MAKALAH PSIKOLOGI DEWASA
EXPERIENTIAL LEARNING
Disusun Oleh:
Angga Adi Saputra
(6020210092)
Balqis Nashita
(6020210095)
Cindy Febriani Thalia
(6020210107)
Farah Libraty Syahnaz
(6020210133)
Muhamad
(6020210100)
Radisty Sabila Noveira
(6020210129)
Siti Yulita Nurhalizah
(6020210102)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2022
A.Latar Belakang
Pada saat Pandemi Covid-19 ditemukan bahwa terdapat 88,5% mahasiswa yang merasa
bosan belajar di rumah dan hanya ada 11,5% mahasiswa yang tidak merasa bosan. Ada beberapa
alasan yang membuat mahasiswa merasa bosan belajar di rumah. 58,8% merasa bosan karena tidak
bertemu dengan teman, 20,3% merasa bosan karena tidak dapat mengikuti kegiatan mahasiswa,
dan 14.5% diantaranya bosan karena tidak dapat nongkrong (Kumparan, 2020).
Kebosanan yang dialami oleh mahasiswa jelas akan berkorelasi dengan hal-hal negatif
lainnya. Salah satunya adalah pencapaian akademik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sainio
et al. pada tahun 2021, mereka menemukan bahwa kebosanan (sebagai bagian dari variabel
academic emotions) berkorelasi secara negatif dengan academic achievement. Artinya, semakin
tinggi kebosanan yang mahasiswa rasakan, semakin rendah pencapaian akademik yang
didapatkan.
Salah satu cara yang dapat mengurangi kebosanan adalah dengan mengubah cara belajar.
Lazimnya, proses belajar di perguruan tinggi lebih banyak mengharuskan mahasiswa untuk
mendengarkan apa yang dosen jelaskan. Cara belajar ini cukup membosankan terlebih jika materi
yang diberikan tidak diminati oleh mahasiswa itu sendiri. Maka dari itu, perlu adanya perubahan
cara belajar dengan menerapkan experiential learning.
Experiential learning adalah proses pendalaman makna yang melibatkan pengalaman
signifikan untuk memvariasikan derajat, bertindak sebagai sumber belajar. Pada proses belajar ini,
kita diminta belajar sambil melakukan. Lalu, kita juga dapat mempelajari pengalaman yang kita
dapat dari proses belajar sambil melakukan tersebut. Pembelajaran ini sangat menarik untuk
dilakukan.
B. Definisi Experiential Learning
Proses pendalaman makna yang melibatkan pengalaman signifikan untuk memvariasikan
derajat, bertindak sebagai sumber belajar. Pengalaman-pengalaman ini secara aktif membenamkan
dan secara reflektif melibatkan dunia batin pelajar, sebagai pribadi yang utuh (termasuk fisiktubuh, intelektual, emosional dan spiritual) dengan rumitnya 'dunia luar' dari lingkungan belajar
(termasuk memiliki dan melakukan – dalam tempat, ruang, dalam konteks sosial, budaya, politik
dll) untuk menciptakan pengalaman yang kaya dan efektif untuk dan pembelajaran (Beard, 2010
dalam Beard & Wilson, 2013). Kesimpulan dari definisi tersebut experiential learning adalah
proses belajar melalui pengalaman.
C. Teori Experiential Learning
Experiential learning adalah sebuah model holistik dari proses pembelajaran di mana
manusia belajar, tumbuh dan berkembang. Penyebutan istilah experiential learning dilakukan
untuk menekankan bahwa experience (pengalaman) berperan penting dalam proses pembelajaran
dan membedakannya dari teori pembelajaran lainnya seperti teori pembelajaran kognitif maupun
behaviorisme (Kolb dalam Dannur, 2017). Experiential Learning memiliki makna yang berbedabeda, namun mengacu kepada satu pemikiran. Menurut Association for Experiential Education
(AEE), experiential learning merupakan falsafah dan metodologi dimana pendidik terlibat
langsung dalam memotivasi peserta didik dan refleksi difokuskan untuk meningkatkan
pengetahuan, mengembangkan keterampilan. Experiential learning mendorong siswa dalam
aktivitasnya untuk berpikir lebih banyak, mengeksplor, bertanya, membuat keputusan, dan
menerapkan apa yang telah mereka pelajari (Dannur, 2017).
