Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Ekonomi wilayah kota

2015, Gresya

Hubungan dan pengaruh antara guna lahan dan sistem pergerakan dengan perekonomian suatu kota

HUBUNGAN DAN PENGARUH ANTARA GUNA LAHAN DAN SISTEM PERGERAKAN DENGAN PEREKONOMIAN SUATU KOTA MK. EKONOMI WILAYAH DAN KOTA KELAS B Disusun oleh: Gresya Cicin Carola (135060600111012) Ecky Samodra Yahya (135060600111013) Nurbaiti Kiftiah (135060600111031) Puji Abraham (135060600111040) Ruth Mayasari (135060600111045) JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH & KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan perkotaan yang cepat, terutama yang terjadi di kota besar ditandai dengan makin tersebarnya pusat-pusat kegiatan sosial ekonomi. Secara fisik pertumbuhan perkotaan tersebut terlihat dari perubahan tata guna lahan. Lahan budidaya pertanian berubah menjadi lahan budidaya permukiman yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal penduduk, namun pada akhirnya di ikuti pula dengan tumbuhnya kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan peningkatan intensitas lahan ini akan mengakibatkan peningkatan terhadap bangkitan dan tarikan pergerakan dari dan ke lahan tersebut, yang berarti bahwa pergerakan arus lalu lintas yang dihasilkan semakin meningkat. Dari gambaran tersebut terlihat adanya interaksi antara tata guna lahan dan transportasi, dimana interaksi tersebut berjalan terus dan membentuk sebuah siklus dalam sistem Tata Guna Lahan - Transportasi, sehingga pada akhirnya tercapai keseimbangan. Berdasarkan data BPS dan BPN Provinsi Lampung, Provinsi Lampung telah mengalami perubahan struktur penggunaan lahan. Selama satu dekade di Bandar Lampung telah terjadi perubahan struktur penggunaan lahan. Lahan yang cenderung mengalami pengurangan terbesar adalah penggunaan untuk rawa-rawa, hutan, dan perusahaan serta lahan kosong yang tidak digunakan. Sedangkan penggunaan lainnya cenderung mengalami perluasan, terutama untuk penggunaan bagi perkampungan/ permukiman, industri dan jasa-jasa. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tentang Guna Lahan Analisis LQ Analisis Location Quotient (LQ) digunakan untuk menentukan subsektor unggulan atau ekonomi basis suatu perekonomian wilayah. Subsektor unggulan yang berkembang dengan baik tentunya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan darah secara optimal (Kuncoro M,2004). Location quotient (kuosien lokasi) atau disingkat LQ adalah suatu perbandingan tentang besarnya peranan suatu sektor di suatu daerah terhadap besarnya peranan sektor tersebut secara nasional. Menurut Budiharsono (2001) bahwa inti model ekonomi basis menerangkan arah dan pertumbuhan suatu wilayah. Dijelaskan oleh Rusastra, dkk (2002) bahwa yang dimaksud dengan kegiatan basis merupakan kegiatan suatu masyarakat yang hasilnya baik berupa barang maupun jasa ditujukan untuk ekspor ke luar dari lingkungan masyarakat atau yang berorientasi keluar regional, nasional, dan internasional. Konsep efisisensi teknis maupun efisiensi ekonomis sangat menentukan dalam pertumbuhan basis suatu wilayah. Sedangkan kegiatan non basis merupakan kegiatan masyarakat yang hasilnya baik berupa barang maupun jasa diperuntukkan bagi masyarakat itu sendiri dalam kawasan kehidupan ekonomi masyarakat tersebut.Untuk mengetahui sektor basis atau non basis dapat digunakan metode pengukuran langsung atau tidak langsung. Pada metode pengukuran langsung, penentuan sektor basis dan non basis dilakukan melalui survey langsung di daerah yang bersangkutan. Sebaliknya, pada metode pengukuran tidak langsung penentuan sektor basis dan non basis dilakukan dengan menggunakan data sekunder beberapa indikator ekonomi di suatu daerah, terutama data PDB/PDRB dan tenaga kerja per sektor. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan sektor basis dan nonbasis di suatu daerah berdasarkan pengukuran tidak langsung adalah metode Location Quotient(LQ). Ada banyak variabel yang bisa diperbandingkan, tetapi yang umum adalah nilai tambah (tingkat pendapatan) dan hasil produksi. Rumusnya adalah sebagai berikut: Keterangan : Eij =Variabel regional (contoh: hasilkomoditas) sektori di wilayah j (kabupaten) Ej = Variabel regional di wilayah j Ein = Variabel regional di sektori di wilayah n (provinsi) En = Variabel regional di wilayah n Istilah wilayah nasional dapat diartikan untuk wilayah induk/wilayah atasan. Misalnya apabila diperbandingkan antara wilayah kabupaten dengan provinsi, maka provinsi memegang peran sebagai wilayah nasional dan seterusnya. Kriteria pengukuran dari nilai LQ yang dihasilkan mengacu kepada kriteria yang dikemukakan Bendavid-Val dalam Kuncoro M, 2004 sebagai berikut : LQ > 1, berarti tingkat spesialisasi sektor tertentu pada tingkat daerah lebih besar dari sektor yang sama pada tingkat provinsi. LQ < 1, berarti tingkat spesialisasi sektor tertentu pada tingkat daerah lebih kecil dari sektor yang sama pada tingkat provinsi. LQ = 1, berarti tingkat spesialisasi sektor tertentu pada tingkat daerah sama dengan sektor yang sama pada tingkat provinsi. Dalam kaitannya dengan pembahasan yang dilakukan, bila nilai LQ > 1 maka sektor/subsektor/komoditi tersebut merupakan unggulan di daerah dan potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian daerah. Apabila nilai LQ < 1 maka sektor/subsektor/komoditi tersebut bukan merupakan unggulan dan kurang potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian daerah. Analisis LQ bisa dibuat menarik apabila dilakukan dalam bentuk time series/trend, artinya dianalisis untuk beberapa kurun waktu tertentu. Dalam hal ini perkembangan LQ bisa dilihat untuk suatu sector tertentu pada kurun waktu yang berbeda, apakah terjadi kenaikan atau penurunan. Hal ini bisa memancing analisis lebih lanjut, misalnya apabila naik/turun dilihat faktor-faktor yang membuat daerah tumbuh lebih cepat/tumbuh lebih lambat dari rata-rata nasional. Hal ini bisa membantu melihat kekuatan/kelemahan wilayah kita dibandingkan secara relatif dengan wilayah yang lebih luas. Potensi yang positif digunakan dalam strategi pengembangan wilayah. Keunggulan Analisis LQ: Location Quotient merupakan suatu alat analisa yang digunakan dengan mudah dan cepat. LQ dapat digunakan sebagai alat analisis awal untuk suatu daerah, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan alat analisis lainnya. Karena demikian sederhananya, LQ dapat dihitung berulang kali untuk setiap perubahan spesialisasi dengan menggunakan berbagai peubah acuan dan periode waktu. Perubahan tingkat spesialisasi dari tiap sektor dapat pula diketahui dengan membandingkan LQ dari tahun ke tahun. Kelemahan Analisis LQ: Perlu diketahui bahwa nilai LQ dipengaruhi oleh berbagai faktor. Nilai hasil perhitungannya bias, karena tingkat disagregasi peubah spesialisasi, pemilihan peubah acuan, pemilihan entity yang diperbandingkan, pemilihan tahun dan kualitas data. Masalah paling mendasar pada model ekonomi basis ini adalah masalah time lag. Hal ini diakui, bahwa base multiplier atau pengganda tidak berlangsung secara tepat, karena membutuhkan time lag antara respon dari sektor basis terhadap permintaan dari luar wilayah dan respon dari sektor non basis terhadap perubahan sektor basis. Pendekatan yang biasanya dilakukan terhadap masalah ini adalah mengabaikan masalah time lag ini, namun dalam jangka panjang masalah ini pasti terjadi. Analisis Shift Share Analisis Shift Share adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui proses pertumbuhan ekonomi suatu daerah dalam kaitannya dengan perekonomian daerah acuan yaitu daerah yang lebih besar (regional atau nasional). Teknik analisis shift share ini membagi pertumbuhan sebagai perubahan (G) suatu variabel wilayah, seperti tenaga kerja, nilai tambah, pendapatan atau output, selama kurun waktu tertentu menjadi pengaruh : pertumbuhan nasional (N), Proportional Shift (P), dan Differential Shift ( D ). Metode ini lebih tajam