i
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta
rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Pasal 114 Setiap Orang yang
mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan
sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan
barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat
perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah). Pasal 115 Setiap Orang yang tanpa persetujuan dari orang yang
dipotret atau ahli warisnya melakukan Penggunaan Secara Komersial,
Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi atas Potret
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk kepentingan reklame atau
periklanan untuk Penggunaan Secara Komersial baik.
ii
iii
Perpajakan
Teori dan Latihan Sosial
Copyright© 2017
Oase Pustaka
vi+95 hlm.; 16 cm x 24 cm
ISBN: 978-602-457-015-6
Penyunting Naskah: Adhista Setyarini, S.E., M.M.
Perancang Sampul: Michelia Alba
Penata Letak: Feliana Vinda Vicelia
Redaksi:
Oase Pustaka
Jl. KH Hasyim Asy’ari Kauman
Pasar Kliwon Surakarta
Cetakan pertama: Desember 2017
Perpustakaan Nasional RI Data Katalog dalam Terbitan (KDT)
Siti Zulaikhah,
Perpajakan/ penulis naskah, Siti Zulaikhah,. – Surakarta: Oase
Publisher, 2017.
vi+95 hlm.; 16 cm x 23 cm
ISBN: 978-602-457-015-6
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
Isi di luar tanggung jawab Penerbit
iv
PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah berkenan
menganugerahkan kesempatan kepada penulis, sehingga buku
Perpajakan Edisi Revisi dapat diselesaikan. Buku Perpajakan ini
disusun untuk memudahkan pembaca dalam memahami konsep
dasar Perpajakan. Buku ini disusun sangat sederhana sehingga
pembaca dapat mempelajari materi dengan baik. Materi dalam buku
ini disajikan secara tematik. Setiap tema pada tiap-tiap bahasan
disusun dengan ringkas, mudah dan juga memuat konsep-konsep
dasar ilmu Perpajakan dengan disertai soal-soal latihan beserta
penyelesaiannya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku
ini. Penulis juga berterima kasih kepada pihak-pihak yang berkenan
memberikan kritik dan saran dalam rangka penyempurnaan buku ini
dikemudian hari. Akhirnya penulis berharap dengan terbitnya buku ini
dapat memberikan motivasi yang positif kepada para pembaca.
Penulis
menyadari
bahwa
buku
masih
jauh
dari
kesempurnaan, untuk itu kritik. dan saran kami harapkan dari para
pembaca agar kedepannya penulis dapat menyempurnakan buku
dengan baik.
Surakarta, September 2017
Penulis
v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………….. …
v
Daftar isi ……………………………………………………………………..
vi
BAB I
DASAR-DASAR PERPAJAKAN…………….................
BAB II
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA
1
PERPAJAKAN…………………………………………………
7
BAB III
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ……………………..
15
BAB IV
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 ……………………..
21
BAB V
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 ……………………..
29
BAB VI
PAJAK PENGHASILAN PASAL 24 ……………………..
41
BAB VII
PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 ……………………..
53
BAB VIII
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ……………………..
73
BAB IX
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI…………………………..
77
BAB X
BEA MATERAI…………………………………...………….
81
BAB XI
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN…………………………
85
BAB XII
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH
DAN BANGUNAN…………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. …
vi
95
99
BAB I
DASAR-DASAR PERPAJAKAN
Pengertian Pajak, Retribusi, dan Sumbangan
Unsur pajak, yaitu:
•
Iuran dari rakyat kepada negara,
•
Berdasarkan undang – undang,
•
Tanpa imbalan atau kontra prestasi dari negara secara
langsung dapat ditunjuk,
•
Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara,
Retribusi : pembayaran yang mendapat imbalan prestasi yang
langsung kepada pembayarnya, misalnya retribusi parkir.
Sumbangan : pembayaran yang sifatnya tertentu dan tidak ada
paksaan sedangkan imbalan prestasi tidak dapat dirasakan secara
langsung oleh pembayarnya
Fungsi Pajak
a.
Fungsi budgeter (Sumber Keuangan Negara) artinya pajak
merupakan
sumber
penerimaan
pemerintahan
untuk
membiayai pengeluaran maupun pembangunan. Sebagai
sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukkan
uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara.
b.
Fungsi mengatur (regularend) artinya pajak sebagai alat
untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah
dalam bidang sosial dan ekonomi serta mencapai tujuan diluar
bidang keuangan.
1
Pengelompokan Pajak
Menurut Golongan
a. Pajak langsung yaitu pajak yang harus ditanggung
sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau
dilimpahkan
kepada
orang
lain.
Contoh
:
Pajak
Penghasilan, PBB.
b. Pajak tidak langsung yaitu pajak yang pada akhirnya
dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai
Menurut Sifat
a. Pajak Subyektif, yaitu pajak yang berpangkal atau
berdasarkan
pada
subyeknya
(orangnya)
yaitu
memperhatikan keadaan Wajib Pajak.
Contoh : Pajak Penghasilan (PPh)
b. Pajak Obyektif, yaitu pajak yang berpangkal dan
menitikberatkan
pada
obyeknya
dan
lebih
tidak
memperhatikan subyeknya.
Contoh : Pajak Bumi dan Bangunan, PPN.
Menurut Lembaga Pemungut
a. Pajak Pusat/Pajak Negara; yaitu pajak yang dipungut
oleh pemerintah pusat.
Contoh: PPh, PPN dan PPnBM, PBB, BPHTB, dan Bea
Materai.
b. Pajak Daerah; yaitu pajak yang dipungut oleh
Pemerintah Daerah, dibagi menjadi dua
2
yaitu pajak
Propinsi seperti pajak kendaraan bermotor, dan pajak
Kabupaten/Kota.
Contoh: pajak restoran, pajak hotel dll.
Tata Cara Pemungutan Pajak
Stelsel Pajak
a. Stelsel nyata (riel stelsel); baru dapat diketahui
setelah
akhir
suatu
periode
(akhir
tahun)
setelah
penghasilan tersebut sesungguhnya dapat diketahui.
b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel); yaitu pengenaan
pajak didasarkan pada suatu anggapan atau perkiraan
yang diatur dengan undang – undang.
c. Stelsel
campuran;
menggunakan
anggapan
artinya
tetapi
pada
awal
tahun
setelah
akhir
tahun
dihitung kembali sesuai yang sebenarnya (nyata).
Asas Pemungutan Pajak
a. Asas Domisili (tempat tinggal); pemungutan pajak
didasarkan pada tempat tinggal Wajib Pajak terhadap
seluruh penghasilan dimanapun diperolehnya walaupun
dari luar negeri,
b. Asas Sumber; artinya negara berhak memungut pajak
atas penghasilan yang bersuber di wilayahnya tanpa
memperharikan tempat tinggal Wajib Pajak
c.
Asas
Kebangsaan;
bahwa
pemungutan
dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
3
pajak
Sistem Pemungutan Pajak
a. Official Assesment System; yaitu suatu sistem
peungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah
(fiskus) untuk menentukan besarnya pajka yang tertang
oleh Wajib Pajak, sehingga ciri – cirinya :
1. Wewenang menentukan besarnya pajak berada
dipihak pemerintah,
2. Wajib Pajak bersifat pasif, dan
3. Utang pajak timbul setelah adanya ketetapan dari
pemerintah.
b. Self
Assesment
System;
yaitu
suatu
sistem
pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak
yang terutang. Sehingga memiliki ciri – ciri :
1. Wewenang penentuan besarnya pajak ada di Wajib
Pajak,
2. Wajib Pajak yang aktif, (mulai dari menghitung,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang,
3. Fiskus hanya bersifat mengawasi
c. With Holding System; yaitu sistem pemungutan pajak
yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan
fiskus juga bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib
Pajak
4
Hambatan Pemungutan Pajak
1. Perlawanan Pasif : masyarakat enggan membayar pajak
yang disebabkan karena :
a. Intelektual dan moral masyarakat,
b. Sitem perpajakan yang sulit dipahami
c. Sistem kontrol tidak dilaksanakan dengan baik
2. Perlawanan aktif : usaha untuk menghindar dari
pembayaran pajak yang secara langsung ditujukan kepada
fiskus. Yang meliputi :
a. Tax avoidance , yaitu usaha untuk menghindar atu
meringankan pajak dengan tidak melanggar Undang
undang,
b. Tax Evasion, yaitu usaha menghindar pajak dengan cara
melanggar undang – undang (mengelapkan pajak).
Tarif Pajak
1. Tarif proporsional (sebanding); Prosentase tetap. Contoh
: PPN dengan tarif 10%, PBB
2. Tarif tetap; jumlah yang tetap (sama) terhadap beberapa
jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang
tertang tetap. Contoh : Bea Materai
3. Tarif Progresif; prosentasenya semakin besar apabila
jumlah penghasilannya semakin besar. Contoh : Pajak
Penghasilan. Menurut kenaikan prosentasenya dibagi tiga
yaitu :
a. Tarif progresif progresif : kenaikan prosentasenya semakin
besar
b. Tarif progresif tetap : kenaikan prosentasenya tetap
5
c. Tarif progresif degresif : kenaikan prosentasenya semakin
kecil,
4. Tarif degresif; prosentase tarif semakin kecil apabila jumlah
yang dikenakan pajak semakin besar.
6
BAB II
KETENTUAN UMUM DAN
TATA CARA PERPAJAKAN
NPWP, Pengukuhan PKP, & Pembayaran Pajak
NPWP adalah No Pokok Wajib Pajak yang berguna sebagaii
identitas Wajib pajak.
NPPKP adalah No Pokok Pengusaha Kena Pajak yang berguna
sebagai identitas Wajib Pajak (PKP)
Fungsi
NPWP
:
Identitas
WP,
tertib
dlm
pembayaran
dan
pengawasan pajak, untuk keperluan dgn dokumen pajak,
memenuhi kewajiban pajak, mendapatkan pelayanan dari
instansi tertentu, dan untuk keperluan pelaporan SPT Masa
dan Tahunan
NPPKP : Identitas, pemenuhan kewajiban PPN dan PPnBm,
dan pengawasan perpajakan
Cara Mendapatkan NPWP dan NPPKP ; mendaftarkan diri ke
kantor DirJen Pajak yang terdekat dengan tempat tinggal WP/PKP
Kewajiban pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP), berlaku untuk:
a. WP OP yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas,
b. WP OP yang tidak melakukan usaha atau pekerjaan
bebas, namun berpenghasilan melebihi PTKP.
c. Wanita yang telah menikah dan menjalankan kewajiban
perpajakannya sendiri.
d. Setiap WP Badan.
7
Kewajiban pendaftaran untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak (PKP), berlaku untuk:
a.
Pengusaha yang memiliki peredaran bruto melebihi Rp
600.000.000,00 (batasan pengusaha kecil).
b.
Pengusaha kecil yang memilih dikukuhkan.
Pengertian dan Fungsi SPT, SKP, STP, SSP
KET
Definisi
SPT
SKP
STP
Surat untuk
Surat
Surat untuk
pelaporan
keterangan
menagih pajak
perhitungan
berupa SKPKB,
dan sanksi adm
dan
SKPKBT,
pembayaran
SKPLB, SKPN
pajak terutang
Fungsi
Pelaporan dan
Alat koreksi,
Alat koreksi
pertanggungja
sararna
pajak terutang,
waban
mengenakan
sararna
perhitungan jml
sanksi, dan alat
mengenakan
pajak terutang,
menagih pajak
sanksi, dan alat
pembayaran
menagih pajak
sendiri dan dari
pemotong
SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK (SPT)
Jenis SPT
SPT Masa – Untuk masa pajak
8
SPT tahunan – Tahun pajak
Batas Waktu Penyampaian
20 Hari stlh masa pajak
WP penghasilan pribadi 3 bulan stlh akhir pajak
WP Penghasilan Badan 4 bulan stlh akhir pajak
Sanksi tidak menyampaikan SPT
Rp.50.000 Untuk surat SPT masa PPN
Rp.100.000 SPT masa lainya
Rp.100.000 SPT WP badan
Rp.100.000 SPT Tahunan PPh WP pribadi
Surat Setoran Pajak (SSP) dan pembayaran
Fungsi SPT:
Sebagai koreksi jumlah pajak terutang
Sarana pengenaan sanksi administrasi
Alat untuk menagih pajak
SURAT SETORAN PAJAK (SSP)
SSP adalah bukti penyetoran atau pembayaran pajak yg telah
dilakukan dengan menggunakan formulir.
