Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
TESIS ANALISIS YURIDIS FUNGSI DAN KEDUDUKAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL JURIDICAL ANALYSIS OF FUNCTIONS AND POSITION OF COURT HONORS IN THE PRESIDENTIAL GOVERNMENT SYSTEM Disusun dan ajukan oleh : EDY FRANSEDA SEMBIRING 81611012160003 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA PAULUS FAKULTAS ILMU HUKUM MAKASSAR 2018 Kata Pengantar Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha kuasa atas penyertaanNya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul: “ANALISIS YURIDIS FUNGSI DAN KEDUDUKAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL”. Selanjutnya dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-sebasarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tesis ini, baik secara moril maupun materi secara khusus kepada : Dr. Josefine Ernestiene, MT, selaku rektor Universita Kristen Indonesia Paulus Makassar yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga dapat mengikuti studi pada Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhadar, SH., M.Sc. selaku Direktur Program Pasca Sarjana yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi jenjang Program Pasca Sarjana strata 2 (dua) Magister Imu Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar Bapak Prof. Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H. dan Dr. Liberthin Palullungan, S.H.,M.H selaku dosen pembimbing Universitas Kristen Paulus Indonesia Makassar yang dalam kesibukannya bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan. Prof. Dr. J. Salusu. M. A., Bapak Prof. Dr. Pasolang Pasapan SH.,MH dan Bapak Dr. Yotham Th. Timbonga, BTh, SH., MH selaku penguji pada sidang Tesis penulis, Terimakasih Para Dosen Magister Ilmu Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar . Terimakasih kepada Bapak/Ibu yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama penulis belajar di Magister Ilmu Hukum Universita Kristen Indonesa Paulus Makassar Kepada kedua orang tua saya tercinta, bapak Cipta Sembiring SH., MH dan Ibu AKP. Setiawati Bukit, terimakasih atas segala support yang telah kalian berikan sejak saya lahir sampai hari ini, dan semua pencapaian ini akan saya persembahkan untuk Tuhan Yesus dan untuk kalian. Kepada adik-adik saya, Anggita Warabsari Sembiring S.th dan lucyana Sembiring yang selalu mendukung saya dalam doa dan moral untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini. Teman perantauan terbaik saya Sugandi Baswan SH., MH dan semua teman-teman perantauan yang telah mendukung terimakasih. Sahabat-sahabatku di Magister Ilmu Hukum angkatan 2017, Terimakasih atas pertemanan kita dan semoga kesuksesan selalu menyertai kita semua. Dan kepada semua pihak yang turut membantu penulis yang tak dapat disebut namanya satu per satu pada kesempatan ini. Harapan penulis semoga tulisan ini dapat berguna bagi semua pihak, secara teoritis maupun praktis oleh para pembacanya. Penulis mengakui bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis menyampaikan permohonan maaf atas segala kemungkinan terjadi kesalahan dan kekhilafan didalam penulisan tesis ini, dan penulis membuka diri untuk segala bentuk kritik serta masukan demi perbaikan dan penyempurnaan penulisan Tesis ini. Akhir kata semoga Tuhan Yesus senantiasa menjaga dan menyertai kita semua dalam menjalankan tugas dan fungsi yang diembankanNya kepada kita masing-masing dan menjadi berkat bagi kita semua, Amin. Makassar, Desember 2018 Penulis. Edy Franseda Sembiring 81611012160003 ABSTRAK EDY FRANSEDA SEMBIRING. NIM. 81611012160003. ANALISIS YURIDIS FUNGSI DAN KEDUDUKAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL. (dibimbing oleh Marthen Arie dan Liberthin Palullungan). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan kedudukan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam sistem pemerintahan presidensial dan (2) untuk menganalisis konsekuensi yuridis terhadap kewenangan MKD dalam sistem pemerintahan presidensial. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).. Kedudukan MKD berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dijelaskan secara eksplisit di dalam Pasal 119, yang menyebutkan bahwa Majelis Kehormatan Dewan adalah suatu lembaga yang dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap serta memiliki tugas dan fungsi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Secara yuridis dapat dilihat bahwa, MKD diberikan kewenangan penuh layaknya seperti lembaga peradilan dan penegak etik yang sifatnya independen, karena putusan yang dibuat oleh Mahkamah sifatnya final dan mengikat. Hanya saja Dalam melaksanakan kewenangannya MKD bisa saja dipengaruhi oleh pihak luar, mengingat lembaga MKD yang merupakan perwakilan fraksi dan orang yang dipercayai fraksi serta bisa kapan saja ditarik oleh fraksinya, dampak negatif kepada integritas dan transparansi yang akan memperbesar kemungkinan terjadi konflik kepentingan (conflic of interest) dalam lembaga ini. Kata Kunci : Kedudukan Mahkamah Kehormatan Dewan, Penegakan kode etik. ABSTRACT EDY FRANSEDA SEMBIRING. NIM. 81611012160003. JURIDICAL ANALYSIS OF FUNCTIONS AND POSITION OF COURT HONORS IN THE PRESIDENTIAL GOVERNMENT SYSTEM (guided by Marthen Arie and Liberthin Palullungan). The research aims to: (1) describe the position of the Board of Honor Court (MKD) in the presidential government system and (2) to analyze the juridical consequences of MKD authority in a presidential government system. This research is a normative study. The approach used by the legislative approach and conceptual approach MKD position based on Law No. 17 of 2014 concerning the MPR, DPR, DPD, and DPRD explained explicitly in Article 119, the Board of Honor is an institution formed by the DPR and as a complete DPR has the duty and function to maintain and uphold the honor of the DPR From Juridical, it can be seen, MKD given a full authority just like a judicial institution and an ethical enforcer that is independent, because it decisions made by MKD are final and binding. It's just that in carrying out its authority MKD can be influence by outside parties, considering MKD institutions that are representatives of factions and people who are trusted by the faction and can be withdrawn at any time by their factions, negative impacts on integrity and transparency that will increase the possibility of conflicting interests ) in this institution Keywords: Position of the Board of Honor Court, Enforcement of the code of ethics. DAFTAR ISI Kata Pengantar ii ABSTRAK v ABSTRACT vi DAFTAR ISI vii BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang Masalah 1 B. Rumusan Masalah 6 C. Tujuan Penelitian 6 D. Manfaat Penelitian 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 A. Sistem Pemerintahan 8 B. Lembaga Negara Sebagai Organisasi 15 C. Pemisahan Kekuasaan dan Perkembangannya 25 1. Fungsi-fungsi Kekuasaan 25 2. Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan 33 D. Tinjauan Umum Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 39 E. Tunjauan Umum Mahkamah Kehormatan Dewan 51 F. Penegakan kode Etik 55 1. Pengertian Kode Etik 55 2. Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 61 3. Jenis-jenis Pelanggaran kode etik 69 4. Macam-Macam Sanksi Etik 72 G. Landasan Teori 75 H. Kerangka Pikir 80 I. Bagan Kerangka Pikir 81 G. Definisi Operasional 82 BAB III METODE PENELITIAN 84 A. Tipe Penelitian 84 B. Jenis dan Sumber Data 85 C. Teknik Pengumpulan Data 86 D. Analisis Data 86 BAB IV PEMBAHASAN 88 1. Kedudukan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Dalam Menjalankan Fungsi Pada Sistem Pemerintahan Presidensial 88 2. Konsekuensi Yuridis Kewenangan MKD Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial. 95 BAB V PENUTUP 110 Kesimpulan 110 Saran 111 DAFTAR PUSTAKA 112 TESIS ANALISIS YURIDIS FUNGSI DAN KEDUDUKAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL DISUSUN DAN DIAJUKAN OLEH EDY FRANSEDA SEMBIRING 81611012160003 Menyetujui Komisi Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H. Dr. Liberthin Palullungan, S.H.,M.H. NIDN. 131 475 322 NIDN. 09 031158 01 Mengetahui, Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar Dr. Yotham Th. Timbonga.B.Th SH., MH. NIDN. 1953072119 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Sistem adalah suatu keseluruhan, yang terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antar bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya itu Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet. ke-5, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 171.. Sistem Pemerintahan juga dapat diartikan sebagai suatu struktur yang terdiri dari fungsi fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif yang saling berhubungan, bekerja sama dan mempengaruhi satu sama lain. Secara demikian sistem pemerintahan adalah cara kerja lembaga-lembaga negara satu sama lainnya. Pada umumnya sistem pemerintahan dibedakan kedalam dua sistem utama, yaitu sistem presidensiil dan parlementer, diluar kedua sistem tersebut merupakan sistem campuran atau kuasa parlemnter atau kuasa presidensiil, ada juga menyebut sistem referendum. Konsep yang paling terkenal dalam pembagian kekuasaan adalah konsep klasik trias politika yang dikembangkan sejak abad ke-18 oleh Baron de Montesquieu, yang dikenal luas dan digunakan di banyak negara sebagai dasar pembentukan struktur kenegaraan. Konsep ini membagi tiga fungsi kekuasaan negara, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Montesquieu menggambarkan bahwa ketiga fungsi kekuasaan negara itu dilembagakan masing-masing ke dalam tiga organ negara yang berbeda, setiap organ menjalankan satu fungsi, serta tidak saling mencampuri urusan satu dengan lainnya. Walaupun tidak secara tegas diaplikasikan, secara garis besar Indonesia mengadopsi bentuk trias politika ini. Konsep Trias Politika sudah lama dipandang oleh banyak ahli sebagai hal yang tidak relevan lagi, karena kenyataan bahwa sangat sulit memisahkan kekuasaan negara dalam praktik penyelenggaraan negara/pemerintahan. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Setjen MKRI, 2006, hal. 36. Perjalanan lahirnya perangkat pengaturan kelembagaan politik dalam konteks demokratisasi, diarahkan dalam rangka usaha menciptakan check and balances. Check and balances mempunyai arti mendasar dalam hubungan antar kelembagaan negara. Misalnya, untuk aspek legislasi, check and balances mempunyai lima fungsi. Pertama, sebagai fungsi penyelenggara pemerintahan, di mana eksekutif dan legislatif mempunyai tugas dan tanggungjawab yang saling terkait dan saling memerlukan konsultasi sehingga terkadang tampak tumpang tindih. Namun di sinilah fungsi check and balances agar tidak ada satu lembaga negara lebih dominan tanpa control dari lembaga lain. Kedua, sebagai fungsi pembagi kekuasaan dalam lembaga legislatif sendiri, di mana melalui sistem pemerintahan yang dianut, seperti halnya sistem presidensial di Indonesia, diharapkan terjadi mekanisme kontrol secara internal. Ketiga, fungsi hirarkis antara pemerintah pusat dan daerah. Keempat, sebagai fungsi akuntabilitas perwakilan dengan pemilihnya. Kelima, sebagai fungsi kehadiran pemilih untuk menyuarakan aspirasinya Nurliah Nurdin, Komparasi Sistem Presidensial Indonesia dan Amerika Serikat: Rivalitas Kekuasaan antara Presiden & Legislatif, Penerbit MIPI, Jakarta, 2012, hal. 248. Tetapi pada kenyataannya, dengan ketidak mampuan kelompok reformasi total jamak, seperti halnya mahasiswa dan masyarakat sipil dalam berhadapan dengan kelompok regim maka proses politik mengalami kompromi berhadapan dengan dominasi kalangan pro status quo dan pihak pendukung perubahan gradual. Pada gilirannya kondisi ini, memunculkan tuduhan tentang perlindungan kepentingan status quo dan bahkan anggapan rekayasa demokrasi prosedural perwakilan Indriawati Dyah Saptaningrum et.al., Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Politik Transaksional: Penilaian terhadap Kebijakan HAM dalam Produk Legislasi dan Pengawasan DPR Periode 2004-2009, Penerbit Elsam Jakarta, 2011, hal. 5.. Sistem kelembagaan presidensial modern memungkinkan dibentuknya lembaga penegak etik bagi anggota parlemen. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa parlemen yang berevolusi menjadi lebih baik memungkinkan untuk dapat diawasi terhadap setiap perilaku dalam menjalankan tugas-tugas institusionalnya. Pengawasan perilaku anggota parlemen dapat berasal dari luar kelembagaan parlemen maupun dari internal parlemen. Pengawasan eksternal bisa dilakukan oleh konstituen secara langsung maupun oleh partai politik. Pengawasan dari dalam dapat dilakukan oleh sebuah lembaga yang dibentuk oleh parlemen itu sendiri yang biasa disebut dengan Badan Kehormatan (BK) atau Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Sri Karyati ,Rekonstruksi Kelembagaan Penegakan Etika Parlemen, Jurnal Etika dan Pemilu, volume 1 No. 1 - juni 2015, Hlm. 60. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 119 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), menjelaskan bahwa MKD adalah suatu lembaga yang dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yang bertujuan untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) . Pada tataran parlemen pusat telah dibentuk MKD DPR RI dan Dewan Kehormatan pada organisai DPD. Pada organisasi DPRD melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD telah dibentuk Badan Kehormatan yang merupakan bagian dari alat kelengkapan Dewan. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Dalam sistem pemerintahan presidensial, pengukuran tingkat stabilitas pemerintahan dari perubahan pemerintahan eksekutif juga dianggap penting, bahkan dapat dikatakan perubahan pemerintahan eksekutif sebagai resiko terbesar dalam instabilitas. Fitra arsil, teori sistem pemerintahan : pergeseran konsep dan saling kontribusi antar sistem pemerintahan di berbagai Negara, PT RajaGrafindo Persada cetakan ke-1, 2017 Depok hal. 112 Pemerintahan dalam sistem presidensial yang dirancang fixed term dalam kenyataannya juga mengalami resiko kejatuhan dalam masa jabatannya seperti yang terjadi dalam sistem parlementer. Impeachment telah menjadi salah satu puncak dari instabilitas di sistem presidensial dan realitas di Negara penganut sistem presidensil. Debat mengenai stabilitas di sistem presidensil memang terkait isu mengenai konflik eksekutif dan legislatif yang dianggap memiliki potensi besar. Konflik eksekutif-legislatif dalam sistem presidensial dapat berujung kepada berbagai kondisi seperti pemberhentian presiden, democratic breakdown ataupun deadlock yang bukan saja beresiko berubahnya pemerintahan, namun juga dapat memicu dilakukannya penyelesaian non demokratis. Anibal Perez linan, Presidential impeachment and the New Political Instability In Latin America (Cambridge University Press, 2007) Hal. 1 Ancaman terhadap stabilitas seperti hubungan eksekutif dan legislatif yang menemui jalan buntu di sistem presidensial Nampak memancing penyelesaian di luar konstitusi. Dalam beberapa kasus presiden yang terancam oleh parlemen mendorong militer ikut campur atau di lain pihak parlemen tampil sebagai pihak yang mendorong gerakan massa penggulingan presiden. Ibid Berdasarkan uraian di atas, penulis terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Fungsi Dan Kedudukan Mahkamah Kehormatan Dewan Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial”. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan yang dikaji antara lain : Bagaimana kedudukan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam menjalankan fungsi pada sistem pemerintahan presidensial ? Bagaimana konsekuensi yuridis terhadap kewenangan MKD dalam sistem pemerintahan presidensial? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini antara lain : Untuk mendeskripsikan kedudukan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam sistem pemerintahan presidensial. Untuk menganalisis konsekuensi yuridis terhadap kewenangan MKD dalam sistem pemerintahan presidensial. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum Tata Negara pada khususnya. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dibidang hukum serta bahan masukan bagi penelitian sejenis dimasa yang akan dating. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan Penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk menegakkan dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran secara lengkap mengenai Fungsi dan Kedudukan Mahkamah Kehormatan Dewan Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sistem Pemerintahan Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata “sistem” dan “pemerintahan”. Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antar bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya itu Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim Op.cit hlm 171 . Pemerintahan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara sendiri; jadi tidak diartikan sebagai pemerintahan yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legislatif dan yudikatif, sehingga sistem pemerintahan adalah pembagaian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam rangka kepentingan rakyat Ibid. Dalam ilmu negara umum (algemeine staatslehre) yang dimaksud dengan sistem pemerintahan ialah sistem hukum ketatanegaraan, baik yang berbentuk monarki maupun republik, yaitu mengenai hubungan antar pemerintah dan badan yang mewakili rakyat. Ditambahkan Mahfud MD, sistem pemerintahan dipahami sebagai sebuah sistem hubungan tata kerja antar lembaga-lembaga Negara Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislatif: Menguatnya model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 23. Senada dengan pendapat para ahli tersebut, Jimly Asshiddiqie mengemukakan, sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Buana Ilmu, Jakarta, 2007, hlm. 311. Ditinjau dari aspek pembagian kekuasaannya, organisasi pemerintah dapat dibagi dua, yaitu : pembagian kekuasana secara horizontal didasarkan atas sifat tugas yang berbeda-beda jenisnya yang menimbulkan berbagai macam lembaga di dalam suatu negara, dan pembagian kekuasaan secara vertikal menurut tingkat pemerintahan, melahirkan hubungan antara pusat dan daerah dalam sistem desentralisasi dan dekonsentrasi Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, loc.cit.. Dari penelusuran berbagai literatur hukum tata negara dan ilmu politik, terdapat beberapa varian sistem pemerintahan. C.F. Strong membagi sistem pemerintahan ke dalam kategori : parliamnetary executive dan non-parliamnetary executive atau the fixed executive. Lebih bervariasi lagi Giovanni Sartori membagi sistem pemerintahan menajadi tiga kategori : presidentialism, parliamnetary system, dan semi-presidentialism. Jimly Asshiddiqie dan Sri Soemantri juga mengemukakan tiga variasi sistem pemerintahan, yaitu : sistem pemerintahan presidensial (presidential system), sistem parlementer (parliamnetary system), dan sistem pemerintahan campuran (mixed system atau hybrid system) Saldi Isra, op.cit., hlm. 24-25. Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan yang paling luas diterapkan diseluruh dunia. Sistem parlementer lahir dan berkembang seiring dengan perjalanan ketatanegaraan Inggris. Saldi Isra, Ibid., hlm. 26 Dalam sistem parlementer hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan sangat erat. Hal ini disebabkan adanya pertanggung jawaban para menteri terhadap parlemen, maka setiap kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukunganan kepercayaan dengan suara terbanyak dari parlemen yang berarti, bahwa setiap kebijakasanaan pemerintah atau kabinet tidak boleh menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm. 172 Mariam Budiardjo menyatakan bahwa dalam sistem pemerintahan parlementer, badan eksekutif dan badan legislatif bergantung satu sama lain. Kabinet sebagai bagian dari badan eksekutif yang “bertanggung jawab” diharapkan mencerminkan kekuatan-kekuatan politik dalam badan legislatif yang mendukungnya, dan mati-hidupnya kabinet tergantung pada dukungan dalam badan legislatif (asas tanggung jawab menteri) Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 297. Selanjutnya Saldi Isra menyimpulkan bahwa, disamping pemisahan jabatan kepala negara (head of master) dengan kepala pemerintahan (head of goverment), karakter paling mendasar dalam sistem pemerintahan parlementer adalah tingginya tingkat dependensi atau ketergantungan eksekutif kepada dukungan parlemen. Apalagi, eksekutif tidak dipilih langsung oleh pemilih sebagaimana pemilihan untuk anggota legislatif. Oleh karena itu parlemen menjadi pusat kekuasaan dalam sistem pemerintahan parlementer Saldi Isra, op.cit., hlm. 30-31. Amerika Serikat merupakan tanah kelahiran dan contoh ideal sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini lahir sebagai upaya Amerika Serikat menentang dan melepaskan diri dari kolonial Inggris, dengan membentuk sistem pemerintahan yang berbeda, yaitu pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif sebagaimana konsep Trias Politica-nya Montesquieu Saldi Isra, Ibid., hlm. 31-32. Jimly Asshiddiqie mengemukakan sembilan karakter pemerintahan presidensial sebagai berikut : Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya kepala negara adalah sekaligus kepala pemerintahan Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen Berlaku prinsip supremasi konstitusi, karena itu pemerintah eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat Jimly Asshiddiqie, op.cit.,, hlm. 316. Salah satu karakter sistem pemerintahan presidensial yang utama adalah presiden memegang fungsi ganda, yaitu sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dalam kekuasaan eksekutif, sebagai kepala pemerintah, Presiden memegang kekuasaan tunggal dan tertinggi. Presiden memilih dan mengangkat menteri anggota kabinet dan berperan penting dalam pengambilan keputusan didalam kabinet, tanpa bergantung kepada lembaga legislatif. Karakter sistem presidensial dapat juga dilihat dari pola hubungan antara lembaga eksekutif (presiden) dengan lembaga legislatif, dimana adanya pemilihan umum yang terpisah untuk memilih presiden dan anggota legislatif. Sistem presidensial membawa ciri yang kuat pada pemisahan kekuasaan, dimana badan eksekutif dan badan legislatif bersifat independen satu sama lain Saldi Isra, op.cit., hlm. 40. Sistem pemerintahan campuran (mixed system atau hybrid system) adalah sistem pemerintahan yang berupaya mencarikan titik temu antar sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Fungsi ganda presiden sebagaimana dalam sistem pemerintahan presidensial tetap dipertahankan. Namun sebagai kepala pemerintahan, presiden berbagi kekuasaan dengan perdana menteri yang menimbulkan dual executive system Saldi Isra, Ibid., hlm. 48. Berdasarkan pola hubungan antara presiden dengan perdana menteri atau lembaga legislatif, pengaturan dalam konstitusi dan situasi politik sebuah negara mix system dapat menjadi sistem semi-presidensial dan semi-parlementer. Jika konstitusi atau situasi politik cenderung memberikan kekuasaan lebih besar bagi presiden, sistem pemerintahan campuran lebih sering disebut dengan sistem semi-presidensial. Sebaliknya jika perdana menteri dan badan legislatif mempunyai kekuasaan lebih besar dari presiden, sistem campuran lebih sering disebut dengan sistem semi-parlementer Saldi Isra, Ibid., hlm. 45. Sistem pemerintahan yang dianut Indonesia sebelum perubahan UUD 1945 menurut Bagir Manan terdapat dua pendapat yang lazim digunakan, yaitu : Kelompok yang berpendapat bahwa Indonesia menganut sistem presidensial dan kelompok yang berpendapat bahwa Indonesia menganut sistem campuran. Para ahli yang berpendapat sebagai sistem presidensial karena presiden adalah kepala pemerintahan dan ditambah dengan karakter : (a) ada kepastian masa jabatan presiden, yaitu lima tahun; (b) presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR; dan (c) presiden tidak dapat membubarkan DPR. Sementara itu, yang berpendapat bahwa Indonesia menganut sistem pemerintah campuran karena selain terdapat karakter sistem pemerintahan presidensial terdapat pula karakter sistem parlementer. Ciri parlementer yang dimaksudkan adalah presiden bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat yang dalam hal ini MPR. Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 78-79 Perubahan Pertama hingga Keempat UUD 1945, telah menjadikan sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami berbagai perubahan yang amat mendasar. Perubahan-perubahan itu mempengaruhi struktur dan mekanisme struktural organ-organ negara Indonesia. Banyak pokok pikiran baru yang diadopsikan ke dalam kerangka UUD 1945 tersebut, di antaranya adalah: (1) Penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi secara komplementer; (2) pemisahan kekuasaan dan prinsip checks and balances; (3) pemurnian sistem pemerintah presidensial; dan (4) Penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, makalah disamapaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 14-18 Juli 2003), hlm. 2-3 Perubahan ini yang saat ini menimbulkan berbagai kelembagaan negara dan pembentukan sistem dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis. Lembaga Negara Sebagai Organisasi Lembaga negara adalah sebuah organisasi berbentuk lembaga pemerintahan atau "Civilized Organization", yang dibuat oleh negara dan bertujuan untuk membangun negara itu sendiri. Lembaga negara secara umum terbagi dalam beberapa macam dan mempunyai tugasnya masing-masing. Pada prinsipnya, tugas umum lembaga negara antara lain: Menjaga kestabilan atau stabilitas keamanan, politik, hukum, HAM, dan budaya; Menciptakan suatu lingkungan yang kondusif, aman, dan harmonis; Menjadi badan penghubung antara negara dan rakyatnya; Menjadi sumber insipirator dan aspirator rakyat; Memberantas tindak pidana korupsi, kolusi, maupun nepotisme; dan Membantu menjalankan roda pemerintahan Negara. Pengertian dan konsep kelembagaan negara dimulai dari konsep pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan, yang sama-sama merupakan konsep mengenai adanya kekuasaan yang berbeda dalam penyelenggaraan negara. Secara luas konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) mencakup pengertian pembagian kekuasaan yang biasa disebut dengan istilah, “division of power‟ (distribution of power). Pemisahan kekuasaan merupakan konsep hubungan kekuasaan yang bersifat horisontal, sedangkan konsep pembagian kekuasaan bersifat vertikal. Secara horisontal, kekuasaan negara dapat dibagi ke dalam beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga negara tertentu, yaitu legislatif, eksekutif, dan judikatif. Sedangkan dalam konsep pembagian kekuasaan (distribution of power atau division of power) kekuasaan negara dibagikan secara vertikal dalam hubungan “atas-bawah‟. Konsep lain tentang pembagian kekuasaan adalah pembagian antara capital division of power dan areal division of power. Dalam memahami pengertian organ atau lembaga negara, dapat dilihat dari pandangan Hans Kelsen mengenai the Concept of the State Organ dalam bukunya General Theory of Law and State (Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara). Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Russell & Russell, New York, 1961, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Cetakan I, Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, Bandung, September 2006, hlm. 276-277 Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ”. Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (norm creating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applaying). “These functions, be they of a normcreating or of a normapplying character, are all ultimately aimed at the execution of a legal sanction. Menurut Hans Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan warga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum, sama-sama merupakan organ negara dalam arti luas. Pendek kata, dalam pengertian yang luas ini, organ negara identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik atau pejabat umum (public officials). Jimly Asshiddiqie op.cit., hlm. 32 Selanjutnya Hans Kelsen menyatakan, “An organ, in this sense, is an individual fulfilling a specific function”. Kualitas individu itu sebagai organ negara ditentukan oleh fungsinya. “He is an organ because and in so far as he performs a lawcreating or lawapplying function”. Individu tersebut dapat disebut sebagai organ negara, karena ia menjalankan fungsi yang menciptakan hukum (lawcreating function) atau fungsi yang menerapkan hukum (lawapplying function). Hans Kelsen, loc.cit., Selain konsep di atas, ada satu konsep lain yang lebih sempit, yakni konsep "material". Menurut konsep material, seseorang disebut "organ” negara jika dia secara pribadi menempati kedudukan hukum tertentu (...he personally has a specific legal position). Transaksi hukum, yakni perjanjian, merupakan tindakan membuat hukum, seperti halnya keputusan pengadilan. Pihak-pihak yang mengadakan perjajian, dan juga hakim melakukan fungsi membuat hukum, tetapi hakim adalah sebuah organ negara dalam pengertian yang lebih sempit, sedangkan pihak-pihak dalam perjanjian tidak dianggap sebagai organ negara. Hakim adalah organ negara menurut pengertian yang lebih sempit ini karena dia dipilih atau diangkat untuk menduduki fungsinya, karena dia menjalankan fungsinya secara profesional dan karena itu menerima upah reguler, gaji, yang bersumber dari keuangan Negara. Hans Kelsen, Ibid., Ciri-ciri penting organ negara dalam arti sempit adalah (i) organ negara itu dipilih atau diangkat untuk menduduki jabatan atau fungsi tertentu; (ii) fungsi itu dijalankan sebagai profesi utama atau bahkan secara hukum bersifat eksklusif; dan (iii) karena fungsinya itu, ia berhak untuk mendapatkan imbalan gaji dari negara. Jimly Asshiddiqie op.cit., hlm. 33 Dengan demikian, lembaga atau organ negara dalam arti sempit dapat dikaitkan dengan jabatan dan pejabat (officials), yaitu jabatan umum, jabatan publik (public office) dan pejabat umum, pejabat publik (public official). Dengan perkataan lain, meskipun dalam arti luas semua individu yang menjalankan lawcreating and law applying function adalah organ, tetapi dalam arti sempit yang disebut sebagai organ atau lembaga negara hanyalah yang menjalankan lawcreating or law-applying function dalam konteks kenegaraan saja. Individu yang berada di luar konteks jabatan organik kenegaraan, tidak relevan disebut sebagai organ atau lembaga negara. Jimly Asshiddiqie, Ibid., hlm. 33-34 Menurut Jimly Asshidiqie, konsep organ negara dan lembaga negara sangat luas maknanya, sehingga tidak dapat dipersempit hanya pada pengertian tiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif saja. Adapun, konsep/pengertian organ negara dan lembaga negara menurutnya adalah : Pertama, dalam arti yang paling luas, pengertian pertama, organ negara paling luas mencakup setiap individu yang menjalankan fungsi lawcreating dan lawapplying; Kedua (pengertian kedua), organ negara dalam arti luas tetapi lebih sempit dari pengertian pertama, yaitu mencakup individu yang menjalankan fungsi lawcreating atau lawapplying dan juga mempunyai posisi sebagai atau dalam struktur jabatan kenegaraan atau jabatan pemerintahan; Ketiga, organ negara dalam arti yang lebih sempit, yaitu badan atau organisasi yang menjalankan fungsi lawcreating dan/atau lawapplying dalam kerangka struktur dan sistem kenegaraan atau pemerintahan. Di dalam pengertian ini, lembaga negara mencakup pengertian lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU, Peraturan Presiden ataupun oleh keputusan-keputusan yang tingkatannya lebih rendah, baik di tingkat pusat ataupun di tingkat daerah. Keempat, dalam pengertian keempat yang lebih sempit lagi, organ atau lembaga negara itu hanya terbatas pada pengertian lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU, atau oleh peraturan yang lebih rendah. Kelima, di samping itu keempat pengertian di atas, untuk memberikan kekhususan kepada lembaga-lembaga negara yang berada di tingkat pusat yang pembentukannya diatur dan ditentukan oleh UUD 1945, yaitu lembaga Kepresidenan (Presiden dan Wakil Presiden), MPR, DPR, DPD, MA, MK, dan BPK dapat pula disebut sebagai lembaga negara yang tersendiri, karena kedudukannya yang tinggi, sekiranya lembaga-lembaga konstitusional ini hendak disebut sebagai lembaga tinggi negara juga dapat diterima. Semua lembaga konstitusional dianggap sederajat dan hanya dibedakan dari perbedaan fungsi dan kewenangannya masing-masing. Ketujuh lembaga tinggi negara inilah yang dapat dikaitkan dengan pengertian alat-alat perlengkapan negara yang utama (main organs). Jimly Asshiddiqie, Ibid., hlm. 35-36 Di sisi lain Sri Soemantri menyatakan bahwa, lembaga-lembaga negara merupakan lembaga-lembaga yang ditentukan dalam konstitusi. Hal ini mengacu pada pendapat K.C. Wheare, bahwa konstitusi digunakan untuk menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara. Lord James Bryce menegaskan bahwa konstitusi merupakan suatu kerangka masyarakat politik yang diatur melalui dan atau dengan hukum. Hukum telah menetapkan secara permanen lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi-fungsi dan hak-hak tertentu yang diakui, sedangkan menurut C.F. Strong konstitusi adalah kumpulan yang mengatur dan menetapkan kekuasaan pemerintah, hak-hak yang diperintah, dan hubungan hubungan diantar keduanya atau antara pemerintah dan yang diperintah. Hal ini berarti konstitusi sebagai kerangka negara berisi lembaga-lembaga negara. Lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsi yang terpisah dan memiliki sistem checks and balances, antara lain fungsi legislatif, eksekutif, dan peradilan. Sri Soemantri, “Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945” Sri Soemantri mengatakan bahwa diluar konstitusi juga terdapat lembaga-lembaga negara. Terkait hal tersebut beliau membagi dua sistem ketatanegaraan Indonesia. Pertama, sistem ketatanegaraan dalam arti sempit, yakni hanya berkenaan dengan lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar. Kedua, sistem ketatanegaraan dalam arti luas, yakni meliputi lembaga-lembaga negara yang terdapat di dalam dan di luar Undang-Undang Dasar. Sri Soemantri, Ibid., Upaya pencapaian tujuan negara yang juga tujuan nasional bertambah kompleks, hal itu tidak dapat dicapai hanya dengan lembaga utama saja (main state’s organ). Oleh sebab itu, dibentuklah lembaga-lembaga pembantu (auxiliary state’s organ), yang mempunyai fungsi melayani. Perbedaan lembaga utama dengan lembaga pembantu adalah, lembaga utama merupakan permanent institutions, sedangkan lembaga negara pembantu dapat tumbuh, berkembang, dan mungkin dihapus tergantung pada situasi dan kondisi. Sri Soemantri, Ibid., Menurut Jimly Asshiddiqie terdapat lebih dari 34 organ, jabatan, atau lembaga-lembaga yang secara eksplisit disebut dan diatur keberadaannya dalam UUD 1945. Organ tersebut dapat dibedakan dari dua kriteria, yaitu (i) kriteria hirarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara. Dari segi hirarkinya lembaga atau organ negara dapat dibedakan ke dalam tiga lapis: Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara, yakni : presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA dan BPK. Seluruh lembaga tersebut mendapat kewenangan dari UUD 1945. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, yakni : menteri negara, TNI, Polri, KY, KPU, dan BI. Lembaga-lembaga tersebut ada yang mendapatkan kewenangannya dari UUD, dan ada pula yang mendapatkan kewenangannya dari undang- undang. Organ lapis ketiga adalah lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang. Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 49-51 Dari segi fungsinya, lembaga atau organ negara dapat dibagi menjadi dua, yaitu ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Jimly Asshiddiqie. Ibid., hlm. 90 Ketentuan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menentukan, "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang". Artinya, selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial dan kepolisian negara yang sudah diatur dalam UUD 1945, masih ada badan-badan lainnya yang jumlahnya lebih dari satu yang mempunyai fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu yang menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan. imly Asshiddiqie. Ibid., hlm. 88 Badan atau lembaga lain yang dimaksud itu antara lain adalah Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini, meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, tetapi sama-sama memiliki constitutional importance dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945. Derajat kepentingan suatu lembaga berdasarkan undang-undang dasar dalam sistem negara demokrasi konstitusi Jimly Asshiddiqie. Ibid., hlm. 89 Lebih lanjut Jimly menjelaskan Persoalan konstitusionalitas lembaga negara itu tidak selalu berkaitan dengan derajat hirarkis antara lembaga yang lebih tinggi atau yang lebih rendah kedudukannya secara konstitusional. Persoalan yang relevan adalah “apa dan bagaimana Undang-Undang Dasar (UUD) mengatur dan menentukan hal-hal yang berkaitan dengan lembaga negara dimaksud”. Meskipun kedudukannya lebih rendah dari lembaga konstitusional yang biasa, tetapi selama ketentuan mengenai lembaga yang bersangkutan diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD), berarti lembaga tersebut bersangkutan dengan persoalan konstitusionalitas. Jimly Asshiddiqie, Ibid., hlm. 48 Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm) , sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya. Dalam naskah UUD 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah. Jimly Asshiddiqie, Ibid., hlm. 84 Pemisahan Kekuasaan dan Perkembangannyap 1. Fungsi-fungsi Kekuasaan Salah satu ciri Negara hukum, yang dalam bahasa inggris disebut legal state atau state based on the rule of law, dalam bahasa belanda dan jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara. Meskipun kedua istilah rechtsstaat dan rule of law itu memiliki latar belakang sejarah dan pengertian yang berbeda, tetapi sama-sama mengandung ide pembatasan kekuasaan. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Oleh karena itu, konsep Negara hukum juga disebut sebagai Negara konstitusional atau constitutional state, yaitu Negara yang dibatasi oleh konstitusi. Dalam konteks sama, gagasan Negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan istilah constitutional democracy yang dihubungkan denngan pengertian Negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara cetakan ke-6 PT.Rajagrafindo persada, 2014, hlm. 281 Dalam empat ciri klasik Negara hukum eropa kontinental yang biasa disebut rechtsstaat, terdapat elemen pembatasan kekuasaan sebagai salah satu ciri pokok Negara hukum. Mengenai rechtsstaat, lihat dan cermati beberapa tulisan para pakar dalam sri soemantri, dkk, ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan politik Indonesia: 30 Tahun kembali ke undang-undang dasar 1945, (Jakarta: pustaka Sinar Harapan, 1993). Ide pembatasan kekuasaan itu dianggap mutlak harus ada, karena sebelumnya semua fungsi kekuasaan Negara terpusat dan terkonsentrasi ditangan satu orang, yaitu di tangan raja atau ratu yang memimpin Negara secara turun termurun. Bagaimana kekuasaan Negara itu dikelola sepenuhnya tergantung kepada kehendak pribadi sang raja atau ratu tersebut tanpa adanya kontrol yang jelas agar kekuasaan itu tidak menindas atau meniadakan hak-hak dan kebebasan rakyat. Ibid Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara cetakan ke-6 PT.Rajagrafindo persada, 2014 hlm. 282 Pada prinsipnya, konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara antara lain merupakan pencatatan (registrasi) pembagian kekuasaan didalam suatu negara. Pembagian kekuasaan menurut fungsinya menujukkan perbedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih dikenal sebagai Trias Politika Beberapa literatur menerjemahkan konsep trias politica sebagai pemisahan kekuasaan (separation of power). Lihat Jimly Asshiddiqie. Ibid., hlm. 30..Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam kekuasaan: Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule making function); kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function); ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjudication function). Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (function) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian hak-hak asasi warga negara lebih terjamin. Miriam Budiardjo, DasarDasar Ilmu Politik. Edisi Revisi,Cetakan Pertama, Gramedia, Jakarta, 2008, hlm. 281-282. Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan kekuasaan itu dari segi hak asasi manusia setiap warga Negara, sedangkan John Locke lebih melihatnya dari segi hubungan ke dalam dan keluar dengan Negara-negara lain. Bagi John Locke, penjelmaan fungsi defincie baru timbul apabila fungsi diplomacie terbukti gagal. Oleh sebab itu, yang dianggap penting adalah fungsi federatif, sedangkan fungsi yudisial bagi locke cukup dimasukkan kedalam kategori fungsi eksekutif, yaitu terkait dengan fungsi pertahanan (defence) dan hubungan luar negerilah (diplomasi) yang termasuk ke dalam fungsi eksekutif sehingga tidak perlu disebut tersendiri. Justru dianggap penting oleh Montesquieu adalah fungsi yudisial atau fungsi kekuasaan kehakiman. Ibid Hlm 283 Pada tahun 1748, Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran John Locke yang ditulis dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of the Law). Alasan Montesquieu mengembangkan konsep Trias Politika didasarkan pada sifat despotis raja-raja Bourbon, ia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan dimana warga negaranya merasa lebih terjamin haknya. Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Menurutnya ketiga jenis kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya. Terutama adanya kebebasan badan yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu yang mempunyai latar belakang sebagai hakim, karena disinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak asasi manusia perlu dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurutnya adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang (diutamakan tindakan politik luar negeri), sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang Miriam Budiardjo, Ibid., hlm. 282-283. Montesquieu mengemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin jika ketiga fungsi kekuasaan tidak dipegang oleh satu orang atau badan tetapi oleh ketiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya “kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan, akan menjadi malapetaka jika seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahi menyelenggarakan ketiga kekuasaan tersebut, yakni kekuasaan membuat undang-undang, menyelenggarakan keputusan-keputusan umum, dan mengadili persoalan-persoalan antara individu-individu Miriam Budiardjo, Ibid., hlm. 283. Sementara itu, C. Van Vollenhoven mengembangkan pandangan yang tersendiri mengenai soal ini. Menurutnya, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasa diistilahkan dengan catur praja, yaitu (i) fungsi regeling (pengaturan); (ii) fungsi bestuur (penyelenggaraan pemerintahan); (iii) fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan (iv) fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan. Sedangkan Goodnow mengembangkan ajaran yang biasa diistilahkan dengan di praja, yaitu (i) policy making function (fungsi pembuatan kebijakan); dan (ii) policy executing function (fungsi pelaksanaan kebijakan). Namun, pandangan yang paling berpengaruh di duni adalah seperti yang dikembangkan oleh Montesquieu, yaitu adanya tiga cabang kekuasaan negara yang meliputi fungsi legislatif, eksekutif, dan yudisial. Jimly Asshiddiqie op.cit., hlm. 29-30 Teori pemisahan kekuasaan Montesquieu mengalami perkembangan dan mendapat kritikan. Pemisahan kegiatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak dapat dipisahkan secara tajam satu dengan yang lain. Menurut E. Utrecht, pemisahan mutlak yang dikemukakan oleh Montesquieu mengakibatkan adanya badan negara yang tidak ditempatkan dibawah pengawasan badan kenegaraan lainnya. Ketiadaan pengawasan ini mengakibatkan terbukannya kemungkinan suatu badan kenegaraan melampaui batas kekuasaannya. Jika dilihat dari fungsi negara pada negara hukum modern, pembagian tiga fungsi kekuasaan negara tidak dapat diterima secara mutlak, karena badan negara juga dapat diberi lebih dari satu fungsi. E.Utrech, Pengantar Hukum Administrasiu Negara Indonesia, Cet. 4, 1960, hlm. 17-24 Mariam Budiardjo menyatakan pada abad ke-20 dalam negara yang sedang berkembangan dimana kehidupan ekonomi dan sosial telah menjadi demikian kompleksnya serta badan eksekutif mengatur hampir semua aspek kehidupan kehidupan masyarakat, Trias Politika dalam arti “pemisahan kekuasaan” tidak dapat dipertahankan lagi. Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 282. Selain itu, dewasa ini hampir semua negara modern mempunyai tujuan untuk kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya (Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara dituntut menjalan fungsi secara tepat, cepat, dan komprehensip dari semua lembaga negara yang ada. Dengan kata lain persoalan yang dihadapai oleh negara semakin kompleks dan rumit sehingga penanganannya tidak dapat dimonopoli dan diselesaikan secara otonom oleh negara tertentu saja, melainkan perlu adanya kerjasama antar lembaga negara yang ada. Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Hubungan Kewenangan DPRD dan Kepala Daerah), Alumni, Jakarta, 2006, hlm. 74 Sebagai akibat tuntutan perkembangan yang semakin kompleks dan rumit, organisasi-organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralistis, dan terkonsentrasi tidak dapat lagi diandalkan. Oleh karena itu, muncul gelombang deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi. Salah satu akibatnya, fungsi-fungsi kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi-fungsi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan bahkan yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen. Sehingga dimungkinkan adanya suatu lembaga negara baru yang menjalankan fungsi yang bersifat campuran, dan masing-masing bersifat independen (independent bodies) Jimly Asshiddiqie Ibid., hlm. 20 atau quasi independent. Terdapat beberapa ahli yang mengelompokkan independent agencies (lembaga independen) semacam ini dalam domain atau ranah kekuasaan eksekutif. Ada pula sarjana yang mengelompokkannya secara tersendiri sebagai the fourth branch of the government, seperti yang dikatakan oleh Yves Meny dan Adrew Knapp. Jimly Asshiddiqie Ibid., hlm. 8 Menurut Crince le Roy terdapat kekuasaan lain disamping tiga kekuasaan negara menurut Montesquieu yaitu sering disebut kekuasaan ke-empat, tetapi para ahli sering tidak memberikan tempat bagi kekuasaan yang ditemukan itu didalam pola kekuasaan undang-undang dasar. Akibatnya terjadi ketegangan antar hukum tertulis dengan disatu pihak dengan kenyataan dalam masyarakat dipihak yang lainnya. Meneliti hukum tatanegara Belanda kekuasaan tersebut diberi istilah De Vierde Macht. Kekuasaan lainnya yakni komisi-komisi independent, pers, aparat kepegawaian, kekuasaan;kekuasaan pengawasan, komisi-komisi pelayanan masyarakat, rakyat yang mempunyai hak pilih, kelompok-kelompok penekan dan partai-partai politik. Crince le Roy, Kekuasaaan Ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh Soehardjo, Semarang, 1981, hlm. 21 Badan-badan atau lembaga-lembaga independen yang menjalankan fungsi regulasi dan pemantauan di Amerika serikat disebut juga the headless fourth branch of the government . Jimly Asshiddiqie op.cit., hlm. 9 Konsep Trias Politika yang disampaikan Montesquieu tidak relevan lagi saat ini, mengingat tidak mungkin mempertahankan ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Jimly Asshiddiqie ibid., hlm. 31 2. Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan dianggap berasal dari Montesquieu dengan trias politica-nya. Namun dalam perkembangannya, banyak versi yang biasa dipakai oleh para ahli berkaitan dengan peristilahan pemisahan dan pembagian kekuasaan ini. Istilah "pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara structural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Ibid. hlm 285 Doktrin pemisahan kekuasaan seperti yang dibayangkan oleh Montesquieu itu, dianggap oleh para ahli sebagai pandangan yang tidak realistis dan jauh dari kenyataan. Pandangannya itu dianggap oleh para ahli sebagai kekeliruan Montesquieu dalam memahami system ketatanegaraan inggris yang dijadikannya objek telaah untuk mencapai kesimpulan mengenai trias politica-nya itu dalam bukunya L`Espirit des Lois (1748). ibid Tidak ada satu Negara pun di dunia yang sungguh-sungguh mencerminkan gambaran Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan (separation of power) demikian itu. Bahkan, struktur dan sistem ketatanegaraan inggrisyang ia jadikan objek penelitian dalam menyelesaikan bukunya itu juga tidak menganut system pemisahan kekuasaan seperti yang ia bayangkan. Pandangan Baron de Montequieu biasa dikritik sebagai pandangannya merupakan “an imperfect understanding of the eighteenthcentury English constitution.” Philips, Jackson, and Leopold, Op.Cit., hlm. 12. Oleh karena itu, dengan menyadari banyaknya kritik terhadap teori trias politica Montesquieu, para ahli hukum di Indonesia sering kali menarik kesimpulan seakan-akan istilah pemisahan kekuasaan (separation of power) yang dipakai oleh Montesquieu itu sendiri pun tidak dapat digunakan. Kesimpulan demikian terjadi, karena penggunaan istilah pemisahan kekuasaan itu biasanya diidentikkan dengan teori trias politica Montesquieu, dan seolah-olah istilah pemisahan kekuasaan itu hanya dipakai oleh Montesquieu. Padahal, istilah pemisahan kekuasaan itu sendiri konsep yang bersifat umum, seperti halnya konsep pembagian kekuasaan juga dipakai oleh banyak sarjana dengan pengertian-pengertian yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Ibid Sebagai sandingan atas konsep pemisahan kekuasaan (separation of power), para ahli biasa mengguanakan pula istilah pembagian kekuasaan sebagai terjemah perkataan division of power atau distribution of power. Ada pula sarjana yang justru menggunakan istilah division of power itu sebagai genus, sedangkan separation of power merupakan bentuk species-nya. Bahkan, misalnya, Arthur Mass membedakan pengertian pembagian kekuasaan (division of power) tersebut ke dalam dua pengertian, yaitu: (i) capital division of power; dan (ii) territorial division of power. Pengertian yang pertama bersifat fungsional sedangkan yang kedua bersifat kewilayahan atau kedaerahan. Ibid hlm. 287 Maka dari itu, istilah division of power, distribution of power, dan separation of power sebenarnya dapat saja dipertukarkan maknanya satu sama lain. Misalnya, Arthur Mass menggunakan istilah division of power sebagai genus yang terbagi menjadi capital division of power dan tertitorial division of power. Seperti juga dinyatakan oleh John Alder, “there are several aspects of the separation of powers doctrine which are not entirely consistent”. Ibid Namun demikian, istilah pemisahan kekuasaan (separation of power) itu sendiri sudah biasa digunakan dikalangan para ahli, tidak saja dalam pengertian yang mutlak seperti dalam pandangan Montesquieu, tetapi mencakup pula pengertian-pengertian baru yang berkembang dalam praktik selama abad ke-20 yang sedikit banyak mencakup juga pengertian-pengertian yang kadang-kadang terdapat pula istilah division of powers ataupun distribution of powers, bahkan allocation of powers. Ibid hlm 289 Untuk membatasi pengertian separation of powers itu, dalam bukunya constitutional theory, G. Marshall membedakan ciri-ciri doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu ke dalam lima aspek, yaitu : Differentiation; Legal incompatibility of office holding; Isolation, immunity, independence; Checks and balances; Coordinate status and lack of accountability. G. Marshall, constitutional theory, (clarendon: Oxford University Press, 1971), chapter 5. Pertama, doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu bersifat membedakan fungsi-fungsi kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudisial. Legislator membuat aturan, eksekutor melaksanakannya, sedangkan pengadilan menilai konflik atau perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan aturan itu dan menerapkan norma aturan itu untuk menyelesaikan konflik atau perselisihan. Kedua, doktrin pemisahan kekuasaan menghendaki orang yang menduduki jabatan di lembaga legislatif tidak boleh merangkap pada jabatan di luar cabang legisatif. Meskipun demikian, dalam praktik system pemerintahan parlemen, hal ini tidak diterapkan secara konsisten. Para menteri pemerintahan kabinet di inggris justru dipersyaratkan harus berasal dari mereka yang duduk sebagai anggota parlemen. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Op.cit. Hlm. 290 Ketiga, doktrin pemisahan kekuasaan juga menentukan bahwa masing-masing organ tidak boleh turut campur atau melakukan intervensi terhadap kegiatan organ yang lain. Dengan demikian, independensi masing-masing cabang kekuasaan dapat terjamin dengan sebaik-baiknya. Keempat, dalam doktrin pemisahan kekuasaan itu, yang juga dianggap paling penting adalah adanya prinsip checks and balances, yaitu setiap cabang mengendalikan dan mengimbangikekuatan cabang-cabang kekuasaan yang lain. Dengan adanya pertimbangan yang saling mengendalikan tersebut, diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan di masing-masing organ yang bersifat independen itu. Kemudian yang kelima, adalah prinsip koordinasi dan kesederajatan, yaitu semua organ atau lembaga (tinggi) Negara yang menjalankan fungsi legislatif, eksekutif, dan yudisial mempunyai kedudukan yang sederajat dan mempunyai hubungan yang bersifat koordinatif, tidak bersifat subordinatif satu dengan yang lain. Ibid, Hlm. 290 Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan system supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Montesquieu. Ibid Namun demikian, sekarang setelah UUD 1945 mengalami empat kali perubahan, dapat dikatakan bahwa system kontitusi kita telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan itu secara nyata. Jimly Asshiddqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia Konpress, Jakarta 2005. Beberapa mengenai bukti hal ini antara lain adalah : Adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan presiden ke DPR. Bandingkan saja antara ketentuan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan dengan pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan. Kekuasaan untuk membentuk undang-undang yang sebelumnya berada ditangan presiden, sekarang beralih ke Dewan Perwakilan Rakyat. Diadopsikannya sistem pengujian konstitusional atas undng-undang sebagi produk legislatif oleh mahakamah konstitusi. Sebelumnya tidak dikenal adanya mekanisme semacam itu, karena pada pokoknya undang-undang tidak dapat diganggu gugat di mana hakim dianggap hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang. Diakuinya bahwa lembaga pelaku kedaulatan rakyat itu tidak hanya terbatas pada MPR, melainkan semua lembaga Negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat. Presiden, angota DPR, dan DPD sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat dank arena itu sama-sama merupakan pelaksanaan langsung prinsip kedaulatan rakyat. Dengan demikian, MPR juga tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi Negara, melainkan merupakan lembaga (tinggi) Negara yang sama derajatnya dengan lembaga-lembaga (tinggi) Negara lainnya, seperti Presiden, DPR, DPD, MK, dan MA. Hubungan-hubungan antar lembaga (tinggi) Negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Dari kelima ciri tersebut diatas, dapat diketahui bahwa UUd 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut perinsip pembahgian kekuasaan yang bersifat vertikal, tetapi juga tidak menganut paham trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances. Kalaupun istilah pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu hendak dihindari, sebenarnya, kita dapat saja menggunakan istilah pembagian kekuasaan (division of power) seperti yang dpakai oleh Arthur Mass, yaitu capital division of power untuk pengertian yang bersifat horizontal, dan territorial division of power untuk pengertian yang bersifat vertikal. Op.cit Hlm 292 Tinjauan Umum Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga negara yang menjalankan sistem pemerintahan negara memiliki tugas dan wewenang tersendiri yang bertujuan agar dalam pelaksanaannya tidak mengalami ketidakjelasan atau tumpang tindih dengan lembaga negara lainnya. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang dimaksudkan dengan DPR adalah lembaga perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berkaitan dengan pengertian DPR, B.N. Marbun (1982:55) mengutip pendapat Mh. Isnaeni mengemukakan bahwa dewan perwakilan rakyat adalah suatu lembaga kenegaraan yang berfungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat mengenai penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa DPR adalah suatu lembaga yang bertujuan untuk menampung dan menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat di daerah dalam kerangka membentuk suatu tatanan hidup sesuai dengan kehidupan demokrasi yang berdasarkan Pancasila. Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dinyatakan bahwa dibentuk DPR sebagai lembaga legislatif yang mempunyai kedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah. DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat dan berkedudukan sebagai salah satu lembaga tinggi negara. Di dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 diatas, ditetapkan bahwa DPR mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. DPR mempunyai tugas dan wewenang: a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; b. membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang; c. menerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikut sertakannya dalam pembahasan; d. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; e. menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD; f. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, anggaran pendapatan dan belanja negara, serta kebijakan pemerintah; g. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama; h. memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD; i. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan; j. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial; k. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; l. memilih tiga orang calon anggota hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan; m. memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat duta, menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi; n. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau pembentukan undang-undang; o. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; dan p. melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam undang-undang. Mengenai fungsi dan badan legislatif, Sanit (1985 : 204) mengemukakan bahwa memuaskan kehendak masyarakat atau keamanan umum, adalah esensi dari fungsi anggota legislatif selaku wakil rakyat. Perlu diingat bahwa badan legislatif merupakan salah satu unit dari suatu sistem politik. Anggota masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok kepentingan juga merupakan salah satu aspek jaringan kekuasaan disamping eksekutif dan lembaga lainnya. Maka anggota badan tersebut perlu mempertimbangkan berbagai kehendak atau opini yang ada, baik yang datang perorangan, berbagai kesatuan individu seperti kekuatan politik, kelompok kepentingan eksekutif tersebut. Sehingga, para wakil rakyat dituntut untuk menyelaraskan berbagai kehendak atau opini tersebut dalam proses perumusan dan pemutusan kebijakan. Atas dasar kebijakan tersebut tentang usaha DPR dalam menyelaraskan kehendak atau opini pihak terwakil, menuntut perlunya integritas, kemampuan dan kemandirian anggota DPR dalam mewujudkan aspirasi rakyat karena banyak kehendak individu, kelompok-kelompok kepentingan yang mempengaruhi dalam penentuan Kebijakan/Peraturan Daerah. Di dalam sistem perwakilan politik, badan legislatif (DPR) mempunyai posisi dan fungsi yang sentral dalam arti DPR merupakan lembaga yang berkewajiban mewakili rakyat di daerah yang berwenang membentuk peraturan darah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintah daerah. Berkenaan dengan fungsi legislatif yang paling penting adalah : 1. Membuat policy (kebijakan) dan pembuat undang-undang. Untuk ini badan legislatif diberi hak inisiatif, hak. untuk mengadakan amandemen terhadap undang-undang yang disusun pemerintah dan hak budget. 2. Mengontrol badan eksekutif, dalam anti menjaga supaya semua tindakan eksekutif sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan Untuk menyelenggarakan tugas badan perwakilan rakyat diberi hak-hak kontrol khusus. Kedua fungsi legislatif tersebut diatas, merupakan fungsi yang paling pokok yang dimiliki dan dijalankan oleh badan legislatif kedua fungsi tersebut juga merupakan konkretisasi dari tugas perwakilan yang diemban oleh DPR. Kemudian apabila kedua fungsi tersebut terutama fungsi pembuatan undangundang tidak berjalan, maka akan terjadi kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berkaitan dengan wujud fungsi legislatif, Sarundajang (2001 :123-124) mengemukakan dalam tiga dimensi, yaitu : 1. Fungsi Respresentasi; Sebagai fungsi respresentasi, DPR mewakili keanekaragaman demografis (jenis kelamin, umur, lokasi), sosiologi (strata sosial), ekonomi pekerjaan 14 pemilikan atau kekayaan), kultur (adat. kepercayaan, agama), dan politik dalam masyarakat. 2. Fungsi Pembuatan Keputusan; Merupakan fungsi DPR dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah demi tercapainya kesejahteraan yang disepakati. 3. Fungsi Pembentukan Legitimasi. Merupakan fungsi DPR, atas nama rakyat, dalam mengahadapi pihak eksekutif. Secara konstitusional, DPR berfungsi membentuk citra pemerintahan umum dimana pimpinan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang baik dan tidak baik, atau yang dapat diterima dan atau didukung oleh seluruh rakyat, sehingga iklim kerja eksekutif dapat bekerja secara efektif. Sebagai wakil rakyat yang secara institusional berada paling dekat dengan masyarakat, DPR dituntut untuk lebih berperan menyuarakan serta menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat pemilihnya. DPR mempunyai tanggung jawab untuk menjadi mitra pemerintah daerah dalam pembuatan setiap kebijakan daerah serta mengawasi pelaksanaannya yang dilakukan oleh Eksekutif Daerah. Untuk melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana yang telah disebutkan di atas, DPR mempunyai hak seperti di atur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003. DPR mempunyai hak sebagai berikut : 1. Hak Interpelasi a. Hak interpelasi ialah hak dimana meminta keterangan yang ditujukan kepada seorang presiden mengenai kebijaksanaan pemerintah yang dengan syarat harus didukung dan ditandatangani oleh paling sedikit tiga puluh orang anggota dan disetujui oleh suatu sidang paripurna DPR. b. Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf a diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi. c. Pengusulan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya: materi kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan Pemerintah yang akan dimintakan keterangan; dan alasan permintaan keterangan. d. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak interpelasi DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir. 2. Hak Angket a. Hak angket adalah salah satu hak DPR yang diajukan kepada pemerintah (presiden) untuk mengklarifikasi suatu kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah menjadi lebih jelas, lebih transparan, dan mempersoalkan keabsahan kebijakan yang dilakukan pemerintah, apakah sudah memenuhi koridor hukum, dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. b. Pelaksanaan hak angket telah di tentukan dalam UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat, sekurang-kurangnya diajukan oleh 10 orang anggota DPR bisa menyampaikan usulan angket kepada Pimpinan DPR. Usulan disampaikan secara tertulis, disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama fraksinya. Usul dinyatakan dalam suatu rumusan secara jelas tentang hal yang akan diselidiki, disertai dengan penjelasan dan rancangan biaya sedangkan dalam pasal 177 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebutkan bahwa hak angket harus diusulkan oleh paling sedikit oleh dua puluh lima orang anggota serta lebih dari satu fraksi disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya materi kebijakan memuat mengenai pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki dan alasan penyelidikan. Sidang Paripurna DPR dapat memutuskan menerima atau menolak usul hak angket dan bila menerima usul hak angket kemudian DPR membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR apabila ditolak maka usul tersebut tidak dapat diajukan kembali. 3. Hak Menyatakan Pendapat a. Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket atau terhadap dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. b. Pelaksanaan hak menyatakan pendapat terdapat pada Pasal 184 ayat (1) mengatur hak menyatakan pendapat diusulkan paling sedikit 25 orang anggota DPR. Pengusulan diusulkan disertai dokumen yang memuat materi dan alasan usul, dan materi hasil hak angket disertai bukti yang sah atas dugaan pelanggaran hukum sebagaimana Pasal 77 ayat (4) hutuf c. Menggunakan hak menyatakan pendapat selanjutnya diputuskan oleh 3/4 dari 3/4 jumlah anggota DPR. DPR kemudian bersidang untuk memutuskan menerima atau menolak usulan hak menyatakan pendapat. Anggota DPR mempunyai hak sebagai berikut : a. mengajukan rancangan undang-undang; b. mengajukan pertanyaan; c. menyampaikan usul dan pendapat; d. memilih dan dipilih; e. membela diri; f. imunitas; g. protokoler; dan h. keuangan dan administratif. Anggota DPR mempunyai kewajiban: a. mengamalkan Pancasila; b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan; c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan; d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat; f. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya; i. menaati kode etik dan peraturan tata tertib DPR; dan j. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait. Menurut Jimly Asshiddiqie : DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan panggilan paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama lima belas hari sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal pejabat yang disandera sebagaimana dimaksud pada ayat (4) habis masa jabatannya atau berhenti dari jabatannya, yang bersangkutan dilepas dari penyanderaan demi hukum. Tunjauan Umum Mahkamah Kehormatan Dewan Pada awalnya lembaga ini bernama Dewan Kehormatan (DK) sebelum diresmikan sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap dan berganti nama menjadi Badan Kehormatan (BK) pada tahun 2003 dan kemudian diubah menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) seperti saat ini. Nur Habibi, Praktik Pengawasan Etika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jurnal Cita Hukum, Volume 1, Juni 2014, h. 47 Perubahan nama MKD dibentuk berdasarkan amanat Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 42 Tahun 2014. Pada 2 periode sebelumnya, MKD bernama BK, kemudian dengan adanya revisi UU Nomor 27 Tahun 2012 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, BK berganti nama menjadi MKD. Beberapa perubahan terkait MKD, yaitu: Jumlah anggota yang semula 13 orang menjadi 17 orang. Pimpinan MKD semula 3 orang terdiri dari 1 orang ketua dan dua orang wakil ketua, berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2015 perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD ditambah 1 orang wakil ketua. Pembentukan Panel. Berdasarkan Pasal 148 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, MKD harus membentuk Panel yang terdiri dari 3 orang anggota MKD dan 4 orang dari unsur masyarakat. Mahkamah Kehormatan Dewan yang selanjutnya disebut MKD merupakan lembaga baru di parlemen Indonesia, MKD di DPR pada periode sebelumnya diberi nama ”Dewan Kehormatan” yang tidak bersifat tetap dan hanya dibentuk bila terdapat kasus dan disepakati untuk menuntaskan suatu kasus yang menimpa anggota DPR. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, Efektivitas Putusan Badan Kehormatan DPR/DPRD, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, 2011), h. 27 Berbeda halnya dengan periode 1999-2004 yang menyebut: ”Dewan Kehormatan” sebagai kelembagaan yang tidak bersifat tetap (ad hoc) karena lembaga ini dapat dibentuk oleh DPR RI bila terdapat kasus terkait dengan perilaku anggota DPR RI. Hingga periode 1999-2004 berakhir, tidak ada kasus yang berhasil diproses oleh ”Dewan Kehormatan”, sehingga dalam periode tersebut ”Dewan Kehormatan” belum pernah terbentuk guna menjalankan tugas dan fungsinya dalam penegakan Kode Etik DPR RI. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, Efektivitas Putusan Badan Kehormatan DPR/DPRD, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, 2011), h. 16 MKD merupakan salah satu AKD yang dibentuk berdasarkan amanat Pasal 98 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Keputusan DPR Nomor 08/DPR RI/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI Pasal 56-63 yang ditetapkan tanggal 27 September 2005. Berdasarkan Pasal 57 Peraturan Tata Tertib DPR, Dewan menetapkan susunan dan keanggotaan MKD menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan Tahun Sidang dengan jumlah anggota 13 orang, yang terdiri dari tiga orang Pimpinan dan 10 anggota. Sekretariat Jenderal DPR RI, Laporan Lima Tahun DPR RI 2004-2009: Mengemban Amanat dan Aspirasi Rakyat, (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2009), h. 129 Semenjak bergulirnya Undang-Undang No.22 Tahun 2003, MKD menjadi alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan senantiasa diartikan sebagai penjaga dan penegak etik. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Menegakkan Etika Memajukan Parlemen, Rekaman Seminar Nasional Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia: Peran Badan Kehormatan Dalam Menjaga Harkat, Martabat, Kehormatan, dan Citra Lembaga Legislatif, (Jakarta: Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, 2013), h. 46 Mahkamah Kehormatan bekerja dan kode etik adalah pedoman perilakunya. Dalam pelaksanaannya, MKD memiliki dua sanksi yang sangat penting, yaitu sanksi moral dan sanksi hukum. Nur Habibi, Praktik Pengawasan Etika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jurnal Cita Hukum, Volume 1, Juni 2014, h. 42 Dapat dipahami bahwa sanksi moral terjadi secara langsung menunjuk dirinya sendiri bersalah atau telah melakukan suatu perbuatan tercela sehingga efeknya menyangkut psikologis seseorang dalam berfikir dan berperilaku sehingga apa yang dirasakan dalam batinnya tidak dapat diketahui orang lain, sedangkan sanksi hukum sendiri jelas terlihat dan dapat dirasakan. Sesuai Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD saat ini pembentukan MKD bersifat tetap dan bertujuan menjaga serta menegakan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Pembentukan MKD sendiri merupakan respon atas sorotan publik akan kinerja para anggota dewan yang dinilai buruk. Berdasarkan Pasal 79 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR RI menetapkan susunan dan keanggotaan MKD yang terdiri atas semua Fraksi dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap Fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Perubahan nama BK menjadi MKD juga bertujuan untuk memperkuat sebuah Mahkamah Kehormatan Dewan dalam menjaga dan menertibkan moril dan perilaku buruk seorang anggota dewan serta melindungi anggota DPR dari citra buruk pelaku pelanggar etik. Perubahan nomenklatur ini tidak semata-mata berupa perubahan nama, namun juga peningkatan kewenangan MKD. Tugas dan kewenangan MKD hampir sama dengan BK yaitu melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota, namun MKD memiliki tujuan eksplisit untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, juga untuk memperkuat suatu alat kelengkapan yang berfungsi dalam menyelesaikan perkara etik. Berdasarkan ketentuan Tartib DPR pasal 80 ayat (1) dan (2), Pimpinan MKD merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan MKD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MKD dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan Fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat. Penegakan kode Etik Pengertian Kode Etik Kode etik terdiri dari dua kata, yakni kode (code) yang semula berarti tanda, kemudian kode diartikan sebagai kumpulan peraturan yang bersistem, dan kumpulan prinsip yang bersistem. Sementara, etika secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, “ethos” yang mengandung dua makna, sebagai berikut: (1) prinsip-prinsip benar dan salah yang diterima oleh individu atau kelompok sosial, (2) sistem prinsip yang mengatur moralitas dan perilaku yang dapat diterima. Mujar Ibnu Syarif, Contemporary Islamic Political Discourse On The Political Ethics Of State Officials, Shariah Journal, Vol. 22, No. 2, 2014, Artikel diakses pada 29 September 2016, dari http://e-journal.um.edu.my/public/article-view.php?id=6883., h. 163 Dalam istilah lain, etika disebut juga moral, yang berasal dari bahasa Latin yakni “mos” yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 6 Etika menurut bahasa Sansekerta lebih berorientasi kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Etika merupakan kata benda abstrak yang bersifat umum. Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan manusia dalam kaitannya dengan tujuan utama hidupnya. Etika mebahas baik buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia, etika mempersoalkan bagaimana seharusnya manusia berbuat atau bertindak. Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2009), h. 174 Secara khusus penggunaan etika ialah misalnya etika profesi, kode etik, dan perilaku etis. Dewan Pewkilan Daerah Republik Indonesia, Menegakkan Etika Memajukan Parlemen, Rekaman Seminar Nasional Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia: “Peran Badan Kehormatan Dalam Menjaga Harkat, Martabat, Kehormatan, dan Citra Lembaga Legislatif”, (Jakarta: Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, 2013), h. 92 Ada beberapa para ahli yang mengungkapkan pengertian-pengertian etika, diantaranya : James J. Spillane SJ Etika ialah mempertimbangkan atau memperhatikan tingkah laku manusia dalam mengambil suatu keputusan yang berkaitan dengan moral. Etika lebih mengarah pada penggunaan akal budi manusia dengan objektivitas untuk menentukan benar atau salahnya serta tingkah laku seseorang kepada orang lain. Prof. DR. Franz Magnis Suseno Etika merupakan suatu ilmu yang memberikan arahan, acuan dan pijakan kepada tindakan manusia. Aristoteles Mengemukakan etika kedalam dua pengertian yakni Terminius Technicus dan Manner and Custom. Terminius Technicus ialah etika dipelajari sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari suatu problema tindakan atau perbuatan manusia. Sedangkan yang kedua yaitu, manner and custom ialah suatu pembahasan etika yang terkait dengan tata cara dan adat kebiasaan yang melekat dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang sangat terikat dengan arti “baik dan buruk” suatu perilaku, tingkah laku atau perbuatan manusia. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian etika adalah aturan perilaku yang menjadi kebiasaan masyarakat, bersifat baik terhadap suatu peristiwa tertentu dengan mengindahkan sesuatu yang diperbolehkan dalam suatu wilayah tertentu dan bersifat buruk ketika tidak diindahkan dengan suatu perbuatan yang dilarang. Ada pun perbedaan etika dan moral. Etika lebih condong kearah ilmu tentang baik atau buruk, selain itu etika lebih sering dikenal dengan kode etik. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan atau nilai yang berkenaan dengan baik buruk. Kemudian moral dan hukum juga dapat dibedakan walau sebenarnya atau keduanya terdapat hubungan yang cukup erat karena antara yang satu dengan yang lain saling mempengaruhi dan saling membutuhkan. Kualitas hukum ditentukan oleh moralnya, karena itu hukum harus dinilai atau diukur dengan norma moral. Undang-undang moral tidak dapat diganti apabila dalam suatu masyarakat kesadaran moralnya mencapai tahap cukup matang. Sebaiknya moral pun membutuhkan hukum, moral akan mengambang saja apabila tidak dikukuhkan, diungkapkan, dan dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum dapat meningkatkan dampak sosial moralitas. Adapun perbedaan moral dan hukum tersebut antara lain: Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2009), h. 179 Hukum bersifat objektif karena hukum dituliskan dan disusun dalam kitab undang-undang maka hukum lebih memiliki kepastian yang lebih besar. Norma bersifat subjektif dan akibatnya sering kali diganggu oleh pertanyaan atau diskusi yang menginginkan kejelasan tentang etis dan tidaknya. Hukum hanya membatasi ruang lingkupnya pada tingkah laku lahiriah manusia saja. Sedangkan moralitas menyangkut perilaku batin seseorang. Sanksi hukum biasanya dapat dipaksakan. Sedangkan sanksi moral satu-satunya adalah pada kenyataan bahwa hati nuraninya akan merasa tidak tenang. Sanksi hukum pada dasarnya didasarkan pada kehendak masyarakat Sedangkan moralitas tidak akan dapat diubah oleh masyarakat. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah etika selalu berhubungan dengan kebiasaan atau watak manusia (sebagai individu atau dalam kedudukan tertentu), baik kebiasaan atau watak yang baik maupun kebiasaan atau watak yang buruk. Watak baik yang termanifestasikan dalam kelakuan baik, sering dikatakan sebagai sesuatu yang patut atau sepatutnya. Sedangkan watak buruk yang termanifestasikan dalam kelakuan buruk, sering dikatakan sebagai sesuatu yang tidak patut atau tidak sepatutnya. 8Holilah, Etika Administrasi Publik, Jurnal Review Politik Volume 03 Nomor 02, Desember, 2013, h. 234 Kode etik sendiri bertujuan membantu anggota DPR RI dalam melaksanakan setiap wewenang, tugas, kewajiban, dan tanggung jawabnya kepada negara, masyarakat dan konstituen. Kode etik membantu kinerja anggota DPR RI yang berada dalam Mahkamah Kehormatan guna memantau perilaku politik yang etis, melalui wewenang tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya. Kode etik dalam hal ini dapat disebut sebagai penjaga profesi yang berorientasi pada peran seorang anggota legislatif. Etika diperlukan dalam menjaga profesionalisme. Etika berfungsi menjaga agar pelaku profesi tetap terikat (committed) pada tujuan sosial profesi, sehingga etika profesi dapat berfungsi memelihara agar profesi itu tetap dijalankan sesuai dengan harapan lingkungan sosialnya. Elizabeth Elza Astari Retaduari dan Lukas S. Ispandriarno, Hubungan Keanggotaan Wartawan dalam Organisasi Pers dengan Pengetahuan tentang Kode Etik Jurnalistik (Studi Eksplanatif terhadap Wartawan Anggota PWI Cabang Yogyakarta), h. 2 Materi kode etik berisikan kepribadian dan tanggung jawab anggota, penyampaian pernyataan, ketentuan dalam rapat dan perjalanan dinas. Lalu, materi tentang kekayaan, imbalan dan pemberian hadiah. Konflik kepentingan dan perangkapan jabatan. Materi tentang kerahasiaan negara, hubungan dengan mitra kerja serta sanksi dan rehabilitasi. Kode etik bersifat mengikat dan wajibdipatuhi anggota DPR RI selama di dalam maupun di luar gedung, demi menjaga martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas DPR RI. Saat ini, kode etik DPR RI sudah berbentuk Peraturan. Yang menjaga martabat DPR RI bukanlah lembaga semacam Mahkamah Kehormatan Dewan, tetapi kode etik itu sendiri. Ini berarti kode etik adalah produk yang amat penting dan bahkan kode etik menjadi perisai pelindung DPR RI. Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kode etik adalah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut dilakukan oleh anggota suatu lembaga atau orang yang berprofesi tertentu. Semua profesi memiliki rumusan kode etik tertentu, contohnya kode etik dokter; kode etik notaris; kode etik kepolisian; kode etik jurnalis dan lain sebagainya. Kode etik akan menjaga kehormatan dan nama baik suatu lembaga atau organisasi, meningkatkan kredibilitas serta menjadi pengarah profesi. Semakin beradab suatu masyarakat, semakin tinggi pelaksanaan kode etik, maka semakin maju negara tersebut. Pengaturan kode etik anggota DPR telah diatur di Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR, diantaranya sebagai berikut: Pasal 2 Peraturan DPR Nomor 1Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR. 1. Kode etik yang mengatur tentang Kepentingan Umum anggota DPR: a. Anggota dalam setiap tindakannya harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang dan golongan. b. Anggota bertanggung jawab mengemban amanat rakyat, melaksanakan tugasnya secara adil, mematuhi hukum, menghormati keberadaan lembaga legislatif dan mempergunakan fungsi, tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. c. Anggota mengutamakan penggunaan produk dalam negeri. d. Anggota harus selalu menjaga harkat, martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas dalam melaksanakan tugas serta dalam menjalankan kebebasannya menggunakan hak berekspresi, beragama, berserikat dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. e. Anggota yang ikut serta dalam kegiatan organisasi di luar DPR harus mengutamakan tugasnya sebagai anggota. 2. Kode etik yang mengatur tentang Integritas sebagai anggota DPR: Ibid pasal 3 a. Anggota harus menghindari perilaku tidak pantas atau tidak patut yang dapat merendahkan citra dan kehormatan DPR baik diluar maupun di dalam gedung DPR menurut pandangan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat. b. Anggota sebagai wakil rakyat memiliki pembatasan pribadi dalam bersikap, bertindak, dan berperilaku. c. Anggota dilarang memasuki tempat prostitusi, perjudian, dan tempat lain yang dipandang tidak pantas secara etika, moral dan norma yang berlaku di masyarakat kecuali untuk kepentingan tugasnya sebagai Anggota DPR. d. Anggota harus menjaga nama baik dan kewibawaan DPR. e. Anggota dilarang meminta dan menerima pemberian atau hadiah selain dari apa yang berhak diterimanya sesuai dengan peraturan. 3.Kode etik yang mengatur tentang Hubungan dengan Mitra Kerja anggota DPR: Ibid pasal 4 a. anggota harus bersikap profesional dalam melakukan hubungan dengan mitra kerja. b. Anggota dilarang melakukan hubungan dengan mitra kerjanya untuk maksud tertentu yang mengandung potensi korupsi, kolusi dan nepotisme. 4. Kode etik yang mengatur tentang Akuntabilitas seorang anggota DPR: Ibid pasal 5 a. Anggota bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya demi kepentingan negara. b. Anggota harus bersedia untuk diawasi oleh masyarakat dan konstituennya. c. Anggota wajib menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi rakyat kepada pemerintah secara adil tanpa memandang SARA. d. Anggota harus mampu memberikan penjelasan dan alasan ketika dimintai oleh masyarakat, atas ditetapkannya sebuah kebijakan DPR. 5. Kode etik yang mengatur tentang Keterbukaan dan Konflik Kepentingan anggota DPR: Ibid pasal 6 a. Sebelum mengemukakan pendapat dalam pembahasan suatu permasalahan tertentu, anggota harus menyatakan jika tidak ada suatu keterkaitan antara permasalahan yang sedang dibahas dengan kepentingan pribadinya di luar kedudukannya sebagai anggota. b. Anggota mempunyai hak suara dalam setiap rapat dan dalam setiap pengambilan keputusan, kecuali mempunyai konflik kepentingan dengan permasalahan yang sedang dibahas. c. Anggota dalam menyampaikan hasil rapat harus sesuai dengan kapasitas, baik sebagai anggota maupun pimpinan alat kelengkapan DPR. d. Anggota dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi, keluarga ataupun golongan. e. Anggota dilarang menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi proses peradilan yang ditujukan untuk kepentingan pribadi atau pihak lain. 6. Kode etik yang mengatur tentang Rahasia, anggota wajib menjaga rahasia yang dipercayakan kepadanya termasuk hasil rapat yang dinyatakan sebagai rahasia sampai batas waktu yang telah di tentukan atau sampai dengan masalah tersebut sudah dinyatakan terbuka untuk umum. Ibid pasal 7 7. Kode etik yang mengatur tentang Kedisiplinan sebagai Anggota DPR: Ibid pasal 8 a. Anggota harus hadir dalam setiap rapat yang menjadi kewajibannya. b. Anggota yang tidak hadir rapat harus disertai keterangan yang sah dari pimpinan fraksi. c. Anggota dalam melaksanakan tugasnya harus berpakaian rapi, sopan dan resmi. d. Anggota harus aktif selama mengikuti rapat terkait dengan pelaksanaan tugas. e. Anggota dilarang menyimpan, membawa dan menyalah gunakan narkoba dalam bentuk apapun. 