RESUME
MATERI FIQIH IKHTILAF DAN KONTEMPORER
Tugas ini merupakan tugas fainal akhir semester mata kuliah FIQIH
IKHTILAF DAN KONTEMPORER
Dosen pembimbing: Muhammad Arsyam S.Pd.I., M.Pd.
Disusun oleh:
Nilda Miftahul Janna
18210047
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUD DA’WAH
WAL IRSYAD MAKASSAR FAKULTAS TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2021-2022
i
KELOMPOK 1
Hukum Aborsi Menurut Hukum Islam
A. Pengertian Aborsi
Aborsi diserap dari bahasa Inggris yaitu abortion yang berasal dari bahasa latin abortus
yang berarti pengguguran kandungan atau keguguran. Namun, aborsi dalam literatur fikih
berasal dari bahasa Arab al-ijhadh, merupakan mashdar dari ajhadha atau juga dalam istilah
lain bisa disebut dengan isqath al-haml, keduanya mempunyai arti perempuan yang
melahirkan secara paksa dalam keadaan belum sempurna penciptaannya. Di dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aborsi adalah terpancarnya embrio yang tidak mungkin lagi
hidup sebelum habis bulan keempat dari kehamilan. Atau aborsi bisa didefinisikan
pengguguran janin atau embrio setelah melebihi masa dua bulan kehamilan.
B. Macam-macam Aborsi
Dalam fikih ada Tiga istilah yang dapat dikatagorikan dalam pengertian aborsi. Ketiga
istilah tersebut adalah:
Isqath al haml
Yang dimaksud isqath al haml adalah gugurnya janin dari perut ibunya, atau gugurnya
sesuatu dari perut ibunya (perempuan).
Al-ijhadh
Yaitu gugurnya anak yang belum sempurna dalam pengertian ini secara jelas
disebutkan bahwa yang gugur adalah anak, akan tetapi belum sempurna wujud dari
anak tersebut.
Al-imlash
Yaitu janin yang lahir dan mati, apakah itu sengaja atau tidak. Dalam beberapa
literature yang sering digunakan adalah isqath al haml.
C. Dasar Hukum Aborsi
a. Aborsi tanpa sengaja, maka tidak dikenakan hukum. Dasar hukum yang penulis jadikan
rujukan adalah QS. al-Thagabun (64):11 bahwa segala yang menimpa manusia itu adalah
seizin Allah SWT.
b. Aborsi yang disengaja :
• Aborsi tanpa uzur sama sekali, haram hukumnya. Apakah aborsi itu sebelum atau
sesudah ditiupkannya roh pada janin. Dasar hukum keharamannya adalah QS. al-Isra’
(17) : 31 dan 33, serta QS. al-An’am (6) : 151.
• Aborsi karena kondisi tertentu atau darurat, hukumnya mubah. Rujukanya adalah QS.
al-Baqarah (2) : 195. Dan didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah, bahwa Rasulullah Saw., menganjurkan agar orang
jangan berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri atau orang lain. Kaidah fiqhi
juga mengatakan bahwa apabila terdapat dua hal yang merugikan, padahal tidak
mungkin dihindari keduanya, maka harus ditentukan pilihan kepada yang lebih ringan
kerugiannya.
2
KELOMPOK 2
Hukum Mengikir Gigi
A. Pengertian Mengikir Gigi
Kata "kikir" dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah alat dari besi baja yang bergerigi, dipakai
untuk meratakan (menajamkan dan sebagainya). Sedangkan mengikir artinya meratakan. Dalam
bahasa Arab al-mutafallijat adalah jamak dari mutafallijah artinya membuat atau menciptakan
belahan (pembagian). Alfalj dengan fa, lam, dan jim adalah membuat jarak antara dua hal, Al-tafalluj
adalah membagi antara dua hal yang berdempetan dengan menggunakan alat kikir dan semisalnya,
secara khusus biasanya pada gigi yang berdempetan tidak teratur dan bagian depan di antara taring.
Jadi, al-Mutafallijat adalah upaya merenggangkan gigi yang tadinya berdempetan, agar kelihatan
lebih bagus.
Mengikir gigi secara terminologi yaitu meletakkan sesuatu di sela-sela gigi supaya nampak agak
sedikit jarang. Kikir gigi merupakan trend baru yang digemari khususnya oleh perempuan yang biasa
dilakukan untuk memperindah bentuk gigi. Menghias gigi sudah dikenal oleh perempuan sejak zaman
dahulu, hal itu dilakukan karena gigi merupakan bagian penting yang menentukan penampilan dan
menggambarkan kepribadian serta karakter seseorang.
