggungan
budaya yang terjadi meski diwarnai dengan banyak kekerasan - lima kematian dalam
enam cerita bukanlah jumlah yang kecil – juga menawarkan pembelajaran. Dalam
berbagai skala, misalnya ketidakharmonisan dalam masyarakat yang memunculkan rasa
saling curiga, memperlihatkan betapa rentannya persinggungan budaya tersebut. Dalam
kutipan berikut ini diperlihatkan ketidakharmonisan.
(…) Watvoor mensen? (…) dit waren de mensen van het eiland niet, dit waren ‘de
zwervers van de zee’, Binongko’s, zij hadden wel ergens een eigen eiland, velen van hen
woonden op het eiland Boeton; zij bouwden die grote zeewaardige praauwen en zwalkten
met kleine troepen over zeeën, gingen hier en daar eens aan land, brandden het oerwoud
af, trokken een paar hutten op, legden paar veldjes aan, vingen een visje in de baai, en
verdwenen dan weer, alles platgebrand achter zich latende. Zij waren een vreemd schuw
soort mensen, zij spraken een eigen taak die niemand verstond, niemand wilde ook met
hen te maken hebben20. (De professor, hal. 266-267)
Dalam kutipan di atas Raden Mas Soeprapto, seorang bangsawan dari kraton
Solo Jawa Tengah yang menjadi asisten profesor dari Skotlandia yang melakukan studi
di Ambon - memfokalisasi pandangannya terhadap orang Binongko. Soeprapto, yang
digambarkan sebagai keturunan bangsawan Jawa memposisikan dirinya sejajar dengan
penduduk lokal pulau Ambon dalam mencermati orang Binongko. Dalam zona kontak
itu jelas hadir relasi kuasa, Soeprapto yang orang Jawa menempatkan orang Binongko
sebagai yang Liyan. Sebagai asisten sang profesor, ia menjadi pihak inferior, namun ia
memiliki kelebihan pengetahuan mengenai wilayah Hindia. Sebaliknya sang profesor
sebagai pihak superior juga digambarkan mempunyai kekurangan, ia dengan segala
kelebihannya – pengetahuan, posisi, dan eksitensi sebagai orang Eropa – tidak cukup
mengenal wilayah Ambon. Ketika pihak superior tidak waspada dan menafikan
kelebihan inferior dan menolak pengetahuan yang ditawarkan pihak inferior hal yang
fatal dapat terjadi seperti yang digambarkan dalam bab De professor: sang profesor
tewas dibunuh orang Binongko. Soeprapto yang digambarkan mengenal wilayah
Ambon dan penduduknya, memfokalisasi kelompok masyarakat Binongko. Di dalam
fokalisasinya terhadap orang Binongko, lagi-lagi hierarki dan relasi kuasa mengemuka.
Mencermati gaya penceritaannya, roman ini berbeda dari karya (pos)kolonial lain
dalam ranah sastra Hindia-Belanda, Dermoût adalah sedikit dari perempuan penulis dari
19
Di bawah judul, Maria Dermoût mengutip satu baris dari syair karya Ts'ên Shên: ‘Wanneer de
‘tienduizend dingen’ gezien zijn in hun eenheid, keren wij terug tot in het begin en blijven waar
wij altijd geweest zijn.’ (Apabila sepuluh ribu benda dilihat dalam kesatuannya, maka kita akan
kembali ke awal mula dan berada di tempat semula). Pemikiran Tao ini menjadi landasan Maria
Dermoût.
20
(…) Orang macam apa? (…) mereka bukan penduduk pulau ini, mereka adalah ‘pengembara
lautan’, Orang Binongko, mereka memiliki pulau sendiri, sebagian besar tinggal di pulau Buton.
Mereka membangun perahu-perahu yang besar dan mengembara di lautan dalam kelompokkelompok kecil. Di sana sini mereka berlabuh, membakari hutan rimba, lalu membangun gubuk
dan mengolah tanah itu, menangkap ikan di teluk dan setelah itu lalu menghilang, mereka
membiarkan semuanya hangus terbakar demikian saja. Mereka merupakan kelompok manusia
pemalu yang aneh, berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti siapa pun. Tidak seorang pun
mau berurusan dengan mereka.
56
ranah sastra ini yang memberi kesempatan kepada sosok penduduk lokal dalam bukunya
untuk menyuarakan pendapatnya.
Dalam bab ke-4, Constance en de matroos, zona kontak mempertemukan orang
Eropa sebagai pengkoloni dengan penduduk lokal. Dalam lingkungan rumah dan kebun
sebuah keluarga Belanda dua kelompok dipertemukan: orang Belanda yang berada pada
tataran sosial tertinggi di Hindia bersentuhan dengan penduduk lokal dari kelas sosial
rendah. Fokalisasi yang detil dilakukan pencerita terhadap enam orang Ambon yang
bekerja untuk pasangan Belanda. Bab ‘Constance en de matroos’ dituturkan oleh
seorang pencerita ekstern dan objek fokalisasinya berpindah-pindah. Pemfokusan objek
fokalisasi pada penduduk lokal seolah menyiratkan pentingnya kehadiran mereka dalam
cerita. Penduduk lokal yang secara hierarkis berada di posisi inferior bukanlah pihak
yang terabaikan. Dalam bab ini esensi cerita justru terletak pada sosok para pekerja
lokal tersebut, bukan pihak Belanda. Gaya Dermoût menarasikan cerita dan pilihannya
melakukan perpindahan fokalisasi memperkuat fungsi zona kontak seperti yang
ditunjukkan oleh Pratt. Sebuah zona kontak tidak saja menjadi sebuah wilayah
pertemuan yang sarat dengan ketimpangan kuasa, namun ia juga dapat menjadi ajang
pembelajaran bagi pihak yang bertemu. Berbeda pada karya poskolonial lainnya, karya
Dermoût ini menempatkan pihak inferior tidak hanya menjadi dekor pada sebuah ruang
dan tempat saja, tetapi ia merupakan bagian dari peristiwa, dari sebuah cerita.
Nenek Moyangku dari Maluku
Dalam buku tipis (55 halaman) Wies van Groningen menuturkan sejarah nenek
moyangnya yang berasal dari Maluku. Wies van Groningen adalah nama samaran dari
Louise Metal yang lahir pada tahun 1929 di Blangkejeren, Kabupaten Gayo di Aceh
Tenggara. Van Groningen berdarah Indo, ibunya dari Maluku dan ayahnya orang
Belanda. Meskipun ibunya dari Maluku, ia dibesarkan dalam komunitas Belanda dan
mendapat pendidikan Barat. Clara Hukom, ibu dari Wies van Groningen adalah anak
dari Louisa Hukom21, sosok yang dikenal baik oleh Maria Dermoût muncul dalam salah
satu karyanya.
Dalam De afstraffing pembaca mendapat informasi mengenai sosok utama
seorang perempuan Ambon yang bersuamikan seorang Belanda dari pencerita.
Pencerita tidak melakukan pencermatan yang mendetil terhadap sosok ibu dan juga
ruang kolonial. Dalam cerita ini, zona kontak dihadirkan di barak-barak tempat tinggal
anggota militer Belanda. Zona kontak itu mempertemukan sosok ibu dengan anggota
militer lainnya, baik orang Belanda maupun orang Ambon lainnya. Kedekatan dan
solidaritas komunitas orang Ambon ditunjukkan dengan pemilihan kata sapaan, (…)
want onder elkaar worden oudere Ambonezen met oom (of tante) aangesproken22.
Dalam zona kontak terlihat relasi kuasa: para perwira, kopral, serdadu, militer
dan sipil. Kekerasan hadir dalam ruang kolonial, dari makna judul cerita pembaca dapat
memperkirakannya. Seorang serdadu menolak menjadi pemanggul barang dalam sebuah
patroli di Hindia. Si serdadu tidak sanggup membawa empat puluh kilo barang selama
satu bulan berpatroli karena memiliki ketidaksempurnaan bentuk telapak kaki. Tidak
ada penolakan yang berterima dalam zona kontak itu, pihak yang tertindas harus
21
Dalam cerita yang berjudul ‘De goede slang’ dari kumpulan cerita De sirenen (1963) Dermoût
menceritakan tentang Louisa, seorang penjahit yang bekerja untuk keluarganya. Louisa
digambarkan sebagai sosok pendongeng yang mampu memesona para pendengarnya.
22
Karena di antara kami, kami menyapa orang Ambon yang lebih tua dengan sapaan om atau
tante.
57
melaksanan apa pun yang menjadi keinginan kaum superior. Untuk menebus kesalahan,
hukuman fisik harus dijalani: 50 puluh kali pukulan dengan kayu pada tubuh korban
yang diikat pada sebuah tonggak.
Kehadiran perempuan yang menjadi saksi pemukulan itu memperkuat patriarki
dalam ruang kolonial, seorang perempuan tidak layak hadir dalam ranah publik yang
mempertontonkan kuasa laki-laki. Perempuan dibungkam dan dibuat tidak berdaya
untuk menyuarakan kemuakan mereka terhadap praktik kekerasan semacam itu.
Menarik untuk mencermati bagaimana sosok perempuan Ambon digambarkan dalam
cerita: mereka hadir sebagai perempuan yang lantang bersuara, dan cerdik membaca
situasi. Dengan kecerdikannya – sosok ibu selama lima tahun ia menetap di barak di
Blankejeren – berhasil menghentikan praktik kekerasan fisik untuk menghukum
serdadu. Ketika suaminya, seorang laki-laki Belanda, superior dan memiliki kuasa, dan
juga perwira Belanda lainnya tidak berhasil mengakhiri tindak kekerasan semacam itu,
sosok ibu berdarah Ambon mampu menyelesaikannya.
Terlalu banyak yang
dipertaruhkan oleh kelompok superior untuk membuat - karier dan mutasi dalam
pekerjaan – yang menghalangi mereka membuat terobosan di ruang kolonial.
Dalam karya Wies van Groningen, ruang kolonial yang dihadirkan melalui zona
kontak di barak militer adalah ruang yang rentan dengan ketimpangan kuasa, sarat
dengan tindak kekerasan. Namun sekaligus menjadi ajang pembelajaran betapa sosok
inferior yang dianggap lemah mampu bernegosiasi dan menghasilkan perbaikan dalam
zona kontak yang ada.
Dari Ambon Menuju Tempat yang Terlupakan
Yvon Muskita lahir pada tahun 1958 di kamp untuk orang Ambon di Venray.
Pada usia sangat muda ia sudah meninggalkan kamp untuk tinggal bersama keluarga
Belanda yang mengasuhnya. Debutnya terbit pada tahun 2008, Snijden en stikken, het
leven van kleermaker Boeng. Tokoh utamanya adalah Boeng, anak seorang perwira
KNIL yang harus meninggalkan Indonesia bersama orang Maluku lainnya. Di Belanda
mereka ditempatkan di barak-barak yang berada di Belanda Timur, dan akhirnya
mendapat sebuah rumah di wilayah yang sengaja dibangun untuk orang Maluku.
Pekerjaan sebagai penjahir menempatkannya ada di tengah masyarakat Maluku migran
tersebut, namun pada saat yang bersamaan keberadaannya yang lajang mengisolasinya.
Ia menjahit baju untuk anak-anak, baju pengantin , dan baju yang dikenakan orang mati.
Di penghujung usianya, kenangan masa lalu membawanya ke masa mudanya di Hindia,
dan perpindahannya ke Belanda.
Cerita dituturkan oleh seorang pencerita akuan, yang sekaligus menjadi
fokalisator utama. Setidaknya ada tiga tataran cerita dalam karya Muskita ini, yang
pertama tokoh-aku menuturkan kehidupannya sebagai seorang penjahit. Kedua,
berisikan sejarah orang Maluku di Belanda, yang ketiga pencerita menuturkan
permasalahan yang dihadapi generasi kedua keturunan Maluku di Belanda yang diwakili
oleh sosok Myra.
Dalam karya Muskita, zona kontak dalam ruang kolonial didominasi tempattempat yang mempertemukan Boeng dengan anggota masyarakat Maluku lainnya di
Belanda. Buku in terdiri dari tiga bagian, masing-masing memperlihatkan zona kontak
yang spesifik. Bab 1, de reis (perjalanan) yang berisi kenangan perjalanan dari Belanda,
serta kehidupan saat awal berada di Belanda, situasi di barak dan masih besarnya
keinginan untuk dapat kembali ke Maluku, negeri leluhur mereka.
Bab kedua De wijk (tempat hunian) berisi kesulitan beradaptasi dengan Negeri Belanda,
serta negosiasi yang dilakukan untuk dapat menerima kenyataan keberadaan di Belanda.
58
Dalam bab 2 zona kontak mempertemukan orang Maluku dengan penduduk Belanda,
dalam zona kontak ini diperlihatkan persinggungan yang tidak berjalan mulus,
penolakan dari kedua belah pihak. Dalam bab yang sama zona kontak yang
mempertemukan sesama orang Maluku diperlihatkan permasalah keterpisahan antara
orang tua dan anak-anak mereka, antara generasi pertama orang Maluku dan generasi
kedua. Bila pada bab 1 generasi pertama mengalami kesulitan beradaptasi, pada bab ke2 dalam berbagai zona kontak diperlihatkan kesulitan generasi kedua untuk berintegrasi
dengan masyarakat Belanda, tokoh Myra digamabrkan tinggal dan bekerja di Den Haag.
Bab ketiga, De trein (kereta api) menceritakan perjalanan Boeng ke Den Haag untuk
bertemu dengan Myra. Permasalahan yang dihadapi generasi kedua memecahbelah
kelompok masyarakat Maluku di Belanda dan menyeret sebagian menjadi sangat
radikal. Banyak pemuda/I dari generasi kedua putus sekolah, tidak memiliki pekerjaan
dan jatuh dalam jerat candu. Beratnya masalah yang dihadapi generasi kedua
dianalogikan dengan peristiwa pembajakan kereta yang dibajak oleh kelompok RMS
pada tahun 1977, Het gele staal dat al weken roerloos stond in het stille land
(rangkaian baja berwarna kuning itu sudah berminggu-minggu lamanya tidak bergerak
di tengah wilayah yang sepi itu). Zona kontak dalam karya Muskita memunculkan
kekerasan dalam ruang (pasca)kolonial di Negeri Belanda yang diilustrasikan dengan
berbagai masalah yang dihadapi oleh generasi kedua yang tidak jarang diungkap dalam
bentuk kematian. Tokoh Myra mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri pada akhir bab
3.
Mereka yang Membisu
Sylvia Pessireron mempublikasikan roman De verzwegen soldaat pada tahun
2012. Latar belakang pendidikannya jurnalistik, ia juga dikenal sebagai penulis skenario
untuk film televisi De Punt. Dalam roman De verzwegen soldaat dituturkan cerita
kehidupan seorang ayah dan anak perempuannya yang diwarnai dengan kerinduan akan
Maluku, perjuangan dan kesetiaan, juga disisipkan kekecewaan karena janji yang tidak
terpenuhi. Sang ayah, Marcus Kainama lahir di pulau Seram adalah mantan anggota
KNIL yang sampai pada akhir perjalanan karirnya selalu setia kepada Ratu Belanda.
Anak perempuan Marcus, Nona Kainama dilahirkan di propinsi Zeeland di bagian
Timur Belanda, setia kepada komunitas Maluku. Marcus adalah sosok yang setia, tidak
hanya pada Ratu Belanda tetapi juga pada teman, komandan, orang tua dan anggota
keluarga lainnya. Ia juga tidak pernah berpaling dari istri dan anak-anaknya. Marcus
digambarkan sebagai sosok yang memegang teguh prinsip kesetiaan dalam keadaan dan
kondisi apa pun, di masa Hindia masih menjadi bagian dari Belanda, pada masa
pendudukan Jepang, dan juga setelah kemerdekaan Indonesia. Keteguhan hatinya tidak
tergoyahkan meski ia harus menjalani penyiksaan, pengurungan di penjara, dan menjadi
tenaga paksa. Kesetiaan pada Belanda berbalik menjadi kekecewaan dan ia merasa
dikhianati, keinginan untuk kembali ke tanah leluhur tidak pernah terlaksana.
Kekecewaan menjadikan Marcus pribadi yang tertutup dan mengunci rapat-rapat
mulutnya. Ia memilih untuk berdiam diri dan tidak bersuara.
De verzwegen vader dituturkan oleh seorang pencerita ekstern maha tahu. Ia
memfokalisasikan dengan cermat kesetiaan Marcus Kainama, sekaligus kekecewaan
mendalam yang dirasakan sosok yang sama.
Ruang kolonial Hindia menghadirkan zona kontak yang mempertemukan sosok
Marcus dengan orang Ambon lainnya di Hindia (Maluku dan di pulau Jawa), dengan
penduduk Hindia lainnya (Timor dan Jawa), dan dengan orang Eropa di lingkungan
pekerjaannya pada awalnya sebagai seorang guru dan nantinya sebagai anggota KNIL.
59
Dalam berbagai zona kontak yang ada persinggungan itu tidak jarang digambarkan tidak
berlangsung mulus dan diwarnai dengan kecurigaan, seperti yang terlihat pada kutipan
berikut.
Hij stond stil en snoof de zilte zeelucht diep op. Tevreden wandelde hij verder. Twee
mannen liepen hem tegemoet. Toen hij vlak bij hen was, wenkte een van hen.
Nieuwsgerig liep Marcus naar ze toe, tot er vlak voor zijn voeten een fluim in het zand
belandde. ‘Jilat pantat Belanda – kontlikker van de Nederlanders. Diep beledigd bleef
Marcus staan. Hij knarste met zijn tanden. ‘Wat zei je?’ vroeg hij. Hij balde en ontspande
zijn vuisten snel achter elkaar. De man keek hem smallend aan. ‘Jilat …”23. (De
verzwegen soldaat, hal. 22)
Sesama orang Maluku memandang rendah Marcus dan menganggapnya sebagai penjilat
Belanda karena ia bergabung dengan KNIL. Pandangan yang sama juga ditemukan
dalam zona kontak yang mempertemukan orang Maluku dengan orang Jawa di Cimahi,
tempat Marcus menjalani pelatihan militer, seorang teman Marcus menjadi korban
pengeroyokan,
(…) ‘Ik ben niet begonnen,’ gromde hij, terwijl hij naar zijn kom reikte maar daar toch
maar weer van afzag. ‘Het waren lafbekken: ze kwamen met z’n drieën op me af,
scholden me uit voor landveradder en voor ik er erg in had haalden ze rotans tevoorschijn.
Hier … moet je zien.’ Hij trokt zijn blouse over zijn hoofd en draaide zijn rug vol
vuurride striemen en blauwe plekken naar hen toe24. (De verzwegen soldaat, hal. 31)
Dalam zona kontak di Hindia relasi kuasa sangat mengemuka, bukan saja orang Belanda
yang digambarkan superior. Orang Ambon pun merasa kelompok mereka berbeda
dibanding dengan penduduk Hindia lainnya .
Zona kontak di Negeri Belanda mempertemukan orang Maluku dengan anggota
kelompok lainnya, dan juga dengan orang Belanda. Lelaki Maluku mantan anggota
KNIL digambarkan sebagai kelompok pendiam dan tidak bicara banyak. Mereka saling
bertukar pandangan namun mengunci rapat mulut mereka, kekecewaan yang mereka
hadapi, kerinduan kembali ke tanah leluhur disimpan rapat dalam lubuk hati. Diam
menjadi pilihan ketika menghadapi kekecewaan dan ketidaknyamanan. Hal tersebut
terlihat dari fokalisasi Nona saat ia menggambarkan barak tempat tinggalnya.
In onze barak was het ‘s winters altijd veel te koud en ‘s zomers te heet. Mijn moeder had
een piepklein keukentje en we hielden onszelf schoon door naast de dagelijkse
kattenwasjes in de keuken, één keer per week thuis in een teil te gaan en twee keer per
week te douchen in het badhuis in het dorp25. (De verzwegen soldaat, hal. 36)
23
Ia berhenti dan menghirup bau asin lautan. Dengan rasa puas ia melanjutkan perjalanan. Ia
berpapasan dengan dua laki-laki, ketika jarak mereka semakin dekat, salah satu dari mereka
menghindarinya. Penuh rasa ingin tahu Marcus berjalan menghampiri mereka, sampai ia tiba-tiba
ia melihat salah satu dari mereka membuang dahak dekat sepatunya. ‘Jilat pantat Belanda’.
Merasa sangat terhina, Marcus tetap berdiri. Ia mengertakkan giginya. ‘Apa katamu?’ tanyanya. Ia
mengepal-ngepalkan tinjunya. Lelaki menatapnya dengan pandangan merendahkan. ‘Jilat …'
24
‘Saya (=Bunga, salah satu tokoh) bukan yang memulainya,’ geramnya, sementara ia mencoba
meraih mangkok makanannya namun kemudian membatalkannya.’Mereka pengucut: mereka
bertiga mengeroyok saya, memaki saya sebagai pengkhianat negara dan sebelum saya benar-benar
menyadari mereka telah mengeluarkan tongkat rotan. Lihat …. Kamu harus lihat ini’. Ia
menanggalkan bajunya dan memperlihatkan punggungnya yang dipenuhi bilur-bilur merah dan
memar-memar biru bekas pukulan.
25
Barak kami sangat dingin di musim dingin dan pada musim panas terlalu pengap. Ibu saya
hanya memiliki satu dapur yang kecil sekali, kami membersihkan diri dengan membasuh wajah di
dapur, satu kali dalam seminggu berendam di ember besar di rumah, dan dua kali seminggu
mandu di pemandian umum di desa.
60
Simpulan
Zona kontak dalam karya yang dikaji semuanya mempertemukan orang Maluki
dengan kelompok sebudaya dan budaya lain. Persinggungan itu tidak berlangsung
mulus dan diwarnai dengan isu kekerasan antara lain karena kesalahpahaman dan
kecurigaan. Kekerasan baik verbal maupun fisik tidak jarang berujung pada kematian.
Dalam semua karya, ruang kolonial yang digambarkan baik secara geografis
maupun imajiner, kental bernuansa patriarkal. Selang waktu publikasi antara karya
Dermoût (1955) dan Pessireron (2012) yang berjarak lebih dari setengah abad, tidak
memperlihatkan perubahan yang cukup signifikan dalam penggambaran ruang kolonial
maupun permasalahan yang muncul dalam berbagai zona kontak. Permasalahan yang
terkait dengan diaspora dan dampaknya, seolah tidak terkait dengan waktu dan
kemodernan. Bagaimana pun bentuk kerinduan, kekecewaan, penerimaan dan
penolakan tidak lekang karena waktu, dan akan menjadi permasalahan yang tidak dapat
dilepaskan dari perpindahan manusia.
Daftar Rujukan
Bal, Mieke. 1978. De Theorie van Vertellen en Verhalen. Inleiding in de narratologie.
Muiderberg: Coutinho.
-------- 1997. Narratology. Introduction to the theory of narrative. Revised edition.
Toronto: University Press.
Freriks, Kester. 2000. Geheim Indië. Het leven van Maria Dermoût 1888-1962.
Amsterdam: E.M. Querido’s Uitgeverij.
Groningen, Wies. 2005. Mij voormoeders van de Molluken.www.boekscout.nl
Lopulalan, Frans, 1985. Onde de sneeuw een Indisch graf. Amserdam/Haarlem: Inde
knipscheer.
Maria Dermoût. 1990. Verzameld werk. Nog pas gisteren. Spel van tifa-gongs. De
tienduizend dingen. De juwelen haarkam. De kist. De sirenen. Donker van
uiterlijk en andere verhalen. Amsterdam: E.M. Querido’s Uitgeverij.
Muskita. Yvon. 2008. Snikken en stikken. Het verhaal van kleermaker Boeng. Haarlem:
In de knipscheer.
Nieuwenhuys. Rob. 1978. Oost Indische spiegel. Wat Nederlandse schrijvers en
dichters over Indonesië hebben geschreven vanaf de eerste jaren de
Compagnie tot heden. Amsterdam: E.M. Querido. Cetakan ketiga.
Paasman, Bert. 2003. ‘De een draagt een bril en de ander is Indisch. Inleiding op de
literatuur van de Tweede generatie Indisch-Nederlandse auteurs’ dalam
Indische Letteren. Jaargang 18. Werkgroep Indisch-Nederlandse Letterkunde,
Alphen aan den Rijn.
Pessireron, Sylvia. 2012. De verzwegen vader. Vianen/Anwerpen: The house book.
Pratt, Mary Louise. 1991. ‘The arts of contact zone’ dalam MLA Profession 91.
--------- 2002. Imperial Eyes. Travel Writing & Transculture. London & New York:
Routledge. Cetakan kedua.
61
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL MELALUI SASTRA
Dad Murniah
(Badan Bahasa Kemendikbud - Indonesia)
Abstrak: Pendidikan multikultural merupakan proses penanaman nilai-nilai dan cara
hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di
tengah-tengah masyarakat. Pendidikan multikultural tidak harus berdiri sendiri, tetapi
dapat terintegrasi dalam mata pelajaran dan proses pendidikan yang ada di sekolah,
termasuk keteladanan para guru dan orang-orang dewasa di sekolah.
Dalam pengajaran sastra di SMA, kita juga dapat menerapkan pendidikan multikultural
dengan pembelajaran berbasis budaya. Pembelajaran berbasis budaya merupakan
strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang
mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran. Dalam hal ini kita
dapat memanfaatkan budaya sebagai media pembelajaran sastra. Karya-karya sastra
ciptaan Ahmad Tohari, Korrie Layun Rampan, Umar Kayam, Linus Suryadi AG, Oka
Rusmini, dan sebagainya, bisa menjadi sarana pendidikan multikultural di sekolah.
Pembacaan terhadap karya sastra yang mengandung muatan multikultural, baik eksplisit
maupun eksplisit, diharapkan dapat membekali para siswa dalam berinteraksi dengan
sesama di lingkungan hidupnya. Mereka diharapkan dapat menyesuaikan diri dalam
keragaman yang ada, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan bersama. Dengan
demikian, mereka mampu menerima perbedaan, dan bukan apriori terhadap perbedaan.
Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau
pluralis. Kemajemukan ini dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu horizontal dan dan
vertikal. Dalam perspektif horizontal, kemajemuan bangsa kita dapat dilihat dari
perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, dan budayanya. Sedangkan dalam
perspektif vertikal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan tingkat
pendidikan, ekonomi, dan tingkat sosial budayanya.
Fenomena kemajemukan ini bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi memberi
dampak positif, yaitu kita memiliki kekayaan khasanah budaya yang beragam, tetapi
pada sisi lain juga dapat menimbulkan dampak negatif, karena terkadang justru
keragaman ini dapat memicu konflik antarkelompok masyarakat yang dapat
menimbulkan instabilitas baik secara keamanan, sosial, politik maupun ekonomi.
Karena itu, dalam menghadapi pluralisme budaya tersebut, diperlukan paradigma
baru yang lebih toleran dan elegan untuk mencegah dan memecahkan masalah benturanbenturan budaya tersebut, yaitu paradigma pendidikan multikultural. Hal ini penting
untuk mengarahkan anak didik dalam menyikapi realitas masyarakat yang beragam,
sehingga mereka akan memiliki sikap apresiatif terhadap keragaman perbedaan tersebut.
Maraknya kerusuhan dan konflik yang berlatar belakang suku, adat, ras, dan
agama menunjukkan bahwa pendidikan kita telah gagal dalam menciptakan kesadaran
akan pentingnya multikulturalisme. Tak dapat disangkal lagi bahwa republik ini
membutuhkan pendekatan dan instrumen strategik yang dapat dijadikan sebagai sebuah
gerakan nasional untuk mewujudkan persatuan, kesatuan, dan keutuhan bangsa agar
menjadi bangsa yang berdaulat dan bermartabat.
62
Pendidikan multikultural merupakan suatu pendekatan progresif untuk melakukan
transformasi pendidikan yang secara holistik memberikan kritik dan menunjukkan
kelemahan-kelemahan, kegagalan-kegagalan dan diskriminasi di dunia pendidikan.
Pendidikan multikultural sebagai instrumen rekayasa sosial mendorong sekolah supaya
dapat berperan dalam menanamkan kesadaran dalam masyarakat multikultur dan
mengembangkan sikap tenggang rasa dan toleran utuk mewujudkan kebutuhan serta
kemampuan bekerja sama dengan segala perbedaan yang ada.
Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural adalah merupakan suatu gerakan pembaharuan dan
proses untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa.
Sebagai sebuah gerakan pembaharuan, istilah pendidikan multikultural memang belum
begitu memasyarakat. Bahkan penafsiran terhadap definisi maupun pengertian
pendidikan multikultural juga masih diperdebatkan di kalangan pakar pendidikan.
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu
pendidikan dan multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran,
pelatihan, proses dan cara mendidik. Dan multikultural diartikan sebagai keragaman
kebudayaan, aneka kesopanan.
Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses
pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan
heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran
(agama). Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam
pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses
sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki
penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat
manusia.
Mengacu pada pendapat Andersen dan Cusher, pendidikan multikultural dapat
diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Sedangkan Muhaemin
El Ma’hady mengatakan bahwa pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai
pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografi dan
kultural lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia secara keseluruhan (global).
Sementara Hilda Hernandez berpendapat bahwa pendidikan multikultural
merupakan perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami
oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam
secara kultur. Selain itu, ia merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, agama,
gender, etnisitas, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses
pendidikan.
Menurut James Banks, pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang
saling berkaitan satu dengan yang lain. Pertama, content integration, yaitu
mengintegrasikan berbagai budaya dan kerealisasi dan teori dalam mata
pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa
siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin).
Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara
belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik
dari segi ras, budaya ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu
mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menetukan metode pengajaran mereka.
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam
program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada
63
kelompok rasial, agama dan kultur dominan atau mainstream. Dalam konteks teoritis,
belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang
dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan. Pertama, pendidikan
mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai
perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi
pluralisme kebudayaan. Keempat, pendidikan dwibudaya. Kelima, pendidikan
multikultural sebagai pengalaman moral manusia.
Sebagai suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk menciptakan lingkungan
pendidikan yang setara untuk seluruh siswa, pendidikan multikultural memiliki
beberapa prinsip. Pertama, pendidikan multikultural adalah gerakan politik yang
bertujuan menjamin keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat tanpa memandang
latar belakang yang ada. Kedua, pendidikan multikultural mengandung dua dimensi,
yaitu pembelajaran (kelas) dan kelembagaan (sekolah) di mana antara keduanya tidak
bisa dipisahkan, tetapi justru harus ditangani lewat reformasi yang komprehensif.
Ketiga, pendidikan multikultural menekankan reformasi pendidikan yang
komprehensif dapat dicapai hanya lewat analisis kritis atas sistem kekuasaan dan
privileges untuk dapat dilakukan reformasi komprehensif dalam pendidikan. Keempat,
berdasarkan analisis kritis ini, maka tujuan pendidikan multikultural adalah
menyediakan bagi setiap siswa jaminan memperoleh kesempatan guna mencapai
prestasi maksimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Sedangkan kelima,
pendidikan multikultural adalah pendidikan yang baik untuk seluruh siswa, tanpa
memandang latar belakangnya.
Ide pendidikan multikultural akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana
direkomendasi Unesco pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di
antaranya memuat pesan-pesan berikut ini. Pertama, pendidikan hendaknya
mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam
kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan
kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua,
pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan
penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan
solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan
kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan. Karena itu,
pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam pikiran
peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh
kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Pendidikan multikultural merupakan sesuatu yang sangat penting dan mendesak
untuk di implementasikan dalam praksis pendidikan di Indonesia. Karena pendidikan
multikultural dapat berfungsi sebagai sarana alternatif pemecahan konflik. Melalui
pembelajaran yang berbasis multikultur, siswa diharapkan tidak tercerabut dari akar
budayanya, dan rupanya diakui atau tidak pendidikan multikultural sangat relevan di
praktikkan di alam demokrasi seperti saat ini.
Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam memang merupakan
tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan untuk mengolah bagaimana ragam perbedaan
tersebut justru dapat dijadikan aset, bukan sumber perpecahan. Di era globalisasi
ini pendidikan multikultural memiliki tugas ganda, yaitu selain menyatukan bangsa
sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya tersebut, juga harus menyiapkan
bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar yang masuk ke negeri ini.
Pendidikan multikultural juga dapat dimanfaatkan untuk membina siswa agar
tidak tercerabut dari akar budayanya, sebab pertemuan antarbudaya di era globalisasi ini
64
bisa jadi dapat menjadi ancaman serius bagi anak didik kita. Dalam kaitan ini siswa
perlu diberi penyadaran akan pengetahuan yang beragam, sehingga mereka memiliki
kompetensi yang luas akan pengetahuan global, termasuk aspek kebudayaan.
Gelombang demokrasi menuntut pengakuan perbedaan dalam tubuh bangsa
Indonesia yang majemuk. Karena itu, untuk membangun rasa persatuan dan kesatuan
serta rasa nasionalisme sekaligus menjawab beberapa problematika kemajemukan
seperti yang digambarkan di atas dibutuhkan langkah sistematis yang dapat dijadikan
sebagai sebuah gerakan nasional.
Melalui pendidikan multikultural kita dapat memberi seluruh siswa, tanpa
memandang status sosial-ekonomi, gender, orientasi seksual, atau latar belakang etnis,
ras maupun budaya, kesempatan yang setara untuk belajar di sekolah. Pendidikan
multibudaya juga didasarkan pada kenyataan bahwa siswa tidak belajar dalam
kekosongan; budaya mereka memengaruhi mereka untuk belajar dengan cara tertentu.
Sastra Multikultural
Selain pendidikan multikultural, beberapa tahun terakhir ini juga muncul wacana
tentang sastra multikultural. Bagi Indonesia, perbincangan mengenai multikulturalisme
itu menjadi penting bukan semata-mata hanya karena Indonesia merupakan sebuah
negara yang terdiri atas berbagai kultur yang sangat plural, melainkan juga karena
belakangan ini (terutama sejak masa pascareformasi) di Indonesia sering terjadi konflik
sosial sebagai akibat dari benturan berbagai budaya masyarakatnya.
Menurut Maman Mahayana, multikulturalisme merupakan sebuah filosofi liberal
dari pluralisme budaya demokratis. Multikulturalisme didasarkan pada keyakinan
bahwa semua kelompok budaya secara sosial dapat diwujudkan, direpresentasikan, dan
dapat hidup berdampingan. Pusat perhatian dan titik tekan multikulturalisme adalah
pada pemahaman dan kesadaran bahwa individu dan kelompok sosial sejatinya hidup
dalam berbagai perbedaan, baik perbedaan ideologi, agama, suku bangsa, maupun
budaya. Melalui pemahaman dan kesadaran itu, setiap individu sebagai bagian dari
kelompok sosial dan warga suku bangsa akan dapat menempatkan perbedaan budaya
dalam kerangka kesetaraan derajat, dan bukan dalam kategori kelompok mayoritas yang
mendominasi kelompok minoritas.
Sebagai negara yang terdiri atas berbagai kultur (budaya) yang sangat plural,
Indonesia secara otomatis sudah memperlihatkan kemultikulturalan itu. Begitu pula
sastranya. Sejak awal kemunculannya, sastra Indonesia sudah diwarnai oleh karya-karya
yang multikultural. Sekadar contoh, sebut saja Siti Nurbaya (Marah Rusli), Layar
Terkembang (Sutan Takdir Alisyahbana, 1930), Gairah untuk Hidup, Gairah untuk Mati
(Nasjah Djamin), Upacara (Korrie Layun Rampan), Pengakuan Pariyem (Linus
Suryadi AG), Sri Sumarah dan Bawuk (Umar Kayam), Burung-burung Manyar (YB
Mangunwijaya), Chau Bau Khan (karya Remy Silado), Hempasan Gelombang (Taufik
Ikram Jamil), Ki Blata Suta Bla Bla (Darmanto Jatman), Tempuling (Rida K Liamsi),
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Bibi Giok (Zarra Zettira), Miss Lu (Naning
Pranoto), Tarian Bumi (Oka Rusmini), dan lain-lain.
Selain karya-karya yang telah disebutkan di atas, sesungguhnya cukup banyak
genre sastra baik puisi, cerpen, novel maupun drama yang mengumandangkan
multikulturalisme. Hal itu seiring dengan semakin populernya wacana multikultural
dalam kehidupan masyarakat pada akhir abad XX sehingga sering dibicarakan dalam
berbagai forum sampai hari ini. Sastra multikultural dapat diartikan sebagai sastra yang
mengandung dimensi-dimensi pluralistik yang menyuarakan spirit multikulturalisme.
65
Gagasan dan semangat kebinnekaan (pluralistik) terasa mendasari karya sastra
multikultural itu.
Sastra sangat penting bagi siswa dalam upaya pengembangan rasa, cipta, dan
karsa. Fungsi utama sastra adalah ebagai penghalus budi, peningkatan rasa kemanusiaan
dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya, dan penyalur gagasan, imajinasi
dan ekspresi secara kreatif dan konstruktif. Sastra akan dapat memperkaya pengalaman
batin pembacanya.
Sastra memiliki fungsi dan manfaat yang penting bagi kehidupan. Dalam proses
pembelajaran, sastra dapat dimanfaatkan oleh guru sebagai alat untuk meningkatkan
kepekaan siswa terhadap nilai-nilai kearifan dalam menghadapi kehidupan yang
kompleks dan multidimensi. Termasuk di dalamnyarealitas sosial, lingkungan hidup,
kedamaian dan perpecahan, kejujuran dan kecurangan, cinta kasih dan kebencian,
kesetaraan, gender, ketuhanan, maupun kemanusiaan. Melalui pembelajaran sastra,
siswa diharapkan akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang berbudaya, mandiri,
sanggup mengaktualisasikan diri dengan potensinya, mampu mengekspresikan pikiran
dan perasaan dengan baik, berwawasan luas, mampu berpikir kritis, berkarakter, halus
budi pekertinya, dan peka terhadap lingkungan sosial masyarakat dan bangsanya.
Peranan Guru dalam Pendidikan Multikultural
Guru merupakan faktor penentu bagi keberhasilan praktik pendidikan dan
pembelajaran. Jika kelayakan dan kompetensi guru di Indonesia umumnya masih di
bawah standar, khususnya untuk mengelola pembelajaran multikultural, maka
keefektifan pelaksanaan pembelajaran multikultural tentu terkendala.
Perlu ada upaya sinergis dari berbagai pihak untuk mewujudkan pendidikan
berperspektif multikultural. Pihak-pihak yang perlu berpartisipasi dalam upaya itu,
khususnya untuk mewujudkan pendidikan berperspektif multikultural, antara lain adalah
pengambil kebijakan, penulis buku pelajaran, dan guru.
Dalam konteks pendidikan multikultural, guru perlu mencegah agar pemahaman
para siswa yang ekslusif tidak berkembang atau dapat dieliminasi. Guru, tentu saja
bersama para pemangku kepentingan, dituntut memiliki program aksi dan strategi
implementasi dalam upaya membangun pemahaman keberagamaan yang lebih inklusifpluralis, dialogis-persuasif, kontekstual, dan humanis. Dengan perkataan lain,
pemahaman lintas budaya perlu dimiliki oleh guru. Dalam konteks pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia, guru dituntut memiliki wawasan yang cukup tentang bagaimana
seharusnya menghargai keragaman bahasa dan tema multikultural dalam sastra.
Wawasan ini penting dimiliki oleh seorang guru agar segala sikap dan tingkah lakunya
menunjukkan sikap yang egaliter dan selalu menghargai perbedaan yang ada.
Guru juga dituntut untuk senantiasa berupaya meningkatkan pemahaman dan
kemampuan komunikasi lintas budaya para siswa. Hal ini perlu secara terus-menerus
dilakukan guru. Upaya itu antara lain dengan memilih, menyediakan, dan menggunakan
materi ajar yang berwawasan multikultural. Perlu dihindari buku-buku yang bermuatan
rasis dan provokatif terhadap munculnya pertentangan yang destruktif, dan sebaliknya
perlu dipilih dan digunakan buku-buku pelajaran dan karya-karya sastra yang peka akan
nilai-nilai keragaman, nilai-nilai multikultural. Tatkala materi itu belum tersedia, guru
dituntut mampu mengembangkan materi ajar yang berperspektif multikultural tersebut,
yakni materi ajar yang menyajikan kekayaan budaya dari berbagai etnis. Guru bahasa
dan sastra Indonesia dapat menyajikan berbagai khazanah karya sastra yang berasal dari
berbagai daerah dan komunitas budaya.
66
Guru perlu mengupayakan terciptanya kondisi masyarakat belajar (learning
community). Konsep ini menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama
dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh melalui sharing antarteman dan
antarkelompok. Untuk itu guru perlu melaksanakan pembelajaran dalam kelompokkelompok belajar. Keanggotaan dalam kelompok itu hendaknya bersifat heterogen.
Dengan demikian, melalui kelompok itu dimungkinkan siswa yang kurang bisa belajar
dari yang mampu atau siswa yang mampu mengajari yang lemah, yang tahu memberi
tahu yang belum tahu, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan sebagainya.
Kesimpulan
Pendidikan multikultural sangat berperan untuk membangun sikap toleransi serta
kesadaran siswa untuk memiliki perilaku humanis, pluralis, dan demokratis. Pendidikan
multikultural akan mampu meningkatkan kohesivitas, soliditas, dan intimitas di antara
siswa yang memiliki keragaman agama, etnik, budaya, pandangan, dan berbagai
perbedaan lainnya.
Dalam karya sastra para sastrawan Indonesia terdapat muatan-muatan
multikultural yang layak untuk dikaji dan direnungkan sesuai dengan perkembangan dan
perubahan nilai kehidupan pada era global. Dengan memperkenalkan karya-karya
sastra yang memuat multikulturalisme akan memberikan wawasan kepada para siswa
sehingga memiliki suatu pandangan dan sikap untuk melihat pluralitas budaya sebagai
realitas fundamental dalam kehidupan masyarakat. Para siswa ada kesediaan untuk
membuka diri dalam menjalani kehidupan bersama dengan menerima dan memahami
pluralitas budaya sebagai kenyataan dan saling menghargai satu dengan lainnya tanpa
saling merendahkan.
Penggunaan materi karya sastra dari berbagai etnik dan budaya juga perlu
dilakukan oleh guru. Pemilihan lebih didasarkan pada pengenalan khazanah budaya
Indonesia (bahkan dunia) agar para peserta didik memilki pemahaman dan perilaku
berwawasan multikultural.
Daftar Rujukan
Achmad, Nur (ed.). 2001. Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta: PT
Gramedia.
Ainul Yaqin, M. 2005. Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
Banks, James A. (ed.). 1989. Multicultural Education: Issues and Perspectives. BostonLondon: Allyn and Bacon Press.
Banks, James A. 1993. Teaching strategies for ethnic studies. Boston: Allyn and Bacon
Inc.
Banks, James A. 2002. An Introduction to Multicultural Education. Boston-London:
Allyn and Bacon Press.
Banks, James A. 2007. Educating Citizens in Multicultural Society. Second Edition.
New York: Teachers College Columbia University.
Dawam, Ainurrofiq. 2006. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Inspeal, 2006
Djohar. 2003. Pendidikan Strategik, Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan.
Yogyakarta : LESFI.
Fay, Brian. 1996. Contemporary Philosophy of Social Sience: A Multicultural
Approach. Oxford: Backwell.
67
Freire, Paulo. 1984. Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan, terj. Alois A. Nugroho.
Jakarta: Gramedia.
Hernandez, Hilda. 1989. Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context,
Process, and Content, New Jersy & Ohio : Prentice Hall.
Mahfud, Choirul. 2008. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tilaar, H.A.R. 2002. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani
Indonesia. Jakarta: Remaja Rosdakarya.
Zamroni. 2010a. The Implementation of Multicultural Education. A Reader.
Yogyakarta: Graduate Program The State University of Yogyakarta.
Zamroni. 2010b. A Conception Frame-work of Multicultural Teachers Education. A
Reader. Yogyakarta: Graduate Program The State University of Yogyakarta.
Zamroni.
2011. Pendidikan
Demokrasi
pada
Masyarakat
Multikultural. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama
68
PEMBELAJARAN SASTRA LISAN BUGIS DI SEKOLAH-SEKOLAH
SEBAGAI SALAH SATU MEDIA PEMBENTUKAN KARAKTER
Dafirah
(FIB Universitas Hasanuddin, Makassar - Indonesia)
Abstrak: Sastra lisan adalah satu unsur kekayaan Indonesia yang tersebar di setiap
wilayah nusantara ini. Sastra lisan merupakan karya monumental masyarakat terdahulu.
Sebagai karya masyarakat terdahulu, sastra lisan merupakan gambaran pikiran,
ideologi, falsafah masyarakat terdahulu. Oleh karena itu, sastra lisan perlu ditansmisikan
atau dipindahkan kepada generasi penerus agar mereka mampu memahami pikiran dan
ideologi masyarakat terdahulu. Salah satu cara memindahkan atau mewariskan sastra
lisan adalah dengan pembelajaran baik secara formal ataupun informal. Secara informal
dilakukan dalam lingkungan keluarga, sedangkan secara formal dilakukan dalam ranah
pendidikan formal di antaranya sekolah.
Tujuan pembelajaran sastra lisan secara formal salah satunya adalah untuk
pembentukan karakter. Karena di dalam sastra lisan banyak ditemui unsur, nilai dan
bahkan falasafah masyarakat pemiliknya. Salah satu suku bangsa Indonesia yang kaya
denga sastra lisan adalah suku Bugis yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Suku Bugis
di dalam bersastra lisan menggunakan bahasa Bugis sebagai medianya.
Sastra lisan yang dapat ditemukan dalam suku Bugis berupa Cerita Prosa Rakyat,
baik berupa mite, legenda, ataupun dongeng; nyanyian rakyat, pesan, dan ungkapan
tradisional.
Pendahuluan
Indonesia adalah Negara yang dikenal dengan
keanekaragamannya.
Keanekaragaman dalam bahasa, budaya, dan lain-lain sebagainya. Terdapat ratusan
bahkan ribuan budaya dan bahasa yang tersebar di seluruh pelosok tanah air Indonesia
memberi corak dan warna tersendiri. Sayang sekali sebagian dari budaya dan bahasa
yang menjadi kekayaan kita berada pada ambang kepunahan, bahkan ada di antaranya
yang sudah punah. Padahal, di sisi lain budaya dan bahasa yang tersebar itu
mengandung berbagai kearifan dan nilai-nilai lokal yang relevan dengan kekinian dapat
dijadikan sebagai pembentuk karakter yang berbasis kearifan lokal.
Apabila pemaparan tersebut dikaitkan dengan salah satu fungsi bahasa daerah
yaitu sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan di daerah. Fungsi tersebut
semakin menguatkan posisi bahasa budaya daerah.
Oleh karena itu, dalam rangka pembentukan karakter yang berbasis kearifan
lokal perlu ada upaya untuk mentransmisi atau mengalihkan nilai dan kearifan lokal
tersebut kepada kalangan generasi muda guna pembentukan karakter mereka.
Pengalihan tersebut dapat dilakukan secara formal ataupun non-formal. Secara formal
pengalihannya dilakukan melalui pendidikan dalam rumah, sedangkan secara formal
bisa dilakukan dalam pendidikan formal yaitu sekolah-sekolah.
Kondisi yang boleh dikata menggembirakan adalah adanya perhatian dari para
pihak terkait tentang pentingnya pembelajaran bahasa, sastra, dan budaya daerah.
Namun, yang tergolong masih kurang adalah perhatian terhadap pembelajaran sastra
yang berbbasis lokal, mislnya saja pelibatan sastra lisan dalam pembelajaran sastra
secara umum di daerah-daerah. Pembelajaran sastra lisan di sekolah-sekolah perlu
69
digarisbawahi dan mendapat perhatian khusus karena di dalam sastra lisanlah terdapat
berbagai pesan, nilai bahkan kearifan lokal yang memiliki kekuatan dalam pembentukan
karakter. Sehubungan dengan
pendidikan karakter, Hidayatullah (2010:13)
memaparkan bahwa pendidikan karakter berkait dengan kualitas atau kekuatan mental
seseorang yang berbeda dengan orang lain.
Di samping itu, pelibatan sastra lisan dalam pembelajaran sekaligus menjadi
usaha pelestarian dan sosialiasasi sastra/budaya lisan kepada generasi muda. Agar
generasi muda memahami dan mengenal sastra lisan sekaligus kandungan yang ada di
dalamnya.
Sastra lisan adalah bagian dari tradisi lisan yang secara khusus berbentuk sastra.
Sehingga sastra lisan adalah perpaduan dua kata yaitu sastra dan lisan. Sehingga
pengertian sastra lisan secara umum adalah bentuk sastra yang disampaikan serta
diterima juga secara lisan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa memiliki ragam
sastra. Dan menurut Lord (1976:3) sastra lisan adalah sastra yang dipelajari, digubah,
dan disebarkan secara lisan. Sastra lisan adalah karya sastra yang disebarkan,
diwariskan secara lisan, dari mulut ke mulut (Ratna, 2013: 420). Selanjutnya lebih
diperjelas lagi oleh Amir (2013:77-78) sastra lisan adalah seni bahasa yang diwujudkan
dalam pertunjukan oleh seniman dan dinikmati secara lisan oleh khalayak,
menggunakan bahasa ragam puitika dan estetika masyarakat bahasanya. Dalam
konteks ini, penulis lebih setuju pada pandangan terakhir bahwa sastra lisan
menggunakan bahasa dengan penonjolan fungsi puitika dan estetika, meskipun tanpa
disertai dengan pertunjukan.
Untuk mengenali sebuah sastra lisan maka dapat dilihat dari ciri yang
dimilikinya. Ciri tersebut adalah: 1) pewarisannya dilakukan secara lisan; 2) bersifat
tradisional; 3) terdapat versi atau varian; 4) anonim, penciptanya tidak dikenal; 5)
mempunyai bentuk berumus atau bepola; 6) mempunyai kegunaan; 7) pralogis,
memiliki logika sendiri; 8) milik kolektif; 9) bersifat polos dan lugu (Danandjaya
1998:3). Sastra lisan sebagai bagian tradisi lisan tentu memiliki kegunaan bagi
pemiliknya. Dan kegunaan inilah yang menjadi penopang bagi kebertahanan sebuah
tradisi lisan. ketika kegunaan tersebut tidak lagi ada bagi pemiliknya dengan sendirinya
sasrta lisan tersebut akan punah dengan sendirinya. Kegunaan atau lazim disebut fungsi
yang ditemukan pada sastra lisan adalah : Bascom (1965:3-20) mengemukakan
beberapa fungsi folklor (termasuk tradisi lisan) yaitu:” 1) as a form of amusement; 2)it
plays in validating culture, in justifying its rituals and institution to those who perform
and observe them; 3)it plays in education, as pedagogical device; and 4) maintaining
conformity to the accepted pattern of behavior, as means of applying social pressure
and exercising social control” 1) sebagai media hiburan;2) sebagai alat pengesahan
kebudayaan dan pranata;3)sebagai alat pendidikan terutama pada anak-anak;4) sebagai
alat pemaksa dan pengawas pola tingkah laku masyarakat dan sebagai kontrol social ).
Selanjutnya Dundes (1965:277) mengemukakan beberapa fungsi folklor sebagai
barikut: “1)aiding in the education of the young; 2) promoting a group’s feeling of
solidarity;3)providing socially sanctioned way is for individual to act superior to or to
censure other individuals;4)serving as a vehicle for social protest;5)offering an
enjoyable escape from reality;6)converting dull work into play”(membantu dalam
pendidikan anak; 2)meningkatkan perasaan solidaritas sebuah kelompok; 3)
memberikan sanksi secara sosial agar mampu berprilaku baik atau member hukuman
kepada yang lainnya;4) sebagai media protes sosial; 5) memberikan sebuah pilihan yang
cukup menyenangkan dari realitas;6)mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi
permainan).
70
Berdasarkan pemapaan di atas, khusus di Sulawesi Selatan ditemukan berbagai
sastra lisan yang akan diuraikan satupersatu berikut ini.
Pembahasan
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka sastra lisan yang dapat ditemukan pada
masyarakat Bugis adalah:
1. Cerita prosa rakyat, dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu : mite, legenda,
dan dongeng; a) Mite adalah cerita prossa rakyat yang benar-benar dianggap
terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Tokoh yang ada dalam mite
berupa ewa atau setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang
bukan seperti yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Mite pada
umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama,
terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk tofografi, gejala alam dan
sebagainya. Mite juga mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan
mereka, hubungan kekerabatan mereka, kisah peang mereka, daan lain
sebagainya; b) Legenda adalah prosa rakyat yang memiliki ciri yang mirip
dengan mite, dianggap benar-benar pernah terjadi tetapi tidak dianggap suci.
Tokoh yang ada dalam legenda adalah manusia, yang kadang memiliki sifat yang
luar biasa dan seringkali juga dibantu oleh mahluk-mahluk ajaib. Tempat
terjadinya adalah dunia seperti yang kita kenal sekarang dan waktu terjadinya
belum terlalu lampau; c) dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap
benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita. Selain itu, dongeng tidak terikat
oleh waktu dan tempat. Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusasteraan
lisan, diceritakan terutama untuk hiburan walaupun banyak
juga yang
melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran. Bahkan
pikiran orang, dongeng sering dianggap sebagai cerita mengenai peri,tetapi
kenyataannya banyak dongeng yang tidak bercerita tentang peri melainkan cerita
atau plotnya mengenai sesuatu yang wajar.
Pada masyarakat Bugis sebuah legenda yang terkenal terutama masyarakat Bone
yang berjudul Batu Memmanae ( Batu yang Melahirkan), mengisahkan tentang
kehidupan seorang anak perempuan dan ibunya yang pas-pasan. Ibunya mnecari
kayu di hutan dan menjualnya di pasarr sementara anaknya selalu menenun
bnanguntuk dijadikan sarung lalu dijual. Anak perempuan tersebut memiliki
sifat yang kurang baik yaitu sifat malas. Dan suatu waktu ketika sedang menunu
dan salah satu alaat tenunnnya jatuh ke bawah rumah, saat ibunya tidak ada di
rumah sehingga tidak ada yang bisa disurhnya. Sambil menggerutu, tiba-tiba
anjing peliharaannya yang sangat setia dan rajin mampuberbicara dan siap
membantu majikannya. Akan tetapi, tiba-tiba saja majikannya (putri) berubah
jadi patung secara pelan, dan setiap orang yang melihat dan menegurnya
termasuk ibunya akan berubah menajadi batu. Dan legenda itulah yang menjadi
awal mula lahirnya sebuah kampung yang disebut Batu memmana.
Selain itu, sebuah dongeng yang popular bagi kalangan Bugis yang berjudul
Nenek pakande, dongeng menceritakan aksi seorang nenek yang entah berasal
dari negeri entah berantah dan hobbi memangsa anak-anak dan bayi saat
menjelang petang atau magrib. Dengan berbagai upaya masyarakat berusaha
mengenyahkan nenek tersebut dari kampung yang didatanginya dan berhasil.
Namun jejak yang ditinggalkannya adalah bahwa, sejak saat itu para orang tua
tidak mengizinkan putra-putri mereka keluar rumah saat menjelang magrib. Dan
masih banyak lagi sastra lisan yang berbentuk cerita prosa yang ditemukan dalam
71
masyarakat Bugis. Cerita-cerita tersebut tentu memiliki kegunaan dan fungsi
bagi masyarakat Bugis. Selain itu, di dlam ceria-cerita tersebut terkandung nilai
bahkan falsafah hidup orang Bugis.
2.
Nyanyian rakyat adalah salah genre yang terdiri atas kata-kata dan lagu yang
beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional,
serta mempunyai banyak varian. Berbagai ragam yang dapa ditemukan dalam
masyarakat Bugis, mulai nyanyian yang bersifat menghibur sampainyanyian
yang berisi nasihat. Sebuah nyanyian rakyat yang berisi nasihat tentang
pentingnya pendidika berjudul “ala masseya-seya”, berisi tentang penyesalan
seseorang yag sudah tergolong tua telah menyia-nyiakan masa mudanya
Ala masseya-seya mua…
Tau na ompori sessekale
Nasaba ri wettu baiccunna
Deq memeng naengka nagguru
Riwetuu baiccuta memeng mitu
Narekko battuwani massusani
Nasaba maraja nawa-nawani
Enrenge pole toni kuttue……..
( hanya sia-sia saja…..
Orang yang mengalami penyesalan,
Sebab ketika masih muda
Memang tidak pernah mau belajar
Hanya saat ketika masih muda
Sebab ketika sudah tua sudah susah
Sebab sudah banyak yang dipikirkan
Serta memang sudah malas…..)
3.
Ungkapan tradisional, meliputi: peribahasa dan dalam Bahasa Bugis dikenal
dengan nama werekkada. Werekkada biasanya tersusun dari satu atau dua
kalimat saja. Beriku contoh werekkada :
Tekku sappa balanca-e, uparanru’ sengereng, nyawami kusappa.
(Saya tidak cinta harta, tidak ingin kecantikan, tetapi yang saya cari adalah budi
bahasa nan halus.)
Agana
ugaukengngi,
pakkadang
teppadapi,
nabuwa
macenning.
(Hasrat hatiku menggelora untuk memilikinya, tapi kemampuanku sangat
terbatas.)
Selain itu, di dalam masyarakat Bugis dikenal istilah paseng (pesan)yang berisi
tentang petuah oang-oang terdahulu:
Uwappasengenngi makkatenning ri limaé akkatenningeng:
Mammulanna, ada tongenngé,
Maduana, lempuk-é,
Matellunna, gettenngé,
Maeppakna, sipakataué,
Malimanna, mappesonaé ri pawinruk séuwaé,
72
Artinya:
Aku memesankan untuk berpegang pada lima pegangan:
Pertama, ucapan yang benar,
Kedua, kejujuran,
Ketiga, keteguhan
Keempat, saling menghargai,
Kelima, berserah diri kepada pencipta yang tunggal.
:
Daftar Rujukan
Amaluddin, A. 2009. “Nyanyian Rakyat Bugis (Kajian Bentuk, Fungsi dan strategi
Pelestariannya” (disertasi). Malang: UM
Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Jogyakarta: CV Andi Offset.
Danandjaja, J. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti.
Endraswara, E. 2005. Tradisi Lisan Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Geertz, C. 2003. Pengetahuan Lokal. Terjemahan. Merapi: Yogyakarta.
Hidayat, K. 2000. Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara. Pustaka Agung:
Surabaya.
Hutomo, S.S. 1989. “ Perkembangan Cerita Rakyat Sampai saat ini dan
Usaha-usaha untuk Menumbuhkannya”. Jurnal Media Pendidikan dan
Ilmu Pengetahuan 20 (10):1—10.
__________. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya:
HISKI.
Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia.
Ong, Walter J. 2013. Kelisananan dan Keaksaraan. (Rika Iffati, pentj.). Jogyakarta:
Gading Publishing.
Thaha, Z. 2000 “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Daerah dalam Era Globalisasi”.
Risalah Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Depdiknas.
73
KONFLIK IDENTITAS DALAM NOVEL IKAN TANPA SALAH
KARYA ALFRED BIRNEY
Dian Swandayani
(FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia)
Abstrak: Karya sastra sebagai salah satu aspek budaya merupakan salah satu bagian
dari situs hegemoni, yaitu merupakan salah satu bagian dari upaya mengukuhkan atau
mengkonter hegemoni. Situs-situs hegemoni, seperti media, film, musik, dan berbagai
aspek budaya lainnya, termasuk karya sastra, merupakan sarana guna menanamkan
pengaruh kepada pihak lain, dalam hal ini yaitu dari pihak kolonial kepada pihak
terjajah. Meski penjajahan di Indonesia telah berakhir, proses penyebaran pengaruh itu
masih berlangsung hingga kini. Pertarungan dalam memperebutkan pengaruh hegemoni
budaya itu kian kompleks dan intens terutama memasuki abad ke-21 yang ditandai
dengan revolusi di bidang informasi. Eropa sebagai wakil dari budaya Barat masih
memiliki peran yang utama dalam percaturan budaya dunia. Karya sastra kini dipandang
sebagai salah satu komponen dalam mengukuhkan blok hegemoni tersebut. Pengarang
sebagai salah satu agen hegemoni seringkali bisa menjadi agen tradisional yang menjadi
pengusung kelompok hegemonik atau malah sebagai agen organis yang memposisikan
dirinya sebagai kelompok yang melakukan counter-hegemony terhadap pihak yang
berkuasa. Dalam artikel ini dikemukakan karya sastra yang menampilkan citra Eropa
lewat novel Ikan Tanpa Salah yang ditulis oleh seorang sastrawan Belanda, Alfred
Birney. Novel terjemahan tersebut berlatar Eropa dalam konteks ke-Indonesia-an
sebagai bentuk pengakuan terhadap pluralisme.
Kata-kata kunci: karya sastra, hegemoni, Eropa, pluralisme
Pendahuluan
Pada masa kolonialisasi, sebagian besar akses hanya dimiliki dan dikuasai oleh
pihak kolonial, termasuk dalam penguasaan wacana. Timur hanya dibentuk dan
dikonstruksi oleh Barat. Inilah yang oleh Said (1994:1—20; 1995:11—31; 2002:v—
xxxvi) ditengarainya sebagai hegemoni Barat terhadap wilayah jajahannya. Penguasaan
wacana inilah yang seringkali disebut dengan kajian orientalisme. Penjajahan yang
disokong oleh kekuatan koersif seperti tentara dan senjatanya, juga dibarengi dengan
penguasaan wacana dengan berkembangnya kajian orientalisme.
Situs-situs hegemoni seperti lembaga-lembaga keagamaan, institusi sekolah,
media massa, film, musik, dan berbagai aspek budaya lainnya, termasuk karya sastra,
merupakan sarana guna menanamkan pengaruh kepada pihak lain (dalam konteks ini
yaitu dari pihak kolonial kepada pihak terjajah). Peranan Balai Pustaka pada masa
penjajahan di Indonesia dengan menerbitkan sejumlah buku, menerbitkan majalah,
mendirikan perpustakaan tidak sedikit turut memberikan andil dalam melanggengkan
penjajahan di Indonesia (Sumardjo, 1992:31).
Meski penjajahan itu telah berakhir, proses penyebaran pengaruh itu masih
tetap berlangsung hingga kini. Inilah periode yang seringkali dinyatakan dengan istilah
poskolonial (Said, 1994:1—20; Gandhi, 2001:1—31). Pertarungan dalam
memperebutkan pengaruh hegemoni budaya itu kian kompleks dan intens terutama
memasuki abad ke-21 yang ditandai dengan revolusi bidang informasi yang oleh Toffler
(1992:xv—xxi) sebagai The Third Wave. Eropa sebagai salah satu wakil dari Barat,
74
selain Amerika Serikat sebagai kekuatan utama budaya Barat, masih memiliki peran
utama dalam percaturan budaya dunia. Apalagi negara-negara di sana kemudian
membentuk apa yang dinamakan dengan Uni Eropa, sebuah usaha penggalangan
kekuatan (termasuk kekuatan budaya, selain geopolitik, moneter, pertahanan) dalam
melakukan negosiasi dengan pihak lain. Karya sastra, sebagai salah satu aspek budaya,
kini masih dipandang sebagai salah satu komponen dalam mengukuhkan blok hegemoni
tersebut.
Secara tidak langsung, Eropa, khususnya Belanda dalam sejarahnya pernah
mengalami persinggungan dengan Indonesia sebagai bentuk kolonisasi. Persentuhan
sejarah masa lalu ini menimbulkan trauma sejarah yang memandang Eropa sebagai
kolonial yang negatif, tetapi secara diam-diam diakui sebagai pihak dominan yang ingin
ditiru atau mimikri. Eropa dalam konteks ini adalah sebuah cermin orientasi yang ingin
ditiru sekaligus dilawan.
Eropa sebagai Negara maju seringkali menjadi trend-setter dalam berbagai
elemen budaya bagi kehidupan di Indonesia. Sosok Eropa sebagai pihak yang lebih
maju menjadi kebanggaan kalau Indonesia menjadi bagian darinya, khususnya dalam
gaya hidupnya. Melihat ‘wajah Eropa’ lewat karya sastra merupakan sebuah strategi
budaya dalam menempatkan Eropa tidak selalu sebagai sang dominan dan Indonesia
tidak selalu sebagai subordinat.
Novel merupakan bentuk sastra yang tepat untuk menggambarkan berbagai
peristiwa yang terangkai lewat penggambaran perkembangan perasaan tokoh-tokohnya
secara detail. Novel terjemahan karya Alfred Birney yang mengambil latar pada masa
pasca-kolonialisme ini adalah novel Ikan Tanpa Salah dengan judul asli Den Onschuld
Van Een Vis. Novel dengan ketebalan 277 halaman ini diterjemahkan oleh Widjajanti
Dharmowijono mampu menyejajarkan Alfred Birney dengan pengarang transnasional
lainnya, seperti Salman Rushdie, yang menggambarkan India dari kediamannya di
Inggris, atau Amy Tan, yang melukiskan Cina dengan warna Amerika.
Berawal dari tokoh Edouard atau yang kerap dipanggil dengan sebutan Edu,
seorang guru Sejarah, ditugasi ibunya untuk mengosongkan rumah milik ayahnya,
pelatih ilmu bela diri yang tidak kembali dari perjalanan ke Indonesia, tanah
kelahirannya. Ayah Edu ini, seorang Indo Belanda yang memihak Belanda pada waktu
perjuangan kemerdekaan Indonesia memperlakukan putra-putrinya seperti para pemuda
pejuang Indonesia yang dulu diinterogasinya. Meski tokoh Edu memasuki tempat yang
asing baginya, setiap benda di rumah itu membangkitkan kenangan lama yang
menyakitkan dalam dirinya.
Konflik Identitas Tokoh Edu
Kisah tentang Ikan Tanpa Salah berawal dari kedatangan Edu (Eduard), putra
kedua dari seorang ayah Indo Belanda Tionghoa yang tidak pernah disebutkan namanya,
ke sebuah rumah tua milik ayahnya yang meninggalkan keluarganya ke Indonesia. Atas
perintah ibunya, rumah itu harus dikosongkan dari harta benda peninggalan ayahnya
untuk kemudian dijual.
Ia selalu mendapatkan sikap bermusuhan dengan rumah-rumah tua. Langkahnya
terhenti pada sebuah rumah tua yang terus ia pandangi sejak langkahnya terhenti. Di
sinilah ia berdiri. Bertahun-tahun kemudian, di jalan asing. Ia tak tahu seberapa lama ia
akan berdiri memandangi rumah tua yang berdiri tegak lurus di hadapannya, namun
dirinya berhenti di pojok jalan.
Ia masih terpaku untuk berdiri namun tidak menunjukkan dirinya untuk bergerak
sedikit pun, bahkan tampaknya ia tidak peduli memandangi seorang pria yang tiba-tiba
75
saja muncul dan membiarkan anjing-anjingnya mengencingi batu nisan. Bagaimana cara
ia akan memasuki rumah tua itu? Apakah ia menoleh dulu sekelilingnya dan sesudah itu
baru memasukkan kunci dalam lubangnya, atau sebaliknya ia mungkin baru melihat
sekelilingnya jika ia sudah melewati palang pintu? Atau tenaga dalamnya sudah
mencapai keseimbangan yang paling tinggi dan dia sama sekali tidak melihat
sekelilingnya. Kunci rumah tua itu ia pisahkan dari kunci-kuci lainnya, kunci yang telah
melewati perjalanan yang panjang bahkan gantungannya saja tidak dimiliki oleh kunci
itu.
Sebuah masa lalu kembali memutar dalam ingatannya. Laki-laki dengan rambut
berminyak mengkilap yang kalau pulang hanya mau disambut kebisuan dan tak pernah
ikut makan bersama istri-anak atau bahkan makan sebelum istri-anaknya makan. Ia
tidak suka orang bicara, bunyi gemeresak, kelakuan apa pun di belakang punggungnya.
Dan dia memperoleh kenikmatan aneh menyuruh orang lain mencari kuncinya.
Ia tetap memandangi sebuah bangunan tua. Sebuah kunci dalam saku celana
kirinya tidak mengenai dia, sekilas ia memegang alisnya yang luka akibat laki-laki tua
itu sering melempar kunci mengenai dirinya. Itulah yang membuatnya berat, lebih berat
daripada bekas kuncinya sendiri. Mungkin malam ini tidak menggunakannya, besok
saja. Mungkin hari ini kuncinya terasa ringan daripada semalaman setelah ia
memutuskan untuk tidak memasuki rumah tua itu? Apakah ini yang disebut dengan
kekacauan atau keteraturan ayahnya. Yang jelas hanya keasingan yang menyambut
dirinya.
Orang asing ini membiarkan pintu depan separo terbuka supaya ada hubunngan
dengan dunia luar. Memasuki rumah tua itu, memaksakan otaknya untuk mengingat
peristiwa-peristiwa yang ia lalui bersama kakaknya, adiknya beserta ibu. Seorang putra
asing menemukan sebuah sekuter merah ketika jas linennya tersangkut pada setir
sekuter. Sebuah helm terletak di sadel dan gorden-gorden yang terpaksa memutar
otaknya ketika ayahnya memaki ia untuk memasangkan gorden yang ia jatuhkan.
Dengan cepat-cepat ia meninggalkan rumah tua itu yang semakin menyusut dan jendelajendela yang tak henti-hentinya memandanginya dengan nafas yang beradu cepat.
Semua di ruang kaca masih seperti kemarin. Saat ia melihat kursi-kursi
mengelilingi meja dengan lampu murahan di atasnya, sekuter, alat dengan barbel,
cadaver coklat di tiang gantungan, tungku kecil, dan peti ukiran kayu. Namun ada satu
benda yang membuat dirinya kembali kepada masa silam kanak-kanak, saat ia melihat
tumbukan gorden di pojok yang dikelilingi paku payung dalam bentuk lingkaran.
Dengan gerakan-gerakan orang yang jalan tidur, ia mendekati pintu antara yang
berwarna kuning. Pintu itu macet. Tanpa oli dan tapa pasah ia tetap macet. Sebuah pintu
yang membuat putra asing itu kembali kepada masa silamnya saat ayahnya memberi
perintah untuk menutup pintu itu dengan nada yang kasar. Ia berjinjit hati-hati ke ruang
kaca. Berhenti di antara ambang pintu. Dari barang-barang yang ia temui, pegangan
pintu yang paling ia benci ketimbang gorden. Pegangan pintu bisa tiba-tiba turun,
menandakan kehadiran orang di balik pintu.
Pegangan pintu yang bergerak bisa berarti ancaman dan penyelamatan, bisa
teman ataupun musuh. Ada kehidupan di ruang duduk, pada tembok yang berbatasan
dengan pinggir ruang kaca ada akuarium. Mengingatkan dia tentang ayahnya yang
selalu memelihara akuarium dan selama ia pergi, lampunya dipadamkan dan airnya
menjadi gelap tanpa kegembiraan. Mungkin ia pada saat ini mencoba menempatkan
rumah yang bermusuhan ini, dengan mengambil menara-menara yang dikenalnya
sebagai patokannya, itu kalau ia memiliki keberanian.
76
Yang pasti adalah ia memikirkan Joshua, yang tinggal di Amerika dan tidak
memberi kabar. Dan adiknya Ella, yang keliling dunia bersama seorang teman
perempuan. Dia pun mendapat tugas. Dan terakhir ia masih harus berhadapan dengan
satu pintu lagi. Pintu kuning terakhir. Yang mengingatkan dia tentang adanya sebuah
kamar dengan jendela yang disemen, kamar dengan batu nisan kosong tanpa graffiti. Ia
merasa dirinya tegar hari ini. Ia bahkan memiliki ketenangan cukup untuk melipat tirai
yang bergeser ke pojok dan meletakkanya di meja.
Ia merasa dirinya tegar hari ini. Ia bahkan memiliki ketenangan cukup untuk
melipat tirai yang bergeser ke pojok dan meletakkanya di meja. Ia ingat, ketika umurnya
kira-kira sepuluh tahun waktu itu. Pada suatu hari sang ayah sangat keras
menghukumnya karena nakal, dan memerintahkannya untuk berjalan kaki ke sekolah
dan bukan hanya itu saja, sepedanya dikunci oleh ayahnya dan juga mengempesi
bannya. Juga ketika ia dengan susah payah berusaha mengikat tali sepatunya, namun tak
berhasil. Berikut kutipannya.
Ayah mau jalan-jalan dan memerintahkan seluruh keluarga untuk bersiap-siap. Dia, Edu,
Memanggil ibunya untuk mengikatkan tali sepatunya.
‘Biar dia melakukannya sendiri.’
‘Dia belum bisa’
‘Kakaknya sudah lama bisa ketika seusia dia, kenapa dia tidak bisa ?’
‘Nanti anak ini akan belajar sendiri.’
‘Keluar dari dapur.’
Ragu-ragu ibunya keluar. Ia sendirian dengan laki-laki itu di dapur.
‘Ikat tali sepatumu.’
‘Saya tidak bisa, Papa.’
‘Ikat tali sepatumu.’
Anak itu membungkuk ke arah sepatunya, memegang ujung-ujung tali di antara jarijarinya dan membuat simpul sederhana. Sampai di situ dia bisa. Lalu dia terjerat dalam
lingkar-lingkar tali. Dari ujung matanya, dia melihat laki-laki itu menuju ke lemari di gang
dan kembali dengan kail bambu tipis.
‘Talinya sudah diikat ?’
‘Belum, Papa.’
‘Berdiri. Taruh tanganmu di meja.’
‘Ini pelajaran buat kamu.’
Dia tidak bisa lagi memegang tepi meja, jari-jarinya membengkak dengan rasa yang
membara. Dia menundukkan kepalanya tak berdaya.
Sang algojo keluar dari dapur.
‘Kalau aku kembali, kamu sudah mengikat tali sepatumu. Mengerti ?’(Birney, 2004 :89)
Demikianlah kekejaman sang ayah dalam mendidik anaknya yang kerap
diwarnai dengan pukulan benda tumpul, tonjokan tangan kosong dan gertakan serta
suara yang meninggi bernada perintah. Sebenarnya kejadian di dapur dalam kutipan di
atas, bukanlah hukuman berat, tetapi lebih menyerupai permusuhan panjang yang
mengejarnya dari dapur dalam kegelapan remang-remang. Dia teringat akan suatu
kejadian ketika ia dipukuli di depan sang pengail bersama anaknya dan juga temannya
yang malu berkhianat dengan menunjukkan tempat tinggalnya.
Kini, ia sudah melihat, mengamati lebih jelas. Membedakan kini dari dulu,
menyimak bentuk karpet di ruang duduk yang berbau apek. Ia melihat lebih jelas lagi.
Akuariumnya gelap. Lalu ia teringat ikan-ikan kecil dalam mangkuk sup Cina di meja
dapur dan ibunya dipaksa makan oleh ayahnya. Akuarium setengah gelap, seperti
biasanya kalau ia masuk ke rumah itu lagi. Dari jauh ia mengamati bayangan-bayangan
yang tak jelas di dalamnya. Dan ia mulai teringat ketika ia bersama kakaknya, Joshua
pergi sekolah, ibunya menemukan sebuah pisau yang diletakkan di bawah bantal Joshua
77
dan itu adalah rahasianya, suatu hari nanti dia akan menusuk bajingan itu sampai mati
kalau dia masih satu kali menyentuh ibunya.
Misi yang ditugaskan oleh ibunya berhasil ia lakukan meskipun harus
mengingat-ingat kejadian-kejadian yang menimpa dirinya. Hingga suatu ketika ada
seorang gadis yang datang menemuinya, membuatnya lupa memandang akuariumnya
karena gadis itu ingin membuat bahwa dia (Edu) tidak usah melewati malam sendirian
karena perjanjiannya adalah bahwa ia akan tinggal sampai fajar menyongsong.
Konteks Eropa dalam Novel Ikan Tanpa Salah
Dalam artikel ini, sengaja ditampilkan novel terjemahan mutakhir yang
menggambarkan latar Eropa sebagai sebuah representasi terhadap apa yang disebut
sebagai Barat. Sebuah pengertian yang tidak hanya bersifat historis-geografis tetapi
lebih cenderung maknanya ditentukan secara diskursif.
Latar sebagai landas pacu penceritaan dalam karya sastra seringkali bersifat
tipikal dalam menggambarkan suatu tempat, waktu kesejarahan, ataupun kondisi
masyarakat yang melatarbelakangi tokoh-tokoh cerita dalam novel berinteraksi dengan
tokoh lainnya dalam peristiwa cerita. Latar yang bersifat tipikal tidak bisa dipisahkan
atau digantikan dengan latar lain. Ia melekat dengan kekhasan. Inilah salah satu
kekuatan latar dalam sebuah penceritaan sebuah narasi karya sastra.
Cover novel Ikan Tanpa Salah dan foto diri pengarang Alfred Birney
Secara garis besar latar Eropa pada novel Ikan Tanpa Salah dan konteks
ceritanya dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 1. Tabulasi Latar Eropa pada Novel Ikan Tanpa Salah Karya Alfred Birney
Latar Novel
Konteks Cerita
Tempat
Waktu
Status Sosial
Peristiwa
Masa kini,
Status sosial
Edu atau Eduard akhirnya datang ke
terjadi
masa setelah sebagai
rumah ayahnya yang meninggalkannya ke
dalam
berakhirnya
keluarga
Indonesia. Kedatangannya ke rumah itu
sebuah
penjajahan
Indo, separuh mengingatkan segala memori masa kecilnya di
keluarga
Belanda dan
rumah itu dengan berbagai gejolak jiwanya. Ia
di
separuh
teringat kakaknya- Joshua, adiknya-Ella, dan
Belanda
Indonesia
ibunya. Ia juga teringat kembali dengan
ayahnya yang dikenang dengan berbagai
tindakan tidak menyenangkan selama masa
kecilnya di rumah itu. Juga pengalamannya
dengan sebuah aquarium yang terdapat di salah
78
satu sisi rumah itu beserta ikan-ikannya, yang
menyebabkan hubungannya dengan sang ayah
lebih menyerupai permusuhan panjang.
Tampaknya novel Ikan Tanpa Salah karya Alfred Birney inilah yang cakupan
latarnya paling sempit. Kisahnya pendek saja, tetapi terurai menjadi sebuah novel yang
cukup panjang akibat penuturan bolak-balik antara masa kini dan masa lalu, baik masa
lalu Edu maupun ayahnya dan seluruh keluarganya. Dilihat dari latar waktunya, kisah
dalam novel ini hanya berkutat pada masa kini, masa pasca-kolonialisme. Lokasinya
terpusat pada sebuah rumah, pada sebuah keluarga di Belanda. Tokoh-tokohnya berasal
dari keluarga biasa, artinya bukan keluarga kerajaan, tokoh rohaniwan, atau seniman
seperti pada novel lainnya. Tokoh utamanya bernama Eduard atau Edu yang
menghadapi sejumlah permasalahan keluarga Indo sejak ditinggal sang ayah. Latar
novel ini terjadi pada kehidupan sosial yang biasa, tidak terkait dengan peristiwa historis
yang penting dalam sejarah Eropa.
Meski demikian, bukan berarti novel ini tidak menyuguhkan konteks Eropa
sebagai bahan yang penting untuk dipelajari oleh pembacanya, terutama bagi pembaca
Indonesia. Trauma postcolonial yang dihadapi tokoh-tokoh novel ini dapat menjadi
gambaran psikologis atau sosiologis bagi pembaca. Dengan mengikuti alur ceritanya
yang berpusat pada pengalaman-pengalaman Edu dengan keluarganya, pembaca
Indonesia masih dapat memahami setidaknya mengenal kehidupan tokoh-tokoh tertentu,
khususnya tokoh-tokoh Indo di negeri Belanda. Negeri di wilayah Eropa Barat inilah
yang memiliki kaitan langsung dengan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara
lain di Eropa. Belandalah yang secara historis menjajah Indonesia lebih lama
dibandingkan Portugis ataupun Inggris.
Kutipan berikut ini menggambarkan pengalaman psikologis tokoh-tokoh novel
ini ketika dalam sejarah hidupnya bersinggungan dengan wilayah jajahannya, wilayah
yang terkenal dengan sinar mataharinya yang penuh, sebuah pengalaman postcolonial
yang khas. Mungkin penuh kontradiksi, khususnya bagi semacam kalangan Indo, yang
berada di antara Belanda totok dengan kaum pribumi Indonesia.
Di taman dengan bunga matahari seseorang duduk di kursi lipat di depan pintu
rumahnya, sambil menjadi merah di bawah sinar matahari. Tanpa topi. Orang Belanda
tentunya. Orang asli Belanda. Siesta, tidur siang di jam yang panas di Belanda hanya buat
orang-orang dari negara-negara seberang laut dan orang Belanda yang pernah tinggal di
negara tropis yang biasa melakukannya. Jadi juga buat ayahnya, yang pension lima tahun
yang lalu, bukan karena ia capek atau merindukan hidup yang suci, tapi karena
menghormati angka usia pensiun itu. Konon pria itu kondisinya masih prima (Birney,
2004:16).
Novel ini meskipun tidak mengangkat peristiwa-peristiwa historis, tokoh-tokoh
nyata dalam sejarah Eropa, sebenarnya masih juga memiliki peran bagi pembaca
Indonesia. Sudut pandang tokoh-tokohnya dapat memberikan gambaran khususnya
tentang pemikiran orang-orang Eropa, dalam konteks cerita ini adalah orang-orang Indo,
dalam melihat Indonesia. Gambaran semacam ini bisa menjadi jendela bagi pembaca
Indonesia untuk mengetahui Eropa. Bukan dalam konteks geografis, historis, dan
sosiologis Eropa, tetapi lebih pada informasi-informasi yang terkait dengan pola pikir
orang Eropa.
Lewat latar-latar tipikal semacam inilah gambaran atau citra atau konstruksi
sebuah wilayah dikonstruksi atau dibangun secara diskursif. Selama bertahun-tahun
dalam kajian Orientalisme sebagai penyokong teori terhadap praktik kolonialisme
mencitrakan Barat (Eropa) sebagai entitas yang mewakili keunggulan. Sebagai sebuah
79
kesatuan, aspek latar dalam novel tidak bisa dipisahkan dengan aspek-aspek pembangun
novel lainnya seperti: penokohan, alur, tema, sudut pandang, amanat, dan aspek
pembangun novel lainnya. Meskipun sebagai sebuah kajian dapat saja aspek tertentu
dalam novel dapat dikaji lebih mendalam. Apalagi dalam konteks kajian budaya
(cultural studies) yang bersifat menentang kemapanan kajian strukturalisme yang kaku,
kajian dengan penonjolan aspek-aspek tertentu sangat dimungkinkan.
Sebagai bagian dari unsur pembangun karya sastra, latar terbagi atas tiga aspek:
latar waktu, latar tempat, dan latar sosial budaya (Nurgiyantoro, 1998:227—237).
Ketiga aspek latar ini jika dikaitkan dengan kajian latar pada novel-novel berlatar Eropa
akan mengacu kepada sejumlah pengertian Eropa yang dilihat dari kesejarahannya atau
perkembangan waktunya secara diakronik, dari lokasi atau batas-batas geografisnya,
dan dari kondisi status sosial budaya yang melingkupinya. Sebagai latar yang bersifat
tipikal, keberadaan ketiga aspek latar tersebut dalam sebuah novel dapat
diperbandingkan dengan latar realitasnya. Setidaknya secara diskursif.
Penutup
Kajian-kajian Orientalis adalah kajian-kajian terhadap Timur melalui kacamata
Barat. Oleh karena itu, artikel ini mencoba melihat Barat lewat karya sastra Barat oleh
pihak Timur. Kajian ini akan berbeda, setidaknya tidak selalu tunduk kalau Barat itu
lebih dominan daripada Timur. Dengan demikian, Barat dapat dilihat secara lebih
sederajat sehingga tidak menimbulkan sebuah kecurigaan tetapi juga bukan sebuah
penyanjungan. Ujung dari pemahaman semacam ini diharapkan menimbulkan kesadaran
akan kesejajaran dan menghargai perbedaan yang menumbuhkan sikap pluralistik
terhadap budaya lain. Inilah karakter yang lebih mengarah pada sikap perdamaian.
Permasalahannya, pengarang sebagai salah satu agen hegemoni seringkali bisa
menjadi agen tradisional yang menjadi pengusung kelompok hegemonik atau malah
sebagai agen organis yang memposisikan dirinya sebagai kelompok yang melakukan
counter-hegemony terhadap pihak yang berkuasa. Dalam konteks Eropa sebagai budaya
hegemonik dunia, ada sejumlah karya sastra yang menampilkan citra Eropa dengan
berbagai alternatif sikapnya yang perlu diteliti secara lebih lanjut. Oleh karena itu, perlu
adanya pembacaan kritis terhadap sejumlah karya sastra (novel) mutakhir yang berlatar
Eropa dalam konteks ke-Indonesia-an sebagai bentuk pengakuan terhadap pluralism
budaya.
Daftar Rujukan
Birney, Alfred. 2004. De Onschuld van Een Vis, Ikan Tanpa Salah (terjemahan
Widjajanti Dharmowijono). Yogyakarta: Galang Press.
Gandhi, Leela. 2001. Teori Poskolonial, Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat.
Yogyakarta: Qalam.
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Said, Edward W. 1994. Orientalisme, terj. Asep Hikmat. Bandung: Penerbit Pustaka.
Sumardjo, Jakob. 1992. Lintasan Sastra Indonesia Modern 1. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Toffler, Alvin. 1992. Pergeseran Kekuasaan: Pengetahuan, Kekayaan, dan Kekerasan
di Penghujung Abad ke-21, terj. Hermawan Sulistyo. Jakarta: Pantja Simpati.
80
MEMANFAATKAN KARYA SASTRA SEBAGAI SUMBER SEJARAH
Djoko Marihandono
(FIB Universitas Indonesia)
Pendahuluan
Banyak dijumpai orang yang mengaku sebagai seorang sejarawan. Bisa jadi ia
adalah seorang pengajar sejarah, penikmat sejarah, pengamat sejarah, penulis sejarah,
atau profesi lainnya yang berhubungan dengan sejarah. Namun bagi saya, seorang
sejarawan adalah orang yang menulis sejarah. Dengan demikian istilah “sejarawan”
memiliki pengertian yang sudah terbatas. Hal ini penting mengingat bahwa menulis
sejarah berbeda dengan menulis cerita fiksi atau novel.
Untuk menulis sejarah diperlukan metode dan metodologi. Dengan demikian
seorang sejarawan harus memiliki kemampuan untuk menggunakan metode dan
metodologi sejarah. Sementara untuk menulis cerita fiksi atau novel tidak diperlukan
metode atau metodologi. Dengan demikian, apa yang dikatakan oleh kaum pengikut
Postmodernisme yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara cerita fiksi dan
karya sejarah perlu dipertanyakan kembali. Dalam meneliti sejarah, setelah topik
penelitian ditentukan diperlukan beberapa langkah metodologis, antara lain penelusuran
sumber, verifikasi sumber (kritik sumber), interpretasi yang berupa analisis dan sintesis,
dan historiografi atau penulisan sejarah.26
Dalam hal pemilihan topik yang akan dibahas dalam penelitian sejarah,
setidaknya terdapat beberapa hal yang patut dipertimbangkan, yakni batasan
geografisnya (where), batasan-batasan periodenya (when), siapa yang melakukan
(who), apa yang dilakukan atau dikerjakan oleh siapa (what). Selanjutnya dapat pula
dipertimbangkan mengapa atau motivasi dari apa yang dilakukan (Why), dan bagaimana
terjadinya (How), atau yang sudah kita kenal dengan rumusan 5 W dan 1 H. Untuk
memudahkan pencarian dan penelusuran data, penggunaan rumusan 5 W dan 1 H akan
memudahkan bagi peneliti untuk mencari data yang diperlukan.
Setelah sumber data diperoleh, baik melalui pencarian maupun penelusuran
sumber, diperlukan verifikasi sumber khususnya tentang forensik (Eksternal) dan
kontennya (internal). Dalam melakukan verifikasi forensik, perlu
diperhatikan
originalitas, otentisitas, kredibilitas dan integritas sumber. Sementara itu, untuk
verifikasi konten, perlu diperhatikan tentang konten itu sendiri (isi), konteks, dan
struktur sumber yang akan digunakan.
Selanjutnya, peneliti membuat interpretasi dari sumber yang diperolehnya,
dengan melakukan analisis dan membuat sintesis dari sumber data yang ada. Analisis
dilakukan untuk mencari makna dari sumber tersebut, sehingga hasil analisis itu bisa
disebut sebagai fakta. Makna ini bersifat kognitif, yang ada di dalam pikiran peneliti.
Dalam sumber-sumber tersebut terdapat bermacam-macam makna. Makna tersebut
harus disinkronkan sehingga terjadi keterkaitan atau hubungan antarmakna. Proses
inilah yang disebut sebagai sintesa. Yang dilakukan dalam pembuatan sintesa adalah
membuat suatu kerangka narasi yang menghasilkan suatu kisah. Pada saat menghubunghubungkan makna, diperlukan suatu teori. Dari hasil sintesa dapat dilanjutkan ke tahap
26
Lihat Kuntowijoyo, 1999. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang, bab: 6 tentang
“Penelitian Sejarah”.
81
berikutnya, yakni membuat rekonstruksi atau menulis karya sejarah (historiografi).
Rekonstruksi adalah proses pembuatan laporan akhir yang merupakan pengembangan
dari kerangka narasi. Perbedaan antara kerangka narasi dan rekonstruksi adalah
diletakkannya dalam konteks pemikiran, yaitu dalam wujud metodologi.27 Berhubung
Sejarah selalu menggunakan ilmu bantu dalam membuat anilis historis, maka perlu
dipahami metodologi dari pendekatan atau dari teori yang digunakan. Misalnya
metodologi strukturasi, struktural, konstruktivistik, naratif, deskriptif, atau pun
metodologi lainnya.
Apabila penelitian historis menggunakan peran agen (agent) atau sosok tertentu,
dapat digunakan metodologi Giddens yang membahas tentang agen. Terjadi dinamisasi
agen terhadap struktur agen yang sifatnya ajeg. Dinamisasi agen bisa melalui berbagai
macam upaya, antara lain adanya Capability; dan Power. Dinamisasi agent terhadap
struktur inilah yang disebut sebagai agensi (agency). Dengan demikian hasil karya
historis dikatakan ilmiah karena menggunakan metodologi. Sementara penggunaan teori
dalam penelitian sejarah bisa digunakan dan bisa tidak, sementara metodology dalam
penelitian sejarah sifatnya wajib.
Ada sementara sejarawan yang mengatakan bahwa dalam penelitian sejarah tidak
dapat digunakan hipotesis. Hal ini disebabkan:
a. Sejarah bertolak dari suatu peristiwa;
b. Peristiwa tersebut telah berlalu;
c. Yang menghubungkan antara sejarah dan peristiwa adalah data masa lalu.
Jadi bila ada hipotesis, penelitian sejarah akan memiliki resiko, yakni subjektivitasnya
akan menjadi sangat tinggi. Alsannya adalah teori akan menguji hipotesis dan bukan
menguji fakta. Padahal tugas sejarawan adalah mensitesakan fakta. Di samping itu,
penggunaan hipotesis akan menyebabkan hal yang dalam sejarah disebut sebagai
anakronistik, karena teori dan fakta berasal dari zaman yang berbeda pada saat peristiwa
itu terjadi. Sebagai jalan keluar, dalam penelitian sejarah dapat digunakan asumsi,
karena teori tidak menguji asumsi. Interpretasi sumber yang dilakukan setelah sumber
dikritik, akan mengarah kepada asumsi. Hal ini penting untuk menekan subjektivitas
dalam asumsi tersebut. Dengan demikian asumsi dapat diletakkan dalam konteks
metodologi sehingga akan meminimalisir unsur subjektivitasnya. Asumsi-asumsi ini
akan melengkapi kerangka rekonstruksi. Inilah yang dalam penelitian sejarah disebut
sebagai retorika historis. Dalam pengambilan kesimpulan, asumsi ini akan berubah
menjadi opini yang nilai subjektivitasnya rendah karena sudah dibingkai dalam
metodologi. 28
27
Menurut Helius Sjamsudin, metode adalah jalan, cara, prosedur, yaitu bagaimana mengetahui
(How to know). Sementara itu metodologi adalah ilmu tentang metode, atau tahu bagaimana
mengetahui (Know how to know). Sementara itu, historiografi adalah penulisan sejarah atau
sejarah penulisan sejarah (History of historical writing). Lihat Helius Syamsudin, 2012.
Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak, hlm. 12-14.
28
Beberapa sejarawan menggunakan istilah hipotesis sebagai “suatu asumsi atau konsesi yang
dibuat untuk kepentingan argumentasi”, ada sejarawan lain yang menggunakan istilah hipotesis
sebagai “interpretasi dari suatu praksis atau kondisi yang diambil sebagai dasar untuk bertindak”
lihat: Helius Sjamsudin. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak, hlm. 38-39.
82
Permasalahan
Makalah ini akan membahas tentang pemanfaatan karya fiksi sebagai sumber
sejarah. Sumber sejarah secara umum dapat dikelompokkan menjadi beberapa hal ,
antara lain:
a. Sumber kolonial. Dalam sumber kolonial ini biasanya tercatat dengan jelas,
kapan suatu peristiwa terjadi, apa yang dilakukan, siapa yang melakukan,
mengapa terjadi, dan seterusnya;
b. Sumber lokal: sumber lokal ini biasanya berupa hikayat, tombo atau tambo,
serat, cerita rakyat, yang mayoritas masih ditulis dengan menggunakan aksara
lokal. Dalam sumber lokal tersebut tidak tertera secara pasti kapan peristiwa itu
terjadi, siapa yang melaksanakan, apa yang dilakukan.
c. Karya sezaman yang merupakan karya-karya di luar arsip yang membahas
tentang topi atau tema yang bersangkutan.
Namun, secara umum semua aktivitas manusia masa lampau dapat dijadikan
sumber sejarah. Semua perilaku verbal, baik berupa tuturan lisan maupun teks tulis
dapat dijadikan sumber sejarah. Sementara itu perilaku kinetis yang berupa artefak,
lingkungan alam yang termodifikasi juga dapat digunakan sebagai sumber sejarah juga.
Bahkan Fernand Braudel, sejarawan Prancis menggunakan lingkungan alam asli sebagai
setting penelitian sejarah, seperti dalam bukunya yang berjudul: La Méditernée et Le
Monde Méditerraneen à l’ époque de Phillipe II yang terdiri atas 3 jilid. (Selanjutnya
lihat Lampiran 1).
Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan
Sumber lisan dapat juga digunakan sebagai sumber sejarah. Hal ini diperlukan
untuk memperluas dimensi topik penelitian. Perlu dipertegas tentang perbedaan antara
sejarah lisan dan tradisi lisan. Jan Vansina mendefinisikan tradisi lisan sebagai oral
testimony transmitted verbally, from one generation to the next one or more.29 Tradisi
lisan dibedakan dengan kesaksian saksi mata yang disampaikan secara lisan. Kesaksian
yang disampaikan secara lisan juga tidak dituturkan kepada generasi satu ke generasi
lainnya. Dengan demikian pengertian tentang tradisi lisan berbeda dengan kesaksian
lisan. Tradisi lisan merupakan kebudayaan dari masyarakat yang belum mengenal
tulisan yang disampaikan melalui gethok tular antargenerasi. Tradisi lisan ini
merupakan sumber sejarah yang menceritakan masa lampau, yang biasa dijadikan
sumber penelitian ilmu Antropologi maupun sejarah. Berbeda dengan tradisi lisan,
sejarah lisan dicari dengan kesengajaan.30 Sumber sejarah yang merupakan hasil
wawancara hingga kini masih dilakukan. Bahkan Arsip Nasional Republik Indonesia
hingga saat ini masih mengumpulkan sumber sejarah yang diperoleh dari wawancara
dengan tokoh sejarah.
Sejarah lisan memiliki banyak manfaat. Banyak peristiwa yang terjadi pada masa
lampau, yang dapat ditulusuri dari dokumen sejarah yang ditinggalkan. Namun, banyak
permasalahan yang tidak tertangkap dari dokumen yang tersedia. Namun peristiwa unik
yang melekat dalam ingatan seseorang, sekelompok orang atau bahkan masyarakat tidak
dapat ditemukan dalam dokumen tulis. Banyak peristiwa yang tidak terekam dalam
29
Lihat tulisan Jan Vasina yang berjudul “Once upon a time: Oral tradition as History in Africa”
yang dimuat dalam buku Historical Stdies Today, karya Felik Gilbert dan Stephen R. Graubard
(Eds). 1972. New York: W.W. Norton and Company.
30
Lihat Kuntowijoyo, 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya
bekerjasama dengn Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, hlm. 20-21.
83
dokumen tertulis. Dalam bagian-bagian berikutnya akan diberikan contoh-contoh
sumber lisan yang mencerminkan sikap, perilaku, atau bahkan mentalité dari suatu
masyarakat, yang tidak terdapat dalam sumber arsip tertulis.
Dalam historiografi Indonesia, terdapat banyak sumber lokal yang dapat
dijadikan sebagai sumber sejarah. Sumber lokal itu antara lain: babad, serat kanda,
sajarah, carita, wawacan, hikayat, tutur, cerita-cerita manurung, riwayat, tarikh,
tambo, kidung yang dalam bahasa sehari-hari oleh masyarakatnya disebut sebagi
sejarah.31
Karya Sastra Sebagai Sumber Sejarah
Dalam melakukan penelitian sejarah, sudah sangat lazim digunakan sumber
arsip yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini penting seperti halnya telah dibahas
sebelumnya bahwa hanya sumber-sumber yang memenuhi kriteria kritik sumber dan
lulus dalam kritik sumber dapat digunakan sebagai sumber penelitian. Oleh karena itu,
pemanfaatan sumber kolonial, keputusan pemerintah, surat perintah, laporan
pemerintah, dapat diklasifikasikan sebagai sumber primer. Dari sumber-sumber tersebut
tidak dapat diketahui bagaimana sikap atau perilaku si pelaku atau apa yang dikandung
dalam hati kecil si pelaku sejarah. Berikut beberapa contoh pemanfaatan sastra seagai
sumber sejarah.
Konflik antara Sultan Hamengku Buwono II dan Paku Buwono IV
Berdasarkan Perjanjian Giyanti pada 1755, wilayah Monconegoro Wetan yang
mencakup daerah Madiun, Pacitan, Ponorogo, dan Tulung Agung merupakan wilayah
Kesultanan Yogyakarta. Sementara wilayah itu berbatasan dengan wilayah Kesunanan
Surakarta. Berhubung pembagian wilayah tersebut belum memiliki batas yang jelas,
dan perbatasan tersebut didasarkan pada hubungan kekerabatan, maka sering terjadi
konflik horizontal di kalangan bawah antarpenduduk desa, yang berupa perang desa
antara penduduk yang tinggal di wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan
Surakarta. Untuk mencegah peperangan antara Kraton Yogyakarta dan Kraton
Surakarta, Komisaris VOC, Nicolaas Hartingh, memanggil Sultan dan Sunan untuk
berunding membicarakan tentang batas-batas wilayah yang baru dari masing-masing
kerajaan di Jawa secara lebih jelas.
Dari kesepakatan itu pembaruan batas wilayah itu, Monconegoro Wetan juga
dibagi kembali. Wilayah Madiun, Caruban, Magetan dan sebagian Pacitan masuk ke
daerah Kesultanan Yogyakarta, sementara tanah di Jogorogo, dan sebagian Pacitan
menjadi bagian dari Kesunanan Surakarta. Persoalan antara kedua kesultanan belum
juga selesai tatkala terjadi pergantian tahta di kedua kesultanan Jawa itu.
Permasalahan menjadi semakin parah tatkala Sultan HB II mengangkat putra
mantunya, Raden Ronggo Prawirodirjo menjadi adipati di Monconegoro Wetan. Sunan
PB IV menganggap bahwa pengangkatan ini akan menjadi ancaman bagi Kesunanan,
karena sebelumnya telah terjadi beberapa insiden. Raden Ronggo beberapa kali
menerima laporan dari Bupati Pacitan tentang pelanggaran wilayah oleh bangsawan
Kesunanan. Hal ini menimbulkan konflik antara Raden Ronggo dan bangsawan
Surakarta. Pada saat Raden Ronggo akan menghadap Sultan Yogyakarta, ia singgah di
Delanggu. Pada saat itu kepala desa Delanggu dibunuh oleh anak buah Raden Ronggo.
Sifat kebencian Paku Buwono IV terhadap raden Ronggo tidak tercermin dalam arsip
kolonial, tetapi tampak jelas dalam Serat Wicara Kras, yang bunyinya sebagai berikut:
31
Lihat Helius Sjamsudin. 2012. Metode Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak, hlm. 9.
84
Ronggo iku nora teler
Mang lamun ana bathuk kang kalimis
Alisé lancip
Dèweèké apeparah Janaka Madiun
Dudu Janaka Ngamarta
Pratandané tan bisa ngambah mring langit
Lan nora bisa ngilang
“Ronggo itu tidak punya etika
Hanya dahinya yang mengkilap
Alis matanya tajam
Ia mengaku Janaka Madiun
Bukan Janaka Amarta
Yang tidak mampu terbang
Dan tidak mampu menghilang”32
Dalam teks di atas Raden Ronggo dianggap tidak memiliki etika, walaupun ia adalah
putra mantu Sultan. Hal ini merupakan penghinaan baik bagi Sultan Yogyakarta,
maupun bagi putra mantunya. Istilah Bathuk kalimis dan Alisé lancip adalah ungkapan
bagi seseorang yang memiliki sifat sering jatuh cinta bagaikan seorang hidung belang.
Ia diumpamakan sebagai tokoh wayang Janaka yang karakternya berlawanan dengan
tokoh Janaka dalam pewayangan, karena Janaka adalah tokoh wayang yang bisa terbang
dan mampu menghilang. Sementara, Raden Ronggo adalah seseorang ksatria tetapi
tidak memiliki kesaktian. Dari bait ini, sudah dapat diketahui makna dari serat ini.
Setidak-tidaknya ada hubungan yang tidak harmonis antarkedua kerajaan di Jawa pada
saat itu. 33
Hubungan yang tidak harmonis antara kedua kerajaan di Yogyakarta ini dapat
dilihat pada bait-bait yang seolah-olah mempertanyakan kesaktian dari Kesultanan
Yogyakarta, tatkala tentara Inggris menyerang kraton Yogyakarta. Berikut baitnya:
Yes wus mendem tan angetung becik
Mbuwang nista madya lan utama
Mung ngetung-etung undake
Doyan kibir takabur
Yen benera Ngayogya dingin
Mangsa nuliya bedah
Abot sangganipun
Sugih banda sugih putra
Myang santana sasat prabu Kurupati
Ngastina gegempuran34
“Jika sudah mabuk tidak peduli kebaikan
Mengabaikan keburukan dan kebenaran
Hanya memperhitungkan keuntungan
Suka bertakabur
Jika Yogyakarta memang benar
Pasti tidak akan hancur
Sangat berat resikonya
Kaya harta kaya anak
Juga kerabat seperti Raja Kurupati
Astina hancur lebur”
Makna dari naskah ini menunjukkan bahwa pihak Kraton Kesunanan mempersalahkan
Kraton Yogyakarta, dan Sultan harus mengakui kesalahannya. Kesultanan Yogyakarta
dicap sebagai kraton yang tidak peduli, tidak dapat membedakan antara yang benar dan
yang salah, yang hanya mementingkan harta duniawi. Yogyakarta dianggap suka
takabur, dan pantas untuk dihancurkan. Penyerangan ke Kraton Yogyakarta oleh
Inggris akan menimbulkan kesengsaraan yang amat besar karena Sultan HB II memiliki
anak dan kerabat yang banyak.
Mengingat bahwa serat ini berasal dari Kraton Surakarta, dan di antara kedua
kerajaan di Yogyakarta saat itu sering terjadi konflik, sudah dapat dipastikan bahwa isi
32
Lihat Serat Wicara Kras, t.t. Pupuh 11, padha 34. Koleksi Perpustakaan Museum Sonobudoyo
Yogyakarta. Naskah ini ditulis menggunakan aksara Jawa. Di Ruang Naskah Perpustakaan
Universitas Indonesia, serat ini sudah ditransliterasikan dengan huruf latin dan sudah
didigitalisasikan.
33
Lihat Djoko Marihandono dan Harto Juwono. 2008. Sultan Hamenku Buwono II: Pembela
Tradisi dan Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Banjar Adji Production, hlm: 154-156.
34
Lihat Serat Wicara Kras, t.t. pupuh XIV padha 96.
85
serat ini menjatuhkan pihak Kraton Yogyakarta. Sikap, emosi, tuduhan, hujatan dan hal
negatif lainnya ditujukan kepada kesultanan Yogyakarta.
Penangkapan Sultan Hamengku Buwono II oleh Inggris
Setelah penandatangan kapitulasi Tuntang pada 18 September 1811, Pulau Jawa
dan sekitarnya dikuasai oleh Inggris. Kesempatan itu digunakan oleh para raja Jawa
untuk menyusun kekuatan agar tanah-tanah kerajaan yang disita oleh pemerintah
Belanda dikembalikan kepada kedua raja Jawa itu. Sunan HB IV memanggil abdi
dalem untuk menyerahkan surat pribadinya kepada Sultan HB II. Isi surat itu adalah
ajakan melanjutkan rencana kerjasama mereka menghadapi tekanan Letnan Gubernur
Jenderal Raffles sebagai penguasa tertinggi di Jawa dan sekitarnya dan menuntut
pengembalian tanah-tanah kerajaan yang diambil oleh pemerintahan sebelumnya.
Dalam surat itu, Sunan menyarankan agar Sultan tidak perlu gentar terhadap tekanan
Raffles. Selaku penguasa di wilayah kerajaan Jawa, John Crawfurd menerima informasi
itu dari Pangeran Notokusumo yang dikenal dekat dengan pemerintahan Inggris. Ia
menduga kedua sultan berencana akan memberontak. Pada 15 Juni 1812, Raffles
bersama pasukannya tiba di Semarang, kemudian menyusun strategi untuk menyerang
Kraton Yogyakarta. Pasukan Inggris sudah bersiap di alun-alun utara Yogyakarta pada
20 Juni 1812, langsung melakukan penyerangan. Pukul 12.00 pada tanggal tersebut
kraton Yogyakarta diduduki Inggris. Bagaimana penangkapan sultan terjadi, diceritakan
dalam Serat Behah Ngayogyokarto. Berikut syairnya:
Apan Mugeng ing Srimanganti
Tinimbalan wus samya ngapura
Sumanten Jeng Sultan mangku
Kang neng Loji wus daut
Pan binekta dhateng wadya Gris
Myang Supe ingkang jaga
Rumeko delanggung
Linajengken mring Benggala
Putra kalih Pangeran Makudiningrat
Pangeran Mertasana 35
“Setibanya di Srimanganti
Dipanggil untuk diampuni
Begitu Sultan muncul
Segera dibawa ke Loji
Ditangkap oleh pasukan Inggris
Bersama Sepoi yang mengawalnya
Dijaga sangat ketat
Terus dibawa ke Benggala
Putra berdua Pangeran Mangkudiningrat
Pangeran Mertasana
Dari naskah ini, terdapat beberapa hal yang perlu dijelaskan dan diluruskan.
Pertama bahwa yang dimaksudkan sebagai ‘Loji’ di sini adalah benteng Vredeburg yang
berada di sebelah utara Kraton Yogyakarta. Tidak ada hubungannya dengan Loji Kecil,
yaitu bangunan yang terletak di antara Benteng Vredeburg dan Kraton Yogyakarta.
Berdasarkan serat ini, setelah ditangkap Sultan HB II dibawa ke Benggala India.
Berdasarkan arsip kolonial, setelah Sultan HB II menyerah, Raffles
menghentikan serangannya. Penyerahan diri Sultan dibarengi dengan permintaan agar
pasukan Inggris segera keluar dari kraton dan jangan menjarah harta benda yang berada
di dalam kraton. Pada 20 Juni 1812, Raffles menurunkan Sultan HB II dari tahtanya
dan sebagai penggantinya diangkatlah Sultan HB III. Saat itu Gillespie komandan
pasukan Inggris dalam rangka penyerbuan ke kraton Yogyakarta bertemu dengan Sultan
HB II di Balai Sri Manganti. Ia menyarankan agar Sultan HB II segera berangkat ke
Benteng Vredeburg, dan dirinya menjamin bahwa Raffles akan memafkannya. Setelah
35
Naskah ini diambil dari Babad Bedhah ing Ngayogyakarta, pupuh XXIII, padha 16. Naskah ini
disimpan di museum Sonobudoyo Yogyakarta, ditulis dengan menggunakan aksara Jawa.
Transliterasi naskah ini berada di ruang naskah Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok, dan
sudah digitalisasikan.
86
bertemu dengan Raffles, ia menyampaikan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh
Sultan HB II, dan ia dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, Sultan seharusnya dihukum
mati, akan tetapi karena usianya sudah tua, ia akan dibawa ke Batavia. Untuk itu, ia
diizinkan ditemani oleh puteranya Pangeran Mangkudiningrat dan Pangeran Mertosono
selama sultan berada di pembuangan.
Di Batavia, Raffles meminta pendapat dari para penasehatnya mengenai
penahanan Sultan HB II. Menurut penasehatnya, Sultan harus dibuang ke luar Jawa,
karena bila dibiarkan di Jawa akan sangat berresiko terhadap pemerintahan di Batavia.
Berhubung penahanan seseorang ke luar Jawa bukan wewenangnya, maka Raffles
meminta nasehat kepada Gubernur Jenderal Lord Minto di Calcutta. Dalam keputusan
Lord Minto, diinstruksikan bahwa Sultan HB II harus dikirim ke pangkalan Inggris di
pulau Penang, di wilayah yang belum dikenalnya, sehingga Sultan tidak akan dapat
berkomunikasi dengan kerabatnya di Yogyakarta.36 Dengan demikian apa yang tertera
dalam Serat Bedhah Ngayogyakarta tersebut adalah bahwa Raffles berkonsultasi
dengan Gubernur Jenderal EIC Lord Minto yang saat itu berada di Benggala, dan bukan
Sultan HB II yang dibuang ke Ceylon.
Jalan Raya Pos
Pada masa pemerintahan Daendels, telah dibuat jalan yang membentang antara
Anyer dan Panarukan, yang jaraknya hampir 1.000 km, menghubungkan antara bagian
barat pulau Jawa dan bagian timur pulau Jawa. Berdasarkan novel Pramoedya Ananta
Toer yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, disebutkan sebagai berikut:
BLORA—REMBANG
Jalan raya pos, Jalan Daendels, membentang 1000 kilometer
sepanjang Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Sejak dapat
dipergunakan pada 1909 telah menjadi infrastruktur penting dan untuk
selamanya. Dengan jatuhnya Hindia Belanda pada 1942, disusul masa
pendek pendudukan militerisme Jepang sampai 1945, berlanjut dengan
Revolusi 1945—1949, orang sudah tak peduli lagi bahkan tidak ingat lagi
padanya.
Untuk pertama kali kudengar namanya tentu saja dari guruku di
sekolah dasar. Instituut Boedi Oetomo, disingkat IBO. Di bawah pimpinan
ayahku sendiri sekolah ini sudah banting setir jadi sekolah nasional pada
tahun 30-an. Apa pula sekolah nasional itu? Pendeknya secara tidak
langsung—karena tidak mungkin secara langsung—diajar membenci
penjajahan Barat, Eropa, Belanda. Sebaliknya mengagungkan bangsa
sendiri, tidak peduli ilmiah atau tidak, asal memerosotkan wibawa
kolonial.37
Kutipan ini menjelaskan tentang Daendels yang telah membangun jalan raya AnyerPanarukan. Berdasarkan arsip kolonial, Herman Willem Daendels tiba di pelabuhan
Anyer dari Eropa pada 1 Januari 1808. Ia kemudian menggunakan jalan darat menuju ke
Batavia. Di Serang ia dijemput oleh Komandan Militer Serang Pieter Philip Dupuy,
yang mengawalnya hingga sampai ke Batavia pada 4 Januari 1808. Setelah bertemu
dengan Gubernur Jenderal Albertus Hendricus Wiese, Daendels dilantik sebagai
36
Lihat Djoko Marihandono dan Harto Juwono, 2009. Sultan Hamengku Buwono II: Pembela
Tradisi dan Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Bandar Aji Production, hlm. 159-165.
37
Pramoedya Ananta Toer, 2005. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Jakarta: Lentera Dipantara,
hlm. 7-8.
87
Gubernur Jenderal pada 14 Januari 1808, tepatnya dua minggu setelah ia mendarat di
pulau Jawa. Dari Anyer hingga Batavia, ia menggunakan jalan darat, yang berarti bahwa
jalan itu sudah ada dan sudah dapat dilewati. Dengan demikian, perlu diragukan apakah
jalan itu memang dibuat oleh Daendels.
Setelah dilantik menjadi Gubernur Jenderal pada 14 Januari 1808, ia
memutuskan untuk tinggal di Buitenzorg (Baca: Bogor) dari pada di Batavia. Alasan
mengapa ia tinggal di Buitenzorg, karena udara di Buitenzorg masih bersih, dan
dirasakan lebih sehat dari pada di Batavia yang banyak dipenuhi uap genangan air yang
tidak sehat. Selain itu, pertimbangannya tinggal di Buitenzorg demi alasan keamanan,
karena misi yang diembannya adalah: menyelamatkan pulau Jawa dari serbuan Inggris
dan menegakkan administrasi modern di Jawa demi keuntungan sebesar-besarnya untuk
negara induk. Oleh karena itu, bagi Daendels, tinggal di Buitenzorg lebih aman
dibandingkan dengan di Batavia, karena sewaktu-waktu kapal perang Inggris akan
merapat di pantai laut Jawa.
Dengan kondisi ini, dapat diketahui bahwa jalan darat dari Anyer ke Batavia,
kemudian dari Batavia ke Buitenzorg pada saat kehadiran Daendels di Jawa sudah ada.
Gagasan untuk membangun jalan raya dimulai pada 5 Mei 1808, ketika ia baru tiba dari
perjalanannya dari Buitenzorg ke Semarang melalui jalan darat.
Ia ingin
menghubungkan jalan-jalan desa yang membingungkan itu menjadi sebuah jalan yang
dapat dilalui oleh kendaraan yang membawa hasil bumi. Jalur ini akan menghubungkan
dari Buitenzorg ke Karangsambung Cirebon, sepanjang 150 km. Pembangunan jalan ini
dilakukan dengan mengerahkan tenaga kerja sebanyak 1.100 orang bujang yang dikirim
dari Jawa38 dibantu oleh masyarakat setempat. Berhubung penduduk yang tinggal di
sekitar jalur jalan raya ini sedang melakukan panen, diharapkan kegiatan ini tidak
mengganggu aktivitas panen komoditi yang sangat diperlukan oleh pemerintah
kolonial.. Berdasarkan beratnya medan, tenaga yang dikerahkan untuk merealisasikan
jalan ini disesuaikan dengan medannya, dengan komposisi sebagai berikut:
- dari Cisarua ke Cianjur 400 orang
- dari Cianjur ke Rajamandala 150 orang
- dari Rajamandala ke Bandung 200 orang
- dari Bandung ke Parakanmuncang 50 orang
- dari Parakanmuncang ke Sumedang 150 orang
- dari Sumedang ke Karangsambung 150 orang.
Tenaga yang dikerahkan untuk pembuatan jalan ini bukan berasal dari wilayah
di sekitar jalan. Oleh karena itu, mereka diberikan upah yang jumlahnya bervariasi
disesuaikan dengan kondisi medannya. Untuk pelaksanaan pemberian upah ini
pelaksanaannya di bawah tanggung jawab Komisaris Urusan Bumi Putera. Adapun
rincian upah mereka adalah sebagai berikut:
- dari Cisarua ke Cianjur 10 ringgit perak/orang
- dari Cianjur ke Rajamandala 4 ringgit perak per orang
- dari Rajamandala ke Bandung 6 ringgit perak/orang
- dari Bandung ke Parakanmuncang 1 ringgit perak/orang
38
Istilah Jawa digunakan untuk menyebut wilayah yang berada di bawah Gubernur Pantai Timur
Laut Jawa (Oostkust. Untuk mempersingkat panggilan Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolas
Engelhard, digunakan panggilan Gubernur Jawa, dan wilayah yang berada di bawah
kekuasaannya disebut juga wilayah Jawa. (Lihat Buddingh, SA dalam “Rapport over de Ontlusten
te Chirebon in 1806 Ingediend door wijlen N. Engelhard, in lessen Gouverneur van Java’s
Oostkust” dalam Indische Archief Ttijdschrift Jilid III 1850, hal 102.
88
-
dari Parakanmuncang ke Sumedang 5 ringgit perak/orang
dari Sumedang ke Karangsambung 4 ringgit petak/orang.
Untuk melaksanakan pembangunan jalan ini Komandan Zeni, Kolonel Von
Lutzow bersama dengan dua orang insinyur, diberi tugas untuk membuat rencana di
jalur mana jalan akan dibuka, digali atau diratakan. Jalur Cisarua Cianjur ditangani oleh
seorang insinyur. Jalur dari Parakanmuncang ke Karangsambung diserahkan kepada
insinyur lain. Masing-masing insinyur dibantu oleh seorang bintara yang cakap dari
pasukan artileri yang dipilih sendiri oleh kedua insinyur itu. Semua yang teribat dalam
pembangunan jalan ini akan diberikan gaji sebesar ¼ ringgit perak setiap hari,
sementara kepada kepala dan para perwira zeni akan memperoleh uang harian yang
jumlahnya disesuaikan dengan pangkat mereka.
Syair Lagu Populer
Penelitian sejarah dapat dilakukan dengan memanfaatkan syair lagu populer. Hal
ini pernah dbuat dalam disertasi Muhammad Mulyadi yang berjudul Koes Plus:
Tonggak dan Karakteristik Ke-Indonesiaan dalam Musik Pop.39 Koes Plus dikenal
semua orang karena ia telah mewarnai sejarah musik Indonesia. Kelompok musik
awalnya bernama Koes Bersaudara pada tahun 60-an. Kelompok musik ini pernah
merasakan masuk penjara karena karya-karyanya yang dianggap tidak
merepresentasikan Indonesia, sehingga pemerintah Orde Lama membawanya ke penjara
sebagai akibat dari lagu-lagu yang diciptakannya. Kelompok ini kemudian bubar, karena
salah satu personalnya menyatakan keluar dari grup musik ini. Selanjutnya, kelompok
musik Koes Bersaudara berubah namanya menjadi Koes Plus, setelah masuknya salah
satu personil dari luar yang bergabung dengan kelompok musik ini.
Dalam disertasi tersebut, analisis dapat dilakukan melalui beberapa langkah:
1. Syair lagu,
2. Irama;
3. Instrumen yang digunakannya.
Dalam penelitiannya, disertasi ini hanya membahas nomor 1 dan nomor 2 saja,
sementara nomor 3 tidak dibahas karena berada di luar konteks penelitian. Dari segi
Syair lagunya, setidaknya Koes Plus menggunakan beberapa bahasa, antara lain:
Indonesia, Jawa, dan bahasa Inggris. Iramanya: kelompok ini menggunakan irama pop,
rock and roll, beat, dang dut, khasidah, langgam Jawa dan beberapa irama lainnya.
Dari segi syairnya, mayoritas tema yang diangkat adalah tentang kekayaan,
keindahan tanah air Indonesia.
Keroncong Pulau Kelapa
Melambai-lambai di pantai
Nyiur Pohon kelapa
Kampung halaman yang indah
Pantai impian dan harapan
Keroncong pulau Kelapa
Di bawah angin berlalu
Ecercah wajah-wajahnya
Gadis-gadis yang di situ
Terik panas matahari
39
Muhammad Mulyadi. 2014. Koes Plus: Tonggak dan Karakteristik Ke-Indonesia-an dalam
Musik Pop. Disertasi FIB UI: tidak diterbitkan.
89
Memancar setiap hari
Nyiur melambai berseri
Seakan menari-nari40
Nusantara 3
Hutan Belantara
Banyak tersebar Nusantara
Semua harta yang tak terhingga
Milik kita
Di sana tempatnya
Tanah idaman kita semua
Tanah yang kaya bagai permata
Nusantara
Semua kagum olehnya
Tanah di Khatulistiwa
Bagi yang telah melihat
Hati terpikat Nusantara
Di sana tempatnya41
Penelitian sejarah tidak berhenti pada teks (syair) dan irama saja. Setelah diketahui
makna dari lagu-lagu itu, peneliti sejarah akan mencoba memasukkannya dalam
konteksnya, yaitu kapan, dimana, mengapa syair ini dibuat.
Setelah melalui wawancara terhadap para personil kelompok musik ini,
menganalisis fungsinya, maksud dan tujuan penciptaannya diketahui bahwa Koes Plus
menciptakaan semua lagu-lagunya ini disesuaikan visi dan misi mereka dengan
menciptakan stabilitas keamanan di negeri ini. Koes plus memiliki karakteristik, antara
lain memuja tanah air, kekayaan alam Indonesia, yang menyadarkan kepada seluruh
bangsa Indonesia akan kesadaran geografis Indonesia.
Apa yang disampaikan oleh Koes Plus dalam syair lagunya sejalan dengan apa
yang menjadi program pemerintah saat itu, yaitu
stabilitas keamanan dalam
melaksanakan pembangunan.
Kesadaran akan keadaan geografis Indonesia
diperkenalkan melalui lagu-lagu yang diciptakannya, ditujukan kepada semua lapisan
masyarakat, di kota atau pun di daerah, golongan agama manapun dan kelas sosial mana
pun. Setelah diteliti lebih lanjut, diketahui bahwa pemerintahan Orde Baru
memanfaatkan seniman untuk ikut menyadarkan masyarakat tentang kekayaan negara
kita, dan pentingnya rasa nasionalisme bersama, khususnya dalam membangun
Indonesia menjadi negara yang kaya dan adil.
Kesimpulan
Setelah melihat beberapa contoh analisis karya Sastra, dapat disimpulkan bahwa
karya sastra dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Walaupun harus diverifikasi
dengan mencari makna dari karya sastra, namun karya sastra dapat digunakan untuk
melengkapi apa yang yang belum ada dalam arsip-arsip kolonial.
Metode sejarah akan membawa penulis sejarah untuk mencari sumber-sumber
lokal dengan mencari makna tersebunyi dari karya sastra tersebut. Dengan melihat topik
yang akan diteliti, peneliti akan berusah mencari tidak hanya arsip-arsip yang berupa
arsip kolonial, tetapi karya sezaman yang berhubungan dengan topik penelitiannya.
40
41
Album Koes Plus. 1974. Pop Keroncong Volume 2.
Album Koes plus, 1973. Pop Nusantara Volume 9.
90
Oleh karena itu, karya sezaman sangat diperlukan untuk melengkapi khususnya dalam
pemahaman atau pencarian makna dari teks itu sendiri.
Sesuai dengan apa yang dilakukan oleh peneliti sejarah dari mazhab Les Annales,
bahwa semua aktivitas manusia dapat dijadikan sumber sejarah, baik itu berupa perilaku
verbal, yang berupa tuturan maupun teks, perilaku kinetis yang berupa artefak maupun
lingkungan alam yang termodifikasi dan lingkungan alam asli. Semua jenis data ini
dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Hal ini berbeda dengan penelitian para peneliti
dari mazhab Méthodique yang mengandalkan sumber sejarah dari arsip-arsip
pemerintah yang saat itu mulai diizinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan penelitian.
Daftar Rujukan
Sumber data
Album Koes Plus. 1974. Pop Keroncong Volume 2.
Album Koes plus, 1973. Pop Nusantara Volume 9.
Serat Wicara Kras, t.t. Pupuh 11, padha 34. Koleksi Perpustakaan Museum
Sonobudoyo Yogyakarta
Babad Bedhah ing Ngayogyakarta. Pupuh 23, padha 16. Koleksi Perpustakaan
Museum Sonobudoyo Yogyakarta.
Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Jakarta: Lentera
Dipantara, hlm. 7-8.
Buku
Buddingh, SA dalam “Rapport over de Ontlusten te Chirebon in 1806 Ingediend door
wijlen N. Engelhard, in lessen Gouverneur van Java’s Oostkust” dalam
Indische Archief Ttijdschrift Jilid III 1850, hal 102.
Kuntowijoyo, 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya
bekerjasama dengn Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Marihandono, Djoko dan Harto Juwono. 2008. Sultan Hamenku Buwono II: Pembela
Tradisi dan Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Banjar Adji Production, hlm:
154-156.
Masinambow, EKM. 2010. “Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Budaya”, dalam
Semiotika Budaya T. Christomy dan Untung Yuwono (Eds.). Jakarta: Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia.
Mulyadi, Muhammad 2014. Koes Plus: Tonggak dan Karakteristik Ke-Indonesia-an
dalam Musik Pop. Disertasi FIB UI: tidak diterbitkan.
Syamsudin, Helius. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak, hlm. 12-14.
Vansina, Jan. 1972. yang berjudul “Once upon a time: Oral tradition as History in
Africa” yang dimuat dalam buku Historical Stdies Today, karya Felik Gilbert
dan Stephen R. Graubard (Eds). 1972. New York: W.W. Norton and
Company.
91
KONSTRUKSI TUBUH DALAM ANTOLOGI PUISI
DI BAWAH KIBARAN SARUNG KARYA JOKO PINURBO
Dwi Rahariyoso
(Indonesia)
Memahami Joko Pinurbo selama ini dalam sudut pandang puisi Indonesia secara
umum memiliki kecenderungan bahwa karakteristik “liar” yang dikonstruksikannya
melalui medium tubuh adalah cara pandang yang segar dalam melihat tubuh dengan
kerangka kebudayaan masyarakat Indonesia. Tubuh hadir dalam cita rasa yang lain,
tidak hadir dalam kondisi yang sempurna. Dalam kerangka yang demikian, maka Joko
Pinurbo memiliki kapasitas dan kelebihan untuk diteliti. Membahasakan tubuh (liar)
merupakan sebuah medium bagi Joko Pinurbo dalam menghadirkan paradigmanya
terhadap kondisi manusia dalam kebudayaan masyarakat Indonesia. Manusia dengan
tubuh mereka yang terus-menerus diarahkan kepada dinamika dan problematika
peradaban yang semakin mendistorsi tubuh manusia ke dalam krisis, baik itu krisis
secara material maupun spiritual. Joko Pinurbo secara intens berkutat dalam kerangka
dualitas ruang tersebut sebagai sebuah hasil pandangannya terhadap tubuh, kebudayaan,
dan dunianya.
Tubuh dalam antologi puisi Di Bawah Kibaran Sarung karya Joko Pinurbo
sedikit banyak bisa dikaitkan dengan hadirnya wacana pascakolonial. Pada
kenyataannya Joko Pinurbo memang tidak mengalami secara langsung peristiwa
kolonial, namun karya-karyanya mengulas dan menguraikan satu ruang yang paling
mendasar dalam diri manusia, yaitu tubuh. Sebagai ruang politis, tubuh merupakan
esensi yang signifikan bagi manusia. Dalam kerangka pascakolonial, tubuh menjadi
saksi bagi sejarah keberlangsungan kolonial dari waktu ke waktu dengan meninggalkan
jejaknya melalui pengalaman tubuh. Tubuh dijadikan obyek bagi keberlangsungan
kepentingan, sehingga tubuh mengalami berbagai bentuk represi, rekonstruksi, dan
resistensi, sebagai sebuah pengalaman parsial individu. Konstruksi-konstruksi kolonial
tentang tubuh yang selama ini diakomodasi dalam kehidupan masyarakat pascakolonial
dikaitkan dengan bagaimana tubuh dikonstruksikan dalam karya-karya puisi Joko
Pinurbo, sehingga dapat diketahui bahwa tubuh tersebut merepresentasikan suatu
konstruksi dan diskursus tertentu. Strukturasi tersebut akan dijadikan sebuah lanskap
dalam melihat fenomena ketubuhan sebagai ruang pengalaman masyarakat
pascakolonial. Tubuh dalam masyarakat pascakolonial bukan entitas yang otonom,
melainkan telah ditandai oleh masa lalu kolonial, dengan demikian kehadiran tubuh
dalam konteks puisi Joko Pinurbo bisa dikaitkan dengan kemungkinan hadirnya
konstruksi kolonial di masa lalu yang kembali muncul tanpa disadari dalam ruang atau
teks-teks pascakolonial saat ini.
Pascakolonial mempunyai tujuan melihat tubuh dalam kerangka yang ‘bebas’
dari penandaan ataupun konstruksi kolonial di masa lalu. Dalam kerangka kolonial,
tubuh diarahkan dan dibentuk untuk tunduk dalam rasionalitas atau nalar kolonial,
sehingga tubuh tidak bebas dari konstruksi dan kepentingan. Kenyataan terhadap hal
tersebut selama ini telah menimbulkan reaksi bagi era pascakolonial, dimana tubuh
sebagai ruang hendak direvisi, sehingga tubuh menerima konstruksi kolonial, sekaligus
menerima konstruksi yang lain (di luar narasi kolonial) sebagai suatu bentuk alternatif.
92
Tubuh bisa dipahami sebagai hakikat dengan sifat ontologis yang dibedakan dengan
sifat epistemologis yang ada dalam roh.
Landasan berpikir pascakolonial yang secara khusus mengerucut pada konstruksi
tubuh, yaitu terdapat dalam bukunya Sara Upstone, Spatial Politics in the Postcolonial
Novel (2009). Pendekatan pascakolonial menurut Upstone menekankan pada politik
ruang, dalam artian pascakolonial dipahami sebagai masa dimana suatu wilayah pernah
ditempati dan dikontrol oleh kolonial, dan kolonial telah meninggalkan wilayah
tersebut. Upstone menganggap bahwa masih ada ruang-ruang kolonial yang
ditinggalkan pada wilayah jajahan meskipun secara fisik kolonial sudah tidak berada
lagi dalam ruang terjajah. Ruang-ruang kolonial tersebut dikelompokkan oleh Upstone
menjadi beberapa level dari yang paling umum atau besar sampai ke ruang yang paling
mendasar atau signifikan, dimana pada setiap ruang terdapat unsur politik yang ingin
diungkapkan. Level ruang tersebut mulai dari nation (bangsa atau negara), journey
(perjalanan), city (kota), home (rumah), dan body (tubuh).
Ruang dalam Pandangan Pascakolonialisme
Upstone menawarkan pembacaan atas novel pascakolonial yang menitikberatkan
pada konsep-konsep alternatif tentang politik ruang, yang tidak semata-mata
menitikberatkan pada politik bangsa, tetapi juga merefleksikan beraneka ruang yang
mengonstruksi pengalaman kolonial (Upstone, 2009:1). Upstone menjelaskan bahwa
tempat menandakan kontrol kolonial, sementara ruang merujuk pada hal yang lebih luas
dan lentur, bentuk-bentuk yang ingin dikaburkan oleh kolonial (Upstone, 2009:3).
Ruang adalah wadah dalam artian yang abstrak dimana konsep-konsep yang hegemonik
dapat ditanamkan karena sifatnya yang lentur. Strategi politik tersebut lahir dalam upaya
melakukan penguasaan terhadap-ruang-ruang yang penting bagi praktik-praktik kolonial
serta mampu mempertahankan stabilitasnya bagi keberlangsungan kekuasaan kolonial di
masa selanjutnya. Ruang-ruang yang nampak secara natural tersebut digunakan oleh
kaum kolonial untuk membedakan diri mereka dengan pribumi. Melalui praktik yang
demikian, yaitu dengan memberikan definisi dan batas yang jelas antara colonised dan
coloniser di ruang pribumi, kekuasaan kolonial tampak absolut (Upstone, 2009: 4).
Berikut ini bagan kondisi ruang kolonialisme dengan ruang poskolonialisme.
Space
(ruang)
Pascakolonial
Kolonial
Heterogenitas
Chaos/
disorder
Space
(ruang)
Homogenitas
Postspace
Kontrol hegemonik
Order dan
Border
Pandangan ruang pascakolonial menolak konstruksi teritori, memberi pada
penawaran bahwa ruang seharusnya direklamasi, suatu pandangan yang pada awalnya
mengandung berbagai perbedaan dan melihat ruang di luar pemikiran kolonial, dimana
ruang menjadi lokasi, bukan sebagai negasi atas yang telah berlalu sebelumnya, namun
negosiasi (Upstone, 2009:13). Pandangan pascakolonial melihat ruang berisi suara-suara
heterogen, yang memiliki berbagai pengalaman, yang memberi penekanan pada
perbedaan dan subjektivitas (Upstone, 2009:13). Suara-suara heterogen dan berbagai
93
pengalaman tersebut akan menimbulkan chaos. Chaos berfungsi sebagai upaya
pembongkaran terhadap pandangan yang dianggap tetap dan menanamkan pola-pola
pemahaman serta pengalaman-pengalaman baru sehingga dibutuhkan fluiditas ruang
yang tidak didapatkan dalam konsep kolonial maupun tradisi, atau dari konsep Barat
dan Timur yang sudah dibatasi tersebut, kondisi ini pada akhirnya memunculkan postspace. Upstone (2009:15) menjelaskan post-space sebagai konsep yang berada di luar
batas-batas kolonial maupun di luar batas-batas tradisi, bahkan melampaui atau berada
sebelum batas-batas tersebut muncul; keadaan tersebut juga bisa dikatakan sebagai
ruang yang hibrid, cair, dan ruang yang bergerak, sehingga tidak memiliki batas-batas
lagi. Melalui konsep yang demikian, teks-teks pascakolonial mempertanyakan berbagai
kemungkinan lain atas tatanan yang ditanamkan oleh kolonialisme, berbagai
kemungkinan lain yang bisa dibaca sebagai sebuah usaha negosiasi atas definisi
identitas, budaya, hingga kemungkinan resistensi.
Ruang Tubuh dalam Poskolonial
Ketika tubuh dianggap sebagai sesuatu yang bisa dikoloni seperti halnya ruang
lain, tubuh secara konkret juga menjadi bagian dari ruang-ruang tersebut. Tubuh tidak
hanya metaforik tetapi metonimik. Tubuh tidak hanya dianggap sebanding dengan
ruang-ruang lain, tetapi juga menjadi bagian dari ruang-ruang tersebut. Sebagai bagian
dan kelanjutan, tubuh mungkin melakukan berbagai resistensi, percampuran, saling
pengaruh. Kondisi metaforik dan metonimik terhadap tubuh inilah yang ditelusuri
Upstone. Dalam konsep Upstone, tubuh yang metaforik adalah tubuh dalam wacana
kolonial, yang bisa dibagi-bagi seperti halnya negara atau kota. Tubuh hanyalah
perumpamaan. Akan tetapi, terdapat juga tubuh metonimik, yang artinya merupakan
bagian berkesinambungan yang tidak lagi memungkinkan adanya keterbagian atau
hubungan-hubungan hierarkis. Dalam tubuh yang metonimis inilah kemungkinan chaos
dan ambiguitas muncul. Ketidakterbagian dan ambiguitas ini merupakan resistensi itu
sendiri. Tubuh dalam wacana kolonial menjadi tubuh yang terkontrol, kaku secara
jasmaniah dan ditandai dengan jejak-jejak representasi kekuasaan/koloni yang
diklasifikasikan berdasarkan jenis ras/warna kulit dan juga etnis. Membentuk dikotomi
antara yang superior, yaitu penjajah, dan di wilayah sebaliknya adalah inferior, yaitu
terjajah.
Dalam konteks ini tubuh memegang peranan penting dalam teks pascakolonial
terutama dalam membentuk persepsi (kesadaran) atas berbagai pengalaman melalui
ruang-ruang yang dialami oleh tubuh. Tubuh merupakan wilayah dimana segala
pengalaman keruangan dirasakan oleh individu, sehingga dalam konteks ini tubuh
memegang peranan sentral (apresiasi) terhadap ruang-ruang yang ada di sekitarnya.
“Spaces indicating a particulare experience at their own scale inherently interwoven with
experiences at other scales, of which the body is often the end (or beginning) point”
(Upstone, 2009:148).
Novel Pascakolonial menggambarkan sentralitas tubuh bagi kekuasaan kolonial,
menggambaran fakta bahwa tubuh adalah target imperial dan tubuh menyandang
peninggalan kolonial, ditandai dan didefinisikan oleh berbagai perangkat kekuatan di
luarnya. Secara lebih lanjut wacana tersebut juga digunakan sebagai sebuah wasiat akan
terus berlangsungnya upaya kolonial dalam mempertahankan penguasaan terhadap
tubuh di dunia pascakolonial (Upstone, 2009:151). Kondisi tersebut merupakan sebuah
fenomena bagaimana kolonialisme terus berupaya menjaga superioritas wacana mereka
atas tubuh sebagai sebuah perspektif dan cara pandang yang benar selama ini.
94
Dalam antologi puisi Di Bawah Kibaran Sarung karya Joko Pinurbo, penyair
merepresentasikan pengalaman tubuh manusia dengan roh melalui berbagai interaksi
ruang di sekelilingnya, tidak hanya ekstrinsik melainkan juga intrinsik. Pengalaman
tubuh dalam karya-karya Joko Pinurbo bisa dibaca dalam kerangka konsep
pascakolonial tubuh Upstone, untuk menemukan relasi simbolik keberadaan tubuh dan
keterkaitannya dengan konstruksi tubuh. Apakah tubuh digambarkan melakukan suatu
bentuk yang chaos/disorder sehingga bisa melahirkan bentuk baru atau justru
sebaliknya, tubuh kembali pada wacana dominan yang sudah ada secara turun-temurun.
Mayoritas karya puisi yang hadir dalam antologi Di Bawah Kibaran Sarung,
berkutat tentang persoalan tubuh dan roh sebagai suatu konstruksi, dimana Joko Pinurbo
dengan rasionalitasnya terkesan bermain-main dengan bahasa dan logika. Bahasa dalam
konteks tersebut diasumsikan sebagai suatu ruang yang secara dekonstruktif berusaha
mempertemukan bahasa sehari-hari sebagai sebuah dimensi atau medium dalam
membahas renungan-renungan filosofis dan teologis tentang tubuh. Konstruksi estetis
yang dihadirkan oleh Joko Pinurbo dalam puisi-puisinya mengarah ke Descartes, yang
berpijak kepada rasionalitas (modernis), namun yang cukup menarik adalah cara dia
bertutur bukan sebagai modernis. Bahasa yang digunakan dalam antologi Di Bawah
Kibaran Sarung adalah bahasa yang hancur, bahasa debu (fana) yang mempunyai
kecenderungan dekat dengan keseharian tubuh (jasmaniah) sebagai suatu ruang yang
dinihilkan atau dihancurkan di dunia. Bahasa keseharian yang muncul dalam karyakaryanya sebagai sesuatu hal yang tidak standar, yang seolah-olah membuat Joko
Pinurbo sebagai seorang yang posmodernis, yang pada mulanya adalah chora. Dalam
kerangka Upstone (mengutip Plato), seperti yang sudah diuraikan pada bab 1, chora
dipahami sebagai sesuatu yang menyediakan keadaan bagi berbagai benda untuk
mengada, dengan kata lain chora ada sebelum makna pasti terbentuk (2009:162). Chora
bisa dibaca secara lebih umum sebagai tubuh yang tidak memiliki konotasi gender.
Chora lebih mengarah kepada sesuatu yang lebih besar dari tubuh. Tubuh choric
merupakan ‘tusukan’ dan penolakan bentuk menjadi ‘bukan sebuah tubuh’ (Butler via
Upstone, 2009:162-163), yang didefinisikan oleh Plato sebagai konstruksi negatif tanpa
angan-angan atau harapan yang tidak mungkin untuk diperoleh kembali secara utuh.
Pernyataan tersebut merupakan sebuah tawaran terhadap konstruksi tubuh yang natural,
sebuah ambiguitas tanpa definisi yang mengarah kepada chaos. Chora merupakan
sebuah alternatif dalam melakukan resitensi kolonial dalam pengertian Upstone, dimana
keadaan tubuh tidak semata-mata dilihat sebagai bentuk jasmaniah belaka.
Berpijak dari asumsi chora tersebut, maka apa yang dihadirkan oleh Joko
Pinurbo melalui konstruksi bahasa di dalam puisi-puisinya mengarahkan kepada suatu
kesimpulan bahwa melalui bahasanya yang chaostik, Joko Pinurbo tidak menciptakan
suatu ruang chaos sama sekali, sebab ia merupakan seorang modernis. Chaos dalam
kerangka estetik Joko Pinurbo dilihat dari kacamata ideal, yaitu ruang rohaniah. Melalui
bahasa tersebut proses dekonstruksi sebagai suatu cara melihat ruang tubuh yang hadir
dalam konstruksi puisi-puisi Joko Pinurbo bisa dilacak secara detail. Tubuh hadir dalam
persepsinya yang terarah secara konstruksional, ke wilayah di luar badan/tubuh, yaitu
roh. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penyair tidak bisa lepas dari tubuh dan roh,
yang mencerminkan pandangan dualistik ruang yang hadir secara konstruktif terhadap
tubuh dan membagi seluruh kenyataan antara tubuh-roh, spiritual-material, manusiadunia, subjek-objek dan lain sebagainya. Kenyataan atas dualistik ruang tersebut
mengindikasikan hadirnya semangat modernisme, dimana dalam modernisme
pandangan dualistik tersebut menjadi suatu ciri mendasar dalam melihat kenyataan
95
(Sugiharto, 1996:29), yang entah disadari atau tidak telah memengaruhi penyair dan
menjadi fokus penyair dalam berkarya.
Dualitas ruang yang dihadirkan dalam puisi-puisi Joko Pinurbo bukan sematamata merupakan sebuah keberpihakan, melainkan pemahaman penyair atas kehidupan
yang dialaminya sebagai seorang religius (Kristen) yang modernis, dengan berkutat
pada persoalan tubuh (jasmaniah/material) dan religiusitas pada wilayah rohaniah
(ide/spirit). Hubungan kedua aspek tersebut secara tidak langsung membentuk suatu
pemahaman bahwa penyair menafsirkan tubuh secara rasional untuk mengungkapkan
kenyataan yang ilahiah di luar tubuh. Barangkali hal tersebut yang memperkuat fungsi
estetik puisi-puisi sekaligus sebagai semacam kegelisahan Joko Pinurbo dalam rangka
memaparkan bagaimana tubuh yang fana dan profan dipertemukan dengan roh yang
kekal dan sakral. Beberapa puisi tersebut, yaitu puisi dengan judul “Celana (2)”,
“Pulang Malam”, “Tubuh Pinjaman”, “Pulang Mandi”, “Meditasi”, “Di Sebuah Mandi”,
“Doa Sebelum Mandi”, dan “Sakramen”.
Ia memantas-mantas celananya di depan cermin
Sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya
Pantat tepos yang sok perkasa.
“Ini asli buatan Amerika,” katanya
Kepada si tolol yang berlagak dalam kaca.
(bait 2, “Celana (2)”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung)
Dalam puisi “Celana (2)”, persoalan tubuh dan celana menjadi sebuah fenomena
yang signifikan dalam merenungkan kembali posisi tubuh. Apa yang dilakukan oleh
tokoh dalam puisi tersebut adalah sebuah upaya mengonstruksi tubuh ke dalam gagasan,
melalui komoditas celana asli buatan Amerika. Ketika tubuh sudah dikonstruksi dalam
persoalan ide, maka ide tentang tubuh adalah ide yang mengikuti order atau mengatur
tubuh agar tubuh bisa memenuhi keinginan atau diarahkan. Celana merepresentasikan
ide/gagasan yang hadir di luar tubuh, sehingga ketika tubuh diarahkan melalui gagasan
tertentu yang dipahami sebagai pengetahuan bersama (obyektif) atas realitas, maka
tubuh yang hadir lebih dekat kepada suatu konsensus komoditi, yang secara sosial dan
kultural berusaha merepresentasikan kenyataan obyektif bagi subjek tersebut.
Representasi yang benar atau keserupaan obyektif tentang tubuh inilah barangkali yang
berusaha dihadirkan dalam puisi-puisi Joko Pinurbo, terutama dalam praktik kultural
yang hadir melalui celana idaman asli buatan Amerika.
Keadaan yang ironis justru dihadapi oleh si tokoh ketika ia mendapati bahwa
perempuan yang menjadi kekasihnya justru menginginkan dan tertarik yang bernaung di
dalam celana, bukan celana yang dikenakan oleh tokoh tersebut. Perempuan tersebut
sewot dan memerintahkan untuk membuka dan membuang celana si tokoh yang gagah
dan canggih modelnya.
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru
yang gagah dan canggih modelnya
dan mendapatkan raja kecil
yang selama ini disembahnya
tunduk tak berdaya.
(bait 5, “Celana (2)”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung)
Berdasarkan fenomena yang hadir dalam kutipan bait puisi di atas, maka apa
yang sebenarnya menjadi persoalan adalah hadirnya persepsi atas realitas tubuh melalui
celana gagah dan canggih modelnya asli buatan Amerika. Persepsi atas kenyataan
tersebut menandakan bahwa tubuh dalam konstruksi gagasan sosial telah diarahkan
kepada sebuah praktik komoditi sosial, dimana tubuh dari tokoh yang berusaha
merepresentasikan keserupaan obyektif tubuhnya dengan kenyataan melalui celana asli
96
buatan Amerika. Gagasan tersebut pada akhirnya dibongkar oleh perempuan
kekasihnya, bahwa ia tidak tertarik dengan celana gagah dan canggih modelnya,
melainkan kepada yang hadir di dalam celana. Kenyataan yang meleset dari asumsi
tokoh bahwa celana tidak mampu memberikan kepuasan bagi kekasihnya, sekaligus
tidak mampu menggantikan fungsi dari tubuh yang secara alamiah ada di balik celana.
Apa yang hadir di balik celana adalah raja kecil yang tunduk tak berdaya, meskipun hal
tersebut menjadi sebuah ironi dari keadaan tubuh tokoh, namun perempuan tersebut
lebih memilihnya sebagai kenyataan alamiah tubuh.
Tubuh yang alamiah menjadi utama dan determinan bagi manusia, sebagai
sebuah kenyataan transendental dengan Sang Pencipta. Berdasarkan asumsi tersebut,
maka hubungan antara raja kecil dengan celana secara metaforis menghadirkan suatu
konstruksi antara ruang tubuh (materi) dengan ruang kultural (ide/gagasan). Ruang
tubuh pun dalam konteks ini dibagi menjadi tubuh alamiah (rohaniah) dan tubuh
kultural (dunia), yang pada akhirnya mengarahkan solusi kepada tubuh alamiah sebagai
kenyataan kodrati manusia dalam membangun hubungan dengan Sang Pencipta
(vertikal) dibanding tubuh kultural yang direproduksi sebagai kehendak sosial duniawi
(horisontal). Tubuh alamiah yang dimetaforkan sebagai raja kecil yang tunduk tidak
berdaya, secara empiris merupakan kenyataan kodrati yang tidak mampu digantikan
oleh gagasan duniawi yang cenderung bersifat komoditi. Celana merepresentasikan
produk sosial-kultural masyarakat, sehingga di dalam konsepsi ideal yang dihadirkan
olehnya terdapat kepentingan-kepentingan obyektif yang seolah memosisikan manusia
hanya sebagai obyek dari hasil produksi komoditas ekonomi. Pengetahuan
mengonstruksikan tubuh tersebut adalah sebuah bentuk epistemologi yang bertujuan
menyamakan persepsi melalui obyektivitas dari celana idaman yang gagah dan canggih
modelnya asli buatan Amerika, sehingga sebagai bentuk material yang dibutuhkan oleh
tubuh, maka implikasi yang muncul dibuktikan melalui kegagahan dan keunggulan
setelah mengenakan celana tersebut. Pada kondisi tersebut, keinginan terhadap tubuh
secara jasmaniah dipahami sebagai keinginan material tentang hidup yang tidak ada
habisnya untuk memiliki dan mengontrol segala hal yang profit material dan praktis
bagi individu-individu. Dualisme ruang yang hadir secara hierarki tersebut
menunjukkan bahwa kondisi tubuh dalam puisi “Celana (2)” masih berada dalam
tegangan antara manusia-dunia atau jika diarahkan kepada konteks yang lebih luas,
yaitu antara yang spiritual-material (roh dan tubuh).
Dalam puisi “Pulang Malam”, yang bercerita tentang hubungan antara tubuh
dengan ranjang. Ranjang digambarkan sudah terbakar ketika kami tiba larut malam (bait
1). Apa yang muncul dalam konsepsi tersebut adalah ranjang sebagai tempat untuk tidur
tubuh tidak lagi bisa menampung tubuh dengan kenyamanannya karena sudah terbakar.
Secara material (jasmaniah), tidur menghubungkan tubuh dengan yang di luar tubuh,
yaitu ruang rohaniah, sehingga ketika ranjang telah terbakar, seluruh kenyataan material
tentang tubuh (duniawi) menjadi lenyap. Hal tersebut merupakan sebuah gambaran
tentang hubungan tubuh dan ranjang yang secara metaforis merepresentasikan kematian
kecil bagi manusia. Tidur dimaknai sebagai sebuah proses merasakan perpindahan dari
yang material kepada yang spiritual. Gambaran ranjang terbakar tersebut merupakan
sebuah fenomena bahwa manusia dengan keinginannya untuk tetap ada tidak bisa
menolak kenyataan kodrati yang fana dalam sifat tubuhnya. Pada akhirnya tubuh
dihancurkan, meskipun demikian, terdapat ambivalensi dari kami yang menginginkan
untuk kekal berpelukan dan tidur damai dalam dekapan ranjang.\
Kami sepasang mayat
ingin kekal berpelukan dan tidur damai
97
dalam dekapan ranjang
(bait 3, “Pulang Malam”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung)
Penyair dengan kecerdasannya mempermainkan situasi “kami” yang dihadirkan
masih berkeinginan untuk tetap kekal dalam dekapan ranjang meskipun sudah menjadi
mayat. Hal tersebut merupakan semacam ironi tentang kondisi “kami” (manusia)
dengan tubuhnya, yang terus-menerus tidak bisa melepaskan kenyataan jasmaniah untuk
ada dan kekal. Bisa disimpulkan bahwa keinginan “kami” untuk kekal tersebut adalah
sebuah upaya menolak kefanaan tubuh yang direproduksi melalui sifat rohaniah di luar
tubuh. Tubuh fana dipertemukan dengan roh/spirit yang kekal, sebagai suatu
ide/gagasan dalam rangka membebaskan diri dari krisis duniawi yang dihadapinya.
Barangkali asumsi tersebut merupakan sebuah negosiasi atas krisis yang ditawarkan
oleh penyair dan diharapkan bisa menjadi solusi bagi tubuh dengan dualisme ruangnya.
Dalam puisi yang lain, yang berjudul “Tubuh Pinjaman”, kenyataan tentang
dualisme antara tubuh dan roh juga muncul sebagai sebuah kenyataan empiris bahwa
tubuh manusia adalah tubuh pinjaman yang harus dikembalikan kepada yang punya.
Asumsi “pinjaman” tersebut secara metaforis dipersepsikan sebagai pengakuan kepada
sang pemilik tubuh, yaitu yang hadir di luar tubuh. Hubungan antara tubuh dengan yang
hadir di luar tubuh adalah hubungan hierarkis, dimana tubuh berada dalam posisi
inferior karena hanya berfungsi sebatas ruang/medium bagi kehidupannya di dunia.
Tubuh sebagai medium pada akhirnya harus dinihilkan atau dikalahkan, ketika sudah
saatnya untuk dikembalikan kepada yang di luar tubuh (keluarga, kerabat, atau pemilik).
Kepada yang di luar tubuh inilah kenyataan asal tubuh harus diterima sebagai sebuah
kebenaran dalam konteks puisi tersebut. Tubuh pinjaman secara eskplisit menunjukkan
bahwa tidak seseorang pun yang dapat merasa memiliki tubuhnya, sehingga tubuh
sebagai ruang pinjaman tersebut menjadi terbatas, sementara, dan ditinggalkan. Jika
asumsi tersebut diuraikan kembali, maka apa yang hadir dalam konstruksi ruang tubuh
adalah sebuah metafor terhadap kehidupan di dunia yang fana. Tubuh yang menjadi
entitas jasmaniah tidak lebih sebagai suatu ruang tunggu bagi perjalanan manusia, yang
tidak boleh membuat dirinya lupa dan terlena, karena suatu saat nanti tubuh harus
diserahkan kembali kepada sang pemilik, yaitu melalui peristiwa kematian. Dalam
konteks tersebut penyair sudah membangun relasi antara tubuh (material/jasmaniah)
dengan sang pemilik tubuh yang meminjaminya (spiritual/rohaniah), yang hadir di luar
tubuh. Gambaran tubuh dengan berbagai latar belakangnya, yang didefinisikan sebagai
dipinjam dari mayat korban tak dikenal di pinggir jalan (bait 1) dan dipinjam dari bayi
yang dibuang di sebuah halte (bait 2), pada akhirnya melahirkan asumsi bahwa tubuh
(jasmaniah) manusia merupakan sebuah ruang fana.
Tubuh
yang mulai akrab dengan saya ini
sebenarnya mayat
yang saya pinjam
dari seorang korban tak dikenal
yang tergeletak di pinggir jalan
...
Tubuh
yang mulai manja
dengan saya ini
saya pinjam dari seorang bayi
yang dibuang di sebuah halte
oleh perempuan yang melahirkannya
dan tidak jelas siapa ayahnya.
98
...
(bait 1 dan 2, “Tubuh Pinjaman”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung)
Sebagai ruang yang fana maka tubuh bersifat terbatas, yaitu bukan menjadi
tujuan sebenarnya dari hidup, sehingga tubuh hanyalah menjadi perumpaan bagi
hadirnya ruang lain di luar tubuh yang lebih rohaniah dan kekal. Persepsi tersebut secara
implisit bisa jadi merupakan konstruksi teologis yang dipahami oleh penyair dalam
membangun hubungan transendental dengan Sang Pencipta. Keterbatasan tubuh hanya
bisa dipahami atau dilengkapi dengan hadirnya yang rohaniah di luar tubuh. Secara
umum bisa disimpulkan bahwa puisi “Tubuh Pinjaman” memaknai tubuh dalam ruang
religius sehingga membangun suatu hubungan hierarkis-transenden yang menandai
tubuh sebagai sebuah kefanaan dan kesementaraan hidup.
Tubuh
yang kadang saya banggakan
dan sering saya lecehkan ini
memang cuma pinjaman
yang sewaktu-waktu harus saya kembalikan
tanpa merasa rugi dan kehilangan.
Pada saatnya saya harus ikhlas menyerahkannya
kepada seseorang yang mengaku sebagai keluarga
atau kerabatnya atau yang merasa telah melahirkannya
tanpa minta balas jasa atas segala jerih payah
dan pengorbanan.
(bait 3, “Tubuh Pinjaman”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung)
Kutipan bait puisi tersebut menunjukkan hadirnya dualisme ruang, yaitu antara
ruang yang material/jasmaniah dengan ruang spiritual/rohaniah. Kehadiran tubuh tidak
bisa dilepaskan begitu saja dengan konteks di luar tubuh, yang diasumsikan sebagai
‘pinjaman’. Tokoh saya yang hadir dalam kutipan tersebut, berasumsi bahwa sewaktuwaktu tubuhnya harus ia kembalikan dengan ikhlas tanpa merasa rugi dan kehilangan.
Asumsi tokoh saya tersebut merupakan sebuah paradigma terhadap tubuh, segala yang
hadir dalam tubuh yang dihuninya hanyalah sebuah kesementaraan sehingga tubuh tidak
mutlak dimiliki melainkan hanya digunakan untuk sementara waktu sebelum
dikembalikan. Meminjam tubuh adalah meminjam hidup, sehingga segala hal yang
berkaitan dengan ‘pinjaman’ tersebut sekaligus juga berkaitan dengan mengembalikan
tubuh, yang diartikan sebagai menerima kematian. Barangkali dengan asumsi tersebut,
tubuh dipahami bukan hanya melalui suatu praktik sosial-kultural yang secara jasmaniah
dan dangkal, melainkan juga secara rohaniah dan kontemplatif sebagai sebuah ruang
untuk bertemu dengan kehadiran Sang Pencipta. Dalam hal ini Joko Pinurbo
menggunakan metafor tubuh pinjaman sebagai konsepsi estetiknya untuk menghadirkan
konstruksi tubuh dan roh. Secara lebih lanjut dualisme ruang yang hadir dalam
konstruksi puisi di atas merujuk kepada gagasan modernisme yang membagi kenyataan
menjadi subjek-objek, material-spiritual, manusia-dunia dan lain sebagainya.
Dalam puisi yang berjudul “Pulang Mandi”, Joko Pinurbo membahas tubuh
dalam kerangka sosial-kultural melalui peristiwa mandi. Mandi menjadi suatu metafor
dalam mengubah dan merekonstruksi tubuh untuk diganti dengan tubuh yang baru.
Pengalaman tersebut digambarkan dengan baik melalui peristiwa merantau tokoh ke
Jakarta, sehingga ketika ia pulang ke rumah, tubuhnya hampir tidak dikenali kalau tidak
ditunjukkan sepasang tato di pantatnya. Tubuh tokoh tersebut digambarkan penuh
jahitan, hampir rombengan (bait 1) akibat lama merantau. Secara sosiologis apa yang
digambarkan dalam konteks tersebut adalah sebuah penandaan terhadap konstruksi
tubuh, tanpa merantau tubuh tidak akan mandi, dan tidak akan pernah bisa diganti
99
dengan tubuh yang baru. Dalam puisi “Pulang Mandi”, secara eksplisit Joko Pinurbo
mengulas persoalan tubuh dalam konstruksi sosiologis, namun tidak menutup
kemungkinan bahwa persoalan tersebut erat kaitannya dengan konstruksi tubuh dan roh.
Mandi menjadi suatu hal yang unik dan menarik bahkan membutuhkan sebuah
keberanian tersendiri dalam perspektif Joko Pinurbo, sehingga melalui mandi
digambarkan seseorang akan menemukan tubuhnya sendiri.
“Berbahagialah orang yang berani mandi,” aku bersabda,
“sebab ia akan menemukan tubuhnya sendiri.”
(bait 2, “Pulang Mandi”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung)
Dalam kutipan di atas, mandi yang secara umum bisa dipahami sebagai
membersihkan diri dan tidak semua orang digambarkan bisa dan berani mandi. Asumsi
tersebut mengarahkan pada suatu kenyataan sosiologis, bahwa ketika mandi dan melihat
tubuh sendiri yang terbuka (telanjang), maka ia akan menemukan tubuh yang
sebenarnya. Hal tersebut menjadi menarik dikarenakan ada hubungan sosiologis yang
hadir terhadap konstruksi tubuh, yaitu antara tubuh yang terbuka dengan tubuh yang
tertutup. Tubuh yang terbuka adalah tubuh yang mencoba mendekatkan diri dengan
kenyataan asali, yang alamiah, tanpa termediasi oleh konstruksi apapun, sedangkan
tubuh yang tertutup adalah tubuh yang dimediasi dengan hadirnya konstruksi-konstruksi
tertentu (ide/gagasan) yang pada akhirnya mengarahkan tubuh kepada satu konstruksi
tertentu.
Tubuh yang ditemukan sebagai tubuh sendiri ketika mandi tentu saja dibedakan
dengan tubuh yang dilihat ketika tidak mandi, yaitu melalui konstruksi pakaian yang
menutupinya. Melihat tubuh sendiri yang telanjang adalah menemukan wujud
sebenarnya dari tubuh sendiri tanpa termediasi. Berdasarkan asumsi tersebut, maka
penyair ingin menegaskan bahwa tubuh sebenarnya adalah konstruksi yang asali,
alamiah, dan bukan konstruksi sosiologis maupun kultural. Konstruksi alamiah tersebut
pada akhirnya menjadi lebih dekat dengan Sang Pencipta, yang ditafsirkan sebagai
sebuah fenomena “menemukan tubuhnya sendiri”, tanpa termediasi. Berangkat dari
asumsi yang diuraikan di atas, maka kehadiran tubuh tidak semata-mata dilepaskan dari
konstruksi yang hadir di luar tubuh, baik itu sosiologis maupun spiritual. Konstruksi
tubuh secara umum di dalam puisi “Pulang Mandi” masih berkutat pada persoalan
dualisme ruang, intern-ekstern, antara manusia-dunia, dan juga material-spiritual.
Lama ia tak mandi. Tapi sekali mandi
ia langsung mencopot tubuhnya yang usang
dan menggantinya dengan yang baru,
yang mutakhir modelnya, dan tentu saja, tahan lama.
“Tidak tertarik ke Jakarta?” ia membujukku
sambil memamerkan tubuhnya yang trendi.
Ah, ya mungkin perlu juga aku minggat ke Jakarta
agar suatu saat dapat pulang mandi dengan bahagia.
(bait 5 dan 6, “Pulang Mandi”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung)
Gambaran yang muncul dalam peristiwa mandi adalah suatu kenyataan
sosiologis atas tubuh, yaitu mengganti tubuh dengan tubuh yang baru. Secara sosiologis
hal tersebut mengarahkan tubuh kepada suatu gagasan, bahwa tubuh tidak berbeda
layaknya pakaian, yang harus mengikuti mode, gaya, dan trend. Praktik mengarahkan
tubuh yang dilakukan oleh tokoh dalam kutipan puisi di atas merupakan suatu bentuk
transformasi dari perubahan paradigma terhadap tubuh. tubuh difungsikan sebagai ruang
material belaka, dengan mengedepankan konstruksi jasmaniah yang baru, mutakhir
modelnya, dan tahan lama. Apa yang hadir atas penandaan tubuh dalam situasi tersebut
100
adalah kenyataan pergeseran paradigma dari yang epistemologis, menuju kepada yang
ontologis. Tubuh dipahami secara permukaan, lahiriah, dan dangkal, tidak lagi menjadi
suatu cara pandang dalam melihat kehadiran yang rohaniah, kontemplatif, dan sakral.
Barangkali hal inilah yang menjadi fokus kegelisahan penyair dalam melihat konstruksi
tubuh di masyarakat modern, khususnya masyarakat pascakolonial yang semakin
dinamis, plural, dan terbuka dengan beragam gejolak hasratnya. Dalam konteks tersebut,
kehadiran tubuh sebagai suatu ruang direnungkan kembali secara diskursif oleh penyair
dikaitkan dengan konstruksi ruang di luar tubuh, dengan harapan tubuh tidak sekedar
menjadi ruang yang dangkal dan material, melainkan kembali kepada hakekatnya
sebagai makhluk ciptaan Tuhan, yang rohaniah. Apabila asumsi tersebut benar adanya,
maka kecenderungan Joko Pinurbo sebagai seorang Kristen yang modernis, bisa
ditemukan dan tersirat dalam pola-pola puisinya.
Puisi “Doa Sebelum Mandi” merupakan representasi dari kenyataan bahwa tubuh
dalam sudut pandang Joko Pinurbo tidak semata-mata ruang jasmaniah yang dimaknai
secara personal dan plural,melainkan sebagai sebuah esensi yang tidak bisa dilepaskan
dengan kehadiran Sang Pencipta.
Tuhan, saya takut mandi.
Saya takut dilucuti.
Saya takut pada tubuh saya sendiri.
Kalau saya buka tubuh saya nanti,
mayat yang saya sembunyikan
akan bangun dan berkeliaran.
(bait 1 dan 2, “Doa Sebelum Mandi”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung)
Kutipan dua bait di atas menunjukkan bahwa tubuh bukanlah sekedar konstruksi
jasmaniah, melainkan menjadi suatu ruang yang menghubungkan diri dengan
pengalaman masa lalu sebagai suatu kondisi yang tak bisa diselesaikan oleh tubuh
sendiri. Tokoh menjadi ketakutan untuk mandi, dikarenakan ia takut pada tubuhnya
sendiri. Rasa takut yang dibayangkan adalah dikarenakan melihat kenyataan dari
riwayat tubuhnya. Apa yang hadir dalam tubuh tokoh tidak semata-mata merupakan
suatu kebetulan, melainkan sebuah cara pandang untuk melihat tubuh dalam suatu
konstruksi rohaniah, yaitu tubuh sebagai sumber dosa. Asumsi tersebut tentu saja dilihat
dari segala sikap tokoh dalam melihat dirinya secara kontemplatif, bahwa ia takut
mandi, takut dilucuti, dan takut dengan tubuhnya sendiri. Segala hal yang dialami oleh
tokoh tersebut merupakan bentuk-bentuk konstruksi tentang hadirnya ruang di luar
tubuh (rohaniah), yang melampaui keadaan tubuh tersebut, sehingga tubuh dengan
segala inferioritasnya digambarkan sebagai kepasrahan, keterbatasan, dan juga
ketakutan diri manusia dalam mempertanggungjawabkan keadaan tubuhnya. Keadaan
tersebut mengarahkan kepada suatu konsep transendensi antara manusia dengan Sang
Pencipta (Tuhan).
Tubuh dalam konstruksi puisi di atas dipahami sebagai sumber dosa, maka tubuh
tidak semata-mata menjadi suatu lokus yang bebas dan menyenangkan secara
jasmaniah, melainkan ia harus dibersihkan melalui mandi. Peristiwa mandi tersebut
merupakan metafor, bahwa tubuh tidak bisa dilepaskan dari konteks lain, yaitu rohaniah
(Tuhan). Tubuh tidak benar-benar bersih tanpa dimandikan oleh Tuhan. Tubuh yang
tidak dimandikan oleh Tuhan adalah tubuh yang sengsara, hina, dan tidak terbebas dari
dosa, dengan demikian konstruksi tentang tubuh adalah sebuah upaya melegitimasi
kehadiran yang rohaniah di luar tubuh untuk membebaskan tubuh dari segala ketakutan
dan masa lalu yang menjadi dosa.
101
Tuhan, mandikanlah saya
agar saudara kembar saya
bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya
(bait 4, “Doa Sebelum Mandi”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung)
Mandi menjadikan tubuh bisa bertemu dengan Tuhan, sehingga tubuh bisa
terbebas dari segala dosa dunia, segala ketakutan, dan juga masa lalu yang secara ironis
membatasi tubuh sebagai sebuah entitas fana dalam persepsi rohaniah. Membahas ruang
tubuh diasumsikan sebagai mengarahkan tubuh kepada ruang roh, sehingga
membicarakan tubuh secara ironis justru tidak pernah bisa keluar dari ruang roh sebagai
kerangka estetik penyair.
Selanjutnya dalam puisi “Sakramen” dualisme ruang tubuh dan roh muncul
secara dekonstruktif. Tubuh yang dipahami sebagai konstruksi ilahiah bagi
Yesus/Kristus di dunia, pada akhirnya dihadirkan melalui suatu bentuk selfdekonstruktif oleh penyair (entah disadari atau tidak), keadaan tersebut cukup menarik
perhatian dalam melihat konstruksi antara tubuh dan roh dalam keseluruhan antologi
puisinya. Tubuh dalam konstruksi puisi “Sakramen” secara religius merupakan
gambaran bagi kehadiran Kristus sang Juru Selamat manusia, yang kemudian
digambarkan sebagai suatu bentuk ambiguitas konstruksi antara tubuh dengan roh
(material-spiritual). Tubuh menjadi metafor dalam rangka menghadirkan suatu
pemahaman tentang yang ilahiah, akan tetapi, justru dengan menggunakan medium
tubuh sebagai lokus tersebut, Joko Pinurbo kembali terjebak dalam konstruksi roh.
Tubuh diarahkan untuk kembali ke luar tubuh.
Tubuhmu gua batu
tempat jasadnya kaumakamkan
dan kauwartakan:
“Di tubuhku Tuhan bersemayam”
Kau lama tak tahu, tak juga paham
pada hari ketiga kuburnya sudah kosong
dan tubuhmu telah ia tinggalkan
Kau kini sibuk mencari ia di luar badan.
(bait 3, 4, dan 5, “Sakramen”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung)
Tubuh menjadi suatu medium Ilahiah bagi manusia ketika dipertemukan dengan
wilayah roh sebagai lokasi keberadaan Sang Pencipta (Tuhan). Konstruksi yang cukup
menarik muncul dalam urutan kronologi tubuh yang hadir dalam puisi di atas, secara
umum tubuh terintegrasi dengan roh (Tuhan) yang bersemayam di dalamnya,
selanjutnya tubuh tersebut hilang dan meninggalkan tubuhmu, kemudian diakhiri
dengan kau yang sibuk mencari ia di luar badan. Urutan tersebut merupakan suatu
bentuk kenyataan tentang tubuh yang dihadirkan oleh penyair, jika penyair melihat
bahwa Tuhan adalah tubuh yang hadir dan bersemayam, justru pada bait selanjutnya hal
tersebut ditentangnya sebagai sebuah paradoks. Kubur yang kosong dan tubuhmu yang
ditinggalkan, menjadi bukti bahwa badan bukan tujuan, bukan yang esensial, melainkan
hanya medium untuk kemudian pergi ke luar badan. Kenyataan tersebut bisa
disimpulkan sebagai asumsi pertama, sedangkan asumsi keduanya, bahwa konstruksi
atas tubuh secara kultural merupakan suatu ironi yang dihadirkan oleh penyair,
barangkali dengan tujuan meledek, mengejek, atau menertawakan mereka yang mencari
ia (Tuhan) di luar badan. Sikap Joko Pinurbo tersebut merupakan sebuah bentuk
pengakuan bahwa tubuh bukan semata-mata konstruksi jasmaniah, melainkan juga
102
secara rohaniah membawa spirit dari Tuhan sebagaimana peristiwa Yesus yang hilang
dengan seluruh tubuhnya, sehingga tubuh menjadi yang dikalahkan atau dinihilkan.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, pola konstruksi tubuh yang dihadirkan oleh Joko Pinurbo
dalam antologi di bawah Kibaran Sarung menunjukkan bahwa tubuh digunakan sebagai
medium bagi hadirnya roh. Dalam konteks tersebut terlihat bahwa tubuh secara terusmenerus direduksi sehingga muncul asumsi penggambaran dan pencitraan tubuh secara
nyinyir, ironi, hancur, dan sejenisnya. Dengan demikian tubuh tidak benar-benar
menjadi tujuan secara utuh, sebagai sebuah konstruksi ruang yang metonimis
sebagaimana yang disampaikan oleh Upstone. Tubuh dalam konstruksi Joko Pinurbo
hanya menjadi metafor yang mengarah kepada wilayah di luar tubuh (roh) sebagai
tujuan yang ideal dan dominan. Membaca keseluruhan pola konstruksi tubuh dalam
antologi Di Bawah Kibaran Sarung, kita bisa menyimpulkan bahwa Joko Pinurbo entah
disadari atau tidak, telah mengarahkan tubuh kembali kepada roh (kembali kepada
wacana dominan yang sudah hadir menandai tubuh melalui spiritualisme dan
religiusitas), dimana konstruksi tersebut tidak sepenuhnya menawarkan sebuah
kebaruan terhadap cara pandang tubuh yang sudah hadir dalam puisi Indonesia modern
pada umumnya.
Dalam konstruksi tubuh di antologi Di Bawah Kibaran Sarung karya Joko
Pinurbo menunjukkan hadirnya dualitas ruang yang menunjukkan bahwa penyair tidak
bisa lepas dari tubuh dan roh. Fenomena yang muncul dalam puisi di atas
mencerminkan pandangan dualistik ruang yang hadir secara konstruktif terhadap tubuh
dan membagi seluruh kenyataan antara tubuh-roh, spiritual-material, manusia-dunia,
subjek-objek dan lain sebagainya. Kenyataan atas dualistik ruang tersebut
mengindikasikan hadirnya semangat modernisme, dimana dalam modernisme
pandangan dualistik tersebut menjadi suatu ciri mendasar dalam melihat kenyataan
(Sugiharto, 1996:29), yang entah disadari atau tidak telah memengaruhi penyair dan
menjadi fokus penyair dalam berkarya. Dualistik ruang yang dihadirkan bukan sematamata merupakan sebuah keberpihakan, melainkan pemahaman penyair atas kehidupan
yang dialaminya sebagai seorang religius (Kristen) yang modernis, dengan berkutat
pada persoalan tubuh (jasmaniah/material) dan religiusitas pada wilayah rohaniah
(ide/spirit). Hubungan kedua aspek tersebut secara tidak langsung membentuk suatu
pemahaman bahwa penyair menafsirkan tubuh secara rasional untuk mengungkapkan
kenyataan yang ilahiah di luar tubuh. Barangkali hal tersebut yang memperkuat fungsi
estetik puisi-puisi sekaligus sebagai semacam kegelisahan Joko Pinurbo dalam rangka
memaparkan bagaimana tubuh yang fana dan profan dipertemukan dengan roh yang
kekal dan sakral.
Melalui pembacaan poskolonial, maka tubuh bisa dilihat sebagai suatu konstruksi
penandaan yang secara lahiriah tidak pernah alamiah, melainkan melalui proses
dialektis dengan ruang-ruang lain di sekitar tubuh termasuk di dalamnya pengalaman
dan pengetahuan dari penyairnya.
103
Daftar Rujukan
Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra, Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
_______ 2007. Belenggu Pasca-Kolonial, Hegemoni & Resistensi dalam Sastra
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sarup, Madan. 2011. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan
Posmodernisme (terj. Medhy Aginta Hidayat). Yogyakarta: Jalasutra.
Sugiharto, Bambang, I. 1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius
Upstone, Sara. 2009. Spatial Politics in the Postcolonial Novel. Ashgate Publishing
Company.
Pinurbo, Joko. 2001. Di Bawah Kibaran Sarung. Magelang: Indonesiatera
_________ 2007. Celana, Pacar Kecilku, Di Bawah Kibaran Sarung, Tiga Kumpulan
Sajak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
104
MAKNA SIMBOLIS MOTIF BATIK YOGYAKARTA
Endang Nurhayati
Suharti, Rahmi D Andayani
(FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia)
Abstrak: Makalah ini bertujuan menguraikan makna simbolis batik Yogyakarta yang
dikaitkan dengan upacara tradisional masyarakat Jawa yang masih hidup dalam
masyarakat dan tergambar dalam seumlah karya sastra Jawa. Sumber data penelitian
adalah dokumentasi upacara tradisional Jawa yang berkaitan dengan daur hidup dan
karya-karya sastra Jawa yang mengangkat peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan
penggunaan kostum batik. Analisis data menggunakan deskriptif kualitatif. Hasil
penelitian menunjukkan hal-hal sebagai berikut. (1) Batik merupakan salah satu unsur
busana pokok dalam busana tradisional Jawa, berbentuk blangkon, jarik, dan
selendhang dengan berbagai macam motif dan maknanya. (2) Macam motif batik
berupa motif semen, nitik dan lereng dengan berbagai motif pokok dan isen-isen
sebagai simbol-simbol yang berisi makna tertentu. Simbol-simbol dalam kehidupan
manusia tersebut berujud penggambaran lingkungan alam sekitarnya seperti bentuk
parang, geometri, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. (3) Simbol-simbol tersebut tidak
sekedar penggambaran lingkungan sekitarnya, tetapi mengandung makna yang berisi
ungkapan-ungkapan harapan kehidupan yang diinginkan. Makna tersebut seterusnya
diharapkan dapat menyemangati orang untuk bersikap hidup sesuai makna lambang,
yang semuanya hanya akan terlaksana atas ijin Yang Maha Kuasa.
Kata kunci: motif batik Yogyakarta, makna simbolis motif batik
Pendahuluan
Berbicara hal batik sudah tidak asing lagi bagi pendengaran kita orang Indonesia
khususnya orang Jawa. Batik adalah lukisan atau gambar yang dibuat dengan alat
canthing. Orang melukis atau membuat gambar di atas kain mori disebut membatik
(Jawa: mbathik), yang menghasilkan bathikan (Hamzuri, 1981). Batik yang dihasilkan
di sini adalah yang disebut batik tulis oleh masyarakat Jawa, batik yang proses
pembuatannya melalui berbagai tahapan dengan berbagai peralatannya. Dapat dikatakan
bahwa batik yang dibicarakan di sini adalah batik klasik, klasik dalam pembuatannya
maupun klasik dalam motifnya. Bukan batik yang ada dalam pikiran orang pada
umumnya saat ini.
Batik klasik berbahan pokok mori dari katun bukan sekedar kain putih berbahan
sintetis atau lainnya. Wujud batik yang dihasilkan adalah jarik atau kain panjang,
selendhang, blangkon yang merupakan unsur pokok dalam busana Jawa tradisional, dan
tentunya dengan berbagai ukurannya masing-masing sesuai peruntukannya. Kenapa
bahan mori dari katun karena batik itu pada masa dulu (juga sekarang) yang dihasilkan
adalah kain panjang yang disebut jarik atau nyamping untuk perempuan dan bebed
untuk pria. Jarik dan bebed dalam pemakaiannya perlu dilipat-lipat atau diwiru pada
bagian luarnya dan juga dengan motif-motif batik beraneka ragam. Klasik pada proses
pembuatannya, dapat dilihat dari penyiapan mori yang digambar,
peralatan
membatiknya dari gawangan, anglo, tepas, kemudian canthing, malam untuk
menggambar polanya. Setelah penggambaran atau yang umum disebut mbatiknya
105
selesai kemudian masuk ke pewarnaan atau disebut mbabar. Mbabar adalah proses
penyelesaian pembatikan menjadi kain dengan berbagai bahanya,misalnya nila, tebu,
tajin, soga. Pelaksaan pewarnaan atau mbabar batikan menjadi kain panjang yang siap
pakai, tahapannya adalah medel (mbironi), nyoga, nyareni, dan yang terakhir nglorod
terus dijemur dengan cara diangin-anginkan tidak dijemur di bawah sinar matahari nanti
mengakibatkan pewarnaan menjadi rusak (Hamzuri, 1981). Sedangkan motif yang
dihasilkan oleh pembatik-pembatik tersebut juga memiliki kekhususannya masingmasing baik dari kualitas, kerapihan maupun keindahannya.
Batik memiliki berbagai motif dan corak tertentu dengan berbagai isen-isen
(ornamen yang diisikan dalam pola gambar batik) dan tidak hanya memperlihatkan
keindahannya, tetapi juga dalam motif tersebut mengekspresian simbol-simbol yang
berisikan harapan atau petunjuk taupun keinginan dari para pemakainya. Kain batik
dengan motif yang terwujud dalam simbol tertentu tersebut memuat harapan ataupun
keinginan si pemakai yang biasanya dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa tertentu pula.
Makalah ini bertujuan menguraikan makna simbolis batik Yogyakarta yang
dikaitkan dengan upacara tradisional masyarakat Jawa yang masih hidup dalam
masyarakat dan tergambar dalam sejumlah karya sastra Jawa. sumber data penelitian
adalah dokumentasi upacara tradisional Jawa yang berkaitan dengan daur hidup dan
karya-karya sastra Jawa yang mengangkat peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan
penggunaan kostum batik.
Batik sebagai Salah Satu Unsur Pokok Busana Tradisional Jawa
Busana merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia setelah pangan, busana
diartikan sebagai sesuatu yang dikenakan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maka
berbicara busana tak akan pernah ada habisnya di sepanjang masa kehidupan manusia.
Manusia dengan busana dapat melindungi diri dari panas, dingin, angin, dsb. Dengan
busana manusia dapat memperlihatkan kerapihan, kesopanan, keserasian, yang ini
semua dapat memperlihatkan keindahan dalam penampilannya. Keserasian berbusana
dapat dilihat dari padu padan asesoris, tata rias, tata rias rambut, dan sebagainya,
termasuk di dalamnya busana tradisional. Busana tradisional adalah busana yang
bercirikan lokal tetentu, misalnya busana Jawa tradisional.
Perangkat busana pada masa lalu dibedakan menjadi lima, yakni bagian kepala,
bagian dada, bagian pinggang, bagian perut sampai lutut, dan bagian kelima adalah
bagian di bawah lutut, pembagiannya didasarkan pada keinginan untuk menonjokan
bagian tertentu yang dianggap indah, misalnya bagian pinggang ditonjolkan karena
langsingnya (Nurhadi, 2012). Pada dewasa ini busana tradisional Jawa keinginan
menonjolkan bagian tertentu dari badan, dapat dibedakan menjadi tiga, yakni bagian
(kepala), bagian badan, dan bagian bawah (kaki), disertai asesoris sesuai dengan
keperluannya. Ketiga pembagian busana Jawa dibedakan antara pria dan wanita, seperti
berikut.
per
busana
jenis
kelamin
Bagian atas
Bagian badan
Bagian bawah
Pria
wanita
Blangkon + asesoris
Surjan, beskap+ asesoris
Bebed, kampuh
Lonthong, kamus
Selop
Sanggul + asesoris
Kebaya, semekan + asesoris
Jarik/ nyamping, kampuh
Streples, setagen
Selop
106
Dari ketiga pembagian perangkat busana tadi yang merupakan pokok dalam
berbusana adalah bebed – blangkon dan jarik – semekan. Salah satu unsur pokok busana
dalam masyarakat Jawa biasa digunakan kain panjang bebed – blangkon dan jarik –
semekan adalah batik. Berikut adalah contoh busana Jawa tradisional Jawa yang
menggunakan bebed – blangkon dan jarik – semekan batik yang digunakan pada
upacara alit atau busana sehari-hari.
Batik: bebed – blangkon dan jarik -semekan
Foto di atas menunjukkan bahwa penggunaan batik motif kawung sesuai dengan
peruntukan batik pada anggota keluarga keraton Yogyakarta pada pembicaraan
“Busana Jawa Kuna” (Alit Veldhuisen, 1972 dalam Noerhadi, 2012). Batik motif
kawung termasuk motif larangan untuk dipakai orang kebanyakan.
Pada upacara pernikahan yang terdapat di luar keraton digunakan kain bebed –
blangkon motif sida asih untuk pasangan pengantin. Pada busana pria bagian atas
menggunakan surjan warna krem sama warnanya dengan pengantin putri menggunakan
kebaya brokat. Sedangkan orang tua pengantin menggunakan bebed – blangkon dan
jarik menggunakan motif batik truntum ceplok gurda, seperti gambar di bawah ini.
Batik truntum ceplok gurda
107
Gambar berikut pengantin juga menggunakan batik motif sida asih.
Batik sida asih (pengantin)
Bila busana batik yang ditemukan saat ini dengan yang dituliskan di primbon
terdapat sedikit perbedaan. Dalam Primbon disebutkan bahwa batik yang digunakan
oleh orang tua dan calon pengantin berbeda bergantung pada upacaranya. Pada waktu
acara tarub orang tua menggunakan batik motif cakarayam, pada acara midodareni
sampai ijab menggunakan truntum, untuk pengantin menggunakan batik motif nitik dan
waktu ijab menggunakan truntum (Soemadidjojo, 1965).
Motif Batik Yogyakarta
Yogyakarta sudah tidak asing lagi bila disebut sebagai kota batik. Di Yogyakarta
terdapat keraton yang digunakan sebagai sumber tentang hal yang berkaitan dengan
batik. Perjalanan batik di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari peristiwa perjanjian
Giyanti. Perjanjian Giyanti yang terjadi pada tahun 1755 menyebabkan kraton Mataram
dibagi dua yakni Surakarta dan Yogyakarta. Semua benda-benda dibagi menjadi dua,
hanya busana Mataraman dibawa ke Yogyakarta. Yogyakarta yang akan melestraikan
busana Mataram, dan Surakarta mencipta busana sendiri yang berbeda dengan busana
Mataran yang dilestarikan di Yogyakarta. Pada akhirnya busana keraton Yogyakarta
memiliki ciri tersendiri, begitu pula Surakarta juga memiliki busana dengan ciri yang
berbeda, dengan penuangan dalam motif yang khusus pula.
Ciri batik Yogyakarta dilihat dari latar-nya (warna dasar) dan warna batikya
dapat putih (warna mori), biru kehitaman, dan coklat soga, warna sered (pinggiran kain)
apapun latarnya tetap putih warna mori (Kusumo Harimawan, 1426 H).
Motif batik secara umum dapat dibedakan menjadi dua:
(1) motif geometris
Motif geometris dihiasi dengan terdiri dari motif-motif ilmu ukur, yang dimulai
dari titik, menjadi garis, lingkaran, dan sebagainya, yang susunannya terlihat
secara vertikal, horisontal, dan diagonal. Motif geometris dapat dibedakan
menjadi (a) motif lereng atau parang yang polanya berupa lajur-lajur yang
berisi isen-isen (ornamen) yang berbeda-beda. Sedangkan (b) motif ceplok,
yang motif utamanya berupa bunga, buah, bintang, lingkaran, bujur sangkar dll,
yang susunannya juga seperti geometris lereng disusun secara vertikal,
horisontal, dan diagonal.
(2) Motif non-geometris
108
motrsedangkan motif non-geometris dihiasi terutama terdiri dari : flaura, fauna,
bangunan-bangunan dan sayap dalam berbagai bentuk dan benda-benda alam
(Prawirohardjo, 2002). Berikut contoh kain panjang dengan motif:
(a) Motif geometris lereng
Parang barong
Udan liris
(2) Motif geometris ceplok
Nitik ketongkeng
109
Batik motif semen
Berbagai motif batik, baik yang geometris maupun yang non-geometris yang
berupa motif semen, nitik dan lereng dengan berbagai motif pokok dan isen-isen
berupa simbol-simbol yang berisi makna tertentu. Simbol-simbol dalam kehidupan
manusia tersebut berujud penggambaran lingkungan alam sekitarnya seperti bentuk
parang, geometri, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Berikut akan dibicarakan simbolsimbol bermakna dari ornamen utama dan isen-isen dari motif batik yang terkait dengan
upacara tradisional pernikahan yang masih dilaksanakan di daerah Yogyakarta.
Makna Simbolis Batik Yogyakarta
Batik Yogyakarta yang berisi simbol-simbol tersebut tidak sekedar
penggambaran lingkungan sekitarnya, tetapi mengandung makna yang berisi ungkapanungkapan harapan kehidupan yang diinginkan. Makna tersebut seterusnya diharapkan
dapat menyemangati orang untuk bersikap hidup sesuai makna lambang, yang
semuanya hanya akan terlaksana atas ijin Yang Maha Kuasa.
Isen-isen atau ornamen yang di dalam motif batik banyak variannya yang
masing-masing memiliki makna sebagai harapan dalam kehidupan pendukungnya.
Penggunaan isen-isen ternyata tidak sekedar diisikan di suatu pola batik tetapi
dirancangkan pada suatu pola batik disesuaikan dengan peruntukannya. Motif batik
memiliki peruntukannya masing-masing, misalnya motif parang rusak, parang barong
diperuntukkan bagi raja, sedangkan orang biasa dapat menggunakan motif tambal sewu
atau semen. Begitu pula untuk upacara berkaitan dengan upacara pernikahan, seperti
telah disebutkan di atas pada umumnya menggunakan nitik, truntum, grompol, dan
semen. Berikut akan dibicarakan makna simbolis dari motif batik yang digunakan.
Motif batik yang pada upacara pengantin terbatas jumlahnya, karena tidak akan
sembarang memilih motif batiknya, misalnya pengantin dijariki atau dibebedi dengan
jarik atau bebed motif kapal kandhas. Yang akan dibicarakan makna simbolis batik
Yogyakarta terkait pernikahan adalah, motif truntum, motif cakar, grompol, dan semen.
Motif truntum pada umumnya digunakan oleh orang tua pengantin pada waktu
diadakan pawiwahan atau pada waktu ijab. Motif truntum digunakan pada upacara
siraman (Sri Supadmi Murtiadji dan Suwardanidjaja, 1993) dan digunakan oleh orang
tua pada upacara midodareni, ijab, dan dipakai oleh pengantin putri pada waktu
midodareni. Batik motif truntum tergolong motif geometris ceplok. Kata truntum
110
memiliki arti ‘trubus’, thukul’ (Sudaryanto dan Pranawa, 2001), motif ini mengandung
makna dan harapan agar keluarga yang baru dapat thukul ‘tumbuh’ menjadi keluarga
yang dapat berkembang dan memekarkan kehidupan sesuai dengan cita-citanya
(Hermanto Bratasiswara, 2000), sebagaimana tergambar dalam motif berikut ini.
Motif lain yang digunakan dalam upara pernikahan adalah motif grompol,
termasuk kelompok geometris ceplok. Grombol dalam bahasa Jawa berarti berkumpul
atau bersatu, melambangkan harapan orang tua agar semua hal yang baik akan
berkumpul, yaitu rejeki, kebahagiaan, kerukunan hidup, ketentraman untuk kedua
keluarga pengantin. Selain itu, juga bermakna harapan supaya pasangan keluarga baru
itu dapat berkumpul atau mengingat keluarga besarnya ke mana pun mereka pergi
(updated: Feb 4th, 2013). Motif batik lain yang digunakan pada panggih antara lain
motif sida asih. Sida asih tergolong motif non-geometris semen. Kata sida berarti jadi
dan asih berarti cinta kasih, pengantin menggunakan batik motif ini yang empunya
hajad dan tentunya pengantin memiliki harapan agar keluarga baru yang akan dibangun
mendapatkan cinta kasih, kasih sayang dan harapannya nantinya dapat membangun
keluarga yang selalu dipenuhi rasa kasih sayang sehingga keluarganya tenteram dan
damai (updated: Feb 4th 2013). Batik motif sida asih seperti gambar berikut ini.
Penutup
Batik yang merupakan salah satu unsur pokok dalam busana tradisional Jawa
berbentuk blangkon, bebed, jarik, dan semekan pantas untuk diperbicangkan. Pada batik
yang dikenakan memiliki motif batik geometris dan non-geometris seperti motif parang,
nitik, semen dsb yang berisi isen-isen atau ornamen yang berwujud simbol-simbol dalam
kehidupan manusia berujud penggambaran alam sekitarnya. Simbol-simbol tersebut
tidak sekedar penggambaran lingkungan sekitarnya, tetapi mengandung makna yang
berisi ungkapan-ungkapan harapan kehidupan yang diinginkan. Misalnya motif truntum
berisi harapan agar pengantin dapat memanngun keluarga yang selalu tumbuh rejekinya.
Makna tersebut seterusnya diharapkan dapat menyemangati orang untuk bersikap
hidup sesuai makna lambang, yang semuanya hanya akan terlaksana atas ijin Yang
Maha Kuasa.
111
Daftar Rujukan
Hermanto Bratasiswara, 2000. Buwarna Adat TataCara Jawa. jakarta: yayasan
Suryasumirat.Penerbit Djambadan.
Hamzuri. 1981. Batik Klasik. Jakarta: Penerbit Djambadan
Prawirohardjo, Oetari Siswomihardjo. 2002. Pola Batik Klasik: Pesan Tersembunyi
yang Dilupakan.yogyakarta: Penerbit Aksara.
Soemodidjojo, 1993. Kitab Primbon Betaljemur Adammakna. Ngayogyakarta
Hadiningrat: Soemodidjojo Mahadewa.
Sri Supadmi Murtiadji dan Suwardanidjaja, 1993. Tata Rias Pegantin Gaya Yogyakarta.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sudaryanto dan Pranawa (ed). 2001. Kamus Pepak Basa Jawa.yogyakarta: Badan
Pekerja Kongres Bahasa Jawa
112
WALI SONGO DAN BANGUNAN KEINDONESIAAN
Erlis Nurmujiningsih
(Badan Bahasa Kemendikbud – Indonesia)
Pengantar
Kisah-kisah mengenai Wali Songo di Indonesia muncul dalam berbagai ragam
dan bentuk. Wali Songo bahkan sudah muncul dalam bentuk karya modern yakni dalam
bentuk novel yang ditulis oleh Damar Shashangka. Selain itu, kisah-kisah mengenai
Wali Songo ini beredar dalam berbagai bentuk buku buku kecil untuk panduan berziarah
contoh Kisah Perjuangan Walisongo disertai tata cara ziarah kubur dan keajaiban
asma’ul husna yang ditulis oleh MB. Rahimsyah AR. Kisah-kisah Wali Songo yang
terbit dalam bentuk sederhana tersebut cukup banyak tersedia di makam-makam para
wali tersebut. Ada pula yang berbentuk cerita bergambar, komik, dan film. Kisah
mengenai Wali Songo ini juga ditulis dalam bentuk buku yang berjudul Atlas Wali
Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo sebagai Fakta Sejarah yang
ditulis oleh Agus Sunyoto. Kisah Wali Songo juga ditulis dalam bentuk babad, serat,
dan sejenisnya, di antaranya Babad Majapahit dan Para Wali, Babad Demak, dan
Babad Cirebon. Selain itu, kisah Wali Songo juga mendapat perhatian dari penulis asing
yakni D.A. Rinkes dalam bukunya Nine Saints of Java.
Berbagai bentuk dan jenis kisah-kisah mengenai Wali Songo tersebut tampaknya
memberi pertanda bahwa keberadaan Wali Songo di Indonesia merupakan hal yang
penting. Wali Songo sebagaimana disebutkan (Salam, 1990:17) merupakan tokoh-tokoh
agama Islam pada zaman permulaan Islam datang ke tanah Jawa. Mereka dipandang
sebagai tokoh yang alim dan sakti yang berjasa menyebarkan agama Islam di Indonesia.
Islam di Indonesia sudah ada sejak lama bahkan pada masa akhir Majapahit
sebagai sebuah kerajaan yang secara resmi beragama Siswa Budha sudah mengakui
adanya penduduk atau warga kerajaan yang beragama Islam. Dengan bukti adanya
makam Troloyo. Namun, kehadiran Wali Songo sebagaimana disampaikan oleh
beberapa ahli sejarah merupakan babak baru peradaban di Indonesia. Agama penduduk
yang sebelumnya adalah Siwa-Budha digantikan dengan Islam. Perubahan tersebut
mempengaruhi pola kehidupan masyarakatnya, termasuk di dalamnya adalah persoalan
yang menyangkut tata kehidupan kepemerintahan. Karena berdampingan dengan
berkembangnya agama Islam berkembang pula kerajaan-kerajaan Islam. Salah satu
kerajaan besar di Indonesia pada masa Siwa-Budha adalah Majapahit. Islam
berkembang bersamaan dengan memudarnya kekuasaan Majapahit yang kemudian
berubah menjadi Kerajaan Demak yang menamakan dirinya sebagai kerajaan Islam.
Wali Songo merupakan pembatas masa Siwa Budha masa Majapahit dengan
masa Islam akan menarik untuk dibahas dalam hubungannya dengan persoalan
keindonesiaan. Hal ini berhubungan dengan konsep keindonesiaan yang sudah dimiliki
oleh Majapahit. Salah satu konsep keindonesiaan tersebut terdapat dalam semboyan
“Bhineka Tunggal Ika” yang diambil dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular.
Karya sastra ini ditulis pada masa kejayaan Majapahit. Wali Songo memiliki andil yang
besar dalam hal perubahan agama dan perubahan kekuasaan. Apakah Wali Songo juga
memberikan andil pada konsep-konsep keindonesiaan? Mengingat pengaruh Wali
Songo yang begitu kuat sampai saat ini. Persoalan inilah yang akan dibahas.
113
Pembahasan akan dilakukan dengan memanfaatkan beberapa karya babad yakni Babad
Tanah Jawi, Babad Demak, dan Babad Majapahit dan Wali Songo, serta kisah-kisah
yang tertera dalam buku-buku saku mengenai Wali Songo.
2.
Abrams melalui Teeuw (2013:169) menyampaikan sebuah model pendekatan
utama terhadap karya sastra yang terdiri dari a) pendekatan yang menitikberatkan pada
karya itu sendiri, b) pendekatan yang menitikberatkkan pada penulis, c) pendekatan
yang menitikberatkkan pada semesta, dan d) pendekatan yang menitikberatkan pada
pembaca. Analisis terhadap hubungan antara Wali Songo dan bangunan keindonesiaan
akan bertumpu pada pendekatan yang ketiga yaitu pendekatan yang menitikberatkan
pada semesta.
