Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

MENERAPKAN NILAI ISLAM DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI

2020, Politeknik Negeri Jakarta

Makalah Menerapkan Nilai Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani

MENERAPKAN NILAI ISLAM DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI Kelas : PB 1B Kelompok 6: Bayu Ansar NIM: 2006321030 Sheilamita Utami Putri NIM: 2006321032 Dhea Alvionita NIM: 2006321035 TEKNIK GRAFIKA DAN PENERBITAN PROGRAM STUDI D-3 PENERBITAN (JURNALISTIK) 2020 1. PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI DALAM ISLAM Kata madani sendiri berasal dari bahasa arab yang artinya civil atau civilized (beradab). Istilah masyarakat madani adalah terjemahan dari civil atau civilized society, yang berarti masyarakat yang berperadaban. Mayarakat madani (dalam bahasa Inggris: civil society) dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan mamaknai kehidupannya. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah masyarakat madani adalah Anwar Ibrahim - mantan wakil perdana menteri Malaysia- dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif dari individu dan masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu. Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama. Dawam menjelaskan, dasar utama dari masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan. Masyarakat Madani pada prinsipnya memiliki multimakna, yaitu masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi etika dan moralitas, transparan, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsisten memiliki bandingan, mampu berkoordinasi, sederhana, sinkron, integral, mengakui, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Masyarakat madani adalah kelembagaan sosial yang akan melindungi warga negara dari perwujudan kekuasaan negara yang berlebihan. Bahkan Masyarakat madani tiang utama kehidupan politik yang demokratis. Sebab masyarakat madani tidak saja melindungi warga negara dalam berhadapan dengan negara, tetapi juga merumuskan dan menyuarakan aspirasi masyarakat Masyarakat Madani akan terwujud apabila suatu masyarakat telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dengan baik. Di dalam Al qur’an sudah dijelaskan tentang umat yang terbaik untuk membentuk peradaban manusia yang lebih humanis dan toleran yaitu: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS Ali Imran [3]: 110) Konsep “Masyarakat Madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Pemaknaan civil society sebagai Masyarakat Madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad dengan menerapkan Piagam Madinah. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern. 2. SEJARAH MASYARAKAT MADANI DALAM PERADABAN ISLAM Ada dua Masyarakat Madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai Masyarakat Madani, yaitu: A. Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman. Allah SWT memberikan gambaran dari Masyarakat Madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15: ۟ ُ‫ين َو ِش َما ٍل ۖ ُكل‬ ‫ق َربِ ُك ْم‬ َ ‫َان‬ َ ‫لَقَ ْد َكانَ ِل‬ ٍ ‫عن يَ ِم‬ ِ ‫سبَإٍ فِى َم ْس َكنِ ِه ْم َءايَةٌ ۖ َجنَّت‬ ِ ‫وا ِمن ِر ْز‬ ۟ ‫َوٱ ْش ُك ُر‬ َ ٌ ‫وا لَهُۥ ۚ بَ ْل َدة‬ ‫ور‬ َ ٌّ‫طيِبَةٌ َو َرب‬ ٌ ُ ‫غف‬ “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun” B. Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Secara historis kita lebih mudah secara langsung merujuk kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan menggunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan Masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham Masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata din. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Madinah bermakna di sanalah din berlaku. Secara historispun masyarakat Sipil dan Masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum dan mewujudan citacita membentuk madaniyyah (beradab). 3. SEJARAH MASUKNYA MASYARAKAT MADANI KE INDONESIA Seperti diketahui bahwa civil society merupakan wacana yang berkembang dan berasal dari kawasan Eropa Barat. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan dan perkembangan wacana tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial-kultural, politik dan ekonomi yang berkembang pada saat itu. Masyarakat Madani muncul sebagai reaksi terhadap pemerintahan militeristik yang dibangun oleh rezim Orde Baru selama 32 tahun. Bangsa Indonesia berusaha untuk mencari bentuk Masyarakat Madani yang pada dasarnya adalah masyarakat sipil yang demokrasi dan agamis/religius. Dalam kaitannya pembentukan Masyarakat Madani di Indonesia, maka warga negara Indonesia perlu dikembangkan untuk menjadi warga negara yang cerdas, demokratis, dan religius dengan bercirikan imtak, kritis argumentatif, dan kreatif, berfikir dan berperasaan secara jernih sesuai dengan aturan, menerima semangat Bhineka Tunggal Ika, berorganisasi secara sadar dan bertanggung jawab, memilih calon pemimpin secara jujur-adil, menyikapi media massa secara kritis dan objektif, berani tampil dan kemasyarakatan secara profesionalis, berani dan mampu menjadi saksi, memahami daerah Indonesia saat ini, mengenal cita-cita Indonesia di masa mendatang dan sebagainya. Masyarakat Madani adalah suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemandirian aktivitas warga masyarakatnya yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan (persamaan), penegakan hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan (puralisme), dan perlindungan terhadap kaum minoritas. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kekhasan sosial-budaya. Merupakan fakta historis bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, yang terdiri dari beragam suku, budaya, bahasa dan agama. Masing-masing suku, budaya, dan bahasa memiliki satu sistem nilai yang berbeda. Kemajemukan ini akan menjadi bencana dan konflik yang berkepanjangan jika tidak dikelola dengan baik. Kebhinekaan dan kearifan budaya lokal inilah yang harus dikelola sehingga menjadi basis bagi terwujudnya Masyarakat Madani, karena Masyarakat Madani Indonesia harus dibangun dari nilai-nilai yang ada didalamnya, bukan dari luar. Ciri Masyarakat Madani di Indonesia Menurut Tilaar Menurut Tilaar ciri-ciri khas Masyarakat Madani Indonesia adalah: 1. Keragaman budaya sebagai dasar pengembangan identitas bangsa Indonesia dan identitas nasional; 2. Adanya saling pengertian di antara anggota masyarakat; 3. Adanya toleransi yang tinggi, dan 4. Perlunya satu wadah bersama yang diwarnai oleh adanya kepastian hukum. Masyarakat Madani Indonesia saat Orde Baru Masyarakat Madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan. Kebijakan pemerintah yang otoriter, menyebabkan organisasi-oranisasi kemasyarakatan tidak memiliki kemandirian, tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalanya pemerintahan. Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political societies), sehingga partai-partai politik pun tidak berdaya melakukan kontrol terhadap pemerintah dan tawar-menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Hanya ada beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari Masyarakat Madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada. Masyarakat Madani Indonesia saat Reformasi Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966–1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah mempopulerkan konsep Masyarakat Madani karena presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan, Presiden Habibie telah membentuk satu tim, dengan Keputusan Presidan Republik Indonesia, Nomor 198, tentang Pembentukan Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani. Tim tersebut diberi tugas untuk membahas masalah-masalah pokok yang harus disiapkan untuk membangun Masyarakat Madani Indonesia, yaitu di antaranya: 1. menghimpun tentang transformasi ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya serta pemikiran dampak globalisasi terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa. 2. merumuskan rekomendasi serta pemikiran tentang upaya untuk mendorong transformasi bangsa menuju Masyarakat Madani. Konsep Masyarakat Madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah bosan dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM). Usaha Mantan Presiden Habibie dan ICMI untuk Masyarakat Madani Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya. Kemudian konsep Masyarakat Madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM. Tetapi untuk segera masuk kewilayah kehidupan Masyarakat Madani ternyata tidak mudah, karena pola kehidupan masyarakat yang diimpikan itu masih perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Selain itu secara kultural, tantangan sosial budaya yang cukup berat adalah pluralisme masyarakat indonesia. Pluralisme tidak hanya berkaitan denagan budaya saja, tetapi juga persoalan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu diperlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa untuk mereformasi diri secara total menuju terwujudnya Masyarakat Madani, dan juga menuntut berbagai upaya perubahan untuk mewujudkan Masyarakat Madani, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. Pertama, perubahan jangka pendek, menyangkut perubahan pada pemerintah, politik, ekonomi dan hukum. Pada bidang pemerintahan, masyarakat pada era reformasi menuntut terciptanya pemerintahan bersih yang menjadi prasyarat untuk tumbuh dan berkembangnya Masyarakat Madani. Sehingga terwujud pemerintahan yang berwibawa, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme yaitu pemerintahan yang dapat dipercaya, dapat diterima dan dapat memimpin. Pada bidang politik, terutama diarahkan kepada hidupnya kembali kehidupan demokrasi yang sehat sesuai dengan tuntutan konstitusi 1945 serta adanya upaya dari pemerintah dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesepakatan maksimal dalam memberi makna sistem demokrasi. Dimensi demokrasi dari pemerintah yaitu terciptanya tingkat keseimbangan relatif dan saling cek dalam hubungan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan dimensi demokrasi dari masyarakat adalah terciptanya kesepakatan nilai untuk kesetaraan di depan hukum dan pemerintah, kesetaraan dalam kompetisi dan kontestasi politik, kemandirian dan kemampuan menyelesaikan berbagai konflik dengan cara-cara damai, yang mencerminkan ciriciri Masyarakat Madani. Pada bidang ekonomi, menuntut kehidupan ekonomi yang lebih merata dan bukan hanya untuk kepentingan sekelompok kecil anggota masyarakat. Dalam bidang hukum, reformasi menuntut ketaatan kepada hukum untuk semua orang bukan hanya untuk kepentingan penguasa. Setiap orang sama didepan hukum dan dituntut untuk kedisipinan yang sama terhadap nilai-nilai hukum yang dikesepakati. Sehingga diharapkan terbentuknya lenbaga penegak hukum yang mencerminkan berlakunya supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menuju suatu tatanan Masyarakat Madani atau civil society Indonesia. Dalam bidang jurnalistik, terciptanya kebebasan pers. Kedua, perubahan dalam jangka panjang, meliputi bidang kebudayaan dan pendidikan. Reformasi budaya menuntut perkembangan kebhinnekaan budaya Indonesia, maka kebudayaan daerah merupakan dasar bagi perkembangan identitas bangsa Indonesia, oleh sebab itu harus dibina dan dikembangkan. Pengembangan budaya daerah akan memberikan sumbangan bagi perkembangan rasa persatuan bangsa Indonesia yang menunjang ke arah identitas bangsa Indonesia yang kuat dan benar, yang mencerminkan masyarakat plural sebagai ciri Masyarakat Madani. Pada bidang pendidikan, penyiapan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui pendidikan, karena konsep Masyarakat Madani merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional. Semua pihak mutlak setuju, bahwa pendidikan amat penting bagi ikhtiar membangun manusia berkualitas, yang ditandai dengan peningkatan kecerdasan, pengetahuan dan keterampilan, karena pendidikan sendiri merupakan wahana strategi bagi usaha untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia, yang ditandai dengan membaiknya derajat kesejahtaraan, menurunnya kemiskinan, dan terbentuknya berbagai pilihan dan kesempatan mengembangkan diri menuju Masyarakat Madani. Wacana Masyarakat Madani oleh Nahdlatul Ulama Selanjutnya, munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis”. Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek Masyarakat Madani di kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren. Sementara, Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya Masyarakat Madani, dimana negara hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila. Tantangan Masyarakat Madani Indonesia Kini? Untuk mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia dibutuhkan motivasi yang tinggi dan partisipasi nyata dari individu sebagai anggota masyarakat. Diperlukan proses dan waktu serta dituntut komitmen dan penuh kearifan dalam menyikapi konflik yang tak terelakkan. Tuntutan untuk mewujudkan Masyarakat Madani, tidak hanya dilakukan dengan seminar, diskusi, penataran. Tetapi perlu merumuskan langkah-langkah yang sistematis dan kontinyu yang dapat merubah cara pandang, kebiasaan dan pola hidup masyarakat. 