Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
DIPLOMASI KIAI NAHDLATUL ‘ULAMA (NU)
MELALUI KONFERENSI ULAMA INTERNASIONAL
Andi Purwono
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Wahid Hasyim.
Email : andipurwono75@gmail.com
Abstract
As the largest religious organization, Nahdlatul Ulama has had an
international role since its inception. One of these roles is realized
through the holding of several international conferences. This article
aims to explain the reasons of these conferences and to describe the
activities and contributions to the world and especially towards
Indonesian foreign policy. This qualitative research used
documentary/ literature study in collecting data. The research found
that ideational motivation related to the logic of appropriateness (the
call) to spread the teachings of Islam rahmatan lil alamin was the
reason for the establishment. The conferences gave positive
contribution as religious epistemic community, in building network,
and in the framework of Islamic and western relations. Towards
Indonesian foreign policy, these conferences, firstly emphasized the
washathiyah / moderate character of Indonesian Islam which has
proven to be compatible with democracy and modernity. Secondly,
the thoughts and recommendations generated are valuable inputs for
policy makers. Thirdly, the ulama network also has sharpen
Indonesia's diplomacy in area Indonesia foreign policy
implementation.
.
Key Words: Diplomacy, Conference, Ideational Motivation,
Cononstructivism, Contributioni.
A.
PENDAHULUAN
Sebagai organisasi keagamaan terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama
(NU) memiliki watak global sejak pendiriannya. Sejak berdiri pada tahun
1926, Perjalanan KH.Wahab Chasbullah dalam rangka Komite Hijaz yang
memperjuangkan kebebasan bermazhab yang dianut oleh umat Islam dari
berbagai belahan dunia menunjukkan pandangan global NU. Komite Hijaz
adalah nama sebuah kepanitiaan kecil yang diketuai oleh KH Abdul Wahab
Chasbullah dan bertugas menemui raja Ibnu Saud di Hijaz (Saudi Arabia)
194
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
untuk melakukan diplomasi. Dengan demikian sebagaimana ditunjukkan
dengan keberadaan Komite Hijaz, sejak awal NU berupaya memberikan
respon terhadap perkembangan dunia internasional, dan ini menjadi faktor
terpenting didirikannya organisasi NU.
Di era KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan kemudian KH.
Hasyim Muzadi, kiprah internasional NU semakin kuat. Kiai Hasyim
bahkan berupaya membuka diri untuk berkontribusi pada persoalan dunia
internasional, seperti penanggulangan terorisme, resolusi konflik, isu
radikalisme, isu lingkungan, dan perdamaian dunia.1 Para kiai NU
memperluas jaringan internasional dengan membuka Pengurus Cabang
Istimewa (PCI) NU di sejumlah negara baik eropa, Amerika, Asia, dan
Timur Tengah serta menyelenggarakan diplomasi internasional forum
konferensi internasional seperti ICIS, World Sufi Forum, dan ISOMIL..
Mengapa Nahdlatul Ulama menyelenggarakan diplomasi melalui beberapa
forum konferensi internasional dan apa kontribusinya bagi dunia dan
Indonesia ?
Studi terdahulu tentang diplomasi sering memaknai diplomasi sebagai
proses komunikasi yang diatur.2 Meski semula hanya menjadi aktivitas para
pejabat resmi negara, diplomasi kini juga dilakukan oleh aktor bukan
negara. Hal ini sejalan dengan kebutuhan komunikasi antar entitas di dunia.
Pandangan ini sejalan dengan pemahaman Hamilton dan Langhorne
yang melihat aktor diplomasi bukan hanya negara namun entitas politik.3
Bahkan James der Derian menekankan aspek keterasingan dengan
mendefinisikan diplomasi sebagai mediasi antara individu- individu,
1
Nafiysul Qodar, Kisah KH. Hasyim Muzadi anak tukang roti yang Go Internasional,
http://news.liputan6.com/read/2929927/kisah-kh-hasyim-muzadi-anak-tukang-roti-yang-gointernasional, di unduh pada tanggal 14 juni 2017, pukul 20.54 WIB.
2
Costas M.Costantinou, On the Way to Diplomacy (Minneapolis University of Minesota Press,
1996), h. 25.
3
Keith hamilton and Richard Langhorne, The Practice of Diplomacy: Its Evolution, Theory and
Administration (London and New York: Routledge, 1995)
195
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
kelompok- kelompok, atau entitas- entitas yang terasing,4 terutama, jika ada
batas identitas dan batas itu dilintasi.5
Abad keduapuluh bahkan dicirikan oleh banyaknya diplomasi
multilateral atau diplomasi konferensi.6 Dalam situasi itu, aktor negara dan
bukan negara
berdiplomasi. Salah satu yang timbul kemudian adalah
pertalian dan hubungan simbiosis yang tumbuh antar kedua aktor ini. Oleh
Hocking fenomena ini disebutnya diplomasi katalitik.7
Seiring tumbuh kembang praktek diplomasi ini maka terbentuk
jaringan transnasional. Jaringan bisa didefinisikan sebagai bentuk- bentuk
organisasi yang ditandai dengan pola- pola komunikasi sukarela, timbal
balik, dan horisontal.8 Jaringan ini bisa berisi individu tetapi juga bisa berisi
organisasi- organisasi formal.
Jaringan internasional dan anggotanya biasanya memiliki kesamaan
nilai- nilai tertentu, keyakinan prinsip dan wacana bersama.9 Mereka
bertindak didorong oleh motivasi yang bisa bersifat instrumental yakni
mengejar kepentingan mereka seperti ditunjukkan oleh perusahaan
internasonal. Motivasi lain lebih bersifat kebaikan bersama. Dengan kata
lain, ada aktor yang mengejar keuntungan dan ada yang tidak mengejar
keuntungan.
Pada tipe kedua yakni jaringan transnasional yang tidak mengejar
keuntungan biasanya terdapat advokasi jaringan, kelompok epistemik, dan
aktor transnasional lain. Aktivitas mereka seringkali memiliki dampak pada
kebijakan negara, penciptaan norma internasional, dan difusi norma ke
4
James Der Derian, Mediating estrangement: A Theory for Diplomacy dalam Review of
International Studies (1987 13 (2) h. 91-110)
5
Costantinou, Loc. Cit., h.113.
6
Johan Kauffman, Conference Diplomacy: An Introductory Analysis 3rd Edition (London:
MacMillan, 1996)
7
Brian Hocking, Catalytic Diplomacy: Beyond Newness and Decline dalam Jan Melissen (ed.),
Innovation in Diplomatic Practice (London: MacMillan, 1999)
8
Margareth Keck and Kathryn Sikkink, Activist Beyond Borders: Transnational Advocacy
Networks in International Politics (Ithaca: Cornell University Press, 1998),h. 8.
9
Ibid, h. 2.