Hubungan antara karya sastra dan semesta atau sering juga disebut sebagai
kenyataan akan selalu bertumpu pada apa yang disampaikan oleh Plato mengenai
mimesis. Bagi Plato seni itu memiliki aspek ganda: dalam perwujudan yang tampak seni
adalah benda yang sangat rendah nilainya, bayangan, namun seni memiliki pula
hubungan tak langsung dengan sifat hakiki benda-benda (Teeuw, 2013:169). Poin kedua
yakni bahwa seni memiliki hubungan tak langsung dengan sifat hakiki benda-benda
merupakan poin yang akan menjadi pertimbangan utama pada saat melakukan analisis
terhadap sebuah karya sastra karena memang dapat dikatakan bahwa sebuah karya
sastra bagaimanapun akan salah apabila didekati sebagai sebuah kenyataan. Sebuah
karya sastra merupakan sebuah kreasi. Hal inilah yang disampaikan oleh Aristoteles.
Bagi Aristoteles seniman menciptakan dunianya sendiri, dengan propability yang
memaksa, dengan ketakrelaannya; apa yang terjadi dalam ciptaan si seniman masuk akal
dalam keseluruhan dunia ciptaan itu dan sekaligus, oleh karena dunia itu merupakan
kontraksi, perpaduan yang berdasarkan unsure-unsur dunia nyata, mencerahi segi dunia
nyata tertentu. Jadi menurut Aristoteles seorang seniman bekerja memberikan makna
pada eksistensi manusia (Teeuw, 2013:170). Namun, di sisi yang lain babad sebagai
salah satu karya sejarah tradisional Indonesia menurut Teeuw (2013:183) mendekati
teks sejarah semacam babad dapat dilakukan sebagai pemberian makna oleh manusia
Jawa dan Melayu terhadap sejarah dan keadaan sosialnya. Hal yang serupa juga
disampaikan Pegeaud dan Berg melalui Teeuw (2013:184) bahwa babad akan
memberikan makna pada hal-hal yang hakiki bagi anggota masyarakat yang
bersangkutan. Karya-karya tersebut biasanya ditulis dalam rangka mempertahankan dan
memperkuat dinasti yang mapan pada saat itu. Karya-karya tersebut harus dipandang
sebagai tegangan antara mimesis dan kreasi dan kreasi adalah esensi teks. Sebagai
simpulan dapat disampaikan bahwa hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastra
adalah hubungan dialektik atau bertangga; mimesis tidak mungkin tanpa kreasi tetapi
kreasi tidak mungkin tanpa mimesis. Takaran dan perkaitan antara kedua-duanya dapat
berbeda menurut kebudayaannya, menurut jenis sastra, jaman, kepribadian pengarang
dan banyak lagi (Teeuw, 2013:189).
Babad Tanah Jawi yang beredar di masyarakat ternyata banyak jenis dan
versinya. Salah satu versi yang dapat dikatakan cukup kuat penggambarannya adalah
buku Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647 yang ditulis yang
diterjemahkan dari buku berjudul Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi
Adam Doemoegi ing Taoen 1647 dan disusun oleh W.L. Olthof di Leiden, Belanda,
pada tahun 1941.
Pada buku Babad Tanah Jawi ini nama nama Wali Songo sudah mulai muncul
pada bab yang membicarakan Majapahit. Pada bab ini muncul nama Raden Rahmat
114
yang di kemudian hari dikenal sebagai Sunan Ampel. Nama-nama yang lain adalah
Raden Santri dan Raden Burereh. Selain itu, juga disebutkan nama Makdum Brahim
Asmara. Munculnya nama-nama Wali Songo pada saat pembicaraan mengenai
Majapahit ini merupakan pertanda bahwa memang ada hubungan antara Majapahit
dengan Islam. Hal ini sesuai dengan apa yang dipaparkan dalam buku Mengenal
Kepurbalaan Majapahit yang ditulis oleh I Made Kusumajaya dkk. Pada buku tersebut
disampaikan bahwa di Majapahit sudah ada agama Islam yang dibuktikan dengan
adanya makam Troloyo yang sebagian besar nisan memuat tanggal antara rentang waktu
1356—1475 M. Dengan demikian, kita dapat mengartikan bahwa agama Islam telah ada
ketika Majapahit berada di puncak kejayaan pada masa Hayam Wuruk.
Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya bahwa Wali Songo adalah penyebar
agama Islam di Jawa dan merekalah yang dapat menjadikan orang Jawa khususnya dan
Indonesia secara umum menjadi Islam. Islam di Indonesia sebagaimana sudah diketahui
masuk melalui perdagangan. Dalam perdagangan jarak jauh pergerakan manusia terjadi
bukan semata-mata dalam kaitan ekonomi, tetapi juga pembentukan politik dan budaya
(Chaeduri,1985 dan Dalton, 1975 dalam Jajat, 2012:36). Oleh sebab itu, dapat dikatakan
bahwa dalam bingkai budaya politik kerajaan inilah, bentuk awal penerjemahan Islam di
Nusantara berlangsung (Jajat, 2012:36). Islamisasi, pembentukan kerajaan, dan
perkembangan komersial di Nusantara saling berjalin erat satu sama lain menjadi ciri
utama dalam proses historis pembentukan politik dan budaya (Abdullah, 1967, Reid
melalui Jajat, 2012:35). Peran penting ulama dapat ditelusuri pada pola Islamisasi di
Nusantara yang berlangsung bersamaan dengan berkembangnya ekonomi dan
pembentukan kerajaan-kerajaan Islam (Jajat, 2012:30). Giri-Gresik menjadi pusat
Islamisasi di bagian timur Nusantara, Lombok di Nusa Tenggara, Makassar di Sulsel,
dan Hitu di Maluku adalah beberapa wilayah di bawah pengaruh Giri Gresik (de Graaf
dan Pigeaud, 1974 dalam Jajat Burhanuddin, 2012:34).
Hubungan antara Islam dan Majapahit tersebut memang terlihat dalam Babad
Tanah Jawi dengan menikahnya Prabu Brawijaya dengan Putri dari negeri Cempa yang
sudah beragama Islam dengan datangnya Makdum Ibrahim Asmara di Cempa.
Disebutkan kemudian di Babad Tanah Jawi tersebut bahwa Makdum Ibrahim Asmara
menikah dengan putri raja Cempa juga dan melahirkan anak-anak yang kemudian
menjadi Wali Songo yakni Raden Rahmat yang sebagaimana sudah disebutkan
kemudian menjadi Sunan Ampel. Kisah-kisah mengenai Wali Songo tersebut yang
termaktub dalam Babad Tanah Jawi tidak hanya sampai di situ saja, tetapi judul-judul
bab yakni “Sunan Giri dan Sunang Bonang”, dan “Sunan Kalijaga”.
Satu naskah babad lainnya yang juga memperlihatkan hubungan antara
Majapahit dan Wali Songo adalah Babad Majapahit dan Para Wali. Naskah diperoleh
dari daerah Jawa Tengah bagian selatan. Disalin dari naskah tulisan tangan milik
almarhum Raden Panji Prawirayuda di Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Disalin pertamatama oleh Bapak Sukarda pada tanggal 14 Rabingulakir tahun 1841 Caka. Disalin untuk
yang kedua kali oleh Bapak Martahadiwiyana pada tanggal 17 April 1936.
Dialihaksarakan ke huruf latin oleh Ki Sastradiwirya pada 16 September 1985. Naskah
babad ini terdiri dari 23 pupuh tembang diawali pupuh Dhandanggula dan diakhiri
pupuh Pangkur.
Naskah lain yang di dalamnya membicarakan hubungan antara Majapahit dan
Demak adalah Babad Demak. Pada kolofon babad ini disebutkan bahwa Babad Demak
ditulis pada hari Kamis tanggal 8 Zulkaedah, wuku Wugu, windu Adi, tahun Alip 1835
atau tahun 1323 Hijriah atau 5 Januari 1906. Disebutkan pula bahwa penulisan babad ini
atas kehendak sultan Yogyakarta yang ketujuh untuk melanjutkan babad pertama yang
115
ditulis sebelumnya (Apakah yang dimaksudkan dengan babad sebelumnya adalah Babad
Tanah Jawi?). Yang diperintahkan memimpin penulisan adalah Raden Tumenggung
Suryadi yaitu putra Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Raden Tumenggung
Suryadi ini juga adalah menantu Raja Yogyakarta yang keenam, sementara itu Pangeran
Adipati Mangkubumi adalah adik Raja Yogyakarta yang ketujuh yang juga adalah cucu
raja yang kelima. Naskah Babad ini dimulai dari pupuh Dandanggula dan diakhiri juga
dengan pupuh Dandanggula.
3.
Wali Songo adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia,khususnya di Jawa.
Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar
dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para wali ini lebih
banyak disebut dibanding yang lain. Selain itu, yang juga menjadikan Wali Songo
berarti bagi pembentukan peradaban baru tersebut adalah yang berhubungan dengan
pendidikan dalam bentuk pesantren.
Disebutkan dalam buku Sekitar Wali Songo (1960:28) bahwa Sunan Ampel atau
Raden Rahmat memulai usahanya menegakkan agama Islam dengan membuka pondok
pesantren di Ampeldenta dekat Surabaya. Wali Songo lainnya yang juga mengutamakan
pendidikan dalam bentuk pesantren adalah Sunan Giri yang dikenal dengan padepokan
Giri yang kemudian pada perkembangannya menjadi sebuah kerajaan. Dengan
mengingat hal-hal yang berkaitan dengan kerajaan dan pendidikan di pondok pesantren
dapat dikatakan terdapat hubungan yang erat antara keberadaan Wali Songo dengan
bangunan keindonesiaan sebagaimana disebutkan dalam judul makalah ini.
Bahwa Wali Songo berhimpitan kehadirannya dengan keruntuhan Majapahit
namun kemudian muncul Kerajaan Demak dengan Raden Patah sebagai pendirinya dan
rajanya yang pertama. Sementara itu, dari sumber Babad Tanah Jawi, Babad Demak,
dan Babad Majapahit dan Wali Songo disebutkan bahwa Raden Patah adalah anak raja
Majapahit dan Raden Patah adalah yang berhak menduduki tahta Majapahit menjadikan
ketiga babad tersebut dapat ditenggarai sebagai sebuah cara untuk melanggengkan
kekuasaan Majapahit. Namun, terlepas dari itu semua bahwa kemudian Kerajaan Demak
menjadi pusat penyebaran agama Islam dan pendirian kerajaan tersebut didukung
sepenuhnya oleh para Wali menjadikan sebuah persoalan tersendiri.
Sebagaimana yang tertera dalam Babad Demak bahwa Raden Patah yang pada
saat itu adalah muridnya dan sekaligus menantu Sunan Ampel melaksanakan
pembabatan hutan di Bintara yang merupakan wilayah Majapahit adalah atas petunjuk
Sunan Ampel.
Sesampainya di desa Ampelgading, Raden Patah langsung menghadap Sunan
Ampel. Siapa sebenarnya Raden Patah itu, Sunan Ampel sudah tidak sangsi lagi. Oleh
karena itu, Raden Patah diambilnya sebagai menantu. Atas petunjuk Sunan Ampel ini,
Raden Patah bersama-sama dengan istrinya pergi ke hutan Bintara dengan maksud akan
membabat hutan itu (Babad Demak, 1981:40).
Dari kutipan tersebut dapat diketahui secara pasti bahwa Wali Songo sepenuhnya
menjadi pendukung berdirinya kerajaan Demak. Bahkan dari awal ketika kerajaan
tersebut masih berbentuk hutan dan harus dibabat, salah seorang wali, yakni Sunan
Ampel yang memberi petunjuk (kata ‘petunjuk’ bukan bermakna ‘saran’, kata
‘petunjuk’ dalam kaitan dengan hal ini dapat dikatakan sebagai sesuatu hal yang harus
dan wajib dilaksanakan derajatnya berbeda lebih rendah sedikit dibandingkan perintah).
Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Raden Patah diberi perintah oleh Sunan Ampel
116
untuk membuka lahan di hutan bintara yang dari hutan tersebut berkembang kemudian
menjadi kerajaan Demak.
Hal yang serupa juga termaktub dalam Babad Demak dan Babad Majapahit dan
Para Wali. Pada naskah babad ini disebutkan bahwa Raden Patah diperintahkan oleh
Sunan Ampel untuk membuka hutan Bintara. Apabila di Babad Demak berhenti sampai
pada kisah tersebut, pada Babad Majapahit dan Para Wali dikisahkan bahwa Bintara
menjadi sebuah wilayah yang ramai sehingga banyak ulama yang berkumpul di tempat
itu. Hal itulah yang menjadikan Majapahit khawatir terjadi pemberontakan, namun
ketika sang Raja mengetahui bahwa Raden Patah adalah putranya sendiri raja tidak
melarang rakyatnya untuk memeluk agama Islam.
Menarik untuk menyimak peristiwa “penyerangan” Demak ke Majapahit. Pada
Babad Demak disebutkan bukan Adipati Natapraja (Raden Patah) yang mendatangi
Majapahit sebagaimana diungkapkan pada Babad Tanah Jawi, tetapi Adipati Pecattanda
yang mendatangi Demak atas perintah Prabu Brawijaya. Karena ada kabar akan
diserang Majapahit, Raden Patah menyiapkan pasukannya. Pada kisahan dalam Babad
Demak ini terlihat benar bagaimana dukungan para wali terhadap Kerajaan Demak.
Sunan Giri menjadi pemimpin peperangan dalam menghadapi Adipati Pecattanda.
/Untuk menghadapi serangan itu, Sunan Ampel melarang Adipati Natapraja maju
perang, tetapi ia memerintahkan Sunan Giri supaya memimpin peperangan./
Dengan kisah-kisah yang hadir dalam tiga babad ini yakni Babad Majapahit,
Babad Demak, dan Babad Majapahit dan Para Wali mengenai awal mula berdirinya
Kerajaan Demak dapat membuktikan bahwa pada saat perintisan kerajaan Demak Raden
Patah tidak bekerja sendiri, tetapi bekerja bersama-sama para wali. Bahwa dukungan
para Wali terhadap kerajaan Demak dalam hal ini Raden Patah semakin kuat terlihat
diungkapkan dalam Babad Tanah Jawi yakni pada saat apa yang disebut dalam Babad
Tanah Jawi sebagai “penyerangan” Demak terhadap Majapahit.
Mereka kemudian berunding bersama, umat Islam dikumpulkan lengkap beserta
senjata-senjatanya di Bintara. Bupati di Madura, Arya Teja di Cirebon, bupati di Sura
Pringga serta pandita di Giri juga sudah berkumpul di Bintara bersama bala
pasukannya. Apalagi para wali dan para mukmin juga sudah berkumpul. Semuanya lalu
bersama berangkat ke Majapahit. Banyaknya barisan tak terhitung. Kota Majapahit
dikepung. Orang Majapahit banyak takluk kepada adipati Bintara, tak ada yang berani
menyambut perang. Adipati Bintara, Adipati Terung lalu masuk alun-alun. Adipati
Bintara duduk di dampar yang ada di pagelaran di hadapan para prajurit (Babad Tanah
Jawi, 2014:39).
Dengan memperhatikan kutipan dari Babad Tanah Jawi tersebut dapat dikatakan
bahwa sebenarnya tidak ada peperangan antara Demak dan Majapahit. Bahkan
kemudian disampaikan dalam Babad tersebut bahwa ketika Adipati Bintara atau Raden
Patah memasuki Majapahit dan sang Raja yang mengetahui bahwa putranya yang akan
menggantikannya sudah datang dan Sang Raja kemudian gaib (menghilang atau moksa)
disebutkan ada bintang bercahaya yang keluar dari istana Majapahit dan bintang itu
jatuh di Bintara, di Demak. Apa yang terjadi sebagaimana disebutkan di dalam kedua
babad ini yakni Babad Tanah Jawi dan Babad Demak bahwa tidak terjadi perang dan
memang terjadi perpindahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak termasuk di dalamnya
adalah “wahyu kerajaan atau cahayanya kerajaan” yang juga pindah ke Demak semakin
memperkuat bahwa sebenarnya secara tidak langsung kedua babad ini mendukung
pelanggengan kekuasaan dari Majapahit ke Demak.
Pelanggengan kekuasaan dari Majapahit ke Demak yang didukung sepenuhnya
oleh Wali Songo sebagaimana sudah dipaparkan memberikan bukti bahwa Wali Songo
117
ikut andil dalam meneruskan konsep-konsep keindonesiaan yang sudah ada pada masa
Majapahit. Karena dengan pelanggengan kekuasaan tersebut terikut pula konsep-konsep
dasar yang dimiliki oleh kerajaan tersebut yang di antaranya adalah persoalan
keindonesiaan. Apalagi kemudian ditambahkan dengan salah satu strategi dakwah yang
dilakukan oleh Wali Songo yakni mendekati masyarakat melalui kebudayaannya,
semakin menguatkan bahwa konsep-konsep keindonesiaan yang sudah ada pada masa
Majapahit ikut serta di dalamnya. Salah satu pendekatan budaya yang sampai sekarang
masih dapat dirasakan oleh masyarakat yakni adanya tradisi wayang kulit, seni suara
(macapat/tembang), dan seni ukir (1984:51). Tradisi macapat sebelumnya sudah ada dan
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pada masa itu. Bahkan macapat yang
sebelumnya disebut sebagai kakawin merupakan salah satu sarana untuk melaksanakan
ibadah sebagaimana sampai sekarang masih dilaksanakan di Bali. Pembacaan
serat/naskah dilaksanakan di Pura dan dalam rangka beribadah.
Peran para wali dalam pengembangan kerajaan di Indonesia pada masa tersebut
juga terlihat pada peran kerajaan Giri Kedaton. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
maupun di luar Jawa apabila menobatkan seorang raja memerlukan pengesahan dari
Sunan Giri. Ini menunjukkan betapa besar pengaruh Giri Kedaton atas kerajaankerajaan Islam di Jawa maupun luar Jawa. Pemerintahan Giri berlangsung kurang lebih
200 tahun. Sesudah Sunan Giri pertama meninggal dunia beliau digantikan oleh
anaknya yang juga bergelar Sunan Giri. Hal ini membuktikan bahwa para wali berperan
aktif selain pada perkembangan agama Islam juga pada perkembangan kerajaankerajaan pada masa itu. Keberlanjutan kekuasaan ini juga dapat dimaknai sebagai
keberlanjutan konsep-konsep dasar kehidupan kerajaan dan masyarakatnya.
keberlanjutan kekuasaan di sini dapat dimaknai sebagai keberlanjutan kepemerintahan.
Kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang kemudian mengembangkan system
organisasi yang merupakan wujud integrasi Islam ke dalam kehidupan politik bangsa
Indonesia. Hal tersebut secara jelas memuncak pada kerajaan Mataram Yogyakarta.
Bukan suatu kebetulan dan sesuatu yang tiba-tiba apabila Sri Sultan Hamengkubowono
IX sehari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 segera menyatakan memihak dan
mengintregrasikan Kerajaan Mataram Yogyakarta ke dalam Negara Republik Indonesia
(Daliman, 2012:15). Hanya kemudian hal ini terputus ketika Barat (baca Belanda)
menguasai Indonesia. Konsep-konsep yang mengikuti kerajaan-kerajaan itu
ditenggelamkan dalam politik pecah belah yang memang dengan sengaja ditanamkan.
4.
Kesimpulan
Keindonesiaan sampai saat ini tetap merupakan hal yang sangat abstrak. Namun,
paling tidak konsep tersebut dapat dipandang dalam hubungannya dengan persoalan
kepemerintahan. Di Indonesia sejak masa lampau sudah berdiri kerajaan-kerajaan besar
yang sudah memiliki konsep keindonesiaan. Majapahit salah satunya. Kekuasaan
Majapahit yang di dalamnya termaktub konsep-konsep keindonesiaan ternyata
diteruskan oleh kerajaan Demak. Pelanggengan pemerintahan tersebut yang didukung
sepenuhnya oleh Wali Songo juga bermakna pelanggengan terhadap konsep-konsep
keindonesiaan. Wali Songo walaupun datang membawa perubahan keagamaan tetapi
dengan terus melanggengkan kepemerintahan dari Majapahit ke Demak dan juga
dengan konsep-konsep dakwah melalui pendekatan kebudayaan menjadikan Wali Songo
tokoh yang dapat dikatakan ikut membangun konsep-konsep keindonesiaan dulu,
sekarang, dan pada masa yang akan datang.
118
Daftar Rujukan
Burhanuddin, Jajat. 2012. Ulama dan Kekuasaan. Bandung:Mizan.
Daliman. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia.
Yogyakarta:Ombak.
Fattah, Nur Amin. 1984. Metode Dakwah Walisongo. Pekalongan:Bahagia.
Kusumajaya, I Made dkk. Tanpa Tahun. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di
Daerah Trowulan. Buku Saku Pariwisata Trowulan.
Olthof, W.L. 2014. Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647.
Yogyakarta:Narasi.
Prawirayuda, R. Panji. 1988. Babad Majapahit dan Para Wali. Jakarta:Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Riyadi, Ali dan Suwaji. 1981. Babad Demak. Alih Aksara. Jakarta:Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Salam, Solichin. 1960. Sekitar Walisanga. Kudus:Menara Kudus.
Teeuw, A. 2013. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:Dunia Pustaka Jaya.
119
INFERIORITAS DAN MIMIKRI: KAJIAN POSKOLONIAL TERHADAP
LIRIK LAGU-LAGU POPULER MALUKU
PERIODE TAHUN 2000-2010
Falantino Eryk Latupapua
(Universitas Pattimura Ambon – Indonesia)
Abstract: The purpose of this study is to explain the relationship between the history of
colonialism in the Moluccas and the uniqueness of its relationship with in the
Netherlands post-colonial issues of inferiority and mimicry that are represented in the
lyrics of popular songs. This goal is done through a deconstructive analysis of the
relationships built up in the text. The theory used is post-colonial literary theory that
emphasizes the effects of colonialism on colonized peoples text production, theory of
the inferiority and mimicry as a form of identification in a connection with the lyrics of
popular songs as a site of hegemony.
The results of the analysis are briefly described as follows. Perspectives in the
text awakened by the relationship between male or female Moluccan with each other,
with the Netherlands, including the diaspora, and between the diaspora in Netherlands to
the Moluccas. Relationships built up in the lyrics of popular songs between the
Moluccas and the Netherlands are hierarchical and dominative, contradictory relations,
and equal relations. In such relationships there are traces of inferiority and mimicry in
the Moluccas as a tension between the real world and the Netherlands as the ideal world
for the characters. In general, the presence of these texts to deconstruct romanticism as a
common discourse that is built up in it. Although the relationship between the
characters, as described in the text, indicate the existence of union between the real
world and ideal world respectively, in principle, both worlds apart so that union was
ultimately only a dream.
In the tension between real and ideal world that's inferiority and mimicry find
its form. Mimicry in this case is done not in an effort to make resistance, but rather to
identify themselves as Dutch as an ideal, and to hide the inferiority of the figures behind
compliance. In the end, both mimicry and inferiority confirms the existence of a residual
form of hegemony that is built up due to the Dutch colonial historicity of the affiliative
between the two parties supported by the existence of the diaspora.
Keywords: lyrics of popular songs, inferiority, mimicry, post-colonial deconstruction.
Sastra Indonesia lahir dari suatu masyarakat yang terkolonisasi, yakni suatu
masyarakat yang bertumbuh dan berkembang tidak sepenuhnya dalam dialektika
internalnya sendiri. Kolonialisasi sebagai sebuah proses yang digerakkan oleh kekuatan
yang berasal dari luar secara berangsur-angsur, sejak abad XVII sampai dengan awal
abad XX, membentuk formasi sosial tertentu, posisi-posisi, dan komposisi tertentu
(Faruk, 2001:8).
Formasi sosial, posisi-posisi, dan komposisi dimaksud membentuk tatanan
masyarakat yang baru dengan intensitas yang berbeda-beda pada wilayah-wilayah di
Indonesia. Sejauh mana perubahan terjadi dalam struktur masyarakat tergantung pada
120
interval interaksi dengan bangsa kolonial dan ketahanan sosial budaya masyarakat itu
sendiri. Perubahan-perubahan akibat kolonisasi Eropa tersebut dewasa ini dapat terlihat
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk yang
direpresentasikan dalam teks-teks yang dihasilkan oleh masyarakat koloni. Salah
satunya adalah teks-teks sastra, baik teks-teks berada pada wilayah ”pusat” atau teksteks kanonik, maupun teks-teks sastra periferi, atau sastra populer.
Sehubungan dengan itu, Maluku merupakan salah satu wilayah yang hingga saat
ini masih memelihara, dipengaruhi oleh, dan berinteraksi dengan warisan-warisan
kolonial tersebut hingga membentuk pola relasi-relasi yang problematik dengan
kekhususan tersendiri dibanding wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Pengalaman
berinteraksi dengan kolonialisme Belanda merupakan pengalaman yang paling lama,
paling intensif, sehingga relasi-relasi yang hegemonik tersebut terbangun hingga
berpuluh tahun setelah kemerdekaan Indonesia dari segala bentuk kolonialisasi.
Deane (1979:21-22), menengarai bahwa ikatan antara orang Ambon dan Negeri
Belanda sebagai bekas penjajah tetap kuat. Di sisi lain, ikatan dengan Indonesia
disebutnya ‘lemah’ dan penuh dengan ‘ketakpercayaan’ antara satu dan lainnya.
Bahkan, beberapa generasi tua di Maluku secara tidak realistis masih memimpikan
kemerdekaan Maluku, terpisah dari Indonesia. dan kembalinya masa-masa kolonialisme
Belanda. Kedekatan yang istimewa dengan Belanda disebabkan penerimaan terhadap
misi agama Kristen, kecenderungan afiliatif ke dalam struktur birokrasi pemerintahan
dan militer Belanda, pendidikan kolonial, serta distribusi perkawinan antarras yang saat
ini menghasilkan keturunan Mestizo dalam jumlah besar (Pieris, 2004:160-168). Di lain
pihak, secara umum orang-orang Indonesia sendiri turut memosisikan diri sebagai
sebuah kekuatan kultural yang “membelandakan” orang-orang Maluku, sejak masa
penjajahan.
Hal inilah yang kemudian menjadi relevan dengan apa yang dimaksud oleh
Deane sebagai ‘ikatan yang lemah’ itu. Julukan idiomatis Belanda Hitam atau Londo
Ireng yang dikenakan oleh orang-orang pribumi Hindia Belanda lainnya terhadap orangorang Maluku yang berafiliasi ke tubuh birokrasi kolonial melalui proses-proses
pendidikan, perkawinan dan misi penginjilan merupakan akibat lain dari disparitas dan
ketimpangan perlakuan di masa kolonial Belanda yang menempatkan orang-orang
Maluku pada tingkat privilese yang berbeda dari warga pribumi lain (Kadir, 2009:71).
Di masa sekarang kedekatan masyarakat Maluku dengan Belanda tetap
berlangsung, bahkan semakin menguat melalui ikatan-ikatan kekeluargaan yang akrab
antara generasi-generasi baru Maluku dengan generasi-generasi baru kaum diaspora
keturunan Maluku di Negeri Belanda. Kaum diaspora Maluku di Belanda merupakan
keturunan para bekas tentara KNIL, para birokrat dalam pemerintahan kolonial, serta
simpatisan gerakan Republik Maluku Selatan (selanjutnya disingkat menjadi RMS).
Pada tahun 1951, mereka mengalami pemindahan ke Negeri Belanda setelah pecahnya
pemberontakan gerakan RMS pada tahun 1950. Keberadaan kaum diaspora inilah
merupakan salah satu faktor penting lain dalam membangun dan mempertahankan
relasi-relasi penuh nostalgia dan keterpesonaan antara orang Maluku dan “Belanda”
sebagai penjajah hingga berpuluh tahun sesudah kemerdekaan.
Relasi-relasi yang terbentuk selama berlangsung dan setelah berakhirnya masa
kolonial tersebut pada akhirnya mengkondisikan dan membentuk mind set orang
Maluku mengenai Belanda, yakni mengenai posisi dan relasi antara mereka dan
“Belanda”, dan sebaliknya. Selain itu, perilaku-perilaku orang Maluku sebagai hasil
identifikasi diri sebagai Belanda itu masih tertanam dan masih bisa dijumpai dalam
berbagai pola tertentu, termasuk identifikasi tubuh dan gaya yang menyerupai Belanda
121
(Kadir, 2009: 68-72). Posisi-posisi dan relasi-relasi yang mengesankan adanya
kecenderungan nostalgia dan keterpesonaan, serta kecenderungan mengidentifikasi diri
sebagai “Belanda” menyebabkan terbentuknya hegemoni residual kolonial Belanda
dalam kehidupan masyarakat Maluku khususnya di kalangan masyarakat Kristen hingga
saat ini.
Situasi demikian dapat memunculkan asumsi bahwa formasi, posisi, dan
komposisi-komposisi tersebut terkonstruksi dalam karya-karya sastra yang dihasilkan
oleh pengarang-pengarang asal Maluku, yang dihasilkan pada masa kolonialisme
maupun setelah kemerdekaan. Akan tetapi, perkembangan sastra kanonik regional atau
sastra “serius” di Maluku dari aspek persebaran sastrawan dan persebaran karyakaryanya tidak cukup signifikan, terutama yang secara langsung merepresentasikan
kehidupan suatu masyarakat yang terkolonisasi dalam jangka waktu yang lama, atau
menegaskan adanya persoalan-persoalan yang timbul sebagai pengaruh langsung dari
suatu proses panjang kolonialisme tersebut. Keberadaan para pengarang atau penyair
asal Maluku pun tidak memperlihatkan peran yang signifikan, baik dari segi distribusi
jumlah pengarang maupun persebaran karya sastra.
Sebaliknya, industri musik pop daerah Maluku menunjukkan pertumbuhan
signifikan dari waktu ke waktu. Karya sastra populer berupa lirik lagu-lagu tersebut
diproduksi secara independen oleh para pencipta lagu, musisi, dan penyanyi asal
Maluku, baik yang bermukim di Maluku, di Jakarta, maupun kota-kota lainnya di
Indonesia. Lirik lagu-lagu adalah salah satu genre sastra populer yang lahir dari dan
memiliki ciri-ciri puisi populer (Faruk dan Sayuti, 1997). Lirik lagu-lagu populer
Maluku secara masif mengartikulasikan kisah cinta muda-mudi Maluku, parodi terhadap
tata cara hidup orang Maluku, menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan
kekerabatan, kecintaan dan puja-puji terhadap tanah asal, dsb. Berdasarkan realitas
empiris itu, dapat disimpulkan bahwa melalui lirik-lirik lagu populer tersebut
masyarakat Maluku bersastra atau ”terlibat” di dalam kegiatan cipta sastra dan apresiasi
sastra.
Perkembangan musik populer Maluku itu kemudian tidak terpisahkan dari
struktur masyarakatnya yang amat dipengaruhi oleh budaya kolonial. Musisi-musisi
Maluku yang selama ini berkarya dalam ranah musik pop Indonesia didominasi oleh
musisi beragama Kristen yang bertumbuh dalam kultur musik gereja atau musik liturgi
warisan zaman kolonial yang bernuansa musik klasik Eropa. Nyanyian-nyanyian yang
dipergunakan dalam tata ibadah, misalnya, sebagian besar merupakan lagu-lagu
terjemahan yang diadaptasi dari liturgi Eropa, khususnya Belanda. Kultur musik gereja
sebagai bagian dari sistem ritual Kristen yang mulai dikenal sejak zaman kolonial itulah
yang kemudian berperan dalam konstruksi masyarakat Maluku sebagai singing
community.
Dari seluruh fakta yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan suatu
asumsi bahwa lirik lagu-lagu populer Maluku sebagai sebuah bentuk naratif yang lahir
dari suatu masyarakat bekas koloni menjadi tidak sepenuhnya bebas dari pengaruh
kolonialisme dan, dengan demikian, mengandung persoalan-persoalan poskolonial.
Penelusuran awal terhadap lagu-lagu populer Maluku, terutama yang diproduksi sepuluh
tahun belakangan ini, menunjukkan adanya pergeseran tematis dari tema-tema umum
pada dasawarsa sebelumnya melalui kemunculan teks-teks yang cenderung
mengetengahkan persoalan-persoalan poskolonial; perasaan inotentisitas diri, perasaan
inferior, dekarakterisasi, atau persoalan keagenan berupa hibriditas dan mimikri yang
seakan menegaskan kembali hegemoni modernitas Barat yang superior, yang beroposisi
dengan marjinalitas tradisional Timur yang inferior.
122
Dengan demikian, hubungan signifikan antara produksi lagu-lagu populer yang
menghasilkan lirik-lirik lagu-lagu populer yang mengandung persoalan-persoalan
poskolonial antara masyarakat Maluku pada umumnya sebagai bekas koloni dengan
Belanda sebagai penjajah menjadi amat menarik untuk diungkapkan dalam penelitian
ini. Untuk itu, analisis dekonstruktif terhadap relasi antara penjajah terjajah yang
dihadirkan dalam teks menjadi signifikan pula, dalam rangka menemukan jejak-jejak
yang tak terlacak oleh pembacaan struktural yang normatif, termasuk yang secara tidak
sengaja digunakan oleh pengarang. Jejak-jejak tersebut diharapkan dapat terlacak
melalui pembalikan dan pembongkaran terhadap relasi-relasi dan oposisi-oposisi biner
antara Maluku versus Belanda dalam teks-teks tersebut.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat
dikemukakan, yaitu: Pertama, bagaimana hubungan sejarah kolonialisme dan
terbentuknya formasi tertentu dalam masyarakat yang berkaitan dengan perkembangan
produktivitas lagu populer, serta pergeseran tematisnya. Kedua, bagaimana relasi
hegemonik antara Maluku dan Belanda yang melahirkan persoalan-persoalan
poskolonial berupa inferioritas dan mimikri dalam lirik-lirik lagu populer Maluku.
Landasan Teoretis
Lirik lagu-lagu populer adalah sebuah puisi populer karena memperlihatkan ciriciri yang sama dengan puisi (Faruk dan Sayuti, 1997). Meskipun lirik lagu merupakan
suatu produk kombinasi antara seni musik dan seni sastra, pada dasarnya lirik lagu dapat
dipahami secara terpisah dari unsur-unsur musikalnya. Artinya, meskipun lirik lagu
merupakan komponen yang inheren dari sebuah lagu sebagai produk musikal tetapi
ketika unsur musikalnya ditanggalkan maka lirik lagu menjadi sebuah puisi.
Sebuah puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra,
rima, serta penyusunan larik dan bait (Sudjiman, 1984:64). Menurut Watt-Dunton, puisi
adalah ekspresi yang kongkret dan yang bersifat artistik dari pikiran manusia dalam
bahasa emosional yang berirama (Situmorang, 1980:9). Semua ciri-ciri puisi dalam dua
definisi yang dikemukakan oleh kedua teoretikus tersebut terkandung dalam sebuah lirik
lagu. Oleh karena itu, sebagaimana layaknya sebuah puisi, lirik lagu sebagai bentuk
puisi musikal dapat bercerita tentang apa saja, termasuk menyajikan keterikatan dan
kesukaan akan keterlibatan secara langsung pada kehidupan, bukan pemahaman yang
berjarak mengenai kehidupan itu.
Sebagaimana karya sastra pada umumnya, sebuah puisi merupakan suatu situs
hegemoni. dalamnya terdapat formasi ideologi. Formasi adalah suatu susunan dengan
hubungan yang bersifat bertentangan, korelatif, dan subordinatip. Formasi ideologi
menurut Herjito (2002:25), tidak hanya membahas bagaimana hubungan antara
ideologi-ideologi tadi. Hegemoni ideologi muncul dalam teks-teks, baik yang
diproduksi kelompok yang dominan maupun kelompok subaltern. Teks merupakan
bagian dari praktik-praktik sosial yang ada di masyarakat. Hal ini disebut sebagai bagian
dari hegemoni, sementara di sisi lain ada keseluruhan yaitu struktur masyarakat yang
berada di luar teks. Dengan memperhatikan keseluruhan, formasi ideologi yang telah
ditemukan di dalam teks kemudian dicek kembali. Dari sudut pandang ini, struktur
kualitatif mengacu pada bagaimana hubungan teks dan pengarangnya dengan situasi
historisnya.
Terkait dengan hubungan teks dan pengarang dengan situasi historis, posisi liriklirik lagu populer Maluku menjadi lebih jelas. Lirik lagu populer Maluku dihasilkan
123
oleh pengarang atau pencipta sebagai bagian dari masyarakat yang mengalami
kolonisasi Eropa selama lebih dari tiga abad. Oleh karena itu, lirik lagu-lagu populer
merupakan sastra poskolonial yang diasumsikan tidak sepenuhnya bebas dari
persoalan-persoalan poskolonial.
Dengan demikian, definisi sastra poskolonial yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Christopher O’Reilly, bahwa:
One simple answer is that all the above writing has arisen out of experience with result
from contact with (British) empire. In this sense, post-kolonial literature is writing wich
reflects, in great variety of ways, the effects of kolonialism. This might include the
enforced of mass migration of the slave trade, or the impact of kolonialism upon
indigeneous societies, to name only two areas focus…. (O’Reilly, 2007:6).
Karya sastra yang ditulis baik oleh penjajah maupun terjajah di dalam prosesnya
dapat menyerap, mengambil, dan menulis aspek-aspek dari budaya ”lain”, menciptakan
genre, gagasan, dan identitas baru. Naskah-naskah sastra kemudian menjadi penting
bagi pembentukan wacana-wacana kolonial karena sastra bekerja secara imajinatif dan
berpengaruh terhadap orang-orang sebagai individu-individu. Naskah-naskah sastra
dapat mencerminkan ideologi-ideologi dominan dan hegemonik, yang menyebabkan
masyarakat terjajah berada posisi subordinat dan inferior, atau meminjam istilah Fanon,
kompleks inferioritas, yakni terciptanya ”jiwa” bangsa terjajah dalam suatu bentuk
inferioritas yang diakibatkan ”kematian” dan ”penguburan” orisinalitas budaya lokal
(Fanon dalam Loomba, 2003:31).
Kecenderungan munculnya inferioritas subjek dalam lirik lagu-lagu populer
Maluku idtemukan bersamaan dengan kecenderungan untuk melakukan mimikri.
Menurut Hartanti (2007:20), baik inferioritas maupun mimikri atau peniruan merupakan
karakter dari hibriditas kolonial yang muncul beriringan dengan pengakuan dan
penerimaan terhadap kebudayaan bangsa penjajah yang diterima sepenuhnya atau
mengalami penyesuaian dengan kebudayaan pribumi.
Konsep mimikri menurut Bhabha dibentuk dalam suatu ambivalensi. Di satu sisi
kaum pribumi ingin membangun identitas persamaan dengan kaum penjajah, di sisi lain
mereka juga mempertahankan perbedaannya. Mimikri, yang disebut Bhabha sebagai a
sign of double articulation (Bhabha, 2007:122), muncul sebagai representasi dari
perbedaan yang sekaligus merupakan proses pengingkaran mimikri bukan sekadar
peniruan melainkan mungkin menjadi mockery atau olok-olokan.
Dalam konteks kekhususan relasi kolonial dan poskolonial di Maluku dalam
hubungan afiliatif dengan penjajah Belanda, kecenderungan mimikri di dalam teks
bukanlah cara subjek kolonial untuk melakukan perlawanan atau resistensi terhadap
kekuatan kolonial tersebut. Mimikri dalam konteks demikian merupakan suatu cara
untuk mengidentifikasi dirinya sebagai ”Belanda”, meskipun pada kenyataannya
identifikasi diri itu tetap memiliki kemungkinan menciptakan kehadiran yang virtual dan
parsial. Mimikri yang sebenarnya merupakan suatu bentuk kepatuhan untuk
menyembunyikan perlawanan pada akhirnya menjadi cara subjek kolonial, yakni
semacam kesadaran lokal untuk mengidentifikasi dirinya dalam rangka
menyembunyikan perbedaan dengan penjajah. Dengan kata lain, mimikri dalam hal ini
merupakan suatu bentuk kepatuhan untuk menyatakan semacam penolakan orang
Maluku untuk ’menjadi berbeda’ dari penjajah Belanda. Otoritas kolonial tidaklah
terganggu oleh upaya identifikasi tersebut, karena resistensi bukanlah tujuannya.
Dalam praktik teoretisnya, poskolonialisme bekerja dalam dua tataran, yaitu (1)
berusaha menjelaskan poskolonialitas yang melekat dalam teks-teks tertentu; dan (2)
membongkar setiap jejak kekuasaan kaum kolonial (Foulcher dan Day, 2008:2-3).
124
Untuk menerapkan dua hal di atas, salah satu upaya metodologis yang dapat dilakukan
adalah melakukan dekonstruksi terhadap teks sastra tersebut, seperti yang akan
dipraktikkan dalam penelitian ini.
Kajian dekonstruksi hadir sebagai upaya Derrida untuk menolak teori-teori
penelitian logosentrisme yang berkeinginan terhadap pusat, mendewakan pusat, yaitu
hal-hal yang besar. Menurut Faruk (1994:237), analisis dekonstruksi menawarkan
konsep “jejak” (trace) yang bersifat misterius dan tak tertangkap (imperceptible), yang
muncul sebagai kekuatan pembentuk suatu tulisan, yang menembus dan memberi energi
pada aktivitasnya yang menyeluruh, dan bersifat omnipresen tetapi tetap luput dari
jangkauan. Hal ini berarti bahwa makna akan bergerak, harus dilacak secara terusmenerus, dan meloncat-loncat.
Selain konsep “jejak” tersebut, penelitian ini menggunakan konsep difference
yang mencakup tiga pengertian, yaitu: ’to differ’ (berbeda), ‘differe’ berarti tersebar dan
terserak, dan ‘to defer’ atau menunda. (Endraswara, 2003:170). Konsep difference
menjadi relevan digunakan untuk membicarakan inferioritas dan mimikri sebagai
sebuah konsep identifikasi diri, yakni adanya persamaan namun ditunda kehadirannya
oleh perbedaan. Dengan kata lain, kajian dekonstruktif terhadap lirik-lirik lagu populer
mencoba melacak jejak dan operasi diferansi yang bekerja diam-diam dalam teks.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang disebut pula
sebagai penelitian deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif yaitu suatu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Biklen, 1982:5 dalam
Moleong, 1991:3). Penentuan sampel dari populasi lirik lagu-lagu populer Maluku
dalam periode tersebut dilakukan dengan menggunakan teknik purpossive sampling atau
sampel bertujuan (Moleong, 2006:224).
Selanjutnya, pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan;
penelusuran referensi tertulis untuk menunjang analisis data yang dilakukan. Sumbersumber tertulis tersebut antara lain berupa; buku, artikel-artikel ilmiah, laman internet,
hasil-hasil penelitian lainnya, cakram padat, dsb. Teknik pengumpulan data secara
dokumentatif pun diperlukan untuk mendokumentasikan lirik-lirik lagu yang dipilih
sebagai sampel penelitian. Pada akhirnya, teknik observasi dan wawancara dilakukan
untuk mengamati perkembangan produksi lagu-lagu populer Maluku termasuk
kecenderungan tematis serta distribusinya, serta data-data pendukung yang dapat
melengkapi uraian mengenai efek kolonialisme Belanda terhadap masyarakat Maluku
maupun kaum diaspora di Belanda.
Analisis data menggunakan metode dekonstruksi diterapkan dalam upaya untuk
membongkar atau mendekonstruksi relasi-relasi yang dikonstruksi dalam lirik-lirik lagu
tersebut.. Hal ini dilakukan bertolak dari asumsi yang telah dikemukakan sebelumnya
bahwa dikotomi oposisi biner antara Barat dan Timur, penjajah dan terjajah, Belanda
dan pribumi bersifat menindas, tidak adil, serta tidak manusiawi. Oleh karena itu, upaya
pembongkaran terhadap oposisi biner tersebut diperlukan dalam rangka menemukan
pola relasi yang lebih adil dan seimbang, termasuk kemungkinan penyangkalan terhadap
asumsi dasarnya (Noor, 2002:38).
Pembahasan
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap lirik-lirik lagu populer Maluku
yang berangka tahun 2000 hingga tahun 2010 ditemukan beberapa relasi yang kompleks
125
dan problematik antara unsur-unsur Timur dan Barat, pribumi dan Eropa, serta penjajah
dan terjajah. Relasi-relasi yang hadir dalam teks bersifat bolak-balik pada tiga unsur
yang saling berhubungan, yakni (1) orang Maluku, (2) orang Belanda asli, dan (3)
keturunan Maluku diaspora di Belanda.
Relasi-relasi yang dimaksud adalah; (1) relasi yang bersifat hierarkis atau
dominatif, (2) relasi yang bertentangan antarsesama orang Maluku maupun dengan
Belanda, serta (3) relasi yang bersifat setara dan saling simpatik. Satu teks dapat
mengandung lebih dari satu relasi karena terbelahnya unsur penjajah dan terjajah
melalui keberadaan kaum diaspora yang di tengah-tengah kedua unsur lainnya.
Sehubungan dengan itu, tema percintaan adalah tema yang paling sering muncul, baik
cinta antara perempuan dan laki-laki Maluku dan Belanda, maupun sebaliknya.
Dari analisis dekonstruktif terhadap lirik-lirik lagu dapat disimpulkan bahwa
dalam ketiga jenis relasi yang terbangun antara unsur-unsur Maluku sebagai terjajah,
sebagai Timur, dan Belanda sebagai penjajah, sebagai Barat, dapat disimpulkan bahwa
Belanda adalah dunia ideal bagi orang Maluku, seperti yang terbaca dalam teks. Di sisi
lain, Maluku adalah dunia ideal bagi Belanda, dalam hal ini merujuk pada kaum
diaspora atau Indo, yang memandangnya sebagai dunia ideal atau dunia gagasan penuh
harapan yang seakan-akan bisa melebur atau menyatu dengan dunia nyata, namun
sebenarnya
Temuan-temuan demikian menegaskan adanya jejak-jejak romantisisme dalam
relasi-relasi yang terbangun di dalam lirik lagu-lagu tersebut. Romantisisme itu sendiri
seperti yang dikemukakan oleh Faruk (2002:39-52) merupakan suatu konsep yang
berasal dari Barat. Romantisisme terjadi dalam kesatuan sekaligus ketegangan antara
dunia ideal dengan dan dunia nyata. Di satu pihak paham tersebut menolak pemisahan
antara kedua dunia tersebut, percaya akan kemungkinan peleburan dunia nyata ke dalam
dunia ideal, sehingga selalu berpikir dalam kerangka kesatuan dan yang satu, tetapi di
lain pihak, paham itu tidak dapat mengingkari keterpisahan yang nyata antara keduanya,
otonomi dunia nyata tempat mereka hidup sehingga harus menerima segala
keterpecahan dan fragmentasi, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Tokoh-tokoh pria dan gadis Maluku dalam beberapa lirik lagu-lagu populer
Maluku secara jelas menginginkan suatu dunia yang ideal yang terpisah dengan dunia
nyata mereka. Keinginan demikian diwujudkan dengan adanya upaya, lakuan, dan
artikulasi yang menginginkan adanya suatu aliansi dengan Belanda sebagai tanah
impian, dengan gadis dan pria Belanda sebagai pasangan ideal, bahasa Belanda sebagai
bahasa yang superior, indah, dan berbudaya, serta dengan gaya orang Belanda sebagai
simbol kemajuan, modernitas, dan keindahan.
Di sisi lain, ada pula tokoh-tokoh naratif dalam analisis di atas yang dalam
pandangan mereka sebenarnya menghendaki keterpisahan antara dunia nyata dengan
dunia ideal tersebut. Keterpisahan yang dimaksud di sini adalah adanya pernyataanpernyataan mengenai ketidakmungkinan bersatunya Maluku dengan Belanda, bahwa
keinginan bersatu itu pada akhirnya hanyalah menghasilkan kerusakan atau fragmentasi,
dan bahwa keingin bersatu yang demikian hanyalah mimpi semata pada akhirnya.
Keterpisahan itu kemudian diwujudkan dalam narasi-narasi melalui upaya penolakan
dan pandangan minor terhadap perubahan orientasi dan tindakan tokoh lain yang
melakukan upaya aliansi atau afiliasi terhadap nilai-nilai Barat atau Belanda sebagai
dunia gagasan atau dunia ideal mereka.
Dalam beberapa lirik lagu yang diartikulasikan melalui fokalisasi orang
Maluku terhadap orang Belanda atau tanah Belanda, seperti Nyong Balanda, Ik Hou van
Jou, Jij Ben So Ver, Kenangan Transit Passo, dan Nona Belanda, baik secara implisit
126
maupun eksplisit, menunjukkan adanya kecenderungan pria dan gadis Maluku
memandang dan memposisikan diri sendiri sebagai pihak inferior yang takluk di bawah
superioritas Belanda.
Superioritas fisik Barat yang dipuja-puja sedemikian itu merupakan salah satu
penyebab berakarnya mentalitas rendah diri pribumi dan inferioritas pada zaman
kolonial. Yulianto (2007:8-9) mengutip uraian Frantz Fanon bahwa Barat yang putih,
indah, merupakan norma-norma tak terlihat, bukan hanya secara fisik. Mentalitas rendah
diri di hadapan Barat tersebut telah dijadikan sebagai relevansi simbol yang seakan
menghalangi orang-orang – bahkan generasi sekarang – untuk berpikir dialektis
sehingga mengamini begitu saja konsep tersebut. Selain itu, pakaian Barat diidentikkan
dengan gaya superioritas, sedangkan pakaian etnik, atau tradisional diasosiasikan
dengan inferioritas dan ketertundukan pada peraturan kolonial.
Pemosisian orang Maluku sebagai inferior juga ditunjukkan dalam lirik lagu Ik
Hou van Jou dan Par Sapa Lai. Dalam lirik lagu Ik Hou van Jou terbaca kecenderungan
pria Maluku untuk mencintai dengan sepenuh hati gadis Belanda, meskipun untuk itu ia
harus terperangkap dalam ilusi tentang pertemuannya dengan si gadis, dan
keterasingannya di tengah-tengah dunia nyata yang ia diami. Sementara itu, dalam Par
Sapa Lai, kecenderungan perasaan inferior muncul secara bolak-balik antara tokoh
gadis Maluku yang menikah dengan pria Belanda lalu meninggalkan pria Maluku yang
dicintainya, dengan pria Maluku yang hanya bisa merintih dalam kepasrahan, karena
cintanya telah hilang dan tak tahu kepada siapa lagi cintanya itu akan diberikan. Gadis
Maluku yang menikahi pria Belanda tersebut seakan tunduk kepada superioritas
Belanda dengan cara meninggalkan kekasihnya untuk menikahi pria Belanda, sementara
pria Maluku hanya bisa meratapi kehilangan cintanya lalu menyalahkan si gadis atas
kebohongan yang dilakukannya.
Dalam lirik lagu Ik Hou Van Jou, Jij Ben So Ver, dan Herrinerring in Vassen,
fakta digunakannya bahasa Belanda baik sebagian maupun keseluruhan teks
menunjukkan adanya upaya untuk mobilisasi diri untuk memasuki dunia superior
sebagai sesuatu yang ideal. Penggunaan bahasa Belanda pada masa kolonial, seperti
yang dikemukakan Faruk (2007:27), selain menjadi jalan untuk emansipasi, di lain
pihak menjadi jurang menuju kejatuhan yang lebih dalam ke arah kehinaan karena
sekaligus merupakan pengakuan terhadap superioritas kultural orang Belanda. Dengan
demikian, bahasa Belanda dalam teks seakan kembali menghadirkan refleksi betapa
bahasa Belanda sebagai simbol superioritas Belanda tersebut tetap menduduki posisiposisi yang hampir tidak berubah di dalam narasi-narasi masyarakat terjajah di saat kini.
Inferioritas dalam bentuk lain juga terbaca dalam lirik lagu Kenangan Transit
Passo. Si pria Maluku berupaya memperjuangkan pertemuan cintanya melalui
pertemuan secara sembunyi-sembunyi, memberontak terhadap otoritas, dan mencoba
memasuki wilayah mereka, namun pada akhirnya hanya menemui kegagalan karena
pertemuan itu berakhir dengan perpisahan. Si gadis sebagai representasi Belanda,
representasi dunia ideal pada akhirnya tetap tak tersentuh oleh si pria Maluku.
Ketidakmampuan menerobos batas otoritas yang berwujud pada “keharusan” pulang ke
Belanda atau “kendali” orang tua pada akhirnya tetap menempatkan si pria sebagai
subjek inferior, dan si gadis, atau orang tuanya sebagai representasi Belanda tetaplah
superior, tak tersentuh.
Penempatan diri sebagai inferior di hadapan Belanda yang superior boleh
dianggap sebagai sebuah bentuk kelestarian atau endapan hierarki kekuasaan dalam
berbagai aspek kehidupan sejak masa kolonial yang menempatkan bangsa kolonial
sebagai superior dan pribumi sebagai inferior, meski kolonialisme formal telah lama
127
berakhir. Hierarki kekuasaan tersebut antara lain dimanifestasikan dalam aturan-aturan
pernikahan antara kaum Eropa dan pribumi. Menurut Kadir (2009:61-62), pernikahan
dengan bangsa pribumi yang dianggap subordinat secara kelas atau status sosial karena
perbedaan ras dari garis dan aturan secara tidak langsung menyatakan kekhawatiran
bangsa kolonial terhadap kemunculan bentuk-bentuk transgresi, pencemaran akan
tubuh, irrasionalitas, ketidakrapian, dan kekotoran yang tertular dari entitas inferior.
Dalam lirik lagu-lagu populer Maluku yang telah dianalisis, ada dua lirik lagu
yang menarasikan relasi-relasi khusus antara kedua unsur yang dibicarakan melalui
sudut pandang pria Belanda, lebih tepatnya, keturunan diaspora Maluku di Belanda,
terhadap gadis Maluku, yakni Nona Kudamati dan 10 Taong. Gambaran-gambaran yang
disajikan dalam kedua lirik lagu tersebut mewakili adanya kerinduan dan
ketakberdayaan karena adanya keberjarakan. Keberjarakan itu ditandai dengan substansi
umum lirik lagu-lagu lokal yang selalu terkait dengan konsep kombali, atau kembali.
Menurutnya, pengharapan untuk kembali adalah kalimat yang menyatakan penungguan
dari pihak pasangan yang tengah menjalin kasih, atau kerinduan anak-anak rantau di
negeri seberang akan debur ombak, desau angin, dan kehidupan gandong yang indah
dan penuh kasih. Maluku digambarkan sebagai suatu dunia ideal untuk berkumpul dan
bernostalgia dengan segala bentuk cinta kasih yang melingkupi orang-orang yang ada di
sana, baik bagi orang-orang Maluku perantau di Indonesia, maupun keturunan diaspora
Maluku di Belanda.
Pencarian orang Maluku diaspora pada umumnya akan kemalukuan dalam
berbagai aspek, serta kecenderungan untuk selalu “kembali” ke Maluku,
mengindikasikan bahwa mereka mengalami disorientasi atau “salah tempat” akibat –
meminjam istilah Allen–pemindahan. Dapat dikatakan, pengalaman demikian
diakibatkan oleh ketidakmampuan mereka menjiwai konsep nation Belanda serta
keterjebakan mereka dalam budaya yang “bukan mereka” (Bhabha, 1994:23)
Secara keseluruhan, dari seluruh lirik lagu populer yang dijadikan sampel
penelitian ini, terdapat bentuk-bentuk mimikri terhadap unsur-unsur kebudayaan Barat
atau Belanda. Bentuk-bentuk mimikri yang muncul dalam teks terdiri atas dua unsur
kebudayaan sekaligus dua kode semiotik penting, yakni (1) bahasa, dan (2) pakaian,
riasan wajah dan rambut, atau cara memperlakukan tubuh.
Mimikri terhadap dua kode penting, yakni busana atau cara berpenampilan dan
bahasa menunjukkan adanya suatu upaya untuk memasuki atau menerobos ruang
otoritas Belanda sebagai dunia ideal bagi tokoh-tokoh dalam lirik lagu-lagu tersebut.
Melalui peniruan terhadap cara berbusana dan penggunaan bahasa orang Belanda,, para
tokoh dalam teks melakukan upaya untuk seakan-akan menyatukan diri mereka dengan
Belanda sebagai dunia yang ideal, yang identik dengan keindahan, kesempurnaan,
kekayaan, dan keberadaban.
Mimikri dalam teks juga tidak terlepas dari hubungan dengan penemuan terhadap
jejak-jejak inferioritas yang terbaca dalam interaksi antar tokoh di dalam teks. Analisis
secara dekonstruktif telah menunjukkan betapa di balik narasi tentang cinta yang penuh
kerinduan dan hasrat untuk bertemu, sebagian besar lirik lagu-lagu tersebut merupakan
tangisan atau rintihan akibat keterasingan dari dunia nyata, keterpisahan sekaligus
keinginan untuk bersatu dengan dunia ideal para tokoh. Tangisan dan rintihan yang
demikian secara tidak langsung merupakan pencerminan suatu perasaan inferior yang
dialami oleh tokoh-tokoh dalam narasi.
Perasaan inferior atau inferioritas tersebut di dalam teks terkonstruksi oleh sebab
mimpi-mimpi yang berkepanjangan, sekaligus penaklukkan diri secara sadar di balik
dominasi individu Belanda, melalui kegagalan cinta, kerinduan untuk menikah,
128
keinginan untuk bertemu, perasaan terasing di tengah-tengah dunia nyata, dsb. Upaya
mimikri dilakukan dalam rangka menyembunyikan inferioritas yang memiliki
kemampuan mendestruksi mimpi-mimpi mereka tentang dunia ideal. Inferioritas
tersebut dibungkus dengan identifikasi subjek sedemikian rupa sehingga menjadi
“hampir” sama atau serupa dengan Belanda. Mimikri terhadap superioritas berarti
menyembunyikan inferioritas, meskipun tanpa disadari inferioritas tersebut menjadi
makin menguat dan mengemuka. Sementara itu, kecenderungan untuk self mockery atau
mengolok-olok diri sendiri adalah akibat peniruan atau mimikri yang tidak
menghasilkan sempurna, yakni menjadi sepenuhnya Belanda.
Dalam teks-teks yang dianalisis, upaya melakukan mimikri bukan dalam rangka
perlawanan atau resistensi melainkan manifestasi dari mimpi-mimpi subjek kolonial
tersebut untuk kembali bersentuhan dan kembali memasuki dunia kolonial; dunia
Belanda atau Barat, yang menjadi simbol modernitas, kemajuan, keindahan, dsb.
Manifestasi mimpi lewat mimikri tersebut dilakukan untuk menyembunyikan
inferioritas, ketidakmampuan untuk menjangkau Belanda sebagai dunia ideal. Dunia
ideal yang demikian memiliki keterkaitan dengan hubungan yang dominatif sekaligus
hegemonik antara kekuasaan Belanda pada zaman kolonial dan kecenderungan aliansi
atau afiliasi warga Maluku, terutama kaum urban Kristen.
Mimikri, seperti yang dimaksudkan oleh Bhabha, sebagai a sign of double
articulation beroperasi melalui peniruan subjek kolonial terhadap penjajah, akan tetapi
peniruan tersebut tidak dilakukan dalam rangka mockery atau olok-olokan, yang pada
akhirnya berujung pada resistensi terhadap wacana kolonial. Mimikri yang hadir dalam
teks merupakan perwujudan hasrat dan mimpi-mimpi subjek kolonial untuk
mengidentifikasi diri dan memasuki dunia Barat yang dianggapnya menjanjikan
keindahan, kekayaan, dan prestise, yang jauh berbeda dengan dunia nyata yang ia alami
setiap hari. Keinginan untuk menyamakan diri sebagai Belanda itu pada akhirnya
ditunda kehadirannya oleh disparitas atau perbedaan yang tampak di antara keduanya.
Dengan kata lain, keinginan untuk mengidentifikasi diri sebagai Belanda tidak
sepenuhnya, dan tidak akan bisa menghapuskan batas-batas atau jurang yang terletak di
antara mereka.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mimikri merupakan manifestasi dari
mimpi-mimpi dan hasrat yang besar dari subjek yang masih terkooptasi dalam lingkaran
nostalgia kekuasaan Belanda yang hegemonik. Lingkaran nostalgia kekuasaan tersebut
bukan semata-mata ditandai dalam hubungan yang hierarkis dan dominatif melainkan
juga dalam relasi-relasi yang bertentangan antara sesama pribumi, maupun relasi setara
antara Maluku dan Belanda, dengan sesama pribumi.
Dalam konteks masyarakat Maluku sebagai bekas koloni Belanda, eksistensi
kaum diaspora menjadi benang merah yang menghubungkan konstruksi keterpesonaan
kolektif terhadap Belanda atau Barat pada saat ini, sebagai simbol kekayaan, prestise,
status sosial, dan superioritas. Jalinan relasi antara masyarakat Maluku dengan kaum
diaspora di Belanda tersebut kemudian saling mengkonstruksi dunia ideal secara
timbal-balik satu sama lain. Di satu sisi, mereka tidak bisa menghindarkan diri dari
persentuhan mutlak dengan dunia nyata mereka; dan di sisi lain, kerinduan mereka akan
dunia yang ideal tetap menggebu-gebu meskipun kerinduan dan hasrat demikian pada
akhirnya hanya berkutat dalam kemustahilan.
Kesimpulan
Secara umum, lirik-lirik lagu yang dianalisis tersebut mendekonstruksi konsep
romantisisme yang tampak dalam hubungan antartokoh. Romantisisme dimaksud adalah
129
ketegangan antara dunia nyata dan dunia ideal. Belanda dan kebelandaan adalah dunia
ideal, sementara Maluku dan kemalukuan adalah dunia nyata. Keduanya bersatu tetapi
sekalgus terpisah. Di balik keinginan dan mimpi untuk bersatu dengan Belanda sebagai
dunia ideal, sesungguhnya terdapat jurang yang lebar yang semakin memisahkan
keduanya. Menjangkau Belanda sebagai dunia ideal sesungguhnya adalah mimpi yang
tak akan pernah terwujud.
Mimikri yang dilakukan oleh tokoh gadis Maluku sebagai subjek kolonial
terwujud melalui (1) mimikri terhadap gaya berpakaian, peniruan penampilan wajah dan
rambut, serta pengaturan tubuh, menjadi tiruan bangsa Belanda; dan (2) mimikri
terhadap bahasa Belanda, baik secara keseluruhan, maupun berupa campur kode.
Mimikri terhadap busana atau cara berpenampilan dan bahasa menunjukkan adanya
suatu upaya identifikasi diri sebagai Belanda untuk memasuki atau menerobos ruang
otoritas Belanda sebagai dunia ideal bagi tokoh-tokoh dalam lirik lagu-lagu tersebut.
Melalui peniruan terhadap cara berbusana dan penggunaan bahasa orang Belanda, para
tokoh dalam teks melakukan upaya untuk seakan-akan menyatukan diri mereka dengan
Belanda sebagai dunia yang ideal, yang identik dengan keindahan, kesempurnaan,
kekayaan, dan keberadaban.
Mimikri dalam teks juga tidak terlepas dari hubungan dengan penemuan jejakjejak inferioritas yang terbaca dalam interaksi antar tokoh di dalam teks. Upaya mimikri
dilakukan dalam upaya untuk “menyembunyikan” inferioritas yang memiliki
kemampuan mendestruksi mimpi-mimpi mereka tentang dunia ideal. Upaya mimikri
atau peniruan tersebut secara tidak langsung merupakan sarana untuk menyatakan
bahwa subjek bisa menjadi cantik, kaya, putih, penuh gaya, modern, dan beradab seperti
Belanda, meskipun pada kenyatannya tidak sempurna. Mimikri yang direpresentasikan
oleh tokoh—tokoh dalam narasi tidak dalam rangka melakukan perlawanan atau
resistensi, seperti yang diajukan oleh Bhabha, tetapi semata-mata merupakan
manifestasi dari mimpi-mimpi subjek tersebut untuk kembali bersentuhan dan kembali
memasuki dunia Belanda sebagai dunia ideal melalui identifikasi diri sebagai Belanda.
Daftar Rujukan
Adi, Ida Rochani. 2010. Fiksi Populer. Yogyakarta: Darkuti Offset.
Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan Membaca Lagi Reinterpretasi Fiksi Indonesia
1980-1995. Magelang: Indonesiatera.
Aritonang, Jan S..2006. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Ashcroft, Bill, Griffiths, Garreth, dan Tiffin, Helen. l995. The Postcolonial Studies
Reader. London: Routledge.
________. 2003. Menelanjangi Kuasa Bahasa Teori dan Praktik Sastra Poskolonial.
Yogyakarta : Qalam.
Bhabha, Homi K. 1994. Nation and Narration. London and New York : Routledge.
________. 2007. The Location of Culture. London and New York: Routledge.
Deane, Shirley. 1979. Ambon, Island of Spices. London: Cox and Wyman Ltd,
Fakenham and Reading.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori,
dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress.
130
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik Sampai PostModernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________ . 2001. Beyond Imagination, Sastra Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta:
Gama Media.
________ .2002. Novel-Novel Indonesia Tradisi Balai Pustaka 1920 – 1942.
Yogyakarta: Gama Media.
________ . 2007. Belenggu Pasca-Kolonial Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faruk dan Suminto A. Sayuti. 1997. Sastra Populer. Jakarta: Universitas Terbuka.
Foulcher Keith dan Tony Day. 2008. Sastra Indonesia Modern Kritik Poskolonial,
Clearing A Space (Edisi Revisi). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hartanti, Risna T. 2007. “Identitas Hibrid dalam Novel Le Passé Simple Karya Driss
Chraibi” Tesis pada Jurusan Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya, Univeritas Indonesia, Jakarta.
Herjito.2002. Studen Hijo Karya Mas Marco Kartodikromo Analisis Hegemoni
Gramscian. Jurusan Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Kadir, Hatib Abdul. 2009. Bergaya di Kota Konflik – Mencari Akar Konflik Ambon
Melalui Gaya Hidup Anak Muda. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Leirissa R. Z. 2004. Ambonku: Doeloe, Kini, Esok. Ambon: Pemerintah Kota Ambon.
Lo, Jacqueline dan Helen Gilbert. l998. “Poskolonial Theory: Possibilities and
Limitations”. Makalah pada An International Research Workshop. Sidney, 23
– 31 Mei l998.
Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/ Poskolonialisme (diterjemahkan oleh Hartono
Hadikusumo). Yogyakarta: Bentang Budaya.
Moleong, Lexy J. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda.
Noor, Rusdian. 2002. ”Mimikri dan Resistensi Radikal Pribumi terhadap Kolonialisme
Belanda dalam Roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer ”. Tesis
Jurusan Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
O’Reilly, Christopher. 2007. Post-Kolonial Literature. London: Cambridge University
Press.
Pieris, John. 2004. Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Said, Edward W. 2001. Orientalisme (diterjemahkan oleh Asep Hikmat, dkk.). Bandung
: Pustaka.
Situmorang, B. P. 1980. Puisi dan Metodologi Pengajarannya. Ende: Nusan Indah.
Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Walia, Shelley. 2003. Edward Said dan Penulisan Sejarah. Yogyakarta: Jendela
Yulianto, Vissia Ita. 2007. Pesona ‘Barat’ Analisa Kritis Historis Tentang Kesadaran
Warna Kulit. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.
131
PEMBELAJARAN SASTRA BERBASIS MEDIA FILM YANG
BERKONTRIBUSI TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER DI
SEKOLAH MENENGAH ATAS
Farida Nugrahani
(Universitas Veteran Bantara Sukoharjo – Indonesia)
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) model pembelajaran sastra
berbasis media film yang praktis dan efektif dalam meningkatkan aktifitas, kreatifitas,
dan prestasi belajar siswa; dan (2) kontribusi pembelajaran sastra berbasis media film
terhadap pendidikan karakter. Dalam konteks ini, film yang dimaksud adalah film
dengan content novel sastra yang terkenal, seperti “Laskar Pelangi”, “Ayat-Ayat Cinta”,
“Ronggeng Dukuh Paruk” dan sebagainya. Data dalam penelitian ini adalah semua
informasi yang berkaitan dengan (1) model pembelajaran sastra yang efektif, praktis,
dan diminati siswa, serta aktifitas, kreativitas dan prestasi siswa dalam pembelajaran
sastra, dan (2) kontribusi bahan ajar sastra berbasis media film terhadap pendidikan
karakter. Sumber datanya adalah guru sastra dan siswanya,serta dokumen/arsip. Data
dikumpulkan melalui studi pustaka, wawancara, observasi, dan mengkaji dokumen.
Selanjutnya data dianalisis secara induktif dengan model interaktif dari Miles dan
Huberman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pembelajaran sastra berbasis media
film merupakan model pembelajaran yang efektif, praktis, dan diminati siswa, karena
memberikan peluang bagi siswa untuk meningkatkan aktivitas, mengembangkan
kreativitas, dan prestasi belajarnya. (2) Pembelajaran sastra berbasis media fim dapat
memberikan kontribusi terhadap pembentukan karakter siswa SMA.
Kata kunci: Pembelajaran sastra inovatif; Media film; Pendidikan karakter.
Latar Belakang
Sampai saat keprihatinan terhadap mutu pembelajaran sastra di sekolah masih
menjadi topik pembicaraan dalam berbagai forum ilmiah bahasa dan sastra, baik melalui
konggres bahasa, seminar, simposium, workshop, ataupun diklat profesi guru bahasa di
seluruh Indonesia (Nugrahani, 2014: 3). Rendahnya mutu pembelajaran sastra pada
umumnya disinyalir karena faktor rendahnya kompetensi guru dalam menyusun
rancangan, memilih bahan ajar, maupun dalam mengelola pembelajaran yang menarik
minat siswa.
Sastra merupakan mata pelajaran yang berpotensi besar untuk mengajarkan
nilai-nilai luhur pada siswa, namun akibat kemajuan zaman yang beorientasi pada
teknologi dan kebendaan, nasib pembelajaran sastra terabaikan. Sebagian masyarakat
masih ada yang berpandangan, bahwa kemampuan anak dalam bidang eksakta lebih
utama daripada bidang sosial humaniora, sehingga sastra dipandang kurang penting
untuk dipelajari. Sebagai pilar utama pembelajaran sastra, diharapkan guru mampu
menumbuhkan minat siswanya untuk membaca karya sastra. Masalahnya, menyediakan
teks sastra ke dalam kelas tidaklah mudah. Untuk itu, diperlukan kreativitas guru dalam
mengembangkan bahan ajar dan medianya agar pembelajaran berjalan efektif dan
berhasil optimal.
Pada dasarnya, karya sastra merupakan karya seni yang bersifat indah dan
menarik. Apabila pembelajaran sastra tidak menarik, sudah barang pasti ada hal yang
132
tidak benar dalam salah satu komponennya. Menurut Satoto (2006:423), dalam kondisi
bagaimanapun, sudah seharusnya pembelajaran sastra itu menarik apabila disampaikan
oleh guru yang profesional, karena guru merupakan pemegang perana penting dalam
proses pembelajaran, serta agen bagi kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi,
kebudayaan, dan seni bagi sebuah bangsa. Profil guru profesional yang dimaksud tetah
ditetapkan dalam UU RI No.14 Tahun 2005 Bab II, Pasal 6, bahwa kedudukan guru
sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sitem pendidikan nasional dan
mewujudkan tujuan bagi berkembangnya potensi peserta didik menjadi manusia
beriman, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga
negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Masalahnya, fakta dilapangan menunjukkan bahwa pada umumnya guru sastra di
Indonesia belum profesional dalam menjalankan tugasnya. Sarumpaet (2002:xii),
menyatakam bahwa masih banyak guru sastra yang belum mampu memahami karya
sastra yang akan diajarkan kepada siswanya. Demikian pula penelitian dari Direktorat
Tenaga Kependidikan Depdiknas (dalam Harimansyah, dkk. 2013:1), menemukan
bahwa 61,96% guru SD, SMP, SMA, dan SMK tidak menguasai materi yang diajarkan.
Sementara itu, melalui berbagai penelitian yang terdahulu diketahui bahwa penyebab
utama kegagalan pembelajaran sastra pada umumnya adalah karena gurunya tidak
berkompeten, siswanya kurang berminat, dan fasilitas pembelajarannya sangat terbatas.
Tugas guru dalam proses pembelajaran meliputi tugas menyusun perencanaan
pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, dan melakukan evaluasi.
Dalam
menyusun perencanaan pembelajaran, tugas guru meluti (1) merumuskan tujuan dan
menetapkan kompetensi yang akan dicapai dalam pembelajaran, (2) menyusun bahan
ajar/materi yang akan digunakan sebagai sarana mencapai tujuan, (3) menyusun
penjabaran dan urutan logis dari bahan/materi yang akan diajarkan sebagai dasar
pengembangan media, metode, dan teknik evaluasinya. Berkaitan dengan hal itu telah
dilakukan observasi di lapangan. Fakta menunjukkan bahwa rata-rata prestasi belajar
bahasa (sastra) Indonesia siswa di sekolah masih rendah, bahkan rata-rata nilai UN
bahasa Indonesia lebih rendah dari bahasa Inggris. Sementara itu, dalam proses
pembelajaran, guru belum menyajikan bahan yang menarik. Karya sastra belum
dihadirkan dalam kelas untuk diapresiasi siswa, sehingga siswa belajar sastra hanya
dari sinopsis ceritanya saja. Selain itu, karya sastra yang dibahas bukan merupakan
karya terbaru yang isinya (content) sesuai dengan dunia remaja dewasa ini. Para guru
belum menyajikan bahan ajar yang sesuai dengan perkembangan mental siswa remaja
(adolescent), dan perkembangan teknologi informasi yang akrab dengan kehidupan
siswa. Dengan demikian minat siswa untuk belajat sastra menjadi berkurang/rendah,
demikian pula kompetensinya dalam bersastra.
Melalui penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti tentang ”Bahan Ajar
Sastra dan Pengajarannya yang Relevan dengan KBK” (Nugrahani, 2010) dan
”Pembelajaran Sastra yang Apresiatif dalam Perspektif KBK (Studi Evaluasi di SMA
Surakarta)” (Nugrahani, 2011), diketahui bahan ajar sastra yang digemari siswa adalah
novel yang dikemas dalam berbagai komoditas, seperti film, lagu, drama musikal,
sinetron, dan sebagainya. Selain itu, diketahui pula bahwa media berbasis teknologi
informasi sangat digemari siswa, karena memberi kesempatan untuk bereksplorasi,
berimajinasi, menantang kreativitas, menarik dan mengikuti perkembangan teknologi
sesuai perkembangan zaman.
Berdasarkan temuan pada penelitian terdahulu dan hasil observasi pendahuluan
yang dilakukan di lapangan, maka dipandang penting untuk dideskripsikan model
133
pembelajaran sastra inovatif berbasis media film, yang menarik, serta sesuai
kemampuan, kreatifitas, dan perkembangan intelektual siswa. Adapun tujuan penelitian
ini adalah untuk mendeskripsikan karakteristik model pembelajaran sastra berbasis
bahan ajar dengan media film yang berkontribusi terhadap pendidikan karakter. Dengan
model tersebut diharapkan siswa dapat belajar dengan aktif dan kreatif serta dengan
perasaan senang (enjoy).
Model inovatif yang dideskripsikan dalam penelitian ini diharapkan mampu
memberikan informasi ilmiah baru yang bermakna penting bagi pengajaran sastra,
pengambil kebijakan, dan semua pihak yang peduli terhadap pendidikan. Model
tersebut diharapkan dapat memberikan inspirasi dalam mengubah orientasi
pembelajaran sastra dari pemahaman kognitif menjadi pencapaian kompetensi apresiatif
yang menunjang pendidikan karakter. Adapun karakter yang dituju adalah penciri
bangsa Timur yang ramah, santun dan suka bergotong royong. Dengan harapan itulah
penelitian ini dilakukan, semoga melalui penelitian ini model inovatif pembelajaran
sastra yang dideskripsikan mampu mengantarkan siswa mencapai kompetensinya dalam
bersastra, dan menjadi siswa yang berkarakter.
Kajian Pustaka
Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan berjudul ‘‘Penggunaan Film Bisu dengan Teknik
Dubbing untuk Meningkatkan Kemampuan Menyampaikan Dialog dalam Drama Siswa
Kelas XI IPA di SMA Negeri 2 Jepara’’ oleh I Putu Ari Utama Irawan, I Nyoman
Sudiana, I Wayan Wendra, tahun 2014. Penelitian itu menemukan bahwa siswa
memberikan respons positif terhadap penggunaan film bisu dengan teknik dubbing.
Berdasarkan itu, guru disarankan menggunakan media berupa film bisu dengan teknik
dubbing untuk pelajaran yang menuntut keterampilan (http://jurnal.fkip. uns.ac.id/index
php/tp /article/ view/3662). Penelian yang lainnya lagi berjudul “Pemanfaatan Media
Video Kehidupan Sosial Orang Pinggiran untuk Menstimulisasi Pengembangan Ide
Cerita dalam Menulis Cerpen pada Kelas VII E SMPN 18 Malang” oleh Ridwan Saidi,
tahun 2015, Penelitian itu menemukan bahwa media video bermanfaat bagi peningkatan
kesadaran sosial dan pengembangan ide anak dalam masa perkembangan. Kedua
penelitian tersebut memberikan informasi bahwa media berbasis teknologi audiovisual
seperti film, video, dan sebagainya, efektif diterapkan dalam pembelajaran. Dengan
demikian peneliti berasumsi bahwa media film dengan content sastra dapat
dimanfaatkan dalam pembelajaran sastra yang inovatif.
Pembelajaran Sastra di SMA
Pembelajaran merupakan proses interaksi komunikasi antara pengajar dan
pembelajar sebagai komponen utamanya. Menurut Bruner (dalam Sudjana, 1991:137),
dalam pembelajaran, peserta didik melakukan proses belajar, yaitu mengalami, dan
menemukan pengetahuan baru melalui transformasi dan pengkajian pengetahuan.
Menurut Brown (2001:165), dalam pembelajaran terjadi proses komunikasi interaktif,
bagi pertukaran pemikiran dan perasaan, antara dua orang atau lebih yang menghasilkan
pengaruh bagi keduanya.
Sange (dalam Joyoatmojo, 2003:9), menyampaikan bahwa setiap individu yang
ingin memiliki keunggulan pribadi, perlu belajar. Proses itu dilalui dengan merefleksi
pengalaman dan mentransformasikan menjadi pengetahuan yang bermanfaat. Dalam
belajar, terjadi perubahan menuju lebih baik demi peningkatan kapabilitas dan rasa
percaya dirinya. Dalam konteks ini, belajar dipandang sebagai proses sosial, karena
134
kemampuan belajar seseorang ditentukan oleh kualitas dan sikap keterbukaannya dalam
kerjasama. Proses pembelajaran itu dapat berlangsung jika terdapat tujuan, pembelajar,
pengajar, metode, alat bantú, dan penilaian (Djojosubroto (2005:64).
Menurut Bloom (1977:1), tujuan pembelajaran meliputi tiga ranah, yaitu
kognitif, psikomotor, dan afektif, dan menurut Gagne (1979:49), ada lima macam, yaitu
kemampuan intelektual, memecahkan masalah, keterampilan gerak otot, sikap, dan
informasi. Sementara itu, Moody (1971:91), membaginya menjadi empat macam, yaitu
informasi, konsep, perspektif, dan apresiasi. Dari ketiga rumusan tersebut, menurut
Waluyo (2003:171), yang sering dirujuk dalam pembelajaran sastra adalah rumusan
dari Moody. Menurut Moody (1971:91) tujuan pembelajaran sastra adalah untuk: (1)
membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan budaya, (3)
mengembangkan daya cipta dan rasa, dan (4) menunjang pembentukan watak terpuji.
Sementara itu kurikulum menegaskan bahwa tujuan dari pembelajaran sastra adalah
mempersiapkan siswa untuk tumbuh menjadi manusia berbudaya, dan berkarakter,
sehingga bermanfaat bagi kehidupannya.
Bahan Ajar Sastra Remaja (Adolesen)
Berkaitan dengan pembelajaran anak usia remaja, Elkins (1976:4)
menyampaikan. bahwa pada usia remaja anak sudah mampu menggeneralisasikan
permasalahan, berpikir abstrak, dan memberikan keputusan yang bersangkutan dengan
moral. Pada masa itu perkembangan kognitif anaks mencapai tingkat yang sempurna
bila ditunjang perkembangan kognitif lain, seperti kematangan, pengalaman fisik, dan
interaksi sosial. Sementara itu, Piaget (dalam Sunarto & Hartono, 2002:25), juga
menjelaskan bahwa pada usia remaja anak berada pada tingkat perkembangan
operasional yang mampu memperkirakan apa saja yang mungkin terjadi.
Dengan mengetahui berbagai karakteristik anak pada usia remaja seperti yang
telah diuraikan di atas, maka dalam memilih bahan ajar sastra tentu saja perlu berbagai
karakteristik tersebut. Berkaitan dengan hal ini, Lazar (2002:52), menyampaikan
bahwa dalam memilih bahan ajar sastra
untuk remaja, hendaknya guru
mempertimbangkan kemampuan siswa dalam memahami teks sastra, dan pengalaman
belajar yang menyertai untuk menunjang keterampilannya dalam bersastra.
Disampaikan pula oleh Moody (dalam Rohmadi, 2005:8), bahwa guru perlu melihat
kesesuaian dan kepantasan bahasa (dalam teks sastra) yang akan diajarkan dengan
perkembangan psikologis dan latar belakang sosial budaya siswa. Sementara itu, Sayuti
(1994:21) juga menyampaikan, bahwa ragam sastra yang dapat disajikan sebagai bahan
ajar anak usia remaja dapat berupa apa saja, namun mengingat masa remaja (adolesen)
ditandai dengan kecenderungan perilaku mandiri, idealis, dan moralis, maka tema yang
menarik adalah tema kepahlawanan, percintaan, persaudaraan, dan keagamaan.
Sejalan dengan pendapat para pakar tentang karakteristis siswa remaja, dan
kriteria bahan ajar sastra yang baik, maka dapat disampaikan bahwa bahan ajar sastra
yang cocok untuk usia remaja adalah bahan ajar yang memiliki kriteria berikut. (1)
Karya sastra yang isinya memiliki kesesuaian dengan perkembangan psikologis anak
usia remaja; (2) Karya sastra yang temanya sesuai dengan dunia remaja, misalnya
kepahlawanan, percintaan, persaudaraan, dan keagamaan; (3) Karya sastra yang
bahasanya dapat dipahami oleh anak usia remaja (tidak terlalu berat dan tidak terlalu
sederhana); (4) Karya sastra yang dapat menunjang keterampilan anak dalam bersastra,
misalnya keterampilannya dalam mencipta karya sastra, kritikus sastra, ataupun menjadi
pekerja seni; (5) Karya sastra yang isinya memiliki kesesuaian dan kedekatan dengan
latar belakang sosial budaya siswa.
135
Media Film dalam Pembelajaran Sastra
Dalam pembelajaran sastra, film merupakan media audiovisual yang selama ini
masih jarang digunakan dalam pembelajaran. Melalui media film, guru dapat
menyampaikan pesan dari karya sastra tentang berbagai peristiwa kehidupan berikut
nila-nilainya, melalui kegiatan yang menyenangkan dan tanpa tekanan. Dengan
demikian diharapkan siswa terkesan, dan tertarik untuk belajar sastra.
Bovee (1997:3), menjelaskan bahwa media pembelajaran adalah alat yang
berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Pesan mudah ditangkap siswa bila
disampaikan melalui bantuan sarana penyampai pesan atau media. Menurut Hubbard
(1983:38), media pembelajaran yang baik mampu meningkatkan motivasi siswa untuk
belajar, dan membantu siswa berperan aktif selama pembelajaran.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa media pembelajaran yang kini digemari
siswa adalah media berbasis komputer. Menurut Lee (1996:49), komputer dapat
membantu siswa memperoleh materi otentik, dan termotivasi untuk kreatif belajar
dalam suasana menyenangkan. Menurut Mulyasa (2002:73-76), penggunaan teknologi
sebagai media pembelajaran dapat mendorong peningkatan kesadaran sistem sosial dan
belajar (social awareness & learning awareness). Secara fungsional penggunannya juga
membuat lembaga lebih efektif dalam menyelenggarakan pendidikan, dan
meningkatkan citranya sebagai lembaga yang tanggap tuntutan zaman. Agar penerapan
teknologi multimedia tersebut lebih efektif, rancangan program harus disesuaikan agar
(1) mudah navigasinya, (2) sesuai dengan kebutuhan siswa dalam belajar, (3)
tampilannya artistik, dan estetik, agar menarik minat siswa, dan (4) bersifat fungsional,
sesuai rencana guru dan keinginan siswa serta menunjang pencapaian tujuan sesuai
tuntutan kurikulum.
Pembelajaran adalah proses komunikasi antara pembelajar (murid) dengan
pengajar (guru), dan bahan ajar (materi). Proses komunikasi tersebut tidak dapat
berjalan efektif jika tidak ada sarana penyampai pesan atau disebut dengan media
pembelajaran. Isi pembelajaran dikemas dalam bahan ajar yang disusun berdasarkan
kurikulum yang berlaku, untuk dipelajari siswa dengan bantuan fasilitator, maupun
media dan sumber-sumber lain sehingga dapat dikuasai sesuai tujuan yang diharapkan.
Peran media dalam pembelajaran dapat mempermudah pembelajar dalam
memahami materi dan dalam memperoleh berbagai pengalaman belajar. Melalui media,
pesan-pesan yang abstrak dapat lebih dikonkritkan, sehingga mempermudah pembelajar
dalam memahaminya. Film sebagai salah satu bentuk media audiovisual memiliki
peluang yang besar dalam mempermudah siswa dalam belajar. Pada umumnya film juga
sangat diminati siswa. Film yang diproduksi dengan baik dapat menumbuhkan
motivasi siswa dalam belajar. Sebagai media pembelajaran, film menarik minat siswa
karena film menggambarkan kejadian tertentu secara lebih hidup, dan diperagakan
langsung oleh manusia atau makhluk hidup lainnya, yang ditampilkan sesuai alur
cerita,meskipun tidak semua film cocok untuk media pelajaran. Berbagai kriteria perlu
dipenuhi agar film dapat dikonsumsi oleh siswa, antara lain: (1) memiliki pesan moral
yang baik; (2) cerita yang ditampilkan sesuai dengan kematangan psikologis siswa; (3)
kosa kata yang digunakan dalam dialog film dapat dipahami siswa; (4) menarik.
Hasil Belajar Sastra dan Pendidikan Karakter
Secara jelas kurikulum menuntut pembelajaran sastra bersifat apresiatif, agar
wawasan dan kepekaan perasaan siswa dapat dikembangkan, sehingga siswa memiliki
rasa cinta terhadap sastra, dan sampai pada kesadaran yang lebih baik terhadap diri dan
136
masyarakat sekitarnya. Apresiasi sastra dapat diartikan sebagai kegiatan mengenali,
memahami, dan menikmati pengalaman dan bahasa dalam sastra.
Menurut Suryaman dan Nuradi (2005:15), kompetensi yang perlu dicapai siswa
dalam proses pembelajaran sastra meliputi kompetensi (1) apresiasi, (2) ekspresi, dan
(3) kreasi. Kompetensi tersebut diharapkan terwujud dalam kegemaran siswa
mengapresiasi karya sastra. Sementara itu, kompetensi yang diperlukan guru sastra di
SMA antara lain: (1) mampu mengekspresikan konteks historis sastra, (2)
menghubungkan sastra dengan budaya, (3) menganalisis sastra (4) mengapresiasi
perspektif multikultural serta isu global sastra remaja, dan (5) mengapresiasi sastra
remaja. Selain itu menurut Lazar (2002:55), guru sastra di SMA juga perlu memahami
berbagai genre sastra yang berbeda, seperti misteri (horror), fiksi sejarah, ilmiah, dan
multikultural.
Dalam kurikulum 2006, istilah kompetensi dimaknai dengan perpaduan antara
pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang diharapkan dapat direfleksikan oleh
siswa dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sehingga siswa mampu menemukan jati
dirinya, bersikap, dan berbuat sesuatu yang bermanfaat demi menunjang keberhasilan
hidupnya di tengah masyarakat. Kompetensi merupakan tolok ukur dalam menentukan
kualitas daya saing lulusan dari setiap lembaga pendidikan untuk berkiprah dalam dunia
kerja dan hidup berkualitas di tengah masyarakat dengan karakter yang baik/terpuji.
Karakter adalah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dengan orang lain. Membentuk karakter tentu tidak semudah
memberi nasihat, tetapi memerlukan proses pendidikan, yaitu keseluruhan proses
pembentukan kepribadian melalui pemahaman tentang nilai, dilanjutkan dengan
penanaman nilai-nilai yang telah dipahami melalui pembiasaan, pengulangan, dan
pembudayaan, agar tercermin dalam sikap dan perilaku kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter merupakan proses perkembangan yang melibatkan
pengetahuan, perasaan, dan tindakan, secara koheren dan komprehensif. Oleh karena itu
perlu melibatkan berbagai komponen, yaitu: (1) masyarakat pemegang konsensus tata
krama. (2) pemangku kepentingan,(3) kurikulum terpadu, moral dan etikamenjadi
bagian dalam proses pendidikan, (4) model, dan(5) keterlibatan peserta
didik,dalamkegiatan positif. Dengan perhatian khusus serta komitmen dari semua
komponen niscaya pendidikan karakter terlaksana dengan baik. Melalui pembelajaran
sastra, pendidikan karakter dapat dilaksanakan karena keduanya memiliki tujuan yang
sama.
Metode Penelitian
Data dalam penelitian ini adalah informasi yang berkaitan dengan (1) model
pembelajaran sastra yang efektif, praktis, dan diminati siswa, serta aktifitas,
kreativitas dan prestasi siswa dalam pembelajaran sastra, dan (2) bahan ajar sastra
berbasis media film yang
berkontribusi terhadap pendidikan karakter. Data
dikumpulkan melalui sumber data utama, yaitu proses pembelajaran sastra yang
dilaksanakan di SMA kabupaten Sukoharjo, dengan bahan ajar berbasis media film.
Adapun film yang dimaksud adalah film dengan content novel sastra yang terkenal,
seperti “laskar Pelangi”, “Ayat-Ayat Cinta”, “Ronggeng Dukuh Paruk” dan sebagainya.
Sumber data yang lainnya adalah pustaka dan dokumen yang terdiri dari buku
kurikulum, tayangan film, buku pegangan guru, buku siswa, dan lembar kjegiatan
siswa.
Kredibilitas data diperoleh melalui triangulasi sumber, yaitu dengan mencari
137
informasi yang sama dari berbagai sumber yang berbeda. Selain itu juga dilakukan
triangulasi teori yaitu dengan mencocokkan kesesuaian data yang ditemukan dilapangan
dengan kebenaran dalam teori yang pernah ada sebelumnya (Nugrahani, 2010).
Sementara itu reliabilitas data diusahakan dengan memperpanjang keikitsertaan peneliti
di lapangan, dan penyimpanan database agar sewaktu-waktu siap untuk diperiksa
kembali. Selanjutnya data dianalisis dengan teknik induktif melalui model analisis
interaktif dari Miles & Huberman (2004:23), yang melibatkan tiga komponen meliputi
reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dari hasil observasi, diketahui bahwa pelaksanaan pembelajaran sastra di SMA
di Kabupaten Sukoharjo pada umumnya masih dilakukan dengan media tradisional,
yaitu papan tulis, buku, dan catatan sinopsis karya sastra. Sementara itu, dari pengkajian
terhadap perencanaan pembelajaranya, diketahui bahwa buku ajar yang digunakan di
sekolah disajikan dengan konvensional dan tidak melibatkan kemajuan teknologi yang
sesungguhnya sangat membantu pencapaian keberhasilan pembelajaran.
Keberadaan media internet dalam pembelajaran sastra atau semua media
audiolingual yang berbasis komputer seperti film, video, sinetron, dan sebagainya,
sesungguhnya sangat mudah membantu siswa dalam belajar dan fleksibel dalam ukuran
tempat, waktu, serta biayanya. Namun demikian belum semua sekolah mampu
menyelenggarakan pembelajaran dengan memanfaatkan media berbasis TI tersebut,
termasuk di dalamnya, komputer, internet, video, dan film.
Melalui bahan ajar sastra berbasis media film, guru mendapatkan kemudahan
dalam tugasnya untuk menghadirkan karya sastra untuk dinikmati siswa. Sementara itu,
para siswa juga dapat belajar dalam suasana yang menyenangkan, dengan
mengembangkam aktivitas dan kreativitasnya dalam menikmati karya sastra yang telah
dikemas dalam sebuah film.
Melalui model pembelajaran sastra berbasis media film, terjadi adanya
peningkatan prestasi belajar para siswa. Namun demikian, dipandang perlu adanya
modul khusus yang berupa buku ajar sastra berbasis media film yang dapat digunakan
sebagai panduan guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran. Setelah
modul tersebut disusun, berikutnya perlu dilakukan uji coba sehingga diperoleh modul
bahan ajar yang valid, praktis dan efektif untuk pembelajaran sastra yang berbasis media
film.
Berbagai keuntungan guru dalam memanfaatkan bahan ajar berbasis media film
adalah sebagai berikut. (1) Film sangat bagus untuk menjelaskan proses; (2) Film lebih
realistis dan mengatasi keterbatasan daya indera; (3) Film merangsang motivasi anak;
(4) Film sangat mempengaruhi emosi seseorang; (5) Film dapat dimanfaatkan untuk
pembelajaran kelompok besar maupun kecil.
Pentingnya kehadiran modul sebagai pedoman pembelajaran adalah agar guru
maupun siswa dapat saling memahami peran dan fungsinya masing-masing dalam
proses pembelajaran yang berlangsung. Tanpa buku panduan, barangkali pembelajaran
tidak mudah untuk berjalan efektif. Penyusunan modul bahan ajar sastra berbasis media
film ini diharapkan dapat meningkatkan aktivitas, kreatifitas, dan prestasi belajar sastra
para siswa. Selain itu juga terbentuk karakter siswa sesuai harapan sekolah, dengan cara
banyak melihat contoh-contoh konkrit yang diperankan tokoh dalam film-film sastra
yang dipelajari. Dengan melihat contoh dalam film, siswa tidak sekedar menerima
informasi abstrak yang dibaca dalam buku atau yang didengar melalui nasihat-nasihat
dari para guru.
138
Meskipun banyak keuntungan dalam pemanfaatan film, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan agar pembelajaran dapat berlangsung efektif, antara lain: (1) harga
atau produksi sebuah film cukup mahal; (2) ketika film diputar gambar bergerak terus,
sehingga tidak semua siswa mampu menangkap pesannya dengan cepat; (3) film yang
tersedia tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pembelajaran, oleh sebab itu
guru harus selektif dalam memilih film; (4) guru perlu mempersiapkan kelas dengan
cermat sebelum dan sesudah menyajikan film kepada siswa (sebelumnya perlu
memberikan pengantar dan pesan-pesan penting dan sesudahnya perlu berdialog
ataupun mengadakan tanya jawab).
Simpulan
Dari data yang ditemukan dan pembahasannya, dapat disimpulkan bahwa (1)
pembelajaran sastra berbasis media film merupakan model pembelajaran yang efektif,
praktis, dan diminati siswa, karena memberikan peluang bagi siswa untuk
meningkatkan aktivitas, mengembangkan kreativitas, dan prestasi belajarnya. (2)
Pembelajaran sastra berbasis media fim dapat memberikan kontribusi terhadap
pembentukan karakter siswa, karena tujuan pembelajaran sastra relevan dengan tujuan
dalam pendidikan karakter, yaitu siswa mampu menemukan jati dirinya, bersikap, dan
berbuat sesuatu yang bermanfaat demi menunjang keberhasilan hidupnya di tengah
masyarakat dengan karakter yang baik/terpuji.
Daftar Rujukan
Bloom, Benyamin S. 1977. Taxonomy of Educational Objectives.Vol.I Cognitive
Domain. New York: Longman
Brown.H.D. 2001.Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language
Pedagogy. (2 nded.). New York: Addison Wesley Longman, Inc.
Djojosuroto, Kinayati 2005. Puisi Pendekatan dan Pembelajaran, Gestal, Strukrural,
Strukturalisme Genetik, Semiotik, Resepsi Sastra, Analisis Wacana. Bandung:
Nuansa.
Ekins, Deborah. 1976. Teaching Literature. Ohio: Charles Merrill & Publishing Co.
Gagne, Robert M.dan Leslie J. Briggs. 1979. Principles of Instructional Design. New
York: Holt, Rinehart and Winston.
Harimansyah, Ganjar. Marliana, Lina. dan Widodo, Edi Rakhmat. 2014. “Uji
Kompetensi Guru Bidang Sastra di SMA Perlu atau Tidak?” Makalah dalam
Konferensi Internasional Himpunan Sarjana Kesusasteraan (HISKI) di
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
Irawan, I Putu Ari Utama, I Nyoman Sudiana, I Wayan Wendra 2014.‘‘Penggunaan
Film Bisu dengan Teknik Dubbing untuk Meningkatkan Kemampuan
Menyampaikan Dialog dalam Drama Siswa Kelas XI IPA di SMA Negeri 2
Jepara’’ (Diakses 21 April 2015).
Joyoatmojo, Soetarno. 2003. Pembelajaran Efektif: Upaya Peningkatan Kualitas
Lulusan Menuju Penyediaan Sumber Daya Insani yang Unggul. Pidato
Pengukuhan Guru Besar FKIP Universitas Sebelas Maret. Surakarta: INS
Press.
Lazar, Gillian. 1993. Literature and Language Teaching, Answer Guide Teachers and
Trainers.United Kingdom: Cambridge University Press.
139
Miles, M.B. & Huberman, A.M. 1984.Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New
Methods. Beverly Hills: Sage Publication.
Moody, H.L.B. 1971. Theaching of Literature. London: Longman.
Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan
Implementasinya. Bandung: Rosda.
Nugrahani, Farida. 2009. “Sastra Adolesen: Konsep Pembelajarannya di Sekolah”
Dalam Proseding Panorama Pengkajian Bahasa, Sastra dan Pengajarannya.
Surakarta: PPs dan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS Surakarta
-------. 2010. ”Bahan Ajar Sastra dan Pengajarannya yang Relevan dengan Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) 2004”. Laporan Penelitian LPPM Univet
Bantara.
-------. 2011. ”Pembelajaran Sastra yang Apresiatif dalam Perspektif KBK (Studi
Evaluasi di SMA Surakarta)” Laporan PenelitianLPPM Univet Bantara.
-------.2014.“Laskar Pelangi Novel By Andrea Hirata as Acreative Industry and
Educative Media (A Review of Sociologi Literature)”, Makalah Seminar
Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara (SAKAT) di Dewan Bahasa dan
Pustak Berakas Negara Brunai Darussalam, 15-19 Sept 2014
Rohmadi, Muhammmad. 2005. “Kaderisasi dan Motivasi Menulis dalam Pembelajaran
Sastra di Sekolah/ Kampus”. Makalah dalam Konferensi Internasional
Himpunan Sarjana Kesusasteraan (HISKI), 18-21 Agustus 2005 di Swarna
Dwipa Palembang.
Saidi, Ridwani. 2015, ‘’Pemanfaatan Media Video Kehidupan Sosial Orang Pinggiran
untuk Menstimulisasi Pengembangan Ide Cerita dalam Menulis Cerpen pada
Kelas VII E SMPN 18 Malang’’ (http://e- journal.umm .ac.id/index.
php/jps/article/view/1964). (Diakses 21 April 2015).
Satoto, Sudiro. 2006.”Profil dan Profesionalisme Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
yang Ideal dalam Perspektif Pergaulan Antarbangsa” dalam Kumpulan
Makalah Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia dalam
Perspektif Pergaulan Antarbangsa PIBSI XXVIII Tanggal 2-4 Juli 2006.
Semarang: IKIP PGRI.
Sudjana, Nana. 1991. Teori-teori Belajar Untuk Pengajaran. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sayuti, Suminto A. 2002. “Sastra dalam Perspektif Pembelajaran: Beberapa Catatan”,
dalam Riris K. Toha-Sarumpaet (Ed). Sastra Masuk Sekolah. Magelang:
Indonesiatera.
Sunarto & Hartono, Agung. 2002. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional dan PT Rineka Cipta.
Suryaman, Maman dan Nuradi, Felicia. 2005. Pedoman Review Buku Teks Bahasa dan
Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Perbukuan.
Syaefuddin, Ahmad. 2012. ‘’Pengembangan Model Pembelajaran Menulis Argumentasi
Siswa SMA Melalui Dukungan ICT’’.(Diakses 21 April 2015).
Waluyo, Herman J. 2003. Drama Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita.
140
YANG REKAT DAN YANG RETAK:
SASTRA DAN SOLIDARITAS BANGSA
Faruk
(FIB Universitas Gadjah Mada Yogyakarta – Indonesia)
Pengantar
Bahwa bahasa Indonesia telah menjadi pengikat persaudaraan bangsa Indonesia,
menjadi salah satu kekuatan utama dalam terbangunnya solidaritas bangsa Indonesia
dalam melawan penjajah Belanda sudah menjadi pengetahuan umum, kebenaran yang
tidak dapat lagi diganggu-gugat. Kesadaran akan kemampuan bahasa Indonesia sebagai
pemersatu berbagai suku yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara itulah yang
menggerakkan para pemuda di masa kolonial Belanda dahulu untuk menyatakan ikrar
yang disebut Sumpah Pemuda: berbangsa satu, bertanah air satu, berbahasa satu,
Indonesia. Hal itu pula yang kemudian menggerakkan sejumlah pemuda mendirikan
sebuah majalah kebudayaan yang dinamakan Pujangga Baru, sebagai salah satu jalan
keluar dari lembaga penerbitan pemerintah Belanda, Balai Pustaka. Dan, para pengelola
dan penulis di majalah inilah yang juga menjadi penyambut yang sangat antusias
terhadap peristiwa yang kemudian disebut sebagai Polemik Kebudayaan oleh Achdiat
Kartadimadja.
Namun, “jalan sudah bertahun kita tempuh”, mungkinkah “perahu itu kan
merapuh?”.42 Seperti yang salah satunya terungkap dalam puisi Chairil Anwar di atas,
segera setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, masyarakat Indonesia harus
42
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cahiril Anwar
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri,
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar,
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang,
di angin mendayu,di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?
!Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri
141
berhadapan dengan berbagai kenyataan baru yang tidak semanis apa yang dibayangkan
dan sekaligus menggerakkan para pemuda di zaman penjajahan Belanda yang waktu itu
belum lama berlalu. “Di sanalah aku berdiri,” kata salah satu baris lagu kebangsaan kita,
Indonesia Raya, masih memperlihatkan bahwa semangat para pemuda di masa kolonial
itu masihlah merupakan semangat yang idealistik. Apa yang dinamakan Indonesia raya
masih berada di sana, sedangkan aku yang menyanyi masih hidup dalam dominasi dan
represi pemerintah kolonial. Dan, begitu sang “aku” benar-benar sudah berada di dunia
ideal itu, Indonesia menjadi nyata begitu diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohamad
Hatta di bulan Agustus, tahun 1945, berbagai masalah yang tidak terduga sebelumnya
bermunculan.
Sebenarnya, berbagai masalah itu tidak muncul dengan tiba-tiba. Keterpecahan
antara kelompok Humanisme Universal, para pendukung Chairil Anwar, dengan
kelompok yang menamakan dirinya Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang
berkekecenderungan sosialis/komunis dalam orientasi ideologis mereka sudah berbenih
sejak zaman kolonial. Begitu juga munculnya berbagai gerakan separatis yang berbasis
keagamaan Islam ataupun kedaerahan. Pertama, pada masa kolonial sudah terjadi
polemik antara pihak nasionalis yang diwakili oleh Soekarno dengan pihak komunis
yang kemudian mencapai semacam kompromi dalam bentuk gagasan presiden pertama
Indonesia itu mengenai “nasionalisme sebagai jembatan emas menuju sosialisme”.
Selain itu, terjadi juga polemik antara Soekarno sebagai representasi nasionalisme
dengan Agus Salim sebagai pendukung pan-Islamisme. Kesepakatan ideologis dalam
polemik ini pun seakan sudah berhasil dicapai dengan konsep salah seorang perintis
kebangkitan kebangsaan Indonesia itu mengenai nasionalisme yang dijiwai oleh roh
Asia, ketuhanan. Masa berbenihnya persoalan tersebut masih dapat bahkan ditarik ke
masa yang lebih awal, ke satu generasi sebelumnya, yaitu generasi Tjokroaminoto, Ki
Hadjar Dewantara, dan sebagainya.
Karena tidak mau menyisakan bekas kekuasaan Belanda di Indonesia, Jepang
“memaksa” tidak hanya berbagai lembaga pemerintahan kolonialnya, melainkan,
dengan sendirinya, seluruh bangsa Indonesia menggunakan bahasa Indonesia. Dalam
hal ini Jepang telah mendirikan semacam badan pengembangan bahasa Indonesia yang
terus berlanjut hingga sekarang, yaitu Badan Bahasa Indonesia. Dengan dukungan
berbagai kegiatan yang antara lain berupa serangkaian kongres bahasa Indonesia yang
juga terus berlangsung sampai saat ini, bahasa Indonesia semakin berkembang dengan
pesat dan juga semakin tersebar secara meluas. Meskipun demikian, bersamaan dengan
itu solidaritas kebangsaan Indonesia juga terus-menerus menghadapi berbagai
tantangan, baik dalam berbagai bentuk gerakan separatis seperti Aceh dan Papua yang
memakan waktu relatif panjang, maupun tantangan yang berupa peristiwa sedahsyat apa
yang dikenal sebagai G30S/PKI dengan berbagai efek lanjutannya, yang juga belum
terselesaikan hingga sekarang.
Lalu, bagaimana kita dapat mengidentifikasi kekuatan bahasa Indonesia sebagai
pembangun solidaritas bangsa Indonesia? Tentu kita tidak boleh mengabaikan
kenyataan bahwa faktor pembentuk solidaritas bangsa tidak hanya kesatuan bahasa,
yaitu bahasa Indonesia, melainkan juga banyak faktor yang lain seperti kesamaan atau
kesetaraan ekonomi, politik, sosial, dan bahkan kultural, termasuk di dalamnya
pengetahuan, yang membutuhkan pula dukungan teknologi. Tanpa adanya hubungan
timbal-balik antara bahasa Indonesia dengan berbagai faktor di atas, solidaritas bangsa
Indonesia tentu tidak akan dapat terbangun dengan sempurna atau sepenuhnya. Karena
bahasa pada hakikatnya merupakan sesuatu yang simbolik, secara sederhana faktorfaktor yang lain dapat kita sebut sebagai “kenyataan”. Oleh sebab itu, berbicara
142
mengenai hubungan timbal balik antara bahasa dengan faktor-faktor di atas bisa pula
dinamakan sebagai hubungan timbal-balik antara bahasa dengan “kenyataan”.
Bahasa dan “Kenyataan”
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pada dasarnya adalah semen atau lem
yang berfungsi untuk menyambung retakan-retakan dalam kenyataan. Retakan yang
pertama adalah retakan geografis yang berupa tersebar dan terpisah-pisahnya pulaupulau di Indonesia. Kesenjangan geografis ini setidaknya menghambat terjadinya
interaksi sosial dan komunikasi antara penduduk pulau yang satu dengan pulau yang
lain. Meskipun sejak zaman kolonial sudah digunakan sebagai bahasa birokrasi, juga
bahasa perdagangan, bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia tersebut
masih terlalu tipis untuk merekatkan retakan-retakan tersebut. Interaksi bahasa
Melayu/Indonesia dengan bahasa daerah tidak hanya membuat bahasa yang terdahulu
itu memberikan pengaruh yang asimilatif, melainkan juga harus melakukan akomodasi
dengan bahasa setempat. Kecenderungan demikian membuat bahasa Melayu/Indonesia
kemudian membentuk diri menjadi dialek-dialek yang beraneka dan menjadi kekuatan
solidaritas masyarakat daerah yang bersangkutan. Sebagai bahasa pasar, bahasa
Melayu/Indonesia hanya memoles lapisan permukaan dari retakan-retakan itu, tidak
dapat meresap ke wilayah kehidupan yang lebih intim dan personal, membentuk nilainilai dan cara pandang baru, yaitu nilai-nilai dan cara pandang nasional. Hampir bisa
dipastikan bahwa bahasa Melayu/Indonesia dalam kondisi yang demikian sekedar
menjadi bahasa yang dapat dikatakan seremonial, tekstual, dan imajinatif.
Retakan yang kedua adalah retakan sosial. Tidak bisa diingkari bahwa
masyarakat, baik dalam skala nasional maupun lokal, tersusun dari beberapa
pengelompokan yang tersusun secara hierarkis. Pengelompokan itu dapat berbasis
keturunan, pengetahuan, ekonomi, maupun gaya hidup. Sebagaimana yang sudah kita
ketahui bersama, mereka yang terlibat dalam kesepakatan untuk berbangsa, bertanah air,
dan berbahasa Indonesia pada dasarnya berasal dari kelompok intelektual yang bisa
merupakan pengembangan dari pengelompokan berbasis keturunan atau ekonomi.
Karena, pada masa kolonial itu hanya mereka yang berasal dari keturunan bangsawan
dan saudagar yang mampu menempuh pendidikan modern, apalagi untuk itu mereka
sebagian besar harus merantau ke Jawa. Ketika bahasa Melayu/Indonesia dijadikan
sebagai bahasa birokrasi, bahkan bahasa pendidikan, kecenderungan demikian tidak
dengan sendirinya lenyap. Bagaimanapun, hanya kelompok intelektual pula yang bisa
masuk ke sekolah yang relatif tinggi dan masuk ke lingkungan birokrasi itu. Dalam hal
ini pun bahasa Melayu/Indonesia harus melakukan akomodasi pula sehingga
berkembang menjadi dialek sosial yang berfungsi sebagai pembeda antara kelompok
sosial yang satu dengan yang lain, yang seringkali tersusun secara hierarkis pula.
Mereka yang berada di lapisan elit menggunakan bahasa Melayu Tinggi, bahasa
Indonesia baku, sedangkan yang lain menggunakan dialek geografis/kewilayahan.
Retakan ketiga, yang sebenarnya masih bisa dimasukkan ke dalam retakan sosial,
adalah retakan kultural yang menyangkut cara pandang terhadap kehidupan, termasuk
sistem kepercayaan atau keagamaan. Di satu pihak terhadap agama-agama asing yang
justru kemudian diakui sebagai agama resmi, yang masuk dan menyebarkan dirinya ke
komunitas-komunitas lokal dengan menggunakan bahasa Melayu/Indonesia, di lain
pihak terhadap agama-agama setempat yang disebut sebagai aliran kepercayaan yang
menjadi kesatuan integral dengan masyarakat dan kebudayaan setempat itu, termasuk
bahasa-bahasanya. Di antara agama-agama resmi sendiri berkembang semacam dialek
143
bahasa Melayu/Indonesia dengan adanya penggunaan istilah atau terminologi yang khas
pada masing-masing agama. Terdapat pula pengaruh bahasa dari bahasa asal agamaagama itu sendiri, yang juga terkait dengan sejarah penyebarannya, misalnya bahasa
Arab atau logat Melayu Eropa/Belanda.
Memang, Pemerintah, yang diwakili oleh lembaga-lembaga bahasanya, terutama
lembaga yang bernama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang kemudian
menjadi Badan Bahasa, menyadari adanya kemungkinan variasi bahasa itu. Tidak hanya
variasi yang berupa dialek geografis dan sosial, melainkan juga variasi yang di dalam
ilmu bahasa disebut sebagai pragmatik. Bahasa Indonesia yang standard disebut sebagai
bahasa yang benar, sedangkan yang pragmatik disebut sebagai bahasa Indonesia yang
baik. Meskipun demikian, mungkin karena semangat nasionalisme yang begitu besar,
mungkin juga karena pengaruh hegemoni strukturalisme dalam ilmu bahasa yang
global, lembaga yang mewakili pemerintah tersebut tampaknya tidak menyadari bahwa
apa yang disebut sebagai bahasa yang baik, yang gramtikal itu, sesungguhnya adalah
konstruksi abstrak dari para pembina dan pengembangnya atau, secara lebih umum, para
ahli bahasa struktural itu. Kalaupun ada dasar empiriknya, dasar tersebut mungkin sekali
hanya salah satu dialek dari berbagai dialek yang ada, yaitu dialek intelektual. Dialek
intelektual inilah yang kemudian dinyatakan sebagai bahasa standard dari bahasa
nasional Indonesia.
Sastra, Bahasa, dan “Kenyataan”
Meskipun hingga sekarang belum ditemukan dan disepakati definisi general
mengenainya, sastra setidaknya mempunyai dua ciri yang bisa dikatakan niscaya, yaitu
sebagai (re-)konstruksi personal seorang pengarang terhadap bahasa, fakta-fakta, dan
gagasan-gagasan. Teori yang menjadikan seni kebahasaan sebagai hal yang
fundamental/esensial dari sastra adalah teori Formalis Rusia yang muncul pada awal
abad XX. Menurut teori ini, kesastraan suatu karya sastra dicapai melalui tindakan
deotomatisasi terhadap bahasa yang sudah mengalami otomatisasi, baik yang berupa
bahasa standard maupun bahasa yang disebut sehari-hari. Deotomatisasi itu dilakukan
untuk mendapatkan efek penyegaran persepsi pengguna bahasa tidak hanya terhadap
kehadiran bahasa itu sendiri, melainkan terhadap lingkungan alamiah dan
manusiawinya. Dengan pengertian yang demikian tampak bahwa bagi paham tersebut
sastra berusaha membawa pembaca atau audiensnya kepada dunia pengalaman yang
langsung, yang bebas dari mediasi bahasa, terhadap lingkungan alamiah dan kultural di
atas.
Tujuan untuk memperoleh dan sekaligus memberikan dunia pengalaman yang
langsung, tanpa mediasi itulah, yang tampaknya membuat sastra pertama-tama menjadi
karya kebahasaan dengan fungsi estetik yang dominan.43 Karena dominasi fungsi-fungsi
43
Istilah fungsi estetik ini diambil dari Rene Wellek dan Austin Warren. Namun, terutama
Wellek sendiri jelas mengambilnya dari lingkungan akademik asalnya, yaitu lingkungan yang
disebut strukturalisme Praha, khususnya teori Roman Jakobson mengenai fungsi puitik. Menurut
Jakobson, sebagai alat komunikasi bahasa terdiri dari 6 unsur, yaitu unsur pengirim, unsur
penerima, unsur saluran, unsur dunia yang diacu/acuan, unsur kode atau tata bahasa, dan unsur
media atau bahan. Keenam unsur untuk menentukan terbentuknya enam fungsi bahasa, yaitu
fungsi ekspresif, fungsi konatif, fungsi fatik, fungsi referential, fungsi gramatikal, dan fungsi
puitik. Pidato dan iklan, misalnya, merupakan tindakan komunikasi bahasa dengan fungsi konatif
yang dominan, sedangkan puisi atau karya sastra merupakan tindakan komunikasi bahasa dengan
fungsi puitik yang dominan. Fungsi puitik inilah yang disebut Wellek dengan fungsi estetik.
144
bahasa yang lain, fungsi estetik bahasa ini seringkali tidak disadari, tidak lagi
terpersepsi. Kenyataan di luar bahasa seakan diakses secara langsung, tanpa mediasi
bahasa. Untuk menyegarkan kembali persepsi mengenai materialitas bahasa itulah sastra
memberikan tekanan pada fungsi estetik.
Namun, sastra tidak hanya bertujuan untuk membuat pengguna bahasa
mengalami medianya, melainkan juga mengalami secara langsung kenyataan di luar
media itu. Pada dasarnya, sebagaimana yang antara lain dikemukakan oleh Umberto
Eco, bahasa merupakan suatu sistem kodifikasi terhadap kenyataan di luar dirinya.
Segala yang ada di dalam bahasa adalah semua yang sudah terkodifikasi. Dengan
demikian, realitas luar bahasa yang ditangkap melalui bahasa tidak lagi ditangkap secara
langsung, melainkan berdasarkan kodifikasi bahasa itu. kecenderungan inilah yang
membuat persepsi pengguna bahasa terhadap kenyataan luar bahasa itu juga menjadi
tumpul, hilang dalam persepsi. Yang ditangkap bukanlah kenyataan dunia pengalaman
yang langsung, melainkan dunia pengalaman yang sudah dibakukan sosok dan
maknanya oleh bahasa. Untuk mengatasi terjadinya penumpulan persepsi atas dunia
pengalaman tersebut, sastra kemudian mencoba membebaskan diri dari sistem
kodifikasi bahasa yang ada, tidak hanya dengan menekankan materialitas bahasa itu
sendiri, melainkan juga dengan merusakkan kode bahasa dan bekerja dengan dan dalam
sistem kodifikasi yang lemah atau undercoding dalam istilah dan pengertian yang
diberikan oleh Umberto Eco. Sesuai dengan sistem kodifikasinya tersebut, sastra,
menurut Eco termasuk dalam tipe tanda yang khas, yaitu yang disebutnya sebagai
abduksi.44
Apa yang dinamakan dengan fakta pada dasarnya bukanlah dunia pengalaman
langsung itu sendiri, melainkan produk dari satu sitem kodifikasi pula, yaitu misalnya
sistem kodifikasi kultural masyarakat tertentu ataupun sistem kodifikasi kultural disiplin
ilmu tertentu. Oleh karena itu, fakta di dalam karya sastra diperlakukan juga seperti
bahasa, yaitu dideotomatisasi dari konsepsi dominan mengenai peristiwa atau dunia
pengalaman langsung yang diacunya. Dengan merusakkan sistem kodifikasi yang
menghasilkan fakta itu, sastra mengembalikan fakta menjadi peristiwa yang dialami
secara langsung. Mungkin hal inilah yang menyebabkan karya sastra juga disebut
sebagai karya imajinatif. Istilah imajinatif ini, dalam konteks kesastraan,
mengimplikasikan sekaligus dua makna, yaitu peristiwa di dalam karya sastra
dilepaskan dari faktualitasnya dan imaji merupakan cara representasi yang selalu
digunakan oleh karya tersebut. Begitu pula halnya dengan gagasan. Sifat ambiguitas
makna karya sastra tidak hanya karena makna itu ditarik langsung dari peristiwa,
melainkan juga karena sastra berusaha membuat sistem kodifikasi yang merupakan cara
pandang atau gagasan itu juga mengalami deotomatisasi.
Adapun yang dimaksudkan adalah tindakan komunikasi bahasa dengan pengutamaan unsur media
atau materialitas bahasa itu sendiri. Dengan kata lain, dengan mengutamakan fungsi puitik, karya
sastra menjadikan bahasa bukan terutama sebagai ekspresi, usaha mempengaruhi, mengacu pada
dunia di luar dirinya, sesuatu yang berada di luar materialitas bahasa, melainkan materialitas
bahasa itu sendiri sebagai sesuatu yang dapat dialami secara langsung.
44
Di dalam logika dikenal dua cara penarikan kesimpulan, inferensi, atau penentuan makna, yaitu
induksi dan deduksi. Yang kedua adalah cara penarikan kesimpulan mengenai sesuatu yang
khusus, partikular, atas dasar pengertian yang general, sedangkan yang pertama adalah cara
penarikan kesimpulan secara umum atas dasar sejumlah pengalaman akan hal-hal yang khusus
atau partikular. Abduksi berada di antara kedua cara tersebut, yaitu penarikan kesimpulan secara
umum atas dasar satu pengalaman yang khusus. Artinya, penentuan makna dalam sastra ditarik
dari kekhususan dunia pengalaman yang tunggal meloncat ke makna yang general/universal.
145
Sastra, Bahasa, dan Solidaritas Bangsa
Meskipun berusaha keluar dari sistem kodifikasi bahasa untuk mendapatkan
dunia pengalaman secara langsung, sastra tetaplah seni bahasa dan karenanya tidak bisa
keluar dari bahasa jika ia tidak mau kehilangan dirinya sebagai sastra itu sendiri. Dalam
hal ini sastra menjadi bersifat paradoksal, yaitu di satu pihak ingin membebaskan bahasa
dari makna, dengan memasuki materialitas bahasa itu sendiri secara langsung, fungsi
estetiknya, tetapi, di lain pihak, sastra juga tetap tidak bisa keluar dari makna karena,
seperti yang antara lain dikatakan oleh Roland Barthes, sastra atau mitos merupakan
sistem semiotik tatanan kedua, dibangun di atas dasar bahasa sebagai sistem semiotik
tatanan pertamanya.45 Paradoksnya yang lain adalah bahwa di satu pihak sastra ingin
membuka akses langsung kepada dunia pengalaman tanpa mediasi, tetapi, di lain pihak,
sastra juga tidak bisa membebaskan dirinya dari medianya, yaitu bahasa.
Namun, rangkaian paradoks tersebut tidak dengan sendirinya membuat satuansatuan yang bertentangan itu saling menihilkan. Antara materialitas tanda dengan
makna, antara bahasa sebagai media dengan dunia pengalaman yang ingin dihadirkan
oleh sastra itu terdapat hubungan yang bisa dikatakan dialektik. Dengan dihadapkan
pada dunia pengalaman yang langsung, partikular, sistem bahasa terus-menerus ditekan
untuk menjadi aktif dalam tindakan kodifikasi hal-hal yang baru yang pada gilirannya
akan membuatnya menjadi lebih kaya dan dapat menjangkau wilayah makna yang
semakin luas, semakin bervariasi, dan semakin kompleks. Sebaliknya, dengan adanya
sistem kodifikasi bahasa, sastra dengan mudah dapat mengidentifikasi wilayah-wilayah
asing yang belum terpetakan oleh sistem kodifikasi tersebut.
Dengan cara kerja yang seperti itu sastra menjadi pisau pengasah yang dapat
membuat suatu sistem bahasa yang general dan abstrak menjadi peka terhadap satuansatuan dunia pengalaman yang khusus, konkret, dan bervariasi. Sastra menjadi semacam
radar bagi bahasa untuk mengidentifikasi segala retakan dalam kenyataan seperti yang
sudah dikemukakan di atas sehingga bahasa itu segera menyadari keterbatasannya dan
terpacu untuk membuat dirinya menjadi perekat tidak hanya bagian-bagian permukaan
dari retakan itu, melainkan juga bagian dalamnya. Lebih jauh, tidak hanya bahasa yang
terpacu untuk lebih aktif melakukan perekatan, melainkan juga lembaga-lembaga sosial
yang lainnya, yang tergolong dalam wilayah kenyataan dan fakta di atas. Kepekaan
sastra terhadap berbagai keretakan yang mungkin tidak termonitor oleh sistem
kodifikasi bahasa dan sistem dari lembaga-lembaga sosial yang lain dapat mendorong
sekaligus usaha-usaha minimalisasi keretakan dalam “kenyataan” tersebut.
Berikut dapat kita simak sebuah puisi Chairil Anwar di bawah ini.
Senja Di Pelabuhan Kecil
Buat Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.
45
Bila di dalam makalah ini bahasa dan sastra dipahami sebagai sebuah sistem semiotik, hal itu
berarti bahwa bahasa dan sastra itu merupakan satu mekanisme tertentu yang memungkinkan
terjadinya korelasi antara penanda dengan petanda, materialitas bahan dengan maknanya seperti
yang dikemukakan oleh Umberto Eco.
146
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyisir semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap.
1946
Salah satu penyimpangan dari tata bahasa Indonesia baku yang dianggap penting
dalam puisi tersebut adalah penggunaan frasa “ini kali”. Ada dua hal yang
terimplikasikan dari penyimpangan tersebut. Pertama, klausa tersebut menunjukkan
bahwa puisi di atas menekankan dirinya pada kekhususan dunia pengalaman yang
langsung, yang ada dalam ruang dan waktu tertentu. Sebagaimana yang kita ketahui
bersama, “ini” merupakan kata penunjuk atau indeksikal sehingga kata tersebut tidak
memuat pengertian abstrak, melainkan menunjuk kepada ruang dan waktu tertentu yang
ada di luar bahasa, yaitu dunia pengalaman langsung di atas. Kedua, frasa tersebut
sebenarnya tidak sepenuhnya tidak gramatikal. Hanya saja, gramatikanya bukan
gramatika bahasa Indonesia baku yang general, melainkan bahasa Indonesia dialek yang
khas masyarakat bahasa wilayah Indonesia Timur. Dengan kata lain, melalui frasa itu
saja puisi di atas sudah memaksa bahasa Indonesia baku untuk secara aktif mengenali
dan kemudian mengakomodasi keretakan kebahasaan dan bahkan sosial secara
geografis. Di samping tentu saja memaksa sistem kodifikasi bahasa yang abstrak untuk
memasuki dunia pengalaman yang konkret dan langsung.
Dunia pengalaman yang digambarkannya sendiri merupakan dunia pengalaman
yang mengandung sejumlah keretakan, yaitu keretakan dalam hubungan personal yang
berupa cinta, keretakan dalam hubungan antara manusia dengan alam, dan keretakan
dalam hubungan antara individu dengan masyarakat, serta bahkan keretakan dalam
hubungan antara ruang di sana dengan di sini, masa kini dengan masa depan. Hanya saja
berbagai keretakan yang lain itu ditarik secara abduktif dari keretakan partikular yang
intim, yaitu hubungan cinta yang bersifat personal di atas. Puisi yang berangkat dari
kesunyian akibat hubungan personal itu meloncat menjadi gambaran mengenai
kesunyian yang lebih umum, ketika manusia terlepas dari hubungan harmonisnya
dengan alam, dengan sesama, dan terpenjara dalam masa kini yang tanpa harapan.
Cinta merupakan kata kunci dalam puisi tersebut. Karena, segala kesunyian yang
meluas di atas bermula dari “tak ada lagi yang mencari cinta”, hilangnya kepercayaan
pada cinta yang justru menjadi perekat dalam segala bentuk keretakan yang ada. Dan
sastra merupakan wacana yang bisa dikatakan paling sensitif terhadap ada dan tak
adanya cinta itu, terus menerus mengingatkan dan mengundang uluran cinta sesama,
tidak hanya sesama warga bangsa, melainkan bahkan sesama manusia dan sesama
makhluk. Kepekaan pada cinta itulah yang membuat sastra sekaligus sangat sensitif
terhadap segala keretakan, saat-saat dan keadaan tanpa cinta. Dan bahasa, sebagai alat
komunikasi, harus kembali kepada sangkan parannya, yaitu cinta sebagai perekat segala
keretakan.
147
MEMBUKA PARADIGMA “KEBANGSAAN”:
KAJIAN TERHADAP OMEROS, KARYA DEREK WALCOTT
Gabriel Fajar SA
(Universitas Sanata Dharma Yogyakarta – Indonesia)
Abstrak: Omeros adalah karya Derek Walcott, seorang penerima Hadiah Nobel Bidang
Kesusastraan tahun 1990, dan di sini terungkap bagaimana masyarakat atau bangsa
Karibia mencoba menata diri dalam membangung identitas kebangsaannya. Latar
belakang masyarakat Karibia sangat unik, yakni sebagai masyarakat poskolonial yang
terdiri atas beragam etnik dan tidak memiliki identitas nenek moyang yang tunggal.
Artinya, dari satu sisi mereka harus berjuang memerdekakan diri dari hegemoni bekas
penjajahnya dan di sisi lain juga harus berjuang untuk menegosiasi identitas di antara
beragam etnik. Dalalm konteks inilah Omeros hadir untuk membuka paradigma tentang
identitas kebangsaan yang menitikberatkan pada kepentingan “masa depan” dan yang
berupaya untuk tidak terjebak oleh sejarah atau “masa lalu.” Omeros memaparkan
kebersatuan dua macam “bahasa.” Dari satu perspektif ini adalah bahasa masyarakat
penjajah atau asing dan bahasa masyarakat terjajah atau lokal, dan perspektif lain
melihatnya sebagai perpaduan bahasa masa lalu dan bahasa masa kini. Secara menarik
Omeros mengungkapkannya sebagai masyarakat dari Dunia Baru atau New Eden. Dunia
Baru adalah bahasa dekonstruksi terhadap ideologi penjajah, sedangkan New Eden
adalah bahasa manusia baru yang sudah terbebas dari perangkap “ular” musuh utama
yang abadi.
Kata-kata kunci: Karibia, mitologi, identitas, Dunia Baru, New Eden
Pengantar
Masyakarat Karibia pada dasarnya lahir sebagai masyarakat poskolonial karena
latar belakang sejarah pembetukannya memang baru dimulai sejak masa dekolonisasi,
kecuali masyarakat atau bangsa Haiti.46 Hal ini tidak terlepas dari kondisi ketika
berbagai bangsa Eropa berlomba-lomba mencari dan menguasai koloni di kawasan
Karibia. Bagi mereka ini Karibia adalah “dunia baru,” yakni koloni jajahan di luar Asia
dan Afrika, dan sejarah juga mencatat bahwa di masa-masa awal penjajahannya para
penjelajah memusnahkan hampir seluruh masyarakat asli di Karibia (Robin Cohen,
2001: 137). Demi kepentingan ekonomi bagi pabrik-pabrik yang dibangun para penjajah
tersebut akhirnya mendatangkan tenaga kerja dari luar, terutama dari Afrika. Peristiwa
Triangle of Misery 47 (DH Figueredo and Frank Argote-Freyre, 2008: 83) menjadi bukti
nyata sejarah bagaimana bangsa-bangsa Eropa menempatkan diri sebagai bagian
“superior” dibandingkan dengan daerah-daerah jajahan atau koloni mereka, karena di
sini manusia budak menjadi objek perdagangan. Latar belakang sejarah semacam ini
46
Meskipun menjadi bagian dari masyarakat Karibia secara umum, Haiti merupakan bangsa yang
merdeka sejak tahun 1804 (DH Figueredo and Frank Argote-Freyre, 2008:91)
47
Triangle of Misery adalah jalur perdagangan manusia/budak dari Afrika ke Eropa dan ke
Amerika
148
menjadi acuan bagaimana masyarakat Dunia umumnya memahami realitas yang terjadi
dan dialami Karibia, yakni sebagai kawasan yang dihuni oleh “pendatang” sehingga
proses pembentukan bangsa-bangsa pada era dekolonisasi memiliki beban ganda. Di
satu sisi mereka harus melepaskan diri dari cengkeraman dan hegemoni penjajah, dan di
sisi lain mereka harus “membangun” juga identitas tunggal, sebagaimana bangsa-bangsa
yang memiliki satu nenek moyang sebagai identitas kulturalnya.
Permasalahan identitas tunggal tersebut hadir sebagaimana dinamika sejarah
kolonisasi di kawasan Karibia tersebut. Pengangkutan budak-budak dari Afrika ke
Karibia lambat laun memiliki konsekuensi terhadap wajah kawasan ini, yakni
masyarakat yang didominasi kulit hitam, tetapi pada dekade setelah sistem perbudakan
dihapuskan kaum penjajah membawa orang-orang, terutama dari Asia, sebagai tenaga
kuli kontrak, dan juga dari tempat-tempat lain, sehingga di Karibia akhirnya
berkumpulah berbagai etnis. Artinya, ketika masa dekolonisasi masyarakat di sana pun
memiliki beban untuk secara internal bernegoisasi demi membangun identitas yang
berbeda dari identitas kolonial atau penjajah. Fenomena ini menjadi menarik dalam
konteks studi poskolonial karena paradigma Dunia Tiga, yang menekankan perlawanan
ideologis lewat konsepsi oposisi biner, antara Timur dan Barat, sebagaimana Edward W
Said yang mengangkat isu tentang kembali ke identitas kultural sebagai senjata
melawan penjajah/kolonial, tidak dapat diterapkan bagi perjuangan masyarakat Karibia.
Lepas dari posisi geografis yang memang tidak berada di Timur, Karibia memiliki
beragam etnik yang masing-masing tidak mungkin menganggap diri sebagai penduduk
atau penghuni lokal yang berhak mengangkat identitas kulturalnya sendiri mewakili
etnik-etnik yang lain.
Fenomena semacam ini merupakan tema penting bagi karya-karya sastra di
Karibia, dan tema-tema poskolonial pun menjadi ciri utama kesusastraan Karibia
sehingga hal ini justru menjadi identitas utamanya. Donel (2005: 5) mencatat terjadi
booming karya-karya sastra seputar era dekolonisasi. Bahkan Derek Walcott, salah
seorang penulis Karibia, mampu mengolahnya sedemikian rupa untuk menarik mata
Dunia. Setidaknya, ini terbukti lewat keberhasilannya dalam mendapatkan Hadiah
Nobel untuk bidang Kesusastraan di tahun 1990. Dalam rentang sekitar 10 tahun
kemudian, Karibia kembali mempersembahkan salah satu “raksasa sastra” lewat Hadiah
Nobel di tahun 2001 yang diterima oleh VS Naipaul. Dalam konteks yang lebih luas,
poskolonialitas Karibia mengusung ideologi “Dunia Baru,” yang di satu sisi merupakan
paradigma dekonstruktif terhadap ideologi Barat dan di sisi lain paradigma baru bagi
masyarakat poskolonial atau masyarakat bekas terjajah. Sebagaimana disinggung di
depan konsepsi “dunia baru” sebenarnya berasal dari Barat yang dipahami oleh para
penjelajah awal dalam menemukan dan membangun koloni baru di tempat-tempat lain
di luar Asia dan Afrika. Namun demikian, oleh masyarakat Karibia terminolog ini
diusung kembali sebagai ideologi poskolonialitasnya sehingga posisi inferioritas
Karibia, yang pada awalnya merupakan objek koloni, berubah lambat laun menuju
posisi superioritasnya, yang mengambil tempat sebagai subjek pelaku atau pelaksana.
Sementara itu lewat perspektif poskolonialitas umumnya, ada perbandingan menyolok
dengan poskolonialitas dari Dunia Tiga, yang menekankan identitas kultural nenek
moyang sebagai “senjata utama” (Said, 1993: xiii) atau program recovery of the past,
kembali ke masa lalu (Hall, 2003: 236), untuk melawan hegemoni kultural dari bekas
the colonizer, atau pemerintah kolonial. Di sini Karibia benar-benar hadir sebagai
“Dunia Baru” yang berbeda dari Dunia Tiga.
Ideologi “Dunia Baru” yang dianut masyarakat Karibia semakin mendapatkan
esensinya yang semakin nyata lewat gagasan tentang New Eden yang dikemukakan oleh
149
Derek Walcott. Salah satu karya Walcott yang mengetengahkan ini adalah Omeros,
yakni sebuah puisi epik yang tersusun dalam rangkaian, yang oleh Walcott sendiri
disebut buku atau book, berupa Book One hingga Book Seven. Teks Omeros menarik
untuk dikaji karena di samping sebagai sebuah puisi yang beridentitas epik, Omeros
mengadopsi dan mengadaptasi beberapa tokoh yang berasal dari teks klasik Yunani.
Para tokoh tersebut kemudian dipadukan dengan tokoh-tokoh lain, yang sama sekali
tidak dikenal dalam teks-teks klasik Yunani tersebut. Bahkan, bahasa yang
dipergunakan juga dua macam, yakni bahasa Inggris, yang sangat dominan, dan
Perancis. Realitas semacam ini menjadi acuan interpretasi yang penting karena di
sanalah ada panggung atau arena (istilah Bourdieu) yang mengakomodasi heterogenitas
tokoh dan bahasa. Ini semua diangkat teks untuk mengungkapkan poskolonialitas,
khususnya bagi masyarakat Karibia.
Tentang Omeros
Secara umum, puisi epik ini merupakan gambaran kehidupan masyarakat
generasi masa kini di seputar kawasan laut Karibia dalam menatap masa depannya
setelah di masa lampau generasi lama terjebak dalam persoalan penjajahan. Book One
(hal. 3—76), sebagai pembuka puisi, memaparkan realitas kehidupan masyarakat
nelayan lewat deskripsi harmonisasi yang mereka miliki dengan alam sekitar, khususnya
lautan. Di sinilah pembaca disuguhi kehadiran para tokoh utama yang membangun
narasi dari alur cerita teks. Di samping nama-nama yang berasal dari mitologi Yunani,
seperti Philoctete (3), Achille (6), Hector (16), dan Helen (24), ada beberapa nama lain
yang penting, yakni Seven Seas (11), Omeros (14), Ma Kilman (17), “I” sebagai narator
(23), Major Plunkett (24), dan Maud, istri Plunkett (24). Umumnya mereka hidup
sebagai masyarakat pantai yang mengandalkan laut sebagai sumber utama
kesehariannya, kecuali Ma Kilman yang merupakan tabib wanita dan memiliki warung
obat, Major Plunkett dan Maud, yang merupakan bekas tentara asing dan menetap di
sana sebagai pengusaha rumah makan dan perkebunan. Terungkap di sana bagaimana
kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda mampu membangun relasi berkehidupan
mereka di tempat tersebut, yakni di Karibia yang merupakan latar tempat bagi narasi
epik Omeros ini. Sementara itu Book Two hingga Book Six memberi tekanan pada
berbagai peristiwa yang dialami manusia dengan lautan, khususnya berkaitan dengan
masa lampau. Terdapat deskripsi yang lebih lengkap tentang kehidupan yang berkaitan
dengan laut Karibia tersebut, termasuk kedatangan orang-orang dari Eropa dengan
kapal lautnya yang moderen (Book Two/hal. 77—131), hubungan antara masyarakat kini
(di Karibia) dengan masyarakat masa lalu (di Afrika) yang dijembatani oleh eksistensi
laut yang menghubungkan mereka (Book Three/hal. 133—168), berbagai peristiwa
perang di dunia yang menonjolkan lautan sebagai arena peperangan (Book Four/hal.
169—188), hubungan antara bangsa-bangsa di dunia dengan masyarakat Karibia yang
terkoneksi oleh eksistensi lautan (Book Five/hal. 189—219), dan industri yang tumbuh
di Karibia sejak masa penjajahan yang mengandalkan lautan sebagai sarana transportasi
(Book Six/hal. 221—277). Akhirnya, Book Seven menghadirkan lagi gambaran
masyarakat kawasan laut Karibia yang memiliki keyakinan dan semangat dalam
bergelut dengan dunianya demi masa depan (Book Seven/hal. 279—325).
Omeros: Epik Poskolonialisme Karibia
Dalam konteks ke-epik-an Omerosi mengadaptasi mitologi Yunani, yaitu
Odyssey dan juga Iliad, karya-karya Homer, yakni kanon klasik yang sangat terkenal
dan diagung-agungkan di dunia Barat atau Eropa. Istilah “mengadaptasi” memang lebih
150
tepat diterapkan daripada “mengadopsi” karena pada kenyataannya Omeros tidak
mengambil alih begitu saja seluruh aspek maupun elemen dari mitologi tersebut,
melainkan hanya memaparkan beberapa nama mirip yang sangat terkenal dari sana,
yaitu di antaranya Philoctete, Achille, Hector, dan Helen. Dengan mengungkapkan
nama-nama tersebut, teks Omeros jelas mengingatkan para pembacanya terhadap
eksistensi mitologi Yunani.48 Dalam pengungkapannya ternyata kemudian dihadirkan
berbagai ambivalensi makna, terutama sehubungan dengan penokohan karakter dari
nama-nama klasik dan juga eksistensi mitos itu sendiri. Sebagaimana diketahui secara
umum, dalam karya-karya mitologi Yunani nama-nama tersebut merujuk pada para
tokoh hebat atau pahlawan tangguh, yang sangat berbeda dengan karakter rakyat biasa,
tetapi sebaliknya di dalam Omeros nama-nama tersebut justru dikenakan pada para
tokoh yang dikategorikan rakyat kebanyakan, yaitu nelayan, dan bahkan yang berada
dalam kondisi terpinggirkan karena persoalan keseharian yang banyak berkait dengan
masalah perekonomian. Paparan awal puisi Omeros memperlihatkan peranan para
tokohnya, Philoctetes, Achilles, Hector, dan Helen, sebagai orang-orang yang bekerja di
seputar laut, entah sebagai pemandu wisata, nelayan, maupun juga pegawai restoran di
pinggir laut. Kondisi mereka ada dalam ketidakberdayaan sebagai kelompok orang yang
harus bekerja keras demi nafkah kesehariannya. Perbandingan karakterisasi semacam itu
setidaknya menjadi bukti jelas bahwa memang Omeros tidaklah mengadopsi teks-teks
mitologi Yunani, melainkan sekadar mengadaptasi untuk kepentingan di balik makna
yang diusungnya, yakni poskolonialitas.
Strategi karakterisasi para tokoh mitos mengusung makna penting. Salah satu
contoh ialah eksistensi tokoh Philoctete yang mengalami pembelokan karakterisasi.
Antara “Philoctetes” dan “Philoctete” (memakai dan tanpa akhiran –s), penyebutan dan
pemakaian keduanya hampir tidak mungkin dibedakan, sehingga secara mudah pembaca
bisa terjebak ke dalam pemahaman bahwa keduanya memiliki rujukan karakter atau
tokoh yang sama. Setidaknya, hal ini merupakan langkah pertama yang dilakukan teks
Omeros dalam ambivalensi maknanya. Artinya, pembaca dengan mudah diarahkan
seolah-olah keduanya adalah orang yang sama, sehingga ketika mendapati nama
“Philoctete” pembaca dengan segera teringat akan sosok “Philoctetes” yang ada dalam
ranah mitologi Yunani. Lebih jauh lagi, tentang karakterisasi tokoh ini dalam teks
Omeros, tokoh ini dikedepankan sebagai bagian dari masyarakat laut, yang umumnya
memiliki mata pencaharian utama sebagai nelayan, meskipun Philoctete sendiri
memiliki profesi lain, yakni sebagai pemandu wisata (3), sebagaimana terungkap dalam
pembukaan epik Omeros ini. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan fakta yang
dimiliki tokoh Philoctetes dalam kanon klasik. Namun demikian, satu hal penting yang
diungkapkan oleh teks Omeros ialah tentang luka yang dimiliki tokoh Philoctete.
For some extra silver, under a sea-almond,
he shows them a scar made by a rusted anchor,
rolling one trouser-leg up with the rising moan
of a conch. It has puckered like the corolla
of a sea-urchin. He does not explain its cure.
“It have some things”—he smiles—“worth more than a dollar.” (4)
Ada bekas luka, atau a scar, yang di satu sisi merupakan penderitaannya namun di sisi
lain justru menjadi sumber tambahan penghasilan, yaitu berupa tip atau uang ekstra,
48
A Companion to Greek Mythology (eds., Ken Dowden and Niall Livingstone, 2011: 6)
menegaskan bahwa memori tentang mitologi merupakan salah satu cara untuk melestarikan
identitas.
151
yang diberikan oleh turis yang melihat luka tersebut. Artinya, apakah luka tersebut
sudah sembuh atau belum masih merupakan misteri bagi mereka yang sekadar hanya
menontonnya, karena hanya Philoctete sendiri yang mengetahuinya. Bahwa ia masih
merasakan sakit, dengan suara lenguhan yang ditampilkan saat membuka penutup luka,
menjadi penanda jika luka tersebut belum sembuh benar. Meskipun demikian,
nampaknya luka tersebut tidak sangat mengganggu aktivitas Philoctete dalam
kesehariannya, karena terbukti ia masih dapat melakukan kegiatannya sebagai pemandu
wisata.
Dengan acuan sosok Philoctetes dari mitologi Yunani, jelas ada pergeseran atau
ambivalensi makna dalam diri tokoh ini. Ketidakberdayaan Philoctetes akibat luka yang
dimiliki semakin membuat ia terpuruk karena benar-benar ditinggalkan dan diasingkan,
sehingga hanya kematian saja yang tinggal menunggu waktu bagi hidupnya. Sementara
itu, Philoctete, yang juga memiliki penderitaan oleh bekas luka, justru mampu
memanfaatkannya demi kepentingan hidupnya, yakni untuk mencari tambahan
penghasilan. Ketidakberdayaan total yang dialami Philoctetes tidak dialami oleh
Philoctete yang masih mampu melakukan aktivitas hariannya. Hari-hari gelap yang
dialami Philoctetes, dalam menunggu kematian, sangat kontras dengan kondisi
Philoctete meskipun ia memang sangat terganggu oleh luka tersebut. Philoctetes hanya
dapat berpasrah dalam ketidakberdayaan total dan ketiadaan lagi harga diri sebagai
anggota pasukan perang, dan Philoctete pun ada dalam ketidakberdayaan karena luka, a
scar, yang dimiliki itu diyakini sebagai bentuk warisan kutukan, yang diderita oleh
keluarganya. He believed the swelling came from the chained ankles/of his grandfathers
(19). Di sini teks Omeros menampilkan Philoctete sebagai pribadi yang tidak berdaya
karena ada kutukan yang harus diterima sebagai bagian warisan dalam keluarganya. Ada
perspektif masa lalu yang tidak bisa Philoctete kendalikan sehingga membuatnya tidak
berdaya melawan, tetapi bagi Philoctetes yang hadir justru ketidakberdayaan dalam
perspektif masa depan karena luka tersebut menjadikan masa depannya gelap dan
hampir tidak ada lagi, kecuali kematian yang sedang menantinya.
Kehadiran atau eksistensi para tokoh klasik dalam teks Omeros bukanlah satusatunya jenis atau model tokoh yang digunakan teks untuk memaparkan cerita
narasinya. Ada Ma Kilman, Plunkett, dan juga Maud, yang jelas-jelas bukan berasal dari
ranah mitos Yunani. Artinya, di sini pun Omeros secara menarik menciptakan dua
macam dunia kehidupan, yakni dunia mitos dari zaman klasik dan dunia masa kini di
Karibia yang kemudian bersama-sama berpadu membangun jalinan cerita sebagaimana
yang diketengahkannya. Ada dua “bahasa”49 yang dipergunakan secara bersama-sama
untuk mengungkapkan makna utamanya. Secara langsung ada perbedaan tentang
penerima pesan karena perbedaan kedua bahasa tersebut, tetapi perbedaan ini justru
menjadi penonjolan yang nampaknya memang menjadi kekuatan strategi dalam
mengaplikasikan mitos Yunani, yang adalah salah satu bentuk bahasa tersebut. Bahkan,
penonjolan ini justru ditekankan dan dikonkretkan lewat beberapa contoh untuk
menunjukkan bahwa ada perbedaaan menyolok antara pemakai bahasa yang satu,
misalnya bahasa Inggris, dengan pemakai bahasa yang lain, misalnya bahasa Perancis.
“Touchez-I, encore: N’ai fender chouz-ous-ou, salope!”
“Touch it again, and I’ll split you arse, you bitch!”
“Moi j’a dire—‘ous pas preter un rien. ‘Ous ni shallope,
‘ous ni seine, ‘ous croire ‘ous ni choeur campeche?”
49
Istilah “bahasa” di sini dimaksudkan sebagai wahana untuk menyampaikan pesan antara
pengirim dan penerima pesan.
152
“I told you, borrow nothing of mine. You have a canoe,
and a net. Who you think you are? Logwood Heart?”
“’Ous croire ‘ous c’est roi Gros Ilet? Voleur bomme!”
“You think you’re king of Gros Ilet, you tin-stealer?” (15-16)50
Kutipan ini menceritakan dialog antara Achille dan Hector, yang oleh teks dikemukakan
memiliki konflik pribadi, yakni memperebutkan Helen. Namun demikian, konflik ini
terus berkembang kepada berbagai hal, termasuk masalah kepemilikan kapal. Hal yang
menarik dalam kaitannya dengan perbedaan bahasa ialah bahwa fenomena ini oleh teks
diangkat sebagai gambaran terjadinya masalah atau konflik antara dua pihak. Dengan
kata lain, hadirnya dua bahasa berbeda sebenarnya hendak menunjukkan hadirnya dua
pihak yang sedang berkonflik. Juga, penonjolan konflik lewat dua bahasa justru lewat
Achille dan Hector, yang pada dasarnya berasal dari “dunia” yang sama, yakni mitos
klasik Yunani.
Strategi kesastraan tersebut di atas, yakni adaptasi karakterisasi mitologi dan
penerapan dua bahasa, nampaknya memang sederhana tetapi makna yang dikandung
menjadi sangat dalam dari perspektif poskolonial. Terlebih, sebagai bagian dari
kesusastraan Karibia, yang berideologikan poskolonialitas, Omeros menerobos kanon
poskolonialitas Dunia Tiga, yang menempatkan segala hal dari Barat atau Eropa sebagai
musuh, sebagaimana dalam ideologi oposisi binernya. Mitos Yunani, yang dalam
konteks ini menjadi bahasa, merupakan milik yang diagung-agungkan masyarakat
Eropa, dihadirkan dan digunakan secara bersama-sama dengan cerita lokal masyarakat
Karibia, yang dalam hal ini juga menjadi bahasa lainnya. Dengan lain perkataan, teks
Omeros secara langsung mempertemukan dua masyarakat yang dalam perspektif sejarah
kolonialisme memiliki konflik yang telah menciptakan perbedaan status antara
masyarakat penjajah yang superior dan masyarakat terjajah yang inferior. Namun
demikian, ternyata perspektif ini pun oleh teks sekadar diadaptasi, dan tidak diadopsi
mentah-mentah, karena dalam cerita yang diungkapkan kedua masyarakat tersebut tidak
berada dalam konflik status peradaban, yang membedakan atasan dan bawahan, atau
superior dan inferior, atau penjajah dan terjajah.
Omeros juga mengungkap bahwa relasi antara bekas penjajah dan bekas terjajah
dapat ditransformasikan ke dalam gagasan tentang New Eden atau Eden yang baru. New
Eden menjadi acuan bagaimana dunia, atau bumi Karibia, yang rusak akibat hancurnya
relasi antar-manusia, harus dibenahi lagi. Were it not for the war he might have loved
the place; …. The fields were prosperous and lied of peace (78—79). Pada masa
kolonialisme kawasan Karibia sangat menarik bagi bangsa-bangsa Eropa yang pada kala
itu gemar mencari daerah-daerah jajahan untuk dijadikan koloni, terutama untuk
kepentingan ekonomi. Demi maksud tersebut banyak hal dilakukan, termasuk
menghancurkan relasi kemanusiaan, dan sejarah telah mencatat bahwa hampir sebagian
besar penduduk lokal dimusnahkan dan banyak orang dari daerah koloni di Afrika dan
Asia dijadikan budak dan pekerja kasar. Ketidakberdayaan masyarakat terkoloni
semakin mempertajam hancurnya relasi kemanusiaan. Namun demikian, dalam proses
dekolonisasi ketika kesadaran masyarakat terkoloni atau terjajah tumbuh ada kemauan
dan harapan dalam diri mereka untuk memperbaiki kondisi kehidupannya. Kesadaran
untuk melakukan perubahan terus hadir menjadi semangat mereka untuk memperbaiki
50
Penebalan dalam kutipan tersebut di atas demi kepentingan untuk membedakan antara
pemakaian dua bahasa yang berbeda, meskipun di dalam teks Omeros hal ini tidak terjadi
demikian.
153
diri. Teks Omeros mengetengahkan bahwa semangat untuk memulai perubahan menjadi
kunci pembukanya, karena kejahatan terparah manusia ialah tidak melakukan apa pun
(150). Konsepsi Eden baru, yang menghadirkan kembali Eden dalam bentuk yang lain,
atau yang ber-transformasi (Ashcroft, 2001: 2), menjadi metafora yang sangat menarik
bagi dunia poskolonialitas karena di sini pihak yang pernah menderita, atau the
colonized, berubah menjadi pihak subyek, yang mengawali terjadinya perubahan. Bagi
Walcott (1992: 300-301), manusia yang menderita harus berani mengubah kondisinya
dengan menjadi inisiator, termasuk memperbaiki relasi dengan penyebab
penderitaannya. Permusuhan masa lalu, yang menempatkan Adam sebagai obyek, hanya
mengakibatkan penderitaan baginya, sehingga perubahan sikap untuk berani menjadi
subyek yang memulai perubahan adalah harapan akan hadirnya kebaikan bagi
kondisinya. Dalam konteks ini New Eden dilihat sebagai paradigma poskolonialitas.
Sebagai generasi baru, yang juga dilengkapi dengan kondisi tercerabut dan diaspora,
merupakan alasan kuat bahwa masyarakat Karibia kini bukanlah masyarakat masa lalu,
dan mengungkit-ungkit masa lalu untuk menyesali kehancuran hanya mendatangkan
sesuatu yang tak bermanfaat bagi kehidupan yang masih segar. For those to whom
history is the presence of ruins, there is a green nothing (192). Sejarah memang sudah
terjadi dan tidak mungkin lagi diulang atau diputar kembali, tetapi senantiasa meratapi
kehidupan masa lalu tanpa melakukan perubahan yang lebih bermanfaat bagi masa
depan berarti menyia-nyiakan kehidupan itu sendiri.
Penutup
Teks puisi epik Omeros, karya Derek Walcott, hadir menyuarakan kegelisahan
masyarakat Karibia yang haus akan kebebasan dan kemerdekaannya. Strategi unik
dalam mengusung makna di balik paparan-paparan menarik tentang kehidupan yang
terkait dengan laut, seperti nelayan dan pemandu wisata, membuka wawasan tentang
model identitas kebangsaan. Ketiadaan identitas tunggal, yang merupakan warisan
nenek moyang, menjadi pembuka jalan bagi hadirya identitas negosiasi antar-kelompok
masyarakat atau etnik, termasuk juga keterbukaan terhadap identitas kultural dari bekas
penjajah. Sebagai bekas objek atau sasaran bagi kepentingan bangsa penjajah akan
“dunia baru,” Karibia bertransformasi diri lewat dekonstruksi dengan ideologi Dunia
Baru. Bahkan, konkretisasi ideologi dikemukakan lewat konsepsi New Eden, yakni
mengembalikan lagi Karibia sebagai dunia yang menyenangkan karena perubahanperubahan yang dilakukan, terutama juga dalam merangkul “ular” yang dulunya
menjadi musuh dan merusak taman tersebut.
Daftar Rujukan
Ashcroft, Bill. Post-Colonial Transformation. London & New York: Routledge, 2001.
Baugh, Edward. Derek Walcott. Cambridge: Cambridge University Press, 2006.
Cohen, Robin. Global Diasporas: An Introduction. Warwick: University of Warwick,
Routledge & UCL Press, 1997.
Donnel, Alison, dan Sarah Lawson Welsh, ed. The Routledge Reader in Caribbean
Literature. London & New York: Routledge, 1996.
Donnel, Alison. Twentieth-Century Caribbean Literature. London & New York:
Routledge, 2006.
Figueredo, DH, dan Frank Argote-Freyre. A Brief History of The Caribbean. New York:
Facts on File, Inc, 2008.
154
Fumagalli, Maria Cristina. Agenda: Special Issue on Derek Walcott. Journal. Vol. 39
Nos 1-3. London: Agenda and Editions Charitable Trust, 2002-2003.
Harney, Stefano. Nationalism and Identity: Culture and the Imagination in a Caribbean
Diaspora. Kingston: University of the West Indies Press, 2006.
Hall, Stuart. “Cultural Identity and Diaspora” dalam Theorizing Diaspora. Jana Evans
Braziel dan Anita Mannur, ed. Malden: Blackwell Publishing Ltd., 2003.
Hamner, Robert D. Epic of the Dispossessed. Columbia: University of Missouri Press,
1997.
King, Bruce. Derek Walcott, a Caribbean Life. Oxford: Oxford University Press, 2000.
Said, Edward W. Culture & Imperialism. London: Vintage, 1993.
Said, Edward W. Orientalism. New York: Vintage Books, 1979.
Thieme, John. Derek Walcot. Manchester: Manchester University Press, 1999.
Torres-Saillant. An Intellectual History of the Caribbean. New York: Palgrave
Macmillan, 2006.
Walcott, Derek. “New World,” dalam Collected Poems 1948—1984. Chatham Kent:
Farrar, Straus & Giroux Inc., 1992: 300-301.
Walcott, Derek. Derek Walcott: Collected Poems (1948-1984). New York: The
Noonday Press, Farrar, Straus & Giroux, 1990.
Walcott, Derek. What the Twilight Says; Essays. New York: Farrar, Straus & Giroux,
1998.
Walcott, Derek. Omeros. New York: Farrar, Straus & Giroux, 1990.
Walder, Dennis. Postcolonial Nostalgias. New York: Routledge, 2011.
Williamn, Patrick, dan Laura Chrisman, eds. Colonial Discourse and Post-Colonial
Theory. New York: Columbia University Press, 1994.
155
SASTRA EKSIL, MATA RANTAI YANG HILANG
Gunoto Saparie
(Dewan Kesenian Jawa Tengah – Indonesia)
Abstrak: Sastra eksil Indonesia adalah karya-karya sastra sastrawan Indonesia yang
terdampar di luar negeri dan tidak bisa atau tidak diperbolehkan pulang ke tanah air
setelah peristiwa yang dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965 (G30S 1965).
Situasi politik yang dimaksud ialah perubahan pemerintahan secara drastis dari
pemerintahan sipil (Sukarno) ke pemerintahan di bawah kekuasaan militer (Soeharto).
Salah satu ciri khas kehidupan sastrawan eksil adalah kejiwaannya yang mengalami
trauma akibat peristiwa politik. Keterpisahan berlarut-larut dengan negeri asal membuat
mereka terombang-ambing antara dendam dan nostalgia, antara ilusi, kenangan, dan
harapan.
Para sastrawan eksil terpencil dari realitas kehidupan rakyatnya. Dengan segenap tenaga
dan daya kreatifnya mereka mencoba menampilkan realitas kehidupan eksil sekaligus
memberi perlawanan moral-kultural terhadap represi sistem kekuasaan terhadap
kebebasan mengutarakan pendapat di tanah air mereka. Namun, sampai hari ini, sejarah
sastra Indonesia ternyata mengabaikan karya-karya dan posisi mereka. Ada mata rantai
yang hilang dalam sejarah sastra Indonesia.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nasib sastra eksil yang terabaikan dan
implikasinya pada pembelajaran sastra di SMA. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan disiplin ilmu
sastra dan sosiologi.
Pendahuluan
Sastra eksil Indonesia adalah karya-karya sastra sastrawan Indonesia yang
terdampar di luar negeri dan tidak bisa atau tidak diperbolehkan pulang ke tanah air
setelah peristiwa yang dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965 (G30S 1965).
Situasi politik yang dimaksud ialah perubahan pemerintahan secara drastis dari
pemerintahan sipil (Sukarno) ke pemerintahan di bawah kekuasaan militer (Soeharto).
Salah satu ciri khas kehidupan sastrawan eksil adalah kejiwaannya yang
mengalami trauma akibat peristiwa politik. Keterpisahan berlarut-larut dengan negeri
asal membuat mereka terombang-ambing antara dendam dan nostalgia, antara ilusi,
kenangan, dan harapan.
Para sastrawan eksil terpencil dari realitas kehidupan rakyatnya. Dengan segenap
tenaga dan daya kreatifnya mereka mencoba menampilkan realitas kehidupan eksil
sekaligus memberi perlawanan moral-kultural terhadap represi sistem kekuasaan
terhadap kebebasan mengutarakan pendapat di tanah air mereka. Namun, sampai hari
ini, sejarah sastra Indonesia ternyata mengabaikan karya-karya dan posisi mereka. Ada
mata rantai yang hilang dalam sejarah sastra Indonesia.
Sastra eksil di Indonesia memang bagaikan mata rantai yang hilang dalam
sejarah sastra kita. Penerbitan sejumlah karya sastra mereka kurang bergema, bahkan
nyaris tidak terdengar. Sebut saja, misalnya Kisah Intel dan Sebuah Warung karya
156
Sobron Aidit, Perang dan Kembang karya Asahan Alham, Di Bawah Langit tak
Berbintang dan Menuju Kamar Durhaka karya Utuy Tatang Sontani, antologi Di Negeri
Orang: Puisi Penyair Eksil Indonesia, karya 15 penyair, antara lain Asahan Alham,
Sobron Aidit, dan kawan-kawan.
Pengertian Sastra Eksil
Apakah sesungguhnya eksil? Dalam bahasa Inggris istilah “exile”, yang
diindonesiakan menjadi “eksil”, memiliki tiga pengertian. Pertama, ia bisa berarti
ketakhadiran. Ia merupakan sebuah absensi panjang (biasanya karena terpaksa) dari
tempat tinggal ataupun negeri sendiri. Kedua, eksil bisa berarti pembuangan secara
resmi (oleh negara) dari negeri sendiri. Sedangkan pengertian ketiga adalah seseorang
yang dibuang ataupun hidup di luar tempat tinggal ataupun negerinya sendiri (perantau,
ekspatriat). Istilah “exile” itu sendiri ternyata berasal dari bahasa Latin yaitu “exsilium”
(pembuangan) dan “exsul” (seseorang yang dibuang).
Mengacu pada tiga pengertian tersebut, kita melihat ada faktor dislokasi
geografis dari tempat kelahiran ke sebuah tempat asing. Ini merupakan faktor utama
penyebab kondisi yang disebut sebagai “eksil” tersebut. Dislokasi geografis itu bisa
terjadi disebabkan oleh negara secara resmi ataupun justru karena pilihan pribadi. Pada
kasus pertama, mereka adalah para pelarian politik yang terusir atau diusir dari negeri
kelahiran sendiri oleh pemerintahan yang sedang berkuasa. Sedangkan pada kasus
kedua mereka adalah pada para pengungsi, para transmigran, dan para perantau yang
mencari hidup baru di luar tempat kelahiran mereka.
Pengertian “eksil” sebagai kondisi pembuangan politik dari negeri kelahiran ke
negeri asing oleh sebuah pemerintahan yang sedang berkuasa kalau kita berbicara
tentang "sastra eksil". Sastra eksil adalah sastra yang ditulis oleh para sastrawan dalam
pembuangan politik di luar negeri kelahiran mereka sendiri. Perbedaan ideologi politik
dengan pemerintahan yang sedang berkuasa merupakan alasan utama terjadinya
pembuangan politik tersebut.
Sastrawan Eksil Indonesia
Kita tahu, pada zaman Orde Lama, ketika Presiden Sukarno masih berkuasa,
banyak dari pemuda, intelektual, dan seniman dari Indonesia yang dikirim ke luar negeri
untuk belajar ataupun menyerap modernisme yang terjadi di Eropa. Mereka diharapkan
bisa mempelajari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, sampai kebudayaan negeri
lain, untuk diaplikasikan di negeri ini. Projek besar ini untuk mengejar pembangunan
fisik dan pengetahuan warga Indonesia, dengan menggunakan duta-duta ilmu
pengetahuan dan kebudayaan, di antara sekian duta itu hadir juga para sastrawan
potensial. Namun, ketika tragedi 1965 meletus, sebagian besar dari delegasi Indonesia
yang belajar di negeri asing tak dapat kembali ke Indonesia karena perkembangan
politik dan pergantian rezim. Akibatnya, mereka hidup di negeri asing dengan segala
kisah sedih, memori, harga diri, ataupun identitas sebagai manusia.
Sebagai manusia Indonesia yang hidup di tanah asing, yang merindukan tanah
air, tetapi tak dapat kembali, tentu mengalami guncangan mental yang mendalam.
Memori keindonesiaan merupakan bayangan hitam yang selalu mengikuti, jauh
sekaligus dekat. Para sastrawan merasa hidup jauh dari lingkaran keluarga, tetapi terasa
dekat jika membayangkan. Puisi dan prosa menjadi media alternatif untuk menyalurkan
hasrat keindonesiaan para sastrawan eksil. Hasrat untuk pulang terasa menggetarkan,
kisah perjuangan di negeri asing dan pergumulan perasaan untuk tetap menjadi
157
Indonesia, atau merasa asing, merupakan pergolakan yang menggumpal dalam karya
sastra.
Para sastrawan yang punya hubungan dengan institusi seni di bawah naungan
Partai Komunis Indonesia (PKI) yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan hidup
dalam pengasingan/pembuangan politik di luar Indonesia selama pemerintahan rezim
fasis kapitalis Orde Baru adalah para sastrawan eksil Indonesia. Para sastrawan itu
kebanyakan hidup di Eropa Barat, yaitu di negeri Belanda dan Prancis. Mereka dengan
terpaksa memilih hidup dalam pembuangan politik itu karena keyakinan mereka bahwa
mereka akan segera dijebloskan ke dalam penjara atau Pulau Buru kalau mereka
kembali ke Indonesia. Atau bahkan mungkin juga akan dibunuh. Para sastrawan Lekra
itu tidak berani kembali ke Indonesia dan memilih hidup eksil di negeri asing, karena
tidak ingin mengalami kesulitan, bahkan bisa saja terbunuh, di negeri sendiri.
Harus diakui, keberadaan sastra eksil Indonesia di luar negeri selama ini hanya
diketahui oleh segelintir pembaca sastra modern Indonesia. Kebetulan segelintir
pembaca itu hidup di negeri yang sama atau berdekatan dengan negeri tempat hidup
para sastrawan ini. Namun bisa juga para pembaca ini hidup di Indonesia dan memiliki
akses ke karya mereka.
Eksistensi sastra eksil ini menjadi lebih luas diketahui para pembaca sastra
modern Indonesia, terutama di Indonesia sendiri, ketika beberapa tahun lalu terbit
sebuah kumpulan puisi berjudul Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil oleh
Yayasan Lontar. Kumpulan puisi ini memuat 15 penyair yang oleh Ketua Dewan
Redaksi buku Asahan Alham, yang juga merupakan salah seorang penyair yang
puisinya ikut dalam buku, diklaim sebagai “sastrawan eksil” Indonesia. Bagi para
pembaca sastra modern Indonesia dua nama dari kelimabelas penyair yang muncul
karya mereka dalam buku ini adalah nama yang memang sudah tidak asing lagi, yaitu
Agam Wispi dan Sobron Aidit.
Menurut Hersri Setiawan, sastra eksil Indonesia ialah karya sastra orang-orang
eksil Indonesia. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang terpaksa tidak bisa pulang
kembali ke Indonesia karena situasi politik pada tahun 1965, khususnya mereka yang
bermukim di Eropa Barat, dan lebih khusus lagi yang di Belanda. Situasi politik yang
dimaksud adalah perubahan pemerintahan secara drastis dari pemerintahan sipil ke
pemerintahan di bawah kekuasaan militer. Keadaan ini terjadi sejak sekitar kuartal
pertama tahun 1966, yang diawali dengan apa yang dinamakan ‘Peristiwa G30S’ tahun
1965. Terhambatnya warga Indonesia tidak bisa kembali ke tanah air, dan harus hidup
dari satu negeri ke negeri lain, membuat mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias
Gus Dur menamai orang-orang eksil Indonesia sebagai ‘orang-orang yang terhalang
pulang’ atau ‘orang-orang klayaban’.
Ini berarti, yang disebut ‘Eksil Indonesia’ dalam konteks ini adalah ‘eksil
politik’. Bukan ‘eksil sosial-ekonomi’, seperti yang pernah dialami orang-orang eksil
Indonesia (baca: Jawa dan Madura) pada masa kolonial yang harus bekerja sebagai
buruh dan tenaga administarsi di perkebunan-perkebunan besar di berbagai negeri,
seperti Afrika Selatan, Sri Langka, Suriname, dan Kaledonia Baru.
Kebudayaan eksil, tentu saja juga termasuk sastra eksil, lahir sebagai akibat
terjadinya dua atau lebih kekuatan ideologi dan kekuatan politik – sekaligus juga
kekuatan ideologi-politik – yang tidak terdamaikan, sehingga pihak yang satu harus
dilenyapkan atau diusir sejauh-jauhnya oleh pihak yang lain. Atau, dalam bentuk yang
‘lebih lunak’, kebudayaan eksil adalah hasil dari sekelompok makhluk yang kalah dan
dipindahkan dengan paksa dari tempat satu ke tempat lain oleh sekelompok makhluk
158
yang lebih kuat. Seperti misalnya, antara lain, sastra Jawa Suriname dan sastra Jawa
Afrika Selatan, yang lahir dari kuli-kuli kontrak dari Jawa di kawasan-kawasan tersebut.
Kerinduan Sastrawan Eksil
Harus diakui, tema home sick, rindu kampung halaman, ingin pulang, dan
kangen kepada keluarga di tanah air, sangat dominan dalam karya-karya para sastrawan
eksil. Boleh dikatakan mereka telah puluhan tahun mereka mengidap penyakit ini.
Namun pulang sebagai terapi bagi kaum eksil Indonesia di Eropa yang kejangkitan
home sick, tidaklah mudah dilakukan. Pulang memang merupakan naluri alami yang
melekat pada diri umat manusia, tetapi kaum eksil mengalami hambatan untuk
melakukannya.
Salah satu kodrat manusia adalah keterikatan mereka pada sesuatu yang bisa
disebut tempat-tinggal. Keterikatan itu sangat terasa karena manusia memiliki naluri dan
rasa cinta yang mendalam kepada tanah air, bangsa dan keluarga. Makin lama seseorang
berada di negeri asing, makin terasa kerinduan itu, bahkan sering tak tertahankan dan
akhirnya memuncak pada hasrat segera pulang. Tetapi ternyata tidak mudah untuk
pulang.
Selama puluhan tahun para sastrawan eksil itu terhalang pulang. Tentu ada
sejumlah sebab mengapa hal ini bisa terjadi. Namun sebab paling utama adalah
dicabutnya kewarganegaraan mereka berdasarkan tuduhan penguasa Orba. Mereka
dianggap
terindikasi
terlibat
peristiwa
G30S/PKI
tahun
1965.
Keindonesiaan menjadi bayangan jauh dan dekat dalam imaji para sastrawan eksil.
Beberapa sastrawan eksil, seperti Hersri Setiawan, Sobron Aidit, dan Agam Wispi, serta
beberapa nama lain seperti A. Kembara, A Kohar Ibrahim, Alan Hogeland, Asahan
Aslam, Chalik Hamid, Kuslan Budiman, Magusig O Bungai, Mawie Ananta Jonie,
Nurdiana, Soepriadi Tomodihardjo, Satyadharma, dan Z Afif, menjadi bagian sastrawan
eksil yang terus-menerus bergumul dengan kenangan akan tanah air. Memang ada
pergolakan politik meletup lewat puisi dan prosa mereka, tetapi kerinduan akan
kampung halaman ataupun sang ibunda sering memancar, terutama dalam puisi-puisi
mereka.
Hersri Setiawan, misalnya, mempertanyakan diri dan mempertaruhkan
identitasnya dalam puisi di bawah ini, dalam kenangan yang timbul tenggelam dalam
aku-lirik. Ada kebimbangan dan keraguan, problem yang dialami sebagian besar
sastrawan, yang hidup di tanah asing, tetapi masih terus berharap agar bisa pulang.
SAJAK ULANG TAHUN
Jangan tanya siapa aku
Karena aku hanya satu pribadi
Yang berjanji pada sendiri
Tatap benda-benda di langit
Mata hari di siang hari
Bulan bintang di waktu malam
Kenangan akan tanah air dan keluarga terus membayang di kalangan sastrawan
eksil. Hasrat pulang semakin tak terbendung, tetapi kepulangan hanya akan menyisakan
tragedi dan kisah sunyi. Mereka ingin pulang, tetapi apakah yang bisa dilakukan ketika
situasi politik di tanah air tidak memungkinkan?
Agam Wispi dengan bagus menuliskan konflik batin sastrawan eksil dalam puisi
di bawah ini.
159
ZIARAH
Akhirnya orang menziarahi dirinya sendiri
Membangkitkan dalam diri apa-apa yang sudah mati
Di makammu aku mau menghidupkan kembali
Kata terima kasih
Meski kau tak mendengarnya, hanya suara kata hati.
Asahan Salam teringat pada sosok ibunda yang telah lama ditinggalkan. Asahan
dengan jitu menulis puisi yang merefleksikan kerinduan seorang ibu terhadap anaknya
yang mengembara di negeri asing. Ibunda selalu menjadi rumah yang sebenarnya, ia tak
tergantikan oleh konstruksi fisik ataupun kebahagiaan yang lain. Suara bunda terus
membayang untuk meminta anaknya pulang, yang disekap perjalanan, dan terkatungkatung di negeri asing. Penyair ingin pulang, tetapi ia tak bisa. Ia justru tidak
diperbolehkan mengunjungi rumahnya sendiri.
KELASI PULANG SENJA
Pulang anakku, terlalu lama kau bermain
Aku yang selalu berjalan
Aku manusia pergi yang selalu lupa waktu kembali
Dan beginilah hukuman itu datang
Suara bundaku tak hilang hilang
Kini masih senja
Tapi juga sudah sia-sia
Bila kembali
Hilang sudah wajah bunda
Agam Wismi akhirnya menyalurkan hasrat pulangnya yang tak tertahankan itu
melalui puisi.
PULANG
Puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang
Puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang
Puisi generasi baru bijak bestari menerjang
Keras bagai granit cintanya laut menggelombang
Di mana kau
Pohonku hijau?
Dalam puisimu, wahai perantau
Dalam cintamu jauh di pulau
Kepedihan tak terperi memang nyaris mewarnai sastra eksil Indonesia. Baik
Utuy, Sobron, maupun Alham, dan lainnya. Sekalipun berada di pengasingan, ingatan
kolektif mereka tidak pernah berhenti untuk berpikir tentang tanah air mereka. Tanah
tempat lahirnya kenangan, baik gembira maupun sedih, pengalaman pahit dan manis,
serta keterlibatan bersama dalam membentuk sebuah tanah air. Akhirnya tanah air, tak
lebih hanya sebagai “komunitas terbayangkan” (memakai istilah Benedict Anderson).
Mereka membayangkan diri, seolah-olah berada di Indonesia, padahal fisiknya di negeri
asing.
Seperti halnya bangsa, demikian Benedict Anderson, tanah air tampaknya juga
bagi para eksil merupakan sesuatu yang imajiner karena para anggota terkecil
sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak
akan bertatap muka dengan sebagian besar anggota lain itu, bahkan mungkin
tidak pula pernah mendengar mereka. Namun, toh di benak setiap orang yang
menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan
mereka.
Soal ini mungkin bisa sedikit terjelaskan kalau ditoleh latar sejarah mereka
menjadi eksil. Saat peristiwa tahun 1965 terjadi, mereka sedang berada di luar negeri
160
dengan berbagai tujuan, mulai dari tugas belajar, anggota sekretariat organisasi
internasional, sampai menjadi delegasi suatu perayaan. Informasi yang simpang siur,
identifikasi diri dengan ide-ide kiri yang sedang ditumpas di Indonesia, membuat
mereka harus menunda kepulangan. Penundaan terus berlanjut seturut makin
digdayanya penguasa Orde Baru. Pokok penting di sini adalah perkara “penundaan
kepulangan”, karena di atas kesadaran inilah semuanya mereka bangun. Sampai akhir
tahun 1980-an, kewarganegaraan Indonesia enggan mereka lepaskan. Mereka memilih
berstatus pengungsian politik daripada harus berganti kewarganegaraan, dengan
keyakinan suatu saat akan pulang. Anjak usia senja jualah kemudian yang berhasil
memaksa mereka berganti kewarganegaraan, sebagai syarat mendapat pensiun.
Sekarang ketika kesempatan pulang datang, usia pula yang menghambat untuk mulai
membiasakan lagi jongkok di toilet dan uang pensiun yang tidak bisa dikirim ke tanah
air.
Dalam dunia tulis-menulis, latar di atas tentu saja berbicara banyak. Tidak ada
dorongan bagi mereka belajar bahasa setempat untuk kebutuhan menulis, karena “toh
akan pulang”. Tak mengherankan kalau dalam pengantar singkat buku ini, Asahan
Alham memaparkan kesulitan mengumpulkan puisi dengan tema kehidupan di
pengasingan. Akhirnya yang terkumpul adalah tema-tema yang menunjukkan bahwa
mereka adalah penulis eksil: kampung halaman, kegelisahan melihat situasi politik
tanah air, perjalanan tanpa tujuan dan akhir, atau kabar kepada sahabat di tanah air.
Mereka berkarya dengan kesadaran sebagai orang yang sedang berada di luar negeri,
bukan tinggal. Memori dan kabar dari tanah air lebih dominan sebagai sumber inspirasi
katimbang keseharian nyata di negeri orang. Ingatan adalah satu-satunya tempat
identitas bisa mereka jangkarkan karena secara legal mereka kini bukan orang Indonesia
lagi dan komunitas Indonesia yang “resmi” berada di luar negeri pun menolak mengakui
mereka.
Sebagai kelompok subaltern, melalui karya-karyanya para eksil berusaha
menemukan kembali suara-suaranya yang selama ini dibungkam. Mereka juga berusaha
untuk bebas dari pengaruh kekuatan elite yang mengungkungnya. Selain itu, melalui
sastra para eksil berusaha merepresentasikan dirinya yang menderita, merana, kesepian,
terasing, yang selama ini menyesakkan hati dan pikiran. Semuanya mereka tumpahkan.
Meminjam istilah diskursus poskolonialisme, eksil Indonesia lebih mirip sebagai
komunitas subaltern, subjek yang dibungkam dan tertekan. Secara lebih umum, mereka
yang berada di tingkat “inferior”.
Mengacu pada kata-kata Asahan Alham, ”Sastra eksil bukan satu aliran, tapi
suatu kekhususan, ia ujud. Kekhususan itu wajar sebagai akibat peristiwa yang
menimbulkan banyak ketidakwajaran terutama bagi sastrawan dan seniman eksil yang
hidup di luar tanah airnya, dan terpisah dari masyarakat bangsanya, teman-temannya,
dan keluarganya”.
Penutup
Mengapakah sejarah sastra Indonesia modern mengabaikan kehadiran sastra eksil
ini? Sebuah pertanyaan yang membuat kita tertegun. Apakah terabaikannya sastra eksil
ini hanya semata persoalan literer atau justru karena masalah politik? Dalam pengajaran
sastra di sekolah para siswa tentu tidak mengenal para sastrawan eksil dan karyanya,
karena tidak diajarkan oleh guru mereka. Sastra eksil hilang dari mata rantai sejarah
sastra Indonesia modern.
161
Tentu saja kurangnya pengakuan terhadap sastra eksil ini terasa tidak adil. Suara
sastra eksil masih terdengar sayup-sayup, meskipun Orde Baru telah diganti dengan
Orde Reformasi. Betapa pun kita tidak mungkin mengingkari kenyataan sejarah.
Dalam kaitan ini saya setuju dengan pernyataan Asahan Alham bahwa sastra
eksil juga bagian dari kekayaan sastra Indonesia. Memperlakukannya sebagai anak tiri
atau bahkan tidak mengakuinya sebagai anak karena cacat tak molek, hanya akan
mempermalu diri sendiri. Seiring perjalanan waktu dan dengan kekhasan tersendiri,
memang sudah sewajarnya sastra eksil berbicara dalam kancah sastra Indonesia dan
tidak lagi sebagai “sastra minor” (a minor literature). Kita memang seharusnya
terpanggil untuk merajut kembali benang kemanusiaan dan sejarah sastra yang sempat
putus.
Daftar Rujukan
Alham, Asahan, 2002. Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil. Jakarta:
Amanah Lontar (Jakarta) bekerja sama dengan Yayasan Sejarah dan Budaya
IndonesiaAmsterdam)
Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan membaca lagi (Re interprestasi Fiksi Indonesia
1980-1995). Jakarta: Indonesia Tera.
Anderson, Benedict. 2002. Imagined Communities. Yogyakarta: Insist & Pustaka
Pelajar.
Damono, Sapardi Djoko. 2004. Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. Departemen
Pendidikan Nasional.
Hudson, Wiliam Henry. 1932. An Introduction To The Study Of Literature. London:
George G. Harrap & Co. Ltd.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Gama Media:
Yogyakarta.
Rokhman, Muh. Arif. 2003. Sastra Interdisipliner, Menyanding Sastra dan Disiplin
Ilmu Sosial. Yogyakarta: CV Qalam.
Sitomorang, Saut. 2001. Cyber Grafitti: Polemik Sastra Cyberpunk Kumpulan Esei.
Bandung: Penerbit.Angkasa
Situmorang,
Saut.
2006.
Sastra
Eksil,
Sastra
Rantau
http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=195.
162
SASTRA DAN FALSAFAH MELAYU ISLAM BERAJA:
MEMPERTEGUH SOLIDARITAS BANGSA
Haji Brahim bin Ampuan Haji Tengah
(Universiti Brunei Darussalam)
Abstrak: Makalah ini akan membincangkan sastra dan falsafah negara Brunei
Darussalam iaitu Melayu Islam Beraja (MIB) serta hubungannya dengan solidaritas
bangsa. Objektif makalah ini adalah melihat sejauhmana peranan sastera dalam
memelihara dan mempertingkatkan kefahaman terhadap Falsafah Negara di Negara
Brunei Darussalam, dan seterusnya dengan kefahaman tersebut dalam memperteguh
solidaritas bangsa. Untuk itu terdapat sekurang-kurangnya lima perkara yang terdapat
dalam karya sastera Brunei yang dapat memberikan kefahaman tersebut iaitu
mengungkapkan sejarah Negara bangsa, adat istiadat dan kebudayaan Melayu Brunei,
menjelaskan nilai-nilai Melayu Brunei, nilai-nilai Islam, dan sistem pemrintahan Beraja.
Dengan kefahaman tersebut, setiap rakyat akan mempunyai cita-cita, tanggungjawab,
gagasan, kecintaan (rasa nasionalis) dan latar belakang yang sama terhadap kedaulatan
bangsa dan negara Brunei Darussalam. Kesamaan tersebut itulah yang diperkirakan
dapat menyumbang kepada memperteguh solidaritas bangsa. Jadi dalam hal ini,
sastra secara tidak langsung berfungsi dalam membantu mewujudkan solidratas bangsa
tersebut.
Pengenalan
Ada tiga kata kunci yang perlu dijelaskan dalam membincangkan tajuk makalah
ini iaitu “solidaritas”, “sastera”, dan “Melayu Islam Beraja”. “Solidaritas” berasal
daripada kata “Solider” yang bererti mempunyai atau memperlihatkan perasaan bersatu
atau setia kawan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, hlm. 853). Sementara itu,
Kamus Dewan pula menjelaskan bahawa “Solider” itu adalah perasaan bersatu atau
bersepakat (1994:1297). Jika dikaitkan dengan kelompok sosial maka “Solidaritas”
itu bolehlah diertikan sebagai rasa kebersamaan dalam suatu kelompok masyarakat
tertentu, atau rasa kesetiakawanan dalam mencapai sesuatu tujuan.
“Sastera” pula adalah tulisan atau karya kreatif yang mempunyai dua fungsi
iaitu memberikan pengajaran dan hiburan yang tentunya melihatkan perasaan dan
penghayatan. Fungsinya memberikan hiburan kerana bentuk dan isinya dapat
memberikan kepuasan atau ketenangan jiwa kepada seseorang atau sekelompok
masyarakat. Sementara fungsinya memberikan pengajaran kerana isinya memberikan
sesuatu pengetahuan kepada khalayaknya sama ada dalam bentuk nasihat, panduan,
contoh teladan, teguran, pendidikan, perutusan, saranan dan keterangan yang berguna
kepada khalayaknya. Karya-karya sastera khususnya karya sastera lama yang
bertemakan historiografi lebih banyak berfungsi memberikan pengetahuan dengan
merakamkan keadaan masyarakat golongan istana dan peristiwa penting yang dilalui
oleh raja dan pembesar-pmbesar negara. Sehubungan dengan itu, makalah ini akan
menggunakan beberapa buah karya sastera Brunei khususnya karya sastera tradisional
Brunei yang bersesuaian dan berkaitan dengan tajuk perbincangan dalam makalah ini.
Sementara itu “Melayu Islam Beraja” (MIB) pula adalah konsep atau falsafah negara
sebagaimana titah Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan
163
sempena Pengisytiharan Kemerdekaan Brunei pada 1 Januari 1984, bertempat di Taman
Haji Sir Muda Omar ‘Ali Saifuddien, Bandar Seri Begawan, antaranya:
Negara Brunei Darussalam adalah dengan izin serta limpah Kurnia Allah Subhanahu
Wata’ala, akan untuk selama-lamanya kekal menjadi sebuah Negara Melayu Islam Beraja
yang Merdeka, Berdaulat dan Demokratik bersendikan kepada ajaran-ajaran Ugama Islam
menurut Ahli Sunnah Waljamaah.
Ketiga-tiga komponen dalam konsep MIB iaitu Melayu, Islam, dan Beraja
mempunyai kesalinghubungan yang amat rapat dan tidak boleh dipisahkan antara satu
sama lain. Melayu dalam konsep MIB membawa maksud bahawa negara kita adalah
negara Melayu yang mempunyai rakyat yang berbangsa Melayu, berkebudayaan
Melayu, dan memartabatkan bahasa Melayu sebagai bahasa rasmi negara. Melayu juga
dapat ditakrifkan sebagai bangsa Melayu yang mengamalkan nilai-nilai tradisi dan
memiliki kebudayaan yang dinamik. Islam pula sebagai teras, iaitu cara hidup dan nilai
kita dalam pegangan beragama. Islam yang menjadi pegangan di sini adalah menurut
ajaran Ahli Sunnah Waljama’ah. Manakala Beraja pula merupakan sistem pemerintahan
monarki yang dikekalkan turun temurun dengan Sultan yang adil saksama memerintah
negara dan menerajui bangsa Melayu di atas takhta kerajaan. Sistem beraja ini
merupakan sistem pemerintahan tradisi yang diwarisi oleh bangsa Melayu yang terkenal
taat setia kepada raja.
Dalam makalah ini, akan dibincangkan bagaimanakah sastera (baik yang sudah
ada atau yang baru hendak ditulis) berperanan dalam memperteguh solidaratas bangsa,
atau sejauh manakah peranan sastera dalam memelihara dan mempertingkatkan
kefahaman terhadap falsafah Negara di Negara Brunei Darussalam , dan seterusnya
dengan kefahaman tersebut dalam memperteguh solidaritas bangsa. Memperteguh
solideratas bangsa, yang dalam kontek ini solideratas bangsa Brunei, tentunya dapat
dilakukan dengan atau melalui berbagai cara dan salah satu caranya dengan
memberikan kefahaman terhadap konsep atau falsafah negara iaitu Melayu Islam
Beraja melalui penulisan karya sastera atau membaca karya-karya sastera yang sudah
ada terutama karya-karya sastera tradisional Brunei yang bertemakan historiografi.
Sekurang-kurangnya ada lima perkara atau hal yang didapati daripada karya sastera
yang dirasakan boleh memberikan kefahaman dan mementapkan falsafah MIB, dan
seterusnya dapat memperteguh solideratas bangsa tersebut, iaitu sastera dapat
mengungkapkan sejarah Negara Bangsa, menungkapkan adat istiadat dan kebudyaaan
Melayu Brunei, menjelaskan dan melestari nilai-nilai Melayu, menjelaskan dan
melestari nilai-nilai Islam, dan seterusnya menjelaskan dan melestari
Sistem
Pemerintahan Beraja tersebut.
Sastera Mengungkapkan Sejarah Negara Bangsa
MIB bukanlah suatu konsep yang baru bagi negara. Konsep ini telah lama wujud
dan diamalkan oleh bangsa Melayu Brunei sepertimana yang tercatat dalam manuskripmanuskrip lama Brunei iaitu Syair Awang Semaun (SAS), Hukum Kanun (HK), dan
Silsilah Raja-Raja Brunei (SRRB). Berdasarkan catatan sejarah, konsep MIB ini telah
diterima dan diamalkan oleh masyarakat Melayu Brunei sejak abad ke-15 masihi.
Misalnya Awang Alak Betatar dalam SRRB dan SAS telah memeluk agama Islam
setelah berkahwin dengan Puteri Johor. Awang Alak Betatar adalah Sultan Islam yang
pertama di Brunei dan nama baginda kemudian ditukar menjadi Sultan Muhammad.
Pengislaman Sultan Muhammad ini menjadi titik tolak bermulanya sistem pemerintahan
bersultan di Brunei dengan Islam sebagai pegangan hidup; dan ketika itu bangsa Melayu
selaku rakyat yang sentiasa mendukung kepimpinan raja perlahan-lahan turut sama
164
memeluk agama Islam. Ketaatan rakyat ini telah memperlihatkan kemuliaan dan
kebesaran daulat seorang raja yang dianggap sebagai ketua agama, sekali gus dianggap
sebagai wakil Tuhan dalam penyebaran dakwah Islam ke seluruh negeri. Peristiwa
pengislaman ini dinyatakan dalam SRRB:
Shahdan tersebut pula negeri Johor. Ada pun mula2 pada zaman itu Sultan
Bahteri naik kerajaan didalam negeri Johor, maka zamannya itu dipanggilnyalah Awang
Khalak Betatar dan Pateh Merbai didalam negeri Berunai ke Johor. Maka apabila sudah
sampai dinegeri Johor, Awang Khalak Betatar itu Sultan Muhammad ialah jadi raja
yang pertama dalam Berunai, dan Pateh itu digalarnya jadi Pangeran Bendahara Seri
Maharaja. Maka sultan dinugerahi oleh Yang Di Pertuan Johor nobat negara dan genta
‘alamat dan negeri lima buah, iaitu negeri Kalaka’ dan negeri Saribas dan negeri
Semarahan dan negeri Serawak dan Mukah. (Amin Sweeney, 1968:52)
Petikan di atas menjelaskan bahawa SRRB adalah sebuah karya historiografi
atau berunsur sejarah yang dapat membuktikan bahawa Raja Brunei yang pertama, iaitu
Sultan Muhammad yang telah memeluk agama Islam dan menyebarkan agama tersebut
kepada seluruh rakyat baginda. Setelah peristiwa pengislaman itu, bermulalah era baru
dalam pemerintahan negara dengan menukar gelaran Raja kepada Sultan dan
menjadikan agama Islam sebagai pegangan hidup. Konsep MIB yang menjadi pegangan
rakyat ketika itu diteruskan dan diperkukuhkan lagi oleh Sultan-sultan yang berikutnya.
Sultan Sharif ‘Ali, sultan Brunei yang ketiga terus memperkembangkan ajaran agama
Islam kepada rakyatnya dan mendirikan masjid di Brunei.
Maka tiada berapa lamanya, masoklah seorang bangsa ‘Arab yang bernama
Sharif ‘Ali Bilfakih kedalam Berunai, yang turun temurun dari negeri Ta’if. Adalah
Sharif itu panchir daripada Amirul Mu’minin Hasan, chuchu Rasulu’Llah s.a.w. Maka
tiada berapa lamanya Sharif ‘Ali itu didalam negeri Berunai, ia pun berbini anak Sultan
Ahmad ini; maka lalu dikahwinkanlah sebagaimana mengikut ‘adat raja2 pada masa itu.
Maka Sharif ‘Ali inilah mendirikan agama Islam dan mengeraskan shari‘at nabi kita
Muhammad s.a.w. di-dalam Berunai, dan membuatkan masjid. (Amin Sweeney, Silsilah
Raja-Raja Brunei, 1968:54)
Sejak itulah, sistem pemerintahan Brunei mula dipimpin oleh Sultan-sultan Ahlul
Bait (darah keturunan Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wassalam) dan secara tidak
langsung memperjelaskan mengenai ketinggian martabat Sultan-sultan Brunei dalam
mentadbir negara dan menyebarluaskan ajaran agama Islam.
Sultan Hasan, sultan yang ke yang terkenal warak dan adil dalam memerintah.
Pada zaman Sultan Hasan inilah, HK telah dilaksanakan sebagai sistem perundangan
negara. HK mengandungi 45 fasal yang menyentuh tentang segala peraturan, tegahan
dan hukuman yang berkaitan dengan perundangan sivil, jenayah, hukum nikah kahwin,
dan adat resam yang perlu diikuti oleh rakyat. Misalnya hukum hudud dalam fasal 7:
Adapun pada hukum Allah Ta’ala orang mencuri tiada harus dibunuh melainkan
dikudung tangannya juga. (Haji Asri bin Haji Puteh, 2003:6)
Hukuman ini berdasarkan hukum syarak bagi kesalahan mencuri sepertimana
firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam Surah al-Maidah, ayat 38:
Adapun orang lelaki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana. (Al-Quran dan Terjemahannya,
2012:114)
Pelbagai hukum telah diperjelaskan dalam HK sebagai panduan dalam menjalani
hidup bermasyarakat. Selain itu, HK juga menekankan agar seorang raja yang dilantik
itu memelihara dan menjaga amanah dalam melindungi rakyat yang berada di bawah
165
naungannya. Fasal pertama HK ada menyebut tentang sifat-sifat yang perlu ada pada
seorang raja, iaitu pengampun, pemurah, dan adil dalam melaksanakan hukuman.
Manakala dalam SRRB turut mencatatkan mengenai syarat-syarat yang mesti dipenuhi
bagi pelantikan para Wazir dan Cheteria selaku wakil pemimpin di bawah Sultan.
Tegasnya, beberapa teks sastera yang telah dinyatakan tadi telah merakamkan
antaranya sejarah pengislaman Sultan Pertama Brunei, adat istiadat Diraja, pentadbiran
undang-undang, dan juga dari segi kehidupan sosial masyarakat Brunei. Kesemua ini
berkait rapat dengan konsep MIB dalam memelihara nilai-nilai murni bangsa Melayu
agar mengamalkan hidup berperaturan, kebudayaan dan adat resam yang elok, taat
kepada ajaran agama, dan setia kepada raja.
Semasa pemerintahan Sultan Haji Omar ‘Ali Saifuddien Sa’adul Khairi
Waddien, kewujudan konsep MIB ini telah dicatat secara rasminya dalam
Perlembagaan Negeri Brunei 1959. Sehingga kini di bawah pemerintahan Sultan Haji
Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah, Sultan dan Yang Di-Pertuan Negara Brunei
Darussalam, konsep MIB tetap kukuh/mantap meskipun berhadapan dengan pelbagai
cabaran di era kemodenan. Konsep ini pernah dititahkan oleh Kebawah Duli Yang
Maha Mulia sempena Sambutan Hari Puja Usia baginda ke-44 tahun di daerah Belait
pada 21 Julai 1990.
Dari tiga rangkai kata Melayu Islam Beraja, terdapat unsur-unsur atau nilai-nilai
yang positif untuk ketahanan Negara, umpamanya dari Melayu itu, ialah bahasanya.
Siapapun tak boleh menyangkal, bahawa Bahasa Melayu itu adalah satu-satunya alat
perpaduan kita yang paling efektif. Tanpa bahasa ini, kita tentunya tidak akan dikenali
sebagai satu bangsa yang berdaulat lagi mempunyai identiti. Demikian juga Islam, ialah
ugama yang menjamin seluruh kepentingan rakyat dan penduduk dengan tidak mengira
apa jua ugama, suku kaum dan keturunan. Pendeknya ugama Islam adalah jaminan
keselamatan dan kesejahteraan untuk semua. Kerana itu tidak siapa perlu takut atau ragu
mengenainya. Sementara perkataan Beraja pula adalah menunjukkan kepada kerajaan
yang bersultan atau beraja yang sudah wujud dan menjadi warisan zaman semenjak dari
beberapa abad lagi.
