Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Keamanan Komprehensif

2014

G10B.765 KEAMANAN GLOBAL 2 KEAMANAN KOMPREHENSIF Kontributor: Annisa Rizki Aulia 170210110017 Claudia Henyka 170210110073 Denisa Ruvianty 170210110051 Devita Eka Sari 170210110043 Greaty Fitraharani 170210110085 Ika Fitriyana Kusumaningrum 170210110061 Jessica Krisheilla Martua 170210110120 Maleakhi Misael Sutanto 170210110075 Ravio Patra (Editor) 170210110019 Shinta Permata Sari 170210110111 Swittri Dewi Tambun 170210110025 Viddy M. Naufal Ranawijaya 170210110131 PROGRAM SARJANA HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PADJADJARAN OKTOBER 2014 ABSTRAK Dari masa ke masa, kebutuhan akan rasa aman menjadi determinan yang krusial bagi manusia dalam membuat keputusan, termasuk dalam ranah politik. Kebutuhan akan rasa aman ini terkadang membuat manusia melakukan berbagai hal yang destruktif dan egois, seperti memulai konflik dan perang. Di masa lalu, keamanan terbatas hanya pada sekadar isu-isu militer. Akan tetapi, dinamika peradaban manusia telah mengubah persepsi terhadap keamanan. Setidaknya dalam 20 tahun terakhir, diskursus keamanan dihiasi oleh perdebatan mengenai kebutuhan akan keamanan yang lebih inklusif dengan tujuan menciptakan rasa aman yang sebenarnya. Konsep keamanan komprehensif adalah salah satu jawaban yang memberikan wadah bagi kebutuhan ini. Suatu keamanan yang komprehensif digambarkan sebagai rasa aman yang, di samping memberikan rasa aman berkat adanya kapasitas militer, juga menghiraukan rasa aman secara ekonomi (economic security), lingkungan (environmental security), energi (energy security), dan rasa aman bagi manusia secara alamiah (human security). Meskipun konsep keamanan komprehensif tidak terbatas hanya pada empat jenis ini, tulisan berikut mencoba menyediakan pemahaman yang holistik dan terfokus pada keempatnya saja tanpa maksud mengesampingkan varian keamanan lainnya. Kata kunci: sekuritisasi, keamanan komprehensif, keamanan ekonomi, keamanan lingkungan, keamanan energi, keamanan manusia. i DAFTAR ISI ABSTRAK .......................................................................................................................... i DAFTAR ISI .....................................................................................................................ii DAFTAR TABEL ............................................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... v DAFTAR SINGKATAN .................................................................................................. vi BAB I – LATAR BELAKANG 1.1 Studi Keamanan dalam Hubungan Internasional ............................................. 1 1.2 Perkembangan Studi Keamanan dalam Hubungan Internasional ............. 1 1.2.1 Perang Dunia I ........................................................................................................ 2 1.2.2 Perang Dunia II ...................................................................................................... 2 1.2.3 Perang Dingin ......................................................................................................... 3 1.2.4 Pasca-Perang Dingin ............................................................................................ 3 1.2.5 Globalisasi dan Perang terhadap Teror........................................................ 4 1.3 Kebutuhan akan Keamanan Komprehensif ........................................................... 4 BAB II – INTERPRETASI DAN ANALISIS 2.1 Mengenal Keamanan Komprehensif ..................................................................... 6 2.2 Sekuritisasi dan Keamanan Komprehensif ........................................................ 8 2.2.1 Tingkatan Analisis Sekuritisasi Berdasarkan Sektor .............................. 8 2.2.2 Ilustrasi Analisis Sekuritisasi (Studi Kasus: Prancis) ........................... 10 2.3 Keamanan Manusia .................................................................................................... 12 2.4 Keamanan Ekonomi ................................................................................................... 15 2.5 Keamanan Lingkungan ............................................................................................. 17 2.6 Keamanan Energi ........................................................................................................ 18 2.6.1 Sekuritisasi Energi.............................................................................................. 19 2.6.2 Bertahan dengan Bahan Bakar Fosil ........................................................... 24 2.6.3 Mencapai Keamanan Energi Berbasis Bahan Bakar Fosil ................... 25 ii 2.7 Keamanan Komprehensif di Asia-Pasifik........................................................... 27 2.7.1 Keamanan Manusia ............................................................................................ 27 2.7.2 Keamanan Ekonomi ........................................................................................... 29 2.7.3 Keamanan Lingkungan ..................................................................................... 32 2.8 Keamanan Komprehensif di Eropa ..........................................................................37 2.8.1 Keamanan Komprehensif yang Kooperatif ............................................... 38 2.8.2 Upaya OSCE dalam Mewujudkan Keamanan Komprehensif ............. 39 KESIMPULAN .............................................................................................................. 41 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 44 iii DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tingkatan Analisis Sekuritisasi Berdasarkan Sektor .............................. 8 iv DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Prancis dalam Analisis Sekuritisasi di Tiga Tingkatan .................... 10 v DAFTAR SINGKATAN AS : Amerika Serikat CIA : Central Intelligence Agency CSCAP : Council for Security Cooperation in Asia-Pacific DoD : Department of Defense DoE : Department of Energy FoM : Representative on Freedom of the Media (OSCE) GDP : Gross Domestic Product HAM : Hak Asasi Manusia HCNM : High Commissioner on National Minorities (OSCE) HDR : Human Development Report HI : Hubungan Internasional IMF : International Monetary Fund IS : Islamic State (sebelumnya ISIS) ISIS : Islamic State of Iraq and Syria JI : Jamaah Islamiyah LBB : Liga Bangsa-Bangsa LoN : League of Nations NEPDG : National Energy Policy Development Group ODHR : Office for Democratic Institution and Human Rights (OSCE) OSCE : Organization for Security and Co-operation in Europe PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa PDB : Produk Domestik Bruto SARS : Severe Acute Respiratory Syndrome TOC : Transnational Organized Crime UN : United Nations UNDP : United Nations Development Programme UNEP : United Nations Environmental Programme UNESCO : United Nations Educational, Scientific, Cultural Organization US : United States (of America) vi 1 BAB I LATAR BELAKANG 1.1 Studi Keamanan dalam Hubungan Internasional Perjalanan waktu telah mengubah wajah dan dinamika dari disiplin ilmu Hubungan Internasional. Upaya untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman yang coba diwujudkan melalui kerja sama antarnegara di bawah panji organisasi internasional—seperti Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations), sebelum dilanjutkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations)— ternyata belum dapat memberikan jawaban yang konklusif terhadap perdebatan berkepanjangan mengenai konsep dan makna universal dari kemanan. Studi dan masalah keamanan, yang selama ini selalu gagal mencapai konsensus, dianggap sebagai studi yang sekadar menghiraukan pertentangan antara perdamaian (peace) dan peperangan (war); suatu persepsi yang begitu sempit dan eksklusif. Oleh karena itulah, kemudian, para akademisi Hubungan Internasional mengembangkan konsep keamanan baru yang dipercaya lebih inklusif dan dinamis dalam kerangka suatu konsep yang dinamai keamanan komprehensif (comprehensive security) 1.2 Perkembangan Studi Keamanan dalam Hubungan Internasional Semenjak pertama kali dipelajari secara formal sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen di Wales-Aberystwyth University pada tahun 1919, studi Hubungan Internasional terus berupaya memberikan pemahaman yang holistik dan dinamis terkait hubungan antarnegara dalam sistem internasional dengan cara mengembangkan hirauannya. Studi keamanan adalah salah satu hirauan yang paling kencang diperdebatakan dari waktu ke waktu oleh para intelektual Hubungan Internasional. Berbagai peristiwa besar dan bersejarah bagi peradaban manusia yang terjadi sebelum dan sesudah dimulainya studi Hubungan Internasional memiliki pengaruh krusial dalam mengubah Universitas Padjadjaran © 2014 dan mengembangkan 2 konseptualisasi diskursus studi keamanan dari yang bersifat tradisional (militeristik) hingga kini mulai mengenali hirauan nontradisional. Menurut Otmar Höll (2011), beberapa peristiwa penting dan bersejarah yang berpengaruh terhadap perkembangan studi keamanan tersebut di antaranya adalah Perang Dunia I, Perang Dunia II, Perang Dingin, serta Globalisasi dan Perang terhadap Teror. 1.2.1 Perang Dunia I Pada masa Perang Dunia I, perang umumnya dipicu oleh perebutan kekuasaan teritori antarnegara maupun antarkerajaan yang diyakini bermula di daratan Eropa. Persepsi pada masa itu adalah bahwa dengan menguasai wilayah yang besar, melalui ekspansi, maka penguasa dapat memperluas kedaulatannya dan menguasai segala bentuk sumber daya yang ada di dalam wilayah tersebut. Dari pemahaman ini, dapat disimpulkan bahwa asumsi terhadap konsep keamanan didominasi oleh kekuasaan dalam artian tradisional seputar geopolitik dan politik kekuasaan (power politics). 1.2.2 Perang Dunia II Pada masa Perang Dunia II, negara-negara mulai menghiraukan kebutuhan untuk memperkuat pertahanan negara melalui penguatan kemampuan militer. Bukan hanya untuk memperluas kekuasaan, namun juga untuk menghalau serangan dari luar (defensif). Salah satu negara yang gencar mengembangkan kapasitas militernya pada masa itu adalah Jepang. Dari peristiwa Perang Dunia II, dapat ditarik kesimpulan bahwa studi keamanan telah berkembang hirauannya dari sekadar politik kekuasaan dan geopolitik kepada penguatan kemanan dan ketahanan nasional untuk menangkal (defensif) dan melawan (ofensif) ancaman dari luar yang ditimbulkan oleh pihak-pihak berbahaya. Universitas Padjadjaran © 2014 3 1.2.3 Perang Dingin Kemerdekaan banyak negara pasca-Perang Dunia II menimbulkan dampak yang masif terhadap konstelasi perpolitikan dunia. Begitu pula halnya dengan studi keamanan yang mengalami pergeseran fokus; dari asumsi keamanan tradisional pada keamanan nontradisional. Hal ini ditandai oleh mulai hiraunya para penstudi keamanan akan pentingnya keamanan ekonomi dan lingkungan. Kesadaran ini dipicu pula oleh pemahaman utama yang bergeser dari sekadar menciptakan perdamaian (to make peace) pada menciptakan keamanan (to make secure). Pergeseran ini dilatarbelakangi oleh oleh kemunculan krisis ekonomi yang berdampak pada kemakmuran dan degradasi lingkungan yang disebabkan oleh masifnya industrialisasi. 