Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Nama Diri Etnik Jawa

2001, Buletin humaniora

HUMANIORA Volume XIII No. 1 Februari ■ 2001 Halaman 45 - 55 NAMA DIRI ETNIK JAWA Ridha Mashudi WibowoÀ 1. Pendahuluan ewasa ini bahan bacaan tentang daftar nama diri cukup banyak tersedia1. Namun demikian masih sedikit dilakukan upaya ke arah deskripsi nama diri sebagai bagian dari struktur gramatikal bahasa. Beberapa masalah linguistik umum tertentu, seperti sifat semantis nama diri dan kedudukan nama diri terhadap nomina biasa, telah banyak menarik perhatian para ahli linguistik dan juga filsafat (Uhlenbeck, 1982:370). Akan tetapi, dasar empiris bagi pembahasan teoretis tentang masalah ini masih agak sempit dan kurang mantap. Bagi kebanyakan linguis kajian nama diri merupakan bidang penelitian yang tipis dan kurang memberikan harapan sehingga dengan perasaan lega diserahkan kepada ilmu onomastika2. Dalam pada itu, yang dimaksud dengan nama diri ialah kata yang dipakai untuk menyebut diri seseorang (Ali dalam Riyadi, 1999:80; conf. Kridalaksana, 1993: 144). Dengan kata lain, nama dapat diartikan sebagai kata yang berfungsi sebagai sebutan untuk menunjukkan orang atau sebagai penanda identitas seseorang. Dipandang dari sudut ilmu bahasa, nama diri merupakan D satuan lingual yang dapat disebut sebagai tanda. Tanda merupakan kombinasi dari konsep (petanda) dan bentuk (yang tertulis atau diucapkan) atau penanda (Saussure, 1988:147). Tanda-tanda itu – yang antara lain berupa tanda konvensional yang disebut simbol – memegang peran penting dalam komunikasi (Sudjiman dan Zoest, 1996b:9). Dengan demikian, nama diri selain berfungsi sebagai penanda identitas, juga dapat merupakan simbol, misalnya Teguh ‘teguh/kokoh’ selain merupakan penanda identitas seorang laki-laki, juga merupakan simbol kekuatan. Di samping itu, Palupi ‘teladan’ selain merupakan penanda identitas seorang wanita, juga merupakan simbol keteladanan. Dalam hal ini, mengikuti Uhlenbeck (1982:373-382), nama diri yang semata-mata hanya berfungsi sebagai penanda identitas identik dengan nama diri yang tidak bermotivasi sedangkan nama diri yang berfungsi sebagai simbol identik dengan nama diri yang bermotivasi. Lain daripada itu, Budiwati (2000) menyinggung ihwal kaitan antara nama diri dan acuan/referennya. Secara semantis nama diri dapat berkaitan dengan variable reference (referensi variatif) maupun constant reference À Doktorandus, staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Humaniora Volume XIII, No. 1 Februari ■ 2001 45 Ridha Mashudi Wibowo, Nama Diri Etnik Jawa (referensi tetap). Artinya, dalam lingkup kalimat semakin pendek nama diri seseorang ditampilkan semakin ia memiliki kecenderungan mempunyai referensi yang bersifat variatif, sedangkan semakin panjang nama seseorang ditampilkan dalam kalimat semakin ia memiliki kecenderungan mempunyai referensi yang bersifat tetap3. Berkaitan dengan hal itu, Ryle (dalam Wasiyati, 2000:8) menyatakan bahwa nama memiliki referen tetapi tidak memiliki makna. Arti simbolik nama dan kata lain dibangun oleh konvensi yang khusus untuk budaya tertentu. Ditegaskannya pula bahwa kamus tidak mengungkapkan arti nama-nama dengan alasan sederhana, yakni karena nama tak berarti apa-apa. tulisan. Data lisan diperoleh dengan teknik dasar yaitu teknik sadap. Teknik ini digunakan untuk menyadap tuturan yang dipergunakan orang yang terlibat dalam pertuturan. Data yang berupa nama-nama orang Jawa itu diperoleh di sekitar lingkungan penulis. Sebagai teknik lanjutan digunakan teknik SBLC atau simak bebas libat cakap (Sudaryanto, 1988:3) yang dilakukan dengan cara menyimak pembicaraan antarpenutur. Selanjutnya, data yang terkumpul diklasifikasikan menurut cara pembentukannya. Adapun dalam tahap analisis data, data yang terkumpul setelah dikelompokkan dicari formulasinya sehingga dapat diperoleh sistematisasi penamaannya. 2. Ancangan Penulisan 3. Ihwal Penamaan Telah dinyatakan di atas bahwa penamaan seseorang yang berada dalam lingkup kultur Jawa bersifat khas. Dalam pada itu, seberapa khaskah nama orang Jawa itu dibandingkan dengan nama-nama yang lain? Adakah semacam sistematisasi yang dapat digunakan dalam memberikan penamaan seperti itu? Lain daripada itu, apakah dapat dikatakan bahwa penamaan itu memiliki fungsi atau peranan tertentu dalam masyarakat? Tulisan ini disusun guna menunjukkan bahwa kajian sinkronis nama diri mungkin merupakan pokok bahasan yang menarik dan menguntungkan, baik bagi ahli linguistik maupun ahli etnografi. Selain itu, dalam tulisan ini juga diupayakan untuk dapat diperikan sistematisasi penamaan dalam masyarakat etnik Jawa dan fungsinya dalam masyarakat itu. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini didasarkan atas penyimakan dari beberapa sumber tertulis, seperti daftar warga Kelurahan Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Bantul; buku-buku penamaan untuk anak; dan primbon. Sebagian data juga diperoleh dengan penyimakan dari beberapa informan. Mengikuti Sudaryanto (1993:5-8) dalam penelitian ini dilakukan tiga tahapan metode, yakni metode pengumpulan data, analisis data, dan pemaparan hasil analisis data. Dalam kaitannya dengan pengumpulan data, data diperoleh dari sumber lisan dan Seperti telah disebutkan di muka bahwa tulisan yang berkaitan dengan ihwal nama diri seseorang masih relatif sedikit. Secara umum Chaer (1995:43-52) menyatakan bahwa penamaan merupakan proses pelambangan suatu konsep untuk mengacu kepada sesuatu referen yang berada di luar bahasa. Mengingat bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer, maka antara satuan kebahasaan sebagai lambang, misalnya kata, dengan sesuatu benda atau hal yang dilambangkannya bersifat sewenang-wenang tidak ada hubungan “wajib” di antara keduanya. Implikasinya, jika nama itu merupakan lambang dari sesuatu yang dilambanginya, maka berarti pemberian nama itu pun bersifat arbitrer. Namun demikian, secara kontemporer ada sebagian penamaan yang dapat ditelusuri sebab-sebab atau peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi terjadinya penamaan, misalnya didasarkan atas peniruan bunyi, penyebutan bagian (part-whole relation), penyebutan sifat khas, penemu dan pembuat (appelativa4), tempat asal, bahan, keserupaan sifat, pemendekan (singkatan dan akronim), dan penamaan baru. Wasiyati (2000:8) menyatakan bahwa penamaan merupakan fungsi semantik dasar dari katakata. Nama memiliki dua fungsi karakteristik, yaitu fungsi referensial dan vokatif. Nama biasanya digunakan untuk menarik perhatian atas kehadiran seseorang yang diberi nama itu atau untuk mengIngatkan 46 Humaniora Volume XIII, No. 1 Februari ■ 2001 HUMANIORA Volume XIII No. 1 Februari ■ 2001 relevansi orang yang dinamai. Selanjutnya, Uhlenbeck (1982), membahas ihwal ciri-ciri sistematis nama orang dalam bahasa Jawa. Di dalamnya secara garis besar ia membahas sistem penamaan orang Jawa dikaitkan dengan jenis kelamin dan status sosial. Hal yang menarik dalam tulisannya ialah bahwa rupanya hampir tidak ada perumusan kaidah yang ketat dan jelas ihwal penamaan ini sehingga munculnya beberapa perkecualian harus diakui. Beberapa perkecualian itu dapat dijelaskan dengan memahami kebiasaan masyarakat Jawa dalam memilih nama sedangkan beberapa perkecualian yang lain tidak. Riyadi (1999) membahas ihwal nama diri etnik Jawa dan fungsinya dalam masyarakat. Dalam tulisan tersebut disebutkan pula bahwa nama orang dalam etnik Jawa ini mengalami perubahan seirama dengan perubahan (keadaan) ruang dan waktu. dalam alam modern seperti sekarang ini, misalnya, kebanyakan anggota masyarakat etnik Jawa berusaha memilih nama bagi anaknya yang baru lahir dengan nama yang bermotivasi baik, positif, dan atau modern. Selain itu, dalam tulisan tersebut disebutkan pula bahwa dalam masyarakat Jawa penamaan semacam itu memiliki fungsi-fungsi tertentu, antara lain sebagai penanda kekerabatan, sebagai penanda penghormatan, dan sebagai penanda urutan. Dalam kaitannya dengan kekerabatan, Susilo (2000:1) menyatakan bahwa bentuk-bentuk sapaan5 tertentu dapat dilekatkan di depan nama orang berdasarkan urutan kelahiran tertentu untuk memberikan tekanan pada hubungan penutur dengan bahasa yang dituturkan sesuai dengan kondisi situasi, tempat, dan lingkungan terjadinya sapaan. Masih berkaitan dengan ihwal penamaan, Suhandano (2000:1) menyatakan bahwa penamaan merupakan salah satu fungsi bahasa, yakni sebagai alat untuk mengidentifikasikan sesuatu. Dengan penamaan manusia dapat mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan benda-benda di lingkungan sekitarnya. Tulisan lain yang masih berkaitan dengan pe- Humaniora Volume XIII, No. 1 Februari ■ 2001 Halaman 45 - 55 namaan ialah tulisan Sudjiman (1996a). Dalam tulisan itu dibahas ihwal pembakuan nama geografi dan kaitannya dengan promosi pariwisata. Dalam tulisan tersebut diusulkan adanya pembakuan terhadap nama-nama tempat (geografis) yang disesuaikan, baik dengan ejaan bahasa Indonesia maupun ejaan bahasa daerah. Pembakuan tersebut dirasa perlu mengingat penamaan suatu tempat ternyata memiliki hubungan langsung dengan pengembangan potensi pariwisata daerah tersebut. Dengan pembakuan penamaan geografis suatu tempat tidak akan diberi nama yang sama dengan tempat yang lain sehingga