Titah Kebawah Duli Yang Maha Mulia tadi telah memperjelaskan lagi mengenai
konsep MIB agar rakyat dapat memahami maksudnya yang sebenar. Selain itu, banyak
karya sastera turut memainkan peranan dalam memberigakan konsep MIB antaranya
dalam petikan sajak berikut,
Sudah enam kurun bangsaku meniti gelombang
Kebangkitan rasa dan minda
Di bawah latihan Sultan Mahmud Shah
Melayu Islam Beraja berkumandang sudah
Menyingkap tabir kejahilan umat
Sharif Ali galang ganti bangsa gemilang
Islam terus menyinari buana rasa masjid terbina
Hati gembira hukum kanun Brunei mendaulatkan agama
(Helmi Harun, 2006:125)
Dengan mengetahui dan memahami sejarah negara bangsa yang dijelaskan di
atas, rakyat dan penduduk negara Brunei Darussalam akan mempunyai memori negara
bangsa yang sama, yang seterusnya dengan kesamaan pengetahuan dan kefahaman
tersebut akan melahirkan pula perasaan cinta kepada Negara yang sama. Hal ini
tentunya akan menyumbang kepada usaha memperteguh solideritas bangsa Brunei.
166
Sastera Mengungkapkan Adat Istiadat dan Kebudayaan Melayu Brunei
Bangsa Brunei merupakan bangsa yang begitu bangga dengan adatnya, bangsa
yang kaya dengan adat resam. Adat di sini bermaksud peraturan atau perundangan
dalam sesebuah masyarakat yang tidak bertulis akan tetapi diamalkan dan diterima
pakai sehingga menjadi hukum yang mesti dipatuhi. Di negara Brunei, adat dan budaya
kebruneian yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam masih lagi diamalkan
dan dipertahankan kerana ia juga merupakan salah satu identiti bangsa Melayu Brunei.
Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Di-Pertuan
Negara Brunei Darussalam bertitah ketika merasmikan Kursus Wazir-Wazir, CheteriaCheteria, Menteri-Menteri termasuk Manteri-Manteri Pedalaman bertempat di Sekolah
Menengah Arab Hassanal Bolkiah pada 22 Jun 1968:
Laila adat istiadat adalah sebahagian daripada kebudayaan yang biasanya diamalkan dan
menjadi kebanggaan oleh sesebuah negara, lebih-lebih lagi negara kita Brunei yang
sedia laila subur dengan adat istiadat dan kebudayaannya. Apa-apa yang merupakan
kebudayaan itu adalah terkandung ke dalam pengertian adab diperistiadatkan. Brunei
dalam soal ini ialah sebuah negara tua, yang cukup indah dalam sejarahnya mempunyai
adat istiadatnya yang rapus laila teratur.
Adat terbahagi kepada dua, iaitu adat resam dan adat istiadat. Adat resam
merupakan suatu peraturan atau kebiasaan yang diamalkan secara turun-temurun
daripada satu generasi kepada satu generasi yang lainnya dan dihormati seolah-olah ia
adalah peraturan bertulis. Adat ini, tidak mewajibkan seseorang itu untuk
mengerjakannya tetapi adalah menjadi suatu keaiban bagi seseorang yang tidak
mengerjakannya. Adat resam dalam istilah modennya dikenali sebagai norma. Norma
dari sudut adat resam merupakan nilai atau kelakuan yang diterima menjadi kebiasaan
atau kelaziman dan cara kehidupan atau kebudayaan masyarakat. Misalnya, berbudi
bahasa dan bersopan santun itu adalah norma orang Melayu yang jarang didapati pada
masyarakat lain. Sebagai contoh mengenai dengan aktiviti memucang-mucang yang
mesti dihadiri oleh masyarakat yang tinggal di sebuah kampung, jika didapati seseorang
itu tidak turut serta dalam pekerjaan memucang-mucang, maka perbuatan itu akan
menjadi suatu keaiban kepadanya.
Adat istiadat pula telah dipusakai sejak turun-temurun dari zaman Sultan
terdahulu hinggalah sekarang. Akan tetapi setelah kedatangan agama Islam, adat istiadat
ini telah disesuaikan menurut hukum Islam. Contoh yang jelas dapat dilihat daripada
pengunaan bahasa Sanskrit dalam Chiri Menggelar Pembesar Diraja Brunei. Adat
istiadat ini juga tidak diperundangkan akan tetapi menjadi suatu keaiban dan rasa
bersalah kepada orang yang melanggarnya. Adat istiadat ada banyak antaranya ialah
adat istiadat Diraja Brunei dan adat istiadat perkahwinan orang Melayu Brunei.
Terdapat perbezaan antara kedua-dua adat istiadat yang disebutkan tadi. Adat Istiadat
Diraja adalah suatu adat yang tetap dan telah diperistiadatkan. Ia mestilah dikerjakan
dan dituruti serta dilaksanakan. Adat istiadat perkahwinan Melayu Brunei juga
merupakan adat yang telah diwarisi turun-temurun, akan tetapi adat ini boleh
ditinggalkan atau tidak dikerjakan. Walau bagaimanapun, ia akan memberi kesan
negatif kepada sesiapa yang tidak mengerjakannya, sebagai contoh orang yang tidak
mengerjakannya akan dipandang rendah dan dikatakan tidak tahu adat. Selain daripada
adat istiadat perkahwinan, contoh bagi adat istiadat adalah seperti ketika lagu
kebangsaan Brunei yang terkenal dengan nama “Allah Peliharakan Sultan” dimainkan,
maka semua yang hadir akan berdiri dengan sendirinya. Jika didapati salah seorang
daripada yang hadir itu tidak berdiri, dia akan dipandang rendah dan dianggap tidak tahu
167
peraturan. Walhal berdiri untuk menghormati lagu kebangsaan itu hanyalah suatu
peraturan yang tidak bertulis.
Dalam konteks adat istiadat Diraja Brunei, dapat dilihat melalui pengurniaan
gelaran Wazir-wazir yang hanya diberikan kepada pengiran-pengiran yang mempunyai
hubungan darah dengan raja-raja, manakala gelaran Cheteria pula hanya diberikan
kepada mereka yang berketurunan pengiran-pengiran yang berbangsa (bangsawan).
Gelaran Pehin-pehin Menteri dan Manteri Pedalaman pula diberikan kepada rakyat
jelata yang terpilih. Perihal pengurniaan gelaran ini tercatat dalam SRRB manuskrip A,
iaitu semasa mengurniakan gelaran akan dimulakan dengan adat istiadat tertentu seperti
membaca chiri:
… dan beberapa biduanda besar2 mengiringkan sireh persalinan itu. Sudah dibachakan
chiri, maka dibari memakai pakaian kerajaan selengkapnya, dibari berkulah dan kamar
dan tara; maka dudoklah diatas permaidani menyandar pada sheraga ratna kerana
timangan2 Duli Yang Di Pertuan juga, maka lalulah naik keatas usongan, … (Amin
Sweeney, 1968:23)
Pembacaan chiri ini penting sebagai pengesahan bagi gelaran seseorang. Selain
itu, dalam SRRB juga mencatatkan empat kelayakan yang perlu ada bagi seseorang yang
akan dikurniakan gelaran. Syarat-syarat tersebut ialah:
… maka hendaklah pertama orang berbangsa, kedua orang yang bijaksana lagi ber‘akal,
ketiga orang yang berani dan lagi perkasa pada barang pekerjaannya, keempat adalah
orang itu takut akan rajanya dan hormatnya. Maka jikalau ketiadaan salah suatu sharat
yang keempat perkara itu maka tiadalah sempurna dijadikan wazir atau menteri atau
hulubalang atau Pegawai. (Amin Sweeney, 1968:21)
Selain SRRB, HK (2003) juga mencatatkan tentang pengurniaan gelaran terhadap
kaum kerabat Diraja dan bangsawan termasuklah golongan rakyat yang terpilih menjadi
pembesar negara seperti pelantikan menjadi Bendahara, Temenggung, Penghulu
Bendahari, dan Syahbandar. Hal ini dinyatakan dalam petikan berikut:
Adapun pertama-tama yang dijadikan itu Bendahara, dan kedua Temenggung,
ketiga Penghulu Bendahari dan Syahbandar supaya terpelihara oleh raja-raja itu akan
segala rakyatnya. (Haji Asri bin Haji Puteh, 2003:2)
Kerajaan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan
Yang Di-Pertuan Negara Brunei Darussalam telah mengambil beberapa inisiatif demi
untuk mengekalkan adat istiadat sebagai identiti bangsa Melayu. Antara inisiatif
tersebut adalah dengan menubuhkan Jabatan yang khusus, iaitu Jabatan Adat Istiadat
Negara yang berfungsi menyelaraskan dan mengaktifkan adat istiadat Melayu terutama
sekali yang berhubung dengan Majlis Keberangkatan Kebawah Duli Yang Maha Mulia
Paduka Seri Baginda Sultan ke majlis-majlis rasmi kerajaan. Jika kita perhatikan
contohnya semasa Majlis Santap Malam sempena Ulang Tahun Hari Keputeraan
Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan yang diadakan setiap
tahun, adat istiadat dalam majlis ini begitu indah dan tersusun rapi dengan bersandarkan
kepada stratifikasi sosial masyarakat Melayu Brunei dengan susunan tempat duduk
mengikut taraf, status dan pangkat masing-masing. Perkara inilah yang perlu kita
pertahankan dan kita seharusnya berbangga kerana ini merupakan identiti kita sebagai
bangsa Melayu yang tidak terdapat pada bangsa-bangsa lain.
Maka jelaslah sastera juga turut berperanan melestarikan adat istiadat dan
kebudayaan Melayu Brunei melalui beberapa karya yang telah dihasilkan. Karya-karya
sastera sejak dahulu lagi telah memasukkan tentang adat istiadat dan kebudayaan
Melayu Brunei sebagai rakaman serta panduan bagi masyarakat; dan secara tidak
langsung menjadi dokumentasi sejarah untuk pengetahuan generasi yang akan datang.
168
Pengetahuan dan kefahaman dalam perkara ini sedikit sebanyak dapat membrikan
sumbangan dalam memperkuat dan melestari konsp MIB serta seterusnya memperteguh
solideratas bangsa.
Sastera Menjelaskan dan Melestari Nilai-nilai Melayu Brunei
Istilah Melayu dalam konsep MIB dapat ditakrifkan sebagai sebuah negara
berbangsa Melayu yang mengamalkan unsur-unsur tradisi atau kebudayaan Melayu
yang mempunyai nilai-nilai yang luhur. Bangsa Melayu yang dimaksudkan di sini ialah
tujuh puak jati seperti yang telah diiktiraf oleh Perlembagaan Negeri Brunei 1959 iaitu
Belait, Bisaya, Brunei, Dusun, Kedayan, Murut, dan Tutong. Sebagai bangsa yang telah
diiktiraf, bangsa Melayu seharusnya memberikan contoh terbaik kepada bangsa-bangsa
lain yang tinggal menetap di Brunei. Namun begitu, takrif Melayu dalam konsep MIB
bukanlah bermaksud untuk memelayukan orang yang bukan berbangsa Melayu atau
menganaktirikan bangsa-bangsa lain. Mereka hanya dikehendaki untuk mengetahui dan
menghormati budaya Melayu dan bagi mereka yang sudah menjadi rakyat Brunei
hendaklah menghayati dan menyesuaikan diri dengan budaya tersebut. Contohnya,
bangsa Cina yang telah menjadi warganegara Brunei hendaklah mengetahui dan
memahami konsep MIB seperti daulat atau taat kepada raja dan belajar menguasai
penggunaan bahasa Melayu.
Antara nilai-nilai yang menjadi kebanggaan bangsa Melayu sejak dahulu lagi
ialah konsep hormat indung bapa (menghormati orang yang lebih tua), awar galat
(bersopan santun), bakarih (rajin berusaha), penuntutan (sentiasa menuntut ilmu), cakah
(cergas), titih lutanan (cermat, teliti dan tekun), dan lain-lain. Nilai-nilai ini dapat dilihat
pada karya-karya sastera Brunei seperti pantun, syair, hikayat dan puisi. Misalnya
nasihat Al-Marhum Sultan Haji Omar ‘Ali Saifuddien dalam syair-syair baginda agar
kita bakarih, rajin beusaha dan penuntutan dalam menuntut ilmu tanpa mengira tempat
sama ada dekat ataupun jauh sebagai bekalan di dunia dan di akhirat nanti:
Menuntut ilmu sangat disuruh
Jangan memilih dekat dan jauh
Hendaklah diuji bersungguh-sungguh
Mudahan menjadi pelita suluh
…
Dunia akhirat tiada rugi
Jauh daripada nama yang keji
Dengan izin Allahurabbi
Menambahkan pangkat darjat yang tinggi
(Syair Nasihat, h. 2)
Tuntutlah ilmu bersungguh-sungguh
Disertai dengan hati yang patuh
Ibarat tanaman pastilah tumbuh
Dapatlah nikmat buah diluruh
(Syair Nasihat, h. 10)
Tuntutlah ilmu seberapa jauh
Duduki pelajaran laila bersauh
Kalau segan duduk berkauh
Ilmu pengetahuan di badan jauh
(Syair Asli Rajang Hari, h. 25)
169
Selain itu, salah satu unsur terpenting dalam masyarakat ialah ‘budi’ yang
dipandang tinggi dan merupakan ciri terunggul bagi bangsa Melayu Brunei. Perihal
‘budi’ ini sering terdapat dalam pantun-pantun Melayu sebagai gambaran bahawa
bangsa Melayu itu memang terkenal dengan kesantunan ‘budi’ dan amat menghargai
‘budi’ yang telah diberikan. Misalnya dalam pantun berikut:
Tinggi bukit gilang-gemilang
Aing di laut tenang-tenangan
Budi sedikit manakan hilang
Seumur hidup jadi kenangan
Daun tarap di atas bukit
tempat menjemur buah pahala
Budi tuan bukan sedikit
Sebanyak rambut atas kepala
Bercincin patah balitung
Mari dibawa memilih beras
Budi si dayang tidak terhitung
Kemudian hari kami membalas
(Awang bin Ahmad, 1989:2)
Perihal ‘budi’ ini turut terdapat dalam Syair-syair karangan Al-Marhum Sultan
Haji Omar ‘Ali Saifuddien, misalnya:
Di manakan dapat menabur budi
Ingatkan budi tiada sudi
Di manakan dapat menabur jasa
Melupakan jasa setiap masa
Melupakan jasa di manakan sudi
Tambahan melupakan laila budi
Wahai anakku, kakak dan adi
Kebahagiaan yang mana kekal abadi
(Syair Asli Rajang Hari, h. 8)
Cara hidup masyarakat Melayu juga amat berbeza dengan bangsa-bangsa lain
meskipun sebelum kedatangan agama Islam ke Brunei. Misalnya melalui cara
berpakaian orang Melayu yang tidak terlalu menjolok mata seperti memakai baju cara
melayu untuk lelaki dan baju kurung atau baju kebaya untuk perempuan yang biasanya
dipakai ke majlis-majlis tertentu seperti majlis perkahwinan. Setelah kedatangan agama
Islam, pakaian orang Melayu diperbisaikan lagi dengan menutup aurat, contohnya
memakai baju kurung dan bertudung. Manakala jika bangsa Melayu berbuat sesuatu
perkara yang kurang elok seperti berpakaian menjolok mata atau berkelakuan tidak
senonoh di khalayak ramai, bangsa lain akan mengatakan “Melayu saja”. Ini juga
merupakan satu “kenyataan” bahawa bangsa Melayu itu memang terkenal memelihara
tatasusila sehinggakan bangsa-bangsa lain juga bersetuju dan mengiktiraf bangsa
Melayu itu sebagai bangsa yang memiliki nilai-nilai yang luhur seperti awar galat dan
bersopan santun.
Selain itu juga, nilai murni yang sering menjadi kebanggaan masyarakat Melayu
ialah bermuafakat dan tolong-menolong terutama sekali semasa melakukan persediaan
bagi acara suka dan duka. Nilai ini dinyatakan oleh Al-Marhum Sultan Haji Omar ‘Ali
Saifuddien dalam syair baginda:
170
Bulat air kerana alungan
Bulat manusia kerana muafakat
Ke arah kebajikan bertolong-tolongan
Benda yang berat ringan diangkat
(Syair Asli Rajang Hari, h. 34)
Sastera juga ada mengisahkan tentang pentingnya hubungan persaudaraan yang
boleh dijadikan pengajaran kepada masyarakat, contohnya dalam Syair Awang Semaun.
Awang Semaun ialah putera bungsu daripada 14 orang separdian, beliau merupakan
seorang pahlawan yang paling gagah dan berani, namun perkara ini tidak menjadi alasan
untuk beliau tidak menghormati kekanda-kekandanya. Awang Semaun tetap
memperlihatkan semangat persaudaraan terutama kepada Awang Alak Betatar sebagai
kekandanya yang tua. Contohnya, Awang Semaun telah mendahulukan Awang Alak
Betatar untuk naik ke atas pokok ketika hendak bertemu dengan ayahanda mereka di
kayangan. Ini merupakan gambaran sikap terpuji, iaitu suka beralah kepada yang lebih
tua. Pemikiran ini merupakan antara ciri-ciri budaya Melayu yang terkenal dengan nilainilai luhur seperti menghormati orang yang lebih tua.
Sememangnya masyarakat Melayu Bruni sejak dahulu lagi sudah terkenal
memiliki kesemua nilai tersebut dan mengamalkannya dalam kehidupan seharian
mereka. Nilai-nilai luhur yang dijelaskan atau dimuatkan dalam karya-karya sastera
tersebut itulah dirasakan sedikit sebanyak dapat memantapkan konsep MIB, dan
memperteguh solideratas bangsa Brunei.
Sastera Menjelaskan dan Melestari Nilai-nilai Islam
Islam adalah agama rasmi negara seperti yang termaktub dalam Perlembagaan
Negeri Brunei 1959 dan merupakan salah satu komponen penting dalam konsep MIB.
Islam yang dimaksudkan di sini adalah menurut ajaran Ahli Sunnah Waljama’ah.
Sebagai satu-satunya agama yang mempraktikkan cara hidup yang lengkap, Islam
merangkumi nilai-nilai murni seperti jujur, amanah, benar, ikhlas, dan lain-lain. Nilainilai tersebut kerap digambarkan dalam karya-karya sastera bagi tujuan memperjelaskan
lagi kepentingannya kepada pembaca. Misalnya dalam beberapa petikan berikut:
Keikhlasan hati sungguh berguna
Cahayanya menerangi alam saujana
Laila adil timbangan baina
Bertimbang rasa yang bijaksana
(Syair Asli Rajang Hari, h. 2)
Hari Khamis lima haribulan
Lima rajangnya lima bilangan
Laila bentuk berkeadilan
Bertulus jujur tiada walangan
(Syair Asli Rajang Hari, h. 7)
Walau berlainan bahasa dan cara
Tiada berasingan pendapat dan kira
Ke arah kebaikan jujur dan mesra
Sangat berguna pada negara
Berfaedah sungguh kepada negeri
Yang jujur dan ikhlas di sanubari
Yang bersependapat sama berdiri
Membuat kebajikan tiada lari
171
(Syair Asli Rajang Hari, h. 23)
Ayuta singgahsana kalam terhembur
Si dewa-dewa perbu cara bertutur
Mudah-mudahan Allah mendulur
Kepada hamba-Nya berhati jujur
Berhati jujur berbetul niat
Tabah dan sabar selagi berhayat
Barang perbuatan hendaklah giat
Dapatlah jalan yang manfaat
(Syair Nasihat, h. 1)
Supaya dapat kita berikhtiar
Menurut perintah-Nya janganlah ingkar
Menjalankan usaha berserta sabar
Tawakal kepada Allahuakbar
(Syair Nasihat, h. 3)
Sabar itu ada pasangannya
Iaitu ikhtiar bersama-samanya
Jangan ditinggalkan salah satunya
Harus mencapai kebajikannya
(Syair Nasihat, h. 23)
Contoh lain bagi sikap terpuji dalam Islam adalah seperti amalan bermesyuarah
dan berunding sebelum membuat keputusan. Nilai ini tercatat dalam Syair Rakis
(Awang bin Ahmad, 1989:21),
Pertama jangan memakai tegahan
Kedua jangan bersalah-salahan
Ketiga muafakat serta sekalian
Keempat mesyuarat membicarakan
Jelaslah di sini bahawa sastera turut memainkan peranan dalam melestarikan
nilai-nilai Islam kepada masyakarat dan seterusnya secara tidak langsung dapat
memantapkan konsep MIB dan memperkukuhkan bangsa.
Sastera Menjelas dan Melestari Sistem Pemerintahan Beraja
Sistem pemerintahan beraja amat sinonim dengan dunia Melayu kerana bangsa
Melayu sejak dahulu lagi – meskipun sebelum kedatangan agama Islam – memang
terkenal dengan taat setia yang tidak berbelah bahagi kepada raja. Ketaatan ini bukan
sahaja disebabkan oleh adat dan budaya bangsa Melayu yang pantang menderhaka
kepada raja akan tetapi kerana berpegang teguh kepada ajaran agama Islam yang
menyeru umatnya agar sentiasa mentaati perintah Ulul Amri selama mana ia tidak
mendekati kepada maksiat. Perihal taat setia kepada raja ini banyak tercatat dalam
karya-karya sastera tradisi sebagai gambaran sememangnya nilai tersebut merupakan
warisan yang menjadi kebanggaan bangsa Melayu. Kesetiaan rakyat Brunei kepada raja
ini dapat dilihat melalui watak Awang Semaun dan saudara-saudaranya dalam SAS.
Awang Semaun dan saudara-saudaranya sanggup berkorban demi memastikan
keselamatan raja Brunei, iaitu Awang Alak Betatar ketika perairan Brunei diserang oleh
lanun. Malahan Awang Semaun juga sanggup mengorbankan nyawanya sendiri
daripada membiarkan raja Brunei turun berperang.
172
Berdatang sembah Awangku Bendahara
Ampun tuanku mahkota indera
Lanun banyak di tanjung pura
Masuk ke mari melanggar negara
Dijunjung berangkat seribu pati
Tuanku jangan menuruti hati
Dijunjung tuanku masuklah pasti
Biarlah patik dahulu mati
Biarlah patik dahulu berlawan
Dengan bangsanya harian
Tuanku jangan tiada ketahuan
Anggur pun patik jadi layuan
Anggurlah patik hancur dan luluh
Tuanku tidak melepas tempuh
Tuanku jangan sangat gelupuh
Patik tiada lagi bertangguh
(Haji Abdul Hamid Jaludin, 2010:124-125)
Semangat kesetiaan ini juga dapat dilihat ketika berlangsungnya upacara adat
istiadat Diraja, misalnya:
Istiadat berpuspa juga dapat memperlihatkan semangat kesetiaan orang Brunei kepada
rajanya khususnya semasa majlis perpuspaan apabila pembesar dan rakyat yang
menghadiri upacara tersebut memberikan pengakuan secara rasmi tentang taat setia
mereka yang tidak berbelah bagi. Misalnya dalam teks Silsilah Raja-raja Brunei
dinyatakan bahawa salah satu acara yang dijalankan semasa berpuspa adalah pernyataan
“sembah” yang diucapkan oleh pembesar dengan suara yang nyaring sambil menghunus
pedang. Teriakan tersebut kemudian diikuti atau disambut oleh rakyat jelata dengan
mengatakan, “Daulat Yang Di-Pertuan”. (Ampuan Dr. Haji Brahim Ampuan Haji Tengah,
2011:36-37)
Taat setia rakyat kepada raja masih terserlah sehingga ke hari ini apabila setiap
rakyat sentiasa memberikan komitmen dalam acara-acara yang bersifat kenegaraan dan
kebangsaan terutama yang dihadiri oleh Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri
Baginda Sultan dan Yang Di-Pertuan seperti Sambutan Hari Keputeraan, Acara Ramah
Mesra Bersama Rakyat, Sambutan Maulidur Rasul, dan sebagainya. Komitmen rakyat
ini memberi gambaran bahawa nilai taat setia dalam mendukung pemerintahan beraja
amat dititikberatkan oleh bangsa Melayu.
Tegasnya dalam konsep MIB, Sultan merupakan pemerintah dan ketua negara
yang memegang tampuk pentadbiran dan pengurusan kerajaan sekali gus sebagai ketua
agama bagi negara. Oleh itu, setiap rakyat perlu taat setia dan mendukung kepimpinan
baginda. Kuasa Sultan ini telah dinyatakan dalam Perlembagaan Negeri Brunei 1959
seperti berikut:
Kuasa memerintah yang tertinggi bagi Negara Brunei Darussalam adalah terletak di
dalam tangan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang
Di-Pertuan.
Kuasa yang diamanahkan kepada Sultan termasuklah memastikan kebajikan,
kesejahteraan serta keamanan rakyat dan penduduk sentiasa terjamin. Oleh yang
demikian sebagai balasan kepada raja, rakyat telah memperlihatkan taat setia yang tidak
berbelah bahagi sejak dahulu lagi. Pengetahuan dan Kefahaman mengenai Sistem
Pemerintahan Beraja yang dibicarakan di atas, yang disampaikan melalui karya sastra
173
mampu membawa negara mencapai matlamatnya dan dapat memastikan kebajikan
rakyat sentiasa dijaga dan solideratas bangsa terus terpelihara.
Penutup
Daripada tulisan atau karya sastra yang ada, ternyata sastra telah terbukti atau
dapat digunakan dalam memberikan kefahaman dan pengetahuan mengenai konsep dan
falsafah negara MIB kepada rakyat dan penduduk Negara Brunei Darussalam. Terdapat
lima perkara yang berkaitan dengan MIB yang sudah ada, atau boleh diadakan dalam
karya sastra iaitu latar belakang sejarah negara bangsa, adat istiadat dan kebudayaan
Melayu, nilai-nilai Melayu, Islam, dan Sistem Pemerintahan Beraja.
Dengan
mengetahui dan memahami konsep MIB khususnya lima perkara tersbut, setiap rakyat
akan mempunyai cita-cita, tanggungjawab, gagasan, kecintaan (rasa nasionalis) dan latar
belakang yang sama terhadap kedaulatan bangsa dan negara Brunei Darussalam.
Kesamaan tersebut itulah yang menjadi asas dalam mempreteguh solidritas bangsa, atau
boleh juga diibaratkan bahawa kesamaan itu sebagai akar yang telah memperkuat
pohon solidaritas bangsa.
Sehubungan dengan itu juga, sebagai tambahan, setiap rakyat Brunei hendaklah
sentiasa berusaha mempertahankan nilai-nilai murni bangsa Melayu seperti yang
terdapat dalam karya-karya sastera yang dibincangkan di atas, supaya dapat
memantapkan lagi falsafah negara dan seterusnya mampu memberi sumbangan dalam
pembangunan bangsa dan negara. Antara peranan orang Brunei dalam mendukung
konsep MIB ialah taat setia kepada raja, berpegang teguh dengan ajaran agama Islam
menurut Ahli Sunnah Waljama’ah,
mewujudkan perasaan setia pada negara,
mendukung matlamat dan aspirasi negara, menghormati dan mematuhi Perlembagaan
dan Undang-Undang Negara, serta mempertahankan dan memperkukuhkan budaya
bangsa Melayu. Peranan tersebut merupakan sebahagian daripada tanggungjawab
penulis menghasilkan karya-karya sastra yang komitat bagi memperkuat solidritas
bangsa dan menjamin survival negara, iaitu Negara Brunei Darussalam.
Daftar Rujukan
Abdul Hamid Jaludin, Haji, 2010. Syair Awang Semaun (Koleksi Muzium). Bandar Seri
Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Abdul Latif Haji Ibrahim, Haji, Ph.D., 2004. Melayu Islam Beraja: Penghantar Huraian
(Edisi Kedua). Bandar Seri Begawan: Akademi Pengajian Brunei, Universiti
Brunei Darussalam.
Al-Qur’an dan Terjemanahnnya, 2012. Kuala Lumpur: Pustaka Darul Iman.
Amin Sweeney, P.L. ‘Silsilah Raja-Raja Brunei’ dlm. JMBRAS 41(2), December 1968.
Ampuan Brahim Ampuan Haji Tengah, Dr. Haji, 2009. Fungsi Sastera. Bandar Seri
Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka.
__________, 2010. Kesusasteraan Brunei Tradisional: Pembicaraan Genre dan Tema.
Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka.
__________, 2011. Pembicaraan Sastera dan Budaya. Bandar Seri Begawan: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Asri bin Haji Puteh, Haji (pnys.), 2003. Hukum Kanun. Bandar Seri Begawan: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
174
Awang bin Ahmad, 1989. Pengantar Sastera Lama Brunei. Bandar Seri Begawan:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Gira Ujan, 2008. Pengantar Sejarah Kesusasteraan Klasik Melayu Brunei. Bandar Seri
Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Helmi Harun, 2006. Pelayaran Sang Sufi (antologi pusisi). Bandar Seri Begawan:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kamus Dewan Edisi Ketiga, 1994. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai
Pustaka,
Md. Zain bin Haji Serudin, Pehin Jawatan Luar Pekerma Raja Dato Seri Utama Dr
Ustaz Haji, 1998. Melayu Islam Beraja: Suatu Pendekatan. Bandar Seri
Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mohd. Jamil Al-Sufri, Pehin Orang Kaya Amar Diraja Dato Seri Utama (Dr.) Awang
Haji, 1982. ‘Adat-istiadat Brunei’ dlm. Ikhtisar Budaya, Bandar Seri
Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka.
__________, 1990. Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan Perkembangan Islam. Bandar
Seri Begawan: Jabatan Pusat Sejarah.
Mohd. Jamil Al-Sufri, Pehin Jawatan Dalam Seri Maharaja Dato Seri Utama Dr. Haji
Awang, 1996. Perlaksanaan Dasar Negara Melayu Islam Beraja. Bandar
Seri Begawan: Pusat Sejarah Brunei.
__________, 2008. Melayu Islam Beraja: Hakikat dan Hasrat. Bandar Seri Begawan:
Pusat Sejarah Brunei.
Muda Omar ‘Ali Saifuddien, 1994. Syair Asli Rajang Hari. Bandar Seri Begawan:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
__________, 2008. Syair Nasihat. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka.
175
MENEGOSIASI KESENJANGAN:
PENDEKATAN FUNGSIONALISME DALAM TERJEMAHAN
Harris Hermansyah Setiajid
(Universitas Sanata Dharma Yogyakarta – Indonesia)
Abstrak: Dewasa ini semakin banyak akademisi penerjemahan menganggap produk
terjemahan sebagai entitas otonom yang terpisah dari karya “asli” yang diterjemahkan.
Terjemahan layak menempati posisi “karya asli”, bukan lagi turunan kedua. Pandangan
ini diperkuat oleh semakin banyaknya karya terjemahan yang melakukan penyesuaian
dan adaptasi terhadap budaya sasaran (target culture), untuk mempersempit lebarnya
kesenjangan dan menaturalisasi konten-konten yang mungkin dianggap sensitif bagi
budaya sasaran.
Pendekatan yang “ramah budaya sasaran” ini dipelopori oleh Reiss yang
menyebutnya sebagai pendekatan fungsionalisme. Pada awal kemunculannya,
pendekatan ini dianggap menyimpang dari teori-teori terjemahan lama yang
menekankan kesetiaan pada bahasa sumber. Dalam pendekatan fungsionalisme,
keakuratan terjemahan tidak lagi diukur dari tingginya “kesetiaan” pada bahasa sumber,
tetapi dari tingkat keberterimaan terjemahan oleh pembaca sasaran.
Makalah ini mencoba mengeksplorasi bagaimana pendekatan fungsionalisme
bekerja dan diterapkan dalam terjemahan. Pendekatan fungsionalisme dalam makalah
ini digambarkan dengan membandingkan teks sumber dan teks sasaran untuk
menunjukkan “keakuratan” terjemahan dilihat dari perspektif fungsionalisme.
Kata kunci: pendekatan fungsionalisme, bahasa sumber, bahasa sasaran
Pengantar
Penerjemahan acapkali dianggap sebagai pekerjaan sederhana memindahkan satu
bahasa ke bahasa lainnya. Yang sering dilupakan dan tidak terlihat adalah bagaimana
proses menerjemahkan itu terjadi di dalam benak seorang penerjemah. Pengambilan
keputusan untuk memilih suatu istilah di antara banyak pilihan dilakukan berdasarkan,
antara lain, latar belakang penerjemah, tujuan penerjemahan, dan pembaca sasaran.
Proses yang rumit ini tidak terjadi di ruang hampa, namun penuh dengan kepentingan
sosial, ekonomi, dan politik. Seperti yang dikatakan Hatim dan Munday, “...the focus
[of translation] has broadened far beyond the mere replacement of SL [Source
Language] linguistic items with their TL [Target Language] equivalents” (2004: 6).
Fokus penerjemahan tidak hanya mengalihkan bahasa sumber (Bsu) ke bahasa
sasaran (Bsa). Pengaruh berbagai kepentingan ini menjadikan terjemahan tidak lagi
sekadar kegiatan kebahasaan yang netral. Namun, hal itu tidak terlihat dalam produk
terjemahan, karena pembaca hanya menilai terjemahan dari sisi apakah terjemahan
tersebut enak dibaca atau tidak.
Pendekatan terjemahan seperti yang ditawarkan Newmark dalam Diagram V-nya
berikut ini menunjukkan kontinum terjemahan dari SL-heavy (menekankan BSu) hingga
TL-heavy (menekankan pentingnya BSa) (Newmark, 1989: 16):
176
Penekanan BSu
Penekanan BSa
Word-for-word
Adaptation
Literal translation
Free translation
Faithful translation
Idiomatic translation
Semantic/communicative translation
Sementara ada pendekatan terjemahan yang menekankan pada pentingnya
pembaca sasaran sebagai fokus utama dalam pengambilan keputusan. Pendekatan
tersebut kemudian berkembang dan banyak diterapkan karena bisa mengakomodasi
kesenjangan yang terjadi antara teks sumber (TSu) dan teks sasaran (TSa).
Pendekatan fungsionalisme dalam terjemahan
Dipelopori oleh Katharina Reiss, pendekatan fungsionalisme ini awalnya
berangkat dari konsep ekivalensi-nya Nida (1970) yang preskriptif. Reiss menekankan
pentingnya situasi komunikatif yang terjadi di budaya TSa (Reiss, 1971: 113-114).
Menurutnya, sebuah teks harus bisa memenuhi keinginan pembaca TSa tanpa
menimbulkan gejolak yang mengakibatkan tujuan terjemahan tidak tercapai. Walaupun
pendekatan yang ditawarkan Reiss ini sudah mencoba terlepas dari pendekatan yang
preskriptif seperti pada periode-periode sebelumnya, dalam praktiknya ekivalensi yang
bersifat korespondensi satu-satu terkadang masih menjadi fokus utama.
Pendekatan fungsionalisme ini kemudian dikembangkan oleh Reiss dan Vermeer
dengan memperkenalkan teori mereka yang disebut sebagai skopos theory (skopos
berasal dari bahasa Yunani yang artinya ‘tujuan’). Dalam buku mereka yang berjudul
Groundwork for a General Theory of Translation, Reiss dan Vermeer menyatakan
bahwa “...a translatorial action which is based on an ST, which has to be negotiated and
performed and which has a purpose and a result” (Reiss dan Vermeer, 1984: 228).
Bahwa tindakan penerjemahan yang didasarkan pada BSu, yang harus dinegosiasikan
dan dilaksanakan, harus punya tujuan dan hasil. Teori skopos mementingkan tujuan
terjemahan yang secara hipotetis bahkan harus mengatasi segala hambatan yang
mungkin terjadi ketika produk dihasilkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Sebagai contoh, ketika seorang penerjemah harus menerjemahkan sebuah cerita
yang mengisahkan persahabatan seorang anak dengan anjingnya, ia harus memerhatikan
pembaca sasaran terjemahannya. Apakah pembaca sasaran bisa menerima gambaran
kedekatan anak dan anjing yang sedemikian akrab, atau menganggap hal tersebut
sebagai kenajisan, karena bagi sebagian agama anjing dianggap sebagai binatang najis.
Penerjemah harus pula mengetahui tujuan terjemahannya. Apakah terjemahan
tersebut untuk menggambarkan keakraban antara manusia dan hewan, sehingga jenis
binatang bisa diubah agar bisa diterima pembaca sasaran, atau justru terjemahan tersebut
dilakukan untuk mengubah pola pikir masyarakat yang menganggap anjing sebagai
binatang najis. Mengetahui tujuan penerjemahan akan membantu penerjemah
mengambil keputusan di tengah berbagai pilihan yang tersedia.
Dalam pendekatan fungsionalisme, keakuratan terjemahan dimaknai bukan lagi
sebagai ketepatan atau kesamaan secara tektual, namun lebih pada pemaknaan
kontekstual situasi TSa. Artinya, penerjemahan direkayasa sedemikian rupa agar bisa
diterima dengan baik oleh pembaca TSa. Sebagai contoh, pada teks yang mengandung
pornografi, agar teks terjemahan bisa diterima oleh pembaca teks sasaran, unsur
pornografi bisa dihilangkan, seperti contoh berikut ini:
177
No
1/ST/171
Teks Sumber
I felt her tongue against my own,
conscious of the way her body was
responding, and breathed deeply as
her fingers began to drift toward the
snap on my jeans. When I slid my
hands lower, I realized that she was
naked beneath the shirt.
No
1/TT/245
Teks Sasaran
Aku merasakan lidahnya
mendesak lidahku, sadar akan
reaksi tubuhnya, dan bernapas
keras saat jemarinya mulai
bergerak ke arah kancing
jinsku. Saat tanganku meluncur
turun, aku menyadari bahwa
dia telanjang di balik kausnya.
Keterusterangan dalam terjemahan tersebut di atas akan menimbulkan masalah
jika pembaca sasaran tidak menginginkan elemen-elemen pornografi. Pendekatan
fungsionalisme bisa menegosiasikan kesenjangan keinginan tersebut dengan mengubah
terjemahan menjadi seperti berikut ini
Teks Sumber
I felt her tongue against my
own, conscious of the way
her body was responding, and
breathed deeply as her fingers
began to drift toward the snap
on my jeans. When I slid my
hands lower, I realized that
she was naked beneath the
shirt.
Teks Sasaran A
Aku merasakan sensasi itu dari
Savannah. Semua jelas kini
bahwa aku menyimpan rasa itu
ketika ia mulai mendekat dan
aku mulai merasakan
kehangatan yang menggetarkan.
Teks Sasaran B
Tubuh Savannah yang
mendekatiku dengan
kehangatannya, dan dengus
napasnya yang
melambungkanku
membuatku berani
membalasnya dengan
menyentuh tubuhnya yang
halus.
Kedua teks sasaran berusaha ‘menyembunyikan’ kevulgaran yang ada di teks
sumber. Dalam derajat yang berbeda, teks sasaran A dianggap lebih ‘sopan’
dibandingkan teks sasaran B. Teks sasaran A dan B diterjemahkan dengan
menggunakan pendekatan fungsionalisme, dengan mempertimbangkan pembaca sasaran
yang memiliki budaya yang tidak mengizinkan unsur-unsur pornografi ditampilkan
secara vulgar.
Nord dalam bukunya Translating as a Purposeful Activity menawarkan model
yang lebih luwes dalam menerapkan pendekatan fungsionalisme. Ia menggarisbawahi
“three aspects of functionalist approaches that are particularly useful” (1997: 59). Tiga
aspek pendekatan fungsionalisme tersebut adalah:
1. pentingnya ‘instruksi terjemahan’ (translation brief, menurut istilah Nord);
2. peran analisis teks sumber;
3. hierarki fungsional dalam masalah-masalah terjemahan.
Pentingnya instruksi terjemahan
Nord menekankan bahwa penerjemah harus membandingkan profil TSu dan TSa
terlebih dahulu sebelum mulai menerjemahkan. Instruksi terjemahan harus
menginformasikan: (1) tujuan teks, (2) pembaca sumber dan pembaca sasaran, (3)
waktu dan tempat teks tersebut dibaca, (4) media yang digunakan, (5) motif (mengapa
TSu ditulis dan mengapa harus diterjemahkan). Informasi tersebut diperlukan untuk
membantu penerjemah memprioritaskan hal yang harus disampaikan dalam TSa (Nord
1997: 59–62).
178
Pentingnya analisis teks sumber
Setelah profil kedua teks dipetakan, TSa selanjutnya dianalisis untuk mencari
strategi terjemahan yang tepat. Faktor-faktor yang ditawarkan Nord untuk menganalisis
TSa adalah intratekstual, yaitu analisis pragmatic dalam situasi komunikatif yang terjadi
(Nord 1997: 62).
Pentingnya hierarki fungsional dalam masalah-masalah terjemahan
Berikut ini hierarki fungsional yang ditawarkan Nord ketika penerjemahan
dilakukan: (1) fungsi terjemahan harus dinyatakan secara jelas, (2) elemen-elemen
fungsional yang perlu diadaptasi dalam TSa harus ditentukan, (3) tipe terjemahan
menentukan gaya terjemahan, (4) masalah-masalah kebahasaan yang muncul diatasi
dalam tataran kebahasaan yang lebih rendah (Nord 1997: 62)
Menegosiasikan kesenjangan dengan pendekatan fungsionalisme
Berikut ini disajikan bagaimana pendekatan fungsionalisme diterapkan dalam
menerjemahkan sebuah teks.
Teks diambil dari buku Bruce Feiler tentang Abraham.
Three religions recognize Abraham as the Father of heaven religions,
namely Judaism, Christianity, and Islam. Abraham is the place where
the differences meet. He is also the source of the unending conflict
between Jews and Moslem. Abraham is also known for his
unconditional obedience to God, when he was tested by God: he had to
slaughter his beloved son, Isaac, to prove his loyalty to God. (Feiler,
2005: 56)
Instruksi terjemahan adalah sebagai berikut:
Instruksi 1
Instruksi 2
Pembaca sasaran beragama Nasrani
Teks diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia dan bisa diterima
oleh pembaca
Terjemahan bertujuan
menunjukkan kepatuhan manusia
Pembaca beragama Nasrani
Teks diterjemahkan untuk keperluan
kuliah perbandingan agama
Terjemahan bertujuan menunjukkan
kisah Abraham dalam versi agama
Islam
Dari dua instruksi tersebut di atas, terlihat bahwa pembaca sasaran beragama Nasrani.
Namun, terlihat perbedaan dalam tujuan terjemahan. Hasil terjemahan teks dengan
menggunakan Instruksi 1 adalah sebagai berikut:
Versi 1
Tiga agama mengakui Abraham sebagai Bapak agama wahyu. Agama-agama tersebut adalah
Yahudi, Kristen, dan Islam. Abraham menjadi titik temu dari segala perbedaan yang ada.
Namun, beliau juga merupakan pangkal dari segala perseteruan bebuyutan antara agama Yahudi
dan Islam. Abraham terkenal akan ketaatannya kepada Allah. Pada suatu ketika Abraham diuji
oleh Allah: beliau harus menyembelih Ishak, putra kesayangannya, sebagai korban
persembahan, bukti kesetiaan kepada Allah. 179
Bandingkan dengan hasil terjemahan menggunakan Instruksi 2:
Versi 2
Tiga agama mengakui Nabi Ibrahim sebagai Bapak agama samawi. Agama-agama tersebut
adalah Yahudi, Kristen, dan Islam. Pada Nabi Ibrahimlah segala persamaan di antara
perbedaan bermuara. Beliau merupakan pangkal dari segala perseteruan bebuyutan antara
agama Yahudi dan Islam. Nabi Ibrahim juga terkenal akan ketaatannya kepada Allah SWT.
Pada suatu ketika Nabi Ibrahim diuji oleh Allah SWT: beliau harus menyembelih Ismail, putra
kesayangannya, sebagai korban persembahan, bukti kesetiaan beliau kepada Allah SWT.
Perbedaan terlihat nyata antara Versi 1 dan Versi 2. Walaupun dengan pembaca
yang sama, terjemahan menjadi sangat berbeda karena tujuan terjemahan berbeda pula.
Perbedaan-perbedaan tersebut menyangkut konteks dan peristilahan, yang bisa dilihat
dalam tabel berikut ini:
Versi 1
Versi 2
Abraham
Ibrahim
Agama wahyu
Agama samawi
Allah
Allah SWT
Ishak
Ismail
Perbedaan yang terjadi disebabkan karena kisah Ibrahim versi Islam dan Kristen
sangat berlawanan, terutama terkait dengan sosok putra yang dikorbankan Ibrahim.
Agama Kristen mengakui Ishaklah sosok tersebut, sementara agama Islam menyatakan
bahwa Ismail adalah putra yang dikorbankan Ibrahim. Perbedaan yang tajam tersebut
bisa menjadi konflik jika penerjemah tidak berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya.
Pendekatan fungsionalisme dengan instruksi terjemahan yang mementingkan
tujuan dan pembaca sasaran terjemahan mampu menegosiasikan kesenjangan perbedaan
tersebut sehingga teks terjemahan bisa diterima pembaca. Jika pendekatan preskriptif
yang menekankan pada kesesuaian satu-satu diterapkan, nama ‘Isaac’ akan
diterjemahkan menjadi ‘Ishak’, tak peduli siapa pun pembaca sasaran dan tujuan
terjemahan.
Pendekatan fungsionalisme ini mampu meredam berbagai potensi konflik dan
ketidakberterimaan pembaca akibat terlalu penerjemah terlalu terpaku pada pendekatan
terjemahan yang preskriptif. Akan tetapi, bisa pula terjadi, pendekatan fungsionalisme
ini disalahgunakan untuk memanipulasi terjemahan dengan memasukkan isi-isi tertentu
yang kadang tidak terdapat dalam TSu. Hal itu pernah terjadi dalam kasus penerjemahan
biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams berjudul Soekarno: Autobiography as Told
to Cindy Adams.
Dalam terjemahan bahasa Indonesia, terdapat paragraf-paragraf tambahan yang
tidak ada dalam TSu. Paragraf-paragraf tersebut ditambahkan untuk kepentingan politik
penguasa Orde Baru guna menimbulkan kesan konflik terjadi antara dwitunggal
Soekarno-Hatta.
180
Paragraf tambahan, yang diklaim diucapkan Bung Karno, tersebut adalah
“Tidak ada yang berteriak ‘Kami menghendaki Bung Hatta!’ Aku tidak
memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak untuk
memperlihatkan diri saat pembacaan Proklamasi. Sebenarnya aku dapat
melakukannya seorang diri dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua
hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada.”
(Adam, 2008).
Dalam kasus tersebut, selain melanggar etika terjemahan, penambahan paragraf
yang tidak ada dalam TSu juga menyalahi penerapan pendekatan fungsionalisme,
walaupun mungkin tujuan penerjemahan yang ditetapkan penguasa Orde Baru adalah
untuk memecah belah dwitunggal.
Penutup
Pendekatan fungsionalisme bisa mengatasi kesenjangan perbedaan yang terjadi
antara TSu dan TSa agar teks bisa diterima pembaca sasaran. Pendekatan
fungsionalisme yang berorientasi pada pembaca sasaran ini memungkinkan terjadinya
perubahan-perubahan leksikal dan konteks agar tercapai situasi komunikatif yang
berterima bagi budaya pembaca sasaran. Meskipun demikian, penambahan isi yang
berbeda dengan maksud TSu, tidak diizinkan dalam pendekatan fungsionalisme.
Daftar Rujukan
Adam, Asvi Warman Adam. “Kasus Biografi Soekarno”. KOMPAS, 12 Juni 2008.
Hatim, Basil dan Jeremy Munday. Translation: An Advanced Resource Book. London:
Routledge, 2004.
Feiler, Bruce. Abraham: A Journey to the Heart of Three Faiths. New York: William
Morrow Paperbacks, 2005.
Newmark, Peter. Approaches in Translation. Manchester: St. Jerome, 1989.
Nord, C. Translating as a Purposeful Activity: Functionalist Approaches Explained.
Manchester: St Jerome, 1997.
Reiss, K. and H. Vermeer. Groundwork for a General Theory of Translation. Tübingen:
Niemeyer, 1984.
Reiss, K. Translation Criticism: Potential and Limitations. Diterjemahkan E. Rhodes.
Manchester: St Jerome and American Bible Society, 1971.
Sparks, Nicholas. Dear John. Translated by Barokah Ruziati. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2010.
Sparks, Nicholas. Dear John. New York: Warner Bros, 2006.
181
LITERARILY IN LITERARY:
NURTURING PEACE BY ADDRESSING CONFLICT TABOO TOPICS
THROUGH LITERATURE
Helena M. A. Rijoly
(Pattimura University Ambon – Indonesia)
Ambon is currently enjoying the harmonious and beautiful life once again. The
shadow of 1999 conflict is far behind us in the year 2015. Nevertheless, the depth of its
power to change the course of life of every single Ambonesse people is eminent. It has
changed the course of life of people living during the conflict time. It has shaped the life
of Ambon we know and experience now. No doubt it will still affect every Ambonesse
newborn for generation to come. Ambon and its people inherited a transformation and
affirmation of values because we have been through the hell of conflict time and have
gone out to taste the victory of post-conflict period. However, the road to peace doesn’t
end there. Our road is long and we will keep passing the baton to our predecessor. Peace
building after traumatic sectarian conflict such as Ambon is a continuous peace building
process until we instill the habit which turns into the new life of ours.
Segregation of Place and Mind
Demographically, Ambon has changed compared to the pre-conflict time. The
segregation is still apparent with the increase of homogenous religious community
pockets. This owes to the IDP (Internally Displaced People) who fled their home which
was once located in more heterogeneous area to their perceived safe sanctuary which
was among people of their religious groups. Prior to conflict, people of Ambon lived
side by side harmoniously.
After the conflict, everyday’s life dynamics are back to it was before despite the
relocation and segregated community. Schools are open, government offices and public
services are running, people interact normally in the market and on the street. The
border lines between communities are diminishing. Some even dare to live among the
different religious communities again.
As we shifted from post-conflict phase towards stabilized society, the talk of
peace building, reconciliation and dialogue began to wear off and somewhat avoided by
people in general. Based on general observation, there are less Peace Building and
Reconciliation workshops, training or dialogue taking place in Ambon. Current
workshops and trainings concentrated more on development of various subjects;
education, fishery, agriculture, health etc. This is a normal practice because naturally
people would want to leave the painful past behind and move forwards in development.
In the point of view of peace process especially after the event of sectarian
conflict, Peace is a continuous process of never ending dialogue. The entry point to the
dialogue for sustainable Peace and Reconciliation however, has and need to change. No
longer does it comes in the form of a roundtable discussion, workshop and training on
conflict and peace building workshops and dialogue. The entry point of sustainable
peace should lies in every day interaction, educational development, sciences, art and
literature. Between parents to child, between street vendor and buyer, between ojek
182
driver and passenger, between teacher and student and the list goes on. Peace and
reconciliation, conflict prevention and solidarity are and should always be the
underlying breath beyond the content and the format of dialogue.
There was an event of interreligious encounter in an education setting that shines
a light to the need of a continuous treatment to blurred the segregation of mind. A
language center located in the center of a Christian community had several new
students. They were Moslems. The day that the new student arrived, the teacher was
teaching a class of Junior high school level students. They turned and saw 2 girls in
Jilbab walking in. One of them said in a hushed voice to the friend next to her, “Dong
biking apa disini?” (What are THEY doing here?). The word choice and the tone used
indicate that there’s ‘us’ and there’s ‘them’, that they belong to different group and we
are surprise that you are here among us. Along the way, one of the girl no longer wore
her jilbab. Upon inquiry, she said that her parents advised her not to wear it so not to
attract to much attention to her in the middle of Christian area. These indicate the
existence of a strong segregation of mind even in these very young students and their
parents. They were probably was just a baby or not even born when the conflict of 1999
happened. However, they inherit the story, the pain, the prejudice and the segregation of
the ‘you’ and the ‘me’.
Lazy Tolerance
There is a terminology used by a young spirited Protestant church pastor and
Interfaith activist who recently received a Tanenbaum Peacemaker in Action Award,
Rev. Jacky Manuputty, which correctly defined the bad habit and time bomb of
underlying the peaceful phase in Ambon at the moment. He called it “Lazy Tolerance”.
Lazy tolerance or lazy peace can be boiled down to the over-generalization of the
matter, the brushing-off-aside matter to make ways for peace for all. The danger of this
is that we are falling into conflict habit which is bottling up emotions. Bottled up
emotions are like a sealed can of soda waiting to pop when it is shaken hard.
The example of this ‘Lazy Tolerance’ can be observed in the jargons of ‘We are
at peace now’… ‘No more war. We are at peace with each other’… ‘We are brothers
and sisters’… ‘Let bygones be bygones’…. ‘Forgive and Forget”. These jargons are
both exhilarating and scary. When it is said through a process of healing, then these
jargons are refreshing breath of new life of a relationship. However, when it is
prematurely said in the realms of ceremonial and public say, they have the tendency
towards bottled up emotion. The last 2 jargons are the most dangerous because it
appears to be the most religious and wisest jargon to say and to be believed. However,
Forgiveness should not be mistaken with forgetting. Forgiveness does not equal or
followed or prerequisite of forgetting. ‘To forgive the victimizer in a conscious act full
on intentionality, a clear memory is required’ (Satha-Anand, 1998. p. 73).
The healing process which lead to forgiveness and harbored safely of
reconciliation and sustainable peace must passed through the phase when we can talk
about things that we feel, things that angered us, things that disappoint us etc without
being judged. Forgiveness or being at peace means that we can look back, talk about the
past, express our feeling without pain and judgmental towards others but in the spirit of
togetherness and acceptance (Rijoly, 2014. p. 350)
The Heart Hears Art
The heart is a complicated matter. Its depth and breadth are unknown to men. It’s
un-explorable with man-made devices. It is unexplainable with man created theory and
183
conceptual ideas. Even if there’s an eloquently said theory to explain the heart, it covers
a tiny fraction of the gigantic pool of heart. One of the rare tools (if not the only one) to
explore, to express, to reach and to touch the heart is art. Art in its many forms; music,
poetry, drama, paintings, dance etc. Even in if we want to playful, we may do a play on
words and letters, an anagram, of the two words of Heart and Art.
HEART
HE Man, The human
HEAR responding to
EAR
The device – the senses, metaphorical and
concrete
ART
The medium, the tools.
We can playfully come up with the explanation that “The human senses hear and
respond to art in its many forms”. The Heart hears Art.
In the occurrence when your senses are numb and hardened due to exposure to
extreme trauma, pain, tragedy and provocation. Art helps to penetrate these barriers.
This is because the art exclusively address the idea of aesthetic experience: your senses
are operating in their peak. You (your heart) are present at the moment and your (brain)
resonating with the excitement of the thing you are experiencing. Art is the realm when
you are fully alive (Robinson).
The medium of art not only allows you to feel but also to express in a safe
environment. In the pluralistic and multicultural society especially one like Ambon, who
has gone through the hell of sectarian conflict, the art provide a space for continuous
peace and reconciliation dialogue. It allows and encourages the victims to let go of the
need to position oneself as the victim and the other as the perpetrator/enemy and to
embrace the fact that the other are suffering as much as I do and that is how he/she feels
and treated. (Rijoly, 2014. p. 338)
Nurturing Peace through Literary Appreciation
“Once an individual or a community has experienced severe violence, time alone
cannot bring healing and the capacity for peaceful relationship” (Boulding, 1998. p.
103). Healing process is crucial to enter the phase of forgiveness and towards a
sustainable peace and reconciliation. Healing or “self-cleansing must inevitably lead to
turmoil of emotions. Anger, sadness, grief, and shock must be allowed to surface. To
face these profound emotions is the beginning of healing” (Muller-Fahrenholz, 1997. P.
88).
As we discuss before, art is the tools in the healing. The art form this paper will
discuss is the literary appreciation in the form of poetry, prose, drama and its other
forms. The title of this paper use the play on similar words: Literary and Literarily. The
oxford dictionary defines Literary as pertaining to or of the nature of books and writings
especially those classed as literature. Literally is defined as in literal manner or straight
forward and as it is without masking or diplomacy.
Thus, literary work provide safe haven to peaceful and reconciling dialogue.
Poetry, Chant, Mantra, story-telling and drama has recently being the new wave of
‘communication’ in young people. Pioneered by literary enthusiast, society if not groups
are sprouting. Some of those are Bengkel Sastra Community (Literary Workshop),
Paparisa Community and I believe many more I am not familiar with. In the last 2
years, we have witness the publication of various poetry anthology books, poetry
performances by both Muslim and Christian artist as well as reflective and theoretical
184
books sharing stories of conflict and reconciliation written by Ambonesse themselves.
We observe the shift of the topic from talking about the experience then about
appreciating shared historical and cultural past to appreciating the heroes of Maluku
who fought and whose ideas shaped not only Maluku but also Indonesia.
Reading and attending some of the earlier joint Christian – Moslem poetry
performances by these young people brought hope and healing not only to those
performing it but also to those present. All the taboo, hush-hush, no-no words and
expression about conflict came flooding out: Shouted and blasted through the speaker,
writhing in agony through the expression and contortion of the performer and blatantly
expressed by the words choice. Suddenly, talking about the pain of losing my brother or
father killed by the ‘enemy’ group is a shared experience which we cried together.
Suddenly cursing and shouting my hate is acceptable and embraced because the next
stanza is my process of healing. It is welcomed. It is encouraged. They (we) are sharing
stories and building the future literarily through literary.
This year, we observe shift in the topic. Invitation through social media asked for
literary work pertaining to shared identity, shared history, shared common ground. For
example, the latest submission intake is for Malam Kapata event of Bengkel Sastra
Maluku. The theme “Disini masih ada orang kuat berpuisi” can be translated two ways
Here still stand Strong people doing poetry or Here still standing, people who strongly
uphold poetry: An ode to Poetic Leihitu Land. This signify an important milestones as it
signal the shift from the need to express pain and feeling of conflict to dialoguing shared
common ground and shared history.
This is an important milestone of healing as Ambon is walking the right way
towards healing and not succumbing to ‘Lazy Tolerance and/or Lazy Peace’.
Recognizing difference and celebrating similarities and common grounds are important
steps. We cannot and should not assume that everyone and every religion are the same.
As the jargon “All Religion are the same”. The essence of religion is finding God or
divine power to help make sense on this world, to find peace and to find ways to
navigate life. However, the road, the doctrines are not the same. Thus instead of finding
difference and build barriers because of it, we need to celebrate it and acknowledge it
without the need to find which is the right on and which is the truest. Maluku Interfaith
Institution, once produced a catchy Slogan T-shirt that perfectly summarized this during
the heat of the conflict. It said “Why must Religion divide us?”.
Another recent event on social media gave a beautiful example of what happen
when the barrier is non-existence and we acknowledge, celebrate and respect each other.
A young pastor friend was diagnosed with a serious illness. He posted a message asking
for prayer support on social media. Many of his friend responded. Among those
responds, there was a comment by a common friend of ours, a devout Moslem woman
who says, “Brother, I mentioned your name in my sholat (prayer)”. He replied, “Thank
you, sister. Jesus blesses you and your family”. Knowing both of them personally, it is
for sure that those words are not intended to sound religious, tolerant or wise. They are
genuine words being said intentionally and whole-heartedly. The woman has no
problem praying for the friend in her moment with God, the man has no problem saying
the word ‘Jesus bless’ to a Moslem knowing that she wouldn’t mind this because she
and he are strongly rooted in their faith thus not afraid of each other.
As this paper is finalizing, the event of Paris Terror attacked surge to public. It
was a heart-breaking. Human has been indoctrinated, poisoned and anesthetized to
perform such brutal killing of other human as if they have no worth at all. Not only
185
Paris, Beirut, Iraq and Syria have also seen bloodbath. This is not the world we want our
children to grow up in.
Far from those cities, Ambon has seen her fair share of bloodbath. It is the responsibility
of each and everyone in Ambon to nurture peace and reconciliation amidst the
pluralistic and multicultural community. Ambon needs not to forget and neglect the
continuous peace and reconciliation dialogue which will strengthen the bond between
communities. The bond between communities cannot be created if we do not have a
shared values and common ground.
This paper does not attempt to say that literary is the answer. However, art especially
Literary appreciation is one way among many outlets and entry points we can use.
Literary is art. Art is aesthetic which wakes up our senses and made us to live in the
moment in awareness and not blindness. In contrary, lazy tolerance and blind extremist
indoctrination anaesthetized and shut down your senses, common sense and empathy. It
is in the realm of art and literary appreciation that we are safe to dialogue: to give and to
accept. Literary works also record history, reconciliation, values and virtues in honesty.
Perhaps literary appreciation can help build strong sense of shared identity and shared
common ground. Thus instead of inheriting hate, we are inheriting a new value and
virtues of life in pluralistic and multicultural community --
References
Bouilding, E. 1998. “Culture of Peace and Communities in Faith”. In Herr, R and
Zimmerman-Herr, J (Eds.), Transforming Violence: Linking Local and
Global Peacemaking. 1998. Scottdale,PA: Herald Press
Muller-Fahrenholz. 1997. The Art of Forgiveness. Geneva: WCC Publication.
Rijoly, H. “Tidur Dengan Musuh”. In Manuputty, J and Salampessy, Z Et. Al (eds.),
Carita Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku. 2014.
Ambon : Lembaga Antar Iman Maluku dan PUSAD Paramadina.
Satha Anand, C. 1998. “The Politics of Forgiveness”. In Herr, R and Zimmerman-Herr,
J (Eds.), Transforming Violence: Linking Local and Global Peacemaking.
1998. Scottdale,PA: Herald Press
186
KRITIK SOSIAL DALAM NOVEL SANG NYAI KARYA BUDI SARDJONO
Herning Puspitarini & Sri Wahyuningtyas
(Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta – Indonesia)
Abstrak: Karya sastra merupakan pencerminan realitas sosial yang di dalamnya berisi
kompleksitas kehidupan. Makalah ini menaruh perhatian pada masalah sosial dalam
novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Masalah sosial tersebut berkaitan dengan
kompleksitas kehidupan dalam lingkup masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa dalam novel
tersebut mempunyai kepercayaan terhadap mitos Nyai Roro Kidul dan sangat mematuhi
adat kebudayaan Jawa.
Untuk mengungkap kritik sosial yang terkandung dalam novel Sang Nyai
digunakan pendekatan sosiologi sastra, dengan fokus analisis pada tokoh dan
peristiwa. Hal ini disebabkan aktivitas tokoh di dalam peristiwa menghadirkan adanya
kritik sosial.
Hasil pembahasan ini mengungkapkan bahwa kritik sosial yang terkandung
dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono meliputi: kritik sosial terhadap penguasa,
kritik sosial terhadap kondisi sosial masyarakat Jawa, kritik sosial terhadap budaya
ziarah, kritik sosial terhadap perbedaan ideologi modern dan tradisional, dan kritik
sosial terhadap pelanggaran tata krama dalam tradisi Jawa.
Kata kunci: kritik sosial, tradisi, ideologi
Pendahuluan
Masyarakat merupakan elemen penting dalam terciptanya suatu sistem nilai.
Melalui sistem nilai tersebut terdapat kompleksitas yang menjadi masalah sosial.
Masalah sosial mendasari pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra. Hal ini
disebabkan karya sastra merupakan sebuah fakta yang terlahir dari berbagai
permasalahan yang terjadi. Menurut Goldmann, penciptaan karya sastra sebagai bentuk
pengembangan hubungan manusia dengan dunianya. Penuangan ide dari pengarang
merupakan wujud dari keyakinan kelompok, karena hal itu dibentuk oleh norma dan
fungsi pragmatik yang berlaku pada ruang, waktu, dan kebudayaan tertentu (Faruk,
2012:90-92). Dengan demikian, hal yang terjadi di masyarakat dapat menjadi obyek
kajian karya sastra. Karya sastra merupakan pencerminan keadaan sosial masyarakat
pada masa karya tersebut diciptakan.
Keberadaan karya sastra sebagai pencermaninan masyarakat dapat berwujud
sebagai bentuk kritik terhadap permasalahan sosial yang terjadi. Menurut Saini K.M.
(1986:14-15) pengarang karya sastra mempunyai peran sebagai berikut: pengarang
menggunakan sastra untuk mendukung sebuah sistem dengan mengkaji nilai-nilai yang
terdapat dalam karya sastra sesuai realitas sosial masyarakat; pengarang melakukan
perlawanan atau memberikan gambaran yang bertentangan dengan kekuasaan yang ada;
dan pengarang mempunyai peran sebagai pendukung sebuah sistem tetapi dengan tujuan
untuk melakukan kritik melalui karya sastranya. Berdasarkan hal tersebut, novel Sang
Nyai menyampaikan kritik melalui karyanya dengan memberikan gambaran peristiwa
yang terjadi di masyarakat. Permasalahan sosial tersebut berasal dari perilaku tokohnya.
187
Budi Sardjono menceritakan hubungan tokoh utama dalam novel Sang Nyai yang
bernama Sam dengan tokoh-tokoh lain yang berkaitan dengan Nyai Roro Kidul.
Keberaniannya untuk terjun ke lapangan mencari informasi tentang sosok Nyai Roro
Kidul merupakan bentuk interaksi sosial Sam dengan masyarakat Yogyakarta. Terdapat
banyak permasalahan sosial yang ditemukan Sam saat melakukan liputan ke beberapa
tempat yang berkaitan dengan sosok misterius sang Ratu penguasa pantai Selatan.
Novel yang mengambil setting kota Yogyakarta ini mengungkapkan kehidupan
masyarakat Yogyakarta yang sarat dengan budaya dan masih tunduk pada
kepemimpinan sang Sultan. Terlihat jelas Budi Sardjono dalam menggambarkan tokohtokohnya ada yang masih mempertahankan adat, namun ada juga yang telah mengalami
modernitas. Masalah sosial ini yang akan diangkat dalam pembahasan tentang kritik
sosial yang terdapat di dalam novel tersebut.
Pembahasan
Novel Sang Nyai mengungkapkan banyak masalah sosial sebagai dampak dari
misteriusnya tokoh Nyai Roro Kidul. Namun, masalah sosial yang tersaji di depan Sam
juga merupakan bentuk kritik terhadap realitas sosial. Masyarakat pada dasarnya
mempunyai kepercayaan terhadap suatu mitos tertentu yang menjadi hegemoni dalam
kebudayaannya. Begitupula sosok Nyai Roro Kidul yang masih sangat dipercaya
mempunyai hubungan istimewa dengan para Sultan keturunan Mataram dan penunggu
Merapi oleh rakyat Yogyakarta. Melalui novel ini terungkaplah bahwa sosok sang Nyai
tersebut menjelma menjadi seorang gadis cantik misterius yang dijumpai Sam ketika
berada di tempat-tempat yang ada kaitannya dengan Nyai Roro Kidul, bernama Kesi.
Pengarang memberikan kritik melalui novel Sang Nyai terhadap beberapa aspek
sosial dalam novel tersebut. Aspek-aspek tersebut meliputi kritik terhadap penguasa,
kritik terhadap kondisi sosial masyarakat, kritik sosial terhadap budaya ziarah, kritik
sosial terhadap perbedaan ideologi modern dan tradisional, dan kritik sosial terhadap
pelanggaran tata krama dalam tradisi Jawa.
Kritik Terhadap Penguasa
Kritik terhadap penguasa merujuk terhadap pemerintah. Pemerintah merupakan
tokoh masyarakat yang dikenal dan disegani rakyat. Namun, dalam novel ini
diungkapkan bahwa pemerintah tidak terlalu memperhatikan kepentingan rakyat.
Berdasarkan penuturan Mas Darpo, diungkapkan bahwa para pekerja seks komersial
yang ada di sekitar Cepuri Parangkusumo melakukan pelacuran untuk mencukupi
kebutuhan hidup. Melalui dialog antartokoh, pemerintah diungkapkan sebagai tokoh
yang hanya bisa melarang, namun tidak dapat memberikan jalan keluar, seperti
memberikan lapangan pekerjaan yang layak bagi perempuan tuna susila tersebut. Jika
pemerintah memberikan bantuan kepada mereka, maka prostitusi tidak akan menjamur
di sekitar tempat ziarah. Berikut kutipannya:
“Pemerintah cuma melarang. Tapi tidak mencarikan jalan keluar. Orang-orang yang sok
suci cuma mengutuk, tetapi mereka tidak mau mengawini. Coba daripada mengutuk,
ambil saja mereka sebagai istri, dinikahi secara resmi, diberi nafkah lahir batin, maka
perempuan-perempuan itu pasti tidak akan menjual diri lagi. Benar nggak, Mas?”
(Sardjono, 2012:15-16)
Pemerintah seharusnya turun tangan dalam menangani segala masalah sosial
yang terjadi di masyarakat dengan melakukan pemantauan langsung. Sebuah larangan
terhadap sesuatu harus diimbangi dengan memberikan solusi. Kurangnya ketegasan
pemerintah membuat rakyatnya mengalami kesulitan. Untuk itu, dari kutipan di atas
188
menegaskan bahwa pemerintah seharusnya menyediakan lapangan kerja yang layak
bagi para perempuan tuna susila, agar mereka bisa mengembangkan diri dan melakukan
kreativitas melalui lapangan pekerjaan yang layak. Hal tersebut justru akan memberikan
dampak positif bagi kemajuan bangsa. Pemimpin yang cerdas dalam memecahkan suatu
masalah, dan tidak banyak bicara merupakan pemimpin yang akan disegani rakyat.
Bahkan peran tokoh Sam yang memilih untuk naik becak daripada naik taksi
ketika mengunjungi keraton Solo juga merupakan bentuk sindiran terhadap para pejabat.
Ia mengungkapkan gagasan bahwa dengan naik becak selain dalam rangka menikmati
pemandangan di kota Solo, Sam juga bermaksud memberikan rezeki untuk penarik
becak yang ia tumpangi.
“Wuahhh, hebat dong!” pujinya sambil mengangkat kedua ibu jarinya. “Benar, benar. Hal
terakhir itu yang sering dilupakan orang. Katanya memperhatikan kawula cilik, orangorang kecil, namun hanya sebatas omongan. Tidak ada realisasi. Bagaimana mungkin
orang bilang mencintai kawula cilik tapi ke mana-mana naik sedan mewah? Menginap di
hotel bintang lima dan pesan makanan di restoran mahal? Sama juga bohong ya, Mas?”
(Sardjono, 2012:222).
Hal yang dilakukan Sam bermaksud bahwa sudah seharusnya para pemimpin
lebih memperhatikan rakyat kecil. Faktanya sebagian besar pejabat lebih senang
berfoya-foya dengan kekayaan yang dimiliki, terkadang mereka melupakan bahwa
rakyatnya masih menderita. Pemimpin seperti itu belum melaksanakan tugas
kepemimpinannya dengan benar. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat
berbaur dengan rakyat, merasakan penderitaan rakyat, dan rela berkorban demi
kesejahteraan rakyat.
Sebagai contoh pemimpin yang berbaur dengan rakyat yakni Pak Jokowi,
presiden RI ke-7, yang melakukan blusukan atau menyusup ke wilayah-wilayah yang
tidak pernah dijangkau oleh pemerintah. Sistem ini patut menjadi contoh bagi
pemerintah agar dapat melihat secara langsung kondisi sosial rakyat yang dipimpin.
Setelah itu, pemerintah dapat memberikan bantuan atau membuat kebijakan untuk lebih
mensejahterakan rakyatnya.
Kritik Terhadap Kondisi Sosial Masyarakat
Selain kritik terhadap penguasa, dalam novel Sang Nyai juga mengungkapkan
kondisi sosial masyarakat Indonesia pada umumnya dan penduduk Yogyakarta
khususnya. Masalah sosial itu meliputi beberapa hal, pertama adalah tentang korupsi.
Korupsi merupakan penyakit masyarakat yang harus dibasmi. Hal itu bisa dilakukan
dari masyarakat yang terkecil hingga para pejabat pemerintahan. Untuk membasmi
korupsi harus ada kesadaran masing-masing individu. Jika pelaku korupsi tidak segera
ditindak pidana, maka hal itu akan menjadi budaya dan sulit untuk dirubah. Akan tetapi,
perkembangan zaman membuat budaya korupsi semakin marak di masyarakat. Seperti
kutipan berikut:
“Kalau tidak ikut edan, nanti tidak kebagian.”
“Tapi, yang pada kebagian itu sekarang pada mendekam di sel tahanan. Apa
tidak wirang itu? Dulu jadi orang nomor satu di kabupaten, provinsi, kotamadya, kantor,
e... sekarang jadi narapidana! Sebuah gelar yang diberi gratis pun tak ada yang mau. Apa
Mas Sam mau diberi gelar narapidana?” (Sardjono, 2012: 223)
Dapat dilihat dari kutipan di atas bahwa perkembangan zaman membuat korupsi
tidak asing di masyarakat, terutama dalam bidang politik. Ketika seseorang tinggal di
lingkungan para koruptor, namun dia tidak ikut melakukan korupsi maka dia dianggap
tidak solid dalam kelompok tersebut. Hal itulah yang dialami oleh para pejabat tinggi
yang melakukan korupsi secara besar-besaran. Sebagian dari mereka pada akhirnya,
189
mendekam di dalam penjara. Kasus yang membelit tidak jauh dari kasus korupsi.
Namun, jika sistem dalam mengorganisir suatu pekerjaan dikelola dengan baik secara
terbuka dan transparan, maka rakyat bahkan para pejabat segan untuk melakukan
korupsi. Mereka akan sadar bahwa perilaku tersebut merugikan banyak pihak.
Selain korupsi, masalah sosial di masyarakat dalam novel Sang Nyai juga dapat
dilihat dari didirikannya losmen-losmen bertarif murah sebagai tempat lokalisasi di
sekitar Merapi dan Cepuri Parangkusumo. Losmen-losmen tersebut dibuka sebagai
sarana untuk mendapatkan uang. Namun, mereka tidak tahu bahwa dengan melakukan
hal tersebut akan mempengaruhi mental anak-anaknya. Anak-anak dari penduduk yang
mendirikan losmen tentu mengalami perkembangan yang buruk. Pada dasarnya, anakanak akan meniru perilaku dari orang dewasa yang ia lihat. Jika dari kecil mereka
melihat perbuatan asusila terjadi secara bebas di lingkungan tempat tinggalnya, maka
ketika hal itu dibiarkan mental anak-anak yang seharusnya menjadi penerus bangsa akan
rusak. Simaklah kutipan berikut:
“Masih tanya lagi. Coba bayangkan kalau mereka tiap hari, di depan matanya,
melihat sendiri laki perempuan bukan suami istri masuk ke kamar. Malah ada anak-anak
yang disuruh mengantar minuman ke kamar. Ada sejumlah remaja yang jualan kondom
atau alat kontrasepsi yang lain. Generasi itu kelak mau jadi apa? Apa mereka akan
memiliki mental juang untuk menggapai kehidupan yang lebih mulia?” Sugeng mulai
emosi. Dia menghentikan motor di depan warung wedang ronde. “Saya sedih melihat
kenyataan semacam itu. Tetapi, tidak bisa apa-apa. Karena memang menyangkut sumber
nafkah orang lain.” (Sardjono, 2012:171)
Sugeng mengungkapkan pernyataan itu, karena melihat realitas sosial yang
terjadi di masyarakatnya. Ia menentang dibangunnya tempat asusila, namun tidak dapat
melakukan apapun. Ia hanya orang biasa. Keluh kesah Sugeng kepada Sam merupakan
wujud kritik yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat. Pertumbuhan anak bangsa
dipengaruhi oleh pendidikan yang dia terima. Untuk itu perlu ditanamkan nilai-nilai
moral yang baik bagi mereka sejak kecil. Orangtua memegang peranan penting dalam
perkembangan pertumbuhan anak.
Kritik Terhadap Budaya Ziarah
Ziarah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:1136) adalah kunjungan
ke tempat-tempat yang dianggap keramat. Tradisi ziarah sering dilakukan oleh sebagian
besar masyarakat. Dalam novel Sang Nyai, tradisi ziarah dilakukan dengan mengunjungi
tempat keramat yang didatangi oleh Nyai Roro Kidul. Tempat itu berada di tepi pantai
selatan Yogyakarta, yakni Cepuri Parangkusumo. Di Parangkusumo terdapat sebuah
batu yang diyakini oleh masyarakat sebagai batu tempat pertemuan antara kanjeng
Sultan dengan Nyai Roro Kidul, batu ini dikenal dengan nama selo gilang. Jika malam
Jum’at Kliwon maka tempat itu ramai dikunjungi oleh para peziarah yang ingin
meminta berkah kepada Nyai Roro Kidul lewat doa dari sang juru kunci, Mas Darpo.
“Nanti di sini, mereka itu sebenarnya mau apa?” tanyaku kepada Mas Darpo.
“Ya, intinya ziarah, tirakat, laku prihatin, memohon kepada Sang Pencipta agar mau
mengabulkan permohonan mereka.”
“Katanya, agar permohonannya terkabul, mereka harus berhubungan suami istri,
tetapi tidak dengan pasangan resminya, harus dengan orang lain. Benar begitu?” Mas
Darpo tertawa terkekeh-kekeh. “Dari mana Mas Sam dengar hal itu? Ini Parangkusumo,
bukan Gunung Kemukus.” (Sang Nyai, 2011:17).
Para peziarah mendatangi Parangkusumo bermaksud meminta berkah kepada
Nyai Roro Kidul. Akan tetapi, ziarah tersebut kadang dimanfaatkan oleh sebagian orang
untuk mencari hiburan. Pertanyaan Sam kepada Mas Darpo juga didasarkan dengan
190
adanya kabar yang mengatakan bahwa jika berhubungan dengan pasangan tidak resmi
akan membuat permohonan terkabul. Hal ini didukung dengan adanya banyak losmen
yang disewakan bagi pasangan-pasangan itu untuk menghabiskan malam bersama. Mas
Darpo menampiknya, ia mengatakan bahwa hal tersebut tidak benar.
Keberadaan losmen sebagai tempat prostitusi di wilayah Cepuri Parangkusumo
merupakan masalah sosial yang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ziarah dalam novel
Sang Nyai. Mereka memanfaatkan keadaan untuk mencari uang demi menafkahi hidup.
Meskipun demikian, budaya ziarah tidak seharusnya menjadi sarana untuk melakukan
perbuatan asusila, karena ziarah merupakan bentuk laku prihatin yang dilakukan untuk
memohon kepada Sang Pencipta melalui perantara Nyai Roro Kidul.
Kritik Terhadap Perbedaan Ideologi Modern dan Tradisional
Permasalahan berikutnya menyangkut pada perbedaan ideologi modern dan
tradisional. Ideologi modern dalam novel tersebut digambarkan melalui beberapa tokoh.
Akan tetapi, hal itu lebih mengacu pada pembuktian dalam penemuan informasi tentang
sosok Nyai Roro Kidul. Ideologi modern yang dianut oleh Ki Aji Sembada yang
menentang kuat keberadaan Nyai Roro Kidul merupakan ideologi materialisme. Paham
materialisme disebabkan oleh tidak diakuinya prinsip kerohanian yang berperan
diantara manusia selain hukum fisik dan biologis. Hanya ada alam kebendaan (Veeger,
1993:12). Ki Aji Sembada menganggap kisah Nyai Roro Kidul hanya bualan dari
pujangga keraton sebagai bentuk hegemoni kepada rakyat. Ideologi materialisme
menegaskan jika hal-hal yang berbau alam gaib merupakan bentuk yang tidak logis.
Wujud Nyai Roro Kidul hanya fiktif yang digunakan untuk membodohi masyarakat
Jawa agar tetap tunduk kepada pemerintahan keraton.
Kebenaran tentang Nyai Roro Kidul pada akhirnya terbukti dengan
penampakannya dalam wujud Kesi. Sam sebagai tokoh berkeyakinan rasional yang juga
menentang keberadaan Nyai Roro Kidul, justru mengalami banyak kejadian mistik yang
berhubungan dengan sang Ratu Pantai Selatan tersebut. Perhatikan kutipan berikut ini:
Karena penasaran, bungkus kado itu kurobek. Di dalamnya terdapat kotak kayu
ukir yang halus, motif naga dan kembang melati. Kotak kubuka. Isinya kebaya brokat
warna hijau gadung, kain batik motif sido mukti, ulos atau selendang dari Batak, satu
bungkus plastik kecil berisi abu. Di bawah barang-barang itu, ada tujuh buang uang logam
emas. Ketika kuamati, uang itu persis dengan milik Nyai Maryatun. Bergambar wanita
cantik. Dan, wanita itu tiada lain adalah Kesi!
Jadi..., benarkah Kesi itu penjelmaan dari sang Nyai?!
Kedua tanganku gemetar. Kedua kakiku gemetar (Sardjono, 2011:435).
Pada akhirnya Sam percaya bahwa keberadaan Nyai Roro Kidul merupakan
sosok yang nyata. Hal itu membuatnya harus mengakui bahwa hal-hal irasional memang
ada dan berkembang di masyarakat.
Bertentangan dengan ideologi modern, terdapat ideologi tradisional di dalam
novel tersebut yakni, banyak orang yang percaya dengan adanya sosok penguasa Laut
Selatan tersebut. Kepercayaan mutlak para peziarah dibuktikan dengan kehadiran
mereka dalam mengikuti acara labuhan. Labuhan itu merupakan bentuk persembahan
kepada Nyai Roro Kidul agar membantu rakyat Yogyakarta dari ancaman letusan
gunung Merapi. Barang-barang labuhan inilah yang pada akhirnya diperebutkan oleh
para peziarah. Mereka menganggap barang-barang yang berhubungan dengan Nyai
Roro Kidul adalah benda yang keramat, sehingga mereka saling memperebutkan tanpa
menghiraukan keselamatan diri.
191
Dengan demikian, meskipun terdapat pertentangan antara ideologi modern
dengan ideologi tradisional yang mempercayai keberadaan sang Nyai. Namun, terdapat
pembuktian bahwa sosok Nyai Roro Kidul yang dipercaya oleh sebagian masyarakat
Yogyakarta dalam novel tersebut memang benar adanya. Akan tetapi, jika ada bencana
yang ditimbulkan amukan pantai Laut Selatan ketika terjadi labuhan bukan merupakan
kehendak Nyai Roro Kidul. Hal itu terjadi karena kesalahan dari masyarakat yang nekat.
Kelalaian masyarakat yang ikut dalam labuhan ini merupakan masalah sosial. Jika
mereka terjadi bencana karena hal itu tentu saja Nyai Roro Kidul tidak dapat
dipersalahkan. Kepercayaan terhadap sesuatu hal harus diikuti dengan pemikiran yang
rasional, memperhitungkan kebaikan dan keburukan agar tidak menimbulkan hal yang
tidak dikehendaki. Segala bencana merupakan kehendak alam dan Sang Pencipta.
Kritik Terhadap Pelanggaran Tata Krama dalam Tradisi Jawa
Masyarakat Jawa masih sangat kuat dalam menjalani tradisi. Apabila seseorang
tidak mempunyai tata krama, maka perbuatan asusila akan sering dilakukan. Seperti
halnya raja, Nyai Roro Kidul dianggap sebagai tokoh yang dihormati sebagai penguasa
Laut Selatan. Tata krama terhadap seorang ratu harus ditunjukkan oleh masyarakat
penganutnya.
Tokoh Pak Nung yang tidak mengetahui bahwa Kesi adalah penjelmaan Nyai
Roro Kidul dengans seenaknya memberikan pernyataan bahwa ingin mengajak
perempuan itu bercinta. Bahkan jika kehilangan mobil pun dia ikhlas. Hal itu akhirnya
menjadi kenyataan. Mobil pak Nung mengalami kebakaran hebat. Sang Nyai
memberikan pelajaran tersebut agar pak Nung mengetahui kesalahannya.
Orang Jawa masih sangat menghormati tradisi. Tata krama dijunjung tinggi di
depan para pemimpin. Setiap orang yang berbicara dengan pemimpin harus bersikap
sopan. Hal itu merupakan teladan yang baik, karena pemimpin merupakan simbol dari
suatu masyarakat. Ketidaksopanan merupakan bentuk pelanggaran terhadap tata krama,
sehingga untuk kesalahan akan mendapatkan hukuman tersendiri.
Simpulan
Kritik sosial yang terdapat dalam novel Sang Nyai ditunjukkan oleh perilaku
tokoh-tokohnya. Seperti hanya kritik terhadap penguasa yang seharusnya lebih
memperhatikan kehidupan rakyat kecil. Kritik terhadap kondisi sosial masyarakat yakni
dengan adanya kasus korupsi dan prostitusi yang mengancam mental generasi penerus
bangsa. Berikutnya adalah kritik terhadap budaya ziarah yang dipercaya menjadi seks
terselubung, pada dasarnya keyakinan ziarah itu merupakan bentuk tirakat atau laku
prihatin untuk memohon kepada Sang Pencipta dan tidak seharusnya dimanfaatkan
untuk hal-hal negatif. Kritik yang keempat adalah kritik terhadap perbedaan ideologi
modern dan tradisional, meliputi kepercayaan terhadap suatu hal merupakan bentuk
keyakinan kolektif yang tidak seharusnya ditentang, masing-masih mempunyai wilayah
tersendiri. Namun, dalam mempercayai sesuatu harus memperhitungkan kebaikan dan
keburukan agar tidak merugikan diri sendiri. Kritik terakhir yang terdapat dalam novel
tersebut adalah kritik terhadap pelanggaran tata krama dalam budaya Jawa yakni dengan
menghormati pemimpin merupakan bentuk tatakrama yang harus dilakukan oleh
masyarakatnya. Jika terjadi pelanggaran seperti dengan melakukan ketidaksopanan
maka akan mendapatkan sanksi tersendiri.
192
Daftar Rujukan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi
Kedua). Jakarta: Balai Pustaka.
Faruk, H.T. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra dan Strukturalisme Genetik Sampai PostModernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
. 2012. Metode Penelitian Sastra Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Herusatoto, Budiono. 1985. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT.
Hanindita.
Roland, Barthes. 2004. Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Sardjono, Budi. 2011. Sang Nyai. Yogyakarta: DIVA Press.
Saini, K.M. 1986. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Angkasa.
Veeger, K.J. 1993. Realitas Sosial Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan IndividuMasyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: PT Gramedia.
193
PENGOBATAN TRADISIONAL JAWA UNTUK PENYAKIT ANAK-ANAK
DALAM MANUSKRIP-MANUSKRIP JAWA DI SURAKARTA
Hesti Mulyani, Sri Harti Widyastuti, Venny Indria Ekowati
(FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia)
Abstrak: Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mendeskripsikan pengobatan
tradisional Jawa untuk penyakit anak-anak dalam manuskrip-manuskrip Jawa. Deskripsi
pengobatan tradisional Jawa meliputi deskripsi penyakit dan pengobatannya. Metode
yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan filologi modern.
Manuskrip Jawa yang digunakan sebagai sumber data penelitian pada tulisan ini adalah:
Serat Primbon Jampi Jawi jilid I, Serat Primbon Racikan Jampi Jawi jilid II, dan Serat
Primbon Jampi Jawi jilid IV. Manuskrip-manuskrip tersebut adalah koleksi
Reksapustaka Mangkunegaran Surakarta. Hasil penelitian dan pembahasan
menunjukkan bahwa penyakit anak-anak, teridentifikasi ada 8 penyakit medis dan nonmedis. Penyakit yang tergolong medis ada 7 macam, yaitu: (1) panas dingin, (2) batuk,
(3) berak, (4) cacingan, (5) gomen, (6) kencing, dan (7) kembung. Penyakit yang
tergolong non-medis ada 1 macam, yaitu cacar. Metode pengobatan yang ditemukan
dalam manuskrip-manuskrip Jawa terdiri atas pengobatan yang tergolong medis dan
non-medis. Untuk pengobatan medis digunakan daun, buah, biji, akar, rimpang,
dicampur dengan air, minyak, cuka, dan arak. Pengobatan non-medis digunakan bahan
salaka atau mutiara dan sagu. Pengobatan penyakit, baik medis maupun non-medis
dapat dilakukan lebih dari satu tahap. Jika pengobatan tahap ringan tidak
menyembuhkan penyakit, maka dilakukan pengobatan lanjutan dengan bahan obat yang
berbeda. Untuk metode pemberian obat/jamu, ditemukan 7 cara, yaitu: (1) diminumkan,
(2) ditaburkan, (3) di-sembur-kan, (4) di-boreh-kan, (5) di-kecer-kan, (6) di-tapel-kan,
dan (7) diusapkan..
Kata Kunci: pengobatan tradisional Jawa, penyakit anak, manuskrip Jawa
Pendahuluan
Manuskrip dalam khasanah sastra Jawa merupakan salah satu objek penelitian
dalam disiplin ilmu filologi. Manuskrip merupakan warisan budaya yang dituliskan oleh
nenek moyang dengan menggunakan aksara lokal, yakni aksara Jawa dengan bahanbahan tradisional yang ada pada masa itu. Di dalam manuskrip terdapat kearifan lokal
yang menunjukkan pada sistem pengatahuan, ilmu dan ngelmu yang merupakan hasil
pemahaman masyarakat pada waktu itu terhadap alam. Ilmu yang bergerak di bidang
manuskrip dan kandungannya, yakni teks, yang memuat teori-teori sejarah
perkembangan manuskrip serta metode-metode untuk meneliti manuskrip dan teks
sudah berkembang sejak abad ke-3 S.M. yang kemudian disebut sebagai filologi
(Baroroh-Baried, 1985: 30).
194
Terkait dengan banyaknya manuskrip-manuskrip yang disimpan di dalam tempat
penyimpanan manuskrip, seperti perpustakaan dan museum di Yogyakarta banyak yang
belum dijamah. Di samping itu, manuskrip Jawa disimpan pula di Kraton Kasunanan
Surakarta (Sala), perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran, perpustakaan Gedong
Kirtya di Bali, serta disimpan dalam koleksi pribadi. Semua perpustakaan tersebut sudah
melakukan reservasi terhadap manuskrip-manuskrip sehingga dimungkinkan keadaan
manuskrip sudah menjadi lebih baik dan terjaga keawetannya. Manuskrip-manuskrip
tersebut mengandung berbagai sistem pengetahuan, seperti misalnya sistem
pengetahuan pengobatan tradisional.
Penelitian terhadap manuskrip-manuskrip yang berisi tentang jamu dan
pengobatan herbal sudah dilakukan oleh Widyastuti, dkk. (2013 dan 2014). Namun,
penelitian yang dilakukan masih terbatas pada manuskrip yang berasal dari Kraton
Yogyakarta, Museum Sonobudaya, Balai Bahasa, Kajian Budaya dan Tradisional
Yogyakarta. Sementara itu, Surakarta sebagai salah satu pusat budaya di samping
Yogyakarta, juga mempunyai skriptoria dan tempat penyimpanan manuskrip yang di
dalamnya terdapat koleksi yang sangat banyak. Antara Kraton Surakarta dan
Yogyakarta terdapat kesamaan karakteristik kebudayaan yang diwujudkan dalam bentuk
ide, perilaku budaya, dan benda-benda yang dihasilkan.
Namun demikian, terdapat perbedaan yang cukup mencolok di antara tradisi
Yogyakarta dan tradisi Surakarta. Tradisi Yogyakarta lebih terkesan sederhana, lebih
tegas, dan apa adanya. Sementara tradisi Surakarta menekankan aspek-aspek estetis
yang tinggi dan lebih kompleks. Berdasarkan fenomena tersebut, maka tradisi
pengobatan tradisional yang diusulkan dalam penelitian ini mencoba mengangkat tradisi
pengobatan tradisional yang tersimpan di wilayah skriptorium yang terdapat pada
penyimpanan manuskrip di Surakarta.
Dewasa ini, ramuan tradisional masih diyakini membantu kesulitan kesehatan
terutama bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan. Hal itu, disebabkan alam pedesaan
memungkinkan untuk untuk mendapatkan banyak sekali bahan tanaman yang berkhasiat
obat. Namun demikian, begitu besarnya perhatian masyarakat pada pengobatan
tradisional maka mereka yang hidup di kota besar juga mulai membudidayakan tanaman
obat (Hartati, 2011: 22). Terkait dengan hal tersebut, maka dewasa ini banyak ditulis
buku-buku yang terkait dengan tanaman obat tradisional, manfaat, dan ramuan yang
dapat dibuat untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu. Namun demikian, sumbersumber rujukan belum dicantumkan pada tulisan-tulisan tersebut.
Oleh karena itu, penelitian tentang pengobatan tradisional yang terdapat pada
manuskrip-manuskrip Jawa perlu dilakukan. Hal itu, terkait dengan akumulasi sumber
data pengobatan tradisional yang memang ditulis oleh nenek moyang pada waktu itu.
Sistem pengobatan tradisional yang ditulis di dalam manuskrip itu sudah berusia cukup
tua, berasal dari tradisi yang dimungkinkan dari abad ke-17-- abad ke-20. Namun
demikian, tidak ada catatan yang resmi sejak kapan tradisi meracik dan meramu jamu
bermula. Akan tetapi, tradisi itu diyakini telah berjalan ratusan bahkan ribuan tahun
yang lalu.
Tradisi meracik dan meramu jamu sudah menjadi budaya sejak kerajaan Hindhu
Jawa. Relief Candi Borobudur yang dibuat pada tahun772 Masehi, menggambarkan
kebiasaan meracik dan meminum jamu untuk menjaga kesehatan.Bukti sejarah lainnya,
yaitu penemuan prasasti Madawapura dari peninggalan kerajaan Hindhu Majapahit yang
menyebut adanya profesi tukang meracik jamu yang disebut acaraki. Setelah mengenal
budaya menulis bukti sejarah mengenai penggunaan jamu semakin kuat dengan
ditemukannya usada lontar di Bali yang ditulis dengan bahasa Jawa Kuno (Djojo
195
Seputro, 2012: 1). Tradisi tersebut ditulis dalam manuskrip dan menjadi tradisi turun
temurun yang dikerjakan oleh masyarakat Jawa.
Sumber data dalam penelitian yang dilakukan ini adalah: (1) Serat Primbon
Jampi Jawi Jilid I, (2) Serat Primbon Racikan Jampi Jawi Jilid II, (3) Serat Primbon
Jampi Jawi Jilid IV, (4) Serat Memulya Sarira, dan (5) Bab Tetuwuhan ing Tanah
Hindiya miwah Dayanipun kanggé Jampi. Dalam sumber data penelitian tersebut
ditemukan penyakit pada anak-anak. Pada kesempatan ini, khusus paparan dalam tulisan
ini, penyakit pada anak-anak yang ditemukan difokuskan pada manuskrip Serat
Primbon Jampi Jawi Jilid I, Serat Primbon Racikan Jampi Jawi Jilid II, dan Serat
Primbon Jampi Jawi Jilid IV untuk penyakit anak-anak yang tergolong medis.
Selanjutnya, temuan penelitian khusus penyakit pada anak-anak diuraikan sebagai
berikut.
Penyakit pada Anak-anak
Anak-anak terutama yang berusia di bawah lima tahun, rentan terkena penyakit.
Hal itu disebabkan karena daya tahan tubuh yang belum sempurna. Pada manuskrip
Jawa yang memuat mengenai pengobatan tradisional Jawa, juga ditemukan berbagai
macam penyakit yang sering menyerang anak-anak, disertai dengan cara
pengobatannya. Penyakit pada anak-anak yang disebutkan dalam manuskrip Jawa
adalah penyakit yang tergolong medis dan non-medis, teridentifikasi sebanyak 8
penyakit. Untuk penyakit medis, teridentifikasi sebanyak 7 penyakit, yaitu: (1) panas
dingin, (2) batuk, (3) berak, (4) cacingan, (5) gomen, (6) kencing, dan (7) kembung.
Untuk penyakit non-medis, teridentifikasi sebanyak 1 penyakit, yaitu: cacar.
Penyakit Medis pada Anak-anak
Penyakit medis pada anak-anak ada 7 macam seperti tersebut di atas. Berikut ini
diuraikan penyakit-penyakit medis pada anak-anak berdasarkan manuskrip-manuskrip
Jawa yang dijadikan sumber data penelitian.
1.
Panas dingin
Penyakit tidak enak badan, yakni badan panas dingin pada anak-anak dari zaman
dahulu sampai sekarang cukup mendominasi. Hal itu terjadi terutama ketika musim
kemarau dan penghujan. Pada musim kemarau, penyakit tidak enak badan dapat terjadi
karena udara yang kering dan kotor karena debu menyebabkan timbulnya penyakit
batuk, masuk angin, pilek, dan akhirnya menjadi demam dan flu. Pada musim
penghujan, penyakit panas dingin muncul karena udara yang dingin. Dalam manuskrip
yang terdapat penyakit tersebut sebagai contoh dimuat di dalam manuskrip Jawa sebagai
sumber kajian, yaitu Serat Primbon Racikan Jampi Jawi jilid II nomor jamu 716 sebagai
berikut.
Angka 716: Borèh jeram sawit kanggé jampi bentèr tis
godhong jeram pecel 3 lembar, pentilipun satunggal, oyot tuwin babakanipun
panjangipun sami sadariji, sekaripun 7 iji, jinten pethak 3 saga, mesoyi 2 saga, adas
sasaga, pulasari 3 saga, cendhana 2 saga, kajeng tai 2 saga, dringo 3 iris, waron 2 saga,
rasuk angin 2 saga, sunthi 3 iris, kencur 3 iris, brambang 3 iji, bawang 7 siyung, mrica
pethak 7 iji, dipunpipis mawi toya tuli.
Terjemahan Angka 716: Borèh jeruk sawit untuk jamu panas dingin
3 lb daun jeruk pecel, 1 pentilnya, akar dan babakan panjangnya sejari, 7 biji bunganya, 3
saga jinten putih, 2 saga mesoyi, sesaga adas, 3 saga pulasari, 2 saga cendhana, 2 saga
196
kayu tai, 3 iris dringo, 2 saga waron, 2 saga rasuk angin, 3 iris sunthi, 3 iris kencur, 3 biji
bawang merah, 7 siyung bawang putih, 7 biji merica putih, ditumbuk dengan air tuli (air
yang diambil dengan cara membelakangi tempat airnya).
Untuk pengobatan penyakit panas dingin, ada beberapa resep pengobatan yang
dapat digunakan. Jika pengobatan dengan resep pertama belum berhasil maka dapat
digunakan resep yang lainnya, seperti dalam terjemahan di bawah ini (Serat Primbon
Racikan Jampi Jawi jilid II nomor 813).
Terjemahan Angka 813: Jamu sakit panas dingin
Dringo, benglé @ 3 iris, 3 biji kemukus, 3 biji cengkih, 3 siyung (ulas) bawang,
dikunyah lalu di-sembur-kan di bagian leher yang sakit ke bawah sampai di
bagian pinggang.
Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa cara pengobatan penyakit
panas dingin dilakukan dengan cara membuat ramuan jamu untuk di-borèh-kan di
badan atau di-sembur-kan di bagian leher ke bawah sampai di bagian pinggang
penderita. Untuk ramuan yang di-borèh-kan, digunakan tanaman-tanaman sebagai
berikut: (1) jeruk pecel/nipis (akar, babakan, daun, pentil, bunga), (2) jinten putih, (3)
mesoyi, (4) adas, (5) pulasari, (6) cendana, (7) kayu tai, (9) dringo, (10) waron, (11)
rasuk angin, (12) sunthi, (13) kencur, (14) bawang merah, (15) bawang putih, (16)
merica, dan (17) cengkih, (18) pucuk, (19) unem. Kemudian bahan-bahan tersebut
dihaluskan ditambah dengan air yang diambil dengan cara membelakanginya (air tuli)
lalu di-borèh-kan di badan atau dihaluskan dengan air rendaman bunga lalu di-semburkan di bagian leher ke bawah sampai di bagian pinggang.
Adapun contoh kandungan dan khasiat dari ramuan jamu tersebut adalah sebagai
berikut. Misalnya, jeruk nipis mengandung limonene, linalool, flavonoid, sunephrine,
asam sitrat, kalsium, fosfor, besi, dan vitamin A, B1, C. Khasiat jeruk nipis dapat
mengobati sakit amandel, batuk, peluruh dahak, peluruh kencing dan keringat, serta
membantu proses pencernaan (Hidayat, 2015: 163). Selain itu, juga mengandung linalin
asetat, geranil asetat, dan fellandren yang berkhasiat untuk meredakan sakit nyeri di
dada, perut mual, dan muntah (Wind, Ajeng, 2014: 228). Juga, dipercaya mengandung
antiseptik, antivirus, restoratif, dan tonikum yang berkhasiat sebagai obat penurun
panas, pegal linu, kepala pusing, suara serak/batuk, flu/demam, dan radang hidung
(Redaksi Trubus, 2012: 340-341).
Berdasarkan uraian yang dimuat di dalam buku Herbal Indonesia Berkhasiat:
Bukti Ilmiah dan Cara Racik. (Redaksi Trubus, 2012: 272; 275; 219) tentang ramuan
jamu untuk sakit panas dingin adalah sebagai berikut. Cendana berkhasiat dan memberi
efek untuk mengobati demam, sakit kepala, dan menghilagkan rasa lelah. Pengobatan
menggunakan cengkih dapat memberi rasa hangat. Ramuan kencur, sunthi, merica dapat
memberi efek menghangatkan dan mengatur suhu badan. Pulasari (pulawaras) sebagai
tanaman obat atau obat herbal memberi efek antibakteri. Secara empiris, pulasari
digunakan untuk mengobati demam. Jika digabungkan dengan adas (adas pulawaras)
dipercaya manjur untuk mengobati aneka penyakit, seperti batuk, demam, disentri, dan
pusing.
Semua ramuan jamu dari reep pengobatan di atas pengolahannya dengan
dihaluskan ada yang dengan air tawar (air tuli, yakni diambil dengan cara
membelakangi airnya) dan ada yang dengan air rendaman bunga. Semua ramuan jumu
tersebut merupakan obat luar. Adapun cara pengobatannya dengan cara di-borèh-kan di
badan dan variasinya dengan cara di-sembur-kan di bagian leher ke bawah sampai di
bagian pinggang. Kedua cara pengobatan itu merupakan model pengobatan serupa,
yakni dengan mengoleskan atau melumurkan (memaramkan) ramuan jamu di badan
197
sehingga ramuan merasuk ke dalam tubuh. Adapun model pengobatan di-sembur-kan,
yakni semua ramuan jamu dihaluskan dengan cara dikunyah sampai lembut kemudian
disemprotkan pada bagian yang sakit, untuk panas dingin disemprotkan di bagian leher
ke bawah sampai di bagian pinggang.
Ramuan jamu di atas termasuk ramuan jamu dengan tingkat kompleksitas
sedang, jika dilihat dari variasi bahan dan cara pengolahannya. Ramuan di atas memang
digunakan untuk penyakit panas dingin pada tingkat sedang. Untuk panas dingin yang
ringan digunakan ramuan yang lebih sederhana dan dengan pengobatan yang sederhana
pula seperti pengobatan angka 716 dan 813. Beberapa jenis tanaman di atas sudah
tercatat sebagai tanaman obat. Misalnya, seperti yang telah dituliskan di atas bahwa
jeruk nipis berkhasiat sebagai obat batuk, penurun panas, pegal linu, influenza/demam,
dsb. (Redaksi Trubus, 2012: 341). Khasiat bawang merah adalah efektif menurunkan
suhu badan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Rachmad (2014: 6).
2. Batuk
Penyakit batuk adalah penyakit yang diderita oleh anak-anak dari zaman dahulu
sampai sekarang cukup mendominasi. Hal itu terjadi terutama ketika musim kemarau
dan penghujan. Pada musim kemarau penyakit batuk dapat terjadi karena udara yang
kering, kotor karena debu menyebabkan timbulnya penyakit batuk, juga masuk angin,
pilek, dan akhirnya menjadi demam dan flu. Pada musim penghujan penyakit tersebut
muncul karena udara yang dingin. Dalam manuskrip yang terdapat penyakit tersebut
sebagai contoh dimuat di dalam manuskrip Serat Primbon Racikan Jampi Jawi jilid II
nomor jamu 530 dan Serat Primbon Jampi Jawi jilid I nomor jamu 177 sebagai berikut.
Terjemahan Angka 530: Jamu sakit batuk
Jeruk nipis 2 iris, dilumuri/dibaluri apu sampai rata lalu dipanggang di atas lampu teplok,
kemudian diperas langsung dimasukkan ke dalam mulut.
Terjemahan Angka 177: Jamu untuk anak sakit batuk
3 biji brambang dibakar, 5 saga kayu manis cina, 1 jari kayu manis jawa dibakar, semua
dihaluskan sampai lembut, bila mau minum tambahkan air jeruk nipis.
Dari terjemahan kutipan di atas terdapat resep ramuan jamu yang sederhana
untuk mulai mengalami batuk, yakni jeruk nipis dan apu saja. Selain itu, cara
pengobatannya pun juga sederhana, yakni dengan cara jeruk nipis 2 iris, dilumuri apu
sampai rata lalu dipanggang di atas lampu teplok, kemudian diperas langsung
dimasukkan ke dalam mulut atau langsung diminum. Jika batuknya pada tingkat
menengah maka ramuan jamunya tidak sederhana lagi, yaitu 3 biji brambang dibakar, 5
saga kayu manis cina, 1 jari kayu manis jawa dibakar, semua dihaluskan sampai lembut,
bila mau diminum tambahkan air jeruk nipis. Cara pengolahan ramuan jamu ada 2
macam, yaitu dibakar dan dihaluskan. Adapun cara pengobatannya dengan cara
diminum.
Semua ramuan jamu di atas sebagai obat/jamu batuk. Misalnya, khasiat jeruk
nipis untuk mengobati sakit batuk, dan peluruh dahak (Hidayat, 2015: 163). Bawang
merah digunakan karena mengandung flavon glikosida, yakni berkhasiat antiradang,
antibakteri dan mencegah penggumpalan darah, juga untuk menurunkan panas (Redaksi
Trubus, 2012: 218). Kayu manis dimanfaatkan karena mengandung antiseptik, yakni
berkhasiat mengobati demam, influensa, dan batuk (Redaksi Trubus, 2012: 355-356).
3.
Buang air besar
Penyakit buang air besar pada anak-anak ditemukan penyakit berak darah,
yakni penyakit yang sering dijumpai akibat saluran pencernaan yang belum sempurna.
198
Di samping itu, juga karena adanya infeksi bakteri. Penyakit berak darah yang diderita
oleh anak-anak menurut manuskrip Jawa yang menjadi sumber kajian, yakni Serat
Primbon Racikan Jampi Jawi jilid II diobati dengan cara sebagai berikut.
Angka 760: Panunggilanipun jampi mejen tumrap raré ingkang saweg ngumur 1 ½
taun
Godhong pintèn satekem, adas 2 jodho, pulasari saros dariji, brambang 2 iji kabakar,
kerikan secang 5 saga, cendhana jenggi 4 saga, kapipis mawi toya, lajeng dipunsaring,
kaombèkna saben énjing, tapelipun inggih sami kaliyan jampi wau, namung kawènèhana
podhi 3 saga, kapipis kang lembut, lajeng katapelna.
Terjemahan Angka 760: Jamu berak darah yang lain untuk anak berumur dua
tahun setengah
Segenggam daun pintèn, 2 pasang adas, satu ros jari pulasari, 2 biji bawang merah
dibakar, 5 saga kerikan secang, 4 saga cendhana jenggi, ditumbuk dengan air, lalu
disaring, diminum setiap pagi, tapel-nya sama dengan jamu tersebut, hanya diberi 3 saga
podhi, ditumbuk yang lembut, kemudian di-tapel-kan.
Dari kutipan di atas terdapat 2 macam resep ramuan jamu, yakni (1) diminum
dan (2) untuk di-tapel-kan. Resep ramuan jamu, baik untuk yang diminum maupun yang
di-tapel-kan di bagian perut adalah untuk melancarkan peredaran darah dan
mempermudah buang air besar. Dengan 2 macam cara pengobatan, yakni sebagai obat
dalam langsung diminum dan disertai dengan obat/jamu luar dengan di-tapel-kan
dimungkinkan cepat sembuh.
4.
Cacingan
Penyakit cacingan adalah penyakit yang paling lazim diderita oleh anak-anak.
Penyakit itu terjadi dari pada masa lalu dan pada masa sekarang ini pun, cacingan masih
mendominasi. Bahkan menurut Hadidjaya (dalam Mardiana dan Djarismawati, 2008:
769) prevalensi cacingan masih tinggi, antara 60-90%. Hal itu sangat bergantung pada
sanitasi dan lokasi lingkungan tempat tinggal. Pengobatan untuk cacingan termasuk
variatif. Berbagai jenis tumbuhan digunakan. Berikut ini terjemahan berdasarkan
kutipan dari Serat Primbon Jampi Jawi jilid I mengenai resep ramuan jamu dan cara
pengobatan penyakit cacingan.
Terjemahan Angka 76: Jamu anak kecil susah berak karena cacing cacing,
berumur 1 sampai 3 tahun
Adas sesaga, pulasari panjang sejari, secang, widara putih, cendana jenggi, @ 5 saga,
kayu ules 3 biji dibakar, rasuk angin, ketumbar, @ 5 saga, trawas 2 lb, pala 1 biji dibakar,
kencur 3 pucuk, bawang 3 dibakar, kemenyan madu sebiji asam, kulit manggis saruas jari
persegi, daun lampes, daun sèmbukan, @ 3 lb, semua racikan jamu dihaluskan diambil
airnya, disaring menjadi satu, airnya diminumkan, ampasnya untuk tapel.
Angka 77: Untuk tapel
Secang, widara putih, cendana jenggi, rasuk angin, @ 5 saga, kayu ules 3 dibakar, jamur
impes 4 saga, pucuk daun jarak cina 3 lb, jong rab 5 saga, isi mundhu 3 biji, daun lampes
3 lb, daun sémbukan 3 lb, beras sejumput, kedawung 3 biji dibakar, brambang tua 3 biji,
adas 3 pasang, pulasari 2 ruas jari dihaluskan dengan air sampai lembut kemudian ditapel-kan.
Angka 78: Jamu diminum
Adas sejumput, pulasari saruas jari, brambang 3 biji direbus dengan daun jarak cina yang
sudah menguning 7 lb, dicuci dan direbus menggunakan teko dengan se-siwur air.
Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa cara pengobatan penyakit
cacingan dilakukan dengan cara membuat ramuan untuk diminumkan dan ramuan yang
di bagian perut penderita. Untuk ramuan, baik yang diminumkan atau di-tapel-kan,
digunakan tanaman-tanaman sebagai berikut: adas, pulasari, secang, cendana, pala,
199
kencur, bawang, brambang, kulit manggis, jamur, dan sebagainya. Kemudian bahanbahan tersebut dipipis sampai halus untuk di-tapel-kan dan diminumkan. Untuk
pengobatan penyakit cacingan, tidak hanya dilakukan dengan menggunakan satu
ramuan jamu. Jika pengobatan dengan ramuan jamu pertama dan kedua tidak berhasil
maka dilanjutkan dengan ramuan jamu selanjutnya.
Berdasarkan terjemahan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengobatan cacingan
pada masa lampau juga didasarkan pada parah atau tidaknya penyakit. Dengan
demikian, terdapat alternatif penyembuhan dengan ramuan jamu yang berbeda jika
gejala cacingan masih tampak. Dari berbagai bahan ramuan jamu tersebut terdapat
kandungan anthelmitik yang berkhasiat sebagai obat cacing, yakni obat yang digunakan
untuk membrantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh
(Biworo, 2014: 1).
5.
Gomen
Penyakit gomen merupakan penyakit yang paling lazim diderita oleh anak-anak.
Penyakit itu terjadi dari masa lalu dan sampai masa sekarang ini pun, cacingan masih
mendominasi. Penyakit gomen dapat terjadi akibat panas dalam. Pengobatan untuk
gomen termasuk variatif, berbagai jenis tumbuhan digunakan. Berikut ini terjemahan
berdasarkan kutipan dari Serat Primbon Racikan Jampi Jawi jilid II mengenai resep
ramuan jamu dan cara pengobatan penyakit gomen.
Terjemahan Angka 931: Jamu bibir gomen, kendati sampai tenggorokan juga
disebut gomen, dalam bhs Belanda: kiel ziekte
Segenggam daun saga, minyak kawang sebiji asam, brambang 3 biji, beras 7 biji, kayu
manis panjang sejari, dihaluskan sampai halus, diperas airnya dibungkus ditambah santan,
setiap akan dijamukan bibirnya diuasapi air seninya sendiri dulu supaya lemas.
Terjemahan Angka 932: Sejenis jamu gom
Getah kayu sana, diusapkan di bagian yang sakit.
Berdasarkan terjemahan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa cara
pengobatan penyakit gomen dilakukan dengan cara membuat ramuan untuk diusapkan
di bagian bibir penderita yang gomen. Untuk ramuan sakit gomen digunakan tanamantanaman sebagai berikut: daun saga, brambang, kayumanis, dan getah kayu sana.
Campuran bahan brambang dengan minyak untuk diusapkan pada bibir yang gomen
dapat menurunkan daya panas (Rachmad, 2014: 6; Redaksi Trubus, 2012: 219). Daun
saga mengandung protein, vitamin A, B1, B6, C, kalsium oksalat, dan sebagainya yang
berkhasiat sebagai obat gomen (sariawan), radang tenggorokan, dan sebagainya
(Redaksi Trubus, 2012: 468-469).
6.
Kencing
Penyakit kencing merupakan penyakit yang paling lazim diderita oleh anakanak. Penyakit kencing terjadi dari masa lalu dan sampai masa sekarang ini pun masih
mendominasi. Penyakit kencing dapat terjadi akibat adanya infeksi bakteri di saluran air
seni. Pengobatan untuk sakit kencing termasuk variatif, berbagai jenis tumbuhan
digunakan. Berikut ini terjemahan berdasarkan kutipan dari Serat Primbon Jampi Jawi
jilid I mengenai resep ramuan jamu dan cara pengobatan penyakit kencing.
Terjemahan Angka 27: Jamu sakit kencing untuk orang tua atau anak
Bambu wuluh muda yang masih ada lugut-nya 3 biji dibakar sampai gosong, jong raab 5
saga, adas 1 saga, pulasari panjang sejari, brambang yang sudah tua satu, perasan daun
blimbing wuluh ditumbuk segenggam, diambil airnya, lalu semua bahan dipipis samapi
halus dan disaring, kemudian diminumkan.
200
Terjemahan Angka 28: Jamu untuk diminum
Daun dan akar seledri.
Berdasarkan kutipan di atas terdapat ramuan jamu dan cara pengobatan
tradisional, yakni diminumkan. Ramuan jamu tersebut adalah bambu wuluh muda
dengan lugut-nya, jong raab, adas, pulasari, brambang yang sudah tua, daun belimbing
wuluh, dan daun seledri. Semua bahan ramuan itu memiliki kandungan yang berkhasiat
untuk mengobati atau menyembuhkan penyakit kencing. Misalnya, belimbing wuluh
berkhasiat untuk menghilangkan sakit (analgesik), memperbanyak pengeluaran racun
empedu, peluruh kencing, dan sebagainya (Redaksi Trubus, 2012: 236-237). Begitu pula
daun seledri mempunyai kandungan diuretik, yakni berkhasiat untuk meluruhkan air
seni (Redaksi Trubus, 2012: 106-107).
7.
Kembung
Penyakit kembung merupakan penyakit yang paling lazim diderita oleh anakanak. Penyakit kembung terjadi akibat adanya masalah pencernaan, misalnya luka usus,
luka lambung, dan kembung, yakni sirkulasi angin yang ada di dalam perut tidak lancar.
Berikut ini terjemahan berdasarkan kutipan dari Serat Primbon Jampi Jawi jilid I
mengenai resep ramuan jamu dan cara pengobatan penyakit kencing.
Terjemahan Angka 176: Tapel untuk anak sakit kembung berumur 5 sampai 7
bulan
3 ujung bung kélor, 3 jumput bunga abu bagian tengah di dapur, lalu di-pusus kemudian
di-tapel-kan di perut, di dada, dan di bagian belakang/punggung.
Berdasarkan kutipan di atas terdapat ramuan jamu dan cara pengobatan
tradisional, yakni di-tapel-kan. Ramuan jamu tersebut adalah bung kelor, dan bunga abu.
Bahan ramuan itu memiliki kandungan yang berkhasiat untuk mengobati atau
menyembuhkan penyakit kembung. Bung kelor mengandung antioksidan yang tinggi
dan berkhasiat untuk menyembuhkan sakit kembung, dan penyakit yang berhubungan
dengan masalah pencernaan yang lainnya, seperti luka usus dan luka lambung (Hidayat,
2015: 197-198). Perpaduan campuran antara bung kelor dengan bunga abu yang
mempunyai efek hangat digunakan sebagai obat luar dengan cara di-tapel-kan
dimungkinkan untuk mengeluarkan angin sehingga rasa kembung di perut menjadi
sembuh.
Penyakit non-medis pada anak-anak
Penyakit non-medis pada anak-anak ada 1 macam penyakit.. Berikut ini
diuraikan penyakit non-medis pada anak-anak berdasarkan manuskrip-manuskrip Jawa
yang dijadikan sumber data penelitian, yakni yang ditulis dalam tulisan ini.
Cacar
Penyakit cacar air atau varicela merupakan penyakit menular yang disebabkan
oleh virus Varicella Zoster. Penyakit itu merupakan penyakit yang disebutkan di semua
manuskrip Jawa yang menjadi sumber kajian. Cacar air memang merupakan penyakit
yang hingga kini masih tetap menjadi epidemi di dunia dan di Indonesia. Kendati pun
infeksi Varicella Zoster tergolong ke dalam infeksi ringan, namun jika kondisi imun
tubuh tidak baik, dapat menjadi berat dan tidak menutup kemungkinan berujung kepada
kematian (Kurniawan, 2009: 29). Berikut ini diuraikan resep ramuan jamu dan cara
pengobatan tradisional Jawa untuk penyakit cacar yang dimuat dalam manuskrip Jawa
sebagai sumber kajian, yaitu Serat Primbon Jampi Jawi jilid IV sebagai berikut.
201
Angka 1721: Toya pangombènipun laré cacaren
Selaka utawi mutyara, dipunkum ing wédang bentèr, dipunombèkaken saben sonten,
dumugi mecahipun cacar punika.
Angka 1721: Jamu minum anak sakit cacar
Selaka atau mutyara, direndam dalam air panas, diminumkan setiap sore sampai cacar
memecah.
Angka 1727: Jampi cacaripun sami mlènyèh
Sagu garing kapipis kang lembat, dipunwur-wuraken ing sepré patileman, sarta salong
kabubuk dipunwadhahi ing sinjang, kanggé nguwur-wuri cacar kang mlènyèh, sampun
nagntos dangu dipunwur-wuri malih supados énggal garing.
Terjemahan Angka 1727: Jamu cacar yang sudah memecah
Sagu kering dihaluskan sampai lembut, ditaburkan di atas sprei tempat tidur anak,
sebagian bubuk sagu diletakkan di atas sinjang dan ditaburkan pada cacar yang sudah
memecah, ulangi sesering mungkin agar cacar cepat kering.
Dari kutipan di atas terdapat 2 macam resep non-medis, yaitu (1) bahan
jamu/obat tidak berasal dari tanaman obat, yakni salaka (logam putih sebagai bahan
pembuat uang logam) atau mutiara dan (2) sagu (dari beberapa pustaka tentang tanaman
obat tidak didapatkan). Namun, bahan resep non-medis itu relatif mudah didapatkan
atau terdapat di lingkungan masyarakat. Cara pengobatannya juga terdapat 2 macam
cara, yakni (1) diminum dan (2) ditaburkankan. Resep pengobatan non-medis, baik
untuk yang diminum maupun yang ditaburkankan di bagian cacar adalah untuk
mempercepat kesembuhan, yakni agar cacar cepat kering.
Berikut contoh tanaman obat yang digunakan untuk pengobatan tradisional Jawa
yang terdapat di dalam manuskrip Jawa sebagai sumber data dalam tulisan ini
(Widyastuti, 2013 dan 2014).
Tanaman Dringo (Dok. Widyastuti)
Tanaman Bengle (Qul, 2013)
Tanaman Adas (Bunda, 2011)
Jeruk Nipis (Dok. Widyastuti)
202
Metode Pengobatan Tradisional Jawa
Metode atau cara pengobatan tradisional Jawa yang ditemukan dalam manuskrip
Serat Primbon Jampi Jawi jilid II ada 6 cara, yaitu: (1) diminumkan, (2) ditaburkan, (3)
di-cekok-kan, (4) di-boreh-kan, (5) di-pilis-kan, dan (6) di-tapel-kan. Metode
pengobatan tradisional Jawa tersebut secara berturut-turut adalah sebagai berikut.
1. Diminumkan adalah cara pemberian obat yang paling umum dan paling mudah,
kecuali pada penderita dengan kesulitan menelan. Caranya dengan langsung
memasukkan ramuan jamu yang berupa cairan ke dalam mulut penderita, dan
kemudian ditelan langsung.
2. Ditaburkan adalah cara pemberian obat dari bahan ramuan berupa bubuk kering.
Cara pengobatan ini hanya ditemukan pada pengobatan penyakit cacar, terutama
cacar yang sudah pecah. Caranya dengan menaburkan pada alas tempat tidur anak
dan ditaburkan pada cacar yang sudah pecah.
3. Di-sembur-kan adalah pemberian jamu dengan cara menyemburkan cairan jamu
pada bagian yang sakit dan sekitarnya. Cara pemberian ramuan jamu seperti ini
dilakukan untuk penyembuhan penyakit panas dingin. Cara itu dilakukan karena
biasanya anak kecil menolak untuk meminum ramuan jamu. Penolakan terhadap
jamu itu karena rasa jamu adalah pahit.
4. Di-boreh-kan adalah cara pemberian obat yang hampir sama dengan dibedakkan,
yaitu dengan cara mengoleskan ramuan ke seluruh tubuh maupun hanya pada
bagian tertentu yang sakit. Biasanya istilah di-boreh-kan digunakan jika ramuannya
semi cair (basah) seperti lotion.
5. Di-kecer-kan adalah cara pemberian obat dengan memeras jeruk nipis yang sudah
dibaluri apu lalu dipanggang dan langsung dimasukkan ke dalam mulut penderita.
6. Di-tapel-kan adalah pemberian obat luar dengan cara mengoleskan ramuan jamu di
bagian perut. Biasanya ramuan di-tapel-kan sebanyak dua kali, yakni pagi dan sore
hari. Cara itu biasanya dimaksudkan untuk menjaga suhu badan agar hangat
sehingga mengusir kembung, masuk angin, dan sakit perut.
7. Diusapkan adalah pemberian obat luar dengan cara mengusapkan ramuan jamu
pada bagian yang sakit. Cara pengobatan ini ditemukan untuk menyembuhkan sakit
gomen, yakni mengusapan jamu di bibir penderita.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manuskrip Jawa,
khususnya manuskrip Serat Primbon Racikan Jampi Jawi Jilid II memuat ramuan jamu
yang beragam serta cara pengobatan tradisional Jawa yang variatif. Bahkan beberapa
jenis tumbuhan yang dipilih cukup sesuai dan efektif digunakan sebagai obat/jamu suatu
penyakit. Hal itu terbukti dari beberapa penelitian ilmiah yang mampu membuktikan
efektivitas suatu tumbuhan untuk mengobati jenis-jenis penyakit tertentu. Oleh karena
itu, perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut dan uji farmakologi terhadap tumbuhtumbuhan serta resep-resep pengobatan tradisional yang termuat dalam manuskripmanuskrip khususnya manuskrip Jawa.
203
Daftar Rujukan
Baroroh-Baried, Siti, dkk. 1985. Pengantar Teori filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Biworo, Agung. 2014. Antelmintik. diunduh dari farmasi.fkunissula.ac.id/
index.php?option pada 4 September 2014.
Bunda,
2011.
Mengenal
Adas
dan
Manfaatnya.
diunduh
dari
http://www.rumahbunda.com/nutrition-health/mengenal-adas-danmanfaatnya/ pada 1 September 2014.
Djoyo Seputro, Soedarso. 2012. Jamu Tradisional Nusantara. Surabaya: Penerbit Liris.
Hartati, Sri. 2011. Pengobatan dengan Herbal dan Pijat Refleksi. Cara Mudah Hidup
Sehat
Alami. Surabaya: Bintang Usaha.
Hidayat, R. Syamsul dan Rodame M. Napitupulu. 2015. Kitab Tumbuhan Obat. Jakarta:
AgriFlo (Penebar Swadaya Grup).
Kurniawan, Martin., Dessy, Norberta., dan Tatang, Matheus. 2009. Varicela Zoster pada
Anak. Jurnal Medicinus Vol. 3 No. 1 Februari 2009 – Mei 2009, hlm. 23-31.
Mardiana dan Djarismawati. 2008. Prevalensi Cacing Usus pada Murid Sekolah Dasar
WB Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh di
Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 7 No. 2, Agustus 2008:
769-774.
Qul, Amzil. 2013. Aneka Tanaman Toga | Jenis-Jenis Tanaman Toga | Manfaat dan
Kegunaan Tanaman Toga diunduh dari http://anekatanamantoga.blogspot.
com/2013/05/tanaman-toga-dlingo.html pada 30 Agustus 2014
Rachmad, dkk. 2014. Penentuan Efektivitas Bawang Merah dan Ekstrak Bawang Merah
(Allium Cepa ver. Ascalonicum) dalam Menurunkan Suhu Badan. diunduh
dari
repository.unhas.ac.id/bitsream/handle/123456789/
3411/JURNAL%20RACHMAD.pdf?sequence
Redaksi Trubus. 2012. Herbal Indonesia Berkhasiat: Bukti Ilmiah dan Cara Racik. Vol.
10. Edisi Revisi. Jakarta: PT Trubus Swadana.
Widyastuti, Sri Harti, Hesti Mulyani, dan Venny Indria Ekowati. 2013. Fitotherapy
dalam Manuskrip-manuskrip Jawa. Laporan Akhir Penelitian Fundamental
Tahun Pertama, UNY.
Widyastuti, Sri Harti, Hesti Mulyani, dan Venny Indria Ekowati. 2014. Fitotherapy
dalam Manuskrip-manuskrip Jawa. Laporan Pelaksanaan Penelitian
Fundamental Tahun Kedua, UNY.
Wind, Ajeng. 2014. Kitab Obat Tradisional Cina. Yogyakarta: Media Pressindo.
204
ASPEK KEPATUHAN DALAM KARYA SASTRA INDONESIA MODERN
I G.A.A. Mas Triadnyani, I Ketut Sudewa, dan I Ketut Nama
(FIB Universitas Udayana – Indonesia)
Abstract: Conflict is unavoidable in the interactions between or among individuals.
This sometimes may lead to human destruction. Therefore, there should be any attempts
to find the solution as the anticipation of it through some approaches. Literature, as the
imaginative world, delivers events in which their original ideas often imitate human
realities. Those realities pictured by literature can be examined and analyzed as the
assessments to widen human insights. There could be an assumption that loyalty is the
prominent requirement in contributing to solve human conflicts. It means by the loyalty
attitude seems human conflicts can be avoided.
Meanwhile, the fact says that Indonesia has so many traditional cultures. This
perhaps uplifts a challenging question, whether those cultural differences have brought
significant cause to any conflicts of the Indonesian societies. The different geographical
positions or places may possibly also cause the problems against values, attitudes, and
beliefs of the societies’ individuals. How could those differences be negotiable in the
dialogue in order to gain common advantages? And, how do literary writers deliver
human conflicts into their works?
This research wants to find solutions of human conflicts as those represented in
the modern Indonesian literatures. For this, structural approach is applied by focusing
on human interactions of the characters. The steps undergone are by doing analysis
towards the interactions through the model of schismogenesis. The objects of research
are taken from the three novels containing local colors, such as Warisan (by Chairul
Harun), Gadis Pantai (by Pramoedya Ananta Toer), and Janda dari Jirah (by Cok
Sawitri)
Keywords: loyalty, conflict, interactions, schismogenesis
Pendahuluan
Konflik sejak dulu diketahui sudah menjadi ciri yang melekat dalam diri
manusia. Perjuangan antara kepentingan individu dan kepentingan kelompok/sosial
sering menimbulkan benturan yang jika tidak segera diatasi membawa pada kehancuran
manusia itu sendiri. Di dalam struktur hubungan ketergantungan antarmanusia, hal ini
merupakan tantangan tersendiri. Manusia yang satu tentu memerlukan bantuan atau
dukungan dari yang lainnya sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Di lain
pihak, ia akan menghindari hubungan dengan yang lainnya itu jika dirasakan tidak ada
kesesuaian dengan keinginannya sendiri. Di sinilah dituntut kebijaksanaan dari masingmasing pihak yang berkonflik untuk bisa menjaga sikapnya (egonya) sehingga
keseimbangan jagat dapat dipertahankan.
Ada asumsi bahwa konflik di setiap tempat dan waktu memiliki bentuk yang
sama. Konflik dalam diri manusia cenderung selalu sama. Perbedaan kebudayaan yang
mencakup sistem nilai, perilaku, dan kepercayaan setempat boleh jadi memberi
pengaruh pada bentuk konflik. Masyarakat Bali, misalnya, memiliki cara pandang yang
205
berbeda dengan masyarakat Minang dalam menyikapi suatu persoalan. Tak dapat
dipungkiri berbagai persoalan yang muncul menuntut solusi yang positif. Dalam hal ini,
kepatuhan menjadi syarat mutlak untuk menghindari konflik (Triadnyani, 2014).
Kepatuhan adalah suatu bentuk pengaruh sosial di mana seseorang bersedia
melaksanakan perintah dari orang lain yang lebih berkuasa. Dalam hal ini terdapat relasi
kuasa, yakni antara yang menguasai dan yang dikuasai. Yang dikuasai tunduk dan patuh
kepada perintah yang menguasai. Kepatuhan merupakan elemen dasar di dalam struktur
kehidupan sosial (Milgram, 1974). Keberadaannya menjadi penting manakala seseorang
terlibat dalam suatu hubungan. Kepatuhan tampaknya dipengaruhi oleh kepribadian
seseorang sejak masih kanak-kanak. Dalam pengertian, seberapa jauh mereka
mendapatkan pelajaran tentang agama dan moralitas, baik dari sekolah maupun
keluarga.
Sastra menyajikan sebuah dunia yang dapat didekati sebagaimana kenyataan
yang ada. Sastra mengungkapkan perbedaan-perbedaan dan benturan-benturan yang
terjadi akibat konflik antarmanusia. Perbedaan sikap hidup dan nilai-nilai, serta
kepercayaan dari masyarakat Indonesia memperlihatkan dialektika terus-menerus.
Bagaimana memanfaatkan sinergi yang timbul dari dialektika tadi. Hal ini menjadi
tantangan tersendiri bagi masyarakat di zaman modern ini.
Kajian terhadap topik tentang kepatuhan telah dilakukan beberapa ahli. Stanley
Milgram, misalnya, melakukan eksperimen dalam bidang psikologi sosial. Terkait aspek
kepatuhan, Milgram (1974) mengatakan bahwa “Obedience is a basic element in the
structure of social life.” Dalam kehidupan masyarakat modern diperlukan sebuah sistem
yang mengatur individu. Sistem penguasa (orang yang memiliki wewenang) berfungsi
menjalankan aturan-aturan agar tidak terjadi perselisihan. Orang-orang tunduk dan
patuh kepada perintah penguasa. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari hidup
bermasyarakat. Hubungan penguasa dan yang dikuasai mutlak menuntut adanya
kepatuhan.
Lebih jauh, pemahaman mengenai aspek kepatuhan mengarah pada relasi antara
dua orang yang tidak simetris. Kedudukan kedua orang tersebut sejajar, misalnya
sesama guru atau sesama pembantu. Apakah mereka juga memiliki kepatuhan yang
sama dengan kasus di atas? Melalui penelitian disertasi yang dilakukan Triadnyani
(2014) diperoleh kesimpulan sementara bahwa interaksi antarindividu yang memiliki
kedudukan sejajar cenderung menimbulkan konflik, misalnya interaksi antara tokoh
Rangda dengan tokoh Mpu Baradah di dalam teks Janda dari Jirah memperlihatkan
konflik yang semakin menguat. Keduanya sama-sama sakti, keduanya adalah pendeta,
dan keduanya juga memiliki murid-murid. Klimaks tercapai dalam bentuk pertarungan
yang berakhir dengan kematian salah satunya. Sementara, kepatuhan justru ditunjukkan
dalam relasi-relasi yang mengandung unsur hierarkis, seperti relasi antara murid dan
guru, orang tua dan anak, serta bawahan dan atasan.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. yang didasarkan pada analisis data
verbal dengan menekankan deskripsi interpretatif atas gejala atau fenomena peristiwa
secara alamiah. Karya sastra menyajikan sebuah dunia yang dapat didekati sebagaimana
kenyataan yang ada. Menurut Ricoeur (1981), di dalam menghadapi karya sastra,
pembaca tidak memperlakukannya sebagai objek, tetapi sebagai mediasi. Pembaca
berkomunikasi dengan tokoh-tokoh sebagaimana layaknya manusia biasa. Dengan
memahami tokoh-tokoh tersebut, kita dapat memahami diri melalui empati dengan
tokoh-tokoh itu.
Tujuan mengkaji teks sastra adalah untuk memperoleh pemahaman. Diasumsikan
bahwa teks menyatakan sesuatu, tidak hanya tentang teks itu sendiri, tetapi juga tentang
206
dunia yang lebih luas. Dengan membaca teks diharapkan pembaca sampai pada
pemahaman yang lebih luas tentang dunia. Ricoeur (1981) menjelaskan interpretasi
sebagai upaya untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung yang
terkandung dalam karya sastra. Kata-kata adalah simbol yang menggambarkan makna
lain yang sifatnya “tidak langsung dan figuratif serta hanya dapat dimengerti melalui
simbol-simbol tersebut”. Ricoeur menyadari bahwa setiap pembaca di dalam benaknya
sudah membawa sejumlah anggapan atau prapemahaman tertentu. Pembaca sama sekali
tidak dapat menghindarkan diri dari berbagai prasangka. Situasi ini mempengaruhi
pembaca dalam memberikan tafsiran atau kritik. Oleh karena itu, kedudukan pembaca,
menurut Ricoeur, harus mengambil jarak (distansiasi) dengan objek yang diteliti
sehingga diperoleh interpretasi yang objektif. Pengambilan jarak yang dimaksud di sini
adalah peneliti perlu melakukan analisis struktural sebelum sampai kepada pemahaman.
Penelitian mengenai aspek kepatuhan di dalam karya sastra Indonesia modern
belum pernah dilakukan. Penelitian yang dilakukan Triadnyani (2014) hanya terbatas
pada perbandingan teks klasik dan teks modern. Di samping itu perbedaan kebudayaan,
yang mencakup nilai-nilai, sikap hidup dan kepercayaan belum terakomodir di dalam
penelitian terdahulu sehingga dialektika dari perbedaan budaya belum tergali secara
maksimal. Padahal perbedaan budaya penting untuk dimaknai dalam kaitan dengan
keberadaan konflik di tengah-tengah masyarakat. Untuk pencapaian tujuan dipilih
beberapa novel yang mengandung budaya lokal, di antaranya adalah novel Warisan
karya Chairul Harun (1979) yang di dalamnya terdapat unsur budaya Minang, Gadis
Pantai karya Pramoedya Ananta Toer (2003) yang menggambarkan kehidupan kaum
priyayi di Jawa, dan Janda dari Jirah karya Cok Sawitri (2007) yang didominasi tradisi
budaya Bali.
Melalui penelitian terhadap karya-karya sastra Indonesia modern diharapkan,
pertama, dapat dilahirkan solusi untuk mengatasi berbagai persoalan yang menyangkut
konflik. Dengan demikian perdamaian di berbagai daerah di Indonesia yang sering
mengalami konflik dapat tercapai.
Urgensi penelitian ini bagi masyarakat luas adalah diperolehnya solusi untuk
mengatasi konflik di antara sesama manusia yang akhir-akhir ini semakin meluas dan
sering terjadi. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan kehancuran manusia itu sendiri.
Aspek kepatuhan diasumsikan menjadi syarat mutlak bagi terciptanya perdamaian dan
kerukunan antarmanusia, di samping aspek-aspek lainnya. Oleh sebab itu penelitian ini
menjadi penting untuk segera diwujudkan.
Dalam penelitian struktural, relasi antarunsur pembangun teks sastra mendapat
penekanan. Unsur teks secara sendiri tidaklah penting. Unsur teks itu hanya
memperoleh arti melalui relasi, baik relasi oposisi maupun relasi asosiasi. Relasi oposisi
(binary opposition) merupakan perwujudan cara berpikir manusia yang saling beroposisi
satu sama lain, misalnya, panas-dingin, jiwa-raga, raja-rakyat, dan guru-murid. Atas
dasar oposisi tersebut, peneliti dapat melakukan analisis terhadap gagasan-gagasan yang
terdapat di dalam teks sastra.
Pertama-tama kajian ini dilakukan dengan mengambil model interaksi sosial di
dalam ilmu komunikasi. Menurut Anderson (1972) kekuasaan merupakan rumusan
pola-pola interaksi sosial yang dapat diselidiki. Eksistensi kekuasaan terjadi pada situasi
di mana orang patuh (secara sadar maupun tidak sadar), bersedia atau tidak bersedia,
serta berkehendak kepada orang lain. Kekuasaan diperlihatkan dalam bentuk hubungan
kausal antara perintah (baik perintah nyata atau terselubung) dan pelaksanaannya.
Dengan dasar pemikiran di atas, konsep dualitas yang menekankan interaksi antartokoh
dapat dipakai untuk mengkaji aspek kepatuhan yang menjadi tema pokok penelitian ini.
207
Model interaksi tokoh mengandung dua relasi, yakni relasi komplementer dan
relasi simetris. Hubungan komplementer mengimplikasikan adanya relasi hierarkis,
yakni individu atau kelompok yang satu mendominasi individu atau kelompok yang
lain, misalnya, dalam hubungan antara guru dan murid atau suami dan istri. Hubungan
simetris terjadi di antara individu atau kelompok yang sederajat.
Model interaksi tokoh
1
B
A
Keterangan:
1. A menyuruh B memimpin upacara
penobatan putri mahkota
2. B patuh melaksanakan
2
A adalah seorang raja yang memiliki power untuk mengatur B (seorang pendeta
istana). B dengan patuh melaksanakan perintah A. Hal ini berarti A mendominasi B.
Kedudukan A lebih tinggi daripada B. Apabila B tidak patuh dan tidak bersedia
melaksanakan perintah A, maka dapat dipastikan terjadi umpan balik (feedback) dari
tokoh A, baik berupa kemarahan atau pun tindakan balasan lainnya.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh di dalam melaksanakan penelitian ini
adalah sebagai berikut. Pertama, peneliti melakukan pembacaan ketiga objek secara
cermat, kemudian mencatat unsur-unsur sastra yang terkandung dalam bacaan itu.
Setiap unsur dimasukkan ke dalam kartu data sehingga memudahkan analisis. Kartu
data disusun secara alfabetis agar mudah dilacak pada setiap unsur. Kedua, unsur tema
dilakukan terlebih dahulu sebelum membahas unsur-unsur yang lain. Tema adalah jiwa
dari karya sastra itu.
Ketiga, peneliti melakukan aanalisis interaksi tokoh terhadap teks Warisan,
Gadis Pantai, maupun Janda dari Jirah. Keempat, melakukan pengelompokkan
konflik, baik yang berpotensi klimaks maupun yang tidak. Kelima, menarik kesimpulan
dan saran.
Pembahasan
Analisis Interaksi Tokoh dalam Novel Janda dari Jirah
1. Rangda vs rakyat Kabikuan (komplementer) = ibu vs anak
ibu mendominasi, anak patuh
2. Rangda vs penyelundup (komplementer) = pemimpin Jirah vs tentara
Terjadi pelanggaran aturan, pemimpin mendominasi
3. Rangda vs Airlangga (simetris) = sama-sama pemimpin
interaksi tak langsung, melalui Narotama diketahui Rangda lebih dominan
4. Rangda vs Ratna Manggali (komplementer) = ibu vs anak
ibu mendominasi, anak patuh
5. Rangda vs Narotama (komplementer) = pemimpin vs utusan raja
pada interaksi pertama, pemimpin mendominasi, utusan patuh
pada interaksi kedua: pemimpin mendominasi, Narotama bersikap diam
208
6. Rangda vs Mpu Baradah (simetris) = sama-sama pendeta
Pendeta sama keras hatinya
7. Rangda vs Mpu Bahula (komplementer) = mertua vs menantu
interaksi tidak menguat karena menantu patuh
8. Airlangga vs kerabat istana (komplementer) = raja vs kerabat
interaksi pertama, terjadi penyerangan ke ibukota (alur sejarah)
pada interaksi kedua sama-sama keras
9. Airlangga vs Mpu Baradah (simetris) = raja vs pendeta
pada interaksi pertama raja mengalah
pada interaksi kedua, pendeta patuh
10. Airlangga vs Narotama (komplementer) = raja vs pejabat istana
interaksi tidak menguat karena bawahan patuh
11. Narotama vs Patih Utama (simetris) = sama-sama pejabat istana
pada interaksi pertama Narotama mengalah
pada interaksi kedua sama-sama keras
12. Narotama vs Tetua Desa (komplementer) = pejabat istana vs pejabat desa
interaksi tidak menguat karena pejabat desa mengalah
13. Narotama va Mpu Baradah (komplementer) = pejabat istana vs pendeta
interaksi tidak menguat karena Narotama bersikap diam
14. Narotama vs Perwira (komplementer) = pemimpin pasukan vs bawahan
bawahan tidak patuh pada pemimpin: terjadi pelanggaran aturan
15.Narotama vs Kerabat Istana (komplementer) = pejabat vs kerabat
interaksi tidak menguat karena Narotama diam
16. Bahula vs Ratna Manggali (komplementer) = suami vs istri
interaksi tidak menguat karena suami patuh
Interaksi Tokoh dalam Novel Gadis Pantai
1. Gadis Pantai vs Emak = anak vs ibu
→ ibu mendominasi, anak patuh
2. Kepala kampung vs Bujang = pejabat kampung vs pembantu
→ pejabat kampung mendominasi, pembantu patuh namun kemudian pergi
3. Bapak vs Bujang = majikan vs pembantu
→ majikan mendominasi, pembantu patuh
4. Emak vs Bujang = majikan vs pembantu
→ interaksi tidak menguat karena adanya penyimpangan, majikan sedikit lebih patuh
pada pembantu
5. Anak kecil vs Bujang = majikan vs pembantu
→ interaksi tidak menguat karena bawahan patuh
6. Kepala kampung vs Bapak = pejabat vs warga
→ pejabat kampung mendominasi, warga diam.
7. Gadis Pantai vs Bujang = majikan vs pembantu
→ majikan mendominasi, pembantu patuh
8. Gadis Pantai vs Bendoro = istri vs suami
→ pada interaksi pertama, Bendoro mendominasi sedangkan Gadis Pantai patuh
→ pada interaksi kedua, keduanya sama-sama keras
9. Gadis Pantai vs Bapak = anak vs bapak
→ bapak mendominasi, anak patuh
10. Gadis Pantai vs Mardinah = majikan vs pembantu
→ bawahan tidak patuh pada majikan, terjadi pelanggaran aturan
209
11. Bendoro vs Karim = paman vs keponakan
→ interaksi tidak menguat karena keponakan patuh
12. Gadis Pantai vs Guru Ngaji = murid vs guru
→ terjadi penyimpangan karena guru patuh pada murid.
Interaksi Antartokoh Novel Warisan
1.Rafilus vs Siti Baniar (komplementer) = Keponakan vs Bibi
Bibi mendominasi, keponakan menghindar dari interaksi.
2.Rafilus vs Sidi Baaruddin (simetris) = sama-sama saudara misan
Sidi Badaruddin melakukan provokasi kepada Rafilus, sedangkan Rafilus berusaha
tidak menyebabkan konflik, Sidi Baaruddin mendominasi.
3.Rafilus vs Bagindo Tahar (komplementer) = Anak vs Ayah
Ayah mendominasi, Anak patuh.
4.Sidi Badaruddin vs Siti Baniar (komplementer) Anak vs Ibu
Anak mendominasi, Ibu mengalah
5.Rafilus vs Sidi Karawai (komplementer) = Rakyat vs Ketua Negeri
Sidi Karawai melakukan persuasi, tapi Rafilus menolak. Rafilus mendominasi.
6.Rafilus vs Upik Denok (simetris) = sama-sama lajang
Upik Denok menagih hutang pada Rafilus. Rafilus membayar hutang ayahnya dan
menyetubuhi Upik Denok. Rafilus mendominasi.
7.Rafilus vs Murni (komplementer) = Anak tiri vs Ibu tiri
Ibu Tiri mendominasi, anak mengalah.
8.Rafilus vs Ajo Pekok (simetris) = sama-sama tetangga
Dominasi seimbang.
9.Bagindo Tahar vs Datuk Badaro Basa (simetris) = sama-sama petua adat
Bagindo Tahar lebih dominan.
10.Rafilus vs Tuanku Salim (komplementer) = Keponakan vs Paman
Keponakan Mendominasi, paman menghindar.
11.Bagindo Tahar vs Asnah (komplementer) = Paman vs Keponakan
Paman mendominasi, keponakan mengalah.
12.Siti Baniar vs Asnah (komplementer) = Mertua vs Menantu
Mertua mendominasi, menantu kalah.
13.Rafilus vs Ungku Gadang (simetris) = sama-sama kemenakan
Rafilus lebih dominan.
14.Rafilus vs Rakena (komplementer) = Menantu vs Mertua
Mertua mendominasi, menantu mengalah.
15.Rafilus vs Arneti (simetris) = Suami vs Istri
Pada interaksi pertama, Rafilus mendominasi, Arneti mengalah.
Pada interaksi kedua, Rafilus mendominasi.
Pada interaksi ketiga, Rafilus mendominasi, Arneti kalah.
16.Rafilus vs Maimunah (simetris) = sama-sama kekasih
Rafilus dan Maimunah tidak mengembangkan konflik. Rafilus lebih dominan.
210
Kesimpulan
Hasil analisis interaksi tokoh ketiga novel, yakni Warisan, Gadis Pantai, dan
Janda dari Jirah secara eksplisit memperlihatkan beberapa tindakan tokoh yang
menimbulkan konflik, tetapi berhasil diatasi. Hal ini disebabkan oleh sikap patuh yang
dilakukan beberapa tokoh, misalnya murd-murid Rangda yang patuh pada perintah guru
mereka, Bahula yang patuh pada mertua, Narotama yang patuh pada perintah
raja/pimpinan, dan Ratna Manggali yang patuh kepada ibunya. Gadis Pantai yang patuh
pada Bendoro, Gadis Pantai yang patuh pada emak dan bapaknya. Dapat dikatakan
bahwa kepatuhan dapat meredam konflik. Pertentangan juga dapat dihindari berkat
sikap mengalah yang ditunjukkan oleh pejabat desa dan Narotama ketika berhadapan
dengan pejabat istana lainnya. Sebaliknya, sikap ketidakpatuhan diperlihatkan oleh
prajurit kerajaan dan para perwira yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran. Oposisi
sesama pejabat istana menghasilkan perangai yang sama-sama keras (bertahan), sesama
pendeta juga tidak mau mengalah, sesama pemimpin demikian pula. Hal ini
memperlihatkan bahwa interaksi antarindividu yang memiliki kedudukan yang sejajar
cenderung semakin memperkuat sikap keras. Sebaliknya, interaksi antarindividu yang
memiliki kedudukan komplementer cenderung mengambil sikap mengalah dan patuh.
Daftar Rujukan
Anderson, Benedict R.O’G. 1972. “The Idea of power in Javanese Culture.” Dalam
Holt C.,et al., ed. Culture and Politics in Indonesia. Ithaca, New York:
Cornell University Press, hlm. 1-69.
Foster, Mary Le Cron. 1979. “Synthesis dan Antithesis in Balinese Ritual,” dalam
A.L.Becker dan Aram A.Yengoyan, ed. The Imagination of Reality: Essays
in Southeast Asian Coherence Systems. New Jersey: Ablex Publishing
Corporation.
Harun, Chairul. 1976. Warisan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Milgram, Stanley. 1974. Obedience to Authority: an Experimental View. New York:
Harper and Row.
Ricoeur, Paul. 1981. Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language,
Action and Interpretation. New York: Cambridge University Press.
Sawitri, Cok. 2007. Janda dari Jirah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai. Jakarta: Penerbit Lentera Dipantara.
Triadnyani, I Gusti Ayu Agung Mas. 2014. Fenomena Rangda dan Pemaknaannya:
Kajian Hermeneutika Ricoeur dalam Teks Calon Arang dan Novel Janda
dari Jirah. Disertasi belum diterbitkan.
211
ANTARA SENSOR, SOLIDARITAS DAN KUALITAS:
RESEPSI BARAT TERHADAP TETRALOGI-BURU
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
Indira Ismail
(FIB Universitas Indonesia)
Abstrak: Penelitian ini mengkaji resensi-resensi yang dipublikasikan di koran-koran
berbahasa Belanda dan Inggris mengenai Tetralogi Pulau Buru (TPB) (Bumi Manusia
(1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak langkah (1985), Rumah Kaca (1988)) karya
Pramoedya Ananta Toer yang terbit pada rentang tahun 1980-1998. Kontrol keras
terhadap TPB semasa rezim Soeharto yang berujung pada pengasingan penulis dan
sensor terhadap TPB tidak mampu menahan laju produksi dan publikasi karya-karya
tersebut, sebaliknya magnum opus ini justru membawa PAT menjadi pusat perhatian
dunia. Banyak negara memperlihatkan ketertarikan mereka akan karya-karya dan kisah
hidupnya. Den Boef (1993: 5) menulis: “Tentu di dalam menilai karya seseorang yang
ditindas oleh otoritas di negaranya pembaca barat terutama akan cenderung
memperlihatkan solidaritas mereka dan melupakan menilai kualitas karya tersebut.”
Saya berhipotesis bahwa resensi-resensi tentang TPB yang terbit di negara-negara barat
tentu tidak melulu membahas persoalan solidaritas, faktor-faktor di luar sastra,
melainkan juga memuat penilaian mengenai estetika TPB. Permasalahan utama dalam
penelitian ini adalah penilaian estetika seperti apakah yang diberikan oleh kritikus barat
terhadap magnum opus ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya menggunakan
metode analisa kuantitatif dan kualitatif. Metode kualitatif didasarkan pada model
analisa H.T. Boonstra dan Heydebrand/Winko (1996) yang disempurnakan dalam model
analisa Andringa (2004).
Kata kunci: resepsi, Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi-Buru, estetika, sensor
Latar Belakang
Siapa yang tak kenal Pramoedya Ananta Toer? Hanya dengan menyebutkan
namanya saja maka orang akan serta merta menyebutkan paling tidak satu judul karya
penulis fenomenal ini. Pramoedya Ananta Toer (PAT) tak hanya dikenal luas di
Indonesia. Di luar negeri pun namanya berkibar. Belanda misalnya, penerbit De Geus
hingga kini masih mencetak ulang karya-karya (PAT). Tak hanya di Belanda, negaranegara lainnya baik barat maupun timur berlomba-lomba menerjemahkan buah karya
pengarang ini. Bila dibandingkan dengan karya-karya penulis Indonesia lainnya maka
barangkali karya-karya PAT lah yang paling banyak diterjemahkan dan diterbitkan oleh
penerbit di luar negeri, terutama magnum opus miliknya, Tetralogi Pulau Buru (Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca). Berulangkali PAT
menerima penghargaan sastra dari berbagai institusi di luar negeri dan bahkan sejak
tahun 1981 PAT dinominasikan sebagai penerima hadiah Nobel untuk bidang sastra.
Di Indonesia, Tetralogi Pulau Buru (TPB) menuai kontroversi sejak pertama kali
diterbitkan pada tahun 1980 oleh penerbit Hasta Mitra. Kontrol keras yang diterapkan
rezim Soeharto pada TPB didasarkan pada beragam alasan antara lain, karya ini
212
dianggap berseberangan dengan ideologi negara sebab mengandung konsep marxistisleninistis/komunistis. Di samping itu TPB dianggap mengandung ide-ide kontroversial
yang dapat membahayakan stabilitas nasional dan agama.51 Represi yang diderita
Pramoedya semasa rezim Soeharto ini tak mampu menahan laju produksi TPB,
sebaliknya, sang penulis justru mendapat perhatian dunia. Banyak negara
memperlihatkan ketertarikan mereka dengan menerjemahkan TPB. Selain itu, kisah
hidup Pramoedya terutama represi yang dialaminya juga diperbincangkan di berbagai
surat kabar di luar negeri.
Kerapnya perbincangan mengenai PAT maupun karya-karyanya di media cetak
luar negeri, baik dalam bentuk resensi, esai, interview maupun tulisan ilmiah
memunculkan pertanyaan-pertanyaan akan kualitas karya dan prestis yang dinikmatinya
sebagai penulis. Den Boef (1993: 5) berpendapat: ‘Bij de waardering van het werk van
een schrijver uit een niet-westers land, en zeker als hij (of zij) in een Derde-Wereldland
leeft, spelen er bijzondere – en soms oneigenlijke – factoren een rol. Deze factoren zijn
veelal van politieke aard. […] dat een auteur onder censuur te lijden heeft, kan het
oordeel beïvloeden van degenen die in het Westen zijn werk lezen, […]. Naar mijn
mening zou het enige criterium moeten zijn of het werk literair beschouwd de moeite
waard is. Vele westerse lezers zullen echter geneigd zijn hun solidariteit met iemand die
door de autoriteiten wordt gedwarsboomd in hun waardering de hoofdrol te laten
spelen en zich niet uit te spreken over de kwaliteit van het werk.’ (Dalam menilai karya
seorang penulis yang berasal dari negara bukan-barat, terlebih lagi bila penulis tersebut
berasal dari negara Dunia-Ketiga, maka faktor-faktor istimewa – dan terkadang bukan
hal yang sebenarnya – berperan di sini. Kebanyakan dari faktor-faktor tersebut memiliki
keterkaitan dengan masalah politik. […] bila seorang penulis didera sensor, maka itu
tentu dapat mempengaruhi penilaian pembaca yang membaca karyanya di belahan dunia
Barat, […]. Saya berpendapat seharusnya ada kriteria apakah karya tersebut memang
bernilai sastra. Banyak pembaca barat tentu akan cenderung memperlihatkan solidaritas
mereka dalam memberikan penilaiannya pada seseorang yang dirintangi oleh otoritas
dan melupakan membahas mengenai kualitas karya).
Lalu apakah benar prestis yang dinikmati Pramoedya terutama dibentuk dari
kecakapan menulisnya ataukah semata-mata dipengaruhi oleh solidaritas pembacanya?
Dengan kata lain apakah karya-karya Pramoedya berkualitas dari segi estetika?
Dimanakah letak penilaian pembacanya?
Pembatasan masalah
Penelitian ini memperlihatkan hubungan antara konteks politik, kritik sastra dan
prestis PAT dengan bertitik tolak pada asumsi bahwa beredarnya TPB yang segera
diikuti dengan pelarangan terbitnya di Indonesia oleh rezim Soeharto berperan dominan
dalam penilaian kritik sastranya dan dapat saja tidak membahas mengenai faktor-faktor
estetika karya. Diduga bahwa penilaian relasional, yakni konteks politik, akan cukup
besar diperbincangkan di dalam dokumen-dokumen kritik sastra yang ditemukan.
Penelitian ini mencakup periode 1980-2005 dan terbagi ke dalam dua subperiode
yakni, periode Orde Baru (1980-1998) dan periode reformasi (1999-2005). Pada periode
51
Keputusan pelarangan peredaran Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa (dikeluarkan oleh
Kejaksaan Agung Republik Indonesia: no. 052/J.A/05/1981); Keputusan pelarangan peredaran
Jejak Langkah (dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia: no. 036/J.A/05/1986);
Keputusan pelarangan peredaran Rumah Kaca (dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik
Indonesia: no. 061/J.A/06/1988)
213
Orde Baru penguasa mempertahankan kekuasaannya dengan menerapkan konsep
‘stabilitas nasional’, sebuah konsep yang digunakan untuk menilai dan mengontrol
segala fenomena sosial, termasuk produksi sastra. Pada periode Reformasi, konsep
‘stabilitas nasional’ tersebut diinterpretasikan ulang. Dalam konteks ini perkembangan
sastra berangsur-angsur terbebas dari garis haluan represif dan otoriter.
Dugaan saya bahwa dokumen-dokumen kritik yang berasal dari periode pertama
atau periode Orde Baru terutama akan berisikan argumentasi politik, sementara
dokumen-dokumen kritik periode kedua atau periode Reformasi akan lebih membahas
mengenai estetika TPB.
Untuk keperluan studi kasus ini, data yang digunakan meliputi resensi dan esai
terkait TPB karya PAT yang terbit pada koran harian dan mingguan antara tahun 19802005 di Belanda, Belgia, Amerika, Kanada dan Australia. Untuk menguji dugaan saya
tersebut maka saya menganalisis 15 teks resensi terpilih yang berasal dari kedua periode
tersebut.
Analisis yang dilakukan untuk penelitian ini meliputi analisis kualitatif dan
kuantitatif. Analisis kualitatif menggunakan teori ‘medan sastra’ dari Bourdieu (1993)
yang dikaitkan dengan analisis Sapiro (2003) mengenai proses otonomi aktivitas sastra.
Analisis mendalam untuk menguji penilaian dan argumentasi di dalam resensi/esai
dilakukan dengan menggunakan sintesis Andringa (2004) yakni gabungan antara model
penilaian H.T. Boonstra (1979) dan Heydebrand/Winko (1996). Model ini berbasis pada
rekonstruksi faktor intrinsik dan ekstrinsik sastra. Di lain sisi, analisis kuantitatif
menitikberatkan pada jumlah resensi/esai yang terbit baik pada periode pertama maupun
periode kedua serta latar belakang yang memengaruhinya.
Inventarisasi resensi/esai yang digunakan diambil dari koleksi kliping milik
Universiteitsbibliotheek Utrecht dari krantenbank/Lexis Nexus, koleksi kliping PAT
dari koleksi KITLV, serta koleksi arsip milik penerbit De Geus Breda-Belanda.
Tetralogi Pulau Buru: sensor, strategi dan prestis
Empat jilid Karya Buru yang terbit pada tahun 80-an memiliki sejarah yang
panjang. Awalnya pada tahun enam puluhan PAT berencana menulis sebuah seri novel
sejarah mengenai tokoh penting nasionalis Indonesia yang berasal dari periode
kebangkitan nasional. Pilihan pun jatuh pada R.M. Tirto Adhi Soerjo, sosok yang
menjadi inspirasinya menulis empat jilid novel sejarah tersebut. Setelah melewati
perjuangan panjang meneruskan tulisannya di dalam situasi politik yang tidak stabil,
bahkan harus berkali-kali mendekam di dalam penjara, akhirnya pada tanggal 25
Agustus 1980 terbit bagian pertama dari tetralogi, Bumi Manusia. Novel ini tersebar di
seluruh pulau Jawa dan dalam waktu 12 hari terjual sekitar 5000 eksemplar. Hanya
beberapa bulan berselang sejumlah penerbit di Hongkong, Malaysia, Australia dan
Belanda mencoba mendapatkan hak terbitnya.52Anak Semua Bangsa kemudian terbit
menyusul novel sebelumnya, namun terhitung sejak tanggal 29 Mei 1981 kedua novel
ini definitif dilarang peredarannya. Pada pertengahan tahun 1985 terbit jilid ketiga,
Jejak Langkah, yang segera diikuti dengan keputusan pelarangan terbit pada tanggal 1
Mei 1986. Jilid keempat, Rumah Kaca, yang terbit pada tahun 1988 juga dilarang
peredarannya di Indonesia. Ditariknya keempat Karya Buru tersebut dilatarbelakangi
oleh penilaian otoritas terhadap isi novel, antara lain: memuat dialog yang dianggap
dapat merongrong-agama; memuat dialog yang bersifat agitatif; memuat komentar yang
berisikan pesan dan garis haluan komunis; memuat komentar yang secara implisit dapat
52
https://id.wikipedia.org/wiki/Bumi_Manusia
214
dianggap sebagai kritik terhadap nilai-nilai budaya nasional yang bertujuan melisutkan
ideologi-Pancasila; mengandung analisis yang berasal dari teori-teori Marxis; memuat
komentar yang mengecilkan nilai-nilai moral nasional; memuat cara pandang yang bisa
memunculkan revolusi, agitasi, dan sebagainya.53
Campur tangan kekuasaan politik di bidang sastra di negara-negara otoriter
adalah hal yang lumrah terjadi. Oleh sebab itu maka tindakan-tindakan seperti
pembuangan/pengurungan penulis yang memiliki visi berbeda dengan otoritas atau
sensor terhadap karya-karya mereka, pelucutan institusi yang representatif,
pemberangusan media dan lain sebagainya merupakan hal yang “wajar” dilakukan.
Solzjenitsyn dan Havel, Ngugi dan Soyinka, Mahfuz, Fugard juga Pramoedya telah
membuat senewen otoritas negara masing-masing, untuk itu mereka harus
membayarnya dengan sangat mahal. Di Indonesia, pada masa kekuasaan Soeharto,
negara berfungsi sebagai instrumen yang mengontrol sistem ideologi. Idelogi, menurut
Bourdieu, adalah kekuatan dominan di dalam medan budaya, yang secara maksimal
menentukan produksi produk-produk budaya, termasuk sastra: ‘The ideological demand
determines the supply of cultural goods. The more these systems succeed in
monopolizing legitimate violence both physical (army and police forces, administrative
power) and symbolic (justice, education, media, and other means of propaganda and
morals),
the
more
severe
the
control
exerted
on
the
cultural
production.’(Bourdieu:1993). Selama kekuasaan Soeharto, negara menjalankan sensor
dan represi ketat, sebagian didasarkan pada undang-undang yang ditetapkan oleh
Belanda pada tahun 1918. Akibatnya, produsen budaya mengembangkan strategi agar
bisa lolos dari cengkeraman politik, atau yang diistilahkan Bourdieu (1985) sebagai
‘field effects’.54 Pada kasus TPB, Pramoedya bersama penerbitnya menjalani dua
strategi untuk lolos dari otoritas Indonesia. Strategi pertama yakni mempublikasikan
TPB secara ilegal dan klandestin di Indonesia. Strategi kedua mempublikasikan TPB di
luar negeri.
Akan tetapi, sensor yang diberlakukan otoritas Indonesia terhadap TPB tidak
sanggup meredam antusiasme pasar, justru sebaliknya. Di dalam Harian Merdeka
diberitakan: ‘tampaknya buku Pramoedya ini (Bumi Manusia) sangat populer. Tentu
saja ini tidak ada kaitannya dengan isi buku, tetapi mungkin karena orang ingin tahu
buku-buku Pramoedya, buku-buku yang sebelumnya dilarang beredar karena ia
dipenjara.’ (Harian Merdeka, 23 Oktober 1980). Ketika Jejak Langkah dilarang
peredarannya pada 1 Mei 1986 dan delapan belas hari kemudian berita itu disiarkan oleh
BBC pada 19 Mei 1986, penjualan buku ini pun meningkat tajam. Oie Hiem Hwie,
seorang pedagang buku di Surabaya menulis di dalam suratnya kepada Pramoedya dan
Hasyim Rachman: ‘Bersama ini saya beritakan bahwa setelah adanya berita yang
disiarkan oleh BBC tgl. 19 Mei 1986 malam jam 20.00 WIB yang pada pokoknya
diberitakan bahwa buku ‘Sang Pemula’ dan ‘Jejak Langkah’ telah dilarang oleh
Kejaksaan Agung Indonesia, maka paginya buku tersebut menjadi laku keras, terutama
pembelinya para dosen dan kalangan intelektual lainnya. Kemudian tanggal 22 Mei
53
De beslissing van de openbare aanklager van de Republiek Indonesië nummer: 061/6/1988
aangaande het verbod op het gedrukte werk/boek en verspreiding van de historische roman
getiteld:
‘Het
Glazen
Huis’
geschreven
door
Pramoedya
Ananta
Toer.
http://www.antenna.nl/wvi/nl/poez/ovj.html.
54
Mengacu pada penggambaran Bourdieu oleh Sapiro (2002).
215
Harian ‘Jawa Pos’ memuat, dengan adanya berita koran ini banyak orang mencari, maka
berita itu dapat dikata sebagai iklan promosi kepada ke-dua buku tersebut.55
Kuantitatif: dari mana datangnya resensi
Prestis yang dinikmati Pramoedya sebagai penulis selama rezim Soeharto ini
tidak hanya merupakan hasil dari dera sensor dan represi yang diberlakukan padanya
namun dapat juga dikatakan berasal dari stimulasi kritik sastra. Kritik sastra adalah
sebuah model untuk resepsi/konsumsi sastra dan memiliki kemampuan untuk
menstimulasi pembaca untuk antara lain ‘menerima’ sebuah karya tertentu. (Vogel:
2001). Di dalam artikelnya How a literary work becomes a masterpiece: on the
threefold selection practiced by literary criticism Van Rees menekankan kekuatan kritik
sastra: ‘perusal of a critic’s discourse by the literature-oriented reading public might
not only stimulate them to purchase the book, but also lead to their acceptance of the
discourse as a basis for their conception of what is to be considered as important in the
text and for their judgement as to whether this text is more successful than others, etc.’
(Van Rees: 1983, hal. 397-398).
Resensi bukanlah instrumen netral. Eksistensi penulis-penulis dan karya-karya
baik lama maupun baru disortir oleh koran harian dan migguan. Namun penataannya
tidak pernah terjadi secara netral sebab kritikus memiliki ketertarikan dan maksud
masing-masing. (Vogel: 2001).
Secara keseluruhan saya menemukan 80 dokumen resepsi baik resensi maupun
esai mengenai TPB: 37 dokumen berasal dari koran/majalah yang terbit di Belanda dan
Belgia serta 43 dokumen dari koran/majalah yang terbit di Amerika Serikat, Kanada dan
Australia. Kaitan antara publikasi pertama TPB beserta cetak ulangnya dan resensi
maupun esai yang muncul di Belanda, Belgia, Amerika, Australia dan Kanada
diperlihatkan pada tabel-tabel di bawah ini:
Tabel 1
Publikasi pertama dan cetak ulang TPB di Belanda (1980-2005)
19 198 1984 19 1987 1988 1990 1994 1995
81 3
86
BM,
RK** RK
JL JL,
AS BM,
B
JL,
**
***
**
(repr ASB
B
,
RK
BM
ASB
M
int)
(repr (repr
(repr BM,
(repr
ASB
int)
int)
int)
int)
(repr
int)
55
1996
1999
2005
BM
(repr
int)
ASB,
JL,
RK
(repr
int)
BM
(repr
int)
Pramoedya Ananta Toer & karyanya, kumpulan berita, ulasan, kritik dan surat-surat kepada
serta tentangnya (1986-1987). KITLV
Bumi Manusia
**
Anak Semua Bangsa
***
Jejak Langkah
****
Rumah Kaca
216
Tabel 2
Publikasi pertama dan cetak ulang TPB di Amerika, Australia, Kanada: (1980-2005)
1981 198 198 199 1991
199 1993
199 1996
1997
2
4
0
2
5
Amerika BM
BM
ASB,
JL
RK
RK
(NY
(Willia
BM
BM,
(repri
Morr
m
(repri
ASB
nt)
ow)
Morro
nt)
(repri
w)
nt)
Australia
BM AS
JL
RK
B
Kanada
BM BM
(reprin
t)
Tabel 3
Jumlah resensi/esai yang terbit di Belanda dan Belgia pada periode pertama: 1980-1998
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
8 8 8 8 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9
1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Rec 1 1 2 7 1 5 1 2 1 1 Ess 1 1 1 1 2 1 1 1 1 ays
Tot 2 1 2 8 2 6 1 4 1 2 1 1 1 al
Tabel 4
Jumlah resensi/esai yang terbit di Belanda dan Belgia pada periode kedua: 1999-2005
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Resensi
1
Esai
3
1
Total
4
1
Tabel 5
Jumlah resensi/esai yang terbit di Amerika, Kanada dan Australia pada periode pertama:
1980-1998
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
8 8 8 8 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9
1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Rec 1 3 6 1 1 1 3 2 1 2 4 1 Ess 2 1 3 1 1 1 1 ays
Tot 1 3 6 3 2 3 1 2 4 2 1 3 4 1 al
217
Tabel 6
Jumlah resensi/esai yang terbit di Amerika, Kanada dan Australia pada periode kedua:
1999-2005
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Resensi
1
Esai
4
1
1
Total
4
1
1
1
Dari kelima negara di atas, Belanda bereaksi sangat cepat terhadap situasi sosial
politik di Indonesia. Pelarangan edar yang diberlakukan terhadap Bumi manusia dan
Anak semua bangsa pada tahun 1981 di Indonesia disambut oleh Manus Amici, penerbit
di negeri kincir angin itu, dengan menerbitkan Aarde der mensen (Bumi Manusia) di
tahun yang sama. Pola ini tampak sama pada tahun 1986 dan 1988, yakni
dilatarbelakangi oleh pelarangan edar terhadap Jejak langkah dan Rumah kaca.
Voetsporen (Jejak langkah) terbit di Belanda pada tahun 1986 dan Het glazen huis
(Rumah kaca) diterbitkan pada 1988.
Antara tahun 1996-1997 TPB dicetak ulang di Amerika sebanyak lima kali. Ini
merupakan sukses besar bagi sebuah buku terjemahan di negara itu.56 Mengenai
popularitas tetralogi di Amerika Serikat tersebut dikatakan di dalam Di New York ‘Bumi
Manusia’ mengulang sukses di Jakarta: “Rasa ingin tahu pembaca Amerika membaca
buku Pramoedya berjalan beriringan dengan keingintahuan mereka terhadap situasi
sosial politik di Indonesia.
Bila dibandingkan dengan periode pertama, dokumen-dokumen pada periode
lebih banyak berbentuk esai daripada resensi. Ini mengejutkan sebab pada tahun 1999
terjadi cetak ulang pada keempat novel ini di Belanda. Dalam wawancara saya dengan
Ad van Rijsewijk, kepala pemasaran dan penjualan dari penerbit De Geus-Belanda,
didapatkan jawaban bahwa posisi Belanda sebagai negara terbuka bagi beragam penulis
dari berbagai belahan dunia mengarah pada munculnya ketertarikan pada tema-tema
sastra yang baru dan tentu saja ini berujung pada persaingan terbitnya resensi di media
cetak. Sementara itu persaingan antara sastra dan ketertarikan di luar sastra (seperti seni,
hobby, olah raga dsb.) dalam memperebutkan tempat dalam media cetak, semakin
mempersempit ruang bagi resensi.
Kualitatif: estetika versus relasional
Dalam dunia sastra berlaku pendapat bahwa penilaian-penilaian mengenai
kualitas karya sastra didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tekstual. Kritikus
dituntut bisa menentukan kualitas karya sastra dengan cara mengidentifikasi ciri-ciri di
dalam karya tersebut. Ini dinilai akan dapat membentuk syarat-syarat yang cukup atau
diperlukan untuk menyatakan suatu penilaian kualitas yang lebih spesifik. Meskipun
demikian, pendapat semacam ini tetap menimbulkan masalah sebab kritikus tidak
memiliki instrumen yang dapat dipercaya dalam menentukan ciri-ciri intrinsik dan
kualitas suatu karya. (Janssen: 1993, hal. 268-273). Vogel (2001) mempertegas ini
dengan menyatakan bahwa kritikus bisa saja menilai suatu karya dengan didasarkan
pada sederet ide-ide yang dimilikinya mengenai apa itu sastra yang ‘baik’ dan
berkualitas. Dan bilamana pandangan tentang politik menjadi bagiannya maka
pengertian ‘kualitas sastra’ otomatis mendapatkan muatan politik. Saya berasumsi
56
Di New York ‘Bumi Manusia’ mengulang sukses di Jakarta. SiaR, 3 Oktober 1997
218
bahwa resensi-resensi mengenai TPB yang muncul pada periode pertama terutama
berisikan pandangan mengenai situasi politik di Indonesia dan tidak menekankan
pembahasan mengenai kualitas karya. Sebaliknya, resensi-resensi yang muncul pada
periode kedua lebih menitikberatkan pada penilaian kualitas karya.
Dari hasil analisis pada periode pertama tampak bahwa kritikus barat lebih
menitikberatkan penilaian mereka pada argumen atau penggambaran tentang nilai-nilai
ekstrinsik sastra, seperti moral dan ideologi, nilai dokumenter, intensi penulis, serta
terutama mengenai sensor yang dialami PAT termasuk sejarah hidupnya dari penjara ke
penjara. Argumen-argumen mengenai estetika karya, meliputi komposisi dan gaya
penulisan, yang diberikan kritikus kebanyakan cenderung negatif, antara lain, TPB
dianggap tidak layak bagi pembaca yang tumbuh dengan tradisi sastra eropa. Van Hee
(1984): ‘Bagi kami yang tumbuh dengan tradisi sastra eropa […] dapat saja melihat
buku-buku ini sebagai buku-buku yang sederhana dan berisi lelucon hambar. Akan
tetapi itu tidaklah adil. Saya percaya bahwa sikap yang benar diperlukan di sini: cerita
lebih penting dibandingkan penceritaan.’ Geertz (1996) menegaskan penggambaran
karakter tokoh yang terlalu sederhana, ‘hitam’ dan ‘putih’, dalam tetralogi: ‘Nor is it
even a moral tale, though the good guys and the bad guys are very clearly marked.’
Crossette (1992) menambahkan: ‘There are few one-dimensional ‘good’ or ‘bad’
characters here.’ Selain itu kritikus juga menekankan bahwa gaya penceritaan PAT
lebih sesuai dengan ciri-ciri sastra lisan yakni cerita lebih dikisahkan dan bukan
dituliskan: ‘It is, in fact, a narrative, or a series of narratives, that consists almost
entirely of talking heads explaining and re-explaining themselves to one another…’
(Geertz: 1996). Di sisi lain, Hasting (1989) menilai intensi PAT dalam merekonstruksi
sejarah Indonesia sebagai hal yang mengecewakan: ‘The second of Pramoedya Ananta
Toer’s four novels about turn of the century life in the Netherlands East Indies is
disappointing. In the first of the four, “This Earth of Mankind”, invention triumphs over
didacticism. “Child of All Nations” tends to be rather preachy. This perhaps is to be
expected of a man with a mission.’
Sama halnya seperti pada periode pertama, penilaian estetika pada periode kedua
terutama negatif: tetralogi tidak lulus secara estetika. Broeder (1999) di dalam
resensinya menilai: ‘Dari segi estetika sastra, novel “Bumi Manusia” tidak bisa
dikatakan lulus dari berbagai sudut pandang. Novel ini menderita sebab terlalu banyak
pesan yang harus disampaikannya. Kisah di dalam novel ini terlampau jelas
diceritakan, hal yang terkadang membuat karakter-karakter di dalamnya tidak dapat
dipercaya.’ Menurut Broeder dengan cara demikian maka karakter-karakter dalam Bumi
Manusia bisa disandingkan dengan figur-figur yang terdapat dalam lukisan-lukisan
sosialistis-realistis. Ia menambahkan pula bahwa TPB dikisahkan dengan gaya lisan dan
bukan tulisan. Penilaian positif mengenai tetralogi datang antara lain dari Bhatia (1999),
TPB dianggap mampu mengangkat gambaran-gambaran post-kolonial dalam romannya
dengan tema-tema yang menarik dari sudut pandang yang berbeda: ‘Through his
writings, Pramoedya has always portrayed post-colonial Indonesia in stark terms, as a
modern historical-political tragedy. No mystical allure of Indonesian cultures such as
that Western anthropologists and behaviouralist often naively allude to.’
Secara keseluruhan, perhatian kritikus terhadap TPB pada periode kedua lebih
tertuju pada faktor-faktor ekstrinsik karya, terutama terkait dengan kisah hidup
Pramoedya dan sensor yang dideritanya.
219
Simpulan
Penelitian ini belum sepenuhnya lengkap. Harus saya akui bahwa masih ada
sejumlah elemen yang harus dianalisis dalam penelitian lanjutan berikutnya agar tercipta
suatu gambaran lengkap dan detil mengenai kesuksesan Pramoedya dalam medan-sastra
internasional. Penelitian ini memperlihatkan bahwa prestis yang dinikmati oleh
Pramoedya pada tempat pertama bukan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
estetika karya (TPB), namun terutama berkaitan dengan sejumlah faktor-faktor
ekstrinsik sastra. Sensor negara juga merupakan tema penting di dalam sejumlah resensi
yang dianalisis dan bertanggung jawab pada proses naiknya pamor penulis.
Dokumen-dokumen kritik-sastra pada periode pertama (1980-1998) terutama
tidak mengandung argumentasi-argumentasi terkait politik. Titik berat berat penilaian
tersebar pada beragam elemen ekstrinsik sastra lainnya seperti penilaian terkait moral
dan ideologi, tradisi sastra, nilai dokumenter, publik pembaca, dan kehidupan penulis.
Kritikus pada periode pertama lebih memberikan perhatian pada komposisi dan gaya
penulisan Pramoedya dibandingkan kritikus pada periode kedua (1999-2005). Kriteria
(baru) tetralogi yang dibentuk kritikus barat pada periode pertama dapat dirangkum
sebagai berikut:
1. Cerita dalam tetralogi lebih penting dari penceritaan.
2. Sastra lisan adalah memesona.
3. Karakter hitam-putih adalah gambaran karakter yang baik.
Daftar Rujukan
Dokumen resensi/essay:
Belcher, Wendy. 4 Juni 1999. The prisoner, Pramoedya Ananta Toer, Indonesia’s
leading writer out on tour. L.A. Weekly (California).
Bahtia, Manjit. 31 Juli 1999. Blame the intellectuals. Courier Mail (Queensland,
Australia).
Boef, August Hans den. 21 Maret 1986. De strijd van een Indische Multatuli. De
volkskrant.
Broeder, Leonoor. 28 Mei 1999. Een soort bruine Nederlander. De Volkskrant.
Crossette, Barbara. 19 Januari 1992. Banned in Jakarta. New York Times.
Freriks, Kester. 2004. Pramoedya Ananta Toer: Reinassance man. NRC Handelsblad.
Geertz, Clifford. 22April 1996. Java Jive. The New Republic.
Greenlees, Don. 5 April 1999. Blocked writer finally free to tell his stories. The
Australian.
Hasting, Peter. 27 Agustus 1984. A great Indonesian novel could be shortened by a
lecture. Child of all nations. Sydney Morning Herald.
Hanusz, Mark. 2003. Buru Quartet by Pramoedya Ananta Toer. Dari:
http://www.asianreviewofbooks.com/arb/article.php?article=217.
Hee, Miriam Van. 7 April 1984. Werk van Ananta Toer in vertaling. Kurosawa in
Indonesië. De Morgen.
Pollmann, Tessel. 10 Mei 1986. In verzet tegen Javaanse etnocentrisme. “Voetsporen”
van Pramoedya Ananta Toer. Vrij Nederland.
Visser, Hans. 12 Mei 1989. Dissident Ananta Toer, zet kroon op zijn vierluik.
Privinciale Zeeuwse Courant.
220
Wirtz, Wim. 19 Juli 2002. Indonesische karikaturen. De Volkskrant.
Wit, Hanneke De. 4 Juni 1999. Pramoedya zou toch niet gaan stemmen. Het Parool.
Referensi
Boef, August Hans den en Kees Snoek. 1993. Een dicht struikgewas van dagelijkse
zorgen – leven en werk van Pramoedya Ananta Toer. Dalam Pramoedya
Ananta Toer, essay en interview. De Geus.
Bourdieu, Pierre. 1993. The field of cultural production, essays on art and literature.
Polity Press.
Janssen, Susanne. 1993. Kopland en kritiek, het functioneren van de literatuurkritiek,
geïllustreerd aan de hand van de consensusvorming over poëzie van Rutger
Kopland. Dari: Ton Bevers, Antoon van Braembussche, en Berend Jan
Langenberg (red), De kunstwereld, productie, distributie en receptie in de
wereld van kunst en cultuur. Hal. 268-303.
Nooy, Wouter de. 2002. The dynamics of artistic prestige. Poetics 30: 147-167.
Rees, C.J. Van. 1983. How a literary work becomes a masterpiece: on the threefold
selection practiced by literary criticism. Poetics 12: 397-417.
Sapiro, Gisèle. 2003. The literary field between the state and the market. Poetics 31:
441-464.
Teeuw, A. 1993. Pramoedya Ananta Toer, de verbeelding van Indonesië. De Geus.
Vogel, Marianne. 2001. Recencies: waar onze literatuur vandaan komt. Amsterdam:
Veen.
221
MENGGUGAH SOLIDARITAS MELALUI
ROMAN DSCHUNGELKIND (RINDUKU PADA RIMBA PAPUA)
KARYA SABINE KUEGLER
Isti Haryati
(FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia)
Abstrak: Upaya menggugah solidaritas bisa dilakukan dengan pembacaan terhadap
karya sastra. Pembacaan terhadap roman Dschungelkind (Rinduku pada Rimba Papua)
karya Sabine Kuegler menyadarkan kita bahwa ada masih banyak suku bangsa di
Indonesia yang masih hidup dalam budaya yang masih jauh dari nilai kemanusiaan,
salah satunya suku Fayu di Papua. Interaksi antara keluarga Kuegler dan kepedulian
terhadap kehidupan suku Fayu di Papua tersebut secara perlahan mengikis persoalan
kemanusiaan tersebut. Gambaran sosiologis dan interaksi sosial antara keluarga Kuegler
dan suku Fayu dalam Roman Dschungelkind (Rinduku pada Rimba Papua) ini
menggugah solidaritas kita sebagai bangsa Indonesia, karena suku Fayu di Papua
adalah bagian dari bangsa Indonesia.
Kata Kunci : solidaritas, gambaran sosiologis suku Fayu, interaksi sosial
Pendahuluan
Realitas sosial dalam masyarakat menjadi salah objek pengamatan yang
dilakukan oleh pengarang yang kemudian dituangkan dalam karya-karyanya. Realitas
yang terjadi di dalam masyarakat tersebut diolah sedemikian rupa dengan kreativitas
yang tinggi sehingga menjadi karya sastra. Gambaran realitas yang diangkat dalam
karya sastra bisa menggambarkan bagaimana kondisi riil yang terjadi di dalam
masyarakat.
Gambaran tersebut sesuai yang dikatakan oleh Ian Watt, yang
mempertimbangkan hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Salah satunya,
Ian Watt mengatakan bahwa karya sastra sebagai cermin masyarakat, yakni sampai
sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat (Damono, 1979 :
3-4).
Kondisi yang digambarkan dalam karya sastra tersebut bisa berefek terhadap kita
sebagai pembaca ketika kita membaca karya sastra tersebut. Berbagai nilai kemanusian
yang diangkat dalam karya sastra bisa menggugah pambaca sehingga karya sastra tidak
hanya bersifat menghibur saja tetapi juga bermanfaat. Hal tersebut sesuai yang
diungkapkan oleh Horace bahwa fungsi karya sastra itu tidak hanya menghibur (dulce)
tetapi juga bermanfaat (et utile) (Wellek dan Waren, 1990 : 25).
Salah satu manfaat membaca karya sastra adalah munculnya nilai solidaritas
yang bisa muncul dari diri kita ketika kita selesai membaca karya sastra. Solidaritas
sendiri berasal dari bahasa Latin solidus yang berarti kuat dan teguh, juga berarti
perasaan senasib (KBBI). Menurut Emile Durkheim (dalam Doyle Paul Johnson (1981:
181) solidaritas menunjukkan pada suatu keadaan antar individu dan atau kelompok,
yang didasarkan perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama, yang diperkuat
oleh pengalaman emosional bersama.
222
Salah satu karya sastra
yang menceritakan bagaimana rasa solidaritas
dikembangkan adalah roman Dschungelkind karya Sabine Kuegler, seorang wanita
Jerman yang pernah tinggal dalam rimba Papua bersama suku Fayu. Roman
Dschungelkind yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Rinduku
Pada Rimba Papua, merupakan roman pertama karya Sabine Kuegler, yang
mengungkapkan kisah hidupnya ketika tinggal dalam suatu keadaan sosial masyarakat
suku Fayu di Papua khususnya Papua Painai. Rasa kepedulian dan kerinduan Sabine
terhadap masyarakat suku Fayu di Papua tersebut mendorongnya menuangkan
pengalaman hidupnya dalam roman tersebut.
Kepedulian Sabine Kuegler terhadap kehidupan masyarakat di rimba Papua
tersebut tergambar dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh keluarga Kuegler
ketika melakukan interaksi sosial dengan suku Fayu tersebut. Suku Fayu yang
digambarkan masih hidup dalam keterasingan tersebut akhirnya secara berangsurangsur mengalami perubahan dalam pola perilaku sosialnya karena interaksi sosial yang
dilakukan bersama-sama dengan keluarga Kuegler tersebut.
Gambaran kehidupan sosial suku Fayu dan perubahannya setelah bertemu
dengan keluarga Kuegler, yang digambarkan dalam roman Dschungelkind ini adalah
satu gambaran nilai solidaritas yang dilakukan oleh keluarga Jerman dalam menghadapi
suku Fayu tersebut. Empati yang ditunjukkan oleh keluarga tersebut dalam melakukan
berbagai pendekatan positif terhadap suku Fayu tersebut bisa menggugah rasa
solidaritas kita sebagai bangsa Indonesia. Suku Fayu adalah merupakan bagian dari
bangsa Indonesia yang keberadaannya masih kurang begitu diketahui. Mengembangkan
rasa senasib dan sebangsa setalah melakukan pembacaan terhadap roman
Dschungelkind ini merupakan hal yang bisa kita lakukan.
Pembahasan
Roman Dschungelkind menceritakan tentang realitas sosial yang digambarkan
dalam karya sastra dalam masyarakat suku Fayu di Papua. Tokoh utama dalam roman
Dschungelkind karya Sabine Kuegler adalah Sabine. Dalam roman tersebut dikisahkan
pengalaman hidupnya ketika hidup bersama-sama suku Fayu di Papua, ketika
ayahnya, Klaus Kuegler, melaksanakan tugas sebagai peneliti bahasa suku-suku di
Papua. Potret sosiologis kehidupan masyarakat suku Fayu tersebut digambarkan
dengan jelas, berdasarkan pengamatan sang tokoh utama. Selain itu juga
digambarkan bagaimana interaksi antara keluarga Sabine Kuegler dengan masyarakat
suku tersebut dan hasil interaksi antara mereka.
Gambaran Sosiologis Tradisi Suku Fayu di Papua
Roman Dschungelkind ini memberikan gambaran kepada pembaca bagaimana
kehidupan masyarakat suku Fayu yang hidup di pedalaman Papua. Melalui
pengamatan yang dilakukan oleh Sabine, tokoh utama dalam roman ini, gambaran
kehidupan masyarakat suku Fayu di Papua ini terpapar dengan jelas. Secara geografis,
masyarakat suku Fayu tinggal di pedalaman Papua dengan lingkungan yang dipenuhi
rawa-rawa dan pohon palem berduri, sehingga menyebabkan lokasi mereka sulit
dijangkau dengan jalan darat. Secara sosiologis masyarakat suku Fayu digambarkan
oleh Sabine Kuegler dalam roman Dschungelkind sebagai berikut.
a. Suku yang Kanibal dan Brutal
Masyarakat suku Fayu yang hidup di tengah-tengah rimba Papua ini memang
digambarkan masih jauh dari peradaban. Bahkan beberapa tradisi yang hidup dalam
223
masyarakat tersebut sangat jauh dari nilai kemanusiaan, seperti membunuh, balas
dendam, dan tindak kekerasan. Bagi beberapa orang Fayu, tradisi membunuh, balas
dendam dan kekerasan adalah merupakan bagian dari kehidupan mereka. Hal tersbut
dikatakan oleh Sabine pada kesan pertamanya terhadap suku Fayu tersebut. “Und hier,
bei dem erst vor kurzem entdecken Fayu Stamm, der für Kannibalismus und eine
unvorstellbare Brutalität stand, einem Stamm, der noch in der Steinzeit lebte....” (dan
sekarang, hidup di antara orang-orang Fayu, sebuah suku dari Zaman Batu yang
dikenal kanibal dan sangat brutal...) (Kuegler, 2005 : 37).
Keberadaan suku Fayu yang terisolir dari masyarakat Papua pada umumnya
disebabkan karena suku tersebut terkenal akan kebrutalan dan kekejamannya. Bagi sukusuku lain yang berada di daerah tersebut, suku Fayu memang sengaja dihindari karena
mereka takut untuk menjalin komunikasi dengan mereka. Hal inilah yang menyebabkan
suku Fayu tersebut semakin terisolir dan tertinggal peradabannya dibanding suku lain.
Kegemarannya berperang dengan suku-suku lain suku Dou dan Kiri-kiri, suku-suku
yang juga berada di kawasan Painai juga menyebabkan suku tersebut semakin
diasingkan dan dihindari (Kuegler, 2005: 66-67).
b. Hidup dalam tradisi kekerasan
Suku Fayu biasa hidup dalam tradisi yang penuh kekerasan. Oleh karena itu
kehidupan mereka juga dekat dengan kematian, yang diakibatkan oleh tindak kekerasan
yang terjadi. Dengan mudah pembunuhan akan terjadi, karena alasan balas dendam. Oleh
karena itu ketakutan terus menghantui kehidupan orang-orang suku Fayu tersebut. Bahkan
kekerasan dan pembunuhan karena saling balas dendam menyebabkan jumlah polulasi
mereka menurun tajam. Anak-anaklah yang kemudian menjadi korban karena budaya
kekerasan ini. Mereka yang tumbuh dalam budaya kekerasan juga akan terenggut masa
kanak-kanaknya karena mereka tidak mengenal rasa aman. Saat menyaksikan orangtua
mereka dibunuh, mereka dikuasai rasa takut, apalagi kemudian mereka dibiarkan hidup
terlantar. Kalau mereka tidak ditemukan oleh anggota kelompoknya sendiri, mereka akan
mati kelaparan dan hidup dalam bahaya di hutan. Demikianlah kondisi orang-orang Fayu
yang hidup dan tenggelam dalam rangkaian kekerasan, yang semakin lama semakin brutal
dan ekstrem) (Langsam gerieten die Fayu in eine Spirale der Gewalt, einen Teufelkreis,
der immer brutaler und extremer wurde) (Kuegler, 2005 : 136).
Kekerasan juga terjadi dalam kehidupan antara laki-laki dan wanita. Jika seorang
laki-laki ingin menikahi seorang perempuan, dan sang ayah dari si perempuan setuju,
maka sang ayah hanya akan menyerahkan putrinya ke laki-laki tersebut untuk dinikahi
dan tinggal bersamanya. Jadi tidak perlu ada tindak kekerasan atau penculikan. Akan
tetapi, jika ayah dari seorang gadis tidak setuju dengan laki-laki yang berniat
menikahi putrinya, maka laki-laki tersebut menunggu dengan sabar sampai waktu
yang tepat, ketika sekali saja gadis itu tanpa penjagaan, tanpa peringatan dini lakilaki tersebut akan menarik, dan menyeretnya ke dalam hutan. Dia bersembunyi di sana
bersama dengan gadis itu, sampai gadis itu siap untuk tinggal bersamanya).
(Kuegler, 2005: 166). Itulah sebabnya mengapa seorang suami dari suku Fayu tidak
pernah mennjukkan perhatian dan kasih sayangnya pada istri mereka. Hal itu
disebabkan mereka menikah tanpa dasar rasa cinta. “Längst nicht alle Fayu-Männer
behandelten ihre Frauen so gut.” (Sejak lama semua laki-laki Fayu tidak
memperlakukan istrinya dengan baik) (Kuegler, 2005: 166). Bahkan sering terjadi para
suami tega menyakiti dan melukai istri mereka, hanya untuk membuat istrinya tunduk
dan patuh kepadanya, “...; normalerweise hätte ein Fayu-Mann in einem solchen Fall
mit einem Pfeil auf seine Frau geschossen.” (Kuegler, 2005: 165). (Dalam kasus
224
seperti itu biasanya laki-laki Fayu menembakkan panahnya ke istrinya). Untuk membuat
istri mereka patuh dan tunduk, seorang suami biasa menembakkan anak panah kepada
istrinya.
c. Sering Terjadi Perang antar Kelompok
Bahwa suku Fayu terbagi dalam beberapa kelompok, dikatakan oleh Sabine
bahwa ketika menceritakan tentang keberadaan suku tersebut, yang
belum diketahui sebelumnya oleh ayah Sabine, yakni Klaus Kuegler
ketika akan mencari keberadaan suku tersebut. “Zu dieser Zeit wusste Papa
noch nicht, dass der Fayu-Stamm aus vier Gruppe bestand, die sich im dauernden
Kriegszustand befanden” (Kuegler, 2005: 76). (Pada saat itu papa belum tahu bahwa
suku Fayu terbagi menjadi empat kelompok, yang terlibat perang terus-menerus). Ke
empat kelompok tersebut adalah kelompok Iyarike, kelompok Tigre, kelompok
Tearü, dan kelompok Sefoidi. Salah satu suku yang ditemukan terakhir adalah suku
yang diceritakan sebagai suku yang kanibal, yakni Sefoidi.
Meskipun mereka berasal dari suku yang sama, yaitu Fayu, mereka selalu
terlibat perang antar kelompok secara terus-menerus dan saling membunuh antar satu
kelompok dengan kelompok yang lain. Perang dan tindakan saling membunuh tersebut
disebabkan oleh banyak hal, misalnya pelanggaran wilayah kekuasaan atau memasuki
wilayah kekuasaan tanpa izin dan membalaskan dendam karena salah seorang dari
suatu kelompok telah membunuh seseorang dari kelompok yang lain. Tradisi tersebut
berlangsung secara terus menerus dan tidak diketahui kapan berakhirnya.
d. Menganut Paham Animisme, Dinamisme dan Totemisme
Dalam hal keagamaan, suku Fayu menganut paham Animisme, Dinamisme, dan
Totemisme. Salah satu bentuk kepercayaan Animisme adalah kepercayaan mereka
terhadap roh-roh nenek moyang, dan roh-roh jahat yang dapat mencelakai manusia.
Orang Fayu percaya adanya roh jahat yang dinamakan Tohre. Menurut kepercayaan
mereka, Tohre dapat mencelakakan dan membunuh manusia. Menurut mereka, Tohre
adalah roh jahat yang tinggal dan berasal dari hutan. Biasanya Tohre akan keluar pada
malam hari dan membunuh orang-orang Fayu yang masih berada di luar gubug mereka.
“Er ist der böse Geist; er kommt nachts aus dem Urwald und frisst einen auf”
(Kuegler, 2005: 244). (Tohre adalah roh jahat, dia keluar dari hutan pada malam hari
untuk memangsa manusia). Selain paham tersebut, mereka juga percaya akan akan
adanya kekuatan alam, dalam hal ini batu yang bernama “bisa” dan “beisha” yang
dianggap bisa membantu orang-orang suku Fayu dalam menghadapi setiap masalah
(Kuegler, 2005: 283). Kepercayaan Totemisme ditunjukkan dengan kepercayaan
mereka terhadap hewan-hewan tertentu yang dilarang, salah satunya adalah
menganggap bagian perut buaya sebagai bagian yang dikeramatkan sehingga melarang
wanita suku Fayu untuk memakan dan melihat perut buaya dan jika dilanggar
mereka akan sakit dan bahkan meninggal dunia (Kuegler, 2005: 189).
e. Persahabatan dan Persaudaraan antar Anggota Kelompok yang Kuat
Salah satu hal positif dari kehidupan suku Fayu yang dirasakan oleh keluarga
Kuegler adalah bahwa hubungan antar anggota kelompok suku Fayu sangat erat.
Mereka bukan lagi merasa seperti hidup dalam kelompok tetapi lebih seperti keluarga.
