Syamsul Rijal – Kosakata Batu dalam Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia
KOSAKATA BATU DALAM BAHASA-BAHASA
DAERAH DI INDONESIA: ANALISIS LINGUISTIK
BANDINGAN HISTORIS
Syamsul Rijal
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman
Jalan Pulau Flores No. 1 Samarinda
rijalpaddaitu@yahoo.com
ABSTRACT
The phenomenon of gemstone or in Indonesia known as “batu akik”
happened greatly in the early to the middle of 2015 and has become
attention among the people in Indonesia. Although it cannot be
identified precisely when the phenomenon of people massively wearing
and collecting gemstones has begun, this study aims to present an early
review of this phenomenon seeing from linguistics study. This study
revealed three linguistics points regarding to this phenomenon. First,
from several vocabulary of “batu”, most of them have the same
phonetic form, that is [batu]. Second, the variation of “batu”
vocabulary experienced changes in bilabial sound from /b/ to become
/w/; extra aspirated voice [Bh] in phoneme [b]; and bilabial phoneme
/b/ becomes dorsa velar /k/. Third, this study reveals that people’s
interest in wearing and collecting gemstone all over Indonesia
happened as the result of cultural similarity which lies in vocabulary
“batu” that exists almost in all tribes, regions, and cities in Indonesia.
Keywords: gemstone, local language, linguistic comparison
ABSTRAK
Fenomena maraknya batu akik di awal tahun 2015 sampai pertengahan
tahun 2015 telah menjadi sorotan di Indonesia. Entah, dari mana berasal
kegemaran memakai dan mengoleksi batu akik tersebut muncul di
Indonesia. Akan tetapi, peneletian ini mencoba memberi kajian awal
secara linguistik tentang fenomena tersebut. Oleh karena itu, ada tiga
hal yang menjadi simpulan hasil penelitian ini. Pertama, dari sejumlah
kosakata batu yang ditemukan, sebagian besar memiliki bentuk fonetis
yang sama, yakni [batu]. Kedua, bentuk variasi kosakata batu
mengalami perubahan bunyi bilabial /b/ menjadi /w/; penambahan
bunyi aspirasi [Bh] pada fonem /b/; dan perubahan fonem bilabial /b/
menjadi bunyi dorso velar /k/. Ketiga, kegemaran memakai dan
mengoleksi batu akik secara menyeluruh di Indonesia dapat
CaLLs, Volume 1 Nomor 1 Juni 2015
27
Syamsul Rijal – Kosakata Batu dalam Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia
diasumsikan berasal dari kesamaan budaya yang terdapat pada kosakata
batu yang hampir ada dalam semua suku, wilayah, dan kota di
Indonesia.
Kata Kunci: batu akik, bahasa daerah, linguistik bandingan
PENDAHULUAN
Zaman batu pada masa prasejarah berakhir bukan berarti batu-batuan telah
habis di permukaan bumi. Akan tetapi, zaman batu tersebut berakhir karena
pradaban manusia yang telah menemukan besi dan perunggu sebagai perkakas.
Pertanyaannya sekarang, apakah fenomena yang sedang menjadi tren di Indonesia
dapat dikatakan kembali ke zaman batu. Istilah zaman batu yang pernah dipelajari
dalam pelajaran sejarah sepertinya telah bergeser dari istilah zaman batu yang
sedang tren sekarang di Indonesia.
Sebagian besar masyarakat Indonesia telah kecanduan mengoleksi atau sekadar
memakai batu permata. Pemakai dan penggemarnya tidak pandang umur,
pekerjaan, dan jenis kelamin. Mulai laki-laki, perempuan, anak-anak, orang tua,
guru, dosen, polisi, pegawai puskesmas, tukang kebun, petani, tukang becak, dan
lain-lain, semuanya kecanduan memakai dan mengolekesi batu permata.
Fenomena maraknya penggunaan batu akik oleh masyarakat Indonesia
inilah yang menarik perhatian penulis untuk meneliti tentang batu akik. Oleh karena
itu, ada beberapa masalah yang ingin diketahui. Pertama, bentuk-bentuk kosakata
batu dari beberapa bahasa daerah di Indonesia. Kedua, perubahan fonetis kosakata
batu dari beberapa bahasa daerah di Indonesia. Ketiga, penyebab cepatnya
menyebar kegemaran masyarakat memakai dan mengoleksi batu akik.
