Tinjauan Teoritik tentang Semiotik
Ni Wayan Sartini
Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Airlangga
Abstract
Although interests in signs and the way people communicate have had a long history, modern semiotic
analysis can be said to h ave begun with two names, namely Swiss linguist Ferdinand de Saussure and
American philosopher Charles Sanders Peirce. Although both were concerned with signs, they differed to
each other in some respect. Saussure, for example, divided sign into two compon ents, the signifier and the
signified, and suggested that the relationship between signifier and signified was crucial and important for
the development of semiotics.
Keyword: semiotic, semiology, sign, signifier, signified.
Sebagai makhluk yang hidup d i dalam masyarakat dan selalu melakukan interaksi dengan
masyarakat lainnya tentu membutuhkan suatu alat komunikasi agar bisa saling memahami
tentang suatu hal. Apa yang perlu dipahami? Banyak hal salah satunya adalah tanda. Supaya
tanda itu bisa dipahami secara benar dan sama mem-butuhkan konsep yang sama supaya tidak
terjadi misunderstanding atau salah pengertian. Namun pada kenyataannya tanda itu tidak
selamanya bisa dipahami secara benar dan sama di antara masyara -kat. Setiap orang memiliki
interpretasi makna tersendiri dan tentu saja dengan berbagai alasan yang melatar -belakangi-nya.
Ilmu yang membahas tentang tanda disebut semiotik ( the study of signs). Masyarakat selalu
bertanya apa yang dimaksud dengan tanda? Banyak tanda dalam kehidupan sehari -hari kita
seperti tanda-tanda lalu lintas, tanda-tanda adanya suatu peristiwa atau tanda -tanda lainnya.
Semiotik meliputi studi seluruh tanda -tanda tersebut sehingga masyarakat berasumsi bahwa
semiotik hanya meliputi tanda -tanda visual (visual sign). Di samping itu sebenarnya masih
banyak hal lain yang dapat kita jelaskan seperti tanda yang dapat berupa gambaran, lukisan dan
foto sehingga tanda juga termasuk dalam seni dan fotografi. Atau tanda juga bisa mengacu pada
kata-kata, bunyi-bunyi dan bahasa tubuh (body language). Untuk memahami semiotik lebih jauh
ada baiknya kita membahas beberapa tokoh semiotik dan pemikiran -pemikirannya dalam
semiotik.
Tokoh Semiotik
Kalau kita telusuri dalam buku -buku semiotik yang ada,hampir sebagian besar menyebutkan
bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de de Saussure
(1857 - 1913). de Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak
dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916).
Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders Peirce (1839 - 1914)
seorang filsuf Amerika, Charles Williams Morris (1901 - 1979) yang mengembangkan
behaviourist semiotics. Kemudian yang mengembang -kan teori-teori semiotik modern adalah
Roland Barthes (1915 - 1980), Algirdas Greimas (1917 - 1992), Yuri Lotman (1922 - 1993),
Christian Metz (193 - 1993), Umberco Eco (1932),dan Julia Kristeva (1941). Linguis selain de
Saussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev (1899 - 1966) dan
Roman Jakobson (1896 - 1982). Dalam ilmu antropologi ada Claude Levi Strauss (1980) dan
Jacues Lacan (1901 - 1981) dalam psikoanalisis.
Strukturalisme adalah sebuah metode yang telah diacu oleh banyak ahli semiotik, hal i tu
didasarkan pada model linguistik struktural de Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan
sistem tanda sebagai bahasa-bahasa, Strauss dengan mith, kinship dan totemisme , Lacan dengan
unconcious, Barthes dan Greimas dengan grammar of narrative. Mereka bekerja mencari struktur
dalam (deep structure) dari bentuk struktur luar (surface structure) sebuah fenomena. Semiotik
sosial kontemporer telah bergerak di luar perhatian struktural yaitu menganalisis hubungan hubungan internal bagian-bagian dengan a self contained system, dan mencoba mengembangkan
penggunaan tanda dalam situasi sosial yang spesifik.