Persahabatan dan persaudaraan terjalin sampai mati. Setiap orang selalu ada dan
selalu siap jika orang lain membutuhkannya. Tidak hanya siap membantu anggota
keluarga mereka, akan tetapi juga anggota keluarga lain dalam kelompok yang sama.
225
Bahkan Sabine dan keluarganya yang merupakan orang asing merasakan rasa
persaudaraan yang erat di dalam kelompok Fayu. Meine Familie und meine
Stammesmitglieder sind für mich da, so wie ich für sie da bin” (Kuegler, 2005: 51).
(Keluargaku dan anggota suku Fayu selalu ada untukku, sebagaimana aku selalu ada
untuk mereka).
Dalam budaya suku Fayu, keterikatan dalam kelompok adalah hal yang sangat
penting. Bagi mereka, keluarga dan anggota kelompok merupakan harta yang berharga.
Mereka rela mengorbankan nyawa untuk melindungi keluarga dan anggota
kelompoknya. Jika ada hal buruk yang terjadi pada anggota keluarga atau anggota
kelompoknya, mereka akan membunuh orang itu dengan alasan balas dendam. Dengan
demikian, atas nama solidaritas kelompok maka kekerasan karena membalaskan
dendam anggota kelompok yang lain, menjadi hal yang biasa dalam masyarakat suku
Fayu tersebut.
Interaksi Sosial yang Membawa Perubahan Suku Fayu di Papua
Kedatangan keluarga Sabine Kuegler membawa beberapa perubahan terhadap
kehidupan suku Fayu. Penelitian kebahasaan yang dilakukan oleh Ayah Sabine (Klaus
Kuegler) mengharuskannya bergaul lebih dalam dengan masyarakat suku Fayu tersebut.
Apalagi dengan aktivitasnya menyusun kamus bahasa Fayu, bergaul dan berinteraksi
dengan mereka setiap harinya merupakan hal yang harus dilakukan. Demikian juga
dengan istri dan anak-anak mereka yang kemudian juga bergaul lebih akrab dengan
masyarakat terutama anak-anak suku Fayu.
Sikap dan tindakan yang dilakukan oleh keluarga Kuegler ini secara pelan bisa
mengubah perilaku masyarakat suku Fayu yang tadinya kasar dan kurang beradab.
Meskipun keluarga Kuegler tidak secara eksplisit mengatakan bahwa tradisi tersebut
kurang baik, akhirnya dengan teladan yang diberikan oleh keluarga tersebut, terjadi
perubahan positif pada suku Fayu. Hal tersebut tampak pada kutiban berikut ini.
“Wir haben den Fayu nie gesagt, was sie tun oder lassen sollten und welches Verhalten
uns richtig erschien. Denn unsere Eltern hatten uns beigebracht, dass das beste
Zeugnis unser eigenes Leben und unser Verhalten war, und nicht Worte, die aus
unserem Mund kamen.”
(Kuegler, 2005: 167).
(Kami tidak pernah mengatakan kepada orang Fayu, apa yang harus mereka lakukan
atau mereka tinggalkan dan perilaku yang mana yang tampak benar. Karena orang
tua kami mengajarkan kami, bahwa bukti yang terbaik adalah hidup kita sendiri dan
perilaku kita, dan bukan kata-kata, yang keluar dari mulut kita).
Tradisi-tradisi yang kurang sesuai dengan nilai kemanusiaan seperti tindak
kekerasan yang tadinya menjadi tradisi suku Fayu sedikit demi sedikit mulai berkurang.
Bahkan ada beberapa konsep kemanusiaan yang kemudian dikenal oleh masyarakat
suku Fayu tersebut karena interaksi yeng terjadi dengan keluarga Kuegler tersebut.
Beberapa tradisi yang mengalami perubahan dengan kehadiran keluarga Kuegler adalah
sebagai berikut.
a. Tradisi Kekerasan mulai berkurang
Tindakan kekerasan yang terjadi pada masyarakat suku Fayu, terutama
kekerasan antara seorang suami terhadap istrinya pada awalnya mengejutkan keluarga
Kuegler yang melihatnya secara langsung. Interaksi yang terjadi antara keluarga
Kuegler dan suku Fayu tersebut membuat masyarakat suku Fayu bisa melihat
bagaimana keluarga Kuegler saling menyayangi, saling menghormati dan saling
226
bekerjasama dengan baik. Teladan yang diberikan tanpa harus menggurui tersebut
membawa dampak positif seperti yang dikatakan oleh Sabine, sebagai berikut.
“Heute ist das anders. Langsam, über die Jahre hinweg, haben die Fayu-Männer durch
die Begegnung mit meiner Mutter gelernt, ihre Frauen zu achten. Denn sie haben in
dieser langen Zeit miterlebt, wie meine Eltern einander respektieren und liebten. Es war
für sie etwaskomplett Neues, dass ein mann und eine Frau zusammenarbeiteten und dabei
glücklich waren und lachen konnten. So etwas gab es bei ihnen nicht. Bei meinen
Eltern konnten sie sehen, wie wichtig die Liebe war und dass ein Streit nicht gleich
mit dem Tod oder einem Pfeil enden musste.” (Kuegler, 2005: 167).
Sekarang hal tersebut telah berubah. Lambat laun, beberapa tahun berlalu, laki-laki Fayu
telah belajar bersikap kepada istri mereka dari pertemuannya dengan ibuku. Karena
untuk beberapa waktu yang lama ini mereka menghayati, bagaimana orangtuaku saling
menghargai satu sama lain dan saling mencintai. Itu sesuatu hal yang sama sekali
baru untuk mereka, bahwa suami dan istri bisa bekerja sana dan bisa bahagia dan tertawa.
Sesuatu hal yang tidak ada dari mereka. Dari orangtuaku mereka bisa melihat, bagaimana
cinta itu penting dan pertengkaran tidak harus diselesaikan dengan kematian atau anak
panah.
Lambat laun terjadi perubahan pada orang-orang Fayu, mereka telah belajar
bagaimana harus mencintai dan memperlakukan orang yang dicintainya. Teladan yang
dilakukan oleh Klaus adalah sebuah permulaan kecil bagi suku Fayu yang memberikan
efek besar terhadap suku Fayu. Masyarakat suku Fayu yang dikenal dengan kebencian,
kebrutalan, dan tradisi balas dendam berubah menjadi masyarakat suku yang penuh
kedamaian. Seperti yang dikemukakan oleh Sabine, bagaimana sekarang suku Fayu
hidup dalam damai, dan mereka telah belajar menyelesaikan konflik dengan cara yeng
berbeda dari dulu (Kuegler, 2005: 221-222).
b. Masyarakat Suku Fayu Belajar tentang Konsep Memaafkan
Memaafkan yang tadinya menjadi hal yang asing bagi masyarakat suku Fayu,
ditunjukkan oleh keluarga Kuegler ini dengan contoh. Keluarga Kuegler, tertama Klaus
Kuegler, tidak pernah menjelaskan tentang bagaimana konsep memaafkan tersebut.
Tetapi ketika terjadi peristiwa yang membuat Klaus sangat marah, yakni ketika ada
seorang pemuda yang dengan sengaja merusak barang-barang kiriman yang baru saja
diterima keluarga Kuegler, Klaus berusaha menangkap pemuda tersebut, tidak
memarahinya tetapi merangkul pemuda tersebut, dan menempelkan dahinya ke dahi
pemuda tersebut. Klaus berusaha menunjukkan kepada orang Fayu tentang rasa
persaudaraan dan konsep memaafkan (Kuegler, 2005: 223-224).
c. Perang Antar Kelompok Fayu Semakin Berkurang
Suku Fayu yang terdiri atas empat kelompok, mempunyai kebiasaan saling
berperang yang dipicu hal-hal yang sebenarnya tidak begitu penting. Kebiasaan
berperang dan saling membunuh itu juga dilakukan di depan rumah keluarga Kuegler.
Ketika mereka akan kembali berperang dan kakak Sabine yang bernama Sybille
menjerit-jerit ketakutan, Klaus mengambil langkah untuk melerai pertikaian mereka dan
mengatakan kalau mereka masih akan bertikai, apalagi di depan rumah mereka,
keluarga Kuegler akan meninggalkan mereka. Cara yang dilakukan tersebut ternyata
mujarab. Mereka yang merasa sangat membutuhkan kehadiran keluarga Kuegler ini
kemudian menyatakan berhenti berperang dan memintanya untuk tetap tinggal. Hal
tersebut tampak pada kutiban berikut. “Er schaute nur diese wilden Krieger an, die sich
gerade noch umbringen wollten, jetzt aber vereint vor ihm standen und ihn baten zu
227
bleiben (Dia menyaksikan prajurit-prajurit liar ini, yang baru saja akan membunuh satu
sama lain, akan tetapi sekarang berdiri bersama di depannya dan memintanya untuk
tetap tinggal) (Kuegler, 2005: 249). Pada hari itu juga, kelompol Iaryke dan Tigre
mewakili kelompok yang lain mengadakan perjanjian damai satu sama lain, dan hal itu
berlangsung sampai sekarang (Kuegler, 2005: 249).
Sekarang hubungan antar kelompok Tigre, Iyarike, Sefoidi dan Tearü terjalin
lebih baik, tidak ada lagi peperangan antar kelompok dan pembunuhan semakin
berkurang antar kelompok-kelompok di suku Fayu. Kedatangan keluarga Sabine telah
merubah suku Fayu menjadi suku yang penuh kedamaian. “Die Fayu sind ein
friedlicher Stamm geworden, kaum wieder zu erkennen im Vergleich zu damals.”
(Kuegler, 2005: 343). (Suku Fayu menjadi suku yang lebih damai, hampir tidak
dikenali dibandingkan dulu).
d. Orang-orang Fayu Mulai Mengenal Pendidikan
Posisi suku Fayu yang berada di tengah rimba Papua membuat suku Fayu benarbenar terputus dengan dunia luar. Mereka tidak mengenal kebudayaan dan juga nilai-nilai
pendidikan. Kedatangan keluarga Kuegler membawa perubahan bagi suku Fatu tersebut.
Orang-orang suku Fayu tidak hanya mendapatkan pelajaran tentang prinsip-prinsip
kemanusiaan dari keluarga Kuegler, akan tetapi mereka juga mulai mengenyam
pendidikan, mulai dari pelajaran membaca, berhitung dan menulis.
Ibu Sabine, Doris membuka sekolah untuk anak-anak muda di suku Fayu.
Kemudian dengan telaten, Doris Kuegler ini mengajarkan berhitung dengan alat bantu
tangan, kaki sehingga mereka bisa berhitung satu sampai sepuluh dalam bahasa
Indonesia. Hal tersebut tampak dalam kutiban berikut ini.
“Sie können ja nur bis drei zählen, und danach gibt es keine Zahlwörter mehr, nur noch
eine Hand oder eine Hand und ein Fuβ, und so weiter. So fing ich an, ihnen die Zahlen
von eins bis fünf und dann weiter bis zehn auf Indonesisch beizubringen.” (Kuegler, 200:
315).
(Mereka hanya bisa menghitung sampai tiga, dan kemudian tidak ada kata-kata untuk
angka lagi, hanya ada satu tangan atau satu tangan dan satu kaki, dan selanjutnya. Jadi aku
mulai mengajarkan mereka tentang angka-angka dari satu sampai lima dan kemudian
sampai sepuluh dalam bahasa Indonesia).
Informasi tersebut didapat Sabine dari Doris melalui surat, ketika Sabine sudah berada
di Swiss. Selain belajar berhitung, anak-anak muda suku Fayu ini juga belajar mengenal
huruf, belajar membaca dan belajar menulis namanya sendiri.
Sekembalinya keluarga Kuegler ke Jerman, ada suatu organisasi yang
meneruskan perjuangan keluarga Sabine untuk mengembangkan pendidikan warga
suku Fayu dan lebih mengembangkan potensi-potensi generasi muda suku Fayu, yang
dinyatakan dalam kutipan kalimat berikut ini.
“Inzwischen hat die Organisation meiner Eltern, YPPM, den Haupteil
der
Entwicklungsarbeit übernommen, insbesondere die von meiner Mutter gegründete
Schule, wo die jüngere Generation Lesen, Schreiben, Rechnen, und die indonesische
Sprache lernt.” (Kuegler, 2005: 343).
(Sementara itu, organisasi orang tua saya, yakni YPPM, meneruskan pekerjaan utama
tersebut khususnya, sekolah yang didirikan oleh ibu saya, tempat generasi muda
belajar membaca, menulis, berhitung, dan belajar bahasa Indonesia).
Dengan kehadiran keluarga Kuegler, generasi muda suku Fayu yang pada awalnya
hanya mengenal bahasa Fayu sebagai bahasa mereka, kemudian juga bisa berbahasa
Indonesia.
228
Roman Dschungelkind dan Solidaritas
Keberadaan suku Fayu yang tinggal di pedalaman Papua, kurang diketahui
oleh sebagain bangsa Indobesia, meskipun suku tersebut adalah bagian dari warga
negara Indonesia. Karena tidak mengenalnya, kepedulian terhadap suku tersebut sebagai
bagian dari bangsa Indonesia juga tidak ada. Semangat solidaritas atau dengan kata lain
perasaan senasib dan sebangsa belum terjalin karena ketidaktahuan kita tentang adanya
eksistensi suku tersebut sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Pembacaan terhadap Roman Dschungelkind yang telah diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia menjadi Rinduku pada Papua, membuat mata kita terbuka bahwa suku
Fayu yang berada di rimba Papua tersebut adalah bagian dari bangsa Indonesia. Sabine
Kuegler dengan romannya tersebut mengenalkan satu dunia kehidupan yang selama ini
tidak kenal. Penjelajahannya yang dalam tentang kehidupan suku tersebut bagai
semacam muara informasi bagi kita dan bagi mereka yang mempelajari berbagai suku di
Indonesia.
Sabine Kuegler memulai tulisannya dengan kegamangannya memulai hidup
sebagai orang Eropa di Eropa setelah menghabiskan waktu kanak-kanak dan remajanya
di rimba Papua. Ingatannya akan kehidupan di rimba bersama suku Fayu tersebut begitu
mencengkeram jiwanya, sehingga meskipun sudah kembali hidup di Eropa, dia tidak
bisa melepaskan diri dari kenangan hidup di hutan tersebut. Itulah rumahnya. “Der
mächtige Dschungel von Irian Jaya ... Mein Zuhause, das verlorene Tal” (Hutan Rimba
Papua, Rumahku, lembah yang hilang) (Kuegler, 2005: 19).
Sabine menceritakan bagaimana awal kehidupannya ketika mulai memasuki
dunia baru hidup bersama suku Fayu tersebut karena mengikuti ayahnya yang bertugas
sebagai seorang Linguist, seorang peneliti bahasa. Hidup bersama suku Fayu, yang
digambarkan sebagai suku dari Zaman Batu yang dikenal kanibal dan sangat brutal,
telah mengubah diri seorang Sabine. Sejak awal menginjakkan kaki dan bertemu dengan
suku tersebut, dia merasa sudah seperti di rumahnya sendiri. Dia merasa memang
terlahir untuk menjalani hidup bersama suku tersebut, hidup yang bebas tanpa tekanan.
Saat mereka belajar mencintai daripada membenci, memaafkan daripada membunuh,
Sabine telah menjadi bagian dari mereka seperti mereka menjadi bagian dari hidup
Sabine (Kuegler, 2005: 36-37).
Dalam roman ini, Sabine telah menunjukkan perasaan senasib dan sebangsa
dengan suku Fayu tersebut, meskipun dia adalah seorang Eropa, seorang warga Jerman
bukan bangsa yang sama dengan suku Fayu tersebut. Namun Sabine merasa bagian dari
mereka. “Ich war keine Deutsche mehr, war nicht mehr das weiße Mädchen aus Eropa.
Ich wurde eine Engeborene, ein Fayu-Mädchen von Stamm der Iyarike” (Saya bukan
orang Jerman lagi, bukan lagi gadis kulit putih dari Eropa, saya adalah penduduk asli,
gadis suku Fayu dari kelompok Iyarike) (Kuegler, 2015 : 37).
Rasa solidaritas tersebut kemudian diwujudkan dalam berbagai macam interaksi
yang dilakukan bersama orang-orang suku tersebut, saling menolong dan menghormati.
Sabine bisa betul-betul merasa lebur, dan menyesuaikan diri secara total dengan
lingkungan hidup di dalam rimba Papua tersebut. Sabine dan keluarga belajar bahasa
Fayu dan juga bisa fasih dalam berbahasa Indonesia. Awalnya Sabine tidak bisa
mengerti mengapa orang-orang Fayu tidak bisa mengerti jika diajak berbicara dalam
bahasa Indonesia, tetapi ayahnya menerangkan bahwa meskipun mereka hidup di
Indonesia, mereka mempunyai bahasa yang benar-benar berbeda dengan bahasa
Indonesia (Kuegler, 2005: 196).
Bersamaan dengan mereka belajar bahasa Fayu, Sabine belajar budaya suku
tersebut dan menghormati budaya tersebut.” Und so lernten wir neben der Sprache
229
mehr und mehr auch die Kultur der Fayu kennen. Papa brachten uns Kindern sei, sie zu
respektieren und uns ihr anzupassen” (Bersama dengan bahasa, kami juga menyerap
budaya Fayu. Papa mengajarkan kami untuk menghormati dan menyesuaikan diri)
(Kuegler, 2005: 199-200). Bahasa dan budaya menjadi adalah dua hal yang dipelajari
oleh Sabine dan keluarganya ketika berada dalam lingkungan suku Fayu tersebut.
Sekalipun budaya yang dihadapi sangat berbeda, akan tetapi mereka berusaha
menghormati dan menyesuaikan diri dengan budaya tersebut.
Salah satu kepedulian yang ditunjukkan oleh keluarga Kuegler dalam roman
Dschungelkind ini adalah kerelaan mereka untuk memberikan pendidikan secara cumacuma dengan cara mengajari mereka belajar membaca dan menulis, serta mengajarkan
bahasa Indonesia kepada masyarakat suku Fayu tersebut. Hal tersebut dilakukan
terutama oleh Ibu Sabine, Doris Kuegler. Ketelatennya mengajari anak-anak suku Fayu
telah menyumbangkan hal yang sangat berharga terhadap warga suku Fayu tersebut,
yakni mengenal dunia pendidikan (meski bukan pendidikan formal) dan mengenal dunia
luar yang sebelumnya sama sekali tidak mereka kenal.
Rasa solidaritas yang ditunjukkan oleh keluarga Kuegler dalam roman
Dschungelind tersebut membuat rasa solidaritas kita tergugah. Sebagai warga Eropa
yang biasa hidup modern dan tinggal dalam lingkungan yang serba nyaman, mereka
dengan suka rela tinggal dan berbaur dengan salah satu suku bangsa di Indonesia yang
tinggal di rimba belantara Papua. Meskipun hal itu dilakukan untuk kepentingan
pekerjaan sang Ayah (Klaus Kuegler) sebagai seorang peneliti bahasa, akan tetapi
kerelaan seluruh anggota keluarga ikut menetap di rimba Papua tersebut dan beradaptasi
dengan budaya suku Fayu tersebut patut kita hargai.
Membaca roman Dschungelkind ini membuat kita lebih mengenal kehidupan
suku tersebut dan membuat kita sebagai pembaca merasa terpacu untuk semakin
mengembangkan rasa solidaritas terhadap suku tersebut sebagai sesama bangsa
Indonesia. Realita kehidupan suku Fayu yang digambarkan oleh Sabine Kuegler dan
bagaimana interaksi yang terjadi di antara mereka, dan juga hasil interaksi di antara
mereka, semakin menegaskan pentingnya kita mengenal berbagai suku bangsa yang lain
di Indonesia. Dengan demikian, akan semakin berkembang juga rasa toleransi terhadap
budaya mereka yang lain dengan budaya kita, sebagaimana keluarga Kuegler bisa
menghormati dan menghargai budaya suku Fayu tersebut.
Penutup
Realita kehidupan masyarakat suku Fayu di Papua, yang tercermin dalam Roman
Dschungelkind (Rinduku pada Papua) karya Sabine Kuegler, menunjukkan bahwa
masih ada suku bangsa di Indonesia yang hidupnya masih jauh dari nilai kemanusiaan,
salah satunya adalah masyarakat suku Fayu di pedalaman Papua. Interaksi sosial yang
dilakukan oleh keluarga Kuegler dalam roman tersebut dan berbagai tindak kepedulian
yang ditunjukkan oleh keluarga Kuegler terhadap budaya suku Fayu di Papua tersebut
secara perlahan mengurangi persoalan kemanusiaan tersebut. Secara perlahan kehidupan
masyarakat suku Fayu berkembang ke arah yang lebih baik. Gambaran sosiologis dan
kepedulian terhadap suku Fayu yang ditunjukkan oleh keluarga Kuegler dalam Roman
Dschungelkind (Rinduku pada Papua) ini menggugah solidaritas kita sebagai bagian dari
bangsa Indonesia, karena karena suku Fayu di Papua adalah bagian dari bangsa
Indonesia.
230
Daftar Rujukan
Anonim. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI.
.................2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Depdikbud.
Johnson, Doyle Paul. 1981. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT. Gramedia.
Diterjemahkan oleh Robert M. Z. Lawang.
Kuegler, Sabine. 2005. Dschungelkind. München: Droemer Verlag.
Kuegler Sabine. 2006. Jungle Child (Rinduku Pada Rimba Papua) (Diindonesiakan oleh
Dian Pertiwi). Surabaya : Erlangga.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (Diindonesiakan oleh
Melanie Budianta). Jakarta : Gramedia.
231
THE SUSTAINABILITY OF ORAL LITERATURE SIKSIKIAR AS LOCAL
STRENGTH IN FACING AND SUPPORTING GLOBAL CULTURE
Jacquelin Pattiasina
(Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon – Indonesia)
Abstract: Living in the 21st century might be a challenge for our generation because we
have to adapt and catch up the development of many aspects in modernization and
globalization era. The hardest challenge is actually how we are going global without
abandoning or leaving our cultural heritage that adheres to us as our identity. As one of
cultural elements, oral literature consist kinds of local wisdom, traditional scholarly and
moral values as for cultural values. Thus, oral literature is needed in modern and global
era to maintain the identity of young generation and as a filter to reduce negative
impacts of global era. Folksong in Kei traditions and customs is known in local term as
Siksikiar. The values within Siksikiar are used either by the elders to prepare the young
generation or by the youths to maintain themselves from the negativity of global culture.
The purposes of this study are to know how the sustainability of Siksikiar is able in
modernization and globalization era and how Siksikiar is functioned as local strength in
facing and supporting global culture. The study finds that through the modern and
global era, the local custom in Kei still exists and applied. Siksikiar as oral literature is
performed at wedding ceremony, coronation, guess welcoming and funeral with several
purposes adjusted to the events. The functions of Siksikiar as local strength in facing
and supporting global culture are; as a source of local history, as a guidance of norms
that are applied in kei society, as instrument to educate young generation and as medium
in communicating criticisms and suggestions to government.
Keywords: Sustainability, Siksikiar, Local Strength, Global Culture
Introduction
Background of the Study
Living in the 21st century might be a challenge for our generation because we
have to adapt and catch up the development of many aspects in modernization and
globalization era. The hardest challenge is actually how we are going global without
abandoning or leaving our cultural heritage that adheres to us as our identity. As
Indonesians we often say that we are proud of being part of a country that rich in culture
and social customs. We are raised with various local wisdom and knowledge that has
bequeathed from our ancestors. As one of cultural elements, oral literature consist kinds
of local wisdom, traditional scholarly and moral values as for cultural values (Adriyetti,
2013). Oral literature contains those values that are believed and practiced by the society
that created it. Cultural value is the value that mostly affects the oral literature.
The cultural pattern from the society is often seen on its oral literature.
According to Adriyetti (2013); ”when we talk about building up a nation’s character, we
should include oral literature as one of the main source, because the character that are
valued in oral literature is appropriate with our social, religion and environment
232
context.” Thus, oral literature is needed in modern and global era to maintain the
identity of young generation and as a filter to reduce negative impacts of global era.
Folksong according to Jan Harold Brunvand in Danandjaja (1986) is: “a form of
folklore consists of words and songs that revolve orally amongst certain community, in
traditional form, and varies.” Folksong in Kei traditions and customs is known in local
term as Siksikiar. As folksong classification by Danandjaja (1986: 146)), Siksikiar is
also varying based on its content. There is Siksikiar that tells epic story, ballad and
mourning, history of a community, advising and entertaining.
In globalization and modernization era, as a traditional work which sometimes
considered old-fashioned by young generation when it put side by side with modern arts
such as contemporary music, it is astonishing how Siksikiar is not threatened by
extinction because the inheritance process continues in society that until today it is not
hard to find and watch local people perform Siksikiar in traditional events. It proves that
Siksikiar is capable to exist side by side with global culture. The values within Siksikiar
are used either by the elders to prepare the young generation or by the youths to
maintain themselves from the negativity of global culture.
Statement of the Problem
I am interested to know:
1. How is the sustainability of Siksikiar able in modernization and globalization era?
2. How is Siksikiar functioned as local strength in facing and supporting global
culture?
Purpose of the Study
The purposes of this study are:
1. To know how the sustainability of Siksikiar is able in modernization and
globalization era.
2. To know how Siksikiar is functioned as local strength in facing and supporting
global culture.
Scope and Limitation
The research focuses substantially on the sustainability of Siksikiar as local
strength in facing and supporting global culture. Operationally, it focuses on Ohoi Elaar
in Kei Kecil Island and ratschaap meum fitin Kei Besar Island.
Research Methods
The study uses descriptive qualitative approach because the data of the study is
in narrative forms or descriptions.
Discussion
The Sustainability Of Siksikiar In Modernization And Globalization Era
Through the modern and global era, the local custom in Kei still exists and
applied. The first thing that proves this statement is how the society keeps using Kei
language fluently instead of Ambones’ Malay language that is mostly spoken by people
in Moluccas. Most of Kei villages, or to say in Kei language Ohoi, apply their
customary law and tradition such as in marriage; help other people by donating or yelim
in local term, community self-help or maren, etc. Siksikiar as oral literature is performed
at wedding ceremony, coronation, guess welcoming and funeral.
233
Coronation of Ratschaap Leader
The coronation of ratschaap leader or rat is sacred in Kei island whereas rites are
held. The purpose and function of Siksikiar in the coronation is to advise the leader and
to describe history and society custom of the territory that he leads. Siksikiar that is sung
in coronation of the leader of Ratschaap Meum Fit is described below;
Lanter kaba imloi el Yamtel
Damar sun yaibo
Damar sun yaibo
Sun yeb koko Meumfit
Damar sun yaibo
Yaibo….
Damar sun yaibo
Sun yeb koko Meumfit
The boat lentern docked at Ohoi Yamtel
Its light brightens Ratschaap
Its light brightens Ratschaap
To all of the people in Ratschaap Meum Fit
Its light brightens Ratschaap
Its light brightens Ratschaap
To all of the people in Ratschaap Meum Fit
The song describes not only the greatness and honor of their leader but also his
responsibility to his people that depend on him and put big expectation on his leadership
that he will bring prosperity to them.
Welcoming Visitor
In welcoming certain visitor such as government official or a leader from other
ratschaap Siksikiar is often performed. Kind of Siksikiar performed in this event usually
the ones that tell about the beauty and identity of the village. For instance, the Siksikiar
of ohoi Waurtahait below;
Wel wel wel o……..
Wel wel hor hor do tai tai ram ramna
Woma Sor Tomat o…..
Aim fat fat o suwel bulek o om dat
Aim her o ait mam suvat wel o….
Wel fo dat in sun ba o……
Ur mam in wel fo dat in sun ba o….
At wel fo hot der mas it lingan vutun te ri el
Som tai woma Sor Tomat o……
To sway
To sway and step together
In Woma Sor Tomat
We, the women, descendants of Suwel Bulek
We invite you to dance together
Come and we shall dance
Come and so everyone dance
Dance through the river Mas to mountain Te Ri El
Until we go down and step in Woma Sor Tomat
234
Wedding Ceremony
In wedding ceremony that consists of several stages Siksikiar is performed in
varied kinds according to each stage. For intstance, Siksikiar ngelngel ditsakmas that is
performed to remind and introduce (especially if the bride is not come from Kei) one of
the most influence figure in Kei. Dit Sakmas. The bride is expected to put her as an
example who although not comes from Kei but is able to bring big and better impact in
social custom.
Another kind of Siksikiar that is performed is the song that contains laud to the
bride that is described as a beautiful and smart woman. The purpose of this song is to
melt the bride’s heart so she will feel comfortable with her new family and also to show
to the neighborhood that this family is lucky to have such a beautiful and humble
daughter in law.
Funeral
Folksong that is performed during a funeral is called maroin. Maroin describes
the goodness of the deceased and the sorrow of the people that is left that it brings tears
to those who hear it.
The Functions Of Siksikiar As Local Strength In Facing And Supporting Global Culture
Siksikiar implicitly and explicitly contains messages form ancestors that intended
to lead, show and educate the young generation of Kei to have an identity and character
that reflects the traditional custom and cultural values of Kei society.
As a Source of Local History
Siksikiar like ngelngel , dan wawar contains history which plays an important
role in several rites and decision making. The purpose of performing this folksong is to
clarify some issues that might appear nowadays such as borderline between villages.
Performing folksong also intends to arouse its meaning and sacred values within. Some
of folktales even have Siksikiar as their evidence to justify the authenticity of the story.
Wawar kerbau siuw for instance, tells the story that must be known by the leader of
Ohoi or Ratschaap because it contains their responsibility according to the division of
tasks. For example, Rat Danar in the tasks division gets “head” of the buffalo which
means that Rat Danar is the leader of Ur Siuw alliance.
One of wawar which is used as source of local history is describe below;
sa, sa yang mutbau tav le warwar
a yang yot su n’gulit yok o vur Tahl sir dubro ro n’weat kasil lodar el
rta tuvle ni bud rehen bud nif rok yeu
lor rivun ngad bar o n’fea wab’wab vuar tel, wab yan war la fo I sa
I ru, ma n’nes taflod balda wahadat
Ba su n’kuduk reu ahir fit nam ngil vovo
Ngabal sa’ndir el masrum nan ranak ko fo ohoivut la fo I ru
I run a n’es taflod baldu wahadat
……..
This wawar is performed to show the battle between Lor Lim and Ur Siuw in Kei
Islands in order to expand their territory.
235
As a Guidance of Norms That Are Applied in Kei Society
Siksikiar consists of history and messages from ancestors, not to mention as an
evidence to justify the authenticity of a folktale or tom. The other function of Siksikiar is
to guide the social and cultural norms that are existed in society. Siksikiar snehat yanur
mangohoi for instance, is a guidance of decency norms which organize and set examples
for youth interacting with each other. It also guide the bound that tied by marriage
between the man and his wife’s extended family.
a. Maintains Inherited Norms
Ngel-ngel, wawar or snehat lyrics which contain prohibitions and guidelines are a
series of rules that must be obeyed because these lyrics are “guardian” of customs and
traditions that the society practices. Folksong is a kind of ancestors’ effort in preserve
and inherits customary norms with an expectation that the young generation will carry
and implement these norms.
b. Assist Decision Making in a Case of Social Custom
Siksikiar lyrics are loaded with customary norms and historical context. Therefore, it
is an effective tool in providing solution for some issues that occurs in society. For
instance, when an issue about the right of a clan in society appears, they can use wawar
as reference in solving this issue because wawar contains historical events of the clan. If
a problem turns into serious issue that might cause a fight then a person will sing a brief
yet significant Siksikiar below;
Waud lane f ken duan no he ote yau yaau te ohe
This means;
You are me, I am you, and who are you? Who am I?
Basically this brief Siksikiar shows that every person in Kei comes from one
mother and that they have to look back on their family tree and find out if they are
related, then why do they have to fight like this if it can be solved nicely.
Educates Young Generation
Folksong is the creation of ancestors that is made to inherit their knowledge to
the next generation with several purposes:
a. Advises children
Every folksong contains messages that are delivered to advise next generation who
is responsible to carry the customs and traditions of Kei. These advices are given to
control the life of Kei people as a unity. Advices also given to warn the youth to
hold on to customary law and religion norms, so they become a well cultured and
civilized people. The expectation from the elders also including how Kei youth can
contribute in carrying and preserving customs and traditions.
b. Build up the character of young generation
The local knowledge values that is existed in Siksikiar is instrument that can be used
to shape or reconstruct identity and character of young generation of Kei in the
middle
of
modern
era
loaded
with
global
culture.
In order to become a cultured youth of Kei, one must understand and implement the
traditions and custom values that has been taught ever since his or her childhood. .
c. Educates young generation about society custom
Folktale and folksong is often used as instrument to describe tradition and custom to
children because it is more entertaining and “catchy” to them. It develops their
236
imagination and knowledge when they are raised with these kinds of cultural
elements. According to one of the interviewees, most of the lyrics are not difficult to
be memorized for Kei language speaker. Based on this fact it can be said that
Siksikiar is effective in preserving and communicating traditional values and
customs of Kei.
As Medium in Communicating Criticisms and Suggetions to Government
Siksikiar like Siksikiar Rat Meum Fit express expectation from people toward
their leader that he will be able to act as light that brightens or bring prosperity to them.
A leader is also expected to put more attention to common people that are often
neglected.
Conclusion
The sustainability of Siksikiar in modernization and globalization era can be seen
as it is performed at wedding ceremony, coronation, guess welcoming and funeral until
today. The purpose of performed Siksikiar in these events is to advise, remind, criticize
and inform honor and greatness of ancestor or certain local hero.
The functions of Siksikiar as local strength in facing and supporting global
culture are; as a source of local history, as a guidance of norms that are applied in kei
society, as instrument to educate young generation and as medium in communicating
criticisms and suggestions to government.
The Kei society is open to globalization and develops in modernization without
abandoning their cultural heritage which adheres as their identity. it can be seen in how
traditions and customs exists in most events held in Kei.
Siksikiar as one of cultural heritage contributes a lot in developing a character to
adapt with global culture without leaving his or her identity.
Sustainability of Siksikiar indicates how society in Kei values their cultural
heritage and use it as their local strength in facing and supporting global culture.
Bibliography
Adriyetti Amir. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: CV. Andi Offset
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Nyoman Kutha Ratna. 2009. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
............................2011. Antropologi Sastra. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar
Ohoitimur, Yohanis. 1983. Beberapa Sikap Hidup Orang Kei: Cara Ketahanan Diri dan
Proses Perubahan. Tesis, Fakultas Ilmu Filsafat. Manado: Sekolah Tinggi Seminari
Pineleng
Pattikayhatu, John A. dkk. 1998. Sejarah Pemerintahan Adat di Kepulauan Kei. Ambon:
Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku.
Rahail, J.P. 1995. Bat Batang Fitroa Fitnangan. Jakarta: Yayasan Sejati
Setitit, M. 2004. Mengenal Sastra Kei. Tual: Percetakan Nusantara.
Siswantoro. 2011. Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar
Suwardi Endraswara. 2006. Metodologi Penelitian Sastra: epistemology, model, teori
dan aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
237
JAKARTA DALAM KOMIK ZALDY:
MEMORI KOLEKTIF SEBUAH KOTA URBAN
Lilawati Kurnia
(FIB Universitas Indonesia)
Abstract: Zaldy is seen as one of five well-known comic artists during the 1960ies and
the 1980ies era. Collectors of Zaldy’s comics describe his work as the most detailed in
presenting images through each panel, both the settings and the characters. Another
characteristic, which has been found thorough reading, is that Zaldy’s comics contain
various elements of urbanity in Jakarta of the 1960, 70 and 80ies. The urban space,
which is captured in different ways in Zaldy’s work, does not only represent the setting,
but it also becomes one in the narration and the visual art. The panels can be observed as
if watching a movie endowed with sound and images, unifying in the narration. Hence,
this research also considers elements such as fashion, popular music and the current
lifestyles. Comics were created as an indicator of an attempt of appropriation towards
ideological change at that time. Thus, comics have become a genre, which is able to
open spaces nowhere else possible such as in literature or film, because they record
visually and narratively various processes. These processes are subtler and more
complex in culture.
Key words: Zaldy comic, representation of young generation, urban city Jakarta, micro
history
“Comrades from Jakarta, let us build a Jakarta into the greatest city possible. Great not
just from a material point of view; great, not just because of its skyscrapers; great not just
because it has boulevards and beautiful streets; great not just because it has beautiful
monuments; great in every respect, even in the little houses of the workers of Jakarta
there must be a sense of greatness… Give Jakarta an extraordinary place in the minds of
the Indonesian people, because Jakarta belongs to the people of Jakarta. Jakarta belongs
to the whole Indonesian people. More than that, Jakarta is becoming the beacon of the
whole of mankind. Yes, the beacon of the New Emerging Forces” (Abeyasekere
1987:168)57
Dalam sejarah kebudayaan Indonesia, era 1970-an adalah era penting
merebaknya budaya pop, namun sayangnya era ini masih diabaikan dalam penelitianpenelitian yang telah dilakukan. Padahal, pengaruhnya penting dalam membangun
memori kolektif suatu generasi akan jamannya. Dalam konteks tersebut, fenomena
komik Indonesia era 1960an hingga akhir 1970an menjadi penting untuk dikaji pada
arena tekstual untuk memahami hubungannya dengan konteks sosio-politik jaman itu.
Terlebih lagi hal ini terkait dengan mulai berkembangnya kapitalisme pada masa awal
Orde Baru, yang dipicu oleh masuknya investasi asing secara besar-besaran ke
Indonesia.
Pada awal-awal masa Orde Baru inilah impian orang-orang Indonesia akan
modernitas terpusat di Jakarta. Kota ini menjadi titik pusat perkembangan kemajuan
ekonomi yang menarik minat orang banyak untuk datang dan mengadu nasib di kota ini.
57
Kata-kata di atas adalah kutipan dari Presiden pertama RI, Sukarno dalam salah satu pidatonya.
238
Kesempatan untuk mengaktualisasikan seni populer, yang sebelumnya sangat dibatasi
pada masa Orde Lama, memberi kesempatan bagi para komikus untuk mengambil posisi
untuk menangkap perubahan jaman melalui goresan-goresan dalam komik.
Lebih jauh lagi, untuk menyebarkan komik dan membuat anak-anak muda
tertarik pada komik, diterbitkanlah sebuah majalah, yaitu Eres. Majalah Eres, yang
terbit sejak September 1969, memberikan sumbangan berarti bagi perkembangan komik
Indonesia. Melalui berbagai artikel dalam majalah tersebut, pembaca dapat mengenal
komikus, menemukan cara kerja mereka, dan menyimak ulasan tentang masalahmasalah penceritaan bergambar, serta belajar menghargai komik. Melalui majalah ini,
penerbit mengajak kaum muda untuk menyukai komik serta turut terlibat dalam
pengembangan komik Indonesia. Terdapat dua genre komik dalam majalah ini, yaitu
komik silat dan roman remaja. Majalah ini berhenti diterbitkan pada 1971 karena belum
memperoleh status lembaga pers resmi untuk penerbitan majalah dari pemerintah. Satu
hal yang disayangkan, mengingat bahwa Eres memiliki tiras cukup tinggi, yaitu sekitar
10.000 eksemplar. Beberapa komikus terbaik di Jakarta secara teratur mengasuh
majalah tersebut, antara lain, Jan Mintaraga, Ganes TH, Sim, Hans Jaladara, dan juga
Zaldy. Penulis merangkap penggambar komik kelima yang tersebut merupakan
“jagoan” komik di masa-masa itu.
Secara khusus, riset ini akan melihat karya-karya Zaldy58 yang bergerak di genre
komik roman. Ada kurang lebih sekitar 60 judul roman remaja karya Zaldy sejak 1965
hingga awal 1980an yang dapat diketahui dan ditemukan terutama oleh para kolektor
karena komik-komik di era ini sudah tidak dapat ditemukan di pasaran lagi. Untuk
penelitian ini penulis memilih komik-komik yang berasal dari 1969 sampai 1980an,
yang seluruhnya berjumlah 30 judul buku tetapi diambil hanya sebagian untuk dijadikan
analisis sebanyak 16 judul yang penulis anggap merepresentasikan tema utama yaitu
romansa dan kepiawaian seni gambar Zaldy.
Komik pernah menjadi bacaan popular di kalangan tua dan muda. Dari jaman ke
jaman, perkembangan penulisan komik Indonesia tidak selalu konstan. Ada masa-masa
ketika komik, oleh para peneliti komik dikatakan mati suri karena produksi komik oleh
penulis Indonesia mengalami penurunan tajam. Namun, itu terjadi bukan saja karena
jumlah pembacanya berkurang seiring dengan masuknya komik-komik terjemahan dari
Amerika maupun Jepang. Perjalanan komik Indonesia tidak lepas dari politik yang
berlaku pada masa-masa yang diarunginya. Pada masa Orde Baru, komik bahkan kerap
dibredel dan dianggap sebagai bacaan yang berpotensi merusak akhlak generasi muda.
Akan tetapi, komik tetap diproduksi dan bahkan berkembang sesuai dengan
kecenderungan utama yang ada. Banyak hal sudah ditulis mengenai komik secara
umum, akan tetapi penelitian mengenai komik Indonesia dimulai pertama kali oleh
peneliti asing Michel Bonef, yang membuat suatu penjabaran konprehensif mengenai
58
Zaldy Armendaris, seorang komikus yang cukup misterius karena tak ada data yang cukup
untuk meneropong hidupnya, ia lahir tahun 1945 menurut Seno Gumira Ajidarma dalam
artikelnya di majalah Kalam. Tak pernah melakukan wawancara walaupun banyak fans terutama
wanita yang sangat ingin berkenalan dengannya. Ia tak pernah menikah, meninggal di tahun 2000.
Data mengenai kehidupan Zaldy juga didapatkan dari sumber resmi pemerintah kota Jakarta,
jakarta.go.id yang menyatakan Zaldy lahir pada 21 Januari 1942 dan meninggal di Jakarta pada
19 September 2000.
239
bidang ini, dan kemudian disusul oleh disertasi Seno Gumira Ajidarma tentang Panji
Tengkorak, yang memperkaya khasanah penelitian komik Indonesia.
Berbagai teori mengenai komik sudah diajukan, antara lain oleh Scott Mc.Cloud,
Will Eisner, Neil Cohn, akan tetapi teori-teori ini lebih banyak menekankan pada
struktur komik dan cara pembacaan sintaktis. Telaah terhadap substansi komik dan
hubungannya dengan kesejarahan atau pun politik kebudayaan pada masanya belum
banyak dan belum dilakukan secara memadai. Oleh karena itu, penelitian ini akan
menelaah komik karya Zaldy, seorang komikus keturunan etnis Tionghoa yang
merupakan salah satu komikus papan atas beserta Jan Mintaraga dan Sim dalam genre
komik roman59 Komik Zaldy dipilih karena, selain Zaldy disebut sebagai salah satu dari
lima komikus besar pada era 1960an sampai 1980an, di antara kolektor komik Zaldy
dianggap paling detil dalam menyajikan gambar dari panel ke panel baik dari segi
latarnya maupun tokoh-tokohnya. Selain itu, kekhasan lain ditemui setelah melalui
pembacaan yang ketat, yakni komik Zaldy ternyata memuat berbagai elemen urbanitas
di Jakarta pada 1970an. Elemen-elemen yang akan diteliti, ruang urban Jakarta dalam
proses roman atau percintaan yang terjalin dalam tiap komik. Kemudian akan diteliti
elemen visual yang merupakan kesejarahan dan dilakukan atas fesyen dan mode yang
terlihat jelas merupakan representasi dari urbanitas Jakarta. Selain itu, penelitian ini juga
akan menganalisis bagaimana komik menjadi ruang kesejarahan sebuah kota urban
dalam peralihan ideologi dari Orla ke Orba sambil merepresentasikan diri, Jakarta
sebagai kota metropolitan. Jelas bahwa komik menawarkan versi sejarah mikro baik
mengenai kota Jakarta maupun daerah-daerah di sekitarnya.
Penelitian mengenai komik tentu mengundang kontroversi karena selama ini
komik dimarjinalkan sebagai bacaan anak-anak atau pun bacaan yang tak bermutu.
Pandangan yang peyoratif ini sesungguhnya sudah tidak sesuai dengan kemajuan jaman
dan kemajuan dalam ilmu-ilmu humaniora yang membuka sekaligus mendobrak
batasan-batasan antara teks yang mainstream atau dianggap utama karena dianggap baik
dan patut dibaca, dan kebudayaan popular seperti komik, yang mengalami keterbatasan
karena seringkali dipojokkan. Di bidang akademis dapat ditelusuri telaah akademis
pertama melalui komik karya Art Spiegelman, yang berjudul Maus, diselesaikan pada
1991, yang sangat berbeda karena bukan ber-genre superhero melainkan lebih pada
biografi ayah pengarangnya. Ayah Art Spiegelman adalah saksi hidup yang berhasil
lolos dari kamp konsentrasi Nazi dan, melalui cerita-cerita ayahandanya, Art kemudian
membuat komik yang bergaya pascamodern yang pada 1986 pertama kali diterbitkan.
Maus mendapatkan sambutan yang luar biasa dari media massa dengan ratusan ulasan
yang positif, sehingga komik ini menjadi topik pembahasan serius dan bahkan dianggap
sebagai graphic novel atau roman grafis pertama, sekaligus menjadi komik pertama
yang mendapatkan hadiah Pulitzer. Oleh karena itu, Maus menjadi pemicu pertama
masuknya telaah komik ke dunia akademik, dan dengan demikian telaah atas komik pun
masuk ke mainstream.
Perkembangan ini telah membawa dampak yang luas untuk pembahasan ataupun
telaah komik. Pada 1990an, kita mencatat dua orang komikus atau pembuat komik yang
berusaha membuat teori komik. Pertama adalah Will Eisner yang memakai istilah
sequential art, seni sekuen, atau pun graphic novel, maupun visual narrative.
59
Menurut Seno Gumira Ajidarma ( selanjutnya SGA, Kalam, 2000), istilah ini dipilihnya
sebagai genre komik percintaan karena sudah beredar di kalangan masyarakat dan populer dengan
istilah ini, sementara itu Arswendo (oleh SGA disebut sebagai komikolog) memilih istilah Cinta
Jakarta, dan Marcel Bonnef memberikan nama komik remaja.
240
Terminologi ini telah menjadikan komik terangkat menjadi sebuah karya seni visual
maupun naratif yang patut dikaji dan ditelaah dengan saksama untuk menemukan dan
membongkar ideologi yang terkandung di dalamnya. Demikian pula apabila kita
perhatikan roman grafis atau naratif visual yang kemudian dibuat oleh kedua artis di
atas, yang mengambil tema-tema yang lebih jauh jangkauannya daripada sekadar kisah
kepahlawanan maupun romansa. Mereka mengeksplorasi sejarah, misalnya stereotipe
Yahudi dan sebagainya. Dengan demikian, penelitian akan komik dapat mencakupi
wilayah lebih luas dan tidak hanya terpaku pada struktur dan elemen komik ataupun
segi kebahasaan komik saja, melainkan juga menelaah apa yang “tidak terkatakan”
dalam komik atau ideologi-ideologi yang berkontestasi di dalamnya.
Sejak awal, sudah terdeteksi adanya perbincangan mengenai definisi komik itu
sendiri. Apakah komik itu harus selalu mengandung unsur humor, mengingat kata comic
dalam bahasa Inggris juga berarti humor. Scott McCloud sudah menepis anggapan
sempit ini dengan menawarkan definisinya yang mempunyai cakupan luas, yaitu komik
adalah seni sekuensial, dalam bukunya yang berbentuk sebuah buku komik berjudul,
Understanding Comic: The Invicible Art (1993). Dalam bukunya, McCloud membahas
struktur komik secara luas dan menghubungkannya dengan narasi yang terbangun oleh
seni visual. Selain itu, ia juga menghubungkan pembaca komik yang dapat
berpartisipasi di dalam proses pembacaan karena segi visual komik membuat pembaca
langsung dapat bereaksi. Buku McCloud mengambil beberapa dasar dari buku yang
juga sering dianggap sebagai buku acuan untuk teori komik, yaitu buku karya Will
Eisner berjudul Comic and Sequential Art (1985) yang merupakan hasil dari kegiatan
Eisner mengajar di New York dan lebih menekankan unsur yang jauh lebih mendasar
mengenai bagaimana komik itu terbentuk dan menjadi sebuah cerita.60
Adalah Eisner yang menggunakan contoh-contoh dari karyanya sendiri dalam
mengulas struktur komik. Akan tetapi, McCloud-lah yang memakai komik sebagai alat
untuk berteori, sehingga bukunya itu merupakan meta-komik pertama. Ia menggambar
dan menggunakan komik untuk menjelaskan teori komik, dan di dalam gambar-gambar
itu Mc Cloud tidak hanya berteori tetapi mendekonstruksi juga komik itu sendiri.
Dengan menggunakan judul Understanding Comic, McCloud juga menyindir McLuhan
dan bukunya Understanding Media, yang condong pada penilaian negatif terhadap
komik. Ia memaparkan sejarah komik sambil berusaha mengungkapkan struktur komik
dan definisi komik itu sendiri. Selain itu, ia juga berusaha melontarkan suatu gagasan
mengenai gramatika atau tatabahasa komik, yaitu dengan mengatakan bahwa, ketika
pembaca memperhatikan bagian-bagian komik, maka ia juga akan mengerti keseluruhan
cerita komik. Proses ini disebutnya sebagai closure. Penting diketahui bahwa ia juga
memberikan masukan, yaitu bahwa pembaca dapat berinteraksi dengan komik melalui
dialog yang terjadi antara panel-panel komik, serta menyambungkan visual panelpanel61 dengan narasi yang dibentuk oleh pembaca melalui pengalaman dan
pengetahuannya. Oleh seorang peneliti komik, Neil Cohn (2008), hal ini disebut sebagai
ruang publik karena pembaca dapat bereaksi langsung terhadap panel-panel visual
60
“For the past 53 years, modern comic book artists have been developing in their craft the
interplay of word and image. Eisner, 2000,hlm 8.
61
Panel-panel yang dimaksudkan masih dalam bentuk komik dari Barat dan biasanya terdiri dari
dua panel saja, berbeda dari komik ala Jepang, yaitu manga, yang terdiri dari beberapa panelpanel dan menggambarkan dari detik ke detik perubahan ataupun perkembangan cerita, sehingga
apabila komik Barat hanya terdiri atas dua panel, maka adegan yang sama bisa mencapai 6-8
panel dalam manga. Membaca manga seperti membaca dengan cara browsing saja.
241
tersebut. McCloud menerbitkan buku keduanya di bidang teori, yaitu Reinventing Comic
(2000), yang memasukkan unsur baru ke dalam seni pembuatan komik, yaitu
penggunaan komputer dan internet.
Di Indonesia, masih belum terlihat adanya buku-buku mengenai komik yang
membahas dengan saksama berbagai elemen yang terkandung di dalamnya. Uraian
mengenai komik Indonesia yang sampai saat ini merupakan uraian terlengkap dibuat
oleh Michel Boneff, meskipun berakhir hanya sampai awal 1970an. Buku yang
diterjemahkan ini berasal dari disertasi Boneff yang didasari oleh risetnya di Indonesia
selama lima tahun. Tidak heran bahwa ia lebih menekankan pada kesejarahan atau
perjalanan komik Indonesia, yang dijelajahinya mulai dari panel-panel di Candi
Borobudur dan wayang sampai pada komik berbagai genre pada awal 1970an. Salah
satu sumbangan Boneff adalah pembagian genre komik Indonesia menjadi komik silat,
wayang dan roman, yang tersebar dalam berbagai karya setelah kemerdekaan.
Sehubungan dengan komik roman, Bonneff menyimpulkan bahwa genre tersebut
berfungsi sebagai sarana integrasi individu ke dalam sistem sosial yang ada, melalui
suatu lembaga pernikahan dan keluarga yang dibangun bersama-sama. Hal ini tentu
hampir tidak sesuai dengan kenyataan bahwa di dalam narasi komik roman, integrasi ke
dalam sistem sosial tidak berjalan lancar karena dibayang-bayangi oleh dilema
masyarakat kota urban yang menjadi latar komik tersebut. Dilema itu misalnya hirarki
kelas, gaya hidup urban, perubahan pergaulan antar jenis kelamin, perubahan posisi
perempuan dan sebagainya. Sehubungan dengan itu, Seno Gumira Ajidarma (2000) di
dalam artikelnya di Jurnal Kalam memberikan perspektif yang lebih cocok untuk
penelitian ini. Ia secara khusus mengkaji wacana cinta yang dikonstruksi dalam
beberapa karya Zaldy yang dibahasnya. Kajian itu dibentuk atas dasar „dunia cinta
dalam komik-komiknya sangat mungkin mencerminkan sesuatu dari masyarakat
Indonesia pada awal Orde Baru, ketika segala-galanya berubah dengan tiba-tiba, dan
banyak orang tergagap-gagap melakukan orientasi baru“ (Ajidarma 2000, 102).
Seno Gumira Ajidarma mengadakan penelitian atas komik silat karya Hans
Jaladara, salah seorang komikus yang dianggap satu dari lima besar penulis komik dari
1960an sampai 1980an, yang sekarang masih berkarya dalam seni lukis kanvas. Dengan
fokus pada Panji Tengkorak, penelitian Seno menjadi disertasi dan sudah terbit dalam
bentuk buku pada 2011. Seno juga menerbitkan sebuah buku yang merupakan
kumpulan tulisannya di berbagai majalah Indonesia mengenai kartun Indonesia yang
berjudul “Tawa dan Bahaya. Kartun Dalam Politik Humor“. Seno memulai
pemaparannya dengan sebuah insiden yang terjadi akibat penerbitan kartun Nabi
Muhammad S.A.W di Denmark pada 2005, yang dipicu oleh protes dan diiringi
demonstrasi yang berakibat fatal. Kasus hampir serupa ternyata terjadi pula di tanah air
ketika kartun berjudul Nasib Si Suar Siar diterbitkan dalam harian Sinar Indonesia Baru
edisi Minggu 25 Oktober 2004, di Medan.62 Kartun yang humoris ini menjadi
bumerang baik pada pembuatnya, Selwyn Sitanggang, yang sempat ditahan selama satu
bulan maupun pada koran tersebut. Seno lantas menyebutkan bahwa dua peristiwa yang
mirip walau berbeda efeknya (yang di Denmark justru mendunia karena kemudian
media massa di luar Denmark justru memuat kartun tersebut sebagai solidaritas dan
pembelaan terhadap kebebasan beropini) membuktikan bahwa humor tidak selalu
bersifat netral atau pun tidak berbahaya. Apa yang dapat ditarik dari buku Seno
mengenai pembahasan humor dalam politik adalah bahwa seni visual dan narasi
bukanlah sesuatu yang sifatnya ringan dan tak serius, melainkan di dalam
62
Seno Gumira Ajidarma. (2012,5)
242
penampilannya yang terlihat sepintas tak serius dan lucu itulah letak pointe atau titik
balik kelucuan tersebut.
Ketelitian Zaldy dalam menggambar komik-komiknya menyebabkan ia terlihat
seakan-akan lebih lamban daripada kawan-kawan penulis komik lainnya. Akan tetapi,
ternyata bahwa kelambanan ini memberikan hikmah, terutama kepada penelitian
penulis. Detil-detil yang terlihat pada penggambaran fesyen dapat memberikan
informasi tentang kurun waktu kesejarahan komik tersebut andai ada yang berminat
untuk meneliti mengenai fesyen dikala itu. Sementara itu, latar baik di dalam rumah
maupun di luar rumah yang dibuat sedemikian detil pada latar komik untuk memberikan
penggambaran akan kota Jakarta (latar yang dipakai pada komik Zaldy secara umum,
walaupun ada juga kota-kota lainnya). Dengan demikian, tujuan penulis adalah
memaknai dan memberikan interpretasi kepada komik Zaldy, khususnya dalam kaitan
dengan ruang urban Jakarta yang terekam di dalamnya, serta bagaimana ruang urban ini
menjadi ajang kontestasi ideologi pada masa itu. Selain itu, komik merupakan salah satu
saksi sejarah seperti yang ditunjukkan oleh karya-karya Zaldy yang memang
mencerminkan situasi dan kondisi di masa itu. Detil-detil fesyen, baik mode baju
maupun model rambut serta berbagai macam atribut yang digambarkan dengan baik dan
hampir berkualitas fotografi merupakan sumber kesejarahan yang patut mendapatkan
perhatian dari para peneliti.
Dari Komik Remaja63 Ke Komik Kota Urban
Komik adalah bacaan yang dianggap sebagai bacaan remaja. Meskipun
demikian, istilah remaja pada masa 1970an tidaklah sama dengan konotasinya pada
masa kini. Remaja di kala itu merupakan istilah yang dipakai untuk menghindari
pemakaian kata pemuda, yang berkonotasi progresif dan revolusioner, serta merupakan
konotasi yang terpatri di benak masyarakat Indonesia dari sejak masa revolusi
kemerdekaan sampai era Sukarno. Namun, pada masa Suharto ideologi yang
ditanamkan adalah ideologi pembangunan, dan semua hal diarahkan ke pembangunan
fisik, yang dianggap sebagai wahana bagi bangsa Indonesia untuk memasuki modernitas
abad ke-20. Wacana yang diusung oleh Orde Baru ini adalah pembangunan fisik, dan
konstruksi hubungan antara pemimpin politik dengan rakyat bagaikan hubungan antara
bapak dan anak di dalam sebuah keluarga yang harmonis dan sejahtera, yang terjamin
sandang pangan dan papannya. Konsep hubungan antara bapak dan anak ini sering
disebut sebagai patrimonialisme64, konsep ini terutama ditempatkan sebagai oposisi
terhadap konsep kebijakan transparansi yang dianggap sebagai salah satu ciri
pemerintahan modern ala Barat dan diinginkan oleh masyarakat menengah yang pada
waktu itu sedang mengalami pertumbuhan pesat.
Pertumbuhan masyarakat menengah dalam kota-kota besar di Indonesia
khususnya di Jakarta terlihat mencolok dibarengi dengan pembangunan fisik besarbesaran yang ditonjolkan melalui berbagai kebijakan pemerintah Orba. Oleh karena itu,
tidak mengherankan kalau simbol-simbol yang berlaku di kota-kota besar di Indonesia,
63
Istilah ‘komik remaja’ dibuat oleh Bonnef, menurut SGA (Kalam, 2000), mungkin istilah
remaja itu bisa mengacu pada para tokoh di dalam komik ataupun pada pembacanya yang ratarata menurut Bonnef berasal dari dunia sekolah menengah.
64
Jones (2013) menjabarkan hal ini melalui tulisan Mark Berger (1997) yang mengacu pada
hubungan patron-klien yang terstruktur secara vertikal di Indonesia. Hubungan yang vertikal ini
menyebabkan tumbuhnya persaingan yang subur diantara klien untuk mendapatkan hadiah yang
diiming-iming oleh penguasa.
243
terutama di Jakarta sebagai ibu kota, adalah simbol kultural yang terkandung di dalam
barang-barang konsumsi yang baru dan berasal dari luar negeri. Tidak mengherankan
pula kalau segala sesuatu yang berasal dari luar negeri dianggap sebagai lebih baik
daripada produk dalam negeri, demikian pula dengan bersekolah di luar negeri.
Berlomba-lomba keluarga yang menjadi OKB atau Orang Kaya Baru mengirimkan
anak-anak mereka untuk melanjutkan kuliah di negara-negara yang dianggap jauh lebih
maju baik di bidang teknik maupun bidang lainnya, terutama negara Eropa seperti
Jerman, yang tidak menerapkan uang kuliah pada waktu itu. Hal-hal inilah yang dapat
ditemui di dalam komik-komik karya Zaldy yang akan dianalisis dan dibahas
selanjutnya. Gambaran ini bukan hanya merekam suasana dan wacana yang berlaku
pada masa itu, tetapi dapat juga diinterpretasikan secara ideologis melalui pembacaan
yang teliti baik dari segi visual maupun narasinya. Dengan demikian, penulis
memosisikan komik Zaldy sebagai oposisi terhadap label yang dilekatkan pada komik,
yaitu roman remaja. Komik Zaldy, yang oleh Arswendo Atmowiloto (2007) disebut
sebagai “Komik Cinta Jakarta”, ternyata menyimpan kompleksitas lebih daripada itu.
Selama ini komik percintaan atau romansa selalu ditelaah dari perpektif
percintaan dan romansa yang terjalin di dalamnya, baik dari sudut konstelasi penokohan
maupun alur cerita. Konstelasi percintaan juga merupakan topik yang kemudian diteliti
melalui perspektif kesejarahan pada masa itu seperti yang ditunjukkan oleh Seno
Gumira Ajidarma maupun Hikmat Darmawan, sedangkan Irsyad Ridho bahkan lebih
berani lagi mengemukakan unsur melankolia yang memang menjadi unsur utama dalam
komik romansa sebagai perspektif memandang kota urban Jakarta pada masa itu.
Penulis dalam hal ini, ingin mengangkat lebih jauh perpektif kesejarahan dalam komik
Zaldy khususnya, karena selama ini posisi komik selalu termarjinalkan sebagai bacaan
remaja, bacaan ringan dan sebagainya. Dengan demikian penulis akan menunjukkan
bahwa detil visualisasi Zaldy dapat membuka perspektis kesejarahan di dalamnya.
Eksplorasi terhadap tema kesejarahan komik atau bagaimana komik sebagai karya yang
memadukan narasi dan visualisasi merupakan sesuatu yang semakin diminati oleh para
peneliti komik.
Beberapa peneliti komik dari Jerman, a.l Jens Balzer, berusaha menelaah komik
melalui pemikiran Walter Benjamin mengenai seni di jaman teknologi reproduksi65.
Benjamin mengatakan bahwa seni di jaman ini, atau jaman dimana teknologi dapat
mereproduksi seni secara massal, maka seni tidak lagi merupakan sesuatu yang statis
dan memerlukan kontemplasi. Seni menjadi sesuatu yang harus dinikmati secara
simultan baik melalui penglihatan maupun pendengaran, memerhatikan dan membaca,
sehingga ia harus melepaskan dirinya dari obyek tersebut untuk dapat menggunakan
persepsinya dalam menangkap semuanya sebagai kesatuan. Komik adalah salah satu
karya seni yang memerlukan persepsi tersebut, karena keunikannya sebagai seni yang
naratif tetapi juga visual. Pembaca komik menggunakan persepsi visual sekaligus
menangkap narasi dalam imaji yang dilihatnya. Selanjutnya untuk menjelaskan
hubungan komik dengan kota, Balzer menggunakan karya Benjamin yang lebih dikenal
dan sering dikutip, Das Passagen-Werk (1972). Benjamin menjelaskan mengenai sikap
penduduk kota modern atau kota urban terhadap segala macam hal yang ada
disekelilingnya dan baginya adalah dua hal yang interdependen, subyek dan obyek
menyatu menjadi distracted perception. Kemudian sebagai seorang flaneur , ia
membiarkan pikirannya meragukan semuanya. Dengan demikian seorang flaneur
65
Benjamin, Walter. (1936). Das Kunstwerk im Zeitalter seiner tehnischen Reproduzierbarkeit.
244
menurut Benjamin adalah seorang yang berjalan-jalan dalam kesemestaan hal yang
terjadi disekitarnya di dalam kota urban.
„Comics differ from pre-modern pictorial narratives or Bildergeschichten in their
modernity, meaning their urbanity. Comics are in a league apart from the contemplative,
forzen gaze of landscape paintings in classical central perspective. They demand the
distracted gaze of the flaneur in the city. … Their distraction is the mirror image of the
endless restlessness confronting the gaze in modern cities. Comics are part of an
aesthetics that can consume the image of the “whole” only in its disharmony.”
Balzer dalam Meteling:2010
Menurut Balzer, komik berbeda dengan cerita bergambar (Bildergeschichten)
yang statis karena komik adalah karya seni modern terutama dilihat dari sudut urban.
Komik memerlukan distracted gaze dari seorang flaneur di kota. Karena distraction ini
adalah cerminan dari cara pandang terhadap kota yang tak pernah istirahat, komik
adalah bagian dari estetika yang dapat menangkap keseluruhan hanya didalam
ketidakharmonisan. Balzer menghubungkan seni komik dengan kota dan dalam hal ini
komik merupakan karya seni yang dapat menempatkan kota urban bukan saja sebagai
lanskap melainkan sebagai elemen kesejarahan yang mencakup segala hal yang telah
ada dalam situasi dan kondisi di dalam kota urban. Komik tidak saja dapat
menggambarkan melainkan juga menyoal berbagai macam konflik dan masalah di
dalam kota urban. Namun, komik sebagai karya seni yang memadukan dua elemen
yaitu narasi dan visualisasi memerlukan penganalisaan yang berada di dua ranah yaitu
sastra dan seni visual, oleh karena itu dalam hal ini penulis memasukan analisis
kesastraan mengenai alur cerita dan topik percintaan, sedangkan visualisasinya
dianalisis melalui kajian budaya. Bab berikutnya menjabarkan mengenai unsur romansa
dalam komik Zaldy yang sangat kental nuansanya dan merupakan „bumbu“ yang
mantap untuk membangun cerita dalam sebuah kota yang mulai berkembang menjadi
kota urban. Setelah itu akan dijabarkan mengenai unsur visual yang berkaitan dengan
kesejarahan baik dalam komik itu sendiri maupun pada pembacanya. Hal ini erat
hubungannya dengan dibangunnya konteks yang ada dalam cerita menjadi sesuatu yang
„dirasakan“ pembaca komik Zaldy sebagai latar yang hidup dan bermakna.
Karya Zaldy sejak paruh ke-2 tahun 1960an sampai awal tahun 1980an menyoal
tentang asmara dan romansa yang telah dibahas di atas, selain itu terlihat dengan kasat
mata melalui visualisasi atau gambar-gambar yang dibuat sendiri olehnya hubungan
cerita dengan kota Jakarta yang sangat erat bahkan boleh dikatakan hampir keseluruhan
ceritanya bermain di dalam kota Jakarta. Oleh karena itu, keberadaan kota Jakarta di
dalam karya-karya Zaldy dalam visualisasi kota menentukan jalan cerita atau narasi di
dalamnya. Keberadaan kota Jakarta tentu tak lepas dari suatu ruang yang terbentuk oleh
kesejarahan kota itu sendiri. Bagaimana komik menjadi ajang kesejarahan itu, hal ini
dipaparkan oleh Korte sebagai berikut:
“Comics können sich auf zwei verschiedene Weisen auf Geschichte beziehen. Erstens
werden Comics stets in einem bestimmten historischen Kontext geschrieben und
gezeichnet. Daher spiegeln sie, normalerweise eher implizit als explizit, die Meinungen
und Vorstellungen ihrer Schöpfer wider, die von den Umständen ihrer eigenen Zeit
geprägt werden. Zweitens entscheiden sich viele Autoren bewusst dafür, nicht ihre
Gegenwart, sondern andere Epochen darzustellen.“ (Korte, 2009)
Komik seperti yang dikutip di atas, dapat merujuk pada sejarah melalui dua cara,
yang pertama adalah komik selalu digambar dan dinarasikan di dalam sebuah konteks
sejarah tertentu, karena itu dikatakan bahwa komik mencerminkan baik secara implisit
maupun eksplisit pendapat pengarangnya yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
245
pada jamannya. Alternatif kedua justru pengarang dengan sengaja tidak mengambil
jamannya melainkan menaruh narasi di dalam konteks sejarah yang lain.
Karya Zaldy condong pada rujukan yang pertama dan terlihat jelas bahwa
pengarang menggambarkan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Bukan Cuma
Zaldy yang juga memakai situasi dan kondisi sejarah sebagai tema komiknya secara
eksplisit. Sebagai pengarang Seno Gumira Ajidarma juga membuat sebuah cerita
pendek yang kemudia menjadi komik melalui kerjasama dengan seorang komikus.
Cerita ini menyoal peristiwa 1998 terutama isu perkosaan terhadap wanita keturunan
Tionghoa, namun Seno tidak langsung membuat gambaran mengenai hal ini melainkan
memakai perpindahan waktu ke tahun 2039 untuk kemudian memakai kilas balik
bercerita mengenai tragedi ini. Dalam hal ini, narasi komik menjadi tempat sirkulasi
pengetahuan akan sejarah dan sekaligus kesejarahan individual. Kemudian hal ini akan
menjadi ajang apropriasi dan transmisi konten sejarah yang spesifik66.
Dengan
demikian, komik baik sengaja maupun tak sengaja sudah merupakan salah satu ajang
sejarah yang menjadikannya hampir sama dengan monumen, hanya kalau monumen
didirikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, komik di lain pihak, merupakan suatu
medan sejarah yang terbentuk ketika seorang komikus merekam kesejarahan yang ada
pada situati dan kondisi yang melingkupinya.
Pembahasan selanjutnya tentu mengemukakan posisi pembaca komik, apakah
pembacanya juga termasuk ke dalam mereka yang sadar akan posisi dan makna komik
sebagai medan sejarah atau hanya sebagai hiburan belaka seperti yang ditengarai selama
ini. Secara umum apabila karya Zaldy dibaca oleh generasi masa kini maka faktor
kedua akan lebih banyak bermain. Halbwachs memberikan penjelasan yang tepat
dengan kalimatnya, “a remembrance is in very large measure a reconstruction of the
part achieved with data borrowed from the present.” Halbwachs in Storey (2007).
Sebagai pengingat karya Zaldy merupakan rekonstruksi masa ketika komik dibuat serta
pembaca dengan berpatokan pada komik itu sendiri sebagai data di masa kini mengingat
masa tersebut.
Untuk mengingat kembali apa yang di masa lalu di masa kini maka industri
memori, sebuah istilah yang diperkenalkan oleh John Storey, adalah salah satu produk
industri budaya yang memasukkan budaya populer serta media massa sebagai produk
representasi dari masa lalu. Produk-produk ini akan membuat pembaca atau
penikmatnya kembali berpikir, dan mengenali masa lalu tersebut67. Seringkali orang
berspekulasi tentang apa yang termasuk ke dalam memori atau ingatan kolektif yang
diberikan oleh representasi masa lalu tersebut, maka “Modern memory is, above all,
archival. It relies entirely on the materiality of the trace, the immediacy of the
recording, the visibility of the image…The less memory is experienced from the inside
the more it exists only through its exterior scaffolding and outward signs … It adds to
life…a secondary memory, a prothesis-memory. Nora in Storey (2007). Melalui
66
„Narratives (internal side) meaning the circulation of specific contents of historical knowledge,
interests and the development of personal historical consciousness; infrastructures (external side)
which facilitate and structure the production, consumption, appropriation and transmission of
specific historical content.” (Korte,2009)
67
“ I think we can also add what I will call the ‘memory industries’ that part of culture industries
concerned with articulating the past... but we should also include the mass media and popular
culture more generally. The memory industries produce representation (“cultural memorials”)
with which we are invited to think, feel, and recognize the past.” (Storey, 2007)
246
stimulan dari luar ingatan terhadap masa lalu akan lebih dapat dipersepsi dan menjadi
memori kedua yang berfungsi menjadi ingatan kolektif.
Perempuan dan Kota Jakarta dalam Komik Zaldy
Hampir semua tokoh-tokoh penting dalam komiknya adalah perempuan, dapat
dikatakan bahwa tokoh perempuanlah yang menggerakkan cerita dan hanya beberapa
komiknya saja yang lebih memberikan peran penting pada tokoh pria. Perempuan juga
memegang peranan dalam konstelasi percintaan segitiga yang cukup rumit, cinta
segitiga yang melibatkan satu pria dan dua perempuan. Oleh karena itu, peran
perempuan perlu ditelisik dan dianalisa lebih mendalam terutama mengaitkannya
dengan konteks jaman dan keberadaan Zaldy sebagai salah komikus yang laris di
kalangan para pembaca perempuan.
Perempuan dalam komik-komik Zaldy bukanlah perempuan yang tak terdidik
ataupun tak bekerja, melainkan mereka adalah perempuan yang belajar di universitas
(Winda dalam Tiada Bintang di Langit, 1967), menjadi guru (Letty dalam Awan
Kelabu, 1971), menjadi sekretaris (Irma dalam Sonata di Malam Sunyi, 1978), menjadi
pragawati (Sinthia dalam Sinthia, 1969) menjadi pramuniaga (Fanny dalam Cinta
Pertama, tetapi juga menjadi hostess (Anita dalam Interlute, 1980). Perempuan di
dalam komik Zaldy bekerja demi kehidupannya dan keluarganya, meskipun lahir
sebagai anak orang kaya mereka tetap berusaha membiayai hidupnya sendiri
(Gelombang Hidup Remadja, Sinthia, Melati di Musim Semi, Bintang-Bintang di Langit
Suram). Peran perempuan di dalam komik Zaldy juga tak bisa lepas dari lingkup ruang
sosial yang memang ada di dalam kehidupan di jaman itu, sehingga gambaran
perempuan yang menjadi “ibu” diperlihatkan melalui fesyen. Sang ibu diberikan fesyen
tradisional seperti memakai kain dan kebaya, bersanggul ala Jawa dan tubuhnya sudah
tak lagi langsing.
Bagaimana menyikapi perubahan dalam peran dan juga kedudukan perempuan
setelah Orde Baru muncul? Di dalam bukunya „State Ibuism“ Julia Suryakusuma
memberikan suatu pemaparan mengenai hubungan antara perempuan dan negara dengan
menguraikan dua pemikiran yaitu housewifization dan Ibuism yang menggambarkan
bagaimana peran perempuan dikonstruksi di dalam masyarakat kapitalisme di satu pihak
dan masyarakat feodal di lain pihak. Perbedaan yang mencolok menurut Suryakusuma
disatu pihak hausewifization mereduksi perempuan hanya menjadi peran biologisnya
saja.68 Menurut Suryakusuma campuran dari kedua ideologi ini telah menjadi ideologi
negara pada masa Orba dan telah mendominasi segala penjuru kehidupan bahkan masuk
ke dalam ranah pribadi perempuan yaitu dengan menentukan peran dan posisi
perempuan di dalam masyarakat. Ibuisme yang dimaksudkan Suryakusuma adalah
bagaimana perempuan dikonstruksi menjadi pendamping suami yang efektif,
perempuan dikonstruksi menjadi pelengkap bagi suami walaupun terlihat seperti
mempunyai peran dalam berbagai kelompok maupun ormas partai yang sangat
menonjol tetapi peran perempuan tetap terbatas. Semua yang pernah mengalami dan
hidup di dalam era Orba tentu masih mengingat bagaimana Tien Suharto, Ibu Negara
waktu itu menjadi suri tauladan bagi perempuan lainnya, beliau selalu tersenyum manis
mendampingi Pak Harto kemanapun tanpa pernah memberikan komentar ataupun
68
“There are important differences between ibuism dan housewifization. What clearly
differentiates them is that the former lacks of exclusively domestic content and the homebound
character of “motherhood” that has prevailed in Western countries since the nineteenth century.
Juliakusuma:2011.
247
memberikan pernyataan yang mandiri. Penelitian Suryakusuma lebih lanjut dilakukan
di pedesaan dan menunjukkan bagaimana ideologi Orba mengkonstruksi perempuan
dengan memberikan label baru tetapi isi yang sama dengan ideologi lama yaitu
Patriarki.
Apakah gambaran seperti ini juga ditemui pada perempuan dalam komik Zaldy?
Keluarga merupakan topik yang utama dalam komik Zaldy, meskipun penggambaran
muda-mudi yang bebas dan hedonistis, tetapi gambaran-gambaran ini dipertentangkan
dengan adanya suatu keinginan membina keluarga. Akan tetapi bukan keluarga dalam
pengertian tradisional, karena dalam beberapa komik terlihat adanya unsur extended
family, keluarga bukan hanya yang batih saja melainkan juga termasuk di dalamnya
pengasuh, paman dan bibi, bahkan putra atau putri teman yang dibesarkan bersama.
Bahkan sering pula ditemui perempuan sebagai single mother, membesarkan anaknya
tanpa pernikahan, suatu hal yang tidak mungkin diijinkan dalam ideologi patriarki ala
Orba.
Komik mempunyai keistimewaan, yaitu memadukan narasi dengan seni visual.
Dalam hal ini, ketika membaca komik, maka tidak boleh dilupakan adanya aspek visual
itu, yang memungkinkan pembaca untuk juga melihat dan menikmati sebuah ruang.69
Oleh karena itu, di dalam komik karya Zaldy ditemukan ruang-ruang yang bukan saja
digambar dengan teliti, melainkan juga ruang yang tidak secara fisik hadir di dalam
karyanya kecuali lewat penyebutan tempat tertentu di kota Jakarta (gambar c) dan
merupakan bagian dari narasi. Tempat itu, misalnya, Pasar Baru, yang pada masa itu
merupakan tempat belanja cukup bergengsi, terutama karena terletak di pusat kota
Jakarta. Secara fisik, Pasar Baru hadir pada gambar e, dengan adanya toko bernama
“Modern”, yang sekarang sudah tak ada lagi, Dengan merujuk pada nama tersebut,
Zaldy menegaskan bagaimana ruang urban Jakarta dibentuk pada tahun-tahun itu
sebagai bagian kota modern. Restoran juga diberi label internasional (gambar d) agar
mendapatkan kesan kemodernan Jakarta sebagai kota urban.
Gambar a di bawah ini jelas-jelas menggambarkan situasi kota Jakarta, yaitu
Lapangan Banteng, dengan Tugu Pembebasan Irian Barat, dan di kejauhan terlihat
gereja Kathedral, sementara di latar muka adalah stasiun bis. Terlihat pula kendaraan
rakyat, yaitu becak. Memperhatikan gambar ini, kita mendapatkan gambaran kota urban
Jakarta pada masa itu. Tugu untuk memperingati dibebaskannya Irian Barat dari
kekuasaan Belanda, apabila ditarik ke masa sekarang, menjadi sebuah ironi karena kita
tahu bahwa banyak kekerasan atas nama negara dilakukan terhadap rakyat Papua. Akan
tetapi, bila disandingkan dengan Kathedral, maka terlihat bahwa Zaldy ingin
menyampaikan bagiamana orang pada masa itu memandang Jakarta sebagai ibukota
yang “…serba sibuk” (stasiun bis) dengan adanya kendaraan dan stasiun bis, dan
“…penuh dengan tjorak ragam sendiri” sebagai sisi multikulturalnya Jakarta. Bila
disandingkan dengan gambar b, maka ruang urban akan lebih terlihat karena ada
penyebutan “Djakarta Fair”, sebuah pasar malam yang dulunya bernama “Pasar
Gambir.” Kemudian, oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin, nama itu diubah menjadi
“Djakarta Fair”. Dengan nama ini, Ali Sadikin juga menandai Jakarta sebagai kota
internasional karena penggunaan istilah bahasa Inggris Fair , pasar malam, disebutnya
nama Djakarta tentu memberikan gambaran bagaimana Ali Sadikin membentuk Jakarta
69
Comics contains not only the language form of visual art but also spatial structure that can be
seen not only as background but also indicated a cultural variation in the depiction of space. Cross
- Cultural Space. 2005
248
pada masa itu menjadi kota yang membuka diri untuk masuknya segala macam
pengaruh dari Barat.
Selain itu, kebijakan untuk membuka pintu ini terlihat pula dari bergesernya gaya
hidup di kota Jakarta sebagai kota urban yang modern. Modernitas diberi makna sebagai
gaya hidup Barat yang bebas dan liberal di dalam segala hal, termasuk dalam hubungan
pribadi antartokoh dalam komik. Ruang urban yang liberal ini dapat pula ditelusuri pada
gambar f, g dan h, yang menggambarkan night club, yang memang keberadaannya dapat
dibuktikan pada masa itu. Night club “Blue Ocean” bersituasi di Jalan Hayam Wuruk,70
milik taipan Liem Soe Liong, Wisma Nusantara, sebuah gedung di jalan Thamrin, pada
lantai teratasnya memiliki restoran dan klab malam, namun sekarang hanya tinggal
restoran dan jazz71. Demikian pula dengan klab malam Miraca Sky Club, yang pada
masa itu sangat terkenal dan dibangun atas inisiatif Gubernur Ali Sadikin.72 Dengan
demikian, ruang urban Jakarta dimulai dari konstelasi cinta sampai ruang fisik yang
sifatnya telah dibentuk oleh struktur modernitas Barat dengan gaya hidup liberal.
Gambar a: Lapangan Banteng dan Gambar b : Djakarta Fair dalam “Kabut Pagi”
70
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/15/093410735/Om-Liem-dari-Ajojing-Hingga-Jogging
http://www.jakarta24.com/listing_bar-4.php
72
http://info-biografi.blogspot.com/2012/09/biografi-ali-sadikin.html
71
249
Gambar c: Pasar Baru dalam “Gerimis Dalam Kemarau”
Gambar d:Restauran International dalam “Puing-Puing Kenangan”
gambar e: Pasar Baru dalam “Esok nan Jauh”
250
Gambar f: Night Club Blue Ocean
“Di Ujung Pelangi, The End of Rainbow”
Gambar g: Night Club Wisma Nusantara
“Rembulan dan Mawar”
Gambar h: Night Club Miraca
“Puing-Puing Kenangan”
251
Penelitian menjadi semakin seru karena komik-komik Zaldy makin
memperlihatkan kepiawaian Zaldy baik di segi visualisasi dan cerita. Khususnya
pembahasan mengenai kota urban di tahun 60an memperlihatkan kegamangan yang
terjadi dalam kota karena terjadinya perpindahan yang sangat drastis dari pemerintahan
sosialisme ke kapitalisme pro Amerika. Sementara itu, dalam komik Tjinta Maria
(1967), terlihat adanya suatu keterbukaan akan permasalahan SARA73 yang pada saat
Orba berkuasa dilarang untuk disebutkan, yaitu perbedaan keyakinan. Di kota urban
Jakarta, diperlihatkan Zaldy masalah relijiusitas tidak lagi penting karena gaya hidup
yang berlaku sama sekali lain. Sementara itu, kehadiran kota dapat dilihat sebagai suatu
yang ditunggu dan diangankan, terlihat pada panel yang memperlihatkan sejoli
berlainan agama memandang Monas dan Bunderan HI dengan Hotel Indonesianya.
Di komik Zaldy, penulis menengarai adanya semacam kehilangan identitas yang
termanifestasi dalam nama-nama tokoh yang terdengar sangat Barat seperti Maria,
Frans, Carla, Rafael, Sheila dsb. , Seno Gumira Ajidarma pernah memaknainya sebagai
salah satu indikasi akan hilangnya identitas ke-Tionghoa-an masyarakat Jakarta di
tahun-tahun berkuasanya Orba. Sehubungan dengan itu, penulis juga memerhatikan
fesyen yang digambarkan oleh Zaldy secara detil, boleh dikatakan setiap baju terutama
tokoh wanita berlainan sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan komik Zaldy juga
memperlihatkan kesejarahan fesyen yang ditemukan di kota Jakarta pada masa-masa itu.
Lebih-lebih lagi kalau memerhatikan hair do (lihat gambar a,b, dan c) terlihat bahwa
Zaldy lebih banyak mendapatkan ide dari film-film Barat. Fesyen tersebut bukanlah
berasal dari negara-negara Eropa atau Amerika melainkan didapatkan dari film-film
Hongkong yang pada masa itu merupakan satu-satunya hal ketionghoaan yang dapat
dinikmati oleh warga keturunan Tionghoa.74 Hasil riset Aimee Dawis memperlihatkan
adanya hubungan antara memori kolektif masyarakat Tionghoa khususnya mereka yang
lahir setelah 1966, pada masa Orba dengan salah satu produk budaya massa yaitu film,
khususnya film-film Kungfu dari Hongkong.
73
seperti yang tercantum pada Undang-Undang No. 11 tahun 1966, kemudian Undang-Undang
No. 4 tahun 1967, dan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1982. Undang-Undang tersebut berisi
ketentuan penerbitan Pers harus diamankan dari setiap kemungkinan digunakan oleh siapapun
untuk hal-hal yang membahayakan keselamatan Negara, ketertiban umum, atau kepentingan
nasional, atau merugikan masyarakat, atau merusak pertumbuhan dan perkembangan Pers
Nasional yang bebas dan bertanggung bertanggung jawab, misalnya penyiaran ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme, atau tulisan yang merusak moral bangsa, merusak integritas
nasional atau menimbulkan pertentangan antar suku, antar agama, antar ras, antar golongan
(http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_21_1982.htm)
74
Aimee Dawis, 2009
252
Gambar a
gambar b
gambar c
Film-film ini merajai bioskop pada masa itu walaupun terdapat peraturan yang
ketat mengenai pelarangan segala macam bentuk ketionghoaan. Pelarangan ini antara
lain ditunjukkan melalui surat edaran ‘Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina’
yang diterbitkan pada tanggal 7 juni 1967. Dalam surat edaran ini dinyatakan bahwa
Tionghoa WNA yang beritikad baik akan mendapat jaminan keamanan dan
perlindungan atas kehidupan, kepemilikan, dan usahanya. Kemudian pada Desember
1967, Keputusan Presiden menindaklanjuti dengan pernyataan tidak akan membedakan
antara Tionghoa WNA dan Tionghoa WNI75, namun pemerintah tetap mengeluarkan
kebijakan asimilasi dengan pergantian nama, pelarangan penerbitan dengan bahasa dan
aksara Cina, pembatasan kegiatan keagamaan secara publik, tidak diizinkan merayakan
Hari Raya tradisional secara publik, dan pelarangan terhadap pembangunan sekolah
Tionghoa dan menyarankan anak-anak Tionghoa untuk masuk sekolah umum76. Di
satu pihak, pemerintah Orba dengan ketat membatasi ruang gerak dan ruang budaya
masyarakat keturunan Tionghoa, tetapi di lain pihak keran impor film-film dari
Hongkong terbuka lebar-lebar sehingga boleh dikatakan semua bioskop dikuasai oleh
75
Pada masa Orde Baru, ada 8 Undang-Undang yang melarang segala macam bentuk ke
Tionghoaan, yaitu:
1. Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok
Penyelesaian Masalah Cina75
2. Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina
3. Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina75
4. Instruksi Presiden No.15/1967 tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina
5.
Instruksi Mendagri No. 455.2-360 tentang Penataan Klenteng
6. Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tetang Badan Koordinasi Masalah Cina
7. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang Pelarangan Impor,
Penjualan, dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa dan Aksara Cina
8. Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan
Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina 75
76
Avalokitesvari, N. N. (2014, March 15). Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia Pada Masa
Orde Lama dan Orde Baru. Diakses melalui http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnistionghoa-di-indonesia-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru/ 22/10/2015 7:15
253
perusahaan impor film Hongkong tersebut seperti misalnya Suptan Film. PT Suptan
Film adalah perusahaan yang menguasai jalur distribusi film di bioskop pada tahun
1985. Perusahaan ini menggantikan PT Citra Jaya yang sebelumnya dikenal sebagai
produsen film-film nasional. Sebelumnya, produksi film nasional merosot disertai
kegagalan penayangan film pada tahun 1965. Hal ini yang menyebabkan pemerintah
berusaha membangkitkan industri film dengan membuka akses film impor melalui
keputusan SK nomor 71 tahun 1967 yang menyatakan bahwa untuk setiap film yang
diimpor, importir harus menyetor uang yang dikumpulkan sebagai biaya pembuatan
film nasional Selanjutnya kebijakan tentang aktivitas impor film mengalami perubahan
yaitu mewajibkan importir film memiliki peran ganda yaitu sebagai importir sekaligus
produser. Peran tersebut menjadi syarat untuk memasukkan film-film dari luar negeri.
PT Suptan menguasai pasar dengan memprioritaskan film-film mereka di bioskopbioskop nasional seiring dengan daya beli yang tinggi77.
Masyarakat Tionghoa
bernegosiasi lewat film-film Hongkong untuk pembentukan identitasnya sebagai bagian
dari Indonesia.
Memori kolektif juga dapat dibangkitkan melalui musik bahkan musik ditengarai
sebagai salah satu monumen pengingat jaman. Hal ini dapat dilihat pada 3 buah contoh
yaitu gambar a, panel ini dari komik Puing Kenangan dan di latarnya terdapat poster
dengan judul sebuah lagu „Let It Be Me“78, kemudian gambar b dan c berasal dari
komik Tragedi Musim Bunga, gambar b dengan latar paling sedikitnya dua lagu yaitu
“Only a Fool Breaks His Own Heart”79 , “Try To Remember”80, sedangkan gambar c
77
Disarikan dari https://id.wikipedia.org/wiki/Distribusi_film_Indonesia#cite_ref-_1-0, Ekky
Imanjaya, Eric Sasono, Hikmat Darmawan, Ifan Adriansyah Ismail (2011). Menjegal film
Indonesia: pemetaan ekonomi politik industri film Indonesia. Perkumpulan Rumah Film dan
Yayasan Tifa.
78
Pada tahun 1955 lagu ini mengudara di Prancis dan populer dengan Je t'appartiens.
Kepopuleran lagu ini di seluruh dunia diawali dengan terjemahan ke dalam bahasa Inggris dan
dinyanyikan oleh The Everly Brothers. Lagu ini mencapai kesuksesan dengan berbagai versi
mulai dari tahun 60-an hingga 2000-an., seperti pada tahun 1970, Bob Dylan meremake lagu ini
dengan versinya, bahkan penyanyi Indonesia berkewarganegaraan Prancis, Anggun C Sasami,
menyanyikan lagu ini dalam bahasa Prancis pada kompilasi CD BECAUD: Et Maintenant.pada
tahun
2011
diakses
melalui:
https://en.wikipedia.org/wiki/Let_It_Be_Me_(The_Everly_Brothers_song) 24/10/2015 1:06
79
mengisahkan tentang unrequited love yang diciptakan pada tahun 1964 di Brooklyn, New York
oleh Norman Bergen dan Shelly Coburn untuk duo British, Chad & Jeremy. Lagu ini terinspirasi
dari lagu “I want to hold your hand” The Beatles. Lagu ini menjadi salah satu hit terbesar dan
memecahkan rekor lagu easy listening paling banyak diputar dengan berbagai versi seperti yang
dinyanyikan oleh Mighty Sparrow, kemudian lagu ini diterjemahkan ke dalam bahasa Finlandia,
Belanda, Swedia, Jerman setelah muncul di majalah AS pada tahun 1977. Ada lebih dari 70 versi
lagu dan rekaman, bahkan pada tahun 2009 lagu ini menjadi soundtrack film Rooperi (Helsinki)
diakses melalui https://en.wikipedia.org/wiki/Only_a_Fool_Breaks_His_Own_Heart 24/10/2015
dan http://www.normanbergen.com/only_a_fool.html 24/10/2015 00:31
80
lagu tahun 60-an ini awalnya dinyanyikan oleh Jerry Orbach dalam original off -Broadway
produksi komedi musikal The Fantastics. Lirik lagu yang ditulis oleh Tom Jones ini terkenal
dengan sajaknya seperti ‘Remember’ dan September, dan pengulangan urutan –llow seperti pada
yellow dan mellow. Lagu ini masuk dalam 100 lagu pop terbaik sebanyak 3 kali pada tahun 1965
dengan berbagai versi seperti yang dinyanyikan oleh The Brothers four. Pada tahun 2015, lagu ini
memiliki versi rekaman dari
Josh Groban pada album Stages diakses melalui
https://en.wikipedia.org/wiki/Try_to_Remember 24/10/2015 00:50
254
tidak memperlihatkan lagu yang sedang hit, melainkan sebuah film yang meledak
menjadi box office paling sedikitnya di kota Jakarta yaitu Romeo and Juliet81 beserta
gambar kedua bintang film utama dan sutradara yang cukup terkenal di masa itu.
Gambar a
gambar b
gambar c
Memori kolektif yang dibangkitkan oleh terteranya judul lagu dan film (Zaldy memang
piawai menggambar dengan kemiripan yang luar biasa kedua artis utama film tersebut)
membuka selanjutnya memori terhadap masa-masa dibawah Orba dengan ideologinya.
Visualisasi atau imajeri menurut Eisner82 yang dibangun di dalam komik-komik
Zaldy dengan demikian, merupakan suatu khasanah memori kolektif akan suatu kota
urban yang bernama Jakarta. Memori kolektif ini meskipun terihat pada permukaannya
sangat mudah dan indah akan tetapi sesungguhnya memperlihatkan adanya kontradiksi
yaitu yang indah tersebut ternyata tak selamanya indah karena perubahan ideologi
negara di jaman Orba. Karya Zaldy di tahun 60an memperlihatkan kegamangan dalam
peralihan ideologi dari Orla ke Orba, selanjutnya karyanya menunjukkan kegamangan
lain yaitu gaya hidup hedonistis ala kapitalisme. Visualisasi menjadi kunci dalam
pemaknaan atas komik dalam hubungannya dengan kesejarahan dan kota urban
khususnya Jakarta.
81
Kisah tentang tragedi dalam percintaan ini telah diadaptasi dalam berbagai versi. Karya William
Shakespeare ini menjadi salah satu drama paling banyak diadaptasi sepanjang masa. Penampilan
teater paling terkenal yang memproduksi Romeo dan Juliet adalah George Cukor yang
mendapatkan multi-nominasi Oscar tahun 1936 , pada tahun 1968 Franco Zeffirelli dengan Film
Romeo dan Juliet, dan Baz Luhrmann pada tahun 1996 dengan MTV yang terinspirasi Romeo and
Juliet. Keabadian kisah percintaan ini terus berlangsung hingga tahun 2013 yang dibuktikan
dengan rilisnya film Romeo & Juliet meskipun dianggap kontroversial karena film ini berbeda
dari adaptasi film sebelumnya. Film tahun 2013 ini hanya menggunakan beberapa dialog yang
ditulis oleh Shakespeare. Para kritikus memberikan komentar negatif mengenai esensi film Rome
& Juliet 2013 diakses melalui https://en.wikipedia.org/wiki/Romeo_and_Juliet_on_screen dan
http://www.telegraph.co.uk/culture/theatre/william-shakespeare/10278154/Romeo-Romeo-whatsJulian-Fellowes-done-to-you.html
24/10/2015 1:26
82
“…It is here that the expressive the potential of comic artists is in the sharpest focus. After all
this is the art of graphic story-telling. The codification becomes, in the hands of the artists, the
alphabet with which to make an encompassing statement that weaves the entire tapestry of
emotional interaction.” Eisner, 2000, hlm 16.
255
Daftar Rujukan
Abdul Gafur (1992). Siti Hartinah Soeharto. Ibu Utama Indonesia. Jakarta: PT. Citra
Lamtoro Gung Persada.
Abeyasekere, S. 1987. Jakarta: A History. Singapore. Oxford University Press.
Ahrens, Jörn and Arno Meteling (Ed.)(2010). Comics and the City: Urban Space in
Print, Picture and Sequence.
New York: Continuum International
Publishing.
Ariel Heryanto (ed.)(2008). Popular Culture in Indonesia. Fluid Identities in Post
Authoritarian Politics. Oxon: Routledge.
Atmowiloto, Arswendo. 1979. “ Koran Medan, Serta Cinta Jakarta”, dalam Komik Itu
Baik (2), harian Kompas. Diunduh dari komikindonesia.com.
Boneff, Marcel (1998). Komik Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
(KPG)
Dawis, Aimme (2009) The Chinese of Indonesia and Their Search For Identity: The
Relationship Between Collective Memory and the Media. Cambria Press.
Duncan, Randy and Matthew J. Smith (2009). The Power of Comics. Hitsory, Form,
and Culture. New york: Continuum International Publishing.
Eisner, Will. (2008). Comics and Sequential Art: Principles and Practices from the
Legendary Cartoonist. W.W Norton & Co.
Harrington, C. Lee and Denise D. Bielby (ed) (2005), Popular Culture. Production and
Consumption. Malden: Blackwell Publishing
Herlambang, Wijaya. (2013). Kekerasan Budaya Pasca 1965. Bagaimana Orde Baru
Melegitimasi Anti – Komunisme Melalui Sastra dan Film. Marjin Kiri.
Irsyad Ridho (2015), Representasi Ruang Urban Jakarta dan Asmara sebagai
Melankoli: Studi Atas Komik Roman Karya Zaldy Armendaris Periode 19651980. Disertasi belum dicetak.
Jones, Tod, (2013). Kebudayaan Dan Kekuasaan Di Indonesia. Kebijakan Budaya
Selama Abad ke-20 Hingga Era Reformasi. Buku Obor.
Julia Suryakusuma (2011). Ibuisme Negara. Konstruksi Sosial Keprempuanan Orde
Baru. Jakarta: Komunitas Bambu.
Korte, Barbara and Sylvia, Paletschek (ed) (2009). History Goes Pop, Zur
Representation von Geschichte in populären Medien und Genres. Bielefeld:
Transcript Verlag.
Kurnia, Lilawati (2006). “Seni Kulinari, Kekuasaan, dan Multikulturalisme dalam
“Master Cooking Boy”/The Real Master Cooking Boy, Karya Etsushi
Ogawa.” Wacana
Vol. 8, No.2 Oktober 2006, hlm. 202-220
Kurnia, Lilawati (2009).“Urban Lifestyle and Public Space in Comic Series “Benny and
Mice”. Paper presented in “Interasia-Cultural Typhoon” Conference, Tokyo,
Jepang 3-5 July 2009.
Kusno, Abidin. (2000). Behind the Postcolonial: Architecture, Urban Space and
Political
Culture in Indonesia. London: Routledge.
___________(2009). Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif. Jakarta Pasca
Suharto.Yogyakarta: Penerbit Ombak
Lindner, Christoph (Ed.)(2006). Urban Space and Cityscapes. Perspectives from
modern and contemporary culture. London: Routledge.
256
Mayasari, Linda (2013). Transformasi Teks Drama “Der Gute Mensch Von Sezua An”
Karya Bertolt Brecht dalam teks drama “Tiga Dewa dan Kupu-Kupu” Karya
Nano Riantiarno. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Mc. Cloud, Scottt. (1994). Understanding Comic: The Invisible Art. William Morrow
Paperback.
Merillee,Scott. (1980), Jakarta – Potraits of A Capital 1950-1980. Equinox.
Meteling, Arno dan Jörn Ahrens. (2010). Comics and the City: Urban Space in Print,
Picture and Sequence. Bloomsbury Academics.
Mirzoeff, Nicholas. (2001). The Visual Culture Reader. Second Editon. London:
Routledge.
Seno Gumira Ajidarma. (2001). Jakarta 2039. 40 Tahun Setelah 13-14 Mei 1998.
Yogyakarta: Galang Press.
--------------- (2011). Panji Tengkorak. Kebudayaan dalam Perbincangan. Jakarta:
Gramedia Pustaka
--------------- (2000). “Dunia Komik Zaldy”. Jurnal Kalam No. 16, hlm. 98-119
Storey, John. (2007). Inventing Popular Culture. Blackwell Publishing.
Wright, Bradford W.( 2001). Comic Book Nation. Baltimore: The John Hopkins
University Press.
Sumber Daring:
Neil Cohn: http://visuallanguagelab.com/papers.html
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/14162
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message
http://iccsg.wordpress.com/2006/12/25/pendekar-pendekar-komik-tionghua/
Miraca Sky club: http://info-biografi.blogspot.com/2012/09/biografi-ali-sadikin.html
Blue Ocean: http://www.tempo.co/read/news/2012/06/15/093410735/Om-Liem-dariAjojing-Hingga-Jogging
Wisma Nusantara : http://www.jakarta24.com/listing_bar-4.php
Carol Schmidt, The 'New Woman' Gender Roles and Urban Modernism in Interwar
Berlin
and
Shanghai
http://vc.bridgew.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1731&context=jiws
Darmawan, Hikmat (2009).“ Kota yang naif: sketsa Jakarta 1960-1970-an dalam komik
roman“ FOKUS 5 Februari 2009 (http://karbonjournal.org/focus/kota-yangnaif-sketsa-jakarta-1960-1970-dalam-komik-roman?page=5)
Art Spiegelman: http://www2.iath.virginia.edu/holocaust/spiegelman.html
Zaldy diakses melalui http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3597/Zaldy
pada 11/10/2015 18:28
Undang-Undang No 21 tahun 1982 dapat diakses melalui situs sebagai berikut:
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_21_1982.htm pada 17/10/2015 8:15
257
“MENOLAK MENJADI NJAI:
KISAH PARA NJAI MELAWAN DOMINASI KOLONIAL
DALAM KUMPULAN CERITA TEMPO DOELOE
Maimunah
(FIB Universitas Airlangga Surabaya – Indonesia)
Abstrak: Perlawanan terhadap praktik pernyaian merupakan bentuk perlawanan
terhadap kolonialisme dalam bentuk yang lain. Istilah nyai merujuk pada ‘perempuan
pribumi yang dipelihara oleh para pendatang dari Eropa’. Keberadaan para nyai
mendapat reaksi yang berbeda baik di kalangan pribumi maupun orang Eropa sendiri.
Elsbeth Locher Scholten (1988: 66) mencatat pasang surut itu bahwa jika pada masa
pemerintahan VOC tidak terdapat reaksi yang jelas dari masyarakat, mulai abad ke-19
perubahan terjadi. Mayoritas masyarakat pribumi mencurigai dan tidak menghargai
sehingga para nyai sering merasa terkucil. Di kalangan perempuan Eropa, para nyai
menjadi ancaman bagi mereka. Mereka memandang bahwa para nyai memiliki kadar
kesusilaan yang rendah karena selalu berusaha memperbudak laki-laki Eropa dengan
bantuan ilmu-ilmu sihir sehingga merusak jasmani dan mental para pria. Makalah ini
akan membahas perlawanan terhadap dominasi kolonial yang dilakukan oleh Njai Paina
dalam Tjerita Nji Paina (terbit tahun 1900) karya Herman Kommer, Nji Saipa dalam
Tjerita si Tjonat F.D.J Pangemanann (terbit tahun 1900). Melalui teks ini, pembaca
dapat mengetahui proses seorang perempuan pribumi menjadi njai dan perlawanan
untuk dijadikan sebagai the other sehingga mereka menjadi subyek yang mampu
‘berbicara’ (the speaking subject) yang meruntuhkan kekuasaan kolonial.
Kata kunci: Nyai, Menolak, Kolonialisme
Latar Belakang
Praktik pernyaian pada masa VOC mendapatkan legitimasi sosiologis dari
budaya feodal karena perempuan pribumi yang dahulu dipergundik kaum bangsawan
kemudian menjadi gundik pejabat kolonial (Christanty, 1994: 25). Namun sebenarnya,
praktik pergundikan juga mempunyai tujuan politis untuk melenyapkan golongan
‘inlander’ itu sendiri karena anak-anak hasil hubungan pergundikan itu lebih sering
ditetapkan sebagai orang Eropa. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen secara tegas
menyatakan bahwa perempuan merupakan prasyarat dalam berdagang: ...”Jika
perempuan tersedia, pasar-pasar perdagangan Hindia Belanda akan menjadi milik
Anda” (Blussé, 2004: 305).
Keberadaan nyai dalam masyarakat kolonial memiliki peran maknawi sebagai
cultural mediator antara kebudayaan Barat dan Timur. Terdapat akulturasi budaya yang
nampak dari gaya hidup dan tata cara berbusana di kalangan para nyai. Melalui praktik
pernyaian ini, para perempuan pribumi dapat memperoleh pengetahuan mengenai
bahasa, adat istiadat, serta nilai-nilai Eropa. Dalam kehidupan keseharian, para nyai
membedakan dirinya dengan perempuan pribumi kebanyakan dari pakaian yang mereka
kenakan. Jika perempuan pribumi mengenakan kebaya berwarna atau indigo, para nyai
mengenakan kebaya putih berenda seperti yang biasa dikenakan oleh para perempuan
Eropa atau Indo. (Taylor, 1984: 148). Sementara itu, para pria Eropa juga tidak lepas
258
dari pengaruh kebudayaan campuran atau Indis ini. Mereka mengenakan sarung dan
baju piyama yang bermotif batik walaupun di kantor pakaian Eropa tetap menjadi
pakaian resmi. Budaya mengenakan sarung dan kebaya juga dilakukan oleh wanita
Eropa dan Indo sampai menjelang kedatangan Jepang (Soekiman, 200: 29).
Praktik pernyaian mengalami pasang surut dan mendapatkan reaksi yang berbeda
baik dari kalangan penduduk pribumi maupun kalangan Eropa sendiri. Menjelang awal
abad ke-20 ketika nasionalisme mulai tumbuh, menjadi nyai sinonim dengan menjadi
‘kekasih kolonial’. Ia tidak lagi dianggap menjadi bagian dari penduduk pribumi. Bagi
kalangan Eropa yang masih berpandangan diskriminatif, keberadaan anak-anak Indo
hasil hubungan campuran itu dikhawatirkan akan mengancam kemurnian golongan
Eropa. Akibat reaksi negatif masyarakat, baik pribumi maupun Eropa, kehidupan para
nyai menjadi terkucil dan terbatas (Scholten, 1997: 66).
Perlawanan rakyat Indonesia terhadap kolonialisme berupa praktik pernyaian dan
penerapan politik identitas terekam dalam catatan sejarah hingga karya fiksi. Dalam
karya fiksi, tema perlawanan merupakan topik yang dibicarakan dalam sastra Melayu
Rendah baik oleh penulis pribumi, Cina maupun Indo-Belanda. Para pengarang yang
juga berprofesi sebagai jurnalis seringkali menggunakan arsip dan dokumen di
pengadilan sehingga “realitas” itu tersaji dengan deskripsi yang rinci (Sumardjo, 2004 :
150).
Kritik Sastra Pasca-Kolonial
Teori yang dipakai dalam makalah ini adalah kritik sastra pasca-kolonial. Gilbert
dan Tompkins (dalam Allen, 2004: 207) menyatakan bahwa kritik sastra pasca-kolonial
mengacu pada praktik-praktik yang menggugat “hirarki sosial, struktur kekuasaan dan
wacana kolonialisme”. Sebagai suatu strategi pembacaan, kritik sastra pasca-kolonial
berusaha memperlihatkan ‘pasca-kolonialitas’ yang menetap dalam teks dengan mencari
dampak kolonialisme yang terdapat dalam satu teks tertentu. Penggunaan tanda
hubung (-) menurut Bill Aschroft, Griffiths, dan Tiffin (1995: 3) karena pasca-kolonial
adalah sebuah sistem yang aktif, hidup serta berkelanjutan dan terjalin dalam interaksi
sosial melalui berbagai institusi dalam masyarakat itu sendiri. “We use the term ‘postcolonial’ to represent the continuing process of imperial supressions and exchanges
throughout this deverse range of societes, in their institutions and their discursive
practices”. Sedangkan istilah pascakolonial (tanpa tanda hubung) lebih menunjukkan
pada periodisasi sesudah kolonialisme berakhir.
Secara sederhana, kritik sastra pasca-kolonial adalah pendekatan pasca-struktural
yang diterapkan pada topik khusus. Bagi kritikus pasca-kolonial, usaha
mendekonstruksi, menelanjangi ideologi dan asumsi yang terselubung di balik sebuah
wacana dominan masih dirasakan perlu. Beberapa topik yang dikembangkan oleh kajian
pasca-kolonial adalah masalah ras, etnisitas, dan identitas budaya. Pembicaraan
mengenai topik-topik ini didasari oleh asumsi yang telah digariskan sejak Derrida, yakni
bahwa segala bentuk identitas merupakan bangunan atau anggitan sosial, bukan
merupakan suatu esensi yang telah ditentukan secara deterministik, secara biologis
(Budianta, 2002: 51).
Pengertian identitas budaya yang dipakai dalam pembahasan ini adalah bahwa
identitas budaya bukanlah sebuah identitas yang esensial, yang stabil, melainkan hanya
sebuah positioning (Hall, 1997: 51-54). Sebagai sebuah pengambilan posisi yang
bersifat subyektif, identitas bersifat relasional dan tidak tetap. Identitas bergantung pada
kebalikannya serta dapat berubah sepanjang waktu. Identitas dipahami secara berbeda di
259
tempat yang berbeda pula. Artinya, kekuasaan bermain dalam menentukan identitas
seseorang.
Pembahasan
Kehidupan Nyai pada Masa Kolonial
Perusahaan perkebunan swasta yang berkembang pesat mendatangkan banyak
tenaga kerja terutama laki-laki baik yang sebagian besar bujangan maupun yang telah
berkeluarga. Perjalanan jauh dan kurangnya fasilitas pendidikan dan kesehatan di
Hindia Belanda memaksa para laki-laki Eropa datang tanpa ditemani keluarga.
Rendahnya jumlah perempuan Eropa pada masa itu menjadi alasan munculnya
pergundikan yang telah dikenal sejak masa VOC. Bahkan sebelum kedatangan Belanda,
pedagang Asia dan Portugis telah terbiasa memelihara nyai yaitu perempuan yang
dipelihara pejabat kolonial Belanda maupun pejabat swasta-swasta yang kaya
(Christanty, 1994: 29).
Keberadaan para nyai mendapat reaksi yang berbeda baik di kalangan pribumi
maupun orang Eropa sendiri. Elsbeth Locher Scholten (1988: 66) mencatat pasang surut
itu bahwa jika pada masa pemerintahan VOC tidak terdapat reaksi yang jelas dari
masyarakat, mulai abad ke-19 perubahan terjadi. Mayoritas masyarakat pribumi
mencurigai dan tidak menghargai sehingga para nyai sering merasa terkucil. Di
kalangan perempuan Eropa, para nyai menjadi ancaman bagi mereka. Mereka
memandang bahwa para nyai memiliki kadar kesusilaan yang rendah karena selalu
berusaha memperbudak laki-laki Eropa dengan bantuan ilmu-ilmu sihir sehingga
merusak jasmani dan mental para pria.
Untuk mengantisipasi segala kemungkinan terburuk dari hubungan pergundikan
tersebut maka sebagian dari para nyai sejak awal telah mempersiapkan diri melalui
berbagai cara demi kesejahteraan dan keselamatan hidupnya di kemudian hari. Mereka
melibatkan diri baik secara langsung maupun tidak langsung dalam dunia perdagangan
serta bertindak sebagai perantara dalam urusan real estate atau juga memberi pinjaman
uang bagi orang-orang Cina setempat. Namun, tidak sedikit jumlah para nyai yang
hidupnya terperosok dalam dunia prostitusi karena tidak mampu bertahan hidup setelah
diusir oleh tuannya (Blussé, 2005 : 275).
Pergundikan mengalami fase penurunan terutama dengan dibukanya terusan
Suez pada tahun 1869 yang semakin mempersingkat jarak serta waktu pelayaran.
Situasi ini memperlancar dan menambah jumlah kedatangan perempuan Eropa di kotakota besar seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang. Peningkatan jumlah perempuan
Eropa memperkecil jumlah perkawinan dengan perempuan pribumi. Sistem pernyaian
model kolonial mulai menghilang terutama sejak dikeluarkannya larangan memelihara
gundik terutama di kalangan pegawai pemerintah maupun swasta pada tahun 1914 .
Para nyai yang dimiliki oleh para pegawai tersebut harus dinikahi secara sah. Di tingkat
bawah, para bujangan Belanda atau Eropa juga diancam akan dihukum apabila
memelihara nyai, namun larangan itu baru efektif berlaku sejak tahun 1928.
Menolak Menjadi Nyai
Tjerita Nji Paina adalah karya dari Herman Kommer yang terbit pertama kali
pada tahun 1900. Dari beberapa karya yang dihasilkan hanya dua di antaranya yang
dapat terlacak yaitu Tjerita Nji Paina yang terbit di Betawi pada tahun 1900 dan Njonja
Kong Hong Nio yang terbit di Betawi pada tahun 1900.. Tjerita Nji Paina menjadi
cerita lisan populer tanpa pernah menyebut Kommer sebagai pengarangnya. Sekalipun
tidak mencapai kepopuleran seperti Njai Dasima karya G Francis, Tjerita Nji Paina
260
merupakan pemuncak penulisan cerita pada masanya walaupun tidak pernah
dimasukkan dalam repertoar panggung. Hal ini disebabkan cerita ini telah melancarkan
kecaman tajam terhadap “kaum gula” yang waktu itu menjadi komoditas primadona di
Hindia Belanda dalam mendapatkan devisa (Toer, 2003: 38-39).
Tjerita si Tjonat (selanjutnya disingkat TST dalam kutipan teks) adalah cerita
rekaan yang memiliki latar waktu dan latar sosial kehidupan masyarakat Banten dan
Betawi tahun 1830-1855 yang terstruktur secara rasial. Tjerita si Tjonat mengisahkan
perlawanan terhadap politik identitas dalam bentuk kekerasan dan huru-hara yang
dilakukan seorang kepala pengacau keamanan bernama Tjonat. Pada mulanya, Tjonat
melakukan kekerasan di tingkat lokal di desa Penjirepan-Banten dengan membunuh dan
mencuri kerbau milik sahabatnya si Bohong dan si Gondit. Tjonat kemudian pindah ke
Betawi dan menjadi jongos dari Opmeijer. Ia mulai mengusik wibawa kolonial ketika
merampok harta juragannya serta membawa kabur sang gundik bernama Saipa.
Kekerasan antargolongan dan agama menjadi motif kekerasan Tjonat berikutnya dengan
membunuh orang-orang Cina yaitu bapa Rante dan Tio Ka Beng. Kekerasan kali ini
tergolong rawan karena Tjonat berniat menikahi Lie Gouw Nio yang sudah bertunangan
dengan Tio Sing Sang. Dalam setiap aksi kekerasannya, Tjonat digambarkan begitu
taktis dan cerdik memainkan manuver melawan politik identitas yang berlaku pada
waktu itu. Ia selalu mengenakan ‘baju santri’, dipayungi, membawa senjata, tempat
sirih, dan obor. Tio Sing Sang kemudian mengenakan baju yang sama untuk menyamar
tetapi berbekal surat izin dari Asisten Residen Rangkas Betoeng. Duel heroik laki-laki
yang berbeda latar belakang identitas itu berakhir ketika Tjonat ditangkap dalam
kepungan orang-orang kampung dan aparat keamanan Belanda. Tio Sing Sang
mendapat hadiah pangkat Letnan sementara Tjonat dihukum gantung.
Kekerasan antar gender menjadi motif berikutnya dengan melakukan
petualangan pribadinya dengan perempuan yang berada pada titik rawan yaitu nyai
Saipa dan Lie Gouw Nio. Kedua perempuan ini menjadi incaran Tjonat disamping
kecantikannya juga posisi mereka yang merepresentasikan kekuasaan dominan. Saipa
merupakan nyai dari Opmeijer, sang majikan sedangkan Lie Gouw Nio adalah
perempuan yang berbeda golongan, kelas dan agama. Tjonat nampaknya tidak tertarik
pada perempuan biasa yang berada pada posisi yang “aman”. Ambisi Tjonat untuk
mendapatkan Lie Gouw Nio bukan lagi bermotifkan alasan ekonomi atau asmara semata
tetapi lebih pada keinginan untuk melanggar dan mengacaukan batasan antargolongan
yang menjadi dasar dari penerapan politik identitas. Pernyataan Tjonat kepada Basman
secara tepat dapat mewakili ambisinya.
Basman, sekarang akoe soedah niat tiada maoe merampok lagi, aken tetapi satoe hal
jang soedah lama belon djoega bisa kedjadian. Kau taoe Basman, akoe ingin sekali
mendapet nona Lie Gouw Nio. Kau denger! Akoe ingin dapet, mati atawa hidoep, ia mesti
djatoeh ketangankoe (TsT, 247).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Tjonat terlihat mempermainkan sistem dan
aturan kolonial yang melarang terjadinya integrasi antar golongan. Hal yang sama
dilakukan Tjonat kepada Saipa yang merupakan gundik Opmeijer. Status sosial dan
ekonomi sebagai nyai bagi masyarakat Banten yang menjadi latar dalam latar cerita ini
lebih tinggi daripada perempuan kampung yang lain. Namun, hubungan tanpa ikatan
perkawinan yang resmi seringkali membuat perempuan pribumi merasa tidak ‘nyaman’
dengan status sebagai nyai. Tjonat memanfaatkan dilema psikologis dan sosiologis
Saipa dengan menjanjikan kehidupan yang normal sebagai suami-istri sebagaiamana
penduduk pribumi yang lain.
261
Apabila kita sampe di kampoengmoe akoe aken beli beberapa ekor kerbo dan
bebrapa petak sawah. Sasoedah itoe akoe lanatas kawin padamoe…(TsT, 211).
Janji Tjonat berhasil dan Saipa secara aktif ikut terlibat dalam proses pelarian
dan perampokan harta Opmeijer. Bagi Saipa, menjadi istri Tjonat berarti melepaskan
statusnya sebagai gundik dan sejajar dengan perempuan pribumi yang lain. Dengan
demikian, kekerasan yang dilakukan Tjonat berhasil karena kecerdikannya
menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk melawan kekuasaan yang
mengungkungnya.
Sementara itu, praktik penyaian dalam Tjerita Nji Paina bermula ketika Briot
terpesona pada kecantikan Paina. Masyarakat Poerwo yang menjadi latar dari kisah ini
digambarkan sebagai masyarakat yang terbuka. Hal ini terlihat dari pertemuan pertama
Briot dan Paina di sebuah jalan sawah. Longgarnya batasan ruang antargender
dimanfaatkan Briot untuk mencari perempuan di sekitar areal pabrik. Pertemuan
pertamanya dengan Paina telah menimbulkan birahi. Briot memanfaatkan posisinya
dengan memeras Niti ketika uang kas pabrik hilang f 25. Briot mengancam Niti dengan
hukuman Krakal (hukuman kerja paksa membuat atau memperbaiki jalanan) atau
menukarnya dengan Paina.
Kalo kaoe soeka Nji Paina djadji njai koe, nistjaja tiada nanti terdjadi soeatoe apa atas
dirimoe dan semoea oeang itoe kau tiada oesah bajar kombali (TNP, 388).
Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana praktik pernyaian muncul karena
beberapa faktor. Praktik pernyaian tidak hanya terjadi karena tuntutan ekonomi
sebagaimana yang sering terjadi tetapi juga karena proses pemaksaan oleh penguasa
terhadap penduduk jajahannya dengan dalih menyelamatkan jabatan dan status sebagai
“priyayi”. Seorang nyai tidak selalu berasal dari babu tetapi juga berasal dari kalangan
menengah atau priyayi seperti Paina.
Teks di atas juga menunjukkan bahwa Briot tidak hanya melakukan intimidasi
terhadap Niti tetapi juga kepada anggota keluarganya yang lain. Perbuatan ini
merupakan korupsi jabatan dengan memanfaatkan sisi seksualitas perempuan di negara
koloni. Terlihat bagaimana seksualitas tidak dapat dilepaskan dari kekuasaan. Tubuh
Paina diperlakukan sebagai komoditas, sebagai komoditas yang harus ditukar dengan
jabatan ayahnya. Kolonialisme sebagaimana dikemukakan Ania Loomba (2003: 197)
memperlakukan tubuh-tubuh perempuan pribumi sinonim dengan tanah yang harus
ditaklukkan. Penaklukkan tidak hanya sebatas sumber daya alamnya tetapi juga tubuhtubuh perempuan di dalamnya. Tubuh-tubuh perempuan menjadi komoditas yang
dipertukarkan.
Maskulinitas dan kolonialisasi berpadu di sini yang terefleksikan dari keinginan
laki-laki kolonial menaklukkan tubuh perempuan pribumi. Karakter maskulinitas
kolonialisasi menurut Elsbeth Locher-Scholten (1992: 265) juga terlihat dari bahasa.
Kata Colony- dengan suffix feminin berakhiran y- merefleksikan bahwa negara koloni
ibarat seorang perempuan yang harus ditaklukkan seksualitasnya. Maka, seringkali
posisi perempuan dalam masyarakat terjajah berada pada ketertindasan ganda. Sebagai
seorang perempuan di hadapan laki-laki dan sebagai seorang pribumi di hadapan
penjajahnya.
Perlawanan Terhadap Praktik Pernyaian
Tubuh Perempuan dan Alam Tropis
Berbeda dengan kebanyakan cerita tentang nyai yang lemah dan tidak berdaya,
tokoh Paina dalam Tjerita Nji Paina adalah sosok perempuan tangguh. Sikap Paina pada
pertemuan pertama dengan Briot di tepi jalan menunjukkan bahwa ia adalah perempuan
262
yang dapat ‘menjaga jarak’ pada seorang kulit putih yang juga atasan ayahnya.
Keteguhan Paina sebagai perempuan bermartabat
terlihat ketika sang ayah
menyampaikan keinginan Briot padanya.
Apa? djadi njainja tjeleng itoe?” Tiada sekali-kali. Bebrapa orang melamar padakoe,
tetapi koe soedah tampik dan sekarang koe hendak didjadiken boedaknja si tjeleng alas
itoe (TNP, 389).
Jika Niti digambarkan tidak berdaya di hadapan Briot, Paina berani menyebut
Briot sebagai “celeng alas”. Celeng adalah babi hutan yang liar. (KBBI, 203). Suatu
sikap radikal dari seorang perempuan desa seperti Paina. Walaupun akhirnya menerima
tawaran Briot, Paina telah mempersiapkan strategi perlawanan yang taktis. Ia
mendatangi dan menciumi anak-anak yang terserang wabah cacar. Tubuh Paina tertular
wabah mematikan itu dan empat hari kemudian Briot tewas tertular wabah yang sama.
Bagian ini memperlihatkan bagaimana Briot dan Paina memiliki apresiasi yang
berbeda tentang tubuh. Tubuh, dengan cara yang berbeda dimaknai berdasarkan
kepentingan dan strategi tertentu. Tubuh menjadi arena pertarungan kuasa, menjadi
medium di mana kekuasaan saling menegosiasi. Bagi Briot, tubuh dan kecantikan
Paina menjadi politics of blame (politik kambing hitam) yang membangkitkan gairah
dan birahi seksual laki-laki. Kecantikan dan tubuh Paina menjadi alasan untuk
menguasai dan memasukkannya dalam konstruksi kolonial sebagai nyai. Sementara itu,
bagi Paina tubuh dan kecantikannya justru menjadi alat untuk melawan kekuasaan
Briot.
Alam Jawa Timur yang tropis dan sanitasi kesehatan negara jajahan yang buruk
menjadi musuh mematikan yang tidak pernah dibayangkan oleh Briot. Sebagai negara
yang sedang terjajah, endemi cacar belum mendapatkan obatnya. Kommer melukiskan
bagaimana alam tropis yang ‘liar’ tidak dapat diprediksi dan tidak memandang kelas
sosial dan status seseorang.
Bahoea angin iang membawa penjakit, terlebih keras datengnja dari pada jang soedahsoedah. Angin itoe datengnja dari pegoenoengan, seperti membawa satoe hawa ratjoen
jang amat panasnja dan maoe boenoeh sekalian manoesia, iang soedah sakit parah.
Beberapa banjak orang di desa di langgar penjakit, iang amat berbahaja itoe (TNP, 390).
Jika tubuh Paina mampu bertahan dengan wabah cacar itu, tubuh Briot hanya
mampu bertahan hingga empat hari. Teks Tjerita Nji Paina secara simbolis
merefleksikan bahwa keberadaan Briot di sebuah negara tropis adalah ‘salah tempat”.
Alam tropis bukan tempat yang cocok bagi tubuhnya. Ia dikalahkan alam tropis yang
tidak pernah dapat dinikmatinya.
Perlawanan yang dilakukan Paina terhadap praktik penyaian menunjukkan
perjuangan seorang perempuan pribumi terhadap konstruksi dan hegemoni kolonial
yang akan dilekatkan padanya. Ia menolak menjadi nyai karena menjadi nyai sinonim
dengan menjadi ‘boedak satoe tjeleng’. Keberhasilan Paina melawan Briot sekaligus
merefleksikan penolakannya pada konstruksi whiteness is rightness. Jika Niti terlihat
cenderung menerima konstruksi itu, Paina sejak awal dengan tegas menolak hegemoni
tersebut. Kesadaran anti-kolonial Paina terlihat dengan keberaniannya menyebut Briot
sebagai ‘celeng alas” yang tidak manusiawi
Dengan demikian, teks Tjerita Nji Paina menjawab keraguan Gayatri Spivak
yang mempertanyakan kemampuan perempuan “subaltern/terjajah” berbicara. Spivak
meragukan kemampuan perempuan subaltern karena suara mereka dibungkam baik oleh
patriarki maupun kolonialisme (1994: 66). Paina membuktikan bahwa seorang
perempuan pribumi memiliki cara tersendiri dalam melawan kekuasaan kolonial. Ia
menolak menjadi nyai, menjadi obyek kolonial yang menghilangkan identitas dan
263
subyektifitasnya serta merendahkan martabatnya. Paina mengkonstruksi dirinya sebagai
subyek yang berbicara (the speaking subyek) yang melawan konstruksi kolonial yang
patriarkhal. Ia rela kehilangan kecantikan demi menyelamatkan jabatan sang ayah dan
juga masa depannya sebagai perempuan merdeka
Tjerita Nji Paina juga melakukan pembalikan stereotip terhadap orang-orang
pribumi. Jika dalam konstruksi wacana kolonial, native (pribumi dan kulit berwarna
lainnya) selalu di stereotype kan sebagai savage, nature (liar, tidak berbudaya)
sedangkan kulit putih sebagai culture (berbudaya). Teks Tjerita Nji Paina justru
menempatkan tokoh-tokoh kulit putih sebagai nature dan tokoh-tokoh native sebagai
culture. Tokoh Briot dan administratur perkebunan menjadi tokoh antagonis yang tidak
berbudaya dan tidak bermoral.
Kesimpulan
Tokoh Paina dan Saipa mencoba melakukan pembentukan diri kembali (selfrefashioning) dan penamaan diri (self-naming) untuk menghilangkan konstruksi
whiteness is rightness. Tokoh Paina menolak menjadi nyai-menjadi ‘boedak satoe
tjeleng’ dengan menjadikan tubuhnya tertular dengan virus cacar sehingga ia harus
kehilangan kecantikannya. Persamaan dari posisi tokoh-tokoh utama adalah upaya
mereka untuk melewati batas dan aturan kolonial. Tokoh Paina melawan aturan Briot
yang ingin menjadikannya sebagai nyai, sementara tokoh Saipa menolak menjadi nyai
sekalipun dijanjikan materi yang berlimpah. Memiliki suami muslim sesama orang
pribumi dan menjadi istri yang sah secara agama dan sosial lebih menarik bagi Saipa.
Kehidupan tokoh-tokoh perempuan memiliki posisi yang berbeda dalam kedua teks.
Tokoh Paina dalam Tjerita Nji Paina berhasil menjawab keraguan Gayatri Spivak
tentang kemampuan perempuan “subaltern/terjajah” berbicara. Ia menjadi subyek yang
mampu ‘berbicara’ (the speaking subject) yang meruntuhkan kekuasaan Briot yang
patriarkhis. Sedangkan tokoh Saipa dalam Tjerita si Tjonat menjadi korban dari
“transaksi” kekuasaan tokoh-tokoh laki-laki di sekitarnya. Saipa menjadi komoditas
yang dipertukarkan ayahnya (Kaenoen) dengan para pedagang sebelum akhirnya mati di
tangan mantan suaminya sendiri.
Representasi kehidupan para nyai dihadirkan pengarang dengan menarik dalam
kedua teks. Melalui kedua teks, pembaca dapat mengetahui proses seorang perempuan
pribumi menjadi nyai yang terjadi melalui transaksi perdagangan perempuan seperti
Saipa dalam Tjerita si Tjonat dan juga melalui paksaan kepada para ‘priyayi’ untuk
mengamankan jabatan dan pekerjaan mereka sebagaimana Paina dalam Tjerita Nji
Paina.
Reaksi masyarakat yang menjadi latar kedua teks menunjukkan perbedaan
terhadap praktik pernyaian. Masyarakat desa Poerwo di Jawa Timur pada akhir abad ke19 yang menjadi latar teks Tjerita melakukan menegosiasi dan bereaksi keras terhadap
praktik pergundikan. Hal ini terlihat ketika tokoh Niti Atmodjo yang terlebih dahulu
merundingkan dengan keluarga besarnya. Reaksi radikal justru diperlihatkan anak-anak
kampung yang menyebut Briot sebagai “celeng alas”. Keberanian anak-anak kampung
ini dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, liberalisasi ekonomi memungkinkan
frekuensi pergantian investor menjadi semakin tinggi sehingga penduduk pribumi
terutama di areal pabrik gula menjadi terbiasa dengan kehadiran orang-orang kulit putih.
Kedua, mentalitas masyarakat sekitar pabrik gula sebagai masyarakat transisi (frontier
society) yang sedang mengadaptasi nilai-nilai modern memberi mereka peluang untuk
berada pada posisi yang lebih egaliter dan terbuka. Longgarnya batasan space
antargender antara Briot dan Paina yang bertemu secara leluasa di jalanan pematang
264
sawah menunjukkan hal ini. Demikian pula, status sebagai nyai juga dinegosiasi oleh
tokoh Saipa dalam Tjerita si Tjonat. Saipa lebih tertarik pada janji Tjonat untuk
menikahi dan hidup ‘normal’ sebagaimana perempuan pribumi yang lain daripada hidup
dalam kelimpahan materi dan cinta Opmeijer. Status legal perkawinan, agama dan
kedekatan sosial menjadi motif seorang perempuan pribumi untuk menolak menjadi
nyai.
Latar belakang pengarang yang memiliki identitas ras berbeda juga menarik
untuk dianalisa. Kommer sebagai indo-Belanda justru memperlihatkan keberpihakannya
kepada perlawanan menentang kostruksi kolonial. Sedangkan Pangemanann sebagai
pribumi justru ambivalen dalam menyikapi kolonialisme. Pendidikan yang ditempuhnya
di sekolah Belanda mungkin menjadi salah satu sebab ideologis dari ambivalensi
tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bagaimana kolonialisme sebagai sebuah ideologi
adalah sistem yang aktif, hidup serta berkelanjutan dan terjalin dalam interaksi sosial
melalui berbagai institusi dalam masyarakat itu sendiri. Karya sastra dalam hal ini
menjadi bagian dari penyebaran sebuah ideologi melalui fungsi mimetiknya.
Tahun terbit kedua teks yang berbeda tidak secara signifikan mempengaruhi
ideologi teks. Tjerita Nji Paina dan Tjerita si Tjonat yang terbit pada tahun yang sama
tahun 1900 memiliki persepektif yang agak berbeda dalam menyikapinya. Perlawanan
terhadap penguasa memang seringkali dibayangi oleh sikap yang ambivalen dan
kontradiktif. Kedua teks merepresentasikan tahapan perjuangan dengan segala bentuk
grandeur et miseur (keagungan dan penderitaan) manusia Indonesia sebagai masyarakat
terjajah.
Dalam kaitannya dengan sejarah perjuangan Indonesia merebut kemerdekaan,
kedua teks secara simbolis merepresentasikan bahwa kemerdekaan itu bukan hanya
hasil kerja keras dan pengorbanan para elit politik dan militer saja. Kedua teks –dengan
kadar yang berbeda- memperlihatkan bahwa proses dekolonialisasi juga merupakan
hasil jerih payah dan perjuangan orang-orang marjinal seperti para bandit, perempuan
yang selama ini sering terabaikan dalam historiografi sejarah Indonesia. Representasi
perlawanan para the other ini tidak hanya ikut menentukan jalannya perjuangan
melawan konstruksi kolonial tetapi sekaligus merefleksikan watak dan tahapan
perjuangan itu sendiri.
Daftar Rujukan
Ashcrof, Bill, Gareth Tiffins. The Empire Writes Back: Theory and Practice in PostColonial Literature. London: Routledge, 1989.
Bhaba, Homi K. The Location of Culture. London: Routledge, 1994.
Blusse, Leonard. Persekutuan Aneh : Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan
Belanda di Batavia VOC. Jogjakarta: LKIS. 2004.
Budianta, Melani. “Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial” dalam Teori dan
Kritik Sastra. Bahan Pelatihan. PPG Bahasa. Lembaga Penelitian UI, 2000
hal 57-66.
Christanty, Linda. Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda. Dalam Jurnal
Prisma No 10/XXIII, Oktober 1994 hal 22-30.
Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
_________________. Sejarah Pergerakan Nasioanal : Jilid 2. Jakarta: Gramedia, 1999.
265
Kommer, H.”Tjerita Nji Paina: Satoe Anak Gadis Jang Amat Satia. Satoe Tjerita Amat
Indahnja, Jang Belon Sebrapa lama Soedah Terdjadi di Djawa Wetan” dalam
Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia. Jakarta: Lentera Dipantara,
2003
Loomba, Ania. Kolonialisme/Poskolonialisme. Jogjakarta: LKIS.2003.
Pangemanann, F.D.J. “Tjerita Si Tjonat : Satoe Kepala Penjamoen di Djaman Dahoeloe
Kala” dalam Tempo Doeloe : Antologi Sastra Pra-Indonesia. Jakarta:
Lentera Dipantara, 2003.
Scholten, Elsbeth Locher. “The Nyai in Colonial Deli” dalam Sita Van Bammelen (ed)
Women and Mediation in Indonesia. Leiden: KITLV Press, 1992 hal 266277.
Soekiman, Djoko. Kebudayaan Indis: dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di
Jawa (Abad XVIII-Medio Abad XX). Jogjakarta: Bentang. 2000.
Spivak, Gayatri Chakravorty. “Can The Subaltern Speak?” dalam Colonial Discourse
and Post-Colonial Theory: A Reader. Patrick William and Laura Chrisman
(eds) New York: Columbia University Press, 1994, hal 66-111.
Sumardjo, Jakob. Kesusatraan Melayu Rendah Masa Awal. Jogjakarta: Galang, 2004.
Taylor, Jean Gelman. The Social World of Batavia: European and Eurasian in Dutch
Asia. Madison: Wisconsin University Press, 1983.
_________________. “Women as Mediator in VOC Batavia” dalam Sita Van
Bammelen et al (ed) Women and Mediation in Indonesia. Leiden: KITLV
Press, 1992 hal 249-261.
Toer, Pramoedya Ananta. “Pengantar” dalam Tempo Doeloe : Antologi Sastra PraIndonesia. Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.
________________. Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra, 1985.
Wahyudi, Ibnu. The Nyai in Njai Dasima, Nyai Ratna, and Njai Alimah: A Reflection of
Indonesian Women’s Lives as Concubines in Indonesia’s Colonial Period.
Unpublished Thesis. Monash University. 1995.
266
SASTRA, DAYA KRITIS, DAN MORAL BANGSA: MENDAYAGUNAKAN
SASTRA SEBAGAI SENI DAN PELAJARAN
Manneke Budiman
( FIB Universitas Indonesia)
Pengantar
Tak lama setelah terbitnya novel Saman karya Ayu Utami, sambutan gempita
yang diberikan publik atas keberanian novel tersebut dalam menyuarakan kritik sosial
terhadap Orde Baru berubah haluan menjadi kecurigaan terhadap orisinalitas novel
tersebut. Suara-suara miring yang meragukan kemampuan penulisnya atau
mempertanyakan siapa sesungguhnya penulis ‘asli’ di balik layar pun berseliweran
dengan liar. Namun, yang tak kalah seriusnya adalah gugatan atas cara penulis
mendeskripsikan seksualitas para tokoh novelnya. Karya yang pada awalnya dihujani
puja dan puji itu dengan cepat dibanjiri kritik moral yang keras dan tajam. Apalagi
ketika bermunculan beberapa perempuan penulis lain, seperti Dinar Rahayu (Ode untuk
Leopold von Sacher-Masoch), Herlinatiens (Garis Tepi Seorang Lesbian), dan Djenar
Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet!), yang juga menulis dengan keberanian yang
kurang lebih sama. Kritik yang mereka terima makin menjadi-jadi.
Para laki-laki kritikus sastra tak kurang heboh. Sebuah istilah yang bermakna
merendahkan dikenakan kepada para perempuan penulis “sastra selangkangan” atau
“fiksi kelamin” ini (meminjam julukan yang diberikan oleh penyair Taufiq Ismail), yaitu
sastrawangi. Istilah yang pertama kali digelontorkan oleh Bre Redana ini lebih merujuk
pada paras, kemolekan tubuh, dandanan, serta gaya hidup dan ruang pribadi para penulis
itu daripada substansi karya-karya mereka. Sebagian kritikus yang paling tajam
kecamannya justru adalah sesama perempuan penulis, seperti Medy Loekito dan Helvy
Tiana Rosa, yang menyebut karya-karya sejawat mereka sebagai “vulgar” dan justru
merendahkan martabat perempuan. Begitu derasnya arus kritik itu sampai-sampai
semenjak saat itu kita tidak lagi menjumpai karya-karya Herlinatiens ataupun Dinar
Rahayu yang lainnya. Penulis yang tak gentar dengan serangan publik dan tetap
konsisten menulis tentang tubuh dan seksualitas perempuan adalah Djenar Maesa Ayu,
yang lalu juga menerbitkan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) dan Nayla. Ayu
Utami juga tetap produktif, meski sepertinya kadar seksualitas dalam karya-karyanya
yang muncul kemudian tidak se-‘vulgar’ Saman.
Penghakiman moral oleh khalayak terhadap penulis dan karyanya ini bukan yang
pertama kali terjadi dalam sejarah kritik sastra. Gustave Flaubert, penulis novel Prancis
terkenal, Madame Bovary, dituding menyebarkan kemesuman oleh jaksa negara pada
1856, dan bahkan sampai diajukan ke pengadilan pada tahun berikutnya, karena tokoh
novelnya ia lukiskan sebagai seorang perempuan haus kemewahan dan kemesraan yang
lari meninggalkan suaminya demi memenuhi impiannya di kota besar. Padahal, sama
sekali tidak ada ketelanjangan, eksplorasi bagian-bagian vital tubuh, ataupun adegan
percintaan yang eksplisit dalam novel tersebut. Seiring waktu, Flaubert diakui dunia
sebagai novelis realis terdepan yang mengilhami para penulis realis lainnya di Eropa.
Penulis lain yang menjadi korban penghakiman moral oleh khalayaknya adalah
novelis Inggris D.H. Lawrence. Novelnya berjudul Lady Chatterley’s Lover yang sangat
seksual dan terbit pada 1928 dinyatakan sebagai bacaan terlarang di Amerika Serikat
267
hingga 1959, sementara di Inggris sendiri larangan baru dicabut setahun kemudian,
yaitu pada 1960. Novel ini bercerita tentang seorang perempuan bangsawan Inggris
yang berselingkuh dengan tukang kebunnya yang berasal dari kelas pekerja. Penerbitan
novel itu pada 1928 pun harus dilakukan di Italia karena penerbit-penerbit Inggris
menolak untuk menerbitkannya atas dasar pertimbangan moral. Sebelumnya, novelnya
yang lain, The Rainbow, yang terbit pada 1915, juga diberangus karena dinilai terlalu
seksual. Kini, Lawrence termasuk dalam jajaran penulis terbesar Inggris yang karyakaryanya dikanonisasikan.
Pada 1968, dunia sastra di Indonesia juga digemparkan oleh terbitnya sebuah
cerpen dalam majalah Sastra edisi 8 Agustus berjudul “Langit Makin Mendung”, karya
penulis bernama samara Ki Panji Kusmin. Kantor majalah Sastra diserbu dan dirusak,
sementara beratus-ratus kopi majalah disita dari toko-toko. Sejumlah penulis, seperti
Umar Kayam, Taufiq Ismail, dan Trisno Sumardjo melakukan aksi solidaritas dengan
majalah Sastra atas pembredelan majalah tersebut. Peristiwa ini sampai menyebabkan
redaktur majalah Sastra, H.B. Jassin, dihadapkan ke pengadilan karena melindungi
penulis cerpen dengan menolak mengungkapkan identitas aslinya. Apa pasal? Cerpen
itu dianggap menghina Islam sebab menampilkan sosok Nabi Muhammad dan Tuhan
sebagai tokoh dalam cerita dengan cara yang terlalu harfiah.
Melihat tiga kasus ini, rupanya sastra disikapi cukup serius oleh masyarakat dan
sama sekali tidak dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting atau sekunder dalam
hidup mereka. Selanjutnya, sastra dipandang penting sebab tampaknya ada pemahaman
umum bahwa sastra adalah medium untuk menyampaikan hal-hal yang baik, dan ‘yang
baik’ ini ternyata tidak selalu harus berasosiasi dengan yang nyata atau yang benar. Tak
kalah pentingnya, masyarakat akan segera bereaksi jika melihat bahwa sastra tidak
memenuhi harapan mereka untuk memenuhi fungsi sebagai medium kebaikan itu.
Dengan demikian, sastra diberi fungsi sebagai pengusung nilai-nilai ideal, dan bagi
khalayaknya, fungsi ideal ini lebih utama untuk diemban oleh sastra daripada fungsi
sosialnya sebagai pengungkap realitas.
Namun demikian, menempatkan sastra di atas pedestal sebagai penjunjung nilainilai ideal ini bukannya tanpa risiko. Filsuf Yunani Klasik seperti Plato menuding
bahwa sastra hendak merebut fungsi filsafat sebagai medium pengajaran hal-hal mulia,
padahal sastra pada hakikatnya adalah tiruan atau bayangan dari kenyataan belaka,
menurut Plato. Filsuf kenamaan ini bahkan menyerukan agar anak-anak muda dilarang
membaca sastra, khawatir bahwa mereka akan disesatkan atau dibuat menjadi cengeng
oleh sastra sehingga gagal menjadi warganegara yang patriotik. Plato sepertinya
menyadari bahwa sastra memiliki potensi mengaburkan batas antara realitas dan
imajinasi walaupun di matanya sastra juga tak lebih daripada sekadar imitasi inferior
atas realitas.
Aristoteles, filsuf Yunani kondang lainnya, melihat sastra secara lebih positif. Ia
percaya bahwa sastra mampu membantu orang mengenali dirinya sendiri dan, dengan
demikian, membuat mereka mampu menghindari kelemahan-kelemahan diri sendiri.
Seorang penonton pementasan drama yang menyaksikan tokoh utama mengalami nasib
tragis akibat sifat-sifat buruknya sendiri, seperti peragu, pencemburu, pemberang, dan
seterusnya, akan keluar dari teater seusai pertunjukan sebagai penonton yang
tercerahkan. Ia tidak ingin mengalami nasib buruk seperti tokoh dalam sandiwara dan,
oleh karenanya, bertekad untuk tidak membuat kesalahan yang sama dengan yang
dilakukan tokoh. Inilah yang oleh Aristoteles disebut dengan efek katartik.
268
Kerapkali, harapan khalayak agar sastra menjadi kendaraan pengusung nilai-nilai
luhur ini berbenturan dengan kehendak penulisnya. Ada kalanya penulis ingin
mengungkapkan realitas kehidupan, meskipun pahit dan buruk, kepada pembacanya
untuk menggugah kesadaran mereka akan keburukan-keburukan itu. Ada kalanya pula,
penulis ingin memperlihatkan bahwa, dalam kenyataannya, orang baik tidak selalu
menang dalam kondisi sosial yang tidak adil, dan kebenaran tidak selalu unggul dalam
melawan kebatilan yang didukung oleh kekuasaan yang besar. Namun, kadang kala,
penulis tidak ingin menyampaikan apa-apa selain kejujuran, dan tidak semua orang
sanggup berhadapan dengan kejujuran karena norma-norma dan tatakrama sosial tidak
jarang dibuat untuk menyelimuti kejujuran itu demi mencegah terjadinya konflik.
Maka, benturan antara penulis atau seniman di satu pihak dengan masyarakat di
pihak lain bukanlah suatu kejadian langka. Tulisan ini bertujuan untuk mendalami
tegangan-tegangan yang mungkin muncul antara berbagai kelompok yang masingmasing menghendaki sastra menjadi pembawa aspirasi mereka. Sebagian penulis
menginginkan sastra menjadi penjaga akal sehat masyarakat dengan menunjukkan
berbagai kepincangan dan ketimpangan; sebagian lagi menggunakan karya mereka
untuk tidak hanya mengungkapkan realitas sosial yang suram tetapi juga mendorong
pembacanya untuk bertindak serta melakukan sesuatu demi mengubah kondisi itu;
sebagian yang lain mendambakan karyanya menjadi penuntun bagi pembacanya dalam
menjalani hidup mereka secara mulia dan bermartabat. Berbagai aspirasi di pihak
penulis ini bisa saja tidak sejalan dengan tuntutan khalayak pembacanya agar sastra
menjadi penjaga moral masyarakat sehingga wajib mengangkat nilai-nilai sosial yang
luhur.
Bagaimana sastra dapat berfungsi secara sosial tanpa menjadikannya sebagai
medium semata karena, bagaimanapun juga, sastra adalah produk imajinasi dan proses
kreatif seorang individu dengan segala keunikannya, dan bukan kitab suci atau kitab
pelajaran moral? Bagaimana penulis dapat tetap menghasilkan karya sastra yang unggul
secara estetik tetapi juga menggunakan estetika tersebut untuk menjaga tatanan sosial
yang baik dari ancaman pengeroposan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
fundamental ini diharapkan dapat memberikan semacam pedoman bagi penulis, guru,
dan pembaca dalam menyikapi sastra dengan berbagai fungsinya.
Sastra di antara daya kritis dan medium moralitas
Kelompok Frankfurt, yang menelurkan banyak teori kritis tentang kebudayaan,
yang beberapa tokohnya antara lain adalah Walter Benjamin dan Theodor Adorno,
berpendapat bahwa cara manusia menyikapi hidupnya ditentukan oleh bangunan serta
harapan kultural yang dimilikinya untuk menyaring atau mengeveluasi kehidupan.
Tersirat dalam pandangan ini adalah bahwa bangunan dan harapan kultural yang secara
dominan bersifat moralistik dalam suatu masyarakat mengungkapkan bahwa masyarakat
tersebut justru sedang mengalami krisis moral, sehingga saringan utama atau penentu
baik buruknya aspek-aspek dalam kehidupan adalah moralitas. Persepsi kita atas apa
yang indah pun, akibatnya, dipengaruhi oleh pengalaman kehidupan yang dibentuk oleh
moralitas itu. Jadi, yang indah adalah yang bermoral, dan moral menjadi tolok ukur
utama, jika bukan satu-satunya, bagi estetika.
Kelompok Frankfurt yakin bahwa kebudayaan yang berkembang baik adalah
yang mampu bersikap kritis terhadap dirinya sendiri dan juga terhadap kelemahankelemahan dunia dengan cara melibatkan diri secara konkret dalam kehidupan. Ketika
masyarakat menjadi bersikap tidak rasional, maka seni dan sastra harus menjadi
semakin rasional. Walaupun sastra adalah sebentuk karya kreatif, sastra tidak boleh
269
hanya menciptakan objek-objek melainkan perlu bersikap kritis terhadap segala sesuatu.
Dengan cara itulah sastra bisa berperan mengoreksi kelemahan-kelemahan
masyarakatnya. Lebih lanjut, para pemikir Frankfurt itu juga menyatakan bahwa sastra
tidak cukup hanya difungsikan untuk menemukan dan mengukuhkan keindahan yang
telah ada melainkan perlu menciptakan momen-momen dan terobosan-terobosan untuk
mengatasi kemandulan dan status quo.
Herbert Marcuse, salah seorang tokoh dalam kelompok Frankfurt,
mengemukakan bahwa sastra berperan membangun fantasi dan membebaskan kehendak
serta hasrat yang terepresi. Bagi Marcuse, kesadaran manusia telah terepresi. Moralitas
bisa dilihat sebagai salah satu bentuk kekuatan represif itu. Oleh sebab itu, sastra harus
bersikap kritis terhadap baik moralitas maupun penjara-penjara kesadaran lainnya.
Tentu saja yang menjadi ancaman utama kebudayaan pada saat itu, yakni pada masa
menjelang Perang Dunia II dan selama masa berlangsungnya perang, adalah fasisme.
Fasisme telah menyebabkan terjadinya estetisasi atas politik, dan keindahan digunakan
untuk menyembunyikan serta menjustifikasi kekerasan. Moralitas kaum fasis adalah
yang menganggap segala sesuatu yang buruk harus dibasmi atau dimusnahkan karena
tidak dapat ditolerir oleh estetika.
Kelompok Frankfurt mendapatkan banyak pengaruh dari pemikiran Marx. Dari
Marx mereka belajar bahwa dari seni dan sastralah pasang surut suatu kebudayaan dapat
diikuti. Sastra tetap dapat menjadi suatu kekuatan yang produktif, walaupun kebudayaan
yang memayunginya sedang mengalami erosi. Proses kebangkitan dan kehancuran
kebudayaan Yunani Klasik, misalnya, dapat ditelusuri melalui keseniannya. Drama
Oedipus Rex karya Sophocles, misalnya, memperlihatkan bagaimana tragedi terjadi
karena Oedipus gagal melihat kesalahannya sendiri sehingga, ketika pada akhirnya ia
menyadari kesalahan itu, ia membutakan matanya sendiri sebagai hukuman bagi
kegagalan untuk melihat. Sesudah ia melepaskan tahtanya, anak-anaknya saling berebut
kekuasaan dan saling bunuh. Kerajaannya yang mula-mula jaya mengalami keruntuhan.
Inilah contoh ketika sastra memperlihatkan apa yang sedang terjadi dalam suatu
kebudayaan. Drama karya Sophocles itu tetap menjadi sebuah mahakarya, walaupun
kebudayaan Yunani Klasik yang melahirkannya sedang mengalami kemerosotan. Ini
bisa terjadi sebab sastra memiliki daya kritis untuk mendiagnosis penyakit yang sedang
diderita suatu masyarakat meski jarang sekali dapat menyembuhkannya sekaligus.
Dengan demikian, sangat mungkin sebuah karya sastra menampilkan gambaran
realitas yang buruk tentang kemerosotan akhlak, ketidakadilan dan penindasan, praktikpraktik korup melalui alur cerita dan tokoh-tokohnya. Bahkan, boleh jadi tokoh-tokoh
bobrok pada akhir cerita justru dilukiskan berhasil meraih tujuan jahat mereka,
sementara tokoh-tokoh baik tersingkir, kalah, atau mati. Namun, ini tidak serta merat
berarti penulisnya sedang merayakan kemenangan kebatilan atas kebaikan ataupun
mengagung-agungkan kebejatan. Di dalam banyak karya realis dan naturalis, ataupun
karya-karya yang mengandung kritik sosial, realitas yang buruk rupa disajikan dengan
serealistis mungkin, dan bahkan kadang malah didramatisasi sehingga tampak ekstrim.
Tujuannya justru menciptakan dampak yang kuat pada khalayaknya untuk membuka
mata mereka akan berbagai kondisi dan praktik sosial yang nyata terjadi dalam
masyarakat dan perlu diakhiri.
Karya-karya yang mengandung unsur seksual atau penggambaran seksualitas
perlu ditempatkan di dalam konteks sosial yang melahirkannya agar kandungan seksual
dalam cerita itu dapat ditafsirkan secara kontekstual pula dan tidak cepat-cepat dihakimi
dari perspektif moral saja. Pendekatan moralistik atas karya tidak keliru, tetapi cara
menerapkan pendekatan itu yang perlu disertai kepekaan terhadap konteks atau latar
270
yang lebih luas yang membingkai sebuah karya. Misalnya, mengapa elemen seksual
sepertinya diumbar dengan bebas dalam sebuah karya? Sebelum kita sampai pada
kesimpulan bahwa penulisnya tidak bermoral atau bahwa karya itu adalah sebuah
bacaan murahan yang harus ditarik dari peredaran, kita perlu memahami secara
komprehensif unsur-unsur lain yang turut membentuk karya tersebut dan kompleksitas
yang dihasilkan oleh perpaduan berbagai unsur itu. Tak kalah penting adalah
menempatkan karya dalam konteks ruang dan waktu yang spesifik.
Novel-novel Motinggo Busye yang dengan mudah bisa dikategorikan sebagai
‘novel erotis’ tidak pernah mengalami pemberangusan selama periode Orde Baru,
padahal rezim ini dikenal sebagai tukang beredel. Penggemarnya pun bisa diasumsikan
cukup banyak karena, jika tidak, tak aka nada penerbit yang bersedia menerbitkan
novel-novel itu. Maka, dalam membaca novel-novel dengan kaandungan cerita dewasa
ini pertanyaan pertama yang perlu diajukan bukanlah berkenaan dengan kadar moral
penulisnya, melainkan mengapa jenis novel seperti ini dapat beredar bebas dalam era
Orde Baru yang kerap dicap represif itu? Pada titik ini, upaya apresiasi dan pemahaman
sastra dapat membawa pembaca masuk ke penggalian lebih dalam yang tidak hanya
melibatkan teks tetapi juga konteks atau lingkungan sosial yang melingkupinya.
Salah satu kemungkinan pembacaan kontekstual terhadap novel-novel Motinggo
adalah bahwa fenomena ini lahir justru sebagai akibat dari atmosfir represif Orde Baru.
Kontrol negara yang kuat dan sistematik, serta menuntut kepatuhan total
warganegaranya, tidak banyak memberikan ruang gerak bagi ekspresi pendapat yang
kritis. Ketidakpuasan masyarakat terhadap negara tidak bisa diungkapkan dengan bebas.
Oleh karenanya, negara membutuhkan adanya suatu saluran pelampiasan rasa frustrasi
warga yang tidak membahayakan program-program politik dan ekonominya. Kehadiran
novel-novel eskapis yang menawarkan pelarian dan kenikmatan banal seperti novelnovel Motinggo secara tidak langsung justru membantu negara. Pada kurun waktu yang
kurang lebih sama, kita juga menyaksikan bermunculannya filem-filem bioskop yang
memadukan unsur komedi atau horor dengan erotika. Filem-filem ini dari segi artistik
tidak diperhitungkan secara serius tetapi mampu menyedot banyak penonton dan
senantiasa laku keras.
Pada era pasca-Orde Baru, karya-karya sastra dengan kandungan seksual yang
ditulis laki-laki berkurang dan, sebagai gantinya, dihasilkan banyak karya oleh
perempuan yang melakukan penjelajahan atas seksualitas dan tubuh dengan cara yang
bahkan dinilai lebih berani daripada novel-novel Motinggo Busye. Para perempuan
pengarang generasi pasca-Orde Baru tidak sungkan untuk menggunakan kosakata
kelamin secara tersurat dan tanpa penghalusan makna. Bila Motinggo menggunakan
teknik penceritaan yang mengundang pembacanya untuk turut berimajinasi secara
bebas, maka karya-karya perempuan penulis yang mengandung unsur seksual pada
masa sesudah berakhirnya kekuasaan Orde Baru hampir-hampir tidak menyisakan ruang
bagi imajinasi karena seksualitas digambarkan secara grafis dan rinci.
Ini adalah sebuah cuplikan dari novel Motinggo berjudul Kutemui Dia, yang
terbit pada awal 1970an:
Sepasang manusia sedang dalam kenikmatan, yang lelaki sedang memangku yang gadis
di atas sebuah kursi, yang membelakangi jendela. Keduanya tak tahu bahwa aku melihat
mereka. Keduanya begitu asyik dalam terkaman-terkaman yang saling bertubi-tubi. Tris
menyerang pada bagian leher gadis itu, kemudian mendesaknya pada sebuah lipatan kaki
yang menggerumul, seakan-akan gadis itu terjepit…
271
Untuk ukuran moralitas 1970-an, semestinya penggambaran seperti ini sudah tergolong
ekstrim dan menedekati penggambaran adegan-adegan seksual dalam terbitan-terbitan
‘stensilan’, namun Motinggo sama sekali tidak menggunakan kata-kata tersurat yang
merujuk pada alat kelamin. Bandingkan dengan cuplikan dari karya Djenar Maesa Ayu
berjudul Nayla, yang melukiskan homoseksualitas:
Tapi Juli mempunyai karisma. Banyak tamu perempuan tergila-gila padanya. Yang lakilaki pun tak jarang ingin menaklukkannya. Pasti enak meniduri perawan, pikir mereka.
Padahal sebagai sahabatnya, saya tahu Juli sudah tidak perawan. Semenjak remaja ia
suka memasukkan benda-benda ke dalam vaginanya sambil membayangkan perempuan
yang ia idamkan. Sekarang pun dengan kekasihnya yang seorang model mereka sering
bercinta dengan cara saling memasuki vagina satu sama lain dengan jari mereka.
Penggambaran secara tersurat sembari menyebutkan alat kelamin tanpa
perantaraan metafor ataupun teknik ellipsis ini memang dengan mudah bisa dinilai
vulgar, tetapi jika dibaca dalam konteks pembebasan pikiran dari kontrol negara yang
terjadi setelah usainya Orde Baru, maka ada banyak hal penting tentang masa itu yang
bisa diungkapkan jika kita menahan diri untuk tidak terburu-buru melakukan
penghakiman moral atas Djenar.
Dalam perspektif zaman, perempuan memang merupakan elemen warga yang
paling mendapatkan pengawasan ketat dari negara. Perempuan yang aktif, politis, dan
terlibat dalam gerakan sosial bukanlah sosok perempuan yang dikehendaki oleh negara
Orde Baru. Citra perempuan seperti ini dibuat menjadi negatif melalui asosiasi dengan
Gerwani, organisasi perempuan sayap PKI, yang dicitrakan kejam dan haus seks.
Sementara itu, negara sendiri aktif membangun citra perempuan yang berbeda, yakni
sebagai istri, ibu rumah tangga, dan ibu bangsa. Perempuan yang terdomestikasi,
apolitis dan aseksual, adalah yang dikehendaki oleh Orde Baru sebagai sosok ideal.
Negara mempromosikan citra ini melalui organisasi dan gerakan seperti Dharma Wanita
dan PKK.
Itulah sebabnya dalam banyak karya perempuan penulis masa Orde Baru, seperti
Nh. Dini, Marga T., Mira W., Titi said, La Rose, Ike Supomo, dan Marianne Katoppo,
kita selalu disuguhi cerita-cerita dengan latar dan situasi domestik: kehidupan
perkawinan, roman percintaan, kesepian, dan isu-isu keluarga. Politik jarang menghiasi
karya-karya perempuan masa itu, apalagi paparan tentang seksualitas dan tubuh
perempuan secara tersurat. Karya-karya bertemakan domestisitas ini pun secara tak
langsung turut mendukung pengukuhan citra perempuan sebagai ibu dan istri sebagai
bagian dari ideologi gender Orde Baru. Karya-karya ini juga digemari pembaca karena,
seperti halnya novel-novel Motinggo Busye, menawarkan eskapisme atau pelarian dari
realitas kehidupan nyata yang sangat mengungkung perempuan.
Ledakan karya perempuan yang berkutat dengan tubuh dan seksualitas, yang
dinilai vulgar oleh sebagian pengamat sastra, jelas tidak sama konteks historisnya
dengan karya-karya erotica Motinggo. Keterpukauan perempuan pada tubuhnya sendiri
seolah-olah merupakan ekspresi ketakjuban akan kesadaran dan pemahaman baru
tentang tubuh mereka sendiri yang selama masa Orde Baru tidak memeproleh ruang
untuk tumbuh. Perhatian besar pada seksulaitas itu juga bisa dibaca sebagai ungkapan
kebebasan dari kungkungan ideologi gender Orde Baru, yang selama lebih dari tiga
dasawarsa mengharamkan asosiasi antara perempuan dengan tubuh dan seksualitasnya
sendiri dengan cara mereduksi perempuan dalam fungsi sosial gendernya sebagai sitri
dan ibu rumah tangga. Kira-kira sepuluh tahun sesudah era Reformasi berlangsung,
jumlah karya-karya perempuan penulis yang mengambil tema-tema seksual pun secara
signifikan surut. Para penulis masa kini beralih minat pada berbagai isu sosial yang
272
sensitif, seperti kekerasan antaragama dan etnis, serta peminggiran perempuan oleh adat
dan agama.
Kelemahan kritik moral adalah kecenderunganya untuk memusatkan perhatian
pada apa yang harfiah dan berada pada permukaan teks. Pendekatan moralistik yang
baik penting untuk turut memperhitungkan faktor-faktor sosial, historis, dan bahkan
politis dalam analisisnya. Perubahan nilai-nilai moral dalam suatu masyarakat pada
suatu periode yang terjadi sebagai akibat dari perubahan sosial-politik yang terjadi
dalam masyarakat tersebut bisa menjauhkan kritikus dari penghakiman moral yang
sempit atas karya maupun penulisnya, dan kajian yang dihasilkannya pun akan bisa
menyumbangkan pengetahuan yang berharga tentang perubahan sosiaal yang terjadi
dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, kritik moral tidak dilakukan dengan tujuan
untuk menghakimi kadar moral karya atau penulis melainkan untuk mengungkapkan
perubahan nilai-nilai sosial di dalam suatu masa. Untuk itu, kajian yang dilakukan perlu
melibatkan aspek-aspek di luar moral, seperti sejarah, politik, ekonomi, dan lain-lain.
Dalam sejarah sastra, pergerakan sastra dari satu aliran ke aliran lain senantiasa
mengikuti jiwa zaman, dan dalam pergerakan itu terungkap pula nilai-nilai serta
pandangan hidup masyarakaat yang berubah. Era Romantisisme di Eropa berlangsung
dari akhir abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19 dan menandai ditinggalkannya
nilai-nilai keteraturan, keseimbangan, serta rasionalitas dari era sebelumnya, yaitu era
Klasik. Yang menjadi titik berat karya-karya dari periode Romantik adalah
individualitas, subjektivitas, irasionalitas, imajinasi, emosi, dan spontanitas. Maka itu,
karya-karya Romantik kerap terkesan ‘liar’, sarat dengan luapan emosi, serta
memperlihatkan pemujaan terhadap keindahan. Andaikata karya-karya ini dipaksakan
untuk dinilai dengan berpatokan pada perangkat norma dari periode sebelumnya, sudah
barang tentu karya-karya ini akan dipandang murahan atau bahkan ‘vulgar’. Namun,
bila faktor-faktor di luar moralitas diperhitungkan, maka kita akan memperoleh
pemahaman lebih mendalam tentang perubahan zaman.
Di Indonesia, periode 1950-an dan awal 1960-an dari perspektif politik dianggap
sebagai zaman penuh pergolakan karena tidak hanya Indonesia terimbas oleh dampak
Perang Dingin di Asia Tenggara tetapi juga menghadapi berbagai gerakan separatis.
Stabilitas politik pada saat itu sangat fluktuatif, dengan kabinet yang silih berganti
berkali-kali. Kendati demikian, dari segi sastra dan seni Indonesia pada 1950-an dan
1960-an justru mengalami ‘zaman keemasan.’ Karya-karya lahir dari tangan penulis
yang berasal dari berbagai afiliasi politik dan latar belakang ideologis dan, walaupun
berbeda-beda visi, kesemuanya giat mencari bentuk sastra atau seni Indonesia yang
mampu bersaing di kancah global sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Dalam
berbagai karya itu, khalayak bisa menemukan benturan nilai-nilai, yang mencerminkan
benturan ideologi. Penulis-penulis Lekra, Menifes Kebudayaan, LKN, serta Lesbumi
saling bersaing mempromosikan mazhab masing-masing, menghasilkan dinamika dan
kekayaan budaya yang tak tertandingi oleh periode manapun dalam sejarah sastra
Indonesia. Sayangnya, periode keemasan ini berakhir secara tiba-tiba dengan terjadinya
peristiwa 30 September 1965.
Apa yang dapat kita gali dari ilustrasi-ilustrasi ini dalam kaitan dengan
bagaimana cara menilai sastra? Pertama, posisi kritikus, guru, dan pengamat, sebagai
agen yang memiliki rasa tanggung jawab untuk membantu pembaca memahami karya
dengan lebih komprehensif serta meningkatkan kemampuan mereka dalam
mengapresiasi sastra, haruslah tidak berpihak. Mereka perlu senantiasa mengasah
kesadaran kritis, khususnya terhadap bias-bias pribadi mereka sendiri, agar bias-bias itu
jangan sampai membuat pembacaan mereka atas karya jadi terkontaminasi. Kritik moral
273
sangat rawan terhadap intervensi bias-bias nilai pribadi ini, sehingga kritik moral perlu
senantiasa diperkaya dengan pemahaman terhadap latar belakang historis, sosial dan
politik. Kritikus dituntut untuk mampu menjelaskan mengapa nilai-nilai berubah dan
dengan cara apa sastra merekam atau merespon perubahan itu.
Kedua, ilustrasi-ilustrasi di atas juga menunjukkan bahwa setiap zaman baru
memiliki penilaian kritis terhadap zaman sebelumnya. Sastra pun tak terkecuali. Karyakarya sastra yang lahir pada suatu era mengandung evaluasi kritis terhadap persoalanpersoalan zaman sebelumnya, di samping mempromosikan nilai-nilai alternatif sebagai
solusi bagi persoalan itu atau alternatif bagi nilai-nilai lama. Karya-karya perempuan
yang terpusat pada tubuh dan seksualitas yang marak pada awal masa reformasi
merupakan ekspresi kritis penolakan terhadap ideologi gender Orde Baru yang
mendomestikasikan perempuan lewat pemujaan atas ibuisme. Apa yang oleh banyak
pengamat dinilai vulgar adalah senjata yang dipakai para perempuan penulis pasca-1998
untuk menghantam pemuliaan atas perempuan yang dijadikan kedok bagi ideologi yang
meminggirkan perempuan. Maka itu, label-label seperti “sastra selangkangan” atau
“sastra syahwat” tidak diperlukan dan tidak membantu kita memahami dengan lebih
baik fenomena sastra perempuan pada awal masa reformasi.
Para pemikir kelompok Frankfurt, sebagaimana telah disinggung di atas,
memiliki visi menjadikan kebudayaan sebagai alat kritis untuk mencegah dominasi
fasisme. Seni dan sastra tidak hanya merefleksikan secara pasif apa yang terjadi pada
tataran realitas sosial tetapi juga wajib untuk mengkritisi realitas itu dan, bila mungkin,
mengajukan visi alternatif untuk mengubahnya. Maka, ada gunanya juga mengalihkan
perhatian kita dari aspek moral dalam karya ke potensi kritis yang terkandung dalam
karya untuk menyikapi suatu kondisi sosial tertentu. Dengan cara ini, kita tidak hanya
mempelajari sastra sebagai teks belaka yang menjadi produk material sebuah
kebudayaan tetapi, lebih penting dari itu, menempatkan sastra sebagai salah satu pranata
sosial dalam masyarakat yang turut membentuk pola pikir dan perilaku sosialnya.
Mengajarkan sastra
Kandungan kritis sebuah karya inilah yang patut digali dan diperkenalkan kepada
khalayak oleh kritikus, pengamat, dan guru pengajar sastra. Kita baru mulai dapat
menangkap dan melihat lebih jelas elemen-elemen kritis dalam karya ini apabila kita
mampu menyingkirkan bias-bias dan prasangka-prasangka pribadi yang ada dalam diri
kita sendiri dalam menyikapi berbagai isu sosial. Seorang kritikus dan guru dituntut
untuk mampu melihat dari atas, dan bukan tenggelam dalam arus cerita, agar mereka
bisa memahami dengan lebih jernih dan menyeluruh berbagai sudut pandang, arus
pemikiran, dan tegangan yang ada dalam cerita. Kemampuan seorang kritikus atau guru
untuk mengenyampingkan nilai-nilai pribadinya pada saat membantu pembaca atau
murid memahami isi sebuah karya sastra adalah modal utama dan prasyarat bagi
keberhasilan untuk mendayagunakan teks sastra dalam mengasah daya kritis khalayak.
Memahami novel-novel Pramoedya Ananta Toer dari perspektif seorang kritikus
atau guru membutuhkan kemampuan untuk memisahkan fakta bahwa penulis adalah
seorang simpatisan komunis yang aktif di Lekra semasa jayanya dari kajian terhadap
karyanya, walaupun pengetahuan tentang latar belakang sosial penulis tetap merupakan
pengetahuan penting karena dapat memperkaya atau melengkapi pemahaman kita atas
karya-karyanya. Yang perlu dihindari adalah penilaian yang secara a priori dilandaskan
pada fakta biografis penulis sebab hasilnya hanya akan mereduksi kekuatan novel-novel
Pram menjadi alat propaganda komunis semata. Kita kehilangan peluang untuk
menemukan lebih jauh berbagai kekayaan lain yang terkandung di dalam karya-karya
274
itu, termasuk kritik-kritik penulis terhadap feudalism dan otoritarianisme, yang nyatanyata memang menjadi faktor pengganggu dalam perkembangan kebudayaan Indonesia.
Sama halnya dengan membaca novl-novel Mangunwijaya, yang kaya dengan
aspek historis dan politis dan, karena ditulis semasa Orde Baru berkuasa, karya-karya
Romo Mangun bisa dengan mudah dibaca sebagai kritik terhadap kuasa Orde Baru.
Dalam hal ini, novel-novel Mangunwijaya menjadi karya penting untuk diperkenalkan
dan dibaca oleh pemelajar sastra. Namun, bila guru sedari awal sudah menggunakan
prasangka pribadinya, maka ia tidak akan memilih novel-novel Mangunwijaya dalam
bacaan wajib di kelasnya karena, misalnya, Mangunwijaya dikenal sebagai tokoh
Katolik, sedangkan guru pengajar kebetulan beragama non-Katolik. Kecenderungan
seperti ini tidak dapat disangkal belakangan mulai menggejala, khususnya di banyak
sekolah negeri di seluruh Indonesia. Padahal, karya-karya Mangun, seperti novel
Burung-Burung Manyar, misalnya, sangat tepat untuk digunakan mempromosikan
toleransi, patriotisme, dan kemampuan untuk mengkritisi kekuasaan.
Sastra tidak dapat dipakai sebagai materi pelajaran di kelas dengan
memperlakukannya seolah-olah sebagai kitab pelajaran agama atau moral. Berbeda
dengan kita ajaran agama dan moral, sastra seringkali menunjukkan apa yang
seharusnya dengan cara mengungkapkan apa yang pada saat ini bobrok dan buruk.
Kecerdasan pembaca dalam memahami cerita amat diperlukan agar ia tidak
terperangkap dalam pertunjukan hal-hal buruk itu dan mampu melihat lebih jauh pada
tujuan yang ada di balik keburukan-keburukan itu. Membangun kecerdasan murid
dalam membaca sama artinya dengan membekali mereka dengan kecerdasan yang lebih
besar skalanya, yang meliputi kecerdasan sosial dan kepekaan lebih tajam untuk
menangkap apa yang tersembunyi di bawah suatu permukaan.
Kitab-kitab moral dan agama tidak perlu repot mengambil jalan memutar seperti
ini untuk menyampaikan ajaran-ajaran baik, dan modal utama untuk menguasai kitabkitab seperti ini adalah kesediaan untuk mematuhi serta menjalankan apa yang
diajarkan. Sastra membiarkan pembacanya untuk menemukan sendiri dengan bekal
kecerdasan dan kepekaan yang dimilikinya, meskipun selalu ada risiko pembaca gagal
menemukan kebaikan yang tersembunyi itu. Namun, di sinilah peran kritikus dan guru
menjadi sentral sebagai jembatan penghunung antara teks dan pembacanya. Dalam hal
ini pula, kita bisa memahami mengapa sastra, moralitas, dan agama memiliki domaindomainnya masing-masing, dan kita perlu dapat menghindarkan terjadinya
pencampuradukan atau perancuan: kelas pelajaran sastra bukan tempat untuk
menyiarkan ajaran agama atau melakukan indoktrinasi moral, walaupun banyak karya
sastra memiliki kandungan religius dan moral yang dalam.
Jika guru tidak mampu mengendalikan intervensi bias dan prasangka pribadinya
sendiri dalam membantu menafsirkan sebuah karya sastra untuk murid-muridnya, ia
juga tidak akan mampu mengendalikan tafsiran liar tanpa pijakan kuat pada teks serta
konteks sosialnya yang berasal dari murid-muridnya di kelas. Dikhawatirkan bahwa
ruang kelas yang semestinya menjadi ajang belajar dan perluasan pengetahuan akan
berubah menjadi ruang pengadilan moral atas karya dan penulisnya. Bahaya bias dan
prasangka tidak hanya bersumber dari moralitas dan agama, tetapi juga bisa bersumber
pada ideologi, gender, etnisitas, maupun strata sosial. Guru sebagai narasumber dituntut
oleh kemuliaan profesinya dan tanggung jawabnya sebagai pembentuk karakter generasi
muda untuk mampu berpikir dan bertindak di atas tekanan-tekanan tersebut alih-alih
malah menjadi agen penyebar kebencian dan pengukuh stereotipe atas semua yang
liyan.
275
Dalam konteks ini, ruang kelas dan proses belajar-mengajar yang terjadi di
dalamnya layak dipahami sebagai bagian dari proses kebudayaan dan tidak sekadar
proses formal penyelenggaraan kurkulum. Guru mengajak murid-muridnya untuk
berpartisipasi dalam proses refleksif serta kritis untuk menyumbangkan gagasangagasan kepada proses kebudayaan yang tengah berlangsung. Membincangkan karya
sastra bersama-sama tanpa terjebak dalam indoktrinasi ideologis ataupun penghakiman
moral adalah proses positif yang dikehendaki terjadi. Pemikiran-pemikiran yang
diajukan penulis dalam karyanya dapat diuji secara serius, dijadikan bahan
permenungan, dan menjadi sumber pengayaan pengalaman serta pengetahuan tentang
kehidupan sosial.
Karenanya, guru perlu memiliki wawasan serta pengetahuan tentang sejarah
berbagai pemikiran yang muncul dari masa ke masa, tidak hanya di tanah air tetapi juga
di dunia, serta bagaimana pemikiran-pemikiran itu saling berinteraksi dan berbenturan
satu dengan yang lain. Banyak dari peristiwa tersebut yang direkam oleh sastra,
walaupun cara penulis mendeskripsikannya sangat dipengaruhi atau dibentuk oleh posisi
pribadi mereka. Guru, di lain pihak, harus mampu menghindari perancuan antara posisi
pribadinya sendiri dengan pemosisian teks terhadap suatu isu. Sebagai dosen, saya
mengajarkan kritik kebudayaan dari perspektif marxis pada para mahasiswa saya, dan
adalah tugas saya untuk memberikan pemahaman yang sebaik-baiknya kepada mereka
akan apa itu marxisme. Namun, saya secara etis tidak diperkenankan untuk
mempromosikan marxisme ataupun mencaci makinya. Pandangan pribadi saya tidak ada
sangkut pautnya dengan apa yang semestinya saya ajarkan di kelas. Marxisme hanya
menawarkan satu dari sekian banyak pengetahuan dan, sebagai pengetahuan, marxisme
boleh dipahami sekaligus dikritisi, sebagaimana halnya dengan pengetahuanpengetahuan lainnya. Mengapa? Karena saya mengajarkan marxisme sebagai
pengetahuan, bukan sebagai doktrin atau propaganda.
Guru tidak perlu menciptakan sumber dayanya sendiri. Yang perlu dilakukan
adalah mencari dan menghimpun sebanyak mungkin tulisan dan kajian yang telah
pernah dibuat orang lain mengenai karya-karya sastra yang hendak dipakai di kelas
sebagai bahan ajar. Kajian-kajian itu sendiri akan menghadirkan berbagai sudut pandang
dan analisis, dan murid bisa diminta untuk membaca kajian-kajian itu sesudah mereka
selesai membaca teks primernya. Dari situ, pembahasan dan diskusi di kelas bisa
dimulai tetapi di dalam suatu kerangka pemahaman yang terlebih dahulu sudah dibentuk
oleh pengetahuan-pengetahuan tentang karya dan penulisnya yang disediakan oleh
berbagai rujukan tadi. Ini dilakukan tanpa menutup kemungkinan bahwa kelas akan bisa
menghasilkan simpulan atau sintesisnya sendiri mengenai karya yang dibahas.
Penutup
Membaca dan memahami sastra memerlukan sikap yang bijak serta kematangan
psikologis yang memadai. Sastra akan sangat berguna sebagai bahan pelajaran untuk
memperkaya kepribadian dan wawasan jika didayagunakan dengan tepat. Membaca
sastra mampu mendukung terciptanya daya kritis, kepekaan sosial, dan kejernihan
berpikir apabila di kelas guru tidak memakai teks sastra sebagai sarana indoktrinasi
moral dengan cara yang sempit dan normatif. Melalui sastra, kita mampu mendiagnosis
apa yang salah dengan suatu masyarakat dan krisis apa yang sedang menimpa suatu
kebudayaan, walaupun penulis karya tersebut tidak secara sadar ataupun langsung
berkehendak untuk menunjukkan hal itu.
276
Kritikus sastra juga perlu melakukan reposisi atas peran dan fungsinya. Tugas
utama kritikus adalah menggali berbagai potensi yang dimiliki sebuah karya yang
barangkali bahkan tak disadari kehadirannya oleh penulisnya sendiri. Lewat kritik yang
ajeg namun sehat, penulis dapat menimba banyak pelajaran untuk penyempurnaan
kemampuan kreatifnya. Sebagaimana guru bisa membantu muridnya menjadi lebih peka
secara sosial, kritikus juga bisa membantu penulis untuk lebih bersedia terlibat secara
lebih intens dan dalam dengan berbagai isu sosial yang dihadapi bangsa pada saat ini.
Kinerja tak kasat mata antara penulis, guru dan kritikus sastra perlu lebih disadari
keberlangsungannya, walapun tidak perlu juga untuk diformalkan,agar sastra betul-betul
dapat bersuara di tengah hiruk-pikuk berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, dan
kultural di negeri ini.
277
MENGENAL IDENTITAS ORANG MALUKU YANG SEMAKIN MALUKU
LEWAT LAGU DAERAH “MALUKU TANAH PUSAKA”
Mansye Sekewael
(Program Pasca Sarjana Universitas Pattimura Ambon – Indonesia)
Abstrak: Penelitian ini adalah Penelitian pustaka dimana penulis berusaha menemukan
sejumlah referensi dan mengaitkannya dengan lirik dari lagu “Maluku Tanah Pusaka”.
Hasil kajian terhadap lagu ini, ditelaah, dianalisis dan disadur dalam deskripsi singkat
untuk memberi penguatan kepada seluruh anak negeri yang mendiami tanah raja-raja
ini bahwa, lagu ini layak untuk memprkenalkan jati diri anak Maluku yang semakin
Maluku.
Pengantar
Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi
yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 1994:1). Bahasa memegang peranan
yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pentingnya bahasa hampir mencakup
segala bidang kehidupan manusia. Segala sesuatu yang dirasakan, dialami, dihayati dan
dipikirkan, oleh seseorang akan diketahui oleh orang lain jika telah dikomunikasikan
melalui bahasa (Handayani, 2014).
Salah satu contoh proses komunikasi yang melibatkan bahasa yaitu lagu daerah
atau nyanyian rakyat. Lagu daerah adalah lagu atau musik yang berasal dari suatu
daerah tertentu dan menjadi populer dinyanyikan baik oleh rakyat daerah tersebut
maupun rakyat lainnya. Bentuk lagu ini sangat sederhana dan menggunakan bahasa
daerah atau bahasa setempat. Lagu daerah banyak yang bertemakan kehidupan seharihari sehingga mudah untuk dipahami dan mudah diterima dalam berbagai kegiatan
rakyat. Pada umumnya pencipta lagu daerah ini tidak diketahui lagi alias noname (AlIdrus, 2014:2).
Berbicara mengenai musik dan lagu, Maluku sangat dikenal di seantero
Indonesia adalah pemilik suara indah dan berkarakter dalam mendendangkan lagu. Lagu
sangat melekat dengan jiwa anak Maluku. Antropolog dari Universitas Pattimura,
Ambon, Prof Dr Mus Huliselan, mengatakan, kebiasaan menyanyi orang Ambon ada
sejak sebelum bangsa-bangsa Eropa, seperti Portugis dan Belanda, menguasai Ambon.
”Orang-orang tua menyampaikan pesan atau mengekspresikan perasaan dengan
menyanyi. Nyanyian rakyat atau disebut kapata yang masih ada di beberapa desa
menjadi bukti kebiasaan menyanyi itu sudah lama ada,” ujarnya (Huliselan, 2014).
Musik yang mengiringi saat itu hanya tifa, suling, dan gong. Ketika bangsabangsa Eropa masuk, budaya bernyanyi dan bermusik masyarakat Ambon berkembang
kian pesat. Bangsa-bangsa Eropa mengenalkan alat musik yang lebih beragam.Tak
hanya menyampaikan pesan dan ekspresi perasaan, nyanyian berfungsi sebagai alat
perekat sosial. Dalam syair lagu yang tercipta, nilai-nilai persaudaraan, kekerabatan atau
kecintaan pada Ambon atau bahkan kerinduan pada Ibu (Ina) tertuang dalam lirik-lirik
lagu yang dibuat.
Untuk membuktikan kesan kuat dalam kandungan lirik lagu daerah Maluku,
penulis kemudian memfokuskan penulisan ini untu menelaah lebih tentang hubungan
278
identitas anak Maluku yang semakin Maluku dalam lagu “Maluku Tanah Pusaka”
seperti tampak pada lirik dibawah ini:
Maluku Tanah Pusaka
Oh, Maluku…. Tampa beta putus pusa e
Pasir putih alus e, gunung deng tanjong beta seng lupa e
Ina Ama lama lawing seng baku dapa e
Biar jauh bagini e tapi dekat dihati beta e
Dari ujung Halmahera sampe Tenggara Jauh
Katong samu basudara
Nusa ina
Katong samua dari sana
Biar jauh bagini e beta seng bisa lupa Maluku tanah pusaka
Satu nama satu gandong satu suku
Maluku manise
Dari bait-bait dalam lagu di atas mengisyaratkan begitu banyak informasi yang
bisa dipetik dan dijadikan identitas kita selaku anak Maluku yang semakin Maluku
diantara dera arus globalisasi yang sudah mulai mengancam nilai-nilai identitas anak
daerah yang baik hidup merantau di negeri orang atau hidup menetap dan berdomisili di
negeri raja-raja ini.
Agar informasi yang diterima tidak setengah-setengah, ada baiknya dilakukan
analisis secara keseluruhan terhadap setiap lirik bait lagu “Maluku Tanah Pusaka” ini.
Dengan demikian, kita bisa mengetahui keterkaitan antar bait setiap lirik lagu “Maluku
Tanah Pusaka” tersebut dan mendapatkan makna secara keseluruhan.
Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk menganalisis lirik lagu “Maluku Tanah
Pusaka” ini karena penulis menganggap bahwa lirik lagu tersebut memiliki makna
filosofis tersendiri secara tersurat maupun tersirat dalam kandungan isinya. Banyak
pesan yang dapat diambil dari lirik lagu tersebut demi menguatkan kecintaan anak
negeri seribu pulau ini terhadap Nusa Ina yang telah melahirkan mereka.
Kajian Teori
Setiap daerah pasti memiliki lagu daerahnya sendiri-sendiri. Lagu daerah adalah
lagu yang berasal dari suatu daerah tertentu dan menjadi populer dinyanyikan baik oleh
rakyat daerah tersebut maupun rakyat lainnya. Pada umumnya pencipta lagu daerah ini
tidak diketahui lagi alias noname.
Beberapa ciri khas lagu daerah, antara lain sebagai berikut:
a. Menceritakan tentang keadaan lingkungan ataupun budaya masyarakat setempat
yang sangat dipengaruhi oleh adat istiadat setempat.
b. Bersifat serdehana sehingga untuk mempelajari lagu daerah tidak dibutuhkan
pengetahuan musik yang cukup mendalam seperti membaca dan menulis not balok.
c. Jarang diketahui pengarangnya.
d. Mengandung nilai-nilai kehidupan, unsur-unsur kebersamaan sosial, serta keserasian
dengan lingkungan hidup sekitar.
e. Sulit dinyanyikan oleh seseorang yang berasal dari daerah lain karena kurangnya
penguasaan dialek/bahasa setempat sehingga penghayatannya kurang maksimal.
f. Mengandung nilai-nilai kehidupan yang unik dan khas.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Lagu_daerah).
279
Merujuk pada poin ke-7 (tujuh) untuk ciri-ciri dari lagu daerah diatas, penulis
tertantang untuk merambah lebih dalam lagi, menghayati kandungan dari lagu “Maluku
Tanah Pusaka”. Lagu ini menyimpan sejuta nilai lokal yang mampu menguatkan
identitas kita anak Maluku yang semakin Maluku.
Dalam penguraiannya, setiap hal yang dianggap denotatif dan dirasa tidak
membutuhkan analisis kuat oleh penulis, penulis sengaja melewatkan bagian tersebut.
Sementara bagi kandungan isi lagu yang bersifat konotatif bagi penulis, penulis
kemudian berusaha untuk mendeskripsikannya seperti dibawah ini:
Sio…. Maluku tanpa beta putus pusa e…
Tampa beta putus pusa dapat juga diartikan sebagai tempat kelahiran
(negeri/dusun/kampong), sebagai wilayah/tanah yang memberikan makan dan minum,
sehingga muncul ungkapan “Tanah Air Beta, Tanah Tumpah Darah”, selain itu juga
diartikan sebagai “Tanah Pusaka”, “Tanah Putus Pusa (pusar). Ini mengartikan sebuah
pengakuan yang tulus terhadap tempat kelahiran yang mencerminkan identitas atau jati
diri selaku anak Maluku. Identitas ini akan terpatri dalam darah dan sanubari kita selaku
orang Maluku.
Pasir Putih Alus e…
Orang Maluku mempresentasikan wilayahnya yang indah nan elok dengan kata
“pasir putih alus e”. Hal ini mengindikasikan bahwa Maluku terdiri dari pulau-pulau
kecil. Setiap pulau mengukir panorama pantai yang indah, alami dan wajib dikunjungi.
Sebagai anak negeri, kita harus memajukan pariwisata kita untuk menarik wisatawan
baik lokal, nasional maupun internasional.
Pasir putih kaitannya dengan pantai. Pantai berhubungan dengan laut, laut identik
dengan nelayan. Jika ditarik benang merah dan dihubungkan dengan kondisi sekarang,
diketahui bahwa hampir keseluruhan penduduk Maluku bermata pencaharian Nelayan.
Maluku kaya akan hasil laut. Provinsi Maluku ditetapkan oleh Menteri KKP
(Fadel Mohammad) sebagai Lumbung Ikan Nasional 2030 sejak digelarnya Sail Banda
2010. Maluku yang merupakan kepulauan bahari terbesar di wilayah Nusantara memang
layak dijadikan lumbung ikan nasional karena potensi perikanan yang luar biasa
banyaknya disertai laut yang kaya dan masih terjaga dari campur tangan manusia.
Daerah dengan potensi ikan di wilayah Maluku yaitu: (1) Kepulauan Banda; (2)
Kepulauan Kei; (3) Kepulauan Aru; (4) Maluku Tenggara Barat; (5) Maluku Barat
Daya.
Gunung deng tanjong
Ada dua hal yang bisa di petik dari ungkapan “Gunung deng Tanjong” dalam
lirik lagu Maluku Tanah Pusaka. Kedua hal tersebut adalah:
a) Mengenal dua ruang “Tanjung dan gunung”
Indikasi penggunaan kata “Gunung” dan “Tanjung” dalam pola pikir anak Maluku
yakni “Kadara” dan “kalao”. Hampir dalam setiap berbahasa, penggunaan kata “kadara”
dan “Kalao”
b) Batasan teritori wilayah dalam tiap pikir anak negeri. Setiap kali tuangan rindu anakanak Maluku di perantauan paling sering diungkapkan kata “gunung” dan “Tanjong”.
Beta seng lupa e
Ungkapan kata “Beta seng lupa e”, mengisyaratkan bahwa selaku anak Maluku,
akan selalu mengenang setiap lekuk jalan dan jembatan, laut, gunung, pantai dan semua
yang ada di negeri tempat kelahirannya akan selalu terkenang. Terkadang saat
berjauhan, ungkapan rindu akan kampong (kampung) itu dituangkan dalam nyanyian
rindu dengan lirik yang sama (banding: lirik lagu: Sudah berlayar, Gunung dan Tanjung
Terpeleh)
280
Ina Ama
Kata “Ina” dan “Ama” mengisyaratkan beberapa pemahaman yang terkandung
didalamnya yang antara lain adalah:
a) Sebagai sebuah Penghormatan bagi “Ina” (Ibu) dan “Ama” (Ayah)
Untuk lebih jelas, uraian tentang penghormatan bagi Ina dan Ama di jelaskan terpisah
sebagai berikut:
1. Ina
Ungkapan pendewaan terhadap seorang perempuan ini dapat menggetarkan hati
nurani setiap anak Maluku yang kebetulan mendengarnya, atau ketika seorang
mengatakan ungkapan ini kepada seorang perempuan tersebut akan merasakan sesuatu
penghormatan dengan getaran dasyat dan menggelegar di telinga, menembus sampai ke
jantung hati.
Ina, ungkapan penghormatan bagi seorang ibu yang meng-isyaratkan begitu halusnya,
begitu dekatnya, begitu saying dan rasa cinta kepada seorang ibu / perempuan.
2. Ama
Kata “Ama” diidentikan dengan ayah/pria. Penghormatan ini diberikan khusus
bagi kaum pria yang sudah bisa dilibatkan dalam pengambilan keputusan dalam setiap
musyawarah. Tapi bagi masyarakat pulau Ambon dan pulau-pulau lease kata “Ama” ini
juga disebut untuk panggilan saying bagi “anak kecil laki-laki”. Bahasa manja seorang
ibu dalam mengkelonin bayi/anak laki-lakinya sering kali di lontarkan kata Ama.
Misalnya: “balong par tidur lai Ama? Tidor jua tuang” . Ama juga bisa diganti dengan
kata Tuang atau Tuan. Identitas ini hanya dijabat oleh kaum pria.
b) Puja dan puji bagi leluhur kita
E.O. James (1950), seorang ahli di bidang sejarah dan filsafat agama, dalam buku
“The Concept of Diety” mengatakan bahwa kesimbangan gender dalam aspek
ketuhanan yang pada masa lampau di puja dan dipuji oleh umat manusia, disimbolkan
bagaikan langit dan bumi. Langit (Sky-God) merupakan simbol Tuhan yang disembah
dan berkuasa. Sedangkan bumi (earth-mother) merupakan simbol Tuhan yang
memelihara dan menjaga.
Pendapat sama pernah dikemukakan Rumi, yang pernah dikutip Erich Fromm
(1956) dalam buku The Art of Loving”. Bahwa dalam pandangan orang-orang bijak,
langit adalah laki-laki dan bumi adalah perempuan. Bumi memupuk apa yang telah
dijatuhkan oleh langit. Jika bumi kekurangan panas, maka langit mengirimkan panas
kepadanya. Jika bumi kehilangan kesegaran dan kelembaban, langit segera
memulihkannya. Langit memayung bumi layak seorang suami menafkahi istirninya; dan
bumipun sibuk dengan urusan rumah tangga: ia melahirkan dan menyusui segala yang ia
lahirkan (Pattipeilohi, 2013). Hal ini juga diyakini masyarakat alifuru yang masih kental
keimanannya (Animisme dan Dinamisme).
c)
Tempat kelahiran
Dari ujung Halmahera sampe Tenggara jauh katong samua basudara, Nusa Ina, Katong
samua dari sana...
Selaku anak negeri, kita harus menanamkan prinsip bahwa Maluku dan Maluku
utara adalah satu. Konsep itu harus ada dan tertanam erat dalam diri orang Maluku
sehingga secara administratif, pemerintahan boleh terbelah tapi pikirannya hanya satu
yakni sebagai Tanah Raja-raja. Maluku saat ini memang tidak dapat dipsahkan dari
pengaruh kekuasaan raja ampat Moloku Kie Raha yakni kerajaan atau kesultanan besar
281
dari Maluku Utara yaitu Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, kesultanan Bacan dan
Kesultanan Jailolo. Bagaikan air yang mengalir dari dara ka kalo maka semua
dipertemukan di Nusa Ina (Pulau Seram) sebagai pulau terbesar dalam struktur
kepulauan Maluku. Karena semuanya berasal dari situ (Nusa Ina/Pulau Seram).
Satu nama satu gandong satu suku
Makna dari kata “satu nama satu gandong satu suku” dapat dijabarkan dalam 3
(tiga) komponen secara singkat, yaitu:
a) Satu Gandong (Nusa Ina)
Selaku anak Maluku, kita dikandung oleh seorang Ina (ibu/perempuan) dalam
rahimnya selaku Rahim kehidupan, yang melahirkan sebuah generasi. Bagaimanapun
juga, Ina secara alamiah, perempuan memeiliki peran besar dalam kehidupan: sebagai
seorang ibu, yang melahirkan dan mebsearkan calon penerus negeri.
b) Satu Suku (Alifuru)
Suku Alifuru di nobatkan sebagai manusia pertama yang menghuni pulau Seram
dan termasuk wilayah lain di kepulauan Maluku. Konon katanya nama "alifuru" berasal
"alif" dari bahasa Arab dan "uru" berarti "orang". Selain "alifuru", juga banyak memiliki
sebutan lain, yaitu "alfur", "alfuros", "alfures", "alifuru" atau "horaforas", sedangkan
orang Belanda menyebut mereka sebagai "alfuren". Terakhir nama "alifuru" berganti
dengan nama "nusa ina", tapi nama ini tidak populer, sehingga nama "alifuru" lah yang
tetap dipakai oleh etnis yang berada di pulau Seram ini.
c) Satu Nama (Maluku)
Pendapat pertama menyatakan kata Maluku berasal dari bahasa Arab yaitu kata
Al-Mulk, Al-Mulk berarti sebagai tanah atau pulau atau negeri para raja. Hal ini
memang benar karena Maluku sampai sekarang pun terdiri atas negeri-negeri kecil yang
lumayan banyak dengan rajanya sendiri-sendiri.
Pendapat kedua menyatakan kata Maluku berasal dari bahasa Ternate yaitu kata Moloku
atau Moloko, dua kata itu Moloku atau Moloko sama-sama berarti sebagai tanah air.
Maluku Manise…..
Kata “Manise” dari dulu hanya ditempelkan dalam ungkapan yang dialamatkan
pada pulau Ambon menjadi Ambon Manise. Mengapa? Ini ada kaitannya dengan “Pasir
putih alus e”. Everhardus Georgius Rumphius tahun 1741 dalam bukunya Het
Amboinesche Kruid Book (Herbarium Ambonese) melaporkan bahwa struktur vegetasi
tanaman terlengkap di dunia ada di pulau Ambon. Fakta saat itu menyatakan bahwa
Ambon dibungkusi dengan vegetasi tanaman yang sangat indah (Pattinama, 2015).
Dalam kekagumannya itulah, dia seringkali menuangkan idenya dalam buku yang
ditulis mengenai pulau Ambon dan sekitarnya. Berkali-kali dia me-restate pulau Ambon
manise yang keindahannya bagaikan surga. Dari sinilah, pelebelan nama Ambon Manise
itu muncul. Untuk menggambarkan keseluruhan alam Maluku kata “Manise” kemudian
di tempatkan setelah kata Maluku yang mengiktisarkan betapa indah dan bagusnya
tanah raja-raja ini.
Kesimpulan
Orang Maluku sering mengungkapkan pokok pikirannya dalam lirik lagu. Setiap
ide selalu menggambarkan keindahan Maluku atau negeri yang menaungi pencipta lagu
tersebut. Untuk dapat memahmi setiap kandungan isi lagu, kita harus melakukan telaah
lebih rinci. Sebab, karakter yang mengikat dalam lagu tersebut, dipilih dengan sangat
jeli oleh pengarang dengan maksud adalah selain mendapatkan keindahan dari nada lagu
tersebut, dapat pula memetik makna dari lirik setiap bait dalam lagu itu.