income daerah dari aktivitas pariwisata tidak akan salah masuk ke daerah lain yang mempunyai nama tempat yang sama. Dalam pada itu, pemilihan nama bagi seorang bayi yang baru dilahirkan harus dipertimbangkan dengan matang. Beberapa anggota masyarakat Jawa dianggap memiliki keahlian khusus dalam memilih nama yang “cocok” untuk seorang anak. Seringkali ayah si anak akan datang kepada kakeknya untuk meminta nasihat mengenai penamaan ini. Penamaan anak dapat dipertimbangkan berdasarkan nama hari, hari pasaran/neptu, bulan, wuku, benda-benda kosmis, seperti matahari, bulan, bintang, elemen-elemen alam, seperti angin, api, air, tanah, benda-benda di lingkungan sekitar, tumbuhan, binatang, agama/kepercayaan, aliran, cita-cita/harapan terhadap anak itu, dan sebagainya. Dalam etnis Jawa ketika orang menjadi semakin berumur mereka akan memilih nama yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisinya. Mungkin nama itu disesuaikan dengan pekerjaannya, jabatannya, atau mungkin juga disinkronisasikan dengan tokoh yang dikagumi. Sebagian nama Jawa tidak dapat diusut asal mulanya dan sebagian lagi dapat ditemukan. Seorang yang bernama Sugiharto dapat diprediksikan berasal dari dua komponen nama yang bersifat nonarbitrer, yakni sugih dan arto sehingga kondisi yang melingkupi pemberian nama 47 Ridha Mashudi Wibowo, Nama Diri Etnik Jawa itu mungkin menyatakan kekayaan orang tuanya saat itu atau mungkin pula diharapkan agar anak itu nantinya dapat memiliki uang/harta yang banyak. Nama Legiyah juga dapat diprediksi bahwa perempuan itu lahir pada hari pasaran Legi yang nonarbitrer dan pemarkah gender perempuan yah6 pada suku akhir yang bersifat arbitrer. Hal ini berlaku pula bagi nama Saparyati. Nama itu dapat diprediksi lahir pada bulan Sapar dan berjenis kelamin perempuan yang ditandai dengan pemarkah yati sebagai penunjuk perempuan. 4. Klasifikasi Nama Diri Etnik Jawa Dalam tulisan ini disajikan kajian ihwal nama pribadi etnik Jawa. Dalam masyarakat etnik Jawa terdapat sistem penamaan yang dapat dipilahkan menjadi dua, yakni nama alit ‘nama kecil’ (sebelum menikah) dan nama sepuh ‘nama tua’ (sesudah menikah). Nama alit dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) nama yang diberikan orang tua kepada anak pada waktu selamatan sepasaran ‘usia lima hari’ atau puputan ‘tanggalnya tali pusar’, dan (2) nama yang diberikan kepada anak sebagai pengganti nama sebelumnya karena sakit-sakitan, tertimpa musibah, dan sebagainya (Setjadrana dalam Riyadi, 1999:80). Di samping itu, nama sepuh dapat dibedakan menjadi dua pula, yakni (1) nama yang diberikan sehubungan dengan pernikahan, dan (2) nama yang diberikan berkenaan dengan kedudukan atau jabatan tertentu. Berdasarkan bentuk (kebahasaan)-nya nama diri dapat dibedakan atas (1) nama diri tetap, artinya digunakan sejak kecil hingga meninggal, dan (2) nama diri pengganti dan atau tambahan. Adapun dari segi kuantitasnya nama Jawa dapat terdiri atas satu kata, misalnya Welasono; dua kata, misalnya Triwati Rahayu; dan tiga kata, misalnya Teguh Jaya Santosa. Nama diri etnik Jawa yang lazim biasanya terdiri atas satu sampai tiga kata. Jumlah selebihnya sebenarnya masih dimungkinkan tetapi jarang orang memakainya. Dalam pada itu, dalam bahasa Jawa Uhlenbeck (1982:371-372) menyatakan bahwa nama orang adalah kata yang secara sintaktis ditandai oleh kesanggupannya untuk dikombinasikan dengan apa yang 48 disebut artikel persona si (ngoko) dan pun (krama). Dilihat dari segi golongan masyarakat, nama tersebut terdiri atas dua kelompok, yakni (1) nama yang jelas menunjukkan golongan masyarakat yang rendah, dan (2) nama yang tidak semata-mata menunjukkan suatu kelas masyarakat tertentu. Kelompok ini mencakup sejumlah besar ragam nama yang dipakai orang yang termasuk golongan masyarakat yang berbedabeda. Seperti telah disebutkan di muka, nama laki-laki Jawa dapat berupa nama alit atau nama sepuh. Perbedaan nama ini didasarkan atas suatu kebiasaan mengganti nama yang sampai sekarang di beberapa tempat masih dilakukan meskipun kini dianggap sebagai kebiasaan yang kolot. Nama pertama biasanya diberikan oleh orang tua kepada anak saat slametan pasaran. Adapun nama kedua biasanya dipilih sendiri oleh anak setelah ia dewasa. Nama tersebut menggantikan nama pertama dan menyatakan bahwa pemakainya telah menginjak taraf baru dalam kehidupannya. Jika pergantian nama ini terjadi akibat perkawinan, maka pengantin wanita akan menanggalkan nama pertamanya, tetapi dia tidak akan memilih nama baru. Sebagai seorang yang sudah menikah ia akan disapa dengan nama suaminya atau dengan singkatan nama suaminya. Mengikuti Uhlenbeck (1982:372) secara umum nama Jawa dapat dibagi atas 6 kelompok, yaitu nama feminin kelas rendah (Female-Low), nama feminin (Female), nama kecil maskulin kelas rendah (Male 1-Low), nama kecil maskulin (Male 1), nama tua maskulin kelas rendah (Male 2-Low), dan nama tua maskulin (Male 2). Hal itu dapat ditunjukkan dalam matriks yang telah dinaturalisasikan sebagai berikut. Agar terlihat jelas perbedaan antara jenis nama yang satu dengan yang lain berikut ini disajikan pengelompokan nama etnik Jawa dengan urutan, pertama perbandingan FR dan MKR; kedua, perbandingan F dan MK; dan ketiga, perbandingan MTR dan MR. Dalam pengelompokan nama ini Humaniora Volume XIII, No. 1 Februari ■ 2001 HUMANIORA Volume XIII No. 1 Februari ■ 2001 diajukan kriteria arbitrer dan non arbitrer dalam kaitannya dengan dapat tidaknya suatu nama itu dirunut asal-muasalnya. Yang dimaksud arbitrer, yaitu tidak ada hubungan langsung antara nama dan maknanya. Dengan kata lain, arti nama itu tidak dapat dirunut asalnya; mengapa diberi nama itu. Istilah ini dapat disetarakan dengan kriteria tak bermotivasi dari Uhlenbeck. Adapun istilah non arbitrer dimaksudkan untuk mewakili pengertian dapat dirunut asalnya setara dengan kriteria bermotivasi dari Uhlenbeck. Dalam kriteria ini dapat dibedakan dua macam, yakni nama yang secara utuh dapat dirunut asalnya dan nama yang hanya sebagian saja dapat dirunut. Dalam pada itu, istilah bermotivasi/tak bermotivasi tidak digunakan dalam tulisan ini dengan pertimbangan bahwa pemberian nama itu sendiri sudah menyarankan adanya motivasi, yakni sekurang-kurangnya dimaksudkan untuk membedakan satu orang dengan orang yang lain. 4.1 Nama FR dan MKR Nama-nama dalam kelompok ini tampak khas beretnik Jawa semata-mata karena bentuk fonisnya. Nama yang bersifat nonarbitrer dapat dirunut asalnya dari suatu leksikon dalam bahasa Jawa, kebanyakan berkategori nomina atau ajektiva. 4.1.1 Nama FR dan MKR Arbitrer Nama FR dapat diindikasikan dengan nama yang diakhiri dengan –em dan –en dan memenuhi formulasi vokal a-i-e, misalnya, Jaminten, Bainem, Daliyem, Sarijem, Warikem, Rasminten, dan Sarinten7. Bentuk-bentuk, Jinem, Tinem, dan Inem dapat pula muncul sebagai suatu bentuk singkatan dari, Rajinem, Satinem, dan Painem. Sepadan dengan bentuk formulasi itu, ada pula formulasi variatif berpola u-i-e, misalnya, Sukijem, Murdikem, Rujiyem, Tulkiyem, Ruminem, Tuminem, dan Juminten. Nama MKR memiliki ciri yang kurang lebih sama dengan FR, yakni formulasi Humaniora Volume XIII, No. 1 Februari ■ 2001 Halaman 45 - 55 vokal silabe awal a-i dan berakhiran –an, -in (atau –un sebagai bentuk variasi), misalnya Tasiman, Sajidin, Baridin, Saridin, Kasidin, Kasiman, Rasiman, Rajiman, Mardikun, dan Sadirun, yang memiliki imbangan bentuk pendek Siman, Jidin, Ridin, Ridin, Sidin, Siman, Siman, Jiman, Dikun, dan Dirun. Bentuk-bentuk ini secara kuantitatif cukup banyak ditemui. Nama-nama seperti Wakijan, Paiman, Samingan, dan Kasirun bersifat unik karena jarang disingkat menjadi *Kijan, *Man, *Mingan, dan *Sirun8. Pola vokal yang lain ialah formulasi u-i-a (Sukiman, Sujiman, Turiman, Tukiman, Tukijan, Mujiran, Murjiman, Mukiman), e-i-a (Jemiran, Jemingan, Semiran), dan u-i-i (Mudimin, Rukimin, Tukimin, Tugimin, dan Murjimin). Secara kuantitatif bentuk yang paling sedikit ditemui ialah nama yang berpola e-i-i (Jemidin dan Sekimin). 4.1.2 Nama FR dan MKR Nonarbitrer Nama jenis ini dikelompokkan ke dalam bentuk nonarbitrer karena dimungkinkan berasal dari suatu leksikon tertentu, baik sebagian maupun seluruhnya. Bentuk yang dimungkinkan sebagian komponen/silabenya dapat dirunut, misalnya Ardiman/Ardinem (ardi (JwKn) ‘gunung’ + pemarkah gender laki-laki man atau perempuan nem)9, Waginem/Wagiyem (Wage ‘nama salah satu hari pasaran dalam penanggalan Jawa’ + pemarkah perempuan nem/yem), Ngadikem (Ngahad < Ahad (Arb) ‘Minggu’ + pemarkah gender perempuan (i)kem atau dimungkinkan juga berasal dari Adi (Skt) ’permulaan, awal; pertama, asas, kepala; unggul, hebat sekali, bagus, ulung’ (Zoetmulder dan Robson, 1995:7) + pemarkah gender perempuan kem)10, Sugiyem (sugih ‘kaya’ + pemarkah perempuan (i)yem), Ngaliman/Ngalimun (‘alim (Arb) ‘mengetahui; orang alim’ (Sunarto, 1998:28) + pemarkah gender laki-laki man/mun), Ngadimin (Ngahad < Ahad (Arb) ‘Minggu’ + pemarkah gender laki-laki man atau dimungkinkan juga berasal dari Adi (Skt) ’permulaan, awal; pertama, asas, kepala; unggul, 49 Ridha Mashudi Wibowo, Nama Diri Etnik Jawa hebat sekali, bagus, ulung’ + pemarkah gender laki-laki (i)man), Sadikin (sodiq (Arb) ‘yang benar’), Salimin (salim < sallimuu, sallam (Arb) ‘salam, hormat’ + pemarkah gender laki-laki in). Adapun bentuk yang nonarbitrer penuh semua komponen/silabenya dapat ditelusur asalnya. Nama tersebut dapat diambil dari kalender Jawa, nama tokoh pewayangan, nama hewan, tanaman atau bunga-bungaan, atau nama alat/sifat. Istilah dari kalender Jawa terutama dipakai oleh anak laki-laki (Akad, Senen, Slasa, Rebo, Kemis, Jumuwah, Setu; Legi, Paing, Pon, Wage, Kliwon; Dite, Soma, Buda, Sukra, dan Anggara). Nama Legi dan Paing dimungkinkan juga dipakai oleh anak gadis. Selain itu, terdapat pula bentuk Respati ‘Kamis’ dan Tumpaq ‘Sabtu’. Nama hewan yang dipakai untuk anak laki-laki, misalnya Kampret ‘kelelawar’, Gudel ‘anak kerbau’, Genjik ‘anak babi’, dan Bandot ‘kambing jantan’, sedang untuk anak perempuan, misalnya Cebong ‘berudu’, Slindit ‘parkit’, Precil ‘anak kodok’, dan Bencoq ‘katak pohon’. Nama tokoh pewayangan (panakawan) untuk anak laki-laki, misalnya Bagong, Gareng, dan Semar, sedang untuk anak gadis, misalnya Limbuk dan Cangik. Nama alat untuk anak laki-laki, misalnya Gembel ‘gada’, Trisula ‘trisula’, dan Kunta ‘lembing’, sedang untuk anak perempuan, misalnya Tumbu ‘keranjang beras’ dan Kendil ‘periuk’. Nama bunga, buah-buahan, dan tanaman hanya dipakai untuk nama anak perempuan, misalnya Sekar ‘bunga’, Mawar ‘bunga mawar’, Menur ‘bunga menur’, Jinten ‘jintan’, Kencur ‘kencur’, Menik ‘nama bunga cabe’, dan Ranti ‘tanaman/pohon meranti’. Nama proses tumbuh tanaman dapat pula ditemui, misalnya Thukul ‘tumbuh’ sebagai nama laki-laki dan Semi ‘bersemi’ sebagai nama perempuan. Nama yang didasarkan atas sifat dapat dipakai oleh anak laki-laki ataupun perempuan, misalnya Tulus ‘tulus‘, Pantes ‘pantas’, Patut ‘patut’, Gatot ‘berotot’, Kukuh ‘mantap’, Kuwat ‘kuat’, Jarot ‘berotot/kuat’, Sabar ‘sabar’, dan Puguh ‘mantap’. 4.2 Nama F dan MK 4.2.1 Nama F dan MK Arbitrer Nama F jenis ini hampir semuanya berakhiran –ah atau –i, vokal praakhir –i-/-e-, 50 konsonan intervokalis –n-i-y-, misalnya Kardinah, Marsinah, Sakinah, Rusminah, Suginah, Bandiyah, Kasiyah, Sadiyah, Wasiyah, dan Seminah. Nama yang terdiri atas dua silabe dimungkinkan merupakan bentuk singkatan, misalnya Dinah, Risah, Minah, dan Midah. Nama F yang terdiri atas empat silabe, misalnya Supartinah, Kamariyah, Juwariyah, dan Sukamdinah. Di samping itu, nama F yang berakhir vokal –i, misalnya Sudarsi, Suratmi, Suharmi, Sukamti, dan Maryati. Pada nama MK vokal akhir –i seperti tersebut pada nama perempuan di atas dapat berkorespondensi dengan –a/-o untuk MK dan dapat berimbang dengan nama perempuannya, misalnya Sugianta-Sugianti, Sukarta-Sukarti, Suwarno-Suwarni, Sutarmo-Sutarmi, Murdana-Murdini, RukmanaRukmini, Darmono-Darmini, Karmana-Karmini, dan Harmono-Harmini. Nama MK dengan formulasi dua vokal akhir a-i dapat disebutkan antara lain Aspari, Kastawi, Baryadi, Aswadi, Supadi, Suwaji, Sutaji, Murtaji, dan Muhadi; formulasi i-i, (Kasidi, Rasidi, Wakidi, Sarmidi, Kasmidi, Sarbini, dan Jumidi). Lain daripada itu, terdapat pula nama MK yang berakhir dengan –ani, misalnya Martani, Sabani, dan Subani. 4.2.2 Nama F dan MK Nonarbitrer Nama jenis ini banyak diambil dari nama tokoh pewayangan, nama yang menyatakan sifat baik, atau nama yang berkaitan dengan kesastraan yang kebanyakan berasal dari bahasa Sansekerta. Nama F dari pewayangan, misalnya Sukesi, Rukmini, dan Sundari, sedang nama MK misalnya Pandu, Wibisana, Lesmana, Arjuna, dan Rama. Nama yang menyatakan sifat untuk perempuan misalnya Sungkem ‘sungkem’ dan Puji ‘pujian’, sedang untuk MK, misalnya Sigit ‘luar biasa baik’, Sampurna ‘sempurna’, Mulya ‘mulia’, Prayitna ‘waspada/bijaksana’, Utama ‘utama’, Waskita ‘cerdas/ bijaksana’, dan Setya ‘setia’. Meskipun perbedaan jenis kelamin dipertahankan, dalam pengelompokan ini Puji bisa digunakan baik oleh F maupun MK. Di samping itu, ditemukan juga nama-nama yang berbau “Arab”, misalnya Karsam, Mustam, Rustam, Kasim, Badar, Japar, Mansur, Amad, Wahid, Mahmud, Samsudin dan Salamun untuk MK Humaniora Volume XIII, No. 1 Februari ■ 2001 HUMANIORA Volume XIII No. 1 Februari ■ 2001 Halaman 45 - 55 dan Kadisah, Safiah/Sapiah, Zuhriah/Suriah, Ngaminah, Ngalimah, dan Ngubaedah. terdapat sebagai komponen nama MT (Uhlenbeck, 1982:382). 