196
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
praktek domestik.10 Artinya kekuatan pengetahuan dan keyakinan prinsip
mereka turut memberi pengaruh penting pada politik dunia.
Adapun proses komunikasi yang digunakan mereka bisa berupa
mobilisasi sosial, protes, dan tekanan. Mereka juga bisa mengkerangka
ulang (reframing) isu- isu untuk memobilisasi orang- orang pada ide atau
norma baru. Jaringan transnasional dan komunitas epistemik juga sering
memakai kekuatan argumen. Mereka membenarkan klaim mereka dan
membujuk audience untuk mengubah kepentingan dan kebijakan mereka.
Dalam pandangan Finnemore, mereka bertindak sebagai guru norma.11
Untuk memahami tindakan para agamawan tersebut, tulisan ini
melihatnya dalam kerangka perilaku berbasis norma (norm- based
behaviour). Pemikiran konstruktivisme ini memandang bahwa tindakan
actor didorong oleh motivasi ideasional berdasar logika kepantasan dan
bukan alasan kepentingan materi (logika konsekuensi).12 Menurut
Finnemore dan Sikkink pengaruh norma bisa dilihat melalui proses tiga
tahap13 yaitu norm emergence/ origin/ construction), cascading, dan
internalization.
B.
METODE PENELITIAN
Melalui pendekatan institusi agama, peneliti ingin melihat alasan dan
peran entitas- entitas keislaman dalam diplomasinya.Oleh karena itu, yang
menjadi fokus dalam penelitian ini adalah tentang motivasi dan kontribusi
NU sebagai organisasi Islam dalam diplomasi melalui forum konferensi.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif
10
Seperti karya Ann Florini (ed.), The Third Force: The Rise of Transnational Civil Society
(Tokyo and Washington: Japan center for International Exchange and Carnegie Endowment for
International Peace, 2000)
11
Martha Finnemore, International Organizations as Teacher of Norms: The UNESCO and
Science Policy dalam International Organization, 1993, 47 (4) h. 565-597.
12
Kegley, Charles W., Eugene Wittkopf. World Politics: Trend and Transformation (New York:
ST Martin,s Press., 2010)
13
Martha Finnemore and Kathryn Sikkink, International Norm Dynamics and Political Change,
International Organization, Vol. 52, No. 4, International Organization at Fifty: Exploration and
Contestation in the Study of World Politics. (Autumn, 1998), pp. 887-917.
.
197
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
kualitatif. Adapun sumber data yang akan digunakan adalah sumber data
primer dan sumber data sekunder. Data primer didapatkan dari rekaman
pidato tokoh kunci seperti KH Hasyim Muzadi dan KH Said Aqil Siraj.
Selanjutnya, untuk memperoleh data sekunder, penulis menggunakan
sumber data berupa dokumen dan publikasi resmi terutama tentang konteks
dan konten diplomasi NU.
Data yang terkumpul akan dianalisis secara kualitatif. Tahapannya
antara lain, pertama, reduksi data yang bertujuan untuk menyeleksi,
memilah, memilih, dan mengorganisasikan data ke dalam pola kategori dan
tema tertentu. Kedua, display data yaitu menyajikan data dalam bentuk
model, sinopsis, dan matriks. Ketiga, adalah tahap penarikan kesimpulan.
C.
PEMBAHASAN
C.1. Bentuk- bentuk Konferensi
C.1.1. International Conference of Islamic Scholars (ICIS)
Forum konferensi kiai pertama yang diselenggarakan di era reformasi
adalah International Conference of Islamic Scholars (ICIS) yang didirikan
pada 24 Pebruari 2004 di Jakarta. Konferensi ini dihadiri ulama- ulama
besar Syekh Wahbah Zuhaili (Syiria) dan Syekh Ali At Taskhiri (Iran) serta
67 ulama dan 47 negara, cendekiawan dan pengamat Islam dunia lainnya
yang memiliki kompetensi yang diakui secara internasional menjadi
legitimasi forum ini.
Prinsip pemikiran ICIS adalah mempromosikan pemikiran moderat
Islam dan kebangsaan. Adapun visi ICIS adalah menjadi lembaga yang
mentransformasikan kemuliaan nilai-nilai Islam moderat sebagai pedoman
hidup individual dan etika sosial untuk menciptakan tatanan dunia yang
damai dan berkeadaban. Adapun misinya adalah mengaktualisasikan Islam
Rahmatan Lil’alamin, mengembangkan dan menyebar serapkan nilainilai Islam Aswaja, mendinamisir ulama dalam mewujudkan tatanan
masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban, menjembatani para Ulama
untuk mengembangkan inisiatif penyelesaian konflik menuju perdamaian,
198
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
memperkuat jaringan nasional dan internasional dengan lembaga dan tokohtokoh yang peduli dan mengikatkan diri pada perdamaian.14
Misi pertama dan kedua menunjukkan motivasi ideasional untuk
menyebarkan Islam moderat. Misi ketiga hingga kelima menunjukkan
jaringan sekaligus mekanisme sosialisasi dan pelembagaan dalam
penyebaran norma tersebut. Sebagaimana dikatakan KH Hasyim Muzadi,
ICIS merupakan forum konferensi ulama-ulama dunia lintas negara dan
lintas madzhab dibentuk dengan dua tujuan. Yang pertama adalah
bagaimana menampilkan Islam yang rahmatan lil alamin dan tujuan yang
kedua adalah untuk memperkenalkan bahwa negara Pancasila model
Indonesia adalah alternatf dari negara agama dan negara sekuler, dimana
Indonesia berada di tengah dan penduduknya bisa hidup dalam pluralitas
dengan aman.15 Tujuan pertama tersebut secara tegas menunjukkan upaya
sosialisasi norma ke ranah global. Dalam konferensi ICIS pertama ini lahir
Jakarta Declaration di mana pemikiran keislaman rahmatan lil alamin
menjadi spirit utama di dalam setiap butir deklarasi itu. Deklarasi Jakarta ini
menunjukkan terbangunnya jaringan ulama Islam yang memegang norma.
Ia juga menunjukkan motivasi untuk mengadopsi norma tersebut.
Jaringan yang terbangun kembali dikuatkan dengan perhelatan ICIS
II yang diselenggrakan di Jakarta pada 20- 22 Juni 2006. ICIS II
menghasilkan sebuah dokumen bertajuk Programme of Action to Uphold
Islam as Rahmatan lil Alamin toward Global Justice and Peace yang terdiri
dari 17 paragraf pembuka dan 37 paragraf substantif. ICIS kedua ini dihadiri
oleh lebih dari 300 scholars dari 54 negara, tidak hanya dari negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi juga dari negara di mana
minoritas muslim berada.