1.2.4 Pasca-Perang Dingin Setelah berakhirnya Perang Dingin, keamanan tidak lagi dianggap sebagai sebuah konsep yang sekadar membahas kemampuan militer untuk menghadapi ancaman dari serangan, namun mulai merambah pada pembahasan akan pentingnya keamanan masyarakat dan manusia (societal and human security). Runtuhnya Uni Soviet menyebabkan berakhirnya bipolaritas politik dunia. Penasbihan Amerika Serikat sebagai hegemon tunggal ternyata tidak berlangsung lama akibat bermunculannya anggapan bahwa Amerika Serikat tidak bisa menyelesaikan berbagai permasalahan keamanan global. Pada dekade 1990-an, walau konflik antarnegara dianggap telah hilang, muncul banyak isu baru mengenai konflik di dalam negara (intrastate conflict) seperti konflik antaretnis dan antaragama; di samping berbagai perang saudara memperebutkan kekuasaan atas negara. Selain itu, berbagai macam krisis yang bermunculan juga menambah beban secara transnasional. Di dalamnya termasuk masalah seputar arus pengungsi (refugee), pemerintahan yang buruk (malgovernance), kejatuhan ekonomi, degradasi lingkungan, serta penjaminan terhadap kebebasan dan rasa aman. Universitas Padjadjaran © 2014 4 1.2.5 Globalisasi dan Perang terhadap Teror Globalisasi merupakan salah satu pemicu utama yang banyak berkontribusi dalam perubahan dinamika keamanan global. Fenomena ini menjadi hirauan yang amat sangat penting berkat munculnya kesadaran peradaban timur untuk mau dengan sendirinya ikut menuju tatanan dunia baru (new world order) selagi peradaban barat, yang selama ini selalu diposisikan sebagai superior, harus siap menghadapi keberagaman (heterogenitas) dan kerumitan (kompleksitas) kebangkitan dunia timur. Di samping itu, globalisasi menjadi katalis bagi industrialisasi dan percepatan penyebaran efeknya melalui sistem ekonomi yang semakin condong pada kapitalisme global. Hal ini menciptakan interdependensi yang belum pernah ada sebelumnya antarnegara (unprecedented phenomenon). Masalah-masalah seperti emisi polusi udara dan tanah, perubahan iklim, perang asimetris, terorisme, kejahatan terorganisir, serta migrasi ilegal yang selalu menuntut kerja sama internasional pun mulai bermunculan dalam skala yang mengkhawatirkan. Salah satu fokus utama dalam beberapa dekade terakhir adalah masalah terorisme yang, terutama pascaberakhirnya Perang Dingin, semakin terasa keberadaannya sehingga menuntut negara untuk meningkatkan kapabilitas militernya. Kampanye perang terhadap teror (war on terror) yang diprakarsai oleh Amerika Serikat pascatragedi 11 September 2001 telah mengubah wajah studi keamanan global secara permanen. Upaya ini ditunjang oleh kerja sama militer di tingkat kawasan dengan tujuan menekan potensi regenerasi di dalam tubuh kelompok-kelompok teroris, terutama di daerah dengan banyak penduduk tidak sejahtera yang lebih rentan direkrut oleh kelompok teroris. 1.3 Kebutuhan akan Keamanan Komprehensif Transformasi studi keamanan secara jelas terlihat pada Perang Dunia I, dengan fokus pada kekuasaan wilayah, dan Perang Dunia II, di mana konsep keamananan ditekankan pada pertahanan dan keamanan nasional negara, namun hal ini tidak mengurangi fokus kemanan militer sebelumnya untuk Universitas Padjadjaran © 2014 5 menguasai dan memperluas wilayah. Masa Perang Dingin, sementara itu, menambah cakupan isu keamanan pada tatanan lingkungan dan ekonomi; namun juga tidak mengubah dan mengurangi stategi keamanan dan/atau mengeliminasi konsep keamanan sebelumnya, apalagi hingga mengeliminasi fokus terhadap kapabilitas militer. Baru pada masa pasca-Perang Dingin lah kemudian kompleksitas dinamika keamanan global menjadi berubah dengan menjamurnya aktor-aktor nonnegara yang menambah potensi ancaman terhadap keamanan global. Dengan kata lain, perkembangan dan perluasan isu hirauan keamanan global tidaklah mengurangi atau mengeliminasi konsep keamanan yang sudah ada sebelumnya, sehingga memperkaya khasanah studi keamanan. Konsep keamanan komprehensif hadir untuk meretas kompleksitas dan cakupan isu keamanan yang terus meluas. Dengan pernyataan sebelumnya, keamanan komprehensif merupakan konsep yang fleksibel dan dapat terus meluas sejalan dengan dinamika keamanan global sendiri. Keamanan manusia dan masyarakat yang muncul sebagai derivate dari keamanan komprehensif menunjukkan revolusi pembeda atau diferensiasi utama jika dibandingkan dengan konsep keamanan tradisiona. Keamanan tradisional yang berhaluan militeristik bukan dihilangkan, namun tidak dianggap sebagai konsep penyokong, melainkan ada dengan kerangka konseptualnya sendiri. Lebih lanjut, menurut Buzan (1991), sekuritisasi adalah proses yang kemudian dengan jelas menunjukkan fleksibilitas dari konsep keamanan komprehensif terhadap semua isu politik dan fenomena baru yang tidak dapat diprediksi relevansinya secara permanen terhadap studi keamanan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa keamanan komprehensif menjadi solusi bagi perwujudan keamanan dalam artian yang lebih luas dan kontemporer dengan aksi-aksi kelompok ekstrimis dan separatis yang tak bosan menimbulkan ancaman terhadap keamanan global. Universitas Padjadjaran © 2014 6 BAB II INTERPRETASI DAN ANALISIS 2.1 Mengenal Keamanan Komprehensif Barry Buzan (1991) telah berhasil memprakarasai transformasi pemahaman mengenai keamanan yang sempit menjadi keamanan komprehensif yang lebih kompleks. Konsep ini memperluas cakupan studi keamanan, yang tadinya hanya membahas mengenai keamanan militer dan negara, dengan menyertakan pembahasan mengenai keamanan dalam aspek sosial, ekonomi, dan juga perasaan yang integral dari keamanan individu. Menurutnya, keamanan memiliki tujuan untuk meraih kebebasan dari ancaman di samping kemampuan negara dan masyarakat menjaga identitas independen serta integritas fungsional melawan pemaksaan akan perubahan. Garis yang paling mendasar dari konsep keamanan adalah kebertahanan (survival). Lebih lanjut, Buzan (1991) menjabarkan kerangka konseptual dari keamanan komprehensif yang ditopang oleh beberapa konsep, yaitu:  Keamanan manusia (human security), yang menjadikan individu manusia, atau kumpulannya dalam masyarakat, sebagai objek utama. Pendekatan ini memperluas arti keamanan negara yang tadinya berupa pertahanan (defense) menjadi konsentrasi yang universal serta pencegahan konflik (conflict prevention). Konsep ini banyak dikritik karena tidak memberikan batasan yang jelas terhadap definisi dari keamanan dengan tidak lagi hanya berfokus pada beberapa fenomena tertentu yang spesifik saja. Dengan kata lain, segala hal—sesepele apapun bagi orang tertentu—dapat berpengaruh terhadap keamanan.. Implikasi dari ide ini adalah bahwa pada kasus atau krisis yang dianggap mengancap keamanan manusia, aktor yang pertama kali akan dimintai pertanggungjawabannya adalah negara. Jika negara tidak dapat menanganinya, maka komunitas internasional boleh ikut campur (mengintervensi) karena diasumsikan bertanggung jawab untuk melindungi keamanan manusia. Universitas Padjadjaran © 2014 7  Keamanan masyarakat (societal security), yang memberi penekanan pada kemampuan masyarakat untuk terus bertahan pada karakter esensialnya seiring dengan kondisi yang terus berubah terlepas dari ancaman yang terus datang. Dengan kata lain, keamanan masyarakat sangat mementingkan keberlangsungan identitas unik dari tiap kelompok dalam masyarakat.  Sekuritisasi (securitization), yang memiliki penekanan utama pada upaya mentransformasi isu-isu tertentu menjad hirauan keamanan melalui upaya politisasi yang ekstrim. Dalam sekuritisasi, beberapa fase esensial adalah memahami siapa yang melakukan sekuritiasi (securitizing actor), isu apa yang disekuritisasi (existential threat), untuk siapa sekuritisasi dilakukan (referent object), serta mengapa, dengan hasil apa, dan dalam kondisi apa sekuritisasi dilakukan. Dunia barat kadang salah memprersepsikan konsep keamanan komprehensif sehingga menganggap bahwa seluruh permasalahan keamanan yang berbeda dapat diretas melalui aksi militer. Padahal, pemahaman yang benar adalah bahwa setiap subtopik dari keamanan komprehensif membutuhkan penyelesaian isu yang berkesesuaian dengan subtopik tersebut; tidak harus dengan menerapkan pendekatan militeristik. Hal ini berarti bahwa proporsionalitas adalah pertimbangan utama. Permasalahan militer tentunya diselesaikan secara militer, sementara permasalahan sektor politik diselesaikan menekankan hubungan kekuasaan, status pemerintahan, dan pengakuan. Begitu pula halnya dengan permasalahan di sektor ekonomi yang dapat diselesaikan melalui hubungan perdagangan, produksi, dan keuangan; sektor sosial mengenai hubungan idektitas yang kolektif; serta sektor lingkungan mengenai hubungan antara aktivitas manusia dan biosfer. Memahami keamanan komprehensif berhubungan dengan memahami kompleksitas dunia yang makin interdependen satu sama lain. Oleh karena itu, kerja sama yang bersifat lintas batas negara adalah kebutuhan yang tidak dapat diabaikan. Universitas Padjadjaran © 2014 8 2.2 Sekuritisasi dan Keamanan Komprehensif Mengkaji keamanan, baik dalam skala lokal, regional, maupun global seringkali menjadi polemik tersendiri. Namun, sekalinya isu dalam skala global sudah ditetapkan, akan jauh lebih mudah untuk menjelaskan isu dalam skala yang lebih kecil. Pasca-Perang Dingin, dengan berakhirnya bipolaritas politik dunia, isu-isu keamanan tidak lagi hanya bersifat militeristik namun menyentuh banyak sektor yang substansial bagi tercapainya keamanan. 2.2.1 Tingkatan Analisis Sekuritisasi Berdasarkan Sektor Di tiap sektor, sekuritisasi membahas objek tujuan (referent object) dan ancaman (existential threat) yang dapat diidentifikasi dari kecenderungan dalam proses globalisasi, regionalisasi, ataupun lokalisasi. Tabel berikut, menyajikan tingkatan analisis sekuritisasi di tiap-tiap sektor. Proses global berada di level sistem, kawasan dan nonkawasan di level subsistem, serta lokal berada di level subunit. Tingkat | Sektor Militer Lingkungan Ekonomi Sosial Politik Global ** **** **** ** *** ** ** ** ** * Kawasan **** *** *** **** **** Lokal *** **** ** *** ** Subsistem Nonkawasan Tabel 2.1 Tingkatan Analisis Sekuritisasi Berdasarkan Sektor (Buzan et al. 1998, h. 165) Keterangan: **** sekuritisasi dominan *** sekuritisasi subdominan ** sekuritisasi minor * tidak ada sekuritisasi Universitas Padjadjaran © 2014 9 Tabel di atas, meskipun masih diperdebatkan, dapat digunakan sebagai dasar bagi setiap sektor untuk mengukur derajat kompleksitas sekuritisasi dan juga mempertimbangkan kepentingan dari tipe dari setiap isu ketika terjadi tumpang tindih antarsektor. Ketika terjadi konflik militer, misalnya, sektor militer menjadi yang paling utama dibahas dibandingkan lingkungan bukan dikarenakan pandangan tradisional terhadap militer, namun kepada isu apa yang paling besar dampaknya pada saat konflik itu terjadi. Dari tabel tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya dalam tingkat kawasan, isu militer, politik, dan kemasyarakatan masih dominan. Pada tingkat global, isu ekonomi bersifat dominan. Sementara isu lingkungan masih menjadi perdebatan dikarenakan isu lingkungan dapat muncul di semua tingkatan. Secara umum, dapat dinyatakan bahwa sekuritisasi paling sukses berada di tingkat lokal. Mencari titik temu untuk menggeneralisasi proses sekuritisasi di tiap kawasan merupakan suatu hal yang tidak mungkin karena perbedaan karakteristik dari setiap kawasan. Untuk menjawab apakah kompleksitas keamanan regional cocok di segala sektor dapat dilakukan identifikasi keterkaitan antarsektor. Sebuah perang, misalnya, bisa jadi dilatarbelakangi oleh perselisihan politik atau bisa pula oleh masalah kerusakan lingkungan atau alasan-alasan lain. Pembagian sektor keamanan menjadi lima sektor seperti yang dilakukan sebelumnya dimaksudkan untuk dapat menjadikan isu keamanan lebih transparan dengan melihat setiap kasus dari sudut pandang aktor. Beberapa unit, seperti negara, muncul di beberapa atau keseluruhan sektor, namun dengan kontribusi yang berbeda. Sektor dilihat sebagai alat analisis, meskipun tidak hanya muncul di dalam fase teoretis namun juga pembuatan kebijakan, di mana konsep sekuritisasi sangatlah penting. Unit tidak muncul di dalam sektor, namun sektor muncul di dalam unit sebagai tipe dari tujuan sekuritisasi (politik, ekonomi, lingkungan, dan sebagainya). Setiap unit melihat ancaman keamanan secara berbeda-beda persepsinya (perception of threats). Universitas Padjadjaran © 2014 tergantung pada 10 Lebih lanjut, menurut Buzan et al. (1998), analisis sekuritisasi yang spesifik tidak dimulai dengan membagi sektor, namun dibagi berdasarkan: (1) sekuritisasi sebagai fenomena dan tipe dari pelatihan, (2) unit keamanan ialah unit yang dibentuk sebagai objek tujuan (referent object) dalam aksi keamanan dan unit yang dapat disekuritisasi oleh aktor sekuritisasi (securitizing actor), dan (3) bentuk dari referensi yang sama diantara unit adalah security complex. Perhatian terhadap analisis dinamis antarsektor, selain tiga acuan ini, juga berguna untuk menjawab permasalahan untuk hanya menyelesaikan satu atau beberapa sektor spesifik dari security complex, terutama di tingkat kawasan. 