Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Hegemoni Positivisme Terhadap Pendidikan DI Indonesia

2020, Journal Analytica Islamica

ANALYTICA ISLAMICA: Vol. 22. No. 1 January - June 2020 HEGEMONI POSITIVISME TERHADAP PENDIDIKAN DI INDONESIA Andit Triono Email bgt.andit@gmail.com Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Muhammad Rafi’i Email arrafii1995@gmail.com STAI Ahsanta Jambi Desinta Setiani Email setianidesinta9@gmail.com Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Abstract: Epistemology in philosophy is an integral part of the construction of knowledge in this world. This epistemology develops later as a design in producing a science. The presence of positivism, which was popularized by Auguste Comte, then complements the two stumps of the basic epistemological philosophies that have developed long before, namely rationalism and empiricism. As a bridge between rationalism and empiricism, positivistic epistemology then appeared to bring colors that were so thick with modern knowledge, even though the tendency was towards empiricism. This positivistic epistemology later became the king of knowledge in the world's formal educational institutions, except in Indonesia. The existing curriculum footprints are indeed thick with the positivistic direction this epistemology contains. The presence of the latest curriculum cannot escape the grip of positivism, and it has always been an important part of evaluation and research. Keywords: Positivism, Educational Curriculum, Educational Trends Pendahuluan Ketika berbicara tentang filsafat, ada tiga term yang selalu diperbincangkan, yakni ontologi, epistimologi dan juga aksiologi. Ilmu pengetahuan (sain s), ontologi membahas perihal hakikat dan juga stuktur sain. Pemahaman tentang hakikat ilmu pengetahuan akan menjawab pertanyaan tentang apa sebenarnya ilmu pengetahuan itu. Sedangkan epistimologi ilmu 89 ANALYTICA ISLAMICA: Vol. 22. No. 1 January - June 2020 pengetahuan menjelajahi seputar objek ilmu pengetahuan, memeroleh ilmu pengetahuan serta mengukur kebenaran ilmu pengetahuan. Sedangkan aksiologi ilmu pengetahuan membahas tentang kegunaan dari ilmu pengetahuan (nilai guna).1 Bertalian dengan ketiga term di atas, epiestimologi memiliki peranan yang sangat vital dalam kontruksi dan juga upaya pengembangan pengetahuan. Hal ini sebab, epistimologi berkaitan dengan cara berpikir dan menentukan validitas sebuah keilmuan.2 Oleh sebab itu, pemahaman dan penguasaan masalah epistimologi yang komprehensif sangat diperlukan. Berkaitan dengan epistimologi dalam tradisi filsafat, maka ada dua kelompok aliran besar, yakni rasionalisme dan empirisme yang merupakan cikal pemantik kemunculan aliran-aliran lainnya. Aliran ini memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap cara pemerolehan dan sumber ilmu pengetahuan. Menurut rasionalisme dalam memperoleh pengetahuan seumber utamanya ialah akal (rasio), sedangkan empirisme ialah pengalaman inderawi.3 Kedua kelompok aliran ini coba diperdamaikan oleh seorang pemikir dari Jerman yakni Imanuel Kant. Hal ini ia lakukan dengan melakukan kritik-kritik tajam terhadap kedua aliran tersebut yang kemudian melahirkan sebuah metode untuk mendapatkan pengetahuan yakni scientific method atau metode ilmiah. Metode ilmiah ini yang kemudian menjadi ciri khas dari universitas di manapun di dunia ini.4 Setelah kemunculan aliran Kritisisme yang dibangun oleh Imanuel Kant pada abad ke-18 masehi yang mendialektikakan kedua aliran besar tersebut, pada abad ke-19 masehi maka muncullah aliran positivisme yang tampil