Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Gerakan Santri Aceh Mewujudkan perubahan

Madani Publisher2019

Buku Gerakan Santri Aceh ini diposting ke academia pada momentum peringatan Hari Santri 22 Oktober 2020

Teuku Zulkhairi0$  Santri Aceh Mewujudkan perubahan MadanI PublisheR KATALOG DALAM TERBITAN Perpustakaan Nasional RI GERAKAN SANTRI ACEH Mewujudkan perubahan TEUKU ZULKHAIRI, MA Banda Aceh Madani Publisher, 2019 186 hlm; 14,5 x 21 cm. ISBN : 978-602-53502-2-1 Judul : GERAKAN SANTRI ACEH Mewujudkan perubahan Penulis : Teuku Zulkhairi, MA Editor : Dr. Sabirin, S. Sos.I., M. Si Layout & Desain Cover : Muhammad Sufri, S. Pd Penerbit : Madani Publisher Banda Aceh, 23115 08116888292 | madanipublisher@gmail.com Bekerjasama dengan: Rabithah Thaliban Aceh Cetakan pertama, Maret 2019 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin dari penerbit. "Buku yang menjelaskan tentang potensi santri dalam kiprahnya mewujudkan perubahan di Aceh masih sangat sedikit, apalagi yang ditulis oleh kalangan santri sendiri. Hal ini karena budaya tulis yang masih tergolong rendah, maka kehadiran buku tentang pergerakan santri merupakan sebuah hal yang patut didukung, dimana dunia sedang serius berpacu dalam pengembangan literasi." Tgk Imran Abubakar Rais ‘Am Rabithah Thaliban Aceh. "Tentu dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada, buku dengan judul Gerakan Santri Aceh Mewujudkan Perubahan yang ditulis kandidat doktor Universityas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry ini merupakan salah satu ikhtiar mengisi ruang hampa keterbatasan referensi santri Aceh yang layak kita berikan aprsiasi. Pada masanya nanti, bahkan hari ini, catatan-catatan terkait keberadaan santri Aceh selalu dibutuhkan banyak pihak, mengingat dalam setiap dinamika sosial politik Aceh santri selalu menjadi bagian dari kelompok strategis." Usamah Elmadany, S.Ag, MM Kepala Dinas Pendidikan Dayah Aceh "Karya Sdr. Zulkhairi telah menggabungkan antara semangat mencari ilmu di dayah dan kampus. Karya-karyanya selalu mempertahankan dua tradisi keilmuan pada dua lembaga tersebut. Dalam karya ini, Zulkhairi mengupas secara lugas tentang fenomena sosiala keagamaan di Aceh dalam konteks kekinian." Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, MA, Ph.D Antropolog Aceh dan Dosen UIN Ar-Raniry Pengantar Penulis B uku ini sebagian besarnya merupakan tulisan yang pernah dimuat di sejumlah media massa. Sebagian besarnya yaitu artikel-artikel yang dimuat di Koran Harian Serambi Indonesia. Juga beberapa diantaranya di Majalah Santunan terbitan Kementerian Agama dan Majalah ‘Jurnal Dayah’ terbitan Dinas Pendidikan Dayah Aceh. Tapi meskipun sebagian besar isi buku ini merupakan kumpulan tulisan, namun tema besarnya sama, yaitu santri dan dayah yang mengayominya. Pembahasan seputar santri dalam buku ini pada bab satu mengupas tentang sistem pendidikan yang diterima santri ketika belajar kuning di dayah. Tapi tentu bahasan ini sebenarnya tidaklah mencukupi. Banyak lagi yang harus ditulis. Dan insya Allah akan kita tulis di lain waktu jika Allah SWT memberi kesempatan dan kesehatan. Pada bab dua buku ini mengupas narasi penulis tentang Teuku Zulkhairi | i respons santri Aceh terhadap aliran ekstrim kanan dan ekstrim kiri. Di sini penulis mencoba mengulas pandangan santri terhadap kedua aliran ini dan mengapa kemudian mereka menolaknya, seperti ketika berlangsungnya ‘Parade Aswaja’ beberapa tahun silam. Pada intinya, para santri menginginkan kebaikan untuk negeri ini. Tapi sayangnya tidak banyak yang mau memahami maksud baik kalangan santri. Perihal ekstrim kanan seperti liberal dan sekuler, paham ini sebenarnya proyek asing yang merupakan upaya melanjutkan kapitalisasi terhadap negeri-negeri muslim. Maka sangat dipahami ketika Majelis Ulama Indonesia menolak dan memfatwakan haram terhadap paham-paham tersebut. Tapi masalahnya, gerakan paham sekuler liberal ini terkadang sangat halus. Logika-logikanya sangat manipulatif. Maka kaum santri tentu harus cermat membacanya. Pada bab keempat dalam buku ini dibahas sejumlah program-program mutakhir yang diselenggarakan pemerintah untuk pemberdayaan dayah (pesantren) dan dengan tujuan peningkatan kualitas pendidikan santri. Kita berharap bahwa program-program tersebut mendapat sambutan yang cukup berarti sehingga santri terus melaju membangun negeri. Pada bab kelima menjelaskan gerakan santri Aceh dewasa ini yang cukup menggemberikan, meskipun dalam skala yang naik turun. Terkadang eksis, terdakang passif. Tapi yang pasti santri adalah benteng moral bangsa. Maka disini penulis mengulas orientasi politik santri yang sesungguhnya bertujuan untuk membawa misi besar Islam dalam mewujudkan perubahan ke arah yang dicita-citakan bersama. Dalam membangun gerakan ini, para santri juga dihadapkan pada sejumlah problematika akut yang menimpa bangsa. Di level Aceh, terkhusus gerakan santri diharapkan dapat ii | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan lebih fokus mengawal Syari’at Islam, membendung peredaran Narkoba dengan berbagai pihak, menjaga lingkungan dan sebagainya. Dan khususnya yang lebih penting adalah agar terus konsisten menyuarakan kebenaran dalam apapun keadaan dan kondisi. Sesuai dengan apa yang diajarkan di dayah, bahwa bagi santri itu kebenaran adalah jalan hidup, cara pandang dan cita-cita. Santri juga diharapkan dapat menjadi perekat ummat di tengah berbagai problematika perpecahan dewasa ini. Khususnya menjadi perekat antara dunia dayah dan dunia kampus. Kita berharap gerakan ke arah ini terus berlanjut. Insya Allah. Amiin. Darussalam, 14 Maret 2019 Wassalam, Teuku Zulkhairi Teuku Zulkhairi | iii iv | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Catatan Tentang Santri Di Era Literasi Pengantar Rais ‘Am Rabithah Thaliban Aceh (RTA) Santri merupakan komunitas yang paling unik di Indonesia, karena dibina dengan sistem pendidikan yang khas yaitu sistem pendidikan pesantren atau dayah di Aceh. Sehingga karena keunikan tersebut, maka dayah dapat digolongkan ke dalam sub kultur tersendiri dalam masyarakat. Menurut Abdurrahman Wahid, ada tiga elemen yang mampu membentuk pondok pesantren atau dayah sebagai sebuah sub kultur yaitu 1) Pola kepemimpinan yang mandiri dan tidak terkooptasi oleh negara. 2) kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad., dan 3) sistem nilai yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas. Karena itu, maka santri merupakan komunitas yang Teuku Zulkhairi | v kuat memberikan pengaruh di tengah masyarakat. Potensi santri dalam menerima dan mewujudkan gerakan perubahan di berbagai aspek kehidupan sangat besar, karena mereka memang dididik bukan hanya untuk melestarikan yang lama tetapi juga menjadi agen perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini terbentuk oleh sebuah adegium yang sangat familiar di tengah-santri yaitu al-muhafazhah ala-alqadimi asShalih wa al-akhzu bi aljadid al-ashlah. Memang dalam hal-hal tertentu komunitas santri dianggap kuno, karena bersifat eklusif terhadap pemahaman baru dalam bidang amalan fiqh ibadah terlebih aqidah. Tetapi dalam hal seperti muamalah, bernegara dan lain-lain lebih moderat dan toleran. Ada beberapa asumsi yang dilontarkan terhadap komunitas santri sebagai komunitas terbelakang karena terlalu terikat dengan norma-norma agama. Sesungguhnya hal ini merupakan efek kampanye global yang dirancang kaum anti agama, secara kebetulan juga telah berimbas sampai ke masyarakat kita, yang awal mulanya telah populer di Turki oleh kelompok anti agama pada masa mushtafa kemal at-Tartuk, dengan doktrin “agama adalah penghambat kemajuan”. Dalam setiap pergerakan mewujudkan perubahan di tanah air, kelompok santri selalu dinanti pergerakannya, karena trust terhadap kelompok ini, masih mendapat tempat di hati masayarakat. Memang kadang-kadang pergerakan santri kalah populis, apabila dibandingkan kelompok yang lain, karena masih skeptis dalam mempromosikan kiprahnya, dan juga kalah dalam pemanfaatan media informasi, di samping itu, juga abai dalam hal pentingnya penguasaan dan pemasaran informasi, hal ini sedikitnya juga dipengaruhi oleh doktrin berupa menyembunyikan amal baik merupakan sebuah perilaku terpuji. Buku yang menjelaskan tentang potensi santri dalam kiprahnya mewujudkan perubahan di Aceh masih sangat vi | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan sedikit, apalagi yang ditulis oleh kalangan santri sendiri. Hal ini karena budaya tulis yang masih tergolong rendah, maka kehadiran buku tentang pergerakan santri merupakan sebuah hal yang patut didukung, dimana dunia sedang serius berpacu dalam pengembangan literasi. Sehingga literasi telah menjadi isu dagangan yang semakin laku di masa kini dan masa yang akan datang, karena kepedulian masyarakat terhadap informasi semakin meningkat. Oleh karena itu, maka catatancatatan tentang pergerakan santri di Aceh hendaknya juga ikut meramaikan pasar literasi sebagai salah satu alternatif di sektor informasi. Tgk Imran Abubakar Rais ‘Am Rabithah Thaliban Aceh (RTA) Teuku Zulkhairi | vii viii | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Agar Kiprah Santri Aceh Tidak Dianggap Mitos Sambutan Kadis Pendidikan dayah Aceh Di Aceh, santri merupakan salah satu kelompok sosial yang memiliki posisi strategis. Dalam perjalanan panjangnya santri Aceh telah melewati berbagai dinamika sosial politik. Sejak masa Kesultanan Aceh , era kolonial, masa perjuangan kemerdekaan hingga setelah Indonesia merdeka sampai hari ini, santri Aceh terus berkonstribusi baik kepada masayarakat atau pemerintah. Dengan kata lain perjalanan sejarah santri Aceh adalah sebuah narasi panjang dan tebal dengan segenap dinamikanya. Namun demikian sampai hari ini masih sangat sedikit referensi terkait dengan dinamika santri Aceh dari zaman ke Teuku Zulkhairi | ix zaman. Minimnya referensi yang mendeskripsikan peran sosial politik yang diperankan santri Aceh selama ini dikarenakan sedikitnya penulis Aceh yang terdorong untuk menarasikan eksistensi kaum muda bersarung itu. Dari yang sedikit itu, Teuku Zulkhairi, adalah salah satunya. Tentu dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada, buku dengan judul Gerakan Santri Aceh Mewujudkan Perubahan yang ditulis kandidat doktor Universityas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry ini merupakan salah satu ikhtiar mengisi ruang hampa keterbatasan referensi santri Aceh yang layak kita beriukan aprsiasi. Pada masanya nanti, bahkan hari ini, catatancatatan terkait keberadaan santri Aceh selalu dibutuhkan banyak pihak, mengingat dalam setiap dinamika ssocialpolitik Aceh santri selalu menjadi bagian dari kerlompok strategis. Dinas Pendidikan Dayah Aceh berharap apa yang dilakukan Teuku Zulkhairi ini kiranya dapat menjadi inspirasi bagi intelektual muda Aceh lainnya, terutama dari kalangan santri sendiri, untuk selalu mencatat hal-hal ringan terkait dengan dinamiaka santri Aceh lalu kemudian dibukukan, karena pada suatu masa nanti pada momentum tertentu yang dapat terjadi setiap waktu, catatan kecil dalam bentuk buku itu justru menjadi penting. Santri Aceh sendiri harus bangun dan bergerak untuk menulis tentang dirinya serndiri. Dalam konteks hokum besi sejarah, sebuah fakta yang tidak dicatat dan didokumentasikan dengan baik maka pada suatu masa fakta itu justru akan dipandang sebagai mitos. Segenap dinamika dan konstribusi santri Aceh sealama ini bila tyidak dinarasikan dan didokumentasikan, maka di masa yang akan dating maka fakta santri Aceh aka nada pihak yang menganggapnya mitos. Dalam kontek inilah, seperti yang dilakuakan Teuku Zulkhairi ini, segenap dinamika santri Aceh harus dinarasikan dan didokumentasikan. x | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Kami mengucapkan selamat dan sukses kepada Teuku Zulkhairi atas upaya kerasnya menulis dan menerbitkan buku ini. Harapan kami sederhana saja: Semoga di masa hadapan akan lahir buku buku dengan thema sejenis dari tangan Putra Pirak ini dalam rangka memperkaya khazanah referensi santri dan dayah di Aceh. Sealamat membaca!. Banda Aceh, 22 Rajab 1440 H/ 29 Maret 2019 M Kepala Dinas Pendidikan Dayah Aceh H. Usamah El-Madny, S.Ag, MM Teuku Zulkhairi | xi xii | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Daftar Isi A. Pengantar Penulis ~ i B. Pengantar Rais ‘Am Rabithah Thaliban Aceh (RTA) ~ v C. Sambutan Kepala Dinas Pendidikan Dayah ~ ix BAB SATU DI DAYAH, SANTRI BELAJAR KITAB KUNING, UKHUWAH ISLAMIYAH, KEMANDIRIAN DAN SALING HORMAT ~ 1 A. Ukhuwah Islamiyah: Kekuatan Santri Dayah ~ 2 B. Menghormati Guru, Kunci Sukses Paling Utama Bagi Santri ~ 6 C. Santri Terbukti Mandiri ~ 9 D. Kegigihan dalam Mempelajari Kitab Kuning ~ 11 Teuku Zulkhairi | xiii E. Kitab Kuning “Masuk Kampus” ~ 13 BAB DUA MEMAHAMI PENOLAKAN SANTRI TERHADAP ALIRAN EKSTRIM KANAN DAN EKSTRIM KIRI ~ 19 A. Parade Aswaja Santri Aceh, Menolak Aliran Ekstrem Kanan ~ 20 B. Bersyukur Berada dalam Barisan Ahlusunnah wal Jama’ah ~ 22 C. Sultan Iskandar Muda Menjaga Eksistensi Ahlusunnah Wal Jama’ah ~ 26 D. Dayah Membendung Radikalisme ~ 32 E. Catatan untuk Dakwah Salafy,Hendaklah Lebih Toleran! ~ 34 F. Menolak Wahabi, Tapi Jangan Juga Menghilangkan Solidaritas kepada Sesama Muslim ~ 41 BAB TIGA EKSTRIM KIRI: SEKULERISME, LIBERALISME DAN PLURALISME AGAMA ~ 45 A. Pengantar ~ 46 B. Rahmatan Lil‘alamīn vs Sekulerisme ~ 47 C. Runtuhnya Sekulerisme di Turki ~ 52 D. Agenda Liberalisme dalam Kasus Ahok ~ 58 E. Manipulasi dalam Survey Kota Islami ~ 59 F. Penyelewengan makna Maqasahid ~ 61 G. Fatwa MUI tentang Sekulerisme, Pluralisme Agama dan xiv | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Liberalisme ~ 64 H. Menolak Ideologi Anti Tuhan ~ 68 I. Perlawanan Terhadap Liberalisasi Islam ~ 72 BAB EMPAT MASA DEPAN DAYAH DAN PENINGKATAN KUALITAS SANTRI ~ 75 A. Mengawal RUU Pesantren ~ 76 B. Ma’had Aly Momentum Kemajuan Santri Dayah ~ 80 C. Pendidikan Formal: Diniyah Tafaqquh Fiddin ~ 84 D. Memperkuat Studi Ulumul Quran, Membendung Pengaruh Orientalisme ~ 89 E. Mengembalikan Tradisi Menulis di Dayah ~ 94 BAB LIMA GERAKAN SANTRI ACEH, MEWUJUDKAN PERUBAHAN ~ 101 A. Gerakan Santri Aceh, Pergulatan Membawa Misi Besar Islam ~ 102 B. Politik Santri Dayah, Merealisasikan Tujuan Syari’at ~ 108 1. Fenomena Kekhawatiran yang Tidak Beralasan ~ 108 2. Panggung Politik, Arana Latihan Para Santri ~ 110 3. Ideologi Santri Dayah ~ 110 4. Orientasi Politik Santri ~ 112 Teuku Zulkhairi | xv 5. Waled Husaini, Tegas Membela Syari’at Islam ~ 114 6. Tu Sop Jeunieb, Tokoh Dayah yang Menyatukan Ummat ~ 118 C. Gerakan Santri Aceh di Hadapan Segudang Problematika Bangsa ~ 121 1. Segudang Problematika Bangsa ~ 121 2. Peluang dalam Bidang Keilmuan ~ 123 3. Serangan Pemikiran ~ 125 D. Tanggungjawab Santri Mengawal Syari’at Islam ~ 126 E. Tanggungjawab Santri Untuk Menyuarakan Kebenaran ~ 132 F. Mengumandangkan ‘Jihad’ Melawan Narkoba ~ 140 G. Menuju Santri sebagai Pemimpin Perubahan ~ 147 H. Mimbar Khutbah Jum’at; Media Menjaga Kelestarian Lingkungan ~ 152 A. Illegal logging; Investasi Kehancuran ~ 153 B. Keberpihakan Santri Lingkungan ~ 155 dan Khatib Terhadap I. Menemukan Titik Temu Intelektualisme Santri Dayahdan Akademisi Kampus ~ 157 DAFTAR PUSTAKA ~ 163 xvi | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan BAB I Di Dayah, Santri Belajar Kitab Kuning,Ukhuwah Islamiyah,Kemandirian dan Saling Hormat Teuku Zulkhairi | 1 A. Ukhuwah Islamiyah: Kekuatan Santri Dayah Salah satu hal penting dibudayakan di dayah adalah kekuatan persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah). Ukhuwah Islamiyah ini mampu dibangun di internal para santri dayah dan dengan masyarakat sekitarnya. Ini membedakan dayah dengan lembaga pendidikan umum lainnya yang terkesan “terasing” dari realitas kehidupan masyarakat. Terhadap realitas ini, M. Hasbi Amiruddin (2004) menjelaskan, para ulama dayah senantiasa menyambung persaudaraan dengan masyarakat. Mereka mengunjungi masyarakat atau keluarga, memberi nasehat apabila ada orang yang berselisih paham atau perkelahian dalam masyarakat dan kadang-kadang para ulama dayah pun mengundang masyarakat ke rumahnya (ke dayah). Menurut M. Hasbi Amiruddin, persaudaraan yang dilakukan ulama dayah baik dengan santri maupun dengan masyarakat tetap dilakukan. Pengakuan ini nampaknya cukup berasalan, khususnya apabila kita menyelami jauh kehidupan masyarakat dayah. Pengalaman penulis sendiri, saat mengaji di Dayah Babussalam Matangkuli-Aceh Utara dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2005, penulis merasakan sendiri bagaimana indahnya persaudaraan Islam yang dibangun dalam komunitas dayah (antara santri dan guru/teungku), serta persadudaraan yang dibangun dayah sebagai sebuah institusi pendidikan dengan masyarakat sekitar dayah. “Teungku dan pimpinan dayah cukup sering membantu santri ini seperti dengan menunjukkan padanya pekerjaan-pekerjaan yang bisa mendatangkan keuntungan secara materi..” 2 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Kuatnya persaudaraan yang dibangun di internal santri dayah, misalnya saat seorang santri tidak memiliki uang untuk membeli bekal untuk makan (lauk pauk), para santri yang berkecukupan saat itu langsung berbagi makanannya baik oleh sebab diminta maupun tidak diminta. Dan ini cukup banyak terjadi mengingat kebanyakan santri dayah adalah berasal dari keluarga miskin dan perantau. Cukup banyak pula santri yang memang tidak memiliki bekal sama sekali untuk belajar mondok di dayah (maksudnya orang tuanya tidak mampu membiayainya). Terhadap fenomena ini, para teungku dan pimpinan dayah cukup sering membantu santri ini seperti dengan menunjukkan padanya pekerjaanpekerjaan yang bisa mendatangkan keuntungan secara materi. Disuruh pergi ke sawah, diberikan beban-beban yang ujungnya agar ia memperoleh sedikit bekal untuk terus bertahan hidup di dayah. Intinya, santri miskin yang belajar di dayah akan dibantu oleh dayah untuk tetap bertahan di dayah sampai kemudian ia mandiri. Penulis yang saat belajar di dayah berasal keluarga yang kurang secara ekonomi merasakan betul bahwa ada dukungan luar biasa dari segenap komunitas dayah agar penulis bisa tetap belajar di dayah selama mungkin meskipun dihadang oleh kesulitan secara finansial. Misalnya, di musim panen padi, pimpinan dayah akan memilih santri-santri dari keluarga miskin untuk mencari zakat ke masyarakat-masyarakat beberapa kecamatan sekitar dayah yang sedang panen padi. Meski saat itu penulis menyaksikan ada juga masyarakat yang enggan membayar zakat ke dayah, namun tidak sedikit yang memberi zakat padi untuk kami bawa pulang ke dayah. Zakat padi yang terkumpul ini selanjutnya dijual dan kami mendapatkan hak/imbalan amil (pengumpul) zakat. Imbalan ini bukan saja membantu kami untuk terus bertahan di dayah (karena memang orang tua kami tidak mampu memberi belanja), Teuku Zulkhairi | 3 namun juga bahkan kami mampu membeli pakaian baru dan kitab-kitab untuk digunakan dalam rangka menuntut ilmu. Dan setelah penulis belajar hingga kelas III (tahun ke 3), saat itu peluang mengajar anak-anak Taman Pengajian Alquran (TPA) pun atau mengajar privat di rumah warga pun terbuka. Selesai mengajar sore, pemilik rumah menyediakan kami makan malam. Dan itu cukup membantu kami untuk terus bertahan di dayah, selain tentu saja kami akan mendapatkan honor bulanan sekitar Rp 100.000 per bulan. Terhadap hal ini, penelitian yang dilakukan Muhammad AR (2010)1 menjelaskan, di antara proses dayah dalam menyebarkan nilai-nilai persaudaraan Islam adalah taat kepada Allah, mengharap ridha Allah Swt, pemantapan ikatan di antara guru dengan santri, mengamalkan akhlak dari Sunnah Nabi, hormat menghormati, ziarah menziarahi, mengutamakan adab, maaf bermaafan, shalat berjama’ah dan mengajar. Dengan cara dan langkah inilah menurut Muhammad AR, sehinngga dayah mampu menyebarkan nilai-nilai persaudaraan Islam dengan para santri. Inilah akulturasi persaudaraan Islam yang disebarkan oleh dayah terhadap santri yang menimbulkan rasa hormat dan kasih sayang antara sesama mereka di dayah. Hubungan guru dan santri tidak dapat dipisahkan sampai kapanpun. Kuatnya soliditas persaudaraan Islam di kalangan internal dayah memberikan pengaruh yang signifikan bagi kalangan dayah untuk juga memperteguh persaudaraan Islam di tengahtengah masyarakat. Dalam hal ini, masih menurut Muhammad AR, ada beberapa kaedah yang diamalkan oleh kalangan dayah dalam menyebarkan persaudaraan Islam terhadap masyarakat setempat, yaitu melalui pengajaran, memenuhi undangan 1 Selanjutnya lihat Dr H. Muhammad AR, M.Ed, Akulturasi Nilai-Nilai Persaudaraan Islam Model Dayah Aceh, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Keagamaan Kemenag RI, Tahun 2010. 4 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan untuk melaksanakan Fardhu Kifayah, dan terlibat dalam setiap aktivitas sosial dan keagamaan. Muhammad AR melanjutkan, dengan mengajarkan masyarakat setempat baik mereka pergi ke dayah atau sebaliknya Teungku Chik yang pergi ke kampung mereka, maka persaudaraan Islam antara mereka akan semakin akrab. “Kuatnya soliditas persaudaraan Islam di kalangan internal dayah memberikan pengaruh yang signifikan bagi kalangan dayah untuk juga memperteguh persaudaraan Islam di tengah-tengah masyarakat.” Selain itu, yang paling berpengaruh pada kuatnya hubungan persaudaraan Islam antara dayah dengan masyarakat terletak pada standar biaya pendidikan dayah yang sangat terjangkau sehingga membuat lembaga pendidikan dayah sangat dekat masyarakat. Dayah berhasil membangun image dirinya sebagai lembaga pendidikan yang merakyat sehingga persaudaraan Islam kian mudah dibangun. Berikutnya, keterbukaan lembaga pendidikan dayah dengan masyarakat sekitar dayah membuat persaudaraan Islam menjadi semakin terpelihara. Dayah terbukti tidak tertutup (ekslusif) dan senantiasa membuka diri sehingga siapapun bisa mengakses proses belajar mengajar di Aceh hingga ke kurikulumnya. Dan bukan itu saja, keterbukaan dayah dengan membuka Majlis Ta’lim di dayah bagi warga sekitar dayah juga semakin membuat insitusi dayah kian bermasyarakat sehingga sangat beralasan jika kita sebuat dayah senantiasa menjadi sub-sistem masyarakat Aceh. Barangkali, itu sebab sehingga di era penjajahan, Belanda Teuku Zulkhairi | 5 menaruh perhatian total untuk bagaimana menghancurkan lembaga pendidikan dayah, sebab mereka paham begitu kuatnya pengaruh dayah dalam masyarakat Aceh. B. Menghormati Guru, Kunci Sukses Paling Utama Bagi Santri Penghormatan santri di dayah (pesantren) kepada gurugurunya adalah hal wajib sebelum ilmu. Hal yang sering diajarkan di dayah adalah bahwa keberkahan ilmu akan diperoleh dengan adanya akhlak sang murid kepada gurunya. Pemahaman seperti ini sebagaimana dikatakan Saidina ‘Ali Karamallahu wajhahu, “ana ‘abdu man ‘allamani ‘ala harfan”, atau “Saya adalah hamba bagi yang mengajari aku satu huruf”. Ya, sebegitu hormatnya Saidina ‘Ali kepada siapa saja yang mengajarinya walau hanya satu huruf, walau hanya satu huruf. Apalagi jika banyak huruf. Itu sebab, santri di dayah senantiasa mencium tangan sang guru sehingga ilmu jadi berkah. Tak ada demo santri kepada guru. Semua kesalahan guru akan disampaikan dengan cara yang ahsan. Sebagaimana guru juga diminta menyampaikan nasehat kepada murid dengan cara yang ahsan pula. Setidaknya secara teori seperti ini, sebuah teori yang nampaknya bisa disaksikan kapan saja oleh siapa saja. Tapi ini tentu bukan berarti nalar kritis dengan demikian telah dimatikan. Nalar kritis bahkan telah dihidupkan sejak permulaan belajar, ya sejak belajar di kelas Tajhizi (kelas persiapan). Hanya saja, nalar kritis dengan akhlak itu beda. Nalar boleh kritis, tapi akhlak juga niscaya. Di kelas Tajhizi ini para santri diajarkan sistem pendidikan kritis lewat Kitab ‘Masailal Muhtadi li Ikhwanil Mubtadiin’, suatu kitab yang menggunakan metodo belajar dengan tanya jawab - sehingga diharapkan akan membiasakan pertanyaan-pertanyaan akan muncul dari benak 6 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan mereka dan lalu mencari jawabannya. “Di kelas Tajhizi ini para santri diajarkan sistem pendidikan kritis lewat Kitab ‘Masailal Muhtadi li Ikhwanil Mubtadiin’” Berikutnya, juga diajarkan bahwa, “al adabu fauqal ‘ilmi”, atau “Adab itu di atas ilmu”. Jadi, adab dulu yang diajarkan. Sebab, Ilmu tanpa adab akan menghasilkan ilmu tanpa keberkahan. Ilmu tanpa keberkahan adalah hal yang membahayakan karena bisa merubah si pemiliknya menjadi kontras dengan ilmunya. Alhasil, negeri ini akan sulit diperbaiki dengan ilmu yang jika tidak berkah. Kita diajarkan bahwa seseorang yang ilmu itu seperti padi. Padi akan menunduk jika sudah berisi. Seorang pemilik ilmu akan semakin rendah hati dan tawadhu’ jika ilmunya semakin bertambah. Idealnya, ilmu merubah seseorang dalam berbagai sendinya, sejak dari bagaimana ia melihat, bagaimana ia berbicara, bagaimana ia berfikir, bagaimana ia bermasyarakat, bagaimana ia berinteraksi dengan gurunya, begitu juga seterusnya. Meksipun demikian, para guru pun bukan berarti boleh semena-mena memanfaatkan rasa hormat (ta’zim) guru kepada muridnya itu. Justru, kekacauan-kekacauan akan terjadi jika sang guru tidak memantaskan diri untuk dihormati para muridnya. Artinya, rasa hormat murid kepada guru akan muncul sesuai bagaimana guru itu sendiri memposisikan dirinya di hadapan murid. Bagi murid, ketika melihat gurunya yang memiliki kesalahan, bukan berarti akan dibolehkan menghilangkan rasa hormatnya, apalagi jika guru itu telah memberinya ilmu. Tugas murid adalah menghormati gurunya, sementara tugas guru adalah memantaskan diri untuk dihormati muridnya. Teuku Zulkhairi | 7 Jikapun gurunya salah, maka Islam memberikan caracara penyelesaikan yang teduh dan manusiawi. Islam misalnya melarang seorang guru menegur atau menasehati muridnya di depan umum, karena hal demikian bisa berpotensi pada tidak tercapainya tujuan nasehat yang hendak dilakukan. Begitu juga sang murid, diharapkan sabar menghadapi gurunya. Sebab, jika tidak sabar tentu tidak akan manusia di dunia ini yang mau menjadi murid, oleh karena memang tidak ada guru di dunia ini yang sempurna. Jika Anda kelak menjadi seorang guru, maka yakinlah bahwa anda juga tidak bisa sempurna. Tidak ada yang sempurna bukan? Bagi yang pernah nyantri di dayah hari ini pasti bisa merasakan kesan manis saat dulu pernah ditampar sang guru saat belajar di dayah. Seperti penulis yang pernah merasakan ditampar karena tidur saat baca Surat Waqi’ah setelah shalat Shubuh. Pernah juga diomelin saat pernah memasukkan kedua tangan dalam saku celana, sembari diingatkan: ‘Jika sifat itu dipelihara maka jika kelak kamu jadi pejabat maka kamu akan jadi pejabat yang sombong”. Waktu itu pesan itu terasa sakit. Tapi hari ini, sungguh kita butuh lebih banyak lagi nasehatnasehat yang demikian. Ada rasa kering saat jauh dari nasehat guru. “‘Jika sifat itu dipelihara maka jika kelak kamu jadi pejabat maka kamu akan jadi pejabat yang sombong”. Waktu itu pesan itu terasa sakit. Tapi hari ini....” Kita berharap bahwa paradigma ini bisa dibawa juga ke kampus. Sebab, kita berharap kampus bukan hanya akan melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang kritis dan cerdas, tetapi juga mahasiswa yang ber akhlakul karimah, mahasiswa yang 8 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan rendah hati, sabar menghadapi gurunya, tetap hormat kepada siapa saja yang sudah mengajari mereka walau hanya satu huruf. Tentu bukan berarti kita mengatakan selama ini hal ini tidak kita jumpa. Sangat banyak mahasiswa yang bersifat seperti santri dalam menghormati gurunya. Namun, kita berharap setidaknya paradigma rasa hormat itu semakin membudaya secara massif, meliputi semua mahasiswa dan seluruh pelajar lainnya. C. Santri Terbukti Mandiri Berbicara tentang kemandirian, ternyata dayah terbukti mampu melahirkan para santri yang mandiri. Setidaknya, sebuah laporan hasil penelitian yang dilakukan program Pascasarajana IAIN Ar-Raniry tahun 2012 membuktikan hipotesis tersebut. Laporan penelitian2 dengan judul “Kemandirian Dayah di Aceh Dalam Menghadapi Pembangunan Masyarakat Global” ini menjelaskan sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri, dayah dianggap masih cukup mandiri dalam segala hal. Secara umum, penelitian ini membahas tiga pokok permasalahan yang diteliti, yaitu: Pertama, kemandirian santri saat menempuh pendidikan di dayah. Kedua, kemandirian alumni dayah atau santri setelah selesai menempuh pendidikan di dayah. Dan Ketiga, kemandirian dayah sebagai institusi pendidikan. Terhadap tiga permasalahan di atas, laporan penelitian 2 Laporan Penelitian kolektif Tahun 2012 ini disusun oleh Dr Sri Suyanta, M.Ag, Eka Sri Mulyani, MA, Ph.D, Syamsul Bahri, MA, TESOL, Teuku Zulkhairi, MA, Mulia Rahman, MA, Laila Abdul Jalil, MA dan Siti Zalikha, MA dengan melibatkan konsultan dua guru besar IAIN Ar-Raniry, Prof. Alyasa’ Abubakar, MA dan Prof. Dr. M. Hasbi Amiruddin, MA. Teuku Zulkhairi | 9 yang dilakukan di dayah-dayah salafi ini menjelaskan, “kemandirian santri saat menembuh pendidikan di dayah masih relatif dapat dipertahankan secara ketat”. Pada aktivitas pribadi, secara keseluruhan dilakukan sendiri secara mandiri oleh santri. Dayah memberikan kebebasan kepada santri dalam mengatur kesehariannya, namun dengan tetap dibawah kontrol Teungku Dayah. Misalnya, dalam hal memasak dan menyajikan makanan, mencuci dan menjemur pakaian, menyetrika pakaian dan hingga membersihkan tempat tidurnya. Hal ini tentu saja sangat berbanding lurus dengan apa yang diterapkan di institusi pendidikan lain yang pengelolaan aktivitas harian ini melibatkan pihak lain seperti memasak, cuci pakaian dan sebagainya. Terhadap permasalahan yang kedua, laporan hasil penelitian ini menjelaskan, “pada umumnya dayah telah mencetak generasi yang memiliki jiwa enterprenership (wirausaha) yang tinggi, sehingga setelah menamatkan pendidikan atau telah keluar dari dayah, para alumni dayah ini bekerja di berbagai sektor kehidupan seperti perdagangan, pendidikan, peternakan, perkebunan, perikanan, jasa, dan sebagaianya. Meski demikian, tetap ada yang mencari peruntungan dengan mengikuti testing Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan berhasil. Sementara itu, terhadap latar belakang permasalahan yang ketiga, penelitian ini menjelaskan, kemandirian dayah sebagai sebuah institusi pendidikan tidak bisa dilihat secara hitam putih. Hal ini disebabkan eksistensi dayah-dayah di seluruh Aceh dewasa ini telah mendapat perhatian serius dari pemerintah Aceh. Artinya, dayah yang menerima bantuan dari pemerintah tidak kemudian hilang tingkat kemandiriannya. Dalam proses pembelajaran di dayah, para santri juga diatur secara ketat rutinitas ibadahnya, akan dihukum jika 10 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan santri tidak shalat berjamaah. Dayah berhasil mendidik setiap santrinya untuk hidup sederhana, sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh lembaga pendidikan manapun lainnya. Selain melahirkan santri yang mandiri, santun, menghormati guru, dan menjaga ukhuwah Islamiyah, insitusi pendidikan dayah sebagaimana pengakuan sejumlah akademisi di perguruan tinggi, bahwa dayah adalah benteng terakhir penerapan syari’at Islam di Aceh. Tapi pujian apapun tentu tidak boleh melenakan para santri. Karena terdapat tanggung jawab besar lainnya di pundak para santri, yaitu membangun peradaban Islam di negeri ini. “Tapi pujian apapun tentu tidak boleh melenakan para santri. Karena terdapat tanggung jawab besar lainnya di pundak para santri, yaitu membangun peradaban Islam di negeri ini” D. Tidak Mudah Perjuangan Santri Untuk Bisa Baca Kitab Kuning Tidak mudah belajar kitab kuning sampai anda bisa membaca dan memahami isinya. Perlu ilmu Nahwu dan Sharaf yang mumpuni dulu baru bisa baca kitab kuning. Maka orang belajar di dayah itu bertahun-tahun. Kita harus betul-betul menghafal kitab - seperti kitab Awamel, Jarumiyah, Matan Bina, kitab Dhammon dan Tasrif - dulu baru bisa membaca dasar-dasar awal kitab kuning, itupun jika betul-betul menyimak pelajaran saat disampaikan sang Teungku. Lebih dari itu, Anda juga mesti hafal beberapa kaidah yang dibuat dalam nazham bahasa Aceh, seperti berikut ini: Teuku Zulkhairi | 11 “bermula keu mubtada ‘oh geu i’rab meunyo itu wahee teungku jeut keu khabar. Oleh ngen lah jeut keu fa’el wahee rakan, naeb fael dan mafol geu kheun akan”. Kalau aturan dasar ini tidak anda kuasai, maka pastilah besar kemungkinan akan salah pula baris-baris isi kitab yang akan kita baca yang fatalnya bisa salah pula maknanya. Hebat sekali para ulama terdahulu yang telah menyusun kaidah-kaidah membaca kitab kuning. Itu karena mereka paham bahwa kitab kuning ini kelak akan menjadi warisan ‘turast’ yang tak ternilai harganya. “Hebat sekali para ulama terdahulu yang telah menyusun kaidah-kaidah membaca kitab kuning” Maka kita patut apresiasi mereka para santri yang konsen mempelajari kitab kuning, karena dengan demikian maka mereka telah mewarisi khazanah penting dunia Islam yang tak ternilai harganya. Juga patut kita apresiasi para santri Aceh yang keluar sebagai juara dalam berbagai ajang lomba baca kitab kuning. Mereka adalah orang yang bernilai. Juga apresiasi untuk siapa saja yang selenggarakan lomba baca kitab kuning. Penulis teringat cerita yang menyebut kitab kuning yang dipelajari di dayah sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Kalau kita tanya, sebutkan satu baris saja dari kitab yang tidak relevan dengan perkembangan zaman, tentu mereka tidak mampu menunjukkannya. Mana ada ilmu yang bisa usang, ya kan? Kitab-kitab kuning membahas berbagai khazanah keilmuan 12 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Islam. Dari masalah Tasawuf, Fiqh, Akhlak, Siyasah, Falak, Mantiq (ilmu logika), Tafsir, Hadis dan Ilmu hadis, Alquran dan Ulumul Quran, dan seterusnya. Tiadalah orang yang mulia kecuali dia akan memuliakan warisan para ulama. Dan tiadalah orang yang tidak memuliakannya melainkan orang yang tidak paham. Kepada para mahasiswa saya sering sampaikan, jalan untuk kembali kepada Alquran dan hadis adalah dengan cara anda belajar dan mengikuti para ulama. Sebab, kata Nabi, “ulama adalah pewaris para Nabi”. Jadi kalau mau ikut Nabi ya ikuti para ulama. Kalau mau ikuti para ulama ya pelajari kitab-kitabnya. Dan jalan untuk mengikuti ulama adalah mempelajari pemikiran dan fatwa atau nasehatnya. Tidak bisa langsung lompat, karena kita ini kan hidup di zaman yang sudah sangat jauh dengan fase hidup Rasulullah Saw? Yang paling paham Rasulullah Saw itu adalah para Sahabat-sahabatnya. Dan yang paling paham sahabat adalah Thabi, dan seterusnya hingga ulama mutaakhkhirin. Jadi ya kita ikuti saja mekanisme ini, apalagi kita baru belajar. Amat sedikitlah ilmu kita. Benar-benar kita ini seperti sebutir pasir di padang pasir, atau lebih kecil lagi. E. Kitab Kuning “Masuk Kampus” Kita patut bahagia ketika beberapa waktu lalu, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Prof. Dr. Warul Walidin melaunching kegiatan “Seumeubeut ulama kharismatik Aceh” di Aula Pascasarajana kampus tersebut, penulis menangkap ini sebagai bagian dari upaya UIN untuk mengemban tanggung jawab sejarah sebagai bentuk pengakuan terhadap pendidikan dayah dengan kitab kuningnya sebagai bagian tidak terpisahkan dalam pendidikan di Aceh. Tgk. H. Nuruzzahri (Waled Nu) yang Teuku Zulkhairi | 13 bertindak sebagai narasumber dan membaca kitab Al-Maḥalli saat itu menjelaskan banyak hal bagaimana kitab kuning selama ini dipelajari dan diajarkan di institusi pendidikan