2.2.2 Ilustrasi Analisis Sekuritisasi (Studi Kasus: Prancis) Terdapat tiga unit penting dalam analisis sekuritisasi, yaitu objek yang dituju (referent object), pelaku sekuritisasi (securitizing actor), dan aktor fungsional (functional actor). Gambar 2.1 Prancis dalam Analisis Sekuritisasi di Tiga Tingkatan (Buzan et al. 1998, h. 172) Memahami keamanan komprehensif menggunakan analisis sekuritisasi dapat dikaji, misalnya, dengan mengidentifikasi terlebih dahulu peran Prancis di tiga tingkatan seperti berikut (Buzan et al., 1998): (1) Prancis sebagai bagian dari kawasan Eropa, sering diidentikkan sebagai wajah dari kawasan, (2) Prancis sebagai negara, dirundung permasalahan integrasi Universitas Padjadjaran © 2014 11 terhadap kawasan yang membagi masyarakat kepada dua kelompok: prointegrasi dan anti-integrasi, serta (3) Prancis sebagai bangsa, mendapatkan ancaman dari integrasi ke Uni Eropa dalam hal identitas. Imigran seringkali dianggap sebagai ancaman terhadap identitas otentik bangsa Prancis. Selanjutnya, terdapat tiga pertanyaan yang dapat diajukan terkait dengan pengamatan empiris, yaitu: (1) pemilihan unit, (2) pemilihan metode, serta (3) pemilihan materi dan sumber. Parlemen Eropa juga seringkali memperdebatkan tema-tema sekuritisasi di kawasan yang kemudian menghasilkan delapan pemikiran untuk menciptakan keamanan yang komprehensif, yakni:  Ancaman terbesar adalah tingginya angka pengangguran, marjinalisasi sosial, dan xenofobia;  Model sosial Eropa sebagai bentuk kesejahteraan negara yang hanya dapat tercipta jika dibandingkan dengan negara non-Eropa untuk menyatukan negara-negara di kawasan;  Eropa harus lebih kompetitif dalam melawan dominasi teknologi asing;  Bantuan dari sesama masyarakat Eropa diperlukan untuk menekan angka pengangguran sebagai ancaman serius;  Integrasi perdamaian melalui dialog dibutuhkan demi mendukung terciptanya integrasi yang kuat selaras dengan nasionalisme;  Kurangnya upaya memperjuangkan hak asasi manusia;  Penguatan keamanan internal melalui kerja sama dan pemenuhan hakhak sipil setiap orang; serta  Lingkungan merupakan faktor penting ketika ancaman lainnya muncul. Dari ilustrasi ini, dapat dipahami bahwa sekuritisasi untuk mewujudkan keamanan komprehensif di berbagai sektor yang berbeda memiliki keterkaitan satu sama lain. Seperti halnya bangsa yang memiliki identitas, kedaulatan negara sebagai prinsip dan fokus keamanan harus melihat integerasi sebagai asas dasar dari kesetaraan. Selain perbedaan nilai- Universitas Padjadjaran © 2014 12 nilai nasional dan politik, perbedaan institusional dan peran aktor juga memiliki pengaruh cukup serius terhadap proses sekuritisasi dalam mencapai keamanan komprehensif. 2.3 Keamanan Manusia Konsep keamanan manusia menekankan bahwa setiap orang haruslah mampu untuk mengurus dan bertanggungjawab atas dirinya sendiri; bahwa setiap orang harus dibekali dengan kesempatan yang sama untuk memenuhi kebutuhannya serta memiliki penghasilan untuk menghidupi diri sendiri. Keamanan manusia menjadi unsur yang penting dalam pembangunan yang bersifat partisipatif, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai konsep yang defensif sebagaimana halnya keamanan dalam artian tradisional (militeristik; kewilayahan). Sebaliknya, konsep keamanan manusia bersifat integratif; tercamkan dalam solidaritas masyarakat. Keamanan manusia tidak dapat dicapai dengan kekerasan ataupun paksaan melalui kekuatan militer, namun haruslah melalui suatu proses yang disetujui dan melibatkan setiap unsur masyarakat (United Nations Development Programme, 1994). Dalam New Dimensions of Human Security (United Nations Development Programme 1994, h. 24), dijelaskan bahwa keamanan manusia terdiri atas dua komponen utama: (1) kebebasan dari rasa takut (freedom from fear) dan (2) kebebasan dari deprivasi (freedom from want). Dua komponen ini telah dikenali oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) semenjak awal pendiriannya. Meskipun begitu, pada kenyataannya, komponen pertama selalu dianggap lebih penting. Padahal, untuk mencapai suatu kondisi di mana keamanan manusia benar-benar terjamin secara utuh, tidak bisa hanya dengan melindungi salah satu saja. Keduanya—kebebasan dari rasa takut dan dari deprivasi—harus sama-sama terpenuhi tanpa pengecualian. Dalam rangka mewujudkan keamanan manusia, dibutuhkan paradigma baru dalam memahami keamanan melalui pergeseran paradigma berikut:  Dari penekanan yang eksklusif terhadap keamanan militer (pendekatan kewilayahan) kepada penekanan yang lebih besar pada keamanan individual manusia (human security) Universitas Padjadjaran © 2014 13  Dari pencapaian keamanan melalui persenjataan (armaments) kepada pencapaian keamanan melalui pembangunan manusia yang berkelanjutan (sustainable human development) Konsep keamanan manusia menjadi sebuah perluasan yang unik dalam kajian keamanan karena tidak lagi memosisikan negara dan kedaulatannya sebagai objek referen utama, melainkan individu. Menurut Human Development Report (United Nations Development Programme, 1994), keamanan manusia berorientasi pada empat karakteristik utama, yaitu: (1) merupakan hirauan universal yang utama karena sifatnya yang relevan bagi seluruh umat manusia, (2) komponen yang menjadi hirauan keamanan manusia saling berketergantungan satu sama lain, (3) lebih mudah diwujudkan melalui langkah-langkah pencegahan, bukan penanganan, dan (4) berorientasi pada manusia dan kehidupannya. Karakteristiknya yang bersifat universal membuat konsep keamanan manusia berhasil menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia tanpa memandang apakah suatu negara berstatus sebagai negara maju, berkembang, ataupun tertinggal. Dilema keamanan yang menjadi masalah bagi keamanan manusia tidak lagi berada pada tataran militeristik, melainkan pada setiap individu. Menurut United Nations Development Programme (1994), keamanan manusia mencakup tujuh aspek utama, yaitu keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan personal, keamanan komunitas/kelompok, dan keamanan politik. Apabila tujuh bentuk keamanan ini telah tercapai, barulah keamanan manusia yang seutuhnya terwujud. Pun begitu, ketujuh aspek ini potensial meningkatkan kompleksitas upaya pencapaian keamanan di tiap negara atau kawasan, seperti kawasan Asia-Pasifik yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini. Di samping itu, keamanan manusia juga dikaitkan dengan bentuk-bentuk kekerasan struktural yang mengakar pada ketidaksetaraan dalam masyarakat, termasuk kesenjangan pendapatan dan kesempatan untuk memeroleh pendidikan; sebagaimana dinyatakan dalam Lloyd Axworthy (1999, h. 8—11). Axworthy menjelaskan bahwa keamanan Universitas Padjadjaran © 2014 14 manusia seringkali berakar dari konflik struktural domestik atau ketidakseimbangan di dalam masyarakat seperti ketidakmerataan distribusi pendapatan serta penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah seperti yang terjadi di Rwanda. Akan tetapi, fenomena seperti bukan hanya terjadi di Afrika, namun juga di Eropa, seperti peristiwa di Kosovo. Selain kekerasan struktural, keamanan manusia juga menghiraukan masalah-masalah kesehatan seperti wabah dan penyakit menular yang berpotensi memakan korban jiwa dalam jumlah besar. Penyakit berupa virus yang mematikan juga merupakan subjek kajian dari keamanan manusia. Wabah ebola yang merebak di berbagai negara Afrika dalam beberapa bulan terakhir, merupakan hirauan dari keamanan manusia karena memaparkan ancaman terhadap rasa aman tiap individu. Untuk dapat mewujudkan keamanan yang sebenarnya, dibutuhkan pemahaman yang luwes terhadap konsep keamanan itu sendiri. Kofi Annan (2001) menyatakan bahwa untuk dapat mencapai keamanan dan perdamaian yang sesungguhnya, setiap orang harus memiliki perspektif yang lebih luas. Perdamaian, menurut Annan, bukan hanya sekadar ketiadaan perang (the absence of war). Memahami keamanan manusia juga tidak dapat dipasangkan dalam kerangka yang militeristik, akan tetapi menjangkau dimensi-dimensi lain seperti pembangunan ekonomi, keadilan sosial, perlindungan terhadap lingkungan, demokratisasi, pelucutan senjata, dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan peraturan hukum. Dalam mendefinisikan keamanan manusia, perlu digarisbawahi bahwa keamanan manusia tidaklah sama dengan pembangunan manusia. Pembangunan manusia memiliki makna yang lebih luas sebagai proses berkepanjangan dari pilihan hidup setiap orang; sementara keamanan manusia hanya memberikan jaminan bagi orang-orang untuk dapat melaksanakan pilihan ini dengan aman dan bebas tanpa pengecualian. Kegagalan memenuhi kebutuhan akan keamanan manusia tak ubahnya menghambat laju pembangunan manusia, karena keduanya berjalan secara simultan dan sinergis. Pemahaman ini sejalan dengan penjelasan George Universitas Padjadjaran © 2014 15 MacLean (1998) mengenai keamanan manusia yang mengedepankan keamanan individu di dalam komunitas dan lingkungan personalnya, termasuk perlindungan dari kekerasan dan kejahatan, akses untuk memenuhi kebutuhan dasar, perlindungan dari tindak kriminal dan teror, wabah-wabah pandemic, korupsi politik, perpindahan yang dipaksa, dan ketiadaan hak-hak asasi manusia. Kebebasan haruslah tercapai dari kekerasan berdasarkan gender, hak-hak akan komunitas politik dan budaya, pembangunan politik, ekonomi, dan demokratis, serta pencegahan penyalahgunaan dan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam di samping juga keberlanjutan lingkungan dan upaya-upaya menekan tingkat polusi lingkungan. 2.4 Keamanan Ekonomi Salah satu dimensi yang paling berpengaruh dalam terciptanya keamanan nasional yang komprehensif adalah keamanan ekonomi. James C. Hsiung (2004) menjelaskan bahwa keamanan ekonomi atau disebut juga sebagai geoekonomi saat ini semakin menjadi perhatian utama dalam menyusun tujuan, kepentingan, maupun perilaku kebijakan luar negeri suatu negara; bahkan hingga mampu menyaingi geopolitik yang selama ini selalu menjadi fokus utama. Kemunculan geoekonomi pun bukanlah semata-mata karena berakhirnya Perang Dingin, tetapi juga karena efek globalisasi terhadap ekonomi dunia berupa interdependensi atau hubungan saling berketergantungan yang kompleks. Pemahaman mengenai geoekonomi dapat dilihat pada dua tingkatan, yaitu makro dan mikro. Pada tingkat makro, geoekonomi berkaitan dengan kegiatan manufaktur, pemasaran, pendanaan, serta penelitian dan pengembangan yang bersifat transnasional dan global. Sementara pada tingkat mikro, kekuatan nasional tidak lagi diukur secara eksklusif berdasarkan kapabilitas militer, namun lebih cenderung oleh keamanan ekonomi; meskipun dalam tatanan strategis, kekuatan militer tetaplah dibutuhkan untuk mendukung tercapainya kepentingan nasional negara. Kekuatan nasional dalam konteks ini pun tidak hanya berupa kekuatan Universitas Padjadjaran © 2014 16 militer, tetapi juga agregat dari sejumlah komponen nonmiliter seperti sumber daya manusia dan teknologi, modal ekspor, produksi yang efisien dan modern, dampak kebijakan terhadap ekonomi global terutama terkait kepentingan vital, serta kemauan dan keseriusan dalam memobilisasi kemampuan ekonomi untuk pencapaian kepentingan nasional. Formulasi yang mengombinasikan antara manajemen kekuatan ekonomi tingkat makro dan implikasi tingkat mikro pada masing-masing negara ini terjebak pada pergeseran game power (Stone, 2009). Selain mendefinisikan konfigurasi kekuatan, formulasi ini juga menunjukkan bahwa perhitungan geoekonomi merupakan hal yang amat penting—jika bukan yang terpenting—dalam percaturan politik dunia. Dengan kata lain, aspek geoekonomi adalah salah satu prioritas utama dalam pengambilan kebijakan luar negeri negara. Geoekonomi di sini, meskipun begitu, bukannya mencoba menggnatikan kemapanan geopolitik, melainkan bersifat saling melengkapi guna menciptakan situasi keamanan yang kondusif. Negara yang bertentangan secara politik bisa saja menjadi mitra ekonomi terbaik, sementara negara sekutu politik ternyata bukan berarti tidak menjadi ancaman secara ekonomi, sehingga harus ada kombinasi antara keduanya. Barry Buzan (Stone, 2009) menekankan dalam tulisannya tentang analisis keamanan komprehensif bahwa keamanan ekonomi dapat dianggap sebagai indikator kunci dalam tercapainya keamanan suatu negara secara umum, karena keamanan militer yang selama ini menjadi perhatian utama tidak akan mampu diaplikasikan ketika negara memiliki keterbatasan dalam hal pembiayaan atau anggaran. Dengan kata lain, dapat diasumsikan bahwa keamanan ekonomi yang baik berbanding lurus dengan bentuk-bentuk keamanan lainnya dalam kerangka keamanan komprehensif. Pembuktian terhadap postulasi ini dapat dilihat dengan melakukan studi komparatif antara kapabilitas militer dan kemampuan ekonomi dari negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Universitas Padjadjaran © 2014 17 2.5 Keamanan Lingkungan Keamanan lingkungan atau ekopolitik adalah kombinasi dari konsep-konsep ekonomi, ekologi, dan politik. Dennis Pirages (1978, h. 5), yang dikenal sebagai pencetus konsep ini, menyatakan bahwa: global ecopolitics involves the use of environment issues, control over natural resources, scarcity arguments, and related concerns of social justice to overturn the international hierarchical expansion. Revolusi ekopolitik dihasilkan karena adanya pertumbuhan