View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
brought to you by
CORE
provided by Universitas Terbuka Repository
KEBIJAKAN PENDIDIKAN JARAK JAUH
Sofjan Aripin
Program Pascasarjan Universitas Terbuka, Tangerang Selatan
Email : sofjan19@gmail.com
Abstrak
Dikotomi pendidikan jarak jauh dan kelas jauh cukup mengemuka sekarang ini, antara kebutuhan simbolik dan
peningkatan kualitas menjadi kabur. Sepertinya pendidikan tinggi sudah masuk dalam ranah bisnis menjauh dari
ranah nirlaba, masyarakat diimingi dengan kemudahan mendapat gelar pendidikan, masyarakat dibohongi oleh
lembaga pendidikan tidak kredibel bahkan oleh oknum pendidik. Pemerintah yaitu Menteri Reset,Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi sebagai regulator berkewajiban untuk membenahi permasalahan tersebut terhadap
pendidikan tinggi yang melakukan proses pendidikan diluar norma akademik dan kebijakan pemerintah.
Universitas Terbuka sebagai salah satu implementator kebijakan dalam pendidikan tinggi, khususnya program
pascasarjana mempunyai kewajiban untuk memberikan layanan kepada masyarakat yang ingin melanjutkan
pada program magister. Pertanyaan dan sekaligus permasalahan yang harus dipahami penyelenggara
pendidikan tinggi (pascasarjana), yaitu bagaimana proses penyelenggaran pendidikan berjalan sesuai dengan
norma akademik dan berpegang pada kebijakan pemerintah yang sudah ditetapkan. Pemahaman dan
konsistensi prinsip-prinsip pendidikan jarak jauh perlu menjadi acuan, pelaksanakan dan kontrol proses
pembelajaran, profesionalisme manajemen pendidikan jarak, daya dukung teknologi dalam proses pendidikan
dan administrasi akademik, dan meyakinkan kepada masyarakat bahwa hasil pendidikan ini dapat
dipertanggungjawabkan.
Kata kunci: kebijakan, implementasi, pendidikan jarak jauh.
DISTANCE EDUCATION POLICY
Abstract
The dichotomy of distance education and non distance education enough surfaced today, between the symbolic
and the need for quality improvement have become blurred. Looks like higher education has entered the business
aspects and ignore aspects of nonprofit, the public be persuaded to ease a degree of education, people deceived
by educational institutions that are not credible even by unscrupulous educator. Government of the Minister Reset,
Technology and Higher Education as the regulator is obliged to fix the problem, of the higher education process
beyond the norm of academic education and government policies. Universitas Terbuka as one of the policy
implementer in higher education, graduate programs in particular have an obligation to provide services to people
who want to continue in the master program. The questions and problems that must be understood organizer of
higher education or graduate, that is how the process of delivery of education goes according to academic norms,
and adhering to government policies that have been defined. Understanding and consistency of the principles of
distance education needs to be a reference, implementing and control the learning process, distance education
management professionalism, carrying capacity of technology in the educational process and academic
administration, and convince the public that the results of this study can be accounted for.
Keywords: policy, implementation, distance education.
1.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Setiap warganegara berhak mendapatkan akses untuk mengikuti pendidikan formal,
informal maupun nonformal dan pemerintah yaitu Departemen Pendidkan dan Kebudayaan dan
Departemen Reset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia sebagai implementor
kebijakan dalam bidang pendidikan berkewajiban menfasilitasinya. Penyediaan layanan
pendidikan merupakan kewajiban pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan
pendidikan dalam bentuk kebijakan strategis maupun operasional dalam bentuk program dan
kegiatan secara nyata yang akan langsung dinikmati oleh masyarakat.
Aparatur Sipil Negara(ASN) sebagai implementator kebijakan tersebut dalam
mengimplementasikan bahkan secara langsung dan tidak langsung terlibat dalam perumusan
kebijakan pendidikan tersebut, seperti dalam penyususunan dan perumusan Undang-Undang
(UU) Nomor 20 Tahun 2003, tentang Pendidikan Nasional, UU Nomor 14 Tahun 2005, tentang
Guru dan Dosen, dan UU Nomor 12 Tahun 2012, tentang Pendidikan Tinggi, beserta perangkat
peraturan operasionalnya.