berbeda dengan Kant. Berbeda dengan Kant, positivisme tampil dengan menafikan metafisis. Aliran ini secara general memiliki kecenderungan atau tendensi terhadap aliran empirisme, bahkan merupakan kelanjutan dari empirisme.5 Dalam kaitannya dengan epistimologi, empirisme masih terbatas kepada temuan konseptual generalistik. Teori belum bekerja secara operasional 90 ANALYTICA ISLAMICA: Vol. 22. No. 1 January - June 2020 Andit Triono, dkk: Hegemoni Positividme Terhadap Pendidikan di Indonesia dikarenakan sulit terukur. Oleh sebab itu muncullah positivisme yang menampilkan konsep membentangkan keterukuran sumbangsi tersebut.6 yang sangat Konsep besar bagi ini setidaknya perkembangan pengetahuan dan pola pendidikan era modern ini. Kemudian, bagaimanakah aliran epistimologi positivisme ini muncul? Seperti apa karakteristiknya? Seperti apa konsep ajarannya? Dan apa pengaruhnya terhadap pendidikan? Semua akan penulis paparkan lebih lanjut pada makalah ini. Epistimologi Positivisme Positivisme dalam bahasa Inggris positivism, dari bahasa Latin positivus atau ponere yang berarti meletakkan. Istilah ini merupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang menekankan aspek faktual (positif) pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah.7 Faktual atau positif berarti segala kejadian yang ada dan kejadian yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman objektif. Hal ini bermakna bahwa hal yang metafisis ditolak oleh positivisme, karena tidak nampak dan tidak terukur.8 1) Kemunculan dan Konsep Ajaran Positivisme Positivisme didirikan dan dipopulerkan oleh Augusts Comte (17981857). Comte lahir di Montpellier pada tahun 1798 dari keluarga pegawai negeri menganut agama Katolik.9 Meskipun ia beragama Katolik, tetapi di perjalanan hidupnya ia tidak menunjukkan kesetiaannya terhadap kebangsawanannya dan juga agama Katoliknya.10 Comte merupakan ilmuwan Prancis yang memiliki latar belakang kesarjanaan matematika dan fisika.11 Ia merupakan mahasiswa dan kolega (sekretaris) Saint-Simon (1760–1825) selama beberapa tahun. Selain itu, pemikiran positivisme Comte ini juga banyak dipengaruhi olehnya. Dan salah satu karya besar Comte dalam filsafat ialah Cours de philosophic positive, yang dipublikasikan 1839-1842.12 91 ANALYTICA ISLAMICA: Vol. 22. No. 1 January - June 2020 Positivisme merupakan penggabungan dari pengalaman inderawi dan rasionalitas. Bagi positivisme, pengalaman diperlukan sebagai alat untuk menemukan data sebanyak mungkin agar kemudian akal mampu untuk menemukan hukum yang universalistik. Adapun, pengalaman yang diterima hanya terkungkung pada pengalaman yang bersifat objektif.13 Ini mengafirmasikan kepada aspek positivisme yang paling puncak, yakni penolakannya terhadap validitas spekulasi metafisik. Berdasarkan pemahaman positivistik, maka pengetahuan kita itu terpusat kepada fakta-fakta dan hubungan antara fakta-fakta tersebut. Kita tidak tahu esensi dari sesuatu itu, oleh sebab itu, pengetahuan kita dibatasi oleh pengetahuan kita akan faktafakta tanpa perlu melihat kepada sesuatu yang ada di luar fakta-fakta tersebut.14 Sebab kebenaran empiris menjadi pijakan bagi aliran positivisme, maka Comte memandang bahwa agama merupakan gejala peradaban manusia yang primitif. Baginya, agama tidaklah memiliki arti dan faedah. Hal ini karena agama (Tuhan) menurut Comte merupakan hal yang tidak bisa dilihat, diukur, dianalisis, dan dibuktikan.15 Oleh sebab itu ia membagi perkembangan manusia menjadi tiga tahap, yakni theological, metaphysical, dan positive, yang koresponden dengan tahap perkembangan manusia