Fungsi SSP sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah
disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran-validasi
Tempat Pembayaran dilakukan bank (ditunjuk menkeu) atau
Kantor Pos
SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR (SKPKB)
Pengertian: menentukan jumlah pokok pajak, jml kredit pajak,
jml kekurangan pokok pajak,besarnya sanksi administrasi
Fungsi SKPKB :
9
Koreksi atas jml yg terutang
Sarana u/ mengenakan sanksi
Alat untuk menagih pajak
Jangka waktu penerbitan:
5 tahun pada saat teutangnya pajak atau berakhir masa
pajak, bagian tahun pajak, tahun pajak
SURAT TAGIHAN PAJAK (STP)
Pengertian : Tagihan pajak, sanksi administrasi, bunga, denda
Dikeluarkan STP apabila:
PPh dalam tahun berjalan tidak/kurang bayar
Kurang bayar akibat salah tulis/salah hitung
Sanksi adm berupa denda
Pengusaha kena pajak tidak membuat faktur pajak
Pengusaha kena pajak tidak melaporkan faktur pajak
Keberatan dan banding
WP dapat mengajukan keberatan pd direktur jendral pajak
Pengajuan dituangkan dalam bentuk surat keberatan
Dalam hal pengajuan wp wajib melunasi pajak yg harus
dibayar
Syarat pengajuan keberatan dapat dipenuhi dlm 3 bln
Direktorat jendral pajak hrs memberikan keputusan dalam
waktu 1 tahun sejak surat keberatan diterima
Apabila tidak ada keputusan dalam jangka waktu setahun
maka keberatan wp dianggap diterima.
Apabila terbukti kelebihan pajak maka akan dikembalikan dan
ditambah dengan bunga 2%/ bln plng lama setahun.
10
Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak
Definisi Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan pajak merupakan salah satu hak yang dimiliki
oleh fiskus. Landasan dari pemeriksaan pajak adalah Undangundang no 6 tahun 1983 tetang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang no 28 Tahun 2007 (sekarang UU KUP No.16 Thn 2009 ).
Pemeriksaan pajak dilakukan oleh pemeriksa pajak yang telah
memiliki tanda pengenal pemeriksa serta dilengkapi
surat
perintah pemeriksaan yang harus diperlihatkan kepada wajib
pajak yang akan diperiksa. pasal 1 angka 25 menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan pemeriksaan adalah
“ serangkaian kegiatan menghimpun dan mngolah data, ket, dan
atau bukti yg dilaksanakan scra objetif dan profesional brdasarkan
suatu standar pemeriksaan untuk mnguji kepatuhan kewajiban
perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang2an perpajakan”
Sasaran Pemeriksaan
a. interpretasi Undang-Undang yang tidak benar
b. Kesalahan hitung
c. Penggelapan secara khusus dari penghasilan
d. Pemotongan dan pengurangan yang tidak sesungguhnya,
yang
dilakukan
wajib
pajak
dalam
melaksanakan
kewajiban perpajakan.
Tujuan Pemeriksaan
Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dalam rangka memberi kepastian hukum, keadilan dan
11
pembinaan kepada wajib pajak. Dalam tujuan ini,pemeriksaan
dilakukan apabila terdapat hal-hal sebagai berikut :
a. Surat Pemberitahuan menunjukan kelebihan pembayaran
pajak, termasuk yang telah diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak.
b. Surat
Pemberitahuan
Tahunan
Pajak
Penghasilan
menunjukan rugi.
c.
Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan
tidak pada waktu yang telah ditetapkan.
d. Surat Pemberitahuan yang memenuhi criteria seleksi yang
ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
e. Ada indikasi kewajiban perpajakan yang tidak dipenuhi.
Untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu sebagai
berikut :
a. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan.
b. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
c.
Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak;
d. Wajib Pajak mengajukan keberatan.
e. Pengumpulan
bahan
guna
penyusunan
Norma
Penghitungan Penghasilan Neto.
f.
Pencocokan data dan/atau alat keterangan.
g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil.
h. Penentuan
satu
atau
lebih
tempat
terutang
Pertambahan Nilai.
i.
Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak.
12
Pajak
j.
Penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan
fasilitas perpajakan.
k. Pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
Definisi Penyidikan Pajak
Menurut undang-undang no 6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah diubah
terakhir
dengan
Undang-Undang
no
28
Tahun
2007,
pengertian penyidikan adalah sebagai berikut :
“Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah
serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang
terjadi serta menemukan tersangkanya”.
Pihak Yang Melakukan Penyidikan
Dalam Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, pihak
yang berwenang untuk melakukan proses penyidikan adalah
Pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Direktorat
Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik
tindak pidana di bidang perpajakan. Wewenang tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Menerima,
mencari,
mengumpulkan,
dan
meneliti
keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana
di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan
tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas.
b. Meneliti,
mencari,
dan
mengumpulkan
keterangan
mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran
13
perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak
pidana di bidang perpajakan.
c.
Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi
atau badan sehubungan dengan tindak pidana dibidang
perpajakan.
d. Memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan
bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta
melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f.
Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
g. Menyuruh
berhenti
meninggalkan
dan/atau
ruangan
atau
melarang
tempat
seseorang
pada
saat
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas
orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana
di bidang Perpajakan.
i.
Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan
diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
j.
Menghentikan penyidikan;dan/atau melakukan tindakan
lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan.
14
BAB III
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
Pajak Penghasilan Pasal 21 menurut Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-32/PJ/2015 adalah pajak atas penghasilan berupa
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun yang sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi
subyek pajak dalam negeri.
Wajib Pajak PPh Pasal 21 secara lebih adalah sebagai berikut:
a.
Pegawai;
b.
Penerima uang pesangon, pensiun, atau uang manfaat
pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk
ahli warisnya juga merupapakan wajib pajak PPh 21
c.
Wajib pajak PPh 21 kategori bukan pegawai yang menerima
atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian
jasa, meliputi:
Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang
terdiri
dari
pengacara,
akuntan,
arsitek,
dokter,
konsultan, notaris, penilai dan aktuaris;
Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak,
bintang
film,
sutradara,
bintang
sinetron,
bintang
kru
film,
foto
model,
pemain
drama,
penari,
peragawan/peragawati,
pemahat, pelukis dan seniman lainnya;
Olahragawan;
15
iklan,
Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh,
dan moderator;
Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik,
komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi,
elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
Agen iklan;
Pengawas atau pengelola proyek;
Pembawa pesanan atau menemukan langganan atau
yang menjadi perantara;
Petugas penjaja barang dagangan;
Petugas dinas luar asuransi; dan/atau
Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct
selling dan kegiatan sejenis lainnya.
d.
Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas tidak
merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang
sama juga merupakan wajib pajak PPh Pasal 21;
e.
Mantan pegawai; dan/atau
f.
Wajib pajak PPh Pasal 21 kategori peserta kegiatan yang
menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:
Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain
perlombaan
olah
raga,
seni,
ketangkasan,
ilmu
pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau
kunjungan kerja;
16
Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai
penyelenggara kegiatan tertentu;
Peserta pendidikan dan pelatihan; atau
Peserta kegiatan lainnya.
Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah dasar pengenaan pajak yang
diperoleh dari penghasilan kena pajak dari wajib pajak penerima
penghasilan. Apa saja DPP bagi para peserta wajib pajak PPh 21?
Berikut Dasar Pengenaan Pajak berdasarkan Direktur Jenderal
Pajak PER-32/PJ/2015:
1.
Penghasilan kena pajak yang berlaku bagi:
Pegawai tetap
Penerima pensiun berkala
Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar
secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan
yang diterima dalam 1 bulan kalender telah melebihi
Rp 3.000.000, Bukan pegawai yang menerima imbalan bersifat
berkesinambungan
2.
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk jumlah penghasilan
yang melebihi Rp 300.000,- sehari, yang berlaku bagi
pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang menerima
upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah
borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima
dalam 1 bulan kalender telah melebihi Rp 3.000.000,-.
3.
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 50% dari jumlah penghasilan
bruto yang berlaku bagi bukan pegawai sebagaimana
17
dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang
tidak bersifat berkesinambungan.
4.
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk jumlah penghasilan
bruto yang berlaku bagi penerima penghasilan selain
penerima penghasilan di atas.
5.
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan Pemotongan PPh Pasal 26
adalah jumlah penghasilan bruto.
Tarif Pajak PPh Pasal 21 berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015:
1.
Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan sampai dengan
Rp50.000.000,- adalah 5%
2.
Wajib
Pajak
dengan
penghasilan
tahunan
di
atas
Rp50.000.000,- sampai dengan Rp250.000.000,- adalah
15%
3.
Wajib
Pajak
dengan
penghasilan
tahunan
di
atas
Rp250.000.000,- sampai dengan Rp500.000.000,- adalah
25%
4.
Wajib
Pajak
dengan
penghasilan
tahunan
di
atas
Rp500.000.000,- adalah 30%
5.
Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif
20% lebih tinggi dari mereka yang memiliki NPWP.
Namun adapun peraturan tarif PPh 21 bagi penerima penghasilan
yang tidak memiliki NPWP adalah sebagai berikut:
1.
Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP,
dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih
18
tinggi 20% daripada tarif yang diterapkan terhadap wajib
pajak yang memiliki NPWP.
2.
Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% dari jumlah
PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang
bersangkutan memiliki NPWP.
3.
Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang
bersifat tidak final.
4.
Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala
sebagai penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal
21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam tahun kalender yang
bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal
21 untuk Masa Pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah
dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua
puluh persen) lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan
PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya
setelah memiliki NPWP.
Tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Tahun 2016
19
Cara Menghitung Pajak Penghasilan PPh Pasal 21 Tahun
2016
a.
Untuk menghitung pajak penghasilan PPh 21 langkahlangkahnya adalah sebagai berikut:
b.
Hitung penghasilan bruto Anda dalam setahun, seperti gaji
pokok ditambah dengan tunjangan-tunjangan lainnya.
c.
Hitung Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sesuai dengan
status Anda.
d.
Hitung pengurang lainnya seperti : Tunjangan Biaya Jabatan
5% & Iuran Pensiun 5% dari penghasilan bruto, catatan:
Tunjangan Biaya Jabatan Maksimal Rp. 6 juta per tahun, dan
Tunjangan Iuran Pensiun maksimal 2,4 juta per tahun.
e.
Hitung Penghasilan netto Anda : Penghasilan Bruto – PTKP –
Iuran Jabatan & Pensiun.
f.
Kalikan Penghasilan Netto dengan tarif Pajak Penghasilan
yang berlaku.
20
BAB IV
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah bentuk pemotongan atau
pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap Wajib Pajak
dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang.
Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22
Bendahara dan badan-badan yang memungut PPh Pasal 22 sebesar
1,5% dari pembelian adalah :
a.
Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)
atas objek PPh Pasal 22 impor barang;
b.
Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah dan lembagalembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang;
c.
Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas
pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang
persediaan (UP);
d.
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit
Surat Perintah Membayar yang diberikan delegasi oleh Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan
dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
e.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara
21
melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara
(Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk.,
PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan
Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero)
Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya
(Persero), PT Krakatau Steel (Persero);
Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan
dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau
bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.
f.
Industri
dan
kehutanan,
eksportir
perkebunan,
yang
bergerak
pertanian,
dalam
sektor
peternakan,
dan
perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang
pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
g.
Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian
komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral
bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin
usaha pertambangan.
Wajib pajak badan atau perusahaan swasta yang wajib memungut
PPh Pasal 22 saat penjualan adalah:
a.
Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri
semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan
industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada
distributor di dalam negeri;
22
b.
Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang
Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, atas
penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
c.
Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar
gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak,
bahan bakar gas, dan pelumas;
d.
Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri
baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu
yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.
e.
Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang
kegiatan usahanya:
-
mengumpulkan
hasil
kehutanan,
perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan; dan
-
menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri
dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.
f.
Sesuai
dengan
Peraturan
Menteri
Keuangan
No.
90/PMK.03/2015, pemerintah menambahkan pemungut PPh
Pasal 22 dengan wajib pajak badan yang melakukan
penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Objek PPh Pasal 22. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan
No. 90/PMK.03/2016, lihat lampiran berikut ini mengenai objek PPh
Pasal 22 berupa impor barang-barang mewah tertentu.
23
Tarif PPh Pasal 22
Atas impor :
-
yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) =
2,5% x nilai impor;
-
non-API = 7,5% x nilai impor;
-
yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.
Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara
Pemerintah, BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak
termasuk PPN dan tidak final.)
Atas
penjualan
hasil
produksi
ditetapkan
berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh
produsen atau importir bahan bakar minyak,gas, dan pelumas
adalah sebagai berikut:
Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final.
Selain penyalur/agen bersifat tidak final
Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau
ekspor dari pedagang pengumpul ditetapkan = 0,25 % x
harga pembelian (tidak termasuk PPN)
Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir
yang menggunakan API = 0,5% x nilai impor.
Atas penjualan
-
Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp
20.000.000.000,24
-
Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari
Rp 10.000.000.000,-
-
Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga
pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan luas
bangunan lebih dari 500 m2.