Perangkat kebijakan tersebut bagi ASN merupakan acuan atau pedoman dalam
mengimplementasikan dan tidak akan terlepas dari berbagai permasalahan dalam
pelaksanaanya, sebagaimana halnya dalam layanan pendidikan tinggi yang dilaksanakan oleh
perguruan tinggi, baik pendidikan tinggi negeri (PTN) maupun pendidikan tinggi swasta sebagai
salah satu bentuk pendidikan formal dengan jumlah 121 PTN dan 2994 PTS (Pangkalan Data
Dikti 2015).
1.2. Permasalahan konseptual (conceptual problem), secara philosofis akses untuk mendapatkan
pendidikan (tinggi) merupakan hak azasi manusia yang harus terpenuhi dan terlindungi artinya
setiap manusia sejak lahir sampai usia lanjut berhak mendapatkan pendidikan untuk menjaga
dan melindungi kelangsungan hidupnya. Hak azasi ini bukan hanya merupakan tanggung jawab
negara yang direpresentasikan oleh pemerintah sebagai pemegang legal formal untuk
mencerdaskan kehidupan bangsanya, tetapi setiap individu maupun kelompok mempunyai
tanggungjawab moral untuk menjaga dan melindungi hak azasi pendidikan ini. Kenyataanya
masih terjadinya beragamnya persepsi pemahaman secara philosopi maupun konsep mengenai
pendidikan tinggi dalam aspek kompetensi akademik versus kebutuhan kerja(link and mach),
tidak konsistenya jiwa atau mitalitas akademis yang cenderung mengikuti arah pragmatis,
keenganan dalam memperbaharui kompetensi program studi atau cenderung stagnan, maupun
mengabaikan proses pendidikan yang berimplikasi pada mutu pendidikan.
1.3. Permasalah kebijakan (policy problem) secara kebijakan pemerintah telah merumuskan dan
menetapkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta pemerintah secara langsung
mengimplementasi kebijakan pendidikan tentang pendidikan tinggi jarak jauh, seperti: UndangUndang (UU) Nomor 12 Tahun 2012, tentang Pendidikan Tinggi, pasal 31 tentang pendidikan
jarak jauh, Peraturan Pemerintah(PP)
Nomor 17 Tahun 2010: Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan beserta penjelasannya , pasal 118-126 tentang pendidikan jarak
jauh, Permendikbud Nomor 109 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh
pada Pendidikan Tinggi (Mencabut Permendikbud no. 24 Tahun 2012), Surat Edaran(SE)
Belmawa Nomor 0251/E3.3/2013: Implementasi e-learning pada program studi, Email team
elearning.
Berbagai peraturan tersebut secara administratif menjadi landasan bagi ASN dalam
mengimplementasikanya, dan implementasi inilah yang menjadi pokok permasalahan dalam
pendidikan jarak jauh.
1.4. Permasalahan empiris (empirical problem) atau pragmatis, produk pendidikan adalah terciptanya
kualitas hasil didikan yang bermanfaat secara pragmatis maupun akademis. Secara empiris
justru munculnya berbagai layanan pendidikan yang tidak semestinya, seperti; pendidikan
kelagaas jauh, penjualan ijasah atau gelar, pemedatan proses belajar mengajar, subjetivitas
penilaian hasil ujian, lembaga pendidikan mengedepankan laba dari pada nirlaba maupun
kegaiatan-kegiatan distruktif lainya yang mengatasnamakan pendidikan.
2.
Metode Penulisan
Penulisan artikel didasarkan pendekatan kualitatip deskriptif yang didasarkan atas hasil kajian
konseptual dari berbagai literatur administrasi publik dengan penekanan pada kebijakan publik,
konsep pendindikan jarak jauh (PJJ), kebijakan PJJ, pengalaman empiris penulis dalam mengelola
PJJ khususnya peguruan tinggi jarak jauh, dan berbagai sumber yang mendukung tulisan ini.
3.
Konsep dan Kebijakan Pendidikan Jarak Jauh
Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) pada dasar secara konseptual sama dengan pendidikan tatap
muka, yaitu merupakan proses pembelajaran secara sistematis dan terencana yang mengacu
pada norma-norma pendidikan untuk terwujudnya karakter dan mentalitas peserta didik lebih baik
yang bermaaf secara akademis dan praktis. Perbedaan PJJ dan pendidikan tatap muka hanya
terletak pada modus atau cara pencapaianya tetapi tujuan instruktionalnya sama, hal ini bisa dilihat
dari modus perencanaan dan pengorganisasian pembelajaran yang meminimalkan tatap muka
dan lebih mendominankan penggunaan media pembelajaran dalam proses pendidikan, misalnya
dengan pengunanaan teknologi, komunikasi, dan informasi.
