Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
PELAKSANAAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH (GLS) SEBAGAI UPAYA MEMBENTUK HABITUS LITERASI Nela Ananda Rosa1, Nur Hikma2, Andi Rosita Wijaya3, Alfian A. Dg. Palulu4 1,2,3,4 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muslim Indonesia, Makassar Email: nelaarosa22@gmail.com Abstrak: Berbagai kendala muncul terkait implementasi Gerakan Literasi Sekolah. Banyak siswa mengeluhkan ketidakdisiplinannya pelaksanaan program ini, buku yang disediakan sekolah kurang variatif, ataupun beberapa hal lainnya. Sekolah memiliki peran penting untuk memaksimalkan gerakan ini. Pihak sekolah harus aktif memastikan keberlangsungan program-program Gerakan Literasi Sekolah, melaksanakan monitoring dan evaluasi internal, berupaya membangun jejaring dengan pihak eksternal termasuk pelibatan publik dalam menggalang pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah. Kendala yang ada tentu dapat ditanggulangi dengan membuka pikiran peserta didik tentang pentingnya keterampilan membaca, para penanggung jawab Gerakan Literasi Sekolah mencerminkan sikap pegiat literasi secara aktif, dan tersedianya buku bacaan yang sesuai dengan umur peserta didik sebagai jargon penarik perhatian peserta didik untuk tertarik membaca. Lewat budaya Gerakan Literasi Sekolah, penanggung jawabnya mampu meningkatkan minat baca yang pada akhirnya mampu membentuk kelompok melek aksara, atau habitus literasi di sekolah. Kata kunci: Gerakan literasi, habitus literasi, minat baca PENDAHULUAN Dalam kehidupan sehari-hari keterampilan membaca sangat dibutuhkan karena pengetahuan sebagian besar diperoleh dari kegiatan membaca. Begitu pun menulis. Untuk berbagi ilmu, sebagian besar manusia menggunakan tulisan untuk mengikat dan menyebarluaskan pengetahuan yang dimilikinya. Keterampilan membaca erat kaitannya dengan konsep literasi yakni baca-tulis. Kemelekaksaraan adalah konsep awal literasi yang kemudian berkembang menjadi kemelekwacanaan, dan semakin berkembang menjadi kemelekpengetahuan. Dasar literasi terkait dengan kemampuan membaca seseorang, namun kemampuan ini tidak akan bermakna jika tidak bersinggungan dengan konteks atau budaya tertentu, (Abidin, 2015). Pada abad ke-21 ini, kemampuan berliterasi sangat diperlukan oleh pemangku kepentingan di dunia pendidikan, utamanya peserta didik. Kemampuan berliterasi peserta didik berkaitan erat dengan tuntutan keterampilan membaca yang berujung pada kemampuan memahami informasi secara analitis, kritis, dan reflektif (Faizah et al., 2016). Akan tetapi, fakta pembelajaran di sekolah saat ini belum mampu mewujudkannya dengan baik. Tuntutan keterampilan abad-21 yang harus dikuasai dan pembelajaran di sekolah yang belum mampu menumbuhkan keterampilan atau kompetensi yang dibutuhkan menjadi dasar utama literasi harus dikembangkan (Widayoko, dkk., 2018). Daya baca masyarakat Indonesia masih tergolong rendah, apalagi di kalangan siswa. Seperti yang di jelaskan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012, Masyarakat Indonesia lebih memilih menonton televisi (91,68%) atau mendengarkan radio (18,57%) daripada membaca surat kabar (17,66%). Selain data tersebut, UNESCO dalam pedoman perpustakaan sekolah/IFLA (2012) juga memaparkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai 0,001, dimana dari 1000 penduduk Indonesia hanya satu orang yang memiliki minat baca. Data tersebut kemudian diperkuat oleh pernyataan Taufik Ismail yang menyatakan, rata-rata pelajar lulusan SMA tidak membaca satupun buku atau dalam istilah nya disebut dengan ”tragedi nol buku” bagi pendidikan, (Tim Warta, 2016). Sejumlah faktor yang menyebabkan rendahnya minat baca di Indonesia, antara lain: (1) Kurikulum pendidikan dan sistem pembelajaran di Indonesia belum mendukung proses pembelajaran siswa; (2) Masih banyak jenis hiburan, permainan, dan tayangan TV yang tidak mendidik; (3) Kebiasaan masyarakat terdahulu yang turun temurun dan sudah mendarah daging. Masyarakat sudah terbiasa mendongeng, bercerita yang sampai sekarang masih berkembang di Indonesia, (Nurhadi, 2016). Pemerintah melalui Kemendikbud terus melakukan pergantian