Volume 17 Nomor 2 - November 2013
ISSN 0852-9213
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi — 2
Modal Sosial Pedagang Dalam Meningkatkan Daya Saing Pasar Tradisional
Mira Fatimah dan Mohammad Afifuddin — 4
Peran Modal Sosial dalam Pelestarian Hutan
M. Rijal dan Syaifullah Noer — 20
Modal Sosial dalam Kemandirian Masyarakat di Bidang Kesehatan
Kurniawan Arianto dan Eliza Nur Fitriana — 37
Peran Trust dalam Pengelolaan Bantuan Langsung Masyarakat
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan di Kabupaten Kebumen
Sri Sugianingsih dan Abdiana Ilosa — 50
Studi Tentang Kemunculan Modal Sosial
Retno Widayani dan Nisa Agistiani Rachman — 65
Indeks — 76
Panduan untuk Penulis —78
Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik
JKAP Vol 17 No 2 - November 2013
ISSN 0852-9213
Modal Sosial dalam Kemandirian Masyarakat di Bidang Kesehatan
Kurniawan Arianto
PNS di Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Tengah dan Dosen
di (STIKES) Bhakti Husada Bengkulu
arieanto_165@yahoo.com
Eliza Nur Fitriana
Asisten Peneliti di Magister Administrasi Publik UGM
elizanurfitriana08@gmail.com
Abstract
This article discusses the role that private sector and civil society play in fostering participation in health service delivery
through the utilization of natural resources and social capital within the framework of the good governance trilogy.
Given contemporary reality that development requires the participation of the government, the private sector, and civil,
this article delves into the impact of utilizing social capital to enhance self-sufficiency of the community in the field of
health. The study used qualitative research design, and used description and case study research techniques. Research
results showed that the diversity that characterized the population was in no way an obstacle in achieving higher health
service standards. This owes much to the ability of the population to leverage the social capital it has to resolve health
problems it faced. This was manifested in developing networks, cooperation that was underpinned by mutual trust, the
leverage of benefits of mutual assistance and care, adherence to values, norms, and taking collective action to resolve
collective problems in the realm of health. The contribution of social capital was mediated by the vital role(s) that
village administration officials, as well as implementers on the ground, such as members of society. To that end, various
groups which were formed in order to finding solutions to problems the community faced constituted a manifestation
of social capital and crystallization of public participation which are some of the pillars of good governance.
Key words: Diversity, health problems, health groups, social capital
Abstrak
Tulisan ini mendiskusikan mengenai peran sektor swasta (private sector) dan masyarakat sipil (civil society) untuk
ikut berpartisipasi dalam pembangunan kesehatan dengan memanfaatkan sumber daya dan modal sosial yang
mereka miliki sebagaiperwujudan dari segitiga good governance. Dewasa ini, yang berperan dalam pembangunan
tidak hanya pemerintah sebagai aktor utama saja, tapi harus didukung oleh sektor swasta dan masyarakat sipil.
Berangkat dari latar belakang tersebut, tulisan ini mengarah pada pemanfaatan modal sosial untuk meningkatkan
kemandirian masyarakat dalam bidang kesehatan. Studi dilakukan dengan menggunakan desain kualitatif dengan
metode deskriptif dan pendekatan studi kasus.Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberagaman penduduk tidak
menghalangi tercapainya derajat kesehatan yang lebih baik, karena masyarakat mampu menyelesaikan permasalahan
kesehatan bersama yang dihadapi oleh masyarakat dengan memanfaatkan modal sosial. Dengan kemampuan
masyarakat membangun jaringan (networks), kerja sama yang dilandasi rasa saling percaya (trust), saling peduli,
saling menolong, kepatuhan terhadap nilai (values), norma (norms) yang berlaku dan disepakati bersama, serta
tindakan pro aktif (pro active act) yang diwujudkan dalam aksi bersama (collective action) untuk pemenuhan
kebutuhan bersama dalam memecahkan berbagai macam persoalan kesehatan yang terjadi. Peran tokoh masyarakat,
perangkat desa dan aktor pelaksana di lapangan seperti anggota masyarakat juga berkontribusi terhadap keberadaan
modal sosial masyarakat. Berbagai kelompok sosial yag terbentuk untuk mengatasi permasalahan kesehatan
merupakan perwujudan nyata dari modal sosial dan bentuk partisipasi masyarakat sebagai salah satu pilar utama
dalam perwujudan good governance.
Kata Kunci: Keberagaman, kelompok kesehatan, modal sosial, permasalahan kesehatan
37
Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik JKAP Vol 17 No 2 - November 2013
I. PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
telah menguraikan dengan jelas bahwa
pembangunan
kesehatan
merupakan
tanggung jawab dari banyak pihak termasuk
Pemerintah Pusat melalui Kementerian
maupun tanggung jawab dari masingmasing Pemerintah Daerah melalui Dinas
Kesehatan dan unit pelaksana teknisnya
di lapangan. Namun, tanggung jawab
tersebut belum mampu dilaksanakan dengan baik sepenuhnya oleh pemerintah,
seperti penyediaan fasilitas, sarana dan
prasarana pelayanan kesehatan bagi
masyarakat terutama di tingkat desa. Hal
ini menyebabkan semakin kompleksnya
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat
desa.
Pembangunan kesehatan pada masa
kini lebih dititikberatkan pada tingkat desa
sebagai unit terkecil utama dalam sistem
pemerintahan.Dalam tatanan otonomi
daerah, pembangunan desa sehat merupakan
salah satu kunci sukses pembangunan
daerah. Desa mandiri sehat merupakan salah
satu bentuk upaya strategis dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan millenium
(Millenium Delevolopment Goals).
Beberapa indikator dalam mengukur
keberhasilan pembangunan di bidang
kesehatan adalah melalui angka kematian
ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB).
meningkatan kesehatan ibu, memerangi
HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya
serta melestarikan lingkungan (Kemenkes
RI, 2010: 6).
Telah banyak terobosan program
yang dilakukan pemerintah dalam rangka
meningkatkan kemandirian desa untuk
pencapaian target sehat tersebut. Namun,
upaya-upaya tersebut masih belum semuanya
38
terlaksana dengan baik. Hal tersebut
dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya
kondisi politik, sosial, ekonomi dan local
wisdom dari masing-masing daerah.
