Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

MAKALAH KEMAJEMUKAN

MAKALAH SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA Dosen Pengajar : DISUSUN OLEH : KELOMPOK 4 CHANDRA ARGAWAN S (18081103109) JOSAFAT TOAR (18081103071) SHERINA INJILA L (18081103035) INELIA GIROTH (18081103109) FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO 2019 KATA PENGANTAR Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, kami dapat menyusun makalah mata kuliah Pengantar Sosiologi yang berjudul “Kekuasaan dan Wewenang” Makalah ini dibuat dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran mata kuliah Sistem Sosial Budaya Indonesia. Pemahaman kita sebagai manusia terbatas tetapi dengan makalah ini membuat kami semakin terpacu untuk terus mencari pengertian yang berkelanjutan atas pembelajaran mata kuliah ini. Bukan hanya itu kami harap dengan penulisan mata kuliah ini dapat menambah wawasan kami tentang Konsep ilmu politik agar nantinya dapat kami terapkan dalam kehidupan kami sehari – hari. Kami juga mengucapkan terimakasih terhadap Bapak Prof. Dr. J. Nasikun atas bukunya yang berjudul “Sistem Sosial Indonesia” yang menjadi sumber kami dalam membuat makalah ini. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap sumber – sumber lain yang terlibat di pembuatan makalah ini yang tidak dapat kami sebutkan. Makalah ini, tentunya masih jauh dari kesempurnaan, karena kami juga masih dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, kami menerima segala kritik, koreksi, saran, dan masukan dari para pembaca sekalian. Terimakasih atas perhatianya dan jikalau ada kesalahan kata maupun tulisan Kami mohon maaf karena kami manusia yang jauh dari kata benar. Manado, 24 April 2019 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 2 DAFTAR ISI 3 BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang 4 B. Rumusan Masalah 5 C. Tujuan 5 BAB II PEMBAHASAN 6 A. Hakikat kekuasaan dan sumbernya 6 B. Unsur – Unsur Saluran Kekuasaan dan Dimensinya. 8 C. Cara – Cara Mempertahankan Kekuasaan 12 D. Beberapa Bentuk Lapisan Kekuasaan 12 E. Wewenang 14 BAB III PENUTUP 21 A. Kesimpulan 21 B. Saran 21 DAFTAR PUSTAKA 22 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekuasaan mempunyai peranan yang dapat menentukan nasib berjuta – juta manusia. Oleh karena itu, kekuasaan (power) sangat menarik perhatian para ahli ilmu pengetahuan kemasyarakatan. Sesuai dengan sifatnya sebagai ilmu pengetahuan, sosiologi tidak memandang kekuasaan sebagai unsur yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Penilaian baik atau buruk senantiasa harus diukur dengan kegunaanya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan dan disadari oleh masyarakat. Karena kekuasan sendiri memounyai sifat yang netral, maka menilai baik atau buruknya harus dilihat pada penggunaanya bagi keperluan masyarakat. Kekuasaan snantiasa ada di dalam setiap masyarakat, baik yang masih bersahaja, maupun yang sudah besar atau rumit susunanya. Akan tetapi, walaupun selalu ada kekuasaan yang tidak merata tadi timbul makna yang pokok dari kekuasaan , yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan. Adanya kekuasaan cenderung tergantung dari hubungan antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dengan pihak yang lain menerima pengaruh itu, rela atau terpaksa. Perbedaan antara kekuasaan dengan wewenang ialah bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan. Sementara itu, wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat. Karena memerlukan pengakuan masyarakat, maka di dalam suatu masyarakat yang susunanya sudah kompleks dan sudah mengenal pembagian kerja yang terperinci, wewenang biasanya terbatas pada hal – hal yang diliputinya, waktunya dan cara menggunakan kekuasaan itu. Pengertian wewenang timbul pada masyarakat sudah mengenal pembagian kekuasaan dan menentukan penggunaanya. Adanya wewenang hanya dapat menjadi efektif apabila didukung dengan kekuasaan yang nyata. Adanya kekuasaan dan wewenang pada setiap masyarakat merupakan gejala yang wajar. Walaupun wujudnya kadang – kadang tidak disukai oleh masyarakat itu sendiri. B. Rumusan Masalah 1. Apa kekuasaan dan hakikatnya? 2. Apa unsur – unsur kekuasaan dan dimensinya? 3. Sebutkan cara – cara mempertahankan kekuasaan? 4. Sebutkan beberapa bentuk lapisan kekuasaan? 5. Apa pengertian dari wewenang? C. Tujuan 1. Mengetahui pengertian kekuasaan dan hakikatnya. 2. Mengetahui unsur – unsur kekuasaan dan dimensinya. 