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
Fenomena maraknya batu permata sekarang ini tentu disebabkan beberapa
faktor. Ada empat hal yang menyebakan batu permata sangat laris di Indonesia
(Rijal, 2015:2). Hal-hal tersebut ada yang logis dan ada pula yang kadang-kadang
tidak masuk akal. Beragam cara yang berbeda dalam menilai keistimewaan batu
permata. Perbedaan cara pandang itu bergantung pada cara persepsi dan cara
berpikir seseorang yang tentunya dipengaruhi oleh sistem kebudayaan yang dianut
oleh masyarakat.
Faktor pertama adalah batu permata laris karena keindahan warna yang
dipancarkan oleh jenis batuan tertentu. Kilauan warna yang dihasilkan oleh batu
permata yang sudah dipoles sangat menarik perhatian orang. Apalagi jika batu-batu
tersebut dipajang di dalam etalase kaca dengan sorotan lampu yang terang.
28
CaLLs, Volume 1 Nomor 1 Juni 2015
Syamsul Rijal – Kosakata Batu dalam Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia
Beberapa jenis batuan tertentu memang memiliki warna alami yang sangat indah
jika dijadikan asesoris di badan. Penyebab pertama inilah yang banyak membuat
kaum perempuan tertarik mengoleksi batu permata.
Faktor kedua adalah batu permata laris karena bentuk atau motif yang dimiliki
sebuah batu setelah digosok dan dipoles. Kepiawaian tangan-tangan perajin batu
permata dalam memoles jenis batu tertentu dapat menciptakan motif yang unik dan
menarik pencinta batu. Banyak batu permata yang laku dengan harga yang sangat
mahal hanya karena motif yang unik dari batu tersebut. Ada batu permata yang
bermotif tulisan Allah laku terjual dengan harga miliaran rupiah. Ada juga batu
permata yang bermotif gambar barongsai ditawari dengan nilai triliunan rupiah.
Selain itu, berbagai motif batu permata laku terjual karena motifnya yang
dihubungkan dengan bentuk atau rupa tertentu.
Faktor ketiga adalah batu permata laris karena kelangkaan jenis batu tertentu
yang beredar di pasaran. Beberapa jenis batu yang beredar di pasaran merupakan
jenis batu yang langka atau susah didapatkan. Misalnya, batu sejenis ruby yang
berwarna merah delima; merupakan jenis batu yang langka bagi masyarakat
Indonesia. Selain itu, ada jenis batu pirus, giok, dan zamrud yang biasanya
didatangkan dari luar negeri sehingga kandungan mineralnya berbeda dengan jenis
batu pirus, giok, dan zamrud yang ada di Indonesia. Karena kelangkaan itulah,
masyarakat penggemar batu permata semakin memburunya meskipun dengan harga
yang sangat mahal.
Faktor keempat adalah batu permata laris karena cerita, mitos, legenda, atau
khasiat yang melekat pada batu itu. Batu permata yang langka, memiliki warna
menarik, dan bentuk yang unik, akan semakin mahal jika penjualnya menambahkan
cerita atau mitos tentang batu itu. Beberapa pemburu batu permata sengaja mencari
batu tertentu dengan maksud dijadikan sebagai jimat. Selain jimat, beberapa jenis
batu dianggap memiliki khasiat tertentu yang biasa dipercaya sebagai obat, pelaris
dagangan, penambah kepercayaan diri, penambah relasi, penambah vitalitas,
penambah daya tarik, penentram jiwa, dan lain-lain.
Sebuah batu permata dapat dijual murah sekaligus dapat pula dijual dengan
harga yang sangat mahal. Murah dan mahalnya batu permata tersebut bergantung
pada cerita yang melekat pada batu tersebut. Inilah yang dimaksud ada unsur sastra
yang berperan dalam kelarisan batu permata. Jika penjual batu permata piawai
dalam bercerita, dan mampu menambahkan cerita mistis dan khasiat pada setiap
jenis batu yang djualnya, pasti batu-batu permatanya ditawar dengan harga yang
mahal. Itulah nilai tambah yang melekat pada batu permata tersebut sehingga dapat
memengaruhi nilai jualnya.
Mitos atau cerita unik tentang khasiat batu permata merupakan salah satu
kajian ilmu budaya yang dapat dipelajari melalui ilmu sastra, khususnya sastra lama
CaLLs, Volume 1 Nomor 1 Juni 2015
29
Syamsul Rijal – Kosakata Batu dalam Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia
atau sastra sejarah. Masyarakat Indonesia tidak dapat dipisahkan dari mitos atau
misteri karena mitos-mitos tersebut telah berpadu dalam budaya manusia Indonesia
sehingga hampir segala sesuatunya selalu dikaitkan dengan mitos, baik mitos
tradisional maupun mitos modern.
Permata dan akik atau sejenisnya sebenarnya sudah sejak lama digemari
beberapa kalangan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, tidak seheboh dengan
kegemaran masyarakat saat ini. Hal ini dipicu oleh adanya beberapa publik figur
atau orang-orang terkenal yang memakai batu permata tertentu. Sejak Presiden
SBY menghadiahkan batu bacan kepada Presiden Amerika Serikat, Barrack
Obama, batu bacan semakin terkenal dan seolah-oleh menjadi iklan bagi
masyarakat untuk ikut memakai batu bacan.
Kalau ditelusuri lebih jauh lagi, fenomena batu permata yang menjadi tren
sekarang ini merupakan bagian dari kehidupan postmodernisme yang terjadi dalam
masyarakat. Era pemikiran modern yang selalu menyandarkan segala sesuatu atas
nama logika atau rasio telah dilalui oleh masyarakat. Sementara, tampak kelihatan
bahwa rasio atau logika tidak dapat menyelesaikan semua persoalan manusia secara
keseluruhan karena ada sendi-sendi metafisika yang tidak dapat diselesaikan
dengan rasio. Oleh karena itu, Refly mengatakan “kelemahan rasionalisme dapat
dipenuhi dengan menggunakan kepekaan emosi dan kedalaman spritualisme”.
Maraknya batu permata ini merupakan bagian dari efek postmodernisme yang
kadang-kadang memandang sesuatu secara emosional dan spritual. Hal lain yang
dapat dijumpai dari efek postmodernisme ini adalah banyaknya bermunculan
pengobatan alternatif yang mengandalkan obat-obat herbal. Sebagian masyarakat
Indonesia terlalu menyandarkan pemahamannya melalui spritualisme, termasuk
kepercayaan terhadap ajaran agama. Karena kadang-kadang sesuatu tidak dapat
diselesaikan dengan pemikiran logis, manusia selalu kembali berserah diri kepada
Tuhan lalu berusaha menyelesaikan sesuatu secara spritual.
Geografi Dialek
Semua bahasa di dunia ini memiliki variasi atau diferensiasi. Variasi iu dapat
berupa variasi secara individu dan dapat pula berupa variasi secara geografis.
Variasi geografis terbentuk dari pola-pola tertentu seperti pola sosial yang bersifat
kedaerahan atau geografis. Variasi secara geografis ini juga bisa disebut dialek,
yang secara keilmuan disebut dialektologi (Keraf, 1984: 143).
Geografi dialek adalah nama lain dialektologi. Geografi dialek juga biasa
disebut dengan dialek regional. Geografi dialek mengkaji tentang variasi-variasi
bahasa berdasarkan perbedaan lokal (tempat) dalam suatu wilayah bahasa (Nadra
dan Reniwati, 2009:20).
30
CaLLs, Volume 1 Nomor 1 Juni 2015
Syamsul Rijal – Kosakata Batu dalam Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia
Korespondensi Bunyi
Perbandingan kata-kata secara historis membutuhkan waktu yang panjang dan
rumit karena harus melali beberapa metode rekonstruksi untuk mengetahui fonem
purba atau fonem proto. Untuk memudahkan metode tersebut, dipilihlah bahasa
Melayu, yakni glos /batu/ sebagai fonem dasar untuk membandingkan kosakata
batu dari bahasa lain. Segmen-segmen yang berkorespondensi pada glos yang sama
dari berbagai bahasa daerah diperbandingkan secara fonetis (Keraf, 1984:49).
Untuk menentukan kata batu sebagai glos yang purba dan proto, digunakan
metode kosakata dasar yang menunjukkan bahwa kosakata batu sebagai induk dari
bahasa-bahasa yang lain. Setiap bahasa memiliki sejumlah perbendaharaan kata
yang tidak gampang berubah. Kata-kata yang tidak gampang berubah adalah katakata mengenai penamaan anggota tubuh; kata-kata ganti; kata-kata yang
menyatakan perasaan; kata-kata yang berkaiatan dengan cuaca dan alam; kata-kata
bilangan; dan kata-kata yang berhubungan dengan perlengkapan rumah tangga
yang dianggap ada sejak permulaan (Keraf, 1984:115). Asumsi selanjutnya, kata
batu dianggap kata yang berkaitan dengan cuaca dan alam. Oleh karena itu, [batu]
termasuk kosakata dasar yang lebih tua dibandingkan kosakata batu dalam bahasa
daerah yang lain.
Dalam ilmu perkamusan, kata batu termasuk genus umum dalam bahasa
Melayu yang digunakan di Malayasia, Indonesia, Singapura, dan Brunei
Darussalam. Beberapa kata umum yang sepadan maknanya digunakan secara
bersama oleh masyarakat Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Banyak kata atau istilah yang dimuat dalam kamus istilah atau glosari yang
diterbitkan di bawah rangkaian kerja sama MABBIM yang merupkan singkatan
dari Majlis Bahasa Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia (Ahmad, 2010:82).
Selain itu, teori lain yang digunakan untuk memilih batu sebagai glos adalah
pembidangan sumber ambilan (Chaer, 2007:34). Asal-usul bahasa Indonesia dapat
bersumber dari kosakata asli, kosakata serapan, kosakata Nusantara, dan kosakata
serapan asing. Kosakata asli adalah kosakata yang berasal dari bahasa Melayu,
termasuk kata batu. Dengan demikian, kata batu-lah yang paling tepat dijadikan
bahasa sumber dibandinmgkan kosakata dari bahasa daerah lain. Jika ada kosakata
yang berbeda dari [batu], itu dianggap sebagai variasi dari leksem batu.
Klasifikasi Bunyi Bahasa
Secara umum, bunyi bahasa dapat dibagi dua, yakni vokal dan konsonan atau
biasa juga disebut vokoid dan kontoid (Muslich, 2008:46). Bunyi vokoid (/a/, /i/,
/u/, /e/, /o/) dihasilkan alat ucap tanpa adanya gangguan sedangkan kontoid (/b/, /c/,
CaLLs, Volume 1 Nomor 1 Juni 2015
31
Syamsul Rijal – Kosakata Batu dalam Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia
/d/, /f/, /g/, dst.) adanya gangguan berupa penyempitan alat ucap tertentu. Secara
praktis, Marsono (2008:60) mengklasifikasikan konsonan sebagai berikut:
a. cara hambat atau cara artikulasi;
b. tempat hambatan atau tempat artikulasi;
c. hubungan posisional antara penghambat-penghambatnya atau hubungan antara
artikulator aktif dengan pasif (striktur);
d. bergetar tidaknya pita suara.
Klasifikasi yang paling mudah diingat adalah bergetarnya tidaknya pita suara
ketika bunyi diucapkan. Klasifikasi ini membedakan antara bunyi mati atau bunyi
tak bersuara (/k/, /p/, /t/, /s/) dan bunyi hidup atau bunyi bersuara (/g/, /b/, /d/, z/).
Berdasarkan mekanisme artikulasi, Muslich (2008:51) membagi atas sembilan jenis
bunyi. Bunyi-bunyi tersebut adalah (1) bunyi bilabial, misalnya bunyi /p/, /b/, /m/,
dan /w/; (2) bunyi labio-dental, misalnya bunyi /f/ dan /v/; (3) bunyi apiko-dental,
misalnya bunyi /t/ dan /d/; (4) bunyi apiko-alveolar, misalnya /t/ dan /n/ pada bahasa
Jawa; (5) bunyi lamino palatal, misalnya bunyi /c/, dan /j/; (6) bunyi dorso-velar,
misalnya bunyi /k/ dan /g/; (7) bunyi dosro-uvular, misalnya bunyi /q/ dan /R/; (8)
bunyi laringal, misalnya bunyi /h/; dan (9) bunyi glotal, misalnya bunyi /?/ atau
hamzah.
Berdasarkan cara hambat atau cara gangguan arus udara yang keluar, bunyi
bahasa dapat dibedakan atas (1) bunyi stop atau hambat; (2) bunyi kontinum atau
alir; (3) bunyi afrikatif atau paduan; (4) bunyi frikatif atau geser; (5) bunyi tril atau
getar; (6) bunyi lateral atau samping; dan (7) bunyi nasal (hidung) (Muslich,
2008:55).
