Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
Ketetapan MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan memiliki posisi yang cukup sentral.
Tap MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia memiliki posisi yang setara dengan UU.
MPR Decree was in hierarchical manner betweenl945 and theAct which in theory in the group of legal norms Staats grund gesetz (Rules of the State/State Basic Rules). MPR Decree under the 1945 Constitutionis a consequence of the position of the MPR as executor of full sovereignty of the people and the country's top institutions. However, 1945 Constitution amendment no longer determine the MPR as executor of full sovereignty of the people. Moreover, MPR are no longer the highest state institution. Therefore, it has implications for the existence of the Legislative Actin the hierarchy of legislation. MPRS Decree No. XXA4PRS/1966 and MPR Decree No.IIL&IPR/2000 put MPR Decree in the second place after 1945 Constitution. LawNo. l0 of 2004 does not recognize the MPR decree as one type of legislation. Law No.12 of 20 i 1 put back MPR decree as one type of legislation. This paper attempts to discuss the rationale of the dynamic development of MPR Decree position in the hierarchy of legislation before the Amendment of 1945 Constitution to the promulga-tion of Law No. l2 of 20 I I , after the Amendment of I 945 Constitution. Ketetapan MPR adalah salah satu bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan khas Indone-sia. Secara hirarkis berada di antara UUD 1945 dan Undang-Undang yang secara teoretik masuk dalam kelompok norma hukum Staatsgrundgesetz (Aturat Dasar Negara/Aturan Pokok Negara). Keberadaan Ketetepan MPR sebagai jenis peraturan perundang-undangan yang berada.di bawah UUD 1945 merupakan konsekuensi dari kedudukan MPR sebagai pelaksana penuh kedaulatan rakyat dan sebagai lembaga negara tertinggi di antara lembaga-lembaga negara laimya, sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Namun Perubahan ULID 1 945 yang menentukan tidak lagi menempatkan MPR sebagai pelaksana penuh kedaulatan rakyat dan bukan pula sebagai lembaga tertinggi negara telah berimplikasi pada keberadaan Ketetapan MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Jika Ketetapan MPRS No. XX/\4PRS/l966 dan Ketetapan MPR No. IIIA4PR/2000 keberadaan Ketetapan MPR masih tetap ditempatkan dalam urutan kedua (setelah UUD 1945) dalam hirarki peraturan perundang-undangan, maka setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 Ketetapan MPR tidak lagi diakui sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangandalam UU No. l0 Tahun 2004. Namun dalam UU No. l2Tahun2011 keberadaan Ketetapan MPR kembali diakui sebagai salah satu jenisperaturanperundang-undangansebagaimanasebelumlahirnyaUUNo.l0Tahun2004.Tulisan ini mencoba membahas dasar pemikiran daridinamika perkembangan kedudukan Ketatapan MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan dari sebelum Perubahan UUD 1945 sampai dengan penetapan UU No. 12 Tahun 201 I setelah Perubahan UUD 1945. Republik Indonesia Tahun 1945 yang terjadi sebanyak empat kali pada kurun waktu tahun 1999-2002 merupakan c o ns titut i onal reform (The Habiebie Center, 2001:15). yang menjadi acuan bagi dilakukannya reformasi hukum dan ketatangeraan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari proses reformasi di segala bidang yang terjadi di negeri ini. Perubahan UUD 1945 tersebut telah banyak membawa intplikasi yang cukup mendasar bagi tatanan kenegaraan zu, terutama implikasi terhadap pola hubungan antar lembaga-lembaga negara. Salah satu di antaranya adalah implikasi terhadap reposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari pelaksana seeara penuh kedaulatan rakyat menjadi hanya sebuah lembaga negara dengan kekuasaan yang terbatas sebagai majelis, dan tidak lagi mernpunyai