dari anakanak, remaja, dan dewasa.16 Pada tahap theological atau teologis, manusia percaya bahwa di balik gejala alam ada kekuasaan adi kodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala tersebut. Pada fase ini terdapat tiga periode, yakni animisme, politeisme dan monoteisme.17 Periode animisme adalah periode saat manusia memercayai bahwa ada kekuatan adi kodrati dalam benda-benda. Kekuatan adi kodrati ini kemudian dianggap memiliki pengaruh kekuatan yang maha dahsyat terhadap segala aktivitas yang ada di dunia ini.periode kedua yakni adanya keyakinan akan adanya kekuatan adi kodrati yang serba abstrak. Kekuatan maha dahsyat itu dimanifestasikan dalam imajinasi manusia yang kemudian meyakininya 92 ANALYTICA Vol. 22. No. 1Terhadap January -Pendidikan June 2020 di Indonesia Andit Triono,ISLAMICA: dkk: Hegemoni Positividme sebagai dewa-dewa yang memiliki lahannya masing-masing dan menyebabkan segala kejadian yang ada di alam ini. Adapun periode monoteisme ialah ketika manusia sudah mulai mampu mengimajinasikan kekuatan adi kodrati kepada satu dzat yang memiliki otoritas atas segala sesuatu yang terjadi di alam ini. Kekuatan ini kemudian dimanifestasikan sebagai Tuhan yang tunggal. Kemudian tahap kedua ialah tahap metaphysical atau metafisis, di tahap ini manusia hanya bergeser dari tahap teologis. Pada tahap tersebut, kekuasaan transendental diganti dengan kekuatan yang abstrak, diintegrasikan dengan alam.18 Tahap ini sebgai tahap peralihan yang mulai melihat realitas alam sebagai sebuah keterpaduan yang diatur oleh kekuatan abstrak. Di sini, penggunaan akal rasional manusia mulai beranjak dari fase tidurnya menuju kepada peradaban yang tertinggi menurut Comte. Adapun tahap ketiga ini disebut sebagai tahap positif. Tahap positive atau positif. Suatu tahapan tertinggi dari kehidupan manusia. Manusia telah menafikan upaya pencarian penyebab yang disajikan di balik fakta. Manusia mengobservasi dengan inderanya kemudian melakukan rasionalisasi dengan akalnya untuk memutuskan relasi persamaan dan urutan yang terdapat antara fakta. Tahap terakhir ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang hakiki.19 Inilah tahapan yang paling tinggi dalam peradaban manusia, ketika manusia sudah optimis dengan potensi yang dimilikinya. Fakta-fakta inderawi dapat memberikan pengetahuan yang kemudian diproses dengan rasionalisasi. Pada tahap positif, kekuatan pada diri manusia digunakan secara optimal untuk mendapatkan pengetahuan. Aliran ini mendewaan ilmu dan metode ilmiah. Pada versi awal, metode ilmiah dinilai mampu melakukan pembaruan bagi filsafat, begitupun masyarakat.20 Metodologi tersebut merupakan isu utama yang digaungkan oleh madzhab positivisme, yang menitikberatkan pada aspek ini. Metodologi positivisme berkaitan erat dengan pandangannya tentang obyek positif. Jika 93 ANALYTICA ISLAMICA: Vol. 22. No. 1 January - June 2020 metodologi bisa diartikan suatu cara untuk memperoleh pengetahuan yang sahih tentang kenyataan, yaitu objek positif. Positivisme menganggap bahwa semua objek yang tidak didekati dengan metode observasi dan eksperimen hanyalah dari ciptaan khayalan. Semua masalah bisa diselesaikan dengan ilmu. Dan dewasa ini, positivisme disebut dengan istilah saintisme.21 Jadi dapat kita simpulkan, bahwa aliran positivisme memiliki metode pemerolehan ilmu, yakni metode ilmiah dengan menggunakan observasi dan eksperimen. 