Edisi Maret-April 2014, lihat Halaman 16-19
“Undang-Undang dan Jaminan Politik Perempuan”
UNDANG-UNDANG DAN JAMINAN
POLITIK PEREMPUAN
Oleh: M. Jamil1
Perempuan dalam konteks gender didefinisikan sebagai sifat yang
melekat pada seseorang untuk menjadi feminism (bersifat kewanitaan). Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata perempuan bermakna (1) orang (manusia)
yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui;
wanita; (2) istri; bini: — nya sedang hamil; (3) betina (khusus untuk hewan),
sedangkan kata wanita bermakna perempuan dewasa: kaum — , kaum putri
(dewasa).
Sebelum
lahirnya
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia,
peran
perempuan sudah dalam dunia politik sudah ada, karena Sejarah Indonesia
mencatat seorang tokoh bernama Gayatri Rajapatni (Ratu di atas segala Ratu)
yang wafat pada tahun 1350 yang diyakini sebagai perempuan di balik kebesaran
Kerajaan Majapahit. Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Budha yang di mata
banyak orang tidak mungkin memberikan ruang bagi perempuan untuk berpolitik.
Tetapi hasil kajian yang dilakukan oleh mantan Dubes Canada untuk Indonesia
(Earl Dark, ia juga sebagai sejarawan) membuktikan, bahwa puncak kejayaan
Majapahit tercapai karena peran sentral Gayatri, istri Raden Widjaya, ibunda ratu
ketiga Majapahit, Tribhuwanatungga-dewi, sekaligus nenek dari Hayamwuruk,
raja terbesar di sepanjang sejarah Kerajaan Majapahit. Gayatri tidak pernah
menjabat resmi sebagai ratu, tetapi peran politiknya telah melahirkan generasi
politik yang sangat luar biasa di Nusantara kala itu.
Di era Kolonialisme Belanda kita mengenal RA Kartini, ia lahir sebagai
pemimpin perempuan yang memperjuangkan kebebasan dan peranan perempuan
melalui emansipasi dalam bidang pendidikan. Berkat pemikiran-pemikiran yang
1
Ketua Umum Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta Periode
2015-2017 | | Ketua II Bagian Eksternal Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa
Hukum Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (DPC PERMAHI DIY) Periode 2012-2014 |
Email: jamilncera@gmail.com | FB/Youtube/IG/Twitter: @MJAMILSH | Website:
http://www.mjamil.my.id.
Majalah NUSANTARA IKPMDI-Yogyakarta
1
Edisi Maret-April 2014, lihat Halaman 16-19
“Undang-Undang dan Jaminan Politik Perempuan”
ia lahirkan, sehingga sampai saat ini pemikirannya masih menjadi bahan kajian
para Kartini masa kini. Tokoh Supeni, dikenal sebagai politikus wanita yang
menduduki berbagai jabatan penting di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai
anggota DPR sekaligus anggota Konstituante melalui partai PNI. Sebagai
diplomat, ia pernah menjabat sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh
untuk Amerika Serikat dan duta besar keliling di zaman Presiden Soekarno.
Sebagai salahsatu contoh lagi yakni Dra. Khofifah Indar Parawansa, ia adalah
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada Kabinet Persatuan Nasional.
Adapun karir politiknya yakni: (1) Pimpinan Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan DPR RI (1992-1997); (2) Pimpinan Komisi VIII DPR RI (19951997); (3) Anggota Komisi II DPR RI (1997-1998); (4) Wakil Ketua DPR RI
(1999); (5) Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa MPR RI (1999); (6)
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001); (7) Kepala Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1999-2001); (8) Ketua Komisi VII
DPR RI (2004-2006); (9) Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR RI (20042006); (10) Anggota Komisi VII DPR RI (2006).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada
Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Makna dari “kedaulatan berada di
tangan rakyat” adalah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak
dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk
pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta
memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan
kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui Pemilu secara langsung sebagai sarana
bagi rakyat untuk memilih wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan
pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang
sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam
menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan
belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Majalah NUSANTARA IKPMDI-Yogyakarta
2
Edisi Maret-April 2014, lihat Halaman 16-19
“Undang-Undang dan Jaminan Politik Perempuan”
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan
berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima
tahun sekali. Pemilu diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan,
yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia dijamin memiliki wakil yang
duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap
tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah. Pemilu yang terselenggara
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil merupakan syarat mutlak
untuk mewujudkan wakil rakyat yang berkualitas, dapat dipercaya, dan dapat
menjalankan fungsi kelembagaan legislatif secara optimal. Penyelenggaraan
Pemilu yang baik dan berkualitas akan meningkatkan derajat kompetisi yang
sehat,
partisipatif,
dan
keterwakilan
yang
makin
kuat
dan
dapat
dipertanggungjawabkan.
Peran perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama, itu juga telah
diamanatkan oleh konstitusi kita Undang-undang Dasar Tahun 1945, pada
penggalan Pasal 28D ayat 1 berbunyi “setiap orang berhak atas perlakuan yang
sama di hadapan hukum”. Itu berarti baik laki-laki maupun perempuan pada
dasarnya sama dihadapan hukum, berperan dalam politik, berpran dalam dunia
pendidikan, berperan dalam dunia kesehatan, dan berperan dalam bentuk apa pun
pemi kemajuan dan keutuhan negara tercinta yakni Negara Nesatuan Republik
Indonesia. Lebih lanjut dalam Pasal 28D ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun
1945 amandemen kedua mengamanatkan “setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Pastilah kita kenal
tokoh perempuan yang pertama menjadi Presiden Perempuan di Indonesia, ia
adalah Ibu Megawati Soekarnoputri, menteri juga banyak dari kalangan
perempuan, salahsatunya Ibu Siti Fadilah Supari, pernah menjadi Mentri
Kesehatan Republik Indonesia, ditingkat Pemerintah Provinsi, pemerintah
Kabupaten, bahkan yang jadi Walikota dari kalangan perempuan bisa dibilang
banyak jumlahnya di Indonesia ini. Mengenai persamaan yang di amanahkan
Undang-undang Dasar Tahun 1945 ada juga di Pasal 28H ayat (2) yakni berbunyi
“setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
Majalah NUSANTARA IKPMDI-Yogyakarta
3
Edisi Maret-April 2014, lihat Halaman 16-19
“Undang-Undang dan Jaminan Politik Perempuan”
keadilan”. Jadi, tidak ada yang bisa menyangkal bahwasannya permpuan juga bisa
berperan dalam berbagai bidang yang biasananya dilakukan para lelaki, karena itu
semua sudah dijamin dan di khidmad oleh konstitusi kita serta dalam
kenyataannya juga telah terbukti.
Didalam bingkai kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia
secara umum memberikan ruang yang luas dan ramah bagi kaum perempuan
untuk berkiprah dalam politik, termasuk menjadi pemimpin. Bahkan kesempatan
ini terus diberikan, termasuk penetapan kuota 30% perempuan di parlemen
melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Dari perspektif historis, nampak bahwa sepanjang sejarah
Indonesia, pemimpin perempuan telah muncul silih-berganti. Rahim Ibu Indonesia
telah membuktikan diri sebagai rahim yang subur bagi lahirnya para pemimpin
perempuan terkemuka di bumi pertiwi, sungguh mulia jasamu pasa ibu, karena
engan tangan lebutmu engkau rawat anak-anak mu hingga besar dan berprestasi,
karena dengan kasih sayang mu
engkau didik anak-anakmu jadi seorang
pemimpin.
Adanya partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat
yang penting dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung
tinggi kebebasan, kesetaraan, kebersamaan, dan kejujuran. Dalam artian
menjunjung tinggi “kebebasan” dalam berucap, bersikap, berbuat, bertingkah
serta berpolitik. Menjunjung tinggi “kesetaraan” dalam bentuk apapun, termasuk
kesetaraan dalam mengambil bagian dan berkompetisi dalam dunia politik.
Menjunjung tinggi kebersamaan dalam membangun bangsa, agar bangsa
indonesia menjadi bangsa yang besar, bangsa yang adil, bangsa yang bermartabat
serta menjadikan bangsa yang mandiri, bagian ini tidak hanya dilakukan oleh para
laki-laki, namun para perempuan pun harus turut andil didalamnya. Menjunjung
tinggi “kejujuran”, kejujuran itu sangat-sangat tinggi nilainya di mata masyarakat,
karena kalau kita telah jujur maka kita akan dipercayai selamanya, para
perempuan pasti telah mengenyam nilai-nilai kejujuran itu, karena hati dan jiwa
Majalah NUSANTARA IKPMDI-Yogyakarta
4
Edisi Maret-April 2014, lihat Halaman 16-19
“Undang-Undang dan Jaminan Politik Perempuan”
perempuan itu lembut dan selalu mengutamakan hati nurani dalam setiap tingkahlakunya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, pada Pasal 8 Ayat (2) berbunyi “partai politik yang
tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau
partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan”.
Pasal 8 Ayat (2) Poin e berbunyi “menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga
puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat
pusat”. Jadi, keterwakilan perempuan dalam konstitusi itu telah dijamin. Pada
Pasal 15 Poin d berbunyi “surat keterangan dari pengurus pusat partai politik
tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
persen) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud
dengan “penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga
puluh persen) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 20, dan Pasal 51 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Lebih lanjut pada
Pasal 53 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyebutkan “di dalam daftar bakal calon
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat
sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”. Lebih lanjut pada
Pasal 55 menyebutkan bahwasannya “daftar bakal calon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan
perempuan”. Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat
ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya
pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.
Pada saat Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon Anggota
DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, di Pasal 58 Ayat (1) Komisi
Majalah NUSANTARA IKPMDI-Yogyakarta
5
Edisi Maret-April 2014, lihat Halaman 16-19
“Undang-Undang dan Jaminan Politik Perempuan”
Pemilihan Umum (KPU) melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan
kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan
verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
persen) keterwakilan perempuan. Pasal 58 Ayat (2) menyebutkan bahwasannya
“KPU Provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran
dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi dan
verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah bakal calon sekurang-kurangnya 30%
(tiga puluh persen) keterwakilan perempuan”. Pada Pasal 58 Ayat (3) “KPU
Kabupaten/Kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran
dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota dan
verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah bakal calon sekurang-kurangnya 30%
(tiga puluh persen) keterwakilan perempuan”. Pasal 59 Ayat (2) berbunyi “dalam
hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
keterwakilan perempuan, maka KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal
calon tersebut”. Dalam bunyi Pasal 62 Ayat (6) menyatakan “KPU, KPU Provinsi,
dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan
dalam daftar calon sementara partai politik masing-masing pada media massa
cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional”. Pengumuman
persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara dalam
ketentuan ini dilakukan sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media cetak selama 1
(satu) hari dan pada 1 (satu) media elektronik selama 1 (satu) hari.
Lebih lanjut dalam Pasal 67 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, berbunyi “KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan
perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing-masing pada media
massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional”. Pengumuman
persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap dalam ketentuan ini
dilakukan sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media cetak selama 1 (satu) hari dan
pada 1 (satu) media elektronik selama 1 (satu) hari. Lebih lanjut pada Pasal 215
Majalah NUSANTARA IKPMDI-Yogyakarta
6
Edisi Maret-April 2014, lihat Halaman 16-19
“Undang-Undang dan Jaminan Politik Perempuan”
Ayat b menyebutkan “dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan perolehan suara yang
sama, penentuan calon terpilih ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara
calon
pada
daerah
pemilihan
dengan
mempertimbangkan
keterwakilan
perempuan”.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Sejak Pemilu 2004, melalui Undang-undang Partai Politik No. 31 tahun
2002, telah berubah beberapakali yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik, mengatur perihal keterlibatan perempuan dalam
kepengurusan partai politik dan kuota pencalonan legislatif perempuan sebanyak
30%. Meski upaya penerapan kuota telah dilakukan, namun pada Pemilu 2009
belum menunjukkan angka keberhasilan yang signifi kan karena baru mencapai
18.04% (101 orang dari 560 orang anggota) keterwakilan perempuan di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). sementara keterwakilan perempuan di Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) mencapai 26.52% (35 orang dari 132 orang anggota).
Untuk menopang terwujudnya kuato 30% tersebut perlu pemikiran yang matang
dan keseriusan yang penuh bagi para perempuan yang memilih dan meniti
karirnya di dunia politik tersebut. Dengan keseriusan dan semangatnya untuk
mensosialisasikan sampai ke akar rumput, maka cita-cita pencapaian 30% itu akan
terpenuhi di kompetisi bulan April 2014 nanti.
Negara-negara seperti di eropa pemenuhan hak-hak politik perempuan
dilakukan secara incremental, bertahap dan melalui perjuangan yang keras. Hak
memilih bagi perempuan yang paling awal di dunia Barat dinikmati oleh
perempuan New Zeland. Hanya 10 minggu setelah gubernur Lord Glasgow
menandatangani the Electoral Act 1893, sebanyak 109. 461 perempuan New
Zeland tercatat menggunakan hak memilihnya pada pemilu 1893. Sudah tentu ini
tidak berarti bahwa perempuan Indonesia tidak dihadapkan pada persoalan-
Majalah NUSANTARA IKPMDI-Yogyakarta
7
Edisi Maret-April 2014, lihat Halaman 16-19
“Undang-Undang dan Jaminan Politik Perempuan”
persoalan sebagaimana banyak perempuan di dunia alami. Dalam bidang politik,
persoalan rendahnya partisipasi dan representasi kaum perempuan, terutama di
lembaga-lembaga publik, termasuk di parlemen merupakan masalah serius di
Indonesia.
Perempuan juga, berdasarkan realita objektif persoalan rendahnya dan
buruknya kualitas partisipasi dan representasi merupakan bagian dari persoalan
demokrasi Indonesia yang belum selesai dan masih terus mencari bentuk, dan
bukan merupakan persoalan perempuan semata-mata. Masih banyak kelompok
dalam masyarakat Indonesia dihadapkan pada kedua persoalan ini. Kaum petani,
dan nelayan, misalnya, menghadapi masalah ini sama seriusnya dengan kaum
perempuan. Demikian pula dengan kaum buruh. Karenanya, persoalan partisipasi
dan representasi yang buruk ini harus diselesaikan sebagai agenda politik kolektif
sebuah bangsa, bukan dibatasi sebagai medan pergulatan gender situasi inilah yg
terjadi di Indonesia.
Dengan adanya konstitusi yang mengatur tentang keterlibatan perempuan
dalam kepengurusan partai politik dan kuota pencalonan legislatif perempuan
sebanyak 30%, harapan penulis kepada semua kaum perempuan, tidak bereforia
dengan terjaminnya hak itu oleh konstitusi, sehingga hak-hak lainnya yang juga
tidak kalah penting terabaikan begitu saja. Salah satu contohnya, bila perempuan
yang sudah berkeluarga, bilamana ingin berproses dan ingin mengambil bagian
yang jamin konstitusi tersebut, harus dulu menyelesaikan kewajibannya sebagai
seorang ibu dan sebagai istri yang baik, mengurus dulu keperluan anak-anaknya,
agar anak-anaknya kelak beranjak dewasa menjadi orang terdidik dan menjadi
pemimpin yang tangguh serta mengurus dulu kewajibannya sebagai seorang istri.
Majalah NUSANTARA IKPMDI-Yogyakarta
8
Edisi Maret-April 2014, lihat Halaman 16-19
“Undang-Undang dan Jaminan Politik Perempuan”
Penulis: M. Jamil, S.H.
Ketua Umum Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana
(PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta Periode 2015-2017 |
Ketua II Bagian Eksternal Dewan Pimpinan Cabang
Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Daerah
Istimewa Yogyakarta (DPC PERMAHI DIY) Periode
2012-2014
Ful Sumber Tulisan:
M. Jamil, “Undang-Undang dan Jaminan Politik Perempuan”, Majalah
NUSANTARA IKPMDI-Yogyakarta, diterbitkan melalui Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Daerah Istimewa Yogyakarta, edisi MaretApril 2014, lihat Halaman 16-19.
Majalah NUSANTARA IKPMDI-Yogyakarta
9