dayah. Waled Nu menjelaskan bagaimana sebuah kalimat “Bismillah” dapat dipelajari berhari-hari dan berbulan-bulan oleh para santri. Setiap baris dari isi kitab-kitab yang menjadi referensi pembelajaran di institusi pendidikan dayah akan dipelajari sampai tuntas. Sesungguhnya, model pembelajaran semacam ini memiliki keungggulan karena pendalaman yang menyeluruh atas setiap baris-baris kitab kuning klasik (turast). Misalnya ketika membaca sebuah kalimat dalam kitab kuning, pemahaman yang komprehensif pun akan didapat oleh pelajarnya mulai dari uslub sebuah kalimat yang digunakan pengarang, pemahaman atas baris-baris isi kitab, kenapa baris atas (fatah), baris bawah (kasrah) dan baris depan (dhammah) yang berimplikasi pada tujuan memperoleh pemahaman yang utuh sebagaimana dimaksudkan oleh sang pengarang kitab. “Sesungguhnya, model pembelajaran semacam ini memiliki keungggulan karena pendalaman yang menyeluruh atas setiap baris-baris kitab kuning klasik (turast)” Maka untuk dapat mempelajari dan menguasai kitab kuning secara mendalam, dibutuhkan penguasaan yang cukup atas ilmu alat lainnya seperti pemahaman atas kosakata (mufradat) bahasa Arab, penguasaan atas gramatikal bahasa Arab (ilmu nahwu, sharaf) dan ilmu-ilmu yang lain yang juga dipelajari secara khusus. Intinya, mengkaji kitab kuning secara mendalam niscaya membutuhkan ragam keilmuan pendukung. Ini menandaskan bahwa kajian kitab memang membutuhkan keseriusan dan kesungguhan, serta waktu yang lama. 14 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Pembelajaran dengan model seperti ini memang tidak mungkin seluruhnya dapat dibawa secara menyeluruh ke model pendidikan kampus. Hal ini dengan alasan keterbatasan waktu dan sebab-sebab yang lain. Sistem pembelajaran yang sudah berlaku secara baku di kampus dewasa ini misalnya di mana mahasiswa diberikan tugas untuk membuat makalah terkait tema-tema yang sudah ditetapkan dalam silabus. Para pengajar akan mengarahkan mahasiswanya untuk merujuk ke sejumlah referensi untuk dikaji oleh mahasiswa untuk kemudian dipresentasikan. Keunggulan pembelajaran dengan model seperti ini, mahasiswa akan membaca banyak referensi untuk dapat mengupas sebuah permasalahan atau materimateri yang telah ditetapkan. Kekurangannya, tidak ada kajian yang mendalam terhadap isi kitab atau materi-materi. Dunia perguruan tinggi Islam di Indonesia umumnya memang tidak mengkaji kitab-kitab tertentu secara khusus. Kajian kitab umumnya bersifat parsial. Yang dikaji hanya masalah tertentu yang terkait dengan tema yang dibahas. Ini berbeda dengan sistem pendidikan di dayah dimana semua persoalan (isi kitab kuning) dibedah dari hulu ke hilir. Dari A sampai Z. Tapi kekurangannya, ini membutuhkan waktu yang sangat lama sehingga pelajar yang tidak belajar dalam waktu yang lama maka tidak akan dapat memahami banyak persoalan yang seharusnya dia pahami sebagai muslim. Intinya, model pembelajaran yang diterapkan institusi dayah dan kampus memiliki keunggulan dan kekurangan masingmasing. Maka oleh sebab itu, munculnya gagasan-gagasan untuk mengintegrasikan keunggulan model-model pembelajaran ini adalah hal yang patut diapresiasi. Dunia pendidikan dayah sendiri dewasa ini kian terbuka mengadopsi model pembelajaran yang menjadi trademarknya dunia kampus. Misalnya dengan hadirnya Sejumlah Sekolah tinggi dan Ma’had ‘Aly di lingkungan dayah yang tentu saja dibarengi dengan asimilasi model pembelajaran Teuku Zulkhairi | 15 kampus ke dayah. Selian itu, sejak dua dekade terakhir, semakin banyak santri dayah yang menempuh pendidikan lanjutan ke perguruan tinggi Islam. “Dunia pendidikan dayah sendiri dewasa ini kian terbuka mengadopsi model pembelajaran yang menjadi trademarknya dunia kampus” Oleh sebab itu, sekali lagi, gagasan seumeubeut kitab kuning oleh ulama kharismatik di UIN Ar-Raniry adalah hal yang patut diapresiasi. Setidaknya, dengan ini dapat menjadi wahana pendekatan model pembelajaran khas dayah ke dunia kampus. Sejatinya, perguruan tinggi Islam semacam UIN ArRaniry memang tidak dapat dilepaskan dari khazanah keilmuan klasik (turast) yang ditulis oleh para ulama dalam kitab-kitabnya yang masyhur dengan sebutan “kitab kuning”. Apalagi, dalam rangka pengembangan kelimuan Islam dan karakter pelajarnya, kebutuhan terhadap referensi-referensi dari kitab kuning sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan. Setidaknya terdapat dua alasan utama untuk memahami hal ini. Pertama, sebagai perguruan tinggi Islam, studi Islam di berbagai jurusan di Ar-Raniry sangat membutuhkan referensireferensi dari kitab kuning sebagai warisan intelektual Islam di masa silam. Jikapun argumen ini henak ditepis dengan pernyataan “kitab kuning ketinggalan zaman”, maka pada kenyataannya kitab kuning tidak pernah ketinggalan zaman. Siapapun yang dengan tulis mengkaji kitab kuning tentu tidak akan sampai pada kesimpulan itu, kecuali jika hanya berkomentar dari luar saja. Mereka yang telah sampai pada tataran ilmu yang tinggi pasti akan terus merendah diri di hadapan kekayaan warisan perbendaharaan ilmu dari kitab-kitab turast peninggalan ulamaulama terdahulu. Berbagai problem yang muncul di dunia kontemporer 16 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan yang menimpa umat Islam memang tidak seluruhnya tertera secara spesifik dalam kitab kuning sebagaimana yang sering disinggung beberapa kalangan. Tapi perlu dicatat, kitab kuning sendiri bukanlah sesuatu yang anti terhadap perkembangan zaman. Kaidah-kaidah Ushuluiyah yang diletakkan Imam Syafi’i misalnya, membuka peluang melahirkan “ijtihad” baru untuk merespons problem-problem fiqh kontemporer yang dahulu tidak dibahas dalam kitab kuning. Tapi sesungguhnya apa yang tidak dibahas tersebut hanyalah sebagian kecil. Pada faktanya, hampir sebagian besar problem kontemporer dunia lainnya telah dibahas tuntas dalam kitab kuning. Mulai dari persoalan akhlak, pendidikan, ekonomi, politik, aqidah dan berbagai persoalan lainnya. Maka di sini kita mengenal kitab-kitab kuning semacam Ta’lim Muta’lim yang masyhur. Sebuah kitab yang membahas adab-adab seorang pelajar yang hingga kini menjadi objek kajian di dunia pendidikan Islam. Ketika hari ini kita mendapati problemproblem akut yang mendera bangsa Indonesia, semisal persoalan korupsi, badai hoaxs dan fitnah, hilangnya budaya santun dan sebagainya, maka kitab kuning semisal Kitab Nashaihul ‘ibad, Ihya ‘Ulumuddin, Muraqil ‘Ubudiyah dan lain-lain telah memberikan solusi fundamental dalam menghadapinya. Ketika praktek politik kita gagal melahirkan kesejahteraan, sebenarnya politik yang ideal untuk mencapai tujuan ini telah dibahas dalam kitab kuning, seperti dalam Al Ahkam Sultaniyah. Dan ketika hari ini kita menyaksikan gonjang-ganjing kehidupan bermasyarakat karena masukanya aqidah-aqidah yang asing di telinga masyarakat Aceh, maka sebenarnya jauhjauh hari kitab kuning telah memberi penjelasan yang cukup memadai tentang aqidah yang dengan itu kita akan terhindar dari kebingungan dan keraguan dalam beragama. Bahkan agar isi kitab kuning bertuliskan Arab ini dapat dipahami Teuku Zulkhairi | 17 masyarakat luas, para ulama Aceh dan dunia Melayu dahulu juga telah menerjemahkan atau menulis ulang dalam bahasa Jawi (Arab-Melayu) sehingga dapat dengan mudah dipelajari dan dipahami oleh masyarakat dalam level awam sekalipun. Maka kita mendapati referensi yang melimpah kitab-kitab Jawi yang dikarang oleh Syaikh Abdurrauf As-Singkili, Syaikh Abdussamad Al-Falimbani, Daud Fathani, Nuruddin Ar-Raniry dan seterusnya. Kedua, nama Syaikh Nuruddin Ar-Raniry yang ditasbihkan menjadi nama kampus UIN Ar-Raniry, beliau adalah ulama masyhur di masa kerajaan Aceh Darussalam yang banyak sekali menulis kitab-kitab dalam berbagai berbagai kategori keilmuan. Maka tentu saja para pelajar UIN Ar-Raniry sudah seidealnya mengikuti jejak Syaikh Nuruddin Ar-Raniry yang akrab dengan kitab-kitab kuning. Saya meyakini, di balik alasan para pendahulu kita memberi nama kampus Ar-Raniry terbesit harapan agar para pelajar di Ar-Raniry kelak akan akrab dengan karya-karya beliau khususnya, dan karya-karya para ulama lainnya yang termaktub dalam kitab-kitab kuning. Begitu juga, saya meyakini dibalik alasan para pendahulu kita memberi nama kampus Universitas Syiah Kuala yang merujuk pada Syaikh Abdurrauf As-Singkili. Tentu terdapat harapan mereka agar para pelajar Unsyiah dapat akrab dengan kitab-kitab Syiah Kuala dan kitab kuning lainnya yang menjadi bahan kajian beliau di masa hidupnya. 18 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan BAB II Memahami Penolakan Santri Terhadap Aliran Ekstrim Kanan Dan Ekstrim Kiri Teuku Zulkhairi | 19 A. Parade Aswaja Santri Aceh, Menolak Aliran Ekstrem Kanan Beberapa tahun lalu para santri jaringan dayah di Aceh berhasil laksanakan Parade Ahlu Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) terbesar dalam sejarah dayah di era modern. Parade ini bukan tidak beralasan,khususnya jika kita melihat sejarah Aceh masa lalu yang berhasil menjadikan Ahlu Sunnah wal Jama’ah sebagai mazhab resmi kerajaan. Munculnya parade ini sebagai akibat eksistensi Aswaja yang dirasakan terasa sekali terancam oleh berbagai paham-paham imporan. Oleh sebab itu, ketika komunitas santri dayah bangkit menunjukkan superioritasnya dengan menurunkan massa yang cukup banyak, maka ini bisa dimaknai sebagai upaya pihak dayah untuk menunjukkan kepada semua pihak bahwa dayah dengan segenap komunitasnya jelas siap melawan paham apapun yang ingin menggerogoti eksistensi paham Aswaja di Aceh yang memang sudah sangat mengakar dengan dayah sebagai sentralnya kekuatannya. Penggerogotan terhadap Aswaja baik dilakukan kalangan Syi’ah, wahabi maupun kominisme (neo PKI). Itu sebab, dalam spanduk-spanduk massa Parade Aswaja saat itu nampak mengusung materi-materi perlawanan terhadap Syi’ah, Wahabi dan Komunisme. Syi’ah dianggap konsensus ulama dunia keluar dari Islam karena keyakinan caci maki mereka kepada para sahabat Rasul seperti Umar bin Khatab, Abubakar dan Usman. Begitu juga kepada Aisyah. 20 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Foto massa saat Parade Aswaja di Banda Aceh. Sumber foto: acehkita. com Sementara Wahabi ditolak karena pahamnya yang sangat radikal dalam beragama. Mereka sangat cepat sekali membid’ahkan amalan umat Islam, bahkan tidak jarang mereka mengkafirkan kelompok umat Islam selain kelompok mereka. Terhadap kelompok ini, salah satu kelompoknya bahkan sudah difatwakan sesat oleh Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Sementara itu, Komunis pun sudah jelas menunjukkan bahayanya. Tidak sedikit pengikut ajaran tanpa Tuhan ini, khususnya di Pulau Jawa. Alhasil, tidak diragukan lagi bahwa paham-paham ini sedikit demi sedikit akan memberikan efek ketidaknyamanan bagi masyarakat Aceh secara umum pada suatu ketika, khususnya bila kita melihat pengalaman-pengalaman wilayah umat Islam lain di dunia. Suriah misalnya, dahulu umat Islam disana yang mayoritas Ahlu Sunnah hidup dalam kedamaian, mereka membiarkan Syi’ah eksis. Tapi ternyata ini pilihan Teuku Zulkhairi | 21 salah, saat Syi’ah semakin besar dan menguasai berbagai pos pemerintahan, lalu umat Islam pun mereka perangi dengan bekerja sama dengan Iran. Pengalaman Suriah ini tentu kita berharap jangan sampai terjadi di Indonesia, apalagi di Aceh. “Alhasil, tidak diragukan lagi bahwa paham-paham ini sedikit demi sedikit akan memberikan efek ketidaknyamanan bagi masyarakat Aceh secara umum pada suatu ketika, khususnya bila kita melihat pengalaman-pengalaman wilayah umat Islam lain di dunia” Oleh sebab itu, tekad dan perjuangan komunitas santri dayah untuk memperkuat ideologi Ahlu sunnah wal jama’ah di Aceh adalah hal yang tidak diragukan lagi mesti kita dukung dan kita sokong dengan apa yang bisa kita lakukan. Kita dukung upaya-upaya penguatan ideologi Ahlusunnah wal jama’ah bagi masyarakat Aceh, utamanya para pelajar atau generasi mudanya agar mereka memiliki fondasi yang kuat sehingga kelak tidak terpengaruh dengan paham-paham yang bertentangan dengan Ahlusunnah wal jama’ah. Penguatan ini bukan hanya dilakukan di dayah-dayah tentu saja, namun juga ke segenap struktur kehidupan masyarakat Aceh, di sekolah, majlis-majlis ta’lim, balai pengajian, perguruan tinggi dan perkumpulan-perkumpulan lainnya. B. Bersyukur Berada dalam Barisan Ahlusunnah wal Jama’ah Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah Swt karena Ia telah menghidupkan kita dalam keadaan Islam. Ini adalah nikmat terbesar bagi kita disamping nikmat iman. Berikutnya, kita bersyukur kepada Allah Swt atas nikmat berada dalam lingkaran paham Ahlu sunnah wal jama’ah dan orang-orang yang 22 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan mempraktekkannya. Sungguh, menjadi bagian dari Ahlu sunnah wal jama’ah adalah nikmat lainnya yang patut kita syukuri di saat banyak umat Islam yang keluar dari frame Ahlu sunnah wal jama’ah seperti Khawarij, Qadariyah, Syi’ah, Jabariyah, Mu’tazilah dan sebagainya. Tentunya, Allah memberi hidayah bagi siapa saja yang Ia kehendaki dan mencabut hidayah bagi siapa saja yang ia kehendaki. Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hkaim Rasulullah Saw bersabda: “Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Nasrani menjadi 72 golongan. Umat ini (Islam) akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di neraka, kecuali 1 (satu) golongan (yang selamat). Nabi ditanya, “siapa dia ya Rasulullah?”. Nabi menjawab: “yaitu golongan yang seperti aku dan para sahabatku”. Dalam sebagian riwayat, “Dia adalah Jama’ah”. KH. Hasyim Asy’ari (1287-1336 H), salah satu pendiri NU- dalam kitab Ziyadat Ta’liqat (hal: 23-24) mengatakan: “Adapun Ahlu sunnah wal jama’ah adalah kelompok ahli Tafsir, ahli hadis, ahli fiqh. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan Sunnah Nabi Muhammad Saw dan Sunnah Khulafaurrasyidin (khalifah yang empat) sesudahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (alfirqah an-Najiyah). Mereka mengatakan bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam mazhab yang empat, yaitu mazhab hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali”. Sementara itu, maksud “Jamaah” dalam hadis di atas, menurut Imam Asy-Syatibi dalam kitab al-I’tisham adalah 5 (lima) pendapat. Pertama, assawadu al-a’dzam yaitu kalangan mujtahid, para ulama, adli syari’ah yang mengamalkan ilmunya, Teuku Zulkhairi | 23 dan orang-orang yang selain mereka masuk ke dalamnya karena mengikuti dan diikuti. Kedua, para ulama Mujtahid yang menjadi panutan. Yaitu para Ulama Mujtahid yang mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Syatibi berkata: “barangsiapa yang keluar dari ulama imam, maka dia akan meninggal dalam keadaan jahiliyah (kebodohan)”. Ketiga, para sahabat Nabi secara khusus. Keempat, golongan (jamaah) ahli Islam. Apabila mereka sepakat atas suatu perkara maka wajib bagi yang lain untuk mengikuti. Hadis di atas adalah sebuah intsruksi yang gamblang bahwa jalur keselamatan di saat Islam menjadi terpecah belah adalah dengan tetap mengikuti Sunnah Nabi Muhammad Saw dan juga mengikuti para Sahabatnya yang mulia (jamaah). Hadis di atas juga pembuktian Kenabian Nubuwah Muhammad Saw tentang akan terpecahnya Islam dalam berbagai golongan dan aliran, dimana perihal itu bisa kita saksikan dewasa ini. Kita misalnya melihat kelompok Syi’ah yang begitu gencar memusuhi umat Islam dan mencela para sahabat Nabi seperti Umar bin Khatab, Usman dan Abu Bakar Radhiallhu ‘anhum. Mereka juga mencaci maki Saidah Aisyah istri Rasulullah Saw. Di saat yang sama, kita menyaksikan kelompok Neo Mu’tazilah yang cukup sering menempatkan akal di atas wahyu. Kita juga melihat kelompok wahabi yang mengklaim kelompoknya sebagai Salafy yang begitu cepat mengkafirkan umat Islam yang lain pada perkara yang masih khilafiyah fikih. Juga ada kelompok Qadariyah yang menganggap bahwa manusia adalah penentu bagi dirinya sendiri dan Allah tidak mengintervensi manusia. Ketika kita menyaksikan berbagai realitas kelompok ini, lalu kita melihat posisi ideologi Ahlusunnah wal Jama’ah yang sangat Tawasuth (moderat). Ahlusunnah wal Jama’ah 24 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan menghormati seluruh sahabat Nabi Muhammad Saw, apalagi figur-figur seperti Abubakar, Umar dan Usman yang tidak lain adalah para Khulafaurrasyidin. Ahlusunnah wal Jama’ah memposisikan akal pada posisinya yang terhormat, bahwa akal diminta untuk berfikir akan tettapi harus selalu dalam bimbinngan wahyu, sesuatu yang dengan cara inilah umat Islam di masa lampu mampu meraih kejayaan peradabannya seperti di masa Andalusia Spanyol. Akal tanpa wahyu sudah terbukti membawa kebingungan berat bagi manusia seperti yang terjadi di era Yunani kuno. Ahlusunnah wal Jama’ah juga tidak tidak memiliki sikap ekstrim seperti kalangan wahabi radikal yang cepat sekali menuduh kafir dan bid’ah pada urusan-urusan yang sebenarnya masuk kategori khilafiyah fiqh. Ahlusunnah wal Jama’ah tidak mudah mengkafirkan atau membid’ahkan pada persoalan-persoalan khilafiyah fiqh. Ulama-ulama Ahlusunnah wal Jama’ah memiliki sikap yang sangat Tawasuth dalam memandang persoalan-persoalan khilafiyah. Tidak seperti golongan Qadariyah, Ahlusunnah wal Jama’ah memandang bahwa Allah Swt mampu mengintervensi segala tindak manusia, bahwa apapun yang dikerjakan manusia adalah tidak lepas sama sekali dari iradah Allah Swt, meskipun juga menekankan bahwa perbuatan buruk yang dikerjakan manusia tidak disandangkan kepada Allah Swt karena Allah Swt telah member manusia akal untuk berfikir dan wahyu sebagai petunjuk, serta Nabi Muhammad Saw sebagai penuntun ke jalan yang lurus. Oleh sebab itu, mari kita bersyukur dan konsisten berada dalam golongan Ahlusunnah wal Jama’ah. Setelah itu, mari kita berdo’a agar Allah Swt menetapkan kita dalam golongan Ahlusunnah wal Jama’ah. allahummaj’alna min ahli sunnati wal jama’ah. wala Taj’alna min ahlil bid’ati wadhdhalalah. Ya Allah, Teuku Zulkhairi | 25 jadikan kami sebagai bagian dari golongan Ahlusunnah wal Jama’ah. dan janganlah engkau jadikan kami sebagai golongan ahli bid’ah dan kesesatan. Amiin ya Rabbal ‘alamin. C. Sultan Iskandar Muda Menjaga Eksistensi ‘Ahlusunnah Wal Jama’ah’ Kita melihat lucu ketika sekelompok orang di Media Sosial menertawakan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, misalnya saat berita di Serambi Indonesia beberapa waktu lalu (Jum’at, 24/11/2017) dimana MPU melarang penyebaran kitab ‘ghairu muktabarah’ dalam rangka menjaga eksistensi Ahlusunnah wal Jama’ah di Aceh. Intinya, bagi mereka, kebijakan MPU tersebut tidak tepat. Oleh sebab itu, merespons fenomena ini, sekaligus untuk menjaga wibawa MPU di Sosial Media, marilah kita melihat referensi masa lalu dalam Qanun Meukuta Alam, yang merupakan Undang-Undang Dasarnya kerajaan Aceh Darussalam di masa jayanya dahulu. Ya, di masa jayanya Kerajaan Aceh Darussalam dahulu. Qanun Meukuta Alam, sebagaimana juga Sultan Iskandar Muda sangat masyhur di kalangan masyarakat Aceh. Isi Qanun Meukuta Alam ini antara lain bisa dibaca dalam sebuah buku yang menerjemahkan Qanun Meukuta Alam (dalam Syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk. Di Meulek dan Komentarnya) ke dalam bahasa Indonesia, selain itu juga ditampilkan bahasa Jawinya sebagai bahasa asli Qanun tersebut. Buku yang diterbitkan Syiah Kuala University Press ini diterjemahkan oleh Dosen UIN Ar-Raniry Mohd. Kalam Daud dan Dosen Unsyiah, Pak T.A. Sakti. Melihat referensi masa lalu tentu penting agar sebagai bangsa Aceh, kita tidak hanyut dan lupa diri di tengah zaman 26 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan now (sekarang) yang dipenuhi berbagai tantangan pemikiran. Dan Qanun Meukuta Alam ini, kalau kita baca baris per baris, maka kita pasti akan merasakan begitu hebatnya Kerajaan Aceh Darussalam dahulu, bahkan hingga akhlak Raja ikut diatur, bukan hanya tentang penyelenggaraan kerajaan. Di Bab satu Qanun Meukuta Alam ini, dijelaskan bahwa dasar hukum Kerajaan Aceh Darussalam adalah Alquran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Dan secara fiqh berpedoman kepada mazhab yang empat, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Itu artinya, perjuangan para ulama yang mendesak Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh beberapa waktu lalu agar memuat Ijma’ dan Qiyas bukanlah sesuatu yang baru dan tidak berdasar. Berkaitan dengan Ahlusunnah wal Jama’ah, sebagai mazhab mayoritas masyarakat Aceh, salah satu sub bab dalam Qanun Meukuta Alam tertulis begini: “Dan hendaklah menjaga agama Islam Syari’at Rasulullah Saw supaya jangan masuk Mu’tazilah, Khawarij, Rafidi (dan) Syi’ah, yakni semua kaum yang tujuh puluh dua. Sebab, karena kaum yang Tujuh Puluh Dua, maka itulah kaum yang merusakkan agama Islam dan kaum itulah yang merusakkan agama Islam dan kaum itulah yang menghasut-hasutkan rakyat dan membikin huru-hara negeri dan mengacaukan keamanan rakyat dan kemakmuran negeri”. Sampai di sini, kita bisa menemukan pertalian kondisi zaman now (sekarang) dengan upaya masa lalu menjaga Aceh agar terus aman dan damai, jauh dari huru-hara. Dan rupanya, kebijakan melarang aliran-aliran tersebut di atas agar tidak menyebar di Aceh telah dilakukan sejak dahulu, bukan hanya saat ini. Jadi, sejatinya apa yang dilakukan oleh para ulama Aceh yang tergabung di MPU saat ini adalah persis seperti yang dulu Teuku Zulkhairi | 27 juga pernah dilakukan. Lalu apa alasannya berikutnya sehingga paham-paham itu dilarang di Aceh, baris berikutnya berbunyi: “Dan kaum yang tujuh puluh dua, maka itulah kaum yang khianat kepada Syari’at Rasulullah dan kaum yang tersebut itu amat musuh dengan ulama Ahlusunnah wal jama’ah radhiallahu ‘anhum. Dan kaum itu sangat musuh dengan awliya, dan dengan ulama yang shalihin”. Baris ini menandakan adanya ketegasan dilarangnya pahampaham tersebut agar tidak menyebar di Aceh. Lalu, baris berikutnya kembali dipertegas: “Maka apabila masuk yang tujuh puluh dua ke dalam tiap-tiap negeri, maka negeri itu sudah terang hancur dan cerai berai rakyat. Maka sekali-kali, Sultan Meukuta Alam Iskandar Muda tiada memberi izin dalam negeri Aceh berdiri “firqah-firqah” yang tujuh puluh dua di seluruh negeri Aceh.” Nampaknya apa yang ditulis di atas bukanlah berdasarkan rekaan semata, melainkan muncul karena realitas historis di zaman sebelumnya yang pernah disaksikan oleh para ulama di Aceh saat itu atau pengalaman di masa sebelumnya. Maka tidaklah mengherankan bahwa Sultan Iskandar Muda tidak memberi izin berdiri firqah apapun di Aceh selain Ahlusunnah wal Jama’ah. Sultan Iskandar Muda memahami konsekuensi jika Aceh tidak dijaga dari firqah-firqah di luar Ahlusunnah wal Jama’ah. Terkait dengan firqah-firqah ini dan kenapa Sultan Iskandar Muda nampak begitu sangat peduli, terdapat sebuah hadis yang barangkali menjadi dasar pemikiran yang mempengaruhi kebijakan Sultan Iskandar Muda dan para ulama Aceh saat itu. Hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan Imam Tirmizi tersebut 28 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan berbunyi sebagai berikut: “.....dan umatku akan berkelompok menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan. Sahabat bertanya: Siapa mereka itu Rasulullah? Rasulullah menjawab: “(mereka adalah golongan yang mengikuti) apa yang ada padaku dan sahabat-sahabatku.” Juga terdapat hadis lainnya riwayat Abu Daud yang berbunyi: “Maka berpegang teguhlah kalian terhadap Sunnah-ku serta sunnah Khulafa’ al-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Pedomanilah sunnah (jalan hidup) mereka dan pegangilah erat-erat!” Nampaknya, faktor hadis ini sangat mempengaruhi kebijakan Sultan Iskandar Muda dalam menjaga Aceh dari paham di luar Ahlusunnah wal Jama’ah. Sebagai seorang Sultan yang shalih, tentu ini sangat bisa dipahami, beliau sangat ingin menjaga Aceh agar tetap aman dan damai, jauh dari huru-hara dan kekacauaan. Dan terbukti, bahwa Aceh di masa Sultan Iskandar Muda mengalami puncak kejayaannya, dimana beberapa referensi menyebut bahwa saat itu Aceh menjadi kerajaan Islam nomor lima terbesar di dunia, setelah Ottoman, Mughal, Maroko, Isfahan dan kemudian Kerajaan Aceh Darussalam. Pada saat itu, Kerajaan Aceh Darussalam juga menjadi pusat keagamaan Islam di kawasan Asia Tenggara, sampai Aceh digelar dengan “Serambi Mekkah”. Tentu, kekuatan stabilitas dalam negeri sangat mempengaruhi kebehasilan Sultan membawa Aceh ke era emasnya. Sekiranya keadaan dalam negeri penuh dengan huru-hara dan kekacauaan, tentu tidak mungkin Kerajaan Aceh Darussalam akan megah dan jaya. Pada sub bab berikutnya dijelaskan lebih lanjut tentang Teuku Zulkhairi | 29 Sultan Iskandar Muda mengizinkan ulama mazhab empat masuk ke Aceh. “Dan yang boleh diberikan izin masuk alim ulama di luar negeri yang hendak mengajar ilmu agama Islam ke dalam negeri Aceh. Itulah Ahlusunnah wal Jama’ah, yaitu Imam Syafi’i, dan Imam Hambali, dan Imam Maliki dan Imam Hanafi dan Imam Abu Hasan al- Asy’ari dan Imam Abu alQasim Syaikh Junaidi Baghdad dan lain-lainnya radhiallahu ‘anhum. Ini menandakan bahwa perizinan dakwah sudah dilakukan sejak dahulu, yaitu dimana tidak semua orang diizinkan berdakwah di Aceh, melainkan seperti dengan kriteria di atas. Tujuannya, tentu seperti dijelaskan di awal, yaitu agar tidak terjadi huru-hara di dalam wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Dan juga menandakan, bahwa Ahlusunnah wal Jama’ah di Aceh adalah identik dengan Imam Abu Hasan al- Asy’ari (Asya’irah), serta juga menandakan bahwa saat itu Kerajaan Aceh Darussalam menerima aliran Sufi yang merujuk ke Abu alQasim Syaikh Junaidi Baghdad, atau yang lebih dikenal dengan Junaid al-Baghdady. Dengan demikian, Ahlusunnah wal Jama’ah di Aceh yang merujuk ke Abu Hasan al- Asy’ari (Asya’irah) telah memiliki referensi yang otentik dan histioristik. Dan begitu juga aliran sufi, yaitu yang berkembang juga dibatasi ke aliran Sufi Abu alQasim Syaikh Junaidi Baghdad yang dikenal sebagai “Pangeran Kaum Sufi”. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan oleh para ulama Aceh saat ini, termasuk yang difatwakan oleh MPU Aceh, dan juga seperti yang tertulis dalam Qanun Pokok-Pokok Syari’at Islam 30 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan di Aceh yang antara lain menetapkan bahwa Aqidah masyarakat Aceh adalah Ahlusunnah wal Jama’ah dan fiqih empat mazhab, sesungguhnya merupakan upaya mengembalikan kejayaan seperti masa lalu, khususnya yaitu untuk menjaga stabilitas Aceh. Qanun Meukuta Alam di baris selanjutnya berbunyi: “Maka sebab itulah Paduka Sri Sultan Sulaiman Meukuta Alam Iskandar Muda Perkasa Alam Syah mendirikan mufti empat mazhab, yakni Syaikh al- Islam; Mufti empat dalam negeri Aceh Darussalam, karena menjaga dan memeliharakan hukum Syara’ Syari’at Rasulullah Saw dan kaum yang tujuh puluh dua yang khianat kepada agama Islam”. Berdasarkan kalimat-kalimat di atas, sekali lagi, nampak bahwa Sultan Iskandar Muda sangat tegas terhadap kaum yang tujuh puluh dua, yaitu kaum yang di luar Ahlusunnah wal Jama’ah. Dan jelas sekali bahwa tujuan pelarangannya adalah untuk menjaga Aceh agar tidak berkembang di dalamnya ekstrim kanan maupun ekstrim kiri yang bisa membikin hurahura dalam negeri. Oleh sebab itu, sampai di sini, marilah kita melihat secara positif setiap upaya ulama di Aceh untuk menjaga eksistensi Ahlusunnah wal Jama’ah, agar keamanan dan kedamaian negeri terus terjaga, seperti yang juga menjadi harapan Sultan Iskandar Muda. Jangan cepat sekali berburuk sangka kepada ulama, padahal kita tahu bahwa Ulama adalah pewaris para Nabi. Dan kita juga paham apa resiko kita menjauhi ulama, seperti dijelaskan dalam hadis Rasulullah Saw: “Akan datang suatu masa kepada ummatku dimana mereka lari dari para ulama dan fuqoha, maka Allah akan Teuku Zulkhairi | 31 menurunkan tiga macam musibah kepada mereka, yaitu : 1. Allah menghilangkan berkah dari rizki mereka 2. Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka 3. Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman.” Oleh sebab itu, semoga saja kita selalu baik sangka terhadap upaya para ulama di Aceh dalam menjaga Aceh. amiin ya Allah. D. Dayah Membendung Radikalisme Dayah di Aceh merupakan institusi Islam yang secara umum berpedoman pada mazhab Fiqih yang empat, dan mazhab Ahlsunnah wal Jama’ah dalam Aqidah. Mazhab fiqih yang empat merujuk pada Imam Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Sementara Mazhab Ahlusunnah wal Jama’ah yang diajarkan pada dayah-dayah di Aceh merujuk pada Syaikh Abu Hasan AlAsy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Mazhab Aqidah Ahlusunnah wal Jama’ah terbukti sangat efektif dalam membendung radikalisme. Kedamaian di Indonesia dibanding Timur Tengah, tentu dengan izin Allah Swt adalah “karya” penduduknya yang mayoritas bermazhab Ahlusunnah wal Jama’ah. Ini dibuktikan dengan dominasi pesantrenpesantren di Indonesia, termasuk di Aceh yang Ahlusunnah wal Jama’ah yang kemudian mempengaruhi paradigma berfikir dan kehidupan rakyat Indonesia. Kita sering mendengar pengakuan orang-orang luar tentang keindahan Islam di Indonesia. Penduduknya ramah dan santun. Saat demonstrasi yang diikuti jutaan orang di Jakarta, tidak terjadi kekisruhan apapun yang kemudian Indonesia menuai pujian dari luar. Ahlusunnah wal Jama’ah yang diyakini dan diamalkan oleh dayah-dayah di Aceh merupakan paham yang moderat (mengambil jalan tengah di antara ekstrim kanan dan 32 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan ekstrim kiri), adil, dan tawazun (seimbang). Alhasil, keislaman Indonesia yang ditopang oleh dunia pesantren atau dayah, telah menjadi corak dan model keislaman ideal dalam dunia yang saat ini terjaid konflik dimana-mana, khususnya di dunia Arab. Bahkan, dayah-dayah di Aceh sangat anti terhadap berbagai upaya provokasi radikalisme yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia dewasa ini, seperti paham takfiri, aliran sesat dan penyimpangan akidah. Dayah di Aceh yang jumlahnya sangat dominan berperan sebagai benteng Syari’at Islam di satu sisi, dan disisi lainnya, kita menyaksikan indahnya keragaman di Aceh, bahwa agama-agama yang berbeda tetap dihormati selama saling menghargai antar kepercayaan. Ini adalah wujud toleransi nyata. Dayah-dayah di Aceh dengan kitab-kitabnya menciptakan Aceh yang betul-betul aman dan damai di satu sisi, serta teguh menjadikan Islam sebagai pandangan hidup dan aturan kehidupan di sisi lainnya. Dalam konteks ini, Dinas Dayah terus berupaya memperkuat pendidikan dayah dengan berbagai support materi dan non materi. Pemberian beasiswa untuk santri berprestasi, bantuan kitab dan seterusnya. Tidak kita temukan di dayah-dayah diajarkan intoleransi, saling mengkafirkan (takfiri), saling membid’ahkan dan sebagainya. Maka dayah di Aceh sangat menyatu dengan denyut nadi kehidupan masyarakat di sekitar. Para santri di dayah, para teungku dan ulamanya berbaur dengan masyarakat, terlibat dalam menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat. Maka dayah tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Aceh, bahkan menjadi sub sistem dalam kehidupan masyarakat Aceh, dari dulu sampai saat ini. Jadi, jelas bahwa dayah di Aceh di satu sisi sangat istiqamah menjadikan Islam sebagai pandangan dan aturan hidup, dan menujukkan toleransi dalam keragaman di Teuku Zulkhairi | 33 sisi lainnya. E. Catatan untuk "Dakwah Salafy", Toleran! Sebelum kasus interpretasi tsunami Dr Khalid Basamalah yang menyudutkan umat Islam di Aceh dan akhirnya berujung pada permintaan maaf yang bersangkutan , terdapat nama lain yang pada akhirnya juga minta maaf, yaitu Dr Syafiq Riza Basamalah. Syafiq Basamalah sebelumnya menyebut zikir berjama’ah yang dilakukan mayoritas umat Indonesia setelah shalat di mesjid sebagai “nyanyi-nyanyi”. Padahal, yang dibaca tersebut adalah zikir, tahlil dan do’a berjama’ah yang semuanya memiliki referensi Islam. Sementara Khalid Basamalah menyebut ganja sebagai sebab terjadinya tsunami di Aceh dengan interpretasi yang lucu karena seolah semua masyarakat Aceh sudah mabuk dengan ganja. Dan ketika umat Islam di Aceh tersinggung oleh interpretasi Khalid, tentu itu bukan berarti mereka mendukung ganja. Ganja adalah sesuatu yang haram, tidak diragukan lagi. Namun, kita bersyukur bahwa kedua da’i Salafy ini sudah meminta maaf via Youtube, membuktikan keluhuran akhlak mereka dalam hal ini, alhamdulillah. Sebagai muslim, kita wajib memaafkan, karena ciri-ciri orang yang bertaqwa salah satunya adalah “suka memaafkan” (lihat surat ali-‘Imran ayat 133-135). Ketika kita suka memaafkan, itu artinya kita sudah mendekati derajat takwa yang merupakan “pakaian” orang-orang shalih. Allah berfirman: “ Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa (disediakan) syurga-syurga yang penuh kenikmatan di 34 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan sisi Tuhan-Nya.” (Al-Qalam: 34). Kendati pun demikian, saya ingin memberi sedikit catatan untuk metode dakwah salafy, khususnya pada perkara yang bisa menghadirkan keributan di tengah-tengah umat Islam. Dengan masukan ini, saya berharap ini menjadi realisasi atas perintah Alqur’an untuk “tawasau bil haq”, itu saja. Dakwah sebagian kalangan Salafy selama ini memang terkenal sangat gemar menggunakan metode tabdi’ (membid’ahkan) dan menuduh syirik amalan umat Islam. Dua metode ini tentu saja jauh dari metode dakwah Nabi Muhammad Saw, sang panglima pembawa Risalah Islam. Setidaknya saya melihat sendiri ketika seorang da’i Salafy menuduh masyarakat yang nonton TV (sinetron) dan masyarakat lainnya yang menempel do’a dan ayat Alqur’an di dinding rumah sebagai perbuatan syirik. Seharusnya, jangan cepat sekali tuduhan itu keluar kan?. Pun, saya pernah mendengar pengakuan seorang anak yang masih kecil yang baru beberapa waktu belajar di pengajian Salafy dimana akhirnya ia menganggap Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai sesat sehingga ia menolak ketika saya menawarkan untuk membawanya belajar di salah satu dayah di Aceh. Juga cerita seorang dosen saya, dimana mantan muridnya yang lain mulai menjauhinya setelah belajar di pengajian Salafy. Saya tidak tahu itu aliran Salafy yang bagaimana, meskipun saya yakin, sebagian Salafy lainnya seperti orang-orang Wahdah Islamiyah yang saya kenal tidak sekeras itu. 1. Salafy, Bukan Satu-Satunya yang Peduli Akidah Sebelumnya, kita mengakui bahwa berdasarkan referensi sejarah, kejatuhan Kekhilafahan Islam Turki Usmani, salah satu faktor (di samping yang faktor lain, seperti konspirasi Teuku Zulkhairi | 35 Zionis internasional) yang ikut mendasari kejatuhan tersebut adalah tersebarnya perbuatan syirik dan khurafat di tengahtengah umat Islam. Ketika Allah tidak lagi dianggap sebagian umat Islam sebagai satu-satunya yang harus disembah, tentu saja sangat wajar kejayaannya akan dicabut. Pasca kejatuhan tersebut, berbagai usaha menuju kebangkitan telah dilakukan umat Islam, termasuk dengan menghapus praktek kesyirikan, bid’ah dan khurafat di masyarakat. Dan dewasa ini, secara umum kita juga tidak bisa memungkiri bahwa pada sebagian kasus, ketegasan dakwah Salafy dalam menolak praktek tahayul, kesyirikan dan khurafat seperti perdukunan, sesajen dan lain-lain adalah patut diacungkan jempol. Namun harus diakui, pada saat yang sama, ketegasan terhadap praktek-praktek tahayul, bid’ah dan, bid’ah, khurafat sebenarnya juga ditunjukkan umat Islam lainnya di tengah umat Islam dunia dan juga di Indonesia, baik oleh kalangan santri maupun kalangan akademisi. Jadi salafy bukan satu-satunya yang paling peduli soal akidah umat Islam. Kita juga mesti bersyukur, bahwa kalangan Salafy termasuk dalam barisan umat Islam yang paling terdepan dalam mengcounter hadis-hadis palsu yang banyak diproduksi kalangan Syi’ah, seperti yang berbunyi “Aku adalah Kota Ilmu, sedangkan ‘Ali adalah Pintunya. Maka barangsiapa yang menginginkan Ilmu, hendaknya Dia mendatangi dari Pintunya””, dimana hadis ini dianggap palsu oleh Imam Bukhari, Abu Zur’ah, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ad-Daruquthni, Ibnul An-Nawawi dan sebagainya. 