3. Mengetahui cara – cara mempertahankan kekuaasaan 4. Mengetahui beberapa bentuk lapisan kekuasaan 5. Mengetahui pengertian dari wewenang. BAB II PEMBAHASAN A. Hakikat kekuasaan dan sumbernya Dalam setiap hubungan antaramanusia maupun antarkelompok sosial selalu tersimpul pengertian-pengertian kekuasaan dan wewenang. Untuk sementara pembahasan akan dibatasi pada kekuasaan, yang diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Kekuasaan terdapat di semua bidang kehidupan dan dijalankan. Kekuasaan mencakup kemampuan untuk memerintah (agar yang diperintah patuh) dan juga untuk memberi keputusan-keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tindakan-tindakan pihak-pihak lainnya. Max Weber mengatakan kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu. Kekuasan mempunyai aneka macam bentuk dan bermacam-macam sumber. Hak milik kebendaan dan kedudukan merupakan sumber kekuasaan. Birokrasi juga merupakan salah satu sumber kekuasaan, disamping kemampuan khusus dalam bidang ilmu-ilmu pengetahuan yang tertentu ataupun atas dasar peraturan-peraturan hukum yang tertentu. Jadi, kekuasaan terdapat di mana-mana, dalam hubungan sosial maupun di dalam organisasi-organisasi sosial. Akan tetapi, pada umumnya kekuasaan yang tertinggi berada pada organisasi yang dinamakan “negara”. Secara formal negara mempunyai hak untuk melaksanakan kekuasaan tertinggi. Kalau perlu, dengan paksaan. Juga negaralah yang membagi-bagikan kekuasaan yang lebih rendah derajatnya. Itulah yang dinamakan kedaulatan (sovereignity). Kedaulatan biasanya dijalankan oleh segolongan kecil masyarakat yang menamakan diri the ruling class. Ini merupakan gejala yang umum dalam setiap masyarakat. Dalam kenyataan, di antara orang-orang yang merupakan warga the ruling class, pasti ada yang menjadi pemimpinnya, meskipun menurut hukum dia tidak merupakan pemegang kekuasaan yang tertinggi. Misalnya pada negaranegara yang berbentuk kerajaan, sering terlihat kenyataan bahwa seorang perdana menteri mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari raja dalam menjalankan kedaulatan negara. Gejala lain yang tampak juga adalah perasaan tidak puas (yaitu mereka yang diperintah) mempunyai pengaruh terhadap kebijaksanaankebijaksanaan yang dijalankan oleh rhe ruling class. Golongan yang berkuasa tak mungkin bertahan terus tanpa didukung oleh masyarakat. Oleh karena itu, golongan tersebut senantiasa berusaha untuk membenarkan kekuasaannya terhadap masyarakat agar kekuasaannya dapat diterima masyarakat sebagai kekuasaan yang legal dan baik untuk masyarakat yang bersangkutan. Usaha-usaha golongan yang memegang kekuasaan seperti diterangkan Mosca, di dalam masyarakat-masyarakat yang baru saja bebas dari penjajahan dan mendapatkan kemerdekaan politik, mengalami kesulitan-kesulitan sebab pokok kesulitan-kesulitan tersebut terletak pada perbedaan alam pikiran antargolongan yang berkuasa (yang secara reIatif maju) dan alam pikiran antara golongan yang dikuasai yang masih tradisional dan kurang luas pengetahuannya. Oleh sebab itu, golongan yang berkuasa harus berusaha untuk menanamkan kekuasaannya dengan jalan menghubungkannya dengan kepercayaan dan perasaan-perasaan yang kuat di dalam masyarakat bersangkutan, yang pada dasarnya terwujud dalam nilai dan norma. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa sifat hakikat kekuasaan dapat terwujud dalam hubungan yang simetris dan asimetris. Masing masing hubungan terwujud dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat diperoleh dengan gambaran sebagai berikut Sifat dan hakikat kekuasaan : 1. SIMETRIS Hubungan persahabatan Hubungan sehari-hari Hubungan yang bersifat ambivalen Pertentangan antara mereka yang sejajar kedudukannya. 2. ASIMETRIS Popularitas Peniruan Mengikuti Perintah Tunduk pada pemimpin fomal dan informal Tunduk pada seorang ahli Pertentangan antara mereka yang tidak sejajar kedudukanya Hubungan sehari – hari Kekuasaan dapat bersumber pada bermacam-macam faktor. Apabila sumber-sumber kekuasaan tersebut dikaitkan dengan kegunaannya. Maka dapat diperoleh gambaran sebagai berikut Sumber Kekuasaan : 1. Sumber Kekuasaan Militer, Polisi, dan Kriminal Ekonomi Politik Hukum Tradisi Ideologi Diversionary Power 2. Kegunaan Kekuasaan Pengendalian kerekerasan Mengendalikan tanah, buruh, kekayaan materian, dan produksi Pengambilan Keputusan Mempertahankan, mengubah, dan melancarkan interaksi Sistem kepercayaan nilai – nilai Pandangan hidup dan integrasi Kepentingan reaktif Kekuasaan tertinggi dalam masyarakat dinamakan pula kedaulatan (sovereignity) yang biasanya dijalankan oleh segolongan kecil masyarakat. Oleh Gaetona Mosca, disebut the ruling class. B. Unsur – Unsur Saluran Kekuasaan dan Dimensinya. 