Partisipasi aktif seluruh warga masyarakat sangat dibutuhkan dalam keberlangsungan dan keberhasilan kesehatan
di suatu daerah. Misalnya saja melalui
Posyandu. Posyandu merupakan salah satu
bentuk usaha kesehatan berbasis masyarakat
yang dikelola dan diselenggarakan dari,
oleh, untuk dan bersama masyarakat guna
memberikan kemudahan pada masyarakat,
utamanya dalam memperoleh pelayanan
kesehatan dasar untuk menunjang percepatan
penurunan AKI dan AKB. Peran Posyandu
sebagai civil society sangat strategis dalam
mendukung peningkatan derajat kesehatan
dan kemandirian masyarakat sebuah desa
dalam bidang kesehatan (Kemenkes RI,
2010: 11).
Keberhasilan program-program pembangunan di bidang kesehatan memiliki
kaitan yang sangat erat dengan keterlibatan
berbagai elemen sosial di masyarakat seperti
adanya modal sosial yang sudah berkembang
sejak lama. Modal sosial yang salah satunya
dimanifestasikan dengan terjadinya interaksi
yang tinggi di masyarakat terbukti dapat
memberikan dampak positif terhadap
kemandirian masyarakat (Bhuiyan, 2004).
Berbagai masalah dihadapi oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan
status kesehatan masyarakat di wilayahnya,
hal ini terjadi karena keterbatasan kemampuan pemerintah dalam penyediaan
biaya operasional pelayanan kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian, Indonesia
masih dianggap sebagai negara yang kurang
mampu memberikan prioritas pelayanan
kesehatan untuk penduduknya.
Kurniawan Arianto - Eliza Nur Fitriana, Modal Sosial dalam Kemandirian Masyarakat di Bidang Kesehatan
Hal ini dibuktikan dengan masih
rendahnya alokasi dana pemerintah untuk
sektor kesehatan yang jumlahnya hanya
mencapai sekitar 2% dari PDB, jumlah
tersebut masih jauh di bawah rekomendasi
dari organisasi kesehatan dunia (WHO)
yang merekomendasikan alokasi dana
untuk sektor kesehatan sebesar minimal 5%
dari PDB (Trisnantoro, 2011). Beberapa
pemerintah daerah mampu mencukupi
kebutuhan biaya operasional pelayanan
kesehatan, namun tidak sedikit pula
pemerintah daerah yang masih sangat
terbatas kemampuannya dalam hal alokasi
pembiayaan pelayanan kesehatan.
Tulisan ini menganalisis secara mendalam mengenai bagaimana pemanfaatan
modal sosial yang ada di dalam masyarakat
di sebuah desa di Kabupaten Bengkulu
Tengah, Propinsi Bengkulu yang mampu
mengatasi berbagai permasalahan di bidang
kesehatan sebagai bentuk kemandirian
masyarakat dalam pembangunan. Partisipasi
masyarakat sipil merupakan salah satu
bentuk perwujudan modal sosial yang
telah lama dan berkembang di masyarakat
sebagai wujud nyata dari segitiga good
governance dalam pembangunan, termasuk
pembangunan kesehatan.
Saat ini, pembangunan kesehatan
tidak hanya menjadi beban dan tanggung
jawab dari pemerintah saja, tetapi sektor
swasta dan masyarakat sipil (civil society)
juga mampu berpartisipasi. Masyarakat sipil
dengan memanfaatkan semua sumber daya
dan modal yang mereka miliki terkadang
mampu menyelesaikan atau memecahkan
sendiri berbagai permasalahan termasuk
permasalahan di bidang kesehatan yang
belum sepenuhnya mampu dipecahkan oleh
pemerintah.
II. TINJAUAN TEORI
Sumber daya atau modal yang dimiliki
oleh masyarakat desa selain modal manusia,
modal keuangan, modal fisik dan modal
budaya adalah modal sosial (social capital).
Modal sosial merupakan suatu hal yang
telah lama dikenal dimasyarakat meskipun
dengan istilah dan bentuk yang berbeda.
Di Indonesia modal sosial termanifestasi
kedalam budaya seperti gotong royong,
musyawarah dan mufakat di masyarakat
yang digunakan untuk mengatasi berbagai
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat
termasuk di dalamnya permasalahan kesehatan yang dirasakan bersama.
II.1 Konsep Pelayanan Kesehatan Oleh
Masyarakat Sipil Sebagai Bentuk Kemandirian
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya
yang diselenggarakan sendiri atau secara
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara dan meingkatkan kesehatan,
mencegah dan menyembuhkan penyakit
serta memulihkan kesehatan perorangan,
keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat
(Levey dan Loomba, 1973) dalam Azwar
(1996: 3).
Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang kesehatan menyebutkan bahwa
setiap orang mempunyai hak yang sama
dalam memperoleh pelayanan kesehatan
yang aman, bermutu dan terjangkau dan
berhak secara mandiri dan bertanggung
jawab menentukan sendiri pelayanan
kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Pemerintah berkewajiban memberikan
jaminan kesehatan, baik untuk warga
yang mampu maupun yang tidak mampu.
Tanggung jawab pemerintah juga termasuk
dalam penyesuaian sumber daya di bidang
kesehatan.
39
Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik JKAP Vol 17 No 2 - November 2013
Trihono (2005) yang mendefinisikan
pelayanan kesehatan masyarakat sebagai
seluruh upaya kesehatan yang bersifat
promotif, preventif baik untuk sasaran bayi,
anak, remaja, ibu hamil, ibu menyusui,
bapak, maupun yang sudah lanjut usia.
Lokasinya menyeluruh dan berada mulai
dari tingkat rumah tangga, tempat kerja
dan tempat-tempat umum maupun tatanan
sekolah. Pelayanan kesehatan masyarakat
lebih mengutamakan pelayanan promotif
dan preventif dengan pendekatan kelompok
masyarakat dan keluarga, serta sebagian
besar diselenggarakan bersama masyarakat
yang bertempat tinggal di wilayah kerja
Puskesmas.