2) Perkembangan Aliran Filsafat Positivisme Aliran positivisme kemudian diteruskan dalam positivisme logis. Kalangan positivisme logis biasanya dikenal dengan Lingkaran Wina (Austria). Kalangan Wina mengungkapkan bahwa teori-teori baru dalam ilmu pengetahuan alam (naturalsciences) ditetapkan melalui verifikasi.22 Kelompok ini terdiri dari mereka yang menyibukkan diri dengan ilmu-ilmu alam dan matematika tetapi juga tertarik dan mendalami filsafat.23 Di antara tokohnya ialah O. Neurath, Schlick, Frank, dan lain-lain.24 Sebagai bentuk paham positivistik, aliran positivisme logis memiliki konsep epistimologis yang sama. Aliran ini hadir dengan tujuan untuk membersihkan filsafat dari semua sebab keruwetan dan ambiguitas dengan cara menganalisa bahasa dan ungkapannya, baik apa yang dikatakan oleh para ilmuwan ataupun oleh masyarakat luas. Analisa bahasa ini bertujuan untuk mengorelasikan antara ungkapan-ungkapan dengan pengalaman nyata.25 Dalam aliran ini, proposisi harus disusun berpijak pada data inderawi. Sehingga benar atau tidaknya bahasa ilmiah dapat dianalisis melalui verivikasi faktual.26 Contoh mudahnya, ketika ada seseorang menyatakan bahwa “bola di dalam kardus itu berbentuk bulat” kemudian orang lain mengatakan bahwa “bola di dalam kardus itu berbentuk segitiga”, maka kebenaran dari ungkapan tersebut dapat diverifikasi benar atau salahnya dengan melakukan verifikasi dengan melihat langsung bentuk bola tersebut. 94 ANALYTICA ISLAMICA: Vol.Positividme 22. No. 1 January 2020 di Indonesia Andit Triono, dkk: Hegemoni Terhadap- June Pendidikan Positivisme logis membatasi pemikiran manusia kepada sesuatu yang mampu dibuktikan dengan pengamatan atau analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Pengetahuan ilmiah dalam positivisme logis berkenaan dengan tiga komponen, yakni bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah korespondensi yang mengaitkan keduanya. Bahasa observasional menyatakan informasi faktual, sementara bahasa teoritis tidak memiliki arti faktual hingga pernyataan itu dialihbahasakan ke dalam bahasa observasional dengan mengikuti kaidah korenspondensi. Proses ini nantinya menentukan isi konsep dan pernyataan ilmiah yang diverifikasi secara empiris. Dengan demikian, pengetahuan ilmiah dapat diorganisasikan kembali di dalam satu sistem, yang kemudian sistem ini disebut dengan kesatuan ilmu.27 Jadi, secara prinsip positivisme logis sama dengan positivisme yang digalakkan oleh Comte, yakni sama-sama menitik beratkan kepada hal positif. Oleh karena itu, positivisme juga mutlak menolak kebenaran metafisis. Positivisme juga menganggap bahwa metodologi ilmiah yang dapat diverifikasi adalah sumber pengetahuan satu-satunya yang mampu memberikan keabsahan sebuah pengetahuan. Namun yang berbeda, dalam positivisme logis meyakini bahwa ada hubungannya antara analisis kebahasaan dengan dunia fakta. Penambahan terhadap analisis kebahasaan membuat positivisme logis lebih luas analisa logikanya. 3) Karakteristik Ilmu Pengetahuan dalam Prespektif Positivisme Positivisme yang sejak awal abad ke-20 hingga saat ini telah mendominasi wacana ilmu pengetahuan telah menetapkan kriteria yang menentukan keabsahan atau kebenaran ilmu alam atau humaniora. Sehingga dengan kriteria tersebut sebuah ilmu pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan yang benar, mengikuti kaidah ilmiah. Adapun untuk memenuhi kriteria tersebut, maka sebuah ilmu harus memiliki pandangan dunia positivistik sebagai berikut:28 95 ANALYTICA ISLAMICA: Vol. 22. No. 1 January - June 2020 a) Objektif Teori-teori tentang semesta haruslah bebas nilai. Ilmuwan mengambil jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi gambaran dari realitas. Objektifitas ini penting bagi para ilmuwan agar ilmu yang dihasilkan