1. Rasa Takut Perasaan takut pada seseorang (yang merupakan penguasa, misalnya) menimbulkan suatu kepatuhan terhadap segala kemauan dan tindakan orang yang ditakuti tadi. Rasa takut merupakan perasaan negatif karena seseorang tunduk kepada orang Iain daIam keadaan terpaksa. Orang yang mempunyai rasa takut aican berbuat segaia sesuatu yang sesuai dengan keinginan orang yang ditakutinya agar terhindar dari kesukarankesukaran yang akan menimpa dirinya, seandainya dia tidak patuh. Rasa takut juga menyebabkan orang yang bersangkutan meniru tindakantindakan orang yang ditakutinya. Gejala ini yang dinamakan matched dependent behavior,' yang tak mempunyai tujuan kongkret bagi yang melakukannya. Rasa takut merupakan gejala universal yang terdapat di mana-mana dan biasanya dipergunakan sebaik-baiknya dalam masyarakat yang mempunyai pemerintahan otoriter. 2. Rasa Cinta Rasa cinta menghasiIkan perbuatan-perbuatan yang pada umumnya positif. Orang-orang lain bertindak sesuai dengan kehendak pihak yang berkuasa untuk menyenangkan semua pihak. Artinya ada titik-titik pertemuan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Rasa cinta biasanya telah mendarah daging (internalized) dalam diri seseorang atau sekelompok orang. Rasa cinta yang efisien seharusnya dimulai dari pihak penguasa. Apabila ada suatu reaksi positif dari masyarakat yang dikuasai, kekuasaan akan dapat berjalan dengan baik dan teratur. 3. Kepercayaan Kepercayaan dapat timbul sebagai hasil hubungan langsung antara clua orang atau lebih yang bersifat asosiatif. Misalnya, B sebagai orang yang dikuasai mengadakan hubungan langsung dengan A sebagai pemegang kekuasaan. B percaya sepenuhnya kepada A kalau A akan selalu bertindak dan berlaku baik. Dengan demikian, setiap keinginan A selalu dilaksanakan oleh B. Kemungkinan sekali bahwa B sama sekali tidak mengetahui kegunaan tindakan-tindakannya itu. Akan tetapi karena dia telah menaruh kepercayaan kepada si A, dia akan berburu hal-hal yang sesuai dengan kemauan A yang merupakan penguasa agar A semakin memercayai B. Pada contoh tersebut, hubungan yang terjadi bersifat pribadi, tetapi mungkin saja hubungan demikian akan be kembang di dalam suatu organisasi atau masyarakat secara luas. Kepercayaan memang sangat penting demi kelanggengan suatu kekuasaan. 4. Pemujaan Sistem kepercayaan mungkin masih dapat disangkal oleh orang-orang lain. Akan tetapi, di dalam sistem pemujaan, seseorang atau sekelompok orang yang memegang kekuasaan mempunyai dasar pemuja dari orang-orang lain. Akibatnya adalah segala tindakan penguasa dibenarkan atau setidak-tidaknya dianggap benar. Keempat unsur tersebut merupakan sarana yang biasanya digunakan oleh penguasa untuk dapat menjalankan kekuasaan yang ada di tangannya Apabila seseorang hendak menjalankan kekuasaan, biasanya dilakukan secara langsung tanpa perantaraan. Keadaan semacam itu pada umumnya dapat dijumpai pada masyarakat-masyarakat kecil dan bersahaja, dimana para warganya saling mengenal dan belum dikenal adanya diferensiasi. Namun, di dalam masyarakat yang sudah rumit, hubungan antara penguasa dengan yang dikuasai mungkin terpaksa dilaksanakan secara tidak langsung. Misalnya di Indonesia tak akan mungkin presiden setiap kali berhubungan langsung dengan rakyatnya yang berjuta-juta dan tersebar tempat kediamannya. Apabila dilihat dalam masyarakat, kekuasaan di dalam pelaksanaanya dijalankan melalui saluran-saluran tertentu. Saluran-saluran tersebut banyak sekali, tetapi kita hanya akan membatasi diri pada saluran – saluran sebagai berikut ini. 1. Saluran Militer Apabila saluran ini yang dipergunakan, penguasa akan lebih mudah mempergunakan paksaan (caercion) serta kekuatan militer (milit force) di dalam melaksanakan kekuasaannya. Tujuan utama ada untuk menimbulkan rasa takut dalam diri masyarakat sehingga mereka tunduk kepada kemauan penguasa atau sekelompok orang-orang yang dianggap sebagai penguasa. Untuk keperluan tersebut, sering kali di bentuk organisasi-organisasi atau pasukan-pasukan khusus yang bertindak sebagai dinas rahasia. Hal ini banyak dijumpai pada negara-negara totaliter. 