edupedia Vol. 5, No. 1, Juli 2020 | 25
EPISTEMOLOGI PENCAPAIAN
ILMU AL-GHAZALI
Abstract:
Oleh:
Albadri
Email:
badriabladri@gmail.com
Fakultas Ilmu Sosial dan
Humaniora Universitas
Ibrahimy Situbondo
The basic nature of science is to develop, even though it is still necessary to develop
a science strategy so that science is in accordance with the existing objectives and also
the rules of applying science. Al-Ghazali divided the principles of the application
of science into seven and the strategy for developing science into six strategies.
This cannot be separated from the responsibility of science, scientists, and also the
community. Because all three are interrelated. Of the six strategies for developing
knowledge, basically, all the sciences already have those strategies.
Keywords: Development, epistemology of science, Al-Ghazali
PENDAHULUAN
Orang-orang yang mempelajari bahasa Arab
mendapat sedikit kebingungan tatkala menghadapi
kata “ilmu.” Dalam bahasa Arab kata al-‘ilm berarti
pengetahuan (knowledge), sedangkan kata “ilmu” dalam
bahasa Indonesia biasanya merupakan terjemahan
science. Ilmu dalam arti science itu hanya sebagian al-‘ilm
dalam bahasa Arab. Ilmu telah menjadi sekelompok
pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara
sistematis.
Tugas ilmu menjadi lebih luas, yakni
bagaimana ia mempelajari gejala-gejala sosial lewat
observasi dan eksperimen. Keinginan melakukan
observasi dan eksperimen sendiri, dapat didorong
oleh keinginannya untuk membuktikan hasil
pemikiran filsafat yang cenderung spekulatif ke
dalam bentuk ilmu yang praktis. Dengan demikian,
ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai keseluruhan
lanjutan sistem ilmu pengetahuan manusia yang
telah dihasilkan oleh hasil kerja filsafat kemudian
dibukukan secara sistematis dalam bentuk ilmu
yang telah terteorisasi, kebenaran ilmu dibatasi
hanya sepanang dalam pengalaman dan sepanjang
pemikiran, sedangkan filsafat menghendaki
pengetahuan yang komprehensif, yakni luas, umum,
universal (menyeluruh), dan tidak dapat diperoleh
dalam ilmu.
Ilmu bersifat pasteriori: kesimpulannya
ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian
secara berulang-ulang. Untuk kasus tertentu, ilmu
bahkan menuntut untuk diadakannya percobaan dan
pendalaman untuk mendapatkan esensinya. Antara
ilmu dan dan filsafat serta cara kerja ilmuwan dan
filosof memang mengandung sejumlah persamaan,
yakni sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki
tugas melukiskan sedangkan filsafat bertugas untuk
menafsirkan alam semesta. Aktivitas ilmu digerakkan
oleh pertanyaan bagaimana menjawab gambaran
fakta, sedangkan filsafat menjawab pertanyaan
lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu, darimana
awalnya dan akan kemana akhirnya.
Gambaran di atas memperlihatkan bahwa
filsafat disatu sisi dapat menjadi pembuka lahirnya
ilmu, disisi lainnya ia juga dapat berfungsi cara
kerja akhir ilmuwan. Filsafat sering disebut sebagai
induk ilmu (mother of science) dan sekaligus menjadi
pamungkas keilmuan dalam beberapa hal yang tidak
dapat di selesaikan oleh ilmu.
PEMBAHASAN
Pengertian Metodologi
Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani
epetisme (Pengetahuan ilmiah, terstruktur, murni) dan
logos (kajian tentang) dari sudut etimologi adalah
pengetahuan ilmu sejati, dan epistemologi adalah
kajian tentang asal usul, moral, dan pandangan dasar
ilmu pengetahuan.1
Metodologi disebut juga Science of Methode,
yaitu ilmu yang membahas metode praktis dalam
sebuah penelitian dan membahas konsep teoritis
1
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan perkembangannya di Indonesia
(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), 26.
26 Epistemologi Pencapaian Ilmu al-Ghazali
berbagai metode. Dengan kata lain bahwa metodologi
secara etemologi membahas jenis, sifat, tata cara
umum, aturan dan patokan prosedur terhadap
jalannya sebuah penyelidikan di dalam gambaran
ilmu pengetahuan secara langsung.2 Menurut Rene
Descartes ada beberapa prinsip dalam suatu metode
umum yang memilki kebenaran yang pasti, sebagai
berikut:3
1. Membahas masalah seluruh ilmu yang
memprioritaskan akal sehat (common sense) pada
umumnya dimilki semua orang.
2. Menjelaskan kidah-kaidah pokok tentang metode
yang dipergunakan dalam aktivitas ilmiah.
3. Menyebutkan beberapa kaidah moral yang
menjadi landasan bagi penerapan sebagai
bentuk mematuhi undang-undang dan adat
istiadat negeri, sambil berpegangan pada agama
yang diajarkan sejak dini. Bertindak tegas baik
terhadap pendapat yang paling akurat maupun
yang meragukan. Introspeksi diri dari pada
merubah tatanan dunia.
4. Menegaskan pengabdian pada kebenaran yang
acap kali terkecoh oleh indra.
5. Menegaskan subtansi terkait dualisme dalam
diri manusia yaitu jasmani dan rohani.
Metode Keilmuan
Pada dasarnya untuk memperoleh
Pengetahuan harus bisa memahahi anggapan secara
luas terhadap ilmu tentang metode induktif – emperis.