kurikulum di sekolah, sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Kurikulum yang sekarang diterapkan harus mampu membentuk siswa untuk menjadi insan muda yang teliti, kritis, namun etis. Kurikulum di Indonesia yang saat ini diterapkan merupakan Kurikulum 2013 hasil revisi, yang selain mengedapakan pembentukan karakter, juga membawa ciri khas dalam rangka mengatasi rendahnya minat baca masyarakat khususnya siswa di Indonesia, yaitu adanya Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik, (Kemendikbud dalam Sutrianto, 2016). Gerakan Literasi Sekolah disosialisasikan oleh Kemendikbud pada awal tahun 2016 ke semua jenjang pendidikan yang ada di Indonesia. Setiap jenjang pendidikan di suatu daerah terdapat beberapa sekolah piloting project berkaitan dengan literasi, dimana sekolah tersebut bertugas mengimbaskan literasi ke sekolah lain yang ada di daerahnya (Pradana, dkk., 2017). Salah satu implementasi GLS adalah pembiasaan membaca lima belas menit setiap hari. Lima belas menit merupakan jangkauan waktu paling efektif untuk membaca. (Dirjendikdasmen, 2016). Banyak sekali variasi implementasi GLS, ada yang menamainya jam membaca, jam literasi, ataupun lainnya. Pihak sekolah memberikan nama atau sebutan tertentu program ini dengan tujuan untuk menjadi suatu jargon yang mudah diingat siswa bahwa sekarang adalah saatnya membaca. Berbagai kendala muncul terkait implementasi Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Banyak siswa mengeluhkan ketidakdisiplinannya pelaksa-naan program ini, buku yang disediakan sekolah kurang variatif, ataupn beberapa hal lainnya. Sekolah memiliki peran penting untuk memaksimalkan gerakan ini. Pihak sekolah harus aktif memastikan keberlangsungan program-program Gerakan Literasi Sekolah (GLS), melaksanakan monitoring dan evaluasi internal, berupaya membangun jejaring dengan pihak eksternal termasuk pelibatan publik dalam menggalang pelaksanaan serta pencitraan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dengan berbagai acara, turut serta mengembangkan perpustakaan, sudut baca sekolah, dan bekerja sama dengan guru serta peserta didik untuk membangun sudut baca kelas; mengupayakan ekosistem sekolah yang literat (Widayoko, dkk., 2018). Konsep habitus dan field dari Pierre Bourdie digunakan untuk melihat pembentukan habitus literasi siswa di sekolah. Habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut, (Bourdie dalam Ritzer dan Goodman, 2014). Individu agen dipengaruhi oleh habitus, di sisi yang lain, individu adalah agen yang aktif untuk membentuk habitus. Agen dibentuk dan membentuk habitus melalui modal yang dipertaruhkan dalam ranah. Habitus berkaitan erat dengan field yang berarti medan, arena atau ranah, merupakan ruang sebagai tempat para aktor/agen sosial saling bersaing untuk mendapatkan berbagai sumber daya ataupun kekuatan sosial, (Bourdieu dalam Mangihut, 2016). Habitus akan benar-benar terbentuk apabila mengalami reproduksi budaya, (Bourdieu dalam Richard, 2009). Penelitian Compton, dan Lilly (2014) membahas keterbentukan habitus pada diri seseorang dikarenakan kebiasaan yang sudah dilakukan sejak lama dan terus menerus melalui proses sosialisasi dan internalisasi. Selain itu lingkungan sosial juga mempengaruhi keterbentukan habitus yang diinginkan. Dalam kaitannya dengan tulisan ini, Kemendikbud melalui sekolah berusaha untuk membentuk habitus literasi dalam diri siswa melalui praktik-praktik yang harus dijalankan. Membudayakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik (Utama, dkk., 2016). Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajar yang warganya literat dan penumbuhan budi pekerti melalui berbagai aktivitas antara lain dengan membaca buku non pelajaran selama 15 menit (Ramadhani, 2018). Tujuan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) menurut Utama dkk., 2016 terbagi menjadi 2, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yaitu untuk menumbuhkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi yang diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah (GLS) agar peserta didik menjadi pembelajar sepanjang hayat, sedangkan tujuan khusus dari Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah untuk menumbuhkembangkan budaya literasi di sekolah, meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat, menjadikan sekolah sebagai teman belajar yang menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan, dan menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi berbagai strategi membaca. Bukan hanya memiliki tujuan, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) juga memiliki tahapan yang terbgi menjadi tiga, yaitu: 1. Penumbuhan minat baca melalui kegiatan 15 menit membaca (Permendikbud No. 23 Tahun 2015) yang disebut dengan tahap pembiasaan. 2. Meningkatkan kemampuan literasi melalui kegiatan menanggapi buku pengayaan, yang disebut tahap pengembangan. 3. Meningkatkan kemampuan literasi di semua mata pelajaran; menggunakan buku pengayaan dan strategi membaca di semua mata pelajaran, yang disebut tahap pembelajaran. Pun, dalam panduan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) terdapat indikator ketercapaian pelaksanaannya yang dimana indikator tersebut merupakan indikator ketercapaian pada tingkatan satuan pendidikan (Sekolah). Indikator ketercapaian tersebut antara lain: (1) mengidentifikasi kebutuhan sekolah mengacu pada kondisi pemenuhan standar nasional pendidikan; (2) melaksanakan tahapan kegiatan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang meliputi pembiasaan, pengembangan dan pembelajaran; (3) melaksanakan pelatihan guru dalam merencakan dan melaksanakan pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan literasi peserta didik; (4) memanfaatkan sarana dan prasarana sekolah dengan maksimal untuk memfasilitasi pembelajaran; (5) mengelola perpustakaan sekolah dengan baik; (6) mengintervensi semua prasana yang dimiliki sekolah (salah satunya buku); (7) menciptakan ruang baca yang nyaman bagi warga sekolah; (8) melaksanakan kegiatan 15 menit membaca sebelum pembelajaran bagi seluruh warga sekolah; (9) mengawasi dan mewajibkan pesert didik membaca sejumlah buku sastra dan menyelesaikannya dalam kurun waktu tertentu; (10) Tim Literasi Sekolah (TLS) mendukung dan terlibat aktif dalam kegiatan Gerakan Literasi Sekolah (GLS); (11) merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang melibatkan orang tua dan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap literasi agar perlakuan yang diberikan kepada peserta didik dapat ditindaklanjuti di dalam keluarga dan di tengah masyarakat; (12) merencanakan atau bekerja sama dengan pihak lain yang melaksanakan berbagai kegiatan Gerakan Literasi Sekolah (GLS); (13) melakukan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan program dan kegiatan GLS yang dilaksanakan; (14) membuat rencana tindak lanjut berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan GLS (Nur Suci Ramadhani, 2018). Gerakan Literasi Sekolah: Upaya Meningkatkan Minat Baca Menurut Mansyur (2018) minat baca adalah tingkat kesenangan yang kuat karena adanya dorongan yang timbul pada diri seseorang dalam melakukan segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan membaca untuk memperoleh informasi, serta menimbulkan kesenangan dan manfaat bagi dirinya. Pada dasarnya, minat baca tumbuh karena adanya dorongan dari diri masing-masing. Namun demikian, lingkungan juga menjadi faktor utama tumbuhnya minat baca seseorang, sehingga untuk meningkatkannya perlu kesadaran setiap individu serta lingkungan yang mendukung. Beberapa faktor penyebab rendahnya minat baca, antara lain: (1) kualitas buku bacaan; (2) harga buku yang berkualitas cenderung maha; (3) minat baca telanjur rendah; (4) program-program literasi umumnya hanya seremonial. Setelah tahu beberapa faktor penyebab rendahnya minat baca. Lalu sekarang apa upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan minat baca di sekeliling kita, terkhusus di sekolah? Dalam hal ini penulis merumuskan beberapa upaya untuk meningkatkan minat baca peserta didik melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Pertama, membuka pikiran peserta didik tentang betapa pentingnya keterampilan membaca. Kita tentu tahu seberapa penting keterampilan membaca, seberapa berpengaruhnya keterampilan membaca terhadap keterampilan lain