Jurnal Hukum & Pembangunan
Ketetapan MPR Dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan DI IndonesiaSebelum Amandemen UUD 1945 Ketetapan MPR/S merupakan produk Hukum dari Lembaga MPR yang pernah menjadi lembaga Tertinggi Negara, sehingga berimplikasi terhadap eksistensi dari produk Ketetapan yang dikeluarkan dan bersifat mengatur (regeling) yang membawa implikasi terhadap keberlakuannya sebagai peraturan perundang-undangan. Dikeluarkanya Ketetapan MPR/S pada UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pertimbangannya adalah untuk menjaga konsistensi penyebutan peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur digunakan istilah “Peraturan”. Hal ini dimaksudkan agar tidak lagi terjadi atau timbul pertanyaan mengenai istilah “Keputusan” yang bersifat mengatur ataupun yang bersifat penetapan. Sehingga Ketetapan MPR/S tidak tercantum dalam hierarki Peraturan Perundangundangan. Dicantumkannya kembali Ketetapan MPR/S di dalam hierarki peraturan perundangundangan menurut Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagai wujud untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap Ketetapan MPR/S yang bersifat mengatur (regeling) yang masih berlaku, serta sebagai wujud untuk menguatkan Undang-undang yang berlandaskan pada ketetapan MPR/S. Lembaga yang berwenang menguji Ketetapan MPR/S pernah diatur pada Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 Pasal 5 yaitu menguji Undang-undang terhadap UUD dan Ketetapan MPR, namun ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 telah dicabut dengan Ketetapan MPR RI No. I/MPR/2003. Namun berdasarkan asas “contrarius actus”, MPR berwenang untuk menilai dan mencabut Ketetapan MPR/S yang merupakan produk hukumnya sendiri. Kata Kunci : Ketetapan MPR/S, Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
2021 •
Reformasi dan Amandemen UUD 1945 telah menyebabkan berubahnya struktur ketatanegaraan Indonesia, khususnya terhadap MPR. MPR yang tadinya sebagai lembaga negara tertinggi, berubah status sehingga setara dengan lembaga negara lainnya. Hal ini berimplikasi kepada produk hukum yang dihasilkan oleh MPR yaitu Ketetapan MPR/S. Perlu diteliti lebih dalam mengenai perjalanan bagaimana kedudukan produk hukum MPR yaitu Ketetapan MPR/S ini dalam peraturan perundang-undangan Indonesia khususnya semenjak reformasi sampai sekarang beserta permasalahan yang ditimbulkannya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu metode penelitian yang menggunakan bahan-bahan yang bersumber dari undang-undang, norma hukum, buku, literatur-literatur, dan referensi ilmiah lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Penempatan Ketetapan MPR dalam hierarki saat ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Idealnya hierarki dibentuk dengan orientasi penyederhanaan dengan mengurangi nomen...
2016 •
MPR decrees that is based on Law Number 12 Year 2011 on the Establishment of legislation is a product of legislation under the Constitution and is one level above the law. Placement of MPR Decree is under the Constitution and the above Act only aims to provide recognition and legal status of the MPR decree which is still valid, because according to the Constitution after the change MPR no longer have the authority to issue a decree that are set out (Regeling) and can only issue a decree that are fixing (beschikking). Keywords: Position; MPR decree; hierarchy Abstrak Kedudukan Ketetapan MPR yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai produk peraturan perundang-undangan yang berada di bawah Undang Undang Dasar dan berada satu tingkat di atas Undang-Undang. Penempatan Ketetapan MPR tersebut di bawah Undang Undang Dasar dan di atas Undang-Undang hanya bertujuan untuk memberikan pengakuan dan status hukum terhadap Ke...