-
Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga
jual atau pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
-
Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang
kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility
vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan
sejenisnya
dengan
harga
jual
lebih
dari
Rp
5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan dengan kapasitas
silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual
tidak termasuk PPN dan PPnBM.
Untuk yang tidak memiliki NPWP dipotong 100% lebih tinggi
dari tarif PPh Pasal 22.
Contoh Penghitungan Pemotongan/Pemungutan PPh Pasal
22 dan PPN oleh Bendahara Pemerintah
Pada tanggal 14 Januari 2013 Bendahara membeli 4 (empat)
buah printer dari CV Komputerindo (NPWP/NPPKP 01.222.355.5063.000)
seharga
Rp22.000.000,-
(harga
termasuk
PPN).
Besarnya pemotongan/pemungutan pajak atas pembelian printer
tersebut adalah sebagai berikut:
25
Pemungutan PPh
Atas pembayaran untuk pembelian printer dipungut PPh Pasal 22
sebagai berikut:
Harga pembelian
= 22.000.000
Dasar Pengenaan Pajak
= 20.000.000
(100/110 X 22.000.000)
PPh Pasal 22 (1,5% X 20.000.000)
= 300.000
Pemungutan PPN
Atas pembayaran untuk pembelian printer dipungut PPN :
Dasar Pengenaan Pajak
= 20.000.000
PPN (10% X 20.000.000) = 2.000.000
Kewajiban Bendahara
Kewajiban bendahara atas PPh Pasal 22 dan PPN yang telah
dipungut adalah:
Melakukan pengecekan keabsahan Faktur Pajak yang telah diisi
dengan data Wajib Pajak CV Komputerindo;
Menyetorkan PPh Pasal 22 dan PPN dengan cara:
Membuat SSP PPh Pasal 22 (disetor ke bank/kantor pos pada hari
yang
sama dengan pembayaran) dan SSP PPN (disetor ke
bank/kantor pos selambat-lambatnya tanggal 7 Februari 2013 )
atas nama CV Komputerindo dan ditandatangani oleh bendahara;
Menyerahkan dokumen SPM dilengkapi dengan SSP dan Faktur
Pajak ke KPPN; Setelah terbit SP2D, bendahara menyerahkan:
SSP PPh Pasal 22 dan SSP PPN lembar ke-1 yang telah
disahkan oleh KPPN; dan
Faktur Pajak lembar ke-2 kepada CV Komputerindo
26
Melaporkan SPT Masa PPh Pasal 22 selambat-lambatnya tanggal
14 Februari 2013 ke KPP Pratama Terdaftar dilengkapi dengan:
a. Daftar Bukti Pemungutan PPh Pasal 22
b. SSP lembar ke tiga
Melaporkan SPT Masa PPN selambat-lambatnya tanggal 28
Februari 2013 ke KPP Pratama Terdaftar
27
28
BAB V
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pajak yang dikenakan pada
penghasilan
atas
modal,
penyerahan
jasa,
atau
hadiah
dan
penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Tarif PPh Pasal 23 Dan Objek PPh Pasal 23
Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
atau jumlah bruto dari penghasilan. Ada dua jenis tarif yang
dikenakan pada penghasilan yaitu 15% dan 2%, tergantung dari
objek PPh 23 tersebut. Berikut ini adalah daftar tarif PPh 23 dan
objek PPh Pasal 23 :
1.
Tarif 15% dari jumlah bruto atas :
2.
Dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi
dikenakan
final,
bunga
dan
royalti;Hadiah
dan
penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21;
3.
Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain
yang berkaitan dengan penggunaan harta kecuali sewa
tanah dan/atau bangunan.
4.
Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan.
5.
Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya
adalah yang diuraikan dalam Peraturan Menteri Keuangan
No. 141/PMK.03/2015 dan efektif mulai berlaku pada
tanggal 24 Agustus 2015. Berikut ini adalah daftar objek
pph 23 jasa lainnya tersebut:
Penilai (appraisal);
29
Aktuaris;
Akuntansi,
pembukuan,
dan
atestasi
laporan
keuangan;
Hukum;
Arsitektur;
Perencanaan kota dan arsitektur landscape;
Perancang (design);
Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak
dan gas bumi (migas) kecuali yang dilakukan oleh
Badan Usaha Tetap (BUT);
Penunjang
di
bidang
usaha
panas
bumi
dan
penambangan minyak dan gas bumi (migas);
Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha
panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi
(migas);
Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
Penebangan hutan;
Pengolahan limbah;
Penyedia
tenaga
kerja
dan/atau
tenaga
ahli
(outsourcing services);
Perantara dan/atau keagenan;
Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali
yang dilakukan Bursa Efek, Kustodian Sentral Efek
Indonesia
(KSEI)
dan
Kliring
Penjaminan
Efek
kecuali
yang
Indonesia (KPEI);
Kustodian/penyimpanan/penitipan,
dilakukan oleh KSEI;
Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
30
Mixing film;
Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto,
slide, klise, banner, pamphlet, baliho dan folder;
Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau
sistem komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan
dan perbaikan.
Pembuatan
dan/atau
pengelolaan
website;nternet
termasuk sambungannya; Penyimpanan, pengolahan
dan/atau
penyaluran
data,
informasi,
dan/atau
program;
Instalasi/pemasangan
mesin,
peralatan,
listrik,
telepon, air, gas, AC dan/atau TV Kabel, selain yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di
bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau
sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan,
listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV kabel, selain
yang
dilakukan
oleh
Wajib
Pajak
yang
ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin
dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat.
Maklon;
Penyelidikan dan keamanan;
Penyelenggara kegiatan atau event organizer;
Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media
massa, media luar ruang atau media lain untuk
penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
31
Pembasmian hama;Kebersihan atau cleaning service;
Sedot septic tank;
Pemeliharaan kolam;
Katering atau tata boga;
Freight forwarding;
Logistik;
Pengurusan dokumen;
Pengepakan;
Loading dan unloading;
Laboratorium
dan/atau
pengujian
kecuali
yang
dilakukan oleh lembaga atau institusi pendidikan
dalam rangka penelitian akademis;
Pengelolaan parkir;
Penyondiran tanah;
Penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
Pembibitan dan/atau penanaman bibit;
Pemeliharaan tanaman;
Permanenan;
Pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan,
peternakan dan/atau perhutanan;
Dekorasi;
Pencetakan/penerbitan;Penerjemahan;
Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur
dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan;
Pelayanan pelabuhan;
Pengangkutan melalui jalur pipa;
Pengelolaan penitipan anak;
Pelatihan dan/atau kursus;
32
Pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
Sertifikasi;
Survey;
Tester;
Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya
dibebankan pada APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah).
6.
Bagi
Wajib
Pajak
yang
tidak
ber-NPWP
akan
dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23.
7.
Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek
pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
usaha
tetap, tidak termasuk:
Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia
tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan
pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna
jasa;
Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau
material (dibuktikan dengan faktur pembelian);
Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara)
untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak
33
ketiga
(dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga disertai
dengan perjanjian tertulis);
Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu
penggantian pembayaran sebesar jumlah yang nyatanyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak
ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti
pembayaran yang telah dibayarkan kepada pihak
ketiga).
Jumlah bruto tersebut tidak berlaku atas:
Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa
katering;
Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan
jasa, telah dikenakan pajak yang bersifat final.
Tidak semua pihak dapat dikenakan atau pun memotong PPh
Pasal 23. Pihak-pihak tersebut hanya mereka yang masuk pada
kelompok berikut ini:
1.
Pihak pemotong PPh Pasal 23:
Badan pemerintah;
Subjek pajak badan dalam negeri;
Penyelenggara kegiatan;
Bentuk Usaha Tetap (BUT);
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
Wajib pajak orang pribadi dalam negeri tertentu yang
ditunjuk Direktur Jenderal Pajak.
2.
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
Wajib pajak dalam negeri;
Bentuk Usaha Tetap (BUT)
34
Setelah menghitung PPh Pasal 23 dan membayar
pajak, biasanya Anda akan mendapatkan Nomor
Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Masukan NTPN
tersebut ke aplikasi OnlinePajak, maka Anda akan
mendapatkan bukti potong secara otomatis. Setelah
itu, Anda pun bisa langsung melaporkan SPT PPh Pasal
23 langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan
menggunakan fitur e-Filing dari aplikasi OnlinePajak.
Pengecualian PPh Pasal 23
Pemotongan PPh 23 dikecualikan atas:
Penghasilan yang dibayar atau berulang kepada bank;
Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan
sewa guna usaha dengan hak opsi;
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh
perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri,
koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat:
Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
Bagi
perseroan
terbatas,
BUMN/BUMB,
kepemilikan
saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal
yang disetor;
Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma
35
dan
kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak
investasi kolektif.
SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya;
Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan
usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai
penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan.
Contoh Penghitungan Pemotongan/Pemungutan PPh Pasal
23 dan PPN oleh Bendahara Pemerintah
Bendahara melakukan pembayaran atas jasa katering Puspa
(NPWP 01.123.556.5-063.000) sebesar Rp3.500.000,-.
Besarnya pemotongan/pemungutan pajak atas pembayaran jasa
katering tersebut adalah sebagai berikut:
Pemotongan PPh nya:
Pembayaran atas jasa katering dipotong PPh Pasal 23 PPh Pasal
23
= 2% X 3.500.000
= 70.000
Pemungutan PPN nya:
Jasa katering termasuk jenis jasa yang tidak dikenai PPN
sehingga atas pembelian tersebut tidak dipungut PPN.
Kewajiban bendahara atas PPh Pasal 23 yang telah dipotong
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Membuat Bukti Potong PPh Pasal
2. Membuat Daftar Bukti Potong PPh Pasal 23
3. Menyetor ke Bank/Kantor Pos dengan SSP
4. Melaporkan dalam SPT Masa PPh 23
36
Contoh Perhitungan
PT
Cipta
Mandiri
percetakan.
beralamat
merupakan
Perusahaan
di
Jl.
ini
Kresek
perusahaan
penerbitan
didirikanpada
Indah
No.
33,
dan
tahun
2005,
Jakarta
Timur.
NPWP:01.444.666.1.541.000. Pada bulan Januari 2009,
Pembayaran
honorarium
dan
imbalan
lainsehubungan
dengan PPh pasal 23 adalah sebagai berikut:
1. Menyewa truk dari PT Transport Tycoon yang beralamat di Jl.
Raya
No.
20,
NPWP:01.222.565.0.888.000;
untuk
mengangkut mesin cetak ke Semarang. Nilai kontrak Rp
5.000.000
2. Menyewa safe deposit box PT Bank Mandiri untuk beberapa
surat berharga dengan hargasewa Rp 4.000.000 untuk jangka
waktu 2 tahun.
3. Membayar biaya penyimpanan surat saham di PT KSEI
sebesar Rp 5.000.000
4. Membayar royalti kepada beberapa penulis, antara lain
Nama
Alamat NPWP
Jumlah
Royalti
Abu bakar Elsira
Ratna Manikam
M. Lestari
Motinggo D
Wiro Sableng
Jl. Raya No.1
04.111.333.1.541.000
Jl. Raya No.3
04.111.112.1.552.000
Jl. Raya No.4
Jl. Raya No.5
Jl. Raya No.6
04.212.212.0.212.000
20.000.000
5.000.000
10.000.000
6.000.000
30.000.000
5. Membayar jasa perbaikan mesin produksi yang telah rusak
sebesar 15.000.000 kepada PT Maju Jaya yang beralamat di
Jl. Raya No. 7. NPWP: 01.444.777.2.555.000 .
37
6. Membayar fee sebesar Rp 22.000.000 kepada KAP Wijaya &
Co.,
yang
beralamat
di
Jl.Kepodang
No.9.
NPWP:
04.322.233.2.541.0007.
7. Membayar sewa mesin produksi selama 1 bulan, karena mesin
yang dimiliki rusak dan sedang diperbaiki, kepada PT Mandala
Offset
yang
beralamat
di
Jl.
Raya
No.
8.
NPWP:
01.111.111.1.541.000 sebesar Rp 6.000.000
8. Membayar jasa konsultan manajemen kepada Mr. Chou En Lai
dari Hongkong yang berada di Indonesia selama 5 bulan
sebesar Rp 208.000.000. Tidak ada Tax Treaty/P3Bantara
Indonesia dengan Hongkong
9. Membayar tagihan jasa reparasi dan pemeliharaan mesin
diesel kepada CV Teknik sebesar Rp 1.100.000 (termasuk
PPN). CV Teknik bertempat kedudukan di Jl. Raya No.10 dan
tidak memiliki NPWP10.
10. Membayar Jasa perancang
logo
yang
dilakukan
oleh
PT Kreasi; yang bertempat kedudukan di Jl. Raya No. 11.