populasi manusia yang menyebabkan terjadinya konflik internasional dalam bidang lingkungan yang meliputi penipisan sumber daya, kekurangan sumber energi, kekurangan sumber daya air, serta kelangkaan mineral nonbahan bakar dan makanan. Kondisi ini diperparah oleh maraknya aksi pembuangan limbah tanpa mengindahkan aturan perlindungan lingkungan. Ancaman akan degradasi lingkungan sebenarnya lebih serius daripada yang kita sadari. Lester Brown (2000) melihat bahwa ancaman keamanan yang paling berbahaya saat ini sebenarnya adalah perubahan iklim atau pemanasan global yang dipicu oleh peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer akibat industrialisasi yang masif, sehingga akan membuat ekosistem berubah secara permanen. Kondisi lingkungan yang seakan-akan dikorbankan demi kemajuan ekonomi ini membuat munculnya desakan agar ilmu ekonomi digantikan oleh ilmu ekologi (Brown 2000, h. 10). Tingginya kenaikan temperatur Bumi rentan memicu terjadinya kekeringan dan kebakaran hutan yang pada akhirnya akan berujung pada penderitaan dan kematian. Menurut Hsiung (2004), kerugian di bidang pertanian akibat iklim yang terus memburuk diperkirakan dapat mencapai hitungan miliar dolar hanya dalam beberapa tahun ke depan. Perubahan iklim merupakan masalah yang bersifat global karena perikanan, kehutanan, dan sumber daya lainnya berakibat pada melemahnya kegiatan perekonomian global sehingga menimbulkan ketidakpastian mengenai keberlanjutan pembangunan ekonomi global. Di samping itu, tingkat polutan yang semakin tinggi dan seringkali melintasi batas negara Universitas Padjadjaran © 2014 18 bukan hanya berpotensi menimbulkan masalah kesehatan, namun juga memperburuk hubungan antarnegara; seperti yang terjadi pada hubungan Indonesia dengan beberapa negara tetangga—terutama Malaysia dan Singapura—akibat berbagai kiriman asap hasil kebakaran hutan. Contoh peristiwa seperti ini dengan jelas menunjukkan bagaimana masalah lingkungan dapat menjadi hirauan keamanan. Sejalan dengan dilema ini, berikut adalah salah satu fokus utama dari United Nations Environment Programme (2014): Health risks and involuntary migration due to water scarcity, inequitable access to land resources, uncontrolled stocks of obsolete pesticides or other forms of radioactive waste and hazardous substances have been identified as threats to stability and peace. However, common problems linked to the use of natural resources can also bring people to work together towards a common goal; thus, environmental co-operation can act as a powerful tool for preventing conflicts and promoting peace between communities and societies. Aspek penting lainnya dalam hubungan antara lingkungan dan keamanan adalah dampak konflik terhadap lingkungan/ekosistem. Konflik berupa kekerasan fisik, arus pengungsi akibat bencana alam, dan sejenisnya berakibat menurunnya tingkat keamanan lingkungan. Dalam Myers (2004), dinyatakan bahwa: The sustainable use of natural resources and joint efforts to protect the environment across national borders and social divisions can contribute to conflict prevention and peace building. For example, the predictions of future wars over access to water have thus far failed to come true. On the contrary, various forms of cross-border water cooperation are contributing to stability and peace in regions of latent conflict. 2.6 Keamanan Energi Pembahasan mengenai keamanan energi di dalam studi keamanan baru saja muncul dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun masalah ketersediaan pasokan energi sudah menjadi isu yang ramai dibahas sejak tahun 1979 (Klare, 2008), pembahasannya dalam kerangka studi keamanan adalah Universitas Padjadjaran © 2014 19 perkembangan yang terbilang baru. Hal ini dikarekanakan keamanan energi dianggap memegang peranan penting sebagai elemen kunci dalam ranah kebijakan domestik dan prioritas bagi kebijakan luar negeri. 2.6.1 Sekuritisasi Energi Keamanan energi dianggap sentral bagi kehidupan manusia karena berkenaan langsung dengan kebutuhan manusia untuk bertahan hidup. Semakin kompleks dan produktif masyarakat, maka akan semakin besar pula kebutuhan akan energi. Seluruh aktivitas yang dilakukan manusia saat ini membutuhkan energi. Tanpa ketersediaan energi, masyarakat industri tidak bisa memeroleh penghidupan yang layak dan tidak bisa mempertahankan, apalagi meningkatkan, ritme produktivitasnya. Senator Amerika Serikat untuk negara bagian Indiana, Richard G. Lugar, menyatakan bahwa oil is not just another commodity...it occupies a position of singular importance in the American economy and way of life Klare 2008, h. 484). Lugar secara gamblang mengasersi bahwa energi, terutama minyak dan gas bumi, memiliki posisi yang teramat penting dalam perekonomian dan kehidupan bangsa Amerika. Berkat globalisasi dan perekonomian dunia yang makin berkembang, pernyataan ini tidak lagi hanya berlaku bagi Amerika Serikat, namun bagi masyarakat dunia. Pembahasan mengenai keamanan energi memang masih didominasi oleh pemikiran-pemikiran barat dengan fokus pada situasi seputar energi di Amerika Serikat. Keamanan energi dapat dilihat sebagai salah satu dimensi dari kebijakan luar negeri. Konsumsi minyak bumi Amerika Serikat saja, sebagai negara industri maju, mencapai rata-rata 6,4 juta ton minyak setiap tahunnya atau sekitar seperempat dari total pasokan minyak dunia (Klare, 2008). Bekas presiden Amerika Serikat, George W. Bush (2000, dalam Klare, 2008) menyatakan bahwa target jangka panjang pembahasan keamanan energi adalah membangun National Energy Policy Development Group (NEPDG) untuk mengurus kebutuhan energi sembari menyusun strategi menyeimbangkan pasokan dan permintaan energi. Universitas Padjadjaran © 2014 20 Laporan final dari NEPDG (2001 dalam Klare, 2008) menunjukkan bahwa Amerika Serikat belum optimal dalam mengembangkan sumbersumber energi di dalam negeri, sehingga dapat meningkatkan dependensi terhadap negara-negara pemasok utama minyak bumi. Oleh karena itulah, keamanan energi dilihat sebagai manifestasi dari dimensi kebijakan luar negeri dan dimensi militer dalam fokus keamanan global. Pentingnya peranan energi di dalam kehidupan manusia membuat negara tak ragu untuk melakukan intervensi dalam proses pengelolaan energi. Selain negara, terdapat pula perusahan multinasional yang bergerak dalam pengelolaan energi oleh sektor privat dengan orientasi utama terhadap keuntungan yang begitu besar. Perusahaan-perusahaan multinasional memegang peran kunci dalam memproses, memproduksi, dan mendistribusikan energi kepada konsumen. Negara jelas tidak bisa sertamerta menutup akses bagi aktor swasta di bidang energi, sehingga yang dilakukan adalah memastikan kepatuhan mereka terhadap instrumen kebijakan serta memberikan insentif yang tepat. Proses pengadaan energi yang kompleks menjadi landasan dalam menggambarkan definisi dari keamanan energi itu sendiri. Secara umum, keamanan energi adalah kondisi dimana berjalannya proses distribusi yang terjamin, dari ketersediaan pasokan hingga keterjangkauan sumber energi untuk memenuhi kebutuhan manusia; sekalipun dalam situasi konflik atau krisis internasional; sejalan dengan pernyataan Michael T. Klare: ...the assured delivery of adequate supplies of affordable energy to meet a state’s vital requirements, even in times of international crisis or conflict (2008, h. 484). Akan tetapi, tentu hal ini tidak berlaku bagi negara tanpa kapabilitas untuk mengelola energinya secara mandiri. Oleh karena itulah keamanan energi juga membahas upaya untuk menekan dependensi terhadap penguasaan sumber energi oleh pemasok tunggal karena berpotensi memanfaatkan dominasinya atas energi untuk bertindak sesuka hati. Salah satu contoh dependensi akibat pasokan energi dapat dilihat pada hubungan negara-negara seperti Ukraina, Belarus, dan Georgia dengan Rusia. Universitas Padjadjaran © 2014 21 Posisi energi sebagai kebutuhan sentral manusia modern membuat keberadaannya harus dilindungi dan digandakan sejalan dengan terus meningkatnya permintaan. Padahal, di sisi lain, para elite harus menghindari potensi terjadinya ketergantungan yang terlalu tinggi (overreliance) karena dapat menjadi ancaman di masa depan dalam bentuk krisis energi, bencana ekonomi, perubahan iklim, dan sebagainya. Pembatasan penggunaan bahan bakar fosil—minyak dan gas bumi serta batubara—misalnya, ditujukan untuk menekan efek rumah kaca yang berbahaya bagi atmosfer Bumi (Wlliams, 2008). Kekhawatiran inilah yang kemudian mendorong upaya pencarian sumber-sumber energi alternatif. Michael T. Klare (2008, h. 488) menyatakan bahwa terdapat setidaknya tiga masalah utama dalam topik keamanan energi, yaitu: (1) kekhawatiran akan menurunnya hasil produksi dan ketersediaan minyak dan gas bumi di masa depan, (2) berpindahnya pusat produksi minyak dunia dari negaranegara Utara (global north) ke negara-negara Selatan (global south), dan (3) ancaman dari kelompok-kelompok insurgensi, teroris, dan ekstrimis terhadap fasilitas-fasilitas produksi minyak. Industri minyak yang bernilai sangat tinggi menciptakan politisasi yang sangat tinggi dari berbagai dalam konteks sekuritisasi energi itu sendiri. Isuisu seperti ketidakpastian ketersediaan minyak bumi, penurunan stok minyak dunia, kegagalan mengembangkan potensi ladang minyak baru, dan rendahnya akses pengelolaan potensi ladang minyak baru menjadi beberapa masalah utama dalam bahasan keamanan energi. Pertama, ketidakpastian ketersediaan minyak dunia. Peranan negara maupun aktor-aktor nonnegara dalam masalah ini sangatlah krusial. Analisis dari British Petroleum (2006 dalam Klare, 2008) mengindikasikan bahwa industri energi masih mampu menyediakan stok permintaan energi global yang, pada tahun 2006, berkisar di angka 82,5 juta barel perharinya. Sebagai respon terhadap analisis ini, , United States of America Department of Energy (US DoE) merilis dalam International Energy Outlook (2006 dalam Klare 2008, h. 489) bahwa konsumsi minyak dunia akan meningkat menjadi 111 juta barel perharinya pada tahun 2025. Prediksi ini memicu perdebatan Universitas Padjadjaran © 2014 22 sengit. Di atu sisi, peningkatan permintaan haruslah diikuti oleh peningkatan ketersediaan pasokan. Padahal, tingkat pembukaan pengelolaan sumbersumber energi fosil baru sangatlah rendah; terutama karena sifatnya yang tidak dapat diperbarui (unrenewable energy). Banyak ladang minyak di wilayah Amerika Utara, Asia Timur, Siberia Barat, dan Arab Saudi diperkirakan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan energi di masa depan. Kedua, penurunan stok minyak dunia akibat eksploitasi ladang minyak lama dan tidak dibukanya ladang-ladang minyak baru. Hal ini mengakibatkan stok energi tidak terjamin kejelasannya. Terlebih lagi, beberapa laporan menunjukkan bahwa banyak upaya pembukaan ladang produksi minyak baru di berbagai titik di dunia berakhil dengan kegagalan (Klare, 2008). Ketiga, penemuan potensi ladang minyak bumi dalam beberapa tahun terakhir cenderung berada di lokasi yang sulit untuk diakses, baik dalam konteks geografis, lingkungan, maupun politis. Hal ini menghambat upaya pengembangan potensi energi baru sehingga bukan tidak mungkin suatu hari dunia akan kehabisan pasokan sumber energi. Michael T. Klare (2008) menyatakan bahwa fenomena ini adalah hasil dari keserakahan manusia. Upaya eksploitasi sumber-sumber energi jarang diimbangin dengan upaya konservasi karena terlalu banyak mementingkan keuntungan finansial. Negara-negara di subsahara Afrika, misalnya, meskipun memiliki cadangan minyak yang tinggi, harus hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan. Konsorsium minyak raksasa dunia seperti Chevron, British Petroleum, dan Exxon memang mempunyai kapasitas psikis dan teknis yang mumpuni untuk beroperasi di daerah-daerah yang sulit untuk diakses tersebut. Namun, pertanyaan adalah akankah mereka, dengan orientasi utama pada keuntungan, bersedia mengambil risiko menginvestasikan miliaran dolar di daerah sulit tersebut dengan model infrastruktur yang harus terus menerus dikelola keberadaannya dan memakan biaya besar demi keberlangsungan energi dunia? Pembahasan mengenai isu ketersediaan energi akan membawa kita kedalam pembahasan regionalisme dalam konteks Global North dan Global Universitas Padjadjaran © 2014 23 South. Dalam penggambarannya, pada tiap-tiap daerah terdapat stereotip tertentu. Global North digambarkan sebagai kawasan yang aman dan bersahabat, sedangkan Global South adalah kawasan yang berbahaya dan tidak bersahabat (Klare, 2008). Stereotip ini tentu sedikit banyak berkontribusi pada rendahnya upaya