Melihat kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang strukturalisme dalam
konteks perkem-bangan kajian budaya harus dilakukan dalam kontek s perkembangannya ke
semiotik yang seolah-olah lahir sesu-dahnya. Sebenarnya bibitnya telah lahir bersama dalam
kuliah-kuliah Ferdinad de Saussure yang sekaligus melahirkan strukturalisme dan semiotik (oleh
de Saussure disebut semiologi yaitu ilmu tentang kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat)
(Hoed, 2002:1). Jadi tidak dapat disangkal lagi bahwa lahirnya semiotik khususnya di Eropa tidak
dapat dilepaskan dari bayangan strukturalisme yang mendahuluinya dalam perkembangan ilmu
pengetahuan budaya. Perkemban gan dari strukturalis ke semiotik dapat dibagi dua yakni yang
sifatnya melanjutkan sehingga ciri -ciri strukturalismenya masih sangat kelihatan (kontinuitas) dan
yang sifatnya mulai meninggalkan sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan ke -budayaan
sebagai sistem tanda (evolusi).
Makna Kata ‘Tanda’
Bagi de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem
dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi
yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas. de Saussure memberikan contoh
kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas
dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant / arbor/ disebutnya sebagai citra aku stik yang
mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie. Tidak ada
hubungan langsung dan alamiah antara penanda ( signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini
disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubung -an itu adalah mufakat
(konvensi) …’a body of necessary conventions adopted by society to enable members of society
to use their language faculty (de Saussure, 1986:10).
Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemu -fakatan
(konvensi) di atas dasar yang tak beralasan ( unreasonable) atau sewenang-wenang. Sebagai
contoh, kata bunga yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi
dengan konsep tentang bunga dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan adany a batas-batas
(boundaries) yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang
mendemonstrasikan kesewenang -wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi
bunga itu tidak berarti apa-apa.
Petanda selalu akan lepas dar i jang-kauan dan konsekuensinya, makna pun tidak pernah dapat
sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles disepanjang rantai penanda
lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam tataran para -digmatik
maupun sintagmatik. Ini dimung-kinkan karena operasi sebuah sistem bahasa menurut de
Saussure dilandasi oleh prinsip negative difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak
diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is
not (Budiman, 2002:30). Kucing adalah kucing karena ia bukan anjing atau bajing.
Dengan demikian ilmu yang mempe -lajari tentang tanda-tanda adalah semiotik. Semiotics is
concerned with everything that can be taken as a sign. Semiotics adalah studi yang tidak hanya
merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan sehari-hari, tetapi juga segala sesuatu yang
merujuk pada bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture , dan objects. Sementara
de Saussure me-nyebut ilmu ini dengan semiologi yakni sebuah studi tentang aturan tanda -tanda
sebagai bagian dari kehidupan sosial ( a science which studies the role of signs as a part of social
life). Bagi Peirce (1931), semiotics was formal doctrine of signs which was closely related to
logic. Tanda menurut Peirce adalah something which stands to somebody for something in some
respect or capacity. Kemudian ia juga mengatakan bahwa every thought is a sign.
van Zoest (1993) memberikan lima ciri dari tanda. Pertama, tanda harus dapat diamati agar
dapat berfungsi sebagai tanda. Sebagai contoh van Zoest menggambarkan bahwa di pantai ada
orang-orang duduk dalam kubangan pasir, di sekitar kubangan di buat semacam dinding
pengaman (lekuk) dari pasir dan pada dinding itu diletakkan kerang -kerang yang sedemikian rupa
sehingga membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita mengambil kesimpulan bahwa di sana duduk
orang-orang Jerman dari Duisburg. Kita bisa sampai pada kesimpulan itu, karena kita tahu bahwa
kata tersebut menandakan sebuah kota di Republik Bond. Kita mengangg ap dan menginterpretasikannya sebagai tanda.
Kedua, tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata Duisburg dapat
ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan dengan pasir, kerang atau ditulis di bendera
kecil atau kita dengar dari or ang lain.
Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Dalam hal ini Duisburg
merujuk kesatu kota di Jerman. Kata Duisburg merupakan tanda karena ia ‘merujuk pada’,
‘menggantikan’, ‘mewakili‘ dan ‘menyajikan’.