benar-benar bebas akan nilai dan menghasilkan ilmu yang benar-benar akurat. Ketika sebuah pengetahuan tidak dihasilkan secara objektif, maka pengetahuan tersebut tidak murni dan bisa berdampak buruk bagi keberlangsungan hidup manusia. Subjektivitas ilmuwan akan memberikan campur tangan yang bisa menguntungkan satu pihak dan merugikan di pihak lain. Contoh yang sangat terkenal ialah tentang teori evolusi yang dihasilkan oleh Charles Darwin. Teori yang dihasilkannya dianggap oleh ilmuwan lain sebagai sebuah kebohongan yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera yang berevolusi. b) Fenomenalisme Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak, dan hanya hanya berbicara mengenai semesta yang dapat diamati. Pengetahuan yang dihasilkan merupakan kejadian-kejadian yang sebagaimana adanya, sehingga seorang ilmuwan tidak perlu mencari sesuatu yang berada disebalik kejadian-kejadian tersebut. Data yang didapat hanya sekitar fenomena yang memang nampak secara inderawi bukan hal berkait dengan metafisik. c) Reduksionisme Realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati. Direduksi artinya realitas dipilah-pilah menjadi fakta-fakta nyata yang dapat diamati secara inderawi dan juga dapat diukur. Ketika realitas 96 Andit Triono, dkk: Hegemoni Terhadap- June Pendidikan ANALYTICA ISLAMICA: Vol.Positividme 22. No. 1 January 2020 di Indonesia tidak direduksi, maka akan kesulitan bagi seseorang untuk bisa mendapatkan pengetahuan secara detail dan rinci, sehingga berpengaruh terhadap pengetahuan yang dihasilkan. d) Naturalisme Keteraturan meniadakan peristiwa-peristiwa penjelasan supranatural. di alam Alam semesta semesta yang memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam. Jam bekerja secara otomatis tanpa perlu digerakkan oleh manusia. Semesta ini pun bekerja menurut hukumnya sendiri yang menolak adanya kekuatan yang berada di sebalik fenomena ini. Hal ini yang dijadikan oleh filsuf barat sebagai pegangan yang melahirkan teori kausalitas, yang pada akhirnya meniadakan campur tangan Tuhan dalam setiap sesuatu di dunia ini.29 4) Susunan Ilmu Pengetahuan Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, kaum positivis menawarkan susunan hirarkis yang secara bertahap menuju kepada kesempurnaan pengetahuan. Menurut pandangan Positivistik Comte, ilmu pengetahuan pokok terdiri atas ilmu pasti, astronomi, fisika, kimia, biologi dan puncaknya adalah sosiologi. Setiap ilmu saling terkait, yakni keilmuan yang datang sebelumnya selalu menadi pedoman bagi ilmu yang lahir selanjutnya.30 Semua ilmu pengetahuan dapat dijabarkan kepada salah satu dari enam ilmu tersebut di atas. Ilmu pasti merupakan ilmu yang paling asasi dalam pengetahuan, yang digunakan sebagai alat bantu bagi keilmuan lainnya. Selain hubungan-hubungan matematis, astronomi membicarakan tentang gerak. Dalam fisika ditambah lagi dengan pembahasan materi. Pembahasan materi ini kemudian dibahas tentang perubahan yang terjadi pada materi tersebut (kimia). Perkembangan selanjutnya menjelma dalam biologi yang membicarakan tentang kehidupan. Akhirnya sampailah kepada sosiologi, 97 ANALYTICA ISLAMICA: Vol. 22. No. 1 January - June 2020 yang konsen terhadap gejala-gejala kemasyarakatan yang terdapat pada mkahluk hidup yang terdapat pada biologi.31 Pemahaman positivisme logis yang menekankan konsep kesatuan ilmu mencoba menegaskan determinasi ilmu kealaman terhadap lmu-ilmu kemanusiaan. Dalam praktiknya, metode positivisme yang dipakai kemudian diterapkam kepada seluruh ilmu pengetahuan (terkecuali agama sebab agama dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diverifikasi keabsahannya). Hal ini dapat kita amati melalui penggunaan metode ilmiah pada bidang keilmuan manusia. Metode ilmu-ilmu alam kemudian dimasukkan kepada ilmu-ilmu sosial. Penerapan metode ilmiah ilmu alam ini diterapkan kepada realitas sosial dan bukan lagi tentang sel-sel, asam amino, dan lain sebagainya. Ilmuilmu sosial yang dihasilkan diyakini sebagai potret tentang fakta sosial yang biasa dikenal dengan istilah bebas nilai, yaitu tidak mengandung interpretasi subjektif dari ilmuwannya. Siapa pun dia, asal memenuhi standar prosedur penelitian alam di atas tidak mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkannya. Penelitian dilakukan dengan mengkuantifikasi data dan mencapai perumusan deduktif-nomologis, ilmu-ilmu sosial selalu bertujuan meramalkan dan mengendalikan proses-proses sosial. Sebgaimana semboyan Comte “savior pour prevoir”. Dengan cara ini, ilmu-ilmu sosial dapat membantu terciptanya susunan masyarakat yang rasional.32 Pendidikan dalam Hegemoni Positivisme di Indonesia Positivisme banyak mendasari perkembangan disiplin ilmu, terutama ilmu-ilmu kealaman (natural sciences), dengan demikian pengembangan kurikulum subjek akademis atau kurikulum berbasis ilmu, lebih banyak didasari oleh pemikiran-pemikiran positivisme. Filsafat analitik dan atomisme logis banyak mendasari perkembangan teknologi pendidikan (Educational Technology atau Educational System) sebagai salah satu bidang dan sekaligus aliran pendidikan yang akhir-akhir ini berkembang sangat pesat. Misalnya Kurikulum 98 ANALYTICA Vol. 22. No. 1 Terhadap January -Pendidikan June 2020 di Indonesia Andit Triono,ISLAMICA: dkk: Hegemoni Positividme berbasis kompetensi, kurikulum ini merupakan model kurikulum dalam konsep teknologi pendidikan yang secara jelas banyak mengacu pada pemikiran-pemikiran positivistik ini.33 Misalnya, pada ranah evaluasi, kurikulum ini sangat bertolak pada aspek angka-angka, sehingga menilai kemampuan siswa dengan angka-angka. Kondisi ini memberikan sebuah gambaran, bahwa betapa paham positivisme ini telah merambahi aspek terpenting dalam kehidupan manusia, yakni pendidikan. Konsep positivisme yang masuk dalam kurikulum pendidikan kita tentu saja akan mencetak orang-orang yang sedikit banyak akan mengikuti paham positivistik. Merka akan sedikit banyak terpengaruh oleh ajarannya, yakni tentang sesuatu harus empiris dan dapat diukur. Hal demikian dikhawatirkan akan menimbulkan kelangkaan rasa sebab segala sesuatu harus nampak dan dapat disebutkan dengan angka. Dewasa ini, kurikulum pendidikan di indonesia bergeser paradigmanya. Kurikulum baru disusun dengan menggabungkan asas positivisme yang dibalutkan dengan etika pada aspek evaluasinya. Tentu saja, pengaruh positivisme masih mengungkung pendidikan kita. Sekali lagi, perkembangan ilmu-ilmu di Indonesia banyak dipengaruhi oleh perkembangan ilmu-ilmu Barat. Bagaimanapun, apa yang kita kenal sebagai ilmu pengetahuan modern, entah tentang alam atau tentang masyarakat itu berasal dari Barat. Pengaruh positivisme memberikan masukan metodologi yang bersifat kuantitatif untuk ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial dan ilmuilmu humaniora lain. Dalam ranah penelitian, positivisme secara eksplisit atau implisit terkandung dalam proses penelitian. Paradigma-paradigma penelitian dalam ilmu-ilmu alam sudah diterapkan, entah secara canggih atau kasar, pada ilmuilmu sosial, seolah-olah tanpa persoalan. Namun, justru itulah yang dewasa ini dipersoalkan secara serius di dalam diskusi-diskusi tentang metodologi 99 ANALYTICA