Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

FILSAFAT AL-GHAZALI

2019, Aditya Rahmansyah

ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Tā'ūs Ahmad al-Tūsi al-Shāfi'i atau biasa dikenal dengan al-Ghazāli (1058-1111 M) berasal dari kota Tabaran-Tus, Khurāsān, Iran (Persia). Dalam filsafat Barat namanya disebut Algazel (Copleston, 1972: 115-116). Al-Ghazāli sebagai filsuf terkenal dengan pemikirannya yang terpusat pada usaha untuk mengkritik filsafat. Etika yang dalam pikiran Al-Ghazali adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, daripada lahiriah perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa dipikirkan dan dipertimbangkan lagi. Etika dalam pikiran Al-Ghazali adalah manusia mampu mencapai kebahagiaan sejati dalam hidupnya. Adapun media yang ditawarkan adalah amal baik lahiriah yang bermanfaat karena ketaatan dan upaya batiniah dalam meraih keutamaan jiwa.

FILSAFAT AL-GHAZALI A. Biografi Singkat dan Karya-Karya Al-Ghazali Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Tā’ūs Ahmad al-Tūsi al-Shāfi’i atau biasa dikenal dengan al-Ghazāli (1058-1111 M) berasal dari kota Tabaran-Tus, Khurāsān, Iran (Persia). Dalam filsafat Barat namanya disebut Algazel (Copleston, 1972: 115-116). Al-Ghazāli sebagai filsuf terkenal dengan pemikirannya yang terpusat pada usaha untuk mengkritik filsafat. Baginya, filsafat merupakan cara penyesatan yang membimbing kepada kekafiran (Bakker, 1978: 63). Di kalangan Islam Sunni al-Ghazāli menjadi filsuf terbesar karena justru dalam kritik filsafatnya ia mengemukakan argumen-argumen dan refleksi filsafati yang tinggi. Al- Ghazāli hidup pada zaman keemasan Islam, masa kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad (750-1258 M) (Prakosa, 2012: 53). Selama empat tahun al- Ghazāli mengajar sebagai mahaguru di Baghdad. Bertitik tolak pada ortodoksi dan mistisisme Islam Sunni ia mengkritisi ajaran dari filsuf al-Farabi dan ibn Sinna (Avicenna) di dalam karyanya, Intentiones Philosophorum. Pengaruhnya amat luas karena berargumen melawan aliran Falsafa, pemikir Arab yang menganut filsafat Aristotelian di buku Tahâfut al-falâsifa serta berselisih pandangan dengan aliran Mu’tazilah yang memandang moralitas adalah sebuah tindakanrasional manusia dalam melihat mana yang baik dan mana yang buruk, tidak semata ditentukan oleh tuntutan agama (Mondin, 1991: 220). Karya terbesarnya, Revival of the Religious Sciences (Ihyâ’ ‘ulûm al-dîn) menjabarkan pandangannya yang bercorak tasawuf bahwa prinsip moral sejauh kemampuannya harus melaksanakansifat-sifat Allah dan sifat-sifat yang disukai Allah. Untuk itu, pemurnian rohani hanya bisa didapat dan dipelihara melalui pelaksanaan ibadah. Pengontrolan hawa nafsu terhadap hal material juga diperlukansupaya seseorang tidak melupakan rohaninya. Buku itu ditulis al-Ghazāli saat berusia lanjut meninggalkan Baghdad dan hidup di Syria. Di sanalah ia mendirikan sebuah sekolah institut sufisme dan secara pribadi menjalankan hidup askese dan kontemplasi. Sisa hidupnya dibaktikan pada usaha pembaharuan spiritual. B. Konsep Etika Al-Ghazali Etika Islam menurut Al-Ghazali adalah sifat yang tertanam di·dalam jiwa, daripada lahirlah perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa dipikirkan dan dipertimbangkan lagi. Apabila sifat itu sekiranya melahirkan perbuatan-perbuatan baik dan terpuji menurut akal pikiran dan syara' dinamakan akhlaq yang baik dan apabila menimbulkan perbuatan-perbuatan yang buruk dinamakan akhlaq yang buruk (Ya’qub, 1978: 45). Menurut