2. Problem Awal Dakwah Salafy Namun, yang kita sayangkan, pada sebagian kasus yang banyak kita jumpai, kalangan Salafy justru terjebak menjalankan dakwah dengan metode tabdi’ dan menuduh syirik 36 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan di tengah-tengah umat Islam pada perkara yang pada dasarnya telah dipagari oleh kekayaan literatur fiqh Islam dengan segala dinamika perbedaan pendapat para ulama di dalamnya. Mereka menyamakan saja semuanya, antara praktek-praktek syirik, khurafat dan tahayul, serta bid’ah yang sama sekal tidak memiliki dasar dalam landasan hukum Islam dengan perkaraperkara yang masih masuk dalam pagar fikh yang kaya dan luas. Di sinilah awal masalah yang dimunculkan kalangan Salafy di tengah-tengah umat Islam (di samping beberapa persoalan lainnya seperti metode penafsiran ayat dimana sebagian mereka lebih memahami ayat secara zhahiri (tekstual), sesuatu yang direspon tegas oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh beberapa waktu lalu yang tidak kita bahas disini). Setelah saya mencoba menelusuri akar permasalahan di atas, salah satu persoalan mendasar terdapat di Syaikh Nashiruddin Al-Bani. Al-Bani dianggap sebagai paling memiliki legalitas dan kapasitas untuk dan mentakhrij dan menyeleksi hadis-hadis yang diriwayatkan para Muhaddis, termasuk yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Artinya, secara tidak langsung ada pandangan di kalangan Salafy bahwa Nashiruddin Al-Bani lebih hebat dari Imam Bukhari dan Muslim, apalagi dengan para perawi lain seperti Abu Daud, Ibnu Hibban dan lain-lain. Dengan pandangan seperti ini, harus diakui kalangan Salafy telah memposisikan Nashiruddin Al-Bani sebagai pembawa “Mazhab Baru” diluar mazhab empat dalam segala pemahamannya. Namun celakanya, hanya Mazhab Nashiruddin Al-Bani ini saja yang dianggap sesuai sunnah, sementara yang lain adalah bid’ah. Sungguh ini fitnah besar di tengah umat Islam abad ini, karena pemahaman seperti akan begitu sulit dicarikan titik temu untuk tasamuh atau toleran dalam perbedaan. Ketika misalnya antar mazhab fikh yang empat terjadi Teuku Zulkhairi | 37 perbedaan interpretasi (penafsiran) matan hadis, maka proses tasamuh sangat mudah diwujudkan dan terbukti telah mampu diwujudkan, namun ini akan berebda dengan “Mazhab Al-Bani”, karena titik masalahnya ada di landasan hukum (dalam hal ini hadis) langsung. Kalau satu hadis Nabi sudah ditakhrij oleh AlBani, maka pengamalan umat Islam atas hadis ini akan dianggap bukan sunnah, atau bahkan bid’ah. Padahal, beberapa mazhab Fiqh misalnya menggunakan hadis tersebut sebagai landasan hukum. Sebagai contoh saya katakan, do’a berbuka puasa, terdapat hadis bahwa do’a berbuka itu bunyinya; ‫علَى ِر ْز ِقكَ أَ ْف َط ْرت‬ َ ‫ص ْمتُ َو ِبكَ آ َم ْنتُ َو‬ ُ َ‫اللّ ُه َّم لَك‬ sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud. Sementara itu terdapat hadis lain yang bunyinya lain lagi, yaitu: َّ ‫بُال‬ ُ ‫ُوثَبَتَ ُاْأل َ ْج هرُإِ ْنُشَا َء‬،‫ق‬ ‫ُوا ْبتَلَّتُِا ْلعه هرو ه‬،‫ظ َمأه‬ َ ‫ذَ َه‬ ‫للاه‬ sebagaimana diriwatkan juga oleh beberapa perawi, termasuk Abu Daud. Nah, karena do’a pertama di atas sudah ditakhrij oleh Al-Bani dan do’a kedua disahihkan, lalu kalangan Salafy menyimpulkan do’a pertama tersebut sebagai bukan Sunnah, yang artinya do’a pertama itu adalah bid’ah. Maka jangan heran jika tuduhan bid’ah atau keluar dari sunnah begitu mudah keluar dari lisan dan tulisan mereka. Padahal, para ulama besar bidang fikh telah menunjukkan kebijaksanaannya. Salah satu ulama kontemporer, Prof Wahbab 38 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Zuhaili yang seorang pengikut Mazhab Syafi’i misalnya, dalam Fiqh Islam wa Adillatuhu bab “Puasa” beliau mengambil langkah bijak dengan menggabungkan kedua do’a di atas menjadi do’a berbuka. Tapi barangkali kalangan Salafy akan sulit melakukan hal seperti ini oleh karena bagi mereka standar kebenaran dalam hal ini hanyalah pada Syaikh Nashiruddin Al-Bani. Itulah contoh nyata penyebab keributan di tengahtengah internal umat Islam dewasa ini, yaitu oleh karena Al-Bani telah dianggap lebih hebat dari semua ulama mazhab dan para perawi hadis sekalipun. Seolah, Imam Mazhab dan para perawi hadis tidak ada yang paham hadis sehingga mengambil hadishadis yang pada perkembangan kemudian dianggap Dha’if oleh Al-Bani. 3. Mari Lebih Toleran! Slogan kembali kepada Alqur’an dan hadis, atau ajakan beramal sesuai Sunnah yang biasa didengungkan kalangan Salafy sesungguhnya tidak salah. Yang salah adalah saat kalangan Salafy mulai saling menyalahkan dengan tuduhan bid’ah di luar apa yang diyakininya. Seharusnya, jika khazanah fiqih yang kaya bisa dipahami dengan baik, maka tuduhan bid’ah tidak akan keluar begitu cepatnya. Penting dipahami bahwa mengikuti pendapat para Imam Mazhab dan ulama-ulama pengikutnya, bukanlah berarti mengangkangi Alqur’an dan sunnah. Mengikuti Alquran dan sunnah adalah termasuk memahami universalitas ajaran Islam dan landasan hukum lainnya yang bersumber dari kedua sumber utama ini. Oleh sebab itu, maka dalam proses mengikuti Alquran dan hadis, kita tidak bisa memungkiri keharusan untuk mengikuti landasan hukum Islam lainnya, seperti Ijma’, Qiyas yang disepakati mayoritas ulama, bahkan terdapat landasan hukum berikutnya yang dipedomani oleh sebagian ulama Teuku Zulkhairi | 39 lain seperti Mashalihul Mursalah, Qaulu Sahabi, Istihsan dan seterusnya. Mengikuti landasan-landasan hukum semacam Ijma’, Qiyas dan lain-lainnya yang disepakati ulama, adalah bagian dari ketentuan dalam proses mengikuti Alquran dan Hadis. Sampai di sini, jelas bahwa kita tidak bisa menolak keberadaan ulama mazhab. Sebagai contoh, ketika kita ingin mengikuti Sunnah misalnya, timbul pertanyaan, siapa yang paling memahami Sunnah Nabi? Apakah kita sendiri? Tentu bukan! Jawabannya adalah Sahabat Nabi, karena merekalah yang telah membersamai Rasulullah di masa hidupnya. Lalu, ketika kita mengikuti sahabat Nabi, apakah kita sudah mengangkangi Sunnah dan menjadi bid’ah? Tentu bukan bid’ah, karena sahabat Nabi adalah menjadi perantara bagi kita (yang hidup di zaman yang jauh dengan masa Nabi) dalam memahami Islam. Begitu juga posisi para ulama-ulama mazhab yang upayanya memahami ajaran Islam dalam berbagai bidang telah dilator belakangi oleh keluasan ilmu mereka dalam berbagai bidang. Itulah sebab, silsilah sanad keilmuan Islam dan sifatnya yang integratif antar ilmu-ilmu itu selalu menjadi sesuatu yang diperhatikan dalam Ahlusunnah wal Jama’ah dan mazhabmazhab fiqh Islam. Sampai di sini, catatan dan masukan saya untuk kalangan Salafy, tidak masalah sama sekali jikapun kalian telah menjadikan Nashiruddin Al-Bani sebagai pelopor “mazhab baru”, dengan syarat hargailah ulama-ulama lain yang telah dijadikan rujukan dalam memahami praktek ajaran agama oleh umat Islam. Silahkan beramal dengan keyakinan sendiri, namun kurangilah kebiasaan menuduh bid’ah pada amalan umat Islam yang lain, karena sudah pasti hal semacam itu akan menjadi biang kerapuhan soliditas internal umat Islam. Toh, dalam banyak hal, umat Islam lain juga melakukan amalan serupa seperti kalian, 40 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan seperti sunnah memelihara jenggot dan lain-lain. Jadi, solusi kebangkitan Islam di tengah dinamika perbedaan yang ada, adalah tepat seperti yang dikatakan Rasyid Ridha, “natasamuh bima ikhtalafna, wa nata’awwun bima ittafaqna”, yaitu kita saling tolong menolong atas apa yang kita sepakati, dan saling toleran atas apa yang kita perselisihkan. Wallahu a’lam bishshawab. F. Menolak Wahabi, Merajut Solidaritas Muslim Dari uraian di atas, jelas penulis termasuk seorang yang tidak setuju dengan ideologi wahabi. Ideologi ini dalam sejarahnya telah memecah belah umat Islam, bahkan berperan dalam kajatuhan kekhalifahan Turki Usmani yang di era kejayaannya telah menjadi “pelindung” umat Islam dari terkaman para musuh Islam. Seperti sejarah yang kita baca, ideologi ini lahir di masa penjajah Inggris menguasai jazirah Arab, dan dimunculkan penjajah Inggris untuk memecah belah kesatuan internal umat Islam dengan cara melemparkan labellabel kafir dan bid’ah terhadap sesama muslim, sesuatu yang tidak diragukan lagi menjadi benih-benih perpecahan. Atas realitas sejarah ini kita memahami betul mengapa rakyat Aceh dalam sejarahnya tidak pernah menerima ideologi ini. Islam yang dipahami masyarakat Aceh dan juga saya yakini, adalah Islam yang “tawasuth”, berada di tengah-tengah, yakni tidak tarlalu keras dan tidak bablas.Namun demikian, adalah hal yang sungguh sangat ironis akhir-akhir ini, ketika solidaritas yang seharusnya muncul di tengah-tengah umat Islam menjadi hilang oleh sebab adanya pelabelan wahabi terhadap umat Islam yang sedang dizalimi. Faktanya, kita selalu mendengar keluarnya label wahabi dari mulut-mulut sebagian umat Islam terhadap Teuku Zulkhairi | 41 umat Islam lainnya yang sedang diperangi dan dizalimi kaum kuffar. Tuduhan wahabi betul-betul telah menjadi senjata yang mematikan dalam memporak porandakan soliditas umat Islam dan menghilangkan solidaritas di antara sesama kita. Sebagai contoh, ketika dunia sedang menangis menyaksikan umat Islam di Aleppo Suriah dibantai rezim Bassar Assad yang dibantu Iran, Amerika Serikat, Rusia dan lain-lain, maka “label wahabi” yang dilemparkan musuh Islam terhadap umat Islam yang sedang dibantai ini telah menjadi strategi paling ampuh dalam mencegah munculnya solidiritas umat Islam lainnya kepada mereka. Bahkan, celakanya lagi, bukan hanya solidaritas ini yang mulai terkikis karena label wahabi, namun juga munculnya hembusan angin permusuhan dan fitnah kepada mereka yang jujur hendak menunjukkan solidaritas mereka kepada umat Islam yang sedang terzalimi tersebut. Seolah, ketika sekelompok umat Islam mendapat label wahabi, mereka sudah hilang haknya untuk mendapat solidaritas dari umat Islam lain. Ketika mereka dilabeli wahabi, seolah mereka bukan lagi manusia. Ketika mereka dilabeli wahabi, maka seolah kita tidak perlu lagi menangis melihat bayi-bayi yang tubuhnya hancur, ibu-ibu dan anak-anak yang meninggal di bawah puing-puing bangunan yang dihancurkan dengan senjata canggih para musuh Islam. Seolah, ketika mereka dilabel wahabi oleh media-media yang dikuasai syi’ah dan liberal, maka kita sudah wajib percaya, sudah wajib mematikan nurani kita. Di antara alasan penolakan untuk solidaritas Suriah, misalnya, bahwa konflik di Suriah itu adalah rekayasa Israel dan wahabi yang ingin menjatuhkan pemerintahan Bassar Assad, seorang syi’ah yang dianggap sangat pro Aswaja karena pernah berfoto bersama ulama Aswaja Suriah. 42 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Maka, setiap kali kita mendengar rintihan dan tangisan umat Islam di Suriah, setiap kali itu pula muncul pernyataanpernyataan bahwa konflik di Suriah itu diciptakan wahabi. Seolah, ketika menurut sebagian orang bahwa konflik di Suriah diciptakan wahabi, maka saat itu kita tidak perlu lagi menunjukkan solidaritas kepada umat Islam di Suriah, seolah nurani kemanusiaan kita sudah tidak penting lagi dihidupkan. Dan lucunya, setelah menuduh wahabi satu-satunyanya penyebab konflik Suriah, pada saat yang sama sebagian kita sama sekali menolak mengakui kebengisan Bassar Assad terhadap rakyatnya. Mereka juga tidak mengakui kebengisan tentaratentara Komunis Rusia yang “ditepung tawari” pendeta Kremlin saat hendak pergi ke Suriah karena keyakinan mereka bahwa perang tersebut adalah lanjutan dari perang Salib melawan umat Islam. Pelabelan wahabi terhadap sesama umat Islam di Suriah yang diperangi Bassar Assad, Iran, Rusia, Amerika and the gank mereka lainnya, betul-betul telah menjadi penghalang atas munculnya solidaritas kemanusiaan di tengah umat Islam. Label wahabi telah mematikan nurani kemanusiaan kita. Label wahabi, membuat kita sudah tidak mampu melihat dengan pandangan kemanusiaan terhadap umat Islam di Suriah. Seolah, meyakini mereka yang dizalimi tersebut sebagai wahabi adalah lebih penting daripada pandangan kemanusiaan. Sepertinya, kita betul-betul sudah melupakan politik “devide et ampera” (pecah belah dan kuasai) yang dipraktekkan Belanda dahulu saat menjajah Aceh, dan juga politik pecah belah lainnya yang dipraktekkan para negara kapitalis lainnya di berbagai dunia Islam. Barangkali, kita lupa apa yang disabdakan Nabi Muhammad Saw: Teuku Zulkhairi | 43 ُ ‫ َوت َ َعا‬،‫َمث َ ُل ْال ُمؤْ ِم ِنينَ ِفي ت َ َىا ِدّ ِه ْم‬ ‫ ِإذَا‬،ِ‫سد‬ َ ‫ َمث َ ُل ْال َج‬،‫ َوت َ َرا ُح ِم ِه ْم‬،‫ط ِف ِه ْم‬ ‫س َه ِر َو ْال ُح َّمى‬ َّ ‫س ِد ِبال‬ ُ ُ‫ا ْشت َ َكى ِم ْنه‬ َ ‫سائِ ُر ْال َج‬ َ ‫عض ٌْى تَدَا َعى‬ “Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” [HR. Muslim]. Lalu, atas realitas ini, haruskah kita mengikuti cara berfikir mereka yang anti solidaritas terhadap umat Islam di Suriah? Jangan pernah. Teladan kita adalah Nabi Muhammad Saw. Cukuplah hadis di atas menjelaskan kepada kita bagaimana seharusnya kita menyikapi kezalimah yang dirasakan umat Islam Suriah. Inilah jalan kafilah akhi zaman, yaitu jalannya orangorang Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Ya Allah, senantiasalah Engkau perlihatkan kepada kami yang haq sebagai haq, dan bathil sebagai bathil. Bantulah kam untuk tetap lurus di jalanMu... Amiin ya Rahman 44 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan BAB III Ekstrim Kiri: Sekulerisme, Liberalisme dan Pluralisme Agama Teuku Zulkhairi | 45 A. Pengantar Sudah banyak buku yang menjelaskan bahaya paham sekularisme, pluralisme agama dan liberalisme bagi agama Islam. Termasuk fatwa dari Majelis Ulama Indonesia yang menjelaskan kesesatan paham-paham ini. Namun, pada faktanya, paham ini terus hidup dan berkembang. Dan oleh sebab itu, paham ini jelas merupakan tantangan tersendiri bagi kalangan santri. Berkaitan dengan tantangan pemikiran semacam ini, terdapat penjelasan dari seorang ulama Aceh, Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab (Tu Sop Jeunieb) saat beliau mengisi seminar dalam rangka musyawarah besar Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) beberapa waktu lalu. Dalam pemaparannya saat itu, setelah sesi pemaparan Gatot Edi Pramono, Tu Sop menjelaskan bahwa ulama tetap komit dengan dakwahnya pasca kemerdekaan. Pada saat itu, pendidikan di Aceh hanya ada dayah dan rangkang yang semuanya berada di bawah ulama. Ulama kata Tu Sop, membimbing semua aspek mulai dari aqidah, kehidupan (fiqh), karakter (tasawuf). Pada masa pasca penjajahan, dayah hanya bertahan dengan semangat keikhlasan tanpa ada biaya apapun sehingga dakwahnya kosong karena lemahnya jangkauan yang memiliki silsilah kepada Rasulullah. Lalu, kata Tu Sop, muncullah tafrid (liberalisme) dan ifrad (radikalisme) yang berbenturan di antara kedunya di tengah masyarakat sebagai dua keseblasan yang saling bertentangan sehingga saling menghujat di antara sesama mereka. Maka dalam posisi ini, menurut penjelasan Tu Sop, para ulama mengambil posisi menjaga keseimbangan dengan mazhab Ahlussunnah Waljamaah yang sampai silsilah keilmuannya kepada Rasulullah Saw. Para ulama konsisten menjaga keseimbangan antara liberalisme sebagai ekstrim kiri dan radikalisme esktrim kanan. Dalam kondisi ini, ulama dayah yang berada di jalan tengah yang beraliran Ahlusunnah wal Jama’ah menjadi sasaran garapan 46 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan dan gempuran kelompok-kelompok liberalisme dan radikalisme. Ulama merasa prihatin terhadap fenomena hari ini yakni ilmu Ahlussunnah Waljamaah sebagai paham yang moderat (washatiyah) kosong pada kebanyakan kader-kader terbaik anak negeri karena kekosongan yang dimiliki pihak umara. Maka, Tu Sop menyimpulkan bahwa solusi yang harus kita tempuh adalah melakukan ekspansi dakwah dan merubah pola pemikiran. Karena persoalan ini terjadi karena tidak ada kekuatan yang memadai terhadap dunia pendidikan. Dalam Islam pendidikan dan ilmu terdiri dari Fardhu ‘ain dan kifayah. Inilah tugas terbesar yang harus kita revitalisasi kembali, kata Tu Sop saat itu. Oleh sebab itu, apa yang disampaikan oleh Tu Sop sudah selayaknya mendapat perhatian serius dari seluruh komponen santri di Aceh. Bahwa segenap daya dan upaya harus dicurahkan untuk mematahkan setiap argumentasi paham-paham tersebut sehingga tidak menipu ummat. Apalagi, tidak jarang kita melihat “permainan” yang dibuat untuk menyusupi pahampaham sekuler liberal tersebut cukup halus. Mereka misalnya menggunakan istilah-istilah dalam Islam untuk melegitimasi ide-ide sekuler dan liberal. Oleh sebab itu, beberapa tulisan dalam bab ini akan mengupas sejumlah paham-paham tersebut. B. ‘Rahmatan Lil‘alamīn’ vs Sekulerisme Tujuan esensial diutusnya Muhammad Saw sebagai Nabi dan Rasul adalah menjadi ‘rahmatan lil ‘alamīn’ (rahmat bagi semesta alam). Hal tersebut sebagaimana difirmankan Allah Swt dalam Alquran alqarim (QS Al Anbiya: 107): “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Namun dewasa ini, berkembang sebuah cara pandang bahwa Teuku Zulkhairi | 47 atas nama Islam sebagai agama ‘rahmatan lil ‘alamīn’, lalu pengingkaran-pengingkaran terhadap aqidah Islam dianggap sebagai sesuatu yang sah. Aliran-aliran sesat dan berbagai pengingkaran terhadap esensi ajaran Islam dibenarkan atas nama Islam sebagai ‘rahmatan lil ‘alamīn’. Bahkan, tidak jarang Syari’at Islam dilawan dengan dalih bahwa Islam adalah agama yang ‘rahmatan lil ‘alamīn’. Di Jakarta, sekelompok orang menggunakan slogan ‘rahmatan lil ‘alamīn’ sebagai justifikasi dan alasan untuk mendukung Ahok, padahal telah sangat jelas bagaimana Islam melarang kepemimpinan kafir bagi umat Islam. Pada intinya, konsep ‘rahmatan lil ‘alamīn’ dewasa ini telah dimaknai sebagai justifikasi untuk menghilangkan Islam dari pemeluknya. Hal ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari “perang” pemikiran yang dilancarkan pengusung ideologi sekulerisme yang mencoba menjauhkan Islam dari kaum muslimin. Padahal, kalau sejenak kita membuka kitab-kitab tafsir para ulama, maka akan kita temukan bahwa ‘rahmatan lil ‘alamīn’ akan terwujud ketika ajaran Islam termanifestasikan dalam semua dimensi kehidupan, yang berarti bahwa ‘rahmatan lil ‘alamīn’ adalah versus sekulerisme. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, pengertian ayat ‘Allah Swt mengutus Nabi Muhammad Saw sebagai rahmat bagi semesta alam, yaitu barangsiapa yang menerima rahmat dan mensyukuri nikmat ini, niscaya dia akan berbahagia di dunia dan di akhirat. Sedangkan siapa saja yang menolak dan menentangnya, niscaya dia akan merugi di dunia dan di akhirat. 3 Sementara dalam Tafsir at-Tabari ” 4 dijelaskan bahwa bahwa 3 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 6, terj. M. Abdul Ghoffar, cet. Kelima, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2012), hal. 154 4 Muhammad bin Jarir at-Tabari, Tafsir at-Tabari, Jilid 8, (Lebanon: 48 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka akan ditetapkan baginya ‘rahmat’ di dunia dan di akhirat. Rahmat diberikan bagi seluruh manusia, baik mukmin maupun kafir. Namun, rahmat bagi orang mumin yaitu dengan cara Allah memberikannya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Saw. Rasulullah Saw memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah. Sedangkan rahmat bagi orang kafir, yaitu dengan cara tidak disegerakannya bencana yang menimpa umat-umat terdahulu yang mengingkari ajaran Allah. Hal ini didasari dari Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra ketika menafsirkan ayat ini:“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar”.5 Disebutkan juga Hadis dalam riwayat yang lain: “Rahmat yang sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada Rasulullah. Sedangkan bagi orang-orang yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu” Pendapat ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang beriman saja. Mereka membawakan riwayat dari Ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat ini: “Dengan diutusnya Rasulullah, ada manusia yang mendapat bencana, ada yang mendapat rahmah, walaupun bentuk penyebutan dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia. Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah orangorang yang beriman kepada Rasulullah, membenarkannya dan Dar Al-Kutub Al ‘Ilmiyah, 1999), hal. 100-101 5 Muhammad bin Jarir at-Tabari, Tafsir at-Tabari..., hlm: 100 Teuku Zulkhairi | 49 menaatinya”.6 Jadi, rahmat yang dimaksudkan dalam ayat tersebut, meskipun ditulis bagi sekalian alam, namun yang dipahami disitu adalah bagi siapa saja orang-orang mukmin yang taat kepada Allah dan RasulNya. Rahmat bagi orang-orang mukmin meliputi dua alam sekaligus, yaitu kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Sementara orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya maka mereka akan ditimpakan kerugian di akhirat, sementara musibah di dunia bagi mereka yang tidak beriman ditangguhkan oleh Allah Swt. Bagi kita sebagai Muslim, Islam akan menjadi rahmat bagi sekalian alam apabila sistem dan konsep Islam diimplementasikan secara menyeluruh berdasarkan contoh-contoh dari Rasulullah Saw, para sahabat dan Salafussalih. Islam tidak akan menjadi ‘rahmatan lil ‘alamīn’ apabila Syari`at Islam ditinggalkan, apabila aturan-aturan dilanggar. Jadi pemahaman Islam rahmat bagi sekalian alam bukan seperti pemahaman kalangan liberal dan sekuler yang menghendaki agar Syari`at Islam dicampakkan. Islam menjadi rahmat ketika Syari`at Islam ditegakkan, bukan dihalang-halangi, apalagi ditutup-tutupi. Kesimpulannya, ayat ‘rahmatan lil ‘alamīn’ bertolak belakang secara total dengan nilai-nilai yang diajarkan paham sekulerisme dimana Islam ingin dijauhkan dari kaum muslimin. Maka pengunaan istilah ‘rahmatan lil ‘alamīn’ untuk sesuatu yang menjauh dari ajaran Islam adalah sebuah “pelacuran intelektual”. Sebab, jika interpretasi dari ‘rahmatan lil ‘alamīn’ menghendaki ajaran Islam termanifestasikan dalam setiap dimensi kehidupan, sebagai dijabarkan di atas, maka para pengusung sekulerisme, lucunya atasnama ‘rahmatan lil ‘alamīn’ justru memisahkan Islam dari kehidupan, yang menyebabkan terjadinya berbagai ketimpangan dan kehancuran dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. 6 Muhammad bin Jarir at-Tabari, Tafsir at-Tabari..., hlm: 101 50 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Padahal, Islam justru memandang sebaliknya dimana prinsipprinsip Islam sepenuhnya menentang sekulerisme. Islam berada di puncak kejayaannya tatkala Islam menjadi ruh dan ideologi umat Islam saat itu, yaitu tatkala Syari`at Islam menjadi way of life (gaya hidup) umat Islam di masa itu. Seorang pemikir Islam terkenal asal Mesir, Muhammad Imarah7 mengatakan, di semua negeri-negeri Muslim yang dijajah Barat, kebijakan pemerintahannya –-sedikit demi sedikit-– menempatkan sekulerisme dalam urusan negara, sosial dan kebudayaan untuk menggeser identitas Islam. Di Tunisia, penjajah Prancis menerapkan undang-undang sekuler untuk menyingkirkan Syari`at Islam. Begitu pula yang terjadi di Mesir pasca pendudukan Inggris. Dengan Undang-undang sekuler tersebut, menurut Muhammad Imarah (hal: 48), agama dapat disingkirkan dan Syari`at Islam dijauhkan dari kehidupan ini. Dengan undangundang sekuler, yang asas pragmatisme dan utilitarianismenya tidak dikendalikan dengan Syari’ah serta hak-hak manusia tidak dikendalikan dengan hak-hak Tuhan serta ketentuanketentuanNya, serbuan penjajah Barat datang ke negeri-negeri Islam dengan konsep kebebasan manusia yang bebas dari ikatan Syari’ah. Syed Naquib Al-Attas8 setelah menjelaskan kerusakan ideologi sekulerisme yang telah menimbulkan banyak kebingungan di tengah-tengah masyarakat, yaitu disebabkan karena pengenalan cara-cara Barat dalam dalam berfikir, menimbang dan meyakini sesuatu yang ditiru oleh beberapa sarjana dan cendekiawan Muslim yang terpengaruh oleh Barat karena terpukau oleh kemajuan ilmu dan teknologi Barat, Al⁷Muhammad Imarah, Perang Teminologi: Islam versus Barat, terj. Mustolah Maufur, (Jakarta: Robbani Press, 1999), hlm: 47 ⁸Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Islam dan Sekulerisme, terj. Karsidjo Djojosuwarno, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), hal. 17-18 Teuku Zulkhairi | 51 Attas mengatakan, “mereka ini karena kedudukannya yang berpengaruh dalam masyarakat Islam, telah menjadi penabur kebingungan-kebingungan dan kebodohan-kebodohan yang tidak perlu…”. Di hadapan fenomena ini, ketika esensi ajaran Islam, khususnya makna dari ‘rahmatan lil ‘alamīn’ telah diplintir sekelompok ‘intelektual islam’ yang terpengaruh dengan kemajuan teknologi Barat, nampkanya sudah saatnya kita memperkuat kembali seruan kepada ummat untuk kembali berpedoman pada landasan Islam melalui kitab-kitab para ulama sehingga ummat tidak dilanda kebingungan. Wallahu a’lam bishshawab. C. Runtuhnya Sekulerisme di Turki Berkaitan dengan sekularisme ini, ada baiknya kita menengok sejenak perkembangannya di negara Turki yang merupakan bekas ibukota Khilafah Utsmaniyah di masa silam. Kini, setelah sekian lama dipasung sistem sekuler, akhirnya Islam kembali bangkit di Turki. Kebangkitan ini terjadi satu dekade silam sejak partai yang mengusung visi Islam, AKParti (Adalet Kalkinma Paritisi) mendominasi jagad perpolitikan di negara dua benua tersebut. Persis seperti selama ini kita baca di media massa, dalam perjalajan saya ke Istanbul bebarapa waktu lalu, saya melihat dan merekam sendiri bagaimana geliat kebangkitan Islam di negara tersebut setelah sistem sekuler gagal membangun Turki sehingga sistem tersebut praktis sedang berada diambang keruntuhan. Oleh sebab itu, saya merasa penting untuk menulis hasil dialog bersama beberapa akademisi Turki tersebut selama saya di sana beberapa waktu lalu untuk menjadi bahan pelajaran bagi kita masyarakat Aceh. Bagaimana sebenarnya indikator kegagalan sekulerisme di Turki dan mengapa kita sebut sistem ini diambang keruntuhan? 52 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Secara umum, indikator kegagalan sekulerisme di Turki adalah pada catatan sejarah tentang ketidakmampuan Turki untuk bangkit selama hampir satu abad sejak sistem sekulerisme mencengkeram negera tersebut. Seperti kita ketahui, sejak Mustafa Kamal Ataturk mengganti kekhalifahan Islam Turki Usmani pada tahun 1923 menjadi republik yang berideologi sekuler dan ke-Barat-baratan, negara tersebut praktis menjadi pesakitan dalam pentas peradaban modern negara-negara dunia. Padahal, sebelumnya Turki Usmani adalah sebuah kekuatan besar yang bahkan luasnya membentang di antara negara-negara Eropa dan Asia. 1. Lord Istanbul, kuku kapitalisme Di bawah sistem sekuler, bukan saja Turki tidak mampu berperan dalam skala internasional di tengah banyaknya persoalan negara-negara di dunia ketiga, bahkan juga Turki kehilangan kemampuan terbaiknya dalam mengurus dirinya sendiri. Beberapa koran di era Turki lama memperlihatkan bagaimana kumuh dan miskinnya Turki dibawah sistem sekuler. Kondisi ini disebabkan karen kekayaan bangsa Turki hanya mengalir untuk Tuan-Tuan Istanbul (Lord Istanbul) yang menjadi penguasa negara tersebut di belakang layar. Dengan sistem sekuler ini, Tuan-Tuan Istanbul yang terkoneksi dengan jaringan Masonik dan kapitalisme Internasional ini kian leluasa menguras kekayaan bangsa Turki dengan membudayakan ekonomi kapitalis dan sistem ribawi dalam perbankan. Lord Istanbul yang dipelihara sejak di era Mustafa Kamal Ataturk ini adalah penguasa Turki yang sesungguhnya, siapapun pemimpinnya. Dengan uang riba yang mereka peroleh dari kekayaan bangsa Turki, mereka bukan hanya menguasai ekonomi Turki, namun juga menguasai politik, pendidikan, hingga media massa. Mereka mendirikan bank-bank swasta, meminjamkan uang Teuku Zulkhairi | 53 mereka ke negara untuk kemudian menarik bunga riba sebanyakbanyaknya sehingga menyulitkan Turki untuk bangkit. Apalagi, jaringan kapitalisme internasional di luar Turki seperti IMF (Internasional Moneter Found) yang bekerjasama dengan TuanTuan Istanbul ini senantiasa sigap memasung Turki dengan uang-uang pinjaman yang membuat Turki sulit untuk bangkit. Kondisi ini kian diperparah dengan pemasungan kebebasan beragama, terkhusus kepada umat Islam. Dalam bidang politik, Lord Istanbul ini secara leluasa menentukan siapa saja wakil rakyat di parlemen yang mereka kehendaki. Dalam bidang pendidikan, pelarangan mata pelajaran agama di sekolah-sekolah dan pelarangan memakai pakaian Muslimah di tempat-tempat umum adalah sesuatu yang telah jamak diketahui masyarakat dunia pernah berlaku di Turki. Bahkan juga tidak sedikit perguruan tinggi yang sebelum era AKParti-Erdogan menolak menerima calon mahasiswa dari latar belakang pendidikan agama. Kalangan pelajar “pesantren” pun begitu terdiskriminasi. Barangkali, penguasa sekuler paham betul bahwa sekulerisme akan ambruk jika mereka membiarkan bangsa Turki dekat dengan Islam, agama mereka sendiri. Bahkan, laranganlarangan itu berujung pada hukuman mati kepada Adnan Menderes, perdana Menteri terpilih Turki di era 1960 karena ia mencoba mengembalikan Islam dalam kehidupan masyarakat Turki. Padahal, umat Islam di negara tersebut adalah mayoritas. Jika ada pemimpin Turki yang mencoba melawan, seperti Perdana Menteri Najmuddin Erbakan, ia langsung dikudeta dan partainya pun dibubarkan. 2. Islam dan Turki baru Dan kini, sejak Turki satu dekade silam berada di bawah kepemimpinan perdana menteri Receb Thayeb Erdogan (kini 54 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Presiden Turki), Turki bangkit secara dramatis. Berturut-turut partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) menang dengan jumlah suara mutlak (melebihi 50 persen) dalam pemilu Turki, suatu capaian yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Turki lama. Sementara partai-partai sekuler seperti Partai Gerakan Nasionalis (MHP) dan Partai Rakyat Republik (CHP) semakin tidak populer. Sesuatu yang menjadi bukti nyata bahwa sekulerisme di Turki sedang berada di ambang keruntuhan. Bahkan dalam Pemilu legislatif tujuh Juni lalu, Partai AKP juga kembali menang melebihi 40 persen suara secara nasional, suatu capaian yang fantastis bagi suatu partai “Islamis” di negara yang secara resmi menggunakan sistem sekuler sebagai ideologi negara. Kemenangan berturut-turut AKParti terjadi karena Recep Tayyip Erdogan sebagai figur sentral partai AKP dengan izin Allah Swt selangkah demi selangkah telah membawa Turki ke arah kebangkitan, meskipun tantangan besar dari dalam dan luar negeri senantiasa menghadangnya. Di bawah Erdogan, pembangunan Turki kian bergeliat dalam berbagai bidang. Ekonomi Turki bergeliat dan pendidikannya pun semakin maju. Tidak hanya itu, militer Turki pun semakin kuat dengan penguatan alustita yang canggih. Dilansir dari berbagai sumber, Turki baru dibawah Erdogan telah melakukan lompatan ekonomi yang besar, dari rangking 111 dunia ke peringkat 16, dengan rata-rata peningkatan 10 % pertahun, yang berarti masuknya Turki kedalam 20 negara besar terkuat (G-20) di dunia. Pada saat yang bersamaan, Erdogan telah memberi harapan baru, bukan hanya bagi umat Islam di Turki namun juga bagi umat Islam sedunia. Di dalam negeri, Erdogan telah memberi kebebasan bagi umat Islam untuk menggeliatkan syi’ar Islam. Sebagai contoh, Muslimah Turki kini semakin bebas menggunakan pakaian Muslimah setelah sebelumnya dilarang sistem sekuler negara tersebut. Lembaga Pendidikan Islam Teuku Zulkhairi | 55 seperti Madrasah Imam Hatip (seperti dayah di Aceh) semakin menjamur dengan siswa-siswinya yang membludak. Bahkan, awal bulan Juni lalu, Turki juga telah mendirikan bank anti praktek riba (baca: bank syari’ah), meskipun tidak secara ekplisit dinamakan sebagai bank syari’ah. Tentu saja, ini merupakan upaya-upaya lanjutan Turki dalam melawan sistem kapitalisme yang telah sekian lama menjajah umat Islam. Saat ini, Turki juga kian eksis dalam kencah perpolitikan dunia. Negara dua benua ini telah tampil sebagai pemain utama dalam isu-isu yang berkaitan dengan umat Islam dunia. Turki hadir membantu umat Islam di Somalia dan di Crimea. Turki membantu mendamaikan Syprus. Turki membantu rekonstruksi Gaza-Palestina setelah dihancurkan Israel. Turki juga hadir di berbagai negara dunia ketiga lainny. Bahkan, yang tidak mungkin kita lupakan, Turki juga eksis membantu Aceh saat musibah tsunami memporak-porandakan Aceh 10 tahun yang lalu. Alhasil, Turki dibawah kepemimpinan Erdogan dan AKParti betul-betul telah membawa harapan baru bagi dunia Islam, seperti peran yang pernah dilakukan Turki di masa Turki Usmani masa silam. Maka tidak heran jika banyak pihak menyebut bahwa kebangkitan Turki di bawah AKParti dan Erdogan adalah kebangkitan Islam. 3. Kunci Erdogan membangun Turki Lalu apa kunci Erdogan menaklukkan sekulerisme di Turki yang telah berjalan hampir satu abad? Dalam perjalanannya, Erdogan paham betul persoalan mendasar Turki lama. Itu sebab, dalam geraknya setelah 12 tahun lalu ia dan partainya menjadi penguasa Turki, Erdogan langsung “memotong” urat nadi TuanTuan Istanbul yang menjalankan praktek riba dan kapitalisme di tengah-tengah penderitaan bangsa Turki. Kapitalisme sesuai dengan prinsipnya memang selalu menjajah dan memenjarakan 56 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan manusia, dan kapitalisme ini mengambil manfaat sangat besar dari sistem sekuler di negara Turki. Mengapa disebut mengambil manfaat, karena mereka tidak akan bisa menjalankan praktek kapitalisasi tanpa paham sekuler. Sekuler membenci kehadiran agama dalam negara, sementara Islam adalah sistem yang menentang kapitalisme, maupun juga sekulerisme. Itu sebab, suatu ketika dalam rekaman yang masih bisa kita saksikan di Youtube, Erdogan mengatakan: “Jangan mengaku Muslim jika pada saat yang sama anda mengakur sebagai sekuler”. Atau ungkapannya yang lain, “Sekulerisme telah gagal membangun Turki, dan kami akan segera menggantikannya”. Kembali ke kunci Erdogan membangun Turki, setelah Erdogan berhasil “memotong” urat nadi Tuan-Tuan Istanbul ini, aliran kekayaan bangsa Turki, dari sebelumnya mengalir ke tuan-tuan Istanbul ini akhirnya bisa diarahkan ke pembangunan infrastruktur Turki, pendidikan dan sebagainya. Maka saat ini kita bisa menyaksikan Turki baru yang modern di segala bidang. Lebih dari itu, kini Turki juga mampu membantu negara-negara lain, sampai ke Indonesia. Lihatlah NGO terbesar Turki seperti IHH, mereka hadir hampir di setiap negara untuk membantu masyarakatnya. Maka tidak salah, jika kita simpulkan, kebangkitan Turki adalah karena negara tersebut telah meninggalkan sistem sekuler dalam membangun negara secara diam-diam. Apalagi, tepat pada 30 Mei lalu, untuk kali pertama dalam sejarah Turki merayakan 562 tahun kejatuhan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Alfatih. Semoga peringatan kejatuhan Konstantinopel ini menandakan bahwa Turki akan kembali berperan secara maksimal sebagai ‘ayah’ bagi dunia Islam. Amiin. Wallahu a’lam bishsawab. Teuku Zulkhairi | 57 D. Agenda Liberalisasi Islam dalam Kasus Ahok Jauh sebelum fenomena Ahok, Indonesia sudah “diterjang” proyek liberalisasi Islam yang tidak lain adalah lanjutan kapitalisme atau penjajahan. Proyek Liberalisasi Islam dijalankan seiring dengan proyek lainnya, yaitu proyek deradikalisasi yang ditujukan bagi mereka yang melawan proyek liberalisasi Islam ini. Inti dari proyek tersebut adalah bagaimana agar umat Islam bisa ber Islam sesuai selera para bangsa kapitalis dan korporasi global tersebut. Dengan kata lain, kaum kapitalis ingin melihat Islam seperti yang mereka harapkan. Sesuatu yang wajar dalam perspektif tatanan dunia baru mengingat hegemoni mereka dalam dunia militer dan peradaban. Sebelum Ahok muncul, salah satu gagasan yang dikampanyekan di tengah tengah muslim adalah tentang bolehnya non muslim memimpin ummat Islam, yang dalam perkembangan kemudian gagasan ini berubah menjadi kampanye “pemimpin non muslim lebih baik dari muslim”. Bahkan, dalam perkembangannya kemudian, kampanye ini berubah menjadi semakin lancang dengan jargon baru mereka bahwa “non muslim yang tidak korup lebih baik dari muslim yang korup”. Di tengah jalan proyek liberalisasi Islam gagal, meskipun tidak sepenuhnya. Kegagalan proyek tersebut ditandai dengan gagalnya aktivis Islam liberal menguasai mesjid. Di sini pesantren dan aktivis Ormas Islam berperan sebagai benteng. Dan kini, berkat Ahok, proyek tersebut semakin menunjukkan kegagalannya dengan ketidakmampuan pengusung gagasan liberal Islam menjelaskan bahwa non muslim lebih baik dari muslim dalam urusan memimpin. Slogan “non muslim lebih baik” terpatahkan dengan cepat oleh data dan fakta lapangan. Umat Islam kembali merindukan sosok pemimpin muslim yang santun dan jujur. 