Teuku Zulkhairi0$
Santri Aceh
Mewujudkan perubahan
MadanI
PublisheR
KATALOG DALAM TERBITAN
Perpustakaan Nasional RI
GERAKAN SANTRI ACEH
Mewujudkan perubahan
TEUKU ZULKHAIRI, MA
Banda Aceh
Madani Publisher, 2019
186 hlm; 14,5 x 21 cm.
ISBN : 978-602-53502-2-1
Judul :
GERAKAN SANTRI ACEH
Mewujudkan perubahan
Penulis :
Teuku Zulkhairi, MA
Editor :
Dr. Sabirin, S. Sos.I., M. Si
Layout & Desain Cover :
Muhammad Sufri, S. Pd
Penerbit :
Madani Publisher
Banda Aceh, 23115
08116888292 | madanipublisher@gmail.com
Bekerjasama dengan:
Rabithah Thaliban Aceh
Cetakan pertama, Maret 2019
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk
dan dengan cara apapun tanpa izin dari penerbit.
"Buku yang menjelaskan tentang potensi santri dalam kiprahnya
mewujudkan perubahan di Aceh masih sangat sedikit, apalagi
yang ditulis oleh kalangan santri sendiri. Hal ini karena budaya
tulis yang masih tergolong rendah, maka kehadiran buku tentang
pergerakan santri merupakan sebuah hal yang patut didukung,
dimana dunia sedang serius berpacu dalam pengembangan
literasi."
Tgk Imran Abubakar
Rais ‘Am Rabithah Thaliban Aceh.
"Tentu dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada, buku
dengan judul Gerakan Santri Aceh Mewujudkan Perubahan
yang ditulis kandidat doktor Universityas Islam Negeri (UIN)
Ar-Raniry ini merupakan salah satu ikhtiar mengisi ruang
hampa keterbatasan referensi santri Aceh yang layak kita berikan
aprsiasi. Pada masanya nanti, bahkan hari ini, catatan-catatan
terkait keberadaan santri Aceh selalu dibutuhkan banyak pihak,
mengingat dalam setiap dinamika sosial politik Aceh santri selalu
menjadi bagian dari kelompok strategis."
Usamah Elmadany, S.Ag, MM
Kepala Dinas Pendidikan Dayah Aceh
"Karya Sdr. Zulkhairi telah menggabungkan antara semangat
mencari ilmu di dayah dan kampus. Karya-karyanya selalu
mempertahankan dua tradisi keilmuan pada dua lembaga
tersebut. Dalam karya ini, Zulkhairi mengupas secara lugas
tentang fenomena sosiala keagamaan di Aceh dalam konteks
kekinian."
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, MA, Ph.D
Antropolog Aceh dan Dosen UIN Ar-Raniry
Pengantar Penulis
B
uku ini sebagian besarnya merupakan tulisan
yang pernah dimuat di sejumlah media massa.
Sebagian besarnya yaitu artikel-artikel yang
dimuat di Koran Harian Serambi Indonesia. Juga beberapa
diantaranya di Majalah Santunan terbitan Kementerian Agama
dan Majalah ‘Jurnal Dayah’ terbitan Dinas Pendidikan Dayah
Aceh. Tapi meskipun sebagian besar isi buku ini merupakan
kumpulan tulisan, namun tema besarnya sama, yaitu santri dan
dayah yang mengayominya.
Pembahasan seputar santri dalam buku ini pada bab
satu mengupas tentang sistem pendidikan yang diterima santri
ketika belajar kuning di dayah. Tapi tentu bahasan ini sebenarnya
tidaklah mencukupi. Banyak lagi yang harus ditulis. Dan insya
Allah akan kita tulis di lain waktu jika Allah SWT memberi
kesempatan dan kesehatan.
Pada bab dua buku ini mengupas narasi penulis tentang
Teuku Zulkhairi |
i
respons santri Aceh terhadap aliran ekstrim kanan dan ekstrim
kiri. Di sini penulis mencoba mengulas pandangan santri
terhadap kedua aliran ini dan mengapa kemudian mereka
menolaknya, seperti ketika berlangsungnya ‘Parade Aswaja’
beberapa tahun silam. Pada intinya, para santri menginginkan
kebaikan untuk negeri ini. Tapi sayangnya tidak banyak yang
mau memahami maksud baik kalangan santri.
Perihal ekstrim kanan seperti liberal dan sekuler,
paham ini sebenarnya proyek asing yang merupakan upaya
melanjutkan kapitalisasi terhadap negeri-negeri muslim. Maka
sangat dipahami ketika Majelis Ulama Indonesia menolak dan
memfatwakan haram terhadap paham-paham tersebut. Tapi
masalahnya, gerakan paham sekuler liberal ini terkadang sangat
halus. Logika-logikanya sangat manipulatif. Maka kaum santri
tentu harus cermat membacanya.
Pada bab keempat dalam buku ini dibahas sejumlah
program-program mutakhir yang diselenggarakan pemerintah
untuk pemberdayaan dayah (pesantren) dan dengan tujuan
peningkatan kualitas pendidikan santri. Kita berharap bahwa
program-program tersebut mendapat sambutan yang cukup
berarti sehingga santri terus melaju membangun negeri.
Pada bab kelima menjelaskan gerakan santri Aceh
dewasa ini yang cukup menggemberikan, meskipun dalam skala
yang naik turun. Terkadang eksis, terdakang passif. Tapi yang
pasti santri adalah benteng moral bangsa. Maka disini penulis
mengulas orientasi politik santri yang sesungguhnya bertujuan
untuk membawa misi besar Islam dalam mewujudkan perubahan
ke arah yang dicita-citakan bersama. Dalam membangun gerakan
ini, para santri juga dihadapkan pada sejumlah problematika
akut yang menimpa bangsa.
Di level Aceh, terkhusus gerakan santri diharapkan dapat
ii
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
lebih fokus mengawal Syari’at Islam, membendung peredaran
Narkoba dengan berbagai pihak, menjaga lingkungan dan
sebagainya. Dan khususnya yang lebih penting adalah agar
terus konsisten menyuarakan kebenaran dalam apapun keadaan
dan kondisi. Sesuai dengan apa yang diajarkan di dayah, bahwa
bagi santri itu kebenaran adalah jalan hidup, cara pandang
dan cita-cita. Santri juga diharapkan dapat menjadi perekat
ummat di tengah berbagai problematika perpecahan dewasa
ini. Khususnya menjadi perekat antara dunia dayah dan dunia
kampus. Kita berharap gerakan ke arah ini terus berlanjut. Insya
Allah. Amiin.
Darussalam, 14 Maret 2019
Wassalam,
Teuku Zulkhairi
Teuku Zulkhairi |
iii
iv
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Catatan Tentang Santri
Di Era Literasi
Pengantar
Rais ‘Am Rabithah Thaliban Aceh (RTA)
Santri merupakan komunitas yang paling unik di
Indonesia, karena dibina dengan sistem pendidikan yang khas
yaitu sistem pendidikan pesantren atau dayah di Aceh. Sehingga
karena keunikan tersebut, maka dayah dapat digolongkan ke
dalam sub kultur tersendiri dalam masyarakat.
Menurut Abdurrahman Wahid, ada tiga elemen yang
mampu membentuk pondok pesantren atau dayah sebagai
sebuah sub kultur yaitu 1) Pola kepemimpinan yang mandiri
dan tidak terkooptasi oleh negara. 2) kitab-kitab rujukan umum
yang selalu digunakan dari berbagai abad., dan 3) sistem nilai
yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas.
Karena itu, maka santri merupakan komunitas yang
Teuku Zulkhairi |
v
kuat memberikan pengaruh di tengah masyarakat. Potensi
santri dalam menerima dan mewujudkan gerakan perubahan di
berbagai aspek kehidupan sangat besar, karena mereka memang
dididik bukan hanya untuk melestarikan yang lama tetapi juga
menjadi agen perubahan ke arah yang lebih baik.
Hal ini terbentuk oleh sebuah adegium yang sangat
familiar di tengah-santri yaitu al-muhafazhah ala-alqadimi asShalih wa al-akhzu bi aljadid al-ashlah. Memang dalam hal-hal
tertentu komunitas santri dianggap kuno, karena bersifat eklusif
terhadap pemahaman baru dalam bidang amalan fiqh ibadah
terlebih aqidah. Tetapi dalam hal seperti muamalah, bernegara
dan lain-lain lebih moderat dan toleran.
Ada beberapa asumsi yang dilontarkan terhadap
komunitas santri sebagai komunitas terbelakang karena
terlalu terikat dengan norma-norma agama. Sesungguhnya
hal ini merupakan efek kampanye global yang dirancang kaum
anti agama, secara kebetulan juga telah berimbas sampai ke
masyarakat kita, yang awal mulanya telah populer di Turki oleh
kelompok anti agama pada masa mushtafa kemal at-Tartuk,
dengan doktrin “agama adalah penghambat kemajuan”.
Dalam setiap pergerakan mewujudkan perubahan di
tanah air, kelompok santri selalu dinanti pergerakannya, karena
trust terhadap kelompok ini, masih mendapat tempat di hati
masayarakat. Memang kadang-kadang pergerakan santri kalah
populis, apabila dibandingkan kelompok yang lain, karena
masih skeptis dalam mempromosikan kiprahnya, dan juga kalah
dalam pemanfaatan media informasi, di samping itu, juga abai
dalam hal pentingnya penguasaan dan pemasaran informasi,
hal ini sedikitnya juga dipengaruhi oleh doktrin berupa
menyembunyikan amal baik merupakan sebuah perilaku terpuji.
Buku yang menjelaskan tentang potensi santri dalam
kiprahnya mewujudkan perubahan di Aceh masih sangat
vi
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
sedikit, apalagi yang ditulis oleh kalangan santri sendiri.
Hal ini karena budaya tulis yang masih tergolong rendah,
maka kehadiran buku tentang pergerakan santri merupakan
sebuah hal yang patut didukung, dimana dunia sedang serius
berpacu dalam pengembangan literasi. Sehingga literasi telah
menjadi isu dagangan yang semakin laku di masa kini dan masa
yang akan datang, karena kepedulian masyarakat terhadap
informasi semakin meningkat. Oleh karena itu, maka catatancatatan tentang pergerakan santri di Aceh hendaknya juga ikut
meramaikan pasar literasi sebagai salah satu alternatif di sektor
informasi.
Tgk Imran Abubakar
Rais ‘Am
Rabithah Thaliban Aceh (RTA)
Teuku Zulkhairi |
vii
viii
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Agar Kiprah Santri Aceh Tidak
Dianggap Mitos
Sambutan
Kadis Pendidikan dayah Aceh
Di Aceh, santri merupakan salah satu kelompok sosial
yang memiliki posisi strategis. Dalam perjalanan panjangnya
santri Aceh telah melewati berbagai dinamika sosial politik.
Sejak masa Kesultanan Aceh , era kolonial, masa perjuangan
kemerdekaan hingga setelah Indonesia merdeka sampai hari
ini, santri Aceh terus berkonstribusi baik kepada masayarakat
atau pemerintah. Dengan kata lain perjalanan sejarah santri
Aceh adalah sebuah narasi panjang dan tebal dengan segenap
dinamikanya.
Namun demikian sampai hari ini masih sangat sedikit
referensi terkait dengan dinamika santri Aceh dari zaman ke
Teuku Zulkhairi |
ix
zaman. Minimnya referensi yang mendeskripsikan peran sosial
politik yang diperankan santri Aceh selama ini dikarenakan
sedikitnya penulis Aceh yang terdorong untuk menarasikan
eksistensi kaum muda bersarung itu.
Dari yang sedikit itu, Teuku Zulkhairi, adalah salah
satunya. Tentu dengan segala kelebihan dan kekurangan yang
ada, buku dengan judul Gerakan Santri Aceh Mewujudkan
Perubahan yang ditulis kandidat doktor Universityas Islam
Negeri (UIN) Ar-Raniry ini merupakan salah satu ikhtiar mengisi
ruang hampa keterbatasan referensi santri Aceh yang layak kita
beriukan aprsiasi. Pada masanya nanti, bahkan hari ini, catatancatatan terkait keberadaan santri Aceh selalu dibutuhkan
banyak pihak, mengingat dalam setiap dinamika ssocialpolitik
Aceh santri selalu menjadi bagian dari kerlompok strategis.
Dinas Pendidikan Dayah Aceh berharap apa yang
dilakukan Teuku Zulkhairi ini kiranya dapat menjadi inspirasi
bagi intelektual muda Aceh lainnya, terutama dari kalangan
santri sendiri, untuk selalu mencatat hal-hal ringan terkait
dengan dinamiaka santri Aceh lalu kemudian dibukukan, karena
pada suatu masa nanti pada momentum tertentu yang dapat
terjadi setiap waktu, catatan kecil dalam bentuk buku itu justru
menjadi penting.
Santri Aceh sendiri harus bangun dan bergerak untuk
menulis tentang dirinya serndiri. Dalam konteks hokum besi
sejarah, sebuah fakta yang tidak dicatat dan didokumentasikan
dengan baik maka pada suatu masa fakta itu justru akan dipandang
sebagai mitos. Segenap dinamika dan konstribusi santri Aceh
sealama ini bila tyidak dinarasikan dan didokumentasikan,
maka di masa yang akan dating maka fakta santri Aceh aka nada
pihak yang menganggapnya mitos. Dalam kontek inilah, seperti
yang dilakuakan Teuku Zulkhairi ini, segenap dinamika santri
Aceh harus dinarasikan dan didokumentasikan.
x
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Kami mengucapkan selamat dan sukses kepada Teuku
Zulkhairi atas upaya kerasnya menulis dan menerbitkan buku
ini. Harapan kami sederhana saja: Semoga di masa hadapan
akan lahir buku buku dengan thema sejenis dari tangan Putra
Pirak ini dalam rangka memperkaya khazanah referensi santri
dan dayah di Aceh. Sealamat membaca!.
Banda Aceh, 22 Rajab 1440 H/ 29 Maret 2019 M
Kepala Dinas Pendidikan Dayah Aceh
H. Usamah El-Madny, S.Ag, MM
Teuku Zulkhairi |
xi
xii
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Daftar Isi
A. Pengantar Penulis ~ i
B. Pengantar Rais ‘Am Rabithah Thaliban Aceh (RTA) ~ v
C. Sambutan Kepala Dinas Pendidikan Dayah ~ ix
BAB SATU
DI DAYAH, SANTRI BELAJAR KITAB KUNING, UKHUWAH
ISLAMIYAH, KEMANDIRIAN DAN SALING HORMAT ~ 1
A. Ukhuwah Islamiyah: Kekuatan Santri Dayah ~ 2
B. Menghormati Guru, Kunci Sukses Paling Utama Bagi
Santri ~ 6
C. Santri Terbukti Mandiri ~ 9
D. Kegigihan dalam Mempelajari Kitab Kuning ~ 11
Teuku Zulkhairi |
xiii
E. Kitab Kuning “Masuk Kampus” ~ 13
BAB DUA
MEMAHAMI PENOLAKAN SANTRI TERHADAP ALIRAN
EKSTRIM KANAN DAN EKSTRIM KIRI ~ 19
A. Parade Aswaja Santri Aceh, Menolak Aliran Ekstrem
Kanan ~ 20
B. Bersyukur Berada dalam Barisan Ahlusunnah wal
Jama’ah ~ 22
C. Sultan Iskandar Muda Menjaga Eksistensi Ahlusunnah
Wal Jama’ah ~ 26
D. Dayah Membendung Radikalisme ~ 32
E. Catatan untuk Dakwah Salafy,Hendaklah Lebih Toleran!
~ 34
F. Menolak Wahabi, Tapi Jangan Juga Menghilangkan
Solidaritas kepada Sesama Muslim ~ 41
BAB TIGA
EKSTRIM KIRI: SEKULERISME, LIBERALISME DAN
PLURALISME AGAMA ~ 45
A. Pengantar ~ 46
B. Rahmatan Lil‘alamīn vs Sekulerisme ~ 47
C. Runtuhnya Sekulerisme di Turki ~ 52
D. Agenda Liberalisme dalam Kasus Ahok ~ 58
E. Manipulasi dalam Survey Kota Islami ~ 59
F. Penyelewengan makna Maqasahid ~ 61
G. Fatwa MUI tentang Sekulerisme, Pluralisme Agama dan
xiv
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Liberalisme ~ 64
H. Menolak Ideologi Anti Tuhan ~ 68
I. Perlawanan Terhadap Liberalisasi Islam ~ 72
BAB EMPAT
MASA DEPAN DAYAH DAN PENINGKATAN KUALITAS
SANTRI ~ 75
A. Mengawal RUU Pesantren ~ 76
B. Ma’had Aly Momentum Kemajuan Santri Dayah ~ 80
C. Pendidikan Formal: Diniyah Tafaqquh Fiddin ~ 84
D. Memperkuat Studi Ulumul Quran, Membendung
Pengaruh Orientalisme ~ 89
E. Mengembalikan Tradisi Menulis di Dayah ~ 94
BAB LIMA
GERAKAN SANTRI ACEH,
MEWUJUDKAN PERUBAHAN ~ 101
A. Gerakan Santri Aceh, Pergulatan Membawa Misi Besar
Islam ~ 102
B. Politik Santri Dayah, Merealisasikan Tujuan Syari’at ~
108
1. Fenomena Kekhawatiran yang Tidak Beralasan ~ 108
2. Panggung Politik, Arana Latihan Para Santri ~ 110
3. Ideologi Santri Dayah ~ 110
4. Orientasi Politik Santri ~ 112
Teuku Zulkhairi |
xv
5. Waled Husaini, Tegas Membela Syari’at Islam ~ 114
6. Tu Sop Jeunieb, Tokoh Dayah yang Menyatukan
Ummat ~ 118
C. Gerakan Santri Aceh di Hadapan Segudang Problematika
Bangsa ~ 121
1. Segudang Problematika Bangsa ~ 121
2. Peluang dalam Bidang Keilmuan ~ 123
3. Serangan Pemikiran ~ 125
D. Tanggungjawab Santri Mengawal Syari’at Islam ~ 126
E. Tanggungjawab Santri Untuk Menyuarakan Kebenaran
~ 132
F. Mengumandangkan ‘Jihad’ Melawan Narkoba ~ 140
G. Menuju Santri sebagai Pemimpin Perubahan ~ 147
H. Mimbar Khutbah Jum’at; Media Menjaga Kelestarian
Lingkungan ~ 152
A. Illegal logging; Investasi Kehancuran ~ 153
B. Keberpihakan Santri
Lingkungan ~ 155
dan
Khatib
Terhadap
I. Menemukan Titik Temu Intelektualisme Santri Dayahdan
Akademisi Kampus ~ 157
DAFTAR PUSTAKA ~ 163
xvi
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
BAB I
Di Dayah, Santri Belajar
Kitab Kuning,Ukhuwah
Islamiyah,Kemandirian dan
Saling Hormat
Teuku Zulkhairi |
1
A. Ukhuwah Islamiyah: Kekuatan Santri Dayah
Salah satu hal penting dibudayakan di dayah adalah
kekuatan persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah). Ukhuwah
Islamiyah ini mampu dibangun di internal para santri dayah dan
dengan masyarakat sekitarnya. Ini membedakan dayah dengan
lembaga pendidikan umum lainnya yang terkesan “terasing”
dari realitas kehidupan masyarakat.
Terhadap realitas ini, M. Hasbi Amiruddin (2004)
menjelaskan, para ulama dayah senantiasa menyambung
persaudaraan dengan masyarakat. Mereka mengunjungi
masyarakat atau keluarga, memberi nasehat apabila ada orang
yang berselisih paham atau perkelahian dalam masyarakat dan
kadang-kadang para ulama dayah pun mengundang masyarakat
ke rumahnya (ke dayah). Menurut M. Hasbi Amiruddin,
persaudaraan yang dilakukan ulama dayah baik dengan santri
maupun dengan masyarakat tetap dilakukan.
Pengakuan ini nampaknya cukup berasalan, khususnya
apabila kita menyelami jauh kehidupan masyarakat dayah.
Pengalaman penulis sendiri, saat mengaji di Dayah Babussalam
Matangkuli-Aceh Utara dari tahun 1999 sampai dengan
tahun 2005, penulis merasakan sendiri bagaimana indahnya
persaudaraan Islam yang dibangun dalam komunitas dayah
(antara santri dan guru/teungku), serta persadudaraan yang
dibangun dayah sebagai sebuah institusi pendidikan dengan
masyarakat sekitar dayah.
“Teungku dan pimpinan dayah cukup sering membantu santri
ini seperti dengan menunjukkan padanya pekerjaan-pekerjaan yang
bisa mendatangkan keuntungan secara materi..”
2
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Kuatnya persaudaraan yang dibangun di internal santri dayah,
misalnya saat seorang santri tidak memiliki uang untuk membeli
bekal untuk makan (lauk pauk), para santri yang berkecukupan
saat itu langsung berbagi makanannya baik oleh sebab diminta
maupun tidak diminta. Dan ini cukup banyak terjadi mengingat
kebanyakan santri dayah adalah berasal dari keluarga miskin dan
perantau. Cukup banyak pula santri yang memang tidak memiliki
bekal sama sekali untuk belajar mondok di dayah (maksudnya
orang tuanya tidak mampu membiayainya). Terhadap fenomena
ini, para teungku dan pimpinan dayah cukup sering membantu
santri ini seperti dengan menunjukkan padanya pekerjaanpekerjaan yang bisa mendatangkan keuntungan secara materi.
Disuruh pergi ke sawah, diberikan beban-beban yang ujungnya
agar ia memperoleh sedikit bekal untuk terus bertahan hidup di
dayah. Intinya, santri miskin yang belajar di dayah akan dibantu
oleh dayah untuk tetap bertahan di dayah sampai kemudian ia
mandiri.
Penulis yang saat belajar di dayah berasal keluarga yang kurang
secara ekonomi merasakan betul bahwa ada dukungan luar biasa
dari segenap komunitas dayah agar penulis bisa tetap belajar di
dayah selama mungkin meskipun dihadang oleh kesulitan secara
finansial. Misalnya, di musim panen padi, pimpinan dayah akan
memilih santri-santri dari keluarga miskin untuk mencari zakat
ke masyarakat-masyarakat beberapa kecamatan sekitar dayah
yang sedang panen padi. Meski saat itu penulis menyaksikan ada
juga masyarakat yang enggan membayar zakat ke dayah, namun
tidak sedikit yang memberi zakat padi untuk kami bawa pulang
ke dayah.
Zakat padi yang terkumpul ini selanjutnya dijual dan kami
mendapatkan hak/imbalan amil (pengumpul) zakat. Imbalan
ini bukan saja membantu kami untuk terus bertahan di dayah
(karena memang orang tua kami tidak mampu memberi belanja),
Teuku Zulkhairi |
3
namun juga bahkan kami mampu membeli pakaian baru dan
kitab-kitab untuk digunakan dalam rangka menuntut ilmu.
Dan setelah penulis belajar hingga kelas III (tahun ke 3),
saat itu peluang mengajar anak-anak Taman Pengajian Alquran
(TPA) pun atau mengajar privat di rumah warga pun terbuka.
Selesai mengajar sore, pemilik rumah menyediakan kami makan
malam. Dan itu cukup membantu kami untuk terus bertahan di
dayah, selain tentu saja kami akan mendapatkan honor bulanan
sekitar Rp 100.000 per bulan.
Terhadap hal ini, penelitian yang dilakukan Muhammad
AR (2010)1 menjelaskan, di antara proses dayah dalam
menyebarkan nilai-nilai persaudaraan Islam adalah taat kepada
Allah, mengharap ridha Allah Swt, pemantapan ikatan di antara
guru dengan santri, mengamalkan akhlak dari Sunnah Nabi,
hormat menghormati, ziarah menziarahi, mengutamakan adab,
maaf bermaafan, shalat berjama’ah dan mengajar. Dengan cara
dan langkah inilah menurut Muhammad AR, sehinngga dayah
mampu menyebarkan nilai-nilai persaudaraan Islam dengan para
santri. Inilah akulturasi persaudaraan Islam yang disebarkan
oleh dayah terhadap santri yang menimbulkan rasa hormat dan
kasih sayang antara sesama mereka di dayah. Hubungan guru
dan santri tidak dapat dipisahkan sampai kapanpun.
Kuatnya soliditas persaudaraan Islam di kalangan internal
dayah memberikan pengaruh yang signifikan bagi kalangan
dayah untuk juga memperteguh persaudaraan Islam di tengahtengah masyarakat. Dalam hal ini, masih menurut Muhammad
AR, ada beberapa kaedah yang diamalkan oleh kalangan dayah
dalam menyebarkan persaudaraan Islam terhadap masyarakat
setempat, yaitu melalui pengajaran, memenuhi undangan
1
Selanjutnya lihat Dr H. Muhammad AR, M.Ed, Akulturasi Nilai-Nilai
Persaudaraan Islam Model Dayah Aceh, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang
Keagamaan Kemenag RI, Tahun 2010.
4
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
untuk melaksanakan Fardhu Kifayah, dan terlibat dalam setiap
aktivitas sosial dan keagamaan.
Muhammad AR melanjutkan, dengan mengajarkan
masyarakat setempat baik mereka pergi ke dayah atau
sebaliknya Teungku Chik yang pergi ke kampung mereka, maka
persaudaraan Islam antara mereka akan semakin akrab.
“Kuatnya soliditas persaudaraan Islam di kalangan internal
dayah memberikan pengaruh yang signifikan bagi kalangan dayah
untuk juga memperteguh persaudaraan Islam di tengah-tengah
masyarakat.”
Selain itu, yang paling berpengaruh pada kuatnya hubungan
persaudaraan Islam antara dayah dengan masyarakat terletak
pada standar biaya pendidikan dayah yang sangat terjangkau
sehingga membuat lembaga pendidikan dayah sangat dekat
masyarakat. Dayah berhasil membangun image dirinya sebagai
lembaga pendidikan yang merakyat sehingga persaudaraan
Islam kian mudah dibangun.
Berikutnya, keterbukaan lembaga pendidikan dayah dengan
masyarakat sekitar dayah membuat persaudaraan Islam menjadi
semakin terpelihara. Dayah terbukti tidak tertutup (ekslusif)
dan senantiasa membuka diri sehingga siapapun bisa mengakses
proses belajar mengajar di Aceh hingga ke kurikulumnya. Dan
bukan itu saja, keterbukaan dayah dengan membuka Majlis
Ta’lim di dayah bagi warga sekitar dayah juga semakin membuat
insitusi dayah kian bermasyarakat sehingga sangat beralasan
jika kita sebuat dayah senantiasa menjadi sub-sistem masyarakat
Aceh.
Barangkali, itu sebab sehingga di era penjajahan, Belanda
Teuku Zulkhairi |
5
menaruh perhatian total untuk bagaimana menghancurkan
lembaga pendidikan dayah, sebab mereka paham begitu kuatnya
pengaruh dayah dalam masyarakat Aceh.
B. Menghormati Guru, Kunci Sukses Paling
Utama Bagi Santri
Penghormatan santri di dayah (pesantren) kepada gurugurunya adalah hal wajib sebelum ilmu. Hal yang sering diajarkan
di dayah adalah bahwa keberkahan ilmu akan diperoleh dengan
adanya akhlak sang murid kepada gurunya. Pemahaman seperti
ini sebagaimana dikatakan Saidina ‘Ali Karamallahu wajhahu,
“ana ‘abdu man ‘allamani ‘ala harfan”, atau “Saya adalah hamba
bagi yang mengajari aku satu huruf”.
Ya, sebegitu hormatnya Saidina ‘Ali kepada siapa saja
yang mengajarinya walau hanya satu huruf, walau hanya satu
huruf. Apalagi jika banyak huruf. Itu sebab, santri di dayah
senantiasa mencium tangan sang guru sehingga ilmu jadi
berkah. Tak ada demo santri kepada guru. Semua kesalahan
guru akan disampaikan dengan cara yang ahsan. Sebagaimana
guru juga diminta menyampaikan nasehat kepada murid dengan
cara yang ahsan pula. Setidaknya secara teori seperti ini, sebuah
teori yang nampaknya bisa disaksikan kapan saja oleh siapa saja.
Tapi ini tentu bukan berarti nalar kritis dengan demikian
telah dimatikan. Nalar kritis bahkan telah dihidupkan sejak
permulaan belajar, ya sejak belajar di kelas Tajhizi (kelas
persiapan). Hanya saja, nalar kritis dengan akhlak itu beda. Nalar
boleh kritis, tapi akhlak juga niscaya. Di kelas Tajhizi ini para
santri diajarkan sistem pendidikan kritis lewat Kitab ‘Masailal
Muhtadi li Ikhwanil Mubtadiin’, suatu kitab yang menggunakan
metodo belajar dengan tanya jawab - sehingga diharapkan akan
membiasakan pertanyaan-pertanyaan akan muncul dari benak
6
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
mereka dan lalu mencari jawabannya.
“Di kelas Tajhizi ini para santri diajarkan sistem pendidikan
kritis lewat Kitab ‘Masailal Muhtadi li Ikhwanil Mubtadiin’”
Berikutnya, juga diajarkan bahwa, “al adabu fauqal ‘ilmi”,
atau “Adab itu di atas ilmu”. Jadi, adab dulu yang diajarkan. Sebab,
Ilmu tanpa adab akan menghasilkan ilmu tanpa keberkahan.
Ilmu tanpa keberkahan adalah hal yang membahayakan karena
bisa merubah si pemiliknya menjadi kontras dengan ilmunya.
Alhasil, negeri ini akan sulit diperbaiki dengan ilmu yang jika
tidak berkah. Kita diajarkan bahwa seseorang yang ilmu itu
seperti padi. Padi akan menunduk jika sudah berisi. Seorang
pemilik ilmu akan semakin rendah hati dan tawadhu’ jika
ilmunya semakin bertambah.
Idealnya, ilmu merubah seseorang dalam berbagai
sendinya, sejak dari bagaimana ia melihat, bagaimana ia berbicara,
bagaimana ia berfikir, bagaimana ia bermasyarakat, bagaimana
ia berinteraksi dengan gurunya, begitu juga seterusnya.
Meksipun demikian, para guru pun bukan berarti boleh
semena-mena memanfaatkan rasa hormat (ta’zim) guru kepada
muridnya itu. Justru, kekacauan-kekacauan akan terjadi jika sang
guru tidak memantaskan diri untuk dihormati para muridnya.
Artinya, rasa hormat murid kepada guru akan muncul sesuai
bagaimana guru itu sendiri memposisikan dirinya di hadapan
murid.
Bagi murid, ketika melihat gurunya yang memiliki
kesalahan, bukan berarti akan dibolehkan menghilangkan rasa
hormatnya, apalagi jika guru itu telah memberinya ilmu. Tugas
murid adalah menghormati gurunya, sementara tugas guru
adalah memantaskan diri untuk dihormati muridnya.
Teuku Zulkhairi |
7
Jikapun gurunya salah, maka Islam memberikan caracara penyelesaikan yang teduh dan manusiawi. Islam misalnya
melarang seorang guru menegur atau menasehati muridnya di
depan umum, karena hal demikian bisa berpotensi pada tidak
tercapainya tujuan nasehat yang hendak dilakukan.
Begitu juga sang murid, diharapkan sabar menghadapi
gurunya. Sebab, jika tidak sabar tentu tidak akan manusia di
dunia ini yang mau menjadi murid, oleh karena memang tidak
ada guru di dunia ini yang sempurna. Jika Anda kelak menjadi
seorang guru, maka yakinlah bahwa anda juga tidak bisa
sempurna. Tidak ada yang sempurna bukan?
Bagi yang pernah nyantri di dayah hari ini pasti bisa
merasakan kesan manis saat dulu pernah ditampar sang guru
saat belajar di dayah. Seperti penulis yang pernah merasakan
ditampar karena tidur saat baca Surat Waqi’ah setelah shalat
Shubuh. Pernah juga diomelin saat pernah memasukkan kedua
tangan dalam saku celana, sembari diingatkan: ‘Jika sifat itu
dipelihara maka jika kelak kamu jadi pejabat maka kamu akan
jadi pejabat yang sombong”. Waktu itu pesan itu terasa sakit.
Tapi hari ini, sungguh kita butuh lebih banyak lagi nasehatnasehat yang demikian. Ada rasa kering saat jauh dari nasehat
guru.
“‘Jika sifat itu dipelihara maka jika kelak kamu jadi pejabat maka
kamu akan jadi pejabat yang sombong”. Waktu itu pesan itu terasa
sakit. Tapi hari ini....”
Kita berharap bahwa paradigma ini bisa dibawa juga
ke kampus. Sebab, kita berharap kampus bukan hanya akan
melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang kritis dan cerdas, tetapi
juga mahasiswa yang ber akhlakul karimah, mahasiswa yang
8
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
rendah hati, sabar menghadapi gurunya, tetap hormat kepada
siapa saja yang sudah mengajari mereka walau hanya satu huruf.
Tentu bukan berarti kita mengatakan selama ini hal ini tidak kita
jumpa. Sangat banyak mahasiswa yang bersifat seperti santri
dalam menghormati gurunya. Namun, kita berharap setidaknya
paradigma rasa hormat itu semakin membudaya secara massif,
meliputi semua mahasiswa dan seluruh pelajar lainnya.
C. Santri Terbukti Mandiri
Berbicara tentang kemandirian, ternyata dayah terbukti
mampu melahirkan para santri yang mandiri. Setidaknya, sebuah
laporan hasil penelitian yang dilakukan program Pascasarajana
IAIN Ar-Raniry tahun 2012 membuktikan hipotesis tersebut.
Laporan penelitian2 dengan judul “Kemandirian Dayah di Aceh
Dalam Menghadapi Pembangunan Masyarakat Global” ini
menjelaskan sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri, dayah
dianggap masih cukup mandiri dalam segala hal.
Secara umum, penelitian ini membahas tiga pokok
permasalahan yang diteliti, yaitu:
Pertama, kemandirian santri saat menempuh pendidikan di
dayah.
Kedua, kemandirian alumni dayah atau santri setelah selesai
menempuh pendidikan di dayah.
Dan Ketiga, kemandirian dayah sebagai institusi pendidikan.
Terhadap tiga permasalahan di atas, laporan penelitian
2
Laporan Penelitian kolektif Tahun 2012 ini disusun oleh Dr Sri
Suyanta, M.Ag, Eka Sri Mulyani, MA, Ph.D, Syamsul Bahri, MA, TESOL,
Teuku Zulkhairi, MA, Mulia Rahman, MA, Laila Abdul Jalil, MA dan Siti
Zalikha, MA dengan melibatkan konsultan dua guru besar IAIN Ar-Raniry,
Prof. Alyasa’ Abubakar, MA dan Prof. Dr. M. Hasbi Amiruddin, MA.
Teuku Zulkhairi |
9
yang dilakukan di dayah-dayah salafi
ini menjelaskan,
“kemandirian santri saat menembuh pendidikan di dayah masih
relatif dapat dipertahankan secara ketat”. Pada aktivitas pribadi,
secara keseluruhan dilakukan sendiri secara mandiri oleh santri.
Dayah memberikan kebebasan kepada santri dalam mengatur
kesehariannya, namun dengan tetap dibawah kontrol Teungku
Dayah. Misalnya, dalam hal memasak dan menyajikan makanan,
mencuci dan menjemur pakaian, menyetrika pakaian dan hingga
membersihkan tempat tidurnya.
Hal ini tentu saja sangat berbanding lurus dengan apa
yang diterapkan di institusi pendidikan lain yang pengelolaan
aktivitas harian ini melibatkan pihak lain seperti memasak, cuci
pakaian dan sebagainya.
Terhadap permasalahan yang kedua, laporan hasil
penelitian ini menjelaskan, “pada umumnya dayah telah mencetak
generasi yang memiliki jiwa enterprenership (wirausaha) yang
tinggi, sehingga setelah menamatkan pendidikan atau telah
keluar dari dayah, para alumni dayah ini bekerja di berbagai
sektor kehidupan seperti perdagangan, pendidikan, peternakan,
perkebunan, perikanan, jasa, dan sebagaianya. Meski demikian,
tetap ada yang mencari peruntungan dengan mengikuti testing
Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan berhasil.
Sementara itu, terhadap latar belakang permasalahan
yang ketiga, penelitian ini menjelaskan, kemandirian dayah
sebagai sebuah institusi pendidikan tidak bisa dilihat secara
hitam putih. Hal ini disebabkan eksistensi dayah-dayah di
seluruh Aceh dewasa ini telah mendapat perhatian serius dari
pemerintah Aceh. Artinya, dayah yang menerima bantuan dari
pemerintah tidak kemudian hilang tingkat kemandiriannya.
Dalam proses pembelajaran di dayah, para santri juga
diatur secara ketat rutinitas ibadahnya, akan dihukum jika
10
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
santri tidak shalat berjamaah. Dayah berhasil mendidik setiap
santrinya untuk hidup sederhana, sesuatu yang tidak mampu
dilakukan oleh lembaga pendidikan manapun lainnya.
Selain melahirkan santri yang mandiri, santun,
menghormati guru, dan menjaga ukhuwah Islamiyah, insitusi
pendidikan dayah sebagaimana pengakuan sejumlah akademisi
di perguruan tinggi, bahwa dayah adalah benteng terakhir
penerapan syari’at Islam di Aceh. Tapi pujian apapun tentu
tidak boleh melenakan para santri. Karena terdapat tanggung
jawab besar lainnya di pundak para santri, yaitu membangun
peradaban Islam di negeri ini.
“Tapi pujian apapun tentu tidak boleh melenakan para
santri. Karena terdapat tanggung jawab besar lainnya di pundak
para santri, yaitu membangun peradaban Islam di negeri ini”
D. Tidak Mudah Perjuangan Santri Untuk Bisa
Baca Kitab Kuning
Tidak mudah belajar kitab kuning sampai anda bisa
membaca dan memahami isinya. Perlu ilmu Nahwu dan Sharaf
yang mumpuni dulu baru bisa baca kitab kuning. Maka orang
belajar di dayah itu bertahun-tahun. Kita harus betul-betul
menghafal kitab - seperti kitab Awamel, Jarumiyah, Matan Bina,
kitab Dhammon dan Tasrif - dulu baru bisa membaca dasar-dasar
awal kitab kuning, itupun jika betul-betul menyimak pelajaran
saat disampaikan sang Teungku.
Lebih dari itu, Anda juga mesti hafal beberapa kaidah
yang dibuat dalam nazham bahasa Aceh, seperti berikut ini:
Teuku Zulkhairi |
11
“bermula keu mubtada ‘oh geu i’rab
meunyo itu wahee teungku jeut keu khabar.
Oleh ngen lah jeut keu fa’el wahee rakan,
naeb fael dan mafol geu kheun akan”.
Kalau aturan dasar ini tidak anda kuasai, maka pastilah
besar kemungkinan akan salah pula baris-baris isi kitab yang
akan kita baca yang fatalnya bisa salah pula maknanya. Hebat
sekali para ulama terdahulu yang telah menyusun kaidah-kaidah
membaca kitab kuning. Itu karena mereka paham bahwa kitab
kuning ini kelak akan menjadi warisan ‘turast’ yang tak ternilai
harganya.
“Hebat sekali para ulama terdahulu yang telah menyusun
kaidah-kaidah membaca kitab kuning”
Maka kita patut apresiasi mereka para santri yang
konsen mempelajari kitab kuning, karena dengan demikian
maka mereka telah mewarisi khazanah penting dunia Islam
yang tak ternilai harganya. Juga patut kita apresiasi para santri
Aceh yang keluar sebagai juara dalam berbagai ajang lomba baca
kitab kuning. Mereka adalah orang yang bernilai. Juga apresiasi
untuk siapa saja yang selenggarakan lomba baca kitab kuning.
Penulis teringat cerita yang menyebut kitab kuning yang
dipelajari di dayah sudah tidak relevan dengan perkembangan
zaman. Kalau kita tanya, sebutkan satu baris saja dari kitab yang
tidak relevan dengan perkembangan zaman, tentu mereka tidak
mampu menunjukkannya. Mana ada ilmu yang bisa usang, ya
kan? Kitab-kitab kuning membahas berbagai khazanah keilmuan
12
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Islam. Dari masalah Tasawuf, Fiqh, Akhlak, Siyasah, Falak,
Mantiq (ilmu logika), Tafsir, Hadis dan Ilmu hadis, Alquran dan
Ulumul Quran, dan seterusnya.
Tiadalah orang yang mulia kecuali dia akan memuliakan
warisan para ulama. Dan tiadalah orang yang tidak
memuliakannya melainkan orang yang tidak paham. Kepada
para mahasiswa saya sering sampaikan, jalan untuk kembali
kepada Alquran dan hadis adalah dengan cara anda belajar dan
mengikuti para ulama. Sebab, kata Nabi, “ulama adalah pewaris
para Nabi”. Jadi kalau mau ikut Nabi ya ikuti para ulama. Kalau
mau ikuti para ulama ya pelajari kitab-kitabnya.
Dan jalan untuk mengikuti ulama adalah mempelajari
pemikiran dan fatwa atau nasehatnya. Tidak bisa langsung
lompat, karena kita ini kan hidup di zaman yang sudah sangat
jauh dengan fase hidup Rasulullah Saw? Yang paling paham
Rasulullah Saw itu adalah para Sahabat-sahabatnya. Dan yang
paling paham sahabat adalah Thabi, dan seterusnya hingga
ulama mutaakhkhirin. Jadi ya kita ikuti saja mekanisme ini,
apalagi kita baru belajar. Amat sedikitlah ilmu kita. Benar-benar
kita ini seperti sebutir pasir di padang pasir, atau lebih kecil lagi.