ISLAMICA: Vol. 22. No. 1 January - June 2020 penelitian ilmu-ilmu sosial.34 Penggunaan metodologi ini secara nyata digunakan pada setiap lini akademisi di Indonesia. Kesimpulan Positivisme merupakan aliran filsafat yang menganggap pemerolehan ilmu bersumber kepada hal yang faktual bukan pada hal yang metafisis. Positivisme menggabungkan pengalaman inderawi dan rasionalitas akal. Bagi positivisme, pengalaman diperlukan sebagai alat untuk menemukan data sebanyak mungkin agar kemudian akal mampu untuk mendapatkan suatu hukum yang bersifat universal. Aliran positivisme melakukan pendewaan terhadap ilmu pengetahuan dan metode ilmiah. Paham ini diperkenalkan oleh Auguste Comte. Comte bersama paham positivisnya membagi tahapan manusia menjadi tiga tahap, yakni tahap teologis, metafisis dan positif. Dan tahap positif inilah tahap tertinggi seorang manusia. Tahap teologis ialah tahap di mana manusia mulai meyakini adanya kekuatan adi kodrati di dunia ini. Tahapan ini disebut sebagai tahapan paling gelap dalam kehidupan manusia. Adapun tahapan metafisis merupakan peralihan dari peradaban manusia yang mulai mencoba memahami sesuatu di belakang fakta, dan menganggap bahwa apa yang ada (fakta) di dunia ini merupakan peran dari kekuatan supranatural dari entitas metafisik (substansi, roh, esensi dan ide). Kemudian tahapan tertinggi dalam kehidupan manusia adalah tahapan positif, yakni tahap manusia berfikir secara realita. Dalam tahapan ini, berfikir real, faktual dan nyata menjadi dasar dari pengetahuan. Perkembangan filsafat positivisme ini kemudian dilanjutkan oleh ilmuan di lingkaran Wina. Tahap perkembangan ini kemudian memunculkan paham positivisme baru, yakni positivisme logis. Positivme logis ini memberikan warna baru dengan meyakini bahwa ada hubungannya antara analisis kebahasaan dengan dunia fakta. Kebenaran positivis tersebut 100 ANALYTICA Vol. 22. No. 1Terhadap January -Pendidikan June 2020di Indonesia Andit Triono,ISLAMICA: dkk: Hegemoni Positividme setidaknya memiliki kriteria antara lain, objektif, fenomenalisme, reduksionisme dan naturalisme. Berkaitan dengan pendidikan di Indonesia, positivisme menunjukkan hegemoninya dengan masuk kepada ranah-ranah pendidikan formal. Positivisme memberikan pengaruh pemahaman yang bersifat kuantitatif, yakni kebenaran bersifat angka-angka. Mulai dari pengajaran hingga evaluasi pun lekat dengan kuantitatif. Hal lain juga nampak dalam pola penelitian di institusi-institusi pendidikan dan penelitian di Indonesia. Penelitian dengan kerangka kuantitatif juga sangat menjamur dan berkembang, bahkan menjadi sebuah tradisi keilmuan empiris yang pula merambah keilmuan sosial. Dengan demikian, hegemoni positivisme tetap Berjaya di tengah pendidikan kita. Mekipun tidak salah, akan tetapi membentuk individu dengan frame pemahaman positivistik jika tidak diimbangi dengan pendekatan lain akan membawa anak didik kita menjadi manusia angka yang miskin rasa. Endnote: 1 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu :Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Pengetahuan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 21. 2 A. Khudori Saleh, Integrasi Agama & Filsafat : Pemikiran Epistimologi al-Farabi (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), h. 1. 3 Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 111. 4 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat & Etika (Jakarta: Kencana, 2005), h. 88. 5 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 114. 6 Tafsir, Filsafat Ilmu :Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Pengetahuan, h. 32. 