58 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Dalam kondisi seperti ini, pengusung gagasan liberal Islam dan atau yang sepakat atas ide-ide mereka, kembali mengeluarkan jurus ‘mabuk’ dengan menyerang para calon atau pemimpin muslim dengan terus mencari setiap kekurangan mereka, dengan alasan-alasan yang menurut mereka sudah akademis, hasil survey dan lain-lain. Demikianlah, hal semacam ini dilakukan dengan tujuan seolah “non muslim tetap lebih baik” menjadi pemimpin muslim ketimbang muslim itu sendiri. Dalam Pilgub DKI Jakarta, sejumlah partai sepakat menolak Ahok dan akhirnya seperti kita ketahui iapun kalah dalam Pilgub meskipun sebelumnya sejumlah lembaga survey menyatakan bahwa Ahok terlalu kuat untuk dikalahkan. Hal ini tentu saja karena mereka melihat umat Islam di Jakarta yang semakin konsisten menolak Ahok, akibat keserakahannya. Bagaimana tidak serakah ya, salah satu contoh, tahun 2012 dulu Ahok ngomong calon petahana (kandidat yang sedang menjabat) harus cuti. Itu saat petahana adalah pihak lain. Sekarang, giliran dirinya yang jadi kandidat dari petahana, ngomongnya udah berbeda, alias udah tidak mau mau cuti. Serakah sekalli bukan? Tapi, tetap saja pengusung gagasan liberal Islam akan tetap ‘mendewakan’ sosok seperti ini. Hal bukan karena berdasarkan kapasitas dan kapabilitas, melainkan karena ia non muslim. Contoh, Nusron Wahid di salah satu TV Nasional beberapa waktu lalu faktanya justru membenarkan kepemimpinan kafir bagi umat Islam serta menyatakan bahwa hanya Allah yang berhak menafsirkan ayat Alqur’an surat alMaidah ayat 51 sembari menolak otoritas ulama, dalam hal ini otoritas Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menjelaskan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. E. Manipulasi dalam Survey Kota Islami Maarif Institue merilis hasil survey tentang Indeks Kota Teuku Zulkhairi | 59 Islami di Indonesia yang menempatkan Jogjakarta sebagai kota paling Islami, diikuti oleh Bandung dan Denpasar-Bali hingga seterusnya. Banda Aceh yang memberlakukan Qanun (Perda) Syari’ah menempati posisi ke 19 dari sebanyak 29 kota yang disurvey. Begitu juga dengan kota-kota lainnya yang menerapkan Perda Syari’ah, juga justru menempati posisi buncit, seperti Padang, Mataram dan Tasikmalaya. Survey ini menurut Maarif Institue berangkat dari pemahaman bahwa “Islam sebagai agama rahmat” yang kemudian didefinisikan dalam konteks kota islami diwujudkan menjadi kota yang aman, sejahtera, dan bahagia, (detik.com, 17/5). Kategori aman, sejahtera dan bahagia dijadikan sebagai tiga variable untuk mengukur indeks kota Islam tersebut. Sementara itu metodologi yang dijadikan Maarif sebagai parameter untuk mengukur baik atau ‘Islami’ disebutkan yaitu teori Maqashid Syar’iyah (orientasi hukum syari’at), yaitu menjaga agama (Hifzhu ad-Din), menjaga harta (Hifzu al-Mal), menjaga akal (Hifzu al-‘Aqli), menjaga keturunan (Hifzhu anNasl), menjaga jiwa/kehidupan (Hifzhu An-Nafs), plus menjaga lingkungan (Hifzu al-Biah), (maarifinstitute.org, 17/5). Sekilas tidak ada yang janggal dan aneh dengan metodologi survey ini. Sebab, pencapaian Maqashid Syar’iyah sendiri adalah tujuan substansial dari ajaran dan hukum Islam. Namun, keanehan akan langsung terbaca ketika kita melihat hasil survey tersebut yang menempatkan Kota Denpasar-Bali pada posisi ketiga, sementara kota-kota yang menerapakan Perda Syari’ah justru berada pada posisi terbawah. Ada kesan yang dimunculkan bahwa penerapan Perda Syari’ah sama sekali tidak mendukung terealisasinya Maqashid Syari’iyah, sekaligus kesan bahwa Maqashid Syari’iyah dianggap terealisasi meskipun tanpa adanya Perda Syari’ah yang mengatur umat Islam untuk hidup sesuai visi Maqashid Syar’iyah. Jadi, kesan desyari’atisasi (penolakan hukum syari’at) sangat terasa. 60 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan F. Penyelewengan makna Maqasahid Kita uji keakuratan cara penggunaan metodologi tersebut dengan Kota Banda Aceh sebagai sampel awal kita. Hasil survey tersebut menjela'''''''''''''''''skan, khusus untuk Banda Aceh, variable ‘bahagia’ dan ‘sejahtera’ mendapat nilai tertinggi. Sementara variable ‘aman’ mendapat nilai terendah (viva.co.id, 17/5). Oleh sebab itu, penulis di sini tidak mendiskusikan Maqashid Syari’ah dalam bentuk pelayanan publik di Banda Aceh karena hal itu kita anggap sesuatu yang telah terpenuhi (karena jelas dianggap penting), sesuai hasil survey tersebut. Namun, rendahnya nilai Banda Aceh dalam Variable ‘aman’ ini yang kemudian menempatkan Banda Aceh pada posisi buncit, sebagaimana kota-kota yang menerapkan Perda Syari’ah lainnya. Lalu, apa ukuran variable ‘aman’ di sini? Ternyata ukurannya adalah pada terealisasinya visi ‘menjaga agama’ dari Maqashid Syar’iyah yang digunakan sebagai metodologi penelitian tersebut. Jadi, Banda Aceh tidak masuk dalam kategori kota yang Islami karena dianggap tidak cukup nilai dalam variable aman, atau tepatnya yaitu dianggap ‘tidak aman’, tidak aman dalam hal menjalankan kebebasan beragama atau keyakinan tertentu lainnya. Kalau ini kita kaitan dengan apa yang terjadi di Banda Aceh beberapa tahun terakhir, kesimpulan Maarif Instiute ini sangat tidak mendasar. Sebab, justru Banda Aceh yang konsen merealisasikan visi Maqashid Syar’iyah dalam hal menjaga agama (hifzhu ad-Din) yang dibuktikan dengan konsistensi Banda Aceh menjaga Islam dari aliran yang diputuskan sesat oleh ulama seperti Millata Abraham yang kemudian berganti nama menjadi Gafatar. Banda Aceh juga terdepan dalam merealisasikan visi menjaga akal (hifzhu al-‘Aql) yang dibuktikan dengan implementasi hukum Islam dalam bentuk pelaksanaan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras yang mana Teuku Zulkhairi | 61 minu,m minuman keras merupakan perbuatan yang merusak akal. Bahkan, Banda Aceh juga telah melakukan upaya merealisasikan visi Maqashid Syar’iyah dengan menjaga keturunan (hifzhu al-‘Asl) yang diimplementasikan dalam bentuk pelaksanaan hukuman cambuk bagi yang melakukan khalwat, sesuai dengan ketentutan Qanun Jinayah. Tentu saja hukuman ini adalah upaya untuk menjaga agar tidak lahir keturunan yang tidak ber ayah. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa upaya merealisasikan visi Maqashid Syari’ah oleh Pemko Banda Aceh dalam bentuk implementasi hukum Islam bagi pelanggar syari’at Islam tidak dianggap sebagai sesuatu mendukung perwujudkan ‘keamanan’ yang dijadikan sebagai variable pertama survey tersebut. Dengan kata lain, pelaksanaan hukum Islam di Banda Aceh untuk mewujudkan visi Maqashid Syari’ah justru dianggap sebagai sesuatu yang menyebabkan ‘tidak aman’. Nah, pertanyaannya, parameter apakah yang digunakan untuk mengukur indikator ‘aman’ sebuah daerah? Maka jawabannya adalah jelas bukan parameter Islam. Hal ini bahkan diakui sendiri oleh Maarif Instute bahwa, “Dalam memahami maqashid shariah ini pun menggunakan perspektif maqashid kontemporer yang bernuansa pengembangan (tanmiyah/ development) dan pemuliaan Human Rights (‘Hak-hak Asasi’) daripada maqashid yang bernuansa ‘protection’ (penjagaan) dan preservation atau ‘pelestarian’, (maarifinstitute.org, 17/5). Dari sini jelas, ada penyelewengan substansi Maqashid Syari’iyah oleh Maarif Institute. Dengan kata lain, Maarif telah menggunakan pendekatan non Islam untuk melihat definisi dan substansi Maqashid Syar’iyah. Ini sebuah kesalahan fatal dalam metodologi. Metodologinya benar berasal dari Islam, namun cara penggunaan metodologinya sudah bukan dengan parameter 62 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Islam. Sebab, kebenaran dan cara menggunakan kebenaran merupakan sesuatu yang berbeda, maka seharusnya Maarif Institue harus merujuk definisi Maqashid Syar’iyah dalam konteks “aman” berdasarkan perspektif Islam seluruhnya- yaitu bahwa “aman” akan terwujud dengan pelaksaan hukum Islam -sehingga bisa menghasilkan satu hasil survey yang proporsional dan tidak ngawur. Persoalan serupa akan kita temukan jika melihat juga Jogjakarta. Apakah karena iklim akademis di Jogjakarta yang memberi kebebasan berkembangnya “pluralisme agama” lalu bisa disebut Jogjakarta menjalankan visi “menjaga agama”? Ataukah sebaliknya? Berikutnya adalah Bali. Bukankah Bali sama sekali tidak merepresentasikan Islam karena memang segenap budaya dan tradisi yang dihidupkan adalah berasal dari Hindu? Lalu bagaimana bisa Bali muncul sebagai kota Islami? Alasan Maarif, ternyata karena Bali memenuhi kecukupan nilai pada ketiga variable alat pengukur tadi. Maka inilah adalah kengawuran berikutnya. Sebab, jelas definisi Islam sebagai nilai (values of islam) sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks Iman yang merupakan syarat menjadi Islam. Bukankah yang disebut Islam itu, sebagaimana dijelaskan oleh sang pembawa risalah Islam sendiri, Nabi Muhammad Saw, yaitu “engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad Saw sebagai utusan Allah” dan seterusnya hingga rukun Islam yang ke lima? Ini belum lagi jika kita mengukur realisasi maqashid syari’ah di Bali, yaitu misalnya upaya menjaga agama (Islam) dan keturunan, apakah diwujudkan di Bali? Yang terjadi, justru upaya melarang jelbab sebagai identitas Islam bagi Muslimah yang semakin meluas di seluruh Bali, (republika.co.id, 2/2/2014). Belum lagi perihal menjaga keturunan yang dipahami dalam perspektif Islam. Dengan demikian, survey tersebut bisa disebut telah mencederai semangat akademik karena berbicara definisi Teuku Zulkhairi | 63 Islami namun justru menghilangkan kriteria mendasar apa yang disebut Islam dan syarat menjadi Islam. Nampaknya, penelitian Maarif Institute semacam ini mengikuti riset yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari dalam “How Islamic are Islamic Countries?” dalam Global Economy Journal 2010 yang menempatkan Selandia Baru dan negara-negara mayoritas non Muslim lainnya sebagai negara paling Islami (republika.co.id, 2/11) . Setidaknya kita bisa menangkap pada pemahaman yang dibangun bahwa ada pemisahan antara “Islam” dan “Islami”. Pemahaman seperti ini dalam jangka panjang akan memunculkan cara pandang bahwa tidak perlu menjadi Islam untuk disebut Islami. Penggiringan dari opini semacam ini adalah, seolah “tidak perlu iman” untuk menjadi islami. Alhasil, adanya upaya “talbisul haq” (menutupi kebenaran) dalam survey tersebut menjadi sesuatu yang dapat ditangkap dengan baik. Kebenaran dan tujuan positif dari upaya implementasi hukum Islam serta dampak baiknya bagi masyarakat ditutupi dengan penggiringan definisi Maqashid Syar’iyah ke arah yang di luar parameter atau cara pandang Islam. Oleh sebab itu, semoga tulisan ini bisa menjadi upaya kecil yang bisa menggugah para pakar kita di Aceh yang konsen di bidang riset dan penelitian untuk bisa melakukan survey serupa dengan perspektif ‘Islami’ yang sesuai dengan nilai Islam, dan berbeda dari apa yang dibangun Maarif Institute tersebut yang bertendensi ke arah kerancuan metodologi tersebut. Semoga saja. Wallahu a’lam bishshawab. G. Fatwa MUI tentang Sekulerisme,Pluralisme Agama dan Liberalisme Dibawah ini penulis akan mengutip Fatwa MUI tentang 64 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Sekulerisme, Pluralisme Agama dan Liberalisme Nomor: 7/ MUNAS VII/MUI/II/2005 menjelaskan haram dan sesatnya paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama. Dalam fatwa tersebut, dijelaskan bahwa fatwa MUI ini keluar karena mengingat ayat-ayat Allah sebagaimana di bawah ini: “Barang siapa mencari agama selaian agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan terima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi…” (QS. Ali Imran [3]: 85) “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…” (QS. Ali Imran [3]: 19) “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. al-Kafirun [109] : 6). “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. al-Azhab [33:36). “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang Teuku Zulkhairi | 65 yang zalim. (QS. al-Mumtahinah [60]: 8-9). “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni’matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan. (QS. al-Qashash [28]: 77). “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta. (terhadap Allah). (QS. al-An’am [6]: 116). “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Q. al-Mu’minun [23]: 71). Selain beberapa ayat alquran sebagaimana telah kami sebutkan di atas, juga terdapat hadis-hadis Nabi Muhammad Saw, yang menjadi dasar sehingga fatwa ini keluar, hadis-hadis dimaksud adalah sebagai berikut: Imam Muslim (w. 262 H) dalam Kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Rasulullah SAW : “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorangpun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni Neraka.” (HR Muslim). 66 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non-Muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-Najasyi Raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, dimana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (riwayat Ibn Sa’d dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam Al-Bukhari dalam Shahih alBukhari). Nabi saw melakukan pergaulan social secara baik dengan komunitas-komunitas non-Muslim seperti Komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal di Najran; bahkan salah seorang mertua Nabi yang bernama Huyay bin Aththab adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah (Sayyid Bani Quraizah). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim). 1. Definisi Pluralisme Agama versi MUI Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga. Sementara itu, Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. Sedangkan Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. Sementara Sekualisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia Teuku Zulkhairi | 67 diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial. 2. Ketetapan MUI Pertama: Pluralisme, Sekualarisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Kedua: Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama. Ketiga: Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap ekseklusif, dalam arti haram mencampur adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain. Keempat: Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan. H. Menolak Ideologi ‘Anti Tuhan’ Jikapun Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak pernah lakukan kejahatannya terhadap republik ini, maka ideologi komunis pasti akan terus bermasalah dengan Islam sebagai agama mayoritas rakyat Indonesia, dan dengan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Apalagi, gerakan komunis tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia sebagai pengkhianat bangsa lewat serangkaian pemberontakan yang dilakukan pada tahun 1948 dan kembali diulangi pada tahun 1965. Maka paham ini kemudian dilarang lewat Ketatapan (TAP) MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang pembubaran PKI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Bahkan, MPR di era reformasi juga mengeluarkan TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Atas TAP MPRS dan MPR Tahun 1960 68 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan hingga 2002 yang menandakan bahwa bangsa ini tidak akan lupa terhadap kejahatan komunisme. Adanya larangan terhadap paham komunis sesungguhnya merupakan berkah bagi bangsa Indonesia. Setidaknya Indonesia terselamatkan dari potensi menjadi bangsa tak bertuhan sesuai keyakinan komunis. Adanya larangan paham komunisme di Indonesia juga menyelamatkan bangsa dari kekacauan yang umumnya dilakukan kaum komunis di berbagai belahan dunia. Jadi, adanya pengkhianatan PKI menandakan bahwa ideologi komunis bukan saja versus Islam, namun juga versus Pancasila sekaligus. Dari perspektif Pancasila, sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menegaskan dasar negara Indonesia adalah negara yang mengakui Tuhan, khususnya Tuhan Yang Maha Esa. Adanya Sila pertama dengan bunyi semacam ini menegaskan bahwa Indonesia didirikan atas dasar keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa sehingga keyakinan apapun yang anti Tuhan sesungguhnya bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indinesia. Dari perspektif Islam, keyakinan tidak adanya Tuhan yang merupakan manifestasi dari teori-teori sosial politik yang dikonstruksi para pemikir komunis semacam Karl Max, Lenin dan sebagainya, seluruhnya bertentangan dengan Islam saat paham ini dibawa ke tengah-tengah muslim. Di Eropa atau negara mayoritas non muslim lainnya bisa jadi paham ini mudah diterima oleh sebab perlawanannya terhadap ketidak adilkan sosial sebagai hasil dari praktek kapitalisme kaum borjuis pemilik modal (elit-elit kapitalis). Di negara atau wilayah yang tidak mengenal Islam barangkali spirit perlawanan ideologi komunis ini akan mudah mendapatkan tempat di hati masyarakatnya oleh karena kebutuhan mereka terhadap spirit perlawanan terhadap penderitaan yang mereka Teuku Zulkhairi | 69 alami dari ulah dan kejahatan kapitalisme dan paham ciptaan manusia lainnya. Namun di dunia Islam, tentu ideologi komunis akan selalu ditolak oleh karena masyarakatnya memiliki worldview (pandangan hidup) sendiri yang bersumberkan ajaran Islam untuk melawan segala bentuk penjajahan, ketidak adilkan dan kesemena-menaan yang dilakukan oleh siapapun dan paham apapun. Sebelum komunis muncul di Indonesia, umat Islam di republik ini telah tercatat dalam sejarah bagaimana konsistensi perjuangan dan pengorbanan mereka dalam melawan imperialisme kaum kapitalis yang datang dari Barat, seperti Belanda dan Inggris. Bahkan di seluruh dunia Islam, umat Islam tampil di garis depan melawan bangsa-bangsa kapitalis yang menjajah negeri mereka. Ini yang tidak disadari oleh para pengusung ideologi komunisme yang masuk ke tengah-tengah masyarakat Indonesia. Maka umat Islam di Indonesia bukan saja anti terhadap kapitalisme, namun juga komunisme sekaligus. Sebab, keduanya menimbulkan kemudhratan yang kompleks. Kedua paham ini bertentangan dengan ajaran Islam oleh karena keduanya adalah ciptaan manusia dari pikiran-pikiran sempit dan terbatas. Maka sebenarnya kejahatan komunis terhadap bangsa Indonesia merupakan lanjutan dari kejahatan kaum kapitalis. Dalam perkembangannya, baik kapitalis maupun komunis menyadari betul tantangan yang akan mereka dapatkan dari Islam dan kaum muslimin dalam upaya mereka untuk meneguhkan dominasi dan hegemoni mereka di dunia dan di negara-negara dimana mereka ingin berkuasa. Di masa penjajahan bangsa-bangsa kapitalis, mereka sangat benci terhadap kaum agamawan oleh sebab kaum agamawan berdiri di garis depan melawan kejahatan mereka. Begitu juga, kaum agamawan (ulama dan santri) kembali menunjukkan 70 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan perlawanan mereka saat negara terancam diambil alih oleh komunis. Tentu saja, itu sebab sehingga di Indonesia gerakan komunisme sangat memusuhi Islam dan kaum muslimin. Kampanye mendasar yang sering kita dengar dari kisah-kisah dan baca dari sejarah gerakan komunisme adalah seruan mereka untuk menjauhkan ummat dari agama. Islam sebagai sebuah keyakinan dan juga sebuah ideologi dianggap bertentangan dengan ideologi dan aganda-agenda ekonomi, sosial dan politik komunisme, sebagaimana kaum kapitalis juga menganggap Islam sebagai lawan bagi peradaban mereka sebagaimana ditulis Samuel Huntington. Bagi masyarakat Indonesia, kapitalis dan komunis adalah sama-sama penyakit bagi kemanusiaan. Jadi bagaimana mungkin akan diterima?. Paham ini bukan saja akan gagal memberi solusi, tetapi juga menimbulkan kemudharatan baru bagi bangsa Indonesia setelah sebelumnya dijajah kapitalis Belanda. Di benua Eropa sendiri, realitasnya komunisme tidak sepenuhnya menjadi solusi bagi negara-negara Eropa sebagai wilayah tempat paham ini bermula. Justru dalam perkembangannya paham ini berubah menjadi gerakan yang menyeramkan bagi penduduk Eropa sendiri oleh karena serangkaian kejahatan kemanusiaan yang mereka praktekkan. alhasil, kampanye keadilan ekonomi, sosial dan politik oleh gerakan komunisme lewat teori-teori sosial Marxisme pada akhirnya justru menghadirkan kenestapaan baru bagi penduduk bumi. Oleh sebab itu, ideologi komunisme tidak diterima oleh mayoritas umat Islam dan bahkan penduduk bumi lainnya. Jadi mengapa kini ideologi komunisme kembali dianggap sebagai ancaman bagi republik, padahal mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim? Nampaknya hal ini sebabkan oleh adanya kesadaran bersama tentang realitas kelemahan generasi muda Indonesia dalam memahami Islam dan keindonesiaan sehingga ideologi kiri yang disponsori Karl Marx mempengaruhi Teuku Zulkhairi | 71 pikiran mereka kosong dari pemahaman agama sehingga ideologi ini dirasa lebih cocok dipikirkan mereka. Oleh sebab itu, di media sosial saya menulis, sebelum generasi muda kita membaca buku-buku ajaran Karl Marx, Lenin dan buku-buku kiri lainnya, generasi muda Indonesia khsusunya generasi muda Islam mestilah terlebih dahulu diarahkan untuk membaca kitab-kitab dan buku-buku yang menjelaskan keagungan sistem Islam sehingga mereka mengetahui dimana letak kesesatan komunisme dari perspektif Islam sebagai agamanya dan dari perspektif Pancasila sebagai dasar negara. Kita mesti menuntun mereka untuk lebih dulu membaca sejarah Nabi dan Rasul, sejarah sahabat sehingga dipaham bagaimana mereka memberikan loyalitas kepada negerinya dan Sang Pencipta Alam Semesta ini. Kita mesti menuntun generasi muda Indonesia untuk menghafal dan pahami i’tikad 50 supaya memahami bahwa Allah Swt itu ada, mustahil tiada. Bahwa kita dituntut untuk ‘mengenal’ Tuhan kita Allah Swt dengan cara memahami sifatsifatNya, sebelum kita belajar pengetahuan yang lain. Kita mesti menuntun mereka untuk membaca kitab-kitab tafsir para ulama, buku-buku intelektual muslim, sejarah keunggulan peradaban Islam di Andalusia, Abbasiah, Ottoman, Aceh dan seterusnya, tentang struktur berfikir Islam, ilmu mantiq, ushul fiqh dan lain-lain. Hafal Alquran beberapa juz dan hafal juga hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Maka insya Allah, setelah itu kita akan memahami mengapa ideologi kiri komunisme bertentangan dengan Islam sebagai agama kita dan dan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Pada akhirnya, hidayah itu adalah dari Allah. Wallahu a’lam bishshawab. I. Perlawanan Terhadap Liberalisasi Islam Berdasarkan sejumlah fenomena gerakan liberalisasi Islam, 72 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan maka kita menyeru dan mengajak agar para khatib dan kalangan santri untuk menjelaskan kepada ummat dalam tema-tema khutbahnya mengenai pemahaman sebenarnya agar pemikiran liberal semacam itu tidak merusak akidah umat. Meskipun bukan suatu bahasan yang baru oleh karena gerakan liberal Islam telah berlangsung sejak lama, namun bahayanya pemikiran liberal harus terus disampaikan kepada ummat dengan cara kita beri jawaban kepada ummat. Sebab, Pemikiran liberal memang laksana virus yang merusak dan mudah menjalar di tengah-tengah umat Islam di tengah realitas keterbatasan kemampuan setiap individu anggota masyarakat dalam memahami Islam. Alhasil, virus semacam itu sangat berpotensi membesar dan kemudian menjadi persoalan besar di tengah-tengah umat Islam. Benar bahwa hanya Allah yang Maha tahu segalanya, namun studi tentang Tafsir Alqur’an telah dilakukan sejak pertama kali Alquran diturunkan, dimana para sahabat dan salafussalih telah menggunakan berbagai metodologi dalam memahami Alqur’an dan menjelaskan kepada ummat. Apa fungsi Alquran jika kita memahami bahwa manusia tidak berhak menafsirkannya? Tentu Alqur’an akan menjadi kitab suci yang tidak berfungsi, sehingga pemikiran liberal seperti ini sangat merusak dan harus ditolak dengan cara diberikan pemahaman yang benar kepada ummat. Kita meyakini kebenaran Alqur’an melalui penafsiran para ulama-ulama tafsir yang telah dijadikan rujukan oleh umat Islam sejak dahulu sampai saat ini. Lebih dari itu, soal surat Al-Maidah ayat 51 yang dipolemikkan oleh Ahok dan kemudian mendapat respon keras dari MUI dan umat lintas ormas Islam, kami juga menyeru para Khatib untuk menjelaskan ayat ini kepada ummat berdasarkan pendapat para ulama-ulama tafsir, sehingga kelak kita harapkan tidak ada ummat yang meragukan satu ayat pun dari Alqur’an. Teuku Zulkhairi | 73 Sebab, harus diakui, di tengah perkembangan dunia teknologi informasi, saat ini cukup banyak umat Islam yang menjadi peragu-ragu dalam memahami ayat ini. Terakhir, kami juga menghimbau kepada para khatib untuk menjelaskan kembali kepada ummat tentang otoritas ulama di tengah-tengah umat Islam. Patut juga kita membela MUI dari serangan-serangan musuh Islam dan kaum munafik yang cukup deras akhir-akhir ini, dimana mereka mencoba merusak negeri ini dan penduduknya yang mayoritas Muslim agar memudahkan misi imperialisme mereka. Bagi kita para ulama adalah pewaris para Nabi. Ulama adalah penerang. Di tengah gelombang liberalisasi Islam, mari kita sampaikan kepada ummat agar terus bersama ulama. 74 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan BAB IV Masa Depan Dayah dan Peningkatan Kualitas Santri Teuku Zulkhairi | 75 A. Mengawal RUU Pesantren Pesantren di nusantara saat ini sedang menanti arah baru. Akan ada sejumlah perubahan apabila Rancangan UndangUndang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan (RUU PPK) disahkan oleh parlemen. Untuk level Aceh, selain RUU PPK ini, kita juga sedang menanti hasil penggodokan Rancangan Qanun (Raqan) Pendidikan Dayah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Jadi, Aceh akan memiliki dua aturan yang menaungi dunia pesantren atau dayah. Saya mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Raqan pendidikan dayah yang diselenggarakan DPRA beberapa waktu lalu. Dan menyimak bahwa Raqan ini sudah cukup ideal. Para ulama yang hadir dalam RDPU tidak terlalu banyak mengoreksi sehingga nampaknya tidak terlalu banyak hal yang perlu diperbaiki setelah RDPU digelar. Mungkin karena memang sejak awal sejumlah ulama telah dilibatkan secara penuh dalam penyusunan Raqan Pendidikan Dayah, bahkan hingga proses konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) para ulama juga dilibatkan. Maka untuk Raqan Pendidikan Dayah, kita hanya menanti keseriusan para pengambil kebijakan untuk mengeksekusi sekiranya nanti Raqan ini sudah disahkan. Plus satu lagi, agar dayah tidak lagi “dibuang” di komisi yang menangani urusan agama di DPRA, melainkan di komisi yang menangani urusan pendidikan. Sebab, meskipun dayah adalah institusi tempat dimana ilmu agama diajarkan, namun jelas ia adalah institusi pendidikan. Sementara itu, untuk RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan (PPK), para ulama dayah di Aceh beberapa waktu lalu, disamping memberi dukungan dan gagasan-gagasan penyempurnaan RUU ini, juga memberikan masukan-masukan yang sangat kritis. Masukan-masukan ini disampaikan saat digelar silaturrahmi ulama dan umara oleh Dinas Pendidikan 76 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Dayah Aceh untuk membahas RUU tersebut. Selama dua hari pembahasan yang diikuti oleh 100 ulama dan perwakilan dayah di Aceh, serta perwakilan dari Direktorat Pondok Pesantren Kementerian Agama Republik Indonesia, saya yang juga mendapat undangan mengikuti pembahasan ini menyaksikan kegiatan pembahasan berlangsung dengan sangat alot. Respons ulama dayah di Aceh terhadap RUU PPK menjadi sangat alot karena RUU ini memasukkan institusi pendidikan agama lain di dalamnya. Tentu agak membingungkan bahwa dalam RUU Pesantren namun ada institusi agama selain Islam juga. Jadi pertanyaan yang agaknya penting diajukan adalah, sebenarnya RUU Pesantren ini untuk siapa? Memang namanya RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, artinya dari segi nama saja RUU ini tidak dikhususkan untuk pesantren saja, namun juga untuk agama lain. Tapi tetap saja, substansial RUU ini identik dengan pesantren. Kelak RUU ini akan identik dengan pesantren dan bahwa siapapun pasti akan menilai bahwa ini adalah RUU Pesantren. Beda jika di nama RUU nya tidak ada kata-kata “Pesantren”. Misal jika namanya adalah “RUU Pendidikan Kegamaan”. Maka pasti keberadaan institusi agama lain di dalamnya sama sekali tidak akan mengejutkan. Tapi ini namanya RUU Pesantren, meskipun ada sambungan “Pendidikan Keagamaan” setelahnya. Keterkejutan para ulama dayah di Aceh terhadap RUU PPK ini tentu cukup berasalan mengingat pesantren adalah identik dengan institusi pendidikan Islam. Maka seusai pembahasan RUU ini yang berlangsung alot, para ulama menyusun sembilan rekomendasi dimana Tim Perumusnya diketuai oleh Tgk. H. Anwar Usman, pimpinan Ma’had Aly Al Munawwarah Pidie Jaya, dan juga putra dari Abu Kuta Krueng. Sementara sekretaris tim perumus yaitu menantu Waled Nu, Tgk. H. Muhammad Hatta, pimpinan Dayah Madani Banda Aceh. Poin pertama rekomendasi ini menyatakan bahwa Ulama Aceh sangat mendukung RUU Teuku Zulkhairi | 77 Pesantren dengan ketentuan hanya dikhususkan untuk pesantren dan tidak digabungkan dengan pendidikan keagamaan lainnya. selain itu, diharapkan memiliki tenggang waktu yang memadai untuk pembahasan dan pengesahannya. Pada poin rekomendasi selanjutnya disebutkan, RUU ini masih diperlukan banyak perbaikan untuk penyempurnaan agar memliki landasan filosofis dan historis yang kuat. Poin ini menandakan adanya kekhawatiran para ulama dayah di Aceh jika RUU Pesantren digabungkan dengan institusi pendidikan agama lain. Apakah kekhawatiran para ulama dayah di Aceh sesuatu yang berlebihan? Tentu saja tidak. Ini suatu kewajaran mengingat dalam sejarahnya “pesantren” sudah lumrah diketahui menjadi trademark pendidikan Islam tradisional, tempat dimana khazanah keilmuan Islam berbasis kitab kuning dipelajari dan diajarkan kepada para santri. Dimana kekhususan pesantren jika RUU ini bercampur baur dengan institusi pendidikan di luar Islam? Maka seorang pimpinan dayah di sebuah group Whatsapp menulis, “Jika RUU Pesantren digabungkan dengan institusi agama lain, maka ubah namanya, jangan RUU Pesantren”. Tentu masukan ini sangat logis dan sangat mungkin diterima. Intinya, untuk apa ada RUU Pesantren (dan Pendidikan Kegamaan) jika kekhususan pesantren sebagai institusi pendidikan tradisional Islam menjadi hilang? Poin rekomendasi lain dari para ulama dan pimpinan dayah di Aceh yaitu agar ditambahkannya definisi Islam dengan aqidah Ahlusunnah wal jama’ah dalam ketentuan umum yaitu pemahaman Aqidah berdasarkan kepada manhaj Asya’irah (Abu Hasan Al-Asy’ari) dan Maturidiyah (Abu Mansur Al Maturidy), Mazhab Fiqh yang empat dalam bidang Fiqh, dan manhaj Imam Junaid al-Bagdady dan Imam Ghazali dalam bidang Tasawuf. Poin ini juga sangat beralasan karena memang ini merupakan salah satu ciri khas pesantren di Indonesia. Kitab-kitab kuning yang dipelajari dan diajarkan di dunia pesantren di Indonesia 78 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan lumrah diketahui merujuk ke dasar ini. Rekomendasi selanjutnya yaitu “Pendidikan Ula/Dasar, Wustha/Menengah, Ulya/Atas, dan Ma’had Aly adalah merupakan bahagian dari level atau jenjang pendidikan pesantren, maka segala kebijakan dalam operasional dan teknis pelaksanaan serta kurikulum mesti disesuaikan dengan pesantren, bukan dengan pendidikan lainnya”. Ini menandakan bahwa para ulama dayah di Aceh mengharapkan agar pesantren atau dayah memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan institusi pendidikan lainnya. Maka dari sejumlah poin rekomendasi ini, nampak bahwa ulama-ulama dayah di Aceh sedang ingin mengawal RUU Pesantren agar tidak “menyimpang” dari jalan yang semestinya. Tentu, ini sebuah tindakan yang cukup penting mengingat krusialnya posisi RUU ini dalam pembangunan pesantren jika sudah disahkan nanti. Selain itu, para ulama dayah di Aceh juga mendukung alokasi anggaran tetap untuk pesantren sebanyak 30 persen dari total 20 persen anggaran pendidikan Nasional dan 30 persen dari total 20 persen alokasi anggaran untuk pendidikan di daerah. Kalau misalnya RUU Pesantren telah disahkan, sementara dukungan secara finansial tidak jelas maka sama saja, amanat Undang-Undang Pesantren ini tidak akan bisa dieksekusi. Sama halnya dengan Raqan Pendidikan Dayah di Aceh. Jika Raqan ini sudah disahkan dan 30 persen anggaran untuk dayah dari total 20 persen anggaran pendidikan tidak disanggupi, maka sama saja segala amanat undang-undang tidak akan maksimal untuk dieksekusi. Terhadap sejumlah masukan ini, hal paling penting adalah bagaimana agar aspirasi ulama dayah di Aceh ini dapat terdengar hingga ke pusat. Saya mendengar hal yang menarik dari pengakuan orang Kemenag Pusat, bahwa Aceh menjadi pilot project pembangunan pesantren di Indonesia. Hal ini karena Teuku Zulkhairi | 79 memang Aceh lebih terdepan dalam pembangunan dayah. Misalnya dengan adanya Dinas Pendidikan Dayah Aceh, dan kini juga sedang digodok Raqan Pendidikan Dayah. Namun demikian, kita tentu tidak boleh berbangga hati sekedar mendapat apresiasi sebagai daerah pelopor pembangunan pesantren. Kita berharap bagaimana agar rekomendasi para ulama dayah di Aceh bisa diterima sepenuhnya. B. Ma’had Aly Momentum Kemajuan Santri Dayah Setelah Peraturan Menteri Agama (PMA) No 71 Tahun 2015 tentang Ma’had Aly ditandatangani Menteri Agama Republik Indonesia pada akhir tahun 2015 yang lalu, dua tahun berikutnya dua dayah di Aceh menerima Surat Keterangan (SK) Ma’had Aly dari Kemenag Pusat. Keduanya yaitu Ma’had Aly di Dayah Mudi Mesra Samalanga Kab. Bireuen, dimana SKnya diterima oleh Tgk Zahrul Mubarak pada tahun 2016 lalu. Sementara untuk Ma’had Aly Dayah Darul Munawwarah Kuta Krueng Ulee Glee Pidie Jaya, SKnya diterima beberapa waktu lalu (tahun 2017) oleh Tgk H. Anwar Usman. Artinya, dua Ma’had Aly di Aceh ini telah resmi menjadi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam-nya dayah. Secara pemetaan pendidikan, Ma’had Aly ini adalah lanjutan dari Program Diniyah Formal tingkat Ula, Wustha dan ‘Ulya dan lalu berlanjut ke Ma’had Aly. Sebagaimana dari SD, SMP, SMA lalu ke Perguruan Tinggi Umum (PTU) dan Madrasah yang dimulai dari MI, MTs, MA dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Untuk Aceh, sebenarnya terdapat sejumlah dayah lainnya yang sejak satu dekade lalu telah menyelenggarakan program Ma’had Aly. Hanya saja, untuk sementara baru dua dayah yang dikeluarkan SKnya oleh Kemenag Pusat, sebagai pilot project. Artinya, dayah-dayah lain masih berpeluang menyelenggarakan program Ma’had Aly setelah dan jika 80 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan memenuhi sejumlah prosedur dan kriteria yang ditetapkan Direktorat Pondok Pesantren Kemenag RI. Setidaknya informasi ini seperti yang penulis simak dari Dr Ahmad Zayadi, Kepala Direktorat Pesantren beberapa bulan lalu saat beliau berkunjung ke Banda Aceh. Kendati pun baru dua dayah di Aceh yang telah resmi berdiri Ma’had Aly, kita tetap bersyukur mengingat program pendidikan tinggi khas dayah ini telah sekian lama ditunggu-tunggu. Dalam perjalanannya, draft regulasi Ma’had Aly, terdapat banyak dinamika dan tantangan-tantangan yang penulis cermati dalam proses penyusunan oleh sebab kehadiran Perguruan Tingginya Dayah (baca: Pesantren) ini tentu saja akan memiliki implikasi dalam sektor lainnya, seperti kebutuhan anggaran dan sebagainya sehingga bahasan tentang Ma’had Aly ini bukan hanya domain Kemenag, namun juga kementerian lainnya. Draft regulasi ini bahkan telah dibahas dari satu era Menteri ke Menteri lainnya, dan kemudian Alhamdulillah selesai pembahasannya di era Lukman Hakim Saifuddin (LHS). Di era LHS ini, sebenarnya tidak ada alasan lagi draft tersebut tidak ditandatangani oleh sebab telah tuntasnya semua pembahasan. Hal ini menandakan bahwa kehadiran Ma’had Aly membutuhkan proses yang panjang, sulit dan berlikuliku, sehingga kehadirannya mestilah disambut dan disyukuri. Banyak pihak yang terlibat dalam melahirkan draft Ma’had Aly ini, mulai dari kalangan Kyai-Kyai di Jawa hingga sejumlah ulama dan akademisi di Aceh. 1. Kebutuhan Mutlak Pertanyaan kemudian adalah, apa itu Ma’had Aly dan apa saja keistimewaannya? Pada bab satu PMA ini, tentang ketentuan umum, disebutkan bahwa Ma’had Aly adalah perguruan tinggi keagamaan Islam yang menyelenggarakan pendidikan Teuku Zulkhairi | 81 akademik dalam bidang penguasaan ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) berbasis kitab kuning yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara dan berada di pondok pesantren. Jadi, Ma’had Aly adalah Perguruan Tingginya dayah dimana basisnya adalah kitab kuning yang selama ini menjadi ciri khasnya dayah atau pesantren. Karena fungsinya semacam ini, maka kehadiran Ma’had Aly adalah kebutuhan mutlak bagi dunia dayah di Aceh khususnya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamisasi perkembangan dunia modern. Apalagi, sistem penyelenggaraannya sama sekali tidak akan merusak sistem pendidikan dayah yang selama ini telah berjalan, malahan justru akan semakin memperkuatnya. Dengan status semacam ini, kehadiran Ma’had Aly sesungguhnya merupakan kebutuhan mutlak di tengah zaman dimana ummat sering kali ragu dan bimbang dalam memahami agama akibat kian kencangnya wacana dekontruksi teks suci dan turast yang dihembuskan oleh pemikir-pemikir Barat, orientalis dan para pengikut dogma Liberal Islam. Bukankah kita sering mendengar sejumlah pemikiran alumnus Islamic Studies yang menuntut kitab-kitab turast ditinjau ulang karena anggapan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia modern, misalnya dalam bidang hukum Syari’at. Oleh sebab itu, kehadiran Ma’had Aly tentu saja diharapkan mampu merawat studi turats (kitab klasik) sehingga mampu memberikan jawaban atas setiap tantangan aktual dalam dinamika keberagaman dari perspektif studi turats sehingga kitab kuning selalu relevan dalam setiap perkembangan zaman. Saat di satu sisi ada pihak menghembuskan wacana dekonstruksi, sesuai dengan amanat filsafat yang berkembang di Barat, maka Ma’had Aly diharapkan mampu memperkuat revitalisasi kitab kuning untuk menghadapi persoalan-persoalan kehidupan kontemporer, dalam bidang akhlak, pendidikan, sosial budaya, politik dan sebagainya. 