NPWP: 01.222.333.1.441.000. Di dalam perjanjian kerja
sebelumnya telah disepakati besarnya tagihan total yang
harus dibayar oleh PT Disain Indah adalah sebesar Rp
75.000.000. Rp 50.000.000 untuk material bahan stiker
logo,ditambah Rp 25.000.000 sebagai jasa perancangannya.
Jawaban :
1. PPh 23 = 2% x jumlah bruto = 2% x Rp 5.000.000 = Rp
100.000
2. Sesuai dengan
Undang-undang
No.
36
tahun
2008
tentang Pajak Penghasilan, penghasilan yang dibayar atau
38
terutang kepada bank dikecualikan dari pemotongan PPh
pasal 23.
3. Sesuai dengan Undang-undang No. 36 tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan, biaya penyimpanan surat saham di PT
KSEI dikecualikan dari pemotongan PPh pasal 23
4. Royalti dikenakan PPh 23 dengan tarif sebesar 15% dari
jumlah bruto:
a. Abubakar Elsira-PPh 23
= 15% x Rp 20.000.000
= Rp 3.000.000
b. Ratna Manikam-PPh 23
= 15% x Rp 5.000.000
= Rp
c. M. Lestari-PPh 23
750.000
= 15% x Rp 10.000.000
= Rp 1.500.000
d. Motinggo Daina-PPh 23
= 15% x Rp 6.000.000
= Rp
e. Wiro Sableng-PPh 23
900.000
= 15% x Rp 30.000.000
= Rp 4.500.000
5. PPh 23 = 2% x Rp 15.000.000
= Rp 300.000
6. PPh 23 = 2% x Rp 22.000.000
= Rp 440.000
7. PPh 23 = 2% x Rp 6.000.000
= Rp 120.000
8. Pemberian jasa konsultan manajemen yang dilakukan oleh
Subjek Pajak luar Negeri yang tidak mempunyai perjanjian
perpajakan (Tax Treaty) dengan Indonesia dan melebihi
jangka waktu 60 hari akan dianggap sebagai bentuk usaha
tetap (BUT). Sesuai denganPasal 2 ayat (5) huruj m;
"pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh
orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam
39
jangka waktu 12 bulan.
PPh 23 = 2% x Rp 208.000.000
= Rp 4.160.000
9. PPh 23 = Rp 1.100.000 x 100/110 x 4% = Rp 40.000
10. PPh 23 = 2% x Rp 25.000.000 = Rp 500.000
40
BAB VI
PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
Pajak Penghasilan Pasal 24 pada dasarnya adalah sebuah
peraturan yang mengatur hak wajib pajak untuk memanfaatkan
kredit pajak mereka di luar negeri, untuk mengurangi nilai pajak
terhutang yang dimiliki di Indonesia. Sehingga, jumlah pajak yang
harus dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah pajak yang
telah mereka bayar di luar negeri, asalkan nilai kredit pajak di luar
negeri tidak melebihi hutang pajak yang ingin dibayar di Indonesia.
Sumber penghasilan kena pajak yang dapat digunakan untuk
memotong hutang pajak Indonesia adalah sebagai berikut:
1.
pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta
keuntungan dari pengalihan saham dan surat berharga
lainnya;
2.
penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan
dengan penggunaan harta-benda bergerak;
3.
penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan
harta-benda tidak bergerak;
4.
penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa,
pekerjaan, dan kegiatan;
5.
pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri;
6.
penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan atau tanda keikutsertaan dalam pembiayaan
atau pemanfaatan di sebuah perusahaan pertambangan;
7.
keuntungan dari pengalihan aset tetap;
41
8.
Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari
suatu bentuk usaha tetap (BUT).
Jika nilai pajak di luar negeri yang telah digunakan sebagai kredit
pajak di Indonesia, telah berkurang atau dikembalikan, sehingga
nilai kredit berkurang untuk menutup pajak terhutang di
Indonesia maka harus membayar jumlah terhutang tersebut ke
kantor pelayanan pajak Indonesia.
Contoh Perhitungan Kredit pajak LN (PPh Pasal 24)
KASUS 1
PT Perdana di Semarang memperoleh penghasilan neto dalam
tahun 2006 sebagai berikut:
Penghasilan Dalam Negeri
Rp400.000.000
Penghasilan dari LN (tarif pajak 20%)
Rp200.000.000
Penghitungan PPh pasal 24 adalah sebagai berikut:
menghitung total penghasilan kena pajak
penghasilan dari dalam negeri
Rp400.000.000
penghasilan dari luar negeri
Rp200.000.000
Penghasilan neto
Rp600.000.000
menghitung total PPh terhutang
10% x Rp 50.000.000
= Rp
5.000.000
15% x Rp 50.000.000
= Rp
7.500.000
30% x Rp500.000.000
= Rp 150.000.000
Pajak terhutang
= Rp 162.500.000
menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan
= (penghasilan LN : total penghasilan) x total PPh terutang
= (Rp200.000.000 : Rp600.000.000) x Rp162.500.000
= Rp54.166.666,61
42
menghitung PPh yang terutang atau dipotong di LN:
= 20% x Rp 200.000.000 = Rp 40.000.000
Dari perhitungan tersebut di atas kredit pajak LN yang
diperbolehkan adalah sebesar Rp40.000.000 atau sebesar PPh
yang terutang atau dibayar di LN. Jumlah ini diperoleh dengan
membandingkan penghitungan PPh maksimum yang boleh
dikreditkan dengan PPh yang terutang atau dibayar di LN,
kemudian dipilih jumlah yang terendah.
KASUS 2 Penghitungan PPh pasal 24 jika terjadi kerugian
usaha di dalam negeri
PT Adinda berkedudukan di Indonesia memperoleh penghasilan
neto dalam tahun 2006 sebagai berikut:
–
Di negara A memperoleh penghasilan berupa laba usaha
sebesar Rp 600.000.000 (tarif pajak yang berlaku adalah
30%)
–
Di dalam negeri menderita kerugian sebesar Rp 200.000.000
Penghitungan PPh pasal 24 adalah sebagai berikut:
menghitung total penghasilan kena pajak
penghasilan kena pajak dari negara A
Rp600.000.000
kerugian usaha dalam negeri
( 200.000.000)
jumlah penghasilan neto
Rp400.000.000
menghitung total PPh terutang:
10% x Rp 50.000.000
= Rp
5.000.000
15% x Rp 50.000.000
= Rp
7.500.000
30% x Rp 300.000.000
= Rp 90.000.000
Jumlah pajak terutang
= Rp102.500.000
43
menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan
= (Rp600.000.000 : Rp400.000.000) x Rp102.500.000
= Rp153.750.000
menghitung PPh yang dipotong/dibayar di LN
= 30% x Rp600.000.000 = Rp180.000.000
Kredit
pajak yang
diperbolehkan (PPh pasal 24) adalah
Rp102.500.000. jumlah ini diperoleh dengan membandingkan
perhitungan PPh maksimum yang dapat dikreditkan dengan PPh
yang sesungguhnya dibayarkan/terutang di LN dan total pajak
yang terutang.
KASUS 3 Perhitungan PPh pasal 24 jika terjadi
kerugian usaha di LN
PT Kartika pada tahun 2006 memperoleh penghasilan neto
sebagai berikut:
-
di negara X memperoleh penghasilan berupa laba usaha
sebesar Rp 300.000.000 (tarif pajak yang berlaku 40%)
-
di negara Y menderita kerugian sebesar Rp 500.000.000 (tarif
pajak yang berlaku) 25%.
-
Di dalam negeri memperoleh laba usaha sebesar Rp
500.000.000
Perhitungan kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan :
menghitung penghasilan total kena pajak
penghasilan negara X (laba usaha)
Rp
300.000.000
penghasilan dalam negeri (laba usaha)
Rp
500.000.000
jumlah penghasilan neto
Rp
800.000.000
44
menghitung total PPh terutang
10% x Rp50.000.000
=
Rp
5.000.000
15% x Rp50.000.000
=
Rp
7.500.000
30% x Rp700.000.000
=
Rp 210.000.000
Jumlah total PPh yang terutang
=
Rp 222.500.000
menghitung PPh maksimal yang bisa dikreditkan
= (Rp300.000.000 : Rp800.000.000) x Rp222.500.000
= Rp 83.437.500
menghitung PPh yang dibayar atau terutang di LN
= 40% x Rp300.000.000 = Rp 120.000.000
Dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa PPh pasal 24
yang dapat dikreditkan adalah Rp 83.437.500.
KASUS 4 Perhitungan PPh pasal 24 jika penghasilan LN
berasal dari beberapa negara
PT Kartika berkedudukan di Jakarta pada tahun pajak 2006
memperoleh penghasilan bersih sebagai berikut:
-
di negara A memperoleh penghasilan berupa laba usaha
sebesar Rp200.000.000 (tarif pajak yang berlaku 25%)
-
di negara B memperoleh penghasilan berupa laba usaha
sebesar Rp300.000.000 (tarif pajak yang berlaku 30%)
-
di negara C memperoleh penghasilan berupa laba usaha
sebesar Rp400.000.000 (tarif pajak yang berlaku 40%)
-
di
dalam
negeri
memperoleh
Rp100.000.000
45
laba
usaha
sebesar
menghitung total penghasilan kena pajak:
penghasilan dari negara A
Rp 200.000.000
penghasilan dari negara B
Rp 300.000.000
penghasilan dari negara C
Rp 400.000.000
penghasilan dari dalam negeri
Rp 100.000.000
total penghasilan kena pajak
Rp1.000.000.000
menghitung total PPh terutang
10% x Rp50.000.000
=
Rp
5.000.000
15% x Rp50.000.000
=
Rp
7.500.000
30% x Rp900.000.000
=
Rp 270.000.000
Total pajak terutang
=
Rp282.500.000
menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan dari
negara A
= Rp 200.000.000 x Rp282.500.000
Rp1.000.000.000
= Rp56.500.000
negara B
= Rp 300.000.000
Rp 1.000.000.000
x Rp282.500.000
= Rp84.750.000*
negara C
= Rp 400.000.000 x Rp282.500.000
Rp 1.000.000.000
= Rp113.000.000*
menghitung PPh yang dibayar atau terutang di LN
PPh terutang di negara A
= 20% x Rp200.000.000
= Rp 40.000.000*
PPh terutang di negara B
= 30% x Rp300.000.000
= Rp 90.000.000
PPh terutang di negara C
= 40% x Rp400.000.000
= Rp160.000.000
46
Perhitungan kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan :
Dari negara A
Rp 40.000.000
Dari negara B
Rp 84.750.000
Dari negara C
Rp113.000.000
Total kredit pajak LN
Rp237.750.000
KASUS 5 Pengurangan/pengembalian pajak penghasilan luar
negeri
Dalam hal terjadi pengurangan atau pengembalian pajak
atas penghasilan yang dibayar di LN, sehingga besarnya pajak
yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil daripada
kredit pajak LN semula, maka selisihnya ditambahkan pada pajak
penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wp dalam
negeri pada tahun terjadinya pengurangan atau pengembalian
tersebut.
Perubahan besarnya penghasilan luar negeri
Apabila terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari
luar negeri, wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT untuk
tahun pajak yang bersangkutan dengan melampirkan dikumen
yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
1.
jika karena perubahan tersebut, menyebabkan adanya
tambahan penghasilan yang mengakibatkan pajak yang
terutang atas penghasilan luar negeri menjadi lebih besar
daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga
pajak yang terutang di LN menjadi kurang bayar, maka
terdapat kemungkinan pajak penghasilan di Indonesia juga
kurang bayar. Sesuai dengan pasal 8 UU No. 16 tahun
47
2000 tentang ketentuan Umum dan tatacara perpajakan,
apabila WP membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan
pajak yang terutang menjadi lebih besar, maka kepadanya
dikenakan bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak
yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT
terakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena
pembetulan SPT tersebut.
2.
Apabila karena pembetulan SPT tersebut, menyebabkan
penghasilan dan pajak atas penghasilan yang terutang di
luar negeri menjadi lebih kecil daripada yang dilaporkan
dalam SPT tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih di
bayar, yang akan mengakibatkan pajak penghasilan yang
terutang di Indonesia menjadi lebih kecil, sehingga pajak
penghasilan menjadi lebih dibayar. Atas kelebihan bayar
pajak tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak
setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.