dibanding metode LQ. Metode LQ tidak memberi penjelasan atas faktor penyebab perubahan tersebut sedang metode shift share memperinci penyebab perubahan itu atas beberapa variabel. Analisis ini menggunakan metode pengisolasian berbagai faktor yang menyebabkan perubahan struktur industri suatu daerah di dalam pertumbuhannya di dalam satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya. Hal ini meliputi penguraian faktor penyebab pertumbuhan berbagai sektor di suatu daerah tetapi dalam kaitannya dengan ekonomi nasional (Tarigan,2002). Analisis shift share diartikan sebagai salah satu teknik kuantitatif yang biasa digunakan untuk menganalisis perubahan struktur ekonomi daerah relatif terhadap struktur ekonomi wilayah administratif yang lebih tinggi sebagai pembanding atau referensi. Untuk tujuan tersebut, analisis ini menggunakan tiga informasi dasar yang berhubungan satu sama lain yaitu: Pertumbuhan ekonomi daerah diukur dengan cara menganalisis perubahan pengerjaan agregat secara sektoral dibandingkan dengan perubahan sektor yang sama diperekonomian yang dijadikan acuan. Pergeser proposional mengukur perubahan relatif, pertumbuhan atau penurunan, pada daerah dibandingkan dengan perekonomian yang lebih besar dijadikan acuan. Pengukuran ini memungkinkan kita untuk mengetahui apakah perekonomian daerah terkonsentrasi pada industri-industri lebih cepat ketimbang perekonomian yang dijadikan acuan. Pergeseran diferensial membantu kita dalam menentukan seberapa jauh daya saing industri daerah (lokal) dengan perekonomian yang dijadikan acuan. Oleh karena itu, jika pergeseran diferensial dari suatu industri adalah positif, maka industri tersebut lebih tinggi daya saingnya ketimbang industri yang sama pada perekonomian yang dijadikan acuan. (Lincolin Arsyad,2004). Analisis shift share digunakan untuk menganalisis perubahan-perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu di suatu wilayah. Dari analisis ini diketahui perkembangan suatu sektor di suatu wilayah jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya, apakah pertumbuhannya cepat atau lambat. Dalam analisis ini komponen pertumbuhan ekonomi dibagi menjadi tiga, yaitu komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan bangsa wilayah (PPW). Komponen pertumbuhan nasional adalah perubahan kesempatan kerja atau produksi suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan kesempatan kerja atau produksi nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah. Komponen pertumbuhan proporsional tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (misalnya kebijakan perpajakan, subsidi dan price support) dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar. Komponen pertumbuhan bangsa wilayah timbul karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan wilayah lainnya. Cepat atau lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial dan ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut (Lucas dan Primms (1979) dalam Budiharsono, 2005). Keunggulan Analisis Shift-share Keunggulan analisis Shift- share antara lain (Stevens B.H. dan Moore dalam Modul Isian Daerah untuk SIMRENAS): Analisis Shift-share tergolong sederhana. Namun demikian, dapat memberikan gambaran mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi. Memungkinkan seorang pemula mempelajari struktur perekonomian dengan cepat. Memberikan gambaran pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur dengan cukup akurat. Kelemahan Analisis Shift Share Kelemahan analisis Shift-share, yaitu: Hanya dapat digunakan untuk analisis ex-post. Masalah benchmark berkenaan dengan homothetic change, apakah t atau (t+1) tidak dapat dijelaskan dengan baik. Ada data periode waktu tertentu di tengah periode pengamatan yang tidak terungkap. Analisis ini membutuhkan analisis lebih lanjut apabila digunaka untuk peramalan, mengingat bahwa regional shift tidak konstan dari suatu periode ke periode lainnya. Tidak dapat dipakai untuk melihat keterkaitan antar sektor. Tidak ada keterkaitan antar daerah Land Rent Salah satu cara untuk menentukan nilai faktor produksi yang berasal dari alam seperti lahan adalah dengan menggunakan konsep land rent. Land rent merupakan konsep yang penting dalam mempelajari penerimaan ekonomi dari penggunaan sumberdaya lahan untuk produksi. Land rent dapat didefinisikan sebagai surplus ekonomi yaitu merupakan kelebihan nilai produksi total di atas biaya total. Menurut Andika Pambudi (2008), Lahan memiliki nilai ekonomi dan nilai pasar yang berbeda-beda. Lahan di perkotaan yang digunakan untuk kegiatan industri dan perdagangan memiliki nilai pasar yang tertinggi karena di tempat tersebut terletak tempat tinggal dan sumber penghidupan manusia yang paling efisien dan memberikan nilai produksi yang tertinggi. Para pemilik sumberdaya lahan cenderung menggunakan lahan untuk tujuan-tujuan yang memberikan harapan untuk diperolehnya penghasilan yang tertinggi. Mereka akan menggunakan lahannya sesuai dengan konsep penggunaan yang tertinggi dan terbaik. Konsep ini memperhitungkan semua faktor yang mempengaruhi kemampuan lahan, seperti aksebilitas serta kualitas sumberdaya lahan dan lingkungan. Penggunaan yang terbaik dan tertinggi biasanya untuk daerah industri dan perdagangan, menyusul untuk daerah permukiman, kemudian untuk daerah pertanian, dan yang terakhir untuk ladang penggembalaan dan daerah liar yang tidak ditanami. David Ricardo memberikan konsep sewa atas dasar perbedaan dalam kesuburan lahan terutama pada masalah sewa di sektor pertanian. Teori sewa model Ricardo ditentukan berdasarkan perbedaan dalam kualitas lahan yang hanya melihat faktor-faktor kemampuan lahan untuk membayar sewa tanpa memperhatikan faktor lokasi lahan. Faktor lokasi dalam menetukan nilai sewa lahan diamati oleh Von Thunen yang menemukan bahwa sewa lahan di daerah yang dekat dengan pusat pasar lebih tinggi daripada daerah yang lebih jauh dari pusat pasar. Lahan mempunyai tiga jenis nilai dalam ekonomi lahan, yaitu ricardian rent, locational rent, dan environmental rent. Ricardian rent merupakan nilai lahan yang berkaitan dengan sifat dan kualitas tanah. Locational rent merupakan nilai lahan sehubungan dengan sifat lokasi relatif dari lahan. Sedangkan environmental rent merupakan sifat tanah sebagai komponen utama ekosistem. Lahan yang lokasinya dekat pasar oleh masyarakat digunakan untuk daerah pusat kegiatan ekonomi yang akan memberikan pendapatan dan kapasitas sewa yang tinggi untuk berbagai alternatif penggunaan, seperti untuk industri-industri atau kegiatan lain yang lebih menguntungkan. Bila mekanisme pasar terus berlangsung, maka penggunaan lahan yang mempunyai land rent yang lebih besar relatif mudah menduduki lokasi utama dan menekan serta menggantikan posisi penggunaan lahan yang mempunyai land rent yang lebih kecil. Secara umum besaran land rent dari berbagai kegiatan dapat diurutkan sebagai berikut: Industri, Perdagangan, Permukiman, Pertanian Intensif, Pertanian Ekstensif. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sektor-sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi. Sehingga sektor-sektor tersebut berada di kawasan strategis. Setelah itu, nilai lahan dapat dibedakan menjadi dua yaitu sewa lahan (contract rent) dan keuntungan usaha (economic rent/ land rent). Sewa lahan (contract rent) merupakan pembayaran dari penyewa kepada pemilik dimana pemilik melakukan kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan keuntungan usaha (economic rent/ land rent) merupakan surplus pendapatan di atas biaya produksi atau harga input lahan yang memungkinkan faktor produksi lahan dapat dimanfaatkan dalam proses produksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi land rent ialah perbedaan kesuburan tanah, perbedaan jarak dari pasar, perbedaan biaya produksi, dan perbedaan lahan yang terbatas (scarsity of land) sehubungan dengan kondisi lingkungan lahan tersebut. Tentang Sistem Pergerakan 2.2.1 Pengertian Sistem Sistem adalah beberapa komponen atau objek yang saling berkaitan (Tamin, Perencanaan dan Permodelan Transportasi, 2000). Sedangkan sistem transportasi merupakan sistem pergerakan orang dan/barang dari suatu zona asal ke zona tujuan dalam wilayah yang bersangkutan. Pergerakan yang dimaksud dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai sumber tenaga, dan dilakukan untuk suatu keperluan tertentu (Dasar-dasar Rekayasa Transportasi, 2002). 