B. Dasar Hukum
Hukum Mengikir Gigi
Perbuatan ini diharamkan, berdasarkan Hadist Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam : "Telah
menceritakan kepada kami Utsman telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Ibrahim
dari Alqamah, Abdullah mengatakan; "Allah melaknat orang yang mentato dan orang yang meminta
ditato, orang yang mencukur habis alis dan merenggangkan gigi (dengan kawat dll) untuk kecantikan
dengan merubah ciptaan Allah Ta'ala, kenapa saya tidak melaknat orang yang dilaknat Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam sementara dalam kitabullah telah termaktub. Dan sesuatu yang datang dari
rasul, maka ambillah." (QS Al Hasyr; 7). (HR. Al-Bukhāri)
Mengikir gigi merupakan perbuatan yang merubah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
menyibukkan diri dengan perbuatan sia-sia yang tidak ada manfaatnya, dan hanya membuang-buang
waktu yang seharusnya dipergunakan untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat bagi manusia.
Perbuatan tersebut juga merupakan penipuan dan penggelapan serta menunjukkan kerdilnya manusia.
Hukum Mengikir Gigi Untuk Tujuan Pengobatan
Mengubah gigi untuk tujuan memperindahnya dan untuk menampakkan ketajamannya adalah
perbuatan haram. Namun apabila untuk tujuan pengobatan, maka tidak mengapa. Jika tumbuh gigi
pada wanita yang menyusahkannya, maka diperbolehkan untuk mencabutnya karena gigi tersebut
merusak pemandangan dan menyulitkannya dalam makan, sedangkan membuang aib (kekurangan)
diperbolehkan menurut syari'at. Demikian pula apabila terdapat kelainan yang memerlukan sebuah
pengobatan, maka diperbolehkan.
Meluruskan Gigi dan Mendekatkan antara Gigi-Gigi
Bila memang diperlukan, misalnya ada kelainan yang harus diperbaiki, maka hukumnya
diperbolehkan. Namun apabila tidak diperlukan, maka hukumnya tidak boleh. Bahkan terdapat
larangan untuk mengubah gigi dan mengikirnya untuk keindahan, beserta ancaman bagi pelakunya,
karena perbuatan tersebut termasuk sia-sia dan mengubah ciptaan Allah.
Jika hal itu untuk pengobatan atau untuk membuang kelainan, atau untuk kebutuhan, misalnya
seseorang tidak bisa makan dengan baik kecuali dengan mengubah gigi-giginya, maka hal tersebut
diperbolehkan.
3
KELOMPOK 3
Hukum Merayakan Ulang Tahun
A. Sejarah Ulang Tahun
Perayaan ulang tahun atau Milad pertama kali dimulai di Eropa. Dimulai dengan ketakutan akan
adanya roh jahat yang akan datang pada saat seseorang berulang tahun, untuk menjaganya dari hal-hal
yang jahat, teman-teman dan keluarga diundang datang saat sesorang berulang tahun untuk
memberikan do’a serta pengharapan yang baik bagi yang berulang tahun. Memberikan kado juga
dipercaya dapat memberikan rasa gembira bagi orang yang berulang tahun sehingga dapat mengusir
roh-roh jahat tersebut.
B.
Hukum Merayakan Ulang Tahun
Ulama Yang Membolehkan Perayaan Ulang Tahun
Salah satu Ulama Senior Kerajaan Saudi Arabia yang bernama Syaikh Dr. Qais al-Mubarak
mengeluarkan fatwa bahwa tidak ada masalah bagi umat Islam untuk mengadakan perkumpulan
memperingati suatu peristiwa yang dipandang boleh di dalam agama dengan syarat bahwa kegiatan
itu tidak diyakini sebagai bagian dari syiar Islam.
Perayaan hari lahir bukanlah ibadah ritual sehingga selama tidak ada larangannya yang secara
langsung disebutkan di dalam nash al-Qur`an atau sunnah, maka hukum asalnya adalah boleh. Ini
sesuai dengan kaidah ushul fiqih yaitu hukum asal dalam sebuah bentuk muamalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkan.
Ahlussunnah Wal Jama’ah (NU) hukum merayakan hari Lahir adalah mubah, bahkan sebagian
ulama mengatakan hukumnya sunnah. Ini tentu dengan tidak ada perbuatan mungkar seperti
menyalakan lilin, memasang gambar atau foto patung (walaupun berukuran kecil) ditengah kue yang
dihidangkan atau alat permainan musik yang diharamkan.