Secara konseptual PJJ, adalah belajar yang direncanakan, yang biasanya terjadi ditempat
lain diluar tempat mengajar oleh karena itu, diperlukan teknik-teknik khusus desain mata pelajaran,
teknik-teknik khusus pembelajaran, metodelogi khusus komunikasi melalui berbagai media, dan
penataan organisasi dan organisasi yang khusus (Moore dan kearsly, 1996 dalam Setijadi 2005 :
1). Proses belajar mengajar dapat dilakukan diluar kelas dengan mengunakan bahan ajar yang
dirangcang khusus untuk mengantikan proses belajara atau kuliah secara tatap muka dengan
mengacu pada tujuan instruksional yang ditetapkan, sehingga perlu dirancang dan diorganisasi
secara secara sistemmatis dengan bantuan media komunikasi yang tepat.
Nekwenya (1984 dalam Suparman, 2004:9), mengemukakan ada enam gambaran pokok
dalam PJJ:
a. adanya dua atau lebih pihak yang mengadakan kontak melalui sistem kendali jarak jauh;
b. adanya hubungan tatap muka satu-satu dengan siswa dalam bentuk bantuan, bimbingan, dan
pelatihan individual;
c. adanya suatu komunikasi dua arah yang teorganisasi untuk menghubungkan dua tempat atau
lebih yang berjauhan;
d. tidak didominasi oleh pengajar tatap muka;
e. mengunakan aspek-aspek komunikasi, sosial dan pendagogik;
f. menuntun disiplin diri yang tinggi dan kegiatan siswa yang maksismum untuk berhasil.
Proses PJJ menunjukan perlunya perencaaan dan pengorganisasian pembelajaran yang
mengarahkan peserta didik lebih mandiri dalam proses pembelajaranya dengan daya dukung
media komunikasi, teknologi, dan informasi yang tepat.
Peran PJJ pada dasarnya untuk memberikan akses pendidikan, mutu pendidikan, efesiensi
sarana dan prasarana pendidikan, peningkatan SDM bermutu, efesiensi biaya (penyelenggara
dan peserta didik) (setijadi, 2005: 8 – 13). Hal tersebut menunjukan PJJ memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk belajar luwes dengan kemudahan akses dalam proses pembelajaran,
mutu pendidikan tetap terjaga dengan proses perencanaan dan pengorganisasian pembelajaran
sedcara sistemaris, penggunaan sarana, prasarana dan biaya yang efesien, dan proses
pembelajaran menghasilkan peserta didik yang berkualitas.
PJJ memerlukan daya dukung kebijakan dalam implementasinya untuk menjaga tatanan
dan resposibilitas dalam pelaksanaannya. Kebijakan ini tercermin dalam UU Nomor 12 Tahun
2012, tentang Pendidikan Tinggi, pasal 31 tentang pendidikan jarak jauh, Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 2010: Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan beserta penjelasannya,
pasal 118-126 tentang pendidikan jarak jauh, Permendikbud no. 109 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh pada Pendidikan Tinggi (Mencabut Permendikbud no.
24 Tahun 2012), Surat Edaran(SE) Belmawa Nomor 0251/E3.3/2013: Implementasi e-learning
pada program studi, Email team elearning, maupun berbagai tindak lanjut surat edaran lebih
operasional oleh koportis, seperti SE Koordinator Kopertis III Nomor 002/K3/KL/2013 tentang
Larangan dan Sanksi Penyelenggaraan Kelas Jauh, SE Koordinator Kopertis I Nomor
061/K1.2.1/PS/2013 tentang Larangan dan Sanksi Penyelenggaraan Kelas Jauh.
Implementasi kebijakan ini lebih jauh dijelaskan sebagai berikut: PJJ adalah pendidikan
yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan kegiatan pembelajarannya dilaksanakan dengan
menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi informasi, komunikasi dan media lain.
Contoh PJJ adalah UT. Penyelenggaraan Program Pendidikan JARAK Jauh berbeda dengan
Pendidikan KELAS jauh, penyelenggaraan program pendidikan jarak jauh harus dengan ijin Dirjen
Dikti setelah memenuhi persyaratan Permendikbud Nomor 24 tahun 2012(diberbaharui dengan
Permendikbud no. 109 Tahun 2013), sedangkan pendidikan kelas jauh hanya boleh
diselenggarakan oleh prodi yang peroleh ijin Mendikbud setelah memenuhi ketentuan dan
persyaratan Permendiknas No. 20 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Prodi di Luar Domisili
Perguruan Tinggi. (http://www.kopertis12.or.id/2012/04/27/ )
4.