2. Saluran Ekonomi Dengan menggunakan saluran-saluran di bidang ekonomi, penguasa berusaha untuk menguasai kehidupan masyarakat. Dengan jalan menguasai ekonomi serta kehidupan rakyat tersebut, penguasa dapat melaksanakan peraturan-peraturannya serta akan menyalurkan perintahperintahnya dengan dikenakan sanksi-sanksi yang tertentu. 3. Saluran Politik Melalui saluran politik, penguasa dan pemerintah berusaha untuk membuat peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat. Caranya adalah dengan meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menaati peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh badan-badan yang berwenang dan yang sah. 4. Saluran Tradisional Saluran tradisionai biasanya merupakan saluran yang paling disukai. Dengan cara menyesuaikan tradisi pemegang kekuasaan dengan tradisi yang dikenal di dalam sesuatu masyarakat, pelaksanaan kekuasaan dapat berjalan dengan lebih lancar. 5. Saluran Ideologi Penguasa-penguasa dalam masyarakat biasanya mengemukakan serangkaian ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin, yang bertujuan untuk menerangkan dan sekaligus memberi dasar pembenaran bagi pelaksanaan kekuasaannya. Hal itu dilakukan supaya kekuasaan dapat menjelma menjadi wewenang. 6. Saluran-saluran lainnya Selain saluran-saluran lain di yang telah disebutkan di atas. yang dapat dipergunakan penguasa, misalnya alat-alat massa seperti surat kabar, radio, televisi, dan lain-lainnya. Selain itu, dapat pula dipergunakan saluran rekreasi yang biasa digunakan masyarakat mengisi waktu senggangnya, seperti sandiwara rakyat yang sangat pesat di bidang teknologi alat-alat komunikasi menyebabkan saluran tersebut pada akhir-akhir ini mendapatkan yang penting sebagai saluran pelaksanaan kekuasaan yang oleh seorang penguasa. Biasanya penguasa tidak hanya memakai salah satu saluran. Akan tetapi, tergantung pada struktur yang bersangkutan. Misalnya pada masyarakat tradisional, tradisi akan Iebih berhasil dalam meyakinkan masyarakat misalnya saluran militer. Apabila dimensi kekuasaan ditelaah, ada kemungkinan-kemungkinan di antaranya: Kekuasaan yang sah dengan kekerasan Kekuasaan yang sah tanpa kekerasan Kekuasaan yang tidak sah dengan kekerasan Kekuasaan yang tidak sah tanpa kekerasan C. Cara – Cara Mempertahankan Kekuasaan Kekuasaan yang telah dilaksanakan melalui saluran-saluran sebagaimana diterangkan di atas memerlukan serangkaian cara atau usaha-usaha untuk mempertahankannya. Setiap penguasa yang telah memegang kekuasaan di dalam masyarakam, demi stabilnya masyrakat tersebut, akan berusaha untuk mempertahankannya. Cara-cara atau usaha-usaha yang dapat dilakukannya adalah antara lain : Dengan jalan menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama, terutama dalam bidang politik, yang merugikan kedudukan penguasa, dimana peraturan-peraturan tersebut akan menguntungkan penguasa, keadaan tersebut biasanya terjadi pada waktu ada pergantian kekuasaan dari seseorang penguasa kepada pennguasa lain (yang baru); Mengadakan sistem-sistem kepercayaan yang akan dapat memperkokoh kedudukan penguasa atau golongannya, yang meliputi agama, ideologi dan Pelaksanaan administrasi dan birokrasi yang baik; mengadakan konsolidasi horizontal dan vertikal. D. Beberapa Bentuk Lapisan Kekuasaan Bentuk-bentuk kekuasaan pada masyarakat-masyarakat tertentu di dunia ini beraneka macam dengan masing-masing polanya. Biasanya ada satu pola yang berlaku umum pada setiap masyarakat, betapapun perubahan-perubahan yang dialami masyarakat itu (yang akan menelorkan suatu pola baru). Namun, pola tersebut akan selalu muncul atas dasar pola lama yang berlaku sebelumnya. Kiranya dapat dikatakan bahwa bentuk dan sistem kekuasaan selalu menyesuaikan diri pada masyarakat dengan adat istiadat clan pola-pola perilakunya. Mungkin dalam keadaan-keadaan krisis, batas-batasnya mengalami perubahan sedikit, pada umumnya garis tegas antara yang berkuasa dengan yang dikuasai selalu ada. Gejala demikian menimbulkan lapisan kekuasaan atau piramida kekuasaan, yang didasarkan pada rasa kekhawatiran masyarakat akan terjadinya disintegrasi bila tidak ada kekuasaan yang menguasainya. Karena integrasi masyarakat dipertahankan oleh tata tertib sosial yang dijalankan oleh penguasa, masyarakat mengakui adanya lapisan kekuasaan tersebut, walaupun kadang-kadang kenyataan demikian merupakan beban. Adanya faktor pengikat antara warga-warga masyarakat dikarenakan atas dasar gejala bahwa ada yang memerintah dan ada yang diperintah dalam masyarakat