82 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Tentu ini sebuah keniscayaan yang sangat memungkinkan. Apalagi, sejatinya kitab kuning sendiri dewasa ini kian menjadi magnet para peneliti antropologi dan sosiologi yang mencoba melihat warisan budaya dan khazanah pengetahuan masa lalu serta relevansinya dengan kondisi kekianian. Dalam hal penyelenggaraan Ma’had Aly, dalam PMA No 71 Tahun 2015 juga disebutkan, bahwa rumpun ilmu yang dikembangkan oleh Ma’had Aly adalah ilmu agama Islam dengan pendalaman kekhususan (takhasus) disiplin ilmu keislaman tertentu. Sementara kekhususan (takhasus) disiplin ilmu keislaman tertentu meliputi al-quran dan ilmu al-quran (al-qur’an wa ‘ulumuhu), tafsir dan ilmu tafsir (tafsir wa ‘ulumuhu), hadits dan ilmu hadits (hadits wa ‘ulumuhu), fiqh dan ushul fiqh (fiqh wa ushuluhu, akidah dan filsafat islam (‘aqidah islamiyyah wa falsafatuha), sejarah dan peradaban islam (tarikh islamy wa tsaqafatuhu), bahasa dan sastra arab (lughah ‘arabiyyah wa adabuha), ilmu falak dan astronomi (‘ilmu falak), tasawuf dan tarekat (tashawwuf wa thariqatuhu), ekonomi islam (iqtishad islamy), atau takhasus ilmu keislaman lainnya. 2. Butuh Perhatian Pemerintah Maka tugas pemerintah Aceh sekarang untuk betulbetul memanfaatkan kehadiran Ma’had Aly di Aceh sebagai momentum mengembalikan posisi Aceh sebagai “kiblat” dunia pendidikan Islam, khususnya di kawasan Nusantara. Kita patut bersyukur karena Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pendidikan juga mencantumkan bahasan perihal Ma’had Aly ini dimana Pemerintah Aceh dan Pemerintah Daerah berwewenang dalam memfasilitasi pendirian Ma’had Aly. Jadi, agenda memperkuat Ma’had Aly di Aceh akan lebih mudah ketimbang Provinsi lain di Indonesia yang tidak ada Qanun atau Perda yang membahas Ma’had Aly. Teuku Zulkhairi | 83 Seperti halnya juga tersebut dalam PMA, dalam Qanun Pendidikan Aceh juga disebutkan bahwa program pendidikan tinggi diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, politeknik dan dayah manyang (Ma’had ‘Aly). Intinya, selain PMA yang merupakan regulasi Nasional, Qanun Pendidikan Aceh sebagai regulasi lokal/daerah juga menetapkan Ma’had Aly sebagai satuan tinggi pendidikan. Nah, sekarang tugas besar bagi segenap stakeholder pendidikan di Aceh untuk terus memacu Ma’had Aly agar terus bergerak mewujudkan cita-cita pendidikan Islami di Aceh. Tinggal sekarang kita tunggu pihak-pihak terkait untuk memajukan Ma’had Aly, mulai dengan dukungan sektor anggaran, pembinaan dan seterusnya. Jika yang sudah resmi beroperasi ini berhasil sebagai pilot project, maka ke depan dayah-dayah lain akan semakin termotivasi untuk juga ikut menyelenggarakannya. Kita berharap pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan, khususnya pendidikan dayah dan Ma’had Aly ini betul-betul memiliki visi dan jihadiyah (kesunngguhan) dalam memajukan Ma’had Aly. Amiin. Semoga saja! C. Pendidikan Formal: Diniyah Tafaqquh Fiddin Banyak yang belum mencermati dengan seksama perubahan peta baru satuan pendidikan di Indonesia. Setidaknya ini pengalaman pribadi penulis berinteraksi dengan sejumlah praktisi dan stakeholder pendidikan yang selama ini konsen dalam dunia pendidikan. Sejak tahun 2015, peta baru satuan pendidikan formal secara nasional telah bertambah dengan munculnya Pendidikan Diniyah Formal yang disingkat PDF. PDF ini diluncurkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia sebagai satuan baru dalam peta pendidikan formal di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Agama 84 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan (PMA) Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam. Sebagai catatan, PMA ini sendiri merupakan turunan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, yang merupakan implementasi dari Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jadi, PDF ini lahir setahun setelah keluarnya PMA tersebut. Jadi, mengingat satuan PDF yang baru muncul tiga tahun lalu, maka sangatlah dipahami alasan kenapa banyak di antara praktisi dan stakeholder pendidikan yang belum mengetahui peta baru ini. Secara ringkas dapat dijelaskan, jika sebelumnya kita hanya mengenal pendidikan formal seperti Sekolah dengan jenjang pendidikan yang dimulai dari SD, SMP, SMA dan berlanjut Perguruan Tinggi Umum, serta Madrasah yang dimulai dari MI, MTs, MA dan berlanjut ke Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Maka kini peta itu bertambah dengan munculnya PDF yang dimulai dari tingkat Ula (Dasar), Wustha (Menengah), ‘Ulya (Tinggi) dan kemudian berlanjut ke tingkat Ma’had ‘Aly. Istimewanya, PDF ini hanya khusus diselenggarakan oleh dan di pesantren/dayah saja, dengan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh PMA tersebut seperti adanya santri sebanyak 300 orang setiap tahun sejak 10 tahun terakhir. Jadi selain dayah tidak bisa menyelenggarakan satuan pendidikan ini. Penyelenggara PDF ini, di samping tentu saja memiliki tanggung jawab, namun juga memiliki hak, seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), legalitas ijazah dan sebagainya yang memang hemat penulis akan sangat membantu menyukseskan penyelenggaraan pendidikan. Maka kehadiran PDF dalam satuan pendidikan formal di Indonesia sudah seharusnya disambut dengan antusiasme dan Teuku Zulkhairi | 85 dukungan dari berbagai stakeholder pendidikan, khususnya di Aceh. Sebab, PDF ini adalah formula baru dalam pengembangan dayah, mendapat legalitas formal dalam sistem pendidikan nasional dan di sisi lain dengan tetap menjaga ciri khas dayah yang berlandaskan pada studi turats klasik. Lahirnya PDF berawal dari fakta bahwa keberadaan sekolah dan madrasah dianggap belum cukup mampu melahirkan alumnus yang mampu menjawab tantangan dunia dengan paradigma Islam dan dalam menyelesaikan berbagai problem dalam agama Islam yang muncul di tengah-tengah umat. Pada faktanya sekolah hanya mengajarkan mata pelajaran Agama hanya 2-3 jam pelajaran/Minggu. Sementara madrasah pun mata pelajaran Agama hanya dikembangkan melalui lima Mata pelajaran: Al-Quran-Hadits, Akidah-Akhlak, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab. Jika dibandingkan dengan pelajaran umum, di madrasah hanya 25 persen pelajaran agama dan 75 persen pendidikan umum. Nah, PDF ini sebaliknya. Dalam kurikulumnya yang ditetapkan dalam PMA, 75 persen adalah pelajaran agama. Hanya 25 persen pelajaran umum. Dan pelajaran umum pun akan dikemas dengan model pembelajaran kitab. Artinya akan ditulis dalam bahasa Arab. Untuk tingkat Wustha, pelajaran yang diajarkan yaitu Al-Quran, Tafsir-Ilmu Tafsir, Hadist-Ilmu Hadits, Tauhid, Fiqh-Ushul Fiqh, Akhlaq- Tasawuf, Tarikh, Bahasa Arab, Nahwu-Sharf, Balaghah dan Ilmu Kalam. Untuk pelajaran umum, yang diajarkan di tingkat Wustha adalah Pendidikan Kewarganegaraan, bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Jadi di tingkat Wustha ini, ada 11 mata pelajaran agama dan 4 pelajaran umum. Sementara untuk tingkat Ulya, kurikulum pendidikan keagamaan Islam yang diajarkan yaitu Al-Qur’an, Tafsir-Ilmu Tafsir, Hadist-Ilmu Hadits, Tauhid, Fiqh-Ushul Fiqh, Akhlaq- 86 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Tasawuf, Tarikh, Bahasa Arab, Nahwu-Sharf, Balaghah, Ilmu Kalam, Ilmu Arudh, Ilmu Mantiq dan Ilmu Falak. Sedangkan untuk mata pelajaran umum, selain empat mata pelajaran sebagaimana di tingkat Wustha, maka di tingkat Ulya bertambah satu lagi, yaitu pelajaran Seni dan Budaya. Jadi di tingkat Ulya ini ada 14 mata pelajaran agama dan 5 pelajaran umum. Dan untuk ujian nasional (Imtihan Wathani), materi yang diujikan dalam PDF tingkat Ulya ini mencakup Hadist-Ilmu Hadits, Fiqh-Ushul Fiqh, Tafsir-Ilmu Tafsir, Bahasa Arab, dan Nahwu-Sharf. Dan bagusnya lagi, soal ujian semua mata pelajaran ini seluruhnya materinya ditulis dalam bahasa Arab. Penulis kebetulan ikut menyaksikan pelaksanaan ujian nasional pertama yang diselenggarakan Maret lalu di Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara. Para santri yang telah mengikuti Imtihan Wathani akan memperoleh ijazah nasional yang dikirim dari Kemenag Pusat dan ditandatangani oleh pimpinan dayah dan kepala PDF. Penulis sering berdiskusi dengan pimpinan Dayah Babussalam, Tgk. H. Sirajuddin dimana beliau cukup gembira dengan program PDF ini. Sebab banyak masalah-masalah yang muncul sebelumnya dapat terselesaikan dengan hadirnya program PDF ini. Untuk Aceh, memang baru hanya Dayah Babussalam yang menyelenggarakan program ini. Dayah ini memenuhi kualifikasi yang ditetapkan Kemenag Pusat sehingga pada tahun 2015 saat pertama kali program PDF ini diluncurkan, Dayah Babussalam lulus verifikasi untuk menyelenggarakan program PDF ini bersama tujuh pesantren lainnya di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulaweisi Selatan. Sebelumnya, Dayah Babussalam tidak melaksanakan satuan pendidikan apapun (baik sekolah maupun madrasah), kecuali pendidikan Salafiyah saja. Namun kini, pesantren- pesantren yang menyelenggarakan Teuku Zulkhairi | 87 program PDF ini di luar Aceh bertambah drastis. Baik tingkat Wustha maupun Ulya. Pada tahun 2016 misalnya, Kemenag kembali menyerahkan SK untuk 12 pesantren lainnya dari seluruh Indonesia yang lulus verifikasi. Kemudian pada tahun 2018, Kemenag Pusat kembali menyerahkan SK penyelenggaraan PDF baik tingkat Wustha maupun Ulya kepada 18 pesantren lainnya dari seluruh Indonesia. Pertanyaannya, kenapa dayah di Aceh yang menyelenggarakan program PDF masih belum bertambah? Padahal, berdasarkan PMA No 13 Tahun 2014, pesantren apapun dapat mengajukan permohonan untuk menyelenggarakan program PDF ke Kemenag. Dugaan saya, problem utamanya adalah karena kurangnya sosialiasi. Akibatnya urgensitas program PDF ini belum dipahami oleh pihak-pihak terkait. Padahal, seandainya dayahdayah di Aceh telah menerima secara baik informasi tentang program PDF ini, tentulah akan banyak yang berminat untuk menyelenggarakannya. Pada akhirnya, akan banyak dayahdayah yang terbantu oleh pemerintah pusat, misalnya bantuan berupa dana BOS, seperti dijelaskan di atas. Di sisi lain, dengan format kurikulum sebagaimana digambarkan di atas dan program inovasi lainnya, kita tidak ragu bahwa visi Kemenag untuk melahirkan lulusam yang mutafaqquh fiddin (ahli ilmu agama Islam) dari program PDF ini akan menemukan hasil dalam waktu yang tidak terlalu lama. Di sini, kita menanti jihadiyah (kesungguhan) para pengambil kebijakan untuk merespons secara aktif kelahiran program PDF ini. Kita berharap sosialiasi semakin intens dilakukan. Dan tentu saja tidak hanya oleh Kemenag Aceh dan Dinas Dayah, namun juga pihak lainnya. Dengan semakin banyak dayah di Aceh yang selenggarakan program PDF, insya Allah akan semakin banyak dayah yang terbantu. Dan pada akhirnya pendidikan Aceh kita harapkan semakin maju. Amiin. 88 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan D. Memperkuat Studi Ulumul Quran, Membendung Pengaruh Orientalisme Sejarah dengan sangat gamblang mencatat, salah satu penyebab Aceh berhasil dibuat porak-poranda oleh penjajahan Belanda adalah berkat kerja orientalis paling terkenal dalam sejarah penjajahan Belanda di Aceh, Snouck Hugronje. Snouck yang berpura-pura masuk Islam berhasil mengelabui ulama dan masyarakat Aceh, apalagi setelah ia pulang dari Mekkah dan mengganti namanya menjadi Abdul Ghafur. Kehadiran Snouck yang ditugaskan secara khusus oleh Kerajaan Belanda saat itu mampu membuat porak-poranda soliditas umat Islam di Aceh yang sedang berperang mengusir penjajah. Snouck saat itu menyadari betul, bahwa Aceh kuat karena dayah. Maka penjajah Belanda kemudian fokus menghancurkan dayah karena dianggap sebagai kekuatan inti masyarakat Aceh dimana dari institusi ini ideologi perlawanan terhadap penjajah dibangun. Akhirnya, perang panjang bangsa Aceh melawan Belanda di bawah koordinasi ulama dayah saat itu telah menyebabkan terbengkalainya dayah-dayah sebagai kekuatan inti masyarakat Aceh. Satu dua mata pelajaran penting hilang dari kurikulum pendidikan pada sejumlah dayah di Aceh dalam penelusuran penulis adalah studi Ulumul Quran dan Ulumul Hadis. Kisah tentang peran orientalis Snouck dalam membantu Belanda melaksanakan agenda kolonialisasinya di Aceh sesungguhnya adalah pelajaran paling penting yang harus terus dikenang generasi muda Aceh, baik yang di kampus maupun yang di dayah. Kisah kelam ini meniscayakan kita untuk memandang bahaya virus orientalisme dengan serius. Sebab, meski penjajahan secara militer telah lama berakhir di sebagian negara, namun di berbagai belahan dunia para orientalis terus bekerja “meruntuhkan” benteng akidah umat Teuku Zulkhairi | 89 Islam dengan tujuan memuluskan agenda kolonialisasi “tuan” mereka agar terus berlangsung di era modern. 1. Bahaya Virus Orientalisme Para orientalis, dengan logika-logika liberal dan metode ilmiah mempengaruhi umat Islam untuk meragukan ajaran Islam dengan harapan umat Islam agar senantiasa berkiblat ke dunia Barat, dari urusan metodologi pemikiran sampai ke urusan gaya hidup (life style). Tidak sedikit sarjana Muslim yang belajar kepada para orientalis dan berbangga menyandang gelar “pakar Islam” pemberian mereka. Tidak salah memang belajar pada orientalis, yang salah adalah jika nalar kritis kepada metodologi mereka kita matikan. Bagi mereka, mengkritik Islam dan para ulama semacam Imam Syafi’i yang membangun benteng Ushul Fiqh adalah suatu keharusan, namun yang paling terlarang adalah mengkritisi orientalis dan metode mereka. Kalau kita kritisi orientalisme, tidak jarang mereka marah. Maka tidak heran, hingga saat ini umat Islam kehilangan jatidiri dan menderita mental rendah diri (mental inferior) di hadapan peradaban Barat yang hegemonik. Tentu saja, ini disebabkan “kaum intelektual” di tengah-tengah umat Islam telah menjadi “pembebek” atas apa saja yang diajarkan orientalis tanpa mampu menghidupkan nalar kritis mereka. Kendati demikian, tidak sedikit juga kalangan sarjana Muslim yang belajar pada orientalis untuk mengetahui kelemahan mereka seperti Syed Naquib al-Attas di Malaysia, Hamid Fahmi Zarkasyi dan sekian banyak dari kalangan dari dosen UIN ArRaniry dan seterusnya. Mereka memegang teguh akidah Islam dan tidak terjebak dengan virus relativisme yang berujung pada “keraguan-raguan” (skeptis) yang ditanamkan orientalis. 90 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Di tengah realitas seperti ini, pertanyaan sekarang, apa yang bisa dilakukan institusi dayah dengan segenap komunitasnya dalam membendung virus orientalisme semacam metode Hermeneutika dan Semiotika yang dewasa ini cukup berkembang. Di dunia Islam, kita mengenal nama-nama seperti Nasr Hamid Abu Zayd yang memperkenalkan Alquran sebagai produk budaya. Maka Abu Zayd menggagas studi Alquran dengan proposisi hubungan antara teks (nash) dan interpretasi (takwil). Menurutnya teks dan interpretasi adalah merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan seperti dua sisi mata uang.9 Jadi Abu Zayd hendak membongkar apa yang selama ini menjadi kesepakatan para ulama Ahlusunnah wal Jama’ah dalam berbagai naskah turats yang memisahkan antara teks dan takwil. Takwil dalam studi al-Quran di dayah-dayah atau di pesantren selama ini bukankah sesuatu yang dilarang misalnya terkait nama-nama surat seperti Yaasin? Dengan ini Abu Zayd hendak mengaitkan kembali kajian ilmu al-Quran dengan konteks studi kritik sastra. Artinya, menurut Abu Zayd, layaknya seperti teks-teks lain, al-Quran mungkin didekati dengan berbagai perangkat kajian tekstual modern.10 Sesungguhnya metode ini merupakan bagian dari metode Hermeneutika. Dan dengan demikian, Abu Zayd telah menempatkan al-Quran sebagai teks yang tidak berbeda dari teks-teks lainnya.11 Padahal, para ulama Tafsir seperti Imam Zarkasyi telah menegaskan bahwa pada malam Lailatul Qadr alQuran diturunkan dari Lauh Mahfuzh ke sama’ul ardh sekaligus baru kemudian diturunkan ke dunia secara bertahap.12 Dengan ⁹Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut, Markaz el Shaqafil ‘Arabi), hlm: 12-13 10 Moch. Nur Ikhwan, Meretes Kesarjanaan Kritis al-Quran: Teori Hermeunetika Abu Zayd (Jakart: Teraju, 2003), hlm: 42 11 Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Terhadap Kajian al-Quran Nasr Hamid Abu Zayd, Jurnal Islamia Vol. IV, Nomor I, Tahun 2012, hlm: 80 12 Imam Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulumil aQuran, (Darut Turats: Kairo), hlm: 228 Teuku Zulkhairi | 91 demikian sama sekali merupakan kesimpulan yang sangat fatal mengatakan al-Quran sebagai produk budaya sebagaimana klaim dari Abu Zayd. Bukankah sebelum ada bangsa Arab alQuran sudah ada? Jadi bagaimana mungkin al-Quran menjadi produk dari budaya bangsa Arab ? Studi al-Quran semacam ini yang ditawarkan Abu Zayd sudah sangat banyak mempengaruhi pemikiran intelektual Islam dewasa ini. Begitu juga pemikiran Arkoun dan seterusnya yang bertentangan dengan metodologi kajian al-Quran yang selama ini diajarkan di dunia Islam. Pada intinya mereka mencoba menawarkan metode Hermeunetika (sebuah metode penafsiran Bibel) dalam melakukan kajian al-Quran yang pada akhirnya justru membuat umat Islam menjadi ragu terhadap al-Quran. Padahal, kajian al-Quran dalam tradisi intelektual muslim dikaji dengan bangunan ulumul Quran yang sudah dibangun oleh para mufassir. 2. Reposisi Dayah dalam Studi al-Qur’an Harus kita akui, meskipun dayah konsisten memberikan sumbangsih besar dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Aceh, namun dayah belum terlibat secara langsung dalam membendung arus orientalisme di tengah-tengah umat Islam. Perlawanan terhadap orientalis selama ini cenderung hanya diprakarsai aktivis-aktivis Islam dan (juga) oleh kalangan dosen di perguruan Tinggi Islam itu sendiri. Merekalah yang dewasa ini berhadap-hadapan langsung (face to face) dengan para orientalis dan sarjana Muslim yang membebek kepada mereka. Padahal, virus orientalisme semacam metode Hermeneutika sebagaimana digambarkan di atas cukup berbahaya bagi umat Islam karena akan mengarahkan umat Islam untuk meragukan kebenaran Alquran yang ujung-ujungnya umat Islam akan terpecah-belah seperti terpecah belahnya umat Islam saat dulu Belanda menggunakan politik devide et empera mereka dalam 92 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan menjajah bangsa ini. 3. Membendung Virus Orientalisme Sampai di sini penulis terfikir, bagaimana dayah akan terlibat ekstra dalam membendung berbagai virus orientalisme jika mata pelajaran Ulumul Quran dan Ulumul Hadis tidak diajarkan secara maksimal pada kebanyakan dayah-dayah di Aceh? Terhadap realitas ini, penulis menilai, barangkali ini disebabkan karena anggapan bahwa benteng pertahanan akidah yang dibangun di dayah sudah cukup kuat seperti dengan menyortir setiap buku dan kitab-kitab yang masuk ke dayah. Namun yang harus disadari, benteng pertahanan umat Islam dari orientalisme harus dibangun di setiap sudut wilayah umat Islam, bukan hanya di dayah sebagai suatu lingkup kecil. Agar dayah bisa membangun benteng pertahanan ini, maka dayah harus terlibat secara massif dalam merespon wacana ini secara metodologis. Artinya, bahaya hermenutika dan semiotika ini harus direspon kalangan dayah dengan memperkuat studi Ulumul Quran dan Ulumul Hadis. Umat Islam tidak butuh metode hermeunetika dan semiotika dalam studi Alquran oleh sebab Alquran bukan karya manusia. Hemat penulis, ketika dayah-dayah di Aceh belum maksimal dalam mengajarkan mata pelajaran seperti Ulumul Quran, maka metodologi seperti Hermeunetika ini justru akan mewarnai studi Alquran di kalangan umat Islam yang pada akhirnya akan membuat umat Islam ragu terhadap ajaran Islam dan lari daripadanya. Bukti tentang ini cukup banyak. Begitu juga pelajaran Ulumul Hadis, sudah saatnya pembelajaran Ulumul Hadis dimaksimalkan di semua dayah-dayah di Aceh, dari kelas tsanawiyah hingga aliyah. Saat ini banyak aliran-aliran yang menyebarkan hadis-hadis palsu, atau juga kelompok Inkar Sunnah yang melemahkan Teuku Zulkhairi | 93 hadis-hadis kuat yang akan mereduksi ajaran Islam. Semua tantangan ini hanya bisa dihadapi dengan memperkuat studi Ulumul Quran dan Ulumul Hadis. Satu lagi, sebagai masukan, sudah saatnya mata pelajaran ‘Kristologi’ kita ajarkan di dayah, minimal dalam bentuk ceramah-ceramah atau kuliah umum, sehingga harapan kita dayah bisa berperan maksimal dalam membendung orientalisme dan misionarisme. Di balik itu, Surat Keputusan Menteri Agama RI pada 2008 perihal pengakuan ijazah alumni dayah/pesantren tingkat Tsanawiyah/SMP dan dan Aliyah/SMU, disebutkan bahwa Ulmul Qur’an dan Ulumul Hadis adalah mata pelajaran yang wajib diajarkan dalam kurikulum pesantren sebagai syarat penyetaraan (pengakuan ijazah). Jadi, seluruh dayah di Aceh memang sudah saatnya memasukkan kedua mata pelajaran ini sebagai kurikulum wajib dan utama seperti halnya mata pelajaran Fiqh. Wallahu a’lam bish-shawab E. Mengembalikan Tradisi Menulis di Dayah Menulis dalam Islam adalah “kewajiban” kedua setelah perintah untuk “membaca”. Membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seharusnya, setelah belajar dan membaca banyak kitab dan buku, maka tugas berikutnya adalah menulis. Sebab, dengan tulisan, kita bisa berdakwah (menyebarkan kebenaran). Dengan tulisan, seseorang bisa mencoba merancang dan merumuskan bentuk peradaban dan masa depan impian atau kehidupan ideal yang didambakan. Banyak bukti sejarah yang membenarkan asumsi ini. Misalnya; bagaimana dahsyatnya kekuatan novel ”Ayat-ayat Cinta” dan ”Ketika Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman El-Shirazy sanggup membius ribuan remaja Muslim Indonesia, putra dan putri dengan berbagai pesan Islamnya, sehingga banyak sekali diantara mereka yang bermimpi dan berjuang menjadi 94 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan jelmaan(reinkarnasi) tokoh-tokoh yang digambarkan dalam novel tersebut, seperti Fahri, Azam dan sebagainya. Dalam novel tersebut mereka digambarkan sebagai aktor yang benarbenar mengaktualisasikan nilai-nilai Islam ke dalam realita kehidupan sesungguhnya. Pribadi mereka diungkapkan bak seorang aulia yang memilki akhlak paripurna. Setelah membaca buku, dipastikan siapapun akan mencoba mengikuti akhlak tokoh yang diceritakan dalam novel ini. Sebaliknya, lewat tulisan juga bisa membuat kebatilan tersebar, menghasut, memfitnah, dan berbagai propaganda yang akan membawa kepada kehancuran lainnya. Contohnya adalah; Samuel P Huntington yang menulis buku berjudul: The Class of Civilization and The Remaking of World Order” yang diterjemahkan dengan ”Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia”, suatu buku yang menganalisa dan menyajikan data-data tentang terjadinya benturan antara peradaban Barat(Kristen, Yahudi dan sebagainya) dengan peradaban Dunia Timur(Islam). Buku tersebut pada akhirnya kita ketahui menjadi rujukan Dunia Barat dalam menilai dan menyikapi kebangkitan dunia Islam(as-shahwah Islamiah). Huntington meyakini dan menulis angan-angannya bahwa setelah Amerika memenangkan Perang Dunia II, maka lawan mereka berikutnya yang akan dan harus dihadapi adalah ”umat Islam”. Efek besar dari tulisan Huntingtin tersebut kini menjadi aksi nyata eksistensi dunia barat yang dirasa oleh hampir semua umat Islam diseluruh bagian dunia. Hampir disemua lini dan segmentasi tatanan kehidupan negara-negara Islam berada dibawah cengkeraman Amerika-Barat. Bahkan, selain negera-negara Islam yang terjajah secara pendidikan, ekonomi, akhlak-moral dan politik, teori dan pemikiran Huntington tersebut juga terwujud nyata dalam penjajahan sungguhan negara Barat terhadap dunia Islam. Teuku Zulkhairi | 95 Misalnya; penjajahan Amerika dan sekutunya di Afghanistan, Irak dan sebagainya. Kekuatan sebuah tulisan kadangkala juga bisa bernada fitnah atau propokasi sehingga bisa mengajak kepada pertumpahan darah dan kehancuran. Misalnya; ”Ayat-Ayat Setan” karya Salman Rushdi, seorang penulis keturunan Pakistan yang bermukim di Inggris. Tulisannya pernah memancing kemarahan umat Islam di seluruh dunia, penyebabnya adalah karena dalam bukunya tersebut ia menghina Muhammad Saw sang Rasul umat Islam. Begitu juga Freddy S, seorang novelis yang menulis berbagai novel seksual dan vulgar di nusantara yang banyak mengumbar nafsu syaithani. Novel-novelnya tersebut sangat ampuh untuk menghancurkan moral dan akhlak generasi Islam dan putra putri bangsa Indonesia secara umum. Inilah sekilas gambaran singkat dahsyatnya kekuatan sebuah tulisan. Ia bisa membawa kepada kebangkitan sebuah peradaban, atau sebaliknya kepada kehancuran moral dan semua tatanan kehidupan umat manusia lainnya. Ketika tulisan-tulisan yang mengajak kepada kebenaran menjadi minim maka tulisantulisan kehancuran akan bertaburan dan menghancurkan. 1. Kekuatan ’Menulis’ Menulis memiliki peran yang sangat urgen dalam sejarah kejayaan umat Islam beberapa abad silam. Semua ulama yang menjadi arsitek peradaban dan kejayaan Islam masa lalu adalah para penulis ulung yang telah menghasilkan berbagai buah karya mereka yang sampai saat ini masih menjadi rujukan umat Islam sedunia dalam berbagai disiplin keilmuan. Dan berbagai kemunduran umat Islam dewasa ini bisa dipastikan karena tradisi menulis setelah membaca yang pernah dipopulerkan oleh para ulama masa lalu telah ditinggalkan. Sementara itu, persoalan yang diyakini oleh semua pihak sebagai salah satu kekurangan yang harus segera dibenahi santri 96 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan dayah adalah masih minimnya karya tulis yang mampu mereka hasilkan. Hal ini diakibatkan oleh kultur dan tradisi dayah yang hingga saat ini masih belum begitu menaruh minat pada dunia tulis-menulis. Padahal, menulis dalam Islam merupakan suatu kewajiban setelah perintah untuk membaca (baca: belajar, meneliti dan menelaah). Kita berharap bahwa tradisi menulis oleh para ulama dahulu harus mampu diikuti dan diteruskan oleh para santri dan Teungku-teungku dayah saat ini. Secara umum masyarakat Aceh masih mengakui mereka sebagai calon-calon ulama yang keberadaan mereka didayah dianggap sebagai persiapan perbendaharaan inteletual Islam(baca: ulama) masa depan. Bukti ini bisa dilihat di masyarakat kita saat ini. Fenomena yang terjadi masyarakat lebih suka bertanya kepada para santri atau teungku-teungku terkait persoalan keagamaan yang dihadapi dalam kesehariaan hidupnya. Namun, para santri tidak boleh menjadikan realitas ini sebagai sebuah prestise, sebab persoalan kekinian(aktual/kontemporer) yang terus saja bermunculan telah menuntut mereka untuk berbuat dan melangkah lebih jauh dalam menghadapi berbagai problematika umat. Apalagi melihat perang pemikiran yang dirasa berlansung kian dahsyat sehingga meniscayakan para santri untuk terlibat aktif berperan dalam perang tersebut serta tidak hanya sekedar menjadi penontonnya saja. Namun, ditengah pertanyaanpertanyaan dan keraguan berbagai kalangan serta tuntutan eksistensi para santri dalam dunia baca publik tadi, satu terobosan penting telah dilakukan beberapa santri dayah Aceh sejak tahun 2008 lalu. Mereka mencoba mendirikan satu wadah organisasi yang diharapakan menjadi pelopor eksistensi para santri dalam mengisi ruang baca public di Aceh khususnya. Organisasi yang diberi nama Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA) ini mencoba menjawab tantangan zaman dengan Teuku Zulkhairi | 97 mengajak dan menggugah para santri dayah di Aceh untuk segera ikut berkiprah dalam dunia menulis. Kita tentunya sangat bersyukur melihat tumbuhnya kesadaran ini. Hingga hari ini, kader-kader IPSA Alhamdulillah sudah banyak menulis di berbagai media lokal di Aceh, baik media cetak maupun online. Kendati pun demikian, kita cukup berbangga bahwa dewasa ini tulisan-tulisan para santri sudah cukup banyak menghiasi media massa. Juga sudah cukup banyak karya para santri atau teungku Aceh yang telah dibukukan. Yang terakhir adalah buku ilmiah hasil penelitian disertasi Teungku Dr. Aminullah, MA dengan judul “Interaksi Manusia Dengan Air”. Ini adalah sebuah karya yang dahsyat. Prof. Masa Bayu yang membimbing disertasi ini dalam seminar HUDA beberapa waktu lalu mengatakan bahwa jika Albert Enstein menemukan satu rumus, maka Teungku Aminullah dalam penelitian disertasi ini telah menemukan 500 rumus ilmiah. Subhanallah. Dan kita berharap semakin banyak para santri yang mengikuti jejak beliau. Amiin. “Kendati pun demikian, kita cukup berbangga bahwa dewasa ini tulisan-tulisan para santri sudah cukup banyak menghiasi media massa. Juga sudah cukup banyak karya para santri atau teungku Aceh yang telah dibukukan.” 2. Modal; Menulis Faktor yang harus dijadikan sebagai pijakan dasar untuk menulis adalah orientasi yang jelas. Menulis harus ada orientasi ukhrawi (kepentingan akhirat), artinya kegiatan menulis harus bisa bernilai ibadah. Tatkala hal ini telah terpenuhi maka aktifitas menulis akan menjadi suatu kenikmatan tersendiri yang bahkan akan membuat para penulis semakin termotivasi untuk menulis. Disamping itu, menulis merupakan pekerjaan yang sangat mulia 98 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan karena ia mengambil peran kenabian dalam hal menyampaikan berbagai kebenaran yang masih tersembunyi kepada khalayak ramai/publik(umat). Empat (4) sifat Rasul adalah etika yang mesti dipenuhi oleh seorang penulis. Pertama, ‘Shiddiq’ atau benar. Seorang penulis harus menyampaikan kebenaran dalam isi tulisannya. Disini, kita bisa melihat bagaimana urgennya para santri dan pihakpihak lain untuk terlibat aktif dalam dunia menulis ditengah gempuran dahsyat tulisan-tulisan yang jauh dari kebenaran dan antitesis dengan perspektif Islam. Kedua, ‘Tabligh’ atau menyampaikan. Kegiatan menulis adalah bagian dari interpretasi dan transmisi sifat tabligh ini. Disamping itu, kewajiban untuk menyampaikan bagi seorang penulis bisa dimaknai sebagai etika membuat sebuah tulisan, agar sebuah tulisan bernilai ibadah/pahala disisi Allah maka tulisan itu harus mengandung nilai kebenaran dalam penyampaiannya. Ketiga, ‘Amanah’ atau terpercaya. Tulisan yang disajikan harus memenuhi kualifikasi amanah, hal ini bisa dilakukan jika penulis itu sendiri adalah seorang yang memiliki karakteristik ‘amanah’ atau terpercaya, artinya ia tidak hanya pandai menulis, menasehati atau mengkritik orang lain, tapi juga berupaya agar ia mampu menyelaraskan antara perkataan dan perbuatannya. Merupakan dosa besar jika memerintahkan orang lain mengerjakan suatu kewajiban sementara dia sendiri tidak mengindahkannya. Keempat, ‘Fathanah’ atau cerdas. Seorang penulis harus memenuhi persyaratan ‘cerdas’ dalam menulis. Hal ini bisa dipahami karena menulis tanpa ilmu akan menyebabkan berkurangnya unsur-unsur kebenaran yang tersampaikan, atau bahkan jauh sama sekali dari kebenaran, dan bisa diprediksi pada akhirnya syaithan-lah yang akan menjadi gurunya. Membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Menulis Teuku Zulkhairi | 99 tanpa membaca berarti kita menyampaikan sesuatu tanpa dasar yang valid dan otentik yang pada satu waktu tertentu akan membuat kita menyampaikan suatu kekeliruan yang fatal. Sebaliknya, membaca tanpa menulis berarti membiarkan apa yang ada di dalam otak kita tak tereksplorasi dengan sempurna. Perkembangan zaman dalam berbagai disiplin keilmuan dewasa ini menuntut para santri dayah untuk juga terampil menguasai ilmu-ilmu non dayah. Maka, seorang santri mestinya tidak hanya menjadikan kitab-kitab kuning sebagai konsumsi bacaan kesehariannya, santri harus juga menambah porsi bacaannya dengan buku-buku lintas permasalahan baik klasik maupun actual. Para santri juga harus menjadikan surat kabar, majalah maupun media online sebagai menu wajib yang harus disantap setiap saat. Dengan begitu, disamping akan bertambahnya wawasan-wawasan umum seorang santri juga akan memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan dunia terkini yang menuntut peran aktifnya untuk terlibat secara all out mengisi ruang baca publik serta turut aktif dalam memberikan sumbangan pemikiran pada berbagai aspek pembangunan lainnya. Semoga harapan dan cita-cita itu kelak menjadi kenyataan dan bukan hanya menjadi ilusi. Dan dukungan semua pihak menjadi keniscayaan. Kelak, insya Allah mudah-mudahan kita akan menyaksikan para santri yang tampil aktif sejajar dengan semua pihak dalam memberikan andil dan kontribusi maksimal dalam mengisi peradaban dunia baru yang beradab. Insya Allah. Amiin! 