Berdasarkan beberapa pendapat para
ahli di atas, menunjukkan bahwa sejatinya
pelayanan kesehatan merupakan tanggung
jawab utama negara atau pemerintah
untuk menjamin pelayanan kesehatan yang
baik bagi setiap warga negara. Namun di
sisi lain, keterlibatan sektor swasta dan
masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk
mengatasi berbagai permasalahan kesehatan
yang terjadi di masyarakat yang belum
mampu sepenuhnya diselesaikan oleh
pemerintah. Keterbatasan kemampuan
pemerintah hendaknya menjadi dorongan
bagi stakeholders lainnya untuk membantu
pemenuhan kebutuhan akan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat.
Menurut Winarno (2008: 59),
dalam konsep good governance terdapat tiga
stakeholders utama yang saling berinteraksi,
yakni negara atau pemerintah (state), dunia
usaha atau pihak swasta (private sector)
dan masyarakat sipil (civil society). Hal ini
mengandung artian bahwa pemerintah
hanya menjadi salah satu aktor saja dalam
penerapan good governance, selanjutnya
pemerintah, swasta dan masyarakat
merupakan elemen kunci dalam masyarakat
sipil (madani).
40
Dalam penerapan good governance
diperlukan hubungan yang sejajar dan
sinergis antara pemerintah, sektor swasta
dan masyarakat sipil untuk menciptakan
pembangunan yang berhasil dan manfaatnya
bisa dirasakan oleh warga masyarakat secara
langsung. Ketiga aktor tersebut harus saling
mendukung, memiliki kesadaran dan
tanggung jawab serta berpartisipasi aktif
untuk turut serta dalam pembangunan,
termasuk di bidang kesehatan.
Keterlibatan masyarakat sipil bisa
dilakukan jika masyarakat mengerahkan
seluruh sumber daya yang mereka miliki
baik itu modal fisik, modal manusia maupun
modal sosial demi suksesnya pembangunan
kesehatan masyarakat. Peningkatan peran
masyarakat sipil dalam pembangunan
terjadi karena menguatnya kekuatan atau
modal yang dimiliki masyarakat dalam
menyelesaikan sendiri berbagai persoalan
yang mereka alami.
Mas’oed (1994) menjelaskan bahwa
dalam konsep governance, keterlibatan
berbagai aktor lain dan seluruh stakeholders
dalam proses kebijakan publik merupakan
suatu keharusan karena pemerintah
bukanlah satu-satunya aktor dan tidak
selalu menjadi pelopor dalam pembangunan
termasuk di bidang kesehatan. Pemerintah
hanya merupakan salah satu aktor yang
harus bisa bekerja sama dengan aktor lain di
luar pemerintah.
Konsep ini dalam arti luas sebagai
bentuk interaksi atau jaringan antara negara
dengan aktor lain di luar pemerintah.
Cara pandang governance tidak lantas
meninggalkan keberadaan pemerintah atau
government karena pandangan konsep
ini berasumsi bahwa pemerintah tetap
memegang peranan yang sangat penting
sebagai fasilitator yang menjembatani
kepentingan banyak aktor dalam masyarakat.
Kurniawan Arianto - Eliza Nur Fitriana, Modal Sosial dalam Kemandirian Masyarakat di Bidang Kesehatan
Fukuyama (2002) mendefinisikan
modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai
atau norma-suatu kelompok masyarakat
yang memungkinkan terjalinnya kerja sama
di antara mereka. Fujiwara dan Kawachi
(2008) dalam Field (2010) menjelaskan
bahwa modal sosial sebagai sumber-sumber
daya yang diakses oleh individu-individu
dan kelompok-kelompok dalam sebuah
struktur sosial yang memudahkan kerja
sama, tindakan kolektif dan terpeliharanya
norma-norma.
Bhisma Murthi (2010: 12) menyatakan bahwa modal sosial merujuk pada
hubungan-hubungan sosial dan koneksi
antar individu, karena itu lebih merupakan
relasi antar individu dari pada suatu atribut
individu. Konsep kunci di sini adalah bahwa
modal sosial bukan merupakan sebuah
karakteristik individu atau sifat kepribadian,
melainkan suatu sumber daya yang terletak
di dalam jejaring dan kelompok-kelompok
orang yang sumber daya tersebut berguna
untuk produksi kesehatan jika dimanfaatkan.
Modal sosial sebagai sekumpulan aset
yang sangat penting dalam masyarakat atau
organisasi sosial yang terjadi akibat adanya
interaksi sosial sesama anggota masyarakat,
saling percaya untuk bekerja sama dengan
tujuan bersama dalam hal memecahkan
permasalahan yang dihadapi, secara sadar
tanpa adanya paksaan dari siapapun.
Amien (2005) menjelaskan bahwa
kemandirian menunjukkan kemampuan
setiap entitas di dalam sebuah kelompok
untuk memelihara dan meningkatkan
kualitas dalam upaya menjaga keberlangsungan keberadaannya dan juga agar
senantiasa mampu berpartisipasi dalam
proses pembaharuan.
Dalam konsep kemandirian, kegiatan
yang dilaksanakan dengan memanfaatkan
ketersediaan sumber daya lokal dengan
mengacu pada karakteristik spesifik yang
dimiliki. Selain sumber daya, prosesproses yang terjadi dalam konteks lokal
harus mendapatkan perhatian khusus dan
menjadi dasar pembangunan dan penguatan
masyarakat.
Sementara itu, kemandirian desa dalam
bidang kesehatan menurut Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia (2010: 37)
adalah Desa yang penduduknya dapat
mengakses dengan mudah pelayanan
kesehatan dasar setiap hari melalui Pos
Kesehatan Desa, penduduknya mampu
mengembangkan Usaha Kesehatan Berbasis
Masyarakat (UKBM) dan melaksanakan
survailans berbasis masyarakat (meliputi
pemantauan penyakit, kesehatan ibu dan
anak, gizi, lingkungan dan perilaku),
kedaruratan kesehatan dan penanggulangan
bencana serta penyehatan lingkungan
dengan menerapkan Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS).