Keempat, tanda memiliki sifat representatif dan sifat ini mempunyai hubungan langsung
dengan sifat inter-pretatif, karena pada kata Duisburg di kubangan itu bukannya hanya terlihat
adanya pengacauan pada suatu kota di Jerman, tetapi juga penafsiran ‘di sana duduk -duduk orang
Jerman’.
Kelima, sesuatu hanya dapat merupa -kan tanda atas dasar satu dan lain. Peirce menyebutnya
dengan ground (dasar, latar) dari tanda. Kita menganggap Duisburg sebagai sebuah tanda karena
kita dapat membaca huruf-huruf itu, mengetahui bahwa sebagai suatu kesatuan huruf-huruf itu
membentuk sebuah kata, bahwa kata itu merupakan sebuah nama yakni sebuah nama kota di
Jerman. Dengan perkataan lain, tanda Duisburg merupakan bagian dari suatu keseluruhan
peraturan, perjanjian dan kebiasaan yang dilembagakan yang disebut kode. Kode yang dimaksud
dalam hal ini adalah kode bahasa. Walaupun demikian ada juga tanda yang bukan hanya atas
dasar kode. Ada tanda jenis lain yang berdasarkan interpretasi individual dan insidental atau
berdasarkan pengalaman pribadi.
Semiotik
Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang
berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau
asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur, 2004:95).
Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara
terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi
tanda (van Zoest, 1993:1). Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Ahli sastra Teew (1984:6)
mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian
disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan
aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam
masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cab ang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan
tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada
abad kedua puluh.
Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah di -warnai
dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de de
Saussure (1857 - 1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce (1839 1914). Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah
menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda. Semiologi de Saussure
berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya berfokus pada tanda. Seperti
telah disebut-kan di depan bahwa de Saussure menerbit -kan bukunya yang berjudul A Course in
General Linguistics (1913).
Dalam buku itu de Saussure memba -yangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda -tanda dalam
masyarakat. Ia juga menjelas -kan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah
satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia menulis… the
linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept and a sound image a sign . Kombinasi
antara konsep dan citra bunyi adalah tanda ( sign). Jadi de Saussure mem-bagi tanda menjadi dua
yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi) dan signified (atau konsep) dan dikatakannya bahwa
hubungan antara keduanya adalah arbitrer.
Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia
membawa makna atau selama berfung si sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan
dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (de
Saussure, 1988:26). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat
berperan sebagai model untuk se-miologi. Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan
konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang
sebagai fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain -lainya.
Dalam perkembangan terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat didominasi karya
filsuf Amerika. Charles Sanders Peirce (1839 - 1914). Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada
tulisan de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih l azim dalam
dunia Anglo-Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental.
Siapakah Peirce? Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal
dan multidimensioanl. Bagi teman -teman sejamannya ia terlalu orisional. D alam kehidupan
bermasyarakat, teman-temannya membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam
kemiskin-an Perhatian untuk karya -karyanya tidak banyak diberikan oleh teman -temannya.
Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan tulisannya bersifat pendahuluan, sketsa dan sebagian
besar tidak diterbitkan sampai ajalnya. Baru pada tahun 1931 - 1935 Charles Hartshorne dan Paul
Weiss menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul Collected Papers of Charles
Sanders Pierce. Pada tahun 1957, terbit jilid 7 dan 8 yang dikerjakan oleh Arthur W Burks. Jilid
yang terakhir berisi bibliografi tulisan Pierce.
Peirce selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana manusia
itu bernalar. Peirce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia ber pikir dalam tanda. Maka
diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika.
Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat
tanda sebagai unsur dalam komunikasi.
Semakin lama ia semakin yakin bahwa segala sesuatu adalah tanda artinya setidaknya sesuai
cara eksistensi dari apa yang mungkin (van Zoest, 1993:10). Dalam analisis semiotiknya Peirce
membagi tanda berdasarkan sifat ground menjadi tiga kelompok yakni qualisigns, sinsigns dan
legisigns. Qualisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh,
sifat merah merupakan qualisgins karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Sinsigns
adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampiln ya dalam kenyataan. Semua pernyataan
individual yang tidak dilembagakan merupakan sinsigns. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan,
keheranan atau kegembiraan. Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar
suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Tanda lalu lintas adalah
sebuah legisigns. Begitu juga dengan mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan
sebagainya.
Untuk tanda dan denotatumnya Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek tanda yaitu ikonik,
indeksikal dan simbol. Ikonik adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang
serupa dengan bentuk obyeknya (terlihat pada gambar atau lukisan). Indeks adalah sesuatu yang
melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya, sedangkan simb ol
adalah penanda yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara kovensi telah
lazim digunakan dalam masyarakat. Tabel berikut menunjukkan hubungan ketiganya.
Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, d an tidak memiliki ciriciri struktural sama sekali (Hoed, 2002:21). Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat
reprsentatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain ( something that represent
ssomething else). Proses pemakna-an tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu
representamen (R) - Object (O) - Interpretant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi
secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Ke -mudian I
adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O.
Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya representatif, tetapi juga inter -pretattif. Teori
Peirce tentang tanda mem-perlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan
sebuah struktur. Proses seperti itu disebut semiosis. Seperti terlihat pada tabel di atas bahwa
Peirce membedakan tanda menjadi tiga yaitu indeks, ikon dan simbol.
Bagaimanakah hubungan ikon, indeks dan simbol? Seperti yang dicontohkan Hoed (2002:25),
apabila dalam perjalanan pulang dari luar kota seseorang melihat asap mengepul di kejauhan,
maka ia melihat R. Apa yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu yaitu
cerobong pabrik (O).
Setelah itu ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebua h pabrik ban mobil. Tanda seperti
itu disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O bersifat langsung dan terkadang kausal. Dalam
pada itu apabila seseorang melihat potret sebuah mobil, maka ia melihat sebuah R yang
membuatnya merujuk pada suatu O yakni mobil yang bersangkutan. Proses selanjut -nya adalah
menafsirkan, misalnya sebagai mobil sedan berwarna hijau miliknya (I). Tanda seperti itu disebut
ikon yakni hubungan antara R dan O menunjukkan identitas.
Akhirnya apabila di tepi pantai se -seorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya
ia merujuk pada ‘larangan untuk berenang’ (O). Selanjutnya ia menafsirkan bahwa ‘adalah
berbahaya untuk berenang disitu’ (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara
R dan O bersifat konvensional.
Peirce juga mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap -tahap. Ada tahap
kepertamaan (firstness) yakni saat tanda dikenali pada tahap awal secara prinsip saja. Firstness
adalah keberadaan seperti apa adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang lain , keberadaan dari
kemungkinan yang potensial. Kemudian tahap ‘kekeduaan’ ( secondness) saat tanda dimaknai
secara individual, dan kemudian ‘keketigaan’ ( thirdness) saat tanda dimaknai secara tetap sebagai
kovensi. Konsep tiga tahap ini penting untuk memaham i bahwa dalam suatu kebudaya -an kadar
pemahaman tanda tidak sama pada semua anggota kebudayaan tersebut.
Salah seorang sarjana yang secara konservatif menjabarkan teori De de Saussure ialah Roland
Barthes (1915 - 1980). Ia menerapkan model De de Saussure dalam penelitiannya tentang karya karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian. Bagi Barthes komponen komponen tanda penanda - petanda terdapat juga pada tanda -tanda bukan bahasa antara lain
terdapat pada bentuk mite yakni keseluruhan si stem citra dan kepercayaan yang dibentuk
masyarakat untuk memp-ertahankan dan menonjolkan identitasnya (de Saussure,1988).
Selanjutnya Barthes (1957 dalam de Saussure) menggunakan teori signifiant - signifie yang
dikembangkan menjadi teori tentang metabaha sa dan konotasi. Istilah signifiant menjadi ekspresi
(E) dan signifie menjadi isi (C). Namun Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada
relasi (R) ter-tentu, sehingga membentuk tanda ( sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori ten tang tanda lebih mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda. Menurut
Barthes, ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga ada lebih dari satu
dengan isi yang sama. Pengem -bangan ini disebut sebagai gejala meta -bahasa dan membentuk
apa yang disebut kesinoniman (synonymy).