Sebagai bagian dari langkah kongkret yang disepakati dalam
programme of action itu, ICIS II telah memberi mandat kepada Sekretaris
Jenderal untuk melakukan hal-hal sebagai berikut. Pertama, studi mengenai
14
http://web.isanet.org/Web/Conferences/GSCIS%20Singapore%202015/Archive/80d19277-25a64fc4-8097-1c55d62c1744.pdf
15
Ibid.
199
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
langkah-langkah paraktis guna mengambil sebesar-besarnya faedah dari
globalisasi yang terus bergilir agar pemenuhan hak-hak politik, ekonomi
dan budaya umat Islam tetap terjaminKedua, pengembangan arahan-arahan
praktis bagi penyelesaian pertikaian dan konflik yang didasarkan pada
ajaran-ajaran
Islam.
Ketiga,
pengembangan data-base yang
memuat
informasi mengenai berbagai organisasi filantropis yang menaruh perhatian
terhadap kegiatan-kegiatan umat Islam. Keempat, pengembangan website,
yang memuat informasi mengenai pendidikan, lembaga pendidikan tinggi,
beasiswa dan bantuan penelitian di negara-negara Islam dan negara-negara
lainnya.Kelima, pengembangan kerangka kebijakan yang memajukan nilainilai dan ajaran Islam mengenai berbagai masalah yang terkait dengan
kepentingan umat manusia, seperti upaya pemajuan HAM, demokrasi,
pendidikan, kesehatan, pemberantasan korupsi dan obat-obatan terlarang.
Keenam, suatu studi mengenai kemungkinan dibentuknya sebuah sebuah
sekretariat tetap untuk ICIS yang berkedudukan di Jakarta dan berafiliasi
sebagai peninjau pada berbagai organisasi internasional, termasuk OKI dan
PBB.
ICIS III diselenggarakan pada 30 Juli sampai 1 Agustus 2009 di Hotel
Borobudur Jakarta Pusat. Kegiatan ini mengambil tema Islam as Rahmatan
Lil 'Alamin: Peace Building and Conflict Prevention in The Muslim World.
Penyelenggaraan ICIS III bertujuan untuk mengurai dan menganalisis
anatomi
konflik
dalam
dunia
Islam,
sekaligus
merekam
upaya
menyelesaikan konflik dan mewujudkan perdamaian.
Pada penyelenggaraan ICIS III dihasilkan keputusan bersama dalam
bentuk “Pesan Jakarta”. Pesan itu antara lain berisi tentang perlunya
menegakkan Islam sebagai Rahmatan lil Alamin melalui pembangunan
perdamaian dan pencegahan konflik di Dunia Muslim. Konferensi
International Ulama dan Cendekiawan Islam ketiga juga menegaskan
kembali keyakinan bahwa nilai-nilai dan ajaran Islam mewajibkan ummah
untuk mendorong perdamaian, keadilan, kebebasan, moderasi, toleransi,
200
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
keseimbangan dan konsultasi serta kesetaraan, sebagai landasan harkat dan
martabat manusia.
ICIS keempat diselenggarakan di Ponpes Salafiyah-Syafi’iyah
Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur pada Maret 2014.Adapun tema konferensi
adalah Penguatan Jaringan Antarulama dan Cendekiawan Muslim untuk
Meneguhkan Nilai-nilai Islam Moderat. ICIS keempat menghasilkan
sembilan rekomendasi hasil diskusi ulama- ulama se-dunia itu terkait
rumusan dan sikap moderat sunni terhadap realitas kekinian, di bidang
pemikiran, ekonomi, politik, pendidikan, tradisi dan budaya, dan lainnya.
Intinya, moderatisme Islam tidak menampik perkembangan yang terjadi,
tapi tetap menjadikan nash atau dalil agama sebagai landasan.
Dengan sembilan rekomendasi itu diharapkan dapat membimbing dan
membina umat Islam dengan cara menyebarkan pemikiran Islam yang
moderat untuk membentuk generasi yang konstruktif, sehingga dapat
menyelesaikan masalah perbedaan dengan cara dialog. Adapun sembilan
rekomendasi yang dihasikan adalah, pertama, menyepakati yang dimaksud
dengan moderasi adalah suatu kebenaran di antara dua kebathilan.Sikap
moderasi dimaksud untuk bisa dilakukan oleh setiap individu dalam
pemikiran, akhlak, prilaku, dan segala tindakannya guna melestarikan
kebaikan individu maupun kelompok masyarakat dengan tanpa adanya
radikalisme atau liberalisme.
Kedua, moderasi pemikiran yaitu suatu ide yang meyakini puritansi
nas-nas agama dalam satu sisi, serta meyakini adanya korelasi nas suci
dengan keadaan waktu dan tempat.Dalam hal ini, tugas ulama dan umat
Islam adalah memberikan pemahaman arti nas suci pada tataran praktis pada
semua sendi kehidupan. Ketiga, moderasi dalam upaya penerapan syar'iyah,
yakni dengan menjauhkan sikap kekerasan dan berlebihan. Di sinilah bias
dipahami sesungguhnya Islam adalah agama damai dan rahmat, serta jauh
dari sifat radikalisme dan liberalism. Keempat, moderasi dalam bertoleransi
yakni dengan memaklumi dan mentolerir adanya eksistensi agama-agama
lain dalam suatu negara.Sebab multi agama dalam kehidupan adalah
201
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
keniscayaan atau sunnatullah. Kelima, moderasi dalam berpolitik yakni
penguatan
terhadap
teori
demokrasi
dan
hak
asasi
manusia
(HAM).Disebutkan, Islam tidak hanya mengajarkan demokrasi dan HAM,
tetapi sebuah konsep universal dengan menghargai sikap demokrasi
menggunakan konsep syuro, dan menempatkan kedudukan manusia dan
hak-haknya pada tempat yang hakiki. Keenam, moderasi dalam pendidikan
dan pengajaran, yaitu peningkatan pendidikan bagi umat Islam dari semua
disiplin ilmu.Umat Islam kini sedang tertantang dalam bidang ilmu,
teknologi, dan informasi. Realitasnya kaum terpelajar dan terdidik dengan
kualifikasi ilmu yang memadai tidak sebanding dengan jumlah umat Islam
sehingga
perlu disiapkan kader yang kompeten sehingga mampu
berkompetisi.
