Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
2019, Aditya Rahmansyah
ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Tā'ūs Ahmad al-Tūsi al-Shāfi'i atau biasa dikenal dengan al-Ghazāli (1058-1111 M) berasal dari kota Tabaran-Tus, Khurāsān, Iran (Persia). Dalam filsafat Barat namanya disebut Algazel (Copleston, 1972: 115-116). Al-Ghazāli sebagai filsuf terkenal dengan pemikirannya yang terpusat pada usaha untuk mengkritik filsafat. Etika yang dalam pikiran Al-Ghazali adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, daripada lahiriah perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa dipikirkan dan dipertimbangkan lagi. Etika dalam pikiran Al-Ghazali adalah manusia mampu mencapai kebahagiaan sejati dalam hidupnya. Adapun media yang ditawarkan adalah amal baik lahiriah yang bermanfaat karena ketaatan dan upaya batiniah dalam meraih keutamaan jiwa.
three decades ago, philosophy as an object of investigation was still unlawful religiously among the santris and even among some Muslim university students in Indonesia. That is no longer the case now. Following the coming of some open-minded religious discourses in the country especially that which was brought about by a well-known scholar named Harun Nasution, the study of philosophy became lawful and even promising. This paper speaks about this phenomenon by looking at the evolution of the study of philosophy –especially the philosophy of science-in the academic study in Indonesia. Within the framework of evolution theory, the paper also tries to discuss how the study of this science evolves from a sheer Western-based study to include the Qur'anic perspective of it. This paper itself is a study of the Qur'anic perspective concerning the philosophy of science. And by doing that, it tries to show that this kind of study has become a trend in academic circle in Indonesia. Keyword: knowledge, philosophy of science, epistemology Pendahuluan Katakanlah: " Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). 1 Ayat ini menggambarkan betapa luas kandungan ilmu-ilmu yang diturunkan Allah baik yang terdapat dalam ayat-ayat Qur'aniah maupun dalam ayat-ayat kauniah. Oleh karena itu, tidak heran jika para ulama dan para filosof muslim sejak zaman dahulu menjadikan al-Qur'an sebagai sumber ilmu pengetahuan. Para filosof muslim telah mengajukan berbagai argumen bahwa al-Qur'an bukan hanya tidak bertentangan tetapi justru sesuai dengan konsep-konsep pemikiran filsafat, bahkan ia menjadi sumber berbagai ilmu pengetahuan. 2 Dengan demikian, tulisan ini akan mengkaji konsep ilmu dalam al-Qur'an ditinjau dari sudut pandang filsafat. Kerangka yang dipakai untuk menganalisis tema ini adalah kerangka pemikiran filsafat. Dalam paradigma filsafat, konsep ilmu dapat diklasifikasi dalam tiga dimensi, yaitu: pertama, dimensi epistemologis, yakni kajian filsafat dari aspek bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. Bagian filsafat ini disebut teori ilmu pengetahuan, yaitu metodologi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, atau cara mendapatkan pengetahuan yang benar, 3 kedua, dimensi ontologis, yakni cabang filsafat yang membahas tentang objek kajian ilmu pengetahuan, atau hakikat segala yang menjadi kajian ilmu, 4 dan ketiga, dimensi aksiologis, yakni cabang filsafat yang membahas tentang tujuan dan nilai guna serta nilai manfaat ilmu pengetahuan. Bagian filsafat ini lebih dikenal dengan teori nilai. 5 Bertitik tolak dari kerangka teori di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung.
Maya Firdayanti, 2019
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat Islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
STAI AL-AZHAR PEKANBARU, 2015
ABSTRAKS Artikel ini membahas tentang Ilmuan al-Kindi, menurutnya fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu. Ia mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan manusia. Karena itu, al-Kindi dengan tegas mangatakan bahwa filsafat memiliki keterbatasan dan bahwa ia tidak dapat mengatasi problem semisal mukjizat, surga, neraka, dan kehidupan akhirat. Dalam semangat ini pula, al-Kindi mempertahankan penciptaan dunia ex nihilio, kebangkitan jasmani, mukjizat, keabsahan wahyu, dan kelahiran serta kehancuran dunia oleh Tuhan. Al-kindi telah menulis hampir seluruh ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Tetapi, di antara sekian banyak ilmu, ia sangat menghargai matematika. Hal ini disebabkan karena matematika bagi al-Kindi adalah mukaddimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat.Mukaddimah ini begitu penting sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai keahlian dalam filsafat tanpa terlebih dulu menguasai matematika.Matematika di sini meliputi ilmu tentang bilangan, harmoni, geometri dan astronomi. Kata Kunci : Pendidikan, Manusia, Integritas ABSTRACT This article discusses the scientist al-Kindi, according to the actual function of philosophy is not to contest the truth of revelation or to demand excellence sassy or demanding equality with the revelation. Philosophy must absolutely no claim as the highest road to truth and willing to humble himself as a support for the revelation. He defines philosophy as knowledge of everything as far as the range of human knowledge. Therefore, al-Kindi firmly mangatakan that philosophy has its limitations and that it can not solve problems of such miracles, heaven, hell, and the afterlife. In this same spirit, al-Kindi maintain the creation of the world ex nihilio, bodily resurrection, miracles, the validity of revelation, and birth and destruction of the world by God. Al-Kindi wrote almost all science developed at that time. However, among the many sciences, he would appreciate mathematics. This is because the math for al-Kindi is the Preamble to anyone who wants to learn filsafat.Mukaddimah is so important that it is impossible for a person to achieve expertise in philosophy without first mastering matematika.Matematika here include the science of numbers, harmony, geometry and astronomy. Keywords: Education, Human, Integrity
Applied Thermal Engineering, 2007
Archäologische Denkmalpflege 4, 2024
Kantian Review (forthcoming), 2024
La antropología feminista como desafío, 2023
Journal of Japanese philosophy, 2021
The Bryologist, 2007
International Journal of Family Psychiatry, 1981
Historia crítica, 1997
Casa Estudios del Lago Atitlán, 1998
American Journal of Men's Health, 2018