II.2 Alur Pikir Penelitian
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009, pembangunan kesehatan
merupakan tanggung jawab dari banyak
pihak termasuk Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Namun, tanggung
jawab tersebut belum sepenuhnya dapat
terlaksana dengan baik karena belum
mampunya penyediaan fasilitas, sarana
dan prasarana pelayanan kesehatan bagi
masyarakat, terutama di tingkat desa.
Untuk dapat mengurangi permasalahan yang komplek tersebut, dewasa ini
pembangunan kesehatan bisa dilaksanakan
oleh tiga pilar good governance, yaitu
pemerintah (government), swasta (private
sector) dan masyarakat sipil (civil society).
41
Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik JKAP Vol 17 No 2 - November 2013
Sumber daya dan modal yang dimiliki
masyarakat desa terkadang mampu
menyelesaikan dengan baik permasalahanpermasalahan mereka dan mempunyai
solusi yang tepat karena mereka lebih
memahami kondisi mereka sendiri.Selain
modal manusia, keuangan, fisik dan budaya,
mereka memiliki modal social (social
capital).
Di tengah lemahnya kemampuan
pemerintah dalam penyediaan fasilitas,
sarana dan prasarana kesehatan di tingkat
desa, terdapat sebuah komunitas masyarakat
yaitu di Desa Sri Katon, Kecamatan Pondok
Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah. Desa
Sri Katon merupakan sebuah desa yang
letaknya cukup jauh dari Ibu Kota Kabupaten
yang berjarak ± 40 km dan berjarak 18 km
dari Ibu Kota Propinsi Bengkul, Puskesmas
terdekat berjarak ± 4 km dari Desa Sri Katon.
Hingga saat ini, belum ada sarana
transportasi umum yang melintasi Desa Sri
Katon yang bisa digunakan oleh masyarakat.
Ketiadaan angkutan umum sebagai akses ke
fasilitas kesehatan membuat warga harus rela
berjalan kaki atau bersepeda bagi yang tidak
mempunyai kendaraan atau menggunakan
kendaraan roda dua bagi mereka yang
memilikinya.
Akses terhadap fasilitas kesehatan
terdekat seperti rumah sakit yang cukup
jauh menjadi masalah tersendiri yang telah
dirasakan oleh masyarakat sejak lama.
Jauhnya jarak ke fasilitas kesehatan, pusat
pemerintahan dan pusat perekonomian
tidak membuat masyarakat Desa Sri Katon
menjadi desa yang tertinggal. Kendala yang
mereka alami tersebut nampaknya menjadi
daya pendorong yang kuat bagi masyarakat
desa untuk mengatasinya secara bersamasama.
Berdasarkan observasi di Desa
Sri Katon menunjukkan bahwa di desa
tersebut terdapat berbagai jenis kelompok
sosial yang terbentuk dan tetap eksis
42
hingga saat ini. Kelompok-kelompok sosial
tersebut dibentuk sendiri oleh masyarakat
dan memberikan dampak positif bagi
masyarakat desa. Masyarakat Desa Sri Katon
sejak lama telah dikenal memiliki berbagai
tradisi, baik yang dimiliki oleh penduduk
asli maupun oleh penduduk pendatang yang
bertransmigrasi dari pulau Jawa.
Perbedaan tradisi yang terdapat di Desa
Sri Katon tidak menimbulkan permasalahan
tetapi mampu menjadi daya pengikat yang
kuat karena adanya rasa saling menghormati
dan saling menghargai antar sesama anggota
masyarakat.
Pada era tahun 1990-an, akses terhadap
sumber daya kesehatan masih terbatas, di
mana masih minimnya fasilitas kesehatan
yang ada di Desa Sri Katon, masyarakat
mereka berhasil melakukan berbagai inovasi
untuk mengatasi permasalahan kesehatan
yang mereka hadapi.
Berbagai jenis modal sosial yang
dimiliki oleh masyarakat Desa Sri Katon
terutama dalam mengatasi berbagai
permasalahan yang dihadapi oleh warga
desa termasuk dalam bidang kesehatan
diselesaikan oleh warga desa dalam sebuah
wadah komunikasi yang disebut dengan
Forum Desa Sehat (FDS). Dengan adanya
Forum Desa Sehat ini warga Desa Sri
Katon bisa melakukan penyelesaian masalah
bersama terutama dalam masalah kesehatan.
III. HASIL ANALISIS DAN DISKUSI
III.1 Identifikasi Modal Sosial
Di Masyarakat Desa Sri Katon
Keberadaan modal sosial yang sudah ada
di Desa Sri Katon sesungguhnya telah
melibatkan semua unsur yang ada di dalam
masyarakat, dari masyarakat biasa, kader
kesehatan, kelompok lanjut usia, karang
taruna, kelompok PKK, kelompok ibu
balita, tokoh masyarakat, tokoh agama dan
lainnya.
Kurniawan Arianto - Eliza Nur Fitriana, Modal Sosial dalam Kemandirian Masyarakat di Bidang Kesehatan
Keterlibatan warga desa dalam
berbagai kegiatan yang ada di desa terjadi
kadang tanpa perlu adanya paksaan atau
komando dari pihak manapun, hal itu
diwujudkan dalam tradisi-tradisi yang tetap
dilaksanakan hingga saat ini seperti : tradisi
rewangan hajatan, tradisi wayangan, tradisi
tilik bayi, tradisi tahlilan, tradisi gotong
royong dan tradisi melayat.
Nilai-nilai positif, rasa kebersamaan
dan saling membutuhkan untuk kepentingan
bersama yang telah sejak lama ada di desa
tersebut tetap terpelihara dengan baik
ditengah keberagaman penduduk. Sebagai
bentuk perwujudan modal sosial yang sudah
sejak lama ada di masyarakat, telah terbentuk
perkumpulan atau kelompok warga layaknya
organisasi kemasyarakatan.
Adanya berbagai institusi baik formal
maupun informal kemasyarakatan tersebut
memberikan dampak positif terhadap
keberhasilan desa menjadi lebih maju dan
mandiri dalam berbagai bidang kehidupan.
Masyarakat Desa Sri Katon memiliki
beberapa kelompok atau perkumpulan yang
sudah berdiri sejak dahulu dan ada pula
yang baru terbentuk dengan latar belakang
yang berbeda seperti: kelompok pengajian,
perkumpulan
kematian,
kelompok
pertanian, kelompok dasa wisma, kelompok
jimpitan, kelompok lanjut usia, kelompok
ibu balita, kelompok kesenian, kelompok
olah raga dan karang taruna.