8. Kode etik anggota DPR yang mengatur tentang Hubungan dengan Konstituen atau Masyarakat: Ibid pasal 8 a. Anggota harus memahami dan menjaga kemajemukan yang terdapat dalam masyarakat. b. Anggota tidak diperkenankan berprasangka buruk terhadap seseorang atas dasar alasan yang tidak relevan baik dengan perkataan maupun tindakannya dalam melaksanakan tugas. c. Anggota harus mendengar dengan penuh perhatian keterangan para pihak dan masyarakat yang diundang dalam acara DPR. d. Anggota harus menerima dan menjawab dengan sikap penuh pengertian terhadap pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat. 9. Kode etik yang mengatur tentang Perjalanan Dinas anggota DPR: Ibid pasal 9 a. Anggota yang melakukan perjalanan dinas ke dalam atau ke luar negeri dengan biaya negara diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Perjalanan dinas yang dimaksud dilakukan dengan menggunakan anggaran yang tersedia dan dilakukan sesuai dengan ketentuan. c. Anggota tidak boleh membawa keluarga dalam suatu perjalanan dinas, kecuali dimungkinkan oleh ketentuan atau atas dasar biaya sendiri. 10. Kode etik yang mengatur tentang Indepedensi anggota DPR: Ibid pasal 10 a. Anggota MKD harus bersikap indepedensi dan bebas dari pengaruh fraksinya atau pihak lain dalam melaksanakan tugasnya. b. Anggota dilarang melakukan upaya intervensi terhadap putusan MKD. c. Dalam melaksanakan tugas, anggota dilarang memenuhi panggilan penegak hukum tanpa ada persetujuan tertulis dari MKD. 11. Kode etik yang mengatur tentang Etika Persidangan: Ibid pasal 11 a. Anggota wajib mematuhi tata cara rapat sebagaimana diatur dalam peraturan. b. Pimpinan dan anggota MKD dalam sidang harus memakai pakaian sipil yang lengkap. c. Anggota dilarang mendekati meja pimpinan rapat, berkata kotor, merusak barang inventaris DPR, dan menghina dan merendahkan pimpinan rapat atau sesama anggota. Jenis-jenis Pelanggaran kode etik Pelanggaran kode etik dewan adalah persoalan klasik yang selalu menjadi persoalan dalam kehidupan nasional maupun internasional. Dalam kehidupan berlembaga, berorganisasi, dan bernegara, pelanggaran kode etik oleh para elitnya merupakan hal penting bagi masyarakat dalam menilai intergritas seseorang dalam menjalankan jabatan publiknya maupun kredibilitas lembaganya. Dewan Pewkilan Daerah Republik Indonesia, Menegakkan Etika Memajukan Parlemen, Rekaman Seminar Nasional Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia: “Peran Badan Kehormatan Dalam Menjaga Harkat, Martabat, Kehormatan, dan Citra Lembaga Legislatif”, (Jakarta: Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, 2013), h. 38 Adapun jenis-jenis pelanggaran etik sesuai dengan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia antara lain yaitu: Pelanggaran Ringan Pelanggaran ringan adalah pelanggaran Kode Etik dengan kriteria sebagai berikut: a. Tidak mengandung pelanggaran hukum b. Tidak menghadiri rapat yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenangnya sebanyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat paripurna dalam 1 (satu) masa sidang atau 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat Alat Kelengkapan DPR dalam 1 (satu) masa sidang tanpa keterangan yang sah dari pimpinan fraksi atau ketua kelompok fraksi Menyangkut etika pribadi dan keluarga Menyangkut Tata Tertib rapat yang tidak diliput media massa Pelanggaran Sedang Pelanggaran sedang adalah pelanggaran Kode Etik dengan kriteria sebagai berikut: Mengandung pelanggaran hukum Mengulangi perbuatannya yang telah dikenai sanksi ringan oleh MKD Mengulangi ketidakhadiran dalam rapat yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenangnya sebanyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat paripurna dalam 1 (satu) masa sidang atau 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat Alat Kelengkapan DPR dalam 1 (satu) masa sidang tanpa keterangan yang sah dari pimpinan fraksi atau ketua kelompok fraksi setelah sebelumnya mendapatkan sanksi ringan Menyangkut pelanggaran tata tertib rapat yang menjadi perhatian publik. Pelanggaran Berat Pelanggaran berat adalah pelanggaran Kode Etik dengan kriteria sebagai berikut: Mengulangi perbuatannya yang telah dikenai sanksi sedang oleh MKD Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Anggota sebagaimana ketentuan mengenai syarat calon Anggota yang diatur dalam undang–undang yang mengatur mengenai pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tertangkap tangan melakukan tindak pidana Terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan telah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Macam-Macam Sanksi Etik Setiap aturan diciptakan untuk mengatur kontrol hidup seseorang agar tetap menjalankan hidup sesuai dengan kelakuan yang baik yang telah ditetapkan dalam suatu tatanan kehidupan, adapun ketika seseorang telah melanggar aturan tersebut maka akan ada suatu hal yang disebut sebagai sanksi yang berfungsi sebagai proses jera agar orang tersebut tidak lagi mengulangi kesalahan lainnya. Penerapan sanksi atas suatu pelanggaran merupakan bagian penutup yang penting di dalam penegakan hukum pemerintahan. Adanya penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran norma-norma pemerintahan pasti akan menimbulkan konsekuensi bagi pemerintah untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan berupa penerapan sanksi hukum kepada warga masyarakat yang telahmelakukan perbuatan melanggar norma pemerintahan, seperti tidak ditaatinya izin yang telah dikeluarkan oleh pemerintah atau tidak sesuai dengan peruntukan dari izin tersebut sehingga menimbulkan kerugian bagi pemerintah. Sehingga dalam hal ini pemerintah harus melakukan suatu tindakan berupa penerapan sanksi baik yang berkaitan dengan pengenaan denda administrasi, paksaan pemerintah (bestuursdwang), pengenaan uang paksa (dwangsom), maupun pencabutan kembali terhadap izin yang telah dikeluarkan Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 299 Jenis sanksi pemerintahan dapat dilihat dari segi sasarannya, yakni berupa sanksi reparatoir artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas terjadinya pelanggaran norma-norma pemerintahan, sehingga ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula sebelum terjadinya pelanggaran tersebut. Selain itu sanksi tidak hanya bersifat sanksi punitif yang artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan hukuman pada seseorang, misalnya berupa denda administrasi, akan tetapi juga sanksi regresif yaitu sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada keputusan atau ketetapan yang diterbitkan. Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 301 Seiring dengan luasnya ruang lingkup dalam penegakan kode etik yang diatur dalam peraturan tentang kode etik, macam-macam sanksi dalam rangka penegakan peraturan itu menjadi beragam. Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat RI, adapun jenis sanksi yang diberikan kepada anggota yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan MKD berupa: Sanksi ringan dengan teguran lisan atau teguran tertulis Sanksi sedang dengan pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan DPR atau pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan DPR Sanksi berat dengan pemberhentian sementara paling singkat 3 (tiga) bulan atau pemberhentian sebagai anggota. Berdasarkan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik Terkait jenis pelanggaran dan penjatuhan sanksi di atas, terbagi menjadi tiga yaitu sanksi ringan, sanksi sedang, dan sanksi berat. Misalnya seperti kasus anggota dewan menjadi seorang narapidana ketika dilantik, dan sakit selama 1 tahun karena yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan sebagai anggota dewan, pelanggaran ini termasuk dalam kualifikasi sanksi berat dengan pemberhentian tetap sebagai anggota DPR RI. Menjadi terdakwa pada kasus tipikor termasuk dalam pelanggaran berat dan dikenakan sanksi pemberhentian sementara. Adanya konflik kepentingan dapat dikenakan sanksi sedang yaitu seperti pemindahan dari Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Sanksi pelanggaran ringan apabila terbukti melanggar kode etik seperti tidak menghadiri rapat 40 persen (%) dalam 1 masa sidang tanpa keterangan yang sah dari pimpinan fraksi. Selain itu, sanksi ringan dapat dijatuhkan apabila suatu pelanggaran tidak mengandung pelanggaran hukum. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam hal Teradu tidak terbukti melanggar Kode Etik, putusan disertai rehabilitasi kepada Teradu. Landasan Teori Teori checks and Balances Dalam diskursus mengenai kelembagaan negara, lembaga perwakilan rakyat selalu menjadi permasalahan yang dianggap penting untuk ditata sedemikian rupa, baik dari segi kelembagaan maupun dari segi kewenangan yang dimiliki lembaga perwakilan tersebut. Dalam teori trias politica yang dikemukakan oleh Montesqieau terlihat sangat jelas bahwa lembaga perwakilan rakyat atau lembaga legislatif merupakan salah satu lembaga negara yang berdiri sendiri yang terpisah dengan lembaga negara yang lainnya. Ibid Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa cabang kekuasaan legislatif cabang kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat. Kegiatan bernegara, pertama-tama adalah untuk mengatur kehidupan bersama. Oleh karena itu, kewenangan untuk menetapkan peraturan itu pertama-tama harus diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif. Ibid Hlm.298 Sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, maka lembaga perwakilan rakyat juga merupakan lembaga yang berfungsi sebagai checks and balances terhadap lembaga negara lainnya. Untuk menjalankan fungsinya terse-but, maka lembaga perwakilan rakyat biasa-nya diberikan beberapa fungsi misalkan fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Checks and balances tersebut bertujuan supaya antar pelaksana kekuasaan negara saling mengawasi dan mengimbangi satu dengan yang lainnya. Dalam artian bahwa kewenangan lembaga negara yang satu akan selalu dibatasi dengan kewenangan lembaga negara yang lain. Dengan konsep tersebut, maka sesungguhnya checks and balances bertitik tolak pada adanya power limit power. Prinsip checks and balances tersebut tidak hanya berlaku ke luar, dalam artian bahwa hanya ditujukan kepada lembaga negara yang menjalankan fungsi selain fungsi yang dijalankan oleh lembaga perwakilan rakyat. Namun dalam ketatanegaraan modern, prinsip tersebut juga harus diterapkan di dalam lembaga parlemen itu sendiri. Artinya dalam lembaga perwakilan rakyat itu sendiri, prinsip checks and balances diterapkan dengan cara mendesain lembaga perwakilan rakyat itu sendiri baik dari segi kelembagaan maupun dari segi kewenangan. Ibid Apabila dilihat dari struktur kelembagaan, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa secara umum ada tiga prinsip perwakilan yang dikenal di dunia yaitu i) representasi politik (political representation), ii) representasi teritorial (territorial representation), dan iii) representasi fungsional (functional represen-tation). Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT. BIP, 2007), hlm. 154 Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa : “yang pertama adalah perwakilan melalui prosedur partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi modern. Namun pilar partai politik ini dipandang tidak sempurna jika tidak dilengkapi dengan sistem “double check” sehingga aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat benar-benar dapat disalurkan dengan baik. Karena itu diciptakan pula adanya mekanisme perwa-kilan daerah (regional representation) atau perwakilan teritorial (territorial represen-tation). Untuk negara-negara yang kom-pleks, apalagi negara-negara yang ber-bentuk federal, sistem “double check” ini dianggap lebih ideal. Karena itu, banyak diantaranya mengadopsi keduanya dengan membentuk struktur parlemen bicameral atau dua kamar.” Ibid. Namun dalam pertimbangan dibentuknya dua kamar atau dua institusi parlemen itu, sesuai dengan pengalaman sejarah di masing-masing negara, terkadang tidak didasarkan pada pertimbangan teritorial, melainkan di-dasarkan atas pertimbangan fungsional. Misalkan di Inggris Majelis tinggi yang disebut sebagai House of Lord dibedakan dari majelis rendah yang disebut House of Commons bukan berdasarkan prinsip representasi politik dan representasi teritorial. House of Lord meencerminkan keterwakilan fungsional, yaitu kelompok-kelompok tuan tanah dan para bangsawan Inggris yang dulunya berkuasa mutlak, yang selanjutnya ditampung kepentingannya dalam wadah House of Lord. Sedangkan House of Commons mencerminkan keterwakilan rakyat secara politik melalui peranan partai politik sebagai pilar demokrasi. Ibid 155 Menurut Jhon A. Jacobson, bawa secara umum struktur organisasi lembaga perwakilan rakyat terdiri dari dari dua bentuk yaitu lembaga perwakilan satu kamar (unicameral) dan lembaga perwakilan rakyat dua kamar (bicameral). Namun ada juga negara yang telah mengembangkan struktur lembaga perwakilan rakyat yang disebut dengan tricameral. Pengadopsian struktur lembaga perwakilan rakyat semacam ini sangat tergantung pada adanya latar belakang historis berdirinya dan eksistensinya sebuah negara. Saldi Isra, Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat Sistem Trikameral di Tengah Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat, Jurnal Konstitusi, Vol 1 No. 1, Juli 2004, hlm. 116 Seperti yang telah dinyatakan oleh Bagir Manan, bahwa praktek unicameral dan bicameral tidak terkait dengan landasan ber-negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, atau sistem pemerintahan tertentu. Tetapi kedua bentuk itu merupakan hasil proses panjang praktek ketatanegaraan di berbagai belahan dunia. Ibid Unicameral atau monocameral adalah parlemen yang terdiri atas satu lembaga perwakilan. Dalam sistem ini tidak dikenal dengan adanya kamar (chamber) yang ter-pisah berupa majelis rendah (lower house) dan majelis tinggi (upper house). Dalam model ini, hanya ada satu kamar di lembaga legislatif. Bicameral adalah parlemen yang terdiri dari dua lembaga. Model ini pada hakikatnya mengidealkan dua kamar di dalam lembaga perwakilan. Model ini terdiri dari dua kamar yang satu dengan yang lainnya terpisah. Kedua kamar tersebut biasa disebut sebagai majelis rendah (lower house) dan majelis tinggi (upper house). Sedangkan tricameral adalah parlemen yang terdiri dari tiga lembaga. Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 233 Prinsip checks and balances dalam lembaga perwakilan hanya dimungkinkan dalam struk-tur lembaga perwakilan yang menganut bica-meral system atau tricameral sytem. Karena dengan struktur lembaga perwakilan seperti itu, maka kebijakan-kebijakan tidak hanya diputuskan oleh satu lembaga, namun harus melalui dua lembaga tersebut, baik di majelis tinggi maupun di majelis rendah. Namun kualitas checks and balances sangat ditentukan oleh kuat tidaknya kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga dalam parlemen itu sendiri. Sehingga dalam parlemen dua kamar dikenal istilah soft bica-meral dan strong bicamera. Ibid Kerangka Pikir Penelitian ini membutuhkan kerangka pikir sebagai dasar untuk melakukan suatu anaisa terhadap permasalahan yang diangkat yaitu terkait analisis yuridis fungsi dan kedudukan mahkamah kehormatan dewan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Adapun dalam penelitian ini ditetapkan dua variabel yang akan diteliti sebagai variabel bebas atau terpengaruh (independent variable). variabel yang pertama ialah Kedudukan MKD berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2014 yang telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang No. 2 Tahun 2018 tentang MD3. Variabel kedua yaitu konsep pemisahan kekuasaan berdasarkan konsep teori trias politika dan konsep teori checks and balances. Selanjutnya kedua variabel terikat atau terpengaruh yang diinginkan dalam penelitian ini ialah Terwujudnya Kepastian Hukum Fungsi dan Kedudukan Majelis Kehormatan Dewan dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia. Untuk lebih memperjelas hubungan antara variabel tersebut, maka digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut. Bagan Kerangka Pikir ANALISIS YURIDIS FUNGSI DAN KEDUDUKAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM SISTEM PRESIDENSIAL SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Peraturan DPR No. 