yang bersangkutan. Lapisan-lapisan tersebut selalu akan ada, walaupun setiap perubahan dalam masyarakat akan berpengaruh terhadapnya. Mungkin sistem lapisan yang lama akan hancur sama sekali, tetapi pasti akan timbul sistem lapisan kekuasaan baru karena masyarakat memerlukannya. Setiap tahap perkembangan dari suatu masyarakat tertentu mempunyai ciri-ciri sistem lapisan kekuasaan yang khusus. Perlu pula ditambahkan bahwa kekuasaan bukanlah semata-mata berarti bahwa banyak orang tunduk di bawah penguasa. Kekuasaan selalu berarti suatu sistem lapisan bertingkat (hierarki). Menurut MacIver, ada tiga pola umum sistem lapisan kekuasaan atau piramida kekuasaan, yaitu sebagai berikut: Tipe pertama (tipe kata) adalah sistem lapisan kekuasaan dengan garis pemisahyang tegas dan kaku. Tipe semacam ini biasanya dijumpai pada masyarakat berkasta, dimana hampir-hampir tak terjadi gerak sosial vertikal. Tipe yang kedua (tipe oligarkis) masih mempunyai garis pemisah yang tegas. Akan tetapi, dasar pembedaan kelas-kelas sosial di tukan oleh kebudayaan masyarakat, terutama pada kesempatan diberikan kepada para warga untuk memperoleh kekuasaan-keku tertentu. Bedanya dengan tipe yang pertama adalah walaupun kedudukan para warga pada tipe kedua masih didasarkan pada kelahiran ascribed status, individu masih diberi kesempatan untuk naik lapisan. Di setiap lapisan juga dapat dijumpai lapisan-lapisan yang lebih khusus lagi, sedangkan perbedaan antara satu lapisan dengan lapisan lainnya tidak begitu mencolok. Tipe yang ketiga (tipe demokratis) menunjukkan kenyataan adanya garis pemisah antara lapisan yang sifatnya mobilitas sekali. Kelahiran tidak menentukan seseorang, yang terpenting adalah kemampuan clan kadang-kadang juga faktor keberuntungan. Tipe ini terbukti dari anggota-anggota par-tai politik.Dalam suatu masyarakat demokratis dapat mencapai kedudukan-kedudukan tertentu melalui partai. E. Wewenang Sebagaimana halnya dengan kekuasaan, wewenang juga dapat dijumpai di mana-mana, walaupun tidak selamanya kekuasaan dan wewenang berada di satu tangan. Wewenang dimaksudkan sebagai suatu hak yang telah ditetapkan dalam tata tertib sosial untuk menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah penting, dan untuk menyelesaikan pertentangan-pertentangann. Dengan kata lain, seseorang yang mempunyai wewenang bertindak sebagai orang yang memimpin atau membimbing orang banyak. Apabila orang membicarakan tentang wewenang, maka yang dimaksud adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang. Tekanannya adalah pada hak, dan bukan pada kekuasaan. Dipandang dari sudut masyarakat, kekuasaan tanpa wewenang merupakan kekuatan yang tidak sah. Kekuasaan harus mendapatkan pengakuan dan pengesahan dari masyarakat agar menjadi wewenang. Wewenang hanya mengalami perubahan dalam bentuk. Berdasarkan kenyataannya wewenang tadi tetap ada. Perkembangan suatu wewenang terletak pada arah serta tujuannya untuk sebanyak mungkin memenuhi bentuk yang diidam-idamkan masyarakat. Wewenang ada beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut. Sebagaimana halnya dengan kekuasaan, wewenang juga dapat dijumpai di mana-mana, walaupun tidak selamanya kekuasaan dan wewenang berada di satu tangan. Wewenang dimaksudkan sebagai suatu hak yang telah ditetapkan dalam tata tertib sosial untuk menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah penting, dan untuk menyelesaikan pertentangan-pertentangann. Dengan kata lain, seseorang yang mempunyai wewenang bertindak sebagai orang yang memimpin atau membimbing orang banyak. Apabila orang membicarakan tentang wewenang, maka yang dimaksud adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang. Tekanannya adalah pada hak, dan bukan pada kekuasaan. Dipandang dari sudut masyarakat, kekuasaan tanpa wewenang merupakan kekuatan yang tidak sah. Kekuasaan harus mendapatkan pengakuan dan pengesahan dari masyarakat agar menjadi wewenang. Wewenang hanya mengalami perubahan dalam bentuk. Berdasarkan kenyataannya wewenang tadi tetap ada. Perkembangan suatu wewenang terletak pada arah serta tujuannya untuk sebanyak mungkin memenuhi bentuk yang diidam-idamkan masyarakat. Wewenang ada beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut. 1. Wewenang Kharismatis, Tradisional, dan Rasional (Legal) Perbedaan antara wewenang kharismatis, tradisional, dan rasional (legal) dikemukakan oleh Max Weber. Pembedaan tersebut didasarkan pada hubungan antara tindakan