Pembelajaran dengan model Experiential learning mulai diperkenalkan pada tahun 1984
oleh David Kolb dalam bukunya yang berjudul “Experiential Learning, experience as the source
of learning and development”. Experiential learning mendefinisikan belajar sebagai proses
bagaimana pengetahuan diciptakan melalui perubahan bentuk pengalaman. Pengetahuan
diakibatkan oleh kombinasi pemahaman dan mentransformasikan pengalaman (Kolb dalam
Dannur, 2017). Gagasan tersebut akhirnya berdampak sangat luas pada perancangan dan
pengembangan model pembelajaran seumur hidup (lifelong learning models) (Dannur, 2017).
Pada perkembangannya saat ini, menjamurlah lembaga-lembaga pelatihan dan pendidikan yang
menggunakan experiential learning sebagai metode utama pembelajaran bahkan sampai pada
kurikulum pokoknya.
Ditinjau dari media belajarnya, experiential learning itu adalah proses belajar, proses
perubahan yang menggunakan pengalaman sebagai media belajar atau pembelajaran yang
berfokus pada proses pembelajaran untuk masing-masing individu. Experiential learning adalah
suatu pendekatan yang dipusatkan pada siswa yang dimulai dengan landasan pemikiran bahwa
orang-orang belajar terbaik itu dari pengalaman (Dannur, 2017). Dan untuk pengalaman belajar
yang akan benar-benar efektif, harus menggunakan seluruh roda belajar, dari pengaturan tujuan,
melakukan observasi dan eksperimen, memeriksa ulang, dan perencanaan tindakan. Apabila
proses ini telah dilalui memungkinkan siswa untuk belajar keterampilan baru, sikap baru atau
bahkan cara berpikir baru.
Jadi kesimpulannya, experiential learning adalah suatu bentuk kesengajaan yang tidak
disengaja (unconscious awareness). Contohnya, ketika siswa dihadapkan pada game Spider Web
atau jaring laba-laba. Tugas kelompok adalah menyeberang jaring yang lubangnya pas dengan
badan, namun tidak ada satu orangpun yang boleh menyentuh jaring tersebut. Tugas yang
diberikan tidak akan berhasil dilakukan secara individual karena sudah diciptakan untuk
dikerjakan bersama. Untuk mencapai kerjasama yang baik, pasti akan timbul yang namanya
komunikasi antaranggota kelompok. Lalu munculah secara alami orang yang yang berpotensi
menjadi seorang inisiator, leader, komunikator, ataupun karakter karakter lainnya. Dari sanalah
kemudian pengalaman dalam pembelajaran membentuk sebuah upaya terciptanya harmonisasi
karena setiap individu telah melewati pengalamannya masing-masing.
D. Prinsip & Metode
Experiential learning merupakan model pembelajaran yang holistik. Disebut holistik
karena memperhatikan aspek-aspek yang dipandang penting dalam sebuah pembelajaran yaitu
afektif, kognitif dan emosi. Pada dasarnya, prinsip dari Experiential learning adalah metode
pembelajaran yang fokus dan berpusat pada pengalaman yang akan dialami dan dipelajari sendiri
oleh peserta didik, mereka aktif terlibat dalam pengalaman yang ada, lalu mereka akan membuat
sebuah keputusan, dan menerima konsekuensi atas keputusan yang mereka buat. Dengan begitu,
mereka pun akan mengonstruksikan sendiri seluruh pengalaman yang mereka alami menjadi suatu
pengetahuan.
Selain prinsip dasar tersebut, berikut penjelasan dari prinsip-prinsip lainnya menurut
Baharudin dan Esa Nur Wahyuni (2007):
1. Experiential learning yang efektif akan mempengaruhi berpikir siswa, sikap dan nilai-nilai,
persepsi, dan perilaku siswa. Misalnya, belajar tentang berbuat baik kepada orang tua.
Seorang pelajar harus mengembangkan sebuah konsep tentang apakah berbuat baik
kepada orang tua, bagaimana sikap yang baik kepada orang tua, dan bagaimana
mewujudkan sikap baik kepada orang tua dalam bentuk perilaku.
2. Siswa lebih mempercayai pengetahuan yang mereka temukan sendiri daripada
pengetahuan yang diberikan oleh orang lain.Pendekatan belajar yang didasarkan pada
pencarian (inquiry) dan penemuan (discovery) dapat meningkatkan motivasi siswa untuk
belajar dan komitmen mereka untuk mengimplementasikan penemuan tersebut pada masa
yang akan datang.