Memang terdapat beberapa alasan untuk mendukung
penilaian yang popular tersebut, sebab para ilmuan
mengumpulkan fakta-fakta secara sistematis dan
mempergunakan data indrawi. Dengan adanya
metode keilmuan akan menyingkap kenyataan dalam
sebuah analisis mendalam terhadap hasil kerja keras
ilmuan untuk mencari pengetahuan sebagai suatu
gambaran kombinasi antara prosedur dan Rasioanal.
Epistemologi keilmuan adalah ilmu cabang filsafat
yang sangat rumit dan kontroversi, namun akan
berupaya untuk memberikan pandangan filisofi
2
3
Hadi Hardono, Epistemologi Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), 7
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi,
Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), 19.
dari metode keilmuan, sebagai suatu pengetahuan
yang termashur.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa
metode keilmuan adalah salah satu cara dalam
memperoleh pengetahuan. Suatu rangkaian prosedur
yang tertentu harus di ikuti untuk mendapat jawaban
yang tertentu pula. Sedangkan epistemologi dari
metode keilmuan akan lebih muda dibacakan, artinya
jika kita mengarahkan perhatian kita kepada semua
yang mengatur terhadap langkah-langkah proses
berpikir yang diatur dalam satu urutan tertentu.
Kerangka dasar prosedur ini dapat diuraikan dalam
enam langkah sebagai berikut:
1. Sadar akan adanya masalah dan perumusan
masalah. Manusia menciptakan masalah dan
mengajukan sesuatu terhadap pola pikirnya yaitu
sebuah pertanyaan yang dapat dijawab tanpa
adanya suatu polemik yang diartikan secara
akurat sehingga manusia tidak mempunyai jalan
untuk mengetahui fakta apapun yang harus
dikumpulkan. Metode keilmuan pada permulaan
ini, menekan kepada pertanyaan yang jelas dan
tepat dari sebuah masalah.
2. Pengamatan dan Pengumpulan data yang
relevan. Tahap ini merupakan suatu yang paling
dikenal dalam metode keilmuan disebabkan oleh
banyaknya kegiatan keilmuan yang diarahkan
kepada pemgumpulan data, sehingga banyak
orang yang menyamakan keilmuan dengan
pengumpulan fakta. Pengamatan yang cermat
kemungkinan terdapatnya berbagai alat yang
dibuat manusia dengan bermacam cara rasional,
dan memberikan dukungan yang dramatis
terhadap konsep keilmuan sebagai suatu prosedur
yg didasarkan pada empiris dan induktif
3. Pesunyusuna dan klasifikasi data. Metode
keilmuan ini lebih menekan kepada penyususnan
fakta dalam kelompok, jenis, dan kelas. Dalam
semua cabang-cabang ilmu berusaha untuk
mengidentifikasi, menganalisis, membandingkan,
dan membedakan fakta-fakta yang relevan
terhadap adanya sistem klasifikasi dalam taxonom,
serta para ilmuan modern terus berusaha untuk
menyempurnakan taxonomi khusus dibidang
keilmuannya.
Jurnal Studi Pendidikan dan Pedagogi Islam | Juli. ISSN: 225-8164 | 2020
4. Perumusan Hipotesis. Hipotesis yaitu penyataan
sementara tentang hubungan antara bendabenda. Hubungan hipotesis ini diajukan dalam
bentuk dugaan kerja, atau teori yang merupakan
dasar dalam menjelaskan kemungkinan hubungan
tersebut. Hipotesis diajukan secara khas dengan
dasar coba-coba (trial error). Hipotesis hanya
sebagai dugaan sementara yang beralasan atau
merupakan perluasan dari hipotesis terdahulu yang
telah teruji kebenarannya kemudian diterapkan
pada data yang baru. Hipotesis berfungsi untuk
mengikat data dengan sedemikian rupa, sehingga
hubungan yang diduga dapat digambarkan,
dijelaskan, dan dapat diajukan.
5. Deduksi dan hipotesis. Ilmu adalah metode
yang semata-mata berpegang teguh kepada jalan
pikiran induktif, melangkah secara langsung dari
fakta kepada penjelasan, dan memperhatikan
secara seksama peranan dari hipotesis. Perbedaan
keduanya adalah hipotesis mencoba menyusun
pernyataan yang logis untuk dijadikan dasar
sebagai penarikan kesimpulan, sedangkan deduksi
mengenai hubungan antara benda-benda tertentu
yang sedang dalam penyelidikan.
6. Tes dan pengajuan kebenaran (verifikasi) dari
hipotesa. Pengajuan kebenaran dalam ilmu
sebagai uji tes alternatif-altenatif hipotesis
dengan pengamatan kenyataan yang sebenarnya
atau lewat pecobaan. Jika fakta tidak mendukung
satu hipotesis, maka fakta yang lain direduksi
kembali. Hukum yang terakhir dalam hal ini
adalah data empiris ; kaidah yang bersifat umum,
atau hukum harus memenuhi persyaratan dalam
pengujian empiris.
Cara Mencapai Ilmu Menurut Al-Ghazali
Ilmu yang tampak dalam kalbu
manusia diperoleh dengan dua acara yaitu daruri,
dan ilmu yang diperoleh dengan cara baru. Jenis
pertama ada pada diri manusia lahir secara potensial,
tetapi akan tampak secara nyata ketika akal telah
sempurna, dan berimajinasi dengan objek emperisensuel dalam hayal yang bisa dirasakan oleh akal.