eksplorasi energi di negara-negara selatan dibandingkan utara. US Department of Energy (2006, dalam Klare 2008, h. 492) menyatakan bahwa pada tahun 1990 para produsen dari Global North (Amerika Serikat, Kanada, Rusia, Australia, dan lain-lain) menyumbang 39% dari total pasokan minyak dunia saat itu. Prediksi lanjutan dari US DoE menerangkan bahwa pada tahun 2030, kombinasi dari produksi-produksi Global North akan turun menjadi hanya 26%; sementara negara-negara Global South berpotensi meningkatkan kontribusinya terhadap pasokan minyak dunia dari 31% pada tahun 2003 menjadi 48% pada tahun 2030. Pembahasan keamanan energi sebagai salah satu dimensi kebijakan luar negeri dan militer memengaruhi proses dan laju berpikir dari para pembuat kebijakan dalam menghasilkan solusi-solusi yang dibutuhkan demi keamanan global. Terdapat setidaknya dua hal yang dipengaruhi secara substansial, yaitu (1) penggunaan kekuataan militer guna melindungi proses produksi dan distribusi minyak dunia serta (2) penggunaan pendekatan saintifik dalam pencarian akan sumber-sumber energi baru yang dapat diperbaharui (contoh: matahari, angina, energi bio, dan lain-lain). Terdapat berbagai macam argumen mengenai bentuk dan peranan pendekatan militer di dalam ranah keamanan energi ini karena dianggap dapat memantik persaingan militer yang memberikan kebiasan dalam pembahasan keamanan energi serta berpotensi menjadi sumber konflik di masa depan. Dalam penerapannya, para aktor yang terlibat sebaiknya dapat menggunakan implementasi dari pendekatan militer ini hanya dalam situasi dengan urgensi tinggi, terutama negara-negara dengan kapasitas militer mumpuni seperti Amerika Serikat dan Rusia, yang juga merupakan bagian dari kelompok negara pemasok minyak. Universitas Padjadjaran © 2014 24 2.6.2 Bertahan dengan Bahan Bakar Fosil Dihadapkan dengan berbagai ancaman dan kerentanan di atas, sekilas terlihat bahwa langkah logis yang sebaiknya diambil pemerintah untuk mencapai keamanan energi adalah melakukan pergeseran dari bahan bakar fosil (minyak bumi, gas alam, dan batu bara) ke bahan bakar alternatif. Pergeseran ini tidak hanya akan meningkatkan melepaskan negara-negara dari ketergantungan energi, tetapi juga mengurangi usaha dan biaya yang perlu dilakukan untuk mengamankan ketiga sasaran utama dari terorisme minyak tadi (kilang minyak, laut lepas dan titik cekik, dan jalur pipa) dan memindahkan komoditas-komoditas rentan ini (Luft dan Korin, 2003). Akan tetapi, sampai saat ini, kebanyakan negara-negara industri masih menggunakan bahan bakar fosil dan sangat terlibat dalam berbagai kejadian yang berkaitan dengan perolehan dan pengaturan persebarannya, terlepas dari segala ancaman dan kerentanan yang muncul. Amerika Serikat, misalnya, sekarang terlibat dalam persaingan lobi yang intensif melawan Rusia, Cina, dan Iran, untuk membangun jalur-jalur pipa migas dari Asia Tengah ke Eropa tanpa melewati wilayah kedaulatan ketiga negara tersebut Washington s Blog, dan beberapa bulan lalu, dengan dukungan Perancis, melakukan serangan-serangan udara untuk melindungi kilangkilang minyak di sekitar Kurdistan yang merupakan situs operasi 40 perusahaan asing (seperempatnya merupakan perusahaan dari Amerika Serikat) dari gerakan Islamic State (IS). Menimbang ketidakpopuleran misi-misi militer Amerika Serikat di Timur Tengah di antara masyarakat Amerika Serikat dan janji-janji Presiden Barrack Obama terkait berbagai isu lingkungan, keputusan untuk mempertahankan bahan bakar fosil kemungkinan besar dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar kepentingan strategis, salah satunya kelompok lobi migas. Berdasarkan Center for Responsive Politics, ada 763 orang pelobi yang bekerja untuk sektor migas, atau hampir dua pelobi peranggota dewan (termasuk 48 orang yang bekerja di Gedung Putih), dengan pengeluaran sebesar USD 119.611.939 untuk kepentingan lobi dan kontribusi sebesar USD 10.500.549 dalam kampanye anggota Konggres tahun ini (Taxpayers for Universitas Padjadjaran © 2014 25 Common Sense, 2014). Di luar pemerintah, lobi-lobi migas juga menekan kajian-kajian terkait eksternalitas yang muncul dalam produksi, distribusi, dan konsumsi bahan bakar fosil, termasuk resiko terhadap keamanan nasional (Froomkin, 2012). 2.6.3 Mencapai Keamanan Energi Berbasis Bahan Bakar Fosil Dengan asumsi bahwa lobi-lobi migas dan berbagai kepentingan yang terkait membatasi dan mencengkram pemerintah seperti keadaannya di Amerika Serikat tadi, maka pemerintah-pemerintah terpaksa harus berhadapan dengan berbagai ancaman seperti terorisme, bajak laut, dan kelompok pemberontak. Seperti telah disinggung dalam bagian sebelumnya, negara-negara biasanya menggunakan aset teknologi mereka untuk mengatasi ancaman tersebut (serangan udara Amerika Serikat). Akan tetapi setidaknya ada dua alternatif lain yang dapat digunakan oleh negara-negara, yakni kerjasama dan dobrakan infrastruktur. Kisah sukses penggunaan kerjasama internasional untuk mengatasi ancaman terhadap keamanan energi terlihat dalam kerjasama Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India, dan Jepang, dalam melawan bajak laut di Selat Malaka (salah satu dari tiga jalur pelayaran dan titik cekik yang paling sibuk dan rentan setelah Teluk Aden dan Selat Hormuz), di mana pada tahun 2005, ketiga negara yang pertama kali disebutkan meluncurkan inisiatif patroli udara mingguan yang dikoordinasikan bertajuk eyes in the Sky (Lutfia, 2011), dibantu oleh Thailand dalam operasi patroli laut (Maritime Security Asia, 2011), dan India dalam penyediaan teknologi drone (Strategy Page, 2007), serta Jepang dalam penyediaan mekanisme penyebaran dan pembagian informasi (Maritime Security Asia, 2011). Kolaborasi multiaktor ini berhasil menurunkan tingkat insiden bajak laut di Selat Malaka hingga hampir nol insiden (Montlake, 2006). Di sisi lain, dobrakan infrastruktur mungkin lebih populer bagi negaranegara yang lebih maju atau mandiri atau keduanya. Dalam menghadapi kasus yang sama (bajak laut di Selat Malaka), Cina telah mencanangkan untuk membangun kanal melalui daerah Kra isthmus, Thailand, sejak tahun Universitas Padjadjaran © 2014 26 2003, sehingga kapal-kapal dari dan ke Asia Selatan dan Asia Timur tidak harus melalui Selat Malaka lagi dan dengan demikian menghemat waktu dan biaya terkait proses pelayaran. Hal serupa juga dilakukan Amerika Serikat dalam lobi jalur pipa migas di atas (untuk melewati wilayah-wilayah para pesaingnya) dan Israel yang hendak mengalihkan rute minyak yang selama ini harus melalui Teluk Persia (Luft dan Korin, 2003). Masing-masing dari ketiga alternatif di atas memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing di dalam konteks keamanan nontradisional yang lebih luas dari sekedar peniadaan ancaman . Intervensi langsung seperti yang dilakukan Amerika Serikat di Kurdistan menuai kritik publik yang melihat kepalsuan motivasi Amerika Serikat dalam melakukan intervensi dan dapat mendorong eskalasi konflik. Setelah beberapa kali berperang di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, wacana yang diberikan Presiden Obama—perlindungan kaum minoritas (Kurdi) —tidak lagi efektif dalam mengaburkan label neoimperialis yang telah dicapkan pada Amerika Serikat, terutama karena wacana tersebut tidak konsisten secara historis— merujuk pada sejarah pembantaian suku Kurdi pada Perang Teluk Kedua Washington s Blog, 4 . Selain itu, keberadaan kekuatan tempur Amerika Serikat dan pemberian senjata dari Amerika Serikat kepada para pejuang Kurdi dapat mendesak IS untuk meningkatkan kekuatan tempur mereka guna menyamaratakan power di antara pihak-pihak yang berperang (Rudaw, 2014). Kisah sukses di Selat Malaka juga masih diragukan karena International Maritime Bureau melaporkan bahwa aktivitas bajak laut di Selat Malaka telah bergeser ke Selat Singapura dan Laut Cina Selatan (International Maritime Bureau of the International Chamber of Commerce, 2014) dan masih ada beberapa kelemahan struktural (misalnya, penyogokan dan kolusi) serta pertimbangan ekonomi yang menghambat proses pelaporan insiden pembajakan, sehingga data yang dijadikan acuan pun masih belum dapat dinyatakan akurat (Hunt, 2012). Kemudian program-program ambisius yang dicanangkan Cina, Amerika Serikat, dan Israel, juga memiliki dampakdampak yang tidak dapat dikatakan positif terhadap hubungan luar negeri Universitas Padjadjaran © 2014 27 negara-negara tersebut dengan negara-negara di dalam kawasan yang merasa dirugikan oleh pengalihan-pengalihan jalur tersebut, di samping pertimbangan terkait pembiayaan proyeknya yang sama sekali tidak murah. Dampak-dampak ini menunjukkan bahwa meskipun negara-negara dapat bertahan menggunakan bahan bakar fosil melalui berbagai cara, jalan yang harus mereka lalui tidak mudah dan pada akhirnya mereka harus mulai menggunakan alternatif sumber energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan efisien. Tidak dapat dipungkiri bahwa bahan bakar fosil telah mengumpulkan kekuatan politik dan ekonomi yang besar dalam peradaban manusia, setelah menjalankannya selama lebih dari seabad, sehingga pergeseran dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan sangat sulit. Akan tetapi pergeseran ini akan lebih menguntungkan untuk jangka panjang dan dengan maraknya isu keamanan lingkungan (dibahas dalam bagian lainnya), kebutuhan untuk segera melakukannya semakin mendesak. 2.7 Keamanan Komprehensif di Asia-Pasifik 2.7.1 Keamanan Manusia Kawasan Asia-Pasifik memiliki dilema tersendiri dalam menghadapi persoalan keamanan manusia. Kemiskinan, meskipun relatif tinggi, tidak menjadi salah satu bahasan utama di kawasan ini karena tidak tersebar merata. Hirauan utamanya cenderung berorientasi pada permasalahan sosial seperti kesenjangan pendapatan, ledakan populasi dan usia penduduk, konflik etnis, perdagangan obat-obatan ilegal, serta hak-hak perempuan. Lebarnya jurang antara kaum kaya dan di banyak negara memunculkan variasi kecemburuan sosial yang berakumulasi menjadi dilema keamanan manusia, teruatama di negara-negara yang lebih makmur seperti Singapura dan Hong Kong; di mana perbedaan pendapatan sangatlah tinggi. Dilema selanjutnya adalah usia penduduk. Asia-Pasifik, secara agregat, memiliki penduduk terbanyak di kelompok usia produkif sekaligus nonproduktif. Permasalahannya, di beberapa negara, ada kecenderungan tingkat pertumbuhan penduduk yang negatif, terutama Jepang. Pertumbuhan Universitas Padjadjaran © 2014 28 penduduk yang negatif dapat megakibatkan kurangnya tenaga kerja usia produktif dan dikhawatirkan berpotensi menjadi ancaman di berbagai sektor dalam jangka panjang. Guna melengkapi kebutuhan akan sumber daya manusia yang mumpuni, akhirnya muncul kebutuhan akan impor tenaga kerja. Secara eksplisit, kebijakan seperti ini juga malah menjadi ancaman tersendiri karena merebut lahan perekonomian penduduk pribumi. Akhirnya, masalah usia populasi ini seperti lingkaran setan yang tak ada habisnya. Masalah konflik etnis dan rasial juga merupakan salah satu bahasan utama karena banyaknya negara dengan diversitas kesukuan dan ras yang tinggi; berbeda dengan konsep satu bangsa di kawasan Eropa. Konflik seperti ini merupakan warisan zaman kolonial yang lama mengokupasi negara-negara di kawasan Asia-Pasifik, terutama Asia Tenggara. Permasalahan perdagangan obat-obatan ilegal pun menjadi manifestasi ancaman terhadap keamanan negara yang menyentuh hingga ranah paling privat sekalipun. Tingkat konsumsi obat-obatan ilegal di negara-negara AsiaPasifik dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat seiring dengan makin masifnya jaringan sindikat obat-obatan transnasional. Pun sekenaan dengan diskriminasi gender dan pembatasan hak-hak wanita, negara-negara di kawasan Asia Pasifik masih cenderung berkembang dan mengadaptasi nilai-nilai mainstream dalam kerangka kebijakan negara. Ironisnya, fenomena ini paling kentara terjadi di negara yang dapat disebut paling maju, yaitu Jepang; yang sering menerima kritikan dari masyarakat global karena meminggirkan peran dan fungsi wanita di ranah publik. Berbagai permasalahan keamanan manusia seperti yang dijelaskan di atas haruslah ditangani dengan mengedepankan langkah-langkah preventif agar menekan potensi konflik dan kekacauan. Hal ini juga mesti diikuti oleh perbaikan birokrasi dan pembentukan kebijakan yang lebih mengakomodasi kebutuhan setiap individu tanpa pandang bulu. Apabila berbagai kelemahan dalam perwujudan keamanan manusia ini diberantas, maka kawasan Asia-Pasifik dapat menjadi model kawasan pertama di dunia yang berhasil mewujudkan keamanan manusia meskipun Universitas Padjadjaran © 2014 29 dihadapkan pada diversitas yang sangat tinggi. Kondisi seperti ini akan memberikan insentif yang baik terhadap perkembangan kawasan yang lebih responsif terhadap pola-pola keamanan individu. Begitu keamanan individu diraih, maka keamanan nasional, keamanan kawasan, atau bahkan keamanan global juga semestinya dapat lebih mudah diwujudkan. Dinamika hubungan internasional kekinian yang begitu interdependen membuat tiap negara tidak bisa tinggal diam saja jika mengetahui adanya ancaman instabilitas dari negara lain karena akan memengaruhi stabilitas negaranya secara tidak langsung. Peristiwa yang terjadi di belahan bumi utara juga akan berdampak terhadap situasi di belahan bumi selatan. Semenjak konstruksi tersebut tertanam dalam komunitas negara, maka individu satu dengan lainnya pula akan saling terkait. Oleh karena itulah, upaya mewujudkan keamanan individu sudah semestinya diupayakan beriringan dengan upaya mewujudkan keamanan nasional. 