Ulama Yang Mengharamkan Perayaan Ulang Tahun
Sebagian Ulama berpendapat bahwa acara perayaan ulang tahun merupakan kebiasaan orang
barat yang suka berfoya-foya tentunya yang bukan beragama Islam. Orang muslim dilarang untuk
mengikutinya karena dapat mengurangi kadar keimanannya. Kiranya para ulama itu memandang
bahwa perayaan hari lahir itu di identik dengan perilaku orang-orang kafir. Sehingga mereka
mengharamkan umat Islam untuk merayakannya secara ikut-ikutan.
Selain itu, oleh sebagian ulama, seringkali acara ulang tahun disertai dengan banyak sekali
kemaksiatan. Seperti minuman keras, pesta musik, joget, dansa, campur baur laki-laki dan wanita.
Bahkan banyak yang sampai meninggalkan shalat dan kewajiban lainnya. Seringkali juga pesta-pesta
itu sampai melupakan niat utama, tergantikan dengan semangat ingin pamer dan menonjolkan
kekayaan. Sehingga dapat menimbulkan sifat riya’ dan sum’ah pada penyelenggaranya. Sebagaimana
dalam Hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam : Terjemahnya: "Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum, berarti ia termasuk dari golongan mereka."(HR. ahmad dan Abu Daud).
Perayaan ulang tahun merupakan suatu budaya yang berasal dari bangsa eropa/non-muslim dan
tidak ada dalam Islam, akan tetapi jika kita melaksanakannya dengan landasan dasar bahwa ulang
tahun bukanlah suatu ritual ibadah, Sehingga selama tidak ada larangannya yang secara langsung
disebutkan di dalam nash Qur’an atau sunnah, hukum asalnya adalah boleh. Sesuai dengan kaidah “alashlu fil asy-yaa’i al-ibahah.” Bahwa kaidah dasar dari masalah muamalah adalah kebolehan, selama
tidak ada nash yang secara tegas melarangnya. Adapun alasan peniruan orang kafir, dijawab dengan
argumen bahwa tidak semua yang dilakukan oleh orang kafir haram dikerjakan. Hanya yang terkait
dengan peribadatan saja yang haram, adapun yang terkait dengan muamalah, selama tidak ada nash
yang langsung melarangnya, hukumnya tidak apa-apa bila kebetulan terjadi kesamaan.
4
KELOMPOK 4
Hukum Mendirikan Bangunan Di Atas Kuburan
A. Pengertian Kuburan
Kuburan dalam KBBI daring adalah tanah tempat menguburkan mayat; makam. Makam menurut
bahasa artinya kubur atau pekuburan. Sedangkan pekuburan adalah tempat yang luas yang khusus
digunakan untuk menguburkan mayat; tanah pemakaman. Pemakaman adalah tempat mengubur.
Dalam bahasa Arab, kuburan ( ) ا ﻟ ﻘ ﺒ ﺮadalah mengebumikan jenazah, memendam, melupakan,
memasukkan, menyembunyikan. Sedangkan tempatnya adalah maqbarah () ﻣ ﻘ ﺒ ﺮ ة. Dan ini sesuai
dengan istilah yang digunakan oleh masyarakat Indonesia, hanya saja tempatnya tidak disebut
“makbarah” tetapi pekuburan. Dan dalam bahasa Indoensia antara kubur dan kuburan memiliki makna
yang sama, tempat menguburkan mayat.
B. Hukum Mendirikan Bangunan Di Atas Kuburan
Rasulullah melarang membangun kuburan dan memperindahnya dengan diplester. Dalam hadits
dijelaskan: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk memplester kuburan, duduk
diatasnya dan membangun kuburan” (HR Muslim).
Larangan dalam membangun kuburan (jawa: mengijing) ini oleh para ulama diarahkan pada
hukum makruh ketika tidak ada hajat dan jenazah dikuburkan di tanah milik pribadi. Berbeda halnya
jika mayit dikuburkan di pemakaman umum, maka hukum membangun kuburan adalah haram dan
wajib untuk membongkar bangunan tersebut, sebab akan berdampak pada memonopoli tanah yang
sebenarnya digunakan secara umum.