Jenis kedua muncul dengan dua cara, yang pertama
yaitu hujumi (spontanitas) tanpa diusahakan melainkan
dicampakkan ke dalam kalbu dari arah yang tidak
bisa diketahui oleh yang bersangkutan. Hal ini terbagi
27
menjadi dua model, yaitu wahyu kepada nabi yang
diketahui sumber ilmu berupa kesaksian malaikat
ketika mencampakkan ilmu ke dalam kalbu, dan
ilham kepada para waliyullah yang tidak diketahui
terhasilkannya sumber ilmu tersebut. Adapun yang
kedua adalah iktisab (usaha secara langsung) baik
secara istidlal (mencari petunjuk) atau nazal (penalaran,
penelitian, penyimpulan), maupun berupa ta’allum
(belajar). Ilmu yang diperoleh melalui ruang lingkup
tersebut disebabkan hilangnya hijab (tabir) antara
kalbu dan Lauh Mahfûz yang esensinya muncul
dalam realitas aktual.
Teori di atas merupakan putusan
akhir Al-Ghazali setelah menganalisis secara cermat
dan akurat terhadap ilmu dan metodologi yang
berkembnag sampai pada masanya, ketika hukum
kausalitas dan potensi yang ada pada diri manusia.
Dalam sebuah Kitab Ihya’ dan Mizan Al-Amal, AlGhazali mendiskripsikan dua teori pencapaian ilmu,
yaitu teori ikhtisabi yang mana ilmu dapat diperoleh
dengan cara belajar dan penelitian. Kedua adalah
teori ilhami, yaitu ilmu yang dapat diperoleh dengan
proses dengan perjuangan spiritual (mujahadah), atau
dengan membersihkan diri dari sifat tecela (takhliyah)
dengan megisi sifat terpuji (tahliyah). Kebanyakan
para ahli nalar memilih teori yang pertama tanpa
menolak terhadap teori yang kedua, sedangkan kaum
Sufi lebih menyukai kedua sehingga tidak tertarik
dengan studi, analisis, riset-riset ilmiah.
Al-Ghazali menegaskan pula bahwa
seseorang tidak akan bisa mencapai semua ilmu
dengan sendiri saja secara langsung tanpa guru,
kecuali apabila ia memperoleh sedikit dengan
waktu yang cukup lama, sehingga pertumbuhan
dan perkembangan ilmu pengetahuan tidak pesat.
Sekiranya ilmu kedokteran, misalnya, belum mapan
dan belum tersusun dengan temuan-temuan yang
akumulatif dan saling mendukung dalam proses
waktu yang panjang, tentu untuk mengetahui terapi
satu penyakit saja, manusia yang paling genius pun
memerlukan umur panjang, apalagi untuk mengetahui
seluruhnya.
Menurut pandangan Al-Ghazali untuk
mendapatkan ilmu guru dengan cara menela’ah
kitab-kitab karangan guru- gurunya sehinga
benar-benar berhasil melihat dan menela’ah secara
28 Epistemologi Pencapaian Ilmu al-Ghazali
mendalam tentang hakikat kailmuan mereka.4 Di
samping itu, Al-Ghazali juga telah berhasil meraih
apa yang bisa didapatkannya dengan cara belajar
dan mendengarkan. “Dan di antara mereka ada
orang yang mendengarkan perkataan sehingga
apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata
kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan
(sahabat-sahabat nabi). Apakah yang dikatakannya
tadi? mereka itulah orang-orang yang dikunci mati
hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu
mereka.” (QS. Muhammad: 16)
Tujuan Ilmu
Dalam tujuan ilmu pengetahuan ada
perbedaan pendapat antara filosof dengan para
ulama’. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan
merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya
terhadap tujuan ilmu itu sendiri. Menurut mereka
ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri.
Sebagian yang lain, cendrung berpendapat bahwa
tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya peneliti
atau menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat
untuk menambahkan kesenangan manusia dalam
kehidupan yang sangat terbatas di muka bumi ini.
Menurut pendapat kedua, ilmu pengetahuan untuk
meringankan beban hidup manusia, sebab alasan
itulah nantinya akan mengahsilkan temuan teknologi.
Pada masa sekarang ini teknologi sangat dibutuhkan
oleh manusia untuk mengatasi berbagai problem,
seperti kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan,
ekonomi dan lain sebagainya. Ilmu pengetahuan
sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan
kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan.5
Tujuan terutama keilmuan adalah mencari
pengetahuan yang bersifat umu dalam teori, hukum,
kaidah, asas, dan sebagainya.6 Proses dan metode
untuk mendapatkan pengetahuan keilmuan dalam
semua bidang ilmu adalah sama.
Perkembangan Ilmu
Perkembangan ilmu pengetahuan zaman
sekarang tidaklah berlangsung secara mendadak,
akan tetapi terjadi secara bertahap. Temuan yang
dilakukan oleh manusia di seluruh penjuru dunia
membuktikan bahwa manusia selalu dihadapkan
pada tantangan alam, situasi dan kondisi yang
memacu pada daya kreativitasnya.7
Dalam sejarah Perkembangan ilmu
pengetahuan sangatlah besar sebagai bukti bahwa
sumbangsih Dunia Timur berkembang secara pesat
dan luas, seperti halnya Eropa yang menjadi salah satu
sentral dan gudang ilmu pengetahuan pada saat ini.
