Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pancasila sebagai suatu falsafah bangsa Indonesia. Yang mana selalu dijadikan acuan dalam berperilaku dan menjalankan bangsa ini. Tidak jauh beda dengan kehidupan perpolitikan, etika dalam hal ini merupakan dasar perilaku yang pada perkembangannya dilahirkan dari suatu nilai serta norma. Pancasila juga sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai. Pancasila merupakan landasan ideologi sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran dari norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainya. Dalam filsafat Pancasila terkandung didalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis, dan komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek praksis melainkan suatu nilai yan bersifat mendasar. Nilai-nilai pancasila kemudian dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma tersebut meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian yang kedua adalah norma hukum yaitu suatu sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia, Pancasila juga merupakan suatu cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara dan berasal dari bangsa Indonesia sendiri sebagai asal mula (kausa materialis). Pancasila bukanlah merupakan pedoman yang berlangsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum baik meliputi norma moral maupun norma hukum, yang pada giliranya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan. BAB II PEMBAHASAN Pengertian Etika Dalam ilmu filsafat, ada dua pembicaraan yang kerap dimunculkan, yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Pada kelompok filsafat teoritis membahas tentang mempertanyakan segala sesuatu yang ada (metafisika/ontologi). Dan sedangkan pada filsafat praktis membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang (aksiologi). Filsafat teori berkisar pada dunia idea manusia sedangkan filsafat praktis berkisar dalam dunia realita. Etika merupakan kelompok filsafat praktis, yang dibagi lagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral (Suseno,1987). Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. Dan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan pelbagai aspek kehidupan (Suseno,1987) Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma. 2003) hal 86. Etika berkaitan dengan berbagai masalah “velue” atau nilai karena pada pokoknya, etika berkutat dan membicarakn masalah-masalah yag berkaitan dengan predikat “susila” dan “tidak susila”, “baik” dan ”buruk”. Sebagai bahasan khusus etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memiliki dikatakan tidak susila. Sebenarnya etika lebih banyak menyangkut dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah lakumanusia (Kattsoff,1986). Dapat juga dikatakan jikalau etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan denagn tingkah laku manusia. Politik Pengertian kata politik berasal dari kata Politics, artinya bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang biasa bersangkutan dengan proses tujuan, penentuan-penentuan tujuan dari sistem tersebut dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan tersebut. Ibid,,,hal 95 Pengambilan suatu keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu yang menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang dipilih. Untuk pelaksanaan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum, yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau distributions dari sumber-sumber yang ada.  Untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan suartu kekuasaan, dan kewenangan yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi, dan jika perlu dilakukan suatu pemaksaan. Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka (statement of intents) yang tidak akan pernah terwujud. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat, dan bukan merupakan tujuan pribadi. Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan. Nilai Nilai atau velue merupakan bagian dari filsafat yang dibahas dalam filsafat nilai (axiologi, theory of value). Istilah nilai dalamfilsafat dipakai untuk menunjukkan hal yang abstrak yang artinya “keberhargaan” atau “kebaikan”, dan kata kerja yang artinya suatu tundakan kejiwaan tertentu dalam melakukan penilaian (Frankena.226). Dalam Dictinoionary of Sociology and Related Sciences, nilai merupakan kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Nilai pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada perbuatan. Melakukan penilaian berarti menimbang , suatu kegiatan manusia yang menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dan kemudian untuk diambil keputusan. Unsur nilai kait hubungannya dipengaruhi dengan unsur-unsur seperti jasmani, akal, rasa karsa dan kepercayaan. Ibid,,,hal 87 Norma Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan motivasi tertentu. Norma sesungguhnya perwujudkan martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh sebab itu, norma  dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum, dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dapat dipatuhi Moral Istilah moral berasal dari kata latin “mores” yang berarti norma-norma baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, atau akhlak manusia. Di dalam bidang filsafat, moral membahas kesusilaan mengenai ajaran-ajaran yang baik dan buruk www.wordpress.com. Manusia berkewajiban mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran moral tersebut, agar di dalam pergaulan dengan sesama manusia dapat terjalin suatu hubungan yang baik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, serta susila. Jadi manusia dikatakan bermoral ketika setidaknya mempunyai pertimbangan baik buruk dalam berakhlak. Dapat disimpulkan bahwa moral merupakan ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan akhlak. Jadi, moral membicarakan tingkah laku manusia atau masyarakat yang dilakukan dengan sadar dipandang dari sudut baik dan buruk sebagai suatu hasil penilaian. Etika Politik Etika seperti yang telah dijelaskan sebelumnya jika dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membahas prinsip-prinsip dasar bagi segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip itu di dalam hubungannya dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkup kehidupan. Etika khusus dibedakan menjadi pertama: etika individual, yang membahas tentang kewajiban manusia sebagai individu terhadap dirinya sendiri, serta melalui suara hati terhadap Tuhannya. Dan kedua: etika sosial yang membahas kewajiban serta norma moral yang seharusnya dipatuhi dalam hubungan dengan sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara. Etika sosial memual banyak etika yang khusus mengenai wilayah-wilayah kehidupan manusia tertentu, misalnya etika keluarga, etika profesi, etika lingkungan dan etika lain yang menyangkut simensi politis manusia Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma. 2003) hal 94. Secara subtansi pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subyek sebagai pelaku rtika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan pengertian moral selalu merujuk pada subyek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam hubungannya denga masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan pada hakikat manusia sebagai makluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan masyarakat, bangsa maupun negara bisa berkembang ke arah keadaan yang tidak baik dalam arti moral. Misalnya suatu negara dikuasai oleh sebuah rezim dan memaksakan kehendaknya. Dalam masyarakat aynga demikian maka seorang yang baik secara moral kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta masyarkat otoriter, karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan yang buruk dalam sauatu masyarakat negara. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepasa ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia (Suseno, 1987) Ibid,,,hal 95. Hukum dan kekuasaan negara adalah pembahasan utama etika politik. Hukum di posisikan sebagai lembaga penata masyarakat yang sifatnya normatif, sedangkan kekuasaan negara ialah lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia, sebagai mahluk individu dan sosial. Dua hal ini tidaklah dapat dipisahkan, hukum tanpa kekuasaan negara tidak punya daya apapun, terkunci suaranya, sedangkan negara tanpa hukum ialah pincang. Prinsip-prinsip etika politik yang dijadikan sebagai orientasi utama bagi negara ialah terwujudnya cita-cita the rule of law, partisipasi demokratis masyarakat, jaminan HAM menurut nilai-nilai khas dalan paham kemanusiaan serta struktur sosial budaya masyarakat. Syahrial Syarbani, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003) hal 29 Dimensi Politis Manusia Manusia sebagai makluk Individual-Sosial Paham individualisme yang asal usul lahirnya seuah pandangan yang biasa disebut paham liberalisme, yang mana memandan bahwa manusia sebagai makhluk individu yang bebas. Hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama sselalu diukur menurut kepentingan dan tujuan yang berdasarkan prespektif sifat dari kodrat manusia sebagai individu. Pandangan yang berkembang di kalangan kolektivisme merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme yang memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja. Manusia di pandang sebagai sekedar sarana bagi masyarakat. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filosofi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai individu dan segala aktivitas dan kreativitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini di karenakan manusia sebagai warga masyrakat atau sebagai makhluk sosial. Manusia di dalam hidupnya mampu bereksistensi karena orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena dalam hubungannya dengan orang lain. Segala keterampilan yang dibutuhkannya agar berhasil dalam segala kehidupannya serta berpartisipasi dalam kebudayaan diperolehnya dari masyarakat. Dasar filosofis sebagai mana terkandung dalam Pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah bersifat ‘monodualis’. Yaitu sebagai makluk sosial dan makluk individu. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia bukanlah totalitas individual maupun sosial, melainkan monodualistis. Dimensi Politis Kehidupan Manusia Berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, dimensi politis mencakup lingkaran kelembagan hukum dan negara, sistem – sitem nilai serta ideologi yang memberikan legitmimasi kepadanya. Dalam hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, dimensi politis manusia senntiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitn dengan kehidupan masyrakat secara keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis manakala diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran manusia akan dirinya sendiri sebagai anggota masyarakat sebagai sutu keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan di tentukan kembali oleh kerangka kehidupannya serta ditentukan kembali oleh tindakan – tindakannya Ibid,,,hal 96. Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundmental, yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak, sehingga dua hal tersebut dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Jikalau pada tingkatan moralitas dalam kehidupan manusia sudah tidak dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapi orang lain dalam masyarakat, maka harus dilakukan suatu pembatasan normatif. Hukum terdiri dari norma batul dan salah yang bersifat normatif, dan tidak ssecara efektif dan otomatis mampu menjamin agar setiap anggota taat Oleh karena itu dibutuhkan lembaga untuk menegakkannya, yang dalam hal ini adalah negara. Dengan demikian hukum dan kekuasaan negara merupakan aspek yang berkaitan langsung dengan etika politik. Hukum sebagai penataan masyarakat secara normatif, serta kekuasaan negara sebagailembaga penata masyarakat yang efektif. Hukum tanpa kekuasaan hanya akan menjadi aturan yang kosong, sedangkan negara tanpa hukum akan merosot menjadi tak manusiawi. Oleh karena itu baik hukum maupun negara memerlukan legitimasi. Hukum harus mampu menunjukkan bahwa tatanan adalah dari masyarakat bersama demi kesejahteraan bersama. Maka etika politik berkaitan dengan objek forma etika, yaitu tinjauan berdasarkan prinsip-prinsip dasar etika, terhadap objek materi politik yang meliputi legitimasi negara, hukum, kekuasaan serta penilaian kritis terhadap legitimasi-legitimasi tersebut. Nilai Pacasila sebagai Sumber Etika Politik Sebagai dasar filsafat negara Pacasila tidak hanya merupakan sumber bagi peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta berbaai kebijakna dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ serta sila kedua ‘Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan sumber nilai-nilai oral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Negara Indonesia yang berdasarkan sila I ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ bukanlah negara ‘Teokrasi’ yang mendasarkan kekuasaan negara dan penyelenggaraan negara pada legimasi religius. Kekuasaan kepala negara tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius, melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta serta legitimasi demokrasi. Oleh karena itu aasa sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ lebih berkaitan dengan legitimasi moral. Hal inilah yang membedakan negara yang Berkedaulatan Yang Maha Esa dengan negara teokrasi. Walaupun dalam negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitimasi religius, namun secara moralitas kehidupan negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam kehidupan negara Ibid,,,hal 100. Hal ini pada dasarnya juga memuat pengakuan tersirat akan eksistensi Tuhan sebagai Pencipta universum. Ini juga menunjukkan relasi esensial antara yang “diciptakan” dan yang “mencipta”. Selain sila pertama, sila kedua juga merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan negara. Negara pada prinsipnya merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makluk Tuhan. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama dalam satu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip hidup demi kesejahteraan bersama (sila III). Oleh karena itu asas-asa kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan negara dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus mandapat jaminan hukum, maka hal inilah yang diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak dasar (asasi) manusia. Selain itu asa kemanusiaan juga harus merupakan prinsip dasar moralitas dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara Ibid,,,hal 101, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan (1) asas legalitas/legitimasi hukum, yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, (2) disahkan dan dijalankan secara demokrastis/legitimasi demokrasi1. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral religius (sila I) serta moral kemanusiaan sila (sila II). Hal ini ditegaskan oleh Hatta tatkala mendirikan negara, bahwa negara harus berdasarkan moral Ketuhanan dan moral kemanusiaan agar tidak terjerumus ke dalam negara kekuasaan. Selain itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip ‘legitimasi’. Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu ‘keadailan’ dalam hidup bersama (keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam sila V, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku. Pelanggaran atas prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidak seimbangan dalam kehidupan negara. Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksaanaan serta kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila IV) Ibid,,,hal 102. Oleh karena itu rakyat merupakan asal muasal kekuasaan negara. Oleh karena itu segala aturan serta kebijakan dalam penyelenggaran negara harus dikembalikan kepada rakyat. Maka dari itu dalam pelaksanaan politik praktis yang dalam hal ini seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif setiap keputusan yang di ambil, serta pengawasannya harus berdasarkan legitimasi rakyat. Prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam realisasi praktis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara korelatif diantara ketiganya. Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negeri maupun luar negeri, ekonomi baik nasional maupun global, yang menyangkut rakyat dan yang lain selaiin berdasarkan hukum yang berlaku (legitimasi demokrasi) dan harus berdasarkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral). Misalnya kebijakan kenaikan BBM, TDL listrik dan kebijakan ekonomi baik makro dan mikro serta segala kebijakan harus berdasarkan tiga prinsip di atas. Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut andil dan terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para pejabat negara, anggota DPR maupun MPR aparat pelaksana dan penegak hukum, harus menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokrasi juga harus berdasarkan pada legitimasi moral. Misalnya suatu kebujakan itu sesuai dengan hukum belum tentu sesuai denagn moral. Misalnya gaji para pejabat dan anggota DPR, MPR sesuai dengan hukum, namun mengingat kondisi rakyat yang sangat menderita belum tentu layak secara moral (legitimasi moral). Pola berpikir guna membangun kehidupan politik secra jernih mutlak dibutuhkan. Pembangunan moral politik guna melahirkan kulutr politik yang berlandaskan pada iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjalin suasana kasih sayang antar sesama manusia Indonesia, yang berbudi kemanusiaan luhur, mengindahkan kaidah-kaisah musyawarah secara kekeluargaan serta menjalin asas pemerataan keadilan sosial tanpa pandang bulu. Etika politik bergerak dalam ranah praktis yang didasarkan pada kesadaran, ikhlas dan jujur dalam melaksanakan hukum yang berlaku tanpa ada rasa takut akan hukuman ataupun sanksi. Contohkan saja pada negara Jepang, yang apabila pejabatnya atau orang pemerintahannya melakukan hal-hal tidak pantas dengan apa yang ia sumpahkan dan janjikan, maka seketika itu juga ia mengundurkan diri dari jabatannya. Inilah yang dimaksud etika politik, kesadaran akan esensi berpolitik yang bersih, atau dengan kata lain perpolitikan madani. Pada tataran tertingginya, etika politik mendorong timbulnya kesdaran tinggi. Ia tidak diatur dalam hukum tertulis secara lengkap, ia bersumber dari hati nurani, dari rasa malu kepada masyarakat dan rasa takut kepada Tuhan. Adanya etikad baik dalam hidup bernegara, mampu mengukur secara seimbang antara hak yang dimiliki dan kewajiban yang ditunaikan, tidak berambisius tinggi dalam merebut jabatan kekuasaan, namun mampu membekali diri secara kompetitif serta tidak melakukan tindakan-tindakan kecurangan lainnya. Atau dengan kata lain, tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan politik. Syarial Syarbani, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003) hal 46 BAB III PENUTUP Kesimpulan Sesungguhnya etika politik berhubungan pelaksanaan seluruh civitas dalam menjalankan suatu negara. Yang mana dalam suatu negara terdiri dari dua unsur terpenting sebagai obyek dan subyek. Yaitu pemerintah dan rakyat. Yang mana keduanya merupakan manusia yang merupakan makluk monodualisme. Di satu sisi sebagai mono individualis dan di sisi lain berperan sebagai mono sosialis. Yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Manusia yang secara kodrat memiliki hasrat dan mempunyai dimensinya baik individul-sosial maupun dimensi politik. Yang mana politil disini sebagai hasrat perubahan yang lebih baik. Yang unsur serta prinsip yang telah dijelaskan di atas. Yag intinya dalam menjalankan sebiuah sistem perpolitikan dibutuhkan sebuah etika. Demi tercapainya tujuan dari politik tersebut. DAFTAR PUSTAKA Kaelan. 2007. Pendidikan Pancasila.Yogyakarta: Paradigma Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila.Yogyakarta: Paradigma Syarbani, Syahrial. 2003. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta: Ghalia Indonesia www.wordpress.com 12 | Pancasila sebagai Etika Politik