Perubahan Bunyi
Chaer (2009:96) memerinci lima jenis penyebab perubahan bunyi bahasa.
Perubahan tersebut adalah sebagai brikut ini.
1. Akibat adanya koartikulasi; menghasilkan perubahan bunyi labialisasi,
retrofleksi, palatalisasi, velarisasi, faringalisasi, dan glotalisasi.
2. Akibat pengaruh bunyi lingkungan; menghasilkan perubahan bunyi asimilasi
dan disimilasi
3. Akibat distribusi; menghasilkan perubahan bunyi aspirasi, pelepasan (release),
pemaduan (pengafrikatan), harmonisasi, dan netralisasi.
4. Akibat proses morfologi, menghasilkan perubahan berupa pemunculan fonem,
pelesapan fonem, peluluhan fonem, pergeseran fonem, dan perubahan fonem.
5. Akibat dari perkembangan sejarah; menghasilkan perubahan bunyi berupa
kontraksi (penyingkatan), metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan
anaftiksis.
32
CaLLs, Volume 1 Nomor 1 Juni 2015
Syamsul Rijal – Kosakata Batu dalam Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia
Salah satu proses perubahan bunyi yang terjadi pada kata batu adalah aspirasi
akibat adanya distribusi bunyi. Aspirasi adalah pengucapan suatu bunyi yang
disertai dengan hembusan keluarnya udara keras sehingga terdengar bunyi [h]
(Chaer, 2009:99). Bunyi ini dapat dijumpai pada kata bakti, dan darma sering
diucapkan menjadi [bhakti] dan [dharma].
METODE PENELITIAN
Tulisan ini diawali dengan maraknya penggunaan batu akik dalam masyarakat
Indonesia. Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif dengan membandingkan
berbagai nama atau kosakata batu dari bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
Pengumpulan data dilakukan secara acak, yakni mencatat semua kosakata batu dari
beberapa bahasa daerah di Indonesia. Kosakata batu tersebut diambil langsung dari
penutur asli bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia. Data-data tersebut
dianalisis berdasarkan kesamaan dan kemiripan fonetisnya untuk mengetahui
tujuan penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Beberapa data yang ditemukan merupakan kosakata yang digunakan oleh
masyarakat dari berbagai bahasa daerah di Indonesia. Hampir di seluruh pulau besar
di Indonesia ditemukan kosakata batu yang sama dan mirip. Deskripsi data dan
analisisnya dapat dilihat lebih lengkap dalam pembahasan berikut ini.
Bentuk-bentuk Kosakata Batu dari Beberapa Bahasa Daerah di Indonesia
Berikut ditampilkan bentuk-bentuk kosakata batu dari sejumlah bahasa daerah
di Indonesia. Kosakata batu ini juga ditampilkan secara geografis berdasarkan
wilayah atau kota di Indonesia.
Bahasa
Daerah/wilayah/kota
Padang
Palembang
Medan
Jambi
Lampung
Batak Karo
Jawa
Sunda
CaLLs, Volume 1 Nomor 1 Juni 2015
Kosakata batu
batu
batu
batu
batu
batu
batu
watu
batu
33
Syamsul Rijal – Kosakata Batu dalam Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia
Lombok/Sasak
Bali
Banjar
Dayak
Kutai
Tidung
Bugis
Makassar
Mandar
Toraja
Muna
Buton
Sangir
Kaili/Palu
Tolaki/Kendari
batu
watu
batu
batu
batu
batu
batu
batu
watu
batu
kontu
bhatu
watu
watu
watu
Dari 23 bahasa daerah yang dikumpulkan di atas, terlihat dengan jelas, bahwa
kosakata batu di seluruh Indonesia lebih banyak yang sama. Ada 15 data yang sama
persis bentuk kosakata batu ini. Sementara, ada 8 data yang mengalami perubahan
fonetis. Perubahan fonetis tersebut selanjutnya dibahas dalam analisis di bawah ini.
Perubahan Fonetis Kosakata Batu dari Beberapa Bahasa Daerah di Indonesia
Dari 23 kosakata batu ari berbagai bahasa daerah di Indonesia, terdapat 8
bentuk kosakata yang berbeda dengan kata batu. Bentuk-bentuk kosakata tersebut
adalah sebagai berikut ini.