dengan dasar hukum yang berlaku. Di dalam mernbicarakan ketiga bentuk wewenang tadi, Max Weber memerhatikan sifat dasar wewenang tersebut karena itulah yang menentukan kedudukan penguasa yang mempunyai wewenang tersebut. Wewenang kharismatis merupakan wewenang yang didasarkan pada kharisma, yaitu suatu kemampuan khusus (wahyu, pulung) yang ada pada diri seseorang. Kemampuan khusus tadi melekat orang tersebut karena anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Orang-orang di sekitarnya mengaku adanya kemampuan tersebut. Dasar kepercayaan dan pemujaan karena mereka menganggap bahwa sumber kemampuan tersebut merupakan sesuatu yang berada diatas kekuasaan dan kemampuan manusia umumnya. Manfaat serta kegunaan sumber kepercayaan dan pemujaan karena kemampuan khusus tadi pernah terbukti bagi masyarakat. Wewenang kharismatis tersebut akan dapat tetap bertahan selama dapat dibuktikan keampuhannya bagi seluruh masyarakat. Contohnya nabi, para rasul, penguasa-penguasa terkemuka dalam sejarah, dan seterusnya. Wewenang kharismatis berwujud suatu wewenang untuk diri orang itu sendiri dan dapat dilaksanakan terhadap segolongan orang atau bahkan terhadap bagian terbesar masyarakat. Jadi, dasar wewenang kharismatis bukanlah terletak pada suatu peraturan (hukum), tetapi bersumber pada diri pribadi individu bersangkutan. Kharisma semakin meningkat sesuai dengan kesanggupan individu yang bersangkutan untuk membuktikan manfaatnya bagi masyarakat, dan pengikut-pengikutnya akan menikmatinya.Wewenang kharismatis dapat berkurang bila ternyata individu yang memilikinya berbuat kesalahan-kesalahan yang merugikan masyarakat sehingga kepercayaan masyarakat terhadapnya menjadi berkurang. Wewenang tradisional dapat dipunyai oleh seseorang maupun sekelompok orang. Dengan kata lain, wewenang tersebut dimiliki oleh orang-orang yang menjadi anggota kelompok, yang sudah lama sekali mempunyai kekuasaan di dalam suatu masyarakat. Wewenang tadi dipunyai oleh seseorang atau sekelompok orang bukan karena mereka mempunyai kemampuan-kemampuan khusus seperti pada wewenang kharismatis, tetapi karena kelompok tadi mempunyai kekuasaan dan wewenang yang telah melembaga clan bahkan menjiwai masyarakat. Demikian lamanya golongan tersebut memegang tampuk kekuasaan hingga membuat masyarakat percaya clan mengakui kekuasaannya. Pada masyarakat di mana penguasa masyarakat radisioalsional, tidak ada pembatasan yang tegas kemampuan-kemampuan pribadi seseorang. Hubungan kekeluargaan memegang peranan wewenang. Kepercayaan serta kehormatan mereka yang mempunyai wewenang tradisional fungsi memberikan ketenangan pada masy masyarakat selalu mengikatkan diri pada tradisi. Di dalam masyarakat yang demokratis sesuai dengan sistem hukumnya, orang yang memegang kekuasaan diberi kedudukan menurut jangka waktu tertentu dan terbatas. Gunanya adalah supaya orang-orang yang memegang kekuasaan tadi akan dapat menyelenggarakannya sesuai dengan kepentingan masyarakat. Kemungkinan orang-orang tertentu secara terus-menerus memegang kekuasaan dalam jangka waktu lama seperti halnya pada masyarakat tradisional kecil sekali karena kemungkinan semacam itu akan menghambat keinginan clan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Apabila ketiga bentuk wewenang tersebut ditelaah lebih mendalam, akan terlihat bahwa ketiga-tiganya dapat dijumpai dalam masyarakat, walau mungkin hanya salah satu bentuk saja yang menonjol. Di dalam suatu masyarakat yang hidup tenang dan stabil, umumnya wewenang tradisional yang legal amat mengedepan. Dengan meluasnya sistem demokrasi, wewenang tradisional yang diwujudkan dengan kekuasaan turun-temurun kelihatannya semakin berkurang. Di dalam masyarakat yang mengalami perubahan-perubahan cepat, mendalam dan meluas. Wewenang kharismatis mendapat kesempatan untuk tampil ke muka. Dalam keadaan demikian tradisi tidak mendapat penghargaan selayaknya dari masyarakat. Lagi pula, kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman tegas bagi para warga. Oleh karena itu, golongan-golongan masyarakat yang biasa dipimpin dengan sukarela mengikuti orang yang cakap. Barangsiapa pernah mengalami revolusi fisik Indonesia pada 1945 akan mengetahu: betapa besar daya tarik para pemimpin masyarakat yang memiliki kharisma di dalam mengarahkan masyarakat pada waktu itu. Max Weber mengemukakan pendapat bahwa ada kecenderungan dari wewenang kharismatis (yang berkurang kekuatannya bila keadaan masyarakat