E. Kitab Kuning “Masuk Kampus”
Kita patut bahagia ketika beberapa waktu lalu, Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Prof. Dr. Warul Walidin
melaunching kegiatan “Seumeubeut ulama kharismatik Aceh”
di Aula Pascasarajana kampus tersebut, penulis menangkap ini
sebagai bagian dari upaya UIN untuk mengemban tanggung
jawab sejarah sebagai bentuk pengakuan terhadap pendidikan
dayah dengan kitab kuningnya sebagai bagian tidak terpisahkan
dalam pendidikan di Aceh. Tgk. H. Nuruzzahri (Waled Nu) yang
Teuku Zulkhairi |
13
bertindak sebagai narasumber dan membaca kitab Al-Maḥalli
saat itu menjelaskan banyak hal bagaimana kitab kuning selama
ini dipelajari dan diajarkan di institusi pendidikan dayah. Waled
Nu menjelaskan bagaimana sebuah kalimat “Bismillah” dapat
dipelajari berhari-hari dan berbulan-bulan oleh para santri.
Setiap baris dari isi kitab-kitab yang menjadi referensi
pembelajaran di institusi pendidikan dayah akan dipelajari
sampai tuntas. Sesungguhnya, model pembelajaran semacam ini
memiliki keungggulan karena pendalaman yang menyeluruh atas
setiap baris-baris kitab kuning klasik (turast). Misalnya ketika
membaca sebuah kalimat dalam kitab kuning, pemahaman
yang komprehensif pun akan didapat oleh pelajarnya mulai dari
uslub sebuah kalimat yang digunakan pengarang, pemahaman
atas baris-baris isi kitab, kenapa baris atas (fatah), baris bawah
(kasrah) dan baris depan (dhammah) yang berimplikasi pada
tujuan memperoleh pemahaman yang utuh sebagaimana
dimaksudkan oleh sang pengarang kitab.
“Sesungguhnya, model pembelajaran semacam ini
memiliki keungggulan karena pendalaman yang menyeluruh
atas setiap baris-baris kitab kuning klasik (turast)”
Maka untuk dapat mempelajari dan menguasai kitab
kuning secara mendalam, dibutuhkan penguasaan yang cukup
atas ilmu alat lainnya seperti pemahaman atas kosakata
(mufradat) bahasa Arab, penguasaan atas gramatikal bahasa
Arab (ilmu nahwu, sharaf) dan ilmu-ilmu yang lain yang juga
dipelajari secara khusus. Intinya, mengkaji kitab kuning secara
mendalam niscaya membutuhkan ragam keilmuan pendukung.
Ini menandaskan bahwa kajian kitab memang membutuhkan
keseriusan dan kesungguhan, serta waktu yang lama.
14
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Pembelajaran dengan model seperti ini memang tidak
mungkin seluruhnya dapat dibawa secara menyeluruh ke
model pendidikan kampus. Hal ini dengan alasan keterbatasan
waktu dan sebab-sebab yang lain. Sistem pembelajaran yang
sudah berlaku secara baku di kampus dewasa ini misalnya di
mana mahasiswa diberikan tugas untuk membuat makalah
terkait tema-tema yang sudah ditetapkan dalam silabus. Para
pengajar akan mengarahkan mahasiswanya untuk merujuk
ke sejumlah referensi untuk dikaji oleh mahasiswa untuk
kemudian dipresentasikan. Keunggulan pembelajaran dengan
model seperti ini, mahasiswa akan membaca banyak referensi
untuk dapat mengupas sebuah permasalahan atau materimateri yang telah ditetapkan. Kekurangannya, tidak ada kajian
yang mendalam terhadap isi kitab atau materi-materi. Dunia
perguruan tinggi Islam di Indonesia umumnya memang tidak
mengkaji kitab-kitab tertentu secara khusus. Kajian kitab
umumnya bersifat parsial. Yang dikaji hanya masalah tertentu
yang terkait dengan tema yang dibahas. Ini berbeda dengan
sistem pendidikan di dayah dimana semua persoalan (isi kitab
kuning) dibedah dari hulu ke hilir. Dari A sampai Z. Tapi
kekurangannya, ini membutuhkan waktu yang sangat lama
sehingga pelajar yang tidak belajar dalam waktu yang lama maka
tidak akan dapat memahami banyak persoalan yang seharusnya
dia pahami sebagai muslim.
Intinya, model pembelajaran yang diterapkan institusi
dayah dan kampus memiliki keunggulan dan kekurangan masingmasing. Maka oleh sebab itu, munculnya gagasan-gagasan untuk
mengintegrasikan keunggulan model-model pembelajaran ini
adalah hal yang patut diapresiasi. Dunia pendidikan dayah sendiri
dewasa ini kian terbuka mengadopsi model pembelajaran yang
menjadi trademarknya dunia kampus. Misalnya dengan hadirnya
Sejumlah Sekolah tinggi dan Ma’had ‘Aly di lingkungan dayah
yang tentu saja dibarengi dengan asimilasi model pembelajaran
Teuku Zulkhairi |
15
kampus ke dayah. Selian itu, sejak dua dekade terakhir, semakin
banyak santri dayah yang menempuh pendidikan lanjutan ke
perguruan tinggi Islam.
“Dunia pendidikan dayah sendiri dewasa ini kian terbuka
mengadopsi model pembelajaran yang menjadi trademarknya dunia
kampus”
Oleh sebab itu, sekali lagi, gagasan seumeubeut kitab
kuning oleh ulama kharismatik di UIN Ar-Raniry adalah hal
yang patut diapresiasi. Setidaknya, dengan ini dapat menjadi
wahana pendekatan model pembelajaran khas dayah ke dunia
kampus. Sejatinya, perguruan tinggi Islam semacam UIN ArRaniry memang tidak dapat dilepaskan dari khazanah keilmuan
klasik (turast) yang ditulis oleh para ulama dalam kitab-kitabnya
yang masyhur dengan sebutan “kitab kuning”. Apalagi, dalam
rangka pengembangan kelimuan Islam dan karakter pelajarnya,
kebutuhan terhadap referensi-referensi dari kitab kuning
sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan.
Setidaknya terdapat dua alasan utama untuk memahami
hal ini. Pertama, sebagai perguruan tinggi Islam, studi Islam di
berbagai jurusan di Ar-Raniry sangat membutuhkan referensireferensi dari kitab kuning sebagai warisan intelektual Islam di
masa silam. Jikapun argumen ini henak ditepis dengan pernyataan
“kitab kuning ketinggalan zaman”, maka pada kenyataannya
kitab kuning tidak pernah ketinggalan zaman. Siapapun yang
dengan tulis mengkaji kitab kuning tentu tidak akan sampai
pada kesimpulan itu, kecuali jika hanya berkomentar dari luar
saja. Mereka yang telah sampai pada tataran ilmu yang tinggi
pasti akan terus merendah diri di hadapan kekayaan warisan
perbendaharaan ilmu dari kitab-kitab turast peninggalan ulamaulama terdahulu.
Berbagai problem yang muncul di dunia kontemporer
16
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
yang menimpa umat Islam memang tidak seluruhnya tertera
secara spesifik dalam kitab kuning sebagaimana yang sering
disinggung beberapa kalangan. Tapi perlu dicatat, kitab kuning
sendiri bukanlah sesuatu yang anti terhadap perkembangan
zaman. Kaidah-kaidah Ushuluiyah yang diletakkan Imam Syafi’i
misalnya, membuka peluang melahirkan “ijtihad” baru untuk
merespons problem-problem fiqh kontemporer yang dahulu
tidak dibahas dalam kitab kuning. Tapi sesungguhnya apa yang
tidak dibahas tersebut hanyalah sebagian kecil.
Pada faktanya, hampir sebagian besar problem
kontemporer dunia lainnya telah dibahas tuntas dalam kitab
kuning. Mulai dari persoalan akhlak, pendidikan, ekonomi,
politik, aqidah dan berbagai persoalan lainnya. Maka di sini
kita mengenal kitab-kitab kuning semacam Ta’lim Muta’lim
yang masyhur. Sebuah kitab yang membahas adab-adab
seorang pelajar yang hingga kini menjadi objek kajian di dunia
pendidikan Islam. Ketika hari ini kita mendapati problemproblem akut yang mendera bangsa Indonesia, semisal persoalan
korupsi, badai hoaxs dan fitnah, hilangnya budaya santun
dan sebagainya, maka kitab kuning semisal Kitab Nashaihul
‘ibad, Ihya ‘Ulumuddin, Muraqil ‘Ubudiyah dan lain-lain telah
memberikan solusi fundamental dalam menghadapinya. Ketika
praktek politik kita gagal melahirkan kesejahteraan, sebenarnya
politik yang ideal untuk mencapai tujuan ini telah dibahas dalam
kitab kuning, seperti dalam Al Ahkam Sultaniyah.
Dan ketika hari ini kita menyaksikan gonjang-ganjing
kehidupan bermasyarakat karena masukanya aqidah-aqidah
yang asing di telinga masyarakat Aceh, maka sebenarnya jauhjauh hari kitab kuning telah memberi penjelasan yang cukup
memadai tentang aqidah yang dengan itu kita akan terhindar
dari kebingungan dan keraguan dalam beragama. Bahkan
agar isi kitab kuning bertuliskan Arab ini dapat dipahami
Teuku Zulkhairi |
17
masyarakat luas, para ulama Aceh dan dunia Melayu dahulu
juga telah menerjemahkan atau menulis ulang dalam bahasa
Jawi (Arab-Melayu) sehingga dapat dengan mudah dipelajari
dan dipahami oleh masyarakat dalam level awam sekalipun.
Maka kita mendapati referensi yang melimpah kitab-kitab
Jawi yang dikarang oleh Syaikh Abdurrauf As-Singkili, Syaikh
Abdussamad Al-Falimbani, Daud Fathani, Nuruddin Ar-Raniry
dan seterusnya.
Kedua, nama Syaikh Nuruddin Ar-Raniry yang
ditasbihkan menjadi nama kampus UIN Ar-Raniry, beliau adalah
ulama masyhur di masa kerajaan Aceh Darussalam yang banyak
sekali menulis kitab-kitab dalam berbagai berbagai kategori
keilmuan. Maka tentu saja para pelajar UIN Ar-Raniry sudah
seidealnya mengikuti jejak Syaikh Nuruddin Ar-Raniry yang
akrab dengan kitab-kitab kuning. Saya meyakini, di balik alasan
para pendahulu kita memberi nama kampus Ar-Raniry terbesit
harapan agar para pelajar di Ar-Raniry kelak akan akrab dengan
karya-karya beliau khususnya, dan karya-karya para ulama
lainnya yang termaktub dalam kitab-kitab kuning. Begitu juga,
saya meyakini dibalik alasan para pendahulu kita memberi nama
kampus Universitas Syiah Kuala yang merujuk pada Syaikh
Abdurrauf As-Singkili. Tentu terdapat harapan mereka agar para
pelajar Unsyiah dapat akrab dengan kitab-kitab Syiah Kuala dan
kitab kuning lainnya yang menjadi bahan kajian beliau di masa
hidupnya.
18
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
BAB II
Memahami Penolakan Santri
Terhadap Aliran Ekstrim Kanan
Dan Ekstrim Kiri
Teuku Zulkhairi |
19
A. Parade Aswaja Santri Aceh, Menolak Aliran
Ekstrem Kanan
Beberapa tahun lalu para santri jaringan dayah di Aceh
berhasil laksanakan Parade Ahlu Sunnah wal Jama’ah (Aswaja)
terbesar dalam sejarah dayah di era modern. Parade ini bukan
tidak beralasan,khususnya jika kita melihat sejarah Aceh masa
lalu yang berhasil menjadikan Ahlu Sunnah wal Jama’ah sebagai
mazhab resmi kerajaan. Munculnya parade ini sebagai akibat
eksistensi Aswaja yang dirasakan terasa sekali terancam oleh
berbagai paham-paham imporan.
Oleh sebab itu, ketika komunitas santri dayah bangkit
menunjukkan superioritasnya dengan menurunkan massa yang
cukup banyak, maka ini bisa dimaknai sebagai upaya pihak dayah
untuk menunjukkan kepada semua pihak bahwa dayah dengan
segenap komunitasnya jelas siap melawan paham apapun
yang ingin menggerogoti eksistensi paham Aswaja di Aceh
yang memang sudah sangat mengakar dengan dayah sebagai
sentralnya kekuatannya.
Penggerogotan terhadap Aswaja baik dilakukan kalangan
Syi’ah, wahabi maupun kominisme (neo PKI). Itu sebab, dalam
spanduk-spanduk massa Parade Aswaja saat itu nampak
mengusung materi-materi perlawanan terhadap Syi’ah, Wahabi
dan Komunisme. Syi’ah dianggap konsensus ulama dunia keluar
dari Islam karena keyakinan caci maki mereka kepada para
sahabat Rasul seperti Umar bin Khatab, Abubakar dan Usman.
Begitu juga kepada Aisyah.
20
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Foto massa saat Parade Aswaja di Banda Aceh. Sumber foto: acehkita.
com
Sementara Wahabi ditolak karena pahamnya yang
sangat radikal dalam beragama. Mereka sangat cepat sekali
membid’ahkan amalan umat Islam, bahkan tidak jarang mereka
mengkafirkan kelompok umat Islam selain kelompok mereka.
Terhadap kelompok ini, salah satu kelompoknya bahkan sudah
difatwakan sesat oleh Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU)
Aceh. Sementara itu, Komunis pun sudah jelas menunjukkan
bahayanya. Tidak sedikit pengikut ajaran tanpa Tuhan ini,
khususnya di Pulau Jawa.
Alhasil, tidak diragukan lagi bahwa paham-paham ini
sedikit demi sedikit akan memberikan efek ketidaknyamanan
bagi masyarakat Aceh secara umum pada suatu ketika,
khususnya bila kita melihat pengalaman-pengalaman wilayah
umat Islam lain di dunia. Suriah misalnya, dahulu umat Islam
disana yang mayoritas Ahlu Sunnah hidup dalam kedamaian,
mereka membiarkan Syi’ah eksis. Tapi ternyata ini pilihan
Teuku Zulkhairi |
21
salah, saat Syi’ah semakin besar dan menguasai berbagai pos
pemerintahan, lalu umat Islam pun mereka perangi dengan
bekerja sama dengan Iran. Pengalaman Suriah ini tentu kita
berharap jangan sampai terjadi di Indonesia, apalagi di Aceh.
“Alhasil, tidak diragukan lagi bahwa paham-paham ini
sedikit demi sedikit akan memberikan efek ketidaknyamanan
bagi masyarakat Aceh secara umum pada suatu ketika,
khususnya bila kita melihat pengalaman-pengalaman wilayah
umat Islam lain di dunia”
Oleh sebab itu, tekad dan perjuangan komunitas santri
dayah untuk memperkuat ideologi Ahlu sunnah wal jama’ah di
Aceh adalah hal yang tidak diragukan lagi mesti kita dukung
dan kita sokong dengan apa yang bisa kita lakukan. Kita dukung
upaya-upaya penguatan ideologi Ahlusunnah wal jama’ah bagi
masyarakat Aceh, utamanya para pelajar atau generasi mudanya
agar mereka memiliki fondasi yang kuat sehingga kelak tidak
terpengaruh dengan paham-paham yang bertentangan dengan
Ahlusunnah wal jama’ah. Penguatan ini bukan hanya dilakukan
di dayah-dayah tentu saja, namun juga ke segenap struktur
kehidupan masyarakat Aceh, di sekolah, majlis-majlis ta’lim, balai
pengajian, perguruan tinggi dan perkumpulan-perkumpulan
lainnya.
B. Bersyukur Berada dalam Barisan Ahlusunnah
wal Jama’ah
Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah Swt karena
Ia telah menghidupkan kita dalam keadaan Islam. Ini adalah
nikmat terbesar bagi kita disamping nikmat iman. Berikutnya,
kita bersyukur kepada Allah Swt atas nikmat berada dalam
lingkaran paham Ahlu sunnah wal jama’ah dan orang-orang yang
22
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
mempraktekkannya. Sungguh, menjadi bagian dari Ahlu sunnah
wal jama’ah adalah nikmat lainnya yang patut kita syukuri di
saat banyak umat Islam yang keluar dari frame Ahlu sunnah wal
jama’ah seperti Khawarij, Qadariyah, Syi’ah, Jabariyah, Mu’tazilah
dan sebagainya. Tentunya, Allah memberi hidayah bagi siapa
saja yang Ia kehendaki dan mencabut hidayah bagi siapa saja
yang ia kehendaki.
Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan Abu Dawud,
Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hkaim Rasulullah Saw bersabda:
“Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Nasrani
menjadi 72 golongan. Umat ini (Islam) akan terpecah
menjadi 73 golongan. Semuanya di neraka, kecuali 1
(satu) golongan (yang selamat). Nabi ditanya, “siapa
dia ya Rasulullah?”. Nabi menjawab: “yaitu golongan
yang seperti aku dan para sahabatku”. Dalam sebagian
riwayat, “Dia adalah Jama’ah”.
KH. Hasyim Asy’ari (1287-1336 H), salah satu pendiri
NU- dalam kitab Ziyadat Ta’liqat (hal: 23-24) mengatakan:
“Adapun Ahlu sunnah wal jama’ah adalah kelompok ahli
Tafsir, ahli hadis, ahli fiqh. Merekalah yang mengikuti
dan berpegang teguh dengan Sunnah Nabi Muhammad
Saw dan Sunnah Khulafaurrasyidin (khalifah yang empat)
sesudahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (alfirqah an-Najiyah). Mereka mengatakan bahwa kelompok
tersebut sekarang ini terhimpun dalam mazhab yang
empat, yaitu mazhab hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali”.
Sementara itu, maksud “Jamaah” dalam hadis di atas,
menurut Imam Asy-Syatibi dalam kitab al-I’tisham adalah 5
(lima) pendapat. Pertama, assawadu al-a’dzam yaitu kalangan
mujtahid, para ulama, adli syari’ah yang mengamalkan ilmunya,
Teuku Zulkhairi |
23
dan orang-orang yang selain mereka masuk ke dalamnya karena
mengikuti dan diikuti. Kedua, para ulama Mujtahid yang menjadi
panutan. Yaitu para Ulama Mujtahid yang mengikuti Al-Qur’an
dan Sunnah.
Syatibi berkata: “barangsiapa yang keluar dari ulama
imam, maka dia akan meninggal dalam keadaan jahiliyah
(kebodohan)”. Ketiga, para sahabat Nabi secara khusus.
Keempat, golongan (jamaah) ahli Islam. Apabila mereka sepakat
atas suatu perkara maka wajib bagi yang lain untuk mengikuti.
Hadis di atas adalah sebuah intsruksi yang gamblang
bahwa jalur keselamatan di saat Islam menjadi terpecah belah
adalah dengan tetap mengikuti Sunnah Nabi Muhammad Saw
dan juga mengikuti para Sahabatnya yang mulia (jamaah). Hadis
di atas juga pembuktian Kenabian Nubuwah Muhammad Saw
tentang akan terpecahnya Islam dalam berbagai golongan dan
aliran, dimana perihal itu bisa kita saksikan dewasa ini. Kita
misalnya melihat kelompok Syi’ah yang begitu gencar memusuhi
umat Islam dan mencela para sahabat Nabi seperti Umar bin
Khatab, Usman dan Abu Bakar Radhiallhu ‘anhum. Mereka juga
mencaci maki Saidah Aisyah istri Rasulullah Saw.
Di saat yang sama, kita menyaksikan kelompok Neo
Mu’tazilah yang cukup sering menempatkan akal di atas
wahyu. Kita juga melihat kelompok wahabi yang mengklaim
kelompoknya sebagai Salafy yang begitu cepat mengkafirkan
umat Islam yang lain pada perkara yang masih khilafiyah
fikih. Juga ada kelompok Qadariyah yang menganggap bahwa
manusia adalah penentu bagi dirinya sendiri dan Allah tidak
mengintervensi manusia.
Ketika kita menyaksikan berbagai realitas kelompok
ini, lalu kita melihat posisi ideologi Ahlusunnah wal Jama’ah
yang sangat Tawasuth (moderat). Ahlusunnah wal Jama’ah
24
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
menghormati seluruh sahabat Nabi Muhammad Saw, apalagi
figur-figur seperti Abubakar, Umar dan Usman yang tidak
lain adalah para Khulafaurrasyidin. Ahlusunnah wal Jama’ah
memposisikan akal pada posisinya yang terhormat, bahwa
akal diminta untuk berfikir akan tettapi harus selalu dalam
bimbinngan wahyu, sesuatu yang dengan cara inilah umat Islam
di masa lampu mampu meraih kejayaan peradabannya seperti
di masa Andalusia Spanyol. Akal tanpa wahyu sudah terbukti
membawa kebingungan berat bagi manusia seperti yang terjadi
di era Yunani kuno.
Ahlusunnah wal Jama’ah juga tidak tidak memiliki
sikap ekstrim seperti kalangan wahabi radikal yang cepat
sekali menuduh kafir dan bid’ah pada urusan-urusan yang
sebenarnya masuk kategori khilafiyah fiqh. Ahlusunnah wal
Jama’ah tidak mudah mengkafirkan atau membid’ahkan pada
persoalan-persoalan khilafiyah fiqh. Ulama-ulama Ahlusunnah
wal Jama’ah memiliki sikap yang sangat Tawasuth dalam
memandang persoalan-persoalan khilafiyah.
Tidak seperti golongan Qadariyah, Ahlusunnah wal
Jama’ah memandang bahwa Allah Swt mampu mengintervensi
segala tindak manusia, bahwa apapun yang dikerjakan manusia
adalah tidak lepas sama sekali dari iradah Allah Swt, meskipun
juga menekankan bahwa perbuatan buruk yang dikerjakan
manusia tidak disandangkan kepada Allah Swt karena Allah Swt
telah member manusia akal untuk berfikir dan wahyu sebagai
petunjuk, serta Nabi Muhammad Saw sebagai penuntun ke jalan
yang lurus.
Oleh sebab itu, mari kita bersyukur dan konsisten berada
dalam golongan Ahlusunnah wal Jama’ah. Setelah itu, mari
kita berdo’a agar Allah Swt menetapkan kita dalam golongan
Ahlusunnah wal Jama’ah. allahummaj’alna min ahli sunnati wal
jama’ah. wala Taj’alna min ahlil bid’ati wadhdhalalah. Ya Allah,
Teuku Zulkhairi |
25
jadikan kami sebagai bagian dari golongan Ahlusunnah wal
Jama’ah. dan janganlah engkau jadikan kami sebagai golongan
ahli bid’ah dan kesesatan. Amiin ya Rabbal ‘alamin.
C. Sultan Iskandar Muda Menjaga Eksistensi
‘Ahlusunnah Wal Jama’ah’
Kita melihat lucu ketika sekelompok orang di Media
Sosial menertawakan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
Aceh, misalnya saat berita di Serambi Indonesia beberapa waktu
lalu (Jum’at, 24/11/2017) dimana MPU melarang penyebaran
kitab ‘ghairu muktabarah’ dalam rangka menjaga eksistensi
Ahlusunnah wal Jama’ah di Aceh. Intinya, bagi mereka, kebijakan
MPU tersebut tidak tepat.
Oleh sebab itu, merespons fenomena ini, sekaligus untuk
menjaga wibawa MPU di Sosial Media, marilah kita melihat
referensi masa lalu dalam Qanun Meukuta Alam, yang merupakan
Undang-Undang Dasarnya kerajaan Aceh Darussalam di masa
jayanya dahulu. Ya, di masa jayanya Kerajaan Aceh Darussalam
dahulu. Qanun Meukuta Alam, sebagaimana juga Sultan
Iskandar Muda sangat masyhur di kalangan masyarakat Aceh.
Isi Qanun Meukuta Alam ini antara lain bisa dibaca dalam
sebuah buku yang menerjemahkan Qanun Meukuta Alam (dalam
Syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk. Di Meulek dan Komentarnya)
ke dalam bahasa Indonesia, selain itu juga ditampilkan bahasa
Jawinya sebagai bahasa asli Qanun tersebut. Buku yang
diterbitkan Syiah Kuala University Press ini diterjemahkan oleh
Dosen UIN Ar-Raniry Mohd. Kalam Daud dan Dosen Unsyiah,
Pak T.A. Sakti.
Melihat referensi masa lalu tentu penting agar sebagai
bangsa Aceh, kita tidak hanyut dan lupa diri di tengah zaman
26
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
now (sekarang) yang dipenuhi berbagai tantangan pemikiran.
Dan Qanun Meukuta Alam ini, kalau kita baca baris per baris,
maka kita pasti akan merasakan begitu hebatnya Kerajaan Aceh
Darussalam dahulu, bahkan hingga akhlak Raja ikut diatur,
bukan hanya tentang penyelenggaraan kerajaan.
Di Bab satu Qanun Meukuta Alam ini, dijelaskan bahwa
dasar hukum Kerajaan Aceh Darussalam adalah Alquran,
Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Dan secara fiqh berpedoman kepada
mazhab yang empat, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali.
Itu artinya, perjuangan para ulama yang mendesak Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh beberapa waktu
lalu agar memuat Ijma’ dan Qiyas bukanlah sesuatu yang baru
dan tidak berdasar.
Berkaitan dengan Ahlusunnah wal Jama’ah, sebagai mazhab
mayoritas masyarakat Aceh, salah satu sub bab dalam Qanun
Meukuta Alam tertulis begini:
“Dan hendaklah menjaga agama Islam Syari’at Rasulullah
Saw supaya jangan masuk Mu’tazilah, Khawarij, Rafidi
(dan) Syi’ah, yakni semua kaum yang tujuh puluh dua. Sebab,
karena kaum yang Tujuh Puluh Dua, maka itulah kaum yang
merusakkan agama Islam dan kaum itulah yang merusakkan
agama Islam dan kaum itulah yang menghasut-hasutkan
rakyat dan membikin huru-hara negeri dan mengacaukan
keamanan rakyat dan kemakmuran negeri”.
Sampai di sini, kita bisa menemukan pertalian kondisi
zaman now (sekarang) dengan upaya masa lalu menjaga Aceh
agar terus aman dan damai, jauh dari huru-hara. Dan rupanya,
kebijakan melarang aliran-aliran tersebut di atas agar tidak
menyebar di Aceh telah dilakukan sejak dahulu, bukan hanya
saat ini. Jadi, sejatinya apa yang dilakukan oleh para ulama Aceh
yang tergabung di MPU saat ini adalah persis seperti yang dulu
Teuku Zulkhairi |
27
juga pernah dilakukan.
Lalu apa alasannya berikutnya sehingga paham-paham
itu dilarang di Aceh, baris berikutnya berbunyi:
“Dan kaum yang tujuh puluh dua, maka itulah kaum yang
khianat kepada Syari’at Rasulullah dan kaum yang tersebut
itu amat musuh dengan ulama Ahlusunnah wal jama’ah
radhiallahu ‘anhum. Dan kaum itu sangat musuh dengan
awliya, dan dengan ulama yang shalihin”.
Baris ini menandakan adanya ketegasan dilarangnya pahampaham tersebut agar tidak menyebar di Aceh. Lalu, baris
berikutnya kembali dipertegas:
“Maka apabila masuk yang tujuh puluh dua ke dalam
tiap-tiap negeri, maka negeri itu sudah terang hancur dan
cerai berai rakyat. Maka sekali-kali, Sultan Meukuta Alam
Iskandar Muda tiada memberi izin dalam negeri Aceh berdiri
“firqah-firqah” yang tujuh puluh dua di seluruh negeri Aceh.”
Nampaknya apa yang ditulis di atas bukanlah berdasarkan rekaan
semata, melainkan muncul karena realitas historis di zaman
sebelumnya yang pernah disaksikan oleh para ulama di Aceh
saat itu atau pengalaman di masa sebelumnya. Maka tidaklah
mengherankan bahwa Sultan Iskandar Muda tidak memberi izin
berdiri firqah apapun di Aceh selain Ahlusunnah wal Jama’ah.
Sultan Iskandar Muda memahami konsekuensi jika Aceh tidak
dijaga dari firqah-firqah di luar Ahlusunnah wal Jama’ah.
Terkait dengan firqah-firqah ini dan kenapa Sultan Iskandar
Muda nampak begitu sangat peduli, terdapat sebuah hadis
yang barangkali menjadi dasar pemikiran yang mempengaruhi
kebijakan Sultan Iskandar Muda dan para ulama Aceh saat itu.
Hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan Imam Tirmizi tersebut
28
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
berbunyi sebagai berikut:
“.....dan umatku akan berkelompok menjadi 73 golongan,
semuanya di neraka kecuali satu golongan. Sahabat bertanya:
Siapa mereka itu Rasulullah? Rasulullah menjawab:
“(mereka adalah golongan yang mengikuti) apa yang ada
padaku dan sahabat-sahabatku.”
Juga terdapat hadis lainnya riwayat Abu Daud yang berbunyi:
“Maka berpegang teguhlah kalian terhadap Sunnah-ku serta
sunnah Khulafa’ al-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk.
Pedomanilah sunnah (jalan hidup) mereka dan pegangilah
erat-erat!”
Nampaknya, faktor hadis ini sangat mempengaruhi kebijakan
Sultan Iskandar Muda dalam menjaga Aceh dari paham di luar
Ahlusunnah wal Jama’ah. Sebagai seorang Sultan yang shalih,
tentu ini sangat bisa dipahami, beliau sangat ingin menjaga Aceh
agar tetap aman dan damai, jauh dari huru-hara dan kekacauaan.
Dan terbukti, bahwa Aceh di masa Sultan Iskandar Muda
mengalami puncak kejayaannya, dimana beberapa referensi
menyebut bahwa saat itu Aceh menjadi kerajaan Islam nomor
lima terbesar di dunia, setelah Ottoman, Mughal, Maroko,
Isfahan dan kemudian Kerajaan Aceh Darussalam. Pada saat
itu, Kerajaan Aceh Darussalam juga menjadi pusat keagamaan
Islam di kawasan Asia Tenggara, sampai Aceh digelar dengan
“Serambi Mekkah”. Tentu, kekuatan stabilitas dalam negeri
sangat mempengaruhi kebehasilan Sultan membawa Aceh ke
era emasnya. Sekiranya keadaan dalam negeri penuh dengan
huru-hara dan kekacauaan, tentu tidak mungkin Kerajaan Aceh
Darussalam akan megah dan jaya.
Pada sub bab berikutnya dijelaskan lebih lanjut tentang
Teuku Zulkhairi |
29
Sultan Iskandar Muda mengizinkan ulama mazhab empat masuk
ke Aceh.
“Dan yang boleh diberikan izin masuk alim ulama di luar
negeri yang hendak mengajar ilmu agama Islam ke dalam
negeri Aceh. Itulah Ahlusunnah wal Jama’ah, yaitu Imam
Syafi’i, dan Imam Hambali, dan Imam Maliki dan Imam
Hanafi dan Imam Abu Hasan al- Asy’ari dan Imam Abu alQasim Syaikh Junaidi Baghdad dan lain-lainnya radhiallahu
‘anhum.
Ini menandakan bahwa perizinan dakwah sudah
dilakukan sejak dahulu, yaitu dimana tidak semua orang
diizinkan berdakwah di Aceh, melainkan seperti dengan kriteria
di atas. Tujuannya, tentu seperti dijelaskan di awal, yaitu
agar tidak terjadi huru-hara di dalam wilayah Kerajaan Aceh
Darussalam.
Dan juga menandakan, bahwa Ahlusunnah wal Jama’ah
di Aceh adalah identik dengan Imam Abu Hasan al- Asy’ari
(Asya’irah), serta juga menandakan bahwa saat itu Kerajaan
Aceh Darussalam menerima aliran Sufi yang merujuk ke Abu alQasim Syaikh Junaidi Baghdad, atau yang lebih dikenal dengan
Junaid al-Baghdady.
Dengan demikian, Ahlusunnah wal Jama’ah di Aceh yang
merujuk ke Abu Hasan al- Asy’ari (Asya’irah) telah memiliki
referensi yang otentik dan histioristik. Dan begitu juga aliran
sufi, yaitu yang berkembang juga dibatasi ke aliran Sufi Abu alQasim Syaikh Junaidi Baghdad yang dikenal sebagai “Pangeran
Kaum Sufi”.
Oleh sebab itu, apa yang dilakukan oleh para ulama Aceh
saat ini, termasuk yang difatwakan oleh MPU Aceh, dan juga
seperti yang tertulis dalam Qanun Pokok-Pokok Syari’at Islam
30
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
di Aceh yang antara lain menetapkan bahwa Aqidah masyarakat
Aceh adalah Ahlusunnah wal Jama’ah dan fiqih empat mazhab,
sesungguhnya merupakan upaya mengembalikan kejayaan
seperti masa lalu, khususnya yaitu untuk menjaga stabilitas
Aceh.
Qanun Meukuta Alam di baris selanjutnya berbunyi:
“Maka sebab itulah Paduka Sri Sultan Sulaiman Meukuta
Alam Iskandar Muda Perkasa Alam Syah mendirikan mufti
empat mazhab, yakni Syaikh al- Islam; Mufti empat dalam
negeri Aceh Darussalam, karena menjaga dan memeliharakan
hukum Syara’ Syari’at Rasulullah Saw dan kaum yang tujuh
puluh dua yang khianat kepada agama Islam”.
Berdasarkan kalimat-kalimat di atas, sekali lagi, nampak
bahwa Sultan Iskandar Muda sangat tegas terhadap kaum
yang tujuh puluh dua, yaitu kaum yang di luar Ahlusunnah wal
Jama’ah. Dan jelas sekali bahwa tujuan pelarangannya adalah
untuk menjaga Aceh agar tidak berkembang di dalamnya
ekstrim kanan maupun ekstrim kiri yang bisa membikin hurahura dalam negeri.
Oleh sebab itu, sampai di sini, marilah kita melihat secara
positif setiap upaya ulama di Aceh untuk menjaga eksistensi
Ahlusunnah wal Jama’ah, agar keamanan dan kedamaian negeri
terus terjaga, seperti yang juga menjadi harapan Sultan Iskandar
Muda. Jangan cepat sekali berburuk sangka kepada ulama,
padahal kita tahu bahwa Ulama adalah pewaris para Nabi.
Dan kita juga paham apa resiko kita menjauhi ulama,
seperti dijelaskan dalam hadis Rasulullah Saw:
“Akan datang suatu masa kepada ummatku dimana
mereka lari dari para ulama dan fuqoha, maka Allah akan
Teuku Zulkhairi |
31
menurunkan tiga macam musibah kepada mereka, yaitu :
1. Allah menghilangkan berkah dari rizki mereka 2. Allah
menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka 3. Allah
mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman.”
Oleh sebab itu, semoga saja kita selalu baik sangka terhadap
upaya para ulama di Aceh dalam menjaga Aceh. amiin ya Allah.
D. Dayah Membendung Radikalisme
Dayah di Aceh merupakan institusi Islam yang secara
umum berpedoman pada mazhab Fiqih yang empat, dan mazhab
Ahlsunnah wal Jama’ah dalam Aqidah. Mazhab fiqih yang
empat merujuk pada Imam Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali.
Sementara Mazhab Ahlusunnah wal Jama’ah yang diajarkan
pada dayah-dayah di Aceh merujuk pada Syaikh Abu Hasan AlAsy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Mazhab Aqidah Ahlusunnah wal Jama’ah terbukti sangat
efektif dalam membendung radikalisme. Kedamaian di Indonesia
dibanding Timur Tengah, tentu dengan izin Allah Swt adalah
“karya” penduduknya yang mayoritas bermazhab Ahlusunnah
wal Jama’ah. Ini dibuktikan dengan dominasi pesantrenpesantren di Indonesia, termasuk di Aceh yang Ahlusunnah wal
Jama’ah yang kemudian mempengaruhi paradigma berfikir dan
kehidupan rakyat Indonesia.
Kita sering mendengar pengakuan orang-orang luar tentang
keindahan Islam di Indonesia. Penduduknya ramah dan santun.
Saat demonstrasi yang diikuti jutaan orang di Jakarta, tidak
terjadi kekisruhan apapun yang kemudian Indonesia menuai
pujian dari luar. Ahlusunnah wal Jama’ah yang diyakini dan
diamalkan oleh dayah-dayah di Aceh merupakan paham yang
moderat (mengambil jalan tengah di antara ekstrim kanan dan
32
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
ekstrim kiri), adil, dan tawazun (seimbang).
Alhasil, keislaman Indonesia yang ditopang oleh dunia
pesantren atau dayah, telah menjadi corak dan model keislaman
ideal dalam dunia yang saat ini terjaid konflik dimana-mana,
khususnya di dunia Arab. Bahkan, dayah-dayah di Aceh sangat
anti terhadap berbagai upaya provokasi radikalisme yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia dewasa ini,
seperti paham takfiri, aliran sesat dan penyimpangan akidah.
Dayah di Aceh yang jumlahnya sangat dominan berperan
sebagai benteng Syari’at Islam di satu sisi, dan disisi lainnya, kita
menyaksikan indahnya keragaman di Aceh, bahwa agama-agama
yang berbeda tetap dihormati selama saling menghargai antar
kepercayaan. Ini adalah wujud toleransi nyata.
Dayah-dayah di Aceh dengan kitab-kitabnya menciptakan
Aceh yang betul-betul aman dan damai di satu sisi, serta
teguh menjadikan Islam sebagai pandangan hidup dan aturan
kehidupan di sisi lainnya. Dalam konteks ini, Dinas Dayah
terus berupaya memperkuat pendidikan dayah dengan berbagai
support materi dan non materi. Pemberian beasiswa untuk
santri berprestasi, bantuan kitab dan seterusnya.
Tidak kita temukan di dayah-dayah diajarkan intoleransi,
saling mengkafirkan (takfiri), saling membid’ahkan dan
sebagainya. Maka dayah di Aceh sangat menyatu dengan denyut
nadi kehidupan masyarakat di sekitar. Para santri di dayah, para
teungku dan ulamanya berbaur dengan masyarakat, terlibat
dalam menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat. Maka
dayah tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Aceh, bahkan
menjadi sub sistem dalam kehidupan masyarakat Aceh, dari
dulu sampai saat ini. Jadi, jelas bahwa dayah di Aceh di satu
sisi sangat istiqamah menjadikan Islam sebagai pandangan dan
aturan hidup, dan menujukkan toleransi dalam keragaman di
Teuku Zulkhairi |
33
sisi lainnya.
E. Catatan untuk "Dakwah Salafy", Toleran!
Sebelum kasus interpretasi tsunami Dr Khalid
Basamalah yang menyudutkan umat Islam di Aceh dan akhirnya
berujung pada permintaan maaf yang bersangkutan , terdapat
nama lain yang pada akhirnya juga minta maaf, yaitu Dr Syafiq
Riza Basamalah. Syafiq Basamalah sebelumnya menyebut zikir
berjama’ah yang dilakukan mayoritas umat Indonesia setelah
shalat di mesjid sebagai “nyanyi-nyanyi”. Padahal, yang dibaca
tersebut adalah zikir, tahlil dan do’a berjama’ah yang semuanya
memiliki referensi Islam.
Sementara Khalid Basamalah menyebut ganja sebagai
sebab terjadinya tsunami di Aceh dengan interpretasi yang
lucu karena seolah semua masyarakat Aceh sudah mabuk
dengan ganja. Dan ketika umat Islam di Aceh tersinggung oleh
interpretasi Khalid, tentu itu bukan berarti mereka mendukung
ganja. Ganja adalah sesuatu yang haram, tidak diragukan lagi.
Namun, kita bersyukur bahwa kedua da’i Salafy ini sudah
meminta maaf via Youtube, membuktikan keluhuran akhlak
mereka dalam hal ini, alhamdulillah.
Sebagai muslim, kita wajib memaafkan, karena ciri-ciri
orang yang bertaqwa salah satunya adalah “suka memaafkan”
(lihat surat ali-‘Imran ayat 133-135). Ketika kita suka memaafkan,
itu artinya kita sudah mendekati derajat takwa yang merupakan
“pakaian” orang-orang shalih. Allah berfirman:
“ Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa
(disediakan) syurga-syurga yang penuh kenikmatan di
34
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
sisi Tuhan-Nya.” (Al-Qalam: 34).
Kendati pun demikian, saya ingin memberi sedikit
catatan untuk metode dakwah salafy, khususnya pada perkara
yang bisa menghadirkan keributan di tengah-tengah umat
Islam. Dengan masukan ini, saya berharap ini menjadi realisasi
atas perintah Alqur’an untuk “tawasau bil haq”, itu saja.
Dakwah sebagian kalangan Salafy selama ini
memang terkenal sangat gemar menggunakan metode tabdi’
(membid’ahkan) dan menuduh syirik amalan umat Islam. Dua
metode ini tentu saja jauh dari metode dakwah Nabi Muhammad
Saw, sang panglima pembawa Risalah Islam.
Setidaknya saya melihat sendiri ketika seorang da’i
Salafy menuduh masyarakat yang nonton TV (sinetron) dan
masyarakat lainnya yang menempel do’a dan ayat Alqur’an
di dinding rumah sebagai perbuatan syirik. Seharusnya,
jangan cepat sekali tuduhan itu keluar kan?. Pun, saya pernah
mendengar pengakuan seorang anak yang masih kecil yang baru
beberapa waktu belajar di pengajian Salafy dimana akhirnya ia
menganggap Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai sesat sehingga
ia menolak ketika saya menawarkan untuk membawanya belajar
di salah satu dayah di Aceh. Juga cerita seorang dosen saya,
dimana mantan muridnya yang lain mulai menjauhinya setelah
belajar di pengajian Salafy. Saya tidak tahu itu aliran Salafy yang
bagaimana, meskipun saya yakin, sebagian Salafy lainnya seperti
orang-orang Wahdah Islamiyah yang saya kenal tidak sekeras itu.