Bahasa
Daerah/wilayah/kota
Jawa
Bali
Mandar
Sangir
Kaili/Palu
Tolaki/Kendari
Buton
Muna
34
Kosakata batu
watu
watu
watu
watu
watu
watu
bhatu
kontu
CaLLs, Volume 1 Nomor 1 Juni 2015
Syamsul Rijal – Kosakata Batu dalam Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia
Kedelapan kosakata di atas akan dianalisis secara fonetis untuk melihat
kesamaan ciri fonetis dan perubahan fonem lainnya.
(1) watu
Kata [watu] ini mewakili 6 kata yang sama, yakni bahasa Jawa, Bali, Mandar,
Sangir, Kaili, dan Tolaki. Perbedaan antara kata [batu] dan [watu] hanya terletak
pada fonem /b/ menjadi fonem /w/. Dari empat fonem kata [batu], hanya ada satu
fonem yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa kedua kata tersebut adalah kata yang
sama yang telah mengalami variasi ke dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia.
Hal ini sangat mendasar, sebab perubahan fonem tersebut masih dalam lingkungan
yang sama, yakni bunyi bilabial /b/ menjadi bunyi bilabial /w/.
Dengan demikian, kata [batu] dan [watu] masih dianggap bahasa yang sama.
Hal ini berarti, masyarakat pemakai bahasa Jawa, Bali, Mandar, Sangir, Kaili, dan
Tolaki, secara fonemis dapat memahami makna kata [batu] yang terdapat dalam
bahasa-bahasa di Pulau Sumatra (Padang, Lampung, Batak, Palembang, Jambi,
Medan); Sulawesi (Bugis, Makassar, Toraja); dan Kalimantan (Banjar, Dayak,
Kutai, Tidung).
(2) bhatu
Salah satu kosakata batu yang sangat sedikit perubahannya adalah kata [bhatu]
dalam bahasa Buton. Antara kata [batu] dan [bhatu], hanya penambahan fonem /h/
yang membedakan kedua kata tersebut. Kata [bhatu] dalam bahasa Buton mendapat
bunyi aspirasi /h/ setelah fonem /b/. Menurut Muslich (2008:67), bunyi yang ikut
serta setelah bunyi utama diucapkan disebut bunyi pengiring. Jadi, pelafalan kata
[bhatu] merupakan iringin bunyi aspirasi [Bh] yang dihasilkan dengan cara arus
udara yang keluar lewat mulut terlalu keras.
(3) kontu
Satu-satunya kosakata batu yang ditemukan agak jauh berbeda dengan kata
[batu] adalah kata [kontu] dalam bahasa Muna di Sulawesi Tenggara. Antara kata
[batu] dan [kontu], hanya fonem /t/ dan /u/ yang sama. Sementara, fonem /k/ pada
silaba [kon] yang merupakan bunyi dorso velar mengalami perubahan signifikan
karena jauh dari lingkungan fonem /b/ yang merupakan bunyi bilabial. Akan tetapi,
kedua kosakata ini, yakni [batu] dan [kontu] masih memiliki kekerabatan sebab
masih adanya persamaan bunyi akhir [tu] yang merupakan akar kata dari kata
[batu].
CaLLs, Volume 1 Nomor 1 Juni 2015
35
Syamsul Rijal – Kosakata Batu dalam Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia
Penyebab Cepatnya Menyebar Kegemaran Masyarakat Memakai dan
Mengoleksi Batu Cincin
Seperti yang telah dideskripsikan pada pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa
sebagian besar bahasa daerah di Indonesia menggunakan kosakata [batu] untuk
menamai benda keras dan padat yang berasal dari bumi, tetapi bukan logam
(KBBI:147) yang digunakan di batu akik sebagai hiasan mata cincin. Dari 23
kosakata batu yang ditemukan, ada 15 kosakata yang sama untuk menamakan batu
sebagai benda. Sementara 7 kosakata yang lain memiliki ciri kesamaan fonetis dan
masih dianggap sebagai variasi dari kata [batu].
Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian kosakata batu ini telah digunakan
secara menyeluruh di Indonesia terbukti dengan adanya kesamaan kosakata yang
ditemukan dalam penelitian ini. Kesamaan ciri fonetik linguistik dalam berbagai
masyarakat dapat memberi indikasi adanya kesamaan budaya dalam masyarakat
tersebut. Dengan ditemukannya kesamaan dan kemiripan kosakata batu ini dalam
bahasa-bahasa daerah di Indonesia, dapat memberikan informasi bahwa
pemahaman dan budaya memakai batu dalam masyarakat juga memiliki kesamaan.