berubah) untuk dijadikan kekuasaan tetap dengan meng abadikan kepentingan serta cita-cita para pengikut pemimpin kharismatis tadi ke dalam kehidupan bersama kelompok, dan kepentingan untuk mempererat hubungan satu dengan lainnya. Masalah akan timbul bila yang memiliki kharisma sudah tak ada lagi. Dalam hal ini ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi masatah tersebut, yaitu antara lain: Mencari seseorang yang mampu untuk memenuhi ukuran-ukuran atau kriteria wewenang kharismatis sebagaimana ditentukan oieh masyarakat; Dengan mengadakan penyaringan atau seleksi; Seseorang yang mempunyai wewenang kharismatis, menunjuk penggantinya serta mengakui kekuasaannya, di mana masyarakat luas juga mengakuinya; Penunjukan oleh pembantu-pembantu penguasa terdahulu yang dipercayai oleh masyarakat; Menciptakan suatu sistem kepercayaan bahwa kharisma dapat diwariskan kepada keturunan atau seseorang yang masih ada hubungan keluarga dengan orang yang mempunyai kharisma tersebut; Menciptakan sistem kepercayaan bahwa dengan upacara-upacara tradisional tertentu, kharisma dapat dialihkan kepada orang lain. Proses perubahan wewenang kharismatis menjadi kekuasaan dan wewenang yang tetap tidak mustahil menimbulkan pertikaian-pertikaian. Bagi penganut wewenang kharismatis, kadang-kadang tidaklah mudah untuk melupakan kenyataan bahwa wewenang tersebut pernah melekat pada diri clan pribadinya. Akan tetapi, hal ini bukanlah merupakan penghalang besar terutama pada masyarakat modern karena warga masyarakat umumnya rasional dan menghendaki suatu landasan hukum yang kuat pada wewenang yang berlaku di dalam masyarakat. Kesulitan-kesulitan mungkin akan dijumpai pada masyarakat-masyarakat bersahaja yang masih memelihara sistem kepercayaan. 2. Wewenang Resmi dan Tidak Resmi Di dalam setiap masyarakat akan dapat dijumpai aneka macam bentuk kelompok. Dalam kehidupan kelompok-kelompok tadi sering kali timbul masalah tentang derajat resmi suatu wewenang yang berlaku di dalamnya. Sering kali wewenang yang berlaku dalam kelompok-kelompok kecil disebut sebagai wewenang tidak resmi karena bersifat spontan, situasional dan, didasarkan pada faktor saling mengenal. Wewenang demikian tidak diterapkan secara sistematis. Keadaan semacam ini dapat dijumpai, misalnya, pada ciri seorang ayah dalam fungsinya sebagai kepala rumah tangga atau pada diri seorang guru yang sedang mengajar di muka kelas. Wewenang tidak resmi biasanya timbul dalam hubungan-hubungan antar pribadi yang situasional, dan sangat ditentukan oleh kepribadian para pihak. Wewenang resmi sifatnya sistematis, diperhitungkan, dan rasional. Biasanya wewenang tersebut dapat dijumpai pada kelompok-kelompok besar yang memerlukan aturan-aturan tata tertib yang tegas dan bersifat tetap. Di dalam kelompok tadi, karena banyaknya anggota, biasanya hak serta kewajiban para anggotanya, kedudukan serta peranan, siapa-siapa yang menetapkan kebijaksanaan dan siapa pelaksananya, dan seterusnya ditentukan dengan tegas. Walau demikian, dalam kelompok-kelompok besar dengan wewenang resmi tersebut, mungkin saja ada wewenang yang tidak resmi. Tidak semuanya dijalankan atas dasar peraturanperaturan resmi yang sengaja dibentuk. Bahkan demi lancarnya suatu perusahaan besar misalnya,kadangkala prosesnya didasarkan padi kebiasaan atau aturan-aturan yang tidak resmi. Contohnya dapat dilihat pada seorang sekretaris direktur punya wewenang tidak resmi yang besar. Demikian pula dalam suatu lembaga pemasyarakatan, seorang narapidana tertentu lebih ditakuti oleh rekan-rekannya daripada pegawai lembaga pemasyarakatan yang mempunyai wewenang resmi. Sebaliknya di dalam kelompok-kelompok kecil mungkin saja ada usaha-usaha untuk menjadikan wewenang tidak resmi menjadi resmi karena terlalu seringnya terjadi pertikaian antar anggota. 