4. ANTARA MASYARAKAT MADANI DAN CIVIL SOCIETY Secara historis kita lebih mudah secara langsung merujuk kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan Masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Masyarakat Madinah, yang oleh Nurcholish Madjid dijadikan tipologi Masyarakat Madani, merupakan masyarakat yang demokratis. Dalam arti bahwa hubungan antar kelompok masyarakat, sebagaimana yang terdapat dalam poin-poin Piagam Madinah, mencerminkan egalitarianisme (setiap kelompok mempunyai hak dan kedudukan yang sama), penghormatan terhadap kelompok lain, kebijakan diambil dengan melibatkan kelompok masyarakat (seperti penetapan stategi perang), dan pelaku ketidakadilan, dari kelompok mana pun, diganjar dengan hukuman yang berlaku (Nurcholis Madjid 1997). Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja. ( lihat, Deny Suitor, Membangun Masyarakat Madani, Buletin No.138 , 28 Juli 2006). Dalam analisis pakar lain, yakni (Muhammad Imarah 1999), setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam Masyarakat Madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13. ُ ‫اس ِإنَّا َخلَ ْق َٰنَ ُكم ِمن ذَك ٍَر َوأُنثَ َٰى َو َج َع ْل َٰنَ ُك ْم‬ ِ‫ٱَّلل‬ َّ ‫ارفُ َٰٓو ۟ا ۚ ِإ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِعن َد‬ ُ َّ‫َٰ َيَٰٓأ َ ُّي َها ٱلن‬ َ ‫شعُوبًا َوقَ َبا َٰٓ ِئ َل ِلتَ َع‬ ‫ير‬ ٌ ِ‫ع ِلي ٌم َخب‬ َ ‫ٱَّلل‬ َ َّ ‫أَتْقَ َٰى ُك ْم ۚ ِإ َّن‬ “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. menyesuaikan diri. Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim maupun terhadap saudara non-Muslim. Landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman Allah yang termaktub dalam surat Al-An’am ayat 108. ‫عد ًْوا ِبغَي ِْر ِع ْل ٍم َكذَلِكَ زَ َّي َّنا ِل ُك ِل أ ُ َّم ٍة‬ ُ َ‫َو ََل ت‬ ُ ‫َّللا فَ َي‬ ِ َّ ‫ُون‬ َ ‫َّللا‬ َ َّ ‫سبُّوا‬ ِ ‫سبُّوا الَّذِينَ َي ْدعُونَ ِم ْن د‬ َ‫ع َملَ ُه ْم ث ُ َّم إِلَى َر ِب ِه ْم َم ْر ِجعُ ُه ْم فَيُن َِبئ ُ ُه ْم ِب َما َكانُوا َي ْع َملُون‬ َ “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan”. Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilainilai demokrasi (surat As-Syura:38 dan surat Al-Mujadalah:11). Surah As-Syura:38 ۟ ‫ُوا ِل َربِ ِه ْم َوأَقَا ُم‬ ۟ ‫َوٱلَّذِينَ ٱ ْستَ َجاب‬ ُ ‫صلَ َٰوةَ َوأَ ْم ُر ُه ْم‬ َ‫ور َٰى بَ ْينَ ُه ْم َو ِم َّما َرزَ ْق َٰنَ ُه ْم يُن ِفقُون‬ َّ ‫وا ٱل‬ َ ‫ش‬ “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. Surah Al-Mujadalah:11 ۟ ‫س ُح‬ ۟ ‫ش ُز‬ ۟ ‫س ُح‬ ُ ‫ٱَّللُ لَ ُك ْم ۖ َوإِذَا قِي َل ٱن‬ ‫وا‬ َّ َ‫َٰيََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ َٰٓو ۟ا إِذَا قِي َل لَ ُك ْم تَف‬ َّ ‫ح‬ َ ‫وا يَ ْف‬ َ ‫وا فِى ْٱل َم َٰ َج ِل ِس فَٱ ْف‬ ِ ‫س‬ ۟ ُ ‫وا ِمن ُك ْم َوٱلَّذِينَ أُوت‬ ۟ ُ‫ٱَّللُ ٱلَّذِينَ َءا َمن‬ ۟ ‫ش ُز‬ ُ ‫ فَٱن‬Arab-Latin: ‫ير‬ ٍ ‫وا ْٱل ِع ْل َم َد َر َٰ َج‬ َّ ‫وا يَ ْرفَ ِع‬ َّ ‫ت ۚ َو‬ ٌ ِ‫ٱَّللُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخب‬ “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Perbedaan Konsep Civil Society dan Masyarakat Madani Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278). Perbedaan lain antara civil society dan Masyarakat Madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan Masyarakat Madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan Masyarakat Madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilainilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84). 5. PRINSIP-PRINSIP MASYARAKAT MADANI DALAM ISLAM A. Karakteristik Masyarakat Madani Ada beberapa karakteristik Masyarakat Madani, diantaranya: 1. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial. 2. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok eksklusif ke dalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial. 3. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatankekuatan alternatif. 4. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat. 5. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah. 6. Tumbuh kembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Meluasnya kesetiaan (loyality) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia. Berakhlak mulia. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai Masyarakat Madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi Masyarakat Madani, yakni pertama, adanya democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis. Kedua, adanya democratic civilian (masyarakat sipil) yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience. Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat Masyarakat Madani sebagai berikut: 1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat. 2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (social capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugastugas kehidupan dan terjalinnya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok. 3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial. 4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembagalembaga swadaya untuk terlibat dalam berbagai forum di mana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan. 5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan. 6. 7. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan Lembagalembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya. Tanpa prasyarat tesebut maka Masyarakat Madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat Madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa ramburambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan Masyarakat Madani (lihat DuBois dan Milley 1992). Ada pendapat lain bahwa karakteristik Masyarakat Madani adalah sebagai berikut: 1. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik. 2. Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi . Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilarpilar demokrasi yang meliputi: Lembaga swadaya masyarakat (LSM), pers yang bebas, supremasi hukum, perguruan tinggi, dan partai politik. 3. Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandanganpandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain. 4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. 5. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya. 6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab. 7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. 6. MENERAPKAN MASYARAKAT BERBANGSA DAN BERNEGARA MADANI DALAM KEHIDUPAN Masyarakat madani selalu mengamalkan nilai kewarganegaraan, dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam proses membuat keputusan, yang dapat menentukan masa depan yang baik dalam segi kegiatan sosial, politik, dan lembaga masyarakat. Implementasi Pancasila dalam perwujudan masyarakat madani/masyarakat yang beradab dan terwujud dalam sila-sila dalam Pancasila, antara lain : A. Sila ke-1 : Ketuhanan Yang Maha Esa 1) Pengakuan adanya kausa prima (sebab pertama). Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan masyarakat memiliki adab terhadap Tuhan seperti melakukan ibadah sesuai kepercayaan masingmasing. 2) Tidak ada saling memaksakan kehendak memeluk agama karena adanya toleransi antar umat beragama. 3) Pelarangan atheisme di Indonesia. Negara atau pemerintah mengadakan fasilitas dalam menunaikan agama masing-masing. B. Sila ke-2 : Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. 1) Memanusiakan manusia atau menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan, tidak ada pembedaan antara si kaya dan si miskin, yang kuat dan yang lemah karena semuanya sama di hadapan Tuhan. 2) Menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, dalam masyarakat madani diwujudkan dengan adanya ruang publik yang luas untuk berpendapat dan adanya demokrasi dalam masyarakat. Misalnya dengan melkukan musyawarah dalam menyelesaikan konflik/permasalahan. 3) Adanya penegakan hukum yang tegas, karena merupakan sebuah kedewasaan dan tanggung jawab yang besar dalam penegakan hukum. C. Sila ke-3 : Persatuan Indonesia. 1) Rasa nasionalisme terhadap negara yang tidak berlebihan, dengan menjaga kebudayaan asli Indonesia seperti sopan santun, gotong royong, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. 2) Cinta bangsa dan tanah air, dengan memiliki moral yang baik. 3) Menggalang kesatuan dan persatuan, dengan bermusyawarah untuk menyelesaikan suatu masalah dan tidak membeda-bedakan karena semuanya bersaudara. 4) Memahami pluralisme. 