Contoh:
Berikut ini data yang berhubungan dengan penghitungan PPh
pasal 24 pada tahun 2014
penghasilan di luar negeri (sesuai SPT) Rp 800.000.000
penghasilan dari dalam negeri Rp1.000.000.000
penghasilan di luar negeri (setelah koreksi di luar negeri)
Rp1.000.000.000
tarif pajak di luar negeri 40%
PPh pasal 25 Rp200.000.000
48
SPT disampaikan pada 30 Maret 2015 dan pembetulan dilakukan
pada bulan mei 2015. PPh sebelum dan sesudah koreksi fiskal di
luar negeri adalah sebagai berikut:
Laporan SPT
Penghasilan Luar Negeri
Rp 800.000.000
Penghasilan DN
Rp1.000.000.000
Penghasilan Kena Pajak
Rp1.800.000.000
PPh terutang:
10% x 50.000.000
= Rp
5.000.000
15% x 50.000.000
= Rp
7.500.000
30% x 1.700.000.000
= Rp 510.000.000
PPh terutang
Rp 522.500.000
Kredit pajak LN= (0,8M : 1,8 M) x Rp522.500.000
=(Rp232.222.222)
Harus di bayar di Indonesia
Rp 290.277.778
PPh Psl 25
200.000.000
PPh Psl 29
90.277.778
Pembetulan SPT
Penghasilan LN
Rp1.000.000.000
Penghasilan DN
Rp1.000.000.000
Penghasilan Kena Pajak
Rp2.000.000.000
PPh terutang:
10% x 50.000.000
= Rp
5.000.000
15% x 50.000.000
= Rp
7.500.000
30% x 1.900.000.000
PPh terutang
= Rp 570.000.000
Rp 582.500.000
49
Kredit pajak LN = (1M : 2M) x Rp 582.500.000
=(Rp 291.250.000)
Rp 291.250.000
PPh di bayar di Indonesia
PPh psl 25
200.000.000
PPh psl 29
91.250.000
Masih harus dibayar:
– kekurangan psl 29
= Rp 972.222
– bunga 2×2%x972.222
= Rp 38.888,88
Rp.011.110,88
Latihan 1
PT ABC pada tahun 2013 memperoleh penghasilan neto sebagai
berikut:
Penghasilan beruba laba usaha di dalam negeri Rp300.000.000.
Penghasilan berupa laba usaha dari negara A Rp200.000.000.
Penghasilan berupa laba usaha dari negara B Rp400.000.000 dan
rugi usaha dari negara C Rp250.000.000. Jika tarif pajak yang
berlaku di negara A, B dan C masing-masing 20%, 30% dan
40%. Hitung PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan di Indonesia!
menghitung total penghasilan kena pajak:
penghasian dari DN
Rp300.000.000
penghasilan dari neg A
Rp200.000.000
penghasilan dari negara B
Rp400.000.000
total penghasilan kena pajak
Rp900.000.000
50
menghitung total pajak terutang
10% x Rp50.000.000
Rp
5.000.000
15% x Rp50.000.000
Rp
7.500.000
30% x Rp800.000.000
Rp 240.000.000
Total pajak terutang
Rp 252.500.000
menghitung maksimal kredit pajak yang diperbolehkan:
di neg A
= (200.000.000 : 900.000.000) x Rp252.500.000
= Rp 56.111.106
di neg B
= (400.000.000 : 900.000.000) x Rp252.500.000
= Rp112.222.212
pajak yang dibayarkan atau terutang di LN:
di Neg A
= 20% x Rp200.000.000
= Rp 40.000.000
di Neg B
= 30% x Rp400.000.000
= Rp120.000.000
dari perhitungan di atas maka kredit pajak (PPh pasal 24):
dari Neg A
Rp 40.000.000
dari Neg B
Rp 112.222.212
total
Rp 152.222.212
Latihan 2
PT Kartika pada tahun 2013 memperoleh penghasilan neto :
dari laba usaha di dalam negeri Rp500.000.000
dari negara A berupa laba usaha Rp250.000.000
dari negara B rugi Rp400.000.000
dari negara C berupa laba usaha Rp300.000.000
Hitung PPh pasal 24 jika tarif pajak di negara A, B dan C masingmasing 20%, 25% dan 35%
51
menghitung total penghasilan kena pajak
penghasilan dari dalam negeri
Rp 500.000.000
penghasilan dari negara A
Rp 250.000.000
penghasilan dari negara C
Rp 300.000.000 (+)
total penghasilan kena pajak
Rp1.050.000.000
menghitung total pajak terutang
10% x Rp50.000.000
= Rp
5.000.000
15% x Rp50.000.000
= Rp
7.500.000
30% x Rp950.000.000
= Rp 285.000.000 (+)
Total pajak terutang
Rp 297.500.000
menghitung maksimal pajak yang dapat dikreditkan dari :
negara A = Rp 250.000.000 x Rp297.500.000
Rp 1.050.000.000
= Rp70.833.332
negara C = Rp 300.000.000 x Rp297.500.000
Rp 1.050.000.000
= Rp85.000.000
menghitung pajak yang dipotong atau dibayar di luar negeri
dari negara A
= 20% x Rp250.000.000
= Rp50.000.000
dari negara C
= 35% x Rp300.000.000
= Rp105.000.000
dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa PPh pasal 24
yang dapat dikreditkan di Indonesia adalah:
– dari negara A
Rp 50.000.000
– dari negara C
Rp 85.000.000 (+)
Total kredit pajak pasal 24
Rp135.000.000
52
BAB VII
PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) adalah pembayaran Pajak
Penghasilan secara angsuran. Tujuannya adalah untuk meringankan
beban Wajib Pajak, mengingat pajak yang terutang harus dilunasi
dalam waktu satu tahun. Pembayaran ini harus dilakukan sendiri dan
tidak bisa diwakilkan.
Perhitungan PPh Pasal 25
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan (tahun
pajak berikutnya setelah tahun yang dilaporkan di SPT tahunan
PPh) dihitung sebesar PPh yang terutang pajak tahun lalu, yang
dikurangi dengan:
Pajak penghasilan yang dipotong sesuai pasal 21 (yaitu
sesuai tarif pasal 17 ayat (1) bagi pemilik NPWP dan
tambahan 20% bagi yang tidak memiliki NPWP) dan pasal
23 (15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah serta 2% berdasarkan sewa dan penghasilan lain serta
imbalan jasa) - serta pajak penghasilan yang dipungut
sesuai pasal 22 (pungutan 100% bagi yang tidak memiliki
NPWP);
Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri yang boleh dikreditkan sesuai pasal 24; lalu dibagi
12 atau total bulan dalam pajak masa setahun.
53
Tarif PPh Pasal 25
Terdapat dua (2) jenis pembayaran angsuran Pajak Penghasilan
Pasal 25 (PPh Pasal 25) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP),
yaitu:
1. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP –
OPPT), yaitu yang melakukan usaha penjualan barang,
baik grosir maupun eceran, serta jasa – dengan satu atau
lebih tempat usaha. PPh 25 bagi OPPT = 0.75% x omzet
bulanan tiap masing-masing tempat usaha.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP
– OPSPT), yaitu pekerja bebas atau karyawan, yang tidak
memiliki usaha sendiri. PPh 25 bagi OPSPT = Penghasilan
Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh
(12 bulan).
Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah:
Sampai Rp 50.000.000
= 5%
Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000
= 15%
Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000
= 25%
Di atas Rp 500.000.000
= 30%
Pembayaran angsuran PPh 25 untuk Wajib Pajak Badan
yaitu = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x 25% (Tarif Pasal
17 ayat (1) huruf b UU PPh).
Batas Waktu Pembayaran PPh Pasal 25
Misalnya: untuk bulan Februari 2014, angsuran PPh 25 harus
dibayar paling lambat 15 Maret 2014. Jika batas waktu
penyetoran jatuh pada hari libur (termasuk Sabtu, Minggu, hari
libur nasional, dan Pemilihan Umum), maka pembayaran
54
masih
dapat dilakukan pada hari berikutnya – sesuai Pasal 3 Peraturan
Menteri Keuangan No.184/PMK.03/2007, yang kemudian diubah
lagi sesuai Peraturan Menteri Keuangan No.80/PMK.03/2010.
Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008
pada 21 Mei 2008, pembayaran harus dilakukan dengan
membawa Surat Setoran Pajak (SSP) atau dokumen sejenisnya.
Sanksi Keterlambatan Pembayaran PPh Pasal 25
Apabila Wajib Pajak (WP) terlambat membayar, maka WP akan
dikenai bunga sebesar 2% per bulan, dihitung dari tanggal jatuh
tempo hingga tanggal pembayaran. Misalnya: untuk bulan
Februari 2014, WP terlambat dan baru membayarnya pada 16
Maret. Sesuai Pasal 9 ayat (2a) UU KUP, WP dikenai bunga 2%.
Contoh penghitungan angsuran PPh pasal 25 wajib pajak
orang pribadi.
Si A adalah Pengusaha Warung Makan di Jogjakarta yang
memiliki penjualan pada tahun 2016 sebesar Rp180.000.000. Si A
statusnya kawin dan mempunyai 2 (dua) orang anak. Si A
menyelenggarakan
pencatatan
untuk
menghitung
pajaknya.
Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 yang harus dibayar sebagai
angsuran dalam tahun berjalan dihitung sebagai berikut:
Jumlah peredaran setahun Rp 380.000.000
Presentase penghasilan norma (lihat daftar presentase norma) =
20%
Penghasilan neto setahun
= 20% x Rp 380.000.000
= Rp 76.000.000
55
Penghasilan Kena Pajak
= penghasilan neto - PTKP
= Rp76.000.000– Rp 67.500.000
= Rp 8.500.000
Pajak Penghasilan yang terutang
= 5% x Rp 8.500.000 = Rp 425.000
PPh Pasal 25 (angsuran) yang harus dibayar si A setiap bulan =
Rp 425.000 : 12 = Rp 35.400,-
Contoh penghitungan angsuran PPh pasal 25 wajib pajak
badan.
Koperasi Unit Desa A bergerak dibidang simpan pinjam. Pada
tahun 2016 memiliki penerimaan bruto dalam setahun sebesar Rp
500.000.000 dan seluruh biaya-biaya yang berkaitan dengan
usaha (sesuai ketentuan perpajakan) sebesar Rp 4.250.000.000.
Penghasilan netonya setahun
= Rp 500.000.000 – Rp 425.000.000 = Rp 75.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang
= Rp75.000.000 x 25% x 50% = Rp 9.375.000
Tarif 50% di atas dikarenakan Koperasi Unit Desa A mendapat
fasilitas.
PPh Pasal 25 (angsuran) yang harus dibayar KUD A setiap bulan
= Rp 9.375.000 : 12 = Rp 781.250
Pasal 25 ayat 1 Undang-Undang PPh menjelaskan ketentuan
besarnya angsuran PPh yaitu: “Besarnya angsuran pajak dalam
tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
56
untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang
menurut
Surat
Pemberitahuan
Tahunan
Pajak
Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang
dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24,dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam
bagian tahun pajak."
Contoh berdasarkan penjelasan pasal 25 ayat 1 :
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
tahun 2009 diketahui:
Jumlah
Pajak
Penghasilan
yang
terutang
sebesar
Rp
50.000.000,Data kredit pajak tahun 2009 adalah:
1. PPh yang dipotong pemberi Kerja ( PPh Pasal 21) Rp
15.000.000,2. PPh yang dipungut oleh pihak lain (PPh Pasal 22) Rp
10.000.000,3. PPh
yang dipotong oleh pihak lain (PPh Pasal 23) Rp
2.500.000,4. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri (PPh Pasal 24) Rp
7.500.000,-
57
Penghitungan angsuran Pajak Penghasilan pasal 25 tahun 2010 :
Pajak Penghasilan terutang
Rp 50.000.000,-
Kredit Pajak:
1. PPh pasal 21
Rp 15.000.000,-
2. PPh pasal 22
Rp 10.000.000,-
3. PPh pasal 23
Rp 2.500.000,-
4. PPh Pasal 24
Rp 7.500.000,-
Jumlah Kredit Pajak
Rp 35.000.000,-
Pajak Penghasilan yang harus dibayar
Rp 15.000.000,
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri
setiap bulan untuk tahun 2010 adalah
= Rp. 15.000.000,- / 12 = Rp. 1.250.000,Jika Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh di
atas berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh
untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6 (enam) bulan
dalam tahun 2009, besarnya angsuran bulanan yang harus
dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2010 adalah sebesar
= Rp 15.000.000,-/ 6 bulan = Rp 2.500.000,Selanjutnya
masih
terdapat
beberapa
hal
yang
dapat
mempengaruhi besarnya jumlah angsuran PPh pasal 25 yaitu:
Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan
pajak untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran
pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak
tersebut, dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan
penerbitan surat ketetapan pajak (Pasal 25 ayat 4 UndangUndang PPh).
58
Direktur
Jenderal
Pajak
berwenang
untuk
menetapkan
penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak
berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:
1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
3. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang
ditentukan;
4. Wajib
Pajak
penyampaian
diberikan
Surat
perpanjangan
Pemberitahuan
jangka
waktu
Tahunan
Pajak
Penghasilan;
5. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran
bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum
pembetulan; dan
6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib
Pajak (Pasal 25 ayat 6 Undang-Undang PPh).