Ketujuh, moderasi
dalam
ekonomi, yakni
menjajikan
alternative peningkatan kesejahteraan bagi umat Islam dengan system
ekonomi yang sesuai syariah. Kedelapan, moderasi dalam tradisi dan
budaya
dengan
menyebarkan
pemikiran
moderat
dengan
sikap
toleran.Dipaparkan, saat ini kebanyakan nilai-nilai tradisi dan budaya
terpasung pada politik praktis yang dikendalikan hawa nafsu yang
menyebabkan pada radikalisme dan liberalisme. Karena itu, menjadi
kewajiban bagi ulama dan cendekiawan untuk memberikan pencerahan
kepada masyarakat mengenai pemikiran dan sikap moderat dalam
mempertahankan
tradisi,
transnasional. Kesembilan, khusus
budaya
dalam
ditujukan
kepada
menghadapi
para
ulama,
cendekiawan, dan para pejabat pemerintahan untuk melaksanakan keputusan
ini. Serta menjaga jaringan antar ulama dan cendekiawan muslim dalam
pengaplikasikan poin-poin hasil konferensi.16
C.1. 2. Al-Multaqo as-Sufy al-Alamy /World Sufi Forum
Selain forum ICIS, Nahdlatul Ulama memiliki forum yang bernama
Al-Multaqo as-Sufy al-Alamy (Konferensi Sufi Internasional). Forum
16
https://www.bangsaonline.com/berita/918/inilah-sembilan-rekomendasi-konferensi-ulamainternasional?browsefrom=mobile diakses pada tanggal 26 Juli 2017 pukul 13.46 WIB.
202
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
internasional tersebut juga berkontribusi mensosialisasikan norma rahmatan
lil alamin dengan mendorong ide Islam dalam perdamaian internasional
khususnya di dunia Islam. Ia menjadi jaringan ulama moderat dari kalangan
pengamal tasawuf yang menyuarakan perdamaian dan rahmatan lil alamin
yang dimotori oleh Jam’iyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdiyah
(Jatman) di bawah PBNU.17
Kegiatan itu bertujuan untuk menggali potensi yang terkandung dari
nilai – nilai ajaran tasawuf dan tarekat untuk membantu mewujudkan
perdamaian dunia yang semakin jauh dari angan- angan. Adapun dalam
pertemuan itu dibahas tentang pentingnya mengupayakan perdamaian dunia
yang digali dari nilai – nilai ajaran tasawuf. Disamping itu dirumuskan pula
langkah bersama untuk mengurangi fanatisme kelompok, menghimpun
silsilah sanad para mursyid dari semua aliran tarekat di seluruh dunia, serta
saling bertukar informasi seputar dunia tasawuf dan tarekat dari berbagai
negara.
Kegiatan ini bisa disebut juga dalam kategori komunitas epistemik di
bidang kesufian karena dihadiri para ulama sufi dan mursyid tarekat dari
dalam dan luar negeri. Di antaranya Syaikh Hisyam Kabbani (Amerika,
Khalifah Naqsyabandi Haqqani), Syaikh Rojab Dib An-Naqsyabandi (Syria,
Mursyid Tarekat Naqsyabandi), Habib Zaid bin Abdurrahman bin Yahya
(Yaman), Syaikh Abdurohim Ar-Rukainy (Sudan, Mursyid Tarekat
Qur’aniyah As-Sunniyah Al-Muhammadiyah aar-Rukainiyah), Syaikh Jibril
Fuad al-Hadad (Brunei, penanggung jawab dakwah Asia Tenggara
Naqsyabandi Haqqani), Syaikh Fuad Suhaimi (utusan khusus Pemimpin
Libya Moammar Qadafi), dan Syaikh Musthafa Mas’ud (Amir Naqsyabandi
Haqqani Indonesia). Dari dalam negeri hadir para mursyid tarekat – tarekat
mu’tabarah di bawah naungan NU. Mereka berjumlah 50 orang. Ditambah
para pengurus Idaroh Aliyah dan Idaroh Wustho Jaatman se-Indonesia
sehingga jumlah mereka sekitar 300 orang. Hadir pula seorang pengamat
dari Jepang Prof Tonaga.
17
Majalah Nahdlatul Ulama Aula No. 08 Tahun XXXIII Agustus 2011 h. 10-16.
203
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
Rais Am PBNU, Dr KH MA Sahal Mahfudz, menilai penggalian
kembali nilai – nilai tasawuf untuk membantu perdamaian dunia saat ini
sangat penting.18 Apalagi dunia sedang dilanda dekadensi moral, pornografi,
korupsi, pelanggaran nilai – nilai dan norma agama Islam. Stigma negatif
juga semakin melekat pada umat Islam, akibat sikap radikal yang dilakukan
sebagai kecil umat Islam. Oleh karena itu, pendekatan tasawuf yang
mengedepankan kejernihan hati dan kebenaran universal menjadi sangat
penting dilakukan. Apalagi di Indonesia tasawuf turut berperan penting
dalam membebaskan diri dari penjajahan.
Ketua Umum PBNU, Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA, menjelaskan,
kembali kepada nilai – nilai ajaran tasawuf saat ini adalah sangat penting
karena terkait toleransi dan perdamaian. Orang NU dikenali memiliki
toleransi yang tinggi karena di dalamnya mengalir nilai – nilai tasawuf yang
kuat. Menurutnya, tanpa tasawuf orang akan sulit toleran.
Konferensi Internasional Ulama digelar oleh Jamiyyah Ahlit Thoriqoh
al Mutabaroh an Nahdhiyah (Jatman) bersama Kementerian Pertahanan RI
pada tahun 2016 diselenggarakan dua kali pada bulan Januari dan bulan Juli.
Konferensi Ulama Internasional Pertama yang dilaksanakan pada 15 Januari
2016 membuahkan hasil yaitu Sembilan Konsensus Bela Negara dan
ditandatangani oleh para ulama. Mereka adalah Habib Muhamad Luthfi Bin
Yahya (Indonesia), Dr. Syekh Muhammad Adnan Al-Afiyuni (Suriah), Dr.
Syekh Aziz al-Idrisi (Maroko), Prof. Dr. Syekh Muhammad Fadhil alJailany (Turki). Habib Zaid bin Abdurahman bin Yahya (Yaman),. Dr.
Syaikh Aziz Abidin (USA), dan
Syekh ‘Aun Mu’in al-Quddumi
(Yordania)19.
Konferensi Ulama Internasional kedua yang dilaksanakan pada 2729 Juli 2017 membuahkan hasil 15 konsensus. Kelima belas konsensus
tersebut dibacakan oleh ulama asal Syiria Syekh Muhammad Adnan al18
Ibid.
Mega Dhian & Wicaksono Rhony, www.timesindonesia.co.id “Para Ulama Internasional
Sepakati Konsensus Bela Negara”, Sabtu, 16 Januari 2017, 22.37. diakses pada Senin, 11
September 2017, 11.32.
19
204
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
Afyuni selaku ulama yang menjadi mufti di Damaskus20. Konferensi ketiga
telah diadakan pula pada 14-18 Januari 2018 dengan mengangkat tema-tema
yang berkaitan dengan nasionalisme seperti tentang “Bela Negara”.
Konferensi Ulama Sufi Internasional (World Sufi Forum) kembali
diselenggarakan
pada 8-10 April 2019 di Pekalongan Jawa Tengah.