100 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan BAB V Gerakan Santri Aceh, Mewujudkan Perubahan Teuku Zulkhairi | 101 A. Gerakan Santri Aceh, Pergulatan Membawa Misi Besar Islam Santri Aceh dengan segenap sejarah yang telah ditorehkan melalui berbagai peran dan fungsi masing-masing, merupakan sebuah gerakan komunitas santri dalam pergulatan membawa visi dan misi besar Islam dalam segala wujudnya. Beberapa informasi terkait dengan tema ini diantaranya adalah Gerakan Santri Aceh, Sederet Tokoh santri, Santri Dayah di Perguruan Tinggi, dan Santri Dayah di Dunia Politik, sebagaimana akan penulis gambarkan dalam pembahasan sederhana di bawah ini. 1. Gerakan Santri Aceh Secara historis, gerakan santri dayah di Aceh tidak bisa dipisahkan dari berbagai kisah tentang kebesaran Aceh di masa lalu. Dayah dengan komunitas Santri Aceh telah memberikan andil besar dalam berbagai proses konstruksi Aceh. Dengan dayah yang mengayominya, para santri menjadi benteng Aceh dari penetrasi penjajahan asing, baik penjajahan sosial budaya maupun penjajahan secara militer. Santri juga memiliki andil besar dalam membangun nasionalisme keAcehan dalam bingkai keislaman dalam upaya mengusir para penjajah. Artinya, kekuatan santri Aceh dalam peta gerakan di Aceh khususnya dan tanah air umumnya sangatlah diperhitungkan. Dewasa ini, meskipun potensi yang dimiliki oleh santri Aceh selama ini dinilai banyak kalangan masih belum tereksplorasi dan termanfaatkan dengan baik dalam membangun bangsa, dan meskipun keberadaan dayah cenderung dianggap sebagai lembaga pendidikan nomor dua, namun kiprah dan pasrtisipasi santri dayah Aceh dewasa ini terus mengalami perkembangan yang signifikan. Kiprah mereka tidak kalah pentingnya dengan eksistensi kalangan perguruan tinggi lainnya. Seiring waktu, santri dayah terus melakukan ekspansi ke berbagai tatanan 102 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan kehidupan. Mereka tidak lagi hanya sekedar pembela atau pejuang syari’at yang hanya berbicara di sarangnya saja, tapi juga telah melakukan ekspansi ke berbagai institusi lainnya. Umumnya, santri Aceh dewasa ini tidak lagi berkutat dalam masalah-masalah fiqhiyah yang bersifat furu’iyah. Berbagai persoalan penting telah menjadi kajian intens mereka untuk turut serta menyelesaikannya. Banyak santri dayah yang kini berkecimpung di luar kehidupannya, yaitu dalam gerakangerakan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang sebelumnya tabu bagi kaum santri. Banyak santri dari dayah kini telah menjelma menjadi tokoh-tokoh penting dalam dinamika perubahan di Aceh. Ini yang membuktikan bahwa santri Aceh dengan dayahdayah sebagai lembaga pendidikan tradisional telah mampu memainkan peran sentralnya dalam dinamika perubahan Aceh ke arah yang lebih baik. Bahkan, kiprah dan peran santri dayah kini juga telah mampu menjangkau perguruan tinggi. Jadi, jika ada yang mengatakan gerakan santri dayah masih stagnan, maka ini tidak benar. Santri Aceh telah lama keluar dari sarangnya untuk menyongsong perubahan Aceh dengan cara-cara yang spektakuler. 2. Sederet Tokoh santri Salah satu buktinya nyata wujud partisipasi santri Aceh dalam menyongsong perubahan di Aceh dewasa ini adalah munculnya berbagai ormas santri yang berbasis dayah. Meskipun kadangkala tidak cukup aktif, namun salah satu organisasi santri terbesar di Aceh saat ini adalah Rabithah Thaliban Aceh (RTA). Munculnya RTA yang diinisiasi oleh Tgk. Tu Bulqaini Tanjungan dan kawan-kawan beliau dari dayah, pasca kelahiranya telah melakukan ragam partisipasi dalam upaya pembangunan Aceh. Baik di era perjuangan Aceh menunut hak-nya dari pemerintah Teuku Zulkhairi | 103 pusat, hingga dewasa ini dengan melakukan berbagai aksi sosial kemasyarakatan. Bahkan, RTA telah ‘menelurkan’ tokoh-tokoh Aceh yang saat ini memegang peranan penting dalam dinamika perubahan di Aceh. “RTA telah ‘menelurkan’ tokoh-tokoh Aceh yang saat ini memegang peranan penting dalam dinamika perubahan di Aceh” Selain misalnya Tgk.H. Faisal Ali, yang merupakan pimpinan RTA kedua pasca Tu Bulqaini, dimana saat ini beliau bisa dianggap telah menjadi salah satu tokoh penting Aceh yang menjabat salah satu pimpinan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan juga ketua Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) Provinsi Aceh. Kita juga mengenal sosok-sosok lainnya seperti Tgk. Akmal Abzal, SHI Sekjend RTA periode Tgk Hasbi Albayuni yang dua periode menjadi anggota KIP dan juga dikenal secara luas di Aceh sebagai penceramah. Selain itu, tentu saja munculnya tokoh-tokoh santri baru seperti Tgk Imran Abubakar dan Tgk Marbawi Yusuf yang merupakan Ketua Umum dan Sekjend Rabithah Thaliban Aceh saat ini Berikutnya ada Tgk Asqalani yang pernahaktif sebagai komisioner Panwaslu Aceh, dan sebagainya. Tgk. Yusuf Al Qardhawy sebagai komisioner Panwaslu Kota Banda Aceh. Di lembaga keulamaan, selain Tgk. H. Faisal Ali, juga terdapat Tgk Hasbi Albayuni yang kini menjabat sebagai salah satu pimpinan di Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Beliau adalah ketua RTA setelah periode Tgk. H. Anwar Usman. Di balik itu, peran serta kader-kader RTA lainnya sesungguhnya terletak pada aksi sosial mereka yang selama ini di luar ekspos media. Partisipasi mereka dalam upaya mendidik umat sesungguhnya merupakan kerja besar walaupun cenderung dianggap kecil. 104 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Selain RTA yang bisa dikatakan sebagai organisasi induk, para santri Aceh juga mendirikan banyak Ormas lainnya yang fokus ke berbagai aspek perubahan. Misalnya, Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA) yang bergerak di bidang penulisan. Rabithah Muta’allimin Pidie (RAMPI) di Pidie yang juga aktif terjun ke masyarakat, baik dengan begitu juga organisasi alumni dayah lainnya yang tersebar di hampir setiap kabupaten dan kecamatan di Aceh. Harakah Thalabah Aceh Utara (HATHAR) dan sebagainya. 3. Santri Dayah di Perguruan Tinggi Transformasi paling heroik santri dayah dewasa ini adalah ekspansi mereka ke berbagai perguruan tinggi. Saat ini santrisantri Aceh sudah banyak yang bergelar sarjana, master dan bahkan doktor. Contoh nyata yang bisa terlihat nyata adalah lahirnya Perguruan Tinggi Islam STAI Al-Aziziyah (kini berubah menjadi Institute Agama Islam) Samalanga yang ditopang oleh para santri. Kampus ini kini semakin menjadi lembaga pendidikan favorit. Setiap tahun para pelamar semakin ‘membludak’. Para pengajar di kampus ini adalah para santri yang telah memiliki standar keilmuan dan gelar akademik yang bisa dibanggakan. Bahkan cukup banyak diantaranya yang sudah bergelar Doktor seperti Dr. Aminullah, Dr. Saiful Bahri, Dr. Hasbullah, Dr. Munadi Usman dan sebagainya. “Selain hadirnya sejumlah Perguruan Tinggi di dayah, para santri juga kini telah mengambil posisi masing-masing di kampus-kampus umum dan berbasis agama di luar dayah” Selain di Samalanga, juga tentu saja di dayah-dayah lainnya seperti lahirnya Ma’had Aly di Al Munawwarah Kuta Krueng yang dipelopori dan dipimpin oleh Tgk. H. Anawar Usman yang pernah menjabat sebagai Ketua RTA periode ketiga setelah Tu Teuku Zulkhairi | 105 Bulqaini dan Tgk. H. Faisal Ali. Kampus-kampus lainnya yang didirikan di lokasi dayah adalah kampus STAI Ummul Ayman. Kampus STAI NU di Dayah Mahyal Ulum yang dipimpin Tgk. H. Faisal Ali. Serta akan hadir juga (insya Allah) Ma’had Aly di Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara. Selain hadirnya sejumlah Perguruan Tinggi di dayah, para santri juga kini telah mengambil posisi masing-masing di kampus-kampus umum dan berbasis agama di luar dayah. Seperti Dr. Tgk. Jabbar Sabil, MA, mantan sekjend RTA yang kini menjabat sebagai wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Univbersitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. Juga ada Dr. Sabirin, M.Si, pengurus RTA aktif yang pernah dipercayakan sebagai salah satu Ketua Prodi di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry. Dr. Iskandar Zulkarnen, M.Si, M. Rizwan H. Ali di Unimal yang juga merupakan tokoh-tokoh akademisi di kampus tersebut. Dan tentu banyak lagi lainnya. 4. Santri Dayah di Dunia Politik Ekspansi santri dayah ke dunia politik, meskipun masih menjadi perdebatan di sebagian kalangan dayah sendiri, namun demikian juga memberi efek positif. Bagaimanapun, santri Aceh yang terlibat dalam partai politik bisa belajar banyak tentang dunia politik. Adanya kelemahan-kelemahan dan kekurangan mereka dalam membaca arus dan dinamika politik akan semakin mengajarkan mereka bahwa politik adalah kerja paling menantang dimana mereka seharusnya tidak boleh menjadi pecundang. Dinamika dalam dunia politik akan semakin menyadarkan mereka bahwa pekerjaan di bidang politik sesungguhnya menuntut mereka untuk mengkaji secara serius berdasarkan perspektif Islam. Pada akhirnya, paradigma gerakan menuju perubahan mereka akan semakin lengkap. Dunia politik, 106 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan bagaimana merupakan sebuah ladang amal yang paling menantang mengingat minimnya para elit politik yang selama betul-betul berhasil dalam menjalankan etika politik Islam. Dengan berkecimpungnya mereka dalam dunia politik, minimal mereka semakin sadar bahwa politik itu bukan sesuatu yang harus ditakuti dan lari darinya, tapi sesuatu yang harus ditaklukkan untuk kepentingan agama. Bahkan, saat ini salah seorang pimpinan dayah di Bireuen, Tgk.H.Muhammad Yusuf A.Wahab sedang menyusun buku: “Integrasi Moral Islam dalam Politik” yang mana gagasan ini tentu saja muncul atas keprihatinan beliau tentang wajah ideal politik dalam pandangan Islam yang harus diaplikasikan oleh seorang politisi muslim. Ini tentu-tentu perkembangan yang luar biasa. Di balik itu, kita patut berbangga dengan tampilnya sosoksosok ulama yang tadinya tentu saja adalah berstatus santri yang kini memimpin Kabupaten Bener Meriah, yaitu Tgk. Syarkawi. Juga Waled Husaini yang menjabat sebagai wakil Bupati Aceh Besar. Tgk. Muhibussabri A. W yang memimpin partai Lokal Aceh, yaitu Partai Daerah Aceh (PDA) yang semuanya lahir dari komunitas santri. Juga terdapat alumni Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara yang kini menjadi Bupati di Kabupaten Aceh Timur, yaitu Hasballah M. Thaib atau dikenal dengan sebutan Rocky. Dengan berbagai realitas ini, peran santri dayah hari ini tidak bisa dipandang lagi dengan sebelah mata. Peran dan partisipasi ini merupakan implementasi dari spiritualitas, intelektualitas dan moralitas yang dimiliki oleh kaum santri yang sedang menuju fase kebangkitan sebagai upaya membawa misi besar Islam. Teuku Zulkhairi | 107 B. Politik Santri Dayah, Merealisasikan Tujuan Syari’at13 Mari kita sejenak berbicara perihal politik santri dayah. Realitas kuatnya pengaruh dayah dan para santrinya dalam struktur kehidupan masyarakat Aceh yang telah lama menjadi perhatian banyak kalangan. Termasuk agenda politik kaum santri. Tidak sedikit penelitian dilakukan untuk membedah pengaruh dayah dalam kehidupan masyarakat. Di balik itu, tidak sedikit pula munculnya kekhawatiran- kekhawatiran sejumlah kalangan atas eksistensi santri. Bahwa seolah santri akan mengambil “lahan kerja” pihak-pihak lain yang sudah duluan eksis selama ini. 1. Fenomena Kekhawatiran yang Tidak Beralasan Di media massa kadangkala muncul tulisan yang memberikan analisa (analisis prediktif) bahwa elemen dayah diprediksi akan menjadi penguasa Aceh masa depan dan dengan sedikit kekhawatiran. Tentu ini dengan melihat dinamika kemajuan dayah selama ini, yang telah berhasil membangun dan melakukan penetrasi ideologi ke berbagai formasi struktur dan tatanan kehidupan di Aceh. Tak dapat dipungkiri jika posisi dayah dan para santrinya dewasa ini ini masih menjadi sub-sistem yang mengakar kuat dalam struktur kehidupan masyarakat Aceh. Setiap kekhawatiran tersebut hemat penulis adalah penting untuk direspons agar kebangkitan dunia dayah saat ini tidak menjadi kekhawatiran oleh pihak manapun. Di sini para santri dituntut untuk memberikan pencerahan kepada semua kalangan dari ummat ini, bahwa politik santri dayah tidak lain tujuannya adalah untuk merealisasikan tujuan (Maqāṣid) dari Syari’at Islam. 13 Tulisan ini dikembangkan dari opini penulis yang dimuat di Harian Serambi Indonesia edisi 1 Januari 2014. Link: http://aceh.tribunnews. com/2014/01/30/visi-politik-dayah 108 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Adanya kekhawatiran terhadap kebangkitan dayah bisa ditangkap secara tersirat dari pernyataan beberapa kalangan bahwa perlahan-lahan komunitas dayah ‘bekerja keras’ untuk memasukkan dan mendudukkan kader-kadernya ke dalam jajaran struktur pemerintah Aceh seperti MPU, Badan Dayah, Kemenag dan Dinas Syari’at Islam. Selain itu, pergulatan penulis dengan berbagai kalangan (dari aktivis hingga akademisi) telah mendesak penulis untuk merekam kekhawatiran beberapa kalangan atas kebangkitan dunia dayah. Penulis melihat suatu fenomena yang aneh dimana disatu sisi dayah disorot dengan pertanyaan utama “mengapa tidak maju-maju?”, namun di sisi lain komentar pesimis tidak jarang terdengar saat orang-orang dari dayah keluar dari “sarang”nya untuk terlibat dalam berbagai tatanan kehidupan, memperbaiki kehidupan yang rusak menuju kehidupan yang beradab. Salah satu kritikan-kritikan berbagai kalangan kepada komunitas dayah (khususnya dari kalangan akademisi) adalah persoalan keterlibatan dayah dalam dunia politik. Dayah di satu sisi, dayah dipandang mesti mengambil peran membangun Aceh, namun saat Tengku-Tengku atau ulama dayah berpolitik, pun juga dianggap salah. Ulama dianggap hanya pantas mengurus moral ummat ketimbang terlibat dalam pengelolaan pemerintahan karena dikhawatirkan akan merusak reputasi ulama.14 “Panggung politik ini akan menjadi lapangan pembuktiaan atas pengetahuan keIslaman, teori dan praktek yang diajarkan di dayah” 14 Perhatikan misalnya tulisan di link: http://aceh.tribunnews.com/ news/view/46671/ulama-di-ranah-politik Teuku Zulkhairi | 109 2. Panggung Politik, Arena Latihan Para Santri Padahal, panggung politik ini akan menjadi lapangan pembuktiaan atas pengetahuan keIslaman, teori dan praktek yang diajarkan di dayah. Jika kalangan dayah mampu menaklukkannya untuk tujuan Islam, kebangsaan dan kemanusiaan, maka teoriteori dari dayah akan teraplikasikan. Dan jika gagal, maka di sisi akan dimaknai bahwa dayah harus memperkuat basis keilmuannya, khususnya Fiqh Siyasah (politik). Artinya, tetap saja tidak ada ruginya komunitas dayah (Ulama/tengku) yang jika berpolitik. Sebab, tanpa mencoba, maka tidak akan pernah diketahui sama sekali bagaimana kemampuan kalangan dayah untuk membuktikan teori dari dayah saat dibawah ke panggung politik. Jadi, sinisme beberapa kalangan atas bangkitnya komunitas dayah untuk terjun dalam berbagai aspek kehidupan sesungguhnya merupakan perkara yang sangat lucu sekali. Sebab, sebagai orang Aceh, seharusnya kita mesti berbangga dan mengapresiasi kebangkitan suatu komponen masyarakat, apalagi jika komponen itu merupakan kekuatan inti masyarakat Aceh sendiri, bukan datang dari planet entah berantah. “Kebangkitan dayah dan santrinya saat ini seharusnya mestilah dianggap sebagai kebangkitan elemen penting yang akan berperan mewujudkan kebangkitan peradaban Islam di Aceh” 3. Ideologi Santri Dayah Oleh sebab itu, penting kiranya kita melihat kiprah dayah dewasa ini secara sosiologis dan filosofis, dan beranjak dari berbagai sudut pandang dan pemikiran. Pada akhirnya, harapan penulis, kebangkitan dayah dan santrinya saat ini seharusnya 110 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan mestilah dianggap sebagai kebangkitan elemen penting yang akan berperan mewujudkan kebangkitan peradaban Islam di Aceh. Jika pun dalam praktiknya terdapat beberapa kasus yang berseberangan dengan misi mulia Islam, maka tidak lantas kemudian wajah dayah dilihat dari kasus tersebut. Analisis tentang dayah harus beranjak dari berbagai sudut dan ruang pemikiran. Sebelum kita berbicara dayah secara politik, mau tidak mau kita harus terlebih dahulu mengkaji dayah secara ideologi (mabda’). Sebagai lembaga pendidikan Islam, dayah memegang teguh ideologi Islam. Ideologi Islam yang dibangun di dayah dijiwai oleh akidah Ahlusunnah waljama’ah yang dititik beratkan dalam proses pembelajaran sehingga akidah ini sangat menjiwai pergerakan komunitas dayah. Akidah Ahlusunnah waljama’ah yang dipegang kalangan santri adalah merujuk kepada Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidy. Kemanapun jaringan dayah menyebar, maka pasti akidah ini akan diperkuat. Maka tentu tidak ada yang perlu dikhawatirkan bukan? Sementara itu, secara fikih, dayah memang menitik beratkan proses pembelajaran dan pengamalan pada mazhab Syafi’i. Hal itu semata-mata untuk tujuan menjaga persatuan dan keragaman dalam beribdah, sesuatu yang tidak salah tentunya mengingat kapasitas Imam Syafi’i sebagai salah satu ulama mazhab yang diakui dunia Islam. Namun demikian, harus diakui bahwa dayah sangat terbuka dengan mazhab di luar Syafi’i seperti Hanafi, Maliki dan Hambali. Bagi dayah, mempelajari dan mengamalkan Fikih Syafi’i bukan berarti anti terhadap Imam Mazhab yang lain. Sementara secara politik, politik orang dayah sebenarnya sama saja seperti fenomena santri di Jawa. Dalam hal pemikiran politik, orang dayah tidak terikat oleh partai manapun, hatta parpol Islam sekalipun. Realitas ini dibuktikan dengan begitu menyebarnya komunitas dayah dengan para santrinya dalam Teuku Zulkhairi | 111 berbagai partai, baik yang berideologi Islam maupun yang sekuler. 4. Orientasi Politik Santri Namun yang membedakan komunitas santri dayah di Aceh dengan santri di pulau Jawa, sejauh ini komunitas santri dayah di Aceh masih cukup komitmen dengan ideologi Islam, dan tidak ikut-ikutan arus liberalisme dan sekulerisme yang melempar ideologi Islam ke dalam satu ruang kecil yang mengkerdilkan ajaran Islam yang agung. Ketika berhasil melakukan penetrasi dalam kekuasaan, orang-orang yang dibesarkan di dayah akan komit pada tujuan kebangsaan dan keislaman. Lihat misalnya Bupati Aceh Timur saat ini yang pernah dibesarkan di dayah, beberapa legislator dari dayah, dan juga ulama-ulama dari dayah yang hari ini terpilih secara sah dan demokratis untuk berada di Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Apa yang diperjuangkan oleh komunitas dayah saat ini yang telah terjun ke berbagai sistem kehidupan, sebenarnya tidak lain adalah perjuangan merealisasikan agenda besar Islam via lembaga negara. Orientasi besar mereka adalah memperjuangkan lima hal dasar yang harus dilindungi negara berdasarkan teori dalam Ushul Fiqh yang disebut Dharuriyat al-khamsah, yaitu: Hifz al-din (penjagaan agama); Hifz al-nafs (memelihara keselamatan fisik warga masyarakat); Hifz al-aqli (pemeliharaan atas kecerdasan akal); Hifz al-nasl (memelihara keselamatan keluarga dan keturunan); Hifz al-mal (memelihara keselamatan hak milik, properti dan profesi dari gangguan dan penggusuran diluar prosedur hukum). Selain itu juga untuk merealisasikan tujuan filosofis (maqāṣid syarī’iyah) aturan syariat lainnya. Penetrasi komunitas dayah dalam sistem kekuasaan dan 112 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan pemerintahan dipengaruhi visi yang ditopang oleh teori Ushul Fiqh tersebut. Dan realitas membuktikan bahwa dayah dewasa ini sudah semakin terbuka. Komunitas dayah, kini tersebar di mana-mana dan bisa bergaul dengan siapa saja. Dengan realitas visi seperti ini, sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kebangkitan komunitas dayah. Bahkan, seharusnya semua pihak bergandengan tangan dengan komunitas dayah dalam merealisasikan agenda Dharuriyat Al-Khamsah tersebut, tidak perlu membangun opini kekhawatiran karena komunitas dayah sesungguhnya lahir dari rahim bangsa Aceh sendiri. Komunitas dayah secara umum tidaklah akan ekslusif. Saat komunitas dayah berada dalam lingkaran kekuasaan, tidak akan ada yang akan disingkirkan. Keberadaan mereka di sana, dengan segala kekurangan mereka semata-mata masih dalam konteks keikutasertaan (partisipatif) dalam membangun bangsa dan agama. Hanya membutuhkan suatu komunikasi yang dialogis dan massif untuk bergandengan tangan dengan komunitas dayah. Oleh sebab itu, jika pun suatu hari nanti kita akan melihat orang-orang dayah berada di di Legislatif, Eksekutif, atau di instansi pemerintah seperti Dinas Syari’at Islam, di Badan Dayah, di Kementerian Agama, di Perguruan Tinggi, atau di instansiinstansi lainnya, maka yakinlah bahwa visi politik mereka di sana semata-mata untuk tujuan yang mulia, memperjuangkan agar agenda Islam menjadi agenda negara. Orang dayah saat ini juga tidak duduk manis saja. Eksistensi dayah saat ini adalah bagian terpenting dari entitas pergerakan bangkitnya peradaban Aceh karena dayah fokus dalam menyiapkan perbendaharaan intelektual Islam masa depan, serta menyiapkan generasi Islam yang peduli pada agama, kemanusiaan dan kebangsaan di tengah gagalnya Teuku Zulkhairi | 113 lembaga pendidikan umum merealisasikan tujuan ini. Dayah mengajari masyarakat Aceh dasar-dasar dalam berIslam dan bermasyarakat sebelum mereka terjun ke berbagai ranah kehidupan, ke perguruan tinggi, dunia usaha, birokrasi, politisi dan seterusnya. Perjuangan ini telah dilakukan dayah sejak lama, sejak Islam hadir di Aceh, dan akan terus dilanjuntukan sampa hari kiamat. Insya Allah, dengan komunikasi-komunikasi yang akan terus dibangun, visi mulia orang dayah seperti ini sejalan dengan visi berbagai kelompok politik di Aceh. 5. Waled Husaini, Tegas Membela Syari’at Islam Dalam pergulatan politiknya, sejuah ini kita dapat membaca dan menyimak berbagai aksi tokoh-tokoh dayah yang kini telah berada di panggung pemerintahan. Sebagai contoh yaitu Tgk. H. Husaini A. Wahab yang akrab disapa Waled Husaini, Wakil Bupati Aceh Besar yang juga dikenal sebagai sosok ulama. Mari kita perhatikan sejenak sepak terjang beliau. Sebelumnya, kita memahami bahwa masyarakat Aceh umumnya sangat mencintai agamanya, Islam. Ini karena Islam telah mendarah daging dalam diri mereka. Mereka mewarisi semangat kecintaan kepada Islam dari para endatunya. Kisah kejayaan Islam di Aceh di masa lalu telah menjadi suatu ingatan sejarah yang tidak mungkin dilupakan. Maka ada semboyan, Aceh dan Islam lage zat dan sifeut. Sesuatu uang tidak bisa dipisahkan. Dan kejayaan masa lalu terwujud antara lain karena faktor ketegasan pemimpinan dalam membela dan memperjuangkan Islam sehingga menjadi jalan hidup masyarakatnya. Harus diakui, itulah yang kini dirindukan masyarakat Aceh. Sebab, orang Aceh paham bahwa kejayaan Aceh masa lalu terwujud karena faktor kecintaan para pemimpinnya kepada Islam. Penulis memperhatikan, Waled Husaini memiliki sejumlah 114 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan kriteria pemimpin yang tegas. Setelah terpilih sebagai wakil Bupati Aceh Besar, dalam beberapa isu, beliau telah membuktikan ketegasannya merespons sejumlah kebijakan yang dinilai “merendahkan” Syari’at Islam. Beberapa video statemen tegas beliau membela Syari’at Islam menyebar dengan cepat di media sosial seperti Facebook dan Whatsapp. Misalnya video ketika beliau berbicara isu HAM beberapa waktu lalu. Dengan bahasa Aceh yang kental, Waled Husaini mengatakan: “Hana perle HAM gop hino, tanyo di Aceh Besar na aturan Syariat Islam droe teuh”. “Setelah terpilih sebagai wakil Bupati Aceh Besar, dalam beberapa isu, beliau telah membuktikan ketegasannya merespons sejumlah kebijakan yang dinilai “merendahkan” Syari’at Islam” Sempurna. Secara cepat menjadi viral. Dan nama Waled Husani pun kian mengharum. Masyarakat banyak membicarakan beliau. Penulis mampir di sebuah toko kelontongan, dan mendengar pembicaraan penjual disitu membicarakan kesukaannya pada sikap wakil Bupati Aceh Besar, yaitu Waled Husaini. Orangorang Aceh mencintai apa yang ada dalam diri mereka. Bukan sesuatu yang diimpor dari luar. Mereka paham sejarah masa lalu bangsanya. Dengan apa mereka dulu pernah berjaya. Waled Husaini yang juga pimpinan Dayah ini dengan jabatannya juga menyeru masyarakat Aceh besar untuk menghentikan kegiatan saat Adzan saat berkumandang. Sempurna, masyarakat sangat menyukai itu. Itulah yang ditunggu. Dalam beberapa kesempatan diskusi dengan beliau, penulis juga menyimak tekad beliau untuk memberantas Narkoba di Aceh. Dan beliau nampak tidak main-main untuk misi ini. Begitu juga tekad beliau untuk mencegah illegal logging. Beliau khawatir jika suatu saat kelak generasi kita mengalami bencana berat akibat kesalahan yang kita biarkan dilakukan hari ini. Malam ini, Rabu 12 September 2018, Waled Husaini mengisi Teuku Zulkhairi | 115 pengajian rutin yang diselenggarakan Kaukus Wartawan Peduli Syari’at Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak Lingke. Sebenarnya, menurut cerita Sekjend KWPSI, Muhammad Saman, sudah beberapa kali pihaknya ingin menghadirkan Waled Husaini dalam pengajian ini. Dan baru kali ini Waled Husaini sempat menghadirinya. Luar biasa. Jamaah pengajian tumpah ruah. Mereka yang berasal dari berbagai komunitas dan latar belakang ini menyimak dengan seksama setiap untaian kalimat-kalimat tegas Waled Husaini. Di awal pengajian, Waled Husaini mengatakan, alasan kenapa Aceh dulu jaya dan makmur. Menurut beliau, hal itu terwujud karena saat itu pemimpin berpegang kepada hukum Allah. Peduli pada agama Allah maka Allah akan peduli kita. Hari ini bagaimana agar kita kembali jaya? Jawabannya menurut Waled adalah dengan kembali sepenuhnya kepada hukum Allah. Waled Husani mengutip Alquran surat Al-A’raf ayat 96 yang berbunyi: ‫ض‬ ِ ‫َولَ ْى أَ َّن أَ ْه َل ا ْلقُ َز ٰي آ َمىُىا َواتَّقَ ْىا لَفَتَ ْحىَا َعلَ ْي ِه ْم بَ َزكَا ٍت ِم َه ال َّس َما ِء َو ْاْلَ ْر‬ ‫َو ٰلَ ِك ْه َكذَّبُىا َفأ َ َخ ْذوَا ُه ْم بِ َما كَاوُىا َي ْك ِسبُى َن‬ “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” Dalam pengajian ini, Waled Husaini juga menyinggung tentang kepemimpinan yang seharusnya mencintai dan membela Islam. Beliau kira-kira begini:, “Kalau seorang pemimpin ingin dicintai rakyatnya. Maka cintailah Allah Swt. Cintailah Syari’atNya”. Waled Husaini memberi contoh, kenapa di Turki rakyatnya melawan tank tentara untuk membela Presiden 116 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Erdogan saat kudeta yang gagal dua tahun lalu? Jawabannya adalah karena mereka mencintai pemimpinnya. Alasan mengapa mereka mencintai pemimpinnya adalah karena pemimpinnya mencintai Allah. Maka menurut Waled Husaini, siapa yang taat kepada Allah, maka umat Islam akan taat kepadanya. Dalam pengajian ini, Waled Husaini juga sangat serius berharap agar ia terus diingatkan dalam mengemban amanah sebagai wakil Bupati Aceh Besar. “Jangan biarkan penulis jatuh ke jurang. Ingatkan penulis jika penulis khilaf” kata beliau. Waled Husaini juga mengatakan, untuk apa jabatan kalau tidak menguntungkan bagi agama. Apa yang kita banggakan dengan jabatan jika rakyuat kita makan riba?, apa yang kita banggakan dengan jabatan ini jika rakyat kita tidak paham agama, sabusabu merajelala?. Sabu-sabu merajelal di LP, lembaga pendidikan dan sebagainya. Tidak lupa, panjang lebar Waled Husaini merespons isu perintah mengecilkan suara Adzan. Sembari membaca beberapa paragraf kitab kuning yang dibaca terkait keutamaan adzan, dengan berapi-api waled mengatakan: “ Bila perlu suara adzan kita pasang mulai dari Masjid Raya terdengar suara hingga ke Seulimum. Adzan itu adalah kalimah yang mulia, “ kata Waled Husaini menjelaskan. Menurut Waled Husaini, kalau hari ini kita muliakan kalimah tauhid, maka Allah pasti Allah akan muliakan kita. Beliau juga mengatakan bahwa Adzan adalah marwah ummat Islam sehingga pemerintah pusat beliau harapkan jangan hanya peduli pada satu orang lalu mengorbankan banyak orang. “Banyak yang meminta foto dan mencium tangan Waled Husaini. Tentulah, penghormatan semacam ini lahir secara alami. Mereka menaruk hormat karena tahu Waled Husaini tegas membela Syari’at Islam” Teuku Zulkhairi | 117 Terkait dengan aturan “menghentikan kegiatan saat adzan berkumandang” yang dibuat di Aceh Besar Waled Husaini mengaku akan kumpulkan para camat untuk memikirkan bagaimana caranya mewujudkan program ini. “Kalau ada Camat yang tidak siap jalankan program ini, maka kita ganti dengan camat yang siap menjalankan perintah ini, “ tegas Waled. Seusai pengajian ini, penulis memperhatikan para jamaah enggan beranjak dari tempat duduknya. Banyak yang meminta foto dan mencium tangan Waled Husaini. Tentulah, penghormatan semacam ini lahir secara alami. Mereka menaruk hormat karena tahu Waled Husaini tegas membela Syari’at Islam. 6. Tu Sop Jeunieb, Tokoh Dayah yang Menyatukan Ummat Selain Waled Husaini, mari kita bicara tentang sosok Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab atau lebih dikenal dengan panggilan Tu Sop Jeunieb atau Ayah Sop. Suatu hari, seorang antropolog Aceh mengatakan, Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab, sosok yang ingin saya ceritakan ini, memiliki kesamaan dengan Abul A’la Al Maududi, tokoh pergerakan Islam internasional asal Pakistan. Antropolog ini mengatakan, pemikiran ulama yang akrab Tu Sop ini sudah sampai pada Maqam “Memanusiakan Manusia”. Tentu, apresiasi ini bukan sesuatu yang berlebihan. Tu Sop meski adalah seorang ulama lokal, tapi beliau berfikir secara global. Beliau melihat posisi kita di tengah hegemoni bangsabangsa yang sedang berkuasa dengan nilai-nilai yang mereka ekspansikan. Dibalik itu, sejauh yang saya kenal, beliau bukan hanya seorang ulama yang mampu mengarahkan ummat untuk berfikir di jalan Islam, tapi juga motivator dan inspirator. Dan kini, beliau telah terjun dalam dunia politik. Sebuah langkah paling penting 118 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan dan menentukan. Ketika beliau memutuskan untuk berpolitik, sebenarnya saya tidak terlalu merasa heran lagi. Sebab, dari dulu saya yakin, kegundahan dan kegelisahan beliau, gagasan-gagasan dan ide beliau, narasi beliau yang sering beliau utarakan, pada saatnya pasti akan membuncah dalam aksi di level lokal. Untuk ukuran Aceh, bahkan juga Indonesia, beliau telah melangkah jauh ke depan melewati zaman. Beliau tidak lagi memandang para rival politik sebagai lawan, melainkan partner dalam perjuangan kebaikan. Yang beliau pikirkan sehingga kemudian memutuskan untuk berpolitik adalah, bahwa saat ini kita sedang bertarung dalam kencah global, sehingga lawan bagi beliau adalah lawan dalam skala global yang berwujud kapitalisme dan penjajahan zaman modern lainnnya yang hari ini telah mengekploitasi kemanusiaan untuk kepentingan materialisme. Ketika Tu Sop, sebagai seorang ulama memiliki narasi seperti ini, itu artinya inilah seseorang yang selama dicari dan ditunggu oleh bangsa ini. Seorang yang telah selesai dengan dirinya sendiri, sekaligus seseorang yang memahami bahwa kita adalah umat yang seharusnya memiliki visi jauh dalam tataran pergulatan dan pertarungan nilai-nilai secara global. Untuk level Aceh, pemikiran Tu Sop adalah pemikiran yang bisa menyatukan semua kalangan. Beliau mampu menjadi perekat ummat di tengah segala fenomena perpecahan dewasa ini. Tapi yang lebih dari beliau bukan hanya pemikiran beliau, namun juga keteladanan akhlak. Sepertinya, akhlak Rasulullah Saw betul-betul telah beliau jadikan rujukan dan parameter dalam bertindak. Ketika dihina dan dicaci sekelompok orang oleh sebab beliau telah memutuskan untuk terjun dalam dunia politik, sama sekali beliau tidak pernah marah. Bahkan, beliau selalu memberi Teuku Zulkhairi | 119 nasehat untuk tidak membalas keburukan dengan dengan keburukan. Itulah sekilas rekam jejak beliau yang saya amati selama ini. “Ketika dihina dan dicaci sekelompok orang oleh sebab beliau telah memutuskan untuk terjun dalam dunia politik, sama sekali beliau tidak pernah marah” Kemunculan beliau dalam pentas politik Bireuen memang seperti musafir di akhir zaman, asing tapi ia adalah harapan perbaikan untuk masa depan. Kehadiran Tu Sop dalam dunia politik Bireuen Seperti oase di tengah padang pasir, yang memberi arah dan harapan kemana dan bagaimana bangsa ini harus melangkah. Bagaimana kita harus berpolitik dan untuk apa sebenarnya kita berpolitik. Ketika politik kita kering dengan keteladanan dan, Tu Sop hadir dengan membawa keteladanan dalam tindakan dan pikiran. Ketika dunia politik kita diliputi awan kegelapan karena kehilangan arah dan tujuan, Tu Sop hadir memetakan kembali arah dan tujuan yang harus kita tempuh. Dan, butuh berhalaman-halaman buku untuk menulis narasi Tu Sop. Meski tidak menang secara kuantitas suara, tp Tu Sop tidak gagal dalam Pilkada Bireuen. Beliau telah berhasil membawa “nilai baru” di tengah-tengah kita,Nilai-nilai ini telah sekian lama dikubur dibawah reruntuhan peradaban kita. Dan Kini, perlahan tapi pasti arus kebaikan itu akan semakin bergelombang, menjadi parameter ummat dalam melihat, berfikir dan bertindak. “Ketika dunia politik kita diliputi awan kegelapan karena kehilangan arah dan tujuan, Tu Sop hadir memetakan kembali arah dan tujuan yang harus kita tempuh. Dan, butuh berhalaman-halaman buku untuk menulis narasi Tu Sop” Ada 60 ribu lebih masayaarakat Bireuen yang mendukung 120 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan perjuangan Tu Sop membawa narasinya menjadi nyata di tengah-tengah kita. Ini adalah lompatan besar untuk Aceh, karena sudah pasti arus kebaikan akan terus membesar setelah ditiupkan. Arus ini pasti tidak akan berhenti di tengah realitas kebosanan bangsa ini hidup dalam pragmatisme duniawi. C. Gerakan Santri Aceh; Segudang Problematika Bangsa Kita bersyukur bahwa semenjak tahun 2015 telah ditetapkan Hari Santri Nasional yang jatuh pada setiap tanggal 22 Oktober. Ini peluang bagi kita untuk semakin menempatkan santri pada posisi fundamental dalam pentas arus perbaikan dan pembangunan bangsa ini. Dengan adanya hari santri, maka peran dan kiprah santri akan semakin banyak didiskusikan dan dikaji berbagai kalangan. Lebih dari itu, ini adalah peluang besar bagi para santri untuk semakin membumikan kepada bangsa ini nilai-nilai kemuliaan yang diajarkan di pesantren atau dayah. Sebab, tidak diragukan lagi bahwa hari ini kita menyaksikan berbagai problem menerpa bangsa ini silih berganti. 