Dalam kitab Fath al-Mu’in dijelaskan: “Makruh membangun kuburan, sebab adanya larangan
syara’. Kemakruhan ini ketika tanpa adanya hajat, seperti khawatir dibongkar, dirusak hewan atau
diterjang banjir. Hukum makruh membangun kuburan ini ketika mayit di kubur di tanah miliknya
sendiri, jika membangun kuburan dengan tanpa adanya hajat atau memberi kubah pada kuburan ini di
pemakaman umum, yakni tempat yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk mengubur
jenazah, baik diketahui asalnya dan keumumannya atau tidak, atau di kuburkan di tanah wakaf, maka
membangun kuburan tersebut hukumnya haram dan wajib dibongkar, sebab kuburan tersebut akan
menetap selamanya meski setelah hancurnya mayit, dan akan menyebabkan mempersempit umat
muslim tanpa adanya tujuan” (Syekh Zainuddin al-Maliabar, Fath al-Mu’in, hal. 219).
Di samping itu, kemakruhan membangun kuburan di tanah pribadi ini hanya berlaku ketika
tujuan dari membangun bukan untuk menghias (tazyin) atau mempermegah kuburan. Misal karena
bertujuan menandai kuburan satu dengan yang lainnya, atau tidak bertujuan apa-apa, hanya sebatas
ingin membangun saja. Jika tujuan dari membangun adalah menghias dan memegahkan kuburan,
maka hukum membangun ini meningkat menjadi haram.
Seperti yang disampaikan dalam kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah: “Makruh membangun
pada kuburan sebuah ruang, kubah, sekolah, masjid, atau tembok, ketika tidak bertujuan untuk
menghias dan memegahkan, jika karena tujuan tersebut, maka membangun pada makam dihukumi
haram” (Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, hal. 536).
Perincian hukum membangun pada kuburan di atas, dikecualikan ketika mayit adalah orang yang
shaleh, ulama atau dikenal sebagai wali (kekasih Allah), maka boleh makam tersebut diabadikan
dengan dibangun agar orang-orang dapat berziarah dan bertabarruk pada makam tersebut. Meskipun
makam orang soleh ini berada di pemakaman umum. Dalam Hasyiyah Ianah Ath-Thalibin: “Makam
para ulama boleh dibangun meskipun dengan kubah, untuk menghidupkan ziarah dan mencari berkah.
Al-Halabi berkata: ‘Meskipun di lahan umum”, dan ia memfatwakan hal itu. (Syekh Abu Bakr
Muhammad Syatha, Hasyiyah Ianah Ath-Thalibin, juz 2, hal. 137).
5
KELOMPOK 5
Pembagian Harta Warisan Sebelum Meninggal
A. Pengertian Warisan
Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli waris. Warisan
merupakan semua peninggalan pewaris yang berupa hak dan kewajiban atau semua harta kekayaan
yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia setelah dikurangi semua utangnya.
Warisan berasal dari bahasa Arab Al-miirats, dalam bahasa arab adalah bentuk masdar dari kata
waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah ‘berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain’. Atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
B. Hukum Membagi Warisan Sebelum Meninggal Dunia
Dalam Islam, pembagian harta warisan sebelum si pemilik harta meninggal dunia dikategorikan
sebagai hibah. Hibah yang kerap dilakukan yaitu melihat kondisi anak. Jika kondisinya kurang bagus,
dia bisa mendapatkan bagian yang maksimal ketimbang yang kondisi ekonominya berpunya.
Kembali ke persoalan warisan. Dalam hukum Islam, pembagian warisan dapat terjadi ketika si
pemilik harta meninggal dunia. Mengutip Ibn Hajar al-Haitsami orang yang masih hidup tidak
diperbolehkan mewariskan hartanya. : “Jikalau sang Bapak membagi hartanya di antara anakanaknya, di mana setiap mereka memiliki bagiannya dengan cara hibah, yang sesuai dengan syariah,
lengkap dengan syarat-syarat berupa ijab dan qabul, diberikan dan diizikan memegangnya, dan
kondisi yang memberikan hibah itu dalam kondisi sehat, maka hukumnya boleh. Sedangkan sang
Bapak membagi tidak diberikan kepemilikan secara syari'i, maka pembagiannya batil, tidak sah.
Jikalau dia meninggal, maka semua harta yang dimilikinya menjadi warisan bagi anak-anaknya,
dimana anak laki-laki menjadi bagian dua anak perempuan,” papar Ibn Hajar.