Kegiatan yang digelar Jamiyyah Ahlit Thoriqoh al Mutabaroh an Nahdhiyah
(Jatman) bekerja sama dengan Kementerian Pertahanan RI ini mengangkat
tema ‘Peran Tasawuf dalam Menciptakan Kebahagiaan Umat Manusia dan
Keselamatan Negara’.21
Selain ribuan mursyid dan pengurus organisasi pengamal tasawuf
tanah air, lebih dari 96 ulama sufi internasional masyhur dan kompeten
dipastikan hadir seperti dari Mesir, Saudi, Maroko, Pakistan, Syiria, Yaman,
Yordania, Libanon, hingga beberapa negara Eropa dan Amerika. Bahkan
Grand Syekh al Azhar Syeikh Ahmed al-Tayeb yang beberapa waktu lalu
menandatangani Deklarasi Persaudaran Kemanusiaan bersama Paus
Fransiskus juga dijadwalkan memberikan paparan.
Dengan diadakannya konferensi ulama internasional oleh JATMAN
tersebut, Menurut Dr. Hamdani selaku pengurus dari JATMAN sangat
mengapresiasi adanya konferensi ulama internasional yang digagas oleh
Habib Muhammad Luthfi bin Yahya (Ra’is Aam JATMAN) “saya pikir ini
adalah sejarah, sehingga thariqoh tidak hanya dikonotasikan sebagai orangorang ahli dzikir, tetapi juga memiliki komitmen nasionalisme, bahkan ini
mendunia, dengan acara konferensi internasional ulama Thariqoh sedunia
ini, menunjukan bahwa ahli thariqoh itu juga berkontribusi kepada dunia
dalam hal peradaban dan kemanusiaan yang berdasarkan atas perdamaian
dunia22”
Muiz Abdul & Fathony, www.nu.or.id “Ini 15 Konsensus Hasil Konferensi Ulama Internasional
Bela Negara” Jum’at, 29 Juli 2017, 23.51 diakses pada Senin, 11 September 2017, 11.38.
21
Andi Purwono, Diplomasi Ulama Sufi di Opini Koran Tribun Jateng 7 April 2019.
22
Sukma Ahmad & Ainun Yatimul, www.timesindonesia.co.id “Ulama Thariqoh memiliki
Komitmen Nasionalisme”, Selasa, 26 Juli 2016, 20.15, diakses pada Senin, 11 September 2017,
13.43
20
205
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
Thoriqoh (tarekat) adalah suatu kelompok organisasi yang melakukan
amalan-amalan zikir tertentu, dan menyampaikan suatu sumpah yang
formulanya telah ditentukan oleh pimpinan organisasi tarekat tersebut23.
Selain itu tarekat berarti jalan atau cara untuk mencapai tingkatan-tingkatan
(maqamat) untuk mendekatkan diri kepada Tuhan24. Tarekat Muktabaroh
adalah tarekat yang mutashil (tersambung) sanadnya kepada Nabi
Muhammad SAW,
C.1.3. International Summit of the Moderate Islamic Leaders (ISOMIL)
Jika di era KH Hasyim Muzadi Nahdlatul Ulama memiliki forum
ICIS, di era KH Said Aqil Siraj forum serupa bernama International Summit
of the Moderate Islamic Leaders (ISOMILl).ISOMIL merupakan forum
inisiatif Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang didorong atas
keprihatinan NU terhadap situasi dunia Islam yang dilingkupi perpecahan,
bahkan perang saudara.25Lewat forum ini, NU berharap hal-hal positif dari
Islam di Indonesia dapat menjadi inspirasi bagi umat Islam dari berbagai
belahan dunia.
Kegiatan tersebut diselenggarakan di Gedung Jakarta Convention Hall
(JCC), pada 9-11 Mei 2016 ini, diikuti oleh sekitar 400 peserta, dari
berbagai negara, terutama Timur Tengah, Eropa, Amerika, Australia,
perwakilan negara-negara Asia, dan kiai-kiai Indonesia. Melalui agenda
Isomil, Kiai Said
menyatakan bahwa PBNU berusaha mendorong
perdamaian di dunia internasional dengan berusaha menawarkan Islam
Nusantara sebagai inspirasi peradaban dunia.26
Konferensi tersebut menghasilkan 16 deklarasi Nahdlatul Ulama (NU)
yang poinnya merupakan hasil konsultasi dari para ulama yang hadir dan
Mulyati Sri, “Tarekat-Tarekat Muktabaroh Di Indonesia”, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal 9.
Red, www.nu.or.id “Tariqoh Al Mu’tabaroh Dari Waktu Ke Waktu” Kamis, 31 Maret 2005,
10.22, diakses pada Sabtu, 11 November 2017, 23.45.
25
http://www.nu.or.id/post/read/68091/isomil-berakhir-dengan-deklarasi-nahdlatul-ulama diakses
pada 17 November 2016 jam 13.22 WIB.
26
http://www.nu.or.id/post/read/68033/isomil-nu-dorong-perdamaian-dunia diakses pada 17
November 2016 jam 13.27 WIB.
23
24
206
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
para ahli yang dilibatkan.27 Deklarasi tersebut berisi enam belas poin,28 yang
antara lain berisi tawaran wawasan dan pengalaman Islam Nusantara kepada
dunia sebagai paradigma Islam yang layak diteladani, bahwa agama
menyumbang kepada peradaban dengan menghargai budaya yang telah ada
serta mengedepankan harmoni dan perdamaian. Melalui berbagai perhelatan
di atas, ulama NU tidak hanya berusaha menjadikan Islam sebagai ajaran
universal, menggerakkan jejaring ulama Internasional, serta berusaha
mengerem laju radikalisme berbaju agama, melainkan lebih dari itu, para
individu Nahdlatul Ulama maupun secara organisatoris bergerak dinamis
mewujudkan perdamaian dunia.29
C.2. Motivasi dan Kontribusi
Dari paparan deskriptif di atas, kita bisa melihat pada aspek motivasi
bahwa para kiai Nahdlatul Ulama pengaggas serta para peserta konferensi
didorong oleh kepentingan yang berasal dari norma yang mereka yakini. Ini
sejalan dengan rgumen konstruktivisme bahwa tindakan dipengaruhi
kepentingan, dan kepentingan itu dipengaruhi norma dan identitas. Para kiai
berkepentingan untuk menunjukkan Islam yang sebenarnya kepada dunia.
Mereka juga menunjukkan diri sebagai pengikut Islam rahmatan lil alamin
(norm follower) dan berupaya menyebarkannya.