1. Segudang Problematika Bangsa Dan kita meyakini bahwa dayah dengan para santrinya dapat memberikan solusi atas segudang persoalan yang dihadapi bangsa ini. Santri tidak diragukan lagi merupakan entitas penting yang dapat menggerakkan denyut nadi peradaban bangsa ini. Kita berharap bahwa keberadaan Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia dapat memberikan pengaruh besar dalam mewujudkan tananan dunia yang beradab, sekaligus mengeluarkan umat Islam dari jurang keterhinaannya. Dalam konteks penyelenggaraan negara misalnya, kita ikut menyaksikan sejumlah ketimpangan yang terjadi dan mencederai rasa keadilan dan hati nurani kita. Sejumlah kebijakan Teuku Zulkhairi | 121 pemerintah misalnya yang mengimpor beras saat petani mau panen padi, mengimpor garam padahal Indonesia adalah negara dengan laut terluas, mengimpor gula dan seterusnya, yang semua itu ikut menyakiti perasaan para petani kita. Begitu juga hutang negara yang kian meningkat. Tapi anehnya kita diminta untuk tidak khawatir dengan alasan masih dalam batasan normal. Tentu sebagai bagian dari anak bangsa yang mencintai negerinya, kita mesti mengawal jalannya pemerintahan agar tetap peduli. Pada kenyataannya, di level global hari ini kita menyaksikan berbagai macam persoalan yang menerpa dunia Islam. Keterpurukan, ketertindasan, kebodohan, kemelaratan, keterhinaan dan berbagai pandangan buruk dunia lainnya. Kita juga menyaksikan dunia Islam dipenuhi pemimpin yang zalim dan tidak peduli urusan umat Islam. Dimana-mana umat Islam terjajah. Sungguh menyedihkan. “Di level global hari ini kita menyaksikan berbagai macam persoalan yang menerpa dunia Islam. Keterpurukan, ketertindasan, kebodohan, kemelaratan, keterhinaan dan berbagai pandangan buruk dunia lainnya” Oleh sebab itu, disini kita melihat peluang besar para santri untuk dapat memainkan kiprahnya di level lokal, nasional dan sekaligus memberikan sumbangsihnya bagi perbaikan tatanan dunia yang kian rusak dengan ketidak adilkan dan kezaliman. Apalagi, Indonesia adalah negeri muslim terbesar dan dengan jumlah penduduknya yang terbesar di dunia. Seharusnya para santri dapat memainkan kiprah idealnya dalam mewujudkan tatanan dunia yang adil. Dan menempatkan umat Islam sebagai 122 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan pemimpin peradaban dunia. Di ujung paling Barat Indonesia, itulah Aceh. Negeri tempat kita dilahirkan dan dibesarkan. Dan dari Aceh, dulunya Islam menyebar ke seluruh penjuru nusantara, memberikan pencerahan kepada umat manusia. Penduduk nusantara berbondong-bondong masuk Islam dibawah dakwah para ulama dan da’i-da’i dari Aceh yang datang ke berbagai penjuru nusantara. Para ulama Aceh menulis kitab-kitab dalam berbagai khazanah keilmuan yang kemudian menjadi sarana transfer ilmu pengetahuan Islam kepada masyarakat nusantara. Sampai di sini, kita dapat memahami bahwa para santri Aceh dapat memainkan peran vital untuk kembali menjadi mercusuar bagi Indonesia, sebagaimana dulu para ulama kita memberikan pencerahan Islam untuk nusantara. 2. Peluang dalam Bidang Keilmuan Peluang terbesar kaum santri dalam membangun bangsa ini adalah dalam bidang keilmuan. Tentu ini merupakan peran yang sangat fundamental. Dengan tradisi kajian kitab kuningnya, kita mengharapkan kajian dan studi-studi kitab kuning di dayah dapat ditransformasikan dalam mengisi pembangunan bangsa. Harus diakui nilai-nilai yang diajarkan di pesantren atau dayah selama ini sangat dibutuhkan bagi bangsa ini untuk keluar dari berbagai problematika yang melilitnya. Seperti kejujuran, keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah Islamiyah, toleransi, menghormati guru dan antar sesama dan nilai-nilai mulia lainnya yang dibutuhkan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang besar dan beradab. Semua nilai-nilai itu terdapat di dayah atau pesantren dan dengan sangat meyakinkan dipraktekkan oleh para santri dalam kehidupannya sehari-hari. Teuku Zulkhairi | 123 “Harus diakui nilai-nilai yang diajarkan di pesantren atau dayah selama ini sangat dibutuhkan bagi bangsa ini untuk keluar dari berbagai problematika yang melilitnya” Maka disinilah peluang santri untuk memasarkan nilai-nilai yang diajarkan di dayah ini sehingga kelak akan menjadi falsafah hidup bangsa kita. Di level Aceh, kita bersyukur bahwa sejumlah santri kini telah berkecimpung dalam berbagai posisi, baik di eksekutif (pemerintahan), legislatif (dewan), dunia akademisi dan birokrasi. Kita mengharapkan agar para santri tetaplah menjadi santri dalam posisi apapun yang dia duduki. Kita mengharapkan agar para santri dapat terus membawa nilai-nilai kemuliaan yang diperoleh di dayah ke dalam pentas kehidupan masyarakat dan negara. Tapi jika para santri gagal memasarkan nilai-nilai kemuliaan tersebut, maka barangkali kenestapaan akan semakin panjang mendera bangsa ini. Dalam konteks upaya mewujudkan Aceh yang bersyari’at, santri harus senantiasa menjadi pendukung dan penggerak utama isu dukungan kepada syari’at Islam. Kita mesti sadar bahwa santri adalah benteng terakhir. Jika kita sedikit silap, maka bisa jadi Syari’at Islam akan cuma tinggal ceritanya saja. Begitulah perumpaan yang dapat kita berikan untuk menjelaskan letak pentingnya dukungan dan upaya santri menyukseskan upaya penegakan Syari’at Islam di Aceh. Marilah kita terus mengawal Syari’at Islam sehingga ia benar-benar sukses diimplementasikan secara kaffah sehingga dengan itu kita harapkan akan turunlah keberkahan dari Allah Swt kepada kita semua. Dan Aceh pada akhirnya menjadi negeri yang Baldatun Thaibatun wa Rabbun ghafur.15 15 Baldatun Thaibatun wa Rabbun ghafur adalah Negeri yang baik dan penduduknya diberi ampunan oleh Allah Swt. 124 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan “Jika para santri gagal memasarkan nilai-nilai kemuliaan tersebut, maka barangkali kenestapaan akan semakin panjang mendera bangsa ini” 3. Serangan Pemikiran Di balik sejumlah peluang itu, kaum santri juga menghapi sejumlah tantangan yang tidak kecil. Hari ini berbagai serangan pemikiran kian deras menyerang berbagai kalangan umat Islam, termasuk santri. Santri menghadapi tantangan besar untuk mempertahkan orsinilitas nilai-nilai keislaman, paradigma dan cara pandang Islam dalam melihat berbagai persoalan kehidupan dan kebangsaan. Sedikit saja bergeser, maka kita menjadi jauh dengan ummat dan cita-cita kejayaan. Tantangan-tantangan itu baik datang dari cara pandang dan virus yang ditiup Barat kepada umat Islam seperti sekularisme dan liberalisme dalam berbagai bentuknya. Jika virus ini menjangkiti para santri, maka bukan saja mereka akan sulit diharapkan menjadi pelopor gerakan kembali kepada Syari’at Islam, namun juga kelak justru akan menjadi lawan yang paling serius bagi cita-cita kejayaan Islam. Pada faktanya, kita menyaksikan tidak sedikit tokoh sekuler liberal merupakan orang-orang yang dulunya berlatar belakang pesantren. Begitu juga, kita menghadapi tantangan dalam sikap beragama yang eksitrim yang yang disponsori oleh gerakan Wahabi dimana juga virus ini sangat rentan menjangkiti siapa saja dari masyarakat kita, bahkan termasuk kaum santri sendiri. Maka para santri harus terus menerus memperkuat pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah, baik bagi para santri sendiri maupun bagi masyarakat kita umumnya, lewat berbagai media, sarana dan prasarana. Teuku Zulkhairi | 125 “Kaum santri mesti memposisikan pola pikir materialisme ini sebagai musuh paling utama yang harus dilawan. Begitu juga dengan virus-virus pemikiran yang lain. Jangan sampai idealisme kaum santri yang pro Islam dan pro orang-orang lemah dapat ditukar dengan uang” Dan tantangan yang lebih dahsyat yang kita hadapi saat ini adalah pola pikir materiaslisme yang datang dari mazhab kapitalisme yang hari ini kian menjadi cara pandang dunia global. Materialisme ini saat ini telah menjadi daya rusak yang cukup ampuh bagi masyarakat dunia sehingga akibatnya kenestapaan umat manusia karenanya kian panjang. Kaum santri mesti memposisikan pola pikir materialisme ini sebagai musuh paling utama yang harus dilawan. Begitu juga dengan virus-virus pemikiran yang lain. Jangan sampai idealisme kaum santri yang pro Islam dan pro orang-orang lemah dapat ditukar dengan uang. Alangkah ruginya jika idealisme yang bertahun-tahun kita semai di pesantren dapat dibeli dengan materi. Alangkahnya ruginya jika kita menjual akhirat kita dengan dunia. Maka di sinilah kita perlu melihat semua tantangan-tantangan pemikiran itu secara serius. Dengan cara itu, kita akan dapat mengisi peluang di depan mata kita untuk semakin menjadikan santri dan nilai-nilai yang dibawahnya sebagai pelopor dan penggerak bagi kejayaan bangsa dan agama. Insya Allah. Amiin. D. Tanggungjawab Santri Mengawal Syari’at Kendati sudah puluhan qanun Syari’at Islam dilahirkan legislatif dan eksekutif, namun cita-cita menuju penerapan Syari’at Islam secara kaffah di Aceh tidak serta merta akan terwujud secara otomatis. Qanun-qanun itu hanya akan menjadi 126 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan lembaran-lembaran aturan yang tidak berfungsi sekiranya elemen sipil tidak bergerak secara sinergi, simultan dan massif dalam melakukan fungsi kontrol dan dalam upaya advokasi agar eksekutif dengan segenap jajarannya konsisten memberlakukan qanun-qanun tersebut secara implementatif. Baik qanun-qanun yang berbasis syari’at Islam maupun qanun-qanun konvensional Aceh lainnya yang telah disahkan dan diberlakukan, sesungguhnya memuat model Aceh impian sekiranya pasal-pasal dalam qanun tersebut mampu diimplementasikan secara baik. Jika kita membaca pasal per pasal, ayat per ayat berbagai qanun yang telah disahkan, maka realitas Aceh yang kita saksikan saat ini akan sangat berbanding lurus dengan harapan “Aceh baru” yang diharapkan dalam versi qanun. Qanun-Qanun Syari’at Islam yang sudah berlaku antara lain sebagai berikut: a. Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah. b. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. c. Qanun Pokok-Pokok Syariat Islam d. Qanun Aceh tentang Penyelenggaraan Pendidikan yang menghendaki agar kurikulum pendidikan Aceh diterapkan secara Islami Beberapa pasal-pasal dan atau ayat-ayat dalam qanun-qanun syari’at Islam belum terimplementasikan secara baik, seperti tentang pelaksanaan kurikulum yang Islami di Aceh. Hemat penulis, realitas ini adalah disebabkan oleh dua hal: Pertama, tidak adanya keseriusan dari jajaran birokrasi Teuku Zulkhairi | 127 pemerintah. Program implementasi qanun-qanun syari’at Islam sepertinya masih dipandang pada sebatas program kerja biasa sebagaimana program kerja-kerja lainnya yang orientasi akhirnya adalah sekedar menjalankan program. Plus, ditambah dengan tidak adanya dorongan yang kuat dari pucuk kekuasaan eksekutif. Lebih dari itu, penting untuk diteliti tentang sejauh mana konsistensi birokrasi pemerintah membuat programprogram kerja yang berpedomen secara konsisten pada qanunqanun syari’at Islam. Kedua, adanya qanun-qanun syari’at Islam yang terkendala proses implementasinya harus diakui disebabkan karena lemahnya kontrol elemen sipil. Padahal, salah satu peran yang harus dilakukan organisasi sipil adalah mengawasi birokasi agar berjalan sesuai koridor hukum. Maka di sini, peran dan kontribusi kalangan dayah dan santrinya sungguh sangat diharapkan berbagai kalangan. Dengan kekuatannya yang sangat dominan di Aceh, kalangan dayah dengan para santrinya bisa terus mengawal qanun-qanun syari’at Islam, seperti Qanun Jinayat dan Acara Jinayah yang telah disahkan dan mulai diberlakukan agar terus berjalan di atas jalurnya, agar jangan sampai hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Karena jika hal ini terjadi maka sungguh akan memberikan presden buruk bagi upaya penegakan syari’at Islam di Aceh. Dan yang lebih sakit, jika “tajam ke bawah dan tumpul ke atas” ini terjadi maka kita akan menjadi bahan tertawaan dunia, dan yang perihnya lagi mungkin akan memunculkan banyak gelombang penolakan terhadap qanun ini. Maka bisa disimpulkan, bahwa tugas besar kalangan dayah terhadap qanun ini adalah memastikan agar isinya diterapkan serta diterapkan secara berkeadilan. Dua-duanya sangat penting agar cita-cita kita menjadikan Qanun Jinayat sebagai pengawal 128 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan peradaban Islami di Aceh akan terwujud. Kit jugaa berharap agar publik Aceh bisa mengawal perjalanan qanun ini agar betul-betul bisa menjadi pengawal peradaban Aceh yang Islami. Jangan sampai terjadi seperti yang dikhawatirkan beberapa pihak mengenai akan tajamnya qanun ini ke bawah serta akan tumpul ke atas. Ini harus kita antisipasi sejak dini, agar qanun ini berlaku kepada siapapun yang jika melanggar. Tidak ada perbedaan status siapapun di mata hukum hatta anak seorang raja sekalipun. “Maka bisa disimpulkan, bahwa tugas besar kalangan dayah terhadap qanun ini adalah memastikan agar isinya diterapkan, serta agar bisa diterapkan secara berkeadilan” 1. Santri; Benteng Syari’at Dalam konteks ini, Rabithah Thaliban Aceh (RTA) dan organisasi santri lainnya seperti Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) bisa berperan dalam berbagai ruang menuju implementasi syari’at Islam secara menyeluruh. Sebagai sebuah organisasi pelajar berbasis dayah, RTA dianggap memiliki keunggulan untuk terlibat dalam penguatan dan advokasi syari’at Islam. Komunitas dayah, sebagaimana dikatakan Syahrizal Abbas (SuaraDarussalam.co.id, 2013), “memiliki kekuatan moral yang kuat dengan komunitasnya yang besar”. Bahkan, tidak sedikit kalangan akademisi yang menyebut bahwa dayah adalah benteng terakhir penerapan Syari’at Islam di Aceh. Jika benteng-benteng lain telah runtuh, harapan terakhir masyarakat Aceh ada pada dayah. Hal ini sangat wajar mengingat dayah secara konsisten memperkuat syari’at Islam secara kultural. Dayah dengan segenap komunitasnya telah menjadi lembaga pendidikan yang sangat sulit dilepaskan dari dinamika Aceh modern maupun Aceh di masa silam. Teuku Zulkhairi | 129 Oleh sebab itu, ke depan, salah satu agenda penting dan mendesak yang harus dilaksanakan RTA adalah memperkuat kiprahnya secara menyeluruh dan dalam jangka waktu yang panjang, khususnya bidang advokasi syari’at Islam. Secara internal, RTA dinantikan perannya dalam menyatukan seluruh elemen pelajar dayah di Aceh, baik dayah modern maupun dayah salafiah (tradisional). Sementara secara ekseternal, dalam konteks upaya menuju penerapan syari’at Islam secara kaffah, salah satu peran yang harus dimainkan oleh para santri adalah pelibatan kader-kader RTA dalam dalam proses taqnin (legislasi) oleh legislatif. RTA harus sigap memantau setiap proses penyusunan qanun-qanun dan memberi masukan atas setiap proses pembahasan dan penyusunan qanun tersebut. Jangan sampai RTA terlewatkan pada setiap proses pembahasan qanun yang dilakukan legislatif dan eksekutif. RTA, sebagai organisasi pelajar dayah Aceh yang konsen melakukan studi turast (klasik) khazanah keilmuan Islam, mesti terus mengkampanyekan Maqāṣid Syarī’ah (orientasi syari’at) sehingga konsepsi Islam dengan segala orientasi kemashlahatannya mampu dipahami oleh umat Islam secara luas khususnya dan dunia pada umumnya. Upaya merealisasikan Maqāshid Syari’iyah harus menjadi landasan yang kuat atas setiap regulasi yang dibuat, serta pada saat yang sama juga mampu membuat manusia condrong dan loyal kepada Islam dan tidak meragukannya. Intinya, RTA harus terus berjuang memberikan masukan agar setiap proses pembangunan Aceh berlandaskan konsepsi Islam sehingga Aceh berjaya bersama Islam. Sebagai ajaran yang syamil (universal dan menyeluruh) dan mutakamil (saling menyempurnakan), Islam memang harus menjadi fondasi pembangunan Aceh oleh sebab mayoritas masyarakat Aceh adalah Muslim. 130 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Peran lainnya adalah upaya advokasi syari’at Islam. Ini merupakan sisi lemah berikut dari kiprah RTA selama ini. Idealnya, RTA mampu mengevaluasi tentang sejauh mana proses implementasi qanun-qanun syari’at Islam di Aceh dewasa ini. Puluhan qanun berbasis syari’at Islam telah diterapkan di Aceh, sejauh mana butir-butir qanun itu telah diimplementasikan eksekutif? Salah satu tindakan yang bisa diambil RTA dalam konteks ini adalah membentuk suatu tim advokasi syari’at Islam yang akan membangun kordinasi dengan legislatif dan lembagalembaga advokasi sipil seperti Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) dalam upaya melakukan peran kontrol atas kebijakan eksekutif. Melalui tahapan ini, kader-kader RTA bisa dibekali dengan pengetahuan proses advokasi agar tindakan yang kelak akan dilakukan berjalan sesuai koridor hukum. “Sesungguhnya, sebagai umat Islam dan rakyat Aceh, kaum santri mewakili warisan peradaban besar” 2. Memperkuat Advokasi Syari’at Dengan penguatan kiprah RTA dalam upaya advokasi syari’at Islam di Aceh, kita berharap agar eksekutif konsisten membangun Aceh berdasarkan qanun-qanun syari’at Islam yang telah diberlakukan sehingga mimpi kita menyaksikan Aceh yang baldatun thaybatun qa rabbun ghafur suatu saat akan menjadi kenyataan. Sesungguhnya, sebagai umat Islam dan rakyat Aceh, kaum santri mewakili warisan peradaban besar. Kita punya garis peradaban yang berbeda dari bangsa Barat. Sebagai umat Islam, Islam yang kita anut adalah agama yang universal yang mengatur segala tatanan kehidupan, termasuk di persoalan Jinayah tentu saja. Tujuan dari setiap Teuku Zulkhairi | 131 garis perdaban Islam yang bersendikan Alquran dan hadis sesungguhnya meliputi dua kehidupan, yaitu kehidupan dunia dan akhirat. Secara konsepsional, ketika ajaran Islam kita jadikan sebagai referensi dalam kehidupan dunia, maka kita telah menyelamatkan kehidupan akhirat. E. Tanggungjawab Santri; Menyuarakan Kebenaran Kebenaran akan semakin hilang jika semakin sedikit yang menyuarakannya. Ketika suara kebenaran semakin sedikit, maka yang akan terjadi adalah merajalelanya kerusakan, ketimpangan dan kehancuran. Kalau kita perhatikan, jika ketimpanganketimpangan muncul dan merajelala, bisa dipastikan itu terjadi karena sedikitnya yang menolak dan menentang. Maka itu Saidina Ali sebagaimana dikutip Ustaz Abdul Somad dalam suatu ceramahnya berkata: “Aku tak pernah ragu tentang hak dan batil karena dunia ini dari dulu isinya hak dan batil. Ada Qabil dan ada Habil. Ada Nabi Ibrahim dan ada Namrud. Ada Musa dan ada Fir’aun. Ada Nabi Isa dan ada Herodes. Ada Nabi Muhammad dan ada Abu Lahab. Aku tak mengkhawatirkan itu semua kata Saidina Ali r.a. Yang Aku khawatirkan adalah diamnya orang yang benar, sehingga orang yang salah merasa benar”. 1. Katakan yang Benar Walau Pahit Mengatakan kebenaran memang butuh keberanian. Terkadang juga berisiko. Kita bisa menyimak catatan sejarah bagaimana nasib orang-orang yang konsisten berkata benar. Hari ini kita sering membaca dan mengupas pemikiran para ulama-ulama di masa silam. Kadangkala kita lupa, bahwa mereka adalah orang-orang yang konsisten menyuarakan kebenaran, meskipun mereka kemudian menderita. Imam Abu Hanifah misalnya, beliau pernah dicambuk karena berseberangan dengan 132 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan penguasa. Hal serupa juga dialami para ulama lainnya, seperti Imam Hambali (Ahmad bin Hambal) yang disiksa karena menolak mengakui Alquran sebagai makhluk. Hal serupa juga dialami para ulama besar lainnya seperti Imam Syafi’i, Tsufyan AtsTsauri, Malik bin Anas dan banyak ulama lainnya yang tercatat dalam tintas emas sejarah peradaban Islam. Kisah-kisah mereka menegaskan bahwa kita mesti konsisten mengatakan kebenaran, karena kebenaran itu akan padam jika tidak ada yang memperjuangkan dan bersedia menahan resikonya. “Kebenaran itu akan padam jika tidak ada yang memperjuangkan dan bersedia menahan resikonya” Maka pantaslah bila suatu ketika Rasulullah Saw suatu ketika bersabda, “Katakan yang benar, meskipun pahit”. Dari hadis ini yang sering dilafal para santri di dayah, seolah-olah mewantiwanti kita akan pentingnya kita terus berkata benar, apapun resikonya yang akan dihadapi. Dalam dunia yang semakin materialis, kadangkala materialisme mengalahkan nalar. Penyakit materialisme memang dewasa ini kian menggurita menjadi musuh bagi peradaban. Maka kita kembali diingatkan oleh Allah Swt untuk “Tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit”. Lalu, Allah Swt dalam Alquran surat Ash-Shaf ayat 10-12 juga menawarkan kepada kita suatu perniagaan yang paling penting karena akan memberikan kesuksesan: ‫ب‬ ٍ ‫عذَا‬ َ ‫ارةٍ ت ُ ْن ِجي ُك ْم ِم ْن‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُىا ه َْل أَد ُلُّ ُك ْم‬ َ ‫علَى ِت َج‬ َّ ‫) تُؤْ ِمنُىنَ ِب‬01( ‫أ َ ِل ٍيم‬ َ‫سى ِل ِه َوت ُ َجا ِهدُون‬ ُ ‫اَّللِ َو َر‬ Teuku Zulkhairi | 133 ‫� ِبأ َ ْم َىا ِل ُك ْم َوأ َ ْوفُ ِس ُك ْم ذَ ِل ُك ْم َخي ٌْر لَ ُك ْم ِإ ْن ُك ْىت ُ ْم‬ ِ ‫س ِبي ِل ه‬ َ ‫فِي‬ ٍ ‫) يَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُوُىبَ ُك ْم َويُد ِْخ ْل ُك ْم َجىها‬11( َ‫ت َ ْعلَ ُمىن‬ ‫ت ت َ ْج ِري ِم ْه‬ َ َ‫ساكِه‬ ‫عد ٍْن ذَ ِل َك ْالفَ ْى ُز‬ ِ ‫ط ِيّ َبةً ِفي َجىها‬ ُ ‫ت َ ْحتِ َها األ ْو َه‬ َ ‫ت‬ َ ‫ار َو َم‬ ‫ْالعَ ِظي ُم‬ “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalanNya dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” 2. Syurga yang Tiada Ternilai Harganya Jadi balasan dari perniagaan yang ditawarkan kepada kita oleh Allah Swt adalah syurga. Lalu adakah yang lebih penting selain syurga? Barangkali, inilah yang dipahami oleh para ulama dahulu sehingga mereka konsisten di atas jalan kebenaran dengan cara terus menyuarakan kebenaran apapun resikonya. Dan oleh sebab itulah nama mereka terus mewangi sepanjang zaman dan menjadi teladan baik bagi generasi muda Islam. “Kita mengadapi suatu tantangan zaman yang berat dimana kebenaran Islam dianggap asing oleh manusia. Padahal, sejatinya kebenaran Islam adalah sesuai dengan fitrah manusia seluruhnya” Suatu ketika penulis mendengar dan mencatat sejumlah nasihat Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab (Tu Sop), salah satu ulama Aceh yang sangat penulis kagumi dan pikiran beliau 134 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan senantiasa penulis catat. Saat itu beliau mengatakan, dunia global saat ni menderita penyakit ‘phobia Islam’ di berbagai negara. Menurut beliau, hal ini terjadi karena lemahnya arus dakwah yang dilakukan oleh umat Islam. Jauh lebih lemah dari “dakwah” mereka yang phobia terhadap Islam. Dan kata beliau lagi, disinilah diperlukannya peran santri untuk terus menyuarakan kebenaran dalam setiap ruang sehingga kebenaran menjadi opini publik. Nampaknya Tu Sop melihat lebih jauh ke luar. Bahwa problem umat Islam saat ini begitu berat, luas dan komplek. Kita mengadapi suatu tantangan zaman yang berat dimana kebenaran Islam dianggap asing oleh manusia. Padahal, sejatinya kebenaran Islam adalah sesuai dengan fitrah manusia seluruhnya. Tapi kenapa banyak manusia melawan kebenaran Islam? Hal itu karena kebenaran Islam bertentangan dengan hawa nafsu. Sementara manusia yang semakin materialis dan hedonis cenderung menganggap mengikuti nafsu dengan anggapan sebagai suatu kebebasan azasi. Maka tanggung jawab para santri cukup berat. Yaitu bagaimana dapat berperan serta secara maksimal dalam mewujudkan kebenaran Islam sebagai opini publik. Sebagaimana disampaikan oleh Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab (Tu Sop Jeunieb): “Nilai-nilai kebenaran yang ada pada santri yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah Saw dan sahabat, dia akan terdegradasi oleh aliran-aliran atau pemikiran yang menyimpang yang dalam penyampaiannya lebih cepat dan lebih luas jangkauannya dan lebih sistematis” Kepada kami Tu Sop saat itu juga menyampaikan bahwa nilainilai kebenaran yang ada pada santri yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah Saw dan sahabat, dia akan terdegradasi oleh aliran-aliran atau pemikiran yang menyimpang dimana dalam penyampaiannya lebih cepat dan lebih luas jangkauannya dan Teuku Zulkhairi | 135 lebih sistematis. Akibatnya, kebenaran yang diwariskan dalam dunia santri akan menjadi tenggelam bukan karena dia tidak benar dan tidak baik sehingga dituduh eklusif, tetapi oleh sebab lemah di dalam strategi dakwah dan pembentukan opini publik. Intinya, menurut Tu Sop, kalau pelaku kebenaran diam, maka yang terjadi adalah kebenaran itu akan dikesankan sebagai kebatilan. Sebagai peta jalan bagi santri dalam menentukan sikap dan kiprahnya, Tu Sop menerangkan ada dua hal yang perlu diperhatikan secara seimbang dalam mempertahankan nilai-nilai kebenaran yang diajarkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Pertama, kajian tentang bagaimana mempertahankan kebenaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah Saw, jangan dimasuki oleh bid’ah dan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Alquran dan Sunnah. Kedua, bagaimana strategi Rasulullah Saw dan para sahabat dalam mendakwahkan kebenaran tersebut. Maka penyampaikan kebenaran oleh para santri juga harus memenuhi aspek hikmah, mau’idhah hasanah, dan mujadalah dengan cara yang ahsan (terbaik), proporsional (sesuai dengan kebutuhan publik) dan professional. Artinya, menurut Tu Sop, argumentasi Islam harus disampaikan dengan cara-cara yang terbaik sehingga kebenaran bisa diterima dan menjadi opini publik. Jika pada tataran global kondisi umat Islam seperti itu, maka bukan berarti di level lokal negara kita tidak terjadi. Pada faktanya, kita menyaksikan sejumlah problem menimpa bangsa kita. Korupsi yang senantiasa merajalela. Ketidakadilan. Dan perihnya, saat ini kita juga menyaksikan sebuah fenomena yang sangat menyedihkan dimana banyak manusia yang berlombalomba membenarkan kezhaliman, membenarkan kebohongan, membenarkan para pendusta, membenarkan kerusakan, kehancuran, kesesatan dan seterusnya. Maka disinilah peran tanggung jawab besar berada di pundak santri, untuk berdiri 136 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan teguh di atas jalan Islam. Ketika bangsa ini kian “haus” dengan nilai-nilai kemuliaan yang kian sirna, ketika bangsa ini kian merindukan keadilan, kemandirian dan kejayaan, maka disinilah para santri dapat membawa “segelas air” untuk mengobati dahaga bangsa. Maka para santri harus terus berjalan mengawal bangsa ini, dengan terus konsisten dan tegas berdiri di atas garis kebenaran. Selain itu, dalam konteks organisasi, kita mengharapkan agar organisasi santri dan juga organisasi pemuda di Aceh untuk terus menjaga khittahnya(garis perjuangan). Menjadi gerakan yang independen dan terus mengontrol sepak terjang para politisi dan penguasa. Tidak hanya mengandalkan kemitraan dengan pemerintah. Karena hal itu justru akan mematikan nalar kritis kita sebagai pemuda yang dituntut untuk memperbaiki negeri ini. Kepentingan agama dan masyarakat lebih penting daripada kepentingan pribadi untuk kesenangan duniawi. Organisasi pemuda dan santri di Aceh harus tetap kritis diihadapan penguasa sampai kapanpun. Apalagi dengan segudang permasalahan yang ada seperti saat ini. Karena itulah sebagian diantara jati diri sebuah organisasi pemuda. Jika ini tidak dilakukan, tidak mustahil kepentingan agama dan masyarakat akan selalu terpinggirkan dan dipermainkan. Jika tujuan ini telah terpinggirkan, niscaya ruh sebuah organisasi santri dan pemuda akan hilang dan harga dirinya akan tercabik-cabik oleh kepentingan politik praktis yang pragmatis. Dan jika seperti itu, maka jangan heran jika agama akan menjadi diperjualbelikan dalam politik transaksional. Jangan heran jika idealisme para pemuda di Aceh akan pudar oleh kepentingan pragmatisme duniawi. Teuku Zulkhairi | 137 3. Manfaatkan Kekuasaan untuk Islam Di waktu yang sama, penulis berdiskusi panjang lebar dengan ulama Aceh, Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab yang akrab disapa Tu Sop Jeunieb yang saat ini memimpin organisasi Himpunan Ulama Dayah Aceh. Sebagian dari catatan ini sebelumnya sudah penulis bantu siarkan melalui siaran pers ke sejumlah media Online karena menimbang pentingnya pesan yang disampaikan. Pada saat Tu Sop beliau menaruh harapan agar seluruh elemen masyarakat, termasuk para penguasa di Aceh agar menjadikan kekuasaan di level apapun yang dimiliki oleh siapapun dan kelompok mana pun sebagai sarana pengabdian untuk Islam. Baik kekuasaan atau kekuatan yang dimiliki oleh para pengusaha, para politisi, para akademisi, dan setiap tokoh atau pribadi lainnya. Dan para santri diharapkan untuk terus memberikan pencerahan melalui dakwah kepada masyarakat agar tujuan ini dapat tercapai. “Para santri harus terus mendorong agar penguasa di level apapun hendaknya menjadikan kekuasaan untuk memperkuat Islam, dan jadikan Islam untuk fondasi kekuasaan. Kekuatan Islam harus menjadi kekuatan bangsa, dan kekuatan bangsa menjadi kekuatan Islam” Sebab, kata Tu Sop, semuanya punya tanggung jawab masing-masing yang akan dipertanyakan kelak nanti di akhirat. Islam adalah segalanya bagi umat Islam, bagi dunia dan akhirat mereka. Masa kejayaan Aceh, kata Tu Sop, ditandai dengan dominasi Islam dalam kekuasaan lewat pengaruh dan keberhasilan dakwah para ulama dan santrinya. “Saat kekuasan hadir menjadi kekuatan Islam, maka hasil dan pencapaiannya akan lebih besar ketimbang hasil yang diraih dengan hanya mengandalkan ilmu dan pendidikan”, kata Tu Sop saat itu. Sebagai contoh, kata Tu Sop, secara keilmuan, perintah menutup aurat tidak pernah berhenti dilakukan. Akan tetapi, 138 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan hasilnya tetap terbatas. Namun, setelah atau jika kekuasan hadir untuk menggerakan perintah tutup aurat, maka semakin banyak yang menutup aurat jika dibanding masa lalu, seperti yang bisa kita saksikan selama ini. Artinya, fenomena ini merupakan keberhasilan dan pengaruh kekuasaan. Maka, terlindung dan tidaknya agama ini sangat tergantung sampai dimana komitmen kekuasaan untuk melindunginya. Saat kekuasaan melepaskan diri dari agama, niscaya agama akan menjadi telanjang tanpa perlindungan, dan kekuasaan akan rusak tanpa bisa diselamatkan oleh agama. Oleh sebab itulah, menurut Tu Sop, sebuah kekuasaan harus bermanfaat untuk agama, dan agama menjadi penguat bagi kekuasaan yang selaras dengan nilai-nilai Islam. Dan masing-masing umat Islam harus bergerak dengan posisi masing-masing tanpa saling menyalahkan karena ini merupakan tanggung jawab semua pihak. Menurut Tu Sop, kekuasan dan agama harus saling memperkuat. Sebab, agenda kolonialisasi dan kapitalisme yang menghancurkan umat Islam sering kali terjadi dan dimulai dengan pemisahan agama dengan kehidupan. Efeknya, saat agama dipisahkan dari kekuasaan maka kekuasaan akan dikuasai oleh kekuatan lain yang anti agama. Kalau dipisahkan, maka akan melahirkan orang-orang yang tidak beragama menjadi penguasa dan politisi. Sebagai contoh, kata Tu Sop, saat agama dipisahkan dari ekonomi, maka ekonomi akan menjadi kekuatan yang berada di tangan orang lain yang akan menghancurkan perekonomian umat Islam. Begitu juga dalam hal politik, kalau para politisi tidak mengabdi untuk Islam, maka kekuasaan akan berubah menjadi penghancur bagi eksistensi Islam. Itulah mengapa dulu bangsa kolonialis mengampanyekan sekulerisme di tengah-tengah muslim. Sebab, mereka paham bahwa dengan memisahkan politik dengan agama maka mereka Teuku Zulkhairi | 139 akan berhasil memisahkan para politisi atau penguasa dari agamanya sehingga terjadilah berbagai kehancuran. Oleh sebab itu, untuk level Aceh, kata Tu Sop, para penguasa, politisinya maupun elemen masyarakat lainnya hendaklah mengabdi untuk Islam. Saat itu, Tu Sop menekankan, ‘Buatlah kebijakan-kebijakan yang menguntungkan Islam. Jadilah teladan dalam pengamalan Islam supaya ummat ini selamat dunia dan akhirat’. Kebenaran yang disampaikan bnyak orang akan memberi pengaruh yang lebh besar dibandingkan dengan kebenaran yang disampaikan oleh hanya satu dua orang dan yang lainnya diam. Inilah sebenarnya fenomena hari ini. Berikutnya, selalu dengan profesinya tersebut ia diharapkan bisa menyelamatkan agama dan juga ummat. Contoh, bagaimana ketika seorang kaya ia bisa memanfaatkan kekayaannya untuk menjadi kekuatan agama. Begitu juga politisi, bagaimana agar kegiatan politisinya menjadi bermanfaat untuk agama. Maka itulah perlunya materi-materi yang meliputi adil, ihsan dan syafaqah ‘aladdin (menyayangi agama) dalam semua bidang. Harapannya, setiap golongan umat Islam akan selalu mengintegrasikan nilai-nilai tersebut dalam semua bidangnya. Jika itu terjadi maka saat itulah cita-cita Islam kaffah bisa terwujud. Disamping materi harus lengkap seperti itu, diharapkan juga strategi penyampaiannya juga komprehensif supaya publik paham. Kalau santri ingin mendakwahkan Islam, maka harus memasuki semua ruang kosong F. Mengumandangkan ‘Jihad’ Melawan Narkoba Salah satu problem besar dewasa ini yang mendesak untuk mendapat perhatian kalangan santri di Aceh adalah persoalan 140 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Narkoba (narkotika dan obat terlarang lainnya). Narkoba saat ini telah menjadi “hantu” yang akan merenggut keberlangsungan masa depan cerah entitas peradaban Aceh. Maka jika pada 22 Oktober 1945 dahulu KH. Hasyim Asyari (pendiri NU) mengeluarkan resolusi jihad untuk membendung kedatangan tentara NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang mencoba merampas kemerdekaan Indonesia, maka nampaknya 22 Oktober 2015 ini yang akhirnya ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional, resolusi jihad santri melawan Narkoba adalah kebutuhan yang sangat mendesak. 1. Aceh Darurat Narkoba Data menunjukkan bahwa narkoba telah banyak merenggut nyawa. Bahkan, bukan hanya itu, narkoba juga telah merusak harapan para orang tua untuk melihat anak mereka memiliki masa depan yang cerah. Narkoba telah mengantarkan banyak anak-anak muda dan orang tua ke dalam penjara, bahkan sampai hukuman mati. Dengan pertimbangan akal sehat, hampir tidak ada manfaatnya dari narkoba ini. Baik manfaat untuk pribadi si pengguna, apalagi bagi bangsa dan agama. “Aceh saat ini dihadapkan pada situasi darurat pengguna narkoba yang mencapai 7.000 orang” Namun, ironisnya, pengguna obat haram ini justru semakin hari semakin bertambah. Alhasil, Aceh saat ini dihadapkan pada situasi darurat pengguna narkoba yang mencapai 7.000 orang. Disinyalir, para pencandu narkoba ini berasal dari berbagai kalangan, mulai siswa sekolah, ibu rumah tangga, pejabat, oknum TNI/Polri, PNS dan kalangan swasta. Fakta ini terungkap dalam audiensi antara Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dengan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Aceh yang berlangsung di Kantor BNNP Aceh, seperti dilaporkan Harian Serambi Indonesia awal tahun 2015 lalu (4/3). Teuku Zulkhairi | 141 Dalam laporan ini, anggota Komisi VI DPRA, Zaenal Abidin, mengatakan, berdasarkan data BNNP, jumlah pecandu narkoba di Aceh dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan, bahkan saat ini sudah mencapai 7.000 orang. Mereka berstatus sebagai pemakai aktif jenis sabu-sabu dan ganja. Sungguh kondisi yang begitu memprihatinkan kita semua. Lalu, dengan realitas seperti ini, apa jadinya Aceh kita di masa depan? Jika generasi mudanya sudah rusak, tentu tidak ada harapan masa depan Aceh yang cerah. “Jika generasi mudanya sudah rusak, tentu tidak ada harapan masa depan Aceh yang cerah” 2. Revitalisasi ‘Jihad’ Santri Melawan Narkoba Di masa dahulu, komunitas dayah mampu tampil dalam membela negeri. Resolusi jihad KH Hasyim Asyari pada 22 Oktober 1945 silam mampu membendung kedatangan NICA. Komunitas dayah atau pesantren, baik para ulama dan santri tampil secara massif berjihad mempertahankan martabat bangsa dari serbuan penjajahan Belanda dan Jepang. Oleh sebab itu, di level Aceh, penulis memandang, di sinilah peran dayah seperti ini kembali diharapkan, khususnya agar pro-aktif berjihad melawan narkoba. Harapan seperti ini sesungguhnya sangat mendesak untuk direalisasikan. Sebab, membendung peredaran narkoba merupakan salah satu visi syari’at Islam (Maqāshid al-Syarī’ah). Dalam perspektif Syari’at Islam, pemeliharaan akal adalah salah satu dari lima tujuan syari’at Islam atau Maqāshid al-Syarī’ah sebagaimana dibahas oleh Abu Ishak Asy-Syatibi (w. 790 H) dalam kitabnya al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm. Ke lima tujuan tersebut adalah Hifzul ad-Din [memelihara agama], Hifzu an-Nafs [memelihara jiwa], Hifzu al-‘Asl [memelihara keturunan], dan 142 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Hifzu al-‘Aql [memelihara akal] dan Hifzu al-Mal [memelihara harta]. 