282
Makalah ini merupakan interpretasi penulis dalam memahami isi lagu Maluku
Tanah Pusaka. Bagi penulis, setiap anak Maluku baik yang ada di perantauan ataupun
yang masih berdiam di negeri seribu pulau ini harus paham benar isi lagu tersebut. Lagu
ini sengaja diangkat untuk mengingatkan kita anak negeri agar lebih mengenal jati diri
sebagai anak Maluku yang semakin Maluku.
Daftar Rujukan
Erich Fromm. (1956). The Art of Loving. Harper & Row. ISBN 978-0-06-091594-0.
Handayani, Wuri. (2014). Analisis Fungsi Sosial Bahasa dalam Lirik Lagu Rejang di
Kabupaten Rejang Lebong. Skripsi. Unpublished. Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni. Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Bengkulu 2014.
James, E,oO. (1950) The Concept of Diety. The Wild Lectures.
Keraf, G. (2007). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Utama
Pattinama, Max.M.J. (2015). Identitas Maluku dalam Konteks Nasional. Proceeding
Seminar Nasional dengan tema: “Identitas Lokal dan Nasional dalam
Konteks Modernitas Global”. Ambon, 24-25 Desember 2015.
Pattipeilohy, M.M. (2013). Ina Hati Tuang (Sebuah perenungan “Dewi Ibu” Ala Orang
Ambon
283
RANAH KOMUNITAS SASTRA
SEBAGAI WAHANA PENGEMBANGAN KARYA SASTRA
Meske Gaspersz
(Guru SMA Negeri 6 Ambon – Indonesia)
Abstrak: Dunia sastra kerap disebut sebagai dunia sunyi yang jauh dari hiruk-pikuk
massa, sastra akrab dengan kesedihan dan perih tragedi. Sastra seperti sebuah dunia
yang menukik ke dalam ceruk paling gelap dari diri manusia. Sastra, sebagaimana juga
seni lainnya, mempunyai dunia sendiri, isu sendiri. Seni untuk seni atau sastra untuk
sastra. Sastra walau bagaimanapun merupakan dokumentasi sosial, yang pada posisi
paling esensi merupakan suara kemanusiaan untuk lebih memanusiakan manusia. Sastra
merekam kejadian-kejadian konkret maupun yang mengamuk dalam psikologi manusia.
Perjalanan dan perkembangan kehidupan karya sastra sangat diwarnai oleh dinamika
perkembangan zaman. Kalau Karl Marx mengatakan bahwa materi begerak sesuai
dengan zamannya, peristiwa yang sama juga berlaku bagi dunia sastra. Oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila terjadi geliat kehidupan sastra di Indonesia, baik sastra
Indonesia maupun sastra tradisional yang terdapat di dalam khazanah sastra daerah.
Pengembangan karya sastra juga dapat dilakukan dalam lingkungan pendidikan melalui
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, ketika banyak siswa menyenangi dan
menyukai pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Namun di sisi lain, tidak dapat
pungkiri bahwa dalam pembelajaran sastra di sekolah seringkali terjadi kendala
perkembangan karya sastra, disebabkan oleh tidak semua siswa menyukai, dan
menyenangi karya sastra tergantung pada minat dan kesukaan siswa pada karya sastra
itu sendiri.
Dalam ranah komunitas sastra banyak hal yang dapat ditemukan dan kembangkan untuk
perkembangan dunia sastra antara lain; lahirnya komunitas sastra, jenis atau kelompok
komunitas sastra, ideologi komunitas sastra dan keadaan sosial, tujuan komunitas sastra,
peran komunitas sastra, tanggung jawab komunitas sastra, dan komunitas sastra sebagai
rumah calon penulis.
Kata kunci: Komunitas Sastra dan Pengembangan karya Sastra
Pendahuluan
Dunia sastra kerap disebut sebagai dunia sunyi yang jauh dari hiruk-pikuk massa,
sastra akrab dengan kesedihan dan perih tragedi. Sastra seperti sebuah dunia yang
menukik ke dalam ceruk paling gelap dari diri manusia. Sastra, sebagaimana juga seni
lainnya, mempunyai dunia sendiri, isu sendiri. Seni untuk seni atau sastra untuk sastra.
Sastra walau bagaimanapun merupakan dokumentasi sosial, yang pada posisi
paling esensi merupakan suara kemanusiaan untuk lebih memanusiakan manusia.
Sehingga sastra mau tak mau memang mesti intim dengan persoalan-persoalan
kehidupan manusia baik suka maupun duka. Ketika di tengah suatu masyarakat
berkecamuk sebuah musibah, patut pula sastra sebagai milik masyarakat untuk
menjeritkan segala duka dan sengsaranya agar dunia tahu dan dapat pula merasa. Sastra
284
mengekalkan sesuatu yang fana. Sastra merekam kejadian-kejadian konkret maupun
yang mengamuk dalam psikologi manusia.
Seorang sastrawan atau seniman, sekalipun dia bertapa di kamar sunyi atau gua
hening ketika mencipta karya besarnya, tetaplah anggota masyarakat dan sebagai
makhluk sosial, karena itu bila dalam proses berliku kreativitasnya dia berselingkuh
dengan isu atau gosip yang mendominasi di masyarakat, itu menunjukkan bahwa dia
berkarya memang bukan untuk dirinya sendiri. Dia mencipta untuk masyarakat sebagai
sumbangsih.
Perjalanan dan perkembangan kehidupan karya sastra sangat diwarnai
oleh dinamika perkembangan zaman. Gerak hidup yang setiap saat terjadi dalam
kehidupan masyarakat di negeri tercinta ini tidak bisa tidak pasti berpengaruh terhadap
perkembangan sastra Indonesia dan daerah. Kalau Karl Marx mengatakan bahwa materi
begerak sesuai dengan zamannya, peristiwa yang sama juga berlaku bagi dunia sastra.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila terjadi geliat kehidupan sastra di
Indonesia, baik sastra Indonesia maupun sastra tradisional yang terdapat di dalam
khazanah sastra daerah.
Perkembangan atau perubahan yang dimaksud mencakup pergeseran nilai
yang hidup dalam dunia sastra berkat pemahaman sang pengarang atau
sastrawan terhadap kehidupan itu sendiri. Dalam kaitan itu, sang sastrawan diharuskan
bagaimana bersikap dan menempatkan diri terhadap perkembangan sosial,
ekonomi, politik, dan spiritualitas di tengah-tengah masyarakat yang terus berbenah.
Dalam konteks itulah, setiap karya yang dihasilkan oleh sastrawan akan menceminkan
banyak hal yang mengitari kehidupannya. http://Sejarah Singkat Perkembangan Sastra
Indonesia _ KOMUNITAS PENULIS FIKSI SASTRA INDONESIA.htm
Pengembangan karya sastra juga dapat dilakukan dalam lingkungan pendidikan
melalui pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, ketika banyak siswa menyenangi
dan menyukai pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Namun di sisi lain, tidak
dapat pungkiri bahwa dalam pembelajaran sastra di sekolah seringkali terjadi kendala
perkembangan karya sastra, disebabkan oleh tidak semua siswa menyukai, dan
menyenangi karya sastra karena tergantung pada minat dan kesukaan siswa pada karya
sastra itu sendiri.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa fenomena sastra dapat dimiliki oleh
seseorang bukan saja dalam proses belajar mengajar di sekolah pada mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia, tetapi secara umum untuk dikenal, diminati, disukai,
bahkan untuk dikembangkan oleh siapa saja yang menggeluti dunia sastra lebih
mendalam lagi melalui ranah komunitas sastra.
Lahirnya Komunitas Sastra
Kelompok-kelompok yang secara sukarela didirikan oleh penggiat dan pengayom
sastra atas inisiatif sendiri, yang ditujukan bukan terutama untuk mencari untung
(nirlaba), melainkan untuk tujuan-tujuan lain yang sesuai dengan minat dan perhatian
kelompok atau untuk kepentingan umum." (Iwan Gunadi, 2006). Inilah pengertian
komunitas sastra versi Iwan Gunadi, seorang pendiri komunitas Sastra Indonesia (KSI),
salah satu komunitas sastra terbesar di Indonesia.
Tidak jarang ditemukan di kampus-kampus segerombolan mahasiswa yang
duduk-duduk santai di taman atau halaman kampus sambil bercakap-cakap ria, sekilas
terlihat sedang terjadi diskusi. Mereka merupakan kelompok-kelompok yang tidak
sengaja membentuk satu koloni karena memiliki tujuan dan minat yang sama, salah
satunya kecintaan dalam dunia sastra dan kepenulisan.
285
Komunitas sastra bukanlah hal baru bagi para penggiat sastra atau yang
menggeluti dunia kepenulisan. Komunitas sastra sebenarnya telah muncul sejak masa
Pujangga Baru. Sekilas menilik sejarah sastra Indonesia, Pujangga baru memang
merupakan nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai
dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di
Indonesia.
Namun sesungguhnya pemberian nama Poedjangga Baroe ini berasal dari
keinginan untuk melakukan gerakan kebudayaan sementara para pelopor dan pelaku di
masa ini yang disebut angkatan Pujangga Baru dengan tokoh-tokoh pemuda terpelajar
yakni antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armin Pane, Amir Hamzah dan Sanusi
Pane. Pujangga Baru ini pun memiliki tujuan yakni menumbuhkan kesusastraan baru
yang sesuai dengan semangat zamannya dan mempersatukan para sastrawan yang sesuai
dengan wadahnya, namun meski demikian Pujangga Baru bukanlah suatu konsepsi
ataupun aliran.
Melalui tujuannya inilah serta para pelopor dan pendiri menunjukkan pada
zamannya telah muncul sebuah kelompok atau komunitas sastra yang terbentuk secara
tidak sengaja hanya karena memiliki kesamaan minat, visi dan misi dalam dunia
kesusastraan.
Dinamika komunitas sastra saat ini semakin membaik dan banyak diterima oleh
berbagai kalangan. Komunitas ini bukan hanya lagi milik para mahasiswa jurusan sastra
Indonesia namun milik semua kalangan tanpa keterbatasan umur. Ada hal unik jika
berbicara tentang Komunitas Sastra. Komunitas ini bukan menuntut sebuah
kepengurusan yang terstruktur, tidak menuntut pengakuan dari banyak orang, tapi lebih
mengacu pada azas kekeluargaan, itulah sebabnya komunitas-komunitas sastra bertahan
lama bahkan beberapa komunitas semakin besar namanya. Banyak Komunitas sastra
awalnya hanya berangkat dari sebuah kelompok kecil yang dibentuk atas dasar
kecintaannya dalam dunia kepenulisan dan sastra.
Beberapa komunitas sastra mengawali kiprahnya hanya dengan beranggotakan
beberapa orang saja namun kini telah banyak melahirkan para penulis-penulis besar.
Inilah awal penggunaan kata "komunitas" untuk kelompok-kelompok yang menggeluti
bidang tertentu yakni sekitar awal Agustus 1996, saat puluhan orang, mulai dari
sastrawan, pemerhati dan peminat sastra, guru, wartawan, pengamen, hingga buruh
pabrik, berkumpul. http://Sejarah Singkat Perkembangan Sastra Indonesia _
KOMUNITAS PENULIS FIKSI SASTRA INDONESIA.htm
Komunitas sastra bukan hanya berkiprah tahun 1996, tetapi sampai saat ini
komunitas sastra terus aktif dalam mengembangkan kesusastraan Indonesia misalnya
dalam provinsi Maluku dan kota Ambon telah banyak komunitas sastra yang
bermunculan dari berbagai kalangan masyarakat, berbeda suku dan agama, tingkatan
usia, maupun dari profesi yang berbeda. Dengan perkataan lain, adanya komunitas
sastra telah menumbuhkan rasa solidaritas diantara umat beragama.
A.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jenis-jenis Komunitas Sastra
Pada umumnya, jenis komunitas sastra bisa terbagi sebagai berikut:
komunitas berbasis kampus
komunitas berbasis nonkampus
komunitas berbasis koran/majalah
komunitas berbasis milis
komunitas berbasis penerbit
komunitas berbasis gerakan literasi
286
Komunitas yang berbasis kampus terlihat umum di seluruh wilayah Indonesia.
Komunitas ini bisa saja tidak terdaftar dalam struktur kelembagaan kampus, namun
sangat terikat pada solidaritas mahasiswa yang satu kampus, seperti terlihat dalam
komunitas Sanggar SK dan Sanggar Nun di UIN Sunan Kalijaga atau Sarkem di UNY
di Yogyakarta. Sedangkan komunitas yang berbasis non-kampus bisa dicontohkan
dengan Komunitas Sastra Indonesia, Forum Lingkar Pena ataupun Komunitas Utan
Kayu.
Sementara itu, salah satu contoh dari komunitas informal adalah sarana kegiatan
sastra yang muncul di balik majalah seperti Horison atau Kalam, koran nasional seperti
Kompas ataupun koran lokal seperti Kedaulatan Rakyat atau Bali Pos. Komunitas
informal eksis dengan redaktur media dan para pemasuk naskahnya sebagai anggota
inti, dan dengan para pembaca sebagai audiens. Komunitas informal berbasis media
cetak ini muncul berdasarkan nilai estetika serta interaksi mereka yang dibagi di antara
para pelaku di atas untuk meningkatkan mutu karya yang dibuat di media tersebut.
Di samping itu, komunitas berbasis media elektronik seperti komunitas milis
Apresiasi Sastra atau milis Bungamatahari juga termasuk kategori ini, karena isi
komunikasi dan keanggotaannya terbuka dan sangat beragam. Keunikan komunitas
berbasis media elektronik adalah kebebasan di mana para peserta bisa mengikuti tanpa
dibatasi waktu, alamat tinggal dan orientasi dalam estetik sastra dan filosofi yang lain,
maka siapa pun bisa berekspresi dengan tulisan apa saja. Namun, hal ini juga
mengakibatkan sulitnya mempertahankan integritas mutu, selera estetik maupun
ideologi yang lain di dalamnya.
Lebih jauh, akhir-akhir ini muncul komunitas berdasarkan penerbit. Sejak
industri penerbitan berkembang, para penulis mendapat lebih banyak kesempatan untuk
menerbitkan karyanya dalam bentuk buku, tanpa melewati proses pemasukkan naskah
ke majalah atau koran. Maka, penulis pemula pun cukup berurusan dengan redaksi
penerbit secara langsung dengan mengirimkan naskahnya melalui email, untuk mencoba
menerbitkan buku sendiri. Juga, perlengkapan fasilitas warnet serta telpon genggam
membuat mereka bisa konsultasi langsung dengan pihak penerbit. Keadaan seperti ini
melahirkan komunitas informal di sekitar persahaan penerbitan buku.
Di samping itu, komunitas yang beranggotakan para staff pemasaran dan redaksi
di penerbit juga mulai aktif. Milis Pasar Buku merupakan komunitas untuk membahas
berbagai persoalan di sekitar pemasaran, distribusi dan retail buku. Sedangkan,
Komunitas Pekerja Buku Indonesia dan Jogmart adalah ikatan pekerja di penerbit yang
membuat berbagai kegiatan berkaitan sastra seperti pasar buku dan seminar. Komunitas
seperti ini memberikan kontribusi untuk memberi solusi mengenai persoalan tentang
buku dari sisi marketing dan distribusi.
Lebih jauh lagi, ada jenis komunitas berbasis gerakan literasi, seperti Rumah
Dunia, 1001 buku dan Indonesia Membaca. Komunitas sejenis ini dimotori individu
yang punya kepedulian tentang kekurangan akses buku bagi kalangan tertentu. Maka,
mereka membangun rumah bacaan di masyarakat lokal, atau mencari donasi buku dari
masyarakat untuk menyalurkannya kepada rumah bacaan di berbagai daerah.
Komunitas pemasaran penerbit dan komunitas gerakan literasi ini tidak berkaitan
dengan sastra secara harafiah, namun makalah ini memasukkan komunitas tersebut
dalam pembahasan, untuk memperluas dimensi wacana komunitas sastra.
http://komunitassastra.wordpress.com
287
Ideologi komunitas sastra dan keadaan sosial
Berlandaskan pada 6 jenis komunitas sastra yang dijelaskan sebelumnya, bagian
ini membahas bagaimana ideologi tentang sastra muncul dari keadaan sosial, untuk
menggambarkan keanekaragaman ideologi yang berpengaruh ke komunitas sastra.
Pertama, sejak penerbitan menjadi industri yang cukup menguntungkan, banyak
pribadi dan komunitas merasa penerbitan buku adalah hal yang tidak terlalu sulit.
Sebagai dampak, banyak komunitas mulai menerbitkan buku atas biaya sendiri ataupun
terkadang terlihat beberapa komunitas sastra yang mampu memutar dana dari hasil
penjualan buku penerbitannya sendiri untuk penerbitan buku berikutnya, atau untuk
membiayai kegiatan-kegiatan sastra yang lain. Dalam keadaan seperti ini, munculah
kepentingan bagi komunitas sastra untuk (1) menerbitkan buku yang laku, dan ini
melahirkan ideologi yang memprioritaskan laba di luar mutu dan estetika dalam sastra.
Dalam situasi seperti ini, munculah popularitas SMSlit, teenlit dan chiclit yang laku
keras di pasar kalangan muda, meskipun buku tersebut belum tentu berbobot. Ini
menciptakan ideologi bahwa (2) sastra adalah komoditas untuk hiburan atau untuk
mengekspresikan gaya hidup. Kedua ideologi ini mendukung makna buku sebagai
benda, dan mempopulerkan kegiatan orang membeli, membawa, membaca, menerbit
buku serta menyertai komunitas sastra sebagai gaya hidup. Lagi pula, perhatian terhadap
laba dalam penerbitan mendorong orang untuk berpikir tentang bagaimana memperbaiki
efisiensi sistem distribusi dan retail yang hingga kini banyak yang bermasalah dalam
industri tersebut.
Kedua, inovasi teknologi informasi memperluas dan memperbanyak sarana
sastra. Sekarang banyak orang bisa mampir di warnet, untuk menerbitkan karya atau
berkomunikasi dengan yang lain dalam milis atau blog sastra. Penyebaran SMS juga
mempererat intensitas korespondensi antara pelaku sastra yang tinggal di wilayah
berjauhan, untuk saling berbagi karya atau komentar melalui SMS. Sebagai akibat,
keadaan ini melemahkan kekuasan redaksi atau kritik sastra sebagai “paus sastra” yang
hingga kini dianggap mutlak untuk menilai sastra. Keadaan ini mendorong ideologi (3)
egalitarianisme dan anti-elitisme dalam sastra.
Namun, ideologi ini yang menjunjung kebebasan ekspresi juga melahirkan rasa
waspada terhadap kebebasan itu sendiri. Sekarang, sudah tidak ada kekuasaan yang
harus kita takuti, entah itu paus sastra atau lembaga sensor negara. Padahal, masyarakat
kemudian menciptakan batas kebebasan dengan sendiri, dengan menggunakan ideologi
seperti (4) antiliberalisme, antineo-imperialisme atau anti-eksploitasi seksualitas
dalam sastra.
Ketiga, kemunculan banyak aktivitas untuk memberdayakan masyarakat melalui
buku dilatarbelakangi oleh ideologi (5) buku adalah alat untuk mewujudkan
keadilan sosial. Ideologi ini menunjukkan bahwa aktivisme sastra bisa menghadapi
masalah nyata di masyarakat, di luar pembahasan sastra konvensional tentang keadilan
sosial yang abstrak. Demikian, ideologi ini mengaitkan persoalan buku dengan
keperdulian masyakat terhadap kalangan yang tidak mampu. Dalam hal ini, ideologi ini
telah memperluas makna buku dan komunitas sastra di luar sisi filosofis-estetik.
http://komunitassastra.wordpress.com
Tujuan Komunitas Sastra
Dalam komunitas sastra, interaksi sosial itu dibentuk melalui kepentingan yang
dapat bersumber dari tujuan-tujuan yang sama yang hendak dicapai anggota-anggota
komunitas yang bersangkutan dalam kehidupan kesusastraan. Lokalitas dan perasaan
sekomunitas menjadi daya lekat komunitas itu dalam mencapai tujuan bersama mereka.
288
Tujuan yang hendak dicapai suatu komunitas sastra bergantung pada kesepakatan
bersama anggota-anggotanya, baik dirumuskan secara formal (dalam bentuk anggaran
dasar, misalnya) maupun kesepakatan yang diputuskan secara informal.
Di dalam lingkungan komunitas-komunitas sastra non akademik yang bersifat
institusional, misalnya dewan-dewan kesenian atau lembaga-lembaga kebudayaan,
tujuan bersama itu dirumuskan dan ditentukan sebelumnya melalui kesepakatan
organisasional yang bersifat formal. Sebaliknya komunitas-komunitas sastra
nonakademik yang bersifat noninstitusional merumuskan tujuan bersama itu secara
informal di antara anggota-anggotanya.
Tinggi atau rendahnya peran komunitas sastra dalam menumbuhkan tradisi sastra
yang kuat tidak terletak pada bentuk formal atau informalnya melainkan pada intensitas
diskursus pemikiran yang berlangsung di dalamnya. Lokalitas dan perasaan sekomunitas
menggerakkan aktivitas dan dinamika internal komunitas sastra dalam berbagai-bagai
bentuk, seperti pemublikasian buku, buletin, majalah, jurnal kebudayaan, dan kegiatan
sastra lainnya. http://komunitassastra.wordpress.com
Peran Komunitas Sastra Dalam Perkembangan Karya Sastra
Perkembangan sastra di Indonesia mengalami dinamika kemajuan yang
signifikan. Perkembangan itu terlihat dari antusias generasi muda dalam menjaga
keberlangsungan sastra di Indonesia dengan atau pun tanpa berkomunitas untuk
mewujudkan ekspresi dalam penampilan yang konkrit, yang berasal dari inspirasiinspirasi yang mereka tangkap dari kondisi dan sudut pandang yang berbeda. Sehingga
sastra di Indonesia pun mempunyai keberagaman bentuk dalam proses kreatifitas dan
pemaknaan terhadap sebuah karya.
Keberagaman pandangan dan memahami sastra dalam literasi pada umumnya,
merupakan upaya dari pelaku sastra mengembangkan budaya masa dalam masyarakat
yang lebih baik. Sehingga proses peleburan sastra yang mengalir sejalan dengan
perkembangan wacana tidak hanya di dominasi oleh kesenian borjuis yang hanya
mengandalkan nilai jualnya saja. Saat ini sastra tidak hanya menjadi wacana tekstual
tetapi menjadi wacana kontekstual yang mengakar pada budaya masa. Maka, ini adalah
kesempatan para pelaku sastra memberikan pendekatan kepada masyarakat tentang
sastra dan kebudayaan murni yang lebih sederhana dan nyata agar mampu diterima oleh
masyarakat awam sekalipun. Dapat kita bayangkan ketika sastra dan kebudayaan murni
kembali pada masyarakat secara luas yang mampu dinikmati dan mengilhami
masyarakat dalam tataran sederhana sampai yang kompleks, maka masyarakat
mempunyai dimensi sastra dan budaya yang mampu menjadi benteng dari penjajahan
budaya-budaya luar yang terus menggerus dan merubah pola pikir masyarakat, yang
tanpa sadar terkondisikan. Sastra bukan lagi milik sastrawan tetapi milik kita, milik
masyarakat karena dari situlah lahirnya sastra dan kebudayaan murni.
Sastra tak hanya dibicarakan dalam diskusi-diskusi, seminar-seminar formal
ataupun ditampilkan dalam pertunjukan-pertunjukan eksklusif tapi telah menjelma
menjadi masyarakat itu sendiri. Maka wacana sastra akan terbangun di perkampunganperkampungan, warung-warung kopi sampai masyarakat emperan. Dalam setiap
perkembangan sastra ada rantai kerjasama simbiosis mutualisme yang harus terbangun
antara Pemerintah, Media-media masa, LSM, komunitas-komunitas seni dan sastra dan
masyarakat, disinilah peranan masing-masing untuk saling menjaga dan mendukung
dalam melestarikan sastra dan kebudayaan Indonesia, Negara yang kaya akan
kebudayaan dan suku sesuai porsi masing-masing. Dengan berbagai sudut pandang
tetapi satu tujuan. Pastinya kita sebagai arek Indonesia tidak ingin kecolongan lagi.
289
Sebuah pengakuan kepemilikan kebudayaan harus ada tindakan untuk menjaga dan
melestarikan agar tetap terjaga di tempatnya, di pemilik asli. Tetapi kalau tak ada
tindakan itu, jangan salahkan bila orang lain mengambil itu menjadi miliknya.
Upaya untuk mengenalkan kebudayaan pada generasi penerus harus terus
dilakukan, seperti mengembalikan muatan-muatan lokal (sebagian daerah di Indonesia
menghapus muatan lokan dari kurikulum) pada kurikulum pendidikan di Indonesia.
Komunitas Merah Saga (di Maluku, berdiri 3 tahun lalu) adalah salah satu komunitas
yang menangkap dinamika dan gairah sastra di masyarakat, dan ikut serta ambil peranan
dalam perkembangan sastra Indonesia dengan memfasilitasi masyarakat untuk
mengenal, mencintai dan menikmati sastra secara utuh. Komunitas Merah Saga
mempunyai cara sendiri yang menjadikan masyarakat merasa lebih dekat,
membicarakan sastra sampai pada performing art hasil dari kreatifitas yang mampu
memberi hiburan yang bukan sekedar hiburan bagi masyarakat tapi memberi
pengetahuan lebih untuk memahami sastra. Dengan cara interaktif kami melibatkan
mereka secara langsung, sehingga mereka selayaknya pelaku seni dan sastra. Interaksi
seperti inilah agar mereka juga merasakan geliat dinamika sastra dan budaya seperti
yang kami rasakan juga menjadi salah satu titik tolak ukur seberapa peduli masyarakat
terhadap keberlangsungan sastra dan budayanya sendiri, dan meluruskan pandangan
sebagian masyarakat yang menganggap bahwa sastra itu hanya sebatas muara kata-kata
indah dan penggalan teori yang tetap menjadi kata. Tidak hanya itu saja peranan yang
kami berikan pada masyarakat, walaupun Merah Saga komunitas yang masih baru,
dengan semangat kami juga mengelola berbagai kegiatan yang dilakukan, seperti teater,
pantomim, puisi, musikalisasi puisi ataupun monolog. Selain itu, komunitas Merah Saga
juga terlibat langsung dalam setiap event nasional, dan kegiatan yang rutinitas dilakukan
adalah dengan melaksanakan pentas seni di dalam lingkungan kampus Universitas
Pattimura atau bahkan di Lapangan Merdeka Ambon.
Sebagaimana lazimnya sebuah organisasi akan terus eksis tergantung pada proses
kaderisasi. Beberapa organisasi atau perkumpulan mengadakan pembukaan bagi kaderkader baru setiap semester atau satu kali dalam setahun demi keberlangsungan
organisasinya. Begitu pula dengan komunitas Merah Saga, komunitas yang 3 tahun
belakangan ini mewarnai dunia teater dan kesusatraan di Maluku dengan pementasan
teater, program Merah Saga Road school dan lomba baca puisi tingkat SMP se pulau
Ambon akan membuka peluang bagi pemuda Maluku baik itu Mahasiswa maupun
pelajar untuk berkarya dalam dunia kesenian dan kesusastraan. Upaya dalam
mengembangkan berbagai program komunitas Merah Saga selalu dilakukan dengan
pendekatan kekeluargaan, Merah Saga mencoba menarik simpatik bagi setiap orang
yang ingin bergabung, membangkitkan dunia teater Maluku yang terkesan tak punya
tempat dibandingkan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Kami yakin dengan usaha-usaha yang kami lakukan itu adalah sebuah jalan
untuk merealisasikan dan upaya pengembangan dunia satra di daerah Maluku dengan
harapan agar kesadaran budaya dalam masyarakat akan terbentuk lebih baik, kesadaran
terhadap pentingnya menjaga kelestarian kebudayaan dan keberlangsungan sastra
Indonesia (wawancara dengan salah satu anggota Komunitas Merah Saga atas nama
Irene Risakotta).
290
Komunitas Sastra sebagai wujud tanggungjawab Sastra
Tanggungjawab sendiri bagi sastrawan mempunyai dua arah, yaitu:
tanggungjawab secara profesional dan tanggung jawab moral. Tanggung jawab
profesional sastra terkait dengan penentuan standar sastra sekaligus perilaku profesional
sastrawan dalam berkarya dengan mengemban paradigma sastra sebagai bagian dari
humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan yang menekankan kreativitas, kebaruan,
orisinalitas, keunikan, mencari makna dan nilai, bertujuan menumbuhkan kekaguman,
bersifat normatif dan deskriptif, pemahaman rasional dan imajinasi, bahasa yang
dramatik, emosional, dan purposif.
Tanggung jawab moral terkait dengan standar legal dalam berkarya sastra,
berperan sebagai pemandu perilaku profesional dan pengendali integritas pribadi pelaku
sastra sekaligus karyanya jangan sampai melanggar hukum dan standar moral yang
secara umum berlaku dalam masyarakat, dalam lingkup lokal maupun global, sekaligus
pemandu ketika terjadi konflik antarstandar moral, atau konflik antara standar moral
dengan standar legal.
Peran komunitas-komunitas sastra sangat menentukan bagaimana wujud
tanggungjawab karya sastra menjadi hidup dalam keberadaannya sebagai diri sastra
sendiri, sekaligus sebagai bagian dari masyarakat serta peradaban. Akibatnya, kita
sangat mengenal bagaimana corak standar berkarya kreatif antar masing- masing
komunitas menjadi sangat berbeda-beda.
Upaya peningkatan tanggungjawab kesusastraan memang membutuhkan
pendidikan (dalam arti luas) yang menjamin integritas profesional dan moral, juga
membutuhkan kontrol publik terhadap kinerja para pelaku sastra dalam berbagai ranah.
Komunitas yang tidak ada kontrol dan menyerahkan kendali kepada seseorang tanpa
kontrol internal dalam komunitas dan kontrol eksternal dari publik, bakal menjadi pintu
masuk komunitas sastra lepas tanggungjawab kedua-duanya: profesional sekaligus
moral (Yonathan Rahardjo. 2006. Komunitas Sastra. Jurnal Nasional 16 Desember
2007)
Komunitas Sastra sebagai rumah calon penulis
Selain komunitas sastra yang telah diakui secara nasional, beberapa komunitas
kecil atau komunitas sastra di daerah juga banyak yang telah mencetak para penulis
yang berkualitas dan akan menjadi calon penulis besar.
Meskipun aktivitas menulis lebih sering dianggap sebagai aktivitas individual
ternyata banyak penulis yang menganggap peran komunitas penulis sungguh besar
dalam mengembangkan kreativitas dan ketrampilannya menulis. Pergesekan pemikiran
dalam komunitas memberikan wawasan bagi para penulis yang terlibat di dalamnya.
Kecakapan-kecakapan menulis dapat ditularkan dengan saling belajar pada rekan satu
komunitas. Inilah peran dari adanya sebuah komunitas, saling belajar dan saling
berbagi.
Komunitas sastra inilah yang menjadi rumah para calon penulis dan penulis besar
untuk mampu terus berkarya dan saling mengexplore pengalaman masing-masing dalam
kepenulisan. Tentunya komunitas sastra sangat berperan penting dalam pembentukan
pola pikir, kemampuan dan kualitas karya seseorang tentunya dengan saling berbagi
pengalaman dan ilmu. http://Sejarah Singkat Perkembangan Sastra Indonesia _
KOMUNITAS PENULIS FIKSI SASTRA INDONESIA.htm
291
Daftar Rujukan
Yonathan Rahardjo. 2006. Komunitas Sastra (Jurnal Nasional 16 Desember 2007)
Diposkan oleh Sang Kuli di Sabtu, Desember 22, 2007.
http://Sejarah Singkat Perkembangan Sastra Indonesia _ KOMUNITAS PENULIS
FIKSI SASTRA INDONESIA.htm
http://komunitassastra.wordpress.com
http://komunitassastra.wordpress.com
292
PEMBELAJARAN NILAI SOLIDARITAS DALAM KARYA IMAJINATIF
Muliadi
(Fakultas Sastra Universitas Muslim Indonesia Makassar – Indonesia)
Abstrak: Karya imajinatif atau karya kreatif adalah mencakup cerpen, cerber, novel,
drama, dan puisi. Dalam kajian ini. penulis hanya mengambil salah satu contoh karya
imajinatif, yaitu puisi. Puisi adalah hasil karya imajinatif dari sang Penyair atau
Sastrawan, yang merepresentasikan beragam nilai di dalamnya (nilai multikultural),
seperti nilai religius, nilai filosofis, nilai estetis, dan nilai etis. Namun, dalam makalah
ini yang dikaji hanya nilai etis karena nilai ini erat kaitannya dengan kata solidaritas
yang ada pada judul di atas.
Puisi sebagai karya imajinatif selalu berusaha menyajikan nilai yang bersifat oposisi
biner, yakni yang baik dan yang buruk, yang indah dan yang jelek, yang jujur dan yang
bohong, solidaritas positif dan solidaritas negatif atau kesetiaan posistif dan negatif.
Sumber data dalam kajian ini adalah puisi karya Husni Djamaluddin yang berjudul
“Ambon dulu, Ambon sekarang” . Untuk mengungkap nilai solidaritas dalam puisi-puisi
tersebut, penulis menggunakan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur. Pendekatan
hermeneutika Paul Ricoeur yang dimaksud adalah tahap semantik, tahap repklesif, dan
tahap eksistensial. Dengan cara demikian, nilai puisi dapat tersingkap dari balik katakata yang digunakan oleh sang penyair.
Kata-kata Kunci: Nilai, Solidaritas, Puisi, dan Karya Imajinatif
Pengantar
Nilai merupakan sinonim dengan kata value dalam bahasa Inggris dan valere
dalam bahasa Latin, serta valoir dalam bahasa Prancis Kuno, yang secara umum disebut
keberhargaan atau kebaikan (Mulyana, 2004:7). Kalau dalam bahasa daerah Ambon
nilai dapat disamakan dengan niolilieta/hiolilieta/siolilieta (kebaikan) dan dalam bahasa
Bugis nilai dapat disebut sebagai akessingeng (kebaikan). Nilai jika dipersepsi dalam
konteks tertentu dapat menjadi sesuatu yang fenomenal dan khas dalam kehidupan
manusia. Maksudnya, fenomenal karena tidak semua orang sepakat untuk
mendefinisikan nilai secara seragam dan sangat khas karena belum tentu semua orang
memberikan penilaian yang sama terhadap suatu objek yang diamati. Misalnya, dua
pemuda yang ditawari sebuah cincin yang terbuat dari batu akik yang indah dan
cangkangnya (pengikatnya) terbuat dari perak. Kedua pemuda tersebut belum tentu
menilainya sama dengan alasan masing-masing, mungkin pemuda pertama mengatakan
bahwa hiasan itu adalah hiasan yang bagus dan karenanya berusaha untuk memilikinya,
sedangkan mungkin pemuda kedua mengatakan bahwa hiasan itu kurang bagus karena
bentuknya tidak sesuai dengan keinginannya sehingga ia tidak tertarik untuk
memilikinya. Contoh yang lain, orang Bugis-Makassar menilai tidak baik atau kurang
sopan membuka hadiah dari pemberian seseorang di hadapannya, sementara orang Barat
menilai baik atau tetap menganggap sopan jika membuka hadiah dari pemberian
seseorang di hadapannya (maksudnya, di hadapan orang pemberi hadiah tersebut) .
Nilai merupakan derajat, kualitas, mutu, sifat ketinggian pemikiran, agama, dan
kemasyarakatan (Iskandar, 1998:864). Hal ini menunjukkan bahwa nilai adalah sesuatu
293
yang sangat berarti, sangat berharga, dan sangat perlu dalam kehidupan manusia. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Gazalba (1998:33) bahwa nilai adalah sesuatu yang
dipandang berharga oleh manusia atau kelompok manusia. Sementara, Ali ibn Abi
Thalib (dalam al-Qarni, 2008:178) mengatakan bahwa nilai manusia terdapat dalam
perbuatan baik yang dia lakukan. Makanya, ilmu pengetahuan manusia, adab
kesopanannya, kedermawanan, ibadah, serta akhlak dan moralitasnya adalah nilai diri
yang sebenarnya dan bukan wajah, gayah, dan kedudukannya. Pernyataan ini sesuai
pula dengan (QS.Al-Baqarah:221) yang artinya, “Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.”
Solidaritas berasal dari kata solidarity. Kata ini dipopulerkan oleh seorang
sosiolog dari Prancis, yang bernama Emile Durkheim sekitar Abad ke-19. Solidarity
dalam bahasa Indonesia
adalah
berarti kesetiakawanan atau kekompakan.
Kesetiakawanan terbagi atas dua, yakni kesetiakawanan positif dan kesetiakawanan
negatif. Kesetiakawanan positif akan melahirkan nilai-nilai yang hakiki dan diharapkan
oleh semua manusia secara universal, bersifat konstruktif dalam kehidupan manusia.
Sementara itu, kesetiakawanan negatif akan melahirkan nilai-nilai semu, hanya
diharapkan sekelompok manusia karena hakikinya bersifat destruktif dalam kehidupan
manusia. Nilai seperti itulah yang akan diungkap dalam kajian ini dengan pendekatan
hermeneutika Recoeur.
Puisi sebagai karya imajinatif merupakan rekayasa tanda, yang terlahir dari
seorang sastrawan. Hal itu dipahami demikian karena dalam proses pelahiran karya
sastra, ide telah mengada mendahului tanda sehingga bentuk dan struktur tanda sebagai
eksistensi sekunder tidak dapat dipisahkan dengan pengadanya, yakni sastrawan
(Muliadi, 2014:1). Oleh karena itu, adanya sastra (puisi) baik secara lisan maupun
secara tertulis bukan atas kehendak dirinya sendiri, melainkan atas kehendak dan
harapan sastrawannya.
Kehendak dan harapan yang mengada dan menggejala dalam ruang idea atau
ruang batin sastrawan terjadi sebagai akibat hubungan resiprokal ruang dan waktu
kelampuan dan keakanan. Hal ini dipahami demikian karena ide mengada setelah fungsi
sensori penyair menyentuh dan memaknai sinyal keberadaan lain, yakni konteks. Tanpa
konteks, ide dalam ruang batin tidak pernah mengada karena konteks selalu mengada
mendahului adanya sastrawan atau penyair. Pada peristiwa resiprokal tersebut, ruang
dan waktu kelampuan merupakan fenomena alam dan sosial budaya yang dengan
sengaja dimaknai dan diletakkan pada ruang pengalaman dan pengetahuan, dalam ranah
empiris penyair. Pada sisi lain, ruang dan waktu keakanan adalah kehendak dan harapan
yang dengan sengaja dikonstruk dalam ruang ide sastrawan untuk diwujudkan dalam
bentuk dan struktur puisi, sebagai objek formal atau objek rekayasa tanda (artificial
sign). Karena itu, dalam setiap eksistensi puisi ruang dan waktu kelampauan dapat
dikenali sebagai sesuatu atau hal yang tersurat dan tersorot, yakni kata, baris, dan bait,
sedangkan keberadaan ruang dan waktu keakanan dapat dikenali sebagai yang tersirat,
yakni isi, tema, pesan (intention), dan atau pemikiran yang sengaja diinskripsikan
sastrawannya.
Puisi yang disajikan sebagai sumber data adalah puisi Husni Djamaluddin. Husni
Djamaluddin (HD) adalah pemuisi dari Sulawesi Selatan, yang sudah menasional. Para
sastrawan Sulawesi Selatan memberi apresiasi yang sangat istimewa terhadap karya
HD karena kedalaman dan ketajaman makna atau nilainya. Taufiq Ismail (dalam Yunus
dkk., 2004:247) menyatakan penyair yang dapat menulis puisi yang memiliki
kedalaman makna hanyalah penyair yang telah dipingpong intensitas pengalaman fisik
dan batin, melintasi antara hayat dan maut. “Terima kasih Husni, kapan saya akan
294
sanggup mengikuti siraath Anda, bergabung dengan kehendak Allah semata?” Adapun,
A. Moein MG (dalam Yunus dkk., 2004:1) menggelarinya sebagai “Panglima Puisi”
karena kemahiran dan ketekunannya dalam merangkai kata-kata menjadi sebuah puisi
serta kesetiannya dalam mencipta puisi sehingga pada akhir hayatnya masih sempat
menulis puisi, yakni pada saat ia sedang dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.
Puisi yang ditulis terkahir sebelum menghembuskan nafas terakhirnya adalah “Ajal,
Sebelum Datang” dan “Apa Kata Rakyat tentang HPH Konglomerat”. Di bawah ini
dituliskan puisi paling terakhirnya:
APA KATA RAKYAT
TENTANG HPH KONGLOMERAT
Seluruh kawasan hutan ini
Kita yang punya
Kecuali
Pohon-pohonnya
17 Agustus 2004
Pendekatan
Data makalah ini berupa kutipan kata, baris, dan bait dari teks puisi. Dengan
data seperti itu, maka makalah ini cocok dikaji dengan kajian kualitatif. Kutipan kata,
baris, dan bait dari teks puisi tersebut disesuaikan dengan masalah yang akan dibahas
dalam makalah. Masalah yang dibahas dalam makalah ini dikaitkan dengan tempat
pelaksanaan HISKI kali ini, yakni di Ambon. Setelah membaca kumpulan puisi Husni
Djamaluddin yang berjudul, Indonesia, Masihkah Engkau Tanah Airku? penyaji
menemukan puisi yang menarik dan menganggap cocok atau pas dengan tempat
pelaksanaan HISKI. Puisi yang dimaksud adalah puisi yang berjudul, “Ambon dulu,
Ambon sekarang”. Puisi Ambon dulu, Ambon sekarang dianggap menarik dan
teristimewa karena ditujukan kepada Mayjen Suaidi Marasabessy, yang pada saat itu
beliau sedang menjabat sebagai Panglima Daerah Militer (Pangdam) VII Wirabuana
dan pada saat itu pula terjadi kerisis kemanusian yang luar biasa di kota Ambon Manise
ini. Puisi tersebutlah yang dikaji dalam makalah ini dengan pendekatan hermeneutika.
Adapun, hermeneutika yang dimaksud adalah hermeneutika Ricoeur. Menurut
Ricoeur, hermeneutika adalah teori mengenai aturan-aturan penafsiran terhadap teks
tertentu atau pun sekumpulan tanda maupun simbol yang dianggap sebagai teks
(Suratno, 2005:105). Dengan demikian, hermeneutika berupaya untuk menghilangkan
misteri yang terdapat pada simbol atau teks (karya sastra) dengan cara membuka
selubung yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol atau teks tersebut.
Ricoeur (2006) menyatakan bahwa sebuah teks adalah otonom atau berdiri
sendiri dan tidak bergantung pada maksud
pengarangnya (pembaca dapat
menginterpretasi sendiri). Selanjutnya, hermeneutika Ricoeur membutuhkan satu
dugaan dan yang satu memperkirakan yang lainnya. Hal ini disebabkan teks
mengandung pluralitas makna yang inhern yang memungkinkan ditafsirkan dengan
berbagai macam cara. Hal ini menandakan bahwa interpretasi merupakan proses yang
terbuka, tetapi tidak berarti sewenang-wenang dan berubah-ubah. Dalam melakukan
penafsiran yang mendalam, penafsir memasuki dunia teks, mengikuti gerak pemahaman
ke makna lain (referensial), dari struktur internal ke dunia yang diproyeksikan (Rafiek,
2010:6).
Langkah kerja hermeneutika Ricoeur adalah sebagai berikut: (1) langkah
simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol, (2) langkah pemberian makna oleh
295
simbol serta penggalian yang cermat atas makna, (3) langkah yang benar-benar filosofis,
yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya. Ketiga langkah
tersebut berhubungan erat dengan langkah-langkah pemahaman bahasa, yaitu semantik,
refleksif, serta eksistensial atau ontologis (Sumaryono , 1999: 111). Ketiga langkah
tersebut dipakai dalam mengungkapkan nilai solidaritas atau kesetiakawanan pada puisipuisi yang dimaksud.
Pembahasan
Di bawah ini disajikan puisi yang berjudul Ambon dulu, Ambon sekarang.
Surat puisi sebelas Maret
kepada Mayjen Suaidi Marasabessy
Ambon dulu
Ambon sekarang
I
ambon dulu ambon manise
pukul tifa
menari lenso
katong bagoyang badane
ambon dulu ambon manise
masjid dan gereja
dibangun rame-rame
Tuhan pun amatlah senang
ambon dulu ambon manise
kebun pala dan pohon cengkeh
berbunga dan berbuah
di belakang rumah
ambon dulu ambon manise
ombak datang dari laut
pantai putih pantai natsepa
tempat bernyanyi sampai pagi
ambon dulu ambon manise
ambon dituntun pela gandong
satu rumah dua agama
satu darah dua kampong
II
ambon sekarang ambon menangise
pukul tifa dengan tombak
panah dan bom meledak
mengoyak-ngoyak
dada dan kalbu
orang bersaudara
ambon sekarang ambon menangise
masjid dan gereja
dibakar rame-rame
296
Tuhan pun amatlah sedih
ambon sekarang ambon menangise
kebun pala dan pohon cengkeh
telantar
di belakang rumah yang terbakar
ambon sekarang ambon menangise
pantai putih jadi pantai merah
di situ darah sudah tumpah
dari sesama ambon yang luka parah
ambon sekarang ambon menangise
pela gandong tinggal cerita nenek moyang
ambon sekarang
ukulele yang kehabisan lagu
ambon sekarang
puisi duka
yang kehabisan kata
ambon sekarang
adalah mama
yang kehabisan air mata
jangan sampai
ambon kehabisan doa
jangan sampai
ambon kehabisan harapan
Makassar, 11 Maret 1999
Puisi yang berjudul “Ambon dulu, Ambon sekarang” di atas terbagi ke dalam
dua bagian, yakni bagian I (Ambon dulu) terdiri atas 5 bait dan setiap bait terdiri atas 4
larik (baris), sedangkan bagian II (Ambon sekarang) terdiri atas 7 bait dan setiap bait
tidak semua sama jumlah lariknya.
Nilai solidaritas atau kesetiakawanan yang diketahui dan ditemukan pada puisi
“Ambon dulu, Ambon sekarang” ditempuh melalui satuan informasi. Satuan informasi
yang dimaksud adalah subjek dan predikat. Kata dan atau kelompok kata yang tergolong
subjek dan predikat, seperti tampak pada tabel berikut ini.
Subjek
Ambon dulu ambon manise
Ambon sekarang
menangise
ambon
Predikat
pukul tifa menari lenso, katong bagoyang badane
masjid dan gereja dibangun rame-rame, Tuhan pun
amatlah senang
pantai putih pantai natsepa, tempat bernyanyi sampai
pagi
Ambon dituntun pela gandong, satu rumah dua
agama, satu darah dua kampong
pukul tifa dengan tombak, panah dan bom meledak
(yang) mengoyak-ngoyak dada dan kalbu orang
bersaudara
masjid dan gereja dibakar rame-rame, Tuhan pun
amatlah sedih
297
kebun pala dan pohon cengkeh telantar (karena) di
belakang rumah terbakar
pantai putih (men-)jadi pantai merah, di situ darah
sudah (ter-)tumpah, dari sesama Ambon yang luka
parah
pela gandong tinggal cerita nenek moyang
ukulele yang kehabisan lagu
puisi duka yang kehabisan kata
adalah mama yang kehabisan air mata
jangan sampai kehabisan doa (dan) harapan
Keterangan:
Kata yang ditulis dalam kurung dan tanda baca sengaja dimunculkan (interpolasi)
untuk melugaskan informasi yang terinskripsi dalam pernyataan tersebut.
Puisi di atas secara tersurat telah menunjukkan oposisi biner. Hal tersebut tampak
pada judul, yakni pemakaian kata Ambon dulu dan Ambon sekarang. Perbedaan
pemakaian kata itu tentunya membawa konsekuensi makna yang berbeda pula karena
pemuisi/penyair yang sudah profesional selalu mempertimbangkan aspek pilihan kata
yang tepat untuk mengusung makna yang cocok atau yang sesuai dengan harapan yang
dikehendakinya, seperti pemuisi Husni Djamaluddin. Ambon yang diikuti dengan kata
dulu menunjukkan adanya lawan kata, yakni Ambon yang diikuti dengan kata sekarang.
Kata Ambon yang diikuti dengan kata keterangan dulu menunjukkan arti masa yang
telah lalu, telah lewat, atau telah lampau, sedangkan kata Ambon yang diikuti dengan
kata sekarang menunjukkan arti masa kini, atau masa yang sedang berjalan. Perbedaan
kedua kata yang mengikuti kata Ambon tersebut jelas mengusung makna yang berbeda
pula, perbedaan itulah yang dijelaskan dengan pendekatan hermeneutika.
Pada abstraksi puisi di atas, kata dan atau kelompok kata Ambon dulu ambon
manise dikategorikan sebagai subjek. Kata Ambon menunjukkan nama tempat dan
dalam lembaran Negara, Ambon merupakan Ibu Kota Provinsi Maluku. Kata dulu
menunjukkan arti masa yang telah lalu, telah lewat, atau telah lampau, sedangkan kata
manise berasal dari kata manis yang berarti rasa yang seperti rasa gula, enak, elok,
ramah, menyenangkan, damai dan sebagainya. Dari pemahaman semantik tersebut,
maka dapat direfleksikan bahwa Ambon dulu ambon manise menunjukkan suatu hal
yang membahagiakan . Hal yang membahagiakan tentu didambakan oleh setiap individu
karena menyangkut soal fitrah kemanusiaan. Fitrah kemanusiaan secara hakiki adalah
menginginkan ketentraman, kedamaian, ketenangan dalam kehidupan, baik secara
individu, kelompok, atau pun berbangsa dan bernegara.
Berkaitan dengan makna semantik dan refleksif tersebut, maka makna eksistensi
Ambon dulu ambon manise tergambarkan, seperti pada kata dan atau kelompok kata
yang terkategorikan predikat, sebagai berikut: pukul tifa menari lenso, katong bagoyang
badane/ masjid dan gereja dibangun rame-rame, Tuhan pun amatlah senang/ pantai
putih pantai Natsepa, tempat bernyanyi sampai pagi/ Ambon dituntun Pela Gandong,
satu rumah dua agama, satu darah dua kampong. Sungguh indah Ambon dulu ambon
manise, orang dapat bermain gendang, menari, dan bergoyang riang serta bergotong
royong dalam membangun tempat ibadah (masjid dan gereja) dengan saudara, sahabat,
secara bersama-sama meskipun di antara mereka berbeda suku, ras, dan agama, mereka
tetap rukun dan damai. Mereka (Ambon dulu) memahami dengan baik dan
mengimplementasikan dengan penuh tanggung jawab tentang nilai Pela Gandong. Pela
298
Gandong bagi Ambon dulu merupakan harga mati yang tidak boleh ditawar-tawar lagi,
pedoman dalam kehidupan, kearifan lokal yang dijunjung tinggi karena nilai yang
diembannya sangat memanusiakan manusia tanpa melihat latar belakang budaya, suku,
ras, dan agama, semuanya menyatu dalam hidup yang penuh kedamaian. Itu berarti
bahwa mereka telah menerapkan pula makna bhineka tunggal ika, yang menjadi modal
perekat bangsa dari Sabang sampai dengan Maraoke.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa Ambon dulu
memegang teguh nilai-nilai yang termaktub dalam Pela Gandong. Nilai-nilai yang
termaktub dalam Pela Gandong salah satunya adalah solidaritas/kesetiakawanan positif
(meminjam istilah Emile Durkheim). Kesetiakawanan positif adalah kesetiaan yang
luhur, yang jauh dari siasat dan tipu daya karena ingin mementingkan diri sendiri atau
pun kelompok. Dengan kata lain, kesetiakawanan positif adalah kesetiaan yang
mengutamakan kepentingan bersama, kedamaian bersama, dan akhirnya kebahagian
bersama. Sebernarnya inilah nilai Pela Gandong yang dipahamkan oleh Husni
Djamaluddin dalam puisinya, khususnya untuk bagian yang pertama.
Pada bagian kedua, kata dan atau kelompok kata yang terkategorikan sebagai
subjek adalah Ambon sekarang ambon menangise. Kata sekarang berarti bersinonim
dengan masa kini, masa yang sedang berjalan, sedangkan kata menangise berasal dari
kata dasar tangis yang mendapat awalan men- dan akhiran e dalam bahasa Ambon.
Dalam bahasa Indonesia baku tidak ditemukan atau tidak dikenal akhiran e, yang
ditemukan adalah akhiran –an, -kan, dan –i. Kata menangise berasal dari kata dasar
tangis. Tangis berarti mengeluarkan air dari mata, mencucurkan air mata dengan
mengeluarkan suara tersedu-sedu/menjerit-jerit, jika menangise bersinonim dengan
kata menangisi berarti mengeluarkan air dari mata karena untuk, bagi, menyesali, atau
bersedih hati sebab suatu hal.
Misalnya, musibah yang menimpa dirinya atau
keluarganya, baik yang disebabkan secara internal (dari dalam keluarga sendiri) maupun
secara eksternal (dari luar keluarga).
Berdasarkan pemahaman semantik tersebut, dapat direflesikan bahwa Ambon
sekarang ambon menangise mengusun makna yang tidak menyenangkan dan apalagi
membahagiakan. Hal itu dapat dicermati mulai jumlah larik dari setiap bait yang tidak
simetris, yakni ada bait yang terdiri atas 4 larik, 3 larik, dan juga ada hanya 2 larik,
sedangkan pada bagian pertama semua bait memiliki jumlah larik yang sama, yakni 4
larik. Selain itu, pada bagian kedua pilihan kata dan atau kelompok kata yang
terkategorikan sebagai predikat, citraannya memang tidak menyenangkan, seperti
berikut: 1) pukul tifa dengan tombak, 2) panah dan bom meledak yang mengoyakngoyak dada dan kalbu orang bersaudara, 3) masjid dan gereja dibakar rame-rame, 4)
kebun pala dan cengkeh telantar, 5) pantai putih menjadi merah karena di situ darah
tersimbah, 6) pela gandong tinggal cerita nenek moyang, 7) ukulele yang kehabisan
lagu, 8) puisi duka yang kehabisan kata, 9) mama yang kehabisan air mata, 10)
(tetapi) jangan kehabisan doa dan harapan. Citraan yang menyedihkan, mengerikan
atau menyeramkan, seperti pukul tifa dengan tombak. Sebenarnya, tifa adalah semacam
gendang kecil yang dimainkan dengan jari-jemari secara lembut dan bukan dengan
tombak karena tombak adalah benda keras dan runcing serta sangat berbahaya jika
mengenai seseorang. Orang yang memiliki tombak biasanya mempunyai sikap dan
prilaku yang keras, dia ingin membinasakan lawan-lawannya dengan tombaknya.
Pernyataan yang terkategorikan predikat 1) itu dipertegas dengan predikat 2) yakni;
panah dan bom meledak yang mengoyak-ngoyak dada dan kalbu orang bersaudara
Berdasarkan pemahaman refleksif di atas, dapat dikatakan bahwa eksistensi
Ambon sekarang ambon menangise menunjukkan makna hilangnya sisi kemanusiaan
299
dalam diri manusia, yang ada adalah makna kebinatangan dan atau kebuasan (yang kuat
memansa atau menghabisi yang lemah), saling membinasakan di antara mereka yang
berbeda suku, ras, dan agama. Selama ini, Pela Gandong yang menjadi inti utama bagi
perekat di antara mereka yang berbeda suku, ras, dan agama hanya tinggal sebagai cerita
nenek moyang karena kehilangan pamornya sebagai perekat keberbedaan.
Husni Djamaluddin memahamkan kepada pembaca atau penikmat puisinya pada
bagian yang kedua tersebut adalah bentuk solidaritas negatif. Dikatakan solidaritas
negatif karena kerjasama yang dilakukan adalah kerjasama yang membinasakan
kelompak lain, yang tidak sekeyakinan dengan kelompoknya, seperti masjid dan gereja
dibakar rame-rame. Masjid dan gereja adalah benda mati, yang tidak memiliki pretensi
apa pun, selain sebagai tempat beribadah bagi pemeluknya juga menjadi sasaran
pembinasaan oleh kesetiakawanan negatif. Ukulele kehabisan lagu, puisi kehabisan
kata, dan mama kehabisan air mata merupakan ironi dari suatu tragedi kemanusiaan
yang sangat mengerikan. Hal ini dapat dibayangkan kalau ukulele (pemusik) tak lagi
dapat menciptakan lagu-lagu yang merdu karena trauma dari tragedi kemanusiaan dan
juga pemuisi tak mampu lagi merangkai kata-katanya untuk melahirkan bait-bait
puisinya, serta yang lebih parah lagi adalah mama. Mama yang disimbolkan sebagai
manusia yang lemah lembut dan hanya dapat mengeluarkan air mata ketika ada
masalah, tetapi kali ini air mata itu sudah tidak ada, sudah habis ditumpahkan semua
sementara kebiadaban masih juga berlangsung. Itulah tragedi kemanusiaan yang
diinskripsikan oleh Husni Djamaluddin dalam puisinya yang berjudul Ambon dulu,
Ambon sekarang. Namun, diakhir puisinya dia tetap berharap bahwa manusia jangan
pernah putus asah walau musibah dahsyat silih berganti. Apalagi, Orang Maluku
mengenal istilah arumbae. Arumbae menjadi simbol daerah yang di dalamnya terdapat
lima orang sedang mendayung menghadapi tantangan lautan. Secara filosofis,
maknanya ialah masyarakat Maluku adalah masyarakat yang dinamis, dan penuh daya
juang dalam menghadapi tantangan untuk menyongsong masa depan yang gemilang
(https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Maluku, diakses 3 Agustus 2015). Ingat pulah
bahwa Tuhan tidak pernah memberi beban kepada hamba-Nya melebihi batas
kesanggupan hamba dalam mengahadapinya (Q.S. Al-Baqarah:286).
Simpulan
Pembelajaran nilai solidaritas positif dalam kehidupan perlu dibina dan
dipelihara sepanjang masa karena akan memanusiakan manusia dan bahkan terhadap
seluruh isi alam semesta raya ini. Sementara, solidaritas negatif menjadikan kehidupan
merana dan kacau balau, nilai kemanusiaan terabaikan, yang diutamakan adalah
kepentingan kelompok karena itu harus dipadamkan.
Puisi sebagai karya kreatif yang dilahirkan oleh pemuisi setelah berkontempalsi
dapat menjadi media pembelajaran nilai-nilai kehidupan manusia, termasuk nilai
solidaritas atau kesetiakawanan yang diidealkan manusia secara universal.
300
Daftar Rujukan
Amir, Hasyim. 1990. Pendidikan Sastra Lanjut. Malang: IKIP Malang.
Djamaluddin, Husni. 2004. Indonesia, Masihkah Engkau Tanah Airku? Jakarta: Pustaka
Jaya.
Gabriel, Ralph H. 1991. Nilai-nilai Amerika: Kelestarian dan Perubahan.
Diterjemahkan Paul Surono Hargosewoyo dan Suntingan Alex H.
Rambadeta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Gazalba, Sidi. 1998. Sistematika Filsafat III. Jakarta: Bulan Bintang.
Iskandar, Teuku. 1998. Kamus Dewan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Muliadi. 2014. Nilai Multikultural Teks Puisi Husni Djamaluddin dalam Kajian
Hermeneutika. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: PPs UM Malang.
Rafiek, M. 2010. Teori Sastra: Kajian Teori dan Praktik. Bandung: Refika Aditama.
Ricouer, Paul. 2003. Filsafat Wacana. Terj. Masnur Hery. Yogyakarta: IRCiSod.
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing
Sumaryono, E. 2005. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
301
DIMENSI PUITIS WACANA TRADISI LISAN DHEKE SA’O
ETNIK RONGGA DI MANGGARAI TIMUR
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Ni Wayan Sumitri
(FPBS IKIP PGRI Bali – Indonesia)
Fransiskus Bustan
(FKIP Universitas Nusa Cendana Kupang – Indonesia)
Abstrak: Makalah ini mengkaji dimensi puitis wacana tradisi lisan dheke sa’o etnik
Rongga di Manggarai Timur, Provinsi NTT. Ritual dheke sa’o adalah tradisi ritual
keberhasilan etnik Rongga membangun rumah adat yang diiringi dengan sebuah tarian
dan nyanyian tradisional. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif-kualitatif yang
beraras pada filsafat fenomenologi. Metode dan teknik pengumpulan data adalah
pengamatan, wawancara, studi dokumentasi, rekam, dan catat. Data dianalisis secara
induktif. Hasil penelitian menunjukkan, satuan kebahasaan yang dipakai dalam wacana
tradisi lisan dheke sa’o memiliki karakteristik khas sebagai pemarkah dimensi puitis
yang secara formal linguistis tersusun atas baris dan bait yang menunjukkan perpaduan
leksikal melalui pengulangan berupa paralelisme fonologis. Dimensi puitis tersebut
ditandai dengan pola permainan bunyi berbentuk asonanasi berstruktur simetris dan
asimetris, aliterasi berupa permainan bunyi konsonan, dan rima yang terdiri atas rima
awal, tengah, dan akhir. Dimensi puitis itu merupakan kekayaan verbal bernilai estetis
magis sebagai refleksi hubungan antara manusia dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh
alam. Wacana tradisi lisan dheke sa’o
perlu dipahami, dipertahankan, dan
didokumentasikan dalam upaya pelestarian sebagai bentuk khazanah budaya lokal etnik
Rongga.
Kata kunci: dimensi puitis, wacana, ritual, dheke sa’o, etnik Rongga
Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang multietnik karena terbentuk dari beragam
etnik atau suku bangsa yang tersebar secara meluas dari Sabang sampai Merauke.
Sebagian masih berada pada tingkatan hidup sederhana, sedangkan sebagian yang lain
sudah berada pada tingkatan hidup lebih maju karena mereka berhasil menyerap nilainilai kebudayaan dari luar untuk menunjang kemajuan kebudayaannya (Hidayah,
1999:284). Setiap etnik tersebut memiliki sosok kebudayaannya masing-masing dengan
corak khas sebagai pemarkah kedirian dan fitur pembeda dengan etnik-etnik lain, yang
salah satu pantulannya mewujud secara empiris dalam bahasa lokal yang mereka pakai.
Salah satu etnik yang mencirikan keberadaan bangsa Indonesia sebagai bangsa
majemuk adalah etnik Rongga yang tersebar di beberapa kampung di wilayah
Kecamatan Kota Komba Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT), yang tergolong etnik minoritas83 dengan jumlah penduduk sekitar 8.000 jiwa
83
Pemaknaan etnik Rongga sebagai etnik minoritas dalam penelitian ini lebih banyak dilihat
dari besaran populasinya (bukan dari perpektif sosial dan kultural dengan sandingannya
302
(Sumitri dan Arka, 2013; Sumitri 2015). Terlepas dari keberadaannya sebagai etnik
minoritas, etnik Rongga memiliki sosok kebudayaan sendiri dengan coraknya yang khas
jika disanding dalam tolok bandingan dengan etnik-etnik yang lain. Kekhasan sebagai
kekhususan pembeda atau ciri pemerlain sosok kebudayaan etnik Rongga tercermin
dalam bahasa lokal yang mereka pakai, yang dalam pemakaiannya sehari-hari dikenal
dengan sebutan bahasa Rongga. Kebermaknaan bahasa Rongga sebagai cerminan sosok
kebudayaan etnik Rongga dapat dilihat dan disimak, antara lain, dalam wacana tradisi
lisan dheke sa’o (yang selanjutnya disingkat WTLDS), wacana budaya yang dituturkan
dalam konteks ritual dheke sa’o. Secara leksikal, kata (verba) dheke berarti
‘naik/masuk’ dan kata (nomina) sa’o berarti ‘rumah adat’. Sesuai konseptualisasi yang
terpatri dalam peta pengetahuan etnik Rongga, ritual dheke sa’o adalah ritual yang
berkaitan dengan keberhasilan etnik Rongga membangun rumah adat (sa’o merhe/sa’o
lamba) baru. Dalam tautan dengan konteks yang melatari penuturannya, WTLDS
didendangkan dengan tujuan: (1) menyampaikan ucapan syukur kepada Tuhan atas
keberhasilan mereka dalam membangun rumah adat baru; (2) memohon kepada Tuhan
yang disampaikan dengan perantaraan leluhur agar memberikan keselamatan dan
kebahagiaan hidup bagi seluruh warga suku, baik ana haki (pihak saudara laki-laki ibu)
maupun ana fai (pihak saudara perempuan ayah); (3) mengesahkan atau meresmikan
rumah baru itu sebagai rumah adat; dan (4) mempererat tali persaudaraan antarwarga
yang tercakup dalam suku beserta ana haki dan ana fai. Beberapa tujuan itu tergurat
dalam dan di balik bentuk tekstual satuan kebahasaan atau satuan ujaran yang dipakai
dalam WTLDS dalam rajutan formulasi bergaya sastra dengan menampilkan pola katakata berdimensi puitis yang tidak hanya mengandung keindahan bentuk tetapi juga
mengundang kenikmatan inderawi ketika disimak.
Dengan merujuk pada beberapa fakta lingual dan fakta kultural yang dipaparkan
di atas sebagai latar pikir, peneliti tertarik melakukan penelitian ini dengan fokus
kajiannya berkenaan dengan dimensi puitis WTLDS sebagai salah satu produk dan
praktek budaya tetesan masa lalu atau warisan leluhur etnik Rongga dalam tautan
dengan kebermaknaannya sebagai pemarkah kedirian dan fitur pembeda atau ciri
pemerlain etnik Rongga sebagai suatu guyub tutur dan guyub budaya. Sesuai karakter
masalah yang ditelaah, penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian deskriptif
kualitatif yang beraras dengan pada perspektif fenomenologi sebagai landasan filosofis.
Data utama yang sumber rujukan pengkajian adalah rekaman video audio visual
peristiwa ritual dheke sa’o dan hasil wawancara dengan pelaku ritual tersebut. Data
dianalisis dengan menggunakan metode induktif karena bergerak dari data menuju teori
atau konsep yang bersifat lokal-ideografis menyangkut dimensi puitis WTLDS etnik
Rongga.
Konsep
Sesuai karakter masalah yang menjadi sasaran pemeriannya, berikut dipaparkan
dan dijelaskan konsep tentang wacana dan tradisi lisan yang dipakai sebagai panduan
teoritis dan anjungan berpikir dalam mencandra dimensi puitis WBTLDS sebagai
masalah pokok dalam penelitian ini.
dengan beberapa etnik lain yang tercakup dalam kelompok etnik Manggarai dalam hal
ketidaksamaan dalam power atau daya dan kesmepatan dalam group yang dominan (bdk
Arka, 2013:75)
303
Wacana
Kata atau istilah ‘wacana’ dapat dipahami secara berbeda sehingga tidak heran
jika ditemukan beragam definisi atau batasan pengertian wacana. Dalam perspektif
linguistik, yang dimaksud dengan wacana adalah rekaman kebahasaan yang utuh
tentang suatu peristiwa komunikasi. Menurut Osch 1988:8), wacana merupakan
seperangkat makna yang menghubungkan struktur bahasa dengan konteks yang
melatarinya, yang dirajut penutur dan pendengar dalam proses memproduksi dan
menafsirkan makna. Dilihat dari bentuk dan cara penyampaiannya, wacana dibedakan
atas wacana tertulis dan wacana lisan. Semua jenis wacana yang disampaikan secara
lisan dan mengikuti adat-istiadat tertentu yang sudah terpola dalam konteks kehidupan
suatu masyarakat disebut tradisi lisan (Sedyawati, 1996:5).
Dalam perspektif kebudayaan, wacana menunjuk pada seperangkat makna,
norma, sikap, dan harapan yang menghubungkan struktur bahasa dengan konteks sosial
budaya yang melatarinya. Hubungan struktur bahasa dan konteks sosial budaya tersebut
dibingkai oleh para penuturnya sedemikian rupa menjadi suatu wacana sebagai sebuah
wadah yang mewahanai proses memproduksi dan menafsirkan makna. Salah satu
ancangan dalam pengkajian satuan kebahasaan yang dipakai suatu masyarakat dalam
peristiwa tutur tertentu adalah analisis wacana, khususnya teks. Teks adalah sebuah
tenunan makna yang membentuk satuan wacana yang utuh dengan memanfaatkan
satuan kebahasaan atau satuan ujaran mulai dari satuan bunyi sampai dengan satuan
yang lebih besar dari kalimat. Hubungan semantis dan pragmatis antara kalimat dan
klausa dengan berbagai unsur bawahannya yang membentuk suatu teks wacana disebut
kohesi. Salah satu aspek kohesi yang terdapat dalam suatu teks wacana sastera dan
wacana sejenisnya, menurut Cook (1994:29), adalah paralelisme, termasuk paralelisme
fonologis atau paralelisme pada tataran fonologis, paralelisme morfologis atau
paralelisme pada tataran morfologis, dan paralelisme sintaksis atau paralelisme pada
tataran sintaksis. Selain berfungsi sebagai piranti pembentuk keutuhan teks wacana,
paralelisme tersebut juga menampilkan dimensi puitis yang tidak hanya mengandung
keindahan bentuk dalam stuktur mukaan, tetapi juga mengundang kenikmatan inderawi
ketika disimak, di samping pemakaian aliterasi dan rima.
Tradisi Lisan
Tradisi lisan adalah segala wacana yang diucapkan dan meliputi yang lisan dan
yang beraksara atau sebagai sistem wacana yang bukan aksara (Pudentia, 1996). Dalam
pandangan Vansina (1985:27-28), yang dimaksud dengan ‘tradisi lisan’ adalah pesan
verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini,
yang kemungkinan dituturkan atau dinyanyikan dengan atau tanpa diiringi musik. Pada
sisi lain, menurut Danandjaja (1986:2), tradisi lisan dapat diartikan sebagai sebagian
kebudayaan suatu kolektif macam apa saja, secara tradisional tampil dalam versi
berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau
alat pembantu pengingat (mnemonic device). Bertolak dari batasan pengertian itu,
beberapa ciri utama tradisi lisan adalah sebagai berikut: (1) penyebaran dan pewarisan
secara lisan; (2) bersifat tradisional; (3) ada dalam versi-versi dan varian berbeda; (4)
bersifat anonim; (5) mempunyai bentuk berumus atau berpola; (6) mempunyai kegunaan
(fungsi) dalam kehidupan bersama kolektifnya; (7) bersifat pralogis, artinya mempunyai
logikanya sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum; (8) menjadi milik bersama
suatu masyarakat; dan (9) bersifat polos dan lugu.
304
Dimensi Puitis WTLDS Etnik Rongga
Sesuai kenyataan bentuk tekstual yang tampak secara fisik dalam struktur
mukaan, dimensi puitis WTLDS tercermin dalam satuan kebahasaan yang tersusun atas
baris-baris dan bait-bait guna menunjukkan perpaduan leksikal yang diwahanai melalui
pengulangan dan tampil dalam wujud paralelisme, khususnya paralelisme fonologis
berupa asonansi, di samping aliterasi dan rima, sebagai pemarkah dimensi puitis
WTLDS. Fenomena kebahasaan berdimensi puitis yang dipakai dalam WTLDS
merupakan bagian dari kesalehan ritual dekhe sa’o karena komunikasi yang
disampaikan itu bersifat transendental dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam.
Asonansi
Pola bunyi berasonansi merupakan salah satu ciri paralelisme fonologis yang
paling umum dan paling produktif dipakai dalam teks WTLSD berupa pemakaian bunyi
vokal yang sama dalam kata-kata berdekatan dan diikuti atau dikelilingi bermacammacam bunyi konsonan (bdk Reaske, 1966:21). Dilihat dari strukturnya, pola bunyi
berasonansi yang dipakai dalam teks WTLSD dapat dipilah dan dibedakan atas asonansi
berstruktur simetris dan asonansi berstruktur asimetris.
Realitas pemakaian pola asonansi berstruktur simetris dan pola asonansi
berstruktur asimetris sebagai pemarkah dimensi puitis WTLDS dapat dilihat dan
disimak pada beberapa segmen wacana berikut:
(01) Embu ndeta mata rangga ma’e ti’i rara kasa
leluhur atas tempat tinggi jangan beri panas badan
‘Leluhur di tempat yang tinggi di atas jangan beri badan kami panas’
Embu ndia papa bhoko bhagi kami lombo wombo
leluhur sini bagian bawah bagi kami ujung tinggi besar ’
‘Leluhur bagian bawah di sini berikan kami berkat yang besar’
(02) Jara mosa bhara, raru
peko maju
kuda jantan putih, semangat kejar rusa’
‘Kuda jantan putih bersemangat kejar rusa’
Langa kara, mesi wa’i to teki’
pasang kekang baru kaki tusuk turun
‘Pasang kekang baru, kaki angkat turun’
(03) Mbako
ghembe kende, wunu ghebhaghe keti
tembakau tebing miring daun lebar-lebar petik
‘Memetik tembakau di tebing miring yang daunnya lebar-lebar’
Keti sewunu mbingu toto riwu
petik sehelai gila semua orang
‘Petik satu lembar membuat gila semua orang’
(04) Ndili no ndele moe kowa palo
rajo
bawah dan atas seperti sampan beriringan perahu
‘Bawah dan atas seperti sampan beriringan dengan perahu’
Ndeta no ndele moe
bondo wa’u raju
atas dan bawah seperti lumbung turun tumbuk
‘Atas dan bawah seperti lumbung diturunkan ditumbuk’
(05) Mbata sosa kau meta wiri penda
ombak besar kau cukup batas pandan
‘Ombak yang besar kau cukup pada batas pandan’
Embo lau mai kau lange wiri
maghi
ombak dari sana kau batas sampai lontar
‘Ombak dari sana batasmu sampai pada pohon lontar’
305
Seperti tampak pada fragmen (01), terdapat pemakaian pola asonansi berstruktur
simetris dan pola asonansi berstruktur asimetris sebagai pemarkah dimensi puitis
WTLDS. Pola asonansi berstruktur simetris ditandai dengan beberapa fenomena
kebahasaan berikut: (a) fenomena permainan bunyi vokal sepadan a-a dalam kata mata
‘panas’ yang tampil dalam sandingan dengan kata rangga ‘badan’ dan dalam kata rara
‘panas’ yang tampil dalam sandingan dengan kata kasa ‘badan’serta (b) fenomena
permainan bunyi vokal sepadan o-o dalam kata bokho ‘bawah’ yang tampil dalam
sandingan dengan kata lombo ‘ujung’ dan kata wombo ‘tinggi besar’. Pola asonansi
berstruktur asimetris ditandai dengan fenomena permaian bunyi vokal tidak sepadan a-i
dalam kata baghi ‘bagi’ yang tampil dalam sandingan dengan kata kami ‘kami’.
Demikian pula pada fragmen (02), terdapat pemakaian pola asonansi berstruktur
simetris dan pola asonansi berstruktur asimetris sebagai pemarkah dimensi puitis
WTLDS. Pola asonansi berstruktur simetris ditandai dengan fenomena permainan bunyi
vokal sepadan a-a dalam kata jara ‘kuda’ yang tampil dalam sandingan dengan kata
bhara ‘putih’ dan dalam kata langa ‘pasang’ yang tampil dalam sandingan dengan kata
kara ‘kekang’. Pola asonansi berstruktur asimetris ditandai dengan fenomena
kebahasaan berikut: (a) fenomena permainan bunyi vokal tidak sepadan a-u dalam kata
raru ‘semangat’ yang tampil dalam sandingan dengan kata maju ‘rusa’ dan (b)
fenomena permainan bunyi vokal tidak sepadan e-i dalam kata mesi ‘baru’ yang tampil
dalam sandingan dengan kata teki ‘turun’.
Seperti tampak pada fragmen pada fragmen (03), terdapat pemakaian pola
asonansi berstruktur simetris dan pola asonansi berstruktur asimetris sebagai pemarkah
dimensi puitis WTLDS. Pola asonansi berstruktur simetris ditandai dengan fenomena
permainan bunyi vokal sepadan e-e dalam kata ghembe ‘tebing’ yang tampil dalam
sandingan dengan kata kende ‘nama tempat’. Pola asonansi berstruktur asimetris
ditandai dengan fenomena permainan bunyi vokal tidak sepadan i-u dalam kata mbingu
‘gila’ yang tampil dalam sandingan dengan kata riwu ‘semua orang’.
Pada fragmen pada fragmen (04), tidak terdapat pemakaian pola asonansi
berstruktur simetris, kecuali pola asonansi berstruktur asimetris dalam tautan dengan
fungsinya sebagai pemarkah dimensi puitis WTLDS. Pola asonansi berstruktur asimetris
tersebut ditandai dengan fenomena kebahasaan berikut: (a) fenomena permainan bunyi
vokal tidak sepadan a-o dalam kata palo ‘beriringan’ yang tampil dalam sandingan
dengan kata rajo ‘perahu’ dan (b) fenomena permainan bunyi vokal tidak sepadan a-u
dalam kata wa’u ‘turun’ yang tampil dalam sandingan dengan kata raju ‘tumbuk’.
Seperti halnya pada fragmen (04), pada fragmen (05) hanya terdapat pola
asonansi berstruktur asimetris sebagai pemarkah dimensi puitis WTLDS. Pola asonansi
berstruktur asimetris yang dipakai dalam fragmen tersebut ditandai dengan beberapa
fenomena kebahasaan berikut: (a) fenomena permainan bunyi vokal tidak sepadan e-a
dalam kata meta ‘cukup’ yang tampil dalam sandingan dengan kata penda ‘pohon
pandan’; (b) fenomena permainan bunyi tidak sepadan a-u dalam kata lau ‘selatan’ yang
tampil dalama sandingan dengan kata kau ‘kamu’; dan (c) fenomena permainan bunyi
tidak sepadan a-i dalam kata mai ‘sana’ yang tampil dalam sandingan dengan kata
maghi ‘pohon lontar’.
Aliterasi
Aliterasi berkaitan dengan pengulangan bunyi konsonan atau kelompok
konsonan yang muncil pada awal suku kata atau kata secara berurutan (Kridalaksana,
1984:9). Aliterasi merupakan ciri paralelisme pada tataran fonologis yang frekuensi
kemunculannya sebagai pemarkah dimensi puitis dalam WTLDS cukup tinggi. Meski
306
demikian, jenis aliterasi yang terdapat dalam WTLDS beragam dengan pola tidak teratur
sehingga sulit dikaidahkan secara pasti. Aliterasi hanya berkaitan dengan diksi atau
pilihan kata dengan tujuan untuk menimbulkan keindahan bentuk dan kenikmatan bunyi
sehingga menimbulkan suasana tertentu bagi pendengar. Realitas pemakaian aliterasi
dalam teks WTLDS dapat dilihat dan disimak pada fragmen berikut.
(06) Ndala ndau ndeta, ndeta ndala ndoa
bintang atas sana sana bintang kembar
‘Bintang di atas sana bintan kembar’
Seke ndia lima, ndia lima seke ndake
gelang ini tangan ini tangan gelang tingkat
‘Gelang tangan ini, tangan ini bertingkat
Seperti tampak pada fragmen (06), terdapat pemakaian aliterasi berupa gabungan
konsonan /nd/ yang muncul pada posisi awal kata ndala ‘bintang’, kata ndau ‘atas’, kata
ndeta ‘sana’, kata ndala ‘bintang, dan kata ndoa ‘kembar’. Aliterasi konsonan /k/ dapat
dilihat dan disimak dalam kata seke ‘gelang’ dan ndake ‘bertingkat’. Selain aliterasi,
terdapat pemakaian pola asonansi berstruktur asimetris yang ditandai dengan fenomena
permainan bunyi tidak sepadan i-a dalam kata ndia ‘ini’ yang tampil dalam sandingan
dengan kata lima ‘tangan’.
Rima
Rima adalah pola perulangan bunyi yang sama, yang muncul secara berurutan
pada kata, frasa, atau klausa. Bunyi berima sebagai ciri paralelisme fonologis
merupakan unsur dasar pembentuk teks. Bunyi berima yang dipakai dan berfungsi
sebagai penciri dimensi puitis WTLDS dapat disaksikan dari posisi kemunculannya
dalam baris fragmen sehingga dapat dibedakan atas rima awal, rima tengah, dan rima
akhir, yang frekuensi pemakaiannya sangat produktif. Pemakaian bunyi berima dalam
WTLDS bermuara pada penyingkapan pesan agar lebih terasa padat makna dalam
menggugah emosi pendengar dan tercerap dalam benak mereka esensi isi pesan yang
disampaikan. Pemakaian rima dalam WTLDS dapat dilihat dan disimak pada fragmen
berikut.
(07) Mboru mboku Nggonu, lau Nggeno
le
ngedho
lepas destar Nggonu sana Nggeno hanya lihat
‘Destar Nggonu lepas, di sana Nggeno hanya lihat’
Mesu pondi Nggeno, lau larha le
nape
kasihan ikat Nggeno sana jalan sudah tunggu
‘Nggeno kasihan ikatnya, sudah ditunggu di jalan sana’
Seperti tampak pada data (07), fenomena permainan kata berima muncul pada
posisi awal, tengah, dan akhir. Rima awal ditandai dengan pemakaian kata bersajak
konsonan mb-mb dalam kata mboru ‘lepas’ yang tampil dalam sandingan dengan kata
mboku ‘destar’, kata bersajak konsonan ngg-ngg dalam kata Nggonu ‘nama orang’ dan
kata Nggeno ‘nama orang’. Penggunaan rima yang bersajak vokal akhir sangat banyak
dipakai dalam teks WTLDS, di samping untuk menciptakan keharmonisan estetis, juga
bertalian dengan tipologi bahasa Rongga yang bersifat vokalik atau bersuku terbuka.
Simpulan
Mengacu pada bahasan yang dipaparkan di atas, penulis kemukakan beberapa
simpulan. Pertama, dimensi puitis yang terdapat dalam WTLDS ditandai dengan
pemakaian paralelisme fonologis berupa fenomena permainan bunyi dalam wujud
asonnasi berstruktur simetris dan asimetris, alietrasi berupa permainan bunyi konsonan,
dan rima yang terdiri atas rima awal, rima tengah, dan rima akhir. Kedua, dimensi puitis
307
itu merupakan kekayaan verbal bernilai estetis-magis sebagai refleksi hubungan antara
manusia dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam yang sangat menentukan keberadaan,
kebertahanan, dan keberlanjutan hidup etnik Rongga sebagai manusia dan masayarakat
dalam menapaki ziarah kehidupannya di dunia menuju kehidupan akhirat yang kekal
dan abadi. Ketiga, sebagai sebuah tradisi lisan yang sarat makna, WTLDS perlu
dipahami warga etnik Rongga, terutama oleh kelompok generasi muda, serta
dipertahankan keberadaan dan didokumentasikan dalam upaya pelestarian sebagai
bentuk khazanah budaya lokal etnik Rongga.
Daftar Rujukan
Arka, I. Wayan, dkk. 2007. Bahasa Rongga: Tatabahasa Acuan Ringkas. Jakarta.
Penerbit Universitas Atma Jaya (PUAJ).
Arka, I Wayan. 2010. Maintaning Vera in Rongga: Struggle over Culture, Tradition, and
Language in Modern Manggarai, Flores, Indonesia dalam Endangered
Languages Of Austronesia. Margaret Florey (Editor). Oxford University
Press.
Arka, I Wayan. 2012. Kamus : Bahasa Rongga-Indonesia dengan Pelacak Kata
Bahasa Indonesia-Rongga. Jakarta. Penerbit Universitas Atma Jaya.
Cook, G. 1994. Discourse and Literature: The Interplay and Mind. Oxford: Oxford
University Press.
Fox, J. J. 1986. Bahasa, Sastera dan Sejarah: Kumpulan Karangan mengenai
Masyarakat di Pulau Rote. Jakarta: Djambatan. Geertz, Cliford 1992. Tafsir
Kebudayaan.Yogyakarta: Kanisius
Geertz, Cliford 1993 Kebudayaan dan Agama Yogyakarta: Kanisius
Grimes, Barbara. 1997. “Knowing your Place, Representing Relations of Precedence and
Origin on The Buru Landscape, J.J Fox (ed), The Poitic Power of Place:
Comparative Perspectives on Austronesian Idea of Locality:116-31.
Canberra:Departemen of Anthropology, Research School of Pasipfik and
Asian Studies, Australian National University.
Halliday, M. A. K and Hasan, R. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa
dalam Pandangan Semiotik Sosial. Diterjemahkan oleh Asrudin Barori Tou
dan M. Ramlan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Edisi Kedua. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Moleong. Lexy J. 1990. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Muhadjir, Noeng. 1995. Metodelogi Penelitian Kualitatif: Telaah Positivistik,
Rasionalistik, Phenomenologik, Realism Metaphisik. Yogyakarta : Rake
Sarasin.
Ong, W.J. 1982. Orality and Literacy: the Technologizing of the Word. London:
Routledge.
Ocha, E. 1988. Culture and Language Devolopment: a Language acquistion in a samoan
Village. Cambridge: University Press
Pudentia, MPPS. 1988. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Reaske, Christhopher Russel. 1996. How to Analyze Poetry. New York: Monarch Press
308
Sedyawati, Edi. 1996. “Kedudukan Tradisi Lisan dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu-ilmu
Budaya”. Dalam Warta ATI, Jurnal Pengetahuan dan Komunikasi Peneliti
dan Pemerhati Tradisi Lisan. Edisi II/Maret/1996 Jakarta Sumitri, Ni Wayan.
2015 Wacana Tradisi Lisan Vera Etnik Rongga di Manggarai Timur, NTT.
Disertasi Program Studi Doktor Linguistik Universitas Udayana Denpasar.
Sumitri, Ni Wayan, dan Arka, I Wayan. 2013. Folklor Ritual Dari Etnik Rongga
Flores:Jendela Kini untuk Masa Lalu dan Masa Depan. Dalam Folklor dan
Folklife dalam Kehidupan Modern (ed) Suwardi Endraswara dkk. hal.727738.
Sumitri, Ni Wayan. 2015. Wacana Tradisi Lisan Vera Etnik Rongga di Manggarai
Timur, NTT. Disertasi Program Studi Doktor Linguistik Universitas Udayana
Denpasar.
Vanzina, Jan. 1985 Oral Tradition as History. Wisconsin: The University of Wisconsin
Press.
309
PEMBELAJARAN SASTRA MENUMBUHKAN SIKAP SOLIDARITAS
SEBUAH KAJIAN TERHADAP SAJAK “SEMENTARA AKU”
KARYA ISBEDY STIAWAN Z. S.
Ninawati Syahrul
(Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemdikbud – Indonesia)
Abstrak: Dewasa ini sikap, kecintaan, dan penghargaan generasi muda terhadap sastra
Indonesia terkesan menunjukkan grafik menurun. Sekaitan dengan itu, guru sastra
hendaklah mendukung cara pandang baru pengajaran sastra: menyenangkan dan
menggembirakan, yang mampu menumbuhkan nilai positif dalam batin peserta didik.
Nilai kehidupan itu adalah “asupan bergizi” sebagai bekal dalam menghadapi
kenyataan hidup yang makin keras. Dari titik inilah pembelajaran sastra berperan
sangat penting untuk memahami watak antarindividu, perbedaan antara yang satu
dengan yang lain sehingga terlatih sikap hidup toleran dan solidaritas. Pembelajaran
sastra adalah salah satu pilihan untuk yang diharapkan mampu mengubah dan
memperbarui moralitas dan karakter anak manusia.
Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis salah satu karya sastra terbaik
sastrawan Lampung, Isbedy Stiawan Z.S., yang berjudul “Sementara Aku”. Sajak ini
bercerita mengenai realitas yang menuntut keadilan sosial yang mengandung nada
protes dan melukiskan ketidakadilan dalam masyarakat. Pemunculan sajak tersebut
juga bertujuan untuk mengetuk pintu hati nurani semua kalangan agar keadilan sosial
dapat ditegakkan dan diperjuangkan sehingga dapat menjadi salah satu contoh dan
dasar penyelenggaraan pendidikan karakter. Dengan demikian, sajak “Sementara Aku”
dapat diperhitungkan sebagai bahan ajar karena nilai didaktisnya memuat nnilai-nilai
kehidupan dalam upaya membentuk sikap solidaritas peserta didik.
Kata Kunci: apresiasi sastra, solidaritas, toleran, karakter, sikap hidup
Pendahuluan
Dewasa ini sikap dan kecintaan generasi muda, termasuk pelajar dan mahasiswa,
terhadap sastra Indonesia menunjukkan grafik menurun. Kondisi menurunnya
penghargaan generasi muda terhadap sastra Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor,
baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, generasi muda kurang menggali
dan memanfaatkan nilai sastra, sedangkan secara eksternal dipengaruhi oleh
kecintaannya terhadap budaya asing. Padahal, saat ini banyak pihak mengakui bahwa
sastra dapat digunakan oleh generasi muda sebagai alat untuk menguatkan kepekaan
terhadap nilai kearifan dalam menghadapi kehidupan yang kompleks. Oleh sebab itu,
sastra Indonesia harus diberdayakan untuk mengembangkan perannya sebagai media
pembangun karakter bangsa demi pemartabatan bangsa Indonesia dalam pergaulan
lintas bangsa di dunia yang semakin mengglobal. Dalam konteks pembangunan karakter
bangsa, posisi generasi muda sangat strategis karena mereka yang akan mengemban
estafet kepemimpinan bangsa pada masa kini dan masa depan.
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, perlu media bagi generasi muda
untuk mengekspresikan kreativitasnya terkait dengan sastra Indonesia. Generasi muda
dapat memanfaatkan peran sastra dalam membangun solidaritas demi terwujudnya
persatuan dan kesatuan nasional. Salah satu media itu adalah karya sastra genre puisi,
310
sajak “Sementara Aku” karya Isbedy Stiawan, Z.S. Karya sastra ini merupakan wujud
nyata dari pelaksanaan pendidikan karakter bangsa melalui sastra dalam rangka
menumbuhkan dan memupuk jiwa dan semangat solidaritas. Masalah penetilian ini
adalah bagaimana menumbuhkan rasa solidaritas generasi muda dengan menganalisis
salah satu karya sastra terbaik sastrawan Lampung yang berorientasi terhadap lahirnya
jiwa solidaritas.
Landasan Teori
Pendekatan ekspresif
Jika puisi disikapi dengan pendekatan ekspresif, akan tampak suasana batin atau
perasaan sang penyair dalam wujud karya sastra. Suasana kebatinan yang diekspresikan
dan dituangkan ke dalam bentuk karya itu mengandung nilai rasa tersendiri. Hal berarti
bahwa penyair berhasil mengetuk pintu kemanusiaan khalayak penikmat sastra, yang
tidak saja berdiam pada ruang-ruang sepi sang penyair, tetapi juga berpartisipasi aktif
dalam dimensi yang lebih luas.
Waluyo (1995:143) beruijar bahwa rasa adalah emosi yang disampaikan oleh
penyair melalui puisinya. Penyair yang satu dengan yang lainnya tentu berbeda
perasaannya sehingga karya ciptaannya berbeda. Rasa adalah sikap penyair terhadap
pokok pikiran yang ditampilkan (Aminudin, 1987:150). Tarigan menyatakan rasa atau
feeling adalah sikap penyair terhadap permasalahan yang terkandung dalam puisinya.
Puisi yang dikaji melalui pendekatan ekspresif akan terlihat ungkapan batin dan
perasaan penyair. Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menekankan pada
ekspresi perasaan atau temperamen, pikiran, dan diri penulis. Pendekatan ini lebih
menitikberatkan pandangan hidup sang penyair. Dalam hal ini, puisi yang diciptakan
dapat diperlakukan sebagai gambaran diri pribadi penulis (Wahyudi, 2002: 181).
Hakikat Solidaritas
Secara sederhana kata solidaritas dapat diartikan kesetiakawanan atau
kekompakan antarsesama. Dalam bahasa Arab kata tersebut berpadanan dengan
tadhamun
(ketetapan
dalam
hubungan)
atau
takaful
(saling
menyempurnakan/melindungi). Pendapat lain mengemukakan bahwa solidaritas adalah
kombinasi atau persetujuan dari seluruh elemen atau individu sebagai sebuah kelompok.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008) dijelaskan bahwa solidaritas
diambil dari kata solider yang berarti ‘mempunyai atau memperliatkan perasaan
bersatu’. Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan kelompok sosial dapat
disimpulkan bahwa solidaritas adalah rasa kebersamaan dalam suatu kelompok tertentu
yang menyangkut perilaku kesetiakawanan dalam mencapai tujuan dan keinginan yang
sama.Wacana solidaritas bersifat kemanusiaan dan mengandung nilai adiluhung
(mulia/tinggi). Tidaklah aneh kalau solidaritas ini merupakan keharusan yang tidak
dapat ditawar-tawar lagi dalam pergaulan masyuarakat yng beradab atau berbudi
pekerti. Memang mudah mengucapkan kata, tetapi kenyataannya dalam kehidupan
manusia sangat jauh sekali. Dalam ajaran Islam solidaritas sangat ditekankan karena
solidaritas salah satu bagian dari nilai Islam yang mengandung nilai kemanusiaan.
Jika dijabarkan secara lebih mendalam, solidaritas ialah sikap empati, sikap ingin
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain meskipun ketika mereka tengah berada
di tempat dan lingkugan global yang berbeda. Solidaritas pada akhirnya muncul
menjadi jembatan dari hati ke hati antara orang yang ingin mengerti orang lain.
311
Solidaritas tidak didorong atas desakan ingin sama dengan orang, tetapi ingin agar
dirinya memiliki sudut pandang terbaik.
Metodologi Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode
deskriptif kualitatif berdasarkan kajian kepustakaan. Pendekatan ini diharapkan dapat
memberikan gambaran secara cermat mengenai keadaan atau gejala tertentu pada objek
kajian.
Teknik pengumplan data yang dilakukan berupa studi kepustakaan dan
penelisikan sejunlah dokumentasi. Sumber pustaka yang dijadikan rujukan dan objek
penelitian berupa buku, majalah, surat kabar, termasuk hasil unduhan dari internet .
Sampel dalam penelitian ini diambil secara acak. Kriteria sampel sesuai dengan
kriteria puisi tema solidaritas. Sebagai kriteria sampel puisi Isbedy Stiawan, Z.S.
”Sementara Aku” sesuai dengan kriteria pengajaran puisi.
Kegiatan analisis dilakukan dengan pendekatan teoritik berdasarkan hasil kajian
pustaka. Proses analisis data yang dilakukan mencakup reduksi data dan sajian data.
Analisis reduksi data dilakukan dengan menyeleksi, memfokuskan, dan
menyederhanakan yang telah telah diperoleh berdasarkan sumber pustaka. Analisis ini
dilakukan guna mempertegas, meringkas, memfokuskan dan membuang data yang tidak
penting agar simpulan dapat diambil.
Setelah reduksi data, pada tahap sajian data akan disusun informasi yang
ditemukan, lalu disajikan secara lengkap, baik data yang diperoleh dari studi pustaka
maupun dokumentasi, sesuai dengan kategorinya secara sistematis. Selanjutnya, data
ini digunakan sebagai rujukan penarikan simpulan penelitan dan beberapa saran yang
dianggap perlu.
Pembahasan
Pentingnya Solidaritas dalam Kehidupan Manusia
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang sangat membutuhkan
orang lain di sekitarnya. Multikulturalisme yang ada di Indonesia menyebutkan bahwa
Indonesia mempunyai banyak keragaman dan kekayaan yang sangat membutuhkan
solidaritas antarsesama warga demi tercapainya kehidupan yang harmonis. Dengan
mengacu pada negara Indonesia yang mempunyai budaya beraneka ragam, agama yang
diakui dan suku yang bermacam-macam, perihal bersolidaritas antar warga sudah
terpelihara dan terbudaya sejak lama.
Sikap bersolidaritas di dalam pergulan hidup setakat, yang mempersatukan dan
menyamakan perbedaan di sekeliling kita pun, sudah mulai memudar. Perpecahan dan
perselihan antarwarga, antarkampung, bahkan antarpemeluk agama terkesan semakin
menggejala yang perlu disikapi dengan bijak. Untuk itu, kita harus berupada demikian
rupa untuk menumbuhkembangkannya pertama-tama mulai dari diri sendiri.
Solidaritas itu penting karena sangat memengaruhi perubahan sosial budaya.
Perubahan sosial yang mencakup sikap setiap orang dan kondisi suatu lingkungan yang
didominasi oleh perbedaan tuntutan kehidupan dan perbedaan budaya dapat menjadi
pemicu meluturnya nilai solidaritas seiring dengan berjalannya waktu, terutama bagi
generasi muda dalam kehidupan sehari-hari ketika berhadapan denhgan perbedaan.
Menciptakan keadaan sosial yang teratur dan harmonis merupakan tujuan dari
solidaritas. Perbedaan yang ada disekitar kita bukan untuk ditertawakan dan diasingkan,
tetapi di situlah peran penting solidaritas untuk menyamakan dan mempersatukan
312
perasaan toleransi. Peran penting solidaritas dapat diukur keberhasilannya jika
solidaritas dapat menciptakan kesatuan dan kesamaan perjuangan dalam masyarakat.
Munculnya stereotipe, prasangka, primordialisme, ketidaksdiaan membuka diri
dan selalu mencaci maki golongan lain adalah contoh buruk yang berpotensi akan
terjadi jika semangat hidup warga bangsa tidak dilandasi oleh solidaritas. Mengingat
pentingnya solidaritas yang mengatasnamakan perbedaan akan dapat memperkaya
relasi, budaya, dan persatuan, solidaritas harus diusahakan dan dipertahankan. Cara
untuk membangun solidaritas dari yang paling sederhana adalah menghormati orang
yang sedang beribadah, mengucapkan selamat kepada orang yang merayakan hari raya
dan tidak memilih-milih teman. Saling menghargai terhadap orang yang tidak sesuku,
berbeda kepercayaan dan status, juga sangat ditekankan dalam hal solidaritas.
Kesadaran dari dalam diri setiap manusia juga merupakan salah satu faktor yang paling
penting untuk menciptakan solidaritas.
Stelah memhami betapa pentingnya solidaritas di dalam kehidupan kita, sudah
selayaknya kita mengusahakan perlilaku solider
itu tetap terpelihara, bahkan
dikembanhkan. Faktor yang mendukung adanya solidaritas dari dalam diri hendaknya
ditumbuhkembangkan menjadi suatu kebiasaan positif. Solidaritas tidak hanya sebatas
teori saja yang memiliki tujuan dan peranan penting dalam kehidupan setiap orang,
tetapi juga suatu praktik yang bersifat rendah hati, tulus dari dalam diri dan terusmenerus. Setiap orang yang mencintai perbedaan dan keberagaman akan dapat
mengaplikasikannya di dalam pergaulan nhidup sehari-hari.
Peran Penyair untuk Membentuk Solidaritas Sosial di dalam Ruang Publik
“Kita hidup tidak hanya dengan roti saja” “metafor dan fiksi juga merupakan
sumber nutrisi bagi kehidupan”, demikian pendapat Joseph Grange (1996). Menurut
Richard Rorty (1989), “..karena kebenaran adalah milik dari kalimat-kalimat, dan
karena kalimat bergantung keberadaannya pada kata-kata, dan karena kata-kata adalah
buatan manusia, maka begitu pula dengan kebenaran…”
Peran para penyair saat ini dapat menggambarkan penderitaan manusia serta
mendorong manusia untuk bergerak ke arah kemajuan moral.Inilah peran penyair yang
dirumuskan oleh Rorty di dalam membentuk solidaritas sosial. Melalui tutur kata dan
tulisan para penyair, mata kita dibuka untuk melihat penderitaan yang dialami orang
lain. Dengan demikian, kepekaan dan solidaritas kita diasah dan terdorong untuk
melenyapkan semua bentuk penderitaan, minimal menguranginya. Melalui cerita serta
karya tulis para penyair, solidaritas yang didasarkan atas imajinasi atas penderitaan
bersama dapat tercipta. Ada pendapat yang mngatakan bahwa hanya melalui puisi kita
dapat sungguh-sungguh mengenali penderitaan. Apa yang disebut sebagai keresahan
tentang kebaikan publik juga tidak muncul di dalam diskusi rasional, tetapi dari
halaman-halaman yang ditulis oleh para penyair. Narasi tentang hak-hak asasi manusia
tidak lagi didasarkan pada fondasi metafisis tentang manusia, tetapi teriakan dalam hati
yang muncul gambaran manusia yang menderita dan terhina.
Rorty sendiri, jika ditanya langsung, tampak akan langsung menjawab
pertanyaan ini secara positif. Baginya, di dalam masyarakat majemuk kontemporer
dewasa ini, kehidupan bersama di antara orang-orang yang berbeda latar belakang hanya
dapat terwujud jika setiap orang dapat tergerak oleh deskripsi yang diberikan oleh para
penyair tentang identitas masyarakat. Jadi, tugas untuk merekatkan orang-orang yang
berbeda di dalam kehidupan bersama berada di tangan filsafat dan teori sosial, tetapi
pada kajian etnografis, laporan jurnalistik, dan yang terutama adalah melalui novel. Para
penulis fiksi terkenal, seperti Dickens, Olive Schreiner, dan Richard Wright, mampu
313
menggambarkan secara detil bentuk-bentuk penderitaan yang dialami dan mampu
diciptakan oleh manusia. Mereka dapat membantu kita untuk mendefinisikan kembali
kesiapaan kita. “Oleh karena itulah”, demikian Rorty, “novel, film, dan acara televisi
telah secara bertahap tetapi pasti, menggantikan khotbah dan perjanjian sebagai prinsip
untuk perubahan moral dan kemajuan.
Sastra Membangun Solidaritas
Bencana tsunami yang menghancurkan Aceh dan sebagian Sumatra Utara
sungguh memilukan. Peristiwa yang telah membunuh 160-an ribu jiwa (puluhan ribu
lainnya hilang tidak ketahuan rimbanya) sudah pasti akan membuat siapa pun terenyuh.
Tsunami menambah deretan luka tidak terperi masyarakat Aceh. Beberapa pengarang
antusias mengambil Aceh sebagai latar cerita, termasuk Isbedy Setiawan Z.S.
(“Gelombang Besar di Kota Itu, Jawa Pos, 2001). Sebuah daerah dengan banyak
peristiwa
jelas
menyimpan
segudang
cerita
yang
menarik.
Kini tsunami menambah luka Aceh semakin parah dan tidak dapat terhapus meskipun
telah berganti sekian generasi.
Belum ada dalam sejarah mengenai bencana yang pernah melahirkan solidaritas
sedemikian tinggi seperti sekarang. Anak-anak kecil membobok celengan, pengamen
yang kesulitan finansial pun ikut mengamen ekstra agar hasilnya dapat disisihkan buat
korban. Di wilayah seni, seniman dari berbagai jenis melakukan apa pun untuk
meringankan derita korban. Ada yang menyelenggarakan pentas amal, konser amal,
lelang karya seni, atau “mengamen” di jalan-jalan protokol dan tempat keramaian.
Peristiwa tsunami mempersatukan segenap elemen, menyingkirkan prasangka dan
membuncahkan semangat dan solidaritas sedemikian besar.
Cukupkah semangat menyumbang itu bagi tujuan mengurangi derita korban
tsunami? Bagaimana kalau media berhenti memberitakan kesengsaraan para korban
yang selamat dan menjadi pengungsi, televisi “bosan” menayangkan video amatir
tsunami dan pemerintah sendiri mulai mengalihkan perhatian? Untuk menyikapi
persoalan ini, para seniman memiliki tugas khusus. Bukan sekadar terlibat dalam
penggalangan dana (ataupun menyisihkan penghasilan), melainkan ikut bertanggung
jawab merasakan duka dan kesedihan korban melalui sebentuk karya, yakni melakukan
rekaman pengugah hati yang terus menjaga solidaritas tetap tumbuh di hati dan sanubari
publik. Pemberitaan media tidak mungkin selamanya bercokol di Aceh. Kesenian dapat
(dan dituntut) mengambil alih peran yang telah dilakukan media secara lugas:
membangun empati dan solidaritas. Sastra dalam hal ini memiliki fungsi khas.
Kelebihan karya sastra mampu menyuguhkan duka secara mendalam, intens dan detil
sehingga dapat berfungsi sebagai rekaman peristiwa yang berharga dan dapat
mengabadi. Bagi sastrawan, Aceh kini makin “mengandung” banyak cerita menarik
sebagai akibat peristiwa tersebut. Tidak aneh jika dalam waktu singkat telah lahir
banyak sekali puisi tentang Aceh di hampir semua media, juga beberapa cerpen. Apabila
kita mengunduh sriti.com, di sana ada folder khusus karya sastra (cerpen dan puisi)
tentang tsunami.
Sastrawan seharusnya mampu menggali lebih dalam derita Aceh melalui gaya
penceritaan yang lebih panjang (novel). Kekuatan membangkitkan empati dan emosi
dapat menjadi roh yang menjiwai novel. Jika situasi tersebut berhasil diciptakan, kita
berharap solidaritas untuk Aceh dapat terjaga layaknya bara api yang disiram minyak
atau ditiup angin. Barangkali inilah solidaritas sejatinya. Bukan karena momentum
sesaat, apalagi terkesan aji mumpung (tidak ada kontinuitasnya), sastrawan
bersolidaritas melalui karyanya.. Solidaritas itu
mampu melampaui nilai-nilai
314
artistikisme yang biasanya membelit kreasi sastrawan sehingga menabalkan sisi empatik
dan emosi pembaca. Dalam caranya sendiri, setiap orang diharapkan menggunakan
kemampuannya untuk membantu dan bersolidaritas. Dalam kaitan itu, sastrawan
tertantang lebih bekerja keras untuk menghasilkan sebentuk solidaritas yang memiliki
kemanfaatan besar.
Dalam kerusuhan yang meletus pada 28 Oktober 2012 bersamaan dengan
peringatan Sumpah Pemuda korban sebenarnya adalah masyarakat yang tinggal di Desa
Balinuraga di Bandar Lampung. Artinya, sebagai penyair, Isbedy, menjadi juru bicara
dalam kerusuhan sosial melalui sajak dari rasa perih yang dialami oleh korban. Salah
satu sajaknya berjudul ‘’Begitu Mudah’’. Temanya tentang kerusuhan sosial. Sajak itu
dibuka dengan bait: kini kau begitu mudah menggali makam/lalu menenggelamkan
badan orang/karena itu kau sirami benih kebencian/kausulut kayu kau percikkan api:
dendam.
Sejarah Perjalanan Sajak Isbedy Stiawan Z.S.
Isbedy Stiawan, Z.S. (lahir di Tanjungkarang, Bandar Lampung, 5 Juni 1958)
adalah sastrawan Indonesia. H.B. Jassin menjulukinya Paus Sastra Lampung. Sejak lahir
hingga kini, Isbedy tinggal dan menetap di Bandar Lampung. Selain menulis karya
sastra (cerpen, puisi, esai sastra), kini dia aktif di Dewan Kesenian Lampung (DKL) dan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung. Isbedy mulai bersentuhan dengan dunia
sastra sejak bangku SMP tahun 1975. Karya-karya Kho Ping Hoo adalah bacaan yang
saat itu digemarinya. Sebelum terkenal sebagai penulis, ia tekun bertaeter bersama
Syaiful Irba Tanpaka dan A.M. Zulqornain dalam Sanggar Ragom Budaya. Ketika di
STM, dia mulai menggeluti sastra, yaitu menulis puisi dan cerpen. Dia kerap
membacakan sajaknya dari panggung ke panggung. Sejak itu puisi, cerpen, dan esainya
mengalir deras dan dimuat di berbagai media lokal dan nasional.
Pada umumnya proses kreatif puisi Isbedy lahir setelah ia menemukan kata-kata
puitis terlebih dahulu, lalu menolahnya menjadi puisi. Ide kreatifnya bisa muncul kapan
saja, saat perjalanan, merenung di waktu malam atau langsung di depan komputer. Dia
pernah diundang mengikuti berbagai kegiatan sastra di berbagai kota di Tanah Air,
Malaysia, Thailand seperti Pertemuan Sastrawan Nusantara di Johor Bahru dan Kedah
(Malaysia), Dialog Utara di Thailand, Utan Kayu Literary Festival, dan Ubud Writers
and Readers International Festival.
Isbedy mungkin satu-satunya penyair yang sangat produktif. Bahkan, apabila
dibandingkan dengan semua penyair Indonesia, mungkin hanya Isbedy yang paling
banyak menerbitkan buku kumpulan puisi tunggal. Kadang-kadang tidak sampai lima
puluh sajak telah diterbitkan menjadi buku. Tahun 2003 terbit bukunya yang bertajuk
Aku Tandai Tahi Lalatmu (Gema Media), yang menurut hemat saya, inilah buku
kumpulan puisi Isbedy yang menampilkan puisi-puisi paling kuat. Tahun 2005 ada
seratus buah sajaknya yang ditulis dalam rentang tiga dekade 1980-an sampai 2000-an,
yang diterbitkan oleh Grasindo dengan judul Kota Cahaya. Dalam buku ini tampak
sekali perubahan puisi Isbedy. Puisi yang ditulis era 1980-an menampilkan puisi-puisi
religius.
Beberapa waktu lalu terbit kembali buku himpunan puisi Isbedy dengan judul
Setiap Baris Hujan (BukuPop, Jakarta (2008) dan Anjing Dini Hari (2010). Dalam dua
buku terakhir terdapat sajak-sajak protes yang kering. Kalau dalam buku Aku Tandai
Tahi Lalatmu muncul sajak-sajak sosial yang tidak verbal, yang menggugah dan
memantik, sajak-sajak sosial dalam buku Setiap Baris Hujan mulai abai pada
pengucapan yang jernih dan jatuh pada pengucapan yang terang-benderang. Sajak-sajak
315
tahi lalat yang jernih, seperti Aku Tandai: ”aku tandai tahi lalatmu dari dunia kanakkanak yang tak akan pernah terhapus bilangan sampai hapal benar pada lekuk dan
gerakmu, seperti aku mengenal tubuhku sendiri”.
Menurut Sutardji Calzoum Bachri: “Isbedy Stiawan, Z.S. bukan muka baru
dalam perpuisian. Sejak 1987, karyanya sudah muncul di media massa. Pengalaman
belasan tahun dalam pergaulan kreatif menghasilkan sejumlah sajak menarik. Tampak
ungkapan segar dalam sajaknya ditampilkan dalam susunan saling bersambung—
mendukung membentuk secara halus lembut dan tersamar suatu gagasan pikiran atau
perasaan ataupun kesan, dalam suatu kerutuhan yang diharapkan dapat menjadi
renungan dalam. Begitu pula obsesinya dalam menandai keperihan hidup yang
traumatik ditranformasikan, menjadi suatu upaya untuk mencari dan meraih hikmah
segar bagi nilai hidup dan kemanusiaan.”
Puisi “Sementara Aku” karya Isbedy Stiawan, Z.S.Puisi yang Membangkitkan
Solidaritas
Di tengah meningkatnya primordialisme dan konflik antarkelompok, sastra dapat
berfungsi, bukan saja untuk mendobrak stereotip, melainkaan juga untuk menekankan
tema solidaritas dan empati.
Siapa para solider dalam berpuisi di negeri kita?
Tentu saja jawabannya banyak sekali. Mereka menulis puisi tentang sahabat, tentang
orang kecil, tentang kebutuhan buat tetap saling menjaga asa. Frakny Sahilatua, melalui
puisi Emha Ainun Nadjib.
Berikut salah satu puisi di dalam puisi “Sementara Aku” karya Isbedy Stiawan,
Z.S., puisi yang membangkitkan empati dan solidaritas dapat diuraikan sebagai berikut.
Sementara Aku
priok rontok, talangsari ditanahkan,
aceh bergelora, dan ambon berdarah
sementara aku berdiri di mana?
timtim, kalimantan, dan jatim
dicekam ketakutan. Ada mayat diseret
keliling! sementara aku hanya
mengalirkan kata-kata
o, talangsari kembali berdenyut
tapi kau menguburnya lagi
jadi cerita yang lain
sementara aku hanya tersenyum
matahari sudah benar-benar berubah
di tanah yang penuh sandiwara!
Analisis sajak “Sementara Aku” dapat dideskripsikan sebagai berikut.
Rasa
Sajak ini mengandung ungkapan batin dan perasaan penyair yang sedang
mengalami kesedihan akibat melihat kejadian di daerah-daerah yang mengalami
kekacauan dan penindasan hak asasi manusia. Kutipan /priok rontok, talangsari
diitanahkan,/,/aceh bergelora, dan ambon berdarah/…(bait pertama) dan pada bait
kedua; //timtim, Kalimantan, dan jatim/,/dicekam ketakutan, ada mayat
316
diseret/,/kelililng…/. Rasa kesedihan itu timbul karena melihat kejadian rakyat yang
mengalami penderitaan dan ada mayat yang diseret.
Nada
Sikap penyair kepada pembacanya terungkap dalam sajak ini adalah
menyalahkan sehingga pengaruh yang ditimbulkan pada diri pembaca suasana protes
terhadap kesewenang-wenangan. Hal itu diakibatkan pembaca juga seolah menyaksikan
perstiwa tersebut. Sikap menyalahkan ini termasuk sikap sugesti, yaitu memberikan
pendapat, anjuran, atau drongan agar orang dapat memperbaiki kesalahannya.
Kutipannya:
o, talangsari kembali berdenyut
tapi kau menguburnya lagi
jadi cerita yang lain
sementara aku hanya tersenyum
Dalam larik tersebut nada menyalahkan muncul pada larik kedua dan ketiga yang
berbunyi //tapi kau menguburnya lagi jadi cerita lain/. Jadi, peristiwa yang terajadi di
daerah yang mengalami kekacauan politik tersebut semuanya dikubur atau digantikan
menjadi cerita yang tidak sesuai dengan fakta.Nada pada sajak tersebut menyalahkan
oknum tertentu sehingga aku lirik menganjurkan agar oknum tersebut memperbaiki
kesalahan yang diperbuatnya.
Tema
Tema dalam sajak tersebut adalah realitas sosial yang menyedihkan. Kesedihan
tersebut dinyatakan sikap aku lirik setelah menyaksikan peristiwa yang terjadi pada
daerah-daerah yang dilanda konflik dengan keadaan bingung. Aku lirik pun tidak
berdaya terhadap situasi yang terjadi. Hal tersebut dinyatakan pada bait pertama larik
terakhir: /sementara aku berdiri di mana?/. Kebingungannya tersebut diakibatkan
karena peristiwa yang terjadi di daerah Tanjung Priok (Jakarta), Talangsari (Lampung),
Ambon, TimTim, Sampit (Kalimantan), dan Madura (Jatim).Di daerahtersebut
mengalami konflik politik dan pelanggaran hakasasi manusia (HAM).Peristiwaperistiwa tersebut merupakan kisah nyata, yang sangat mengerikan bagi siapa saja yang
menyaksikannya.Kutipannya:
timtim, kalimantan, dan jatim
dicekam ketakutan. Ada mayat diseret
keliling! sementara aku hanya
mengalirkan kata-kata
Maksud dari kutipan tersebut: Aku lirik hanya dapat menggambarkan peristiwa
yang mengerikan tersebut melalui kata-kata yang berbentuk puisi. Pada bait ketiga
penyair menceritakan kembali mengenaiTalangsari yang menuntut hak asasi mereka
yang tertindas, tetapi orang-orang berwenang dalam menangani kasus tersebut, justru si
kau lirik mengganti menjadi cerita yang lain.Di sinilah puncak kemarahan rakyat. Kata
kau dapat diartikan sebagai penguasa, aparat hukum, dan orang-orang yang berhak dan
berhubungan dengan konflik yang terjadi tersebut.
Pada bait keempat atau terakhir, aku lirik menceritakan bahwa /matahari sudah
benar-benar berubah/ di tanah yang penuh sandiwara/. Keadaan yang tidak wajar
terjadi karena banyaknya korban penindasan dan kekerasan sehingga tidak ada lagi
‘cahaya kehisdupan’ (matahari) di daerah yang mengalami kekacauan tersebut. Jadi,
tema sajak tersebut menunjukkan realitas sosial berupa peristiwa menyedihkan di negeri
aku lirik, yakni: tindak kekerasan, kekacauan, dan penindasan hak asasi manusia yang
317
terjadi di daerah Tanjung Priok, Talangsari (Lampung Selatan), Aceh, Ambon, Timtim,
Sampit (Kalimantan), dan Jatim. Lalu, setelah menyaksikan peristiwa tersebut aku lirik
berada dalam keadaan bingung dan tidak berdaya. Hal itu dapat dilihat dari
pengulangankalimat /sementara aku/.
Kebingungan tersebut dinyatakan dalam teks bahwa aku lirik hanya dapat
mengalirkan kata-kata dan tersenyum sedangkan kau yang diartikan sebagai penguasa,
atau orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut. Mereka tidak dapat mengambil
langkah positif untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM (hak asasi manusia) yang
terjadi. Selain itu, mereka hanya diam dan menganggap peristiwa tersebut tidak pernah
terjadi. Kutipannya: /o, talangsari kembali berdenyut/,/tapi kau menguburnta lagi/,/ada
cerita lain/,/sementara aku hanya tersenyum/. Cuplikan tersebut berarti bahwa rakyat
sudah banyak yang menderita karena terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM.
Mereka pun menuntut hanya tetapi oknum-oknum tersebut tidak pernah menghiraukan
tuntutan. Bahkan para wartawan yang akan mencari berita tentang peristiwa tersebut
dialihkan dan direkayasa menjadi peristiwa yang lain.
Amanat
Dalam sajak tersebut amanat yang terkandung yakni hendaknya manusia
mempunyai rasa perduli terhadap nasib sesamanya agar tidak terulang kembali konflik
sosial. Kutipannya pada bait kedua:
timtim, kalimantan, dan jatim
dicekam ketakutan. Ada mayat diseret
keliling! sementara aku hanya
mengalirkan kata-kata
Pada kutipan tersebut dilukiskan mengenai aku lirik yang tidak memiliki rasa
perduli setelah menyaksikan konflik yang terjadi di daerah tersebut. Setiap manusia
hendaknya memiliki keseimbangan antara hak dan kewajiban.Jika menghadapi suatu
persoalan, hendaknya bersikap bijaksana agar tidak mengalami kebingungan dan
menyelesaikan masalah yang terjadi. Misalnya, peristiwa yang dialami aku lirik
membuatnya tidak berdaya dan merasakan kebingungan setelah menyaksikan peristiwa
menyedihkan tersebut. Selain itu, manusia hendaknya harus mempunyai jiwa optimis,
patriotis, dan rasa cinta tanah air yang bertujuan menciptakan suasana harmonis dalam
negeri.
Muatan nilai-nilai yang tersirat dari karya sastra pada umumnya adalah nilai
religious, nilai moral, nilai sosial, dan nilai etika, serta nilai estetika. Dalam konteks
pembelajaran sastra Indonesia, guru dapat menanamkan nilai tersebut melalui apresiasi
karya sastra. Dalam proses pembelajaran guru harus menyampaikan hal tersebut agar
siswa dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk.Jadi, sajak “Sementara Aku”
dapat dijadikan sebagai bahan ajar di SMA karena telah memenuhi atau sesuai dengan
kriteria pemilihan bahan pengajaran puisi.
Untuk mendalami lebih jauh kepenyakiran Isbaedy dapat juga kita simak
sajaknya yang lain, “Negeri Sepatu”. Sajak itu bercerita mengenai realitas yang
menuntut keadilan sosial. Keadilan sosial mengandung nada protes dan melukiskan
ketidakadilan dalam masyarakat. Tema tersebut juga bertujuan untuk mengetuk hati
nurani pembaca agar keadilan sosial ditegakkan dan diperjuangkan. Maksudnya,
daerah-daerah yang sedang mengalami konflik agar dapat diselesaikan sehingga tidak
banyak korban karena terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
318
Sajak tersebut juga mengandung nilai moral dan susila mengenai ajaran baikburuknya suatu perbuatan. Seperti halnya rasa kesedihan yang dialami aku lirik karena
perbuatan kejam yang terjadi di daerah konflik tersebut.
Sajak tersebut tidak sukar untuk ditafsirkan karena bahasanya mudah dimengerti
dan dipahami. Amanat yang terkandung dalam sajak itu berupa sikap optimis,
membangkitkan semangat patriotis, dan rasa cinta tanah air. Sajak itu bersifat nasional
dan sesuai dengan dasar kemanusiaan.. Di daalamnya juga tersimpiul sifat jujur,
rendah hati, tidak bersifat memaksa orang lain, tetapi mengajak dan meyakinkan.
Dikatakan bahwa penyait menyampaikan kejujuran hatinya tentang peristiwa yang
sesuai dengan fakta yang terjadi di negerinya. Selain itu, sajak “Negeri Sepatu” tersebut
mengandung nilai didaktis (pendidikan). Nilai pendidikan yang berupa ajaran mengenai
kepedulian terhadap sesama manusia.
Simpulan
Sajak “Negeri Sepatu” bercerita tentang realitas yang menuntut keadilan sosial.
Keadilan sosial mengandung nada protes dan melukiskan ketidakadilan dalam
masyarakat. Tema tersebut juga bertujuan untuk mengetuk hati nurani pembaca agar
keadilan sosial ditegakkan dan diperjuangkan. Maksudnya, daerah-daerah yang sedang
mengalami konflik agar dapat diselesaikan sehingga tidak banyak korban karena terjadi
pelanggaran hak asasi manusia.
Sajak “Negeri Sepatu” juga mengandung nilai moral dan susila mengenai
ajaran baik-buruknya suatu perbuatan. Seperti halnya rasa kesedihan yang dialami aku
lirik karena perbuatan kejam yang terjadi di daerah konflik tersebut.
Sajak Isbaedy tersebut tidak sukar untuk ditafsirkan karena bahasanya mudah
dimengerti dan dipahami. Amanat yang terkandung berupa sikap optimis,
membangkitkan semangat patriotis, dan rasa cinta tanah air. Cakupannya bersifat
nasional dan sesuai dengan dasar kemanusiaan.
Sajak “Negeri Sepatu” juga mengandung nilaiatau karalkter jujur, rendah hati,
tidak bersifat memaksa orang lain, tetapi mengajak dan meyakinkan. Hal itu terlihat
melalui kejujuran penyair dalam menceritakan peristiwa yang sesuai dengan fakta yang
terjadi di negerinya. Selain itu, sajak “Negeri Sepatu” jiga mengandung nilai didaktis
(pendidikan) berupa ajaran moral dan kepedulian antarsesama yang ditanamkan dalam
disri peserta didik.
.
Daftar Rujukan
Aminudin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.
Grange, Joseph. Volume 46, Number 3, July 1996, hal. 351-366. “The Disappearance of
the Public Good: Confusius, Dewey, and Rorty”, dalam Philosophy East &
West.
Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Balai
Pustaka.
Rorty, Richard. 1989.Contingency, Irony, and Solidarity. Cambridge: Cambridge
University Press.
Stiawan Z.S, Isbedy. 1995. Manuskrip Sajak-Sajak Negeri Sepatu. Bandar Lampung.
Tarigan, H.G. Dasar-Dasar Psikosastra. 1995. Bandung: Amgkasa.
Waluyo, Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Bandumh: Angkasa.
Wahyudi.2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Sulita.
319
POTRET ANAK SAMAWA DALAM LAWAS TAO ODE
Nining Nur Alaini
(Indonesia)
Abstrak: Kabupaten Sumbawa merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis, Kabupaten Sumbawa terletak di antara
116”42’ – 118”22’ Bujur Timur, 8”8’ – 9”7” Lintang Selatan . Berdasarkan rincian
penduduk Kabupaten Sumbawa menurut golongan umur dan jenis kelamin, yang
tergambar dalam piramida penduduk hasil sensus 2000, Supas tahun 2007, dan tahun
2008, menunjukkan bahwa struktur penduduk Kabupaten Sumbawa, proporsi penduduk
di bawah 15 tahun masih tinggi, yaitu 33,11% pada tahun 2000, 31,56% pada tahun
2005, 33,44% pada tahun 2006, dan 33,43% pada tahun 2007.
Anak-anak merupakan salah satu unsur potensial dalam suatu negara. Anak-anak
merupakan cikal bakal generasi penerus yang akan menerima tongkat estafet
pembangunan bangsa. Untuk menghasilkan anak-anak sebagai generasi penerus yang
berkualitas dan potensial, pendidikan dan pembentukan karekter anak secara dini harus
dilakukan. Salah satu media yang dapat digunakan untuk mendidik dan membangun
karakter anak secara positif adalah sastra. Nusa Tenggara Barat merupakan wilayah
yang sangat kaya dengan khazanah sastra daerah, baik berupa tradisi tulis maupun lisan.
Salah satu tradisi lisan yang hidup dalam komunitas Samawa adalah Lawas. Lawas,
seperti halnya, khazanah budaya daerah yang lain, sangat kaya dengan kearifan lokal
yang merupakan media pendidikan dan pembangunan karakter yang positif untuk anakanak. Memudarnya tradisi lisan akan diikuti pula dengan mulai hilangnya local genious
yang terkandung dalam tradisi tersebut.
Tulisan ini akan mendokumentasikan lawas anak-anak (lawas Tao Ode) dalam
masyarakat Samawa, mengungkap nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di
dalamnya, sebagai salah satu media pendidikan dan pembentukan karakter anak, serta
mencari tahu hal-hal yang melatarbelakangi munculnya kearifan lokal tersebut dan
fungsinya dalam komunitas Samawa.
Kata Kunci: Lawas Tao Ode, pendidikan dan pembentukan karakter anak, local
genius.
Pendahuluan
Kabupaten Sumbawa merupakan salah satu kabupaten/kota yang terdapat di
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis, Kabupaten Sumbawa terletak di antara
116”42’ – 118”22’ Bujur Timur, 8”8’ – 9”7” Lintang Selatan. Di bagian Utara, wilayah
Kabupaten Sumbawa berbatasan dengan Laut Flores, di bagian timur berbatasan dengan
Kabupaten Dompu, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, dan di
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sumbawa Barat.
Secara administratif, Kabupaten Sumbawa terbagi dalam 24 kecamatan, yaitu
Tarano, Labangka, Empang, Lunyuk, Plampang, Maronge, Moyo Hilir, Moyo Utara,
Moyo Hulu, Batu Lanteh, Sumbawa, Unter iwis, Labuhan Badas, Rhee, Utan, Buer,
Alas, Alas Barat, Orong Telu, Lape, Lopok, Ropang, Lenangguar, dan Lantung, dan Ibu
kota Kabupaten Sumbawa adalah Sumbawa Besar (Amin, 2008: 1 –2).
Penduduk Kabupaten Sumbawa memiliki karakteristik heterogen. Berdasarkan
data kependudukan dan catatan sipil Kabupaten Sumbawa, penduduk Kabupaten
320
Sumbawa terdiri dari delapan kelompok etnis besar, yaitu Sumbawa (66%), Sasak
(13%), Dompu (0,13), Bima (3%), Jawa (3%), Bali (3%), Sunda (0,2%) ,
Bugis/Makasar (3,24%), dan etnis lain kurang lebih 5% (Amin, 2008: 54).
Keheterogenan yang mewarnai Samawa tersebut, sangat berpengaruh pada
khazanah budaya, termasuk di dalamnya sastra, yang tumbuh dan berkembang di
wilayah seluas 6,643,98 km2 tersebut. Samawa sangat kaya dengan khazanah sastranya,
salah satunya adalah Lawas.
Masalah yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah wujud Lawas Tao Ode,
Kearifan Lokal yang terkandung dalam Lawas Tao Ode, dan mengapa kearifan lokal
tersebut tumbuh dalam komunitas masyarakatnya, serta fungsi kearifan lokal tersebut
bagi masyarakat pemiliknya.
Konsep dan Teori
Sastra Anak
Karya sastra, termasuk di dalamnya sastra anak, berbicara tentang hidup dan
kehidupan dengan cara dan bahasa yang khas. Dalam bahasa sastra terkandung unsur
dan tujuan keindahan. Sastra menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan
pemahaman. Sebuah karya sastra penuh dengan daya pikat yang membuat pembaca
ingin tahu dan terikat kepadanya, mempermainkan emosi pembaca sehingga ikut larut
ke dalam arus cerita. Sastra juga memberikan pemahaman yang lebih baik tentang
kehidupan. Sastra mengandung eksplorasi mengenai kebenaran kemanusiaan. Sastra
anak merupakan citraan atau metafora kehidupan yang mengisahkan hal-hal yang
berada dalam jangkauan anak, baik yang melibatkan aspek emosi, perasaan, pikiran,
saraf sensori, maupun pengalaman moral, dan diekspresikan dalam bentuk-bentuk
kebahasaan yang juga dapat dijangkau dan dipahami oleh pembaca anak-anak. Sastra
anak dapat berkisah tentang apa saja, bahkan yang menurut ukuran dewasa tidak masuk
akal. Imajinasi anak dapat menerima cerita yang tak wajar dan tidak masuk akal seperti
tokoh binatang yang dapat berbicara. Sastra anak menempatkan sudut pandang anak
sebagai pusat penceritaan (Nurgiyantoro, 2005: 5-7).
Sastra Lisan dalam Komunitas Samawa
Tradisi lisan etnis Samawa disebut-sebut sebagai pilar budaya yang masih ada
semenjak berabad-abad lamanya hingga sekarang, karena di dalamnya termuat tata nilai,
sikap hidup, serta alam pikiran kelompok masyarakatnya. Sastra yang berkembang
dalam masyarakat etnis Samawa adalah sastra lisan yang berupa puisi tradisional,
dikenal dengan nama lawas. Lawas ini diwariskan dalam bentuk lisan, dengan
menggunakan temung, bentuk penyampaian ini disebut balawas.
Lawas merupakan salah satu sastra lisan yang hidup dalam komunitas Samawa di
pulau Sumbawa. Hamid Jabar (dalam Amir, 2008) manyatakan bahwa bentuk sastra
seperti “Lawas” baru beliau jumpai di dua tempat yaitu di Jepang dan Sumbawa. Jenis
sastra yang mirip dengan Lawas di Sumbawa ini, di Jepang, disebut Tanka. Perbedaan
Lawas dan Tanka hanya satu, yaitu setiap larik pada Tanka terdiri dari tujuh suku kata,
sedangkan pada Lawas terdiri dari delapan suku kata. Kedua-duanya sama-sama
memiliki tiga larik pada setiap baitnya. Tanka di Jepang dilestarikan dengan cara
mewajibkan setiap siswa usia sekolah dasar menyusun larik-larik menjadi untaian baitbait Tanka sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan ijazah sekolah dasar
(Amin, 2008: ix).
321
Lawas pada mulanya berinduk pada bahasa Sumbawa dan tidak diketahui kapan
mulai hadir ditengah-tengah masyarakat Samawa. Kehadirannya Lawas dalam
kehidupan masyarakat Samawa, pada awalnya berfungsi sebagai alat ekspresi batin
manusia yang diliputi oleh rasa haru, sendu, gundah-gulana, yang disebabkan oleh
musibah atau marabahaya yang mengancam hidupnya. Dalam hal ini, Lawas berfungsi
untuk menghibur, mencurahkan perasaan dalam bentuk kata-kata. Ucapan-ucapan dalam
Lawas tampaknya menjadi sebuah kekuatan dalam upacara untuk mengusir unsur-unsur
yang menimbulkan rasa marabahaya (Rayes, 2006: 120). Lawas merupakan syair-syair
yang ditembangkan sebagai bentuk pengungkapan perasaan hati dalam bentuk cinta,
sedih, kritik, nasehat, dan sebagainya(Maswarang, 2006: 120). Sementara itu, Mustakim
Biawan (2006: 120) mengatakan, bahwa lawas disampaikan secara lisan, sehingga
menjadi begitu akrab dengan masyarakat, karena sudah menjadi bagian dari mereka
mengekspresikan isi hatinya, apalagi disampaikan dengan cara melagukan. Lawas
merupakan ungkapan perasaan yang halus, mengundang pendengar untuk meneliti dan
memikirkan sungguh-sungguh, seperti keluhan rakyat jelata terhadap pembesar negeri
yang bersenang ria di tengah-tengah rakyat yang tidak mempunyai papan, sandang, dan
pangan, sehingga dinyatakan lewat lawas (Manca, 1984: 34).
Lawas secara umum dapat diartikan sebagai puisi tradisonal Samawa yang terdiri
dari tiga baris setiap bait, diungkapkan secara lisan dengan menggunakan bahasa-bahasa
yang indah, biasanya disampaikan pada saat-saat tertentu, baik secara individu maupun
berkelompok (Hidayat, 2012: 1—4).
Lawas Tao Ode
Dari segi isi, lawas dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu lawas anakanak (tau ode), lawas muda-mudi (taruna dadara), lawas orang tua (tau loka), dan lawas
agama. Lawas anak-anak (tao ode) adalah lawas yang isinya tentang dunia anak-anak.
Lawas muda mudi adalah lawas yang isinya tentang perkenalan, percintaan, perpisahan
antara dua insan yang sedang jatuh cinta. Lawas orang tua adalah lawas yang berisi
tentang nasihat atau pesan yang bersifat didaktis yang diberikan oleh orang tua kepada
anaknya atau kepada yang lebih muda. Lawas agama adalah lawas yang isinya tentang
ajaran agama (Islam).
Lawas tao ode atau Lawas anak-anak adalah lawas yang isinya tentang dunia
anak-anak. Lawas anak-anak biasanya disampaikan sebagai bentuk ekspresi rasa kasih
saying seorang ibu atau kakak yang sedang mengasuh anak atau adiknya. Lawas jenis
ini biasanya disampaikan saat menidurkan anak (Nur Alaini, 2005: 79).
Teori Struktural
Strukralisme dalam sastra, karya sastra dapat dimasuki dari dunia sastra sendiri
kendati unsur-unsur di luar sastra dapat ikut dipertimbangkan. Kenyataan bahwa
strukturalisme datang dari berbagai bidang ilmu dapat menjadikan strukturalisme
sebuah studi interdisipliner. Sastra, dengan demikian dapat dimasuki dari berbagai
pintu, antara lain antropologi, sejarah, sastra, psikologi, dan sebagainya. Sebagai sebuah
studi interdisipliner, dengan sendirinya strukturalisme mempergunakan pendekatan
enstrinsik.
Pada awalnya, strukturalisme menganggap bahwa karya sastra adalah otonom.
Namun, dalam perkembangannya, pengertian otonom ini cenderung berkembang.
Karena karya sastra adalah sebuah seni, maka otonomi karya sastra tidak bias lepas dari
kaitannya dengan karya seni lainnya. Karya sastra bukan hanya sebuah seni, tetapi juga
322
merupakan satu bagian humaniora, sebagaimana linguistik, anthropogi, sejarah, dan
lain-lain (Budidarma,2004: 84—85)
Metode
Data Lawas yang digunakan dalam kajian ini adalah lawas Tao Ode. Objek
penelitian dalam kajian ini adalah Lawas Tao Ode. Berkaitan dengan hal itu, data yang
digunakan adalah keterangan mengenai struktur teks, ko-teks, dan konteks Lawas Tao
Ode.
Data Lawas Tao Ode yang digunakan dalam kajian adalah teks lawas dalam
bentuk dokumen tertulis yang telah dikumpulkan oleh Usman Amin dalam Kukokat
Lawas Siya, Kumpulan Lawas Sumbawa, serta data teks lawas yang diperoleh dari
seorang narasumber bernama Johansyah, S. Pd. dari desa Malili, Sumbawa. Selain data
Lawas tao Ode yang merupakan data primer, digunakan juga data sekunder yaitu
masyarakat penikmat, budaya dan lingkungan yang melingkupi sastra lisan tersebut
yang memiliki keterkaitan dengan data penelitian, sebagai ko-teks dan konteks lawas
Tao Ode.
Data lawas yang digunakan adalah sebagai berikut.
Lawas I
Ma tunung adi ma tunung
Meleng tunung kubeang me
Jangan jadi kembo karong
Tidurlah adikku, tidurlah
Bangun tidur akan kuberi makan nasi
Dengan lauk susu kerbau yang sehat
Lawas II
Basunat
Rembang seda tu sarakal
Dede tode ya tu sunat
Lengan rena ka tu rimpung
Berkhitan
Rame suara orang berserakal
Bagi anak yang sedang dikhitan
Telentang dan diikat
Rimpung rena nangis bito
Dahal sedisi ya tetak
Nosoka ya polak dua
Diikat sambil menangis keras
Padahal sedikit yang akan dipotong
Tidak akan dipotong dua kali
No mungkin tu polak dua
Mutahan gama ngering nan
Era ya bawa kanyaman
Tidak mungkin dipotong dua kali
Semoga kamu bias menahan rasa perih itu
Kelak akan berbuah kenikmatan
Tutu ya bawa kanyaman
Balong gama paliara
Jaga dadi kembo karong
Sungguh akan berbuah kenikmatan
Semoga dirawat dengan baik
Sehingga tumbuh menjadi kerbau jantan
Mana dadi kembo karong
Lamen nosi rungkas pagar
Meskipun kelak tumbuh menjadi kerbau jantan
Tidak akan berguna jika tidak mampu
meruntuhkan pagar
Mengolah dengan benar sawah dan membawa
pulang padi hasil panen
(Usman Amin)
Uma balong mole pade
Lawas III
Sarawi mukemo sendi
Long siep munangis bito
Muantat aku ko Bangka
Semalam senyummu hanya sekilas
Pagi harinya tangismu meledak
Manakala mengantarku ke pelabuhan
Bangkaku lalo balayar
Perahuku pergi berlayar
323
Lako Yogya tana Jawi
Katokal tu tutit ilmu
Lamen kamo dapat ilmu
Mana tu ka rowe lutung
Jonyong sating leng tau
Pergi ke Yogya tanah Jawa
Tempatku menuntut ilmu
Kalau sudah berilmu
Meskipun keturunan kulit hitam
Dijinjung tinggi oleh orang
Semanmo bito adi e
Ta kulalo tutit ilmu
Iringku gama ka doa
Lepasku ke piker balong
Berhentilah berurai air mata, adik
Aku pergi untuk menuntu ilmu
Iringi langkahku dengan doamu
Lepaskan langkahku dengan keluasan hatimu
Batari balong batari
Mutangar bage ke sira
Ka dopo daka basai
Kareng tu tangange rasa
Tunggulah sampai masanya tiba
Manakala asam dan garam
Menyatu dalam keutuhan
Menikmati keberhasilan yang
genggam
(Usman Amin)
telah
kita
Lawas IV
Sai sate nyaman telas
Kaya rajin tu belajar
Ma tu dadi tau pintar
Siapa saja yang ingin hidup nyaman
Rajinlah belajar
Agar menjadi orang pintar
Nan pang tau pintar
No gampang kelo ling tau
Tu Buya boat nyaman si
Ilmu tu patik no ilang
Siong mara kebo jaran
Soro ling tau tu susah
Jika kita menjadi orang pintar
Tidak mudah dibohongi orang
Serta mudah mencari pekerjaan
Ilmu yang kita miliki tidak akan mudah hilang
Tidak seperti kerbau dan kuda
Dicuri orang, hilanglah ia
Mana me jangka tu pintar
Lamin parange tu rusak
No so da tuju intan e
Sepintar apapun kita
Jika perilaku kita tidak baik
Ilmu yang kita miliki tidak akan berguna
Nan po bau baka lako
Piker balong moral balong
Anung tu boat no gagal
Jadilah orang yang baik
Pikiran jernih, hati bersih
Pekerjaan yang dilakukan akan bermanfaat
Apa untung tub a kedek
Lamin licik tu sakolah
Ya tu dadi tau gamang
Tidak ada gunanya keluyuran tanpa tujuan
Jika malas sekolah
Kelak akan menderita
Lamin kami tu sawai
No soda tuju tu sakolah
Paling tedu pang sanikan
Jika kita terlahir sebagai perempun
Tidak ada gunanya menuntut ilmu
Pada akhirnya akan berkutat di dapur
Na mikir mentan andi e
Tulang tempa dunia to
Peno tu kelo ling tau
Jangan berpikir seperti itu Adik
Lihatlah ke dunia luar
Orang bodoh akan dibohongi orang
Tu kaliru lampa kaka
Tu sakolah memang penting
Lema na kelo ling tau
Saya keliru mungkin kakak
Mencari ilmu memang penting
Agar tidak mudah dibohongi orang
(Johansyah)
Metode Analisis Data
324
Data yang telah diperoleh akan dikaji secara struktural untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan wujud Lawas Tao Ode, kearifan lokal yang terkandung dalam
Lawas Tao Ode, dan mengapa kearifan lokal tersebut tumbuh dalam komunitas
masyarakatnya, serta fungsi kearifan lokal tersebut bagi masyarakat pemiliknya.
Pembahasan
Struktur Lawas Tao Ode
Dilihat dari bentuknya, Lawas dapat dibedakan menjadi Lawas tiga baris, Lawas
empat baris, Lawas enam baris, dan Lawas delapan baris. Ada juga Lawas dalam bentuk
kisah yang tidak terikat pada jumlah baris yang disebut dengan Tutir. Lawas yang terdiri
dari empat baris, enam baris, dan delapan baris cenderung mengarah pada bentuk
pantun, yakni adanya sampiran dan isi yang biasanya dipakai dalam basul. Lawas
semacam ini disebut dengan lawas panan, lawas yang biasa dipakai bersoal jawab.
Lawas dilihat dari bentuk susunannya, ada yang berkait, di mana kata atau
kelompok kata pada bagian akhir di bait pertama diulang kembali pada bagian awal
baris pertama bait berikutnya. Pengulangan kata tersebut menandai adanya hubungan
makna, dan tema antar bait. Lawas seperti ini dinamakan lawas bekael.
Mustaqiem (1993: 24) menyatakan bahwa Lawas, termasuk Lawas Tao Ode,
pada umumnya terdiri atas satu sampai tiga bait. Tiap-tiap bait terdiri atas tiga atau
empat baris, dan tiap baris terdiri dari delapan suku kata. Tetapi, selain struktur Lawas
diatas, ditemukan juga Lawas yang memiliki struktur 1) satu bait, tiga baris, tiap baris
terdiri atas delapan suku kata, 2)satu bait, empat baris, tiap baris terdiri atas delapan
suku kata, 3) dua bait, enam baris, tiap baris terdiri dari delapan suku kata, 4) tiga bait,
sembilan baris, tiap baris terdiri atas delapan suku kata.
Lawas Tao Ode yang digunakan sebagai objek penelitian ini berbentuk lawas
tiga baris dan empat baris. Lawas pertama terdiri dari satu bait, setiap bait terdiri dari
tiga baris, dan setiap baris terdiri dari delapan suku kata.
Lawas kedua terdiri dari lima bait, setiap bait terdiri dari tiga baris, dan setiap
baris terdiri dari delapan suku kata. Lawas kedua ini meupakan lawas berkait, di mana
kata atau kelompok kata pada bagian akhir di bait pertama diulang kembali pada bagian
awal baris pertama bait berikutnya. Pengulangan kata tersebut menandai adanya
hubungan makna, dan tema antar bait. Lawas seperti ini dinamakan lawas bekael. Hal
ini dapat dilihat pada lawas kedua, ketiga, dan keempat sebagai berikut.
Basunat
Rembang seda tu sarakal
Dede tode ya tu sunat
Lengan rena ka tu rimpung
Berkhitan
Rame suara orang berserakal
Bagi anak yang sedang dikhitan
Telentang dan diikat
Rimpung rena nangis bito
Dahal sedisi ya tetak
Nosoka ya polak dua
Diikat sambil menangis keras
Padahal sedikit yang akan dipotong
Tidak akan dipotong dua kali
No mungkin tu polak dua
Mutahan gama ngering nan
Era ya bawa kanyaman
Tidak mungkin dipotong dua kali
Semoga kamu bias menahan rasa perih itu
Kelak akan berbuah kenikmatan
Tutu ya bawa kanyaman
Sungguh akan berbuah kenikmatan
325
Balong gama paliara
Jaga dadi kembo karong
Semoga dirawat dengan baik
Sehingga tumbuh menjadi kerbau jantan
Mana dadi kembo karong
Lamen nosi rungkas pagar
Meskipun kelak tumbuh menjadi kerbau jantan
Tidak akan berguna jika tidak mampu
meruntuhkan pagar
Mengolah dengan benar sawah dan membawa
pulang padi hasil panen
Uma balong mole pade
Pada lawas di atas terdapat pengulangan kata rimpung pada baris ketiga bait
pertama dan baris pertama bait kedua, kata dua pada baris ketiga bait kedua dan baris
pertama bait ketiga, kata kanyaman pada baris ketiga bait ketiga dan baris pertama bait
keempat, dan kata karong pada baris ketiga bait keempat dan baris pertama bait kelima.
Pada lawas ketiga, kata yang diulang adalah bangka, ilmu, balon, sedangkan
pada lawas keempat lawas bekael hanya terdapat pada bait pertama dan kedua, yaitu
pada kata pintar.
Lawas empat baris, terdapat pada lawas ketiga, yaitu pada bait keempat dan
kelima, seperti yang terlihat di bawah ini.
Semanmo bito adi e
Ta kulalo tutit ilmu
Iringku gama ka doa
Lepasku ke piker balong
Berhentilah berurai air mata, adik
Aku pergi untuk menuntu ilmu
Iringi langkahku dengan doamu
Lepaskan langkahku dengan keluasan hatimu
Batari balong batari
Mutangar bage ke sira
Ka dopo daka basai
Kareng tu tangange rasa
Tunggulah sampai masanya tiba
Manakala asam dan garam
Menyatu dalam keutuhan
Menikmati keberhasilan yang
genggam
telah
kita
Potret Anak Samawa dalam Lawas Tao Ode
Lawas pertama merupakan lawas yang biasa digunakan untuk menidurkan anakanak. Lawas ini berisi bujukan agar si anak cepat tidur. Jika si anak cepat tidur, dia akan
mendapatkan hadiah nasi yang berlaukan susu kerbau yang sehat. Secara umum,
makanan difefinisikan sebagai bahan yang digunakan untuk mengenyangkan perut,
demi memenuhi kebutuhan tubuh manusia. Akan tetapi, bahan makanan sebenarnya
sangat ditentukan oleh kebudayaan kolektif masing-masing. Makanan merupakan
fenomena kebudayaan, bukan hanya sekedar produksi organism untuk mempertahankan
hidup dengan cara mengkonsumsinya. Jenis-jenis makanan Sumbawa mempunyai arti
simbolik, menyangkut arti social, arti agama dan lain-lain. Simbol-simbol tersebut
memiliki fungsi tersendiri, antara lain arti social memiliki fungsi kemasyarakatan seperti
mempererat persatuan desa, memperkokoh kedudukan golongan tertentu dalam
masyarakat, membedakan status golongan berdasarkan perbedaan usia dan martabat. Di
samping itu makanan juga memiliki makna sebagai ungkapan ikatan social, solidaritas
kelompok, dan mengembalikan ketenangan jiwa (Zulkarnain, 2011: 221—223).
Masyarakat Sumbawa memiliki beragam makanan khas, yang salah satunya
adalah berasal dari susu kerbau. Kerbau merupakan jenis ternak yang banyak dijumpai
di Sumbawa. Selain menghasilkan daging, yang bias diolah menjadi dendeng, kerbau
juga menghasilkan susu yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Sumbawa. Jenis
326
olahan makanan dari susu kerbau ini antara lain adalah permen susu, susukaya (mirip
tahu mentah) dan palopo (seperti agar-agar). Masyarakat Sumbawa juga memiliki
kegemaran menggunakan susu kerbau ini sebagai makanan pelengkap nasi, yaitu
dengan cara merebusnya dan menyitamkannya di atas nasi putih. Budaya makanan
inilah yang melahirkan lawas tau ode yang berisi nyanyian nina bobok, dengan hadiah
nasi dicampur susu kerbau yang sehat.
Lawas kedua berkisah tentang anak yang sedang disunat. Berkhitan atau
bersunat merupakan sunnah Nabi bagi umat Islam yang berjenis kalamin laki-laki.
Mayoritas masyarakat Sumbawa memeluk agama Islam. Berbeda dengan di daerahdaerah lainnya yang mayoritas rakyatnya memeluk Islam setelah rajanya memeluk
Islam, di Sumbawa, ternyata rakyatnya telah lebih dahulu memeluk Islam
dibandingkan dengan rajanya (Zulkarnain, 2011: 15).
Berdasarkan berita Cina zaman dinasti Tang, ketika kerajaan Sriwijaya Berjaya
mengembangkan kekuasaannya sekitar abad VII dan VIII, Selat Malaka sudah ramai
dilalui oleh pedagang muslim. Mereka adalah pedagang yang menghubungkan timur
dan barat, karena mengambil barang-barang yang berupa sutera, wewangian, rempahrempah, beras dan lain-lain kebutuhan orang barat dari timur. Kota-kota yang
didatangi oleh para pedagang tersebut selain canton dan Pasai, juga menyinggahi
Demak, Banjarmasin, Sukadana, Palembang, Makasar, dan Ternate. Dalam pelayaran
yang jauh tersebut, mereka singgah di Pulau Sumbawa untuk menambah perbekalan
air minum. Pengislaman masyarakat Sumbawa juga dipengaruhi oleh pengislaman
Gowa, Tallo, Luwu, dan Bone. Hubungan kekeluargaan yang terjalin sebelumnya
antara keluarga kerajaan di Sulawesi dengan kerajaan-kerajaan di Sumbawa, baik
melalui kawin-mawin, politik, pemerintahan, ekonomi dan kebudayaan,
mempermudah proses pengislaman (Zulkarnain, 2011: 15—17).
Lawas kedua di atas, tercipta karena adanya sunnah Nabii untuk berkhitan bagi
laki-laki muslim, dan adanya ritual selakaran/berserakal yang diadakan oleh
masyarakat Sumbawa saat upacara khitan. Selakaran merupakan kegiatan membaca
kita Al-Barzanji secara bersama-sama. Tradisi Selakaran ini diadakan pada peristiwaperistiwa tertentu, misalnya khitanan, kurisan, naik haji, atau pada peringatanperingatan hari besar keagamaan.
Basunat di Sumbawa pada anak laki-laki yang berusia antara tiga sampai
sepuluh tahun. Pada anak perempuan di Sumbawa, juga terdapat tradisi berkhitan yang
disebut batoba. Khitan dilakukan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan anak.
Dalam ritual adat Sumbawa terdapat beberapa tahapan dalam acara basunat yaitu
1) Barodak, 2) basunat, dan 3) barupa. Upacara barodak dilakukan sehari sebelum anak
dikhitan. Upacara ini berupa pemberian lulur pada sekujur tubuh anak agar harum,
bersih dan segar. Pada saat ritual barodak ini biasanya akan dimeriahkan hiburan oleh
ratib rebana ode atau musik gong genang. Anak yang dikhitan di kenakan pakaian
berupa kain sarung berwarna putih atau kuning. Kain sarung tersebut dinamakan awi.
Pada saat pelaksanaan khitanan dilakukan ritual sarakal. Anak yang dikhitan
diberi makan telur ayam yang direbus. Seorang sandro sunat, atau mantri kesehatan atau
dokter akan melakukan pemotongan kulit kelamin yang akan disunat. Ritual khitan
biasanya akan diakhiri dengan pemberian hadiah kepada anak yang telah disunat oleh
sanak saudara dan handai taulan ataupun oleh semua orang yang hadir di tempat itu.
Hadiah dapat uang atau barang, sehingga anak menjadi gembira dan melupakan rasa
takut dan rasa sakitnya akibat di sunat. Upacara khitanan biasanya juga di semarakkan
dengan hiburan permainan rakyat gentao, yaitu semacam permainan pencak silat.
327
Anak yang sudah disunat dianggap sudah memasuki alam kedewasaan,
diibaratkan sebagai kerbau jantan yang beranjak dewasa. Harus dididik dengan baik
agar menjadi kerbau jantan yang bisa mengolah sawah dengan baik, mencari
penghidupan untuk masa depannya.
Lawas ketiga dan keempat berisi tentang nasihat tentang pentingnya menuntut
ilmu dan menjadi orang yang berilmu dan berakhlak. Mencari ilmu tidak hanya
dianjurkan bagi kaum lelaki saja, tetapi juga untuk para wanita. Orang berilmu akan
dapat hidup dengan layak dengan bekal ilmunya, serta dihargai orang lain. Tetapi
berilmu saja tidak cukup, manakala tidak diimbangi dengan budi pekerti, Mana me
jangka tu pintar, Lamin parange tu rusak, No so da tuju intan e. Dalam masyarakat
Sumbawa, kedudukan social seseorang, tidaklah tampak dalam sosok material, tetapi
lebih kuat terpantul dari cerminan sikap dan tingkah laku. Hal itulah yang menyebabkan
masyarakat Sumbawa selalu menjaga sikap dan tingkah laku. Seseorang yang
bertingkah laku dan bersikap kurang baik disebut sebagai tau-ende. Tau ende adalah
budak belian. Istilah ini muncul karena pada masa lalu, masyarakat Sumbawa yang
mampu biasanya memiliki budak belian untuk membantu mengerjakan sawah dan
memelihara ternak. Mereka diperlakukan seperti keluarga sendiri dan mendapat
pembagian hasil panen atau ternak yang lebih dari cukup, sehingga membuat para budak
belian ini besar kepala. Mereka tidak taat, dan terkesan bodoh. Orang-orang yang tidak
berilmu dan tidak berahklak, dalam masyarakat Sumbawa, dijuluki sebagai tau ende
(Zulkarnain, 2011: 183).
Penutup
Lawas anak-anak (lawas Tao Ode) dalam masyarakat Samawa, banyak
mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang masih relevan hingga saat ini. Dalam
masyarakat Sumbawa, lawas Tao Ode ini berfungsi antara lain sebagai salah satu media
pendidikan dan pembentukan karakter anak. Dengan mengkaji lawas Tao Ode ini, kita
akan dapat mengungkapkan kearifan lokal Samawa yang tersimpan di dalamnya, dan
memanfaatkannya untuk mendidik dan membangun karakter generasi penerus bangsa.
Daftar Rujukan
Amin, Usman. 2008. Kukokat Lawas Siya, Kumpulan Lawas Sumbawa. Jilid 2.
Sumbawa: Kantor Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sumbawa
Budidharma. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
Dinullah Rayes, 2006 dalam Muhammad Saleh. 2007. “Sastra Lisan (Lawas) Etnis
Samawa dan Muatan Nilai Keagamaannya”. Jurnal Penelitian Keislaman Vol
4, No. 1, hal 120.
Manca, Lalu. 1984. Sumbawa pada Masa Lalu (Suatu Tinjauan Sejarah). Surabaya:
Penerbit Rinta.
Maswarang, 2006 dalam Muhammad Saleh. 2007. “Sastra Lisan (Lawas) Etnis
Samawa dan Muatan Nilai Keagamaannya”. Jurnal Penelitian Keislaman Vol
4, No. 1, hal 120.
Mustakim Biawan, 2006 dalam Muhammad Saleh. 2007. “Sastra Lisan (Lawas) Etnis
Samawa dan Muatan Nilai Keagamaannya”. Jurnal Penelitian Keislaman Vol
4, No. 1, hal 120.
328
Mustaqiem, 1993. “Kedudukan dan Fungsi Lawas dalam Masyarakat Sumbawa di
Kecamatan Plampang”. Skripsi. Universitas Mataram.
Nur Alaini, Nining. 2006. Ragam Dan Jenis Karya Sastra yang Hidup pada Penutur
Bahasa Sumbawa di Pulau Lombok. NTB: Kantor Bahasa Prov. NTB
Pemerintah Kabupaten Sumbawa. 2009. Profil Daerah Kabupaten Sumbawa. Sumbawa
Besar: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumbawa.
Zulkarnaen, Aris. 2011. Tradisi dan Adat Istiadat Samawa. Yogyakarta: Penerbit
Ombak
NARASUMBER:
1.
Johansyah, S. Pd.
329
LIRIK LAGU TENTANG PERNIKAHAN
SITUS BUDAYA YANG TERPINGGIRKAN
Nurhadi
(FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia)
Abstrak: Lirik lagu merupakan situs budaya yang terpinggirkan. Orang-orang seni
musik tidak banyak yang mengkajinya. Orang-orang sastra menganggapnya seperti anak
tiri yang diabaikan. Lirik lagu sebetulnya tidak berbeda dengan puisi. Bahkan tingkat
apresiasinya kini malah lebih masif dibandingkan dengan apresiasi puisi. Dengan
berkembangnya internet, lagu-lagu termasuk di dalamnya lirik lagu, banyak diunggah
dan diunduh. Kalau dulu orang menikmati musik dan liriknya lewat piringan hitam,
kaset, CD, kini internetlah yang menawarkan lagu-lagu dari lintas generasi, lintas
negeri, dan lintas genre hingga lintas kualitas. Lagu-lagu itu berkompetisi dan
berorkestrasi di dunia maya sebagai situs budaya. Dari sekian tema yang disugguhkan
oleh lirik lagu, salah satunya tentang pernikahan, satu bagian dari tema besar tentang
asmara. Pernikahan dapat dikaji dari berbagai sisi atau sudut pandang yang berbeda
seperti dari sisi mempelai, orang yang ditinggalkan, ataupun sisi lainnya. Lirik lagu
pernikahan banyak ragamnya dan hal ini merupakan bagian dari bentuk ekspresi
ataupun resepsi akan sebuah lembaga/ institusi. Pernikahan adalah bentuk legitimasi
kultur tertentu atas hubungan seks dan seterusnya di tengah maraknya tindak pemerkosaan, incest, ataupun pernikahan sesama jenis sebagai bentuk oposisi biner.
Kata-kata kunci: lirik lagu, situs budaya, apresiasi, tema pernikahan
Pengantar
Lirik lagu merupakan situs budaya yang terpinggirkan. Orang-orang seni musik
tidak banyak yang mengkajinya. Orang-orang sastra menganggapnya seperti anak tiri
yang diabaikan. Di sejumlah prodi seni musik tidak banyak yang mengkaji lirik lagu
sebagai konten atau muatan isi yang memiliki kekuatan wacana sebagai pembentuk atau
pembongkar nilai-nilai tertentu. Orang-orang dari prodi sastra seringkali mengabaikan
kalau lirik lagu pada dasarnya adalah karya sastra, tidak beda dengan puisi. Hanya
karena bagian dari sebuah lagu, lirik lagu seakan bukan lagi wilayah kajian ilmu sastra.
Lirik lagu sebetulnya tidak berbeda dengan puisi. Keduanya sama-sama bentuk
ekspresi kejiwaan sang penulisnya atau pengarangnya. Kedua secara tertulis hampir
memiliki kesamaan bentuk. Hanya secara genre, mereka dibedakan. Yang satu (puisi)
karya sastra, sementara lainnya (lirik lagu) “bukan” karya sastra. Bahkan tingkat
apresiasinya, kini lirik lagu malah lebih masif dibandingkan dengan apresiasi puisi.
Dengan berkembangnya internet, lagu-lagu termasuk di dalamnya lirik lagu, banyak
diunggah dan diunduh. Kalau dulu orang menikmati musik dan liriknya lewat piringan
hitam, kaset, CD, kini internetlah yang menawarkan lagu-lagu dari lintas generasi, lintas
negeri, dan lintas genre hingga lintas kualitas. Dalam konteks inilah lirik lagu (tentu saja
bersama dengan lagu itu secara keseluruhan) telah menjadi “konsumsi” harian.
Lagu-lagu itu berkompetisi dan berorkestrasi di dunia maya sebagai situs budaya.
Ada lagu yang diunggah hanya mendapat puluhan unduhan sementara di pihak lain ada
yang mendapat jutaan unduhan atau respon. Bahkan ada lagu “Gangnam Style” yang
diunduh hingga mencapai setengah milyar lebih. Temanya sangat beragam. Dari yang
menyuarakan kebaikan dan kebermanfaatan hingga sampai pada lagu-lagu yang
330
mengajak hal-hal keburukan termasuk untuk bunuh diri. Dari sekian tema yang
disugguhkan oleh lirik lagu, salah satunya tentang pernikahan, satu bagian dari tema
besar yakni tentang asmara.
Pernikahan sebagai sebuah tema dapat dikaji lagi dari berbagai sisi atau sudut
pandang yang berbeda seperti dari sisi mempelai, orang yang ditinggalkan, ataupun sisi
lainnya. Ada berbagai sisi atau sudut yang bisa dikaji menjadi sub-sub tema yang lebih
rinci, salah satunya tema orang-orang yang tersisih atau terpinggirkan dalam sebuah
ritual yang bernama pernikahan, wedding, atau kadang juga bernama perkawinan.
Dalam artikel ini akan dibicarakan sebuah topik tentang orang-orang yang “ditinggal”
kawin atau menikah dalam lirik-lirik lagu. Ini semacam tema keterpinggiran dari sebuah
keterpinggiran lainnya.
Lirik Lagu “Orang yang Terpinggirkan”
Pernikahan adalah hari bahagia, khususnya bagi kedua mempelai, keluarga kedua
belah pihak, serta para tamu undangan umumnya. Kita tidak akan membahas tentang
kegembiraan pihak yang berbahagia. Kita kali ini akan membicarakan orang yang
mungkin tidak sebahagia kedua mempelai. Orang tersebut seharusnya bahagia karena
dialah yang seharusnya menjadi mempelai dalam pernikahan itu. Akan tetapi, ada orang
lain yang menggantikannya dan dia datang sebagai pihak yang tidak seutuhnya bahagia.
Orang-orang semacam inilah yang bisa dikategorikan sebagai orang-orang yang
terpinggirkan dalam hajatan pernikahan.
Bisa saja orang yang terpinggirkan itu datang dalam pesta pernikahan. Mungkin
dia tidak sedih lagi karena menyaksikan orang yang dicintainya tengah bahagia dengan
pasangannya. Hal ini mengingatkan sebuah lagu yang dibawakan oleh penyanyi
Amerika, Patti Page pada 1952. Lagu lawas itu berjudul “I Went to Your Wedding”.
Iramanya ringan, iringan musiknya simpel, dan kata-katanya sederhana, tetapi totalitas
lagu tersebut sangatlah mengena. Lagu ini bisa diunduh dan didengarkan lewat youtube.
Luar biasa! Lirik lagu tersebut bunyinya sebagai berikut.
//I went to your wedding/ Although I was dreading/ The thought of losing you/ The organ
was playing/ My poor heart kept saying/ "My dreams, my dreams are through"// You
came down the aisle, wearing a smile/ A vision of loveliness/ I uttered a sigh, and then
whispered goodbye/ Goodbye to my happiness// Your mother was crying/ Your father
was crying/ And I was crying too/ The teardrops were falling/ Because we were losin'
you//
Ada air mata yang menetes di sana karena dia telah kehilangan kekasihnya, yang
hari itu tengah melangsungkan pernikahan. Tentu saja dengan orang lain. Dari lirik
tersebut tidak diketahui bagaimana tokoh aku ini putus dengan kekasihnya hingga
akhirnya sang kekasih mendapatkan pasangan yang baru. Dan ketika pesta pernikahan
itu dilangsungkan, tokoh aku hadir, menyaksikan kebahagiaan mantan kekasihnya. Ia
tidak bisa menahan air mata, ia tetap menangis. Pernahkah Anda berada dalam posisi
seperti itu?
Dari lirik lagu ini ada sesuatu yang patut diteladani. Ketika mantan kekasihnya
menikah, tokoh aku ini tetap datang. Tidak banyak orang memiliki kekuatan seperti ini.
Kekuatan untuk memberi ucapan selamat kepada mantan kekasihnya. Ini mirip dengan
pemberian ucapan selamat kepada sang rival dalam sebuah kontes pemilihan atau
ucapan sehat dan selamat kepada musuh yang tengah dihadapinya. Inilah ucapan orang
yang berjiwa besar. Ingatkah Anda akan tindakan Salahudin Al-Ayubi yang mendatangi
Richard Raja Inggris? Salahudin datang bersama dengan dokter dan buah-buahan
331
sebagai buah tangan ketika Sang Richard musuhnya dalam Perang Salib di Palestina itu
terluka.
Jika Anda lacak lagu-lagu Patti Page, rupanya ada lagu lain yang juga populer
pada 1950-an dan masih memiliki keterkaitan dengan lagu “I Went to Your Wedding”
tersebut. Dalam lagu “Changing Partner” sang tokoh aku nyaris kehilangan kekasih
dalam sebuah pesta dansa waltz. Dan di lagu lainnya, “The Tennessee Waltz”, tokoh
aku benar-benar kehilangan kekasihnya. Tragisnya lagi, dia kehilangan kekasih garagara temannya yang dia perkenalkan kepada kekasihnya. Di dalam “I Went to Your
Wedding”, dia malah menghadiri pesta pernikahan kekasihnya. Apakah lagu-lagu itu
sengaja dirancang begitu ataukah hanya faktor kebetulan belaka? Berikut ini isi lirik
kedua lagu Patti Page itu.
Changing Partner: //We were waltzing together to a dreamy melody/ When they
called out "Change partners"/ And you waltzed away from me/ Now my arms feel so
empty as I gaze around the floor/ And I'll keep on changing partners/ Till I hold you
once more// Though we danced for one moment and too soon we had to part/ In that
wonderful moment something happened to my heart/ So I'll keep changing partners till
you're in my arms and then/ Oh, my darling I will never change partners again// Though
we danced for one moment and too soon we had to part/ In that wonderful moment
something happened to my heart/ So I'll keep changing partners till you're in my arms
and then/ Oh, my darling I will never change partners again//
The Tennessee Waltz: //I was dancin' with my darlin' to the Tennessee Waltz/ When an
old friend I happened to see/ I introduced her to my loved one and while they were
dancin'/ My friend stole my sweetheart from me// I remember the night and the Tennessee
Waltz/ Now I know just how much I have lost/ Yes, I lost my little darlin' the night they
were playing/ The beautiful Tennessee Waltz// Yes, I lost my little darlin' the night they
were playing/ The beautiful Tennessee/ They were playing the waltz on the night I lost
my love//
Pada tahun 1970-an di Indonesia juga populer lagu semacam ini. Judulnya
“Selendang Merah” dibawakan oleh Anita Tourisia. Temanya tentang seseorang yang
ditinggal bertunangan oleh mantan kekasihnya. Si aku (lirik) datang dalam pesta
pertunangan itu, sebuah pesta menjelang pernikahan, dengan membawa selendang
merah. Sebuah benda kenangan karena selendang merah itulah dulu ia mendapatkannya
dari sang kekasih yang kini telah menjadi orang lain. Ia tak kuat, ia tak bisa menahan
tangisnya, ia tak bisa menahan air matanya. Ia tak bisa menahan diri hingga acara itu
berakhir. Ia pulang dahulu sebelum pesta pertunangan itu selesai. Lirik lagu “Selendang
Merah” itu adalah sebagai berikut.
//Selendang warna merah/ Kau berikan dulu padaku/ Kini akan kupakai/ Pada hari
pertunanganmu// Ingat di saat itu/ Selendang merah pengikat hati/ Sebagai tanda mata/
Sebelum kita berpisah/ Kini kita bertemu/ Kau bukan milikku lagi// Waktu aku melihat/
Engkau tersenyum bahagia/ Ingin ku menggantikan/ Gadis yang duduk di sampingmu//
Aku pulang dahulu/ Sebelum selesai pestamu itu/ Selendang merah itu/ Pengusap air
mataku/ Akan kusimpan s'lalu/ Sebagai kenangan hidupku//
Lewat lagu-lagu ini, para pemiarsa sama-sama menangkap sikap satria dari orang
yang terpinggirkan atau tersisihkan, baik dalam lagu Anita Tourisia ini maupun dalam
lagu Patti Page sebelumnya. Dalam kedua lagu tersebut, baik dalam “I Went to Your
Wedding” maupun “Selendang Merah”, tokoh aku sama-sama mendatangi pesta
(pernikahan dan pertunangan) mantan kekasihnya dengan wanita lain. Mereka samasama berani datang ke tempat kekasihnya yang kini berbahagia dengan orang lain.
332
Tampilan lagu “I Went to Your Wedding” Patti Page
di Youtube
Tampilan lagu “Changing Partner” Patti Page di
Youtube
Tampilan lagu “Tennessee Waltz” Patti Page di
Youtube
Tampilan lagu “Selendang Merah” Anita Tourisia di
Youtube
Lirik Lagu Tema Pernikahan
Hal yang senada juga tampak dalam lagu “Don’t Cry Joni” yang dinyanyikan
Conway Twitty (bersama Joni Lee) pada tahun 1975. Berbeda dengan lagu Patti Page
atau Anita Tourisia yang dari awal dapat diketahui eksistensi tokoh aku yang ditinggal
menikah atau bertunangan dengan orang lain, dalam lagu Conway Twitty pemiarsa
diajak dalam perjalanan kisah asmara selama lima tahun yang berujung pada
keterkejutan. Di akhir lagu “Don’t Cry Joni” ini, tokoh Tammy yang naksir Joni itu
akhirnya harus menerima kenyataan kalau Joni tetangga sebelah yang dulu ditaksirnya
itu telah menikah dengan sahabatnya yang bernama John. Lirik lagu ini membuat
pendengarnya terkejut di ujung lagu. “Jimmy, I married your best friend, John," kata
Joni di akhir lagu tersebut. Secara lengkap lirik lagu itu sebagai berikut.
//Joni was the girl who lived next door/ I've known her, I guess, ten years or more/ Joni
wrote me a note one day/And this is what she had to say// "Jimmy, please say you'll
wait for me/ I'll grow up someday, you'll see/ Savin' all my kisses just for you/ Signed
with love, forever true"// Slowly I read her note once more/ Then I went over to the
house next door/ Her tear drops fell like rain that day/ When I told Joni what I had to say//
"Joni, Joni, please don't cry/ You'll forget me by and by/ You're just fifteen, I'm twentytwo/ And Joni I just can't wait for you"// Soon I left our little home town/ Got me a job
and tried to settle down/ But these words kept haunting my memory/The words that Joni
said to me// "Jimmy, please say you'll wait for me/ I'll grow up someday, you'll see/
Savin' all my kisses just for you/ Signed with love, forever true"// I packed my clothes
and I caught a plane/ I had to see Joni, I had to explain/How my heart was filled with her
memory/ And ask my Joni if she'd marry me// I ran all the way to the house next door/
But things weren't like they were before/ My tear drops fell like rain that day/ When I
heard what Joni had to say// "Jimmy, Jimmy, please don't cry/ You'll forget me by
and by/ It's been five years since you've been gone/ Jimmy, I married your best
friend, John"//
333
Dalam lagu yang cukup panjang dan dinyanyikan secara duet ini tergambarkan
bagaimana Jimmy yang naksir gadis belasan tahun bernama Joni itu akhirnya
terpinggirkan. Ketika hendak mengajak Joni menikah, setelah lima tahun berselang,
ternyata Jimmy harus menerima kenyataan kalau teman baiknya, John, yang telah
menikahi Joni. Tentu saja nama-nama Jimmy, Joni, dan John sengaja dipilih dalam lirik
lagu ini agar terkesan enak didengar atau efonis.
Hal serupa, yakni ditinggal menikah oleh kekasih, dapat didengar lewat lagu
berikutnya, “A Dear John Letter”. Sebuah lagu yang popular pada 1957 oleh Jean
Shepard dan Ferlin Husky. Atau oleh penyanyi lain sezamannya. Nyanyiannya sangat
sederhana, lirik lagunya simple, hanya saja lagu ini diselingi dengan narasi kisah yang
menjadi pelengkap informasi lagu ini. Dan di akhir lagu, mirip seperti pada lagu “Don’t
Cry Joni”, diketahui akhirnya John dalam lagu ini juga ditinggal menikah oleh
kekasihnya. Sayangnya, yang menggantikan posisinya itu tidak lain adalah, Don, sang
saudaranya sendiri.
Dear John, Oh, how I hate to write/ Dear John, I must let you know tonight/ That my love
for you has died away like grass upon the lawn/ And tonight I wed another, Dear John.// I
was overseas in battle when the postman came to me/ And he handed me a letter, I
was happy as I could be/ For the fighting was all over and the battle had been won/
Then I opened up the letter and it started, "Dear John."// Dear John, Oh, how I hate
to write/ Dear John, I must let you know tonight/ That my love for you has died away like
grass upon the lawn/ And tonight I wed another, Dear John.// Will you please send back
my picture, my husband wants it now/ When I tell you who I'm wedding, you won't
care, dear, anyhow/ Now the ceremony has started and I'll wed your brother Don/
Will you wish us happiness forever, Dear John//
Tampilan lagu “Don’t Cry Joni” Conway Twitty
bersama Joni Lee di Youtube
Tampilan lagu “A Dear John Letter” Jean
Shepard bersama Ferlin Husky di Youtube
Dalam lagu-lagu di atas, ditinggal menikah dengan orang lain tampaknya bukan
sesuatu yang berat ataupun niat jahat untuk tidak setia atau mengkhianati. Meski
sebetulnya hal itu juga sebuah pengkhianatan tetapi relasi itu digambarkan relatif
normal, ada unsur kewajaran atau unsur kebiasasajaan dalam lagu-lagu tersebut. Para
pemiarsa tidak tahu apa yang menyebabkan tokoh aku dalam lagu “I Went to Your
Wedding” ataupun dalam “Selendang Merah” ditinggal menikah atau bertunangan oleh
sang kekasih. Keduanya tampak wajar dan menerima akan pernikahan ataupun
pertunangan itu. Begitu juga dalam lagu “Don’t Cry Joni” dan “A Dear John Letter”.
Nuansa isi lirik lagu-lagu di atas sangat berbeda dengan lagu “Tenda Biru” yang
dibawakan oleh Desy Ratnasari pada tahun 1980-an akhir atau awal 1990-an dan sederet
lagu sejenis yang tampaknya mewakili jiwa-jiwa yang tersakiti. Jiwa-jiwa yang tidak
rela ditinggalkan. Lirik-lirik lagu semacam “Tenda Biru” adalah perwakilan dari orang334
orang yang tidak rela ditinggalkan, tidak rela dipinggirkan. Coba, perhatikan lirik lagu
“Tenda Biru” yang menjadi simbol tengah berlangsungnya pesta pernikahan tersebut.
Berikut ini bunyi lirik lagu Desy Ratnasari tersebut.
//Tak sengaja lewat depan rumahmu/ Kumelihat ada tenda biru/ Dihiasi indahnya janur
kuning/ Hati bertanya pernikahan siapa// Tak percaya tapi ini terjadi/ Kau bersanding
duduk di pelaminan/ Airmata jatuh tak tertahankan/ Kau khianati cinta suci ini// Tanpa
undangan, diriku kau lupakan/ Tanpa utusan diriku kau tinggalkan/ Tanpa bicara kau buat
ku kecewa/ Tanpa berdosa kau buat ku merana// Ku tak percaya dirimu tega/ Nodai cinta
khianati cinta//
Tokoh aku mengalami peristiwa ditinggal menikah dengan sebuah
ketidaksengajaan, “Tak sengaja lewat depan rumahmu/ Kumelihat ada tenda biru”.
Selanjutnya ia merasa dikhianati karena ia merasa laki-laki yang menikah dengan
perempuan lain itu sebetulnya masih kekasihnya. Ia merasa belum diputus. Itulah
mengapa ia merasa terkhianati. Ia menangis. Sama seperti dalam lirik lagu “I Went to
Your Wedding” ataupun “Selendang Merah”, mereka sama-sama menangis. Hanya saja
dalam lirik lagu “I Went to Your Wedding” ataupun “Selendang Merah” tokoh aku
menyadari kalau mantan kekasihnya tengah bahagia. Akan tetapi, dalam lagu “Tenda
Biru” tokoh aku merasa tersakiti, ia menangis karena kecewa.
Masih ada lagi peminggiran cinta yang nakal seperti dilakukan oleh Benyamin S.
yang terdapat dalam lirik lagu berjudul “Penganten” berikut ini. Mungkin tidak banyak
orang Indonesia yang mengenal lagu ini. Dibandingkan dengan lagu “Tenda Biru” Desy
Ratnasari, lagu duet Benyamin S dengan Ida Royani ini kalah popular. Akan tetapi,
sebagai sebuah situs budaya, lirik lagu ini sengaja diketengahkan dalam perbincangan
ini. Kejadian semacam lirik lagu “Penganten” ini tidak bakal ditemui di negara-negara
Eropa atau Amerika. Sebelum dibahas lebih lanjut, coba perhatikan lirik lagu gambang
kromong berdialek Melayu Betawi berikut ini.
//Bang Mamat, ngape duduk bengong aje/ Malu dong, tetamu pada ngliatin/ Duh Mineh,
ati abang deg degan/ Rasanye badan abang pade dingin// Bang Mamat, eh kenape
tampangnye jadi pucet/ Enggak kenape-nape abang gak bisa bilang/ Entar dikate ape
penganten sedih aje/ Sedih bukannya sedih rase dibakar api// Siape yang melototin aye?/
Tetamu kenape merongos aje?/ Duh Mineh, abang minta ampun/ Yang datang sebenarnya
bini gue// Nggak mau/ Nggak mau kenape?/ Ogah ogah! Kukirain masih polos/
Emangnya gua buku catetan// …. // Sekarang lu baru ketauan ye/ Eh eh eh/ Dulu lu ngaku
perjaka sama gue/ Terusin gak nih jadi penganten?/ Terusin deh ah, tanggung//
Tampilan lagu “Tenda Biru” Desi Ratnasari di
Youtube
Tampilan lagu “Penganten Biru”
Benyamin S dan Ida Royani di Youtube
Dalam lagu “Penganten” dikisahkan bagaimana sepasang insan yang tengah
merasakan bahagia dalam pesta pernikahan itu: Mamat dan Minah tengah menghadapi
335
para tamu yang hadir dalam pesta pernikahan itu. Hanya saja ada seseorang, tepatnya
seorang tamu wanita, yang melototi si Minah. Rupanya, tanpa sepengetahuan Minah,
Mamat sebetulnya telah beristri. Nah istri atau bini Mamat inilah yang datang dalam
pesta pernikahannya dengan Minah. Inilah yang terjadi di dalam lirik lagu yang
dibawakan secara kocak tersebut. Dan sebelumnya disebut hal semacam ini tidak akan
terjadi di Amerika atau Eropa yang secara kultur hanya menerima konsep pernikahan
secara monogami. Di Indonesia, hal seperti yang dialami oleh Mamat dan Minah serta
bini tua Mamat mungkin saja terjadi di berbagai tempat, di berbagai kesempatan.
Puisi Mbeling tentang Perkawinan
Tema tentang pernikahan tentu saja tidak hanya dijumpai dalam lirik lagu, tetapi
juga dapat dijumpai dalam sejumlah puisi. Tentu saja beragam nuansa isinya. Mulai dari
rayuan, cinta kasih, patah hati, ataupun sekedar berseloroh. Dalam perkembangan
perpuisian Indonesia kita mengenal periode Puisi Mbeling yang dipelopori oleh Remy
Sylado pada tahun 1970-an. Dalam puisi Remy inilah tema tentang perkawinan pernah
diangkat dan sedikit dipermainkan. Perhatikan puisi-puisi Remy berikut ini (Soedjarwo,
2001: 58—60).
“Belajar Menghargai Hak Azasi Kawan”: //jika/ laki mahasiswa/ ya perempuan
mahasiswi/ jika/ laki saudara/ ya perempuan saudari/ jika/ laki pemuda/ ya perempuan
pemudi/ jika/ laki putra/ ya perempuan putri/ jika/ laki kawan/ ya perempuan kawin/ jika/
kawan kawin/ ya jangan ngintip//
“Kesetiakawanan Asia Afrika”: //Mei Hwa perawan 16 tahun/ Farouk perjaka 16 tahun/
Mei Hwa masuk kamar jam 24.00/ Farouk masuk kamar jam 24.00/ Mei Hwa buka
blouse/ Farouk buka hemd/ Mei Hwa buka rok/ Farouk buka celana/ Mei Hwa buka BH/
Farouk buka singlet/ Mei Hwa buka celana dalam/ Farouk buka celana dalam/ Mei Hwa
telanjang bulat/ Farouk telanjang bulat/ Mei Hwa pakai daster/ Farouk pakai kamerjas/
Mei Hwa naik ranjang/ Farouk naik ranjang/ lantas mereka tidurlah/Mei Hwa di Taipeh/
Farouk di Kairo//
Sebagai puisi, kedua karya Remy di atas cukuplah terkenal. Memang sebagai
puisi mbeling, kedua puisi di atas bermain-main terhadap tema yang serius yakni
tentang pernikahan atau perkawinan. Dalam puisi pertama, Remy mempermainkan kata
“jika kawan kawin, ya jangan ngintip” yang diawali dengan kata-kata ulang berubah
bunyi. Sementara dalam puisi kedua, Remy mengajak pembaca untuk membangun
asosiasi tentang adegan yang bakal dilakukan dua sejoli yakni Mei Hwa dan Farouk.
Seolah-olah mereka akan melakukan adegan ranjang. Tapi rupanya mereka
melakukannya sendiri-sendiri secara terpisah karena apa yang dilakukan oleh Mei Hwa
dan Farouk terpisah oleh benua. Yang satu di benua Asia dan satunya lagi di Afrika.
Begitulah Remy dengan puisi-puisi mbelingnya. Persoalan pernikahan atau perkawinan
diangkatnya dalam logika permainan puisi mbeling.
Ngomong-omong, tahukah Anda apa beda antara kata nikah dan kawin dalam
bahasa Indonesia? Dalam konteks contoh-contoh di atas adalah kata pernikahan dan
perkawinan. Konon, beda keduanya hanya terletak pada sarana atau alat yang
digunakan. Kalau nikah itu pakai surat sedangkan kawin itu pakai urat.
Wacana Tema Pernikahan
Lirik lagu pernikahan banyak ragamnya dan hal ini merupakan bagian dari
bentuk ekspresi ataupun resepsi akan sebuah lembaga/institusi. Pernikahan adalah
bentuk legitimasi kultur tertentu atas hubungan seks di tengah maraknya hidup bersama
336
tanpa nikah, tindak pemerkosaan, incest, ataupun pernikahan sesama jenis sebagai
bentuk oposisi atau lawannya.
Menikah merupakan bentuk legitimasi atas hubungan seks lewat institusi negara
ataupun agama. Di pihak sebaliknya ada hubungan seks yang berseberangan atau berada
di luar koridor itu. Salah satunya adalah hubungan kumpul kebo atau hidup bersama
tanpa nikah. Selain itu juga ada pemerkosaan atau tindakan seks dengan kekerasan serta
berbagai bentuk variannya. Ada lagi tindak seksualitas terhadap anak di bawah umur
yang dikenal dengan istilah pedophilia. Atau tindak seksualitas terhadap anggota
keluarga yang sering disebut dengan incest.
Pernikahan adalah salah satu bentuk internalisasi terhadap nilai-nilai tertentu,
yang berkebalikan dari hal-hal di atas. Pernikahan adalah bentuk institusionalisme.
Meski demikian, pernikahan itu sendiri bukanlah bentuk yang tunggal. Ada berbagai
varian atau jenis pernikahan yang belum tentu terterima oleh masyarakat. Dalam
konteks lagu “Penganten” yang dinyanyikan oleh Benyamin S dan Ida Royani di atas
relatif terterima dalam konteks masyarakat muslim yang diperbolehkan menikahi empat
wanita. Hal tersebut mungkin juga bisa terjadi pada masyarakat yang menerima
pernikahan poligami dan tidak terterima dalam masyarakat yang menganut monogami.
Tidak hanya itu, pernikahan sesama jenis (kelamin) yang dilarang dalam
sejumlah negara juga oleh sejumlah agama itu kini mulai marak terjadi di berbagai
negara. Di negara-negara Eropa dan juga beberapa negara bagian Amerika Serikat,
pernikahan sesama jenis mulai dilegalkan atau diperbolehkan. Hal ini juga menjadi
pertarungan atas “kekuasaan” situs budaya.
Peristiwa resepsi pernikahan sesama lelaki di Bali pada pertengahan September
2015 merupakan salah satu bentuk “pertarungan” itu. Tentu saja pihak berwenang di
Indonesia ataupun pihak otoritas agama di Bali menolak pernikahan tersebut.
Pernikahan sesama lelaki itu telah berlangsung di Amerika Serikat tempat salah satu
mempelai berasal, dan resepsinya berlangsung di Bali tempat mempelai satunya lagi
berasal. Sebagai bentuk penghalusan istilah, mereka mengatakan yang terjadi di Bali
hanya pestanya sementara “akad nikah”-nya terjadi di Amerika. Apapun bentuk
pembenarannya, ritual resepsi pernikahan ala Bali atau Indonesia itu adalah bentuk lain
dari atau bagian dari bentuk pernikahan sejenis ini.
Di Indonesia, pernikahan sejenis banyak mendapat penolakan, baik oleh
masyarakat maupun pemerintah. Meski demikian, harus diakui ada sejumlah WNI yang
melakukan pernikahan sejenis dengan WNA. Jumlah itu tentu saja sangat sedikit.
Persoalan yang mungkin lebih mengemuka dan lebih banyak dijumpai dalam kehidupan
nyata adalah pernikahan beda agama. Kini pernikahan beda agama tidak diakui secara
resmi oleh negara. Negara hanya mengakui pernikahan yang dilakukan berdasarkan
syarat dan ritual agama tertentu. Di luar itu tentu saja ilegal.
Akan tetapi, tidak banyak lirik lagu di Indonesia apalagi puisi yang
membicarakan hal ini. Mengapa fenomena pernikahan beda agama ini tidak banyak
diekspos menjadi lirik lagu atau puisi. Mengapa orang gagal menikah karena beda
agama tidak ditemukan dalam lirik lagu atau puisi? Lirik lagu dan juga puisi seringkali
mengungkap tentang ditinggal menikah ini sebagai bentuk keterpinggiran itu murni
karena cinta, bukan karena beda agama.
Penutup
Lirik lagu merupakan situs budaya, tempat cerminan kehidupan nyata
masyarakatnya. Di dalamnya berbagai peristiwa digambarkan, juga dikonstruksi untuk
melegitimasi nilai-nilai tertentu. Dalam lirik lagu seringkali memiliki nilai-nilai
337
kekhasan masyarakat pendukungnya. Lewat lirik lagu, sejumlah ekspresi estetik
dituangkan. Mungkin bersifat individual, mungkin juga bersifat komunal. Orang-orang
yang ditinggalkan oleh kekasihnya dengan menikahi orang lain adalah salah satu bentuk
pengalaman yang banal di tengah sejumlah problema pernikahan yang terus mengalami
dinamika sosial.
Tidak banyak orang yang mengalami dipinggirkan oleh kekasihnya seperti apa
yang dialami tokoh aku dalam lagu-lagu “I Went to Your Wedding”, “Selendang
Merah”, “Don’t Cry Joni”, “A Dear John Letter”, ataupun lagu lain yang sejenis. Meski
tampak sepele, pengalaman “dipinggirkan” semacam itu rasanya sangat menyakitkan.
Pernakah Anda mengalaminya?
Daftar Rujukan
Page, Patti. 1950. “Changing Partner,” dalam https://www.youtube.com/watch?v
=Ek3eCbfqp0, Diakses pada 3 September 2015.
Page, Patti. 1952. “I Went to Your Weding,” dalam https://www.youtube.com/watch?v
=AR-_JC36vXM, Diakses pada 3 September 2015.
Page, Patti. 1953. “Changing Partner,” dalam
www.youtube.com/watch?v=oG60xIYFl1Q, Diakses pada 3 September 2015.
Ratnasari, Desy. “Tenda Biru,” dalam https://www.youtube.com/watch?v=um8gRab
P15U, Diakses pada 10 September 2015.
S., Benyamin dan Ida Rayani. “Penganten,” https://www.youtube.com/watch?v=
2nbEqM4dQ8, Diakses pada 10 September 2015.
Shepard, Jean dan Ferlin Husky. 1957. “A Dear John Letter,” dalam https://www.
youtube.com/watch?v=LMueKWzG0WE, Diakses pada 8 September 2015.
Soedjarwo, Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Yudiono KS. 2001. Puisi Mbeling: Kitsch dan
Sastra Sepintas. Magelang: Indonesiatera.
Tourisia, Anita. “Selendang Merah,” dalam https://www.youtube.com/watch?v
=YY2wlH7usTE, Diakses pada 8 September 2015.
Twitty, Conway dan Joni Lee. 1975. “Don’t Cry Joni,” dalam
https://www.youtube.com/ watch?v=ku4iC7hcTuQ, Diakses pada 8
September 2015.
338
TEORI PSIKOANALISIS: KRITIK POSKOLONIAL, FEMINIS, DAN MARXIS
Paulus Sarwoto
(Universitas Sanata Dharma Yogyakarta – Indonesia)
Kritik sastra bisa dibagi dalam dua aliran besar: kelompok Liberal Humanis dan
kelompok yang menggunakan teori kritis. Kelompok pertama bukannya tidak
menggunakan teori sama sekali. Mereka menggunakan teori yang semula dirumuskan di
Rusia oleh Victor Shklovsky dan kawan-kawan, yaitu Formalisme dan lalu
dikembangan di Inggris menjadi Practical Criticism dan di Amerika disebut New
Criticism dan menjadi tren hingga tahun 70an. Ketiga pendekatan itu bisa dikatakan
sebagai reaksi atas sisa-sisa kecurigaan dunia akademis terhadap ketidakilmiahan studi
sastra. Untuk membuktikan bahwa studi sastra juga bisa ilmiah maka ketiga pendekatan
itu menyediakan metode analisis “obyektif” yang sangat teknis dan rumit.84
Apabila Formalisme dan turunannya secara tegas hendak memisahkan karya
sastra dari ideologi, sejarah, filsafat dan linguistik maka teori kritik sastra sejak
Strukturalisme pada akhir 70an ingin mengembalikan kaitan studi sastra dengan
linguistik, filsafat, sejarah dan ideologi. Kritik sastra yang dilengkapi dengan apa yang
sekarang disebut sebagai teori kritis (critical theory) secara terus terang mengatakan
dari awal bahwa pendekatan mereka adalah ideologis dan politis. Kritik sastra Feminis,
Marxis dan Poskolonial misalnya, sangat terang benderang dalam keberpihakan
ideologis mereka. Bisa dikatakan bahwa kritik sastra dengan teori kritis hendak
membalikkan pendulum dari yang semula ingin menceraikan karya sastra dari
‘keduniawiannya’ (Edward Said dalam bukum bukunya The World, the Text and the
Critic menyebutnya sebagai the worldliness of the text) menjadi arah sebaliknya:
mengaitkan sastra dengan ideologi (Marxisme, Teori Poskolonial, Feminisme), sejarah
(New Historicism, Cultural Materialism), filsafat (Dekonstruksi, Pos-strukturalisme),
pembaca (Reader’s Response theory), Psikoanalisis (Psychoanalytic Theory) dan
linguistik (Strukturalisme).
Tulisan ini akan melihatsecara sekilas terutama 3 teori yaitu Marxisme,
Poskolonialisme dan Feminisme karena ketiganya memperlihatkan banyak kemiripan
metode terutama ketika didekati dengan melihat adanya dua lapis kesadaran di dalam
teks sebagaimana teori Psikoanalisis melihat lapis-lapis kesadaran manusia. Tujuannya
adalah melihat bagaimana ketiga pendekatan itu dalam membumikan kritik sastra
menggunakan metode yang sangat mirip sekaligus berbeda orientasinya.
Marxisme
Marxisme pada mulanya bukanlah teori sastra melainkan teori sosial yang
bertujuan mengubah tatanan ekonomi kapitalis yang tidak adil. Kaitan antara Marxisme
dan teori sastra tidak bersifat langsung karena baik Karl Marx maupun Frederich Engels
tidak pernah membuat tulisan khusus yang membahas sastra. Salah satu ulasan sambil
lalu oleh Marx tentang sastra bahkan menjadi cemoohan, seperti ketika Marx
menjelaskan paradoks antara tragedi klasik Yunani yang sedemikian hebat di satu sisi
84
Lihat misalnya Seven Types of Ambiguities (1930) oleh William Empson
339
dan masyarakatnya yang secara sistem ekonomi masih sangat sederhana di sisi lain.
Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin masyarakat yang masih sederhana itu bisa
menghasilkan karya sastra yang sedemikian kompleks pemikirannya dan masih tetap
menarik dibaca oleh pembaca jaman sekarang yang terpisah jauh baik secara jarak
waktu maupun letak geografis. Bukankan karya sastra sebagai bagian dari
superstructure adalah cerminan langsung dari masyarakatnya yang merupakan bagian
dari base? Jawaban Marx adalah sebagai berikut:
A man cannot become a child again, or he becomes childish. But does he not find joy in
the child’s naiveté, and must he himself not strive to reproduce its truth at a higher stage?
Does not the true character of each epoch come alive in the nature of its children? Why
should not the historic childhood of humanity, its most beautiful unfolding, as a stage
never to return, exercise an eternal charm? There are unruly children and precocious
children. Many of the old peoples belong in this category. The Greeks were normal
children. The charm of their art for us is not in contradiction to the undeveloped stage of
society on which it grew. (It) is its result, rather, and is inextricably bound up, rather,
with the fact that the unripe social conditions under which it arose, and could alone rise,
can never return.(Eagleton Marxism and Literary Criticism 6)
Manusia dewasa tidak bisa menjadi anak-anak lagi karena akan menjadi kekanakkanakan. Akan tetapi bukankah ia senang dengan kenaifan anak-anak dan terdorong untuk
menemukannya dalam bentuk-bentuk yang lebih kompleks? Bukankan hakekat tiap
periode sejarah tercermin pada anak-anaknya? Bagaimana mungkin sejarah awal manusia
sebagai tahap perkembangan yang sangat indah yang tidak mungkin terulang lagi tidak
menimbulkan daya tarik abadi? Ada anak-anak sangat nakal dan anak-anak sangat patuh.
Banyak suku bangsa jaman dulu masuk dalam salah satu kategori itu. Orang-orang
Yunani jaman dulu adalah anak-anak biasa. Daya tarik hasil karya seni mereka bukan
pada kontradiksinya dengan keterbelakangan kondisi masyarat Yunani ketika itu. Daya
tarik itu terkait dengan kemustahilan untuk kembali ke jaman itu, yaitu jaman ketika
kondisi sosial masih sangat sederhana.
Analisis Marx yang agak sentimentil ini, yakni bahwa daya tarik karya sastra
Yunani kuna disebabkan karena kerinduan manusia untuk kembali ke masa lalu,
dianggap oleh para pengkritiknya sebagai ketidak-konsistenan Marx terhadap
landasanan materialisme teorinya. Meskipun demikian, penjelasan Marx bahwa
paradoks antara base (masyarakat Yunani kuno) dan superstructure (karya sastra yang
dihasilkan) bisa dijelaskan sebagai sebab akibat, yaitu bahwa justru karena struktur
masyarakatnya masih sederhana maka mereka bisa menghasilkan karya yang tetap
menarik bagi manusia modern dan ini meneguhkan tesisnya tentang keterkaitan antara
base dan super structure dalam bangunan sastra. Dengan kata lain, sebagaimana
disampaikan oleh Terry Eagleton, karya sastra yang memiliki daya tarik dalam rentang
waktu yang lama itu hanya mungkin dihasilkan oleh sebuah masyarakat yang belum
teracuni olek kerumitan sistem kapitalisme (Eagleton Marxism and Literary Criticism)
Metodologi kritik sastra Marxis yang dikembangkan oleh the New Left tidak lagi
melihat hubungan base dan superstruktur secara simplistik tetapi tetap melihat bahwa
kondisi material adalah penentu akhir sifat sebuah karya sastra – tentu setelah melalui
proses kreatif yang rumit yang sering menyamarkan bangunan dasar ini sehingga
hampir tidak terlihat lagi. Di sinilah ketajaman kritik Marxis diuji untuk bisa
membongkar bangunan dasar realitas material sebuah karya sastra yang tersembunyi di
balik proses kreatif penulisnya. Kritik Marxis selalu mencoba mencari bagaimana dan
340
seberapa jauh karya sastra ditentukan oleh (dan menentukan – yaitu dalam pendekatan
New Historicism dan Cultural Materialism) realitas materialnya.85
Poskolonialisme
Teori Poskolonial sebagai teori yang agak utuh mendapatkan bentuknya dan
pengakuan luas dunia akademis pada tahun 1980an setelah terbitnya buku Edward Said
berjudul Orientalism (1978). Said membangun tesis bahwa tulisan ilmiah para sarjana
Orientalis Barat tentang dunia Timur terkontaminasi oleh dikotomi oposisi biner
baik/jahat, berbudaya/barbar, rajin/malas yang meletakkan Barat dalam posisi di atas
dan Timur dalam posisi di bawah. Oposisi biner demikian, menurut Said, terbentuk
karena ideologi kolonialisme. Said melihat perwujudan ideologi kolonialisme itu dalam
berbagai teks, baik sastra maupun non-sastra. Salah satu teks sastra yang disebut Said
dalam bukunya Culture and Imperialism adalah novel tulisan Jane Austen berjudul
Mansfield Park. Said melihat bahwa melalui pembacaan tradisional novel tersebut sama
sekali tidak menyinggung isu kolonialisme. Novel itu lebih berkisah tentang roman.