Dalam kerangka konstruktivisme juga kita melihat bahwa motivasi
yang mendorong mereka untuk tunduk pada norma yaitu legitimasi,
reputasi, dan penghormatan. Pertama, legitimasi merupakan hal yang
penting bagi aktor, di mana sumber legitimasi internasional memiliki
peranan penting dalam membentuk perilaku mereka. Para anggota tidak
hanya menginginkan keberadaannya diakui sebagai bagian dari komunitas
yang merugikan namun juga memberi rahmat.
27
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/05/11/o6z3o3313-isomilhasilkan-16-deklarasi-nu diakses pada 17 November 2016 jam 13.25 WIB
28
http://www.nu.or.id/post/read/68092/inilah-naskah-lengkap-deklarasi-nahdlatul-ulama-kepadadunia
29
http://www.moslemforall.com/peran-nu-dalam-mewarnai-dunia/
207
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
Ini ditunjukkan dengan deklarasi dan upaya untuk mendapat
pengakuan dari organisasi- organisasi internasional yang lebih dulu mapan
seperti Rabithah Alam Islami, OKI, PBB, dan WCRP. Organisasiorganisasi
internasional
ini
seakan
berperan
sebagai
“pemberi
label”sekaligus “norm teacher” kepada negara dan aktor lain untuk menjadi
bagian dari aktor yang menerima atau menolak norma. Dalam konteks
seperti itu lah motivasi aktor untuk memperoleh legitimasi internasional
berlangsung karena ada biaya besar yang harus ditanggung oleh aktor jika
bertentangan dengan norma yaitu mendapat label sebagai “rogue actor”.
Mereka akan kehilangan reputasi, kepercayaan dan kredibilitas mereka
dalam dunia internasional.
Kedua, motivasi reputasi berkaitan dengan bentuk penilaian aktor lain
dalam hubungan antarnegara dalam suatu komunitas. Menurut Axelrod,
sebagaimana dikutip oleh Finnemore dan Sikkink, kesesuaian merupakan
“bukti sosial”, aktor mengikuti norma untuk menunjukkan bahwa mereka
telah beradaptasi dan menjadi bagian dari lingkungan sosial. Ketiga,
penghormatan berhubungan dengan legitimasi dan kesesuaian, namun
sifatnya lebih dalam karena motif penghormatan mengindikasikan bahwa
pemimpin negara terkadang mengikuti norma yang ada agar dinilai baik
oleh negara lain, dan mereka ingin beranggapan baik terhadap diri mereka
sendiri.
Adapun beberapa kontribusi penting diplomasi konferensi para kiai ini
menurut perspektif konstruktivisme Pertama dari aspek aktor, ini
menunjukkan terbangunnya jaringan ulama Islam yang memegang norma
pembawa rahamt bagi semua. Kedua dari aspek motivasi, mereka yang
menandatangani deklarasi seperti ulama besar Syekh Wahbah Zuhaili
(Syiria) dan Syekh Ali At Taskhiri (Iran) serta lainnya memiliki legitimasi
untuk menjadi ulama Islam yang rahmatan lil alamin, reputasi sebagai norm
enterpreneurs, sekaligus menghargai norma tersebut. Ketiga, dari aspek
mekanisme, forum ini menjadi wahana sosialisasi yang penting. Apalagi
jika kita mencermati upaya-upaya lanjutannya membentuk organizational
208
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
platform. Ia tidak sekedar menjadi corong tapi sekaligus strategi dalam
mensosialisasikan norma ke tingkat internasional.
Ini dibuktikan dengan langkah ICIS selanjutnya yang pada akhirnya
mengaitkan dirinya dengan organisasi internasional lain yang telah mapan.
ICIS menjadi lembaga internasional yang terdaftar di OKI (Organisasi
Konferensi Islam, Organization of the Islamic Conference) dan Rabithah
Alam Islami (Liga Muslim Dunia) yang berpusat di Makkah dan terdaftar
di PBB.30 Bahkan tidak sekedar mengaitkan, namun organisasi tersebut juga
dimanfaatkan dalam upaya mempromosikan Islam rahmatan lil alamin.31
Kehadiran banyak peserta internasional bereputasi dan kesesuaian
mereka
dengan
norma
tersebut
menunjukkan
kemampuan
norm
entrepreneurs mengemas isu secara baik dalam mempromosikan norma
secara internasional. Dengan kata lain, mereka berhasil mendapatkan
kepercayaan dari peserta tokoh dan organisasi yang berbeda- beda budaya
dan konteks sosial.
Bagi Indonesia, diplomasi ulama melalui konferensi ini juga sarat
makna. Pertama, ia menegaskan karakter washathiyah/ moderat Islam
Indonesia yang terbukti bisa berjalan seiring dengan demokrasi dan
modernitas. Identitas ini menjadi pembeda sekaligus menempati posisi
sangat penting sebagai modal diplomasi Indonesia di fora internasional. Ia
menjadi bagian dari soft power kita dalam menarik dan memenangkan hati
dan pikiran pihak lain sehingga bersahabat dan berhubungan baik dengan
kita.
Kedua, pemikiran dan rekomendasi yang dihasilkan menjadi masukan
berharga bagi para pembuat kebijakan. Ulama seringkali memberi informasi
dan pandangan dunia yang melengkapi informasi diplomasi jalur pertama.
30
Hasyim Muzadi, Islam Rahmatan Lil Alamin. Pidato pengukuhan doktor honoris causa oleh UIN
Sunan Ampel 2006.
31
Hasyim Muzadi, Islam in Indonesia: Toleranceand Moderation dalam Umar Hadi, Abdul Mu’ti
et.al., Islam in Indonesia: A to Z Basic Reference (Jakarta: Directorate of Public Diplomacy,
Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia and Center for Dialogue and
Cooperatioan among Civilization/ CDCC, 2009), h. 2006-2009). Lihat pula rekaman pidato KH
Hasyim Muzadi di Universitas Wahid Hasyim tahun 2014 dan Pidato KH Said Aqil Siraj dalam
Wisuda Unwahas tahun 2015.
209
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
Bahkan terkadang mereka juga berperan menjadi aktor pengganti dalam hal
khusus yang tidak bisa dilakukan dijangkau diplomat resmi. Kementerian
luar negeri misalnya menyebut kaum agamawan moderat ini sebagai tandem
dan mitra. Hal ini menunjukkan bahwa ide agama bisa berperan sebagai
motivasi yang menginspirasi dan kaum agamawan memainkan peran yang
meningkat dalam diplomasi.
Sebagai contoh, komunikasi KH Hasyim Muzadi dan Menlu Hassan
Wirajuda sejak 2003 menjadi awal kemunculan frase Islam washathiyah/
moderat dalam kebijakan luar negeri Indonesia di era reformasi.