16 Akal adalah sarana manusia untuk berfikir, dan dengan berfikir itu mereka akan bisa menemukan kebenaran Islam. Dengan akal tersebut, akan membedakan mereka dengan binatang. Dengan akal tersebut mereka akan bisa menata kehidupan dunia ini sesuai fungsinya sebagai khalifah di atas permukaan bumi. Lalu, apa yang akan terjadi sekiranya akal tersebut telah rusak atau dirusakkan? Tentu mereka tidak akan bisa lagi mengerjakan tugas-tugas mulia sebagai khalifah. Itu sebab, Islam memandang kedudukan akal manusia sangatlah penting. Dengan akalnya manusia akan bisa memikirkan ayatayat Qauliyah (al-Qur’an) dan juga Kauniyah (Sunnatullah) sehingga bisa menjadi manusia yang diharapkan Islam.17 Salah satu yang merusak akal adalah meminum Khamar (minuman keras). Maka kemudian Allah Swt mengharamkan Khamar, sekaligus mengancam peminumnya dengan hukuman. ‫ير‬ ْ َ‫ي‬ ٌ ِ‫يه َما إِثْ ٌم َكب‬ ِ ِ‫سأَلُىوَكَ ع َِه ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْيس ِِر ۖ قُ ْل ف‬ َ ْ ۖ ‫اس َو ِإث ُم ُه َما أ ْكبَ ُر ِم ْه َو ْف ِع ِه َما‬ ِ َّ‫َو َمىَافِ ُع ِللى‬ َٰ َ ُ‫سأَلُىوَكَ َماذَا يُ ْى ِفق‬ ‫�ُ لَ ُك ُم‬ ْ َ‫َوي‬ َّ ُ‫ىن قُ ِل ا ْلعَ ْف َى ۖ َكذَ ِلكَ يُبَيِّه‬ َ ‫ت لَ َعلَّ ُك ْم تَتَفَك َُّر‬ ‫ون‬ ِ ‫ْاْل َيا‬ “Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai khamar (minuman keras) dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa kedua-duanya lebih 16 Abu Ishak Asy Syatibi, Al-Muwâfaqât fi Usul Asy Syari’ah, jilid II, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, t. t), hlm: 5 - 10 17 Teuku Zulkhairi, Syari’at Islam Membangun Peradaban, (Banda Aceh: Penerbit Pena, 2017), hlm: Teuku Zulkhairi | 143 besar dari manfaatnya.” (QS al-Baqarah: 219). Argumentasi (Al-‘illat) Islam atas pengharamkan khamar adalah karena membuat si peminumnya menjadi mabuk yang dengan mabuk itu maka akan rusaklah akalnya. Para ulama kemudian meng-qiyas-kan al-’illat menyebabkan mabuk tersebut dengan barang serupa khamar lainnya yang juga memabukkan. Jadi, lewat proses qiyas ini, maka segala sesuatu yang memabukkan adalah haram dan diancam dengan hukuman pidana, maka termasuk di dalamnya yaitu segala jenis Narkotika dan obat terlarang lainnya (Narkoba). Adanya ancaman hukuman terhadap peminum khamar dan termasuk Narkoba sesungguhnya adalah untuk menjaga akal manusia. Sebab, jika akalnya sudah rusak dengan meminum khamar, maka kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya bagi si peminumnya, tetapi juga bagi keluarga dan juga masyarakatnya. Fenomena-fenomena kontemporer cukup jelas memperlihatkan bukti tentang ini, bagaimana kerusakan yang ditimbulkan dari minum keras atau yang serupa dengannya. Bangsa kita sudah sangat kewalahan menghadapi kartel-kartel Narkoba yang sudah sangat merusak bangsa ini. 18 Alquran dalam Surat Al-Maaidah ayat 90 mengingatkan kita: َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذ‬ ‫اب‬ َ ًَ‫ِيي آ َهٌُىا إًَِّ َوا ا ْل َخ ْو ُز َوا ْل َو ْيس ُِز َو ْاْل‬ ُ ‫ص‬ َ ‫ش ْي‬ َ ‫س ِ ّه ْي‬ ‫اى فَاجْ تٌَِبُىٍُ لَ َعلَّ ُك ْن‬ َّ ‫ع َو ِل ال‬ ٌ ْ‫َو ْاْل َ ْس ََل ُم ِرج‬ ِ ‫ط‬ َ ‫ت ُ ْف ِل ُح‬ ‫ىى‬ ”Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi 18 Teuku Zulkhairi, Syari’at Islam Membangun Peradaban, (Banda Aceh: Penerbit Pena, 2017), hlm: 144 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan nasib dengan anak panah adalah perbuatan-perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. Dalil-dalil Alquran ini menunjukkan haramnya merusak atau membinasakan diri sendiri. Narkoba sudah pasti merusak badan dan akal seseorang. Sehingga dari ayat inilah kita dapat menyatakan bahwa narkoba itu haram. Dengan kata lain, Islam melarang kita menggunakan narkoba tidak lain karena Islam menyayangi dan menghargai kehidupan kita. Kenapa dilarang, karena Islam memahami efek negatif narkoba bagi si penggunanya. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah jauh-jauh hari sejak tahun 1976 telah mengeluarkan fatwa haramnya narkoba. MUI menyatakan haram hukumnya penyalahgunaan narkoba dan semacamnya, yang membawa kemudaharatan, mengakibatkan rusak mental fisik seseorang, serta terancamnya keamanan masyarakat dan ketahanan Nasional.19 Jadi, tidak diragukan lagi bahwa dalam perspektif Islam, pemeliharaan akal memiliki tujuan yang sangat prinsipil dalam syari’at Islam. Sementara itu, tidak diragukan lagi bahwa narkoba memberikan sumbangsan besar bagi rusaknya akal generasi muda. Padahal, jika generasi muda rusak, maka rusaklah bangsa ini. Oleh sebab itu, jihad dayah melawan narkoba, niscaya harus menjadi agenda paling penting dekade ini dalam upaya mewujudkan salah Maqāshid al-Syarī’ah ini. Sebab, jika akal generasi muda telah rusak, maka agenda pembangunan dan syari’at Islam pasti akan semakin sulit direalisasikan. Segala upaya perbaikan dan pembangunan bangsa akan rusak jika akal generasi mudanya tidak dijaga. “Gendang perang jihad melawan narkoba sudah ditabuh. Dan memang, sudah semestinyalah peran ini diemban kalangan santri dayah mengingat dayah” 19 Sumber, Lihat: Komisi Fatwa MUI 10 Februari 1976). Teuku Zulkhairi | 145 Beruntung, stakeholder dayah seperti Dinas Pembinaan Pendidikan Dayah Aceh kini sudah mulai melihat penting persoalan ini, antara lain dengan menyelenggarakan sosialisasisosialisasi pencegahan narkoba di dayah-dayah. Itu artinya, revitalisasi peran santri dayah dalam menyelamatkan masa depan generasi muda Aceh sudah mulai didendangkan. Gendang perang jihad melawan narkoba sudah ditabuh. Dan memang, sudah semestinyalah peran ini diemban kalangan santri dayah mengingat dayah itu sendiri telah sekian lama berdiri pada posisi ‘benteng syari’at Islam’ di Aceh. 3. Beberapa Upaya Bagi Santri Beberapa tindakan dan upaya yang bisa dilakukan kalangan dayah, antara lain adalah dengan terlebih dahulu memastikan tidak ada kalangan santri yang menggunakan narkoba dalam jenis apapun. Kita bersyukur bahwa ulama-ulama besar di Aceh telah sejak lama perhatian dalam perkara ini sehingga kalangan dayah tentu saja relatif streril dari persoalan besar ini. Di dayah, bahkan merokok pun dilarang bagi para santri. Namun demikian, upaya pencegahan tentu bisa saja dilakukan. Minimal, para santri yang akan lulus atau menyelesaikan pendidikan di dayah bisa dibahani sejak dini, bahwa narkoba ini adalah musuh besar Islam dan bangsa, serta racun paling berbahaya bagi generasi muda dan penyakit krusial bagi peradaban Islam. “Para santri yang akan akan lulus bisa dibahani sejak dini, bahwa narkoba ini adalah musuh besar Islam dan bangsa, serta racun paling berbahaya bagi generasi muda dan penyakit krusial bagi peradaban Islam” Setelah dipastikan steril, selanjutnya para santri dan teungku bisa berdakwah di masyarakat menyeru mereka untuk tidak menggunakan narkoba, mencegah anak-anaknya dari menggunakan hingga mencegah peredaran narkoba di tengah- 146 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan tengah masyarakat. Ini bisa dilakukan baik dalam khutbahkhutbah mereka, saat mengisi majlis-majlis ta’lim, dan dalam berbagai proses interaksi dengan masyarakat lainnya. Dengan pemaparan dalil-dalil fiqh Islam seputar bahaya narkoba dan larangan keras Islam bagi menggunakannya, tentu dakwah para santri ini akan lebih mudah didengar masyarakat. Dengan cara seperti ini, lembaga pendidikan dayah perlahan akan menjadi sentral rehabilitasi para remaja pengguna narkoba. Lebih dari itu, komunitas dayah juga bisa lakukan advokasi dan upaya-upaya ‘pembersihan’ gampong-gampong dari narkoba, seperti halnya perjuangan mereka selama ini dalam menjaga gampong-gampong dari maksiat. Upaya-upaya seperti ini, tentu saja kita harapkan bisa berkordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) wilayah Aceh. Bagi BNN sendiri, kita harapkan mampu bekerja secara massif dan pro-aktif menggandeng komunitas dayah dalam memberantas narkoba, karena sesungguhnya pemberantasan narkoba adalah juga tujuan pentinng ajaran Islam yang disadari secara baik oleh kalangan dayah. Jadi, tinggal dibutuhkan koneksi. Dengan posisi dan kekuatan santri dan teungku dayah yang begitu dominan di Aceh, kita yakin peran jihad melawan narkoba akan bisa diemban. Insya Allah. Semoga. G. Menuju Santri sebagai Pemimpin Perubahan Santri merupakan bagian dari proses reproduksi ulama, dengan menjadikan Dayah sebagai basis pengembangan jati diri santri guna mencapai derajat keulamaan dengan dibekali ilmu agama. 1. Mengedepankan Akhlak Mulia Sebagai pelajar atau penuntut ilmu, santri dewasa ini Teuku Zulkhairi | 147 senantiasa mengedepankan prinsip-prinsip dan etika keilmuan dalam menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika kita berharap bahwa santri dapat menjadi pemimpin bagi perubahan. Santri sebagai pelajar Islam diharapkan memperjuangkan kebangkitan Islam, dan sedapat mungkin agar tidak menjadi faktor pemicu perpecahan di masyarakat. Kita tentu berharap agar jangan sampai setelah ada hari santri lalu muncul pandangan merendahkan pihak non santri atau mereka yang tidak pernah belajar di pesantren atau dayah. Dan kita yakin, ini tidak akan terjadi, insya Allah. Patut diingat bahwa selain santri bukan berarti lawan. Tapi partner dalam pembangunan. Sebab, menjadi santri di pesantren atau dayah adalah salah satu jalan menuntut ilmu yang paling utama, namun bukan satu-satunya jalan sehingga kalangan santri harus tetap menaruh hormat kepada umat Islam yang tidak pernah nyantri di pesantren. Oleh sebab itu, bagi kita para santri, marilah memandang umat Islam yang tidak pernah nyantri di pesantren atau dayah dengan pandangan kasih penulisng. Umat Islam perlu selalu bersatu karena persatuan adalah kewajiban utama dalam Islam, syarat menuju kemajuan dan kebangkitan. Sebagai generasi yang diharapkan menjadi perbendaharaan intelektual Islam di masa depan, kalangan santri tidak boleh dijebak dalam kepentingan politis suatu golongan. Santri jangan mau dimanfaatkan oleh kepentingan politis karena jika demikian maka pergerakan kaum santri akan mudah dipatahkan. Maka, tidak henti kita berharap agar Santri terus menunjukkan jati dirinya sebagai pelajar Islam yang menempatkan Islam sebagai satu-satunya barometer dalam melihat segala sesuatu persoalan dan memberikan soluasi atas persoalan yang menimpa ummat. Peran paling fundamental 148 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan yang mesti diperankan kalangan santri adalah peran keilmuan, karena dengan ilmu maka peradaban akan bangkit tegak. Santri harus semakin banyak menulis dan mengabadikan ilmunya dalam karya tulis buku atau kitab. Lebih dari itu, kalangan santri juga harus senantiasa konsisten mengedepankan akhlak yang mulia dalam menghadapi berbagai persoalan ummat. Dalam menghadapi berbagai persoalan keummatan dan bangsa dewasa ini, santri harus selalu kritis atas berbagai kezaliman. Mencintai kalangan yang tertindas dan dekat dengan mereka serta selalu berupaya menjadi jembatan penghubung antara berbagai kelompok masyarakat sebagai upaya meneguhkan kedamaian di masyarakat. “Sebagai generasi yang diharapkan menjadi perbendaharaan intelektual Islam di masa depan, kalangan santri tidak boleh dijebak dalam kepentingan politik suatu golongan. Santri jangan mau dimanfaatkan oleh kepentingan politik yang berakibat pergerakan kaum santri akan mudah dipatahkan” 2. Merespon berbagai Persoalan Aktual dengan Kitab Kuning Santri juga harus mampu merespon berbagai persoalanpersoalan aktual kontemporer dengan perspektif Islam dan kitab kuning sehingga keilmuan yang dikembangkan di dayah atau pesantren akan selalu memiliki korelasi dengan perkembangan dunia yang begitu cepat. Kaum Santri juga harus terus menjaga nama baik institusi pesantren yang hari ini mendapat berbagai ujian kepercayaan dari masyarakat. Lebih dari itu, tugas santri sebagai pemimpin perubahan berikutnya adalah bagaimana menarasikan kitab kuning sebagai referensi pembelajarannya dalam realitas kehidupan, sekaligus menjawab keraguan sekelompok orang tentang daya tahan Teuku Zulkhairi | 149 kitab kuning. Kitab kuning harus kita akui merupakan warisan ‘turast’ yang tak ternilai harganya. Namun, harus kita akui saat ini muncul sekelompok orang menyebut kitab kuning yang dipelajari di dayah sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Meskipun sebenarnya, kalau kita tanya dimana satu baris saja dari kitab yang tidak relevan dengan perkembangan zaman? Tentu mereka tidak mampu menunjukkannya. Mana ada ilmu yang bisa usang? Kitab-kitab kuning membahas berbagai khazanah keilmuan Islam. Dari masalah Tasawuf, Fiqh, Akhlak, Siyasah, Falak, Mantiq (ilmu logika), Tafsir, Hadis dan Ilmu hadis, Alquran dan Ulumul Quran, dan seterusnya. Nah, tugas para santri bagaimana menerjemahkan isi kitab ini dalam realitas kehidupan. Dalam dunia yang semakin parah oleh kerusakan moral ini misalnya, bagaimana agar isi kitab Tasawuf bisa membumi di masyarakat dan lingkungan pemerintahan. Begitu juga, tugas para santri untuk membumikan Alquran dan hadis serta ilmu-ilmunya di masyarakat, agar lahirlah perubahan yang diharapkan, yaitu perubahan paradigma masyarakat menjadi pendukung kebenaran dan kebangkitan ajaran Islam. “Tugas para santri bagaimana menerjemahkan isi kitab ini dalam realitas kehidupan. Dalam dunia yang semakin parah oleh kerusakan moral ini misalnya, bagaimana agar isi kitab Tasawuf bisa membumi di masyarakat dan lingkungan pemerintahan” Begitu juga dalam bidang fiqh, bagaimana agar masyarakat beramal yang sesuai dengan ilmu fiqh. Coba bayangkan, fakta di lapangan, hari ini bahkan banyak masyarakat yang tidak paham mengapa mereka tidak boleh lewat di depan orang yang shalat. Banyak juga yang sulit sekali memahami pentingnya shaf shalat yang teratur dan rapi. Serta segudang persoalan lainnya, bahkan juga banyak masyarakat dan generasi mudahnya yang tidak shalat. 150 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan Lebih dari itu, dalam bidang Aqidah, tugas para santri berikutnya adalah bagaimana menjelaskan Ideologi Ahlusunnah wal Jama’ah dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat, sehingga masyarakat memahami untuk apa mereka menjadi Ahlsunnah wal Jama’ah. Sebab, harus diakui bahwa hal yang sering dibicarakan di Aceh dewasa ini adalah AhlUsunnah wal Jama’ah yang di Pulau Jawa sering disingkat dengan Aswaja. Di Indonesia, terminologi Ahlusunnah wal jama’ah cenderung melekat pada santri dan institusi pesantren atau dayahnya. Hal ini tentu tidak mengherankan mengingat salah satu ciri khas santri di nusantara adalah prinsipnya yang memegang teguh aqidah Ahlusunnah wal jama’ah. Identiknya santri dengan Ahlusunnah tidaklah sulit dipahami mengingat Islam yang masuk ke nusantara adalah beraqidah Ahlusunnah wal jama’ah. Berbagai literatur sejarah menunjukkan peran dayah adalah sebagai markaz pendidikan yang melahirkan para pendakwah Islam yang kemudian menyebarkan Islam ke dunia Melayu di Asia Tenggara. Kalau kita membaca kitab-kitab para ulama Aceh terdahulu, maka aqidah mereka adalah Ahlusunnah yang berpatokan pada Imam Abu Hasan al-Asy’ari (baca: Asya’irah) dan Abu Mansur Almaturidi (Maturidiyah). Kitab-kitab Jawi (Jawo) tauhid yang ditulis para ulama Aceh dahulu banyak yang merujuk pada kedua ulama tersebut. Di Indonesia, termasuk di Aceh, Intensitas pembahasa seputar Ahlsunnah wal Jama’ah ini tidak berlebihan mengingat hadis Rasulullah Saw yang menyebut bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan, dan dimana hanya satu golongan yang selamat. Yaitu mereka yang mengikuti Sunnah Nabi Muhammad Saw dan mengikuti para jama’ah, yaitu para sahabat. Hadis ini sesungguhnya sangatlah jelas bahwa umat Islam seluruhnya perlu menjaga agar tidak terjerumus dalam golongan yang 72, karena kata Rasululah Saw golongan yang 72 ini akan masuk ke neraka. Jadi adanya 72 golongan yang masuk neraka Teuku Zulkhairi | 151 ini adalah pernyataan Rasulullah Saw sendiri dalam hadisnya sehingga mau tidak mau kita harus menyadarkan ummat agar tidak terjerumus dalam golongan yang 72, serta agar istiqamah dalam Ahlusunnah wal jama’ah. Tapi masalahnya, hari ini kita mengalami kendala yang cukup berarti, di satu sisi banyak masyarakat yang tidak menganggap penting ideologi Ahlusunnah wal jama’ah. Dan di sisi lain, karena salah cara kita dalam memasarkan ideologi Ahlusunnah wal jama’ah ini membuat banyak orang yang kemudian antipati kepada “Aswaja”. Apalagi beberapa kasus di Pulau Jawa dimana orang-orang Aswaja disebut-sebut ada yang merapat ke Ahok dalam Pilkda Jakarta sehingga secara umum turut mencoreng citra Ahlusunnah wal jama’ah. Di sini para santri memiliki tugas besar bagaimana menyadarkan ummat tentang pentingnya Ahlusunnah wal jama’ah sebagai ideologi dan Aqidah, serta kemudian mampu memasarkan ideologi ini dengan strategi “pemasaran” yang mampu diterima masyarakat. H. Mimbar Khutbah Jum’at; Media Menjaga Kelestarian Lingkungan Berbagai bencana alam seperti banjir dan tanah longsor terus kita saksikan terjadi di beberapa wilayah di Aceh dewasa ini. Tidak diragukan lagi, bencana ini merupakan konsekuensi logis dari ulah tangan-tangan manusia serakah yang menebang/ merusak hutan (illegal logging) demi meraup keuntungan pribadi dan kelompoknya. Kita bukan tidak menerima taqdir Allah Swt atas berbagai musibah yang menimpa kita, tapi Islam memahamkan kita bahwa banyak bencana yang terjadi sebagai ulah tangan-tangan jahil manusia. Allah Swt mengatakan, “Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan 152 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” ( Qs. asy-Syura : 30) Dan ternyata, tujuan dari musibah yang diberikan Allah Swt ini adalah bertujuan untuk menyadarkan kita, agar kita kembali ke jalan yang lurus. Sebagaimana Allah Swt berfirman (Qs. arRum: 41): “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Menurut Ahmad Zain An Najah (2011), maksud “Telah nampak kerusakan” dalam ayat di atas, yaitu bahwa kerusakan-kerusakan yang menimpa kehidupan manusia benar-benar telah terjadi dengan jelas dan bisa disaksikan secara langsung oleh semua lapisan masyarakat. Kerusakan tersebut mencakup kerusakan non fisik seperti kerusakan akhlaq, perilaku dan moral. Begitu juga mencakup kerusakan fisik; seperti bencana alam, menyebarnya berbagai macam penyakit, kerusakan ekosistem dan kerusakan infrastruktur. Sementara, maksud “di daratan dan lautan” dari ayat di atas, yaitu bahwa kerusakan ini sudah merambah semua tempat, baik di daratan; seperti tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, kebakaran hutan, banjir, polusi udara, dan pencemaran lingkungan, maupun kerusakan di lautan; seperti terjadinya tsunami, pencemaran air laut, terbakarnya kapal-kapal, tumpahnya minyak-minyak dari kapal tanker, matinya ikan-ikan dan terganggunya ekositem laut. 1. Illegal logging; Investasi Kehancuran Dalam konteks Aceh, hutan Aceh telah diakui masyarakat dunia sebagai paru-paru dunia yang berfungsi untuk menjaga Teuku Zulkhairi | 153 kestabilan alam. Oleh sebab itu, penjagaan hutan Aceh adalah tugas terbesar semua kalangan umat Islam di Aceh khususnya. Sebab, Islam sebagai agama yang universal juga mengatur hingga ke persoalan lingkungan. Alquran sebagai kitab suci kita umat Islam telah secara jelas melarang manusia berbuat fasad (kerusakan) di atas permukaan bumi, menerangkan peran manusia atas suatu bencana alam, serta juga memberikan ancaman yang mengerikan bagi orang-orang yang berbuata fasad/merusak lingkungan. Illegal logging bukan saja telah mengundang banyak bencana, tapi juga menjadi investasi besar untuk kehancuran masa depan anak-anak dan cucu kita kelak. Oleh sebab itu, untuk melawan mafia illegal logging atau orang-orang yang berbuat fasad ini, masyarakat Aceh mesti melakukan gerakan perlawanan dalam skala besar dan massif. Kalau selama ini berbagai elemen masyarakat sipil bisa bersatu untuk melawan praktek-praktek korupsi di Pemerintahan, maka seharusnya masyarakat juga bisa bersatu dan bergerak untuk melawan perbuatan fasad mafia illegal logging ini. Bukankah efek dari illegal logging ini telah secara jelas kita rasakan saat ini? Oleh sebab itu, sebagai konsekuensi dari keimanan dan Keislaman kita, dimana Iman dan Islam kita mengajakan untuk tidak diam atas kezhaliman dan kemaksiatan yang terjadi, maka masyarakat harus bergerak untuk jaga lingkungan, menyelamatkan hutan. Dan para santri, para khatib, juru dakwah, para Muballigh sudah seharusnya mengambil peran besar ini. Keterlibatan para juru dakwah untuk melakukan “Khutbah Lingkungan” bukan saja penting karena ini menyangkut masa depan anak-anak dan cucu-cucu kita, tapi juga sebagai realisasi atas perintah Islam, sebagai pembuktian bahwa Islam itu ajaran yang universal. 154 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan 2. Keberpihakan Lingkungan Santri dan Khatib Terhadap Salah satu upaya mendesak dan juga harus dilakukan terus menerus adalah memaksimalkan fungsi dayah dan santri-santrinya, mimbar Mesjid-Mesjid dan Meunasah untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan, merawat hutan dan alam. Lewat mimbar Mesjid dan Meunasah ini, para Khatib kita harapkan bisa menggugah kesadaran masyarakat secara luas untuk bangkit bersama secara serentak memberikan peran dan partisipasi dalam menjaga lingkungan dan hutan, apapun resiko yang dihadapi. Jika masyarakat kuat dan bersatu, kita yakin tidak ada yang berani merusak hutan di Aceh. Jika masyarakat sadar, insya Allah mereka akan turut serta menjaga hutan dan lingkungan lainnya. Cukup banyak ayat-ayat Alquran dan juga nash dari hadis Nabi terkait lingkungan dan hutan (yang mengarah pada keharusan menjaga lingkungan/hutan serta ancaman bagi yang merusaknya) yang bisa disampaikan dalam khutbah-khutbah Jum’at dan ceramah-ceramah umum lainnya. “Jika masyarakat kuat dan bersatu, kita yakin tidak ada yang berani merusak hutan di Aceh” Namun, realitasnya selama ini persoalan lingkungan khususunya kewajiban menjaga hutan adalah tema yang bisa kita katakan paling sedikit disampaikan, sangat jarang tema khutbah ini kita dengar. Terkesan, penjagaan lingkungan hanya tugas aktivis-aktivis lingkungan semata. Padahal, ini persoalan besar Islam dan ummatnya. Selain kepada para santri, khatib atau muballigh, harapan besar kita selanjutnya tertuju kepada Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) agar memperkuat kembali fatwa yang pernah Teuku Zulkhairi | 155 dikeluarkan beberapa tahun lalu seputar kewajiban menjaga lingkungan dan keharaman merusaknya. MPU kita harapkan bisa membangun kordinasi dengan aparat keamanan seperti Kepolisian dan TNI serta juga institusi-institusi pemerintah seperti Majlis Adat Aceh (MAA) dan juga Ormas/OKP di Aceh seperti Komite Peralihan Aceh (KPA, KNPI, dan sebagainya untuk menyampaikan pandangan Islam tentang kewajiban menjaga lingkungan dan keharaman merusaknya, serta keharusan seluruh elemen masyarakat untuk terlibat secara intens untuk menjaga lingkungan. Kita beruntung bahwa media massa dan aktivis lingkungan di Aceh selama ini cukup intens menyuarakan isu-isu lingkungan. Kendati demikian, suara kritis media dan para aktivis lingkungan ini tidak akan memberi efek maksimal jika tanpa peran serta maksimal masyarakat dan kaum agamawan (khatib/ulama0. Oleh sebab itu, para khatib sudah seharusnya lebih intens lagi karena persoalan lingkungan adalah juga persoalan syari’at Islam dan kaum Muslimin. Wallahu a’lam bishshawab Akhirnya, marilah kita membaca kembali ayat-ayat Allah Swt yang berkaitan dengan urgensi penjagaan alam (QS. al-A’rāf: 7): “.. dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”. Semoga kita sadar, bahwa kehidupan dunia hanya sementara dan tempat kita berinvestasi kebaikan (bukan investasi kerusakan). Semoga para pelaku illegal logging sadar, ada kehidupan lain pasca dunia tempat semua yang pernah kita lakukan di dunia akan diminta pertanggungjawaban di pengadilan Yang Maha Kuasa. 156 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan I. Menemukan Titik Temu Intelektualisme Santri Dayahdan Akademisi Kampus Tidak bisa dihindari jika sesekali waktu terjadi benturan pemikiran antara kalangan santri dan atau teungku dayah di Aceh dengan kalangan akademisi dari kampus (perguruan tinggi). Benturan ini terjadi misalnya bukan saja di ranah individual dan ruang-ruang kecil lainnya dalam struktur formasi kehidupan bermasyarakat, namun juga dalam ruang terbuka yang bisa disaksikan publik secara luas seperti di media massa, media sosial serta pada saat terjadinya berbagai momentum prosesi pengambilan kebijakan. Jika mau dipahami secara positif, benturan ini sejatinya tidak lain merupakan dialog peradaban yang memang tidak bisa dihindari, bahkan juga sebuah keharusan dalam upaya konstruksi ulang sebuah peradaban. Dengan benturan ini, perkembangan keilmuan di dayah dan kampus akan menemukan arena ujian, proses seleksi dan uji publik dimana pendapat yang paling teruji akan diterima publik sebagai argumen umum serta dianggap sebagai pendapat mainstream (arus utama). Inilah keuntungan yang paling menggembirakan dari efek terjadinya benturan pemikiran dan keilmuan. Oleh sebab itu, dalam rangka mengawal geliat dialog peradaban ini, maka menjadi tugas semua kalangan untuk terus mencari titik temu antara intelektualisme dayah dan kampus sehingga benturan pemikiran tidak mengarah atau dimanfaatkan segelintir pihak untuk tujuan yang jauh dari kerangka peradaban dan nilai-nilai Islam. Kalangan kampus yang cenderung dipersepsikan sebagai kaum modernis dan perkotaan sebenarnya saling terikat dan terkoneksi dengan kalangan dayah dijuluki sebagai kaum tradisional dan masyarakat desa. Kedua kutub ini sama-sama saling mengisi ruang peradaban dalam berbagai sudutnya. Keduanya memiliki kelebihan dan juga kekurangan masing- Teuku Zulkhairi | 157 masing yang pada saatnya bisa saling menutupi. 1. Keunggulan sistem pendidikan dayah dan kampus Di antara keunggulan sistem pendidikan di dayah adalah metode kajian turast (kitab klasik) dan kontemporer lainnya yang dilakukan secara tuntas. Satu kitab yang dipelajari akan dikaji sampai tuntas sehingga prosesi pengambilan ilmu berlangsung secara menyeluruh. Lebih dari itu, metode pembelajaran secara tallaqi yang diterapkan di dayah niscaya senantiasa mampu menjaga dan menghubungkan sanad atau silsilah keilmuan hingga ke para Sahabat dan Rasulullah Saw. Ini menjaga khazanah keilmuan Islam dari upaya-upaya distorsi sehingga Islam tetap dalam kerangka Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Mereka yang beranggapan kitab-kitab karya ulama klasik yang dikaji di dayah sebagai produk ulama abad pertengahan yang harus dikritisi sesungguhnya juga tidak bisa menunjukkan alasan yang mencerahkan untuk membenarkan anggapan tersebut selain hanya sekedar numpang keren dengan metode filsafat dekonstruksinya Jacques Derrida yang menyeru pada dekonstruksi, termasuk teks-teks karya para ulama dan kitab suci, sebuah metode yang tidak layak diikuti sepenuhnya oleh seorang pelajar Muslim yang dalam adab Islam selalu ditekankan untuk rendah hati di hadapan segudang karya hebat karya para ulama masa silam. Apalagi, realitasnya kajian turast di dayah juga senantiasa memiliki koneksi dengan perkembangan zaman. Jikapun ada satu dua persoalan problematika dunia modern yang tidak ditemukan dalam kajian turast, maka ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa turast telah ketinggalan zaman. Sesuatu yang perlu disempurnakan bukan berarti sesuatu tersebut telah kehilangan nilai pentingnya. Sementara itu, tentu saja banyak keunggulan dalam metode 158 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan pendidikan di Perguruan Tinggi. Dalam proses pembelajaran misalnya, setiap masalah bisa dipecahkan dalam jangka waktu yang relatif cepat dengan cara penulisan makalah dengan membahas masalah terkait dari berbagai sudut pandang dan referensi. Metodologi penelitian yang dibangun juga telah cukup banyak menghasilkan produk-produk pemikiran yang bisa diakses publik serta sangat berguna dalam memecahkan berbagai persoalan kontemporer ummat dewasa ini. Bahkan lebih dari itu, tercatat, Perguruan Tinggi semacam UIN ArRaniry merupakan dapurnya syari’at Islam di Aceh sejak hukum Islam dilegal formalkan pemerintah pusat. Regulasi syari’at Islam yang disusun para akademisi kampus umumnya sesuai dengan aspirasi dan keilmuan di dayah. Pada wacana Bank Aceh Syari’ah misalnya, regulasi bank Aceh Syari’ah yang disusun kalangan akademisi kemudian mendapat dukungan kalangan ulama dayah. Begitu juga saat penyusunan qanun-qanun syari’at Islam yang lain. 2. Titik Temu Intelektualisme Santri Dayah dan Kampus Suatu ketika saya mendengar seorang dosen menuturkan, “Seandainya dayah mampu menjawab semua persoalan keummatan maka tidak perlu ada kampus”. Dan pada waktu lain saat mendengar Teungku dayah mengatakan, “sekiranya kampus bisa menjawab semua problematika ummat, maka dayah tidak penting lagi dipertahankan”. Kedua pernyataan ini sesungguhnya tanpa disadari merupakan pembuktian yang nyata adanya titik temu antara intelektualisme dayah dan kampus. Keduanya saling membutuhkan satu sama lain karena sama-sama memiliki kekurangan dan sama-sama pula memiliki kelebihan. Namun demikian, titik temu paling atraktif antara Teuku Zulkhairi | 159 intelektualisme dayah dan kampus akan terjadi jika intelektualisme dan segenap kelebihan di dayah terintegrasi dalam pendidikan kampus, dan sebaliknya kelebihan dan metodologi pembelajaran di kampus bisa ditransfer ke dayahdayah, setidaknya pada dayah-dayah setara Ma’had ‘Aly, tentu dengan tetap mengikuti sistematika keilmuan dasar yang dikembangkan dunia pendidikan dayah sejauh ini. Kita bersyukur bahwa sejauh ini cukup banyak kalangan dayah yang telah belajar di Perguruan Tinggi serta juga cukup banyak kalangan kampus yang bisa memahami dunia keilmuan di dayah secara baik dan adil, juga banyak intelektual kampus alumnus pendidikan dayah. Munculnya kelompok ini idealnya bisa menjadi jembatan dua peradaban keilmuan di Aceh, antara dayah dan kampus sehingga ke depan kita akan menyaksikan lahirnya sebuah peradaban ideal, munculnya penemuan-penemuan baru yang memberi kemaslahatan untuk kemanusiaan dan turut membantu mengantarkan masyarakat Aceh menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Kendatipun demikian, cita-cita mulia seperti ini bukanlah tanpa kendala. Problem utama yang akan tetap muncul adalah jika individu-individu di salah satu dari kedua kutub pendidikan ini tidak mau menyadari dan mengakui kelebihan sistem pendidikan di kutub lain. Inilah yang barangkali persoalan besar bagi ummat sekaligus penyakit yang akan menggerogoti upaya kebangkitan peradaban Aceh. Itu sebab, para ulama Shalafussalih dari kalangan umat Islam senantiasa menyeru para Thalibul ‘Ilmu (penuntut ilmu) untuk tawadhu’, rendah hati dan saling menghargai. Bahkan, seorang yang berilmu diibaratkan pula dengan tamsilan padi yang jika semakin berisi maka ia semakin menunduk. Inilah yang seharusnya dijaga sehingga jika ada kekurangan dari sistem pendidikan di dayah, maka disampaikan dengan bahasa kasih 160 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan sayang dan perasaan rendah hati. Lebih dari itu, sekiranya mampu memberikan solusi konkrit yang bukan hanya pada tataran ide dan gagasan semata, maka hal itu sangatlah dianjurkan. Cukup banyak dayah di Aceh yang telah membuka diri untuk “dipeluk” para intelektual kampus. Misalnya, jika seseorang menawarkan bahwa di dayah harus diajarkan bahasa Inggris dan Arab aktif. Maka baginya dituntut untuk bukan hanya memberi ide, namun juga dituntut perannya untuk mewujudkan gagasan itu, termasuk peran ikhlas secara individu. Aceh butuh intelektual dengan tipical action, bukan sekedar intelektual teoritis. Begitu juga sebaliknya, sekiranya ada kekurangan dalam sistem pendidikan di kampus, maka marilah ini dipandang sebagai persoalan umat secara umum sehingga guru-guru dan ulama di kampus tidak diposisikan sebagai lawan, apalagi musuh yang harus dicaci. Bukankah Islam mengajarkan kita tentang aladabu fauqal ‘ilmu, bahwa adab itu di atas ilmu? Dan bukankah di antara Muslim itu terikat dengan apa yang disebut Rasulullah Saw sebagai “Islam itu seperti tubuh yang satu”? Jadi, antara dayah dan kampus memiliki titik temu yang sama, baik pada tujuan (al-ghayah) maupun pada tantangan yang dihadapi. Pada konteks tujuan misalnya bagaimana mengembalikan peradaban Islam yang ditopang tradisi keilmuan di Aceh khususnya dan dunia Islam umumnya. Sementara titik temu dalam konteks tantangan yang sama-sama dihadapi, yaitu bahwa upaya mengembalikan peradaban ini akan senantiasa mendapat tantangan dan serangan Ghazwul Fikri (perang pemikiran) yang dilancarkan musuh-musuh Islam yang dimulai sejak pasca runtuhnya Kekhalifahan Islam Turki Usmani, baik upaya pemurtadan dengan alasan-alasan ilmiah, virus-virus sekulerisme, liberalisme, pluralisme agama, inkar sunnah yang berbuah keragu-raguan dalam menjalankan ajaran Ilsam serta Teuku Zulkhairi | 161 menghadirkan mental inferior (perasaan rendah diri) di hadapan peradaban Barat yang hegemonik, hingga persoalan-persoalan level kebijakan publik dan politik yang sudah semestinya dan seharusnya terintegrasi di dalamnya nilai-nilai Islam yang Humanisme Islam (insaniyah) dan terkoneksi dengan peraturan ilahi (rabbaniyah). Walalhu a’lam bishawab. 162 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan DAFTAR PUSTAKA Alquran Al Hadist Abu Ishak Asy Syatibi, Al-Muwâfaqât fi Usul Asy Syari’ah, jilid II, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, t. t). Imam Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulumil aQuran, (Darut Turats: Kairo). Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 6, terj. M. Abdul Ghoffar, cet. Kelima, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2012). Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Terhadap Kajian al-Quran Nasr Hamid Abu Zayd, Jurnal Islamia Vol. IV, Nomor I, Tahun 2012 Muhammad AR, M.Ed, Akulturasi Nilai-Nilai Persaudaraan Teuku Zulkhairi | 163 Islam Model Dayah Aceh, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Keagamaan Kemenag RI, Tahun 2010. Muhammad Imarah, Perang Teminologi: Islam versus Barat, terj. Mustolah Maufur, (Jakarta: Robbani Press, 1999). Muhammad bin Jarir at-Tabari, Tafsir at-Tabari, Jilid 8, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al ‘Ilmiyah, 1999). Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut, Markaz el Shaqafil ‘Arabi). Moch. Nur Ikhwan, Meretes Kesarjanaan Kritis al-Quran: Teori Hermeunetika Abu Zayd (Jakart: Teraju, 2003). Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah wal Jama’ah, cetakan kedua puluh sembilan, (Pustaka Tarbiyah: Jakarta, 2005). Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Islam dan Sekulerisme, terj. Karsidjo Djojosuwarno, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981). Link dari internet: http://aceh.tribunnews.com/2014/01/30/visi-politik-dayah http://aceh.tribunnews.com/news/view/46671/ulama-diranah-politik https://www.alkhoirot.net/2012/06/ahlussunnah-wal-jamaah. html 164 | Gerakan Santri Aceh, mewujudkan perubahan