3. Belajar akan lebih efektif bila kegiatannya merupakan sebuah proses yang aktif. Pada saat
siswa mempelajari sebuah teori, konsep atau mempraktekkan dan mencobanya, maka
siswa akan memahami lebih sempurna. Banyak konsep-konsep ataupun teori-teori yang
pada dasarnya akan sangat sulit untuk dipahami, jika dalam pembelajaran tersebut siswa
tidak dipaparkan pada pengalaman untuk mengintegrasikan konsep tersebut. Dan jika
sudah diintegrasikan, muatan yang masuk dari keseluruhan pembelajarannya pun akan
bertahan lebih lama di ingatan.
4. Perubahan hendaknya tidak terpisah-pisah antara kognitif, afektif, dan perilaku, tetapi
secara holistik. Ketiga elemen tersebut merupakan sebuah sistem dalam proses belajar
yang saling berkaitan satu sama lain, teratur, dan sederhana. Mengubah salah satu dari
ketiga elemen tersebut menyebabkan hasil belajar tidak efektif.
5. Experiential learning lebih dari sekedar memberi informasi untuk pengubahan kognitif,
afektif, maupun perilaku. Mengajarkan siswa untuk dapat berubah tidak berarti bahwa
mereka mau berubah. Memberikan alasan mengapa harus berubah tidak cukup
memotivasi siswa untuk berubah. Membaca sebuah buku atau mendengarkan penjelasan
guru tidak cukup untuk menghasilkan penguasaan dan perhatian pada materi, tidak cukup
mengubah sikap dan mengingatkan keterampilan sosial. Experiential learning merupakan
proses belajar yang menambahkan minat belajar pada siswa terutama untuk melakukan
perubahan yang diinginkan.
6. Pengubahan persepsi tentang diri sendiri dan lingkungan sangat diperlukan sebelum
melakukan pengubahan pada kognitif, afektif, dan perilaku. Tingkah laku, sikap dan cara
berpikir seseorang ditentukan oleh persepsi mereka. Persepsi seorang siswa tentang
dirinya dan lingkungan di sekitarnya akan mempengaruhinya dalam berperilaku,
berpikiran, dan merasakan.
7. Perubahan perilaku tidak akan bermakna bila kognitif dan afektifnya itu sendiri tidak
berubah.
Keterampilan-keterampilan
baru
mungkin
dapat
dikuasai
atau
dipraktikkan,tetapi tanpa melakukan perubahan atau belajar terus menerusmaka
keterampilan-keterampilan tersebut akan menjadi luntur atau hilang.
Metode experiential learning sendiri kerap kali dipilih sebagai salah satu metode belajar
yang paling efektif, karena metode experiential learning memungkinkan para peserta didik untuk
belajar dengan memenuhi seluruh aspek penting dalam proses pembelajaran, yakni kognitif,
afektif, dan emosi. Terpenuhinya seluruh aspek penting dalam proses pembelajaran ini kemudian
dapat membuat pemahaman yang lebih mendalam bagi para peserta didik. Proses belajar yang
dapat dilakukan guna memaksimalkan peran dari aspek kognitif, afektif, dan emosi adalah sebagai
berikut:
1. Metode kasus (case method). Metode kasus adalah jenis pembelajaran yang mendiskusikan
suatu kasus yang nyata, atau kasus yang sudah direkontruksi yang mempunyai prinsipprinsip tertentu akan suatu masalah. Namun apapun jenis kasusnya, pemecahan masalah
pada kasus tersebut terdiri dari berbagai alternatif pendekatan maupun tindakan.
2. Pembelajaran berdasarkan masalah (problem-based learning). Problem based learning
adalah suatu jenis pembelajaran yang dilatar belakangi bahwa manusia sebagai makhluk
hidup yang berevolusi selalu mempunyai masalah utuk diselesaikan. Masalah yang harus
diselesaikan tersebut tentunya membutuhkan semua pengetahuan sebagai referensi dalam
proses penyelesaiannya.
3. Permainan, simulasi, dan bermain peran (games, simulation, and role playing) Ketiga
aktivitas ini adalah jenis aktivitas yang memfasilitasi hal-hal yang menyenangkan bagi
pembelajar. Kelebihan dari strategi ini adalah meningkatkan partisipati siswa, dan dapat
menerapkan pembelajaran pada situasi yang lain.
E. Tahapan
Prosedur pembelajaran dalam experiential learning terdiri dari 4 tahapan (Kolb, 1984
dalam Sagitarini dkk, 2020) yaitu:
a. Tahapan pengalaman nyata.