5) Menumbuhkan rasa senasib sepennaggungan, dengan keswasembadaan, keswadayaan, dan kemandirian untuk menghasilkan. D. Sila ke-4 : Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan. 1) Adanya demokrasi yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. 2) Dalam mengambil keputusan dengan musyawarah mufakat seperti dalam masyarakat madani. 3) Adanya kejujuran bersama dalam pengambilan keputusan. 4) Pemutusan masalah menghasilkan keputusan yang bulat bukan dengan pemungutan suara seperti yang terjadi di dunia Barat. E. Sila ke-5 : Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 1) Kemakmuran yang merata pada seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat seperti rasa kebersamaan yang diciptakan masyarakat madani, tidak egois dan selalu ada rasa saling tolong menolong. 2) Seluruh kekayaan alam dan sebagainya dipergunakan untuk kebahagiaan bersama menurut potensi masing-masing. 3) Melindungi yang lemah agar kelompok masyarakat dapat bekerja. A. Kendala Mewujudkan Masyarakat Madani Dalam hal ini, Robert Hefner (1998: 1) menyatakan bahwa Masyarakat Madani adalah sebuah impian (dream) suatu komunitas tertentu. Oleh karena itu, Hefner meragukan upaya bangsa Indonesia dalam mewujudkan Masyarakat Madani yang diharapkannya, karena formatnya pun belum jelas. Pendapat Hefner tersebut, memberikan dugaan bahwa Indonesia masih akan jauh dari pembentukan Masyarakat Madani. Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia diantaranya: 1. Posisi Umat Islam yang berjumlah 85% tapi kondisinya SDM nya tangat rendah, karena pendidikan yang belum merata. 2. Sistem ekonomi dan kesejahteraan umat. Di dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; lihat Q.S. As-Syu’ara ayat 183 dan kedua, komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam.(lihat. Q.S Q.S. An-Nahl ayat 71). 3. Management Zakat dan Wakaf yang belum professional (lihat Q.S AlBaqaqarah : 110.) 4. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat. 5. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter. 6. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas. 7. 8. 9. 10. B. 1. 2. 3. C. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar dan Penanganan TKI yang masih belum maksimal. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi. Pemerintah yang belum bebas dari KKN. Demokrasi pendidikan belum berjalan dengan lancar. (lihat. http;//www.Usman, Husaini Dosen FIS UN Yogya, “Menuju Masyarakat Madani melalui demokrasi Pendidikan” Makalah seminar, 18 Juli 2007.). Strategi Mewujudkan Masyarakat Madani Umat Islam harus mempunyai pandangan tentang integrasi nasional dan politik. Pandangan ini menyatakan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam kenyataan hidup sehari-hari dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran dalam hidup berbangsa dan bernegara. Umat Islam harus mereformasi sistem politik demokrasi, yakni pandangan yang menekankan bahwa untuk membangun demokrasi perlu ditekankan pada usaha demokratisasi yang memberikan impak pada kesejahteraan ekonomi. Revitalisasi bidang politik mesti sejajar dengan perbaikan ekonomi masyarakat. Umat Islam harus mempunyai paradigma membangun Masyarakat Madani yang lebih menekankan proses pendidikan dan penyadaran politik warga negara, khususnya kalangan kelas menengah (middle class) yang terdiri para akademisi, intelektual, budayawan, para pengusaha, dan para mahasiswa sebagai kelompok kritis). Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani Peranan umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani adalah dengan menerapkan lima prinsip dasar yaitu muakkah, ikatan iman, ikatan cinta, persamaan si kaya dan si miskin dan toleransi umat beragama; 1. 2. 3. Muakhah atau persaudaran, yaitu mmemandang seluruh orang muslim sebagai suadara, sebagaimana perintah ALLAH dalam surah al hujurat ayat 10. Dimana telah dicontohkan Rasulullah dengan memepersaudarakan orang-orang muhajirin dan orang-orang anshor. Ikatan iman, yaitu menjadikan ikatan keimanan sebagai dasar yang paling kuat dalam membentuk keharmonisan dalam masyarakat. Sehingga setipa warga negara diikat oleh kalimat yang sama yaitu kalimat syahadat, bahkan diharamkan darah , harta dan menganggu kehormatan diantara orang-orang islam. Ikatan cinta, yaitu memupukkan paham nasionalisme, dimana kepahaman akan cinta tanah air merupakan bagian dari iman. Maka setiap warga masyarakat punya ras memiliki terhadapat masayrakat tersebut. 