1. Salafy, Bukan Satu-Satunya yang Peduli Akidah
Sebelumnya, kita mengakui bahwa berdasarkan referensi
sejarah, kejatuhan Kekhilafahan Islam Turki Usmani, salah
satu faktor (di samping yang faktor lain, seperti konspirasi
Teuku Zulkhairi |
35
Zionis internasional) yang ikut mendasari kejatuhan tersebut
adalah tersebarnya perbuatan syirik dan khurafat di tengahtengah umat Islam. Ketika Allah tidak lagi dianggap sebagian
umat Islam sebagai satu-satunya yang harus disembah, tentu
saja sangat wajar kejayaannya akan dicabut. Pasca kejatuhan
tersebut, berbagai usaha menuju kebangkitan telah dilakukan
umat Islam, termasuk dengan menghapus praktek kesyirikan,
bid’ah dan khurafat di masyarakat.
Dan dewasa ini, secara umum kita juga tidak bisa
memungkiri bahwa pada sebagian kasus, ketegasan dakwah
Salafy dalam menolak praktek tahayul, kesyirikan dan khurafat
seperti perdukunan, sesajen dan lain-lain adalah patut
diacungkan jempol. Namun harus diakui, pada saat yang sama,
ketegasan terhadap praktek-praktek tahayul, bid’ah dan, bid’ah,
khurafat sebenarnya juga ditunjukkan umat Islam lainnya
di tengah umat Islam dunia dan juga di Indonesia, baik oleh
kalangan santri maupun kalangan akademisi. Jadi salafy bukan
satu-satunya yang paling peduli soal akidah umat Islam.
Kita juga mesti bersyukur, bahwa kalangan Salafy
termasuk dalam barisan umat Islam yang paling terdepan dalam
mengcounter hadis-hadis palsu yang banyak diproduksi kalangan
Syi’ah, seperti yang berbunyi “Aku adalah Kota Ilmu, sedangkan
‘Ali adalah Pintunya. Maka barangsiapa yang menginginkan
Ilmu, hendaknya Dia mendatangi dari Pintunya””, dimana hadis
ini dianggap palsu oleh Imam Bukhari, Abu Zur’ah, At-Tirmidzi,
Ibnu Hibban, Ad-Daruquthni, Ibnul An-Nawawi dan sebagainya.
2. Problem Awal Dakwah Salafy
Namun, yang kita sayangkan, pada sebagian kasus
yang banyak kita jumpai, kalangan Salafy justru terjebak
menjalankan dakwah dengan metode tabdi’ dan menuduh syirik
36
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
di tengah-tengah umat Islam pada perkara yang pada dasarnya
telah dipagari oleh kekayaan literatur fiqh Islam dengan
segala dinamika perbedaan pendapat para ulama di dalamnya.
Mereka menyamakan saja semuanya, antara praktek-praktek
syirik, khurafat dan tahayul, serta bid’ah yang sama sekal tidak
memiliki dasar dalam landasan hukum Islam dengan perkaraperkara yang masih masuk dalam pagar fikh yang kaya dan luas.
Di sinilah awal masalah yang dimunculkan kalangan Salafy di
tengah-tengah umat Islam (di samping beberapa persoalan
lainnya seperti metode penafsiran ayat dimana sebagian mereka
lebih memahami ayat secara zhahiri (tekstual), sesuatu yang
direspon tegas oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
Aceh beberapa waktu lalu yang tidak kita bahas disini).
Setelah saya mencoba menelusuri akar permasalahan
di atas, salah satu persoalan mendasar terdapat di Syaikh
Nashiruddin Al-Bani. Al-Bani dianggap sebagai paling memiliki
legalitas dan kapasitas untuk dan mentakhrij dan menyeleksi
hadis-hadis yang diriwayatkan para Muhaddis, termasuk yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Artinya, secara
tidak langsung ada pandangan di kalangan Salafy bahwa
Nashiruddin Al-Bani lebih hebat dari Imam Bukhari dan Muslim,
apalagi dengan para perawi lain seperti Abu Daud, Ibnu Hibban
dan lain-lain.
Dengan pandangan seperti ini, harus diakui kalangan
Salafy telah memposisikan Nashiruddin Al-Bani sebagai
pembawa “Mazhab Baru” diluar mazhab empat dalam segala
pemahamannya. Namun celakanya, hanya Mazhab Nashiruddin
Al-Bani ini saja yang dianggap sesuai sunnah, sementara yang
lain adalah bid’ah. Sungguh ini fitnah besar di tengah umat Islam
abad ini, karena pemahaman seperti akan begitu sulit dicarikan
titik temu untuk tasamuh atau toleran dalam perbedaan.
Ketika misalnya antar mazhab fikh yang empat terjadi
Teuku Zulkhairi |
37
perbedaan interpretasi (penafsiran) matan hadis, maka proses
tasamuh sangat mudah diwujudkan dan terbukti telah mampu
diwujudkan, namun ini akan berebda dengan “Mazhab Al-Bani”,
karena titik masalahnya ada di landasan hukum (dalam hal ini
hadis) langsung. Kalau satu hadis Nabi sudah ditakhrij oleh AlBani, maka pengamalan umat Islam atas hadis ini akan dianggap
bukan sunnah, atau bahkan bid’ah. Padahal, beberapa mazhab
Fiqh misalnya menggunakan hadis tersebut sebagai landasan
hukum.
Sebagai contoh saya katakan, do’a berbuka puasa,
terdapat hadis bahwa do’a berbuka itu bunyinya;
علَى ِر ْز ِقكَ أَ ْف َط ْرت
َ ص ْمتُ َو ِبكَ آ َم ْنتُ َو
ُ َاللّ ُه َّم لَك
sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud. Sementara
itu terdapat hadis lain yang bunyinya lain lagi, yaitu:
َّ بُال
ُ ُوثَبَتَ ُاْأل َ ْج هرُإِ ْنُشَا َء،ق
ُوا ْبتَلَّتُِا ْلعه هرو ه،ظ َمأه
َ ذَ َه
للاه
sebagaimana diriwatkan juga oleh beberapa perawi,
termasuk Abu Daud.
Nah, karena do’a pertama di atas sudah ditakhrij
oleh Al-Bani dan do’a kedua disahihkan, lalu kalangan Salafy
menyimpulkan do’a pertama tersebut sebagai bukan Sunnah,
yang artinya do’a pertama itu adalah bid’ah. Maka jangan heran
jika tuduhan bid’ah atau keluar dari sunnah begitu mudah keluar
dari lisan dan tulisan mereka.
Padahal, para ulama besar bidang fikh telah menunjukkan
kebijaksanaannya. Salah satu ulama kontemporer, Prof Wahbab
38
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Zuhaili yang seorang pengikut Mazhab Syafi’i misalnya, dalam
Fiqh Islam wa Adillatuhu bab “Puasa” beliau mengambil langkah
bijak dengan menggabungkan kedua do’a di atas menjadi do’a
berbuka. Tapi barangkali kalangan Salafy akan sulit melakukan
hal seperti ini oleh karena bagi mereka standar kebenaran dalam
hal ini hanyalah pada Syaikh Nashiruddin Al-Bani.
Itulah contoh nyata penyebab keributan di tengahtengah internal umat Islam dewasa ini, yaitu oleh karena Al-Bani
telah dianggap lebih hebat dari semua ulama mazhab dan para
perawi hadis sekalipun. Seolah, Imam Mazhab dan para perawi
hadis tidak ada yang paham hadis sehingga mengambil hadishadis yang pada perkembangan kemudian dianggap Dha’if oleh
Al-Bani.
3. Mari Lebih Toleran!
Slogan kembali kepada Alqur’an dan hadis, atau ajakan
beramal sesuai Sunnah yang biasa didengungkan kalangan Salafy
sesungguhnya tidak salah. Yang salah adalah saat kalangan
Salafy mulai saling menyalahkan dengan tuduhan bid’ah di luar
apa yang diyakininya. Seharusnya, jika khazanah fiqih yang kaya
bisa dipahami dengan baik, maka tuduhan bid’ah tidak akan
keluar begitu cepatnya.
Penting dipahami bahwa mengikuti pendapat para
Imam Mazhab dan ulama-ulama pengikutnya, bukanlah berarti
mengangkangi Alqur’an dan sunnah. Mengikuti Alquran dan
sunnah adalah termasuk memahami universalitas ajaran Islam
dan landasan hukum lainnya yang bersumber dari kedua
sumber utama ini. Oleh sebab itu, maka dalam proses mengikuti
Alquran dan hadis, kita tidak bisa memungkiri keharusan untuk
mengikuti landasan hukum Islam lainnya, seperti Ijma’, Qiyas
yang disepakati mayoritas ulama, bahkan terdapat landasan
hukum berikutnya yang dipedomani oleh sebagian ulama
Teuku Zulkhairi |
39
lain seperti Mashalihul Mursalah, Qaulu Sahabi, Istihsan dan
seterusnya.
Mengikuti landasan-landasan hukum semacam Ijma’,
Qiyas dan lain-lainnya yang disepakati ulama, adalah bagian
dari ketentuan dalam proses mengikuti Alquran dan Hadis.
Sampai di sini, jelas bahwa kita tidak bisa menolak keberadaan
ulama mazhab. Sebagai contoh, ketika kita ingin mengikuti
Sunnah misalnya, timbul pertanyaan, siapa yang paling
memahami Sunnah Nabi? Apakah kita sendiri? Tentu bukan!
Jawabannya adalah Sahabat Nabi, karena merekalah yang telah
membersamai Rasulullah di masa hidupnya. Lalu, ketika kita
mengikuti sahabat Nabi, apakah kita sudah mengangkangi
Sunnah dan menjadi bid’ah? Tentu bukan bid’ah, karena sahabat
Nabi adalah menjadi perantara bagi kita (yang hidup di zaman
yang jauh dengan masa Nabi) dalam memahami Islam. Begitu
juga posisi para ulama-ulama mazhab yang upayanya memahami
ajaran Islam dalam berbagai bidang telah dilator belakangi oleh
keluasan ilmu mereka dalam berbagai bidang.
Itulah sebab, silsilah sanad keilmuan Islam dan sifatnya
yang integratif antar ilmu-ilmu itu selalu menjadi sesuatu
yang diperhatikan dalam Ahlusunnah wal Jama’ah dan mazhabmazhab fiqh Islam.
Sampai di sini, catatan dan masukan saya untuk
kalangan Salafy, tidak masalah sama sekali jikapun kalian telah
menjadikan Nashiruddin Al-Bani sebagai pelopor “mazhab
baru”, dengan syarat hargailah ulama-ulama lain yang telah
dijadikan rujukan dalam memahami praktek ajaran agama oleh
umat Islam. Silahkan beramal dengan keyakinan sendiri, namun
kurangilah kebiasaan menuduh bid’ah pada amalan umat Islam
yang lain, karena sudah pasti hal semacam itu akan menjadi biang
kerapuhan soliditas internal umat Islam. Toh, dalam banyak hal,
umat Islam lain juga melakukan amalan serupa seperti kalian,
40
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
seperti sunnah memelihara jenggot dan lain-lain.
Jadi, solusi kebangkitan Islam di tengah dinamika
perbedaan yang ada, adalah tepat seperti yang dikatakan
Rasyid Ridha, “natasamuh bima ikhtalafna, wa nata’awwun bima
ittafaqna”, yaitu kita saling tolong menolong atas apa yang kita
sepakati, dan saling toleran atas apa yang kita perselisihkan.
Wallahu a’lam bishshawab.
F. Menolak Wahabi, Merajut Solidaritas Muslim
Dari uraian di atas, jelas penulis termasuk seorang
yang tidak setuju dengan ideologi wahabi. Ideologi ini
dalam sejarahnya telah memecah belah umat Islam, bahkan
berperan dalam kajatuhan kekhalifahan Turki Usmani yang
di era kejayaannya telah menjadi “pelindung” umat Islam dari
terkaman para musuh Islam. Seperti sejarah yang kita baca,
ideologi ini lahir di masa penjajah Inggris menguasai jazirah
Arab, dan dimunculkan penjajah Inggris untuk memecah belah
kesatuan internal umat Islam dengan cara melemparkan labellabel kafir dan bid’ah terhadap sesama muslim, sesuatu yang
tidak diragukan lagi menjadi benih-benih perpecahan.
Atas realitas sejarah ini kita memahami betul mengapa
rakyat Aceh dalam sejarahnya tidak pernah menerima ideologi
ini. Islam yang dipahami masyarakat Aceh dan juga saya yakini,
adalah Islam yang “tawasuth”, berada di tengah-tengah, yakni
tidak tarlalu keras dan tidak bablas.Namun demikian, adalah
hal yang sungguh sangat ironis akhir-akhir ini, ketika solidaritas
yang seharusnya muncul di tengah-tengah umat Islam menjadi
hilang oleh sebab adanya pelabelan wahabi terhadap umat Islam
yang sedang dizalimi. Faktanya, kita selalu mendengar keluarnya
label wahabi dari mulut-mulut sebagian umat Islam terhadap
Teuku Zulkhairi |
41
umat Islam lainnya yang sedang diperangi dan dizalimi kaum
kuffar.
Tuduhan wahabi betul-betul telah menjadi senjata yang
mematikan dalam memporak porandakan soliditas umat Islam
dan menghilangkan solidaritas di antara sesama kita. Sebagai
contoh, ketika dunia sedang menangis menyaksikan umat Islam
di Aleppo Suriah dibantai rezim Bassar Assad yang dibantu Iran,
Amerika Serikat, Rusia dan lain-lain, maka “label wahabi” yang
dilemparkan musuh Islam terhadap umat Islam yang sedang
dibantai ini telah menjadi strategi paling ampuh dalam mencegah
munculnya solidiritas umat Islam lainnya kepada mereka.
Bahkan, celakanya lagi, bukan hanya solidaritas ini yang
mulai terkikis karena label wahabi, namun juga munculnya
hembusan angin permusuhan dan fitnah kepada mereka yang
jujur hendak menunjukkan solidaritas mereka kepada umat
Islam yang sedang terzalimi tersebut. Seolah, ketika sekelompok
umat Islam mendapat label wahabi, mereka sudah hilang haknya
untuk mendapat solidaritas dari umat Islam lain.
Ketika mereka dilabeli wahabi, seolah mereka bukan lagi
manusia. Ketika mereka dilabeli wahabi, maka seolah kita tidak
perlu lagi menangis melihat bayi-bayi yang tubuhnya hancur,
ibu-ibu dan anak-anak yang meninggal di bawah puing-puing
bangunan yang dihancurkan dengan senjata canggih para musuh
Islam. Seolah, ketika mereka dilabel wahabi oleh media-media
yang dikuasai syi’ah dan liberal, maka kita sudah wajib percaya,
sudah wajib mematikan nurani kita. Di antara alasan penolakan
untuk solidaritas Suriah, misalnya, bahwa konflik di Suriah
itu adalah rekayasa Israel dan wahabi yang ingin menjatuhkan
pemerintahan Bassar Assad, seorang syi’ah yang dianggap
sangat pro Aswaja karena pernah berfoto bersama ulama Aswaja
Suriah.
42
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Maka, setiap kali kita mendengar rintihan dan tangisan
umat Islam di Suriah, setiap kali itu pula muncul pernyataanpernyataan bahwa konflik di Suriah itu diciptakan wahabi.
Seolah, ketika menurut sebagian orang bahwa konflik di
Suriah diciptakan wahabi, maka saat itu kita tidak perlu lagi
menunjukkan solidaritas kepada umat Islam di Suriah, seolah
nurani kemanusiaan kita sudah tidak penting lagi dihidupkan.
Dan lucunya, setelah menuduh wahabi satu-satunyanya
penyebab konflik Suriah, pada saat yang sama sebagian kita sama
sekali menolak mengakui kebengisan Bassar Assad terhadap
rakyatnya. Mereka juga tidak mengakui kebengisan tentaratentara Komunis Rusia yang “ditepung tawari” pendeta Kremlin
saat hendak pergi ke Suriah karena keyakinan mereka bahwa
perang tersebut adalah lanjutan dari perang Salib melawan
umat Islam. Pelabelan wahabi terhadap sesama umat Islam di
Suriah yang diperangi Bassar Assad, Iran, Rusia, Amerika and
the gank mereka lainnya, betul-betul telah menjadi penghalang
atas munculnya solidaritas kemanusiaan di tengah umat Islam.
Label wahabi telah mematikan nurani kemanusiaan kita.
Label wahabi, membuat kita sudah tidak mampu melihat
dengan pandangan kemanusiaan terhadap umat Islam di
Suriah. Seolah, meyakini mereka yang dizalimi tersebut sebagai
wahabi adalah lebih penting daripada pandangan kemanusiaan.
Sepertinya, kita betul-betul sudah melupakan politik “devide et
ampera” (pecah belah dan kuasai) yang dipraktekkan Belanda
dahulu saat menjajah Aceh, dan juga politik pecah belah lainnya
yang dipraktekkan para negara kapitalis lainnya di berbagai
dunia Islam.
Barangkali, kita lupa apa yang disabdakan Nabi
Muhammad Saw:
Teuku Zulkhairi |
43
ُ َوت َ َعا،َمث َ ُل ْال ُمؤْ ِم ِنينَ ِفي ت َ َىا ِدّ ِه ْم
ِإذَا،ِسد
َ َمث َ ُل ْال َج، َوت َ َرا ُح ِم ِه ْم،ط ِف ِه ْم
س َه ِر َو ْال ُح َّمى
َّ س ِد ِبال
ُ ُا ْشت َ َكى ِم ْنه
َ سائِ ُر ْال َج
َ عض ٌْى تَدَا َعى
“Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling
mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama
tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh
yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” [HR.
Muslim].
Lalu, atas realitas ini, haruskah kita mengikuti cara
berfikir mereka yang anti solidaritas terhadap umat Islam di
Suriah? Jangan pernah. Teladan kita adalah Nabi Muhammad
Saw. Cukuplah hadis di atas menjelaskan kepada kita bagaimana
seharusnya kita menyikapi kezalimah yang dirasakan umat Islam
Suriah. Inilah jalan kafilah akhi zaman, yaitu jalannya orangorang Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Ya Allah, senantiasalah Engkau
perlihatkan kepada kami yang haq sebagai haq, dan bathil
sebagai bathil. Bantulah kam untuk tetap lurus di jalanMu...
Amiin ya Rahman
44
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
BAB III
Ekstrim Kiri:
Sekulerisme, Liberalisme dan
Pluralisme Agama
Teuku Zulkhairi |
45
A. Pengantar
Sudah banyak buku yang menjelaskan bahaya paham
sekularisme, pluralisme agama dan liberalisme bagi agama Islam.
Termasuk fatwa dari Majelis Ulama Indonesia yang menjelaskan
kesesatan paham-paham ini. Namun, pada faktanya, paham ini
terus hidup dan berkembang. Dan oleh sebab itu, paham ini jelas
merupakan tantangan tersendiri bagi kalangan santri.
Berkaitan dengan tantangan pemikiran semacam ini, terdapat
penjelasan dari seorang ulama Aceh, Tgk. H. Muhammad Yusuf
A. Wahab (Tu Sop Jeunieb) saat beliau mengisi seminar dalam
rangka musyawarah besar Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA)
beberapa waktu lalu. Dalam pemaparannya saat itu, setelah
sesi pemaparan Gatot Edi Pramono, Tu Sop menjelaskan bahwa
ulama tetap komit dengan dakwahnya pasca kemerdekaan. Pada
saat itu, pendidikan di Aceh hanya ada dayah dan rangkang
yang semuanya berada di bawah ulama. Ulama kata Tu Sop,
membimbing semua aspek mulai dari aqidah, kehidupan (fiqh),
karakter (tasawuf). Pada masa pasca penjajahan, dayah hanya
bertahan dengan semangat keikhlasan tanpa ada biaya apapun
sehingga dakwahnya kosong karena lemahnya jangkauan yang
memiliki silsilah kepada Rasulullah.
Lalu, kata Tu Sop, muncullah tafrid (liberalisme) dan ifrad
(radikalisme) yang berbenturan di antara kedunya di tengah
masyarakat sebagai dua keseblasan yang saling bertentangan
sehingga saling menghujat di antara sesama mereka. Maka dalam
posisi ini, menurut penjelasan Tu Sop, para ulama mengambil
posisi menjaga keseimbangan dengan mazhab Ahlussunnah
Waljamaah yang sampai silsilah keilmuannya kepada Rasulullah
Saw. Para ulama konsisten menjaga keseimbangan antara
liberalisme sebagai ekstrim kiri dan radikalisme esktrim kanan.
Dalam kondisi ini, ulama dayah yang berada di jalan tengah
yang beraliran Ahlusunnah wal Jama’ah menjadi sasaran garapan
46
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
dan gempuran kelompok-kelompok liberalisme dan radikalisme.
Ulama merasa prihatin terhadap fenomena hari ini yakni
ilmu Ahlussunnah Waljamaah sebagai paham yang moderat
(washatiyah) kosong pada kebanyakan kader-kader terbaik anak
negeri karena kekosongan yang dimiliki pihak umara.
Maka, Tu Sop menyimpulkan bahwa solusi yang harus kita
tempuh adalah melakukan ekspansi dakwah dan merubah
pola pemikiran. Karena persoalan ini terjadi karena tidak ada
kekuatan yang memadai terhadap dunia pendidikan. Dalam
Islam pendidikan dan ilmu terdiri dari Fardhu ‘ain dan kifayah.
Inilah tugas terbesar yang harus kita revitalisasi kembali, kata
Tu Sop saat itu.
Oleh sebab itu, apa yang disampaikan oleh Tu Sop sudah
selayaknya mendapat perhatian serius dari seluruh komponen
santri di Aceh. Bahwa segenap daya dan upaya harus dicurahkan
untuk mematahkan setiap argumentasi paham-paham tersebut
sehingga tidak menipu ummat. Apalagi, tidak jarang kita
melihat “permainan” yang dibuat untuk menyusupi pahampaham sekuler liberal tersebut cukup halus. Mereka misalnya
menggunakan istilah-istilah dalam Islam untuk melegitimasi
ide-ide sekuler dan liberal. Oleh sebab itu, beberapa tulisan
dalam bab ini akan mengupas sejumlah paham-paham tersebut.
B. ‘Rahmatan Lil‘alamīn’ vs Sekulerisme
Tujuan esensial diutusnya Muhammad Saw sebagai Nabi
dan Rasul adalah menjadi ‘rahmatan lil ‘alamīn’ (rahmat bagi
semesta alam). Hal tersebut sebagaimana difirmankan Allah Swt
dalam Alquran alqarim (QS Al Anbiya: 107):
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Namun dewasa ini, berkembang sebuah cara pandang bahwa
Teuku Zulkhairi |
47
atas nama Islam sebagai agama ‘rahmatan lil ‘alamīn’, lalu
pengingkaran-pengingkaran terhadap aqidah Islam dianggap
sebagai sesuatu yang sah. Aliran-aliran sesat dan berbagai
pengingkaran terhadap esensi ajaran Islam dibenarkan atas
nama Islam sebagai ‘rahmatan lil ‘alamīn’.
Bahkan, tidak jarang Syari’at Islam dilawan dengan dalih
bahwa Islam adalah agama yang ‘rahmatan lil ‘alamīn’. Di Jakarta,
sekelompok orang menggunakan slogan ‘rahmatan lil ‘alamīn’
sebagai justifikasi dan alasan untuk mendukung Ahok, padahal
telah sangat jelas bagaimana Islam melarang kepemimpinan
kafir bagi umat Islam. Pada intinya, konsep ‘rahmatan lil
‘alamīn’ dewasa ini telah dimaknai sebagai justifikasi untuk
menghilangkan Islam dari pemeluknya.
Hal ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari “perang”
pemikiran yang dilancarkan pengusung ideologi sekulerisme
yang mencoba menjauhkan Islam dari kaum muslimin. Padahal,
kalau sejenak kita membuka kitab-kitab tafsir para ulama, maka
akan kita temukan bahwa ‘rahmatan lil ‘alamīn’ akan terwujud
ketika ajaran Islam termanifestasikan dalam semua dimensi
kehidupan, yang berarti bahwa ‘rahmatan lil ‘alamīn’ adalah
versus sekulerisme.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, pengertian ayat
‘Allah Swt mengutus Nabi Muhammad Saw sebagai rahmat
bagi semesta alam, yaitu barangsiapa yang menerima rahmat
dan mensyukuri nikmat ini, niscaya dia akan berbahagia di
dunia dan di akhirat. Sedangkan siapa saja yang menolak dan
menentangnya, niscaya dia akan merugi di dunia dan di akhirat.
3
Sementara dalam Tafsir at-Tabari ” 4 dijelaskan bahwa bahwa
3
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 6, terj. M. Abdul Ghoffar, cet.
Kelima, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2012), hal. 154
4
Muhammad bin Jarir at-Tabari, Tafsir at-Tabari, Jilid 8, (Lebanon:
48
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka akan
ditetapkan baginya ‘rahmat’ di dunia dan di akhirat. Rahmat
diberikan bagi seluruh manusia, baik mukmin maupun kafir.
Namun, rahmat bagi orang mumin yaitu dengan cara Allah
memberikannya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah
Saw. Rasulullah Saw memasukkan orang-orang beriman ke
dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran
Allah. Sedangkan rahmat bagi orang kafir, yaitu dengan cara
tidak disegerakannya bencana yang menimpa umat-umat
terdahulu yang mengingkari ajaran Allah.
Hal ini didasari dari Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas ra ketika menafsirkan ayat ini:“Siapa saja yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia
dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak
ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka
semua di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar”.5
Disebutkan juga Hadis dalam riwayat yang lain: “Rahmat
yang sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang
beriman kepada Rasulullah. Sedangkan bagi orang-orang yang
enggan beriman, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan
tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu”
Pendapat ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang
dimaksud adalah orang-orang beriman saja. Mereka membawakan
riwayat dari Ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat ini: “Dengan
diutusnya Rasulullah, ada manusia yang mendapat bencana,
ada yang mendapat rahmah, walaupun bentuk penyebutan
dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh
manusia. Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah orangorang yang beriman kepada Rasulullah, membenarkannya dan
Dar Al-Kutub Al ‘Ilmiyah, 1999), hal. 100-101
5
Muhammad bin Jarir at-Tabari, Tafsir at-Tabari..., hlm: 100
Teuku Zulkhairi |
49
menaatinya”.6
Jadi, rahmat yang dimaksudkan dalam ayat tersebut,
meskipun ditulis bagi sekalian alam, namun yang dipahami disitu
adalah bagi siapa saja orang-orang mukmin yang taat kepada
Allah dan RasulNya. Rahmat bagi orang-orang mukmin meliputi
dua alam sekaligus, yaitu kehidupan dunia dan kehidupan
akhirat. Sementara orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah dan RasulNya maka mereka akan ditimpakan kerugian
di akhirat, sementara musibah di dunia bagi mereka yang tidak
beriman ditangguhkan oleh Allah Swt.
Bagi kita sebagai Muslim, Islam akan menjadi rahmat bagi
sekalian alam apabila sistem dan konsep Islam diimplementasikan
secara menyeluruh berdasarkan contoh-contoh dari Rasulullah
Saw, para sahabat dan Salafussalih. Islam tidak akan menjadi
‘rahmatan lil ‘alamīn’ apabila Syari`at Islam ditinggalkan, apabila
aturan-aturan dilanggar. Jadi pemahaman Islam rahmat bagi
sekalian alam bukan seperti pemahaman kalangan liberal dan
sekuler yang menghendaki agar Syari`at Islam dicampakkan.
Islam menjadi rahmat ketika Syari`at Islam ditegakkan, bukan
dihalang-halangi, apalagi ditutup-tutupi.
Kesimpulannya, ayat ‘rahmatan lil ‘alamīn’ bertolak belakang
secara total dengan nilai-nilai yang diajarkan paham sekulerisme
dimana Islam ingin dijauhkan dari kaum muslimin. Maka
pengunaan istilah ‘rahmatan lil ‘alamīn’ untuk sesuatu yang
menjauh dari ajaran Islam adalah sebuah “pelacuran intelektual”.
Sebab, jika interpretasi dari ‘rahmatan lil ‘alamīn’ menghendaki
ajaran Islam termanifestasikan dalam setiap dimensi kehidupan,
sebagai dijabarkan di atas, maka para pengusung sekulerisme,
lucunya atasnama ‘rahmatan lil ‘alamīn’ justru memisahkan
Islam dari kehidupan, yang menyebabkan terjadinya berbagai
ketimpangan dan kehancuran dalam kehidupan beragama,
berbangsa dan bernegara.
6
Muhammad bin Jarir at-Tabari, Tafsir at-Tabari..., hlm: 101
50
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Padahal, Islam justru memandang sebaliknya dimana prinsipprinsip Islam sepenuhnya menentang sekulerisme. Islam berada
di puncak kejayaannya tatkala Islam menjadi ruh dan ideologi
umat Islam saat itu, yaitu tatkala Syari`at Islam menjadi way of
life (gaya hidup) umat Islam di masa itu.
Seorang pemikir Islam terkenal asal Mesir, Muhammad
Imarah7 mengatakan, di semua negeri-negeri Muslim yang
dijajah Barat, kebijakan pemerintahannya –-sedikit demi
sedikit-– menempatkan sekulerisme dalam urusan negara, sosial
dan kebudayaan untuk menggeser identitas Islam. Di Tunisia,
penjajah Prancis menerapkan undang-undang sekuler untuk
menyingkirkan Syari`at Islam. Begitu pula yang terjadi di Mesir
pasca pendudukan Inggris.
Dengan Undang-undang sekuler tersebut, menurut
Muhammad Imarah (hal: 48), agama dapat disingkirkan dan
Syari`at Islam dijauhkan dari kehidupan ini. Dengan undangundang sekuler, yang asas pragmatisme dan utilitarianismenya
tidak dikendalikan dengan Syari’ah serta hak-hak manusia
tidak dikendalikan dengan hak-hak Tuhan serta ketentuanketentuanNya, serbuan penjajah Barat datang ke negeri-negeri
Islam dengan konsep kebebasan manusia yang bebas dari ikatan
Syari’ah.
Syed Naquib Al-Attas8 setelah menjelaskan kerusakan
ideologi sekulerisme yang telah menimbulkan banyak
kebingungan di tengah-tengah masyarakat, yaitu disebabkan
karena pengenalan cara-cara Barat dalam dalam berfikir,
menimbang dan meyakini sesuatu yang ditiru oleh beberapa
sarjana dan cendekiawan Muslim yang terpengaruh oleh Barat
karena terpukau oleh kemajuan ilmu dan teknologi Barat, Al⁷Muhammad Imarah, Perang Teminologi: Islam versus Barat, terj.
Mustolah Maufur, (Jakarta: Robbani Press, 1999), hlm: 47
⁸Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Islam dan Sekulerisme, terj.
Karsidjo Djojosuwarno, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), hal. 17-18
Teuku Zulkhairi |
51
Attas mengatakan, “mereka ini karena kedudukannya yang
berpengaruh dalam masyarakat Islam, telah menjadi penabur
kebingungan-kebingungan dan kebodohan-kebodohan yang
tidak perlu…”.
Di hadapan fenomena ini, ketika esensi ajaran Islam,
khususnya makna dari ‘rahmatan lil ‘alamīn’ telah diplintir
sekelompok ‘intelektual islam’ yang terpengaruh dengan
kemajuan teknologi Barat, nampkanya sudah saatnya kita
memperkuat kembali seruan kepada ummat untuk kembali
berpedoman pada landasan Islam melalui kitab-kitab para
ulama sehingga ummat tidak dilanda kebingungan. Wallahu
a’lam bishshawab.
C. Runtuhnya Sekulerisme di Turki
Berkaitan dengan sekularisme ini, ada baiknya kita menengok
sejenak perkembangannya di negara Turki yang merupakan
bekas ibukota Khilafah Utsmaniyah di masa silam. Kini, setelah
sekian lama dipasung sistem sekuler, akhirnya Islam kembali
bangkit di Turki. Kebangkitan ini terjadi satu dekade silam sejak
partai yang mengusung visi Islam, AKParti (Adalet Kalkinma
Paritisi) mendominasi jagad perpolitikan di negara dua benua
tersebut. Persis seperti selama ini kita baca di media massa,
dalam perjalajan saya ke Istanbul bebarapa waktu lalu, saya
melihat dan merekam sendiri bagaimana geliat kebangkitan
Islam di negara tersebut setelah sistem sekuler gagal membangun
Turki sehingga sistem tersebut praktis sedang berada diambang
keruntuhan. Oleh sebab itu, saya merasa penting untuk menulis
hasil dialog bersama beberapa akademisi Turki tersebut selama
saya di sana beberapa waktu lalu untuk menjadi bahan pelajaran
bagi kita masyarakat Aceh.
Bagaimana sebenarnya indikator kegagalan sekulerisme di
Turki dan mengapa kita sebut sistem ini diambang keruntuhan?
52
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Secara umum, indikator kegagalan sekulerisme di Turki adalah
pada catatan sejarah tentang ketidakmampuan Turki untuk
bangkit selama hampir satu abad sejak sistem sekulerisme
mencengkeram negera tersebut.
Seperti kita ketahui, sejak Mustafa Kamal Ataturk mengganti
kekhalifahan Islam Turki Usmani pada tahun 1923 menjadi
republik yang berideologi sekuler dan ke-Barat-baratan, negara
tersebut praktis menjadi pesakitan dalam pentas peradaban
modern negara-negara dunia. Padahal, sebelumnya Turki
Usmani adalah sebuah kekuatan besar yang bahkan luasnya
membentang di antara negara-negara Eropa dan Asia.
1. Lord Istanbul, kuku kapitalisme
Di bawah sistem sekuler, bukan saja Turki tidak mampu
berperan dalam skala internasional di tengah banyaknya
persoalan negara-negara di dunia ketiga, bahkan juga Turki
kehilangan kemampuan terbaiknya dalam mengurus dirinya
sendiri. Beberapa koran di era Turki lama memperlihatkan
bagaimana kumuh dan miskinnya Turki dibawah sistem
sekuler. Kondisi ini disebabkan karen kekayaan bangsa Turki
hanya mengalir untuk Tuan-Tuan Istanbul (Lord Istanbul) yang
menjadi penguasa negara tersebut di belakang layar.
Dengan sistem sekuler ini, Tuan-Tuan Istanbul yang
terkoneksi dengan jaringan Masonik dan kapitalisme
Internasional ini kian leluasa menguras kekayaan bangsa
Turki dengan membudayakan ekonomi kapitalis dan sistem
ribawi dalam perbankan. Lord Istanbul yang dipelihara sejak
di era Mustafa Kamal Ataturk ini adalah penguasa Turki yang
sesungguhnya, siapapun pemimpinnya. Dengan uang riba yang
mereka peroleh dari kekayaan bangsa Turki, mereka bukan
hanya menguasai ekonomi Turki, namun juga menguasai politik,
pendidikan, hingga media massa.
Mereka mendirikan bank-bank swasta, meminjamkan uang
Teuku Zulkhairi |
53
mereka ke negara untuk kemudian menarik bunga riba sebanyakbanyaknya sehingga menyulitkan Turki untuk bangkit. Apalagi,
jaringan kapitalisme internasional di luar Turki seperti IMF
(Internasional Moneter Found) yang bekerjasama dengan TuanTuan Istanbul ini senantiasa sigap memasung Turki dengan
uang-uang pinjaman yang membuat Turki sulit untuk bangkit.
Kondisi ini kian diperparah dengan pemasungan kebebasan
beragama, terkhusus kepada umat Islam.
Dalam bidang politik, Lord Istanbul ini secara leluasa
menentukan siapa saja wakil rakyat di parlemen yang mereka
kehendaki. Dalam bidang pendidikan, pelarangan mata pelajaran
agama di sekolah-sekolah dan pelarangan memakai pakaian
Muslimah di tempat-tempat umum adalah sesuatu yang telah
jamak diketahui masyarakat dunia pernah berlaku di Turki.
Bahkan juga tidak sedikit perguruan tinggi yang sebelum era
AKParti-Erdogan menolak menerima calon mahasiswa dari latar
belakang pendidikan agama. Kalangan pelajar “pesantren” pun
begitu terdiskriminasi.
Barangkali, penguasa sekuler paham betul bahwa
sekulerisme akan ambruk jika mereka membiarkan bangsa Turki
dekat dengan Islam, agama mereka sendiri. Bahkan, laranganlarangan itu berujung pada hukuman mati kepada Adnan
Menderes, perdana Menteri terpilih Turki di era 1960 karena ia
mencoba mengembalikan Islam dalam kehidupan masyarakat
Turki. Padahal, umat Islam di negara tersebut adalah mayoritas.
Jika ada pemimpin Turki yang mencoba melawan, seperti
Perdana Menteri Najmuddin Erbakan, ia langsung dikudeta dan
partainya pun dibubarkan.
2. Islam dan Turki baru
Dan kini, sejak Turki satu dekade silam berada di bawah
kepemimpinan perdana menteri Receb Thayeb Erdogan (kini
54
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Presiden Turki), Turki bangkit secara dramatis. Berturut-turut
partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) menang dengan
jumlah suara mutlak (melebihi 50 persen) dalam pemilu Turki,
suatu capaian yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah
Turki lama. Sementara partai-partai sekuler seperti Partai
Gerakan Nasionalis (MHP) dan Partai Rakyat Republik (CHP)
semakin tidak populer. Sesuatu yang menjadi bukti nyata bahwa
sekulerisme di Turki sedang berada di ambang keruntuhan.
Bahkan dalam Pemilu legislatif tujuh Juni lalu, Partai AKP juga
kembali menang melebihi 40 persen suara secara nasional, suatu
capaian yang fantastis bagi suatu partai “Islamis” di negara yang
secara resmi menggunakan sistem sekuler sebagai ideologi
negara.
Kemenangan berturut-turut AKParti terjadi karena Recep
Tayyip Erdogan sebagai figur sentral partai AKP dengan izin
Allah Swt selangkah demi selangkah telah membawa Turki ke
arah kebangkitan, meskipun tantangan besar dari dalam dan
luar negeri senantiasa menghadangnya. Di bawah Erdogan,
pembangunan Turki kian bergeliat dalam berbagai bidang.
Ekonomi Turki bergeliat dan pendidikannya pun semakin
maju. Tidak hanya itu, militer Turki pun semakin kuat dengan
penguatan alustita yang canggih. Dilansir dari berbagai sumber,
Turki baru dibawah Erdogan telah melakukan lompatan ekonomi
yang besar, dari rangking 111 dunia ke peringkat 16, dengan
rata-rata peningkatan 10 % pertahun, yang berarti masuknya
Turki kedalam 20 negara besar terkuat (G-20) di dunia.
Pada saat yang bersamaan, Erdogan telah memberi harapan
baru, bukan hanya bagi umat Islam di Turki namun juga bagi
umat Islam sedunia. Di dalam negeri, Erdogan telah memberi
kebebasan bagi umat Islam untuk menggeliatkan syi’ar
Islam. Sebagai contoh, Muslimah Turki kini semakin bebas
menggunakan pakaian Muslimah setelah sebelumnya dilarang
sistem sekuler negara tersebut. Lembaga Pendidikan Islam
Teuku Zulkhairi |
55
seperti Madrasah Imam Hatip (seperti dayah di Aceh) semakin
menjamur dengan siswa-siswinya yang membludak.
Bahkan, awal bulan Juni lalu, Turki juga telah mendirikan
bank anti praktek riba (baca: bank syari’ah), meskipun tidak
secara ekplisit dinamakan sebagai bank syari’ah. Tentu saja, ini
merupakan upaya-upaya lanjutan Turki dalam melawan sistem
kapitalisme yang telah sekian lama menjajah umat Islam.
Saat ini, Turki juga kian eksis dalam kencah perpolitikan
dunia. Negara dua benua ini telah tampil sebagai pemain
utama dalam isu-isu yang berkaitan dengan umat Islam dunia.
Turki hadir membantu umat Islam di Somalia dan di Crimea.
Turki membantu mendamaikan Syprus. Turki membantu
rekonstruksi Gaza-Palestina setelah dihancurkan Israel. Turki
juga hadir di berbagai negara dunia ketiga lainny. Bahkan, yang
tidak mungkin kita lupakan, Turki juga eksis membantu Aceh
saat musibah tsunami memporak-porandakan Aceh 10 tahun
yang lalu. Alhasil, Turki dibawah kepemimpinan Erdogan dan
AKParti betul-betul telah membawa harapan baru bagi dunia
Islam, seperti peran yang pernah dilakukan Turki di masa
Turki Usmani masa silam. Maka tidak heran jika banyak pihak
menyebut bahwa kebangkitan Turki di bawah AKParti dan
Erdogan adalah kebangkitan Islam.
3. Kunci Erdogan membangun Turki
Lalu apa kunci Erdogan menaklukkan sekulerisme di Turki
yang telah berjalan hampir satu abad? Dalam perjalanannya,
Erdogan paham betul persoalan mendasar Turki lama. Itu sebab,
dalam geraknya setelah 12 tahun lalu ia dan partainya menjadi
penguasa Turki, Erdogan langsung “memotong” urat nadi TuanTuan Istanbul yang menjalankan praktek riba dan kapitalisme
di tengah-tengah penderitaan bangsa Turki. Kapitalisme sesuai
dengan prinsipnya memang selalu menjajah dan memenjarakan
56
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
manusia, dan kapitalisme ini mengambil manfaat sangat besar
dari sistem sekuler di negara Turki. Mengapa disebut mengambil
manfaat, karena mereka tidak akan bisa menjalankan praktek
kapitalisasi tanpa paham sekuler. Sekuler membenci kehadiran
agama dalam negara, sementara Islam adalah sistem yang
menentang kapitalisme, maupun juga sekulerisme.
Itu sebab, suatu ketika dalam rekaman yang masih bisa kita
saksikan di Youtube, Erdogan mengatakan: “Jangan mengaku
Muslim jika pada saat yang sama anda mengakur sebagai
sekuler”. Atau ungkapannya yang lain, “Sekulerisme telah gagal
membangun Turki, dan kami akan segera menggantikannya”.