Berbagai kelompok atau perkumpulan
tersebut menjadi kegiatan yang disepakati
bersama dengan tujuan melestarikan
nilai-nilai budaya lokal yang sudah ada di
masyarakat.
III.2 Pemanfaatan Modal Sosial Dalam
Peningkatan Kemandirian Masyarakat Desa Sri Katon Di Bidang
Kesehatan
Beberapa permasalahan kesehatan yang
belum sepenuhnya mampu dipecahkan
oleh pemerintah antara lain: (1) masalah
aksesibilitas dan angkutan ke fasilitas
kesehatan rujukan bagi orang sakit dan
ibu melahirkan; (2) masalah kesehatan
lingkungan yaitu masih banyaknya jumlah
KK yang belum memliki jamban sehat
sebelum tahun 2008, masalah sarana
pembuangan air limbah (SPAL); (3) masalah
pelayanan kesehatan lanjut usia; (4) masalah
pelayanan kesehatan ibu, bayi dan balita.
Untuk mengurangi dampak yang
dihasilkan dari masalah-masalah tersebut,
masyarakat Desa Sri Katon membentuk
sebuah forum bersama yaitu Forum Desa
Sehat (FDS) sebagai wadah masyarakat
untuk bermusyawarah dalam mencari
solusi bersama, dengan tujuan mengatasi
permasalahan kesehatan yang dihadapi. Salah
satu masalah utamanya yaitu kebutuhan
akan kendaraan khusus untuk merujuk
orang sakit atau ibu yang akan melahirkan
ke Rumah Sakit di Kota Bengkulu. Masih
ditemukannya kematian ibu melahirkan
masih menjadi bagian masalah kesehatan
yang belum sepenuhnya terselesaikan.
Kegotongroyongan,
kebersamaan,
saling percaya, saling tolong-menolong,
saling peduli dan saling bekerja sama antar
anggota masyarakat di Desa Sri Katon yang
telah terjadi sejak dahulu mampu menjadi
suatu ikatan sosial (social bounding) yang
sangat kuat bagi masyarakat Desa Sri Katon.
Berbagai tradisi yang ada di Desa
Sri Katon seperti tradisi rewangan hajatan,
tradisi melayat, tradisi wayangan, tradisi
tilik bayi dan tradisi gotong royong
43
Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik JKAP Vol 17 No 2 - November 2013
termasuk ke dalam tipe modal sosial yaitu
bounding social capital, tipe modal sosial
bridging social capital (jembatan sosial)
terdapat pada tradisi tahlilan, perkumpulan
kematian, membezuk orang sakit, kelompok
pertanian, kelompok olahraga dan pemuda,
kelompok ambulan desa, kelompok lanjut
usia, kelompok jamban sehat, kelompok
kesehatan lingkungan, kelompok dasa
wisma, kelompok jimpitan dan kelompok
ibu, bayi dan balita. Sedangkan tipe modal
sosial linking social capital (hubungan atau
jaringan sosial) terdapat pada kelompok
jamban sehat, kelompok lansia dan
kelompok ibu, bayi dan balita.
Dengan latar belakang tingginya
rasa gotong royong, saling percaya, saling
peduli, soliditas, solidaritas dan peran serta
aktif dari semua elemen masyarakat Desa
Sri Katon, masyarakat mampu membangun
kerja sama yang baik dan terus bertahan
hingga sekarang dalam bentuk tradisi,
perkumpulan atau kelompok yang berfungsi
untuk menyelesaikan berbagai permasalahan
baik kesehatan, ekonomi, sosial dan lainnya
yang terjadi di masyarakat.
Munculnya berbagai perkumpulan
atau kelompok di masyarakat tersebut
ikut melahirkan berbagai inovasi yang
dikembangkan sendiri oleh masyarakat
dan hal tersebut memberikan dampak
positif tehadap peningkatan kemandirian
masyarakat desa di bidang kesehatan.
III.2.1 Perkumpulan atau Kelompok
yang Terbentuk Untuk
Mengatasi Permasalahan
Kesehatan Bersama
1. Kelompok Ambulan Desa
Kelompok yang terbentuk pada tahun
2000 ini murni terbentuk karena inisiatif
masyarakat yang secara sukarela bersedia
menyediakan kendaraan pribadi miliknya
untuk dijadikan sebagai angkutan
44
bersama yang bisa digunakan oleh
warga masyarakat yang membutuhkan.
Partisipasi dalam kelompok (networks)
dan kerja sama menciptakan hubungan
timbal balik (reciprocity) antar anggota
sehingga setiap anggota mempunyai
akses yang sama terhadap sumber daya
kesehatan yang dimiliki.
2. Kelompok Bank Donor Darah
Kelompok ini terbentuk pada tahun
2004. Ide mengenai pembentukan
kelompok ini disampaikan dalam FDS
dan disetujui. Bentuk aturan yang
berlaku adalah jika ada warga desa
yang sedang dirawat di rumah sakit
dan membutuhkan darah, maka warga
desa yang mempunyai golongan darah
bersedia untuk mendonorkan darahnya
melalui kelompok ini.
Pengelolaan kelompok ini dilakukan
oleh kader kesehatan dan berkoordinasi
dengan bidan yang bertugas di desa.
Keberadaan kelompok bank donor
darah yang tetap eksis hingga saat
ini sangat dirasakan manfaatnya oleh
seluruh anggota masyarakat, hal ini tidak
terlepas dari sikap tolong menolong,
sikap saling peduli dan hubungan timbal
balik (reciprocity) yang ada di masyarakat
desa.
3. Kelompok Jamban Sehat
Masih minimnya jumlah warga desa yang
memiliki jamban sehat menjadi salah
satu masalah kesehatan yang mampu
dicarikan solusinya secara bersama
oleh masyarakat. Melalui mekanisme
musyawarah yang diikuti oleh perwakilan
anggota masyarakat, perangkat desa dan
tokoh masyarakat, dihasilkan keputusan
untuk membangun jamban sehat
sebanyak 88 KK pada tahun 2008.