2.2.2 Pengertian Bangkitan dan Tarikan Pergerakan Tarikan pergerakan adalah jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona tarikan pergerakan (Tamin, Perencanaan dan Permodelan Transportasi, 2000). Pergerakan lalu lintas merupakan fungsi tata guna lahan yang menghasilkan arus lalu lintas. Hasil dari perhitungan tarikan lalu lintas berupa jumlah kendaraan, orang atau angkutan barang per satuan waktu. Bangkitan dan tarikan lalu lintas tergantung pada dua aspek tata guna lahan, yaitu: a. Jenis tata guna lahan (jenis penggunaan lahan) b. Jumlah aktivitas dan intensitas pada tata guna lahan tersebut. Jenis tata guna lahan yang berbeda (pemukiman, pendidikan, dan komersial) mempunyai ciri bangkitan lalu lintas yang berbeda, yaitu : a. Jumlah arus lalu lintas b. Jenis lalu lintas (pejalan kaki, truk atau mobil) c. Lalu lintas pada waktu tertentu (kantor menghasilkan lalu lintas pada pagi dan sore, pertokoan menghasilkan arus lalu lintas sepanjang hari) Menurut Tamin (2000) beberapa definisi mengenai model bangkitan pergerakan sebagai berikut : 1) Perjalanan Pergerakan satu arah dari zona asal ke zona tujuan, termasuk pergerakan berjalan kaki. Berhenti secara kebetulan tidak dianggap sebagai tujuan perjalanan, meskipun perubahan rute terpaksa dilakukan. 2) Tarikan perjalanan Suatu perjalanan berbasis rumah yang tempat asal dan/tujuan adalah rumah atau pergerakan yang dibangkitkan oleh pergerakan berbasis bukan rumah. 3) Pergerakan berbasis rumah Pergerakan yang salah satu atau kedua zona (asal dan/atau tujuan) perjalan tersebut adalah rumah. 4) Pergerakan berbasisi bukan rumah Pergerakan yang baik asal maupun tujuan pergerakan adalah bukan rumah. 5) Tahapan bangkitan pergerakan Menetapkan besarnya bangkitan perjalanan yang dihasilkan oleh rumah tangga (baik untuk perjalanan berbasis bukan rumah) pada selang waktu tertentu (perjam perhari). 2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Bangkitan dan Tarikan Pergerakan A. Bangkitan pergerakan Menurut Tamin (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi bangkitan pergerakan seperti pendapatan, pemilikan kendaraan, struktur rumah tangga, ukuran rumah tangga yang biasa digunakan untuk kajian bangkitan pergerakan, sedangkan nilai lahan dan kepadatan daerah pemukiman untuk kajian zona. Menurut Hutchinson (1974), bangkitan pergerakan tergantung tipe perjalanan bekerja dan belanja yang meliputi jumlah pekerja dalam rumah tangga dan pendapatan perumahan. B. Tarikan pergerakan Menurut Tamin (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi tarikan pergerakan adalah luas lantai untuk kegiatan industri, komersial, perkantoran, pelayanan lainnya, lapangan kerja, dan aksesibilitas. Menurut Hutchinson (1974), tarikan perjalanan kendaraan untuk daerah pengembangan industri akan mempengaruhi perkembangan tata guna lahan daerah sekitar. Perekonomian Kota Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang matrealistis atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala pemusatan penduduk daerah belakangnya. Beberapa aspek kehidupan di kota antara lain aspek sosial sebagai pusat pendidikan, pusat kegiatan ekonomi , dan pusat pemerintahan. Ditinjau dari hirarki tempat, kota itu memiliki tingkat atau rangking yang tertinggi, walaupun demikian menurut sejarah perkembangannya kota itu berasal dari tempat-tempat pemukiman sederhana. Di dalam pembangunan ekonomi, perencanaan wilayah sangat perlu untuk menetapkan suatu tempat pemukiman atau tempat berbagai kegiatan itu sebagai kota atau bukan. Hal ini karena kota memiliki fungsi yang berbeda sehingga kebutuhan fasilitasnya pun berbeda. Pada dasarnya untuk melihat apakah daerah itu sebagai kota atau tidak, adalah dari seberapa banyak jenis fasilitas perkotaan yang tersedia dan seberapa jauh kota itu menjalankan fungsi perkotaan. Jenis fasilitas perkotaan yang menunjang fungsi perkotaan ialah: Pusat perdagangan, yang digunakan untuk melayani masyarakat kota itu sendiri, melayani masyarakat kota dan daerah pinggiran, melayani beberapa kota kecil (pusat kabupaten), melayani pusat provinsi dan pusat beberapa provinsi sekaligus Pusat pelayanan jasa baik jasa perorangan maupun jasa perusahaan Tersedianya prasarana perkotaan, seperti sistem jalan kota yang baik, jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan air minum, pelayanan sampah, sistem drainase, taman kota, atau pasar Pusat penyediaan fasilitas sosial atau seperti prasarana pendidikan (universitas, akademi, SLTP, SD), prasarana kesehatan, tempat ibadah, prasarana olahraga, prasarana sosial seperti gedung pertemuan, dan lain-lain Pusat pemerintahan. Pusat pemerintahan turut mempercepat tumbuhnya suatu kota karena banyak masyarakat yang perlu datang ke tempat itu untuk urusan pemerintahan Pusat komunikasi dan transportasi Lokasi pemukiman yang tertata BAB III GAMBARAN UMUM Gambaran Umum Kasus Dinamika Penggunaan Lahan di Wilayah Perkotaan (Studi di Kota Bandar Lampung) Perubahan penggunaan Lahan Perubahan struktur penggunaan lahan bukanlah semata-mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan tertentu dan meningkatnya penggunaan lahan untuk penggunaan lainnya, melainkan mempunyai kaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat (Nasution dan Winoto,1995) Perubahan orientasi tersebut berkait dengan terjadinya proses transformasi struktur perekonomian yang dicirikan semakin menurunnya pangsa relatif sektor primer (pertanian dan pertambangan) dan semakin meningkatnya pangsa relatif sektor sekunder dan tersier (industri dan jasa). Dengan demikian pembangunan ekonomi diarahkan untuk mengurangi ketergantungan perekonomian suatu wilayah terhadap sektor primer yang mempunyai nilai tambah (value added) yang lebih rendah dibandingkan dengan sektor sekunder dan tersier. Dari data yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini selama satu dekade di wilayah Kota Bandar Lampung telah terjadi perubahan struktur penggunaan lahan. Data yang dihimpun bersumber dari Biro Pusat Statistik dan Badan Pertanahan Nasional Propinsi Lampung. Untuk mengetahui penggunaan dan pergeseran struktur penggunaan lahan di Kota Bandar Lampung dapat diketahui pada tabel 5.1. Tabel 3.1 Penggunaan Lahan di Kota Bandar Lampung pada Tahun 1999 dan 2010 (dalam hektar) No. Penggunaan Lahan Tahun 1999 Tahun 2010 Perubahan 1. Perkampungan 4392.44 6325.19 44 2. Pertanian 11727.21 10448.44 -10.9 3. Hutan 784.1 532.62 -32.07 4. Rawa 9.75 5.5 -43.58 5. Perusahaan 406.3 312.76 -23.02 6. Industri 253.3 488.93 93.02 7. Jasa-jasa 367.85 438.2 19.12 8. Lainnya 1231.58 1150.64 -6.57 9. Tanah kosong Tidak Digunakan 46.02 19.72 -57.14 Total 100 100 Sumber: Data Penelitian 2012 Dari data tabel diatas dapat diketahui, bahwa selama lebih dari satu dekade di Bandar Lampung telah terjadi perubahan struktur penggunaan lahan. Lahan yang cenderung mengalami pengurangan/ penciutan terbesar adalah penggunaan untuk rawa-rawa; hutan; dan perusahaan serta lahan kosong yang tidak digunakan. Sedangkan penggunaan lainnya cenderung mengalami perluasan/ pertambahan, terutama untuk penggunaan bagi perkampungan/ permukiman; industri dan jasa-jasa. Fenomena terjadinya perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah dapat ditelusuri dari teori land use. Teori land use menjelaskan, bahwasanya kualitas lahan yang tinggi secara alamiah akan menjadi titik awal pertumbuhan aktivitas manusia. Tahap selanjutnya, dengan adanya perubahan struktur permintaan dan didorong oleh fenomena spatial external economies of agglomeration, maka pemusatan aktivitas perekonomian akan terjadi pada daerah yang kualitas lahannya tinggi (Saefulhakim, 1994). Selain daripada itu, kondisi obyektif wilayah Kota Bandar Lampung yang didukung oleh keterbukaan wilayah yang ditandai oleh tingginya aksesibilitas. Kondisi tersebut akan berimplikasi pada kemudahan penduduk (tenaga kerja) untuk bermobilisasi dalam ruang guna melakukan aktivitas perekonomian. Kegiatan perekonomian sendiri berkaitan erat dengan lahan, lahan dalam kerangka ini berlaku sebagai barang produksi maupun konsumsi. Dengan berkembangnya kegiatan perekonomian di dalam ruang (space), sudah barang tentu pemilihan lokasi yang strategis baik untuk dikonsumsi maupun berproduksi merupakan hal yang penting. Kondisi demikian ini pada gilirannya akan menimbulkan semakin kompleksnya persaingan (konflik) penggunaan lahan di wilayah yang bersangkutan. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap penggunaan lahan diantaranya jenis bahan induk yang menentukan tingkat kesuburan lahan, yang selanjutnya menentukan pola penggunaan lahan dan konsentrasi penduduk. Faktor lereng dan ketinggian tempat juga mempunyai peran yang penting, selain itu yangerat hubungannya dengan bahan induk dan lereng adalah adalah kedalaman tanah (solum). Disamping itu penggunaan lahan juga akan dipengaruhi oleh aksesibilitas, jumlah dan penyebaran penduduk, tingkat pendidikan, tenaga kerja dan derajad perekonomian masyarakat. Sebagaimana telah dikemukakan dimuka, bahwa teori land use nampaknya cukup mampu untuk menjelaskan terjadinya fenomena perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian. Sungguhpun demikian, faktor kelembagaan yang dicirikan oleh kebijakan pertanahan yang berlaku serta sosial politik diduga juga ikut mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, salah satunya adalah rencana tata ruang wilayah. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pertumbuhan Wilayah Fenomena terjadinya perubahan struktur penggunaan lahan di Kota Bandar Lampung, tidak dipungkiri juga sangat dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi. Selama satu dekade, penduduk Kota Bandar lampung telah tumbuh sebesar 18.6%, dengan rata-rata 1.8% pertahun. Jika pada tahun 2000 jumlahnya 743.109 jiwa, maka pada tahun 2010 telah bertambah menjadi 881.801 jiwa (BPS, 2011). Demikian pula halnya dengan pertumbuhan ekonomi wilayah kota, selama hampir satu dekade Kota Bandar Lampung telah mengalami perkembangan perekonomian yang cukup signifikan. Secara rinci pertumbuhan masing-masing sektor perekonomian dapat diketahui pada tabel 3.2 berikut ini. Tabel 3.2 Sektor Perekonomian di Kota Bandar Lampung pada Tahun 2000 dan 2008 (Atas dasar harga konstan dalam juta rupiah) No Sektor Perekonomian Tahun Laju Pertumbuhan 2000 2008 1 Pertanian 162.682,16 247.576,76 6,52 2 Pertambangan dan Penggalian 65.056,00 78.885,16 2,65 3 Industri Pengolahan Tanpa Migas 623.509,00 1.064.499.80 8,84 4 Listrik dan Air Bersih 37.553.13 39.050,24 0,49 5 Bangunan 361.044,00 445.025,21 2,90 6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 803.950,00 1.037.250,50 3,62 7 Pengangkutan dan Komunikasi 536.588,00 890.120,90 8,23 8 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 296.643,00 1.159.261,30 36,34 9 Jasa-Jasa 728.002,01 840.637,71 1,93 PDRB 3.615.027,30 5.802.307,60 7,56 Sumber: BPS Kota Bandar Lampung Tabel diatas memperlihatkan, bahwa selama hampir satu dekade perekonomian Kota Bandar lampung telah tumbuh rata-rata 7% pertahun. Sedangkan laju pertumbuhan masing-masing sektor, menunjukkan bahwa sektor keuangan, Persewaan dan jasa perusahaan memiliki laju pertumbuhan paling tinggi dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya, yaitu sebesar 36.34% pertahun. Sedangkan laju pertumbuhan paling kecil terdapat pada sektor listrik dan air bersih yang besarnya 0.49% pertahuan selama hampir satu dekade. Secara kompetitif sektor perekonomian penyumbang pertumbuhan wilayah juga dapat diketahui pada tabel berikut ini. Tabel 3.3 Nilai LQ dan Shift-Share Sektor Perekonomian di Kota Bandar Lampung Tahun 2000 dan 2008 No Sektor Perekonomian Nilai LQ Nilai Differensial Shift 2000 2008 1 Pertanian 0,09 0,10 0,14 2 Pertambangan dan Penggalian 0,68 0,56 -0,13 3 Industri Pengolahan Tanpa Migas 1,27 1,35 0,22 4 Listrik dan Air Bersih 3,05 1,81 -0,57 5 Bangunan 1,90 1,54 -0,17 6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 1,40 1,12 -0,20 7 Pengangkutan dan Komunikasi 2,66 2,39 -0,05 8 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 2,22 2,52 0,71 9 Jasa-Jasa 2,17 1,89 -0,07 Sumber: Bambang Utoyo S, 2012 Tabel diatas menunjukkan, bahwa untuk nilai LQ yang mencerminkan keunggulan komparatif, selama hampir satu dekade tidak ada perubahan yang signifikan. Artinya, bahwa sektor perekonomian di Kota Bandar Lampung di luar sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian semuanya memiliki keunggulan komparatif, baik pada tahun 2000 maupun 2008. Sedangkan untuk nilai differential shift yang mencerminkan keuanggulan kompetitif, terlihat bahwa perekonomian di kota ini dalam jangka panjang memiliki keunggulan di sektor pertanian; industri pengolahan non-migas dan keuangan, persewaan dan jasa perusahaan secara relatif dibandingkan dengan daerah lain dalam skala regional atau propinsi. Seiring dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah, maka perubahan penggunaan lahan merupakan proses yang mempunyai laju, pola dan dampak. Laju perubahan penggunaan lahan sebagai besaran skala akan dipengaruhi oleh perubahan kecepatan dan dimensi waktu. Dimensi waktu disini diartikan sebagai perkembangan atau pertumbuhan wilayah. Artinya, wilayah akan berkembang seiring dengan waktu, dengan asumsi bahwa komponen perkembangan wilayah berkembang sejalan dengan perkembangan wilayah. Dengan perkembangan wilayah terutama di pusat-pusat pelayanan diduga akan menjadi faktor potensial yang mempengaruhi kecepatan perubahan penggunaan lahan selama kurun waktu tertentu. Pengembangan yang tidak memperhatikan karakteristik wilayah secara seksama, baik di kawasan budidaya maupun non-budidaya cenderung akan menimbulkan dampak yang tidak diharapkan yang akan mempengaruhi pada sustainability (keberlanjutan) pembangunan wilayah itu sendiri khususnya yang berkaitan dengan ekosistem lingkungan. Hal tersebut antara lain tercermin dari adanya fenomena, pencemaran dan pendangkalan DAS, konversi lahan sawah, abrasi air laut maupun terganggunya hidrologis. Proses perubahan penggunaan lahan selain ditentukan oleh perkembangan atau pertumbuhan wilayah, juga sangat ditentukan oleh nilai land-rent, terutama di pusat-pusat pelayanan (pertumbuhan). Proses konversi cenderung akan mengarah pada land rent yang lebih tinggi. Terlebih lagi, dalam era globalisasi dewasa ini kekuatan pasar cenderung semakin menguat. Seiring dengan semakin menguatnya mekanisme pasar, maka intensitas pemanfaatan tanah semakin tinggi. Kondisi tersebut melahirkan konflik dan persaingan pemanfaatan tanah juga cenderung semakin meningkat. Dalam konteks pasar, persaingan terhadap kebutuhan akan lahan untuk berbagai jenis penggunaan ditentukan oleh besarnya sewa ekonomi lahan (land rent). Pada umumnya kegiatan yang memberikan land rent yang tertinggi biasanya akan memenangkan kompetisi yang berlangsung tersebut. Pada hakekatnya suatu bidang lahan sekurang-kurangnya mempunyai 4 (empat) jenis rent, yaitu: (1) Ricardian Rent, yang menyangkut fungsi kualitas dan kelangkaan lahan, (2) Locational Rent, yang menyangkut fungsi aksesibilitas lahan, (3) Ecological Rent, yang menyangkut fungsi ekologis lahan, dan (4) Sosiological Rent, yang menyangkut fungsi sosial lahan. Fenomena menarik yang didapatkan, bahwa kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kota cenderung mengikuti mekanisme pasar yang membiarkan lahan sawah terkonversi ke non-sawah dan ini banyak terjadi di wilayah pinggiran