al-Ghazali, tujuan manusia sebagai individu adalah mencapai kebahagiaan, dan kebahagiaan yang paling utama harus ditemukan dalam kehidupan yang akan datang. Sedangkan media untuk mencapai kebahagiaan tersebut ada dua macam, yaitu amal baik lahiriah bermanfaat karena ketaatan kepada aturan-aturan tingkah laku yang diwahyukan dalam kitab suci serta upaya bathiniyyah untuk meraih keutamaan jiwa (Abdullah, 2002: 38). Dalam pandanganya al-Ghazali maqam yang pokok terdiri dari, yaitu taubat (taubah), sabar (shabr), syukur (syukr), pengharapan (raja'), takut (khauf), asketisme (zuhud), tawakal (tawakkul) dan cinta (mahabbah). Menurut al-Ghazali, semua maqamat sufisme tersebut berkaitan dengan hubungan internal dari fakultasfakultas jiwa. Maqam atau keutamaan-keutamaan ini yang merupakan media dan tanjakan yang harus dicapai oleh orang-orang tertentu dalam pencarian mereka tentang kebahagian tertinggi (Al-Ghazali, 1993: 5). a. Tawakkal Tawakkal bermakna berserah diri. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan perantara untuk menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak memikirkan hal-hal keduniaan serta apa saja selain Allah SWT. Tawakkal menurut para sufi bersifat fatalis/majbur yakni menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah SWT (Hawwa, 2004: 31). Jadi, arti tawakkal adalah bersandarnya hati kepada wakil semata-mata yaitu Allah SWT. b. Sabar Sabar adalah suatu bagian yang utama dari akhlak manusia dan sangat dibutuhkan seorang muslim dalam masalah dunia dan agama. Sebagai muslim, wajib meneguhkan hatinya dalam menanggung segala ujian dan penderitaan dengan tenang. Hendaklah kita senantiasa ingat kepada Allah SWT, ingat akan kekuasaan-Nya dan segala kehendak-Nya (Al-Ghazali, 1992: 258). Al-Ghazali berkata: “Allah menyebutkan orang-orang yang sabar dengan berbagai sifat dan menyebutkan kesabaran di dalam Al-Qu’ran lebih dari sembilan puluh empat tempat. Bahkan Allah menambahkan keterangan sejumlah derajat yang tinggi dan kebaikan, dan menjadikannya sebagai buah dari kesabaran” Ibnu Qayyim al-Jauziyah (1992, 22) mengatakan bahwa hakikat sabar adalah perilaku jiwa yang mulia yang dapat menahan dari perbuatan tidak baik, kekuatan jiwa yang dapat mendatangkan kesalehan bagi dirinya dan kelurusan perbuatannya. Sabar memiliki tiga macam, yaitu sabar akan ketaatan, sabar dari kemaksiatan, dan sabar menerima cobaan. c. Syukur Ada beberapa pengertian tentang syukur, antara lain: 1. Pengakuan terhadap nikmat pemberi nikmat dengan penuh ketundukan, pendapat ini memandang pada perbuatan lisan disamping sebagian keadaan hati. 2. Pujian atas pemberi nikmat dan kebaikan dengan menyebut kebaikan-Nya, pendapat ini hanya memandang pada amal lisan semata. 3. Syukur adalah senantiasa berada (i’tikaf) pada hamparan kebaikan hati (syuhud) dengan terus-menerus menjaga kehormatan, pendapat inilah yang mencakup makna syukur, terdapat dalam hati, lisan dan perbuatan. d. Zuhud Dunia harus dijauhi karena keberadaan dapat memutuskan hubungan hamba dengan Tuhannya. Menurut al-Ghazali, kenikmatan dunia adalah kenikmatan yang dirasakan bukan karena ketaatan kepada Allah namun hanya disandarkan kepada hawa nafsu. Kegembiraan yang diperoleh hanya merupakan kepedihan yang tertunda (Hawwa, 2004: 329). Ada tiga ke-zuhud-an yang harus ada pada batin seseorang: 1. Tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang. Ini merupakan tanda zuhud harta. 2. Sama saja disisinya orang yang mencela dan orang yang mencacinya. Ini merupakan tanda zuhud dalam kedudukan. 