Kurniawan Arianto - Eliza Nur Fitriana, Modal Sosial dalam Kemandirian Masyarakat di Bidang Kesehatan
Masyarakat Desa Sri Katon
mampu memanfaatkan tingginya rasa
kegotongroyongan yang telah lama ada
di masyarakat untuk dijadikan sebagai
modal utama untuk saling bekerja
sama yang dilandasi oleh rasa saling
percaya (trust), saling peduli dan saling
membutuhkan (reciprocity) terutama
antar sesama anggota masyarakat yang
belum mempunyai jamban sehat.
masyarakat yang dilandasi oleh rasa
saling percaya (trust) dan hubungan
timbal balik (reciprocity) yang mereka
wujudkan.
5. Kelompok Lanjut Usia
Terbentuknya kelompok lanjut usia Desa
Sri Katon berawal pada tahun 1985.
Kegiatan yang dilakukan di kelompok
ini selain pelaksanaan kegiatan Posyandu
lansia pada tanggal 17 setiap bulannya,
juga berhasil mengembangkan kegiatan
lainnya seperti arisan, senam jantung
sehat, pemberian makanan tambahan
(PMT) bagi lansia saat kegiatan
Posyandu, belajar membaca dan
kelompok pengajian. Inovasi lain yang
berhasil dikembangkan adalah tabungan
lansia.
Kemampuan
masyarakat
membangun jaringan kerja sama
(networks) baik dengan sesama anggota
masyarakat untuk membangun jamban,
maupun kerja sama dengan pemerintah
dalam mendapatkan dana bantuan
P2KP untuk penyediaan bahan material
pembangunan jamban sehat merupakan
perwujudan nyata dari modal sosial yang
dimiliki masyarakat.
Kegiatan yang pada awalnya hanya
bertujuan menabung untuk membeli
seragam olahraga, saat ini telah
berkembang menjadi dana tabungan.
Berdasarkan hasil penelitian, semua
kegiatan yang dilakukan oleh kelompok
lansia dilandasi dengan semangat gotong
royong yang telah menjadi tradisi sejak
dahulu di masyarakat desa. Kemampuan
masyarakat dan anggota kelompok lansia
menjalin kerja sama yang baik mampu
memfasilitasi anggota kelompok untuk
melakukan berbagai aktivitas bersama
(collective action) untuk pemenuhan
kebutuhan bersama.
4. Kelompok Kesehatan Lingkungan
Proses terbentuknya kelompok kesehatan
lingkungan di Desa Sri Katon terjadi
sejak tahun 2000, yang dilatarbelakangi
adanya beberapa warga desa yang
terkena penyakit demam berdarah dan
malaria. Anggota masyarakat melakukan
musyawarah untuk mencari solusi
terbaik untuk menyelesaikannya, guna
mengatasi masalah kesehatan lingkungan
dan penyakit yang ditimbulkannya.
Hasil kesepakatan warga adalah
melakukan
pembuatan
saluran
pembuangan air limbah (SPAL) rumah
tangga, tempat pembuangan sampah
(TPS) sementara dan pembuatan saluran
air limbah yang saling terhubung di
pemukiman warga desa. Solusi yang
disepakati bersama oleh masyarakat
tersebut mampu terlaksana dengan
baik karena adanya jaringan kerja sama
(networks) yang terbangun antar anggota
Terjalinnya kerja sama antar anggota
masyarakat kelompok lansia juga
didasari oleh rasa saling percaya (trust),
saling peduli dan saling membutuhkan
sehingga
memberikan
manfaat
(reciprocity) yang dapat dirasakan oleh
semua anggota masyarakat kelompok
lansia dan hal itu merupakan salah satu
bentuk perwujudan nyata dari modal
sosial yang dimiliki masyarakat.
45
Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik JKAP Vol 17 No 2 - November 2013
6. Kelompok Ibu, Bayi dan Balita
Terbentuknya kelompok ibu, bayi dan
balita di Desa Sri Katon dikoordinir
oleh Ibu Istilah pada tahun 1983 mulai
merintis pembentukan kelompok ibu,
bayi dan balita. Kelompok ibu bayi dan
balita berhasil mengembangkan berbagai
inovasi kegiatan seperti pemberian
makanan tambahan (PMT) bagi bayi dan
balita, dana sosial dan kelompok arisan,
serta membangun jaringan kerja sama
(network) dengan berbagai stakeholder
yang ada seperti kelompok PKK, pihak
puskesmas dan pihak swasta.
Masyarakat Desa Sri Katon mampu
memanfaatkan modal sosial dengan
membangun jaringan (networks) kerja
sama antar sesama anggota masyarakat
yang dilandasi oleh rasa saling percaya
(trust), saling peduli, saling tolong
menolong, kepatuhan terhadap nilai
(values), norma (norms) yang berlaku
dan telah disepakati bersama serta
tindakan pro aktif (pro active act)
yang diwujudkan dalam aksi bersama
(collective action) untuk pemenuhan
kebutuhan bersama dalam memecahkan
berbagai permasalahan kesehatan yang
terjadi.
Peran aktor utama seperti tokoh
masyarakat dan perangkat desa serta
aktor pelaksana di lapangan seperti
anggota masyarakat juga berkontribusi
terhadap keberadaan modal sosial
masyarakat Desa Sri Katon.
Menurut World Bank (2009),
masyarakat melalui kepercayaan dan
jejaring sosial baik informal maupun
formal, modal sosial mampu membantu
warga masyarakat terutama yang
bermukim di pedesaan untuk mengakses
informasi kesehatan, mendesain sistem
penyelenggaraan pelayanan kesehatan,
46
bertindak kolektif untuk memperbaiki
infrastruktur, mendukung upaya-upaya
preventif kesehatan dan mengubah
norma-norma kultural yang merugikan
kesehatan.