Dikonstruksi sejak era Presiden Megawati, Islam moderat ini kemudian
diproyeksikan dalam berbagai kebijakan luar negeri era Soesilo Bambang
Yudhoyono dan juga Joko Widodo kini. Disertasi penulis (2018)
menunjukkan ada pertautan antara motivasi ideasional agama dan motivasi
instrumental kepentingan nasional dalam hal tersebut. Prakarsa Ketua
Umum PBNU Periode 1999 – 2010 KH Hasyim Muzadi bersama dengan
Menteri Luar Negeri RI periode 2001 – 2009 Hasan Wirajuda32dan Presiden
Megawati33 menunjukkan hal itu.
Ketiga, di ranah implementasi politik luar negeri, jaringan ulama yang
terbangun pada gilirannya terbukti mempertajam diplomasi Indonesia.
Sejumlah riset mencatat tinta emas kontribusi diplomasi tokoh masyarakat
seperti ini dalam menunjang keberhasilan pengakuan kemerdekaan
Indonesia 1945 maupun kesuksesan Konferensi Asia Afrika 1955 misalnya.
Demikian pula kebijakan- kebijakan mempromosikan identitas Islam
moderat Indonesia dan kebijakan menciptakan harmoni Islam- Barat dan
intra-Dunia Islam di era reformasi.
Dalam pandangan Kiai Hasyim Muzadi, Indonesia sebagai negara
berpenduduk muslim terbesar didunia, tidak bisa berpangku tangan melihat
32
http://web.isanet.org/Web/Conferences/GSCIS%20Singapore%202015/Archive/80d19277-25a64fc4-8097-1c55d62c1744.pdf
33
Hasyim Muzadi, ICIS, Islam Moderat, dan Interfaith Dialogue dalam Tabloid Diplomasi
Kemenlu Juni 2010. Lihat juga Dr. KH. Ahmad Hasyim Muzadi, Sekjen Internatonal Conference
of Islamic Scholars (ICIS), Sudah Tepat Diplomasi Publik Menjual Islam Moderat dalam dalam
Tabloid Diplomasi No. 52, Tahun VI, 15 Pebruari - 14 Maret 2012, h. 6.
210
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
penderitaan negara-negara muslim yang ada.34Pernyataan ini menunjukkan
rasa berkewajiban untuk bertindak ketika melihat penderitaan yang ada.
Perasaan berkewajiban ini mengindikasikan bekerjanya norma.
Karena itu, para kiai Indonesia melalui beberapa forum tersebut tidak
sekedar melakukan konferensi tetapi kemudian juga mengulurkan bantuan
penyelesaian konflik. Dengan demikian apa yang dilakukan melalui
diplomasi konferensi para kiai ini mencakup dua hal sekaligus. Pertama ia
berperan sebagai forum konferensi yang mensosialisasikan norma. Kedua, ia
juga menjalankan fungsi second track diplomacy atau diplomasi jalan kedua
bagi Indonesia serta mengkampanyekan Islam moderat keluar negeri.35
Sebagai contoh, arti penting ICIS dalam konflik Afghanistan bisa
dilihat dari temuan bahwa ide keterlibatan Indonesia dalam mendorong
perdamaian Afghanistan sudah dimulai sejak ICIS berjalan. Keterlibatan
dengan demikian merupakan tindak lanjut implementasi gagasan- gagasan
yang dibahas dalam ICIS. 36 Ide tentang Islam yang rahmatan lil alamin
dibawa ke Afghanistan dengan bantuan fasilitasi KBRI.
D.
KESIMPULAN
Paparan- paparan di atas menunjukkan upaya diplomasi yang
dilakukan oleh para kiai organisasi Islam Nahdlatul Ulama dalam
menyebarkan norma Islam ke dunia internasional. Hal itu dimotivasi oleh
kepentingan yang berasal dari norma yang mereka yakini yaitu ide rahmatan
lil alamin. Melalui berbagai perhelatan internasional di atas, organisasi
Islam tidak hanya berusaha mensosialisasikan Islam moderat sebagai ajaran
universal, tetapi juga menggerakkan jejaring ulama Internasional, serta
berusaha mengerem laju radikalisme berbaju agama. Para tokohnya secara
pribadi maupun secara organisatoris juga bergerak dinamis mewujudkan
perdamaian dunia.
34
Majalah Nahdlatul Ulama Aula No. 12 Tahun XXX Desember 2008, h. 10-22.
Majalah Nahdlatul Ulama Aula No. 08 Tahun XXXII Agustus 2010 h. 26-30.
36
Rekaman wawancara Achmad Sururi, S.IP.,MA dengan KH As’ad Said Ali, Jakarta 3 Juli 2016
35
211
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
Berkenaan dengan penyebaran norma rahmatan lil alamin tersebut,
pada aspek agen/ aktor terlihat bahwa bukan hanya organisasi Islam saja
yang berperan dalam proses sosialisasi. Negara kembali berperan turut
mensosialisasikan norma rahmatan lil alamin. Pada tahap ini, Indonesia
yang sudah mengadopsi normarahmatan lil alamin terlebih dahulu disebut
norm leader. Sebagai norm leader, Indonesia membujuk negara-negara lain
untuk mengikuti norma yang ada. Ini dibuktikan dengan dukungan yang
kuat dari pemerintah pada forum internasional yang diinisiasi Nahdlatul
Ulama. Bahkan pemerintah menyebut
organisasi keagamaan seperti
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai mitra.37
Dampaknya kita melihat kemunculan jaringan jaringan norm
entrepreneurs Islam moderat di tingkat global yang berkomitmen dalam
penyebaran
dan
penerapan
norma.
Oleh
karenanya,forum-
forum
internasional yang diprakarsai Nahdlatul Ulama menunjukkan bahwa norma
Islam sebagai rahmatan lil-alamin mengalami penyebaran dalam skala luas
(cascading) di tingkat dunia. Sosialisasi juga dilakukan secara berangkai
berkelanjutan. Oleh karena itu forum ulama/ cendekiawan internasional
yang
berkelanjutan
tersebut
menunjukkan
komitmen
ulama
dan
cendekiawan akan peran lintas batas (‘abra al-hudud/ sans frontiere) dalam
membangun perdamaian dan mencegah konflik antara lain melalui fasilitasi
dan mediasi.
Bagi Indonesia, diplomasi ulama melalui konferensi ini sangat
kontributif. Pertama, ia menegaskan karakter washathiyah/ moderat Islam
Indonesia yang terbukti bisa berjalan seiring dengan demokrasi dan
modernitas. Kedua, pemikiran dan rekomendasi yang dihasilkan menjadi
masukan berharga bagi para pembuat kebijakan. Ketiga, di ranah
implementasi politik luar negeri, jaringan ulama yang terbangun pada
gilirannya terbukti mempertajam diplomasi Indonesia.
37
Organisasi Islam ini disebut Andri Hadi, Dirjen Informasi & Diplomasi Publik sebagai tandom
kementerian Luar Negeri. Lihat http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/93-juni2010/845-interfaith-dialogue-dalam-konteks-hubungan-internasional.html diakses 19 Februari
2016 jam 15.14 WIB.