2021 •
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) membawa perubahan mendasar dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Sebelum amandemen, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sehingga dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden adalah sebagai mandataris MPR dan mempunyai garis pertanggungjawaban kepada MPR berdasarkan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang dibuat oleh MPR (vide Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen). Pertanggungjawaban Presiden terhadap MPR itu juga didasarkan pada adanya struktur kekuasaan Negara yang menempatkan MPR sebagai Lembaga tertinggi Negara (supreme) sebagai pemegang kedaulatan rakyat sehingga segala proses penyelenggaraan negara dapat dilakukan pengawasan oleh MPR termasuk dalam proses penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan oleh Presiden dan Wakil Presiden. Kedudukan MPR sebagai Lembaga tertinggi negara sebelum amandemen UUD 1945 (sebelum amandemen) ini sesungguhnya didasarkan pada faham integralistik yang diajukan oleh Soepomo. Faham integralistik ini mengatakan bahwa “Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting ialah negara yang berdasar pikiran integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya”. (MD., 2001) Menurut faham integralistik ini, di dalam struktur ketatanegaraan Indonesia harus ada satu lembaga yang menaungi semua lembaga-lembaga negara sebagai puncak dari kekuasan negara untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dan mewakili kepentingan rakyat secara keseluruhan. Sebagai produk hukum yang dibentuk oleh lembaga tertinggi negara, TAP MPR/S dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi pula dari produk hukum yang dibentuk oleh lembaga negara lainnya seperti Undang-Undang (UU) yang dibentuk oleh Presiden dengan DPR, serta peraturan perundang-undangan lainnya. Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara itu pula yang melatarbelakangi mengapa dalam hierarki peraturan perundang-undangan menurut peraturan yang berlaku pada masa berlakunya UUD 1945, TAP MPR/S diletakkan dalam jenjang yang lebih tinggi dari Undang-Undang namun setingkat lebih rendah dari UUD 1945. Menurut TAP MPRS Nomor XX/ MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia (TAP MPRS No. XX/MPRS/1966), dimana dalam lampiran IIA tentang “Tata urutan perundangan di Indonesia menurut UUD 1945”. Dalam makalah ini saya akan membahas lebih jauh tentang TAP MPR dan Judicial Review.
2015 •
Journal of Power Sources
Theory of battery ageing in a lithium-ion battery: Capacity fade, nonlinear ageing and lifetime prediction2020 •
SDU FACULTY OF ARTS AND SCIENCES JOURNAL OF SOCIAL SCIENCES, 50
An Ingot Fragment of Tin from EBA Royal Tombs at Alacahöyük, Anatolia2020 •
2019 •
Revista Española de Documentación Científica 46(2), abril-junio 2023
Cita en Retuerto-Marzano, L.; Castro-Cordova, E. P.; Kessler, M. I.; Limaymanta, C. H. (2023). Re- des sociales en bibliotecas. Un análisis bibliométrico en el ámbito iberoamericano. Revista Española de Documentación Científica, 46 (2), e357.2023 •
The peopling of Britain: the shaping of a human …
Kings and warriors: population and landscape from post-Roman to Norman Britain. In: P. Slack and R. Ward (eds.). The peopling of Britain: the shaping of a human landscape (The Linacre Lectures 1999). Oxford: Oxford University Press 2002. 145-175.2002 •
Polish Journal of Medical Physics and Engineering
Neutron conversion coefficients of ambient dose equivalent and personal dose equivalentIn-fidelitas. Fra passato e presente
In dialogo con Filosofia della fedeltà di Josiah Royce. Confronto sul tema del senso2024 •
Atmospheric Environment: X
Development of real-world emission factors for on-road vehicles from motorway tunnel measurements2021 •
3rd International Conference on Advances in Civil Engineering, 21-23 December 2016, CUET, Chittagong, Bangladesh
ASSESSMENT OF INDUSTRIAL EFFLUENT POLLUTION IN KARNAPHULI RIVER2016 •
Preventive Veterinary Medicine
Prevalence and associated risk factors of haemoparasites, and their effects on hematological profile in domesticated chickens in District Layyah, Punjab, Pakistan2017 •
IEEE Latin America Transactions
Tools for the Implementation of a SCADA System in a Desalination Process2019 •
Asian Economic and Financial Review
Deltoid Analysis of Pakistan-ASEAN-China Free Trade Agreements and Opportunities for Pakistan2016 •