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Kedudukan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam menjalankan fungsi pada sistem pemerintahan presidensial Etika Politik Individu Etika Politik Konstitusi konsekuensi yuridis kewenangan MKD dalam sistem pemerintahan presidensial Penegakan Kode Etik Oleh MKD Terwujudnya Kepastian Hukum Dalam Penegakan Etik DPR RI Pada Sistem Pemerintahan Presidensial Gambar 2.1 Kerangka Pikir G. Definisi Operasional sistem pemerintahan adalah pembagaian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam rangka kepentingan rakyat. Sistem pemerintahan parlementer adalah, sistem pemerintahan yang kekuasaan tertingginya berada pada parlemen. Sistem pemerintahan presidensial adalah, sistem pemerintahan yang kekuasaan tertingginya berada pada presiden. Lembaga Legislatif adalah sebuah lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan, peraturan, dan undang-undang. Lembaga eksekutif adalah lembaga yang bertugas untuk melaksanakan kebijakan, peraturan, dan undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif. Lembaga yudikatif adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengadili para pelanggar yang melanggar kebijakan yang dibuat oleh lembaga legislatif. Kode etik merupakan suatu bentuk aturan yang tertulis, yang secara sistematik dengan sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan ketika dibutuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi berbagai macam tindakan yang secara umum dinilai menyimpang dari kode etik tersebut. Etika politik merupakan cabang dari filsafat politik yang membicarakan perilaku atau perbuatan-perbuatan politik untuk dinilai dari segi baik atau buruknya. Majelis Kehormatan Dewan (MKD) adalah salah satu alat kelengkapan DPR RI yang bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. BAB III METODE PENELITIAN Tipe Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yuridis. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji menyajikan pengertian penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau disebut juga penelitian kepustakaan adalah “Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. 2010. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Hlm. 13-14. Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad menyajikan pengertian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sistem norma. “Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran)”. Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Hukum Empiris. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hlm. 34. Pengertian penelitian hukum yang dikemukakan oleh Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad difokuskan pada objek kajiannya, Objek kajian penelitian hukum normatif adalah pada hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah. Norma yang menjadi objek kajiannya, meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain-lain. Jenis dan Sumber Data Jenis Bahan Hukum Bahan Hukum Primer Peter Mahmud Marzuki mengemukakan bahwa “bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya yang mempunyai otoritas”. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari Peraturan Perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta. 2008 Hlm. 181. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder merupakan bahan hukum yang bertujuan memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Ibid., Bahan Hukum Tersier Bahan Hukum tersier merupakan bahan hukum yang dapat memberi petunjuk dan kejelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Sumber Bahan Hukum Bahan Hukum Primer Sumber bahan hukum primer dalam penulisan ini, berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang meliputi: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh bahan hukum yang benar dan akurat dalam penelitian ini digunakan teknik memperoleh bahan hukum dengan cara penelitian kepustakaan (Library Resecarch) yaitu : Zainuddin Ali. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. 2011.Hlm 176. dengan mengumpulkan bahan hukum yang dilakukan dengan cara membaca, mengutip, mencatat dan memahami berbagai literatur, peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya baik buku–buku literatur ilmu hukum serta tulisan-tulisan hukum lainnya yang relevan dengan permasalahan penulisan tesis ini. Analisis Data Bahan Hukum yang dianalisis berupa Peraturan Perundang-Undangan dan isu hukum yang berhubungan dengan Fungsi Dan Kedudukan Mahkamah Kehormatan Dewan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Selanjutnya, hasil akan diinterprestasikan dengan menggunakan cara berfikir deduktif yaitu suatu cara mengambil kesimpulan yang berasal dari pembahasan yang bersifat umum menuju pembahasan yang bersifat khusus. Kemudian, Bahan Hukum yang telah terkumpul dan tersusun secara sistematis kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu mengungkapkan dan memahami kebenaran masalah serta pembahasan dengan menafsirkan bahan hukum yang diperoleh kemudian menuangkannya dalam bentuk kalimat yang tersusun secara terinci dan sistematis. BAB IV PEMBAHASAN Kedudukan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Dalam Menjalankan Fungsi Pada Sistem Pemerintahan Presidensial Membangun sebuah lembaga peradilan ataupun lembaga penegakan etik, secara teoritik konsep ini pasti akan berhadapan dengan kerangka berfikir bahwa bagaimana cara untuk menciptakan lembaga tersebut menjadi lembaga yang terjamin kenetralannya, memiliki integritas yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan asas independen dan imparsialitas. Dalam beberapa lembaga Negara pada sistem pemerintahan Indonesia, membentuk suatu lembaga penegakan etik adalah suatu keharusan adanya, karena langkah ini memang menjadi tuntutan Negara demokrasi yang menjalankan sistem pemerintahan yang menganut model ajaran teori pembagian kekuasaan (distribution of power). Hal tersebut terjadi karena adanya penempatan kekuasaan yang sejajar antar cabang kekuasaan yang akan menimbulkan dampak negatif yang dapat mengganggu jalannnya roda penyelenggaraan pemerintahan Negara. Selain itu, masih terdapat potensi penyalahgunaan di lingkungan cabang kekuasaan tertentu oleh lembaga Negara pemegang cabang kekuasaan tersebut. Janedri M. Gaffar, Op. Cit, Hlm. 114 Biasanya model pemerintahan seperti ini akan dibarengi dengan prinsip checks and balances (keseimbangan dan saling mengawasi). Namun prinsip ini tidak bisa dijalankan secara konsisten oleh beberapa Negara disebabkan karena dalam beberapa konstitusi Negara masih memiliki penafsiran yang berbeda tentang distribution of power ini Ibid. begitupun di Indonesia karena secara kelembagaan tidak ada dibentuk suatu lembaga penegakan etik yang bersifat independen dan berdiri sendiri, maka diakomodir pembentukan lembaga tersebut menjadi lembaga pengawasan yang sifatnya internal dalam masing-masing lembaga Negara. Tujuan dari pembentukan lembaga penegak etik ini pada dasarnya adalah sama yaitu untuk menegakkan kode etik dan kode perilaku seluruh pihak yang ada di dalam lembaga Negara yang bersangkutan. Pada lembaga DPR, pembentukan lembaga penegakan etik ini bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat anggota DPR, karena sesuai dengan ajaran teori distribution of power yang dianut oleh Indonesia, DPR merupakan lembaga yang bersifat representasi dari seluruh kepentingan masyarakat Indonesia. Secara teoritik lembaga ini merupakan lembaga politik yang memiliki fungsi yang besar sebagai co-legislator dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Ibid.Hlm, 115 Pada dasarnya pembentukan masing-masing lembaga Negara di Indonesia memiliki marwah pembentukan yang berbeda-beda, ada yang dibentuk dan diangkat oleh masing-masing lembaga Negara yang ada, ada yang ditetapkan berdasar fit and proper test, dan ada yang dibentuk berdasarkan aspirasi masyarakat melalui perwakilan partai politik yang dipilih melalui pemilihan umum (lembaga DPR). Untuk itu, menjadi penting kemudian etika kekuasaan dan berpolitik dari masing-masing anggota DPR ini tetap dijaga dan dibentuk suatu pedoman yang sifatnya absolut. Etika politik tidak hanya masalah perilaku politikus. Ia berhubungan juga dengan praktek institusi sosial, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, politik dan ekonomi. Etika politik memiliki tiga dimensi yaitu tujuan, sarana dan aksi politik itu. Perilaku politikus hanya salah satu dimensi dari etika politik itu. Kehendak baik perlu ditopang oleh institusi yang adil. Kehendak baik berfungsi mempertajam makna tanggung jawab, sedangkan institusi (hukum, aturan, kebiasaan, dan lembaga sosial) berperan mengorganisasi tanggung jawab. Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2014, hlm. 33 Etika politik mengandung aspek individual dan sosial. Di satu pihak, etika politik sekaligus adalah etika individual dan etika sosial. Etika individual karena membahas masalah kualitas moral perilaku, sedang etika sosial karena merefleksikan masalah hukum, tatanan sosial, dan institusi yang adil. Di lain pihak etika politik sekaligus etika institusional dan etika keutamaan. Institusi dan keutamaan merupakan dua dimensi etika yang saling mendukung. Keutamaan merupakan factor stabilisasi tindakan yang berasal dari luar diri perilaku. Etika politik ini memiliki tiga dimensi, pertama adalah tujuan politik, kedua menyangkut masalah pilihan sarana, dan ketiga berhadapan dengan aksi politik. Ibid Konsepsi tersebut menunjukkan bahwa perilaku dan etika di lembaga politik membawa dampak yang sangat signifikan baik bagi insitusi itu sendiri dan bagi kehidupan sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, suatu pelanggaran yang dilakukan dalam suatu struktural hanya akan diselesaikan oleh lembaga yang dibentuk secara struktural dan kemandirian dari suatu institusi tersebut harus seyogyanya mendapat jaminan normatif dari pembentuk undang-undang. Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2009, hlm. 12 DPR, tentu hal ini akan mengganggu kenetralan dari lembaga ini dalam menjalankan tugasnya. Oleh sebab itu, di dalam dunia politik sering didengar istilah “politik kancil pilek” yang biasa diartikan sebagai politik diam meski melihat kemungkaran karena ingin selamat dari kekejaman penguasa. Politik kancil pilek di Indonesia terjadi bukan hanya karena seseorang dalam posisi lemah dan takut kepada penguasa melainkan juga banyak di antaranya yang menjadi kancil pilek karena mereka sendiri menjadi bagian dari kebusukan itu atau dalam lingkungan yang busuk itu. Oleh sebab itu, mereka menjadi takut berbicara yang sebenarnya dan menjadi kancil pilek jika berhadapan dengan berbagai kasus yang menimpa lingkungan atau institusinya Ibid.Hlm. 89 dimana lembaga-lembaga seperti ini yang seharusnya tetap berani dan memiliki integritas yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya, namun menjadi lemah hanya dikarenakan mereka berada dalam lingkup kekuasaan (struktural kelembagaan) yang kapan saja akan menerkam mereka baik secara individu maupun kelembagaannya. Dalam kaitannya dengan MKD, dimana secara kelembagaan lembaga ini masih berada dalam struktural DPR yaitu sebagai alat kelengkapan DPR seperti yang dijelaskan dalam Pasal 119 Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang mana konsep tersebut akan membawa implikasi yuridis terhadap penentuan segala hal-hal yang penting berkaitan dengan MKD bahkan berdampak kepada model porsi keanggotaan yang ada dalam MKD itu terdiri yang seluruhnya berasal dari keanggotaan DPR. Keadaan inilah yang akan rentan membuat lembaga tersebut menjadi tertekan dan tentunya kurang bebas dalam melaksanakan tugas-tugasnya, sehingga yang ada lembaga MKD ini layaknya seperti kancil yang ada dalam cerita fiktif di atas, yang dalam keadaan tertentu para anggota MKD sulit berkata jujur karena yang mereka adili adalah rekan satu fraksi di DPR, dan dalam sisi lain mereka akan berkata tegas dikala mereka memproses kasus dari pihak lawan politik. Sehingga lembaga MKD ini akan menjadi lembaga untuk saling melindungi dan bisa menjadi lembaga untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Salah satu implikasi yang sangat penting juga dapat timbul dari akibat keberadaan MKD, yang secara lembaga masih berada dalam struktural DPR, adalah membentuk lembaga ini menjadi lembaga yang menegakkan kode etik yang bersifat fungsional tertutup. Akibatnya, proses penegakan kode etik itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara independen dan terbuka kepada publik yang di zaman sekarang menuntut keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas publik yang lebih luas di semua bidang kehidupan sebagai prasyarat untuk terwujudnya prinsip good governance. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Sistem Norma Menuju Terbentuknya Sistem Peradilan Etika, dalam http://www.jimlyschool.com/read/analisis/239/Perkembangan-Sistem-Norma-Menuju-Terbentuknya-Sistem-Peradilan-Etika/ , diunduh pada tanggal 21 Juli 2018, hlm. 43 Tanpa transparansi dan akuntabilitas publik, jaminan kendali mutu terhadap proses penegakan etika yang bersifat independen, jujur, dan adil tidak mungkin terpenuhi. Jika proses pemeriksaan dan peradilan dilakukan secara tertutup, derajat objektivitas, integritas, dan independensinya tentu saja tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selama proses penegakan kode etik tidak terbuka, tidak dapat diharapkan adanya akuntabilitas publik yang memberikan jaminan objektivitas, imparsialitas, profesionalitas, integritas, dan kredibilitas. Pada gilirannya siapa yang dapat diyakinkan bahwa proses penegakan kode etik itu sungguh-sungguh tepercaya. Jika prosesnya tidak dapat dipercaya, bagaimana mungkin hasilnya akan dapat dipercaya oleh masyarakat yang terus berkembang makin terbuka karena sistem demokrasi yang dianut. Ibid.hlm. 44 Selain itu juga Untuk ke depannya, publik tentu berharap supaya kelembagaan MKD ini harus melakukan langkah pembenahan diri baik secara kelembagaan maupun keanggotaanya, yang dapat memberikan dampak positif bagi kinerja MKD untuk selanjutnya, supaya lembaga ini benar-benar dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan marwah pembentukannya serta tidak menjadi lembaga yang bersifat ritualitas semata dalam menangani kasus-kasus pelanggaran kode etik oleh anggota DPR. Konsekuensi Yuridis Kewenangan MKD Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial. Salah satu implikasi yang sangat besar dari dibentuknya lembaga MKD yang bertujuan untuk menegakkan kode etik anggota DPR adalah di mana lembaga ini harus dilengkapi dengan berbagai macam tugas, fungsi dan wewenang, di mana tugas, fungsi dan wewenang tersebut diharapkan dapat senantiasa dijalankan oleh lembaga ini secara tepat, efisien, akuntebel, dan fair dalam rangka menjaga harkat dan martabat DPR baik secara kelembagaan maupun secara individual keanggotaan DPR. Tugas adalah sesuatu yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk dilakukan, di mana pekerjaan tersebut menjadi tanggung jawab dari lembaga atau orang-perorangan yang sudah dibebankan dengan pekerjaan tersebut. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sedangkan wewenang menurut G. R Terry adalah kekuasaan resmi dan kekuasaan pejabat untuk menyuruh pihak lain supaya bertindak dan taat kepada pihak yang memiliki wewenang tersebut Definisi Wewenang Menurut Para Ahli, dalam http// : www.rinodpk.blogspot.co.id, diunduh pada tanggal 17 agustus 2018, Wewenang (Authority) menurut Robert Bierstedt adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan), Selanjutnya Soerjono Soekanto, membedakan antara kekuasaan dengan wewenang secara tegas. Kekuasaan dikatakan merupakan sesuatu kemampuan atau kekuatan seseorang untuk mempengaruhi pihak lain, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang mendapat pengakuan dan dukungan dari masyarakat Rusnan. Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Jatiswara, [S.l.], v. 31, n. 1, p. 83-98, oct.2017. Available at:<http://jatiswara.unram.ac.id/index.php/js/article/v iew/35>. Date accessed: 18 agustus. 