Banyak penemuan yang terjadi di Dunia Timur yang
baru dikembangkan belakangan ini di Dunia Barat,
namun perkembangan pemikiran secara senantiasa
mengacu kepada peradaban Yunani. Oleh karena
itu, periodesasi perkembangan ilmu yang disusun
disini mulai dari peradaban Yunani hingga diakhiri
pada pada zaman kontemprorer.8
Pada awal mulanya ilmu animisme, yakni
percaya kepada hal-hal yang ghaib, kemudian akhirnya
muncul ilmu emperisme, karena lambat laun manusia
menyadari bahwa gejala alam dapat diterangkan
alasannya. Setelah itu, muncullah ilmu teoritis yaitu
tentang hubungan dan gejala yang ditemukan dalam
ilmu empiris diterangkan dengan dasar suatu kerangka
tentang pemikiran sebab-musabbab sebagai langkah
untuk meramalkan dan menentukan cara mengontrol
kagiatatan agar hasil yang diharapkan tercapai.9
Sejauh apapun ilmu pengetahuan berkembang
namun manusia tidak dapat dipisahkan, disebabkan
manusia sebagai subjek dari ilmu pengetahuan. Ilmu
yang terlahir untuk manusia, dan untuk kepentingan
manusia. Semua hal itu bermuara pada kepentingan
manusia dalam usahanya mempertahnkan dan
mengembangkan kehidupan untuk mecapai
tujuannya.
7
4
5
6
Marzuki Aqmal,Terjemah Al-Munqidz Minadlalaal (Gresik:
Putera Pelajar, 2005), 66.
Amsal, Bakhtiar, Filsafat ilmu (Jakarta: Raja Gravindo
Persada, 2011), 173-174
Jujun S Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2009), 19.
8
9
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,
Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan
(Yogyakarta: Liberty, 2003), 63.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,
Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan
(Yogyakarta: Liberty, 2003), 63-64.
Jujun S Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2009), 87-96.
Jurnal Studi Pendidikan dan Pedagogi Islam | Juli. ISSN: 225-8164 | 2020
Strategi Pengembangan Ilmu Al-Ghazali
Kegiatan keilmuan dan pengembangan ilmu
memerlukan dua pertimbangan, yakni objektivitas
dan nilai-nilai hidup kemanusiaan. Objetivitas yang
tertuju kepada kebenaran merupakan landasan tetap
yang menjadi pola dasar, nilai-nilai hidup kemanusiaan
sebagai pertimbangan pada tahap ora-ilmu dan pasca
ilmu. Nilai-nilai kemanusian sebagai dasar gambaran
dan tujuan dari kegiatan keilmuan.10
CA. Van Peursen berbendapat
bahwa dalam meninjau perkembangan ilmu
pengetahuan secara menyeluruh tidak akan terlepas
dari tiga pembahasan, yaitu teori pengetahuan,
tehnik, dan etik. Ketiga persoalan ini akan dibahas
seacara bersama, sebab teori pengetahuan melahirkan
teknik, dan teknik bersentuhan langsung dengan
pertimbngan nilai etik.11
Ibnu Khaldun menyusun metode
pengembangan sains falsafiah, dengan membatasai
pada hal-hal yang ada dengan menggunakan tiga
tingkat kecerdasan manusia, yaitu mengamati,
membuat percobaan dan menyusun teori. Kemudian
teori itu digunakan untuk menerangkan kejadiankejadian nyata, proses-proses, dan gejala-gejala yang
dapat diamati di dalam alam fisik maupun sosial.
Al-Ghazali memiliki beberapa strategi dalam
mengembangkan ilmu, yakni:12
1. Prinsip integralisme. Dengan adanya prinsip
ini, maka tidak akan terjerumus ke dalam tiga
bentuk dikotomisme, yakni pemisahan agama
dengan filsafat dan ilmu, pemutusan kaitan
antara epistemologi, ontologi dan aksiologi,
dan pelepasan kaitan antara satu disiplin dengan
yang lainnya.
2. Trilogi pengembangan ilmu. Trilogi itu
diantaranya dimensi ontologinya yakni fakta
atau data, dimensi epistemologinya adalah teori
atau metode, dan dimensi aksiologisnya yaitu
nilai-nilai etis-yuridis.
10
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,
Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan
(Yogyakarta: Liberty, 2003), 63-64.
11
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,
Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan
(Yogyakarta: Liberty, 2003), 88.
12
Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali (Bandung: Pustaka Setia,
2007), 333-337.
29
3. Prinsip memperluas kawasan kemungkinan.
Prinsip ini merupakan salah satu karakteristik
umum pemikiran Al-Ghazali. Hal ini dapat
dilihat pada, hokum kausalitas yang masih
mengakui mukjizat dan hal-hal supranatural
lain sebagai “kemungkinan” rasional, pengakuan
kemungkinan diperolehnya ilmu dengan jalan
mukasyafah yang di luar hukum kausalitas natural,
dan bahwa hasil temuannya yang transdental
diakui sebagai “kemungkinan” rasional sepanjang
tidak irasional, prinsip probabilitas ilmu-ilmu
inferensial yang dihasilkan dengan penelitian
empirik-induktif.