Karena hampir seluruh suku di Indonesia memiliki kosakata [batu] atau variasi
[watu], berarti pemahaman tentang budaya memakai batu tersebut sudah ada sejak
Nusantara ini dihuni oleh manusia.
Kesamaan ciri fonetis linguistik sangat erat kaitannya dengan kesamaan
budaya. Jika dalam satu suku atau masyarakat terdapat kosakata yang sama dengan
suku lain, berarti besar kemungkinan suku tersebut memiliki kebiasaan atau budaya
yang sama. Oleh karena itu, kebiasaan memakai batu sebagai hiasan mata cincin
(batu akik) memang sudah ada dalam budaya masyarakat atau suku yang memiliki
kesamaan ciri linguistik, yakni sama-sama memiliki kosakata batu, watu, dan
bhatu.
Analisis di atas dapat memberi penjelasan lebih jauh lagi tentang fenomena
maraknya penggemar batu akik di Indonesia. Kegemaran memakai dan mengoleksi
batu akik secara menyeluruh di Indonesia dapat diasumsikan berasal dari kesamaan
kosakata batu yang hampir terdapat dalam semua suku, wilayah, dan kota di
Indonesia.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, ada beberapa hal yang dapat
disimpulkan dalam penelitian ini. Pertama, dari sejumlah kosakata batu yang
ditemukan, sebagian besar memiliki bentuk fonetis yang sama, yakni [batu].
Kedua, bentuk variasi kosakata batu mengalami perubahan bunyi bilabial /b/
36
CaLLs, Volume 1 Nomor 1 Juni 2015
Syamsul Rijal – Kosakata Batu dalam Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia
menjadi /w/; penambahan bunyi aspirasi [Bh] pada fonem /b/; dan perubahan fonem
bilabial /b/ menjadi bunyi dorso velar /k/. Ketiga, kegemaran memakai dan
mengoleksi batu akik secara menyeluruh di Indonesia dapat diasumsikan berasal
dari kesamaan budaya yang terdapat pada kosakata batu yang hampir ada dalam
semua suku, wilayah, dan kota di Indonesia.
Saran
Ide awal dari penelitian ini berasal dari fenomena aktual dalam masyarakat
Indonesia di awal tahun 2015 yang sangat gemar memakai dan mengoleksi batu
akik. Entah dari mana kebiasaan memakai dan mengoleksi batu akik ini tiba-tiba
muncul secara merata di seluruh Indonesia. Penelitian inilah yang mencoba
memberikan jawaban ilmiah secara linguistik dan budaya kepada pembaca. Akan
tetapi, tentu penelitian ini belum dapat menjawab secara tuntas fenomena maraknya
batu akik di Indonesia. Oleh karena itu, para peneliti lain dapat melanjutkan kajian
awal ini dengan kajian yang lebih mendalam dan spesifik mengenai budaya
memakai dan mengoleksi batu akik di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Ibrahim Haji. 2010. “Perkamusan dan Ensiklopedia: Perbandingan Ciri”.
Jurnal Pengajian Melayu Jilid 21, Desember 2010. Akademi Pengajian
Melayu Universiti Malaya. Kuala Lumpur-Malaysia.
Chaer, Abdul. 2007. Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
_______. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi
Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Keraf, Gorys. 1984. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik: Edisi Keempat. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Marsono. 2008. Fonetik. Cetakan keenam Oktober 2008. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Moeliono, Anton. 1997. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif Sistem
Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
CaLLs, Volume 1 Nomor 1 Juni 2015
37
Syamsul Rijal – Kosakata Batu dalam Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia
Nadra dan Reniwati. 2009. Dialektologi: Teori dan Metode. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
Rijal, Syamsul. 2015. “Sastra di Balik Kelarisan Batu Permata”. Kaltim Post: Opini,
Edisi Selasa, 7 April 2015 hal.2.
Waridah, Ernawati. 2008. EYD dan Seputar Kebahasa-Indonesiaan. Jakarta:
Kawan Pustaka.
38
CaLLs, Volume 1 Nomor 1 Juni 2015