Konsep Aparatur Sipil dalam Kebijakan Pendidikan Jarak Jauh
4.1. Peran dalam Formulasi Kebijakan
Aparatur sipil negara (ASN) sebagai implementator setiap kebijakan dalam menjalankan
program PJJ untuk mencapai tujuan khususnya bidang pendidikan tinggi merupakan
konsekwensi yang harus dilaksanakan. Secara konseptual dalam studi kebijakan menunjukan
bahwa:
“...posisinya dengan administrasi negara(ASN) sebenarnya sudah cukup lama berkembang,
seperti yang dikatakan oleh White, Dimock and Dimock yang dikutif oleh Miftah Thoha
menyebutkan bahwa administrasi negara terdiri dari semua kegiatan untuk mencapai tujuan atau
melaksanakan public policy. Sedangkan Dimock and Dimock mengemukakan administrasi
negara sebagai suatu ilmu yang mengamati setiap aspek usaha pemerintah untuk melaksanakan
hukum-hukum dan memberikan pengaruh terhadap public policy.” (Thoha, 1986;68)
Pencapaian tujuan kebijakan PJJ yang akan dimplementasikan implementator tidak
akan terlepas dari berbagai tantangan dan hambatan dalam implementasinya, “kebijakan adalah
sebagai tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintahdalam lingkugan tertentu
dengan menunjukan hambatan-hambatan dan kesepakatan-kesepakatan terhadap pelakanaan
usulan kebijakan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan tertentu” (Fiedrick 1963 : 79 dalam
Andeson), memerlukan orang yang sigap dan cerdas pencapaianya dan konsisten dalam
menghadapi dan memecahkan permasalahanya sebagaimana ditegaskan oleh (Anderso, 1979
: 3) “public policy is purposive course of action, followed by an actor or a set of actors in dealing
with a problem or matter of concern.
Peran ASN dalam kebijakan sangat menentukan isi kebijakan yang harus terus menerus
mengikuti agenda atau tahapan-tahapan kebijakan yang akan dirumuskannya, mulaia dari “...1).
Agenda setting, 2). Formulation and legitimation of goal and program, 3). Program
implementation and performance impact, 4). decision about the future of the policy and program”
(Ripley, and Frankling, 1982: 5). Bahkan Jones (1984:53), lebih rinci lagi mengemukan tahapan
kebijakan yang perlu menjadi perhatian ASN, “...1). perception/definition, 2). aggregation, 3).
Organiztion, 4). Representation, 5). Agenda setting, 6). Formulation, 7). Legitimation, 8).
Budgeting, 9).implementation, 10). Evaluation, 11). Adjustment/termination.
4.2. Peran dalam Implementasi Kebijakan
Implementasi merupakan tahapan yang sangat menentukan berhasil atau gagalnya
suatu kebijakan sebagaimana mengimplementasi kebijakan PJJ dari pada merumuskan dan
menetapkan kebijakan itu sendiri, “...It is to be harder to run a constitution than to frame
one”(Wilson dalam Waldo, 1953:67). Van Meter and Van Horn (1975 :447), menegaskan lebih
lanjut, bahwa “ ... those actions by pubic or private individuals (group) that directed at the
achievement of objectives set forth in prior policy decisions”. Model implementasi yang
disarankan oleh Van Meter dengan mengemukakan enam variabel dalam mengimplementasikan
setiap kebijakan, sebagai berikut:
Model Proses Implementasi Kebijakan
Komunikasi
antar
Organisasi
dan
Kegiatan
Pelaksanaan
Ukuran
dan
Tujuan
Kebijakan
Ciri
Badan
Pelaksanaan
SumberSumber
Kebijakan
Lingkungan
Ekonomi,
Sosial,
dan Politik
Sikap
Para
Pelaksana
Kinerja
Pelaksana
Sumber: DS.Van Meter and Van Horn (1975:445-448), disadur oleh Wahab
(1990 : 66)
Edwards (1980 :1), menekan lebih jauh mengenai peran ASN dalam implementasi kebijakan
dengan peran-peran lembaga lain dalam pencapaian tujuan kebijakan,
“The study of public policy implementation is crucial for the study of public administration and
public policy. Policy Implementation, as we have seen, is the stage of policy making between
the establisment of a policy - such as the passage of a legislative act, the issuing of an executive
order, the handing down of judicial decesion, or the promulgation of a regulatory rule – and the
consequences of the policy of the poeple whom it affects.”