III.2.1 Peran Pemerintah Bagi Kesehatan Masyarakat di Desa Sri
Katon
Menguatnya peran masyarakat Desa
Sri Katon yang mampu menyelesaikan
berbagai
permasalahan
kesehatan
bersama yang terjadi di masyarakat, tidak
mengecilkan peran Dinas Kesehatan
Kabupaten Bengkulu Tengah melalui
Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang
membawahi Desa Sri Katon yaitu
Puskesmas Sri Kuncoro. Keberadaan
Puskesmas Sri Kuncoro yang didirikan
sejak Tahun 2009 dan berjarak ± 4 km
dari Desa Sri Katon ikut memberikan
kontribusinya terhadap kompleksnya
permasalahan kesehatan yang terjadi di
desa.
Dinas Kesehatan pada tahun 2008,
membangun sebuah Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes) di atas tanah yang dihibahkan
oleh warga desa. Poskesdes yang ditempati
oleh bidan desa memberikan kemudahan
bagi masyarakat yang memerlukan
pelayanan kesehatan pada tingkat dasar.
Bentuk kerja sama antara anggota
masyarakat dengan pemerintah, dalam
hal ini bidan desa dan Dinas Kesehatan,
juga merupakan bentuk dari linking
social capital yaitu hubungan sosial yang
memiliki karakter adanya hubungan di
antara beberapa level dari kekuatan sosial
maupun status sosial yang ada dalam
masyarakat.
Kurniawan Arianto - Eliza Nur Fitriana, Modal Sosial dalam Kemandirian Masyarakat di Bidang Kesehatan
III.3.1 Upaya Mempertahankan Aksi
Bersama (Collective Action):
Modal Sosial Di Tengah Keberagaman
III.3 Dinamika Modal Sosial Masyarakat
Desa Sri Katon
Adanya pengaruh dari globalisasi dan
semakin beragamnya å≈penduduk yang
bertempat tinggal di Desa Sri Katon menjadi
dinamika tersendiri terhadap keberadaan
dan bertahannya modal sosial yang dimiliki
masyarakat. Modal sosial yang dimiliki
masyarakat Desa Sri Katon berdasarkan hasil
penelitian dapat dikatakan telah ada secara
alamiah sejak desa ini pertama kali dibentuk.
Sejumlah upaya yang telah atau akan
dilakukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan semangat modal sosial,
berdasarkan hasil penelitian adalah
dengan tetap mempertahankan berbagai
tradisi yang sudah ada sejak lama di
masyarakat.
Berbagai tradisi tersebut selain sebagai
warisan budaya, juga mampu menjadi
ajang pertemuan warga, mempererat tali
silaturahmi, meningkatkan rasa saling
percaya, saling peduli, saling tolongmenolong dan saling kerja sama antar
anggota masyarakat.
Hal ini dibuktikan dengan berbagai
tradisi yang tetap dilaksanakan hingga saat
ini. Tradisi-tradisi tersebut di dalamnya
terdapat nilai-nilai seperti saling percaya,
saling peduli, solidaritas, kemampuan
membangun jaringan kerja sama dan
tindakan pro aktif yang dilandasi oleh norma
yang mampu mengikat semua masyarakat
desa yang diwujudkan dalam aksi bersama
(collective action) untuk pemenuhan
kebutuhan bersama masyarakat.
Peran perangkat desa, tokoh
masyarakat, tokoh agama serta kader
kesehatan sangatlah penting sebagai
teladan bagi masyarakat, mampu
bertindak transparan dan bertanggung
jawab dalam setiap kegiatan yang
dilaksanakan di desa. Keterlibatan
aktif dari seluruh unsur masyarakat
juga harus tetap dipertahankan. Setiap
unsur masyarakat diberikan kesempatan
yang sama untuk berpartisipasi,
mengemukakan ide atau pendapatnya
demi penyelesaian masalah bersama.
Kemampuan
masyarakat
untuk
mempertahankan keberadaan modal sosial
di masyarakat juga tidak bisa dilepaskan oleh
beberapa aktor utama yaitu pemimpin yang
ada di desa baik itu tokoh masyarakat, tokoh
agama atau dari perangkat desa maupun
aktor pelaksana yang secara langsung bekerja
di lapangan. Seperti pengakuan beberapa
anggota masyarakat yang diwawancarai
peneliti, sosok aktor utama (tokoh
masyarakat) seperti Bapak Harjono yang
sangat dihormati dan didengarkan petuah
serta nasihatnya oleh seluruh masyarakat
desa, ikut berkontribusi positif terhadap
bertahannya semangat modal sosial yang
dimiliki masyarakat desa hingga saat ini.
Modal sosial sejatinya tidak bisa
bertahan dengan sendirinya secara
alamiah, tetapi harus selalu diupayakan
untuk dipertahankan dan ditingkatkan
melalui keteladanan tokoh masyarakat,
tokoh agama, perangkat desa, kader
kesehatan, petugas kesehatan selalu
mengajak masyarakat dalam setiap
kegiatan bersama, memberikan motivasi
untuk terus meningkatkan kemandirian
masyarakat di bidang kesehatan.
Sementara itu, sosok aktor pelaksana
di lapangan seperti Bapak Suradi dan Ibu
Istilah, merupakan anggota masyarakat yang
mampu menjadi penggerak dan motivator
bagi anggota masyarakat lainnya untuk
melakukan aksi sosial demi pemenuhan
kebutuhan masyarakat desa.
47
Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik JKAP Vol 17 No 2 - November 2013
Masyarakat juga harus selalu
mengembangkan berbagai ide dan
inovasi yang ditujukan untuk pemenuhan
kebutuhan bersama masyarakat.
V. PENUTUP
Lemahnya kemampuan pemerintah dalam
pemenuhan sarana pelayanan publik terutama di bidang pelayanan kesehatan serta
masih rendahnya tingkat perekonomian
warga menyebabkan semakin kompleksnya
permasalahan kesehatan bersama yang
dihadapi oleh masyarakat. Terbentuknya
perkumpulan atau kelompok kesehatan
di Desa Sri Katon sesungguhnya didasari
oleh kebutuhan bersama (collective needs)
yang murni berasal dari masyarakat
untuk meningkatkan status kesehatan
masyarakat. Masyarakat Desa Sri Katon
dengan keberagaman penduduknya mampu
membangun jaringan kerja sama (networks)
untuk mengatasi berbagai permasalahan
bersama yang dihadapi termasuk bidang
kesehatan.