212
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
PUSTAKA
Costantinou, Costas M. 1996. On the Way to Diplomacy (Minneapolis University
of Minesota Press)
Der Derian, James. 1987. Mediating estrangement: A Theory for Diplomacy
dalam Review of International Studies 13 (2) h. 91-110
Finnemore, Martha. 1993. International Organizations as Teacher of Norms: The
UNESCO and Science Policy dalam International Organization, 47 (4)
h. 565-597.
Finnemore, Martha and Sikkink, Kathryn. 1998. International Norm Dynamics
and Political Change, International Organization, Vol. 52, No. 4,
International Organization at Fifty: Exploration and Contestation in the
Study of World Politics. (Autumn, 1998), pp. 887-917.
Florini, Ann (ed.) 2000. The Third Force: The Rise of Transnational Civil Society
(Tokyo and Washington: Japan center for International Exchange and
Carnegie Endowment for International Peace, 2000)
Hadi, Umar dan Mu’ti, Abdul (et.al). 2009. Islam in Indonesia: A to Z Basic
Reference (Jakarta: Directorate of Public Diplomacy, Ministry of Foreign
Affairs of the Republic of Indonesia and Center for Dialogue and
Cooperatioan among Civilization/ CDCC, 2009).
Hamilton, Keith and Langhorne, Richard. 1995. The Practice of Diplomacy: Its
Evolution, Theory and Administration (London and New York:
Routledge)
Kauffman, Johan. 1996. Conference Diplomacy: An Introductory Analysis 3rd
Edition (London: MacMillan, 1996)
Keck, Margareth and Sikkink, Kathryn. 1998. Activist Beyond Borders:
Transnational Advocacy Networks in International Politics (Ithaca:
Cornell University Press, 1998),h. 8.
Kegley, Charles W., Eugene Wittkopf. 2010. World Politics: Trend and
Transformation. (New York: ST Martin,s Press.)
Melissen, Jan. 1999. (ed.), Innovation in Diplomatic Practice (London:
MacMillan)
213
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
Mulyati, Sri. 2005. Tarekat-Tarekat Muktabaroh Di Indonesia. (jakarta: Prenada
Media)
Muzadi, Hasyim . 2006. Islam Rahmatan Lil Alamin. Pidato pengukuhan doktor
honoris causa oleh UIN Sunan Ampel.
----------. 2010. ICIS, Islam Moderat, dan Interfaith Dialogue dalam Tabloid
Diplomasi Kemenlu Juni 2010.
---------- 2012. Sudah Tepat Diplomasi Publik Menjual Islam Moderat dalam
dalam Tabloid Diplomasi No. 52, Tahun VI, 15 Pebruari - 14 Maret 2012
Purwono, Andi. Diplomasi Ulama Sufi di Opini Koran Tribun Jateng 7 April
2019
Majalah Nahdlatul Ulama Aula No. 12 Tahun XXX Desember 2008, h. 10-22.
Majalah Nahdlatul Ulama Aula No. 08 Tahun XXXII Agustus 2010 h. 26-30.
Majalah Nahdlatul Ulama Aula No. 08 Tahun XXXIII Agustus 2011 h. 10-16.
Rekaman wawancara Achmad Sururi, S.IP.,MA dengan KH As’ad Said Ali,
Jakarta 3 Juli 2016
Rekaman Pidato KH Hasyim Muzadi di Universitas Wahid Hasyim tahun 2014
Rekaman Pidato KH Said Aqil Siraj dalam Wisuda Unwahas tahun 2015.
Andri
Hadi,
Dirjen
Informasi
&
Diplomasi
Publik.
Lihat
http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/93-juni-2010/845interfaith-dialogue-dalam-konteks-hubungan-internasional.html
diakses
19 Februari 2016 jam 15.14 WIB.
diakses pada tanggal 26 Juli 2017 pukul 13.46 WIB.
Mega, Dhian & Wicaksono, Rhony, www.timesindonesia.co.id “Para Ulama
Internasional Sepakati Konsensus Bela Negara”, Sabtu, 16 Januari 2017,
22.37. diakses pada Senin, 11 September 2017, 11.32.
Muiz, Abdul & Fathony, www.nu.or.id “Ini 15 Konsensus Hasil Konferensi
Ulama Internasional Bela Negara” Jum’at, 29 Juli 2017, 23.51 diakses
pada Senin, 11 September 2017, 11.38.
Sukma Ahmad & Ainun Yatimul, www.timesindonesia.co.id “Ulama Thariqoh
memiliki Komitmen Nasionalisme”, Selasa, 26 Juli 2016, 20.15, diakses
pada Senin, 11 September 2017, 13.43
214
Andi Purwono
Jurnal SOSIO DIALEKTIKA 5 (2) (2020)
P-ISSN: 2540.8941 e-ISSN: 2623.2944
sosiodialektika@unwahas.ac.id
Diplomasi Kiai Nahdlatul
‘Ulama (NU) Melalui Konferensi
Ulama Internasional
Qodar, Nafiysul. Kisah KH. Hasyim Muzadi anak tukang roti yang Go
Internasional, http://news.liputan6.com/read/2929927/kisah-kh-hasyimmuzadi-anak-tukang-roti-yang-go-internasional, di unduh pada tanggal
14 juni 2017, pukul 20.54 WIB.
http://www.nu.or.id “Tariqoh Al Mu’tabaroh Dari Waktu Ke Waktu” Kamis, 31
Maret 2005, 10.22, diakses pada Sabtu, 11 November 2017, 23.45.
http://www.nu.or.id/post/read/68091/isomil-berakhir-dengan-deklarasi-nahdlatululama diakses pada 17 November 2016 jam 13.22 WIB.
http://www.nu.or.id/post/read/68033/isomil-nu-dorong-perdamaian-dunia diakses
pada 17 November 2016 jam 13.27 WIB.
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islamnusantara/16/05/11/o6z3o3313-isomil-hasilkan-16-deklarasi-nu
diakses
pada 17 November 2016 jam 13.25 WIB
http://www.nu.or.id/post/read/68092/inilah-naskah-lengkap-deklarasi-nahdlatululama-kepada-dunia
http://www.moslemforall.com/peran-nu-dalam-mewarnai-dunia/
http://web.isanet.org/Web/Conferences/GSCIS%20Singapore%202015/Archive/8
0d19277-25a6-4fc4-8097-1c55d62c1744.pdf
http://web.isanet.org/Web/Conferences/GSCIS%20Singapore%202015/Archive/8
0d19277-25a6-4fc4-8097-1c55d62c1744.pdf
https://www.bangsaonline.com/berita/918/inilah-sembilan-rekomendasikonferensi-ulama-internasional?browsefrom=mobile
215
Andi Purwono