Saran yang disampaikan Edwars III, dalam mengimplementasikan setiap kebijakan bagi ASN
adalah sebagai berikut:“.... four critical factors or variabels in implementing public policy:
communication, resourcess, dispositions or attitudes, and bureaucratic stucture.”(Edwards, 1980:10).
Sabatier and Mazmanian (1979: 4), lebih jauh bahkan menekankan akan makna dalam
mengimplementasikan setiap kebijakan:”... those event and activities that accur after the issuing of
authoritative public policy directives, which include both the effort to administer and substantive impacts
on the people and events”.
5. Simpulan
Pendidikan merupakan hak setiap warganegara termasuk layanan pendidikan tinggi dan
pemerintah berkewajiban menyediakan fasilitas untuk ketersediaanya. Penyelenggaraan pendidikan
tinggi dapat dilakukan dengan modus tatap muka maupun jarak jauh dengan keutamaan
penyelengaraan proses pembelajaran yang mengikuti norma-norma pendidikan dan kebijakan yang
berlaku untuk menjaga mutu pendidikan. Penyelenggara pendidikan dengan modus PJJ
memberikan kesempatan kepada masyarakat atau calon mahasiswa untuk dapat menikmati layanan
pendidikan dengan kualitas yang sama dengan penyelenggara pendidikan tatap muka.
Penekanan yang menjadi perhatian dalam pelaksanan PJJ terletak pada implementasi
kebijakan dan menjaga norma-norma dalam proses pembelajaran untuk tetap menjaga mutu
pendidikan. Peran pemerintah sebagai implementator dalam PJJ menjadi pertaruhan akan
keberhasilan menjaga mutu pendidikan dengan kecenderungan masyarakat maupun calon
mahasiswa bahkan lempaga penyelenggara pendidikan yang mementingkan aspek pragmatis
bersifat ekonomis.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Edwards, George C. (1980). Implementing Public Policy. Congressional Quarterly Inc. Washington
D.C
Jones, Charles O. (1984). An Introduction To The Study Of Public Policy. Wadsworth. Inc. California.
Ripley, B. Randall and Grace A. Franklin. (1982). Bureaucracy and Policy Implementation. The Dorsey
Press. Illonis
Sabatier, Paul and Mazmanian. (1983). Implementation and Public Policy. Foresman and Company
Gleinview. Illionis
Setijadi (ed). (2005). Pedoman Pendidikan Jarak Jauh. Universitas Terbuka Departemen Pendidikan
Nasional. Jakarta.
Suparman, Atwi dan Zuhairi, Aminudin . (2004). Pendidikan Jarak Jauh Teori dan Praktek (edisi 2).
Universitas Terbuka. Jakarta.
Thoha, Miftah. (1986). Dimensi-Dimensi Prsma Admiistrasi Negara. Rajawli Press. Jakarta
Van Meter, Donalds and and Carl E Van Horn. (1975). “The policy Implementation Process: A
Concetual Framework” Administration Society. Vol. 6 No. 4 February 1975.
Dokumen:
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 : Pendidikan Tinggi
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010: Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan beserta
penjelasannya
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 24 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Jarak Jauh pada Perguruan Tinggi.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 109 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Jarak Jauh pada Pendidikan Tinggi (Mencabut Permendikbud no. 24 Tahun 2012)
Surat Edaran Belmawa Nomor 0251/E3.3/2013: Implementasi e-learning pada program studi, Email
team elearning
Surat Edaran Koordinator Kopertis III Nomor 002/K3/KL/2013
Penyelenggaraan Kelas Jauh
tentang Larangan dan Sanksi
Surat Edaran Koordinator Kopertis I Nomor 061/K1.2.1/PS/2013 tentang Larangan dan Sanksi
Penyelenggaraan Kelas Jauh
http://forlap.dikti.go.id/perguruantinggi/homegraphpt
http://www.kopertis12.or.id/2012/04/27/permendikbud-no-24-tahun-2012-penyelenggaraanpendidikan-jarak-jauh-oleh-pt.html#sthash.NZ5H1QiJ.dpuf