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 selain yang telah diatur dan
diberi contoh oleh Undang-Undang PPh pada pasal 25 ayat (1),
pasal 25 ayat (4), dan pasal 25 ayat (6) juga memberi
kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan
penghitungan besarnya angsuran pajak bagi: a. Wajib Pajak baru;
b. Wajib Pajak bank , badan usaha milik Negara, badan usaha
milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya
yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
harus membuat laporan keuangan berkala; dan c. Wajib Pajak
orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi
59
0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran usaha
(pasal 25 ayat7).
Berdasarkan
wewenang
tersebut
Menteri
Keuangan
mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 255/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
208/
PMK.03/
2009
(selanjutnya disebut PMK 208/PMK.03/2009) yang menetapkan
penghitungan besarnya angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun
pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh :
a. Wajib Pajak baru
b. Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha
MilikNegara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk
Bursa
Dan
Wajib
Pajak
Lainnya
Yang
Berdasarkan
Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala,
c.
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.
Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam
tahun berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun ketentuan ini memberi
kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan dasar
penghitungan besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan
prinsip tersebut di atas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih
mendekati kewajaran perhitungan besarnya angsuran pajak
karena
didasarkan
kepada
data
terkini
kegiatan
usaha
perusahaan.
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bagi Wajib Pajak Baru
a. Ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Peraturan
Menteri Keuangan
60
Ketentuan Wajib Pajak baru diatur pada penjelasan pasal 25
ayat (7) huruf a Undang-Undang PPh , yaitu Wajib Pajak
yang mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
dalam tahun pajak berjalan. Ketentuan Wajib Pajak baru
juga diatur pada pasal 1 angka 1 PMK 208/PMK.03/2009.
Wajib
Pajak
baru
menurut
Peraturan
Menteri
Keuangan ini adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan
yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha
atau
pekerjaan
bebas
dalam
tahun
pajak
berjalan.
Penghitungan besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib
Pajak baru ini diatur pada pasal 2 PMK 208/PMK.03/2009
yaitu:
(1) Besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak
baru adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung
berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan
neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua
belas).
(2) Penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah :
a. dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) menyelenggarakan pembukuan dan
dari
pembukuannya
dapat
dihitung
besarnya
penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto
fiskal dihitung berdasarkan pembukuannya;
b. dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam
ayat
pencatatan
(1)
hanya
dengan
Penghitungan
menggunakan
Penghasilan
61
menyelenggarakan
Neto
Norma
atau
menyelenggarakan
pembukuan
tetapi
dari
pembukuannya tidak dapat dihitung besarnya
penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto
fiskal dihitung berdasarkan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto atas peredaran atau penerimaan
bruto.
c.
Untuk Wajib Pajak orang pribadi baru, jumlah
penghasilan
neto
fiskal
yang
disetahunkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi
terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena
Pajak.
d. Dalam
hal
Wajib
Pajak
baru
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa Wajib Pajak badan
yang mempunyai kewajiban membuat laporan
berkala, besarnya angsuran Pajak Penghasilan
Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
proyeksi laba-rugi fiskal pada laporan berkala
pertama yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
b. Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 dan
Peraturan Menteri Keuangan
Sehubungan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 46 tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib
Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (selanjutnya
disebut PP 46 tahun 2013) dan ditindakdilanjuti dengan
dikeluarkannya
Peraturan
107/PMK.011/2013
tentang
62
Menteri
Tata
Keuangan
Nomor
Cara Penghitungan,
Penyetoran,
Dan
Pelaporan
Pajak
Penghasilan
Atas
Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib
Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (selanjutnya
disebut PMK 107/PMK.011/2013) dijelaskan batasan Wajib
Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final. Batasan
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final
diatur pada Pasal 2 PMK No.107/PMK.011/2013, yaitu:
(1)
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final.
(2)
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib
Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak
badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
b. menerima
penghasilan
dari
usaha,
tidak
termasuk penghasilan dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran
bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.
(3)
Jasa
sehubungan
dengan
pekerjaan
bebas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
meliputi:
a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas,
yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
63
b. pemain
musik,
pembawa
acara,
penyanyi,
pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang
iklan,
sutradara,
kru
film,
peragawan/peragawati,
foto
model,
pemain
drama,
dan
pelatih,
penceramah,
penari;
c.
olahragawan;
d. penasihat,
pengajar,
penyuluh, dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;.
f.
agen iklan;
g. pengawas atau pengelola proyek;
h. perantara;
i.
petugas penjaja barang dagangan;
j.
agen asuransi; dan
k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang
(multilevel marketing) atau penjualan langsung
(direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
(4)
Tidak
termasuk
Wajib
Pajak
orang
pribadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib
Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang
dapat dibongkar pasang, baik yang menetap
maupun tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat
untuk
kepentingan
diperuntukkan
berjualan.
64
bagi
umum
tempat
yang
usaha
tidak
atau
(5)
Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi
secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1
(satu)
tahun
komersial
setelah
beroperasi
secara
memperoleh
peredaran
bruto
melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah).
Pengertian peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dinyatakan
pada pasal 3 PMK No. 107/PMK.11/2013, yaitu:
(1) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada peredaran
bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun
Pajak
terakhir
sebelum
Tahun
Pajak
yang
bersangkutan.
(2) Peredaran
bruto
yang
tidak
melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf b ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari
usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak
termasuk peredaran bruto dari:
a. jasa
sehubungan
dengan
pekerjaan
bebas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
luar negeri;
65
c.
usaha yang atas penghasilannya telah dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan tersendiri; dan
d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek
pajak.
(3) Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun
Pajak
terakhir
sebelum
Tahun
Pajak
yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto
Tahun
Pajak
terakhir
sebelum
Tahun
Pajak
bersangkutan yang disetahunkan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada tahun pajak
2013
sebelum
Peraturan
Menteri
ini
berlaku,
pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah
peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar
sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan
Menteri ini yang disetahunkan.
(5) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya
Peraturan Menteri ini, pengenaan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan
pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang
disetahunkan.
66
Contoh:
1) PT Andalan yang bergerak di bidang usaha
industri
pengolahan gula didirikan pada bulan Agustus 2013 dan
pada tahun yang sama mendaftarkan diri sebagai Wajib
Pajak badan di KPP Z.
PT Andalan menggunakan tahun buku Januari-Desember.
Sampai dengan bulan Oktober 2014 PT Andalan masih terus
melakukan kegiatan investasi dalam bentuk pembangunan
pabrik dan instalasi mesin-mesin industri dan belum
melakukan kegiatan operasi secara komersial. Pada tanggal
1 November 2014 PT Andalan mulai melakukan kegiatan
operasi secara komersial berupa produksi gula dalam
kemasan. Jika laporan laba rugi PT Andalan pada bulan
November
2014
menyatakan
peredaran
bruto
Rp
500.000.000,- dan biaya-biaya fiskal Rp 400.000.000,a. Berapa besaran angsuran PPh pasal 25 bulan Agustus
2013 sampai dengan Oktober 2014 ?
b. Berapa
besaran
angsuran
PPh
pasal
25
bulan
November 2014?
Jawaban:
a. Masa Agustus 2013 sampai dengan Oktober 2014, PT
Andalan belum mempunyai kewajiban membayar
angsuran PPh pasal 25 karena belum beroperasi
secara
komersial
sehingga
belum
mempunyai
penghasilan dan Pajak Penghasilan terutang nihil
(Undang –Undang PPh pasal 25).
67
b. Angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014 diatur
sbb:
Sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (2), pasal 2 ayat (5), serta
pasal 7 PMK 107/PMK.011/2013 maka terhadap PT Andalan
dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum UndangUndang PPh sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun
sejak beroperasi secara komersial.
Peraturan yang terkait dengan tarif umum Undang-Undang
PPh yaitu Undang-Undang PPh pasal 17, pasal 25, dan pasal
31 E ; PMK 208/PMK.03/2009 pasal 2 ayat (1) dan pasal 2
ayat (2).
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014
(saat mulai beroperasi secara komersial) berdasarkan
penghasilan neto sebulan kemudian disetahunkan.
Peredaran bruto
Rp 500.000.000,-
Biaya-biaya fiskal
Rp 400.000.000,-
Penghasilan Neto Fiskal sebulan Rp 100.000.000,Penghasilan Neto Fiskal setahun Rp 1.200.000.000,Kompensasi Kerugian
Rp
0,00
Penghasilan Kena Pajak
Rp 1.200.000.000,-
Peredaran Bruto setahun
= 12 x Rp. Rp 500.000.000,- = Rp 6.000.000.000,-.
Karena
jumlah
50.000.000.000,
peredaran
setahun
bruto
maka
masih
terhadap
dibawah
PT
Rp
Andalan
mendapat fasilitas pasal 31 E Undang-Undang PPh dalam
menghitung Pajak Penghasilan terutang.
68
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
yang memperoleh fasilitas adalah:
=
Rp 4.800.000.000,6.000.000.000,-
x
Rp
1.200.000.000,-
Rp
= Rp Rp 960.000.000,Pajak Penghasilan terutang
= 50% x 25% x Rp 960.000.000,- = Rp 120.000.000,-
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
yang tidak memperoleh fasilitas:
= Rp1.200.000.000 – Rp 960.000.000
= Rp 240.000.000
Pajak Penghasilan terutang
= 25% x Rp 240.000.000 = Rp 60.000.000
Jumlah Pajak Penghasilan terutang
= Rp 120.000.000 + Rp 60.000.000 = Rp 180.000.000.
Angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014
= Rp180.000.000 / 12 = Rp15.000.000 dan disetor ke Kas
Negara paling lambat tanggal 15 Desember 2014.
Apabila sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas jumlah
peredaran
bruto
bulan
November
2014
(saat
mulai
beroperasi secara komersial) Rp300.000.000 dan biayabiaya fiskal sebesar Rp200.000.000.
69
Jumlah peredaran bruto setahun
= 12 x Rp 300.000.000,00 = Rp3.600.000.000,00 (masih
dibawah Rp4.800.000.000,00). Penghitungan angsuran PPh
pasal 25 bulan November 2014 tetap berdasarkan tarif
umum Undang-Undang PPh seperti contoh PT Andalan di
atas.
2) Tn. Bejo (subjek pajak dalam negeri) statusnya menikah dan
mempunyai 3 orang anak, tinggal di Jakarta. Pada bulan Juli
2014 memulai usaha bengkel mobil "Lari Cepat". Jumlah
penghasilan
selama
bulan
Juli
2014
sebesar
Rp500.000.000,00. Biaya – biaya yang dikeluarkan pada
bulan Juli 2014 sebesar Rp450.000.000,00. Berapa besaran
angsuran PPh pasal 25 bulan Juli 2014?
Jawaban:
Peraturan yang terkait adalah PMK No. 107/PMK.11/2013
pasal 2 dan pasal 3. Wajib Pajak baru terdaftar bulan Juli
2014 (setelah berlakunya PP 46 tahun 2013 dan PMK
107/PMK.011/2013), maka pengenaan Pajak Penghasilan
didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan
pertama
diperolehnya
penghasilan
dari
usaha
yang
disetahunkan.
Peredaran bruto yang disetahunkan
= 12 x Rp500.000.000 = Rp6.000.000.000.
Karena peredaran bruto yang disetahunkan sudah melebihi
Rp 4.800.000.000 maka penghitungan pajak penghasilan
dihitung menggunakan tarif pasal 17 Undang-Undang PPh.
70
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bulan Juli 2014 :
Peredaran Usaha bulan Juli 2014
Rp 500.000.000
Biaya-biaya fiskal
Rp 450.000.000
Penghasilan Neto Fiskal sebulan
Rp 50.000.000
Penghasilan Neto Fiskal setahun
Rp 600.000.000
PTKP : K/3
Rp 32.400.000
Penghasilan Kena Pajak setahun
Rp 567.600.000
PPh Wajib Pajak Orang Pribadi terutang:
5% x Rp 50.000.000
= Rp
2.500.000
15% x Rp 200.000.000
= Rp 30.000.000
25% x Rp 250.000.000
= Rp 62.500.000
30% x Rp 67.600.000
Rp 567.600.000
= Rp 20.280.000
Rp 115.280.000
Angsuran PPh pasal 25 bulan Juli 2014
= Rp115.280.000,00 / 12 = Rp9.606.666,00
dan paling lambat disetor ke Kas Negara tanggal 15 Agustus
2014.
3) Tn. Kanai (subjek pajak dalam negeri) memulai usaha
restoran "Enak Lezat" pada bulan Agustus 2014. Peredaran
usaha
bulan
Agustus
Rp300.000.000.
Berdasarkan
pembukuan, diketahui jumlah biaya-biaya fiskal sebesar
Rp250.000.000. Berapa besaran angsuran PPh pasal 25
bulan Agustus 2014?