Pandangan hukum Islam terhadap pembagian harta warisan sebelum terjadinya kematian pada
diri pewaris, dapat diterima apabila ada kekhawatiran akan terjadi cekcok dan perselisihan antara para
ahli waris yang akan menimbulkan kemudaratan. Hal ini diatur pada pasal 187 ayat (1) sebagai
berikut :
1. Bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya
atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta
warisan dengan tugas :
Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda bergerak maupun tidak
bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai
harganya dengan uang.
Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan pasal 175 ayat (1)
sub a, b, dan c.
2. Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan
kepada ahli waris yang berhak (H. Zainal Abidin Abubakar, 1993).
Kebolehan pelaksanaan waris-mewarisi tanpa didasari oleh adanya kematian terhadap diri
pewaris, terkandung maksud untuk menghindari terjadinya perselisihan yang akhirnya terjadi
kemudaratan di antara para ahli waris dalam pelaksanaan waris-mewarisi. Dengan masih hidupnya
pewaris, maka perselisihan harta warisan kemungkinan besar dapat diatasi oleh pemilik harta yang
akan meninggal dunia. Oleh karena itu, maka jalan satu-satunya adalah pelaksanaan waris-mewarisi
harus dilaksanakan semasih pewaris masih hidup. Tetapi apabila tidak ada kemungkinan untuk
berselisih terhadap harta yang akan ditinggalkan oleh pewaris, maka pelaksanaan waris-mewarisi
harus dilaksanakan sesudah meninggalnya pewaris.
6
KELOMPOK 6
Hukum Khutbah Jum’at Tanpa Membaca Sholawat Nabi
A. Pengertian Khutbah Jum’at
Kata khutbah berasal dari bahasa Arab “khotbah” dari kata dasar masdar dan dari kata kerja yang
artinya pidato atau ceramah. Khutbah Jumat adalah khutbah yang dilakukan sebelum salat berjamaah
dua rakaat pada waktu zuhur di hari Jumat. Jumhur ulama telah sepakat bahwa khutbah salat Jumat
hukumnya wajib.
B. Hukum Khutbah Jum’at Tanpa Membaca Sholawat Nabi
Mengenai hukum membaca shalawat ketika khutbah Jumat, para ulama berbeda pendapat
Sebagian ulama memasukkan shalawat nabi sebagai rukun khutbah. Sementara sebagian ulama
lainnya tidak menganggap shalawat nabi sebagai rukun khutbah.
Menurut ulama Syafiiyah dan Hanabilah, membaca shalawat termasuk bagian dari rukun khutbah
Jumat. Sehingga jika khatib tidak membaca shalawat, maka khutbah Jumatnya tidak sah. Adapun
ulama yang tidak memasukkan shalawat nabi sebagai rukun khutbah adalah mazhab Hanafi dan
mayoritas mazhab Maliki. Sehingga tanpa membaca salawat Nabi maka salat Jum’atnya sah.
C. Rukun Khutbah Jum’at
Di dalam kitab Al-Fiqh ‘Alal Madzhabil Arba’ah (Fiqih Menurut Madzhab Empat) I/390-391, karya
Abdurrahman al-Jaziri, disebutkan pendapat empat madzhab tentang rukun-rukun khutbah Jumat.
Ringkasnya sebagai berikut:
Syafi’iyyah.
Mereka berpendapat, bahwa khutbah memiliki lima rukun :
Hamdalah, pada khutbah pertama dan kedua.
Shalawat Nabi, pada khutbah pertama dan kedua.
Wasiat takwa, pada khutbah pertama dan kedua.
Membaca satu ayat al-Quran, pada salah satu khutbah.
Mendoakan kebaikan untuk mukminin dan mukminat dalam perkara akhirat pada khutbah kedua.
Hanafiyyah.
Mereka berpendapat, bahwa khutbah memiliki satu rukun saja. Yaitu dzikir yang tidak
terikat atau bersyarat. Meliputi dzikir yang sedikit ataupun banyak. Sehingga untuk
melaksanakan khutbah yang wajib, cukup dengan ucapan hamdalah atau tasbih atau
tahlil. Rukun ini untuk khutbah pertama. Adapun pada khutbah kedua, hukumnya
sunnah.
Malikiyyah.
Mereka berpendapat, bahwa khutbah memiliki satu rukun saja. Yaitu, khutbah harus
berisi peringatan atau kabar gembira.
Hanabilah.
Mereka berpendapat, bahwa khutbah memiliki empat rukun :
Hamdalah, pada awal khutbah pertama dan kedua.
Shalawat Nabi.