kota (urban fringe). Hal tersebut menunjukkan, bahwa di wilayah Kota Bandar Lampung, fenomena konversi lahan pertanian yang terjadi relevan dengan hasil studi Saefulhakim (1994), dimana pada daerah-daerah yang produktivitas tanahnya cukup tinggi untuk tanaman pangan, areal perumahan berkembang sangat pesat. Tanah-tanah yang kurang produktif kurang digemari bagi pengembangan perumahan. Kenyataan ini menunjukkan adanya korelasi nyata antara suitabilitas tanah untuk tanaman pangan dengan suitabilitas tanah untuk lokasi perumahan. Namun karena posisi tawar penggunaan perumahan yang jauhlebih tinggi dari penggunaan tanaman pangan, penggunaan perumahan dapat dengan mudah memenangkan arena kompetisi penggunaan tanah. Lebih jauh dikemukakan bahwa, aksesibilitas suatu daerah kabupaten/ pusat pertumbuhan terhadap ibukota propinsi/ pusat pertumbuhan yang lebih besar berkorelasi nyata positif dengan perkembangan perumahan di daerah/kabupaten tersebut. Selain itu, dapat dijelaskan, bahwa kuatnya pola perkembangan perumahan yang cenderung linear mengikuti jalur prasarana perhubungan. Dengan kedekatannya dengan jalur prasarana perhubungan, biaya pergerakan antar ruang bisa ditekan. Tingginya peran aksesibilitas lokasi terhadap pusat pemerintahan dalam mendorong perkembangan perumahan dan built-up area, dapat dipandang sebagai indikasi kuatnya kolaborasi negara dan swasta dalam menentukan dinamika tata ruang ekonomi wilayah. Perubahan Penggunaan Lahan dan Tata Ruang Wilayah Lahan sebagai unsur pembentuk ruang dan merupakan salah satu resources yang cukup penting dalam kegiatan pembangunan, sesungguhnya merupakan kebutuhan pokok yang secara langsung maupun tidak langsung menyangkut hajat hidup orang banyak dan merupakan wadah bagi aktivitas kegiatan manusia. Oleh karena itu dalam perkembangannya, lahan memiliki sifat yang beragam dimensi, baik itu dimensi fisik, ekonomi, sosial-budaya, politik maupun pertahanan keamanan. Sehingga dengan demikian, lahan memiliki peranan yang strategis bagi pembangunan dan karena itu pula maka pengelolaannya harus dapat menjamin terselenggaranya pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (sustainability). Dalam rangka mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, persediaan dan penggunaan lahan serta pemeliharaan lahan dipandang perlu diselenggarakan penatagunaan lahan atau pengelolaan tata guna lahan yang merupakan usaha pemerintah guna mewujudkan tata guna lahan yang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Untuk mewujudkan hal tersebut, tentunya tidak akan dapat terlaksana tanpa adanya Rencana Tata Ruang Wilayah. Ketersediaan Rencana Tata Ruang Wilayah adalah prasyarat utama bagi penyelenggaraan pembangunan wilayah, mengingat Rencana Tata Ruang Wilayah menjadi acuan dasar didalam penyelenggaraan pembangunan setiap sektor pengisi ruang tersebut. Gambar 3.1 Siklus Penataan Ruang Sumber: Bambang Utoyo S, 2012 Rencana tata ruang yang dimaksudkan disini adalah sebagai suatu proses yang meliputi proses perencanaan, pelaksanaan atau pemanfaatan tata ruang dan pengendalian pelaksanaan atau pemanfaatan ruang yang harus terkait satu sama lain (lihat Gambar). Jadi di dalam penataan ruang terkandung pengertian mengenai tata ruang. Pada dasarnya penataan ruang bertujuan untuk terselenggaranya penataan ruang yang berwawasan lingkungan, terselenggaranya pengawasan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budidaya, serta tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Upaya penataan ruang ini juga dilakukan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan itu sendiri dicirikan antara lain semakin meningkat dan beragamnya aktivitas kegiatan pembangunan di luar bidang pertanian, yang pada gilirannya akan mendorong terjadinya pengelompokan penduduk maupun kegiatan perekonomian, sehingga terjadi ketimpangan antar wilayah maupun antar golongan penduduk. Ketidakmerataan ini akan menjadi semakin besar, bila tidak ditangani secara mendasar dan berlanjut. Sementara itu, penggunaan lahan merupakan suatu jenis usaha manusia secara bertahap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik materiil maupun spirituil dengan memanfaatkan sumberdaya yang disebut lahan. Dengan demikian, penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia yang dipengaruhi oleh keadaan alam (fisik lingkungan) serta kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat suatu wilayah. Terjadinya pergeseran struktur penggunaan lahan tersebut nampak semakin jelas terutama di pusat-pusat pertumbuhan yang memiliki hirarkhi tinggi, seperti Kota Bandar Lampung. Hal ini dapat dipahami selain merupakan dampak dari pertumbuhan penduduk, juga disebabkan karena perkembangan perekonomian masyarakat. Dengan berkembangnya kegiatan perekonomian di dalam ruang (space), sudah barang tentu pemilihan lokasi yang strategis baik dilihat dari kualitas maupun aksesibilitas yang dimiliki lahan untuk dikonsumsi maupun berproduksi merupakan hal yang penting. Kondisi demikian ini pada gilirannya akan menimbulkan semakin kompleksnya persaingan (konflik) penggunaan lahan di wilayah yang bersangkutan karena adanya berbagai kepentingan yang melatarbelakanginya. Seiring dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah, maka ekstraksi terhadap sumberdaya alam merupakan proses yang mempunyai laju, pola dan dampak. Laju perubahan sumberdaya lahan sebagai besaran skala akan dipengaruhi oleh perubahan kecepatan dan dimensi waktu. Dimensi waktu disinidiartikan sebagai perkembangan atau pertumbuhan wilayah. Artinya, wilayah akan berkembang seiring dengan waktu, dengan asumsi bahwa komponen perkembangan wilayah berkembang sejalan dengan perkembangan wilayah. Dengan perkembangan wilayah terutama di pusat-pusat pelayanan diduga akan menjadi faktor potensial yang mempengaruhi kecepatan perubahan sumberdaya alam selama kurun waktu tertentu. Pengaruh Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Terhadap Bangkitan Pergerakan Zona Kecamatan di Kota Palu Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat di wilayah perkotaan berdampak pada bertambahnya fungsi-fungsi yang harus diemban oleh kota tersebut. Hal ini terjadi seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kegiatan sosial ekonomi penduduknya. Perkembangan kegiatan sosial ekonomi penduduk yang terjadi menimbulkan keinginan untuk selalu berusaha memenuhi dan menambah kebutuhan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, tetapi tidak menutup kemungkinan menimbulkan dampak negatif pada aspek lain. Dalam pemenuhan kebutuhan manusia melakukan perjalanan antara tata guna lahan yang satu dengan tata guna lahan tata guna lahan yang lain dengan menggunakan system jaringan transportasi. Hal ini akan menyebabkan timbulnya pergerakan. Menurut Warpani (1990:3) Transportasi merupakan proses pergerakan atau perpindahan orang atau barang dari satu tempat ketempat lain. Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan sarana angkutan berupa kendaraan atau tanpa kendaraan. Tujuan transportasi untuk mewujudkan penyelenggaraan pelayanan transportasi yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan nyaman serta menunjang pemerataan pertumbuhan dan stabilitas, sebagai pendorong, penggerak dan penunjang pembangunan nasional serta mempererat hubungan antar bangsa. Dengan adanya sistem transportasi yang baik diharapkan dapat menunjang berbagai aktivitas ekonomi masyarakat di dalam pembangunan. Kota Palu merupakan Ibu Kota Propinsi Sulawesi Tengah yang menjadi pusat berbagai kegiatan yang menyebabkan kota ini tumbuh dengan pesat. Jumlah penduduk Kota Palu tahun 2012 sebesar 342.754 jiwa dengan luas wilayah mencapai 395,06 km2. Secara administratif, Kota Palu dibagi dalam 4 (empat) kecamatan dan 43 kelurahan. Salah satu akibat dari pertumbuhan Kota Palu yaitu menarik arus urbanisasi sehingga muncul pemukiman dan perumahan baru yang mengakibatkan bertambahnya bangkitan pergerakan yang terjadi dan berpengaruh terhadap kapasitas jaringan jalan di wilayah Kota Palu. Dalam jurnal tersebut di jelaskan bahwa untuk mengantisipasi kebutuhan dan memperhitungkan beban lalu lintas diperlukan studi tentang bangkitan pergerakan perjalanan. Di dalam system transportasi yang baik terdiri dari beberapa zona sebagai fungsi parameter system pergerakan dan masing-masing menghasilkan pola pergerakan yang tergantung dari tata guna lahan yang ada didalamnya. Keterbatasan akan lahan perkotaan menyebabkan harga lahan diperkotaan semakin mahal terutama di pusat-pusat kota, akibatnya terjadi pergeseran kegiatan ke pinggiran-pinggiran kota (perluasan kota hingga ke daerah penyangga). Perluasan kota yang disertai dengan meningkatnya bangkitan pergerakan harus diikuti oleh pengembangan infrastruktur yang tepat dan potensial pada setiap tata guna lahan agar tidak menimbulkan permasalahan-permasalahan, salah satunya adalah masalah transportasi. Jaringan jalan sebagai salah satu prasarana infrastruktur merupakan komponen penting untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, juga peningkatan arus lalu lintas atau moda transportasi secara terpadu dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Studi tentang bangkitan pergerakan diperlukan untuk mengantisipasi kebutuhan dan memperhitungkan beban lalu lintas saat ini dan dimasa yang akan datang. Metode penelititian dalam jurnal tersebut menggunakan metode survey. Data dikumpulkan dengan sampel yang mewakili seluruh populasi menggunakan kuesioner unit analisisnya adalah rumah tangga. Penentuan sampel dilakukan secara Probability Sampling, sedangkan teknik sampel yang digunakan yaitu Simple random sampling atau sampling acakan yang sederhana. Penelitian ini dilaksanakan pada empat (4) zona kecamatan yang ada di wilayah kota Palu, yaitu : Kecamatan Palu Utara, Kecamatan Palu Timur, Kecamatan Palu Barat dan Kecamatan Palu Selatan. Banyak penanganan permasalahan transportasi yang memerlukan indentifikasi pola pergerakan yang dapat dinyatakan dalam bentuk matrik asal tujuan (MAT). Dalam penelitian ini digunakan metode langsung dengan teknik wawancara di rumah. Tujuan utama dari definisi operasional variabel adalah untuk menghindari penafsiran ganda (double definition) terhadap variabel-variabel yang digunakan dalam suatu penelitian. Bangkitan pergerakan (Y) adalah jumlah perjalanan yang dihasilkan oleh suatu zona atau daerah per satuan waktu (jumlah pergerakan/minggu) sedangkan Variabel-variabel yang berhubungan dengan bangkitan pergerakan (X) terdiri dari jumlah anggota keluarga didalam rumah tangga (jiwa), jumlah kepemilikan kendaraan bermotor roda dua (unit), jumlah kepemilikan kendaraan bermotor roda empat (unit), luasan rumah yang ditempati (m2), jumlah penghasilan (pendapatan) rata-rata keluarga (juta rupiah). Pergerakan Intrazona (Internal) dengan kata lain zona asal dan zona tujuan pergerakan berada di dalam satu zona internal tertentu yang paling dominan berada di zona Kecamatan Palu Selatan yaitu sebesar 67 % (1579 pergerakan). Pergerakan Ektrazona (Internal-internal), pergerakan yang daerah asal dan daerah tujuan perjalanannya tidak terletak di dalam satu zona namun masih berada dalam satu wilayah kajian. Pergerakan ekstrazona sangat dominan berasal dari zona kecamatan Palu Timur yaitu 1021 pergerakan (51 %). Pergerakan Internal-Eksternal mempunyai salah satu zona (baik asal maupun tujuan) yang berada di luar daerah kajian (zona eksternal). Yang paling dominan melakukan pergerakan ini adalah zona kecamatan Palu Barat yaitu 178 pergerakan. Dari ketiga jenis pola pergerakan yang diuraikan di atas terlihat bahwa pola pergerakan intrazona relatif lebih besar jumlahnya dibandingkan pola pergerakan ekstrazona dan internal-eksternal. Pengaruh aspek sosial ekonomi masyarakat terhadap bangkitan pergerakan zona kecamatan di Kota Palu sangat penting diketahui agar perencanaan transportasi di Kota Palu dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik pergerakan masyarakatnya (tepat sasaran). Faktor sosial ekonomi yang signifikan pengaruhnya terhadap bangkitan pergerakan zona kecamatan diwilayah Kota Palu adalah Jumlah anggota Keluarga (X1), jumlah kepemilikan kendaraan roda dua (X2) dan jumlah pendapatan (X5). BAB IV REVIEW/PEMBAHASAN Review/ Pembahasan Dinamika Penggunaan Lahan di Wilayah Perkotaan (Studi di Kota Bandar Lampung) Perubahan Penggunaan Lahan Berdasarkan data BPS dan BPN Provinsi Lampung, Provinsi Lampung telah mengalami perubahan struktur penggunaan lahan. Selama satu dekade di Bandar Lampung telah terjadi perubahan struktur penggunaan lahan. Lahan yang cenderung mengalami pengurangan terbesar adalah penggunaan untuk rawa-rawa, hutan, dan perusahaan serta lahan kosong yang tidak digunakan. Sedangkan penggunaan lainnya cenderung mengalami perluasan, terutama untuk penggunaan bagi perkampungan/ permukiman, industri dan jasa-jasa. Kota Bandar Lampung memiliki nilai aksesibilitas jalan yang tinggi sehingga menyebabkan meningkatnya mobilisasi penduduk untuk melakukan berbagai macam aktivitas. Menurut jurnal ini, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi guna lahan yaitu antara lain aksesibilitas, jumlah dan persebaran penduduk, tingkat pendidikan, tenaga kerja dan derajat perekonomian masyarakat. Selain itu faktor kelembagaan juga dapat mempengaruhi guna lahan yang dicirikan dengan kebijakan pertanahan. Misalnya rencana tata ruang wilayah, rencana detail tata ruang, ataupun rencana teknis tata ruang yang yang mengatur mengenai pemanfaatan dan pengendalian ruang. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pertumbuhan Wilayah Fenomena terjadinya perubahan struktur penggunaan lahan di Kota Bandar Lampung sangat dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi. Selama satu dekade pertumbuhan penduduk Kota Bandar Lampung sebesar 18,6% dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,8% per tahun. Selama hampir satu dekade pula pertumbuhan ekonomi wilayah kota di Kota Bandar Lampung mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Pertumbuhan masing-masing sektor perekonomian dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel. 4.1 Sektor Perekonomian di Kota Bandar Lampung pada Tahun 2000 dan 2008 (Atas dasar harga konstan dalam juta rupiah) No Sektor Perekonomian Tahun Laju Pertumbuhan 2000 2008 1 Pertanian 162.682,16 247.576,76 6,52 2 Pertambangan dan Penggalian 65.056,00 78.885,16 2,65 3 Industri Pengolahan Tanpa Migas 623.509,00 1.064.499.80 8,84 4 Listrik dan Air Bersih 37.553.13 39.050,24 0,49 5 Bangunan 361.044,00 445.025,21 2,90 6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 803.950,00 1.037.250,50 3,62 7 Pengangkutan dan Komunikasi 536.588,00 890.120,90 8,23 8 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 296.643,00 1.159.261,30 36,34 9 Jasa-Jasa 728.002,01 840.637,71 1,93 PDRB 3.615.027,30 5.802.307,60 7,56 Sumber: BPS Kota Bandar Lampung Dari tabel diatas, dapat dijelaskan bahwa selama hampir satu dekade perekonomian Kota Bandar Lampung telah tumbuh dengan rata-rata 7% per tahun. Sedangkan laju pertumbuhan masing-masing sektor, menunjukkan bahwa sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan memiliki laju pertumbuhan paling tinggi dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya, yaitu sebesar 36.34% per tahun. Sedangkan laju pertumbuhan paling kecil terdapat pada sektor Listrik dan Air Bersih yang besarnya 0.49% per tahun. Apabila dilihat dari segi penyumbang pertumbuhan wilayah Kota Bandar Lampung dapat diketahui pada tabel berikut ini. Tabel. 