2018, atau dengan kata lain wewenang merupakan landasan bagi suatu lembaga atau orang untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga dengan adanya kewenangan yang diberikan maka tugas yang dikerjakan dapat dilakukan dengan baik, yang dalam hal ini MKD dalam menjalankan tugas dapat memberi perintah kepada semua pihak yang akan bersangkut paut dengan perkara yang diperiksa dalam persidangan. Tugas dan fungsi dari lembaga MKD secara umum dijelaskan dalam Pasal 119 ayat (2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, yaitu sebagai berikut Indonesia, Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Undang-Undang No. 17 Tahun 2014, Pasal 119 ayat (2) : “Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat”. Secara filosofis pembentukan MKD bertujuan untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang merupakan cerminan dari kedaulatan seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan makna yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik ndonesia (UUD NRI) Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai lembaga penegak etik DPR sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, MKD kemudian diberikan tugas secara lebih rinci dalam Pasal 2 Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, sebagai berikut Indonesia, Peraturan DPR tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015, pasal 2. : Ayat (1) : MKD dibentuk oleh DPR yang merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Ayat (2) : MKD bertugas : melakukan pemantauan dalam rangka fungsi pencegahan terhadap perilaku Anggota agar tidak melakukan pelanggaran atas kewajiban Anggota sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib dan Kode Etik ; melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota karena : tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam undangundang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah; tidak lagi memenuhi syarat sebagai Anggota sebagaimana ketentuan mengenai syarat calon Anggota yang diatur dalam undang–undang mengenai pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. mengadakan sidang untuk menerima tindakan dan/atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh Anggota sebagai pelanggaran terhadap undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib dan Kode Etik; menerima surat dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan dan/atau pemanggilan dan/atau penyidikan kepada Anggota atas dugaan melakukan tindak pidana; meminta keterangan dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan dan/atau pemanggilan dan/atau penyidikan kepada Anggota atas dugaan melakukan tindak pidana; meminta keterangan dari Anggota yang diduga melakukan tindak pidana; memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan dari pihak penegak hukum kepada Anggota yang diduga melakukan tindak pidana; dan mendampingi penegak hukum dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan di tempat Anggota yang diduga melakukan tindak pidana. Sebagai penunjang dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana dijelaskan di atas, maka wewenang MKD dijelaskan secara lebih rinci dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, sebagai berikut Indonesia, Peraturan DPR tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015, pasal 2. ; Ayat (3) : Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, MKD berwenang untuk Indonesia, Peraturan DPR tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015, pasal 2 ayat (3). : menerbitkan surat edaran mengenai anjuran untuk menaati Tata Tertib serta mencegah pelanggaran Kode Etik kepada seluruh Anggota; memantau perilaku dan kehadiran Anggota dalam rapat DPR; memberikan rekomendasi kepada pihak terkait untuk mencegah terjadinya pelanggaran Kode Etik dan menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR; melakukan tindak lanjut atas dugaan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Anggota, baik berdasarkan Pengaduan maupun tanpa Pengaduan; memanggil dan memeriksa setiap orang yang terkait tindakan dan/atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh Anggota yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan DPR tentang Tata Tertib dalam Sidang MKD; melakukan kerja sama dengan lembaga lain; memanggil pihak terkait; menghentikan proses pemeriksaan perkara dalam setiap persidangan dalam hal Pengadu mencabut aduannya atau diputuskan oleh Rapat MKD; memutus perkara pelanggaran yang patut diduga dilakukan oleh Anggota yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Peraturan DPR yang mengatur tentang Tata Tertib dan Kode Etik; menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada badan urusan rumah tangga; dan melakukan evaluasi dan penyempurnaan Peraturan DPR yang mengatur tentang Kode Etik. Dari segi pengambilan keputusan di Lembaga MKD, dapat dilihat bahwa lembaga ini diberikan kewenangan penuh layaknya seperti lembaga peradilan dan penegak etik yang sifatnya independen, karena putusan yang dibuat oleh Mahkamah sifatnya final dan mengikat, kecuali mengenai putusan pemberhentian anggota secara tetap harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna. Sedangkan Anggota, pimpinan fraksi, dan/atau Pimpinan DPR tidak dibenarkan melakukan upaya intervensi terhadap terhadap putusan MKD, karena upaya intervensi terhadap putusan MKD merupakan pelanggaran Kode Etik. Sebuah lembaga peradilan ataupun lembaga penegak etik tentu memiliki hukum materil (kode etik materil) dalam beracara yang berfungsi sebagai aturan substansial yang menjadi landasan dalam menilai suatu tindakan, sehingga lembaga tersebut dapat memproduk suatu putusan yang bersifat akuntabel. Sebagai positive ethics yang berperan penting sebagai pendamping positive law dalam arti sebagai perangkat norma aturan yang diberlakukan secara resmi dalam satu ruang dan waktu tertentu. Jika etika positif dapat ditegakkan, maka etika publik pada umumnya dapat diharapkan tumbuh sebagai living ethics atau sebagai etika yang hidup dan berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk itulah dibuat kode etik. Kode etik adalah ide-ide besar Negara hukum yang dilandasi basis etika dan hidup secara berdampingan dengan perilaku sehari-hari. Kode etik yang berjalan dengan baik berarti mencerminkan nilai moral Anggota DPR-RI pada saat ini dan masa depan. Norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut dilakukan oleh Anggota. Ibid Lembaga MKD, dalam hal ini tidak diberikan kewenangan penuh untuk menyusun sendiri hukum materil yang digunakan, karena peraturan mengenai kode etik sepenuhnya diberikan hak kepada lembaga DPR untuk membuat dalam bentuk Peraturan DPR tentang Kode Etik. Untuk itu, di dalam Pasal 122 ayat (2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menjelaskan bahwa MKD hanya diberikan tugas dan wewenang untuk melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap peraturan DPR tentang Kode Etik yang telah di produk oleh DPR. Kode etik atau aturan materil yang digunakan oleh MKD adalah Peraturan DPR No. 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Di dalam konsiderans menimbang peraturan tersebut menyebutkan bahwa peraturan tersebut dibentuk dengan mempertimbangkan konsepsi dan materi muatan yang terdapat dalam Pasal 122 Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Kewenangan penegakan Kode Etik DPR memang diberikan secara penuh kepada lembaga MKD seperti yang dicantumkan dalam Pasal 19ayat, (1), (2), (3), (4), dan (5) Peraturan DPR No. 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang menjelaskan sebagai berikut Indonesia, Peraturan DPR tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Peraturan DPR No. 1 Tahun 2015, pasal 19. : Penegakan Kode Etik dilakukan oleh MKD. Penegakan Kode Etik dilakukan melalui upaya pencegahan dan penindakan. Upaya pencegahan dilakukan dengan sosialisasi, pelatihan, mengirimkan surat edaran dan memberikan rekomendasi, atau cara lain yang ditetapkan oleh MKD. Upaya penindakan dilakukan oleh MKD berdasarkan peraturan DPR yang mengatur mengenai tata beracara MKD. Anggota MKD wajib mengutamakan fungsi, tugas, dan wewenang MKD. Peraturan DPR No. 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, merangkum berbagai batasan-batasan dalam bertindak yang harus diperhatikan oleh seluruh anggota DPR, khususnya yang berkaitan dengan : Kepentingan umum; Integritas; Hubungan dengan mitra kerja; Akuntabilitas; Keterbukaan dan konflik kepentingan; Rahasia; Kedisiplinan; Hubungan dengan konstituen atau masyarakat; Perjalanan dinas; Independensi; Pekerjaan lain di luar tugas kedewanan; Hubungan dengan wartawan; Hubungan dengan tamu di lingkungan DPR; Hubungan dengan antar-anggota dengan alat kelengkapan DPR; Etika persidangan; dan Hubungan dengan tenaga ahli, staf administrasi anggota, dan secretariat jenderal. Dari segi pembentukan Kode Etik DPR, yang mana peraturan ini menjadi hukum materil yang dipergunakan oleh MKD, secara sepintas dapat dilihat bahwa lembaga ini masih sangat bergantung secara struktural kepada lembaga induknya yaitu lembaga DPR karena untuk membentuk kode etik diserahkan kepada DPR dan dituangkan dalam bentuk Peraturan DPR, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 235 Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR,DPR, DPD, dan DPRD bahwa ; “DPR menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR”. Hal ini tentu merupakan akibat dari keberadaan MKD yang masih berada di bawah struktural lembaga DPR RI. Proses penegakan etik yang lahir di akhir abad ke-20 berkembang ide tentang pembentukan institusi penegak kode etik dan standar perilaku untuk maksud untuk mengefektifkan proses penegakan sistem etik itu (ethics enforcement). Bersamaan dengan berkembangnya gagasan pembentukan kelembagaan penegak kode etik dan kode perilaku itu, dan dengan melihat pengertian-pengertian yang ada dalam sistem norma hukum, perlu diatur pula hal-hal yang berkenaan dengan prosedur-prosedur beracara dalam proses penegakan etika tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Jimly Asshidiqie, bahwa Jimly Asshidiqqie, Op. Cit,Hlm. 114 : “Inilah yang saya namakan sebagai etika formil yang sepadan dengan pengertian hukum formil dalam sistem norma hukum, yaitu pengaturan yang terkait dengan prosedur-prosedur beracara di lingkungan lembaga penegak kode etik dan kode perilaku”. Dengan demikian di bidang etika, diperkenalkan juga pengertian tentang etik formil atau pedoman beracara penegakan kode etik dan standar perilaku, seperti halnya di bidang hukum, kita mengenal hukum acara dan hukum formil. Pedoman beracara atau hukum acara (formil) yang digunakan oleh MKD dalam beracara adalah Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Peraturan ini berisi panduan lengkap tentang tata beracara dari MKD, mulai dari tahap awal tata cara pembentukan MKD, tata cara pengenaan sanksi, tata cara pembentukan panel, sampai pada tata cara sidang MKD. Pembentukan peraturan DPR yang dijadikan sebagai hukum acara oleh MKD ini tentu membawa pengaruh yang cukup besar bagi kelembagaan dari MKD, karena apabila dalam hal pembuatan segala peraturan yang berkaitan dengan lembaga MKD ini diserahkan sepenuhnya kepada lembaga DPR, tentu keberadaan dari lembaga ini semakin diragukan sifat independensi dan imparsialitasnya dalam hal menangani perkara-perkara pelaanggaran etik oleh anggota DPR. Selain itu, di dalam Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia juga telah mengatur secara rinci hal-hal yang penting dalam proses beracara MKD, yaitu sebagai berikut : Fungsi, tugas, dan wewenang MKD; Materi perkara; Perkara pengaduan; Perkara tanpa pengaduan; Proses penyelidikan; Rapat dan sidang; Pembentukan panel sidang; Hal keuangan; Putusan; Pelaksanaan putusan; dan Pemberian persetujuan terhadap pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota. Badan Kehormatan Dewan, Dalam melaksanakan kewenangannya Badan Kehormatan bisa saja dipengaruhi oleh pihak luar, mengingat Badan Kehormatan yang merupakan perwakilan fraksi dan orang yang dipercayai fraksi serta bisa kapan saja ditarik oleh fraksinya. Mengingat hal itu, adanya kepentingan masing-masing anggota Badan Kehormatan berdasarkan kepentingan fraksinya yang juga ikut berperan dalam penyanderaan kewenangan Badan Kehormatan secara tidak langsung. Dalam hal ini Badan Kehormatan harus terlebih dahulu melaporkan hasil keputusan kasus pelanggaran etika kepada Fraksi. Dengan Adanya intervensi tersebut membuat badan kehormatan dalam mengambil keputusan atau memberikan sanksi terhadap anggota dewan yang melakukan pelanggaran sangat sulit bebas dari pengaruh partai politik. Anggota Badan Kehormatan tidak diwakili oleh semua Fraksi, hal itu berdampak pada semua persoalan yang muncul, seharusnya di Badan Kehormatan ada keberwakilan semua fraksi, salah satu bentuk pencegahan bisa dilakukan melalui fraksi yang selalu mengingatkan bila anggota fraksinya yang telah melakukan pelanggaran. Keadaan tersebut membawa dampak negatif kepada integritas dari MKD, apabila semakin besar kepentingan fraksi yang mengintervensi kinerja MKD ini tentu akan memperbesar kemungkinan terjadi konflik kepentingan (conflic of interest) dalam lembaga ini, yang menjurus pada konflik kepentingan (conflic of interest) antar anggota, antara fraksi, antar partai politik, bahkan antar koalisi partai yang ada dalam lembaga DPR. Hal tersebut akan membawa MKD menjadi lembaga yang akan menjembatani seluruh kepentingan partai politik dengan cara menyetir anggota partai yang duduk di MKD ketika menangani kasus-kasus di DPR. BAB V PENUTUP Kesimpulan Kedudukan MKD berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dijelaskan secara eksplisit di dalam Pasal 119, yang menyebutkan bahwa Majelis Kehormatan Dewan adalah suatu lembaga yang dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap serta memiliki tugas dan fungsi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Mahkamah Kehormatan Dewan adalah lembaga yang sangat penting kedudukannya dalam rangka menjaga marwah dan martabat dari anggota parlemen Indonesia. Secara yuridis keputusan dilembaga MKD, dapat dilihat bahwa lembaga ini diberikan kewenangan penuh layaknya seperti lembaga peradilan dan penegak etik yang sifatnya independen, karena putusan yang dibuat oleh Mahkamah sifatnya final dan mengikat. Hanya saja Dalam melaksanakan kewenangannya MKD bisa saja dipengaruhi oleh pihak luar, mengingat lembaga MKD yang merupakan perwakilan fraksi dan orang yang dipercayai fraksi serta bisa kapan saja ditarik oleh fraksinya, dampak negatif kepada integritas dan transparansi yang akan memperbesar kemungkinan terjadi konflik kepentingan (conflic of interest) dalam lembaga ini. Saran Untuk ke depannya, hendaknya kelembagaan MKD ini harus melakukan langkah pembenahan diri baik secara kelembagaan maupun keanggotaanya, yang dapat memberikan dampak positif bagi kinerja MKD untuk selanjutnya, supaya lembaga ini benar-benar dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan marwah pembentukannya serta tidak menjadi lembaga yang bersifat ritualitas semata dalam menangani kasus-kasus pelanggaran kode etik oleh anggota DPR. DAFTAR PUSTAKA Achmad, Yulianto, Mukti Fajar ND. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Hukum Empiris. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Ali, Zainuddin, 2011, Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. ______________, 2005, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia Konpress, Jakarta. ______________, 2006, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Setjen MKRI,. ______________, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Buana Ilmu, Jakarta. ______________, 2014, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara cetakan ke-6 PT.Rajagrafindo persada. ______________,Perkembangan Sistem Norma Menuju Terbentuknya Sistem Peradilan Etika, dalam http://www.jimlyschool.com/read/analisis/239/Perkembangan-Sistem-Norma-Menuju-Terbentuknya-Sistem-Peradilan-Etika/ , diunduh pada tanggal 21 Juli 2018. Asshiddiqie, Jimly, 2003 Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi,Cetakan Pertama, Gramedia, Jakarta. Haryatmoko, 2014, Etika Politik dan Kekuasaan, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta. Ibrahim,Harmaily, dan Moh. Kusnardi, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet. ke-5, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Isra, Saldi, 2004 Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat Sistem Trikameral di Tengah Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat, Jurnal Konstitusi, Vol 1 No. 1. ___________2010, Pergeseran Fungsi Legislatif: Menguatnya model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. Juanda, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Hubungan Kewenangan DPRD dan Kepala Daerah), Alumni, Jakarta. Kelsen, Hans, 2006, General Theory Of Law and State, Russell & Russell, New York, 1961, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Cetakan I, Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, Bandung. Karyati, Sri , 2015, Rekonstruksi Kelembagaan Penegakan Etika Parlemen, Jurnal Etika dan Pemilu, volume 1 No. 1. Manan, Bagir, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar Maju, Bandung. Marshall, G, 1971, constitutional theory, clarendon: Oxford University Press, chapter 5 Marzuki, Laica, 2009, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Konstitusi Press, Jakarta Marzuki, Peter, Mahmud, 2008, Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta. Nurdin, Nurliah, 2012, Komparasi Sistem Presidensial Indonesia dan Amerika Serikat: Rivalitas Kekuasaan antara Presiden & Legislatif, Penerbit MIPI, Jakarta. Rusnan. Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Roy, Crince, le, 1981, Kekuasaaan Ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh Soehardjo, Semarang, Saptaningrum, Indriawati Dyah et.al.,2011, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Politik Transaksional: Penilaian terhadap Kebijakan HAM dalam Produk Legislasi dan Pengawasan DPR Periode 2004-2009, Penerbit Elsam Jakarta. Soemantri, Sri, “Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945” ___________, dkk. 1993, ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan politik Indonesia: 30 Tahun kembali ke undang-undang dasar 1945, Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 2010. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. RajaGrafindo Persada. Jakarta. E.Utrech, Pengantar Hukum Administrasiu Negara Indonesia, Cet 4, 1960, hlm. 17-24 Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Peraturan DPR No. 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 8 104