2.7.2 Keamanan Ekonomi Pandangan mengenai keamanan ekonomi Asia dapat dilihat dari pengalaman-pengalaman yang pernah dilalui. Negara-negara Asia telah melalui sebuah peristiwa di mana langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah negara-negara dapat merefleksikan upaya serta kerja keras untuk menjaga stabilitas keamanan ekonomi kawasan. Peristiwa ini adalah krisis finansial pada periode 1997 hingga 1999 silam. Dalam jangka waktu tersebut, Asia mengalami keterpurukan secara ekonomi yang mengkhawatirkan. Akan tetapi, negara-negara Asia berhasil bangkit dan membangun kembali perekonomiannya. Pascakrisis, menarik untuk melihat kondisi keamanan ekonomi negara-negara Asia kini agar dapat dianalisis bagaimana kondisi keamanan komprehensif kawasan Asia-Pasifik di masa mendatang. Asia-Pasifik menikmati kestabilan ekonomi pada rentang waktu awal 1960-an hingga akhir 1980-an dengan pertumbuhan ekonomi negaranegaranya yang mencapai 6—9 persen dalam kurun waktu lebih dari dua dekade. Tercatat 8 negara memiliki performa ekonomi yang sangat baik, Universitas Padjadjaran © 2014 30 yaitu Hong Kong, Indonesia, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, Taiwan, dan Thailand. Bahkan menurut World Bank (Hsiung, 2004) selama 1960-1990, pertumbuhan ekonomi 8 negara ini dapat dianalogikan sebagai dua kali pertumbuhan ekonomi rata-rata kawasan Asia Timur (di luar 8 tersebut), tiga kali pertumbuhan ekonomi rata-rata kawasan Amerika Latin dan Asia Tenggara, serta 25 kali pertumbuhan ekonomi rata-rata kawasan subsahara Afrika. Pertumbuhan yang pesat dari 8 negara ini diyakini menular ke negara-negara lain di kawasan yang sama, sehingga abad ke-21 tak jarang dijuluki sebagai the pacific century (siung 4, h. . Pesatnya pertumbuhan ekonomi Asia ketika itu menstimulasi munculnya permainan kekuasaan geopolitik (power game geopolitics) yang merujuk pada peningkatan kekuatan militer secara masif karena telah terbilang mapan secara ekonomi. Penguatan militer negara-negara di kawasan ini tentu menciptakan dilema keamanan bagi negara-negara lain. Akan tetapi, belum sempat mencapai puncak kejayaan, negara-negara AsiaPasifik harus dihadapkan pada kenyataan pahit ketika krisis finasial merebak pada 2 Juli 1997. Hanya dalam hitungan minggu, perekonomian dan nilai mata uang negara-negara Asia yang sebelumnya kuat dan stabil mengalami depresiasi drastis. Krisis finansial yang melanda ketika itu diibaratkan sebagai musibah kebakaran yang kemudian diselamatkan oleh pemadam kebakaran berupa bantuan dari badan moneter internasional, International Monetary Fund (IMF). Akan tetapi, IMF tidak langsung memadamkan api krisis finansial yang tengah membara; melainkan merombak arsitektur perekonomian negara-negara Asia yang tengah terpuruk dengan mendikte kebijakan ekonomi pemerintah. Meskipun benar-benar dalam kondisi terpuruk, saat itu IMF sudah meramalkan bahwa kawasan Asia akan kembali baik, meskipun butuh bertahun-tahun atau berdekade-dekade. Termasuk bagi negara-negara dengan dampak terburuk sekalipun: Indonesia, Thailand, Malaysia, Korea Selatan, dan Filipina. Prediksi ini didasari kondisi dua tahun setelah krisis yang menunjukkan adanya perbaikan mendasar sehingga kondisi tiap negara Universitas Padjadjaran © 2014 31 cepat memulih dan membaik. Secara umum, krisis finansial ini dipicu oleh 3 hal: (1) beban hutang luar negeri yang besar, (2) serangan dari spekulan valuta asing, dan (3) lemahnya kendali berupa aturan serta pengawasan dari pemerintah. Thailand, misalnya, pada saat itu memiliki beban debit luar negeri privat setara dengan 50% dari nominal produk domestik bruto (gross domestic product), sehingga menyebabkan efek domino terhadap negaranegara di kawasan. Negara-negara di kawasan yang sama menyadari lemahnya sektor finansial secara umum dikarenakan oleh ketidakcakapan regulasi dan pengawasan, sehingga pemerintah terpaksa mengambil alih kendali arus modal sebagai upaya revitalisasi perekonomian. Malaysia, yang sebelumnya termasuk negara paling terbuka dalam menerima suntikan modal asing, kemudian berubah menjadi sangat ketat setelah krisis. Bahkan pada Agustus 1998, kontrol pemerintah yang terlalu ketat membuat ringgit tergusur dari perdagangan valuta asing global. Sementara Hong Kong dan Taiwan, yang mengintervensi dengan mengontrol logistik dan pasar modal asing, berupaya menolak serangan dari spekulan mata uang. Korea Selatan juga tidak ketinggalan dalam meningkatkan kontrol terhadap pasar modal. Pemerintah mengadopsi kebijakan moneter dan fiskal yang ketat sembari membiarkan pertumbuhan ekonomi yang lebih lamban untuk menjaga inflasi di bawah 5 persen. Akan tetapi, berbagai upaya ini tidak dilakukan oleh Thailand, sehingga akhirnya harus benar-benar bergantung pada bantuan dari IMF. Meskipun IMF mengontrol kebijakan pemerintah secara besarbesaran—bertentangan dengan prinsip laissez-faire a la ekonomi liberal, Thailand berhasil memulihkan perekonomiannya. Pengendalian ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah negara-negara Asia bekerja baik karena memenuhi sepasang kebutuhan yang bersifat inklusif terhadap seluruh negara di dalam kawasan, yaitu: (1) perlindungan terhadap kelebihan aliran modal luar negeri, terutama peminjaman jangka pendek, dan (2) ekonomi terbuka yang adil untuk mendirikan kembali pertumbuhan yang stabil pascakrisis. Universitas Padjadjaran © 2014 32 Masa depan keamanan ekonomi di kawasan Asia-Pasifik bergantung pada dua kondisi yang saling berhubungan. Pertama, bahwa tindakantindakan pemerintah Asia dalam menanggapi krisis adalah langkah-langkah yang memang bertanggung jawab untuk membawa mereka keluar dari keterpurukan dan dapat memberikan kekebalan terhadap krisis ke depannya. Kedua, bahwa pemerintah harus tetap memegang kendali namun tidak secara keseluruhan, karena memang bukan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah. Pengalaman menghadapi krisis ini memberikan justifikasi bagi pembuatan rezim internasional untuk mengontrol dan menahan spekulasi mata uang global. Upaya pemulihan harus diiringi oleh kiat-kiat preventif mencegah terjadinya kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Berbagai peluang tersedia bagi negara-negara di kawasan Asia-Pasifik dengan modal kestabilan dan keamanan ekonomi yang dimiliki. Bukan tidak mungkin kemudian negara-negara Asia-Pasifik kembali menjadi macan perekonomian dunia seperti di masa lalu. Oleh karena itulah, negara-negara di kawasan Asia-Pasifik perlu memberikan perhatian lebih terhadap berbagai kelemahan ekonomi yang dimiliki saat ini, karena keamanan ekonomi kawasan baru dapat terwujud jika didukung oleh adanya kerja sama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang merata dan stabil. 2.7.3 Keamanan Lingkungan Asia-Pasifik merupakan kawasan yang terdiri dari daratan Asia bagian timur, sedikit selatan dan tenggara, serta wilayah lautan Samudra Pasifik. Di dalamnya, terdapat gugusan pulau-pulau yang tergabung dalam tiga puluh entitas kedaulatan politik. Negara-negara yang tergabung dalam kawasan Asia-Pasifik cenderung memiliki kerentanan biofisik seperti bencana alam, terutama gunung berapi, badai, dan gelombang tinggi, serta kontaminasi limbah nuklir (termonuklir) dan limbah percobaan senjata. Di masa Perang Dingin dan setelahnya, wilayah ini memiliki peran strategis yang sangat krusial bagi Amerika Serikat. Negara-negara AsiaPasifik memiliki otoritas atas berbagai rute pelayaran internasional yang Universitas Padjadjaran © 2014 33 strategis sebagai menjadi jalur distribusi hasil minyak dan gas bumi dari kawasan Timur Tengah serta hasil sumber daya lain seperti hasil laut dan pertanian. Berbagai fungsi strategis ini membuat kawasan Asia-Pasifik tak jarang menjadi pusat geopolitik dan geoekonomi. Oleh sebab itu, dalam analisis keamanan komprehensif, Hsiung memusatkan perhatian pada empat aspek utama terkait keamanan lingkungan, yaitu ancaman kenaikan permukaan laut, persengketaan memperebutkan kekuasaan tunggal atas sumber daya strategis, polusi akibat limbah industri dan transportasi, serta ancaman terorisme dan pembajakan di laut. Ancaman naiknya permukaan laut akibat pemanasan global adalah krusial karena, secara geografis, negara-negara Asia-Pasifik banyak yang berupa kepulauan (Indonesia dan Filipina), negara dengan beberapa pulau (Jepang), negara dengan pulau yang kecil (Singapura), negara dengan pulau yang lebih besar (Cina, Malaysia, dan Vietnam), serta negara dengan garis pantai yang panjang (Kamboja dan Thailand). Satu-satunya negara yang tidak dikelilingi laut (landlocked) hanya Laos. Peningkatan temperatur global telah mengakibatkan naiknya permukaan laut dan diperkirakan bahwa pada tahun 2100 nanti, permukaan air laut akan meningkat setinggi satu meter. Dampaknyam seperti banjir bandang, telah dapat dirasakan dari sekarang. Kondisi seperti ini rentan melumpuhkan aktivitas bisnis di negara-negara dengan perekonomian yang sibuk, terutama Jepang, Singapura dan Hong Kong yang sangat bergantung pada pelabuhan. Setelah banjir, muncul pula permasalahan lain seperti terkontaminasinya cadangan air tanah oleh air asin akibat banjir tadi. Degradasi lingkungan dan ketidakstabilan kondisi bumi juga menyebabkan munculnya berbagai wabah penyakit seperti flu burung (bird flu) di Hongkong pada tahun 1999, virus nipah di semenanjung Malaysia bagian Sarawak pada tahun 1999, virus gangguan saluran pernapasan akut, SARS, pada tahun 2003. Berbagai ancaman seperti ini tidak mengenal batasan kewilayahan sehingga dapat mengancam negara di kawasan, bahkan dalam skala global, dalam waktu singkat; terutama dengan mobilitas yang semakin tinggi berkat globalisasi. Universitas Padjadjaran © 2014 34 Persengketaan memperebutkan kuasa atas sumber daya juga berpotensi memicu terjadinya konflik domestik ataupun internasional. Secara umum, terdapat tiga wilayah utama yang rawan konflik akibat persoalan sumber daya: (1) Laut Cina Selatan yang kaya akan biota laut serta cadangan minyak dan gas bumi, (2) Sungai Mekong sebagai sumber penghidupan masyarakat di wilayah Cina, Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja hingga Vietnam, serta (3) Alur laut (sea lane) yang menghubungkan Asia di bagian timur laut, Selat Taiwan, Laut Cina Selatan, dengan titik-titik pantai di Asia Tenggara yang berakhir di Samudra Hindia. Jalur laut juga penting untuk pendistribusian minyak, di mana pada tahun 2003 saja, sekitar 60% dari pasokan minyak dunia bergantung dari ketersediaan minyak Timur Tengah. Cina dan Rusia juga memiliki perjanjian distribusi minyak dari Siberia Barat ke Cina yang mengangkut 5,13 miliar barel pertahun dari pada periode 2005 hingga 2030. Beberapa contoh ancaman keamanan lingkungan di wilayah-wilayah ini misalnya: (1) perebutan kekuasaan atas Pulau Paracel (antara Vietnam dan Cina) dan Pulau Spratly (antara Cina, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam, Taiwan, danFilipina) di Laut Cina Selatan, (2) penangkapan nelayan Taiwan terkait penangkapan ikan ilegal di perairan Malaysi, serta (3) konflik antarkelompok memperebutkan air di pemukiman miskin sekitaran Sungai Mekong yang dihuni oleh hampir 230 juta orang. Apabila terjadi pencemaran air dari hulunya di Cina, maka lima negara yang dilalui Sungai Mekong tentu tidak akan tinggal diam. Rencana ke depannya, untuk mengatasi kemungkinan terjadinya konflik di Sungai Mekong, akan dibuat kesepakatan antarnegara (seperti Cina dan Vietnam dalam sengketa Pulau Paracel) untuk berjanji menangguhkan, tanpa prasangka, klaim masing-masing negara atas sumber daya bersama tersebut. Polusi udara dan kebakaran hutan