4.3 Nama MTR dan MT 5. Fungsi Penamaan Nama laki-laki yang dipilih setelah ia dewasa sebagai pengganti nama yang diterimanya dari orang tua berbeda dari semua nama laki-laki dan perempuan lainnya. Biasanya nama ini berkategori nomina atau ajektiva dan terdiri atas dua komponen yang dapat dirunut dalam kaitannya dengan kata-kata kesastraan dalam bahasa Sansekerta, misalnya Kertadangsa, Wangsaguna, Singadimeja, dan Kartasemita. Nama-nama semacam itu dengan sendirinya dikenal masyarakat sebagai nama dewasa. Persamaan nama MTR dan MT ialah bahwa kedua komponennya selalu berakhir dengan –a (dengan bentuk MT –ningrat sebagai perkecualian) dengan komponen pertama Adi-, Mangun-, dan nama-nama berbau Arab seperti Amat, Iman, dan Kasan yang dipakai sebagai komponen pertama dari nama yang terdiri atas dua bagian. Pada umumnya, pada nama yang terdiri atas satu bagian saja, komponen pertama diduduki oleh nama yang terdiri atas dua vokal dan komponen kedua juga dua atau tiga vokal sehingga kadang-kadang muncul perpanjangan dengan penambahan silabe (misalnya di-, wi-, atau su-) pada komponen kedua, misalnya Karta-dikrama, Citra-wiguna, Karya-susastra, Santa-diwirya, dan sebagainya. Beberapa nama memiliki komponen pertama yang sama, misalnya Trunajaya, Truna-karya, Truna-krama, Trunadipa, atau memiliki komponen kedua yang sama, misalnya Karta-suwirya, Karya-suwirya, Rana-suwirya, Wana-suwirya, dan sebagainya. Adapun perbedaan antara nama MTR dan MT, antara lain karena sifat komponen itu sendiri, misalnya komponen nata, kusuma, wijaya, surya, negara, dan praja tidak pernah digunakan dalam nama MTR, sedangkan komponen yang mengalami penyingkatan seperti sasmita > semita11, sastra > setra, taruna > truna tidak pernah Dalam bagian ini disajikan fungsi-fungsi penamaan nama diri dalam masyarakat etnik Jawa. Fungsi-fungsi itu dapat disebutkan sebagai berikut. a. Sebagai penanda identitas. Fungsi ini dipakai untuk memberi nama pada diri seseorang sekadar untuk membedakannya dengan orang lain, misalnya Paijan, Tukiran, Warsih, dan Tinah. b. Sebagai penanda yang berkaitan dengan harapan, cita-cita, atau makna/ tujuan baik, misalnya Raharja ‘bahagia’, Basuki ‘selamat’, Sulistyawati ‘cantik’, dan Wulandari ‘cantik seperti rembulan’. c. Sebagai penanda penghormatan yang diwujudkan dengan pelekatan bentuk honorifik (misalnya kyai, ki, nyai, nyi, ndara, den, dsb.) di depan nama diri, misalnya Kyai Tomo, Ki Mangun, Nyai Sarmini, Nyi Supeni, nDara Praba, nDara Kanjeng Yosodipura, Den Pardi, dan sebagainya. d. Sebagai penanda kewibawaan yang ditunjukkan dengan pemilihan kata yang bernilai rasa hormat atau tinggi, misalnya Surya ‘matahari’, Wibawa ‘wibawa’, Kusuma ‘bunga’, Jaya ‘kemenangan’, dan sebagainya. e. Sebagai penanda profesi yang ditunjukkan dengan pelekatan profesi yang digeluti sebagai komponen kedua dari nama diri, misalnya Karya Pande ‘Pak Karya yang bekerja sebagai pandai besi’, Atma Krupuk ‘Pak Atma yang berjualan kerupuk’, Joyo Endo ‘Pak Joyo yang selalu menghindar jika diserahi tugas/ pekerjaan’, dan sebagainya. f. Sebagai penanda urutan yang ditunjukkan dengan pelekatan pemarkah urutan sebagai komponen penamaan, misalnya Eka Siswanto ‘Siswanto sebagai anak pertama’, Dwi Hartini ‘Dwi sebagai anak kedua’, Tri Mastoyo ‘Mastoyo sebagai anak ketiga’, dan sebagainya. Humaniora Volume XIII, No. 1 Februari ■ 2001 51 Ridha Mashudi Wibowo, Nama Diri Etnik Jawa g. Sebagai penanda historisitas yang ditunjukkan dengan acuan peristiwa atau keadaan kelahiran orang itu, misalnya Anggara ‘dilahirkan pada hari Selasa’, Rejeb ‘dilahirkan bulan Rajab’, Karbit ‘dilahirkan beberapa saat setelah ayahnya meninggal karena ledakan tabung gas las karbit’. h. Sebagai penanda jenis kelamin yang ditunjukkan dengan pelekatan nama atau komponen yang berasosiasi dengan jenis kelamin, misalnya Priyatama ‘pria pertama atau pria utama’, Setyoputri ‘wanita yang setia’, Saraswati ‘wanita yang selalu sehat’, dan sebagainya. i. Sebagai penanda religiusitas atau ideologis, misalnya Kristiono ‘laki-laki pemeluk agama Kristen’, Muslimah ‘wanita pemeluk agama Islam’, Marhaeni ‘wanita beraliran Marhaen atau pada saat kelahirannya orang tuanya menjadi pengikut Marhaen’, dan sebagainya. j. Sebagai penanda kekerabatan yang ditunjukkan dengan pelekatan nama keluarga sebagai komponen kedua/ketiga nama diri, misalnya Minati Atmanegara, Susanti Atmasusastra, Basuki Wirasaputra, Eko Riyadi Padmapuspita, dan sebagainya. k. Sebagai penanda keakraban yang ditunjukkan dengan pemendekan nama, misalnya Rahayu > Yayuk, Prabowo > Bowo, Sutikno > Tikno, dan sebagainya. l. Sebagai penanda yang berkaitan dengan humor, paraban/julukan, atau olokolok yang ditunjukkan dengan pelekatan salah satu kondisi bagian tubuh (pars pro toto/part whole relation) atau asosiasi dengan sesuatu acuan lain, misalnya Yati Pesek, Amat Kumis, (Joni) Gudel, (Fredi) Gepeng, (Gondo) Kirik, dan sebagainya. m. Berkaitan dengan fungsi kerahasiaan yang ditunjukkan dengan penamaan lain (alias), misalnya Yapi Tambayong > Remy Silado (pengarang), Samiyem > Mince (pembantu rumah tangga), Supri > Gaplek (penjahat), dan sebagainya. n. Berkaitan dengan pemertahanan gengsi atau untuk keperluan bergaya, misalnya Joko Sentono > Jack Santana atau Si Jack, Sari Kasidi > Cherry Cassidy, Joko Hananto Minggil Waluyo > Joko Hamingway, dan sebagainya. 52 a. Berfungsi teknonimi12, yakni pelekatan nama anak sulung di belakang nama orang tua, atau generasi pendahulunya sebagai pengganti nama diri sehingga muncul dalam pertuturan lisan, misalnya Bapakne Suta, Ibune Tumi, (Si)mbah(n)e Arya, Pakdene Sugeng, dan sebagainya. 6. Nama Diri Etnik Jawa dan Masa Depan Pemakaiannya Dewasa ini sistem penamaan seperti diuraikan di atas mulai ditinggalkan orang karena dianggap ketinggalan zaman dan diganti dengan nama yang lebih modern atau nama yang kebarat-baratan sehingga nama diri ini mulai dianggap sebagai nama etnis yang bersifat tradisional. Diferensiasi antara nama alit dan nama sepuh juga mulai berkurang. Sebagian besar orang Jawa, terutama yang tinggal di perkotaan, cenderung mempertahankan nama alit meskipun mereka telah berumur dan tidak memilih nama baru sebagai nama sepuh. Hal ini dimungkinkan antara lain karena penghargaan terhadap nama pemberian orang tua dan kemudahan administratif/ birokratis yang berkaitan dengan identitas diri. Orang-orang yang masih melestarikan nama diri yang bersifat khas etnik Jawa ini sekarang masih dapat ditemui di desa-desa atau pinggiran kota. Secara sosial nama diri etnis yang khas ini masih digunakan pada sebagian anggota masyarakat yang berstatus sosial menengah, berstatus sosial rendah, atau anggota masyarakat yang memiliki profesi yang dipandang rendah, seperti petani, tukang becak, pedagang-pedagang kecil di pasar, dukun bayi, pembantu rumah tangga, dan sebagainya. Berkaitan dengan hal itu, Gunarwan (dalam Steinhauer, 1999:15) menyatakan bahwa mulai punahnya sistem penamaan ini identik dengan tergusurnya bahasa daerah yang melingkupinya. Hal ini dapat diindikasikan dari, pertama, bahasa itu kehilangan basis wilayahnya dan dipakai oleh jumlah penutur yang semakin kecil. Kedua, bahasa itu lebih banyak dipergunakan di pedesaan. Ketiga, terjadi penurunan mutu bahasa oleh penuturnya. Selanjutnya, Steinhauer (1999) menambahkan butir yang keempat, yakni Humaniora Volume XIII, No. 1 Februari ■ 2001 HUMANIORA Volume XIII No. 1 Februari ■ 2001 adanya rasa malu untuk menggunakan bahasa daerahnya. 7. Penutup Demikianlah telah disajikan uraian ihwal karakteristik/pencirian nama diri pada masyarakat Jawa. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pada garis besarnya penamaan nama diri dalam masyarakat Jawa dapat dirunut dengan memperhatikan formulasi vokal yang dipergunakan dalam nama itu sebagai suatu kata; memperhatikan suku akhir komponen nama yang dapat menandai gender; dan memperhatikan jumlah silabe/suku kata pada nama itu. Selain itu, penamaan dapat dilakukan secara arbitrer (penamaan sekadar untuk membedakan dengan orang lain dan nama itu tidak diketahui arti dan asal-muasalnya) dan nonarbitrer (memiliki padanan dengan leksikon lain; mengandung tujuan, harapan, cita-cita; menggambarkan aspek historisitas kelahiran, dan sebagainya) Di samping itu, dapat pula diketahui bahwa penamaan anak dalam masyarakat Jawa umumnya dipertimbangkan dengan baik demi ‘keselamatan’ si anak dalam menjalani tahapan-tahapan kehidupannya meskipun dalam perkembangannya dapat dinyatakan bahwa sistematisasi penamaan ini mulai melonggar karena perubahan zaman. Selanjutnya, penamaan seseorang dalam masyarakat Jawa ternyata memiliki fungsi-fungsi tertentu. Secara esensial penamaan tersebut digunakan sebagai penanda identitas keberadaan seseorang di dalam suatu masyarakat. Beberapa fungsi yang lain muncul sebagai upaya pemenuhan kebutuhan situasional/kondisional, misalnya untuk penghormatan, penanda urutan, penanda jenis kelamin, keakraban, kerahasiaan, dan sebagainya. Humaniora Volume XIII, No. 1 Februari ■ 2001 Halaman 45 - 55 1 Periksa Hadiwidjana (1968); Soemodidjojo (1980); Almutawakkil (1994); Al-Mahmud (1995); dan Turmukti dan Santoso (1996). 2 Onomastika (onomastics, onomasiology) merupakan penyelidikan tentang asal-usul, bentuk, dan makna nama diri, terutama nama orang dan tempat (Kridalaksana, 1993:149). 3 Dalam hal ini, nama yang memiliki referensi variatif atau referensi tetap secara faktual dapat dipadankan dengan istilah nama pasaran/umum dan nama khusus/spesifik/unik. Nama pasaran seringkali diasumsikan sebagai nama yang banyak dimiliki oleh anggota masyarakat yang lain, misalnya Budi, Joko, dan Bambang. Adapun nama spesifik biasanya tidak banyak dimiliki oleh anggota masyarakat yang lain, misalnya Seno Widyosusetyo, Bagaskaratejo Jayadiningrat, dan Koentoro Padmosusastro. 