3. Wewenang Pribadi dan Teritorial Pembedaan antara wewenang pribadi dengan teritorial sebenarnya timbul dari sifat dan dasar keiompok-kelompok sosial tertentu. Kelompokkelompok tersebut mungkin timbul karena faktor ikatan darah atau mungkin juga karena faktor ikatan tempat-tinggal, atau karena gabungan kedua faktor tersebut. Di Indonesia dikenal kelompok-kelompok atas: dasar ikatan darah, misalnya marga, belah, dan seterusnya. Sebaliknya dikenal pula nama desa, yang lebih didasarkan pada faktor teritorial. Wewenang pribadi sangat tergantung pada solidaritas antara anggota-anggota kelompok, dan di sini unsur kebersamaan sangat memegang peranan. Para individu dianggap lebih banyak memiliki kewajiban ketimbang hak. Struktur wewenang bersifat konsentris, yaitu dari satu titik pusat lalu meluas melalui lingkaran-lingkaran wewenang tertentu. Setiap lingkaran wewenang dianggap mempunyai kekuasaan penuh di wilayahnya masing-masing. Apabila bentuk wewenang ini dihubungkan dengan ajaran Max Weber, wewenang pribadi lebih didasarkan pada tradisi daripada peraturan-peraturan. Juga mungkin didasarkan pada kharisma seseorang. Pada wewenang teritorial, wilayah tempat tinggal memegang peranan yang sangat penting. Pada kelompok-kelompok teritorial unsur kebersamaan cenderung berkurang karena desakan faktor-faktor individualisme. Hal ini tidaklah berarti bahwa kepentingan perorangan diakui dalam kerangka kepentingan bersama. Pada wewenang teritorial ada kecenderungan untuk mengadakan sentralisasi wewenang yang memungkinkan hubungan langsung dengan para warga kelompok. Walaupun di sini dikemukakan pembedaan antara wewenang pribadi dengan teritorial, di dalam kenyataannya kedua bentuk wewenang tadi dapat saja hidup berdampingan. Pada desa-desa di Jawa, misalnya, wewenang teritorial lebih berperan, di samping ada kecenderungan-kecenderungan untuk mengakui wewenang dari golongan pemilik tanah (kuli kenceng) dan sifatnya turuntemurun dan didasarkan pada ikatan atau hubungan darah. Akan tetapi, ada pula kenyataan-kenyataan yang membuktikan bahwa terdapat wewenang-wewenang pribadi clan teritorial yang murni sifatnya. 4. Wewenang Terbatas dan Menyeluruh Suatu dimensi lain dari wewenang adalah pembedaan antara wewenang terbatas dengan wewenang menyeluruh. Apabila dibicarakan tentang wewenang terbatas, maksudnya adalah wewenang tidak mencakup semua sektor atau bidang kehidupan, tetapi hanya terbatas pada salahsatu sektor atau bidang saja. Misalnya, seorang jaksa di Indonesia, mempunyai wewenang untuk atas nama negara dan mewakili masyarakat menuntut seorang warga masyarakat yang melakukan tindak pidana. Namun, jaksa tidak berwenang mengadilinya. Contoh lain adalah seorang menteri dalam negeri, tidak mempunyai wewenang untuk mencampuri urusan-urusan yang menjadi wewenang menteri luar negeri. Wewenang semacam ini sebenarnya lazim, terutama dalam masyarakat yang sudah rumit susunan clan organisasinya. Namun demikian, wewenang yang menyeluruh juga suatu ciri dari suatu negara. Suatu wewenang menyeluruh berarti suatu wewenang yang tidak dibatasi oleh bidang-bidang kehidupan tertentu. Suatu contoh adaiah, misalnya, setiap negara mempunyai wewenang yang menyeluruh atau mutlak untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya. Jadi, terbatasnya atau menyeluruhnya suatu wewenang bersifat tergantung dari sudut penglihatan pihak-pihak yang ingin menyorotinya. Kedua bentuk wewenang tadi dapat berproses secara berdampingan, dimana pada situasi tertentu, salah satu bentuk lebih berperan daripada bentuk lainnya. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kekuasaan dan wewenang merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat penting dalam kehidupan kelompok sosial di masyarakat.Kekuasaan adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan sosial yang ada termasuk dengan kekuatan atau tanpa mengiraukan landasan yang menjadi pijakan kemungkinan itu. Wewenang merupakan hak jabatan yang sah untuk memerintahkan orang lain bertindak dan untuk memaksa pelaksanaannya. Dengan wewenang, seseorang dapat mempengaruhi aktifitas atau tingkah laku perorangan dan grup. Sumber kekuasaan terdiri dari harta benda, status, wewenang legal, kharisma, dan pendidikan. Selain itu unsure kekuasaan juga berpengaruh yaitu meliputi: rasa takut, rasa cinta, kepercayaan, dan pemujaan. Lapisan kekuasaan yaitu tipe kata, tipe oligarkis, dan tipe demokratis. Bentuk wewenang terdiri dari: Wewenang karena charisma, tradisional, dan rasional. Wewenang resmi dan tidak resmi. Wewenang pribadi dan teritorial. Wewenang terbatas dan menyeluruh. B. Saran Dengan adanya makalah ini, semoga kalian dapat memahami dan mengerti tentang Kekuasaan dan Wewenang dalam study Pengantar Sosiologi selain dari itu saya juga mengharapkan kritikan dari kalian semua, agar dapat membangun atau untuk menyempurnakan pembuatan makalah yang selanjutnya.   DAFTAR PUSTAKA Soekanto Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta; PT. Raja Grafindo Indonesia, 1982. Khoe Soe Khiam. Sendi - Sendi Sosiologi (Ilmu Masyarakat). Bandung; Penerbit Ganaco, 1963 11