akibat limbah industri dan transportasi juga merupakan ancaman keamanan lingkungan yang serius. Di Hong Kong, misalnya, tercatat data yang mencengangkan dengan rata-rata 15 juta ton limbah industri perharinya. Selain itu, pencemaran udara yang diakibatkan oleh banyaknya asap tidak ramah dari berbagai alat transportasi Universitas Padjadjaran © 2014 35 dengan bahan bakar fosil telah berkontribusi terhadap sekitar 2000 kematian bayi prematur setiap tahun. Bukan hanya di Hong Kong, fenomena ini juga terjadi di berbagai negara lain di kawasan Asia-Pasifik. Kebakaran hutan di Indonesia juga seringkali menjadi sumber permasalahan dengan negara-negara tetangga akibat kabut asap ekstrim; terutama Singapura, Malaysia, dan Filipina. Kebakaran hutan seringkali diakibatkan oleh pembakaran lahan dan produksi kelapa sawit. Selain berbahaya bagi kesehatan manusia, asap akibat kebakaran hutan juga menghambat kegiatan ekonomi karena berpengaruh terhadap kelancaran berbagai moda transportasi serta meningkatkan pemanasan global karena menghilangkan pohon-pohon di hutan hujan tropis. Masalah lain adalah terorisme dan pembajakan di laut. Di Filipina, yang jauh sebelum tragedi 11 September 2001 telah berkutat dengan gerakan teroris kelompok Abu Sayaf, kelompok insurgensi separatis menuntut diakuinya pembentukan negara baru dan restorasi hak-hak memancing bagi nelayan lokal. Negara lain, seperti Indonesia, juga pernah menjadi sorotan dunia setelah kejadian Bom Bali pada tahun 2002 serta Bom Hotel JW Marriott di Jakarta pada tahun 2003 oleh kelompok Jamaah Islamiyah (JI). Kedua kelompok teroris tersebut ditengarai memiliki hubungan dekat dengan kelompok Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Pembajakan di laut, sementara itu, kerap terjadi di wilayah Selat Taiwan, perairan IndonesiaMalaysia, dan Filipina. Secara keseluruhan, 40% dari kasus bajak laut terjadi di wilayah perairan Indonesia. Meningkatnya aktivitas pembajakan di akhir tahun 1990-an dipicu oleh krisis finansial di kawasan Asia yang berdampak pada peningkatan angka pengangguran dan penduduk miskin. Kekayaan sumber daya alam di kawasan Asia-Pasifik, yang meliputi negara-negara di Asia Timur (Cina, Hongkong, Jepang, Korea Utara, Korea Selatan, Macau, Taiwan), Asia Tenggara (Brunei, Myanmar, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Timor Timur), Pulau Paracel dan Spratly, serta Mongolia (Central Intelligence Agency, 2014) membuat kawasan ini rentan mengalami konflik perebutan sumber daya alam. Bagi negara-negara seperti Cina dengan sumber daya Universitas Padjadjaran © 2014 36 yang bahkan lebih banyak daripada sekadar kekayaan laut—batu bara, bijih besi, minyak bumi, gas alam, timah, alumunium, uranium dan potensi tenaga air (hydropower) nomor satu di dunia—kemudian Indonesia dengan minyak bumi, timah, gas alam, nikel, bauksit tembaga, batu bara, emas dan perak, serta Thailand dengan timah, karet, gas alam, ikan, gipsum, lignit, dan fluorit (Central Intelligence Agency, 2014), kondisinya bahkan lebih rawan lagi. Berdasarkan data dari oleh World Shipping Council (2012), tiga jalur perdagangan laut utama dunia adalah rute Asia-Amerika Utara, Asia-Eropa Utara, dan Asia-Mediterania. Data ini menunjukkan dengan jelas betapa strategisnya kawasan Asia-Pasifik bagi aktivitas perekonomian global sehingga dibutuhkan pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Bagi kebanyakan negara di sekitar Asia Tenggara, iklim tropis dan subtropis berdampak pada kesuburan tanah yang sangat baik untuk aktivitas pertanian. Pun begitu halnya dengan daerah selatan Cina hingga Vietnam yang dialiri oleh Sungai Mekong. Potensi salah hutan hujan tropis terluas di dunia yang berada di Pulau Kalimantan (Borneo) juga memberikan manfaat besar bagi Brunei, Malaysia, dan Indonesia serta bagi seluruh dunia karena fungsinya sebagai penyerap emisi karbon dan distributor oksigen. Meskipun begitu, terdapat ketimpangan hasil alam negara yang menimbulkan kesenjangan yang potensial menjadi sumber konflik. Di beberapa negara, terutama di kawasan Asia Tenggara, ketidakstabilan cuaca dan iklim juga berpengaruh terhadap ketahanan pangan masing-masing negara. Untuk mengatasi masalah ini, negara-negara di kawasan Asia-Pasifik haruslah bekerjasama agar tidak terjadi persengketaan, terutama dalam pemanfaatan sumber daya alam. Di samping itu, demi kelangsungan pemanfaatan energi secara global, negara-negara di Asia-Pasifik tercatat telah unggul di beberapa bidang energi terbarukan, seperti energi tenaga air oleh Cina, energi tenaga nuklir oleh Jepang, serta potensi energi panas bumi (geotermal), angina, dan air di negara-negara Asia Tenggara. Kerjasama juga harus dijalin oleh negara-negara dalam mengelola kepemilikan sumber daya bersama seperti Laut Cina Selatan dan Sungai Mekong. Universitas Padjadjaran © 2014 37 2.8 Keamanan Komprehensif di Eropa Konsep keamanan komprehensif di kawasan Eropa dikembangkan oleh Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) yang pendiriannya memiliki landasan utama untuk mempromosikan keamanan dalam dimensi hak asasi manusia. Kerangka keamanan komprehensif yang dikembangkan oleh OSCE memiliki tujuan untuk mengeliminasi konflik di kawasan tersebut. Pendekatan keamanan komprehensif menurut OSCE (Zannier, 2012) mencakup tiga dimensi, yaitu: (1) keamanan politik dan militer, (2) keamanan ekonomi dan lingkungan, serta (3) keamanan individual. Secara umum, tujuan pendirian OSCE (Zannier, 2012) juga sejalan dengan cita-cita dari keamanan komprehensif, yaitu: (1) menegakkan hakhak asasi manusia dan kebebasan dasar individual, (2) memelihara ketertiban hukum, (3) mempromosikan prinsip-prinsip demokrasi dengan cara membangun, memperkuat, dan melindungi institusi demokratis, serta (4) mempromosikan toleransi di seluruh wilayah negara anggota OSCE. Dari berbagai tujuan di atas, didapati bahwa tujuan utama OSCE adalah untuk memastikan bahwa seluruh individu yang ada di wilayah kekuasaan OSCE bebas dan aman. Untuk mencapai kondisi ini, bukan hanya dilakukan perwujudan keamanan dalam dimensi politik dan militer, namun juga keamanan ekonomi, lingkungan, dan individual (manusia); sehingga selaras dengan asas-asas keamanan komprehensif. Akan tetapi, terdapat beberapa perdebatan mengenai bagaimana menerapkan konsep keamanan komprehensif yang diusung oleh OSCE. Salah satu perdebatan yang paling besar adalah ketika kewajiban untuk menjaga keamanan bersama dibenturkan dengan prinsip nonintervensi. Pada tahun 1991, para anggota OSCE sepakat bahwa komitmen yang telah disepakati oleh seluruh anggota, yaitu untuk menjaga keamanan, merupakan suatu hal yang sah secara hukum merupakan tanggung jawab seluruh negara anggota, bukan urusan dalam negeri suatu negara. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagai anggota OSCE, suatu negara harus menyerahkan kepercayaannya Universitas Padjadjaran © 2014 38 secara penuh kepada institusi tersebut, karena kedaulatan institusi dalam urusan penjagaan keamanan, berada di atas kedaulatan negara. 2.8.1 Keamanan Komprehensif yang Kooperatif Dari tingkat komitmen yang diberikan oleh anggotanya terhadap OSCE, dapat dikatakan bahwa keanggotaan OSCE bukan hanya didasarkan pada niat baik saja, melainkan sarat nilai-nilai politis. Setiap keputusan yang dikeluarkan oleh OSCE didasarkan pada konsensus atau persetujuan secara aklamasi dari seluruh anggota tanpa terkecuali dan akan langsung berlaku mengikat secara hukum begitu tercapainya persetujuan tersebut. Jika ada satu negara yang tidak menjalankan komitmennya yang telah disepakati, maka negara anggota lainnya dapat menuntut pertanggungjawaban dari negara pelanggar tersebut. Hal ini disebut dengan konsep keamanan yang kooperatif; maksudnya, setiap negara yang harus saling membantu dalam usaha penerapan komitmen bersama untuk mencapai keamanan komprehensif. Upaya OSCE ini dijalankan melalui tiga institusi, yaitu: (1) Office for Democratic Institution and Human Rights (Kantor untuk Institusi Demokratis dan Hak-Hak Asasi Manusia), (2) High Commissioner on National Minorities (Komisi Tinggi untuk Minoritas Nasional), dan (3) Representative on Freedom of the Media (Perwakilan untuk Kebebasan Media). Di samping itu, terdapat pula dua badan tambahan yang memiliki tugas membantu negaranegara anggota dalam menjalankan komitmennya menciptakan keamanan di kawasan, yaitu OSCE Field Operations (Operasi Lapangan) dan OSCE Special Representative and Coordinator for Combating Trafficking in Human Beings (Perwakilan Khusus dan Koordinator untuk Memerangi Perdagangan Manusia). Dalam praktiknya, OSCE telah berkontribusi terhadap usaha-usaha perdamaian di berbagai negara di Eropa, di antaranya: (1) misi OSCE di Kosovo pada 6 dan 20 Mei 2012 untuk mengawasi pemilihan umum presiden dan parlemen warga Serbia, (2) misi gabungan OSCE dengan Uni Eropa dan UNHCR di Bosnia untuk mengembalikan pengungsi pada wilayah asalnya Universitas Padjadjaran © 2014 39 pascakonflik di Yugoslavia (sekarang Serbia), (3) misi OSCE di Moldova untuk mempromosikan hak-hak asasi manusia dan demokrasi, (4) pembangunan 6 cabang Human Rights Defender’s Office di Armenia pada tahun 2012, serta (5) pembangunan 11 Women Research Centre di Tajikistan untuk membantu upaya emansipasi wanita di daerah tertinggal. 2.8.2 Upaya OSCE Mewujudkan Keamanan Komprehensif Hingga kini, OSCE terbilang adalah cukup efektif dalam menggalang kerjasama di bidang keamanan kawasan di Eropa. Dalam menanggapi krisis di Ukraina, misalnya, OSCE dapat memiliki kontrol yang cukup signifikan dalam menentukan jumlah drone dan pasukan yang akan dikirim beserta negara-negara yang akan mengirimnya (Tass, 2014). Legitimasi OSCE yang cukup kuat sebagai organisasi keamanan kawasan ini muncul dari prinsip yang telah disepakati oleh negara-negara anggotannya yaitu prinsip bahwa keamanan merupakan tanggung jawab langsung dari OSCE, bukan lagi wewenang eksklusif dari suatu negara. Hal ini merepresentasikan bentuk kepercayaan yang diberikan oleh negara-negara anggotanya terhadap OSCE sebagai organisasi internasional. Kepercayaan tersebut menghasilkan kedaulatan yang mampu mendorng fungsi efektif OSCE dalam menjaga keamanan di kawasan Eropa. Akan tetapi, asas konsensus dalam pengambilan keputusannya menjadi kelemahan yang mengurangi efektivitas OSCE. Masih dalam kasus yang sama, krisis di Ukraina, OSCE sempat beberapa kali gagal untuk mencapai konsensus mengenai metode pengawasan yang akan dilakukan di Ukraina (Shields, 2014). Hal ini disebabkan karena penolakan dari delegasi Rusia. Dengan kata lain, asas konsensus meskipun menjaga OSCE agar tidak gegabah juga menjadi batu hambatan yang menyulitkan pencapaian keamanan komprehensif di kawasan. Partisipasi OSCE dalam mewujudkan keamanan komprehensif di Eropa terlihat dari upayanya yang menyentuh berbagai spektrum keamanan. Pendekatan militeristik dalam krisis di Ukraina, mendorong kesejahteraan wanita di Tajikistan, dan pengawasan proses pemilihan umum yang Universitas Padjadjaran © 2014 40 demokratis di Kosovo mengindikasikan komitmen OSCE dalam menciptakan keamanan yang menyeluruh di Eropa, bukan hanya dalam dimensi militeristik yang tradisional saja. Sifat keamanan yang sensitif dan seringkali menjadi sorotan menambah tingkat kesulitan bagi OSCE di samping masih kuatnya pengaruh negara secara agregat. Agar OSCE dapat bekerja lebih efektif, negara-negara anggota haruslah memiliki kepercayaan yang lebih tinggi dan menekan ego kedaulatannya. Apabila tidak, maka cita-cita keamanan komprehensif yang kooperatif di Eropa akan sulit dicapai. Meskipun belum optimal, kinerja OSCE terbukti lebih baik dibandingkan organisasi keamanan di kawasan lain, termasuk Asia-Pasifik. Oleh karena itu, tidak heran jika OSCE sering menjadi model kerja sama keamanan bagi negara-negra di kawasan lain. Di era globalisasi ini, negara sudah tidak dapat lagi bertanggung jawab secara eksklusif terhadap keamanan, karena memang ancaman yang datang kini cenderung bersifat lintas batas (transboundary). Kehadiran konsep keamanan komprehensif juga memberikan wadah yang holistik bagi upaya pencapaian keamanan di berbagai belahan dunia melalui kerjasama antarnegara tanpa harus mengorbankan kedaulatan masing-masing. Universitas Padjadjaran © 2014 41 KESIMPULAN Pembahasan mengenai keamanan komprehensif dalam tulisan ini dibatasi pada dimensi keamanan manusia, ekonomi, lingkungan, dan energi. Bukan berarti dimensi keamanan lainnya tidak penting, namun memang sangat sulit mengidentifikasi semua dimensi keamanan yang ada saat ini; terutama dengan adanya proses sekuritisasi secara