Akan tetapi Said menunjukkan bahwa penggalan kisah ketika Bentram meninggalkan
Inggris dan pergi ke Antigua sangat kental nuansa kolonialismenya. Ketika akhirnya
Bentram kembali ke Inggris dari Antigua dan membereskan segala kekacauan yang
terjadi sejak dia meninggalkan Inggris sebenarnya teks itu sedang menyembunyikan
logika kolonialisme. Kunjungan ke Antigua yang hanya disebut sambil lalu di novel itu
dibaca Said sebagai dramatisasi tersembunyi eksploitasi Negara jajahan demi
kemakmuran Eropa. Dengan demikian novel ini memperlihatkan keterperangkapannya
dalam ideologi kolonialisme yang barangkali bahkan novelisnya sendiri tidak sadar.
Dalam perkembangannya yang terkini diskusi teori Poskolonial terasa tidak
lengkap kalau tidak menyinggung konsep Gayatri Spivak tentang subaltern (Spivak) dan
Homi Bhabha tentang hibriditas (Bhabha). Dengan kedua teori itu analisis teks menjadi
lebih pos-strukturalis sehingga tidak ada lagi oposisi biner hitam-putih tanpa pembacaan
kritis atas landasan pembagiannya yang terbukti sangat rapuh. Salah satu analisis
poskolonial terhadap konsep priyayi dalam karya-karya Umar Kayam menunjukkan
kerapuhan ini (Sarwoto).
Pemisahan Clifford Geertz tentang kelompok masyarakat Jawa menjadi Santri,
Priyayi dan Abangan telah dikritik oleh berbagai pihak karena dasar pemisahannya yang
rancu.86 Batasa-batas identitas yang esensialis antara Priyayi dan Non-priyayi ini pula
yang didekonstruksi dalam karya-karya Kayam, terutama dalam novelnya yang terakhir,
Jalan Menikung(1999). Dalam novel itu diperlihakan bahwa identitas kepriyayian yang
luhur ini ternyata juga ditemukan dalam figur tokoh Yahudi dan Cina, yang secara
tradisional merupakan dua kelompok yang sering diasosiasikan dengan sifat-sifat
negatif dalam sterotip masyarakat Indonesia.
Feminisme
Feminisme sebagai kerangka teori hendak membantu pembacaan teks dari sudut
pandang kesetaraan jender. Dengan terus mempertanyakan batasan-batasan antara yang
konstruk dan yang bawaan, teori ini membedah bagaimana teks-teks sastra telah
85
Untuk elaborasi contoh-contoh kritik New Historicism dan Cultural Materialism bisa dibaca
buku berjudul Political Shakespeare: Essays in Cultural Materialism (1985).
86
Lihat misalnya tulisan Ricklef: Polarizing Javanese Society (2007) dan “The Birth of
Abangaan”
341
menjadi alat sosialisasi dan pengkodisian dominasi jender atau sebaliknya menyimpan
penolakan terhadap dominasi dan pengkodisian itu.
Di antara para teoretikus Feminis sendiri ada berbagai aliran, dari yang
tradisional (Anglo-American Feminist) sampai yang radikal (Lesbian Feminism) yang
meyakini bahwa integritas Feminisme hanya bisa dicapai melalui Lesbianisme; dari
yang cenderung ke arah psikoanalisis (Psychoanalytic Feminism) sampai yang
materialis (Marxist Feminism) dan lain sebagainya. Teori Psychoanalytic Feminism
misalnya berupaya menjelaskan bagaiman konstruksi jender ternyata berakar dari
pengalaman masa lalu terutama pada tahap Oedipal yaitu tahap ketika seorang anak
berjuang melepas kecenderungan incest yang dianggap tabu. Sementara Marxist
Feminism berasumsi bahwa persoalan ketidaksetaraan jender berakar dari struktur
ekonomi yang tidak adil sehingga akar permasalahannya harus dicari dalam struktur
ekonominya.
Contoh analysis psychoanalytic feminism adalah studi tentang akar penyebab
Anastasia Steele Dalam novel Fifty Shades of Grey menderita sado-masochism yang
dilakukan oleh mahasiswa bimbingan saya di Prodi Sastra Inggris.87 Dalam analisis itu,
dijelaskan bahwa tokoh ini mengalami arrested development pada tahap Oedipal, yakni
kegagalan melewati tahap identifikasi dan pemisahan dari obyek seksualnya. Dalam
kasus Anastasia, kegagalan ini disebabkan oleh hilangnya figur ayah ketika usia sangat
muda. Berbeda dari anak laki-laki, tahap Oedipal pada anak perempuan lebih rumit
karena semestinya tidak ada ketakutan terhadap kastrasi/pengebirian. Dengan demikian
ada kemungkinan bahwa obsesi secara seksual terhadap figur ayah ini tetap tumbuh
hingga dia dewasa. Masalahnya ketika dia menemukan pasangan hidup ada halangan
psikologis untuk melakukan hubungan seksual karena tabu. Defense mechanism yang
terjadi lalu adalah menyakiti diri sebagai ungkapan perasaan bersalah sehingga dia bisa
menikmati hubungan seksual secara semestinya.
Kemiripan metode: Lapis-lapis Kesadaran dan Jebakannya
Melihat pemaparan singkat ketiga teori dan kritik tadi, jelas terlihat bahwa
ketiganya mencari struktur dalam (bukan struktur luar) sebuah teks untuk menjelaskan
logika tersembunyi. Seperti halnya Psikoanalisis, ketiga teori itu mencari lapis
ketidaksadaran (the Unconscious) sebuah teks dengan menggunakan perspektif ideologi
tertentu. Meskipun kritik mereka biasanya diawali dengan membaca lapis kesadaran
(the Conscious) sebuah teks, yaitu pemaknaan tradisional berdasar ‘data keras’ (hard
facts) unsur-unsur intriksinya, pada tahap selanjutnya mereka akan lebih menyoroti lapis
ketidaksadaran untuk melihat bahwa ada logika tersembunyi yang belum terlihat dari
pembacaan lapis pertama. Kalau psikoanalisis meyakini bahwa dengan menemukan dan
menerima ketidaksadaran yang selama ini ditekan supaya tidak muncul ke kesadaran
(defense mechanism) maka orang yang diterapi akan dibantu untuk menjadi sehat secara
psikis, ketiga teori itu juga meyakini bahwa dengan mengesampingkan lapis
ketidaksadaran sebuah teks dan hanya melihat makna dari lapis kesadarannya saja maka
kritik sastra, tanpa disadari, bisa menjadi alat untuk melanggengkan penyakit sosial
berupa penindasan-penindasaran terhadap pihak-pihak yang termarjinalkan.
Berbicara tentang keberpihakan pada yang terpinggirkan dan tersingkir, ada
bahaya bahwa kritikus akan jatuh pada jebakan pertama, yaitu esensialisme.
Esensialisme adalah pandangan yang melihat persoalan secara tegas dalam oposisi biner
87
Monika Sunarto, "Feminine Oedipus Complex in El James' Fifty Shades of Grey," Universitas
Sanata Dharma, 2015.
342
hitam/putih, benar/salah, kaya/miskin seakan-akan batas di antara keduanya adalah
abadi dan jelas. Feminisme, Marxisme dan Teori Poskolonial tentu telah melihat
kecendurang esensialisme ini dan memang pernah terjebak dalam logika esensialis
dalam perjalanan sejarahnya. Dengan kecenderungan Pos-strukturalis yang sekarang
banyak berpengaruh terhadap ketiganya tentu pandangan esensialis tadi sudah tidak
mendapat tempatnya. Ketiga teori itu sekarang melihat batas-batas itu (lakilaki/perempuan, penjajah/terjajah, base/superstructure) sebagai sesuatu yang cair dan
selalu ada wilayah abu-abu.
Jebakan kedua, tanpa sadar mengapropriasi pandangannya sendiri sebagai
pandangan pihak yang ingin disuarakan, sudah dikritik oleh Gayatri Spivak. Intinya
adalah bahwa jebakan ini terjadi karena posisi pihak yang tersingkir adalah tanpa daya
tawar sama sekali sehingga ketika dia bersuara, sebenarnya yang bersuara adalah
kritikusnya. Meskipun Spivak sendiri sekarang melihat konsep itu sudah kedaluwarsa,
sudut pandang yang dia tawarkan tetap relevan hingga kini, yaitu untuk selalu
menginterogasi sudut pandang kita ketika kita melakukan kritik teks. Tujuannya tentu
bukan supaya ketika kita masuk dalam sebuah teks pikiran kita bersih dari ideologi
bawaan sebagaimana diyakini oleh kaum Liberal Humanis tetapi lebih bahwa adanya
ideologi bawaan itu adalah tak terhindarkan dan kita harus selalu menyadarinya supaya
tidak membutakan kita terhadap sudut pandang berbeda.
Dalam usahanya menyuarakan pihak-pihak yang tersingkir ini, baik Kritik
Feminis, Marxis maupun Poskolonial semula sama-sama membaca ulang teks-teks
kanon untuk menginterpretasi ulang dengan melihat struktur yang tersembunyi itu
sehingga interpretasi mereka berbeda dari hasil pembacaan tradisional. Pemilihan
terhadap teks kanon ini merupakan pilihan strategis karena teks kanon sudah banyak
dikenal di dunia akademis. Kritik Marxis dan Poskolonial banyak membongkar lagi
karya-karya kanon, seperti drama-dramanya William Shakespeare sementara kritik
Feminis mengawalinya dengan mebaca ulang androtexts, teks-teks yang ditulis
sastrawan laki-laki. Pembacaan dengan keberpihakan ideologi yang terus terang ini
telah memicu reaksi keras dari kelompok Humanisme Liberal yang merasa bahwa kritik
sastra telah dinodai oleh subyektifitas ideologis dan menyebut kritikus ideologis sebagai
renegade, orang-orang yang gagal paham secara estetis dan lalu mencari jalan pintas
dengan kritik ideologi (Bloom).
Pertanyaannya tentu saja apakah ada kritik yang tidak ideologis. Klaim kaum
Humanisme Liberal tentu mengatakan ada, yaitu kritik sastra yang berfokus pada aspek
estetisnya dan ini dijumpai dalam pendekatan Formalis (termasuk di dalamnya New
Criticism dan Practical Criticism) dengan metode close readingnya. Akan tetapi
bukankah dengan menolak untuk berpihak pada salah satu ideologi adalah sikap
ideologis dan sangat mungkin sebenarnya berideologi status quo? Saya lebih sepakat
dengan pendapat Terry Eagleton yang mengatakan perbedaan antara kritik ideologi dan
non-idologis hanyalah bahwa kritikus non-ideologis tidak mengakui kediologisan
kritiknya sementara kritikus ideologis tidak mempermasalahkan ideologi yang
mewarnai kritik karena pada dasarnya tidak mungkin membaca teks dengan tanpa
membawa beban ideologis tertentu (Eagleton Literary Theory: An Introduction).
Pertanyaan lebih pentingnya saya kira adalah seberapa jauh pilihan ideologis yang
masuk dalam proses kritik tidak terjebak dalam pandangan ekstrim: esensialisme dan
relativisme sia-sia yang hanya akan membawa pada anarki penafsiran (the anarchy of
interpretation).
Relativisme mutlak ini merupakan jebakan yang ketiga. Sebagai hasil dari
pemikiran dekonstruksi, relativisme bisa memberdayakan tetapi juga bisa melumpuhkan
343
sebuah pembacaan. Dekonstruksi bisa menghasilkan pembacaan yang kuat dan
memberdayakan ketika tidak terjebak pada relativisme sia-sia yang hanya akan
membenarkan logika penindasan. Hal ini terjadi ketika kritikus menjadi seorang super
reader. Super reader atau pembaca super yang saya maksud di sini adalah kritikus yang
berpretensi menguasai semua pendekatan teoretis itu, mengadopsi sikap pos-strukturalis
tulen dan dengan leluasa menggunakan teori yang dia kuasai untuk sekedar melakukan
academic exercise. Kritikus pos-strukturalis seperti ini cenderung menolak
keberpihakan pada salah satu pihak karena pada dasarnya mereka yakin bahwa
kebenaran itu sifatnya relatif. Relativisme seperti ini tentu memiliki dasar akademis
yang kuat dengan dekonstruksi sebagai pijakannya. Akan tetapi relativisme seperti ini
juga bertolak belakang dari keberpihakan ideologi dalam Feminisme, Marxisme dan
Teori Poskolonial. Kritikus sastra yang menggunakan pendekatan ideologi harus
menavigasikan tulisannya supaya pandangan pos-strukturalis menjadi kekuatan kritis
analisisnya sehingga tidak menjadi kegiatan akademis sia-sia.
Dalam kritik Feminis, pengaruh Pos-strukturalisme ini manjadi titik kekuatan
untuk merombak asumsi-asumsi ketidak setaraan jender yang dianggap kebenaran
umum. Dalam kritik Marxis, Pos-strukturalisme telah memberdayakan analisis struktur
ekonomi dan ideologi untuk melihat kompleksitasnya. Sementara dalam kritik
Poskolonial, Pos-strukturalisme telah menjadi kekuatan tersendiri untuk membongkar
batasan-batasan sempit pengelompokan manusia menurut ras maupun letak
geografisnya. Dekonstruksi dengan keberpihakan demikian ini mungkin yang oleh
Spivak disebut sebagai strategic essentialism, yaitu menggunakan refleksi kritis
terhadap ideologi dengan tetap memiliki keberpihakan kepada yang termarjinalkan.
Kesimpulan
Metode psikoanalisis yang diterapkan dalam pembacaan ideologi sebuah teks
mampu membongkar logika-logika tersembunyi. Logika-logika tersembunyi ini
menunjukkan keduniawian sebuah teks yang bahkan kadang penulisnya sendiri tidak
menyadari. Perbedaan pendekatan ideologi akan mempengaruhi pemilihan teks dan
hasil analisis. Pembacaan ideologis perlu menyadari jebakan-jebakan esensialisme,
apropriasi dan relativisme sia-sia untuk bisa menghasilkan kritik yang bermutu.
Daftar Rujukan
Bhabha, Homi K. The Location of Culture. London: Routledge, 2002. Print.
Bloom, Harold. Shakespeare: The Invention of the Human. London: Fourth Estate,
1999. Print.
Dollimore, Jonathan, and Alan Sinfield. Political Shakespeare: Essays in Cultural
Materialism. Manchester: Manchester University Press, 1985. Print.
Eagleton, Terry. Literary Theory: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishing, 2003.
Print.
---. Marxism and Literary Criticism. London: Methuen & Co. Ltd, 1976. Print.
Kayam, Umar. Jalan Menikung (Para Priyayi 2). Jakarta: Grafiti, 1999. Print.
Ricklefs, M. C. Polarising Javanese Society. Singapore: NUS Press, 2007. Print.
Ricklefs, M.C. "The Birth of the Abangan." Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 162 1 (2006): 35-55. Print.
344
Said, Edward. The World, the Text and the Critic. Massachusetts: Harvard University
Press, 1983. Print.
Sarwoto, Paulus. "The Javanese in Transition: A Postcolonial Study of the Priyayi Class
in the Works of Indonesian Author, Umar Kayam." Monash University, 2012.
Print.
Spivak, Gayatri Chakravorty. "Can the Subaltern Speak?" Marxism and the
Interpretation of Culture. Eds. Nelson, Cary and Lawrence Grossberg.
Urbana: University of Illinois Press, 1988. 271-313. Print.
Sunarto, Monika. "Feminine Oedipus Complex in El James' Fifty Shades of Grey."
Universitas Sanata Dharma, 2015. Print.
345
NOVEL KATAK HENDAK JADI LEMBU
DALAM PANDANGAN INTERKULTURALISME
Pipit Mugi Handayani
(FPBS Universitas PGRI Semarang – Indonesia)
Abstract: In an certain case, interculturalism seems to be overlapped with
multiculturalism. Generally, it needn’t have to be happened because they have different
assumptions. Multiculturalism is rather a cultural-political movement to think of that
cultural identity is in the equal position of respecting others. It has been a point of view
in accordance to reach the equality among others, both individually and communally.
Whether intrerculturalism is a way of clarifying the inter-culture relation, negotiation,
dan matters in the relation with the manner.
In interculturalism’s view, a novel is a core of author process in reflecting his
sight having faced the culture around him. Hence, author process of learning,
positioning, valuing, and narrating a culture in his works is a process of
interculturalization.
Katak Hendak Djadi Lembu, Nur Sutan Iskandar, is one of representation of
Minangkabau in the way of interculturalize his idea. In the content of the novel, there
are important things related to the out-culture mixed with the origin culture presented in
to characters in the novel. The conclusion of the research is a Western-Eastern’s
dialogue in character’s named Abdulhalim.
Keywords: intercultur, negotiation, acculturation.
Pendahuluan
Sastra dan budaya adalah dua hal yang sangat erat kaitannya sebagai cerminan
masyarakat. Melalui sastra, masyarakat yang diwakili pengarang mengungkapkan
budaya yang dijalankan dan dimilikinya. Pengertian budaya dapat diartikan bermacammacam tergantung dari perspektif orang masing-masing, namun dalam tulisan ini,
pengertian budaya yang diambil adalah pengertian budaya yang berhubungan dengan
perilaku masyarakat. Tindakan masyarakat yang tergambar dalam sastra tidak semuanya
merepresentasikan budaya masyarakat yang diceritakan secara identik. Namun, tetap
terdapat jalinan yang erat antara budaya dan masyarakat melalui ide dan pikiran
pengarang karya sastra.
Dari pendapat di atas tidak tertutup kemungkinan adanya harapan pengarang
yang ingin disampaikan melalui karyanya terhadap nilai-nilai yang salah satunya adalah
budaya. Budaya yang dibayangkan oleh pengarang secara otomatis mengambil atau
sekadar meminjam dari kehidupan masyarakat yang kemudian dituangkan dalam
karyanya. Budaya yang muncul biasanya tidak hadir sendiri, tetapi berelasi dengan
budaya lain. Relasi antarbudaya tersebut dipertemukan dalam bentuk interkultural dalam
interaksi antarbudaya yang berbeda.
Budaya masyarakat Barat yang dalam hal ini kolonial Belanda dan budaya Timur
yang diwakili kaum pribumi terdapat pada karya sastra dan tergambar jelas pada novel
Katak Hendak Djadi Lembu. Keduanya tidak serta merta bercampur akan tetapi masih
346
menyisakan perbedaan-perbedaan yang kemudian berelasi dalam bentuk budaya baru.
Hal demikian selanjutnya mengarah pada terjadinya tarik menarik antarbudaya yang ada
pada novel tersebut.
Interkulturalisme merupakan suatu pemahaman bahwa persepsi diri dan sosial
(pemahaman budaya sendiri dan identitas) menentukan cara melihat dan menempatkan
kebudayaan lain dalam kebudayaan sendiri. Interkulturalisme bisa terjadi karena adanya
proses asimilasi dan akulturasi dapat ditempatkan dalam konteks budaya. Asimilasi
adalah suatu kebudayaan bercampur dan menimbulkan kebudayaan baru. Biasanya
kebudayaan lama bisa mengulang dan masyarakat memperbaharui budayanya sesuai
dengan perkembangan konteks yang menentukan ke arah mana perkembangan itu harus
dibawa. Akulturasi adalah suatu proses sosial bertemunya dua kebudayaan atau lebih.
Biasanya kebudayaan asli tidak hilang, tetapi seolah mengalami modifikasi.
Istilah “antarbudaya” (interculture) pertama kali diperkenalkan oleh seorang
antropolog, Edwart T. Hall pada 1959 yang menjelaskan tentang keberadaan konsepkonsep unsur kebudayaan, misalnya sistem ekonomi, religi, sistem pengetahuan
sebagaimana apa adanya. Dalam memahami interkultural terlebih dahulu perlu
memahami lima konsepberikut. Pertama, etnik (ethnic) merupakan sekelompok
masyarakat yang mempunyai kesamaan sifat-sifat kebudayaan, misalnya bahasa, adat
istiadat, perilaku, perilaku budaya, karakteristik budaya, serta sejarah. Kedua, etnisitas
merujuk pada penggolongan etnik berdasarkan afiliasi. Ketiga, etnosentrisme
merupakan sikap emosional sekelompok etnik, suku bangsa, agama atau golongan yang
merasa etniknya lebih superior daripada etnik lain. Keempat, etnografi adalah salah satu
bidang antropologi yang mempelajari secara deskriptif suatu kelompok etnik tertentu.
Kelima, etnologi mempelajari perbandingan kebudayaan kontemporer dan masa lalu
dari suatu etnik (Liliweri, 2001: 334-335).
Interkulturalisme dalam sastra dapat dipahami sebagai suatu pemahaman bahwa
persepsi diri dan sosial (pemahaman budaya sendiri dan identitas) menentukan cara
melihat dan menempatkan kebudayaan lain dalam kebudayaan sendiri dalam suatu
karya sastra. Dalam karya sastra terdapat hal yang paling berpengaruh dan dianggap
paling suci atau keramat disebut dengan karya sastra adiluhung. Jenis dan bentuk
hubungan (relasi antarbudaya) ditentukan oleh sejarah dan konteks sosial yang berubah
dan menentukan arah perkembangan budaya. Memahami interkultur sebuah karya
sastra tidak terlepas dari proses asimilasi dan akulturasi. Berdasar pada asumsi bahwa
dalam interkulturasi akan terlihat bagaimana proses-proses antarbudaya berlangsung
dalam karya sastra.
Interkulturalisme berbeda dengan mutikulturalisme. Multikulturalisme bersifat
ideologis terkait masyarakat menghargai budaya-budaya yang berbeda dari posisi luar
sedangkan interkulturalisme melihat persoalan dari dalam karya sastra sendiri tempat
proses kebudayaan tersebut berlangsung.
Posisi Pengarang pada Karyanya sebagai Proses Interkultur
Memahami interkulturalisme dalam sastra perlu diperhatikan apakah teks karya
sastra dapat menjadi ideologi pengarang dalam melihat dan mempersoalkan
kebudayaan? Asumsi ini berdasar bahwa dalam karya sastra pengarang meminjam
berbagai suara, posisi-posisi dan ideologi dan hal-hal lainnya (konteks cerita). Hal ini
pada akhirnya berusaha mengarahkan pembenaran terhadap ideologi pengarang. Sastra
juga merupakan ”hasil tawar menawar” yang kompleks, baik dalam konteks politik,
ekonomi, sosial, maupun budaya. Sastra juga dapat berpretensi sebagai ”corong”
347
kepentingan pengarang atau kelompok sosial tertentu dan pengarang menjadi bagian
penting di dalamnya.
Pengarang mengelola berbagai aspek sastra (fakta cerita dan sarana penceritaan)
demi tujuan dan kepentingan tertentu. Tidak terelakkan lagi, bahwa budaya ibu seorang
pengarang akan sangat mempengaruhi ide serta kreativitas dalam menyampaikan tujuan
ceritanya. Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana apabila seorang pengarang
dengan latar budaya yang berbeda menceritakan budaya lain yang bukan budayanya?
Hal ini terjadi pada Nur Sutan Iskandar yang berbudaya Minang (Sumatra Barat)
bercerita tentang budaya Sunda. Dalam prosesnya, pastilah pengarang tersebut
menjalani proses belajar dan memasuki budaya yang diceritakan sehingga penyampaian
idenya tidak akan mengalami gesekan. Gesekan yang dimaksudkan adalah
ketidakberterimaan masyarakat pemilik budaya tersebut, dalam hal ini Sunda.
Pembuktian dari bercampurnya budaya milik pengarang–Minang—dengan
budaya pinjaman--Sunda—menjadi ide cerita dapat berupa penyebutan identitas
bahasa. Seperti terlihat dalam penyebutan sapaan yang disesuaikan dengan budaya
Sunda:
”....Silakan, Atjeuk! Mari kita duduk ke dalam!” (St Iskandar, 1970: 32)
Sebutan atjeuk yang dapat diartikan ’kakak perempuan’ di atas tidak serta merta
penyebutan biasa, tetapi merupakan proses penyesuaian budaya pengarang terhadap
budaya cerita. Dengan demikian, posisi pengarang yang berbeda budaya dengan budaya
yang ada dalam cerita yang dikarangnya tentulah sudah melalui proses relasi
antarbudaya.
Katak Hendak Djadi Lembu sebagai jembatan budaya
Karya sastra tidak akan pernah kosong budaya. Setiap proses penciptaannya
selalu diiringi oleh referensi budaya yang pasti sudah tertampung dalam pikiran
pengarang. Demikian halnya dengan Novel Katak Hendak Djadi Lembu yang
merupakan salah satu karya sastra yang lahir pada masa dimana kebudayaan sengaja
ditanam dan dibentuk oleh pengendali kekuasaan baik politik maupun pemerintahan,
yakni Kolonial Belanda. Bahkan tidak menutup kemungkinan menggeser budaya yang
selama ini telah ada dalam masyarakat terjajah. Kemungkinan ini dapat disederhanakan
menjadi sebuah lahirnya budaya baru. Sehingga terdapat perpaduan antara budaya asli
dalam hal ini timur dan budaya pendatang dalam hal ini budaya Barat.
Dalam beberapa ide yang disampaikan novel Katak Hendak Djadi Lembu
terdapat berbagai persinggungan budaya dari beberapa budaya yang menopang cerita di
dalamnya antara lain budaya kota dengan budaya desa, budaya bangsawan pribumi
dengan budaya kolonial, budaya pribumi (Sunda/ Jawa) dengan nonpribumi yakni etnis
China, serta budaya Islam dengan budaya non Islam.
Persinggungan antara budaya Barat yakni kaum kolonial Belanda dengan budaya
Timur yakni kaum pribumi dapat dilihat dari aspek pendidikan, pola pikir, gaya hidup,
bahasa, seni bahkan pakaian. Hal ini tercermin dari setiap masalah yang muncul pada
cerita tergambar dalam kutipan berikut.
Pakaiannja selalu rapih dan bersih demikian pula pakaian bini dana anak-anaknja. Kedua
anaknja itu berladjar di sekolah jang patut dan mahal bajarannja. Tidak, bukan dua orang
tu sadja anaknja, ada seorang lagi. jang sulung bersekolah di Osvia, sekolah menak di
Bandung (St Iskandar, 1970: 16).
Dalam kutipan di atas terdapat adanya ide atau prinsip bahwa penampilan yang
baik dilihat dari cara berpakaian yang biasa ditunjukkan oleh para kaum bangsawan,
dalam hal ini bangsa kolonial Belanda.
348
Formasi Budaya dalam Katak Hendak Djadi Lembu
Budaya dalam sebuah karya sastra dapat direalisasikan melalui tokoh dengan
segala karakter maupun penokohan yang ditampilkan. Tokoh yang merupakan wadah
dari ide pengarang menjadi gambaran nyata gagasan terhadap segala hal yang ingin
disampaikan pengarang.
Novel Katak Hendak Djadi Lembu menampilkan tokoh sebagai bayangan budaya
Barat dan budaya Timur sangat terlihat melalui penokohan dan karakter yang
ditampilkan. Suria sebagai tokoh utama sangat menonjolkan budaya Barat yang
dipaksakan terhadap dirinya melalui segala penggambaran yang ada dalam cerita:
(…) Memang ia pantang kerendahan, perkataanja pantang dipatahkan. meskipun ia hanja
bepangkat menteri kabupaten, bergadjil ketjil dan ”semah” pula di negeri Sumedang,
tetapi hidupnja tak dapat dikatakan berkekurangan. Rumahnja bagus, lebih dari pada
sederhana; perabotnja tjukup, - lebih banjak, lebih pantas dari pada perkakas rumah
amtenar jang sederadjat dengan dia.... (St Iskandar, 1970: 15)
Pakaiannja selalu rapih dan bersih demikian pula pakaian bini dana anak-anaknja. Kedua
anaknja itu berladjar di sekolah jang patut dan mahal bajarannja. Tidak, bukan dua orang
tu sadja anaknja, ada seorang lagi. jang sulung bersekolah di Osvia, sekolah menak di
Bandung. (St Iskandar, 1970: 16)
Budaya Barat yang muncul pada tokoh Suria juga tampak melalui pikiran tokoh lain:
Zubaidah berdiam diri sedjurus, menarik napas pandjang pula, sedang air mukanja
bertambah keruh djuga.
“Rupa senang, nampak diluar sentosa, selesai tetapi di dalam kusut sebagai benang
dilanda ajam. Bagaimana hidup akan senang, kalau tiada berketjukupan? Dan bagaimana
pula hidup akan dapat berketjukupan kalau bajang-bajang tidak sepandjang badan, kalau
belandja tiada diukur dengan pendapatan? Gadji Suria ketjil, pintu rezeki kami sanagt
sempit. Aku tahu dan Suriapun lebih tahu lagi! Tetapi ia … prijaji, amtenar B.B, mesti
hidup lebih baik dari pada orang kebanjakan! Londjaknja, gajanja, djika tidak akan laebih
mesti sama dengan amtenar lain-lain! Ia harus mulia di mata orang! (St Iskandar, 1970:
22)
Sementara itu, adanya budaya Barat sebagai budaya pendatang tersebut tentu saja
tidak serta merta diterima oleh budaya lama atau asli sebagaimana direpresentasikan
oleh tokoh Zubaidah berikut.
Terbang semangat Zubaidah, ibu jang berhati lemah-lembut itu, demi terpikir
olehnja nasib anak-anaknja dalam masa jang akan datang. Kalau ia tiada ingatingat mengemudikan rumah-tangganja, bagaimana ia akan tjakap mendidik
mereka itu dengan sepatutnya?
(…)
Dalam tjemas memikirkan kehendak Allah jang tak dapat ditentukan, kalau-kala
u ajahnja jang telah tua itu terdahulu dari padanja, bertambah pedihlah hatinja
mengira-ngirakan nasib peruntungannja dan bertambah sempitlah pula alamnya
mengenangkan tingkah-laku suaminja. Sudah hampir dua puluh tahun ia djadi
istri Suria, selama itu boleh dikatakan belumlah ada lagi ia jang lepas dari pada
tanggungan orang tuanja…. (St Iskandar, 1970 : 23-24)
Dari perbedaan budaya yang tampak dari kedua tokoh tersebut memiliki ide masingmasing yang sengaja dipertahankan dalam cerita.
Persilangan Budaya dan konsep “Menak” dalam Katak Hendak Djadi Lembu
Istilah interkulturasi lebih disenangi daripada multikulturalisme dan
transkulturalisme (Pavis, 1992: 2). Istilah ini kelihatannya tepat dalam usaha mencapai
pertukaran dialektis antarbudaya. Dalam hubungan mendatar antara satu budaya dan
349
budaya lainnya akan terjadi akulturasi yang tidak menghilangkan budaya awal sebelum
datangnya budaya baru. Dalam proses dialektik antarbudaya tersebut terjadilah tawarmenawar dalam bentuk negosiasi. Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat
pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan
bertentangan. Berdasarkan KKBI(2008 , 957 ) negosiasi adalah proses tawar menawar
dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak
(kelompok atau organisasi) yang lain. Dalam kamus Oxford, negosiasi adalah suatu cara
untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal.
Dalam Novel Katak Hendak Djadi Lembu, negosiasi yang dimaksudkan adalah
tawar menawar dalam proses membangun relasi antarbudaya bahwa budaya Barat dan
budaya Timur bertemu dan melahirkan satu budaya baru yang dalam hal ini diwakili
oleh tokoh Abdulhalim. Penyebutan tokoh menak sebagai wujud negosiasi budaya Barat
dan budaya Timur menjadi sangat penting karena didalamnya terjadi tarik menarik
antarbudaya yang tidak bisa menghilangkan pergesekan antarbudaya yang ada. Sesuai
dengan kutipan berikut.
Kota Sumedang jang biasanja sederhana dan sedang ramainja, sudah bertambah ramai dan
permai lagi. Rumah menak-menak, rumah prijaji dan orang berada kelihatan berseri-seri
dan bersemarak. (St Iskandar, 1970: 122)
(…)
“Betul? Masja Allah, emang lupa. Itu anak-anak den menteri Suria! Tetapi jang besar
itu?Aaknja djuga, jang tua sekali. Itu patut mamang tak kenal, sebab ia datang kemari
tjuma dalam pakansi sadja.”
“Dimana ia bersekolah?”
“Di Bandung, di sekolah menak. Sekarang kabarnja, sudah tammat.”(St Iskandar, 1970:
127)
Posisi menak sebagai percampuran antara budaya Barat dan budaya Timur
merupakan hasil tawar-menawar kedua budaya tersebut. Keberadaan menak yang
dianggap mewakili budaya Timur sebagai posisi lebih tinggi dibanding pribumi.
Budaya Islam dalam Novel Katak Hendak Djadi Lembu
Setiap karya sastra selalu menghadirkan sisi nilai budaya dari masyarakat yang
diceritakan dalam karya tersebut. Tak beda halnya dengan Novel Katak Hendak Djadi
Lemboe yang didalamnya terdapat nilai budaya Islam yang ditampilkan pada tokohtokohnya. Pada sisi tertentu digambarkan bagaimana agama dalam hal ini Islam
digunakan sebagai ide-ide menyampaikan pesan akan budaya Timur. Sebagaimana
dinyatakan dalam tokoh Abdulhalim.
Nilai Islam yang tergambar dalam KHDL di antaranya adalah ajaran hormat pada
orang tua:
Pada suatu petang hari, ketika Abdulhalim duduk membatja surat kabar seorang diri
diberanda rumahnja, datanglah Zubaidah dengan perlahan-lahan kedekatnja. Abdulhalim
meletakkan surat kabarnja dan mengangkatkan kepalanja arah kepada ibunja dengan
hormat (St Iskandar, 1970: 177).
Budaya Islam sebagai latar budaya Timur memberikan penguatan pada budaya
yang dipegang teguh oleh tokoh yang merupakan representasi dari budaya Timur.
Dalam hal ini terjadi akulturasi budaya antara budaya Barat yakni Belanda melalui
unsur termasuk bahasa, gaya hidup maupun pendidikan dengan budaya Timur. Budaya
Timur yang digambarkan melalui perantara budaya Islam tidak serta merta hilang oleh
masuknya budaya Barat.
350
Penutup
Memahami interkultur sebuah karya sastra tidak terlepas dari proses asimilasi
dan akulturasi. Berdasar pada asumsi bahwa dalam interkulturasi akan terlihat
bagaimana proses-proses antarbudaya berlangsung dalam karya sastra. Berbeda halnya
dengan mutikulturalisme yang bersifat ideologis terkait masyarakat menghargai budayabudaya yang berbeda dari posisi luar, interkulturalisme melihat persoalan dari dalam
karya sastra sendiri tempat proses kebudayaan berlangsung.
Novel Katak Hendak Djadi Lemboe yang merupakan karya sastra yang lahir
pada masa pemerintahan kolonial Belanda secara nyata telah memuat ide persinggungan
antara budaya Barat dan budaya Timur, serta budaya Islam dengan non-Islam. Di
dalamnya juga terdapat negosiasi antarbudaya yang diwujudkan pada tokoh Abdulhalim
sebagai perpaduan budaya Barat dan budaya Timur.
Daftar Rujukan
Liliweri, Alo. 2001. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Pavis, Patrice, 1992. The Theatre of the Crossroads. London/ New York: Routeledge.
Sairin, Sjafri. 1997. “Transmisi Nilai Budaya dalam Dinamika Perubahan” dalam Jurnal
Humaniora edisi VI, Oktober 1997, hlm. 1—6. Yogyakarta: FIB UGM
Yogyakarta
Salam, Aprinus. 2010. “Beberapa Catatan tentang Sastra (Indonesia) dalam Perspektif
Interkulturalisme” dalam makalah pada kuliah Sastra dan Interkulturalisme.
Yogyakarta: Program Studi S-2 Ilmu Sastra Pascasarjana FIB UGM.
Sutan Iskandar , Nur. 1970. Katak Hendak Djadi Lembu. Jakarta: PN Balai Pustaka.
351
STIMULUS KARYA SASTRA NUSANTARA DALAM PEMEROLEHAN
BAHASA ANAK UNTUK PEMERTAHANAN IDENTITAS LOKAL DALAM
ERA MODERN: KAJIAN PSIKOLINGUISTIK
Rosida Tiurma Manurung
(Universitas Kristen Maranatha Bandung – Indonesia)
Abstrak: Stimulus karya sastra Nusantara tentang “asal-usul padi” bertujuan untuk
mempertahankan dan memperkukuh identitas lokal dalam era global. Tujuan penulisan
kertas kerja ini ialah untuk mengungkapkan peningkatan kemampuan bahasa pada anak
dengan stimulus karya sastra Nusantara yang menceritakan “asal-usul padi” sebagai
salah satu kekhasan lokal Penulisan kertas kerja ini terfokus kepada digunakannya
media pembelajaran dan penelitian tindakan (action research). Penggunaan stimulasi
alat bantu berupa media visual cerita anak-anak genre karya sastra Nusantara dapat
meningkatkan minat belajar anak dalam pemerolehan bahasa.. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peningkatan indeks kemampuan berbahasa teregister dengan
stimulus media karya sastra Nusantara serta dapat meningkatkan nilai dan karakter
khas pada anak, khususnya pada anak usia 6 tahun. Hal itu terlihat dalam perubahan
setiap action yang penulis lakukan berdasarkan isi dan tindak tutur anak serta
pengukuran indeks kemampuan berbahasa, khususnya ditinjau dari perkembangan
sintaksis dan pragmatis. Selain itu, penggunaan media visual cerita akan menumbuhkan
motivasi, kreativitas, dan karakter positif pada anak. Pengembangan stimulus media
pemerolehan bahasa ini dapat dijadikan model untuk peningkatan kemampuan
berbahasa pada anak normal.
Kata kunci: pemerolehan bahasa pada anak, stimulasi karya sastra Nusantara, asal-usul
padi, identitas dan kekayaan lokal
Pendahuluan
Perlunya Pemertahanan Identitas Lokal
Globalisasi itu berlangsung di semua bidang seperti ideologi politik, ekonomi,
pertahanan dan keamanan, serta sosial budaya. Dampak globalisasi di bidang sosial
budaya sudah terasa. Kebudayaan modern dan global sudah merasuk ke dalam jiwa
bangsa Indonesia. Nilai-nilai budaya lokal seperti nilai-nilai yang menyangkut etika,
estetika, moral, agama, sosial, dan cara pandang diri sudah mulai terkikis, termasuk
bahasa lokal. Ancaman kepunahan bahasa-bahasa ibu (bahasa lokal) telah menjadi
persoalan internasional. UNESCO meramalkan bahwa dalam jangka waktu seabad lagi,
setengah dari sekitar 6.700 bahasa di bumi ini akan punah (Kompas, 14 April 2010).
Ramalan itu tentu berlaku juga bagi sejumlah bahasa ibu di pelosok Indonesia yang
kebetulan hanya didukung hanya atau oleh tinggal segelintir penutur tua, lebih-lebih
karena bahasa ibu tersebut tidak memiliki tradisi tulis yang mantap. Suara-suara miris
para akademisi, pecinta, dan pemikir kebahasaan dan kebudayaan pun sering
didengungkan. Ratusan bahasa itu masih menjadi bahasa ibu bagi sebagian besar warga
bangsa Indonesia. Perlu disadari bahwa bahasa-bahasa lokal (vernacular) atau bahasabahasa daerah di Indonesia yang merupakan bahasa ibu itu, senasib dengan ribuan
352
bahasa kecil lainnya di berbagai belahan bumi, sebagaimana juga bahasa-bahasa turunan
Austronesia dan non-Austronesia di kawasan Asia Tenggara-Pasifik. Atas keprihatinan
itu pula, Unesco menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional.
Kekhawatiran akan “nasib” bahasa, sastra, dan budaya lokal di banyak wilayah
Indonesia tampaknya belum begitu menyentuh dan menyadarkan sebagian besar anak
bangsa dari keterlenaan budaya kontemporer; belum juga bangkit untuk menggali dan
memberdayakan kembali warisan leluhur itu. Dengan demikian, perlu upaya baik dalam
kajian ilmu maupun melalui pengabdian kepada masyarakat berupa penyadaran akan
pentingnya pemertahanan bahasa-bahasa lokal. Perlu upaya untuk memperkukuh nilainilai kebhinekaan yang positif sebagai modalitas untuk memperkukuh karakter bangsa.
Modalitas kebhinekaan sangat diperlukan untuk mengatasi ancaman, kendala, atau
tantangan yang datang dari luar yang dapat mengancam kelangsungan hidup dan
eksistensi produk kebhinekaan. Upaya untuk mempertahankan dan memperkukuh jati
diri bangsa, salah satunya ialah melalui sastra. Sastra Indonesia banyak mengandung
nilai-nilai kebhinekaan. Warna lokal yang bersifat dan mengusung kedaerahan yang
tentu saja mencerminkan keiindonesiaan. Sastra Indonesia banyak mencerminkan
suasana dan lokasi, falsafah, etnis, kekhasan, keunikan, atmosfer, keindahan, serta
keberagaman Nusantara. Karya sastra Nusantara mengungkapkan modalitas kebinekaan
yang mengusung kekayaan berbagai etnis dan menonjolkan khazanah kedaerahan yang
tentu saja merupakan warna lokal yang termasuk identitas bangsa Indonesia.
Perlunya Intervensi dalam Pemerolehan Bahasa pada Anak
Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial
anak. Oleh karena itu, erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial.
Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak
menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan
gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial.
Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai
budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat. Pada saat bayi telah
berinteraksi di dalam lingkungan sosialnya,
seorang ibu sering memberikan
kesempatan kepada bayi untuk ikut dalam komunikasi sosial dengannya. Kala itulah
bayi pertama kali mengenal sosialisasi, bahwa dunia ini adalah tempat orang saling
berbagi rasa.
Pemerolehan bahasa terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa telah
memperoleh bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada
fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa dapat dikatakan
mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari
ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit. Pada umumnya,
orang tua (orang dewasa) tidak merasakan bahwa menggunakan bahasa merupakan
suatu keterampilan yang luar biasa rumitnya. Pemakaian bahasa yang terasa lumrah
karena memang tanpa diajari oleh siapa pun seorang bayi akan tumbuh bersamaan
dengan pertumbuhan bahasanya. Sejak umur satu tahun sampai dengan umur dua tahun
seorang bayi mulai mengeluarkan bentuk-bentuk kata bahasa yang telah diidentifikasi
sebagai kata. Ujaran satu kata ini tumbuh menjadi ujaran dua kata dan akhirnya menjadi
kalimat yang kompleks menjelang umur empat atau lima tahun. Setelah umur lima
tahun, seorang anak mendapatkan kosa kata dan kalimat yang lebih baik dan sempurna.
Intervensi merupakan langkah yang paling tepat dalam pemerolehan bahasa pada
anak, khususnya yang dilakukan oleh orang dewasa, dalam hal ini orang tua. Menurut
Chomsky dalam Chaer (2009) setiap anak mampu menggunakan suatu bahasa karena
353
adanya pengetahuan bawaan yang secara genetik telah ada dalam otak manusia. Dalam
Hipotesis Umur Kritis, Lenneberg menyatakan bahwa pertumbuhan bahasa seorang
anak itu terjadwal secara biologis (lihat Dardjowidjojo, 2000: 301). Proses kita mulai
mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan
bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1) (anak) terjadi bila kita yang sejak
semula tanpa bahasa, tidak mengenal bahasa, dan tidak kompeten berbahasa, kini telah
memperoleh satu bahasa pertama. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih
mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa
anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian
kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang
lebih rumit. Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan
bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa
memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik,
sosial, dan kognitif pralinguistik. Pemerolehan bahasa pertama (B1) sangat erat
hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni pertama, jika anak dapat
menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah
secara otomatis menyatakan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan
dengan baik. Kedua, penutur harus memperoleh “kategori-kategori kognitif” yang
mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang,
modalitas, kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap
penguasaan bahasa. Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir
berupa kesanggupannya untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu
tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa
hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia . Kemampuan berbahasa anak yang
normal sama dengan anak-anak yang cacat. Kemampuan berbahasa sangat erat
hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fisiologi manusia, seperti bagian otak
tertentu yang mendasari bahasa dan topografi korteks yang khusus untuk bahasa.
Tingkat perkembangan bahasa anak sama bagi semua anak normal; semua anak dapat
dikatakan mengikuti pola perkembangan bahasa yang sama, yaitu lebih dahulu
menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi. Kekurangan hanya sedikit saja
dapat melambangkan perkembangan bahasa anak. Bahasa tidak dapat diajarkan pada
makhluk lain. Bahasa bersifat universal. Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya
kompetensi atau kecerdasan motorik dan kognitif.
Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal
disebut dengan pemerolehan bahasa, termasuk intervensi yang ditempuh. Menurut
Dardjowidjojo(2010) yang disebut pemerolehan bahasa ialah proses anak mulai
mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut. Istilah pemerolehan
dipakai untuk padanan istilah Inggris acquisition, yakni proses penguasaan bahasa yang
dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native
language).
Kajian Teori
Intervensi dalam Bentuk Stimulasi
Hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan
lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah
sesederhana yang dibayangkan. Sardiman, (2007;130) menyatakan bahwa respon yang
diterima seseorang tidak sesederhana itu karena stimulus-stimulus yang diberikan akan
saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang
dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi354
konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku, Sardiman, dkk.
(2001;164). Oleh karena itu, dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar
harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami
konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul
akibat respon tersebut juga merupakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk
menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah sebab setiap alat
yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan
dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit (tersembunyi).
Untuk menangkap isi dan pesan belajar, maka dalam belajar tersebut individu
menggunakan kemampuan pada ranah-ranah Kognitif yaitu kemampuan yang berkenaan
dengan pengetahuan, penalaran atau pikiran terdiri dari kategori pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Afektif yaitu kemampuan yang
mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang
terdiri dari kategori penerimaan, partisipasi, penilaian sikap, organisasi dan
pembentukan pola hidup. Sikomotorik yaitu kemepuan yang mengutamakan
keterampilan jasmani terdiri dari persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan
terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan dan kreativitas.
Menurut Gagne (1970), Belajar merupakan kegiatan yang kompleks, dan hasil
belajar berupa kapabilitas, timbulnya kapabilitas disebab oleh stimulasi yang berasal
dari lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan oleh pelajar. Belajar terdiri dari tiga
komponen penting yakni kondisi eksternal yaitu stimulus dari lingkungan dari acara
belajar, kondisi internal yang menggambarkan keadaan internal dan proses kognitif
siswa, dan hasil belajar yang menggambarkan informasi verbal, keterampilan intelek,
keterampilan motorik, sikap, dan siasat kognitif. Robert M. Gagne mengemukakan
delapan tipe belajar yang membentuk suatu hirarki dari paling sederhana sampai paling
kompleks yakni : belajar tanda-tanda atau isyarat (Signal Learning) yang menimbulkan
perasaan tertentu, mengambil sikap tertentu,yang dapat menimbulkan perasaan sedih
atau senang, belajar hubungan stimulus-respons (Stimulus Response-Learning)di mana
respon bersifat spesifik, tidak umum dan kabur, belajar menguasai rantai atau rangkaian
hal (Chaining Learning) mengandung asosiasi yang kebanyakan berkaitan dengan
keterampilan motorik,
belajar hubungan verbal atau asosiasi verbal (Verbal
Association) bersifat asosiatif tingkat tinggi tetapi fungsi nalarlah yang menentukan,
belajar mebedakan atau diskriminasi (Discrimination Learning) yang menghasilkan
kemampuan membeda-bedakan berbagai gejala. Konsep Belajar (Concept Learning)
yaitu corak belajar yang menentukan ciri-ciri yang khas yang ada dan memberikan sifat
tertentu pula pada berbagai objek. belajar aturan atau hukum-hukum (Rule Learning)
dengan cara mengumpulkan sejumlah sifat kejadian yang kemudian dalam macammacam aturan, belajar memecahkan masalah (Problem Solving) menggunakan aturanaturan yang ada disertai proses analisis dan penyimpulan.
Pemerolehan bahasa pada anak normal 4—5 tahun dengan intervensi dilakukan
berdasarkan prinsip pengamatan terhadap suatu stimulus melalui pendengaran dan atau
penglihatan anak. Menurut Hernawati (2009), dengan mengembangkan berbagai
kemampuan pengamatan yang dimiliki anak, kita memberikan stimulus melalui
penglihatan dan atau pendengarannya. Melalui cara ini anak akan menerima
cara bicara yang benar, lalu dikontraskan dengan konsep bicaranya yang salah.
Apabila cara bicara yang benar tadi semakin diperkuat dengan diulang secara intensif,
akan terjadi proses perpindahan dari bicara yang salah menjadi bicara yang benar secara
menetap. Metode ini dapat juga digunakan untuk menanamkan pengertian bahasa
355
dengan cara menstimulasi anak melalui berbagai media yang menarik perhatian
anak, seperti
gambar, foto, dan sebagainya. Dalam menanamkan pemaknaan
bahasa pada anak, penting untuk selalu memperbincangkan konsep-konsep yang
mengasyikkan anak. Kata-kata dan artinya paling baik dipelajari dalam keadaan
sewaktu bermain. Kita memperkatakan apa yang dilihat, diperbuat, dan dipikirkan
anak secara simultan. Setiap saat dan setiap waktu merupakan kesempatan bagi anak
untuk belajar berbahasa. Kita harus berusaha untuk memahami isyarat gerak yang
diperbuat anak, memahami bunyi yang diucapkannya, serta membahasakannya
sehingga anak dapat memahmi betul kata-kata yang diucapkan dengan aktivitas yang
dilakukan.
Karya Sastra Nusantara
Istilah Nusantara pertama kali dipakai oleh kerajaan Majapahit untuk menyebut
daerah-daerah kekuasaannya. Kata Nusantara sendiri merujuk pada periode khusus
ketika Indonesia dikuasai oleh Majapahit, khususnya ketika kerajaan ini berada di
bawah kendali patih besarnya, Gajah Mada. Pada tahun 1889-1959 istilah Nusantara
yang sempat tenggelam kembali mucul. Orang yang memperkenalkan kata nusantara
adalah Ki Hadjar Dewantara. Bahasa tanpa sastra bagaikan jasat tanpa roh. Bahasa
tidak memiliki semangat jika tidak ada muatan sastra. Sastralah yang membuat bahasa
menjadi hidup. Dalam sastralah terkesan harapan dan cita-cita masyarakatnya.
Khazanah karya sastra Nusantara, baik lisan maupun tulisan beragam jumlah dan
jenisnya. Menurut A. Teeuw berdasarkan informasi Hans Scharer, seorang ahli sastra
Dayak, pada masa sebelum perang luas sastra tradional Nusantara yang bersifat mitos
untuk suku Dayak yang ditelitinya dapat diperkirakan mengisi 40.000 halaman cetak
seandainya diterbitkan. Jadi, mengisi dua ratus jilid, masing-masing dengan rata-rata
dua ratus halaman pula. Itu hanya untuk satu suku atau subsuku. Dapat dibayangkan
betapa kayanya sastra tradional Nusantara yang dimiliki satu suku atau subsuku
Nusantara. Dapat diperkirakan jumlah kekayaan itu sejumlah apa jika Indonesia
memiliki ratusan suku. Kekayaan khas lokal itu akan semakin menggunung apabila ke
dalamnya dimasukkan khazanah sastra tertulis tradisional.
Penelitian karya sastra Nusantara pertama-tama dilakukan oleh para ahli Barat,
khususnya Belanda, sejak kira-kira permulaan abad ke-19. Nama-nama seperti L. Th.
Mayer, Palmer van den Brook, F.L. Winter, A.C. Vreede, Ny. Coster Wijsman, C.
Snouck Hurgronje, K.H. Hidding, A.A. Fokker, dan A. Teeuw adalah sebagian kecil
dari sejumlah besar para peneliti sastra tradional Nusantara kususnya, sastra Nusantara
umumnya, yang penelitiannya telah dipublikasikan. Yang perlu diberi catatan dari
penelitian-peneltian itu ialah bahwa hampir semua sastra tradional Nusantara yang
penting baik puisi maupun prosa telah dijadikan objek kajia. Jenis naratif terkenal
seperti Si Kancil, Sang Kura-kura dan Si Kabayan telah dibuat bahan telaah baik secara
individual, maupun secara komparatif. Serba nilai yang dikandungnya telah dicoba
diungkapkan apakah itu nilai filosofis, religius, didaktis, sosial, etis, moral, maupun
estetis. Dalam penelitian ini, digunakan media karya sastra Nusantara yang
menceritakan “asal-usul padi” sebagai tanaman yang dijadikan makanan primer bangsa
kita.
Karya Sastra Nusantara “Asal-usul Padi”
Karya sastra Nusantara yang digunakan dalam penelitian ini ialah “Putri
Tangguk” dari daerah Jambi yang menceritakan seorang perempuan bernama Putri
Tangguk dan suami beserta ketujuh anaknya. Putri Tangguk takabur dan sombong
356
karena menyia-nyiakan padi. Juga digunakan “Legenda Dewi Sri” yang mengisahkan
warga Jawa Barat yang mengelu-elukan serta menghormati nama Dewi Sri dan
menjulukinya sebagai Dewi Padi karena jasa terbesarnya yang telah menciptakan
tanaman padi di seluruh wilayah Purwagaluh, Jawa Barat. Dalam penelitian ini,
digunakan pula karya sastra Nusantara yang berjudul “Si Beru Dayang” yang berasal
dari Tanah Karo, Sumatera Utara. Si Beru Dayang adalah istilah padi dalam bahasa
Karo. Menurut legenda, padi di Tanah Karo merupakan penjelmaan seorang anak lakilaki. Cerita Rakyat Ende Lio “Ine Pare (Asal Mula Padi)” yang mengisahkan
percobaan menyantap biji-bijian yang dilakukan pertama kali oleh seorang janda
bernama Pare. Usai mencicipi segenggam, dua genggam, tiga, bahkan sampai beberapa
genggam, wajah Pare justru berseri-seri. Percobaan makan itu diikuti oleh Wole, juga
janda sebatang kara yang memang meminta dan menikmati biji-bijian baru itu.
Menyaksikan Pare dan Wole makan dengan penuh gembira, orang-orang sekampung
berminat keras untuk turut menikmati makanan baru itu. Jadilah biji-bijian yang baru itu
"menjelma" menjadi makanan utama bagi seluruh masyarakat kampung itu. Kemudian,
disusul pula dengan amanat agar tanaman itu ditanam melalui ritual atau upacara khusus
sebagai penghormatan dan rasa syukur serta harus diwariskan kepada anak cucu.
Menurut KBBI (2008), pa·di n bermakna ‘tumbuhan yg menghasilkan beras, termasuk
jenis Oryza (ada banyak macam dan namanya); butir dan buah padi’.
Intervensi dengan Stimulus
Menurut Thorndike dalam Mudzakir, Ahmad dan Sutrisno Joko (1997), belajar
merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang
disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus adalah suatu perubahan dari
lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi
atau berbuat sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan
karena adanya perangsang. Eksperimen thorndike ini menggunakan hewan-hewan
terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Dari eksperimen kucing lapar
yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai
hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons
yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalankegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and
error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut
hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu, teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike
ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Adanya
pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia
pendidikan tersebut, ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor psikologi
pendidikan.
Menurut KBBI (2008), stimulus ialah dorongan atau rangsangan; menstimulasi
srtinya mendorong atau menggiatkan. Sigmund Freud berpendapat bahwa stimulus
permainan dengan media ialah suatu pendekatan pendidikan dan merupakan teknikteknik penyembuhan dengan penggunaan media dan dapat dilihat melalui analisis
kejiwaan. Stimulus berasal penyembuhan atau pengobatan jasmani. Kaplan tahun 1974
menyatakan bahwa stimulus permainan bisa dilakukan dengan cara menggunakan alat
yang tidak berbahaya, misalnya, buku cerita yang dapat digunakan untuk menumbuhkan
pola komunikasi antara siswa dengan gurunya. Sejalan dengan karakter khas bangsa,
stimulus belajar dapat menggunakan media karya sastra Nusantara .
Schramm (1977) dalam Yamin (2009) mengemukakan bahwa media
pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk
357
keperluan pembelajaran. Briggs (1977) dalam Yamin (2009) berpendapat bahwa media
pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi atau materi pembelajaran,
seperti buku, film, video dan sebagainya. Brown (1973), mengungkapkan bahwa media
pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi
terhadap efektivitas pembelajaran. Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi
sebagai alat bantu guru untuk mengajar yang digunakan adalah alat bantu visual. Sekitar
pertengahan abad ke–20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan digunakannya alat
audio, sehingga lahirlah alat bantu audio-visual. Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek), khususnya dalam bidang pendidikan, saat ini
penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan interaktif,
seperti adanya komputer dan internet.
Menurut Tarigan (1995), buku cerita baik bergambar maupun tidak adalah segala
sesuatu yang diwujudkan secara visual kedalam bentuk dua dimensi sebagai hasil
perasaan dan pikiran. Gambar dapat dipergunakan sebagai media dalam
penyelenggaraan proses pendidikan sehingga memungkinkan terjadinya proses belajarmengajar. Tarigan (1995:209) mengemukakan bahwa pemilihan gambar haruslah tepat,
menarik dan dapat merangsang siswa untuk belajar. Media gambar yang menarik, akan
menarik perhatian siswa dan menjadikan siswa memberikan respon awal terhadap
proses pembelajaran. Media gambar yang digunakan dalam pembelajaran akan diingat
lebih lama oleh siswa karena bentuknya yang konkrit dan tidak bersifat abstrak. Gambar
adalah suatu bentuk ekspresi komunikasi universal yang dikenal khalayak luas. Buku
cerita bergambar adalah buku bergambar tetapi dalam bentuk cerita, bukan buku
informasi. Dengan demikian buku cerita bergambar sesuai dengan ciri-ciri buku cerita,
mempunyai unsur-unsur cerita (tokoh, plot, alur).
Karya sastra Nusantara disajikan pula dalam bentuk buku cerita bergambar yang
dapat dibedakan menjadi dua jenis, (1) buku cerita bergambar dengan kata-kata, (2)
buku cerita bergambar tanpa kata-kata. Kedua buku tersebut biasanya untuk anak usia
2—6 tahun. Buku cerita bergambar merupakan sesuatu yang tidak asing dalam
kehidupan anak-anak. Di samping itu, buku adalah sebuah media yang baik bagi anakanak untuk belajar membaca. Buku cerita bergambar merupakan kesatuan cerita disertai
dengan gambar-gambar yang berfungsi sebagai penghias dan pendukung cerita yang
dapat membantu proses pemahaman terhadap isi buku tersebut. Melalui buku cerita
bergambar, diharapkan pembaca dapat dengan mudah menerima informasi dan deskripsi
cerita yang hendak disampaikan. Untuk anak usia 2—6 tahun, alangkah baiknya jika
orang tua mengenalkan buku cerita bergambar yang sesuai dengan usia mereka, untuk
membantu perkembangannya. Oleh karena pada saat 2—6 tahun, perkembangan otak
anak berkembang secara pesat. Dengan demikian, orang tua harus memotivasi anak
untuk selalu belajar dan media pembelajaran membaca permulaan yang efektif adalah
melalui buku cerita bergambar. Dari beberapa paparan diatas, dapat diambil esimpulan
bahwa media buku cerita bergambar sangat cocok jika diterapkan dalam proses
pembelajaran membaca pada anak 2—6 tahun karena media tersebut dapat merangsang
siswa dalam pembelajaran membaca khususnya membaca permulaan, media buku cerita
bergambar tersebut diwujudkan dalam bentuk visual ke dalam bentuk dua dimensi
sebagai hasil pikiran dan perasaan.
Manfaat dan fungsi media buku cerita bergambar menurut Mitchell (dalam
Nurgiantoro, 2005:159) mengungkapkan fungsi dan pentingnya buku cerita bergambar
sebagai berikut: 1) membantu perkembangan emosi anak, 2) membantu anak belajar
tentang dunia dan keberadaannya, 3) belajar tentang orang lain, hubungan yang terjadi
358
dan pengembangan perasaan, 4) memperoleh kesenangan, 5) untuk mengapresiasi
keindahan, dan 6) untuk menstimulus imajinasi.
Stimulus Karya Sastra untuk Pemertahanan Identitas dan Kekayaan Lokal
Analisis Semantik
Berdasarkan hasil observasi terhadap subjek setelah diberikan stimulus dengan
pembacaan buku cerita tentang “asal-usul padi”, diperoleh konsep mengenai konsep
asal-usul padi, konsep pertanian, dan konsep nilai lokal yang positif yang terlihat
dalam tabel di bawah ini.
Tabel I. Stimulus Karya Sastra
untuk Pemertahanan Identitas dan Kekayaan Lokal
No.
1.
Pemerolehan Bahasa
pada Anak
Dewi Sri
2.
Dewi Padi
3.
butiran-butiran emas
3.
makanan pokok
4.
tumbuh-tumbuhan
5.
kebaikan alam
6.
kesuburan
Perkembangan Semantik
Dewi Sri disebut sebagai pembawa padi
dari surga ke dunia untuk kebutuhan
hidup manusia. Dia dipuja dan sebagai
dewi padi atau dewi kesuburan. Selain
dalam sastra tulis, dewi Sri juga terdapat
dalam dongeng atau sastra lisan.
Lihat Dewi Sri
Butiran padi yang terdapat pada tangkai
malai
tanaman padi diberikan
penilaian harga yang tinggi karena
dianalogikan sebagi emas.
Makanan pokok adalah makanan yang
menjadi gizi dasar. Makanan pokok
biasanya tidak menyediakan keseluruhan
nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Dengan
demikian, biasanya makanan pokok
dilengkapi dengan lauk pauk untuk
mencukupkan
kebutuhan
nutrisi
seseorang dan mencegah kekurangan
gizi.
Tumbuhan adalah salah satu dari
klasifikasi
mahluk
hidup
yang
mempunyai zat hijau daun sehingga
dapat memproduksi sendiri makanannya
dan tumbuhan muncul di permukaan
bumi.
Iklim yang bersahabat dengan serbaneka
cuaca dan sinar matahari yang
melimpah.
Indonesia memiliki tanah terbaik di
dunia karena tanahnya subur bila
sifat-sifat kesuburan (fisik, kimia, dan
biologis) sehingga dapat mendukung
pertumbuhan serta produksi tanaman;
359
Penanaman
Nilai
Luhur
Subjek memahami
tingginya kearifan
lokal
masyarakat
Jawa
Subjek memahami
tingginya kearifan
lokal
masyarakat
Jawa
Subjek mengetahui
bahwa bahwa padi
sebagai kekayaan
Nusantara
Subjek
merasa
bangsa
bahwa
bangsa
kita
memiliki makanan
pokok yang khas
karena hidup di
negara agraris
Subjek ditanamkan
nilai
bahwa
Indonesia/Nusantara
itu tanah air yang
subur
Subjek ditanamkan
nilai bahwa iklim
Tropis
sebagai
kekayaan
Subjek ditanamkan
nilai
bahwa
Nusantara memiliki
tanah
terbaik
sedunia.
7.
bahan pangan
musim tanam
8.
tanaman padi
9.
persediaan padi
10.
berbuah emas
11.
buah padi
12.
biji padi
13.
batang padi
14.
padi beras merah
15.
padi beras putih
16.
menggarap sawah
17.
menanam padi
dengan catatan faktor-faktor tanaman,
iklim, dan pengelolaan tidak menjadi
pembatas dan pada kondisi optimal.
Kearifan lokal konsep pola tanam ialah
adalah suatu cara pengaturan urutan
tanam pada sebidang lahan dalam satu
tahun atau lebih dimana termasuk di
dalamnya terdapat masa pengolahan
tanah.
Kearifan lokal konsep pertanian
tanaman padi ialah suatu jenis tanaman
yang bijinya dijadikan makanan pokok
karena
mengamdung
sumber
karbohidrat.
Kearifan lokal karakter positif “sedia
payung sebelum hujan” bermakna
hendaknya berjaga-jaga sebelum datang
suatu bencana atau bahaya.
Lihat butiran emas
Buah padi sebagai unsur dominan
berbentuk hampir bulat hingga lonjong,
ukuran 3 mm hingga 15 mm, tertutup
oleh sekam, dengan struktur dominan
adalah endospremium yang dimakan
orang.
Lihat buah padi
Batang padi batangnya sangat pendek,
struktur serupa batang terbentuk dari
rangkaian pelepah daun yang saling
menopang
Padi varian beras merah tergolong
tanaman organik memiliki prospek yang
bagus yang dikembangkan dengan cara
budidaya berpola organik.
Padi beras putih mengandung asam
amino yang penting dan dapat
meningkatkan pertumbuhan otot.
Menggarap sawah berarti menyediakan,
mengolah, dan mengerjakan lahan untuk
menanam padi yang umumnya masih
menggunakan peralatan tradisional.
Menanam padi adalah menanam benih
padi di lahan yang telah disiapkan.
Menanam padi biasanya dikerjakan oleh
ibu-ibu setelah sebelumnya mencangkul,
meratakan tanah, dan menyiapkan
pematang sawah yang dikerjakan oleh
bapak-bapak. Dalam sebuah bentang
sawah, menanam padi biasanya
360
Subjek ditanamkan
nilai bahwa kita
memiliki kearifan
Lokal tentang Pola
Tanam
Subjek mengetahui
Identitas
lokal
konsep pertanian
Subjek mengetahui
Kearifan
Lokal
“sedia
payung
sebelum hujan”
Subjek memahami
Padi
sebagai
komoditas berharga
Subjek mengetahui
kearifan
lokal
konsep padi.
Subjek mengetahui
kearifan
lokal
konsep padi.
Subjek memahami
Karifan
lokal
konsep padi.
Subjek memahami
Kekayaan
varian
padi Nusantara
Subjek memahami
Kekayaan
varian
padi Nusantara .
Subjek mengetahui
Kearifan
lokal
konsep bersawah.
Subjek memahami
Kearifan
lokal
konsep bersawah
18.
membajak sawah
19.
menyemai benih padi
20.
menumbuk beras
21.
saling kerja sama
22.
bergotong royong
dikerjakan bersama-sama oleh beberapa
ibu-ibu sehingga pekerjaan lebih cepat
selesai.
Membajak sawah adalah sebuah proses
menggarap tanah menggunakan sebuah
alat yang disebut bajak,atau luku dalam
bahasa Jawa. Mengolah tanah dengan
menggunakan bajak ini bertujuan untuk
membalikkan tanah yang sebelumnya
ada di lapisan paling atas sudah
ditumbuhi rumput dan cenderung
keras,dengan proses dibajak atau diluku
ini, lapisan tanah di bawahnya naik ke
atas dan menjadi lebih empuk sehingga
mudah untuk ditanami bibit nantinya.
Menyemaikan benih ialah
menumbuhkan biji jadi benih untuk di
pindah ke tempat penanaman. Contoh
penyemaian benih padi yang bila sudah
tumbuh di pindah ke sawah.
Pada salah satu tahap pemrosesan hasil
panen padi, gabah ditumbuk dengan
lesung atau digiling sehingga bagian
luarnya (kulit gabah) terlepas dari
isinya. Bagian isi inilah, yang berwarna
putih, kemerahan, ungu, atau bahkan
hitam, yang disebut beras.
Pengertian kerja sama adalah suatu
usaha bersama antara orang perorangan
atau kelompok untuk mencapai tujuan
bersama.
Lihat saling kerja sama
Subjek mengetahui
kearifan lokal
konsep bersawah.
Subjek mengetahi
kearifan
lokal
konsep bersawah.
Subjek
memahai
kearifan
lokal
konsep bertani.
Subjek memahami
Kearifan lokal budi
pekerti
Subjek memahami
Kearifan lokal budi
pekerti
Analisis Psikolinguistik
1) Thematic Structure
Thematic Structure adalah penilaian tentang keadaan mental pendengar pada saat
seseorang berbicara. Untuk dapat melakukan penilaian seperti itu, seseorang harus
memiliki kapasitas kognitif tingkat yang cukup tinggi, yaitu berada pada tahap
perkembangan operasional formal. Pada tahap ini, seseorang akan dapat berpikir
abstrak, menilai dari sudut pandang kebutuhan, perasaan dan pikiran mitra bicaranya.
Tahap perkembangan formal operational pada umumnya dicapai ketika seseorang
memasuki masa remaja.
Analisis:
Subjek adalah seorang anak yang masih berusia 6 tahun, artinya belum mencapai
tahap perkembangan operasional formal. B baru berada pada tahap perkembangan
praoperational. Ciri tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika
tidak memadai. Menurut Piaget, yang dikutip dari Dariyo, dalam diktat Psikologi
Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama, tahapan praoperasional mengikuti tahapan
sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak
mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda361
benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan
penalaran intuitif bukan logis. Pada tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu,
mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut
berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari
orang di sekitarnya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan dalam berbicara, Bmasih belum
dapat menggunakan thematic structure karena pemikirannya masih egosentris. Dalam
tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran
dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris, anak kesulitan untuk melihat dari
sudut pandang orang lain.
2) Propositional Content
Selama percakapan dengan Subjek, peneliti dapat menangkap jalan pikiran
Subjek Ia dapat menyusun kalimat yang mudah dipahami content-nya. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa kalimat yang diutarakan oleh Subjek memenuhi
syarat propositional content.
Kalimat yang dipilih pembicara harus merefleksikan jalan pikiran pembicara
mengenai objek-objek, kejadian-kejadian, fakta-fakta seperti yang dimaksudkan di
dalam tindak ujar. Sebuah kalimat dinilai memiliki proper idea jika pendengar dapat
menangkap ide yang terkandung di dalamnya.
Simpulan
1) Dengan interventi berupa stimulus karya sastra Nusantara, perbendaharaan kata
subjek semakin berkembang, baik kuantitatif maupun kualitatif. Beberapa pengertian
abstrak seperti pengertian waktu, ruang, dan kuantum mulai muncul.
2) Sebagai orang dewasa yang memahami dan peduli terhadap pertumbuhan anak
dalam berbahasa, sebaiknya kita dapat berkontribusi dalam pengembangan pemerolehan
bahasa pada anak yang berperspektif budaya lokal, salah satunya dengan melakukan
rangsangan atau stimulus dengan media karya sastra Nusantara.
3) Subjek telah dapat meningkatkan kemampuan bahasa mengenai konsep asal-usul
padi, konsep pertanian, dan konsep nilai lokal yang positif.
Daftar Rujukan
Aldrich, Clark. 2009.Learning Online with Games, Simulations, and Virtual Worlds:
Strategies for Online Instruction. Jossey-Bass: San Francisco.
Arifuddin.2010. Neuro Psiko Linguistik.J akarta.PT Raja Grafindo Persada.
Bloom, BS., Engelhart, M.D., Furst, E.J., Hill, W.H., dan Krathwohl, D.R. 1970. The
Taxonomy of Educational Objectives The Classification of Educational
Goals, Handbook I: Cognitive Domain. New York: David McKay.
Brown, A.L., dan Cooking, R.R. 1973. How People Learn: Brain, Mind, Experience,
and School.Washington DC: National Academy Press.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
___________2003. Psikolinguistik:Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
___________2004.Sosiolinguistik Perkenalan Awal.Jakarta:PT Rhineka Cipta.
___________2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta. Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik. Jakarta: Yayasan obor Indonesia.
Dariyo. Tanpa Tahun. Diktat Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama.
Hernawati, Tati. 2009. Intervensi Gangguan Bahasa. Diakses dari http://file.upi.edu.
Pada tanggal 30 Mei 2014 pikil 14.40 WIB
362
Kaplan, H. & Sadock, B 1997. Sinopsis Psikiatri.Terjemahan oleh Widjaja Kusuma.
Jakarta: Binarupa Aksara.
Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika
Aditama.
Mudzakir.1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Pustaka Setia.
Sardiman, A.M. 2007. Interaksi Belajar Mengajar. Radja Grafindo Persada. Jakarta
Simanjuntak, Mangantar. 1987. Pengantar Psikolinguistik Modern. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Yamin, Martinis.2009. Manajemen Pembelajaran Kelas Strategi Meningkatkan Mutu
Pembelajaran. Jakarta: Persada.
Mulyasa. 2011. Praktik Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Purwanto. 2011. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Rahim, Farida. 2007. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara
Sadiman, Arief., et al. 1986. Media Pendidikan. Jakarta: Pustekkom Dikbud dan C.V.
Rajawali
Sareb, Masri. 2008. Menumbuhkan Minat baca Sejak Dini. Jakarta: PT Macanan Jaya
Cemerlang
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
363
SASTRA LAMA, SASTRA RAKYAT,
SUMBER IDENTITAS DAN SOLIDARITAS BANGSA
Rusli Abdul Ghani & Norhasmanalinda Mustapha
(Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia)
Abstrak: Valdimir Braginsky, dalam The Heritage of traditional Malay literature: A
historical survey of genres, writings and literary views (2004), telah melakarkan suatu
tour de force tentang kepelbagaian dan kekayaan sastra Melayu tradisional dengan
mengambil kira karya daripada keseluruhan spektrum khazanah yang masih ekstan
termasuk kesusastraan Melayu lama (old Malay literature), kesusastraan Islamik awal
(early Islamic literature), kesusastraan Melayu klasikal (classical literature) bentuk
prosa mahupun puisi, serta kesusastraan Sufi. Namun, segala kekayaan ini, segala
kepelbagaian ini, segala himpunan memori leluhur kini terasakan diabaikan dan tidak
lagi relevan buat Gen-X, Gen-Y dan anak-anak milenial yang lebih selesa, akrab dan
intim dengan apa yang disajikan di laman Web dan dibicarakan di media sosial. Apa
yang mengkhuatirkan kita, pengabaian ini lambat-laun akan menghakis identitas bangsa
dan merungkai soladariti bersama kerana kita tidak lagi minum dari perigi yang sama,
tidak lagi makan sedulang. Biarpun masih serumah, tidur sebantal, namun mimpi sudah
masing-masing. Makalah ini meneliti tantangan yang ada dalam membina identitas dan
solidaritas bangsa mengikut acuan kita sendiri dengan mengambil kira dampak
globalisasi dan langit yang terbuka luas serta menyarankan strategi untuk
memanfaatkan, mengolah dan menyegarkan kembali sastra tradisional dan sastra rakyat
agar dapat mentakrifkan dan menyerlahkan identitas bangsa kita lantas memperkukuh
dan mempererat solidaritas bangsa.
Kata Kunci: Sastra Lama, Sastra Rakyat, Identitas, Solidaritas
“Narratives flow ...
Different names, different tales, different wordings.
On paper, in voice, on screen ...”
Maier (2015: 55)
Pendahuluan
Makalah ini meneliti faktor dan juzuk yang berperanan membina identitas dan
solidaritas bangsa mengikut acuan kita sendiri dengan mengambil kira dampak
globalisasi dan langit yang terbuka luas serta menyarankan strategi untuk
memanfaatkan, mengolah dan menyegarkan kembali sastra tradisional dan sastra rakyat
agar dapat memaknai jiwa merdeka dan menyerlahkan identitas bangsa kita lantas
membina dan memperkukuh solidaritas bangsa.
Identitas atau jati diri dilihat sebagai kunci kepada solidaritas bangsa demi
memunculkan sebuah negara bangsa yang mengenal akan asal usulnya dan pada masa
yang sama tetap yakin dalam menghadapi cabaran global dan sentiasa benar terhadap
nilai-nilai yang menakrifkannya sebagai bangsa yang bermaruah dan negara yang
berdaulat.
364
Identitas dan solidaritas berkait rapat dengan semangat “kebangsaan” dan
berperanan penting dalam sebuah negara merdeka yang diasak rakus oleh faktor
pengglobalan yang pelbagai selain faktor dalaman yang setempat dan daerahan seperti
yang diperhatikan Eley dan Suny,
"Being national is the condition of our times, yet never before has the idea of the nation
been under such scrutiny. With the collapse of the bi-polar world of the Cold War, there
has also been a parallel rise in the subnational - the claims of local, regional and ethnic
minorities - economic globalization, American cultural hegemony, international
migration, and diasporization…” (Eley dan Suny 1996)
dan meskipun “… politics is the ground upon which nationalism is constructed, culture
is the terrain on which it is elaborated and fought over …”. Memang benarlah ‘budaya’
itu medan perjuangan sebenar, tempat terbina dan tertakrifnya identitas dan
terbangkitnya solidaritas bangsa. Budaya kita, warisan leluhur turun-temurun, himpunan
memori zaman-berzaman itulah yang membentuk, memupuk, dan membugarkan
‘kebangsaan’ kita dan sebahagian daripada warisan kita itu berupa sastra lama dan sastra
rakyat.
Identitas dan Solidaritas
Tatkala kita sibuk dan ghairah dengan pembangunan negara, baik dari segi
prasarananya mahupun sarana bagi keselesaan dan kesejahteraan rakyat, perkara yang
sering terabai, sama ada kerana dirasakan remeh atau tidak mempunyai nilai ekonomi,
ialah aspek pembinaan identitas kebangsaan.
Menurut Smith (1991), identitas kebangsaan terbina atas unsur-unsur juzukan
yang pelbagai termasuk identitas individu, jantina, ruang wilayah atau daerah, kelas
sosial, identitas agama, dan bahasa. Sebuah negara yang berdaulat dan merdeka itu
berkongsi wilayah bersejarah, mitos, himpunan memori, budaya rakyat, ekonomi yang
saksama, hak dan undang-undang serta kewajipan dan tanggungjawab bersama.
Smith (ibid.) juga berhujah bahawa semua negara terbentuk dan terbina atas etika
teras yang memberikan negara identitasnya. Dilema yang dihadapi oleh negara bekas
jajahan adalah sama ada menggunakan terus model etika mantan penjajah atau melihat
kembali teras etika asal yang sedia wujud sebelum dijajah dan menyesuaikan model
etika etnik ini mengikut peredaran zaman.
Sebuah negara, mengikut definisi, memerlukan satu identitas politik dan budaya
tertentu yang akan memastikan dan mensahihkan kewujudan negeri ini. Identitas ini
jelas diperlihatkan oleh lambang-lambang negara yang ketara seperti bendera, lagu
kebangsaan, sistem mata wang, ibu kota, pasport, dan sempadan rasmi. Akan tetapi, ada
juga simbolisme tidak ketara yang berperanan besar dalam membina identitas negara,
termasuk, cerita rakyat, nilai budaya setempat, wira popular, seni bina, seni dan kraf,
serta adat istiadat.
Identitas88 nasional atau kebangsaan itu berkait dengan konsep ‘negara’ dan
‘negara bangsa’ dan boleh terbahagi kepada dua segi yang bertentangan iaitu,
primordialisme dan konstruktionisme. Kelompok ‘primordialisme’ menganggap
88
Oxford English Dictionary (OED) menakrifkan ‘identity ’ sebagai, a. The quality or condition
of being the same in substance, composition, nature, properties, or in particular qualities under
consideration;
absolute
or
essential
sameness;
oneness.
http://www.oed.com/view/Entry/91004?redirectedFrom=identity#eid; diakses pada 20 Oktober
2015.
365
identitas nasional89 itu sebagai sesuatu yang tetap, mantap, dan terperoleh kerana
dilahirkan dalam masyarakat kebangsaan itu. Pihak ‘konstruktionisme’ melihat identitas
nasional sebagai binaan atau konstruk sosial yang luwes dan boleh berubah-ubah dari
individu ke individu.
Dengan demikian, ‘identitas’ itu terungkap sebagai jawapan kepada tiga
persoalan asas; Siapa “saya”?, Siapa “kami”?, dan Siapa “mereka”. Jawapan yang tidak
jelas atau keliru boleh membawa kepada konflik dan krisis identitas90.
Identitas “saya” diungkapkan melalui nama khas, iaitu nama yang membezakan
seseorang itu daripada orang lain dan ciri-ciri lain seperti rupa paras, keperibadian,
perwatakan, sikap yang membina personaliti orang itu.
Identitas “kami” dan “mereka” ternyata lebih sukar untuk dikonsepsikan tetapi
tentunya berkaitan dengan identitas peribadi. Interaksi seseorang dengan orang lain pula
dapat membentuk identitas sosialnya yang dinamai identitas kolektif berdasarkan garis
dan lunas tertentu seperti etnik, agama, daerah dan wilayah.
Daripada huraian ini, identitas kebangsaan bolehlah disimpulkan sebagai “rasa
kebersamaan individu dalam sesebuah ‘negara’ terhadap siapa mereka itu” dan sebarang
penelitian terhadap identitas kebangsaan harus melibatkan a. pengkategorian (atau
pengecaman/pengenalpastian), b. kedudukan dalam masyarakat dan c. solidaritas91
(kesepunyaan atau kebersamaan kumpulan). Melalui tiga dimensi inilah komponen
subjektif, objektif dan emosional menakrifkan identitas sesebuah “negara” dan biasanya
ketimbang negara-negara lain (biasanya negara jiran92).
Identitas kebangsaan juga dikenal pasti mempuyai dua bentuk: sivil dan etnik.
Smith (1993, 1995, 1999) menghuraikan identitas sivil berdasarkan wilayah, hukum dan
undang-undang serta budaya sivik dan ideologi yang sepunya. Pemahaman etnik pula
melihat “negara” berdasarkan warisan etnik, bahasa dan budaya yang sepunya.
Pemahaman kita identitas kebangsaan merupakan gabungan atau adukan daripada
kedua-dua sudut pandang ini, yang sivik dan yang etnik.
Dengan demikian identitas kebangsaan boleh dilihat dari tiga dimensi, iaitu
identitas kebangsaan sebagai pengkategorian atau pengenalpastian (dimensi objektif
identitas); identitas kebangsaan sebagai swapemahaman (dimensi subjektif identitas);
dan identitas kebangsaan sebagai solidaritas (dimensi emosional identitas). Ketiga-tiga
dimensi ini boleh diserlahkan, ditampilkan dan diperkukuh melalui agama, warisan adat
resam, naratif sejarawi atau mitos, serta bahasa.
Dalam konteks dan kerangka inilah sastra lama dan sastra rakyat wajar
dimanfaatkan bagi membina suatu identitas kebangsaan yang setiap warganya boleh
secara bersama menghargai, menghormati, dan mengenal pasti unsur-unsur yang boleh
kita sama-sama bersolidaritas.
89
national identity n. a sense of a nation as a cohesive whole, as represented by (the
maintenance of) distinctive traditions, culture, linguistic or political features, etc.
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/national-identity?q=national+identity;
diakses pada 20 Oktober 2015.
90
identity crisis n. (a) a period of difficulty in establishing a distinctive character or goal; (b)
Psychol. a period of uncertainty and confusion in which a person's sense of identity becomes
insecure, typically due to a change in their expected aims or role in society.
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/identity-crisis?q=identity+crisis;
diakses
pada 20 Oktober 2015.
91
solidarity noun : a feeling of unity between people who have the same interests, goals, etc.
http://www.merriam-webster.com/dictionary/solidarity; diakses pada 21 Oktober 2015.
92
Sebagai contoh, England dengan Perancis; Malaysia dengan Indonesia dan Singapura.
366
Sastra merupakan alat yang penting dalam proses membina sebuah negara dan
mewujudkan identitas kebangsaan dan sumber asas dan teras kepada identitas ini ialah
legenda, sejarah mitos, cerita rakyat, dan sastra tradisional, baik lisan mahupun tulisan.
Saranan dan Strategi
Bagi sesuatu kelompok atau kumpulan, nationalisme atau ‘kebangsaan’ mereka
banyak mengandalkan sejarah sedia ada dan sejarah inilah yang diolah menjadi suatu
rasa kebersamaan berdasarkan identitas sepunya (a sense of common identity) dan
himpunan memori (collective memories).
Himpunan memori bangsa kita banyak terkandung dalam sastra tradisional dan
sastra rakyat, maka sewajarnyalah kita kembali menelaah dan memanfaatkan khazanah
ini bagi membina dan membentuk jati diri, citra kebangsaan yang boleh kita sama-sama
banggakan.
Braginsky (2004), telah melakarkan suatu tour de force tentang kepelbagaian dan
kekayaan sastra Melayu tradisional dengan mengambil kira karya daripada keseluruhan
spektrum khazanah yang masih ekstan termasuk kesusastraan Melayu lama (old Malay
literature), kesusastraan Islamik awal (early Islamic literature), kesusastraan Melayu
klasikal (classical literature) bentuk prosa mahupun puisi, serta kesusastraan Sufi.
Namun, segala kekayaan ini, segala kepelbagaian ini, segala himpunan memori leluhur
kini terasakan diabaikan dan tidak lagi relevan buat Gen-X, Gen-Y dan anak-anak
milenial yang lebih selesa, akrab dan intim dengan apa yang disajikan di laman Web
dan dibicarakan di media sosial.
Hikayat Iskandar Zulkarnain sudah tidak asing lagi bagi orang Melayu kerana
nama Raja Iskandar ini biasanya dihubungkan dengan nasab raja-raja Melayu ...
“Adapun nama kami dan bangsa kami bukannya daripada bangsa jin dan peri.
Bahawa kami ini, bangsa manusia: asal kami daripada anak cucu Raja Iskandar
Zulkarnain ...” (Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, 1952) dan Khalid Muhammad
Hussain 1971: xiii).
Namun yang anehnya, sebahagian kita, apatah lagi anak-anak muda kita, lebih kenal
akan Alexander the Great daripada Iskandar Zulkarnain mungkin kerana cerita-cerita
Alexander lebih kerap kita temui dalam pelbagai sarana dan media93 manakala Iskandar
Zulkarnain hanya akan kita temui tatkala membuka kitabnya.
Apakah upaya kita untuk menampilkan watak-watak cerita rakyat dan cerita
hikayat ini dengan nilai-nilai murni yang dapat mengukuhkan identitas kebangsaan kita?
Ada dua strategi yang boleh kita terapkan. Yang pertama melalui sistem pendidikan dan
yang satu lagi melalui media baru dan media massa.
Melentur Buluh
Pendidikan memainkan peranan utama dalam bagi pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan sesebuah negara. Selain itu, pendidikan juga menjadi asas pembinaan
negara bangsa dan pengukuhan perpaduan. Melalui pendidikan dan perkongsian
pengalaman dan aspirasi identitas nasional dan perpaduan negara dapat dipupuk.
Hakikat ini tercatat secara eksplisit dalam Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia
2013 – 2025 (Pendidikan Prasekolah hingga Lepas Menengah).
93
Sebagai contoh, watak “Alexander the Great” diceritakan dalam bentuk filem (1956, 1968),
drama TV (1968), dokumentari (2006), filem animasi (2006), filem “Young Alexander the Great”
(2010) dan penceritaan semula dalam versi moden (2014). http://www.imdb.com/
367
Kejayaan Pelan ini nanti akan diukur berdasarkan sejauh mana aspirasi sistem
pendidikan Malaysia yang merangkumi aspek akses, kualiti, ekuiti, perpaduan dan
kecekapan dapat dicapai dan setakat mana setiap murid yang melalui sistem pendidikan
ini mempunyai pengetahuan, kemahiran berfikir, kemahiran memimpin, kemahiran
dwibahasa, etika dan kerohanian serta identitas nasional.
Dalam buku-buku teks bahasa Melayu dan buku-buku sokongan termuat bahanbahan yang dipetik dan diolah daripada cerita rakyat dan sastra tradisional. Bahan-bahan
ini merupakan sebahagian daripada bahan ajar bagi komponen sastra (singkatnya
KOMSAS) dalam mata pelajaran bahasa Melayu di sekolah.
Bahan cerita ini boleh berupa cerita mitos, umpamanya legenda Wan Deramat
dan Puteri Sa’dong di Kelantan, yang menampilkan ciri-ciri kepemimpinan dan
kepahlawanan serta fabel seperti “Sang Kancil dengan Buaya” dengan Kancil
memperlihatkan ciri kebijaksanaan. Cerita Pak Pandir, Pak Belalang, Si Luncai, Lebai
Malang dan Pak Kadok turut juga disajikan sebagai bahan pengajaran dalam bentuk
cerita nasihat dan peringatan (Nik Hassan, 2005: 26 – 46).
Bahan ajar dan buku sokongan untuk pelajar menghayati sastra tradisional dan
sastra rakyat perlu diperbanyak dan dalam bentuk yang diolah atau diceritakan semula
agar mudah difahami pelajar.
Sebagai contoh, dalam Antologi Harga Remaja Tingkatan 4 (Rahman, Sharif &
Talib 2013) dalam Siri Apresiasi KOMSAS, puisi dan prosa tradisional dikumpulkan,
dikupas dan disajikan kepada pelajar dalam bentuk yang mudah dan padat supaya dapat
dicerna dan dihayati dalam jatah waktu pengajaran dan pembelajaran yang terbatas.
Untuk prosa tradisional umpamanya, antologi ini memuatkan kisah “Pelayaran
yang penuh misteri” yang diolah daripada Hikayat Awang Sulung Merah Muda, “Merah
Silu” yang dipetik daripada Hikayat Raja-Raja Pasai, “Hikayat Indera Nata” (kisah
Indera Nata menyelamatkan tujuh orang puteri daripada raksasa) dan “Hikayat Khoja
Maimun” atau dikenali juga dengan Hikayat Bayan Budiman (Winstedt 1966).
Kesemua kisah ini telah disederhanakan daripada teks asal yang lebih panjang,
diolah dan diceritakan semula sesuai dengan tahap pelajar. Nilai-nilai murni yang
ditampilkan dalam KOMSAS ini merupakan nilai yang dapat memupuk keperibadian
mulia. Nilai ini termasuklah bersyukur, kasih sayang, baik hati, taat setia, tabah, berani,
berpegang pada janji (amanah), bertanggungjawab, tolong-menolong, bijak, setia, jujur,
berhemah tinggi dan sopan santun.
Memang jelas sastra tradisional dan sastra rakyat merupakan khazanah yang
sangat kaya dengan cerita pengajaran yang dapat dimanfaatkan untuk pembentukan dan
pemupukan identitas nasional. Yang penting, cerita ini perlu diolah untuk sesuai dengan
selera dan peringkat umur murid dan pelajar.
Bahan ajar yang berkaitan dengan sastra lama dan sastra rakyat ini perlu
dipelbagaikan bentuknya dan bahan bacaan perlulah terperingkat mengikut kesesuaian
pembaca agar terpupuk minat dan meningkat penghayatan sastra dalam kalangan
pelajar.
Media Baru Media Massa
Kita sangat mengenali King Arthur dan arif tentang kekesateriaan sahabatsahabatnya (Knights of the Round Table) serta kita juga tahu akan Beowulf bukan
melalui pembacaan cerita legenda dan puisi epik tetapi melalui filem dan kaca TV.
368
King Arthur dan saterianya telah hampir seratus kali94 difilemkan sama ada
dalam bentuk filem wayang, filem TV, siri TV, buku komik, malah ada juga berbentuk
permainan video dan komputer.
Kita juga mengenal Thor anak kepada Odin daripada mitos Norse bukan kerana
kita orang Iceland atau Skandinavia tapi kerana membacanya dalam buku komik dan
menonton filemnya. Samalah dengan kita mengenali watak wira hasil daripada khayalan
dan daya kreatif DC Comics (Batman, Superman, Batwoman, Catwoman) dan Marvel
Comics (Thor, Avengers, Captain America, Spider-Man, Iron Man, Hulk).
Medialah yang mempopularkan watak-watak ini dan melalui media yang
pelbagai ini jugalah watak-watak daripada sastra lama asing dan daripada cereka Barat
berakar umbi dan membudaya dalam kalangan kita.
Sudah sampai masanya kita juga memanfaatkan media, yang lama dan yang
baru, untuk menceritakan semula kisah-kisah dari sastra lama dan sastra rakyat kita
supaya anak-anak kita mengenali watak-watak dan cerita-cerita dalam budaya kita
sendiri. Banyak cerita dan watak wira yang boleh dipetik dan dimunculkan dalam media
dengan bersumberkan kitab dan hikayat seperti Sejarah Melayu dan Hikayat Hang
Tuah.
Cerita Si Tenggang merupakan cerita yang baik sebagai pengajaran dalam dunia
globalisasi ini yang cenderung untuk mengalpakan kita dan menjadikan kita malu akan
asal usul kita sendiri.
Naratif jejaka yang merantau ke laut kemudian menjadi kaya lalu kembali ke
kampung halaman... Si ibu berkejar tatkala mendapat khabar pulangnya anak
kesayangan. Sayang, ibu dibuat-buatnya tidak kenal... anak disumpah jadi batu... Ini
naratif dan imejan yang sagat kuat dan terkesan di alam Melayu sehinggakan ada
pelbagai versinya. Ada versi Megat Sijobang (Skeat 1984) seperti yang ditegaskan oleh
Maier (2015),
“the tale of Megat Sijobang has been wandering around in the Malay world and beyond,
ever since and before, carried by the wind....”
Watak yang serupa dengan naratif senada turut muncul dalam Nakhoda
Tanggang (Abd. Samad Ahmad, 1955), muncul juga dalam “Pulang Si Tenggang”
dalam Buku Perjalanan Si Tenggang II (1975), dalam “Potret Seorang Penyair Muda
sebagai Si Malin Kundang” Goenawan Mohamad dan puisi Sitor Situmorang “Si Anak
Hilang”.
Memang sudah cerita-cerita daripada sastra rakyat dan sastra tradisional yang
diolah dan disajikan dalam media lain yang luwes dan menarik. Hikayat Merong
Mahawangsa umpamanya telah diadaptasikan daripada teks ke filem (Amir Hafizi &
Yusry 2011) dengan “menggunakan bentuk adaptasi longgar, mengubah dan mengolah
semula sebahagian besar unsur naratif yang terdapat dalam teks asal .... Unsur logik
turut mendominasi filem ini berbanding teks asal yang kaya dengan unsur mitos dan
legenda ... melalui adaptasi pemeliharaan dan pelestarian warisan budaya dapat
disemarakkan dan karya sastra tradisional dapat diangkat kepada media arus perdana.”
(Mohamed Nazreen & Md. Salleh Yaapar 2015).
‘Puteri Gunung Ledang’ juga sudah dibukukan, dipentaskan, dan difilemkan,
namun usaha yang lebih banyak dalam pelbagai wadah dan wahana mutakhir perlu
digiatkan agar khazanah warisan kita yang kaya itu dapat juga kita nikmati dalam
bentuk yang moden dan mudah dihayati.
94
http://www.imdb.com/find?ref_=nv_sr_fn&q=King+Arthur&s=all
369
Khazanah inilah yang boleh menjadi benteng dan pendinding kepada rempuhan
globalisasi yang mencairkan jati diri kita.
Penutup
Apa yang perlu kita lakukan adalah mengingat kembali akan peranan naratif
dalam budaya kita. Naratif inilah yang perlu kita sampaikan, ceritakan berulang-ulang
agar kita tidak lupa akan ‘siapa’ kita sebenarnya dan di mana akar tunjang kita terpacak
kukuh kerana naratif inilah identitas kita. Naratif inilah solidaritas kita.
Maier (2015: 55) berkata,
“... Narratives engage the Malay world, that infinite and ever changing network of words
and sentences of people who claim to speak and write Malay and try to evoke reality and
truth. Narratives flow. They repeat themselves with a difference. They are repeated. And
every performance transform and reaches anew. The wind of language blows their words
through time and place into lines of differentiation. Different names, different tales,
different wordings. On paper, in voice, on screen”.
Naratif turun-temurun, kisah zaman-berzaman perlu terus-menerus diriwayatkan,
dikhabarkan, diadaptasikan, dipentaskan, didramakan, didramatarikan, dideklamasikan,
diceritakan semula, dengan setiap persembahan itu berbisik dan menyantuni telinga dan
mata khalayak melalui pelbagai sarana, saluran dan media, baik yang lama mahupun
yang baru, pada layar perak, pada kaca TV, pada Android, Windows, iOS, pada dada
akhbar dan majalah, naratif ini hendaklah sentiasa diulang-ulangkan, sentiasa
dipersegar, dibugarkan, diberi nafas baru agar kita mengenal siapa kita dan
bersolidaritas dengan impian dan aspirasi leluhur kita di bumi bertuah ini.
Bibliografi
A. Samad Ahmad (ed.), 1986, Sulalatus Salatin: Sejarah Melayu Edisi Pelajar. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Abd. Samad Ahmad, 1955. Nakhoda Tanggang. Kuala Lumpur: the Khee Meng Press.
Abdul Rahman Haji Ismail, 1998. Sejarah Melayu. The Malay Annals. MS Raffles No.
18. Edisi Rumi Baru/New Romanised Edition. Disusun oleh/compiled by
Cheah Boon Keng; dirumikan oleh Abdul Rahman Haji Ismail; hlmn 65 –
313. Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society.
Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, 1952. Sedjarah Melayu menurut Terbitan Abdullah
Ibn Abdulkadir Munsji. Diselenggarakan kembali dan diberi anotasi oleh T.D.
Situmorang dan A. Teeuw, dengan bantuan Amal Hamzah. Djakarta:
Djambatan
Amir Hafizi penulis skrip, Yusry Abdul Halim Pengarah, 2011. filem Hikayat Merong
Mahawangsa Kuala Lumpur: KRU Studios.
Braginsky, V., 2004. The Heritage of traditional Malay literature: A historical survey of
genres, writings and literary views. Singapore: ISEAS.
Ding Choo Ming, 2013. “Tradisi Penyalinan Manuskrip Melayu” dlm Esei
Penghargaan kepada Profesor Emeritus V.I. Braginsky: Mengharungi Laut
Sastra Melayu. Kuala Lumpur: DBP.
Ding Choo Ming, 2015. “Memperkasakan Integrasi Nasional melalui Sastra
Kebangsaan” dalam Dewan Sastra Jilid 45 Ogos 2015, hlmn 8 – 18.
370
Goenawan Mohamad, 1972. Potret Seorang Penjair Muda Sebagai Si Malin Kundang.
Djakarta: Pustaka Jaya.
Haron Daud, 2004. Ulit Mayang: Kumpulan Mantera Melayu. Kuala Lumpur: DBP.
Harun Mat Piah, 1989. Puisi Melayu Tradisional: Satu Pembicaraan Genre dan Fungsi.
Kuala Lumpur: DBP.
Jelani Harun & Murtagh, B. (ed.), 2013. Esei Penghargaan kepada Profesor Emeritus
V.I. Braginsky: Mengharungi Laut Sastra Melayu. Kuala Lumpur: DBP.
Kazancigil, A. dan Dogan, M. 1986. The State in Global Perspective; Comparing
Nations: Concepts, Strategies, Substance. Gower:UNESCO.
Khalid Muhammad Hussain (ed.), 1971. Hikayat Iskandar Zulkarnain. Kuala Lumpur:
DBP.
Maier, H.M.J., 2015. “Tried and tested by the words of my ancestors – the travels of a
poet” dlm Bridging the Past and the Present: A Festschrift Honouring
Muhammad Haji Salleh. Kuala Lumpur: DBP.
Malay Concordance Project http://mcp.anu.edu.au/
Mohamed Nazreen Shahul Hamid dan Md. Salleh Yaapar, “Adaptasi Teks Hikayat
Merong Mahawangsa kepada Filem: Analisis Perbandingan Unsur Naratif”
dalam Melayu: Jurnal Antarabangsa Dunia Melayu Jld. 8: Bil. 2, hlmn 201 –
223, 2015.
Mohd. Taib Osman, 1989. Malay Folk Beliefs: An Integration of Disparate Elements.
Kuala Lumpur: DBP.
Muhammad Haji Salleh, 2006. “Pulang Si Tenggang IV” dalam Maka Bermadahlah
Masa, Kumpulan Puisi Pilihan. Kuala Lumpur: DBP.
Nik Hassan Basri Nik Ab. Kadir, 2005. Citra Komsas. Tanjung Malim: Penerbit
Universiti Pendidikan Sultan Idris.
R.O. Winstedt (ed.), 1966. Hikayat Bayan Budiman, Kuala Lumpur: Oxford University
Press.
Rahman Shaari, Sharif Shaary dan Talib Samat, 2013. Apresiasi KOMSAS: Antologi
Harga Remaja Tingkatan 4. Kuala Lumpur: DBP.
Skeat, W.W., 1984. Malay Magic. Singapore: OUP.
Smith, A.D., 1993. A National Identity. Reno: University of Nevada Press.
Smith, A.D., 1995. Nations and Nationalism in a Global Era. Cambridge: Polity.
Smith, A.D., 1999. Myths and Memories of the Nation. Oxford: OUP.
Tengku Intan Marlina Tengku Mohd Ali, Hashim Awang, Madiamati Mamat@Mustaffa
dan Nur Hamizah Hashim, “From Text to Animation: Adaptation of Bawang
Putih Bawang Merah” dalam Malay Literature Vol. 7: No. 2, 311 – 332,
2014.
Thani, A.M., 1990. Integrasi Sosial dalam Kesusastraan Melayu. Kuala Lumpur: DBP.
371
EKSISTENSI BUDAYA BETANG DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN
DAYAK MAANYAN
Rusma Noortyani
(FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin – Indonesia)
Abstrak: Masyarakat Dayak Maanyan di desa Warukin Kalimantan Selatan memiliki
adat istiadat yang khas. Salah satu adat Dayak Maanyan di desa Warukin, yakni upacara
adat perkawinan yang dinamakan wurung jue. Fungsi upacara adat yang tidak disadari
tetapi akibatnya dapat dirasakan, yaitu berupa penguatan solidaritas dan integrasi sosial.
Keunikan dan kekhasan adat perkawinan yang terbingkai dalam setiap tahapan, baik
ngantane (lamaran), adu pamupuh (pertunangan), maupun piadu (perkawinan)
menggunakan plot maju. Pola alur ketiga tahap perkawinan dimulai dari eksposisi,
klimaks, sampai dengan resolusi. Pola alur tersebut sebagai kearifan lokal Dayak
Maanyan Dallas bingkai budaya betang. Budaya betang saat ini tidak lagi harus tinggal
di rumah betang secara fisik, tetapi dipraktikkan dalam kesantunan tata krama sebagai
kekuatan budaya lokal. Perilaku hidup belom bahadat yang teraktualisasi dalam wujud
belom penyang hinje simpei, yaitu hidup berdampingan, rukun dan damai untuk
kesejahteraan bersama. Hal ini bermakna upacara adat perkawinan sebagai perilaku
hidup yang menjunjung tinggi kejujuran, kebersamaan, dan toleransi serta taat pada
hukum (hukum negara, hukum adat, dan hukum alam).
Kata kunci: budaya betang, upacara adat perkawinan
Pendahuluan
Dayak adalah istilah umum yang pertama kali digunakan oleh antropolog Barat
untuk menunjuk penduduk asli Kalimantan yang tidak beragama Islam (King, 1993
dikutip Klinken, 2006:28). Etnik Dayak umumnya tinggal di daerah pedalaman.
Berdasarkan informasi Andreas Buje, beliau termasuk dalam 101 tokoh Dayak, di
Kalimantan Selatan mereka yang disebut Dayak ini sesungguhnya terdiri dari beragam
kelompok, seperti Dayak Meratus, Dayak Maanyan, Dayak Ngaju, Dayak Bakumpai,
dan Dayak Deyah. Meskipun kebudayaan mereka memiliki banyak kemiripan, setiap
kelompok memiliki bahasa yang berbeda dan umumnya tidak memahami satu sama lain.
Etnik Dayak yang terdiri dari beberapa subsuku yang kemudian menjadi suatu identitas
parsial dan salah satu diantaranya adalah Etnik Dayak Maanyan.
Adat tersebut tercermin dalam kegiatan kepercayaan yang dianut sebagai
komponen utama dalam pengaturan sistem kehidupan bermasyarakat. Selain itu, etnik
ini juga banyak menyimpan kekayaan karya sastra lisan. Sastra lisan Dayak Maanyan
mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakatnya, terutama dalam
pelaksanaan upacara adat. Upacara yang dilakukan menunjukkan bahwa masyarakat
Dayak masih kuat memegang adat istiadat dan warisan leluhur, baik yang bersumber
dari ajaran agama yang diyakini maupun hukum adat. Etnik Dayak juga sangat
menghormati leluhurnya. Rasa hormat ini terungkap dalam segala sikap dan perbuatan
mereka sehari-hari, seperti pantangan melangkahi penyang atau jimat. Mereka takut
tulah atau kualat jika melakukannya. Orang Dayak selalu akan berusaha untuk hidup
bahadat yang artinya menjalankan hukum adat dan menaati hukum pali karena apabila
372
tidak hidup beradat, suara hati akan selalu mengingatkan. Tradisi ini merupakan warisan
leluhur yang telah terbentuk dan menyatu dalam kehidupan mereka.
Etnik Dayak ini mempunyai bahasa dan peradatan sendiri. Etnik ini juga banyak
menyimpan kekayaan karya sastra lisan. Sastra lisan Dayak Maanyan mempunyai
peranan penting dalam kehidupan masyarakatnya, terutama dalam pelaksanaan upacara
adat. Tidak jarang sastra lisan ini, berfungsi sebagai alat pengesahan dalam tata laksana
upacara adat. Upacara dalam masyarakat Dayak Maanyan tidak hanya memiliki fungsi
yang disadari seperti tercermin dari tujuan formal suatu upacara, misalnya upacara
perkawinan wurung jue. Ada fungsi upacara yang tidak disadari tetapi akibatnya dapat
dirasakan, yaitu berupa penguatan solidaritas dan integrasi sosial. Hal ini sesuai dengan
pendapat Northcott (2005:279-280) upacara dalam setiap agama pada dasarnya
difokuskan pada cara-cara untuk memperoleh keselamatan, baik melalui penyembahan,
doa maupun meditasi yang memungkinkan manusia dapat membangun keselarasan
dengan dunia trans-empiris.
Upacara adat perkawinan Dayak Maanyan merupakan upacara yang agung,
luhur, sakral, dan unik. Keunikan tersebut ditandai dengan serangkaian kegiatan, yaitu
tahap ngantane (lamaran), tahap adu pamupuh (pertunangan), dan tahap piadu
(perkawinan). Banyak nilai budaya yang terkandung dalam prosesi aruh adat
perkawinan dan nilai-nilai tersebut belum terungkap secara mendalam melalui kegiatan
penelitian. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan penelitian lebih khusus dan mendalam
sebagai upaya untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap mengenai eksistensi
budaya betang dalam upacara adat perkawinan Dayak Maanyan.
Metode
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif ini sesuai dengan ciri-ciri yang dikemukakan Bogdan dan Biklen
(1998:27:30). Berikut alasan menggunakan penelitian kualitatif. Pertama, aruh adat
perkawinan dipandang bersifat alamiah sebab peneliti tidak melakukan rekayasa
terhadap pelaksanaan tahap-tahap dalam perkawinan Dayak Maanyan. Kedua, aruh adat
perkawinan dipandang sebagai sumber data langsung dan peneliti sebagai human
instrument yang secara hermeneutis dapat memahami narasi dalam aruh adat
perkawinan Dayak Maanyan. Ketiga, pemaparan dan pembahasan hasil analisis data
bersifat deskriptif-eksplanatif. Keempat, penelitian ini lebih mengutamakan proses tanpa
mengabaikan hasil. Kelima, analisis data dilakukan secara induktif.
Data penelitian ini berupa kutipan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, dan
wacana dalam tuturan aktor yang diperoleh dari dialog, mantra, dan nyanyian balian dan
data tersebut dikumpulkan sejak 2011 sampai dengan tahun 2014. Sumber data
penelitian ini adalah (1) peristiwa aruh adat perkawinan dan (2) informan, yakni Camat
Kecamatan Tanta, Ketua RT di Desa Warukin, Kepala Desa Warukin, penghulu adat,
mantir adat, usbah, balian, dan masyarakat. Data penelitian ini dikumpulkan melalui (1)
observasi terlibat dan (2) wawancara mendalam yang dipandu dengan panduan
observasi dan panduan wawancara. Analisis model interaktif dilaksanakan mulai dari
tahap pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penyimpulan data, dan verifikasi
data (Miles dan Huberman, 1984).
373
Analisis
Alur Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Dayak Maanyan
Berdasarkan tiga kegiatan penting upacata adat perkawinan masyarakat Dayak
Maanyan terbagi menjadi tiga bagian, yakni (1) ngantane (lamaran), (2) adu pamupuh
(pertunangan), dan (3) piadu (perkawinan). Setiap tahap memiliki tahapan alur yang
sama, yaitu dimulai dari eksposisi sampai dengan resolusi. Alur upacara adat
menggunakan alur lurus atau alur maju. Terkait dalam penelitian ini dikemukakan hanya
tiga tahapan, yakni eksposisi, klimaks, dan resolusi. Berikut paparan alur aruh adat
perkawinan masyarakat Dayak Maanyan. Alur tahap ngantane terdiri atas beberapa
peristiwa yang digambarkan secara ringkas dalam tabel berikut ini.
Tabel 1 Alur Tahap Ngantane (Lamaran)
a) Pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki dan
perempuan
b) Penyerahan tanda jadi berupa bahalai dan uang
Alur
c) Pembicaraan tahap selanjutnya yakni adu pamupuh
Alur dalam aruh adat perkawinan Dayak Maanyan tahap ngantane, yakni
peristiwa yang disajikan secara eksplisit dalam narasi adalah (a) hingga (c), yaitu
pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan sampai dengan
pembicaraan tahap selanjutnya yakni adu pamupuh. Alur dimulai dengan eksposisi
yakni pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan. Berikut data
pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan.
Kami hawi hingka Kalteng ekat hamen Kami datang dari Kalteng mau lebih
mengenal pulaksana`i hang ina
mengenal keluarga di sini
Puang ekat nyanrengey kisah hingka Tidak hanya mendengar cerita dari
Obby leh
Obby saja
(NAA-ATN/A.1)
Selanjutnya klimaks yakni penyerahan tanda jadi berupa bahalai dan uang.
Berikut data penyerahan tanda jadi berupa bahalai dan uang.
Kami haut menyiapkan bahalai adnri Kami sudah menyiapkan bahalai dan
duit sebagai tanda jari ma pulaksana`i uang sebagai tanda jadi kepada keluarga
hang ina.
di sini.
(NAA-ATN/A.2)
Resolusi pada tahap ngantane adalah pembicaraan tahap selanjutnya yakni adu
pamupuh. Berikut data pembicaraan tahap selanjutnya yakni adu pamupuh.
Berhubung taati haut natarime tana jari Berhubung sekarang sudah diterima
iti, maka kami hamen mulek lagi tanda jadi ini, maka kami akan kembali
mamaner adu pamupuh.
lagi untuk membicarakan adu pamupuh.
(NAA-ATN/A.3)
Dengan adanya eksposisi, klimaks, dan resolusi pada tahap ngantane terlihat
bahwa alur yang digunakan adalah alur maju. Pola alur tahap ngantane (lamaran) dapat
digambarkan berikut.
374
klimaks
resolusi
eksposisi
Gambar 1 Pola Alur Tahap Ngantane (Lamaran)
Pola alur tahap adu pamupuh menggunakan alur maju dimulai dari eksposisi,
klimaks, sampai dengan resolusi. Eksposisi pada tahap adu pamupuh (pertunangan)
adalah pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki. Klimaks pada tahap adu pamupuh
(pertunangan) adalah Usbah kedua mempelai berunding mengisi surat perjanjian
pertunangan. Resolusi pada tahap ngantane (lamaran) adalah penyerahan hantaran dan
penandatangan surat perjanjian pertunangan. Alur tahap adu pamupuh tersebut dapat
digambarkan secara ringkas dalam tabel berikut ini.
Tabel 2 Alur Tahap Adu Pamupuh (Pertunangan)
d) Pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki
dan perempuan
e) Usbah kedua mempelai berunding mengisi
Alur
surat perjanjian pertunangan
f) Penyerahan hantaran dan penandatangan surat
perjanjian pertunangan
Alur dalam aruh adat perkawinan Dayak Maanyan tahap adu pamupuh, yakni
peristiwa yang disajikan secara eksplisit dalam narasi adalah (d) hingga (f), yaitu
pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan sampai dengan
penyerahan hantaran dan penandatangan surat perjanjian pertunangan. Alur dimulai
dengan eksposisi yakni pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan.
Berikut data pertemuan keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan.
Kami mayati nampulus papaneran
Kami ke sini menyambung pembicaraan
ngantane yari.
ngantane yang dulu.
(NAA-ATA/T.4)
Selanjutnya klimaks yakni usbah kedua mempelai berunding mengisi surat
perjanjian pertunangan. Berikut data usbah kedua mempelai berunding mengisi surat
perjanjian pertunangan.
Takam hue dulu surat perjanjian
Kita
isi
dulu
surat perjanjian
tunangan ina sesuai adat.
pertunangan ini sesuai adat.
(NAA-ATA/T.5)
Resolusi pada tahap adu pamupuh adalah penyerahan hantaran dan
penandatangan surat perjanjian pertunangan. Berikut data penyerahan hantaran dan
penandatangan surat perjanjian pertunangan.
Kami sarah bana ina sesuai andri Kami serahkan bana ini sesuai dengan
kesepakatan huang surat perjanjian kesepakatan dalam surat perjanjian
tunangan. Bahalai, duit, seperangkat pertunangan. Bahalai, uang tunai,
pama haut natarime sebagai pemenuhan seperangkat kecantikan, seperangkat
hukum adat.
pakaian sudah diterima sebagai tanda
375
Saksi silakan teken.
Usbah tana tangan.
(NAA-ATA/T.6)
pemenuhan hukum adat.
Saksi silakan tanda tangan.
Usbah tanda tangan.
Dengan adanya eksposisi, klimaks, dan resolusi pada tahap adu pamupuh terlihat
bahwa alur yang digunakan adalah alur maju. Pola alur tahap adu pamupuh
(pertunangan) dapat digambarkan di bawah ini.
klimaks
resolusi
eksposisi
Gambar 2 Pola Alur Tahap Adu Pamupuh (Pertunangan)
Pola alur tahap piadu menggunakan alur maju dimulai dari eksposisi, klimaks,
sampai dengan resolusi. Eksposisi pada tahap piadu (perkawinan) adalah upacara natas
banyang yakni rombongan keluarga calon mempelai laki-laki mendatangi rumah calon
mempelai perempuan. Klimaks pada tahap piadu (perkawinan) adalah upacara
pemenuhan hukum adat. Resolusi pada tahap piadu (perkawinan) adalah upacara
wurung jue, turus tajak, dan miwit pangantin. Alur tahap piadu tersebut dapat
digambarkan secara ringkas dalam tabel berikut ini.
Tabel 3 Alur Tahap Piadu (Perkawinan)
g) upacara natas banyang
h) upacara pemenuhan hukum adat
Alur
i)
upacara wurung jue, turus tajak, dan miwit
pangantin
Alur dalam aruh adat perkawinan Dayak Maanyan tahap piadu, yakni peristiwa
yang disajikan secara eksplisit dalam narasi adalah (g) hingga (i), yaitu upacara natas
banyang, yakni rombongan keluarga calon mempelai laki-laki mendatangi rumah calon
mempelai perempuan sampai dengan upacara wurung jue, turus tajak, dan miwit
pangantin. Alur dimulai dengan eksposisi yaitu upacara natas banyang, yakni
rombongan keluarga calon mempelai laki-laki mendatangi rumah calon mempelai
perempuan. Berikut data upacara natas banyang, yakni rombongan keluarga calon
mempelai laki-laki mendatangi rumah calon mempelai perempuan.
Salam sejahtera.
Salam sejahtera.
Pakai takam katuluh dan selamat
Kita baru saja mendengarkan barang,
kariwe, ari takam haut karengei huni
tetapi kita tidak terlalu mengetahui.
bahwa iri naan banda barang kami
Artinya yang jelas barang itu datang
puang karasa, tapi sa jelas banda
dengan tujuan yang baik. Orang mencari
barang iri hawi ma’eh, ulun ngantara
bekas sawah disini malah sebagai
lasik panasian maina malah sebagai
pertimbangan pembicaraan sampai
pertimbangan pamanderan takam die
nanti.
hampe awe.
(NAA-ATP/R.7)
376
Selanjutnya klimaks yakni upacara pemenuhan hukum adat. Berikut data upacara
pemenuhan hukum adat.
Ari huni takam nyarengei dayak anak
Tadi kita sudah mendengarkan dari
panakuan iru samula eyau ni haut nguut pihak laki-laki dan kita sudah meminum
puang uweng inun apa, balalu hanye
tuak. Kita tadi sudah minum tuak
kala eyau. Jari inun sa luan jari huni,
nangke, nangke wali usbah, mantir,
takam haut nguut tuak nagke, nangke
penghulu, pembakal itu maksudnya. Arti
wali usbah, mantir, penghulu, pembakal dari minum tuak ini sebagai pembuka
iru maksud ni. Arti ni nguut iru takam
pembicaraan hukum adat. Sore ini
pembukaan paner secara hukum adat.
perkawinan Lissa dan Obby.
Kariwe ini paadu Lisa andri Obby.
(NAA-ATP/R.8)
Resolusi pada tahap piadu adalah upacara wurung jue, turus tajak, dan miwit
pangantin. Berikut data upacara wurung jue (NAA-ATP/R.9), data turus tajak (NAAATP/R.10), dan data miwit pangantin (NAA-ATP/R.11).
Na hang iti adalah wurung jue dan haut Ini adalah Wurung Jue dan kita sudah
hampe saat ni takam masuk acara
memasuki acara Jue. Apabila dalam hal
wurung jue. Na huang na iti kami
ini kami mohon bila wadian sudah
mohon bila wadian haut nampaleng
berpaling dan sudah membawa
haut ngeney ma riet mampelai sa upu ri mempelai wanita kesamping mempelai
diye kami mengharap ada hampe
laki-laki ini saya harap jangan menolak
manolak daya ina takam sameh-sameh karena kita bersama-sama melestarikan
malihara adat takam dayak manyaan
adat Dayak Maanyan. Jadi itu saja yang
.jari iru leh na-naharap daya kami
dapat saya sampaikan terima kasih.
tarime kasih.sa jue sapalsu die naan ba Karena ada pasangan (jue) yang palsu
epat bagi kawan wawey ni jari iru leh
nanti ada berempat untuk wanitanya. Itu
sanalatu daya kami terima kasih.
saja yang dapat kami beritahukan terima
(NAA-ATP/R.9)
kasih.
Ina kami sarahkan duit sajumlah Rp
Kami serahkan uang sejumlah Rp
4.600.000,- pakae naun ba rueh sabagai 4.600.000,- untuk kalian berdua sebagai
modal awal barumah tangga.
modal awal berumah tangga.
(NAA-ATP/R.10)
Silahkan na kuta. Hayo na kuta
Silakan dimakan. Ayo dimakan
hidangan.
hidangannya!
(NAA-ATP/R.11)
Dengan adanya eksposisi, klimaks, dan resolusi pada tahap adu pamupuh terlihat
bahwa alur yang digunakan adalah alur maju. Pola alur tahap adu pamupuh
(pertunangan) dapat digambarkan di bawah ini.
klimaks
resolusi
eksposisi
Gambar 3 Pola Alur Tahap Piadu (Perkawinan)
377
Pola alur tahap piadu menggunakan alur maju dimulai dari eksposisi, klimaks, sampai
dengan resolusi. Dengan demikian, tiga alur tahapan dalam aruh perkawinan dapat
digambarkan berikut.
klimaks I
klimaks II
klimaks III
resolusi I
eksposisi I
resolusi II
eksposisi II
ending
eksposisi III
Gambar 4 Pola Alur Upacara Adat Perkawinan Dayak Maanyan
Eksistensi Budaya Betang dalam Upacara Adat Perkawinan Dayak Maanyan
Pola alur tersebut sebagai kearifan lokal Dayak Maanyan Dallas bingkai budaya
betang. Budaya betang saat ini tidak lagi harus tinggal di rumah betang secara fisik,
tetapi dipraktikkan dalam kesantunan tata krama sebagai kekuatan budaya lokal.
Perilaku hidup belom bahadat yang teraktualisasi dalam wujud belom penyang hinje
simpei, yaitu hidup berdampingan, rukun dan damai untuk kesejahteraan bersama. Hal
ini bermakna upacara adat perkawinan sebagai perilaku hidup yang menjunjung tinggi
kejujuran, kebersamaan, dan toleransi serta taat pada hukum (hukum negara, hukum
adat, dan hukum alam).
Penutup
Peristiwa upacara adat perkawinan masyarakat Dayak Maanyan dimulai dari
awal cerita/pembukaan sampai dengan penutup cerita. Ada tiga tahapan dalam upacara
adat perkawinan masyarakat Dayak Maanyan, meliputi tahap ngantane (lamaran), tahap
adu pamupuh (pertunangan), dan tahap piadu (perkawinan). Pelaksanaan tiga tahap
prosesi upacara adat perkawinan masyarakat Dayak Maanyan memerlukan waktu
kurang lebih 4 bulan. Setiap tahap memiliki tahapan alur yang sama, yaitu dimulai dari
eksposisi sampai dengan resolusi. Alur upacara adat menggunakan alur lurus atau alur
maju.
Rekomendasi
1) Kepada pakar bahasa dan sastra disarankan untuk memanfaatkan hasil penelitian ini
sebagai bahan kearifan lokal karena tatanan nilai dan pedoman hidup yang terdapat
dalam aruh dapat dimanfaatkan sebagai bahan pendidikan karakter/kearifan lokal.
2) Kepada budayawan disarankan agar berpartisipasi mempertahankan dan
melestarikan kekayaan budaya etnik Dayak Maanyan ini dengan memperhatikan
secara lebih konkret berbagai aspek yang terkait dengan peelestarian, perlindungan,
dan pewarisan sastra lisan.
378
IDENTITAS TIONGHOA
DALAM SASTRA DIASPORA INDONESIA ONLY A GIRL
KARYA LIAN GOUW
S.E. Peni Adji
(Universitas Sanata Dharma Yogyakarta – Indonesia)
Abstrak: Dalam konsteks sastra dunia, penelitian tentang sastra diaspora telah banyak
dilakukan. Namun, untuk konteks sastra Indonesia penelitian tentang diaspora belumlah
banyak. Sastra diaspora Indonesia merupakan karya yang ditulis oleh orang imigran
Indonesia di negeri lain, yang isinya tentang Indonesia atau pergulatan orang Indonesia
di negeri yang baru. Salah satu karya diaspora itu adalah novel Only a Girl karya Lian
Gouw yang isinya tentang permasalahan orang Indonesia (etnis Tionghoa peranakan)
pada tahun 1932-1952 dengan latar Indonesia.
Identitas ini bukanlah wujud yang absolut, melainkan dinamis, sebuah “proses
menjadi” sebagai hasil konstruksi budaya lama dan sekarang, serta hasil dialektika antar
etnis. Identitas Tionghoa tersebut diklasifikasi menjadi identitas sosial dan budaya,
politik, ekonomi, serta perempuan. Tiga identitas yang pertama sangat berkaitan dengan
kebijakan Belanda terhadap status istimewa warga Tionghoa yang menempatkan
kedudukan mereka di bawah Belanda dan di atas pribumi. Identitas Tionghoa ini
tidaklah tunggal, identitas ini dibentuk oleh perbedaan generasi dan kelas sosial.
Keseluruhan identitas Tionghoa dalam novel Only a Girl bermuara pada sebuah
identitas, yaitu migrasi dan penghindaran masalah rasial. Generasi pertama hingga
ketiga merupakan hasil migrasi orang Tionghoa ke Indonesia; mereka membentuk
budaya baru yang disebut diaspora. Generasi ketiga melakukan migrasi lagi, ke Belanda
dan Amerika. Tokoh utama pada generasi ini memilih bermigrasi ke Amerika karena di
sana lebih sedikit masalah rasial. Hal ini linear dengan pilihan penulis, Lian Gouw,
yang juga bermigrasi ke Amerika pada tahun 1962.
Kata kunci: diaspora, sastra diaspora Indonesia, identitas.
Pendahuluan
Kecenderungan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi telah muncul
sejalan dengan perkembangan peradapan manusia. Baik untuk motif mengembangkan
kekuasaan, mempertahankan hidup, maupun perbudakan; sudah sejak lama manusia
keluar dari lingkungan sosial terdekatnya. Hal inilah yang memunculkan perpindahan
manusia dari satu wilayah ke wilayah lain, baik dalam bentuk perorangan/keluarga
maupun dalam gelombang yang besar.
Perpindahan penduduk inilah yang memunculkan istilah imigran. Cohen (2008)
mencatat bahwa imigrasi manusia telah terjadi sejak zaman Yahudi pada masa
Babilonia, imigrasi Afrika ke Amerika, dan juga imigrasi orang Tionghoa ke Asia
Tenggara dan Eropa.
Para imigran yang telah lama tinggal di daerah baru membentuk budaya baru
yang disebut diaspora. Begitu juga para imigram Tionghoa yang datang ke Indonesia
sejak tahun 1644 (Greift, 1991:3, bandingkan juga dengan Soekisman, 1975:37-38)
membentuk budaya dengan identitas tersendiri yang berbeda dengan orang pribumi,
Belanda, maupun dengan budaya Tionghoa di negeri Tiongkok. Tentu saja identitas ini
379
bukanlah wujud yang absolut, melainkan sebuah “proses menjadi” (bandingkan dengan
Hall, 2003). Identitas diaspora Tionghoa di Indonesia ini jugalah yang tergambar dalam
Novel Only a Girl (selanjutnya ditulis OaG) karya Lian Gouw.
Identitas diaspora tersebut terkonstruksi melalui nilai, sikap, pilihan hidup, dan
orientasi politik dari tokoh tiga generasi Nana dan Ocho (nenek), Caroline, Chip, Ting,
Po Han (anak), serta Jenny, Eddie, dan Els (cucu). Kehidupan tokoh-tokoh tersebut
diletakkan pengarang dalam konteks zaman di Indonesia yang tengah berubah dengan
cepat (1932 – 1953), yaitu masa penjajajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan
masa awal Indonesia merdeka.
Identitas diaspora Tionghoa tersebut menjadi menarik karena terungkap dalam
karya sastra yang ditulis oleh orang Tionghoa WNI yang telah lama bermigrasi di
Amerika, yaitu Lian Gouw. Lian Gouw lahir di Jakarta tahun 1942. Pada tahun 1962 ia
pindah ke Amerika hingga sekarang. Namun bagi Lian Gouw, Indonesia tetaplah
kampung halamannya (Budiman, 2010). Kerinduan akan negeri yang ditinggalkan
sebagai kampung halaman ini – merupakan bentuk tipikal kaum diaspora. Dengan
demikian, terdapat dua lapis diaspora dalam karya ini, yaitu diaspora Tionghoa yang
terdapat dalam novel dan diaspora dalam produksi sastra.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, artikel ini akan
menfokuskan pada konstruksi identitas Tionghoa dalam sastra diaspora Indonesia OaG
karya Lian Gouw.
Tinjauan Pustaka
Tulisan yang mengulas novel OaG belumlah banyak. Hal ini disebabkan karena
novel ini relatif belum lama terbit, yaitu tahun 2009 dalam versi bahasa Inggris, dan
baru tahun 2010 diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia. Selain itu, penulis berasumsi
bahwa novel ini belum banyak diteliti karena posisi karya ini, apakah akan
dklasifikasikan sebagai karya sastra Amerika, ataukah sastra diaspora Indonesia.
Sementara di Indonesia sendiri, kajian sastra diaspora Indonesia belum banyak
dilakukan.
Peneliti menemukan dua tulisan berupa review buku terhadap novel OaG.
Pertama, dilakukan oleh Widjajanti Dharmowijoyo dalam majalah ilmiah Bijdragen tot
de Tall, Land, en Volkenkunde Vol.167, No.1 (2011) hlm. 106-108. Kedua, dilakukan
oleh Dewi Anggraeni dalam jurnal Wacana, Vol. 13 No. 1 (April 2011) hlm, 212-215.
Penelitian terhadap terjemahan novel tersebut telah dilakukan Wijayanti dan
N.K. Mirahayuni yang menfokuskan pada “An Analysis of Translation Strategies for
Non-Equivalence Used in Lian Gouw’s Novel Only A Girl And its Indonesian Version
Only A Girl-Menantang Phoenix” yang dimuat dalam jurnal Parafrase Vol. 14 No.01
Februari 2014 hlm. 31-37.
Sementara itu, telah terdapat beberapa tulisan tentang sastra diaspora Indonesia.
Amir (2009) dengan judul “Membaca Realitas Sosial di Indonesia melalui Sastra
Diaspora” memaknai kumpulan Cerpen Mini Yin Hua. Semula karya itu ditulis dalam
bahasa Mandarin oleh pengarang Tionghoa peranakan yang tersebar di Indonesia.
Cerpen-cerpen tersebut mengangkat permasalahan masyarakat Indonesia di wilayah
negara Indonesia. Kumpulan cerpen ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Wilson Tjandranegara.
Gagasan tentang diaspora juga ditulis oleh Holid (2006) berjudul “Diaspora
Orang Indonesia di Amerika Serikat”. Tulisan ini dibuat untuk memaknai kumpulan
cerita pendek Mantra Maira karya Sofie Dewayani. Cerpen tersebut ditulis dalam
bahasa Indonesia dan bercerita tentang perempuan Indonesia yang tinggal di Amerika
380
Serikat dengan berbagai latar belakang dan alasan. Karya tersebut ditulis oleh Sofie
yang tinggal di Illinois, Amerika Serikat.
Murniati (2014) mengawali kajian ilmiah terhadap sastra diaspora Indonesia
dengan judul “Indonesia Migrant Witing: A Trace on Indonesia Diaspora Narratives”.
Kajian ini secara khusus membahas antologi cerpen yang ditulis oleh orang Indonesia
yang menjadi migran di Singapura berjudul Ketika Pena BMI Menari yang ditulis oleh
Ade Capricodinas dkk.
Landasan Teori
Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah identitas dan diaspora, yang akan
dipaparkan berikut ini.
Identitas
Hall (2003: 223 – 225) menjelaskan dua gagasan penting tentang identitas.
Pertama, identitas dipahami sebagai wujud, dihidupi bersama-sama sebagai kebenaran
tunggal, menyembunyikan hal-hal lain di luar wujud tunggal tersebut. Dalam hal ini
masyarakat mengakui bahwa mereka telah bersama-sama menghidupi identitas tersebut
sebagai pengalaman sejarah. Kedua, identitas dipahami sebagai “proses menjadi”. Hal
ini meliputi masa depan dan juga masa lalu. Identitas terbentuk setelah melampaui
tempat dan waktu, sejarah, maupun transformasi.
Dalam artikel ini, penulis memilih gagasan yang kedua dari Hall. Identitas
dipahami sebagai entitas yang dinamis sebagai hasil konstruksi dari negosiasi akar
budaya lama dan sekarang, serta hasil dari dialektika antar entis, ras, dan bangsa.
Konsep identitas dalam penelitian ini diperkuat oleh gagasan Mercer bahwa
identitas seringkali menjadi isu krusial ketika sudah berada di ambang krisis, ketika
identitas yang diasumsikan pasti dan stabil -- digantikan oleh keraguan dan
ketidakpastian (dalam Wedon, 2004: 1). Kondisi ketidakpastian selalu membuat orang
berusaha mencari identitas baru. Dan sebenarnya, ketidakpastian ini disebabkan oleh
beragamnya unsur pembentuk identitas yang tidak semata berasal dari satu aspek
budaya; terutama di era poskolonial dan global ketika orang-orang berbeda ras dan etnik
saling berhubungan.
Lebih jauh Wedon menegaskan bahwa identitas dibentuk secara sosial, kultural,
dan juga institusional (2014:6). Secara sosial, konstruksi identitas dipengaruhi oleh
relasi antar-manusia. Secara kultural, konstruksi identitas berkaitan dengan akar dan
dinamika budaya. Secara institusional,
identitas seringkali dikonstruksi dan
diformalisasi oleh institusi tertentu seperti negara yang memberikan atribut (identitas)
penciri pada warga negaranya.
Diaspora
Diaspora secara umum merujuk pada kehidupan masyarakat di tanah asing yang
jauh dari tanah asalnya. Secara kultural mereka masih memiliki ikatan dengan identitas
leluhur di tanah asalnya. Biasanya diaspora dikaitkan dengan peritiwa penjajahan,
penindasan, dan perbudakan sehingga menyebabkan trauma kolektif pada masyarakat.
Hal ini menyebabkan mereka rindu untuk pulang ke kampung halaman. Namun, hal itu
tidak bisa dilakukan karena harus hidup dalam pembuangan (Cohen, 2008: 2).
Judith M. Brown (via Aji, 2014: 50-51) mengungkapkan bahwa fenomena
diaspora yang terjadi selama dua abad ini, telah menyebabkan perpindahan penduduk
yang kemudian mengubah wajah bumi; di antaranya, perpindahan para budak dari
Afrika yang melintasi Atlantik, para pedagang dan pekerja dari Tionghoa, orang Eropa
381
yang berpindah ke Amerika Utara, Afrika Selatan, Australia dan Selandia Baru, dan
juga orang-orang India yang menyebar ke segala penjuru dunia dalam jumlah yang
cukup banyak.
Diaspora Tionghoa di Indonesia dicatat oleh Wang Gungwu via Cohen (2008:
85-86) sebagai berikut.
The founder of the Dutch colony in Batavia, Jon Pieterson Coen, enthused: ‘There are no
people who can serve us better then the Chinese’. Coen was so excessive in his zeal to
aquire Chinese immigrants that he sent expeditionary parties to kidnap some on the
mainland while blockading Manila and Macao so that the junks would be diverted to
Batavia. However, the Chinese traders had ambivalent attitudes both to colonial powers
and to their places of settlement.
Sementara itu, Greift (1991:1) dan Soekisman (1975:21) mencatat bahwa
migrasi Belanda dan Tionghoa ke Indonesia disebabkan oleh letak geografi yang
strategis dan kekayaan alam Indonesia yang melimpah sehingga menjadi tujuan para
pedagang luar negeri. Hampir empat ratus tahun yang silam Belanda berangsur-angsur
menahklukan kepulauan ini, dan pada saat yang bersamaan suasana di negeri Tiongkok
sedang memburuk. Hal ini menyebabkan orang Tionghoa berdatangan ke Indonesia.
Kemudian, Belanda (Soekisman, 1975:24-25, 38, Jahya, 1991:xi, Vasanty,
1988: 356-357) mengusai Indonesia secara politik dan membuat peraturan untuk
membagi penduduk di daerah jajahannya berdasarkan ras, sebagai berikut; (1) golongan
paling atas adalah bangsa kulit putih, mereka mendapat hak dan perlakuan yang paling
menguntungkan; (2) golongan kedua adalah bangsa kulit berwarna (keturunan
Tionghoa, Arab, India); (3) bangsa pribumi (inderlanders) didudukkan di kelas yang
paling bawah. Pembagian masyarakat secara hukum dan politik tersebut sangat
dipengaruhi dan mempengaruhi konstruksi identitas Tionghoa di Indonesia.
Identitas Tionghoa dalam Novel Only A Girl Karya Lian Gouw
Pada bagian ini akan dipaparkan identitas Tionghoa sebagai diaspora di
Indonesia yang meliputi identitas sosial dan budaya, politik, ekonomi, dan perempuan.
Sebelum masuk pada pembahasan tersebut, akan dipaparkan terlebih dahulu garis besar
alur novel OaG.
Cerita diawali dengan subjudul “Bandung, Indonesia/Hindia Belanda, 1932”.
Dengan sudut pandang diaan, langsung digambarkan bahwa Caroline ingin
menyampaikan keinginannya menikah kepada keluarga besarnya yang merupakan
keluarga Tionghoa. Keluarganya merupakan keluarga terpandang dan mempunyai posisi
yang baik di tengah kolonial Belanda. Ayahnya mendapat perlindungan Walikota
Bandung di awal tahun 1900-an saat membantu aksi pemberangusan sebuah sarang
utama opium. Ayahnya tertembak mati dalam suatu penggerebekan.Wali Kota Bandung
tidak hanya menjamin pendidikan saudara laki-lakinya Chip dan Ting, tetapi juga
memastikan tersedianya jabatan bagi kedua kakaknya di jajaran pemerintahan kolonial.
Kakak sulung Chip telah memindahkan keluarganya di pemukiman ekslusif, dan
memastikan Caroline mendapat kesempatann untuk mengecap pendidikan Belanda.
Keluarga menolak rencana Caroline menikah dengan Po Han karena pekerjaan
Po Han hanya sebagai penjual mesin ketik yang secara ekonomi tidak menjanjikan.
Selain itu, Ocho, nenek Po Han tidak mau melamar secara resmi. Namun, Calorine
bersikukuh karena dia telah berusia 31 tahun sehingga bisa menikah tanpa izin orang
tua. Bagi Caroline, Po Han mirip pria di dalam buku-buku roman Belanda, dia
melamarnya langsung dan bukan mendatangi keluarganya.
382
Ocho, yang merawat Po Han sejak kecil karena orang tuanya telah lama
meninggal akibat wabah korela, tidak menyetujui pernikahan cucunya karena Caroline
yang dianggapnya sudah bukan orang Tionghoa lagi. Caroline dinilainya telah menjadi
Belanda dan menghianati leluhurnya.
Caroline dan Po Han menikah di Kantor Cacatan Sipil tanpa persetujuan dan
kehadiran orang tua. Setelah menikah, mereka tinggal di rumah nenek Ocho. Di sinilah
konflik Caroline dan Ocho semakin meningkat, mulai memasak di dapur (Caroline
terbiasa dengan gaya Belanda, Ocho menyukai adat Tionghoa), menata rumah
(Caroline menginginkan kerapihan, sementara Ocho selalu berantakan dengan debu
rokok bertebaran), berbahasa (Caroline terbiasa berbahasa Belanda, Ocho menggunakan
bahasa Melayu).
Memasuki tahun 1933 dunia mengalami depresi ekonomi. Po Han dikeluarkan
dari pekerjaannya; dia mencari pekerjaan serabutan. Hal ini berdampak pada
pengelolaan rumah tangga mereka. Sementara itu, Ocho tidak menginginkan cucu dari
Caroline, dia meggunakan dukun pribumi untuk menggugurkan janin dalam kandungan
Caroline. Berkat bantuan Nana (ibu Caroline) yang datang tepat waktu, akhirnya Jenny,
bayi perempuan itu, dapat lahir dengan selamat. Kemudian, karena dianggap
membahayakan Caroline dan Jenny, Po Han memindahkan Ocho ke Rumah Pensiun
Waringin.
Masalah ekonomi menyebabkan rumah tangga Caroline - Po Han goyah.
Caroline dan Jenny pindah ke rumah Nana. Beberapa saat kemudian Caroline
menggugat cerai Po Han dan secara hukum Belanda, ia harus membayar sejumlah uang
tiap bulan kepada Caroline.
Caroline kembali bekerja di kantor pemerintah kolonial Belanda. Sementara itu,
Po Han berhasil memenangkan lomba foto nasional yang menyebabkan dia mendapat
kesempatan belajar di Belanda.
Kondisi dunia bergolak. Jerman mengalahkan Belanda. Sementara Jepang
berpihak kepada Jerman. Hal itu berdampak hingga di Indonesia. Jepang menjadikan
Hindia Belanda ke dalam Lingkaran Kemakmuran Bersama Asia Timur. Hal ini
menyebabkan Chip, anak sulung Nana dan tulang punggung keluarga, ditawan Jepang
dan tidak pernah kembali. Kondisi ini berdampak pada keluarga besar Nana.
Dengan ditutupnya pemerintahan Belanda dan tidak ada gaji yang masuk, Ting dan
Caroline mulai berdagang di pasar gelap. Toko tembakau yang dibuat oleh Ting dan Chip
sebagai kedok kegiatan bawah tanah mereka, kini juga menjual pakaian dan makanan.
Caroline menerima jahitan. Bersama Eddie dan Ting, dia terlibat aktif dalam gerakan
bawah tanah Belanda.
Dengan ditutupnya sekolah Belanda, Els mengambil alih tanggung jawab
pendidikan Jenny. Dia mengajar Jenny tiap hari agar pelajarannya tidak tertinggal. Els
telah menerima ijazah guru tepat sebelum pecah perang, tetapi belum pernah bekerja di
sekolah. Keluarganya tidak setuju dia mengajar di sekolah pribumi dan sekarang belum
ada sekolah Belanda yang dibuka kembali. (Gouw, 2009:130)
Kondisi dunia terus berubah, Amerika mengebom Jepang. Terdapat perubahan
yang cepat di Indonesia dan keluarga Nana. Belanda berencana menata ulang
pemerintahan kolonial di bagian selatan kota Bandung. Untuk itu mereka perlu
mengetahui apakah warga Tionghoa mendukung rencana tersebut. Untuk itu, gerakan
bawah tanah Belanda menugaskan Caroline untuk memantau. Ketegangan kecil sering
terjadi antara ia dan Jenny. Sementara itu, Eddie (sepupu Jenny) menikah dengan Peggy
Rose (janda Belanda) dan Els menikah dengan orang Belanda. Eddie dan Els akhirnya
pindah ke negeri Belanda. Kondisi ini semakin membuat Nana bersedih karena
kehilangan.
383
Di usianya yang sudah tua, Nana meninggal dunia karena sakit paru-paru.
Sebelum meninggal ia telah memberi pesan kepada Ting untuk membongkar meja
sembahyang. “Mama bermaksud menghentikan semua upacara itu”. Keengganan
Caroline mengikuti tradisi telah menyebabkan kekhawatiran dan kepedihan pada Nana,
tetapi dengan caranya sendiri, Nana telah mendukung perjuangannya untuk mandiri.
(Gouw, 2009: 366-367)
Jenny dibantu oleh guru Bahasa Inggrisnya yang dari Amerika, mendapat
kemudahan beasiswa untuk melanjutkan kuliah Kedokteran Hewan di Amerika. Jenny
tidak memilih mencapai cita-citanya di negeri Belenda, tetapi di Amerika. Hal ini
disebabkan oleh kenyataan bahwa di Belanda pun, Eddie sepupunya, terus berjuang
melawan diskriminasi ras.
Identitas Sosial dan Budaya
Sama dengan pendapat Greift (1991:1) dan Soekisman (1975:21) teks OaG
menggambarkan kedudukan Tionghoa secara legal, sebagai berikut.
Pada tahun 1619 Jan Pieter Zoon Coen memberikan status istimewa kepada warga
China di koloni, menempatkan kedudukan mereka di bawah orang Belanda tetapi di atas
pribumi. (Gouw, 2009:8)
Sebelum perang, pemerintah Belanda mengeluarkan surat dispensasi persamaan
derajat untuk orang China dengan biaya satu setengah gulden. Surat dispensasi itu
memberikan hak kepada pemegangnya sehingga bisa masuk sekolah, kelompok, dan
lembaga Belanda. (Gouw, 2009: 230)
Tentu saja, kedudukan ini sangat berpengaruh terhadap identitas sosial, budaya,
bahkan politik dan ekonomi.
Kedudukan yang lebih tinggi di banding pribumi, bagi keluarga Caroline tidak
dinikmati karena membeli, namun karena “hadiah’ walikota, orang Belanda yang sangat
berpegaruh di Bandung. Hadiah ini juga meliputi kemudahan untuk memperoleh
pekerjaan di pemerintahan dan pendidikan di sekolah Belanda.
Dengan demikian, secara sosial dan budaya keluarga Caroline berorientasi ke
Belanda, bukan ke Tionghoa, apalagi pribumi. Orientasi kepada Belanda ini terlihat
melalui hal-hal berikut ini.
Pada generasi kedua (anak), nama panggilan tokoh utama menggunakan nama
Belanda, yaitu “Caroline” dan pada generasi ketiga (cucu), nama panggilan juga
menggunakan nama Belanda, yaitu “Jenny”. Walaupun sebenarnya mereka mempunyai
nama Tionghoa, yaitu Ong Kway Lien dan Lee Siu Yin.
Keluarga besar Caroline menyekolahkannya di sekolah Belanda, dengan harapan
yang disampaikan Ching si kakak sulung, kepala keluarga setelah ayah meninggal,
“Kami mengirimmu ke sekolah Belanda agar kamu menjadi asset yang bernilai bagi
rumah tangga lelaki terhormat…. Pendidikanmu akan meningkatkan martabatmu
(Gouw, 2009: 4-5). Sekolah Belanda juga diterapkan untuk Jenny, anak Caroline.
Menurutnya, sekolah Belanda mempunyai standar yang jauh lebih tinggi dibanding
sekolah untuk pribumi dan orang Tionghoa. Bahkan Els pun, yang merupakan seorang
guru diharuskan mengajar di sekolah Belanda. “Mengapa menyusahkan diri bekerja di
sekolah negeri di mana para siswanya merupakan campuran antara pribumi dan
masyarakat China kelas bawah?” (Gouw, 2009: 147)
Internalisasi penggunaan bahasa dan gaya hidup Belanda juga terlihat dari apa
yang dibaca. Digambarkan bahwa menjelang tidur, Eddie (sepupu Jenny) selalu
membacakan cerita untuk Jenny. Keluarga itu meniru kebiasaan membaca orang
384
Belanda. Setelah bertahun-tahun, Chip dan Ting telah memenuhi rak-rak buku tinggi di
ruang perpustakaan mereka (Gouw, 2009: 89).
Caroline menikah secara Belanda di gereja dengan wali William Wachter. Dia
menentang ketidaksetujuan keluarganya yang sebenarnya lebih disebabkan oleh alasan
ekononi. Po Han, calon suami Caroline, tidak mempunyai pekerjaan yang menjanjikan,
dia hanya penjual mesin ketik. Calorine berdasarkan hukum Belanda bisa menikah tanpa
izin orang tua karena dia telah berusia 31. Imajinasi daya tarik Caroline terhadap Po
Han pun dipengaruhi buku-buku roman Belanda, yaitu dia melamarnya langsung dan
bukan mendatangi keluarganya.
Setelah menikah, Caroline tinggal di rumah Ocho, nenek Po Han. Di sini tampak,
sikap Caroline terhadap bahasa Melayu. “Caroline merasa risau berada di dekat Ocho.
Apakah itu karena bahasa Melayu yang Ocho pakai? Di rumah Nana, hanya para
pembantu yang biasa menggunakan bahasa Melayu, sementara yang lain menggunakan
bahasa Belanda (Gouw, 2009: 14). Selain itu, Caroline juga tidak menguasai bahasa
Tionghoa. Berbeda dengan warga Tionghoa pinggiran Bandung yang ia temui, saat akan
mengembalikan anak bayi yang ditemukannya.
Dari sini terlihat bahwa orientasi penggunaan bahasa pada warga Tionghoa
berbeda, untuk kelas atas, kelas yang menikmati status sebagai setara (satu level di
bawah) dengan Belanda, mereka menggunakan bahasa Belanda. Sementara Tionghoa
kelas bawah, kelas yang tidak mampu membeli surat dispensasi persamaan derajat,
menggunakan bahawa Melayu dan Tionghoa.
Orientasi sosial dan budaya kepada Belanda ini, ternyata berbeda antar generasi.
Nana, ibu Caroline, yang termasuk kelas atas Tionghoa mempunyai ambivalensi sikap.
Secara ekonomi dia menikmati status Ching, Ting, dan Caroline yang bekerja dan
mendapat gaji dari pemerintahan Belanda. Dia juga bisa menerima gaya hidup, bahasa,
dan pendidikan Belanda yang dibawa anak-anak di rumah besarnya. Namun, secara
keyakinan beragama dia masih mempertahankan budaya Tionghoa. Begitu juga dia
tidak setuju dengan pernikahan Caroline yang meninggalkan budaya Tionghoa.
Dia (Nana) menyulut sejumlah dupa dan memberikannya kepada Caroline sambil berkata,
“Sini beri hormat kepada ayahmu. Aku yakin hal seperti ini tidak ada dalam pikirannya
ketika dia menerima menjadi Belanda. (Gouw, 2009:16)
Bahkan Nana bimbang akan keputusan keluarga untuk menjadi setara dengan orang
Belanda dan meninggalkan tradisi Tionghoa.
Apakah ini hukuman baginya karena mengizinkan pengaruh Belanda memasuki rumah
keluarganya? Apakah para dewa akan menghukum Caroline karena berpendapat bahwa
wanita akan lebih baik jika tidak bergantung pada keluarga atau pada suaminya. (Gouw,
2009:46)
Orang yang segenerasi dengan Nana adalah Ocho. Dia menolak gaya dan
identitas Belanda dalam diri dan keluarganya. Dia mempertahankan tradisi Tionghoa
dalam keluarganya: ritual agama, mengolah masakan, dan perkawinan. Oleh karena itu,
dia sangat menolak calon istri cucunya yang dianggapnya sudah bukan Tionghoa lagi.
Dia tidak mau melamarkan Caroline kepada keluarganya, untuk Po Han. Pandangan
Ocho terhadap keluarga besar Caroline sangatlah rendah “Dalam usaha mereka meniru
orang Belanda, keluarga Caroline menjadi tidak malu. Bagaimana bisa mereka
membiarkan Caroline meninggalkan rumah dan menikah tanpa izin? Bahkan gadisgadis di rumah pelacuran pun tidak pergi begitu saja tanpa didahului acara saling
mengunjungi antara orang tua yang mewakili pihak laki-laki dan memiliki rumah
bordil. Kelakukan Caroline bahkan lebih buruk dibanding pelacur atau pun gundik.
(Gouw, 2009:17)
385
Generasi ketiga Eddie dan Els, cucu Nana, menikah dengan orang Belanda
dengan tradisi Belanda tanpa restu dan kehadirannya. Bahkan, ketika Indonesia merdeka
mereka memilih pindah ke negeri Belanda. Hal ini sungguh menyedihkan hati Nana.
Setelah Indonesia merdeka, pembauran antara orang Tionghoa dan pribumi
dengan cara kawin campur sangat dianjurkan untuk memperkuat Negara Indonesia baru.
Namun, Caroline tidak mendukung anjuran itu. Dia sangat berharap Jenny menikah
dengan Ching Lam, anak keluarga Tionghoa terpandang di kota Bandung. Dia
membayangkan Nana pun akan senang memiliki satu cucu yang pernikahannya direstui
(Gouw, 2009: 327).
Setelah Indonesia merdeka dan Belanda tidak lagi berkuasa di Indonesia,
Caroline tetap melanjutkan keberlanjutan keluarga Tionghoanya. Setelah Nana
meninggal, ia dan Ting, berdagang dan menjahit, ia tetap bertanggung jawab
menghidupi Sue dan Emma. “Caroline menarik napas. Pengaruh Barat tidak bisa
menghapuskan perasaan yang telah berurat akar akan tanggung jawabnya terhadap
keluarga (Gouw, 2009: 367).
Identitas Politik
Paparan tentang identitas politik dalam artikel ini difokuskan pada orientasi
orang Tionghoa terhadap pemerintahan yang resmi di wilayah Hindia Belanda. Generasi
kedua Tionghoa, yaitu Ching, Ting, Caroline, bahkan generasi ketiga Eddie; berpihak
kepada Belanda. Mereka sangat berharap Belanda tetap memerintah. Mereka tidak
menyukai kemerdekaan Indonesia. Hal ini tergambar dari sikap Caroline yang
menyebutkan bahwa Sukarno, insinyur pribumi muda, yang sangat nasionalis adalah
pembuat onar. Melepaskan Soekarno (dari tawanan) berarti mengizinkannya menyulut
lebih banyak kekacauan (Gouw, 2009: 10). Begitu juga tampak dari sikap Ching,
“Radio Hilversum mengumumkan bahwa Belanda telah menolak permintaan kaum
pribumi yang menuntut kemerdekaan…, sedangkan Soekarno terus mengacau di sini
dan orang Jepang akan menyusup masuk.” (Gouw, 2009: 100)
Ketika Jepang mengalahkan Belanda di Hindia Belanda, Ching, Ting, dan
Caroline terlibat dalam gerakan bawah tanah Belanda. Bahkan digambarkan cukup
panjang Ching membantu orang Belanda yang ditawan Jepang. Karena itu, Ching pun
ditangkap Jepang dan tidak pernah kembali.
Berbeda dengan pilihan politik anak dan cucunya, Nana tidak begitu setuju
dengan Belanda. Bagi dia hadiah status sosial Belanda tidak seimbang dengan
perngorbanan yang ia berikan. Apalagi setelah perang, Belanda tidak lagi memberikan
perlindungan, tetapi justru kemalangan.
Setelah perang, rumahnya dipakai untuk tempat tinggal sementara bagi orang
Belanda yang ditawan Jepang, Nana sangat enggan. Dia enggan merawat orang asing
yang membuat Chip harus mengorbankan nyawanya (Gouw, 2009:144). Bahkan dengan
tegas ia menegur Caroline, “Kapan kamu akan melihat bahwa tidak semua orang
Belanda merupakan titah suci? (Gouw, 2009:217). Ketika kekuasaan belanda semakin
melemah di Indonesia, ia memanjatkan doa kepada leluhur dengan tradisi Tionghoa,
sebagai berikut.
Nana menyalakan seikat besar dupa di meja sembahyang di ruang makan lalu
memberikan setengahnya kepada Eddie. Sambil berdiri di samping Eddie, dia memohon
pada para roh agar menjaga cucunya (Gouw, 2009: 105).
Nana menutupi kuncup bunga mawar dengan cangkang telur kosong untuk melindunginya
dari serangga. Dia berharap seandainya bisa semudah itu melindungi keluarganya dari
bahaya. Dia tahu bahwa para leluhur dan para dewa tidak akan mampu melindungi
386
mereka sampai perang usai. Nana selalu menganggap perang adalah urusan laki-laki,
tetapi perang ini tidak saja melibatkan Caroline, tetapi juga Jenny. (Gouw, 2009: 123)
Nana berjalan menuju meja sembahyang. Dia menyalakan seikat dupa dan
mengangkatnya tinggi-tinggi sambil berdoa. “Belanda meminta terlalu banyak,” (Gouw,
2009: 131)
Selain itu, Nana juga tidak berorientasi kepada Indonesia. Baginya tidak
mungkin pribumi yang merupakan para petani dan pembantu itu bisa menjalankan
pemerintahan (Gouw, 2009:144). Dengan demikian, dalam kondisi krisis politik di
Indonesia, Nana mengorientasikan dirinya pada Tionghoa.
Pada generasi ketiga, yaitu Eddie, Els, dan Jenny, digambarkan bahwa mereka
sama sekali tidak berorientasi kepada Indonesia. Eddie menjadi tentara KNIL, Els
menjadi guru di sekolah Belanda. Dua orang generasi ketiga ini akhirnya memilih
pindah menjadi warga Negara Belanda setelah Indonesia merdeka. Namun, Jenny tidak
memilih Belanda, ia memilih sekolah dan melanjutkan hidupnya di Amerika. Ia
meninggalkan ibunya, yang secara politik dan budaya berorientasi kepada Belanda, ia
meninggalkan kekasihnya Lam yang keluarganya berorientasi kepada Tionghoa. Ia
memilih Amerika karena di sana tidak ada permasalahan rasial dibanding Belanda.
Identitas Ekonomi
Status legal orang Tionghoa yang ada di bawah Belanda dan di atas pribumi,
berdampak pada identitas ekonomi orang Tionghoa yang tergambar dalam OaG.
Keluarga besar Nana, sangat mapan secara ekonomi karena penghasilan besar
diperoleh Cing dan Ting yang bekerja di pemerintah Belanda. Mereka mempunyai
empat pembantu pribumi. Status ekonomi yang tinggi ini menyebabkan mereka juga
memandang Po Han, calon suami Caroline dengan sudut pandang ekonomi. Pekerjaan
menjadi penjual mesin ketik, tidak menjanjikan untuk membina rumah tangga yang
nyaman. Bahkan, setelah Caroline bersikeras menikah dengan Po Han, ia berubah
menjadi bersikap materialis.
Dia bodoh telah termakan impian-impian Po Han. Hidup itu tergantung pada hal-hal
penting seperti pekerjaan. Seharusnya mereka membebaskan diri dari kebiasaan kuno
untuk hidup nyaman dan terjamin, bukannya untuk bersusah payah berjuang dari hari ke
hari, bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok saja (Gouw, 2009: 95)
Caroline mulai terbuai dalam impian Po Han, tetapi dengan cepat dia mengembalikan
kesadarannya. Dia teringat tumpukan ragihan yang belum dibayar dan rekening bank yang
kosong. Po Han telah merayunya untuk menikah dengan cerita mengenai kebahagiaan
yang tidak berlandaskan kepastian kondisi finansial. (Gouw, 2009:87)
Dan akhirnya, pernikahan Caroline dan Po Han kandas karena permasalahan ekonomi.
Suami Ocho, nenek Po Han juga merupakan kelas atas Tionghoa. Kakek Po Han
merupakan raja gula, namun karena istrinya tidak melahirkan anak laki-laki, Ocho di
usir dari rumah. Namun demikian, meskipun Ocho digambarkan sebagai kelas bawah
Tionghoa, ia tetap mempunyai pembantu pribumi.
Dengan demikian, dalam teks OaG, identitas ekonomi Tionghoa digambarkan
lebih tinggi dibanding pribumi. Bahkan dalam kasus keluarga Nana, mereka setara
dengan Belanda. Sementara orang pribumi hanya digambarkan sebagai pembantu rumah
tangga, petani, dan dukun.
Identitas Perempuan
Pada generasi pertama digambarkan bahwa istri (yaitu Ocho) tidak bisa
mempunyai anak laki-laki, disingkirkan dalam keluarga. Suami dengan mudah
387
menceraikan, dan menikahi wanita lain yang bisa memberikan anak laki-laki. Pada
generasi ini ada juga Nana yang mempunyai anak sulung dan keduanya adalah laki-laki.
Ia dianggap perempuan ideal.
Salah satu penyebab Ocho tidak setuju cucunya menikah dengan dengan
Caroline adalah dugaannya bahwa Caroline tidak bisa masak dan megurus rumah
tangga. Dengan demikian, pada masa itu perempuan yang dianggap ideal adalah yang
bisa melahirkan anak laki-laki dan bisa mengurus rumah tangga.
Pada generasi berikutnya, digambarkan bahwa Po Han bisa menerima kelahiran
putrinya, Jenny yang perempuan. Ia sangat bahagia dan tidak peduli dengan jenis
kelamin anaknya. Pada generasi ini, Caroline sudah memiliki kebebasan untuk menikah
dengan caranya. Ia bisa tidak setuju dengan keluarganya. Ia bekerja di luar rumah
sehingga punya kemandirian secara ekonomi. Ketika Po Han tidak lagi memberikan
kecukupan ekonomi, dia mengajukan cerai di pengadilan dan menuntut sejumlah uang
kepada Po Han utuk menghidupi Jenny. Pada generasi ini ada juga Els yang bekerja
sebagi guru, juga Emma yang tetap berlindung dan mengabdikan diri untuk mengurus
keluarga besarnya.
Pada generasi cucu, Jenny lebih memiliki kebebasan. Ia anak yang pandai di
sekolahnya. Penampilannya tomboy dan dalam beberapa hal bisa melakukan pekerjaan
lelaki. Karena itu, ia sering berselisih dengan ibunya yang sangat menginginkan dia
bersifat feminine. Dia mempunyai kebebasan untuk menentukan cita-cita dan masa
depannya. Ia dengan ringan meninggalkan Lam yang keluarganya sangat mapan dan
terpandang dari segi ekonomi dan sosial, serta harapan pernikahan yang ideal secara
Tionghoa. Ia dengan mudah meraih cita-citanya di Amerika.
Penutup
Identitas Tionghoa dalam novel OaG diklasifikasi menjadi identitas sosial dan
budaya, politik, ekonomi, dan perempuan. Tiga identitas yang pertama sangat berkaitan
dengan kebijakan Belanda terhadap status istimewa warga Tionghoa yang menempatkan
kedudukan mereka di bawah Belanda dan di atas pribumi. Identitas ini bukanlah wujud
yang absolut, melainkan dinamis, sebuah “proses menjadi” sebagai hasil konstruksi
budaya lama dan sekarang, serta hasil dialektika antar etnis.
Identitas sosial Tionghoa memperlihatkan bahwa tokoh utama pada generasi
kedua dan ketiga mempunyai nama panggilan Belanda, meski mereka mempunyai nama
Tionghoa. Mereka memiliki keberanian untuk menentukan perkawinan secara Belanda.
Mereka menggunakan bahasa Belanda dan merasa aneh dan enggan menggunakan
bahasa Melayu. Setelah Indonesia merdeka, mereka kurang setuju dengan perkawinan
campur Tionghoa dan pribumi. Mereka lebih memilih pernikahan sesama etnis
Tionghoa. Sementara dari generasi pertama, mereka masih mempertahankan tradisi
Tionghoa: menyembah leluhur, mengolah masakan, serta mengidelakan perkawinan
sesama Tionghoa.
Identitas politik Tionghoa memperlihatkan bahwa generasi kedua dan ketiga
berorientasi kepada Belanda. Mereka bahkan ikut perjuangan bawah tanah Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, generasi ketiga meninggalkan Indonesia untuk tinggal di
Belanda dan Amerika. Mereka cenderung menghindari permasalahan rasial.
Generasi pertama dari kelas atas cenderung ambivalen mensikapi kecenderungan
politik. Mereka lebih cenderung bersikap bahwa orang Tionghoa tidak berpihak ke
Belanda maupun pribumi. Dia menganggap pilihan politik untuk berorientasi kepada
Belanda memakan banyak korban. Sementara generasi pertama dari kelas bawah tidak
digambarkan identitas politik mereka.
388
Identitas ekonomi Tionghoa digambarkan lebih tinggi dan mapan dibanding
pribumi. Kelas bawah Tionghoa pun digambarkan mempunyai pembantu pribumi.
Identitas perempuan Tionghoa memperlihatkan bahwa generasi tua mengalami
subordinasi karena tidak bisa melahirkan anak laki-laki. Generasi kedua lebih punya
kebebasan dalam menentukan perkawinan, pekerjaan, dan anak. Mereka tidak lagi
tersubordinasi karena gender. Bahkan generasi ke tiga mempunyai kebesanan untuk
menentukan cita-citanya setinggi mungkin, yaitu ke Amerika.
Keseluruhan identitas Tionghoa dalam OaG bermuara pada sebuah identitas,
yaitu migrasi dan penghindaran masalah rasial. Generasi pertama hingga ketiga
Tionghoa yang ada di Indonesia merupakan hasil migrasi orang Tionghoa ke Indonesia;
mereka membentuk budaya baru, yaitu budaya diaspora. Generasi ketiga yang ada di
Indonesia melakukan migrasi lagi, ke Belanda dan Amerika. Tokoh utama pada generasi
ini memilih bermigrasi ke Amerika karena di sana lebih sedikit masalah rasial. Hal ini
linear dengan pilihan penulis, Lian Gouw, yang juga bermigrasi ke Amerika pada tahun
1962.
Daftar Rujukan
Amir, Badaruddin. 2009. “Membaca Realitas Sosial di Indonesia Melalui Sastra
Diaspora” dalam https://badaruddinamir.wordpress.com/2009/10/12.
Ashcroft, Bill, dkk. 2003. Menelanjangi Kuasa Bahasa: Teori dan Praktik Sastra
Poskolonial. Yogyakarta: Qalam.
Bandel, Katrin. 2013. Sastra Nasionalisme Pascakolonial. Yogyakarta: Pustaka
Hariana.
Budianta, Melani, 2006. “Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicism dalam
Perkembangan Kritik Sastra” dalam Susastra: Jurnal Ilmu Sastra dan
Budaya. Jakarta: Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia dan Yayasan
Obor.
Budiman, Arip. 2010. “K-Video: Only a Girl, Menantang Phoenix dan Ziarah Batin
Lian Gouw” dalam http//:kabarinews.com/k-video-only-a-girl-menantang
phoenix-dan ziarah-batin-lian-gouw/35787.
Cohen, Robin. 2008. Global Diasporas: An Introduction. London & New York:
Roudledge.
Coopel, Charles A. 1994. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Foulcher, Keith dan Tony Day. 2006. Clearing A Space: Kritik Pasca Kolonial tentang
Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia KITLV Jakarta.
Geertz, Clifford, 1973. "Thick Description: Toward an Interpretive Theory of Culture?"
in The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York: Basic Books.
Greift, Stuart W. 1991. "WNI" Problematik Orang Indonesia Asal Tionghoa. Jakarta:
Grafiti.
Hall, Stuart. 2003. “Cultural Indentity and Diaspora” dalam In Theorizing Diaspora
(ed. Jana Evans dan Anita Mannur). Malden: Blackwell Publishing.
Holid, Anwar. 2010.”Diaspora Orang Indonesia” dalam http//:halamanganjil.
blogspot.com/2010/06/diaspora-orang-indonesia-di-amerika.html.
Murniati, Tri. 2014. “Indonesian Migrant Writing: A Trace on Indonesian Diaspora
Narratives”.
389
Makalah dipresentasikan dalam International Conference in Commemoration of the 50th
Anniversary of the Departement of Malay-Indonesian Studies, Hankuk
Univrsisity of Foreign Studies, Seoul, Korea, 14-16 May 2014.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari
Strukturalisme hingga Postruktural. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Soekisman, W.D. 1975. Masalah Cina di Indonesia. Jakarta: Bangun Indah.
Suryadinata, Leo. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Press.
-----------------------.1985. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Vasanty, Puspa. 1988. "Kebudayaan Orang Tionghoa" dalam Manusia dan Kebudayaan
di Indonesia (ed. Koentjaraningrat). Jakarta: Djambatan.
Weedon, Chris. 2004. Identity and Culture. New York: Open University Press.
Widjajanti Dharmowijoyo, 2011. “Only a Girl: Menantang Phoenix” dalam Bijdragen
tot de Tall, Land, en Volkenkunde Vol 167, No.1, hlm. 106-108.
Wijayanti, Dita dan N.K. Mirahayuni, 2014, “An Analysis Of Translation Strategies
For NonEquivalence Used In Lian Gouw’s Novel Only A Girl And Its Indonesian Version Only
A Girl- Menantang Phoenix” dalam Parafrase Vol. 14 No.01 Februari 2014,
hlm. 31-37.
Yu-te (Tom) Kuo. “Peranakan Self as a Diasporic Palimpset: Shirley Geok-lin Lim Torn
between
Diaspora and Nostalgia” dalam Colloquim on Diaspora and Asian Fiction Dispora in
Literature. http//:Zephyr.edu.tw../ diaspora%2002.
390
REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM SASTRA LISAN LAMUT
Sainul Hermawan
(FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin – Indonesia)
Abstrak: Sastra lisan Lamut adalah cerita lisan yang dituturkan dalam tradisi lisan
balamut di tengah sebagian masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Dalam sejarahnya
cerita ini lebih banyak dituturkan oleh penutur laki-laki. Meskipun demikian, ada sedikit
penutur perempuan yang kurang dikenal. Cerita Lamut terdiri atas beragam versi.
Makalah ini didasarkan pada enam episode cerita Lamut versi yang M. Jamhar Akbar,
penutur cerita lamut atau palamutan dari Banjarmasin. Makalah ini menjelaskan
representasi perempuan dalam cerita Lamut sebagai salah satu sumber pengetahuan
untuk memahami budaya Banjar. Analisis menunjukkan beragam peran perempuan:
sebagai anak, istri, ibu, pembantu, dan dewa. Sebagai anak raja, perempuan dilindungi
dan disayangi. Secara fisik digambarkan sebagai sosok yang cantik tetapi secara mental
pada umumnya lemah. Sebagai istri, perempuan setia dan mengabdi kepada sang suami.
Sebagai ibu, perempuan penuh kasih sayang pada anaknya. Sebagai pembantu,
perempuan meringankan masalah majikannya. Sebagai Dewa, perempuan memiliki
kekuatan menyembuhkan dan mengatasi masalah serta juga bisa menjadi sumber
masalah. Relasi peran putri raja dan amban merepresentasikan ambiguitas kekuatan dan
kelemahan.
Kata kunci: sastra lisan Lamut, representasi, wacana, rekontekstualisasi, praktik sosial
Latar Belakang
Sastra lisan lamut atau tradisi lisan balamut di Kalimantan Selatan, khususnya di
Kabupaten Banjar dan Kota Banjarmasin, sejauh ini masih diketahui selalu dituturkan
oleh palamutan atau penutur cerita lamut laki-laki. Meskipun ada palamutan
perempuan, mereka tampak enggan tampil di ranah publik. Mereka melakukannya untuk
keperluan pengobatan dalam ranah yang terbatas. Dalam kondisi ini para peneliti tradisi
balamut tidak memiliki data tentang bagaimana cerita Lamut versi palamutan
perempuan. Penelitian sebelumnya juga belum ada yang mengungkapkan bagaimana
perempuan direpresentasikan dalam cerita Lamut.
Sastra lisan Lamut berisi cerita tentang kehidupan turun-temurun keluarga negeri
atau banua atau kerajaan Palinggam. Palamutan menuturkan cerita Lamut sambil
menabuh rebana atau tarbang. Gaya penuturan setiap palamutan berbeda-beda karena
faktor geografis dan historis. Bahkan cerita Lamut yang mereka tuturkan beragam.
Cerita Lamut dalam makalah ini bersumber dari palamutan M. Jamhar Akbar
391
(selanjutnya disebut Jamhar), dari Banjarmasin.95 Dalam penuturannya, Jamhar
mengombinasikan syair, pantun, mantra, prosa, dan dialog dalam komposisi pelisanan
ceritanya.
Makalah ini menganalisis enam episode cerita Lamut versi Jamhar dari tempat
dan waktu pertunjukan yang berbeda, dari 2011 sampai 2012. Fokus analisis pada
representasi peran perempuan dalam cerita. Cerita tersebut akan dilihat sebagai sebuah
konstruksi rekontekstualisasi praktik sosial, konsep yang digagas oleh Theo van
Leeuwen (2008). Dengan kata lain, teks transkrip tuturan lisan cerita Lamut versi
Jamhar akan dikaji sebagai wacana. Dalam pandangan Van Leeuwen, wacana tidak
hanya dapat diwujudkan secara kebahasaan tetapi juga dengan sarana modus semiotika
yang lain. Wacana merupakan kognisi sosial, yakni cara spesifik secara sosial untuk
mengetahui praktik sosial. Dengan demikian wacana dapat dipakai sebagai sumber
untuk merepresentasikan praktik sosial dalam teks (Van Leeuwen, 2008: 6).
Representasi
Representasi merupakan istilah yang sangat umum dan digunakan dalam banyak
bidang, profesi dan ranah yang berbeda. Istilah ini antara lain digunakan dalam
psikologi dan filsafat, film dan kajian sastra, media dan komunikasi, seni dan budaya
visual, politik dan pemerintahan, sosiologi dan linguistik. Oleh karena itu, istilah ini
memiliki nuansa dan kegunaan yang berbeda-beda. Meskipun demikian, dalam sebagian
besar disiplin ilmu tersebut, representasi dikaji sebagai cara memperoleh makna penting
yang melekat pada teks. Bagaimana perempuan direpresentasikan dalam sebuah
pertunjukan sastra lisan, misalnya, dapat dilihat untuk mengungkapkan sikap penutur
terhadap perempuan dan sekaligus cara pandang, pemahaman, dan pengetahuan umum
tentang wanita dalam konteks tertentu, konteks di mana sastra lisan itu berada (Webb,
2009: 1). Dengan demikian, representasi juga merupakan wacana, wujud kognisi sosial.
Representasi diasumsikan memiliki nilai penting baru dalam teori posmodern
tentang identitas, karena representasi melakukan kerja kebudayaan menegosiasi makna
kategori sosial seperti ras, gender, atau kelas pada tempat dan waktu tertentu. Dalam
konsepsi tradisional, representasi -- gambar atau cerita, atau bahkan bahasa -dikonsepsi sebagai salinan, atau cerminan dari ‘yang asli’ yang ada ‘di dunia.’ Menurut
konsep tradisional ini, nilai representasi mimetik terletak pada kemampuannya
mengembangkan yang ‘alamiah’. Tapi dalam konsep representasi konstruktivis,
hubungan antara representasi dan ‘realitas’ berubah. Teori konstruktif berpendapat
bahwa makna tidak berada di luar bahasa atau representasi; melainkan makna diciptakan
di dalam proses representasi itu sendiri (Williams and Zenger, 2007: 23). Citra laki-laki
atau perempuan, misalnya, bukan cermin sederhana dari seperangkat nilai yang mapan
dalam kebudayaan. Apa yang tampak bukan apa yang ada di sana, tetapi apa yang
diberikan tradisi sosial dan budaya beserta konteksnya kepada orang yang melihatnya.
(Webb, 2009: 2).
Tokoh perempuan dalam film dipandang mewakili perempuan di mana saja;
kata-kata yang dipakai seseorang dipandang mewakili proses neurologis yang
membentuk struktur komunikasi; beberapa orang yang terlibat dalam riset sosial
dipandang mewakili seluruh populasi. Ini memang masuk akal; tetapi ada hal-hal yang
nyata di dunia, dan ada cara-cara menggambarkan atau memotret hal-hal tersebut. Ada
perbedaan antara gagasan tentang sesuatu dan sesuatu itu sendiri-- ada perbedaan antara
95
Salah satu repertoar pertunjukan balamut versi M. Jamhar Akbar dapat dilihat di youtube:
https://www.youtube.com/watch?v=LZHMUxVOLQI
392
aktualitas dan imajinasi, atau antara laporan dan cerita (Webb, 2009: 2-3).
Mempertimbangkan pemikiran ini, cerita Lamut dapat dipandang sebagai wacana
pentiptaan makna relasi antara laki-laki dan perempuan.
Representasi praktik sosial dalam wacana terdiri atas unsur-unsur: (1) partisipan,
(2) tindakan-tindakan, (3) modus penampilan, (4) kelaikan kondisi partisipan, (5)
penyajian gaya, (6) waktu, (7) lokasi, (8) kelaikan kondisi lokasi, (9) sumber daya:
sarana dan materi, dan (10) kelaikan kondisi sumber daya. Unsur-unsur ini tidak selalu
dan pasti ada semua dalam sebuah wacana. Keberadaan dan ketiadaan serta cara
mengadakan unsur tersebut menjadi sumber penting bagi pemaknaan praktik sosial (Van
Leeuwen, 2008: 7). Beberapa unsur tersebut dijadikan landasan konseptual untuk
mengkaji bagaimana perempuan direpresentasikan, terutama jika dilihat dari aspek
inklusi dan eksklusi partisipan, tindakan, modus penampilan, penyajian gaya, waktu,
lokasi dan sumber daya.
Pembahasan
Palamutan dan para pengkaji sebelumnya selalu menamai episode ceritanya
dengan tokoh utama laki-laki sebagai penerus ketuturan Banua Palinggam. Penamaan
episode cerita Lamut merupakan tanda utama yang menunjukkan bahwa kisah ini
memang cerita laki-laki, tentang dunia laki-laki dengan beberapa perempuan yang
berada dalam bayang-bayang kekuasaannya. Enam episode cerita Lamut versi Jamhar
yang dianalisis, yaitu: (1) Awang Slenong, (2) Kasan Mandi, (3) Bujang Maluala, (4)
Bujang Busur, (5) Bujang Jaya, dan (6) Bangbang Teja Aria.
Episode Awang Slenong
Dalam cerita Lamut versi Jamhar, perempuan pertama yang ada di negeri
Palinggam adalah Raden Galuh Siti Mulia, satu-satunya istri Dewa Awang Slenong. Ia
hanya diceritakan sepintas saat suaminya akan pergi naik ke Kayangan Tundung Maya,
menuntut hak waris kepada para dewa di sana. Keingian Awang Slenong ditolak dan ia
dikutuk menjadi pohon yang sangat besar sebelum kemudian menjadi ular, kapal naga
balimbur, dan rohnya menjelma menjadi Labay, Anglung, dan Anggasinga. Ketiga
orang inilah yang kemudian menjadi rekan Lamut, sebagai panglima di Negeri
Palinggam. Lamut adalah manusia jelmaan Sangiang Batara Wedi. Penjelmaannya
dimungkinkan oleh bantuan kakak perempuannya, Dewa Pande Rudiah. Pande Rudialah
yang memberikan nama Lamut.
Episode ini bukan hanya menyeritakan tentang dewa perempuan yang punya
kuasa atas dewa laki-laki, tetapi juga bercerita tentang dewa laki-laki, yakni Sangiang
Batara Wisnu yang melemparkan cucu perempuannya yang masih berusia sembilan
bulan, yakni Dewa Silawati, ke api neraka yang disebut kawah candradimuka. Abunya
ditaburkan di Pulau Madu Menyan Madu Dupa. Di Pulau ini keluarga Raden Bungsu
dan Indrabayu bernadar, memohon anak kepada dewata.
Abu itu tumbuh menjadi pohon delima berbuah tunggal berwarna belang,
separuh merah dan separuh putih. Orang Palinggam, memilih belahan yang merah dan
orang Mesir memilih yang putih. Tidak lama setelah mereka kembali ke negeri mereka
masing-masing, Kasuma Nilam (istri Raden Bungsu) dan Kasuma Sari (istri Indrabayu)
hamil. Kasuma Nilam melahirkan Kasan Mandi dan Kasuma Sari melahirkan Junjung
Masari. Dengan struktur cerita ini jelas bahwa penerus Palinggam dan Mesir tercipta
dari pengorbanan dewa perempuan.
Kisah tentang Sangiang Batara Wisnu yang mengorbankan cucunya Dewa
Silawati, menjelaskan relasi kuasa antara dunia dewata dan manusia serta laki-laki dan
393
perempuan. Dalam konteks relasi kuasa dewata, reinkarnasi dewa menjadi manusia
hanya dimungkinkan dengan menerakakan dewa perempuan. Dewa perempuan tunduk
pada kuasa dewa laki-laki. Namun di sisi lain, narasi ini dapat dibaca bahwa
keberlangsungan keturunan di negeri, Palinggam dan Mesir terdapat unsur dewa
perempuan. Dewa perempuan yang telah dikorbankan dan serbuk abunya tumbuh
menjadi pohon delima berbuah tunggal belang dua: merah dan putih. Perempuan dalam
narasi ini direpresentasikan sebagai sumber kehidupan dan penyatuan vertikal dan
horisontal.
Episode ini juga mengisahkan perempuan sebagai istri dan ibu, yakni Kasuma
Nilam dan Kasuma Sari. Yang pertama istri Raden Bungsu yang kemudian menjadi Ibu
kasan Mandi dan Kasuma Sari sebagai ibu Junjung Masari. Sebagai istri raja mereka
hanya lebih banyak berada dalam lingkungan istana. Digambarkan sebagai orang yang
patuh pada suami dan menyayangi putranya. Mereka tidak dimadu seperti keturunan
raja-raja Palinggam selanjutnya.
Episode Kasan Mandi
Dalam episode ini, partisipan lebih banyak yang dimunculkan dengan tiga peran
yang berbeda: anak, amban, istri, dan selir. Tokoh perempuan paling populer dalam
cerita Lamut versi Jamhar adalah Junjung Masari. Ia putri tunggal Raden Indrabayu
(Mesir). Sejak kecil ia telah dijodohkn dengan Kasan Mandi, sepupunya sendiri. Namun
Kasan Mandi harus bertarung terlebih dahulu dengan Sultan Aliyudin yang juga ingin
melamar Junjung Masari.
Sebagai anak, Junjung Masari direpresentasikan sebagai anak ‘istana’, kurang
bergaul dengan lingkungan sekitar. Ia hanya bergaul dengan para amban atau
pembantunya. Dalam memilih jodoh pun ia memiliki kebebasan untuk memilih.
Berbeda dari para tokoh laki-laki, putri-putri kerajaan tampak tidak diajarkan
keterampilan atau ilmu kesaktian untuk menghadapi hidup. Anak-anak raja diceritakan
sebagai perempuan yang manja, tidak mandiri, dan rentan pada guna-guna atau mantra
pengasihan. Putri raja adalah perempuan yang sopan dan berbakti kepada orang tua.
Sebaliknya, perempuan yang berperan sebagai amban, dayang, atau pembantu,
ditampilkan sebagai perempuan yang cerdas dan kreatif. Pola seperti ini berulang pada
beberapa episode yang lain.
Ketika Junjung Masari menjadi istri Kasan Mandi, karena cinta yang telah
ditakdirkan dewata dan upaya guna-guna yang dikenakan padanya, ia menjadi istri yang
setia dan pasrah, bahkan ketika Kasan Mandi meminta untuk kawin lagi dengan
perempuan yang lain, yakni Rindu Bulan dan Tabur Bintang. Ketidakadilan Kasan
Mandi berbagi waktu dengan istri mudanya menjadi sumber malapetaka yang
mengakibatkan Junjung Masari disiksa sampai mati oleh mertuanya, Raden Bungsu.
Penyiksaan Junjung Masari merupakan titik paling dramatis dalam cerita Lamut versi
Jamhar dan cenderung membuat audiensnya lisannya menangis.
Di samping menceritakan peran perempuan sebagai pembantu, episode ini juga
menampilkan peran perempuan sebagai tujuh bidadari yang memiliki kemampuan
menghidupkan kembali Aliyudin, lelaki musuh abadi orang Palinggam, dan Junjung
Masari.
Episode Bujang Maluala
Dalam episode ini, cerita Lamut menampilkan putri Raja Cina bernama Raden
Saliau Kaca. Di istananya ia dibantu oleh seorang amban atau dayang Ling Ling. Seperti
perempuan dalam episode sebelumnya, Saliau Kaca juga direpresentasikan sebagai
394
perempuan yang diperebutkan, tidak mandiri, dan rentan pada mantra. Saliau Kaca
diperebutkan oleh Bujang Maluala dan Mas Gambar Wayang Adipati. Akhirnya Bujang
Maluala yang mendapatkannya.
Dalam perjalanan mencari Saliau Kaca ketika direbut oleh Gambar Wayang
Adipati, Bujang Maluala bertemu dengan Raden Galuh Ambar Sekar, seorang putri
yang dibuang oleh kerajaan karena dianggap berbahaya. Mereka kemudian dan ketika
hamil, Bujang Maluala meninggalkannya untuk mencari Saliau Kaca.
Sepulang dari pengembaraannya Bujang Maluala membawa tiga istri: Saliau
Kaca, Ambar Sekar, dan Ambar Biduri. Ambar Biduri dan Rumbayang Sari (istri Mas
Gambar Wayang Adipati) adalah dua tokoh perempuan yang direpresentasikan memiliki
kemampuan lebih. Ambar Biduri bisa membuat air dan burung berbicara dan mampu
menolong Bujang Maluala mengatasi masalahnya. Sementara Rumbayang Sari,
dipercaya oleh suaminya untuk menjadi raja ketika Wayang Adipati mengikuti
sayembara pencarian Saliau Kaca.
Episode Bujang Busur
Bujang Busur adalah anak Bujang Maluala dan Saliau Kaca. Dalam
petualangnnya, ia dipertemukan dengan Raden Galuh Kain Kasmiran, putri Maharaja
Caramin Alam. Kain Kasmiran juga digambarkan secara sterotipikal sebagai perempuan
istana yang cantik tetapi lemah. Sebaliknya, dayangnya, Nurlela memiliki kemampuan
memanggil tujuh rajawali. Perkawinan Bujang Busur dan Kain Kasmiran ditentang oleh
kakak Kain Kasmiran, Raden Kancing Jaya yang berujung pada kematian Bujang Busur
yang diracun oleh Kancing Jaya. Mayat Bujang Busur dibuang ke hutan dan dihidupkan
kembali oleh adik Bujang Busur.
Dalam pengembaraan selanjutnya, meninggalkan Kain Kasmiran dan
menemukan perempuan malang di Banua Pituria: Hidaran Bulan. Banua tersebut sedang
diserang gagak pemangsa mata. Setelah Bujang Busur berhasil mengalahkan gagak itu,
ia dikawinkan dengan Hidaran Bulan.
Kedigjayaan Bujang Busur terdengar sampai ke telinga Sinyo Hedler di Belanda.
Sinyo itu menatang Bujang Busur. Dalam pertarungan itu Bujang Busur dilemparkan
sampai ke dalam kamar Nyonya Parlente, adik Sinyo yang kemudian juga jatuh hati
kepada Bujang Busur. Karena cintanya, Nyonya Parlente membuka rahasia kesaktian
sang kakak. Akhirnya, Bujang Busur memenangkan pertarungan dan mengawini nyonya
itu. Seperti perempuan dalam episode sebelumnya, putri raja ditampilkan sebagai
perempuan rebutan tetapi lemah.
Episode Bujang Jaya
Bujang Jaya lahir dari perkawinan Bujang Busur dan Nyonya Parlente. Ia
berkelanan ke Banua Pagar Basi Gandilaya untuk ikut memikat hati Putri Gambar
Melayu. Atas bantuan Suria Bidani, ia berhasil menyusup ke kamarnya. Namun
saingannya, Mega Saun mengusirnya. Bujang Jaya kalah dan terbang ke kayangan
untuk menambah ilmu. Di perjalanan itulah ia menjebak bidadari Dewa Sukarba untuk
dikawini. Percintaan mereka membuat kegaduhan di kayangan. Bidadari yang pada
episode sebelumnya ditampilkan sebagai penyelesai masalah, dalam episode ini menjadi
masalah. Mereka cemburu pada dewa Sukarba. Dalam episode ini poligami
digambarkan penuh konflik. Dewa Sukarba menculik anak madunya ketika Bujang Jaya
terlalu lama bersama Gambar Melayu. Dalam episode ini, perempuan yang berperan
sebagai dewa memiliki kuasa atas dan mampu mengendalikan laki-laki.
395
Episode Bangbang Teja Aria
Bangbang Teja Aria adalah anak Bujang Jaya. Ia diceritakan kawin dengan Putri
Ambung Kumala di Banua Perak Kencana dan memiliki anak Aria Brahmana Sakti.
Jadi episode ini sebenarnya cerita tentang Aria Brahmana Sakti yang ikut memikat hati
putri Banua Bandar Salaka, putri Maharaja Dewa Raksa, yakni Raden Galuh Ajang
Semaran. Putri raja ini didampingi amban Galuh Sarina. Tidak seperti peran amban
dalam episode sebelumnya yang selalu baik, dalam episode inilah amban disogok untuk
bungkam merahasiakan hubungan antara Ajang Semaran dan Aria Brahmana Sakti.
Namun akhirnya juga diketahui dan mereka berdua dirajam di alun-alun sampai
akhirnya Lamut datang menyelesaikan masalah dan mereka dikawinkan. Mereka
melahirkan Prama Syahdan yang konon tak memiliki anak dan mengakhiri cerita Lamut.
Simpulan
Cerita Lamut merepresentasikan perempuan dalam beregam peran: sebagai
dewa, istri raja, anak raja, dan pembantu anak raja. Sebagai dewa, perempuan dipandang
sebagai awal mula manusia, mampu menghidupkan kembali manusia, dan juga bisa
menjadi sumber masalah. Sebagai istri raja perempuan tidak banyak diceritakan. Cerita
lamut lebih banyak mengisahkan perempuan yang berperan sebagai putri raja. Kerajaan
yang putrinya dikisahkan, yaitu Mesir, Cina, Inggris, dan Belanda. Anak-anak raja
direpresentasikan seperti piala yang diperebutkan oleh para laki-laki, perempuan yang
cantik tetapi kurang mandiri dan rentan pada kuasa laki-laki. Berbeda dengan
perempuan dari kelas sosial amban atau pembantu yang direpresentasikan sebagai
perempuan yang kuat, kreatif, melayani, dan secara fisik tidak pernah ditampilkan. Pola
ini menampilkan sisi ambiguitas representasi: pengagungan terhadap perempuan kelas
atas sekaligus bermakna pengecilan terhadap peran sosialnya.
Di samping itu, cerita Lamut versi Jamhar tampak menunjukkan pola geneologis
historis terbentuknya orang Banjar yang multikultur: Berasal dari Dayak, kemudian
bertemu dengan Melayu, Arab, Cina, dan Belanda. Sejarah Banjar yang dirunut dari
Kerajaan Nan Sarunai dan Tanjung Puri mengakui bahwa orang Dayak Ma’anyan
termasuk leluhur atau nenek moyang orang Banjar. Dalam budaya Orang Dayak
Ma’anyan, laki-laki disimbolkan dengan buno (tombak), dohong (sejenis keris), bungai
(burung garuda), antan (burung elang), dan matanandau (matahari). Dalam pandangan
totemisme orang Dayak, laki-laki dilambangkan sebagai burung enggang atau mahatara
yang bersifat keras, panas, kuat, tangguh, dan tahan uji. Sedangkan perempuan disebut
juga lunok (sejenis pohon beringin), tambon (ular naga) dan bulan. Perempuan
digolongkan sebagai jata penghuni alam bawah yang memiliki sifat lembut, ramah,
pengasih dan suka damai. Perpaduan alam atas dan bawah tidak dipandang sebagai
kombinasi hierarkis tetapi simbol keseimbangan alam yang setara. Semangat kesetaraan
itu antara lain terwujud dalam perkawinan yang monogami. Orang Dayak yang
melakukan poligami dianggap tidak normal. Bahkan perempuan bisa menjadi pemimpin
dalam acara keagamaan atau balian (Ideham, 2007: 29).
Tokoh utama dalam dua episode awal kisah Lamut versi Jamhar menjalani
perkawinan monogami. Awang Slenong, Raden Bungsu, dan Indrabayu hanya memiliki
satu istri. Raden Bungsu menurunkan Kasan Mandi (Palinggam) dan Indrabayu (Mesir)
menurunkan Junjung Masari. Junjung Masari menjadi istri pertama dan utama Kasan
Mandi. Cerita poligami mulai muncul pada kisah tentang Kasan Mandi sampai Aria
Brahmana Sakti yang menurunkan Peramah Syahdan yang beristri satu dan tak memiliki
keturunan. Kasan Mandi memiliki empat istri: Junjung Masari, Rindu Bulan, Tabur
Bintang, dan Raden Galuh Citrawati. Demikian pula putra mahkotanya, Bujang
396
Maluwala, yang juga punya empat istri: Damdam Amas Saliu Kaca (Cina), Ambar
Biduri, Kain Kasmiran, dan Ambar Sekar. Tradisi poligami juga dilakukan oleh putra
mahkota Bujang Maluwala, Bujang Busur. Bujang Busur kawin dengan Hidaran Bulan
(Pituria) dan Sinyo Hedler atau Nyonya Parlente (Belanda). Bujang Jaya, putra Bujang
Busur dan Saliau kaca juga berpoligami, yaitu dengan Raden Galuh Gambar Melayu
dan Dewi Sukarba. Sampai pada Aria Brahmana Sakti, putra mahkota Bambang Teja
Aria dan Putri Ambung Kumala, keturunan raja Palinggam kembali ke monogami. Aria
Brahmana Sakti hanya beristri Raden Galuh Ajang Semaran.
Representasi perempuan dalam sastra lisan Lamut sebagai produk dari
pertunjukan lisan yang dinamis dan kontekstual bukanlah citra perempuan yang pasti
dan tetap. Sebagai sebuah proses kreatif, representasi tersebut terbuka bagi perubahan.
Representasi tersebut juga tidak sepenuhnya cerminan perempuan dalam kebudayaan
Banjar, tetapi antara lain melanggengkan stereotip laki-laki Banjar yang cenderung
untuk berpoligami.
Hubungan antartokoh perempuan dengan kelas sosial yang berbeda dan antara
perempuan sebagai Dewa dengan peran tokoh yang lain tampak membentuk struktur
oposisi biner sebagai berikut: manusia/dewa, putri raja/amban, lemah/kuat. Kekuasaan
para keluarga kerajaan Palinggam sesungguhnya hanyalah bayang-bayang karena
kekuasaannya tidak mampu mengatasi masalah karena semua masalah kehidupan
kerajaan diatasi oleh para pembantu baik dari kaumnya sendiri dan manusia jelmaan
Dewa.
Daftar Rujukan
Ideham, M. Suriansyah, dkk (eds). 2007. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Cetakan
ke-2. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kalimantan
Selatan.
van Leeuwen, Theo. 2008. Discourse and Practice; New Tools for Critical Discourse
Analysis. New York: Oxford University Press.
Hermawan, Sainul (ed). 2014. Transkrip Tradisi Lisan Balamut versi M. Jamhar Akbar.
Tidak diterbitkan.
Webb, Jen. 2009. Understanding Representation. London: Sage Publications Ltd.
Williams, Bronwyn T.
and Zenger, Amy A. 2007. Popular Culture and
Representations of Literacy. New York: Routledge
397
SUMBANGAN SASTRA PERANAKAN TIONGHOA
DALAM KHAZANAH SASTRA INDONESIA MODERN
Sastri Sunarti
(Peneliti Badan Bahasa – Indonesia)
Abstrak: Khazanah Sastra Indonesia modern tidak dapat mengabaikan sumbangan
sastra Peranakan Tionghoa yang sudah berjalan jauh sebelum munculnya Balai Pustaka.
Khazanah sastra Peranakan Tionghoa merupakan satu fenomena kultural yang sangat
menarik untuk diperhatikan dan dikaji karena merupakan salah satu tradisi sastra
Indonesia modern yang paling tua. Kehadiran Sastra Peranakan Tionghoa ini dimulai
pada akhir abad ke-19 hingga abad ke-20. Pada saat itu karya sastra kelompok ini tidak
terlalu diperhatikan keberadaannya dan dianggap karya marjinal. Padahal di dalamnya
kita menemukan warna kultural yang kaya berkenaan dengan tradisi dan gaya hidup
orang Peranakan Tionghoa di Hindia Belanda pada masa itu.
Selain itu, ribuan karya sastra Peranakan Tionghoa yang pernah terbit masih banyak
yang belum dibicarakan dan hanya segelintir karya dan pengarang Peranakan Tionghoa
yang sudah dikenal oleh publik seperti Njoo Cheng Seng dan Kwee Tek Hoay.
Kehadiran sastra Peranakan Tionghoa pada tahun 1939 banyak memunculkan kumpulan
cerita pendek yang diterbitkan dalam berbagai majalah. Kegiatan olah sastra seperti itu
mampu mengguncangkan masyarakat pecinta sastra sehingga Balai Pustaka pun merasa
khawatir tersaingi oleh kegiatan olah sastra tersebut.
Kata Kunci: Sastra Peranakan Tionghoa, Fenomena Kultural, dan Tradisi Sastra yang
Tua.