Pertama, pengalaman konkret. Pada tahap ini pembelajar disediakan stimulus yang mendorong
mereka melakukan sebuah aktivitas. Aktivitas ini bisa berangkat dari suatu pengalaman yang
pernah dialami sebelumnya baik formal maupun informal maupun situasi yang realistic. Aktivitas
yang disediakan bisa didalam maupun diluar kelas dan dikerjakan oleh pribadi ataupun kelompok.
b. Tahapan observasi refleksi.
Kedua, refleksi observasi. Pada tahap ini pembelajar mengamati pengalaman dari aktivitas yang
dilakukan dengan menggunakan panca indra atau dengan bantuan alat peraga. Selanjutnya
pembelajar merefleksikan pengalamannya dan dari hasil refleksi ini mereka menarik pelajaran.
Dalam hal ini proses refleksi akan terjadi bila guru mampu mendorong murid untuk
mendeskripsikan kembali pengalaman yang diperolehnya, mengomunikasikan kembali dan belajar
dari pengalaman tersebut.
c. Tahapan Konseptualisasi
Ketiga, penyusunan konsep abstrak. Setelah melakukan observasi dan refleksi, maka dalam tahap
pembentukan konsep pembelajar mulai mengonseptualisasi suatu teori atau model dari
pengalaman yang diperoleh dan mengintegrasikan dengan pengalaman sebelumnya. Pada fase ini
dapat ditentukan apakah terjadi pemahaman baru atau proses belajar pada diri pembelajar atau
tidak. Jika terjadi proses belajar, maka 1) pembelajar akan mampu mengungkapkan atau
mendeskripsikan pengalaman tersebut; 2) pembelajaran menggunakan teori yang ada untuk
menarik kesimpulan terhadap pengalaman yang diperoleh; 3) pembelajar mampu menerapkan
teori yang terabstraksi untuk menjelaskan pengalaman tersebut.
d. Tahapan Implementasi
Keempat, active experimentation atau aplikasi. Pada tahap ini, pembelajar mencoba merencanakan
bagaimana menguji keampuhan model atau teori untuk menjelaskan pengalaman baru yang akan
diperoleh selanjutnya.Pada tahap aplikasi akan terjadi proses bermakna karena pengalaman yang
diperoleh pembelajar sebelumnya dapat diterapkan pada pengalaman atau situasi problematika
yang baru. Setiap individu memiliki keunikan sendiri dan tidak pernah ada dua orang yang
memiliki pengalaman hidup yang sama persis. Dua anak yang tumbuh dalam lingkungan yang
sama dan mendapatkan perlakuan yang sama, belum tentu akan memiliki pemahaman, pemikiran
dan pandangan yang sama terhadap dunia sekitarnya. Masing-masing memiliki cara pandang
sendiri terhadap setiap peristiwa yang dilihat dan dialaminya cara pandang tersebut yang disebut
sebagai gaya belajar.
F. Implementasi
Salah satu penerapan Experiential learning pada orang dewasa adalah metode
pembelajaran KKN yang diterapkan pada mahasiswa. KKN memiliki kepanjangan Kuliah Kerja
Nyata yang merupakan Program pembelajaran yang diberikan kepada Mahasiswa tingkat akhir.
KKN sendiri bertujuan untuk melatih mahasiswa menerapkan kemampuan yang dimiliki yang
dapat diterapkan pada kehidupan masyarakat sehingga pada akhir program tersebut mahasiswa
mendapatkan pengalaman faktual yang dapat digunakan sebagai pengembangan diri. KKN dapat
dikatakan sebagai experiential learning bagi pendidikan orang dewasa karena pada proses program
KKN ini didalamnya terdapat tahapan pembelajaran dalam experiential learning yang akan
dijalankan oleh mahasiswa. Sesuai dengan pengertiannya, KKN merupakan laboratorium
pembelajaran kehidupan mahasiswa di tengah tengah masyarakat.
Pada Program KKN mahasiswa akan diminta membentuk suatu program yang dapat di terapkan
di kehidupan masyarakat yaitu:
•
Pertama, melihat permasalahan atau fenomena yang berada di masyarakat.
•
Lalu melakukan observasi secara langsung kemudian disesuaikan dengan pembelajaran
yang telah dilakukan.
•
Kemudian mahasiswa akan menyusun konsep program yang akan diterapkan konsep
tersebut dapat diambil dari observasi atau program sebelumnya.
•
Dan yang terakhir ada implementasi dari program KKN yang telah disusun pada tahap ini
mahasiswa mencoba merencanakan bagaimana menguji keampuhan model atau teori untuk
menjelaskan pengalaman baru yang akan diperoleh selanjutnya.