Kembali ke kunci Erdogan membangun Turki, setelah
Erdogan berhasil “memotong” urat nadi Tuan-Tuan Istanbul
ini, aliran kekayaan bangsa Turki, dari sebelumnya mengalir ke
tuan-tuan Istanbul ini akhirnya bisa diarahkan ke pembangunan
infrastruktur Turki, pendidikan dan sebagainya. Maka saat ini
kita bisa menyaksikan Turki baru yang modern di segala bidang.
Lebih dari itu, kini Turki juga mampu membantu negara-negara
lain, sampai ke Indonesia. Lihatlah NGO terbesar Turki seperti
IHH, mereka hadir hampir di setiap negara untuk membantu
masyarakatnya.
Maka tidak salah, jika kita simpulkan, kebangkitan Turki
adalah karena negara tersebut telah meninggalkan sistem
sekuler dalam membangun negara secara diam-diam. Apalagi,
tepat pada 30 Mei lalu, untuk kali pertama dalam sejarah
Turki merayakan 562 tahun kejatuhan Konstantinopel oleh
Sultan Muhammad Alfatih. Semoga peringatan kejatuhan
Konstantinopel ini menandakan bahwa Turki akan kembali
berperan secara maksimal sebagai ‘ayah’ bagi dunia Islam. Amiin.
Wallahu a’lam bishsawab.
Teuku Zulkhairi |
57
D.
Agenda Liberalisasi Islam dalam Kasus Ahok
Jauh sebelum fenomena Ahok, Indonesia sudah “diterjang”
proyek liberalisasi Islam yang tidak lain adalah lanjutan
kapitalisme atau penjajahan. Proyek Liberalisasi Islam dijalankan
seiring dengan proyek lainnya, yaitu proyek deradikalisasi yang
ditujukan bagi mereka yang melawan proyek liberalisasi Islam
ini.
Inti dari proyek tersebut adalah bagaimana agar umat Islam
bisa ber Islam sesuai selera para bangsa kapitalis dan korporasi
global tersebut. Dengan kata lain, kaum kapitalis ingin melihat
Islam seperti yang mereka harapkan. Sesuatu yang wajar dalam
perspektif tatanan dunia baru mengingat hegemoni mereka
dalam dunia militer dan peradaban. Sebelum Ahok muncul,
salah satu gagasan yang dikampanyekan di tengah tengah
muslim adalah tentang bolehnya non muslim memimpin
ummat Islam, yang dalam perkembangan kemudian gagasan ini
berubah menjadi kampanye “pemimpin non muslim lebih baik
dari muslim”.
Bahkan, dalam perkembangannya kemudian, kampanye ini
berubah menjadi semakin lancang dengan jargon baru mereka
bahwa “non muslim yang tidak korup lebih baik dari muslim
yang korup”. Di tengah jalan proyek liberalisasi Islam gagal,
meskipun tidak sepenuhnya. Kegagalan proyek tersebut ditandai
dengan gagalnya aktivis Islam liberal menguasai mesjid. Di sini
pesantren dan aktivis Ormas Islam berperan sebagai benteng.
Dan kini, berkat Ahok, proyek tersebut semakin menunjukkan
kegagalannya dengan ketidakmampuan pengusung gagasan
liberal Islam menjelaskan bahwa non muslim lebih baik dari
muslim dalam urusan memimpin. Slogan “non muslim lebih
baik” terpatahkan dengan cepat oleh data dan fakta lapangan.
Umat Islam kembali merindukan sosok pemimpin muslim yang
santun dan jujur.
58
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Dalam kondisi seperti ini, pengusung gagasan liberal
Islam dan atau yang sepakat atas ide-ide mereka, kembali
mengeluarkan jurus ‘mabuk’ dengan menyerang para calon atau
pemimpin muslim dengan terus mencari setiap kekurangan
mereka, dengan alasan-alasan yang menurut mereka sudah
akademis, hasil survey dan lain-lain. Demikianlah, hal semacam
ini dilakukan dengan tujuan seolah “non muslim tetap lebih
baik” menjadi pemimpin muslim ketimbang muslim itu sendiri.
Dalam Pilgub DKI Jakarta, sejumlah partai sepakat menolak
Ahok dan akhirnya seperti kita ketahui iapun kalah dalam Pilgub
meskipun sebelumnya sejumlah lembaga survey menyatakan
bahwa Ahok terlalu kuat untuk dikalahkan. Hal ini tentu saja
karena mereka melihat umat Islam di Jakarta yang semakin
konsisten menolak Ahok, akibat keserakahannya.
Bagaimana tidak serakah ya, salah satu contoh, tahun 2012
dulu Ahok ngomong calon petahana (kandidat yang sedang
menjabat) harus cuti. Itu saat petahana adalah pihak lain.
Sekarang, giliran dirinya yang jadi kandidat dari petahana,
ngomongnya udah berbeda, alias udah tidak mau mau cuti.
Serakah sekalli bukan? Tapi, tetap saja pengusung gagasan
liberal Islam akan tetap ‘mendewakan’ sosok seperti ini. Hal
bukan karena berdasarkan kapasitas dan kapabilitas, melainkan
karena ia non muslim. Contoh, Nusron Wahid di salah satu TV
Nasional beberapa waktu lalu faktanya justru membenarkan
kepemimpinan kafir bagi umat Islam serta menyatakan bahwa
hanya Allah yang berhak menafsirkan ayat Alqur’an surat alMaidah ayat 51 sembari menolak otoritas ulama, dalam hal ini
otoritas Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menjelaskan
penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok.
E. Manipulasi dalam Survey Kota Islami
Maarif Institue merilis hasil survey tentang Indeks Kota
Teuku Zulkhairi |
59
Islami di Indonesia yang menempatkan Jogjakarta sebagai kota
paling Islami, diikuti oleh Bandung dan Denpasar-Bali hingga
seterusnya. Banda Aceh yang memberlakukan Qanun (Perda)
Syari’ah menempati posisi ke 19 dari sebanyak 29 kota yang
disurvey. Begitu juga dengan kota-kota lainnya yang menerapkan
Perda Syari’ah, juga justru menempati posisi buncit, seperti
Padang, Mataram dan Tasikmalaya.
Survey ini menurut Maarif Institue berangkat dari
pemahaman bahwa “Islam sebagai agama rahmat” yang
kemudian didefinisikan dalam konteks kota islami diwujudkan
menjadi kota yang aman, sejahtera, dan bahagia, (detik.com,
17/5). Kategori aman, sejahtera dan bahagia dijadikan sebagai
tiga variable untuk mengukur indeks kota Islam tersebut.
Sementara itu metodologi yang dijadikan Maarif sebagai
parameter untuk mengukur baik atau ‘Islami’ disebutkan
yaitu teori Maqashid Syar’iyah (orientasi hukum syari’at), yaitu
menjaga agama (Hifzhu ad-Din), menjaga harta (Hifzu al-Mal),
menjaga akal (Hifzu al-‘Aqli), menjaga keturunan (Hifzhu anNasl), menjaga jiwa/kehidupan (Hifzhu An-Nafs), plus menjaga
lingkungan (Hifzu al-Biah), (maarifinstitute.org, 17/5).
Sekilas tidak ada yang janggal dan aneh dengan metodologi
survey ini. Sebab, pencapaian Maqashid Syar’iyah sendiri adalah
tujuan substansial dari ajaran dan hukum Islam. Namun,
keanehan akan langsung terbaca ketika kita melihat hasil
survey tersebut yang menempatkan Kota Denpasar-Bali pada
posisi ketiga, sementara kota-kota yang menerapakan Perda
Syari’ah justru berada pada posisi terbawah. Ada kesan yang
dimunculkan bahwa penerapan Perda Syari’ah sama sekali
tidak mendukung terealisasinya Maqashid Syari’iyah, sekaligus
kesan bahwa Maqashid Syari’iyah dianggap terealisasi meskipun
tanpa adanya Perda Syari’ah yang mengatur umat Islam untuk
hidup sesuai visi Maqashid Syar’iyah. Jadi, kesan desyari’atisasi
(penolakan hukum syari’at) sangat terasa.
60
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
F. Penyelewengan makna Maqasahid
Kita uji keakuratan cara penggunaan metodologi tersebut
dengan Kota Banda Aceh sebagai sampel awal kita. Hasil survey
tersebut menjela'''''''''''''''''skan, khusus untuk Banda Aceh, variable
‘bahagia’ dan ‘sejahtera’ mendapat nilai tertinggi. Sementara
variable ‘aman’ mendapat nilai terendah (viva.co.id, 17/5). Oleh
sebab itu, penulis di sini tidak mendiskusikan Maqashid Syari’ah
dalam bentuk pelayanan publik di Banda Aceh karena hal itu
kita anggap sesuatu yang telah terpenuhi (karena jelas dianggap
penting), sesuai hasil survey tersebut. Namun, rendahnya
nilai Banda Aceh dalam Variable ‘aman’ ini yang kemudian
menempatkan Banda Aceh pada posisi buncit, sebagaimana
kota-kota yang menerapkan Perda Syari’ah lainnya.
Lalu, apa ukuran variable ‘aman’ di sini? Ternyata ukurannya
adalah pada terealisasinya visi ‘menjaga agama’ dari Maqashid
Syar’iyah yang digunakan sebagai metodologi penelitian
tersebut. Jadi, Banda Aceh tidak masuk dalam kategori kota
yang Islami karena dianggap tidak cukup nilai dalam variable
aman, atau tepatnya yaitu dianggap ‘tidak aman’, tidak aman
dalam hal menjalankan kebebasan beragama atau keyakinan
tertentu lainnya.
Kalau ini kita kaitan dengan apa yang terjadi di Banda
Aceh beberapa tahun terakhir, kesimpulan Maarif Instiute ini
sangat tidak mendasar. Sebab, justru Banda Aceh yang konsen
merealisasikan visi Maqashid Syar’iyah dalam hal menjaga
agama (hifzhu ad-Din) yang dibuktikan dengan konsistensi
Banda Aceh menjaga Islam dari aliran yang diputuskan sesat
oleh ulama seperti Millata Abraham yang kemudian berganti
nama menjadi Gafatar. Banda Aceh juga terdepan dalam
merealisasikan visi menjaga akal (hifzhu al-‘Aql) yang dibuktikan
dengan implementasi hukum Islam dalam bentuk pelaksanaan
hukuman cambuk bagi peminum minuman keras yang mana
Teuku Zulkhairi |
61
minu,m minuman keras merupakan perbuatan yang merusak
akal.
Bahkan, Banda Aceh juga telah melakukan upaya
merealisasikan visi Maqashid Syar’iyah dengan menjaga
keturunan (hifzhu al-‘Asl) yang diimplementasikan dalam bentuk
pelaksanaan hukuman cambuk bagi yang melakukan khalwat,
sesuai dengan ketentutan Qanun Jinayah. Tentu saja hukuman
ini adalah upaya untuk menjaga agar tidak lahir keturunan yang
tidak ber ayah.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa upaya
merealisasikan visi Maqashid Syari’ah oleh Pemko Banda Aceh
dalam bentuk implementasi hukum Islam bagi pelanggar syari’at
Islam tidak dianggap sebagai sesuatu mendukung perwujudkan
‘keamanan’ yang dijadikan sebagai variable pertama survey
tersebut. Dengan kata lain, pelaksanaan hukum Islam di Banda
Aceh untuk mewujudkan visi Maqashid Syari’ah justru dianggap
sebagai sesuatu yang menyebabkan ‘tidak aman’.
Nah, pertanyaannya, parameter apakah yang digunakan
untuk mengukur indikator ‘aman’ sebuah daerah? Maka
jawabannya adalah jelas bukan parameter Islam. Hal ini bahkan
diakui sendiri oleh Maarif Instute bahwa, “Dalam memahami
maqashid shariah ini pun menggunakan perspektif maqashid
kontemporer yang bernuansa pengembangan (tanmiyah/
development) dan pemuliaan Human Rights (‘Hak-hak Asasi’)
daripada maqashid yang bernuansa ‘protection’ (penjagaan) dan
preservation atau ‘pelestarian’, (maarifinstitute.org, 17/5).
Dari sini jelas, ada penyelewengan substansi Maqashid
Syari’iyah oleh Maarif Institute. Dengan kata lain, Maarif telah
menggunakan pendekatan non Islam untuk melihat definisi dan
substansi Maqashid Syar’iyah. Ini sebuah kesalahan fatal dalam
metodologi. Metodologinya benar berasal dari Islam, namun
cara penggunaan metodologinya sudah bukan dengan parameter
62
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Islam. Sebab, kebenaran dan cara menggunakan kebenaran
merupakan sesuatu yang berbeda, maka seharusnya Maarif
Institue harus merujuk definisi Maqashid Syar’iyah dalam konteks
“aman” berdasarkan perspektif Islam seluruhnya- yaitu bahwa
“aman” akan terwujud dengan pelaksaan hukum Islam -sehingga
bisa menghasilkan satu hasil survey yang proporsional dan tidak
ngawur. Persoalan serupa akan kita temukan jika melihat juga
Jogjakarta. Apakah karena iklim akademis di Jogjakarta yang
memberi kebebasan berkembangnya “pluralisme agama” lalu
bisa disebut Jogjakarta menjalankan visi “menjaga agama”?
Ataukah sebaliknya?
Berikutnya adalah Bali. Bukankah Bali sama sekali tidak
merepresentasikan Islam karena memang segenap budaya
dan tradisi yang dihidupkan adalah berasal dari Hindu? Lalu
bagaimana bisa Bali muncul sebagai kota Islami? Alasan Maarif,
ternyata karena Bali memenuhi kecukupan nilai pada ketiga
variable alat pengukur tadi. Maka inilah adalah kengawuran
berikutnya. Sebab, jelas definisi Islam sebagai nilai (values of
islam) sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks Iman yang
merupakan syarat menjadi Islam. Bukankah yang disebut Islam
itu, sebagaimana dijelaskan oleh sang pembawa risalah Islam
sendiri, Nabi Muhammad Saw, yaitu “engkau bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad Saw
sebagai utusan Allah” dan seterusnya hingga rukun Islam yang
ke lima?
Ini belum lagi jika kita mengukur realisasi maqashid syari’ah
di Bali, yaitu misalnya upaya menjaga agama (Islam) dan
keturunan, apakah diwujudkan di Bali? Yang terjadi, justru
upaya melarang jelbab sebagai identitas Islam bagi Muslimah
yang semakin meluas di seluruh Bali, (republika.co.id, 2/2/2014).
Belum lagi perihal menjaga keturunan yang dipahami dalam
perspektif Islam. Dengan demikian, survey tersebut bisa disebut
telah mencederai semangat akademik karena berbicara definisi
Teuku Zulkhairi |
63
Islami namun justru menghilangkan kriteria mendasar apa yang
disebut Islam dan syarat menjadi Islam.
Nampaknya, penelitian Maarif Institute semacam ini
mengikuti riset yang pernah dilakukan sebelumnya oleh
Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari dalam “How Islamic
are Islamic Countries?” dalam Global Economy Journal 2010 yang
menempatkan Selandia Baru dan negara-negara mayoritas non
Muslim lainnya sebagai negara paling Islami (republika.co.id,
2/11) .
Setidaknya kita bisa menangkap pada pemahaman yang
dibangun bahwa ada pemisahan antara “Islam” dan “Islami”.
Pemahaman seperti ini dalam jangka panjang akan memunculkan
cara pandang bahwa tidak perlu menjadi Islam untuk disebut
Islami. Penggiringan dari opini semacam ini adalah, seolah
“tidak perlu iman” untuk menjadi islami.
Alhasil, adanya upaya “talbisul haq” (menutupi kebenaran)
dalam survey tersebut menjadi sesuatu yang dapat ditangkap
dengan baik. Kebenaran dan tujuan positif dari upaya
implementasi hukum Islam serta dampak baiknya bagi
masyarakat ditutupi dengan penggiringan definisi Maqashid
Syar’iyah ke arah yang di luar parameter atau cara pandang
Islam. Oleh sebab itu, semoga tulisan ini bisa menjadi upaya kecil
yang bisa menggugah para pakar kita di Aceh yang konsen di
bidang riset dan penelitian untuk bisa melakukan survey serupa
dengan perspektif ‘Islami’ yang sesuai dengan nilai Islam, dan
berbeda dari apa yang dibangun Maarif Institute tersebut yang
bertendensi ke arah kerancuan metodologi tersebut. Semoga
saja. Wallahu a’lam bishshawab.
G. Fatwa MUI tentang Sekulerisme,Pluralisme Agama
dan Liberalisme
Dibawah ini penulis akan mengutip Fatwa MUI tentang
64
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Sekulerisme, Pluralisme Agama dan Liberalisme Nomor: 7/
MUNAS VII/MUI/II/2005 menjelaskan haram dan sesatnya
paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama. Dalam
fatwa tersebut, dijelaskan bahwa fatwa MUI ini keluar karena
mengingat ayat-ayat Allah sebagaimana di bawah ini:
“Barang siapa mencari agama selaian agama Islam,
maka sekali-kali tidaklah akan terima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi…” (QS. Ali Imran [3]: 85)
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah
hanyalah Islam…” (QS. Ali Imran [3]: 19)
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS.
al-Kafirun [109] : 6).
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS.
al-Azhab [33:36).
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah
hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang
lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan
mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang
Teuku Zulkhairi |
65
yang zalim. (QS. al-Mumtahinah [60]: 8-9).
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (keni’matan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan. (QS. al-Qashash [28]: 77).
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang
dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu
dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta. (terhadap Allah). (QS. al-An’am [6]: 116).
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka,
pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada
di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan
kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka
berpaling dari kebanggaan itu. (Q. al-Mu’minun [23]:
71).
Selain beberapa ayat alquran sebagaimana telah kami
sebutkan di atas, juga terdapat hadis-hadis Nabi Muhammad
Saw, yang menjadi dasar sehingga fatwa ini keluar, hadis-hadis
dimaksud adalah sebagai berikut:
Imam Muslim (w. 262 H) dalam Kitabnya Shahih Muslim,
meriwayatkan sabda Rasulullah SAW : “Demi Dzat yang
menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorangpun baik Yahudi
maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari Umat
Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran
yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni Neraka.” (HR
Muslim).
66
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang
non-Muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang
beragama Nasrani, al-Najasyi Raja Abesenia yang beragama
Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, dimana Nabi
mengajak mereka untuk masuk Islam. (riwayat Ibn Sa’d dalam
al-Thabaqat al-Kubra dan Imam Al-Bukhari dalam Shahih alBukhari).
Nabi saw melakukan pergaulan social secara baik dengan
komunitas-komunitas non-Muslim seperti Komunitas Yahudi
yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal di Najran;
bahkan salah seorang mertua Nabi yang bernama Huyay bin
Aththab adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah (Sayyid Bani
Quraizah). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
1. Definisi Pluralisme Agama versi MUI
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan
bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran
setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk
agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja
yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga
mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan
hidup dan berdampingan di surga.
Sementara itu, Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan
bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai
pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. Sedangkan
Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an &
Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan
hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan
akal pikiran semata.
Sementara Sekualisme adalah memisahkan urusan dunia
dari agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan
pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia
Teuku Zulkhairi |
67
diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
2. Ketetapan MUI
Pertama: Pluralisme, Sekualarisme dan Liberalisme agama
sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham
yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Kedua: Umat
Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan
Liberalisme Agama.
Ketiga: Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam
wajib bersikap ekseklusif, dalam arti haram mencampur
adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan
ibadah pemeluk agama lain.
Keempat: Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama
pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial
yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam
bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial
dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
H. Menolak Ideologi ‘Anti Tuhan’
Jikapun Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak pernah
lakukan kejahatannya terhadap republik ini, maka ideologi
komunis pasti akan terus bermasalah dengan Islam sebagai
agama mayoritas rakyat Indonesia, dan dengan Pancasila sebagai
dasar negara Republik Indonesia. Apalagi, gerakan komunis
tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia sebagai pengkhianat
bangsa lewat serangkaian pemberontakan yang dilakukan pada
tahun 1948 dan kembali diulangi pada tahun 1965. Maka paham
ini kemudian dilarang lewat Ketatapan (TAP) MPRS Nomor
25 Tahun 1966 tentang pembubaran PKI dan larangan setiap
kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham
atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Bahkan, MPR di
era reformasi juga mengeluarkan TAP MPR Nomor I/MPR/2003
tentang Peninjauan Atas TAP MPRS dan MPR Tahun 1960
68
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
hingga 2002 yang menandakan bahwa bangsa ini tidak akan
lupa terhadap kejahatan komunisme.
Adanya larangan terhadap paham komunis sesungguhnya
merupakan berkah bagi bangsa Indonesia. Setidaknya Indonesia
terselamatkan dari potensi menjadi bangsa tak bertuhan sesuai
keyakinan komunis. Adanya larangan paham komunisme di
Indonesia juga menyelamatkan bangsa dari kekacauan yang
umumnya dilakukan kaum komunis di berbagai belahan dunia.
Jadi, adanya pengkhianatan PKI menandakan bahwa ideologi
komunis bukan saja versus Islam, namun juga versus Pancasila
sekaligus.
Dari perspektif Pancasila, sila pertama yang berbunyi
“Ketuhanan Yang Maha Esa” menegaskan dasar negara Indonesia
adalah negara yang mengakui Tuhan, khususnya Tuhan Yang
Maha Esa. Adanya Sila pertama dengan bunyi semacam ini
menegaskan bahwa Indonesia didirikan atas dasar keyakinan
adanya Tuhan Yang Maha Esa sehingga keyakinan apapun
yang anti Tuhan sesungguhnya bertentangan dengan Pancasila
sebagai dasar negara Republik Indinesia.
Dari perspektif Islam, keyakinan tidak adanya Tuhan yang
merupakan manifestasi dari teori-teori sosial politik yang
dikonstruksi para pemikir komunis semacam Karl Max, Lenin
dan sebagainya, seluruhnya bertentangan dengan Islam saat
paham ini dibawa ke tengah-tengah muslim. Di Eropa atau
negara mayoritas non muslim lainnya bisa jadi paham ini mudah
diterima oleh sebab perlawanannya terhadap ketidak adilkan
sosial sebagai hasil dari praktek kapitalisme kaum borjuis
pemilik modal (elit-elit kapitalis).
Di negara atau wilayah yang tidak mengenal Islam barangkali
spirit perlawanan ideologi komunis ini akan mudah mendapatkan
tempat di hati masyarakatnya oleh karena kebutuhan mereka
terhadap spirit perlawanan terhadap penderitaan yang mereka
Teuku Zulkhairi |
69
alami dari ulah dan kejahatan kapitalisme dan paham ciptaan
manusia lainnya. Namun di dunia Islam, tentu ideologi komunis
akan selalu ditolak oleh karena masyarakatnya memiliki
worldview (pandangan hidup) sendiri yang bersumberkan
ajaran Islam untuk melawan segala bentuk penjajahan, ketidak
adilkan dan kesemena-menaan yang dilakukan oleh siapapun
dan paham apapun.
Sebelum komunis muncul di Indonesia, umat Islam di
republik ini telah tercatat dalam sejarah bagaimana konsistensi
perjuangan dan pengorbanan mereka dalam melawan
imperialisme kaum kapitalis yang datang dari Barat, seperti
Belanda dan Inggris. Bahkan di seluruh dunia Islam, umat
Islam tampil di garis depan melawan bangsa-bangsa kapitalis
yang menjajah negeri mereka. Ini yang tidak disadari oleh para
pengusung ideologi komunisme yang masuk ke tengah-tengah
masyarakat Indonesia. Maka umat Islam di Indonesia bukan saja
anti terhadap kapitalisme, namun juga komunisme sekaligus.
Sebab, keduanya menimbulkan kemudhratan yang kompleks.
Kedua paham ini bertentangan dengan ajaran Islam oleh karena
keduanya adalah ciptaan manusia dari pikiran-pikiran sempit
dan terbatas.
Maka sebenarnya kejahatan komunis terhadap bangsa
Indonesia merupakan lanjutan dari kejahatan kaum kapitalis.
Dalam perkembangannya, baik kapitalis maupun komunis
menyadari betul tantangan yang akan mereka dapatkan
dari Islam dan kaum muslimin dalam upaya mereka untuk
meneguhkan dominasi dan hegemoni mereka di dunia dan di
negara-negara dimana mereka ingin berkuasa.
Di masa penjajahan bangsa-bangsa kapitalis, mereka sangat
benci terhadap kaum agamawan oleh sebab kaum agamawan
berdiri di garis depan melawan kejahatan mereka. Begitu juga,
kaum agamawan (ulama dan santri) kembali menunjukkan
70
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
perlawanan mereka saat negara terancam diambil alih oleh
komunis. Tentu saja, itu sebab sehingga di Indonesia gerakan
komunisme sangat memusuhi Islam dan kaum muslimin.
Kampanye mendasar yang sering kita dengar dari kisah-kisah
dan baca dari sejarah gerakan komunisme adalah seruan mereka
untuk menjauhkan ummat dari agama. Islam sebagai sebuah
keyakinan dan juga sebuah ideologi dianggap bertentangan
dengan ideologi dan aganda-agenda ekonomi, sosial dan politik
komunisme, sebagaimana kaum kapitalis juga menganggap
Islam sebagai lawan bagi peradaban mereka sebagaimana ditulis
Samuel Huntington.
Bagi masyarakat Indonesia, kapitalis dan komunis adalah
sama-sama penyakit bagi kemanusiaan. Jadi bagaimana mungkin
akan diterima?. Paham ini bukan saja akan gagal memberi solusi,
tetapi juga menimbulkan kemudharatan baru bagi bangsa
Indonesia setelah sebelumnya dijajah kapitalis Belanda. Di
benua Eropa sendiri, realitasnya komunisme tidak sepenuhnya
menjadi solusi bagi negara-negara Eropa sebagai wilayah tempat
paham ini bermula. Justru dalam perkembangannya paham ini
berubah menjadi gerakan yang menyeramkan bagi penduduk
Eropa sendiri oleh karena serangkaian kejahatan kemanusiaan
yang mereka praktekkan. alhasil, kampanye keadilan ekonomi,
sosial dan politik oleh gerakan komunisme lewat teori-teori sosial
Marxisme pada akhirnya justru menghadirkan kenestapaan
baru bagi penduduk bumi. Oleh sebab itu, ideologi komunisme
tidak diterima oleh mayoritas umat Islam dan bahkan penduduk
bumi lainnya.
Jadi mengapa kini ideologi komunisme kembali dianggap
sebagai ancaman bagi republik, padahal mayoritas penduduk
Indonesia adalah muslim? Nampaknya hal ini sebabkan oleh
adanya kesadaran bersama tentang realitas kelemahan generasi
muda Indonesia dalam memahami Islam dan keindonesiaan
sehingga ideologi kiri yang disponsori Karl Marx mempengaruhi
Teuku Zulkhairi |
71
pikiran mereka kosong dari pemahaman agama sehingga ideologi
ini dirasa lebih cocok dipikirkan mereka.
Oleh sebab itu, di media sosial saya menulis, sebelum
generasi muda kita membaca buku-buku ajaran Karl Marx, Lenin
dan buku-buku kiri lainnya, generasi muda Indonesia khsusunya
generasi muda Islam mestilah terlebih dahulu diarahkan
untuk membaca kitab-kitab dan buku-buku yang menjelaskan
keagungan sistem Islam sehingga mereka mengetahui dimana
letak kesesatan komunisme dari perspektif Islam sebagai
agamanya dan dari perspektif Pancasila sebagai dasar negara.
Kita mesti menuntun mereka untuk lebih dulu membaca sejarah
Nabi dan Rasul, sejarah sahabat sehingga dipaham bagaimana
mereka memberikan loyalitas kepada negerinya dan Sang
Pencipta Alam Semesta ini.
Kita mesti menuntun generasi muda Indonesia untuk
menghafal dan pahami i’tikad 50 supaya memahami bahwa
Allah Swt itu ada, mustahil tiada. Bahwa kita dituntut untuk
‘mengenal’ Tuhan kita Allah Swt dengan cara memahami sifatsifatNya, sebelum kita belajar pengetahuan yang lain. Kita mesti
menuntun mereka untuk membaca kitab-kitab tafsir para ulama,
buku-buku intelektual muslim, sejarah keunggulan peradaban
Islam di Andalusia, Abbasiah, Ottoman, Aceh dan seterusnya,
tentang struktur berfikir Islam, ilmu mantiq, ushul fiqh dan
lain-lain. Hafal Alquran beberapa juz dan hafal juga hadis-hadis
Nabi Muhammad Saw. Maka insya Allah, setelah itu kita akan
memahami mengapa ideologi kiri komunisme bertentangan
dengan Islam sebagai agama kita dan dan Pancasila sebagai
dasar negara Republik Indonesia. Pada akhirnya, hidayah itu
adalah dari Allah. Wallahu a’lam bishshawab.
I. Perlawanan Terhadap Liberalisasi Islam
Berdasarkan sejumlah fenomena gerakan liberalisasi Islam,
72
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
maka kita menyeru dan mengajak agar para khatib dan kalangan
santri untuk menjelaskan kepada ummat dalam tema-tema
khutbahnya mengenai pemahaman sebenarnya agar pemikiran
liberal semacam itu tidak merusak akidah umat.
Meskipun bukan suatu bahasan yang baru oleh karena
gerakan liberal Islam telah berlangsung sejak lama, namun
bahayanya pemikiran liberal harus terus disampaikan kepada
ummat dengan cara kita beri jawaban kepada ummat. Sebab,
Pemikiran liberal memang laksana virus yang merusak dan
mudah menjalar di tengah-tengah umat Islam di tengah realitas
keterbatasan kemampuan setiap individu anggota masyarakat
dalam memahami Islam. Alhasil, virus semacam itu sangat
berpotensi membesar dan kemudian menjadi persoalan besar di
tengah-tengah umat Islam.
Benar bahwa hanya Allah yang Maha tahu segalanya, namun
studi tentang Tafsir Alqur’an telah dilakukan sejak pertama kali
Alquran diturunkan, dimana para sahabat dan salafussalih telah
menggunakan berbagai metodologi dalam memahami Alqur’an
dan menjelaskan kepada ummat. Apa fungsi Alquran jika kita
memahami bahwa manusia tidak berhak menafsirkannya?
Tentu Alqur’an akan menjadi kitab suci yang tidak berfungsi,
sehingga pemikiran liberal seperti ini sangat merusak dan harus
ditolak dengan cara diberikan pemahaman yang benar kepada
ummat. Kita meyakini kebenaran Alqur’an melalui penafsiran
para ulama-ulama tafsir yang telah dijadikan rujukan oleh umat
Islam sejak dahulu sampai saat ini.
Lebih dari itu, soal surat Al-Maidah ayat 51 yang
dipolemikkan oleh Ahok dan kemudian mendapat respon keras
dari MUI dan umat lintas ormas Islam, kami juga menyeru para
Khatib untuk menjelaskan ayat ini kepada ummat berdasarkan
pendapat para ulama-ulama tafsir, sehingga kelak kita harapkan
tidak ada ummat yang meragukan satu ayat pun dari Alqur’an.
Teuku Zulkhairi |
73
Sebab, harus diakui, di tengah perkembangan dunia teknologi
informasi, saat ini cukup banyak umat Islam yang menjadi
peragu-ragu dalam memahami ayat ini.
Terakhir, kami juga menghimbau kepada para khatib untuk
menjelaskan kembali kepada ummat tentang otoritas ulama di
tengah-tengah umat Islam. Patut juga kita membela MUI dari
serangan-serangan musuh Islam dan kaum munafik yang cukup
deras akhir-akhir ini, dimana mereka mencoba merusak negeri
ini dan penduduknya yang mayoritas Muslim agar memudahkan
misi imperialisme mereka. Bagi kita para ulama adalah pewaris
para Nabi. Ulama adalah penerang. Di tengah gelombang
liberalisasi Islam, mari kita sampaikan kepada ummat agar terus
bersama ulama.
74
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
BAB IV
Masa Depan Dayah dan
Peningkatan Kualitas Santri
Teuku Zulkhairi |
75
A. Mengawal RUU Pesantren
Pesantren di nusantara saat ini sedang menanti arah baru.
Akan ada sejumlah perubahan apabila Rancangan UndangUndang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan (RUU PPK)
disahkan oleh parlemen. Untuk level Aceh, selain RUU PPK
ini, kita juga sedang menanti hasil penggodokan Rancangan
Qanun (Raqan) Pendidikan Dayah oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh (DPRA). Jadi, Aceh akan memiliki dua aturan yang
menaungi dunia pesantren atau dayah. Saya mengikuti Rapat
Dengar Pendapat Umum (RDPU) Raqan pendidikan dayah yang
diselenggarakan DPRA beberapa waktu lalu. Dan menyimak
bahwa Raqan ini sudah cukup ideal. Para ulama yang hadir dalam
RDPU tidak terlalu banyak mengoreksi sehingga nampaknya
tidak terlalu banyak hal yang perlu diperbaiki setelah RDPU
digelar.
Mungkin karena memang sejak awal sejumlah ulama telah
dilibatkan secara penuh dalam penyusunan Raqan Pendidikan
Dayah, bahkan hingga proses konsultasi ke Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri) para ulama juga dilibatkan. Maka untuk
Raqan Pendidikan Dayah, kita hanya menanti keseriusan para
pengambil kebijakan untuk mengeksekusi sekiranya nanti
Raqan ini sudah disahkan. Plus satu lagi, agar dayah tidak lagi
“dibuang” di komisi yang menangani urusan agama di DPRA,
melainkan di komisi yang menangani urusan pendidikan. Sebab,
meskipun dayah adalah institusi tempat dimana ilmu agama
diajarkan, namun jelas ia adalah institusi pendidikan.
Sementara itu, untuk RUU Pesantren dan Pendidikan
Keagamaan (PPK), para ulama dayah di Aceh beberapa waktu
lalu, disamping memberi dukungan dan gagasan-gagasan
penyempurnaan RUU ini, juga memberikan masukan-masukan
yang sangat kritis. Masukan-masukan ini disampaikan saat
digelar silaturrahmi ulama dan umara oleh Dinas Pendidikan
76
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Dayah Aceh untuk membahas RUU tersebut. Selama dua hari
pembahasan yang diikuti oleh 100 ulama dan perwakilan dayah
di Aceh, serta perwakilan dari Direktorat Pondok Pesantren
Kementerian Agama Republik Indonesia, saya yang juga
mendapat undangan mengikuti pembahasan ini menyaksikan
kegiatan pembahasan berlangsung dengan sangat alot.
Respons ulama dayah di Aceh terhadap RUU PPK menjadi
sangat alot karena RUU ini memasukkan institusi pendidikan
agama lain di dalamnya. Tentu agak membingungkan bahwa
dalam RUU Pesantren namun ada institusi agama selain Islam
juga. Jadi pertanyaan yang agaknya penting diajukan adalah,
sebenarnya RUU Pesantren ini untuk siapa? Memang namanya
RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, artinya dari segi
nama saja RUU ini tidak dikhususkan untuk pesantren saja,
namun juga untuk agama lain. Tapi tetap saja, substansial
RUU ini identik dengan pesantren. Kelak RUU ini akan identik
dengan pesantren dan bahwa siapapun pasti akan menilai
bahwa ini adalah RUU Pesantren. Beda jika di nama RUU nya
tidak ada kata-kata “Pesantren”. Misal jika namanya adalah
“RUU Pendidikan Kegamaan”. Maka pasti keberadaan institusi
agama lain di dalamnya sama sekali tidak akan mengejutkan.
Tapi ini namanya RUU Pesantren, meskipun ada sambungan
“Pendidikan Keagamaan” setelahnya.
Keterkejutan para ulama dayah di Aceh terhadap RUU PPK
ini tentu cukup berasalan mengingat pesantren adalah identik
dengan institusi pendidikan Islam. Maka seusai pembahasan
RUU ini yang berlangsung alot, para ulama menyusun sembilan
rekomendasi dimana Tim Perumusnya diketuai oleh Tgk. H.
Anwar Usman, pimpinan Ma’had Aly Al Munawwarah Pidie Jaya,
dan juga putra dari Abu Kuta Krueng. Sementara sekretaris tim
perumus yaitu menantu Waled Nu, Tgk. H. Muhammad Hatta,
pimpinan Dayah Madani Banda Aceh. Poin pertama rekomendasi
ini menyatakan bahwa Ulama Aceh sangat mendukung RUU
Teuku Zulkhairi |
77
Pesantren dengan ketentuan hanya dikhususkan untuk pesantren
dan tidak digabungkan dengan pendidikan keagamaan lainnya.
selain itu, diharapkan memiliki tenggang waktu yang memadai
untuk pembahasan dan pengesahannya.
Pada poin rekomendasi selanjutnya disebutkan, RUU ini
masih diperlukan banyak perbaikan untuk penyempurnaan
agar memliki landasan filosofis dan historis yang kuat. Poin ini
menandakan adanya kekhawatiran para ulama dayah di Aceh
jika RUU Pesantren digabungkan dengan institusi pendidikan
agama lain. Apakah kekhawatiran para ulama dayah di Aceh
sesuatu yang berlebihan? Tentu saja tidak. Ini suatu kewajaran
mengingat dalam sejarahnya “pesantren” sudah lumrah diketahui
menjadi trademark pendidikan Islam tradisional, tempat dimana
khazanah keilmuan Islam berbasis kitab kuning dipelajari dan
diajarkan kepada para santri. Dimana kekhususan pesantren
jika RUU ini bercampur baur dengan institusi pendidikan di luar
Islam? Maka seorang pimpinan dayah di sebuah group Whatsapp
menulis, “Jika RUU Pesantren digabungkan dengan institusi
agama lain, maka ubah namanya, jangan RUU Pesantren”. Tentu
masukan ini sangat logis dan sangat mungkin diterima. Intinya,
untuk apa ada RUU Pesantren (dan Pendidikan Kegamaan) jika
kekhususan pesantren sebagai institusi pendidikan tradisional
Islam menjadi hilang?
Poin rekomendasi lain dari para ulama dan pimpinan dayah
di Aceh yaitu agar ditambahkannya definisi Islam dengan
aqidah Ahlusunnah wal jama’ah dalam ketentuan umum yaitu
pemahaman Aqidah berdasarkan kepada manhaj Asya’irah (Abu
Hasan Al-Asy’ari) dan Maturidiyah (Abu Mansur Al Maturidy),
Mazhab Fiqh yang empat dalam bidang Fiqh, dan manhaj Imam
Junaid al-Bagdady dan Imam Ghazali dalam bidang Tasawuf.
Poin ini juga sangat beralasan karena memang ini merupakan
salah satu ciri khas pesantren di Indonesia. Kitab-kitab kuning
yang dipelajari dan diajarkan di dunia pesantren di Indonesia
78
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
lumrah diketahui merujuk ke dasar ini.
Rekomendasi selanjutnya yaitu “Pendidikan Ula/Dasar,
Wustha/Menengah, Ulya/Atas, dan Ma’had Aly adalah
merupakan bahagian dari level atau jenjang pendidikan
pesantren, maka segala kebijakan dalam operasional dan
teknis pelaksanaan serta kurikulum mesti disesuaikan dengan
pesantren, bukan dengan pendidikan lainnya”. Ini menandakan
bahwa para ulama dayah di Aceh mengharapkan agar pesantren
atau dayah memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan
institusi pendidikan lainnya.
Maka dari sejumlah poin rekomendasi ini, nampak bahwa
ulama-ulama dayah di Aceh sedang ingin mengawal RUU
Pesantren agar tidak “menyimpang” dari jalan yang semestinya.
Tentu, ini sebuah tindakan yang cukup penting mengingat
krusialnya posisi RUU ini dalam pembangunan pesantren jika
sudah disahkan nanti. Selain itu, para ulama dayah di Aceh juga
mendukung alokasi anggaran tetap untuk pesantren sebanyak
30 persen dari total 20 persen anggaran pendidikan Nasional
dan 30 persen dari total 20 persen alokasi anggaran untuk
pendidikan di daerah. Kalau misalnya RUU Pesantren telah
disahkan, sementara dukungan secara finansial tidak jelas maka
sama saja, amanat Undang-Undang Pesantren ini tidak akan
bisa dieksekusi. Sama halnya dengan Raqan Pendidikan Dayah
di Aceh. Jika Raqan ini sudah disahkan dan 30 persen anggaran
untuk dayah dari total 20 persen anggaran pendidikan tidak
disanggupi, maka sama saja segala amanat undang-undang tidak
akan maksimal untuk dieksekusi.
Terhadap sejumlah masukan ini, hal paling penting
adalah bagaimana agar aspirasi ulama dayah di Aceh ini dapat
terdengar hingga ke pusat. Saya mendengar hal yang menarik
dari pengakuan orang Kemenag Pusat, bahwa Aceh menjadi pilot
project pembangunan pesantren di Indonesia. Hal ini karena
Teuku Zulkhairi |
79
memang Aceh lebih terdepan dalam pembangunan dayah.
Misalnya dengan adanya Dinas Pendidikan Dayah Aceh, dan kini
juga sedang digodok Raqan Pendidikan Dayah. Namun demikian,
kita tentu tidak boleh berbangga hati sekedar mendapat apresiasi
sebagai daerah pelopor pembangunan pesantren. Kita berharap
bagaimana agar rekomendasi para ulama dayah di Aceh bisa
diterima sepenuhnya.