Sastra Peranakan Tionghoa di Hindia Belanda
Sastra Peranakan Tionghoa merupakan fenomena kultural yang sangat menarik
untuk diperhatikan dan dikaji dalam khazanah sastra Indonesia modern. Sastra
Peranakan Tionghoa merupakan tradisi sastra Melayu-Indonesia modern yang paling
tua. Sastra Peranakan Tionghoa telah berkembang sejak akhir abad ke-19 hingga abad
ke-20, tepatnya sejak tahun 1870 karya-karya pertama dimuat sebagai cerita
bersambung dalam surat kabar dan mulai diterbitkan dalam bentuk buku kecil agar
mudah disebarluaskan (Claudine Salmon, 2010:16). Pada saat itu karya sastra tersebut
tidak terlalu diperhatikan keberadaannya dan dianggap karya marjinal. Banyak
anggapan sebelum ini dikalangan pemerhati sastra bahwa karya sastra Peranakan
Tionghoa merupakan karya sastra picisan yang bermutu rendah dan tidak pantas
dibicarakan. Namun, Roolvink berpendapat lain dan menyatakan bahwa karya sastra
atau novel-novel yang terbit sebelum Balai Pustaka termasuk "roman besar", karena isi
ceritanya lebih berbobot. Beberapa sasrjana lain yang juga pernah menyampaikan
keberadaan sastra Peranakan Tionghoa ini adalah Nio Joe Lan yang pada tahun 1930-an
sudah menyerukan peri pentingnya peranan kesusastraan ini. Dia menyebutnya sebagai
Kesastraan Indo-Tiongha (de Indo-Chineesche literatuur) yang berkembang sendiri di
luar lembaga resmi pemerintahan. Pramoedya Ananta Toer juga sudah berkali-kali
menyebut masa perkembangan kesusastraan Melayu- Tionghoa sebagai masa asimilasi,
398
masa transisi dari kesusastraan lama, kesusastraan baru. C.W. Watson (1971) menyebut
karya kaum Peranakan Tionghoa sebagai Pendahulu Kesusastraan Indonesia Modern
(antecedents of modern Indonesian Literature). John B. Kwee (1977) dari Universitas
Auckland telah menulis disertasi Kesusastraan Melayu Tionghoa (Chinese Malay
Literature). Erlis Nur Mujiningsih (2005) juga memuat satu artikel yang berjudul
Hubungan Antarras dalam Karya Sastra Indonesia pada Masa Sebelum Perang yang
termuat dalam antologi Revolusi, Nasionalisme, dan Banjir Roman terbitan Pusat
Bahasa Jakarta.
Jika dilihat dari segi jumlah karya pengarang Peranakan Tionghoa juga
menunjukan angka yang amat bermakna. Claudine Salmon (1985:86) menyampaikan
bahwa hampir 100 tahun (1870-1960), kesusastraan Melayu Tionghoa melibatkan 806
penulis dan menghasilkan 3005 karya. Berdasarkan catatan A. Teeuw selama hampir 50
tahun (1918-1967) kesusastraan modern Indonesia (tidak melibatkan karya terjemahan)
melibatkan 175 penulis dan 400 karya. Jumlah karya itu jika dihitung hingga tahun 1979
melibatkan 284 penulis dan 770 karya. Claudine (1985:206) lebih jauh menjelaskan pula
bahwa pada tahun 1939 muncul penerbit yang banyak mengangkat kumpulan cerita
pendek yang diterbitkan dalam berbagai majalah. Para pengarang yang menulis cerita
pendek pada saat itu banyak yang anonim karena pengarang merasa masih terkungkung
oleh penjajah dan pemakaian nama samaran ditujukan untuk melindungi dirinya dari
pemerintah.
Batasan Sastra Peranakan Tionghoa
Damono (1999:216) menjelaskan perbedaan antara sastra Peranakan Tionghoa
dengan sastra Indonesia terbitan Balai Pustaka hanya terdapat pada dialek bahasa
Melayu yang digunakan. Kedua jenis karya sama-sama menggunakan bahasa Melayu.
Karya sastra Peranakan Tionghoa menggunakan bahasa Melayu rendah (bahasa Melayu
Pasar) sedangkan karya sastra Indonesia terbitan Balai Pustaka menggunakan bahasa
Melayu tinggi. Karya sastra Peranakan Tionghoa tumbuh menggunakan bahasa yang
dipakai oleh masyarakat luas dan digunakan dalam pergaulan antar bangsa dan suku
yang berada di bawah jajahan Hindia Belanda pada masa itu. Sebaliknya, karya sastra
Indonesia terbitan Balai Pustaka menggunakan bahasa Melayu tinggi yang sudah
ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Nio Joe Lan (1950) memberikan batasan
mengenai sastra Peranakan Tionghoa sebagai karya sastra asli hasil ciptaan kaum
Peranakan Tionghoa yang menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa yang diseut juga
oleh Claudine sebagai bahasa Esperanto marjinal (2010:95) yang memberikan andil
yang sangat besar bagi perkembangan bahasa Melayu khususnya di Jawa sebelum tahun
1880.
Tokoh Pengembang Sastra Peranakan Tionghoa
Lie Kim Hok (1853-1912) disebut sebagai pelopor keusastraan Perankan
Tionghoa. Ia banyak menulis syair, mengadaptasi novel barat dan Tionghoa ke dalam
bahasa Melayu, menulis buku tata bahasa Melayu yang tujuannya membuat kodifikasi
penulisan bahasa Melayu tulis. Sezaman dengan Lie Kim Hok menurut Claudine
(2010:65) terdapat kurang lebih sekitar lima belas nama penerjemah karya sastra
Peranakan Tionghoa dalam kurun waktu 1883-1886. Para penulis dan penerjemah itu
umumnya menerbitkan karyanya sebanyak sebelas orang di Batavia, dua di Surabaya,
tiga di Semarang, dan sisanya di Sukabumi. Pada tahun 1859 juga ditemukan
terjemahan roman-roman Tionghoa ke dalam bahasa Jawa. Beberapa penerjemah juga
berprofesi sebagai pedagang seperti Poe Tjien Hie, Tjiong Hok Long, dan Yap Goan Ho
399
(2010: 66). Mereka juga membangun percetakan di Batavia untuk membantu
penyebaran karya-karya yang mereka terjemahkan tersebut. Bisa kita bayangkan
kesungguhan tekad mereka dalam mengembangkan kesusatraan Peranakan Tionghoa
ini. Penerjemah yang lain berprofesi sebagai wartawan yang menggunakan nama samara
Koresponden India XX (di Batavia) dan Sie Hian Ling (penulis roman) dan Boen Sing
Hoo (penulis syair) dan keduanya berfungsi sebagai “Letnan Juru bahasa Tionghoa”.
Dua pengarang Peranakan Tionghoa yang populer di masa lampau menurut Myra
Sidharta adalah Thio Tjin Boen dan Kwee Tek Hoay (2001:xix). Thio Tjin Boen
dilahirkan tahun 1885 dan meninggal tahun 1940 di Bandung. Pernah bekerja sebagai
wartawan dan editor kepala di surat kabar Perniagaan dan mendirikan surat kabar Asia
yang berumur singkat. Ia banyak menerjemahkan novel dan dan menulis karya yang
menggambarkan interaksi masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Sunda, Arab, Jawa
dan lainnya. Beberapa karyanya yang menggambarkan hubungan antar etnis itu antara
lain berjudul Cerita Oey Se, Cerita Nyai Soemirah, dan Dengan Duwa Cent Jadi Kaya.
Kwee Tek Hoay merupakan salah satu pengarang Peranakan yang paling
representatif. Ia lahir tahun 1886 di Bogor. Mulai mengarang sejak tahun 1905 dan
selama 20 tahun lebih telah meneerbitkan sekurang-kurangnya 25 karya sastra (Liang
Liji, 2001:xxi). Namanya dikenal di dunia internasioal sebagai redaktur pelbagai media
massa seperti Panorama, Moestika Romans, dan Moestika Dharma. Selain sastrawan ia
juga dikenal sebagai jurnalis. Ia menulis beragam genre mulai dari drama seperti
(“Plesier Hari Minggoe”, “Korbannya Yi Yu Thang”, “Bingkisan Taon Baroe”,
dan“Mait Idoep”), roman yang sangat terkenal yaitu (Boenga Roos dari Tjikembang,
Drama dari Merapi, dan Drama di Boven Digoel) merupakan tiga karya yang sangat
termasyur pada masa sebelum perang dunia ke II. Boenga Roos dari Tjiekembang
misalnya telah berkali-kali disandiwarakan, difilmkan. Selain itu ia juga menulis
ratusan karya tentang agama masyarakat Tionghoa, Sam Kauw yakni gabungan tiga
ajaran Budha, Konfisius, dan Tao. Ia juga menulis teosofi Kristen dan Islam. Salah satu
karya politiknya berjudul Atsal Moela Timboel Pergerakan Tionghoa di Indoensia dan
dimuat secara bersambung dalam majalah Moestika Romans (1936-1939).
Tokoh pengarang Peranakan yang berikutnya adalah Njoo Cheong Seng, lahir di
Surabaya (1902) dan meninggal tahun di Jakarta (1962). Ia sering menggunakan nama
samara ketika menulis seperti Monsieur d’ Amour, N.C.S atau N.Ch.S. Karya
pertamanya berjudul Tjerita Penghidoepan Manoesia diterbitkan di surat kabar Sin Po
(1919). Ia ikut mendirikan majalah Penghidoepan pada tahun 1925. Ia menulis cerita
detektif yang dimuat bersambung di majalah dan surat kabar yang berjudul Gagak Lodra
dan pernah menjadi bahan penelitian mandiri Pusat Bahasa oleh Mujizah tahun (…).
Njoo aktif dalam kelompok sandiwaa Miss Riboet Orion apa akhir tahun 1920-an dan
menulis beberapa cerita sandiwara seperti Kiamat, tengkorak dan Tueng Balah. Suami
dari Fifi Young ini dikemudian hari juga menulis skrip film dan menyuttradarai bebeapa
karya layar lebar dengan Fred Young pada tahun 1940-1955. Beberapa judul filmnya
adalah “Zoebaida”, “Keris Mataram”, “Air Mata Iboe”, “Djantoeng Hati”,
“Pantjawarna”, “Djembatan Merah”, “Mirah Delima”, “Habis Hudjan”, “Kebon
Binatang”, dan “Masuk Kampung Keluar Kampung”. (https://www.wikipedia.org.
Minggu, 18 November 2015, pukul 5.13).
Karya Sastra Peranakan Tionghoa Sebagai Masa Peralihan
Syair merupakan satu genre yang ternyata merupakan salah satu karya sastra
Melayu tradisional yang banyak ditulis dan diakrabi oleh pengarang Peranakan
Tionghoa. Claudine (2010:62) menemukan dalam penelitiannya bahwa syair pertama
400
kali digunakan untuk iklan ditulis di Semarang tahun 1886 oleh seorang yang bernama
Ting Sam Sien. Demikian juga istilah hikayat juga digunakan oleh pengarang Peranakan
tetapi isi hikayat itu tidak lagi mengisahkan peristiwa masa lampau melainkan peristiwa
yang aktual pada saat itu seperti “Hikajat Maharadja Nederland” yang dimuat dalam
majalah Cashabat Baik. Melani Budianta menyebutkan konsep kepengarang yang
digunakan pada masa itu masih mengacu kepada konsep tukang cerita, sesuatu yang
berasal dari tradisi lisan; seorang pengarang tidak harus mencipta tetapi dapat
menuliskan kembali cerita-cerita yang pernah dibaca, didengar, atau diketahuinya.
Hikayat, dongeng, fable dari tradisi lisan, babad, maupun hikayat yang bersumber dari
manuskrip seperti Hikayat Si Miskin dan Hikayat Abdullah menjadi sumber karangan
pada masa awal (1890-an-1900an) sastra Peranakan (2005: 12-13). Selain itu kita juga
menemukan genre roman terutama roman sejarah adalah bentuk prosa yang digemari
oleh pembaca sastra Peranakan. Satu karya roman sejarah yang terkenal pada masa itu
berjudul “Roman Tiga Kerajaan” yang berangkat dari episode sejarah Tiongkok.
Cerpen, drama, drama, cerita silat, cerita detektif, dan cerita yang berangkat dari laporan
jurnalistik adalah genre karya lainnya yang juga dapat ditemukan dalam khazanah sastra
Peranakan Tionghoa.
Liang Liji (2001:xviii-xix) menjelaskan fenomena kesastraan yang muncul pada
masa itu sebagai masa peralihan; dari masyarakat jajahanfeodal yang berdasarkan
ekonomi alam menuju masyarakat jajahan yang isatukan oleh tata ekonomi dan
administrasi yang sama. Sesuai dengan proses peralihan itu maka lahirlah bahasa yang
dapat digunakan oleh semua suku bangsa di Hindia Belanda yang kemudian melahirkan
sastra yang mencerminkan realitas masyarakat zaman itu. Jika dilihat dari kondisi
zaman peralihan itu, keturunan Tionghoa merupakan satu masyarakat yang lebi mampu
memenuhi panggilan zaman dalam melakukan kerja cipta sastra, terutama karena
kedudukan ekonomi dan taraf pendidikan mereka yang relatif lebiih baik.
Tema-Tema dalam Karya Sastra Peranakan Tionghoa
Jika dicermati tema-tema yang diangkat oleh para pengarang sastra Peranakan
Tionghoa banyak yang dipengaruhi oleh peristiwa dan realitas sejarah. Salah satu
contohnya adalah -syair yang ditulis oleh sejumlah penyair Peranakan pada abad ke 19
yang mengritik cara para pedagang kaya Tionghoa di Hindia Belanda ketika mengambil
bagian dalam lelang candu. Mereka menulis syair yang menggambarkan ulah para
pakter candu dan korban-korbannya dan mereka mengganti nama asli pakter itu dengan
tokoh-tokoh terkenal dalam Roman Sam Kok atau nama binatang seperti yang terdapat
dalam hikayat Burung Nuri (Claudine: 2010:143). Peristiwa sejarah lainnya yang
kemudian mempengaruhi tema karya yang dikarang oleh kaum Peranakan adalah
kebijakan politik etis yang dijalankan oleh Belanda pada awal abad dua puluh (tahun
1901). Pada masa politik etis dijalankan, proses ke arah modernisasi berlangsung lebih
intensif di Hindia Belanda sehingga melahirkan benturan antara tradisi dan modernitas.
Program pendidikan sebagai bagian dari politik etis, mengenalkan konsep-konsep
modernisme, seperti demokrasi, rasionalitas, dan emansipasi di Hindia Belanda. Faham
modernisme ini kemudian diserap dan muncul dalam karya sastra Peranakan Tionghoa.
Sebelum dijalankannya politik etis, seorang anak lazimnya menurut saja ketika
dijodohkan oleh orang tuanya. Namun, setelah dijalankannya politik etis yang
membawa gagasan modernisme, demokrasi, rasionalitas, dan emansipasi maka gagasan
ini juga diadaptasi oleh pengarang Peranakan Tionghoa yang pada saat itu telah
mendapat pendidikan barat dari pemerintah Kolonial. Cerpen-cerpen yang ditulis pada
periode ini sebagian besar menggambarkan adanya upaya penolakan terhadap
401
perjodohan yang konvensional itu. Dengan kata lain, pola-pola hubungan sosial yang
tradisional mulai goyah dengan masuknya modernitas yang dikenalkan melalui program
politik etis.
Kehidupan kaum perempuan dengan segala permasalah dan eksistensinya
terutama dalam pemilihan pasangan hidup sangat banyak kita temukan sebagai tema
cerita dalam cerpen Peranakan Tionghoa. Mulai dari kasusu kesulitan mendapatkan
jodoh, kasih tak sampai karena tak mendapat restu dari orang tua, beserta lika-likunya
digambarkan dalam cerpen Peranakan Tionghoa. Beberapa cerpen berikut merupakan
karya cerpen yang menggambarkan tema perempuan 1)"Akalnja Orang Moeda" karya
Im Jang Tjoe, 2)."Nasibnja Seoerang Janda Moeda", karya Anonim, majalah Tjaja
Timoer, September 1928., 3). Cerpen "Raden Patah Poetrinja Poetri Tionghoa", karya
Anonim, majalah Boolen Poernama., 4). Cerpen "Habis Manis Sepah Dibuang", karya
Swan Pen, majalah Tjaja Timoer, Juli 1928., 5). Cerpen "Maleman Tahun Baroe", karya
Lahjeg, majalah Sin Po, Februari 1927., 6). Cerpen “Nasehat Boet Nona Moeda”, karya
Tan Oen Djang, majalah Warna Warta, Januari 1920., 7). Cerpen "Baiknya ...", karya
Thung Dji Lim, majalah Sin Po, Februari 1927., 8). Cerpen "Nasip...", karya L.W. Cean,
majalah Sin Po, Februari 1927. ,9). Cerpen "Keras Hati ....", karya lauw Ek Tjiang, Sin
Po, Maret 1927., 10). Cerpen "Boengah Trate di Rawa Peloeng", karya Im Jang Tjoe,
majalah Boelan Poernama., 11). Cerpen "Amper Telat", karya Tan Khoen Sik, majalah
Koemajuan, Juni 1929., 12). Cerpen "Bertentangan", karya L.T. Kwonk, majalah
Koemajuan, Septembar 1927., 13).Cerpen "Boeroeng Dedasi di Moesim Dingin", karya
Tan Hong Boen, majalah Sin Po, Februari 1927., 14). Cerpen "Pikiran Melajang
diwaktoe Oedjan", karya Gong Tit, majalah Warna Warta, Januari 1926., 15). Cerpen
"Tjee Boen Kiang", karya Anonim, majalah Sin Po, Juli 1924.
Dunia sastra Peranakan Tionghoa juga menggambarkan nilai-nilai yang dianut
dalam lingkungan kaum Peranakan. Nilai-nilai itu sarat dengan ajaran moral dan aturan,
khususnya yang ditujukan kepada perempuan. Salah satu ajaran atau nilai yang
disampaikan itu adalah nilai agar menaati ajaran kunfusius seperti keharusan bagi para
gadis untuk mematuhi orang tua dan suami. Cerpen " Kasukarannya Gadis Hartawan",
karya Lahjeg yang dimuat dalam majalah Sin Po, Desember 1926 ini menggambarkan
ketaatan seorang anak perempuan terhadap usulan orangtuanya. Namun, ia merasa
khawatir jika calon suami yang diusulkan oleh orang tuanya hanya menginginkan
hartanya saja. Dengan persetujuan orangtuanya si gadis bersiasat untuk menguji
ketulusan hati calon suaminya.
Bagaimana enko poenja pendapetan prihal Tjeng Tian?"
"Baek, Ia ada tjakep, pinter, dan vioolnja ada soeroep boeat timpalin kaoe poenja piano."
"Djangan omong memaen, ko; saja maoe tanja apa-apa jang serious."
"'Nko seneng sekali."
"Saja haroes toeroet papa mama poenja kainginan boeat menikah, tapi saja selaloe sangsi
apa orang-orang jang melamar sabenarnja tjintain saja poenja diri. Saja sedikit tjoeriga
kaloe ia orang ada lebih toedjoein kita poenja harta." ("Kasukarannja Gadis Hartawan")
Untuk menghindari hal itu, tokoh Hoel Lan membuat strategi sebelum
menentukan jodohnya dan bersama keluarganya ia berpura-pura jatuh miskin. Dugaan
Hoel Lan terhadap laki-laki yang akan dijodohkan oleh kedua orang tuanya akhirnya
terbukti bahwa ia hanya menginginkan harta si gadis. Ketika mengetahui bahwa
keluarga gadis itu jatuh miskin laki-laki yang akan dijodohkan itu akhirnya kabur
meninggalkannya. Justru laki-laki pilihan hatinya akhirnya tetap setia mencintai dirinya
apa adanya. Cerita ini menggambarkan taktik yang cerdik yang dilakukan oleh tokoh
utama perempuan ketika menolak usulan jodoh yang disampaikan kepadanya.
402
Pada cerpen yang lain kita juga menemukan kecerdikan tokoh perempuan dalam
cerpen Peranakan Tionghoa. Tema perempuan terutama dalam lingkungan keluarga
ternyata menjadi salah satu isu yang banyak diangkat oleh pengarang pada masa itu.
Secara umum kaum perempuan digambarkan mengalami ketidakadilan gender bukan
hanya karena warisan kultural yang dibawa dari negeri asalnya yang didominasi oleh
budaya patriarki; melainkan juga oleh bias gender yang berasal dari budaya setempat
yang dominan, seperti Jawa dan Sunda. Kaum wanita dalam karya sastra sering
ditampilkan sebagai manusia kelas dua. Sebagai contoh dapat kita temukan dalam
cerpen “Nona Kulit Kucing” yang dimuat dalam majalah Penghiboer, 30 Mei 1914.
Nona Kulit Kucing digambarkan sebagai perempuan yang mengalami
diskriminasi dalam keluarganya terutama oleh ayahnya. Ketika kecil ia dibuang oleh
ayahnya yang tidak menginginkan anak perempuan. Namun, berkat kecerdikan Ibunya
yang diam-diam membelanya, ia dapat bertahan hidup dan bahkan kemudian berhasil
diterima kembali oleh ayahnya yang telah membuangnya. Dalam cerpen ini pengarang
menyampaikan pesan secara tersirat dan tersurat. Secara tersirat dengan memenangkan
tokoh utama perempuan ia ingin menunjukan bahwa antara anak laki-laki dan
perempuan sama berharganya. Untuk meninggikan posisi perempuan dalam cerita ini,
Nona Kulit Kucing digambarkan tokoh perermpuan yang cerdik, banyak akal, mandiri,
gigih, dan tidak mudah putus asa. Meski sudah dibuang oleh ayahnya ia berhasil
bertahan hidup dan menyamar dengan kostum kulit kucing dari hadapannya ayahnya.
Untuk membiayai hidupnya, ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah
rumah orang kaya. Berkat kepribadiaannya yang memikat, ia akhirnya berhasil menjadi
menantu di rumah keluarga kaya tersebut meski awalnya juga ditolak. Namun, cerita ini
berakhir dengan happy ending, seperti dongeng Cinderella atau Snow White di Eropa
yang menggambarkan kisah seorang anak perempuan (princess) yang awalnya
menderita dan dibuang dari rumah tetapi kemudian berakhir dengan kebahagiaan dan
menikah dengan pangeran pujaannya.
Cerpen Nona Kulit Kucing juga memuat kritik terhadap dominasi patriarki yakni
pandangan yang lebih menghargai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Pengarang juga mengritik perbedaan kelas dan penghargaan yang berlebihan terhadap
materi di kalangan sosial masyarakat Peranakan Tionghoa. Sebagaimana yang terbaca
pada alinea penutup cerpen ini: “Begitulah adanya pengaruh uang.”
Tema cerita yang masih menyoroti peran perempuan dalam keluarga dengan
berbagai problema yang menarik juga digambarkan dalam cerita pendek "Hauw Sien
Poe (Mantoe Perempoean jang Berbakti)" (Hoa Pit I (2), 8 Januari 1927) karya . Lian
Hwa. Dalam cerita pendek ini diutarakan perilaku terpuji menantu perempuan yang
mengurusi ibu mertuanya dengan sungguh-sungguh. Pengabdian menantu perempuan
kepada ibu mertuanya itu digambarkan hingga menyusui ibu mertua itu yang sudah
tidak bisa makan nasi karena giginya sudah habis. Ibu mertuanya ini akhirnya mati
dalam keadaan yang sangat bahagia dan sebelum mati mendoakan agar anak dan
menantu teladan itu dapat hidup bahagia dan sejahtera serta dapat menjadi orang yang
dimuliakan.
Tema yang juga sering muncul dalam karya sastra Peranakan Tionghoa adalah
penggabungan antara kisah nyata (fakta) dengan fiksi. Salah satu contonhnya adalah
cerpen “Satoe Doesa Memang Soesa Ditjoetji” ditulis oleh Tan Djhong Sioe dan dimuat
dalam majalah Djawa Tengah XvII/6, Juni 1926.). Cerita ini membaurkan antara unsur
fiksi dan fakta. Gagasan awal cerpen ini berangkat dari fakta yang pernah terjadi pada
masa itu. Waktu dan tempat peristiwa yang digambarkan dalam cerpen mengacu pada
waktu dan tempat yang sesuai dengan sebuah peristiwa yang pernah terjadi di dunia
403
realitas di luar karya. Selain menyebutkan setting waktu dan tempat, masih diperkuat
lagi dengan sebuah pernyataan dari pengarang bahwa cerita ini sungguh-sungguh terjadi
seperti kutipan berikut.
“Pembaca yang terhormat! Dengan ini kita menceritakan suatu kejadian yang
sebenarnya dan belum seberapa lama, adalah penghidupannya satu Haji Mursidik yang
berdiam di desa Kahoman Pedan. Dengan ia punya istri yang selalu berjalan serong,
cerita mana ada sebagai berikut:”
“Pembaca jangan menjadi heran maka Mbok Ronggo Wiriosantoso sampai tersambar
petir begitu rupa, adalah kena sumpahnya Pak Haji Mursidik yang senantiasa berlaku
sabar dan menerima. Maka jadi orang perempuan janganlah suka berlaku serong pada
suaminya yang sangat mencinta padanya karena orang yang begitu baik serta mulia
sebagai Pak Haji Mursidik jangan ada bandingannya. Heran orang baik hatinya oleh
istrinya dapat balasan yang begitu kejam dan hina, apakah perbuatan yang demikian
rupa tidak baik Allah balas hokum padanya? Nah, lihatlah pada dirinya Mbok Ronggo
Wiriosantoso, yang sudah berbuat jinah pada budaknya dan sangat tidak hargakan sang
suami punya kecintaan, hingga Allah hokum padanya dengan keliwat dari kejam, itulah
upahnya orang perempuan yang berlaku serong!
Pernyataan yang disampaikan oleh pengarang di awal cerpennya itu dapat dilihat
sebagai komposisi skematik lisan dalam teks tersebut; sebuah bentuk lain dari pprolog
dalam cerita lama yang selalu dibuka dengan alkisah, syahdan, arkian seperti yang
sering kita temukan dalam sastra tradisional Indonesia. Unsur skeamtik lisan dalam
karya sastra Peranakan Tionghoa ini memperlihatkan masih terdapatnya
kesinambungan gaya sastra tradisional dengan sastra modern (cetak). Satu lagi penanda
masih adanya gaya sastra tradisional dalam karya Peranakan ini adalah masih
dipertahannkannya nilai pedantic dalam seiap cerita yang disampaikan. sebagaimana
yang tertera dalam kutipan cerita ini:
Tulisan ini pembaca, sampai di sini kita berhentikan saja, karena orang yang tersangkut
dalam ini cerita masih berada di dunia, jadi kita tidak perlu buat beber lebih jauh. Cuma
saja kita harap mudah-mudahan ini cerita bisa menjadi nasihat yang baik bagi semua
perempuan-perempuan di ini waktu, supaya orang perempuan tidak akan melakukan
jalan jinah dan pandang ringan pada suaminya yang ada mencinta dirinya.
Perhatikanlah!”
Karya merupakan suatu medium untuk menyampaikan nasihat, tunjuk ajar, dan
nilai yang disampaikan secara eksplisit seperti contooh teks di atas. Penggunaan karya
sastra seperti ini amat banyak kita jumpai dalam karya sastra tradisional seperti kaba
‘cerita’ di Minangkabau yang juga menjadi medium untuk menyampaikan nasihat
terutama bagi seorang perempuan. Kesinambungan dengan tradisi itu terlihat dari teknik
bercerita yang masih mempertahankan topoi dalam narasi, seperti kejahatan pasti akan
mendapat pembalasan, kebaikan melawan kejahatan, unsur nasihat masih mengemuka
dalam cerpen Peranakan Tionghoa ini.
Tema percintaan, perampokan, hingga cerita detektif seperti serial cerita
bersambung “Gagak Lodra” karya Njoo Tjeong Seng (mujizah, 1992) dimuat di
beberapa majalah seperti Majalah Pedoman, Roman Pergaulan, dan Lukisan Pujangga.
Salah satu cerita di dalam majalah Penghibur bahkan memuat itu adalah cerita orang
yang sangat sayang kepada binatang.
Tema perselingkuhan juga muncul dalam karya Peranakan seperti, cerita pendek
"Nasehat Boeat Nona Moeda" (Warna Warta, I (20), 1920) yang dikarang oleh Tan
Saen Djiang. Cerita ini mengisahkan tentang tokoh suami bernama Siang Pek yang
gemar bermain perempuan dan meninggalkan istrinya Lian Nio tinggal sendiri di rumah.
Namun, suatu hari Siang Pek akhirnya sadar, pada kesalahannya dan kembali ke
pangkuan istrinya Lian Nio yang selalu setia menunggu suaminya kembali. Tema
404
perselingkuhan seperti ini pertama kali muncul dalam majalah Warna Sari di Surabaya
yang berbentuk buku dan memuat sebuah cerita pendek yang berjudul "Si Marinem"
karya H.F.R. Kommer, pada tahun 1912.
Tidak jauh dari tema perselingkuhan ini, juga banyak cerpen yang
menggambarkan penyakit sosial yang dihadapi oleh masyarakat Tionghoa pada masa itu
yakni ancaman penyakit sifilis, kehadiran rumah candu, dan perempuan simpanan
merupakan isu yang banyak menarik perhatian pengarang Peranakan Tionghoa pada
masa itu. Salah satu contoh cerita dengan tema penyakit sosial (sifilis dan pelacuran)
dapat kita temukan dalam drama” Mait Idup” karya Kwee Tek Hoay.
Pengarang Peranakan Tionghoa tidak hanya membicarakan persoalan di sekitar
lingkungan komunitas dan masyarakat Tionghoa saja. Banyak karya yang ditulis oleh
pengarang Peranakan memperlihatkan simpati dan empati mereka terhadap pribumi.
Berikut ini adalah daftar novel yang berlatar Masyarakat pribumi Indonesia yangpernah
ditulis dan dikumpulkan Claudine (2010:398): Harta Jang Terpendam Atawa
Kedjahatannja Njai Marsina, Batavia: Sin Po (1920), Njai Marsina Atawa Moestika
Mawar, karya Numa, Batavia: Probitas (1923), Pertjintaan Dalem Halimoen, Satoe
Gadis Elok Jang Diboeat Reboetan, karya Numa, Batavia: Probitas (1923), Soepardi
dan Soendari (Berpisa Pada Waktoe Hidoep Berkoempeol Pada Waktoe Mati), karya
Im Jang Tjoe, Penghidoepan, (1925). Drama Dari Krakatau, karya Kwee Tek Hoay,
Batavia: Hoa Siang In Kiok (1929), Boeat Apa Doenia? Karya Njoo Cheong Seng,
Tjerita Roman (1929), Siti Kartini, karya Suma Tjoe Sing, Tjerita Roman (1930), Darah
dan Air Mata dari Boven Digoel, karya Oen Bo Tik, Boelan Poernama (1931), Antara
Idoep dan Mati Atawa Boeroen dari Boven Digoel, karya Wiranta, Boelan Poernama
(1931), Gelombang dari Laoetan Kidoel, karya Liem Khing Hoo, Tjerita Roman (1932)
dan lain-lain.
Media Massa Yang Memuat Karya Sastra Peranakan Tionghoa
Majalah Penghidupan, Penghibur, dan Bok Tok merupakan tiga majalah yang
banyak memuat cerita pendek karya Peranakan Tionghoa dan mempunyai pembaca
yang banyak pula. Genre cerpen banyak yang dimuat di dalam media massa cetak surat
kabar dan majalah dan mulai terlihat sejak tahun 1912. Pada tahun 1914 cerpen-cerpen
Peranakan juga terbit di beberapa majalah seperti Kehidupan, majalah Warna Warta,
Tjaja Timoer, Tahun I. Tahun 1921 dan tahun 1922 tidak ada cerita pendek yang
diterbitkan karena majalah yang mendukung penerbitannya tidak ada. Baru pada tahun
1923 tercatat beberapa cerita pendek seperti "Cinta?—Mati..." dari majalah Sin Po,cerita
pendek "Jiwa Manis Halus Tipunya" dalam majalah Bintang Hindia, cerita pendek
"Mati Diuntal Kucing" dalam majalah Han Sing. Tahun 1923 itu merupakan zaman
awal Sin Po yang menurunkan berbagai cerita pendek dengan bahasa Peranakan
Tionghoa dengan tokoh orang-orang Peranakan Tionghoa. Cerita pendek tradisi Sin Po
ini setiap tahun mendominasi cerita pendek di dalam majalah-majalah. Tradisi itu terus
berjalan hingga tahun 1924-1929. Jumlah cerita pendek yang dimuatnya di dalam
majalah itu makin banyak saja sehingga hal itu dapat menyaingi penulisan karya sastra
pada Balai Pustaka.
Pada tahun 1930-an karya cerita pendek dari pengarang Peranakan Tionghoa
memperlihatkan produksi sastra yang sangat mengesankan dari segi jumlah. Cerita
pendek tersebut banyak dimuat dalam majalah dan surat kabar yang tidak sempat atau
belum sempat dikumpulkan dalam suatu kumpulan cerita pendek. Bahkan, ada majalah
yang hanya memuat khusus beberapa cerita pendek, seperti majalah Boelan Poernama
dan majalah Roman Pergaoelan. Selain dari dua majalah itu, cerita pendek itu termuat
405
dalam majalah umum yang bukan khusus majalah sastra. Majalah yang banyak berjasa
memuat cerita pendek tersebut adalah majalah Asia Baroe, Keng Po, Moestika Romans,
Sin Po, Timoer Baroe, Tjaja Timoer, Tjerita Roman, dan Tjerdas. Cerita pendek yang
muncul dalam dasawarsa tahun 1930-an itu. Kebangkitan kelompok Sin Po merupakan
pemicu pula lahirnya cerita pendek dalam bahasa Melayu Tionghoa. Sin Po
memunculkan pengarang muda yang cukup produktif, seperti Nirmaja, Si Lip Lap,
Elsje, Po Goat, Didi, dan Edas. Belum begitu jelas apakah itu nama asli atau alias. Akan
tetapi, yang lebih menarik sebagian besar pengarang cerita pendek majalah Sin Po itu
memberi nama alias dengan huruf tertentu yang berupa singkatan saja, sehingga kita
hanya mengenal nama pengarang S.B.L., K.K., S.S., X.X,. J., W., Z., L., G., dan
sebagainya. Kebangkitan Sin Po memberikan inspirasi bagi majalah sejenis untuk hidup,
seperti Keng Po, yang juga banyak memuat cerita pendek Peranakan Tionghoa. Satu
trend atau kecenderungan penulis Peranakan Tionghoa di majalah Keng Po adalah
menggunakan nama samaran, seperti Cyrus, Sontolojo, Ixcy, Kampret, dan Djin. Di
samping itu, lahir pula majalah Boelan Poernama yang melahirkan penulis muda,
seperti Im Yang Tjoe. Nama Im Yang Tjoe kemudian berselang-seling dengan nama
Kihadjar Darmapralojo, (Erlis Nur Mujiningsih, 2004).
Penutup
Kekayaan khazanah sastra yang dihasilkan oleh para pengarang Peranakan
Tionghoa tidak dapat dipungkiri lagi sebagaimana yang tertera pada jumlah yang telah
disampaikan oleh Claudine Salmon dalam penelitiannya yakni sebanyak 3005 karya.
Kekayaan karya itu mencakup berbagai genre sastra seperti syair, hikayat, sastra
terjemahan (dari Tiongkok dan Barat), novel, roman (cerpen), cerita bersambung, dan
esei politik, keagaman, ekonomi, dan lain-lainnya. Ditinjau dari sisi tema juga
memperlihatkan kekayaan tema yang memuat tema perempuan, kriminal, penyakit
sosial, dan juga semangat nasionalisme dan pribumi.
Patut dicatat bahwa kehadiran karya sastra Peranakan Tionghoa ini
memperlihatkan kesinambungan antara tradisi bercerita (lisan) dengan dunia penerbitan
dan percetakan. Ciri-ciri kelisanan dalam tulisan masih terlihat dalam beberapa karya
seperti penggunaan komposisi skematik lisan dalam cerita, konsep kepengarangan yang
masih belum memperhatikan keorisinalitasan, dan topoi-topoi dalam narasi yang
disampaikan.
Kekayaan sastra Peranakan Tionghoa itu ternyata didukung oleh munculnya
penerbit di kalangan pengusaha Tionghoa yang mendirikan berbagai penerbitan yang
dikelola dan dibiayai oleh komunintas Peranakan Tionghoa. Di sinilah bahasa Melayu
mendapatkan tempat untuk bertumbuh dan berkembang di kalangan pengguna non
Melayu seperti yang terjadi di Jawa. Penyebaran karya sastra Peranakan Tionghoa
hingga ke luar pulau Jawa seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku
memperlihatkan semangat penyebarluasan dan perjuangan bahasa dan sastra Melayu
yang kemudian menjadi cikal bakal bagi perkembangan sastra Indonesia di era mesin
cetak mulai dikenal luas di wilayah Hindia Belanda. Sebuah upaya diplomasi budaya
yang tak dapat dipandang rendah karena dampak penggunaan bahasa Melayu dalam
karya sastra ini juga kemudian terlihat pada penggunaan bahasa Melayu dalam bahasa
surat menyurat resmi seperti kartu pos, surat dagang, dan telegram yang hidup sezaman
dengan perkembangan sastra di kalangan kaum Peranakan Tinghoa ini.
406
Daftar Rujukan
Budianta, Melani. 2005. "Kolase Multikultural Sang Tukang Cerita Cerpen Indonesia
1870-an--1910-an" (hlm.1--31) dalam Nona Koelit Koetjing: Antologi Cerita
Pendek Indonesia Periode Awal (1870-an--1910-an). Jakarta: Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan -Nasional.
------------------- Nona Koelit Koetjing: Antologi Cerita Pendek Indonesia Periode Awal
(1870-1910-an). Jakarta Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Bondsorgaan. 1929. Persatoean Kaoem Prampoean Tionghoa Indonesia. Tahun II,
No.16.
Damono, Sapardi Djoko. dkk. 2005. Nona Koelit Koetjing: Antologi Cerita Pendek
Indonesia
Periode Awal
(1870-an--1910-an). Jakarta: Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional.
Gondomono. 2002. Pelangi Cina Indonesia. Jakarta: PT Intisari Mediatama.
Hakim, Zaenal. 1999. ”Nasionalisme Indonesia Tahun 1930-an dalam Drama Drama
Kwee Tek Hoay”.Jakarta: Pusat Bahasa.
Liji, Liang. 2001. Kata Pengantar dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan
Indoensia Jilid 3. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Nur Mujiningsih, Erlis. 2005. Hubungan Antarras dalam Karya Sastra Indonesia pada
Masa Sebelum Perang dalam Revolusi, Nasionalisme, dan Banjir Roman.
Jakarta: Pusat Bahasa.
Mujizah. 1992. ”Njoo Cheong Seng dan Gagak Lodra’’. Laporan Mandiri.Jakarta: Pusat
Bahasa,
Nio Joe Lan. 1958. Sastra Indonesia Tionghoa. Jakarta. Gunung Agung.
Salmon, Claudine. 1985. Sastra Peranakan Tionghoa dalam Bahasa Melayu. Jakarta:
Balai Pustaka.
--------------------- 2010. Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa.
(terjemahan).Jakarta: KPG, EFEO, Pusat Bahasa, dan Yayasan Nabil.
Sidharta, Myra. (penyunting). 1989. "100 tahun Kwee Tek Hoay". Jakarta:Pustaka Sinar
Harapan.
-------------------- (pengantar).2001. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan
Indonesia. Jakarta: Kepustakan Popluer Gramedia.
Sulistiati dkk.2010. Perempuan dan Perkawinan dalam Cerita Pendek Peranakan
Tionghoa Periode Awal. Jakarta: Pusat Bahasa.
Suryadinata, Leo. 2002. Negara dab Etnik Tionghoa, Kasus Indonesia. LP3ES.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Suatu Pengantar. Jakarta: Pustaka Jaya.
407
Lampiran Foto
408
409
410
MENGUAK SASTRA JAWA LAMA SEBAGAI SUMBER KEARIFAN LOKAL
MELALUI KAJIAN MANUSKRIP-MANUSKRIP
BUSANA TRADISIONAL JAWA
Sri Harti Widyastuti, Anik Ghufron, Siti Mulyani, dan Sukarno
(Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia)
Abstrak: Dalam karya sastra Jawa lama berbentuk manuskrip, deskripsi tentang busana
tradisional Jawa disampaikan dalam bentuk cerita maupun tuturan antar tokoh. Busana
tradisional merupakan identitas bangsa. Sementara itu, rujukan tentang bentuk, ragam,
jenis, atribut, dan fungsi busana tradisional Jawa belum jelas karena sulit didapat.
Manuskrip yang berisi tentang busana tradisional dilakukan. Tujuan penulisan makalah
ini adalah memaparkan langkah kajian sastra lama manuskrip berupa inventarisasi,
deskripsi, transliterasi, terjemahan, dan pemaknaan teks busana tradisional Jawa. Untuk
memaparkan tujuan tersebut dilakukan dengan pendekatan filologi modern dan sastra.
Berdasarkan inventarisasi manuskrip, maka didapatkan lima buah manuskrip
yang berisi tentang busana tradisional Jawa. Pada deskripsi manuskrip tampak bahwa
sebagian manuskrip justru tampak kurang disentuh. Teks merupakan produk Kraton
Kasunanan Surakarta yaitu zaman PB IV tahun 1788-1820. Berdasarkan transliterasi
standar dan terjemahan isi maka dapat dideskripsikan bentuk, ragam, jenis, atribut, dan
fungsi busana tradisional Jawa beserta pemakainya. Busana tradisional Jawa yang
diangkat dari teks dalam manuskrip merupakan sumber data yang menunjukkan kearifan
tradisional. Makna teks tersebut merupakan harta kultural yang dapat menunjukkan ciri
budaya. Adanya ciri tradisi merupakan bukti eksistensi bangsa yang akan memperkuat
identitas nasional.
Kata Kunci: sastra Jawa lama, filologi modern, manuskrip, dan busana tradisional
Pendahuluan
Sastra Jawa mempunyai pengertian yang lebih khusus dibanding dengan sastra
nasional. Hal ini terutama terjadi pada sastra Jawa klasik. Dalam sastra Indonesia
maupun pengertian sastra secara umum, pengertian sastra merujuk pada fiksi. Hal itu
seperti yang disebutkan oleh Nurgiyantoro (1998: 2) bahwa prosa dalam kesastraan
disebut fiksi (fiction). Namun, pada sastra Jawa klasik pengertian sastra menunjuk pada
fakta-fakta. Hal ini disebabkan karena dalam karya sastra Jawa berisi rekaman budaya
pandangan hidup, pengetahuan tradisional, dan sejarah tradisional masyarakat. Hal itu,
seperti dikatakan oleh Teeuw (1983: 3) bahwa teks sastra merupakan pandangan dunia
yang koheren dan bulat. Dalam pandangannya masyarakat Jawa memasukkan ide
pengetahuan tradisional, ajaran, dan sejarah dalam karya yang kemudian disebut karya
sastra.
Sastra Jawa mempunyai sejarah yang sangat panjang dari zaman Jawa Kuna,
Jawa Tengahan, Jawa Islam, sampai Jawa Modern (Pustakawara,tt). Pengertian sastra
Jawa lama menunjuk pada sastra Jawa Klasik, yaitu sastra Jawa masa setelah sastra
Jawa Islam sampai Jawa Modern, dalam sejarah sastra Jawa sering disebut sebagai
sastra Jawa Baru. Adapun yang termasuk pada zaman sastra Jawa Baru adalah karyakarya yang dihasilkan pada kurun waktu abad ke18-19. Pada masa ini karya-karya sastra
411
yang dihasilkan berjenis piwulang, suluk, babad, cerita wayang, dan roman Klasik. Di
samping itu dihasilkan pula teks-teks yang berisi tentang kearifan lokal, undang-undang
dan peraturan pemerintahan, dan buku-buku pelajaran bersastra. Dalam karya-karya
tersebut terkandung budaya-budaya tradisi.
Budaya tradisi melambangkan ciri khas masyarakat penghasilnya. Di
samping itu, tercermin pula filosofi, cita-cita dan pandangan hidup masyarakatnya.
Rekam jejak budaya tradisi terdapat dalam naskah atau manuskrip-manuskrip.
Manuskrip adalah warisan budaya nenek moyang yang berupa tulisan tangan yang
ditulis dengan aksara lokal. Bahan untuk menulis juga berupa bahan-bahan lokal seperti
kulit kayu, lontar, daluwang maupun kertas (Karsono: 2008: 17). Manuskripmanuskrip Jawa berisi tentang berbagai bidang, misalnya sejarah, silsilah,
hukum dan peraturan, wayang, sastra wayang, sastra, piwulang dan suluk, agama Islam,
primbon dan pawukon, bahasa, musik, tari-tarian, dan adat-istiadat (Behrend, 1990 : V).
Manuskrip merupakan salah satu objek filologi di samping teks. Manuskrip
dan teks mempunyai pengertian yang agak berbeda dalam istilah filologi. Pengertian
manuskrip mencakup alat tulis, sampul, aksara, beserta sistem ejaannya, tinta, rubrikasi,
iluminasi, hiasan-hiasan yang ada pada lembar-lembar alas tulis. Baik alas tulis aksara,
tinta, rubrikasi, iluminasi, maupun hiasan menjadi bagian dari manuskrip karena
keberadaannya merupakan bagian dari wujud naskah (Karsono, 2008: 5). Adapun teks
atau wacana merupakan kandungan naskah yang dinyatakan dengan bahasa atau tanda
lain sesuai dengan jenis wacananya (Karsono, 2008: 6). Dalam penelitian sastra Jawa
Lama memerlukan bantuan filologi atau bahkan masuk dalam ranah penelitian filologi.
Hal itu disebabkan karena karya sastra tersebut dituliskan dalam bentuk manuskrip.
Selama ini penelitian-penelitian filologi yang mengait naskah dengan teks lebih banyak
mengarah pada pengungkapan isi yang lebih banyak pada teks ajaran atau piwulang.
Penelitian manuskrip yang berisi tentang pengetahuan-pengetahuan busana, kecantikan,
dan makanan, belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, perlu upaya menguak lebih
jauh kandungan karya sastra Jawa lama yang berisi kearifan lokal praktis seperti busana
tradisional.
Makalah ini merupakan cuplikan sebagian dari hasil penelitian dengan judul
Busana Tradisional dalam Manuskrip-Manuskrip Jawa (Harti Widyastuti, 2015).
Sebagai penelitian filologi, penelitian terhadap karya-karya sastra Jawa Klasik ini
mempunyai langkah-langkah penelitian yang khas, yaitu inventarisasi manuskrip,
deskripsi manuskrip, perbandingan manuskrip (apabila manuskrip jamak), transliterasi
manuskrip, suntingan manuskrip, dan terjemahan manuskrip (Karsono, 2008: 81).
Inventasrisasi manuskrip adalah studi awal yang dilakukan dengan
mengidentifikasi dan menginventarisasi teks-teks sekorpus (Karsono, 2008: 81).
Deskripsi manuskrip dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang wujud
dan bentuk naskah (Karsono, 2008: 83). Dari data-data yang terkumpul pada deskripsi
manuskrip diharapkan akan dapat diketahui usia naskah. Transliterasi manuskrip adalah
alih aksara dari aksara sumber ke aksara sasaran dengan metode yang telah ditentukan
(Karsono, 2008: 98). Metode transliterasi manuskrip adalah metode diplomatik dan
metode standar. Metode diplomatik adalah mengalih aksarakan tulisan dari tulisan
sumber ke tulisan sasaran tanpa mengubah huruf, ejaan, maupun kata (Karsono, 2008:
99). Transliterasi standar adalah mengubah aksara dari aksara sumber ke aksara sasaran
dengan mengadakan perbaikan bacaan (Karsono, 2008: 98). Perbaikan bacaan, yaitu
perbaikan menurut ejaan yang disempurnakan atau konteksnya. Suntingan manuskrip
adalah rekonstruksi naskah dari peneliti dimana peneliti berusaha untuk membuat
rekonstruksi yang benar dan yang sesuai dengan yang diinginkan pada tujuan penelitian.
412
Adapun aliran filologi yang digunakan untuk menguak sastra lama ini adalah filologi
modern yang bertujuan untuk mengungkap isi teks yang ada di dalam manuskrip.
Kearifan Tradisional Jawa
Kearifan lokal adalah sistem pengetahuan tradisional yang ditularkan secara
turun-temurun. Dalam khasanah tradisi, busana Jawa dibagi menjadi dua corak, yaitu
corak Yogyakarta dan corak Surakarta. Kedua corak ini mempunyai ciri yang berbeda.
Ciri-ciri ini berasal dari tradisi pakem Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta.
Condronegoro (1995: 3) menyebutkan bahwa busana tradisi terutama yang dipakai pada
upacara-upacara kerajaan merupakan suatu simbol, identitas yang terkait dengan hak
dan kewajiban pemakainya. Busana tradisi mempunyai pengertian busana yang dipakai
oleh masyarakat pada kurun waktu tertentu sesuai dengan budaya yang berkembang
pada saat itu yang mengandung pandangan dan fungsi-fungsi tertentu yang digunakan
secara terus menerus dari generasi ke generasi berikutnya. Busana tradisi dalam tulisan
ini menunjuk pada busana yang dikenakan oleh raja, patih, beserta para menterinya,
prajurit, dan para abdi dalem, serta rakyatnya. Dalam istilah busana tradisi terdapat
istilah busana kebesaran. Busana ini untuk memperlihatkan wibawa serta keunggulan
pemakainya. Apalagi apabila busana ini dilengkapi dengan perhiasan mewah dan mahal
(Condronegoro, 1995: 3).
Busana tradisi mempunyai paduan berupa perlengkapan busana seperti misalnya
keris, kaos kaki, untaian bunga, dan sebagainya. Demikian pula dalam berbusana
tradisional masyarakat Jawa memakai kain (Jawa) batik yang sesuai. Batik memiliki
makna dalam menandai peristiwa penting dalam kehidupan, karena kain batik telah
terjalin erat ke dalam lingkaran budaya hidup masyarakat (Kusnanto, 2013: 88). Di
samping itu sebagai busana, kain batik digunakan sebagai jarit, sarung, kemben
(penutup dada) sebagai busana tambahan batik digunakan sebagai selendang pundak,
selendang gendong, serta ikat kepala atau udeng (Kusnanto, 2013: 89). Dalam busana
tradisional perbedaan-perbedaan kecil pada busana tradisi seperti lebar ornamen pada
baju, atau lebar garis pada dodot, menunjukkan derajat yang berbeda bagi pemakainya
(Condronegoro, 1995: 3). Dalam pemakaian busana tradisi memerlukan teknik-teknik
tertentu untuk pemakaiannya misalnya, untuk memakai kain panjang dengan draperi,
untuk memakai kain berwiru membutuhkan teknik-teknik khusus (Ernawati, 1994: 20).
Pengungkapan isi teks pada manuskrip-manuskrip yang berisi tentang busana
tradisional berdasarkan tuturan yang ada dalam teks. Di samping itu, pengungkapan
makna sangat bermanfaat bagi masyarakat umum maupun perias pengantin dan para
pengembang busana tradisi. Hal itu disebabkan karena selama ini pathokan bentuk,
wujud, dan pemakaian busana tradisi baik untuk kepentingan sehari-hari di Kraton
berdasarkan keterangan para ahli dalam kraton. Rujukan yang berupa sumber tertulis
masih belum banyak digunakan. Oleh karena itu, data tentang seluk beluk busana tradisi
beserta bentuk, wujud, jenis, cara pemakaian, aturan-aturan pemakaian, sangat
dibutuhkan oleh masyarakat.
Manuskrip-Manuskrip Busana Tradisi Jawa
Dewasa ini manuskrip-manuskrip berisi busana tradisional Jawa tidak banyak
dibandingkan dengan isi berupa piwulang, suluk, babad, dan cerita wayang, serta
pengetahuan tentang jamu, maka manuskrip berisi busana tradisi masih sedikit.
Pada inventarisasi manuskrip yang dilakukan berdasakan katalog Induk Naskahnaskah Nusantara Jilid 1 (Behrend, 1990), Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara
Jilid 2 (Lindsay, 1994), dan katalog manuskrip Jawa di Perpustakaan besar Surakarta
413
dan di Yogyakarta (Girarded, 1983) maka didapatkan 8 manuskrip yang memuat
mengenai busana tradisi Jawa. Manuskrip-manuskrip tersebut terdapat pada kumpulan
manuskrip yang berisi tentang peraturan dan tata krama, serta manuskrip yang ditulis
secara khusus untuk pedoman cara memakai busana tradisi. Adapun manuskripmanuskrip tersebut adalah a) Pangangge Wadana Kliwon terdapat pada Kempalan
Serat-Serat Pranata Ing Surakarta, b) Serat Palidrawa terdapat pada Serat AnggerAngger Tatakrama, c) Serat Tatakrama Kedaton, d) Platen Album dengan kode PBE 38,
e) Tata cara Penganggen Abdidalem Keraton, f) Bab Dodotan, g) Catatan Kahartakan,
h) Serat Tatakrama. Setelah dilakukan studi lapangan terhadap kesembilan manuskrip
tersebut, maka terdapat empat buah manuskrip yaitu Kempalan Serat-Serat Pranata Ing
Surakarta, Serat Palidrawa, Catatan Kahartakan, dan Serat Tatakrama yang berisi
tentang busana tradisi Jawa tidak disajikan secara khusus hanya secara sepintas terdapat
dalam satu kalimat dalam satu teks. Adapun Kelima manuskrip yang berisi tentang
busana tradisi Jawa itu adalah Serat Angger-Angger Tatakrama, Serat Tatakrama
Kedaton, Platen Album, Tata cara Penganggem Abdidalem Keraton, dan Bab Dodotan.
Berdasarkan deskripsi manuskrip maka kelima naskah-naskah yang berisi busana
tradisional tersebut masih dalam keadaan yang baik tidak terdapat kerusakan naskah dan
tulisan dapat dibaca dengan jelas, diperkirakan naskah-naskah disalin pada jaman PB IV
(1788-1820) dan PB V (1820 – 1823).
Berdasarkan kajian tekstual pada Serat Angger-Angger Tatakrama teks ditulis
dalam bentuk prosa. Teks busana tradisi diuntai dalam bentuk cerita, sedangkan Serat
Tatakrama Kedaton ditulis dalam bentuk prosa teks busana tradisi ditulis dalam bentuk
aturan-aturan yang tidak melalui untaian cerita. Platen Album juga ditulis dalam bentuk
prosa, deskripsi teks ditulis dalam wujud busana dan aksesorisnya. Tata cara
Penganggem Abdidalem Keraton berbentuk prosa deskripsi teks ditulis dalam
pengetahuan tentang busana tradisi ditulis dalam bentuk cerita. Bab Dodotan berbentuk
teks pengetahuan busana tradisi disampaikan dalam bentuk deskripsi secara jelas.
Setelah dilakukan inventarisasi naskah ditemukan 5 naskah yang mengandung
busana tradisional Jawa:
Serat Angger-Angger Tatakrama
Serat ini menceritakan tentang tatacara dan peraturan yang disebut juga Serat
Paramasesa artinya menunjukkan tentang wewenang patih dan rakyat dalam
menghadap raja. Patih mempunyai kewenangan untuk mengangkat pembantu yang
berjumlah 4 orang yang disebut abdi jungkas walakas yang pangkatnya sama dengan
lurah. Sejak zaman Kartasura abdi ini tinggal 2 orang. Teks selanjutnya diberi judul
Serat Undhang-Undhang Awisan Dalem berisi perintah Kanjeng Susuhunan
Pakubuwana kepada rakyatnya agar mematuhi aturan. Adapun aturan tersebut
diantaranya adalah aturan pemakaian keris.
Serat Tatakrama Kedhaton
Serat Tatakrama Kedhaton tidak terdapat pembukaan teks. Dalam teks
menceritakan aturan para abdi dalem yang sudah mendapat pangkat kawiryan. yang
disebut Tata Para, artinya para abdi dalem yang sudah mempunyai pangkat. Teks berisi
tentang penggunaan busana basahan, aturan dalam menggunakan kampuh, dan letak
keris.
Platen Album
Platen Album menceritakan tentang a) tatacara memakai keris, serta wujud
warangka wangkingan. Penggunaan sarung keris mempunyai tatanannya baik untuk
414
para golongan pangkat, prajurit, wanita, sampai para abdi dalem. Wujud warangka ada
4, yaitu warangka baranggah, warangka gayaman, warangka tanggalan, dan warangka
bincihan. Warangka keris branggah digunakan bila menggunakan keprabon kampuhan.
Warangka keris tanggalan dan warangka bincihan sering disebut palawijan, sehingga
digunakan untuk pemaknaan sehari-hari.
Para bendara pangeran apabila menggunakan busana keprajuriran menggunakan
2 keris, yaitu dengan jenis sarung keris branggah dan sarung gayaman. Abdi dalem
bupati nayaka menggunakan busana keprajuritan sama dengan para bendara yang
menggunakan 2 keris dengan jenis sarung keris yang sama. Perbedaannya sarung keris
branggah tidak ada taburan batu intannya, bisa hanya dengan dibordir renda, selain itu,
apabila yang menggunakan prajurit.
Serat Tatacara Pengagem Abdi Dalem Kraton
Pada Serat Tatacara Pengagem abdi dalem kraton tidak terdapat pembukaan teks
dalam pembukaan, teks ditulis Serat Adat Tatacara Seperangkat Pakaiannya Abdi
Dalem Panedhumantri di Kraton Dalem Surakarta yang sedang tidak melaksanakan
pekerjaan wajibnya, seperti: apabila berada di rumah, bertamu, ataupun saat sedang
hajatan atau melayat. Selanjutnya ditulis tentang busana dan aksesoris abdi dalem.
Para panewu mantra, lurah bekel di dalam rumah pula tentang memakai jarik,
batik sedangkan pasangannya, ada yang menggunakan sarung sanggan thete, sarung
salekat menurut seleranya.
Serat Bab Dodotan
Serat Bab Dodotan, pada awal teks, dituliskan bahwa pada Hari Jumat tanggal 2
bulan Rabiulawal tahun Dal 1855, penulis yaitu Raden Tumenggung Purawadipura
Bupati muda di Surakarta, menjelaskan aturan orang memakai dodot. Dodot rong lirang
adalah dodot yang panjangnya dihitung dengan tujuh sapu tangan, sebanyak-banyaknya
sembilan sapu tangan mori lebarnya, dijadikan lolo. Selanjutnya dijadikan satu arah
seret, namanya dikampuh. Ujung yang satu sisi dibalenggi dan yang satu sisinya
dipalidi.
Busana Tradisional Jawa dalam Manuskrip-Manuskrip Jawa
Berdasarkan kajian teks yang dilakukan terhadap manuskrip-manuskrip yang
berisi busana tradisional Jawa, maka dapat dideskripsikan jenis-jenis busana untuk
Kanjeng Gusti Adipati Anom, busana untuk para bendara pangeran, busana untuk abdi
dalem bupati nayaka, busana untuk abdi dalem bupati kapten, busana untuk penewu
mantra, busana untuk panji prajuritan, busana jajar ketanggung dan nyutra, busana untuk
wadana agung kumendan, busana untuk kapten yaitu abdi dalem bupati anom, busana
untuk prajurit wirabraja, busana untuk abdi dalem prajurit daeng, busana untuk abdi
dalem prajurit prawiratama pangkat panji, busana untuk abdi dalem prajurit prawiratama
pangkat sersan medhak, busana untuk abdi dalem prajurit prawiratama menabuh tambur,
peniup terompet dan suling, busana untuk abdi dalem prajurit jagakarya, busana untuk
abdi dalem prajurit pangkat panji, busana untuk abdi dalem prajurit pangkat sersan dan
bawahannya, busana untuk abdi dalem prajurit pangkat sersan dan bawahannya pangkat
jajar, busana untuk abdi dalem pangkat sersan, busana untuk abdi dalem sersan
tumedhak abdi dalem prajurit nyutra pangkat panji, busana untuk abdi dalem pangkat
sersan penabuh tambur dan jajarannya, busana untuk abdi dalem prajurit nyutra pangkat
panji, busana untuk abdi dalem prajurit ketanggung pangkat panji, busana untuk abdi
dalem prajurit pangkat sersan sampai jajar, busana untuk abdi dalem prajurit penabuh
415
tambur, peniup terompa, benda, tukang ketipung, tukang kecer, busana untuk
penombak, busana untuk abdidalem prajurit mantra lebet, busana abdi dalem prajurit
langenastra, busana prajurit pangkat wedana sampai lurah, busana untuk prajurit
pangkat brigadir sampai bawahannya, busana untuk abdi dalem prajurit wiji
sumaatmaja, dan busana untuk abdi dalem prajurit kawedanan.
Dalam makalah ini akan dideskripsikan busana untuk kanjeng gusti adipati
anom, busana untuk para bendara pangeran, busana untuk abdi dalem bupati nayaka,
abdi dalem bupati kapten, abdi dalem bupati anom, abdi dalem prajurit wirabraja,
prajurit daeng, wedana ageng kumendan. Di bawah ini dipaparkan tabel untuk jenis
busana, deskripsi busana, perangkat busana, cara memakai, dan acaranya.
Tabel 1. Busana untuk Kanjeng Gusti Adipati Anom
No
1.
Jenis
Busana
Prajuritan
Deskripsi
Busana
Pakaian
kerajaan
saat ada
acara di
kerajaan
Perangkat Busana
Cara Memakai
Mahkota berci hitam,
seperti songkok, sikep
hitam, kamus,
nyampingan sapit
urang, lancingan
panji-panji, bludru
hitam, sepatu hitam,
wangkingan (duwung)
2 biji yang warangka
branggah, anggar satu
bentuk warangka
gajaman
pakaian Dalem kamus
jatuh di luar baju,
nyampingan sapit
urang, wangkingan
(duwung) 2 biji yang
diselipkan satu bentuk
warangka branggah,
yang dipakai anggar
satu bentuk warangka
gajaman dan terkadang
letak sarungan yang
hanya bagian, yang
disebut nganggar tadi
menggantung jatuh
dibagian tangan kiri,
yang diselipkan jatuh
dibagian tangan kanan.
Dalam
Acara
Kirab
Dalem
Tabel 2. Busana untuk Para Bendara Pangeran
No
1.
Jenis
Busana
Prajuritan
Deskripsi
Busana
Pakaian
kerajaan
saat ada
acara di
kerajaan
Perangkat Busana
Cara Memakai
Wangkingan 2 biji
baranggah dan
gayaman, anggar
dibuat dari dasar
laken dan bludru
hitam, diberi bathokan
kuning, suwasa
(logam campuran
emas dengan
tembaga), ditaburi
batu intan. destaran
bathik dasar hitam
dan putih, songkok
laken hitam berbordir,
baju sikepan
balenggen, memakai
kamus berbordir,
sabuk cinde dengan
menggunakan
wangkingan 2 biji, yang
satu sarungan
(warangka) branggah,
penggunaanya
diselipkan di bagian
kanan tetapi agak
miring, yang satu
sarungan berwujud
gayaman, ronjok bagian
tempat sarungan,
memasangnya
pengguna dianggar
yaitu jatuh kedepan
menggantung dan
miring kekiri, wujud
dari anggar tadi, dibuat
dari dasar laken dan
416
Dalam
Acara
Kirab
Dalem
No
Jenis
Busana
Deskripsi
Busana
Perangkat Busana
Cara Memakai
bara, nyampingan
sapit urang, memakai
kaos kaki, sepatu,
bludru hitam, diberi
bathokan kuning,
suwasa (logam
campuran emas dengan
tembaga), ditaburi batu
intan. Memakai kamus
berbordir,
penggunaannya di luar
baju, sabuk cinde
dengan bara.
Dalam
Acara
Tabel 3. Busana untuk Abdi dalem Bupati Nayaka
No
1.
Jenis
Busana
Prajuritan
Deskripsi
Busana
Pakaian
kerajaan
saat ada
acara di
kerajaan
Perangkat Busana
Sama dengan Para
Bendara Pangeran
yang membedakannya adalah duwung
yang sudah dianggar
tadi, kecuali dasar
gayaman hanya tidak
ada taburan batu
intannya, bisa juga
hanya diboldir dengan
renda, dengan wujud
anggarannya tadi
dengan dasar
sarungan baranggah.
Cara Memakai
Duwung yang sudah
dianggar tadi, kecuali
dasar gayaman hanya
tidak ada taburan batu
intannya, bisa juga
hanya diboldir dengan
renda, dengan wujud
anggarannya tadi. Dan
dengan dasar sarungan
baranggah, juga
diselipkan tetapi
dibelakang bagian
kanan agak miring.
Dalam
Acara
Kirab
Dalem
Tabel 4. Busana untuk Abdi dalem Bupati Kaptin
No
1.
Jenis
Busana
Prajuritan
Deskripsi
Busana
Pakaian
kerajaan
saat ada
acara di
kerajaan
Perangkat Busana
Cara Memakai
Hanya menggunakan
satu duwung yaitu
warangka baranggah.
Bebedan
(menggunakan kain
panjang untuk lakilaki), dengan tudung
songkok (tudung
kepala yang bagian
belakangnya terbuka)
dasar laken hitam
palisir renda, baju
singkepan balenggen
dasar laken hitam,
kamus bludiran,
penggunaannya di
luar baju, celana
panji-panji dasar
laken hitam,
Karena menggunakan
kuda (kapal), dalam
penggunaan duwung
hanya satu, berwujud
sarungan (warangka)
baranggah, posisi
penggunaan diselipkan
dibelakang dengan
diputar, lirunya duwung
anggaran yaitu
menggunakan sabet
(pedang) slarakan.
417
Dalam
Acara
Menuju
menggunak
an
prajuritan
gladi bersih.
No
Jenis
Busana
Deskripsi
Busana
Perangkat Busana
Cara Memakai
Dalam
Acara
menggunakan kaos
kaki, sepatu warna
dasar hitam, naik
kuda, mandhe sabet
(pedang)
Tabel 5. Busana untuk Kaptin yaitu abdi-dalem Bupati-anom
No
1.
Jenis
Busana
Keprabon
Deskripsi
Busana
Pakaian
kerajaan
saat ada
acara di
kerajaan
Jenis
Busana
Prajuritan
Deskripsi
Busana
Pakaian
kerajaan
saat ada
acara di
kerajaan
Perangkat Busana
Cara Memakai
Memakai kuluk putih,
sikepan balenggen,
kampuhan memakai
moga, celana pendek,
memakai duwung
warangka Branggah,
dan juga membawa
teken, dasar kayu.
Memakai duwung
warangka Branggah,
memakainya di
belakang terselip bagian
kiri, agak mepet.
Dalam
Acara
Garebeg
Tabel 6. Busana untuk Prajurit Wirabraja
No
1.
Perangkat Busana
Cara Memakai
Memakai udeng
wulung, topi merah
dengan laken berenda,
pakaian singkepan
sangkelat merah
pinalisir renda,
dengan kotang putih,
sabuk cinde, memakai
bara, celana sangkelat
merah panji-panji,
kaos kaki putih,
sepatu hitam,
memakai duwung dua
yaitu baranggah dan
gayaman. Panjinya
membawa sabet
(pedang), slarakan,
jika yang membawa
bendera duwungnya
hanya satu yaitu
warangka branggah.
Jika yang membawa
senjata (pistol), dan
yang membawa woas
(tombak), juga
menggantungkan
duwung semua. Jika
pangkat jajar
udengnya berwarna
putih (abu-abu), topi
Duwungnya dua, yang
branggah diselipkan di
belakang bagian kanan,
yang gayaman dicote di
depan bagian kanan,
juga memakai
rangkaian bunga melati,
Panjinya membawa
sabet (pedang),
slarakan, jika yang
membawa bendera
duwungnya hanya satu
yaitu warangka
branggah, dipakai
dengan digantungkan
jatuh kebelakang bagian
kanan. Jika yang
membawa senjata
(pistol), dan yang
membawa woas
(tombak), juga
menggantungkan
duwung semua,
kemudian tombaknya
juga ......, diberi
rangkaian bunga.
418
Dalam
Acara
Garebeg
No
Jenis
Busana
Deskripsi
Busana
Perangkat Busana
Cara Memakai
Dalam
Acara
dan pakaiannya.
pemakaiannya Jajar,
sayaknya berwarna
putih diwiru semua.
Tabel 7. Busana untuk Abdidalem prajurit Daeng
No
1.
Jenis
Busana
Prajuritan
Deskripsi
Busana
Pakaian
kerajaan
saat ada
acara di
kerajaan
Perangkat Busana
Cara Memakai
memakai topi
jangkangan dasar laken
hitam, dengan renda,
bulu-bulu dasar putih,
jatuh di samping kanan,
udeng wulung, pakaian
sikepan laken putih
pinalisir direnda,
kotang putih, memakai
sabuk bara dasar cinde,
celana panjang dasar
laken putih, memakai
setrip merah, sepatu
hitam, Panji memakai 2
duwung yaitu
baranggah dan
gayaman. Memakai
sabet (pedang)
slarakan, sajak putih,
sarempang rangkaian
bungan melati,
memakai kaos tangan
dasar putih. Yang
membawa bendera,
duwung hanya satu.
Yang membawa senjata
serta waos juga sama,
hanya topinya dasar
dasar cucal (lulang)
kehitaman, pakaiannya
bagian tangan dengan
pinalisir laken merah.
Dua duwung, yang
branggah diselipkan
jatuh kebawah
belakang, yang
gayaman dicote di
depan bagian kanan.
Yang membawa
bendera, duwung hanya
satu diselipkan di
belakang bagian kanan
dasar rangka branggah.
Yang membawa bende
ketipung, kecer,
...................................,
pemakaian gayaman
dianggar, jatuh
kekanan, yang branggah
diselipkan di belakang
bagian kanan, udeng
kayu.
Dalam
Acara
Garebeg
Tabel 8. Busana untuk Wadana-ageng Kumendan
No
1.
Jenis
Busana
Keprabon
Deskripsi
Busana
Pakaian
kerajaan
saat ada
acara di
kerajaan
Perangkat Busana
Keprabon cara Belanda,
dasar hitam yaitu yang
disebut mentering
ageng, hanya tidak
memakai duwung,
hanya memakai sabet
(pedang) slarakan,
419
Cara Memakai
Dalam
Acara
Menuju
datang
sowan,
seperti jika
menuju ke
hari
Garebeg.
No
Jenis
Busana
Deskripsi
Busana
Perangkat Busana
Cara Memakai
Dalam
Acara
dalam memasang sabet
di bagian kiri.
Manuskrip yang berisi busana tradisional Jawa tersebut ditulis pada masa PB IV
dan V. Pada komposisi perangkat busana tampak adanya perangkat yang berbeda pada
busana yang dipakai oleh putra mahkota dan putra-putra raja yang berasal dari selir.
Seperti diketahui bahwa putra sulung laki-laki Susuhunan dengan permaisuri setelah
dewasa bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegara Sudibya Raja
Putra Narendra Mataram (Margana, 2010: 4) atau sering disebut Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Anom. Sementara itu, gelar putra sulung laki-laki raja dari selir
setelah dewasa bergelar bendara Kanjeng Pangeran Hangabehi (Margana, 2010: 4).
Perangkat busana untuk putra mahkota menggunakan mahkota berci hitam, sementara
untuk putra selir menggunakan songkok laken hitam berbordir. Busana putra mahkota
adalah sikepan hitam sementara untuk bandara memakaidestaran batik dasar hitam atau
putih dengan busana sikepan balenggen. Sedangkan busana untuk para abdi dalem
bupati nayaka hampir sama dengan busana dan perangkat para bendara pangeran, yaitu
pemakaian keris. Pada bupati nayaka keris tidak bertabur batu intan hanya dibordir
dengan renda.
Dari varian busana dan perangkatnya busana untuk Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Anom dan para bendara pangeran tidak begitu tampak berbeda. Hal itu
menandakan pandangan masyarakat keraton yang sangat menghormati generasi penerus
keturunan raja. Sementara perbedaan dengan busana abdi dalem bupati nayaka hanya
dari hiasan intan yang terdapat pada kerisnya saja. Sementara, busana untuk wedana
ageng kumendan tampak adanya pengaruh kompeni yang sangat kuat. Disebutkan
dalam manuskrip bahwa busana keprabon seperti Belanda yang disebut mentering
ageng.
Mentering
merupakan
seragam
khusus
untuk
pesiar
(http://setyaningsihmoerwengdyah.blogspot.co.id/2012/08/seni-tata-busana.html.)
Busana tersebut dilengkapi dengan pedang. Busana untuk kelompok abdi
dalem yang bupati nayaka, abdi dalem bupati kapten, dan busana abdi dalem bupati
anom yang disebut kaptin tidak begitu tampak perbedaan secara mencolok hanya variasi
busana dan perangkatnya yang berbeda.
Dalam teks Platen Album Jilid II disebutkan bahwa yang disebut busana
prajuritan adalah busana yang dipakai untuk menjemput kedatangan gubernur dan
upacara kirab. Sementara Condronegara (1995: 30) menyebutkan bahwa busana
kebesaran yang digunakan untuk upacara ageng yaitu kegiatan berupa sunatan,
perkawinan, garebeg, tingalan dalem tahunan, jumenengan dalem, agustusan, serta
sedan (pemakaman jenazah). Busana raja disebut sebagai busana keprabon. Busana
keprabon diperuntukkan bagi para putra Sultan atau putra dalem. Namun dalam teks ini
busana keprabon juga diperuntukkan bagi busana untuk kapten dan busana untuk
wadana ageng kumendan. Hal itu dimungkinkan karena jabatan tersebut mengait kuat
dengan kompeni. Seperti diketahui bahwa Belanda telah mempengaruhi seluruh
kekuatan kerajaan di Jawa termasuk zaman Kasunanan Surakarta. Karena pengaruh
yang sangat kuat tersebut, maka raja atau abdi yang diperintah mengembangkan busana
tradisional menyesuaikan dengan budaya kompeni. Demikian pula jabatan tersebut
diberi corak busana tersendiri yang masuk pada golongan busana keprabon.
Busana keprabon menggunakan busana dodotan atau kampuhan. Menurut
Condronegara (1995: 30) busana dodotan merupakan rangkaian busana yang terdiri dari
420
kuluk dengan hiasan mundri atau nyamat, kampuh konca satunggal, celana cinde gubeg,
maga, renda bewarna kuning, pethat jeruk sak ajar, rante, karset, kamus, timang atau
kreteg, dan keris branggah.
Deskripsi secara jelas dalam teks terkait dengan corak yang digunakan tidak
terlihat sementara hal itu bisa menjadi penunjuk strata sosial. Demikian pula, lebar
ornamen yang menjadi bagian kelengkapan busana bisa menunjukkan keturunan
permaisuri atau selir. Lebar sulaman benang emas menunjukkan jati diri pemakainya.
Adapun busana prajurit dalam teks tersebut mempunyai corak yang berbeda
dengan busana keprabon. Busana prajurit mengesankan kekuatan dan bersifat seragam.
Kesan yang tampak dari busana keprajuritan ini adalah keperkasaan, kedisiplinan, dan
kesigapan.
Kesimpulan
Sastra Jawa lama mengandung kearifan lokal. Salah satu kearifan lokal tampak
pada busana tradisional. Manuskrip-manuskrip Jawa yang mengandung busana
tradisional Jawa tidak banyak ditemukan. Terdapat 5 manuskrip yang berisi busana
tradisional Jawa. Manuskrip-manuskrip Jawa yang berisi busana tradisional Jawa adalah
produk karya sastra zaman Pakubuwana ke IV. Oleh karena itu, busana tradisional Jawa
yang dituliskan dalam manuskrip-manuskrip tersebut bisa dijadikan acuan bagi corak
busana tradisional Jawa pada masa kini.
Untuk menguak sastra Jawa lama berupa manuskrip-manuskrip Jawa diperlukan
pendekatan filologi dengan terlebih dahulu melakukan inventarisasi, deskripsi,
transliterasi, dan terjemahan. Busana tradisional Jawa yang dituliskan dalam manuskrip
tersebut meliputi busana keprabon dan busana keprajuritan. Busana keprabon untuk
putra mahkota dan putra raja dengan selir tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
Dari kajian terhadap busana tradisional yang terdapat pada manuskrip-manuskip Jawa
tampak adanya kenyataan sejarah berupa hubungan yang sangat dekat antara kompeni
dengan kraton. Pengaruh tersebut misalnya tampak pada dimunculkannya busana
tradisional untuk kapten dan wadana kumendan. Kearifan masyarakat Jawa terkait
dengan kedudukan kraton dan raja tampak dengan dirancangnya busana yang
mempunyai motif-motif dan perlengkapan yang mempunyai makna sesuai dengan
jabatan yang melekat pada orang yang memakai busana tersebut.
Daftar Rujukan
Behrend, T.E., Katalog Judul Naskah-naskah Nusantara Jilid I dan V, Museum
Sanabudaya Yogyakarta, Jakarta: Djambatan, 1990.
Burhan, Nurgiyantoro. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Condronegoro, Mari S. 1995. Busana Adat Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan
Pustaka Nusatama.
Ernawati dan Edi S. 1995. Buku Pintar Perempuan. Jakarta: Bina Mulya.
Girarded, Nikolaus dan Susanto,. Descriptive Catalogue Of The Javanese Manuscripts
and Printed books in the main Libraries of Surakarta and Yogyakarta,
Weisbadan: Franz Steiner Verslag GMBH, 1983.
Harti Widyastuti, Sri. 2015. Busana Tradisional dalam Manuskrip-Manuskrip Jawa.
LPPM Universitas Negeri Yogyakarta.
421
Karsono H Saputra. 2008. Pengantar Filologi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Kray.
SM.
Anglingkusomo.
2012.
Seni
Tata
Busana.
(http://setyaningsihmoerwengdyah.blogspot.co.id/2012/08/seni-tatabusana.html.)
Kusnanto, Adi. 2013. Batik Filosofi, Motif, dan Kegunaan. Yogyakarta: C.V Andi
Offset.
Lindsay, Jennifer, R. M. Soetanto, dan Alan Feinstein. 1994. Katalog Naskah-naskah
Nusantara: Kraton Yogyakarta Jilid 2. Jakarta: Djambatan.
Margana, S. 2010. Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Pustakawara, tt, 2008.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
422
TOKO BUKU, PAMERAN BUKU, DAN PERPUSTAKAAN
DALAM SIRKULASI SASTRA DI SUMATERA BARAT
Sudarmoko
Abstrak: Dalam kajian sastra Indonesia, penelitian mengenai peran dan fungsi toko
buku dan perpustakaan dalam penyebaran gagasan dan pengaruh antar budaya masih
sedikit dilakukan. Toko buku yang ada di Sumatera Barat, dari segi kepemilikannya,
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu jaringan toko buku nasional Gramedia yang dimiliki
oleh pihak luar dan sejumlah toko buku lokal yang dimiliki oleh para pengusaha dari
Sumatera Barat sendiri, seperti Sari Anggrek. Kedua jenis toko buku ini memiliki
perbedaan dalam fokus kegiatannya dan karena itu memiliki peran dan fungsi yang
berbeda. Demikian juga dengan pameran buku biasanya dilakukan oleh asosiasi,
penerbit, atau distributor buku yang ada di Sumatera Barat, dan dalam banyak
kesempatan didukung oleh pemerintah daerah. Sementara perpustakaan terdiri dari
perpustakaan daerah, lembaga pendidikan, komunitas, dan koleksi pribadi yang terbuka
untuk umum. Di perpustakaan ini juga dapat dilihat kegiatan penyebaran gagasan dan
karya sastra, yang ikut memengaruhi perkembangan kesusasteraan di Sumatera Barat.
Makalah ini mencoba untuk meninjau peran toko buku, pameran buku, dan
perpustakaan di Sumatera Barat, dalam kaitannya dengan perkembangan pengaruh,
dialog, dan persentuhan antara wacana daerah atau negara lain yang dibawa oleh karya
sastra dan buku-buku lain terhadap perkembangan kesusasteraan dan kebudayaan di
Sumatera Barat, dan sebaliknya.
Pendahuluan
Distribusi dan sirkulasi karya sastra memiliki arti dan peran penting dalam usaha
meneliti kesusastraan, terutama dalam kajian sosiologi sastra. Bila kita melacak kembali
praktik distribusi dan sirkulasi sastra ini, Balai Pustaka menjadi salah satu contoh utama.
Sebagaimana ditulis Teeuw (1972: 8), “Sesungguhnya salah satu fungsi utama Balai
Pustaka, semasa periode sebelum perang, adalah produksi dan distribusi kekayaan sastra
tradisional di antara orang-orang Hindia Belanda.” Fungsi Balai Pustaka ini dijalankan
melalui praktik monopoli dan hegemoni, berkat kekuasaan pemerintahan yang
dipegangnya, terhadap pembersihan jalur taman bacaan, perpustakaan sekolah, di hilir
upaya ini, dan pada seleksi naskah dan penerbitan di hulunya. Demikian juga dengan
pendirian Balai Pustaka sendiri oleh pihak penjajah Belanda, merupakan satu cara untuk
mengontrol dan menyensor bahan bacaan yang beredar luas di masyarakat pada masa itu
(Balfas, 196?: 2).
Bagaimanapun juga, distribusi dan sirkulasi buku melalui jalur profit dan non
profit, seperti toko buku, pameran buku, dan perpustakaan mempunyai hubungan yang
erat dengan pembaca, karena dari jalur inilah pembaca mendapatkan buku-buku yang
dibeli, dipinjam, atau dibaca di tempat. Ditambah lagi, pembaca juga ditentukan oleh
tingkat pendidikan, keberaksaraan, dan ekonomi untuk mendapatkan dan mengakses
buku. Kondisi pembaca dan pembeli buku di Indonesia, dalam pandangan Garcia (2006:
184) memang menyedihkan. Garcia menulis,
“Menyedihkan, bahwa orang Indonesia tidak membaca buku-buku berbahasa Indonesia.
Budaya membaca masih rendah. Perpustakaan hanya sedikit, buku-bukunya berdebu dan
423
berjamur. Jumlah 98 persen tingkat keberaksaraan anak-anak muda Indonesia tidak
mengatakan seluruh cerita yang ada. Keseluruhan tingkat keberaksaraan malah lebih
rendah, 84 persen. Dan setengah dari jumlah penduduk keluar dari sekolah antara umur 15
dan 19 tahun (BPS 2002: 103). Empatpuluh lima persen dari judul buku yang diterbitkan
pada tahun 2004 datang dari hanya satu konglomerat penerbitan, Gramedia. 55 persen
yang lain merupakan terjemahan (Suwarni 2004: Y09 2005). Meskipun demikian, budaya
baca sedang meningkat, disebabkan sebagian besarnya karena penerbitan Indonesia lebih
bebas dibanding ketika di bawah rezim Orde Baru Suharto.”
Persaingan antara toko buku juga menjadi satu keniscayaan. Apa yang terjadi di
Sumatera Barat, dapat diperbandingkan dengan kasus yang diungkap oleh Jen Li (2010:
247-262) tentang persaingan toko buku independen dan toko buku berjaringan dan
penjualan online di Sydney, Australia. Toko buku independen memiliki karakteristik
yang lebih mengakomodir karya-karya yang terbit di daerah dimana toko itu berada, dan
juga melibatkan diri dalam kehidupan sastra di tempat tersebut. Di Sumatera Barat, toko
buku independen dapat dilihat dari keberadaan Sari Anggrek, dan toko buku berjejaring
melalui keberadaan Gramedia. Jika diteliti lebih jauh, keberadaan toko buku sebenarnya
dapat menunjukkan secara keseluruhan proses penerbitan dan percetakan, bagaimana
buku dihasilkan, jumlah oplah dan pembaca, pendidikan, dan tidak melulu sebagai
usaha bermodal yang keuntungannya dapat menutup modal dalam waktu yang lama
(McElligot, 2013:135).
Toko Buku di Sumatera Barat: Pengaruh, Kepemilikan, dan Kebanggaan
Toko buku menjadi salah satu media distribusi karya sastra yang diterbitkan.
Sebagai sebuah media, terdapat beberapa kepentingan atau pihak yang terlibat di dalam
system yang dibangun di toko buku. Di antaranya adalah penerbit, distributor, karya
sastra sebagai produk industri, manajemen toko buku, pembaca atau pembeli, dan
penulis.
Keberadaan karya sastra di toko buku dapat dikatakan berada di tempat yang
penting. Setelah sebuah karya sastra ditulis, dicetak dan diterbitkan, karya sastra
tersebut akan menghampiri pembaca. Salah satu media perjalanan karya sastra itu
adalah toko buku. Karya sastra yang sudah diterbitkan menjadi buku, akan dibeli oleh
pembaca. Dalam lingkup yang lebih luas, keberadaan toko buku dan sistem yang ada di
dalamnya memiliki peran dan fungsi, pertarungan ekonomis dan sosial, penyebaran
gagasan, dan peristiwa sastra, terutama di tempat toko buku itu berada.
Di Sumatera Barat, terdapat dua buah toko buku besar yang dapat dikatakan
memiliki pasar bagus dan bertahan cukup lama, yaitu Gramedia dan Sari Anggrek.
Gramedia merupakan jaringan toko buku besar di Indonesia, yang dimiliki oleh
kelompok usaha Kompas-Gramedia. Toko buku Gramedia di Padang terletak di Jalan
Damar no 63. Jalan Damar merupakan salah satu jalur utama di Kota Padang. Bahkan
sebelumnya tidak jauh dari Jalan Damar ini terletak terminal bus antar kota/ antar
provinsi, yang menjadikan letak Gramedia berada pada posisi yang strategis bagi
pengunjung. Sementara toko buku Sari Anggrek terletak di Jalan Permindo 61-63.
Lokasi ini juga cukup strategis, di sudut jalan kompleks pertokoan, yang menjadi jalur
utama angkutan kota menuju Pasar Raya Padang.
Buku-buku yang dijual di kedua toko buku ini memiliki perbedaan. Toko buku
Sari Anggrek yang didirikan oleh Azhar Muhammad (biasa dipanggil Pak Haji) pada
tahun 1955 ini berisi buku-buku agama, karya sastra klasik, buku-buku pelajaran, dan
buku-buku terbitan penerbit di Sumatera Barat. Gramedia, di sisi lain, menyediakan
424
buku-buku yang diterbitkan terutama sekali oleh kelompok penerbitan KompasGramedia dan penerbit-penerbit lain yang disalurkan melalui distributor besar.
Sari Anggrek menjadi sebuah toko buku kebanggaan bagi masyarakat Padang
dan Sumatera Barat. Toko buku ini telah berpartisipasi dalam berbagai kegiatan
perbukuan, baik di tingkat provinsi Sumatera barat maupun di tingkat nasional. Toko
buku ini pada awalnya memiliki cabang yang juga berada di jalan Permindo dan di
Bukittinggi. Karena dimiliki oleh pengusaha lokal dan menjadi bagian dari masyarakat
Sumatera Barat, toko buku ini memberi perhatian yang besar pada dunia perbukuan dan
kepenulisan di Sumatera Barat. Selain menampung buku-buku karya penulis dan
penerbit Sumatera Barat, Sari Anggrek juga memberikan dukungan pada aktivitas yang
berkaitan dengan kepenulisan, penerbitan, dan perbukuan. Sari Anggrek turut menjadi
sponsor kegiatan-kegiatan akademik dan kepenulisan, seperti workshop kepenulisan,
peluncuran buku, aktivitas sastra dan kesenian, yang diadakan baik oleh mahasiswa di
berbagai perguruan tinggi, lembaga kesenian, dan komunitas sastra. Bagi dunia
penerbitan, Sari Anggrek memiliki unit usaha penerbitan bernama Anggrek Media.96
Anggrek Media merupakan salah satu anggota aktif dan pertama dari IKAPI cabang
Sumatera Barat.
Dalam perjalanan toko buku dan dunia perbukuan, Sari Anggrek telah ikut serta
dalam mendukung, mensponsori, dan terlibat aktif dalam penyelenggaraan pameran
buku di tingkat nasional dan lokal. Misalnya saja, dalam pameran buku nasional IKAPI
1981, Sari Anggrek menjadi salah satu sponsor kegiatan ini. Demikian juga dengan
pameran-pameran buku yang diadakan di Padang, Sari Anggrek terlibat langsung dalam
mensponsori dan mendukung kegiatannya. Gramedia mendirikan cabang usaha bisnis
toko buku di Padang pada tahun 1980. Toko buku yang terdiri dari tiga lantai ini
menjual buku, di lantai dua dan tiga, dan peralatan kantor, olah raga, mainan anak-anak,
barang elektronik, serta olah raga, di lantai satu. Konsep penyediaan barang non buku di
toko di samping untuk menarik jumlah pengunjung juga untuk menambah pemasukan
yang lebih besar daripada hanya menjual buku. Buku-buku yang disediakan terdiri dari
beragam jenis, mulai dari komik, novel remaja, buku-buku bacaan dan referensi
akademik, kamus, disain, karya sastra, filsafat, hingga film-film dalam bentuk cd dan
dvd.
Buku-buku yang dijual di Gramedia terutama sekali adalah terbitan penerbit yang
tergabung dalam kelompok Kompas Gramedia (Grasindo, Buku Kompas, Elex Media
Komputindo, Gramedia Pustaka Utama), dan dari penerbit lain yang disalurkan melalui
distributor yang terdaftar pada jaringan Gramedia. Berbagai penerbit, terutama di pulau
Jawa, memiliki jaringan distribusi ini. Dengan demikian, buku-buku yang tersedia di
toko buku Gramedia lebih banyak yang diproduksi oleh penerbit luar Sumatera Barat,
dibandingkan dengan penerbit dari Sumatera Barat.
Sari Anggrek sebagai toko buku yang dimiliki oleh pengusaha lokal tidak
tergantung pada jalur distribusi buku seperti Gramedia. Buku-buku yang dijual di toko
buku ini juga berbeda dalam hal jenis bacaan dan penerbit dibanding Gramedia. Dalam
beberapa kali kunjungan ke toko buku ini, saya menemukan buku-buku yang sudah
cukup lama berada di rak buku, dalam jumlah beberapa eksemplar, dan bahkan tertutup
96
Penebit ini telah menerbitkan sejumlah buku seperti Tangan Tuhan di Detik-detik Terakhir
(Suheimi, 2005), Kamus Umum Bahasa Minangkabau-Indonesia (Abdul Kadir Usman, 2002), Dr.
H.K. Suheimi, Sp.O.G.K. FER. MBA: Menjawab Seputar Seks dan Kesehatan (Suheimi dan
Suharizal (eds.), 2003), Nurhama: Lima Puluh Petuah Hidup (Suheimi, Miko Kamal, dan
Suharizal, 2002), Fatamorgana Kehidupan (Suheimi, Miko Kamal, dan Suharizal, 2002).
425
oleh buku yang lebih baru. Selain buku-buku terbitan luar Sumatera Barat yang
diedarkan oleh distributor, toko buku ini mengakomodir buku-buku yang diterbitkan
oleh sejumlah penerbit di Sumatera Barat, dan penerbit luar yang dititipkan oleh
penulisnya.
Jika merujuk pada data sejarah perkembangan toko buku, pada masa-masa awal
kemerdekaan, di Sumatera Barat terdapat sejumlah toko buku. Menurut catatan panitia
Pekan Buku Indonesia yang diadakan oleh Gunung Agung (1954), terdapat 72 toko
buku di seluruh Sumatera Barat, yang meliputi Air Bangis (1), Batu Sangkar (4),
Bukittinggi (14), Padang (22), Padang Panjang (9), Painan (1), Payakumbuh (14),
Pariaman (1), Sawahlunto (3), Sicincin (1), Solok (1), dan Sungai Dareh (1). Jumlah
toko buku ini memang termasuk banyak dan memiliki sebaran yang lebih merata
dibandingkan dengan kondisi saat ini. Dilihat dari jumlah tersebut, sirkulasi dan
distribusi bahan-bahan bacaan dapat mencapai daerah yang luas, dengan pangsa pasar
yang lebih beragam. Toko buku di daerah-daerah ini menjadi salah satu sarana utama
dalam menyebarkan dan membentuk gagasan-gagasan yang disampaikan melalui buku.
Kebutuhan akan bahan bacaan, terutama yang bertema agama dan budaya bagi
masyarakat yang tinggal di daerah yang jauh dari kota sangat tinggi.
Pameran Buku
Pameran buku menjadi salah satu media yang dapat mendekatkan buku, penerbit,
penulis, dan pembaca. Selain memamerkan dan menjual buku-buku dengan harga lebih
murah, sebagai ajang promosi buku dan penerbit, pameran buku juga biasanya diisi
dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan dunia perbukuan, penulisan, dan
keberaksaraan. Sebagai contoh, dalam pameran buku Padang Book Fair yang diadakan
oleh IKAPI pada tahun 2012 pada 3-11 November 2012 di halaman RRI Padang,
diadakan acara pemilihan Uda dan Uni buku Sumbar 2012, lomba mading, lomba baca
puisi, mewarnai, menggambar, penulisan karya sastra, dan bedah buku.97 Demikian juga
dengan pameran buku 2005 yang diadakan 23-25 Juli 2005, berisi dengan acara
pameran dan lomba. Di antara kegiatan yang diadakan adalah pameran lembaga
pendidikan, loma menulis cerpen, lomba menulis artikel, lomba menggambar dan
mewarnai, lomba pantun, dan temu penulis.98
Penyelenggara utama pameran buku di Sumatera Barat adalah IKAPI, yang
didukung oleh toko buku, perusahaan daerah, media massa, dan perusahaan-perusahaan.
Dua tempat yang selalu menjadi pilihan pelaksanaan pameran buku adalah Gedung
Bagindo Aziz Chan dan di gedung dan halaman RRI Padang di Jalan Sudirman, Padang.
Kedua tempat ini memiliki ruang yang cukup luas dan representatif, serta berada di jalan
protokol yang dapat dengan mudah dijangkau oleh masyarakat dari berbagai daerah.
Pameran buku selalu diikuti oleh para penerbit dari berbagai daerah di Indonesia, baik
penerbit buku-buku umum maupun pelajaran sekolah. Pameran buku yang pernah
diselenggarakan di Padang memiliki fokus yang berbeda-beda, yang sebagian besar
disebabkan oleh jenis dan jumlah penerbit yang memiliki ketertarikan dalam tema
tertentu, seperti buku-buku bertema agama, pelajaran sekolah, buku panduan teknologi
tepat guna, atau sastra dan sosial.
97
Untuk informasi mengenai Padang Book Fair 2012 lihat https://padangbookfair.wordpress.com/
(diakses 7-9-2015).
98
Informasi mengenai pameran buku 2005 lihat http://padangbookfair2005.blogspot.nl/ (diakses
7-9-2015).
426
Perpustakaan di Sumatera Barat
Perpustakaan sudah menjadi program yang lama dalam pemerintahan, baik di
masa penjajahan maupun setelah kemerdekaan. Perpustakaan atau Taman Pustaka yang
ada di Sumatera Tengah, termasuk Sumatera Barat, menurut catatan hingga Maret 1952
sebanyak 208 buah. Taman Pustaka ini ditujukan kepada masyarakat umum sebagai
tempat bacaan kaum dewasa yang sudah lepas dari masa sekolah. Pembagiannya adalah
untuk kategori Pengantar sebanyak 104 buah dengan koleksi 6373 buah buku, kategori
Rendah (A) sebanyak 89 tempat dengan 11485 koleksi buku, kategori Menengah (B) 14
buah dengan 14775 buah koleksi buku, dan kategori Tinggi (C) sebanyak 1 buah dengan
5459 koleksi buku (Republik Indonesia Sumatera Tengah, 1954: 829).
Saat ini, di Sumatera Barat terdapat dua perpustakaan milik pemerintah yang
cukup representatif, yaitu perpustakaan provinsi yang terletak di Jalan Diponegoro 4
Padang yang hingga tahun 2013 tercatat memiliki 191.391 buah koleksi buku, naskah,
dan rekaman, dan Perpustakaan nasional Bung Hatta yang berada di Bukit Gulai Bancah
Bukittinggi, dengan koleksi 110.000 eksemplar buku pada tahun 2011.99 Selain itu,
sejak 2008, setiap pemerintah kabupaten/kota harus memiliki perpustakaan dan badan
arsip. Pengadaan buku-buku perpustakaan daerah didanai oleh APBD (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah), termasuk kegiatan atau program kegiatan dan
pengelola perpustakaan. Namun demikian, kondisi perpustakaan pemerintah di
kabupaten/kota ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap bahan
bacaan, dan kegiatan-kegiatan yang diadakan masih terbatas.
Di berbagai perpustakaan inilah masyarakat luas dapat meminjam dan membaca
buku-buku yang diperlukan. Berbagai kategori bacaan yang disediakan oleh
perpustakaan daerah provinsi, termasuk biografi, matematika, agama, manajemen,
geografi, iptek, ensiklopedia, ekonomi, biologi, fisika, kimia, pengetahuan umum,
politik, perikanan dan pertanian, peternakan, kedokteran, dan hiburan anak dan remaja
yang memasukkan karya sastra sebagai bagian terakhir ini. Pada pengadaan tahun 2012,
dua kategori yang berisi karya sastra di dalamnya adalah Minangkabausiana (100 judul
buku) dan hiburan anak dan remaja yang mencakup karya sastra sebanyak 325 buah
judul buku. Kategori ini menambah paling banyak judul buku yang dibeli dan
disediakan di perpustakaan daerah Sumatera Barat.
Beberapa lembaga atau kantor pemerintah juga memiliki perpustakaan yang
dapat dikunjungi oleh masyarakat umum. Lembaga atau kantor ini umumnya yang
memiliki ruang lingkup kerja dalam bidang penelitian dan pengembangan ilmu, seperti
Balai Bahasa, Balai Pelestarian Nilai Budaya, Badan Penelitian dan Pengembangan
Daerah. Perpustakaan yang tersedia umumnya memanfaatkan salah satu ruangan kantor.
Buku-buku yang tersedia lebih spesifik, disesuaikan dengan focus lembaga atau kantor
yang bersangkutan.
Perpustakaan di sekolah dan kampus atau perguruan tinggi merupakan bagian
yang menyatu dengan lembaga pendidikan. Setiap sekolah memiliki perpustakaan yang
berisi buku-buku pelajaran yang menunjang aktivitas belajar mengajar dan buku-buku
bacaan yang menjadi pengayaan bagi peserta didik.
Buku-buku yang tersedia di perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi
disediakan dengan tujuan untuk pendidikan, dan karena itu koleksi perpustakaan ini
ditentukan oleh pengelolanya berdasarkan tujuan tersebut. Buku-buku disediakan
berdasarkan anggaran yang tersedia di sekolah atau dinas pendidikan setempat. Biaya
99
http://uptperpusbunghatta.pnri.go.id/content/kiprah-pustaka-bung-hatta-bukittinggi diakses pada
7-9-2015.
427
pengadaan buku-buku ini berasal dari pemerintah melalui Dinas Pendidikan yang
disalurkan ke sekolah dan bagi perguruan tinggi melalui APBN (Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara), atau anggaran perguruan tinggi. Pada beberapa kasus, terdapat
bantuan dari pihak asing atau swasta, seperti pendirian American Corner atau Warung
Perancis yang berasal dari kedutaan asing di Indonesia.
Pengguna atau pengunjung perpustakaan ini tentu saja para pelajar atau
mahasiswa masing-masing lembaga pendidikan. Biasanya, masing-masing sekolah
menyediakan layanan bagi murid-murid sekolahnya. Sementara di tingkat universitas,
mahasiswa yang berasal dari perguruan tinggi yang berbeda dapat saling memanfaatkan
koleksi universitas lain. Demikian juga dengan pengajar atau peneliti luar perguruan
tinggi dimungkinkan untuk menggunakannya.
Jenis perpustakaan atau koleksi yang ada di Sumatera Barat dan juga di berbagai
tempat lain adalah perpustakaan pribadi, komunitas, dan taman bacaan. Terdapat
perpustakaan pribadi yang dapat diakses oleh umum, dan terutama oleh anggota atau
mereka yang tertarik pada kegiatan sastra. Misalnya saja perpustakaan Wisran Hadi,
Yusriwal, Zaiyardam. Koleksi perpustakaan pribadi ini dapat diakses secara terbuka.
Mereka yang membangun perpustakaan pribadi ini menggunakan uang pribadi yang
disisihkan untuk membeli buku, dan kebanyakan berlatar belakang profesi sebagai
dosen atau seniman. Keberadaan perpustakaan pribadi ini juga mirip dengan
perpustakaan komunitas atau taman bacaan. Inisiatif untuk mendirikan perpustakaan
komunitas atau taman bacaan kebanyakan dimulai dari perpustakaan pribadi.
Pada perpustakaan komunitas, sebagian besar koleksinya berasal dari koleksi
pribadi, seperti perpustakaan Komunitas Seni Intro. Hanya saja, dengan menjadikan
perpustakaan komunitas, pengelolanya dapat memanfaatkan partisipasi publik untuk
menambah koleksi, seperti gerakan sumbangan buku atau aktivitas kedermawanan
lainnya. Belakangan ini, melalui program hibah komunitas seni budaya Balai Pelestarian
Nilai Budaya, muncul komunitas-komunitas yang mulai membangun perpustakaan,
walaupun masih dalam skala kecil. Komuitas seni yang mendapat bantuan dan
kemudian berinisiatif membangun perpustakaan ini banyak tersebar di berbagai daerah
di Sumatera Barat.
Toko Buku, Pameran Buku, Perpustakaan, dan Sirkulasi Karya Sastra
Toko buku menjadi wadah masuk dan tersebarnya wacana yang ada dalam karya
sastra, termasuk juga buku-buku jenis lain, dari berbagai penerbit di Indonesia.
Gramedia lebih memerankan diri sebagai medium yang menyalurkan buku-buku dari
luar Sumatera Barat, karena distributor dan mekanisme penyaluran bukunya memiliki
cara yang sudah ditetapkan oleh Gramedia. Sementara Sari Anggrek, selain menerima
buku-buku dari luar, lebih akomodatif dalam menyalurkan buku-buku yang diterbitkan
oleh penerbit lokal, dengan sistem titip dan konsinyasi.
Pembeli dari kedua toko buku ini, berdasarkan pengamatan, juga memiliki
perbedaan dalam hal ketertarikan dan minat bacaannya. Bagi kalangan pendidikan dasar
dan menengah, pilihan pertama adalah mendatangi Gramedia, karena tersedia bukubuku pendidikan, komik, teenlit, chicklit, dan majalah-majalah. Sari Anggrek dipilih
sebagai tempat tujuan utama oleh kalangan pendidikan tinggi yang berbasis Islam dan
pembeli yang mencari buku-buku terbitan lokal yang berisi referensi Agama Islam, adat
dan budaya Minangkabau, serta buku-buku sastra klasik. Kedua toko buku ini memang
dapat dikatakan mewakili dua arus pertukaran wacana dan gagasan dalam buku, yaitu
dari luar yang diperankan oleh Gramedia dan dari dalam oleh Sari Anggrek.
428
Pameran buku di Sumatera Barat, terutama di Kota Padang, memiliki peran
tersendiri dalam proses persentuhan wacana yang terdapat dalam dunia perbukuan.
Kedatangan penerbit dan distributor buku secara langsung disertai dengan masuknya
buku-buku yang dianggap laris dan dicari banyak orang. Demikian juga dengan
penerbit-penerbit yang tidak terakomodir oleh toko buku, karena tidak masuk dalam
jaringan distribusi besar, dapat memanfaatkan pameran buku untuk menemui pembaca.
Tidak masuknya buku-buku dari berbagai penerbit ke toko buku ini juga disebabkan
karena persaingan antar penerbit, monopoli distribusi, hingga keterbatasan tempat di
toko buku. Kegiatan lain yang diadakan dalam pameran buku, seperti lomba penulisan
dan temu penulis, menambah arti penting kegiatan ini dalam membangun dunia
kepenulisan dan penerbitan.
Karya sastra yang disediakan di toko buku, pameran buku, dan perpustakaan,
dipilih dan dipajang melalui sejumlah tahapan. Distributor dan toko buku memilih bukubuku karya sastra yang dinilai memiliki potensi pasar, berdasarkan kualitas karya, nama
pengarang, penerbit, dan peluang pasar. Sementara di perpustakaan, karya sastra yang
dipilih didasarkan pada ketersediaan buku, dan anggaran yang ada. Pembaca atau
pembeli di Sumatera Barat dinilai masih terbatas. Buku-buku yang tersedia di toko buku
akan menunggu waktu hingga beberapa bulan untuk terjual, dan jika tidak terjual akan
disimpan di gudang, tertutup oleh buku baru, atau dikembalikan ke penerbit. Sejumlah
kasus karya sastra best seller pernah terjadi, seperti Saman (Ayu Utami), Lasykar
Pelangi (Andrea Hirata) atau Negeri 5 Menara (Ahmad Fuadi). Kebijakan toko buku
untuk menyediakan sekitar sepuluh hingga duapuluh eksemplar untuk masing-masing
buku juga mengesankan potensi pembeli atau pembaca karya sastra.
Secara langsung atau tidak langsung, medium seperti toko buku, pameran buku,
dan perpustakaan ini telah menentukan apakah sebuah karya sastra, misalnya, akan
masuk atau tidak ke sebuah wilayah. Karena itu, sebuah buku yang diterbitkan tidak
serta merta akan dapat ditemukan atau dibaca oleh pembaca. Apalagi bagi pembaca
yang tidak dekat dengan jalur distribusi, toko buku, atau informasi mengenai penerbitan
buku-buku baru. Diperlukan waktu tunggu yang cukup lama hingga pembaca yang
tinggal di daerah-daerah yang jauh dari kota atau jalur distribusi dapat memperoleh dan
membaca buku-buku baru atau penting.
Akibat sistem dan manajemen toko buku atau pameran buku, sejumlah karya
sastra yang ditulis oleh para penulis Sumatera Barat, dan diterbitkan oleh para penerbit
di luar Sumatera Barat, tidak mudah ditemui di toko buku. Jikapun ada, tidak jarang
jumlah yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan para calon pembeli. Dengan demikian,
perlakuan terhadap karya sastra yang ditulis oleh para penulis Sumatera Barat sendiri,
sebagai produk usaha dan bisnis dalam jalur perdagangan buku, tidak dapat
didistribusikan di tempat terdekat para penulisnya. Langkah yang biasanya dilakukan
oleh para penulis adalah dengan membeli atau memesan langsung kepada penerbit,
dengan dikurangi rabat bagi penulis dari penerbit, dan didistribusikan secara langsung
oleh penulisnya. Pada masa kini, jalur distribusi buku tidak ditumpukan pada toko buku.
Para penulis lebih tertarik untuk menjual sendiri bukunya. Demikian juga dengan tokotoko buku indie atau alternatif, menawarkan buku kepada pembeli dengan cara
pemesanan langsung dan dikirim melalui jasa kurir.
Kesimpulan
Toko buku, pameran buku, dan perpustakaan merupakan medium dan tempat
karya sastra dan buku genre lain diletakkan. Di toko dan pameran buku, buku
dialihtangankan sebagai barang dagangan, dari penerbit atau distributor ke pembaca.
429
Sebagai medium, toko dan pameran buku menghadirkan buku untuk dipilih dan dibeli
serta dibaca oleh pembaca. Dalam proses ini, banyak buku yang ditentukan apakah akan
masuk ke Sumatera Barat atau tidak oleh distributor dan toko buku yang ada.
Karya sastra yang masuk melalui toko buku, pameran buku, dan perpustakaan di
Sumatera Barat telah ikut memberikan pengaruh dalam hal ketersediaan bahan bacaan
yang dapat membantu penulis untuk menciptakan dan mengembangkan karyanya.
Keterbatasan atas ketersediaan buku, pada satu sisi menghambat arus pertukaran
gagasan, namun di sisi yang lain telah mendorong lahirnya inisiatif demi
ketersediaanya, seperti perpustakaan pribadi dan komunitas yang dapat diakses oleh
publik. Menurunnya jumlah toko buku konvensional, yaitu dengan meletakkan buku di
toko buku, kini digantikan oleh penjualan dan distribusi langsung, antara pembeli
dengan penulis dan/atau penerbit, dengan memanfaatkan jasa teknologi media dan
variasi jenis kurir yang tersedia.
Peredaran dan penempatan buku, karya sastra, telah dan akan memengaruhi
keberlangsungan saling keterpengaruhan, terjalinnya diskusi melalui distribusi wacana
yang dibawa oleh buku, serta peningkatan pencapaian dan apresiasi penulis dan
pembaca. Toko buku, pameran buku, dan perpustakaan di Sumatera Barat dapat
mengesankan bagaimana kehidupan sastra telah, sedang, dan akan terjadi.
Daftar Rujukan
Teeuw, A, 1972. “The impact of Balai Pustaka on modern Indonesian literature”,
Bulletin of the School of Oriental and African Studies, Vol. 35(1), pp. 111127.
Balfas, 196?. “Establishment and development of Balai Pustaka”, unpublished paper.
Garcia, Michael Nieto, 2006. “Indonesian publishing, New Freedoms, old worries, and
unfinished democratic reform”, Social Analysis, Vol. 50(1), 2006, pp. 184191.
Li, Jen, 2010. “Choosing the right battles: how independent bookshops in Sydney,
Australia compete with chains and online retailers”, Australian Geographer,
Vol. 41(2), pp. 247-262.
Kementerian Penerangan, 1954. Republik Indonesia Propinsi Sumatera Tengah,
Djawatan Penerangan Sumatera Tengah.
McElligot, Jason. 2013. “The book trade, licencing, and cencorchip”, in The Oxford
handbook of literature and the English revolusion (laura Lunger Knoppers,
ed.), pp. 135-153.
430
EKSISTENSI SASTRA LISAN BHANTI-BHANTI SEBAGAI RUANG
NEGOSIASI LOKAL DALAM KEBUDAYAAN GLOBAL
Sumiman Udu
(FKIP Univeritas Halu Oleo Kendari – Indonesia)
Abstrak: Keberadaan sastra lisan selama ini telah menjadi indentitas masyarakat lokal
dalam menghadapi kebudayaan global di seluruh dunia. Sebagai ekspresi budaya lokal,
sastra lisan bhanti-bhanti tetap menyuarakan identitas lokal masyarakat Wakatobi yang
terus-menerus menyesuaikan diri dan membangun dialog dengan kebudayaan global
yang terus menyerbu hingga ke ruang-ruang ketaksadaran kolektif masyarakat.
Penelitian ini menggunakan paradigma etnografi. Data penelitian ini akan
difokuskan pada pandangan masyarakat Wakatobi tentang indentitas lokal mereka
dalam menghadapi kebudayaan global yang ada dalam sastra lisan bhanti-bhanti.
Dengan demikian, data akan dianalisis untuk melihat eksistensi masyarakat Wakatobi
yang digambarkan dalam sastra lisan bhanti-bhanti sebagai ekspersi budaya lokal dalam
berinteraksi dengan budaya global.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa melalui sastra lisan bhanti-bhanti
masyarakat Wakatobi mampu membangun identitas lokal mereka. Tetapi di sisi yang
lain, sebagai ekpresi budaya lokal, sastra lisan bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi tetap
terbuka, terutama dalam menghadapi berbagai perkembangan budaya global. Oleh
karena itu, keberadaan sastra lisan bhanti-bhanti merupakan identitas lokal dan
sekaligus menjadi ruang negosiasi kultural masyarakat Wakatobi dalam menghadapi
perkembangan dan perubahan budaya global dewasa ini.
Kata kunci: eksistensi, sastra lisan, bhanti-bhanti, ruang, negosiasi lokal, kebudayaan
Global
Pengantar
Keberadaan sastra lisan selama ini telah menjadi indentitas masyarakat lokal
dalam menghadapi kebudayaan global di seluruh dunia. Nilai-Nilai budaya yang ada
dalam kabhanti dapat memperkuat jati diri masyarakatnya dan dapat menjadi penanda
identitas masyarakatnya sendiri (Udu, 2009: 257). Asrif (2014: 133) mengatakan bahwa
sastra lisan merupakan salah satu alat untuk mendokumensikan identitas masyarakat
pendukungnya. Mursal Esten (1999: 105) mengatakan bahwa sastra lisan dapat menjadi
sumber bagi suatu penciptaan budaya baru di dalam masyarakat modern. Moradewun
Adejunmobi (2011: 3) mengatakan bahwa tradisi lisan menjadi sumber inspirasi bagi
penciptaan musik dan film yang diproduksi di Afrika dan India. Namun di sisi yang lain,
kehadiran sastra lisan dan industri kreatif semakin memberikan ciri khas kedaerahan
dalam berbagai perkembangan dan kemajuan budaya global. Berangkat dari pemikiran
di atas, maka sastra lisan diharapkan dapat menyumbangkan kontribusi dalam
perkembangan industri kreatif di tengah acaman globalisasi sebagaimana dikatakan oleh
Mursydah (2012: 377) bahwa globalisasi nyaris menyapu semua jenis tatanan
tradisional dan mengarahkan manusia kepada hegemonitas budaya yang menentang
keberadaan nilai identitas kelompok dan sekaligus mengancam eksistensi budaya lokal.
431
Sebagai ekspresi budaya lokal, sastra lisan bhanti-bhanti tetap menyuarakan
identitas lokal masyarakat Wakatobi yang terus-menerus menyesuaikan diri dan
membangun dialog dengan kebudayaan global yang terus menyerbu hingga ke ruangruang ketaksadaran kolektif masyarakat. Melalui sastra lisan bhanti-bhanti, masyarakat
Wakatobi selalu menanamkan nilai-nilai bagi masyarakat pendukungnya dan sekaligus
menawarkan cara pandang baru kepada dunia global tentang kearifan lokal yang ada
dalam sastra lisan, termasuk dalam pengelolaan lingkungan (Udu, 2013: 192). Di sisi
yang lain, sastra lisan bhanti-bhanti merupakan ruang negosiasi kultural dalam
menghadapi kebudayaan global dewasa ini. Oleh karena itu, sastra lisan bhanti-bhanti
merespon berbagai perkembangan dunia saat ini sebagai bagian dari perubahan global.
Ciri khas globalisasi yang memanfaatkan kemajuan ditiga pilar pembangunan
global, yaitu (1) kemajuan teknologi informasi, (2) transportasi dan (3) kemajuan
pariwisata, menyebabkan dunia ini seolah telah kehilangan batas-batas negara dan
kebudayaannya. Perkembangan teknologi informasi, telah mengubah batas-batas
kebudayaan dan negara, kebudayaan telah mengarah kepada pembentukan satu jenis
kebudayaan. Entitas kebudayaan di belahan dunia yang lain akan dapat dengan mudah
dipelajari dan ditiru oleh masyarakat di belahan dunia lainnya. Pergeseran media besar
dan hadirnya media sosial, dapat berpeluang untuk tampilnya sastra-sastra lokal di
dalam berbagai blog dan group yang datang dan pergi dengan cepat, tetapi tetap sebagai
sebuah informasi yang merupakan bagian dari negosiasi kebudayaan-kebudayaan kecil
tersebut dalam menampilkan eksistensinya dalam percaturan budaya global100.
Oleh karena itu, penelitian mengenai eksistensi sastra lisan bhanti-bhanti sebagai
ruang negosiasi lokal dalam kebudayaan global, merupakan salah satu usaha untuk
memahami bagaimana keberadaan berbagai budaya lokal yang dimiliki oleh berbagai
kebudayaan di dunia di era global. Bagaimana kebudayaan-kebudayaan kecil bertahan
di tengah serbuan kebudayaan global. Untuk maksud tersebut, maka penelitian ini
menggunakan paradigma etnografi. Data penelitian ini akan difokuskan pada pandangan
masyarakat Wakatobi tentang indentitas lokal mereka dalam menghadapi kebudayaan
global yang ada dalam sastra lisan bhanti-bhanti. Dengan demikian, data akan dianalisis
untuk melihat eksistensi masyarakat Wakatobi yang digambarkan dalam sastra lisan
bhanti-bhanti sebagai ekspersi budaya lokal dalam berinteraksi dengan budaya global.
Sastra Lisan bhanti-bhanti Sebagai Identitas Kultural
Sastra lisan bhanti-bhanti dapat dikatakan sebagai nyanyian masyarakat yang
menyentuh sampai di hati, berisi nasihat dan yang mengandung berbagai mutiara
kebijaksanaan (La Niampe, 1998: 5; Udu, 2010: 21;). Sehingga sastra lisan bhantibhanti merupakan salah satu identitas dari masyarakat Wakatobi. Hal ini dapat dilihat
dari banyaknya masyarakat Wakatobi yang mulai mengidentifikasi diri mereka sebagai
pemilik dari sastra lisan bhanti-bhanti. Hal ini disebabkan karena sejak kecil, anak-anak
Wakatobi sejak kecil sudah ditidurkan dengan sastra lisan bhanti-bhanti Wakatobi. Wa
Yai mengatakan bahwa saya selalu menidurkan anak-anakku dengan sastra lisan bhantibhanti. La Ode Nsaha (1978: 235) mengatakan bahwa kaбanti berarti puisi yang berisi
mutiara-mutiara kebijaksanaan atau pernyataan rasa dalam bentuk yang amat digemari
dan mengena sehingga di dasar hati bahkan dalam situasi pembicaraan umum pun dalam
suasana dari hati ke hati.
100
Kalau menggunakan kata kunci kabhanti di google maka hasilnya adalah 1.290 yang
ditemukan di dalam mesin pencarian kata itu. Ini menunjukan bahwa betapa kayanya kata tersebut
dalam memasuki kebudayaan global tersebut.
432
Sementara La Ode Kamaluddin mengatakan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti
merupakan tradisi yang menjadi ciri khas dari masyarakat Wakatobi. Ia bahkan
mengatakan bahwa ketika berada di Maluku di pulau Seram, dan melantunkan sastra
lisan bhanti-bhanti, maka secara tidak langsung mengundang orang-orang Wakatobi
untuk mendengarkan nyanyian tersebut101. Ini merupakan bahwa dalam sastra lisan
bhanti-bhanti terdapat identitas kedaerahan yang hidup dalam setiap hati dan pikiran
orang Wakatobi. Sehubungan dengan itu, Daru Winarti (2013: 602) mengatakan bahwa
nyanyian pengantar tidur berhubungan dengan kepribadian yang dimiliki oleh seorang
individu dalam hubungannya dengan lingkungannya.
Oleh karena itu, sastra lisan bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi mampu
membangun identitas lokal mereka. Tetapi di sisi yang lain, sebagai ekpresi budaya
lokal, sastra lisan bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi tetap terbuka, terutama dalam
menghadapi berbagai perkembangan budaya global. Bahkan pada beberapa kasus,
seorang anak muda yang merantau dan bekerja di kota Kinabalu Sabah Malaysia,
menghabiskan masa remajanya hampir 14 tahun di kota itu, dan ratusan surat telah
dikirim oleh orang tuanya, tetapi ia tetap juga tidak mau pulang, terakhir ia dikirimi
sebuah kaset yang berisi rekaman nyanyian bhanti-bhanti yang dilantunkan ibunya.
Setelah mendengarkan sastra lisan bhanti-bhanti tersebut, maka anak muda itu
menangis dan pulanglah ia ke Wakatobi102.
Dengan demikian, sastra lisan bhanti-bhanti dapat dikategorikan sebagai
identitas lokal bagi masyarakat pendukungnya, karena semua orang Wakatobi akan
mengidentifikasi diri mereka sebagai pemilik sastra lisan bhanti-bhanti. Siapapun orang
Wakatobi akan mengatakan bahwa bhanti-bhanti adalah karya leluhur mereka, karena
sejak dini mereka sudah ditidurkan dengan bhanti-bhanti sebagai pengantar tidur.
Setelah mereka dewasa, mereka juga mengungkapkan cinta mereka melalui teks-teks
bhanti-bhanti hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Wa Ode Bulalu bahwa “Ara te
pobhawa’a dhi molengo, te pobhanti’a tunggala morondo103” (kalau masa-masa pacaran
di masa muda dulu, selalu diisi dengan acara berbalas pantun atau bhanti setiap malam).
Hal yang sama juga dikemukakan oleh La Rumadi bahwa “Teposerei’a dhi molengo
sabaranamo te pobhanti’a” (pacaran di masa lalu sebenarnya adalah berbalas pantun).
Kondisi inilah kemudian, kalau dikatakan bahwa sastra lisan kabhanti sebagai salah satu
identitas lokal dari masyarakat Wakatobi.
Sastra Lisan Bhanti-bhanti sebagai Ruang Negosiasi Kultural
Sebagai identitas lokal, sastra lisan bhanti-bhanti memegang peranan penting
dalam masyarakat pendukungnya. Ia bukan saja tampil sebagai hiburan semata-mata,
tetapi memiliki peran sebagai ruang negosiasi kultural dalam menyelesaikan berbagai
permasalahan di dalam masyarakat Wakatobi (Udu, 2015: 220). Bahkan dalam perannya
sebagai ruang negosiasi kultural tersebut, sastra lisan bhanti-bhanti dapat menjadi
kontrol yang sangat kuat terhadap pemerintahan. Seorang yang tidak senang dengan
kebijakan sara104 atau pemerintah, dengan mudah memberikan koreksi. Teks yang
101
Wawancara tanggal 12 Agustus 2013
Cerita tentang kisah ini dikisahkan oleh La Alira, salah satu generasi Wakatobi yang berangkat
ke Malaysia dan pulang setelah dikirimi dengan kaset bhanti-bhanti oleh ibunya (wawancara
tanggal 5 Februari 2010).
103
Wawancara tanggal 13 Juli 2013.
104
Sara dalam masyarakat Wakatobi Buton adalah lembaga atau sebuah tatanan sosial budaya
yang adalam masyarakat. orang juga sering mengidentikannya dengan pemerintah.
102
433
paling banyak digunakan untuk memprotes atas ketidakadilan penguasa (sara) adalah
/timbangi la bhonto timbangi/ “timbang-timbanglah la bhonto105 timbang-timbanglah”
/te togo nolingka-lingkamo/ “Kampung sudah mulai miring”. Teks tersebut, di zaman
kesultanan Buton, seseorang tidak perlu melakukan demosntrasi untuk memprotes
penguasa, tetapi kucup setiap lewat di halaman rumah penguasa akan selalu
melantunkan teks tersebut.
Ketika terjadi perkelahian antarkampung mengenai perbatasan, maka orang
Wanci dan orang Mandati akan menggunakan teks sastra lisan bhanti-bhanti sebagai
memori kolektif mereka untuk menyelesaikan masalah mereka. /Te wansemo te
mandatimo/ “baik orang Wanci maupun orang Mandati” /dhi endapo na ngkaselapa/ “di
air endapo perbatasannya”(Udu, 2015: 226). Ini menunjukan bahwa dalam perannya
sebagai ruang negosiasi kultural dalam masyarakat Wakatobi, sastra lisan bhanti-bhanti
memegang peranan yang signifikan, karena orang Wakatobi menggunakan sastra lisan
bhanti-bhanti sebagai alat komunikasi mereka yang santun dan dapat diterima oleh
lawan komunikasi. H. La Morunga mengatakan bahwa, sejak dulu masyarakat Wakatobi
khususnya Wanci dan Mandati memiliki ingatan kolektif tentang batas wilayah itu
dalam bentuk lagu106.
Orang Wakatobi akan menganggap bahwa sindiran yang diberikan melalui sastra
lisan bhanti-bhanti masih cenderung akan diterima sebagai seni, jika dibandingkan
dengan mengemukakan protesnya melalui bahasa sehari-hari. Bahasa dalam sastra lisan
bhanti-bhanti, sejak dulu sudah sering dijadikan sebagai bahasa komunikasi muda-mudi
di dalam masyarakat Wakatobi sampai era 1960-an. Wa Ode Bulalu mengatakan bahwa
dulu, para saudara (lelaki) yang datang pada setiap tradisi hekomba’a107 akan datang
dengan membawa beberapa ole-ole, namun hati mereka dapat ketahui melalui teks-teks
sastra lisan bhanti-bhanti yang mereka lantunkan setiap malam. “Ara dhi molengo, te
hesulu mai Ana omai kene nobhawa te malingu giu, maka amo te pobhanti sarondo’e
na rondo” (kalau di zaman dulu, saudara (lelaki) datang dengan membawa ole-ole untuk
sahabat (perempuan), baru mereka berbalas bhanti-bhanti semalam suntuk)108.
Di samping itu, seorang ibu dapat mengkomunikasikan impiannya kepada anakanaknya, dan seorang anak dapat mengkomunikasikan impian dan harapannya kepada
ibunya melalui teks-teks sastra lisan bhanti-bhanti. Seorang ibu di Wakatobi yang
memiliki impian kehidupan yang layak di luar Wakatobi ketika mendapatkan kesusahan
hidup di Wakatobi, akan menyampaikan impian itu kepada anaknya dengan teks bhantibhanti /wa ina bhara nusambira/ “ibu jangan kau bersedih” /ane ke Buru ngkene Ambo/
“masih ada Buru dan Ambon”. Impian ini dikomunikasikan dengan menggunakan sastra
lisan bhanti-bhanti sehingga menjadi kekuatan sekaligus memori kolektif yang
menjelaskan tentang kebiasaan orang Wakatobi berlayar ke Maluku antara lain pulau
Buru dan Ambon. Bagi orang Wakatobi, Ambon bukanlah hal baru dalam kebudayaan
mereka, tetapi malah sebuah negeri yang mengisi imajinasi anak-anak Wakatobi sejak
mereka masih dalam buaian.
105
Bhonto merupakan salah satu pangkat dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton.
Wawancara pada tanggal 23 Agustus 2015
107
Tradisi hekomba’a merupakan tradisi menikmati bulan purnama dengan membuat api unggun
yang lakukan oleh sekelompok gadis-gadis, lalu pada malam hari, sahabat mereka yang laki-laki
datang. Gadis-gadis itu mengerjakaan sesuatu, sementara laki-laki akan datang dan menyanyi,
sehingga mereka berpantun atau pobhanti hingga menjelang pagi.
108
Wawancara tanggal 13 Juli 2013
106
434
Pada persoalan jodoh, seorang anak Wakatobi akan dengan leluasa
mengungkapkan impiannya untuk mendapatkan jodoh dari orang yang dipilihnya
sendiri. Ia mengungkapkannya dengan /wa ina tamogagaimo/ “ibu kita akan berbeda
pendapat” /kunumangkamo te matasu/ “saya akan mengikuti mataku”, /ara dhoimo te
wa ina/ “kalau tinggal ibu” /tohojane te ntagambiri/ “nanti kita hibur dengan gambir”.
Dua teks bhanti-bhanti di atas, menunjukan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti merupakan
ruang negosisasi kultural yang efektif dalam berbagai komunikasi di dalam masyarakat
Wakatobi. Sementara di sisi yang lain, seorang ibu akan memberikan penekanan pada
pentingnya peran orang tua dalam memilih jodoh dengan teks sastra lisan bhanti-bhanti
/te buri paka ntedhiguru/ “jodoh itu tidak perlu diajari” /nolaha-laha ngkaramano/ “dia
akan datang mencari jalannya sendiri” (Udu, 2010: 103). Teks di atas merupakan bentuk
negosiasi orang tua109 Wakatobi pada anak-anaknya tentang jodoh, karena bagi mereka
jodoh adalah monopoli orang tua.
Bagi orang Wakatobi, tersinggung secara langsung terhadap teks sastra lisan
bhanti-bhanti akan dianggap sebagai orang yang tidak beradab. Hal ini sebagaimana
dilihat pada teks sastra lisan bhanti-bhanti /te mia sumeki te bhanti/ “orang yang
tersinggung dengan sindiran (bhanti)” /te atumo na mia dha’o/ “sudah itulah orang
jahat”.
Namun, sebagai sastra lisan yang memiliki pementasan yang dinamis, tidak
selamanya sastra lisan bhanti-bhanti dapat dipentaskan dengan damai. Tidak jarang juga
terjadi perselisahan ketika terjadi pobhanti110 hal ini sebagaimana informasi yang
tersimpan dalam teks sastra lisan bhanti-bhanti /tepo’o bula dhi bhaobhe/ “Mangga
albino di Bhaobhe” /nomota’a dhi lende-lende/ “masak karena di remas-remas”. Teks
tersebut merupakan teks yang sangat keras, yang pernah dilantunkan oleh sekelompok
pelantun yang berasal dari kampung Bhira yang ditujukan kepada gadis-gadis
Bhaobhe111 yang rata-rata memiliki kulit yang lebih putih. Dalam sindiran tersebut,
dimaknai bahwa buah dada gadis-gadis Bhaobhe masak atau membesar karena sering
diremas-remas. Pemaknaan ini membuat mereka tersinggung, dan langsung menjawab
dengan teks bhanti-bhanti /te loka mepanda di bhira/ “pisang pendek di bhira”
/nobungku’e te mpepu’uno/ “dibungkukkan oleh jantungnya”, objek yang dikeplorasi
adalah buah dada, dimana disindir bahwa gadis gadis pendek yang ada di Bhira
dibungkukkan oleh buah dada yang besar-besar. Pementasan ini akhirnya berakhir
dengan dicabutnya keris, karena pihak keluarga laki-laki dari gadis-gadis teerbut sudah
mulai tersinggung. Setelah kejadian itu, maka para tetua datang dan menyampaikan
bahwa siapapun yang tersinggung dengan bhanti-bhanti sudah itulah orang jahat, dan
mereka semua akhirnya menerima bahwa itu hanyalah sindiran yang multi tafsir, dan
kata po’o bula dan loka mepanda, jangan diterjemahkan dengan gadis, dan demikian
masak diremas-remas jangan diterjemahkan ke buah dada yang diremas-remas.
109
Dalam masyarakat bangsawan, jodoh anak-anaknya adalah pilihan orang tua, dan berbeda
dengan anak-anak dari kalangan maradhika atau merdeka, jodoh diberikan kepada anak-anak
mereka (Udu, 2010: 117).
110
Pobhanti merupakan pementasan bhanti-bhanti yang dilakukan secara berbalasan. Dalam
masyarakat Wakatobi tradisi ini biasanya dilakukan antarkelompok, baik antarkampung, maupun
antarlaki-laki dan perempuan.
111
Bhaobhe merupakan nama sebuah kampung yang berada di dalam wilayah kadhia wance, yang
saat ini ketika dimekarkan berada di daerah administrasi desa Po’okambua kecamatan WangiWangi kabupatan Wakatobi.
435
Oleh karena itu, keberadaan sastra lisan bhanti-bhanti merupakan identitas lokal
dan sekaligus menjadi ruang negosiasi kultural masyarakat Wakatobi dalam
menghadapi perkembangan dan perubahan budaya global dewasa ini. Di tengah
perkembangan kebudayaan global, terutama dalam industri musik dan film yang ada,
perkembangan gendre musik yang ada, justru sastra lisan bhanti-bhanti kembali
diproduksi dalam berbagai jenis variasi dan kreasi yang baru. Para musisi lokal,
berlomba memanfaatkan formula bhanti-bhanti sebagai basis kreatifitas mereka.
Beberapa musisi lokal seperti La Ode Kamaluddin, Rusiadin112, La Ode Adili113, La
Mbongo, dan Marfina banyak menggunakan formula bhanti-bhanti sebagai basis
kultural dalam karya-karya terbaru mereka. Ini menunjukan bahwa sastra lisan bhantibhanti sebenarnya adalah karya sastra lokal yang hidup dan berkembang dalam
kesadaran masyarakat pendukungnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sastra lisan
bhanti-bhanti adalah sastra yang hidup. Artefak kebudayaan yang terus hidup dan
berevolusi.
Bhanti-bhanti sebagai Ruang Negosisasi dalam Menghadapi Budaya Global
Memasuki era modern, sastra lisan bhanti-bhanti tetap menyesuaikan diri dengan
perkembangan yang ada. Perkembangan yang melanda masyarakat dunia dibidang
teknologi informasi, transportasi dan pariwisata tidak membuat sastra lisan bhantibhanti mati, tetapi justru ia menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada.
Perkembangan teknologi informasi telah menjadikan persebaran sastra lisan bhantibhanti tidak bisa terbendung, mulai menjadi nada dering hand phone, musik di winamp,
hingga VCD dan DVD, juga masuk ke you tobe sehingga dapat dinikmati oleh
masyarakat dunia khususnya masyarakat Wakatobi yang berada di berbagai belahan
dunia114.
Perkembangan musik organ tunggal yang melanda Wakatobi lima tahun terakhir,
telah mengubah sastra lisan bhanti-bhanti sebagai salah satu karya sastra yang
mempengaruhi perkembangan lagu-lagu daerah. Hal ini sebagaimana dinyanyikan oleh
La Ode Kamaluddin dan Rusiadin. Dengan menggunakan organ tunggal yang lebih
kompleks mereka telah menggubah lagu dangdut yang dikembangkan dari formula
sastra lisan bhanti-bhanti. Perkembangan sekaligus perubahan budaya badendang dan
balumpa ke joget dangdut, telah memberikan ruang baru ekonomi kreatif yang
dikembangkan melalui sastra lisan bhanti-bhanti.
Menghadapi perkembangan kebudayaan global, sastra lisan bhanti-bhanti justru
hadir dalam dimensinya yang lebih modern. Melalui film The Mirror Never Lies yang
digarap Garin Nugroho, juga memanfaatkan musik bhanti-bhanti sebagai musik latar.
Melalui film itu, sastra lisan bhanti-bhanti diperkenalkan ke dunia internasional.
Dengan menonton film itu, paling tidak masyarakat dunia akan paham bahwa ada sastra
112
Dalam karyanya yang berjudul, Wa Jandi Topomelaimo Rusiadin, mengekespresikan cintanya
yang terpisah oleh jarak, kerinduan itu diekspresikan melalui teks bhanti-bhanti Wakatobi.
113
Dalam beberapa karya terbarunya,La Ode Adili menggunakan sastra lisan kabhanti dalam
mendukung kampanye salah satu calon di Wakatobi. perlawanannya pada kebijkan pemerintah,
diekspresikan melalui sastra lisan kabhanti.
114
Diasfora masyarakat Wakatobi berlangsung sejak berabad-abad silam, kemampuan mereka
mengarungi lautan dengan perahu karoro mereka membuat orang Wakatobi menjelajahi hampir
semua kawasan oceania yang meliputi kepulauan solomon di pasifik sampai dengan madagaskar
di samudra hindia.
436
lisan yang tumbuh di Wakatobi yang menarik untuk dipelajari, karena itu merupakan
media penyimpanan rasa, pikiran dan tindakan masyarakat pendukungnya.
Salah satu model negosiasi budaya lokal diera global adalah model sambutan
masyarakat Wakatobi kepada para turis dengan menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti.
Setiap turis yang datang di Wakatobi, akan disambut dengan berbagai peristiwa budaya,
seperti tradisi kabuenga atau ayunan yang di dalamnya adalah menyajikan pementasan
sastra lisan bhanti-bhanti. Berbagai peristiwa budaya yang melibatkan sastra lisan
bhanti-bhanti harus dilihat sebagai upaya negosiasi kultural dari kebudayaankebudayaan lokal dalam melawan budaya global. Perlawanannya diarahkan kepada
upaya penyampaian kepada para turis dan tamu bahwa kami masih mempunyai entitas
kebudayaan yang mampu memuat atau merefleksikan berbagai perasaan, pikiran dan
tingkah laku kami, tentang jodoh, lingkungan, sosial, dan lain sebagainya.
Bahkan dalam peringatan 17 Agustus tahun 2015 kemarin, para peserta sail turut
melakukan joget Wakatobi yang menggunakan irama dangdut bhanti-bhanti sebagai
musik pengiringnya115. Ini menunjukan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti sebagai
kebudayaan lokal, dapat dimanfaatkan untuk mengkomunikasikan kebudayaan kita
kepada dunia internasional. Bahkan saat ini, sastra lisan bhanti-bhanti dan lariangi telah
ditetapkan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia sebagai
warisan budaya tak benda yang dimiliki oleh Indonesia. Saat ini juga, sedang disusun
naskah akademik lariangi untuk diusulkan menjadi salah nominasi Indonesia ke Unesco
di tahun-tahun yang akan datang, sehingga lariangi bukan hanya warisan budaya tak
benda untuk Indonesia, tetapi warisan budaya tak benda yang dipersembahkan ke dunia
internasional.
Jika lariangi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Unesco, maka
secara tidak langsung memperkenalkan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai warisan
budaya tak benda ke dunia internasional. Hal ini dapat dilihat bahwa performasi
lariangi116 yang disebut mangu-mangu, menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai
nyanyiannya untuk menyindir ngiwi117 yang ada. Dalam proses itu, seorang turis yang
terlibat dalam performasi dapat saja mendapatkan sindiran atau bhanti atas tindakan dan
sikapnya.
Selanjutnya, dalam kehadirannya sebagai budaya lokal, sastra lisan bhanti-bhanti
yang dilantunkan dalam tarian pajogi hadir berdampingan dengan dance dan joget
dalam salah satu acara. Melihat adanya akulturasi budaya di atas, La Ode Iwi Kepala
Desa Waginopo mengatakan bahwa, “lemamamo nana, toguru’emo na ananto mai te
budaya Barat” (Sudah Bagusmi ini, anak-anak kita sudah kita ajari dengan budaya
barat)118. Walau dengan nada sinis, La Ode Iwi melihat bahwa perkembangan
kebudayaan Wakatobi akan mengarah kepada perbauran dengan budaya modern yang
dipopulerkan oleh Korea saat ini. Tetapi di satu sisi, seorang tokoh pendidikan
Wakatobi (La Ode Kuhairi) yang juga hadir pada kegiatan yang sama mengatakan
bahwa “Ini merupakan kenyataan dari kebudayaan kita, dimana tari Pajogi hadir
115
Wawancara dengan Wa Suri yang merupakan salah satu peserta joget Wakatobi pada
peringatan 17 Agustus 2015 silam di Wakatobi. Ia mengatakan bahwa para turis juga ikut
menikmati joget Wakatobi bersama masyarakat (Wawancara tanggal 19 September 2015.
116
Lariangi merupakan salah satu tarian tradisional masyarakat Wakatobi yang saat ini sudah
ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional Muh. Nuh sebagai warisan budaya tak benda
Indonesia.
117
Ngiwi merupakan gerakan putaran yang biasanya dilakukan oleh laki-laki
118
Diskusi pada tanggal 25 September 2012
437
bersamaan dengan dance yang merupakan identitas global”. Ia melanjutkan bahwa “Ini
adalah konsekuensi bahwa Wakatobi berada dalam pusaran perkembangan budaya
global, dan kita masih tetap berbangga, karena nilai-nilai kultural kita masih tetap
dihadirkan oleh masyarakat”119.
Di dunia maya, yang merupakan implikasi dari perkembangan global, sastra lisan
bhanti-bhanti memiliki tempatnya tersendiri, khususnya bagi generasi muda Wakatobi.
Mereka selalu membuat status dengan menggunakan bhanti-bhanti sebagai ruang
komunikasi mereka. Mereka juga menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai salah
satu identitas lokal yang mereka banggakan. Bahkan ketika mereka mengungkapkan
kerinduan mereka terhadap kampung anak-anak Wakatobi yang ada di Malaysia
berkomunikasi dengan menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti di media-media sosial
seperti facebook120.
Dengan demikian, pembangunan ekonomi kreatif di Wakatobi hendaknya
memanfaatkan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai bagian dari pengembangan film dan
lagu yang ada pada seniman-seniman lokal Wakatobi. Beberapa maju selalu
memanfaatkan cerita lokal mereka, dan kemudian mereka ekspor sebagai kekuatan
budaya mereka di era global. Beberapa film korea, turki, China dan India selalu
memanfaatkan kisah-kisah yang yang dalam sastra lisan mereka sebagai kekuatan dalam
penciptaan karya-karya baru. Sehubungan itu, Mursal Esten (1995: 105) mengatakan
bahwa tradisi lisan merupakan ruang isnpirasi bagi penciptaan karya-karya baru dalam
bidang seni. Sebagai contoh, kebanyakan film-film drama Turki seperti Shehrazat
mengangkat kisah 1001 malam yang tentunya memiliki berbagai kreatifitas, tetapi apa
yang dilakukan oleh kreator film Shehrazat merupakan langkah nyata untuk
memanfaatkan memori kolektif masyarakat Islam dunia tentang cerita 1001 malam yang
sangat terkenal itu.
Oleh karena itu, sebagai sastra lisan bhanti-bhanti merupakan salah satu ruang
negosiasi budaya lokal khususnya kebudayaan masyarakat Wakatobi dalam pergaulan
global. Upaya-upaya ke arah itu, hendaknya dapat diwujudkan dalam berbagai
diplomasi kebudayaan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten Wakatobi dan
Indonesia, dalam mempromosikan kebudayaan dan pariwisata Wakatobi dan Indonesia
secara umum ke dunia internasional. Upaya untuk menatapkan lariangi sebagai warisan
budaya tak benda dunia yang akan diusulkan ke UNESCO merupakan bentuk
perjuangan diplomasi budaya lokal untuk ditampilkan dalam konteks global.
Di masa yang akan datang, diharapkan diplomasi melalui kebudayaan, dapat
mendorong pembangunan Indonesia secara umum. Sastra sebagai ruang-ruang
kebudayaan kita, hendaknya dapat menghadirkan karya-karya kreatif yang tidak hanya
mengeksplorasi isu-isu dari kehidupan modern yang telah banyak dipengaruhi oleh
globalisasi, tetapi kita harus belajar dari beberapa negara maju di bidang kebuyadaan
dalam memanfaatkan potensi budaya lokal mereka dalam berkarya. Keseriusan Korea
Selatan dalam memanfaatkan berbagai potensi lokal mereka dalam industri perfilman
membuktikan bahwa berbagai kisah yang ada dalam drama mereka adalah perpaduan
cerita lisan mereka yang kemudian diolah kembali menjadi cerita yang difilmkan dan
kemudian mereka ekspor ke seluruh dunia. Dalam melihat berbagai potensi yang
dimiliki oleh sastra lisan bhanti-bhanti tentunya dapat dikembangkan sebagai inspirasi
dalam pembuatan film atau penulisan buku mengenai kearifan lokal masyarakat
119
Diskusi pada tanggal 25 September 2015.
Salah satu group anak-anak Wakatobi yang menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti dalam
komunikasi mereka dalah group Sejuta Bhanti-bhanti Wakatobi.
120
438
Wakatobi, terutama dalam memelihara lingkungan hidup mereka. Penetapan Wakatobi
sebagai salah satu cagar biosfer bumi, merupakan bentuk negesosiasi kebudayaan lokal
dalam kebudayaan global. Maka untuk mempelajari nilai-nilai budaya yang selama ini
memelihara dan mewariskan keindahan alam berupa karang di Wakatobi tidak lain dan
tidak bukan tersimpan di dalam sastra lisan bhanti-bhanti. Hal ini sebagaimana dilihat
dalam teks berikut.
Jagane nggala nte kambano
Ako te menangka taliku
Jagalah walaupun hanya bunganya
Karena itu milik generasi yang akan datang
Na bha’a nu dhosa numia
Tumadhe ngkedhe sagauno
Besarnya dosa seseorang
Yang berlaku sekehendak hatinya
Namia mala nsagauno
Menoso dhi nganga randano
Orang yang berlaku sekehandaknya
Akan menyesal di dalam hatinya
Te pasi tenganga randanto
Si nai wa menangka taliku
Karang itu adalah rasa atau hati kita
Itu adalah kepunyaan generasi mendatang
Hu’uke te nganga randa’u
Ako tei mele akono
Berikanlah hatimu
Agar generasi mendatang menikmatinya
Teks sastra lisan bhanti-bhanti di atas menunjukan bahwa sastra lisan bhantibhanti memberikan pelajaran bagi masyarakat Wakatobi dan dunia bahwa karang (pasi)
merupakan warisan yang harus diberikan kepada generasi berikutnya. Dia bukan milik
kita, tetapi hanyalah titipan yang harus dijaga. Bagi mereka yang merusak karang atau
lingkungan, maka meraka akan menyesal. Model-model konservasi lokal ini akan
menjadikan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai salah satu sastra lisan yang mengandung
konsep-konsep konservasi lingkungan yang dapat ditawarkan kepada dunia global.
Bahwa ternyata warisan keindahan bawah laut Wakatobi merupakan karya leluhur yang
diabadikan dalam sastra lisan bhanti-bhanti. Isu konservasi lingkungan yang selama ini
diteriakkan oleh Barat ternyata hidup dalam kebudayaan Wakatobi, hidup dalam sastra
lisan bhanti-bhanti sebagai ruang pembangunan kesadaran masyarakat Wakatobi Buton
sejak lama.
Dengan demikian, sebagai sastra lisan, bhanti-bhanti merupakan salah satu
media yang memperkenalkan berbagai kesadaran kolektif masyarakat Wakatobi ke
berbagai belahan dunia lainnya. Dengan mempelajari sastra lisan bhanti-bhanti berarti
berusaha untuk memahami bagaimana orang Wakatobi merasa, berpikir dan bertingkah
laku. Pola-pola konservasi alam yang merupakan salah satu sumbangan Wakatobi untuk
dunia, harus dapat tetapi diabadikan dan dipublikasikan ke dunia global, karena
berbagai nilai-nilai dan ideologi yang berhubungan dengan sastra lisan bhanti-bhanti.
Bahkan di era digital, sastra lisan bhanti-bhanti digunakan sebagai salah satu
ungkapan muda-muda di media sosial. Mereka saling berbalasan mengungkapkan
bhanti-bhanti dalam mengkomunikasikan berbagai tanggapan mereka tentang kondisi
mereka saat ini. Masuknya sastra lisan bhanti-bhanti di media sosial, menunjukan
bahwa sastra lisan bhanti-bhanti bukan hanya beredar dalam masyarakat Wakatobi, dan
Buton pada umumnya tetapi sudah hadir sebagai salah satu sastra alternatif dalam
perkembangan sastra global dewasa ini.
439
Penutup
Berdasarkan pembahasan yang telah disebutkan di atas, maka ada beberapa hal
yang menjadi penekanan dalam makalah ini, yaitu : (1) sastra lisan bhanti-bhanti
merupakan salah satu sastra yang penyampaiannya dinyanyikan, (2) sastra lisan bhantibhanti merupakan salah satu identitas masyarakat Wakatobi, karena mereka
mengidentifikasi diri sebagai pemilik sastra lisan bhanti-bhanti.
Memasuki era digital dan era pariwisata global, sastra lisan bhanti-bhanti
menjadi salah satu kesenian tradisional yang disukai oleh wisatawan. Melihat sifat sastra
lisan bhanti-bhanti yang terbuka, terutama dalam pementasannya, maka sastra lisan
bhanti-bhanti menjadi salah satu kekuatan lokal dalam pembangunan kebudayaan
global. Karena para wisatawan juga sangat menikmati beberapa tarian dan tradisi yang
melibatkan sastra lisan atau nyanyian rakyat bhanti-bhanti sebagai bagian dari
pementasannya.
Oleh karena itu, kehadiran sastra lisan bhanti-bhanti merupakan salah satu ruang
negosiasi kebudayaan-kebudayaan kecil dalam pembangunan kebudayaan global yang
kian menyatu. Sastra lisan masyarakat Yugoslavia121, Afrika122 kini telah menjadi sastra
dunia setelah diteliti oleh para ahli. Demikian juga dengan ada berbagai kajian
mengenai bhanti-bhanti yang saat ini menyebar di berbagai media internet, semakin
menguatkan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti adalah bagian yang tak terpisahkan
dengan kebudaayaan global dewasa ini.
Daftar Rujukan
Adejunmobi, Moradewun. 2011. “Revenge of the Spoken Word?: Writing,
Performance, and New Media in Urban West Africa” (Oral Tradition), Vol.
26. No. 1 (2011), pp: 3-26.
Asrif, 2014. “Identifikasi, Pemetaan dan Perlindungan Sastra Lisan di Sulawesi
Tenggara” dalam Jurnal Kandai volume 10 Nomor 1 Mei 2014 Hal. 127-137.
Asrif. 2015. Tradisi Lisan Kabhanti :Teks, Konteks dan Fungsi. Jakarta: Disertasi
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Esten, M.. 1999.Desentralisasi Kebudayaan. Bandung: Angkasa.
La Niampe, 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik.
Bandung : Universitas Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.
La Ode Nsaha, Tamburaka dan Asis. 1978/1979. Aneka Budaya Sulawesi Tenggara.
Kendari: Proyek Penggalian Nilai-Nalai Budaya Sulawesi Tenggara.
La Ode Taalami. 2008. Mengenal Kebudayaan Wakatobi. Jakarta: Granada.
121
Penelitian Albert Bates Lord mengenai nyanyian rakyat masyarakat Yugoslavia tahun 1981
saat ini sudah menjadi bagian penting dalam pembangunan kebudayaan khususnya dalam kajiankajian tradisi lisan. Disertasi yang mengkaji tentang sastra lisan kabhanti atau bhanti-bhanti sudah
banyak dilakukan, antara lain Ali Rusdin (2015), Asrif (2015) merupakan suatu kekuatan dalam
melihat keberadaan sastra lisan bhanti-bhanti dalam pembangunan kebudayaan global di masa
yang akan datang.
122
Penelitian Jan Vansinna (2014) mengenai pemanfaatan tradisi lisan dalam penulisan sejarah
masyarakat Afrika telah memberikan sumbangan luar biasa dalam membentuk peradaban global,
khsususnya dalam pembangunan paradigma penelitian sejarah.
440
Lord, A. B. 1981. The Singer of Tales. Cambridge, Massachusetts, London, England:
Harvard University Press.
Mursydah, Dian. 2012. “Disfungsi Tradisi Lisan Melayu Jambi sebagai Media
Komunikasi Da’wah” dalam Tadjid Volume XI. Nomor 2 tahun 2012 hal.
368-381.
Udu, S. 2010. Perempuan dalam Kabhanti: Tinjauan Sosiofeminis. Yogyakarta:
Penerbit Diandra
Udu, Sumiman. 2009. “Konsep Seks Masyarakat Buton” dalam Naskah Buton Naskah
Dunia: Prosiding Simposium Internasional IX Pernaskahan Nusantara di
Kota Bau-bau (Ed. Yusran Darmawan). Bau-Bau: Penerbit Respect.
Udu, Sumiman. 2013. “Tradisi Lisan Sebagai Media Konservasi Lingkungan dalam
Masyarakat Wakatobi” dalam Folklore and Folklife dalam Kehidupan Dunia
Modern. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Udu, Sumiman. 2015. “Tradisi Lisan Bhanti-Bhanti: Media Komunikasi Kutural Dalam
Masyarakat Wakatobi” dalam Jurnal Humaniora Volume 27 No. 1 Februari
2015 Halaman 217-228.
Winarti, Daru. 2013. “Nilai-nilai Budaya dalam Tembang Dolanan sebagai Sarana
Pembentuk Karakter Anak Bangsa” dalam Folklore and Folklife dalam
Kehidupan Dunia Modern. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
441
REVITALISASI DAN REAKTUALISASI
MAKANAN TRADISIONAL JAWA DALAM SERAT CENTHINI
Sutrisna Wibawa
Endang Nurhayati
Marwanti,
Venny Indria E.
Avi Meilawati
(FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia)
Abstrak: Penelitian “Revitalisasi dan Reaktualisasi Makanan Tradisional Jawa dalam
Serat Centhini” dilaksanakan selama dua tahun. Tujuan penelitian pada tahun pertama
adalah: (1) Mendeskripsikan macam-macam makanan tradisional yang terdapat dalam
Serat Centhini. , (2) Mendeskripsikan resep, cara pengolahan, dan cara penyajian
makanan tradisional yang terdapat dalam Serat Centhini, dan (3) Menganalisis nilainilai simbolik makanan tradisional Jawa yang tedapat dalam Serat Centhini. Sedangkan
tujuan penelitian pada tahun kedua adalah: (1) Meneliti kandungan bahan dan gizi yang
terdapat dalam makanan tradisional Jawa yang terinventarisasi dalam Serat Centhini, (2)
Menyusun ensiklopedi makanan tradisional Jawa berdasarkan Serat Centhini yang
dilengkapi dengan resep, cara pengolahan, cara penyajian, nilai simbolik, kandungan
bahan, dan nilai gizi makanan tradisional Jawa melalui uji laboratorium, dan (3)
Penerapan teknologi dalam pengemasan, penyajian, dan promosi makanan tradisional
dalam Serat Centhini agar lebih menarik dan bernilai ekonomis sebagai penunjang
wisata kuliner di Yogyakarta. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode
penelitian deskriptif dengan mendeskripsikan jenis-jenis makanan dalam Serat Centhini.
Kemudian dilakukan penentuan kandungan gizi makanan dengan penelusuran pustaka,
jika sudah ada penelitian maupun data yang terkait dengan jenis makanan yang diuji.
Peneliti juga akan melakukan pengujian kandungan gizi dengan software nutrisurvey.
Sampel penelitian ditentukan 10% dari jumlah populasi jenis makanan tradisional Jawa.
Penerapan teknologi dan revitalisasi dilakukan dengan cara memasak ulang jenis-jenis
makanan tradisional yang dinilai menarik dan sudah langka. Hasil penelitian Makanan
tradisional dalam Serat Centhini mempunyai jenis yang variatif. Makanan tradisional
disebut lebih kurang 1031 kali dalam Centhini. Kategorisasi makanan tradisional
kemudian dipilah menjadi tujuh, yaitu: (1) makanan pokok, (2) lauk-pauk, (3) sayursayuran, (4) buah-buahan, (5) minuman tradisional, (6) makanan kecil, dan (7) bumbu
dapur. Jumlah makanan tradisional yang ditemukan dalam Centhini yaitu 444 buah.
Hasil uji gizi menunjukkan bahwa makanan tradisional mengandung gizi tinggi
terutama kalori. Revitalisasi dilakukan dengan cara dengan memasak dan mengemas
ulang 44 jenis makanan tradisional yang dinilai unik dan langka.
Pendahuluan
Serat Centhini merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan
Jawa Baru. Segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa termuat dalam Serat
Centhini. Karya ini ditulis atas prakarsa Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom
442
Hamngkunagara III dari Kerajaan Surakarta, putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana
IV, yang kemudian bertahta pada tahun 1820-1823 M dengan gelar Sunan
Pakubuwana V. Serat Centhini, yang pada awalnya bernama Suluk Tambangraras
ditulis dalam bentuk tembang Macapat, mulai ditulis pada tahun 1814 dan selesai pada
tahun 1823. Buku ini terdiri dari 12 (duabelas) jilid dengan seluruhnya berjumlah
kurang lebih 3500 halaman.
Marsono (2005:v), dalam kata pengantar terjemahan/saduran jilid V
menyebutkan bahwa kandungan isi Serat Centhini sangat beragam: sejarah, pendidikan,
geografi, arsitektur, pengetahuan alam, falsafah, agama, tasawuf, mistik, ramalan,
sulapan, ilmu magi (ilmu kekebalan, ilmu sirep, dan ilmu penjahat), perlambang, adat
istiadat, tata cara (tata cara perkawinan, tata cara pindah rumah, tata cara berganti nama,
tata cara meruwat, tata cara menerima tamu, dan tata cara selamatan dalam daur hidup),
etika, pengetahuan sifat manusia, pengetahuan dunia fauna, pengetahuan dunia flora/
botani, obat-obatan tradisional, makanan tradisional, seni (seni tari, seni suara, seni
karawitan, seni wayang, seni pedalangan, dan seni topeng), dan bahkan sampai pada
hal-hal sanggama yang dianggap porno pun diuraikan dalam naskah ini. Karena
kandungan isinya yang demikian, Serat Centhini sering disebut dengan “Ensiklopedi
Kebudayaan Jawa”, yaitu tentang segala yang terdapat di bumi Pulau Jawa, dan bukan
yang terdapat di benua lain. Tentang pandangan bahwa Serat Centhini merupakan
ensiklopedi kebudayaan Jawa kiranya tidak berlebihan.
Salah satu hal yang menarik dalam Centhini adalah muatan mengenai makanan
tradisional Jawa. Berbagai jenis makanan tradisional Jawa mulai dari makanan pokok,
sayur, lauk, buah-buahan, minuman, sampai dengan bumbu yang digunakan pada masa
Centhini ditulis, disebutkan secara natural dan mengalir. Makanan tradisional tersebut
menyertai setiap alur cerita yang disajikan dalam Centhini. Bagaimana para tokoh dalam
Centhini menghadiri jamuan makan dan apa saja yang disajikan disebutkan secara
lengkap. Membahas mengenai makanan tradisional suatu bangsa merupakan hal yang
cukup penting. mengingat jenis makanan, cara pengolahan, maupun penyajian makanan
merupakan gambaran dari tingkat kebudayaan masyarakat pemangkunya. Selain itu, di
dalam Centhini, makanan bukan saja untuk disantap, tetapi juga sarat dengan muatan
simbol dan pengharapan.
Oleh karena itu, tim peneliti melalui penelitian unggulan perguruan tinggi
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai makanan tradisional dalam Serat Centhini
yang pada tahun pertama bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) macam-macam
makanan tradisional yang terdapat dalam Serat Centhini., (2) resep, cara pengolahan,
dan cara penyajian makanan tradisional yang terdapat dalam Serat Centhini, dan (3)
Menganalisis nilai-nilai simbolik makanan tradisional Jawa yang tedapat dalam Serat
Centhini. Sedangkan tujuan penelitian pada tahun kedua adalah: (1) Meneliti kandungan
bahan dan gizi yang terdapat dalam makanan tradisional Jawa yang terinventarisasi
dalam Serat Centhini, (2) Menyusun ensiklopedi makanan tradisional Jawa berdasarkan
Serat Centhini yang dilengkapi dengan resep, cara pengolahan, cara penyajian, nilai
simbolik, kandungan bahan, dan nilai gizi makanan tradisional Jawa, dan (3) Penerapan
teknologi dalam pengemasan, penyajian, dan promosi makanan tradisional dalam Serat
Centhini agar lebih menarik dan bernilai ekonomis sebagai penunjang wisata kuliner di
Yogyakarta.
Makanan Tradisional
Pengertian makanan menurut Sekanto (melalui Rosyidi: 2006) adalah produk
pangan yang siap hidang atau yang langsung dapat dimakan. Makanan biasanya
443
dihasilkan dari bahan pangan setelah terlebih dahulu diolah atau dimasak. Sedangkan
yang termasuk makanan tradisional adalah makanan (termasuk jajanan) dan minuman
serta bahan-bahan campuran (ingredient) yang secara trdisional telah digunakan dan
berkembang di daerah atau masyarakat Indonesia. Dirunut dari definisinya, makanan
tradisional adalah makanan dan minuman, termasuk makanan jajanan serta bahan
campuran yang digunakan secara tradisional dan telah lama berkembang secara spesifik
di daerah atau masyarakat Indonesia.
Biasanya makanan tradisional diolah dari resep yang sudah dikenal masyarakat
setempat dengan bahan-bahan yang diperoleh dari sumber lokal yang memiliki citarasa
yang relatif sesuai dengan selera masyarakat setempat (http://www.deptan.go.id).
Kriteria makanan tradisional pada masyarakat suku bangsa adalah sebagai berikut.
1. Diolah menurut resep makanan atau komposisi bumbu yang telah dikenal dan
diterapkan secara turun temurun dalam sistem keluarga atau masyarakat.
2. Bahan baku tersedia setempat, baik merupakan hasil usaha tani sendiri
maupun tersedia dalam sistem pasar setempat.
3. Cara pengolahannya spesifik menurut cara-cara yang telah dikembangkan
oleh masyarakat setempat
Di dalam makanan tradisional juga terkandung makna sosiokultural, teknik pembuatan,
penggunaan, komposisi, dan akibat dari konsumsi makanan tersebut oleh masyarakat.
Dengan demikian, makanan tradisional secara tidak langsung dapat mewakili budaya
dan kebutuhan pangan masyarakat setempat. Budaya yang tampak pada produk
makanan tradisional bukan hanya pada tingkat wujud fisik makanan, tetapi juga meliputi
ide/gagasan dan perilaku masyarakat pendukungnya, pola hidup, mata pencaharian,
yang tercermin pada peralatan, proses pengolahan dan pemasaran hingga cara konsumsi
makanan tadisional. (Kuhnlein and Receveur 1996: 417).
Serat Centhini
Serat Centhini merupakan gubahan bersama di bawah pimpinan Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III, putra mahkota Sunan Pakubuwana IV,
yang kemudian menggantikannya menjadi Sunan Pakubuwana V, dengan para pujangga
kraton Raden Ngabehi Ranggasusastra, Raden Ngabehi Yasadipura II, Raden Ngabehi
Sastradipura, serta para anggota Kanjeng Pangulu Tapsiranom, Pangeran Jungut
Mandurareja, Kyai Kasan Besari, dan Kyai Muhammad Minhad. Wirodono (2011:11)
melihat kehebatan Serat Centhini dari apa yang diobsesikan Pakubuwana V yang dapat
memberikan rujukan atau referensi pada masyarakat Jawa (pada waktu itu), yang tentu
saja dengan situasi dan kondisi teknologi serta pengetahuannya, telah berjasa besar
dalam menyebarkan berbagai pengetahuan dan kebudayaan manusia kepada masyarakat
ramai. Sementara itu, dalam pandangan Kamajaya (1978: 4), isi kandungan Serat
Centhini yang amat banyak dan bermacam-macam tentang kebudayaan dan kejiwaan
banyak yang dapat menjadi sumber, sumbangan, dan bahan dalam pembentukan
kepribadian dan kebudayaan nasional Indonesia.
Kandungan Gizi Makanan Tradisional
Makanan tradisional diketahui mempunyai keunggulan tersendiri berdasarkan
kemurnian bahan dan kelokalannya. Menurut penelitian, penyakit musiman dapat
disembuhkan tanpa obat kimia, tetapi hanya terapi dengan makanan tradisional yang
terdapat di daerah tersebut. Berikut beberapa bahan dasar makanan tradisional yang
mempunyai kandungan gizi dan bermanfaat dalam mencegah dan mengobati penyakit.
444
Contohnya tanaman pare (Momordica charabtia) mempunyai beberapa manfaat.
Dapat merangsang nafsu makan, menyembuhkan penyakit kuning, memperlancar
pencernaa dan sebagai obat malaria. Selain buah pare, ternyata daun pare juga
mempunyai manfaat yang tidak kalah dengan buahnya. Manfaat tersebut antara lain
dapat menyembuhkan mencret pada bayi, membersihkan darah bagi wanita yang baru
melahirkan, menurunkan panas, mengeluarkan cacing kremi. Sedangkan buah pare
dalam 100 gram mengandung Kalori 29,00 kal, Protein 1,10 gr, Lemak 0,30 gr,
Karbohidrat 6,60 gr, Kalsium 45,00 mg, Fosfor 64,00 mg, Zat besi 1,40 mg, Vitamin A
180,00 SI, Vitamin B 0,08 mg, Vitamin C 52,00 mg, Air 91,20 gr
(http://akhmadrahmadi2103.blogspot.co.id/2012/10/manfaat-pare-oyong-gambas-tomattimun.html).
Senada dengan pendapat di atas, Wickenberg, dkk (2010) melalui penelitiannya
mengenai temulawak menyatakan bahwa: “The present study shows that the ingestion of
C. longa increased postprandial serum insulin levels, but did not affect plasma glucose
levels or GI in healthy subjects. The results indicate that C. longa may have an effect on
insulin secretion”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa temulawak menambah level
serum insulin tetapi tidak mempengaruh pada glukosa. Hal tersebut dapat menunjukan
bahwa temulawak mempunyai pengaruh pada pembuangan insulin.
Selain makanan, minuman tradisional juga mempunyai banyak manfaat.
Misalnya, minum teh diketahui dapat (1) memperkuat gigi & mencegah karies pada
gigi, (2) mengurangi resiko keracunan makanan, (3) memperkuat daya tahan tubuh, (4)
menyegarkan tubuh, (5) mencegah tekanan darah tinggi, (6) Mengoptimalkan
Metabolisme Gula Mangan (Mn), yang terkandung dalam teh bisa membantu
penguraian gula menjadi energi. Dengan demikian teh bisa membantu menjaga kadar
gula dalam darah. (7) Mencegah Pertumbuhan Kanker. Kemampuan Catechin ( salah
satu unsur dalam Polyphenols ) dapat menghambat terjadinya mutasi pada sel -sel tubuh
dan menetralisir radikal bebas. (8) Mencegah penyakit jantung. Zat flavonoid dan
mangan yang terkandung dalam teh dapat mencegah serangan radikal bebas yang bisa
menyebabkan serangan jantung. (9) Memperlambat penuaan. Teh mengandung senyawa
polifenol dan antioksidan yang berfungsi memperlambat penuaan dini. (10) Mencegah
perdarahan. Kandungan vitamin K yang cukup tinggi pada teh berfungsi dalam
pembekuan darah sehingga dapat mencegah pendarahan. Jika terjatuh, luka bisa
dibersihkan dengan air teh yang pekat dan hangat. (11) Melangsingkan
badan.Kandungan serat pada teh menyebabkan sistem pencernaan dalam tubuh
berlangsung secara tidak berlarut-larut. Akibatnya, karbohidrat yang berhasil diserap
tubuh menjadi lebih sedikit yang akhirnya membantu upaya mengurangi bobot tubuh.
(12) Menurut peneliti di Hongkong, teh hijau ternyata juga berguna untuk mencegah
osteoporosis dan penyakit tulang lainnya (Santoso, 2011).
Jenis Makanan Tradisional dalam Serat Centhini
Hasil penelitian mengenai jenis makanan tradisional dilakukan dengan cara
pembacaan berulang, kemudian data dijaring dengan menggunakan instrumen penelitian
yang telah disusun. Berikut ini contoh data mengenai jenis makanan tradisional.
445
Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan oleh tim peneliti, ditemukan
sebanyak 444 jenis makanan tradisional dalam Serat Centhini dengan rincian sebagai
berikut.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Makanan kecil
Jumlah
Setiap Jenis
128
Sayur-sayuran
110
Lauk pauk
77
Buah-buahan
44
Makanan pokok
50
Minuman tradisional
19
Bumbu dapur
16
Jumlah Total
444
Jenis Makanan Tradisional
446
Kemudian makanan tradisional dideskripsikan sesuai dengan kategorinya.
Contoh untuk makanan pokok yang ditemukan dalam Serat Centhini berjumlah 50 jenis
yaitu beragam jenis nasi, roti, kentang, ketela, ubi, talas, gembili, keladi, meniran, sagu,
kupat, gadhung, walur, puli, dan aneka jenis nasi tim. Makanan pokok muncul sebanyak
114 kali dengan prosentase 11%. Sebagian besar makanan pokok yang muncul dalam
Serat Centhini berupa nasi. Ada 50 jenis makanan pokok yang tercantum di dalam Serat
Centhini, yaitu (1) nasi, (2) nasi wangi, (3) nasi ikan, (4) nasi sumbul, (5) nasi goreng,
(6) nasi tumpeng, (7) nasi bucu, (8) nasi pulen, (9) nasi susu, (10) nasi liwet, (11) nasi
kendhuri, (12) nasi uduk, (13) nasi kepyar, (14), nasi kebuli, (15) nasi golong, (16) nasi
punar, (17) nasi biru kendhit, (18) nasi merah, (19) nasi hitam, (20) nasi wuloh, (21)
nasi rames, (22) sekul lemeng, (23) sega lulut, (24) nasi basahan, (25) roti, (26) kentang,
(27) ketela, (28) ubi, (29) talas, (30) gembili, (31) keladi, (32) sagu, (33) ketupat, (34)
gadhung, (35) walur, (36) puli, (37) tim sarang burung otot, (38) tim burung dara, (39)
tim bandeng, (40) tim bebek, (41) tim meri, (42) tim gurameh, (43) tim ikan tambra,
(44) tim bulus, (45) tim gibas, (46) tim landak mopol, (47) panggang tumpeng, (48)
liwet sadat, (49) sidhat mencir, dan (50) padi gaga.
Nasi merupakan makanan pokok utama masyarakat Jawa, sehingga olahan nasi
mempunyai beberapa varian, bahkan jenis beras juga beragam. Jenis beras pada Serat
Centhini digolongkan menjadi lima, yaitu (1) beras putih, (2) beras merah (3) beras
hitam, (4) beras ketan dan (5) beras gogo. Masyarakat Jawa biasa menggunakan beras
putih sebagai makanan pokok sehari-hari. Jenis varian beras putih akan menentukan
rasa, keharuman, pulen atau kerasnya nasi, dan jumlah air yang digunakan untuk
menanak nasi. Warna nasi yang telah masak (tanak) berbeda-beda tergantung dari jenis
beras yang digunakan. Pada umumnya, warna nasi adalah putih bila beras yang
digunakan berwarna putih. Beras merah atau beras hitam akan menghasilkan warna nasi
yang serupa dengan warna berasnya.
Kandungan amilosa yang rendah pada pati beras akan menghasilkan nasi yang
cenderung lebih transparan dan lengket. Ketan, yang patinya hanya mengandung sedikit
amilosa dan hampir semuanya berupa amilopektin, memiliki sifat semacam itu. Beras
jepang (japonica) untuk sushi mengandung kadar amilosa sekitar 12-15% sehingga
nasinya lebih lengket daripada nasi yang dikonsumsi di asia tropika, yang kadar
amilosanya sekitar 20%. Pada umumnya, beras dengan kadar amilosa lebih dari 24%
akan menghasilkan nasi yang 'pera' (tidak lekat, keras, dan mudah terpisah-pisah).Cara
memasak nasi dapat dikategorisasikan menjadi 3 cara, yaitu (1) ditanak, (2) dikukus, (3)
dibakar, (4) digoreng. Nasi untuk konsumsi harian hanya ditanak tanpa ditambah bumbu
dan dimakan beserta sayur dan lauknya. Selain sebagai makanan pokok, nasi juga
digunakan sebagai sesaji dalam upacara adat. Sebagai sesaji, nasi dibentuk sedemikian
rupa sesuai dengan simbolisasinya. Pada upacara adat, bentuk dan bahan pelengkap nasi
mempunyai makna simbolis yang berkaitan dengan makna upacara adat. Bentuk dari
nasi adalah (1) bulat, (2) kerucut, (3) bulat panjang.
Jenis makanan tradisional yang lain adalah sayur. Masyarakat Jawa tidak begitu
membedakan lauk dan sayur dengan rinci. Kadang terdapat jenis sayuran yang diolah
menjadi lauk, misalnya tahu, tempe, dan ada pula sumber makanan hewani yang diolah
menjadi jenis sayuran, misalnya pecel ayam. Ada beraneka jenis lauk dan sayuran yang
diolah menjadi berbagai jenis makanan dalam centhini. Keberadaaan sayuran dalam
centhini tidak hanya sebagai sayur saja tetapi juga sebagai sumber pengobatan. Terdapat
110 jenis sayuran yang terdapat dalam serat centhini, yaitu: (1) besengek ayam, (2)
besengek tempe, (3) besengek wader, (4) besengek tawon, (5) besengek terinil, (6)
besengek turlek, (7) besengek burcet, (8) sayur padhamara, (9) sayur menir, (10) pecel
447
ayam, (11) opor bebek, (12) opor, (13) dendeng, (14) petis, (15) kare, (16) brongkos,
(17) sayur becek, (18) kacang, (19) kecipir, (20) kecemeh, (21) kemangi, (22) gude, (23)
gunda gondang, (24) banci, (25) kalepoh, (26) kemangi, (27) kembang beku, (28) ebrut,
(29) acar, (30) bothok jambal, (31) sayur kluwih, (32) babad galeng, (33) babad tala,
(34) babad jarit, (35) iso, (36) glepah, (37) kluban, (38) gurung widungan, (39) saren,
(40) bluthok penthul pusoh, (41) koyar lidah, (42) gitik, (43) dhokowan, (44) sayur
asem, (45) bobor loncom, (46) muncang, (47) gulai, (48) windu bubus munggul, (49)
belkothok, (50) lontho, (51) kikil, (52) ece, (53) pete, (54) bekothok, (55) balenyik, (56)
bekakak kambing, (57) bekakak bebek, (58) bekakak ayam, (59) bekakak angsa, (60)
bekakak domba, (61) bekakak gimbal, (62) bekakak kancil, (63) bekakak kijang, (64)
bekakak daging kerbau muda, (65) bekakak daging kuda, (66) bekakak daging
menjangan, (67) jeroan, (68) ebi, (69) gecok, (70) bothok bethik sanggring, (71) bothok
bethik kendho, (72) bothok bethik gadhon, (73) etum jamur wuku, (74) druju watu
kuping, (75) lurjuk, (76) combrang, (77) srunen, (78) keciput, (79) luntas, (80) kapas,
(81) rempelas pakis, (82) katu, (83) kerokot, (84) careme, (85) kepel, (86) gayam, (87)
selat, (88) kobis, (89) kucai, (90) sawi, (91) wortel, (92) daun lobak, (93) jagung, (94)
jewawut, (95) tetel onggok, (96) jipang, (97) lalaban, (98) urat, (99) tulang muda, (100)
rempelas pakis, (101) sayur lodeh, (102) urap-urapan, (103) duduh pitik, (104)
lemengan sidhat, (105) lemengan kutuk, (106) lodhoh ayam, (107) lembaran jagoan
pingul, (108) tomba brem masak santen, (109) pakis sayur, dan (110) kara.
Berdasarkan data, cara pengolahan sayur ada yang (1) tanpa diolah, (2) direbus,
(3) dikukus, (4) dibakar, dan (5) ditumis. Sayur yang dimakan tanpa dimasak terlebih
dahulu adalah lalapan. Sayuran yang termasuk lalapan adalah timun, wortel, kubis,
kemangi, selada, kacang panjang. Biasanya lalapan dikonsumsi dengan lauk dan sambal.
Cara perebusan sayur ada yang hanya direbus dengan bumbu ada yang ditambahkan
dengan santan. Wujud sayur yang direbus ada dua macam, yaitu sayur berkuah dan
sayur tanpa kuah.
Perunutan Resep Masakan Tradisional
Masakan tradisional yang terdapat dalam Serat Centhini tidak mencantumkan
secara rinci, resep-resep makanan tradisional. Perunutan resep makanan tradisional
dilakukan melalui pustaka lain yang sejaman maupun tidak sejaman dengan Serat
Centhini. Selain itu, perunutan juga dilakukan oleh anggota peneliti yang merupakan
ahli tata boga. Contoh hasil perunutan resep masakan tradisional yang dilakukan adalah
sayur padhamara123
http://benpintermasak.com/wp-content/uploads/2011/03/Sayur-Lodeh-Kangkung.jpg
http://tembi.net/selft/0000/jawa/sesaji_tarub_21.htm
448
Nilai Simbolis Masakan Tradisional
Banyak jenis makanan dalam serat Centhini yang mengandung nilai simbolis.
Diantaranya makanan sesaji yang berupa:
nasi golong, nasi punar, nasi
tumpeng,tumpeng gundhul, tumpeng robyong, ingkung sega rasulan, urapan/gudhangan,
sambel gereh pethek/sambel gepeng, jenang abang, jenang baro-baro, jenang putih, dan
jenang sungsum. Nilai-nilai simbolisme yang terkandung dalam makanan-makanan
tersebut biasanya tersimbolisasi dengan pendekatan jarwa dhosok atau othak-athik
tetapi sesuai dan cocok dengan makna yang dimaksud. Pendekatan ini merupakan
pendekatan kultur masyarakat Jawa yang masih digunakan sampai saat ini. Adapun
contoh uraian perunutan nilai simbolis makanan tradisional seperti berikut ini.
1. Nasi punar adalah nasi yang terbuat dari beras ketan yang diberi warna kuning dari
air kunyit. Nasi ini biasanya disajikan pada acara dulangan pengantin. Pengantin
pria dan wanita saling menyuapi, acara ini melambangkan kasih sayang,
tanggungjawab, dan kewajiban dari mempelai wanita dan pria yang diharapkan
tetap melekat dan tidak pernah terlepas dari diri masing-masing, ibaratnya rekatnya
nasi punar. Istilah lain dalam budaya Jawa renggang gula kumepyur pulut yang
berarti lekat/rekat rukun tidak terpisahkan. Warna kuning pada nasi punar
melambangkan harapan untuk mempelai agar kehidupan keluarganya kelak
bersinar cerah, tanpa suasana buram.
2. Nasi biru kendhit adalah nasi putih yang diberi warna biru yang berasal dari blawu
berbentuk kerucut yang terdapat di tengah, lalu disekelilingnya terdapat aneka
lauk pauk yang mengelilingi nasi biru ini seperti kol yang diiris persegi kecil dan
direbus, telur ayam kampung rebus, sambal pencok, rempeyek, dan gereh pethek.
Nasi beserta lauk pauk ditata di atas tambir yang dialasi samir dari daun pisang
dengan susunan kenongan nasi di tengah dan lauk pauk sudhi diletakkan
dipinggirnya. Nasi biru kendhit biasa disediakan untuk sesaji ritual-ritual tertentu
yang banyak dilakukan oleh masyarakat jawa sebagai wujud kepercayaan terhadap
laut selatan. Nasi biru kendhit ini biasanya juga disebut dengan dhahar kapuranto
yang dimaksudkan untuk meminta maaf atas segala kesalahan yang telah dilakukan.
449
3. Ingkung adalah lauk yang terbuat dari ayam jago yang dimasak rebus. Ayam diikat
menyerupai posisi tubuh orang sedang sujud. Lauk ini biasanya sebagai pelengkap
nasi wuduk atau nasi gurih. Sajian ini dinamakan nasi rasul. Ingkung memiliki nilai
simbolisme manusia harus tunduk dan selalu bersikap tawaduk kepada Allah dan
rasul-Nya. Dalam Islam wujud ketakwaan manusia terhadap Allah yang tidak boleh
ditinggalkan adalah menjalankan ibadah sholat atau biasa disebut sujud. Sujud
adalah posisi yang mengingatkan manusia betapa sangat hina dan rendahnya
manusaia di hadapan Allah Yang Maha Agung. Manusia tidak bernilai jika lalai
terhadap Allah. Dari arti kata ingkung berarti terikat pada ingkang Maha Langkung.
Dengan sajian ini, diharapkan manusia dalam keadaan nikmatpun tidak boleh lupa
terhadap Tuhannya. Makna lain ingkung adalah ditlikung atau dibanda dalam
bahasa Indonesia berarti dibelenggu. Maksudnya bahwa kehidupan manusia tidak
ada yang bebas sebebasbebasnya. Hidup diatur oleh norma dan syariat agama. Manusia yang patuh kepada
norma dan agama niscaya hidupnya akan damai.
4. Nasi tumpeng terbuat dari nasi putih yang dibentuk kerucut. Nasi ini
melambangkan proses perjalanan hidup manusia dari dunia ramai menuju
kekeabadian atau lazim disebut sangkan paraning dumadi, dari manusia diciptakan
Allah, sampai kembali lagi ke haribaan Allah. Tumpeng biasa dilengkapi laukpauk seperti gudhangan, tempe goreng, sambel gepeng, peyek, sambel goreng dan
ingkung.
Kandungan Gizi Makanan Tradisional Jawa dalam Serat Centhini
Penelitian terhadap kandungan gizi makanan tradisional Jawa dalam Serat
Centhini dilakukan melalui penelusuran pustaka dan uji kandungan gizi. Kandungan
gizi dihitung berdasarkan besaran bahan yang digunakan dalam suatu resep masakan.
Berikut ini contoh hasil perunutan kandungan gizi makanan tradisional dalam Serat
Centhini.
Nama Masakan: Lemengan Kuthuk (5 Porsi)
450
Penyusunan Ensiklopedi Makanan Tradisional Jawa berdasarkan Serat Centhini
Penyusunan ensiklopedi makanan tradisional dalam Serat Centhini merupakan
lanjutan dari program tahun pertama. Ensiklopedi ini sudah mulai di edit dan lay out
agar dapat dicetak menjadi sebuah buku. Setiap jenis makanan dalam Serat Centhini
akan dilengkapi dengan: (1) nama makanan, (2) gambar makanan, (3) resep, (4) cara
pembuatan, dan (5) kandungan gizi, dan (6) petikan bait dalam Serat Centhini yang
menyebutkan mengenai makanan tradisional tersebut, dilengkapi dengan terjemahan
teks. Penghitungan kandungan gizi dilakukan bersamaan dengan penghitungan
kandungan gizi, oleh karena pada lay out di bawah ini, belum disisipkan kandungan gizi
dalam jenis makanannya. Berikut ini contoh format ensiklopedi makanan tradisional
yang sudah di-lay out.
Penerapan teknologi dalam pengemasan, penyajian, dan promosi makanan
tradisional dalam Serat Centhini agar lebih menarik dan bernilai ekonomis sebagai
penunjang wisata kuliner di Yogyakarta
Penerapan teknologi dalam pengemasan dan penyajian makanan tradisional
dalam Serat Centhini dimulai dengan pemilihan jenis makanan dan minuman tradisional
yang akan diujicoba dan dikreasikan agar lebih menarik dan bernilai ekonomis. Jenis
makanan dan minuman yang dipilih adalah yang unik, langka, mempunyai ciri khas, dan
belum dikenal secara luas (tidak terdapat dalam berbagai buku resep masakan umum).
Selain itu, dilakukan pula penambahan kandungan gizi dalam suatu makanan.
Jenis masakah yang dikreasikan kembali yaitu: (1) makanan kecil atau kudapan
sebanyak 13 macam (Pipis Tuban, Pipis Kopyor, Gemblong, Sagon, Rangin, Roro
Mendut, Jadah Kilang, Sumping, Rondo keli, Limpang-limpung, Kerak, Keling,dan
451
Utri, (2) sayuran dan sambal sebanyak 7 macam (Sayur Becek, Sayur Banci, Sayur
Menir, Sayur bobor kelor, Sayur pakis, Blekethok, dan Pecel klenthang, (3) lauk pauk 8
jenis (Besengek, Trinil, Lodhoh Ayam, Opor Bebek, Besengek Wader, Tim Grameh,
Tim Meri, dan Bekakak Kalkun, (4) makanan pokok sebanyak 4 jenis (Sekul Kenduri,
Sekul Punar, Sekul susu, dan Sekul Ireng, (5) minuman tradisional sebanyak 2 jenis (Es
cao dan rujak cerobo), (6) kreasi buah-buahan sebanyak 4 jenis (rangkaian buah pala
gumantung, pala kesimpar, pala kependhem, dan nanas sebagai wadah), dan (6) jenang
sebanyak 2 jenis (jenang pathi dan jenang grendul). Berikut ini merupakan dokumentasi
makanan tradisional yang telah dimasak ulang oleh tim peneliti.
Bekakak Kalkun
Sayur Banci
Pala Kependhem
Sekul Ireng
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Makanan dan minuman tradisional Jawa cukup beragam. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi kuliner tradisional, tidak hanya
dari Serat Centhini tetapi dari manuskrip-manuskrip Jawa yang lain secara luas.
2. Kandungan gizi dalam makanan dan minuman tradisional Jawa cukup tinggi dan
beragam.
3. Masakan dan minuman yang termuat dalam Serat Centhini menggunakan bahanbahan dan cara memasak yang sederhana, sehingga cukup praktis dan mudah
dimasak.
4. Masakan dan minuman yang terdapat dalam Serat Centhini banyak yang sudah
langka dan tidak dikenal masyarakat. Oleh karena itu, revitalisasi makanan dan
minuman tradisional dengan cara mengkreasikan ulang makanan menjadi hal yang
452
cukup penting. Selain itu, hal ini dapat dipandang sebagai peluang dalam bisnis
kuliner dan pariwisata khususnya di DIY.
Daftar Rujukan
Kamajaya, Karkana, 1978, Serat Centhini dituturkan dalam Bahasa Indonesia Jilid IA,
Yogyakarta: UP Indonesia.
Kuhnlein, Harriet V. dan Receveur, Oliver. 1996. Dietary Change and Traditional Food
System of Indigenous People. Jurnal Annual Reviews. Vol. 16 tahun 1996,
hal. 417-442. diunduh dari http://www.researchgate.net/publication/
14365338_Dietary_Change_and_Traditional_Food_Systems_of_Indigenous_
Peoples pada 14 April 2013.
Marsono (penyunting). 2005-2008. Centhini Tambangraras-Amongraga V-XII.
Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Rahmadi, Akhmad. 2012. Manfaat Pare,Tomat, Timun, Terong, Oyong (Gambas)
diunduh dari http://akhmadrahmadi2103.blogspot.co.id/2012/10/manfaatpare-oyong-gambas-tomat-timun.html pada 15 April 2013.
Rosyidi, Djalal. 2006. Macam-macam Makanan Tradisional yang Terbuat dari Hasil
Ternak yang Beredar di Kota Malang. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil
Ternak. Vol. 1, No. 1 Agustus 2006, hal. 24-34. diunduh dari
http://jitek.ub.ac.id/ index.php/jitek/article/download/100/99 pada 13 April
2013.
Santoso, Urip. Dampak Positif dan Negatif Minum Teh. diunduh dari
http://uripsantoso.wordpress.com/2011/09/12/dampak-positif-dan-negatifminum-teh/.
Wickenberg
et
al.
Nutrition
Journal
2010,
9:43.diunduh
dari
http://www.nutritionj.com/content/9/1/43 pada 15 April 2013.
Wirodono, Sunardian, 2011, Centhini Sebuah Novel Panjang, Yogyakarta: Diva Press.
453
ANTROPOLOGI SASTRA WAYANG PEMBANGKIT SOLIDARITAS SOSIAL
SEBUAH PENCERMATAN LAKON WAHYU PADA BERSIH DESA
Suwardi Endraswara
(FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia)
Abstrak: Antropologi sastra adalah cabang ilmu sastra posmodernisme, mencermati
sastra dari seluk beluk kemanusiaan. Dari sisi antropologi sastra, manusia tergolong
sebagai makhluk homo homini socius. Artinya, manusia sebagai kawan sosial bagi
manusia lainnya, selain sebagai makhluk individu yang memiliki jati diri. Eksistensi
manusia demikian, sering mendapat penekanan dalam pertunjukkan wayang kulit
dengan lakon wahyu yang digunakan dalam konteks upacara bersih desa. Lakon wahyu
selain memiliki (1) kaitan spiritual juga memuat (2) kaitan sosial. Kaitan spiritual, yaitu
sebagai sarana upacara untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada Tuhan,
sedangkan kaitan sosial yaitu sebagai sarana untuk memperkokoh jaringan sosial,
kesetiakawanan sosial, solidaritas sosial, yang pada gilirannya akan memperkokoh rasa
persaudaraan sesama warga masyarakat.
Pertunjukan wayang kulit merupakan salah satu bentuk pertunjukan teater
boneka, untuk itu dalam membahas pertunjukan wayang kulit dalam upacara bersih désa
payungnya adalah dramaturgi pedalangan. Penelitian ini tidak hanya mengamati
pertunjukan wayang kulit dari sisi teks, akan tetapi juga mengamati dan menganalisis
dari sisi konteks, khususnya antropologis. Dengan demikian penelitian yang dilakukan
merupakan perpaduan antara penelitian tekstual dan kontekstual. Dari sisi antropologi
sastra, lakon wahyu dalam upacara bersih desa perlu pencermatan beberapa hal, yaitu
(1) lakon wahyu apa saja yang dijadikan idola cultural oleh masyarakat, (2) sejauh
mana estetika sastra yang terkandung dalam lakon wahyu tersebut, (3) wawasan budaya
seperti apa yang termuat dalam simbol-simbol lakon wahyu. Lakon wahyu memberikan
tuntunan, tontonan, dan tatanan soslidaritas social dalam masyarakat. Karena dalam
lakon tersebut, berisikan nilai-nilai yang memperkaya pengalaman social budaya yang
tidak lepas dari nilai kemanusiaan, tolerensi, Ketuhanan, keadilan, tapa brata,
keagungan dan sebagainya.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa lakon wahyu dapat memberikan harapan
tuah baik bagi solidaritas social masyarakat, agar dikaruniai keselamatan, kebahagiaan,
kemuliaan, dan ketentraman. Gayutan sosial lakon wahyu pada acara bersih desa
memupuk rasa persatuan, persaudaraan, kebersamaan, dan solidaritas diantara para
warga. Dengan adanya rasa persatuan dan kebersamaan akan tercipta suasana yang
aman dan tentram.
Kata kunci: antropologi sastra, lakon wahyu, bersih desa, dan solidaritas sosial
:
Antropologi Sastra: homo homini socius dan Lupus
Antropologi sastra adalah cabang ilmu sastra posmodernisme, mencermati sastra
dari seluk beluk kemanusiaan. Manusia itu sering gila sendiri. Sering ingin
membebaskan diri. Dari sisi antropologi sastra, manusia tergolong sebagai makhluk
homo homini socius. Artinya, manusia sebagai kawan sosial bagi manusia lainnya,
454
selain sebagai makhluk individu yang memiliki jati diri. Manusia juga sering disebut
homo homini lupus, yang berbahaya bagi sesamanya. Dalam wayang, baik manusia
sebagai socius dan lupus sering muncul bertubi-tubi.
Wayang adalah potret diri manusia. Lewat wayang, baik manusia sebagai socius
dan lupus selalu Nampak. Dari sisi antropologi wayang (sastra), manusia sering
mempertontonkan dirinya lewat pertunjukan wayang. Dirinya yang kalem, tenang,
sabar, diwujudkan dalam lakon wayang wahyu. Hal ini menandai hadirnya kepekaan
manusia pada kekuatan adikodrati. Dalam ritual bersih desa, wayang wahyu selalu
hadir. Harapannya agar desa itu menerima wahyu keindahan. Sayangnya, di balik
mengejar wahyu itu, ada sifat lupus manusia yang muncul.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin hidup sendiri dalam
memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan orang lain, karena memang manusia diciptakan
Tuhan untuk saling berinteraksi, bermasyarakat atau bersilaturahmi dengan sesama serta
dapat saling tolong menolong dalam memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan untuk
bermasyarakat atau berkumpul dengan sesama merupakan kebutuhan dasar atau naluri
manusia itu sendiri yang dinamakan Gregariousness. Maka dengan demikian manusia
merupakan makhluk sosial Homo Socius. Socius berasal dari bahasa Latin yang berarti
teman, kawan atau masyarakat, sedangkan Homo yang berarti sejenis. Sehingga Homo
Socius dapat diartikan sebagai makhluk yang selalu ingin berinteraksi dengan sesama
atau bergaul. Adapun ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk yang
mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama sesamanya dinamakan ilmu
sosiologi.
Adam Smith seorang filsuf berlatar belakang ekonomi mengutarakan bahwa
manusia adalah makhluk Homo homini socius yang berarti manusia menjadi kawan
bagi manusia lainnya. Inti dari pikiran ini adalah bahwa manusia akan butuh orang lain
dalam hidupnya untuk berinteraksi. Dalam sebuah teori yang sangat sederhana, teori ini
dapat dengan sederhana dibuktikan dengan kebutuhan manusia akan akurasi dan
dipandang baik oleh orang. Dalam konteks ingin dipandang baik oleh orang lain, akan
menjadi sorotan dalam homo homini socius dan kemudian, kebutuhan ini akan
dijelaskan lebih lanjut dengan konsep self esteem atau yang diterjemahkan menjadi
harga diri.
Kebutuhan akan harga diri pertama kali dijelaskan dalam hierarchy of needs,
oleh Abraham Maslow (Schultz, D. 1976). Maslow membagi atas dua bagian untuk
kebutuhan akan harga diri ini, yaitu kebutuhan yang tergolong rendah dan tergolong
tinggi. Yang tergolong rendah mencakup kebutuhan dihormati oleh orang lain,
kebutuhan akan status, popularitas, kemenangan, dikenal, diperhatikan, reputasi,
apresiasi, martabat, dan bahkan dominansi. sementara yang tergolong tinggi mencakup
kebutuhan akan penghormatan terhadap diri sendiri oleh diri sendiri (self respect)
seperti perasaan yakin, kepemilikan akan kompetensi, perolehan hasil, penguasaan akan
suatu hal, kemandirian, dan kebebasan. Bentuk-bentuk ke dua disebut sebagai
kebutuhan yang dikategorikan tinggi oleh Maslow karena ketika sudah memiliki self
respect tersebut, maka seorang individu akan sulit terlepaskan itu semua.
Semua penjelasan-penjelasan tersebutlah, yang kemudian akan membuat
seseorang membutuhkan orang lain, sebab untuk memperoleh harga diri tadi, maka
manusia butuh orang lain untuk memberikannya. Konteks ini sering hadir dalam sastra
wayang dan pertunjukan wayang kulit. Lakon-lakon wahyu, selalu terkait oleh dorongan
manusia sebagai socius dan lupus. Lewat ritual bersih desa, pertunjukan wayang sebagai
socius muncul dibarengi sebagai lupus.
455
Homo homini lupus adalah ungkapan Latin yang berarti “manusia adalah
serigala bagi manusia sesama.” “Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya” atau
juga disebut “Homo homini Lupus ” istilah ini pertama kali di kemukakan oleh plautus
pada tahun 945,yang artinya sudah lebih dari 1500 tahun dan kita masih belum tersadar
juga. di jaman sekarang ini sangat sulit Menjadikan Manusia seperti seorang manusia
pada umumnya,sepertinya istilah ini masih tetap berlaku sampai sekarang.
Ungkapan “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lain)
dipopulerkan oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf dari Inggris, untuk menggambarkan
situasi masyarakat yang diwarnai oleh persaingan dan peperangan. Siapa pun bisa
menjadi musuh. Manusia yang satu bisa “memakan” dan mengorbankan manusia lain
demi tujuan yang ingin dicapai. “Bellum omnium contra omnes” (perang semua
melawan semua). Kebenaran pendapat Hobbes itu masih dapat kita jumpai dalam situasi
kita saat ini. Kita merasakan bahwa situasi persaingan itu semakin menguat. Apalagi di
era globalisasi yang ditopang oleh sistem pasar bebas. “Kalau mau tetap eksis, harus
berani bersaing dengan yang lain” itulah jargon yang seringkali dimunculkan. Di antara
negara-negara, persaingan itu sangat kentara. Perusahaanperusahaan trans-nasional
bertebaran di mana-mana. Yang punya modal kuat bisa bertahan dan bahkan makin
mendulang keuntungan. Sementara yang modalnya kecil kandas di tengah jalan. Situasi
persaingan itu tidak hanya terjadi antar institusi. Persaingan antar individu pun terjadi.
Tidak bisa dipungkiri Hidup di dalam suatu negara sangat di butuhkan sosialisasi
karena kita tidak dapat Hidup dengan sendirinya tanpa ada manusia lain.Apalagi seperti
keadaan sekarang ini kita Hidup di jaman yang serba susah. Demi mempertahankan
hidup itu sendiri kita rela melakukan apa saja Mulai dari yang halal sampai yang Haram,
tentunya semua itu kita lakukan untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih
baik.Untuk mewujudkan itu semua memang tidak mudah dimana kita harus menghadapi
berbagai konflik yang akan memicu lahirnya sikap saling mangsa Dan disinilah Peran
Hati nurani & ego sangat dibutuhkan. gambaran manusia di jaman sekarang ini
sangatlah mengerikan dari segi sikap dan perbuatan terkadang lebih keji dari pada
hewan yang paling buas sekalipun,saling sikut,saling berebut saling tikam bahkan saling
memangsa layaknya serigala yang buas siap menerkam mangsanya demi sebuah
kepuasan (ambisi).
sebagai contoh yang terjadi di dalam kehidupan kita seperti tindakan
kekerasan,mulai dari perkelahian ,pembunuhan,pemerkosaan,serta aksi teror pemboman
yang sedang trend di negara kita dan perang dunia yang memungkinkan akan terjadi
lagi. Apakah itu disebut manusia ? Tidak. Kenapa tidak? Karena itu semua manusia
yang melakukanya dan dilakukan terhadap manusia juga? entahlah..’ Pengakuan sebagai
umat beragamapun yang telah patuh terhadap ajaranya kerap kali sebagai alasan
tindakan kekerasan bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang. Banyak pelaku
kekerasan seperti tersebut menyatakan ini masalah iman, masalah Tuhan atau masalah
kebenaran
(kebenaran
yang
ditafsirkan
manusia
itu
sendiri).
Homo homini lupus. Artinya, manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Mungkin
ucapan itu berlebihan. Mungkin juga ada benarnya. Bukankah kadang-kadang kita
berperilaku seperti serigala terhadap orang lain: mengancam, menakut-nakuti,
membentak, menjebak, memperdaya, mendengki dan merebut.
Kalau dipikir, sebenarnya mengerikan jika kita bersifat seperti serigala. Licin dan
licik, kejam dan keji, buas dan beringas. Mengintai, menerkam dan mencakar. Kita
menggigit dan memakan orang lain. Eksistensi manusia demikian, sering mendapat
penekanan dalam pertunjukkan wayang kulit dengan lakon wahyu yang digunakan
dalam konteks upacara bersih desa. Lakon wahyu selain memiliki (1) kaitan spiritual
456
juga memuat (2) kaitan sosial. Kaitan spiritual, yaitu sebagai sarana upacara untuk
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Tuhan, sedangkan kaitan sosial yaitu
sebagai sarana untuk memperkokoh jaringan sosial, kesetiakawanan sosial, solidaritas
sosial, yang pada gilirannya akan memperkokoh rasa persaudaraan sesama warga
masyarakat.
Lakon Wahyu dalam Bersih Desa
Antropologi wayang, menandai hadirnya sifat manusia yang ingin mendapatkan
hidup tenteram. Mereka beridealisme dalam kisah wayang wahyu. Lakon wahyu
dijadikan pancaran hidup yang super. Di balik itu, upaya manusia menemukan wahyu
juga sering berbau lupus. Akibatnya dalam pertunjukan wayang semakin ramai, karena
ada pertentangan antara socius dan lupus. Melalui ritual bersih desa, manusia berusaha
memadu keinginan yang bersih tentang wahyu itu. Termasuk di dalamnya wahyu
keprabon.
Lampahan Wahyon (cerita wahyu) contohnya: Wahyu Pancadarma; Wahyu Tri
Marga Jaya; Wahyu Widayat Pitu, Wahyu Triwibawa, Wahyu Gada Inten, Wahyu
Cakraningrat, Wahyu Senapati, Wahyu Kalimasada, dan sebagainya. Pertunjukan
wayang kulit merupakan salah satu bentuk pertunjukan teater boneka, untuk itu dalam
membahas pertunjukan wayang kulit dalam upacara bersih désa payungnya adalah
dramaturgi pedalangan. Penelitian ini tidak hanya mengamati pertunjukan wayang kulit
dari sisi teks, akan tetapi juga mengamati dan menganalisis dari sisi konteks, khususnya
antropologis. Dengan demikian penelitian yang dilakukan merupakan perpaduan antara
penelitian tekstual dan kontekstual. Dari sisi antropologi sastra, lakon wahyu dalam
upacara bersih desa perlu pencermatan beberapa hal, yaitu (1) lakon wahyu apa saja
yang dijadikan idola cultural oleh masyarakat, (2) sejauh mana estetika sastra yang
terkandung dalam lakon wahyu tersebut, (3) wawasan budaya seperti apa yang termuat
dalam simbol-simbol lakon wahyu.
Lakon wahyu memang cukup banyak. Hakikat lakon ini merupakan wujud dari
keinginan manusia. Wahyu itu sacral dan pujaan manusia. Oleh karena banyaknya lakon
wahyu, hanya saya batasi lakon Wahyu Purbasejati dan Wahyu Makutharama saja.
Alasanya, dua lakon ini termasuk popular dalam ritualbersih desa di Jawa. Lakon
Purbasejati menceritakan prosesi pemberian wahyu atau anugerah dewa kepada para
raja, pendeta dan ksatria, karena telah berjasa pada dewa. Selanjutnya dipaparkan bahwa
Wahyu Purbasejati berwujud sukma dari Ramawijaya dan Laksmanawidagda. Wahyu
Purba menjelma kepada Kresna, Wahyu Sejati menjelma kepada Arjuna serta Wahyu
Wahdat menjelma kepada Baladewa. Pelajaran yang dapat diambil dari lakon Wahyu
Purba Sejati adalah perlunya kerja keras dan kerja ikhlas serta dilakukan secara
istiqamah untuk meraih anugerah dari Yang Maha Kuasa.
Lakon Wahyu Purbasejati melukiskan Raja Baladewa datang di Dwarawati
menjumpai Kresna. Baladewa bercerita, bahwa dirinya menerima sasmita dari dewa.
Dalam tidur bermimpi dilihatnya sinar memancar dikerumuni handaru. Kresna diminta
menjelaskan makna sasmita itu. Kresna tidak mau menerangkan sasmita, hanya
dikatakan bahwa wahyu Purbasejati akan turun. Baladewa diajak mencari wahyu itu.
Baladewa dan Kresna bersemedi di candi Gandamadana.
Raja di negara Tawanggantungan bergelar Prabu Dasakumara (sukma
Dasamuka) menyuruh Megayitna (sukma Indrajid) mencari Sembadra di Dwarawati.
Megayitna membawa prajurit jin pergi ke Dwarawati. Arjuna menghadap Resi Abiyasa
di Wukir Retawu. Arjuna disuruh ke Gandamadana, sebab wahyu Purbasejati akan
turun. Arjuna berangkat bersama punakawan. Ditengah perjalanan diganggu Jin, tetapi
457
dapat dihalau. Raja Puntadewa minta kepada Bima agar mencari Arjuna, sebab sudah
lama meninggalkan Amarta. Hyang Guru dihadap oleh Hyang Narada, Ramawijaya dan
Lesmana (yang telah berbadan halus). Lesmana dan Ramawijaya disuruh turun ke
dunia. Hyang Narada dan Hyang Basuki mengawalnya.
Bima berjumpa Anoman menanyakan tempat penjelmaan Wisnu. Bima berkata,
Ramawijaya telah menjelma pada Kresna. Anoman minta agar Bima mau menghantar
ke Dwarawati. Bima mau menghantarnya tetapi Anoman diajak mencari Arjuna dahulu.
Juru Kunci candi Gandamadana bernama Jembawan dan Trijata. Mereka berdua
menunggu Baladewa dan Kresna yang sedang bertapa. Wahyu berkitar di atas candi,
kemudian masuk ke tubuh Baladewa dan Kresna. Narada membangunkan Baladewa dan
Kresna memberi tahu bahwa wahyu telah turun pada mereka. Narada menerangkan,
bahwa Wahyu Purba jatuh pada Kresna, wahyu wahdat jatuh pada Baladewa, sedang
wahyu sejati jatuh pada Arjuna. Baladewa bertanya, apa sebab yang yang bertapa dua
orang, Arjuna juga memperoleh wahyu. Narada menerangkan, Arjuna telah lebih dahulu
bertapa memperoleh wahyu.
Arjuna datang dan menghormat Narada. Bima dan Anoman datang bertemu
Jembawan. Mereka saling bercerita sejak berpisah sesudah perang Alengka. Anoman
ingin mengabdi di Dwarawati. Kresna menerimanya. Mereka pulang ke Dwarawati.
Raja Dwarawati menerima laporan , bahwa Sembadra hilang dicuri penjahat. Arjuna
segera pergi mengejar pencuri. Penjahat terseut tidak lain Megayitna yang melarikan
Sembadra. Arjuna mengejar dan merebutnya. Setelah Sembadra dapat direbut, Anoman
masuk ke kancing ke kancing sanggul tempat sembadra. Megayitna bisa lolos dan
pulang ke Tawanggantungan. Megayitna tidak tahu bahwa Sembadra telah diganti
Anoman. Maka setiba di istana berkata kepada raja bahwa Sembadra telah berhasil
dibawanya. Setelah dikeluarkan dari anggul bukan Sembadra yang dipersembahkan
kepada Prabu Dasakumara, melainkan Anoman. Raja dasakumara marah terjadilah
perang. Dasakumara dapat ditangkap, lalu dimasukkan penjara besi di Gunung
Ngungrungan. Raja Kresna dan keluarga Pandawa datang, perang melawan Megayitna.
Megayitna dan prajuritnya kalah. Anoman disuruh bertapa di Kendalisada. Raja Kresna
dan Pandawa bersyukuran di Dwarawati.
Wahyu Makutharama juga tidak kalah seru. Wahyu ini terdapat konteks HinduJawa, yang mengisahkan. Prabu Suyudana (Doryudana) mengutus Adipati Karna, Patih
Sengkuni dan para Kurawa pergi ke Gunung Kutharungu atau Pertapaan Swelagiri. Ia
mendapat wangsit dalam mimpinya bahwa barang siapa yang bisa memiliki Makuta Sri
Batararama, maka ia akan menjadi sakti, dan akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa.
Adipati Karna kemudian pergi menjalankan tugasnya ke Kutharungu. Disana ia bertemu
dengan Anoman yang memang ditugaskan oleh Panembahan Kesawasidi untuk menjaga
keamanan selama ia bersemedi. Karna kemudian mengungkapkan maksud
kedatangannya kepada Anoman, namun Anoman menolaknya. Terjadilah
kesalahpahaman antara keduanya sehingga pertarungan antara keduanya tidak bisa
dihindarkan. Karna yang merasa terdesak, langsung melepaskan senjata saktinya,
panah KuntaWijayandanu. Anoman yang mengetahui bahwa senjata itu bukanlah
pusaka biasa, ia lalu terbang setinggi-tingginya dan menukik menangkap panah yang
telah dilepaskan oleh Karna. Karna yang kehilangan pusaka andalannya kemudian
kembali pulang ke Awangga, ia tidak kembali ke Hastina karena malu tidak bisa
menjalankan tugas dengan baik.
Sementara di pihak Pandawa, Arjuna juga mencari Makutharama yang ditemani
oleh para Punakawan. Dalam perjalanannya ke Kutarungu, ia dihadang oleh raksasaraksasa yang menganggunya. Namun akhirnya, Arjuna bisa mengalahkan mereka.
458
Beruntunglah Arjuna, sesampainya di Swelagiri, Panembahan Kesawasidi sudah selesai
bersemedi dan baru saja memberikan nasihat kepada Anoman yang dianggapnya sedikit
lancang dalam menjalankan tugasnya. Anoman kemudian diperintahkan untuk ke
Kendhalisada untuk bertapa dan memohon ampun atas kesalahannya. Arjuna kemudian
bertemu dengan Kesawasidi, dan menjelaskan maksud kedatangannya. Begawan
Kesawasidi memberikan penjelasan bahwa sebenarnya Makutharama itu bukanlah
sebuah barang/benda, melainkan pengetahuan budi pekerti raja yang sempurna atau
ajaran
Astabrata.
Begawan
Kesawasidi
kemudian
menyampaikan
ajaran Astabrata kepada Arjuna.
Setelah selesai menyampaikan ajaran Rama, panembahan Kesawasidi
memberikan pusaka Kuntawijayandanu kepada Arjuna agar diserahkan kembali kepada
Karna sang pemilik. Arjuna kemudian mohon undur diri. Setelah selesai memberikan
wejangan Astabrata kepada Arjuna, tanpa sepengetahuan Arjuna, Kesawasidi kemudian
berubah menjadi wujud aslinya yaitu Prabu Kresna dari Dwarati dan mengikuti Arjuna
kembali ke Amarta. Sementara di Amarta, semuanya gelisah karena Arjuna yang sedang
mencari wahyu Makutharama tidak kunjung pulang dan Prabu Kresna juga lama tidak
berkunjung ke Amarta. Yudhistira kemudian memerintahkan Bima untuk mencari Prabu
Kresna danGatotkaca untuk mencari Arjuna.
Begitu pula dengan Dewi Subadra dan Dewi Srikandi, mereka mengkhawatirkan
suaminya, Arjuna, yang tidak kunjung pulang. Kemudian mereka memohon petunjuk
dewa. Datanglah Batara Narada yang mengubah wujud mereka menjadi seorang
ksatriya.
Dewi
Subadra
diberi
nama Shintawaka dan
Dewi
Srikandi
bernama Madusubrata.Keduanya kemudian diperintahkan untuk menuju ke pertapaan
Kutarungu. Sepanjang perjalanannya, Shintawaka dan Madusubrata selalu meneriakkan
tantangannya kepada Raden Arjuna. Suara mereka bahkan sampai terdengar Gatutkaca
yang sedang berada di angkasa dalam perjalanannya mencari Arjuna. Gatutkaca tidak
terima dengan tantangan Shintawaka dan Madusubrata, terjadilah perkelahian diantara
mereka. Dalam pertempuran itu, Gatotkaca kalah, dan diangkat oleh mereka dan diajak
bersama-sama mencari Arjuna.
Sementara Adipati Karna yang sedih karena kehilangan senjata pusakanya
akhirnya bertemu dengan Arjuna yang ingin mengembalikan Kuntawijayandanu
kepadanya. Keduanya pun saling melepas rindu karena lama tidak bertemu. Karna juga
menanyakan kenapa senjatanya bisa berada di tangan Arjuna. Arjuna berterus terang
bahwa senjata itu diperolehnya dari Panembahan Kesawasidi saat ia bermaksud
mencari wahyu Makutarama. Mendengar cerita Raden Arjuna, Adipati Karna memaksa
ingin tahu tentang wahyu Makutharama, tetapi Arjuna menolaknya. Terjadilah
pertempuran diantara keduanya, namun Karna kalah dan melarikan diri.
Dalam pelariannya menghindari Arjuna, Karna bertemu dengan Shintawaka dan
Madusubrata. Karna kemudian memberitahukan bahwa Arjuna berada di belakang
mengejarnya. Raden Arjuna yang sedang mengejar Adipati Karna kemudian dihalanghalangi oleh Shintawaka dan Madusubrata hingga terjadilah pertempuran diantara
mereka. Namun, Arjuna kalah dan menghindari Shintawaka dan Madusubrata. Raden
Arjuna kemudian bertemu dengan Bimasena yang sedang mencari keberadaan Prabu
Kresna. Arjuna meneritakan bahwa ia dikalahkan oleh dua satriya yang tidak dikenal,
dan ia meminta bantuan kakaknya itu untuk menghadapi Shintawaka dan Madusubrata.
Shintawaka dan Madusubrata yang dibantu Gathotkaca juga berhasil mengalahkan
Bima, karena Gathotkaca tahu kelemahan ayahnya itu.
Saat Arjuna dan Bima mundur menghindari pertempuran dengan Shintawaka dan
Madusubrata, mereka bertemu dengan Prabu Kresna. Keduanya lalu menceritakan
459
bahwa mereka baru saja dikalahkan oleh Shintawaka dan Madusubrata. Prabu Kresna
tahu siapa jati diri kedua satriya itu sebenarnya. Ia kemudian meminta Arjuna untuk
menghadapi mereka kembali dengan menggunakan ilmu Asmaratantra yang berupa
syair/tembang asmara yang bisa meluluhkan hati Shintawaka dan Madusubrata.
Berubahlah wujud dua satriya itu, Shintawaka berubah ke wujud aslinya yaitu Dewi
Subadra dan Madusubrata kembali menjadi Dewi Srikandi.
Cerita Wahyu
Makutharama dimuat dalam lakon Wahyu Makutharama atau Arjuna Jelur. Isi ringkas
cerita Wahyu Makutharama sebagai berikut: Duryodana raja Ngastina duduk di atas
singgasana, dihadap oleh Baladewa raja Mandura, Basukarna, Pendeta Drona, Patih
Sakuni dan beberapa pegawai kerajaan Ngastina. Mereka membicarakan wahyu yang
akan turun ke dunia. Raja Duryodana ingin memperoleh wahyu itu, lalu minta agar
Adipati Karna bersedia mewakili untuk mencarikannya. Adipati Karna bersedia, lalu
pergi bersama Patih Sakuni dan beberapa warga Korawa meninggalkan istana. Prajurit
Korawa ikut mengawal perjalanan mereka.
Kresna menjadi pertapa bernama Bagawan Kesawasidi, bertempat di pertapaan
Kutharunggu. Sang Bagawan dihadap oeh Anoman, Resi Maenaka, Yaksendra dan
Gajah Setubanda. Adipati Karna dan Patih Sakuni datang menghadap sang Bagawan,
minta Wahyu Makutharama yang sekarang ada pada Bagawan Kesawasidi. Bagawan
Kesawasidi mengaku bahwa wahyu tidak ada pada dirinya. Adipati Karna tidak percaya,
maka terjadilah perselisihan. Adipati Karna menyerang, tetapi dilawan oleh Yaksendra
dan Yajagwreka. Bagawan Kesawasidi tidak senang melihat pertengkaran itu, maka
Resi Anoman diminta melerainya. Adipati Karna melepas panah Wijayandanu, tapi
panah ditangkap oleh Resi Anoman. Panah diserahkan kepada Bagawan Kesawasidi.
Adipati Karna putus asa, tidak melanjutkan perkelahian. Bagawan Kesawasidi
menyalahkan sikap Anoman. Resi Anoman merasa salah, lalu minta petunjuk. Resi
Anoman disuruh bertapa di Kendhalisada. Resi Anoman kemudian kembali ke
Kendhalisada.
Arjuna dan panakawan menjelma menjadi seorang begawan, dan sekarang ingin
bersatu dengan Hyang Suksma Kawekas. Selama bersamadi ia mendapat petunjuk agar
menemui Bagawan Kesawasidi. Bagawan Wibisana menghadap Bagawan Kesawasidi
di Kutharunggu. Ia minta penjelasan cara mempersatukan diri dengan Hyang Suksma
Kawekas. Bagawan Kesawasidi keberatan untuk menjelaskannya, lalu terjadi
perkelahian. Bagawan Kesawasidi dipanah Wibisana dengan panah pemberian
Ramawijaya. Seketika Bagawan Kesawasidi berubah menjadi raksasa besar dan
dahsyat. Bagawan Wibisana menghormat dan minta ampun. Bagawan Kesawasidi
kembali ke wujud semula, lalu bersamadi. Bagawan Wibisana ikut bersamadi. Setelah
selesai, Bagawan Kesawasidi minta agar Bagawan Wibisana membuka jalan untuk air
suci. Bagawan Wibisana mendapat air suci, lalu akan kembali ke sorga. Di tengah
perjalanan ia melihat penderitaan suksma Kumbakarna. Suksma Kumbakarna
mengganggu suksma Wibisana. Maka suksma Kumbakarna disuruh mencari Wrekodara
di Marcapada.
Wrekodara mencari saudara-saudaranya. Di tengah jalan ia digoda oleh suksma
Kumbakarna. Wrekodara marah, mengamuki Kumbakarna yang kadang-kadang tampak,
kadang-kadang hilang. Akhirnya suksma Kumbakarna masuk ke betis Wrekodara
sebelah kiri. Kemudian Wrekodara pun melanjutkan perjalanan. Arjuna menghadap
Bagawan Kesawasidi di Kutharunggu. Bagawan Kesawasidi tahu bahwa Arjunalah yang
pantas ditempati Wahyu Makutharama. Bagawan Kesawasidi memberi nasihat dan
menyampaikan ajaran Rama kepada Wibisana yang disebut Hasthabrata. Setelah selesai
460
memberi wejangan dan ajaran, Bagawan Kesawasidi menyerahkan senjata Kunta
kepada Arjuna. Arjuna menerima Kunta, menghormat, lalu pergi mendapatkan Karna.
Arjuna menemui Karna, menyerahkan senjata Kunta. Karna menerima senjata,
kemudian berkata ingin memiliki Wahyu Makutharama. Arjuna mejelaskan makna
wahyu itu, dan berkata bahwa dirinya yang memilikinya. Karna ingin merebut wahyu
tersebut, maka terjadilah perkelahian di antara mereka. Karna merasa tidak mampu lalu
mengundurkan diri. Arjuna kembali ke pertapaan Kutharunggu. Wrekodara telah datang
menghadap Bagawan Kesawasidi. Tiba-tiba datang dua kesatria bernama Bambang
Sintawaka dan Bambang Kandhihawa. Mereka ingin menaklukkan Bagawan
Kesawasidi dan Arjuna. Akhirnya terjadi perang tanding. Bagawan Kesawasidi
melawan Bambang Sintawaka, Arjuna melawan Bambang Kandhihawa. Bagawan
Kesawasidi berubah menjadi Kresna, Bambang Sintawaka menjadi Sembadra, dan
Bambang Kandihawa menjadi Srikandi. Mereka senang dapat bertemu dan bersatu
kembali, kemudian kembali ke negara, berkumpul di Ngamarta.
Antropologi Sastra dan Wayang
Antropologi sastra sebenarnya tepat untuk memahami wayang. Antropologi
sastra itu membedah manusia dari sisi budayanya. Padahal wayang wahu di atas jelas
perwujudan keinginan manusia, baik sebagai socius dan lupus. Keduanya terpadu
membentuk budaya yang kreatif dalam lakon wahyu. Atas dasar hal itu, kedekatan
sastra dengan antropologi memang tidak dapat diragukan lagi. Maksudnya, hubungan
keduanya amat dekat dan saling isi-mengisi, sebab antara sastra dan antropologi samasama sebagai upaya memahami manusia. Memahami tindakan manusia lewat jalur
sastra, menurut gagasan Todorov (Anwar, 2010:269) akan menelusuri fakta-fakta
realisme fantastik. Wayang jelas fakta fantastic yang penuh tafsir, Wayang wahyu di
atas boleh dikaitkan dengan kepemimpinan, spiritualistic, religi, dan sebagainya.
Sastra memang dunia yang memangku gejala-gejala psikologis sebagai gabungan
dengan fenomena sosial. Kedua fenomena ini, sering menjadi sentuhan antropologi
pula. Antropolog banyak memahami kehidupan manusia secara psikologi dan sosial,
hingga muncul antropologi sosial dan antropologi psikologis. Begitu pula dalam sastra,
sudah berkembang psikologi sastra dan sosiologi sastra. Pengembangan jalur keilmuan
sastra yang disebut antropologi sastra, tentu dapat menjembatani keraguan, aspek-aspek
fantastik yang mungkin muncul dalam kehidupan manusia (Endraswara, 2013). Dengan
demikian memahami wayang wahyu akan lebih lengkap, apabila memanfaatkan
antropologi sastra, dipadu dengan aspek social dan spiritual. Pertunjukan wayang
wahyu, selain bermakna social, jelas penuh aspek spiritualitas.
Pertunjukan wayang kulit purwa di Jawa, dari dulu sampai sekarang masih
banyak digemari oleh masyarakat. Pertunjukan wayang kulit purwa, oleh masyarakat
dianggap memiliki nilai-nilai yang selalu relevan dengan kehidupan manusia. Nilai-nilai
dan ajaran kehidupan tersebut dapat tersampaikan kepada para penonton, terutama bila
disajikan oleh dhalang sepuh. Dalam Lakon Wahyu Makutharama yang menceritakan
mengenai ajaran-ajaran kepemimpinan yang terungkap dalam ajaran ‘hastha brata’
pantas dipahami melalui antropologi sastra.
Antropologi dan sastra, sudah menarik perhatian Benson (1993), yang berusaha
menulis buku Anthropology and Literature. Dia berusaha menelusuri dan
menyandingkan antropologi dan sastra. Lewat pengantar buku tersebut, dia menyatakan
bahwa karyanya merupakan inkarnasi dari edisi khusus Journal of the Steward
Anthropological Sosiety. Melihat judul jurnal ini, berarti ada keterkaitan pula antara
sastra, antropologi, dan sosial. Kaitan sastra dan antropologi menumbuhkan antropologi
461
sastra. Adapun kaitan antara sastra dengan keadaan sosial, telah banyak dibahas dalam
sosiologi sastra.
Lewat pengantar singkat, Benson (1993) menjelaskan dengan mengucapkan
terima kasih kepada Peter Heinric yang mau mengedit jurnal dengan dia selama empat
tahun dan Thomas Riley kepala departemen Antropologi. Untuk membantu dalam
mempertahankan jurnal dan untuk maksud volume editor jelas bertanggung jawab.
Biarpun jurnal itu belum langsung menyentuh antropologi sastra, namun sudah cukup
membuka mata terhadap perkembangan antropologi. Bahkan Benson juga merasa
berhutang budi kepada para kontributor jurnal yang dibuat oleh Edward Bruner yang
mengajak merenungkan perspektif interpretasi dan integrasi dalam bidang antropologi
sastra. Antropologi sastra sebagai ilmu baru untuk memahami kehidupan manusia,
memang memiliki perspektif khusus. Interpretasi merupakan pisau analisis yang tajam
untuk memahami kehidupan sosiokultural dan estetikanya. Pendek kata, antropologi
sastra adalah ilmu yang menekankan pada pemahaman karya sastra dalam kaitannya
dengan unsur-unsur sosiokultural budaya.
Melalui wawasan antropologi sastra tersebut, dapat terungkap aspek-aspek yang
terkandung di dalam Lakon Wahyu Makutharama dan Wahyu Purbasejati, selanjutnya
meliputi aspek estetika, aspek moral dan spiritual, aspek dramatik, aspek pendidikan dan
aspek hiburan. Aspek-aspek estetika pertunjukan wayang kulit yang dapat diamati,
seperti misalnya penggunaan peralatan pendukung pergelaran wayang, dan aspek moral
spiritual berkaitan dengan etika sopan santun, yang di dalam pertunjukan wayang kulit
terdapat pada unsur seni suara (vokal) dan seni tari. Secara keseluruhan esensi lakon
Wahyu Makutharama dapat ditangkap maknanya, bahwa seseorang yang akan
memegang kekuasaan atau menjadi pemimpin hendaknya membekali diri dengan moral
spiritual yang kuat, budi pekerti yang luhur, dan loyalitas yang tinggi sesuai dengan
sifat-sifat dari kedelapan benda alam dalam hastha brata tersebut. Kata kunci :wahyu,
sanggit, estetika pedalangan, moral spiritual.
Lakon wahyu memberikan tuntunan, tontonan, dan tatanan soslidaritas social
dalam masyarakat. Karena dalam lakon tersebut, berisikan nilai-nilai yang memperkaya
pengalaman social budaya yang tidak lepas dari nilai kemanusiaan, tolerensi,
Ketuhanan, keadilan, tapa brata, keagungan dan sebagainya. Dengan demikian,
memahami lakon wahyu dalam konteks bersih desa perlu digali lebih jauh dari sisi
antropologi sastra. Manusia selalu didorong oleh keinginan social, sekaligus aspek lupus
mengelilingi hidupnya. Wayang menjadi peta kehidupan manusia untuk mewujudkan
keinginan dahsyat itu.
Daftar Rujukan
Anwar, Ahyar. 2010. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Ombak.
Benson, Paul. 1993. Anthropology and Literature. Chicago: University of Illinois Press.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Antropologi Sastra. Yogyakarta:
Ombak.
462
REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM
Неделя Как и Любой Другой/ SEMINGGU SEPERTI MINGGU YANG
LAINNYA
KARYA NATALYA BARANSKAYA
Thera Widyastuti
(FIB Universitas Indonesia)
Abstrak: Representasi berkaitan erat dengan identitas dimana eksistensi atau
keberadaan seseorang dimaknai oleh lingkungannya. Orang yang memiliki identitas
tertentu tersebut menjadi representasi dari kelompok masyarakat tertentu. Eksistensi
seseorang atau sekelompok orang berarti masyarakat telah mengkontruksikan identitas
tertentu pada orang atau sekelompok tertentu pula. Identitas feminin dan maskulin
dikontsruksi sedemikian rupa sehingga terkesan alamiah. Novelet Неделя Как и
Любой Другой/Seminggu Seperti Minggu yang Lainnya menampilkan tokoh Olga
Voronkova sebagai perempuan Rusia yang menjalani rutinitas kehidupannya.
Kehidupan sehari-hari Olga Voronkova menjadi gambaran bagaimana kehidupan
perempuan Rusia pada umumnya. Posisi perempuan di dalam masyarakat terbentuk
sedemikian rupa karena stereoptipe yang melekat pada perempuan dan bagaimana
masyarakat menilai perempuan. Pendekatan intrinsik dan ekstrinsik digunakan untuk
menganalisis novelet ini melalui tokoh dan penokohan, serta latar yang ditampilkan
pengarang. Sedangkan kritik sastra feminis digunakan untuk menganalisis bagaimana
peran dan kedudukan perempuan di dalam masyarakat. Analisis yang dilakukan
terhadap novelet ini sekiranya penting dilakukan untuk menambah wawasan
pengetahuan kesusasteraan di Indonesia mengenai karya sastra Rusia.
Kata kunci: representasi, eksistensi, Olga Voronkova, masyarakat
Pendahuluan
Perempuan di Rusia memiliki peran dominan di ruang domestik. Oleh karena
itu, perempuan Rusia tidak dapat mengekspresikan dirinya karena masyarakat dan
budaya yang berada di sekitarnya tidak dapat mendukung kondisi yang lebih baik.
Namun proses perubahan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan terjadi pada
saat kondisi politik di Rusia berubah dengan tumbangnya Tsar Nikolas II pada tahun
1917 dan muncul pemerintahan komunis dipimpin oleh partai Bolshevik. Perempuan
Rusia mulai bekerja di luar rumah, meskipun kedudukan yang diperoleh belum sejajar
dengan laki-laki.
Di Rusia, pembagian ranah publik dan privat masih terlihat jelas. Dari segi
kuantitas, jumlah perempuan yang bekerja sekarang sudah banyak, tetapi dari segi
kualitas, penghasilan yang mereka dapatkan tidak seimbang dengan kerja keras mereka.
Pemerintah Rusia modern telah memberikan kesempatan pada kaum perempuan untuk
bekerja di ranah publik namun jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia tidak memadai
463
dan sangat terbatas. Kesulitan ekonomi karena tingginya biaya hidup di Rusia membuat
penderitaan kaum perempuan di sana menjadi lebih berat124.
Budaya Patriarki
Rusia menganut budaya patriarki atau patriarkat dimana laki-laki memiliki
posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan karena laki-laki dianggap
memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan. Patriarkat berasal dari dua kata
bahasa Yunani, yaitu pater (ayah), dan archein (memerintah). Jadi, patriarki berarti
kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki. Patriarki adalah sebuah struktur
sosial dan sebuah ideologi atau sistem kepercayaan bahwa laki-laki memiliki
superioritas. Setiap sistem sosial atau periode sejarah memunculkan variasinya sendiri
mengenai bagaimana patriarki bekerja dan bagaimana praktek-praktek sosial dan
kebudayaan itu berbeda. Walaupun demikian, prinsip umumnya tetap sama, yaitu bahwa
laki-laki mengendalikan sebagian besar sumber-sumber penghasilan dan institusiinstitusi sosial, ekonomi, dan politik.125
Masyarakat memandang laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan
yang lemah dan tidak berdaya (inferior) baik dalam kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat, maupun bernegara. Perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki
dianggap sebagai awal pembentukan budaya patriarki. Masyarakat memandang
perbedaan biologis antara keduanya merupakan status yang tidak setara. Budaya
patriarki secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas
antara perempuan dan laki-laki di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender126.
Gender dan Sex
Gender dikenal sebagai suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan perempuan dan laki-laki dilihat dari segi sosial budaya. Gender sebagai
harapan-harapan budaya terhadap perempuan dan laki-laki. Misalnya; perempuan
dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang
dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang
kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari
waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Fakih,1996: 8-9).
Pengertian gender dibedakan dengan pengertian sex (jenis kelamin). Pengertian
sex merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan
secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, dengan (alat) tanda-tanda
tertentu pula. Alat-alat tersebut selalu melekat pada manusia selamanya, tidak dapat
dipertukarkan, bersifat permanen, dan dapat dikenali semenjak manusia lahir.
Sedangkan gender melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan, dikonstruksi secara
sosial maupun kultural. Perempuan berada di ranah domestik, dan laki-laki berada di
ranah publik. Perempuan juga membutuhkan aktualisasi diri dalam masyarakat tempat
ia tinggal, bukan sebagai individu yang menjalankan fungsinya dalam lingkup rumah
tangga saja. Akan tetapi, lebih dari itu perempuan memerlukan sarana dalam pergaulan
sosial tetapi memperhitungkan adanya perbedaan (seperti agama, ras, etnis) namun tidak
124
Thera Widyastuti. Sastra dan Perempuan Rusia. (Bogor: Artour Publishing, 2015),h.3
Kamla Bhasin. Memahami Gender. (Yogyakarta: Teplok Press, 2001).h.27
126
Cornell, R.W. Gender: Polity Short Introduction. (Sidney: Polity Press, 2002), h.16.
125
464
dapat dilaksanakan karena sudah terlebih dahulu dilakukan oleh pihak laki-laki
(Sugihastuti dan Saptiawan, 2007: 84).
Masyarakat membuat berbagai aturan yang melemahkan kedudukan kaum
perempuan. Perempuan tidak dapat mengubah struktur masyarakat yang dibuat oleh
laki-laki, oleh karena itu perempuan tidak dapat mengeluarkan potensinya dan
kemahirannya, dan pada akhirnya perempuan termarginalkan. Menurut Fakih
(2008:14), proses marginalisasi berarti proses pemiskinan. Hal ini disebabkan tidak ada
kesempatan bagi pihak yang dimarginalkan untuk mengembangkan dirinya. Kondisi ini
dialami perempuan pada saat proses marginalisasi terjadi pada jenis kelamin. Oleh
karena itu, perempuan dirugikan karena ketidakadilan gender ini.
Murniati (2004: xxi) juga menjelaskan, proses marginalisasi tidak hanya terjadi
di luar perempuan saja, namun marginalisasi dalam diri pribadi pun turut melanda
perempuan. Hal tersebut dikarenakan adanya ketidakpercayaan diri perempuan yang
membuatnya kemudian menyingkir dari persaingan. Selain itu, juga karena paksaan dari
masyarakat patriarki yang telah menanamkan sifat lemah dan lembut membuat diri
perempuan sendiri seperti membentengi diri dari semua aturan tersebut.
Perempuan Rusia
Barbara Clements yang dikutip oleh Melanie Illich dalam Women and The
Gender Question (2001:145) berpendapat bahwa proses perubahan hubungan sosial
antara laki-laki dan perempuan pada masyarakat Rusia sudah mengalami perubahan
menjadi lebih setara pada abad ke 19.
Hubungan setara ini terlihat dari peran
perempuan di masyarakat yang bekerja untuk ranah publik. Peran perempuan di
masyarakat pada era komunis semata untukmemenuhi kewajiban sebagai warga
negara127. Kaum perempuan Sovyet mengabungkan pekerjaan dengan kewajiban di
rumah karena mereka mempunyai beban yang lebih berat dan menyiksa dibandingkan
kaum perempuan di negara-negara modern lainnya. Hal ini terjadi karena perempuan di
Sovyet tidak mempunyai pilihan lain, mereka harus bekerja. Bagi sebagian besar
perempuan di Sovyet, alasan mereka bekerja demi kebutuhan ekonomi, kebutuhan
pribadi, dan prestise.128Salah seorang filsuf Rusia, Nikolay Chernisevsky berpendapat
bahwa dominasi laki-laki yang besar atas perempuan merupakan penyebab dari segala
bentuk subordinasi, penindasan, dan eksploitasi perempuan dalam masyarakat.129
Kepengarangan Rusia
Perkembangan kesusasteraan Rusia sangat pesat, dan mengalami zaman
keemasan (Золотой Век) pada abad ke 19, dimana para pengarang laki-laki
mendominasi kesusasteraan Rusia. Namun pada awal abad ke 20, pengarang-pengarang
perempuan mulai bermunculan dengan karya-karya mereka yang mengangkat tema
mengenai seputar kehidupan perempuan dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi
kaum perempuan Rusia.
127
Olga Voronina ‘The Mythology of Women’s Emancipation in the USSR as the Foundation for
a Policy of Discrimination’ dalam Women in Russia: A New Era in Russian Feminism, Anastasia
Posadskaya (ed). Moskow: Verso, 1994),h.37.
128
Ludwig Liegle.The Family’s Role in Soviet Education. (New York: Springer Publishing
Company,1970).h.38
129
Shirin Rai, Hilary Pilkington, & Annie Phizacklea (ed). Women in the Face of Change: The
Soviet Union, Eastern Europe, and China. (London: Routledge, 1992),h.189
465
Aleksandra Mikhailovna Kollontai adalah salah satu pelopor pengarang
perempuan di Rusia yang memberikan perhatian pada masalah kesejahteraan
perempuan. Kedudukannya di Kementrian Kesejahteraan Sosial membantu perempuan
Rusia untuk memperoleh fasilitas sosial. Di samping itu, Lyudmila Stefanovna
Petrushevskaya, Natalia Vladimirovna Baranskaya, Lyudmila Egenevna Ulitskaya, dan
Tatyana Nikitichna Tolstaya juga hadir dalam jajaran pengarang perempuan di Rusia
yang menghadirkan perempuan Rusia dan lingkungan sosial di sekitarnya.
Selanjutnya, dalam penulisan ini akan dibahas mengenai representasi perempuan
dalam novelet Неделя Как и Любой Другой/Seminggu Seperti Minggu yang Lainnya
dengan menggunakan pendekatan intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrisik meliputi
antara lain tokoh dan penokohan, serta latar, dan pendekatan ekstrinsik menggunakan
kritik sastra feminis.
Pembahasan Novelet Неделя Как и Любой Другой/Seminggu Seperti Minggu
yang Lainnya
Tokoh utama dalam novelet130 ini adalah Olga Nikolaevna, seorang perempuan
berusia duapuluh enam tahun yang bekerja sebagai peneliti di sebuah laboratorium.
Tokoh Olga di dalam novelet ini digambarkan sebagai perempuan yang sibuk dengan
peran gandanya sehingga tidak sempat memperhatikan penampilan dirinya, layaknya
seorang perempuan yang menyukai keindahan dan kerapihan.
Я бегу, но у дверей в лабораторию вспоминаю, что я непричесана, поворачиваю и
бегу по длинным узким коридорам старого здания, бывшей гостиницы, в туалет. Я
причесываюсь, положив шпильки на умывальник пол зеркалом, и ненавижу себя.
Ненавижу свои спутанные вьющиеся волосы, заспанные глаза, свое мальчишеское
лицо с большим ртом и носом, как у Буратино. Почему я с таким вот лицом не
родилась мужчиной?
Кое-как причесавшись, одергиваю свитер и вышагиваю обратно по коридорам —
надо успокоиться. (Natalya Baranskaya, 1969, h.2)
Saya berlari, tetapi di dekat pintu laboratorium teringat, bahwa saya tidak menyisir
rambut, dan berlari sepanjang koridor panjang yang sempit di gedung tua, sebuah hotel
bekas, ke toilet. Saya menyisir rambut, menaruh kancing di wastafel di bawah cermin,
dan tidak melihat diri sendiri. Saya membenci rambut keriting saya yang kusut, mata saya
yang sayu dan wajah kekanak-kanakan saya dengan mata dan hidung yang besar, seperti
Pinokio. Wajah saya terlihat seperti wajah laki-laki.
Olga tidak menyukai penampilan dirinya yang tidak rapih dan tidak cantik
seperti kebanyakan perempuan Rusia. Ia mendapat julukan 'Pinokio' oleh teman-teman
di laboratorium. Rasa tidak percaya diri muncul dalam diri Olga karena kekurangannya
dalam merawat diri. Hal ini tidak akan terjadi apabila ia tidak harus bekerja keras siang
dan malam untuk memenuhi perannya sebagai perempuan pekerja dan ibu rumah
tangga. Oleh karena itu, Simon Beauvoir berpendapat bahwa setiap perempuan harus
membentuk cara bereksistensinya sendiri yang mungkin berbeda dengan perempuan
lainnya. Olga harus menunjukan eksistensinya meskipun ia tidak berpenampilan rapih
130
Novelet adalah bentuk kecil dari novel. Istilah novelet berasal dari bahasa Italia novella yang
berarti dongeng atau sebuah berita. Novelet memiliki cerita yang lebih panjang dari cerita pendek,
tetapi lebih pendek dari novel, terdiri dari 17.500-40.000 kata. Novelet mempengaruhi
perkembangan cerita pendek dan novel di Eropa. Novelet merupakan genre sastra yang umum di
beberapa bahasa di Eropa. (Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (2007:9)
466
dan cantik selayaknya perempuan kebanyakan, rasa rendah diri harus dihilangkan agar
tidak menghambat kemajuannya menuju diri yang autentik.
Menurut Horney dalam Tong (2008:202) bahwa kebudayaan patriarki memaksa
perempuan untuk menjadi feminin (pasif, masokistik, narsistik) dan kemudian mencoba
meyakinkan perempuan bahwa mereka menyukai menjadi feminin.
Pimpinan laboratoirum memandang Olga cakap dalam bekerja, dan ia pantas
mendapatkan promosi untuk kenaikan jabatan di kantornya. Meskipun ia baru mulai
bekerja enam bulan lalu.
Учитывая ваш интерес к работе и... м-м-м... ваши способности, мы перевели вас
на вакантное место младшего научного сотрудника, включили в группу,
работающую над интересной проблемой (h.2)
Memperhitungkan minat anda dalam pekerjaan ini dan …hmmm… bakat anda, kami
mempromosikan anda ke posisi yang kosong sebagi asisten peneliti junior, kami
memasukan anda ke kelompok kerja pada masalah yang menarik.
Olga Nikolaevna sudah menikah dengan Dima selama lima tahun dan memiliki
dua orang anak yang masih kecil, Kotka dan Gulka. Ia adalah perempuan Rusia yang
memiliki peran ganda; baik sebagai perempuan pekerja dan juga ibu rumah tangga.
Kesibukannya sebagai ibu dan juga pekerja membuatnya sering terlambat datang ke
tempat pekerjaan.
Я молчу. Я люблю свою работу. Я дорожу тем, что самостоятельна. Я работаю
охотно. Мне не кажется, что я работаю неаккуратно. Но я часто опаздываю,
особенно в понедельник.
А это напоминание о вакантном месте... Его хотела получить Лидия Чистякова.
По стажу у нее преимущество, а выбор пал на меня — специальность ближе. И,
конечно, помог мой английский — лаборатория здорово им пользуется.(h.2)
Saya terdiam. Saya menyukai pekerjaan saya. Saya menghargai kemandirian saya. Saya
bekerja suka rela. Kelihatannya saya tidak pernah tepat waktu. Tetapi saya sering
terlambat, khususnya hari Senin.
Dan itu mengingatkan tentang posisi yang kosong; Lidiya Chistakova menginginkannya.
Lidiya Chistakova mempunyai prioritas, sementara mereka memilih saya – lebih cocok
dengan spesialisasi saya. Dan, tentu saja, bahasa Inggris saya menolong - laboratorium
mengganggap saya dan bahasa Inggris saya berguna.
Olga menyadari resiko dari seringnya ia datang terlambat ke tempat pekerjaan
yang dapat menggoyahkan posisinya. Pimpinan dan teman-teman kerjanya sudah
mengetahui kelemahan Olga yang sering terlambat.
Beberapa hari ini Olga sudah hampir menyelesaikan penelitiannya, dan sayang
sekali jika ia harus merelakan kedudukannya ditempati orang lain karena seringnya ia
datang terlambat. Olga merasa bahwa ia memiliki kemampuan untuk berkembang dan
maju. Engels dalam Tong (2008:153) berpendapat bahwa perempuan proletar
mengalami lebih sedikit opresi dibandingkan perempuan borjuis. Hal ini sebabkan
perempuan proletar kebanyakan bekerja di luar rumah yang memungkinkan adanya
bentuk kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Kedudukan perempuan di beberapa jenis pekerjaan sudah dapat meraih posisi
yang cukup tinggi. Namun, perbandingan jumlah dengan laki-laki tentu saja tidak
seimbang, mengingat bahwa Rusia belum memberikan kesempatan luas bagi
perempuan. Lapidus (1978:179) mengemukakan mengenai kesempatan berkarir bagi
perempuan Rusia.
467
When candidates are advanced for posts of leadership, men are majority, although there
are no adequate grounds for this. Consequently, the proportion of women in lower level
administrative and managerial roles has been relatively large for a long period of time.
Lingkungan bekerja di Rusia memiliki sarana dan prasarana yang kurang
memadai. Oleh sebab itu di beberapa tempat, para pekerja tidak dapat melakukan
tugasnya dengan maksimal karena salah satunya tidak tercukupinya ruangan. Olga
bekerja di tempat yang kurang terakomodir fasilitasnya, sejumlah pegawai harus
bergantian menggunakan sarana yang ada.
Теперь к себе, в лабораторию полимеров. В нашей «тихой» комнате, где мы
отрабатываем результаты, ведем расчеты, девять человек, а столов помещается
только семь. Но ведь всегда кто-то на опытах, в библиотеке, в командировке.
Сегодня один из столов мой. И он простаивает уже сорок минут (h.3)
Sekarang saya menuju laboratorium polimer. Di kamar «tenang» kami, dimana kami
menyelesaikan hasil-hasil dan mengerjakan perhitungan, ada sembilan orang, sedangkan
meja yang dapat dipakai bekerja tujuh. Tetapi selalu ada seseorang yang membawa hasil
test ke tempat lain, ke perpustakaan, ke perjalanan bisnis. Hari ini salahsatu dari mejameja menjadi milik saya. Dan meja itu sudah kosong selama empatpuluh menit.
Apabila salah satu pekerja sedang berdinas luar atau bertugas di departemen lain,
maka meja kosong yang ditinggalkannya dapat digunakan untuk pekerja lainnya. Tentu
saja kenyamanan bekerja menjadi berkurang karena mereka terkadang harus berpindah
tempat, dari satu meja ke meja lainnya.
Sementara itu di laboratorium beredar kuesioner untuk para perempuan pekerja.
Seluruh pekerja perempuan membicarakan mengenainya. Di dalam kuesioner itu
terdapat pertanyaan-pertanyaan seputar kondisi kehidupan kaum perempuan. Salah satu
diantaranya menanyakan bagaimana kaum perempuan menghabiskan waktu luang
mereka. Teman-teman Olga sesama pekerja mengeluh bahwa pertanyaan itu hanya
omong kosong, karena mereka mengetahui begitu sulitnya untuk beristirahat meskipun
sejenak.
Эх, досуг, досуг... Слово какое-то неуклюжее «досуг»... «Женщины, боритесь за
культурный досуг!» Чушь какая-то... До-суг. Я лично увлекаюсь спортом — бегом.
Туда бегом — сюда бегом. В каждую руку по сумке и... вверх — вниз: троллейбус —
автобус, в метро — из метро. Магазинов у нас нет, живем больше года, а они еще
недостроены (h.4).
Oh, rekreasi, rekreasi ... Kata yang sangat tidak biasa "rekreasi" ... "Perempuanperempuan berjuang untuk rekreasi kebudayaan!" semacam omong kosong... Saya
pribadi menyukai olahraga - berlari. Ke sana berlari – ke sini berlari. Dalam setiap tangan
yang dimasukan ke tas tangan ...ke atas-ke bawah: bus troli - bus, ke kereta bawah tanah –
dari kereta bawah tanah. Toko-toko yang kita miliki, sudah lebih dari satu tahun, dan
mereka masih belum selesai.
Sebagai perempuan yang berkerja dan juga harus mengurusi rumahtangga,
waktu untuk beristirahat menjadi sesuatu yang istimewa, karena sulitnya untuk
beristirahat. Pekerjaan sangat menumpuk dan tiada habisnya. Sang suami tidak
banyak membantu pekerjaan rumah tangga. Peran dan tanggung jawab isteri
menjadi dominan, sementara suami sekedar membantu.
Я тащу Котьку в кровать сама (обычно это делает Дима) и вижу, как он сидит на
диване, раскрыв какой-то технический журнал и действительно читает. Проходя,
я бросаю:
— Между прочим, я тоже с высшим образованием и такой же специалист, как и
ты...
— С чем тебя можно поздравить,— отвечает Дима.
468
Мне это кажется ужасно ядовитым, обидным.
Я тру Гульку губкой, и вдруг слезы начинают капать в ванну.(h.34-35)
Saya mengangkat Kotka ke tempat tidurnya (biasanya itu dilakukan Dima) dan saya
melihat, bagaimana Dima duduk di sofa, membuka majalah teknik dan benar-benar
membaca. Sambil berjalan, saya melempar:
Kebetulan saya juga memiliki gelar sarjana, dan spesialis, seperti kamu…
Kalau begitu saya harus mengucapkan selamat, - jawab Dima.
Kelihatan jahat, dan menyakitkan pada diri saya.
Saya menggosok Gulka dengan sponge, dan tiba-tiba mata air mulai turun ke bak mandi.
Perbedaan peran gender (gender role) antara perempuan dan laki-laki dalam
masyarakat patriarki yang dipisahkan antar ruang privat dan publik menyebabkan
perempuan tertindas. Menurut Bryson dalam Feminist Political Theory, bahwa ranah
privat lebih rendah tingkatannya dari ranah publik131. Oleh karena itu terjadi
ketimpangan gender (gender inequality).
Menurut Margaret Benston, jika seorang perempuan dibebaskan dari tugas
domestiknya yang berat, termasuk pengasuhan anak, masuknya perempuan ke pasar
tenaga kerja akan merupakan langkah menjauh dari, dan bukan menuju, pembebasan:
Setiap waktu, pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab perempuan, ketika mereka
bekerja di luar rumah, dengan cara apapun mereka harus mengatur untuk dapat
mengerjakan dengan baik pekerjaan di luar rumah tangga. Perempuan yang sudah
menikah dan mempunyai anak, yang bekerja di luar rumah, pada dasarnya melakukan dua
pekerjaan; partisipasi mereka di pasar tenaga kerja hanya dimungkinkan jika mereka terus
memenuhi kewajiban utama mereka di rumah. Hal ini terlihat jelas di negara seperti
Rusia dan negara-negara Eropa Timur dimana kesempatan yang lebih luas bagi
perempuan belum membawa perluasan yang sama bagi kebebasan perempuan. Akses
setara terhadap pekerjaan di luar rumah, walaupun merupakan satu dari prasyarat bagi
pembebasan perempuan, tidak akan dengan sendirinya memadai untuk memberikan
kesetaraan bagi perempuan, selama pekerjaan di rumah masih merupakan masalah
produksi pribadi, dan semata-mata merupakan kewajiban perempuan, maka perempuan
tetap memikul beban ganda132.
Perempuan yang memiliki beban ganda tidak dapat memilih karena kedua
bebannya memiliki konsekuensi yang berat. Sementara itu, perkawinan monogami
yang dijalani perempuan hanya memperbolehkan memiliki satu pasangan. Kondisi ini
memunculkan penindasan terhadap perempuan yang tiada hentinya. Ketertindasan
perempuan berkaitan dengan ras, kelas, pendidikan, kesempatan kerja, dan sebagainya.
Berapapun banyaknya kesetaraan pendidikan, hukum, dan politik yang dapat
dicapai oleh seorang perempuan, dan berapa pun jumlah perempuan yang memasuki
industri publik, tidak ada perubahan fundamental bagi perempuan, selama budaya
patriarki masih dianut oleh masyarakat Rusia.
Глупый вопрос, заключаем мы. Разве можно подсчитать время на домашние дела,
даже если ходить всю неделю с секундомером в руках?.. Люся Маркорян
предлагает указать общее время, что остается от рабочего дня и дороги, а
потом перечислить, что на это время приходится. Мы удивлены — оказывается,
для дома у нас есть от сорока восьми до пятидесяти трех часов в неделю. Почему
же их не хватает? Почему столько несделанного тянется за нами из недели в
неделю? Кто знает?(h.32)
131
Gadis Arivia. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. (Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan),h.100.
132
Rosemarie Putnam Tong. 2008. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction (edisi
Indonesia). (Yogyakarta: Penerbit Jalasutra),h. 157-158.
469
Pertanyaan konyol, kami menyimpulkan. Apakah mungkin untuk menghitung waktu pada
pekerjaan rumah tangga, bahkan ketika berjalan sepanjang minggu dengan stopwatch di
tangan Anda? .. Lucy Markoryan menawarkan menunjukkan total waktu yang tersisa dari
hari kerja dan jalan-jalan, dan kemudian mendaftar yang diperlukan saat ini. Kami
terkejut - bergantian, untuk rumah kita memiliki 48-53 jam per minggu. Mengapa mereka
hilang? Mengapa begitu banyak dibatalkan dari kita rentang dari minggu ke minggu?
Siapa tahu?
Sebelum revolusi Bolshevik, perempuan Rusia sudah terlibat dalam kegiatan
perekonomian. Mereka bekerja di bidang pertanian, membantu suami bekerja di ladang.
Perempuan Rusia bekerja di ranah domestik dan publik karena perekonomian negara
yang sulit sehingga penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Setelah
kemenangan partai Komunis, pemerintahan Sovyet menekankan pada pertumbuhan di
bidang industri, jumlah pekerja perempuan meningkat namun tidak menduduki posisi
tinggi.
Untuk berbagai alasan, tidak kurang dari pembagian kerja berdasarkan gender
yang sudah sangat melekat di masyarakat, kapitalisme mengidentifikasi laki-laki sebagai
material tenaga primer, sedangkan perempuan sebagai material tenaga sekunder. Oleh
karena itu, perempuan diperlukan di rumah dengan cara yang sama laki-laki tidak
dibutuhkan, atau paling tidak seperti diyakini patriarki bahwa laki-laki lebih bebas untuk
bekerja di luar rumah dibandingkan perempua133. Apabila perempuan diberi upah sesuai
dengan nilai pekerjaannya, maka ia akan dapat memenuhi kebutuhan keluarganya dan
hidup dengan layak.
Penutup
Kehadiran para pengarang perempuan memberi warna berbeda dalam dunia
kesusasteraan Rusia. Tema-tema yang dihadirkan di dalam karya-karya mereka
menyadarkan kita bahwa perempuan Rusia memiliki permasalahan yang sedikit banyak
tidak berbeda dengan perempuan di belahan dunia manapun. Novelet Неделя Как и
Любой Другой/Seminggu Seperti Minggu yang Lainnya menampilkan Olga sebagai
tokoh utama yang mengalami konflik akibat peran ganda yang dijalaninya. Berbagai
kesulitan yang dihadapi Olga dalam menjalani kehidupan sehari-hari karena faktor
ekonomi, dan juga budaya patriarki yang dianut masyarakat Rusia.
Natalya Baranskaya sebagai pengarang menampilkan tokoh Olga sebagai
representasi perempuan yang memiliki permasalahan yang sama seperti perempuan di
negara-negara lain. Penindasan masih dirasakan kaum perempuan, namun belum dapat
dihilangkan. Perempuan belum dapat mencapai kesetaraan dalam kedudukannya di
masyarakat karena budaya patriarki masih menjadi panutan di Rusia.
Daftar Rujukan
Buku
Arivia, Gadis. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2003.
133
Ibid, h.180
470
----------------. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia,
2006.
Ashwin, Sarah. Gender, States, and Society in Sovyet and Post -Sovyet Russia. London:
Routledge, 2000.
Bhasin, Kamla. Memahami Gender. Yogyakarta: Teplok Press, 2001.
Cornell, R.W. Gender: Polity Short Introduction. Sidney: Polity Press, 2002.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996.
Lapidus, Gail Warshofsky. Women in Soviet Society. Berkeley: University of California,
1978.
Liegle, Ludwig. The Family’s Role in Soviet Education. New York: Springer Publishing
Company,1970.
Malsheva, Marina. Women in the Face of Change: The Soviet Union, Eastern, and
China. London: London and New York publishers,1992.
Marsh, Rosalind (ed). Gender and Russian Literature. Cambridge: Cambridge
University Press,1996.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2002.
Pilkington, Hilary (ed). Gender, Generation and Identity in Contemporary Russia.
London: Routledge, 1996.
Posadskaya, Anastasia (ed). Women in Russia: a New Era in Russian Feminism. New
York: Vesco Pubslihing, 1994.
Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, 2008.
Widyastuti, Thera. Sastra dan Perempuan Rusia. Bogor: Artour Publishing, 2015.
Internet
Natalya Baranskaya, Неделя Как и Любой Другой/
http://www.belousenko.com/books/baranskaya/baranskaya_nedelya.htm
471
LANGUAGE PLAY AS J. K. ROWLING’S STYLE OF WRITING
IN HARRY POTTER AND THE PHILOSOPHER’S STONE
Trisnowati Tanto
(Universitas Kristen Maranatha Bandung –Indonesia)
Abstract: Language play in fiction can be used as a means to attract readers’ attention
and as such, language play is a means of foregrounding – linguistic forms that stand out
from the other words in a text. The readers can notice and feel that the parts containing
language play stand out more, which makes them more special compared with the other
parts. In the Harry Potter novels, J. K. Rowling makes frequent use of language play so
that it can be said that this is Rowling’s style of writing. The research focuses on the
various linguistic forms of language play found in the first Harry Potter novel, Harry
Potter and the Philosopher’s Stone. This research investigates the different types of
language play that occur in this novel. Furthermore, the research will also discuss the
literal and contextual meaning of language play as well as its functions. There are some
findings resulted from the research. The language play shown in this particular novel is
basically a form of deviation. The language play is entertaining as it builds the reader’s
imagination as well as supporting the characterization and plot.
Keywords: language play, fiction, foregrounding, deviation, literary elements
Introduction
In communication people can play with language or respond to language play.
Crystal (1998: 1) said that playing with language can result in enjoyment. The activity
of playing with language is basically done in two ways: by exploiting the language and
by manipulating the language. Exploiting the language means using a certain language
feature in an uncommon way, while manipulating the language means bending and
breaking the rules of the language.
We can find language play in any text, for instance in daily conversation,
advertisement and campaign slogans, newspaper headlines, comics, and literary works
such as novels, short stories and poems.
I believe people who use language play signify a high level of their language
competence. In playing with abbreviation, for example, we have to be able to know first
the relationship between the words and the pronunciation. In using the abbreviation (2)
“4 u”, it must be known that in English the pronunciation of the words 4 (four) and for
is the same, [f :]; and so is the pronunciation of “u” and “you”, [u:], which is called
homonymy – two words having the same pronunciation but different spelling and
meaning. Thus, what is meant by “4 u” is “for you”.
As a matter of fact, language play is all around us. Language play can make a
message more beautiful and attractive. If the message is a campaign or advertisement
slogan, it is expected that the receiver will be attracted to approve of the philosophy of
the slogan or buy the product being offered. If the message is a newspaper headline,
more and more readers will be interested in reading the article. Thus, it can be said that
the language play in the texts found in our social life has the aesthetic as well as
472
persuasive functions.
Besides, language play can also be found in literary works, for instance in poems
or novels. A fictional text is a text that does not refer to the real world but to the
imaginary world. (Zaimar & Harahap, 2009: 23, 26). A fictional text is of course not the
same as the factual one as a fictional text is more subjective and individualistic, and
does not have any direct relation to the social needs and convention.
The creativity that uses language as its medium obliges an author to use
interesting and unusual language; in other words, an author has to “escape from
banality” (Leech, 1991: 23). In this case, an author has to exploit the language in an
attractive way, by using out-of-the-ordinary language so much so that the readers are
able to detect something “not right”, which is also called foregrounding (Wales, 1994:
181–182).
In this paper I am interested in analysing the language play used in the Harry
Potter novel to find out how language play, as a form of foregrounding, can become an
extraordinary element in a fictional text. In addition, I would also like to relate the
language play forms to their functions. To limit the analysis, I would only like to
analyse the language play forms in the first Harry Potter novel, Harry Potter and the
Philosopher’s Stone, written by Joanne Kathleen Rowling, or better known as J. K.
Rowling. Rowling is a well known author of one of the best-selling book series in the
world, Harry Potter. The series consists of seven fantasy books about the world of
wizardry. Rowling uses a lot of interesting forms of language play to create the names
of the characters, the places, and the spells. These interesting forms of language play
make the novel more interesting, more fun, and more enjoyable to read. Besides, the
language play can also support the literary elements of the novel, in this case the
characterization, plot, and readers’ imagination.
I am of the opinion that we should appreciate authors who are creative and
capable of creating language play forms as well as making the readers understand the
meaning and function of the language play through the context of the story. In his book
Language Play, Crystal states ”We play with language when we manipulate it as a
source of enjoyment, either for ourselves or for the benefit of others... We are, in effect,
bending and breaking the rules of the language.” (Crystal, 1998: 1) Thus, language play
is a form of language manipulation. The manipulation here is in its literal meaning: the
linguistic units such as words, phrases, sentences, parts of words, sounds and letters are
used not in accordance with the rules of the language (Crystal, 1998: 1).
Discussion
In the first Harry Potter novel, Harry Potter and the Philosopher’s Stone, there
are some characters’ names, places, and spells which are actually language play forms.
When analysed, these forms support the characterization of the characters and the
description of the setting of place as well as supporting the plot of the story. Besides,
since the story revolves around wizardry, the imagination of the readers also plays an
important role in understanding and enjoying the story and the language play forms also
support this.
Language Play Supporting the Characterization of the Characters
There are eleven characters’ names in the novel which contain language play
processes. When these language play processes are analysed, it can be clearly seen that
this has a close relation to the characterization of the characters.
473
The first name, (1) Albus in Albus Dumbledore, has the literal meaning of
“wisdom or white” (Webster’s New International Dictionary, 1949: 60). The word white
has the associative meaning of being honourable or generous. In the novel, Albus
Dumbledore is the headmaster of Hogwarts who is portrayed as a wise, honourable, and
generous person, which is why he is respected and liked a lot by his colleagues and
students.
Data (2) Argus Filch refers to the name of a caretaker in Hogwarts. He always
punishes students even for small mistakes. Argus Filch is described as a watchful
guardian in the novel. This is in line with the literal meaning of the word argus, which is
one very vigilant; a watchful guardian” (Webster’s New International Dictionary, 1949:
147).
The name (3) Draco Malfoy also contains a language play process. Draco is a
clipped word of draconic, which means “a fierce, violent, or very strict person”
(Webster’s New International Dictionary, 1949: 780). Malfoy has a similar sound to
malevolence, meaning “quality or state of being malevolent; evil disposition toward
another; ill will” (Webster’s New International Dictionary, 1949: 1489). From these
processes, it can be seen clearly that this is in line with the description of the character
in the novel. Draco Malfoy is one of Harry Potter’s schoolmates. He does not like Harry
Potter because Harry rejects his invitation to befriend with him. Draco Malfoy is also
described as an ill-willed boy who likes treating people evilly.
The first name of Harry Potter’s cousin, (4) Dudley, is also a language play form.
The first syllable, dud, means “someone or something that is very disappointing“
(Macmillan English Dictionary, 2002: 430). In the novel, Dudley is said to be a spoilt
boy who cannot do anything useful or nice. He really likes causing his parents a lot of
trouble and urging them to do whatever he wants.
The next character’s name is (5) Griphook, who is a goblin working in Wizard’s
Bank, Gringotts. The word griphook is a blending of the words gripe and hook. The
literal meaning of gripe is “to seize and hold” (Webster’s New International Dictionary,
1949: 1104), while hook means “to secure” (Webster’s New International Dictionary,
1949: 1197). The meaning of each root word bears the information about the general
characteristics of the goblins since they are portrayed as clever creatures that are really
good at keeping Gringotts securely.
The surname of Harry Potter’s best friend, (6) Hermione Granger, is a language
play form, too. It is a homophone of the word grandeur, which means “the quality of
being great and impressive in appearance (Oxford Advanced Learner’s Dictionary,
2000: 560). In the novel Hermione Granger is described as a student whose intelligence
is extraordinarily high. The name Granger suits her a lot for she has an impressive
quality.
Data (7) Mrs Noris refers to Argus Filch’s cat which always whisks off for Filch
if there is a student breaking the rules. The student had better take no risk breaking the
rules in front of Mrs Noris; or else they will end up with Filch’s detention. This
description suits the name when it is analysed further in terms of language play, as the
name Noris mimes the phrase no risk.
The next name having the language play process is (8) Professor Severus Snape.
The first name, Severus, mimes the word severe, which means “unfriendly” (Longman
Dictionary of Contemporary English, 2001: 1306). The surname, Snape, is a minimal
pair with the word snap, which means “become angry or upset” (Macmillan English
Dictionary, 2001: 1353). In the novel Professor Severus Snape is a teacher in Hogwarts
who teaches Potion. He is unfriendly, especially towards the students from the House of
474
Gryffindor. He also easily becomes angry or upset, and he also likes snapping to his
students.
Data (9) Rubeus Hagrid is the name of Hogwarts gamekeeper. He is gigantic
and looks wild, but actually he is a kind and soft-hearted person. His first name, Rubeus,
is a homophone of the word rubious, which means “having the quality of a ruby”
(Webster’s New International Dictionary, 1949: 2180). The surname, Hagrid, mimes
the word haggard, meaning “wild-looking; untamed or untrained” (Webster’s New
International Dictionary, 1949: 1124). Thus, although Rubeus Hagrid looks wild and
uneducated, he has the heart quality of a ruby.
Data (10) Sirius Black is a wizard who lends Hagrid a motorcycle to save Harry’s
life in the night his parents are blown out. Actually, Sirius is earnest and sincere, and he
really concerns himself with his best friends’ lives. He is also portrayed a mysterious
person as the way he talks gives the impression that he is hiding something. All these
characteristics are in line with the information gathered in the analysis of the language
play process.
The first name, Sirius, has the same pronunciation as the word serious, which
means “earnest or sincere” (Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English,
1984: 777). The surname, Black, can be associated with the quality of being moody, sad,
and mysterious.
Harry Potter’s uncle, (11) Vernon Dursley, is described to be a person who hates
Harry and considers him a strain. This description is suitable when related to the
language play process. The first name, Vernon, mimes the word venom, which means
“very strong anger or hate” (Macmillan English Dictionary, 2001: 1592).
Language Play Supporting the Plot
There are 3 names in this novel which support the plot element. The name (12)
Harry Potter, contains a language play form. The first name, Harry, has the literal
meaning of “be bothered or be troubled” (Oxford English Genie CD-ROM 2000). This
gives the effect of foreshadowing about what Harry Potter will experience in the story.
The readers will anticipate the many problems that Harry Potter will undergo.
The surname, Potter, also has the language play process. It is synonymous with
the word trifle or mess up, which means “to be the cause of someone’s physical,
emotional, or mental problems” (Macmillan English Dictionary, 2001: 894). In the
novel, Harry Potter is the one who causes Lord Voldemort’s fall and loss of his body. In
other words, Harry Potter is someone who will always be troubled, but he will also
cause trouble, too, in this case to the Dark Lord, Voldemort.
(13) Professor Quirrel’s name mimes the phrase squirrel away, meaning “to put
something in a secret place” (Macmillan English Dictionary, 2001: 1388). Quirrel’s
being nervous easily is actually an important clue that he is actually hiding something,
which is a kind of foreshadowing that there must be something wrong about him. In the
novel, the readers are finally allowed to know the fact that Quirrel hides the spirit of
Voldemort under his turban.
Another name is (14) Scabbers, who at first is introduced as Ron Weasley’s rat,
but then it is finally found out that he is an animagus and is also a traitor. The name
Scabbers mimes the phrase scab us. As a noun, the word scab means “rat” (Rodget’s
International Thesaurus, 1977: 620), and a rat is associated with a traitor (Rodget’s
International Thesaurus, 1977: 1161). When knowing the language play process, the
readers are given a sort of foreshadowing that Scabbers is someone who will be scabby
enough to scab his own friends.
475
Language Play Supporting the Readers’ Imagination
Readers’ imagination is highly required since this novel tells about something
that does not really exist in real life. The language play processes of some names and
spells also support this.
Data (15) Herbology refers to the study of plants that is taught in Hogwarts, in
which the students learn how to take care of all the strange plants and fungi and what
they are used for. The word Herbology does not exist in English, but from the process of
suffixation, it can be found out that the word comes from herb + the suffix –ology.
The next data (16) Diagon Alley is a homophone of the word diagonally, which
means “a straight line that joins two opposite sides of something at an angle” (Oxford
English Genie CD-ROM 2000). In the novel, Diagon Alley is a kind of market for
wizards. Its entrance is in the backyard of a pub called Leaky Cauldron. The meaning of
its homophonic word leads the readers to imagine that one enters Diagon Alley by
tapping the right bricks diagonally.
In the novel it is also told about a special mirror which can show the desires of
the person standing in front of it. At the top of this mirror, there is a text saying (17)
erased stra ehru oyt ube cafru oyt on wohsi. When the readers know that this writing is
actually an anagram, they can get the clue about what this mirror is special for. They
will read it backwards into I show not your face but your hearts’ desires, which matches
the function of the mirror.
In Hogwarts, there is a wizard sport called (18) Quidditch with four balls in total
and seven players on each side. This sport is played by ditching the balls quickly. One
of the balls should be ditched to each other quickly by the three chasers before scoring a
goal. The description of the sport matches the language play process. The word
Quidditch is a blending of the words quick and ditch. The word ditch means “to get rid
of something” (Oxford English Genie CD-ROM 2000).
The spell (19) petrificus totalus is used to make one totally petrified. Thus, it is
clear that the spell petrificus totalus comes from the mimetic words petrified and totally.
Another spell (20) wingardium leviosa, is also a language play form. The word
wingardium is associated with the word wing, which makes us think of the idea of
flying, while the word leviosa is associated with the word levitation. When the readers
can figure out the language play processes involved in the spell, they can understand
that this spell is used to levitate things.
Conclusion
Based on the analysis of language play above, it is clear that J. K. Rowling is
very special in creating the names of the characters, places, and other things as well as
the spells in this novel about wizardry. It is not only the she has successfully invented
wonderful names, but she has also effectively described the literary elements through
the names. This effort is very effective since this makes the novel more interesting and
enjoyable to read. Besides, readers are also made to be aware of all the hints and clues
to figure out what kind of people the characters are. This effort is also efficient as this
will save the many words used to describe the characteristics of the characters.
These uncommon invented words have also successfully created a distance
between the magic world in the novel and the real world. The readers are made to be
aware of and able to differentiate the two worlds. This affects the readers to believe that
there really is such a magic world as Harry Potter‘s world.
476
References
Crystal, D. 1998. Language Play. London: Penguin Group.
Leech, G. 1991. A Linguistic Guide to English Poetry. Essex: Longman Group Ltd.
Rowling, J. K. 1997. Harry Potter and the Philosopher’s Stone. London: Bloomsbury.
Wales, K. 1994. A Dictionary of Stylistics. Essex: Longman Group Ltd.
Zaimar, O. K. S. & A. B. Harahap. 2009. Telaah Wacana. Jakarta: The Intercultural
Institute.
477
ENHANCING STUDENTS’ AWARENESS OF LISTENING TO OTHERS
THROUGH TEACHING THEM
ON THE FIVE WAYS OF READING LITERATURE
WEDHOWERTI
(Universitas Sanata Dharma Yogyakarta – Indonesia)
Abstract: Reading is a bridge to cross to arrive at the field of practice of understanding
literature. Reading as the initial process must be addressed carefully. Reading literature
is not as easy as reading other types of texts with “everyday language”. There are five
ways of reading literature namely reading for realism, reading as experience, reading for
structure, reading suspiciously, and reading for culture. The five ways of reading see
literature as telling about human condition or human nature, as the form of experience
the students have while reading, as something carefully structured, as hiding things, and
as something playing an important role in culture. Teaching the five ways of reading
means realizing the know-how in the level of students. Through different ways of
reading, the search for meaning including the awareness of listening to others as the
objective of reading can be achieved.
Keywords: ways of reading, reading, reading literature, and search for meaning
Introduction
Why teaching, studying, and caring for literature after all? This question needs
thorough answers. We shall begin answering the question by remembering an
interesting statement given by Freeman (as cited in Barry, 1995: 14) as follows
We are told that the study of literature cultivates the taste, educates the sympathies and
enlarges the mind. These are all excellent things, only we cannot examine tastes and
sympathies. Examiners must have technical and positive information to examine.
Freeman mentions about the technical and positive information to examine. This shows
us that there should be awareness about teaching and studying literature. It also reveals
that the teaching and studying of literature is essential in nature.
Literature is able to give its readers deep impact. Readers are significantly
enriched by great books they read. Reading literature brings readers into a broader life.
The significance of literature is also stated by Hudson saying that
Literature is a vital record of what human beings have seen in life, what they have
experienced of it, what they have thought and felt about those aspects of it which have the
most immediate and enduring interest for all of us. It is thus fundamentally and expression
of life through the medium of language (1958: 10).
Considering the two previous statements, we then can conclude how important it is to
care for literature.
Where and how it starts? We shall start it by combining the know-what (the
theory, what we know about literature) and know-how or the field of practice. According
to Pope, we shall engage in activities of theorizing practice and practicing theory as
continuing process where theory informs practice (2002: 76). In addition, he suggests
that the continuing and reciprocal practice makes teachers, students, and practitioners
478
reflective, creative, and critical (2002: 76). Practice in the classroom is manifested on
how students or readers perceive and understand works of literature through some
means e.g. approaches, methods, strategies, and techniques.
The initial step of manifestation in the student’s level is reading. There are
matters to note down, however. As an initial step, reading must be carefully addressed.
Reading literature is different from reading texts written with “everyday language”.
How could it be? Robert Frost (as cited in Barnet et al, 2005: 1) mentions that literature
is a performance in words. People have to think deeper in order to understand the
performance. They might watch it again and again in order to understand what messages
it is to give. Seeing the analogy, now it’s obvious that it is not easy then to understand
literature.
Understanding literature entails a long process. There is an “intimacy” between
readers, in this case, students and literature. Reading, according to Montgomery et al,
consists not just of passive assimilation but of active engagement in inference and
problem-solving (2007: 8). Moreover, Bartholomae and Petrosky describe the activity of
reading as follows
Reading is not simply a matter of hanging back and waiting for a piece, or its author, to
tell us what the writing has to say. In fact, one of the difficult things about reading is that
the pages before you will begin to speak only when the authors are silent and you begin to
speak in their place, sometimes for them, doing their work, continuing their projects, and
sometimes for yourself, following your own agenda (1987: 1).
Students, as mentioned by Montgomery et al, ascribe meanings to text on the
basis of interaction between textual meaning (language structures) and contextual
meaning (various kinds of background, social knowledge, belief, and attitude students
bring to the text) (2007: 8). The background mentioned before truly reflects who the
students are. In addition, Montgomery et al state that factors such as the place and
period in which students are reading, their gender, ethnicity, age, and social class will
encourage them towards certain interpretation of the text (2007: 8). There is strong
relationship between the text and the students where students are not there in vacuum.
They are to respond to the text. In responding to the text, they are bringing with them
the factors mentioned before.
In reading where there is engagement between students and text, there are two
more important matters to note down namely the relations to the rest of the world and
the author of the text. Pope (2002: 77) draws a working model to show the relation
among the four mentioned before (students, text, author, and relations to the rest of the
world) as follows.
RELATIONS TO THE REST OF THE WORLD
(Everything else the text refers or relates to)
P
R
O
C
E
S
S
PROCESS
TEXT
AUTHOR
(producer)
PROCESS
STUDENTS
(receiver)
479
Text is produced by the author. In producing a text, there is a process. This
process is represented by the double-headed arrow. It is understood as something that is
exchangeable. It means that it is not something fixed. In the future, it may be
reproduced.
The text is then responded by the students. They respond it by actively searching
for meaning out of it. The process of searching for meaning will result in a new text. In
other words, the text produced by the author will be reproduced by the students.
Text, in a way or another, has relations to the world. It represents or refers to
people, places, events, ideas, beliefs, in the worlds behind or beyond it (Pope, 2002: 77).
This is worth noting down. In addition, the working model proposed by Pope is also a
summary of the two previously mentioned matters. First, the intimacy or engagement
between the text and students, and second, the searching for meaning by the students
based on the interaction between textual meaning (language structures) and contextual
meaning (various kinds of background, social knowledge, belief, and attitude students
bring to the text).
Ways Of Reading
Reading involving an active engagement has been mentioned in the Introduction.
There are ways of reading. Montgomery et al point out that ways of reading are kinds of
comprehension where comprehension consists of an active engagement (2007: 8). In the
Introduction, again, there has been mentioned about the searching for meaning. Now, a
question might come across waiting for an answer. How do students search for meaning
of out a text? The answer is provided by Montgomery et al by stating that
Looking for meaning or meanings of a text involves exploring many different sorts of
question – or alternatively blocking off those different sorts of question in order to settle
on a possibly more comfortable but significantly reduced, single interpretation (2007: 9).
In interpreting the text, each reader has different process and track. There are
factors influencing interpretation. The background of each student (age, gender,
ethnicity, religion, social class, place of origin, local tradition, and family belief)
enriches the process and result of interpretation. Montgomery et al believe that it does
not make interpretation relative or pointless, but rather results in debates which later
play an important role in social discussion of beliefs and values, especially for texts that
engage with fundamental human concerns (2007: 9).
The purpose and interest in reading a certain text determine how students read it.
Students have different and hidden agenda in reading. Reading literature, however, is
not an easy task to do. Wedhowerti says that students probably need more time to read
the same literary work again and again because it demands a lot from its readers (2015:
40). Therefore, different ways of reading with different sets of question are assigned to
address the different situation.
Five Ways Of Reading And Process Of Listening To Others
Not only do students bring with them different and hidden agenda, but also their
own values, beliefs, attitudes, and purposes. Every student is unique in a way that the
same text might mean different for him or her. According to Montgomery et al, texts are
suggestive and they connect with individual experiences, memories, and personal
associations for words (2007: 11).
Readerships are different. In the classroom, we, as lecturers, invite the students to
give a response or responses to the text. They are encouraged to dig out the text in order
to search for and understand meaning. As stated in the previous section, students
480
approach and engage with the text actively. The forms of response to give to the text are
listening to the voice of the author and understanding the purpose of literature. We
explain to the students about the nature of reading. Reading is an activity of listening to
the author saying something to the readers as proposed by Bartholomae and Petrosky as
follows
Reading is not simply a matter of hanging back and waiting for a piece, or its author, to
tell us what the writing has to say. In fact, one of the difficult things about reading is that
the pages before you will begin to speak only when the authors are silent and you begin to
speak in their place, sometimes for them, doing their work, continuing their projects, and
sometimes for yourself, following your own agenda (1987: 1).
When reading, students are listening to the author saying something (some things) to
them. Then, they are in the position to speak back, to say something of their own in turn.
In other words, as they read, they hear the author’s voice.
We also introduce them to the purpose of literature. Barry suggests that the
purpose of literature is essentially the enhancement of life and the propagation of
humane values (1995: 19). The introduction to the nature of reading and purpose of
literature is closely related to the five ways of reading. The five ways of reading as
proposed by Campbell (retrieved on July 22nd 2015 from http://writing.colostate.edu/
guides/) truly reflect the reading activity as listening to the author as suggested by
Bartholomae and Petrosky and the purpose of literature as suggested by Barry.
The five ways of reading see literature as telling about human condition or
human nature, as the form of experience the students have while reading, as something
carefully structured, as hiding things, and as something playing an important role in
culture. Each way of reading is equipped with guided questions to ask. Each of them is
discussed in turn.
1. Reading for Realism
Here the students focus on the plot, character, setting, point of view, and
theme. They believe what the writer/author tells them about human condition
or human nature. Some guided questions might be asked as follows.
a. What is happening here? Why? How do we know about it?
b. What motivates the characters?
c. What is the reading about? Is it about feeling, family, loneliness, loss, or
gain?
2. Reading as Experience
Literature is seen as the form of the experience the students have while reading.
The experience might change as they are reading. The guided questions to ask
are as follows.
a. What does this piece of literature do?
b. How does this text manipulate you?
c. Does your experience parallel the characters’?
d. Do you feel that you learn at the same time as the characters do?
e. How does the experience of different kinds of readers differ?
3. Reading for Structure
As Campbell suggests, literary works are carefully structured objects whose
formal details are significant; which details matter and how varies from type to
type (http://writing.colostate.edu/guides/). Students focus on language, imagery,
the unity of the text, and the structural skeleton of the text. The guided
questions are:
a. What are the image patterns?
481
b. What other special uses of language are here, and what do they contribute to
the effect and meaning of the piece?
c. Is there paradox? Ambiguity?
d. Are there any myths? Myths about what? Are they about gender, heroes,
family relations, cultures, class values, history or nature?
4. Reading Suspiciously
Literature is able to reveal much more than what is shown on the surface.
There are “hidden” things. Students read for gaps and textual selfcontradictions. The questions to ask are:
a. Are there any apparent or hidden contradictions in the text?
b. Is the text self-critical?
c. What are the ideologies of the text?
5. Reading for Culture
Literature plays an important role in culture. It talks about cultural issues. It
takes part in the negotiation between cultures and individuals. Students focus
on how a text represents things. The guided questions are as follows.
a. How are notions like "femininity", "masculinity", "whiteness", "blackness",
"civilization", and/or "nature" represented?
b. What are the historical and cultural circumstances of these representations?
c. How does the text participate in the cultural construction of categories or
meanings? d. Does the text talk about major economic systems like capitalism
or monopoly?
The five ways of reading mentioned above place literature as reflecting the
human nature and matters related to it. Those are very rich since they encompass more
domains in life. Barry claims that literature speaks to what is constant in human nature
(1995: 17). This statement is also supported by Pope suggesting that text has relations to
the world, or it represents or refers to people, places, events, ideas, beliefs, in the worlds
behind or beyond it as stated in the previous section. When the students are listening to
what is said by the author, they are also at the same time listening to the voice of others.
They are listening to what is going with other people out there by answering the guided
questions. They are also searching for meaning by answering the questions. The guided
questions are given and placed in detailed arrangement that students can experience the
sense of listening in more aspects, angles, and domains of human lives.
The students then produce new text (s). The responses produced by them (in the
form of answers to the guided questions) are the reproduction of the text they have read.
The process of reading, listening to the author, responding to the text, and reproducing
the text does not stop here. It does not stop within a single text. This is conducted many
times. We encourage students to experience more that their awareness of listening to
others grows bigger.
Conclusion
Teaching and studying literature enable students to cultivate the taste, educates
the sympathies, and enlarges their mind (Freeman, cited in Barry). Students feel the
deep impact and are enriched by the text. They are enriched by the text in the field of
practice (know-how). In the field of practice (in the classroom), students are given time,
means, and encouragement to actively engage with the text and then give responses or
to search for meaning out of it. By bringing with them their own values, beliefs,
attitudes, and purposes, students give responses to the text. They give responses or
search for meaning by answering the guided questions. While reading, they are listening
482
to the author saying about the nature of human lives, the lives of others, the voices of
others. Reasonable time is given since literature is different from any other texts with
everyday language. Five ways of reading are approaches to conduct and the guided
questions are the techniques to apply in the classroom. The five ways of reading and the
guided questions are very rich that they encompass more aspect and domains in human
lives. Those are taught in order to enhance the students’ awareness of listening to others.
The process of reading, responding, and reproducing the “new text” is continual. It does
not stop in a certain text only.
References
Barnet, Sylvan., Burto, William., and Cain, William. 2005. Literature for Composition:
Reading and Writing Arguments about Essays, Stories, Poems, and Plays.
Boston: Longman
Barry, Peter. 1995. Beginning Theory. Manchester: Manchester University Press
Bartholomae, David and Anthony Petrosky. 1987. Ways of Reading: An Anthology for
Writers. New York: St. Martin’s Press
Hudson, William Henry. 1958. An Introduction to the Study of Literature. London:
George G. Harrap & Co. Ltd.
Montgomery, Martin., Durant, Alan., Fabb, Nigel., Furniss, Tom., and Mills, Sara.
2007. Ways of Reading: Advanced Reading Skills for Students of English
Literature. New York: Routledge.
Pope, Rob. 2002. The English Studies Book. New York: Routledge.
Wedhowerti, Scolastica. 2015. Balancing the Know-What And Know-How in English
Literature to Become Critical Readers. English Language Studies Indonesia:
For Truth and Meaning, 36-45
http://writing.colostate.edu/guides/
483
STUDENTS’ PERCEPTIONS OF USING DRAMA
IN ENGLISH LANGUAGE TEACHING
(A SURVEY ON ACADEMIC YEAR 2014/2015 DRAMA COURSE OF
ENGLISH DEPARTMENT AT PATTIMURA UNIVERSITY)
Wenda M Kakerissa
Eugenie Mainake
Ayu Aprilya S. Abdullah
(Pattimura University Ambon – Indonesia)
Abstract: Fostering creativity, confidence and motivation through Drama in language
teaching has long been believed by the educational practitioners. They argue that drama
can engage students actively with the learning process and it offers chances to use
English effectively. Then, this survey aims at investigating students’ perceptions
towards using drama in English Language Teaching (ELT) at English Department of
Pattimura University. The result shows that majority of participants agreed to use drama
as a tool in English language teaching because it engaged students with activities and
provided more chances to the English usage. Therefore, it can be concluded that drama
plays vital role to students’ English language improvement because they participated
actively and colaboratively through drama performances, also they are trained to be
productive and critical during the course. This study put forward some practical
suggestions for the use of drama in ELT to overcome students’speaking skill and fulfill
students’ needs in learning English.
Keywords: Perception, Drama, English Language Teaching (ELT).
Introduction
Nowadays, an English as a Foreign Language (EFL) teachers need to work hard
in finding ways to make students motivate to learn English. Students tend to get bored
of conventional teaching. There are many options of strategy, method, and technique to
teach English. Drama, a part of literature can be anenjoyable and comfortableEnglish
learning method.At present, literature becomes a favorite resource to English educators.
Many language researchers think that literature provides an authentic, meaningful,
creative basis for English as Second Language (ESL) / English as Foreign Language
(EFL) development (Malmir & Sarem, 2012). Literature is universal, interesting,
various, non-trivial, and also Literature can be used in different context when teaching
EFL. Poetry, Novel, Short Story, and Drama are the most favorite literature types that
have been used by English Language teachers. Therefore, drama is potentially perfect
for language teaching since it covers all language skills.
The term “drama” is not a new term inEnglish Language Teaching (ELT). It has
been over a century since drama was introduced but only in the last three decades it has
come to the surface (Chukueggu, 2012). Drama is believed to be “a wide range of oral
activities that have an element of creativity present” (Hubbard et all, 1986 cited in
Chukueggu, 2012). Drama deals with communication among people in social context. It
requires many forms of communications. From that perspective, Drama could be
484
included in Communicative Language Teaching (CLT). CLT is known as a good way in
approaching students in order to make them able to produce language. The use of CLT
in ELT has been proved to increase the successfulness of English teaching and learning.
Drama can be used to increase students’ language skills, especially in speaking. In
addition, it is also can engage students with the experience of communicating in various
contexts and foster their creativity, confidence and increase their motivation in learning
English. Thus, this research aims to find out students’ perception of using Drama in
English Language Teaching; specifically, the students of English Education Study
Program at Pattimura University.
Literary Review
CLT& Communicative Activities in EFL
Communicative Language Teaching (CLT) is known as communication in real
context. The use of CLT aims to give students opportunity to experience real
conversation based on its purposes. Ohno (n.d) states that learning a language is not
only about how we speak, read, write, and listen but it is also about how we can use
sentences to communicate. Active participants are the result of using CLT in
classrooms. Self-learning, group interaction in authentic situations, meaningful learning
and peer teaching are proved to be promoted by teachers when they use CLT. It is
assumed that EFL learning has been well-facilitated if the learners have engaged with
interaction and meaningful interaction.Richard & Rodgers (2001) assert thatCLT puts a
great attention on the meaning and authentic communication also fluency and all
language skills which are essential in learning foreign language (Cited in Malmir &
Sarem, 2012).
CLT involved and integrated all language skills. Larsen-Freeman (2000) says
that CLT draws upon functional model of language and emphasizes on the development
of “communicative competence” as the goal for language learning. It means that the
negotiation of meaning is more important than the forms of the language target. CLT
focuses on the beliefs and theories that set Communicative Competence as the goal of
learning a language. Communicative Competence here is not only about grammatical
knowledge of a language but also about when, where, and to whom a sentence is being
used in speech community. Hymes (1972) cited in Malmir & Sarem (2012) defines
Communicative Language Teaching as “what a speaker needs to know in order to be
communicatively competent in a speech community”. That is why being able to
communicate in target language is the main purpose of the use of CLT.It does not mean
that the students can always speak fluently and accurately; the CLT researchers agreed
that learning a language is a gradual process that involves the creative use and many
trials (Malmir & Sarem, 2012). Errors and mistakes happen all the time in learning
language.
Communicative activities are those which involve doing something by using
language. These activities should have three features in common: information gap,
choice, and feedback (Larson-Freeman, 2000). An information gap activity occurs
whena person knows things while the others do not; the speaker has chance to choose
what and how will she or he says; feedback is important because it aims to let one
speaker evaluate another speaker’s work. Games, role plays and problem-solving tasks
are the examples of well-known communicative activities. Richards (2006) states that
communicative activities are not focusing on conversation but may and can involve
listening, reading, speaking, writing or an integration of these skills. The use of
485
communicative activities can help student to achieve the Communicative Competence
which is to communicate with other person in the classroom and in the long term,
society. Drama used in a classroom can be said as a good communicative activity since
it can foster communication between/among students with meaningful way yet also
foster their creativity, raise their confidence, and increase their motivation (Malmir &
Sarem, 2012).
Drama & Dramatic Activities
According to Holden (1981) cited in Davies (1990) drama can be defined as
“let’s pretend; it asks learners project himself imaginatively into another situation,
outside the classroom, or into the skin and persona of another person” (p.1), where it
focuses on “doing” rather than the presentation (p.8). Technically, Drama requires
students to act as someone else that they portrayed and it has interaction with other
people that must include the communication of meaning.
Drama becomes a basic way to practice communicating since it relates tomany
aspects of life and also empowers students’ creativity and fantasy. By using drama,
teacher can help students to develop the language skills, particularly speaking skill.
Drama is an effective way to teach speaking because it supplies students with the
opportunity of making longer interaction with other students and provide useful yet
interesting situation where make classroom is enjoyable. Not only speaking, drama is
also proven to facilitate other language skills. According to Clipson-Boyles (1998: 8-9),
drama is processing with listening, speaking, writing, and reading; although by using
drama it is mostly assists listening and speaking, drama activities can improve the
situation of reading and writing too (Cited in Yun, 2007).
Dramatic activities includes activities that make students use real-life language
and it includes mime, role play, simulation and improvisation (Chukueggu, 2012).
Davies (1990) states that mime emphasizes the paralinguistic features of communication
and it also can build students’ confidence by asking them to do things in front of other
people. Hayes (1984: 28) points out that Mime helps students empower their
imagination and observation, simply said as “a source of great enjoyment” when the
students tend to be very excited about this aspect of drama (Cited in Davis, 1990). Role
play is used by teachers all the time in English language teaching, for speaking skill in
particular. Even so, Hu (2011) argues that it is always challenging to use role play
because there are many varieties of role play and teacher should carefully choose to
adjust with students’ need. Dougill (1987, cited in Yun, 2007) defines improvisation as
a spontaneous response to a description of an unexpected situation. He further
emphasizes that the ability to improvise something is vital for language use. He also
points out that simulation as structured set of circumstances that reflect real-life
situation. Simulation is different from role play since is requires students to bring their
own personality, experience and opinions on thetask.Both teacher and students have to
feel secure about the knowledge and to expect that they will enjoy and benefit from
drama activities; that kind of atmosphere must be created in drama classroom (Davies,
1990). Using drama is very effective to create motivate and innovate atmosphere in EFL
classroom.
The Use of Drama in Teaching EFL
Even though Drama has been used for language teaching since Middle Ages, it is
just few decades ago that Drama has frequently been used by English language teachers.
The reason why it happened because there was a greater emphasis on meaningful
486
communicative activities instead of mechanical drills (Hall, 2003 cited in
Malmir&Sarem, 2012). Drama can be used in teaching EFL for many reasons.
Language supposes to be used in meaningful situations. The main concept of Drama
emphasizes in real or imagined situations in and out of the classroom. Drama is fun and
entertaining also motivate. Malmir&Sarem (2012) argue that Drama provides varied
opportunities for different speaker to interact each other and since it involves
imagination and feeling, Drama also provides a rich experience for language learning.
Imagination plays vital role for student; it can be a dream and inspiration for them.
Since Drama needs creativity, imagination is required in order to produce a good drama
Drama focuses on language development, personal awareness, group cooperation, sensory awareness, and imaginative growth. As an educational tool, the use
of drama can foster the social, intellectual, and the linguistic development of the child
(Vygotsky, 1987 cited in Chukueggu, 2012). In relation to the use of Drama in EFL,
Vygotsky(1987) proposes that play which is a form of activity is important in a child’s
cognitive development and that through the process of internalization, social activities
become mental activities. It indicates that the learning environment should provide
students to play active roles. It can happen when the teacher and the students collaborate
with one another to create meaningful learning. Language experts believed that social
rules of language are more important than linguistic interaction in the target language.
Language learning is supposed to make students ready to interact and communicate in
society. Many communicative activities in classroom provide exercise that focuses on
the linguistic forms instead of giving them the real-life situation where they can explore
their language better (Malmir & Sarem, 2012). On the other hand, Drama activities that
have cultural and social situation can be more useful for students’ communicative
competence. In addition, Drama focuses mainly on learner-centered activities. There are
many opportunities for students to work independently and in group. Students can
collaborate each other in the process of learning. Students are encouraged to express
their ideas and be responsible for it until the end. Malmir & Sarem (2012) argue that
Drama mostly done in group work and it proves to increase students’ responsibility,
problem solving, management, and directing proficiencies.
Using Drama in teaching EFL fosters creativity, confidence and increase
motivation of the students. Drama helps students to work best with their creativity and
requires them to use their imagination that leads to creative works (Hu, 2011). Davies
(1990) state that the greatest advantage of using Drama in teaching EFL is the confident
that will be gained by the students. Those students who used to be shy will definitely
have more gut to speak. Lastly, motivation which can be said as the critical point in
learning a foreign language might not be a problem since Drama motivate the students
by let them integrate the learning with their own life.
Methodology
The method used in conducting this research is Survey research. Survey is the
process which data are being collected from a sample of individuals through their
responses of questions (Check and Schutt, 2012). In addition, Guyette (1983) defines
survey as the way data are being collected in such consistent way. Moreover, Survey is
also useful for documenting the condition of the existing community, their opinions, and
population’s characteristics. Check and Schutt (2012) also point out that the reason why
survey is one of the most popular research designs is because of the efficiency in which
many variables can be measured without the risk of increasing the time or the cost of the
research itself.
487
This study was conducted in the English Education Study Program at Faculty of
Teacher Training and Education of Pattimura University. The population of this
research is the students of English Education Study Program in Pattimura University.
Sample is a group of participant in a study which is selected by researcher from
population in that program (Creswell, 2012). Population is still a large group who has
characteristics that distinguish them from other group while the sample is a part of the
population that is being studied by the researcher (Creswell, 2012). The samples were
selected randomly from the population of English Education Study Program as much as
26 students in drama class of 2015. The sample is the students which had enrolled
drama course in their 6th semester.
The instrument used to collect the data were questionnaire and interview. The
questionnaire consists of the questions that related to the purpose of the research.
According to Creswell (2012), questionnaire is a form that the participant of the
research is required to complete and to return to the researcher. Type of question in the
questionnaire is open-ended question consisting of 25 items and was distributed to 26
students who enrolled fordrama class in academic year 2014/2015. The questionnaires
were directly collected after being completed. Afterward, the questionnaires were
analyzed using Sudjana’s formula (1989), as follows:
100%
Where:
F
N
100%
= Answer Frequency
= Amount of respondents
= Constant number
In addition, the researchers selected 8 students from the sample for the interview. Then,
the researchers used Descriptive Statistics to discuss further about the result. Creswell
(2012) suggested to use Descriptive Statistics to analyze the data. It allows researcher to
analyze the data descriptively based on the findings. As for final step, the researcher
wrote the report of the research’s result.
Findings
Drama is a teaching technique requiring students to perform certain genre of
stories under specific theme. It is always challenging and interesting to act out as
another person in drama and use English effectively considering the script should be
memorized. In English Department of Pattimura University, drama is a conditional
subject to students at sixth semester to enroll for. Following are the result of the
questionnaire and interview consist of the discussions underlying students’ opinions of
integrating drama to ELT activities.
Questionnaire Result
It is divided into three major points, namely Factors of Learning Drama, Drama
provides chance to speak English.
a. Factors of Learning Drama
Item 1 to 9 of the questionnaire asked the students whether drama is appealing
for them to learn English effectively. The table below describes students’ responses.
488
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Statement
Strongly
Disagree
1
Disagree
2
Neutral
3
Drama
course
motivated me to learn
(0%)
(0%)
(4%)
English
Drama
course
is
(4%)
(0%)
(0%)
interesting
I enjoy learning to
speak more English
(0%)
(0%)
(11%)
through drama
I am more confident in
speaking in English
(0%)
(0%)
(27%)
than before
Drama
course
provided
interesting
(0%)
(8%)
(11%)
topics to learn about
Drama
course
involved variety of
(0%)
(4%)
(27%)
activities to do
Drama course had
independent project to
(0%)
(7%)
(23%)
run
Drama course had
(4%)
(0%)
(0%)
students to work in
group
Drama course had
(11%)
(5%)
(19%)
students
to
be
collaborative
with
lecturer
Table 1. factors of learning drama
Agree
4
Strongly
Agree
5
(65%)
(31%)
(31%)
(65%)
(62%)
(27%)
(54%)
(19%)
(58%)
(23%)
(42%)
(27%)
(35%)
(35%)
(15%)
(81%)
(50%)
(15%)
It is clearly depicted that Drama highly motivated students to learn English as the
table, at item 1 shows 65% agreed and 31% strongly agreed. Drama encouraged them to
perform by using English. In addition, 65% of the participants showed that they strongly
agreed if drama course is interesting. They enjoyed drama course and English learning
as 62% denoted agree. Majority of participants (54%) feeling confident speak English in
drama and 58% of them revealed that drama has interesting topics to learn about
through variety of activities as 42% and 27% showed their positive responses. Most
students, as seen at item 7 to nine, positively responded that drama helped them to
interact and colaborate with each other during the course untill their performances.
These results implied that drama plays important role for students participate actively in
learning process and the lessons were appealing and not boring to them.
b. Drama : a Chance to Speak English
Item 10 to 17 attemps to find out students’ English improvement in Drama
Course. The following table discusses students’ responses.
489
10
11
12
13
14
15
16
17
Drama course enabled
students in oder to speak
(5%)
(11%)
(23%)
(46%)
English
easier
to
classmate than to lecturer
I like working with
(4%)
(4%)
(15%)
(58%)
classmates
I have more chance to
speak English in drama
(0%)
(0%)
(20%)
(42%)
course
By doing drama, I can
explore
my
English
(0%)
(0%)
(8%)
(46%)
speaking skill
By doing independent
project, I can express
imaginative ideas in
(0%)
(8%)
(19%)
(58%)
creating a drama during
the course
By doing drama, I can
perform my English in
(0%)
(0%)
(0%)
(31%)
front of audience
By doing drama with
classmates, I gain more
(5%)
(0%)
(11%)
(42%)
self-confidence to speak
English
I used English more in
drama course compared
(0%)
(11%)
(54%)
(27%)
to other English subjects
Table 2. drama provides chance to speak English
(15%)
(19%)
(38%)
(46%)
(15%)
(69%)
(42%)
(8%)
In the table above, 46% of participants agreed that they spoke English easier with
classmates, while 23% stand for neutral position considering classroom participation
and drama performance offered different amount of time to speak English. However,
most of them (58%) agreed and (19%) strongly agreed to build up cooperation with
classmates since they were assigned group project. It is obviously denoted that majority
of participants agreed, even strongly agreed that drama gave more chances to use
English, drama lets them explore their English speaking ability, drama allowed them to
express ideas and perform in front of audience. Most of them stated that, in drama, they
gained more confidence when acting out certain characters.
Despite the efficient chances to speak English in drama course, other subjects
also give opportunities for students to use English as shown (54%) go for neutral.
Speaking subjects, for example, students practice their oral communication in target
language, too. Therefore, drama cannot be said outweighting other courses in English
Department.
c. Drama: Be Productive and Critical
Item 18 to 25 find out students’ ability, progress to produce best result toward
their academic achievement of the course and how they evaluate their activities.
490
18
19
20
21
22
23
24
25
Drama course helped me
produce
something
(0%)
(4%)
(15%)
(35%)
interesting
Drama course helped me
to be creative in writing
(0%)
(7%)
(23%)
(35%)
the script
Drama course empowered
(4%)
(4%)
(11%)
(46%)
my creativity
I can improvise during
(0%)
(0%)
(8%)
(54%)
drama performance
My classmate helped me
when I couldn’t express
(0%)
(4%)
(15%)
(42%)
my self
My classmate helped me
when I couldn’t express
(0%)
(4%)
(15%)
(50%)
my self
Through cooperating with
others, I can plan,
(4%)
(0%)
(11%)
(50%)
organize and present
drama better
Drama provided chance to
evaluate
other
(5%)
(4%)
(11%)
(42%)
performances
Table 3. Students’ productivity and critical thinking
(46%)
(35%)
(35%)
(38%)
(38%)
(31%)
(35%)
(38%)
The table above, it can be clearly seen that the participants were productive during
drama course as 35% and 46% show their positive response toward item no 18.
Reffering to that, majority of participants said that they were creative in drama, from
writing the script untill the performance (filming and live performance). More students
responded positively that group work helped them to express themselves, to plan,
organize, and present drama. 42% and 38% of participants stated that they could
evaluate others’ group performance through critiques, feedback and suggestion for
better result they got at the end of drama course.
Interview Result
In line with the analysis of questionnaires, the researchers interviewed 8 from 26
students to clarify their responses in questionnaire. Following is the analysis of the
interview with the selected respondents. The interview with eight (8) respondents
selected from the whole sample indicates valuable consideration and essential feedback
to drama course as an element of literature integrated into language teaching class.
Respondents revealed their impression enrolling and joining drama course at English
Education Study Program which is a changing point of their attitude towards the course.
“I am a type of person who does not like to work in group and is hardly able to speak in
front of many people. Drama course, however, encouraged me to cast away my worries
and had me to stand out in class. So, that’s why I like drama especially English drama”
Respondent H
“Drama course, for me, ... an exciting course where I myself can explore my ability in
speaking English and acting out as other people. It is challenging yet interesting! I gained
491
knowledge about western English culture and I am more confident when performance
(gigling) compared to other subjects!” Respondent E
“Drama course...I learned the stories in Europe and in America (the U.S). Very
Interesting! However, the lecturer should pay attention to all students equally! And group
project was so much fun, we created our own drama script” Respondent G
Those aforementioned statements implied that students were encouraged through
the activities and the teaching materials because they put huge interest in mastering
those topics given. As respondent A also added that;
“...We learned the theory of drama, it starts from definitions, sample stories or piece of
drama of the U.S and Europe by classroom discussion, and... the most exciting is that we
learned also the genres of drama such as tragedy, comedy and tragic-comedy! I was
involved in one of them! It’s fun!...”
Additionally,all respondents pointed out some critical comments to drama
activities in terms of enhancing their language skills, creativity, critical thinking and
building up their self-esteem, confindence and also raising their awareness of the
learning content.
“British, American... also cultures and literature of other western countries are
very interesting and appealing but why don’t we use our own culture and stories
for live performance?... I think it’s gonna be ‘awesome’ then..!”Respondent B
“We were so confident in our performance, our English becomes better and
more fluent... but I think we, as students, should be more creative in writing
script and maybe back to local content as our stories to be played... I wonder
what if we played or acted out English drama based on our culture such as Batu
Badaon or something else, it would be good” Respondent C
“I got to play a comedy drama... well, it sounds fun but actually not, the lecturer
once said that it is not easy to make audience laugh. It’s true!The topic, I think,
should be familiar with us in Ambon eventhough it is in English but the audience
understand...that’s helpful” Respondent D
Based on the analysis of questionnaire and interview, drama has become a good
teaching technique that majority of students believed that it can empower students’
creativity and self-confidence. Being not afraid to perform an act, students will surely
beable to improve their English speaking skill. They become more fluent and more often
to use English effectively. Apart from that, students concern about the topic they used to
perform. Students said that audience are judges who watch and will understand their
plays, so having unfamiliar topic would create varied bias to them.
“Performing English drama from the U.S and Europe, indeed, broaden our knowledge of
culture, social issues at certain era and so on... but to make it clear and understandable
for audience, I honestly prefer our folklore to be played in drama class. It is good to know
our culture heritage..” Respondent F
Therefore, they proposed practical suggestion for English teachers that is to
negotiate local content (folklores) to their English drama performance to enable
audience as well as “actors and actress” to easily deliver the meanings or moral values
through drama performance.
Conclusion
Based on the findings, students perceived that drama use in English language
teaching is worthwhile because there are some factors that encourage them to learn
drama and practice English skill, speaking in particular. In addition, the topics given
were appealing to students and projects are challenging yet interesting. Moreover, this
course allowed students to use target language, in this case, English efficiently. They
492
also revealed that gaining more confidence what they progressed through drama course.
Surprisingly, live performance; a requirement of fulfilling this subject, they could come
up with creativity and productivity that lead them to have outstanding achievement at
the end of drama course. They were allowed to complete each other through evaluating
one group and another. However, drama course for English language teaching should
concern students’ needs to negotiate their local culture. Inspite of interesting topics were
taught, mostly students were not close, even familiar with. So, they should do in-depth
search in order to understand what are the materials about. It is then suggested to adding
Amboneses culture into drama performance, hence English is used but students will be
creatively develop the stories (themes) and acts. To English teachers, drama brings fun
and enjoyable atmosphere into classroom so students can interact to one another and to
teacher, too. To sum up, providing simple themes for students drama performance in
English Teaching is neccesary for encouraging their creativity, motivation and
confidence.
References
Check, J., & Schutt, R. K. (2012). Research Methods in Education. Boston: SAGE
Publications, Inc.
Chukueggu, C. O. (2012). The Use of Drama and Dramatic Activities in English
Language Teaching. The Crab: Journal of Theatre and Media Arts, 151-159.
Creswell, J. W. (2012). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating
Quantitative and Qualitative Research. Boston: Pearson Education, Inc.
Davies, P. (1990). The Use of Drama in English Language Teaching. TESL Canada
Journal. Vol 8, No 1, 87-99.
Guyette, S. (1983). Community Base Research - A Handbook For Native Americans.
Los Angeles: University of California.
Hu, Y. (2011). Using Drama for ESL Teaching. University of Wisconsin-Platteville , 122.
Larson-Freeman, D. (2000). Techniques and Principle in Language Teaching (2nd Ed.).
Oxford: Oxford University Press.
Malmir, A., & Sarem, S. N. (2012). Using Drama in Teaching English as a Foreign
Language within the Framework of Communicative Language Teaching.
Islamic Azad University, 1-16.
Ohno, A. (n.d.). Communicative Competence and Communicative Language Teaching.
25-31.
Richards, J. C. (2006). Communicative Language Teaching Today. New York:
Cambridge University Press.
Yun, H. C. (2007). Students’ and Teachers’ perceptions of using drama in the language
classroom: Implications for Teachers. Hong Kong: University of Hong
Kong.
493
TEMA-TEMA GELAP
DALAM LIMA KARYA SASTRA ANAK BERBAHASA INGGRIS
SEBAGAI BENTUK PEMBERDAYAAN ANAK
Widyastuti Purbani
(FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia)
Abstract: This paper aims at revealing kinds of dark themes presented in five children’s
English novels written by American, British and Canadian writers, the ways the child
characters strive and struggle in facing poverty, separation, loneliness, abuse in their
lives and how, inspite of the dark sides of life and experiences, these texts maintain to
develop pleasure as promised by Perry Nodelman.
This paper is written based on a qualitative study on five texs entitledThe Graveyard
Book by Neil Gailman (British), Deenie by Judy Blume (USA), Illustrated Mum by
Jaqueline Wilson (British), Willow and Twig by Jean Little (Canada), Speak by Laurine
Halse Anderson (USA).
It is revealed that the five novels under study do not silence dark themes. All the main
child characters in the novels experience bitterness such as neglect, denial, poverty,
abuse, rape, illness or even bitter than that one of the characters must look after the
mentally ill mother. They are portrayed struggling and striving hard to get out from the
darkness, entirely by themselves, without the significant help of adults. Gradually they
can conquer the problems and find out by themselves the lessons. Pleasure of the texts is
developed when the child characters gradually see that their efforts and struggles meet
hope and solutions, therefore pride and reliefs. Making the chid characters face
problems and struggle for solutions is empowering children in the texts and as readers.
Key words: children’s literature, dark themes, pleasure
Pendahuluan
Sastra anak sering dinyatakan sebagai sastra yang menghibur, menyenangkan
dan menggembirakan hati anak-anak. Hal itu pula yang disebut oleh Perry Nodelman
(1995) dalam bukunya The Pleasure in Children’s Literature. Maurice Saxby (1989)
pun menyatakan bahwa joy atau kesenangan merupakan faktor penting dalam sastra
anak. Huruf J pada kata Joy oleh Saxby bahkan ditulis dengan huruf kapital untuk
menegaskan pentingnyakegembiraan ini. Namun demikian, benarkah kata pleasure dan
joy bermakna senang dan gembira, setara dengan rasa yang timbul ketika anak-anak
mendapatkan permen, mainan baru atau es krim yang mereka sukai? Jika ya, alangkah
dangkalnya makna karya sastra.Padahal karya sastra diibaratkan sebagai sayap yang
dapat membawa anak-anak terbang jauh di angkasa raya, oase pembelajaran arti
kehidupan.Sastra anak adalah medium efektif untuk mengajarkan nilai-nilai
kehidupan.Seiber dan Drolet (1993) menyatakan bahwa sastra anak menyediakan
kesempatan yang sangat baik untuk pembelajaran dan pemberdayaan. Seperti kita
ketahui kehidupan tidak mungkin hanya dimaknai sebagai kegembiraan, keberhasilan,
494
kenikmatan, keceriaan; ia tidak bisa lepas dari hal yang sebaliknya yakni kesedihan,
kesakitan, perpisahan, dan bahkan kematian.
Lalu bagaimana arti kesenangan, kegembiraan atau Joy yang dimaksud oleh
Nodelman maupun Saxby?Kesenangan dalam pengertian Nodelman dan Saxby
bermakna jauh lebih dalam daripada rasa yang muncul ketika kita mendapatkan
makanan, mainan atau baju yang kita sukai. Bagaimana pun karya sastra, termasuk
sastra anak adalah cerita perjalanan atau journey, maka kesenangan dalam sastra anak
dapat dipahami sebagai rasa senang atau bahagia yang muncul sebagai akibat dari
penemuan, kemengertian, keberhasilan yang dirasakan setelah anak-anak mengalami
perjalanan panjang, setelah mengalami betapa getirnya perjuangan, kesakitan, duka,
bahkan kematian.
Banyak orang tua maupun guru yang masih berpendapat bahwa karena usia
mereka yang muda, anak-anak harus dijauhkan dari hal-hal yang menyedihkan seperti
perceraian, kesakitan dan kematian. Itulah sebabnya sastra anak yang dianggap baik
menurut pandangan ini adalah sastra anak yang menggambarkan keceriaan, kebahagiaan
dan kegembiraan anak-anak.Dalam pandangan ini tema-tema gelap seperti kesakitan,
kepedihan dan kematian adalah tabu dan tidak layak disampaikan dalam cerita anakanak.
Tapi jika tujuan sastra anak benar-benar ingin membuat anak-anak memahami
arti kehidupan, tentunya kaum pendidik yang benar-benar ingin melihat anak-anak
berkembang, akan lebih memilih untuk bersikap jujur pada anak-anak. Mereka tidak
akan menutup-nutupi apa yang terjadi dalam kehidupan, dan kehidupan yang dimaksud
di sini adalah kehidupan yang tidak lepas dari sisi gelap. Jean Karl (1971) menyatakan
bahwa jika dalam sastra anak, segalanya terlalu mudah, itu adalah nonsense atau tidak
masuk akal.Apalagi dunia sudah berubah begitu drastis.Anak-anak sekarang memiliki
minat baca yang jauh lebih bervariasi.Anak-anak sekarang juga memiliki kebutuhan
yang semakin kompleks, sesuai dengan kompleksitas kehidupan yang mereka hadapi
sehari-hari. Pada jaman yang disebut Ulrich Beck sebagai jaman penuh resiko ini, anakanak memang harus disiapkan untuk menghadapi resiko dan ketidaktentuan yang
mungkin terjadi. Menurut Karl sastra anak yang baik bukanlah buku yang sarat dengan
eufimisme, atau bersifat sentimental ‘not sissy stuff, not spineless nothing’ (1971:2)
melainkan yang mampu menjawab tantangan variasi dan kompleksitas anak-anak
seperti tersebut di atas.
Sastra anak hendaknya bersifat jujur terhadap kehidupan. Kekhawatiran yang
sering dirasakan oleh pendidik bahwa anak-anak akan mengalami trauma tidaklah
beralasan, karena anak-anak bukanlah makhluk yang inosen. Luken (1999) menegaskan
bahwa anak-anak dan orang dewasa tidak berbeda dalam jenis dan kebutuhan, tetapi
dalam derajat. Jika orang dewasa perlu tahu sisi pedih kehidupan, demikian pula anakanak.Pengetahuan ini penting dalam rangka menyiapkan diri memasuki kehidupan nyata
kemudian hari.
Tema-tema gelap seperti kematian tidak perlu ditutup-tutupi dari anak-anak
karena karena jika kita menutupinya dari mereka maka anak-anak akan berpikir bahwa
kepedihan, perpisahan atau kematian adalah persoalan yang sungguh sangat berat.
Garanzini dalam Seibert dan Drolet (1993) menyatakan bahwa “Attempts to shield
children from the reality of death reinforces in them the perception that death is either
not real, too frightening to examine or worst of all, that the ending of life is not worth
noting with respect and reverence. These unintended lessons are unhealthy….” Ia
khawatir bahwa jika cerita kematian ditutupi dari anak-anak akibatnya justeru akan
membuat anak-anak terlampau takut, dan karena terlampau takutnya, mereka tidak akan
495
menghargai kehidupan. Dengan memberi gambaran yang lebih realistis tentang
kematian atau kepedihan melalui cerita, anak-anak dipersiapkan untuk mampu
menerima kenyataan hidup secara lebih alamiah.
Novel-novel berjudul The Graveyard Book karya Neil Gailman (Inggris),
Deenie karya Judy Blume (USA), Illustrated Mum karya Jaqueline Wilson, Willow and
Twig karya Jean Little (Kanada), Speak karya Laurine Halse Anderson (USA)
merupakan sastra anak yang ditulis dalam bahasa Inggris, kelimanya sudah
diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia.Karena dianggap sebagai karya yang
baik bagi anak-anak dan remaja, sebagian besar karya ini sudah diangkat ke dalam
bentuk film.
Artikel ini hendak memaparkan tema gelap apa saja yang terkandung dalam 5
karya sastra anak berbahasa Inggris, Bagaimana tema-tema gelap tersebut
dipresentasikan dalam 5 karya sastra anak berbahasa Inggris dan bagaimana 5 sastra
anak tersebut tetap membangun kesenangan (pleasure) sekalipun memuat tema-tema
gelap.
Artikel ini ditulis menggunakan beberapa perspektif teoretis di bawah ini:
Anak-anak Bukanlah Miniatur orang Dewasa
Pandangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandangan bahwa anakanak bukanlah makhluk yang inferior. Beberapa pakar telah menyatakan hal ini di
antaranya adalah Lukens (1999: 9) yang secara tegas menyatakan bahwa Children are
not little adults.They are different from adults in experience , but not in species, in
degree but not in kind.Anggapan bahwa anak-anak jauh berbeda dengan orang dewasa
adalah anggapan yang keliru, karena pada dasarnya yang membedakan anak-anak dari
orang dewasa hanyalah jumlah dan derajat pengalaman mereka. Tentu saja orang
dewasa, karena telah lebih lama hidup memiliki jumlah dan kadar pengalaman yang
berbeda dengan anak-anak muda, tetapi anak-anak dan orang dewasa masuk kategori
species yang sama, dan dengan demikian jenis yang sama pula. Akibat dari kesamaan
ini, watak dan kebutuhan anak-anak dengan orang dewasa pun tidak berbeda.
Hal yang kurang lebih sama dinyatakan oleh Jean Karl (1971) sebagai berikut:
Anak-anak adalah manusia seperti halnya orang dewasa. Mereka tidak bisa dianggap
kecil dan sepele hanya karena mereka memiliki pengalaman yang sedikit.Itulah
sebabnya kebutuhan anak-anak dan orang dewasa tidak jauh berbeda dari jenis, walau
mungkin berbeda dalam hal derajat atau level.Karena anak-anak bukanlah makhluk
kecil yang pantas dikasihani, maka sastra anak melihat anak-anak dengan respek dan
apresiasi seperti tatkala memandang kaum dewasa.
Sastra Anak dan Pengembangan Anak-anak
Sastra anak memiliki tujuan untuk mengembangkan anak, dan membuat mereka
memahami kehidupan dalam perjalanan mereka menuju alam kedewasaan.Sastra anak
menurut Karl (1971) memiliki tugas tidak sekadar memberi informasi yang bersifat
keras (hard information), melainkan juga soft information. Sastra anak tidak
dimaksudkan pula untuk mendikte atau memaksa anak-anak mengikuti kemamuan
orang dewasa, melainkan untuk menunjukkan bagaimana seluk beluk sesuatu, ‘to show
how things are, how they come to be and feel and grow in an atmosphere open to
examination’. Itulah sebabnya sastra anak harus menawarkan dimensi kehidupan dan
memberi anak-anak kesempatan untuk melakukan penemuan-penemuan.
496
Anak-anak Berbeda dari Waktu ke Waktu
Penelitian ini menggunakan cara pandang seperti yang dikemukakan Jean Karl
(1971) bahwa masa kecil (childhood) bukanlah masa yang inosen, bukan pula masa
yang mudah dan serba menyenangkan, melainkan masa yang penuh dengan teka-teki
yang sulit (difficult inquiry). Masa kecil adalah masa anak-anak melakukan penemuanpenemuan termasuk di antaranya adalah tidak terjawabnya pertanyaan sulit tersebut
(hard quest) dan tidak tercapainya keinginan-keinginan (unfulfilled inquiry).
JIka kita membicarakan anak dalam sastra anak, kita tidak mengacu pada satu
kelompok anak-anak semata, melainkan seluruh anak-anak dalam keberagaman mereka.
Dan anak-anak selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Anak-anak dalam
sastra anak bukan hanya anak-anak yang hidup dalam pikiran kaum dewasa, seperti
ketika mereka kecil dahulu, tapi termasuk anak-anak generasi sekarang. Anak-anak
masa kini menurut Karl (1971) adalah anak-anak yang tidak mudah dikibuli. “Today’s
children are very wise about many things. They are not easily fooled. They are not
easily led. And they are ignorant of many things that children of an earlier generation
know well.”
Konsep Kematian dan Kepedihan bagi Anak-anak
Ivan Southall (1975) mengingatkan kita bahwa anak-anak hidup di dunia nyata.
Mereka tidak hidup di altar suci atau dalam gelas kaca. Mereka hidup bersama manusia
yang lain, mereka mengotori tangan mereka, mereka bergumul dengan perasaan kuat
dan perasaan lemah, dengan cinta dan mungkin kebencian. Dengan demikian sastra
anak juga perlu memuat tema-temayang relevan dengan kehidupan nyata.
Michael Morpugo (2012) menyatakan bahwa penulis sastra anak tidak boleh
takut untuk menulis tema-tema mengenai rasa sakit, penderitaan, kematian demikian
pula tema kebahagiaan dan kegembiraan.Bagaimanapun penulis sastra anak harus
memiliki keberanian dan kejujuran dalam menceritakan kehidupan pada anakanak.Dalam kehdupan sehari-hari anak-anak mengalami sisi gelap kehidupan seperti
rasa sakit, kepedihan, perpisahan dan kematian, sehingga mereka berhak mendapatkan
penjelasan mengenai hal-hal tersebut.Sejalan dengan Morpugo,Mia L. Mercurio (2006)
menyatakan bahwa dalam sastra anak modern, penulis tidak perlu segan-segan untuk
menagnai tema-tema yang lebih berat dari sebelumnya. Sastra anak masa kini
membicarakan isu-isu yang pada masa lampau dianggap tough atau sulit seperti
penuaan, kesakitan, kematian dan penderitaan. Sastra anak membantu anak-anak untuk
lebih memahami konsep kematian, dan dalam menghadapi kesedihan terutama pada
kesempatan pertama. Selain yang sudah disebutkan tadi, tema perceraian atau
perpisahan juga merupakan tema yang kian penting diperkenalkan lewat sastra anak
(Bates: 2007). Sebagian anak-anak di dunia mengalami rasa sedih akibat perceraian dan
ditinggal oleh orang-orang yang mereka cintai.
Sastra anak memiliki kemampuan untuk menjelaskan hal yang sulit tersebut
secara lebih halus. Hal ini disampaikan oleh Bernstein dalam Seibert dan Drolet (1993)
sebagai berikut, “children’s literature commonly is used in preschool to address
concepts which are not possible to experience directly, or not desireable to express
directly. One area where direct experience is not always possible is death education.
This, children’s literature is recommended as an appropriate tool for addressing
concepts of death education.” Tapi ketidakpedulian mereka terjadi bukan semata karena
kesalahan mereka. Mereka adalah produk dari waktu mereka. Oleh sebab itu, buku bagi
anak-anak harus menyapa mereka dan hal-hal yang mereka ketahui serta hal-hal yang
tidak mereka ketahui.
497
Hasil Pemeriksaan
Bentuk-bentuk Kepedihan yang Dialami Anak-anak
Setelah melakukan pencermatan dan pemeriksaan terhadap kelima karya tersebut
di atas, terungkap bahwa ditemukan bahwa tokoh-tokoh anak dalam karya-karya yang
diperiksa mengalami keterasingan, ketercampakan dan kesendirian. Mereka ditinggal
oleh orang tua atau orang-orang yang mereka cintai, atau berada dalam
ketidakharmonisan dengan keluarga mereka.
The thought that Gram might have only said those things to keep Angel from taking her
away cheered Willow up for a few seconds. Yet, if that were the truth, why had her
grandmother never tried to make contact with them? Because of her grandmother’s
parting words, Twig and Willow had ended up being treated like a couple of parcels
dumped in a locker at the bus station and forgotten. She had turned them into nobody’s
children (Wand T p. 10)
Dalam teks di atas tokoh Twig dan Willow digambarkan mendapat perlakuakn yang
menyakitkan dengan dicampakkan dan diperlakukan seperti benda yang tidak berharga.
Mereka dilupakan dan tidak dianggap ada di dunia ini.
“…I exhale and my mouth disappears in a fog. I feel like my skin has been
burned off. I stumble from thornbush to thornbush—my mother and father who hate each
other, Rachel who hates me, a school that gags on me like I'm a hairball.” (Speak p.
125)“…I have no friends. I have nothing. I say nothing. I am nothing. I wonder how long
it takes to ride a bus to Arizona.” (Speak p. 116)
Dalam Speak, tokoh anak dalam teks tersebut mengalami ketercampakan dan
oleh karenaya kesendirian, dan kesepian. Ia mengalami kekosongan karena tidak ada
seorang pun yang menghargainya, atau mempedulikannya.
Beberapa tokoh mengalami keterbatasan materi (kemiskinan), terlunta di jalan atau
kuburan. So Star went out and I stayed in with Marigold and ate raw cake and unrisen
cake and burnt cake until I felt sick. (IM p. 41). Hidup dalam kemiskinan dan tekanan
batin karena orang tua yang sakit jiwa, Star salah satu tokoh anak dalam Illustrated
Mum ini terpaksa makan hanya apa yang ada, sekadar untuk membuatnya bertahan
hidup termasuk roti bantat atau gosong yang telah dibuang di tempat sampah, hingga
membuatnya sakit.
Beberapa tokoh mengalami keterbatasan kemampuan (cacat tubuh, penyakit
yang kronis atau gangguan jiwa). “Well now Dr. Moravia was right. Deniee has
adolescent idiophatic scoliosis.”“If the curve isn’t corrected it will result in a spinal
deformity,” Dr. Griffith said. (Deenie p 3-5). Dalam teks ini Deenie, si tokoh utama
mengalami cacat tubuh yang tidak bias dibetulkan sehingga sangat mempengaruhi
hidupnya. Cacat ini juga membuyarkan cita-cita serta harapan orang tuanya untuk
menjadi model.
Beberapa anak mengalami kekerasan baik fisik seperti perkosaan, pemukulan
maupun non fisik seperti tekanan mental, dan sebagai akibatnya mereka mengalami
depresi.
My mother wants me to be a model with my face on all the magazine covers. Ma says i’ll
make a lot of money and maybe get discovered for the movies too. A teenage model has to
make it by the time she’s seventeen if she’s ever going to make it big. So the next four
years wil be very important to me. The thing that really scares me is i’m not sure i want to
be a model. (Deenie p. 1)
Deenie dalam teks di atas mengalami tekanan batin karena ada semacam pemaksaan
dari orang tuanya untuk menjad model, hal yang ia sendiri merasa kurang yakin, dan
498
kurang percaya diri. Pemaksaan menghantuinya sehingga membuatnya depresi dan
takut.
I argued with her and she got really angry and started yelling, screaming like she’d never
stop, her eyes little green slits, her mouth a great red cavern, spittle running down her
chin.( IM p 106)
Selain kekerasan yang bersifat mental, anak-anak dalam teks itu juga mengalami
kekerasan fisik baik langsung maupun tidak alngsung. Sekalipun tidak berupa
pemukulan atau hal-hal yang melukai tubuh mereka, tokoh anak dalam teks Illustrated
Mumdi atas mengalami ketakutan akibat kekerasan akibat kemarahan, teriakan dan
jeritan yang dahsyat dan bertubi-tubi dari ibunya sendiri yang menderita gangguan
kejiwaan. Kekerasan yang dilakukan oleh orang yang semestinya melimahkan kasih
sayang padanya semacam ini bisalebih traumatik daripada kekerasan fisik secara
langsung berupa pemukulan.
Cara Anak-anak Tersebut Menghadapi Kegelapan
Anak-anak tersebut merasa takut, cemas, kecewa namun kemudian mereka
berusaha dan berjuang keras keluar dari kegelapan/kepahitan yang dialami. Pada
umumnya mereka sendirian atau bersama anak-anak lain dalam menghadapi masalah.
Campur tangan orang tua atau orang dewasa tidak banyak, sehingga mereka
mengupayakan sendiri jalan keluar dari kegelapan.
But i found out i couldn’t do it myself because i couldn’t bend over to see what i was
trying to do. Maybe if i’d been really experienced in wearing that stuff it would have been
easier but this was only my secnd time. i dropped the pad by mistake and then had to
figure out how to get it off the floor. Finally i did a knee bend, like Mrs. Rapoport taught
us in modern dance and i picked up the pad and started all over again. (Deenie p. 19)
Tokoh Deenie dalam teks di atas berjuang hampir sendirian untuk keluar dari
kesulitan yang ia hadapi. Ia menyadari bahwa hal itu tidak mudah, tapi ia
mengupayakannya sekuat tenaga karena ia ia tahu hanya dengan cara itu ia dapat
terbebas dari kesengsaraan. Ia juga tahu bahwa ia tidak dapat serta merta keluar dari
kesulitan tersebut. Iatidak boleh menyerah. Ia harus bangun dan memulai berusaha lagi.
Bod said, “I want to see life. I want to hold it in my hands. I want to leave a footprint on
the sand of a desert island. I want to play football with people. I want,” he said, and then
he paused and he thought. “I want everything.” (TGB p. 286)
Dalam teks di atas, tokoh anak yang digambarkan menghadapi kesulitan dan
kepedihan hidup memiliki semangat juang yang tinggi untuk bangun dari keterpurukan,
kaena ia ingin memiliki dan menikmati hidup yang lebih baik dan lebih menyenangkan.
Ia digambarkan memiliki optimisme yang luar biasa, yang menjadi modalnya untuk
mengalahkan kesulitan dalam hidupnya.
I ran to get clothes for her but it was going to be too much of a struggle to get her arms
and legs in and out of things so I ended up manoeuvring her trembly arms into her
dressing gown and trying it tight round her painted body. (IM: 162)
Dalam penggalan di atas terlihat tokoh utama berupaya keras untuk membantu
mengurus ibunya yang sakit. Tubuhnya yang kecil secara gesit dan tangkas,
mengupayakan sekuat tenaga ‘manouvering her trembly arms’ agar ibunya yang sakit
merasa lebih nyaman. Dan ia mengerjakan hal seperti ini hampir setiap hari, terlepas
dari umpatan-umpatan yang diterimanya, semata untuk keluar dari lingkaran kegetiran
dalam hidup keluarganya. Keadaan ibunya menuntutnya untuk bertanggung jawab
mengurus dan merawat ibunya agar rasa sakitnya berkurang.
Bagaimana Kesenangan Dibangun?
499
Kesenangan dibangun dengan menghadapkan anak-anak (tokoh) dalam kesulitan
serta kepahitan hidup yang serius. Pada umunya penulis tidak lekas-lekas melepaskan
mereka dari kesulitan/kepahitan itu seperti apa yang biasanya terjadi dalam dongeng
peri, melainkan mempertahankan (lingering) para tokoh tersebut berda dalam kesulitan
dalam waktu yang cukup lama, hingga terjadi pembelajaran yang cukup intens. Namun
kemudian secara perlahan para tokoh tersebut digambarkan berupaya, jatuh bangun,
berjuang hingga kemudian mereka lepas dari kesulitan/kepahitan tersebut atas upaya
mereka sendiri. Para tokoh digambarkan mengupayakan jalan keluar sedikit atau tanpa
bantuan orang dewasa. Orang dewasa dalam karya-karya tersebut di atas Kesenangan
terbangun karena ada rasa puas dan bangga akan upaya yang ditunjukkan oleh anakanak tersebut.
There was a smile dancing on his lips, although it was a wary smile, for the world is a
bigger place than a little graveyard on a hill; and there would be dangers in it and
mysteries, new friends to make, old friends to rediscover, mistakes to be made and many
paths to be walked before he would, finally, return to the graveyard or ride with the Lady
on the broad back of her great grey stallion. But between now and then, there was Life;
and Bod walked into it with his eyes and his heart wide open. (TGB: 289)
Penggal teks di atas adalah salah satu contoh bagaimana anak-anak dalam teks
yang diteliti mengalami kebahagiaan karena menyaksikan dan merasakan upaya yang
telah mereka lakukan membuahkan hasil. Senyum yang mengembang dan menari di
bibirnya, sekalipun ia sadar mungkin hanya bersifat sementara, menunjukkan kelegaan
dan kebahagiaan tersebut. Hatinya pun ikut mengembang untuk menghadapi kehidupan
yang lebih baik. Namun di sisi lain, ada kesadaran yang lebih matang akan adanya sisi
lain dalam kehidupan, misteri dan bahaya yang tidak akan mungkin terhindari dalam
kehidupan ini. Inilah nilai yang sangat penting dalam kehidupan yang telah berhasil ia
temukan sendiri, tanpa banyak bantuan atau petunjuk dari orang dewasa, yang secara
implisit juga menunjukkan terjadinya perkembangan anak-anak menuju kematangan.
Dolphin dalam Illustrated Mum menikmati kebahagiaan setelah upaya kerasnya
merawat ibunya Marigold yang sakit jiwa menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Dia
berubah dari seorang gadis yang pada mulanya marah dan tidak dapat menerima
kenyataan bahwa ibu yang diharapkan bisa merawatnya dan saudaranya justeru
membutuhkan perawatan istimewa dari anak-anaknya menjadi pribadi yang dapat
memahami kebutuhan ibunya. Ada senyum bangga yang mengembang ketika kedua
gadis kecil tersebut melihat ibunya mengalami kemajuan dalam kesehatan mentalnya,
dan bahkan mampu mengucapkan permintaan maaf karena telah merepotkan mereka.
Simpulan
Kelima karya yang diteliti tidak merasa tabu dan kemudian mensunyikan
(silencing) tema-tema gelap. Semua tokoh utama dalam karya-karya tersebut mengalami
kepahitan hidup yang sangat serius yang barangkali dianggap terlalu pahit bagi anakanak. Mereka dibiarkan menghadapi kesulitan/kepahitan tersebut sendirian tanpa
banyak pertolongan bahkan dari orang tua atau orang dewasa di dekatnya. Mereka
digambarkan melakukan upaya yang cukup keras untuk keluar dari persoalan hidup dan
kepedihan yang mereka hadapi, kemudian secara perlahan (tidak buru-buru) mereka
digambarkan menemukan sendiri cara untuk keluar dari kesulitan. Kesenangan tetap
terbangun dalam teks yang memuat tema-tema gelap tersebut melalui terbangunnya
kembali rasa kelegaan, percaya diri dan kebanggaan setelah keluar dari kegelapan.
Dengan cara tersebut anak-anak daam teks digambarkan memiliki daya upaya dan
500
kemandirian. Hal ini merupakan pemberdayaan anak yang penting dalam tahapan
perkembangan anak-anak, sekalipun “hanya”melalui karya sastra.
DaftarRujukan
Bates, Laura Raidonis. 2007. “Sweet Sorrow: the Universal Theme of Separation in
Folklore and Children’s Literature”. In The lion and the Unicorn by the John
Hopkins University Press 2007 28-64
Karl, Jean. 1971. From Childhood to Childhood. New York: The John Day Company
Lukens, Rebecca. 1999. A Critical Handbook of Children’s Literature. New York:
Longman
Nodelman, Perry. 1995. The Pleasures of Children’s Literature. New York: Longman
Mercurio, Mia Lyn dan McNamee, Abigail. 2006. “Healing Words, Healing Hearts:
Using Children’s Literature to Cope with the Loss of a Pet”. Journal of
Childhood Education, Spring 2006.
Morpogo, Michael. 2012. “On Dark Themes in Children’s Literature”. Dalam
http://alumni.kcl.ac.uk/michaelmorpugo.
Poling, Devereaux.2008. “Death Sentences: A Content Analysis of Children’s Death
Literature” in The Journal of Genetic Psychology 169 (2)
Saxby, Maurice. 1991. Give Them Wings: The Experience of Children’s Literature.
Melbourne: Macmillan Company
Seibert, Dinah dan Drolet, Judy. 1993. “Death Themes in Literature for Children Ages
3-8. Journal of School Health Vol 63 No 2
501
PULAU BURU DAN TAHANAN POLITIK DALAM MEMORI SASTRA
INDONESIA: MEMBACA AMBA KARYA LAKSMI PAMUNTJAK
DALAM PERSPEKTIF NEW HISTORICISM
Wiyatmi
(FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia)
Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan memahami lokus Pulau
Buru sebagai salah satu tempat tapol pada era orde Baru dan setelahnya yang
digambarkan kembali dalam karya sastra Indonesia, khususnya novel Amba karya
Laksmi Pamuntjak dengan menggunakan perspektif new historisism. Melalui kajian
tersebut diharapkan dapat dipahami keberadaan Pulau Buru, terutama dalam konteks
Orde Baru yang memiliki makna tersendiri bagi sejumlah orang, khususnya pihak
keluarga tahanan politik dan para pejuang HAM yang mendambakan keadilan. Sebagai
salah satu karya sastra yang menceritakan kembali kehidupan para tapol di Pulau Buru,
tampaknya Amba dapat dianggap sebagai salah satu karya sastra Indonesia yang
mencoba membuka kembali memori kolektif bangsa Indonesia terhadap misteri yang
ada di seputar peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan diasingkannya para tapol dari
Jawa ke Pulau Buru. Novel Amba dalam hal ini dipahami dalam kesejajarannya dengan
sejumlah literatur yang mengungkapkan peristiwa yang berkaitan dengan Gerakan 30
September 1965 dan kehidupan para tapol di Pulau Buru pada era Orde Baru.
Kata kunci: Pulau Buru, tapol, Amba, Partai Komunis Indonesia, memori kolektif.
Pendahuluan
Pulau Buru merupakan salah satu pulau yang secara georgafis terletak di
Kepulauan Maluku dengan luas wilayah 8.473,2 km2, panjang garis pantai 427,2 km.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 46 Tahun 1999, yang diperbarui dengan Undangundang Nomor 6 Tahun 2000,
Kabupaten
Buru dibentuk. Seiring dengan
perkembangan waktu, pada tahun 2012, Kabupaten Buru dibagi menjadi 10 Kecamatan,
yaitu Kec. Namlea, Kec. Airbuaya, Kec. Waeapo, Kec. Waplau, Kec. Batubual, Kec.
Lolong Guba, Kec. Waelata, Kec. Fena Leisela, Kec. Teluk Kaiely, dan Kec. Lilialy
(http://burukab.go.id/web3/). Meskipun terletak jauh di wilayah tenggara Pulau Jawa,
yang karena ibu kota negara tertetak di Pulau Jawa (Jakarta), Pulau Buru merupakan
salah pulau yang terkenal. Hal ini karena pada era Orde Baru, Pulau Buru dijadikan
sebagai pulau pengasingan bagi para tahanan politik, khususnya orang-orang yang
dianggap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia dan terlibat Gerakan 30 September
1965.
Beberapa tempat di Pulau Buru menjadi latar cerita dalam novel Amba karya
Laksmi Pamuntjak karena novel tersebut menggambarkan kehidupan para tahanan
politik era Orde Baru. Nama-nama tempat tersebut antara lain Namlea, Airbuaya, dan
Waeapo. Selain itu dalam Amba juga ditemukan sejumlah lokasi yang berkaitan dengan
kehidupan para tapol.
Novel Amba menceritakan pencarian tokoh Amba ke Pulau Buru untuk
menemukan jejak (keberadaan) kekasihnya, Bhisma sebagai tahanan politik setelah
peristiwa Gerakan 30 September 1965. Perjalanan tersebut ditemani oleh salah seorang
502
ekstapol (Zulkifar), sahabat Bhisma yang telah kembali ke Jakarta. Di Pulau Buru Amba
mengunjungi sejumlah tempat ekstapol menjalani pengasingan selama bertahun-tahun.
Selain itu, di pulau tersebut Amba bertemu dengan sahabat Bhisma yang bernama
Manalisa, yang darinyalah dia mendapatkan kisah Bhisma selama di Pulau Buru, selain
mendapatkan surat-surat untuknya yang tak pernah dikirimkan dan hanya disimpan
dalam tabung bambu. Kisah hidup Bisma akhirnya terkuat dalam surat-surat tersebut,
yang isinya pada hakikatnya merupakan catatan harian.
Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan memahami lokus Pulau Buru
sebagai salah satu tempat tapol pada era orde Baru dan setelahnya yang digambarkan
kembali dalam karya sastra Indonesia, khususnya novel Amba karya Laksmi Pamuntjak
dengan menggunakan perspektif newhistorism. Melalui kajian tersebut diharapkan dapat
dipahami keberadaan Pulau Buru, terutama dalam konteks Orde Baru yang memiliki
makna tersendiri bagi sejumlah orang, khususnya pihak keluarga tahanan politik dan
para pejuang HAM yang mendambakan keadilan.
New historicism sebagai Salah Satu Perspektif dalam Membaca Sastra
New historicism adalah salah satu pendekatan dalam ilmu sastra yang muncul
dalam dua dekade terakhir abad ke-20. New historicism pertama kali digunakan oleh
Stephen Greenblatt tahun 1982 untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian
Renaissance, yakni dengan menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkunginya (Budianta, 2006:2). Karya sastra,
dalam perspektif new historicism tidak dapat dilepaskan dari praksis-praksis sosial,
ekonomi dan politik karena ikut mengambil bagian di dalamnya (Budianta, 2006:3).
Dalam The Greenblatt Reader, yang merupakan antologi karya-karya Greenblatt dengan
editor dan pengantar dari Michael Payre (2005:3) dinyatakan bahwa new histotism
memiliki sejumlah karakteristik yaitu (1) new historicism berpikir bahwa kebudayaan
adalah sebuah sistem semiotik, sebagai sebuah jaringan tanda-tanda, (2) menentang
hegemoni disiplin tertentu, dan mencoba menemukan pemahaman secara interdisipliner
untuk menemukan pengetahuan baru, (3) mereka terus menenus menyadari bahwa
sejarah adalah apa yang terjadi di masa lalu (suatu rangkaian peristiwa), dan sejumlah
peristiwa (cerita); kebenaran sejarah muncul dari refleksi kritis terhadap banyaknya
kisah yang diceritakan, (4) sejarah, dengan demikian, awalnya adalah semacam sebuah
wacana, yang tidak menolak peristiwa-peristiwa yang terjadi secara nyata, (5) prosedur
khas new historicism adalah mulai dengan memprhatikan peristiwa atau anekdot, yang
memiliki efek untuk membangkitkan skeptisisme terhadap grand naransi sejarah atau
deskrpsi peristiwa-peristiwa penting pada masa tertentu, seperii Renaisanse, (6) new
historisism selalu menaruh curiga terhadap adanya kesatuan (unified), penggambaran
yang monolitik dari budaya atau periode sejarah, (7) karena tidak mungkin melampaui
momen sejarahnya sendiri, semua sejarah tergantung pada saat kehadirannya ketika
momen yang ada dibangun, (8) new historicism secara tidak langsung mengritik aliran
formalis, seperti new criticism, yang memperlakukan sastra sebagai ikon ahistoris,
dengan melakukan pengkajian ulang terhadap hubungan antara sastra dengan sejarah,
(9) karya sastra bukanlah objek tidak memiliki hubungan dengan penulis dan pembaca,
karya sastra harus dipahami sebagai objek yang berhubungan dengan konstrtuksi
tekstualnya, (10) sejarah bukan hanya sebagai latar belakang karya sastra, tetapi sejarah
dan sastra dalam pandangan new historicism merupakan hal yang saling berkaitan satu
dengan lainnya, tidak dapat secara tersepisah.
Dalam pelaksanaannya new historicism melakukan pembacaan paralel terhadap
teks sastra dan nonsastra yang berasal dari periode sejarah yang sama (Barry, 2010:201).
503
Dalam hal ini peristiwa sejarah yang tergambar dalam teks sastra harus dibaca sejarah
paralel dengan peristiwa sejarah yang dicatat dalam teks-teks sejarah. Kedua teks
tersebut diberikan porsi yang sama dan secara konstan saling menginformasikan dan
mempertanyakan satu sama lain (Barry, 2010:201).
Dalam praktik kajiannya, new historicism menempatkan teks sastra dalam
kerangka teks nonsastra. Dokumen-dokumen sejarah tidak disubordinasikan sebagai
konteks, melainkan dianalisis sebagai teks tersendiri dan disebut sebagai ko-teks, bukan
konteks. Teks dan ko-teks yang digunakan akan dilihat sebagai ekspresi momen sejarah
yang sama dan ditafsirkan sesuai itu (Barry, 2010:2002). Hal ini berbeda dengan kajian
sosiologi sastra yang cenderung menempatkan dokumen sejarah sebagai konteks yang
melatarbelakangi karya sastra.
Sesuai dengan cara kerja new historicism, maka data-data dalam penelitian ini
diinterpretasikan dengan langkah sebagai berikut. (1) Memahami femomena sejarah
dalam teks sastra dan teks sejarah. (2) Memfokuskan perhatian baik pada teks sastra dan
teks sejarah pada isu kekuasaan nagara dan cara melestarikannya, pada struktur patriarki
dan pemeliharaannya, dan pada proses kolonialisasi dengan “mind-set” yang
mengikutinya. (3) Menggunakan cara berfikir postrukturalisis, dengan memahami setiap
segi realitas tertuang dalam teks (dalam konsep Derrida) dan struktur sosial yang
ditentukan oleh “praktik diskursif” yang dominan (dalam konsep Foucault) (Barry,
2010:209).
Pulai Buru dan Tapol dalam Novel Amba dalam Perspektif New historisism
Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak, yang terbit pertama kali September 2012
merupakan salah satu novel Indonesia yang mengajak pembaca untuk mengenang
kembali salah satu kisah yang dialami oleh para tahanan politik pada era Orde Baru.
Saat ini novel tersebut telah diterjemahkan dalam Bahasa Jerman (The Question of Red)
. Dalam novel ini digambarkan kapan pertama kali mereka datang untuk menjalani
pengasingannya, bagaimana mereka menjalani hari-hari pertama dan selanjutnya,
sampai akhirnya mereka diperbolehkan kembali ke tengah-tengah keluarganya. Kisah
ini harus dipahami dalam hubungannya dengan salah satu peristiwa dalam perjalanan
sejarah Indonesia, peristiwa pasca Gerakan 30 September yang menyebabkan 12.000
orang dari Pulau Jawa harus terpisah dari keluarganya untuk menjalani hukuman di
Pulau Buru. Mereka terdiri dari tapol Partai Komunis golongan B, yaitu orang-orang
yang dianggap secara tidak langsung terlibat dalam Gerakan 30 September 1965, dan
dianggap sebagai kader (Alkatiri, 2006:7). Oleh karena itu, dalam sejarah politik
Indonesia Pulau Buru memiliki makna khusus karena berkaitan dengan pengasingan
para tapol. Pramudya Ananta Toer (1995:2) menceritakan bahwa gelombang pertama
tapol berangkat ke Pulau Buru pada 17 Agustus 1969. Sastrawan Pramudya termasuk
yag diberangkatkan ke Buru dalam gelombang pertama, yang berjumlah 500 orang. Di
samping dikenal sebagai tempat tapol, Pulau Buru juga dikenal sebagai Tefaat. Tefaat
adalah singkatan dari Tempat Pemanfaatan (Alkatiri, 2006:3)..
Sejumlah nama tempat di Pulau Buru menjadi latar peristiwa dalam novel ini,
antara lain Namle, Waeapo, Kepala Air, Air Buaya, Savanajaya, dan Tefaat. Latar
belakang dipilihnya Pulau Buru sebagai tempat tapol menurut sejarawan Alkatiri
(2006:6) adalah riga hal, yaitu (1) Pulau Buru teletak jauh dari suhu politik ibu kota
yang sangat peka, (2) untuk meringankan beban keuangan pemerintah demi suksesnya
program Pelita, (3) meneruskan pembangunan pemerintah sejak tahun 1945 yang
mengusahakan bendungan irigasi dan pertanian. Di Pulau Buru para tapol akan bisa
mencukupi kebutuhan hidup mereka sendiri, tanpa tergantung kepada anggaran
504
keuangan negara. Selain itu, menurut Hersri Setiawan (2004:508), salah satu eks tapol
yang pernah tinggal di Pulau Buru, pulau tersebut pada awalnya dirancang untuk
menjadi kuburan para komunis. Akan tetapi, karena para tapol tersebut ternyata
memiliki semangat hidup yang cukup tinggi, maka mereka mampu bertahan hidup
setelah mengolah hutan belantara yang ganas menjadi alam yang subur, dengan sawah,
ladang, dan perkebunan yang berhasil dengan baik.
Dalam Amba diceritakan bahwa Bhisma tergolong sebagai tapol golongan B
yang tidak berkaitan secara langsung dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965 di
Jakarta.Bahkan, dia ditangkap di Yogyakarta pada 19 Oktober 1965 setelah menghadiri
diskusi di Universitas Res Publika (Pamuntjak, 2012:289). Dalam novel ini, melalui
cerita Zulfikar kepada Samuel diungkapkan bahwa meskipun diasingkan di Pulau Buru,
Bhisma bukanlah anggota PKI, juga bukan anggota Lekra, tetapi dia dekat dengan
CGMI di Yogya, kenal dengan pelukir Lekra, jadi dokter poliklinik yang diurus oleh
Gerwani di Tanjung Priok, jadi dokter di rumah sakit kecil di kediri, lulusan Jerman
Timur, maka dia diciduk (Pamuntjak, 2012:329). Dalam novel tersebut diceritakan
beberapa hari sebelum terjadi penangkapan para mahasiswa dan aktivis dalam acara
diskusi di Universitas Res Publika, Bhisma dan Amba mengunjungi para seniman di
Sanggar Bumi Tarung, Yogyakarta yang sebagian besar anggotanya seniman Lekra
(Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia
(Zulkifli, dkk, ed., 2014:74). Sejumlah nama seniman Bumi Tarung yang disebut dala
Amba antara lain adalah Amrus, Djoko Pekik, dan Batara Lubis (Pamuntjak, 2012:236237; Zulkifli, 2014:72-75).
Selain menyebutkan sejumlah nama (eks) tapol yang pernah dipenjara di Pulau
Buru, sejumlah nama tapol tokoh dalam novel Amba (mungkin) fiktif, seperti Bhisma,
Zulfikar, dan Zakir. Dalam perspektif new historicism hadirnya tokoh-tokoh fiktif yang
merepresentasikan rakyat biasa yang memungkinkan pembaca untuk melihat kehidupan
para tapol di Pulau Buru dari perspektif yang berbeda dengan ketika hal tersebut
dipandang dari tokoh-tokoh Lekra terkenal seperti Pramudya Ananta Toer dan Hersri
Setiawan. Dengan adanya tokoh-tokoh fiktif seperti Bhisma yang diasingkan ke Buru
dengan alasan yang subjektif dalam hubungannya dengan tokoh Salwa, membuka
pandangan pembaca bahwa para narapidana atau tapol sering kali harus menjalani
hukuman karena “kejahatan” tersebut dijudge oleh kekuasaan, yaitu lembaga hukum
dan keadilan tidak terlepas dari tangan-tangan kekuasaan.
Dalam Amba Universitas Res Publika ada di Yogyakarta. Namun, dalam realitas
di Yogyakarta tidak pernah ada nama universitas tersebut. Berdasarkan penelusuran
pustaka, ditemukan informasi bahwa Universitas Res Publika ada di Jakarta dan menjadi
cikal bakal Universitas Trisakti. Dalam uraian mengenai sejarah singkat Universitas
Trisakti dijelaskan bahwa pada tahun 1965 Universitas Res Publika dihancurkan oleh
massa karena dianggap terlibat dalam pergerakan Partai Komunis Indonesia pada bulan
September 1965. Dari puing-puing universitas tersebut, selanjutnya didirikan universitas
baru yang oleh Presiden Soekarno dberi nama Universitas Trisakti, dan diresmikan
tanggal 29 November 1965 (www.trisakti.ac.id). Perbedaan tempat Universitas Res
Publika dalam kenyataan dengan yang ada dalam novel bisa disengaja, bisa juga tidak
disengaja. Namun, yang lebih esensial adalah keberadaan universitas tersebut di masa
lalu dalam hubungannya dengan aktivitas mahasiswa yang dianggap berkaitan dengan
Partai Komunis Indonesia dan menyebabkan ditangkapnya sejumlah orang, termasuk
tokoh Bhisma.
505
Kedatangan para tapol pertama kali di Pulau Buru diceritakan melalui kenangan
Samuel yang tinggal di Pulau Buru bersama keluarga pamannya, yang bekerja sebagai
Kepala Perwakilan Pertamina di Pulau Buru.
Ia lebih senang sendiri, merekam, dan mencatat di dalam hati: jarang ada tokoh dan
peristiwa yang luput dari perhatiannya. Begitu juga ketika pemerintah setempat
memberitahu mereka untuk pertama kalinya pada akhir 60-an, bahwa sejumlah orang
asing tak hanya puluhan bahkan ribuan, akan tiba dan menghuni pulau ini. Mereka bukan
sembarang orang asing, lanjut pemerintah setempat lagi, mereka dari jenis yang berbeda,
yang tak akan mendiami pesisir melainkan menerobos jauh di pedalaman, tak akan
mencuri sagu seperti maling-maling kecil melainkan menerabas hutan untuk menggarap
jalan aspal. Jumlah mereka akan mencapai 12.000, sementara kita hanya 7.000.... Orangorang itu adalah orang-orang buangan, orang-orang komunis. Kita campakkan. Mereka
berbahaya.
Petang itu saat Gelombang Pertama orang-orang buangan itu tiba di Pulau Buru, lelah,
terperangah, dan bisu dalam seragam warna khaki yang kumal, Samuel menonton dari
kejauhan...
(Pamuntjak, 2012:26-27)
Label yang diberikan oleh pemerintah bahwa para tapol itu adalah orang-orang
buangan, anggota komunis yang berbahaya, dan harus dicampakkan menunjukkan
adanya dominasi kekuasaan yang menggeneralisasi semua tapol. Padahal di antara
mereka boleh jadi ada orang-orang tak bersalah dan bukan anggota komunis seperti
Bhisma dan kawan-kawannya. Bahkan mereka ternyata dimanfaatkan oleh pemerintah
untuk membuka jalan, membuat sawah, menanam tumbuhan untuk dimakan dan
diperjualbelikan (Pamuntjak, 2012:59). Sumbangan tenaga dan keahlian Bhisma
terhadap para tapol dan penduduk setempat bahkan sangat besar. Sebagai dokter dia
telah bekerja mengobati dan menyembuhkan orang-orang sakit.
Bhisma diasingkan ke Pulau Buru sebagai bagian dari rombongan Gelombang
Ketiga, yang datang pada akhir tahun 1971 dengan KM Towuti. Oleh karena itu,
Manalisa (sahabat Bhisma) menyebutnya sebagai Laki-laki dari Gelombang Ketiga
(Pamuntjak, 2012:58). Bhisma bercerita kepada sahabatnya itu bahwa dia dan temantemannya dibuang ke Buru tanpa paham kesalahannya, sehingga mereka tiak mau
menyebut Buru sebagai Inrehab (tempat rehabilitasi), mereka lebih suka menyebut
tempatnya ditahan sebagai Tefaat (tempat pemanfaatkan). Kisah ini disampaikan oleh
Manalisa kepada Amba, karena dialah satu-satunya sahabat Bhisma yang mengetahui
seluruh kehidupan Bhisma di Pulau Buru. Bahkan Bhisma telah menitipkan dua puluh
dua tabung bambu yang menyimpan surat yang ditulisnya untuk Amba kepada
Manalisa. Seluruh tabung tersebut akhirnya diserahkan kepada Amba. Di dalamnya
dikisahkan kehidupan Bhisma setelah kehilangan Amba pada peristiwa penyerbuan di
Universitas Res Publika, sampai akhirnya menjalani hari-harinya dalam
pembuangannya di Pulau Buru.
Dalam salah saru surat Bhisma untuk Amba bertanggal 16 Desember 1973,
Bhisma mencoba menuliskan persepsi orang luar tentang Pulau Buru dan kenyataan
yang mereka hayati.
Amba,
Apa yang terlintas di benak orang ketika mendengar kata “Buru”? Aku rasanya
tahu. Penjaga bersenjata. Orang-orang buas. Mesin pembunuh dengan kepala kosong dan
hati batu.
Tapi tidak selalu begitu. Banyak kawan di sini percaya bahwa kami telah memasuki masa
yang lebih baik, meskipun beberapa wartawan yang berkunjung kemari meaganggap kami
tidak berpikiran seperti itu. Mereka berpikir kami tak sanggup, atau menolak untuk
melihat perubahan yang membawa kebaikan, meskipun sedikit. Mereka mentatat. Mereka
506
pikir kami terbebani oleh beban dari apa yang telah terjadi sebelumnya hingga kami tidak
dapat melihat “cahaya”, sekalipun cahaya itu memancar di harapan kami. Tapi aku tidak
berpikir begitu....
(Pamuntjak, 2012:415)
Dari surat tersebut tampak bahwa meskipun harus menjalani pengasingan tanpa
paham apa kesalahannya Bhisma termasuk orang yang tangguh dalam menjalani
kehidupannya. Bahkan dia menjalani kehidupannya sebagai seorang dokter dengan
memberikan pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan, baik sesama tapol,
penduduk asli Buru, maupun para transmigran. Bahkan ketika para tapol sudah
dipulangkan ke Jawa, dia tetap memilih tinggal di Pulau Buru sebagai seorang dokter,
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dia pernah pindah ke daerah
trasmigran, menawarkan jasanya ke desa-desa yang membutuhkan bantuan medis,
menyembuhkan siapa saja, seperti Yesus, siang dan malam, sehingga dikenal sebagai
seorang resi (Pamuntjak, 2012:32).
Dalam suratnya kepada Amba, Bhisma juga menceritakan bahwa di Pulau Buru
dia juga bergaul dengan sastrawan Pramudya Ananta Toer, bahkan Bhisma mengatakan
bangga sekali kalau bisa berbicara dengan Pram (Pamuntjak, 2012:417) Saat itu Pram
sedang menulis novel monumentalnya Bumi Manusia. Pertemuan Bhisma dengan
Pramudya mereprentasikan bahwa dirinya berada dalam satu lokasi dan pengasingan
yang sama dengan tokoh historis tersebut.
Dalam surat yang ditulis Bhisma untuk Amba bertahun 1977, tanpa tanggal,
pembaca mendapatkan jawaban setelah mencoba menginterpretasi dialog dan pertemuan
Bhisma dengan Salwa, tunangan Amba, tentang alasan Bhisma ditahan di Pulau Buru,
terutama dari bagian surat berikut.
-1977
Amba Kekasih,
Telah begitu banyak rasanya aku menulis padamu, berbagi apa yang ada di dalam hatiku.
Tapi tetap saja hatiku resah. Mungkin karena ada dua hal penting yang belum kauketahui,
dan inilah saatnya kutuliskan.
Suatu hari, ketika aku sedang meringkuk di selku di Salemba bersama mereka yang samasama tak tahu kesalahannya, Salwa menemuiku. Kelak aku tahu dari Kepala Sipir Penjara,
bahkan ia punya sejumlah kenalan yang cukup berkuasa di Kejaksaan Agung....
(Pamuntjak, 2012:456)
Interpretasi dari surat tersebut adalah Bhisma yang bukan merupakan anggota
PKI atau pun Sanggar Bumi Tarung, maupun Lekra (dan hanya berteman dengan orangorang tersebut) ikut dipenjara di Nusakambangan dan Pulau Buru bersama dengan
orang-orang PKI dan Lekra karena campur tangan Salwa yang mempunyai sejumlah
kenalan yang berkuasa di Kejaksaan Agung, lembaga yang menentukan dan
mengkasifikasikan apakah seorang tapol masuk Golongan A, B, dan seterusnya. Dari
sini pulalah, pembaca dapat menginterpretasi hubungan cinta antara Bhisma, Amba, dan
Salwa yang memiliki hubungan intertekstual dengan kisah dalam Mahabharata. Takdir
yang mengikat ketiga tokoh tersebutlah menyebabkan cinta di antara mereka berakhir
menjadi tragedi.
Di akhir cerita novel ini pembaca juga diajak untuk memahami bahwa meskipun
Salwa gagal mendapatkan Amba, dan Amba terpisah dari Bhisma yang diasingkan di
Pulau Buru, sepanjang hidupnya Salwa diduga tetap mengikuti keberadaan dan
kehidupan Amba dan Bhisma, melalui kenalannya di Kejaksaan Agung. Oleh karena itu,
Amba kemudian menduga pengirim email tak dikenal yang memberitahu berita
kematian Bhisma kepada Amba adalah Salwa, yang kemudian mendorong Amba
mencari jejak Bhisma ke Pulau Buru (Pamuntjak, 2012:480).
507
Dalam perspektif new historicism juga juga dapat dipertanyakan tentang
keterlibatan Partai Komunis Indonesia dalam Gerakan 30 September 1965. Siapa
sebenarnya yang terlibat dalam gerakan tersebut? Menurut Luhulima (2007:1), yang
mencoba melihat peristiwa G30S dari perspektif yang berbeda dengan versi resmi
pemerintah Orde Baru, ada tujuh versi tentang siapa dalang di balik peristiwa G30S
tersebut, yaitu (1) Partai Komunis Indonesia (PKI), (2) sebuah klik di dalam Angkatan
Darat sendiri, (3) Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat (CIA/Pemerintah Amerika
Serikat), (4) Rencana Inggris yang bertemu dengan rencana CIA, (5) Presiden Sorkarno,
(6) Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal
Soeharto, (7) tidak ada dalang tunggal karena semua pihak yang terkait dalam peristiwa
itu hanya beraksi sesuai dengan prekembangan yang terjadi dari waktu ke waktu.
Gambaran mengenai apa sebenarnya yang terjadi menjelang peristiwa G30S dan
bagaimana posisi PKI, Cakrabirawa, dan AURI dalam persitiwa tersebut mulai terbuka
setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan kekuasaan Soeharto. Karena Angkatan
Udara Republik Indonesia (AURI), bahkan pangkalan udara Halim Perdana Kusuma
dianggap sebagai markas G30S), maka pada tanggal 13 Oktober 1998 sejumlah
purnawirawan AURI di bawah pimpinan Laksda Udara (Purn) Sri Mulyono Herlambang
mengadakan jumpa pers guna mengungkapkan niat mereka untuk meluruskan sejarah
(Luhulima, 2007:33), yang disusul dengan penerbitan buku Menyingkap Kabut Halim
1965 (Katoppo, dkk., 1999). Pada intinya buku tersebut berisi penjelasan bahwa AURI
secara institusi tidak terlibat dalam Gerakan G30S, meskipun tidak mengingkari adanya
anggota AURI yang terlibat (Luhulima, 2007:35). Dari buku Menyingkap Kabut Halim
1965 itu diketahui bahwa Desa Lubang Buaya yang dijadikan markas pusat G30S itu
terletak di luar wilayah Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim Perdanakusuma. Desa
tersebut berjarak sekitar satu limometer dari Lubang Buaya dropping zone, tempat
latihan terjun payung yang terletak di dalam wilayah Halim Perdanakusuma. Oleh
karena itu, penyebutan bahwa Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma
merupakan markas pusat G30S adalah keliru (Luhulima, 2007:34).
Kalau ada sejumlah kemungkinan yang berkaitan dengan Gerakan 30 September
1965 tersebut, maka terbitnya novel Amba yang dapat dipahami sebagai bagian dari
mengungkapkan kembali memori yang mungkin terlupakan oleh sebagian orang
terhadap nasib sekelompok manusia yang harus menjalami takdir sejarah sebagai
tahanan politik berpuluh-puluh tahun di Pulau Buru. Sebagian dari mereka bahkan tidak
paham kesalahan apa yang telah dilakukannya. Dalam endorsmen yang ditulis oleh
Amarzan Loebis (2013), salah satu bekas tapol di Pulau Buru, yang sekarang menjadi
editor senior majalah Tempo, dikatakan bahwa novel ini membaurkan yang khayali dan
yang nyata dengan cara yang sangat indah dan cerdas, dan Amba juga merupakan
bagian dari “perjuangan melawan lupa” akan luka sejarah bangsa ini yang tak kunjung
pulih (sampul belakang novel Amba).
Simpulan
Kehidupan para tapol di Pulau Buru pada era Orde Baru dapat dibaca kembali
dalam novel Amba yang ditulis oleh Laksmi Pamuntjak. Dalam novel tersebut
digambarkan sejumlah lokasi di Pulau Buru yang berkaitan dengan para tapol, seperti
Namle, Waeapo, Kepala Air, Air Buaya, Savanajaya, dan Tefaat, Selain tokoh fiktif,
seperti Bhisma, Manalisa, Amba, Samuel, dan Salwa, juga disebutkan sejumlah tokoh
historis yang terkenal sebagai seniman Lekra, antara lain Pramudya Ananta Toer,
Amrus, Djoko Pekik, dan Batara Lubis. Tokoh-tokoh fiktif dalam novel tersebut
memungkinkan pembaca untuk memahami pengasingan para tapol di Pulau Buru
508
dengan penggunakan perspektif yang berbeda dengan pandangan umum selama ini. Dari
tokoh-tokoh tersebut bahkan dapat dipahami bahwa tidak semua tapol yang diasingkan
di Pulau Buru adalah anggota Partai Komunis atau Lekra, namun harus menjalani takdir
sejarah, seperti halnya tokoh Bhisma yang harus menjalani “hukuman” karena merebut
Amba dari tangan Salwa. Kisah dalam novel ini menyadarkan pembaca untuk tidak
memahami persoalan sebagai sebuah generalisasi. Sebagai salah satu karya sastra yang
menceritakan kembali khidupan para tapol di Pulau Buru, tampaknya Amba dapat
dianggap sebagai salah satu karya sastra Indonesia yang memcoba kembali memori
kolektif bangsa Indonesia terhadap misteri yang ada di seputar peristiwa Gerakan 30
September 1965 dan diasingkannya para tahanan politik dari Jawa ke Pulau Buru.
Daftar Rujukan
Alkatiri, Zeffry. 2006. ”Tujuh Buku tentang Pulau Buru.” Makalah disajikan dalam
Konferensi Sejarah Nasional VIII di Jakarta, 13-16 November 2006.
Barry, Peter. 2010. Begening Theory, an Introductioan to Literary and Cultural Theory.
Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Harviyah Widyawati dan Evi
Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra.
Budianta, Melani. 2006. “Budaya, Sejarah, dan Pasar, New historicism dalam
Perkembangan Kritik Sastra,” dalam Susastra, Jurnal Ilmu Sastra dan
Budaya. Jakarta: Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia.
Gayatri, Mentari Dwi. 2015. “Indonesia Pamerkan Ratusan Buku Terjemahan di
Fankfurt. m.antara.com/berita, diunduh melalui google. com 29 Agustus
2015.
Greenblatt, Stephen. (Edited by Michael Payne). 2005. The Greenblatt Rader. London:
Willwy-Blackwell Publication Ltd.
http://burukab.go.id/web3. Diunduh melalui google.com, 17 September 2014.
Pamuntjak, Laksmi. 2012. Amba. Jakarta” Gramedia.
Setiawan, Hersri. 2004.Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesia Tera.
Luhulima, James. 2007. Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965. Melihat
Peristiwa G30S dengan Perspektif Lain. Jakarta: Kompas.
Zulkifli, Arif, dkk. Editor. 2-14. Lekra dan Geger 1965. Jakarta: Seri Buku Tempo,
Jakarta: Kepustakaan Populer Granedia.
Toer, Pramudya Ananta. 2004. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Lentera.
www.trusakti.ac.id. “Sejarah Singkat Universitas Trisakti Jakarta.” Diunduh melalui
google.com 29 Agustus 2015.
509
REFERENCES
Barnet, Sylvan., Burto, William., and Cain, William. 2005. Literature for Composition:
Reading and Writing Arguments about Essays, Stories, Poems, and Plays.
Boston: Longman
Barry, Peter. 1995. Beginning Theory. Manchester: Manchester University Press
Bartholomae, David and Anthony Petrosky. 1987. Ways of Reading: An Anthology for
Writers. New York: St. Martin’s Press
Hudson, William Henry. 1958. An Introduction to the Study of Literature. London:
George G. Harrap & Co. Ltd.
Montgomery, Martin., Durant, Alan., Fabb, Nigel., Furniss, Tom., and Mills, Sara.
2007. Ways of Reading: Advanced Reading Skills for Students of English
Literature. New York: Routledge.
Pope, Rob. 2002. The English Studies Book. New York: Routledge.
Wedhowerti, Scolastica. 2015. Balancing the Know-What And Know-How in English
Literature to Become Critical Readers. English Language Studies Indonesia: For
Truth and Meaning, 36-45
http://writing.colostate.edu/guides/
510
IDENTITAS KEJAWAAN DALAM ALBUM JOGJA HIPHOP
FOUNDATION
Elisa Dwi Wardani, S.S., M.Hum.
Universitas Sanata Dharma
elisa@usd.ac.id.
Abstrak
Di tengah keprihatinan akan semakin terpinggirnya bahasa Jawa, bahkan
di kota Yogyakarta, lahirlah sebuah grup musik bernama Jogja Hip Hop
Foundation (JHF) yang sampai saat ini telah menghasilkan 4 album
musik bergenre rap dengan lirik bahasa Jawa dan Indonesia. Paper ini
akan membahas mengenai komitmen JHF terhadap budaya Jawa dan
bagaimana mereka mengusung tema-tema kepedulian sosial, kritik sosial
melalui kecintaan mereka kepada puisi-puisi berbahasa Jawa dan
Indonesia yang disampaikan melalui musik rap. Keluwesan musik hiphop
dan keterbukaan bahasa Jawa terhadap unsur asing tersebut menjadi
sebuah kekuatan tersendiri dari JHF yang telah membuktikan dirinya bisa
diterima oleh masyarakat luas. Paper ini berusaha untuk melihat
bagaimana keterpinggiran mampu menjadi sebuah kekuatan sebagai
suatu reaksi terhadap globalisasi dan wacana dominan. Untuk itu akan
dibahas mengenai politik identitas JHF, latarbelakang sosial politik dan
desakan globalisasi yang mendorong kelahiran dan kepopuleran JHF.
Kata kunci : bahasa Jawa, hip hop, identitas, globalisasi
Pendahuluan
Keunikan Yogyakarta yang terutama adalah status politis Daerah
Istimewa Yogyakarta yang walaupun sempat beberapa kali mengalami
tantangan, tetap bertahan hingga sekarang. Keistimewaan Yogyakarta ini
tidak lepas dari proses masuknya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat
ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana yang
dikenal dalam ungkapan “Yogya ada sebelum RI ada” (Baskoro, 2011).
Sebagai bentuk dukungan terhadap kemerdekaan nasional, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dan Pangeran Paku Alam VIII masing-masing
511
membuat pernyataan bahwa Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dan
kadipaten Pakualaman menggabungkan diri dengan NKRI.
Penggabungan ini ditanggapi dengan pemberian Piagam Kedudukan
tertanggal 19 Agustus 1945 kepada kedua pemimpin tersebut oleh
pemerintah pusat Republik Indonesia. Pernyataan-pernyataan di atas
dipertegas dengan apa yang disebut Amanat 5 September 1945 yang
menjadi landasan bagi penegasan posisi Yogyakarta sebagai Daerah
Istimewa yang otonom dengan kedudukan setingkat propinsi (Baskoro,
2011: 63).
Bersamaan dengan perubahan status kerajaan Yogyakarta
tersebut, semakin mantaplah penggunaan bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar resmi pemerintahan dan bahasa formal di Yogyakarta.
Walaupun bahasa Melayu telah digunakan semenjak masa jaman
penjajahan Belanda oleh pemerintahan Sultan ketika berhubungan
dengan pihak luar, perubahan status di atas memperkokoh posisi bahasa
Indonesia sebagai bahasa resmi yang menghubungkan berbagai pihak
terutama dengan pemerintah pusat Republik Indonesia. Sementara itu,
bahasa Jawa tetap digunakan, namun hanya dalam hubungan informal
antara orang-orang Jawa, atau di dalam keraton, terutama sebagai bentuk
rasa hormat orang Jawa terhadap rajanya (Soemardjan, 2009: 155).
Akibatnya, posisi bahasa Jawa menjadi terpinggirkan karena
dihentikannya penggunaan bahasa Jawa dalam komunikasi resmi.
Sesuatu yang tidak terhindarkan, yang berakibat pada merosotnya
penggunaan bahasa Jawa di kalangan orang Jawa sendiri pada masa
sekarang. Sebuah riset yang didukung oleh pemerintah daerah
Yogyakarta menunjukkan bahwa sekarang hanya 50% pelajar di
Yogyakarta yang mampu berbicara Jawa Krama Inggil, atau bahasa Jawa
halus, yang menimbulkan kekhawatiran terhadap kelestarian budaya
Jawa di masa datang (The Jakarta Post, 3 September 2015).
Sebagai kota pelajar yang dihuni oleh pelajar dan mahasiswa dari
berbagai daerah di Indonesia dan bahkan dari manca negara, kota
Yogyakarta menjadi tempat bertemunya berbagai pemikiran, budaya dan
bahasa. Akibatnya, bahasa Jawa mendapat tantangan dari bukan saja
bahasa Indonesia tetapi juga bahasa Inggris (Widiastuti, 2009).
Menjamurnya lembaga kursus bahasa Inggris yang sejalan dengan
merosotnya kemampuan berbicara bahasa Jawa sebagian masyarakat
Yogya menunjukkan betapa posisi bahasa Jawa semakin tersisih. Namun
di tengah lajunya pembangunan yang mengubah wajah kota Yogyakarta
lahirlah sebuah kelompok musik Jogja Hiphop Foundation (JHF) yang
512
didirikan oleh Marzuki Mohammad pada tahun 2003 (Muchtadi, 2012).
Menarik kiranya untuk melihat bagaimana grup musik ini bergulat
dengan identitas kejawaan mereka sebagai bagian dari Yogyakarta yang
dianggap sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa di Indonesia. JHF
merupakan sebuah grup musik yang aktif dalam mengawal tidak hanya
kebudayaan Jawa, tetapi juga perkembangan sosial dan politik terutama
yang berkenaan langsung dengan Yogyakarta, antara lain ketika muncul
hiruk pikuk wacana penghapusan status istimewa Yogyakarta.
Pemahaman akan makna keistimewaan kota Yogyakarta yang dituangkan
dengan lugas oleh grup musik Jogja Hiphop Foundation (selanjutnya
disebut JHF) dalam lirik lagu “Jogja Istimewa” yang antara lain
mengatakan bahwa Jogja istimewa bukan hanya negrinya tetapi juga
“orangnya” menunjuk kepada kerendahan hati Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII yang memilih
untuk menyerahkan kedaulatan kepada pemerintah RI dan bahkan
berkali-kali membuktikan kesetiaan dan dukungan mereka dalam
perlawanan Indonesia terhadap kekuatan asing. Lagu “Jogja Istimewa”
juga sekaligus menunjukkan kecintaan dan kebanggaan mereka terhadap
kota Yogyakarta. JHF juga banyak mengungkap falsafah Jawa mengenai
kehidupan keseharian, kesenian, politik, dan sebagainya. JHF menangkap
perubahan-perubahan yang terjadi di Yogyakarta yang semakin terbuka
terhadap dunia luar dan bergulat dengan identitas kejawaan mereka
dalam menyikapi segala perubahan tersebut.
Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa proses kreatif JHF harus
dipahami dalam hubungannya dengan struktur sosial, keberlanjutan
sejarah, dan globalisasi. Dengan demikian pembicaraan mengenai
identitas kejawaan JHF dalam konteks keterpinggiran bahasa dan budaya
Jawa tidak bisa terlepas dari perbincangan mengenai bagaimana
kekuasaan dan wacana dominan mendapatkan resistensi dan juga
negosiasi selama terjadinya proses terpinggirkannya bahasa dan budaya
Jawa.
Bahasa Jawa: Terpinggirkan Dan Meminggirkan
Widiastuti melihat adanya beberapa alasan yang menyebabkan
terjadinya perubahan pada cara pandang orang Jawa dalam hal menyikapi
identitas sebagai orang Jawa yang terlihat dari semakin lunturnya akar
budaya Jawa (2009). Salah satu penyebab terjadinya perubahan cara
pandang tersebut di atas adalah terjadinya perubahan relasi sosial di
513
Yogyakarta yang didorong oleh menjamurnya supermarket yang
memiliki jaringan internasional seperti Carrefour, Indogrosir, Makro,
Giant, dan sebagainya yang telah mengubah pola konsumsi dan
kehidupan sosial anak-anak muda secara signifikan (2009). Pola
kehidupan moderen menempatkan tradisi Jawa yang penuh mistis ke area
pinggiran karena dipandang tidak rasional. Tradisi dan ritual yang
terpelihara hingga kini oleh sebagian masyarakat Jawa dianggap hanya
tepat untuk konsumsi para wisatawan atau peneliti sehingga telah
kehilangan esensinya. Di lain pihak, internet dan media massa membuat
generasi muda Jawa semakin terbuka dan dekat dengan dunia luar.
Bagi masyarakat Yogya, Sultan adalah sosok yang sakti dan
mendapat dukungan dari kekuatan-kekuatan magis segenap pusaka
kerajaan Yogyakarta sehingga Sultan bukan hanya seorang pemimpin,
tetapi seorang manusia yang setiap sabdanya “hukum sehingga tiap
keinginannya adalah perintah bagi rakyatnya.” (Soemardjan, 2009: 21).
Sehingga kedudukan Sultan secara kultural tidak hanya kokoh tetapi juga
“mempunyai tempat di puncak struktur masyarakat.” (Soemardjan, 2009:
21) Dengan kata lain, Sultan sebagai pusat dari keraton adalah juga pusat
dari kebudayaan Jawa yang sekaligus menjadi kekuatan yang “menjaga
peradaban Jawa klasik” yang melahirkan “system nilai, system filsafat,
dan juga karya-karya seni yang luhur.” (Baskoro, 2011:181). Namun
demikian, Widiastuti mengutip Niels Mulder yang mengatakan bahwa
Keraton sudah tidak lagi menjadi pusat dari kehidupan sosial dan politik
orang Jogja yang mengakibatkan semakin terpinggirkannya budaya Jawa
(2009) Sebagai contoh, Widiastuti mengamati perkembangan tradisi
Sekaten yang rutin diselenggarakan oleh Keraton telah melenceng jauh
dari tujuannya semula (2009). Pada awalnya ritual Sekaten ditujukan
untuk menyebarkan agama Islam dengan cara mengharuskan setiap
penonton yang ingin melihat pertunjukan di Sekaten untuk menyatakan
Syahadat (Widiastuti, 2009) Pada puncak Sekaten, yaitu Grebeg, Sultan
akan membagikan gunungan yang terdiri dari beras, ketan, sayur dan
buah yang kemudian diperebutkan oleh para pengunjung Sekaten karena
mereka percaya bahwa jika mereka berhasil membawa pulang sebagian
hasil panen pada gunungan tersebut maka mereka akan mendapat tolak
bala dan rejeki yang lancar. Walaupun tradisi tersebut sudah berlangsung
selama ratusan tahun, banyak perubahan telah terjadi, antara lain dengan
dijualnya tiket masuk Sekaten dari tahun 2003-2013, dan berubahnya
fungsi Sekaten menjadi semacam pasar malam dan tempat hiburan
publik, sebagaimana dikritisi oleh 51 perupa yang menggelar pameran
“Komedi Putar” di Jogja Gallery (Heru Prasetyo, Seni, edisi no.
514
0261Minggu IV, Maret 2008). Dalam rangka ulangtahunnya yang
kesepuluh, JHF juga merilis lagu “Jogja ora didol” yang artinya Yogya
tidak dijual, sebagai keprihatinan atas semrawutnya tata kota Yogya pada
masa sekarang oleh karena pertumbuhan hotel dan mall yang tidak
memperhatikan kelestarian lingkungan yang terutama terlihat dari
menipisnya persediaan air tanah, masalah banjir di beberapa titik rawan
di Yogya, dan amblesnya beberapa ruas jalan di Yogya yang kesemuanya
berlawanan dengan semangat Hamemayu Hayuning Bhawono, yang
berarti berusaha untuk terus menjaga bahkan meningkatkan keindahan
bumi dengan menjaga lingkungan dan ekosistem yang ada
(http://www.hiphopdiningrat.com /2014/06/jogja-ora-didol/).
Sementara itu dalam hal merosotnya peran bahasa Jawa,
Soemardjan melihat bahwa menguatnya keinginan akan terwujudnya
masyarakat yang egaliter menyebabkan semakin kokohnya posisi bahasa
nasional Indonesia karena bahasa Indonesia tidak mengenal adanya
stratifikasi dalam masyarakat sebagaimana yang ada dalam bahasa Jawa
(2009). Perubahan penggunaan bahasa Indonesia yang menggantikan
bahasa Jawa yang semula dipakai dalam pertemuan dan konferensi
dengan Sultan sempat mengakibatkan ketegangan di kalangan para
priyayi karena mereka merasa terganggu dengan “perasaan tertekan
untuk menghormatinya melalui bahasa.” (Soemardjan, 2009: 155)
Namun demikian, bahasa Indonesia tetap digunakan dalam pertemuan
resmi karena masyarakat Yogya tunduk terhadap ketetapan pemerintah
Indonesia untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa
kenegaraan, walaupun dalam situasi yang informal bahasa Jawa tetap
digunakan.
Elisabeth Nandiak, seorang peneliti hiphop dari Perancis yang
pernah meneliti Serat Centhini berpendapat bahwa apa yang dilakukan
oleh JHF “persis seperti yang dilakukan orang-orang Bronx” dalam hal
perjuangan mereka untuk melawan marginalisasi budaya dan bahasa
Jawa (Seno Joko Suyono & Dwidjo Maksum, Tempo, 12 Desember
2010). Jika pejuang hiphop di Bronx melawan marginalisasi warga kulit
hitam di Amerika, maka JHF melawan marginalisasi bahasa dan budaya
Jawa di Yogyakarta. Selain itu, semakin menurunnya minat untuk
menguasai dan menggunakan bahasa Jawa itu sendiri juga
mengakibatkan semakin tercerabutnya generasi muda Jawa dari akar
budayanya.
515
Goenawan Mohamad menyikapi peminggiran bahasa Jawa
dengan sedikit berbeda (2014). Dalam pandangannya, setiap bahasa,
termasuk bahasa Jawa, memiliki potensi untuk meminggirkan bahasa
yang lain, yang dianggap tidak baik dan benar, misalnya bahasa Jawa
para priyayi di Yogyakarta dan Surakarta yang meminggirkan bahasa
Jawa yang digunakan masyarakat Jawa di pesisir utara Jawa. Bahasa
yang diakui sebagai bahasa yang baik dan benar sejatinya adalah bahasa
yang “dikonsolidasikan” melalui kesepakatan bersama (Mohamad, 2014).
Sebagai contoh adalah bahasa Indonesia sendiri yang berkembang dari
bahasa Melayu Riau. Iskandar mencatat peranan Belanda dan Balai
Pustaka dalam memantapkan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional (2000). Hasil penyelidikan terhadap bahasa Melayu oleh Ch.
Van Ophuijsen menghasilkan ketetapan mengenai ejaan dan tatabahasa
bahasa Melayu Riau yang diakui Belanda sebagai bahasa Melayu standar.
Bahasa Melayu tersebut kemudian adalah bahasa yang diajarkan di
sekolah-sekolah dari Sabang sampai Merauke. Balai Pustaka kemudian
mengokohkan ketetapan Belanda tersebut dengan cara menjaga setiap
karangan yang diterbitkannya dalam berbagai majalah agar bisa
dipertanggungjawabkan kepada Sidang Pengarang dalam hal kesesuaian
bahasanya menurut pedoman bahasa Melayu Riau pada ketentuan
tahun1901 tersebut.
Yang juga menarik untuk dicermati adalah pendapat Henk Maier
mengenai asal usul bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu
kacukan atau campuran (2004). Maier menyebut bahasa Indonesia
sebagai sebuah proyek nasionalisme yang memunculkan suatu bentuk
bahasa Melayu yang baru, sebagai hasil dari konsensus dan berdasarkan
pada warisan penelitian Van Ophuijsen. Bahasa Melayu Riau tersebut
kini telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang memiliki standar
tersendiri yang ditetapkan dan dikawal oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. Dengan demikian secara tidak langsung bahasa
Indonesia juga telah memposisikan bahasa Melayu, cikal bakal bahasa
Indonesia sendiri, sebagai yang tidak baku, tidak standard dan tidak baik,
sedangkan bahasa Melayu kacukan atau campuran yang menjadi cikal
bakal bahasa Indonesia, sesungguhnya dalam beberapa studi sebelumnya
dikategorikan sebagai bahasa Melayu pasar, atau campuran, atau
rendahan (Maier, 2004: 9-11). Dengan demikian bahasa Melayu
campuran yang semula terpinggirkan berhasil „dikonsolidasikan‟ menjadi
bahasa yang baik, sehingga pada saat yang sama menepikan varian
bahasa Melayu yang lain sebagai yang kurang baik atau tidak baku, dan
516
di kemudian hari bahkan berkembang menjadi bahasa lain yang semakin
tidak menyerupai bahasa asalnya, seperti terllihat dari kutipan berikut
And what about the people in Riau and Johore, the cradle of
Malayness,…the area where the best and most correct Malay was
used? They stood by and watched yet another variety of „their‟
language became the carrier of yet another set of ideas and
values. (Maier, 2004: 22)
Kekuasaan Dan Resistensi
Bahasa, menurut Goenawan Mohamad, tidak semata-mata
bersifat imperialis, namun juga mampu berperan sebagai pembebas
(2014). Dalam pemikiran Michel Foucault sebagaimana yang dijabarkan
oleh Sara Mills, kekuasaan bukanlah sesuatu yang „dimiliki‟ oleh
seseorang tetapi adalah sebuah strategi, yang cara kerjanya seperti mata
rantai, atau jaringan, yang menempatkan setiap individu justru sebagai
pihak yang aktif menggunakan kekuasaan, dan bukan sebagai obyek
kekuasaan (2003:35). Foucault melihat bahwa relasi kekuasaan bukan
merupakan relasi antara si penindas dan yang ditindas, dan bahwa
hubungan antara keduanya tidak bisa disederhanakan secara demikian.
Mills mengutip Foucault yang mengatakan bahwa “where there is power
there is resistance”, yang implikasinya adalah bahwa dalam sebuah
hubungan kekuasaan, harus terdapat resistensi atau perlawanan agar
tercipta hubungan kekuasaan tersebut (2003:40). Tanpa resistensi,
hubungan kekuasaan tidak dapat terbentuk. Dengan demikian, kekuasaan
bagi Foucault bukanlah sebuah struktur yang terpusat serta bersifat
menindas, tetapi sesuatu yang bisa menghasilkan, memberdayakan, dan
bahkan membebaskan.
Foucault was interested in how power was dispersed into
everyday structures of regulation and control that influenced
cultural practices rather than cultural meanings. Third, this
version of power was not therefore a centralized, repressive
structure operating on behalf of a clear set of interests, but also
contained the possibilities (muted, admittedly) of being
productive, enabling, even liberatory. (Turner, 2003:26)
517
Dengan kata lain, dalam memahami bagaimana kekuasaan itu bekerja di
tengah kita, Foucault lebih menekankan kepada keterkaitan antara
berbagai faktor yang menyebabkan strategi kekuasaan berhasil
diterapkan, dan menolak untuk menyederhanakannya menjadi hanya
sebatas hubungan sebab akibat (Mills, 2003: 51). Foucault juga
mengasumsikan bahwa setiap individu memiliki kuasa untuk menolak
atau melawan institusi atau negara, dan meyakini bahwa kekuasaan
sebenarnya terdapat di mana-mana, tersebar di dalam masyarakat dan
bisa didapati dalam setiap interaksi, sehingga bisa dipahami mengapa
kekuasaan adalah sesuatu yang tidak stabil, yang bisa dilawan setiap saat,
dan harus selalu diperbarui apabila ingin terus bertahan.
Hal ini menjelaskan bahwa peminggiran terhadap budaya dan
bahasa Jawa tidak bisa secara sederhana dianggap sebagai peminggiran
yang dilakukan oleh bahasa Indonesia yang mengusung kepentingan
nasionalisme terhadap bahasa dan budaya Jawa. Sebagaimana dijelaskan
di atas, berbagai perubahan yang terjadi secara cepat di Yogyakarta
menjadi sebab mengapa para pemimpin di Yogyakarta memilih untuk
mengambil keputusan yang berimplikasi kepada mulai ditepikannya
penggunaan bahasa Jawa di Yogyakarta sendiri. Keinginan untuk
mewujudkan masyarakat yang lebih egaliter, antara lain menjadi salah
satu sebab yang mendorong penggunaan bahasa Indonesia. Selain itu,
semangat nasionalisme yang membara pada masanya menjadi faktor lain
yang mendorong terwujudnya cita-cita nasionalisme dan kemerdekaan,
dengan turut mendukung penggunaan bahasa pemersatu, yaitu bahasa
Indonesia. Faktor yang lain adalah arus pemikiran moderen yang
mengedepankan rasionalisme - sesuatu yang tidak terelakkan mengingat
kota Yogyakarta adalah kota pelajar tempat bertemunya berbagai macam
pemikiran – yang pada gilirannya menjauhkan generasi muda dari tradisi
dan budaya Jawa yang dianggap banyak mengandung unsur mistis.
Memudarnya pengaruh keraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan
Jawa juga turut andil dalam melebarkan jarak generasi muda Jawa dari
akar budayanya.
Namun ditengah-tengah mundurnya pengaruh kebudayaan dan
bahasa Jawa dalam kehidupan masyarakat kota Yogyakarta, JHF muncul
sebagai sebuah pilihan yang dihasilkan dari perenungan akan karakter
atau identitas mereka, sebagaimana dikatakan oleh Marzuki Mohamad
bahwa
518
Karakter dan identitas sebuah bangsa mungkin akan dicibir
sebagai nilai-nilai usang di era global ini, tapi orang masih
bertanya dari mana seseorang berasal. Sebuah pertanyaan
sederhana yang juga akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan
lain, menyangkut kebudayaan dan tradisi yang mencerminkan
karakter dan identitas. Nilai-nilai dan kearifan lokal mungkin
akan dianggap kuno, tapi setiap manusia lahir dan dibesarkan
dengan dibentuk oleh tradisi dan kebudayaan sekitarnya. (Rolling
Stones Indonesia, 2012, p. 33)
Keinginan untuk kembali ke akar budaya Jawa sebagai bagian dari
aktualisasi identitas JHF adalah contoh bagaimana kekuasaan itu bersifat
produktif, atau mampu menghasilkan sesuatu, baik sikap atau peristiwa.
Keterpinggiran mampu menjadi kekuatan tersendiri yang muncul sebagai
reaksi terhadap wacana dominan. Tekanan globalisasi memunculkan
dialektika antara kebudayaan yang dominan dan reaksi dari masyarakat
lokal yang memunculkan gerakan „going local‟ atau kembali kepada akar
budaya sebagai upaya untuk mencari identitas nasional atau lokal
masing-masing, sebagaimana dijelaskan sebagai sebuah paradox oleh
Stuart Hall yang mengatakan bahwa keterpinggiran bisa menjadi
kekuatan, karena keterpinggiran, walaupun lemah, tetaplah memiliki apa
yang disebut sebagai “space of power”, kekuatan pinggiran dan kekuatan
lokal yang bisa menjadi ancaman bagi wacana dominan (Hall, 1997).
Sheryl Dodds (2010) mengutip Ramsay yang melihat bahwa di
dunia musik, memori kultural memiliki peran yang sangat besar dalam
membangun makna, dan bahwa musik bisa dipakai sebagai jalan untuk
kembali kepada kenangan masa lalu. Memori kultural juga menjadi
pijakan yang membantu untuk membayangkan kembali atau menciptakan
identitas alternatif. Memori kultural JHF sangat jelas tercermin dari
kecintaan mereka terhadap kota Yogyakarta yang timbul dari kerinduan
akan kejayaan kerajaan Jawa pada masa lalu. Ditengah-tengah
kekecewaan yang begitu besar terhadap negara Indonesia, seperti yang
terungkap melalui lagu-lagu mereka antara lain “Ono Cecak Nguntal
Boyo” yang merupakan pembelaan terhadap KPK, “Song of
Sabdhatama” dan “Jogja Istimewa” yang merupakan perlawanan
terhadap upaya penghapusan keistimewaan Yogyakarta, serta segala
masalah kesulitan ekonomi, juga ditambah dengan minimnya prestasi
internasional Indonesia, menjadi sangat bisa dipahami jika Yogyakarta
beserta dengan keraton dan segala falsafah Jawa yang dihidupinya
519
menjadi bagaikan sebuah oasis, yang mewakili gambaran ideal yang
dirindukan masyarakat pada umumnya, seperti terlihat dari sepenggal
lirik lagu “Song of Sabdhatama” yang mengatakan bahwa “Yo
Ngayogyakarto Hadiningrat negriku, negeri gemah ripah kang merdika”
dan dari lagu “Jogja Istimewa” yang melantunkan kata-kata
“Ngayogyakarta, negeri paling penak rasane kaya swarga, ora peduli
donya dadi neraka, ning kene tansah edi peni lan mardika” yang kurang
lebih artinya adalah bahwa Yogyakarta adalah negeri yang nyaman,
makmur dan merdeka sekalipun seandainya dunia berubah menjadi
neraka.
Mengingat kekuasaan adalah masalah strategi, maka perpaduan
antara budaya popular (hiphop) dengan pemikiran-pemikiran,
kesusasteraan dan falsafah Jawa yang disodorkan JHF dalam lagulagunya bisa dianggap sebagai strategi yang berhasil dalam rangka
mengokohkan identitas budaya dan bahasa Jawa. Keberhasilan JHF
dalam menyita perhatian nasional dan internasional menunjukkan bahwa
keterpinggiran tetap menyimpan kekuatan.
Kesimpulan
Perlawanan JHF terhadap dominasi bahasa Indonesia
menunjukkan bahwa kekuasaan tidak dapat terwujud tanpa adanya
resistensi, dan bahwa kekuasaan adalah masalah strategi dan bukan
masalah siapa yang memiliki. Proses diterimanya bahasa Indonesia
sebagai bahasa formal di Yogyakarta tidak bisa semata-mata dimaknai
sebagai peminggiran bahasa lokal, namun harus dilihat sebagai sebuah
bentuk negosiasi dan kesepakatan yang sangat kontekstual pada masanya.
Negosiasi tersebut juga mengalami tantangan berupa keengganan
sebagian masyarakat Yogyakarta pada waktu itu untuk menerima
keputusan Sultan tersebut. Sementara itu, dalam relasi kuasa antara
pemerintah dan rakyat, JHF menunjukkan bahwa posisi pinggir tidak
berarti tanpa kekuatan sama sekali, yang dibuktikan dengan resistensi dan
sikap JHF dalam mengkritisi segala fenomena sosial budaya di
Yogyakarta dan juga Indonesia pada umumnya.
520
Daftar Rujukan
Baskoro, Haryadi dan Sudomo Sunaryo. 2011. Wasiat HB IX:
Yogyakarta kota republlik.
Yogyakarta: Galang Press.
Dodds, Sherril, “Re-inventing the past at Sunday Serenade: The Residual
Cultures of a British
Caribbean Dance Hall”, Anthropological Notebooks. Vol XVI/3,
2010, pp. 23 – 38
Hall, Stuart, 1997. “The Local and the Global: Globalization and
Ethnicity”, in Anthony D. King
(ed.), Culture, Globalization and the World-System.
Contemporary Conditions for the Representation of Identity,
Minneapolis: the Universitity of Minnesota
Iskandar, Nur Sutan. 2000. “Peranan Balai Pustaka dalam
perkembangan Bahasa Indonesia”
dalam E. Ulrich Kratz (ed.) Sumber terpilih sejarah sastra
Indonesia abad XX, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Press.Mohammad, Maier, Henk. 2004. We are playing relatives. A
survey of Malay writing. Leiden: KITLV Press
Mills, Sara. 2003. Michel Foucault. London: Routledge.
Mohamad, Marzuki, “Menjadi Indonesia di Amerika”, Rolling Stones
Indonesia, 2012, p. 33
Mohamad, Goenawan. “Setelah menara Babel” Tempo, 16 Maret 2014.
Muchtadi, Mirdina. 2012. “Jogja Hiphop Foundation: when a global
cultural phenomenon
meets Javanese culture”, Prosiding The 4th International
Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and
Future”
Prasetyo, Heru. “Komedi putar. Melawan kapitalisasi” Seni, edisi no.
0261 Minggu IV, Maret 2008
Soemardjan, Selo. 2009. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta:
Komunitas Bambu.
Suyono, Seno Joko & Dwidjo Maksum. “Perlawanan rap Centhini”
Tempo, 12 Desember 2010
Turner, Graeme. 2003. British Cultural Studies. London: Routledge
Widiastuti, Ambar. 2009. “Being Javanese in a Changing Javanese City”
in Rahil Ismail, Brian
521
J. Shaw, and Ooi Giok Ling (eds.) Southeast Asian Culture and
Heritage in a Globalising World. Surrey: Ashgate Publishing
Limited.
Jogja Hip Hop Foundation, 2007, Jogja Istimewa, Compact Disc
www.hiphopdiningrat.com. Jogja Hiphop Foundation‟s official site.
“Refined Javanese fading among Yogya youth”The Jakarta Post, 3
September 2015
522