71
Jawaban:
Peredaran bruto yang disetahunkan
= 12 x Rp300.000.000 = Rp3.600.000.000
Karena peredaran bruto yang disetahunkan belum melebihi
Rp4.800.000.000 maka terhadap penghasilan bruto tahun
2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
tarif 1%.
PPh terutang bulan Agustus 2014
= 1% x Rp300.000.000 = Rp3.000.000
dan tidak ada angsuran PPh pasal 25.
72
BAB VIII
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
PPh Pasal 26 menurut hukum Indonesia, Nomor 36 tahun 2008,
Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26) adalah pajak penghasilan
yang dikenakan atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak Luar
Negeri dari Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Yang menentukan seorang individu atau perusahaan sebagai wajib
pajak luar negeri, adalah:
seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
individu yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari
dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan
atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
individu yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari
dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan
atau berada di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh
penghasilan
dari
Indonesia
tidak
melalui
menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Tarif untuk PPh Pasal 26
Tarif 20% (final) atas jumlah bruto dari:
1. Dividen
2. Bunga, termasuk premium, diskonto, insentif yang terkait
dengan jaminan pembayaran pinjaman
73
3. Royalti, sewa, dan pendapatan lain yang terkait dengan
penggunaan asset
4. Insentif yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan
5. Hadiah dan penghargaan
6. Pensiun dan pembayaran berkala
7. Premi swap dan transaksi lindung lainnya
8. Perolehan keuntungan dari penghapusan utang
Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan dari:
1. Pendapatan dari penjualan aset di Indonesia
2. Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung
maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar
negeri.
Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan selama
penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara perusahaan
media atau perusahaan tujuan khusus yang didirikan atau bertempat
di negara yang memberikan perlindungan pajak yang memiliki
hubungan khusus untuk suatu entitas atau bentuk usaha tetap (BUT)
didirikan di Indonesia.
Tarif 20% yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah
dikurangi dengan pajak, suatu bentuk usaha tetap (BUT) di
Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia.
Tingkat berdasarkan tax treaty (perjanjian pajak) yang dikenal
sebagai
JGI Penghindaran Pajak berganda (P3B) antara Indonesia
74
dan negara-negara lain yang berada dalam perjanjian, mungkin
berbeda satu sama lain. Tarif mereka biasanya mengurangi tingkat
dari tarif biasa 20%, dan beberapa mungkin memiliki tarif 0%.
Contoh Penghitungan PPh Pasal 26
1.
Suatu perusahaan penyewaan gedung kantor, PT Cunha,
mengasuransikan
bangunan
bertingkat
ke
perusahaan
asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi
selama tahun 1995 sebesar Rp1 Miliar.
Perkiraan penghasilan
= 50% x Rp1 Miliar
= Rp500.000.000,-
PPh Pasal 26 = 20% x Rp500.000.000,= Rp 100.000.000,- (10% x Rp1 Miliar)
2.
Jika PT Cunha mengasuransikan kepada perusahaan asuransi
di dalam negeri, PT Handoko, dengan membayar jumlah
premi yang sama sebesar Rp1 Miliar, dan kemudian PT
Handoko mereasuransikan sebagian polis asuransi tersebut
kepada perusahaan asuransi luar negeri dengan membayar
premi sebesar Rp500 juta.
Perkiraan penghasilan neto
= 10% x Rp500 juta = Rp50.000.000,PPh Pasal 26 yang wajib dipotong oleh PT Handoko :
= 20% x Rp50 juta
= Rp 10.000.000,- (2% x Rp500.000.000,-)
3.
David Beckham yang adalah Warga Negara Inggris memiliki
25% saham PT Persipura Indonesia. Tahun ini Beckham
menjual seluruh sahamnya senilai Rp5 miliar kepada Kaka,
seorang Warga Negara Argentina. Asumsikan tidak ada P3B
75
antara Indonesia dan Argentina serta Inggris sehubungan
dengan transaksi tersebut maka besarnya:
PPh Pasal 26 = 20% x 25% x Rp5.000.000.000
= Rp 250.000.000 (dan bersifat final).
Menurut ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
258/PMK.03/2008 Tanggal 31 Desember 2008 Tentang Pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau
Pengalihan Saham maka:
Penghasilan atas penjualan saham tersebut dikenakan pajak
sebesar 20% dari perkiraan Penghasilan Neto, sedangkan besarnya
Penghasilan Neto adalah 25% dari Harga Jual.
Jika ada P3B antara negara yang terkait transaksi tersebut
(penjual berstatus sebagai Wajib Pajak Luar Negeri), pemotongan
PPh Pasal 26 hanya dilakukan apabila hak pemajakan berdasarkan
P3B berada pada pihak Indonesia.
Penting bagi Wajib Pajak yang akan memotong PPh Pasal 26
kepada Wajib Pajak Luar Negeri untuk mengetahui apakah Wajib
Pajak Luar Negeri tersebut berasal dari negara yang mempunyai Tax
Treaty atau P3B dengan Indonesia atau tidak. Sebab ketentuan tarif
pajaknya akan berbeda.
76
BAB IX
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Definisi PPN
PPN atau Pajak Pertambahan Nilai merupakan jenis pajak tidak
langsung untuk disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan
merupakan penanggung pajak (konsumen akhir). Prinsip dasarnya
adalah suatu pajak yang harus dikenakan pada setiap proses
produksi dan distribusi, tetapi jumlah pajak yang terutang
dibebankan kepada konsumen akhir yang memakai produk
tersebut.
Objek PPN
Objek PPN atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan pada:
Penyerahan Barang Kena Pajak (BPK) dan Jasa Kena Pajak
(JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
Impor Barang Kena Pajak
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean
Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan
Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Tarif PPN
Tarif PPN menurut ketentuan Undang-Undang Dasar No.42 tahun
2009 pasal 7
77
Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah 10% (sepuluh
persen).
Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 0% (nol persen)
diterapkan atas:
a. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
b. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
c. Ekspor Jasa Kena Pajak
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling
tinggi sebesar 15% (lima belas persen) sebagaimana diatur
oleh Peraturan Pemerintah.
Cara Menghitung PPN
PPN yang terutang = tarif x DPP
PPN yang terutang merupakan Pajak Keluaran (PK) yang
dipungut oleh PKP penjual dan merupakan Pajak Masukan bagi
PKP pembeli.
Contoh :
PKP "A" bulan Januari 1996 menjual tunai kepada PKP "B"
= 100 pasang sepatu @ Rp.100.000.
= Rp.10.000.000
PPN terutang yang dipungut oleh PKP"A"
= 10% x Rp.10.000.000.
= Rp. 1.000.000
Jumlah yang harus dibayar PKP "B"
= Rp.11.000.000
78
PKP "B" dalam bulan Januari 1996 :
= 80 pasang sepatu @ Rp.120.000
= Rp. 9.600.000
Memakai sendiri 5 pasang sepatu untuk pemakaian sendiri, DPP
adalah harga jual tanpa menghitung laba kotor, yaitu Rp
100.000,- per pasang, jadi 5 pasang = Rp 500.000
PPN yang terutang :
Atas penjualan 80 pasang sepatu
= 10% x Rp.9.600.000
= Rp 960.000
Atas pemakai sendiri
= 10% x Rp.500.000
= Rp
50.000
Jumlah PPN terutang
= Rp 1.010.000
PKP Pedagang Eceran (PE) "C" menjual
BKP seharga
= Rp.10.000.000
Bukan BKP
= Rp. 5.000.000
Rp.15.000.000
PPN yang terutang
=10% x Rp.10.000.000 = Rp. 1.000.000
PPN yang harus disetor
= 10% x 20% x Rp.15.000.000 = Rp. 300.000
PKP "D" pabrikan yang menghasilkan mesin cuci pakaian. Mesin
cuci pakaian dikategorikan sebagai BKP yang tergolong mewah
dan dikenakan PPn BM dengan tarif sebesar 20%. Dalam bulan
Januari 1996 PKP "D" menjual 10 buah mesin cuci kepada PKP
"E" seharga Rp.30.000.000
79
PPN yang terutang
= 10% x Rp.30.000.000 = Rp 3.000.000
PPn BM yang terutang
= 20% x Rp. 30.000.000 = Rp 6.000.000
PKP "E" bulan Januari 1996 menjual 10 buah mesin cuci
tersebut diatas seharga Rp.40.000.000,00
PPN yang terutang
=10% x Rp.40.000.000 = Rp. 4.000.000
Catatan :
PKP "E" tidak boleh memungut PPn BM, karena PKP "E" bukan
pabrikan dan PPn BM dikenakan hanya sekali.
80
BAB X
BEA MATERAI
Definisi Bea Materai
Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang
bersifat perdata dan dokumen untuk digunakan di pengadilan.
Nilai Bea Materai
Nilai bea meterai yang berlaku saat ini Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00
yang disesuaikan dengan nilai dokumen dan penggunaan dokumen.
Objek Bea Materai
Anda sebagai Bendahara, wajib mengenakan Bea Materai atas
dokumen sebagai berikut:
a. dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang,
seperti kwitansi,
b. dokumen yang bersifat perdata seperti dokumen perjanjian
pembangunan degung kantor dengan pegusaha jasa konstruksi
dan dokumen kontrak pengadaan jasa tenaga kebersihan.
Bukan Objek Bea Materai
Sebagai Bendahara, Anda tidak mengenakan bea meterai atas
dokumen sebagai berikut:
1.
dokumen berupa :
a.
surat penyimpanan barang;
b.
konosemen;
c.
surat angkutan penumpang dan barang;
81
d.
keterangan
pemindahan
yang
dituliskan
di
atas
dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka
2, dan angka 3;
e.
bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
f.
surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan
pengirim;
g.
surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan suratsurat sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai
huruf 6.
2.
segala bentuk ijazah;
a.
tanda
terima
gaji,
uang
tunggu,
pensiun,
uang
tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya
dengan
hubungan
kerja
serta
surat-surat
yang
diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu;
b.
tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara,
Kas Pemerintah Daerah, dan bank;
c.
kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan
lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari Kas
Negara, Kas Pemerintahan Daerah dan bank
d.
tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan
intern organisasi;
e.
dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran
uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi,
dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang
tersebut;
f.
surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan
Pegadaian;
82
g.
tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek,
dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Cara Pelunasan Bea Materai
Bendahara dapat melunasi Bea Meterai atas dokumen dengan cara:
a.
Menggunakan benda meterai, yaitu dengan menggunakan
meterai tempel atau menggunakan kertas meterai
b.
Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin
Teraan Meterai
c.
Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Teknologi
Pencetakan
d.
Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Sistem
Komputerisasi
83
84
BAB XI
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
Definisi Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang
dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan
Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang
nomor 12 Tahun 1994.
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya
pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah
dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak
ikut menentukan besarnya pajak.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Objek PBB adalah “Bumi dan atau Bangunan”:
Bumi: Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi
yang ada di pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Contoh:
sawah, ladang, kebun, tanah, pekarangan, tambang.
Bangunan: Konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah dan atau perairan. Contoh: rumah tempat
tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat
perbelanjaan, emplasemen, pagar mewah, dermaga, taman
mewah, fasilitas lain yang memberi manfaat, jalan tol, kolam
renang, anjungan minyak lepas pantai.
85
Bukan Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek yang :
a.
Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum
dibidang
ibadah,
kebudayaan
sosial,
nasional
kesehatan,
yang
tidak
pendidikan
dimaksudkan
dan
untuk
memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja, rumah
sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi.
b.
Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang
sejenis dengan itu.
c.
Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa,
dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
d.
Digunakan oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas
perlakuan timbal balik.
e.
Digunakan
oleh
badan
dan
perwakilan
organisasi
internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Subjek Pajak dan Wajib Pajak PBB
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
a.
mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau;
b.
memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;
c.
memiliki bangunan, dan atau;
d.
menguasai bangunan, dan atau;
e.
memperoleh manfaat atas bangunan
Wajib Pajak adalah Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban
membayar pajak.
86
Dasar Pengenaan PBB
Dasar pengenaan PBB adalah “Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”. NJOP
ditetapkan per wilayah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan
dengan
mendengar
pertimbangan
Bupati/Walikota
serta
memperhatikan :
a.
harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang
terjadi secara wajar;
b.
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang
letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui
harga jualnya;
c.
nilai perolehan baru;
d.
penentuan Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
Nilai Jual Objek PajakTidak Kena Pajak (NJOPTKP)
NJOPTKP adalah batas NJOP atas bumi dan/atau bangunan yang
tidak
kena
pajak.
Kabupaten/Kota
Besarnya
NJOPTKP
setinggi-tingginya
Rp
untuk
setiap
12.000.000,-
daerah
dengan
ketentuan sebagai berikut :
a.