4. 5. sebagaimana Rasulullah memimpin madinah berlandaskan cinta dan rasa tolong – menolong Persamaan si kaya dan si miskin, yaitu menyempitkan jurang pembatas antara si kaya dan si miskin, berdasrkan ikatan iman dengan cara menerapkan zakat, sehingga masyarakat menjadi sejahtera karena harta tiap orang dapt digunakan untuk orang lain yang membutuhkan. Toleransi umat beragama, yaitu menerapkan hukum islam sebagai landasan toleransi, dimana rasulullah begitu menekankan untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak melawan atau dalam perlindungan negara, bahkan memberi ancaman yang berat bagi orang-orang islam yang mendzolimi orang kafir. Dalam menghadapi perkembangan dan perubahan zaman, maka umat Islam harus berperan aktif dalam mewujudkan Masyarakat Madani. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S.Ali Imron:110). Oleh karena itu maka Umat Islam harus menunjukan perannya dalam mewujudkan Masyarakat Madani yaitu antara lain; 1. Melakukan pembenahan kedalam tubuh umat Islam untuk menghapus kemiskinan. 2. Menciptakan keadilan sosial dan demokrasi. 3. Merangsang tumbuhnya para intelektual. 4. Mewujudkan tata sosial politik yang demokratis dan sistem ekonomi yang adil. 5. Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan rakyat. 6. Sebagai advokasi bagi masyarakt yang “teraniaya”, tidak berdaya membela hak-hak dan kepentingan mereka (masyarakat yang terkena pengangguran, kelompok buruh, TKI, TKW yang digaji atau di PHK secara sepihak, di siksa bahkan di bunuh oleh majikannya dan lainlain). 7. Sebagai kontrol terhadap negara . 8. Menjadi kelompok kepentingan (interest group) atau kelompok penekan (pressure group) dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan. Bangsa Indonesia berusaha untuk mewujudkan Masyarakat Madani yang pada dasarnya adalah masyarakat sipil yang demokratis dan agamis/religius. Dalam kaitannya pembentukan Masyarakat Madani di Indonesia, maka warga negara Indonesia perlu dikembangkan untuk menjadi warga negara yang cerdas, demokratis, dan religius dengan bercirikan imtaq, kritis argumentatif, dan kreatif, berfikir dan berperasaan secara jernih sesuai dengan aturan, menerima semangat Bhineka Tunggal Ika, berorganisasi secara sadar dan bertanggung jawab, memilih calon pemimpin secara jujur-adil, menyikapi mass media secara kritis dan objektif, berani tampil dan kemasyarakatan secara profesionalis, berani dan mampu menjadi saksi, memiliki wawasan yang luas, memiliki semangat toleransi mengerti cita-cita nasional bangsa Indonesia yang demokratis, aman, adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. 7. KESIMPULAN Konsep Masyarakat Madani menurut Islam adalah bangunan politik yang: demokratis, partisipatoris, menghormati dan menghargai publik seperti: kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas. Ciri utama Masyarakat Madani Indonesia adalah demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat yang mempunyai faham keagamaan yang berbeda-beda, penuh toleransi, menegakkan hukum dan peraturan yang berlaku secara konsisten dan berbudaya. Manfaat yang diperoleh dengan terwujudnya Masyarakat Madani ialah terciptanya tatanan masyarakat yang lebih terbuka. Di samping itu, dengan terwujudnya Masyarakat Madani, maka persoalan-persoalan besar bangsa Indonesia seperti: konflik-konflik suku, agama, ras, etnik, golongan, kesenjangan sosial, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan pembagian "kue bangsa" antara pusat dan daerah, diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat, sehingga kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi bangsa dapat dicegah. Strategi membangun Masyarakat Madani di Indonesia dapat dilakukan dengan integrasi nasional dan politik, reformasi sistem politik demokrasi, pendidikan dan penyadaran politik, melalui masyarakat sipil yang mengejewantah dalam berbagai wadah sosial politik di masyarakat, seperti organisasi keagamaan, organisasi profesi, organisasi komunitas, media dan lembaga pendidikan, dan sejenisnya. Dalam konteks ini, maka peran umat Islam amat menentukan dalam artian memberikan kontribusi nyata bagi pembentukan tatanan yang kondusif.