7 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 858. 8 Achmadi, Filsafat Umum, h. 116. 9 Praja, Aliran-aliran Filsafat & Etika, h. 133. 10 Irham Nugroho, “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya Terhadap Sains,” Cakrawala: Jurnal Studi Islam 11, no. 2 (12 Desember 2016): 167, https://doi.org/10.31603/cakrawala.v11i2.192. 11 Antony Flew, A Dictionary of Phylosophy (New York: St. Martin’s Press, 1984), h. 283. 12 Turner Wiliam, The History of Philosophy (Boston: Athenaeum Press, 1903), h. 608. 13 Bakhtiar, Filsafat Agama 1 , h. 114. 14 Wiliam, The History of Philosophy, h. 609. 15 Bakhtiar, Filsafat Agama 1, h. 115. 16 Wiliam, The History of Philosophy, h. 609. 17 Praja, Aliran-aliran Filsafat & Etika, h. 134. 18 Praja, h. 134–35. 19 Praja, Aliran-aliran Filsafat & Etika, h. 134–35. 101 ANALYTICA ISLAMICA: Vol. 22. No. 1 January - June 2020 Bagus, Kamus Filsafat, h. 859. Snijders Albert, Manusia dan Kebenaran (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 73. 22 Zaenal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan agama: Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), h. 53. 23 Fu’ad Farid Ismail, Cara Mudah Belajar Filsafat (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), h. 137. 24 Bagus, Kamus Filsafat, h. 862. 25 Ismail, Cara Mudah Belajar Filsafat, h. 137. 26 Akhyar Yusuf Lubis, Fiilsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta: Rajawali Press, 2018), h. 149. 27 Bagus, Kamus Filsafat, h. 861. 28 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif; Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 39–40. 29 Fazlul Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, trans. oleh Mohammad Ahsin (Bandung: Pustaka, 1996), h. 2–4. 30 Praja, Aliran-aliran Filsafat & Etika, h. 135–36. 31 Praja, h. 136. 32 F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 22. 33 Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Ilmu Pendidikan Teoretis, I (Bandung: Grasindo, 2007), h. 102. 34 Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, h. 23. 20 21 102 ANALYTICA ISLAMICA: Vol. 22. No. 1 January - June 2020 DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001. Albert, Snijders. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Bagir, Zaenal Abidin. Integrasi Ilmu dan agama: Interpretasi dan Aksi. Bandung: Mizan, 2005. Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2002. Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif; Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006. Flew, Antony. A Dictionary of Phylosophy. New York: St. Martin’s Press, 1984. Hardiman, F. Budi. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius, 2003. Ismail, Fu’ad Farid. Cara Mudah Belajar Filsafat. Jogjakarta: IRCiSoD, 2012. Lubis, Akhyar Yusuf. Fiilsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press, 2018. Nugroho, Irham. “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya Terhadap Sains.” Cakrawala: Jurnal Studi Islam 11, no. 2 (12 Desember 2016): 167–77. https://doi.org/10.31603/cakrawala.v11i2.192. Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat & Etika. Jakarta: Kencana, 2005. Rahman, Fazlul. Tema Pokok Al-Qur’an. Diterjemahkan oleh Mohammad Ahsin. Bandung: Pustaka, 1996. Saleh, A. Khudori. Integrasi Agama & Filsafat : Pemikiran Epistimologi al-Farabi. Malang: UIN-Maliki Press, 2010. Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu :Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Ilmu Pendidikan Teoretis, I. Bandung: Grasindo, 2007. Wiliam, Turner. The History of Philosophy. Boston: Athenaeum Press, 1903. 103