Setiap tanda selalu memperoleh pe -maknaan awal yang dikenal dengan dengan istilah denotasi
dan oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian pengembangan -nya disebut sistem sekunder.
Sistem sekunder ke arah ekspresi dise but metabahasa. Sistem sekunder ke arah isi disebut
konotasi yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak
hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh paham pragmatik yakni pemakai tanda dan
situasi pemahamannya.
Dalam kaitan dengan pemakai tanda, kita juga dapat memasukkan perasaan sebagai (aspek
emotif) sebagai salah satu faktor yang membentuk konotasi. Model Barthes demikian juga model
De de Saussure tidak hanya diterapkan pada analisis bahasa sebagai salah satu aspek kebudayaan,
tetapi juga dapat digunakan untuk menganalisis unsur -unsur kebu-dayaan.
Semiotik yang dikembangkan Barthes juga disebut dengan semiotika konotatif. Terapannya
juga pada karya sastra tidak sekadar membatasi diri pada analisis secara semios is, tetapi juga
menerapkan pendekatan konotatif pada berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia
mencari arti ’kedua’ yang tersembunyi dari gejala struktur tertentu (van Zoest, 1993:4).
Aliran semiotik yang dipelopori oleh Julia Kristeva dise but semiotika eksplanatif. Ciri aliran
ini adalah adanya sasaran akhir untuk mengambil alih kedudukan filsafat. Karena begitu
terarahnya pada sasaran, semiotik ini terkadang disebut ilmu total baru ( de nieuwe
totaalwetwnschap). Dalam semiotik ini pengertia n tanda kehilangan tempat sentralnya. Tempat
itu diduduki oleh pengertian produksi arti.
Penelitian yang menilai tanda terlalu statis, terlalu nonhistoris, dan terlalu reduksionalis,
diganti oleh penelitian yang disebut praktek arti ( betekenis praktijk). Para ahli semiotika jenis ini
tanpa merasa keliru dalam bidang metodologi, mencampurkan analisis mereka dengan
pengertian-pengertian dari dua aliran hermeutika yang sukses zaman itu, yakni psikoanalisis dan
marxisme (van Zoest, 1993:5).
Tokoh semiotik Rusia J.U.M. Lotman mengungkapkan bahwa … culture is constructed as a
hierarchy of semantic systems (Lotman, 1971:61). Pernyataan itu tidaklah berlebihan karena
hirarki sistem semiotik atau sistem tanda meliputi unsur (1) sosial budaya, baik dalam konteks
sosial maupun situasional, (2) manusia sebagai subyek yang berkreasi, (3) lambang sebagai dunia
simbolik yang menyertai proses dan mewujudkan kebudayaan, (4) dunia pragmatik atau
pemakaian, (5) wilayah makna. Orientasi kebudayaan manusia sebagai anggota suatu masyarakat
bahasa salah satunya tercermin dalam sistem kebahasaan maupun sistem kode yang
digunakannya.
Adanya kesadaran bersama terhadap sistem kebahasaan, sistem kode dan pemakaiannya, lebih
lanjut juga menjadi dasar dalam komunikasi antar -anggota masyarakat bahasa itu sendiri. Dalam
kegiatan komunikasinya, misalnya antara penutur dan pendengar, sadar atau tidak, pastilah
dilakukan identifikasi. Identifikasi tersebut dalam hal ini tidak terbatas pada tanda kebahasaan,
tetapi juga terhadap tanda berupa b unyi prosodi, kinesik, maupun konteks komunikasi itu sendiri.
Dengan adanya identifikasi tersebut komunikasi itu pun menjadi sesuatu yang bermakna baik
bagi penutur maupun bagi penanggapnya.
Macam-macam Semiotik
Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang
(Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis -jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif,
faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural.
Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan
bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat
dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang
mengacu pada obyek tertentu.
Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami
sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Semiotik
faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang
dihasilkan oleh hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas
sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan c erita lisan (folklore). Semiotik natural atau
semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Semiotik normatif
merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang
berwujud norma-norma. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda
yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambang
rangkaian kata berupa kalimat. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
Bahasa Sebagai Sistem Semiotik
Bahasa dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut dengan demikian, karena
keberadaan makna selain ditentu -kan oleh kehadiran dan hubungan antar -lambang kebahasaan itu
sendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks sosial dan situasional yang melatarinya.
Dihubungkan dengan fungsi yang dimiliki, bahasa memiliki fungsi eksternal juga fungsi internal.
Oleh sebab itu selain dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dan menciptakan
komunikasi, juga untuk mengolah informasi dan dialog antar -diri sendiri.
Kajian bahasa sebagai suatu kode dalam pemakaian berfokus pada (1) karakteristik hubungan
antara bentuk, lambang atau kata satu dengan yang lainnya, (2) hubungan antar -bentuk
kebahasaan dengan dunia luar yang di -acunya, (3) hubungan antara kode dengan pemakainya.
Studi tentang sistem tanda sehubungan dengan ketiga butir tersebut baik berupa tanda kebahasaan
maupun bentuk tanda lain yang digunakan manusia dalam komunikasi masuk dalam ruang
lingkup semiotik (Aminuddin, 1988:37).
Sejalan dengan adanya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian, maka bahasa dalam
sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem. Tiga komponen tersebut adalah: (1)
sintaktik, yakni komponen yang be rkaitan dengan lambang atau sign serta bentuk hubungan-nya,
(2) semantik, yakni unsur yang ber -kaitan dengan masalah hubungan antara lambang dengan
dunia luar yang diacunya, (3) pragmatik, yakni unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan
dengan hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian.
Ditinjau dari sudut pemakaian, telah diketahui bahwa alat komunikasi manusia dapat
dibedakan antara media berupa bahasa atau media verbal dengan media non -bahasa atau nonverbal. Sementara media kebahasaan itu, ditinjau dari alat pemunculannya atau chanel dibedakan
pula antara media lisan dengan media tulis. Dalam media lisan misalnya, wujud kalimat perintah
dan kalimat tanya dengan mudah dapat dibedakan lewat pemakaian bunyi suprasegmental atau
pemunculan kinesik, yakni gerak bagian tubuh yang menuansakan makna tertentu. Kaidah
penataan kalimat selalu dilatari tendesi semantis tertentu. Dengan kata lain sistem kaidah
penataan lambang secara gramatis selalu berkaitan dengan dengan strata makna dalam suatu
bahasa. Pada sisi lain makna sebagai label yang mengacu realitas tertentu juga memiliki sistem
hubungannya sendiri (Aminuddin, 1988:38).
Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai ( user atau interpreter),
menjadi bagian dari sistem semiotik sehi ngga juga menjadi salah satu cabang kajiannya karena
keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya. Bahkan lebih luas lagi keberadaan
suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat
pemakainya, ke dalam konteks sosial budaya yang dimiliki. Hal itu sesuai dengan pernyataan
bahwa bahasa adalah cermin kepribadian dan budaya bangsa. Sehubungan dengan itu Abram’s
(1981: 171) mengungkapkan bahwa the focus of semiotic interest is on the underlying system of
language, not on the parole.
Daftar Pustaka
Abrams, M.H., A Glosary of Literary Term (New York: Holt, Rinehart and Wiston, 1981)
Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi tentang Makna (Bandung: Sinar Baru, 1988)
Budiman, Manneke, “Indonesia: Perang Tanda,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak (Jakarta:
Wedatama Widya Sastra, 2002)
de De de Saussure, F., Course in General Linguistics , (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1988)
Hoed, Benny H., “Strukturalisme, Prag -matik dan Semiotik dalam Kajian Budaya,” dalam
Indonesia: Tanda yang Retak (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002)
Pateda, Mansoer, Semantik Leksikal (Jakarta: Rineka Cipta)
Sobur, Alex, Analisis Teks Media (Ban-dung: Remaja Rosdakarya, 2004)
Teew, A., Khasanah Sastra Indonesia (Ja-karta: Balai Pustaka, 1984)
Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan
Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993)