B. Ma’had Aly Momentum Kemajuan Santri Dayah
Setelah Peraturan Menteri Agama (PMA) No 71 Tahun 2015
tentang Ma’had Aly ditandatangani Menteri Agama Republik
Indonesia pada akhir tahun 2015 yang lalu, dua tahun berikutnya
dua dayah di Aceh menerima Surat Keterangan (SK) Ma’had Aly
dari Kemenag Pusat. Keduanya yaitu Ma’had Aly di Dayah Mudi
Mesra Samalanga Kab. Bireuen, dimana SKnya diterima oleh
Tgk Zahrul Mubarak pada tahun 2016 lalu. Sementara untuk
Ma’had Aly Dayah Darul Munawwarah Kuta Krueng Ulee Glee
Pidie Jaya, SKnya diterima beberapa waktu lalu (tahun 2017)
oleh Tgk H. Anwar Usman. Artinya, dua Ma’had Aly di Aceh ini
telah resmi menjadi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam-nya
dayah.
Secara pemetaan pendidikan, Ma’had Aly ini adalah lanjutan
dari Program Diniyah Formal tingkat Ula, Wustha dan ‘Ulya
dan lalu berlanjut ke Ma’had Aly. Sebagaimana dari SD, SMP,
SMA lalu ke Perguruan Tinggi Umum (PTU) dan Madrasah yang
dimulai dari MI, MTs, MA dan Perguruan Tinggi Keagamaan
Islam (PTKI). Untuk Aceh, sebenarnya terdapat sejumlah dayah
lainnya yang sejak satu dekade lalu telah menyelenggarakan
program Ma’had Aly. Hanya saja, untuk sementara baru dua
dayah yang dikeluarkan SKnya oleh Kemenag Pusat, sebagai
pilot project. Artinya, dayah-dayah lain masih berpeluang
menyelenggarakan program Ma’had Aly setelah dan jika
80
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
memenuhi sejumlah prosedur dan kriteria yang ditetapkan
Direktorat Pondok Pesantren Kemenag RI. Setidaknya informasi
ini seperti yang penulis simak dari Dr Ahmad Zayadi, Kepala
Direktorat Pesantren beberapa bulan lalu saat beliau berkunjung
ke Banda Aceh.
Kendati pun baru dua dayah di Aceh yang telah resmi berdiri
Ma’had Aly, kita tetap bersyukur mengingat program pendidikan
tinggi khas dayah ini telah sekian lama ditunggu-tunggu. Dalam
perjalanannya, draft regulasi Ma’had Aly, terdapat banyak
dinamika dan tantangan-tantangan yang penulis cermati
dalam proses penyusunan oleh sebab kehadiran Perguruan
Tingginya Dayah (baca: Pesantren) ini tentu saja akan memiliki
implikasi dalam sektor lainnya, seperti kebutuhan anggaran
dan sebagainya sehingga bahasan tentang Ma’had Aly ini bukan
hanya domain Kemenag, namun juga kementerian lainnya.
Draft regulasi ini bahkan telah dibahas dari satu era
Menteri ke Menteri lainnya, dan kemudian Alhamdulillah
selesai pembahasannya di era Lukman Hakim Saifuddin (LHS).
Di era LHS ini, sebenarnya tidak ada alasan lagi draft tersebut
tidak ditandatangani oleh sebab telah tuntasnya semua
pembahasan. Hal ini menandakan bahwa kehadiran Ma’had
Aly membutuhkan proses yang panjang, sulit dan berlikuliku, sehingga kehadirannya mestilah disambut dan disyukuri.
Banyak pihak yang terlibat dalam melahirkan draft Ma’had
Aly ini, mulai dari kalangan Kyai-Kyai di Jawa hingga sejumlah
ulama dan akademisi di Aceh.
1. Kebutuhan Mutlak
Pertanyaan kemudian adalah, apa itu Ma’had Aly dan apa saja
keistimewaannya? Pada bab satu PMA ini, tentang ketentuan
umum, disebutkan bahwa Ma’had Aly adalah perguruan
tinggi keagamaan Islam yang menyelenggarakan pendidikan
Teuku Zulkhairi |
81
akademik dalam bidang penguasaan ilmu agama Islam (tafaqquh
fiddin) berbasis kitab kuning yang diselenggarakan oleh Badan
Penyelenggara dan berada di pondok pesantren. Jadi, Ma’had
Aly adalah Perguruan Tingginya dayah dimana basisnya adalah
kitab kuning yang selama ini menjadi ciri khasnya dayah atau
pesantren. Karena fungsinya semacam ini, maka kehadiran
Ma’had Aly adalah kebutuhan mutlak bagi dunia dayah di
Aceh khususnya dalam rangka menyesuaikan diri dengan
dinamisasi perkembangan dunia modern. Apalagi, sistem
penyelenggaraannya sama sekali tidak akan merusak sistem
pendidikan dayah yang selama ini telah berjalan, malahan justru
akan semakin memperkuatnya.
Dengan status semacam ini, kehadiran Ma’had Aly
sesungguhnya merupakan kebutuhan mutlak di tengah zaman
dimana ummat sering kali ragu dan bimbang dalam memahami
agama akibat kian kencangnya wacana dekontruksi teks suci dan
turast yang dihembuskan oleh pemikir-pemikir Barat, orientalis
dan para pengikut dogma Liberal Islam. Bukankah kita sering
mendengar sejumlah pemikiran alumnus Islamic Studies yang
menuntut kitab-kitab turast ditinjau ulang karena anggapan
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia modern,
misalnya dalam bidang hukum Syari’at.
Oleh sebab itu, kehadiran Ma’had Aly tentu saja diharapkan
mampu merawat studi turats (kitab klasik) sehingga mampu
memberikan jawaban atas setiap tantangan aktual dalam
dinamika keberagaman dari perspektif studi turats sehingga kitab
kuning selalu relevan dalam setiap perkembangan zaman. Saat
di satu sisi ada pihak menghembuskan wacana dekonstruksi,
sesuai dengan amanat filsafat yang berkembang di Barat, maka
Ma’had Aly diharapkan mampu memperkuat revitalisasi kitab
kuning untuk menghadapi persoalan-persoalan kehidupan
kontemporer, dalam bidang akhlak, pendidikan, sosial budaya,
politik dan sebagainya.
82
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Tentu ini sebuah keniscayaan yang sangat memungkinkan.
Apalagi, sejatinya kitab kuning sendiri dewasa ini kian menjadi
magnet para peneliti antropologi dan sosiologi yang mencoba
melihat warisan budaya dan khazanah pengetahuan masa
lalu serta relevansinya dengan kondisi kekianian. Dalam hal
penyelenggaraan Ma’had Aly, dalam PMA No 71 Tahun 2015 juga
disebutkan, bahwa rumpun ilmu yang dikembangkan oleh Ma’had
Aly adalah ilmu agama Islam dengan pendalaman kekhususan
(takhasus) disiplin ilmu keislaman tertentu. Sementara
kekhususan (takhasus) disiplin ilmu keislaman tertentu meliputi
al-quran dan ilmu al-quran (al-qur’an wa ‘ulumuhu), tafsir dan
ilmu tafsir (tafsir wa ‘ulumuhu), hadits dan ilmu hadits (hadits
wa ‘ulumuhu), fiqh dan ushul fiqh (fiqh wa ushuluhu, akidah dan
filsafat islam (‘aqidah islamiyyah wa falsafatuha), sejarah dan
peradaban islam (tarikh islamy wa tsaqafatuhu), bahasa dan sastra
arab (lughah ‘arabiyyah wa adabuha), ilmu falak dan astronomi
(‘ilmu falak), tasawuf dan tarekat (tashawwuf wa thariqatuhu),
ekonomi islam (iqtishad islamy), atau takhasus ilmu keislaman
lainnya.
2. Butuh Perhatian Pemerintah
Maka tugas pemerintah Aceh sekarang untuk betulbetul memanfaatkan kehadiran Ma’had Aly di Aceh sebagai
momentum mengembalikan posisi Aceh sebagai “kiblat” dunia
pendidikan Islam, khususnya di kawasan Nusantara. Kita patut
bersyukur karena Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan juga mencantumkan bahasan
perihal Ma’had Aly ini dimana Pemerintah Aceh dan Pemerintah
Daerah berwewenang dalam memfasilitasi pendirian Ma’had
Aly. Jadi, agenda memperkuat Ma’had Aly di Aceh akan lebih
mudah ketimbang Provinsi lain di Indonesia yang tidak ada
Qanun atau Perda yang membahas Ma’had Aly.
Teuku Zulkhairi |
83
Seperti halnya juga tersebut dalam PMA, dalam Qanun
Pendidikan Aceh juga disebutkan bahwa program pendidikan
tinggi diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang berbentuk
universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, politeknik
dan dayah manyang (Ma’had ‘Aly). Intinya, selain PMA yang
merupakan regulasi Nasional, Qanun Pendidikan Aceh sebagai
regulasi lokal/daerah juga menetapkan Ma’had Aly sebagai
satuan tinggi pendidikan. Nah, sekarang tugas besar bagi
segenap stakeholder pendidikan di Aceh untuk terus memacu
Ma’had Aly agar terus bergerak mewujudkan cita-cita pendidikan
Islami di Aceh. Tinggal sekarang kita tunggu pihak-pihak terkait
untuk memajukan Ma’had Aly, mulai dengan dukungan sektor
anggaran, pembinaan dan seterusnya. Jika yang sudah resmi
beroperasi ini berhasil sebagai pilot project, maka ke depan
dayah-dayah lain akan semakin termotivasi untuk juga ikut
menyelenggarakannya. Kita berharap pihak-pihak yang terlibat
dalam pengelolaan pendidikan, khususnya pendidikan dayah
dan Ma’had Aly ini betul-betul memiliki visi dan jihadiyah
(kesunngguhan) dalam memajukan Ma’had Aly. Amiin. Semoga
saja!
C. Pendidikan Formal: Diniyah Tafaqquh Fiddin
Banyak yang belum mencermati dengan seksama perubahan
peta baru satuan pendidikan di Indonesia. Setidaknya ini
pengalaman pribadi penulis berinteraksi dengan sejumlah
praktisi dan stakeholder pendidikan yang selama ini konsen
dalam dunia pendidikan. Sejak tahun 2015, peta baru satuan
pendidikan formal secara nasional telah bertambah dengan
munculnya Pendidikan Diniyah Formal yang disingkat PDF.
PDF ini diluncurkan oleh Kementerian Agama (Kemenag)
Republik Indonesia sebagai satuan baru dalam peta pendidikan
formal di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Agama
84
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
(PMA) Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan
Islam.
Sebagai catatan, PMA ini sendiri merupakan turunan
atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007
tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, yang
merupakan implementasi dari Undang-Undang (UU) Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jadi,
PDF ini lahir setahun setelah keluarnya PMA tersebut. Jadi,
mengingat satuan PDF yang baru muncul tiga tahun lalu, maka
sangatlah dipahami alasan kenapa banyak di antara praktisi
dan stakeholder pendidikan yang belum mengetahui peta baru
ini.
Secara ringkas dapat dijelaskan, jika sebelumnya kita hanya
mengenal pendidikan formal seperti Sekolah dengan jenjang
pendidikan yang dimulai dari SD, SMP, SMA dan berlanjut
Perguruan Tinggi Umum, serta Madrasah yang dimulai dari
MI, MTs, MA dan berlanjut ke Perguruan Tinggi Keagamaan
Islam. Maka kini peta itu bertambah dengan munculnya PDF
yang dimulai dari tingkat Ula (Dasar), Wustha (Menengah), ‘Ulya
(Tinggi) dan kemudian berlanjut ke tingkat Ma’had ‘Aly.
Istimewanya, PDF ini hanya khusus diselenggarakan oleh
dan di pesantren/dayah saja, dengan persyaratan-persyaratan
yang ditetapkan oleh PMA tersebut seperti adanya santri
sebanyak 300 orang setiap tahun sejak 10 tahun terakhir. Jadi
selain dayah tidak bisa menyelenggarakan satuan pendidikan
ini. Penyelenggara PDF ini, di samping tentu saja memiliki
tanggung jawab, namun juga memiliki hak, seperti dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), legalitas ijazah dan sebagainya yang
memang hemat penulis akan sangat membantu menyukseskan
penyelenggaraan pendidikan.
Maka kehadiran PDF dalam satuan pendidikan formal di
Indonesia sudah seharusnya disambut dengan antusiasme dan
Teuku Zulkhairi |
85
dukungan dari berbagai stakeholder pendidikan, khususnya di
Aceh. Sebab, PDF ini adalah formula baru dalam pengembangan
dayah, mendapat legalitas formal dalam sistem pendidikan
nasional dan di sisi lain dengan tetap menjaga ciri khas dayah
yang berlandaskan pada studi turats klasik.
Lahirnya PDF berawal dari fakta bahwa keberadaan sekolah
dan madrasah dianggap belum cukup mampu melahirkan
alumnus yang mampu menjawab tantangan dunia dengan
paradigma Islam dan dalam menyelesaikan berbagai problem
dalam agama Islam yang muncul di tengah-tengah umat. Pada
faktanya sekolah hanya mengajarkan mata pelajaran Agama
hanya 2-3 jam pelajaran/Minggu. Sementara madrasah pun
mata pelajaran Agama hanya dikembangkan melalui lima Mata
pelajaran: Al-Quran-Hadits, Akidah-Akhlak, Fiqh, Sejarah
Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab. Jika dibandingkan dengan
pelajaran umum, di madrasah hanya 25 persen pelajaran agama
dan 75 persen pendidikan umum.
Nah, PDF ini sebaliknya. Dalam kurikulumnya yang
ditetapkan dalam PMA, 75 persen adalah pelajaran agama.
Hanya 25 persen pelajaran umum. Dan pelajaran umum pun
akan dikemas dengan model pembelajaran kitab. Artinya akan
ditulis dalam bahasa Arab. Untuk tingkat Wustha, pelajaran
yang diajarkan yaitu Al-Quran, Tafsir-Ilmu Tafsir, Hadist-Ilmu
Hadits, Tauhid, Fiqh-Ushul Fiqh, Akhlaq- Tasawuf, Tarikh,
Bahasa Arab, Nahwu-Sharf, Balaghah dan Ilmu Kalam. Untuk
pelajaran umum, yang diajarkan di tingkat Wustha adalah
Pendidikan Kewarganegaraan, bahasa Indonesia, Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Jadi di tingkat Wustha ini, ada 11
mata pelajaran agama dan 4 pelajaran umum.
Sementara untuk tingkat Ulya, kurikulum pendidikan
keagamaan Islam yang diajarkan yaitu Al-Qur’an, Tafsir-Ilmu
Tafsir, Hadist-Ilmu Hadits, Tauhid, Fiqh-Ushul Fiqh, Akhlaq-
86
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Tasawuf, Tarikh, Bahasa Arab, Nahwu-Sharf, Balaghah, Ilmu
Kalam, Ilmu Arudh, Ilmu Mantiq dan Ilmu Falak. Sedangkan
untuk mata pelajaran umum, selain empat mata pelajaran
sebagaimana di tingkat Wustha, maka di tingkat Ulya
bertambah satu lagi, yaitu pelajaran Seni dan Budaya. Jadi di
tingkat Ulya ini ada 14 mata pelajaran agama dan 5 pelajaran
umum.
Dan untuk ujian nasional (Imtihan Wathani), materi yang
diujikan dalam PDF tingkat Ulya ini mencakup Hadist-Ilmu
Hadits, Fiqh-Ushul Fiqh, Tafsir-Ilmu Tafsir, Bahasa Arab,
dan Nahwu-Sharf. Dan bagusnya lagi, soal ujian semua mata
pelajaran ini seluruhnya materinya ditulis dalam bahasa Arab.
Penulis kebetulan ikut menyaksikan pelaksanaan ujian nasional
pertama yang diselenggarakan Maret lalu di Dayah Babussalam
Matangkuli Aceh Utara. Para santri yang telah mengikuti Imtihan
Wathani akan memperoleh ijazah nasional yang dikirim dari
Kemenag Pusat dan ditandatangani oleh pimpinan dayah dan
kepala PDF. Penulis sering berdiskusi dengan pimpinan Dayah
Babussalam, Tgk. H. Sirajuddin dimana beliau cukup gembira
dengan program PDF ini. Sebab banyak masalah-masalah yang
muncul sebelumnya dapat terselesaikan dengan hadirnya
program PDF ini.
Untuk Aceh, memang baru hanya Dayah Babussalam yang
menyelenggarakan program ini. Dayah ini memenuhi kualifikasi
yang ditetapkan Kemenag Pusat sehingga pada tahun 2015 saat
pertama kali program PDF ini diluncurkan, Dayah Babussalam
lulus verifikasi untuk menyelenggarakan program PDF ini
bersama tujuh pesantren lainnya di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa
Tengah dan Sulaweisi Selatan. Sebelumnya, Dayah Babussalam
tidak melaksanakan satuan pendidikan apapun (baik sekolah
maupun madrasah), kecuali pendidikan Salafiyah saja.
Namun kini, pesantren- pesantren yang menyelenggarakan
Teuku Zulkhairi |
87
program PDF ini di luar Aceh bertambah drastis. Baik tingkat
Wustha maupun Ulya. Pada tahun 2016 misalnya, Kemenag
kembali menyerahkan SK untuk 12 pesantren lainnya dari
seluruh Indonesia yang lulus verifikasi. Kemudian pada tahun
2018, Kemenag Pusat kembali menyerahkan SK penyelenggaraan
PDF baik tingkat Wustha maupun Ulya kepada 18 pesantren
lainnya dari seluruh Indonesia. Pertanyaannya, kenapa dayah
di Aceh yang menyelenggarakan program PDF masih belum
bertambah? Padahal, berdasarkan PMA No 13 Tahun 2014,
pesantren apapun dapat mengajukan permohonan untuk
menyelenggarakan program PDF ke Kemenag.
Dugaan saya, problem utamanya adalah karena kurangnya
sosialiasi. Akibatnya urgensitas program PDF ini belum
dipahami oleh pihak-pihak terkait. Padahal, seandainya dayahdayah di Aceh telah menerima secara baik informasi tentang
program PDF ini, tentulah akan banyak yang berminat untuk
menyelenggarakannya. Pada akhirnya, akan banyak dayahdayah yang terbantu oleh pemerintah pusat, misalnya bantuan
berupa dana BOS, seperti dijelaskan di atas.
Di sisi lain, dengan format kurikulum sebagaimana
digambarkan di atas dan program inovasi lainnya, kita tidak
ragu bahwa visi Kemenag untuk melahirkan lulusam yang
mutafaqquh fiddin (ahli ilmu agama Islam) dari program PDF ini
akan menemukan hasil dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Di sini, kita menanti jihadiyah (kesungguhan) para pengambil
kebijakan untuk merespons secara aktif kelahiran program PDF
ini. Kita berharap sosialiasi semakin intens dilakukan. Dan tentu
saja tidak hanya oleh Kemenag Aceh dan Dinas Dayah, namun
juga pihak lainnya. Dengan semakin banyak dayah di Aceh yang
selenggarakan program PDF, insya Allah akan semakin banyak
dayah yang terbantu. Dan pada akhirnya pendidikan Aceh kita
harapkan semakin maju. Amiin.
88
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
D. Memperkuat Studi Ulumul Quran, Membendung
Pengaruh Orientalisme
Sejarah dengan sangat gamblang mencatat, salah satu
penyebab Aceh berhasil dibuat porak-poranda oleh penjajahan
Belanda adalah berkat kerja orientalis paling terkenal dalam
sejarah penjajahan Belanda di Aceh, Snouck Hugronje. Snouck
yang berpura-pura masuk Islam berhasil mengelabui ulama dan
masyarakat Aceh, apalagi setelah ia pulang dari Mekkah dan
mengganti namanya menjadi Abdul Ghafur.
Kehadiran Snouck yang ditugaskan secara khusus oleh
Kerajaan Belanda saat itu mampu membuat porak-poranda
soliditas umat Islam di Aceh yang sedang berperang mengusir
penjajah. Snouck saat itu menyadari betul, bahwa Aceh
kuat karena dayah. Maka penjajah Belanda kemudian fokus
menghancurkan dayah karena dianggap sebagai kekuatan inti
masyarakat Aceh dimana dari institusi ini ideologi perlawanan
terhadap penjajah dibangun.
Akhirnya, perang panjang bangsa Aceh melawan Belanda
di bawah koordinasi ulama dayah saat itu telah menyebabkan
terbengkalainya dayah-dayah sebagai kekuatan inti masyarakat
Aceh. Satu dua mata pelajaran penting hilang dari kurikulum
pendidikan pada sejumlah dayah di Aceh dalam penelusuran
penulis adalah studi Ulumul Quran dan Ulumul Hadis. Kisah
tentang peran orientalis Snouck dalam membantu Belanda
melaksanakan agenda kolonialisasinya di Aceh sesungguhnya
adalah pelajaran paling penting yang harus terus dikenang
generasi muda Aceh, baik yang di kampus maupun yang di dayah.
Kisah kelam ini meniscayakan kita untuk memandang bahaya
virus orientalisme dengan serius.
Sebab, meski penjajahan secara militer telah lama berakhir
di sebagian negara, namun di berbagai belahan dunia para
orientalis terus bekerja “meruntuhkan” benteng akidah umat
Teuku Zulkhairi |
89
Islam dengan tujuan memuluskan agenda kolonialisasi “tuan”
mereka agar terus berlangsung di era modern.
1. Bahaya Virus Orientalisme
Para orientalis, dengan logika-logika liberal dan metode
ilmiah mempengaruhi umat Islam untuk meragukan ajaran
Islam dengan harapan umat Islam agar senantiasa berkiblat
ke dunia Barat, dari urusan metodologi pemikiran sampai ke
urusan gaya hidup (life style). Tidak sedikit sarjana Muslim yang
belajar kepada para orientalis dan berbangga menyandang gelar
“pakar Islam” pemberian mereka.
Tidak salah memang belajar pada orientalis, yang salah
adalah jika nalar kritis kepada metodologi mereka kita matikan.
Bagi mereka, mengkritik Islam dan para ulama semacam Imam
Syafi’i yang membangun benteng Ushul Fiqh adalah suatu
keharusan, namun yang paling terlarang adalah mengkritisi
orientalis dan metode mereka. Kalau kita kritisi orientalisme,
tidak jarang mereka marah.
Maka tidak heran, hingga saat ini umat Islam kehilangan
jatidiri dan menderita mental rendah diri (mental inferior)
di hadapan peradaban Barat yang hegemonik. Tentu saja, ini
disebabkan “kaum intelektual” di tengah-tengah umat Islam
telah menjadi “pembebek” atas apa saja yang diajarkan orientalis
tanpa mampu menghidupkan nalar kritis mereka.
Kendati demikian, tidak sedikit juga kalangan sarjana Muslim
yang belajar pada orientalis untuk mengetahui kelemahan
mereka seperti Syed Naquib al-Attas di Malaysia, Hamid Fahmi
Zarkasyi dan sekian banyak dari kalangan dari dosen UIN ArRaniry dan seterusnya. Mereka memegang teguh akidah Islam
dan tidak terjebak dengan virus relativisme yang berujung pada
“keraguan-raguan” (skeptis) yang ditanamkan orientalis.
90
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Di tengah realitas seperti ini, pertanyaan sekarang,
apa yang bisa dilakukan institusi dayah dengan segenap
komunitasnya dalam membendung virus orientalisme semacam
metode Hermeneutika dan Semiotika yang dewasa ini cukup
berkembang. Di dunia Islam, kita mengenal nama-nama seperti
Nasr Hamid Abu Zayd yang memperkenalkan Alquran sebagai
produk budaya. Maka Abu Zayd menggagas studi Alquran
dengan proposisi hubungan antara teks (nash) dan interpretasi
(takwil). Menurutnya teks dan interpretasi adalah merupakan
hal yang tidak dapat dipisahkan seperti dua sisi mata uang.9 Jadi
Abu Zayd hendak membongkar apa yang selama ini menjadi
kesepakatan para ulama Ahlusunnah wal Jama’ah dalam berbagai
naskah turats yang memisahkan antara teks dan takwil. Takwil
dalam studi al-Quran di dayah-dayah atau di pesantren selama
ini bukankah sesuatu yang dilarang misalnya terkait nama-nama
surat seperti Yaasin?
Dengan ini Abu Zayd hendak mengaitkan kembali kajian
ilmu al-Quran dengan konteks studi kritik sastra. Artinya,
menurut Abu Zayd, layaknya seperti teks-teks lain, al-Quran
mungkin didekati dengan berbagai perangkat kajian tekstual
modern.10 Sesungguhnya metode ini merupakan bagian dari
metode Hermeneutika. Dan dengan demikian, Abu Zayd telah
menempatkan al-Quran sebagai teks yang tidak berbeda dari
teks-teks lainnya.11 Padahal, para ulama Tafsir seperti Imam
Zarkasyi telah menegaskan bahwa pada malam Lailatul Qadr alQuran diturunkan dari Lauh Mahfuzh ke sama’ul ardh sekaligus
baru kemudian diturunkan ke dunia secara bertahap.12 Dengan
⁹Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut,
Markaz el Shaqafil ‘Arabi), hlm: 12-13
10
Moch. Nur Ikhwan, Meretes Kesarjanaan Kritis al-Quran: Teori
Hermeunetika Abu Zayd (Jakart: Teraju, 2003), hlm: 42
11
Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Terhadap Kajian al-Quran Nasr
Hamid Abu Zayd, Jurnal Islamia Vol. IV, Nomor I, Tahun 2012, hlm: 80
12
Imam Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulumil aQuran, (Darut Turats: Kairo),
hlm: 228
Teuku Zulkhairi |
91
demikian sama sekali merupakan kesimpulan yang sangat fatal
mengatakan al-Quran sebagai produk budaya sebagaimana
klaim dari Abu Zayd. Bukankah sebelum ada bangsa Arab alQuran sudah ada? Jadi bagaimana mungkin al-Quran menjadi
produk dari budaya bangsa Arab ?
Studi al-Quran semacam ini yang ditawarkan Abu Zayd sudah
sangat banyak mempengaruhi pemikiran intelektual Islam
dewasa ini. Begitu juga pemikiran Arkoun dan seterusnya yang
bertentangan dengan metodologi kajian al-Quran yang selama
ini diajarkan di dunia Islam. Pada intinya mereka mencoba
menawarkan metode Hermeunetika (sebuah metode penafsiran
Bibel) dalam melakukan kajian al-Quran yang pada akhirnya
justru membuat umat Islam menjadi ragu terhadap al-Quran.
Padahal, kajian al-Quran dalam tradisi intelektual muslim dikaji
dengan bangunan ulumul Quran yang sudah dibangun oleh para
mufassir.
2. Reposisi Dayah dalam Studi al-Qur’an
Harus kita akui, meskipun dayah konsisten memberikan
sumbangsih besar dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat
Aceh, namun dayah belum terlibat secara langsung dalam
membendung arus orientalisme di tengah-tengah umat Islam.
Perlawanan terhadap orientalis selama ini cenderung hanya
diprakarsai aktivis-aktivis Islam dan (juga) oleh kalangan dosen
di perguruan Tinggi Islam itu sendiri. Merekalah yang dewasa
ini berhadap-hadapan langsung (face to face) dengan para
orientalis dan sarjana Muslim yang membebek kepada mereka.
Padahal, virus orientalisme semacam metode Hermeneutika
sebagaimana digambarkan di atas cukup berbahaya bagi umat
Islam karena akan mengarahkan umat Islam untuk meragukan
kebenaran Alquran yang ujung-ujungnya umat Islam akan
terpecah-belah seperti terpecah belahnya umat Islam saat dulu
Belanda menggunakan politik devide et empera mereka dalam
92
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
menjajah bangsa ini.
3. Membendung Virus Orientalisme
Sampai di sini penulis terfikir, bagaimana dayah akan terlibat
ekstra dalam membendung berbagai virus orientalisme jika mata
pelajaran Ulumul Quran dan Ulumul Hadis tidak diajarkan secara
maksimal pada kebanyakan dayah-dayah di Aceh? Terhadap
realitas ini, penulis menilai, barangkali ini disebabkan karena
anggapan bahwa benteng pertahanan akidah yang dibangun di
dayah sudah cukup kuat seperti dengan menyortir setiap buku
dan kitab-kitab yang masuk ke dayah.
Namun yang harus disadari, benteng pertahanan umat
Islam dari orientalisme harus dibangun di setiap sudut wilayah
umat Islam, bukan hanya di dayah sebagai suatu lingkup kecil.
Agar dayah bisa membangun benteng pertahanan ini, maka
dayah harus terlibat secara massif dalam merespon wacana ini
secara metodologis. Artinya, bahaya hermenutika dan semiotika
ini harus direspon kalangan dayah dengan memperkuat studi
Ulumul Quran dan Ulumul Hadis. Umat Islam tidak butuh
metode hermeunetika dan semiotika dalam studi Alquran oleh
sebab Alquran bukan karya manusia.
Hemat penulis, ketika dayah-dayah di Aceh belum maksimal
dalam mengajarkan mata pelajaran seperti Ulumul Quran, maka
metodologi seperti Hermeunetika ini justru akan mewarnai
studi Alquran di kalangan umat Islam yang pada akhirnya
akan membuat umat Islam ragu terhadap ajaran Islam dan
lari daripadanya. Bukti tentang ini cukup banyak. Begitu juga
pelajaran Ulumul Hadis, sudah saatnya pembelajaran Ulumul
Hadis dimaksimalkan di semua dayah-dayah di Aceh, dari kelas
tsanawiyah hingga aliyah.
Saat ini banyak aliran-aliran yang menyebarkan hadis-hadis
palsu, atau juga kelompok Inkar Sunnah yang melemahkan
Teuku Zulkhairi |
93
hadis-hadis kuat yang akan mereduksi ajaran Islam. Semua
tantangan ini hanya bisa dihadapi dengan memperkuat studi
Ulumul Quran dan Ulumul Hadis. Satu lagi, sebagai masukan,
sudah saatnya mata pelajaran ‘Kristologi’ kita ajarkan di dayah,
minimal dalam bentuk ceramah-ceramah atau kuliah umum,
sehingga harapan kita dayah bisa berperan maksimal dalam
membendung orientalisme dan misionarisme.
Di balik itu, Surat Keputusan Menteri Agama RI pada 2008
perihal pengakuan ijazah alumni dayah/pesantren tingkat
Tsanawiyah/SMP dan dan Aliyah/SMU, disebutkan bahwa
Ulmul Qur’an dan Ulumul Hadis adalah mata pelajaran yang
wajib diajarkan dalam kurikulum pesantren sebagai syarat
penyetaraan (pengakuan ijazah). Jadi, seluruh dayah di Aceh
memang sudah saatnya memasukkan kedua mata pelajaran
ini sebagai kurikulum wajib dan utama seperti halnya mata
pelajaran Fiqh. Wallahu a’lam bish-shawab
E. Mengembalikan Tradisi Menulis di Dayah
Menulis dalam Islam adalah “kewajiban” kedua setelah
perintah untuk “membaca”. Membaca dan menulis adalah dua
hal yang tidak bisa dipisahkan. Seharusnya, setelah belajar
dan membaca banyak kitab dan buku, maka tugas berikutnya
adalah menulis. Sebab, dengan tulisan, kita bisa berdakwah
(menyebarkan kebenaran). Dengan tulisan, seseorang bisa
mencoba merancang dan merumuskan bentuk peradaban dan
masa depan impian atau kehidupan ideal yang didambakan.
Banyak bukti sejarah yang membenarkan asumsi ini. Misalnya;
bagaimana dahsyatnya kekuatan novel ”Ayat-ayat Cinta” dan
”Ketika Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman El-Shirazy
sanggup membius ribuan remaja Muslim Indonesia, putra
dan putri dengan berbagai pesan Islamnya, sehingga banyak
sekali diantara mereka yang bermimpi dan berjuang menjadi
94
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
jelmaan(reinkarnasi) tokoh-tokoh yang digambarkan dalam
novel tersebut, seperti Fahri, Azam dan sebagainya. Dalam
novel tersebut mereka digambarkan sebagai aktor yang benarbenar mengaktualisasikan nilai-nilai Islam ke dalam realita
kehidupan sesungguhnya. Pribadi mereka diungkapkan bak
seorang aulia yang memilki akhlak paripurna. Setelah membaca
buku, dipastikan siapapun akan mencoba mengikuti akhlak
tokoh yang diceritakan dalam novel ini.
Sebaliknya, lewat tulisan juga bisa membuat kebatilan
tersebar, menghasut, memfitnah, dan berbagai propaganda
yang akan membawa kepada kehancuran lainnya. Contohnya
adalah; Samuel P Huntington yang menulis buku berjudul:
The Class of Civilization and The Remaking of World Order”
yang diterjemahkan dengan ”Benturan antar Peradaban dan
Masa Depan Politik Dunia”, suatu buku yang menganalisa
dan menyajikan data-data tentang terjadinya benturan antara
peradaban Barat(Kristen, Yahudi dan sebagainya) dengan
peradaban Dunia Timur(Islam). Buku tersebut pada akhirnya
kita ketahui menjadi rujukan Dunia Barat dalam menilai dan
menyikapi kebangkitan dunia Islam(as-shahwah Islamiah).
Huntington meyakini dan menulis angan-angannya bahwa
setelah Amerika memenangkan Perang Dunia II, maka lawan
mereka berikutnya yang akan dan harus dihadapi adalah ”umat
Islam”. Efek besar dari tulisan Huntingtin tersebut kini menjadi
aksi nyata eksistensi dunia barat yang dirasa oleh hampir semua
umat Islam diseluruh bagian dunia. Hampir disemua lini dan
segmentasi tatanan kehidupan negara-negara Islam berada
dibawah cengkeraman Amerika-Barat.
Bahkan, selain negera-negara Islam yang terjajah secara
pendidikan, ekonomi, akhlak-moral dan politik, teori dan
pemikiran Huntington tersebut juga terwujud nyata dalam
penjajahan sungguhan negara Barat terhadap dunia Islam.
Teuku Zulkhairi |
95
Misalnya; penjajahan Amerika dan sekutunya di Afghanistan, Irak
dan sebagainya. Kekuatan sebuah tulisan kadangkala juga bisa
bernada fitnah atau propokasi sehingga bisa mengajak kepada
pertumpahan darah dan kehancuran. Misalnya; ”Ayat-Ayat Setan”
karya Salman Rushdi, seorang penulis keturunan Pakistan yang
bermukim di Inggris. Tulisannya pernah memancing kemarahan
umat Islam di seluruh dunia, penyebabnya adalah karena dalam
bukunya tersebut ia menghina Muhammad Saw sang Rasul
umat Islam. Begitu juga Freddy S, seorang novelis yang menulis
berbagai novel seksual dan vulgar di nusantara yang banyak
mengumbar nafsu syaithani. Novel-novelnya tersebut sangat
ampuh untuk menghancurkan moral dan akhlak generasi Islam
dan putra putri bangsa Indonesia secara umum.
Inilah sekilas gambaran singkat dahsyatnya kekuatan sebuah
tulisan. Ia bisa membawa kepada kebangkitan sebuah peradaban,
atau sebaliknya kepada kehancuran moral dan semua tatanan
kehidupan umat manusia lainnya. Ketika tulisan-tulisan yang
mengajak kepada kebenaran menjadi minim maka tulisantulisan kehancuran akan bertaburan dan menghancurkan.
1. Kekuatan ’Menulis’
Menulis memiliki peran yang sangat urgen dalam sejarah
kejayaan umat Islam beberapa abad silam. Semua ulama yang
menjadi arsitek peradaban dan kejayaan Islam masa lalu adalah
para penulis ulung yang telah menghasilkan berbagai buah karya mereka yang sampai saat ini masih menjadi rujukan umat
Islam sedunia dalam berbagai disiplin keilmuan. Dan berbagai
kemunduran umat Islam dewasa ini bisa dipastikan karena tradisi menulis setelah membaca yang pernah dipopulerkan oleh
para ulama masa lalu telah ditinggalkan.
Sementara itu, persoalan yang diyakini oleh semua pihak
sebagai salah satu kekurangan yang harus segera dibenahi santri
96
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
dayah adalah masih minimnya karya tulis yang mampu mereka
hasilkan. Hal ini diakibatkan oleh kultur dan tradisi dayah
yang hingga saat ini masih belum begitu menaruh minat pada
dunia tulis-menulis. Padahal, menulis dalam Islam merupakan
suatu kewajiban setelah perintah untuk membaca (baca: belajar,
meneliti dan menelaah).
Kita berharap bahwa tradisi menulis oleh para ulama
dahulu harus mampu diikuti dan diteruskan oleh para santri
dan Teungku-teungku dayah saat ini. Secara umum masyarakat
Aceh masih mengakui mereka sebagai calon-calon ulama
yang keberadaan mereka didayah dianggap sebagai persiapan
perbendaharaan inteletual Islam(baca: ulama) masa depan.
Bukti ini bisa dilihat di masyarakat kita saat ini. Fenomena yang
terjadi masyarakat lebih suka bertanya kepada para santri atau
teungku-teungku terkait persoalan keagamaan yang dihadapi
dalam kesehariaan hidupnya. Namun, para santri tidak boleh
menjadikan realitas ini sebagai sebuah prestise, sebab persoalan
kekinian(aktual/kontemporer) yang terus saja bermunculan
telah menuntut mereka untuk berbuat dan melangkah lebih
jauh dalam menghadapi berbagai problematika umat.
Apalagi melihat perang pemikiran yang dirasa berlansung
kian dahsyat sehingga meniscayakan para santri untuk terlibat
aktif berperan dalam perang tersebut serta tidak hanya sekedar
menjadi penontonnya saja. Namun, ditengah pertanyaanpertanyaan dan keraguan berbagai kalangan serta tuntutan
eksistensi para santri dalam dunia baca publik tadi, satu
terobosan penting telah dilakukan beberapa santri dayah Aceh
sejak tahun 2008 lalu. Mereka mencoba mendirikan satu wadah
organisasi yang diharapakan menjadi pelopor eksistensi para
santri dalam mengisi ruang baca public di Aceh khususnya.
Organisasi yang diberi nama Ikatan Penulis Santri Aceh
(IPSA) ini mencoba menjawab tantangan zaman dengan
Teuku Zulkhairi |
97
mengajak dan menggugah para santri dayah di Aceh untuk
segera ikut berkiprah dalam dunia menulis. Kita tentunya
sangat bersyukur melihat tumbuhnya kesadaran ini. Hingga hari
ini, kader-kader IPSA Alhamdulillah sudah banyak menulis di
berbagai media lokal di Aceh, baik media cetak maupun online.
Kendati pun demikian, kita cukup berbangga bahwa dewasa ini
tulisan-tulisan para santri sudah cukup banyak menghiasi media
massa. Juga sudah cukup banyak karya para santri atau teungku
Aceh yang telah dibukukan. Yang terakhir adalah buku ilmiah
hasil penelitian disertasi Teungku Dr. Aminullah, MA dengan
judul “Interaksi Manusia Dengan Air”. Ini adalah sebuah karya
yang dahsyat. Prof. Masa Bayu yang membimbing disertasi ini
dalam seminar HUDA beberapa waktu lalu mengatakan bahwa
jika Albert Enstein menemukan satu rumus, maka Teungku
Aminullah dalam penelitian disertasi ini telah menemukan 500
rumus ilmiah. Subhanallah. Dan kita berharap semakin banyak
para santri yang mengikuti jejak beliau. Amiin.
“Kendati pun demikian, kita cukup berbangga
bahwa dewasa ini tulisan-tulisan para santri sudah
cukup banyak menghiasi media massa. Juga sudah cukup
banyak karya para santri atau teungku Aceh yang telah
dibukukan.”
2. Modal; Menulis
Faktor yang harus dijadikan sebagai pijakan dasar untuk
menulis adalah orientasi yang jelas. Menulis harus ada orientasi
ukhrawi (kepentingan akhirat), artinya kegiatan menulis harus
bisa bernilai ibadah. Tatkala hal ini telah terpenuhi maka aktifitas
menulis akan menjadi suatu kenikmatan tersendiri yang bahkan
akan membuat para penulis semakin termotivasi untuk menulis.
Disamping itu, menulis merupakan pekerjaan yang sangat mulia
98
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
karena ia mengambil peran kenabian dalam hal menyampaikan
berbagai kebenaran yang masih tersembunyi kepada khalayak
ramai/publik(umat).
Empat (4) sifat Rasul adalah etika yang mesti dipenuhi oleh
seorang penulis. Pertama, ‘Shiddiq’ atau benar. Seorang penulis
harus menyampaikan kebenaran dalam isi tulisannya. Disini,
kita bisa melihat bagaimana urgennya para santri dan pihakpihak lain untuk terlibat aktif dalam dunia menulis ditengah
gempuran dahsyat tulisan-tulisan yang jauh dari kebenaran dan
antitesis dengan perspektif Islam.
Kedua, ‘Tabligh’ atau menyampaikan. Kegiatan menulis
adalah bagian dari interpretasi dan transmisi sifat tabligh ini.
Disamping itu, kewajiban untuk menyampaikan bagi seorang
penulis bisa dimaknai sebagai etika membuat sebuah tulisan, agar
sebuah tulisan bernilai ibadah/pahala disisi Allah maka tulisan
itu harus mengandung nilai kebenaran dalam penyampaiannya.
Ketiga, ‘Amanah’ atau terpercaya. Tulisan yang disajikan
harus memenuhi kualifikasi amanah, hal ini bisa dilakukan jika
penulis itu sendiri adalah seorang yang memiliki karakteristik
‘amanah’ atau terpercaya, artinya ia tidak hanya pandai menulis,
menasehati atau mengkritik orang lain, tapi juga berupaya agar
ia mampu menyelaraskan antara perkataan dan perbuatannya.
Merupakan dosa besar jika memerintahkan orang lain
mengerjakan suatu kewajiban sementara dia sendiri tidak
mengindahkannya.
Keempat, ‘Fathanah’ atau cerdas. Seorang penulis harus
memenuhi persyaratan ‘cerdas’ dalam menulis. Hal ini bisa
dipahami karena menulis tanpa ilmu akan menyebabkan
berkurangnya unsur-unsur kebenaran yang tersampaikan, atau
bahkan jauh sama sekali dari kebenaran, dan bisa diprediksi pada
akhirnya syaithan-lah yang akan menjadi gurunya. Membaca
dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Menulis
Teuku Zulkhairi |
99
tanpa membaca berarti kita menyampaikan sesuatu tanpa
dasar yang valid dan otentik yang pada satu waktu tertentu
akan membuat kita menyampaikan suatu kekeliruan yang fatal.