Membaca satu ayat al-Quran.
Wasiat takwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
7
KELOMPOK 7
Bunga Bank Menurut Hukum Islam
A. Pengertian Bunga Bank
Bunga bank adalah biaya yang dibayarkan saat membayar jasa atas peminjaman uang yang
diberikan oleh bank dalam periode tertentu. Bunga ditentukan melalui persentase dari jumlah
simpanan atau jumlah pinjaman.
Bunga Bank sendiri terbagi atas suku bunga kredit dan suku bunga tabungan. Suku bunga kredit
merupakan harga tertentu yang harus dibayarkan nasabah kepada bank sebagai balas jasa atas
pinjaman yang diperoleh. Sementara, suku bunga tabungan adalah jumlah tertentu yang dibayarkan
oleh bank kepada nasabah sebagai balas jasa atas simpanan yang dilakukannya.
Kedua macam suku bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi
bank konvensional. Baik bunga kredit maupun bunga tabungan saling mempengaruhi satu sama
lainnya. Ketika bunga kredit tinggi, maka secara otomatis bunga tabungan ikut naik dan demikian
pula sebaliknya.
B. Hukum Bunga Bank
Bunga bank menurut islam dikategorikan sebagai riba. Pengertian Riba itu sendiri berarti
tambahan atau ziyadah. Menurut istilah, riba adalah sesuatu yang diambil sebagai kelebihan atau
tambahan dari modal atau dana yang dipinjamkan seperti halnya bunga yang diperoleh hasil
peminjaman atau hutang. Dalam Al-qur’an disebutkan bahwa riba haram hukumnya dan Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Tentu saja pelakunya diancam dengan hukuman yang
berat sebagaimana firman Allah sebagai berikut :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang
yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS Al Baqarah : 275)
Ada beberapa pendapat ulama mengenai bunga bank menurut syariah Islam:
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Menurut lembaga ini, hukum tentang bunga bank dan riba dijelaskan sebagai berikut :
Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al-Qur’an dan As-Sunnah,
Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal,
Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya
yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat (masih samar-samar, belum jelas
hukumnya sehingga butuh penelitian lebih lanjut)
2. Lajnah Bahsul Masa’il Nahdhatul Ulama.
Menurut lembaga yang berfungsi dalam memberikan fatwa atas permasalahan umat ini, hukum
bank dengan praktek bunga di dalamnya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat
ulama sehubungan dengan masalah ini yaitu :
Haram, sebab termasuk utang yang dipungut rentenir,
Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad atau perjanjian kredit,
Syubhat (tidak tentu halal haramnya), sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya.
Meskipun ada perbedaan pandangan, Lajnah memutuskan bahwa pilihan yang lebih berhati-hati
ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram.
8
KELOMPOK 8
Hukum Trasplantasi Organ Tubuh
A. Pengertian Transplantasi
Transplantasi organ adalah transplantasi atau cangkok atau pemindahan seluruh atau sebagian
organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari suatu bagian ke bagian yang lain pada tubuh yang
sama. Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak berfungsi pada
penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari donor. Donor organ dapat merupakan orang
yang masih hidup maupun telah meninggal.
Organ-organ yang dapat ditransplantasikan adalah jantung, transplantasi ginjal, hati, paru-paru,
pankreas, organ pencernaan, dan kelenjar timus, juga jaringan, termasuk cangkok tulang, tendon
(kedua hal ini biasa disebut cangkok mukuloskeletal), cangkok kornea, cangkok kulit, penanaman
Katup jantung buatan, saraf dan pembuluh darah. Di dunia, cangkok ginjal adalah yang terbanyak di
antara cangkok organ, diikuti oleh hati dan jantung. Jaringan yang paling banyak ditransplantasikan
adalah cangkok kornea dan mukuloskeletal jumlahnya 10 kali lebih banyak dari transplantasi organ.
B. Hukum Transplantasi Organ Tubuh
Transplantasi menurut hukum Islam Pada dasarnya, ada beberapa persoalan yang terjadi dalam
transplantasi, sehingga memerlukan dasar hukumnya, di antaranya :
Transplantasi organ tubuh dalam keadaan hidup
Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan hidup sehat,
maka hukumnya haram dengan alasan sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 195,
yang terjemahannya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik.” Ayat tersebut menjelaskan bahwa kita jangan gegabah dan
ceroboh dalam melakukan sesuatu, tetapi harus memperhatikan akibatnya, yang memungkinkan bisa
berakibat fatal bagi diri donor. Dan dalam hadits Rasulullah Saw : Tidak diperbolehkan adanya
bahaya pada diri sendiri dan tidak boleh membahayakan diri orang lain. (HR. Ibnu Majah).
Transplantasi donor dalam keadaan koma
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma hukumnya tetap haram
walaupun menurut dokter bahwa si donor itu akan segera meninggal, karena hal itu dapat
mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Tuhan. Hal tersebut dapat dikatakan euthanasia
atau mempercepat kematian. Tidak etis melakukan transplantasi dalam sekarat. Orang yang sehat,
seharusnya berusaha untuk menyembuhkan orang yang sedang koma itu, meskipun menurut dokter,
bahwa orang yang koma tersebut sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Sebab ada juga orang
yang sembuh kembali walaupun itu hanya sebagian kecil, padahal menurut medis, pasien tersebut
sudah tidak ada harapan untuk hidup. Oleh sebab itu, mengambil organ tubuh donor dalam keadaan
koma tidak boleh menurut Islam.
Transplantasi donor yang telah meninggal
Jumhur ulama Fiqh yang terdiri dari sebagian ulama Mazhab berpendapat bahwa memanfaatkan
organ tubuh manusia sebagai pengobatan dibolehkan dalam keadaan darurat. Transplantasi dapat
dilakukan dengan syarat si pendonor telah mewariskan sebelum ia meninggal atau dari ahli warisnya
(jika sudah wafat). Menurut jumhur ulama kebolehan transplantasi donor yang telah meninggal
alasannya bahwa transplantasi merupakan salah satu jenis pengobatan, sedangkan pengobatan
merupakan hal yang disuruh dan disyariatkan dalam Islam terdapat dua hal yang muḍ arat dalam
masalah ini yaitu antar memotong bagian tubuh yang suci dan dijaga dan antara menyelamatkan
kehidupan yang membutuhkan kepada organ tubuh mayat tersebut. Namun kemudharatan yang
terbesar adalah kemudharatan untuk menyelamatkan kehidupan manusia.
9
KELOMPOK 9
Tata Cara Menutup Aurat
A. Pengertian Menutup Aurat
Aurat berasal dari bahasa Arab yang secara literal berarti celah, kekurangan, sesuatu yang
memalukan atau sesuatu yang dipandang buruk dari anggota tubuh manusia dan yang membuat malu
bila dipandang. Menurut bahasa aurat berasal dari kata ﻋ ﻮ ر ةyang merupakan bagian tubuh manusia
yang wajib ditutupi dari pandangan orang lain dengan pakaian. Sedangkan aurat menurut Ibn
Manzhur adalah berarti malu, aib dan buruk.
B. Hukum Menutup Aurat
Menurut syariat Islam menutup aurat hukumnya wajib bagi setiap orang mukmin baik laki-laki
maupun perempuan terutama yang telah dewasa dan dilarang memperlihatkannya kepada orang lain
dengan sengaja tanpa ada alasan yang dibenarkan syariat, demikian juga syariat Islam pada dasarnya
memerintahkan kepada setiap mukmin, khususnya yang sudah memiliki nafsu birahi untuk tidak
melihat dan tidak memperlihatkan auratnya kepada orang lain terutama yang berlainan jenis.
Berikut ini tentang Perintah dan Ayat Quran Menutup Aurat :
1. Perintah dan Ayat Quran Menutup Aurat untuk Perempuan
Dalam Al Quran surat An Nur ayat 31 disebutkan perintah menutup aurat :
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya,
dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang
(biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau
para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan
laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang
yang beriman, agar kamu beruntung.”
2. Batas Aurat Perempuan
Aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Hal ini sesuai hadits
Abu Daud yang dikutip dari buku Panduan Shalat dalam Keadaan Darurat karya Drs. H. Nor Hadi.
Aisyah ra menceritakan bahwa adik kandungnya Asma’ binti Abu Bakar masuk ke rumah
Rasulullah dengan berpakaian tipis. Rasulullah pun berpaling darinya sambil bersabda, “Hai Asma’,
sesungguhnya seorang perempuan yang sudah akil baligh tidak boleh terlihat auratnya kecuali ini dan
ini (Nabi Muhammad SAW menunjuk pada wajah dan telapak tangannya).” (HR Abu Daud).