4. Prinsip mengutamakan falsifikasi Al-Ghazali
juga menganut prinsip mengutamakan falsifikasi
daripada verifikasi. Seperti dapat dilihat,
penolakannya terhadap beberapa konsep
metafisika neo-platonik dari sudut falsifikasi,
lebih banyak menetapkan akidah dengan metode
dialektik, yaitu dengan cara mengklaim tesistesis tertentu, kemudian memfalsifikasikan
tesis-tesis sebaliknya, bukan memverifikasikan
tesisnya lebih dahulu engan menjelaskan
argument-argumennya, memfalsifikasikan
konsep-konsep teologi dan politik isma’iliyah/
ta’limiyah, dalam kode etik takwil, ia lebih
banyak menetapkan kaidah-kaidah falsifikasi
daripada verifikasi, terutama dalam kaitannya
dengan kaidah pengkafiran. Esensi Pembuktian
Al-Ghazali yakni penyangkalan suatu tesis
atau teori dengan cara menjelaskan segi-segi
kelemahannya. Ketentuan pembuktiannya adalah
tuntutan argument atau bukti sebagai bentuk
terendah (muṭâlabah), menghadapkan dua sisi
yang sama (muqâbalah), mu’âradah, radd, inkâr
(penentangan, pembantahan, atau penyangkalan
dengan cara menjelaskan dan menunjukkan
kelemahan dan kesalahan suatu tesis atau teori),
ibṭâl atau hadam (pembatalan, penumbangan
dengan macam-macam argumen dan pembuktian
yang menyangkal).13
5. Meminimalisasi pengkafiran dan memperluas
rahmat. Mukmin adalah setiap orang yang
berpegang teguh kepada dua kalimat syahadat
dan meyakini kebenarannya, membenarkan
apa yang dibawa rasul. Sehingga, kafir hanyalah
13
Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali (Bandung: Pustaka Setia,
2007), 299.
30 Epistemologi Pencapaian Ilmu al-Ghazali
mengingkari salah satu dari dasar-dasar agama yang
tiga secara total sebagai pangkal, yaitu keimanan
kepada Allah, kerasulan nabi Muhammad SAW
dan akhirat, atau menolak apa yang diketahui
secara mutawatatir sebagai ajaran agama Islam.
Al-Ghazali memperluas medang jihad, yaitu
tidak hanya dalam bidang hukum, akan tetapi
dalam bidang teologi sepanjang dalil-dalilnya
tidak pasti. Memperluas takwil baik segi medan
maupun segi makna takwilnya, baik mengenai
teologi maupun hukum. Adapun yang menolak
ijma’ dan hukum-hukum yang didasarkan
kepadanya tidak menjadi kafir karenanya. Dalam
konsep teologinya, meskipun menolak filosof
dan mu’tazilah mengenai prinsip simplisitas
tersebut dan implikasi-implikasinya, ia dengan
tegas menolak pengkafiran mereka. Semua nonmuslim yang belum mendengar dakwah Islam
dan yang mendengar, tetapi masih dalam proses
pencarian kebenaran secara tulus dan serius
sesuai prinsip- prinsip ilmiah, kemudian wafat
sebelum menemukan kebenaran itu, ia diampuni
allah dan mendapatkan rahmatnya.
6. Prinsip substansialitas-utilitas. Pada substansinya
ilmu itu bebas nilai sehingga semua ilmu
dapat dikembangkan, namun ilmu tidak bisa
dikembangkan jika ilmu tidak terpuji ketika
sudah masuk ke masyarakat. Menurut Al-Ghazali
alasan ilmu itu tidak boleh dikembangkan karena
fungsinya, yakni membahayakan diri sendiri
dan orang lain pada umumnya, seperti astrologi
yang bisa menjerumuskan kepada syirik, tidak
menghasilkan sesuatu yang berguna secara sosiokultural akan tetapi menghasilkan umur tanpa
makna.
Sifat dasar ilmu itu yakni berkembang,
sehingga dari sifat dasar inilah semua ilmu
pengetahuan pasti dan harus mempunyai enam
strategi pengembangan ilmu tersebut.
Kaidah-Kaidah Penerapan Ilmu dalam Praksis
Ilmu sebagai salah satu wujud yang bisa
melekat pada manusia, yaitu memiliki sifat yang
netral. hal ini tergantung manusia difungsikan sebagai
tujuan baik atau buruk dalam kehidupan. Netralitas
ilmu hanya terletak pada dasar epistemologi
saja, sedangkan secara ontologies dan aksiologis
ilmuawan harus mampu menilai antara sikap baik
dan buruknya, pada hakikat mengharuskan manusia
menetukan sikap.14
Penerapan ilmu pengetahuan yang
dihasilakan oleh ilmuwan terhadap temuan dalam
teknolog, maupun teori - teori emansiapsi masyarakat,
dan sebagainya telah memepertimbangkan dan
memperhatikan nilai kemanusiaan, agama, adat,
dan sebagainya. Ilmu pengetahuan sebagai tidak
hanya bebas nilai, disebabkan ilmu telah barada
ditenga-tengah masyarakat luas dan akan mengujinya.
Sehingga, netralis ilmu hanya terletak pada
dalam epistemologi, sedangkan cara ontologisnya
aksiologisnya tidak.