Sebaliknya, membaca tanpa menulis berarti membiarkan apa
yang ada di dalam otak kita tak tereksplorasi dengan sempurna.
Perkembangan zaman dalam berbagai disiplin keilmuan
dewasa ini menuntut para santri dayah untuk juga terampil
menguasai ilmu-ilmu non dayah. Maka, seorang santri
mestinya tidak hanya menjadikan kitab-kitab kuning sebagai
konsumsi bacaan kesehariannya, santri harus juga menambah
porsi bacaannya dengan buku-buku lintas permasalahan baik
klasik maupun actual. Para santri juga harus menjadikan surat
kabar, majalah maupun media online sebagai menu wajib
yang harus disantap setiap saat. Dengan begitu, disamping
akan bertambahnya wawasan-wawasan umum seorang santri
juga akan memiliki pengetahuan yang memadai tentang
perkembangan dunia terkini yang menuntut peran aktifnya
untuk terlibat secara all out mengisi ruang baca publik serta
turut aktif dalam memberikan sumbangan pemikiran pada
berbagai aspek pembangunan lainnya.
Semoga harapan dan cita-cita itu kelak menjadi kenyataan
dan bukan hanya menjadi ilusi. Dan dukungan semua pihak
menjadi keniscayaan. Kelak, insya Allah mudah-mudahan kita
akan menyaksikan para santri yang tampil aktif sejajar dengan
semua pihak dalam memberikan andil dan kontribusi maksimal
dalam mengisi peradaban dunia baru yang beradab. Insya Allah.
Amiin!
100 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
BAB V
Gerakan Santri Aceh,
Mewujudkan Perubahan
Teuku Zulkhairi |
101
A. Gerakan Santri Aceh, Pergulatan Membawa Misi Besar
Islam
Santri Aceh dengan segenap sejarah yang telah ditorehkan
melalui berbagai peran dan fungsi masing-masing, merupakan
sebuah gerakan komunitas santri dalam pergulatan membawa
visi dan misi besar Islam dalam segala wujudnya. Beberapa
informasi terkait dengan tema ini diantaranya adalah Gerakan
Santri Aceh, Sederet Tokoh santri, Santri Dayah di Perguruan
Tinggi, dan Santri Dayah di Dunia Politik, sebagaimana akan
penulis gambarkan dalam pembahasan sederhana di bawah ini.
1. Gerakan Santri Aceh
Secara historis, gerakan santri dayah di Aceh tidak bisa
dipisahkan dari berbagai kisah tentang kebesaran Aceh di masa
lalu. Dayah dengan komunitas Santri Aceh telah memberikan
andil besar dalam berbagai proses konstruksi Aceh. Dengan
dayah yang mengayominya, para santri menjadi benteng Aceh
dari penetrasi penjajahan asing, baik penjajahan sosial budaya
maupun penjajahan secara militer. Santri juga memiliki andil
besar dalam membangun nasionalisme keAcehan dalam bingkai
keislaman dalam upaya mengusir para penjajah. Artinya,
kekuatan santri Aceh dalam peta gerakan di Aceh khususnya dan
tanah air umumnya sangatlah diperhitungkan.
Dewasa ini, meskipun potensi yang dimiliki oleh santri Aceh
selama ini dinilai banyak kalangan masih belum tereksplorasi
dan termanfaatkan dengan baik dalam membangun bangsa,
dan meskipun keberadaan dayah cenderung dianggap sebagai
lembaga pendidikan nomor dua, namun kiprah dan pasrtisipasi
santri dayah Aceh dewasa ini terus mengalami perkembangan
yang signifikan. Kiprah mereka tidak kalah pentingnya dengan
eksistensi kalangan perguruan tinggi lainnya. Seiring waktu,
santri dayah terus melakukan ekspansi ke berbagai tatanan
102
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
kehidupan. Mereka tidak lagi hanya sekedar pembela atau
pejuang syari’at yang hanya berbicara di sarangnya saja, tapi juga
telah melakukan ekspansi ke berbagai institusi lainnya.
Umumnya, santri Aceh dewasa ini tidak lagi berkutat dalam
masalah-masalah fiqhiyah yang bersifat furu’iyah. Berbagai
persoalan penting telah menjadi kajian intens mereka untuk
turut serta menyelesaikannya. Banyak santri dayah yang kini
berkecimpung di luar kehidupannya, yaitu dalam gerakangerakan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang sebelumnya
tabu bagi kaum santri. Banyak santri dari dayah kini telah
menjelma menjadi tokoh-tokoh penting dalam dinamika
perubahan di Aceh.
Ini yang membuktikan bahwa santri Aceh dengan dayahdayah sebagai lembaga pendidikan tradisional telah mampu
memainkan peran sentralnya dalam dinamika perubahan Aceh
ke arah yang lebih baik. Bahkan, kiprah dan peran santri dayah
kini juga telah mampu menjangkau perguruan tinggi. Jadi, jika
ada yang mengatakan gerakan santri dayah masih stagnan, maka
ini tidak benar. Santri Aceh telah lama keluar dari sarangnya
untuk menyongsong perubahan Aceh dengan cara-cara yang
spektakuler.
2. Sederet Tokoh santri
Salah satu buktinya nyata wujud partisipasi santri Aceh
dalam menyongsong perubahan di Aceh dewasa ini adalah
munculnya berbagai ormas santri yang berbasis dayah. Meskipun
kadangkala tidak cukup aktif, namun salah satu organisasi santri
terbesar di Aceh saat ini adalah Rabithah Thaliban Aceh (RTA).
Munculnya RTA yang diinisiasi oleh Tgk. Tu Bulqaini Tanjungan
dan kawan-kawan beliau dari dayah, pasca kelahiranya telah
melakukan ragam partisipasi dalam upaya pembangunan Aceh.
Baik di era perjuangan Aceh menunut hak-nya dari pemerintah
Teuku Zulkhairi |
103
pusat, hingga dewasa ini dengan melakukan berbagai aksi sosial
kemasyarakatan. Bahkan, RTA telah ‘menelurkan’ tokoh-tokoh
Aceh yang saat ini memegang peranan penting dalam dinamika
perubahan di Aceh.
“RTA telah ‘menelurkan’ tokoh-tokoh Aceh yang saat ini
memegang peranan penting dalam dinamika perubahan
di Aceh”
Selain misalnya Tgk.H. Faisal Ali, yang merupakan pimpinan
RTA kedua pasca Tu Bulqaini, dimana saat ini beliau bisa
dianggap telah menjadi salah satu tokoh penting Aceh yang
menjabat salah satu pimpinan Majelis Permusyawaratan Ulama
(MPU) Aceh dan juga ketua Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama
(PWNU) Provinsi Aceh. Kita juga mengenal sosok-sosok lainnya
seperti Tgk. Akmal Abzal, SHI Sekjend RTA periode Tgk Hasbi
Albayuni yang dua periode menjadi anggota KIP dan juga dikenal
secara luas di Aceh sebagai penceramah. Selain itu, tentu saja
munculnya tokoh-tokoh santri baru seperti Tgk Imran Abubakar
dan Tgk Marbawi Yusuf yang merupakan Ketua Umum dan
Sekjend Rabithah Thaliban Aceh saat ini
Berikutnya ada Tgk Asqalani yang pernahaktif sebagai
komisioner Panwaslu Aceh, dan sebagainya. Tgk. Yusuf Al
Qardhawy sebagai komisioner Panwaslu Kota Banda Aceh. Di
lembaga keulamaan, selain Tgk. H. Faisal Ali, juga terdapat Tgk
Hasbi Albayuni yang kini menjabat sebagai salah satu pimpinan
di Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Beliau adalah
ketua RTA setelah periode Tgk. H. Anwar Usman. Di balik itu,
peran serta kader-kader RTA lainnya sesungguhnya terletak
pada aksi sosial mereka yang selama ini di luar ekspos media.
Partisipasi mereka dalam upaya mendidik umat sesungguhnya
merupakan kerja besar walaupun cenderung dianggap kecil.
104 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Selain RTA yang bisa dikatakan sebagai organisasi induk,
para santri Aceh juga mendirikan banyak Ormas lainnya yang
fokus ke berbagai aspek perubahan. Misalnya, Ikatan Penulis
Santri Aceh (IPSA) yang bergerak di bidang penulisan. Rabithah
Muta’allimin Pidie (RAMPI) di Pidie yang juga aktif terjun
ke masyarakat, baik dengan begitu juga organisasi alumni
dayah lainnya yang tersebar di hampir setiap kabupaten dan
kecamatan di Aceh. Harakah Thalabah Aceh Utara (HATHAR)
dan sebagainya.
3. Santri Dayah di Perguruan Tinggi
Transformasi paling heroik santri dayah dewasa ini adalah
ekspansi mereka ke berbagai perguruan tinggi. Saat ini santrisantri Aceh sudah banyak yang bergelar sarjana, master dan
bahkan doktor. Contoh nyata yang bisa terlihat nyata adalah
lahirnya Perguruan Tinggi Islam STAI Al-Aziziyah (kini berubah
menjadi Institute Agama Islam) Samalanga yang ditopang oleh
para santri. Kampus ini kini semakin menjadi lembaga pendidikan
favorit. Setiap tahun para pelamar semakin ‘membludak’. Para
pengajar di kampus ini adalah para santri yang telah memiliki
standar keilmuan dan gelar akademik yang bisa dibanggakan.
Bahkan cukup banyak diantaranya yang sudah bergelar Doktor
seperti Dr. Aminullah, Dr. Saiful Bahri, Dr. Hasbullah, Dr.
Munadi Usman dan sebagainya.
“Selain hadirnya sejumlah Perguruan Tinggi di dayah,
para santri juga kini telah mengambil posisi masing-masing
di kampus-kampus umum dan berbasis agama di luar dayah”
Selain di Samalanga, juga tentu saja di dayah-dayah lainnya
seperti lahirnya Ma’had Aly di Al Munawwarah Kuta Krueng
yang dipelopori dan dipimpin oleh Tgk. H. Anawar Usman yang
pernah menjabat sebagai Ketua RTA periode ketiga setelah Tu
Teuku Zulkhairi |
105
Bulqaini dan Tgk. H. Faisal Ali. Kampus-kampus lainnya yang
didirikan di lokasi dayah adalah kampus STAI Ummul Ayman.
Kampus STAI NU di Dayah Mahyal Ulum yang dipimpin Tgk.
H. Faisal Ali. Serta akan hadir juga (insya Allah) Ma’had Aly di
Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara.
Selain hadirnya sejumlah Perguruan Tinggi di dayah,
para santri juga kini telah mengambil posisi masing-masing
di kampus-kampus umum dan berbasis agama di luar dayah.
Seperti Dr. Tgk. Jabbar Sabil, MA, mantan sekjend RTA yang
kini menjabat sebagai wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Univbersitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. Juga ada Dr. Sabirin,
M.Si, pengurus RTA aktif yang pernah dipercayakan sebagai
salah satu Ketua Prodi di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN
Ar-Raniry. Dr. Iskandar Zulkarnen, M.Si, M. Rizwan H. Ali di
Unimal yang juga merupakan tokoh-tokoh akademisi di kampus
tersebut. Dan tentu banyak lagi lainnya.
4. Santri Dayah di Dunia Politik
Ekspansi santri dayah ke dunia politik, meskipun masih
menjadi perdebatan di sebagian kalangan dayah sendiri, namun
demikian juga memberi efek positif. Bagaimanapun, santri Aceh
yang terlibat dalam partai politik bisa belajar banyak tentang
dunia politik. Adanya kelemahan-kelemahan dan kekurangan
mereka dalam membaca arus dan dinamika politik akan
semakin mengajarkan mereka bahwa politik adalah kerja paling
menantang dimana mereka seharusnya tidak boleh menjadi
pecundang.
Dinamika dalam dunia politik akan semakin menyadarkan
mereka bahwa pekerjaan di bidang politik sesungguhnya
menuntut mereka untuk mengkaji secara serius berdasarkan
perspektif Islam. Pada akhirnya, paradigma gerakan menuju
perubahan mereka akan semakin lengkap. Dunia politik,
106
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
bagaimana merupakan sebuah ladang amal yang paling
menantang mengingat minimnya para elit politik yang selama
betul-betul berhasil dalam menjalankan etika politik Islam.
Dengan berkecimpungnya mereka dalam dunia politik,
minimal mereka semakin sadar bahwa politik itu bukan sesuatu
yang harus ditakuti dan lari darinya, tapi sesuatu yang harus
ditaklukkan untuk kepentingan agama. Bahkan, saat ini salah
seorang pimpinan dayah di Bireuen, Tgk.H.Muhammad Yusuf
A.Wahab sedang menyusun buku: “Integrasi Moral Islam
dalam Politik” yang mana gagasan ini tentu saja muncul atas
keprihatinan beliau tentang wajah ideal politik dalam pandangan
Islam yang harus diaplikasikan oleh seorang politisi muslim. Ini
tentu-tentu perkembangan yang luar biasa.
Di balik itu, kita patut berbangga dengan tampilnya sosoksosok ulama yang tadinya tentu saja adalah berstatus santri yang
kini memimpin Kabupaten Bener Meriah, yaitu Tgk. Syarkawi.
Juga Waled Husaini yang menjabat sebagai wakil Bupati Aceh
Besar. Tgk. Muhibussabri A. W yang memimpin partai Lokal
Aceh, yaitu Partai Daerah Aceh (PDA) yang semuanya lahir dari
komunitas santri. Juga terdapat alumni Dayah Babussalam
Matangkuli Aceh Utara yang kini menjadi Bupati di Kabupaten
Aceh Timur, yaitu Hasballah M. Thaib atau dikenal dengan
sebutan Rocky.
Dengan berbagai realitas ini, peran santri dayah hari ini tidak
bisa dipandang lagi dengan sebelah mata. Peran dan partisipasi
ini merupakan implementasi dari spiritualitas, intelektualitas
dan moralitas yang dimiliki oleh kaum santri yang sedang
menuju fase kebangkitan sebagai upaya membawa misi besar
Islam.
Teuku Zulkhairi |
107
B. Politik Santri Dayah, Merealisasikan Tujuan Syari’at13
Mari kita sejenak berbicara perihal politik santri dayah.
Realitas kuatnya pengaruh dayah dan para santrinya dalam
struktur kehidupan masyarakat Aceh yang telah lama menjadi
perhatian banyak kalangan. Termasuk agenda politik kaum
santri. Tidak sedikit penelitian dilakukan untuk membedah
pengaruh dayah dalam kehidupan masyarakat. Di balik itu, tidak
sedikit pula munculnya kekhawatiran- kekhawatiran sejumlah
kalangan atas eksistensi santri. Bahwa seolah santri akan
mengambil “lahan kerja” pihak-pihak lain yang sudah duluan
eksis selama ini.
1. Fenomena Kekhawatiran yang Tidak Beralasan
Di media massa kadangkala muncul tulisan yang memberikan
analisa (analisis prediktif) bahwa elemen dayah diprediksi
akan menjadi penguasa Aceh masa depan dan dengan sedikit
kekhawatiran. Tentu ini dengan melihat dinamika kemajuan
dayah selama ini, yang telah berhasil membangun dan melakukan
penetrasi ideologi ke berbagai formasi struktur dan tatanan
kehidupan di Aceh. Tak dapat dipungkiri jika posisi dayah dan
para santrinya dewasa ini ini masih menjadi sub-sistem yang
mengakar kuat dalam struktur kehidupan masyarakat Aceh.
Setiap kekhawatiran tersebut hemat penulis adalah penting
untuk direspons agar kebangkitan dunia dayah saat ini tidak
menjadi kekhawatiran oleh pihak manapun. Di sini para santri
dituntut untuk memberikan pencerahan kepada semua kalangan
dari ummat ini, bahwa politik santri dayah tidak lain tujuannya
adalah untuk merealisasikan tujuan (Maqāṣid) dari Syari’at
Islam.
13
Tulisan ini dikembangkan dari opini penulis yang dimuat di
Harian Serambi Indonesia edisi 1 Januari 2014. Link: http://aceh.tribunnews.
com/2014/01/30/visi-politik-dayah
108
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Adanya kekhawatiran terhadap kebangkitan dayah bisa
ditangkap secara tersirat dari pernyataan beberapa kalangan
bahwa perlahan-lahan komunitas dayah ‘bekerja keras’ untuk
memasukkan dan mendudukkan kader-kadernya ke dalam
jajaran struktur pemerintah Aceh seperti MPU, Badan Dayah,
Kemenag dan Dinas Syari’at Islam.
Selain itu, pergulatan penulis dengan berbagai kalangan
(dari aktivis hingga akademisi) telah mendesak penulis untuk
merekam kekhawatiran beberapa kalangan atas kebangkitan
dunia dayah. Penulis melihat suatu fenomena yang aneh dimana
disatu sisi dayah disorot dengan pertanyaan utama “mengapa
tidak maju-maju?”, namun di sisi lain komentar pesimis tidak
jarang terdengar saat orang-orang dari dayah keluar dari
“sarang”nya untuk terlibat dalam berbagai tatanan kehidupan,
memperbaiki kehidupan yang rusak menuju kehidupan yang
beradab.
Salah satu kritikan-kritikan berbagai kalangan kepada
komunitas dayah (khususnya dari kalangan akademisi) adalah
persoalan keterlibatan dayah dalam dunia politik. Dayah di
satu sisi, dayah dipandang mesti mengambil peran membangun
Aceh, namun saat Tengku-Tengku atau ulama dayah berpolitik,
pun juga dianggap salah. Ulama dianggap hanya pantas
mengurus moral ummat ketimbang terlibat dalam pengelolaan
pemerintahan karena dikhawatirkan akan merusak reputasi
ulama.14
“Panggung politik ini akan menjadi lapangan
pembuktiaan atas pengetahuan keIslaman, teori dan praktek
yang diajarkan di dayah”
14
Perhatikan misalnya tulisan di link: http://aceh.tribunnews.com/
news/view/46671/ulama-di-ranah-politik
Teuku Zulkhairi |
109
2. Panggung Politik, Arena Latihan Para Santri
Padahal, panggung politik ini akan menjadi lapangan
pembuktiaan atas pengetahuan keIslaman, teori dan praktek yang
diajarkan di dayah. Jika kalangan dayah mampu menaklukkannya
untuk tujuan Islam, kebangsaan dan kemanusiaan, maka teoriteori dari dayah akan teraplikasikan. Dan jika gagal, maka
di sisi akan dimaknai bahwa dayah harus memperkuat basis
keilmuannya, khususnya Fiqh Siyasah (politik). Artinya, tetap
saja tidak ada ruginya komunitas dayah (Ulama/tengku) yang
jika berpolitik. Sebab, tanpa mencoba, maka tidak akan pernah
diketahui sama sekali bagaimana kemampuan kalangan dayah
untuk membuktikan teori dari dayah saat dibawah ke panggung
politik.
Jadi, sinisme beberapa kalangan atas bangkitnya komunitas
dayah untuk terjun dalam berbagai aspek kehidupan
sesungguhnya merupakan perkara yang sangat lucu sekali.
Sebab, sebagai orang Aceh, seharusnya kita mesti berbangga
dan mengapresiasi kebangkitan suatu komponen masyarakat,
apalagi jika komponen itu merupakan kekuatan inti masyarakat
Aceh sendiri, bukan datang dari planet entah berantah.
“Kebangkitan dayah dan santrinya saat ini seharusnya mestilah
dianggap sebagai kebangkitan elemen penting yang akan
berperan mewujudkan kebangkitan peradaban Islam di Aceh”
3. Ideologi Santri Dayah
Oleh sebab itu, penting kiranya kita melihat kiprah dayah
dewasa ini secara sosiologis dan filosofis, dan beranjak dari
berbagai sudut pandang dan pemikiran. Pada akhirnya, harapan
penulis, kebangkitan dayah dan santrinya saat ini seharusnya
110
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
mestilah dianggap sebagai kebangkitan elemen penting yang
akan berperan mewujudkan kebangkitan peradaban Islam di
Aceh. Jika pun dalam praktiknya terdapat beberapa kasus yang
berseberangan dengan misi mulia Islam, maka tidak lantas
kemudian wajah dayah dilihat dari kasus tersebut. Analisis
tentang dayah harus beranjak dari berbagai sudut dan ruang
pemikiran.
Sebelum kita berbicara dayah secara politik, mau tidak
mau kita harus terlebih dahulu mengkaji dayah secara ideologi
(mabda’). Sebagai lembaga pendidikan Islam, dayah memegang
teguh ideologi Islam. Ideologi Islam yang dibangun di dayah
dijiwai oleh akidah Ahlusunnah waljama’ah yang dititik beratkan
dalam proses pembelajaran sehingga akidah ini sangat menjiwai
pergerakan komunitas dayah. Akidah Ahlusunnah waljama’ah
yang dipegang kalangan santri adalah merujuk kepada Imam
Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidy. Kemanapun
jaringan dayah menyebar, maka pasti akidah ini akan diperkuat.
Maka tentu tidak ada yang perlu dikhawatirkan bukan?
Sementara itu, secara fikih, dayah memang menitik beratkan
proses pembelajaran dan pengamalan pada mazhab Syafi’i. Hal
itu semata-mata untuk tujuan menjaga persatuan dan keragaman
dalam beribdah, sesuatu yang tidak salah tentunya mengingat
kapasitas Imam Syafi’i sebagai salah satu ulama mazhab yang
diakui dunia Islam. Namun demikian, harus diakui bahwa dayah
sangat terbuka dengan mazhab di luar Syafi’i seperti Hanafi,
Maliki dan Hambali. Bagi dayah, mempelajari dan mengamalkan
Fikih Syafi’i bukan berarti anti terhadap Imam Mazhab yang lain.
Sementara secara politik, politik orang dayah sebenarnya
sama saja seperti fenomena santri di Jawa. Dalam hal pemikiran
politik, orang dayah tidak terikat oleh partai manapun, hatta
parpol Islam sekalipun. Realitas ini dibuktikan dengan begitu
menyebarnya komunitas dayah dengan para santrinya dalam
Teuku Zulkhairi |
111
berbagai partai, baik yang berideologi Islam maupun yang
sekuler.
4. Orientasi Politik Santri
Namun yang membedakan komunitas santri dayah di Aceh
dengan santri di pulau Jawa, sejauh ini komunitas santri dayah
di Aceh masih cukup komitmen dengan ideologi Islam, dan tidak
ikut-ikutan arus liberalisme dan sekulerisme yang melempar
ideologi Islam ke dalam satu ruang kecil yang mengkerdilkan
ajaran Islam yang agung. Ketika berhasil melakukan penetrasi
dalam kekuasaan, orang-orang yang dibesarkan di dayah akan
komit pada tujuan kebangsaan dan keislaman.
Lihat misalnya Bupati Aceh Timur saat ini yang pernah
dibesarkan di dayah, beberapa legislator dari dayah, dan juga
ulama-ulama dari dayah yang hari ini terpilih secara sah dan
demokratis untuk berada di Majelis Permusyawaratan Ulama
(MPU). Apa yang diperjuangkan oleh komunitas dayah saat
ini yang telah terjun ke berbagai sistem kehidupan, sebenarnya
tidak lain adalah perjuangan merealisasikan agenda besar Islam
via lembaga negara.
Orientasi besar mereka adalah memperjuangkan lima hal
dasar yang harus dilindungi negara berdasarkan teori dalam
Ushul Fiqh yang disebut Dharuriyat al-khamsah, yaitu: Hifz al-din
(penjagaan agama); Hifz al-nafs (memelihara keselamatan fisik
warga masyarakat); Hifz al-aqli (pemeliharaan atas kecerdasan
akal); Hifz al-nasl (memelihara keselamatan keluarga dan
keturunan); Hifz al-mal (memelihara keselamatan hak milik,
properti dan profesi dari gangguan dan penggusuran diluar
prosedur hukum). Selain itu juga untuk merealisasikan tujuan
filosofis (maqāṣid syarī’iyah) aturan syariat lainnya.
Penetrasi komunitas dayah dalam sistem kekuasaan dan
112
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
pemerintahan dipengaruhi visi yang ditopang oleh teori Ushul
Fiqh tersebut. Dan realitas membuktikan bahwa dayah dewasa
ini sudah semakin terbuka. Komunitas dayah, kini tersebar di
mana-mana dan bisa bergaul dengan siapa saja. Dengan realitas
visi seperti ini, sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan
dari kebangkitan komunitas dayah.
Bahkan, seharusnya semua pihak bergandengan tangan
dengan komunitas dayah dalam merealisasikan agenda
Dharuriyat Al-Khamsah tersebut, tidak perlu membangun opini
kekhawatiran karena komunitas dayah sesungguhnya lahir dari
rahim bangsa Aceh sendiri.
Komunitas dayah secara umum tidaklah akan ekslusif. Saat
komunitas dayah berada dalam lingkaran kekuasaan, tidak akan
ada yang akan disingkirkan. Keberadaan mereka di sana, dengan
segala kekurangan mereka semata-mata masih dalam konteks
keikutasertaan (partisipatif) dalam membangun bangsa dan
agama. Hanya membutuhkan suatu komunikasi yang dialogis
dan massif untuk bergandengan tangan dengan komunitas
dayah.
Oleh sebab itu, jika pun suatu hari nanti kita akan melihat
orang-orang dayah berada di di Legislatif, Eksekutif, atau di
instansi pemerintah seperti Dinas Syari’at Islam, di Badan Dayah,
di Kementerian Agama, di Perguruan Tinggi, atau di instansiinstansi lainnya, maka yakinlah bahwa visi politik mereka di
sana semata-mata untuk tujuan yang mulia, memperjuangkan
agar agenda Islam menjadi agenda negara. Orang dayah saat ini
juga tidak duduk manis saja.
Eksistensi dayah saat ini adalah bagian terpenting dari
entitas pergerakan bangkitnya peradaban Aceh karena dayah
fokus dalam menyiapkan perbendaharaan intelektual Islam
masa depan, serta menyiapkan generasi Islam yang peduli
pada agama, kemanusiaan dan kebangsaan di tengah gagalnya
Teuku Zulkhairi |
113
lembaga pendidikan umum merealisasikan tujuan ini. Dayah
mengajari masyarakat Aceh dasar-dasar dalam berIslam dan
bermasyarakat sebelum mereka terjun ke berbagai ranah
kehidupan, ke perguruan tinggi, dunia usaha, birokrasi, politisi
dan seterusnya.
Perjuangan ini telah dilakukan dayah sejak lama, sejak Islam
hadir di Aceh, dan akan terus dilanjuntukan sampa hari kiamat.
Insya Allah, dengan komunikasi-komunikasi yang akan terus
dibangun, visi mulia orang dayah seperti ini sejalan dengan visi
berbagai kelompok politik di Aceh.
5. Waled Husaini, Tegas Membela Syari’at Islam
Dalam pergulatan politiknya, sejuah ini kita dapat membaca
dan menyimak berbagai aksi tokoh-tokoh dayah yang kini telah
berada di panggung pemerintahan. Sebagai contoh yaitu Tgk.
H. Husaini A. Wahab yang akrab disapa Waled Husaini, Wakil
Bupati Aceh Besar yang juga dikenal sebagai sosok ulama. Mari
kita perhatikan sejenak sepak terjang beliau. Sebelumnya, kita
memahami bahwa masyarakat Aceh umumnya sangat mencintai
agamanya, Islam. Ini karena Islam telah mendarah daging dalam
diri mereka. Mereka mewarisi semangat kecintaan kepada Islam
dari para endatunya. Kisah kejayaan Islam di Aceh di masa
lalu telah menjadi suatu ingatan sejarah yang tidak mungkin
dilupakan. Maka ada semboyan, Aceh dan Islam lage zat dan
sifeut. Sesuatu uang tidak bisa dipisahkan.
Dan kejayaan masa lalu terwujud antara lain karena faktor
ketegasan pemimpinan dalam membela dan memperjuangkan
Islam sehingga menjadi jalan hidup masyarakatnya. Harus
diakui, itulah yang kini dirindukan masyarakat Aceh. Sebab,
orang Aceh paham bahwa kejayaan Aceh masa lalu terwujud
karena faktor kecintaan para pemimpinnya kepada Islam.
Penulis memperhatikan, Waled Husaini memiliki sejumlah
114
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
kriteria pemimpin yang tegas. Setelah terpilih sebagai wakil
Bupati Aceh Besar, dalam beberapa isu, beliau telah membuktikan
ketegasannya merespons sejumlah kebijakan yang dinilai
“merendahkan” Syari’at Islam. Beberapa video statemen tegas
beliau membela Syari’at Islam menyebar dengan cepat di media
sosial seperti Facebook dan Whatsapp. Misalnya video ketika
beliau berbicara isu HAM beberapa waktu lalu. Dengan bahasa
Aceh yang kental, Waled Husaini mengatakan: “Hana perle HAM
gop hino, tanyo di Aceh Besar na aturan Syariat Islam droe teuh”.
“Setelah terpilih sebagai wakil Bupati Aceh Besar, dalam beberapa
isu, beliau telah membuktikan ketegasannya merespons sejumlah
kebijakan yang dinilai “merendahkan” Syari’at Islam”
Sempurna. Secara cepat menjadi viral. Dan nama Waled Husani
pun kian mengharum. Masyarakat banyak membicarakan beliau.
Penulis mampir di sebuah toko kelontongan, dan mendengar
pembicaraan penjual disitu membicarakan kesukaannya pada
sikap wakil Bupati Aceh Besar, yaitu Waled Husaini. Orangorang Aceh mencintai apa yang ada dalam diri mereka. Bukan
sesuatu yang diimpor dari luar. Mereka paham sejarah masa lalu
bangsanya. Dengan apa mereka dulu pernah berjaya.
Waled Husaini yang juga pimpinan Dayah ini dengan
jabatannya juga menyeru masyarakat Aceh besar untuk
menghentikan kegiatan saat Adzan saat berkumandang.
Sempurna, masyarakat sangat menyukai itu. Itulah yang
ditunggu. Dalam beberapa kesempatan diskusi dengan beliau,
penulis juga menyimak tekad beliau untuk memberantas
Narkoba di Aceh. Dan beliau nampak tidak main-main untuk
misi ini. Begitu juga tekad beliau untuk mencegah illegal logging.
Beliau khawatir jika suatu saat kelak generasi kita mengalami
bencana berat akibat kesalahan yang kita biarkan dilakukan hari
ini.
Malam ini, Rabu 12 September 2018, Waled Husaini mengisi
Teuku Zulkhairi |
115
pengajian rutin yang diselenggarakan Kaukus Wartawan Peduli
Syari’at Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak Lingke.
Sebenarnya, menurut cerita Sekjend KWPSI, Muhammad
Saman, sudah beberapa kali pihaknya ingin menghadirkan
Waled Husaini dalam pengajian ini. Dan baru kali ini Waled
Husaini sempat menghadirinya.
Luar biasa. Jamaah pengajian tumpah ruah. Mereka yang
berasal dari berbagai komunitas dan latar belakang ini menyimak
dengan seksama setiap untaian kalimat-kalimat tegas Waled
Husaini. Di awal pengajian, Waled Husaini mengatakan, alasan
kenapa Aceh dulu jaya dan makmur. Menurut beliau, hal itu
terwujud karena saat itu pemimpin berpegang kepada hukum
Allah. Peduli pada agama Allah maka Allah akan peduli kita.
Hari ini bagaimana agar kita kembali jaya? Jawabannya
menurut Waled adalah dengan kembali sepenuhnya kepada
hukum Allah. Waled Husani mengutip Alquran surat Al-A’raf
ayat 96 yang berbunyi:
ض
ِ َولَ ْى أَ َّن أَ ْه َل ا ْلقُ َز ٰي آ َمىُىا َواتَّقَ ْىا لَفَتَ ْحىَا َعلَ ْي ِه ْم بَ َزكَا ٍت ِم َه ال َّس َما ِء َو ْاْلَ ْر
َو ٰلَ ِك ْه َكذَّبُىا َفأ َ َخ ْذوَا ُه ْم بِ َما كَاوُىا َي ْك ِسبُى َن
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya”
Dalam pengajian ini, Waled Husaini juga menyinggung
tentang kepemimpinan yang seharusnya mencintai dan membela
Islam. Beliau kira-kira begini:, “Kalau seorang pemimpin
ingin dicintai rakyatnya. Maka cintailah Allah Swt. Cintailah
Syari’atNya”. Waled Husaini memberi contoh, kenapa di Turki
rakyatnya melawan tank tentara untuk membela Presiden
116
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Erdogan saat kudeta yang gagal dua tahun lalu?
Jawabannya adalah karena mereka mencintai pemimpinnya.
Alasan mengapa mereka mencintai pemimpinnya adalah karena
pemimpinnya mencintai Allah. Maka menurut Waled Husaini,
siapa yang taat kepada Allah, maka umat Islam akan taat
kepadanya.
Dalam pengajian ini, Waled Husaini juga sangat serius
berharap agar ia terus diingatkan dalam mengemban amanah
sebagai wakil Bupati Aceh Besar. “Jangan biarkan penulis jatuh
ke jurang. Ingatkan penulis jika penulis khilaf” kata beliau.
Waled Husaini juga mengatakan, untuk apa jabatan kalau tidak
menguntungkan bagi agama. Apa yang kita banggakan dengan
jabatan jika rakyuat kita makan riba?, apa yang kita banggakan
dengan jabatan ini jika rakyat kita tidak paham agama, sabusabu merajelala?. Sabu-sabu merajelal di LP, lembaga pendidikan
dan sebagainya.
Tidak lupa, panjang lebar Waled Husaini merespons isu
perintah mengecilkan suara Adzan. Sembari membaca beberapa
paragraf kitab kuning yang dibaca terkait keutamaan adzan,
dengan berapi-api waled mengatakan: “ Bila perlu suara adzan
kita pasang mulai dari Masjid Raya terdengar suara hingga ke
Seulimum. Adzan itu adalah kalimah yang mulia, “ kata Waled
Husaini menjelaskan.
Menurut Waled Husaini, kalau hari ini kita muliakan
kalimah tauhid, maka Allah pasti Allah akan muliakan kita.
Beliau juga mengatakan bahwa Adzan adalah marwah ummat
Islam sehingga pemerintah pusat beliau harapkan jangan hanya
peduli pada satu orang lalu mengorbankan banyak orang.
“Banyak yang meminta foto dan mencium tangan Waled
Husaini. Tentulah, penghormatan semacam ini lahir secara
alami. Mereka menaruk hormat karena tahu Waled Husaini
tegas membela Syari’at Islam”
Teuku Zulkhairi |
117
Terkait dengan aturan “menghentikan kegiatan saat adzan
berkumandang” yang dibuat di Aceh Besar Waled Husaini
mengaku akan kumpulkan para camat untuk memikirkan
bagaimana caranya mewujudkan program ini. “Kalau ada Camat
yang tidak siap jalankan program ini, maka kita ganti dengan
camat yang siap menjalankan perintah ini, “ tegas Waled. Seusai
pengajian ini, penulis memperhatikan para jamaah enggan
beranjak dari tempat duduknya. Banyak yang meminta foto
dan mencium tangan Waled Husaini. Tentulah, penghormatan
semacam ini lahir secara alami. Mereka menaruk hormat karena
tahu Waled Husaini tegas membela Syari’at Islam.
6. Tu Sop Jeunieb, Tokoh Dayah yang Menyatukan
Ummat
Selain Waled Husaini, mari kita bicara tentang sosok Tgk. H.
Muhammad Yusuf A. Wahab atau lebih dikenal dengan panggilan
Tu Sop Jeunieb atau Ayah Sop. Suatu hari, seorang antropolog
Aceh mengatakan, Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab, sosok
yang ingin saya ceritakan ini, memiliki kesamaan dengan Abul
A’la Al Maududi, tokoh pergerakan Islam internasional asal
Pakistan.
Antropolog ini mengatakan, pemikiran ulama yang akrab Tu
Sop ini sudah sampai pada Maqam “Memanusiakan Manusia”.
Tentu, apresiasi ini bukan sesuatu yang berlebihan. Tu Sop
meski adalah seorang ulama lokal, tapi beliau berfikir secara
global. Beliau melihat posisi kita di tengah hegemoni bangsabangsa yang sedang berkuasa dengan nilai-nilai yang mereka
ekspansikan.
Dibalik itu, sejauh yang saya kenal, beliau bukan hanya
seorang ulama yang mampu mengarahkan ummat untuk berfikir
di jalan Islam, tapi juga motivator dan inspirator. Dan kini, beliau
telah terjun dalam dunia politik. Sebuah langkah paling penting
118
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
dan menentukan.
Ketika beliau memutuskan untuk berpolitik, sebenarnya
saya tidak terlalu merasa heran lagi. Sebab, dari dulu saya yakin,
kegundahan dan kegelisahan beliau, gagasan-gagasan dan ide
beliau, narasi beliau yang sering beliau utarakan, pada saatnya
pasti akan membuncah dalam aksi di level lokal.
Untuk ukuran Aceh, bahkan juga Indonesia, beliau telah
melangkah jauh ke depan melewati zaman. Beliau tidak lagi
memandang para rival politik sebagai lawan, melainkan partner
dalam perjuangan kebaikan. Yang beliau pikirkan sehingga
kemudian memutuskan untuk berpolitik adalah, bahwa saat
ini kita sedang bertarung dalam kencah global, sehingga lawan
bagi beliau adalah lawan dalam skala global yang berwujud
kapitalisme dan penjajahan zaman modern lainnnya yang
hari ini telah mengekploitasi kemanusiaan untuk kepentingan
materialisme.
Ketika Tu Sop, sebagai seorang ulama memiliki narasi
seperti ini, itu artinya inilah seseorang yang selama dicari dan
ditunggu oleh bangsa ini. Seorang yang telah selesai dengan
dirinya sendiri, sekaligus seseorang yang memahami bahwa kita
adalah umat yang seharusnya memiliki visi jauh dalam tataran
pergulatan dan pertarungan nilai-nilai secara global.
Untuk level Aceh, pemikiran Tu Sop adalah pemikiran yang
bisa menyatukan semua kalangan. Beliau mampu menjadi
perekat ummat di tengah segala fenomena perpecahan dewasa
ini. Tapi yang lebih dari beliau bukan hanya pemikiran beliau,
namun juga keteladanan akhlak. Sepertinya, akhlak Rasulullah
Saw betul-betul telah beliau jadikan rujukan dan parameter
dalam bertindak.
Ketika dihina dan dicaci sekelompok orang oleh sebab beliau
telah memutuskan untuk terjun dalam dunia politik, sama
sekali beliau tidak pernah marah. Bahkan, beliau selalu memberi
Teuku Zulkhairi |
119
nasehat untuk tidak membalas keburukan dengan dengan
keburukan. Itulah sekilas rekam jejak beliau yang saya amati
selama ini.
“Ketika dihina dan dicaci sekelompok orang oleh
sebab beliau telah memutuskan untuk terjun dalam dunia
politik, sama sekali beliau tidak pernah marah”
Kemunculan beliau dalam pentas politik Bireuen memang
seperti musafir di akhir zaman, asing tapi ia adalah harapan
perbaikan untuk masa depan. Kehadiran Tu Sop dalam dunia
politik Bireuen Seperti oase di tengah padang pasir, yang
memberi arah dan harapan kemana dan bagaimana bangsa ini
harus melangkah. Bagaimana kita harus berpolitik dan untuk
apa sebenarnya kita berpolitik.
Ketika politik kita kering dengan keteladanan dan, Tu
Sop hadir dengan membawa keteladanan dalam tindakan
dan pikiran. Ketika dunia politik kita diliputi awan kegelapan
karena kehilangan arah dan tujuan, Tu Sop hadir memetakan
kembali arah dan tujuan yang harus kita tempuh. Dan, butuh
berhalaman-halaman buku untuk menulis narasi Tu Sop.
Meski tidak menang secara kuantitas suara, tp Tu Sop tidak
gagal dalam Pilkada Bireuen. Beliau telah berhasil membawa
“nilai baru” di tengah-tengah kita,Nilai-nilai ini telah sekian lama
dikubur dibawah reruntuhan peradaban kita. Dan Kini, perlahan
tapi pasti arus kebaikan itu akan semakin bergelombang, menjadi
parameter ummat dalam melihat, berfikir dan bertindak.
“Ketika dunia politik kita diliputi awan kegelapan karena
kehilangan arah dan tujuan, Tu Sop hadir memetakan
kembali arah dan tujuan yang harus kita tempuh. Dan,
butuh berhalaman-halaman buku untuk menulis narasi Tu
Sop”
Ada 60 ribu lebih masayaarakat Bireuen yang mendukung
120
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
perjuangan Tu Sop membawa narasinya menjadi nyata di
tengah-tengah kita. Ini adalah lompatan besar untuk Aceh,
karena sudah pasti arus kebaikan akan terus membesar setelah
ditiupkan. Arus ini pasti tidak akan berhenti di tengah realitas
kebosanan bangsa ini hidup dalam pragmatisme duniawi.
C. Gerakan Santri Aceh; Segudang Problematika Bangsa
Kita bersyukur bahwa semenjak tahun 2015 telah ditetapkan
Hari Santri Nasional yang jatuh pada setiap tanggal 22 Oktober.
Ini peluang bagi kita untuk semakin menempatkan santri
pada posisi fundamental dalam pentas arus perbaikan dan
pembangunan bangsa ini. Dengan adanya hari santri, maka
peran dan kiprah santri akan semakin banyak didiskusikan dan
dikaji berbagai kalangan. Lebih dari itu, ini adalah peluang besar
bagi para santri untuk semakin membumikan kepada bangsa ini
nilai-nilai kemuliaan yang diajarkan di pesantren atau dayah.