4 Apelativa (appelative) merupakan penyebutan sesuatu berdasarkan penemu, pabrik pembuatnya, atau nama dalam sejarah, misalnya laksamana yang tadinya nama tokoh; nama ikan mujahir berdasarkan penemunya; skala Richter, dsb. (Kridalaksana; 1993:15-16; conf. Wijana, 1999:32; Mulyantiningsih, 1996:25). 5 Bentuk sapaan (address) merupakan morfem, kata, atau frase yang dipergunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan dan yang berbeda-beda menurut sifat hubungan antara pembicara (Kridalaksana, 1993:191). 6 Suku akhir ini bersifat inalienable marker, artinya silabe -yah itu menjadi pemarkah jenis kelamin perempuan yang berpadu dengan komponen sebelumnya dan letaknya tidak dapat dipisahkan dari kepaduannya dengan komponen pertama. 7 Dalam hal ini, patut disimak pandangan Slametmuljana (1992:32) yang menyatakan bahwa segala anasir kebudayaan yang tidak dapat diketahui asalnya biasa disebut dengan istilah kebudayaan asli. Oleh karena itu, nama-nama yang tidak dapat diketahui lagi artinya ini dapat diasumsikan sebagai nama asli dari budaya etnik Jawa. 53 Ridha Mashudi Wibowo, Nama Diri Etnik Jawa 8 Tanda asterisk (*) digunakan untuk menandai bentuk tak berterima atau tidak lazim, bukan merujuk kepada suatu bentuk protobahasa. 9 Periksa Zoetmulder dan Robson, 1995. 10 Tanda < berarti ‘secara etimologis berasal dari ‘. 11 Tanda > berarti ‘secara etimologis menjadi‘. 12 Teknonimi (teknonimyc) ialah penggunaan nama ayah atau ibu berdasarkan nama anaknya (Kridalaksana, 1993:212). DAFTAR PUSTAKA Al-Mahmud, Ibrahim Ibnu Shaleh. 1995. Kado buat Ummi. Cet. 3. Tanpa nama kota: Darul Falah. Almutawakkil, Khadijah Abdulquddus. 1994. Nama-nama Pilihan untuk Putraputri Anda. Cet. 1. Jakarta: Pustaka Amani. Budiwati, Tri Rina. 2000. “Analisis Makna Referensi Variatif dan Referensi Tetap” (Makalah). belum diterbitkan. Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Ed. Revisi. Cet. 2. Jakarta: Rineka Cipta. Hadiwidjana, R.D.S. 1968. Nama-nama Indonesia. Cet. 1. Yogyakarta: Spring. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Ed.3. Cet. 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mulyantiningsih. Nuning Tri. 1996. “Metonimia dalam Bahasa Indonesia”. (Tesis Sarjana). Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar Linguistik Umum. (Seri ILDEP). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Slametmuljana. 1992. Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara. Cet. 6. Jakarta: Balai Pustaka. Steinhauer, Hein. 1999. “Menghargai Keragaman Bahasa Daerah” dalam [Aikon!] Asal Pikiran Terbuka. Ed. 105. Oktober. Hlm. 15. Jakarta: Parama Spektrum Sejahtera. Soemodidjojo, R. 1980. Kitab Primbon Betaljemur Adammakna. Cet. 45. Yogyakarta: Soemodidjojo Mahadewa. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Kedua: Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. _____.1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press Sudjiman, Panuti. 1996a. “Pembakuan Nama Geografi dan Kaitannya dengan Promosi Pariwisata" dalam Simposium Internasional Ilmu-ilmu Humaniora III. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. _____ dan Aart van Zoest. (Ed.) 1996b. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Suhandano. 2000. “Klasifikasi Folk Biologi dalam Bahasa Jawa: Sebuah Pengamatan Awal” (Makalah). Belum diterbitkan. Riyadi, Slamet. 1999. “Nama Diri Etnik Jawa dan Fungsinya dalam Masyarakat” dalam Buku Panduan Kongres Linguistik Nasional IX 1999. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Unika Atma Jaya. 54 Humaniora Volume XIII, No. 1 Februari ■ 2001 HUMANIORA Volume XIII No. 1 Februari ■ 2001 Halaman 45 - 55 Sunarto, Achmad. 1998. Surat Yaasiin & Tahlil: Huruf Arab – Latin Terjemahan Bahasa Indonesia. Jakarta: Bintang Terang. Susilo, Firman. 2000. “Kata Sapaan Berdasarkan Urutan Kelahiran dalam Masyarakat Melayu Sambas” (Makalah). Belum diterbitkan. Turmukti, Anwar M. dan Aryo Santoso. 1996. Kandungan Arti Namamu, Namaku, Nama Kita: Nama-nama Indah untuk Anak Anda. Cet. 1. Jakarta: ACI. Uhlenbeck, E.M. 1982. “Ciri-ciri Sistematis Nama Orang dalam Bahasa Jawa” dalam Kajian Morfologi Bahasa Jawa. (Seri ILDEP). Jakarta: Djambatan. Wasiyati, Kristina. 2000. “Referensi, Makna, dan Denotasi” (Makalah). Yogyakarta: belum diterbitkan. Wijana, I Dewa Putu. 1999. “Semantik”. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Zoetmulder, P.J., dan S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia 1: AO. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Humaniora Volume XIII, No. 1 Februari ■ 2001 55