Proses dan Prosedur Pencapaian Ilmu
Terdapat Pencapaian ilmu yang dikembangkan
oleh Al-Ghazali di dalam prosedurnya terbagi menjadi
tiga fase diantaranya, yaitu;
1. Fase pra-penelitian. Tahap pertama yaitu
dentikasi masalah, yakni masalah yang paling
umum untuk dilakukan secara literatur atau
dengan studi lapangan. Dalam hal ini terkandung
tiga unsur yakni hadirnya masalah, urgensi
masalah dan kajian yang telah dilakukan. Dengan
demikian penelitian dan ilmu yang dihasilkannya
berpangkal pada adanya masalah. Timbulnya
masalah dilatarbelakangi oleh dua faktor,
pertama faktor subjektif, yaitu adanya daya
kritis pada orang yang bersangkutan, dan kedua
faktor objektif antara lain adanya kesenjangan
antara teori atau informasi dengan realitas. Dari
kedua faktor ini timbul hasrat ingin mengetahui
realitas objek yang sedalam-dalamnya, sekaligus
terputusnya ikatan taklid dan proposisi warisan
dari orang tua, guru, atau lingkungan. Masalah
yang hendak dikaji atau diteliti itu haruslah
masalah yang penting bagi kehidupan manusia,
setidaknya bagi pribadi yang bersangkutan, dan
studi yang telah dilakukan belum memuaskan atau
belum ada yang melakukan, sehingga statusnya
bisa menjadi fardhu ‘ain (kewajiban individual)
bagi yang melihat dan mempunyai kesanggupan
untuk menelitinya. Tahap kedua ialah penetapan
ilmu Penelitian, yakni terhasilkannya ilmu
14
Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali (Bandung: Pustaka Setia,
2007), 35.
Jurnal Studi Pendidikan dan Pedagogi Islam | Juli. ISSN: 225-8164 | 2020
dengan hendak tujuan yang ingin dicapainya
sesuai keyakinannya. Adapun tahap ketiga
yakni penetapan prinsip-prinsip ilmiah, yakni
, memperhatikan pola pengamatan secara empiris
dalam sebuah penelitian berdasarkan dengan
fakta dan data.
2. Fase penelitian. Pada tahap ini terdapat tahap
yang bernama asumsi dasar dan proses kajian
ilmiah. Al-Ghazali memakai kerangka dasar logika
sebagai muqaddimah dalam ilmu. Metodologi
rasional Al-Ghazali secara umum sama dengan
metodologi rasional para filosof lain yang lebih
didominasi oleh logika peripatetik seperti AlFarabi dan Ibn Sina. Bangunan ilmu merupakan
sebuah sistem pernyataan ilmiah yang tersusun
dari serangkaian proposisi, assent atau konklusi
(tasdiq, natijah atau ilmu) yang satuannya berpijak
pada sedikitnya dua konsepsi (tasawwur). Dengan
demikian, bangunan ilmu pada akhirnya berakar
dan bermuara pada konsepsi. Sedangkan
dalam proses kajian rasional terdapat objek
yang dianalisis dengan metode ilmiah tertentu
yang disebut hujjah atau burhan (argument). Ada
tiga macam hujjah, yakni qiyas, istiqra’, tamsil,
penyimpulan. Qiyas hanya menghasilkan konklusi
yang benar secar kompulsif bila memenuhi
persyaratan, baik pada materi yaitu premispremis, maupun pada bentuknya. Meskipun
bukan termasuk syarat qiyas bahwa premispremisnya secara substansial diterima (benar),
bila ia secara formal diakui harus pula diakui
konklusinya. Kualitas konklusi qiyas ditentukan
oleh kualitas premis-premisnya. Al-Ghazali,
Al-Farabi dan Ibn Sina mengenal dua macam
istiqra’ yaitu istiqra’ yaitu istiqra’ tamm (induksi
sempurna) dan istiqra’ naqis (induksi kurang).
Jenis pertama adalah penelitian induktif terhadap
semua data partikular yang tercakup dalam
suatu universal. Untuk kesempurnaan istiqra’,
tidak hanya cukup meneliti data yang dipandang
mendukung hukum, bila dimungkinkan terdapat
pengecualian. Istiqra’ Naqis adalah yang tidak
meliputi semua partikular dalam universalnya.
Seperti meneliti banyak pembuat sesuatu di
dunia fisis, yang semuanya bersifat fisis. Dari
data partikular-partikular ini ditarik generalisasi
bahwa sifat fisis merupakan sifat esensial
pembuat, sehingga ditetapkan hukum bahwa
31
setiap pencipta bersifat fisif. Analogi merupakan
salah satu metode ilmiah yang cukup vital, dan
telah membentuk konsep-konsep esensial semua
bidang dan aliran. Al- Ghozali meluruskan
penggunaan metode analogi mengenai bidang
operasi dan tata cara pengoperasiannya sendiri.
Menurutnya, analogi tidak bisa dipakai dalam
teologi metafisika, dalam arti untuk memperoleh
ilmu yang meyakinkan mengenai esensi zat,
sifat, dan perbuatan Allah akhirat dan alam
ghaib lain. Tahap ini sudah tercapai fase ilmu.
Hakikat ilmu adalah putusan akal yang pasti
atau terhasilkannya “copy” objek pada akal
sebagaimana realitas objek sendiri berdasarkan
metode ilmiah tertentu. Ilmu praksis dipandang
final karena dipandang yang qat’i tetap qat’i yang
anni tetap anni. Dalam maslah-masalah d{anni
Allah tidak menentukan hukum tertentu. Selain
itu ilmu amali bukanlah tujuan tapi alat untuk
beramal dan amal sendiri hanyalah sarana untuk
menuntaskan ilmu yang belum final menuju
tercapainya kebahagiaan abadi.