Sebab, tidak diragukan lagi bahwa hari ini kita menyaksikan
berbagai problem menerpa bangsa ini silih berganti.
1. Segudang Problematika Bangsa
Dan kita meyakini bahwa dayah dengan para santrinya dapat
memberikan solusi atas segudang persoalan yang dihadapi
bangsa ini. Santri tidak diragukan lagi merupakan entitas
penting yang dapat menggerakkan denyut nadi peradaban
bangsa ini. Kita berharap bahwa keberadaan Indonesia sebagai
negeri muslim terbesar di dunia dapat memberikan pengaruh
besar dalam mewujudkan tananan dunia yang beradab, sekaligus
mengeluarkan umat Islam dari jurang keterhinaannya.
Dalam konteks penyelenggaraan negara misalnya, kita ikut
menyaksikan sejumlah ketimpangan yang terjadi dan mencederai
rasa keadilan dan hati nurani kita. Sejumlah kebijakan
Teuku Zulkhairi |
121
pemerintah misalnya yang mengimpor beras saat petani mau
panen padi, mengimpor garam padahal Indonesia adalah negara
dengan laut terluas, mengimpor gula dan seterusnya, yang
semua itu ikut menyakiti perasaan para petani kita.
Begitu juga hutang negara yang kian meningkat. Tapi
anehnya kita diminta untuk tidak khawatir dengan alasan
masih dalam batasan normal. Tentu sebagai bagian dari anak
bangsa yang mencintai negerinya, kita mesti mengawal jalannya
pemerintahan agar tetap peduli.
Pada kenyataannya, di level global hari ini kita menyaksikan
berbagai macam persoalan yang menerpa dunia Islam.
Keterpurukan, ketertindasan, kebodohan, kemelaratan,
keterhinaan dan berbagai pandangan buruk dunia lainnya. Kita
juga menyaksikan dunia Islam dipenuhi pemimpin yang zalim
dan tidak peduli urusan umat Islam. Dimana-mana umat Islam
terjajah. Sungguh menyedihkan.
“Di level global hari ini kita menyaksikan
berbagai macam persoalan yang menerpa dunia Islam.
Keterpurukan, ketertindasan, kebodohan, kemelaratan,
keterhinaan dan berbagai pandangan buruk dunia
lainnya”
Oleh sebab itu, disini kita melihat peluang besar para santri
untuk dapat memainkan kiprahnya di level lokal, nasional dan
sekaligus memberikan sumbangsihnya bagi perbaikan tatanan
dunia yang kian rusak dengan ketidak adilkan dan kezaliman.
Apalagi, Indonesia adalah negeri muslim terbesar dan dengan
jumlah penduduknya yang terbesar di dunia. Seharusnya para
santri dapat memainkan kiprah idealnya dalam mewujudkan
tatanan dunia yang adil. Dan menempatkan umat Islam sebagai
122
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
pemimpin peradaban dunia.
Di ujung paling Barat Indonesia, itulah Aceh. Negeri
tempat kita dilahirkan dan dibesarkan. Dan dari Aceh, dulunya
Islam menyebar ke seluruh penjuru nusantara, memberikan
pencerahan kepada umat manusia. Penduduk nusantara
berbondong-bondong masuk Islam dibawah dakwah para
ulama dan da’i-da’i dari Aceh yang datang ke berbagai penjuru
nusantara. Para ulama Aceh menulis kitab-kitab dalam berbagai
khazanah keilmuan yang kemudian menjadi sarana transfer
ilmu pengetahuan Islam kepada masyarakat nusantara. Sampai
di sini, kita dapat memahami bahwa para santri Aceh dapat
memainkan peran vital untuk kembali menjadi mercusuar bagi
Indonesia, sebagaimana dulu para ulama kita memberikan
pencerahan Islam untuk nusantara.
2. Peluang dalam Bidang Keilmuan
Peluang terbesar kaum santri dalam membangun bangsa ini
adalah dalam bidang keilmuan. Tentu ini merupakan peran yang
sangat fundamental. Dengan tradisi kajian kitab kuningnya,
kita mengharapkan kajian dan studi-studi kitab kuning di dayah
dapat ditransformasikan dalam mengisi pembangunan bangsa.
Harus diakui nilai-nilai yang diajarkan di pesantren atau
dayah selama ini sangat dibutuhkan bagi bangsa ini untuk keluar
dari berbagai problematika yang melilitnya. Seperti kejujuran,
keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah Islamiyah, toleransi,
menghormati guru dan antar sesama dan nilai-nilai mulia
lainnya yang dibutuhkan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang
besar dan beradab. Semua nilai-nilai itu terdapat di dayah atau
pesantren dan dengan sangat meyakinkan dipraktekkan oleh
para santri dalam kehidupannya sehari-hari.
Teuku Zulkhairi |
123
“Harus diakui nilai-nilai yang diajarkan di pesantren
atau dayah selama ini sangat dibutuhkan bagi bangsa ini
untuk keluar dari berbagai problematika yang melilitnya”
Maka disinilah peluang santri untuk memasarkan nilai-nilai
yang diajarkan di dayah ini sehingga kelak akan menjadi falsafah
hidup bangsa kita. Di level Aceh, kita bersyukur bahwa sejumlah
santri kini telah berkecimpung dalam berbagai posisi, baik di
eksekutif (pemerintahan), legislatif (dewan), dunia akademisi
dan birokrasi. Kita mengharapkan agar para santri tetaplah
menjadi santri dalam posisi apapun yang dia duduki. Kita
mengharapkan agar para santri dapat terus membawa nilai-nilai
kemuliaan yang diperoleh di dayah ke dalam pentas kehidupan
masyarakat dan negara. Tapi jika para santri gagal memasarkan
nilai-nilai kemuliaan tersebut, maka barangkali kenestapaan
akan semakin panjang mendera bangsa ini.
Dalam konteks upaya mewujudkan Aceh yang bersyari’at,
santri harus senantiasa menjadi pendukung dan penggerak
utama isu dukungan kepada syari’at Islam. Kita mesti sadar bahwa
santri adalah benteng terakhir. Jika kita sedikit silap, maka bisa
jadi Syari’at Islam akan cuma tinggal ceritanya saja. Begitulah
perumpaan yang dapat kita berikan untuk menjelaskan letak
pentingnya dukungan dan upaya santri menyukseskan upaya
penegakan Syari’at Islam di Aceh. Marilah kita terus mengawal
Syari’at Islam sehingga ia benar-benar sukses diimplementasikan
secara kaffah sehingga dengan itu kita harapkan akan turunlah
keberkahan dari Allah Swt kepada kita semua. Dan Aceh pada
akhirnya menjadi negeri yang Baldatun Thaibatun wa Rabbun
ghafur.15
15
Baldatun Thaibatun wa Rabbun ghafur adalah Negeri yang baik dan
penduduknya diberi ampunan oleh Allah Swt.
124
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
“Jika para santri gagal memasarkan nilai-nilai
kemuliaan tersebut, maka barangkali kenestapaan akan
semakin panjang mendera bangsa ini”
3. Serangan Pemikiran
Di balik sejumlah peluang itu, kaum santri juga menghapi
sejumlah tantangan yang tidak kecil. Hari ini berbagai serangan
pemikiran kian deras menyerang berbagai kalangan umat Islam,
termasuk santri. Santri menghadapi tantangan besar untuk
mempertahkan orsinilitas nilai-nilai keislaman, paradigma dan
cara pandang Islam dalam melihat berbagai persoalan kehidupan
dan kebangsaan. Sedikit saja bergeser, maka kita menjadi jauh
dengan ummat dan cita-cita kejayaan.
Tantangan-tantangan itu baik datang dari cara pandang dan
virus yang ditiup Barat kepada umat Islam seperti sekularisme
dan liberalisme dalam berbagai bentuknya. Jika virus ini
menjangkiti para santri, maka bukan saja mereka akan sulit
diharapkan menjadi pelopor gerakan kembali kepada Syari’at
Islam, namun juga kelak justru akan menjadi lawan yang paling
serius bagi cita-cita kejayaan Islam.
Pada faktanya, kita menyaksikan tidak sedikit tokoh sekuler
liberal merupakan orang-orang yang dulunya berlatar belakang
pesantren. Begitu juga, kita menghadapi tantangan dalam sikap
beragama yang eksitrim yang yang disponsori oleh gerakan
Wahabi dimana juga virus ini sangat rentan menjangkiti siapa
saja dari masyarakat kita, bahkan termasuk kaum santri sendiri.
Maka para santri harus terus menerus memperkuat pemahaman
Ahlusunnah wal Jama’ah, baik bagi para santri sendiri maupun
bagi masyarakat kita umumnya, lewat berbagai media, sarana
dan prasarana.
Teuku Zulkhairi |
125
“Kaum santri mesti memposisikan pola pikir
materialisme ini sebagai musuh paling utama yang harus
dilawan. Begitu juga dengan virus-virus pemikiran yang
lain. Jangan sampai idealisme kaum santri yang pro Islam
dan pro orang-orang lemah dapat ditukar dengan uang”
Dan tantangan yang lebih dahsyat yang kita hadapi saat
ini adalah pola pikir materiaslisme yang datang dari mazhab
kapitalisme yang hari ini kian menjadi cara pandang dunia
global. Materialisme ini saat ini telah menjadi daya rusak
yang cukup ampuh bagi masyarakat dunia sehingga akibatnya
kenestapaan umat manusia karenanya kian panjang. Kaum
santri mesti memposisikan pola pikir materialisme ini sebagai
musuh paling utama yang harus dilawan. Begitu juga dengan
virus-virus pemikiran yang lain.
Jangan sampai idealisme kaum santri yang pro Islam dan
pro orang-orang lemah dapat ditukar dengan uang. Alangkah
ruginya jika idealisme yang bertahun-tahun kita semai di
pesantren dapat dibeli dengan materi. Alangkahnya ruginya
jika kita menjual akhirat kita dengan dunia. Maka di sinilah kita
perlu melihat semua tantangan-tantangan pemikiran itu secara
serius. Dengan cara itu, kita akan dapat mengisi peluang di
depan mata kita untuk semakin menjadikan santri dan nilai-nilai
yang dibawahnya sebagai pelopor dan penggerak bagi kejayaan
bangsa dan agama. Insya Allah. Amiin.
D. Tanggungjawab Santri Mengawal Syari’at
Kendati sudah puluhan qanun Syari’at Islam dilahirkan
legislatif dan eksekutif, namun cita-cita menuju penerapan
Syari’at Islam secara kaffah di Aceh tidak serta merta akan
terwujud secara otomatis. Qanun-qanun itu hanya akan menjadi
126
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
lembaran-lembaran aturan yang tidak berfungsi sekiranya
elemen sipil tidak bergerak secara sinergi, simultan dan massif
dalam melakukan fungsi kontrol dan dalam upaya advokasi agar
eksekutif dengan segenap jajarannya konsisten memberlakukan
qanun-qanun tersebut secara implementatif.
Baik qanun-qanun yang berbasis syari’at Islam maupun
qanun-qanun konvensional Aceh lainnya yang telah disahkan
dan diberlakukan, sesungguhnya memuat model Aceh
impian sekiranya pasal-pasal dalam qanun tersebut mampu
diimplementasikan secara baik. Jika kita membaca pasal per
pasal, ayat per ayat berbagai qanun yang telah disahkan, maka
realitas Aceh yang kita saksikan saat ini akan sangat berbanding
lurus dengan harapan “Aceh baru” yang diharapkan dalam versi
qanun.
Qanun-Qanun Syari’at Islam yang sudah berlaku antara lain
sebagai berikut:
a. Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pembinaan
dan Perlindungan Aqidah.
b. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum
Jinayat.
c. Qanun Pokok-Pokok Syariat Islam
d. Qanun Aceh tentang Penyelenggaraan Pendidikan
yang menghendaki agar kurikulum pendidikan Aceh
diterapkan secara Islami
Beberapa pasal-pasal dan atau ayat-ayat dalam qanun-qanun
syari’at Islam belum terimplementasikan secara baik, seperti
tentang pelaksanaan kurikulum yang Islami di Aceh. Hemat
penulis, realitas ini adalah disebabkan oleh dua hal:
Pertama, tidak adanya keseriusan dari jajaran birokrasi
Teuku Zulkhairi |
127
pemerintah. Program implementasi qanun-qanun syari’at
Islam sepertinya masih dipandang pada sebatas program kerja
biasa sebagaimana program kerja-kerja lainnya yang orientasi
akhirnya adalah sekedar menjalankan program. Plus, ditambah
dengan tidak adanya dorongan yang kuat dari pucuk kekuasaan
eksekutif. Lebih dari itu, penting untuk diteliti tentang sejauh
mana konsistensi birokrasi pemerintah membuat programprogram kerja yang berpedomen secara konsisten pada qanunqanun syari’at Islam.
Kedua, adanya qanun-qanun syari’at Islam yang terkendala
proses implementasinya harus diakui disebabkan karena
lemahnya kontrol elemen sipil. Padahal, salah satu peran yang
harus dilakukan organisasi sipil adalah mengawasi birokasi agar
berjalan sesuai koridor hukum.
Maka di sini, peran dan kontribusi kalangan dayah dan
santrinya sungguh sangat diharapkan berbagai kalangan.
Dengan kekuatannya yang sangat dominan di Aceh, kalangan
dayah dengan para santrinya bisa terus mengawal qanun-qanun
syari’at Islam, seperti Qanun Jinayat dan Acara Jinayah yang
telah disahkan dan mulai diberlakukan agar terus berjalan di
atas jalurnya, agar jangan sampai hanya tajam ke bawah dan
tumpul ke atas. Karena jika hal ini terjadi maka sungguh akan
memberikan presden buruk bagi upaya penegakan syari’at Islam
di Aceh.
Dan yang lebih sakit, jika “tajam ke bawah dan tumpul ke
atas” ini terjadi maka kita akan menjadi bahan tertawaan dunia,
dan yang perihnya lagi mungkin akan memunculkan banyak
gelombang penolakan terhadap qanun ini.
Maka bisa disimpulkan, bahwa tugas besar kalangan dayah
terhadap qanun ini adalah memastikan agar isinya diterapkan
serta diterapkan secara berkeadilan. Dua-duanya sangat penting
agar cita-cita kita menjadikan Qanun Jinayat sebagai pengawal
128
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
peradaban Islami di Aceh akan terwujud. Kit jugaa berharap
agar publik Aceh bisa mengawal perjalanan qanun ini agar
betul-betul bisa menjadi pengawal peradaban Aceh yang Islami.
Jangan sampai terjadi seperti yang dikhawatirkan beberapa
pihak mengenai akan tajamnya qanun ini ke bawah serta akan
tumpul ke atas. Ini harus kita antisipasi sejak dini, agar qanun
ini berlaku kepada siapapun yang jika melanggar. Tidak ada
perbedaan status siapapun di mata hukum hatta anak seorang
raja sekalipun.
“Maka bisa disimpulkan, bahwa tugas besar kalangan
dayah terhadap qanun ini adalah memastikan agar isinya
diterapkan, serta agar bisa diterapkan secara berkeadilan”
1. Santri; Benteng Syari’at
Dalam konteks ini, Rabithah Thaliban Aceh (RTA) dan
organisasi santri lainnya seperti Ikatan Sarjana Alumni Dayah
(ISAD) bisa berperan dalam berbagai ruang menuju implementasi
syari’at Islam secara menyeluruh. Sebagai sebuah organisasi
pelajar berbasis dayah, RTA dianggap memiliki keunggulan
untuk terlibat dalam penguatan dan advokasi syari’at Islam.
Komunitas dayah, sebagaimana dikatakan Syahrizal Abbas
(SuaraDarussalam.co.id, 2013), “memiliki kekuatan moral yang
kuat dengan komunitasnya yang besar”.
Bahkan, tidak sedikit kalangan akademisi yang menyebut
bahwa dayah adalah benteng terakhir penerapan Syari’at Islam
di Aceh. Jika benteng-benteng lain telah runtuh, harapan
terakhir masyarakat Aceh ada pada dayah. Hal ini sangat wajar
mengingat dayah secara konsisten memperkuat syari’at Islam
secara kultural. Dayah dengan segenap komunitasnya telah
menjadi lembaga pendidikan yang sangat sulit dilepaskan dari
dinamika Aceh modern maupun Aceh di masa silam.
Teuku Zulkhairi |
129
Oleh sebab itu, ke depan, salah satu agenda penting dan
mendesak yang harus dilaksanakan RTA adalah memperkuat
kiprahnya secara menyeluruh dan dalam jangka waktu yang
panjang, khususnya bidang advokasi syari’at Islam. Secara
internal, RTA dinantikan perannya dalam menyatukan seluruh
elemen pelajar dayah di Aceh, baik dayah modern maupun dayah
salafiah (tradisional).
Sementara secara ekseternal, dalam konteks upaya menuju
penerapan syari’at Islam secara kaffah, salah satu peran yang
harus dimainkan oleh para santri adalah pelibatan kader-kader
RTA dalam dalam proses taqnin (legislasi) oleh legislatif. RTA
harus sigap memantau setiap proses penyusunan qanun-qanun
dan memberi masukan atas setiap proses pembahasan dan
penyusunan qanun tersebut. Jangan sampai RTA terlewatkan
pada setiap proses pembahasan qanun yang dilakukan legislatif
dan eksekutif.
RTA, sebagai organisasi pelajar dayah Aceh yang konsen
melakukan studi turast (klasik) khazanah keilmuan Islam,
mesti terus mengkampanyekan Maqāṣid Syarī’ah (orientasi
syari’at) sehingga konsepsi Islam dengan segala orientasi
kemashlahatannya mampu dipahami oleh umat Islam secara
luas khususnya dan dunia pada umumnya.
Upaya merealisasikan Maqāshid Syari’iyah harus menjadi
landasan yang kuat atas setiap regulasi yang dibuat, serta pada
saat yang sama juga mampu membuat manusia condrong dan
loyal kepada Islam dan tidak meragukannya. Intinya, RTA
harus terus berjuang memberikan masukan agar setiap proses
pembangunan Aceh berlandaskan konsepsi Islam sehingga Aceh
berjaya bersama Islam. Sebagai ajaran yang syamil (universal dan
menyeluruh) dan mutakamil (saling menyempurnakan), Islam
memang harus menjadi fondasi pembangunan Aceh oleh sebab
mayoritas masyarakat Aceh adalah Muslim.
130
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Peran lainnya adalah upaya advokasi syari’at Islam. Ini
merupakan sisi lemah berikut dari kiprah RTA selama ini.
Idealnya, RTA mampu mengevaluasi tentang sejauh mana proses
implementasi qanun-qanun syari’at Islam di Aceh dewasa ini.
Puluhan qanun berbasis syari’at Islam telah diterapkan di Aceh,
sejauh mana butir-butir qanun itu telah diimplementasikan
eksekutif?
Salah satu tindakan yang bisa diambil RTA dalam konteks
ini adalah membentuk suatu tim advokasi syari’at Islam yang
akan membangun kordinasi dengan legislatif dan lembagalembaga advokasi sipil seperti Yayasan Advokasi Rakyat Aceh
(YARA) dalam upaya melakukan peran kontrol atas kebijakan
eksekutif. Melalui tahapan ini, kader-kader RTA bisa dibekali
dengan pengetahuan proses advokasi agar tindakan yang kelak
akan dilakukan berjalan sesuai koridor hukum.
“Sesungguhnya, sebagai umat Islam dan rakyat
Aceh, kaum santri mewakili warisan peradaban besar”
2. Memperkuat Advokasi Syari’at
Dengan penguatan kiprah RTA dalam upaya advokasi
syari’at Islam di Aceh, kita berharap agar eksekutif konsisten
membangun Aceh berdasarkan qanun-qanun syari’at Islam yang
telah diberlakukan sehingga mimpi kita menyaksikan Aceh yang
baldatun thaybatun qa rabbun ghafur suatu saat akan menjadi
kenyataan. Sesungguhnya, sebagai umat Islam dan rakyat Aceh,
kaum santri mewakili warisan peradaban besar.
Kita punya garis peradaban yang berbeda dari bangsa
Barat. Sebagai umat Islam, Islam yang kita anut adalah agama
yang universal yang mengatur segala tatanan kehidupan,
termasuk di persoalan Jinayah tentu saja. Tujuan dari setiap
Teuku Zulkhairi |
131
garis perdaban Islam yang bersendikan Alquran dan hadis
sesungguhnya meliputi dua kehidupan, yaitu kehidupan dunia
dan akhirat. Secara konsepsional, ketika ajaran Islam kita
jadikan sebagai referensi dalam kehidupan dunia, maka kita
telah menyelamatkan kehidupan akhirat.
E. Tanggungjawab Santri; Menyuarakan Kebenaran
Kebenaran akan semakin hilang jika semakin sedikit yang
menyuarakannya. Ketika suara kebenaran semakin sedikit, maka
yang akan terjadi adalah merajalelanya kerusakan, ketimpangan
dan kehancuran. Kalau kita perhatikan, jika ketimpanganketimpangan muncul dan merajelala, bisa dipastikan itu terjadi
karena sedikitnya yang menolak dan menentang. Maka itu
Saidina Ali sebagaimana dikutip Ustaz Abdul Somad dalam suatu
ceramahnya berkata:
“Aku tak pernah ragu tentang hak dan batil karena dunia ini
dari dulu isinya hak dan batil. Ada Qabil dan ada Habil. Ada
Nabi Ibrahim dan ada Namrud. Ada Musa dan ada Fir’aun.
Ada Nabi Isa dan ada Herodes. Ada Nabi Muhammad dan
ada Abu Lahab. Aku tak mengkhawatirkan itu semua kata
Saidina Ali r.a. Yang Aku khawatirkan adalah diamnya
orang yang benar, sehingga orang yang salah merasa benar”.
1. Katakan yang Benar Walau Pahit
Mengatakan kebenaran memang butuh keberanian.
Terkadang juga berisiko. Kita bisa menyimak catatan sejarah
bagaimana nasib orang-orang yang konsisten berkata benar.
Hari ini kita sering membaca dan mengupas pemikiran para
ulama-ulama di masa silam. Kadangkala kita lupa, bahwa mereka
adalah orang-orang yang konsisten menyuarakan kebenaran,
meskipun mereka kemudian menderita. Imam Abu Hanifah
misalnya, beliau pernah dicambuk karena berseberangan dengan
132
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
penguasa.
Hal serupa juga dialami para ulama lainnya, seperti Imam
Hambali (Ahmad bin Hambal) yang disiksa karena menolak
mengakui Alquran sebagai makhluk. Hal serupa juga dialami
para ulama besar lainnya seperti Imam Syafi’i, Tsufyan AtsTsauri, Malik bin Anas dan banyak ulama lainnya yang tercatat
dalam tintas emas sejarah peradaban Islam. Kisah-kisah
mereka menegaskan bahwa kita mesti konsisten mengatakan
kebenaran, karena kebenaran itu akan padam jika tidak ada yang
memperjuangkan dan bersedia menahan resikonya.
“Kebenaran itu akan padam jika tidak ada yang
memperjuangkan dan bersedia menahan resikonya”
Maka pantaslah bila suatu ketika Rasulullah Saw suatu
ketika bersabda, “Katakan yang benar, meskipun pahit”. Dari hadis
ini yang sering dilafal para santri di dayah, seolah-olah mewantiwanti kita akan pentingnya kita terus berkata benar, apapun
resikonya yang akan dihadapi.
Dalam dunia yang semakin materialis, kadangkala
materialisme mengalahkan nalar. Penyakit materialisme
memang dewasa ini kian menggurita menjadi musuh bagi
peradaban. Maka kita kembali diingatkan oleh Allah Swt untuk
“Tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit”.
Lalu, Allah Swt dalam Alquran surat Ash-Shaf ayat 10-12
juga menawarkan kepada kita suatu perniagaan yang paling
penting karena akan memberikan kesuksesan:
ب
ٍ عذَا
َ ارةٍ ت ُ ْن ِجي ُك ْم ِم ْن
َ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُىا ه َْل أَد ُلُّ ُك ْم
َ علَى ِت َج
َّ ) تُؤْ ِمنُىنَ ِب01( أ َ ِل ٍيم
َسى ِل ِه َوت ُ َجا ِهدُون
ُ اَّللِ َو َر
Teuku Zulkhairi |
133
� ِبأ َ ْم َىا ِل ُك ْم َوأ َ ْوفُ ِس ُك ْم ذَ ِل ُك ْم َخي ٌْر لَ ُك ْم ِإ ْن ُك ْىت ُ ْم
ِ س ِبي ِل ه
َ فِي
ٍ ) يَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُوُىبَ ُك ْم َويُد ِْخ ْل ُك ْم َجىها11( َت َ ْعلَ ُمىن
ت ت َ ْج ِري ِم ْه
َ َساكِه
عد ٍْن ذَ ِل َك ْالفَ ْى ُز
ِ ط ِيّ َبةً ِفي َجىها
ُ ت َ ْحتِ َها األ ْو َه
َ ت
َ ار َو َم
ْالعَ ِظي ُم
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku
tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan
kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalanNya dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik
bagimu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan
mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke
dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di
surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.”
2. Syurga yang Tiada Ternilai Harganya
Jadi balasan dari perniagaan yang ditawarkan kepada kita
oleh Allah Swt adalah syurga. Lalu adakah yang lebih penting
selain syurga? Barangkali, inilah yang dipahami oleh para ulama
dahulu sehingga mereka konsisten di atas jalan kebenaran
dengan cara terus menyuarakan kebenaran apapun resikonya.
Dan oleh sebab itulah nama mereka terus mewangi sepanjang
zaman dan menjadi teladan baik bagi generasi muda Islam.
“Kita mengadapi suatu tantangan zaman yang
berat dimana kebenaran Islam dianggap asing oleh
manusia. Padahal, sejatinya kebenaran Islam adalah
sesuai dengan fitrah manusia seluruhnya”
Suatu ketika penulis mendengar dan mencatat sejumlah
nasihat Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab (Tu Sop), salah
satu ulama Aceh yang sangat penulis kagumi dan pikiran beliau
134
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
senantiasa penulis catat. Saat itu beliau mengatakan, dunia
global saat ni menderita penyakit ‘phobia Islam’ di berbagai
negara. Menurut beliau, hal ini terjadi karena lemahnya arus
dakwah yang dilakukan oleh umat Islam. Jauh lebih lemah
dari “dakwah” mereka yang phobia terhadap Islam. Dan kata
beliau lagi, disinilah diperlukannya peran santri untuk terus
menyuarakan kebenaran dalam setiap ruang sehingga kebenaran
menjadi opini publik.
Nampaknya Tu Sop melihat lebih jauh ke luar. Bahwa
problem umat Islam saat ini begitu berat, luas dan komplek.
Kita mengadapi suatu tantangan zaman yang berat dimana
kebenaran Islam dianggap asing oleh manusia. Padahal,
sejatinya kebenaran Islam adalah sesuai dengan fitrah manusia
seluruhnya. Tapi kenapa banyak manusia melawan kebenaran
Islam? Hal itu karena kebenaran Islam bertentangan dengan
hawa nafsu. Sementara manusia yang semakin materialis dan
hedonis cenderung menganggap mengikuti nafsu dengan
anggapan sebagai suatu kebebasan azasi. Maka tanggung jawab
para santri cukup berat. Yaitu bagaimana dapat berperan serta
secara maksimal dalam mewujudkan kebenaran Islam sebagai
opini publik. Sebagaimana disampaikan oleh Tgk. H. Muhammad
Yusuf A. Wahab (Tu Sop Jeunieb):
“Nilai-nilai kebenaran yang ada pada santri yang
silsilahnya sampai kepada Rasulullah Saw dan sahabat,
dia akan terdegradasi oleh aliran-aliran atau pemikiran
yang menyimpang yang dalam penyampaiannya lebih
cepat dan lebih luas jangkauannya dan lebih sistematis”
Kepada kami Tu Sop saat itu juga menyampaikan bahwa nilainilai kebenaran yang ada pada santri yang silsilahnya sampai
kepada Rasulullah Saw dan sahabat, dia akan terdegradasi oleh
aliran-aliran atau pemikiran yang menyimpang dimana dalam
penyampaiannya lebih cepat dan lebih luas jangkauannya dan
Teuku Zulkhairi |
135
lebih sistematis. Akibatnya, kebenaran yang diwariskan dalam
dunia santri akan menjadi tenggelam bukan karena dia tidak
benar dan tidak baik sehingga dituduh eklusif, tetapi oleh sebab
lemah di dalam strategi dakwah dan pembentukan opini publik.
Intinya, menurut Tu Sop, kalau pelaku kebenaran diam, maka
yang terjadi adalah kebenaran itu akan dikesankan sebagai
kebatilan.
Sebagai peta jalan bagi santri dalam menentukan sikap
dan kiprahnya, Tu Sop menerangkan ada dua hal yang perlu
diperhatikan secara seimbang dalam mempertahankan
nilai-nilai kebenaran yang diajarkan oleh Rasulullah Saw
dan para sahabatnya. Pertama, kajian tentang bagaimana
mempertahankan kebenaran Islam yang disampaikan oleh
Rasulullah Saw, jangan dimasuki oleh bid’ah dan sesuatu yang
tidak dikehendaki oleh Alquran dan Sunnah. Kedua, bagaimana
strategi Rasulullah Saw dan para sahabat dalam mendakwahkan
kebenaran tersebut. Maka penyampaikan kebenaran oleh para
santri juga harus memenuhi aspek hikmah, mau’idhah hasanah,
dan mujadalah dengan cara yang ahsan (terbaik), proporsional
(sesuai dengan kebutuhan publik) dan professional. Artinya,
menurut Tu Sop, argumentasi Islam harus disampaikan dengan
cara-cara yang terbaik sehingga kebenaran bisa diterima dan
menjadi opini publik.
Jika pada tataran global kondisi umat Islam seperti itu,
maka bukan berarti di level lokal negara kita tidak terjadi. Pada
faktanya, kita menyaksikan sejumlah problem menimpa bangsa
kita. Korupsi yang senantiasa merajalela. Ketidakadilan. Dan
perihnya, saat ini kita juga menyaksikan sebuah fenomena yang
sangat menyedihkan dimana banyak manusia yang berlombalomba membenarkan kezhaliman, membenarkan kebohongan,
membenarkan para pendusta, membenarkan kerusakan,
kehancuran, kesesatan dan seterusnya. Maka disinilah peran
tanggung jawab besar berada di pundak santri, untuk berdiri
136
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
teguh di atas jalan Islam.
Ketika bangsa ini kian “haus” dengan nilai-nilai kemuliaan
yang kian sirna, ketika bangsa ini kian merindukan keadilan,
kemandirian dan kejayaan, maka disinilah para santri dapat
membawa “segelas air” untuk mengobati dahaga bangsa. Maka
para santri harus terus berjalan mengawal bangsa ini, dengan
terus konsisten dan tegas berdiri di atas garis kebenaran.
Selain itu, dalam konteks organisasi, kita mengharapkan
agar organisasi santri dan juga organisasi pemuda di Aceh untuk
terus menjaga khittahnya(garis perjuangan). Menjadi gerakan
yang independen dan terus mengontrol sepak terjang para
politisi dan penguasa. Tidak hanya mengandalkan kemitraan
dengan pemerintah. Karena hal itu justru akan mematikan nalar
kritis kita sebagai pemuda yang dituntut untuk memperbaiki
negeri ini.
Kepentingan agama dan masyarakat lebih penting daripada
kepentingan pribadi untuk kesenangan duniawi. Organisasi
pemuda dan santri di Aceh harus tetap kritis diihadapan penguasa
sampai kapanpun. Apalagi dengan segudang permasalahan
yang ada seperti saat ini. Karena itulah sebagian diantara jati
diri sebuah organisasi pemuda. Jika ini tidak dilakukan, tidak
mustahil kepentingan agama dan masyarakat akan selalu
terpinggirkan dan dipermainkan.
Jika tujuan ini telah terpinggirkan, niscaya ruh sebuah
organisasi santri dan pemuda akan hilang dan harga dirinya akan
tercabik-cabik oleh kepentingan politik praktis yang pragmatis.
Dan jika seperti itu, maka jangan heran jika agama akan menjadi
diperjualbelikan dalam politik transaksional. Jangan heran jika
idealisme para pemuda di Aceh akan pudar oleh kepentingan
pragmatisme duniawi.
Teuku Zulkhairi |
137
3. Manfaatkan Kekuasaan untuk Islam
Di waktu yang sama, penulis berdiskusi panjang lebar
dengan ulama Aceh, Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab yang
akrab disapa Tu Sop Jeunieb yang saat ini memimpin organisasi
Himpunan Ulama Dayah Aceh. Sebagian dari catatan ini
sebelumnya sudah penulis bantu siarkan melalui siaran pers ke
sejumlah media Online karena menimbang pentingnya pesan
yang disampaikan. Pada saat Tu Sop beliau menaruh harapan agar
seluruh elemen masyarakat, termasuk para penguasa di Aceh
agar menjadikan kekuasaan di level apapun yang dimiliki oleh
siapapun dan kelompok mana pun sebagai sarana pengabdian
untuk Islam. Baik kekuasaan atau kekuatan yang dimiliki oleh
para pengusaha, para politisi, para akademisi, dan setiap tokoh
atau pribadi lainnya. Dan para santri diharapkan untuk terus
memberikan pencerahan melalui dakwah kepada masyarakat
agar tujuan ini dapat tercapai.
“Para santri harus terus mendorong agar penguasa di
level apapun hendaknya menjadikan kekuasaan untuk
memperkuat Islam, dan jadikan Islam untuk fondasi
kekuasaan. Kekuatan Islam harus menjadi kekuatan
bangsa, dan kekuatan bangsa menjadi kekuatan Islam”
Sebab, kata Tu Sop, semuanya punya tanggung jawab
masing-masing yang akan dipertanyakan kelak nanti di
akhirat. Islam adalah segalanya bagi umat Islam, bagi dunia
dan akhirat mereka. Masa kejayaan Aceh, kata Tu Sop, ditandai
dengan dominasi Islam dalam kekuasaan lewat pengaruh dan
keberhasilan dakwah para ulama dan santrinya.
“Saat kekuasan hadir menjadi kekuatan Islam, maka hasil
dan pencapaiannya akan lebih besar ketimbang hasil yang diraih
dengan hanya mengandalkan ilmu dan pendidikan”, kata Tu Sop
saat itu. Sebagai contoh, kata Tu Sop, secara keilmuan, perintah
menutup aurat tidak pernah berhenti dilakukan. Akan tetapi,
138
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
hasilnya tetap terbatas. Namun, setelah atau jika kekuasan hadir
untuk menggerakan perintah tutup aurat, maka semakin banyak
yang menutup aurat jika dibanding masa lalu, seperti yang bisa
kita saksikan selama ini. Artinya, fenomena ini merupakan
keberhasilan dan pengaruh kekuasaan.
Maka, terlindung dan tidaknya agama ini sangat tergantung
sampai dimana komitmen kekuasaan untuk melindunginya.
Saat kekuasaan melepaskan diri dari agama, niscaya agama akan
menjadi telanjang tanpa perlindungan, dan kekuasaan akan
rusak tanpa bisa diselamatkan oleh agama. Oleh sebab itulah,
menurut Tu Sop, sebuah kekuasaan harus bermanfaat untuk
agama, dan agama menjadi penguat bagi kekuasaan yang selaras
dengan nilai-nilai Islam. Dan masing-masing umat Islam harus
bergerak dengan posisi masing-masing tanpa saling menyalahkan
karena ini merupakan tanggung jawab semua pihak.
Menurut Tu Sop, kekuasan dan agama harus saling
memperkuat. Sebab, agenda kolonialisasi dan kapitalisme yang
menghancurkan umat Islam sering kali terjadi dan dimulai
dengan pemisahan agama dengan kehidupan. Efeknya, saat
agama dipisahkan dari kekuasaan maka kekuasaan akan dikuasai
oleh kekuatan lain yang anti agama. Kalau dipisahkan, maka
akan melahirkan orang-orang yang tidak beragama menjadi
penguasa dan politisi.
Sebagai contoh, kata Tu Sop, saat agama dipisahkan dari
ekonomi, maka ekonomi akan menjadi kekuatan yang berada
di tangan orang lain yang akan menghancurkan perekonomian
umat Islam. Begitu juga dalam hal politik, kalau para politisi
tidak mengabdi untuk Islam, maka kekuasaan akan berubah
menjadi penghancur bagi eksistensi Islam.
Itulah mengapa dulu bangsa kolonialis mengampanyekan
sekulerisme di tengah-tengah muslim. Sebab, mereka paham
bahwa dengan memisahkan politik dengan agama maka mereka
Teuku Zulkhairi |
139
akan berhasil memisahkan para politisi atau penguasa dari
agamanya sehingga terjadilah berbagai kehancuran. Oleh sebab
itu, untuk level Aceh, kata Tu Sop, para penguasa, politisinya
maupun elemen masyarakat lainnya hendaklah mengabdi untuk
Islam.
Saat itu, Tu Sop menekankan, ‘Buatlah kebijakan-kebijakan
yang menguntungkan Islam. Jadilah teladan dalam pengamalan
Islam supaya ummat ini selamat dunia dan akhirat’. Kebenaran
yang disampaikan bnyak orang akan memberi pengaruh yang
lebh besar dibandingkan dengan kebenaran yang disampaikan
oleh hanya satu dua orang dan yang lainnya diam. Inilah
sebenarnya fenomena hari ini.
Berikutnya, selalu dengan profesinya tersebut ia diharapkan
bisa menyelamatkan agama dan juga ummat. Contoh, bagaimana
ketika seorang kaya ia bisa memanfaatkan kekayaannya untuk
menjadi kekuatan agama.
Begitu juga politisi, bagaimana agar kegiatan politisinya
menjadi bermanfaat untuk agama. Maka itulah perlunya
materi-materi yang meliputi adil, ihsan dan syafaqah ‘aladdin
(menyayangi agama) dalam semua bidang. Harapannya, setiap
golongan umat Islam akan selalu mengintegrasikan nilai-nilai
tersebut dalam semua bidangnya. Jika itu terjadi maka saat
itulah cita-cita Islam kaffah bisa terwujud.
Disamping materi harus lengkap seperti itu, diharapkan
juga strategi penyampaiannya juga komprehensif supaya publik
paham. Kalau santri ingin mendakwahkan Islam, maka harus
memasuki semua ruang kosong
F. Mengumandangkan ‘Jihad’ Melawan Narkoba
Salah satu problem besar dewasa ini yang mendesak untuk
mendapat perhatian kalangan santri di Aceh adalah persoalan
140 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Narkoba (narkotika dan obat terlarang lainnya). Narkoba saat ini
telah menjadi “hantu” yang akan merenggut keberlangsungan
masa depan cerah entitas peradaban Aceh. Maka jika pada
22 Oktober 1945 dahulu KH. Hasyim Asyari (pendiri NU)
mengeluarkan resolusi jihad untuk membendung kedatangan
tentara NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang
mencoba merampas kemerdekaan Indonesia, maka nampaknya
22 Oktober 2015 ini yang akhirnya ditetapkan sebagai Hari
Santri Nasional, resolusi jihad santri melawan Narkoba adalah
kebutuhan yang sangat mendesak.
1. Aceh Darurat Narkoba
Data menunjukkan bahwa narkoba telah banyak merenggut
nyawa. Bahkan, bukan hanya itu, narkoba juga telah merusak
harapan para orang tua untuk melihat anak mereka memiliki
masa depan yang cerah. Narkoba telah mengantarkan banyak
anak-anak muda dan orang tua ke dalam penjara, bahkan sampai
hukuman mati. Dengan pertimbangan akal sehat, hampir tidak
ada manfaatnya dari narkoba ini. Baik manfaat untuk pribadi si
pengguna, apalagi bagi bangsa dan agama.
“Aceh saat ini dihadapkan pada situasi darurat
pengguna narkoba yang mencapai 7.000 orang”
Namun, ironisnya, pengguna obat haram ini justru semakin
hari semakin bertambah. Alhasil, Aceh saat ini dihadapkan
pada situasi darurat pengguna narkoba yang mencapai 7.000
orang. Disinyalir, para pencandu narkoba ini berasal dari
berbagai kalangan, mulai siswa sekolah, ibu rumah tangga,
pejabat, oknum TNI/Polri, PNS dan kalangan swasta. Fakta ini
terungkap dalam audiensi antara Komisi VI Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh (DPRA) dengan Badan Narkotika Nasional Provinsi
(BNNP) Aceh yang berlangsung di Kantor BNNP Aceh, seperti
dilaporkan Harian Serambi Indonesia awal tahun 2015 lalu (4/3).
Teuku Zulkhairi |
141
Dalam laporan ini, anggota Komisi VI DPRA, Zaenal
Abidin, mengatakan, berdasarkan data BNNP, jumlah pecandu
narkoba di Aceh dari waktu ke waktu terus mengalami
peningkatan, bahkan saat ini sudah mencapai 7.000 orang.
Mereka berstatus sebagai pemakai aktif jenis sabu-sabu dan
ganja. Sungguh kondisi yang begitu memprihatinkan kita
semua. Lalu, dengan realitas seperti ini, apa jadinya Aceh kita
di masa depan? Jika generasi mudanya sudah rusak, tentu
tidak ada harapan masa depan Aceh yang cerah.
“Jika generasi mudanya sudah rusak, tentu tidak
ada harapan masa depan Aceh yang cerah”
2. Revitalisasi ‘Jihad’ Santri Melawan Narkoba
Di masa dahulu, komunitas dayah mampu tampil dalam
membela negeri. Resolusi jihad KH Hasyim Asyari pada 22
Oktober 1945 silam mampu membendung kedatangan NICA.