3. Hendaknya selalu bersama Allah dan hati lebih banya didominasi oleh lezatnya ketaatan, karena hati tidak dapat terbebas sama sekali dari cinta, cinta dunia atau cinta Allah. Zuhud yang disyariatkan adalah meninggalkan keinginan terhadap sesuatu yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat yaitu berlebih-lebihan dalam sesuatu yang sangat keduniawian. Menurut Imam Al-Ghazali, hakikat sikap zuhud adalah membenci sesuatu dan menyukai hal lain, meninggalkan sesuatu yang berbau duniawi dan membencinya serta menyukai akhirat. Seseorang telah bersikap zuhud pada dunia dan tingkatan yang tertinggi adalah membenci segala sesuatu selain Allah. Dalam pandangan al-Ghazali, zuhud dilakukan benar-benar niat untuk Allah SWT, banyak orang yang meninggalkan harta lalu mengatakan bahwa ia telah memiliki sifat zuhud (Hawwa, 2004: 351). e. Khauf dan Raja’ Menurut al-Ghazali rasa takut (khauf) dan harap (raja’) merupakan dua sayap yang dengan kedua sayap inilai orang-orang yang dekat dengan Allah terbang mencapai setiap maqam/keutamaan yang terpuji. Raja’ adalah kesenangan hati untuk menantikan apa yang disenanginya yang sangat erat kaitannya dengan Allah SWT, sesuatu yang disenanginya dan dinantinya haruslah memiliki sebab yang baik. Jika seseorang hamba menyemai benih iman dan mengairinya dengan air ketaatan, membersihkan hati dari rumput-rumput akhlak yang buruk, kemudian dia menantikan karunia Allah agar diteguhkan dalam ketaatan (ada khauf/ketakutan disini) hingga kematian menjemputnya dan khusnul khatimah yang membawa ampunan, maka penantiannya (raja’) adalah harapan yang hakiki dan terpuji bahkan dapat mendorongnya untuk senantiasa menjaga ketaatan dan melaksanakan segala tuntutan iman untuk menyempurnakan sebab-sebab ampunan dan ibadah hingga ajal tiba. f. Muhasabah Muhasabah artinya memperhitungkan keadaan diri sendiri (introspeksi diri) dengan menyadari kesalahan, kelalaian kekurangan sehingga dengan demikian akan menaikan tingkatan iman ke tingkat yang lebih tinggi di sisiNya (Hamka, 1978: 104). Imam Al-Ghazali dalam sejarah intelektualnya mencari kebenaran hakiki, mengambil ajaran tasawuf sebagai jalan yang mampu membawa kepada kebenaran hakiki. Al-Ghazali mengatakan bahwa pemahaman pemikiran itu melalui hati (Huda, 2008: 57). Hati yang bersih inilah yang akan memancarkan akhlak yang mulai (akhlak al-karimah) pada diri seseorang. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin. 2002. Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, terj. Hamzah. Bandung: Mizan. Al-Ghazali. 1993. Ihya’Ulumuddin, Jilid 4., al-Maktabah al-Usmaniya al-Misriya, Misr. Al-Ghazali, Muhammad. 1992. Akhlak Seorang Muslim, ed. Moh. Rifai. Semarang: Wicaksana. Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. ‘Uddatu As-Shabirin Wa Dzakhiratun Asy-Syakirin. Saudi Arabia: Darul Bayan Al-Arabi. Bakker, JWM. 1978. Sejarah Filsafat dalam Islam. Yogyakarta: Kanisius. Copleston, Frederick. 1972. A History of Medieval Philosophy. London: Methuen & Co Ltd. Hamka. 1978. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. Hawwa, Said. 2004. Inti Sari Ihya’Ulumuddin Al-Ghazali Mensucikan Jiwa. Jakarta: Robbani Press. Huda, Sokhi. 2008. Tasawuf Kultural: Fenomena Sholawat Wahdiyah. Yogyakarta: Lkis Yogyakarta. Mondin, Battista. 1991. A History of Mediaeval Philosophy. Roma: Urbaniana University Press. Prakosa, Heru. “Al-Ghazali dan Thomas Aquinas: Hidup Harmoni Sebagai Buah Ketaqwaan”, dalam BASIS. No. 11-12 (2012). Ya’qub, Hamzah. 1978. Etika Islam. Jakarta: Penerbit CV. Publicita.