3. Fase epistemology. Tahap pertama dalam fase
ini adalah pengalaman ilmu praksis. Semua ilmu
yang dihasilkan dengan epistemologi adalah ilmu
praksis, dalam arti bahwa ilmu teoritis yang pasti
dan tentative sebagai landasan, sedangkan hukum
merupakan kaidah formal perbuatan praksis
manusia, dan etika merupakan ilmu prksis dari
sudut internal. Tahap kedua adalah tercapainya
kasyf. Menurut Al-Ghazali, ilmu kasyf merupakan
usaha langsung pemberian oleh Allah yang
berlandaskan atas mujahadah dan riyadah. Cara
kasyf pun bermacam-macam. Kadang dengan
cara ilham yakni tiba-tiba ilmu itu muncul tanpa
diketahui sebabnya. Kadang lewat mimpi yang
benar, dan kadang dalam keadaan terjaga dengan
cara tersingkapnya makna-makna dengan simbolsimbol seperti dalam tidur. Adapun tahap yang
terakhir adalah tercapaianya kebahagiaan abadi.
Dalam tahap ini kebahagiaan yang dicapai dengan
secara wusul (sampai), yakni dalam keadaaan
sedekat mungkin dengan Allah di dunia hingga
akhirat. Artinya derajat kedekatan dengan Allah
dan kebahagiaannya serta ketertutupan dan
kesengsaraannya yang dicapai didunia, itulah
pula yang diperoleh diakhirat.
32 Epistemologi Pencapaian Ilmu al-Ghazali
Contoh-Contoh Fase Epistemologi
Muculnya paham Humanisme pada
zaman Yunani kuno terhadap perkembangan
sains memberikan gambaran yang sangat luas
pada kemampuan manusia dalam mengatur dirinya
dan alam semesta. Manusia perlu aturan untuk
mengatur alam. Dengan adanya pengalaman
manusia menunjukkan bahwa jika manusia tidak
mengatur alam, maka alam tersebut akan menyulitkan
kehidupan manusia. Sementara manusia tidak ingin
dipersulit oleh alam. Bahkan sebaliknya kalau bisa–
manusia ingin alam mempermudah kehidupannya.
Sehingga perlu adanya aturan untuk mengatur alam.
Pemahan aturan alam dibuat berdasarkan
agama atau mitos, sehingga akan sangat sulit
menghasilkan aturan yang disepakat. Pertama, mitos
tidak mencupi dijadikan sumber aturan untuk
mengatur manusia. Kedua, mitos tidak bisa dijadikan
sumber untuk membuat aturan untuk mengatur alam.
Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan
dan bersumber pada sesuatu yang ada pada akal
manusia. Disebabkan karena akal mampu, dan
akal pada setiap orang berdasarkan aturan yang
sama. Aturan itu adalah logika alam yang ada pada
akal manusi. Akal itu adalah alat dan sumber yang
paling disepakati. Sehingga humanisme melahirkan
rasonalism.15
Rasionalisme adalah paham yang mengatakan
bahwa akal itu sebagai alat pencari dan pengukur
pengetahuan. Sedangkan pengetahuan dicari
dengan akal, emuannya diukur dengan akal pula.
Yang diperoleh ialah berpikir logis tidak menjamin
diperolehnya kebenaran yang disepakat. Padahal,
aturan itu seharusnya disepakati. Emprisisme adalah
faham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar
adalah yang logis dan ada bukti empiris. Empeisme
adalah aturan (mengatur manusia dan alam).
Dengan Positivisme mengajarkan bahwa
kebenaran ialah logis, ada bukti emperisnya yamg
terukur. Positivisme telah disetujui memulai upaya
membuat aturan untuk mengatur manusia, dan
mengatur alam. Kata pospositivisme ajukan logikanya,
ajukan bukti empirisnya yang terukur lain ialah metode
ilmiah. Metode ilmiah sebenarnya tidak mengajukan
15
Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2004), 29-34.
sesuatu yang baru; metode ilmiah hanya mengulangi
ajaran positivism, namun lebih operasional. Metode
ilmiah mengatakan bahwa untuk memperoleh
pengetahuan yang benar adalah sebagai berikut;
logico-hypothetico-verificartif, yakni membuktikan bahwa
logis, kemudian ajukan hipotesis secara empiris.
Dengan rumus metode ilmiah dengan
membuat aturan. Metode ilmiah secara teknis dan
rinci dijelaskan dalam satu bidang ilmu yang disebut
metode riset. Metode riset menghasilkan modelmodel penelitian. Model penentuan inilah yang
menjadi instan terakhir dan memang operasional
dalam membuat aturan. Dengan menggunakan model
penelitian tertentu yang dilaksanakan tertentu kita
mengadakan penetlitan. Hasil-hasil penelitian tersebut
yang diwarisi sekarang berupa tumpukan pengetahuan
sains dalam bidang berbagai penelitian, pengetahuan,
sains. Inilah sebagian dari isi kebudayaan manusia. Isi
kebudayaan yang lengkap ialah pengetahuan sains,
filsafat dan mistik. Urutan dalam proses terwujudnya
aturan seperti yang diuraikan di atas ialah sebagai
berikut:
Adapun pengetahuan mistik tidak bisa
diperoleh dengan secara indera ataupun dengan
akal rasional. Immanuel Kant mengatakan bahwa
pengetahuan mistik bisa diperoleh dengan moral,
intuisi, dan insight. Al-Ghazali mengatakan bahwa
ilmu pengetahuan bisa diperoleh melalui dhomir atau
kalbu. Para ahli sufisme mengatakan bahwa manusia
harus bisa sebanyak mungkin menghilangkan sifat
nasut pada dirinya dan memperbesar unsur sifat
lahut. Unsur nasut adalah unsur yang berhubungan
dengan jasmani, sedangkan tahul adalah unsur yang
berhubungan dengan rohani. Manusia bisa mengenal
Tuhannya apabila tidak terlalu memfikirkan sifat nasut
dalam kehidupannya.16 Di samping itu, Al-Ghazali
menjelaskan tentang akhlak bahwa sifatnya adalah
16
Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2004), 119-120.
Jurnal Studi Pendidikan dan Pedagogi Islam | Juli. ISSN: 225-8164 | 2020
33
statis dan adaptif dalam diri manusia sehingga tidak
memerlukan rencana ataupun persiapan terlebih
dahulu jika hendak mempraktekkannya, dalam
artian pula bahwa akhlak terjadi secara spontanitas
bila hendak mengimplementasikannya dari seorang
manusia.17
SIMPULAN
Sifat nasut yang tertanam pada manusia
menyebabkan tidak bisa mengenal Tuhannya kecuali,
manusia mensucikan rohaninya dan berusaha
membersihkan nafsu jasmaniah yang ada pada
dirinya. Banyak cara untuk mengenal tuhannya. Salah
satu cara diantaranya adalah ajaran yang dilakukan
oleh kaum sufi yaitu tharikah sebagai salah satu cara
untuk membersihkan diri. Tharikah salah satu cabang
ilmu epistemologi yang bersumber dari kajian ilmu
filsafat untuk mempelajari pengetahuan yang mistik
(riyadhah). Dengan mempelajari riyadhah manusia
bisa melatih untuk memperoleh pencerahan dan
pengetahuan atau dalam ilmu tasawuf disebutkan
tingkat makrifat. Dapatlah disimpulakan meskipun
kasar bahwa epistemologi pengetahuan mistik ialah
pelatihan batin.
2. Al-Ghazali merepresentasikan dua teori tentang
pencapaian ilmu, yaitu teori iktisabi bahwa
ilmu diperoleh dengan cara proses belajar dan
proses penelitian, sedangkan teori ihami yaitu
mensucikan diri dengan cara Mujahadah untuk
menghilangkan sifat-sifat tercela.
Kritik Terhadap Metode Keilmuan
5. Kritik terhadap metode keimuan antara lain:
Metode keilmuan membatasi mengenai apa yang
dapat diketahui manusia yang hanya berkisar pada
benda yang dapat dipelajari denngan isntrumen
dan teknik keilmuannya. Ilmu memperkenankan
tafsiran yang mempunyai multi tafsir terhadap
pengetahuan yang sering update.
1. Metode keimuan membatasi secara begitu saja
tentang sesuatu yang diketahui manusia, yang
hanya berkisar pada benda-benda yang dapat
dipelajari dengan alat dan teknik keilmuan.
2. Ilmu memperbolehkan multitafsir terhadap
suatu benda atau dalam sebauh kajian sehingga
mempunyai pandangan yang benar terhadap apa
yang dikemukakan.
3. Ilmu menggambarkan hakikat mekanistik,
yakni bagaimana benda satu sama lain saling
berhubungan secara sebab akibat, tapi ilmu
tidak mengemukakan tentang hakekat benda
tersebut, dan alasa benda itu ada.
4. Pengetahuan keilmuan hanya pengetahuan yang
mungkin terus akan berubah karena ilmu tidak
mampu untuk menyediakan pengetahuan yang
pasti. Manusia mempunyai alasan untuk berpaling
kepada metode-metode yang lain dalam mengisi
pengetahuan yang tidak terjangkau oleh kegiatan
ilmu.
17
Almannah Wassalwa, “Konsep Pendidikan Akhlak Sejak
Dini Menurut Al-Ghazali”, Jurnal Edupedia, Vol. 2, No. 1,
(Maret, 2017), 2.
1. Metodologi bisa diartikan ilmu yang membicarakan
tentang tata cara melakukan sebuah kajian secara
praktis dan teoritis untuk menunemukan tentang
sebuah kebenaran terhadap sesuatu yang dikaji.
3. Unsur-unsur metodologi adalah intrpretasi,
induksi, deduksi, koherensi intern, holistic,
kesinambungan historis, idealisasi, komprasi,
heuristika, analogika, dan deskripsi.
4. Metode keilmuannya adalah sadar akan adanya
masalah dan perumusan masalah, pengamatan,
pengumpulan data yang relevan, penyusunan
dan kasifikasi data, perumusan hipotesis, tes,
verifikasi dari hipotesa.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi,
Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
Anwar. Filsafat Ilmu Al-Ghazali. Bandung: Pustaka
Setia, 2007.
Aqmal, Marzuki. Terjemah Al-Munqidz Minadlalaal.
Gresik: Putera Pelajar, 2005.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat ilmu. Jakarta: Raja Gravindo
Persada, 2011.
Hardono, Hadi. Epistemologi Filsafat Pengetahuan.
Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia.
Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010.
34 Epistemologi Pencapaian Ilmu al-Ghazali
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2009.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2004.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM.
Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Liberty, 2003.
Wassalwa, Almannah. “Konsep Pendidikan Akhlak
Sejak Dini Menurut Al-Ghazali”, Jurnal Edupedia,
Vol. 2, No. 1, (Maret, 2017).