3. Perintah dan Ayat Quran Menutup Aurat untuk Laki-laki
Perintah dan ayat Quran menutup aurat untuk laki-laki disebutkan dalam surat An Nur ayat 30 :
“Katakanlah kepada kaum laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan
memelihara kemaluannya yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
4. Batas Aurat Laki-laki
Sedangkan aurat untuk laki-laki ada dua pendapat ulama mengenai ini. Pendapat pertama aurat
laki-laki antara pusar sampai lutut. Pendapat kedua aurat laki-laki hanya kemaluannya. Meskipun
demikian alangkah baiknya jika ketika hendak menunaikan sholat kaum laki-laki mengenakan celana
panjang atau sarung sehingga auratnya benar-benar tertutup.
10
KELOMPOK 10
Hutang Piutang Menurut Islam
A. Pengertian Hutang Piutang
Hutang piutang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu uang yang dipinjamkan dari
orang lain. Sedangkan piutang mempunyai arti uang yang dipinjamkan (dapat ditagih dari orang lain).
Istilah hutang-piutang dalam bahasa Arab yang sering di gunakan adalah al- Dain (jamaknya alDuyun) dan al-Qordh. Al-Qordh dalam bahasa Arab bermakna al-Qath’u yang berarti memotong,
sedangkan dalam terminologi Islam al-Qordh berarti menyerahkan uang (harta) kepada seseorang
yang memerlukannya dan si peminjam (berhutang) harus mengembalikan lagi harta itu kepada
pemiliknya. Sedangkan menurut Labib, hutang-piutang (al-Qordh) berarti memberikan sesuatu, baik
berupa uang atau benda berharga lainnya dalam jumlah tertentu kepada kepada orang lain dengan
perjanjian yang telah disepakati bersama, mengembalikan yang dihutangkan dengan jumlah yang
sama tidak kurang atau tidak lebih pada waktu yang telah ditentukan.
Hutang-piutang merupakan dua kata yang berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya.
Hutang secara etimologi adalah berkonotasi pada uang dan barang yang dipinjamkan dan mempunyai
kewajiban untuk membayar kembali apa yang sudah diterima dengan yang sama. Sedangkan menurut
Rasjid, hutang-piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan
membayar yang sama dengan itu. Memberikan hutang kepada seseorang berarti telah menolongnya.
Memberi hutang hukumnya sunnah, bahkan dapat menjadi wajib, apabila memberikan hutang kepada
orang yang terlantaratau orang yang sangat terlantar.
B. Dasar Hukum Hutang Piutang
Adapaun dasar hukum hutang piutang yang disyariatkan dalam Islam yang bersumber dari AlQur‟an adalah firman Allah Q.S Al-Maidah ayat 2 : Artinya : “Dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa”. Maksud dari ayat ini adalah bertolong-menolonglah kamu yang
menyenangkan hati orang banyak dan meridhakan Allah. Jika seorang manusia dapat melakukan yang
demikian itu, maka sempurnalah kebahagiaannya.
Transaksi hutang piutang terdapat dalam nilai luhur dan cita-cita sosial yang sangat tinggi yaitu
tolong menolong dalam kebaikan. Dengan demikian pada dasarnya pemberian hutang pada seseorang
harus didasari niat tulus sebagai usaha untuk menolong sesama dalam kebaikan. Ayat ini berarti juga
bahwa pemberian hutang harus didasarkan pada pengambilan manfaat dari suatu pekerjaan dianjurkan
oleh agama atau tidak ada larangannya dalam melakukannya. Sebagaimana firman Allah dalam surat
Al-Qasas ayat 77 : Artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.”
Berdasarkan nash tersebut maka jelas bahwa manusia diberi kesempatan yang seluas-luasnya
untuk berusaha dalam segala aspek kehidupan, sepanjang menyangkut manusia baik mengenai urusan
dunia yaitu dalam hal hutang piutang atau pun lainnya, selama tidak bertentangan dengan syari’at
Islam. Allah SWT memberikan rambu-rambu dalam melakukan hutang piutang agar berjalan sesuai
prinsip syari’ah yaitu menghindari penipuan dan perbuatan yang dilarang Allah. Pengaturan tersebut
yaitu anjuran agar setiap transaksi hutang piutang dilakukan secara tertulis. Tujuan dan hikmah
dibolehkannya hutang piutang adalah memberi kemudahan bagi umat manusia dalam pergaulan
hidup, karena umat manusia itu ada yang berkecukupan dan ada yang kekurangan. Orang yang
kekurangan dapat memanfaatkan hutang dari pihak yang berkecukupan.
11