Setiap Wajib Pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP
sebanyak satu kali dalam satu Tahun Pajak.
b.
Apabila Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak,
maka yang mendapatkan pengurangan NJOPTKP hanya satu
Objek
Pajak
yang
nilainya
terbesar
dan
tidak
bisa
digabungkan dengan Objek Pajak lainnya.
Dasar Penghitungan PBB
Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).
Besarnya persentase NJKP adalah sebagai berikut :
87
a.
Objek pajak perkebunan adalah 40%
b.
Objek pajak kehutanan adalah 40%
c.
Objek pajak pertambangan adalah 40%
d.
Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):
e.
apabila NJOP-nya≥ Rp1.000.000.000,00adalah 40%
f.
apabila NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00 adalah 20%
Tarif PBB
Besarnya tarif PBB adalah 0,5%
Cara Perhitungan PBB
1. Tuan Bonco seorang mahasiswa DIII perpajakan Unibraw pada
tahun 2007 hanya memiliki sebuah objek pajak berupa bumi di
kawasan Soekarno-Hatta, Malang dan diketahui Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) Bumi tersebut sebesar Rp. 10.000.000. Berapakah
Besar PBB yang terhutang pada tahun 2007 milik Tuan Bonco !
Jawab :
Karena besarnya NJOP kurang dari Rp. 12.000.000,- maka objek
pajak tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
2. Tuan Ponco seorang pengusaha terkenal memiliki 2 buah rumah
pada tahun 2007, objek pertama terletak di desa Wlingi, Blitar
dan Objek kedua terletak di desa Bendo, Blitar. Diketahui bahwa
untuk objek pertama NJOP Bumi sebesar Rp. 8.000.000,- dam
NJOP Bangunan sebesar Rp. 7.500.000,-. Untuk Objek yang
kedua diketahui NJOP bumi sebesar Rp. 9.000.000,- dan NJOP
Bangunan sebesar Rp. 6.000.000,-Hitung PBB terhutang tahun
2007 Tuan Ponco atas kedua objek tersebut !
88
Jawab:
PBB Terhutang = Tarif (0,5%) x NJKP
NJKP = NJOP – NJOPTKP
Dimana NJOP = NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOP Di desa Wlingi
NJOP Bumi
= Rp.
8.000.000,-
NJOP Bangunan
= Rp.
7.500.000,-
Total
Rp. 15.500.000
Merupakan NJOP terbesar
NJOP di desa Bendo
NJOP Bumi
= Rp. 9.000.000,-
NJOP Bangunan
= Rp. 6.000.000,-
Total
Rp. 15.000.000,-
Desa Wlingi
NJOP Bumi
= Rp. 8.000.000,-
NJOP Bangunan
= Rp. 7.500.000,-
NJOP sbg dasar pengenaan PBB
Rp. 15.500.000,-
(NJOP Terbesar)
NJOPTK
Rp. 12.000.000 –
NJOP utk Perhitungan PBB
Rp. 3.500.000,-
Desa Bendo
NJOP Bumi
= Rp. 9.000.000,-
NJOP Bangunan
= Rp. 6.000.000,-
NJOP sbg dasar pengenaan PBB
Rp. 15.000.000,-
NJOPTK
Rp.
NJOP utk Perhitungan PBB
Rp. 15.000.000,-
89
0,- (-)
PBB Terhutang
= Tarif x NJKP
= 0,5% x 20% x Rp. 18.500.000,= Rp. 18.500
3. Tuan Poneng adalah seorang pengusaha terkenal memiliki 2
buah rumah yang terletak di Blitar. Objek pertama terletak di
jalan semeru dan objek kedua terletak di jalan raya rinjani.
Diketahui objek pertama NJOP bumi sebesar Rp. 1.000.000.000,(1 M) dan NJOP bangunan Rp. 3.500.000,- (3,5 M) sedangkan
untuk
yang
kedua
diketahui
NJOP
bumi
sebesar
Rp.
1.000.000.000,- (1 M) dan NJOP Bangunan sebesar Rp.
4.500.000.000,- (4,5 M). Hitunglah PBB terhutang Tuan Poneng
atas kedua objek tersebut.
Jawab :
NJOP terbesar adalah terletak pada NJOP di Jalan Raya Rinjani
dengan :
NJOP Bumi
= Rp.1. 000.000.000,-
NJOP Bangunan
= Rp.4.500.000.000,-+
NJOP sbg dasar Pengenaan PBB
= Rp.5.500.000.000,-
NJOPTKP
= Rp. 12.000.000,-(-)
NJOP utk Perhitungan PBB
= Rp.5.488.000.000,-
Jl. Semeru :
NJOP Bumi
= Rp. 1.000.000.000,-
NJOP bangunan
= Rp. 3.500.000.000,+
NJOP sbg dasar Pengenaan PBB
= Rp. 4.500.000.000,-
NJOPTKP
= Rp.
NJOP utk Perhitungan PBB
= Rp. 4.500.000.000,-
90
0,- (-)
NJOP
= NJOP Bumi + NJOP Bangunan
= Rp. 5.488.000.000 + Rp. 4.500.000.000,= Rp.9.988.000.000.
PBB Terhutang
= Tarif x NJKP
= Tarif x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,5% x 40% x 9.988.000.000.
= Rp. 19.970.000,-
4. Tuan Boni seorang pegawai negeri yang memiliki 2 buah rumah
pada suatu Kawasan Real Estate bernama Pondok Indah. Objek
pertama terletak di Pondok Indah Estate dengan NJOP sebesar
Rp. 28.000.000,- dan NJOP Bangunan sebesar Rp. 23.500.000,Untuk Objek kedua terletak di Puncak Dieng dengan NJOP Bumi
sebesar Rp. 31,000,000,- dan NJOP Bangunan sebesar Rp.
10.000.000,. Hitunglah PBB terhutang pada tahun 2007 dari
Tuan Boni!
Jawab :
Rumah di kawasan Pondok Indah :
NJOP Bumi
= Rp. 28.000.000,-
NJOP Bangunan
= Rp. 23.500.000,-
Total NJOP
= Rp. 41. 500.000
Rumah di kawasan Puncak Dieng :
NJOP Bumi
= Rp, 31.000.000,-
NJOP Bangunan
= Rp, 10.000.000,-
Total NJOP
= Rp. 41.000.000,-
NJOP terbesar terletak Pada Rumah Di kawasan Pondok Indah.
91
NJOP Bumi
= Rp. 28.000.000,-
NJOP Bangunan
= Rp. 23.500.000,-
NJOP sbg dasar Pengenaan PBB
= Rp. 41.500.000,-
NJOPTKP
= Rp 12. 000.000,- (-)
NJOP utk Perhitungan PBB
Rp 29.500.000,-.
Kemudian untuk Pondok Dieng Estate :
NJOP Bumi
= Rp. 31.000.000,-
NJOP Bangunan
= Rp. 10.000.000,-
NJOP sbg dasar
NJOP Bumi
= Rp. 28.000.000,-
NJOP Bangunan
= Rp. 23.500.000,-
Total NJOP
= Rp. 41. 500.000
Rumah di kawasan Puncak Dieng :
NJOP Bumi
= Rp, 31.000.000,-
NJOP Bangunan
= Rp, 10.000.000,-
Total NJOP
= Rp. 41.000.000,-
NJOP terbesar terletak Pada Rumah Di kawasan Pondok Indah.
NJOP Bumi
= Rp. 28.000.000,-
NJOP Bangunan
= Rp. 23.500.000,-
NJOP sbg dasar Pengenaan PBB
= Rp. 41. 500.000,-
NJOPTKP
= Rp. 12. 000.000,- (-)
NJOP utk Perhitungan PBB
Rp 29.500.000,-.
Kemudian untuk Pondok Dieng Estate :
NJOP Bumi
= Rp. 31.000.000,-
NJOP Bangunan
= Rp. 10.000.000,-
NJOP sbg dasar Pengenaan PBB
= Rp. 41.000.000,-
NJOPTKP
= Rp.
NJOP utk Perhitungan PBB
0,- (-)
Rp. 41.000.000,92
PBB Terhutang
= Tarif x NJKP
= Tarif x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,15% x 20% x Rp. 70.500.000,= Rp. 70,500,-
93
94
BAB XII
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH
DAN BANGUNAN
Definisi BPHTB
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) adalah
pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau
banguna
Objek BPHTB
a.
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
b.
Pemindahan hak karena : jual beli, tukar menukar, hibah,
hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum
lain,
pemisahan
hak
yang
mengakibatkan
peralihan,
penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan
hakim
yang
mempunyai
kekuatan
hukum
tetap,
penggabungan usaha, peleburan usaha, Pemekaran usaha
atau hadiah.
c.
Pemberian hak baru karena : kelanjutan pelepasan hak atau
di luar pelepasan hak.
d.
Hak atas tanah adalah Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, Hak Milik Atas satuan rumah susun dan
Hak Pengelolaan.
Bukan Objek BPHTB
a.
Perwakilan
diplomatik
dan
konsulat,
Negara
untuk
penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;, Badan
95
atau
perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan, Orang pribadi atau Badan
karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama, orang pribadi atau
Badan karena wakaf dan orang pribadi atau Badan yang
digunakan untuk kepentingan ibadah.
b.
Objek pajak yang diperoleh karena waris, hibah wasiat dan
pemberian hak pengelolaan, pengenaan pajaknya diatur
dengan Peraturan Gubernur.
Subjek BPHTB
Orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan.
Dasar Pengenaan BPHTB
a.
Nilai Perolehan Objek Pajak dalam hal: jual beli adalah harga
transaksi,
tukar
menukar,
hibah,
hibah
wasiat,
waris,
pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya,
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak
karena
pelaksanaan
putusan
hakim
yang
mempunyai
kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah
sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru
atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha,
peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah adalah nilai pasar,
penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi.
b.
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan
sebesar Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah)
96
c.
Perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak ditetapkan sebesar Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima
puluh juta rupiah).
Tarif BPHTB
Ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
Cara Perhitungan BPHTB
a. TARIF PAJAK x DASAR PENGENAAN PAJAK.
b. TARIF x ( NJOP PBB – NJOPTKP ).
97
98
DAFTAR PUSTAKA
Anastasia Diana, dan Lilis Setiawati, 2009, Perpajakan Indonesia,
Andi, Yogyakarta.
http://www.blogkeuangan.com
https://app.online-pajak.com
Mardiasmo. 2011, Perpajakan Edisi Revisi 2011, Andi, Yogyakarta.
Munawir S. 2002, Perpajakan, Edisi Revisi, Liberty, Yogyakarta.
Pohan, CA 2011, Optimazing Corporate Tax Management, Bumi
Aksara, Jakarta
Resmi, Sitti 2009, Perpajakan : Teori dan Kasus, Jakarta : Salemba
Empat.
Suandy, Erly, 2006, Perpajakan, Edisi Pertama, Salemba Empat,
Jakarta.
Rahayu, Siti Kurnia 2009, Perpajakan Indonesia, Graha Ilmu,
Yogyakarta Soemahamidjadja Soeparman, “Pengantar Ilmu
Hukum Pajak”. (2002:5)
Suandy, 2003, Perencanaan Pajak, Edisi Kedua, Salemba Empat,
Jakarta
99
100
BIODATA PENULIS
Siti Zulaikhah, S.E., A.kt., M.Si
lahir di
Surakarta, 10 September 1976 dari Pasangan
H.M. Hilal Adnan dengan Hj Chajijah Siti
Noerjanah. Suami Muhammad Mabruri S.E,
dan Dikaruniai dua orang anak; Ahmad Fauziy
Syakur dan Almira Ayudia Inara.
adalah Dosen Tetap Program Studi Akuntansi Universitas
Nahdlatul Ulama Surakarta. Lulus S1 Akuntansi Universitas
Muhammadiyah Surakarta Tahun 2000 (menyandang Predikat
Lulusan Terbaik Fakultas Ekonomi), Lulus Pendidikan Profesi
Akuntansi Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2008
serta Lulus S2 Akuntansi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Tahun 2010.
Adapun karya ilmiah yang dipublikasikan diantaranya :
1)Faktor-faktor yang berpengaruh pada keputusan pemilihan
Profesi Akuntan Publik dan Non Akuntan Publik Pada
Mahasiswa Akuntansi di Universitas Muhammadiyah
Surakarta; 2)Pengaruh Corporate Governance Terhadap
Earning Management; 3)Analisa Kinerja Keuangan Pada
Koperasi Jasa Keuangan Syariah BMT Insan Kamil Surakarta;
4)Pengaruh Independensi, Kompetensi dan Pengalaman
Auditor di Kantor Akuntan Publik Terhadap Kualitas Audit.; 5)
Pengaruh Shariah Governance Terhadap Customer Loyalti PT.
Bank Rakyat Indonesia Syariah kota Surakarta