Kerja sama yang terjalin mampu
menjadi ikatan sosial (bounding social
capital) antar anggota masyarakat, jembatan
sosial (bridging social capital) antar anggota
masyarakat, kelompok yang terbentuk juga
mampu menjadi linking social capital di
mana masyarakat mampu menjalin kerja
sama dengan pihak pemerintah dan sektor
lainnya.
48
Masyarakat mampu membangun
jaringan (networks) kerja sama antar sesama
anggota masyarakat yang dilandasi oleh rasa
saling percaya (trust), saling peduli, saling
tolong menolong, kepatuhan terhadap nilai
(values), norma (norms) yang berlaku dan
telah disepakati bersama serta tindakan
pro aktif (pro active act) yang diwujudkan
dalam aksi bersama (collective action)
untuk pemenuhan kebutuhan bersama
dalam memecahkan berbagai permasalahan
kesehatan yang terjadi.
Hal tersebut merupakan bentuk
partisipasi masyarakat yang sangat baik
dewasa ini sebagai perwujudan segitiga good
governance yang menempatkan masyarakat
sipil sebagai salah satu pilar utamanya.
Keberhasilan masayarakat Desa Sri Katon
teresebut bisa menjadi lesson learned atau
bench marking bagi desa-desa lainnya di
Kabupaten Bengkulu Tengah.
Kurniawan Arianto - Eliza Nur Fitriana, Modal Sosial dalam Kemandirian Masyarakat di Bidang Kesehatan
DAFTAR PUSTAKA
Amien, M.A. 2005. Kemandirian Lokal:
Konsepsi Pembangunan Organisasi dan
Pendidikan dari Perspektif Sains Baru.
Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Azwar, Azrul. 1996. Pengantar Administrasi
Kesehatan. Penerbit Binarupa Aksara.
Jakarta.
Bhuiyan, A.H dan Evers Hans Dieter.
2004. Social Capital and Sustainable
Development: Theories and Concepts.
ZEF Working Papers Series. Center for
Development Research. Germany.
Field, Jhon. 2010. Modal Sosial. Penerbit
Kreasi Wacana. Yogyakarta.
Fukuyama, Francis. 2002. Trust, Kebajikan
Sosial dan Penciptaan Kemakmuran.
Penerbit CV. Qalam. Yogyakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pedoman
Pengembangan Desa Sehat. Penerbit
Sekretariat Jenderal Kementerian
Kesehatan RI. Jakarta.
Murthi, Bhisma. 2010. Determinan SosioEkonomi, Modal sosial dan Implikasinya
Bagi Kesehatan Masyarakat. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.
Trihono. 2005. Manajemen Puskesmas
Berbasis Paradigma Sehat. Penerbit CV.
Sagung Seto. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Kesehatan. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 144. 13
Oktober 2009. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 150. 19 Oktober
2004. Jakarta.
Winarno, Budi. 2008. Globalisasi: Peluang
atau Ancaman bagi Indonesia. Penerbit
Erlangga. Jakarta.
Mas’oed, Mochtar. 1994. Good Governance
In Regional Government. Penerbit
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
49
PANDUAN UNTUK PENULIS
Redaksi Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik (JKAP) mengundang pembaca untuk
mengirimkan tulisan untuk dimuat di jurnal ini. Ketentuan penulisan naskah adalah sebagai
berikut.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Naskah dapat berupa hasil penelitian, artikel berisi pemikiran dan penilaian terhadap buku,
yang belum dan tidak akan dipublikasikan dalam media cetak lain.
Naskah harus asli, bukan jiplakan, dan tidak mengandung unsur plagiarisme.
Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris baku dengan intisari dalam Bahasa
Inggris DAN Bahasa Indonesia. Intisari tidak lebih dari 250 kata dengan disertai 3-5 istilah
kunci (keyword).
Naskah berupa ketikan asli atau soft copy dengan panjang antara 15 sampai 25 halaman. Diketik di kertas ukuran A4, Times New Roman font 12, spasi ganda.
Judul diusahakan cukup informatif dan tidak terlalu panjang, judul yang terlalu panjang harus
dipecah menjadi judul utama dan anak judul.
Naskah ditulis dengan sistematika jelas yaitu Pendahuluan, Tinjauan Teori, Metode Penelitian, Hasil Analisis dan Diskusi, Penutup (terdiri dari Kesimpulan dan Saran). Penomoran
sistematika menggunakan huruf Romawi.
Naskah ditulis dengan menggunakan pedoman ilmiah (judul, karangan, judul tabel, daftar
pustaka, kutipan, dll), mengikuti panduan pengutipan yang benar.
Penulisan daftar pustaka mengikuti aturan APA-Harvard, ditulis dalam urutan abjad secara
kronologis:
a. Untuk buku: nama pengarang. tahun terbit. judul. edisi. nama penerbit. tempat terbit.
Contoh:
Hicman, G.R dan Lee, D.S. 2001. Managing Human Resources in The Public Sectors: A
Share Responsibility. Harcourt Collage Publisher. Forth Worth.
b. Untuk karangan dalam buku: nama pengarang. tahun. judul karangan. judul buku. nama
editor. halaman permulaan dan akhir karangan.
Contoh:
Mohanty, P. K. 1999. Minicapality Decentralization and Governance: Autonomy, Accountability and Participation. Decentralization and Local Politics. Editor S.N. Jan and
P.C. Marthur. Sage Publication. New Delphi. 212-236.
c. Untuk karangan dalam jurnal/majalah: nama pengarang. tahun. judul karangan. judul jurnal/majalah. volume(nomor). halaman permulaan dan halaman akhir karangan.
Contoh:
Dwiyanto, Agus. 1997. Pemerintahan yang Efisien, Tanggap dan Akuntabel: Kontrol atau
Etika?. JKAP. 1(2): 1-4.
d. Untuk karangan dalam pertemuan: nama pengarang. tahun. judul karangan. nama pertemuan. tempat pertemuan. waktu.
Contoh:
Utomo, Warsito. 2000. Otonomi dan Pengembangan Lembaga di Daerah. Seminar Nasional Professional Birokrasi dan Peningkatan Kinerja Pelayanan Publik. Jurusan Administrasi Negara, FISIPOL UGM. Yogyakarta. 29 April 2000.