yang dimiliki manusia. Untuk itu kita perlu membuka pikiran peserta didik, misal lewat kegiatan apersepsi di kelas, membuka kelas literasi dengan kita sebagai pembicara yang bersedia membawakan materi minat baca yang bersfiat provokatif, terkhusu lewat kegiatan GLS yang memang mewadahi tersebarluasnya literasi. Kedua, menunjukkan sikap yang mencerminkan pelaku literasi di hadapan warga sekolah. Hingga saat ini sudah banyak program literasi yang telah dicanangkan, baik oleh pemerintah maupun yang bersifat swadaya masayarakat. Contohnya, Gerakan Indonesia Membaca (GIM), Gerakan Literasi Bangsa (GLB), dan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Namun, terkadang program-program tersebut hanya dilaksanakan secara seremonial dan simbolis saja, seperti pemasangan poster-poster dan semacamnya, demi memenuhi indikator penilaian borang akreditasi, sebagai sekolah yang telah menerapkan program literasi pemerintah (Mansyur, 2019). Padahal mengajak orang lain melakukan sesuatu, namun diri sendiri belum melakukan hal tersebut adalah kesalahan besar. Kenapa? Tentu saja orang lain akan tertarik melakukan sesuatu, dalam hal ini peserta didik akan tertarik membaca jika melihat kita kontinyu membaca di waktu yang telah ditentukan, seperti saat kunjungan rutin ke perpustakaan, sewaktu duduk di kelas literasi, dan sebagainya. Ketiga, pemerhati serta pelaku Gerakan Literasi Sekolah (GLS) seharusnya menyediakan buku menarik yang sesuai dengan usia peserta didik. Selain dari segi judul, sampul, jenis huruf, tentu kesesuaian buku bacaan dengan usia peserta didik menjadi daya tarik sendiri untuk menarik perhatian peserta didik agar semangat membaca. Misal, fiksi remaja. Banyak buku sastra fiksi remaja mengandung nilai moral yang tentu sangat cocok dibaca peserta didik yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA), yang tanpa diminta tentu peserta didik akan tertarik membaca buku tersebut karena sesuai dengan usia mereka, pun bisa jadi tertarik karena mereka mengalami kisah yang sama di usia remaja. Penanggung jawab GLS juga bisa meminta kerja sama dengan para pengajar di sekolah untuk memantik minat baca siswa lewat proses pembelajaran. Misal adanya inisiatif yang lahir dari kreatifitas pengajar mengganti metode pembelajaran lama dengan metode pembelajaran Student Centre Learning untuk menjadikan siswa berperan aktif. Yang mau tidak mau, dengan metode tersebut siswa akan menggunakan aktivitas membaca untuk menemukan materi belajar, kemudian akan menulis materi belajar yang telah didapatkan dari aktivitas membaca. Bukan hanya karena kepentingan berlangsungnya GLS, tetapi pengajar memang harus kreatif. Hal tersebut sejalan dengan Mansyur (2016), bahwa setiap pengajar senantiasa harus terus berupaya meningkatkan keberhasilannya dalam pembelajaran, seperti melakukan inovasi-inovasi pembelajaran yang efektif, inovatif, aktif, kreatif, dan menyenangkan. Meningkatnya Minat Baca Membentuk Habitus Literasi Kemendikbud menganggap bahwa siswa di Indonesia berkemungkinan mempunyai potensi dan kemampuan yang sangat luar biasa untuk bersaing dengan siswa lain dari Negara maju dalam bidang matematika, sains, dan membaca. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kemendikbud dalam hal ini merupakan struktur atau kelompok dominan yang ada dalam arena pendidikan, beranggapan bahwa seluruh siswa mempunyai potensi dan kemampuan yang sangat luar biasa dalam membaca. Berkaitan dengan hal tersebut, Kemendikbud mencanangkan sebuah program yaitu Gerakan Literasi Sekolah sebagai sebuah praktik yang harus dijalankan oleh seluruh siswa. Dalam sekolah sendiri, Kemendikbud diwakili oleh tim literasi yang sengaja dibentuk dengan tujuan untuk menyiapkan dan merancang program-program yang akan dilaksanakan berkaitan dengan GLS. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) menjadi wadah untuk meningkatkan salah satu konsep literasi, yakni baca-tulis. Yang mana lewat kegiatan GLS, akan tercipta peserta didik yang semangat membaca, mengedepankan pentingnya keterampilan membaca, dan akhirnya akan terbentuk habitus literasi, tercipta habitus warga sekolah yang literat. Meningkatnya minat baca tentu lahir dari peserta didik yang melek aksara, yang seiring berjalannya waktu jika terpantau pemerhati GLS tentu dengan sendirinya akan membentuk habitus literasi. Mengapa demikian? Karena kelompok tertentu, dalam hal ini habitus literasi, terbentuk dan lahir dari satu orang yang literat, yang mempunyai jiwa provokatif untuk mengajak orang lain ikut aktif kegiatan GLS sampai terbentuklah habitus literasi itu sendiri. Habitus literasi yang di dalamnya terdapat peserta didik yang pikirannya terbuka mengenai literasi, tentang pentingnya aktif dalam kegiatan GLS karena kegiatan tersebut salah satu penunjung maksimalnya keterampilan dasar manusia, yaitu: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. PENUTUP Gerakan Literasi Sekolah membantu Sumber Daya Manusia di sekolah membuka pandangan peserta didik tentang pentingnya melek aksara, bantu meningkatkan minat baca peserta didik, sampai akhirnya membentuk habitus literasi. Terciptanya warga sekolah yang literat tentu saja memudahkan pembelajaran, sebab peserta didik sudah aktif mencari sumber belajar sendiri dengan membaca, kunjungan rutin ke perpustakaan, pun ikut berperan aktif kegiatan literasi yang memperluas cakrawala mereka. Bukan hal yang mudah untuk mempertahankan habitus literasi yang telah terbentuk, namun kesadaran dan semangat yang tinggi dari para pegiatnya tentu mampu mempertahankan habitus literasi yang ada. Beberapa hal yang bisa bantu mempertahankan habitus literasi, yaitu: kesadaran diri untuk tetap menyatu dengan literasi, kontinyu melaksanakan kegiatan literasi, dan menempatkan literasi minat-baca di urutan kegiatan prioritas di antara kegiatan lainnya. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Y. (2015). Pembelajaran Multiliterasi: Sebuah Jawaban Atas Tantangan Pendidikan Abad Ke-21 dalam Konteks KeIndonesiaan). Bandung: Aditama. Jakarta Bumi Aksara Compton, Catherine, & Lilly. 2014. The Development of Writing Habitus: A Ten-Year Case Study of a Young Writer. Article. Written Communication. SAGE Publications. Faizah, et. al. (2016). Panduan Gerakan Literasi di Sekolah Dasar. Jakarta: Dirjen Dikmen Kemdibud. Listyowati. (2019). Optimalisasi Sudut Baca sebagai Gerakan Literasi Dalam Menumbuhkan Minat Baca Siswa SD. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Mansyur, U. (2016). Bahasa Indonesia dalam Belitan Media Sosial: Dari Cabe-Cabean Hingga Tafsir AlMaidah 51. In Prosiding Seminar Nasional & Dialog Kebangsaan dalam Rangka Bulan Bahasa 2016 (pp. 145–155). Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Mansyur, U. (2018). Korelasi Minat Baca dengan Kemampuan Menulis Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia UMI. Multilingual: Jurnal Kebahasaan dan Kesastraan, 17(1), 11-22. Mansyur, U. (2019). Gempusta: Upaya Menumbuhkan Minat Baca. In Prosiding Seminar Nasional Bahasa dan Sastra II (Narasi II) UNM 2019. FBS Universitas Negeri Makassar. https://www.researchgate.net/publicat ion/337671871. Mitasari, L.S. (2017). Peran Kegiatan Literasi Dalam Meningkatkan Minat Membaca dan Menulis Siswa Kelas Atas di SDN Gumpang 1. Universitas Muhammadiyah Surakarta Pradana, B.H., Fatimah, N. & Rochana, T. (2017). Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah sebagai Upaya Membentuk Habitus Literasi Siswa di SMA Negeri 4 Magelang. Jurnal Unnes, 6(2). Ramadhani, N.S. (2018). Analisis Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) SMP Kota Surabaya. Jurnal Fis.IIP, 76(18). Tim Warta/KS. 2016. Gerakan Indonesia Membaca: Menumbuhkan Budaya Membaca, http://www.paud.dikmas. kemdikbud.go.id/berita/8459.html, Diakses 2 Desember 2019). Widayoko, A. Koes H. S. & Muhardjito. (2018). Analisis Program Implementasi Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dengan Pendekatan Goal-Based Evaluation. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Pendidikan, 16(1). Widya, H. (2017). Pengaruh Program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) terhadap Minat Baca Siswa di SD Islam Terpadu Muhammadiyah AnNajah Jatinom Klaten. Jurnal Hanata Widya, 6(8). Wulanjani, A.N. & Anggraeni, C.W. (2019). Meningkatkan Minat Baca melalui Gerakan Literasi Membaca bagi Siswa Sekolah Dasar, 3(1).