4.2 Nilai LQ dan Shift Share Perekonomian di Kota Bandar Lampung Tahun 2000 dan 2008 No Sektor Perekonomian Nilai LQ Nilai Differensial Shift 2000 2008 1 Pertanian 0,09 0,10 0,14 2 Pertambangan dan Penggalian 0,68 0,56 -0,13 3 Industri Pengolahan Tanpa Migas 1,27 1,35 0,22 4 Listrik dan Air Bersih 3,05 1,81 -0,57 5 Bangunan 1,90 1,54 -0,17 6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 1,40 1,12 -0,20 7 Pengangkutan dan Komunikasi 2,66 2,39 -0,05 8 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 2,22 2,52 0,71 9 Jasa-Jasa 2,17 1,89 -0,07 Sumber: Bambang Utoyo S, 2012 Berdasarkan tabel diatas, dapat dijelaskan bahwa nilai LQ mencerminkan keunggulan komparatif dimana hampir satu dekade tidak ada perubahan yang signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa selain sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian, sektor yang lainnya memiliki keunggulan komparatif pada tahun 2000 dan 2008. Sedangkan untuk nilai differential shift yang mencerminkan keunggulan kompetitif, Kota Bandar Lampung memiliki keunggulan di sektor pertanian, industri pengolahan non-migas dan keuangan, persewaan dan jasa perusahaan secara relatif dibandingkan dengan daerah lain dalam skala regional ataupun provinsi. Berdasarkan nilai LQ dan differential shift diatas, dapat diasumsikan bahwa pertambahan jumlah penduduk, peningkatan aktivitas pembangunan dan perekonomian akan mengakibatkan permintaan terhadap lahan semakin meningkat. Penggunaan lahan yang berhasil guna dan berdaya guna dapat meningkatkan pertumbuhan wilayah. Kondisi ini dapat menyebabkan lahan-lahan yang kurang produktif dialihkan menjadi lahan-llahan yang lebih produktif. Berdasarkan jurnal, pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah dapat menyebabkan perubahan penggunaan lahan yang mempunyai laju, pola dan dampak. Laju perubahan penggunaan lahan sebagai besaran skala akan dipengaruhi oleh perubahan kecepatan dan dimensi waktu. Dalam hal ini, dimensi waktu diartikan sebagai perkembangan atau pertumbuhan wilayah, dimana wilayah akan berkembang seiring dengan waktu. Dengan asumsi bahwa komponen perkembangan wilayah berkembang sejalan dengan perkembangan wilayah. Dengan perkembangan wilayah terutama di pusat-pusat pelayanan diduga akan menjadi faktor potensial yang mempengaruhi kecepatan perubahan penggunaan lahan selama kurun waktu tertentu. Pengembangan yang tidak memperhatikan karakteristik wilayah secara seksama, baik di kawasan budidaya maupun lindung cenderung akan menimbulkan dampak yang tidak diharapkan yang akan mempengaruhi pada aspek keberlanjutan pembangunan wilayah itu sendiri khususnya yang berkaitan dengan ekosistem lingkungan. Hal demikian dapat tercermin dari adanya fenomena pencemaran dan pendangkalan DAS, konversi lahan sawah, abrasi air laut maupun terganggunya hidro-orologis. Kondisi demikian dapat ditelusuri dari adanya aktivitas perekonomian baru yang tidak atau kurang berkaitan dengan kegiatan yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian akan menimbulkan kesan kegiatan perekonomian yang terjadi berjalan sendiri-sendiri. Bahkan tidak jarang, kegiatan yang lebih menjanjikan secara sepintas akan menekan kegiatan yang lebih inferior. Hal ini tentunya dapat menimbulkan permasalahan baru di masa yang akan datang. Proses perubahan penggunaan lahan dapat ditentukan oleh nilai land-rent terutama pada pusat-pusat pelayanan. Dalam konteks pasar, persaingan terhadap kebutuhan akan lahan untuk berbagai jenis penggunaan ditentukan oleh besarnya sewa ekonomi lahan (land rent). Pada umumnya kegiatan yang memberikan land rent yang tertinggi biasanya akan memenangkan kompetisi yang berlangsung tersebut. Pada hakekatnya suatu bidang lahan sekurang-kurangnya mempunyai 4 jenis rent, yaitu: (1) Ricardian Rent, yang menyangkut fungsi kualitas dan kelangkaan lahan, (2) Locational Rent, yang menyangkut fungsi aksesibilitas lahan, (3) Ecological Rent, yang menyangkut fungsi ekologis lahan, dan (4) Sosiological Rent, yang menyangkut fungsi sosial lahan. Terdapat suatu fenomena dimana kebijakan yang dilakukan pemerintah kota cenderung mengikuti mekanisme pasar yang membiarkan lahan sawah berubah menjadi permukiman yang sering terjadi di daerah pinggiran kota. Hal ini terjadi pada Kota Bandar Lampung dimana pada daerah-daerah yang produktivitas tanahnya cukup tinggi untuk tanaman pangan terdapat areal perumahan berkembang sangat pesat. Tanah-tanah yang kurang produktif menjadi kurang digemari bagi pengembangan perumahan. Kenyataan ini menunjukkan adanya korelasi nyata antara suitabilitas tanah untuk tanaman pangan dengan suitabilitas tanah untuk lokasi perumahan. Namun karena posisi tawar penggunaan perumahan yang jauh lebih tinggi dari penggunaan tanaman pangan, penggunaan perumahan dapat dengan mudah memenangkan kompetisi penggunaan tanah. Perubahan Penggunaan Lahan dan Tata Ruang Wilayah Lahan sebagai unsur pembentuk ruang dan merupakan salah satu sumber daya yang cukup penting dalam kegiatan pembangunan. Dalam perkembangannya, lahan memiliki sifat yang beragam dimensi, baik itu dimensi fisik, ekonomi, sosial-budaya, politik maupun pertahanan keamanan. Sehingga dengan demikian, lahan memiliki peranan yang strategis bagi pembangunan dan karena itu pula maka pengelolaannya harus dapat menjamin terselenggaranya pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (sustainability). Dalam rangka mengatur dan menyelenggarakan peruntukan suatu lahan, persediaan dan penggunaan lahan serta pemeliharaan lahan perlu untuk diselenggarakannya penatagunaan lahan atau pengelolaan tata guna lahan yang merupakan usaha pemerintah guna mewujudkan tata guna lahan yang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Gambar 4.1 Siklus Penataan Ruang Sumber: Bambang Utoyo S, 2012 Rancana tata ruang sebagai suatu proses yang meliputi proses perencanaan, pelaksanaan atau pemanfaatan tata ruang dan pengendalian pelaksanaan atau pemanfaatan ruang yang harus terkait satu sama lain. Pada dasarnya penataan ruang bertujuan untuk terselenggaranya penataan ruang yang berwawasan lingkungan, terselenggaranya pengawasan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budidaya, serta tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Upaya penataan ruang ini juga dilakukan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Jadi terdapat hubungan positif antara penataan ruang yang baik dengan pertumbuhan ekonomi yang baik pula. Pertumbuhan itu sendiri dicirikan antara lain semakin meningkat dan beragamnya aktivitas kegiatan pembangunan di luar sektor pertanian, yang selanjutnya akan mendorong terjadinya pengelompokan penduduk maupun kegiatan perekonomian suatu wilayah. Dengan terdapatnya berbagai macam aktivitas yang baru, dapat diasumsikan bahwa penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia yang dipengaruhi oleh keadaan alam (fisik lingkungan) serta kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat suatu wilayah. Pergeserankan struktur penggunaan lahan pada pusat-pusat pertumbuhan telah terjadi di Kota Bandar Lampung. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan perkembangan perekonomian masyarakat. Dengan berkembangnya kegiatan perekonomian di dalam ruang akan memunculkan lokasi strategis untuk memproduksi dan konsumsi suatu lahan baik dari kualitas maupun aksesibilitas yang dimiliki lahan tersebut. Pada akhirnya perubahan penggunaan lahan di Kota Bandar Lampung terjadi seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan wilayah kota yang mencerminkan laju, pola dan dampak yang beragam pada masing-masing bagian wilayah kota. Faktor pertumbuhan ekonomi, pertambahan penduduk dan preferensi masyarakat merupakan faktor pemicu terjadinya perubahan penggunaan lahan yang tercermin pada perubahan pola pemanfaatan ruang wilayah kota. Pengaruh Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Terhadap Bangkitan Pergerakan Zona Kecamatan di Kota Palu Berikut merupakan tabel tujuan perjalanan pada masing-masing rumah tangga di empat zona kecamatan di Kota Palu yang didapat berdasarkan data hasil survey terhadap 1499 responden rumah tangga menggunakan kuisioner yang disebar pada masing-masing kecamatan. Tabel 4.3 Lokasi Tujuan Perjalanan No. Kecamatan Lokasi Tujuan Palu Utara Palu Timur Palu Barat Palu Selatan Kab/Kota Lain 1. Palu Utara 1284 208 45 268 139 2. Palu Timur 53 907 192 776 90 3. Palu Barat 23 309 1158 527 178 4. Palu Selatan 27 439 162 1579 158 Jumlah 1387 1863 1557 3150 565 Persen (%) 16,28 21,86 18,27 36,96 6,63 Sumber: Hasil Survei Primer, 2012 Berdasarkan Tabel 4.3 Dapat diketahui bahwa mayoritas tujuan perjalanan yang dominan dari keempat zona kecamatan adalah menuju zonanya sendiri, sehingga dapat dinyatakan bahwa tujuan akhir pergerakan di Kota Palu masih berada didlam zona kecamatan tempat pelaku perjalanan berdomisili. Tabel 4.4 Persentase Pergerakan Lalu Lintas No. Zona Asal (Kecamatan) Jenis Pola Pergerakan Intra Zona Persentase Ekstra Zona Persentase Kab/Kota Lain Persentase Jumlah 1. Palu Utara 1284 66,05 521 26,80 139 7,15 1944 2. Palu Timur 907 44,95 1021 50,59 90 4,46 2018 3. Palu Barat 1158 52,76 859 39,13 178 8,11 2195 4. Palu Selatan 1579 66,77 628 26,55 158 6,68 2365 Jumlah 4928 57,83 3029 35,54 565 6,63 8522 Sumber: Hasil Survei Primer, 2012 Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa jumlah pergerakan yang paling dominan terjadi pada zona Kecamatan Palu Utara yaitu pola pergerakan intra zona (66%), Palu Timur (45%), Palu Barat (53%), dan Kecamatan Palu Selatan (67%). Pola Pergerakan Lalu Lintas Berdasarkan data hasil survey primer yang telah dianalisis, maka dapat diketahui bangkitan pergerakan dari masig-masing zona kecamatan di Kota Palu, yaitu Pola Pergerakan intrazona, Internal-Internal dan Internal-Eksternal. Pergerakan Intrazona (Internal) Pola pergerakan intrazona yang terjadi di Kota Palu yaitu: Zona kecamatan Palu Utara 1284 pergerakan yaitu 66,05% Zona kecamatan Palu Timur 907 pergerakan yaitu 45% Zona kecamatan Palu Barat 1158 pergerakan. Yaitu 53% Zona kecamatan Palu Selatan 1579 pergerakan yaitu 67% Dari keempat zona, zona yang paling dominan terjadi pergerakan intrazona yaitu zona kecamatan Palu selatan (67%). Oleh karena itu, zona Kecamatan Palu Selatan memiliki nilai tata guna lahan yang cukup tinggi, tersedia banyak sarana dan prasarana sehinga tidak banyak memerlukan perjalanan keluar zona karena hampir semuanya tersedia pada zona sendiri. Pergerakan Ekstrazona (Internal-Internal) Daerah asal bangkitan pergerakan berbasis zona kecamatan adalah zona kecamatan yang ditinjau dan daerah tujuannya adalah zona kecamatan lainnya yang ada dalam zona kajian.jumlah pergerakan ekstrazona yaitu: Zona kecamatan Palu Utara 521 pergerakan yaitu 27% Zona kecamatan Palu Timur 1021 pergerakan yaitu 51% Zona kecamatan Palu Barat 859 pergerakan yaitu 39% Zona kecamatan Palu Selatan 628 pergerakan yaitu 26% Dari data tersebut, diketahui jumlah pergerakan ekstrazona yang berasal dari Palu Timur (51%) lebih besar dari pergerakan intrazonanya sendiri (49%), hal ini dapat diartikan bahwa nilai tata guna lahan pada zona ini masih rendah sehingga fungsi tata guna lahan yang ada saat ini belum mampu menyediakan sarana dan prasarana yang memadainya sehingga penghuni zona ini masih harus melakukan perjalanan keluar zona untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Jumlah pergerakan ekstrazona yang paling dominan yaitu menuju ke zona kecamatan Palu Selatan, sehingga nilai tata guna lahan pada zona kecamatan Palu Selatan sangat tinggi. Hampir semua fungsi tata guna lahan tersedia pada zona ini, dimana bukan hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat pada zonanya sendiri, tetapi juga mampu menarik masyarakat dari zona kecamatan lainnya untuk melakukan perjalanan menuju zona tersebut untuk mendapatkan apa yang diinginkan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini dikarenakan fungsi tata guna lahan yang dibutuhkan masyarakat di wilayah zona kajian lainnya tidak cukup tersedia di wilayahnya sendiri namun tersedia di wilayah zona Kecamatan Palu Selatan. Pergerakan Internal-Eksternal Pergerakan ini hanya melewati wilayah kajian tanpa berhenti pada salah satu zona yang ditinjau karena bukan merupakan tujuan akhir dari perjalanan. Meskipun hanya melewati daerah kajian, pergerakan ini turut membebani ruas jalan, namun jumlahnya tidak terlalu besar sehingga masih dapat diabaikan. Yang paling dominan melakukan pergerakan ini adalah zona kecamatan Palu Barat yaitu 178 pergerakan. Berikutnya jenis pergerakan ini disusul oleh zona kecamatan Palu Selatan yaitu 158 pergerakan. Dari ketiga jenis pola pergerakan tersebut, disimpulkan bahwa bahwa pola pergerakan intrazona relatif lebih besar jumlahnya dibandingkan pola pergerakan ekstrazona dan internal-eksternal. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar tata guna lahan pada zona kajian saat ini sudah memenuhi fungsinya, kecuali zona kecamatan Palu Timur yang pergerakan ekstrazonanya lebih besar dibandingkan dengan pergerakan intrazona, sehingga dibutuhkan segera peningkatan nilai dan fungsi tata guna lahan. Pengaruh Aspek Sosial Ekonomi Terhadap Bangkitan Pergerakan Data-data tingkat pergerakan pada masing-masing zona kemudian dianalisis menggunakan analisis regresi linear berganda (Multiple Linear Regression Analysis) dengan parameter prediksi yaitu karakteristik sosio-ekonomi. Data-data karakteristik sosio—ekonomi yang digunakan yaitu jumlah anggota keluarga (X1), jumlah kepemilikan kendaraan bermotor roda dua (X2), jumlah kepemilikan kendaraan bermotor roda empat (X3), luas rumah rata-rata (X4), dan jumlah pendapatan (X5). Berikut merupakan tabel bangkitan pergerakan zona kecamatan berdasarkan hasil analisis. Tabel 4.5 Bangkitan Pergerakan Zona Kecamatan No. Bangkitan Pergerakan Zona Kecamatan Koefisien Regresi X1 X2 X3 X4 X5 1. Palu Utara 0,470 0,254 - 0,098 0,141 2. Palu Timur 0,633 0,220 - - 0,122 3. Palu Barat 0,930 0212 - 0,126 0,016 4. Palu Selatan 0,783 0,239 - 0,040 0,119 Sumber: Hasil Analisis Data, 2012 Berdasarkan tabel 4.5, diketahui bahwa faktor sosio ekonomi yang paling dominan pengaruhnya terhadap pergerakan zona kecamatan Kota Palu adalah jumlah anggota keluarga (antara 0,470-0,930 pergerakan per hari). Sedangkan untuk penambahan jumlah kendaraan roda empat (X3) tidak memiliki hubungan dengan bangkitan pergerakan karena jenis kendaraan roda empat memiliki fungsi yang sama dengan kendaraan roda dua. Untuk variabel luas rumah (X4) juga tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah bangkitan pergerakan sehingga dapat dikeluarkan dari proses analisis untuk mengurangi terjadinya error estimate. Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor sosial ekonomi yang signifikan pengaruhnya terhadap bangkitan pergerakan zona kecamatan di Kota Palu adalah jumlah anggota keluarga (X1), jumlah kepemilikan kendaraan roda dua (X2) dan jumlah pendapatan (X5). BAB V KESIMPULAN Pergeserankan struktur penggunaan lahan pada pusat-pusat pertumbuhan telah terjadi di Kota Bandar Lampung. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan perkembangan perekonomian masyarakat. Dengan berkembangnya kegiatan perekonomian di dalam ruang akan memunculkan lokasi strategis untuk memproduksi dan konsumsi suatu lahan baik dari kualitas maupun aksesibilitas yang dimiliki lahan tersebut. Pada akhirnya perubahan penggunaan lahan di Kota Bandar Lampung terjadi seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan wilayah kota yang mencerminkan laju, pola dan dampak yang beragam pada masing-masing bagian wilayah kota. Faktor pertumbuhan ekonomi, pertambahan penduduk dan preferensi masyarakat merupakan faktor pemicu terjadinya perubahan penggunaan lahan yang tercermin pada perubahan pola pemanfaatan ruang wilayah kota. DAFTAR PUSTAKA Pambudi, Andika. 2008. Analisis Nilai Ekonomi Lahan (Land Rent) Pada Lahan Pertanian Dan Permukiman Di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Utomo, Bambang. 2012. Dinamika Penggunaan Lahan Di Wilayah Perkotaan (Studi Di Kota Bandar Lampung). Ismadarni. 2012. Pengaruh Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Terhadap Bangkitan Pergerakan Zona Kecamatan Di Kota Palu. Jurnal Rekayasa dan Manajemen Transportasi.