G. Saran & Rekomendasi agar Berjalan Efektif
Dalam membuat pembelajaran ini semakin efektif maka harus melihat aspek gaya belajar
yang mungkin setiap orang memiliki perbedaan. Kolb mengenalkan empat gaya belajar yang
sesuai dengan tahapan- tahapan dalam siklus belajar experiential learning sebagai berikut:
A.
Assimilator, (AC/RO), kombinasi dari berfikir dan mengamati (thinking and watching).
Orang pada tipe assimilator memiliki kelebihan dalam memahami berbagai sajian informasi serta
merangkumnya ke dalam suatu format yang logis, singkat, dan jelas. Biasanya anak tipe ini kurang
perhatian kepada orang lain dan lebih menyukai ide serta konsep yang abstrak.
B.
Converger,(AC/AE). Kombinasi dari berpikir dan berbuat (thinking and doing). Orang
dengan tipe converger unggul dalam menemukan fungsi praktis dari berbagai ide dan teori.
Bisanya mereka punya kemampuan yang lebih baik dalam pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan. Mereka juga cenderung lebi menyukai tugas-tugas teknis (aplikatif) dari pada masalah
soaial atau hubungan antar pribadi.
C.
Accommodator, (CE/AE). Kombinasi dari perasaan dan tindakan (feeling and doing).
Orang dengan tipe accommodator memiliki kemampuan belajar yang baik dari hasil pengalaman
nyata yang dilakukan sendiri. Mereka suka membuat rencana dan melibatkan dirinya dalam
berbagai pengalaman baru dan menantang. Mereka cenderung bertindak berdasarkan analisis
logis. Dalam usaha memecahkan masalah, mereka biasanya mempertimbangkan faktor
manusia(untuk mendapatkan masukan/informasi) disbanding analisis teknis.
D.
Diverger, (CE/RO). Kombinasi dari perasaan dan pengamatan (feeling and watching).
Orang dengan tipe diverger unggul dalam melihat situasi konkret dari banyak sudut pandang yang
berbeda. Pendekatannya pada setiap situasi adalah “mengamati” dan bukan “bertindak”. Orang
seperti ini menyukai tugas belajar yang menuntunnya untuk menghasilkan ide-ide, biasanya juga
menyukai isu budaya serta suka sekali mengumpulkan berbagai informasi.
Hamalik (2011), mengungkapkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam model
pembelajaran experiential learning adalah sebagai berikut:
A.
Pendidik merumuskan secara seksama suatu rencana pengalaman belajar yang bersifat
terbuka (open minded) yang meiliki hasil- hasil tertentu.
B.
Pendidik harus bisa memberikan rangsangan dan motivasi.
C.
Seseorang dapat bekerja secara individual atau bekerja dalam kelompok-kelompok
kecil/keseluruhan kelompok didalam belajar berdasarkan pengalaman.
D.
Para orang dewasa ditempatkan pada situasi-situasi nyata, maksudnya mereka akan mampu
memecahkan masalah dan bukan dalam situasi pengganti.
E.
Seseorang akan aktif berpartisipasi di dalam pengalaman yang tersedia, membuat
keputusan sendiri, menerima konsekuensi berdasarkan keputusan tersebut.
F.
Keseluruhan kelas menceritakan kembali tetang apa yang dialami sehubungan dengan mata
kuliah tersebut untuk memperluas pengalaman belajar dan pemahaman siswa dalam melaksanakan
pertemuan yang nantinya akan membahas bermacam-macam pengalaman.
Referensi
Beard, C & Wilson, P.J. (2013). Experiential Learning: A Handbook for Education, Training and
Coaching. Publisher: Kogan Page.
Dannur, M. (2017). Teori Adult Learning, Experiential Learning Cycle dan Perubahan
Performance Individu dalam Pendidikan dan Pelatihan. Fikrotuna, 5(1).
https://doi.org/10.32806/jf.v5i1.2953
Hamalik, O., (2011), Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
Purnami, R. S., & Rohayati, R. (2016). Implementasi Metode Experiential Learning Dalam
Pengembangan Softskill Mahasiswa Yang Menunjang Integrasi Teknologi, Manajemen Dan
Bisnis. Jurnal Penelitian Pendidikan, 13(1). https://doi.org/10.17509/jpp.v13i1.3511
Sagitarini, Ardana, & Asri. (2020). Model Experiential Learning Berbantuan Media Konkret
Berpengaruh Terhadap Kompetensi Pengetahuan Ipa. Jurnal Imiah Pendidikan dan
Pembelajaran. https://doi.org/10.23887/jipp.v4i2.26432
PPT