berkelanjutan di hampir setiap aspek kehidupan manusia. Dari pembahasan mengenai keamanan komprehensif, dengan studi kasus di kawasan Asia-Pasifik, dapat disimpulkan bahwa: 1. Dalam bidang keamanan ekonomi, kawasan Asia Pasifik memiliki kapabilitas yang terbilang baik, karena telah terbukti mampu memacu pertumbuhan ekonomi di secara berkelanjutan meskipun sempat diterpa krisis finansial besar-besaran pada medio 1990-an; 2. Dalam bidang keamanan manusia, kawasan Asia Pasifik masih harus melakukan banyak perbaikan. Meskipun angka kemiskinan berkurang, masih banyak masalah-masalah lain, seperti ketidaksetaraan gender, perdagangan obat-obatan ilegal, arus imigran ilegal, penyelundupan orang, serta maraknya praktik perdagangan manusia, terutama wanita dan anak-anak. 3. Dalam bidang keamanan lingkungan, kawasan Asia Pasifik masih dilanda beberapa masalah, seperti peningkatan permukaaan air laut karena perubahan iklim, pengelolaan dan kepemilikan sumber daya bersama, polusi akibat limbah industri, terorisme, perompakan di laut, serta berbagai bentuk degradasi lingkungan seperti kebakaran hutan dan pencemaran sumber air. 4. Keamanan energi adalah spektrum keamanan yang sangat krusial dalam peta perpolitikan global saat ini karena nilai strategis sumbersumber energi tidak terbarukan seperti minyak dan gas bumi; sehingga rentan menjadi sumber konflik perebutan pengelolaan dan pengelolaan sumber daya. Universitas Padjadjaran © 2014 42 Setelah melihat poin-poin kesimpulan di atas maka timbul pertanyaan apakah Asia Pasifik, seperti halnya Eropa, dapat mencapai keamanan komprehensif? Titik yang paling aman adalah keamanan ekonomi. Sementara kekhawatiran terbesar terletak pada keamanan lingkungan. Pun masalah kejahatan transnasional seperti terorisme dan bajak laut membutuhkan solusi pada tingkatan kawasan. Negara-negara di kawasan ini seharusnya mampu menysusun strategi, membangun rasa saling percaya (confidence-building), mengesampingkan rasa saling curiga, dan menekan persaingan politik. Misalnya, pada saat Jepang menurunkan beberapa pasukan untuk mengurangi pembajakan laut di kawasan, Jepang mendapat respon yang dingin dari negara-negara tetangga. Mestinya, seperti apa yang dilakukan oleh negara-negara Eropa melalui OSCE, negara-negara di kawasan Asia-Pasifik juga harus menginisiasi dibentuknya kerangka kerja sama keamanan yang kooperatif demi mewujudkan keamanan komprehensif dalam artian sebenarnya. Menciptakan keamanan komprehensif di kawasan Asia-Pasifik bukanlah tugas yang mudah, namun bukan pula mustahil. Kehadiran berbagai wadah kerja sama regional menjadi indikasi yang baik, meskipun masih didominasi oleh aliansi ekonomi melalui rezim perdagangan bebas. Kehadiran negara-negara industri maju di kawasan Asia-Pasifik juga bak dua mata pisau; dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi keamanan kawasan. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Cina, dan Jepang cenderung memegang peran kunci dalam menentukan arah kebijakan dan mendorong integrasi dalam skala global. Dukungan militer dari negara-negara kuat seperti Amerika Serikat dan Cina adalah asset bagi kawasan Asia-Pasifik dalam mencapai keamanan komprehensif; begitu pula halnya dukungan dalam dimensi keamanan lainnya. Melalui organisasi Council for Security Cooperation in the Asia-Pacific (CSCAP), negara-negara di kawasan ini harus berani mendobrak tradisi-tradisi lama seperti yang telah berlangsung di Eropa melalui OSCE. Universitas Padjadjaran © 2014 43 Berdasarkan pembahasan panjang dalam tulisan ini, dapat diidentifikasi 5 asas utama yang haruslah dijadikan landasan dalam upaya perwujudan keamanan komprehensif, yaitu: 1. Interdependensi yang saling menguntungkan (mutual interdependence); 2. Kemandirian (self-reliance) yang merepresentasikan nilai-nilai seperti rasa saling percaya, kemandirian, solidaritas, serta menekan rasa saling curiga dan tensi politik demi kemajuan bersama; 3. Kolaborasi yang inklusif (inclusive collaboration); 4. Hubungan yang damai (peaceful engagement) dengan mengedepankan solusi damai melalui kiat-kiat diplomasi dan dialog antarnegara; dan 5. Partisipasi warga negara yang baik (good citizenship).■ Universitas Padjadjaran © 2014 44 DAFTAR PUSTAKA Annan, Kofi (2001) Toward a Culture of Peace. United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization. Tersedia di: http://unesco.org/cul ture/aic/echoingvoices/kofi-annan.php (diakses 20 Oktober 2014). Asian Developmment Bank (2012) Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara Berkembang di Asia Akan Menurun Tetapi Stabil. Asian Development Bank. Tersedia di: http://www.adb.org/news/developing-asia-growthsubdued-steady-adb-report-ino (diakses 20 Oktober 2014). Axworthy, Lloyd (1999) NATO New Security Vocation. NATO Review, Winter, h. 8—11. Bajpai, Kanti (2000) Human Security: Concept and Measurement. Kroc Institute Occasional Paper. Indiana: University of Notre Dame. Brown, Lester R. (2000) Challanges of the New Century. Dalam: Lester R. Brown, Christopher Flavin, dan Hillary French (eds.) (2000), State of the World: A Worldwatch Institute Report on Progress Toward a Sustainable Society. New York: W. W. Norton. Bush, George W. (2001) Energy Security. The White House. Tersedia di: http://www.whitehouse.gov (diakses 20 Oktober 2014). Buzan, Barry, Ole Wæver, dan Jaap de Wilde (1998) Security: A Framework for Analysis. Colorado: Lynne Publisher. Central Intelligence Agency (2014) East and Southeast Asia. CIA World Factbook. Tersedia di: https://www.cia.gov/library/publications/theworld-factbook/geos/pf.html (diakses 21 Oktober 2014). Froomkin, Dan (2012) Auction 2012: Energy Lobby Finds Power in Money and Fear. The Huffington Post. Tersedia di: http://www.huffingtonpost.c om/2012/01/31/auction-2012-energy-lobby_n_1242134.html (diakses 21 Oktober 2014). Gasper, Der dan Oscar A. Gomez (2013) Human Security: A Thematic Guidance, Note for Regional and National Human Reports Team. UNDP Human Development Report Office. Tersedia di: http://hdr.undp.org/si Universitas Padjadjaran © 2014 45 tes/default/files/human_security_gui dance_note_r-nhdrs.pdf (diakses 20 Oktober 2014). Höll, Otmar (2011) Concepts of Comprehensive Security. Dipublikasikan pada Conference on Studying Jihadism . Vienna: Oriental )nstitute of Vienna University, Jihadism Online Project, Austrian Oriental Institute Hammer-Purgstall, Austrian Institute for International Affairs. Hsiung, James C. (2004) Comprehensive Security: Challenge for Pacific Asia. New York: New York University Press. Hunt, Katie (2012) Report: Sea piracy drops to lowest level in four years. Cable News Network. Tersedia di: http://edition.cnn.com/2012/10/23/ world/sea-piracy-decline (diakses 21 Oktober 2014). International Maritime Bureau of the International Chamber of Commerce (2014) Piracy & Armed Robbery Prone Areas and Warnings. International Maritime Bureau of the International Chamber of Commerce. Tersedia di: http://www.icc-ccs.org/piracy-reporting-centr e/prone-areas-and-warnings (diakses 21 Oktober 2014). Osborne, Randall E. dan Paul Kriese (eds.) (2008) Global Community, Global Security. New York dan Amsterdam: Rodopi B. V. King, Gary dan Christoper J. L Murray (2001) Rethinking Human Security. Euro Akademia. Tersedia di: http://euroakadeemia.ee/materjalid/ King-Murray/Rethinking-Human-Security.pdf (diakses 20 Oktober 2014). Klare, Michael T. (2008) Energy Security. Dalam: Paul D. Williams (2008), Security Studies: An Introduction. Oxon: Routledge, h. 483—496. Luft, Gal dan Anne Korin (2003) Terror s Next Target, dalam The Journal of International Security Affairs. Institute for the Analysis of Global Security. Tersedia di: http://www.iags.org/n0111041.htm (diakses 21 Oktober 2014). Lugar, Richard G. (2005) Opening Statement, Hearing on the High Costs of Oil Dependency. Dipublikasikan pada US Senate Committee on Foreign Relations. Dalam: Paul D. Williams (ed.) (2008), Security Studies: An Introduction. Oxon: Routledge, h. 495. Universitas Padjadjaran © 2014 46 Lutfia, Ismira (2011) Pirate Attacks in Indonesian Waters Increase. The Jakarta Globe. Tersedia di: http://www.thejakartaglobe.com/home/pir ate-attacks-in-indonesian-waters-increase (diakses 21 Oktober 2014). MacLean, George (1998) The Changing Perception of Human Security: Coordinating National and Multilateral Responses. United Nations Association in Canada. Tersedia di: http://www.unac.org/canada/secu rity/maclean.html (diakses 20 Oktober 2014). Maritime Security Asia (2011) Drastic Drop in Piracy in Malacca Strait. Maritime Security Asia. Tersedia di: http://maritimesecurity.asia/free2/ piracy-2/drastic-drop-in-piracy-in-malacca-straits (diakses 21 Oktober 2014). Montlake, Simon (2006) Hard Times for Pirates in Busy World Waterway. The Christian Science Monitor. Tersedia di: http://www.csmonitor.com/ 2006/1030/p01s04-woap.html (diakses 21 Oktober 2014). Myers, Norman (2004) Environmental Security: What s New and Different? Institute for Environmental Security. Tersedia di: http://www.enviro security.org/conference/working/newanddifferent.pdf (diakses 20 Oktober 2014). Pirages, Dennis (1978) Global Ecopolitics: The Context for International Relations. North Scituate: Duxbury Press. Rofiq, Aunur (2013) Komitmen APEC Mendorong Konektivitas Kawasan. Berita Satu. Tersedia di: http://www.beritasatu.com/blog/ekonomi/ 2881-komitmen-apec-mendorong-konektivitas-kawasan.html (diakses 20 Oktober 2014). Rudaw (2014) US Airdrops Weapons and Supplies to Kobane Fighters. Rudaw. Tersedia di: http://rudaw.net/english/middleeast/syria/2010 2014 (diakses 21 Oktober 2014). Shields, Michael (2014) OSCE Fails Again to Reach Deals in Ukraine Monitors. Yahoo! News. Tersedia di: http://news.yahoo.com/osce-fails-again-reac h-deal-ukraine-monitors-154837565.html (diakses 20 Oktober 2014). Stone, Marianne (2009) Security According to Buzan: A Comprehensive Security Analysis. Security Discussion Papers Series, 1, Spring. Universitas Padjadjaran © 2014 47 Strategy Page (2007) Naval Air: Indian Robots Rule the Seas. Strategy Page. Tersedia di: http://www.strategypage.com/htmw/htnavai/articles/20 070328.aspx (diakses 21 Oktober 2014). Tass (2014) Media: OSCE Rejects Germany Military Assistance in Ukraine. Tass. Tersedia di: http://en.itar-tass.com/world/755205 (diakses 20 Oktober 2014). Taxpayers for Common Sense (2014) Political Footprint of the Oil and Gas Industry Lobby. Taxpayers for Common Sense. Tersedia di: http://www. taxpayer.net/library/article/political-footprint-of-the-oil-and-gas-indu stry-lobby (diakses 21 Oktober 2014). United Nations Development Programme (1994) New Dimension of Human Security. Dalam: Human Development Report. Oxford dan New York: Oxford University Press, h. 22—46. United Nations Environment Programme (2014) Environmental Security. United Nations Environment Programme. Tersedia di: http://www.unep. org/roe/KeyActivities/EnvironmentalSecurity/tabid/54360/Default.as px (diakses 20 Oktober 2014). United States Department of Energy (2006) International Energy Outlook 2006. Dalam: Paul D. Williams (ed.) (2008), Security Studies: An Introduction. Oxon: Routledge, h. 494. United States National Energy Policy Development Group (2001) National Energy Policy. Dalam: Paul D. Williams (ed.) (2008), Security Studies: An Introduction. Oxon: Routledge, h. 494. Washington s Blog Are the Wars in the Middle East and North Africa Really About Oil? Washington’s Blog. Tersedia di: http://washingtonsbl og.com/2012/10/the-wars-in-the-middle-east-and-north-africa-are-no t-just-about-oil-theyre-also-about-gas.html (diakses 21 Oktober 2014). —— (2014) The REAL Reason for New U.S. and French Military Involvement in Iraq. Washington’s Blog. Tersedia di: http://washingtonsblog.com/20 14/08/real-reason-obamas-new-military-deployment-iraq.html (diakses 21 Oktober 2014). Universitas Padjadjaran © 2014 48 World Bank (2012) Asia Timur dan Pasifik Tetap Menjadi Titik Cerah di Kondisi Perekonomian Global yang Sulit. World Bank. Tersedia di: http://www.worldbank.org/in/news/press-release/2012/12/19/eastasia-pacific-remains-bright-spot-difficult-global-landscape (diakses 20 Oktober 2014). World Shipping Council (2012) Trade Routes. World Shipping Council. Tersedia di: http://www.worldshipping.org/about-the-industry/glob al-trade/trade-routes (diakses 21 Oktober 2014). Zannier, Lamberto (2012 (uman Rights and OSCE s Comprehensive Security Concept. Dipublikasikan pada Vienna Manual on Human Rights. Vienna: Organization for Security and Co-operation in Europe. Universitas Padjadjaran © 2014