Komunitas dayah atau pesantren, baik para ulama dan santri
tampil secara massif berjihad mempertahankan martabat
bangsa dari serbuan penjajahan Belanda dan Jepang. Oleh
sebab itu, di level Aceh, penulis memandang, di sinilah peran
dayah seperti ini kembali diharapkan, khususnya agar pro-aktif
berjihad melawan narkoba.
Harapan seperti ini sesungguhnya sangat mendesak
untuk direalisasikan. Sebab, membendung peredaran narkoba
merupakan salah satu visi syari’at Islam (Maqāshid al-Syarī’ah).
Dalam perspektif Syari’at Islam, pemeliharaan akal adalah salah
satu dari lima tujuan syari’at Islam atau Maqāshid al-Syarī’ah
sebagaimana dibahas oleh Abu Ishak Asy-Syatibi (w. 790 H)
dalam kitabnya al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm. Ke lima tujuan
tersebut adalah Hifzul ad-Din [memelihara agama], Hifzu an-Nafs
[memelihara jiwa], Hifzu al-‘Asl [memelihara keturunan], dan
142
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Hifzu al-‘Aql [memelihara akal] dan Hifzu al-Mal [memelihara
harta]. 16
Akal adalah sarana manusia untuk berfikir, dan dengan
berfikir itu mereka akan bisa menemukan kebenaran Islam.
Dengan akal tersebut, akan membedakan mereka dengan
binatang. Dengan akal tersebut mereka akan bisa menata
kehidupan dunia ini sesuai fungsinya sebagai khalifah di atas
permukaan bumi. Lalu, apa yang akan terjadi sekiranya akal
tersebut telah rusak atau dirusakkan? Tentu mereka tidak akan
bisa lagi mengerjakan tugas-tugas mulia sebagai khalifah. Itu
sebab, Islam memandang kedudukan akal manusia sangatlah
penting. Dengan akalnya manusia akan bisa memikirkan ayatayat Qauliyah (al-Qur’an) dan juga Kauniyah (Sunnatullah)
sehingga bisa menjadi manusia yang diharapkan Islam.17
Salah satu yang merusak akal adalah meminum Khamar
(minuman keras). Maka kemudian Allah Swt mengharamkan
Khamar, sekaligus mengancam peminumnya dengan hukuman.
ير
ْ َي
ٌ ِيه َما إِثْ ٌم َكب
ِ ِسأَلُىوَكَ ع َِه ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْيس ِِر ۖ قُ ْل ف
َ
ْ
ۖ اس َو ِإث ُم ُه َما أ ْكبَ ُر ِم ْه َو ْف ِع ِه َما
ِ ََّو َمىَافِ ُع ِللى
َٰ
َ ُسأَلُىوَكَ َماذَا يُ ْى ِفق
�ُ لَ ُك ُم
ْ ََوي
َّ ُىن قُ ِل ا ْلعَ ْف َى ۖ َكذَ ِلكَ يُبَيِّه
َ ت لَ َعلَّ ُك ْم تَتَفَك َُّر
ون
ِ ْاْل َيا
“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad)
mengenai khamar (minuman keras) dan judi. Katakanlah:
“Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa kedua-duanya lebih
16
Abu Ishak Asy Syatibi, Al-Muwâfaqât fi Usul Asy Syari’ah, jilid II,
(Beirut: Dar Al-Ma’rifah, t. t), hlm: 5 - 10
17
Teuku Zulkhairi, Syari’at Islam Membangun Peradaban, (Banda
Aceh: Penerbit Pena, 2017), hlm:
Teuku Zulkhairi |
143
besar dari manfaatnya.” (QS al-Baqarah: 219).
Argumentasi (Al-‘illat) Islam atas pengharamkan khamar
adalah karena membuat si peminumnya menjadi mabuk yang
dengan mabuk itu maka akan rusaklah akalnya. Para ulama
kemudian meng-qiyas-kan al-’illat menyebabkan mabuk
tersebut dengan barang serupa khamar lainnya yang juga
memabukkan. Jadi, lewat proses qiyas ini, maka segala sesuatu
yang memabukkan adalah haram dan diancam dengan hukuman
pidana, maka termasuk di dalamnya yaitu segala jenis Narkotika
dan obat terlarang lainnya (Narkoba).
Adanya ancaman hukuman terhadap peminum khamar dan
termasuk Narkoba sesungguhnya adalah untuk menjaga akal
manusia. Sebab, jika akalnya sudah rusak dengan meminum
khamar, maka kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya bagi si
peminumnya, tetapi juga bagi keluarga dan juga masyarakatnya.
Fenomena-fenomena kontemporer cukup jelas memperlihatkan
bukti tentang ini, bagaimana kerusakan yang ditimbulkan dari
minum keras atau yang serupa dengannya. Bangsa kita sudah
sangat kewalahan menghadapi kartel-kartel Narkoba yang
sudah sangat merusak bangsa ini. 18
Alquran dalam Surat Al-Maaidah ayat 90 mengingatkan kita:
َ يَا أَيُّ َها الَّذ
اب
َ ًَِيي آ َهٌُىا إًَِّ َوا ا ْل َخ ْو ُز َوا ْل َو ْيس ُِز َو ْاْل
ُ ص
َ ش ْي
َ س ِ ّه ْي
اى فَاجْ تٌَِبُىٍُ لَ َعلَّ ُك ْن
َّ ع َو ِل ال
ٌ َْو ْاْل َ ْس ََل ُم ِرج
ِ ط
َ ت ُ ْف ِل ُح
ىى
”Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya meminum
khamar, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi
18
Teuku Zulkhairi, Syari’at Islam Membangun Peradaban, (Banda
Aceh: Penerbit Pena, 2017), hlm:
144 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
nasib dengan anak panah adalah perbuatan-perbuatan keji
yang termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
Dalil-dalil Alquran ini menunjukkan haramnya merusak
atau membinasakan diri sendiri. Narkoba sudah pasti merusak
badan dan akal seseorang. Sehingga dari ayat inilah kita dapat
menyatakan bahwa narkoba itu haram. Dengan kata lain,
Islam melarang kita menggunakan narkoba tidak lain karena
Islam menyayangi dan menghargai kehidupan kita. Kenapa
dilarang, karena Islam memahami efek negatif narkoba bagi si
penggunanya.
Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah jauh-jauh
hari sejak tahun 1976 telah mengeluarkan fatwa haramnya
narkoba. MUI menyatakan haram hukumnya penyalahgunaan
narkoba dan semacamnya, yang membawa kemudaharatan,
mengakibatkan rusak mental fisik seseorang, serta terancamnya
keamanan masyarakat dan ketahanan Nasional.19
Jadi, tidak diragukan lagi bahwa dalam perspektif Islam,
pemeliharaan akal memiliki tujuan yang sangat prinsipil dalam
syari’at Islam. Sementara itu, tidak diragukan lagi bahwa narkoba
memberikan sumbangsan besar bagi rusaknya akal generasi
muda. Padahal, jika generasi muda rusak, maka rusaklah bangsa
ini. Oleh sebab itu, jihad dayah melawan narkoba, niscaya
harus menjadi agenda paling penting dekade ini dalam upaya
mewujudkan salah Maqāshid al-Syarī’ah ini. Sebab, jika akal
generasi muda telah rusak, maka agenda pembangunan dan
syari’at Islam pasti akan semakin sulit direalisasikan. Segala
upaya perbaikan dan pembangunan bangsa akan rusak jika akal
generasi mudanya tidak dijaga.
“Gendang perang jihad melawan narkoba sudah
ditabuh. Dan memang, sudah semestinyalah peran ini
diemban kalangan santri dayah mengingat dayah”
19
Sumber, Lihat: Komisi Fatwa MUI 10 Februari 1976).
Teuku Zulkhairi |
145
Beruntung, stakeholder dayah seperti Dinas Pembinaan
Pendidikan Dayah Aceh kini sudah mulai melihat penting
persoalan ini, antara lain dengan menyelenggarakan sosialisasisosialisasi pencegahan narkoba di dayah-dayah. Itu artinya,
revitalisasi peran santri dayah dalam menyelamatkan masa
depan generasi muda Aceh sudah mulai didendangkan. Gendang
perang jihad melawan narkoba sudah ditabuh. Dan memang,
sudah semestinyalah peran ini diemban kalangan santri dayah
mengingat dayah itu sendiri telah sekian lama berdiri pada
posisi ‘benteng syari’at Islam’ di Aceh.
3. Beberapa Upaya Bagi Santri
Beberapa tindakan dan upaya yang bisa dilakukan kalangan
dayah, antara lain adalah dengan terlebih dahulu memastikan
tidak ada kalangan santri yang menggunakan narkoba dalam
jenis apapun. Kita bersyukur bahwa ulama-ulama besar di Aceh
telah sejak lama perhatian dalam perkara ini sehingga kalangan
dayah tentu saja relatif streril dari persoalan besar ini. Di dayah,
bahkan merokok pun dilarang bagi para santri. Namun demikian,
upaya pencegahan tentu bisa saja dilakukan. Minimal, para
santri yang akan lulus atau menyelesaikan pendidikan di dayah
bisa dibahani sejak dini, bahwa narkoba ini adalah musuh besar
Islam dan bangsa, serta racun paling berbahaya bagi generasi
muda dan penyakit krusial bagi peradaban Islam.
“Para santri yang akan akan lulus bisa dibahani sejak
dini, bahwa narkoba ini adalah musuh besar Islam dan
bangsa, serta racun paling berbahaya bagi generasi muda
dan penyakit krusial bagi peradaban Islam”
Setelah dipastikan steril, selanjutnya para santri dan
teungku bisa berdakwah di masyarakat menyeru mereka untuk
tidak menggunakan narkoba, mencegah anak-anaknya dari
menggunakan hingga mencegah peredaran narkoba di tengah-
146
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
tengah masyarakat. Ini bisa dilakukan baik dalam khutbahkhutbah mereka, saat mengisi majlis-majlis ta’lim, dan dalam
berbagai proses interaksi dengan masyarakat lainnya. Dengan
pemaparan dalil-dalil fiqh Islam seputar bahaya narkoba dan
larangan keras Islam bagi menggunakannya, tentu dakwah para
santri ini akan lebih mudah didengar masyarakat. Dengan cara
seperti ini, lembaga pendidikan dayah perlahan akan menjadi
sentral rehabilitasi para remaja pengguna narkoba.
Lebih dari itu, komunitas dayah juga bisa lakukan advokasi
dan upaya-upaya ‘pembersihan’ gampong-gampong dari narkoba,
seperti halnya perjuangan mereka selama ini dalam menjaga
gampong-gampong dari maksiat. Upaya-upaya seperti ini, tentu
saja kita harapkan bisa berkordinasi dengan pihak-pihak terkait
seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) wilayah Aceh.
Bagi BNN sendiri, kita harapkan mampu bekerja secara
massif dan pro-aktif menggandeng komunitas dayah dalam
memberantas narkoba, karena sesungguhnya pemberantasan
narkoba adalah juga tujuan pentinng ajaran Islam yang disadari
secara baik oleh kalangan dayah. Jadi, tinggal dibutuhkan
koneksi. Dengan posisi dan kekuatan santri dan teungku dayah
yang begitu dominan di Aceh, kita yakin peran jihad melawan
narkoba akan bisa diemban. Insya Allah. Semoga.
G. Menuju Santri sebagai Pemimpin Perubahan
Santri merupakan bagian dari proses reproduksi ulama,
dengan menjadikan Dayah sebagai basis pengembangan jati diri
santri guna mencapai derajat keulamaan dengan dibekali ilmu
agama.
1. Mengedepankan Akhlak Mulia
Sebagai pelajar atau penuntut ilmu, santri dewasa ini
Teuku Zulkhairi |
147
senantiasa mengedepankan prinsip-prinsip dan etika keilmuan
dalam menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat. Oleh
sebab itu, tidak berlebihan jika kita berharap bahwa santri dapat
menjadi pemimpin bagi perubahan. Santri sebagai pelajar Islam
diharapkan memperjuangkan kebangkitan Islam, dan sedapat
mungkin agar tidak menjadi faktor pemicu perpecahan di
masyarakat.
Kita tentu berharap agar jangan sampai setelah ada hari
santri lalu muncul pandangan merendahkan pihak non santri
atau mereka yang tidak pernah belajar di pesantren atau dayah.
Dan kita yakin, ini tidak akan terjadi, insya Allah. Patut diingat
bahwa selain santri bukan berarti lawan. Tapi partner dalam
pembangunan. Sebab, menjadi santri di pesantren atau dayah
adalah salah satu jalan menuntut ilmu yang paling utama, namun
bukan satu-satunya jalan sehingga kalangan santri harus tetap
menaruh hormat kepada umat Islam yang tidak pernah nyantri
di pesantren.
Oleh sebab itu, bagi kita para santri, marilah memandang
umat Islam yang tidak pernah nyantri di pesantren atau dayah
dengan pandangan kasih penulisng. Umat Islam perlu selalu
bersatu karena persatuan adalah kewajiban utama dalam Islam,
syarat menuju kemajuan dan kebangkitan. Sebagai generasi yang
diharapkan menjadi perbendaharaan intelektual Islam di masa
depan, kalangan santri tidak boleh dijebak dalam kepentingan
politis suatu golongan. Santri jangan mau dimanfaatkan oleh
kepentingan politis karena jika demikian maka pergerakan kaum
santri akan mudah dipatahkan.
Maka, tidak henti kita berharap agar Santri terus
menunjukkan jati dirinya sebagai pelajar Islam yang
menempatkan Islam sebagai satu-satunya barometer dalam
melihat segala sesuatu persoalan dan memberikan soluasi atas
persoalan yang menimpa ummat. Peran paling fundamental
148
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
yang mesti diperankan kalangan santri adalah peran keilmuan,
karena dengan ilmu maka peradaban akan bangkit tegak. Santri
harus semakin banyak menulis dan mengabadikan ilmunya
dalam karya tulis buku atau kitab.
Lebih dari itu, kalangan santri juga harus senantiasa konsisten
mengedepankan akhlak yang mulia dalam menghadapi berbagai
persoalan ummat. Dalam menghadapi berbagai persoalan
keummatan dan bangsa dewasa ini, santri harus selalu kritis
atas berbagai kezaliman. Mencintai kalangan yang tertindas dan
dekat dengan mereka serta selalu berupaya menjadi jembatan
penghubung antara berbagai kelompok masyarakat sebagai
upaya meneguhkan kedamaian di masyarakat.
“Sebagai generasi yang diharapkan menjadi
perbendaharaan intelektual Islam di masa
depan, kalangan santri tidak boleh dijebak dalam
kepentingan politik suatu golongan. Santri jangan mau
dimanfaatkan oleh kepentingan politik yang berakibat
pergerakan kaum santri akan mudah dipatahkan”
2. Merespon berbagai Persoalan Aktual dengan Kitab
Kuning
Santri juga harus mampu merespon berbagai persoalanpersoalan aktual kontemporer dengan perspektif Islam dan kitab
kuning sehingga keilmuan yang dikembangkan di dayah atau
pesantren akan selalu memiliki korelasi dengan perkembangan
dunia yang begitu cepat. Kaum Santri juga harus terus menjaga
nama baik institusi pesantren yang hari ini mendapat berbagai
ujian kepercayaan dari masyarakat.
Lebih dari itu, tugas santri sebagai pemimpin perubahan
berikutnya adalah bagaimana menarasikan kitab kuning sebagai
referensi pembelajarannya dalam realitas kehidupan, sekaligus
menjawab keraguan sekelompok orang tentang daya tahan
Teuku Zulkhairi |
149
kitab kuning. Kitab kuning harus kita akui merupakan warisan
‘turast’ yang tak ternilai harganya. Namun, harus kita akui saat
ini muncul sekelompok orang menyebut kitab kuning yang
dipelajari di dayah sudah tidak relevan dengan perkembangan
zaman. Meskipun sebenarnya, kalau kita tanya dimana satu
baris saja dari kitab yang tidak relevan dengan perkembangan
zaman? Tentu mereka tidak mampu menunjukkannya. Mana
ada ilmu yang bisa usang?
Kitab-kitab kuning membahas berbagai khazanah keilmuan
Islam. Dari masalah Tasawuf, Fiqh, Akhlak, Siyasah, Falak,
Mantiq (ilmu logika), Tafsir, Hadis dan Ilmu hadis, Alquran dan
Ulumul Quran, dan seterusnya. Nah, tugas para santri bagaimana
menerjemahkan isi kitab ini dalam realitas kehidupan. Dalam
dunia yang semakin parah oleh kerusakan moral ini misalnya,
bagaimana agar isi kitab Tasawuf bisa membumi di masyarakat
dan lingkungan pemerintahan. Begitu juga, tugas para santri
untuk membumikan Alquran dan hadis serta ilmu-ilmunya
di masyarakat, agar lahirlah perubahan yang diharapkan,
yaitu perubahan paradigma masyarakat menjadi pendukung
kebenaran dan kebangkitan ajaran Islam.
“Tugas para santri bagaimana menerjemahkan isi kitab ini
dalam realitas kehidupan. Dalam dunia yang semakin parah oleh
kerusakan moral ini misalnya, bagaimana agar isi kitab Tasawuf
bisa membumi di masyarakat dan lingkungan pemerintahan”
Begitu juga dalam bidang fiqh, bagaimana agar masyarakat
beramal yang sesuai dengan ilmu fiqh. Coba bayangkan, fakta di
lapangan, hari ini bahkan banyak masyarakat yang tidak paham
mengapa mereka tidak boleh lewat di depan orang yang shalat.
Banyak juga yang sulit sekali memahami pentingnya shaf shalat
yang teratur dan rapi. Serta segudang persoalan lainnya, bahkan
juga banyak masyarakat dan generasi mudahnya yang tidak
shalat.
150
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
Lebih dari itu, dalam bidang Aqidah, tugas para santri
berikutnya adalah bagaimana menjelaskan Ideologi Ahlusunnah
wal Jama’ah dengan bahasa yang mudah dipahami oleh
masyarakat, sehingga masyarakat memahami untuk apa mereka
menjadi Ahlsunnah wal Jama’ah. Sebab, harus diakui bahwa hal
yang sering dibicarakan di Aceh dewasa ini adalah AhlUsunnah
wal Jama’ah yang di Pulau Jawa sering disingkat dengan Aswaja.
Di Indonesia, terminologi Ahlusunnah wal jama’ah cenderung
melekat pada santri dan institusi pesantren atau dayahnya. Hal
ini tentu tidak mengherankan mengingat salah satu ciri khas
santri di nusantara adalah prinsipnya yang memegang teguh
aqidah Ahlusunnah wal jama’ah. Identiknya santri dengan
Ahlusunnah tidaklah sulit dipahami mengingat Islam yang masuk
ke nusantara adalah beraqidah Ahlusunnah wal jama’ah.
Berbagai literatur sejarah menunjukkan peran dayah adalah
sebagai markaz pendidikan yang melahirkan para pendakwah
Islam yang kemudian menyebarkan Islam ke dunia Melayu di
Asia Tenggara. Kalau kita membaca kitab-kitab para ulama
Aceh terdahulu, maka aqidah mereka adalah Ahlusunnah yang
berpatokan pada Imam Abu Hasan al-Asy’ari (baca: Asya’irah)
dan Abu Mansur Almaturidi (Maturidiyah). Kitab-kitab Jawi
(Jawo) tauhid yang ditulis para ulama Aceh dahulu banyak yang
merujuk pada kedua ulama tersebut.
Di Indonesia, termasuk di Aceh, Intensitas pembahasa
seputar Ahlsunnah wal Jama’ah ini tidak berlebihan mengingat
hadis Rasulullah Saw yang menyebut bahwa umatnya akan
terpecah menjadi 73 golongan, dan dimana hanya satu golongan
yang selamat. Yaitu mereka yang mengikuti Sunnah Nabi
Muhammad Saw dan mengikuti para jama’ah, yaitu para sahabat.
Hadis ini sesungguhnya sangatlah jelas bahwa umat Islam
seluruhnya perlu menjaga agar tidak terjerumus dalam golongan
yang 72, karena kata Rasululah Saw golongan yang 72 ini akan
masuk ke neraka. Jadi adanya 72 golongan yang masuk neraka
Teuku Zulkhairi |
151
ini adalah pernyataan Rasulullah Saw sendiri dalam hadisnya
sehingga mau tidak mau kita harus menyadarkan ummat agar
tidak terjerumus dalam golongan yang 72, serta agar istiqamah
dalam Ahlusunnah wal jama’ah.
Tapi masalahnya, hari ini kita mengalami kendala yang cukup
berarti, di satu sisi banyak masyarakat yang tidak menganggap
penting ideologi Ahlusunnah wal jama’ah. Dan di sisi lain,
karena salah cara kita dalam memasarkan ideologi Ahlusunnah
wal jama’ah ini membuat banyak orang yang kemudian antipati
kepada “Aswaja”. Apalagi beberapa kasus di Pulau Jawa dimana
orang-orang Aswaja disebut-sebut ada yang merapat ke Ahok
dalam Pilkda Jakarta sehingga secara umum turut mencoreng
citra Ahlusunnah wal jama’ah. Di sini para santri memiliki tugas
besar bagaimana menyadarkan ummat tentang pentingnya
Ahlusunnah wal jama’ah sebagai ideologi dan Aqidah, serta
kemudian mampu memasarkan ideologi ini dengan strategi
“pemasaran” yang mampu diterima masyarakat.
H. Mimbar Khutbah Jum’at; Media Menjaga Kelestarian
Lingkungan
Berbagai bencana alam seperti banjir dan tanah longsor
terus kita saksikan terjadi di beberapa wilayah di Aceh dewasa
ini. Tidak diragukan lagi, bencana ini merupakan konsekuensi
logis dari ulah tangan-tangan manusia serakah yang menebang/
merusak hutan (illegal logging) demi meraup keuntungan pribadi
dan kelompoknya.
Kita bukan tidak menerima taqdir Allah Swt atas berbagai
musibah yang menimpa kita, tapi Islam memahamkan kita
bahwa banyak bencana yang terjadi sebagai ulah tangan-tangan
jahil manusia. Allah Swt mengatakan, “Dan apa musibah
yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan
152
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” ( Qs. asy-Syura : 30)
Dan ternyata, tujuan dari musibah yang diberikan Allah Swt
ini adalah bertujuan untuk menyadarkan kita, agar kita kembali
ke jalan yang lurus. Sebagaimana Allah Swt berfirman (Qs. arRum: 41):
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar)”.
Menurut Ahmad Zain An Najah (2011), maksud
“Telah nampak kerusakan” dalam ayat di atas, yaitu bahwa
kerusakan-kerusakan yang menimpa kehidupan manusia
benar-benar telah terjadi dengan jelas dan bisa disaksikan
secara langsung oleh semua lapisan masyarakat. Kerusakan
tersebut mencakup kerusakan non fisik seperti kerusakan
akhlaq, perilaku dan moral. Begitu juga mencakup kerusakan
fisik; seperti bencana alam, menyebarnya berbagai macam
penyakit, kerusakan ekosistem dan kerusakan infrastruktur.
Sementara, maksud “di daratan dan lautan” dari ayat
di atas, yaitu bahwa kerusakan ini sudah merambah semua
tempat, baik di daratan; seperti tanah longsor, gempa
bumi, gunung meletus, kebakaran hutan, banjir, polusi udara,
dan pencemaran lingkungan, maupun kerusakan di lautan;
seperti terjadinya tsunami, pencemaran air laut, terbakarnya
kapal-kapal, tumpahnya minyak-minyak dari kapal tanker,
matinya ikan-ikan dan terganggunya ekositem laut.
1. Illegal logging; Investasi Kehancuran
Dalam konteks Aceh, hutan Aceh telah diakui masyarakat
dunia sebagai paru-paru dunia yang berfungsi untuk menjaga
Teuku Zulkhairi |
153
kestabilan alam. Oleh sebab itu, penjagaan hutan Aceh adalah
tugas terbesar semua kalangan umat Islam di Aceh khususnya.
Sebab, Islam sebagai agama yang universal juga mengatur
hingga ke persoalan lingkungan. Alquran sebagai kitab suci
kita umat Islam telah secara jelas melarang manusia berbuat
fasad (kerusakan) di atas permukaan bumi, menerangkan peran
manusia atas suatu bencana alam, serta juga memberikan
ancaman yang mengerikan bagi orang-orang yang berbuata
fasad/merusak lingkungan.
Illegal logging bukan saja telah mengundang banyak bencana,
tapi juga menjadi investasi besar untuk kehancuran masa depan
anak-anak dan cucu kita kelak. Oleh sebab itu, untuk melawan
mafia illegal logging atau orang-orang yang berbuat fasad ini,
masyarakat Aceh mesti melakukan gerakan perlawanan dalam
skala besar dan massif. Kalau selama ini berbagai elemen
masyarakat sipil bisa bersatu untuk melawan praktek-praktek
korupsi di Pemerintahan, maka seharusnya masyarakat juga
bisa bersatu dan bergerak untuk melawan perbuatan fasad mafia
illegal logging ini. Bukankah efek dari illegal logging ini telah
secara jelas kita rasakan saat ini?
Oleh sebab itu, sebagai konsekuensi dari keimanan dan
Keislaman kita, dimana Iman dan Islam kita mengajakan untuk
tidak diam atas kezhaliman dan kemaksiatan yang terjadi,
maka masyarakat harus bergerak untuk jaga lingkungan,
menyelamatkan hutan. Dan para santri, para khatib, juru dakwah,
para Muballigh sudah seharusnya mengambil peran besar ini.
Keterlibatan para juru dakwah untuk melakukan “Khutbah
Lingkungan” bukan saja penting karena ini menyangkut masa
depan anak-anak dan cucu-cucu kita, tapi juga sebagai realisasi
atas perintah Islam, sebagai pembuktian bahwa Islam itu ajaran
yang universal.
154
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
2. Keberpihakan
Lingkungan
Santri
dan
Khatib
Terhadap
Salah satu upaya mendesak dan juga harus dilakukan
terus menerus adalah memaksimalkan fungsi dayah dan
santri-santrinya, mimbar Mesjid-Mesjid dan Meunasah untuk
menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan,
merawat hutan dan alam. Lewat mimbar Mesjid dan Meunasah
ini, para Khatib kita harapkan bisa menggugah kesadaran
masyarakat secara luas untuk bangkit bersama secara serentak
memberikan peran dan partisipasi dalam menjaga lingkungan
dan hutan, apapun resiko yang dihadapi.
Jika masyarakat kuat dan bersatu, kita yakin tidak ada yang
berani merusak hutan di Aceh. Jika masyarakat sadar, insya
Allah mereka akan turut serta menjaga hutan dan lingkungan
lainnya.
Cukup banyak ayat-ayat Alquran dan juga nash dari hadis
Nabi terkait lingkungan dan hutan (yang mengarah pada
keharusan menjaga lingkungan/hutan serta ancaman bagi yang
merusaknya) yang bisa disampaikan dalam khutbah-khutbah
Jum’at dan ceramah-ceramah umum lainnya.
“Jika masyarakat kuat dan bersatu, kita yakin tidak ada
yang berani merusak hutan di Aceh”
Namun, realitasnya selama ini persoalan lingkungan
khususunya kewajiban menjaga hutan adalah tema yang bisa
kita katakan paling sedikit disampaikan, sangat jarang tema
khutbah ini kita dengar. Terkesan, penjagaan lingkungan hanya
tugas aktivis-aktivis lingkungan semata. Padahal, ini persoalan
besar Islam dan ummatnya.
Selain kepada para santri, khatib atau muballigh, harapan
besar kita selanjutnya tertuju kepada Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) agar memperkuat kembali fatwa yang pernah
Teuku Zulkhairi |
155
dikeluarkan beberapa tahun lalu seputar kewajiban menjaga
lingkungan dan keharaman merusaknya. MPU kita harapkan
bisa membangun kordinasi dengan aparat keamanan seperti
Kepolisian dan TNI serta juga institusi-institusi pemerintah
seperti Majlis Adat Aceh (MAA) dan juga Ormas/OKP di Aceh
seperti Komite Peralihan Aceh (KPA, KNPI, dan sebagainya untuk
menyampaikan pandangan Islam tentang kewajiban menjaga
lingkungan dan keharaman merusaknya, serta keharusan
seluruh elemen masyarakat untuk terlibat secara intens untuk
menjaga lingkungan.
Kita beruntung bahwa media massa dan aktivis lingkungan di
Aceh selama ini cukup intens menyuarakan isu-isu lingkungan.
Kendati demikian, suara kritis media dan para aktivis lingkungan
ini tidak akan memberi efek maksimal jika tanpa peran serta
maksimal masyarakat dan kaum agamawan (khatib/ulama0.
Oleh sebab itu, para khatib sudah seharusnya lebih intens lagi
karena persoalan lingkungan adalah juga persoalan syari’at
Islam dan kaum Muslimin. Wallahu a’lam bishshawab
Akhirnya, marilah kita membaca kembali ayat-ayat Allah Swt
yang berkaitan dengan urgensi penjagaan alam (QS. al-A’rāf: 7):
“.. dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu
lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang
beriman”.
Semoga kita sadar, bahwa kehidupan dunia hanya
sementara dan tempat kita berinvestasi kebaikan (bukan
investasi kerusakan). Semoga para pelaku illegal logging sadar,
ada kehidupan lain pasca dunia tempat semua yang pernah
kita lakukan di dunia akan diminta pertanggungjawaban di
pengadilan Yang Maha Kuasa.
156
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
I. Menemukan Titik Temu Intelektualisme Santri
Dayahdan Akademisi Kampus
Tidak bisa dihindari jika sesekali waktu terjadi benturan
pemikiran antara kalangan santri dan atau teungku dayah di Aceh
dengan kalangan akademisi dari kampus (perguruan tinggi).
Benturan ini terjadi misalnya bukan saja di ranah individual dan
ruang-ruang kecil lainnya dalam struktur formasi kehidupan
bermasyarakat, namun juga dalam ruang terbuka yang bisa
disaksikan publik secara luas seperti di media massa, media
sosial serta pada saat terjadinya berbagai momentum prosesi
pengambilan kebijakan. Jika mau dipahami secara positif,
benturan ini sejatinya tidak lain merupakan dialog peradaban
yang memang tidak bisa dihindari, bahkan juga sebuah
keharusan dalam upaya konstruksi ulang sebuah peradaban.
Dengan benturan ini, perkembangan keilmuan di dayah
dan kampus akan menemukan arena ujian, proses seleksi dan
uji publik dimana pendapat yang paling teruji akan diterima
publik sebagai argumen umum serta dianggap sebagai pendapat
mainstream (arus utama). Inilah keuntungan yang paling
menggembirakan dari efek terjadinya benturan pemikiran dan
keilmuan. Oleh sebab itu, dalam rangka mengawal geliat dialog
peradaban ini, maka menjadi tugas semua kalangan untuk terus
mencari titik temu antara intelektualisme dayah dan kampus
sehingga benturan pemikiran tidak mengarah atau dimanfaatkan
segelintir pihak untuk tujuan yang jauh dari kerangka peradaban
dan nilai-nilai Islam.
Kalangan kampus yang cenderung dipersepsikan sebagai
kaum modernis dan perkotaan sebenarnya saling terikat dan
terkoneksi dengan kalangan dayah dijuluki sebagai kaum
tradisional dan masyarakat desa. Kedua kutub ini sama-sama
saling mengisi ruang peradaban dalam berbagai sudutnya.
Keduanya memiliki kelebihan dan juga kekurangan masing-
Teuku Zulkhairi |
157
masing yang pada saatnya bisa saling menutupi.
1. Keunggulan sistem pendidikan dayah dan kampus
Di antara keunggulan sistem pendidikan di dayah adalah
metode kajian turast (kitab klasik) dan kontemporer lainnya yang
dilakukan secara tuntas. Satu kitab yang dipelajari akan dikaji
sampai tuntas sehingga prosesi pengambilan ilmu berlangsung
secara menyeluruh. Lebih dari itu, metode pembelajaran secara
tallaqi yang diterapkan di dayah niscaya senantiasa mampu
menjaga dan menghubungkan sanad atau silsilah keilmuan
hingga ke para Sahabat dan Rasulullah Saw. Ini menjaga
khazanah keilmuan Islam dari upaya-upaya distorsi sehingga
Islam tetap dalam kerangka Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Mereka yang beranggapan kitab-kitab karya ulama klasik
yang dikaji di dayah sebagai produk ulama abad pertengahan
yang harus dikritisi sesungguhnya juga tidak bisa menunjukkan
alasan yang mencerahkan untuk membenarkan anggapan
tersebut selain hanya sekedar numpang keren dengan metode
filsafat dekonstruksinya Jacques Derrida yang menyeru pada
dekonstruksi, termasuk teks-teks karya para ulama dan kitab
suci, sebuah metode yang tidak layak diikuti sepenuhnya oleh
seorang pelajar Muslim yang dalam adab Islam selalu ditekankan
untuk rendah hati di hadapan segudang karya hebat karya para
ulama masa silam.
Apalagi, realitasnya kajian turast di dayah juga senantiasa
memiliki koneksi dengan perkembangan zaman. Jikapun ada
satu dua persoalan problematika dunia modern yang tidak
ditemukan dalam kajian turast, maka ini sama sekali tidak
menunjukkan bahwa turast telah ketinggalan zaman. Sesuatu
yang perlu disempurnakan bukan berarti sesuatu tersebut telah
kehilangan nilai pentingnya.
Sementara itu, tentu saja banyak keunggulan dalam metode
158
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
pendidikan di Perguruan Tinggi. Dalam proses pembelajaran
misalnya, setiap masalah bisa dipecahkan dalam jangka waktu
yang relatif cepat dengan cara penulisan makalah dengan
membahas masalah terkait dari berbagai sudut pandang dan
referensi. Metodologi penelitian yang dibangun juga telah
cukup banyak menghasilkan produk-produk pemikiran yang
bisa diakses publik serta sangat berguna dalam memecahkan
berbagai persoalan kontemporer ummat dewasa ini. Bahkan
lebih dari itu, tercatat, Perguruan Tinggi semacam UIN ArRaniry merupakan dapurnya syari’at Islam di Aceh sejak hukum
Islam dilegal formalkan pemerintah pusat. Regulasi syari’at
Islam yang disusun para akademisi kampus umumnya sesuai
dengan aspirasi dan keilmuan di dayah. Pada wacana Bank Aceh
Syari’ah misalnya, regulasi bank Aceh Syari’ah yang disusun
kalangan akademisi kemudian mendapat dukungan kalangan
ulama dayah. Begitu juga saat penyusunan qanun-qanun syari’at
Islam yang lain.
2. Titik Temu Intelektualisme Santri Dayah dan
Kampus
Suatu ketika saya mendengar seorang dosen menuturkan,
“Seandainya dayah mampu menjawab semua persoalan
keummatan maka tidak perlu ada kampus”. Dan pada waktu lain
saat mendengar Teungku dayah mengatakan, “sekiranya kampus
bisa menjawab semua problematika ummat, maka dayah tidak
penting lagi dipertahankan”.
Kedua pernyataan ini sesungguhnya tanpa disadari
merupakan pembuktian yang nyata adanya titik temu
antara intelektualisme dayah dan kampus. Keduanya saling
membutuhkan satu sama lain karena sama-sama memiliki
kekurangan dan sama-sama pula memiliki kelebihan.
Namun demikian, titik temu paling atraktif antara
Teuku Zulkhairi |
159
intelektualisme dayah dan kampus akan terjadi jika
intelektualisme dan segenap kelebihan di dayah terintegrasi
dalam pendidikan kampus, dan sebaliknya kelebihan dan
metodologi pembelajaran di kampus bisa ditransfer ke dayahdayah, setidaknya pada dayah-dayah setara Ma’had ‘Aly, tentu
dengan tetap mengikuti sistematika keilmuan dasar yang
dikembangkan dunia pendidikan dayah sejauh ini.
Kita bersyukur bahwa sejauh ini cukup banyak kalangan
dayah yang telah belajar di Perguruan Tinggi serta juga
cukup banyak kalangan kampus yang bisa memahami dunia
keilmuan di dayah secara baik dan adil, juga banyak intelektual
kampus alumnus pendidikan dayah. Munculnya kelompok ini
idealnya bisa menjadi jembatan dua peradaban keilmuan di
Aceh, antara dayah dan kampus sehingga ke depan kita akan
menyaksikan lahirnya sebuah peradaban ideal, munculnya
penemuan-penemuan baru yang memberi kemaslahatan untuk
kemanusiaan dan turut membantu mengantarkan masyarakat
Aceh menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kendatipun demikian, cita-cita mulia seperti ini bukanlah
tanpa kendala. Problem utama yang akan tetap muncul adalah
jika individu-individu di salah satu dari kedua kutub pendidikan
ini tidak mau menyadari dan mengakui kelebihan sistem
pendidikan di kutub lain. Inilah yang barangkali persoalan besar
bagi ummat sekaligus penyakit yang akan menggerogoti upaya
kebangkitan peradaban Aceh.
Itu sebab, para ulama Shalafussalih dari kalangan umat Islam
senantiasa menyeru para Thalibul ‘Ilmu (penuntut ilmu) untuk
tawadhu’, rendah hati dan saling menghargai. Bahkan, seorang
yang berilmu diibaratkan pula dengan tamsilan padi yang
jika semakin berisi maka ia semakin menunduk. Inilah yang
seharusnya dijaga sehingga jika ada kekurangan dari sistem
pendidikan di dayah, maka disampaikan dengan bahasa kasih
160
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
sayang dan perasaan rendah hati.
Lebih dari itu, sekiranya mampu memberikan solusi konkrit
yang bukan hanya pada tataran ide dan gagasan semata, maka
hal itu sangatlah dianjurkan. Cukup banyak dayah di Aceh yang
telah membuka diri untuk “dipeluk” para intelektual kampus.
Misalnya, jika seseorang menawarkan bahwa di dayah harus
diajarkan bahasa Inggris dan Arab aktif.
Maka baginya dituntut untuk bukan hanya memberi ide,
namun juga dituntut perannya untuk mewujudkan gagasan itu,
termasuk peran ikhlas secara individu. Aceh butuh intelektual
dengan tipical action, bukan sekedar intelektual teoritis.
Begitu juga sebaliknya, sekiranya ada kekurangan dalam
sistem pendidikan di kampus, maka marilah ini dipandang
sebagai persoalan umat secara umum sehingga guru-guru dan
ulama di kampus tidak diposisikan sebagai lawan, apalagi musuh
yang harus dicaci. Bukankah Islam mengajarkan kita tentang aladabu fauqal ‘ilmu, bahwa adab itu di atas ilmu? Dan bukankah
di antara Muslim itu terikat dengan apa yang disebut Rasulullah
Saw sebagai “Islam itu seperti tubuh yang satu”?
Jadi, antara dayah dan kampus memiliki titik temu yang
sama, baik pada tujuan (al-ghayah) maupun pada tantangan
yang dihadapi. Pada konteks tujuan misalnya bagaimana
mengembalikan peradaban Islam yang ditopang tradisi keilmuan
di Aceh khususnya dan dunia Islam umumnya. Sementara titik
temu dalam konteks tantangan yang sama-sama dihadapi, yaitu
bahwa upaya mengembalikan peradaban ini akan senantiasa
mendapat tantangan dan serangan Ghazwul Fikri (perang
pemikiran) yang dilancarkan musuh-musuh Islam yang dimulai
sejak pasca runtuhnya Kekhalifahan Islam Turki Usmani, baik
upaya pemurtadan dengan alasan-alasan ilmiah, virus-virus
sekulerisme, liberalisme, pluralisme agama, inkar sunnah yang
berbuah keragu-raguan dalam menjalankan ajaran Ilsam serta
Teuku Zulkhairi |
161
menghadirkan mental inferior (perasaan rendah diri) di hadapan
peradaban Barat yang hegemonik, hingga persoalan-persoalan
level kebijakan publik dan politik yang sudah semestinya dan
seharusnya terintegrasi di dalamnya nilai-nilai Islam yang
Humanisme Islam (insaniyah) dan terkoneksi dengan peraturan
ilahi (rabbaniyah). Walalhu a’lam bishawab.
162
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan
DAFTAR PUSTAKA
Alquran
Al Hadist
Abu Ishak Asy Syatibi, Al-Muwâfaqât fi Usul Asy Syari’ah, jilid II,
(Beirut: Dar Al-Ma’rifah, t. t).
Imam Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulumil aQuran, (Darut Turats:
Kairo).
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 6, terj. M. Abdul Ghoffar, cet.
Kelima, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2012).
Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Terhadap Kajian al-Quran Nasr
Hamid Abu Zayd, Jurnal Islamia Vol. IV, Nomor I, Tahun 2012
Muhammad AR, M.Ed, Akulturasi Nilai-Nilai Persaudaraan
Teuku Zulkhairi |
163
Islam Model Dayah Aceh, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang
Keagamaan Kemenag RI, Tahun 2010.
Muhammad Imarah, Perang Teminologi: Islam versus Barat,
terj. Mustolah Maufur, (Jakarta: Robbani Press, 1999).
Muhammad bin Jarir at-Tabari, Tafsir at-Tabari, Jilid 8,
(Lebanon: Dar Al-Kutub Al ‘Ilmiyah, 1999).
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas fi ‘Ulum al-Qur’an,
(Beirut, Markaz el Shaqafil ‘Arabi).
Moch. Nur Ikhwan, Meretes Kesarjanaan Kritis al-Quran: Teori
Hermeunetika Abu Zayd (Jakart: Teraju, 2003).
Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah wal Jama’ah, cetakan
kedua puluh sembilan, (Pustaka Tarbiyah: Jakarta, 2005).
Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Islam dan Sekulerisme,
terj. Karsidjo Djojosuwarno, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981).
Link dari internet:
http://aceh.tribunnews.com/2014/01/30/visi-politik-dayah
http://aceh.tribunnews.com/news/view/46671/ulama-diranah-politik
https://www.alkhoirot.net/2012/06/ahlussunnah-wal-jamaah.
html
164
| Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan