Sambutan Redaksi
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas perkenan- Nya,
Jurnal Kajian Lemhannas RI Edisi 26 dapat terbit.
Pembaca yang berbudiman, “Ketahanan Nasional” kini menjadi
bahan yang menarik untuk didiskusikan di berbagai forum dan kajian,
tentu saja mengingat begitu kompleksnya permasalahan yang dihadapi
bangsa ini. Menariknya dalam perspektif “Ketahanan Nasional” ini
dapat ditinjau dari berbagai aspek terhadap permasalahan tersebut.
Oleh karena itu, sebagai salah satu media komunikasi ilmiah bagi para
pemerhati “ketahanan nasional” maka diterbitkanlah Jurnal ini.
Dengan menggunakan perspektif “Ketahanan Nasional”dan secara
ilmiah serta berlatar-belakang pada disiplin ilmu dan keahlian yang
dimiliki para penulis, tulisan dan kajian ilmiah ini akan menjadi informasi
yang bermanfaat bagi para pembaca.
Dalam edisi 26 kali ini, redaksi menyajikan beberapa tulisan dan
kajian ilmiah yang terkait dengan isu-isu nasional yang masih hangat
dibincangkan, antara lain yaitu rejuvenasi Bhinneka Tunggal Ika,
kependudukan dari perspektif Ketahanan Nasional, dan paradigma poros
maritim dalam pendidikan melalui lintas batas keilmuan.
Selain itu, isu otonomi daerah masih menjadi tema yang menarik
diangkat, kali ini dalam studinya pada keberhasilan pelaksanaannya di
daerah Kabupaten/kota wilayah III Cirebon. Isu lain yang juga menarik
diangkat yaitu terkait dengan strategi pertahanan dan keamanan
nasional.
Pada kesempatan yang baik ini, kami mengucapkan terima kasih
kepada para penulis dan seluruh pihak yang turut berpartisipasi
mendukung terlaksananya penerbitan jurnal ini.
Selamat Membaca.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, Juni 2016
PEMIMPIN REDAKSI
l PELINDUNG: Agus Widjojo
l PEMBINA: Bagus Puruhito l PENGARAH: Suhardi Alius
l PEMIMPIN REDAKSI: E. Estu Prabowo l EDITOR: Wahyu Widji P.
Purnamasari – Bambang Iman Aryanto
l
DESAIN:
Gatot
-
-
M. Isdar – Linda
Magista
Dian
F
l SEKRETARIAT: Cahtaqadri Hildamona – Ni Made Vira Saraswati – Mardiana – Theresia
W – Indiah Winarni – Yatik Wulandari
Deannisa
2
l
Isi
di
luar
tanggung
l DISTRIBUSI: Supriyono- Ayu Novita Sari jawab
percetakan
CV.
Mandiri
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 25 | Maret 2016
Citra
Berdikari
Daftar Isi
5
Faktor Idiosinkratik Pemimpin dalam
Perumusan Politik Luar Negeri
17
Rejuvenasi Bhinneka Tunggal Ika
(Pendekatan Kewaspadaan Nasional)
32
Ketahanan Nasional: Permasalahan dan
Solusinya Dari Perspektif Kependudukan
46
Pemahaman Otonomi Daerah (Study
Tentang Tingkat Keberhasilan Pelaksanaan
Otonomi Daerah Kabupaten/Kota
di Wilayah III Cirebon)
59
Membangun Paradigma Poros Maritim
Dunia
68
Strategi Pertahanan dan Keamanan
Nasional Indonesia
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
3
Google.com
Faktor Idiosinkratik Pemimpin
dalam Perumusan Politik
Luar Negeri
Boy Anugerah1
Alumnus Program Studi Magister Pengkajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia dan Program Studi Sarjana
Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran
boy.anugerahsip@gmail.com
Abstrak
Politik luar negeri merupakan alat bagi negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya,
baik pada aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun pertahanan dan
keamanan. Dikarenakan berada pada level analisis negara, perumusan politik luar negeri
berasal dari banyak sumber merujuk pada kompleksitas kepentingan nasional yang hendak
dicapai, diantaranya sumber sistemik, sumber masyarakat (masyarakat madani), sumber
struktural pemerintah, dan faktor idiosinkratik pemimpin. Dengan tidak mengabaikan
sumber-sumber perumusan politik luar negeri lainnya, tulisan ini bermaksud menjelaskan
definisi faktor idiosinkratik pemimpin dan seberapa besar faktor tersebut memainkan
peran dalam perumusan politik luar negeri suatu negara, corak diplomasi yang dijalankan,
serta efektivitas pencapaian kepentingan nasional. Metode yang digunakan dalam
penulisan artikel ini adalah medote deskriptif dengan menjelaskan definisi dan contoh
pengaruh faktor idiosinkratik dalam perumusan politik luar negeri dan studi kasus dengan
mengambil sampel pelaksanaan politik luar negeri di Iran dan Indonesia.
Kata Kunci: Politik Luar Negeri, Faktor Idiosinkratik, Kepentingan Nasional.
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
5
PENDAHULUAN
Politik luar negeri pada hakikatnya
merupakan suatu “action theory”, yakni
kebijakan suatu negara yang ditujukan
kepada negara lain untuk mencapai
kepentingan tertentu, lazimnya disebut
sebagai kepentingan nasional. Kepentingan
nasional berada pada tataran multiaspek,
yakni ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan, dan keamanan.
Secara umum, pengertian politik luar
negeri adalah suatu perangkat formula
nilai, sikap, arah, serta sasaran untuk
mempertahankan, mengamankan, dan
memajukan kepentingan nasional di dalam
percaturan politik internasional (Yanyan
Mochamad Yani 2007,1).
Politik luar negeri merupakan salah
satu bidang kajian dalam studi hubungan
internasional. Sebagai bidang kajian, politik
luar negeri memiliki kompleksitas dalam
hal ontologi keilmuannya, yakni aspek
bagaimana mengkaji bidang ilmu tersebut.
Kompleksitas tersebut terjadi karena makin
banyaknya aktor-aktor yang terlibat dalam
perumusan politik luar negeri. Negara,
sebagai entitas politik yang berdaulat
memiliki beragam aktor dengan beragam
kepentingan, seperti masyarakat awam
sebagai aktor dengan kuantitas terbesar,
masyarakat madani yang mengusung
isu-isu yang spesifik (lembaga swadaya
masyarakat,
kelompok
kepentingan,
kelompok penekan), partai politik sebagai
mesin demokrasi, legislatif yang memegang
kewenangan dalam hal anggaran dan
pengawasan, serta eksekutif, dalam hal ini
presiden dan menteri luar negeri. Meksipun
berada pada satu ranah, yakni domestik
suatu negara, proses perumusan berjalan
tidak mudah dan kerap berlangsung alot
(kadang-kadang terjadi deadlock).
Di luar faktor internal, faktor
eksternal juga menjadi determinan dalam
perumusan politik luar negeri. Faktor
6
eksternal ini meliputi dinamika kawasan,
pola-pola
hubungan
dengan
negara
sahabat, keterlibatan dalam berbagai
organisasi dan rezim internasional, serta
opini dari masyarakat internasional (hal
ini dimungkinkan karena dunia sudah
memasuki era globalisasi yang didukung
oleh kemajuan di bidang teknologi
informasi, komunikasi dan transportasi).
Meskipun faktor internal (domestik) dan
faktor eksternal adalah dua hal berbeda
dan terpisah, terdapat korelasi yang kuat
diantara keduanya. Politik luar negeri
merupakan cerminan dari kondisi internal
(domestik) suatu negara. Meminjam istilah
dari Henry Kissinger, seorang akademisi dan
praktisi politik luar negeri Amerika Serikat,
“foreign policy begins when domestic policy
ends” (Wolfram F Hanrieder 1971, 22).
Perumusan politik luar negeri suatu
negara secara umum bertujuan untuk
mencapai tujuan nasional yang spesifik,
dituangkan dalam terminologi kepentingan
nasional (Jack C Plano dan Roy Olton1999,
5). Menurut Rosenau, politik luar negeri
ditujukan untuk memelihara dan menjaga
kelangsungan hidup suatu negara (James
N Rosenau,Gavin Boyd, dan Kenneth W.
Thompson 1976, 27). Jika dituangkan dalam
bentuk gradasi, tujuan politik luar negeri
terdiri atas tujuan jangka panjang, jangka
menengah, dan jangka pendek. Tujuan
jangka panjang yang dimaksud di sini
adalah mencapai perdamaian, keamanan,
dan kekuasaan (KJ Holsti 1992, 21).
Politik luar negeri merupakan sebuah
produk. Sebagai produk, politik luar negeri
memiliki sumber dan melalui sebuah
proses yang dinamakan sebagai formulasi
politik luar negeri. Sumber politik luar
negeri di bagi menjadi dua, yakni sumber
internal dan sumber eksternal. Howard
Lentner mengklasifikasikan sumber politik
luar negeri ke dalam dua bagian, yakni
determinan luar negeri dan determinan
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
domestik (Howard Lentner 1974, 105-171).
Determinan luar negeri merujuk pada
sistem internasional dan situasi. Sistem
internasional secara sederhana dapat
dipahami sebagai pola-pola interaksi
antar negara di dunia. Sebagai contoh,
pada masa Perang Dingin (periode 19451990), dunia terbagi ke dalam dua kutub,
yakni Blok Barat dengan Amerika Serikat
sebagai poros, dan Blok Timur dengan Uni
Soviet sebagai poros. Kondisi ini dinamakan
sebagai sistem internasional yang bipolar.
Kondisi berubah ketika perang dingin
berakhir dan dampak globalisasi semakin
masif, dunia berubah dalam kondisi sistem
yang bersifat multipolar, bukan saja sebagai
produk munculnya banyak negara merdeka
pasca Perang Dingin, tapi juga munculnya
aktor-aktor non-negara. Berbeda dengan
sistem internasional, situasi adalah kondisi
yang tidak tercakup atau mencakup
keseluruhan dalam sistem internasional.
Sebagai contoh, bentuk kerja sama ekonomi
dan pertahanan antara negara-negara Asia
Tengah dengan Rusia dan Tiongkok dalam
Shanghai Cooperation Organization (SCO)
dipandang sebagai situasi. Begitu juga
dengan aliansi Amerika Serikat dan negaranegara Eropa dalam memerangi ISIS di Irak
dan Suriah, diklasifikasikan sebagai situasi.
Determinan domestik memiliki cakupan
yang lebih banyak dibandingkan dengan
determinan luar negeri. Determinan ini
mencakupi aspek geografi, demografi,
sumber kekayaan alam, budaya politik,
sistem politik, sistem pemerintahan, sikap,
persepsi, dan pengetahuan dari pemimpin
politik. Baik determinan luar negeri,
maupun determinan domestik, merupakan
dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan
dalam memproduksi politik luar negeri
suatu negara. Pemisahan kedua sumber
mencerminkan perumusan politik luar
negeri yang tidak holistik.
Dari semua sumber perumusan politik
luar negeri yang disebutkan, baik yang
termasuk dalam determinan domestik,
maupun determinan luar negeri, sangatlah
sulit untuk dilakukan pembobotan. Semisal,
bobot sistem politik lebih besar apabila
dibandingkan dengan aspek persepsi
elit, atau bobot demografi lebih kecil
dibandingkan dengan bobot geografi.
Namun demikian, tulisan ini mencoba
memberikan penjelasan seberapa besar
sebuah faktor berpengaruh terhadap
pencapaian kepentingan nasional yang
menjadi esensi dilaksanakannya politik
luar negeri. Dalam hal ini penulis mencoba
menganalisis lebih mendalam faktor
idiosinkratik (bisa juga disebut sebagai
persepsi elit) dalam memproduksi politik
luar negeri suatu negara.
Tulisan ini terdiri dari beberapa
pembahasan. Pertama, akan dibahas
mengenai definisi faktor idiosinkratik,
apa yang dimaksud dengan faktor
idiosinkratik, karakteristik apa saja yang
melekat pada faktor tersebut. Kedua,
akan dibahas mengenai pengaruh faktor
idiosinkratik Mahmud Ahmadinejad di Iran
yang memberikan corak dan warna bagi
diplomasi Iran di panggung internasional,
terutama kontestasi pemikiran dan psywar
dengan Amerika Serikat di berbagai forum
internasional. Ketiga, akan dijelaskan
bagaimana faktor idiosinkratik Presiden
Republik Indonesia pertama, Soekarno.
Keempat, akan ditelaah efektivitas politik
luar negeri Iran dan Indonesia dalam
pencapaian kepentingan nasional masingmasing. Kelima, bagaimana mendudukkan
faktor idiosinkratik atau persepsi elit
dalam formulasi politik luar negeri
negara dikaitkan dengan pencapaian
kepentingan nasional. Terakhir, penulis
akan menyampaikan catatan akhir berupa
kesimpulan dan saran penulis mengenai
permasalahan yang diangkat.
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
7
Faktor idiosinkratik dikenal juga dengan
istilah persepsi elit. Didefinisikan sebagai
hal-hal yang melekat pada seseorang
(pemimpin)
sehingga
mempengaruhi
pola pikir, persepsi, dan cara pandang
dalam
melihat
suatu
permasalahan
serta pengambilan keputusan. Dalam
studi hubungan internasional, dikenal
terminologi level of analysis, yakni sebuah
pisau analisa dalam membedah kasuskasus dalam hubungan internasional. Pisau
analisa ini dimulai dari unit terkecil, yakni
individu, kemudian bergerak ke unit yang
lebih besar, yakni masyarakat, negara,
dan sistem internasional. Dari level of
analysis tersebut, dapat dilihat bahwa
faktor individu (idionsinkratik/persepsi
elit) merupakan level yang paling dasar,
namun fundamental. Bagaimana sistem
internasional, negara, dan masyarakat
terbentuk tidak terlepas dari level individu
yang menyusunnya. Jika dianalogikan
ke dalam masyarakat dalam perspektif
sosiologi, komunitas etnis Tiongkok yang
ulet merupakan produk dari individuindividu Tiongkok yang ulet, demikian juga
halnya dengan komunitas Jawa yang santun
dan ramah, tidak terlepas dari individuindividu Jawa yang memiliki karakteristik
tersebut. Hanya perbedaan mendasarnya
adalah, dalam studi hubungan internasional,
individu dimaksud adalah pemimpin yang
memberikan pengaruhnya dalam formulasi
politik luar negeri.
mengenyam pendidikan, sejak sekolah
dasar hingga menempuh pendidikan ke
jenjang tertinggi. Pendidikan di sini tidak
hanya mengacu pendidikan formal saja, tapi
juga pendidikan informal. Sejarah Republik
Indonesia mencatat bahwa para bapak
bangsa adalah mereka yang bergelut secara
fisik dan pemikiran langsung dengan dan dari
masyarakat. Bagaimana seorang Soekarno
memimpin Republik Indonesia periode
revolusi fisik-1965, sangat dipengaruhi oleh
aktivitasnya sebagai aktivis organisasi PNI,
solidarity maker di tengah bangsa terjajah,
dan pemimpin yang diasingkan oleh
kolonial Belanda karena intelektualitas dan
kritisismenya. Sangat sedikit persepsi Bung
Besar dipengaruhi oleh ilmu yang beliau
enyam di bangku Fakultas Teknik, Institut
Teknologi Bandung. Ketiga, pengalaman
dan pembelajaran seorang pemimpin
yang merupakan produk dari dinamika
dalam kehidupan sosialnya, sejak kecil
hingga tumbuh dewasa. Soekarno, Presiden
Republik Indonesia pertama, sekaligus
Proklamator Republik Indonesia, mengalami
pembabakan pemikiran sebagai hasil dari
dinamika kehidupan sosialnya. Pemikiran
Soekarno sebagai pemimpin dibagi ke dalam
babak pra - kemerdekaan (beliau dikenal
sebagai pemimpin yang menerapkan gaya
non - kooperasi dengan kolonial), babak
kemerdekaan (dikenal sebagai pemimpin
asia yang anti blok, anti kapitalisme, dan
solidarity maker pemersatu bangsa),
dan babak pasca kemerdekaan (pencetus
konsep demokrasi terpimpin dan presiden
seumur hidup).
Ada banyak hal yang melekat pada
faktor idiosinkratik pemimpin. Pertama,
adalah latar belakang keluarga. Latar
belakang keluarga di sini mencakup status
sosial keluarga, kondisi perekonomian
keluarga, serta hubungan sosial dengan
masyarakat.
Kedua,
latar
belakang
pendidikan. Latar belakang pendidikan
mencakup di mana seorang pemimpin
Aspek keempat adalah afiliasi elit/
pemimpin. Dalam sistem politik yang
menempatkan partai politik sebagai
mesin demokrasi nomor wahid, persepsi
elit sangat dibentuk oleh ideologi dan
kepentingan yang diusung oleh partai
politik tempat ia bernaung. Sebagai
contoh,
kebijakan-kebijakan
yang
ditelurkan oleh Goerge Walker Bush Junior
PEMBAHASAN
Faktor Idionsinkratik atau Persepsi Elit
8
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
selama menjadi Presiden Amerika Serikat
dengan menginvasi Afghanistan pada tahun
2001 dan Irak pada tahun 2003 sangat
dipengaruhi oleh ideologi dan cara pandang
kalangan konservatif di tubuh Partai
Republik, partai yang notabene menjadi
pengusungnya. Diskursus mengenai afiliasi
elit tidak hanya sebatas partai politik.
Dalam cakupan yang lebih besar, meminjam
pisau analisa level of analysis, khususnya
pada kuadran internasional, afiliasi juga
berarti keanggotaan suatu negara dalam
forum-forum regional, internasional, dan
global. Sebagai contoh, dukungan yang
diberikan oleh Amerika Serikat kepada
Filipina dalam konflik Laut China Selatan
(versi Filipina adalah Laut Filipina Barat)
mengacu pada excellent bilateral relations
kedua negara. Keterlibatan Inggris (yang
pada khirnya disesali PM Tony Blair) dalam
invasi ke Afghanistan untuk menggulingkan
Taliban pada tahun 2001, dan penggulingan
Saddam Hussein di Irak pada 2003 sangat
dipengaruhi oleh keanggotaan Inggris dalam
blok NATO yang dipimpin Amerika Serikat.
Terakhir,
faktor
idionsinkratik
pemimpin dipengaruhi oleh produksi
pengetahuannya. Produksi pengetahuan
yang dimaksudkan di sini berhubungan
dengan latar belakang kehidupan sosial dan
latar belakang pendidikan, namun lebih
spesifik pada bagaimana pemimpin tersebut
menyerap pengetahuan menjadi persepsi,
pola pikir, dan cara pandang dalam melihat
suatu permasalahan. Sebagai contoh,
seorang presiden yang berasal dari latar
belakang militer cenderung mengadopsi
cara pandang militer dalam memimpin
negara. Seorang menteri luar negeri
negara berkembang yang mengenyam
pendidikan di Barat (Amerika dan Eropa)
cenderung melakukan kerja sama dengan
negara-negara barat dan mengadopsi
pola pemikiran mereka yang liberalis dan
kapitalistik baik kebijakan yang sifatnya
politik, ekonomi, maupun pertahanan dan
keamanan.
Ahmadinejad dan Nuklir Iran
Secara geografis, Iran berada pada
posisi persimpangan Timur Tengah, Asia
Barat, dan Kaukasus. Di bagian Utara,
Iran
bertetangga
dengan
Armenia,
Azerbaijan, Turkmenistan, di bagian
Timur bersebelahan dengan Afghanistan
dan Pakistan, sedangkan di bagian Barat
bersebelahan dengan Irak dan Turki. Secara
geopolitik, geografi Iran menempatkan
Iran sebagai negara yang rawan gesekan.
Kondisi geografis Iran menempatkan Iran
sebagai negara yang banyak menjadi saksi
sekaligus terlibat dalam perang-perang
besar, salah satunya adalah perang antara
Rusia melawan Inggris dan India.
Ditilik secara geostrategi, posisi Iran
sangat menguntungkan karena Iran memiliki
akses ke Laut Kaspia yang kaya akan sumber
daya alam minyak dan gas bumi. Iran
memiliki posisi sentral karena wilayahnya
dilewati oleh pipa-pipa minyak menuju
Asia, seperti India, Pakistan, dan Tiongkok.
Posisi Selat Hormuz juga menempatkan Iran
memiliki peranan strategis dalam lalu lintas
perdagangan dunia.
Penguasaan sumber kekayaan alam
yang besar serta posisi strategis yang
dimiliki Iran, membuat Ahmadinejad,
mantan Presiden Iran pada masa itu
melakukan
perubahan
strategi
dan
orientasi geopolitik. Jika sebelumnya
kebijakan Iran lebih banyak menekankan
pada upaya mengembangkan transportasi
baik darat, laut, maupun udara, maka
pada masa Ahmadinejad strategi politik
lebih ditekankan pada upaya membangun
kapasitas energi. Salah satu lompatan besar
yang ditempuh Iran pada masa Ahmadinejad
adalah pengembangan energi nuklir untuk
kepentingan damai.
Kebijakan
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
yang
ditempuh
oleh
9
Ahmadinejad ini mendapatkan resistensi
dari negara-negara lain, terutama Israel
yang merasa terancam. Begitu juga respon
negatif yang ditunjukkan oleh Amerika
Serikat. Banyak pihak memandang bahwa
pengembangan energi nuklir di Iran bukanlah
untuk kepentingan damai, melainkan
upaya untuk membangun dan memperkuat
kapasitas militer. Jika hal ini benar,
merupakan sebuah “dilema keamanan”
bagi negara-negara yang memiliki benturan
kepentingan nasional dengan Iran, seperti
halnya Israel dan Amerika Serikat. Di
berbagai forum, Israel dan Amerika Serikat
kerap mengecam Iran sebagai negara ‘poros
setan’ karena kepemilikan nuklir membuat
Iran menjadi momok bagi keamanan dan
perdamaian dunia.
Reaksi keras dilontarkan oleh Presiden
Iran, Ahmadinejad,
yang
menyebut
Israel dan Amerika Serikat melakukan
hipokrisi karena sejatinya mereka adalah
teroris yang sebenarnya. Invasi Amerika
Serikat ke Afghanistan dan Irak, menurut
Ahmadinejad, merupakan tindakan yang
tidak memiliki legitimasi dan terbukti
keliru. Kepemilikan nuklir oleh Israel
juga menunjukkan bahwa dunia bersikap
munafik karena Israel menggunakanya
sebagai alat penggentar untuk mendukung
okupasinya di Palestina. Asumsi dasar yang
dikemukakan oleh Ahmadinejad adalah jika
negara-negara lain seperti India, Pakistan,
Amerika Serikat, Israel, Tiongkok, Korea
Utara, dan lainnya boleh memiliki nuklir
(meskipun dalam beberapa kasus, beberapa
negara diragukan motif kepemilikannya
untuk kepentingan damai), juga merupakan
sebuah hal yang memungkinkan bagi Iran
untuk menempuh jalan yang sama, bahkan
dengan penekanan guna keperluan damai.
Strategi
pengembangan
energi
nuklir untuk kepentingan damai dan
gaya konfrontasi Iran di berbagai
panggung internasional tidak terlepas
10
dari faktor idiosinkratik yang dimiliki
oleh Ahamadinejad, yakni latar belakang
pendidikan, kehidupan sosial, pengalaman,
persepsi, cara pandang, serta cara
mengambil keputusan. Ditilik dari latar
belakang pendidikan, Ahmadinejad adalah
pemegang gelar doktor dalam bidang
teknik dan perencanaan lalu lintas dan
transportasi. Sebelum memegang tampuk
kekuasaan sebagai presiden, Ahamadinejad
adalah seorang dosen, sempat bergabung
dengan korps pengawal Revolusi Islam Iran
pada tahun 1986, menjadi Wakil Gubernur
dan Gubernur Maku dan Khoy, serta pernah
menjadi Walikota Teheran.
Merujuk pada faktor idiosinkratik
Ahmadinejad tersebut, bisa dipahami
kebijakan
reorientasi
pengembangan
energi dan gaya diplomasi konfrontatif yang
dijalankan oleh Iran pada masa Ahmadinejad
merupakan produk yang tidak terlepas dari
persepsi Ahmadinejad sebagai elit Iran
(kepala negara). Pola pikir sebagai teknokrat
membuat Ahamadinejad berfikir strategik
dan jangka panjang dengan memanfaatkan
dan mengoptimalkan sumber kekayaan
alam Iran sebagai dasar membangun Iran
ke depan. Keterlibatannya dalam gerakan
Revolusi Islam Iran membawa Iran bersikap
konfrontatif terhadap Amerika Serikat,
negara yang selama ini sangat menentang
revolusi dan pengembangan energi nuklir
di Iran. Pengalamannya sebagai birokrat
pemerintahan sebelum menjabat sebagai
presiden menempatkannya sebagai sosok
yang popular di Iran, bahkan di forum
internasional (Ahmadinejad mendapat
dukungan dari Hugo Chavez - Presiden
Venezuela pada waktu itu, yang juga
penentang Amerika Serikat). Ahmadinejad
tidak
segan
menekankan
bahwa
kebijakan Iran benar adanya, terlebih
lagi ia mendapatkan dukungan penuh dari
masyarakat Iran.
Dengan kondisi seperti ini, kebijakan-
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
kebijakan luar negeri Iran yang banyak
dipengaruhi oleh idiosinkratik Ahmadinejad
sebagai
kepala
negara
mampu
menempatkan Iran sebagai negara yang
berpengaruh di kawasan, tidak hanya dari
sisi ekonomi melalui pengembangan energi
nuklir dan penguasaan energi, tapi juga
dari sisi pertahanan dan keamanan, karena
membuat Israel dan beberapa negara Arab
yang berseberangan dengan Iran melakukan
reorientasi kebijakan luar negeri serta
pertahanan dan keamanannya (Iran adalah
negara berhaluan Syiah, mayoritas Arab
berhaluan Sunni).
Soekarno dan Politik Luar Negeri Bebas
Aktif
Indonesia pada dekade 1950-an adalah
sebuah nation-state muda yang baru
terlepas dari belenggu kolonialisme dan
imperialisme, giat berkampanye untuk
mendapat pengakuan kedaulatan dari
negara lain, serta berupaya membuktikan
eksistensinya di panggung internasional.
Pada masa tersebut, Indonesia yang
baru lahir dari rahim perjuangan anakbangsanya harus dihadapkan pada kondisi
sistem internasional dan politik global
yang sarat benturan. Dunia pada waktu itu
terkotak dalam dua kutub kekuatan besar,
blok barat yang dipimpin Amerika Serikat
dan blok timur dengan Uni Soviet sebagai
panglimanya. Eksistensi kedua kutub
tersebut berimbas kepada banyak negara di
dunia, tidak terkecuali Indonesia. Melalui
strategi back - yard policy, kedua kekuatan
besar menjalankan proxy war dengan
mengajak negara-negara di dunia untuk
memutuskan, apakah berdiri di sisi Amerika
Serikat atau Uni Soviet. Dalam lingkup
Asia Tenggara, negara-negara sahabat
Indonesia juga mengalami turbulensi yang
sama. Vietnam, misalnya, terbelah menjadi
Vietnam Utara dan Vietnam Selatan.
Bergeser sedikit ke Asia Timur, Korea,
berkecamuk perang saudara antara mereka
yang mendukung komunisme dan mereka
yang mendukung liberalisme - kapitalisme
(sampai saat ini kedua Korea masih dalam
kondisi perang dengan status gencatan
senjata). Sejatinya perang sesungguhnya
tidaklah terjadi, sangat kontras dengan
Perang Dunia I dan II yang memakan jutaan
korban jiwa. Perang yang berlangsung
adalah perang dingin, perang dengan
banyak negara satelit, perang psikologis,
dan perang dengan menggunakan efek
penggentar.
Dalam kondisi dilematis tersebut,
pemerintah Indonesia pada waktu itu,
yang dipimpin oleh Presiden Soekarno
harus menentukan arah politik luar negeri
Indonesia. Quo vadis Indonesia? Situasi di
dalam negeri juga hiruk-pikuk karena ada
kekuatan yang mendukung komunisme (PKI
dan golongan kiri lainnya), ada kekuatan
yang anti komunisme (Masyumi, NU), ada
kekuatan yang anti keduanya. Meksipun
sudah mendapat pengakuan kedaulatan dari
negara lain, eksistensi Indonesia belumlah
terlalu kokoh mengingat partisipasi di
berbagai forum internasional masih minim.
Beruntung Indonesia memiliki Soekarno,
presiden yang lahir dari rahim perjuangan
rakyat. Dengan kemampuan orasinya dan
pemahaman yang baik mengenai hubungan
antar bangsa, Soekarno dengan lantang
menyuarakan bahwa Indonesia adalah
negera merdeka dan berdaulat. Indonesia
adalah negara yang cinta damai, dan oleh
karenanya menjalin hubungan dengan
negara manapun berdasarkan prinsip
hubungan antar bangsa dan negara yang
baik (non intervensi). Komitmen Indonesia
ini dibuktikan dengan digalangnya berbagai
forum yang menunjukkan bahwa Indonesia
dan negara-negara lainnya menolak
untuk terpolarisasi dalam dua kutub,
mendukung penuh upaya perdamaian,
dan gigih memperjuangkan kemerdekaan
negara-negara yang masih dibelenggu oleh
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
11
kolonialisme dan imperialisme. Forum
tersebut berupa Gerakan Non Blok atau Non
Allignment Movement pada tahun 1954 dan
Konferensi Asia - Afrika di Bandung pada
tahun 1955. Soekarno juga menyerukan
istilah Nefo atau New Emerging Forces
untuk menyebut negara-negara yang baru
merdeka sebagai tandingan Oldefo atau
Old Establish Forces merujuk pada negaranegara mapan bermental penjajah.
Berbagai kebijakan yang ditempuh
Indonesia pada masa Soekarno tersebut
pada dasarnya berada pada haluan politik
luar negeri bebas dan aktif, yakni politik
Indonesia untuk bebas bergaul dengan
negara manapun dan aktif dalam berbagai
forum internasional. Politik yang digagas
oleh Moehammad Hatta dan dijalankan
dengan baik pada masa itu sangat sesuai
dengan kondisi Indonesia yang baru
merdeka dan rentan menjadi satelit dari
kekuatan besar dunia. Bagaimana politik ini
bisa berjalan dengan baik dan mengantar
Indonesia ke panggung terhormat pada
masa itu?
Figur Soekarno sebagai Presiden
Republik Indonesia yang berkarakter
solidarity maker memainkan peran sentral
dalam panggung politik internasional.
Jika karakter solidarity maker tersebut
mampu mempersatukan Indonesia yang
beranekaragam suku, agama, budaya,
dan adat istiadat, menjadi negara yang
merdeka dan berdaulat pada tahun 1945
(Unity in Diversity), maka karakter tersebut
mampu memantik semangat juang bangsa
dan negara lainnya yang masih dibelenggu
penjajahan (negara-negara Asia dan Afrika)
untuk lepas dan berdiri sebagai negara
berdaulat. Pembentukan Gerakan Non Blok
yang notabene merupakan ide Soekarno
juga menunjukkan karakter Soekarno yang
anti penjajahan gaya baru (back yard
policy, proxy war).
Corak politik luar negeri Indonesia pada
12
tempo tersebut juga banyak dipengaruhi
oleh ideologi nasionalisme yang dipegang
erat oleh Soekarno. Nasionalisme dalam
persepsi
Soekarno
bukanlah
konsep
tunggal, tapi dua sisi mata uang dengan
internasionalisme pada sisi lainnya.
Penjabaran konsep dua sisi mata uang ini
adalah dalam bentuk mendukung penuh
kemerdekaan negara-negara di seluruh
dunia, menolak segala bentuk kolonialisme
dan imperialisme (baik gaya lama maupun
gaya baru), mendukung humanisme, dan
berupaya mewujudkan keamanan dan
ketertiban dunia melalui partisipasi aktif
dalam forum internasional.
Melalui pelaksanaan politik luar negeri
bebas aktif pada masa Soekarno, Indonesia
mampu menempatkan diri sebagai kekuatan
baru yang sangat diperhitungkan di panggung
internasional. Dalam perspektif studi
hubungan internasional, apa yang menjadi
kepentingan domestik Indonesia pada masa
itu (kebutuhan pengakuan akan kedaulatan,
dukungan dari negara lain, eksistensi dalam
forum regional dan internasional) berhasil
terartikulasi dengan baik di panggung
internasional. Ada linkage yang baik antara
input domestik dan kebutuhan luar negeri
sehingga menghasilkan produk yang baik
dalam bentuk pencapaian kepentingan
nasional. Indonesia mampu menghindari
kondisi yang terjadi di Vietnam, Korea,
dan Jerman, yaitu ketika ketiga negara
tersebut terpecah menjadi dua kutub
sesuai kepentingan Amerika Serikat dan
Uni Soviet. Indonesia juga tidak menjadi
negara boneka yang menjadi basis
pangkalan militer kedua negara. Indonesia
mampu mengonsolidasikan fragmentasi di
dalam negeri menjadi negara solid yang
giat membangun dengan meminimalisir
ancaman, gangguan, hambatan dan
tantangan dari lingkungan internasional
pada masa itu. Jikalau salah pilih
kebijakan, Indonesia tidak hanya menjadi
negara boneka saja, tapi juga terancam
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
menjadi negara gagal karena tidak mampu
membendung banyaknya upaya separatisme
dengan pihak-pihak yang anti kemerdekaan
(RMS, Permesta, PRRI, PKI).
Efektivitas Politik Luar Negeri dan Upaya
Mendudukkan Faktor Idiosinkratik secara
Proporsional
Kebijakan luar negeri sebagai produk
politik luar negeri bukanlah sebuah proses
yang sederhana. Seperti lazimnya proses
penyusunan kebijakan, produk yang
dikeluarkan melalui serangkaian tahapan,
yakni munculnya sebuah permasalahan,
identifikasi permasalahan, pendefinisian
per-masalahan, pengumpulan data dan
informasi dari berbagai sumber, masuk
ke kotak pengolahan yang melibatkan
banyak pemangku kepentingan, hingga
menghasilkan keluaran dalam bentuk
kebijakan luar negeri.
Tujuan utama dari pelaksanaan
kebijakan luar negeri adalah mencapai apa
yang menjadi tujuan nasional. Dalam kasus
yang spesifik, tujuan nasional tersebut
diterjemahkan
sebagai
kepentingan
nasional. Baik tujuan nasional maupun
kepentingan nasional berada pada level
analisis negara. Berbicara mengenai
negara, tentu memiliki sangkut paut yang
erat dengan apa yang diinginkan oleh rakyat
dari negara tersebut.
Dalam proses formulasi politik luar
negeri,
faktor
idiosinkratik
seorang
pemimpin memiliki peranan, namun tidak
berdiri tunggal. Faktor idiosinkratik atau
persepsi elit bisa saja menjadi faktor
dominan, namun tidak bisa menegasikan
faktor lainnya. Kondisi ketika faktor
idiosinkratik menjadi determinan utama
formulasi kebijakan dan mampu menihilkan
faktor lain bisa dianggap sebagai kondisi
ketika negara berada dalam otoritarianisme
(penguasa despotik). Bisa juga sistem
politik dan pemerintahan negara tersebut
melazimkan hal demikian, seperti halnya
negara-negara monarki absolut (kondisi
ini tidak lazim di era globalisasi yang
menjunjung tinggi prinsip demokrasi).
Pelibatan faktor idiosinraktik dalam
formulasi kebijakan luar negeri tidak an
sich selalu berdampak positif bagi negara.
Dalam sudut pandang studi hubungan
internasional, khususnya pandangan kaum
realis, manusia cenderung rentan akan
kesalahan. Manusia cenderung memiliki
sifat untuk mendominasi satu sama lain
(animus dominandi). Ini juga yang menjadi
argumentasi kaum realis dalam menjelaskan
mengapa Perang Dunia I dan II bisa meletus,
yakni ketamakan dan kerakusan para
pemimpin negara. itu juga yang menjadi
landasan kaum realis dalam memandang
munculnya tira-tiran seperti Adolf Hitler
di Jerman (1933), Benito Mussolini di Italia
(1922) melalui Nazisme dan Fasisme yang
mengagung-agungkan nasionalisme sempit.
Meskipun berisiko, formulasi kebijakan
luar negeri negara tidak pernah terlepas
dari faktor idiosinkratik pemimpinnya.
Eksistensi
faktor
idiosinkratik
juga
terbukti memainkan peranan besar dalam
pencapaian kepentingan nasional suatu
negara. Studi kasus yang dipaparkan
sebelumnya yakni Ahmadinejad di Iran
dan Soekarno di Indonesia bisa menjadi
pembelajaran. Untuk kasus Ahmadinejad
di Iran, idiosinkratik Ahamadinejadlah yang
mampu membawa Iran memasuki lompatan
besar dalam pengelolaan negara, dari
semula berbasis transportasi darat, laut,
dan udara, menjadi negara yang sangat
paham dan fokus akan kelebihan sumber
kekayaan alam yang dimilikinya. Iran yang
selama ini dikenal dengan penguasaan
minyak bumi dan gas alam yang melimpah
di Jazirah Arab, semakin dikenal dengan
pengelolaan energi nuklir berbasis uranium.
Ancaman muncul ketika penguasaan
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
13
energi nuklir tersebut menjadi dilema
keamanan bagi negara-negara tetangga,
seperti Israel yang juga memiliki nuklir.
Negara-negara dengan haluan yang berbeda
dengan Iran, seperti Arab Saudi, Qatar,
Bahrain, dan Yordania juga menganggap
Iran sebagai ancaman keamanan. Belum
lagi ditambah dengan dukungan Amerika
Serikat terhadap negara-negara yang
menjadi musuh Iran. Di tengah tekanan
dari kanan kiri, depan belakang seperti
ini, karakteristik Ahamadinejad yang
ditempa sebagai pengawal Revolusi Islam
Iran menjadikannya sebagai figur tangguh
yang berani berbicara lantang di forum
internasional menghadapi mereka yang
menjadi penghalang kepentingan nasional
Iran. Dengan lugas dan tangkas Ahmadinejad
menjelaskan di forum internasional
bahwa tuduhan Amerika Serikat bahwa
Iran menggunakan nuklir sebagai senjata
adalah hipokrisi negara adidaya tersebut.
Jika Iran dilarang mengembangkan nuklir,
mengapa Amerika Serikat hanya berdiam
diri menyaksikan Israel mengembangkan
senjata nuklir?
Dalam kasus Ahmadinejad di Iran
ini, vokalitas dan lantangnya suara
Ahamadinejad di forum internasional
menjadi nilai plus bagi diplomasi Iran.
Secara tidak langsung, Ahamadinejad
berkontribusi dalam revitalisasi sistem
internasional yang selama ini dimonopoli
oleh kepentingan unilateral negara-negara
besar. Dukungan mengalir deras, tidak
hanya dari rakyat Iran, tapi juga negaranegara yang dirugikan perekonomiannya
oleh sistem internasional yang kapitalistik.
Hugho Chavez, pemimpin Venezuela, secara
terang-terangan mendukung Ahmadinejad.
Kondisi ini bisa dibaca sebagai kebijakan
luar negeri yang tidak hanya ditentukan
oleh faktor tunggal idiosinkratik saja, tapi
juga koinsiden dengan sumber domestik
(kepentingan rakyat, dukungan parlemen)
dan sumber internasional (opini masyarakat
14
internasional, persepsi negara sahabat).
Dominannya
faktor
idiosinkratik
Ahamadinejad dalam formulasi kebijakan
luar negeri Iran tidak selamanya seratus
persen memberikan efek positif kepada Iran.
Pengembangan energi nuklir dan vokalitas
Ahmadinejad di forum internasional harus
diganjar dengan sanksi ekonomi yang sedikit
banyak berpengaruh terhadap instabilitas
politik dan ekonomi di Iran (sebuah kondisi
yang akhirnya diperbaiki oleh suksesor
Ahmadinejad, Hassan Rouhani).
Seperti halnya Ahmadinejad di Iran,
faktor idiosinkratik Soekarno juga sangat
mewarnai kebijakan luar negeri Indonesia
pada masa awal kemerdekaan. Soekarno
mampu menerjemahkan dengan baik
konsepsi politik luar negeri Indonesia yang
bebas aktif, memetakan dengan seksama
kondisi lingkungan strategik Indonesia pada
masa Perang Dingin, menggalang dukungan
segenap elemen bangsa Indonesia, baik
masyarakat awam, kelompok kepentingan,
hingga partai politik dalam penentuan
kebijakan luar negeri Indonesia. Secara
garis besar, apa yang ditempuh Indonesia
melalui pembentukan Gerakan Non Blok
pada tahun 1954, Konferensi Asia-Afrika
pada tahun 1955, serta konsep Nefo versus
Oldefo mampu mencapai kepentingan
nasional pada masa itu, yakni pengakuan
kedaulatan dari negara lain, kontribusi
pada upaya mewujudkan perdamaian
dunia dengan menentang kolonialisme
dan imperialisme, serta menempatkan
Indonesia sebagai negara netral pada masa
Perang Dingin.
Pembelajaran penting dari kebijakan
luar negeri Indonesia pada masa itu adalah
kejelian seorang pemimpin dalam melihat
peta politik internasional serta kebijakan
apa yang harus diambil dan kesesuaian
dengan pokok masalahnya. Seandainya
kebijakan Indonesia pada masa itu yang
cenderung konfrontatif (Nefo versus
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
Oldefo) diterapkan dewasa ini, tentu
tidak akan relevan menilik perubahan
pemahaman akan tantangan keamanan
dan makin masifnya kemunculan aktoraktor hubungan internasional. Seandainya
kebijakan non blok diterapkan saat ini,
juga tidak relevan karena konteks konflik
yang terjadi antar negara tidak lagi bersifat
simetris, tapi asimetris. Seperti halnya
kasus Ahmadinejad di Iran, kebijakan luar
negeri Indonesia pada masa Soekarno juga
memiliki kekurangan. Dominannya faktor
idiosinkratik Soekarno pada masa itu
mengakibatkan kurang dijalankannya multi
- tracks diplomacy. Kentalnya substansi high
politics (ancaman hankam dan instabilitas
politik) juga mengakibatkan diabaikannya
diplomasi ekonomi yang sebenarnya paling
dibutuhkan oleh negara - bangsa yang
baru merdeka seperti Indonesia. Kondisi
inilah yang menyebabkan pada masa akhir
pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia
mengalami inflasi yang tinggi.
PENUTUP
Berdasarkan uraian dan analisis di
atas dapat disimpulkan bahwa politik luar
negeri merupakan kebijakan suatu negara
yang ditujukan kepada negara lain untuk
mencapai kepentingan tertentu, lazimnya
disebut sebagai kepentingan nasional.
Tujuan dari dilaksanakannya politik luar
negeri adalah untuk mencapai kepentingan
nasional, yakni di bidang ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan
keamanan. Formulasi politik luar negeri
suatu negara melibatkan banyak sumber,
lazim disebut sebagai sumber domestik dan
sumber eksternal. Sumber domestik meliputi
pandangan dari masyarakat, artikulasi
dan agregasi kepentingan dari kelompok
penekan dan kelompok kepentingan,
partai politik, legislatif, struktur pada
eksekutif pemerintahan, oposisi, hingga
faktor idiosinkratik atau persepsi elit.
Sedangkan faktor eksternal meliputi
dinamika kawasan, pola-pola hubungan
dengan negara sahabat, keterlibatan
dalam berbagai organisasi dan rezim
internasional, serta opini dari masyarakat
internasional (hal ini dimungkinkan karena
dunia sudah memasuki era globalisasi yang
didukung oleh kemajuan di bidang teknologi
informasi, komunikasi dan transportasi).
Faktor idiosinkratik atau persepsi
elit menjadi bahan kajian dalam studi
hubungan internasional sebagai faktor
yang sangat berpengaruh dalam formulasi
kebijakan luar negeri suatu negara merujuk
pada kemunculan banyak pemimpin negara
yang sangat menentukan corak dan warna
politik luar negeri negaranya. Faktor
idiosinkratik dikenal juga dengan istilah
persepsi elit. Didefinisikan sebagai hal-hal
yang melekat pada seseorang (pemimpin)
sehingga
mempengaruhi
pola
pikir,
persepsi, dan cara pandang dalam melihat
suatu permasalahan serta pengambilan
keputusan. Ada beberapa komponen
yang dapat dikategorikan sebagai faktor
idiosinkratik yakni, latar belakang keluarga
(status sosial dan ekonomi keluarga), latar
belakang pendidikan, pengalaman hidup,
afiliasi elit, serta produksi pengetahuan.
Dalam proses formulasi politik luar
negeri,
faktor
idiosinkratik
seorang
pemimpin memiliki peranan, namun tidak
berdiri tunggal. Faktor idiosinkratik atau
persepsi elit bisa saja menjadi faktor
dominan, namun tidak bisa menegasikan
faktor
lainnya.
Pelibatan
faktor
idiosinraktik dalam formulasi kebijakan
luar negeri tidak an sich selalu berdampak
positif bagi negara. Dalam sudut pandang
studi hubungan internasional, khususnya
pandangan kaum realis, manusia cenderung
rentan akan kesalahan. Meskipun berisiko,
formulasi kebijakan luar negeri negara tidak
pernah terlepas dari faktor idiosinkratik
pemimpinnya. Eksistensi faktor idiosinkratik
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
15
juga terbukti memainkan peranan besar
dalam pencapaian kepentingan nasional
suatu negara.
luar negeri suatu negara di negara
yang bersifat demokratis dan negara
yang tidak demokratis.
Saran yang diberikan terdiri dari
saran praktik dan saran akademik.
1. Saran praktik: Formulasi politik luar
negeri dan kebijakan luar negeri
suatu negara kerap dipengaruhi
oleh persepsi elit, dalam hal ini
idiosinkratik kepala negara, baik dari
skala kecil sampai pada skala dominan.
Pelibatan
(terlibatnya)
faktor
idiosinkratik dalam formulasi tersebut
bisa berdampak positif dan negatif.
Studi kasus Ahmadinejad dan Soekarno
sebagai kepala negara bisa menjadi
pembelajaran. Untuk meminimasi
dampak negatif tersebut, formulasi
politik luar negeri tidak seyogyanya
didominasi oleh satu faktor, tapi juga
didukung oleh faktor lain. Hal ini
bertujuan agar politik luar negeri yang
ditempuh mencerminkan kepentingan
nasional segenap elemen bangsa dan
negara. Kombinasi dengan faktor lain
juga bisa memberikan manfaat dalam
hal check and balances.
2. Saran akademik: Kajian idiosinkratik
dalam studi hubungan internasional
bukanlah kajian baru, namun tidak
juga bisa disebut sebagai kajian yang
lama. Permasalahannya terletak pada
sedikitnya penelitian mengenai topik
ini dan kurang banyak sampel yang
digunakan. Diharapkan penelitian ini
akan diteruskan dengan mengambil
sampel yang lebih banyak dan tolok
ukur yang lebih komprehensif semisal
pembagian
kajian
idiosinkratik
kepala negara berdasarkan kawasan,
klasifikasi negara, sistem politik,
dan sistem pemerintahan. Penulis
meyakini bahwa ada perbedaan
yang signifikan dari aplikasi faktor
idiosinkratik dalam formulasi politik
16
Daftar Pustaka
Hanrieder, Wolfram F. 1971. Comparative
Foreign Policy: Theoritical Essays.
New
York: David McKayCo.
Holsti, K.J. 1992. Politik Internasional:
Suatu Kerangka Analisis. Bandung:
Bina
Cipta.
Lentner, Howard. 1974. Foreign Policy
Analysis:
A
Comparative
and
Conceptual
Approach.
Ohio:
Bill and Howell Co.
Plano, Jack C. dan Ray Olton. 1999. Kamus
Hubungan Internasional. Bandung:
Abardin.
Rosenau, James N., Gavyn Boyd, dan
Kenneth W. Thompson. 1976. World
Politics: An Introduction. New York:
The Free Press.
1
Oleh Boy Anugerah, S.I.P., M.Si. Analis
Kerja Sama Luar Negeri Bag Kerma Internasional
Rokerma Settama Lemhannas RI, Alumnus
Program Magister Kajian Ketahanan Nasional
Bidang Kepemimpinan Universitas Indonesia
(2012), Alumnus Program Sarjana Hubungan
Internasional Studi Politik dan Keamanan Global
Universitas Padjadjaran (2009), Anggota DPP
Persatuan Alumni GMNI, Departemen Hankam
dan Polugri (2015).
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
i.ytimg.com
Rejuvenasi
Bhinneka Tunggal Ika
(Pendekatan Kewaspadaan Nasional)
Putu Sastra Wingarta
Tenaga Profesional Bidang Kewaspadaan Nasional Lemhannas RI Jakarta
sastrawing@yahoo.co.id
Abstrak
Fenomena dunia terus menunjukkan kecenderungan bara disintegrasi yang membakar
negara-negara di berbagai belahan dunia. Terlebih di negara-negara kawasan Timur –
Tengah yang sampai dengan saat ini masih terus berlangsung, seperti yang terjadi di
Yaman maupun Suriah; selain Mesir, Libya dan Irak yang meninggalkan keporak-porandaan
negara masing-masing. Walau fenomena disintegrasi yang ditunjukkan dunia dimotivasi
oleh demokratisasi, namun seperti yang dikatakan Samuel Huntington, kondisi itu
tidak terlepas dari bentuk nyata dari perang antar peradaban atau Global Paradox-nya
John Naisbit. Tulisan ini disusun dengan tujuan untuk memberikan gambaran tentang
pentingnya melakukan rejuvenasi atau peremajaan kembali pemahaman tentang
Bhinneka Tunggal Ika seperti yang dikehendaki awal oleh para pendiri bangsa Indonesia.
Penting untuk mengembalikan pemahaman itu berkaitan dengan kondisi nyata bangsa
Indonesia yang plural atau majemuk yang sangat rentan dari konflik sehingga memberi
pengaruh negatif terhadap kualitas Ketahanan Nasional. Konflik sosial antar komponen
bangsa yang masih saja mendera Indonesia di berbagai daerah, memberi peringatan
akan pentingnya melakukan rejuvenasi sesanti atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang
telah diatur dalam UUD NRI tahun 1945. Kewaspadaan Nasional adalah konsepsi nasional
yang dapat digunakan untuk melakukan rejuvenasi itu, karena kewaspadaan nasional
sangat menekankan pentingnya nasionalisme dalam menghadapi ancaman, terlebih-lebih
ancaman disintegrasi social maupun nasional
Kata Kunci: Rejuvenasi Bhinneka Tunggal Ika; Ketahanan Nasional; Kewaspadaan Nasional
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
17
PENDAHULUAN
Proses globalisasi yang begitu cepat
merupakan tantangan dan berpengaruh
secara signifikan terhadap semua manusia di
berbagai negara termasuk bangsa Indonesia.
Ulrich
Beck
(1998)
mengungkapkan
bahwa globalisasi akan berpengaruh
terhadap relasi-relasi antar negara dan
bangsa di dunia, yang akan mengalami
‘deteritorialisasi’.
Konsekuensinya,
kejadian-kejadian di berbagai belahan
dunia ini akan berpengaruh secara cepat
terhadap negara lain. Sementara itu,
Anthony Giddens (2000) menamai proses
globalisasi sebagai ‘the runaway world’.
Menurutnya
perubahan-perubahan
di
berbagai bidang terutama perubahan sosial
di suatu negara akan berpengaruh secara
cepat terhadap negara lain.
Dalam kondisi seperti ini terjadilah
pergeseran dalam kehidupan kebangsaan
(Rosenau, 1990), yaitu pergeseran negara
yang berpusat pada negara kebangsaan,
kepada dunia yang berpusat majemuk
(Hall, 1990). Kiranya sinyalemen yang
layak kita perhatikan adalah pandangan
Kenichi Ohmae (1995) bahwa globalisasi
akan membawa kehancuran negara-negara
kebangsaan. Pengaruh globalisasi yang
sangat cepat ini sangat berpengaruh pada
kelangsungan hidup negara dan bangsa
Indonesia. 1 Begitu juga seperti yang
dikatakan John Naisbitt (1994) bahwa ;
“Ketika dunia menjadi lebih terintegrasi
secara ekonomi, entitas politik dan bisnis
yang terdiri dari itu menjadi lebih kecil
dan lebih banyak”. Pengemudinya adalah
revolusi telekomunikasi.
Setelah sekian lama pendapat
para pakar itu dikemukaan, dari tahun
ke tahun sampai dengan tahun 2016 ini,
hampir semua pendapat itu menunjukkan
kebenarannya.
Terlebih
apa
yang
dikemukakan oleh Naisbitt dalam Global
Paradoks-nya yang semakin menunjukkan
18
kebenaran dunia yang semakin mengalami
disintegrasi social maupun nasional.
Entitas politik yang disebut negara pada
beberapa belahan dunia semakin porak
poranda. Lihat saja yang terjadi di belahan
tanduk Afrika, Timur Tengah dan belahan
dunia lainnya dengan perkembangan
konfliknya yang tidak berkesudahan.
Kondisi semacam itu jelas menjadi warna
dunia pasca perang dingin yang sebelumnya
diharapkan akan menciptakan perdamaian,
namun justru sebaliknya yang ditemukan.
Kebangkitan dunia Arab atau Arab Spring
yang secara harafiah kadang disebut
sebagai pemberontakan Arab yang dimulai
dari Tunisia tahun 2010, merambat ke Mesir
yang menjatuhkan Hosni Mubarak, perang
saudara di Libya, sampai dengan perang
saudara di Suriah pada bulan Maret 2011
yang sampai dengan saat ini 2016 belum
menunjukkan tanda-tanda membaik. Alihalih berakhir, justru kehancuran yang lebih
besar siap menunggu Suriah berikut semakin
terseretnya negara-negara besar terlibat
secara head to head. Keadaan tersebut
diperparah ketika ISIS turut terlibat dalam
kancah perang, yang semakin menjadikan
konflik bertambah kompleks.
Berkaitan dengan fenomena disintegrasi
seperti diuraikan diatas, memunculkan
pertanyaan kritis bagi kelangsungan hidup
Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI)
dari Sabang sampai Merauke.
Dapatkah Bangsa Indonesia dalam wadah
NKRI mempertahankan kesepakatannya
–
mempertahankan
persatuan
dan
kesatuannya – mempertahankan integrasi
nasionalnya. Pertanyaan lainnya; bagaimana
Bangsa Indonesia harus menjalankan
kehidupan nasionalnya dalam menuju citacita dan tujuan nasionalnya. Adalah wajar
pertanyaan itu muncul, karena menurut
teori organik, bangsa dan negara adalah
kehidupan – setiap mahluk hidup akan
mempertanyakan kelangsungan hidupnya.
Oleh karenanya
jaminan kelangsungan
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
hidup akan selalu menjadi pertanyaan –
akan menjadi sesuatu yang sangat vital
(core value) yang setiap saat perlu dan
harus diwaspadai. Kewaspadaan adalah
sikap yang berkaitan dengan jaminan
kelangsungan hidup (survival). Oleh karena
itu juga, kewaspadaan nasional menjadi
sebuah konsekuensi dari sebuah kelahiran
bangsa Indonesia dalam wadah NKRI.
Terkait dengan pertanyaan kesanggupan
mempertahankan kesepakatan menjaga
persatuan, mempertahankan kelangsungan
hidup dalam integrasi nasional NKRI,
berikut cara-cara dalam menjalankan
kehidupan nasional; akan sangat tergantung
dari potensi ancaman yang dihadapi
bangsa, terlebih dalam alam globalisasi. Di
samping itu, kualitas dalam menjalankan
konsepsi kewaspadaan nasional akan sangat
berpengaruh terhadap jalannya kehidupan
nasional, karena kewaspadaan nasional
adalah sikap, kualitas kesiapan dan
kesiagaan dalam menghadapi ancaman,
baik ancaman yang berasal dari luar
negeri maupun ancaman yang berasal dari
dalam negeri atau dari dalam tubuhnya
sendiri. Masyarakat global saat ini adalah
masyarakat yg dihadapkan pada pluralitas
kebudayaan yg saling mempengaruhi
-- keliru mengelola dan kurang waspada
–konflik yang tidak terkendali akan
terus dihadapi – yang menurut Samuel.P
Hatington -- perang antar peradaban (the
clash of civilization) menuju masyarakat
modern berdasar warisan agama, bahasa,
sejarah,dan tradisi. Fenomena itu terus
mewarnai kehidupan nasional Indonesia,
dan memberi pengaruh terhadap kualitas
ketahanan nasional Indonesia.
Sejak reformasi bergulir tahun 1998
hingga saat ini, sudah berlangsung selama
dua windu, dalam penggal-penggal waktu
tertentu masih saja menyisakan berbagai
permasalahan nasional yang mengandung
ancaman potensial maupun manifes
terhadap jaminan kelangsungan kehidupan
nasional. Walau di sana-sini kehidupan
nasional mengalami kemajuan di berbagai
aspek kehidupan, namun dalam waktu
yang bersamaan juga, terjadi fenomena
konflik dan kekerasan diberbagai pelosok
Indonesia. Euforia reformasi saat itu
mengundang
berbagai
permasalahan
baru bangsa dan negara, yang muaranya
bisa mengancam disintegrasi nasional.
Kondisi seperti ini masih terasa hingga
kini, semata-mata karena euforia itu
telah meminggirkan nilai-nilai kebangsaan
seperti nilai-nilai dalam sesanti bhinneka
tunggal ika. Akibatnya tidak hanya sekedar
mengundang berbagai kebisingan dan
kegaduhan demokrasi, namun berbagai
konflik komunal, konflik sosial, anarkisme,
radikalisme, dan fundamentalisme terus
melanda
kehidupan
berbangsa
dan
bernegara di berbagai daerah. Praktik
kebhinnekaan tidak seharusnya diartikan
praktik keberagaman atau praktik berbeda,
yang asal beda dengan mengartikan
kebhinnekaan atau keberagaman itu
sebagai kata yang terpisah dari kontruksi
aslinya “ bhinneka tunggal ika, tan hana
dharma mangrva”. Praktik yang demikian
berpotensi atau secara nyata selama ini
berkontribusi
melemahkan
ketahanan
nasional. Kondisi seperti ini memerlukan
suatu konsep yang memadai atau paling
tidak perlu diwaspadai, agar keberagaman
atau kebhinnekaan yang dimiliki Indonesia
bukannya
menjadi
beban,
namun
sebaliknya justru menjadi motor dan basis
pengembangan ketahanan nasional itu.
Oleh karena itu, untuk menghindari dan
terlepas dari ancaman yang lebih serius
dalam kaitannya dengan disintegrasi sosial
maupun nasional, maka dirasa perlu untuk
segera melakukan rejuvenasi bhinneka
tunggal ika guna meningkatkan ketahanan
nasional.
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
19
PEMBAHASAN
Kewaspadaan
Nasional
Terhadap
Fenomena
Paradoks
Global
Dari
Lingkungan Strategis
“Ketika dunia menjadi lebih terintegrasi
secara ekonomi, entitas politik dan bisnis
yang terdiri dari itu menjadi lebih kecil
dan lebih banyak” ( John Naisbitt, 1994).
Dengan kata lain, apa yang dikatakan
Naisbit dalam Global Paradoks, adalah
dunia yang menuntut semakin terintegrasi
ternyata dalam waktu yang bersamaan juga
menuntut disintegrasi. Fenomena ini sama
dengan fenomena dimana universalisme
dan tribalisme bergerak secara bersamaan
secara paradoks. Fenomena paradoksial
global yang digambarkan John Naisbit,
sesaat setelah berakhirnya Perang Dingin,
adalah fenomena yang terus menunjukkan
bukti-bukti nyatanya dalam perkembangan
lingkungan strategis global sampai dengan
sekarang ini.
Pada gilirannya,” Globalisasi melahirkan
pemahaman baru menyangkut keamanan
(security).
Istilah
“comphrehensive
security”
muncul
seiring
dengan
berakhirnya Perang Dingin sekitar tahun
1988, yang berseberangan dengan harapan
masyarakat dunia yang mengharapkan
dengan optimisme munculnya perdamaian
internal dan antar negara, berkurangnya
kekerasan dan tegaknya ketertiban dunia
di bawah kendali PBB. Namun yang terjadi
pada tahun 1990-an justru menimbulkan
pertanyaan, karena yang muncul adalah
kekerasan yang dilakukan oleh “non state
actors” seperti perang saudara, genosida,
konflik berdasar identitas, terorisme yang
dipacu oleh frustasi akibat perasaan-perasan
kesenjangan
ekonomi,
ketidakadilan,
“xenophobia”,
ketidakamanan
akibat
globalisasi, separasi politik, tuntutan
solidaritas agama, yang dimanipulasi oleh
kaum ekstremis, fanatik, fundamentalis
dan kelompok radikalis”.(Muladi,2006)
20
Era globalisasi yang menghendaki
berbagai aspek kehidupan lebih terintegrasi,
ternyata dalam praktiknya pada saat yang
bersamaan juga menghendaki adanya
fragmentasi. Fenomena ini juga mewarnai
kehidupan nasional Indonesia. Fenomena
disintegrasi sosial maupun nasional di
beberapa belahan dunia sedang marak di
demonstrasikan. Kawasan tanduk Afrika
sedang mengalami hal itu dengan ‘Arab
Spring’ yang melanda Mesir, Libya, Somalia,
Kenya, dan Ethiopia. Begitu juga dengan
negara-negara di Timur Tengah seperti Irak,
Suriah, dan negara-negara di sekitarnya,
termasuk Israel dan Palestina yang tidak
pernah berkesudahan.
Sejak reformasi bergulir dalam
kehidupan nasional Indonesia, yang sudah
berlangsung selama dua windu pada tahun
2016 ini, dalam penggal-penggal waktu
tertentu masih saja menyisakan berbagai
permasalahan nasional yang mengandung
ancaman potensial maupun nyata terhadap
jaminan
keberlangsungan
kehidupan
nasional. Konflik sosial yang terjadi diantara
komponen bangsa adalah konflik sosial yang
sudah memasuki tahap destruktif. Sebut
saja konflik social atau kasus Mesuji tahun
2011 di Kecamatan Mesuji, Ogan Komering
Ilir, Sumatera Selatan. Selain itu, kerusuhan
sosial yang berakhir dengan pembakaran
Kantor Bupati Bima NTB, tanggal 27
Januari 2012, kerusuhan social antar warga
di dua desa bertetangga di Kecamatan
Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah
(11/2/2012), konflik sosial antar warga di
Desa Pelauw, Kecamatan Haruku, Kabupaten
Maluku Tengah (10/2/2012), konflik sosial
atau kasus Cikesik Bekasi, konflik sosial atau
kasus Sidomulyo (Lampung), konflik sosial
Barisan Pertahanan Adat Dayak Kalimantan
Tengah yang menyuarakan aspirasi mereka
melalui dewan adat Dayak daerah Kalteng,
di dalam menolak rencana pembentukan
Front Pembela Islam (FPI) di provinsi ini,
konflik sosial warga Ahmadiyah di Sampang
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
Madura, konflik sosial di Sumbawa Besar
Sumbawa NTB (22/01/2013), konflik sosial
di Pangukan Sleman DIY bulan Juni 2014
lalu, konflik sosial di Kabupaten Tolikara
Papua pada 17 Juli 2015, pembakaran
gereja di Aceh Singkil tanggal 13 Oktober
2015, dan lagi-lagi konflik sosial pada
bulan Maret 2016 di Lampung Selatan yang
melibatkan antar suku. Semua konflik
sosial itu sudah memasuki tahap destruktif
yang membawa korban harta benda dan
nyawa, yang perlu disikapi dengan konsep
kewaspadaan nasional.
Secara
substansi,
pengertian
Kewaspadaan Nasional atau Padnas adalah
suatu sikap dalam hubungannya dengan
nasionalisme yang dibangun dari rasa
peduli dan rasa tanggung jawab serta
perhatian seorang warga negara terhadap
kelangsungan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegaranya dari suatu
ancaman. Padnas juga sebagai suatu
kualitas kesiapan dan kesiagaan yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk
mampu mendeteksi, mengantisipasi sejak
dini, dan melakukan aksi pencegahan
berbagai bentuk dan sifat potensi ancaman
terhadap NKRI. Padnas dapat juga diartikan
sebagai manifestasi kepedulian dan rasa
tanggung jawab bangsa Indonesia terhadap
keselamatan dan keutuhan bangsa/NKRI.
Oleh karena itu, Padnas harus bertolak dari
keyakinan ideoligis dan nasionalisme yang
kukuh serta perlu didukung oleh usahausaha pemantauan sejak dini dan terus
menerus terhadap berbagai implikasi dari
situasi serta kondisi yang berkembang baik
di dalam maupun di luar negeri.2
Konflik sosial yang disebutkan di atas,
sejatinya baru sebagian kecil dari konflik
social lainnya yang melanda berbagai
wilayah Indonesia. Belum lagi konflik sosial
yang pernah dialami oleh transmigran asal
Jawa yang diusir oleh penduduk asli Aceh
Jaya di Aceh, masyarakat dari etnis Madura
yang diusir oleh penduduk asli Sambas,
Sampit Kalimantan, serta masyaraakat
keturunan Bugis, Buton dan Makasar yang
diusir penduduk asli Ambon di Maluku,
di awal-awal lahirnya reformasi, dengan
korban harta benda dan nyawa yang tidak
sedikit. Indonesia mengalami disharmoni
sosial yang serius dalam keyakinan sesanti
atau semboyan Bhinneka Tunggal Ikanya,
yang memberi pengaruh signifikan terhadap
melemahnya ketahanan nasional.
Bhinneka Tunggal Ika Dalam Praktek
Kehidupan Nasional
Dikatakan dalam pasal 36 A UUD
NRI tahun 1945, bahwa Lambang Negara
ialah Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika. Secara substansi,
sesanti (kata-kata bijak) atau semboyan
Bhinneka Tunggal Ika adalah sesanti yang
mengingatkan untuk menjaga persatuan.
Lengkapnya sesanti ini berbunyi; Bhinneka
Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrva, yang
artinya berbeda-beda atau beragam, namun
tetap satu, karena tidak ada kebenaran
yang mendua. Bhinneka yang berasal dari
kata bhina (berbeda/beragam) dan ika (itu)
yang artinya beragam itu, sejatinya tunggal
(satu) ika (itu). Tan Hana Dharma Mangrva
berarti tidak ada kebenaran yang mendua.
Dalam hal ini, dharma diartikan sebagai
kebenaran. Pada awalnya, dharma yang
dimaksud adalah Tuhan. Dengan demikian,
arti Tan Hana Dharma Mangrva adalah
tidak ada Tuhan yang mendua. Penekanan
ini disampaikan oleh Mpu Tantular dalam
kekawin Sutasomanya di zaman Majapahit
abad 14 (sekitar tahun 1365-1389 M),
yang ketika itu masih mempermasalahkan
perbedaan antara agama Budha dan Hindu
(Siwa). Penekanan itu begitu penting pada
jamannya, untuk menghindari terjadinya
konflik. Di dalam kekawin Sutasomanya
Mpu Tantular secara lengkap menyinggung
Bhinneka Tunggal Ika, yang secara lengkap
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
21
menurut kutipan yang berasal dari pupuh
139, bait 5, sebagai berikut; 3
dalam mencapai tujuan nasional. Konsepkonsep dasar itu dirumuskan
dengan
Gambar 2: Bhinneka Tunggal Ika
Jawa Kuna
Alih bahasa
Rwāneka dhātu winuwus Buddha
Wiswa,
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang
berbeda.
Bhinnêki rakwa ring apan kena
parwanosen,
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah
bisa dikenali?
Mangka ng Jinatwa kalawan
Śiwatatwa tunggal,
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah
tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana
dharma mangrwa.
Berbeda-beda tetapi tetap satu,, tidak ada
kebenaran yang mendua
Presiden pertama Indonesia Soekarno,
dalam ceramahnya tanggal 20 Mei 1965, saat
pertama kali meresmikan Lemhannas RI,
sangat menekankan arti penting dari sesanti
Bhinneka Tunggal Ika. Bung Karno saat itu
menyampaikan kepada seluruh peserta
didik Lemhannas RI angkatan pertama,
bahwa dipilihnya kata-kata Bhinneka
Tunggal Ika dalam pita lambang Negara
Pancasila semata-mata, karena
katakata itu sangat bermakna dalam menjaga
persatuan Indonesia.1 Keberagaman yang
dimiliki bangsa Indonesia dengan multi
etnisnya, agamanya, rasnya, golongannya
dan sebagainya adalah keberagaman yang
sejatinya berada dalam satu bangsa dan
Negara Indonesia berdasarkan ideologi
Pancasila yang dijadikan falsafah hidup
bangsa Indonesia.
Sesanti Bhinneka Tunggal Ika sejatinya
adalah “batu bangun” dari visi Wawasan
Nusantara yang
menjadi
geopolitik
bangsa Indonesia. Wawasan Nusantara atau
biasa disingkat Wasantara adalah konsepkonsep pemikiran dan pandangan bangsa
Indonesia tentang diri dan lingkungannya
22
menggunakan 6 (enam) ‘batu bangun‘
atau building block Wawasan Nusantara,
yang konsep-konsep dasarnya diangkat
dari khazanah bangsa yang berada di
wilayah Nusantara mulai Abad VII, yang
diintegrasikan dengan kepentingan bangsa
Indonesia, saat ini dan yang akan datang.
Konsep-konsep dasar yang saling jalin
menjalin dan saling mempengaruhi satu
dengan yang lainnya itu meliputi;
1. Bhinneka tunggal ika adalah konsep
untuk
rnengintegrasikan
keaneka
ragaman komponen bangsa;
2. Persatuan dan kesatuan adalah konsep
untuk
mengakumuIasi
kekuatan
nasional;
3. Kebangsaan adalah konsep untuk
mewujudkan keinginan untuk hidup
bersama;
4. Geopolitik adalah konsep untuk
mewujudkan kedaulatan bangsa atas
tanah airnya;
5. Negara kebangsaan adalah konsep
untuk menjadikan negara sebagai
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
sarana perjuangan mewujudkan citacita bangsa;
6. Negara kepulauan adalah konsep untuk
mempertahankan keutuhan wilayah
nasional.
Lahirnya Wawasan Nusantara tidak bisa
lepas dari Sumpah Palapa Patih Gajah Mada
pada zaman kerajaan Majapahit dulu, yang
diucapkan pada saat pelantikannya menjadi
Patih Amangkubhumi Majapahit tahun 1258
Saka atau tahun 1336 M. Begitu terkenal
sumpah itu, karena visinya yang agung
untuk menyatukan Nusantara yang menjadi
wilayah Indonesia saat ini. Patih Gajah Mada
bersumpah untuk tidak melepas puasanya
(amukti palapa) atau menyerah, apabila
seluruh Nusantara yang menjadi wilayah
Indonesia dari Sabang sampai Meraoke
saat ini tidak menjadi satu wilayah Negara
Majapahit. Keagungan visi Patih Gajah Mada
akan persatuan dan kesatuan Nusantara
direspon oleh pemerintah Indonesia semasa
kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid
dengan mencanangkan tanggal 13 Desember
sebagai Hari Nusantara dilanjutkan dengan
penetapan oleh Presiden Megawati dengan
menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor
126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara.
Berbasis geopolitik Wawasan Nusantara,
Indonesia menjalankan geostrateginya
yang tidak lain adalah konsepsi ketahanan
nasional pada tataran pelaksanaan atau
pengembangan ketahanan nasional secara
substansial.
Pemahaman Ketahanan Nasional
Ketahanan Nasional sering dipahami
sempit sebagai pertahanan nasional.
Padahal, pertahanan nasional bagian dari
ketahanan nasional. Terdapat delapan
gatra dalam ketahanan nasional, yang salah
satunya adalah gatra pertahanan yang juga
mencakup keamanan. Lemhannas atau
lembaga ketahanan nasional, pada awal
didirikan atau diresmikan tahun 1965, juga
menyebut dirinya Lembaga Pertahanan
Nasional (defence), namun sejak tahun
1994 berdasar Keppres RI No 4 tahun 1994,
berubah menjadi Lembaga Ketahanan
Nasional ( National Resilience Institute).
Hal ini sejalan dengan isi pidato Presiden
Pertama RI Soekarno pada saat peresmian
Lemhannas RI tanggal 20 Mei 1965, yang
mengingatkan bahwa: “perang modern
bukan sekedar perang militer ,melainkan
peperangan yang menyangkut seluruh unsur
yang dimiliki rakyat. Dengan demikian
tidak hanya militer yang memperhatikan
dan menyempurnakan ketahanan nasional,
tetapi juga orang sipil”.
Peringatan
ini
sangat
visioner,
karena terbukti bahwa saat ini maupun
ke depan, perang modern yang dihadapi
oleh Indonesia maupun dunia adalah
perang yang melibatkan seluruh aspek
kehidupan, nir militer, komprehensif dan
asimetrik. Selain itu, hal yang juga perlu
dicatat bahwa, Presiden Soekarno sangat
menekankan arti nasional (yang melekat
dalam ketahanan nasional) sebagai yang
tidak sekedar berarti seluruh bangsa, tanah
air (wilayah), tetapi juga betul-betul atas
konstelasi dan karakteristik dari bangsa
Indonesia. Nasional yang berarti berjati diri
Indonesia, dengan budaya yang dimilikinya.
Secara
substansi,
pengertian
Ketahanan Nasional adalah pengertian
yang berkaitan dengan Ketahanan Nasional
sebagai kondisi serta pengertian Ketahanan
Nasional sebagai konsepsi. Sebagai kondisi,
Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamis
bangsa Indonesia yang meliputi segenap
aspek kehidupan nasional yang terintegrasi
berisi keuletan dan ketangguhan yang
mengandung kemampuan mengembangkan
kekuatan nasional, dalam menghadapi dan
mengatasi segala tantangan, ancaman,
hambatan, dan gangguan, baik yang
datang dari luar maupun dari dalam,
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
23
untuk menjamin identitas, integritas,
keberlangsungan
hidup
bangsa
dan
negara, serta perjuangan mencapai tujuan
nasionalnya.
Dalam pengertian di atas, ketahanan
nasional
adalah
kondisi
kehidupan
nasional yang harus diwujudkan. Suatu
kondisi kehidupan yang dibina secara dini
terus-menerus dan sinergis, mulai dari
pribadi, keluarga, lingkungan, daerah,
dan nasional bermodalkan keuletan dan
ketangguhan yang mengandung kemampuan
mengembangkan
kekuatan
nasional.
Proses berkelanjutan untuk mewujudkan
kondisi tersebut dilakukan berdasarkan
pemikiran geostrategi berupa suatu
konsepsi yang dirancang dan dirumuskan
dengan memperhatikan kondisi bangsa
dan konstelasi geografi Indonesia. Konsepsi
tersebut dinamakan Konsepsi Ketahanan
Nasional Indonesia.
Sebagai
konsepsi,
Ketahanan
Nasional adalah konsepsi pengembangan
kekuatan nasional melalui pengaturan
dan penyelenggaraan kesejahteraan dan
keamanan yang seimbang, serasi, dan selaras
dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh
dan menyeluruh dan terpadu berlandaskan
Pancasila, UUD 1945, dan Wawasan
Nusantara. Dengan kata lain, konsepsi
ketahanan nasional Indonesia merupakan
pedoman untuk meningkatkan keuletan
dan ketangguhan bangsa yang mengandung
kemampuan mengembangkan kekuatan
nasional dengan pendekatan kesejahteraan
dan keamanan. Kesejahteraan dapat
digambarkan sebagai kemampuan bangsa
dalam menumbuhkan dan mengembangkan
nilai-nilai nasionalnya demi sebesarbesar kemakmuran yang adil dan merata,
rohaniah, dan jasmaniah. Sementara itu,
keamanan adalah kemampuan bangsa
dalam melindungi nilai-nilai nasionalnya
terhadap ancaman dari luar dan dari dalam.
Ketahanan nasional meliputi segenap
24
bidang kehidupan yang dipetakan menjadi
delapan gatra, yaitu: geografi, demografi,
dan sumber kekayaan alam sebagai gatra
alamiah (natural determinants) serta
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya
serta pertahanan dan keamanan sebagai
gatra sosial (social determinants). Dilihat
dari perannya, ketahanan nasional dapat
diposisikan sebagai sebuah konsepsi
dan kondisi. Sebagai sebuah konsepsi,
ketahanan nasional adalah gambaran
menyeluruh
dan
terintegrasi
dari
komponen-komponen sistem nasional
yang digerakkan menuju pencapaian
tujuan nasional. Sebagai sebuah kondisi,
ketahanan nasional adalah tolok ukur
keberhasilan pengelolaan sistem nasional
dalam mensinergikan seluruh kekuatan dan
kapasitasnya untuk menghadapi tantangan,
ancaman, hambatan dan gangguan dalam
rangka mencapai tujuan nasional.
Hasil
Pengukuran
Ketahanan Nasional
Laboratorium
Sejak tahun 2010, Lemhannas RI
telah melakukan pengukuran Ketahanan
Nasional dan Simulasi Kebijakan Publik.
Pengembangan
Sistem
Pengukuran
Ketahanan Nasional dan Simulasi Kebijakan
Publik diawali dengan perumusan model
pengukuran ketahanan nasional. Model ini
secara hirarkis berbasis pada 8 gatra yang
masing-masing dijabarkan ke dalam aspek,
variabel, dan indikator. Selanjutnya, pada
setiap indikator dirumuskan parameter,
instrumen pengukuran serta formula untuk
memperoleh indeks ketahanan dari indikator
tersebut. Indeks ketahanan dikategorikan
berdasarkan skala likert mulai dari rawan
(skor 1) , kurang tangguh (skor 2), cukup
tangguh (skor 3), tangguh (skor 4), dan
sangat tangguh (skor 5). Setiap indikator
diberi bobot yang besarannya ditentukan
berdasarkan kombinasi antara judgment
pakar dan skala prioritas. Total bobot
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
indikator dalam satu variabel berjumlah
100. Total bobot variabel dalam satu gatra
berjumlah 100. Demikian juga total bobot
gatra dalam ketahanan nasional berjumlah
100. Jumlah perkalian bobot indikator
dengan indeks ketahanan indikator dalam
suatu
variabel
menunjukkan
indeks
ketahanan variabel tersebut. Demikian
seterusnya dengan menggunakan metode
yang sama dapat dihitung indeks ketahanan
pada setiap gatra dan indeks ketahanan
nasional.
turut sejak tahun
2010, 2011,
2012,2013,2014 dan 2015 secara agregat
masih menunjukkan indeks yang tidak
menggembirakan karena kurang tangguh.
Angka-angka yang tercantum dalam kolom
indeks pada tabel di bawah dari masingmasing tahun (2010, 2011, 2012 ,2013,2014
dan 2015) adalah angka-angka yang
menunjukkan tingkat ketangguhan secara
agregat seluruh gatra secara nasional,
maupun tingkat ketangguhan dari masingmasing gatra. Angka-angka itu diperoleh
dari hasil perhitungan menggunakan
berbagai rumus, sehingga menghasilkan
angka hasil konversi yang dikelompokkan
sebagai berikut.
Hasil
pengukuran
Laboratorium
Pengukuran
Ketahanan
Nasional
(Labkurtannas) Lemhannas RI, berturut-
Tabel 1: Tingkat Ketangguhan Ketahanan Nasional
Nomor
1
2
3
4
5
Tingkat ketangguhan
Rawan
Kurang Tangguh
Cukup Tangguh
Tangguh
Sangat Tangguh
Warna
merah
Kuning
Hijau
Biru
Ungu
Angka
1,00 s.d. 1,80
> 1,80 s.d. 2,60
> 2,60 s.d. 3,40
> 3,40 s.d. 4,20
> 4,20 s.d. 5,00
Tabel 2: Hasil Pengukuran Indeks Ketahanan Nasional Indonesia
INDEKS
NO
KETERANGAN
AGREGAT
Tahun
2010
Tahun
2011
Tahun
2012
Tahun
2013
Tahun
2014
Tahun
2015
2,43
2,44
2,43
2,47
2,56
2,55
1
GEOGRAFI
2,62
2,74
2,75
2,74
2,45
2,41
2
DEMOGRAFI
2,85
2,83
2,83
2,73
2,87
2,83
3
SKA
2,36
2,35
2,35
2,41
2,56
2,77
4
IDEOLOGI
2,47
2,59
2,58
2,56
2,12
2,23
5
POLITIK
2,88
2,87
2,87
2,84
2,68
2,39
6
EKONOMI
2,85
2,86
2,87
3,04
2,98
2,63
7
SOSIAL DAN
BUDAYA
2,39
2,47
2,49
2,43
1,92
2,20
8
HAN
KEAMANAN
2,40
2,44
2,42
2,40
2,75
2,82
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
25
Dari tabel diatas dapat dibaca
bahwa indeks ketahanan nasional Indonesia
secara agregat sejak tahun 2010, 2011,
2012 ,2013,2014 dan 2015 masih pada level
‘kurang tanggguh’. Hasil pengukuran tahun
2015, walau diantara 8 gatra terdapat
4 gatra yang cukup tangguh (demografi,
SKA, ekonomi, dan hankam), namun 4
gatra lainnya (geografi, politik, ideologi,
dan sosial budaya masih menunjukkan
kurang tangguh, sehingga secara agregat
ketahanan nasional Indonesia sampai
dengan tahun 2015 masih berada pada
indeks ‘kurang tangguh’. Kondisi seperti ini
dapat dikatakan in line dengan kondisi dari
praktek kebhinneka-tunggal-ikaan dalam
aspek-aspek beberapa gatra, diantaranya
gatra politik, ideologi dan sosial budaya,
yang
memang
menunjukkan
indeks
‘kurang tangguh’. Dengan kata lain, indeks
ketahanan nasional Indonesia yang kurang
tanggguh tidak lepas dari kontribusi praktek
kebhinneka-tunggal-ikaan
yang
masih
bermasalah. Terlebih, kekurangtangguhan
itu berkorelasi dengan kekurangtangguhan
pada gatra politik, ideologi, dan sosial
budaya, yang sarat dengan variabel dan
indikator praktik kebhinneka-tunggal-ikaan
seperti praktik toleransi, kereligiusan serta
indikator praktik ke bhinneka tunggal
ikaan yang lainnya.
Seperti pada gatra ideologi, hasil yang
menunjukkan indeks kurang tangguh yang
secara berturut-turut sejak tahun 2011,
2012 , 2013, 2014 dan 2015, terus mengalami
penurunan, dari nilai agregat 2,59 turun
menjadi 2,58, kemudian menjadi 2,56 lalu
2,12, dan tahun 2015 naik sedikit menjadi
2,23 walau tetap ‘kurang tangguh’. Variabel
yang diukur pada gatra ideologi meliputi
variabel kesetaraan akses, religiusitas dan
toleransi. ketakwaan, kesamaan hak dalam
konteks kewajiban sosial,
solidaritas
sosial, kesatuan wilayah, persatuan
bangsa (nasionalisme) dan kekeluargaan,
dengan ratusan indikatornya yang memiliki
26
keterkaitan erat dengan gatra lain selain
gatra ideologi, seperti politik, ekonomi,
social budaya dan pertahanan keamanan.
Selain gatra ideologi yang menunjukkan
indeks kurang tangguh, berbagai variabel
pada gatra sosial budaya dan gatra
politik juga menunjukkan indeks kurang
tangguh. Beberapa variabel dalam gatra
sosial budaya yang terkait dengan praktik
kebhinneka-tunggal-ikaan,
meliputi
kerukunan sosial, ketertiban sosial, perilaku
sosial, nilai tradisional, dan universal dan
kekeluargaan. Pada gatra politik variabel
itu meliputi, hubungan pusat-daerah dan
antar daerah serta
variable kepastian
hukum 1
Hampir sebagian besar dari variabelvariabel gatra yang dipaparkan di atas
merupakan
variabel
yang
memiliki
keterkaitan erat dengan praktik kebhinnekatunggal-ikaan. Korelasinya, semakin baik
dan benar praktik kebhinneka-tunggal-ikaan
itu dijalankan, semakin tangguh indeks
yang dihasilkan. Sebaliknya, semakin tidak
baik atau tidak benar praktek kebhinnekatunggal-ikaan itu dilakukan, maka semakin
kurang tangguh yang dihasilkan.
Rejuvenasi Bhinneka Tunggal Ika Guna
Meningkatkan Ketahanan Nasional
Pada tataran kondisi, meningkatkan
ketahanan
nasional
mengandung
pengertian, menjadikan kondisi ketahanan
nasional lebih baik dari kondisi sebelumnya
sesuai dengan indeks ketahanan nasional.
Dari kondisi yang paling bawah rawan,
kurang tangguh, cukup tangguh, tangguh
sampai dengan yang paling tinggi atau
ideal, sangat tangguh. Pada tataran
konsepsi,
meningkatkan
ketahanan
nasional
mengandung
pengertian,
mengimplementasikan konsepsi ketahanan
nasional itu secara benar. Sebagai
sebuah konsepsi, ketahanan nasional
adalah
gambaran
menyeluruh
dan
terintegrasi dari komponen-komponen
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
sistem nasional yang digerakkan menuju
pencapaian tujuan nasional. Hal itu juga
berarti melakukan penyelenggaraan dan
pengaturan kesejahteraan dan keamanan
secara seimbang, serasi, dan selaras dalam
seluruh aspek kehidupan secara utuh
dan menyeluruh dan terpadu berbasis
kebhinneka-tunggal-ikaan.
Hasil
dari
penyelenggaraan dan pengaturan itu
adalah keuletan dan ketangguhan bangsa
dalam mengembangkan kekuatan nasional
untuk menghadapi berbagai ancaman yang
menerpanya.
Untuk dapat melaksanakan itu,
seperti yang dikatakan Muladi (2007),
bahwa Ketahanan nasional dimaknai
dalam dua pendekatan yang berbeda yakni
pendekatan enjiniring dan pendekatan
sosial. Pendekatan enjiniring melihat
ketahanan nasional sebagai suatu daya/
kemampuan untuk cepat kembali ke
bentuk dan posisi semula pada saat terjadi
tekanan, benturan atau pembengkokan.
Pendekatan sosial memandang ketahanan
nasional
sebagai
daya/kemampuan
merespon, beradaptasi, dan berinteraksi
dengan lingkungan. Berdasarkan itu,
mengembangkan ketahanan nasional, perlu
berpedoman kepada hasil akhir keuletan
dan ketangguhan yang menunjukkan daya
atau kemampuan enjiniringnya dan daya
atau kemampuan merespon, adaptasi, dan
interaksinya dengan lingkungan.
Labkurtannas Lemhannas RI mencatat
indeks ketahanan nasional Indonesia tahun
2015 yang menunjukkan tingkat ‘kurang
tangguh’ dengan isu strategis, merosotnya
nilai-nilai
kebangsaan.
Substansinya
menyangkut kekurangtangguhan idealisme
nasionalisme,
yang
terkait
dengan
solidaritas besar sesama anak bangsa
yang seharusnya, seperti yang dikatakan
Renan (1882), perlunya memiliki keinginan
kuat untuk bersatu (“le desir d’etre
ensemble”). Kuatnya keinginan untuk
tetap bersatu, tidak atas dasar persamaan
suku, agama, ras, atau golongan, namun
semata-mata karena kebersamaan tujuan,
seperti yang telah disepakati dalam tujuan
nasional sesuai pembukaan UUD NRI 1945.
Selain itu, keinginan kuat untuk bersatu
akan terbangun dan terpelihara apabila
kedaulatan sesama komponen bangsa tidak
saling terkooptasi, namun saling menghargai
atas kedaulatan ciri dan karakteristik
dasar yang dimiliki. Menjadi penting
untuk tetap memperoleh kedaulatan ciri
dan karakteristik masing-masing, agar
upaya memperoleh dan mempertahankan
kedaulatan itu tidak berkembang dan justru
menghancurkan idealisme nasionalisme
itu sendiri. Pencarian kedaulatan itu,
sama seperti yang digambarkan Anderson
(2008) dalam imagined communities atau
komunitas-komunitas terbayangnya. Oleh
karena itu, sejatinya nilai idealisme dan
nasionalisme keindonesiaan adalah nilai
dari sesanti bhinneka tunggal ika. Ke arah
itulah rejuvenasi bhinneka tunggal ika itu
kita tuju.
Dalam bahasa yang lebih sederhana,
indeks ketahanan nasional Indonesia yang
menunjukkan ke kurang tangguhannya itu
hanya bisa dipulihkan atau ditingkatkan
dengan cara melakukan rejuvenasi bhinneka
tunggal ika, yang berarti memperbaiki
praktik idealisme nasionalisme seluruh
komponen
bangsa.
Tanpa
praktik
nasionalisme yang memadai, yang bersumber
dari nilai-nilai luhur bangsa, sulit untuk
mengantisipasi berbagai ancaman yang
dihadapi dalam rangka praktik kewaspadaan
nasional, yang sangat menekankan sikap
peduli terhadap nasionalisme agar dapat
menghasilkan kualitas memadai dalam
menghadapi ancaman nasional. Rejuvenasi
berarti melakukan peremajaan kembali
pemahaman tentang sesanti bhinneka
tunggal ika seperti yang dikehendaki awal
oleh para pendiri bangsa Indonesia.
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
27
Para founding fathers atau pendiri
bangsa Indonesia sangat menyadari bahwa
ciri bangsa Indonesia yang majemuk dengan
berbagai suku, agama , ras, golongan yang
melingkupi tanah air dari Sabang sampai
Merauke adalah bangsa yang sangat
mendambakan persatuan. Bangsa yang
kuat keinginannya untuk bersatu (menjadi
tunggal) mencapai suatu tujuan walau
beragam atau bhinneka. Nilai-nilai luhur
yang dikandungnya meliputi nilai toleransi,
keadilan, dan gotong royong. 2 Ketika
nilai-nilai itu mengalami kemerosotan
dalam kehidupan nasional, ketika itu pula
ketahanan nasional Indonesia menjadi
merosot.
Suatu keadaan yang telah
direkam dalam Labkurtannas Lemhannas
RI sejak tahun 2010. Oleh karenanya,
rejuvenasi sesanti bhinneka tunggal ika
pada kondisi Indonesia saat ini adalah
sebuah keniscayaan. Kebinekaan yang
dapat diartikan plural atau pluralisme, tidak
seharusnya diartikan beragam yang asal
beragam atau berbeda. Keberagamannya
harus tetap dalam satu bingkai pemahaman
yang disepakati, dikonsensuskan atau
disetujui dalam ketunggal-ikaan. Hal ini
menjadi penting, karena itulah sejatinya
yang dikehendaki para pendiri bangsa
ini pada awal-awal pendirian bangsa dan
negara ini.
Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945
didepan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau
BPUPKI menegaskanakan arti penting dari
kebersetujuan itu.
“
……kita
harus
mencari
persetujuan, mencari persetujuan
paham. Kita bersama-sama mencari
persatuan
philosofische grondslag,
mencari satu Weltanschauung yang kita
semua setuju. Saya katakan lagi setuju
! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki
Bagoes setujui, yang saudara Liem Koen
Hian setujui, pendeknya kita semua
mencari satu modus. Tuan Yamin, ini
28
bukan kompromis, tetapi kita bersamasama setujui”
Ketunggal-ikaan.dalam kebhinnekaan
yang dimaksud adalah
ketunggalan
atau ke-persatuan dalam philosofische
grondslag
atau
ke-persatuan
dalam
Weltanschauung, yang tidak lain adalah
Pancasila itu sendiri. Terlalu beresiko
apabila kebhinnekaan yang dimaksud
hanya sekedar pluralisme yang diartikan
sebagai keberagaman pemahaman atau
bermacam-macam paham, dan berpotensi
menghasilkan silang pendapat yang tidak
berkesudahan. Silang pendapatnya harus
tetap dalam bingkai
Pancasila yang
secara substantif menekankan nilai gotong
royong yang menurut Bung Karno (1945)
sebagai; “ pembantingan tulang bersama,
pemerasan keringat bersama, perjuangan
bantu binantu bersama. Amal semua buat
kepentingan semua, keringat semua buat
kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris,
buat kepentingan bersama”. Suatu nilai yang
juga mengandung penekanan pentingnya
toleransi dan keadilan. Sepanjang keadilan
belum memperoleh tempat yang memadai
dalam kehidupan nasional, begitu juga
toleransi, gotong royong tidak akan pernah
terlaksana. Rejuvenasi bhinneka tunggal ika
berarti menempatkan nilai-nilai toleransi,
keadilan, dan gotong royong
sebagai
sesuatu yang sangat vital dalam kehidupan
nasional. Inilah yang paling esensial
dalam meningkatkan ketahanan nasional
menggunakan pendekatan kewaspadaan
nasional. Menjadi penting dalam melakukan
rejuvenasi bhinneka tunggal ika melakukan
kebijakan revitalisasi nilai-nilai toleransi,
nilai-nilai keadilan, dan gotong royong
dalam kehidupan nasional. Nilai-nilai
yang memiliki kualitas prime mover atau
penggerak utama nasionalisme.
Ada langkah-langkah konsepsional
yang dapat dilakukan menuju rejuvenasi
bhinneka tunggal ika. Langkah-langkah itu
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
meliputi ;
Pertama; perasaan satu komunitas
nasional di dalam negeri harus tetap
terjaga dengan menggunakan paradigma
nasional pancasila dan UUD NRI 1945
sebagai acuannya. Untuk bisa melakukan
itu, penting untuk selalu menanamkan
rasa empati sesama anak bangsa untuk
menumbuh suburkan relasi sosial diantara
komponen bangsa. Pancasila yang pada
intinya menghendaki gotong royong sangat
mendambakan kesuburan empati itu dalam
membangun relasi sosialnya. Sesanti atau
semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang
menekankan persatuan dan kesatuan itu
sejatinya terinspirasi dari falsafah ta twam
asi ajaran sanata dharma yang berarti ”Itu
adalah Kamu” (that you are) atau yang juga
diartikan sebagai ” Aku adakah Kamu”. Ini
sama dengan konsep ”dari Kami ke Kita”
yang pernah disampaikan Fuad Hassan
(2005) sebagai modes of togetherness. Atau
konsep ’Kami within Kita’. Oleh karena itu,
kesenjangan yang terjadi dalam berbagai
aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, sangat potensial membuat
lunturnya perasaan satu komunitas nasional
perlu mendapat perhatian yang serius.
Begitu juga menyangkut keinginan masingmasing komunitas, kelompok atau golongan
yang saling membenci dan meniadakan
kedaulatan masing-masing.
Kedua; dimata Internasional Indonesia
harus berani memposisikan diri sebagai
bangsa yang berdaulat dan bermartabat
dengan
mengacu
dari
kepentingan
nasionalnya seperti yang diamanatkan
oleh pembukaan UUD 45. Keberanian
yang perlu dilakukan itu berkaitan dengan
langkah konkrit dari sesanti tan hana
dharma mangrva (tiada kebenaran yang
mendua) dari sesanti bhinneka tunggal
ika. Untuk bisa demikian, Indonesia
harus mengetahui secara terus menerus
kondisi dan situasi internasioanl yang
berlaku, pada posisi mana harus berada
yang dapat menguntungkan kepentingan
nasional Indonesia. Hal ini harus dilakukan
karena kewaspadaan nasional merupakan
manifestasi dari kepedulian serta tanggung
jawab setiap komponen bangsa terhadap
keselamatan dan keutuhan bangsa dalam
NKRI. Selain itu, langkah ini diambil karena
Padnas adalah kesiapan dan kesiagaan
yang harus dimiliki olah bangsa Indonesia
untuk mampu mendeteksi, mengantisipasi
sejak dini dan melakukan aksi pencegahan
berbagai bentuk dan sifat potensi ancaman
terhadap NKRI. Menggunakan pendekatan
kewaspadaan nasional
sudah tentu
memerlukan kalkulasi tepat dan akurat
dari analisa data yang akurat juga – tentang
situasi dan kondisi yang dihadapi bangsa –
internasional, regional dan nasional. Oleh
karenanya, tuntutan memiliki intelijen
negara yang handal adalah tuntutan dari
kewaspadaan nasional – intelijen yang
mampu merumuskan dan mempersepsikan
hakekat ancaman yang dihadapi bangsa dan
negara – perspektifnya adalah kepentingan
nasional ( national interest).
Bentuk-bentuk konkrit
dilakukan meliputi :
yang
dapat
a. Secara nasional, Indonesia harus
memiliki early warning system
(sistem peringatan dini). Hal ini
tidak hanya berlaku bagi ancaman
tradisional (ancaman militer),
tetapi juga ancaman non tradisional
(non traditional threat). Ini penting
untuk menghindari pendadakan dan
kesimpangsiuran informasi ketika
eskalasi situasi terus meningkat
dan mencapai titik krisis. Di era
globalisasi, era informasi, era yang
memberi akses informasi demikian
banyak, tidak harus simpang siur,
apalagi berkembang isu-isu yang
menyesatkan – propaganda hitam
yang meracuni masyarakat. Sekali
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
29
lagi, peran intelijen negara dan
kementerian
komunikasi
dan
informasi sangat penting.
b. Menyangkut
Peraturan
dan
Perundang-Undangan,
Indonesia
harus memiliki Peraturan dan
Perundang-undangan
yang
memadai, berikut penegakannya
yang berani dalam menjaga
kepentingan nasional Indonesia.
PENUTUP
Berdasar uraian dan analisis di atas,
disimpulkan bahwa rejuvenasi bhinneka
tunggal ika guna meningkatkan Ketahanan
Nasional, adalah peremajaan pemahaman
tentang bhinneka tunggal ika, seperti yang
dikehendaki oleh para pendiri bangsa yang
sangat menekankan arti penting persatuan
dalam menyikapi keberagaman atau
kemajemukan bangsa. Bhinneka tunggal
ika tidak seharusnya diartikan harafiah
yang lepas dari kata lain dalam sebuah
kontruksi “ bhinneka tunggal ika, tan hana
dharma mangrva”, yang artinya, walaupun
beragam tetapi tetap dalam satu tujuan,
dalam hal ini tujuan nasional, karena tidak
ada tujuan nasional selain tujuan nasional
seperti yang dikehendaki dalam pembukaan
UUD NRI 1945. Satu itu juga, perlu diartikan
sebagai satu philosofische grondslag atau
falsafah dasar, satu Weltanschauung atau
pandangan hidup, satu paradigma, nasional
Pancasila dan UUD NRI 1945.
Rejuvenasi bhinneka tunggal ika
memerlukan kadar nasionalisme yang
memadai, yang sebaliknya juga (vice versa)
nasionalisme yang memadai akan mampu
melakukan rejuvenasi bhinneka tunggal
ika. Rejuvenasi bhinneka tunggal ika
berkaitan dengan upaya untuk menciptakan
persatuan kebangsaan sebagai persyaratan
dasar menghadapi berbagai ancaman yang
potensial maupun nyata melemahkan
30
ketahanan nasional. Data Laboratorium
Pengukuran
Ketahanan
Nasional
(Labkurtannas) Lemhannas RI tahun 2015
yang merekomendasi untuk memperhatikan
isu strategis kondisi nilai-niilai kebangsaan
dari komponen bangsa Indonesia, ternyata
pada kondisi searah (in line) dengan
indeks ketahanan nasional
Indonesia
yang menunjukkan kekurangtangguhannya
secara berturut-turut sejak tahun 2010
sampai dengan tahun 2015.
Menangani secara serius masalahmasalah yang berkaitan dengan nilai
toleransi, nilai keadilan, dan nilai gotong
royong untuk menghasilkan nasionalisme
keindonesiaan,
menjadi
kata
kunci
rejuvenasi bhinneka tunggal ika guna
meningkatkan Ketahanan Nasional. Dengan
rejuvenasi bhinneka tunggal ika dan memiliki
nasionalisme yang memadai, keuletan, dan
ketangguhan akan dapat diraih. Dengan
nasionalisme juga kemampuan recovery,
atau kembali ke bentuk dan posisi semula
pada saat terjadi tekanan, benturan
atau pembengkokan, respon, dan adaptif
terhadap ancaman nasional dapat dimiliki
untuk menghasilkan ketahanan nasional
yang tangguh atau bahkan sangat tangguh.
Penting bagi penyelenggara negara serta
seluruh komponen bangsa untuk melakukan
internalisasi nilai-nilai yang terkandung
dalam semboyan atau sesanti bhinneka
tunggal ika, meliputi nilai toleransi,
keadilan dan gotong royong dalam rangka
rejuvenasi
bhinneka tunggal ika guna
meningkatkan Ketahanan Nasional
Daftar Bacaan
Anderson, Benedict, 2008,
imagined
communities, komunitas-komunitas
terbayang
,
Daniel
Dhakidae
pengantar,
Omi
Intan
Naomipenerjemah,
Pustaka
Pelajar,
Yogjakarta
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
Bandoro,Bantarto,2005 Perspektif
Keamanan Nasional.
Baru
Gerakan Nasional Patriot Indonesia,2004,
Undang-Undang Republik Indonesia
No 27 Tahun 1999, Perubahan KUHP
yang berkaitan dengan Kejahatan
Terhadap Keamanan Negara Sebagai
Tindak Lanjut Pasal 3 Tap MPRS NO
XXV Tahun 1966.
Huntington, Samuel.P,2000 Benturan Antar
Peradaban dan Masa Depan Politik
Dunia.
Husaini,Adian,2005
Wajah Peradaban
Barat,Dari Hegemoni Kristen ke
Dominasi Sekuler-Liberal.
Muladi,2007, ”Konsep Comphrehensive
Security dan Ketahanan Nasional”.
Kuliah perdana Program Pasca
Sarjana kerja sama Lemhannas-RI –
Universitas GajahMada, Yogyakarta
______, 2006, ”Relevansi Doktrin Ketahanan
Nasional ( National Resilience)
terhadap Kekuatan Nasional (
National Power)”. Kerangka Ceramah
di KRA XXXIX Lemhannas-RI,Jakarta
Lemhannas –RI, Naskah Lembaga tentang
Kewaspadaan Nasional Pasca Orde
Baru, 2006
Maksum (Ed), 1994, Mencari Ideologi
Alternatif, Polemik Agama Pasca
Ideologi Menjelang Abad 21
Putu Sastra Wingarta, 2013, Pengantar
Kewaspadaan
Nasional Untuk
Program Matrikulasi S2 Tannas
Lemhannas-Inter Universities NetWork
Pancasila Bung Karno, Himpunan Pidato,
Ceramah Kursus dan Kuliah.Tim
Penerbitan Buku Pancasila, 2005,
Rahmat, M.Imdadun, 2005, Arus Baru Islam
Radikal, Transmisi Revivalisme Islam
Timur Tengah ke Indonesia,
Soebadio,Hadi,2002 Keterlibatan Australia
Dalam
Pemberontakan
PRRI/
Permesta
Surjohadiprojo,
Sajidiman,Letjen(Pur),
2005, Si Vis Pacem Para Bellum,
Membangun Pertahanan Negara yang
Modern dan Effektif.
Tim Penerbitan Buku Pancasila, 2005,
Pancasila Bung Karno, Himpunan
Pidato, Ceramah Kursus dan Kuliah.
Hasil
pengukuran Ketahanan Nasional
Lemhannas RI
tahun 2014 yang
menggunakan data terakhir tahun
2015
Cuplikan Pidato Presiden Pertama RI,
Soekarno pada saat pembukaan
Lemhannas RI, dalam Revitalisasi,
Profil dan Direktori Lemhannas RI
2007
http://id.wikipedia.org/wiki/Kakawin_
Sutasoma
1 Kaelan dalam RTD Lemhannas RI tanggal 22
Juli 2014
2 Modul Kewaspadaan Nasional Lemhannas-RI
(2016)
3 http://id.wikipedia.org/wiki/Kakawin_
Sutasoma
4 Cuplikan Pidato Presiden Pertama RI,
Soekarno pada saat pembukaan Lemhannas
RI, dalam Revitalisasi, Profil dan Direktori
Lemhannas RI 2007
5 Hasil pengukuran Ketahanan Nasional
Lemhannas RI tahun 2016 yang menggunakan
data terakhir tahun 2015
6 Nilai-nilai yang dirumuskan oleh Lemhannas
RI dalam melakukan pementapan nilai-nilai
kebangsaan bagi berbagai komponen bangsa
yang dihimpun dalam Buku Induk Nilai-Nilai
kebangsaan Indonesia Yang Bersumber dari
Empat Konsensus Dasar.
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
31
Google.com
Ketahanan Nasional:
Permasalahan dan Solusinya Dari
Perspektif Kependudukan
Dr. Djoharis Lubis, MSc
Tenaga Professional BS Demografi, Lemhannas RI, Alumni KSA XII Tahun 2004
sahli_otda@yahoo.com
Abstrak
Untuk mewujudkan tujuan nasional bangsa Indonesia, diperlukan pembangunan
nasional di segala bidang, sekaligus meningkatkan ketahanan nasional kita
terhadap ancaman, gangguan, hasutan, hambatan dan tantangan baik yang
datang dari luar maupun dalam negeri yang dapat mengganggu tercapainya
tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Untuk mencapai hal tersebut, tulisan di bawah ini akan membahas
permasalahan ketahanan nasional dan konsepsi solusinya dari perspektif
Kependudukan.
32
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
PENDAHULUAN
Dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, telah diamanatkan bahwa tujuan
kita bernegara (tujuan nasional) adalah
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan
ikut
melaksanakan
ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Untuk mewujudkan tujuan
nasional
dimaksud
di atas, kita melaksanakan
pembangunan nasional di segala bidang,
sekaligus meningkatkan ketahanan nasional
kita terhadap ancaman, gangguan, hasutan,
hambatan dan tantangan baik yang datang
dari luar maupun dalam negeri yang
dapat mengganggu
tercapainya tujuan
nasional sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
tersebut di atas.
menurun dibandingkan tahun 2014;(2)
penduduk adalah subjek dan objek
ketahanan nasional. Artinya, ketahanan
nasional kuat atau lemah sangat ditentukan
oleh kualitas maupun kuantitas serta
mobilitas dan produktivitas penduduknya,
sehingga perlu ditingkatkan kualitas dan
produktivitasnya. Singapura dan Jepang,
meskipun sumber kekayaan alamnya
terbatas, namun menjadi negara industri
maju karena kualitas dan produktivitas
penduduknya;
(3)
penduduk
yang
berkualitas dan produktif didukung oleh
iklim yg kondusif, akan menentukan
berhasilnya pembangunan
nasional
sekaligus pembangunan ketahanan nasional
dalam menghadapi era globalisasi dan
MEA yang akan berimplikasi terhadap
kemampuan kita memanfaatkan bonus
demografi dan memperkuat ketahanan
nasional kita secara agregat.
Ketahanan Nasional
merupakan
PEMBAHASAN
kondisi dinamis suatu bangsa yang
mengandung keuletan, dan ketangguhan
Kondisi Ketahanan Nasional Indonesia
yang mampu membangun, mengembangkan
Saat Ini
dan menumbuhkan ketahanan, kekuatan
Berdasarkan laporan yang dikeluarkan
nasional dalam menghadapi dan mengatasi
Labkurtannas Lemhannas RI tahun 20162,
segala tantangan, hambatan dan ancaman
Indeks Ketahanan Nasional tahun 2015
yang datang dari dalam negeri maupun luar
dibandingkan tahun 2014 secara agregat
negeri yang secara langsung maupun tidak
menurun sebagaimana dapat di lihat pada
langsung dapat membahayakan integritas,
tabel 1 di bawah ini
identitas serta kelangsungan hidup bangsa
dan
Negara
Indonesia.1.
Tabel 1. Indeks Ketahanan Nasional Indonesia Tahun 2015
Tulisan
di
KONDISI INDEKS KETAHANAN NASIONAL
bawah ini akan
INDONESIA THN 2015
m e m b a h a s
(Agregat & Komposit)
permasalahan
KOMPONEN
2014
2015
PERUBA
HAN
k e t a h a n a n
A. AGREGAT
Menurun
2,56
2,55
nasional
dan
NASIONAL
B. KOMPOSIT
konsepsi solusinya
(Gatra)
dari
perspektif
1. GEOGRAFIS
Menurun
2,60 (6)
2,41 (5)
2. DEMOGRAFI
Meningkat
2.76 (2)
2.83 (1)
kependudukan.
3. SKA
Meningkat
2,61 (5)
2,77 (3)
Ada
beberapa
4. IDEOLOGI
Menurun
2,30 (7)
2,23 (7)
alasan judul ini
5. POLITIK
Menurun
2,62 (4)
2,39 (6)
dipilih karena: (1)
6. EKONOMI
Menurun
2,94 (1)
2,63 (4)
7. SOSBUD
Meningkat
1.91 (8)
2,21 (8)
Indeks Ketahanan
8. HANKAM
Meningkat
2,75 (3)
2,82 (2)
Nasional Indonesia
Rawan
Kurang Tangguh Cukup Tangguh
Tangguh
Sangat Tangguh
Sumber : Diolah dari Labkurtannas – Lemhannas RI (2015)
tahun
2015
rdasarkan
tabel 1 di atas, secara agregat Indeks Ketahanan
33 Na
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
Berdasarkan tabel 1 di atas, secara
agregat
Indeks Ketahanan
Nasional
Indonesia turun dari 2,56 pada tahun 2014
menjadi 2,55 pada tahun 2015 . Demikian
juga secara komposit, Gatra
Geografi
turun dari 2,60 pada tahun 2014 menjadi
2,41 pada tahun 2015. Sedangkan Gatra
Ideologi turun dari 2, 30 pada tahun 2014
menjadi 2.23 pada tahun 2015. Gatra
Politik turun dari 2,62 (Cukup Tangguh) pada
tahun 2014 menjadi 2,39 (Kurang Tangguh)
pada tahun 2015 dan Gatra Sosial Budaya
meskipun sedikit naik dari 1,91 pada tahun
2014
menjadi 2,21 pada tahun 2015,
namun indeksnya tetap kurang tangguh
artinya keuletan dan ketangguhan bangsa
berada pada kondisi lemah, meskipun
dalam jangka pendek negara masih dapat
bertahan dari berbagai TAHG. Namun,
jika tidak segera ada perbaikan secara
signifikan, maka dalam jangka panjang
stabilitas nasional akan goyah. Kondisi ini
disebut juga warning.
Gatra-gatra yang naik Indeks Ketahanan
Nasionalnya adalah Gatra Demografi, naik
dari 2,76 pada tahun 2014 menjadi 2,83
pada tahun 2015, Gatra SKA naik dari
2,61 pada tahun 2014 menjadi 2,83 pada
tahun 2015, dan Gatra Hankam naik dari
2,75 pada tahun 2014 menjadi 2,82 pada
tahun 2015. Namun, masih di bawah angka
3 dalam skala 0 sd 5. Artinya, meskipun
Indeks Ketahanan Nasional Indonesia pada
posisi cukup tangguh atau cukup memadai
dalam menghadapi TAHG, namun beberapa
kelemahan internal perlu segera diperbaiki
agar TAHG tidak sampai melemahkan
stabilitas dan integritas nasional. Kondisi
ini merupakan tahap awal dari kondisi
moderat.
Dengan memperhatikan Tabel 1
di atas, baik secara agregat maupun
komposit, indeks ketahanan nasional kita
pada tahun 2015 belum tangguh apalagi
sangat tangguh yang perlu sama-sama kita
waspadai dan kita tingkatkan agar NKRI
tetap kokoh, tidak seperti perpecahan
Negara Uni Soviet, negara-negara Balkan
dan negara-negara Arab dan Afganistan.
34
Hal ini perlu diwaspadai karena John
Naisbitt (1994) dalam Global Paradoksnya
mengemukakan dunia semakin menuntut
terintegrasi ternyata juga menuntut
Disintegrasi. Pemicunya adalah ideologi
sebagai Weltanschaung (Pandangan Hidup)
bergerak dinamis mempengaruhi bangsabangsa di dunia termasuk Indonesia.
Selanjutnya, Anthony Giddens (2000)
menyatakan proses globalisasi adalah “The
Run Way World” yaitu perubahan sosial
di suatu negara berpengaruh terhadap
negara lain. Indonesia telah mengalami
perebutan dan pengaruh ideologi asing yg
belum tentu sesuai dengan Pancasila yaitu:
(1) Demokrasi Liberal atau Neo Liberalism,
(2) Sosial Demokrat atau ‘New Left atau
“Kiri Baru”, (3) Ideologi Radikalisme
Agama yg mulai marak dimana-mana1.
Dalam pada itu, penduduk Indonesia
kedepan akan dipenuhi generasi X, Y, Z
dan Alpha yang karakteristiknya berbeda
dengan karakteristik generasi tahun 50-an.
Menurut Teori Generasi Don Tapscott dalam
bukunya Up Digital, Generasi X lahir tahun
1965 -1976, Generasi Y lahir tahun 19771997, Generasi Y lahir tahun 1998 sampai
dengan sekarang dan Generasi Alpha (A)
lahir tahun 2020. Masing-masing generasi
punya karakteristik positif dan negatif,
mereka sudah terbiasa dengan IT, media
sosial, berpikir pragmatis, dan pekerja
keras. Penduduk dalam generasi X,Y, dan Z
ini, melihat keutuhan NKRI bukan dari nilainilai kesejarahannya melainkan dari nilai
fungsionalnya.
Permasalahan Ketahanan Nasional dari
Perspektif Demografi
Labkurtanas Lemhannas RI dalam
studinya tahun 2014,2 telah menemukan
indikator-indikator
strategis
gatra
demografi. Indikator-indikator yang rawan
atau kurang tangguh, mempunyai bobot
strategis tinggi adalah sebagai berikut :
1. Aspek Kuantitas Penduduk
a. Angka fertilitas total
tinggi,
berdampak
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
masih
pada
pertumbuhan penduduk semakin
besar. Jumlah penduduk yang
besar yang tidak diikuti kualitas
penduduk yang memadai dan
menurunnya mortalitas, akan
menimbulkan
pengangguran
dan kemiskinan yang dapat
menggangu ketahanan nasional.
b. Komposisi
geografis
jumlah
penduduk yang tidak merata
antara pulau Jawa dengan luar
pulau Jawa akan menimbulkan
persoalan ke tenaga kerjaan.
Berbagai persoalan demografi
tersebut di atas, menggambarkan
kompleksnya persoalan bangsa
Indonesia kini dan ke depan
yang pada akhirnya bermuara
pada tingkat ketahanan nasional
Indonesia.
c. Rasio jumlah desa terhadap
jumlah penyuluh BKKBN yang
belum ideal
terjadi karena
beberapa
penyuluh
BKKBN
telah beralih status menjadi
pejabat struktural atau mengisi
posisi lain dan tidak adanya
penambahan penyuluh BKKBN.
Apabila kondisi ini tidak segera
diperbaiki, akan berdampak
pada
angka
pertambahan
penduduk yang cukup tinggi.
d. Kurang
terkendalinya
pertumbuhan penduduk sejak
diberlakukan Otda.
Namun,
pemerintah saat ini mulai
menggalakkan kembali Program
KB, meski masih ditemukan
kendala institusi di berbagai
daerah.
2. Aspek Kualitas Penduduk.
a. Pendidikan
Rendahnya
pencapaian
pemenuhan Standar Pelayanan
Minimal
Pendidikan
(SPM)
Pendidikan yang hanya mencapai
kira2 30 persen dari SD sd SLTA
( hasil penelitian kami pada
tahun 2012) berdampak pada
masih rendah partisipasi murni
di tingkat SLA dan Perguruan
Tinggi. Meskipun tingkat SD
sudah hampir 95% dan SLP hampir
70%. Dengan program wajib
belajar 12 tahun tampaknya
masalah tersebut akan segera
teratasi. Tetapi jika dilihat di
tingkat SLA dan PT, maka terlihat
bahwa angkanya masih relatif
rendah. Hal ini menggambarkan
rendahnya
akses
penduduk
untuk melanjutkan pendidikan
ke jenjang SLA dan Perguruan
Tinggi. Akses penduduk dapat
dilihat dari dua sisi, yaitu
akses ekonomi dan akses fisik.
Keterbatasan
akses
secara
ekonomi, terutama terjadi pada
penduduk miskin yang tidak
mampu membiayai pendidikan
di jenjang SLA dan PT.
Keterbatasan akses dari sisi fisik
mengacu kepada keterbatasan
sarana dan prasarana serta
kondisi geografis. Sementara
itu, dilihat dari rata-rata tahun
sekolah, Indonesia tergolong
masih rendah dibandingkan
dengan negara tetangga. Kondisi
ini merupakan indikasi besarnya
jumlah murid yang drop out dari
pendidikan SD atau SLP. Sekali
lagi, hal ini terkait dengan
persoalan Standar Pelayanan
Minimum yg belum terpenuhi
dan akses ekonomi. Pendidikan
Indonesia
juga
berhadapan
dengan
tantangan
untuk
meningkatkan kompetensi dan
kompetisi penduduk menghadapi
globalisasi, peningkatan daya
kompetensi
dan
kompetisi
menjadi salah satu kuncinya.
b. Kesehatan
Sama
halnya
dengan
sektor pendidikan, rendahnya
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
35
pencapaian
pemenuhan
Standar Pelayanan
Minimum
(SPM) kesehatan berimplikasi
terhadap Angka kematian ibu
(AKI) yang tinggi yaitu 100.000
kelahiran hidup menunjukkan
banyaknya kematian perempuan
pada saat hamil atau 42 hari
sejak
terminasi
kehamilan.
Angka kematian ibu yang
tinggi menggambarkan masih
rendahnya kualitas kesehatan
dan kualitas hidup perempuan di
Indonesia. Di samping itu, masih
tingginya prevalensi malaria,
DBD dan pneumonia merupakan
indikasi
rendahnya
kualitas
kesehatan penduduk Indonesia.
Hal ini diperparah lagi makin
menumpuknya penduduk di
kota-kota atau wilayah tertentu,
mengakibatkan
maraknya
pemukiman kumuh perkotaan
dan Gelandangan serta Pengemis
di kota-kota besar di Indonesia
yg sangat mengganggu keamanan
dan kenyamanan warga kota.
c. Pendapatan
Pendapatan
per kapita
penduduk
Indonesia
pada
tahun 2014 menurut World
Bank adalah US$4.700 setara
dengan Rp 5 Juta/kapita/
tahun atau Rp 5 Juta/Kapita
/ bulan. Penulis meragukan
pendapatan perkapita tersebut
karena tidak menggambarkan
jumlah pendapatan terendah
yg diterima penduduk. Padahal,
secara kasat mata dapat dilihat
jumlah penduduk miskin cukup
besar. Data BPS menunjukkan
tahun 2015 jumlah orang miskin
sebanyak 35, 28 juta orang
(14,50%)
dan pengangguran
sebanyak 7,24 juta orang (5,7%)
dengan tingkat pertumbuhan
penduduk kira-kira 4 juta orang/
tahun dan kualitas penduduk
Tabel 2 dan Grafik 1 Jumlah Penduduk Miskin
36
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
rata-rata belum tammat SMP
merupakan tantangan di saat
Indonesia
memasuki
Bonus
Demografi kalau tidak dikatakan
Petaka Demografi.
pada tahun 2045 ketika jumlah
penduduk sebanyak 364 juta
jiwa, masih ada penduduk
miskin sebanyak 36, 4 juta jiwa
atau 10% dari jumlah penduduk.
Dalam pada itu, disparitas
tingkat kemiskinan antar provinsi
sangat tinggi (Jakarta = 3,69%,
Papua = 31,11%, Indonesia =
11,96%). ( BPS 2014). Disparitas
tingkat kemiskinan antar kota
dan desa tinggi, sebagian
besar Rumah Tangga miskin
bekerja di pertanian. Banyak
penduduk yang hidup di sekitar
garis kemiskinan. Mereka tidak
tergolong miskin tetapi sangat
rentan terhadap kemiskinan.
Dalam pada itu, masih
jutaan penduduk di banyak
daerah
dengan
kondisi
perumahan tanpa listrik, tidak
ada toilet, dinding rumah
bambu, tidak ada air bersih, luas
rumah sempit, terutama di luar
pulau jawa yg menggambarkan
kesenjangan
wilayah,
kesenjangan pendapatan dan
kesenjangan berusaha
yang
ditandai Gini Ratio 0, 414.
(Bappenas 2015)
Berdasarkan tabel 2 dan
grafik 1 diatas , dapat dilihat
bahwa kemampuan Pemerintah
menurunkan jumlah penduduk
miskin sejak tahun 2005 s.d.
tahun 2015 hanya 2 persen setiap
tahun, sehingga diperkirakan
Di
tengah-tengah
banyaknya jumlah penduduk
miskin dan adanya kesenjangan
pendapatan, Indonesia masih
dalam klasifikasi negara korup
sebagaimana dapat di lihat pada
tabel 3 di bawah ini :
Berdasarkan tabel 3 di atas, dari 183 negara yg disurvey, Indonesia menduduki
rangking ke 100 di atas Malaysia (60), Thailand (80) tapi di bawah Vietnam (112)
dan Phillipina (119).
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
37
3. Aspek Mobilitas Penduduk
Persentase migran penduduk
usia produktif 15 – 19 tahun cukup
tinggi,
menunjukkan
dinamika
pertumbuhan
ekonomi
karena
masyarakat
mampu
membiayai
sendiri perjalanannya. Tetapi di sisi
lain menunjukkan urbanisasi yang
akan menjadikan sebaran penduduk
tidak merata dan hanya menumpuk
di wilayah tertentu seperti di pulau
Jawa. Indikator-indikator strategis
di atas, apabila tidak segera
mendapat
penyelesaian
secara
tuntas,
akan menjadi isu yang
mampu menimbulkan kerawanan
tidak hanya pada Gatra Demografi,
namun Ketahanan Nasional secara
agregat.
Sejalan dengan
laporan
Labkurtannas Lemhannas tersebut
di atas, beberapa permasalahan
kependudukan yang lainnya adalah :
4. Konflik Penduduk
Indikasinya terjadinya konflik
dan kekerasan di antara berbagai
kelompok
masyarakat
disebut
media sebagai ‘ormas’, semacam
Pemuda Pancasila (PP), Forum
Betawi Rembug (FBR) atau Forkabi,
dan semacamnya. Konflik-konflik
vertikal dan horizontal terutama
menjelang Pemilu/Pilkada di Aceh,
Papua, POSO, serta masih adanya
pengungsi di beberapa tempat.
Seperti penganut Ahmadiyah di Nusa
Tenggara Barat (NTB) yang terusir
dari kampung mereka. Juga Kaum
Syiah Madura yg masih mengungsi
di beberapa tempat di luar Madura
serta Kasus Gafatar merupakan
fakta yg membuat indeks ketahanan
nasional kita belum tangguh.
38
Perkembangan Lingkungan Strategis
1. Global.
Mengamati perkembangan lingkungan
strategis global
yang ditandai masih
terjadi Krisis Ekonomi Eropa dan pulihnya
kembali ekonomi Amerika Serikat sangat
berpengaruh terhadap penduduk dengan
mata pencahariannya di sub sektor
perkebunan kelapa sawit, karet, kakao,
kopi, teh, lada, tembakau, cassiavera,
bergantung pada ekspor ke negaranegara Amerika dan Eropa. Dalam pada
itu, pergeseran pusat grafitasi geostragis
dunia ke Asia Pasifik dan kebangkitan
ekonomi Tiongkok juga berpengaruh
significant terhadap penduduk Indonesia
mengingat secara historis, kultural dan
ekonomi
banyak penduduk Indonesia
keturunan Tiongkok menjadi konglomerat
di Indonesia yang pengaruhnya baik
secara ekonomi, politik dan sosial budaya
berperan dalam kehidupan penduduk
di Indonesia. Sementara itu, Indonesia
masih dihadapkan pada masalah terorisme,
HAM, lingkungan hidup, kelangkaan energi
dan pemanasan Global serta tergerusnya
budaya nasional oleh budaya asing sehingga
diperlukan “Revitalisasi Kearifan Lokal
Dalam Menangkal Budaya Asing” yang
belum banyak dipahami oleh penduduk
Indonesia namun mereka dapat merasakan
dampaknya. Sementara itu, rendahnya
tingkat
produktivitas
nasional
erat
kaitannya dengan kemampuan daya saing
kita di pasar global.
Gambar
1
memperlihatkan
Produktivitas dan GDP Per Kapita Indonesia
diperbandingkan dengan negara-negara
lain di dunia.
Berdasarkan gambar 1 tersebut,
Produktivitas dan GDP perkapita Indonesia
masih di bawah Malaysia, Thailand, China
dan Hongkong. Untuk itu perlu penataan
/reformasi birokrasi guna terciptanya
perbaikan iklim usaha, inovasi teknologi,
peningkatan kualitas SDM
dengan
memperbanyak sekolah2 kejuruan sesuai
dengan potensi masing-masing daerah dan
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
Kapita Indonesia diperbandingkan dengan negara-negara lain di dunia.
3. Nasional
PERKEMBANGNA LINGKUNGAN STRATEGIS GLOBAL
Perkembangan
lingkungan
strategis
nasional yang penting
diperhatikan
untuk
adalah posisi geostrategis
yang kita miliki memberi
peluang kerjasama saling
menguntungkan dan saling
memperkuat
dengan
negara-negara sahabat,
bukan sebaliknya. Dari
perspektif
Demografi,
Indonesia
memasuki
Bonus Demografi yang
menuntut
peningkatan
kualitas dan produktivitas
SDM, serta tidak adanya
Berdasarkan gambar 1 diGambar
atas, 1Produktivitas dan GDP perkapi
diskriminasi dalam pasar
tenaga kerja. Sedangkan
dari perspektif Sumber
Pengembangan Budaya Produktip serta
Kekayaan Alam, kita tidak eksploitatif
Revolusi Mental.
yang dapat merugikan anak cucu kita di
masa depan. Dari perspektif Ideologi,
2. Regional.
meski banyak orang mengatakan Ideologi
Komunis sudah bangkrut dan mati, tetapi
Perkembangan lingkungan strategis
kewaspadaan harus tetap ada, mengingat
Regional ditandai Sengketa Laut China
pengalaman tahun 1948 dan 1965. Di
Selatan dan AEC (Asean Economic
samping itu, fenomena neoliberalisme
Community) atau MEE (Masyarakat Ekonomi
dan ideologi yang menggunakan simbolAsean). Baru-baru ini kasus ditemukan
simbol agama seperti ISIS harus diwaspadai
pekerja dari Tiongkok secara ilegal bekerja
agar Indonesia tidak seperti negara-negara
di sekitar wilayah kerja TNI Angkatan Udara
Syria, Iraq, Afghanistan yang penduduknya
Halim Perdanakusuma. Setelah diteliti
lari mengungsi meninggalkan negerinya
ternyata pekerja asal Tiongkok tersebut
dan diperlakukan tidak manusiawi oleh
bukan tenaga ahli melainkan pekerja “Blue
negara-negara yg menjadi negara tujuan
Color Labor” yang sesungguhnya
pekerjaan
11
suakanya. Dari perspektif politik, Indonesia
tersebut dapat dilakukan oleh penduduk
menjadi negara paling demokrasi di dunia,
Indonesia di saat jumlah pengangguran
meski masih terjadi politik dinasti oleh
masih cukup besar di Indonesia. Intinya
keluarga-keluarga tertentu. Sementara
adalah, dengan globalisasi dan pengaruh
dari perspektif ekonomi, masih terjadi
lingkungan
strategis
regional
yang
kesenjangan
pembangunan
di
Jawa
dikemukakan di atas, Indonesia harus siap
dibandingkan luar jawa, kesenjangan
menyelamatkan dan melindungi segenap
pendapatan dan kesenjangan pelayanan
penduduk Indonesia dari kemiskinan,
kesehatan dan pendidikan. Sedangkan
kebodohan, pengangguran, diskrimainasi
dari perspektip Sosial Budaya, sudah mulai
dan mengatasi kesenjangan ekonomi yang
tergerus nilai-nilai kegotongroyongan,
semakin melebar sesuai amanat konstitusi
kurang disiplin, dekadensi moral yang
yg dikemukakan pada awal tulisan ini.
memerlukan “revolusi mental“. Dari
perspektif Hankam, di beberapa tempat
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
39
seperti Poso dan Papua masih terjadi konflik
vertikal maupun horizaontal, kasus korupsi
dan narkoba sudah merambah sampai ke
aparat hukum, DPR serta oknum-oknum
hakim, jaksa dan polisi yang mencemari
nama baik kesatuannya. Kesemuanya
itu, baik langsung maupun tidak langsung
berpengaruh terhadap ketahanan nasional
kita dan cermin para pejabat berperilaku
buruk
membuat
penduduk
kecewa
terhadap pemimpinnya yang dapat memicu
pergolakan sosial seperti pernah terjadi
pada tahun 1998 yang lalu.
dengan butir (c) di atas, untuk
mengendalikan masuknya pengaruh
asing yang merugikan penduduk
lokal yang ditandai mulai banyaknya
orang-orang
asing
(Tiongkok,
Taiwan, Korea, Malaysia dan orangorang Afrika berkunjung ke desadesa), maka pemerintah melalui
“Dana Desa” dan dana CSR atau dana
Yayasan, perlu membangun suatu
“Gerakan Nasional Pembangunan
Desa Terpadu” bersifat lintas
sektor, lintas disiplin dan lintas
usaha (Pemerintah, Dunia Usaha,
LSM/NGO, Yayasan dan Perguruan
Tinggi) agar desa menjadi makmur
dan penduduk desa tidak pindah ke
kota dan lahan mereka tidak mudah
dieksplotasi oleh orang-orang asing
tersebut di atas. Di samping itu,
diperlukan
Revitalisasi Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)
agar lebih berfungsi secara optimal.1
Menghadapi perkembangan lingkungan
strategis glabal, regional dan nasional di
atas, beberapa hal yg perlu dipikirkan
adalah
a.
b.
Pada saat ulang tahun Kemerdekaan
Indonesia ke 100 Tahun pada Tahun
2045 yang akan datang, penduduk
Indonesia akan diisi oleh generasi
X,Y,Z dan Alpha. Sebagaimana
telah
dikemukakan
terdahulu,
diharapkankita tidak meninggalkan
warisan
hutang
yang
dapat
mencederai generasi bangsa ke
depan seperti halnya negara Yunani
dan Portugal .
Pengaruh perkembangan era digital,
teknologi informasi, komunikasi,
transportasi, media sosial, isu-isu
demokrasi, HAM dan lingkungan
hidup menjadi faktor pendorong
tingginya intensitas dan mobilitas
penduduk Indonesia menjadi warga
dunia tanpa batas yang berimplikasi
terhadap rasa nasionalismenya.
Terlebih lagi, saat ini penduduk
ditawari hal-hal yang bersifat
“konsumerisme” maupun ideologi
berbasis ajaran agama .
c.
Adanya
isu-isu
kesenjangan
pendapatan
dan
kesenjangan
wilayah, pengaruh ideologi asing
yg akan menggantikan ideologi
pancasila dan isu HAM dengan label
demokrasi harus tetap diwaspadai.
d.
Atas
40
dasar
butir
(a)
sampai
Konsepsi Terhadap Pemecahan
Masalahan Penduduk Dalam Rangka
Ketahanan Nasional
Permasalahan-permasalahan
yang
telah dikemukakan di atas, harus dicari
solusinya melalui kebijakan, strategi dan
upaya-upaya yang perlu dilakukan sebagai
berikut:
1.
Kebijakan
Kebijakan
yang
perlu
ditempuh adalah “Optimalisasikan
Pembangunan Nasional Berorientasi
Kependudukan
Berwawasan
Ketahanan Nasional“.
Optimalisasi
Pembangunan
Nasional
Berorientasi
Kependudukan
Berwawasan
Ketahanan Nasional adalah suatu
proses pembangunan nasional yang
dilaksanakan secara terus-menerus,
menjadikan “penduduk” sebagai
titik sentral pembangunan nasional
baik sebagai subjek maupun objek
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
2.
pembangunan melalui peningkatan
kualitas dan produktivitas sumber
daya manusia, melibatkan seluruh
lapisan strata penduduk mulai dari
desa sampai ke tingkat nasional.
Dengan
demikian,
diharapkan
penduduk
Indonesia
mampu
memperkuat “bargaining position“
menghadapai era globalisasi dan
memperkokoh ketahanan nasional
bangsa Indonesia di dalam wadah
NKRI berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.
3) jumlah anak yang dilahirkan,
Strategi
8) peningkatan kesertaan KB Pria,
4) penyediaan alat kontrasepsi
terutama bagi penduduk miskin
di daerah terpencil, tertinggal
dan perbatasan negara,
5) pengaturan
diinginkan,
6) penurunan angka
bayi dan ibu,
Pengendalian kuantitas penduduk
melalui pengaturan fertilitas dan
penurunan mortalitas
2)
Peningkatan kualitas penduduk
melalui peningkatan pelayanan dan
kualitas
pendidikan, kesehatan,
dan peningkatan pendapatan
3)
Pelibatan
penduduk
sejak
perencanaan,
pelaksanaan
dan pengawasan serta evaluasi
pembangunan secara berkelanjutan,
terpadu dan tanpa diskriminasi
4)
Pembangunan ketahanan keluarga
5)
Pengarahan mobilitas penduduk
secara proporsional dan profesional
6)
Mewujudkan sistem
rakyat semesta
7)
Pengelolaan
kependudukan
dan kontinu
secara
pertahanan
database
sistematis
Upaya – Upaya
a.
Strategi Pengendalian Kuantitas
Penduduk melalui upaya-upaya:
Revitalisasi Program KB yang
mengatur:
1) usia ideal perkawinan,
2) usia ideal melahirkan,
yg
kematian
7) peningkatan akses dan kualitas
pelayanan
9) promosi pemanfaatan air susu
ibu,
Untuk
melaksanakan
kebijakan
tersebut di atas, perlu ditempuh strategi
sebagai berikut :
1)
kehamilan
10) integrasi program KB kedalam
program
pembangunan
ekonomi, sosial dan budaya,
11) memperkuat kelembagaan dan
komitmen politik Program KB
sampai ke Provinsi, Kabupaten/
Kota, Kecamatan dan Desadesa.2
B
Strategi
Peningkatan
kualitas
penduduk melalui upaya-upaya:
1) pembangunan
ekonomi,
pembangunan pendidikan, dan
pemberian akses pendidikan
yang seluas-luasnya kepada
penduduk miskin dan rentan
melalui pendidikan
formal,
non formal maupun informal
dengan memperluas pendidikan
kejuruan sesuai potensi wilayah
dan kekayaan alam setempat.
Misalnya,
jika
penduduk
bermukim di wilayah perairan
dibangun sekolah Perikanan,
kalau wilayahnya pertanian
dibangun Sekolah Kejuruan
Bidang Pertanian,
2) pembangunan
kesehatan,
penurunan angka kematian,
dan
meningkatkan
angka
harapan hidup; penurunan
gender gap terhadap pelayanan
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
41
pendidikan; sosialisasi dan
advokasi tentang kesadaran
geografi,
3) pendidikan
bela
kewaspadaan
pemantapan
kebangsaan,
nusantara, ideologi
dan UUD 1045;
negara,
nasional,
nilai-nilai
wawasan
Pancasila
4) meningkatkan
status
ekonomi penduduk melalui
perluasan
kesempatan
kerja
dan
pengurangan
pengangguran;
mengurangi
kesenjangan ekonomi sekaligus
penanggulangan
kemiskinan
dan pengangguran.3
5) Mengupayakan
solusi
terhadap hambatan-hambatan
geografi seperti ketimpangan
infrastruktur wilayah, sarana
transportasi
antar
daerah
surplus
dengan
daerah
minus,
pengadaan
sarana
dan
prasarana
komunikasi
wilayah, pengadaan listrik
serta prasarana dan sarana
peningkatan produktivitas.
C.
Strategi pelibatan penduduk sejak
perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengawasan dan
pengevaluasian
pembangunan
melalui upaya-upaya:
1) rembuk desa,
2) pelibatan seluruh penduduk
dalam
pembangunan
proyek-proyek
infrastruktur
pendidikan,
kesehatan,
pembangunan
pasar-pasar
desa dan ekonomi perdesaan,
memudahkan
mendapat
peluang yg sama terhadap
akses perbankan, pendidikan
dan kesehatan dan peluang
kerja dan peluag berusaha,
3) khusus untuk menghadapi Era
Bonus Demografi, diupayakan:
42
a) penduduk usia produktif
harus benar-benar produktif,
bekerja yang layak, dan tidak
ada diskriminasi; b) penduduk
usia produktif berkualitas sejak
1000 hari pertama kelahiran,
dengan kualitas gizi, kesehatan,
pendidikan, keterampilan yg
memadai; c) semua penduduk
terakses tabungan; d) semua
penduduk
diikutsertakan
Program Keluarga Berencana;
e) tidak ada diskriminasi pasar
kerja.
D. Strategi Pembangunan Ketahanan
Keluarga melalui upaya-upaya :
1) mewujudkan
keluarga
Indonesia yang berkualitas
berdasarkan perkawinan yang
sah dan bertakwa kepada Tuhan
YME,
2) membangun
keluarga
sejahtera, bebas narkoba,
sehat, maju, mandiri, dengan
jumlah anak yang ideal dan
harmonis, bebas prostitusi dan
berkesetaraan gender,
3) membangun
keluarga
yang berketahanan sosial,
memiliki
perencanaan
sumberdaya
keluarga,
berwawasan
ketahanan
nasional, berkontribusi bagi
kemaslahatan
masyarakat,
bangsa dan negara Indonesia
4) mengupayakan
terwujudnya
keluarga
Indonesia
yang
berkualitas, sejahtera, dan
berketahanan sosial melalui
terbentuknya: a) keluarga yang
bertakwa kepada Tuhan YME,
yaitu keluarga berdasarkan
pernikahan yang sah menurut
hukum negara; b) keluarga
sejahtera,
sehat,
maju,
mandiri, dan harmonis yang
berkeadilan dan berkesetaraan
gender dengan jumlah anak
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
yang ideal sesuai kemampuan
keluarga
tersebut;
c)
keluarga yang berketahanan
sosial, yaitu keluarga yang
memiliki perencanaan sumber
daya keluarga; d) keluarga
berwawasan nasional, yaitu
keluarga yang mengembangkan
kepribadian
dan
budaya
bangsa Indonesia; e) keluarga
yang berkontribusi kepada
masyarakat, yaitu keluarga yang
mampu berperan serta dalam
kegiatan sosial kemasyarakatan
dan
memiliki
kepedulian
terhadap lingkungannya; f)
keluarga yang berkontribusi
kepada bangsa dan negara serta
berpartisipasi dalam kegiatan
bela negara, taat membayar
pajak,
patuh
terhadap
peraturan perundangan yang
berlaku.4
E.
Strategi Pengerahan Persebaran
dan Mobilitas Penduduk melalui
upaya-upaya:
1) persebaran penduduk yang
lebih merata ke luar Pulau
Jawa sehingga konsentrasi
penduduk tidak semakin besar
di Pulau Jawa
2) mengupayakan penduduk tidak
berbondong-bondong datang ke
perkotaan dengan menyediakan
infrastruktur dasar di pedesaan
melalui
dana
desa.serta
menciptakan
kondisi yang
kondusif
bagi
persebaran
penduduk yang merata dan
pengaturan mobilitas sesuai
dengan potensi daerahnya
dengan kebutuhan SDM
masing-masing wilayah.5
F.
di
Strategi
Sistem
Pertahanan
Keamanan
Rakyat
Semesta
ditempuh melalui upaya-upaya:
1) memperkuat komponen TNI
dan Polri,
2) memperkuat
komponen
cadangan
meliputi
warga
negara, sumber daya alam,
serta sarana dan prasarana,
3) memperkuat
komponen
pendukung yaitu warga negara,
sumber daya alam, sumber daya
buatan serta sarana prasarana
nasional sebagai peningkatan
kekuatan komponen cadangan
dan komponen pendukung.
Keikutsertaan
penduduk
dalam upaya bela negara
diselenggarakan
melalui
upaya-upaya: a) Pendidikan
Kewarganegaraan; b) Pelatihan
Dasar
Kemeliteran;
c)
Pengabdian sebagai prajurit
TNI.
G. Pembangunan sistem data dan
informasi kependudukan melalui
upaya-upaya :
1) pemantapan
Administrasi
(SAK),
layanan Sistem
Kependudukan
2) pengembangan
database
kependudukan untuk menjadi
acuan
bagi
perencanaan
pemerintah secara nasional
dan pemanfaatan dunia bisnis,
3) mengupayakan penataan dan
persebaran penduduk secara
proporsial dan profesional
sesuai daya dukung alam dan
lingkungan
3) pemantapan
fungsi
dan
peranan
Database
Kependudukan Nasional yang
berlandaskan
pada
tertib
administrasi
kependudukan
dan layanan prima administrasi
kependudukan,
4) mengupayakan
pemerataan
distribusi penduduk dikaitkan
4) pengembangan sistem yang
terhubung dengan data lain
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
43
yang berasal dari berbagai
lembaga dan sesuai dengan
data yang telah ada,
5) Pengembangan sistem yang
telah terbangun menjadi bagian
dari DSS (Decision Support
System) yang terintegratif.6
PENUTUP
Pemecahan masalah ketahanan nasional
dari perspektip kependudukan, memerlukan
political will pemerintah untuk membuat
kebijakan
dengan
mengoptimalkan
pembangunan
nasional
berorientasi
kependudukan berwawasan ketahanan
nasional. Titik sentral pembangunan
adalah peningkatan kualitas sumber daya
manusia disertai dicanangkannya Gerakan
Nasional Pembangunan Desa Terpadu
dengan Merevitalisasi Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (LKMD).
Untuk mengoptimalkan Pembangunan
Nasional
Berorientasi
Kependudukan
Berwawasana
Ketahanan
Nasional
diperlukan strategi dan upaya-upaya
terkait dengan pengendalian kuantitas dan
peningkatan kualitas penduduk; pengaturan
fertilitas dan penurunan mortalitas;
peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan
dan pendapatan; pembangunan keluarga;
persebaran dan pengarahan mobilitas
melalui pembangunan interkoneksi koridor
ekonomi; serta pembangunan data base
kependudukan.
Khusus untuk menghadapi Era Bonus
Demografi, diperlukan penduduk usia
produktif harus benar-benar produktif,
bekerja yang layak, dan tidak ada
diskriminasi; penduduk usia produktif
berkualitas sejak 1000 hari pertama
kelahiran, dengan kualitas gizi, kesehatan,
pendidikan, keterampilan yg memadai;
semua penduduk terakses tabungan;
program keluarga berencana; tidak ada
diskriminasi pasar kerja. Sementara
itu, untuk meningkatkan
produktivitas
dan
daya saing Indonesia, diperlukan
44
penataan /reformasi birokrasi guna
terciptanya perbaikan iklim usaha, inovasi
teknologi, peningkatan kualitas SDM dan
pengembangan budaya produktif serta
revolusi mental. Di samping itu, meskipun
kita memerlukan pinjaman luar negeri
untuk membiayai pembangunan, hendaknya
lebih selektif untuk hal-hal produktif agar
generasi kedepan tidak dibebani warisan
hutang seperti yang kini dialami negara
Yunani, Portugal dan negara-negara Eropa
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Djoharis Lubis, Dr,MSs, Pandu Gerbang
Kampung Mengantarkan Kesejahteraan
Rakyat, Kemenko Kesra, Jakarta, Tahun
2011
Djoharis Lubis, Dr, MSc, Membangun Kanero,
Memperkokoh NKRI, Kemenko Kesra RI,
Jakarta, 2009
I Putu Sastra Wingarta, Mayjen TNI (Purn),
Dr, MSc, SIP, Orasi Ilmiah, HUT Ke 51
Lemhannas RI, Kewaspadaan Nasional
Terhadap Disintegrasi Bangsa Guna
Mendukung Keamanan Nasional Dalam
Rangka Ketahanan Nasional, Jakarta,
Mei 2016
Kementerian
Koordinator
Bidang
Kesejahteraan Rakyat, Grand Design
Kependudukan Tahun 2011 -2935,
Jakarta, tahun 2014.
Lemhannas RI, Modul BS Geostrategi dan
Ketahanan Nasional,Tahun 2014.
Lemhannas RI, FGD
Kelompok Kerja
Demografi, Labkurtannas , Jakarta,
Tahun 2016
Lemhannas RI, Materi Pokok Bidang Studi
Demografi, Jakarta, Tahun 2016.
Sonny
Harry
B.
Harmadi,
Editor,
Pembangunan
Berwawasan
Kependudukan, BKKBN, LD FEUI,
Jakarta , Tahun 2011
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
1
Modul BS Geostrategi dan
Ketahanan
Nasional, Lemhannas RI, Tahun 2014.
2
Focus Group Discuccion, Kelompok Kerja BS
Demografi, Labkurtannas, Lemhannas RI, Tahun
2016
3 Mayjen TNI (Purn) Dr. I Putu Sastra Wingarta,
SIP, MSc, Orasi Ilmiah HUT ke-51 Lemhannas RI,
Kewaspadaan Nasional Terhadap Disintegrasi
Bangsa Guna Mendukung Keamanan Nasional
Dalam Rangka Ketahanan Nasional, Jakarta, 20
Mei 2016, Halaman 2.
4
Focus Group Discussion, Pokja Demografi
Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional,
Lemhannas RI, Tahun 2015.
5
Djoharis Lubis, Dr, MSc. Program Nasional
Terpadu Gerakan Pembangunan Kampung,
Kemenko Kesra, Tahun 2012, Halaman 25
6
Kementerian
Koordinator
Kesejahteraan
Rakyat,
Grand
Pembangunan Kependudukan 2011
Jakarta, 2014, Halaman71
7
Ibid , Halaman 72
8
Ibid, Halaman 50
9
Ibid, Halaman 52
10
Ibid, Halaman 96
Bidang
Design
-2035,
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
45
Google.com
Pemahaman
Otonomi Daerah
(Study Tentang Tingkat Keberhasilan Pelaksanaan
Otonomi Daerah Kabupaten/Kota di Wilayah III
Cirebon)
Sugianto1
Dosen Fakultas Syariah & Ekonomi IsIam IAIN Syekh Nurjati dan Peserta PPRA LIV Lemhannas RI
Abstrak
Otonomi daerah menjadi sesuatu yang disakralkan pasca reformasi 1998. Banyaknya
perdebatan seputar otonomi daerah sebagai manifestasi dari desentralisasi kekuasaan
pemerintahan mendorong pemerintah untuk secara sungguh-sungguh merealisasikan
konsep otonomi daerah secara jujur, penuh kerelaan dan konsekwen mengingat wacana
dan konsep otonomi daerah memiliki sejarah yang sangat panjang seiring berdirinya
republik Indonesia ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat
keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah kabupaten/kota di Wilayah III Cirebon, dan
untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan otonomi daerah kabupaten/kota di
Wilayah III Cirebon. Metode dalam penelitian disertasi ini menggunakan metode yuridis
normatif yaitu dengan pendekatan ilmu hukum yang mengenal tiga lapisan ilmu hukum
(rechtleer) yaitu dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum dan kepustakaan
(library research) dengan teknik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan
hukum tertier. Hasil penelitian menunjukkan daerah Kabupaten/Kota di Wilayah III
Cirebon (Kabupaten/Kota Cirebon, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Indramayu dan
Kabupaten Majalengka) mampu melaksanakan otonomi daerah berdasarkan tingkat
keberhasilan dengan baik sesuai yang diamanatkan di dalam Undang-undang Nomor
23 Tahun 2014 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian dijelaskan dalam Pasal 18 UUD 1945 amandemen ke
II bahwa Pemerintah Daerah kabupaten/kota berwenang untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
46
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
PENDAHULUAN
Gelombang perubahan yang melanda
Indonesia pasca jatuhnya pemerintahan
Orde Baru, membuka wacana dan gerakan
baru di seluruh aspek kehidupan masyarakat,
tak terkecuali dalam dunia pemerintahan.
Semangat yang menyala-nyala untuk
melakukan reformasi, bahkan cenderung
melahirkan euphoria, memberikan energi
yang luar biasa bagi bangkintya kembali
wacana otonomi daerah, setelah hampir
sepertiga abad ditenggelamkan oleh rezim
otoritarian Orde Baru dengan politik stick
and carrot-nya (Sri Budi Santoso : 2000).
Salah satu unsur reformasi total itu adalah
tuntutan pemberian otonomi yang luas
kepada daerah kabupaten dan kota.
Marsdiasmo (1999), menyatakan bahwa
tuntutan seperti itu adalah wajar, paling
tidak untuk dua alasan. Pertama, intervensi
pemerintah pusat yang terlalu besar di
masa yang lalu telah menimbulkan masalah
rendahnya kapabilitas dan efektivitas
pemerintah daerah dalam mendorong
proses pembangunan dan kehidupan
demokrasi di daerah. Kedua, tuntutan
pemberian otonomi itu juga muncul sebagai
jawaban untuk memasuki era new game
yang membawa new rules pada semua
aspek kehidupan manusia di masa akan
datang. Dalam sejarah perkembangannya
kebijakan otonomi daerah di Indonesia
mengikuti pola seperti pada bandul jam
yaitu beredar antara sangat sentralistik
dan desentarlistik. Apabila kebijakan yang
dilaksanakan sangat sentralistik maka
bandulnya akan ditarik kembali kepada
arah titik keseimbangan desentralistik
demikian pula sebaliknya. Hal ini dapat
dilihat dengan mengikuti perkembangan
pelaksanaan otonomi daerah melalui
peraturan
perundang-undangan
yang
mengaturnya sejak dari UU nomor 1 tahun
1945 sampai dengan sekarang UU Nomor 23
tahun 2014.
Otonomi
Daerah
di
Indonesia
dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi yang di amanatkan Undangundang. Desentralisasi itu sendiri setidaktidaknya mempunyai tiga tujuan. Pertama,
tujuan
politik,
yakni
demokratisasi
kehidupan berbangsa dan bernegara pada
tataran infrastruktur dan suprastruktur
politik. Kedua, tujuan administrasi, yakni
efektivitas dan efisiensi proses-proses
administrasi
pemerintahan
sehingga
pelayanan kepada masyarakat menjadi
lebih cepat, tepat, transparan serta
murah. Ketiga, tujuan social ekonomi,
yakni meningkatnya taraf kesejahteraan
masyarakat
(Sadu
Wasisitiono;2003).
Dalam pasal 18 UUD 1945 amandemen ke
II, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah
Indonesia atas dasar daerah besar dan
daerah kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya
ditetapkan
dengan
Undang-Undang,
Pelaksanaan otonomi daerah tersebut
dilakukan dengan cara memberikan
kewenangan penuh pada daerah kabupaten/
kota hal ini ditegaskan dalam Pasal 18 UUD
1945 amandemen kedua, yaitu;
1. Negara kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah provinsi, daerah
Kabupaten/Kota,
mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur
dengan undang-undang.
2. Pemerintahan daerah propinsi, daerah
kabupaten, dan kota dapat mengatur
serta
mengurus
sendiri
urusan
pemerintahan menurut azas otonomi
dan tugas pembantuan.
3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang
anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum.
4. Gubernur, Bupati dan Walikota masingmasing sebagai kepala pemerintahan
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
47
daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota
dipilih secara demokratis.
5. Pemerintah
daerah
menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh UU ditentukan
sebagai urusan pemerintahan pusat.
6. Pemerintahan
daerah
berhak
menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturanlain
untuk
melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerintah daerah diatur dalam
Undang-undang.
Dalam Pasal 18 ayat (1) sampai (7) UUD
1945 tersebut pelaksanaannya ditetapkan
dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang dalam proses
pembentukannya mengalami 8 (delapan)
kali perubahan yaitu sebagai berikut: UU
Nomor 1 Tahun 1945, UU Nomor 22 Tahun
1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, UU Nomor
18 Tahun 1965, UU Nomor 5 Tahun 1974, UU
Nomor 22 Tahun 1999 ,UU Nomor 32 Tahun
2004 yang diubah menjadi UU no 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai
implementasi terhadap Pasal 18 UUD 1945
Amandemen ke II menjelaskan bahwa
daerah kabupaten/kota harus mempunyai
kebebasan
dan
kemandirian
dalam
melaksanakan otonomi yang seluas-luasnya
dengan tujuan untuk menyejahterakan
rakyatnya. Adapun prinsip-prinsip yang
penting dalam UU Nomor 32 Tahun 2004
yang dirubah menjadi UU no 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah antara lain:
(1) Prinsip otonomi yang seluas-luasnya,
(2) Prinsip otonomi yang nyata, (3) Prinsip
otonomi yang bertanggungjawab.
Dalam
rangka
penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang diamanatkan
UUD NRI 1945, Pemerintahan Daerah
kabupaten/kota
yang
mempunyai
kewenangan untuk mengatur dan mengurus
48
sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemberian otonomi luas kepada daerah di
arahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat
melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan,
dan peran serta masyarakat. Di samping itu
melalui otonomi luas, daerah diharapkan
mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan
prinsip
demokrasi,
pemerataan, keadilan, serta potensi dan
keanekaragaman daerah dalam system
NKRI. Dalam hal ini sebagai implementasi
otonomi daerah di Indonesia ada tujuh isu
strategis, yaitu: 1) Kesejahteraan penduduk;
2) Pelayanan publik; 3) Pemberdayaan
masyarakat; 4) Peran serta masyarakat;
5) Daya saing daerah; 6) Demokrasi; 7)
Pemerataan dan keadilan.
Di dalam Pasal 10 ayat (3) UU Nomor
32 Tahun 2004 ada beberapa urusan
pemerintah yang tidak menjadi urusan
Pemerintahan Daerah YANG MENJADI
KEWENANGAN Pemerintah Pusat yaitu:
1) Politik Luar negeri; 2) Pertahanan; 3)
Keamanan; 4) Yustisi; 5) Moneter dan
Fiskal Nasional; serta 6) Agama. Diluar 6
(enam) bidang tersebut menjadi urusan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
yang didesentralisasikan dalam rangka
pelaksanaan otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab.
Adapun urusan pemerintahan yang
menjadi
kewenangan
pemerintahan
daerah dalam Pasal 12 ayat (1) UU
Nomor 23 Tahun 2014
jo Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintah Propinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ada
2 yaitu urusan Pemerintahan Absolut dan
urusan Pemerintahan Kongkoren , urusan
pemerintahan Umum
yang diserahkan
pada Pemerintahan Daerah Kabupaten/
Kota harus disertai dengan sumber
pendanaan, pengalihan sarana prasarana
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
serta kepegawaian sesuai urusan yang
di desentralisasikan. Dalam UU no 23 th
2014 pasal 12 ayat 1 “ Urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah
Kabupaten/Kota merupakan urusan yang
ada dalam skala Kabupaten/Kota yang
berkaitan dengan Pelayanan dasar yaitu :
1) Pendidikan; 2) Kesehatan; 3) Pekerjaan
umum & Penataan Ruang; 4) Perumahan
umum & Kawasan Pemukiman, Ketertiban
umum, ketentraman; 5) perlindungan
masyarakat,)dan 6) sosial. Pada pasal 12
ayat 2 (dua) ada Urusan wajib yang tidak
ada keterkaitan dengan Pelayanan Dasar ada
18 (delapan belas) dan urusan lainnya yang
diamanatkan oleh peraturanperundangundangan. Pemberian otonomi luas kepada
daerah di arahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahtraan masyarakat
melalui
peningkatan
pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Peningkatan pelayanan, pemberdayaan
dan peran serta masyarakat menjadi kata
kunci pelaksanaan otonomi daerah, karena
semangat dari otonomi adalah mendekatkan
pelayanan pemerintah kepada masyarakat
yang selama pemerintahan orde baru lebih
bercorak senralistik (pusat). Dalam kerangka
itulah seharusnya pelaksanaan otonomi
daerah di pahami oleh pemerintah daerah,
bukan malah memindahkan kekuasaan
politik pemerintah pusat (Jakarta minded)
ke daerah sehingga muncul raja-raja kecil
(berkuasa di daerah) dengan keinginan
untuk dilayani dan menumpuk kekayaan
pribadi
Berdasarkan hal itu, perlu dikaji
sejauh
mana
pelaksanaan
otonomi
daerah kabupaten/kota di Wilayah III
Cirebon yang diamanatkan dalam UndangUndang, dimana Bupati/Walikota sebagai
kepala daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan bersama
DPRD
harus
mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan
dengan cara
berkompetisi menggali potensi pengelolaan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan
tujuan untuk mewujudnya kesejahteraan
masyarakatnya. Tentunya harus melakukan
politik action sesuai kewenangan daerah
kabupaten/kota. Hal tersebut belum
bisa dilakukan pemerintah daerah karena
adanya pengaruh pemeritah pusat masih
kuat, selama ini daerah kabupaten / kota
mengedepankan politik will semata.
PEMBAHASAN
Tingkat Keberhasilan Daerah Kabupaten/
Kota di Wilayah III Cirebon dalam
Pelaksanaan desentralisasi dan Otonomi
Daerah
Tingkat
keberhasilan
daerah
kabupaten/kota di wilayah III Cirebon dalam
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah di Indonesia dalam konstitusi NKRI
menurut UUD NRI 1945 terdapat dua nilai
dasar yang dapat dikembangkan yakni nilai
unitaris dan nilai desentralisasi teritorial.
Nilai dasar unitaris dapat diwujudkan
dalam pandangan bahwa Indonesia tidak
akan mempunyai kesatuan pemerintah lain
di dalamnya yang bersifat negara artinya
kedaulatan yang melekat pada rakyat,
bangsa dan negara RI. Dalam konteks Pasal
18 UUD NRI 1945, selalu harus diperhatikan
keseimbangan antara kebutuhan untuk
menyelenggarakan desentralisasi dengan
kebutuhan
memperkuat
kesatuan
nasional. Oleh sebab itu ciri-ciri umum
penyelenggaraan
desentralisasi
dan
otonomi daerah di Indonesia menurut UUD
NRI 1945 adalah
Kesatuan
pemerintah
daerah
merupakan hasil pembentukan oleh
pemerintah, bahkan dapat dihapus oleh
Pemerintah melalui proses hukum.
Dalam rangka desentralisasi, di wilayah
Indonesia dibentuk daerah provinsi dan
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
49
daerah provinsi dibentuk daerah kabupaten
dan kota sebagai daerah otonom.
Sebagai konsekuensi dalam butir I
dan II, maka kebijakan desentralisasi
dilakukan oleh pemerintah sedangkan
penyelenggaraan
otonomi
daerah
dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Hubungan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah adalah bersifat
tergantung (dependen) dan hierarki
(subordinat). Hal ini berbeda dengan
hubungan antara hubungan antara negara
bagian dengan pemerintah federal yang
menganut prinsip federalisme yang sifatnya
independen dan koordinatif.
Penyelenggaraan
desentralisasi
menuntut persebaran urusan pemerintahan
oleh pemerintah kepada daerah otonom
sebagai badan hukum publik.
Penyelenggaraan
pemerintahan
daerah sesuai dengan asas desentralisasi
ada sebagian wewenang atau yang
menjadi urusan pemerintahan pusat telah
dilimpahkan atau diserahkan menjadi
kewenangannya daerah. Dalam Pasal 1
angka 8 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
pemerintahan daerah, desentralisasi adalah
penyerahan sejumlah kewenangan oleh
pemerintah pusat kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem NKRI.
Akan tetapi untuk melaksanakan
otonomi daerah dalam bingkai kesatuan
NKRI tentunya tidak lepas dari tiga asas yaitu
asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan
asas tugas pembantuan (medebewind).
Desentralisasi
adalah
penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah
pada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem NKRI. Dekonsentrasi adalah
pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah dan atau perangkat pusat di
50
daerah. Tugas pembantuan, sedangkan
tugas pembantuan adalah penugasan dari
pemerintah kepada daerah dan atau desa
dari pemerintah provinsi kepada daerah
Kabupaten/Kota dan atau desa serta dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa
untuk melaksanakan tugas tertentu yang
disertai dengan pembiayaan, sarana dan
prasarana serta sumber daya manusia.
Permasalahan mengenai daerah tidak
dapat dilepasakan dari peran hubungan
penyelenggaraan antara pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah dalam konteks
NKRI. Bila merujuk pada UUD NRI 1945
Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa negara
Indonesia adalah negara kesatuan yang
berbentuk Republik.
Istilah
otonomi
daerah
dan
desentralisasi
sebenarnya
mempunyai
pengertian yang berbeda. Istilah daerah
lebih cenderung berada pada aspek
politik
kekuasaan
negara
(political
aspect), sedangkan desentralisasi lebih
cenderung berada dalam administarasi
aspek (administrative aspect). Sebaiknya,
bila dilihat dari sharing of power (kerja
sama dalam pelaksanaan kekuasaan antara
pemerintah pusat dengan daerah), kedua
istilah tersebut mempunyai keterkaitan
yang erat dan tidak dapat dipisahkan.
Subtansi Pelaksanaan Otonomi Daerah
Kabupaten/Kota
Peraturan
Perundang-undangan
tertentu sebagai peraturan pelaksana
terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 yang
telah di rubah menjadi UU no 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa
peraturan pelaksana tersebut wajib dibuat
sebagai implementasi dari UU tentunya
merupakan hal yang wajib disiapkan oleh
badan yang berwenang membuatnya. Jika
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
peraturan pelaksana tersebut tidak di buat,
hal tersebut tidak dapat diberlakukan
secara efektif.
Pentingnya pelaksanaan Peraturan
Perundang-undangan telah disadari oleh
pembuat Undang-Undang, dalam hal ini
yang ditegaskan dalam UU Nomor 12 Tahun
2011 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan, pasal 7 ayat (1)
Hierarki Peraturan Perundang-undangan
meliputi sebagai berikut UUD NRI1945,
TAP MPR , Undang-Undang atau Peraturan
pemerintah
pengganti
undang-undang
(Perpu), Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan Peraturan Daerah.
Macam dan jenis peraturan pelaksana
sebagai tindak lanjut dalam Pasal 132 ayat
(1) adalah bahwa pelaksanaan sebagai
tindak lanjut Undang-undagng ayat 1
menyatakan
“ketentuan
pelaksanaan
sebagai tindak lanjut UU ini sudah selesai
selambat-lambatnya satu tahun sejak UU
ini ditetapkan .
Kesiapan Daerah Kabupaten/Kota dalam
Melaksanakan Otonom Daerah
Adanya kewenangan yang diberikan
begitu luas oleh pemerintah pusat kepada
daerah
Kabupaten/Kota
di
Wilayah
III Cirebon (Kabupaten/Kota Cirebon,
Kabupaten Indramayu, Kabupaten Kuningan,
dan Kabupaten Majalengka) dalam rangka
otonomi daerah yang diamanatkan UU
Nomor 23Tahun 2014 sebagai pengganti dari
UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Namun di sisi lain, bahwa dengan
otonomi daerah, kemandirian daerah
Kabupaten/Kota tersebut belum maksimal
dalam
melaksanakan
kewenangannya
masih rentan adanya intervensi dari
pemerintah pusat, salah satunya terbukti
daerah Kabupaten/Kota tersebut belum
mampu menggali potensi yang ada di
daerahnya sesuai kewenangan yang telah
didesentralisasikan.
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yang
telah di rubah menjadi UU no 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 14
ayat (1), PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan antara Pemerintah,
daerah provinsi, dan daerah kabupaten/
kota, dan Permendagri Nomor 59 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, bahwa pembagian kewenangan
daerah Kabupaten/Kota. Di samping
itu, untuk melaksanakan permasalahan
tersebut sebaiknya daerah kabupaten/kota
melakukan politik action. Hal tersebut
bisa dilakukan tergantung kepala daerah
bersama DPRD walaupun masih adanya
pengaruh pemerintah pusat terhadap
kebijakan.
Namun, setiap daerah Kabupaten/
Kota di wilayah III Cirebon dengan jumlah
penduduk kurang lebih 6.344.068 jiwa
mengedepankan
peningkatan
Indek
Pembangunan
Manusia
(IPM)
secara
bertahap dan ditetapkan pemerintah.
Urusan pemerintah daerah Kabupaten/
Kota di Wilayah III Cirebon yang wajib
dilaksanakan sesuai urusan wajib yaitu
berkaitan dengan pelayanan dasar seperti
pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan
kebutuhan hidup minimal, prasarana
lingkungan dasar, sedangkan urusan yang
bersifat pilihan terkait erat dengan potensi
unggulan dan kekhasan daerah.
Pelaksanaan
otonomi
daerah
merupakan salah satu upaya pendekatan
penyelenggaraan
pelayanan
publik
dengan kewenangan yang dimiliki bahwa
pemerintah daerah dituntut mampu untuk
meningkatkan daya jangkau masyarakat
terhadap berbagai pelayanan publik
khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan
dasar. Salah satunya menggunakan tingkat
kepuasan masyarakat terhadap berbagai
pelayanan publik diantaranya yaitu bidang
kesehatan, bahwa penurunan angka
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
51
kematian bayi menjadi salah satu indikator
peningkatan pelayanan dasar di bidang
kesehatan.
Pencapaian pelayanan di bidang
pendidikan merupakan salah satu indikator
kinerja daerah dalam pemenuhan kebutuhan
dasar masyarakat yang diamanatkan di
dalam Pasal 31 UUD 1945 ”bahwa setiap
warga negara berhak terhadap pendidikan”
baik di daerah kabupaten/kota bahwa
peningkatan bidang pendidikan dari tahun
ke tahun mengalami peningkatan yang
signifikan.
Pencapaian
pelayanan
dibidang
daya beli masyarakat merupakan salah
satu indikator kinerja daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang
dituntut
untuk
mengangkat
masyarakat dari keterpurukan walaupun
dalam pencapaiannya ketika dibandingkan
dengan pelayanan lainnya tidak mengalami
kenaikan secara signifikan atau fluktuatif.
Dalam menggali potensi Pendapatan
Asli Daerah Sementara (PADS), setiap
daerah kabupaten/kota di wilayah III
Cirebon berbeda. Di samping itu, sesuai PP
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintah Provinsi, daerah
Kabupaten/Kota di samping mendapat
realisasi penerimaan Pajak Bumi Bangunan
(PBB), Surat Kendaraan Bermotor (SKB),
Bea Perolehan Hak atas Tanah & Bangunan
(BPHTB), dan APBN. Hal ini akan menjadi
target Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD). Namun setiap daerah
kabupaten/kota di wilayah III Cirebon
mempunyai potensi unggulan yang berbeda
diluar kontek organisasi perangkat daerah
(OPD) dan Lembaga teknis daerah, misalnya
Kabupaten Kuningan selain sektor obyek
pariwisata dan sumber mata air, Kabupaten
Indramayu adanya sumber migas (Minyak
Gas) Pertamina Balongan, Kota Cirebon
sebagai kota perdagangan dan jasa,
Pelabuhan dan BAT, Kabupaten Cirebon
52
adanya transportasi jalan tol. Walaupun
potensi ke empat (4) daerah tersebut
merupakan
vertikal,
namun
daerah
kabupaten/kota mempunyai kewenangan
untuk menggali kontribusi dalam rangka
pengelolaan Pendapatan Asli Daerah.
Berdasarkan hasil analisis penulis
bahwa peningkatan Pendapatan Asli
Daerah Sementara (PADS) dan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tiap
daerah kabupaten/kota di wilayah III
Cirebon ada peningkatan secara signifikan
dari setiap Tahun anggaran. Hal ini
didasarkan atas adanya pelayanan dasar
yang merupakan urusan pemerintahan yang
bersifat wajib bagi daerah kabupaten/kota
meliputi: peningkatan pendidikan dasar,
penyelenggaraan kesehatan, pemenuhan
kebutuhan hidup minimal, serta daya
beli, dan prasarana lingkungan dasar.
Sedangkan urusan pemerintahan yang
bersifat pilihan terkait dengan potensi
unggulan dan kekhasan daerah kabupaten/
kota. Sehingga menurut UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dapat memberikan harapan baru bagi
daerah kabupaten/kota, dimana dengan
pelaksanaan otonomi ini diharapkan
potensi-potensi
daerah
Kabupaten/
Kota dapat tergali dengan tujuan untuk
menyejahterakan masyarakatnya agar lebih
meningkat. Akan tetapi, ketika dilihat dari
tingkat keberhasilan yang belum maksimal
terhadap potensi daerah masing-masing
dengan tujuan untuk mensejahterakan
masyarakat, hal ini tidak mengakibatkan
kegagalan dalam pelaksanaan otonomi
daerah.
Mengenai kualitas aparatur pemerintah
daerah yang handal dan berbobot, J.
Kristiadi sebagaimana yang dikutip oleh
S.H. Sarundajang, memberikan tolok ukur
penilaian dengan cara memberikan ciri-ciri
di dalam melakukan tugas sebagai aparatur
pemerintah daerah, yaitu:
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
Tanggung gugat yaitu berkenaan dengan
meningkatnya kesadaran tentang keinginan
dari aparatur negara untuk memberikan
pertanggung jawaban (accountability)
dan kewenangan memegang tanggung
gugat. Dalam hal ini aparatur negara harus
bertindak, tetapi dalam cara bertindak
harus dapat mempertanggung jawabkan
kewenangannya.
Transparan (keterbukaan) bertalian
dengan
keinginan
menyelenggarakan
administrasi negara yang terbuka dan
mudah dijabarkan yangt berlandaskan
konstitusional dan keabsahannya, dan
apalagi era sekarang yang bertepatan
dengan pelaksanaan otonomi daerah
adanya Implementasi UU Nomor 14 Tahun
2008 Tentang Imformasi Publik, Bahwa
pelaksanaan penyelenggaraan administrasi
emerintahan
harus
transparan
dan
aquntabilitas.
Efisien dan Efektip, yaitu berhubungan
dengan kemampuan yang tinggi untuk
mengoptimalkan
kemanpaatan
segala
sumber daya yang ada baik sumber daya
manusia (SDM), Sumber daya Keuangan,
serta Potensi sarana dan prasarana yang
tersedia dalam rangka pelaksanaan tugas
pelayanan yang maksimal.
Partisipatif,
jaminan
perorangan,
kelompok atau kesatuan masyarakat di
dalam masyarakat keseluruhan telah
terlibat, baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam menyatakan keinginankeinginan dan harapan-harapan mereka
terhadap pemerintah.
Bersih, dalam arti prilaku seluruh
aparatur negara dapat di pertanggung
jawabkan baik di lihat dari segi
peraturanperundang-undangan,
moral
serta sikap tindak tanduknya dalam
melaksanakan tugas negara.
Walaupun daerah Kabupaten/Kota
dengan pelaksanaan otonomi daerah yang
diamanatkan dalam UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan daerah, bahwa
Pemerintah daerah harus mempunyai
sumber daya manusia (SDM) dan sumber
daya keuangan yang memadai, namun
jika tidak di tunjang dengan sarana dan
prasarana yang cukup memadai, maka
aktipitas
pemerintah
akan
berjalan
tersendat-sendat dengan sendirinya.
Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah
kabupaen/kota Menurut UU Nomor 32
Tahun 2004 Terhadap Keutuhan NKRI
Kata “dampak“ dalam tulisan ini
dimasukkan sebagai “akibat hukum”,
artinya akibat hukum dari pelaksanaan
terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 yang
telah dirubah menjadi UU no 23 tahun 2014
tentang pemerintahan daerah terhadap
keutuhan NKRI.
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah yang diamanatkan dalam UU Nomor
32 Tahun 2004 yang telah dirubah menjadi
UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dapat dilacak dalam kerangka
Konstitusi NKRI, dalam UUD 1945 terdapat
dua nilai dasar yang dikembangkan yakni
nilai unitaris dan nilai desentralisasi. Nilai
dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan
bahwa Indonesia tidak akan mempunyai
kesatuan pemerintah lain didalamnya yang
bersifat negara. Artinya kedaulatan yang
melekat pada rakyat, bangsa dan negara RI
tidak akan terbagi pada kesatuan-kesatuan
pada pemerintahan regional atau lokal.
Terkait dengan pelaksanaan otonomi
daerah yang menjadi kewenangan daerah
kabupaten/kota yang bersifat pilihan
yang meliputi urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahtraan masyarakat,
sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi
unggulan di daerah bersangkutan. Di
samping itu, ada beberapa hal yang menjadi
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
53
kewenangan pemerintah pusat yaitu politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter da fiscal nasional serta agama
(Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun
2014) dan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang
pembagian urusan pemerintahan antara
pemerintah, pemerintah daerah propinsi,
dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota.
Sebagai konsekuensi dari prinsip
tersebut, maka diperlukan pengaturan yang
sistematis yang menggambarkan adanya
hubungan berjenjang baik yang berhubungan
dengan koordinasi, pembinaan, dan
pengawasan. Dalam PP Nomor 38 Tahun
2007 Pasal 4 ayat (1) bahwa pembagian
urusan pemerintahan berdasarkan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi
dengan
memperhatikan
keserasian
hubungan antar tingkatan dan atau susunan
pemerintahan.
Dalam memberikan otonomi untuk
pelayanan kebutuhan dasar dan pelayanan
pengembangan usaha ekonomi masyarakat,
ada tiga hal yang perlu pertimbangkan
yaitu:
Akuntabilitas;
bahwa
penyerahan
urusan
tersebut
akan
menciptakan
akuntabilitas Pemerintah Daerah kepada
masyarakat.
Ini
berarti
bagaimana
mendekatkan
pelayanan
tersebut
kepada masyarakat. Makin dekat unit
pemerintahan yang memberikan pelayanan
kepada masyarakat akan makin mendukung
akuntabilitas.
Efisiensi;
bahwa
penyerahan
urusan
tersebut
akan
menciptakan
efisiensi, efektifitas dan ekonomis dalam
penyelenggaraannya. Ini berkaitan dengan
economies of scale (skala ekonomis) dalam
pemebrian pelayanan tersebut. Untuk itu
harus terdapat kesesuaian antara skala
ekonomis dengan catchment area (daerah
pelayanan). Persoalannya adalah sejauh
mana skala ekonomis tersebut sesuai
dengan batas-batas wilayah administrasi
54
Pemerintah Daerah yang sudah ada. Makin
luas wilayah pelayanan yang diperlukan
untuk mencapai skala ekonomis akan makin
tinggi otoritas yang diperlukan. Bandara
dan pelabuhan yang menangani antar
provinsi adalah menjadi tanggung jawab
nasional.
Eksternalitas;
dampak
yang
ditumbuhkan oleh kegiatan yang memerlukan
pelayanan tersebut. Eksternalitas sangat
terkait dengan akuntabilitas. Makin luas
eksternalitas yang ditimbulkan akan makin
tinggi otoritas yang diperlukan untuk
menangani urusan tersebut. Contoh, sungai
atau hutan yang mempunyai eksternalitas
regional seyogyanya menjadi tanggung
jawab provinsi untuk mengurusnya.
Konsekuensi dari pendekatan tersebut
adalah bahwa untuk pelayanan-pelayanan
yang bersifat dasar (basic services)
maupun
pelayanan-pelayanan
untuk
pengembangan usaha ekonomi masyarakat
atas pertimbangan efisiensi, akuntabilitas
dan eksternalitas yang bersifat lokal
seyogyanya menjadi urusan kabupaten/
kota, yang bersifat lintas kabupaten/kota
menjadi urusan propinsi dan yang lintas
propinsi menjadi kewenangan pusat.
Dalam setiap kebijakan atau keputusan
yang diambil pasti ada sisi positif dan sisi
negatifnya. Begitu juga dengan penerapan
sistem desentralisasi ini, memiliki beberapa
kelemahan dan kelebihan.
Segi Ekonomi
Dari segi ekonomi banyak sekali
keuntungan
dari
penerapan
sistem
desentalisasi ini yaitu pemerintah daerah
akan mudah untuk mengelola sumber
daya alam yang dimilikinya. Dengan
demikian, apabila sumber daya alam yang
dimiliki telah dikelola secara maksimal
maka pendapatan daerah dan pendapatan
masyarakat akan meningkat.
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang pemerintahan daerah pasal 21
hurup f ”daerah Kabupaten/Kota sesuai
kewenangannya dengan semangat otonomi
daerah untuk menggali potensi sumber daya
alam dengan tujuan untuk mensejahtrakan
masyarakat, yang salah satunya yaitu
menggali potensi yang ada yaitu untuk
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sebagaimana
telah
diamanatkan
oleh Deklarasi Rio dan Agenda 21,
bahwa pengelolaan sumber daya alam
berbasis komunitas merupakan salah satu
pengelolaan yang dapat meningkatkan
efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan
dan pengelolaan sumber daya alam. Selai
itu srategi ini dapat membawa efek positif
secara ekologi dan sosial.
kepada daerah lain. Yang nantinya
merupakan salah satu potensi daerah
tersebut.
Segi Keamanan dan Politik
Didalam segi keamanan politik, dengan
adanya sistem desentralisasi merupakan
suatu upaya untuk mempertahankan
kesatuan
negara
Indonesia,
karena
dengan diterapkannya kebijakan ini akan
bisa meredam daerah-daerah yang ingin
memisahkan diri dari NKRI. Tetapi juga
disatu sisi otonomi daerah berpotensi
menyulut konflik antar daerah.
Segi Pelayanan Pemerintah
Dalam hal ini masyarakat merindukan
adanya
suatu
kemandirian
yang
diberikan kepada daerah untuk berusaha
mengembangkan sumber daya alam yang
mereka miliki, karena mereka lebih
mengetahui hal-hal apa saja yang terbaik
bagi daerah. Disamping itu dengan tidak
menutup mata ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dengan adanya penerapan
sistem desentralisasi membuka peluang
yang sebesar-besarnya bagi pejabat
daerah untuk melakukan praktik-praktik
penyelewengan bahkan sampai korupsi.
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004
yang telah dirubah menjadi UU no 23 th
2014 tentang Pemerintahan Daerah huruf
”M” bahwa pelayanan merupakan kunci
utama dalam konteks otonomi daerah,
harus mengedepankan pelayanan prima
pada masyarakat yang dilakukan secara
transparan dan akuntabel. Dalam Undangundang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan
Imformasi Publik, bahwa
masyarakat wajib mengetahui mekanisme
pelayanan yang diberikan pemerintah
tentunya harus secara transparan.
Segi Sosial Budaya
Dampak Pelaksaaan Otonomi Daerah
Budaya adalah salah satu yang
diamanatkan dalam kesatuan kehidupan
Republik Indonesia artinya bahwa dengan
adanya budaya maka akan memperkuat
ikatan sosial budaya pada suatu daerah.
Karena dengan diterapkannya sistem
desentralisasi ini pemerintah daerah akan
dengan mudah untuk mengembangkan
kebudayaan yang dimiliki oleh daerah
tersebut. Bahkan kebudayaan tersebut
dapat dikembangkan dan diperkenalkan
Dalam pelaksanaan otonomi daerah
yang diamanatkan dalam UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
daerah, bahwa ada 5 dampak otonomi
daerah menurut Sumaryadi
yaitu :1)
semangat ke daerah yang tidak terkendali;
2) politisasi aparat pemerintah yang
dapat mematikan mekanisme yang sehat
sehingga menghambat terciptanya good
governance, DPRD dan Kepala daerah lebih
banyak berorientasi pada kepentingan
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
55
partai dari pada kepentingan masyarakat,)
terbukanya pintu yang lebar bagi terjadinya
kolusi antara eksekutif dan legislatif; 3)
rendahnya kualitas DPRD; 4) pengawasan
keuangan daerah yang timpang, 5) konflik
antar daerah.
ketegangan antar kubu masyarakat dan
antara masyarakat dengan pemerintah
daerah.
Identifikasi
dampak
pelaksanaan
otonomi daerah tersebut membawa kita
pada kesimpulan bahwa banyak dampak
negatif yang perlu diminimalisasi. Esensi
kebijakan yang ada perlu dilakukan
adalah merasionalisasi proses kebijakan
UU tentang otonomi daerah, baik proses
pengusulan kemandirian yang dilakukan
oleh daerah kabupaten/kota, maupun
proses penetapan daerah otonom yang
dilakukan ditingkat pusat. Dalam uraian
berikut ini, kita akan memahami proses
dalam dua tingkatan tersebut yang akan
membawa kita pada usulan rasionalisasi
proses kebijakan otonom demi optimalisasi
kepentingan publik.
Kebijakan otonomi daerah mampu
memperpendek jarak geografis antara
pemukiman penduduk dengan sentra
pelayanan, juga mempersempit rentang
kendali antara pemerintah daerah dengan
unit pemerintahan di bawahnya. Di
samping itu, pelaksanaan otonomi daerah
juga memungkinkan untuk menghadirkan
jenis-jenis
pelayanan
baru,
seperti
pelayanan listrik, telepon, serta fasilitas
urban lainnya, terutama di wilayah ibukota
daerah otonom.
Dampak Sosio Kultural
Pelaksanaan otonomi daerah membawa
implikasi positif dalam bentuk pengakuan
sosial, politik dan kultural masyarakat
daerah. Melalui kebijakan otonomi daerah
entitas masyarakat yang mempunyai
sejarah kohesivitas dan kebesaran yang
panjang, memperoleh pengakuan sebagai
daerah otonom baru. Pengakuan ini pada
gilirannya memberikan kontribusi positif
terhadap kepuasan masyarakat, sehingga
meningkatkan dukungan daerah terhadap
pemerintah nasional.
Namun demikian, kebijakan otonomi
daerah juga bisa memicu konflik yang
pada gilirannya juga menimbulkan masalah
horisontal dan vertikal dalam masyarakat.
Sengketa antara pemerintah daerah induk
dengan pemerintah daerah pemekaran
dalam hal pengalihan aset dan batas
wilayah, seringkali berimplikasi pada
56
Dampak Pada Pelayanan Publik
Tetapi, pelaksanaan otonomi daerah
juga menimbulkan implikasi negatif bagi
pelayanan publik, terutama pada skala
nasional, terkait dengan alokasi anggaran
untuk pelayanan publik yang berkurang. Hal
ini disebabkan adanya kebutuhan belanja
aparat dan infrastruktur pemerintahan
lainnya yang bertambah dalam jumlah yang
signifikan sejalan dengan pembentukan
DPRD dan birokrasi di daerah hasil otonom.
Dampak Bagi Pembangunan Ekonomi
Pasca terbentuknya daerah otonom
baru, terdapat peluang yang besar bagi
akselerasi pembangunan ekonomi di wilayah
yang baru. Bukan hanya infrastruktur
pemerintahan yang terbangun, tetapi
juga infrastruktur fisik dan infrastruktur
kebijakan pembangunan ekonomi yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah
otonom baru. Semua infrastruktur ini
membuka peluang yang lebih besar bagi
wilayah hasil otonom untuk mengakselerasi
pembangunan ekonomi.
Namun,
kemungkinan
akselerasi
pembangunan ini harus dibayar dengan
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk
membiayai belanja pegawai dan belanja
operasional pemerintahan daerah. Dari
sisi teoritik, belanja ini bisa diminimalisir
melalui kebijakan pembangunan ekonomi
yang menjangkau seluruh wilayah, sehingga
akselerasi pembangunan ekonomi tetap
dimungkinkan dengan harga yang murah.
Namun, dalam perspektif masyarakat
daerah, selama ini tidak ada bukti yang
meyakinkan bahwa pemerintah nasional
akan melakukannya tanpa kehadiran
pemerintah daerah otonom.
Dampak Bagi Pertahanan, Keamanan dan
Integrasi Nasional
Pembentukan daerah otonom baru,
bagi beberapa masyarakat pedalaman
dan masyarakat di Wilayah perbatasan
merupakan isu politik nasional yang penting.
Bagi masyarakat tersebut, bisa jadi mereka
tidak pernah melihat dan merasakan
kehadiran ‘Indonesia’, baik dalam bentuk
simbol pemerintahan, politisi, birokrasi
dan bahkan kantor pemerintah. Pemekaran
daerah otonom, oleh karenanya, bisa
memperbaiki kenangan politik nasional
di daerah melalui peningkatan dukungan
terhadap
pemerintah
nasional
dan
menghadirkan pemerintah pada level yang
lebih bawah.
dasar, pelayanan kesehatan, pemenuhan
kebutuhan hidup minimal (daya beli
masyarakat), prasarana lingkungan dasar,
pemberdayaan serta peran masyarakat
sebagai wujud keberhasilan tersebut dapat
dilihat dari aspek peningkatan PADS dan
APBD serta peningkatan IPM.
Sementara itu, pelaksanaan otonomi
daerah kabupaten/kota di wilayah III
Cirebon belum sepenuhnya menjiwai
(mewujudkan)
pemahaman
dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah
menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 sebagai implementasi terhadap Pasal
18 ayat (5) UUD 1945 Amandemen ke-II,
karena pelaksanaan otonomi daerah yang
dititikberatkan pada daerah kabupaten/kota
untuk menjalankan otonomi yang seluasluasnya tersebut belum terlihat adanya
kemandirian. Tidak berdampak apapun,
sebaliknya justru dengan pelaksanaan
otonomi daerah yang ditegaskan dalam
pasal 18 UUD 1945 amandemen ke II akan
memperkokoh terhadap keutuhan NKRI.
Karena pelaksanaan otonomi daerah yang
seluas-luasnya ditekankan pada daerah
kabupaten/kota.
DAFTAR PUSTAKA
A.
BUKU
A. Gafar Syaukani,dan R.Rasyid,”Otonomi
Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta. 2004
PENUTUP
Pelaksanaan
otonomi
daerah
kabupaten/kota di wilayah III Cirebon
menunjukan telah tercapainya tingkat
keberhasilan dengan baik sesuai yang
diamanatkan dalam Pasal 18 UUD 1945
amandemen ke II jo Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Tingkat keberhasilan tersebut untuk
mempercepat terwujudnya kesejahtraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan
dasar yaitu penyelenggaraan pendidikan
A.
Hamid
Attamimi,”Peraturan
Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara”, Disertasi, Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia, Jakarta. 1990
Agus Dwiyanto, dkk.”Reformasi Birokrasi
Publik di Indonesia”.Yogyakarta: Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK)
UGM.2001
Agus Salim Andi Gadjong.”Pemerintahan
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
57
Daerah Kajian Politik Dan Hukum”. Bogor :
Ghalia Indonesia. 2007
Ahmad Yani, ”Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah”, Raja
Grafindo Persada, Jakarta 2002.
Alien, H.JB,”Enhancing Decentralisation
for Developemnt”, The Hague:IULA. Bina
Aksara.1982
Amrah Muslimin, “Aspek-aspek Hukum
Otonomi Daerah”, Alumni Bandung Tahun
1986.
1
Dr. Sugianto, S.H.,M.H. adalah dosen
pada Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN
Syekh Nurjati Cirebon dengan pangkat Lektor
Kepala. Sugianto pernah mengikuti seleksi
Hakim Mahkamah Konstitusi RI tahun 2013 dan
tahun 2014. Ia aktif menjadi pembicara dalam
berbagai seminar di Cirebon dan menjadi saksi
ahli Polres Cirebon.
_______________”Ikhtisar Perkembangan
Otonomi Daerah 1903-1958, Penerbit
Djambatan, Jakarta. 1960.
Anhar Gonggong (ed), Pasang Surut Otonomi
Daerah-Sketsa Perjalanan 100 Tahun,
Institute for Local Development, Jakarta.
2005
APAKSI,
2001,”Himpunan
Peraturan
Pelaksanaan Undang-undang No.22 Tahun
1999 dan Undang-undang No.25 Tahun
1999”,Jakarta, APKSI.
Ateng Syafruddin, “Titik Berat Otonomi
Daerah Pada Daerah Tingkat II dan
Perkembangannya”.
Bandung:
Mandar
Maju. 1991
Ateng Syafrudin, “Hubungan Kepala Daerah
dengan DPRD”, Tarsito. Bandung: Tahun
1982.
Ateng Syafrudin,”Pengaturan Koordinasi
Pemerintahan di Daerah”, PT. Citra Aditya
Bhakti, Bandung. 1993
Ateng Syafrudin. “Pasang Surut Otonomi
Daerah”. Bandung: Binacipta. 1985
58
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
Membangun Paradigma
Poros Maritim Dunia
Fahmi Irhamsyah1
Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Pendidikan Sejarah dan Alumni Program Studi Sarjana Pendidikan Sejarah
Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
Abstrak
Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia yang dicanangkan Presiden RI Joko
Widodo merupakan kebijakan yang disambut publik dengan antusias sekaligus
waswas dalam pengimplementasiannya. Jurnal ini ditulis dalam rangka
mengimplementasikan kebijakan maritim dalam bidang pendidikan sebagai upaya
menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Perspektif keilmuan yang
digunakan adalah Ilmu Sejarah dengan landasan lintas batas ilmu sosial yang
digagas oleh Immanuel Wallerstein.
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
59
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan
terbesar di bumi sehingga memiliki
potensi menjadi poros maritim dunia.
Secara konseptual, poros maritim dunia
sebagaimana disampaikan Presiden RI Joko
Widodo dalam Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Asia Timur merupakan sebuah gagasan
sangat strategis dalam rangka menjamin
keberlangsungan konektifitas lebih dari
17.000 pulau di Indonesia. Poros maritim
dunia juga berdampak pada pengembangan
industri
perkapalan
dan
perikanan,
perbaikan transportasi laut dan keamanan
maritim. Apakah ekspektasi yang tinggi ini
sesuai dengan jati diri bangsa?
Sejarah memberikan informasi pada
kita bahwa jati diri bangsa Indonesia
pada dasarnya adalah bangsa pelaut,
bangsa yang memiliki kemampuan luar
biasa dari sisi kemaritiman. Keputusan
pengambilan isu poros maritim dunia dalam
konteks kebijakan publik bukanlah hal
yang berlebihan. Karena dalam konteks
kesejarahan,
masyarakat
Indonesia
memiliki potensi kemaritiman.
Tulisan ini akan mencoba melihat
kekuatan maritim Indonesia dengan
pendekatan Lintas Batas Ilmu Sosial yang
di gagas oleh Immanuel Wallerstein.1 Sebab
penulis yakin jika reorientasi paradigma2
dapat dilakukan, dalam beberapa tahun ke
depan dunia maritim kita akan bisa bangkit
kembali.
PEMBAHASAN
Sejarah Kemaritiman Indonesia
Nusantara sejak dahulu merupakan
sebuah kawasan yang sangat dikenal oleh
masyarakat dunia. Penelitian Kern serta Von
Heine Geldern menjelaskan bahwa orangorang Austronesia yang dikenal sebagai
nenek moyang bangsa Indonesia telah
60
menempati sebagian wilayah nusantara
sejak + 2000 tahun sebelum masehi atau
tepatnya pada masa Neolitikum, masa
ketika masyarakat belum mengenal tulisan
dan kepercayaan.
Penelitian sejarah yang menganalisis
perkembangan
demografi
masyarakat
berdasarkan bahasa yang digunakannya
memperlihatkan bahwa penutur bahasa
Austronesia meliputi kawasan dengan
batas-batas sebagai berikut : bagian barat
di Madagaskar, bagian timur di Pulau
Paskah, bagian utara di kepulauan Formosa
dan bagian selatan berada di Selandia
baru3.
Daerah-daerah yang disebut di atas
sesungguhnya merupakan suatu kawasan
yang sangat besar dan dipisahkan oleh
lautan yang amat luas. Maka bagaimana
prosesnya hingga bahasa yang digunakan
dapat tersebar seluas itu? Glover
berpendapat
bahwa
ketercapaian
penyebaran bahasa dalam wilayah cakupan
yang amat luas membuktikan bahwa
nenek moyang masyarakat Indonesia sejak
masa Neolitikum telah memiliki budaya
Maritim yang amat maju seperti : alat
transportasi laut yang handal, pengetahuan
yang cukup tentang laut dan angin musim,
serta berbagai pengetahuan lainnya yang
berfungsi sebagai alat bantu navigasi4.
Selain
berlayar,
aktivitas
perdagangan sejak masa sebelum Masehi
pun sudah banyak ditemukan oleh para
ahli. Heger mengemukakan bahwa terdapat
kesamaan penggunaan alat musik Nekara di
beberapa wilayah Asia seperti di Indonesia,
India dan China5. Hal ini berarti semenjak
sebelum Masehi pun lautan di nusantara
telah memberikan banyak manfaat pada
masyarakat, salah satunya adalah sebagai
media hubungan dagang. Hubungan
perdagangan ini pulalah yang menjadi salah
satu penyebab bermunculannya kerajaankerajaan bercorak maritim yang di
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
kemudian hari memegang peranan penting
selama berabad-abad.
Edward L Poelinggomang dalam
Makassar Abad XIX; Studi tentang Kebijakan
Perdagangan Maritim menyebutkan bahwa
sekitar abad ke-14 dan permulaan abad
ke-15 terdapat lima jaringan perdagangan
dunia (commercial zones). Pertama,
jaringan perdagangan Teluk Bengal yang
meliputi pesisir Koromandel di India
Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta
pesisir utara dan barat Sumatera. Kedua,
jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga,
jaringan Laut Cina Selatan yang meliputi
pesisir
timur
Semenanjung
Malaka,
Thailand, dan Vietnam Selatan. Keempat,
jaringan perdagangan Laut Sulu, yang
meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu,
Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan
(Brunei Darussalam). Kelima, jaringan
Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa
Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat
Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan
Sumatera.
Berdasarkan data Edward, kita dapat
menganalisis bahwa setelah Masehi pun
nusantara masih mampu memberikan
manfaat bagi masyarakat dunia melalui
potensi maritim yang kita miliki. Jaringan
Laut Jawa yang ketika itu berada di bawah
hegemoni kerajaan Majapahit bahkan
merupakan salah satu jaringan terpadat
dengan tingkat transaksi internasional
sangat tinggi.
Laut, di masa Majapahit telah
mengajarkan pada masyarakat dunia untuk
memiliki pikiran lebih terbuka. Keberhasilan
kerajaan berbasis maritim seperti Sriwijaya
bahkan memicu kerajaan lainnya untuk
menciptakan perahu6 militer yang handal
dan memiliki kemauan keras dalam
mempelajari ilmu navigasi.7 Beberapa
hal ini pula yang kemudian menjadi salah
satu faktor pemersatu berbagai pulau di
nusantara8.
Hal yang menyedihkan kemudian
menimpa banyak kerajaan di nusantara
sejak sekitar abad ke-15. Kemampuan
militer yang memadai serta kemajuan
ekonomi perdagangan maritim asimetris
dengan konsep kemampuan menganalisis
faktor ancaman disintegrasi.
Kehadiran kekuatan asing di nusantara
tidak mampu direspon dengan baik,
akibatnya berbagai kerajaan ketika itu
sangat mudah disusupi politik devide et
impera9. Alhasil, dengan mudahnya mereka
menduduki wilayah nusantara dan berusaha
untuk menjauhkan kehidupan masyarakat
dari laut. Masyarakat tanpa sadar digiring
untuk bertani dan kian lama aktivitas
maritim kian mengecil.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh
kekuatan asing, seperti Portugis, Inggris, dan
VOC untuk ganti menguasai laut nusantara.
Proses terdesaknya raja-raja ke pedalaman
dan dikuasainya berbagai pelabuhan oleh
asing mengakibatkan orientasi maritim
kita secara perlahan diubah oleh penjajah
menjadi orientasi agraria.
Afred Thayer Mahan (1840-1914)
dalam “The Influence of Sea Power upon
History 1660-1783” yang terbit pada tahun
1890 mengajak kita untuk memperhatikan
kekuatan laut karena menurutnya lautan
memiliki banyak sekali potensi yang dapat
dioptimalkan. Tidak hanya itu saja, ia
juga menyadarkan para pembacanya agar
lebih menghargai laut karena lautlah yang
sesungguhnya memegang peranan penting
dalam proses penyatuan bangsa.
Buku inspiratif ini dikemudian hari
menginspirasi banyak negara seperti
Amerika
Serikat,
Jerman,
Jepang,
Prancis, Italia, Rusia, dan Spanyol untuk
mengoptimalkan kekuatan lautnya10. Kita
pun mampu melihat, sejak memasuki
abad ke-19 negara-negara ini memang
cukup berpengaruh dalam perpolitikan
internasional.
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
61
Indonesia sebagai sebuah negara
yang dua pertiganya berupa lautan sudah
sejak lama menyadari besarnya potensi
laut dan berbagai keuntungan yang dapat
di gali dari laut. Dalam pembukaan
Institut Angkatan Laut (IAL) tahun 1953 di
Surabaya, Presiden Soekarno berpesan, “…
usahakan penyempurnaan keadaan kita ini
dengan menggunakan kesempatan yang
diberikan oleh kemerdekaan. Usahakan
agar kita menjadi bangsa pelaut kembali.
Ya..., bangsa pelaut dalam arti seluasluasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di
kapal... bukan! tetapi bangsa pelaut dalam
arti cakrawati samudra. Bangsa pelaut
yang mempunyai armada niaga, bangsa
pelaut yang mempunyai armada militer,
bangsa pelaut yang kesibukannya di laut
menandingi irama gelombang lautan itu
sendiri “.
Keseriusan Soekarno ketika itu dalam
mengoptimalkan potensi laut sebenarnya
dapat di lihat, tengoklah ketika pada tahun
1957 didirikan PELNI untuk menggantikan
Koninklikje
Paketvaart
Maatschappij
/ KPM milik Belanda. Kita juga dapat
menyaksikan ketika pada tahun 1960 di
keluarkan Undang-undang No. 4 tentang
Perairan Indonesia, dan yang lebih hebat
lagi masih pada tahun yang sama Angkatan
Laut Indonesia menjadi angkatan laut
terkuat di Asia Tenggara dan terkuat ke
empat di dunia di bawah Amerika Serikat11
dengan komposisi 234 kapal perang terdiri
dari sebuah kapal penjelajah (cruiser), 12
kapal selam, 7 kapal perusak (destroyer),
7 fregat, dan beberapa jenis kapal perang
lain.
Soekarno ketika itu benar-benar
mengoptimalkan
militer
berdasarkan
konstelasi geografis12. Militer yang kuat
ini pula lah yang kemudian mampu
mengusir Belanda yang saat itu masih
mempertahankan Irian Barat. Walaupun
demikian, menurut penulis usaha tersebut
62
masih belum optimal. Sebagai contoh,
tengoklah PELNI yang hingga hari ini masih
belum terlihat akan mampu menyaingi
Koninklikje Paketvaart Maatschappij yang
telah memberikan keuntungan besar pada
Belanda.
Soeharto di masa kepemimpinannya,
pada tahun 199613 dalam sebuah Konvensi
Nasional Pembangunan Benua Maritim
Indonesia yang diadakan di Makassar,
Sulawesi Selatan mengajak bangsa Indonesia
untuk kembali ke laut. “Bangsa Indonesia
yang di masa lalu mencatat sejarah sebagai
bangsa bahari, dalam perjalanannya
telah kehilangan keterampilan bahari
sehingga luntur pula jiwa maritimnya.”
Demikian ungkap Presiden Seoharto dalam
sambutannya yang disampaikan Menteri
Negara Riset dan Teknologi BJ Habibie.
Kalimat ini jelas merupakan kalimat
yang menunjukkan kesadaran tinggi akan
pentingnya laut.
Poros Maritim Dunia dan Potensi Maritim
Indonesia
Presiden RI Joko Widodo dalam
pidatonya pada Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) ke-9 East Asia Summit (EAS) tanggal
13 November 2014 di Nay Pyi Taw, Myanmar,
juga menegaskan konsep Indonesia sebagai
Poros Maritim Dunia sehingga agenda
pembangunan akan difokuskan pada 5
(lima) pilar utama, yaitu:
1. Membangun kembali budaya maritim
Indonesia.
2. Menjaga sumber daya laut dan
menciptakan kedaulatan pangan laut
dengan menempatkan nelayan pada
pilar utama.
3. Memberi prioritas pada pembangunan
infrastruktur dan konektivitas maritim
dengan membangun tol laut, deep
seaport, logistik, industri perkapalan,
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
dan pariwisata maritim.
4. Menerapkan diplomasi maritim, melalui
usulan peningkatan kerja sama di
bidang maritim dan upaya menangani
sumber konflik, seperti pencurian ikan,
pelanggaran kedaulatan, sengketa
wilayah, perompakan, dan pencemaran
laut dengan penekanan bahwa laut
harus menyatukan berbagai bangsa dan
negara dan bukan memisahkan.
5. Membangun kekuatan maritim sebagai
bentuk tanggung jawab menjaga
keselamatan pelayaran dan keamanan
maritim.
Poros maritim dunia yang digagas
oleh Presiden RI Joko Widodo berupaya
menegakkan kembali kedaulatan wilayah
laut Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Implementasi program ini adalah melalui
revitalisasi
sektor-sektor
ekonomi
kelautan, penguatan dan pengembangan
konektivitas
maritim,
rehabilitasi
kerusakan lingkungan dan konservasi
biodiversity, serta peningkatan kualitas
dan kuantitas SDM kelautan. Presiden RI
Joko Widodo menyatakan dalam KTT Asia
Timur,“Indonesia akan menjadi poros
maritim dunia, kekuatan yang mengarungi
dua samudera, sebagai bangsa bahari yang
sejahtera dan berwibawa”.
Indonesia berada di daerah ekuator dan
dihimpit oleh dua benua besar yaitu benua
Asia dan Australia serta Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia. Luas wilayah Indonesia
sekitar 7.7 juta kilometer persegi. Luas
ini terdiri atas 25 persen teritorial daratan
(1,9 juta kilometer persegi) dan 75 persen
teritorial laut (5,8 juta kilometerpersegi).
Jika sejenak kita mengkomparasikan
bentangan daratan dan lautan kita, maka
luas wilayah daratan ini sama dengan 57
kali luas negara Belanda, 5 kali luas Jepang,
dan 2 kali luas Pakistan. Belum lagi jumlah
pulau besar dan kecilnya yang mencapai
17.508 buah. Potensi besar ini menjadikan
Indonesia sebagai negara dengan teritorial
laut terluas di dunia dengan keseluruhan
garis pantai sepanjang 80.791 km.14
Potensi yang besar ini tidak
berdampak pada daya tarik masyarakat
Indonesia untuk peduli pada laut. Perairan
Indonesia dengan berbagai kakayaan
alamnya hingga hari ini masih kurang
dilirik, jangankan untuk mendalami sejarah
Bahari. Sekedar berkunjung ke laut pun
masyarakat sudah enggan, karena laut kini
sudah tercemar oleh tangan-tangan kotor
manusia yang tak bertanggung jawab. Lalu
upaya ideal apakah yang dapat dilakukan
untuk mendukung Indonesia menjadi Poros
Maritim dunia?
Selain Kementerian Kelautan dan
Perikanan, serta Kementerian Pertahanan,
Kementrian Pendidikan pun seharusnya
turut berperan dalam pembangunan
poros maririm dunia. Sebab Kementrian
Pendidikan memiliki akses yang sangat
efektif dalam rangka mengkampanyekan
urgensi menjadikan Indonesia sebagai poros
maritim dunia. Namun keadaanya saat ini,
Kementrian Pendidikan belum memiliki
satu mata pelajaran khusus di tingkat
sekolah dasar dan menengah yang secara
substansi mendukung Indonesia menjadi
poros maritim dunia.
Bagaimana proses mengkaji suatu
pembelajaran sehingga memiliki substansi
kemaritiman dan berdampak efektif
memunculkan generasi muda bangsa
Indonesia yang unggul dan kompetitif dalam
bidang kemaritiman. Mari kita mengkaji
fenomena pengembangan keilmuan yang
terjadi pada beberapa negara maju di
dunia.
Pemikiran Immanuel Wallerstein tentang
Lintas Batas Keilmuan
Bercampurnya
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
sejarah
dengan
63
mitos-mitos menimbulkan kekhawatiran
tersendiri di kalangan ilmuwan. Karena
sejarah yang identik dengan diakroniknya
tidak mungkin dapat bersamaan dengan
mitos-mitos yang tidak jelas batasan
temporalnya bahkan cenderung irasional.
Keadaan ini berdampak pada munculnya
gagasan-gagasan baru untuk mendekati
sejarah dengan pendekatan nomotetik
seperti ilmu-ilmu Alam.
Gagasan
nomotetik
(menjadikan
sejarah bersifat objektif dan universal)
ternyata memiliki dampak tersendiri. Di
kalangan ilmuwan, gagasan ini banyak
dipertanyakan. Khususnya oleh kalangan
postmodernis. Sebab menurut mereka,
suatu hal yang tidak mungkin menjadikan
sejarah bersifat objektif. Hal ini dikarenakan
dalam khasanah keilmuwan, khususnya
dalam ilmu-ilmu sosial tidak ada kebenaran
tunggal (idiosinkretik). Gagasan nomotetik
ini ternyata menyerang konstruksi disiplin
ilmu sosial lainnya, dampaknya seperti yang
kita temui dewasa ini, ilmu sosial terpilah
ke dalam disiplin-disiplin ilmu. Sejarah,
sosiologi, politik, antropologi, dll.
Dikotomi disiplin ilmu sosial seperti ini
ternyata memunculkan permasalahan baru,
ketika seorang mahasiswa sejarah menulis
skripsi tentang kemiskinan masyarakat
dengan sangat mendalam bahkan sampai
membuat pembaca seakan-akan mengalami
kemiskinan
tersebut.
Skripsi
sang
mahasiswa justru ditolak secara mentahmentah. Karena dinilai oleh sang dosen,
skripsi tersebut bukanlah skripsi sejarah15,
melainkan skripsi antropologi.
Kekhawatiran terhadap perkembangan
ilmu telah menggugah seorang sejarawan
bernama Immanuel Wallerstein untuk
melakukan sesuatu. Kekhawatiran tersebut
ia salurkan dengan mengajukan proposal
penelitian pada Calouste Gulbenkian
Foundation. Setelah yayasan tersebut
mengamini gagasan Immanuel Wallerstein,
64
selanjutnya sejarawan yang juga soiolog
tersebut membentuk kelompok yang
kemudian dikenal dengan nama komisi
Gulbenkian
terdiri
atas
Immanuel
Wallerstein dari ilmu sejarah dan sosiologi
yang bertindak sebagai ketua, Calestous
Juma dari studi ilmu dan teknologi, Evelyn
Fox Keller dari ilmu Fisika, Jurgen Kocka
dari ilmu Sejarah, Dominique Lecourt, dari
Filsafat, V.Y Mudimbe dari ilmu bahasa
Romawi, Kinhide Mushakoji dari Ilmu
politik, Ilya Prigogine dari ilmu kimia, peter
J. Taylor dari geografi dan M. Rolph Trouillot
dari antropologi.16
Komisi yang terdiri atas banyak ilmuwan
kelas dunia dari berbagai latar belakang
ilmu ini banyak melakukan kajian-kajian
ilmiah, mereka coba melakukan dialogdialog antar ilmu, termasuk antar kedua
epistimologis (nomotetik dan idiosinkretik)
tadi. Alhasil, dari dialog-dialog tersebut
bermunculanlah studi - studi baru semisal
studi kawasan yang mengkaji suatu wilayah
dengan berbagai disiplin ilmu, studi
gender dan banyak lagi. Bahkan ilmuilmu sosial baru pun terus bermunculan
seperti sosiologi politik, sosiologi ekonomi,
antropologi historis dll.
Proses Membangun Paradigma Maritim
pada Pendidikan Dasar dan Menengah
Fakta bahwa peserta didik kurang
memiliki mind set kemaritiman dikatakan
oleh Son Diamar, anggota Dewan Kelautan
Indonesia (Dekin). Menurutnya murid-murid
sekolah kurang mengenal laut Indonesia
karena sistem pendidikan yang tidak mau
mengarah pada pengenalan terhadap
potensinya yang luar biasa.
Apabila kita ingin studi komparasi
dengan kurikulum negara lain, maka akan
kita dapati bahwa laut menjadi salah satu
kajian substansif dalam kurikulum sekolah.
Peserta didik sejak sekolah dasar sudah
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
bisa mulai diperkenalkan dengan kekayaan
laut Indonesia melalui lagu, peserta didik
SMP sudah mulai bisa mengobservasi
lautan dan tingkat SMA sudah mulai dapat
membuat portofolio tugas sekolah dengan
mengangkat isu dan masalah kelautan.
Apa yang telah dilakukan oleh Pelindo
III sebagai BUMN yang bergerak pada
bidang kepelabuhan patut diapresiasi,
BUMN ini telah membuka diri mangedukasi
peserta didik di kawasan Surabaya untuk
memperkenalkan kekuatan maritim bangsa
Indonesia. Peserta didik sekolah dasar
diikutsertakan dalam kegiatan kunjungan
ke pelabuhan Tanjung Perak.
Peserta didik diperkenalkan pada
laut dengan cara berkeliling melihat
berbagai aktifitas di pelabuhan sejak
proses embarkasi dan debarkasi di terminal
penumpang Gapura Surya Nusantara,
menyaksikan proses penyandaran kapal
Dobonsolo serta proses bongkar muat peti
kemas.
Proses
pembuatan
kurikulum
kemaritiman dapat melibatkan banyak
pihak. Kamar Dagang dan Industri (KADIN)
bidang kelautan dan perikanan menurut
Yugi Prayanto, wakil ketua KADIN bidang
kelautan dan perikanan bahkan siap
memfasilitasi Focus Group Discussion (FGD)
dalam rangka menciptakan kurikulum
kemaritiman dan perikanan sebagai upaya
mendorong Indonesia menjadi poros
maritim dunia.
Pendidikan juga sangat memungkinkan
dalam membentuk sumber daya manusia
kelautan
yang
handal.
Karenanya
pemerintah dapat mulai mencanangkan
sekolah-sekolah tinggi yang bergerak dalam
bidang maritim seperti bidang kelautan,
perikanan, perkapalan, nautika serta
perniagaan maritim.
Setelah peserta didik sejak dini
mengikuti pembelajaran dengan kurikulum
berbasis maritim maka diharapkan kelak
mereka akan berkontribusi aktif dalam
beberapa hal. Pertama, peserta didik
kelak akan aktif dalam membangun sarana
dan prasarana yang akan berdampak
pada
eratnya
kepulauan
Indonesia
sebagai bagian dari menjaga stabiliitas
nasional dari Disintegrasi. Kedua, mampu
meningkatkan sumber daya Alam maupun
manusia bidang kelautan dan ketiga mampu
mengoptimalkan kekayaan laut untuk
meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Menggagas Kurikulum Kemaritiman Lintas
Ilmu
Sebagian besar masyarakat Indonesia
belum memahami implementasi poros
maritim dunia dan dampaknya bagi
kemajuan bangsa. Salah satu sarana
efektif untuk memberikan penyadaran
tersebut adalah melalui pendidikan. Kajian
yang dapat dilakukan oleh kementerian
pendidikan adalah melalui kajian lintas
batas sebagaimana digagas oleh Immanuel
Wallerstein.
Implementasi pemikirannya dapat
diterapkan dengan mengajak akademisi
(mahasiswa maupun ahli) dari berbagai
disiplin ilmu yang relevan untuk mengkaji
wilayah Bahari dengan model kajian
kawasan. Dengan begitu, Bahari kita dapat
di tinjau dari berbagai sudut pandang ilmu.
Mulai dari Geografi, Biologi, Antropologi,
Sejarah, Sosiologi, dll.
Hasil dari kajian ini diharapkan dapat
dikemas menjadi suatu produk baru dunia
pendidikan yang berkesesuaian dengan visimisi pemerintah menciptakan Indonesia
sebagai poros maritim dunia. Impelementasi
hasil kajian dapat di eksplore melalui
susunan kurikulum terpadu, misalnya
dengan memasukkan bab baru dalam buku
pelajaran sekolah.
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
65
Pada berbagai jenjang pendidikan,
maka pemerintah dapat memasukkan babbab baru tentang kemaritiman. Sebagai
contoh pelajaran biologi, dalam pelajaran
ini dapat dimasukkan bab khusus tentang
biota laut nusantara. Pada mata pelajaran
geografi dapat dimasukkan bab khusus
tentang geografi maritim. Dalam pelajaran
sejarah, dapat dimasukkan bab khusus
mengenai sejarah maritim. Dan sebagainya.
Atau mungkin lebih dari itu, kajian poros
maritim dunia dapat menjadi satu mata
pelajaran baru di sekolah.
Dengan
memperkenalkan
kajian
maritim kepada peserta didik sejak dini,
diharapkan proses reorientasi paradigma
dapat tercapai. Putera-puteri nusantara
kelak diharapkan dapat memahami aspek
kebaharian secara komperhensif dan
holistik. Hal ini bisa terjadi jika kajian
maritim dilakukan dengan langkah lintas
batas disiplin ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
Lapian, A.B, Sejarah Nusantara Sejarah
Bahari, Depok : Universitas
Indonesia press, 1992
Glover, I.C, Early Trade Between india and
Southeast Asia,
Hull : Koningstone, 1989
Wallerstein, Immanuel, Lintas Batas Ilmu
Sosial , Yogyakarta : LKIS Yogyakarta,
1997
Wolters, G.W, Early Indonesia Commerce
: A Study of the Origins of Sriwijaya,
Ithaca, New York : Cornell University
Press, 1967
1
PENUTUP
Poros maritim dunia merupakan
gagasan strategis bagi bangsa Indonesia
dalam meningkatkan harkat dan martabat
di dunia internasional. Gagasan ini perlu
didukung oleh seluruh pihak termasuk
didalamnya kementrian pendidikan dan
kebudayaan melalui kurikulum terpadu
yang disesuaikan subtansinya dengan
kepentingan geopolitik Indonesia.
Impelementasi kajian poros maritim
dunia di sekolah dapat dilakukan melalui
kajian lintas batas ilmu sebagaimana
diperkenalkan oleh Immanuel Wallerstien.
Gagasan ini kemudian perlu dikemas
dengan baik menjadi sebuah pelajaran.
Setelah peserta didik Indonesia memahami
potensi maritim yang berada di Indonesia,
diharapkan kelak menjadi bekal peserta
didik ketika telah menjadi pemimpin
Indonesia sehingga paradigma maritim
66
terus terjaga.
Fahmi Irhamsyah, S.Pd adalah seorang guru
sejarah sekaligus Kepala Kehumasan di Islamic
Girls Boarding School Darul Marhamah. Selain
aktivitas mengajar, Fahmi juga aktif dalam
kegiatan training dan ceramah di berbagai
institusi pendidikan. Sebagai organisatoris
kampus, ia pernah menjabat sebagai Ketua BEM
FIS UNJ Tahun 2007-2008, Kepala Departemen
Sosial Politik BEM UNJ Tahun 2008-2009, dan
Koordinator BEM Seluruh Indonesia Regional III
Tahun 2009.
2
Immanuel Wallerstein bukanlah seorang
pakar kelautan, bukan pula menteri kelautan
ataupun menteri kebudayaan dan pariwisata.
Ia hanya seorang sejarawan dan sosiolog.
Pemikirannya menginspirasi penulis untuk
coba mengaitkan kebaharian negeri ini dengan
pendidikan.
3
Dari paradigma pembangunan kawasan darat
ke maritim
4
Von Heine Geldren, Pre Historic Research
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
in Indonesia ; Annual Bibliography of Indonesia
Archeology 9 (1936) hal. 27
5
I.C. Glover, Early Trade Between india and
Southeast Asia (Hull: Koningstone, 1989) Hal. 93
6
G.W Wolters, Early Indonesia Commerce : A
Study of the Origins of Sriwijaya ( Ithaca, New
York : Cornell University Press, 1967) Hal. 31
7
Menurut Soekmono dalam buku pengantar
sejarah I hal. 80, perahu yang menjadi khas
bangsa Indonesia adalah perahu bercadik.
8 Bukan hanya Ilmu navigasi saja, menurut
Azzumardi Azra, laut dan perdagangan
internasional jugalah yang kemudian membuka
kesempatan pada muslim-muslim melayu
(khususnya di masa kerajaan Islam) untuk
belajar ilmu agama di timur tengah.
9 A.B Lapian, Sejarah Nusantara Sejarah
Bahari (Depok : Universitas Indonesia press,
1992) Hal. 6
10 Di awali dengan kedatangan Portugis
dan Spanyol, kemudian berturut-turut VOC,
Belanda, Inggris dan Jepang mulai menggerogoti
kekayaan nusantara.
11 Google. Artikel atas nama Beny Uleander,
Membangun (Kembali) Budaya Maritim. Di akses
10 Maret 2008 pukul 3.24 PM
12 Sarwono
Kusumaatmadja.
Berdasarkan
ceramah lisan untuk perwira siswa Angkatan XLIII
pada tanggal 27 Juli 2005 di SESKOAL, Jakarta.
13 Laksamana Sumardjono, Kepala Staf TNI
Angkatan Laut
14 Tahun 1996 dicanangkan pula sebagai tahun
Bahari.
15 Dinas Hidro Oseanografi TNI AL
16 Immanuel Wallerstein, Lintas Batas Ilmu
Sosial (Yogyakarta : LKIS Yogyakarta, 1997) hal.
v
17 Ibid. Hal. xiii-xvi
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
67
Strategi Pertahanan dan
Keamanan Nasional
Indonesia
Pandu Utama Manggala1
Mahasiswa Doktoral Diplomasi Maritim the National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS) Jepang dan
Alumnus Program Gelar Master Ganda Australian National University (ANU) Australia
pandu.utama.manggala@gmail.com
Abstrak
The dynamics in international system has made states possess existential threats to their
sovereignty. In order to survive in the anarchical world, states then, have to manage
themselves with the identification of the upcoming threats and vulnerabilities. The need
of having a national security strategy then rise.
Indonesia as well, has to define its national security strategy with the basic of real
condition of its geopolitics area. However, contemporary Indonesia’s national security
strategy is seem to lose its view of the term national security and national threats.
For the example, TNI (Indonesian National Army) couldn’t define its role in guarding
Indonesia’s defense. The small allocation of defense budget also has made Indonesia’s
national security strategy been directed by that minim budget. These facts then, have
laid Indonesia’ national strategy in a wrong direction. This article will be focusing on
the review of national security concept in order to search a better Indonesia’s national
security strategy. Furthermore, this article also will analyze several upcoming threats
that must be identified by the Indonesia government and its citizen. Later, it will also
purpose several recommendation to help Indonesia define its true national security
strategy.
68
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
PENDAHULUAN
“Only in growth, reform, and change,
paradoxically enough, is true security to
be found”
-Anne Morrow Lindbergh
Hubungan internasional kerap dipahami
sebagai hubungan antaraktor dalam sistem
internasional, baik itu aktor negara maupun
aktor nonnegara yang berkutat dengan
masalah power politics. Akibatnya, banyak
negara yang mengejar power negaranya
lewat kepemilikan kapabilitas militer yang
kuat.1 Banyaknya negara yang berusaha
mendapatkan kekuatan militer atau
persenjataan tersebut telah membuat
kualitas ancaman yang dimiliki oleh negara
terhadap negara lainnya semakin besar.
Tidak adanya kepemerintahan dunia
yang mampu mengatur pola hubungan
antarnegara, membuat suatu negara harus
dapat merumuskan strategi pertahanan
negara yang dapat menjamin kelangsungan
eksistensi negara tersebut dalam dunia
internasional yang dicirikan oleh sifat yang
anarkis.
Strategi pertahanan negara tersebut
harus dapat mencakup bagaimana cara
mencapai tujuan keamanan dari suatu
negara untuk menghadapi musuh yang akan
mengancam security dari negara. Security
atau keamanan sendiri adalah konsep yang
digunakan untuk menghadapi ancaman.
Security adalah tentang kelangsungan
hidup, dimana suatu isu dihadirkan sebagai
sesuatu yang dapat memberikan existential
threat kepada referent object.2 Secara
tradisional, konsep ini mempunyai dua arti
pokok, yaitu kebebasan dari resiko atau
bahaya, serta kebebasan dari keraguan,
kekhawatiran, dan ketakutan.3 Dengan
memiliki kepahaman mengenai konsep
security, maka suatu negara tidak akan dapat
dipaksa untuk mengorbankan nilai-nilai
yang dianggapnya penting, dan menemukan
cara untuk membangun relasi dengan
negara lain yang dapat menghindarkannya
dari terjadinya perang. Dan bahkan, jika
perang terjadi pun negara tersebut akan
memiliki peluang yang lebih besar untuk
keluar sebagai pemenang karena telah bisa
mengenali ancaman potensialnya.
Selain hal diatas, satu konsep
berikutnya yang dapat digunakan untuk
dapat menganalisa pembuatan strategi
pertahanan negara yang baik adalah
konsep grand strategy. Peran grand
strategy menurut Liddel Hart adalah
mengkoordinasikan
dan
mengarahkan
seluruh sumber daya bangsa untuk dapat
mengenali ancaman yang ada, baik itu
ancaman yang berasal dari lingkungan
luar (threat), atau ancaman yang berasal
dari lingkungan nasional (vulnerabilities).4
Identifikasi
terhadap
sumber-sumber
ancaman tersebut kemudian dapat menjadi
suatu acuan dalam merumuskan strategi
pertahanan suatu negara yang tepat.
Indonesia, sebagai salah satu entitas
negara yang berada dalam sistem
internasional kontemporer kemudian juga
harus dapat merumuskan suatu strategi
pertahanan
yang
dapat
melindungi
kepentingan nasional yang dimilikinya.
Strategi pertahanan nasional Indonesia bisa
dimulai dengan membangun kapabilitas
pertahanan, yang memadukan antara
profesionalisme pengawak pertahanan
negara dan memberdayakan perumus
kebijakan dan seluruh warga negara, agar
dapat memandang reformasi pertahanan
secara
jernih,
berdasarkan
dimensi
5
ancaman yang dihadapi. Namun, arah
perumusan strategi pertahanan yang
dimiliki Indonesia hingga kini masih terjebak
dalam romantisme zaman perjuangan
dulu, sehingga masih menemui kegagalan
dalam mencari strategi pertahanan dan
keamanan nasional yang baik dan cocok
untuk Indonesia.
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
69
Tulisan
ini
berupaya
untuk
mengelaborasi
strategi
pertahanan
dan keamanan nasional Indonesia, dan
berupaya
mencari
letak
kesalahan
dalam perumusannya. Penulis juga akan
berusaha meninjau konsep keamanan
nasional Indonesia. Setelah itu akan turut
dijabarkan mengenai bentuk ancaman
dan potensi tantangan yang akan dihadapi
Indonesia dewasa ini. Namun, sebelum
beralih kepada tinjauan terhadap konsep
keamanan nasional Indonesia, ada baiknya
untuk menengok sekilas mengenai sejarah
strategi pertahanan nasional Indonesia.
PEMBAHASAN
Sekilas
Mengenai
Sejarah
Pertahanan Indonesia
Strategi
Sebagaimana telah disebutkan diawal,
bahwa perumusan strategi pertahanan
nasional Indonesia yang ada saat ini masih
terpengaruh oleh romantisme sejarah
perjuangan kemerdekaan. Titik sentral
dalam strategi pertahanan Indonesia
bertumpu pada kekuatan darat. Hal ini
disebabkan oleh pengalaman perang di
masa lalu yang didominasi oleh perang
internal lewat adanya berbagai operasi
penumpasan gerakan dan separatisme
bersenjata di beberapa daerah Indonesia.
Berdasarkan sejarahnya, keterlibatan
kekuatan bersenjata Indonesia dapat
dikelompokkan
menjadi:
Perang
Kemerdekaan yang terjadi pada tahun 19451949, perang menghadapi separatisme
pada tahun 1950an, perebutan Irian Barat
tahun 1960-1969, aneksasi Timor Timur
semenjak tahun 1976 hingga 1999, dan
perang untuk menghadapi separatisme dari
tahun 1980an sampai 2005.6 Dari gambaran
peristiwa historis perang yang dilakukan
oleh Indonesia diatas kemudian akhirnya
membawa strategi pertahanan Indonesia
mengandalkan konsepsi pertahanan landas
70
darat.
Strategi pertahanan Indonesia yang
mengandalkan konsepsi landas darat ini
kemudian dapat dilihat sebagai kegagalan
dalam
merumuskan
suatu
strategi
pertahanan yang tepat bagi Indonesia.
Konsepsi Indonesia sebagi Negara Nusantara
sebenarnya mengacu kepada konsepsi
Negara Kepulauan (Archipelagic State)
sebagaimana dimuat dalam Deklarasi
Juanda 13 Desember 1957 dan UU No, 4/
Prp. 1960.7 Dengan adanya konsepsi ini,
seharusnya mind-set strategi pertahanan
Indonesia juga menyadari pentingnya
wilayah perairan Indonesia sebagai suatu
wilayah yang harus dijaga dan dipertahankan
kedaulatannya. Mind-set pertahanan yang
terlalu condong ke konsepsi daratan akan
membuat ancaman dari wilayah perairan
seperti illegal fishing, maritime piracy,
perdagangan narkoba, dan berbagai
kejahatan transnasional lainnya, serta
pelanggaran terhadap kedaulatan wilayah
laut Indonesia akan sulit untuk ditangani.
Oleh sebab itu, Indonesia harus membenahi,
mengkoordinasikan,
dan
mengatur
sistem keamanan wilayah perairannya
lebih baik lagi lewat perubahan konsepsi
pertahanan landas daratan yang selama ini
masih mendominasi strategi pertahanan
Indonesia. Agar dapat merubah konsepsi
pertahanan yang demikian, maka upaya
pengenalan terhadap konsep keamanan
nasional Indonesia lantas diperlukan.
Meninjau Konsep
Indonesia
Keamanan
Nasional
“National Security doesn’t consists only of
an army, a navy, and an air force..it
depends
on a sound of economy..on civil liberties
and human freedom
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
-Harry S. Truman
Terdapat suatu pemahaman secara
konseptual bahwa konsep keamanan
nasional adalah konsep yang masih
diperdebatkan (contested concept). Hal ini
disebabkan pemberian makna terhadapnya
yang masih berbeda-beda, tergantung
dari aktor yang memaknainya. Bahkan
konsep ini pun kerap disamartikan dengan
konsep keamanan rezim. Walter Lippmann
kemudian berusaha mendefinisikan konsep
keamanan nasional sebagai berikut, “a
nation is secure to the extent to which it
is not in danger of having to sacrifice core
values if it wishes to avoid war, and is able,
if challenged, to maintain them by victory
in such a war”8.
Pengertian keamanan nasional diatas
memperlihatkan bahwa tujuan utama
keamanan nasional adalah kebebasan dari
berbagai ancaman yang ada, terutama
ancaman yang bersifat militer. Oleh
karena itu semua bangsa, termasuk
Indonesia, butuh kebijakan keamanan
nasional. Kebijakan itu akan memberikan
gambaran kepentingan utama bangsa serta
menjelaskan tentang ancaman dan peluang
yang ada. Keamanan nasional dalam
konteks Indonesia tentunya harus dilihat
dalam kaitannya dengan aspek geopolitik,
sehingga bisa mempertimbangkan faktor
geografi dan politik yang melandasi suatu
negara. Geopolitik Indonesia sendiri
adalah persatuan bangsa dan kesatuan
serta keutuhan wilayah Indonesia yang
berlandaskan kesejahteraan dan keamanan
seluruh rakyat. Secara singkat, keamanan
nasional adalah menyangkut keutuhan
wilayah
serta
kelangsungan
hidup
bangsa dan negara, dimana tanggung
jawab pelaksanaannya ada pada negara
yang dijalankan oleh instansi-instansi
pemerintah.9
Lebih lanjut, pendekatan terhadap
keamanan nasional Indonesia, cenderung
mengarah pada keamanan komprehensif
dan terpadu. Ini dikarenakan di dalam
melihat keamanan nasional Indonesia perlu
dipertimbangkan sejumlah elemen seperti
elemen politik, ekonomi, dan militer.
Dari segi politik, keamanan nasional
ditujukan agar negara Indonesia aman
dari konstelasi politik yang ada. Kemudian
dari segi ekonomi, bagaimana sumber
daya yang dimiliki Indonesia harus dapat
sedemikan rupa diproteksi. Elemen militer
menekankan pada bagaimana peran TNI dan
Polri sebagai instrumen keamanan nasional
untuk melindungi dan mempertahankan
kedaulatan Republik Indonesia dari berbagai
ancaman yang muncul.
Dinamika kehidupan bernegara yang
seperti itulah yang harus seterusnya menjadi
landasan dan pendekatan dalam memahami
keamanan nasional Indonesia. Dimana
kondisi alamiah, politik, dan institusi negara
harus menjadi acuan pokok.10 Permasalahan
yang kemudian harus segera dapat diatasi
dalam membentuk suatu keamanan nasional
yang fungsional adalah harus adanya
pengelolaan yang tepat dan baik, yakni
perlu adanya managemen. Manajemen
keamanan nasional bisa diartikan sebagai,
“Suatu proses pengelolaan sumber daya
nasional menjadi sumber daya potensial,
pembinaan kekuatan/kemampuan hingga
penggunaannya secara efektif dan efisien
untuk kepentingan pertahanan keamanan
negara”.11 Bentuk pengaturan yang dirasaa
harus segera dikuatkan di Indonesia yaitu
adalah pengaturan dan pembagian peran
yang jelas antara TNI dan Polri agar kedua
instrumen keamanan yang di zaman Orde
Baru disatukan ke dalam ABRI ini terus
menerus terjebak dalam dikotomi militer
versus polisi.
Dengan memiliki keamanan nasional
yang kuat, maka kepentingan pembangunan
pertahanan tidak hanya mendorong upaya
untuk kepentingan perkuatan kemampuan
tentara, tetapi yang lebih esensial adalah
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
71
untuk mendukung perkuatan posisi tawar
Indonesia dalam dunia internasional.
Namun, sebelum dapat memiliki keamanan
nasional yang kuat, terlebih dahulu
ancaman terhadap pertahanan negara
dan keamanan nasional perlu dirumuskan
secara utuh dan komprehensif. Bentuk
keamanan nasional sedemikian rupa harus
dapat menjawab ancaman dan tantangan
potensial yang mungkin datang.
Bentuk Ancaman bagi Keamanan Indonesia
Ancaman adalah segala sesuatu yang
membahayakan
kedaulatan
nasional,
integritas wilayah, keselamatan warga
negara dan kehidupan demokrasi di
Indonesia, serta membahayakan ketertiban
dan perdamaian regional dan internasional,
baik yang bersifat konvensional maupun
yang bersifat non konvensional.12 Dari
pengertian ini, maka dapat dikatakan
bahwa ancaman merupakan konsep yang
multidimensional, ia bisa berbentuk
ancaman
militer-nonmiliter,
ancaman
tradisional-non-tradisional,
ancaman
eksternal-internal, dan bisa merupakan
ancaman langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena sifatnya yang multidimensi
inilah yang membuat upaya mengatasi
ancaman pun harus dilakukan secara
sektoral dan melibatkan banyak aktor.
Jadi tidak hanya TNI atau polisi saja yang
bertanggung jawab dalam mengatasi
ancaman, tetapi juga intelejen militer,
BIN, Deplu, Dephan, hingga ke tingkat
Pemerintah Daerah.
Kondisi geopolitik Indonesia sebagai
negara kepulauan yang terletak di antara
benua Asia dan Australia serta Samudera
Pasifik dan Samudera Hindia, menyebabkan
kondisi nasional sangat dipengaruhi oleh
perkembangan konteks strategis. Dengan
mencermati dinamika konteks strategis,
baik global, regional maupun domestik,
72
maka ancaman yang akan muncul akan
terwujud dalam tiga jenis, yaitu konflik
interstate atau antarnegara, konflik
internal, dan transnasional konflik.
Konflik interstate. Dunia internasional
sekarang yang diwarnai oleh globalisasi.
Semakin menyempitnya dunia akibat
perkembangan tekhnologi, telekomunikasi,
dan
transportasi
memunculkan
kecenderungan similaritas dan uniformitas
dari para individu, kelompok, dan
sistem sosial yang melewati atau bahkan
menghapus batas tradisional negara.
Akibatnya, kecenderungan untuk terjadinya
konflik secara terbuka antarnegara akan
sangat sulit untuk terjadi. Hal ini disebabkan
negara akan memikirkan kalkulasi dampak
yang akan didapatnya apabila melakukan
konflik terbuka dengan negara lain.
Indonesia, yang notabene merupakan
negara yang berada di kawasan Asia
Tenggara pun dalam beberapa tahun ke
depan tidak akan mempunyai ancaman
konflik terbuka dengan negara lain, karena
potensi regionalisme ASEAN kini tengah
menguat dimana ASEAN sedang berupaya
membangun suatu identitas bersama,
identitas ASEAN. Sehingga kecenderungan
untuk terjadinya konflik antarnegara sangat
kecil untuk terjadi. Kecuali ada faktor yang
mendorong terjadinya konflik, seperti
misalnya perubahan dinamika power
negara-negara besar di tingkat regional dan
global13, dimana negara-negara tersebut
berusaha memperbesar power negaranya
lewat kebijakan yang ekspansionis.
Namun, dari sisi konflik interstate, ada
ancaman yang harus serius diperhatikan
oleh pemerintah Indonesia, yaitu mengenai
masalah wilayah laut. Kepentingan negaranegara di kawasan Asia Tenggara akan lebih
banyak berangkat dari lingkungan maritim,
terutama dengan adanya selat malaka yang
menjadi jalur pelayaran internasional.
Konflik kepentingan negara yang terjadi di
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
wilayah lautlah yang kemudian harus bisa
ditangani. Konflik-konflik tersebut biasanya
terjadi
karena
adanya
pelanggaran
kedaulatan negara ataupun dikarenakan
tarik menarik kewenangan. Dalam beberapa
dekade ke depan, masalah keamanan
maritim masih akan menghadapi minimal
lima tantangan: terrorism and crime at sea,
humanitarian assistance, environmental
protection, safety and protection of
shipping dan resource conflict. Tantangan
yang harus segera dijawab oleh kekuatan
maritim Indonesia agar tidak berdampak
pada terjadinya konflik antarnegara.
Konflik internal. Masalah konflik
internal adalah masalah yang akan menjadi
ancaman utama bagi keamanan nasional
Indonesia yang masyarakatnya heterogen.
Ancaman konflik internal yang terjadi di
Indonesia kemudian lebih disebabkan karena
adanya persoalan mengenai kelompok yang
menginkan disintegrasi bangsa. Masalah
ini terus menerus muncul dikarenakan
instabilitas sosial dan politik yang melanda
Indonesia sejak jatuhnya rezim Orde Baru
belum juga pulih. Instabilitas ini akhirnya
menimbulkan beragam konflik horizontal
terjadi di masyarakat Indonesia, antara
suku yang satu dengan suku yang lain,
atau antara kelompok pendatang dengan
masyarakat asal.
Potensi ancaman yang akan muncul
di dalam internal Indonesia juga adalah
mengenai perlindungan HAM terhadap
masyarakat Indonesia yang tak kunjung
diberikan pemerintah. Masyarakat yang
merasa kecewa ini kemudian melancarkan
gerakan-gerakan separatis yang akhirnya
mengancam keamanan nasional Indonesia.
Hal ini diperparah lagi dengan aparat
penegak hukum, yaitu polisi yang kini
merasa superior setelah pisah dengan
TNI, sehingga kerap melakukan tindakan
sewenang-wenang.
Konflik
Transnasional.
Ancaman
yang paling akan muncul bagi Indonesia
dalam konflik transnasional ini adalah
masuknya kelompok terorisme di Indonesia.
Ketidakmampuan
pemerintah
untuk
menangani masalah terorisme ini akan
menimbulkan dampak yang besar. Indonesia
bisa saja kemudian mendapatkan ancaman
agresi dari negara kuat, seperti Amerika
Serikat jika tidak dapat menangani kasus
terorisme. Negara besar akan berupaya
menjustifikasi tindakannya melakukan
intervensi
dengan
berdalih
untuk
menghancurkan jaringan terorisme. Aksiaksi terror jejaring terorisme memiliki dua
karakter utama:14 Pertama, aksi tersebut
cenderung merupakan low intensify
conflict yang bertujuan untuk melakukan
serangan-serangan high profile. Kedua,
aksi-aksi tersebut tidak dirancang sebagai
sesuatu yang linear yang memiliki tahapan
yang jelas. Dengan begitu, prioritas untuk
mempunyai
strategi
kontraterorisme
akan menunjukkan bahwa pemerintah
menempatkan keamanan nasional di
prioritas yang lebih tinggi dari perlindungan
dan penegakkan hak-hak sipil.
Ancaman dari sisi transnasional lainnya
kemudian bisa bersumber dari kejahatan
terorganisir transnasional (Transnational
Organized Crimes), dengan memanfaatkan
kondisi dalam negeri yang tidak kondusif.
Ancaman kejahatannya bisa berupa
penyelundupan obat bius, perdagangan
anak, pembajakkan laut, pencemaran dan
perusakkan ekosistem, aksi radikalisme,
dan beberapa kejahatan transnasional
lainnya.15 Untuk bisa menyelesaikan
permasalahan
kejahatan
terorganisir
transnasional yang seperti demikian,
kemudian Indonesia pun perlu dan harus
mengadakan kerjasama pertahanan dengan
negara lain agar metode penyelesaiannya
bisa komprehensif.
Itulah tiga jenis ancaman bagi keamanan
nasional Indonesia dilihat dari dinamika
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
73
strategisnya. Lebih lanjut, agar Indonesia
dapat memainkan peran yang kuat di dunia
internasional, negara ini perlu juga melihat
mengenai kecenderungan dan tantangan
yang harus dihadapinya dalam dinamika
dunia internasional. Setidaknya, Indonesia
perlu menangkap dan mengantisipasi
beberapa gejala yang menunjukkan adanya
pergeseran dalam lingkungan internasional.
Beberapa gejala tersebut diantaranya
adalah:16 melemahnya multilateralisme
dengan semakin dominannya politik
dan ekonomi AS setelah Perang Dingin
berakhir,
meningkatnya
persenjataan
dunia terutama dengan banyaknya negara
yang mempunyai kepemilikan senjata
nuklir, adanya pembangunan berdasarkan
Iptek, berkurangnya kekayaan alam,
reformasi informasi yang berjalan cepat
menuju knowledge based global society,
dan meningkatnya persaingan ekonomi
akibat liberalisasi yang terjadi di dunia
internasional. Dengan melihat beberapa
tantangan diatas, Indonesia harus segera
berbenah dan merumuskan strategi
pertahanan dan keamanan nasional yang
bisa menghadapi tantangan dan ancaman
yang ada.
Rethinking Kebijakan Strategi Pertahanan
dan Keamanan Indonesia
Sebelum
dapat
merumuskan
rekomendasi strategi pertahanan dan
keamanan
nasional
Indonesia
yang
baik, maka terlebih dahulu harus dapat
diidentifikasi poin-poin mana saja dalam
strategi
pertahanan
Indonesia
yang
dianggap masih kurang tepat. Setidaknya
ada empat hal yang penulis anggap rancu
dalam perumusan strategi pertahanan dan
keamanan yang tepat sasaran.
Pertama, adalah menyangkut konsepsi
landas darat yang menjadi arahan
dan prioritas utama Indonesia dalam
74
membangun instrumen pertahanannya.
Sebagaimana juga telah disebutkan diatas
bahwa potensi ancaman yang ada bagi
Indonesia ke depannya lebih banyak berasal
dari lingkungan maritim. Indonesia yang
menempatkan konsepsi pertahanan landas
darat tersebut kemudian akan sangat
sulit untuk mengantisipasi ancaman yang
berasal dari wilayah maritim ini. Kasus
Ambalat misalnya, telah memperlihatkan
bahwa
Indonesia
tidak
mempunyai
kekuatan penangkal yang memadai di
sektor kelautan. Kasus tersebut juga telah
memperlihatkan
bagaimana
terdapat
kesenjangan tekhnologi dan peralatan
perang yang dimiliki oleh Indonesia dan
Malaysia, dimana kekuatan laut dan udara
yang dimiliki Indonesia rata-rata sudah
tua dan using, akibat kurang menjadi
perhatian. Belum lagi isu perairan Natuna
yang menyeruak akhir-akhir ini dimana
kapal-kapal ikan RRT sering masuk ke dalam
perairan Indonesia dan disinyalir konsep
abstrak Tiongkok mengenai ten-dash-line
juga beririsan dengan perairan Indonesia
di Natuna membuat urgensi memiliki
Angkatan Laut yang dapat mengamankan
perairan Indonesia semakin penting.
Lebih lanjut, terdapat lakuna yang
serius dalam strategi pertahanan Indonesia.
Sampai saat ini, dalam menghadapi ancaman
musuh dari luar, Indonesia menganut
strategi pertahanan yang dirumuskan dalam
strategi penggunaan kekuatan atau pola
operasi berdasarkan strategi pertahanan
pulau-pulau besar, yang dilakukan melalui
pertahanan berlapis di wilayah (zona),
terdiri dari Zona Pertahanan I (penyangga),
II (pertahanan), dan III (perlawanan).17
Terlihat bahwa konsepsi pertahanan
landas darat saja tidak cukup untuk dapat
menghadapi ancaman yang bakal muncul,
terutama ancaman yang terjadi tidak dari
wilayah darat.
Kedua,
hingga
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
kini,
upaya
untuk
meningkatkan profesionalisme TNI pasca
pisahnya dengan Polisi di akhir Orde Baru
masih merupakan suatu usaha yang terus
dilakukan. Gerakan reformasi menuju
cita-cita Indonesia baru yang terbebas
dari hubungan sipil-militer yang buruk.
Akan tetapi, masalah redefinisi peran
dan keterlibatan TNI dalam konteks
pertahanan dan keamanan Indonesia masih
menimbulkan kerancuan dan kebingunan.
Peran TNI dirasa masih sering tumpang
tindih dengan instrumen pertahanan dan
keamanan Indonesia yang lain seperti
polisi, BIN, dan lain sebagainya. Misalnya
adalah keterlibatan TNI dalam kerusuhan
sosial yang banyak terjadi di Indonesia,
seharusnya itu sudah menjadi peran polisi
untuk meredakannya, namun TNI seringkali
turut campur dan malah memperkeruh
suasana. Sebenarnya tidak hanya TNI saja
yang sering tumpang tindih dan mempunyai
peran yang salah, BIN sebagai badan yang
seharusnya berfokus untuk menganalisa
ancaman yang bakal datang dari lingkungan
luar malah kini sibuk dalam urusan
domestik. Bahkan akhir-akhir ini malah
diisukan terlibat dalam kasus pembunuhan
aktivis HAM Munir. Hal yang seperti inilah
yang menyebabkan strategi pertahanan
Indonesia tidak ditempatkan dalam tempat
yang sebenarnya.
Tuntutan berikutnya dari reformasi
TNI adalah bagaimana caranya untuk dapat
memiliterkan militer. Fenomena yang marak
terjadi di Indonesia adalah militer yang
berpolitik, terutama banyak terjadi di masa
Orde Baru. Setidaknya ada tiga kesulitan
besar jika militer Indonesia masih tetap
berpolitik, yaitu:18 militer yang terlibat
dalam politik akan merusak kompetisi
politik, militer yang terlibat politik juga
akan mendistorsi atau merusak kebijakan
politik, dan militer yang berpolitik akan
menjadikan keamanan negara sebagai
kartu truf dalam rangka bargaining politik.
Oleh sebab itulah, perlu untuk melakukan
militerisasi militer Indonesia lewat adanya
perumusan peran TNI yang lebih ketat lagi.
Poin ketiga yang ingin penulis
sampaikan adalah berkenaan dengan
adanya postur pertahanan Indonesia yang
salah. Adanya kesenjangan yang lebar
antara tujuan (kepentingan) dan kebutuhan
pertahanan nasional di satu pihak, dengan
postur pertahanan yang ada di pihak lain,
membuat terciptanya kesenjangan antara
ancaman nyata yang dihadapi dengan
postur yang ada.19 Kebutuhan anggaran
bagi pertahanan Indonesia yang demikian
besar tidak ditunjang dengan alokasi APBN
yang besar juga bagi bidang pertahanan
Indonesia. Selama ini, kemampuan negara
mengalokasikan
anggaran
pertahanan
rata-rata pertahun di bawah 1 % dari
produk Domestik Bruto (PDB). Sebagai
perbandingan, negara-negara di kawasan
Asia Tenggara pada umumnya memiliki
resiko lebih tinggi, anggaran pertahanan
bahkan berkisar 4 % - 5 % PDB.20 Dengan
alokasi anggaran kurang dari 1 % PDB
sangat sulit untuk membangun kekuatan
pertahanan yang memadai. Kurangnya
alokasi
anggaran
tersebut
akhirnya
memperlihatkan bahwa postur pertahanan
Indonesia tidak ditentukan dari sisi
pertimbangan geopolitik atau ancaman
yang ada, tetapi lebih didominasi oleh
postur pertahanan yang dikendalikan
anggaran minim.
Poin keempat adalah mengenai isu
strategis perjanjian pertahanan dengan
Singapura yang ditandatangani tahun 2007.
Perjanjian pertahanan ini sendiri meliputi
beberapa lingkup kerjasama yaitu, dialog
dan konsultasi bilateral secara berkala,
pertukaran intelijen termasuk kontra
terorisme, serta kerjasama bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Selain itu,
lingkup kerjasama ini juga mengenai
upaya memajukan pengembangan Sumber
Daya Manusia, pertukaran siswa personel
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
75
militer, dan latihan bersama atau terpisah
(operasi & logistik) termasuk akses timbal
balik ke area dan fasilitas latihan, juga
kerjasama dalam SAR, penanggulangan
bencana, dan bantuan kemanusiaan.21
Ke depannya, Indonesia perlu untuk
dapat mengidentifikasi bentuk kerjasama
pertahanan macam apa dan negara mana
saja yang dapat menguntungkan bagi
keamanan nasional Indonesia.
PENUTUP
“No Sir! Kami tidak ambruk!
Bersama-sama rakyat Indonesia,
kita akan pecahkan segala kesulitankesulitan itu,
Bersama-sama kita akan ganyang kesulitan
itu”
-Soekarno, 1964
Sebagai kesimpulan, berbagai dinamika
keamanan nasional Indonesia yang telah
dijabarkan diatas, dengan segala potensi
ancaman yang akan muncul adalah sebuah
proses yang bersifat dinamis. Dimana
evaluasi antarinstitusi dan kebijakan
keamanan nasional Indonesia harus terus
dilakukan, demi mengantisipasi perubahan
dinamika lingkungan strategis. Penetapan
strategi pertahanan dan keamanan nasional
Indonesia juga sebisa mungkin melibatkan
peran masyarakat sipil agar segenap
masyarakat Indonesia dapat merasakan
pentingnya melindungi kedaulatan entitas
negara bangsa yang bernama Indonesia.
Inti
dari
perumusan
strategi
pertahanan nasional sebenarnya adalah
adanya suatu kesadaran bahwa menjaga
kedaulatan bangsa adalah tugas bersama
seluruh komponen bangsa dengan terus
memberikan makna terhadap gagasan
pertahanan dan keamanan nasional.
Dengan kata lain, sedikit demi sedikit,
76
pembentukkan strategi pertahanan dan
keamanan nasional yang lebih partisipatif
dan proaktif terhadap dinamika dunia
internasional akan dapat terwujud.
Dengan menitikberatkan pada tujuan
pencapaian kepentingan nasional, strategi
pertahanan dan keamanan nasional yang
tepat sasaran akan dapat dirumuskan.
Kepentingan nasional Indonesia sendiri
adalah untuk melindungi kedaulatan
negara, menjaga keutuhan wilayah,
melindungi keselamatan dan kehormatan
bangsa,
dan
ikut
dalam
menjaga
perdamaian dunia.22 Setelah menganalisa
berbagai ancaman dan poin-poin yang rancu
dalam kebijakan strategi pertahanan dan
keamanan nasional, maka penulis memberi
rekomendasi beberapa aspek yang perlu
dibenahi dalam upaya merumuskan strategi
pertahanan yang tepat bagi Indonesia.
Aspek pertama yang harus segera
dilakukan
adalah
dengan
berupaya
mengembangkan
sistem
pertahanan
Indonesia yang selama ini hanya mengacu
pada konsepsi pertahanan landas darat.
Sistem pertahanan negara adalah sistem
yang bersifat semesta yang melibatkan
seluruh warga negara, wilayah, dan sumber
daya nasional lainnya yang dipersiapkan
untuk melindungi kepentingan nasional
Indonesia dari segala ancaman yang akan
muncul.23 Pengembangan sistem pertahanan
tersebut harus melibatkan pengalokasi
anggaran yang seimbang antara TNI AD, TNI
AL, dan TNI AU. Sehingga dengan demikian
Indonesia akan dapat merubah mind-set
pertahanannya yang selama ini hanya
berfokus di darat saja. Selain itu, Indonesia
juga akan kemampuan pertahanan militer
yang kuat24. Visi Pemerintahan Presiden
Joko Widodo yang akan membuat Indonesia
sebagai Poros Maritim Dunia patut
didukung. Namun visi tersebut tidak akan
termaterialisasi apabila dogma pertahanan
Indonesia masih berpusat pada matra darat.
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
Angkatan Laut Indonesia perlu diberikan
perhatian lebih karena ancaman utama
sebagai negara kepulauan terbesar di dunia
adalah bagaimana mengamankan wilayah
perairan Indonesia yang demikian luas.
Aspek
berikutnya
yang
harus
diperhatikan dalam merumuskan strategi
pertahanan yang baik adalah dengan
mengembangkan pertahanan nir-militer
Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa kini
hakekat ancaman pun, bergeser dari
ancaman yang datang dari negara (state
threat) melalui penggunaan senjata
pemusnah massal menjadi kelompok
(non state threat) dengan penguasaan
teknologi tinggi. Perang yang terjadi
dalam dunia internasional pun kemudian
juga melibatkan unsur “perang otak” atau
“perang selisih keunggulan”. Oleh sebab itu
kemudian Indonesia harus dapat menyusun
strategi “perang sumber daya manusia”
yang menekankan pada tekhnologi, serta
ilmu dan pengetahuan sebagai bagian dari
upaya pengembangan pertahanan nirmiliter.25
Selanjutnya, aspek terpenting yang
harus segera dilakukan untuk membentuk
strategi pertahanan dan keamanan nasional
yang efektif adalah dengan menguatkan
mekanisme koordinasi antar-instrumen
keamanan nasional. Indonesia perlu dengan
segera menegaskan kembali mengenai
peran tanggung jawab keamanan nasional
Indonesia. Terminologi sistem pertahanan
nasional, Sishanrata (Sistem Pertahanan
Rakyat Semesta) yang memasukkan unsur
rakyat harus dapat diimplementasikan
dengan tepat. Tanggung jawab pertahanan
dan
keamanan
nasional
Indonesia
harus dapat menjadi suatu integrated
responsibility. Cara yang bisa dilakukan
adalah dengan menerapkan koordinasi tiga
tingkat, yaitu mengatasi seluruh ancaman
keamanan nasional, lalu mengatasi satu
jenis ancaman dengan berbagai spesifikasi
tugas, dan menjalankan satu jenis tugas
keamanan nasional yang melibatkan
berbagi aktor secara bersamaan.26
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Banyu Perwita, Anak Agung dan Yanyan
Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu
Hubungan Internasional. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Buzan, Barry, et.al. 1999. Security: A New
Framework for Analysis.
London:
Boulder.
Papp, Daniel S. 1997. Contemporary
International Relations: Framework
for Understanding. New York:
Macmillan.
Suraputra, D. Sidik Suraputra. 2006.
Hukum Internasional dan Berbagai
Permasalahannya [Suatu Kumpulan
Karangan]. Jakarta: Diadit Media.
Stanley. 2004. Keamanan, Demokrasi, dan
Pemilu 2004. Jakarta: Propatria.
Wibisono, Makarim. 2006. Tantangan
Diplomasi
Multilateral.
Jakarta:
LP3ES.
Widjajanto, Andi. 2004. Reformasi Sektor
Keamanan
Indonesia.
Jakarta:
Propatria.
Artikel Jurnal
Anggoro,
Kusnanto.
“Kedaulatan,
Teritorialitas, dan Keamanan Pasca
Westphalia”. Global: Jurnal Politik
Internasional Vol. 6 No. 2 Mei 2004
Kedaulatan Kontemporer: Terkikisnya
Kontrol Negara.
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
77
Juwana,
Hikamahanto.
“Restrictions
Under International Law to Build Up
Military Defense Capability”. Global:
Jurnal Politik Internasional Vol.6 No 1
November 2003 Indonesia Pasca IMF?
“Pendekatan Integratif untuk Keamanan
Nasional Indonesia”. Bahan seminar
Mencari Bentuk Sistem Keamanan
Nasional Indonesia: Komparasi dan
Rekomendasi, yang diselenggarakan
Pacivis UI. Tanggal 29 Mei 2007.
“Perjanjian RI-Singapura Dinilai Rugikan
RI”. Harian KOMPAS tanggal 2 Mei 2007.
Artikel Internet
“Studi Perbandingan Keamanan Nasional
Studi
Kasus:
Malaysia,
Inggris,
Australia, Israel, Amerika Serikat, dan
India”. Bahan seminar Mencari Bentuk
Sistem Keamanan Nasional Indonesia:
Komparasi dan Rekomendasi, yang
diselenggarakan Pacivis UI. Tanggal 29
Mei 2007
Desian, Krisdantoro. “Reformasi
Pertahanan dan Kapabilitas
Pertahanan Negara yang Murah
Meriah”. Dari http://www.dephan.go.id/
modules.php?name=Sections&op=viewarticle&artid=69.
Gunawan, Iwan. “Konsepsi dan
Implementasi Managemen
Pertahanan dan Keamanan Negara”.
Dari http://www.dephan.go.id/modules.
php?name=Sections&op=viewarticle&artid=55.
“Menhan RI: Tidak Benar jika DCA
Kompensasi Perjanjian Ekstradisi”.
Dari http://www.dmcindonesia.web.
id/berita.php?id=247.
“Ringkasan Eksekutif Buku Putih Dephan”.
Dari http://www.dephan.go.id/buku_putih/
ringkasan.htm.
“TNI Pasca Ambalat”. dari http://www.
csis.or.id/scholars_opinion_view.
asp?op_id=333&id=46&tab=0.
Lain-lain
Kasim, Yandri K. Dinamika Lingkungan
Strategis, Analisa Ancaman, dan
(Alternatif)
Strategi
Pertahanan
Indonesia.
Bahan
mata
kuliah
Pengkajian Strategik di jurusan
Hubungan Internasional FISIP UI.
Majalah TSM No. 3 Tahun 1987. Bahan
pokok bahasan ‘Pemikiran Strategis
dan Keamanan’ mata kuliah
Pengkajian Strategik di jurusan
Hubungan Internasional FISIP UI.
78
Wawancara penulis dengan Menteri
Pertahanan RI, Juwono Sudarsono
dalam kunjungan ke Departemen
Pertahanan RI, tanggal 6 Maret 2007.
1
Pandu Utama Manggala, MA, M.Dipl,
diplomat muda Indonesia, saat ini tengah
menempuh studi Doktoral di Kampus National
Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS),
Tokyo, Jepang. Pandu memperoleh gelar Sarjana
dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Indonesia serta gelar Master of
Arts in International Relations & Master of
Diplomacy dari Australian National University
(ANU), Canberra. Pandu dikenal sebagai seorang
intelektual-aktivis yang mampu menyeimbangkan
prestasi akademik dengan kontribusi sosial.
Pada tahun 2014, Duta Besar Australia untuk
Indonesia memberikan penghargaan “Excellence
in Engagement” kepada Pandu atas prestasinya
selama menjadi awardee Australian Awards.
Pandu juga pernah mengemban amanah sebagai
Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di
Australian Capital Territory dan Ketua BEM FISIP
UI. Ia kini pun tengah diamanahi sebagai Ketua
PPI Kanto, Jepang dan Presiden International
Students’ Council di kampusnya, GRIPS.
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
2
Daniel S. Papp, Contemporary International
Relations: Framework for Understanding, (New
York: Macmillan, 1997), hlm. 426.
3
Barry Buzan, et.al., Security: A New
Framework for Analysis. (London: Boulder,
1999), hlm. 21.
4
Kusnanto
Anggoro,
“Kedaulatan,
Teritorialitas, dan Keamanan Pasca Westphalia”,
Global: Jurnal Politik Internasional Vol.6 No 2
Mei 2004 Kedaulatan Kontemporer: Terkikisnya
Kontrol Negara, (Depok: Departemen HI FISIP
UI, 2004), hlm. 8.
5
“Tekhnologi & Strategi Militer”, dalam
Majalah TSM No. 3 Tahun 1987, hlm. 44,
bahan pokok bahasan ‘Pemikiran Strategis dan
Keamanan’ mata kuliah Pengkajian Strategik di
jurusan Hubungan Internasional FISIP UI.
6
Sistem Keamanan Nasional Indonesia:
Komparasi
dan
Rekomendasi,
yang
diselenggarakan Pacivis UI, pada tanggal 29
Mei 2007.
11
Stanley, Keamanan, Demokrasi, dan
Pemilu 2004, (Jakarta: Propatria, 2004),
hlm. 28-29.
12
Iwan
Gunawan,
“Konsepsi
dan
Implementasi
Managemen
Pertahanan
dan Keamanan Negara”, diakses dari
h t t p : / / w w w. d e p h a n . g o . i d / m o d u l e s .
php?name=Sections&op=viewarticle&artid=55,
pada tanggal 2 Juni 2007, pukul 19.20.
13
Andi Widjajanto, MSc.,MS., Reformasi
Sektor Keamanan Indonesia, (Jakarta:
Propatria, 2004), hlm. 16.
Krisdantoro
Desian,
“Reformasi
Pertahanan
dan
Kapabilitas
Pertahanan
Negara
yang
Murah
Meriah”,
diakses
dari
http://www.dephan.go.id/modules.
14
Ibid., hlm. 18.
15
Ibid., hlm. 35.
php?name=Sections&op=viewarticle&artid=69,
pada tanggal 2 Juni 2007, pukul 19.00.
16
7
Yandri K. Kasim, Dinamika Lingkungan
Strategis,
Analisa
Ancaman,
dan
(Alternatif) Strategi Pertahanan Indonesia,
bahan mata kuliah Pengkajian Strategik di
jurusan Hubungan Internasional FISIP UI.
8
Prof. DR. D. Sidik Suraputra, SH.,
Hukum
Internasional
dan
Berbagai
Permasalahannya
[Suatu
Kumpulan
Karangan], (Jakarta: Diadit Media, 2006),
hlm. 151.
17
Makarim
Wibisono,
Tantangan
Diplomasi Multilateral, (Jakarta: LP3ES,
2006), hlm. 274-276.
18
“TNI Pasca Ambalat”, diakses dari
http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view.
asp?op_id=333&id=46&tab=0, pada tanggal 2
Juni 2007, pukul 19.05.
19
9
DR. A. A Banyu Perwita dan DR. Yanyan
Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2005), hlm. 121.
10
“Ringkasan Eksekutif Buku Putih
Dephan”, diakses dari http://www.dephan.
go.id/buku_putih/ringkasan.htm, pada tanggal
2 Juni 2007, pukul 19.15.
“Studi
Perbandingan
Keamanan
Nasional Studi Kasus: Malaysia, Inggris,
Australia, Israel, Amerika Serikat, dan
India”, Dari bahan seminar Mencari Bentuk
Denny J.A, Visi Indonesia Baru Setelah
Reformasi 1998, (Yogyakarta: LKIS, 2006),
hlm. 66-67.
20
“TNI Pasca Ambalat”, Ibid.
21
Ringkasan Eksekutif
Dephan”, Loc.Cit.
22
Buku
Putih
“Menhan RI: Tidak Benar jika DCA
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016
79
Kompensasi Perjanjian Ekstradisi”, diakses
dari http://www.dmcindonesia.web.id/berita.
php?id=247, pada tanggal 2 Juni 2007, pukul
19.25.
23
Yandry K. Kasim, Op.Cit.
24
Andi Widjajanto, Op.Cit, hlm. 99.
25
Kemampuan
pertahanan
militer
(military defense capability) adalah
penguatan kekuatan militer yang dilakukan
negara di masa damai, sebagai suatu
konsekuensi dari cara berpikir self defense,
untuk mengatasi ancaman serangan dari
negara lain. Lihat Hikamahanto Juwana,
“Restrictions Under International Law to
Build Up Military Defense Capability”,
Global: Jurnal Politik Internasional Vol.6
No 1 November 2003 Indonesia Pasca IMF?,
(Depok: Departemen HI FISIP UI, 2003),
hlm. 70.
26
Wawancara penulis dengan Menteri
Pertahanan RI, Juwono Sudarsono dalam
kunjungan ke Departemen Pertahanan RI,
tanggal 6 Maret 2007.
27
“Pendekatan
Integratif
untuk
Keamanan Nasional Indonesia” bahan
seminar Mencari Bentuk Sistem Keamanan
Nasional
Indonesia:
Komparasi
dan
Rekomendasi, yang diselenggarakan Pacivis
UI, pada tanggal 29 Mei 2007.
80
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 26 | Juni 2016